Bocah Sakti 16
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 16
geser kaki kirinya berkelit, berbareng tangan kanannys
menepuk perlahan lengan sim Leng yang nyelonong
kehilangan sasaran, meskipun tepukan perlahan, cukup
membuat sim Leng kehilangan imbangan dan badannya
terjerumus ke depan hingga hidungnya mencium sampai
besot. Cepat sim Leng bangun lagi.
"Anak kau, kau mengingkari janji " bentaknya.
"Aku mengingkari janji bagaimana ?" tanya Lo In heran.
"Kau janji tidak akan menghilang dari depanku, kenapa kau
barusan berkelit ?" tegur sim Leng dengan tidak tahu malu.
"Aku berkelit, bukannya menghilang Apa kau mau aku diam
saja diserang olehmu ?"
"Aku sudah tahu, kenapa kau mengingkari janji ?"
Lo In benar-benar heran atas jawaban si kakek. Mereka
sudah janji Lo In tidak boleh menghilang bukannya tidak boleh
berkelit. Tapi kelitan Lo In barusan dimasukkan dalam istilah
menghilang, terang si kakek sangat licik dan mau menang
sendiri. Tapi Lo In tidak takut. Ia tertawa berkakakan, kemudian
berkata, "Baiklah, kalau kau mau aku diam saja diserang olehmu,
cuma kau menyerang jangan kencang2, nanti isi dadaku bisa
ambrul oleh seranganmu yang dahsyat "
Lo In hanya berkelakar, akan tetapi dianggap serius oleh
sim Leng. Ia anggap Lo In ketakuan dengan serangannya
yang hebat. oleh sebab itu dengan tenaga maksimum ia
hantam dada Lo In dengan kepalan tangannya yang
mengandung lwekang tinggi.
"Dukk " terdengar suara beradunya kepalan mengenai
dada, berbareng tubuhnya sim Leng terpental dan poksay
(jungkir balik) ke belakang kemudian jatuh duduk sambil
memegangi kepalannya yang kesakitan. Dadanya dirasakan
sakit sekali, darahnya seperti bergolak. Peluhnya yang
berbutir-butir seperti kacang kedelai membasahi bajunya,
matanya terbelalak mengawasi dada jago cilik kita yang
tinggal tenang-tenang saja berdiri sambil bersenyum ke
arahnya. sim Leng lihat senyumannya Lo In itu seperti menagih janji.
Ia menyesal barusan menuruti napsu hatinya, telah berjanji
akan berlutut mengaku takluk pada si bocah manakala dalam
tiga gerakan saja, ia tidak dapat menjatuhkan Lo In . Kini ia
sudah dijatuhkan, tak dapat ia memungkiri janjinya kalau tidak
mau mendapat salah dari si bocah. Maka setelah merasakan
bergolaknya darh dalam dadanya mereda, dengan perlahanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lahan ia merangkak menghampiri Lo In , didepannya ia
berlutut dan manggut-manggut.
Lo In jadi repot melihat si kakek berlutut dan manggutmanggut
di depannya. "Jangan, jangan kau berbuat begini." kata Lo In seraya
lompat ke samping menghindari kehormatan yang sangat
tinggi itu "sim Lopek, kau mau bikin aku jadi lekas tua karena
perbuatanmu ini " Lekas bangun "
sim Leng tidak cepat- cepat bangun hingga dengan
menggunakan kepandaiannya yang tinggi Lo In telah angkat
sim Leng bangun walaupun masih dalam keadaan berlutut.
"sungguh hebat........" berkata sim Liang yang menyaksikan
adegan itu, memuji kepada Lo In sedang hatinya diam-diamjeri
untuk sebentar gilirannya mengadu tenaga dengan si bocah
yang ia sangsikan kepandaiannya sukar diukur.
"Toako, aku menyesal telah membuat pamor kita suram
karena ketidakbecusan adikmu " berkata sim Leng ketika ia
menghampiri kakaknya. "Kekalahanmu adalah wajar, apanya yang harus disesalkan
?" sahut sang kakak.
"Bagaimana " sekarang sim Lopek yang tua juga hendak
maju ?" tanya Lo In ketawa.
(Bersambung) Jilid 16 Sim Liang senang hatinya mendengar Lo In menukar
sikapnya demikian ramah. Si bocah sekarang memanggil
padanya Lopek (paman). Meskipun hatinya jeri, ia ingin cobacoba
juga kepandaiannya Lo In. Ia tahu bahwa si bocah tidak
akan mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas menyahut,
"Adik kecil, kepandaianmu hebat. Tapi Lohu kepingin juga
menjajalnya.Harap adik kecil jangan sampai mencelakakan
Lohu." Lo In ketawa melihat Sim Liang menyeringai
kepadanya. Anak kecil dan kakek dilain detik sudah
berhadapan. "Lopek boleh mulai." mengundang Lo In.
"Adik kecil, aku tidak ingin berlaku licik seperti yang
barusan diperbuat oleh adikku. Kau tak usah diam saja
sebagai patung untuk menerima serangan, tapi kau boleh
menangkis sesukanya asal jangan menghilang saja. Kalau
dalam gebrakan pertama Lohu jatuh, dalam gebrakan kedua
Lohu masih mau menjajal dengan lain cara. Kalau dalam dua
gebrakan itu Lohu masih tidak bisa berbuat apa-apa pada adik
kecil, dengan suka rela Lohu akan menjura mengaku kalah
pada adik kecil." "Baiklah, kau ada lebih jujur Lopek " sahut Lo In seraya
melirik pada Sim Leng sehingga ia menjadi malu dilirik si
bocah atas kelakuannya yang curang barusan.
"Awas adik kecil, Lohu mulai " kata Sim Liang berbareng
badannya berputar, tahu-tahu sudah ada disamping Lo In
dengan tangan kanannya ia menggempur lambung si bocah.
Lo In yang tenang-tenang saja melihat badannya si kakek
berputar, sudah lantas gerakkan tangan kirinya untuk
menekan tangan kanan si kakek yang menggempur
lambungnya. Jari tangan kanannya berbareng dipakai
menyentil jalan darah di pergelangan tangan kiri si kakek yang
dua jarinya hendak menyodok ke arah mata.
Bukan main terkejutnya sim Liang yang dengan sekaligus
serangan kombinasinya dapat dipatahkan oleh si bocah. Ia
rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan seperti patah
kena disentil oleh Lo In, hawa panas menyelusup ke ulu
hatinya sedang tangan kanannya yang ditekan berat ribuan
kati oleh tangan Lo In membuat si kakek tidak berdaya. Ia
coba melepaskan diri dari tekanan Lo In dengan enjot
tubuhnya lompat men jauhi si bocah.
sim Liang juga tidak melupakan kelicikannya untuk
menang. setelah mereka merenggang, sim Liang melihat
kesempatan Lo In sedang lengah memandang ke tempatnya
Tonghong Kauwcu, ia kerahkan tenaganya dan menghajar
pundak orang dengan setaker tenaga. Ia kira tulang
pundaknya Lo In berantakan tidak tahan serangan ampuhnya,
tapi matanya jadi terbelalak dan ketakutan tatkala merasakan
tangannya tak dapat ditarik pulang dari pundaknya Lo In yang
barusan ia hajar. Lo In belagak pilon ketika sim Liang berkutat hendak
menarik pulang tangannya yang melekat pada pundaknya.
sebaliknya sim Liang menjadi ketakutan dan mukanya pucat
ketika merasakan tenaga dalamnya telah molos disedot oleh
Lo In. Makin keras ia mengerahkan lwekangnya, makin keras
nerobos keluar tenaga dalamnya mengalir masuk dalam
dirinya si bocah yang tinggal tenang-tenang saja berdiri
dengan mata memandang ke arahnya Tonghong
Kauwcu. "siaohiap." meratap sim Liang dengan air mata bercucuran.
"Lohu mengaku salah telah membokong siaohiap. Mohon
siaohiap punya belas kasihan membebaskan Lohu. siaohiap.
Lohu minta kemurahan hatimu......."
sim Leng nampak kakaknya meratap dengan bercucuran
air mata, tahu bahwa kakaknya tengah menderita kerugian
sebagai akibat tangannya yang menempel pada bahunya Lo
In. Ia ingin sekali menerjunkan diri membantu kakaknya, akan
tetapi tidak berani. Ia sudah berlutut mengaku takluk.
bagaimana ia berani menyerang pula pada Lo In " Maka
dengan hati yang sangat cemas, ia menyaksikan sang kakak
menderita. Lo In seorang yang paling lembek hatinya kalau
menghadapi kelunakan, sebaliknya paling nakal dan
berandalan kapan menghadapi kelakuan kasar. Maka
sekarang ia melihat sim Liang meratap dengan bercucuran air
mata, hatinya menjadi lemas.
Ia hentikan tenaga menyedotnya, dengan sendirinya tangan
sim Liang yang menempel tadi telah terlepas dari lekatannya
dan sim Liang sempoyongan jatuh duduk. separuh dari
lwekangnya yang ia pupuk puluhan tahun sudah masuk dalam
tubuhnya Lo In. Masih untung si bocah tidak berbuat kejam. Kalau ia sedot
habis lwekang sim Liang, si kakek akan menjadi orang biasa
lagi dan harus mulai dari mula untuk meyakinkan lwekangnya.
Ia sudah lanjut umurnya, untuk memupuk tenaga dalam yang
dahsyat sampai meminta tempo puluhan tahun, terang ia
sudah keburu mati. Ketika sim Liang merasa bahwa badannya sudah mulai
kuat bergerak. maka ia sudah lantas bangkit berdiri
menghampiri Lo In. Di depannya ia penuhkan janjinya,
menjura dan manggut-manggut tanda takluk pada si bocah
sakti. Lo In hanya tertawa tawar.
"sudahlah, jangan pakai banyak peradatan." katanya
seraya meninggalkan si kakek yang masih menjura dan
manggut-manggut kepalanya. Lo In mendongkol juga pada si
kakek. karena diluar dugaan si kakek sama liciknya dengan
adiknya. Barusan, kalau ia tidak punya kepandaian sangat
tinggi, bukan saja ia roboh ditangannya si kakek. malah tulang
pundaknya bakal remuk dan ia bisa-bisa menjadi cacat
sebagai akibat serangan bokongan sim Liang yang maha
dahsyat Lo In menghampiri Tonghong Kauwcu yang sedang diuruturutjalan
darahnya untuk membebaskan totokan si kakek.
Ternyata Tonghong Kauwcu kena ditotok oleh sim Liang
sedang Teng Hui beruntung dapat membebaskan dirinya dari
ikatan tali tambang yang mengikat ia jadi satu dengan pohon
karena menjilatnya api pada tambang sebelum dikebas padam
oleh jago cilik kita. Teng Hui tidak sempat menyaksikan
jalannya pertandingan antara si bocah dan dua kakek jahat itu,
sebaliknya ia memburu pada Kauwcunya yang tidak berkutik
ditotok oleh sim Liang. Ia coba membebaskan sang Kauwcu
dengan jalan mengurut-urut akan tetapi sudah sekian lama ia
tidak berhasil sehingga Teng Hui jadi sangat gelisah. Ketika ia
memutar badannya hendak melihat Lo In, jago cilik kita sudah
berdiri didekatnya. Entah sejak kapan Lo In sudah ada disitu
menonton Teng Hui sedang menolongi Kauwcunya tanpa
hasil. Bukan main girangnya Teng Hui, ia lantas berkata,
"Siaohiap... eh, adik kecil. Bagaimana ini " Tolong adik
kecil membebaskan Kauwcu."
Lo In ketawa. Ia lalu mendekati sang Kauwcu yang sedang
duduk. la jongkok. tangannya berbareng diulur menepuk bahu
Tonghong Kauwcu perlahan sambil berkata,
" Kauwcu, selamat bertemu " Eh, sungguh ajaib. sebab
seketika itu juga Tonghong Kauwcu bisa membuka mulutnya
bicara dan dengan sendirinya totokan sim Liang bebas.
Kauwcu sekarang dapat bergerak sebagaimana biasa, hanya
ia tak dapat menggerakkan tangan kirinya, salah satu
tulangnya patah rupanya. Tonghong Kauwcu menatap pada Lo In lalu bertanya pada
Teng Hui, "Teng Tiang lo, siapa engko kecil ini " Hebat sekali
kepandaiannya ?" "Jangan heran, Kauwcu." sahut Teng Hui ketawa. "Dia
adalah Hek-bin Sin-tong..."
Tonghong Kauwcu unjuk paras kaget, kemudian tenang
lagi, lalu berkata, "sungguh menyesal pertemuan kita pada kejadian begini.
Coba kalau di markas, pasti aku akan menyediakan satu
perjamuan untuk tamu kecil yang tersohor ini. Engko kecil,
terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak ada kau, pasti
orang-orang Ngo-tok-kauw yang setia akan menjadi bulanbulan
hinaan dari dua kakek jahat itu."
"Ah, urusan kecil." sahut Lo In merendah.
"Asal Kauwcu telah selamat, aku juga sudah merasa
senang. Bagaimana keadaan Kauwcu sekarang " Aku dengar
Kauwcu dicelakai orang, sungguh beruntung Kauwcu tidak
sampai binasa ditangannya."
"Engko kecil." memotong Tonghong Kauwcu dengan mata
terbelalak heran. "Kau kata aku dicelakai orang, dari mana kau dapat tahu ini
?" "Aku sudah tahu, malah orang yang mencelakai Kauwcu
sekarang sudah tidak ada pula diantara kita orang. Hahaha...."
Lo In tertawa berkakakan.
sebenarnya ada pantangan bagi Ngo-tok-kauw, orang
berkakakan ketawa didepannya Kauwcu hingga Teng Hui
pucat wajahnya. Dikuatirkan Kauwcu akan marah dan
bertengkar dengan si bocah wajah hitam yang telah menolong
mereka. Ternyata Tonghong Kauwcu juga bisa membawa diri,
nampak Lo In ketawa berkakakan, ia juga terbahak-bahak.
lalu menanya, "syukur si jahat itu sekarang sudah mampus. siapa yang
sudah mengirim rohnya dia ke akherat, engko kecil ?"
"Kauwcu boleh tanya saja pada Teng Tianglo." sahut Lo In.
Teng Hui melengak. Ia lalu menanya, "Adik kecil,
bagaimana aku bisa menerangkan pada Kauwcu, sedang aku
tidak tahu orang yang mencelakakan Kauwcu."
"Paman Teng, kau masih belum berapa tua. Kenapa
sampai lupa kepada Coa Keng ?" mengingatkan Lo In kepada
Teng Hui. Baru sekarang Teng Hui ingat bahwa si bocah pernah cerita
sepintas lalu bahwa orang yang mencelakai Kauwcu adalah
Coa Keng. Lalu Teng Hui menceritakan bagaimana ia dengan kawankawannya
dihasut untuk menghadapi Lo In yang dikatakan
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah menghina nama Ngo-tok-kauw.
Demikian pandainya Coa Keng menjual omongannya
hingga mereka menjadi panas dan akhirnya telah mengeroyok
Lo In. Namun si jago cilik terlalu kuat dan mereka telah
dirobohkan dengan mudah. Lalu Coa Keng hendak
mengganggu isteri orang telah dipersen tendangan oleh Lo In
hingga menemui ajalnya. satu persatu diceritakan tegas oleh
Teng Hui kepada ketuanya, Tonghong Kauwcu yang
termangu-mangu mendengarnya. Terdengar ia menghela
napas tatkala Teng Hui sudah habis menutur.
" Engko kecil, terima kasih atas pertolonganmu sudah
mengirim rohnya si jahat menghadap Giam-lo-ong. Namun
bagaimana ya....?" Tonghong Kauwcu terputus bicaranya.
Teng Hui kaget mendengar ketuanya tidak melanjutkan
bicaranya. Ia ingin menanyakan apa-apa kepada sang ketua, akan
tetapi tidak berani. Maka ia hanya menatap saja pada
wajahnya Tonghoang Kim yang saat itu kelihatan agak
gelisah. Lo In juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh
sang Kauwcu. Tiba-tiba Tonghong Kauwcu memandang wajahnya Lo In
dan berkata, " Engko kecil, apakah mayatnya Coa Keng telah
dikuburkan ?" "Aku sendiri tidak mengubur mayatnya. Waktu kami
berangkat meninggalkannya, aku lihat mayatnya masih
terkapar." menerangkan Lo In.
Teng Hui juga menyatakan bahwa mereka tidak menaruh
perhatian atas mayatnya bekas kawan itu karena mereka
gemas akan kelakuannya Coa Keng yang licik dan jahat.
" Celaka " tiba-tiba sang Kauwcu berkata.
"Bagaimana ini, pasti ada orang lain yang mengambilnya.
Teng Tiang lo, bagaimana baiknya ini ?"
Tonghong Kin kelihatan sangat gelisah setelah mendengar
mayatnya Coa Keng tidak dikebumikan.
"Kauwcu maksudkan apa ?" tanya Teng Hui memberanikan
hati menanya. "say-cu-leng, say-cu-leng tentu diambil orang lain. Barang
itu ada pada badannya Coa Keng. Kalau dia tidak dikubur,
pasti ada orang yang menggeledah badannya dan dapatkan
barang itu. Celaka. Pasti perkumpulan kita akan mengalami
bencana kalau say-cu-leng jatuh kepada orang yang jahat "
Teng Hui kebingungan. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak
menggeledah mayatnya Coa Keng. Kalau tidak. tentu ia sudah
dapatkan barang yang paling dipuja itu dalam
perkumpulannya. sekarang untuk mencari mayatnya Coa
Keng ke sana sudah tidak mungkin. Tentu orang sudah
mendahului mengambil say-cu-leng dari badannya. Dua orang
Ngo-tok-kauw itu sangat gelisah kelihatannya.
Lo In seketika ingat akan barang-barang yang ia dapatkan
dalam lubang dari kuburan tua. Lalu ia berkata,
"Aku ada barang-barang ini yang kuketemukan dalam
kuburan tua ialah dalam sebuah tempat Coa Keng menyimpan
harta. Apakah Kauwcu bida ketemukan say-cu-leng
diantaranya, kau tidak tahu."
Lo In sambil berkata telah merogoh keluar semua permata
yang ia dapat keluarkan dari lubang di kuburan tua. Ia
perlihatkan kepada Tonghong Kauwcu. Tampak sang ketua
kegirangan karnea ia melihat ada tusuk konde, kalung dan
anting-anting yang ia kenali adalah miliknya, pengasih dari
teman-temannya dalam hari ulang tahun Ngo-tok-kauw. Tapi
kemudian ia kerutkan alisnya ketika ia tidak dapatkan Say-culeng
diantara begitu banyak perhiasan.
Terdengar ia menghela napas.
"Barang itu tidak ada disini." kata Tonghong Kauwcu seraya
menyerahkan kembali pada Lo In seakan-akan tidak
membutuhkan barang-barang perhiasan yang tidak ternilai
harganya itu. " Kauwcu, inilah semua milikmu. Kenapa kau dorong lagi
padaku ?" "Engko kecil, kau ambil semua. Aku tidak memerlukan yang
begituan." sahut Tonghong Kauwcu seraya kembali terdengar
ia menghela napas. Lo In kebingungan, barang-barang itu diberikan kepadanya.
Ketika ia mau membuka mulut pula ia melihat Teng Hui
mengedipi matanya sambil berkata,
"Adik kecil, hadiah Kauwcu merupakan barang yang sudah
hilang, tak dapat kita kembalikan. Kalau kita mengembalikan
berarti kita memandang rendah kepada Kauwcu dan dapat
membuat tidak senang hatinya."
Lo Injadi melengak mendengar perkataannya Teng Hui.
Ia tidak menduga kalau aturan dalam Ngo-tok-kauw
demikian kerasnya. Barang yang sudah dihadiahkan oleh
Kauwcu dianggap sudah hilang, kalau dikembalikan akan
melukai hati sang Kauwcu. Maka apa boleh buat Lo In
masukkan pula ke dalam kantongnya. Tetapi ketika ia
keluarkan tangannya, ia merasa meraba.....
Ia kaget, cepat ia rogoh keluar dan diangsurkan kepada
sang Kauwcu sambil berkata,
"Kauwcu, masih ada bungkusan ini. Entah didalamnya ada
isi apa, sebab aku sendiri belum pernah membukanya. Coba
Kauwcu buka. siapa tahu ada barang yang lagi dicari oleh
Kauwcu." Dengan ogah-ogahan Tonghong Kauwcu menyambuti
bungkusan kecil itu. Waktu ia membukanya, selapis demi selapis kain yang
membungkusnya, hatinya tiba-tiba berdebaran dan menaruh
harapan besar. Benar saja, ketika lapisan penghabisan
dibukanya, ia dapatkan satu singa-singaan kecil, berbentuk
gandulan kalung leher. Kecil bentuknya tapi cahayanya
mengkeredep terang oleh sorotnya matahari.
"Engko kecil, inilah barangnya " seru Tonghong Kauwcu
kegirangan. Ia bangkit berdiri dan merangkul Lo In dengan
penuh kegirangan. "Aduh " dengan tiba-tiba Kauwcu mengaduh. Ia merasakan
sakit pada bagian sikut dari tangan kirinya.
" Kauwcu, mari aku periksa tanganmu." kata Lo In ketika
mendengar orang mengaduh.
Tonghong Kauwcu lantas angsurkan tangannya yang sakit
untuk diperiksa Lo In. Si bocah lihat tidak parah lukanya sang
Kauwcu, maka ia berkata, " Kauwcu, asal kau berani tahan sedikit, aku tanggung
sekarang juga tanganmu akan sembuh."
"Begitu sakti kepandaianmU engko kecil ?" kata Tonghong
Kauwcu heran. "Aku bukannya sakti, hanya dari pengalaman aku dapat
mengobati lukamu dengan mudah."
Tonghong Kauwcu belum mau percaya, tapi ia toh
mengangsurkan lengannya dan berkata,
" Engko kecil, berbuatlah kebaikan untuk Kauwcu dari Ngotok-
kauw. Aku tidak akan mengeluh kesakitan sepanjang kau
mengobati lukaku " Lo In tidak main seeji-seeji lagi. Ia sudah lantas
menyambut, lengannya Kauwcu.
Perlahan-lahan ia geserkan tulang yang menyilang pada
tempatnya hingga bukan main sakitnya. Tapi Tonghong
Kauwcu telah buktikan perkataannya, ia tidak mengeluh
kesakitan sekalipun tubuhnya mandi keringat lantaran
menahan rasa sakit itu. "Kau makan obatku, besok pada waktu seperti sekarang,
tanganmu dapat digeraki lagi sebagaimana biasa. Cuma saja,
paling baik tanganmu itu dikasih mengasoh sedikitnya tujuh
hari supaya duduknya tulang yang nyengsol itu melekat
kembali. setelah itu, Kauwcu dapat gerakkan kembali sesuka
hatimu. Tanggung lenganmu itu kokoh kuat seperti sebelum
terluka." Lo In kata sambil membuka tutupnya peles kecil dan
keluarkan dua butir pil bikinannya dari resep Liok sinshe, lalu
menyerahkan kepada Tonghong Kauwcu yang seketika itu
juga lantas dimasukkan ke mulutnya untuk ditelan dengan
ludah sebagai pengantarnya sebab disitu tidak kedapatan air.
Tonghong Kauwcu sangat percaya kepada bocah cilik ini,
yang kepandaiannya luar biasa. Pada waktu itu Teng Hui baru
ingat akan kawan-kawannya yang kena ditotok. Maka ia lalu
minta pertolongannya Lo In untuk membebaskannya.
Lo In tidak keberatan meluluskan permintaan tolong Teng
Hui. sebentar saja dengan kebasan lengan bajunya, Lo In
sudah dapat membebaskan sembilan orang Ngo-tok-kauw
yang pada rebah malang melintang.
Kembali adegan itu telah membikin Tonghong Kauwcu
makin kagum atas kesaktiannya si bocah. Di lain detik tiba-tiba
ia menghela napas hingga Teng Hui dan Lo In menjadi kaget.
Lo In menanya, " Kauwcu, barusan kau ketawa- ketawa gembira. Kenapa
sekarang kau menghela napas " Apakah ada sesuatu hal
yang kau sukar atasi " Aku bersedia menolongnya."
"Terima kasih, engko kecil." sahut Tonghong Kauwcu.
"Aku maksudkan dua kakek itu, sayang merat. Kalau tidak
mereka harus menerima hukuman menurut undang-undang
dari perkumpulan kami."
Teng Hui juga baru ingat akan dua kakek she sim itu karena
selama itu perhatiannya selalu ditumplek untuk menolong
pada Kauwcunya saja. Malah ia baru ingat akan temantemannya
yang dalam keadaan tertotok ketika sudah melihat
Kauwcunya tertolong. sementara orang-orang yang tertotok itu pada datang
mengunjuk hormat pada Kauwcunya, Lo In sedang ngomongngomong
dengan Teng Hui. Menurut cerita Teng Hui, dua kakek she sim itu datang dari
Hek-liong-tong (gua naga hitam). Penghuni dalam gua itu
semuanya ada tiga orang, dua ialah dua saudara she sim,
sedang yang satunya lagi adalah seorang wanita she siang
yang bernama Niang Niang. Tiga orang itu yang merupakan
dua kakek dan satu nenek. terkenal dengan sebutan Hekliong-
tong sam-lo aatu Tiga orang tua dari gua naga hitam-
Mereka bertiga satu perguruan, yang paling lihai adalah yang
perempuan yang bernama siang Niang Niang dengan julukan
Tui Hun Lolo (si Nenek Pengejar roh). Ia adalah sumoay dari
dua kakek tersebut dan sangat disayang oleh mereka.
Menurut kabar diantara dua kakek dan si nenek itu telah terjadi
kisah asmara pada waktu mudanya.
sim Liang dan sim Leng masuk Ngo-tok-kauw kira-kira dua
minggu sejak Tonghong Kauwcu diangkat menjadi Kauwcu.
Berkat kepandaiannya, maka kedua kakek itu telah dikasih
jabatan penting dalam Ngo-tok-kauw. Tonghong Kin begitu
baik kepada mereka, tidak tahunya dua kakek itu masuk Ngotok-
kauw dengan maksud kurang baik. Mereka bermaksud
merampas kedudukan Kauwcu dan mau mengepalai Ngo-tokkauw
dengan sepak terjangnya yang menghebohkan dunia
persilatan. setelah Teng Hui bercerita, lalu Tonghong Kauwcu
menceritakan kisahnya. Waktu ia dilemparkan ke dalam jurang oleh Coa Keng, ia
menduga bahwa jiwanya tidak dapat ditolong lagi. Ia sudah
pejamkan mata. Meskipun demikian, tangannya masih coba
dipentang, kalau- kalau ada pohon yang dapat menahan
tubuhnya yang meluncur dari atas ke bawah sungguh
beruntung baginya sebab ada beberapa dahan pohon yang
me-rem meluncurnya tubuhnya hingga dari satu dahan ke lain
dahan ia jatuh dan selamatlah ia mendarat pada tebing
gunung yang tingginya kira-kira tiga empat tombak dari bawah.
Ia hanya luka pada sikutnya itu, tulangnya keseleo, lainnya
kecuali baret-baret pada muka dan badannya yang kesangkut
cabang pohon, lainnya tidak ada apa-apanya pada tubuhnya.
Tonghong Kim sangat lelah ketika ia sudah mendarat.
Boleh dibilang ia separuh pingsan pada saat itu. sang angin
yang meniup dengan kencang, telah menyadarkan ia dan baru
tahu bahwa dirinya tidakjadi mati.
Demikian, selama beberapa hari ia hanya mengisi perutnya
dengan buah- buahan yang terdapat disekitar itu Pada suatu
hari ia mendengar banyak langkah orang mendatanginya.
Ketika ia memperhatikan, kiranya yang datang itu adalah
anak buah dari Ngo-tok-kauw dipimpin oleh Teng Tiang lo.
Bukan main girangnya sang Kauwcu. Ia lantas meneriaki
mereka dan segera juga mereka sudah datang dekat.
Teng Hui yang datang lebih dulu, saling rangkul dengan
Kauwcunya. saking girangnya Teng Tiang lo berbuat
demikian. sebab semestinya ia harus berlutut di depan
Kauwcu dan menanyakan keselamatannya. setelah ia sadar
akan perbuatannya yang tidak benar, Teng Hui buru-buru
melepaskan rangkulannya dan hendak berlutut di depan
Kauwcunya. Akan tetapi Tonghong Kin telah mencegah,
dengan ramah ia berkata, "Teng Tiang lo, kita berada di luar dari garis Ngo-tok-kauw.
Tidak perlu kau menjalankan peradatan seperti ini. Mari kita
bicara sebagai teman saja."
Teng Hui terharu mendengar perkataan sang Kauwcu yang
sangat baik hatinya. Ia lantas menanyakan halnya sang Kauwcu, lalu ia
menyuruh kawan-kawannya untuk memberi hormat kepada
ketuanya. Mereka telah mentaati perintah Teng Tiang lo.
senang Tonghong Kin dapat berjumpa pula dengan orangorangnya.
Ia menyatakan pada Teng Hui bahwa ia tidak ingin kembali
ke markas, jabatan Kauwcu itu lebih baik diambil oleh Teng
Hui saja. Akan tetapi Teng Hui telah menolak keras dan
membujuk supaya sang Kauwcu suka kembali dan memimpin
Ngo-tok-kauw. "Aku kembali tidak ada gunanya." kata Tonghong Kin. "
Karena aku toh tidak mempunyai lagi barang yang digunakan
sebagai lambang kekuasaannya Kauwcu. say-cu-leng sudah
tidak berada ditanganku. cara bagaimana aku dapat
mengendalikan orang-orang Ngo-tok-kauw ?" Teng Hui
terpekur mendengar kata-katanya sang Kauwcu. Pada waktu
itulah terdengar suara mengakak dari seorang tua.
Mereka kaget. Hanya sejenak saja sebab yang datang itu
adalah dua kakek yang menjadi orang Ngo-tok-kauw, ialah sim
Liang dan sim Leng. Tonghong Kin tidak menyangka kedatangannya dua kakek
itu adalah hendak merampas say-cu-leng, bukannya hendak
menolong dirinya. Tentu saja Tonghong Kin menjadi marah. Mereka jadi
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertengkar, disusul dengan perkelahian. Tonghong Kin dalam
terluka lengannya yang kiri, ia hanya menggunakan tangan
kanannya saja untuk melayani dua kakek orang she sim itu.
Terang perlahan-lahan si orang she Tonghong menjadi
kewalahan. Melihat Kauwcunya dalam bahaya, Teng Hui beri komando
orang-orangnya untuk menyerbu menangkap dua kakek jahat
itu tapi sudah terlambat karena Tonghong Kin sudah kena
ditotok sim Liang dan roboh ditanah.
Dalam kegusarannya itu Teng Hui telah menyerang dua
kakek itu dengan tanpa banyak omong, sekalipun beberapa
kali sim Liang membujuk supaya orang she Teng itu hentikan
pengeroyokannya dan selanjutnya mereka bekerja sama
mengepalai Ngo-tok-kauw. Tapi Teng Hui yang mencintai Kauwcunya, mana mau
diajak berserikat oleh dua kakek yang ia saksikan sampai
dimana kejahatannya itu. Maka pertempuran ramai tak dapat dihindarkan sampai
kemudian datanglah Lo In kesitu menonton pertempuran yang
ramai. Lo In melihat Teng Hui dalam bahaya, maka tidak tempo
lagi ia enjot tubuhnya melesat mendekati Teng Hui. Dengan
kebasan lengan bajunya ia dapat memadamkan api yang
berkobar-kobar hendak membakar dirinya Teng Hui yang
sudah setengah pingsan. selanjutnya, seperti yang telah kita
tuturkan disebelah atas. Tonghong Kin dan Teng Hui mengundang Lo In untuk
mengunjungi markas Ngo-tok-kauw, akan tetapi ia menolak
dengan halus. "Kita sudah beruntung dapat mengikat persahabatan.
semoga pada lain kesempatan kita dapat bertemu kembali.
Tapi pada waktu sekarang aku benar-benar tak dapat
mengikuti Kauwcu dan paman Teng pulang ke markas sebab
aku mempunyai urusan yang meminta segera diselesaikan."
" Engko kecil, tadinya aku mengira kau akan mengantar
pulang aku ke markas. Di sana aku akan sediakan satu
perjamuan makan untuk menghormat engkau, engko kecil dan
sebagai tanda terima kasih dari kami orang-orang Ngo-tokkauw
atas pertolonganmu. sungguh menyesal sekali
urusanmu tak bisa ditunda. Maka dengan ini kami mendoakan
saja perjalananmu selamat dan tidak kurang suatua apapun
sehingga urusan yang penting dapat diselesaikan."
"Terima kasih Kauwcu. Nah, disini kita berpisahan. Kauwcu,
paman Teng dan sekalian saudara-saudara," berkata Lo In
memohon diri kepada sekalian orang-orang Ngo-tok-kauw.
Dengan sekali enjot tubuhnya sudah meluncur beberapa
tombak jauhnya, kapan kakinya menutul tanah, lekas juga
tubuhnya mumbul lagi dan dengan demikian dilain detik Lo In
sudah tidak kelihatan bayangannya sekalipun.
"Sungguh hebat anak itu, entah siapa ayahnya dia...."
Tonghong Kauwcu menghela napas tatkala Lo In sudah pergi
jauh. "Memang, sayang sekali kita tidak bisa berkumpul lamalamaan
dengannya. Kalau tidak, pasti kita dapat tahu siapa
ayah ibunya Hek-bin sin-tong yang termasyur itu....."
menyahuti Teng Hui yang merasa menyesal tak dapat
berkumpul lebih lama dengan Lo In.
sementara mereka bercakap-cakap dan bersiap-siap untuk
pulang ke markas Ngo-tok-kauw, jago cilik kita sudah berada
puluhan lie dari mereka. sampai disini, mari kita lihat Eng Lian
yang sudah lama kita tinggalkan.
si dara cilik setelah mendapat kembali kudanya dari In
Hiang, hatinya girang. Pikirnya dengan kuda itu ia dapat
menjelajah pula pegunungan untuk mencari adik In-nya yang
hilang tanpa bekas. Hari-hari ia menjelajah pegunungan, tapi belum juga ia
dapatkan jejak adik In-nya. Hatinya si dara mulai jengkel dan
kesepian. Ketika cuaca menjelang sore, Eng Lian duduk di bawah
sebuah pohon yang rindang untuk melepaskan lelahnya. Ia
duduk melamun, memikirkan adik In-nya.
"sampai sekarang belum juga adik In diketemukan. Dimana
bocah itu sekarang adanya ?" ia berkata-kata sendirian.
Tangannya tiba-tiba meraba gadang pedangnya. Hatinya
tergetar tatkala tangannya menyentuh pedang Lo In. Ia lalu
mencabutnya, kemudian dipandanginya.
Huruf-huruf kecil atas gagang pedang 'Kwee Cu Gie Toan
Kiam' dipandangnya dengan tidak berkedip. Dalam hatinya
melamun berkata, "Adik In menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata,
sungguh lucu dia. Pedang orang dipakai tanda mata. Tapi
pedang ini katanya adalah pedang ayahnya. Apakah benar
Kwee Cu Gie adalah ayahnya " Aku tidak perduli apa Kwee
Cu Gie ayah adik In atau bukan, yang terang adik In sudah
menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata untukku. Adik
In sudah mengikat aku bakal kawan hidupnya dengan
menghadiahkan pedang ini. Apakah ini disadari olehnya ?"
sampai disini Eng Lian melamun. Tampak selebar mukanya
kemerah-merahan dan panas.
"Ah, hanya aku sendiri saja yang memikirkan ini." ia
ngelamun lebih jauh. "Adik In sendiri tidak memikirkan apa-apa dengan katakatanya
yang mengandung arti itu. Ia kelihatannya tidak
memikirkan bahwa dengan menghadiahkan pedang itu
sebagai tanda mata berarti ia mengikat janji untuk sehidup
semati denganku. Buktinya tidak ada reaksi apa-apa dari
pihaknya bahwa pergaulan kita selanjutnya akan mengalami
perubahan. Ah, dasar dia masih anak-anak. Pikirannya belum
sampai ke situ. Biarkan saja sampai dia sadar sendiri bahwa
enci Liannya mengharapkan kesadarannya......."
"Nona kecil, kau masih melamun apa ?" dirinya ada yang
menegur. cepat ia berpaling, kiranya tidak jauh disampingnya
berdiri seorang Hweshio berkuping satu yang sebelah kanan,
tengah bersenyum berseri-seri ke arahnya.
Eng Lian sebenarnya tidak demikian mudah didekati orang.
Biasanya dari ke jauhan kupingnya yang tajam sudah dapat
mengetahui ada tidaknya orang mendatangi. Tapi kenapa saat
itu mendadak kupingnya jadi puntul " Itu tidak heran sebab
Eng Lian pada saat itu sedang kelelap dalam lamunannya
yang muluk. "Taysu, kau dari mana ?" tanya Eng Lian ketika si Hweshio
tampak mendekatinya. "Kuilku tidak jauh dari sini. Aku barusan saja habis mencari
daun-daun obat kebetulan lewat disini dan melihat kau sedang
melamun asyik sekali. Maka aku menegurmu. Harap kau tidak
menjadi kecil hati karena gangguanku."
"Ah, tidak apa. Kalau Taysu tidak menegur, mungkin aku
akan melamun sampai malam disini belum habis-habisnya.
Hihihi...." Hweshio itu ketawa pada Eng Lian yang ketawa ngikik.
"Nona kecil, sebenarnya kau sedang melamun apa ?" tanya si
Hweshio ramah. "Aku sedang melamun tentang temanku yang hilang
jejaknya." sahut Eng Lian, alisnya yang kecil meng kerut.
"Entahlah, dimana temanku itu sekarang adanya."
"oo, kau kehilangan teman. Mudah dicari, kalau mau
menanyakan keterangan."
"Menanyakan keterangan kepada siapa, Taysu ?"
"Menanyakan keterangan kepada Tepekong yang dipuja
dalam kuilku." "Ah, apa bisa begitu mudah ?" Eng Lian menegasi kepingin
tahu. "Kita manusia biasa, nona kecil." kata si Hweshio yang
tidak lain adalah Tian ci Hweshio atau si Hweshio Jari Besi
yang kita kenal dalam permulaan cerita ini.
"sedang tepekong adalah orang halus. Kita dengan orang
halus mana dapat disamakan. orang halus lebih tahu dari kita
manusia." "Caranya bagaimana aku dapat menanyakan keterangan
pada Tepekong itu ?"
"Nona ikut aku ke kuil. Di sana kau boleh mencabut ciamsi.
Dari ciamsi ini kau bakal ketahui temanmu itu kini ada dalam
selamat atau tidak dan kapan kau nanti akan bisa jumpa pula
dengannya." "Bagus, bagus. Mari kita pergi ke kuil Taysu." sahut Eng
Lian cepat seraya pegang tangan si Hweshio diajak berlalu
dari situ. Tiat ci Hweshio ketawa geli tampak si dara cilik demikian
lucu gerak geriknya. "Lantas bagaimana dengan kudamu itu ?" tanya si
Hweshio. "oh, ya. Hampir aku lupa." katanya. Berbareng ia lepaslan
cekalannya pada tangan si pendeta dan menghampiri
kudanya. Dengan menuntun kuda, ia menghampiri pula si Hweshio
dan berkata, "Taysu, apa kuil Taysu itu masih jauh dari sini "
Kalau masih jauh, apa tidak lebih baik kita naik kuda saja
bersama-sama ?" "Jalan boleh, kalau mau naik kuda tentu lebih baik lagi."
sahut Tiat Ci Hweshio. "mari, mari kita naik kuda. Tapi, eh, apa Taysu naik kuda ?"
tanya Eng Lian. "Dulu, sebelumnya aku jadi Hweshio, pernah aku belajar
sedikit. Rasanya kalau sekarang menunggang kuda, masih
dapat aku lakukan." jawab Tiat Ci Hweshio.
"Bagus, Taysu naik dulu. Aku nanti naik dibelakangmu."
kata Eng Lian. Tiat Ci Hwes hio tidak pakai tawar menawar. Ia lantas naik
kudanya Eng Lian yang disusul oleh si gadis yang duduk
dibelakangnya. Mereka lanjutkan perjalanan dengan
menunggang kuda. Eng Lian yang memegang les kuda dari belakang si
Hweshio, rada janggal juga.
saban-saban si dara cilik terpaksa jatuh merangkul
tubuhnya si Hweshio untuk mengendalikan kudanya yang
larinya agak mogok juga. Rupanya keberatan ditunggangi oleh
dua orang. sering-sering kena dirangkul tanpa sengaja oleh eng Lian
dan harumnya air wangi yang dipakai si dara cilik, membuat
Tiat Ci Hweshio berdebar-debar hatinya.
Eng Lian tidak perhatikan kalau rangkulannya yang tak
disengaja itu membuat si Hweshio berdebaran hatinya. Malah
ia ketawa cekikikan saban kali ia kena rangkul si paderi
tampak Tiat ci Hweshio seperti kaget dan takut jatuh dari
kuda. "Taysu, kau takut jatuh dari kuda ?" tanyanya pada si
paderi. "Memangnya aku takut jatuh. Kau jangan larikan kudamu
kencang-kencang, nona kecil." menyahut si Hweshio belagak
ketakutan. Eng Lian ketawa cekikikan dan mengira benar-benar si
Hweshio ketakutan. Untuk bikin si paderi hatinya tetap, maka rangkulan sidara
agak kencang. Dengan begitu si Hweshio lebih berdebaran
lagi hatinya dipeluk dara cilik yang cantik jelita itu
Ia jadi melamun, kalau bisa dapatkan ini dara manis, oh,
bagaimana beruntungnya ia menjadi manusia dalam dunia
yang lebar ini. "Nona kecil, temanmu itu perempuan atau laki-laki?" ia
menanya Eng Lian. "Ah, Taysu jangan banyak tanya. Perempuan atau laki-laki
temanku itu tidak ada sangkutannya dengan Taysu." jawab si
dara sambil bersenyum manis hingga Tiat Ci Hweshio rasakan
jantungnya seperti dipelintir oleh senyuman memikat itu.
"Nona kecil, aku orang sudah mencucikan diri Tidak
halangannya kalau aku menanyakan halnya temanmu itu,
bukan ?" berkata pula Tiat Ci Hweshio.
"sudahlah, buat apa banyak tanya " sahut Eng Lian seraya
ketawa cekikikan. "Tapi nona kecil, oh, aduh.. jangan kencang-kencang...."
Tiat Ci Hweshio beraksi seperti hendak terpelanting dari kuda
hingga Eng Lian kaget dan cepat memeluknya supaya si
pendeta jangan sampai jatuh.
Bukan main senangnya si pendeta, tubuhnya dirangkul
erat-erat oleh si dara cilik tanpa disadari oleh Eng Lian bahwa
sipendeta hanya menjual aksi saja. Malah Eng Lian menanya
ketika si Hweshio sudah duduk tegak lagi diatas kuda,
"Taysu, kau kaget tentu, ya " Apa masih jauh kuilmu itu ?"
"sudah dekat." sahut Tiat Ci Hweshio. "Kau boleh kencangi
sedikit kudamu asal jangan bikin aku jatuh terpelanting...."
sipendeta berkelakar hingga Eng Lian ketawa cekikikan
nampak wajahnya si Hweshio yang lucu.
Benar saja seperti katanya sipendeta, kuilnya tidak lama
lagi sudah kelihatan dari jauh.
"Nah, itu kuilku." kata Tiat ci Hweshio sambil menunjuk ke
depan. Eng Lian kejuti les kudanya supaya jalan lebih kencang.
Kembali si Hweshioa menjual aksi hingga terpaksa Eng Lian
merangkulnya pula untuk mencegah si pendeta jatuh dari
kudanya. Bergelora napsunya sipendeta, dirangkul sedemikian
hangatnya oleh si dara jelita. Hampir-hampir saja ia tak dapat
mengendalikan dirinya dan balas merangkul Eng Lian untuk
melampiaskan napsunya yang bergelora ketika itu, kalau ia
tidak mengingat bahwa perbuatan demikian sangat gegabah
dan membahayakan dirinya.
Dengan demikian, terpaksa si pendeta menahan napsu
hatinya yang jahat. Ketika sampai depan kuil, Eng Lian lihat
merk kuil "Thian-ong-bio".
Mereka turun dari kuda dan masuk kuil disambut oleh
murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dengan sangat hormat.
Thian-ong-bio sangat angker kelihatannya.
Eng Lian yang baru pertama kali memasuki sebuah kuil,
tidak heran hatinya merasa senang melihat ini dna itu yang
menarik perhatiannya. Wataknya yang kekanak-kanakan
dengan seketika telah timbul. Ia menanyakan ini dan itu
kepada Tiat Ci Hweshio yang melayani dengan sabar dan
memberikan keterangan-keterangan yang jelas hingga si dara
cilik sangat senang dan memandang si pendeta adalah
seorang pendeta suci yang pengetahuannya dalam. Ia dibawa
masuk ke beberapa ruangan yang luas dalam kuil itu untuk
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat-lihat pemandangan disana. sementara itu cuaca sudah
mulai gelap. "Taysu, dimana aku harus mencabut ciamsi untuk minta
keterangannya hal temanku ?" tanya Eng Lian tiba-tiba, ketika
ia memasuki ruangan tengah.
"Mari, mari aku unjuki." sahut Tiat Ci cepat.
Eng Lian dibawa menghadap ke hadapan Tepekong Thianong
yang bermuka bengis. Patung itu besar sekali, lebih besar dari manusia biasa. Eng
Lian yang melihat roman bengis dari patung itu bukannya
takut, malah ketawa cekikikan.
"Kau ketawa kenapa, nona kecil ?" tanya Tiat Ci Hweshio
heran. "Aku ketawakan wajahnya patung itu." sahut Eng Lian
seraya tangannya menunjuk pada patung besar itu.
"Romannya bengis seperti romannya Taysu. Hihihi....." Tiat
Ci Hweshio mendongkol mendengar perkataan si dara cilik.
Tapi ia tidak mau, burung yang sudah masuk perangkap
terbang lagi. Maka dengan halus ia berkata,
"Nona kecil, kau bisa saja menyamakan wajahku dengan
wajahya Thian-ong. semoga kata-katamu tadi akan menjadi
kenyataan, kalau aku mati akan menjadi Tepekong Thian-ong.
Hahaha...." Keadaan dalam ruangan itu sepi. Hweshio-hweshio lain
yang biasanya jalan hilir mudik tidak tampak pada saat itu.
Rupanya mereka sudah dapat pesan dari Tiat ci Hweshio
supaya tidak mengganggu kegembiraannya dalam melayani si
dara cilik. oleh karenanya mereka dalam ruangan itu hanya
berduaan saja. Eng Lian telah mencabut ciamsi. Menurut keterangan si
Hweshio Jari besi, katanya bunyi ciamsi mengatakan bahwa
teman Eng Lian baik-baik saja keadaannya dan tidak lama lagi
si dara cilik bakal berjumpa lagi satu sama lain. Keterangan
mana membikin Eng Lian sangat kegirangan.
Dalam girangnya, Eng Lian keluarkan dari sakunya perak
hancuran. secara royal diberikan kepada Tiat Ci Hweshio
katanya sebagai bantuan membeli hio. Tiat Ci Hweshio tidak
menolak. malah ia mengucapkan terima kasih atas pemberian
si dara cilik. Ketika Eng Lian mohon diri, si Hweshio Jari Besi kata,
"Nona kecil, hari sudah malam. sebaiknya kau menginap disini
saja. Besok pagi kau barulah meneruskan perjalananmu,
masih ada tempo. Dalam gelap malam seperti sekarang ini,
aku kuatir kau mendapat kesulitan di perjalanan."
Eng Lian kerutkan alisnya yang kecil bagus hingga
menambah kecantikannya dipandangan si Hweshio berkuping
satu. seperti pembaca tahu, tempo hari kupingnya yang satu
copot kena disentak oleh ujung pedangnya Liok sinshe.
"Aku sudah sedia kamar untuk kau menginap, nona kecil.
Harap kau tidak menolak kebaikan dari satu pendeta sebab itu
akan merupakan berkah selamat akan perjalananmu
selanjutnya. Di dalam malam yang gelap sangat sukar untuk
meneruskan perjalanan."
Eng Lian tidak menjawab. Ia seperti berpikir, "Baiklah." tibatiba
ia berkata. "Tapi aku ingin cuci badan. Apa Taysu dapat menolong
mengirimkan air hangat ke kamarku ?"
"Tentu, tentu sekali nona kecil." kata Tiat Ci Hweshio
kegirangan. segera ia menepuk tangan dua kali, lantas saja muncul
seorang Hweshio muda. Kepada mereka ia suruh
menyediakan air hangat dan dibawa ke kamar Eng Lian untuk
si nona mencuci badannya.
senang Eng Lian melihat Tiat Ci Hweshio demikian ramah
dan hormat sekali kepadanya.
Ia berkata, "Taysu kau sangat baik sekali. Kalau belakang
kali aku sudah bertemu kembali dengan temanku, tentu aku
tidak lupa membawanya kemari untuk menghaturkan terima
kasih kepada Taysu."
"oo, itu perkara kecil. senang sekali kalau nona kecil nanti
datang pula kesini dengan temanmu, aku akan sediakan
kamar lebih besar untuk kalian berdua menginap." Eng Lian
bersenyum manis mendengar perkataan Tiat Ci Hweshio.
Memang dalam hatinya Eng Lian berjanji manakala nanti ia
sudah ketemu Lo In akan mengajak si bocah untuk datang
pula ke kuil Thian-ong-bio supaya Lo In dapat menghaturkan
terima kasih kepada kepala kuil yang baik hati itu dalam
anggapannya si dara. Tiat Ci mengantarkan Eng Lian ke ruangan belakang,
dimana ada kamar kosong untuk si dara melewatkan sang
malam, setelah itu Tiat Ci Hweshio lalu meninggalkan Eng
Lian. Belum lama Eng Lian berada dalam kamarnya, pintu
diketuk dari luar. Ketika ia membuka, kiranya Hweshio muda
tadi membawakan air hangat untuknya.
Ketika Hweshio muda itu hendak meninggalkan kamar, Eng
Lian berkata, "Siaosuhu, banyak terima kasih atas
pertolonganmu." Hweshio muda itu tidak menyahut, hanya anggukkan
kepala bersenyum dan lekas pergi meninggalkan Eng Lian.
Girang Eng Lian mendapat perlakuan demikian baik dari Tiat
Ci Hweshio. Begitu pintu kamar ia rapatkan pula, lantas ia
buka pakaian untuk membersihkan badannya. Ia merasa
segar sekali setelah badannya ia seka seluruhnya dengan
handuk yang dicelup dalam air hangat.
Selesai itu ia bersolek, girang ia karena disitu ia dapatkan
cermin untuk ia pandang wajahnya yang cantik. Ia ketawa
sendirian kapan ia ingat bahwa Lo In akan terpesona melihat
ia dalam keadaan bersolek demikian cantiknya.
Tengah ia mengagumi kecantikannya dalam pakaian tidur,
tiba-tiba ia dengar pintu diketuk. Cepat ia membukanya tanpa
pakai tanya-tanya lagi. Kiranya yang mengetuk itu ada
hweshio muda tadi yang datang hendak mengambil tempat air
hangat tadi, sekalian mengundang si nona untuk makan samasama
dengan Tiat Ci Hweshio di ruangan makan.
"Siosuhu, tolong kau sampaikan pada Taysu terima kasihku
atas undangannya. Katakan, aku tak dapat menemani Taysu
makan karena mataku sudah ngantuk " Hweshio muda itu
anggukkan kepalanya dan berjalan pergi.
"Baik betul Taysu itu........." menggumam Eng Lian seraya
merapatkan pintu kamarnya.
sebenarnya ia sudah lapar. Ingin ia mengisi perutnya
tatkala menerima undangan Tiat Ci Hweshio. Namun
mengingat bahwa dalam kuil itu makanannya tentu tidak lebih
dari makanan 'cia-cay' (makanan sayuran), maka ia tidak
selera untuk makan bersama-sama dengan Tiat Ci Hweshio
yang baik budi itu. Pikirnya, lebih baik ia makan makanan
keringnya saja dalam buntelannya untuk menahan lapar.
Justru ia lagi repot hendak membuka buntelan yang terisi
makanan kering, ia mendengar pula suara pintu kamar
diketuk. Ia urungkan membuka buntelannya lalujalan
menghampiri pintu dan membukanya. Kembali ia berhadapan
dengan si Hweshio muda tadi.
Kali ini Hweshio itu membawa nampan. Diatasnya terdapat
sebotol arak. sepoci air teh dan makanan daging ayam dan
daging babi yang lezat sekali tampaknya. Masih panas,
asapnya menyiarkan bau wangi menusuk hidungnya Eng Lian.
"suhu suruh aku membawakan ini untuk nona dahar. Harap
nona tidak menolak kebaikan suhu. suhu mengerti nona tentu
kurang leluasa makan sama-sama dengan suhu. Maka ia
suruh aku membawakan makanan ini. Harap nona tidak
menampik." berkata si hweshio muda, seraya menerobos
masuk ke dalam kamar dan nampan yang penuh makanan itu
diletakkan diatas meja. Eng Lian jadi tercengang nampak kebaikan orang itu. Ia
tidak bisa menampik, apa lagi ia sudah baui makanan yang
menarik seleranya. "Siaosuhu, suhumu sangat baik. Sungguh aku sangat
berterima kasih. Tolong sampaikan terima kasihku kepada
suhumu " Eng Lian berkata dengan girang.
si Hweshio muda hanya tersenyum dan anggukkan kepala
seperti tadi, lantas ia berjalan keluar meninggalkan si dara
cilik. Ia telah menutup rapat pula pintu hingga Eng Lian tak
usah menutupnya lagi. si dara cilik dengan kegirangan telah hadapi hidangan yang
lezat itu. sama sekali dalam benaknya tidak ada pertanyaan, kenapa
dalam kuil itu ada masakan daging yang demikian lezat
tampaknya. Bukankah dalam kuil seperti itu pendetapendetanya
pantang makan hidangan berdarah "
Dara cilik kita benaknya hanya dipenuhi oleh rasa terima
kasih saja kepada Tiat Ci Hweshio.
setelah menghadapi hidangan yang demikian menarik
seleranya, Eng Lian tidak banyak pikir lagi, ia main hantam
makan sekenyangnya. sebagai pengantarnya, beberapa
cawan teh hangat telah diteguk kering isinya. Ia tidak ganggu
botol arak sebab ia tidak suka minum arak. sebentaran ia
sudah merasakan perutnya kenyang.
"Hihihi.." ia ketawa sendirian. "Sayang adik In tidak
bersama disini, kalau tidak, kita sikat makanan ini bersamasama.
Hihi..." Ia duduk menantikan si hweshio muda datang pula untuk
membenahi dan bawa pergi sisa makanan yang barusan ia
makan. Tapi lama ditunggu tidak didengar si hweshio muda
mengetuk pintu. Ia saban-saban unjuk senyuman girang,
perutnya kini sudah tidak minta diisi pula. Pada saat itulah,
tiba-tiba ia rasakan matanya berat seperti ngantuk dan ia
beberapa kali menguap. seluruh badangnya lemas tak
bertenaga, kakinya terasa lumpuh, tak kuat untuk dipakai
berdiri dari duduknya di kursi.
Eng Lian heran kenapa badannya dengan mendadak
sontak tidak berguna demikian.
Menyusul hatinya berdebaran keras hingga dadanya
bergerak naik turun. Tarikan napasnya memburu, seakanakan
menekan rangsangan napsu birahi. Matanya menyala
penuh keinginan, bibirnya yang kecil mungil bergerak-gerak
seperti menantang musuh. Eng Lian coba berdiri, pantatnya berat seperti melekat pada
kursi. Ia jadi kebingungan apa yang ia harus diperbuatnya,
tampak dirinya tak berdaya. Dadanya dirasakan panas, napsu
birahinya bergolak tak dapat dikendalikan.
Kasihan Eng Lian telah menjadi korban obat bius dan
perangsang birahi yang dicampurkan dalam air teh dan kuah
sayuran yang dimakannya. Itu salahnya sendiri terlalu rakus
dan percaya atas kebaikannya si Taysu dari kuil Thian-ongbio.
Dalam keadaan tidak berdaya, Eng Lian hanya dapat
gerakkan dadanya naik turun seperti hendak menyalurkan
rangsangan napsu birahinya yang bergolak dalam dadanya.
Matanya menyala dan celingukan seakan-akan mencari
musuh- Tapi cemas hatinya karean dalam kamar itu sepi
sunyi, tidak terdengar seorang pun yang menarik napas.
Tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk. mulutnya Eng
Lian bergerak cepat, "Masuk " katanya, suaranya agak parau dikuasai oleh
napsu setan. "Nona kecil, selamat malam " terdengar Tiat Ci Hweshio
berkata setelah ia masuk dan merapatkan pula pintu kamar.
Eng Lian tidak menjawab hanya bersenyum dan matanya
menyala mengawasi Tiat Ci Taysu yang mendekatinya.
Tiat Ci Taysu bersenyum girang. Melihat sikap Eng Lian
demikian, ia sudah tahu bahwa obatnya telah bekerja dengan
berhasil. Ia duduk didekatnya Eng Lian. Tangannya tiba-tiba diulur
untuk mencolek pipinya si dara cilik. Eng Lian diam saja sebab
tangannya berat untuk diangkat menangkis tangan si kepala
gundul yang nakal. selain itu, ia tidak berkuasa atas pengaruh
obat si kepala gundul yang maha hebat. Malah ketika pipinya
dicolek. Eng Lian kepingin tubuhnya dipeluk oleh si Hweshio.
Keinginan bersatu tubuh yang tidak pernah ia pikirkan dan
impikan sebelumnya, pada saat itu telah mengaduk dalam
hatinya yang suci murni. Adik In-nya sudah tidak ada dalam
benaknya, hanya si kepala gundul yang didekatnya yang ia
harapkan akan memberi kepuasan kepada napsunya yang
meluap-luap. Demikian hebat pengaruh obat bius
danperangsang si Hweshio Jari Besi.
"Nona kecil, malam ini Taysu akan bikin kau jadi oranghahaha...."
si kepala gundul kegirangan seraya tangannya
kembali menyolek pipi Eng Lian.
"Taysu....." Eng Lian kata dengan suara lemah seperti
memohon. Matanya menatap pada Tiat Ci Hweshio dengan
penuh keinginan. si Hweshio balas menatap wajah Eng Lian yang cantik,
malah dalam pakaian tidurnya Eng Lian tampak lebih
mempesonakan pandangan si Hweshio Jari Besi.
Napsunya Eng Lian melonjak ketika merasa dirinya
dirangkul dan diciumi si kepala gundul dan diam saja ketika ia
dipondong, direbahkan diatas pembaringan.
"Taysu, kau mau apakan aku...?" kata Eng LIan lemah
ketika ia rasakan pakaiannya dibukai oleh Tiat Ci Hweshio
yang sudah kerasukan iblis.
Dikala Tiat Ci Hweshio hendak meloloskan pakaiannya
sendiri, pada saat itulah terdengar suara Brakk^ keras. Pintu
ditendang terbuka, sesosok tubuh lompat masuk dan
menyerang langsung pada si kepala gundul yang tengah repot
membetulkan kembali pakaiannya yang barusan hendak
diloloskan. Dasar Hweshio kawakan dalam Kangouw, Tiat ci Hweshio
tidak gugup mengelakkan diri dari bacokan pedang tadi. Ia
lantas lompat dari pembaringan dan menyembat palang pintu
untuk dipakai melawan orang yang menyerang dengan
pedang tadi. Kiranya yang masuk tadi adalah seorang muda
yang sangat cakap wajahnya.
Dalam keadaan lemas lesu tak berdaya, Eng Lian menatap
wajahnya si anak muda. Ia kenali orang muda itu adalah si
pemuda yang tempo hari bertempur dengannya yang
mengaku 'paman' dalam kelakarnya.
Eng Lian tidak senang pada pemuda yang datang
mengacau itu hingga urusannya jadi urung. Ia mengawasi
dengan sorot mata membenci. Sayang ia tidak bisa bergerak,
kalau tidak, ia ingin membantu Tiat ci Hweshio yang kepepet
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diserang si anak muda. "Kepala gundul cabul " bentak In Hiang, 'pemuda' kita yang
gagah. Jangan harap jiwamu lolos dari pedangku." In Hiang
berkata sambil mendesak keras hingga si kepala gundul cabul
menjadi kepepet dan mandi keringat ketakutan.
Untung tatkala itu datang lima muridnya masuk ke dalam
membantunya, mengeroyok In Hiang.
"Kalian jangan kasih lolos bangsat kecil ini " kata Tiat ci
Hweshio sambil berkelit dari bacokan pedang In Hiang,
kemudian enjot kakinya lompat keluar kamar untuk mabur.
"Kau mau lari, hm Lihat aku akan ambil kepalamu " teriak In
Hiang seraya enjot tubuhnya menyusul. Tapi diluar kamar ia
dirintangi oleh enam orang muridnya Tiat Ci Hweshio sehingga
Tiat ci dapat keburu melenyapkan diri.
Kegusaran In Hiang sekarang ditumplek pada murid-murid
Tiat Ci Hweshio. "Bagus " serunya. "Tidak apa si Hweshio cabul bernpas
untuk sementara, biarlah aku habiskan dulu kalian disini "
Berbareng terdengar suara 'sret sret' beberapa kali, saling
susul ber jatuhan kepala orang dari lehernya hingga dua tiga
orang murid Tiat Ci Hweshio melihat pemuda itu menjadi
sangat kosen sehingga jadi pecah nyalinya dan lari ngiprit
melenyapkan diri Melihat sudah tak ada musuh lagi, In Hiang putar tubuhnya
dan masuk kembali ke dalam kamar dimana ia melihat Eng
Lian masih dalam keadaan tak berdaya. Matanya menyala
menatap In Hiang dengan penuh kebencian.
"Adik kecil." kata In Hiang seraya menarik selimut dan
menutupi tubuh Eng Lian yang sudah seperti anak bayi.
"Untung aku keburu datang. Kalau tidak, kau akan menjadi
korban Hweshio cabul itu."
In Hiang berkata sambil merogoh sakunya dan
mengeluarkan dua biji pil.
"Kau makan ini, adik kecil." kata In Hiang seraya dua biji pil
itu ia hendak masukkan ke dalam mulutnya Eng Lian.
si dara cilik melotot matanya seperti sangat gusar dan
melengoskan mukanya ketika dua biji pil itu hendak dijejalkan
ke mulutnya. "Memang kau rela dijadikan barang mainan si kepala
gundul ?" bentak In Hiang seraya tangan kirinya menampar
pipi Eng Lian hingga mulutnya jadi terbuka. Kesempatan itu
tak disia-siakan oleh In Hiang untuk ceploskan dua biji pil
ditangannya dan tentu saja masuk dalam tenggorokan Eng
Lian tanpa pakai pengantar air lagi.
"Pemuda bagor, kau mau bikin encimu mati kejengkelan ?"
kata Eng Lian, masih ingat ia berkelakar terhadap In Hiang.
"Lekas kau berpakaian kalau tenagamu sudah pulih " kata
In Hiang. "Untuk menggempur kau sekarang juga tenagaku masih
sanggup," sahut Eng Lian seraya bersenyum manis pada In
Hiang. Matanya menyala, bibirnya bergerak-gerak menantang.
In Hiang melengak mendapat jawaban Eng Lian. Ia
menatap wajahnya Eng Lian dan memperhatikan selimut yang
menutupi dadanya si dara cilik yang bergerak-gerak. Ia
mengerti bahwa bekerjanya obat jahat si kepala gundul masih
belum punah. Ternyata Eng Lian pindahkan napsu birahinya
kepada In Hiang yang berada didekatnya.
Apalagi In Hiang wajahnya sangat cakap. maka 'keinginan'
Eng Lian makin bergolak tak terkendalikan. Kalau saja ia tidak
rasakan badannya lemas tak berkutik, tentu seketika itu ia
sudah menubruk In Hiang diajak bergulat diatas pembaringan.
In Hiang yang sudah dewasa paham akanjawaban Eng
Lian yang melantur bahwa tenaga masih sanggup menempur
ia (In Hiang) pada saat itu, bukannya menempur berkelahi
dalam artian yang benar tapi dalam artian yang setiap orang
dewasa mengetahuinya. In Hiang diam-diam menghela napas mengingat jahatnya
obat si kepala gundul. Ia merasa bersyukur kepada Lo In, guru
ciliknya yang telah membekali ia obat pemusnah obat bius
sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan dalam
perjalanannya. Dimana sekarang adik kecilnya itu " Tiba-tiba saja In Hiang
matanya berkaca-kaca sewaktu memandang Eng Lian yang
dalam keadaan tak berdaya.
"Hei, kenapa kau menangis ?" Eng Lian menanya.
Pikirannya rupanya sudah mulai tuli.
"Aku menangis ingat kepada seseorang yang terlalu baik
padaku." sahut In Hiang.
"siapa orang itu" Apa kau dapat memberitahukan pada
ku?" kata Eng Lian. "Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." sahut In Hiang.
seiring dengan kata-katanya, In Hiang melesat badannya
keluar kamar. Kiranya disana sudah menanti 10 orang
hweshio yang bersenjata lengkap.
satu diantaranya yang mukanya bengis berkata,
"Anak haram. Kau membuat kacau dalam kuil suci ini, apa
maksudmu " Hm Kalau kepalamu tidak ditinggalkan sekarang,
badanmu akan kami hancurkan seperti bakpo "
In Hiang ketawa dingin. "Kau mau hancurkan badanku,
tanya dulu pada kawanku " sahutnya. Tenang-tenang saja dia
berkata. Terkejut hweshio yang berwajah bengis itu, ia menanya,
"Kau panggil kawanmu, akan kami hancur leburkan sekalian."
"Inilah kawanku yang setia " sahut In Hiang seraya
mengacungkan pedangnya. Bukan main marahnya hweshio tadi.
"Maju semua, habiskan jiwanya " ia serukan kawankawannya
sementara ia sendiri sudah menerjang dengan
golok besarnya. In Hiang tidak takut. Ia sudah biasa dikeroyok orang
banyak. Dalam pertempuran itu ia tidak mau mengulur waktu,
karena ia memikirkan dirinya Eng Lian. Maka secepat kilat ia
keluarkan jurus ilmu pedangnya 'Bwee hiang boan wan', atau
'Harumnya bunga memenuhkan taman' yang sudah diperbaiki
oleh Lo In danjadi sangat lihai bukan main.
Kembali terdengar suara 'sret sret' berulang kali, dari
sepuluh orang hweshio itu hanya tertinggal seorang yang
keburu ngiprit lari ketakutan melihat sembilan kawannya sudah
tertabas kutung lehernya.
Di depan kamar itu telah terjadi banjir darah sampai masuk
ke dalam kamar. In Hiang tidak perduli, ia hanya lompat masuk pula ke
dalam kamar dan mendekati Eng Lian yang masih belum
dapat berkutik. Pikirannya Eng Lian sudah mulai pulih, ternyata obatnya Lo
In sangat manjur. Ketika melihat In Hiang mendekati pembaringan, Eng Lian
merasa sangat kikuk dan selebar mukanya merah. Ia tahu
bahwa ia dalam keadaan tidak genah dilihat pemuda sopan.
"Kau jangan masuk ke sini." kata Eng Lian. "Keluarlah
kesana " In Hiang girang hatinya karena perkataan Eng Lian
menandakan bahwa pikiran sehatnya sudah kembali. Ia lupa
bahwa dirinya tengah menyamar sebagai pemuda, ia
bukannya menyingkir disuruh Eng lian malah ia mendekati dan
berkata, "Adik kecil, kau masih belum dapat bergerak. Mari aku uruti
jalan darahmu " Terkejut Eng Lian mendengar perkataan In Hiang. Makin
kaget ia ketika ia rasakan tangannya In Hiang meraba pada
pundaknya dan menguruti. "Hei, jangan, jangan. Ah, dasar pemuda bangor encimu
nanti marah besar, kau berbuat kurang ajar seperti ini " Eng
Lian ketakutan tangannya In Hiang akan menjelajahi tubuhnya
yang hanya tertutup selimut.
Meskipun pikirannya sudah tenang, badannya si dara cilik
masih belum kuat bergerak. Ketika benar-benar saja Eng Lian
rasakan tubuhnya dipale oleh si pemuda cakap. ia jadi
menggigil dan pejamkan mata. Ia sangat cemat, hatinya
menyesal bahwa dirinya akan menjadi mangsanya sipemuda
cakap. sebaliknya bila kepada Lo In tentu ia akan
menyerahkan diri dengan suka rela.
Air matanya tampak merembes keluar dari sela-sela
matanya yang terpejam. "Hei, kenapa kau menangis ?" sekarang In Hiang yang balik
menanya. "Aku menangis ingat kepada seorang yang terlalu baik
kepadaku." sahut Eng Lian meniru kata-katanya In Hiang tadi
ketika ia menanyakan kenapa In Hiang menangis.
"siapa orang itu " Apa kau dapat memberitahukan padaku
?" tanya In Hiang. " Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." Eng Lian
kembali meniru jawaban In Hiang.
"Adik kecil, kau mau mengolok-olok aku ?" kata In Hiang
seraya tangannya meremas buah dadanya Eng Lian hingga si
gadis cilik gemetar badannya. Matanya mencilak penuh
kebencian. "Pemuda bangor, kau sangat menghinaku. Awas Ada satu
waktu akan kubalas meremas jantungmu sehingga hancur
berantakan " kata Eng Lian sengit.
"Aku tidak takut Paling-paling juga kau membalas begini "
kata In Hiang, kembali ia meremas-remas buah dadanya si
dara cilik hingga Eng Lian mengeluh dan air matanya
bercucuran. Ia sedih kenapa dirinya sampai dapat penghinaan
yang bukan-bukan itu. Yang membikin ia heran, pemuda cakap itu tidak berbuat
lebih daripada meremas buah dadanya. Tangannya tidak
menggerayang ke lain arah, yang sebenarnya ia dapat berbuat
sesukanya sebab ia (Eng Lian) dalam keadaan tidak berdaya.
"Pemuda bangor " kata Eng Lian. "Aku tak dapat membalas
sakit hatiku. Nanti ada satu orang yang akan membalaskan.
Kau lihat saja, kalau dia sudah datang "
In Hiang menatap Eng Lian yang bercucuran air mata.
Dengan serangannya In Hiang menyeka air mata yang
berlinang-linang itu. "Adik kecil, kau sungguh cantik." kata In Hiang. "siapa
sebenarnya kau ?" Eng Lian cemberut, tapi diam-diam ia merasa berterima
kasih si pemuda cakap menyeka air mata yang berkaca-kaca
karena tangannya sendiri tak dapat digerakkan untuk berbuat
demikian. Ia mengawasi wajahnya In Hiang yang cakap sekali.
Dalam hatinya berpikir, "Sayang hatiku sudah dimiliki adik
In. Kalau tidak. pemuda begini cakap. pantas sekali menjadi
pasanganku " "Kau kata barusan, ada orang yang akan membalaskan
sakit hatimu. siapa dia ?" tanya In Hiang ketawa manis hingga
kecakapannya tambah mempesonakan.
"Kepandaianmu masih belum ada apa-apanya kalau
dibandingkan dengan dia." sahut Eng Lian.
"oo, begitu jagoan dia " Aku mau lihat Kalau dia berani
membela kau, adik kecil, kau nanti coreng mukanya dengan
arang biar dia hitam legam mukanya " kata In Hiang, wajahnya
berubah seperti gemas. Eng Lian tiba-tiba cekikik ketawa hingga In Hiang heran.
"Kau ketawakan apa " Apa aku tidak mampu mencoreng
mukanya jadi hitam ?"
Kembali Eng Lian ketawa ngikik, kali ini malah terpingkalpingkal.
In Hiang dari heran menjadi curiga, kembali ia menegur,
"Kau ketawakan apa ?"
"Aku ketawakan kau, pemuda bangor Kau mau mencoreng
hitam muka kawanku, mana bisa mukanya dihitami sedang
wajahnya sudah hitam legam kayak pantat kuali. Hihihi...." Eng
Lian kembali ketawa dengan enaknya.
In Hiang sebaliknya berdebaran hatinya. seketika ia ingat
kepada Lo In, yang wajahnya hitam seperti pantat kuali,
"Adik kecil, kau sebenarnya siapa ?" desak In Hiang.
"Aku adalah aku, orang yang dihina oleh pemuda bangor "
sahut Eng Lian menggoda. "Aku tahu sekarang, tak usah kau sebutkan namamu, aku
sudah tahu " kata In Hiang.
"Bagaimana kau tahu namaku ?" tanya Eng Lian heran.
"Kau tentu si Eng Lian, yang membikin si bocah wajah
hitam mencarinya setengah mampus. Hahaha... kau
sangkallah tebakanku ini " In Hiang ketawa berkakakan.
Matanya Eng Lian terbelalak. Ia sangat heran kenapa
pemuda bangor ini dapat menebak siapa dirinya dengan jitu,
malah menyebut halnya Lo In juga demikian jelas.
Melihat Eng Lian terheran-heran, In Hiang bersenyum
manis, "Adik kecil," katanya. "Untuk apa kaupikirkan si bocah
hitam. Apa hatimu memang sudah kepincuk olehnya "^
Eng Lian tidak menjawab, hanya ia menatap In Hiang.
Kemudian tundukkan kepala, seperti merasa jengah hatinya
dapat diraba oleh In Hiang.
"Aku tahu, kau memikirkan ia bukannya memikirkan begitu
saja. Tentu kau mencintai si bocah hitam itu, betul atau tidak
?" In Hiang menanya kepingin tahu.
"Untuk apa kau berkata demikian ?" Eng Lian cemberut
mukanya. "Untukku sendiri" sahut In Hiang tenang-tenang saja sambil
mesem. "Apa maksudmu dengan perkataan 'untukku' ?"
"Untuk kebahagiaan aku sendiri sebab kalau kau tidak
mencintai si bocah hitam tentu kau akan mencintai aku yang
jauh lebih cakap daripadanya. Hahaha "
"Pemuda bangor Kau jangan menghina kawanku, ya "
"Aku tidak menghina, asal kau mau mengaku kau cinta
padanya, aku juga tidak akan gerembengi kau lagi, adik kecil
yang manis " In Hiang kata berbareng tangannya mencolek pipi Eng Lian
yang sedang cemberut marah. Masih baik kalau Eng Lian
diam saja dicolek pipinya, justru ia melengos, In Hiang makin
sengaja tangannya meraba seluruh mukanya Eng Lian.
Eng Lian menjadi sengit. Ia membentak. "Pemuda bangor, kau terlalu menghina.
Tunggu sebentar, kalau badanku sudah bebas, akan kuadu
jiwa denganmu " "Kau mengakulah bahwa kau mencintai si bocah hitam,
akan kubebaskan kau dari godaanku lebih jauh. Nah,
katakanlah Jadi tak usah aku mengharap-harap dirimu lagi
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menjadi istriku."
"Baik." kata Eng Lian nekad.
"Aku memang mencintai adik In, kau mau apa ?"
"Hahaha.... Adik kecil, benar-benar kau jujur. sekarang...?"
Tiba-tiba saja In Hiang merangkul Eng Lian yang dalam
keadaan tidak berkutik, Kaget bukan main si dara cilik sebab
In Hiang dengan bertubi-tubi telah mencium mulut dan pipinya
sehingga ia gemetaran saking menahan amarahnya. Eng Lian
menangis mendapat perlakuan demikian kasar dari si pemuda
cakap. "Pemuda bangor." katanya dengan sesenggukan.
"Benar-benar kau buktikan kebangoranmu. Asal aku Eng
Lian masih bernapas, hinaan yang kau lakukan ini atas diriku,
tidak akan aku lupakan. Lihat saja, apa si Eng Lian orang yang
mudah dihina " "Adik kecil, kau adalah adikku......" kembali bibir si dara cilik
dikecup, sekonyong-konyong Eng Lian rasakan ada tenaga mengalir
dalam tubuhnya, ia coba gerakkan tangannya. Bukan main ia
kegirangan. Tanpa menanti tenaganya pulih semua, Eng Lian
sudah meremas dadanya In Hiang yang tengah memeluki
dirinya. "Eh, kenapa ?" tiba -tiba Eng Lian berkata heran sambil
lepaskan tangannya yang meremas dada In Hiang. Ada apa "
Eng Lian rasakan tangannya meremas benda lunak seperti
yang ada pada dirinya sendiri
Tiba-tiba pikirannya yang cerdik lantas menebak siapa
pemuda bangor yang sedang permainkan dirinya dan yang
sudah lantas melepaskan pelukannya dan lompat mundur
ketika dadanya diremas oleh Eng Lian tadi.
Eng Lian lantas mau turun dan menerjang In Hiang kalau
saja ia tidak ingat bahwa dirinya dalam keadaan tidak
berpakaian. Ia hanya bisa ketawa cekikikan sambil
memandang pada In Hiang yang berdiri terpaku kaget tidak
jauh dari ranjangnya. "Adik kecil, apa yang kau tertawakan ?" tegur In Hiang
ketika sudah hilang kagetnya.
"Enci yang baik, kau jangan bikin adikmu mati penasaran."
sahut Eng Lian kontan. In Hiang mengerti bahwa penyamarannya sudah ketahuan
oleh Eng Lian karena ia kurang cermat hingga tangannya Eng
LIan dapat meremas buah dadanya barusan.
In Hiang sekarang ketawa. Tapi ia masih sempat belaga
pilon, katanya, "Adik kecil, kau kata apa barusan " Enci, apa memangnya
aku wanita ?" "Hihi... aku tidak sangka kalau pemuda bangor adalah enci
Bwee Hiang yang sedang dicari setengah mampus oleh si
bocah wajah hitam." In Hiang melengak. Pikirnya, ini budak benar-benar lihai.
Kata-katanya selalu ia dapat baliki dengan kontan. Ia tidak
perlu merahasiakan dirinya lebih jauh, sebab Eng Lian tentu
tidak mau mengerti. In Hiang lalu mendekati Eng Lian yang sementara itu sudah
mulai pulih kekuatannya dan dapat bergerak bangun. Belum
sempat ia bicara sudah didahului oleh Eng Lian,
"Pemuda bangor, apa kau bermaksud membikin repot lagi
adikmu " Hihihi..."
In Hiang kewalahan dengan kenakalannya Eng Lian.
pikirnya, pantas adik kecilnya sangat memikiri enci Liannya
yang sangat Jenaka ini. "Adik Lian, sekarang bukan tempatnya kita berkelakar."
kata In Hiang serius. "Lekas kau berpakaian Hweshio yang hendak merusak
kehormatanmu masih belum sempat aku membunuhnya, dia
sudah keburu lari " Mendengar disebutnya Hweshio cabul yang hendak
menodai dirinya, terbangun kegusarannya yang sampai
sebegitu ia 'adem-adem' saja karena digoda oleh In Hiang.
" Cepat kau ambilkan bajuku dalam buntelanku diatas
kursi." Bwee Hiang buka buntelan si nona dan menjumput pakaian
Eng Lian lalu dilemparkan pada si dara cilik, Cepat Eng Lian
berpakaian, dilain detik ia sudah lompat turun dari
pembaringan. Ia menyambar pedangnya.
"Enci Hiang mari kita basmi kawanan hweshio busuk dalam
kuil kotor ini " Eng Lian berkata seraya menarik tangannya Bwee Hiang.
si dara cilik nampak depan kamar sudah malang melintang
mayat hweshio dengan kepala putus, ia ketawa senang.
Katanya kepada Bwee Hiang,
"Enci Hiang, kau benar hebat. Malam ini kalau aku tidak
ketemukan si kepala gundul cabul itu, benar-benar aku
penasaran. Mari kita carinya "
Bwee Hiang geli melihat gerak geriknya Eng Lian.
Kepandaian si dara cilik sangat tinggi, cuma sayang kurang
cermat. Kalau saja ia dapat menggunakan pikirannya yang
jernih, pasti ia tidak sampai terjatuh ditangannya Tiat Ci
Hweshio. "Adik Lian tenang dulu,Jangan terburu napsu." berkata In
Hiang. "Kita harus bertindak dengan memakai perhitungan. Kalau
tidak. nanti kita jatuh dalam perangkap musuh. Lebih celaka
lagi kalau kita jatuh kedua kalinya ditangan si hweshio cabul "
"Enci Hiang, memang aku hanya menuruti napsu hati saja
sehingga melupakan bahaya di depan mata. sekarang ada
enci disampingku, aku tidak takut bakal kena terperangkap.
Hatiku sudah sangat panas dan ingin menebas lehernya si
hweshio jahat itu." In Hiang mesem mendengar perkataan Eng Lian.
Mereka lalu mengaduk dalam kuil yang luas itu, mencari
berbagai tempat persembunyian dari kawanan hweshio.
Ternyata kawanan kepala gundul itu tidak ada satu pun
yang kelihatan. Eng Lian merasa lesu, ia tak dapat
melampiaskan penasarannya.
Ia jalan mendekati sebuah patung yang ditaruh dekat
dinding. Itulah patung Budha dalam sikap bersila. Kepalanya
gundul, bajunya terbuka hingga kelihatan tegas perutnya yang
gendut. Wajahnya seperti berseri-seri ketika Eng Lian
memandangnya. seketika Eng Lian menjadi gemas melihat
patung seperti berseri-seri ke arahnya. Ia ingat akan Tiat ci
Hweshio yang berseri-seri ramah tapi hatinya sangat busuk.
Hampir-hampir ia menjadi korban napsu binatangnya.
Mengingat akan dirinya Tiat Ci Hweshio, dalam gemasnya
ia sudah ayun pedangnya memukul kepala patung tersebut.
Berbareng Eng Lian menjadi kaget sebab tiba-tiba terdengar
suara berkerekekan. Kiranya dinding dibelakang patung tadi
telah terbuka. Eng Lian terbelalak matanya. Hanya sebentaran ia merasa
heran, lantas ia lari ke lain ruangan mencari In Hiang, ternyata
sedang asyik pasang mata untuk mengusut sesuatu yang
mencurigakan. "Adik Lian, apa yang kau dapatkan ?" tanya In Hiang.
"Husstt " Eng Lian bersuara pelan, seraya tempelkan jari di
mulutnya. Lalu ia mendekati In Hiang dan berbisik ditelinganya
nona Liu. "Oo, ada kejadian begitu ?" kata In Hiang perlahan. Lalu
ajak Eng Lian melihat dinding yang terbuka tadi, namun
mereka jadi kecewa karena dinding yang dikatakan Eng Lian
terbuka tadi telah menutup lagi dan tidak ada bekas-bekasnya.
"Jangan kuatir, enci Hiang." kata Eng Lian. "Aku akan bikin
dia terbuka lagi " Berbareng Eng Lian telah mengetuk pula kepala patung
tadi. Tapi diketuk beberapa kali ternyata tidak mau terbuka
hingga Eng Lian menjadi sengit. Ketika ia mau menyabet
dengan pedangnya, In Hiang sudah keburu mencegah.
Ia berkata, "Adik Lian, jangan bikin rusak patung yang
sebagus ini. Di sini sudah tidak ada apa-apa lagi. Mari kita
keluar saja " In Hiang berkata sambil matanya mengedipi Eng
Lian. "Marilah, aku juga sudah bosan tinggal dalam kuil kotor ini."
sahut Eng Lian. jalan belum berapa langkah, tiba-tiba In Hiang enjot
tubuhnya lalu disusul oleh teriakannya sesosok tubuh yang
jatuh dari sana. Ternyata jago betina kita pendengarannya lebih lihai dari
Eng Lian. Ketika ia melihat Eng Lian sedang memukuli patung,
tiba-tiba ia merasa seperti ada orang diatas atap rumah. Ia
belaga pilon dan mengajak Eng Lian berlalu. Kapan ia sampai
dibawah atap. dimana ada mengumpet orang yang
dicurigakan, In Hiang sudah enjot tubuhnya dengan tiba-tiba.
Gerakan ini diluar dugaan orang yang sedang mengumpat
disitu, sebab ternya ia sangat gugup sekali ketika In Hiang
menginjakkan kakinya diatas atap dan menerjang dengan
pedangnya. Dalam gugupnya, orang itu jatuh ke bawah.
Ia coba melarikan diri tapi Eng Lian sudah menghadang,
"Hweshio celaka " bentak si dara kecil. "Kau mau lari dari
nonamu, ke langit sekalipun aku akan tetap mengejarmu "
Eng Lian mengancam dengan pedangnya hingga orang itu
ternyata adalah adalah hweshio setengah umur telah
menggigil ketakutan. "Adik Lian, jangan bunuh dia " seru In Hiang berbareng ia
sudah lompat turun dari atas atap rumah dan menghadapi si
hweshio yang barusan jatuh.
" Kepala gundul, lekas kau katakan dimana
bersembunyinya Tiat Ci Hweshio " kata In Hiang.
Hweshio itu tak menyahut, hanya hidungnya mendengus.
"Bagus " kata In Hiang. "Apa kau kira aku tak ada jalan
untuk bikin kau mengaku ?"
Berbareng In Hiang gunakan ujung gedangnya menotok
urat ketawa si hweshio. seketika itu juga ia jadi ketawa
berkakakan tanpa henti-hentinya hingga mengeluarkan air
mata. Tidak lama In Hiang menotok pula dengan ujung
pedangnya untuk menghentikan hweshio itu ketawa terusterusan.
Tampak si kepala gundul jatuh duduk. sangat lelah
kelihatannya. "Lekas bicara " bentak In Hiang. "Dimana adanya Tiat Ci
Hweshio " Hweshio itu diam saja didesak In Hiang.
"Baiklah, kau rasakan lagi hukumanku " kata In Hiang
seraya gerakan pedangnya seperti hendak menotok urat
ketawa si hweshio hingga ia jadi ketakutan.
"Mohon Liehiap tak meng gerakan pedang lebih jauh. Aku
akan bicara. suhu kini ada dalam kamar rahasia. sedang
berunding dengan susiok." si hweshio mengaku.
"Siapa itu susiokmu ?" tanya In Hiang kepingin tahu.
"Dia adalah Hong Lui susiok yang diundang datang oleh
Suhu untuk mengatasi keributan dalam kuil ini. Dia juga
tinggal dalam Thian-ing-bio disebelah selatan dari sini, kirakira
lima puluh lie jauhnya. Hong Lui susiok juga mempunyai
banyak anak murid." In Hiang melirik Eng Lian seperti mau mengatakan bahwa
mereka menghadapi musuh berat, jangan sembarangan
memandang enteng. Tapi Eng Lian yang wataknya anginanginan
tak memikirkan panjang. Ia membentak si hwshio :
"Apa paman gurumu itu perbuatannya lebih baik dari suhumu
?" "Aku tidak tahu." sahut si hweshio singkat, tak mau ia
membeber perbuatan susioknya.
"Kau mau bicara apa tidak?" mengancam Eng Lian dengan
pedangnya. Dara cilik kita lebih bengis memperlakukan si hweshio, tidak
heran kalau si kepala gundul menggigil ketakutan ketika
mendengar Eng Lian berkata,
"Aku mau kutungi kepalamu kalau kau tidak mau bicara
terus terang " si hweshio kepaksa membeber perbuatannya Hong Lui
Hweshio yang ternyata perbuatannya lebih jahat dari Tiat Ci
Hweshio hingga membuat dua gadis itu menjadi sangat gemas
dan bertekad tidak mengampuni kedua kepala gundul itu.
"Kau antar kami ke kamar rahasia yang kau maksudkan "
kata In Hiang keren. "Aku tidak berani." sahut si hweshio ketakutan.
"Tidak mau " Aku nanti totok urat ketawa mu lagi " In Hiang
mengancam dengan pedangnya.
"Hahaha.... sute, dasar rejekimu besar. Kiranya si anak
muda yang kosen itu adalah sejenis dengan si nona kecil
Jangan kasih lolos untuk kaupuaskan kesenanganmu pada
malam ini. Hahaha....."
Demikian suara yang berkumandang dalam kamar itu yang
membikin In Hiang dan Eng Lian terkejut. Eng Lian kertak gigi
mendengar suara itu sebab suara itu adalah suara Tiat Ci
Hweshio yang sangat ia benci. sedang In Hiang kertak gigi
gemas karena mendengar perkataan cabul dari si Hweshio
Jari Besi. Dua gadis itu pasang mata ke sekelilingnya. Tapi tidak
kelihatan ada orang disitu.
In Hiang dekati Eng Lian dan berbisik ditelinganya seraya
menyelipkan apa-apa dalam tangannya si dara cilik. Tampak
Eng Lian bersenyum lalu benda yang diselipkan oleh In Hiang
tadi dimasukkan dalam mulutnya terus ditelan.
In Hiang sendiri sudah lebih dahulu menelan barang yang
diberikan pada Eng Lian. setelah itu In Hiang hadapi lagi si hweshio tawanannya dan
berkata, "Kepala gundul, lekas kau bawa kami menemukan
suhu dan susiokmu " si hweshio tidak menyahut, rupanya ia mau berkepala batu
sekarang setelah mendengar suara suhunya tadi.
Eng Lian yang tidak sabaran lantas gerakkan pedangnya.
sekali sabet saja kepala si hweshio yang bandel itu sudah
terlepas dari lehernya. Darah segar menyembur dari leher si
kepala gundul yang bernasib malang. Berbareng dengan itu,
In Hiang dan Eng Lian mengendus bau harum dari asapnya
hio. Makin lama bau harum itu makin menusuk hidung. In Hiang
dan Eng Lian saling susul tubuhnya terkulai roboh dengan
tidak ingat orang. "Hahaha... " kembali terdengar suaranya Tiat Ci Hweshio
setelah beberapa lama kelihatan In Hiang dan Eng Lian rebah
dengan tidak berkutik.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sute, mereka sudah roboh oleh obat bius kita. Mari kita
pondong seorang satu. Aku mengalah, kau boleh pilih yang
mana kau setuju, sute Hahaha "
"Ah, suheng. Kenapa kau begitu merendah " Bukankah kau
sudah setuju yang kecil " Buat apa pakai rubah pikiran " Biar
yang gede kasih aku malam ini " terdengar jawaban Hong Lui
Hweshio seraya tertawa seram.
sebentar lagi tampak dinding kamar berkerekekan terbuka.
segera juga lompat dua hweshio tinggi besar masuk ruangan
dimana Eng Lian dna In Hiang rebah tidak berkutik. Kemudian
menyusul sepuluh orang murid dua hweshio jahat itu masuk.
tapi mereka disuruh mundur lagi ketika dua hweshio itu dapat
kenyataan bahwa dua gadis bakal korbannya itu benar-benar
sudah tertidur pulas. "Kalian mundur, jangan ikut-ikut urusan orang tua " kata
Tiat Ci Hweshio hingga kesepuluh muridnya itu semua mundur
dan menantikan di balik dinding sebab dinding yang terbuka itu sudah tertutup
kembali. Dengan napsu yang bergelora Tiat Ci Hweshio
menghampiri masing-masing korbannya.
Keadaan sudah larut malam pada saat itu. sepi sunyi dalam
ruangan, hanya dua manusia terkutuk saja waktu itu saling
ketawa nyengir kegirangan masing-masing akan menerkam
korbannya yang sudah tidak berdaya.
Dengan perasaan sayang, Tiat Ci Hweshio pegang-pegang
lengannya Eng Lian. sambil angkat lengan si gadis untuk
diusap-usap. ia berkata, "Nona kecil. Dasar kita sudah jodoh. Bagaimana
juga su...... ah, apa itu ?"
Tiat Ci Hweshio lompat berdiri sambil mengebaskan lengan
bajunya ke mukanya dari mana jatuh di lantai sepasang
benda kecil yang kekuning-kuningan. Tampak benda itu bisa
bergerak-gerak, melelot-lelot dengan gesit sekali.
Itu adalah Kim-coa (ular emas) kesayangan Eng Lian, telah
melesat dari lengan bajunya si gadis dan menyambar ke
mukanya Tiat Ci Hweshio. si kepala gundul ketawa ketika melihat ada yang usilan
hingga ia mengebaskan lengan bajunya dengan gugup dan
terlihat tidak lebih hanya dua ekor ular kecil saja.
Ia melangkah hendak menginjak mati dua ekor ular itu,
ternyata tidak berhasil. Ular itu bukan saja dapat bergerak di
lantai tapi bisa melejit terbang ketika melihat sepatunya si
hweshio mengancam dirinya.
Pada saat itulah si kepala gundul tiba-tiba rasakan
kepalanya pusing, ruangan kamarnya ia lihat seperti berputar,
badannya kontan lemas seketika dan terkulai jatuh setelah ia
berseru : "sute, awas Kim-coa "
Seruan Tiat Ci Hweshio itu sudah terlambat sebab dua ekor
ular itu seperti dapat mengenali orang jahat, setelah melejit
dari injakan sepatu Tiat Ci Hweshio yang sedang asyik
membukai baju In Hiagn yang sudah separuh terpentang.
Hong Lui Hweshio kaget mendengar teriakan sang suheng.
Tapi sudah terlambat, tangannya yang nakal sudah digigit ular
emas kesayangannya Eng Lian.
Bukan main gusarnya Hong Lui Hweshio, tapi ia hanya
dapat berdiri sebentar dengan maksud mau membunuh
sepasang ular emas itu yang ngeledek didepannya, kemudian
sudah terkulai roboh empas- empis seperti kehabisan tenaga.
Eng Lian yang siuman lebih dahulu dari pengaruhnya obat
pulas. Ia kaget bukan main nampak di dekatnya menggeletak
Tiat Ci Hweshio dengan napas empas- empis tinggal
menunggu waktu berangkat menghadap Giam-lo-ong.
Cepat ia bangun berdiri Ia lantas tahu siapa yang telah
membikin hweshio jahat itu tidak berkutik. Ia melihat tidak jauh
sepasang ular emasnya sedang legat-legot bermain. Melihat
majikannya sudah siuman, sepasang ular dengan jinak sudah
menghampiri Eng Lian yang seketika itu sudah keluarkan
kotak kecil (tempat ular) dari lengan bajunya. Ia sodorkan ke
dekat sepasang ular itu. segera mereka sudah melompat
masuk kedalam kotaknya. sambil menyimpan kembali dalam lengan bajunya,
terdengar Eng Lian menghela napas lega. Ia bersyukur
kepada sepasang ular emasnya itu sebab kalau tidak. pasti ia
telah menjadi korbannya Tiat Ci Hweshio, si hweshio cabul.
Tiba-tiba ia kaget, ingat kepada enci Bwee Hiangnya.
Matanya memandang kepada In Hiang yang sedang rebah
terlentang dengan baju separuh terbukan dan kelihatan buah
dadanya yang montok putih mulus hingga timbul ingatannya
yang nakal untuk menggoda encinya yang masih dalam
keadaan pulas. Ia mendekati In Hiang, justru si gadis sudah mulai siuman
dan menggerakkan badannya. Kuatir In Hiang keburu siuman
betul hingga tidak sempat ia menggodai, maka Eng Lian
jatuhkan dirinya dan merangkul orang yang baru tersadar.
Dalam kaget, In Hiang rasakan dadanya diraba orang dan
meremas buah dadanya hingga ia gelagapan dan berontakrontak.
Berbareng ia dengar orang berkata, "Enci Hiang,
terimalah pembalasan dari adikmu Eng Lian.... Hihihi...."
menyusul In Hiang rasakan kembali buah dadanya diremasremas
hingga hatinya jadi berdebaran kaget.
Kapan ia buka matanya, kiranya Eng Lian yang nakal
sedang merangkul dirinya dan tangannya menggerayang jail.
"Adik Lian, kau bikin encimu kaget penasaran karena
kenakalanmu " seru In Hiang yang telah pulih tenaganya dan
sekali meronta ia sudah bangun berdiri, lepas dari
rangkulannya si dara cilik yang jail. Keduanya jadi ketawa
cekikikan. sambil membereskan bajunya yang dibuka dengan paksa
oleh Hong Lui Hweshio, In Hiang berkata, "Adik Lian, kau
sudah membalas. Berarti sudah impas hutang diantara kita.
Lain kali kau tidak boleh berlaku nakal lagi."
Eng Lian ketawa manis. Ia menjawab Jenaka, "Enci Hiang,
hutangmu padaku sudah lunas. Entahlah dengan si bocah
hitam nanti akan menagih padamu. Hihi..."
In Hiang melengak. selebar mukanya jadi memerah. "Adik
Lian, kau masih belum puas dan masih menggodai encimu ?"
kata In Hiang menyusul tangannya diulur hendak mencubit si
dara cilik yang nakal. "Mana bisa pemuda bangor kurang ajar pada si Eng Lian."
kata si dara cilik seraya berkelit dari tangan In Hiang yang
hendak mencubit pipinya. In Hiang melongo. Ia tidak mengira Eng Lian demikian
nakal dan Jenaka, hampir mengalahkan Lo In kenakalannya.
Hatinya senang mendapat teman dara cilik yang Jenaka ini
dan mereka bersama-sama akan mencari jejaknya Lo In.
"Adik Lian, bukan waktunya kita berguyon. Mari kita
selesaikan tugas kita membasmi hweshio- hweshio dalam kuil
kotor ini " berkata In Hiang seraya menghampiri Hong Lui
Hweshio yang sudah tidak bernapas dan mulai membusuk
dagingnya. "Adik Lian, hweshio ini yang hendak berlaku kurang ajar
padaku tentu " kata In Hiang seraya mencabut pedangnya dan
hendak ditabaskan ke lehernya Hong Lui Hweshio.
Eng Lian lompat mencegah. "Enci Hiang, untuk apa kau
mengotori pedangmu. Lihat saja sebentar lagi juga badannya
akan hancur lumer menjadi air."
In Hiang heran mendengar perkataan Eng Lian, lalu
menanya, "Adik Lian, apa kau hanya berkelakar saja berkata demikian
" Bagaimana kau tahu badannya akan lumer menjadi air " Ah,
adik Lian, jangan kau berlebihan menggodai encimu."
"Enci Hiang, dia sudah digigit oleh Kim-coa kesayanganku."
sahut Eng Lian bangga. In Hiang tercengang. Matanya
menatap pada kawannya dengan penuh pertanyaan.
"Enci Hiang, Kim-coa ku sangat lihai. Kalau sudah
menggigit orang, dalam tempo setengah jam saja sang korban
akan lumer badannya menjadi air. Untung kita ditolong oleh
mereka. Kalau tidak. hm Apa kita masih bisa melindungi
kehormatan kita seperti sekarang " obat pemusnah yang enci
dan aku telan ternyata tidak ada gunanya, sebab buktinya kita
kena dibius juga dan tidak sadarkan diri"
"oh.. sungguh aku harus berterima kasih pada Kim-coamu,
adik Lian. Dimana sekarang ular emasmu itu " Aku ingin
melihatnya " berkata In Hiang dengan hati lega.
"Mereka sudah ada dalam rumahnya lagi, disimpan dalam
lengan baju ini." sahut Eng Lian seraya menepuk-nepuk
perlahan lengan bajunya. "Bagaimana Kim-coamu bisa keluar dari tempatnya ?"
tanya In Hiang heran. "Mungkin Tiat Ci Hweshio mengangkat lenganku dan tidak
sengaja menekan perkakas rahasia kotak ular hingga mereka
lompat melejit dan menyerang si hweshio cabul "
"oh, begitu hebat Kim-coamu itu, adik Lian. Kau kata
'mereka', memangnya ada berapa banyak ular emasmu itu ?"
"Hanya sepasang, tapi lihainya luar biasa. Aku sayang
sekali kepada mereka."
In Hiang manggut-manggut. Kemudian berkata, " obat
pemusnah yang kita telan sebenarnya sangat ampuh. obat itu
bikinan adik Lo In. selama aku merantau, belum pernah
menemukan kesulitan berkat lindungan obat itu. Tapi kalau
sampai sekarang tidak mengunjuk keampuhannya, mungkin
karena obat bius yang digunakan oleh kawanan hweshio jahat
itu istimewa atau mereka menggunakan berlebihan. Buktinya
kita rasakan asap yang kita cium menusuk hidung demikian
tajam dan menimbulkan rasa sesak di dada."
Eng Lian tidak menjawab, ia hanya mengangguk- anggukan
kepala. Dalam hati ia setuju dengan pendapat In Hiang sebab
ia juga percaya penuh akan keampuhan obat bikinan adik Innya.
Benar saja, tidak lama In Hiang nampak badannya Hong
Hui Hweshio sudah mulai berair, begitu juga dengan Tiat Ci
Hweshio. "Adik Lian, mari kita bekerja " mengajak In Hiang.
"Mari." sahut Eng Lian yang juga sudah menghunus
pedangnya seperti In Hiang.
Dua dara itu baru saja mau bertindak, tiba-tiba terdengar
suara berkerekekan dan dinding kamar kembali telah terbuka.
Dari mana telah melompat belasan kepala gundul dengan
membekal senjata dan mereka telah mengurung dua gadis
kita. Eng Lian ketawa cekikikan dirinya dikurung, bukannya
gemetar ketakutan. Dara cilik kita memang paling gemar dikerubuti musuh
daripada bertempur satu lawan satu, tidak menggembirakan.
sebaliknya In Hiang yang tegang menghadapi banyak musuh
kuat, tiba-tiba mendengar Eng Lian cekikikan ketawa, menjadi
heran dan melirik pada kawannya seperti menanya.
"Enci Hiang." kata si nona kecil. "Biar enci nonton saja. Aku
yang membereskan kawanan tak berguna ini. Pedangmu
sudah banyak makan korban, biar suruh dia mengaso "
"Budak temberang " bentak seorang hweshio yang
hidungnya seperti hidung burung kakaktua. "Kau berani buka
mulut besar di depan Cap-sha Thiw-tauw- hweshio " sungguh
rejekimu besar kalau kau dapat lolos dari kepungan Cap-sha
Thie-tauw- hweshio "
In Hiang terkejut mendengar hal tersebut. Matanya
memandang, benar saja semuanya terdiri dari tiga belas orang
kepala gundul. Cap-sha Thie-tauw- hweshio berarti Tiga belas
hweshio kepala besi. Barisan pendeta yang kepandaiannya
tertinggi diantara murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dan jarang
maju menghadapi musuh kalau musuh tidak sangat tangguh.
Tiga belas hweshio kepala besi adalah pasukan Thian-ong-bio
yang sangat kejam dan ganas.
Melihat rombongan kepala gundul itu semua ada gagah
dan kuat, In Hiang kuatir kalau hanya Eng Lian saja yang maju
sendirian. Tapi ia tidak mau mengecewakan adik Liannya yang
sudah memberi kesanggupan akan melayani kawanan
hweshio itu. Maka ia diam saja dan hanya bersenyum ke arah
Eng Lian ketika si dara cilik mengeluarkan Hui-to (pisau
terbang) dari kayu buatannya jago cilik kita.
"Hahaha " terdengar si hidung kakaktua bekakakan nampak
Eng Lian mengeluarkan senjata rahasianya yang berupa pisau
kayu. "Kepala gundul, kau ketawakan apa ?" tanya Eng Lian
heran. "Aku ketawakan kau, nona kecil." ngeledek si hidung
belang. "Masa pisau kayu lapuk kau bawa-bawa. sebenarnya
buat apa ?" "Buat menghajar kalian, kepala gundul yang tidak tahu diri "
jawab Eng Lian. si hidung kakaktua kembali berkakakan ketawa. "Hui-to
orang menggunakan logam murni. Ini pakai kayu lapuk mau
main-main dengan cap-sha Thie-tauw- hweshio Kau benarbenar
terlalu menghina pada pasukan maut dari Thian-ong-bio
" Eng Lian ketawa nyekikik mendengar perkataan si hidung
kakaktua. "Memangnya juga nonamu memandang enteng pada
kalian. Kalau kalian dipandang sebagai lawan-lawan berat,
sudah tentu nonamu akan menggunakan pedang " kata Eng
Lian. Merasa dihina, maka si hidung kakaktua yang menjadi
kepala dari barisan maut Thian-ong-bio itu lantas kasih kode
kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.
Mereka dengan serentak menyerbu. Ruangan disitu cukup
lebar untuk pertempuran ramai, maka Eng Lian jadi gembira
melayani mereka. sejak tadi pedang Eng Lian telah
dimasukkan pula ke dalam sarungnya, hui-tonya juga sudah
dikantongi hingga si dara nakal melayani mereka dengan
tangan kosong. Untuk jangan menjatuhkan nama Cap-sha Thie-tauwhweshio,
kawanan hweshio itu juga tidak menggunakan
senjatanya untuk mengeroyok si nona. Mereka yakin dengan
tangan kosong. sudah lebih dari cukup membekuk batang
lehernya Eng Lian, termasuk In Hiang juga, kalau seandainya
si nona turun tangan. Nyata perhitungan mereka meleset, nona kecil yang
dihadapinya bukan nona sembarangan yang gampang dihina.
Dengan kelincahannya mengelak serangan, membuat tiga
belas hweshio itu kabur pemandangannya, akan tetapi mereka
tetap menggempurnya, mengandalkanjumlahnya yang
banyak.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Eng Lian demikian gesitu luar biasa, diam-diam In
Hiang memuji sambil menyungging senyuman manis.
Disamping serangan-serangannya yang hebat sekali, ternyata
kawanan hweshio itu mengandalkan juga kepalanya yang
dianggap keras bagai besi. Beberapa kali Eng Lian diseruduk
perutnya oleh kepala kawanan hweshio itu.
Pada suatu saat In Hiang terbelalak matanya, nampak Eng
LIan dalam posisi terjepit telah diseruduk oleh dua hweshio.
Tapi si nona kecil sangat gesit, begitu dua buah kepala hampir
membentur perut, ia sudah mencelat ke atas dan perutnya
terluput dari kehancuran dibentur dua hweshio yang nyeruduk
tadi, yang kehilangan sasarannya hingga dinding kamar jadi
ambrol berlubang dengan memperdengarkan suara keras.
Dua hweshio itu roboh ketiban puing dinding yang ambrol.
Kawan-kawannya menjadi beringas nampak dua kawannya
roboh. Mereka merangsek. satu kena ditendang nyungsep ke
kolong meja, satunya lagi berteriak mengaduh dadanya kena
dihajar kepalan kecil dari si dara cilik.
Musuh berkurang dua lagi. Eng Lian ketawa ha-ha hi-hi,
berputaran dikeroyok oleh kawanan kepala gundul yang
sangat beringas kelihatannya.
"Awas " tiba-tiba Eng Lian berseru. Kembali dua musuh
roboh kena ditotok jalan darah pada bagian iganya (thian-kihiat).
Total sudah enam musuh jatuh hingga kurangan
kerepotannya si dara cilik melayani musuh-musuhnya.
Mereka mulai keder melihat kekosenan si nona. Dua orang
diantaranya hendak angkat kaki, tapi sudah terlambat.
"Kau mau lari ?" bentak Eng Lian, menyusul hui-to kayunya
meluncur dan dua orang itu roboh kena tertotok jalan darahnya
pada bagian pundak. Tinggal lima orang lain tak ungkulan menghadapi si nona
yang kosen. Mereka coba mendesak Eng Lian tapi
sebenarnya mencari kesempatan untuk lari. Waktu mereka
saling susul hendak meninggalkan ruangan itu, berbareng
saling susul datangnya lima pisau kayu yang menotok jitu
pada jalan darah masing-masing hingga mereka semua dapat
dirobohkan. Eng Lian ketawa cekikikan sambil merapikan rambutnya
yang agak kusut karena bertempur barusan, kemudian
memungut pisau kayu terbangnya kembali.
"Adik Lian, hebat benar kepandaianmu " In Hiang memuji
sambil mencekal tangan si gadis yang barusan saja selesai
memungut kembali hui-tonya.
"Enci Hiang, mari kita masuk ke dalam pintu dinding yang
masih terbuka itu." mengajak si dara cilik sambil menarik
tangannya In Hiang. "Nanti dulu." kata In Hiang.
"sekarang kita apakah dua hweshio-hweshio ini ?"
"Biarkan saja, mereka toh tidak bisa lari." sahut Eng Lian.
"Mana bisa. Kita mesti bunuh habis mereka " berkata In
Hiang serius. "Dibunuh ?" Eng Lian heran. Ia ingat akan pesan Lo In
supaya jangan melukai orang.
"Ya, habiskan jiwanya semua " sahut In Hiang dengan
sungguh-sungguh. Eng Lian belum menyahut, In Hiang sudah mulai bekerja.
Pedangnya beberapa kali berkelebat, tiga belas kepala gundul
itu sudah terpisah dari. badannya.
Eng Lian berdiri melongo melihat In Hiang demikian bengis
membasmi kawanan hweshio-hweshio. Badannya tergetar dan
hatinya berdebaran karena tidak biasa ia menyaksikan
pembunuhan besar-besaran demikian.
"Enci Hiang....." ia mengeluh perlahan sambil menatap
wajahnya In Hiang yang sama sekali tidak mengunjuk tandatanda
menyesal telah melakukan pembunuhan itu. In Hiang
heran melihat Eng Lian menjadi ngeri karena perbuatannya.
"Adik Lian, apa kau baru pertama kali melihat pembunuhan
seperti ini?" tanya In Hiang.
"Enci Hiang, benar-benar kau bikin adikmu gemetaran."
sahutnya sambil mengangguk.
In Hiang tertawa terkekeh-kekeh.
"Adik Lian." katanya. "Ini masih belum apa-apa. Asal kau
melihat pembunuhan besar-besaran tempo hari oleh sucoan
sam-sat di markas cabang ceng Gee Pang dan dalam
rumahku, mungkin kau akan jatuh pingsan."
"Ah, enci Hiang, masa begitu hebat ?" tanya si dara cilik,
In Hiang lalu menutur dengan ringkas pembunuhan besarbesaran
yang dilakukan oleh sucoan sam-sat hingga bulu
tengkuk Eng Lian pada berdiri
"Aku benci pada orang-orang jahat. Maka selamanya aku
tidak mau mengampuni mereka." kata In Hiang sehabis
menutur pada Eng Lian. Eng Lian anggukkan kepalanya sambil memikirkan nasihat
Lo In untuk jangan membunuh orang kalau tidak kelewat perlu.
"Adik Lian, kemana semangat betinamu " Apakah kau rela
dihina oleh si hweshio cabul " Tidakkah kau memikirkan untuk
menumpas habis-habisan kawanan hweshio yang menjadi
anak buahnya untuk melampiaskan sakit hatimu " Ah, adik
Lian. Kita jadi wanita harus bisa menghargai diri Untuk apa
kita kasih hweshio-hweshio jahat itu hidup lebih lama "
Mendengar kata-katanya sang enci, Eng Lian terbangun
semangatnya. "Aku setuju." katanya. "Mari kita basmi kawanan hweshio
cabul itu " In Hiang bersenyum nampak Eng Lian bersemangat
dengan tiba-tiba. Mereka kemudian memasuki pintu dinding
yang masih terbuka. setelah melewati beberapa lorong dan tikungan, mereka
telah sampai pada sebuah kamar dimana terdengar beberapa
perempuan sedang omong-omong.
In Hiang menendang pintu kamar hingga terbuka. Kiranya
disitu masih ada dua hweshio yang sedang memeluk dan
menciumi dua orang wanita.
Melihat adegan itu, Eng Lian ingat dirinya yang kena dibius
oleh Tiat Ci Hweshio. Dibawah pengaruhnya obat perangsang, ia kasihkan dirinya
dipeluk dan diciumi si hweshio cabul. Pipinya dengan
mendadak saja menjadi merah saking jengah, dari merasa
jengah hatinya jadi sanat gusar. Maka seketika itu juga ia
menyerang dengan pedangnya kepada dua kepala gundul
yang sedang permainkan wanita itu Dengan hanya terdengar
dua kali suara 'sret sret' kepala dua hweshio itu sudah
menggelinding di lantai, hingga dalam kamar itu menjadi banjir
darah. Ada lima orang perempuan yang berada dalam kamar itu.
Nampak Eng Lian membunuh dua hweshio tadi dengan hanya
dua kali tabas saja, mereka jadi ketakutan dan pada jatuhkan
diri berlutut minta ampuni jiwanya.
Melihat kelakuan mereka demikian genit dikala In Hiang
dan Eng Lian memasuki kamar itu, In Hiang tidak senang
kepada mereka. Tapi mengingat bahwa mereka telah berbuat
demikian saking ketakutan dibunuh oleh kawanan hweshio,
maka In Hiang masih dapat mempertimbangkan dan
mengampuni mereka. Kiranya bukan disitu saja terdapat orang perempuan.
Karena di beberapa kamar lainnya pun masih diketemukan.
Ketika semuanya dikumpulkan terdapat dua belas orang
wanita yang sudah rusak moralnya menjadi permainan
kawanan hweshio cabul dalam kuil itu.
In Hiang kemudian mengusir mereka pergi, untuk pulang ke
masing-masing rumahnya setelah membekali uang yang
terdapat dalam kuil itu. Ternyata tidak ada hweshio lainnya, setelah In Hiang dan
Eng Lian menjelajahi semua ruangan dalam kuil tersebut.
"sekarang bagaimana ?" tanay Eng Lian pada kawannya.
"Sebaiknya kita bakar saja kuil ini." sahut In Hiang. "Aku
rasa tidak membahayakan kalau kita bakar karena jauh dari
umum. Duduknya bangunan boleh dikata mencil sendirian.
Kalau kita tinggalkan begitu saja, aku kuatir akan dibuat
sarang lagi oleh orang-orang jahat."
Eng Lian setuju. Maka setelah membenahi barang-barang
perhiasan yang berharga dan uang sebagai kekayaan dari kuil
itu, dua gadis itu lalu membakar bangunan dengan memakai
bahan-bahan yang gampang menyala. Dalam sedikit tempo
saja, bangunan yang besar itu telah menjadi makanan si jago
merah. Dekat pagi, barulah berkobarnya api mulai reda.
orang-orang disekitar tempat itu menjadi kaget Thian-ongbio
kebakaran. Mereka coba ada datang menolong sementara
itu In Hiang dan Eng Lian sudah meninggalkan kuil yang
sedang berkobar-kobar dimakan sijago merah.
Kita kembali kepada sijago cilik yang berusaha mencari dua
encinya, Eng Lian dan Bwee Hiang. Beberapa hari sudah
berlalu ia melakukan penyelidikan dalam daerah pegunungan
dimana si bocah dan si dara berpisahan. Lo In masih belum
juga dapat menemui enci Liannya. Hatinya menjadi lesu.
Dengan tidak adanya Eng Lian atau Bwee Hiang
disampingnya, Lo In merasa seperti kehilangan pegangan.
Ia wataknya sangat gembira, sering melucu untuk
kemudian ketawa bersama dengan orang yang diajaknya
melucu. Sekarang Eng Lian dan Bwee Hiang tidak ada
disampingnya. Dengan siapa ia hari-hari dapat melampiaskan
tawa dan kegembiraannya. Pada suatu lohor ketika Lo In sedang jalan dijalanan yang
tidak begitu lebar dan pada kedua tepinya dipagari oleh
rumput alang-alang yang tumbuh tinggi, si bocah wajah hitam
tiba-tiba mendengar suara kaki kuda mendatangi.
Matanya Lo In yang tajam dari ke jauhan sudah dapat
melihat yang mendatangi itu adalah dua pemuda. Lama ia
tidak suka bergurau, maka seketika timbul seleranya untuk
menggodai dua pemuda yang datang itu Cepat ia umpatkan
diri dalam gerombolan alang-alang.
Dua penunggang kuda itu, ketika mendekati tempat
mengumpatnya telah jalankan kudanya dengan perlahan
sambil bercakap-cakap diseling dengan ketawa ny a yang
tergelak-gelak hingga diam-diam Lo In mengiri melihat orang
dapat bergembira demikian rupa.
"seandainya dia ketemu kita, mana dia dapat mengenali ?"
Lo In dengar, satu diantaranya yang tuaan dari sepasang
pemuda itu berkata. "Dia matanya lihai, jangan kasih kesempatan padanya. Kita
keroyok saja. Masa kita berdua tidak bisa menang " Asal kita
bertempur dengan cermat, bagaimana juga dia lihai akan
terjungkal ditangan kita " demikian kawannya menyatakan
pikirannya. (Bersambung) Jilid 17 Lo In perhatikan orang yang bicara. Diam-diam ia kepingin
tahu siapa yang diarah oleh dua pemuda cakap itu. Ia
menggunakan kepandaiannya terabas terobos dalam
gerombolan alang-alang mengikuti dua pemuda itu untuk
mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan oleh
mereka. Ia mendengar pula yang tuaan berkata,
"Andai kata, ini masih andai kata, kalau kita dapat cekuk
batang lehernya, kau mau apakan dia ?"
"Oo, nanti aku yang kompes dia suruh dia mengaku
kemana saja dia sudah pergi."
"Kau mengompesnya dengan apa ?"
"Dengan ini "sahut kawannya seraya perlihatkan tangannya
yang dibeber. "Tapi kau jangan keras-keras menamparnya, nanti dia
marah....." Kawannya yang barusan membeber tangannya, yang
mudaan tampak menekap mulutnya menahan ketawa .Justru
ia hendak membuka mulut berkata, tiba-tiba kudanya
berjingkrak seperti kesakitan hingga penunggangnya kaget
dan cepat-cepat menahan lesnya jangan sampai sang kuda
mabur secara liar. Pemuda yang tuaan melihat kawannya repot dengan
kudanya, hingga tidak sempat membuka mulutnya bicara telah
menertawakan nya dengan enaknya.
Pada saat itulah, kudanya sendirijadi binal. Berjingkrakan,
mengangkat kaki depannya sambil perdengarkan suara
ringkikan keras. Ia jadi gugup dan cepat-cepat pertahankan
lesnya, jangan sampai kudanya merat tanpa dapat
dikendalikan. setelah kduang masing-masing sudah jinak kembali, kedua
pemuda itu saling pandang.
Tiba-tiba yang mudaan telah keluarkan suara bentakan
nyaring, "Manusia usilan, dari mana telah mengganggu kesenangan
tuan mudamu " Lekas unjukkan diri "
Mengetahui bahwa kudanya bukan sewajarnya berjingkrak
dengan tiba-tiba, kedua pemuda itu curiga bahwa orang sudah
berlaku jail. Maka setelah saling melihat sejenak, yang
mudaan tadi telah mengeluarkan bentakannya dengan
sombong. Memang itu adalah kerjaannya Lo In yang memotes rumput
alang-alang ditaruh diatas telapak tangannya kemudian ia
meniup dengan menggunakan lwekannya hingga rumput kecil
itu melesat dan menyambar pantat kuda sehingga
berjingkrakan lantaran kesakitan.
Ditunggu lama, tak kelihatan ada orang muncul, maka si
pemuda tadi sudah ulangi pula bentakannya. "Manusia hina,
kalau kau demikian pengecut, kenapa mau main-main dengan
tuan mudamu " Hm Asal tahu saja. Kalau nanti kudapatkan
kau diantara gerombolan alang-alang, akan kuhajar kau
setengah mampus " Berbareng dengan perkataannya, anak muda itu turun dari
kudanya. Ia menghunus pedangnya. Dengan pedang itu ia
membabat gerombolan alang-alang yang dilihat agak
bergoyang dan menyangka orang jail itu sedang mengumpat
disitu. Tapi lama ia membabat sana sini, kenyataannya tak ada
orang yang dimaksudkan. "sudahlah,jangan buang tempo. Mari kita lanjutkan
perjalanan " berkata temannya yang tenang-tenang saja
bercokol diatas kudanya. Mendengar perkataan kawannya, anak muda itu hentikan
usahanya lalu menghampiri kudanya lantas naik ke atasnya
dan jalankan pula kudanya dengan berendeng.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum berapa lama mereka larikan kudanya, tiba-tiba
melihat ada sesosok tubuh yang tidur melintang ditengah jalan
hingga sukar dilalui oleh kuda mereka kecuali tubuhnya orang
yang tidur melintang itu dilompati.
orang itu tidur miring dengan muka kejurusan yang dituju
oleh dua pemuda itu, maka tak kelihatan mukanya.
"Toako, kembali ada orang usilan. Mungkin orang tadi yang
mencari gara-gara kepada kita. Biarlah aku suruh kudaku
menginjak tubuhnya biar berantakan isi perutnya " terdengar
pemuda yang mudaan berkata kepada kawannya.
"Jangan, kasihan." sahut kawannya. "Kita belum tahu dia
orang jahat atau baik. sebaiknya kita jangan sekejam yang kau
hendak lakukan itu."
"Habis, bagaimana pikiran Toako ?"
"Lebih baik kita lompati saja tubuhnya, tak sudah kita cari
urusan." Kawannya tak menyahuti. Mereka terus jalankan
kudanya dengan berendeng.
Ketika sampai di dekat orang tadi yang enak-enak saja tidur
miring, mereka kedut lesnya supaya kuda melompati tubuh
orang itu. Kuda mereka berbareng melompati tubuh yang lagi
tidur itu dengan gesit sekali.
Kedua pemuda itu ketawa berkakakan, sambil jalankan
kudanya perlahan. "Toako, orang itu tak punya guna. Kalau dia ada punya
kepandaian, tentu sudah bangun barusan dan mencegat
jalanan kita. Hahaha...... eh, eh...." tiba-tiba ketawanya
berhenti dan terkejut sekali nampak kedua kaki depan
kudanya menekuk dan berlutut.
"Hei, kau kenapa Hiante " Eh, oh, kenapa lagi...?" berkata
sang toako gugup sebab kudanya sendirijuga ambruk. kedua
kaki belakangnya lemas tak dapat berdiri Penunggangnya
segera lompat turun dan memeriksa kudanya yang tak dapat
bangun lagi. sang hiante dilain pihak pun sedang memeriksa kudanya,
sementara mulutnya memaki-maki. Entah siapa yang ia maki.
Yang kedengaran dia menantang supaya si manusia usilan
unjukan diri, tampak ia gergetan sekali. Ia tidak menyangka
bahwa orang yang tidur tadi yang telah membikin kudanya
lumpuh kakinya. sebaliknya sang toako sambil berdiri telah
mengawasi orang yang tidur tadi, yang ternyata sudah
berubah tidurnya dan sekarang miring membelakangi mereka
hingga tidak kelihatan tampangnya bagaimana.
"Hiante, aku kira dia yang main gila." si toako menyatakan
kecurigaannya. "Ah, masa " Coba mari kita tanya " sahut kawannya seraya
ia jalan menghampiri orang yang lagi tidur tadi, diikuti oleh
kawannya. "Hei, manusia malas " bentaknya, ketika sudah datang
Pendekar Kembar 14 Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Pedang Kayu Harum 14
geser kaki kirinya berkelit, berbareng tangan kanannys
menepuk perlahan lengan sim Leng yang nyelonong
kehilangan sasaran, meskipun tepukan perlahan, cukup
membuat sim Leng kehilangan imbangan dan badannya
terjerumus ke depan hingga hidungnya mencium sampai
besot. Cepat sim Leng bangun lagi.
"Anak kau, kau mengingkari janji " bentaknya.
"Aku mengingkari janji bagaimana ?" tanya Lo In heran.
"Kau janji tidak akan menghilang dari depanku, kenapa kau
barusan berkelit ?" tegur sim Leng dengan tidak tahu malu.
"Aku berkelit, bukannya menghilang Apa kau mau aku diam
saja diserang olehmu ?"
"Aku sudah tahu, kenapa kau mengingkari janji ?"
Lo In benar-benar heran atas jawaban si kakek. Mereka
sudah janji Lo In tidak boleh menghilang bukannya tidak boleh
berkelit. Tapi kelitan Lo In barusan dimasukkan dalam istilah
menghilang, terang si kakek sangat licik dan mau menang
sendiri. Tapi Lo In tidak takut. Ia tertawa berkakakan, kemudian
berkata, "Baiklah, kalau kau mau aku diam saja diserang olehmu,
cuma kau menyerang jangan kencang2, nanti isi dadaku bisa
ambrul oleh seranganmu yang dahsyat "
Lo In hanya berkelakar, akan tetapi dianggap serius oleh
sim Leng. Ia anggap Lo In ketakuan dengan serangannya
yang hebat. oleh sebab itu dengan tenaga maksimum ia
hantam dada Lo In dengan kepalan tangannya yang
mengandung lwekang tinggi.
"Dukk " terdengar suara beradunya kepalan mengenai
dada, berbareng tubuhnya sim Leng terpental dan poksay
(jungkir balik) ke belakang kemudian jatuh duduk sambil
memegangi kepalannya yang kesakitan. Dadanya dirasakan
sakit sekali, darahnya seperti bergolak. Peluhnya yang
berbutir-butir seperti kacang kedelai membasahi bajunya,
matanya terbelalak mengawasi dada jago cilik kita yang
tinggal tenang-tenang saja berdiri sambil bersenyum ke
arahnya. sim Leng lihat senyumannya Lo In itu seperti menagih janji.
Ia menyesal barusan menuruti napsu hatinya, telah berjanji
akan berlutut mengaku takluk pada si bocah manakala dalam
tiga gerakan saja, ia tidak dapat menjatuhkan Lo In . Kini ia
sudah dijatuhkan, tak dapat ia memungkiri janjinya kalau tidak
mau mendapat salah dari si bocah. Maka setelah merasakan
bergolaknya darh dalam dadanya mereda, dengan perlahanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lahan ia merangkak menghampiri Lo In , didepannya ia
berlutut dan manggut-manggut.
Lo In jadi repot melihat si kakek berlutut dan manggutmanggut
di depannya. "Jangan, jangan kau berbuat begini." kata Lo In seraya
lompat ke samping menghindari kehormatan yang sangat
tinggi itu "sim Lopek, kau mau bikin aku jadi lekas tua karena
perbuatanmu ini " Lekas bangun "
sim Leng tidak cepat- cepat bangun hingga dengan
menggunakan kepandaiannya yang tinggi Lo In telah angkat
sim Leng bangun walaupun masih dalam keadaan berlutut.
"sungguh hebat........" berkata sim Liang yang menyaksikan
adegan itu, memuji kepada Lo In sedang hatinya diam-diamjeri
untuk sebentar gilirannya mengadu tenaga dengan si bocah
yang ia sangsikan kepandaiannya sukar diukur.
"Toako, aku menyesal telah membuat pamor kita suram
karena ketidakbecusan adikmu " berkata sim Leng ketika ia
menghampiri kakaknya. "Kekalahanmu adalah wajar, apanya yang harus disesalkan
?" sahut sang kakak.
"Bagaimana " sekarang sim Lopek yang tua juga hendak
maju ?" tanya Lo In ketawa.
(Bersambung) Jilid 16 Sim Liang senang hatinya mendengar Lo In menukar
sikapnya demikian ramah. Si bocah sekarang memanggil
padanya Lopek (paman). Meskipun hatinya jeri, ia ingin cobacoba
juga kepandaiannya Lo In. Ia tahu bahwa si bocah tidak
akan mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas menyahut,
"Adik kecil, kepandaianmu hebat. Tapi Lohu kepingin juga
menjajalnya.Harap adik kecil jangan sampai mencelakakan
Lohu." Lo In ketawa melihat Sim Liang menyeringai
kepadanya. Anak kecil dan kakek dilain detik sudah
berhadapan. "Lopek boleh mulai." mengundang Lo In.
"Adik kecil, aku tidak ingin berlaku licik seperti yang
barusan diperbuat oleh adikku. Kau tak usah diam saja
sebagai patung untuk menerima serangan, tapi kau boleh
menangkis sesukanya asal jangan menghilang saja. Kalau
dalam gebrakan pertama Lohu jatuh, dalam gebrakan kedua
Lohu masih mau menjajal dengan lain cara. Kalau dalam dua
gebrakan itu Lohu masih tidak bisa berbuat apa-apa pada adik
kecil, dengan suka rela Lohu akan menjura mengaku kalah
pada adik kecil." "Baiklah, kau ada lebih jujur Lopek " sahut Lo In seraya
melirik pada Sim Leng sehingga ia menjadi malu dilirik si
bocah atas kelakuannya yang curang barusan.
"Awas adik kecil, Lohu mulai " kata Sim Liang berbareng
badannya berputar, tahu-tahu sudah ada disamping Lo In
dengan tangan kanannya ia menggempur lambung si bocah.
Lo In yang tenang-tenang saja melihat badannya si kakek
berputar, sudah lantas gerakkan tangan kirinya untuk
menekan tangan kanan si kakek yang menggempur
lambungnya. Jari tangan kanannya berbareng dipakai
menyentil jalan darah di pergelangan tangan kiri si kakek yang
dua jarinya hendak menyodok ke arah mata.
Bukan main terkejutnya sim Liang yang dengan sekaligus
serangan kombinasinya dapat dipatahkan oleh si bocah. Ia
rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan seperti patah
kena disentil oleh Lo In, hawa panas menyelusup ke ulu
hatinya sedang tangan kanannya yang ditekan berat ribuan
kati oleh tangan Lo In membuat si kakek tidak berdaya. Ia
coba melepaskan diri dari tekanan Lo In dengan enjot
tubuhnya lompat men jauhi si bocah.
sim Liang juga tidak melupakan kelicikannya untuk
menang. setelah mereka merenggang, sim Liang melihat
kesempatan Lo In sedang lengah memandang ke tempatnya
Tonghong Kauwcu, ia kerahkan tenaganya dan menghajar
pundak orang dengan setaker tenaga. Ia kira tulang
pundaknya Lo In berantakan tidak tahan serangan ampuhnya,
tapi matanya jadi terbelalak dan ketakutan tatkala merasakan
tangannya tak dapat ditarik pulang dari pundaknya Lo In yang
barusan ia hajar. Lo In belagak pilon ketika sim Liang berkutat hendak
menarik pulang tangannya yang melekat pada pundaknya.
sebaliknya sim Liang menjadi ketakutan dan mukanya pucat
ketika merasakan tenaga dalamnya telah molos disedot oleh
Lo In. Makin keras ia mengerahkan lwekangnya, makin keras
nerobos keluar tenaga dalamnya mengalir masuk dalam
dirinya si bocah yang tinggal tenang-tenang saja berdiri
dengan mata memandang ke arahnya Tonghong
Kauwcu. "siaohiap." meratap sim Liang dengan air mata bercucuran.
"Lohu mengaku salah telah membokong siaohiap. Mohon
siaohiap punya belas kasihan membebaskan Lohu. siaohiap.
Lohu minta kemurahan hatimu......."
sim Leng nampak kakaknya meratap dengan bercucuran
air mata, tahu bahwa kakaknya tengah menderita kerugian
sebagai akibat tangannya yang menempel pada bahunya Lo
In. Ia ingin sekali menerjunkan diri membantu kakaknya, akan
tetapi tidak berani. Ia sudah berlutut mengaku takluk.
bagaimana ia berani menyerang pula pada Lo In " Maka
dengan hati yang sangat cemas, ia menyaksikan sang kakak
menderita. Lo In seorang yang paling lembek hatinya kalau
menghadapi kelunakan, sebaliknya paling nakal dan
berandalan kapan menghadapi kelakuan kasar. Maka
sekarang ia melihat sim Liang meratap dengan bercucuran air
mata, hatinya menjadi lemas.
Ia hentikan tenaga menyedotnya, dengan sendirinya tangan
sim Liang yang menempel tadi telah terlepas dari lekatannya
dan sim Liang sempoyongan jatuh duduk. separuh dari
lwekangnya yang ia pupuk puluhan tahun sudah masuk dalam
tubuhnya Lo In. Masih untung si bocah tidak berbuat kejam. Kalau ia sedot
habis lwekang sim Liang, si kakek akan menjadi orang biasa
lagi dan harus mulai dari mula untuk meyakinkan lwekangnya.
Ia sudah lanjut umurnya, untuk memupuk tenaga dalam yang
dahsyat sampai meminta tempo puluhan tahun, terang ia
sudah keburu mati. Ketika sim Liang merasa bahwa badannya sudah mulai
kuat bergerak. maka ia sudah lantas bangkit berdiri
menghampiri Lo In. Di depannya ia penuhkan janjinya,
menjura dan manggut-manggut tanda takluk pada si bocah
sakti. Lo In hanya tertawa tawar.
"sudahlah, jangan pakai banyak peradatan." katanya
seraya meninggalkan si kakek yang masih menjura dan
manggut-manggut kepalanya. Lo In mendongkol juga pada si
kakek. karena diluar dugaan si kakek sama liciknya dengan
adiknya. Barusan, kalau ia tidak punya kepandaian sangat
tinggi, bukan saja ia roboh ditangannya si kakek. malah tulang
pundaknya bakal remuk dan ia bisa-bisa menjadi cacat
sebagai akibat serangan bokongan sim Liang yang maha
dahsyat Lo In menghampiri Tonghong Kauwcu yang sedang diuruturutjalan
darahnya untuk membebaskan totokan si kakek.
Ternyata Tonghong Kauwcu kena ditotok oleh sim Liang
sedang Teng Hui beruntung dapat membebaskan dirinya dari
ikatan tali tambang yang mengikat ia jadi satu dengan pohon
karena menjilatnya api pada tambang sebelum dikebas padam
oleh jago cilik kita. Teng Hui tidak sempat menyaksikan
jalannya pertandingan antara si bocah dan dua kakek jahat itu,
sebaliknya ia memburu pada Kauwcunya yang tidak berkutik
ditotok oleh sim Liang. Ia coba membebaskan sang Kauwcu
dengan jalan mengurut-urut akan tetapi sudah sekian lama ia
tidak berhasil sehingga Teng Hui jadi sangat gelisah. Ketika ia
memutar badannya hendak melihat Lo In, jago cilik kita sudah
berdiri didekatnya. Entah sejak kapan Lo In sudah ada disitu
menonton Teng Hui sedang menolongi Kauwcunya tanpa
hasil. Bukan main girangnya Teng Hui, ia lantas berkata,
"Siaohiap... eh, adik kecil. Bagaimana ini " Tolong adik
kecil membebaskan Kauwcu."
Lo In ketawa. Ia lalu mendekati sang Kauwcu yang sedang
duduk. la jongkok. tangannya berbareng diulur menepuk bahu
Tonghong Kauwcu perlahan sambil berkata,
" Kauwcu, selamat bertemu " Eh, sungguh ajaib. sebab
seketika itu juga Tonghong Kauwcu bisa membuka mulutnya
bicara dan dengan sendirinya totokan sim Liang bebas.
Kauwcu sekarang dapat bergerak sebagaimana biasa, hanya
ia tak dapat menggerakkan tangan kirinya, salah satu
tulangnya patah rupanya. Tonghong Kauwcu menatap pada Lo In lalu bertanya pada
Teng Hui, "Teng Tiang lo, siapa engko kecil ini " Hebat sekali
kepandaiannya ?" "Jangan heran, Kauwcu." sahut Teng Hui ketawa. "Dia
adalah Hek-bin Sin-tong..."
Tonghong Kauwcu unjuk paras kaget, kemudian tenang
lagi, lalu berkata, "sungguh menyesal pertemuan kita pada kejadian begini.
Coba kalau di markas, pasti aku akan menyediakan satu
perjamuan untuk tamu kecil yang tersohor ini. Engko kecil,
terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak ada kau, pasti
orang-orang Ngo-tok-kauw yang setia akan menjadi bulanbulan
hinaan dari dua kakek jahat itu."
"Ah, urusan kecil." sahut Lo In merendah.
"Asal Kauwcu telah selamat, aku juga sudah merasa
senang. Bagaimana keadaan Kauwcu sekarang " Aku dengar
Kauwcu dicelakai orang, sungguh beruntung Kauwcu tidak
sampai binasa ditangannya."
"Engko kecil." memotong Tonghong Kauwcu dengan mata
terbelalak heran. "Kau kata aku dicelakai orang, dari mana kau dapat tahu ini
?" "Aku sudah tahu, malah orang yang mencelakai Kauwcu
sekarang sudah tidak ada pula diantara kita orang. Hahaha...."
Lo In tertawa berkakakan.
sebenarnya ada pantangan bagi Ngo-tok-kauw, orang
berkakakan ketawa didepannya Kauwcu hingga Teng Hui
pucat wajahnya. Dikuatirkan Kauwcu akan marah dan
bertengkar dengan si bocah wajah hitam yang telah menolong
mereka. Ternyata Tonghong Kauwcu juga bisa membawa diri,
nampak Lo In ketawa berkakakan, ia juga terbahak-bahak.
lalu menanya, "syukur si jahat itu sekarang sudah mampus. siapa yang
sudah mengirim rohnya dia ke akherat, engko kecil ?"
"Kauwcu boleh tanya saja pada Teng Tianglo." sahut Lo In.
Teng Hui melengak. Ia lalu menanya, "Adik kecil,
bagaimana aku bisa menerangkan pada Kauwcu, sedang aku
tidak tahu orang yang mencelakakan Kauwcu."
"Paman Teng, kau masih belum berapa tua. Kenapa
sampai lupa kepada Coa Keng ?" mengingatkan Lo In kepada
Teng Hui. Baru sekarang Teng Hui ingat bahwa si bocah pernah cerita
sepintas lalu bahwa orang yang mencelakai Kauwcu adalah
Coa Keng. Lalu Teng Hui menceritakan bagaimana ia dengan kawankawannya
dihasut untuk menghadapi Lo In yang dikatakan
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah menghina nama Ngo-tok-kauw.
Demikian pandainya Coa Keng menjual omongannya
hingga mereka menjadi panas dan akhirnya telah mengeroyok
Lo In. Namun si jago cilik terlalu kuat dan mereka telah
dirobohkan dengan mudah. Lalu Coa Keng hendak
mengganggu isteri orang telah dipersen tendangan oleh Lo In
hingga menemui ajalnya. satu persatu diceritakan tegas oleh
Teng Hui kepada ketuanya, Tonghong Kauwcu yang
termangu-mangu mendengarnya. Terdengar ia menghela
napas tatkala Teng Hui sudah habis menutur.
" Engko kecil, terima kasih atas pertolonganmu sudah
mengirim rohnya si jahat menghadap Giam-lo-ong. Namun
bagaimana ya....?" Tonghong Kauwcu terputus bicaranya.
Teng Hui kaget mendengar ketuanya tidak melanjutkan
bicaranya. Ia ingin menanyakan apa-apa kepada sang ketua, akan
tetapi tidak berani. Maka ia hanya menatap saja pada
wajahnya Tonghoang Kim yang saat itu kelihatan agak
gelisah. Lo In juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh
sang Kauwcu. Tiba-tiba Tonghong Kauwcu memandang wajahnya Lo In
dan berkata, " Engko kecil, apakah mayatnya Coa Keng telah
dikuburkan ?" "Aku sendiri tidak mengubur mayatnya. Waktu kami
berangkat meninggalkannya, aku lihat mayatnya masih
terkapar." menerangkan Lo In.
Teng Hui juga menyatakan bahwa mereka tidak menaruh
perhatian atas mayatnya bekas kawan itu karena mereka
gemas akan kelakuannya Coa Keng yang licik dan jahat.
" Celaka " tiba-tiba sang Kauwcu berkata.
"Bagaimana ini, pasti ada orang lain yang mengambilnya.
Teng Tiang lo, bagaimana baiknya ini ?"
Tonghong Kin kelihatan sangat gelisah setelah mendengar
mayatnya Coa Keng tidak dikebumikan.
"Kauwcu maksudkan apa ?" tanya Teng Hui memberanikan
hati menanya. "say-cu-leng, say-cu-leng tentu diambil orang lain. Barang
itu ada pada badannya Coa Keng. Kalau dia tidak dikubur,
pasti ada orang yang menggeledah badannya dan dapatkan
barang itu. Celaka. Pasti perkumpulan kita akan mengalami
bencana kalau say-cu-leng jatuh kepada orang yang jahat "
Teng Hui kebingungan. Ia merasa menyesal bahwa ia tidak
menggeledah mayatnya Coa Keng. Kalau tidak. tentu ia sudah
dapatkan barang yang paling dipuja itu dalam
perkumpulannya. sekarang untuk mencari mayatnya Coa
Keng ke sana sudah tidak mungkin. Tentu orang sudah
mendahului mengambil say-cu-leng dari badannya. Dua orang
Ngo-tok-kauw itu sangat gelisah kelihatannya.
Lo In seketika ingat akan barang-barang yang ia dapatkan
dalam lubang dari kuburan tua. Lalu ia berkata,
"Aku ada barang-barang ini yang kuketemukan dalam
kuburan tua ialah dalam sebuah tempat Coa Keng menyimpan
harta. Apakah Kauwcu bida ketemukan say-cu-leng
diantaranya, kau tidak tahu."
Lo In sambil berkata telah merogoh keluar semua permata
yang ia dapat keluarkan dari lubang di kuburan tua. Ia
perlihatkan kepada Tonghong Kauwcu. Tampak sang ketua
kegirangan karnea ia melihat ada tusuk konde, kalung dan
anting-anting yang ia kenali adalah miliknya, pengasih dari
teman-temannya dalam hari ulang tahun Ngo-tok-kauw. Tapi
kemudian ia kerutkan alisnya ketika ia tidak dapatkan Say-culeng
diantara begitu banyak perhiasan.
Terdengar ia menghela napas.
"Barang itu tidak ada disini." kata Tonghong Kauwcu seraya
menyerahkan kembali pada Lo In seakan-akan tidak
membutuhkan barang-barang perhiasan yang tidak ternilai
harganya itu. " Kauwcu, inilah semua milikmu. Kenapa kau dorong lagi
padaku ?" "Engko kecil, kau ambil semua. Aku tidak memerlukan yang
begituan." sahut Tonghong Kauwcu seraya kembali terdengar
ia menghela napas. Lo In kebingungan, barang-barang itu diberikan kepadanya.
Ketika ia mau membuka mulut pula ia melihat Teng Hui
mengedipi matanya sambil berkata,
"Adik kecil, hadiah Kauwcu merupakan barang yang sudah
hilang, tak dapat kita kembalikan. Kalau kita mengembalikan
berarti kita memandang rendah kepada Kauwcu dan dapat
membuat tidak senang hatinya."
Lo Injadi melengak mendengar perkataannya Teng Hui.
Ia tidak menduga kalau aturan dalam Ngo-tok-kauw
demikian kerasnya. Barang yang sudah dihadiahkan oleh
Kauwcu dianggap sudah hilang, kalau dikembalikan akan
melukai hati sang Kauwcu. Maka apa boleh buat Lo In
masukkan pula ke dalam kantongnya. Tetapi ketika ia
keluarkan tangannya, ia merasa meraba.....
Ia kaget, cepat ia rogoh keluar dan diangsurkan kepada
sang Kauwcu sambil berkata,
"Kauwcu, masih ada bungkusan ini. Entah didalamnya ada
isi apa, sebab aku sendiri belum pernah membukanya. Coba
Kauwcu buka. siapa tahu ada barang yang lagi dicari oleh
Kauwcu." Dengan ogah-ogahan Tonghong Kauwcu menyambuti
bungkusan kecil itu. Waktu ia membukanya, selapis demi selapis kain yang
membungkusnya, hatinya tiba-tiba berdebaran dan menaruh
harapan besar. Benar saja, ketika lapisan penghabisan
dibukanya, ia dapatkan satu singa-singaan kecil, berbentuk
gandulan kalung leher. Kecil bentuknya tapi cahayanya
mengkeredep terang oleh sorotnya matahari.
"Engko kecil, inilah barangnya " seru Tonghong Kauwcu
kegirangan. Ia bangkit berdiri dan merangkul Lo In dengan
penuh kegirangan. "Aduh " dengan tiba-tiba Kauwcu mengaduh. Ia merasakan
sakit pada bagian sikut dari tangan kirinya.
" Kauwcu, mari aku periksa tanganmu." kata Lo In ketika
mendengar orang mengaduh.
Tonghong Kauwcu lantas angsurkan tangannya yang sakit
untuk diperiksa Lo In. Si bocah lihat tidak parah lukanya sang
Kauwcu, maka ia berkata, " Kauwcu, asal kau berani tahan sedikit, aku tanggung
sekarang juga tanganmu akan sembuh."
"Begitu sakti kepandaianmU engko kecil ?" kata Tonghong
Kauwcu heran. "Aku bukannya sakti, hanya dari pengalaman aku dapat
mengobati lukamu dengan mudah."
Tonghong Kauwcu belum mau percaya, tapi ia toh
mengangsurkan lengannya dan berkata,
" Engko kecil, berbuatlah kebaikan untuk Kauwcu dari Ngotok-
kauw. Aku tidak akan mengeluh kesakitan sepanjang kau
mengobati lukaku " Lo In tidak main seeji-seeji lagi. Ia sudah lantas
menyambut, lengannya Kauwcu.
Perlahan-lahan ia geserkan tulang yang menyilang pada
tempatnya hingga bukan main sakitnya. Tapi Tonghong
Kauwcu telah buktikan perkataannya, ia tidak mengeluh
kesakitan sekalipun tubuhnya mandi keringat lantaran
menahan rasa sakit itu. "Kau makan obatku, besok pada waktu seperti sekarang,
tanganmu dapat digeraki lagi sebagaimana biasa. Cuma saja,
paling baik tanganmu itu dikasih mengasoh sedikitnya tujuh
hari supaya duduknya tulang yang nyengsol itu melekat
kembali. setelah itu, Kauwcu dapat gerakkan kembali sesuka
hatimu. Tanggung lenganmu itu kokoh kuat seperti sebelum
terluka." Lo In kata sambil membuka tutupnya peles kecil dan
keluarkan dua butir pil bikinannya dari resep Liok sinshe, lalu
menyerahkan kepada Tonghong Kauwcu yang seketika itu
juga lantas dimasukkan ke mulutnya untuk ditelan dengan
ludah sebagai pengantarnya sebab disitu tidak kedapatan air.
Tonghong Kauwcu sangat percaya kepada bocah cilik ini,
yang kepandaiannya luar biasa. Pada waktu itu Teng Hui baru
ingat akan kawan-kawannya yang kena ditotok. Maka ia lalu
minta pertolongannya Lo In untuk membebaskannya.
Lo In tidak keberatan meluluskan permintaan tolong Teng
Hui. sebentar saja dengan kebasan lengan bajunya, Lo In
sudah dapat membebaskan sembilan orang Ngo-tok-kauw
yang pada rebah malang melintang.
Kembali adegan itu telah membikin Tonghong Kauwcu
makin kagum atas kesaktiannya si bocah. Di lain detik tiba-tiba
ia menghela napas hingga Teng Hui dan Lo In menjadi kaget.
Lo In menanya, " Kauwcu, barusan kau ketawa- ketawa gembira. Kenapa
sekarang kau menghela napas " Apakah ada sesuatu hal
yang kau sukar atasi " Aku bersedia menolongnya."
"Terima kasih, engko kecil." sahut Tonghong Kauwcu.
"Aku maksudkan dua kakek itu, sayang merat. Kalau tidak
mereka harus menerima hukuman menurut undang-undang
dari perkumpulan kami."
Teng Hui juga baru ingat akan dua kakek she sim itu karena
selama itu perhatiannya selalu ditumplek untuk menolong
pada Kauwcunya saja. Malah ia baru ingat akan temantemannya
yang dalam keadaan tertotok ketika sudah melihat
Kauwcunya tertolong. sementara orang-orang yang tertotok itu pada datang
mengunjuk hormat pada Kauwcunya, Lo In sedang ngomongngomong
dengan Teng Hui. Menurut cerita Teng Hui, dua kakek she sim itu datang dari
Hek-liong-tong (gua naga hitam). Penghuni dalam gua itu
semuanya ada tiga orang, dua ialah dua saudara she sim,
sedang yang satunya lagi adalah seorang wanita she siang
yang bernama Niang Niang. Tiga orang itu yang merupakan
dua kakek dan satu nenek. terkenal dengan sebutan Hekliong-
tong sam-lo aatu Tiga orang tua dari gua naga hitam-
Mereka bertiga satu perguruan, yang paling lihai adalah yang
perempuan yang bernama siang Niang Niang dengan julukan
Tui Hun Lolo (si Nenek Pengejar roh). Ia adalah sumoay dari
dua kakek tersebut dan sangat disayang oleh mereka.
Menurut kabar diantara dua kakek dan si nenek itu telah terjadi
kisah asmara pada waktu mudanya.
sim Liang dan sim Leng masuk Ngo-tok-kauw kira-kira dua
minggu sejak Tonghong Kauwcu diangkat menjadi Kauwcu.
Berkat kepandaiannya, maka kedua kakek itu telah dikasih
jabatan penting dalam Ngo-tok-kauw. Tonghong Kin begitu
baik kepada mereka, tidak tahunya dua kakek itu masuk Ngotok-
kauw dengan maksud kurang baik. Mereka bermaksud
merampas kedudukan Kauwcu dan mau mengepalai Ngo-tokkauw
dengan sepak terjangnya yang menghebohkan dunia
persilatan. setelah Teng Hui bercerita, lalu Tonghong Kauwcu
menceritakan kisahnya. Waktu ia dilemparkan ke dalam jurang oleh Coa Keng, ia
menduga bahwa jiwanya tidak dapat ditolong lagi. Ia sudah
pejamkan mata. Meskipun demikian, tangannya masih coba
dipentang, kalau- kalau ada pohon yang dapat menahan
tubuhnya yang meluncur dari atas ke bawah sungguh
beruntung baginya sebab ada beberapa dahan pohon yang
me-rem meluncurnya tubuhnya hingga dari satu dahan ke lain
dahan ia jatuh dan selamatlah ia mendarat pada tebing
gunung yang tingginya kira-kira tiga empat tombak dari bawah.
Ia hanya luka pada sikutnya itu, tulangnya keseleo, lainnya
kecuali baret-baret pada muka dan badannya yang kesangkut
cabang pohon, lainnya tidak ada apa-apanya pada tubuhnya.
Tonghong Kim sangat lelah ketika ia sudah mendarat.
Boleh dibilang ia separuh pingsan pada saat itu. sang angin
yang meniup dengan kencang, telah menyadarkan ia dan baru
tahu bahwa dirinya tidakjadi mati.
Demikian, selama beberapa hari ia hanya mengisi perutnya
dengan buah- buahan yang terdapat disekitar itu Pada suatu
hari ia mendengar banyak langkah orang mendatanginya.
Ketika ia memperhatikan, kiranya yang datang itu adalah
anak buah dari Ngo-tok-kauw dipimpin oleh Teng Tiang lo.
Bukan main girangnya sang Kauwcu. Ia lantas meneriaki
mereka dan segera juga mereka sudah datang dekat.
Teng Hui yang datang lebih dulu, saling rangkul dengan
Kauwcunya. saking girangnya Teng Tiang lo berbuat
demikian. sebab semestinya ia harus berlutut di depan
Kauwcu dan menanyakan keselamatannya. setelah ia sadar
akan perbuatannya yang tidak benar, Teng Hui buru-buru
melepaskan rangkulannya dan hendak berlutut di depan
Kauwcunya. Akan tetapi Tonghong Kin telah mencegah,
dengan ramah ia berkata, "Teng Tiang lo, kita berada di luar dari garis Ngo-tok-kauw.
Tidak perlu kau menjalankan peradatan seperti ini. Mari kita
bicara sebagai teman saja."
Teng Hui terharu mendengar perkataan sang Kauwcu yang
sangat baik hatinya. Ia lantas menanyakan halnya sang Kauwcu, lalu ia
menyuruh kawan-kawannya untuk memberi hormat kepada
ketuanya. Mereka telah mentaati perintah Teng Tiang lo.
senang Tonghong Kin dapat berjumpa pula dengan orangorangnya.
Ia menyatakan pada Teng Hui bahwa ia tidak ingin kembali
ke markas, jabatan Kauwcu itu lebih baik diambil oleh Teng
Hui saja. Akan tetapi Teng Hui telah menolak keras dan
membujuk supaya sang Kauwcu suka kembali dan memimpin
Ngo-tok-kauw. "Aku kembali tidak ada gunanya." kata Tonghong Kin. "
Karena aku toh tidak mempunyai lagi barang yang digunakan
sebagai lambang kekuasaannya Kauwcu. say-cu-leng sudah
tidak berada ditanganku. cara bagaimana aku dapat
mengendalikan orang-orang Ngo-tok-kauw ?" Teng Hui
terpekur mendengar kata-katanya sang Kauwcu. Pada waktu
itulah terdengar suara mengakak dari seorang tua.
Mereka kaget. Hanya sejenak saja sebab yang datang itu
adalah dua kakek yang menjadi orang Ngo-tok-kauw, ialah sim
Liang dan sim Leng. Tonghong Kin tidak menyangka kedatangannya dua kakek
itu adalah hendak merampas say-cu-leng, bukannya hendak
menolong dirinya. Tentu saja Tonghong Kin menjadi marah. Mereka jadi
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertengkar, disusul dengan perkelahian. Tonghong Kin dalam
terluka lengannya yang kiri, ia hanya menggunakan tangan
kanannya saja untuk melayani dua kakek orang she sim itu.
Terang perlahan-lahan si orang she Tonghong menjadi
kewalahan. Melihat Kauwcunya dalam bahaya, Teng Hui beri komando
orang-orangnya untuk menyerbu menangkap dua kakek jahat
itu tapi sudah terlambat karena Tonghong Kin sudah kena
ditotok sim Liang dan roboh ditanah.
Dalam kegusarannya itu Teng Hui telah menyerang dua
kakek itu dengan tanpa banyak omong, sekalipun beberapa
kali sim Liang membujuk supaya orang she Teng itu hentikan
pengeroyokannya dan selanjutnya mereka bekerja sama
mengepalai Ngo-tok-kauw. Tapi Teng Hui yang mencintai Kauwcunya, mana mau
diajak berserikat oleh dua kakek yang ia saksikan sampai
dimana kejahatannya itu. Maka pertempuran ramai tak dapat dihindarkan sampai
kemudian datanglah Lo In kesitu menonton pertempuran yang
ramai. Lo In melihat Teng Hui dalam bahaya, maka tidak tempo
lagi ia enjot tubuhnya melesat mendekati Teng Hui. Dengan
kebasan lengan bajunya ia dapat memadamkan api yang
berkobar-kobar hendak membakar dirinya Teng Hui yang
sudah setengah pingsan. selanjutnya, seperti yang telah kita
tuturkan disebelah atas. Tonghong Kin dan Teng Hui mengundang Lo In untuk
mengunjungi markas Ngo-tok-kauw, akan tetapi ia menolak
dengan halus. "Kita sudah beruntung dapat mengikat persahabatan.
semoga pada lain kesempatan kita dapat bertemu kembali.
Tapi pada waktu sekarang aku benar-benar tak dapat
mengikuti Kauwcu dan paman Teng pulang ke markas sebab
aku mempunyai urusan yang meminta segera diselesaikan."
" Engko kecil, tadinya aku mengira kau akan mengantar
pulang aku ke markas. Di sana aku akan sediakan satu
perjamuan makan untuk menghormat engkau, engko kecil dan
sebagai tanda terima kasih dari kami orang-orang Ngo-tokkauw
atas pertolonganmu. sungguh menyesal sekali
urusanmu tak bisa ditunda. Maka dengan ini kami mendoakan
saja perjalananmu selamat dan tidak kurang suatua apapun
sehingga urusan yang penting dapat diselesaikan."
"Terima kasih Kauwcu. Nah, disini kita berpisahan. Kauwcu,
paman Teng dan sekalian saudara-saudara," berkata Lo In
memohon diri kepada sekalian orang-orang Ngo-tok-kauw.
Dengan sekali enjot tubuhnya sudah meluncur beberapa
tombak jauhnya, kapan kakinya menutul tanah, lekas juga
tubuhnya mumbul lagi dan dengan demikian dilain detik Lo In
sudah tidak kelihatan bayangannya sekalipun.
"Sungguh hebat anak itu, entah siapa ayahnya dia...."
Tonghong Kauwcu menghela napas tatkala Lo In sudah pergi
jauh. "Memang, sayang sekali kita tidak bisa berkumpul lamalamaan
dengannya. Kalau tidak, pasti kita dapat tahu siapa
ayah ibunya Hek-bin sin-tong yang termasyur itu....."
menyahuti Teng Hui yang merasa menyesal tak dapat
berkumpul lebih lama dengan Lo In.
sementara mereka bercakap-cakap dan bersiap-siap untuk
pulang ke markas Ngo-tok-kauw, jago cilik kita sudah berada
puluhan lie dari mereka. sampai disini, mari kita lihat Eng Lian
yang sudah lama kita tinggalkan.
si dara cilik setelah mendapat kembali kudanya dari In
Hiang, hatinya girang. Pikirnya dengan kuda itu ia dapat
menjelajah pula pegunungan untuk mencari adik In-nya yang
hilang tanpa bekas. Hari-hari ia menjelajah pegunungan, tapi belum juga ia
dapatkan jejak adik In-nya. Hatinya si dara mulai jengkel dan
kesepian. Ketika cuaca menjelang sore, Eng Lian duduk di bawah
sebuah pohon yang rindang untuk melepaskan lelahnya. Ia
duduk melamun, memikirkan adik In-nya.
"sampai sekarang belum juga adik In diketemukan. Dimana
bocah itu sekarang adanya ?" ia berkata-kata sendirian.
Tangannya tiba-tiba meraba gadang pedangnya. Hatinya
tergetar tatkala tangannya menyentuh pedang Lo In. Ia lalu
mencabutnya, kemudian dipandanginya.
Huruf-huruf kecil atas gagang pedang 'Kwee Cu Gie Toan
Kiam' dipandangnya dengan tidak berkedip. Dalam hatinya
melamun berkata, "Adik In menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata,
sungguh lucu dia. Pedang orang dipakai tanda mata. Tapi
pedang ini katanya adalah pedang ayahnya. Apakah benar
Kwee Cu Gie adalah ayahnya " Aku tidak perduli apa Kwee
Cu Gie ayah adik In atau bukan, yang terang adik In sudah
menghadiahkan pedang ini sebagai tanda mata untukku. Adik
In sudah mengikat aku bakal kawan hidupnya dengan
menghadiahkan pedang ini. Apakah ini disadari olehnya ?"
sampai disini Eng Lian melamun. Tampak selebar mukanya
kemerah-merahan dan panas.
"Ah, hanya aku sendiri saja yang memikirkan ini." ia
ngelamun lebih jauh. "Adik In sendiri tidak memikirkan apa-apa dengan katakatanya
yang mengandung arti itu. Ia kelihatannya tidak
memikirkan bahwa dengan menghadiahkan pedang itu
sebagai tanda mata berarti ia mengikat janji untuk sehidup
semati denganku. Buktinya tidak ada reaksi apa-apa dari
pihaknya bahwa pergaulan kita selanjutnya akan mengalami
perubahan. Ah, dasar dia masih anak-anak. Pikirannya belum
sampai ke situ. Biarkan saja sampai dia sadar sendiri bahwa
enci Liannya mengharapkan kesadarannya......."
"Nona kecil, kau masih melamun apa ?" dirinya ada yang
menegur. cepat ia berpaling, kiranya tidak jauh disampingnya
berdiri seorang Hweshio berkuping satu yang sebelah kanan,
tengah bersenyum berseri-seri ke arahnya.
Eng Lian sebenarnya tidak demikian mudah didekati orang.
Biasanya dari ke jauhan kupingnya yang tajam sudah dapat
mengetahui ada tidaknya orang mendatangi. Tapi kenapa saat
itu mendadak kupingnya jadi puntul " Itu tidak heran sebab
Eng Lian pada saat itu sedang kelelap dalam lamunannya
yang muluk. "Taysu, kau dari mana ?" tanya Eng Lian ketika si Hweshio
tampak mendekatinya. "Kuilku tidak jauh dari sini. Aku barusan saja habis mencari
daun-daun obat kebetulan lewat disini dan melihat kau sedang
melamun asyik sekali. Maka aku menegurmu. Harap kau tidak
menjadi kecil hati karena gangguanku."
"Ah, tidak apa. Kalau Taysu tidak menegur, mungkin aku
akan melamun sampai malam disini belum habis-habisnya.
Hihihi...." Hweshio itu ketawa pada Eng Lian yang ketawa ngikik.
"Nona kecil, sebenarnya kau sedang melamun apa ?" tanya si
Hweshio ramah. "Aku sedang melamun tentang temanku yang hilang
jejaknya." sahut Eng Lian, alisnya yang kecil meng kerut.
"Entahlah, dimana temanku itu sekarang adanya."
"oo, kau kehilangan teman. Mudah dicari, kalau mau
menanyakan keterangan."
"Menanyakan keterangan kepada siapa, Taysu ?"
"Menanyakan keterangan kepada Tepekong yang dipuja
dalam kuilku." "Ah, apa bisa begitu mudah ?" Eng Lian menegasi kepingin
tahu. "Kita manusia biasa, nona kecil." kata si Hweshio yang
tidak lain adalah Tian ci Hweshio atau si Hweshio Jari Besi
yang kita kenal dalam permulaan cerita ini.
"sedang tepekong adalah orang halus. Kita dengan orang
halus mana dapat disamakan. orang halus lebih tahu dari kita
manusia." "Caranya bagaimana aku dapat menanyakan keterangan
pada Tepekong itu ?"
"Nona ikut aku ke kuil. Di sana kau boleh mencabut ciamsi.
Dari ciamsi ini kau bakal ketahui temanmu itu kini ada dalam
selamat atau tidak dan kapan kau nanti akan bisa jumpa pula
dengannya." "Bagus, bagus. Mari kita pergi ke kuil Taysu." sahut Eng
Lian cepat seraya pegang tangan si Hweshio diajak berlalu
dari situ. Tiat ci Hweshio ketawa geli tampak si dara cilik demikian
lucu gerak geriknya. "Lantas bagaimana dengan kudamu itu ?" tanya si
Hweshio. "oh, ya. Hampir aku lupa." katanya. Berbareng ia lepaslan
cekalannya pada tangan si pendeta dan menghampiri
kudanya. Dengan menuntun kuda, ia menghampiri pula si Hweshio
dan berkata, "Taysu, apa kuil Taysu itu masih jauh dari sini "
Kalau masih jauh, apa tidak lebih baik kita naik kuda saja
bersama-sama ?" "Jalan boleh, kalau mau naik kuda tentu lebih baik lagi."
sahut Tiat Ci Hweshio. "mari, mari kita naik kuda. Tapi, eh, apa Taysu naik kuda ?"
tanya Eng Lian. "Dulu, sebelumnya aku jadi Hweshio, pernah aku belajar
sedikit. Rasanya kalau sekarang menunggang kuda, masih
dapat aku lakukan." jawab Tiat Ci Hweshio.
"Bagus, Taysu naik dulu. Aku nanti naik dibelakangmu."
kata Eng Lian. Tiat Ci Hwes hio tidak pakai tawar menawar. Ia lantas naik
kudanya Eng Lian yang disusul oleh si gadis yang duduk
dibelakangnya. Mereka lanjutkan perjalanan dengan
menunggang kuda. Eng Lian yang memegang les kuda dari belakang si
Hweshio, rada janggal juga.
saban-saban si dara cilik terpaksa jatuh merangkul
tubuhnya si Hweshio untuk mengendalikan kudanya yang
larinya agak mogok juga. Rupanya keberatan ditunggangi oleh
dua orang. sering-sering kena dirangkul tanpa sengaja oleh eng Lian
dan harumnya air wangi yang dipakai si dara cilik, membuat
Tiat Ci Hweshio berdebar-debar hatinya.
Eng Lian tidak perhatikan kalau rangkulannya yang tak
disengaja itu membuat si Hweshio berdebaran hatinya. Malah
ia ketawa cekikikan saban kali ia kena rangkul si paderi
tampak Tiat ci Hweshio seperti kaget dan takut jatuh dari
kuda. "Taysu, kau takut jatuh dari kuda ?" tanyanya pada si
paderi. "Memangnya aku takut jatuh. Kau jangan larikan kudamu
kencang-kencang, nona kecil." menyahut si Hweshio belagak
ketakutan. Eng Lian ketawa cekikikan dan mengira benar-benar si
Hweshio ketakutan. Untuk bikin si paderi hatinya tetap, maka rangkulan sidara
agak kencang. Dengan begitu si Hweshio lebih berdebaran
lagi hatinya dipeluk dara cilik yang cantik jelita itu
Ia jadi melamun, kalau bisa dapatkan ini dara manis, oh,
bagaimana beruntungnya ia menjadi manusia dalam dunia
yang lebar ini. "Nona kecil, temanmu itu perempuan atau laki-laki?" ia
menanya Eng Lian. "Ah, Taysu jangan banyak tanya. Perempuan atau laki-laki
temanku itu tidak ada sangkutannya dengan Taysu." jawab si
dara sambil bersenyum manis hingga Tiat Ci Hweshio rasakan
jantungnya seperti dipelintir oleh senyuman memikat itu.
"Nona kecil, aku orang sudah mencucikan diri Tidak
halangannya kalau aku menanyakan halnya temanmu itu,
bukan ?" berkata pula Tiat Ci Hweshio.
"sudahlah, buat apa banyak tanya " sahut Eng Lian seraya
ketawa cekikikan. "Tapi nona kecil, oh, aduh.. jangan kencang-kencang...."
Tiat Ci Hweshio beraksi seperti hendak terpelanting dari kuda
hingga Eng Lian kaget dan cepat memeluknya supaya si
pendeta jangan sampai jatuh.
Bukan main senangnya si pendeta, tubuhnya dirangkul
erat-erat oleh si dara cilik tanpa disadari oleh Eng Lian bahwa
sipendeta hanya menjual aksi saja. Malah Eng Lian menanya
ketika si Hweshio sudah duduk tegak lagi diatas kuda,
"Taysu, kau kaget tentu, ya " Apa masih jauh kuilmu itu ?"
"sudah dekat." sahut Tiat Ci Hweshio. "Kau boleh kencangi
sedikit kudamu asal jangan bikin aku jatuh terpelanting...."
sipendeta berkelakar hingga Eng Lian ketawa cekikikan
nampak wajahnya si Hweshio yang lucu.
Benar saja seperti katanya sipendeta, kuilnya tidak lama
lagi sudah kelihatan dari jauh.
"Nah, itu kuilku." kata Tiat ci Hweshio sambil menunjuk ke
depan. Eng Lian kejuti les kudanya supaya jalan lebih kencang.
Kembali si Hweshioa menjual aksi hingga terpaksa Eng Lian
merangkulnya pula untuk mencegah si pendeta jatuh dari
kudanya. Bergelora napsunya sipendeta, dirangkul sedemikian
hangatnya oleh si dara jelita. Hampir-hampir saja ia tak dapat
mengendalikan dirinya dan balas merangkul Eng Lian untuk
melampiaskan napsunya yang bergelora ketika itu, kalau ia
tidak mengingat bahwa perbuatan demikian sangat gegabah
dan membahayakan dirinya.
Dengan demikian, terpaksa si pendeta menahan napsu
hatinya yang jahat. Ketika sampai depan kuil, Eng Lian lihat
merk kuil "Thian-ong-bio".
Mereka turun dari kuda dan masuk kuil disambut oleh
murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dengan sangat hormat.
Thian-ong-bio sangat angker kelihatannya.
Eng Lian yang baru pertama kali memasuki sebuah kuil,
tidak heran hatinya merasa senang melihat ini dna itu yang
menarik perhatiannya. Wataknya yang kekanak-kanakan
dengan seketika telah timbul. Ia menanyakan ini dan itu
kepada Tiat Ci Hweshio yang melayani dengan sabar dan
memberikan keterangan-keterangan yang jelas hingga si dara
cilik sangat senang dan memandang si pendeta adalah
seorang pendeta suci yang pengetahuannya dalam. Ia dibawa
masuk ke beberapa ruangan yang luas dalam kuil itu untuk
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat-lihat pemandangan disana. sementara itu cuaca sudah
mulai gelap. "Taysu, dimana aku harus mencabut ciamsi untuk minta
keterangannya hal temanku ?" tanya Eng Lian tiba-tiba, ketika
ia memasuki ruangan tengah.
"Mari, mari aku unjuki." sahut Tiat Ci cepat.
Eng Lian dibawa menghadap ke hadapan Tepekong Thianong
yang bermuka bengis. Patung itu besar sekali, lebih besar dari manusia biasa. Eng
Lian yang melihat roman bengis dari patung itu bukannya
takut, malah ketawa cekikikan.
"Kau ketawa kenapa, nona kecil ?" tanya Tiat Ci Hweshio
heran. "Aku ketawakan wajahnya patung itu." sahut Eng Lian
seraya tangannya menunjuk pada patung besar itu.
"Romannya bengis seperti romannya Taysu. Hihihi....." Tiat
Ci Hweshio mendongkol mendengar perkataan si dara cilik.
Tapi ia tidak mau, burung yang sudah masuk perangkap
terbang lagi. Maka dengan halus ia berkata,
"Nona kecil, kau bisa saja menyamakan wajahku dengan
wajahya Thian-ong. semoga kata-katamu tadi akan menjadi
kenyataan, kalau aku mati akan menjadi Tepekong Thian-ong.
Hahaha...." Keadaan dalam ruangan itu sepi. Hweshio-hweshio lain
yang biasanya jalan hilir mudik tidak tampak pada saat itu.
Rupanya mereka sudah dapat pesan dari Tiat ci Hweshio
supaya tidak mengganggu kegembiraannya dalam melayani si
dara cilik. oleh karenanya mereka dalam ruangan itu hanya
berduaan saja. Eng Lian telah mencabut ciamsi. Menurut keterangan si
Hweshio Jari besi, katanya bunyi ciamsi mengatakan bahwa
teman Eng Lian baik-baik saja keadaannya dan tidak lama lagi
si dara cilik bakal berjumpa lagi satu sama lain. Keterangan
mana membikin Eng Lian sangat kegirangan.
Dalam girangnya, Eng Lian keluarkan dari sakunya perak
hancuran. secara royal diberikan kepada Tiat Ci Hweshio
katanya sebagai bantuan membeli hio. Tiat Ci Hweshio tidak
menolak. malah ia mengucapkan terima kasih atas pemberian
si dara cilik. Ketika Eng Lian mohon diri, si Hweshio Jari Besi kata,
"Nona kecil, hari sudah malam. sebaiknya kau menginap disini
saja. Besok pagi kau barulah meneruskan perjalananmu,
masih ada tempo. Dalam gelap malam seperti sekarang ini,
aku kuatir kau mendapat kesulitan di perjalanan."
Eng Lian kerutkan alisnya yang kecil bagus hingga
menambah kecantikannya dipandangan si Hweshio berkuping
satu. seperti pembaca tahu, tempo hari kupingnya yang satu
copot kena disentak oleh ujung pedangnya Liok sinshe.
"Aku sudah sedia kamar untuk kau menginap, nona kecil.
Harap kau tidak menolak kebaikan dari satu pendeta sebab itu
akan merupakan berkah selamat akan perjalananmu
selanjutnya. Di dalam malam yang gelap sangat sukar untuk
meneruskan perjalanan."
Eng Lian tidak menjawab. Ia seperti berpikir, "Baiklah." tibatiba
ia berkata. "Tapi aku ingin cuci badan. Apa Taysu dapat menolong
mengirimkan air hangat ke kamarku ?"
"Tentu, tentu sekali nona kecil." kata Tiat Ci Hweshio
kegirangan. segera ia menepuk tangan dua kali, lantas saja muncul
seorang Hweshio muda. Kepada mereka ia suruh
menyediakan air hangat dan dibawa ke kamar Eng Lian untuk
si nona mencuci badannya.
senang Eng Lian melihat Tiat Ci Hweshio demikian ramah
dan hormat sekali kepadanya.
Ia berkata, "Taysu kau sangat baik sekali. Kalau belakang
kali aku sudah bertemu kembali dengan temanku, tentu aku
tidak lupa membawanya kemari untuk menghaturkan terima
kasih kepada Taysu."
"oo, itu perkara kecil. senang sekali kalau nona kecil nanti
datang pula kesini dengan temanmu, aku akan sediakan
kamar lebih besar untuk kalian berdua menginap." Eng Lian
bersenyum manis mendengar perkataan Tiat Ci Hweshio.
Memang dalam hatinya Eng Lian berjanji manakala nanti ia
sudah ketemu Lo In akan mengajak si bocah untuk datang
pula ke kuil Thian-ong-bio supaya Lo In dapat menghaturkan
terima kasih kepada kepala kuil yang baik hati itu dalam
anggapannya si dara. Tiat Ci mengantarkan Eng Lian ke ruangan belakang,
dimana ada kamar kosong untuk si dara melewatkan sang
malam, setelah itu Tiat Ci Hweshio lalu meninggalkan Eng
Lian. Belum lama Eng Lian berada dalam kamarnya, pintu
diketuk dari luar. Ketika ia membuka, kiranya Hweshio muda
tadi membawakan air hangat untuknya.
Ketika Hweshio muda itu hendak meninggalkan kamar, Eng
Lian berkata, "Siaosuhu, banyak terima kasih atas
pertolonganmu." Hweshio muda itu tidak menyahut, hanya anggukkan
kepala bersenyum dan lekas pergi meninggalkan Eng Lian.
Girang Eng Lian mendapat perlakuan demikian baik dari Tiat
Ci Hweshio. Begitu pintu kamar ia rapatkan pula, lantas ia
buka pakaian untuk membersihkan badannya. Ia merasa
segar sekali setelah badannya ia seka seluruhnya dengan
handuk yang dicelup dalam air hangat.
Selesai itu ia bersolek, girang ia karena disitu ia dapatkan
cermin untuk ia pandang wajahnya yang cantik. Ia ketawa
sendirian kapan ia ingat bahwa Lo In akan terpesona melihat
ia dalam keadaan bersolek demikian cantiknya.
Tengah ia mengagumi kecantikannya dalam pakaian tidur,
tiba-tiba ia dengar pintu diketuk. Cepat ia membukanya tanpa
pakai tanya-tanya lagi. Kiranya yang mengetuk itu ada
hweshio muda tadi yang datang hendak mengambil tempat air
hangat tadi, sekalian mengundang si nona untuk makan samasama
dengan Tiat Ci Hweshio di ruangan makan.
"Siosuhu, tolong kau sampaikan pada Taysu terima kasihku
atas undangannya. Katakan, aku tak dapat menemani Taysu
makan karena mataku sudah ngantuk " Hweshio muda itu
anggukkan kepalanya dan berjalan pergi.
"Baik betul Taysu itu........." menggumam Eng Lian seraya
merapatkan pintu kamarnya.
sebenarnya ia sudah lapar. Ingin ia mengisi perutnya
tatkala menerima undangan Tiat Ci Hweshio. Namun
mengingat bahwa dalam kuil itu makanannya tentu tidak lebih
dari makanan 'cia-cay' (makanan sayuran), maka ia tidak
selera untuk makan bersama-sama dengan Tiat Ci Hweshio
yang baik budi itu. Pikirnya, lebih baik ia makan makanan
keringnya saja dalam buntelannya untuk menahan lapar.
Justru ia lagi repot hendak membuka buntelan yang terisi
makanan kering, ia mendengar pula suara pintu kamar
diketuk. Ia urungkan membuka buntelannya lalujalan
menghampiri pintu dan membukanya. Kembali ia berhadapan
dengan si Hweshio muda tadi.
Kali ini Hweshio itu membawa nampan. Diatasnya terdapat
sebotol arak. sepoci air teh dan makanan daging ayam dan
daging babi yang lezat sekali tampaknya. Masih panas,
asapnya menyiarkan bau wangi menusuk hidungnya Eng Lian.
"suhu suruh aku membawakan ini untuk nona dahar. Harap
nona tidak menolak kebaikan suhu. suhu mengerti nona tentu
kurang leluasa makan sama-sama dengan suhu. Maka ia
suruh aku membawakan makanan ini. Harap nona tidak
menampik." berkata si hweshio muda, seraya menerobos
masuk ke dalam kamar dan nampan yang penuh makanan itu
diletakkan diatas meja. Eng Lian jadi tercengang nampak kebaikan orang itu. Ia
tidak bisa menampik, apa lagi ia sudah baui makanan yang
menarik seleranya. "Siaosuhu, suhumu sangat baik. Sungguh aku sangat
berterima kasih. Tolong sampaikan terima kasihku kepada
suhumu " Eng Lian berkata dengan girang.
si Hweshio muda hanya tersenyum dan anggukkan kepala
seperti tadi, lantas ia berjalan keluar meninggalkan si dara
cilik. Ia telah menutup rapat pula pintu hingga Eng Lian tak
usah menutupnya lagi. si dara cilik dengan kegirangan telah hadapi hidangan yang
lezat itu. sama sekali dalam benaknya tidak ada pertanyaan, kenapa
dalam kuil itu ada masakan daging yang demikian lezat
tampaknya. Bukankah dalam kuil seperti itu pendetapendetanya
pantang makan hidangan berdarah "
Dara cilik kita benaknya hanya dipenuhi oleh rasa terima
kasih saja kepada Tiat Ci Hweshio.
setelah menghadapi hidangan yang demikian menarik
seleranya, Eng Lian tidak banyak pikir lagi, ia main hantam
makan sekenyangnya. sebagai pengantarnya, beberapa
cawan teh hangat telah diteguk kering isinya. Ia tidak ganggu
botol arak sebab ia tidak suka minum arak. sebentaran ia
sudah merasakan perutnya kenyang.
"Hihihi.." ia ketawa sendirian. "Sayang adik In tidak
bersama disini, kalau tidak, kita sikat makanan ini bersamasama.
Hihi..." Ia duduk menantikan si hweshio muda datang pula untuk
membenahi dan bawa pergi sisa makanan yang barusan ia
makan. Tapi lama ditunggu tidak didengar si hweshio muda
mengetuk pintu. Ia saban-saban unjuk senyuman girang,
perutnya kini sudah tidak minta diisi pula. Pada saat itulah,
tiba-tiba ia rasakan matanya berat seperti ngantuk dan ia
beberapa kali menguap. seluruh badangnya lemas tak
bertenaga, kakinya terasa lumpuh, tak kuat untuk dipakai
berdiri dari duduknya di kursi.
Eng Lian heran kenapa badannya dengan mendadak
sontak tidak berguna demikian.
Menyusul hatinya berdebaran keras hingga dadanya
bergerak naik turun. Tarikan napasnya memburu, seakanakan
menekan rangsangan napsu birahi. Matanya menyala
penuh keinginan, bibirnya yang kecil mungil bergerak-gerak
seperti menantang musuh. Eng Lian coba berdiri, pantatnya berat seperti melekat pada
kursi. Ia jadi kebingungan apa yang ia harus diperbuatnya,
tampak dirinya tak berdaya. Dadanya dirasakan panas, napsu
birahinya bergolak tak dapat dikendalikan.
Kasihan Eng Lian telah menjadi korban obat bius dan
perangsang birahi yang dicampurkan dalam air teh dan kuah
sayuran yang dimakannya. Itu salahnya sendiri terlalu rakus
dan percaya atas kebaikannya si Taysu dari kuil Thian-ongbio.
Dalam keadaan tidak berdaya, Eng Lian hanya dapat
gerakkan dadanya naik turun seperti hendak menyalurkan
rangsangan napsu birahinya yang bergolak dalam dadanya.
Matanya menyala dan celingukan seakan-akan mencari
musuh- Tapi cemas hatinya karean dalam kamar itu sepi
sunyi, tidak terdengar seorang pun yang menarik napas.
Tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk. mulutnya Eng
Lian bergerak cepat, "Masuk " katanya, suaranya agak parau dikuasai oleh
napsu setan. "Nona kecil, selamat malam " terdengar Tiat Ci Hweshio
berkata setelah ia masuk dan merapatkan pula pintu kamar.
Eng Lian tidak menjawab hanya bersenyum dan matanya
menyala mengawasi Tiat Ci Taysu yang mendekatinya.
Tiat Ci Taysu bersenyum girang. Melihat sikap Eng Lian
demikian, ia sudah tahu bahwa obatnya telah bekerja dengan
berhasil. Ia duduk didekatnya Eng Lian. Tangannya tiba-tiba diulur
untuk mencolek pipinya si dara cilik. Eng Lian diam saja sebab
tangannya berat untuk diangkat menangkis tangan si kepala
gundul yang nakal. selain itu, ia tidak berkuasa atas pengaruh
obat si kepala gundul yang maha hebat. Malah ketika pipinya
dicolek. Eng Lian kepingin tubuhnya dipeluk oleh si Hweshio.
Keinginan bersatu tubuh yang tidak pernah ia pikirkan dan
impikan sebelumnya, pada saat itu telah mengaduk dalam
hatinya yang suci murni. Adik In-nya sudah tidak ada dalam
benaknya, hanya si kepala gundul yang didekatnya yang ia
harapkan akan memberi kepuasan kepada napsunya yang
meluap-luap. Demikian hebat pengaruh obat bius
danperangsang si Hweshio Jari Besi.
"Nona kecil, malam ini Taysu akan bikin kau jadi oranghahaha...."
si kepala gundul kegirangan seraya tangannya
kembali menyolek pipi Eng Lian.
"Taysu....." Eng Lian kata dengan suara lemah seperti
memohon. Matanya menatap pada Tiat Ci Hweshio dengan
penuh keinginan. si Hweshio balas menatap wajah Eng Lian yang cantik,
malah dalam pakaian tidurnya Eng Lian tampak lebih
mempesonakan pandangan si Hweshio Jari Besi.
Napsunya Eng Lian melonjak ketika merasa dirinya
dirangkul dan diciumi si kepala gundul dan diam saja ketika ia
dipondong, direbahkan diatas pembaringan.
"Taysu, kau mau apakan aku...?" kata Eng LIan lemah
ketika ia rasakan pakaiannya dibukai oleh Tiat Ci Hweshio
yang sudah kerasukan iblis.
Dikala Tiat Ci Hweshio hendak meloloskan pakaiannya
sendiri, pada saat itulah terdengar suara Brakk^ keras. Pintu
ditendang terbuka, sesosok tubuh lompat masuk dan
menyerang langsung pada si kepala gundul yang tengah repot
membetulkan kembali pakaiannya yang barusan hendak
diloloskan. Dasar Hweshio kawakan dalam Kangouw, Tiat ci Hweshio
tidak gugup mengelakkan diri dari bacokan pedang tadi. Ia
lantas lompat dari pembaringan dan menyembat palang pintu
untuk dipakai melawan orang yang menyerang dengan
pedang tadi. Kiranya yang masuk tadi adalah seorang muda
yang sangat cakap wajahnya.
Dalam keadaan lemas lesu tak berdaya, Eng Lian menatap
wajahnya si anak muda. Ia kenali orang muda itu adalah si
pemuda yang tempo hari bertempur dengannya yang
mengaku 'paman' dalam kelakarnya.
Eng Lian tidak senang pada pemuda yang datang
mengacau itu hingga urusannya jadi urung. Ia mengawasi
dengan sorot mata membenci. Sayang ia tidak bisa bergerak,
kalau tidak, ia ingin membantu Tiat ci Hweshio yang kepepet
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diserang si anak muda. "Kepala gundul cabul " bentak In Hiang, 'pemuda' kita yang
gagah. Jangan harap jiwamu lolos dari pedangku." In Hiang
berkata sambil mendesak keras hingga si kepala gundul cabul
menjadi kepepet dan mandi keringat ketakutan.
Untung tatkala itu datang lima muridnya masuk ke dalam
membantunya, mengeroyok In Hiang.
"Kalian jangan kasih lolos bangsat kecil ini " kata Tiat ci
Hweshio sambil berkelit dari bacokan pedang In Hiang,
kemudian enjot kakinya lompat keluar kamar untuk mabur.
"Kau mau lari, hm Lihat aku akan ambil kepalamu " teriak In
Hiang seraya enjot tubuhnya menyusul. Tapi diluar kamar ia
dirintangi oleh enam orang muridnya Tiat Ci Hweshio sehingga
Tiat ci dapat keburu melenyapkan diri.
Kegusaran In Hiang sekarang ditumplek pada murid-murid
Tiat Ci Hweshio. "Bagus " serunya. "Tidak apa si Hweshio cabul bernpas
untuk sementara, biarlah aku habiskan dulu kalian disini "
Berbareng terdengar suara 'sret sret' beberapa kali, saling
susul ber jatuhan kepala orang dari lehernya hingga dua tiga
orang murid Tiat Ci Hweshio melihat pemuda itu menjadi
sangat kosen sehingga jadi pecah nyalinya dan lari ngiprit
melenyapkan diri Melihat sudah tak ada musuh lagi, In Hiang putar tubuhnya
dan masuk kembali ke dalam kamar dimana ia melihat Eng
Lian masih dalam keadaan tak berdaya. Matanya menyala
menatap In Hiang dengan penuh kebencian.
"Adik kecil." kata In Hiang seraya menarik selimut dan
menutupi tubuh Eng Lian yang sudah seperti anak bayi.
"Untung aku keburu datang. Kalau tidak, kau akan menjadi
korban Hweshio cabul itu."
In Hiang berkata sambil merogoh sakunya dan
mengeluarkan dua biji pil.
"Kau makan ini, adik kecil." kata In Hiang seraya dua biji pil
itu ia hendak masukkan ke dalam mulutnya Eng Lian.
si dara cilik melotot matanya seperti sangat gusar dan
melengoskan mukanya ketika dua biji pil itu hendak dijejalkan
ke mulutnya. "Memang kau rela dijadikan barang mainan si kepala
gundul ?" bentak In Hiang seraya tangan kirinya menampar
pipi Eng Lian hingga mulutnya jadi terbuka. Kesempatan itu
tak disia-siakan oleh In Hiang untuk ceploskan dua biji pil
ditangannya dan tentu saja masuk dalam tenggorokan Eng
Lian tanpa pakai pengantar air lagi.
"Pemuda bagor, kau mau bikin encimu mati kejengkelan ?"
kata Eng Lian, masih ingat ia berkelakar terhadap In Hiang.
"Lekas kau berpakaian kalau tenagamu sudah pulih " kata
In Hiang. "Untuk menggempur kau sekarang juga tenagaku masih
sanggup," sahut Eng Lian seraya bersenyum manis pada In
Hiang. Matanya menyala, bibirnya bergerak-gerak menantang.
In Hiang melengak mendapat jawaban Eng Lian. Ia
menatap wajahnya Eng Lian dan memperhatikan selimut yang
menutupi dadanya si dara cilik yang bergerak-gerak. Ia
mengerti bahwa bekerjanya obat jahat si kepala gundul masih
belum punah. Ternyata Eng Lian pindahkan napsu birahinya
kepada In Hiang yang berada didekatnya.
Apalagi In Hiang wajahnya sangat cakap. maka 'keinginan'
Eng Lian makin bergolak tak terkendalikan. Kalau saja ia tidak
rasakan badannya lemas tak berkutik, tentu seketika itu ia
sudah menubruk In Hiang diajak bergulat diatas pembaringan.
In Hiang yang sudah dewasa paham akanjawaban Eng
Lian yang melantur bahwa tenaga masih sanggup menempur
ia (In Hiang) pada saat itu, bukannya menempur berkelahi
dalam artian yang benar tapi dalam artian yang setiap orang
dewasa mengetahuinya. In Hiang diam-diam menghela napas mengingat jahatnya
obat si kepala gundul. Ia merasa bersyukur kepada Lo In, guru
ciliknya yang telah membekali ia obat pemusnah obat bius
sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan dalam
perjalanannya. Dimana sekarang adik kecilnya itu " Tiba-tiba saja In Hiang
matanya berkaca-kaca sewaktu memandang Eng Lian yang
dalam keadaan tak berdaya.
"Hei, kenapa kau menangis ?" Eng Lian menanya.
Pikirannya rupanya sudah mulai tuli.
"Aku menangis ingat kepada seseorang yang terlalu baik
padaku." sahut In Hiang.
"siapa orang itu" Apa kau dapat memberitahukan pada
ku?" kata Eng Lian. "Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." sahut In Hiang.
seiring dengan kata-katanya, In Hiang melesat badannya
keluar kamar. Kiranya disana sudah menanti 10 orang
hweshio yang bersenjata lengkap.
satu diantaranya yang mukanya bengis berkata,
"Anak haram. Kau membuat kacau dalam kuil suci ini, apa
maksudmu " Hm Kalau kepalamu tidak ditinggalkan sekarang,
badanmu akan kami hancurkan seperti bakpo "
In Hiang ketawa dingin. "Kau mau hancurkan badanku,
tanya dulu pada kawanku " sahutnya. Tenang-tenang saja dia
berkata. Terkejut hweshio yang berwajah bengis itu, ia menanya,
"Kau panggil kawanmu, akan kami hancur leburkan sekalian."
"Inilah kawanku yang setia " sahut In Hiang seraya
mengacungkan pedangnya. Bukan main marahnya hweshio tadi.
"Maju semua, habiskan jiwanya " ia serukan kawankawannya
sementara ia sendiri sudah menerjang dengan
golok besarnya. In Hiang tidak takut. Ia sudah biasa dikeroyok orang
banyak. Dalam pertempuran itu ia tidak mau mengulur waktu,
karena ia memikirkan dirinya Eng Lian. Maka secepat kilat ia
keluarkan jurus ilmu pedangnya 'Bwee hiang boan wan', atau
'Harumnya bunga memenuhkan taman' yang sudah diperbaiki
oleh Lo In danjadi sangat lihai bukan main.
Kembali terdengar suara 'sret sret' berulang kali, dari
sepuluh orang hweshio itu hanya tertinggal seorang yang
keburu ngiprit lari ketakutan melihat sembilan kawannya sudah
tertabas kutung lehernya.
Di depan kamar itu telah terjadi banjir darah sampai masuk
ke dalam kamar. In Hiang tidak perduli, ia hanya lompat masuk pula ke
dalam kamar dan mendekati Eng Lian yang masih belum
dapat berkutik. Pikirannya Eng Lian sudah mulai pulih, ternyata obatnya Lo
In sangat manjur. Ketika melihat In Hiang mendekati pembaringan, Eng Lian
merasa sangat kikuk dan selebar mukanya merah. Ia tahu
bahwa ia dalam keadaan tidak genah dilihat pemuda sopan.
"Kau jangan masuk ke sini." kata Eng Lian. "Keluarlah
kesana " In Hiang girang hatinya karena perkataan Eng Lian
menandakan bahwa pikiran sehatnya sudah kembali. Ia lupa
bahwa dirinya tengah menyamar sebagai pemuda, ia
bukannya menyingkir disuruh Eng lian malah ia mendekati dan
berkata, "Adik kecil, kau masih belum dapat bergerak. Mari aku uruti
jalan darahmu " Terkejut Eng Lian mendengar perkataan In Hiang. Makin
kaget ia ketika ia rasakan tangannya In Hiang meraba pada
pundaknya dan menguruti. "Hei, jangan, jangan. Ah, dasar pemuda bangor encimu
nanti marah besar, kau berbuat kurang ajar seperti ini " Eng
Lian ketakutan tangannya In Hiang akan menjelajahi tubuhnya
yang hanya tertutup selimut.
Meskipun pikirannya sudah tenang, badannya si dara cilik
masih belum kuat bergerak. Ketika benar-benar saja Eng Lian
rasakan tubuhnya dipale oleh si pemuda cakap. ia jadi
menggigil dan pejamkan mata. Ia sangat cemat, hatinya
menyesal bahwa dirinya akan menjadi mangsanya sipemuda
cakap. sebaliknya bila kepada Lo In tentu ia akan
menyerahkan diri dengan suka rela.
Air matanya tampak merembes keluar dari sela-sela
matanya yang terpejam. "Hei, kenapa kau menangis ?" sekarang In Hiang yang balik
menanya. "Aku menangis ingat kepada seorang yang terlalu baik
kepadaku." sahut Eng Lian meniru kata-katanya In Hiang tadi
ketika ia menanyakan kenapa In Hiang menangis.
"siapa orang itu " Apa kau dapat memberitahukan padaku
?" tanya In Hiang. " Untuk sementara, biarlah aku rahasiakan." Eng Lian
kembali meniru jawaban In Hiang.
"Adik kecil, kau mau mengolok-olok aku ?" kata In Hiang
seraya tangannya meremas buah dadanya Eng Lian hingga si
gadis cilik gemetar badannya. Matanya mencilak penuh
kebencian. "Pemuda bangor, kau sangat menghinaku. Awas Ada satu
waktu akan kubalas meremas jantungmu sehingga hancur
berantakan " kata Eng Lian sengit.
"Aku tidak takut Paling-paling juga kau membalas begini "
kata In Hiang, kembali ia meremas-remas buah dadanya si
dara cilik hingga Eng Lian mengeluh dan air matanya
bercucuran. Ia sedih kenapa dirinya sampai dapat penghinaan
yang bukan-bukan itu. Yang membikin ia heran, pemuda cakap itu tidak berbuat
lebih daripada meremas buah dadanya. Tangannya tidak
menggerayang ke lain arah, yang sebenarnya ia dapat berbuat
sesukanya sebab ia (Eng Lian) dalam keadaan tidak berdaya.
"Pemuda bangor " kata Eng Lian. "Aku tak dapat membalas
sakit hatiku. Nanti ada satu orang yang akan membalaskan.
Kau lihat saja, kalau dia sudah datang "
In Hiang menatap Eng Lian yang bercucuran air mata.
Dengan serangannya In Hiang menyeka air mata yang
berlinang-linang itu. "Adik kecil, kau sungguh cantik." kata In Hiang. "siapa
sebenarnya kau ?" Eng Lian cemberut, tapi diam-diam ia merasa berterima
kasih si pemuda cakap menyeka air mata yang berkaca-kaca
karena tangannya sendiri tak dapat digerakkan untuk berbuat
demikian. Ia mengawasi wajahnya In Hiang yang cakap sekali.
Dalam hatinya berpikir, "Sayang hatiku sudah dimiliki adik
In. Kalau tidak. pemuda begini cakap. pantas sekali menjadi
pasanganku " "Kau kata barusan, ada orang yang akan membalaskan
sakit hatimu. siapa dia ?" tanya In Hiang ketawa manis hingga
kecakapannya tambah mempesonakan.
"Kepandaianmu masih belum ada apa-apanya kalau
dibandingkan dengan dia." sahut Eng Lian.
"oo, begitu jagoan dia " Aku mau lihat Kalau dia berani
membela kau, adik kecil, kau nanti coreng mukanya dengan
arang biar dia hitam legam mukanya " kata In Hiang, wajahnya
berubah seperti gemas. Eng Lian tiba-tiba cekikik ketawa hingga In Hiang heran.
"Kau ketawakan apa " Apa aku tidak mampu mencoreng
mukanya jadi hitam ?"
Kembali Eng Lian ketawa ngikik, kali ini malah terpingkalpingkal.
In Hiang dari heran menjadi curiga, kembali ia menegur,
"Kau ketawakan apa ?"
"Aku ketawakan kau, pemuda bangor Kau mau mencoreng
hitam muka kawanku, mana bisa mukanya dihitami sedang
wajahnya sudah hitam legam kayak pantat kuali. Hihihi...." Eng
Lian kembali ketawa dengan enaknya.
In Hiang sebaliknya berdebaran hatinya. seketika ia ingat
kepada Lo In, yang wajahnya hitam seperti pantat kuali,
"Adik kecil, kau sebenarnya siapa ?" desak In Hiang.
"Aku adalah aku, orang yang dihina oleh pemuda bangor "
sahut Eng Lian menggoda. "Aku tahu sekarang, tak usah kau sebutkan namamu, aku
sudah tahu " kata In Hiang.
"Bagaimana kau tahu namaku ?" tanya Eng Lian heran.
"Kau tentu si Eng Lian, yang membikin si bocah wajah
hitam mencarinya setengah mampus. Hahaha... kau
sangkallah tebakanku ini " In Hiang ketawa berkakakan.
Matanya Eng Lian terbelalak. Ia sangat heran kenapa
pemuda bangor ini dapat menebak siapa dirinya dengan jitu,
malah menyebut halnya Lo In juga demikian jelas.
Melihat Eng Lian terheran-heran, In Hiang bersenyum
manis, "Adik kecil," katanya. "Untuk apa kaupikirkan si bocah
hitam. Apa hatimu memang sudah kepincuk olehnya "^
Eng Lian tidak menjawab, hanya ia menatap In Hiang.
Kemudian tundukkan kepala, seperti merasa jengah hatinya
dapat diraba oleh In Hiang.
"Aku tahu, kau memikirkan ia bukannya memikirkan begitu
saja. Tentu kau mencintai si bocah hitam itu, betul atau tidak
?" In Hiang menanya kepingin tahu.
"Untuk apa kau berkata demikian ?" Eng Lian cemberut
mukanya. "Untukku sendiri" sahut In Hiang tenang-tenang saja sambil
mesem. "Apa maksudmu dengan perkataan 'untukku' ?"
"Untuk kebahagiaan aku sendiri sebab kalau kau tidak
mencintai si bocah hitam tentu kau akan mencintai aku yang
jauh lebih cakap daripadanya. Hahaha "
"Pemuda bangor Kau jangan menghina kawanku, ya "
"Aku tidak menghina, asal kau mau mengaku kau cinta
padanya, aku juga tidak akan gerembengi kau lagi, adik kecil
yang manis " In Hiang kata berbareng tangannya mencolek pipi Eng Lian
yang sedang cemberut marah. Masih baik kalau Eng Lian
diam saja dicolek pipinya, justru ia melengos, In Hiang makin
sengaja tangannya meraba seluruh mukanya Eng Lian.
Eng Lian menjadi sengit. Ia membentak. "Pemuda bangor, kau terlalu menghina.
Tunggu sebentar, kalau badanku sudah bebas, akan kuadu
jiwa denganmu " "Kau mengakulah bahwa kau mencintai si bocah hitam,
akan kubebaskan kau dari godaanku lebih jauh. Nah,
katakanlah Jadi tak usah aku mengharap-harap dirimu lagi
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menjadi istriku."
"Baik." kata Eng Lian nekad.
"Aku memang mencintai adik In, kau mau apa ?"
"Hahaha.... Adik kecil, benar-benar kau jujur. sekarang...?"
Tiba-tiba saja In Hiang merangkul Eng Lian yang dalam
keadaan tidak berkutik, Kaget bukan main si dara cilik sebab
In Hiang dengan bertubi-tubi telah mencium mulut dan pipinya
sehingga ia gemetaran saking menahan amarahnya. Eng Lian
menangis mendapat perlakuan demikian kasar dari si pemuda
cakap. "Pemuda bangor." katanya dengan sesenggukan.
"Benar-benar kau buktikan kebangoranmu. Asal aku Eng
Lian masih bernapas, hinaan yang kau lakukan ini atas diriku,
tidak akan aku lupakan. Lihat saja, apa si Eng Lian orang yang
mudah dihina " "Adik kecil, kau adalah adikku......" kembali bibir si dara cilik
dikecup, sekonyong-konyong Eng Lian rasakan ada tenaga mengalir
dalam tubuhnya, ia coba gerakkan tangannya. Bukan main ia
kegirangan. Tanpa menanti tenaganya pulih semua, Eng Lian
sudah meremas dadanya In Hiang yang tengah memeluki
dirinya. "Eh, kenapa ?" tiba -tiba Eng Lian berkata heran sambil
lepaskan tangannya yang meremas dada In Hiang. Ada apa "
Eng Lian rasakan tangannya meremas benda lunak seperti
yang ada pada dirinya sendiri
Tiba-tiba pikirannya yang cerdik lantas menebak siapa
pemuda bangor yang sedang permainkan dirinya dan yang
sudah lantas melepaskan pelukannya dan lompat mundur
ketika dadanya diremas oleh Eng Lian tadi.
Eng Lian lantas mau turun dan menerjang In Hiang kalau
saja ia tidak ingat bahwa dirinya dalam keadaan tidak
berpakaian. Ia hanya bisa ketawa cekikikan sambil
memandang pada In Hiang yang berdiri terpaku kaget tidak
jauh dari ranjangnya. "Adik kecil, apa yang kau tertawakan ?" tegur In Hiang
ketika sudah hilang kagetnya.
"Enci yang baik, kau jangan bikin adikmu mati penasaran."
sahut Eng Lian kontan. In Hiang mengerti bahwa penyamarannya sudah ketahuan
oleh Eng Lian karena ia kurang cermat hingga tangannya Eng
LIan dapat meremas buah dadanya barusan.
In Hiang sekarang ketawa. Tapi ia masih sempat belaga
pilon, katanya, "Adik kecil, kau kata apa barusan " Enci, apa memangnya
aku wanita ?" "Hihi... aku tidak sangka kalau pemuda bangor adalah enci
Bwee Hiang yang sedang dicari setengah mampus oleh si
bocah wajah hitam." In Hiang melengak. Pikirnya, ini budak benar-benar lihai.
Kata-katanya selalu ia dapat baliki dengan kontan. Ia tidak
perlu merahasiakan dirinya lebih jauh, sebab Eng Lian tentu
tidak mau mengerti. In Hiang lalu mendekati Eng Lian yang sementara itu sudah
mulai pulih kekuatannya dan dapat bergerak bangun. Belum
sempat ia bicara sudah didahului oleh Eng Lian,
"Pemuda bangor, apa kau bermaksud membikin repot lagi
adikmu " Hihihi..."
In Hiang kewalahan dengan kenakalannya Eng Lian.
pikirnya, pantas adik kecilnya sangat memikiri enci Liannya
yang sangat Jenaka ini. "Adik Lian, sekarang bukan tempatnya kita berkelakar."
kata In Hiang serius. "Lekas kau berpakaian Hweshio yang hendak merusak
kehormatanmu masih belum sempat aku membunuhnya, dia
sudah keburu lari " Mendengar disebutnya Hweshio cabul yang hendak
menodai dirinya, terbangun kegusarannya yang sampai
sebegitu ia 'adem-adem' saja karena digoda oleh In Hiang.
" Cepat kau ambilkan bajuku dalam buntelanku diatas
kursi." Bwee Hiang buka buntelan si nona dan menjumput pakaian
Eng Lian lalu dilemparkan pada si dara cilik, Cepat Eng Lian
berpakaian, dilain detik ia sudah lompat turun dari
pembaringan. Ia menyambar pedangnya.
"Enci Hiang mari kita basmi kawanan hweshio busuk dalam
kuil kotor ini " Eng Lian berkata seraya menarik tangannya Bwee Hiang.
si dara cilik nampak depan kamar sudah malang melintang
mayat hweshio dengan kepala putus, ia ketawa senang.
Katanya kepada Bwee Hiang,
"Enci Hiang, kau benar hebat. Malam ini kalau aku tidak
ketemukan si kepala gundul cabul itu, benar-benar aku
penasaran. Mari kita carinya "
Bwee Hiang geli melihat gerak geriknya Eng Lian.
Kepandaian si dara cilik sangat tinggi, cuma sayang kurang
cermat. Kalau saja ia dapat menggunakan pikirannya yang
jernih, pasti ia tidak sampai terjatuh ditangannya Tiat Ci
Hweshio. "Adik Lian tenang dulu,Jangan terburu napsu." berkata In
Hiang. "Kita harus bertindak dengan memakai perhitungan. Kalau
tidak. nanti kita jatuh dalam perangkap musuh. Lebih celaka
lagi kalau kita jatuh kedua kalinya ditangan si hweshio cabul "
"Enci Hiang, memang aku hanya menuruti napsu hati saja
sehingga melupakan bahaya di depan mata. sekarang ada
enci disampingku, aku tidak takut bakal kena terperangkap.
Hatiku sudah sangat panas dan ingin menebas lehernya si
hweshio jahat itu." In Hiang mesem mendengar perkataan Eng Lian.
Mereka lalu mengaduk dalam kuil yang luas itu, mencari
berbagai tempat persembunyian dari kawanan hweshio.
Ternyata kawanan kepala gundul itu tidak ada satu pun
yang kelihatan. Eng Lian merasa lesu, ia tak dapat
melampiaskan penasarannya.
Ia jalan mendekati sebuah patung yang ditaruh dekat
dinding. Itulah patung Budha dalam sikap bersila. Kepalanya
gundul, bajunya terbuka hingga kelihatan tegas perutnya yang
gendut. Wajahnya seperti berseri-seri ketika Eng Lian
memandangnya. seketika Eng Lian menjadi gemas melihat
patung seperti berseri-seri ke arahnya. Ia ingat akan Tiat ci
Hweshio yang berseri-seri ramah tapi hatinya sangat busuk.
Hampir-hampir ia menjadi korban napsu binatangnya.
Mengingat akan dirinya Tiat Ci Hweshio, dalam gemasnya
ia sudah ayun pedangnya memukul kepala patung tersebut.
Berbareng Eng Lian menjadi kaget sebab tiba-tiba terdengar
suara berkerekekan. Kiranya dinding dibelakang patung tadi
telah terbuka. Eng Lian terbelalak matanya. Hanya sebentaran ia merasa
heran, lantas ia lari ke lain ruangan mencari In Hiang, ternyata
sedang asyik pasang mata untuk mengusut sesuatu yang
mencurigakan. "Adik Lian, apa yang kau dapatkan ?" tanya In Hiang.
"Husstt " Eng Lian bersuara pelan, seraya tempelkan jari di
mulutnya. Lalu ia mendekati In Hiang dan berbisik ditelinganya
nona Liu. "Oo, ada kejadian begitu ?" kata In Hiang perlahan. Lalu
ajak Eng Lian melihat dinding yang terbuka tadi, namun
mereka jadi kecewa karena dinding yang dikatakan Eng Lian
terbuka tadi telah menutup lagi dan tidak ada bekas-bekasnya.
"Jangan kuatir, enci Hiang." kata Eng Lian. "Aku akan bikin
dia terbuka lagi " Berbareng Eng Lian telah mengetuk pula kepala patung
tadi. Tapi diketuk beberapa kali ternyata tidak mau terbuka
hingga Eng Lian menjadi sengit. Ketika ia mau menyabet
dengan pedangnya, In Hiang sudah keburu mencegah.
Ia berkata, "Adik Lian, jangan bikin rusak patung yang
sebagus ini. Di sini sudah tidak ada apa-apa lagi. Mari kita
keluar saja " In Hiang berkata sambil matanya mengedipi Eng
Lian. "Marilah, aku juga sudah bosan tinggal dalam kuil kotor ini."
sahut Eng Lian. jalan belum berapa langkah, tiba-tiba In Hiang enjot
tubuhnya lalu disusul oleh teriakannya sesosok tubuh yang
jatuh dari sana. Ternyata jago betina kita pendengarannya lebih lihai dari
Eng Lian. Ketika ia melihat Eng Lian sedang memukuli patung,
tiba-tiba ia merasa seperti ada orang diatas atap rumah. Ia
belaga pilon dan mengajak Eng Lian berlalu. Kapan ia sampai
dibawah atap. dimana ada mengumpet orang yang
dicurigakan, In Hiang sudah enjot tubuhnya dengan tiba-tiba.
Gerakan ini diluar dugaan orang yang sedang mengumpat
disitu, sebab ternya ia sangat gugup sekali ketika In Hiang
menginjakkan kakinya diatas atap dan menerjang dengan
pedangnya. Dalam gugupnya, orang itu jatuh ke bawah.
Ia coba melarikan diri tapi Eng Lian sudah menghadang,
"Hweshio celaka " bentak si dara kecil. "Kau mau lari dari
nonamu, ke langit sekalipun aku akan tetap mengejarmu "
Eng Lian mengancam dengan pedangnya hingga orang itu
ternyata adalah adalah hweshio setengah umur telah
menggigil ketakutan. "Adik Lian, jangan bunuh dia " seru In Hiang berbareng ia
sudah lompat turun dari atas atap rumah dan menghadapi si
hweshio yang barusan jatuh.
" Kepala gundul, lekas kau katakan dimana
bersembunyinya Tiat Ci Hweshio " kata In Hiang.
Hweshio itu tak menyahut, hanya hidungnya mendengus.
"Bagus " kata In Hiang. "Apa kau kira aku tak ada jalan
untuk bikin kau mengaku ?"
Berbareng In Hiang gunakan ujung gedangnya menotok
urat ketawa si hweshio. seketika itu juga ia jadi ketawa
berkakakan tanpa henti-hentinya hingga mengeluarkan air
mata. Tidak lama In Hiang menotok pula dengan ujung
pedangnya untuk menghentikan hweshio itu ketawa terusterusan.
Tampak si kepala gundul jatuh duduk. sangat lelah
kelihatannya. "Lekas bicara " bentak In Hiang. "Dimana adanya Tiat Ci
Hweshio " Hweshio itu diam saja didesak In Hiang.
"Baiklah, kau rasakan lagi hukumanku " kata In Hiang
seraya gerakan pedangnya seperti hendak menotok urat
ketawa si hweshio hingga ia jadi ketakutan.
"Mohon Liehiap tak meng gerakan pedang lebih jauh. Aku
akan bicara. suhu kini ada dalam kamar rahasia. sedang
berunding dengan susiok." si hweshio mengaku.
"Siapa itu susiokmu ?" tanya In Hiang kepingin tahu.
"Dia adalah Hong Lui susiok yang diundang datang oleh
Suhu untuk mengatasi keributan dalam kuil ini. Dia juga
tinggal dalam Thian-ing-bio disebelah selatan dari sini, kirakira
lima puluh lie jauhnya. Hong Lui susiok juga mempunyai
banyak anak murid." In Hiang melirik Eng Lian seperti mau mengatakan bahwa
mereka menghadapi musuh berat, jangan sembarangan
memandang enteng. Tapi Eng Lian yang wataknya anginanginan
tak memikirkan panjang. Ia membentak si hwshio :
"Apa paman gurumu itu perbuatannya lebih baik dari suhumu
?" "Aku tidak tahu." sahut si hweshio singkat, tak mau ia
membeber perbuatan susioknya.
"Kau mau bicara apa tidak?" mengancam Eng Lian dengan
pedangnya. Dara cilik kita lebih bengis memperlakukan si hweshio, tidak
heran kalau si kepala gundul menggigil ketakutan ketika
mendengar Eng Lian berkata,
"Aku mau kutungi kepalamu kalau kau tidak mau bicara
terus terang " si hweshio kepaksa membeber perbuatannya Hong Lui
Hweshio yang ternyata perbuatannya lebih jahat dari Tiat Ci
Hweshio hingga membuat dua gadis itu menjadi sangat gemas
dan bertekad tidak mengampuni kedua kepala gundul itu.
"Kau antar kami ke kamar rahasia yang kau maksudkan "
kata In Hiang keren. "Aku tidak berani." sahut si hweshio ketakutan.
"Tidak mau " Aku nanti totok urat ketawa mu lagi " In Hiang
mengancam dengan pedangnya.
"Hahaha.... sute, dasar rejekimu besar. Kiranya si anak
muda yang kosen itu adalah sejenis dengan si nona kecil
Jangan kasih lolos untuk kaupuaskan kesenanganmu pada
malam ini. Hahaha....."
Demikian suara yang berkumandang dalam kamar itu yang
membikin In Hiang dan Eng Lian terkejut. Eng Lian kertak gigi
mendengar suara itu sebab suara itu adalah suara Tiat Ci
Hweshio yang sangat ia benci. sedang In Hiang kertak gigi
gemas karena mendengar perkataan cabul dari si Hweshio
Jari Besi. Dua gadis itu pasang mata ke sekelilingnya. Tapi tidak
kelihatan ada orang disitu.
In Hiang dekati Eng Lian dan berbisik ditelinganya seraya
menyelipkan apa-apa dalam tangannya si dara cilik. Tampak
Eng Lian bersenyum lalu benda yang diselipkan oleh In Hiang
tadi dimasukkan dalam mulutnya terus ditelan.
In Hiang sendiri sudah lebih dahulu menelan barang yang
diberikan pada Eng Lian. setelah itu In Hiang hadapi lagi si hweshio tawanannya dan
berkata, "Kepala gundul, lekas kau bawa kami menemukan
suhu dan susiokmu " si hweshio tidak menyahut, rupanya ia mau berkepala batu
sekarang setelah mendengar suara suhunya tadi.
Eng Lian yang tidak sabaran lantas gerakkan pedangnya.
sekali sabet saja kepala si hweshio yang bandel itu sudah
terlepas dari lehernya. Darah segar menyembur dari leher si
kepala gundul yang bernasib malang. Berbareng dengan itu,
In Hiang dan Eng Lian mengendus bau harum dari asapnya
hio. Makin lama bau harum itu makin menusuk hidung. In Hiang
dan Eng Lian saling susul tubuhnya terkulai roboh dengan
tidak ingat orang. "Hahaha... " kembali terdengar suaranya Tiat Ci Hweshio
setelah beberapa lama kelihatan In Hiang dan Eng Lian rebah
dengan tidak berkutik.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sute, mereka sudah roboh oleh obat bius kita. Mari kita
pondong seorang satu. Aku mengalah, kau boleh pilih yang
mana kau setuju, sute Hahaha "
"Ah, suheng. Kenapa kau begitu merendah " Bukankah kau
sudah setuju yang kecil " Buat apa pakai rubah pikiran " Biar
yang gede kasih aku malam ini " terdengar jawaban Hong Lui
Hweshio seraya tertawa seram.
sebentar lagi tampak dinding kamar berkerekekan terbuka.
segera juga lompat dua hweshio tinggi besar masuk ruangan
dimana Eng Lian dna In Hiang rebah tidak berkutik. Kemudian
menyusul sepuluh orang murid dua hweshio jahat itu masuk.
tapi mereka disuruh mundur lagi ketika dua hweshio itu dapat
kenyataan bahwa dua gadis bakal korbannya itu benar-benar
sudah tertidur pulas. "Kalian mundur, jangan ikut-ikut urusan orang tua " kata
Tiat Ci Hweshio hingga kesepuluh muridnya itu semua mundur
dan menantikan di balik dinding sebab dinding yang terbuka itu sudah tertutup
kembali. Dengan napsu yang bergelora Tiat Ci Hweshio
menghampiri masing-masing korbannya.
Keadaan sudah larut malam pada saat itu. sepi sunyi dalam
ruangan, hanya dua manusia terkutuk saja waktu itu saling
ketawa nyengir kegirangan masing-masing akan menerkam
korbannya yang sudah tidak berdaya.
Dengan perasaan sayang, Tiat Ci Hweshio pegang-pegang
lengannya Eng Lian. sambil angkat lengan si gadis untuk
diusap-usap. ia berkata, "Nona kecil. Dasar kita sudah jodoh. Bagaimana
juga su...... ah, apa itu ?"
Tiat Ci Hweshio lompat berdiri sambil mengebaskan lengan
bajunya ke mukanya dari mana jatuh di lantai sepasang
benda kecil yang kekuning-kuningan. Tampak benda itu bisa
bergerak-gerak, melelot-lelot dengan gesit sekali.
Itu adalah Kim-coa (ular emas) kesayangan Eng Lian, telah
melesat dari lengan bajunya si gadis dan menyambar ke
mukanya Tiat Ci Hweshio. si kepala gundul ketawa ketika melihat ada yang usilan
hingga ia mengebaskan lengan bajunya dengan gugup dan
terlihat tidak lebih hanya dua ekor ular kecil saja.
Ia melangkah hendak menginjak mati dua ekor ular itu,
ternyata tidak berhasil. Ular itu bukan saja dapat bergerak di
lantai tapi bisa melejit terbang ketika melihat sepatunya si
hweshio mengancam dirinya.
Pada saat itulah si kepala gundul tiba-tiba rasakan
kepalanya pusing, ruangan kamarnya ia lihat seperti berputar,
badannya kontan lemas seketika dan terkulai jatuh setelah ia
berseru : "sute, awas Kim-coa "
Seruan Tiat Ci Hweshio itu sudah terlambat sebab dua ekor
ular itu seperti dapat mengenali orang jahat, setelah melejit
dari injakan sepatu Tiat Ci Hweshio yang sedang asyik
membukai baju In Hiagn yang sudah separuh terpentang.
Hong Lui Hweshio kaget mendengar teriakan sang suheng.
Tapi sudah terlambat, tangannya yang nakal sudah digigit ular
emas kesayangannya Eng Lian.
Bukan main gusarnya Hong Lui Hweshio, tapi ia hanya
dapat berdiri sebentar dengan maksud mau membunuh
sepasang ular emas itu yang ngeledek didepannya, kemudian
sudah terkulai roboh empas- empis seperti kehabisan tenaga.
Eng Lian yang siuman lebih dahulu dari pengaruhnya obat
pulas. Ia kaget bukan main nampak di dekatnya menggeletak
Tiat Ci Hweshio dengan napas empas- empis tinggal
menunggu waktu berangkat menghadap Giam-lo-ong.
Cepat ia bangun berdiri Ia lantas tahu siapa yang telah
membikin hweshio jahat itu tidak berkutik. Ia melihat tidak jauh
sepasang ular emasnya sedang legat-legot bermain. Melihat
majikannya sudah siuman, sepasang ular dengan jinak sudah
menghampiri Eng Lian yang seketika itu sudah keluarkan
kotak kecil (tempat ular) dari lengan bajunya. Ia sodorkan ke
dekat sepasang ular itu. segera mereka sudah melompat
masuk kedalam kotaknya. sambil menyimpan kembali dalam lengan bajunya,
terdengar Eng Lian menghela napas lega. Ia bersyukur
kepada sepasang ular emasnya itu sebab kalau tidak. pasti ia
telah menjadi korbannya Tiat Ci Hweshio, si hweshio cabul.
Tiba-tiba ia kaget, ingat kepada enci Bwee Hiangnya.
Matanya memandang kepada In Hiang yang sedang rebah
terlentang dengan baju separuh terbukan dan kelihatan buah
dadanya yang montok putih mulus hingga timbul ingatannya
yang nakal untuk menggoda encinya yang masih dalam
keadaan pulas. Ia mendekati In Hiang, justru si gadis sudah mulai siuman
dan menggerakkan badannya. Kuatir In Hiang keburu siuman
betul hingga tidak sempat ia menggodai, maka Eng Lian
jatuhkan dirinya dan merangkul orang yang baru tersadar.
Dalam kaget, In Hiang rasakan dadanya diraba orang dan
meremas buah dadanya hingga ia gelagapan dan berontakrontak.
Berbareng ia dengar orang berkata, "Enci Hiang,
terimalah pembalasan dari adikmu Eng Lian.... Hihihi...."
menyusul In Hiang rasakan kembali buah dadanya diremasremas
hingga hatinya jadi berdebaran kaget.
Kapan ia buka matanya, kiranya Eng Lian yang nakal
sedang merangkul dirinya dan tangannya menggerayang jail.
"Adik Lian, kau bikin encimu kaget penasaran karena
kenakalanmu " seru In Hiang yang telah pulih tenaganya dan
sekali meronta ia sudah bangun berdiri, lepas dari
rangkulannya si dara cilik yang jail. Keduanya jadi ketawa
cekikikan. sambil membereskan bajunya yang dibuka dengan paksa
oleh Hong Lui Hweshio, In Hiang berkata, "Adik Lian, kau
sudah membalas. Berarti sudah impas hutang diantara kita.
Lain kali kau tidak boleh berlaku nakal lagi."
Eng Lian ketawa manis. Ia menjawab Jenaka, "Enci Hiang,
hutangmu padaku sudah lunas. Entahlah dengan si bocah
hitam nanti akan menagih padamu. Hihi..."
In Hiang melengak. selebar mukanya jadi memerah. "Adik
Lian, kau masih belum puas dan masih menggodai encimu ?"
kata In Hiang menyusul tangannya diulur hendak mencubit si
dara cilik yang nakal. "Mana bisa pemuda bangor kurang ajar pada si Eng Lian."
kata si dara cilik seraya berkelit dari tangan In Hiang yang
hendak mencubit pipinya. In Hiang melongo. Ia tidak mengira Eng Lian demikian
nakal dan Jenaka, hampir mengalahkan Lo In kenakalannya.
Hatinya senang mendapat teman dara cilik yang Jenaka ini
dan mereka bersama-sama akan mencari jejaknya Lo In.
"Adik Lian, bukan waktunya kita berguyon. Mari kita
selesaikan tugas kita membasmi hweshio- hweshio dalam kuil
kotor ini " berkata In Hiang seraya menghampiri Hong Lui
Hweshio yang sudah tidak bernapas dan mulai membusuk
dagingnya. "Adik Lian, hweshio ini yang hendak berlaku kurang ajar
padaku tentu " kata In Hiang seraya mencabut pedangnya dan
hendak ditabaskan ke lehernya Hong Lui Hweshio.
Eng Lian lompat mencegah. "Enci Hiang, untuk apa kau
mengotori pedangmu. Lihat saja sebentar lagi juga badannya
akan hancur lumer menjadi air."
In Hiang heran mendengar perkataan Eng Lian, lalu
menanya, "Adik Lian, apa kau hanya berkelakar saja berkata demikian
" Bagaimana kau tahu badannya akan lumer menjadi air " Ah,
adik Lian, jangan kau berlebihan menggodai encimu."
"Enci Hiang, dia sudah digigit oleh Kim-coa kesayanganku."
sahut Eng Lian bangga. In Hiang tercengang. Matanya
menatap pada kawannya dengan penuh pertanyaan.
"Enci Hiang, Kim-coa ku sangat lihai. Kalau sudah
menggigit orang, dalam tempo setengah jam saja sang korban
akan lumer badannya menjadi air. Untung kita ditolong oleh
mereka. Kalau tidak. hm Apa kita masih bisa melindungi
kehormatan kita seperti sekarang " obat pemusnah yang enci
dan aku telan ternyata tidak ada gunanya, sebab buktinya kita
kena dibius juga dan tidak sadarkan diri"
"oh.. sungguh aku harus berterima kasih pada Kim-coamu,
adik Lian. Dimana sekarang ular emasmu itu " Aku ingin
melihatnya " berkata In Hiang dengan hati lega.
"Mereka sudah ada dalam rumahnya lagi, disimpan dalam
lengan baju ini." sahut Eng Lian seraya menepuk-nepuk
perlahan lengan bajunya. "Bagaimana Kim-coamu bisa keluar dari tempatnya ?"
tanya In Hiang heran. "Mungkin Tiat Ci Hweshio mengangkat lenganku dan tidak
sengaja menekan perkakas rahasia kotak ular hingga mereka
lompat melejit dan menyerang si hweshio cabul "
"oh, begitu hebat Kim-coamu itu, adik Lian. Kau kata
'mereka', memangnya ada berapa banyak ular emasmu itu ?"
"Hanya sepasang, tapi lihainya luar biasa. Aku sayang
sekali kepada mereka."
In Hiang manggut-manggut. Kemudian berkata, " obat
pemusnah yang kita telan sebenarnya sangat ampuh. obat itu
bikinan adik Lo In. selama aku merantau, belum pernah
menemukan kesulitan berkat lindungan obat itu. Tapi kalau
sampai sekarang tidak mengunjuk keampuhannya, mungkin
karena obat bius yang digunakan oleh kawanan hweshio jahat
itu istimewa atau mereka menggunakan berlebihan. Buktinya
kita rasakan asap yang kita cium menusuk hidung demikian
tajam dan menimbulkan rasa sesak di dada."
Eng Lian tidak menjawab, ia hanya mengangguk- anggukan
kepala. Dalam hati ia setuju dengan pendapat In Hiang sebab
ia juga percaya penuh akan keampuhan obat bikinan adik Innya.
Benar saja, tidak lama In Hiang nampak badannya Hong
Hui Hweshio sudah mulai berair, begitu juga dengan Tiat Ci
Hweshio. "Adik Lian, mari kita bekerja " mengajak In Hiang.
"Mari." sahut Eng Lian yang juga sudah menghunus
pedangnya seperti In Hiang.
Dua dara itu baru saja mau bertindak, tiba-tiba terdengar
suara berkerekekan dan dinding kamar kembali telah terbuka.
Dari mana telah melompat belasan kepala gundul dengan
membekal senjata dan mereka telah mengurung dua gadis
kita. Eng Lian ketawa cekikikan dirinya dikurung, bukannya
gemetar ketakutan. Dara cilik kita memang paling gemar dikerubuti musuh
daripada bertempur satu lawan satu, tidak menggembirakan.
sebaliknya In Hiang yang tegang menghadapi banyak musuh
kuat, tiba-tiba mendengar Eng Lian cekikikan ketawa, menjadi
heran dan melirik pada kawannya seperti menanya.
"Enci Hiang." kata si nona kecil. "Biar enci nonton saja. Aku
yang membereskan kawanan tak berguna ini. Pedangmu
sudah banyak makan korban, biar suruh dia mengaso "
"Budak temberang " bentak seorang hweshio yang
hidungnya seperti hidung burung kakaktua. "Kau berani buka
mulut besar di depan Cap-sha Thiw-tauw- hweshio " sungguh
rejekimu besar kalau kau dapat lolos dari kepungan Cap-sha
Thie-tauw- hweshio "
In Hiang terkejut mendengar hal tersebut. Matanya
memandang, benar saja semuanya terdiri dari tiga belas orang
kepala gundul. Cap-sha Thie-tauw- hweshio berarti Tiga belas
hweshio kepala besi. Barisan pendeta yang kepandaiannya
tertinggi diantara murid-muridnya Tiat Ci Hweshio dan jarang
maju menghadapi musuh kalau musuh tidak sangat tangguh.
Tiga belas hweshio kepala besi adalah pasukan Thian-ong-bio
yang sangat kejam dan ganas.
Melihat rombongan kepala gundul itu semua ada gagah
dan kuat, In Hiang kuatir kalau hanya Eng Lian saja yang maju
sendirian. Tapi ia tidak mau mengecewakan adik Liannya yang
sudah memberi kesanggupan akan melayani kawanan
hweshio itu. Maka ia diam saja dan hanya bersenyum ke arah
Eng Lian ketika si dara cilik mengeluarkan Hui-to (pisau
terbang) dari kayu buatannya jago cilik kita.
"Hahaha " terdengar si hidung kakaktua bekakakan nampak
Eng Lian mengeluarkan senjata rahasianya yang berupa pisau
kayu. "Kepala gundul, kau ketawakan apa ?" tanya Eng Lian
heran. "Aku ketawakan kau, nona kecil." ngeledek si hidung
belang. "Masa pisau kayu lapuk kau bawa-bawa. sebenarnya
buat apa ?" "Buat menghajar kalian, kepala gundul yang tidak tahu diri "
jawab Eng Lian. si hidung kakaktua kembali berkakakan ketawa. "Hui-to
orang menggunakan logam murni. Ini pakai kayu lapuk mau
main-main dengan cap-sha Thie-tauw- hweshio Kau benarbenar
terlalu menghina pada pasukan maut dari Thian-ong-bio
" Eng Lian ketawa nyekikik mendengar perkataan si hidung
kakaktua. "Memangnya juga nonamu memandang enteng pada
kalian. Kalau kalian dipandang sebagai lawan-lawan berat,
sudah tentu nonamu akan menggunakan pedang " kata Eng
Lian. Merasa dihina, maka si hidung kakaktua yang menjadi
kepala dari barisan maut Thian-ong-bio itu lantas kasih kode
kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.
Mereka dengan serentak menyerbu. Ruangan disitu cukup
lebar untuk pertempuran ramai, maka Eng Lian jadi gembira
melayani mereka. sejak tadi pedang Eng Lian telah
dimasukkan pula ke dalam sarungnya, hui-tonya juga sudah
dikantongi hingga si dara nakal melayani mereka dengan
tangan kosong. Untuk jangan menjatuhkan nama Cap-sha Thie-tauwhweshio,
kawanan hweshio itu juga tidak menggunakan
senjatanya untuk mengeroyok si nona. Mereka yakin dengan
tangan kosong. sudah lebih dari cukup membekuk batang
lehernya Eng Lian, termasuk In Hiang juga, kalau seandainya
si nona turun tangan. Nyata perhitungan mereka meleset, nona kecil yang
dihadapinya bukan nona sembarangan yang gampang dihina.
Dengan kelincahannya mengelak serangan, membuat tiga
belas hweshio itu kabur pemandangannya, akan tetapi mereka
tetap menggempurnya, mengandalkanjumlahnya yang
banyak.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Eng Lian demikian gesitu luar biasa, diam-diam In
Hiang memuji sambil menyungging senyuman manis.
Disamping serangan-serangannya yang hebat sekali, ternyata
kawanan hweshio itu mengandalkan juga kepalanya yang
dianggap keras bagai besi. Beberapa kali Eng Lian diseruduk
perutnya oleh kepala kawanan hweshio itu.
Pada suatu saat In Hiang terbelalak matanya, nampak Eng
LIan dalam posisi terjepit telah diseruduk oleh dua hweshio.
Tapi si nona kecil sangat gesit, begitu dua buah kepala hampir
membentur perut, ia sudah mencelat ke atas dan perutnya
terluput dari kehancuran dibentur dua hweshio yang nyeruduk
tadi, yang kehilangan sasarannya hingga dinding kamar jadi
ambrol berlubang dengan memperdengarkan suara keras.
Dua hweshio itu roboh ketiban puing dinding yang ambrol.
Kawan-kawannya menjadi beringas nampak dua kawannya
roboh. Mereka merangsek. satu kena ditendang nyungsep ke
kolong meja, satunya lagi berteriak mengaduh dadanya kena
dihajar kepalan kecil dari si dara cilik.
Musuh berkurang dua lagi. Eng Lian ketawa ha-ha hi-hi,
berputaran dikeroyok oleh kawanan kepala gundul yang
sangat beringas kelihatannya.
"Awas " tiba-tiba Eng Lian berseru. Kembali dua musuh
roboh kena ditotok jalan darah pada bagian iganya (thian-kihiat).
Total sudah enam musuh jatuh hingga kurangan
kerepotannya si dara cilik melayani musuh-musuhnya.
Mereka mulai keder melihat kekosenan si nona. Dua orang
diantaranya hendak angkat kaki, tapi sudah terlambat.
"Kau mau lari ?" bentak Eng Lian, menyusul hui-to kayunya
meluncur dan dua orang itu roboh kena tertotok jalan darahnya
pada bagian pundak. Tinggal lima orang lain tak ungkulan menghadapi si nona
yang kosen. Mereka coba mendesak Eng Lian tapi
sebenarnya mencari kesempatan untuk lari. Waktu mereka
saling susul hendak meninggalkan ruangan itu, berbareng
saling susul datangnya lima pisau kayu yang menotok jitu
pada jalan darah masing-masing hingga mereka semua dapat
dirobohkan. Eng Lian ketawa cekikikan sambil merapikan rambutnya
yang agak kusut karena bertempur barusan, kemudian
memungut pisau kayu terbangnya kembali.
"Adik Lian, hebat benar kepandaianmu " In Hiang memuji
sambil mencekal tangan si gadis yang barusan saja selesai
memungut kembali hui-tonya.
"Enci Hiang, mari kita masuk ke dalam pintu dinding yang
masih terbuka itu." mengajak si dara cilik sambil menarik
tangannya In Hiang. "Nanti dulu." kata In Hiang.
"sekarang kita apakah dua hweshio-hweshio ini ?"
"Biarkan saja, mereka toh tidak bisa lari." sahut Eng Lian.
"Mana bisa. Kita mesti bunuh habis mereka " berkata In
Hiang serius. "Dibunuh ?" Eng Lian heran. Ia ingat akan pesan Lo In
supaya jangan melukai orang.
"Ya, habiskan jiwanya semua " sahut In Hiang dengan
sungguh-sungguh. Eng Lian belum menyahut, In Hiang sudah mulai bekerja.
Pedangnya beberapa kali berkelebat, tiga belas kepala gundul
itu sudah terpisah dari. badannya.
Eng Lian berdiri melongo melihat In Hiang demikian bengis
membasmi kawanan hweshio-hweshio. Badannya tergetar dan
hatinya berdebaran karena tidak biasa ia menyaksikan
pembunuhan besar-besaran demikian.
"Enci Hiang....." ia mengeluh perlahan sambil menatap
wajahnya In Hiang yang sama sekali tidak mengunjuk tandatanda
menyesal telah melakukan pembunuhan itu. In Hiang
heran melihat Eng Lian menjadi ngeri karena perbuatannya.
"Adik Lian, apa kau baru pertama kali melihat pembunuhan
seperti ini?" tanya In Hiang.
"Enci Hiang, benar-benar kau bikin adikmu gemetaran."
sahutnya sambil mengangguk.
In Hiang tertawa terkekeh-kekeh.
"Adik Lian." katanya. "Ini masih belum apa-apa. Asal kau
melihat pembunuhan besar-besaran tempo hari oleh sucoan
sam-sat di markas cabang ceng Gee Pang dan dalam
rumahku, mungkin kau akan jatuh pingsan."
"Ah, enci Hiang, masa begitu hebat ?" tanya si dara cilik,
In Hiang lalu menutur dengan ringkas pembunuhan besarbesaran
yang dilakukan oleh sucoan sam-sat hingga bulu
tengkuk Eng Lian pada berdiri
"Aku benci pada orang-orang jahat. Maka selamanya aku
tidak mau mengampuni mereka." kata In Hiang sehabis
menutur pada Eng Lian. Eng Lian anggukkan kepalanya sambil memikirkan nasihat
Lo In untuk jangan membunuh orang kalau tidak kelewat perlu.
"Adik Lian, kemana semangat betinamu " Apakah kau rela
dihina oleh si hweshio cabul " Tidakkah kau memikirkan untuk
menumpas habis-habisan kawanan hweshio yang menjadi
anak buahnya untuk melampiaskan sakit hatimu " Ah, adik
Lian. Kita jadi wanita harus bisa menghargai diri Untuk apa
kita kasih hweshio-hweshio jahat itu hidup lebih lama "
Mendengar kata-katanya sang enci, Eng Lian terbangun
semangatnya. "Aku setuju." katanya. "Mari kita basmi kawanan hweshio
cabul itu " In Hiang bersenyum nampak Eng Lian bersemangat
dengan tiba-tiba. Mereka kemudian memasuki pintu dinding
yang masih terbuka. setelah melewati beberapa lorong dan tikungan, mereka
telah sampai pada sebuah kamar dimana terdengar beberapa
perempuan sedang omong-omong.
In Hiang menendang pintu kamar hingga terbuka. Kiranya
disitu masih ada dua hweshio yang sedang memeluk dan
menciumi dua orang wanita.
Melihat adegan itu, Eng Lian ingat dirinya yang kena dibius
oleh Tiat Ci Hweshio. Dibawah pengaruhnya obat perangsang, ia kasihkan dirinya
dipeluk dan diciumi si hweshio cabul. Pipinya dengan
mendadak saja menjadi merah saking jengah, dari merasa
jengah hatinya jadi sanat gusar. Maka seketika itu juga ia
menyerang dengan pedangnya kepada dua kepala gundul
yang sedang permainkan wanita itu Dengan hanya terdengar
dua kali suara 'sret sret' kepala dua hweshio itu sudah
menggelinding di lantai, hingga dalam kamar itu menjadi banjir
darah. Ada lima orang perempuan yang berada dalam kamar itu.
Nampak Eng Lian membunuh dua hweshio tadi dengan hanya
dua kali tabas saja, mereka jadi ketakutan dan pada jatuhkan
diri berlutut minta ampuni jiwanya.
Melihat kelakuan mereka demikian genit dikala In Hiang
dan Eng Lian memasuki kamar itu, In Hiang tidak senang
kepada mereka. Tapi mengingat bahwa mereka telah berbuat
demikian saking ketakutan dibunuh oleh kawanan hweshio,
maka In Hiang masih dapat mempertimbangkan dan
mengampuni mereka. Kiranya bukan disitu saja terdapat orang perempuan.
Karena di beberapa kamar lainnya pun masih diketemukan.
Ketika semuanya dikumpulkan terdapat dua belas orang
wanita yang sudah rusak moralnya menjadi permainan
kawanan hweshio cabul dalam kuil itu.
In Hiang kemudian mengusir mereka pergi, untuk pulang ke
masing-masing rumahnya setelah membekali uang yang
terdapat dalam kuil itu. Ternyata tidak ada hweshio lainnya, setelah In Hiang dan
Eng Lian menjelajahi semua ruangan dalam kuil tersebut.
"sekarang bagaimana ?" tanay Eng Lian pada kawannya.
"Sebaiknya kita bakar saja kuil ini." sahut In Hiang. "Aku
rasa tidak membahayakan kalau kita bakar karena jauh dari
umum. Duduknya bangunan boleh dikata mencil sendirian.
Kalau kita tinggalkan begitu saja, aku kuatir akan dibuat
sarang lagi oleh orang-orang jahat."
Eng Lian setuju. Maka setelah membenahi barang-barang
perhiasan yang berharga dan uang sebagai kekayaan dari kuil
itu, dua gadis itu lalu membakar bangunan dengan memakai
bahan-bahan yang gampang menyala. Dalam sedikit tempo
saja, bangunan yang besar itu telah menjadi makanan si jago
merah. Dekat pagi, barulah berkobarnya api mulai reda.
orang-orang disekitar tempat itu menjadi kaget Thian-ongbio
kebakaran. Mereka coba ada datang menolong sementara
itu In Hiang dan Eng Lian sudah meninggalkan kuil yang
sedang berkobar-kobar dimakan sijago merah.
Kita kembali kepada sijago cilik yang berusaha mencari dua
encinya, Eng Lian dan Bwee Hiang. Beberapa hari sudah
berlalu ia melakukan penyelidikan dalam daerah pegunungan
dimana si bocah dan si dara berpisahan. Lo In masih belum
juga dapat menemui enci Liannya. Hatinya menjadi lesu.
Dengan tidak adanya Eng Lian atau Bwee Hiang
disampingnya, Lo In merasa seperti kehilangan pegangan.
Ia wataknya sangat gembira, sering melucu untuk
kemudian ketawa bersama dengan orang yang diajaknya
melucu. Sekarang Eng Lian dan Bwee Hiang tidak ada
disampingnya. Dengan siapa ia hari-hari dapat melampiaskan
tawa dan kegembiraannya. Pada suatu lohor ketika Lo In sedang jalan dijalanan yang
tidak begitu lebar dan pada kedua tepinya dipagari oleh
rumput alang-alang yang tumbuh tinggi, si bocah wajah hitam
tiba-tiba mendengar suara kaki kuda mendatangi.
Matanya Lo In yang tajam dari ke jauhan sudah dapat
melihat yang mendatangi itu adalah dua pemuda. Lama ia
tidak suka bergurau, maka seketika timbul seleranya untuk
menggodai dua pemuda yang datang itu Cepat ia umpatkan
diri dalam gerombolan alang-alang.
Dua penunggang kuda itu, ketika mendekati tempat
mengumpatnya telah jalankan kudanya dengan perlahan
sambil bercakap-cakap diseling dengan ketawa ny a yang
tergelak-gelak hingga diam-diam Lo In mengiri melihat orang
dapat bergembira demikian rupa.
"seandainya dia ketemu kita, mana dia dapat mengenali ?"
Lo In dengar, satu diantaranya yang tuaan dari sepasang
pemuda itu berkata. "Dia matanya lihai, jangan kasih kesempatan padanya. Kita
keroyok saja. Masa kita berdua tidak bisa menang " Asal kita
bertempur dengan cermat, bagaimana juga dia lihai akan
terjungkal ditangan kita " demikian kawannya menyatakan
pikirannya. (Bersambung) Jilid 17 Lo In perhatikan orang yang bicara. Diam-diam ia kepingin
tahu siapa yang diarah oleh dua pemuda cakap itu. Ia
menggunakan kepandaiannya terabas terobos dalam
gerombolan alang-alang mengikuti dua pemuda itu untuk
mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan oleh
mereka. Ia mendengar pula yang tuaan berkata,
"Andai kata, ini masih andai kata, kalau kita dapat cekuk
batang lehernya, kau mau apakan dia ?"
"Oo, nanti aku yang kompes dia suruh dia mengaku
kemana saja dia sudah pergi."
"Kau mengompesnya dengan apa ?"
"Dengan ini "sahut kawannya seraya perlihatkan tangannya
yang dibeber. "Tapi kau jangan keras-keras menamparnya, nanti dia
marah....." Kawannya yang barusan membeber tangannya, yang
mudaan tampak menekap mulutnya menahan ketawa .Justru
ia hendak membuka mulut berkata, tiba-tiba kudanya
berjingkrak seperti kesakitan hingga penunggangnya kaget
dan cepat-cepat menahan lesnya jangan sampai sang kuda
mabur secara liar. Pemuda yang tuaan melihat kawannya repot dengan
kudanya, hingga tidak sempat membuka mulutnya bicara telah
menertawakan nya dengan enaknya.
Pada saat itulah, kudanya sendirijadi binal. Berjingkrakan,
mengangkat kaki depannya sambil perdengarkan suara
ringkikan keras. Ia jadi gugup dan cepat-cepat pertahankan
lesnya, jangan sampai kudanya merat tanpa dapat
dikendalikan. setelah kduang masing-masing sudah jinak kembali, kedua
pemuda itu saling pandang.
Tiba-tiba yang mudaan telah keluarkan suara bentakan
nyaring, "Manusia usilan, dari mana telah mengganggu kesenangan
tuan mudamu " Lekas unjukkan diri "
Mengetahui bahwa kudanya bukan sewajarnya berjingkrak
dengan tiba-tiba, kedua pemuda itu curiga bahwa orang sudah
berlaku jail. Maka setelah saling melihat sejenak, yang
mudaan tadi telah mengeluarkan bentakannya dengan
sombong. Memang itu adalah kerjaannya Lo In yang memotes rumput
alang-alang ditaruh diatas telapak tangannya kemudian ia
meniup dengan menggunakan lwekannya hingga rumput kecil
itu melesat dan menyambar pantat kuda sehingga
berjingkrakan lantaran kesakitan.
Ditunggu lama, tak kelihatan ada orang muncul, maka si
pemuda tadi sudah ulangi pula bentakannya. "Manusia hina,
kalau kau demikian pengecut, kenapa mau main-main dengan
tuan mudamu " Hm Asal tahu saja. Kalau nanti kudapatkan
kau diantara gerombolan alang-alang, akan kuhajar kau
setengah mampus " Berbareng dengan perkataannya, anak muda itu turun dari
kudanya. Ia menghunus pedangnya. Dengan pedang itu ia
membabat gerombolan alang-alang yang dilihat agak
bergoyang dan menyangka orang jail itu sedang mengumpat
disitu. Tapi lama ia membabat sana sini, kenyataannya tak ada
orang yang dimaksudkan. "sudahlah,jangan buang tempo. Mari kita lanjutkan
perjalanan " berkata temannya yang tenang-tenang saja
bercokol diatas kudanya. Mendengar perkataan kawannya, anak muda itu hentikan
usahanya lalu menghampiri kudanya lantas naik ke atasnya
dan jalankan pula kudanya dengan berendeng.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum berapa lama mereka larikan kudanya, tiba-tiba
melihat ada sesosok tubuh yang tidur melintang ditengah jalan
hingga sukar dilalui oleh kuda mereka kecuali tubuhnya orang
yang tidur melintang itu dilompati.
orang itu tidur miring dengan muka kejurusan yang dituju
oleh dua pemuda itu, maka tak kelihatan mukanya.
"Toako, kembali ada orang usilan. Mungkin orang tadi yang
mencari gara-gara kepada kita. Biarlah aku suruh kudaku
menginjak tubuhnya biar berantakan isi perutnya " terdengar
pemuda yang mudaan berkata kepada kawannya.
"Jangan, kasihan." sahut kawannya. "Kita belum tahu dia
orang jahat atau baik. sebaiknya kita jangan sekejam yang kau
hendak lakukan itu."
"Habis, bagaimana pikiran Toako ?"
"Lebih baik kita lompati saja tubuhnya, tak sudah kita cari
urusan." Kawannya tak menyahuti. Mereka terus jalankan
kudanya dengan berendeng.
Ketika sampai di dekat orang tadi yang enak-enak saja tidur
miring, mereka kedut lesnya supaya kuda melompati tubuh
orang itu. Kuda mereka berbareng melompati tubuh yang lagi
tidur itu dengan gesit sekali.
Kedua pemuda itu ketawa berkakakan, sambil jalankan
kudanya perlahan. "Toako, orang itu tak punya guna. Kalau dia ada punya
kepandaian, tentu sudah bangun barusan dan mencegat
jalanan kita. Hahaha...... eh, eh...." tiba-tiba ketawanya
berhenti dan terkejut sekali nampak kedua kaki depan
kudanya menekuk dan berlutut.
"Hei, kau kenapa Hiante " Eh, oh, kenapa lagi...?" berkata
sang toako gugup sebab kudanya sendirijuga ambruk. kedua
kaki belakangnya lemas tak dapat berdiri Penunggangnya
segera lompat turun dan memeriksa kudanya yang tak dapat
bangun lagi. sang hiante dilain pihak pun sedang memeriksa kudanya,
sementara mulutnya memaki-maki. Entah siapa yang ia maki.
Yang kedengaran dia menantang supaya si manusia usilan
unjukan diri, tampak ia gergetan sekali. Ia tidak menyangka
bahwa orang yang tidur tadi yang telah membikin kudanya
lumpuh kakinya. sebaliknya sang toako sambil berdiri telah
mengawasi orang yang tidur tadi, yang ternyata sudah
berubah tidurnya dan sekarang miring membelakangi mereka
hingga tidak kelihatan tampangnya bagaimana.
"Hiante, aku kira dia yang main gila." si toako menyatakan
kecurigaannya. "Ah, masa " Coba mari kita tanya " sahut kawannya seraya
ia jalan menghampiri orang yang lagi tidur tadi, diikuti oleh
kawannya. "Hei, manusia malas " bentaknya, ketika sudah datang
Pendekar Kembar 14 Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Pedang Kayu Harum 14