Damar Wulan 3
Damar Wulan Karya Zuber Usman Bagian 3
mahkota Kertarajasa dan telah mengekalkannya di kepala hamba, berkat
perbuatan dan kepahlawanan anak saudara dan menantu Paman pula...."
Memandang ke arah Dewi Anjasmara, "Juga kepada putri paman sendiri, yang telah
menggembirakan hati Damarwulan."
Kembali berpaling kepada Patih Logender. "Sudahkah Paman mendengar tentang
satria Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, yang sedang kami bicarakan ini?"
"Ya, sudah hamba dengar juga."
"Bagaimana hubungannya dengan Paman Patih" Benarkah keduanya anak juga kepada
Paman?" tanya Dewi Suhita menyiasati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba sendiri pun baru sekarang mendengarnya. Tetapi yang hamba
ketahui dengan pasti, baik sebelum jadi patih atau sesudahnya, Kakanda Udara
memang senang sekali mengembara ke mana-mana. Ia tiada betah
diam di rumah atau di kepatihan sekalipun setelah diangkat menjadi patih.
Malah ketika mudanya ia lama turut dengan armada di lautan dan telah
mengembara ke mana-mana, ke Malaka, Kamboja, Maluku bahkan sampai ke
India tanah Hidustan. Karena sifat pengembara itulah sebabnya ia lekas sekali
meninggalkan pemerintahan. Ia lebih suka bebas mengembara ke manamana."
Beberapa lamanya mereka berbicara tentang diri Damarwulan dan soal
ketentaraan serta perayaan dan penyambutan atas kemenangan itu, kemudian barulah
mereka bubar, pulang ke rumah masing-masing.
13. Diangkat Menjadi Raja Angabaya
Alun-alun masih ramai. Kota Majapahit seakan-akan tenggelam dalam
kegembiraan dan keceriaan. Sejak Raden Gajah dengan induk pasukannya
telah kembali dari Prabalingga membawa kemenangan, tiada berhenti-
hentinya rakyat bersuka ria. Siang malam dalam kota diadakan keramaian untuk
merayakan kemenangan itu. Bermacam-macam keramaian diadakan
sepanjang alun-alun bahkan di seluruh kota. Keraton, kabupaten dan seluruh
paseban seakan-akan bermandikan cahaya yang gilang-gemilang. Gamelan
Kala-ganjur yang termasyhur itu tiada putus-putusnya ditahuh orang, sebagai
mendengarkan kemenangan Majapahit ke dalam rongga hati seluruh rakyat.
Makin malam makin memesonakan bunyi dan iramanya, membangun dan
mengetuk-ngetuk hati putra dan putrinya.
Apalagi pada hari itu luar biasa kegembiraan rakyat, mendengar pahlawan muda
yang sangat dicintainya itu telah diangkat menjadi Ratu Angabaya dan Raden Menak
Koncar diangkat menggantikannya jadi Senapati. Apakah yang lebih menggembirakan
daripada berita kemenangan serta berita pengangkatan Raden Gajah menjadi Raja
Angabaya itu! Seluruh rakyat mencintainya serta memuliakannya karena budi bahasa
dan keberaniannya. Di mana-mana orang berkumpul, tiada lain yang jadi buah tutur
mereka, selain Raden Gajah. Yang belum mengenalnya pada hari itu sengaja datang
dari tempat jauh, semata-mata hendak melihat wajah Raden Gajah. Banyak di antara
orang yang telah mengenalnya di Majapahit, tetapi banyak yang tidak mengetahui
atau tidak mengira, bahwa dialah Raden Gajah yang dicari-cari selama ini. Raden
Damarwulan mempunyai pergaulan yang luas di kalangan rakyat, terutama
dengan para pemuda. Hanya Damarwulan atau Raden Gajah sendiri, yang tampaknya tiada
bergembira amat, malah dada sedikit juga ia terpengaruh oleh kegembiraan rakyat
yang meluap-luap itu. Ia seakan-akan acuh tak acuh saja kelihatannya akan segala
sambutan dan pujian-pujian terhadap dirinya.
"Haraplah Adinda dimaafkan...!" ujar Dewi Anjasmara sambil memandang dengan
tenang kepada Damarwulan, "sejak Kakanda kembali dari medan pertempuran tampak
Kakanda tiada bergembira benar atas segala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemenangan yang telah Kakanda peroleh. Sudilah kiranya Kakanda
menerangkan kepada Adinda. Apakah gerangan yang jadi sebabnya,
Kakanda?" Damarwulan agak terperanjat mendengar suara Dewi Anjasmara, yang
seakan-akan tiada disadarinya benar ada di sampingnya. Sehari-harian itu
sesungguhnya ia terlalu lelah, menghadiri upacara ini, upacara itu, pertemuan
ini, pertemuan itu. Setelah selesai dan setibanya di rumahnya, tiada putusputus
pula tamu dan kenalan datang mengucapkan selamat atas kemenang-
annya itu dengan hati yang setulus-tulusnya atas pengangkatannya jadi Raja
Angabaya, payung panji kerajaan Majapahit.
Setelah membalas pandangan dan menatap wajah Dewi Anjasmara dengan
pandangan yang penuh kasih sayang, Raden Damar lalu menjawab, "Yayi...!"
Kemudian terdiam pula seketika. Ternyata juga agak payah ia rupanya
memilih kata-kata, mencari jawab yang akan dapat menyenangkan hati
kekasihnya. "Sesungguhnya pada mulanya Kakanda mengira, apabila peperangan sudah selesai,
bila Blambangan telah dapat dialahkan, tugas Kakanda habislah sudah...!"
"Bukankah tugas Kakanda kepada negara sudah Kakanda penuhi dengan sebaik-baiknya
dan Seri Ratu sangat berterima kasih dan sangat memuliakan jasa serta
kepahlawanan Kakanda. Kakanda telah dianugerahi pula pangkat yang setinggi-tingginya, jadi Raja
Angabaya serta Kakanda diharapkan senantiasa dapat mendampingi Seri Ratu Suhita
sepanjang masa. Apalagi kemuliaan yang lebih dari itu!"
Berdiam diri sebentar, kemudian katanya mengajuk, "Apabila Kakanda bersedia,
sesuai dengan persatiran dan janji Seri Ratu, Kakanda akan dijadikan Mahkota
Hati sendiri...!" "Adinda!" jawab Damarwulan dengan sangat berhati-hati. "Kemenangan atas
Blambangan belumlah berarti apa-apa. Musuh Majapahit yang paling
berat dan amat rumit, bukanlah yang datang menyerang dari luar, akan tetapi
ialah yang bersarang di dalam negeri serta yang berkubu di relung hati rakyat
sendiri." Dewi Anjasmara mengangkat alisnya, menatap Damarwulan sebagai
bertanya, penuh keheranan. Damarwulan segera mengerti dan dapat
menyelami perasaan kekasihnya lalu berkata, "Apabila dipandang dari luar,
kelihatanlah Majapahit masih utuh, tetapi yang sebenarnya...."
Raden Damar tidak segera meneruskan perkataannya. Lama ia terdiam.
"Sebenarnya bagaimana?" tanya Anjasmara pula dengan tidak sabar.
"Seperti sebuah bangunan yang benar, tiang-tiangnya telah tua dan lapuk serta
dasarnya sudah tiada kuat lagi!" jawabnya dengan tenang.
"Apa maksud Kakanda?"
"Kepercayaan rakyat sudah binasa, Adinda, sudah sulit memperbaikinya.
Selain hati mereka telah rusak, karena selalu mencerminkan perbuatan yang
menyakitkan hati serta menjauhkan kepercayaan mereka kepada petugas-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
petugas dan pembesarpembesar negara. Kesetiaan rakyat tiada dapat
diharapkan lagi." Anjasmara menatap suaminya, sebenarnya ia belum dapat menangkap
maksud pembicaraannya itu dan Damarwulan merasakan benar hal itu sebab itu
ujarnya, "Kakanda Seta dan Kumitir sendiri...!"
"Sekarang keselamatan Majapahit tergenggam dalam tangan Kakanda,
sebagai Raja Angabaya. Seperti dikatakan oleh Seri Ratu, Baginda. Seri Ratu
niscaya tiada berdaya dengan tiada Kakanda. Di tangan Kakandalah
sesungguhnya terletak keselamatan dan harapan seluruh Majapahit. Kakanda harus
bertindak dengan tegas. Tentu terang Adinda katakan, terhadap siapa saja, demi
keselamatan negara, baik terhadap saudara sendiri...."
"Karena pengharapan yang tertumpah atas diri Kakanda itulah
sesungguhnya Kakanda sangat meragukan kesanggupan Kakanda. Kakanda
tahu rakyat sangat menderita!" jawabnya pula.
Kemudian keduanya berdiam diri pula beberapa lamanya.
"Tidak, Kakanda! Kakanda tidak boleh meragukan kemampuan diri Kakanda sendiri.
Rakyat harus ditundukkan dengan kekerasan dan Mahkota Majapahit harus
diselamatkan...!" "Kekerasan! Musuh dapat dilawan dan ditundukkan dengan kekerasan, tetapi rakyat
tidak, Adinda! Tidak dapat dan Kakanda tidak akan
mempergunakan kekerasan kepada mereka yang lemah dan sebaliknya selalu
mengharapkan perlindungan. Aku sendiri adalah dari kalangan rakyat Adinda!
Aku lebih mengerti jiwa mereka seperti meyakini diri sendiri. Terus terang aku
katakan, penderitaan mereka adalah penderitaanku."
Damarwulan berdiam diri pula seketika, sebagai hendak meresapkan arti
kata-katanya yang terakhir itu.
"Harus Adinda ketahui, Kakanda bersedia menjadi Raja Angabaya hanya dengan suatu
pertimbangan yang bulat, untuk kepentingan rakyat. Karena merekalah aku berjuang
dan Kakanda dididik dan dibesarkan di tengah-tengah keluhan dan penderitaan
rakyat." "Bagaimana tentang keinginan, bahkan telah menjadi impian Seri Ratu agaknya,
akan mendudukkan Kakanda di sisi Seri Ratu supaya dapat
memelihara Majapahit bersama-sama...?" ujar Dewi Anjasmara.
"Adinda...!" jawab Damarwulan dengan senyum masam, tetapi penuh arti.
"Rongga jiwa Kakanda, sayang, sudah terisi, tiada lagi mengharapkan yang lain,
tegasnya selain cinta kasih Adinda sendiri."
Dewi Anjasmara tersenyum pula menampil senyum Damarwulan yang
kedengaran seakan-akan mengejek.
"Kakanda selalu mengatakan, bahwa kepercayaan rakyat sudah terpecah-pecah
sekarang. Tidakkah kewajiban seorang kesatria untuk mempersatukan kepercayaan
yang pecah-belah itu kembali demi keutuhan Majapahit!?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Adinda, sekali lagi tidak! Kepercayaan atau keyakinan adalah hak pribadi
tiap-tiap orang, tidak dapat dipaksa dan tidak mungkin ditundukkan apalagi
dengan kekerasan." "Selanjutnya ingin pula Adinda mengetahui, siapakah sebenarnya Sang Pendeta
Tunggul Manik itu"!"
"Kakanda belum dapat kepastiannya, tetapi ternyata sangat mencintai dan membela
Majapahit, terlebih-lebih sangat memuliakan Seri Ratu!"
"Sepatutnyalah, Kakanda, kita selalu berterima kasih ke hadapan Gusti yang
Mahasuci! Kita selalu dikurniai perlindungannya serta dilimpahi kebahagiaan....
Akan tetapi Kakanda...."
Dewi Anjasmara terdiam pula. Kemudian dengan mendekatkan mukanya
kepada Raden Damar sebagai berbisik, katanya, "Pastilah Sang Pendeta bukan orang
lain bagi kita, jangan-jangan Pamanlah Atau... Ayah Kakanda sendiri!"
Damarwulan menatap wajah istrinya dengan pandangan yang mengandung
seribu makna serta menyinarkan bermacammacam pengharapan.
Sesungguhnyalah ia sendiri ingin sekali hendak berjumpa dengan Ajar Suci yang
bijaksana itu. Ia merasa selalu dipayungi oleh restu serta
perlindungannya. Segera pula ia teringat akan pesan Ajar Tunggul Manik, lalu
katanya, "Kakanda segera akan menyuruh Paman Sabda dan Paman Naya ke Paluh Amba,
akan menyampaikan persembahan Kakanda kepada Bunda dan
Kakenda Maharesi. Keduanya harus segera diberi tahu!"
"Adinda berpendapat juga demikian. Tentu Bibi Nawangsasth senantiasa dalam
kekhawatiran tentang Kakanda. Ketika Kakanda berangkat ke
Blambangan beliau dalam sakit. Apalagi mendengar berita yang bermacam-
macam tentang diri Kakanda, jangan-jangan Bibinda sangat berduka cita."
Keduanya berdiam diri pula. Malam telah bertambah larut.
Jalan-jalan sudah mulai sepi. Keriaan dan keriuhan kota telah berganti dengan
kesunyian dan ketenangan. Hanya prajurit pengawas yang masih
berjalan dengan lesu dan perlahan-lahan atau berdiri di muka gardu
penjagaannya sampai waktunya digantikan oleh prajurit yang lain.
"Bagaimana pikiran Kakanda tentang Ayahanda dan Kakanda Layang Seta dan Layang
Kumitir..- " tanya Dewi Anjasmara.
"Itulah yang selalu menjadi pemikiran Kakanda. Kakanda sendiri sudah menetapkan
dalam hati Kanda, tidak akan menuntut segala perlakuan mereka terhadap diri
Kakanda sendiri, apa lagi Paman Patih dalam hal ini sebenarnya tidak apa-apa.
Beliau dipengaruhi oleh Kakanda kedua itu. Jika sekiranya Paman Patih hadir
dalam sidang kedua di bangsal niscaya beliaulah yang akan diangkat menjadi wakil
keratuan di Suwarnabumi, tetapi datang berita, Paman dan Kakanda keduanya telah
meninggalkan Majapahit.... Kakanda menghadapi soal yang serba sulit."
"Hal itu janganlah menjadi buah pikiran Kakanda. Adinda mengerti watak Kakanda
Seta dan Kumitir dan Adinda yakin seperti kata Kakanda sendiri, kebenaran itu
akan tetap menang dan unggul." -
Adapun Raden Damar sekembalinya dad Prabalingga di tengah jalan
pasukannya dihadang oleh rombongan pengacau, yang diduga dipimpin dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diatur oleh Layang Seta dan Layang Kumitir sendiri dan rupa-rupanya dengan
setahu parnannya pula, Patih Logender. Soal itu tentu menjadi buah pikiran bagi
Damarwulan yang senantiasa memaksanya bertindak dan berlaku
waspada. 14. Kedengkian Menyalakan Api Dendam yang Tak Padam-Padam
Orang-orang Layang Seta dan Layang Kumitir tiada berhasil membunuh
Damarwulan dalam perjalanan pulang dad Blambangan. Keduanya telah
membuat siasat jahat akan membinasakan Raden Damar dengan pengiring-
pengiringnya. Tetapi daya upaya mereka tidak berhasil
Mereka belum berputus asa. Bertiga dengan Patih Logender, mereka
mengatur siasat, menghasut rakyat pesisir, terutama Pesisir Utara dan dari sana
keduanya akan terus ke Sulebar di Suwarnabumi.')
"Bagaimana, Ayah, hubungan Sulebar dengan Majapahit?" tanya Kumitir, ketika
mereka bermalam di suatu desa dekat Ampel.
"Sulebar tempat rempah-rempah. Bandarnya ramai salah satu pelabuhannya juga
menghadap ke mulut kuala Selat Sunda Kelapa dalam sebuah teluk yang permai di
Suwarnabumi. Negerinya kaya raya. Seandainya Majapahit berhasil merebut ujung
kulon Jawadwipa, niscaya Majapahit bertambah kuat dan jaya.
Tetapi amat sayang, hubungan Majapahit dengan Pajajaran tak dapat
diperbaiki lagi, berhubung dengan peristiwa Bubat yang menggoncangkan itu."
"Ya, kami perlu mengetahui latar belakang peristiwa Bubat itu. Jika perlu kami
akan menghasut sekalian musuh Majapahit," ujar Layang Seta pula dengan geramnya.
"Sebelum sampai ke Sulebar Ananda akan menyinggahi tempat itu, sepatutnyalah
kami mengetahui sejarah serta hubungannya
dengan Majapahit. Buat sementara sebagai siasat kita akan berkawan dengan
sekalian musuh Majapahit."
Patih Logender tiada dapat cepat menjawab. Banyak persoalan yang
menyerang ingatannya. Sesungguhnya ia telah lama menyangsikan
kesanggupan dan kemampuan kedua orang anaknya itu. Tiap-tiap usahanya
selalu diikuti kegagalan serta kekecewaan atas dirinya. Ia sendiri
sesungguhnya sangat menyesal meninggalkan Majapahit dan menurutkan
kemauan kedua orang anaknya, yang selalu menurutkan hawa nafsu dan
dendam kesumat. Apalagi bila diingatnya putrinya sendiri, Dewi Anjasmara...
dan Raden Damar keponakannya yang sedang berbintang terang cemerlang.
Lama ia termenung. "Jalan yang lain, Ayah, tak ada, selain kita terpaksa meniup bara permusuhan
yang masih bernyala di hati para bupati dan raja-raja di seluruh Jawadwipa dan
Suwarnabumi. Kami telah mengirim orang pula kepada Bupati Bintara dan bagaimana
juga, boleh dikatakan, penduduk Pesisir Utara
seluruhnya menyokong kita," demikian desak Layang Seta selanjutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana Dewi Anjasmara, saudaramu sendiri!" sahut Patih Logender terharu dan
agak bimbang. "Kita bukan memusuhi dial" jawab Layang Seta dengan pendek.
"Damarwulan pun sepupumu, bukan?"
"Mana yang Ayah pentingkan, anak sendiri atau keponakan Ayah yang tak tahu diri
itu!" jawab Layang Kumitir pula.
"Dia telah menjadi suami adikmu, telah jadi iparmu!"
"Hal itu jangan Ayah bicarakan juga. Aku ingin berkuasa habis perkara. Atau
Majapahit runtuh sama sekali...," jawab Layang Seta, "dan Ayah harus menurut
kemauan kami.... Ayah jangan lupa, kita telah membuat perjanjian dengan orang-
orang dari Pesisir Utara!"
"Baiklah," jawab Patih Logender mengalah dan lesu.
"Ketika Prabu Hayam Wuruk menduduki singgasana baginda masih muda sekali.
Baginda tergila-gila melihat wajah seorang putri Sunda, putri raja Pajajaran."
"Di mana Prabu berjumpa dengan putri itu?" tanya Kumitir.
"Sang Prabu belum pernah bertemu muka dengan putri itu, hanya melihat lukisannya
yang sengaja ditulis oleh seorang seniman. Baginda segera
melahirkan keinginan beliau hendak mempersunting putri Parahiyangan itu.
Lalu dikirimlah utusan ke tanah Sunda dan tentu saja pinangan itu diterima.
Malah Raja Pajajaran amat berbesar hati dan bangga putrinya akan menjadi
permaisuri seorang raja besar, yang menguasai hampir seluruh Nusantara."
"Belumkah Prabu mempunyai permaisuri pada waktu itu?" tanya Layang Seta menyela.
"Tentu belum," ujar Patih Logender pula meneruskan ceritanya. "Karena itulah
kemudian timbul salah paham antara keluarga keraton serta orang besar kerajaan.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pajajaran dipandang sebagai suatu kerajaan kecil sedang Majapahit sebuah
kerajaan besar. Salah paham terjadi, karena orang Pajajaran merasa terhina
dengan perlakuan Majapahit yang sedemikian itu. Itulah sebab
musababnya terjadi peristiwa di Bubat itu."
"Serta bagaimana pulakah hubungan Majapahit dengan Suwarnabumi?"
tanya mereka. "Suwarnabumi atau Suwarnadwipa suatu negeri tua seperti Jawadwipa mungkin lebih
tua dan mempunyai sejarah yang hampir bersamaan pula. Baik dari pihak raja-raja
di Suwarnabumi maupun dari pihak raja-raja Jawadwipa telah berkali-kali
diusahakan kerja sama yang lebih erat atau persatuan, tetapi adaada saja
halangannya." "Apakah yang menjadi halangan itu, Ayah?" tanya Layang Kumitir.
"Di antaranya perbedaan kepercayaan dan perlainan kebiasaan, adat istiadat.
Agama atau kepercayaan yang dianut oleh rakyat sekarang ini sudah tak dapat
mengikat rakyat lagi, karena salah kaum agama sendiri."
"Apa maksud Ayah?" tanya Layang Seta, agak keheranheranan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ananda lihat sendiri, Brahmana dan pendeta bukan lagi membaca ajaran suci dari
kitabnya, tetapi semata-mata menjadi alat akan menyampaikan
perintah dan keinginan ... atasannya. Mereka mudah disuap untuk membodoh-bodohi
rakyat. Seperti Ananda saksikan sendiri kehidupan penduduk desa ini dan orang-
orang dari Utara sangat berbeda. Begitu pula kebiasaan,
kepercayaan dan masyarakat Suwarnabumi dengan kehidupan orang
Majapahit. Sudah beberapa lama kita bersembunyi di sini, tidakkah tampak oleh
Ananda perbedaan pribadi dan pekerti mereka?"
Keduanya terdiam beberapa lamanya, kemudian Layang Seta berkata pula,
"Keterangan Ayah ini amat penting artinya dalam mencapai jalan untuk
penyelenggaraan tujuan kita_ Sepeninggal kami ke Sulebar, Ayah hendaklah pergi
mengunjungi daerah Utara, terutama Bupati Bintara, untuk meminta bantuan
mereka." "Bagaimana hubungannya dengan Sulebar?" tanya Kumitir sekali lagi, "tadi belum
lagi Ayah jelaskan._.!"
"Seperti telah Ayah terangkan, Suwarnabumi sebelah Selatan itu telah lama di
bawah pengawasan Majapahit. Pamanmu sangat mengenal daerah itu,
karena is berulang kali mengunjunginya dan menetap di tempat itu." Patih
Logender terdiam pula seketika berpikir-pikir, kemudian katanya, "Jika tidak
salah yang memegang kekuasaan sekarang di Sulebar bukan orang lain, anak pamanmu
sendirilah." "Anak Patih Udara, Ayah?" tanya Layang Seta, agak bimbang dan heran.
"Benar!" "Kalau begitu saudara si Damar!" seru Kumitir.
"Sulit juga...!"
"Mengapa sulit," jawab Layang Seta. "Adakah mereka kenalmengenal, Ayah?"
"Ayah kira belum! Karena...." Ayahnya terdiam, berpikir. "Karena apa, Ayah?"
tanya Kumitir. "Hal itu rapat bertalian dengan rahasia pribadi pamanmu, Patih Udara masa
mudanya." "Bagaimana pula dengan kerajaan Pertiwi di pusat Suwarnabumi itu, Ayah?"
tanya Kumitir. "Kerajaan Sang Pertiwi merupakan negeri anal yang teramat tua yang masih
memperlihatkan keasliannya, menurut bahasa mereka disebut kerajaan Bunda
Kandung. Hubungannya luas sekali dan penduduknya tiada senang diam dari dahulu
kala, suka merantau ke mana-mana, karena itu banyak
cendekiawannya yang mempunyai akal seribu daya."
"Bagaimana pula hubungannya dengan Majapahit?" tanya keduanya.
"Pembesar Majapahit pernah dikirim mengajak patihnya berunding. Akan tetapi
ketika diketahuinya, pembesar Majapahit telah menyiapkan serta
diiringkan bala tentara yang amat besar jumlahnya, mereka segera membuka
.perundingan dengan kerajaan Pasai yang bermusuhan dengan Majapahit.
ltulah pangkal kegagalan Gajah Mada hendak mempersatukan Suw-arnabumi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan Jawadwipa. Kerajaan Bunda Kandung atau kedatuan Sang Ibu Pertiwi itu
sejak itu mulai menjadi pusat Islam, sangat dipengaruhi oleh Pasai."
"Bagaimana jalannya Majapahit berhasil mengalahkan Sriwijaya, Ayah?"
tanya Kumitir setelah berdiam diri seketika.
"Bukankah sebenarnya Sriwijaya yang besar itu ada bertalian darah juga dengan
kedatuan Ibu Pertiwi itu?"
Patih Logender berdiam diri seketika, kemudian katanya, "Kedatuan Ibu Pertiwi,
seperti telah diceritakan merupakan negeri asal yang tua, dari sanalah pada
mulanya asal keturunan raja-raja Melayu dan Sriwijaya. Sejak dari masa
pemerintahan Kartanegara di Singasari karena hubungan perkawinan kerajaan Melayu
itulah kemudian yang menjadi kerajaan Dharmasraya yang kemudian berpusat di Si
Guntur, yang telah berhasil dengan bantuan Majapahit
mengalahkan Sriwijaya yang agung itu."
"Bagaimana caranya, Ayah?" tanya Layang Seta pula.
Patih Logender tidak segera menjawab. Dirasakannya benar suasana
Majapahit pada waktu yang akhir-akhir itu tidak ubahnya pula dengan akhir
kebesaran Sriwijaya sebelum mengalami keruntuhannya. Selain kegoncangan yang
terjadi di kalangan kepercayaan rakyat terhadap penguasa, baik
penguasa di bidang agama baik di bidang pemerintahan, yang terutama
perebutan kekuasaan dan perpecahan di lingkungan istana. Sekaliannya
seakan-akan memberi kesempatan yang baik kepada kepercayaan yang
baru.... "Cobalah jelaskan, Ayah!" desak Kumitir.
"Kedatuan Sriwijaya memang sudah sangat tua, tiangtiangnya telah mulai lapuk
dasarnya tidak kuat lagi, terutama kepercayaan rakyat telah goyah...,"
sahut Patih Logender. Tengah mereka asyik berbincang-bincang itu beberapa orang yang mereka
suruh menyiapkan perahu telah pulang, membawa kabar bahwa dinihari
berikutnya mereka akan mengangkat sauh.
Dalam rencana mereka Patih Logender tidak akan turut dalam kunjungan ke Sulebar
dan Ujung Kulon Jawadwipa. Ia sendiri dari Ampel akan pergi ke Leren, Giri,
berjalan darat sepanjang pantai serta akan lebih cepat tiba di Bintara.
"Mohon restu, Ayah!" ujar Seta dan Kumitir, ketika keduanya akan berpisah dengan
orang tuanya. "Ingatlah Ayah, sekalian musuh Majapahit dan orang Utara menjadi
teman dan penolong kita!"
15. Usaha Memakmurkan Negeri dan Membela Rakyat
Berbilang bulan telah berlalu...! Banyak peristiwa sudah terjadi, menuju saat
pembaruan dan perubahan. Yang usang dan lapuk telah bertukar dan berganti,
dibina serta diperbarui dan yang jebol sudah pula diperbaiki. Tampaklah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kecintaan dan kepatuhan rakyat kepada ratunya. Terutama Damarwulan
pandai sekali mendekati dan menarik hati rakyat. Tak berhenti-hentinya is
berusaha memimpin dan menuntun rakyat, demi kemajuan dan kesejahteraan mereka
sendiri. Paseban selalu saja ramai. Pada saat-saat yang telah
ditetapkan Damarwulan sendiri muncul di tengah-tengah orang banyak,
memberi contoh dan teladan, penerangan dan pengajaran tentang tugas dan
kewajiban bernegara dan bermasyarakat. Semua golongan senang berhadapan dengan
dia, yang lemah dilindunginya dan yang bodoh dibimbing serta
dituntunnya. Yang pandai didekatinya dan diajaknya berunding serta bekerja
bersama-sama dalam membela kepentingan rakyat dan berusaha untuk
memajukannya. Sekaliannya turut membantu, baik yang beragama Hindu
Syiwa atau Buddha, baik yang menganut kepercayaan apa pun. Maupun
orang-orang dari Pesisir Utara yang menganut kepercayaan baru mendapat
kemerdekaan seluas-luasnya.
Damarwulan sendiri tak dapat diceritakan betapa girang hatinya serta
betapa giatnya berusaha, sehingga besar sekali tampak perubahan di seluruh kota
Majapahit, bahkan di seluruh wilayah kerajaan.
Apalagi setelah pamannya, Patih Logender, kembali ke Majapahit, tak ada lagi
yang dikhawatirkannya. Sekalipun Patih Logender tidak lagi turut dalam
pemerintahan, ia tetap berbesar hati, karena Seri Ratu telah memberi kurnia
secukupnya untuk jaminan kehidupan pamannya itu. Ternyata menurut
pandangan dan keputusan Ratu Suhita sendiri, pamannya tidak tersangkut dalam
peristiwa kedua orang anaknya. Sekalipun Damarwulan telah
mengetahui, bahwa Layang Seta dan Layang Kumitir, seperti keterangan Patih
Logender sendiri, telah melarikan diri dan ada di Sulebar, ia tidak akan
menuntutnya lagi asal saja ia tidak datang mengganggu ke Majapahit. Segala
pembicaraannya dengan kedua orang anaknya serta bagaimana rencana
Layang Seta dan Layang Kumitir tentu dirahasiakannya sungguh-sungguh. Ia seakan-
akan tidak tahu-menahu dengan keberangkatan anak-anaknya itu.
Memang Logender sangat pandai bersandiwara.
"Kakanda terlalu sibuk benar akhir-akhir tegur Dewi Anjasmara, sambil duduk di
samping suaminya. "Bagaimana keadaan di pertapaan-pertapaan yang Kakanda
kunjungi?" "Ah, tidak ... Adinda," sahut Damarwulan, menatap wajah istrinya. "Kakanda
berterima kasih kepada dewa-dewa, sekalian yang Kakanda jumpai dalam
perjalanan sangat membesarkan hati. Suasana di desa membayangkan
harapan baik pada zaman mendatang."
"Bagaimana tampaknya penghidupan orang desa?" tanya Anjasmara pula dengan penuh
perhatian. "Menyenangkan sekali, Adinda, malah dapat dikatakan sangat
menggirangkan!" "Menggirangkan bagaimana?"
"Dengarlah Kakanda kisahkan bagaimana terasa dekat kecintaan rakyat kepada
tentara Majapahit sekarang," ujar Damarwulan. "Karena banyak tempat pertapaan
yang harus dikunjungi dan tempat-tempat itu berjauh-jauhan letaknya, kami terus
memilih kuda yang sekencang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kencangnya di Majapahit. Aku menaiki seekor kuda hitam, Langlayang
namanya dan Senapati memilih seekor kuda putih, Jalurang."
"Yang lain bagaimana serta berapa orang pengiring Kakanda?" sela Anjasmara pula.
"Sekaliannya naik kuda, dua belas orang jumlahnya dengan kami."
"Lalu?" desak Dewi Anjasmara, ingin lekas mengetahui kisah perjalanan itu.
"Kepada Senapati telah aku beri tahukan supaya kami berpakaian biasa saja. Akan
tetapi...," Damarwulan berhenti pula. Dari wajahnya kelihatan ia teringat
sesuatu peristiwa yang lucu tetapi menyenangkan.
"Akan tetapi bagaimana?"
"Kesepuluh pengiring kami tentu berpakaian kesatria belaka, karena Kakanda lupa
memberitahukan kepada mereka untuk berpakaian biasa saja
seperti kami." "Mengapa pada waktu akan berangkat mereka tidak disuruh mengganti pakaian mereka
kembali?" "Tidak sempat lagi! Kami harus berangkat menurut rencana yang telah ditetapkan,
jika tidak tak dapat pula kami kembali pada waktunya," sahut Damarwulan.
"Tadi pun kalau Adinda tiada keliru,
Kakanda terlambat dari biasanya," ujar
Dewi Anjasmara menyiasat.
"Sesungguhnya tidak! Nanti Kakanda
jelaskan...." "Lalu apa yang terjadi dalam
perjalanan, Kakanda?"
"Tentu akibatnya, karena kami
berpakaian biasa, di manamana rakyat
menyambut pengiring kami yang berpakaian
kesatria itu." "Serta bagaimana terhadap Kakanda dan
Senapati?" "Bagaimana lagi, kami hams menerima
perlakuan sesuai dengan pakaian yang
melekat di badan kami. Perwira dan prajurit
yang jadi pengiring kami dthormati dan
dielu-elukan sepanjang jalan dan ke mana
mereka pergi, sebagai kesatria dan
pahlawan Majapahit. Tahukah Adinda sekarang, bagaimana hati rakyat
mencintai prajuritnya pada umumnya dan kesatria khususnya, lain dari
pandangan dan sambutan mereka terhadap prajurit yang dahulu?"
"Bagaimana lainnya?" tanya Dewi Anjasmara.
"Berlain sekali!" jawab Raden Damar. "Sebelum aku ke kota, Adinda tahu Kakanda
dibesarkan dan tinggal di desa. Pada waktu itu kalau ada prajurit atau tentara
yang masuk ke desa, anakanak habis berlarian menyembunyikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri dan perempuanperempuan segera menutup, mengunci atau memalang
pintunya. Negeri, kampung atau desa seperti dialahkan garuda, karena rakyat
ketakutan. Tetapi sekarang tidak lagi, mereka merasa bangga menyambut
prajurit-prajurit, karena mereka yakin prajurit-prajurit Majapahit sekarang
bercita-cita dan berusaha membela rakyat, betul-betul mereka telah dianggap jadi
pagar negeri." Dewi Anjasmara tersenyum bangga, kemudian katanya menggoda, "Akan tetapi Kakanda
sendiri, menurut cerita Kakanda tadi, tidak ikut merasakan penghargaan atau
penyambutan itu. Bukankah begitu, karena pakaian yang Kakanda pakai?"
"Memang!" jawab Dam ulan, "tetapi aku merasa mat bangga telah dapat
mengembalikan kepercayaan rakyat yang telah hilang selama ini; kepada
prajuritnya terutama!"
"Bagaimana pula sambutan para ajar dan pendeta di pertapaan?"
"Baik ... baik sekali! Biasanya rombongan kami dari desa diiringkan oleh orang-
orang desa dan anak-anak ke pertapaan beramai-ramai. Ketika itulah orang desa
mengetahui siapa kami."
"Bagaimana caranya?" tanya Anjasmara.
"Ketika tiba di desa, orang kampung seperti telah dikatakan amat
dipengaruhi oleh pakaian prajurit-prajurit kami dan kami dikiranya sebagai
cantrik-cantrik, kebayan atau lurch desa yang menjadi penunjuk jalan saja.
Buktinya pengiring-pengiring kami di desa mana pun kami berhenti senantiasa
disuguhi air nira, tuck atau seguir atau sekurang-kurangnya air kelapa muda,
tetapi aku dan Raden Menak Koncar... sedih... sedih... sedih sekali," ujar
Damarwulan. "Kakanda kedua disuguhi apa saja?" tanya Anjasmara.
"Disuguhi air di batok kelapa juga tetapi air sumur biasa saja."
"Memang sedih benar kalau begitu!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Tetapi tidakkah
ada di antara prajurit Kakanda itu yang memberitahukan kepada orang-orang desa
keadaan hal yang sebenarnya."
"Tentu tidak, Adinda! Sesuai dengan perintah atasan dan peraturan yang telah
dibuat sebelum berangkat. Seseorang harus tunduk kepada atasan, tidak boleh
membantah dan harus menerima seada-adanya, apa yang dikemukakan
orang desa dalam perjalanan itu."
"Lucu sekali," ujar Dewi Anjasmara. Keduanya tersenyum.
"Tadi Kakanda katakan sambutan di pertapaan baik sekali. Bagaimana pula
pengalaman Kakanda dan Raden Menak Koncar di sana?"
"Sambutan para ajar serta para pendeta lain sekali. Mereka seolah-olah tidak
memihak yang lahir, tetapi langsung melihat ke dalam. Mereka tidak mempergunakan
pandangan orang biasa lagi, tetapi sebaliknya dengan
pandangan cendekiawan yang mahabijaksana. Di sana kami dijamu dengan
kata-kata hikmat serta firman-firman kedewaan, yang tak terpahami oleh telinga
orang biasa. Di pertapaan-pertapaan itu kami tidak lama, sekadar mendengar
keinginan atau menerima usul para pendeta untuk keselamatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agama dan negara.... Setelah mendapat ucapan restu, kami lalu berangkat pula.
Ketika akan berangkat itulah rupanya orang banyak atau rakyat desa mengetahui,
siapa kami kedua, karena dalam mantra restu yang diucapkan Sang Pendeta, sesudah
menyebut nama Seri Ratu, lalu menyebut nama Raja Angabaya dengan Senapatinya
dengan suara yang merdu. Mantra restu itu
ringkasnya berisi pengharapan, mudah-mudahan para Dewa selalu
membimbing Majapahit dengan perantaraan Seri Ratu Dewi Suhita dan tangan
kanannya Raja Angabaya, Kakanda sendiri yang dipercayakan memegang
segala urusan kenegaraan dan tangan kiri Kakanda, Senapati, yang
memegang urusan pertahanan dan ketentaraan. Demikianlah kami
mengunjungi tiap-tiap desa dan tiap-tiap pertapaan."
Setelah membicarakan keadaan desa dan pertapaan, juga mereka
membicarakan rencana pembangunan dan perbaikannya.
"Tentu ada lagi pengalaman Kakanda yang lain, sampai terlambat tiba di rumah
sendiri!" ujar Dewi Anjasmara.
"Ah, itu yang Adinda maksud. Sesampai di luar kota, Kakanda singgah dahulu di
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedesaan Ayahanda." Patih Logender seperti telah diceritakan setelah mengunjungi Bintara segera
kembali ke Majapahit. Apa yang dilakukan selama itu sangat dirahasiakan tak
seorang pun yang tahu selain kedua orang putranya. Kemudian dengan suatu helah
pula ia diperkenankan mengundurkan diri dan tinggal di luar kota.
"Kakanda mula-mula agak terperanjat, karena bersua dengan orang banyak dari
Pantai Utara datang menghadap Paman, eh, Ayahanda!"
"Orang-orang dari Utara! Apakah urusannya dengan Ayah?"
Damarwulan tidak lekas menyahut. Dalam ingatannya ketika itu timbul pula suatu
pertanyaan, yang sebenarnya dari tadi itulah yang dipikir-pikirkannya, sebelum
Dewi Anjasmara datang bertanyakan tentang perjalanannya itu.
Kemudian ia berkata, "Karena tergesa-gesa dan karena takut akan terlambat sampai
di rumah tiada Kakanda perhatikan benar dan tak sempat pula
menanyakannya kepada Ayahanda."
"Tidakkah pernah Kakanda mencurigai orang-orang dari Pantai Utara itu"
Sepanjang penglihatan Adinda sendiri, pada waktu akhir-akhir banyak benar mereka
dalam kota Majapahit," ujar Dewi Anjasmara bersungguh-sungguh.
"Kecurigaanku tentu ada, akan tetapi terhadap Paman, ayah Adinda sendiri
pertimbangan Kakanda berlain, Dewi!" jawab Damarwulan dengan tegas.
"Tetapi tentang itu baiklah kita pikirkan kemudian. Yang sangat Kakanda
pentingkan dan sangat mengharapkan dorongan batin Adinda, ialah tentang
pembangunan Majapahit kembali! Bagaimana pertimbangan Adinda?"
"Pembangunan dan keselamatan negara harus sama-sama kita pikirkan, Kakanda!"
ujar Dewi Anjasmara dengan nada kecemasan. "Mata hati Adinda merasa dan melihat
matahari pembangunan di Majapahit bercahaya dan
bersinar amat terang menyilaukan mata, tetapi Adinda selalu
mengkhawatirkan pula jangan-jangan seperti sinar surya di waktu petang menjelang
senja, hanya sekadar menanti gelap malam turun merundung...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana kesudahannya jangan kita pikirkan, Adinda, terserah ke dalam tangan
para dewa. Dewa-dewa yang mengatur dan dewa-dewa pula yang
kuasa melenyapkannya," jawab Damarwulan dengan pendek.
"Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir bagi Adinda selalu menjadi pertanyaan
dalam hati, siang dan malam!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Adinda mengenal pekerti
dan watak keduanya dan Ayahanda sangat mencintainya...."
16 Panji Wulung Kedatangan Tentara
Ada yang giat membangun, dan ada pula yang lebih giat meruntuh!
Bagaimana perjalanan Layang Seta dan Layang Kumitir sampai ke Sulebar, tidak
perlu diceritakan semuanya di sini. Karena tempat-tempat yang akan
'dikunjunginya itu telah dipelajari dan diketahuinya belaka dengan saksama,
mudah juga keduanya mendapat bantuan. Berbagai-bagai berita dan
kebohongan yang telah mereka siarkan, untuk memburukburukkan Majapahit serta
memfitnahkan Damarwulan. Keduanya tidak malu-malu menyiarkan
berita, sebenarnya yang mengalahkan dan yang telah menewaskan Menak
Jingga mereka berdua bersaudara bersama-sama seorang satria yang sudah tewas.
Dalam suasana sedang menghebat dan pertempuran masih berjalan,
sekonyong-konyong muncullah seorang kelana muda dengan orang-orangnya
yang terjadi dari kaum petualang belaka. Dengan tidak diduga-duga kelana yang
tak tentu asal usulnya itu, dengan akal dan siasat yang licik dapat menguasai
suasana. Ada yang menceritakan ia berasal dari anak tukang arit, ada pula yang
mengatakan keturunan perampok yang telah lama menantinanti kesempatan dan
berusaha menangguk di air keruh. Sehingga mereka yang
sebenarnya yang membunuh Menak Jingga, buat sementara terpaksa
meninggalkan Majapahit. Demikian pula orang tuanya. Patih Logender,
terpaksa meninggalkan kedudukannya karena beliau tak bersedia bekerja
dengan penipu dan perampok yang tak tentu asal usulnya itu.
Untung mujur bagi keduanya, Raden Panji Wulung sama sekali belum kenal akan nama
Damarwulan bahkan tentang ayahnya sendiri is hanya
mengetahuinya dari keterangan bundanya. Bundanya senantiasa menceritakan bahwa
yang jadi patih di Majapahit sekarang ialah "pakciknya" sendiri, Patih Logender,
ketika diketahuinya Layang Seta dan Layang Kumitir adalah anak pamannya anak
Patih Logender, tak dapat dikatakan betapa terharunya. Ia berjanji akan membantu
pamannya dan bersedia hendak mengembalikannya
kepada kedudukannya dan membela Majapahit dan akan datang sendiri
mengusir kelana itu, beserta kelengkapannya.
Adapun bunda Panji Wulung, putri tunggal Ratu Sulebar, dan ketika itu
dialah yang memegang pemerintahan Sulebar itu, menggantikan kakenda
dibantu Patih Pecat Tanda.
Sesuai dengan perhitungan ilmu pelayaran pada ketika itu, maka pada pagi hari
yang kedua belas, tibalah armada yang dikirim dari Sulebar di muara Kali Sedayu.
Ada lagi beberapa buah perahu yang akan datang menyusul, karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpaksa menyinggahi bala bantuan. Perahu-perahu yang telah sampai itu dipimpin
sendiri oleh Patih Pecat Tanda, yang lain oleh Raden Panji Wulung sendiri.
Rakyat tentu gempar melihat kedatangan perahu sebanyak itu, dan
bertanya-tanya, perahu atau armada dari mana gerangan. Mereka terlalu
keheran-heranan. "Yang berdiri di samping nakhodanya itu, seperti ... ya, serupa benar dengan
Layang Seta." Kata yang lain, "Benar ... tak salah lagi, yang berdiri di sebelahnya itu Layang
Kumitir, memang ... Kumitir...!"
"Dari manakah mereka gerangan?"
Yang lain menjawab pula dengan herannya, "Bukankah Seta dan Kumitir telah tewas
di medan pertempuran?"
"Bukan tewas tetapi dipenjarakan, karena telah berkhianat kepada Raden Gajah!"
sahut yang lain pula. "Tidak tewas dan bukan pula dipenjarakan," sela yang lain.
"Ah, mana boleh jadi...."
"Benar...! Layang Seta dan Layang Kumitir...?"
"Ini buktinya, ..." jawab yang lain pula. "Keduanya melarikan diri tengah malam,
sesudah beberapa hari ditahan."
"Ya, saya mengetahui rahasianya," kata seseorang yang baru sampai ke ujung
dermaga, tempat mereka bertengkar itu.
"Patih Logender sendiri yang menyelundupkan kedua orang anaknya itu dari penjara
dan membawanya keluar kota tengah malam. Itu sebabnya pada
upacara pelantikan Raja Angabaya dan Senapati yang penting itu Patih
Logender tidak tampak...," katanya pula.
"Bukan rahasia lagi di Majapahit," jawab yang lain, Patih Logender sangat
dipengaruhi oleh kedua orang anaknya, yang selalu berhati dengki kepada
sepupunya sendiri." "Malah telah menjadi iparnya pula!" sela yang lain.
"Kedengkian dan dendam telah meracuni kehidupan dan perhubungan
mereka berkeluarga...," sahut seorang nelayan yang lebih tua dari sekaliannya.
"Bukan semata-mata merusak atau meracuni hubungan mereka saja, tetapi pasti akan
membakar seluruh Majapahit dan meruntuhkannya menjadi abu!"
ujar orang yang berdiri di samping dan kelihatan hampir sebaya dengan
nelayan itu. "Kesatria Majapahit yang diharapkan untuk membela keraton, amat
sayang, mereka akan bertikam-tikaman dan berbunuh-bunuhan
sesamanya." "Sekarang usaha dan perjuangan kita, mudah-mudahan, akan lebih lancar jalannya,"
kata seorang anak muda berbisik kepada kawannya. Dari tadi keduanya berdiri agak
memencil-mencil dari orang banyak serta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperhatikan sekalian peristiwa itu dengan amat cermatnya. "Sudah jelas armada
orang Sulebar. Engkau segeralah menyampaikannya kepada Patih
Logender dan aku segera pergi ke Giri, dari sana mungkin terus ke Tuban...
Assalamualaikum...."
"Alaikumsalam!" jawab temannya dengan senyum bahagia. Insya Allah wa taala kita
segera berjumpa lagi...."
Keduanya keluar menuju ke jalan raya dan orang makin berbondong-
bondong dan berdesak-desakan ke kuala dan sebahagian pasukan yang datang itu
telah naik ke darat. Pada ujung jalan yang keluar dari muara Kali Sedayu itu
yang seorang membelokkan kudanya ke kanan akan menuju ke Giri, yang menjadi
pusat ajaran Islam dan yang seorang membelok ke kiri, terus ke selatan menuju ke
rumah Patih Logender. Keduanya sama-sama berusaha
secepat-cepatnya supaya dapat menyampaikan berita itu selekas-lekasnya.
Ke dalam istana Majapahit segera juga tersiar kabar tentang kedatangan perahu-
perahu dari Sulebar itu dan telah disampaikan orang pula tentang kedatangan
Layang Seta dan Layang Kumitir bersama-sama bala tentara yang datang itu. Raja
Angabaya segera memerintahkan orang untuk menahan dan membawa bekas Patih
Majapahit ke istana, tetapi ternyata Patih Logender sudah melarikan diri.
Rumahnya telah ditinggalkannya, sama sekali telah kosong.
"Ah Paman...!" keluh Damarwulan menyambut kabar dari prajurit yang diperintahkan
ke rumah pamannya itu. "Itulah, pertimbangan Kakanda terlalu terikat oleh perasaan kekeluargaan!"
ujar istrinya menyesali. "Ya, bagaimana tidak, Adinda!" jawab Damarwulan. "Bekas Patih Majapahit itu
pamanku serta mertuaku, ayahmu sendiri. Anjasmara! Kedua orang
anaknya itu, saudaramu, sepupuku dan iparku pula. Tak lain yang aku
harapkan kesadaran mereka sendiri."
"Adinda sudah memberi ingat kepada Kakanda, tentang orang-orang Utara yang
datang berkunjung ke pedesaan Ayahanda!"
Damarwulan terdiam seketika, kemudian ketika istrinya mendesak
dijawabnya, "Sejak bila ada larangan, orang asing tidak boleh berhubungan di
Majapahit!" sahut Damarwulan pula dengan tegas. "Hati manusia tidak dapat
dikongkong dan dibendung dengan seribu lapis penjagaan dan peraturan,
tetapi barangkali, mungkin dapat disadarkan dengan kebenaran serta
keinsafan tentang arti kebenaran itu. Saya tak pernah khawatir dan gentar, demi
dewa-dewa yang lebih kuasa, selama saya berdiri di atas yang benar dan berjuang
untuk membela kebenaran itu...."
Anjasmara menjawab dan seakan-akan menuduh, "Ya, Kakanda, karena
hendak membela kebenaran dan untuk menjaga rma Majapahit, Kakanda
seharusnya lebih waspada serta lebih berhati-hati. Sejak semula, tiadakah
Kakanda sadari, diri Kakanda diancam kedengkian, dendam, dan iri hati...."
Beberapa lamanya keduanya terdiam, sana-sama merasakan makna
perkataan masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kebenaran itu sendirilah yang akan unggul memperlihatkan diri seperti cahaya
matahari yang menyinari bumi tak akan tertutup oleh kabut atau mega mendung
sekalipun," jawab Damarwulan dengan lebih pasti dan yakin.
Di gapura kesatriaan tampak dua orang satria masuk dan segera turun dari atas
kudanya, menuju ke tempat mereka.
"Tilarsa dan Rarangin datang!" ujar Damarwulan. '
"Majapahit menanti satria yang setia mempersembahkan jiwa raganya...,"
seru Dewi Anjasmara kepada keduanya.
"Karena itulah kami datang, Kakanda!" jawab keduanya, seraya memberi hormat
kepada iparnya. Kemudian kepada Damarwulan selaku Raja Angabaya.
"Pasukan sudah disiapkan. Menunggu perintah!"
"Adinda kedua dengan pasukan Adinda, akan mengeluari musuh sampai ke muara Kali
Sedayu, sementara Senapati menyiapkan bala tentara menanti di perbatasan kota,"
demikian perintah Raja Angabaya. "Sebelum meninggalkan kota dengan pasukan
Adinda, Adinda kedua harus menghadap Senapati,
merundingkan tugas."
Adapun Patih Logender beberapa hari sebelum Armada Panji Wulung itu
masuk ke muara Kali Sedayu terlebih dahulu telah menerima berita. la segera
berangkat ke desa Ampel. Di sanalah ia menunggu kedatangan Panji Wulung dengan
kedua orang anaknya. la sangat berbesar hati menyambut mereka dan yang lebih
membesarkan hatinya lagi, Raden Panji Wulung belum mengenal dan mengetahui
bagaimana keadaan di Majapahit yang sebenarnya. Harus
dijaga benar, supaya ia jangan mengetahui, Damarwulan adalah saudaranya sendiri.
Untung pula! Kedatangan perahu kenaikan Raden Panji Wulung tidak bersama-sama
dengan Layang Seta dan Layang Kumitir. Dapat ia mengatur
dan membicarakan siasat lebih leluasa dengan anaknya yang tiba terlebih dahulu.
Demikian pula Patih Pecat Tanda harus dijaga benar, jangan dapat
hendaknya ia berhubungan dengan siapa pun, yang mungkin akan
membukakan rahasia itu. Kedatangan perahu Panji Wulung bersamaan benar dengan kehadiran
pasukan Raden Panji Kuda Tilarsa dan Raden Panji Kuda Rarangin. Bukan
kepalang ramainya orang di muara Sedayu. Dari mana-mana orang datang
berbondong-bondong sengaja hendak melihat dan ingin mengetahui maksud
kedatangan mereka, karena tampaknya bukan pelang atau kapal dagang
biasa. Sebuah armada dengan perlengkapan secukup-cukupnya.
Yang berjualan makin hari makin ramai, terutarna yang berjualan barang makanan
dan buah-buahan. Pasukan Panji Wulung itu makin hari makin
terbiasa pula dan makin berani naik ke darat. Maklum mereka telah berhari-hari
tinggal di laut. Selain mereka memerlukan sayur-mayur dan buah-
buahan, mereka perlu pula menghirup hawa segar dan menikmati
pemandangan alam ujung wetan Jawadwipa yang permai itu_ Ke mana
mereka pergi anak-anak ramai pula mengiringkan mereka. Bagi bangsa apa pun di
seluruh dunia, dari dahulu sampai sekarang, waktu damai maupun
waktu perang, ke mana mereka pergi, bila berjumpa dengan kanak-kanak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segeralah bercipta suasana damai yang akrab, kasih sayang yang kadang-
kadang sampai mereka lupa di mana dan waktu apa mereka berada.
Tetapi ... sayang...! Suasana gembira itu tidak lama. Di suatu tempat segera
terjadi peristiwa tegang, agaknya karena salah mengerti, salah bertindak mungkin
juga salah perlakuan. Tentara Tilarsa dan orang-orang Kuda Rarangin segera
bertindak untuk menjaga keamanan. Sebaliknya, yang sepihak lagi tidak mau
menerima perlakuan yang semacam itu, mereka merasa
tersinggung dan merasa benar sendiri. Terjadilah perkelahian kecil-kecil yang
satu segera diikuti oleh yang lain dan sesudah yang lain yang lain pula. Itulah
permulaan pertempuran itu.
Terjadi pula perkelahian antara Patih Pecat Tanda dengan Raden Menak
Koncar sendiri. Radon Menak Koncar segera tidak berdaya lalu jatuh pingsan.
Begitu pula sekalian yang berani menghadapinya.
Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin segera datang membantunya. Barulah Patih Pecat
Tanda mendapat perlawanan, malah seakan-akan kepayahan juga ia
menghadapinya, sehingga Raden Panji Wulung datang pula membantu.
Mula-mula ia berhadapan dengan Kuda Tilarsa. Kedua satria itu sama-sama tampan,
sebaya, sama-sama muda, ketangkasannya berbanding pula. Yang
seorang menyerang dengan gesitnya, yang lain menangkis dengan
tangkasnya. Beberapa lama mereka serang-menyerang, tangkis-menangkis,
belum ada juga yang kena.
Kemudian bergantian. Kuda Rarangin pula tampil ke depan, berhadapan
seorang lawan seorang dengan Raden Panji Wulung dari Sulebar itu. Kuda Rarangin
mempergunakan siasat yang lain. Dengan langkah lebih rapat dan lebih rapi serta
menyerang lebih cepat, menikam Panji Wulung dengan
tikaman yang bertubi-tubi. Itu pun sia-sia dan dengan mudahnya juga
ditangkis serta dielakkan oleh Panji Wulung.
Dicobanya pula cara menyerang yang lain, itu pun dengan mudah juga
dielakkannya. Sesudah berulang-ulang dan gantiberganti menyerang dan
menangkis mereka sama-sama tercengang dan sama-sama heran. Laku
mereka dalam perang tanding, tak ubahnya sebagai laku tukang gendang
dengan tukang tari, begini lagunya begitu tarinya, berubah lagunya lalu beralih
pula tarinya. Seimbang dan sejalan benar.
Ajar Tunggul Manik yang sejak semula diam-diam menyaksikan perkelahian itu lalu
tampil ke muka, menyeruak di antara orang banyak. Setelah sampai ke tempat kedua
orang satria itu ia berkata, "Wahai satria muda! Engkau kedua ternyata mempunyai
ilmu yang sama selain mempunyai aliran darah yang
sama pula. Berhentilah kalian berkelahi ... tiada gunanya diteruskan!"
Keduanya sama-sama memandang kepada ajar sakti itu seolah-olah dia
diutus para dewa, datang tiba-tiba datang melerai perkelahian itu. Siapakah dia
gerangan dan dari mana datangnya. Keduanya amat heran, demikian pula sekalian
yang hadir. Patih Pecat Tanda juga keheran-heranan. Ia masih mengenal ajar itu, tetapi ia
agak ragu-ragu akan menegurnya. Sinar matanya amat tenang tetapi
memesonakan, yang hanya didapati pada orang-orang yang berpribadi luhur belaka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ketahuilah, bahwa kamu ketiganya," ujarnya pula, seraya memegang pundak Kuda
Tilarsa yang segera pula mendekatinya, "adalah bersaudara!"
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji Wulung dan Kuda Rarangin masih tertegun, tegak sebagai terpaku di tanah.
Ketiga satria yang dikatakan bersaudara itu berpandang-pandangan; bagi yang
menyaksikan ketika itu akan kelihatanlah sorot pandangan
ketiganya tidak berbeda, raut mukanya serupa bahkan potongan badan serta lagak-
lagu mereka berkata-kata dan bertindak tidak berbeda sedikit juga.
Sekaliannya tidak didapati kecuali pada orang yang bersaudara juga.
"Ampunilah hamba ... Bendara Patih!" seru Pecat Tanda sujud menyembah di hadapan
ajar itu. "kalian kepandaian dan pengetahuan yang telah dilimpahkan atas diri
hamba telah hamba turunkan semuanya sesuai dengan amanat Bendara Patih!"
"Ya ya, Pecat Tanda," sahut ajar itu, "telah saya saksikan sekaliannya.
Terima kasih alas kesetiaanmu!"
Raden Panji Wulung masih terheran-heran juga.
"lnilah mendiang') Patih Udara," seru Patih Pecat Tanda pula, kepada Panji
Wulung, "Ayah Bendara Raden sendiri!"
Panji Wulung segera membungkukkan badannya memberi hormat kepada
Ajar Tunggul Manik, ayahnya yang belum pernah dilihat dan dikenalnya.
Dituruti oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa yang tak kurang pula herannya,
karena keduanya sebenarnya baru pada ketika itu pula menyadari bahwa Ajar
Tunggul Manik itu ayahnya sendiri.
Orang banyak tidak terkira-kira pula terharunya. Dari pertarungan yang amat
sengit sekarang berubah menjadi pertemuan kekeluargaan yang teramat mengharukan.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa segera mengajak ayahnya dan saudaranya
dari Sulebar itu masuk ke dalam kota menemui Raden Damarwulan, yang
telah diangkat menjadi Raja Angabaya. Seluruh kota terlalu amat gempar melihat
pasukan Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin menuju ke dalam kota
mengiringkan Panji Wulung, tentu dengan pengawal kebesarannya pula.
Senapati, Raden Menak Koncar, tentu serta pula mengiringkannya beserta beberapa
kepala pasukannya. "Apakah gerangan yang telah terjadi?" pikir Seri Ratu Suhita, melihat sekalian
pasukan itu telah memasuki gerbang kota Majapahit. Demikian pula Damarwulan
ketika sekaliannya menuju ke kesatriaannya, langsung menuju ke tempat
kediamannya. 17. Berkumpul dengan Keluarga
Pertemuan yang mengharukan!
Bagaimana pertemuan Panji Wulung dengan Damarwulan, Kuda Tilarsa dan
Kuda Rarangin di hadapan Ajar Tunggul Manik tidak usah diceritakan di sini
seluruhnya. Kemudian Ajar Suci itu telah menghilang dengan tiba-tiba, seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kehadirannya begitu juga kepergiannya dengan tiba-tiba pula. Tidak seorang pun
yang mengetahuinya. Setelah beberapa hari Panji Wulung tinggal di Majapahit berkatalah is
kepada saudaranya, Damarwulan, "Sudah tiba waktunya bagi Adinda akan kembali ke
Sulebar. Adinda memohonkan restu kepada Gusti yang Mahasuci, mudah-mudahan
Adinda sampai dengan selamat ke negeri Adinda!"
Lama juga mereka berunding mempercakapkan tentang kedatangan Raden
Layang Seta dan Raden Layang Kumitir ke Sulebar, Panji Wulung sama sekali tidak
menduga, bahwa ia telah diperdayakan keduanya dan tidak pula
mengira, bahwa Raden Damar saudaranya sendiri. Demikian pula
pertemuannya dengan Raden Kuda Rarangin dan Raden Kuda Tilarsa di
hadapan ayahnya sendiri, yang pada hari tuanya itu telah menjadi Ajar Suci
Tunggul Manik.... Lama mereka terdiam diri memikirkan pertemuan yang aneh itu serta
mengenangkan diri dan perjalanan hidup mereka di mayapada
"Terima kasih, Adinda, Kakanda pun memohon kepada Yang Mahakuasa, mudah-mudahan
Adinda sampai dengan selamat kembali ke negeri Adinda!"
ujar Damarwulan melepas saudaranya.
"Mengapa Adinda Panji Wulung cepat benar hendak meninggalkan
Majapahit" Kakanda sesungguhnya berharap supaya Adinda dapat lebih lama tinggal
di Majapahit!" sela Dewi Anjasmara. "Tidakkah Adinda merasa was-was meninggalkan
kami di Majapahit dalam keadaan semacam ini...?"
"Ya... kalau dipikirkan, lebih besar kekhawatiran Adinda meninggalkan Sulebar,
Kakanda!" jawab Panji Wulung. "Tambahan pula persoalan Kakanda Damarwulan dengan
Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir, bagaimana
Adinda akan turut mencampurinya. Lebih-lebih lagi apabila Adinda timbang-timbang
yang menyangkut diri Paman, ayah Kakanda sendiri, amat beratlah bagi kami
memasukinya.... Tidakkah Kakanda sendiri dapat merasakannya...?"
Mereka sama-sama berdiarn diri pula.
"Ya, karena itulah!" sahut Dewi Anjasmara agak bingung. "Bagi Adinda yang
terutama keamanan dan ketenteraman Majapahit." Ia terdiam pula seketika.
"Bagaimana untuk menciptakan ketenteraman itu pada pertimbangan
Kakanda sendiri?" tanya Panji Wulung.
"Kalau perlu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Kakanda tidak
berkeberatan...." "Bersediakah Kakanda membiarkan Majapahit menghukum Kakanda Layang Seta dan
Kakanda Layang Kumitir?" ujar Panji Wulung.
Dewi Anjasmara terdiam, kemudian katanya, "Kalau tidak bagaimana" Tentu mereka
akan menimbulkan kekacauan dan huru-hara juga kemudian!"
Panji Wulung pun terdiam. Sesungguhnya dia telah dapat membayangkan
apa yang akan terjadi bila Patih Logender, Layang Seta, dan Layang Kumitir tidak
dapat dicari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakanda sendiri ingin mendengar lebih lanjut dari Adinda, tentang kedatangan
Kakanda Seta dan Kumitir ke Sulebar?" ujar Dewi Anjasmara menyiasati.
"Sekarang Adinda merasa telah tertipu oleh Kakanda keduanya itu. Rupanya dengan
sengaja mereka hendak mengadu Adinda dengan Kakanda Damar,
bahkan hendak mengadu kerajaan Sulebar dengan Majapahit."
Demikian jawab Raden Panji Wulung. Kemudian diceritakannyalah sekalian akal
busuk dan tipu muslihat yang telah dijalankan Layang Seta dan Layang Kumitir.
Lama mereka terdiam memikirkan kelakuan keduanya. Bahkan yang tiada habis-habis
mereka pikirkan dan merasa amat heran mengingat tindakan Patih Logender, ayah
keduanya, paman mereka sendiri.
"Lalu sekarang bagaimana bicara kita yang baik?" desak Dewi Anjasmara.
"Hendaknyalah persoalan Kakanda Seta dan Kakanda Kumitir dapat
diselesaikan secepat-cepatnya...! Bila tidak, keduanya pastilah akan
membakar Majapahit dengan hasutan dan api kedengkian."
"Bukan Layang Seta dan Layang Kumitir saja, tetapi yang lebih sulit lagi
menyangkut diri Paman sendiri!" sahut Damarwulan agak bingung.
"Kakanda harus bertindak tegas. Jangan dibiarkan bahaya itu sampai berlarut-
larut!" ujar Dewi Anjasmara.
Damarwulan tidak segera menjawab, memandang dengan tajam kepada
istrinya, seolah-olah is tidak suka mendengar perkataan yang semacam itu keluar
dari mulutnya. Kemudian dengan ragu-ragu menatap kepada Panji
Wulung sebagai minta pertimbangan.
"Bicara Kakanda Dewi Anjasmara itu benar sekali. Tindakan yang tepatlah yang
dapat mencegah bahaya sebelum ia berkobar lebih besar," jawab Panji Wulung_
"Jadi usul Adinda...?" tukas Anjasmara.
"Usul Adinda, supaya Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir segera ditahan."
"Alasan Adinda?" tanya Raden Damar pula terbata-bata.
"Ia akan tetap menjadi sumber fitnah dan jadi pengacau!"
"Paman Patih bagaimana?" ujar Damarwulan.
"Tidak ada jalan lain, demi keselamatan Majapahit... Apa boleh buat, Ayahanda
harus ditahan untuk menjaga keamanan...," jawab Anjasmara dengan tegas.
Damarwulan menatap sejurus kepada istrinya, kemudian memandang
dengan pandangan yang penuh tanda tanya kepada saudaranya Raden Panji
Wulung. "0, Gusti," katanya lambat-lambat. Ia telah dapat membayangkan apa yang akan
terjadi, jika sampai ia menjalankan keputusan yang diusulkan istrinya itu.
Cepat terkilat dalam ingatannya ketika itu, seluruh Majapahit akan menyiarkan
berita: memang Damarwulan ingin berkuasa dan untuk kemuliaan dirinya ia bersedia
menghukum paman dan mertuanya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak... tidak...!" ujarnya pula, kemudian memandang kepada istrinya sebagai
mengajuk. "Saya bersedia menghadapi musuh, tiga bahkan lima kali lipat dari kekuatan Menak
Jingga sekalipun, daripada menghadapi suasana yang sekarang ink..
berlawanan dengan keluarga, disuruh menghukum paman dan mertua
sendiri...!" Dari pintu gapura masuk pengawal tergesa-gesa dan mempersembahkan,
"Layang Seta dan Layang Kumitir telah tertangkap. Menunggu perintah...!"
"Siapa yang berhasil menangkapnya?" tanya Damarwulan.
"Kesatria Raden Kuda Rarangin bersama dengan Raden Kuda Tilarsa!"
"Yang lain?" "Hanya itu, ... yang lain tidak ada!"
Mereka berpandang-pandangan. Dewi Anjasmara kelihatan agak pucat.
"Ayahanda bagaimana?" katanya bertanya dan suaranya agak serak.
"Bendara Patih tiada hamba ketahui!" jawab bentara pengawal itu.
Kemudian bentara itu menghadap kepada Damarwulan dan berkata dengan
hormatnya, "Selanjutnya hamba menunggu perintah!"
Damarwulan, sebagai Raja Angabaya Majapahit memerintahkan, "Masukkan keduanya ke
dalam penjara dan jaga supaya jangan dapat melarikan diri
kembali!" Dari alun-alun di muka kesatriaan kedengaran suara ramai dan orang
banyak berlari-larian, ingin menyaksikan peristiwa penangkapan itu. Kemudian
mereka berbondong-bondong pula mengiringkan kedua orang tangkapan itu
menuju ke penjara. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam ruang tahanan dan dijaga
oleh beberapa orang prajurit.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa setelah melaksanakan tugasnya segera
menjumpai Damarwulan, Panji Wulung, dan Dewi Anjasmara. Mereka sendiri agaknya
juga sangat menyesalkan penangkapan itu, akan tetapi tidak ada jalan lain, demi
kepentingan keamanan dalam negeri Majapahit.
"Bagaimana Ayahanda?" tanya Dewi Anjasmara sekali lagi.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa berpandang-pandangan, kemudian sahut
keduanya, "Kami tiada dapat menangkap Paman. Terserah kepada
kebijaksanaan Kakanda Damar!"
Mereka berkumpul di tempat itu sampai larut malam. Tiada lain yang
mereka bicarakan, selain keselamatan Majapahit dan bagaimana jalan sebaikbaiknya
untuk menyelesaikan pertentangan antara mereka sekeluarga. Yang teramat sulit
bagi Raden Damarwulan mengambil keputusan untuk menghadap Patih Logender ...
paman dan mertuanya sendiri...!
Beberapa hari kemudian armada Panji Wulung kelihatanlah meninggalkan
pelabuhan Majapahit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
18. Fitnah dan Iri Hati Makin -Membakar Majapahit
Suasana di Majapahit makin lama makin panas. Raja Angabaya dengan
bantuan Senapati, Raden Menak Koncar, tiada lama dapat mempertahankan
keamanan. Makin banyak perubahan serta perbaikan dijalankannya untuk
kepentingan masyarakat, terutama ditujukannya untuk mengangkat kehidupan rakyat
jelata di desa-desa, makin hebat tantangan dari pihak tertentu.
Terutama dari pihak kaum bangsawan dan golongan agama. Menurut
pendapat mereka, Raja Angabaya terlampau memberi hati kepada rakyat.
Malah ada yang mengatakan, siasat Damarwulan memihak kepada rakyat itu adalah
untuk memperlemah kedudukan mereka, untuk mengurangi hak dan
kekuasaan kaum bangsawan serta untuk menghilangkan kekuasaan serta
pengaruh kaum pendeta. Ada pula yang sampai menuduh, sebagai seorang ksatria, is ingin berkuasa lebih
tinggi, sebab itu rakyat sekarang dipersiapkannya, dengan jalan memberi hati,
mengadakan perubahan dan perbaikan, yang semata-mata hanya
menguntungkan rakyat jelata. Malah ada pula yang menuduh, Raja Angabaya yang
baru telah dipengaruhi oleh orang-orang dari Utara, sebab itu mereka semakin
banyak jumlahnya di kota Majapahit.
Banyak lagi tuduhan yang bukan-bukan ditimpakan atas dirinya. Angin
pancaroba yang berbahaya tengah melanda Mahapahit! Kemenangan dan
kemasyhuran yang dicapai Damarwulan, dalam waktu pendek telah
mengangkat dirinya ke atas puncak kemasyhuran dan kemuliaan. Akan tetapi secepat
kemasyhuran itu menerbangkan namanya ke mana-mana, secepat itu pula kedengkian,
kebencian serta iri hati orang di sekelilingnya berusaha hendak menjatuhkannya
kembali, hendak meruntuhkan mahligai
kemasyhurannya itu. Majapahit kerajaan Hindu yang telah lapuk itu seakan-akan tak kuasa lagi menahan
serangan angin pancaroba yang amat dahsyat itu. Damarwulan
sebagai Raja Angabaya, karena fitnah, akhirnya dihadapkan kepada suatu majelis
tinggi, dengan tuduhan keji telah menghasut dan menyiapkan rakyat untuk
menggulingkan Seri Ratu dan akan menjatuhkan pemerintahan serta
rnenggantinya dengan pemerintahan yang baru. Huru-hara timbul di mana-
mana, Iebih-lebih setelah rakyat mengetahui maksud sidang itu.
"Bagaimana pendapat Tuanku Werda Menteri?" tanya seorang Werda dengan berbisik
kepada temannya yang baru sampai. Yang ditanya tidak
segera menjawab dan melihat dengan tajam dan agak liar berkeliling.
"Silakan Saudara!" seru yang bertanya itu pula kepada yang ditanya, menyuruh ia
duduk, setelah ternyata pertanyaannya tiada lekas mendapat jawaban. la masih
mondar-mandir perlahanlahan dan menggaruk-garuk daun telinganya kemudian
melekapkan tangan kirinya ke atas dadanya yang sebelah kanan. Semuanya itu
mengandung arti tertentu, sebuah isyarat rahasia. Maka yang bertanya itu
maklumlah maksudnya menggaruk atau memegang daun
telinga berarti bahwa ada dari pihak lawan yang mungkin dapat mendengar
percakapan mereka dan tangan kiri di atas dada memberi alamat: hendaklah sabar
seketika. Biasanya mereka datang ke tempat itu hanya untuk bertemu sementara
saja, untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka; tempat itu boleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikatakan tempat umum, sebuah warung biasa, yang boleh dikunjungi siapa saja.
"Saya permisi dahulu, Wak!" kata orang itu kepada yang empunya warung itu, Wak
Seberang Lor namanya. Sebenarnya bukan nama sesungguhnya,
hanya nama warungnya "Warung Seberang Lor" maka orang tua itu disebut merekalah
Wak Seberang Lor dan namanya yang sebenarnya, Salikun, serta ada seorang anaknya
laki-laki bernama Mukamat. Warung itu terletak di ujung jalan yang menuju ke
pasar, agak terpencil, akan tetapi selalu ramai, baik siang maupun malam, karena
Wak Seberang Lor selain masakannya enak dan bersih, ia terkenal seorang
pembanyol, yang ramah-tamah dan pandai
mengambil hati tiaptiap orang yang masuk ke warung itu.
"Tidak ada titipan...?" tanya Wak Seberang Lor pula dengan lemah lembut.
Pada waktu itu orang-orang dari I'esisir Utara telah mulai banyak berusaha,
membuka warung atau berdagang, bahkan orang Islam dari luar Pulau Jawa, seperti
dari Sumatera dan Malaka pun telah banyak, umumnya mereka orang dagang, mulai
dari yang sekecil-kecilnya, berjual malau dengan nila, benang dengan jarum
pentol dan peniti, minyak dan terasi, dan sebagainya. Ada pula yang berjual
barang pecah belah, cawan, pinggan, periuk, belanga, halus dan kasar, mulai dari
tembikar biasa buatan pribumi, sampai kepada porselen Tiongkok yang sehalus-
halusnya. Jangan dikata barang sandang, kain tenun yang hal[ s-halus, seperti
kain Bugis dan Donggala, Kubang dan Palembang, sutra Antelas dan kain-kain Makau
banyak masuk dan diperjual-belikan orang di Majapahit. Sekalian barang yang
masuk itu, sebagai gantinya, mereka tukar dengan hasil bumi dari Pulau Jawa.
Tentu tidak sedikit keuntungan yang mereka peroleh. Buktinya, pada mula-mula
tiba di kota Majapahit, mereka tidak mempunyai apa-apa, selain sedikit perabot
dapur untuk keperluan memasak sehari-hari dan sedikit barang dagangan yang menjadi sumber
pencaharian mereka. Tetapi setelah berusaha setahun dua tahun kadang-
kadang belum cukup sepuluh bulan mereka telah mendirikan gedung yang
baru, yang hampir menyamai gedung yang ditinggali seorang bupati. Begitu pula
tentang perabot rumah tangga mereka, barang pakaian dan perhiasan emas perak
mereka selalu berganti dan bertambah, karena makmur
penghidupan orang dagang pada waktu itu.
Pada umumnya kehidupan mereka lebih maju dan pembagian masyarakat
mereka lebih teratur. Kelihatan mereka selalu rukun dan damai serta sangat
mementingkan kebersihan. Lima kali sehari dan semalam mereka datang ke pinggir
Kali Berantas, ke tempat mereka beribadat, akan menyembah Hyang atau mereka,
yang mereka sebut Yang Maha Esa. Mereka sangat teliti sekali menjaga kebersihan
dan tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang itu, mereka tetap mensucikan dirinya
terlebih dahulu. Kalau sekiranya ada di antara mereka yang miskin, yang tidak empunya,
apa-apa bersama-sama pula mereka menolong atau membantunya, dengan
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan memberi sedekah atau zakat atau pertolongan yang lain-lain. Pada mulanya
kehidupan dan pergaulan orang-orang dari Pesisir Utara dan
umumnya penganut agama Islam itu telah memperlihatkan surf teladan yang amat
baik, laksana setumpuk kecil bumi yang segar dan subur di tengahtengah tandb
cadas yang gersang, kering, dan mati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Assalamualaikum_..!" ujar orang itu pula, ketika hendak melangkahkan kakinya ke
luar pintu. "Alaikum salam!" balas Wak Seberang Lor alias Salikun.
"Sudah mau berangkat ini...!" tegur seorang anak muda, ketika ia sampai di
halaman dan hendak membelok ke kiri. Anak muda itu tidak lain daft Mukamat bin
Salikun atau anak Wak Seberang Lor. Melengong ke kiri dan ke kanan dengan cepat
serta menoleh kepada orang-orang yang duduk dalam
warungnya ia membisikkan, "Sampeyan ditunggu oleh sidang...! Biar saya menanti
di sini ... selamat!"
Dengan tidak berkata lagi segeralah ia menuju ke tempat yang dimaksud.
Setelah membelok ke kiri is menyeberang jalan, menempuh sebuah lorong, kemudian
sebuah lorong lagi dan setelah keluar di ujung lorong yang kedua sampailah ia ke
jalan yang agak besar; jalan itulah yang menghubungkan kepatihan dengan penjara
dan orang yang diceritakan, menyeberang jalan itu dan setelah melalui sebuah
lorong lagi barulah ia sampai ke tempat yang dituju. Setelah memperlihatkan
tanda-tanda rahasia ia dipersilakan masuk.
"Silakan Saudara...!" seru kawannya yang ditanyainya di warung Seberang Lor
tadi. "Karena kita sudah berkumpul marilah kita mulai...."
Ia melihat berkeliling, memperlihatkan sekalian kawankawannya yang hadir, sambil
mengingat-ingat dengan cepat siapa yang belum kelihatan.
"Baiklah saya mulai dengan menceritakan pendapat Tuanku Werda
Menteri..." katanya dan melihat kepada kawannya yang baru .datang itu.
"Pada mulanya beliau ragu-ragu dan tampak agak tkut-takut."
"Takut bagaimana?" tanya seseorang yang duduk di ujung sekali di sebelah
kanannya. "Seperti kita semua, maklum Raden Damar alias Raden Gajah memang
seorang besar, orang besar yang mengangumkan. Keberaniannya luar biasa
menggegerkan Pulau Jawa, bahkan menggoncangkan seluruh Nusantara.
Apabila ia didekati atau barang siapa yang telah berdekatan dengan dia,
hilanglah sifat kepahlawanannya yang dahsyat menakutkan itu, ia lalu menjadi
sahabat tiap-tiap orang, tua muda, hina mulia dan kecintaannya kepada sesama
manusia terlalu besar, sama besarnya bahkan lebih besar, bila
dibanding dengan kecintaannya kepada pasukannya dan kepada pertempuran selaku
kesatria tinggi yang sesungguhnya dalam hati kecilnya ia ingin
menjauhi peperangan, karena memang ia sangat membencinya dan bercita-
cita hendak membangun kedamaian, keadilan, serta keutamaan budi."
"Karena itulah rupanya kepala agama menaruh dendam kepadanya," ujar yang lain
pula. "Bukan dendam," sela seorang lagi, "tetapi iri hati atau dengki"
"Ya, sesungguhnya demikianlah halnya!" sahut yang bercerita itu pula dengan
cepat. "Damarwulan sebenarnyalah seorang satria yang taat dan patuh kepada
ajaran agamanya dan kemurnian agama itulah yang hendak
diperjuangkannya." "Akan tetapi, mengapa ia mendapat tantangan atau perlawanan yang hebat dari
pihak kaum agama sendiri?" seru yang lain pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu sudah sewajarnya...!"
"Sudah sewajarnya bagaimana?" sahut orang yang ada di depannya. "Saya sungguh
tidak mengerti...." "Bukankah kaum agama, pemimpin-pemimpin kejiwaan itulah sebenarnya yang
seharusnya menunjuki rakyat ke jalan yang lurus dan benar, akan tetapi bagaimana
kenyataannya sekarang?" jawab orang yang pertama. "Agama jadi alat untuk
mengelabui rakyat...!"
"Kebenaran agama dan ajaran-ajarannya yang sejati telah lama hilang dan rusak,
di Majapahit yang hidup sekarang hanyalah namanya dan tinggal
semata-mata ketakhyulannya," sela temannya, yang duduk di sebelah kirinya.
"Ya! Tepat sebagaimana yang Saudara katakan itu," sambungnya pula. "Di pertapaan
pada mulanya orang datang untuk ketenangan jiwa, mematikan dan menjauhi huru-
hara dunia, akan memperdalam serta mensucikan kebatinan, dengan tujuan yang
utama sekali, ialah akan menyelamatkan masyarakat
ramai. Sekarang apa yang terjadi?" katanya pula sebagai bertanya.
"Pertapaan dikunjungi oleh orang-orang durhaka, serta tidak dengan citacita yang
baik sejak mulanya. Ayat suci dijadikan mantra, mereka menuntut ilmu kebal
supaya tidak dimakan besi, tidak telap, tak mempan kulitnya ditembus senjata
tajam. Ada pula yang mempelajari ilmu siluman di sekitar pertapaanpertapaan suci
itu, supaya dapat menghilang di hadapan orang
ramai atau mempelajari mantra "ilmu angin" dapat terbang di angkasa dengan tiada
bersayap, serta sanggup lobs ke dalam lubang jarum sekalipun... yang sangat
berbahaya kepada putriputri cantik atau gadis-gadis
"Mengapa...?" "Coba Anda bayangkan, jika sekiranya ada orang yang sampai berhasil memperoleh
mantra keramat ilmu angin semacam itu, bagaimana menjaga
keamanan rumah tangga" Alangkah takut dan ngerinya anak istri Saudara
ditinggalkan di rumah, biar pintu dipalang dengan jerajak besi, dikunci serta
diikat erat-erat dari dalam, namun penjahat juga masuk, sebab lalu angin lalu
pula dia karena pertolongan mantranya itu."
"Jadi, kalau begitu dari celah-celah dinding atau dari lubang angin, ia dapat
masuk...?" tanya yang lain.
"Ya, menurut kepercayaan mereka yang bodoh itu," jawab yang bercerita.
"Karena mereka bodoh lalu diperbodoh-bodoh benar dan pendeta-pendeta itu sebagai
pemimpin kerohanian bukanlah mengajarkan petunjuk agama yang
benar, yang akan dapat mencerdaskan rakyat, akan tetapi semata-mata
menyiarkan takhayul yang menyesatkan dan menggemparkan masyarakat.
Pertapaan ramai dikunjungi karena ilmu semacam itu.
Pintu depan kedengaran diketuk orang, lalu terbuka.
"Ini yang dinanti-nanti telah datang! Agaknya Saudara tidak kebenatan kami
mulai!" katanya pula sambil mempersilakannya duduk.
"Karena Saudara yang ditugaskan menghadap Tuanku Werda Menteri
baiklah Saudara teruskan!" sahut orang itu dengan cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terus terang harus diakui," katanya pula, "ibarat orang berlayar, kita sungguh-
sungguh mendapat angin turutan, angin dari buritan, tugas kita yang utama
menjaga kemudi dengan baik. Orang-orang besar Majapahit memang
masih dapat dipengaruhi oleh Patih Logender, sebabnya seperti saya ceritakan
tadi: Raden Damar terlalu keras bertindak dan sangat percaya akan kekuatan-nya
dan kebenaran mutlak yang diperjuangkannya itu."
Ia diam seketika. "Akan tetapi, ada pula kelemahannya," katanya, "kelemahannya inilah yang
membawanya kepada kehancuran..."
"Apakah yang Saudara maksud?" tanya yang kedua di sebelah kanannya.
"Raden Damar seharusnya telah lama mengambil tindakan dan bersikap tegas
terhadap mertuanya itu, tetapi sayang ia tak sanggup, sebenarnya ...
tidak mau...!" "Ya... tak sampai hati... terhadap mertua dan paman sendiri!" ujar seseorang
sebelah kirinya. "Sebenarnya yang menjadi pusat bencana dalam hal ini, ialah Layang Seta dan
Layang Kumitir, iparnya," kata yang lain pula, yang duduk di ujung sekali,
sebelah kiri. "Bukankah keduanya sekembalinya dari Sulebar bersamasama Raden Panji Wulung,
telah terbuka rahasianya, tegasnya fitnah busuknya, serta telah pula tertangkap
oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, saudara Damarwulan
sendiri?" "Memang sampai pada saat ini keduanya masih tetap dalam penjara, tetapi namanya
saja yang dipenjara, ayah bundanya bebas keluar masuk."
"Ya... ya... memang serba sulit, yang menjadi kepala penjara i
keluarga mereka juga," kata yang seorang.
"Mudah-mudahan mahkota Rajasa akan jatuh dan singgasana Majapahit yang telah
lapuk ini akan runtuh, supaya kepercayaan baru yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dapat membangun Jawadwipa dan mempersatukan
seluruh Nusantara. Kita sebagai pengikut Sunan Giri dalam memperjuangkan
kebenaran dan kemurnian ajaran baru yang telah jadi kepercayaan kita
dapatlah mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya!" katanya pula selanjutnya.
"Bagaimana tentang bangsawan yang lain?" tanya salah seorang.
Pembicara yang kedua, yang ditugaskan untuk itu, berkata, "Sri
Paramesywara pasti di pihak Patih Logender, karena beliau terhitung keluarga
dekat kepada ibu Layang Seta, pamannya di pihak ibu."
"Yang penting pula kita ketahui," kata yang lain lagi, "ialah pendirian Rakrian
Tumenggung.'}" "Rakrian Tumenggung ikut memusuhinya!" sahut seseorang.
"Percayalah Tuan-Tuan sekalian," kata yang lain memberi keterangan.
"Kebesaran dan ketinggian budi Damarwulan memang telah tertanam sangat dalam di
hati rakyat jelata, ia sesungguhnya sangat mencintai mereka,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyamai bahkan melebihi kecintaan seorang bapa membela serta
memperjuangkan kepentingan anak-anaknya. Seperti Bering kita dengarkan Raden
Damar berteriak-teriak di paseban atau di manguntur, di manamana, bahkan dalam
sidang sekalipun, katanya: rakyat jelata kurus kering karena kurang makan,
tenaganya diperas habishabisan diperintah menjalankan ini dan itu dan kewajiban
terlalu berat, semata-mata untuk kepentingan kaum
bangsawan belaka. Selama ini mereka telah ditekan dan ditindas, katanya, tiada
diberi hak sedikit juga untuk bersuara membela diri dan mempertahankan hak-hak
mereka." Diam sebentar, kemudian orang itu meneruskan keterangannya, "Karena Damarwulan
terlalu berpihak kepada rakyat, kaum bangsawan lalu menjadi musuhnya. Bukan saja
kaum bangsawan dan pegawai-pegawai tinggi
pemerintahan, tetapi lebih-lebih lagi kepala-kepala agama, Syiwa dan Buddha.
Sepanjang pendengaran hamba, sekalian kaum bangsawan, mulai dari rangga,
tumenggung, paramesywara, patih, mangkubumi dan kedua pembesar agama
membenci Damarwulan dan berusaha sekuatkuatnya untuk menjatuhkannya.
1=lanya seorang Senapati jadi sahabatnya yang setia, sedang Menak Koncar
sekarang sedang bertugas keluar kota.
"Boleh hamba menyela?" tanya seorang pula. "Silakan Saudara!" jawab yang
berbicara itu. "Jika demikian, pendirian Damarwulan tentang keadilan dan bangun
masyarakat, yang dikendaki serta dicita-citakannya itu sama benar dengan yang
dikendaki para wali kita?"
"Tampak-tampaknya memanglah demikian, tidak banyak bedanya. Agaknya itulah yang
Bering disebut-sebutnya dengan kebenaran mutlak itu! Ihanya...
sayang...!" Ia terdiam.
"Sayang bagaimana?" tanya orang itu.
"Setujuan akan tetapi berlainan caranya, dan ya... berbeda pula
hakikatnya!" "Ah... ah... janganlah pula Saudara berfilsafat terlalu tinggi...!" katanya
pula, "kami ini orang awam, belum mengerti benar istilah mantik dan filsafat!"
"Ya," sahut yang lain, "hamba sependapat dengan Tuan minty dijelaskan apa maksud
perkataan itu?" "Seperti telah diceritakan, para wali yang mengajarkan ajaran baru mengingini
dan memperjuangkan keadilan masyarakat, supaya seluruh
masyarakat dapat menerima dan merasakan
hikmat keadilan itu, langsung menurut petunjuk Yang Mahakuasa."
Ia diam dan memandang berkeliling.
"Raden Damar, karena pengalaman atau penderitaannya bersama-sama
dengan rakyat jelata selama ini, kita umpamakan jiwa dan batinnya itu
merupakan sebagian atau belahan jiwa rakyatjelata itu sendiri, bertindak karena
dendam atau karena iri hati belaka pada mulanya. Diumpamakan
karena usaha, karena tindakan dan perjuangan mereka sendiri, bila
perjuangannya itu telah berhasil, pertama umpamanya mereka menjadi orang kaya,
akan bergunakah kekayaan itu kepada dirinya sendiri" Atau kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masyarakat sekitarnya" Belum tentu! Mungkin is akan menjadi pengisap yang lebih
kejam. Kedua, ditnisalkan mereka hendak memperjuangkan golongan
atau kedudukan dalam masyarakat, bukan perjuangan untuk mencari
kekayaan atau harta benda. Katakanlah, golongannya dapat menggantikan
golongan yang berkuasa sekarang ini. Dari golongan rakyat jelata yang
dikendalikan, berubah menjadi yang mengendalikan, pasti mereka tidak akan
menyokong "keadilan" yang mereka perjuangkan pada mulanya itu! Mungkin
sebaliknya, setelah berhasil perjuangan mereka, segeralah mereka menginjak-injak
keadilan itu pula untuk mempertahankan kedudukan mereka. Manusia tidak mungkin
bersifat adil, jika tidak percaya kepada "I'uhan Yang Mahakuasa, serta bersedia
menjalankan petunjuk-petunjuk-Nya !"
Pintu masih diketuk-ketuk orang sekali lagi dengan keras dan setelah
dibukakan palangnya, segera dikuakkan dan dibantingkannya kuat-kuat,
karena gugupnya. "Ada apa, Mukamat?" tanya mereka serempak.
"Ada suruhan dari menguntur, mengabarkan, bahwa rakyat telah menyerbu ke pusat
kota dan keraton telah mereka kepung."
"Sudah adakah berita yang nyata tentang persiapan tentara Adipati Bintara?"
tanya seorang berbisik. Sebahagian yang ada dalam pertemuan itu termasuk anggota barisan
penyuluh atau penyelidik tentara Adipati Bintara sendiri, yang ditugaskan
mempelajari dan mengetahui segala sesuatu yang diperlukan. Segala gerak-gerik
dan kegiatan serta suasana dalam kota Majapahit pada akhir-akhir itu telah
mereka pelajari sebaik-baiknya.
"Bila tentara Senapati Menak Koncar tampak bergerak hendak kembali,"
kata seorang utusan pula, setelah is diberi kesempatan untuk melapor.
Mereka berpandang-pandangan, sama-sama dapat membayangkan apa
yang akan terjadi di bumi Majapahit.
"Tuhan selalu bersama kita.. !" bisik mereka.
19. Bala Tentara Bintara dengan Mudah Memasuki Majapahit
"Paseban dan menguntur terbakar...!" kedengaran orang berteriak-teriak sarnbil
berlari-lari. Mula-mula kelihatan asap mengepul ke udara, tegak lurus menjulang ke
angkasa, hitam keabu-abuan warnanya. Kemudian diiringi tiupan angin dari laut,
dari arah Selat Madura. Rupanya angin itu sangat rendah di bawah, karena asap
yang menjulang laksana pohon beringin raksasa itu, tampak
pecah terputus seperti ditebang di tengah-tengah. Api lalu menjilat ke sebelah
barat, menuju bangsal-bangsal prajurit, gedung-gedung pemerintah dan
rumah-rumah penduduk, yang sangat rapat dan luar biasa ramai nya.
Maklumlah kerajaan Majapahit, suatu kerajaan Indonesia-Hindu yang terbesar di
seluruh Nusantara, pada waktu itu pasti lebih besar daripada kerajaan yang
didirikan oleh seorang pangeran pelarian dari Sriwijaya, Sri Pararnesywara,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ialah kerajaan Malaka. Kotanya mungkin jauh lebih besar serta lebih megah dan
dapat dipastikan, ketika itu termasuk salah satu kota tua yang teramai
penduduknya di seluruh Nusantara, terletak di tanah lembah yang amat subur.
Hasil buminya melimpah ruah, perdagangannya amat maju. Apalagi sejak Raja
Angabaya yang baru itu memegang kekuasaan, kehidupan serta kemakmuran
rakyat sangat dipentingkannya. Sungguhlah seperti disebutkan dalam
peribahasa: lohjinawi karta raharja, sangat subur, aman dan makmur.
Mengapa penduduk Majapahit sangat padat pada waktu itu"! Ada
perumpamaan yang umum di seluruh Nusantara sejak dahulu, yang
maksudnya sangat mementingkan keturunan daripada harta benda. Bila
seorang gadis mengikat perkawinan, dimintakan oleh seluruh keluarga, agar
keduanya beroleh keturunan sebanyak bintang di langit, ada yang mendoakan
sebanyak titik air hujan yang terpencar dari celah-celah mega mendung. Ingat
saja perang Kurawa dengan Pendawa dalam cerita wayang, Bharatayuda yang terkenal
Kurawa keturunan Bharata, bersaudara sembilan puluh sembilan
orang, jadi kurang satu seratus. Itu yang terdaftar atau yang dikenal raja...
mungkin juga banyak yang tidak kenal karena tidak pernuh mendaftarkan
diri.... Sebagai hadiah keluarga, pemberian perkawinan yang terutarna menurut
adat, bukanlah barang elms, intan, berlian, atau kain tenun, sutra halus atau
cawan pinggan yang rnahal-mahal atau salah satu perabot rumah seperti
sekarang ini, akan tetapi sesuatu yang bersifat perlambang, sebagai doa atau
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantra, seperti ikan belanak, (bun riwu-than, semacam lokan: peso-peno dan lain-
lain sebagainya. Ikan belanak semacam ikan yang cepat berkembang
biak, maksudnya supaya lekas beroleh anak dan berkembang biak; peno-peon sebunyi
dengan penuh, rium-rizvu dengan beribu-rilnr, jadi sama dengan filsafat Jawa
tersebut: niunlh rezeki banyak anak, sesuai dengan filsafat hidup bangsa
Nusantara ketika itu. letapi jangan salah. Pada waktu itu penduduk Pulau Jawa
belum sepadat sekarang. Sekarang perlu pembatasan dan
perencanaan, sesuai dengan keadaan.
Betullah ketika api telah menyambar ke kiri dan ke kanan dengan
dahsyatnya, penduduk berlompatan keluar, seperti kelinci yang kepanasan
bergelomparan keluar dari sarangnya. Ada yang sempat melilitkan sampingnya dan
mengenakan baju, ada yang menjinjing kain saja datang terburu-buru dan tak
sempat mencari bajunya lagi. Ada yang berkemben') saja rapi-rapi, tiada berbaju
dan terlupa pula memakai kain, lalu berlari sepanjang jalan raya yang telah
penuh sesak, dengan sangat gugup dan ketakutan.
Di muka Bangsal Agung, yang terletak di seberang jalan di sebelah timur rakyat
membuat huru hara. Mereka menyerbu pertahanan barisan pengawal.
Mereka menuntut keadilan, meminta supaya Damarwulan dilepaskan.
"Tuduhan yang ditimpakan kepada Raja Angabaya fitnah belaka!" seru mereka
beramai-ramai. "Majapahit menghadapi keruntuhan," teriak mereka, "karena fitnah dan iri
hati...!" "Lekas, Gusti, lekas...!" kata mereka, ketika melihat Dewi Anjasmara datang
berlari-lari dengan sekalian biti-biti perwaranya_ "Suami Gusti menjadi korban
kedengkian dan pengaduan Berta tuduhan palsu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tolong, Gusti, tolong...!" teriak yang lain beramai-ramai. Penjagaan pengawal
itu sangat rapat, tidak seorang pun diperkenankan masuk.
"Lekas, Gusti, lekas...!" seru mereka beramai-ramai lalu menyerbu barisan
pengawal itu. Maka terjadilah perkelahian hebat antara barisan pengawal dengan
rakyat. Sementara itu di tempat kebakaran kedengaran teriak, lolong, tangis dan jerit
makin riuh dan api makin menggila dengan semau-maunya tiada teralangi dan
terkendalikan yang sekarang telah mulai menjalar arah ke pasar, yang terkenal
sangat ramai. Raden Menak Koncar kembali dengan pasukannya dan langsung menuju ke
Bangsal Agung, akan mengetahui keputusan sidang keratuan tentang diri
Damarwulan yang difitnah itu. Ia akan berusaha mencegah dan membela
sahabatnya yang tiada bersalah itu. Didapatinya rakyat sedang menyerbu dan
berkelahi dengan barisan pengawal. Sekaliannya menjadi kalap, ketika melihat
Dewi Anjasmara tidak diizinkan masuk.
"Hentikan perkelahian ini...!" seru Menak Koncar lalu menahan kudanya di tengah-
tengah orang banyak itu. Mendengar suara Senapati itu orang banyak melapangkan jalan dan
menghentikan perkelahian.
"Hamba ingin mengetahui nasib suami hamba, Raden!" seru Dewi Anjasmara,
menghampiri kuda Menak Koncar.
Mendengar suara Dewi Anjasmara, Menak Koncar segera melompat dari atas kudanya
dan menyembah dengan hormatnya.
Sementara itu pasukannya telah berhasil menguasai suasana, segera
melapangkan jalan kepada rombongan Dewi Anjasmara, diiringkan senapati Menak
Koncar. Kedatangan mereka terlambat...! Sesaat sebelumnya Damarwulan telah
menerima nasibnya menjalani hukuman... dengan membenarkan tuduhan dan
kekerasan dan paksaan kaum bangsawan sebagian besar anggota Majelis
Agung telah membenarkan tuduhan dan fitnahan.
"Hamba mencari suami hamba, Gusti!" kata Dewi Anjasmara, setelah melihat
berkeliling dalam ruang sidang dengan tajam dan liar. Setelah ternyata orang
yang dicarinya tidak ada lalu menjatuhkan dirinya ke bawah kaki Dewi Suhita yang
masih duduk di atas singgasana Majapahit untuk penghabisan kalinya. Baginda
masih termangu seperti kena pesona mengenangkan
keputusan yang telah diambil oleh sidang.
Jika sekiranya suami hamba harus menerima hukuman, karena
kelancangannya bertindak, mengubah dan merombak, mana yang
dianggapnya telah usang dan lapuk, Gusti, hamba mohon dengan amat sangat akan
kebijaksanaan serta pertimbangan Gusti yang seadil-adilnya, supaya kepadanya
dijatuhkan hukuman yang seringan-ringannya. Hamba mengetahui benar jiwa dan isi
hati Damarwulan. Setelah ia Gusti angkat menjadi Raja Angabaya, karena hamba selalu
diajaknya berunding dalam suka dan dukanya, demi dewa-dewa, tiadalah
pernah ia menyembunyikan sesuatu kepada hamba; percayalah. Gusti, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segala yang dilakukannya itu dengan maksud baik belaka, guna keselamatan dan
kemajuan rakyat Majapahit pada umumnya, untuk memperkokoh serta
memperkuat dasar pemerintahan Seri Ratu juga khususnya.
Ia tiada mau senang dan diam, jiwanya hidup dan bergerak selalu. Ya
Gusti...! Kadang-kadang melihat kepincangan kehidupan masyarakat rakyat
Majapahit, jiwanya tampak seakanakan berontak dengan hebat. Acapkali ia berkata
di muka rakyat, dengan niat hendak menyadarkan dan menginsafkan mereka, ujarnya,
alangkah janggalnya apabila di bumi Jawadwipa yang kaya, sangat subur dan amat
indah ini ada rakyat yang melarat, hidup sengsara dan menderita.
Tidak patut... tidak patut...! Saling pengertian antara rakyat dan pemerintah
selama ini telah hilang, karena kepercayaan rakyat kepada petugas-petugas
pemerintah hampir-hampir tidak ada lagi. Senantiasa ia bercerita kepada hamba,
ia harus menghampiri rakyat untuk mengetahui isi hati mereka dan cita-cita yang
tersembunyi di dalamnya, serta hendak merigembalikan
kepercayaan mereka yang telah hampir hilang. Keinginannya amat besar dan luhur,
Gusti, bukan saja dalam memajukan penghidupan rakyat sehari-hari, akan tetapi ia bercitacita pula hendak
memperbaiki kehidupan keagamaan, yang menurut pendapatnya sudah amat kolot dan
banyak pula yang sebenarnya bertentangan dengan petunjuk kitab suci yang sesungguhnya.
Tiap malam hamba perhatikan ia mempelajari dan memahami kitab Weda
dan sering kali pula is berkata kepada hamba: tiap agama itu suci, kesalahan itu
selalu dibuat oleh orang yang menjalankannya, karena tidak dapat
memahami hakikat agama yang sebenarnya dan tidak mengerti lagi akan
makna ayatayat dalam kitab sucinya.
Ajaran agama itu diumpamakannya laksana mata air yang keluar dari celah-celah
batu di tanah pegunungan, bening dan jemih airnya, suci tiada bernoda sedikit
jua, sangat berguna dan bermanfaat kepada manusia, bahkan bagi tumbuh-tumbuhan
dan hewan serta makhluk sekalian.
Kalau tidak karena ajaran agama, yang merupakan pertunjuk-petunjuk suci daripada
Dewan Mulia Raya, jagat maya ini sudah lama musnah dan manusia selalu berbunuh-
bunuhan dan berdengkidengkian.
Akan tetapi kesucian ajaran agama itu, dijelaskannya kepada hamba, telah banyak
dirusak orang, diumpamakannya seperti air yang pada asal mulanya amat bening dan
jernih itu, makin lama makin berubhh, rusak dan keruh
makin banyak serta makin panjang sungai yang dilaluinya, makin banyak
kotoran dan lumpur yang menyelinap masuk menyertainya, sepanjang jalan sehingga
kadang-kadang sepintas lalu amat sulit membedakan dan
memisahkan air dan lumpur, Gusti!
Percayalah, Gusti, suami hamba sekali-kali bukan berniat hendak
mendurhaka atas kesucian sabda Dewa Mulia Raya, malah sebaliknya ia
bertindak untuk menyelamatkan dan membela kemurnian segala ajaran itu!
Diceritakannya pula, bahwa masa kita sekarang ini sudah terlalu amat jauh dari
sumber agama yang sesungguhnya, sebab itu suami hamba berusaha dan berdaya-upaya
untuk mengadakan penyaringan dan pembersihannya kembali, ya, Gusti, untuk
menjaganya dari kemusnahan_ Sekali-kali bukanlah seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang didesas-desuskan oleh suatu golongan tertentu, yang menaruh dendam dan iri
hati kepada suami hamba, karena hendak...."
Ia tiba-tiba terdiam dan memandang dengan liar berkeliling mengamati tiaptiap
muka yang menatap kepadanya.
"Katakanlah, Gusti hukuman apakah kiranya yang telah dijatuhkan atas diri suami
hamba...! Mengapa ia tiada kelihatan..."!" katanya dengan suara yang
membayangkan kecemasan. "Dari mula hamba tiba, perasaan hati hamba mengatakan, suami hamba sudah tidak
ada... lagi.._ di dunia... maya...! Benarkah, Gusti..."!"
Dewi Suhita tiba-tiba seakan-akan merasa serta menyadari akan
kelemahannya sebagai ratu dan baru menginsafi, bahwa dirinya sesungguhnya telah
dikelilingi oleh orang-orang yang sebenarnya telah bermufakat jahat, untuk
mendurhaka dan memfitnah untuk menjatuhkan dan membunuh
Damarwulan. "Paman Patih...!" serunya kepada bekas Patih Logender, yang turut hadir sebagai
saksi, yang sebenarnya sebagai penuduh. "Bagaimana pendapat Paman tentang bicara
Adinda Anjasmara itu" Berkata benarlah Paman! Demi para Dewa, sekarang baru
hamba melihat dengan senyata-nyatanva, bahwa
Pamanlah sebagai bekas patih Amangkubumi, yang dapat memberi keterangan seadil-
adilnya!" Patih Logender tidak dapat menjawab. Ia dari tadi menekur saja, menahan perasaan
tiada sanggup memandang wajah anaknya sendiri dalam sidang itu.
"Bagaimana nasib suami hamba, Ayah?" ujar Dewi Anjasmara pula berpaling kepada
orang tuanya yang masih berdiam diri.
"Sampai hati Ayah memutuskan cinta kasih hamba dengan suami hamba, setelah ia
berhasil membela serta mempertahankan Majapahit dari
kehancuran... Katakanlah Ayah, di mana suami hamba... anak saudara Ayah
sendiri.._! Ayah... Ayah...!!" suara Anjasmara makin keras, meneriakkan seluruh
kecemasan hatinya. "Apa alasannya maka Ayah jadi berbeda kasih berlain sayang terhadap anak
sendiri...!" katanya pula berhiba-hiba.
"Menjawablah, Paman Patih, sebagai anggota keluarga yang tertua...!" titah Dewi
Suhita sekali lagi. "Seri Ratu yang hamba muliakan, di mana suami hamba?" katanya pula putus asa dan
berpaling kepada Dewi Suhita, setelah ia sia-sia menanti jawab dari ayahnya.
"Aku... Aku... Dinda Dewi Anjasmara, tidak berdaya menghalangi...," jawab Seri
Ratu Suhita terputus-putus dan turun dari atas singgasananya lalu memeluk
Anjasmara. "Aku sendiri telah diperdayakan oleh saudara dan ayah Dinda
sendiri...!" Dewi Anjasmara segera melepaskan dirinya dari pelukan Seri Ratu Suhita, undur
selangkah dan menatap Dewi Suhita sejurus lamanya.
"Jadi, betullah seperti dugaan hamba, bahwa suami hamba... tidak ada lagi,
Gusti!" seru Dewi Anjasmara terputus-putus suaranya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seri Ratu Suhita tidak dapat menjawab, kerongkongannya seakan-akan
tersekat. "Majapahit akan musnah, negara akan hancur...! Mahkota Rajasanagara telah
berakhir di tangan Seri Ratu...!" teriaknya, memandang kepada orang banyak.
"Tuan-Tuan telah turut mengkhianati pahlawan sejati, pahlawan yang lama dinanti-
nanti selama ini. Ratu sendiri," katanya berpaling kepada Dewi Suhita yang masih
tegak terpaku di hadapan Dewi Anjasmara, "seakanakan Baginda sendiri tidak sadar
akan kedudukannya sebagai ratu. Dalam hati selalu memuja akan keluhuran budi
suami hamba. Akan tetapi sampai hati Gusti menjatuhkan hukuman, menyetujui
keputusan hukum yang tidak adil...."
Hening seketika! Yang hadir menahan napas.
"Bukan rahasia lagi, Gusti, di peluaran sejak suami hamba telah berhasil
menyelamatkan negara, sepatutnyalah ia duduk di samping Seri Ratu Bukan sebagai
Raja Angabaya, akan tetapi... sebagai mahkota hati Gusti ... sendiri."
Sekalian yang hadir gempar. Seorang perempuan gila tiba-tiba masuk dari pintu
bangsal yang menuju ke belakang, yang sewaktu-waktu memang tidak dijaga.
Majapahit akan hancur, Kerajaan Dewa-Dewa di Nusantara, Kebesaran mahkota Rajasanagara,
Telah lapuk menanti gugur...
Majapahit penuh pertentangan, Penuh kedengkian dan persaingan, Rakyat
menderita tidak terkira, Buminya makmur rakyat sengsara.
Hidup melarat tanpa perlindungan, Kezaliman merajalela di mana-mana,
Penuh khianat, penuh kedengkian,
Rakyat menderita lahir dan batin, Diperas, dihisap pembesar negeri,
KeadiIan dan kebenaran sukrr dicari.
Perempuan gila itu makin mendekat ke tengah-tengah ruang sidang dan di halaman
Bangsal Agung kedengaran suara rakyat makin gaduh.
"Api tak dapat dikuasai lagi...!" demikian kepala pengawal menyampaikan
pemberitahuan. Seri Ratu Suhita masih tegak kebingungan. Kedatangan dan perkataan
perempuan gila itu seakan-akan tiada diketahui dan dihiraukannya. Kemudian ia
memandang ke arah Patih Logender kembali.
"Bagaimana, Paman" Berkata benarlah...!" katanya.
"Layang Seta, Seri Ratu!" sahutnya lambat-lambat, hampir-hampir tiada kedengaran
oleh yang lain. Sidang lalu bubar. Layang Seta segera melompat keluar lebih dahulu.
Rakyat tiada dapat lagi menahan kemarahannya dan berteriak-teriak,
"Pegang Layang Seta...! Tangkap pengkhianat...!"
"Tangkap...! Tangkap...!"
"Bunuh...! Bunuh...!" seru mereka beramai-ramai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suasana tak dapat ditahan dan dikuasai lagi. Mula-mula Layang Seta
berdaya-upaya juga hendak melarikan diri, diiringkan oleh Layang Kumitir, tetapi
setelah dilihatnya di mana-mana api dan gelombang orang banyak yang telah siap
memperkepungkan dia, ia terpaksa menyerah. Pada saat itu barulah ia merasakan
pembalasan kedengkian dan buah perbuatan jahatnya sendiri.
Diceritakan, pada akhirnya ia telah diangkat menjadi Patih Amangkubumi,
menggantikan ayahnya, dengan alasan untuk kedamaian keluarga dan tentu dengan
persetujuan Damarwulan juga. Karena memang selama ini ia tiada
pemah menaruh dendam kepada kedua orang sepupunya, yang telah jadi
iparnya itu. Sebaliknya ia selalu berniat baik serta berpengharapan baik
terhadap pamannya, Patih Logender, bagaimana ia akan memusuhinya!"
Ada pula yang mengatakan, Damarwulan seorang yang terlalu percaya akan diri
sendiri, serta terlampau yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya itu, maka
tiadalah ia menghiraukan benar akan segala tindakan orang lain. Apalagi terhadap
mertuanya, pamannya sendiri dan terhadap kedua orang sepupunya, yang jadi
iparnya pula...! Adapun Adipati Bintara, yang telah lama berhubungan dengan pemimpin-
pemimpin Islam dari Malaka serta dari Pesisir Utara Pulau Sumatera dan ia
sendiri telah pula menganut ajaran baru itu, telah lama mengirim barisan
penyuluh, maka dengan mudahlah ia membawa bala tentaranya memasuki
kota Majapahit yang sedang kacau balau itu....
Sejak lebih kurang tahun 1500 Masehi mulailah sejarah kerajaan Islam-
Demak di Pulau Jawa. Riwayat Hidup ZUBER USMAN dilahirkan di Padang pada tahun 1916. Setamat dari Adabiah, ia
melanjutkan studinya ke Thawalib School di Padang Panjang dan kemudian Islamic
College di Padang (1937). Pada tahun 1938, ia pindah ke Jakarta dan menjadi guru
bahasa Melayu di sekolah Muhammadiyah. Selain pendidikan
formal, ia juga pernah mengikuti kursus Middelbare Acte Bahasa Indonesia di
Universiteit van Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1961, ia
menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Sastra Universitas Nasional.
Selain itu, ia juga meraih gelar sarjana pendidikan Universitas Indonesia pada
tahun 1962. Karya-karyanya, antara lain Sepanjang Jalan dan Beberapa Cerita Lain
(kumpulan cerpen, 1953), Aneka Rasa (1952), Kesusastraan Lama Indonesia (1954),
Hikajat Iskandar Zulkarnain (1956), Kesusastraan Baru Indonesia (1957),
Kedudukan Bahasa dan Sastra Indonesia (1960), dan Damarwulan
(1975). Suling Emas Dan Naga Siluman 26 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Penghuni Kuil Emas 1
mahkota Kertarajasa dan telah mengekalkannya di kepala hamba, berkat
perbuatan dan kepahlawanan anak saudara dan menantu Paman pula...."
Memandang ke arah Dewi Anjasmara, "Juga kepada putri paman sendiri, yang telah
menggembirakan hati Damarwulan."
Kembali berpaling kepada Patih Logender. "Sudahkah Paman mendengar tentang
satria Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, yang sedang kami bicarakan ini?"
"Ya, sudah hamba dengar juga."
"Bagaimana hubungannya dengan Paman Patih" Benarkah keduanya anak juga kepada
Paman?" tanya Dewi Suhita menyiasati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba sendiri pun baru sekarang mendengarnya. Tetapi yang hamba
ketahui dengan pasti, baik sebelum jadi patih atau sesudahnya, Kakanda Udara
memang senang sekali mengembara ke mana-mana. Ia tiada betah
diam di rumah atau di kepatihan sekalipun setelah diangkat menjadi patih.
Malah ketika mudanya ia lama turut dengan armada di lautan dan telah
mengembara ke mana-mana, ke Malaka, Kamboja, Maluku bahkan sampai ke
India tanah Hidustan. Karena sifat pengembara itulah sebabnya ia lekas sekali
meninggalkan pemerintahan. Ia lebih suka bebas mengembara ke manamana."
Beberapa lamanya mereka berbicara tentang diri Damarwulan dan soal
ketentaraan serta perayaan dan penyambutan atas kemenangan itu, kemudian barulah
mereka bubar, pulang ke rumah masing-masing.
13. Diangkat Menjadi Raja Angabaya
Alun-alun masih ramai. Kota Majapahit seakan-akan tenggelam dalam
kegembiraan dan keceriaan. Sejak Raden Gajah dengan induk pasukannya
telah kembali dari Prabalingga membawa kemenangan, tiada berhenti-
hentinya rakyat bersuka ria. Siang malam dalam kota diadakan keramaian untuk
merayakan kemenangan itu. Bermacam-macam keramaian diadakan
sepanjang alun-alun bahkan di seluruh kota. Keraton, kabupaten dan seluruh
paseban seakan-akan bermandikan cahaya yang gilang-gemilang. Gamelan
Kala-ganjur yang termasyhur itu tiada putus-putusnya ditahuh orang, sebagai
mendengarkan kemenangan Majapahit ke dalam rongga hati seluruh rakyat.
Makin malam makin memesonakan bunyi dan iramanya, membangun dan
mengetuk-ngetuk hati putra dan putrinya.
Apalagi pada hari itu luar biasa kegembiraan rakyat, mendengar pahlawan muda
yang sangat dicintainya itu telah diangkat menjadi Ratu Angabaya dan Raden Menak
Koncar diangkat menggantikannya jadi Senapati. Apakah yang lebih menggembirakan
daripada berita kemenangan serta berita pengangkatan Raden Gajah menjadi Raja
Angabaya itu! Seluruh rakyat mencintainya serta memuliakannya karena budi bahasa
dan keberaniannya. Di mana-mana orang berkumpul, tiada lain yang jadi buah tutur
mereka, selain Raden Gajah. Yang belum mengenalnya pada hari itu sengaja datang
dari tempat jauh, semata-mata hendak melihat wajah Raden Gajah. Banyak di antara
orang yang telah mengenalnya di Majapahit, tetapi banyak yang tidak mengetahui
atau tidak mengira, bahwa dialah Raden Gajah yang dicari-cari selama ini. Raden
Damarwulan mempunyai pergaulan yang luas di kalangan rakyat, terutama
dengan para pemuda. Hanya Damarwulan atau Raden Gajah sendiri, yang tampaknya tiada
bergembira amat, malah dada sedikit juga ia terpengaruh oleh kegembiraan rakyat
yang meluap-luap itu. Ia seakan-akan acuh tak acuh saja kelihatannya akan segala
sambutan dan pujian-pujian terhadap dirinya.
"Haraplah Adinda dimaafkan...!" ujar Dewi Anjasmara sambil memandang dengan
tenang kepada Damarwulan, "sejak Kakanda kembali dari medan pertempuran tampak
Kakanda tiada bergembira benar atas segala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemenangan yang telah Kakanda peroleh. Sudilah kiranya Kakanda
menerangkan kepada Adinda. Apakah gerangan yang jadi sebabnya,
Kakanda?" Damarwulan agak terperanjat mendengar suara Dewi Anjasmara, yang
seakan-akan tiada disadarinya benar ada di sampingnya. Sehari-harian itu
sesungguhnya ia terlalu lelah, menghadiri upacara ini, upacara itu, pertemuan
ini, pertemuan itu. Setelah selesai dan setibanya di rumahnya, tiada putusputus
pula tamu dan kenalan datang mengucapkan selamat atas kemenang-
annya itu dengan hati yang setulus-tulusnya atas pengangkatannya jadi Raja
Angabaya, payung panji kerajaan Majapahit.
Setelah membalas pandangan dan menatap wajah Dewi Anjasmara dengan
pandangan yang penuh kasih sayang, Raden Damar lalu menjawab, "Yayi...!"
Kemudian terdiam pula seketika. Ternyata juga agak payah ia rupanya
memilih kata-kata, mencari jawab yang akan dapat menyenangkan hati
kekasihnya. "Sesungguhnya pada mulanya Kakanda mengira, apabila peperangan sudah selesai,
bila Blambangan telah dapat dialahkan, tugas Kakanda habislah sudah...!"
"Bukankah tugas Kakanda kepada negara sudah Kakanda penuhi dengan sebaik-baiknya
dan Seri Ratu sangat berterima kasih dan sangat memuliakan jasa serta
kepahlawanan Kakanda. Kakanda telah dianugerahi pula pangkat yang setinggi-tingginya, jadi Raja
Angabaya serta Kakanda diharapkan senantiasa dapat mendampingi Seri Ratu Suhita
sepanjang masa. Apalagi kemuliaan yang lebih dari itu!"
Berdiam diri sebentar, kemudian katanya mengajuk, "Apabila Kakanda bersedia,
sesuai dengan persatiran dan janji Seri Ratu, Kakanda akan dijadikan Mahkota
Hati sendiri...!" "Adinda!" jawab Damarwulan dengan sangat berhati-hati. "Kemenangan atas
Blambangan belumlah berarti apa-apa. Musuh Majapahit yang paling
berat dan amat rumit, bukanlah yang datang menyerang dari luar, akan tetapi
ialah yang bersarang di dalam negeri serta yang berkubu di relung hati rakyat
sendiri." Dewi Anjasmara mengangkat alisnya, menatap Damarwulan sebagai
bertanya, penuh keheranan. Damarwulan segera mengerti dan dapat
menyelami perasaan kekasihnya lalu berkata, "Apabila dipandang dari luar,
kelihatanlah Majapahit masih utuh, tetapi yang sebenarnya...."
Raden Damar tidak segera meneruskan perkataannya. Lama ia terdiam.
"Sebenarnya bagaimana?" tanya Anjasmara pula dengan tidak sabar.
"Seperti sebuah bangunan yang benar, tiang-tiangnya telah tua dan lapuk serta
dasarnya sudah tiada kuat lagi!" jawabnya dengan tenang.
"Apa maksud Kakanda?"
"Kepercayaan rakyat sudah binasa, Adinda, sudah sulit memperbaikinya.
Selain hati mereka telah rusak, karena selalu mencerminkan perbuatan yang
menyakitkan hati serta menjauhkan kepercayaan mereka kepada petugas-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
petugas dan pembesarpembesar negara. Kesetiaan rakyat tiada dapat
diharapkan lagi." Anjasmara menatap suaminya, sebenarnya ia belum dapat menangkap
maksud pembicaraannya itu dan Damarwulan merasakan benar hal itu sebab itu
ujarnya, "Kakanda Seta dan Kumitir sendiri...!"
"Sekarang keselamatan Majapahit tergenggam dalam tangan Kakanda,
sebagai Raja Angabaya. Seperti dikatakan oleh Seri Ratu, Baginda. Seri Ratu
niscaya tiada berdaya dengan tiada Kakanda. Di tangan Kakandalah
sesungguhnya terletak keselamatan dan harapan seluruh Majapahit. Kakanda harus
bertindak dengan tegas. Tentu terang Adinda katakan, terhadap siapa saja, demi
keselamatan negara, baik terhadap saudara sendiri...."
"Karena pengharapan yang tertumpah atas diri Kakanda itulah
sesungguhnya Kakanda sangat meragukan kesanggupan Kakanda. Kakanda
tahu rakyat sangat menderita!" jawabnya pula.
Kemudian keduanya berdiam diri pula beberapa lamanya.
"Tidak, Kakanda! Kakanda tidak boleh meragukan kemampuan diri Kakanda sendiri.
Rakyat harus ditundukkan dengan kekerasan dan Mahkota Majapahit harus
diselamatkan...!" "Kekerasan! Musuh dapat dilawan dan ditundukkan dengan kekerasan, tetapi rakyat
tidak, Adinda! Tidak dapat dan Kakanda tidak akan
mempergunakan kekerasan kepada mereka yang lemah dan sebaliknya selalu
mengharapkan perlindungan. Aku sendiri adalah dari kalangan rakyat Adinda!
Aku lebih mengerti jiwa mereka seperti meyakini diri sendiri. Terus terang aku
katakan, penderitaan mereka adalah penderitaanku."
Damarwulan berdiam diri pula seketika, sebagai hendak meresapkan arti
kata-katanya yang terakhir itu.
"Harus Adinda ketahui, Kakanda bersedia menjadi Raja Angabaya hanya dengan suatu
pertimbangan yang bulat, untuk kepentingan rakyat. Karena merekalah aku berjuang
dan Kakanda dididik dan dibesarkan di tengah-tengah keluhan dan penderitaan
rakyat." "Bagaimana tentang keinginan, bahkan telah menjadi impian Seri Ratu agaknya,
akan mendudukkan Kakanda di sisi Seri Ratu supaya dapat
memelihara Majapahit bersama-sama...?" ujar Dewi Anjasmara.
"Adinda...!" jawab Damarwulan dengan senyum masam, tetapi penuh arti.
"Rongga jiwa Kakanda, sayang, sudah terisi, tiada lagi mengharapkan yang lain,
tegasnya selain cinta kasih Adinda sendiri."
Dewi Anjasmara tersenyum pula menampil senyum Damarwulan yang
kedengaran seakan-akan mengejek.
"Kakanda selalu mengatakan, bahwa kepercayaan rakyat sudah terpecah-pecah
sekarang. Tidakkah kewajiban seorang kesatria untuk mempersatukan kepercayaan
yang pecah-belah itu kembali demi keutuhan Majapahit!?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Adinda, sekali lagi tidak! Kepercayaan atau keyakinan adalah hak pribadi
tiap-tiap orang, tidak dapat dipaksa dan tidak mungkin ditundukkan apalagi
dengan kekerasan." "Selanjutnya ingin pula Adinda mengetahui, siapakah sebenarnya Sang Pendeta
Tunggul Manik itu"!"
"Kakanda belum dapat kepastiannya, tetapi ternyata sangat mencintai dan membela
Majapahit, terlebih-lebih sangat memuliakan Seri Ratu!"
"Sepatutnyalah, Kakanda, kita selalu berterima kasih ke hadapan Gusti yang
Mahasuci! Kita selalu dikurniai perlindungannya serta dilimpahi kebahagiaan....
Akan tetapi Kakanda...."
Dewi Anjasmara terdiam pula. Kemudian dengan mendekatkan mukanya
kepada Raden Damar sebagai berbisik, katanya, "Pastilah Sang Pendeta bukan orang
lain bagi kita, jangan-jangan Pamanlah Atau... Ayah Kakanda sendiri!"
Damarwulan menatap wajah istrinya dengan pandangan yang mengandung
seribu makna serta menyinarkan bermacammacam pengharapan.
Sesungguhnyalah ia sendiri ingin sekali hendak berjumpa dengan Ajar Suci yang
bijaksana itu. Ia merasa selalu dipayungi oleh restu serta
perlindungannya. Segera pula ia teringat akan pesan Ajar Tunggul Manik, lalu
katanya, "Kakanda segera akan menyuruh Paman Sabda dan Paman Naya ke Paluh Amba,
akan menyampaikan persembahan Kakanda kepada Bunda dan
Kakenda Maharesi. Keduanya harus segera diberi tahu!"
"Adinda berpendapat juga demikian. Tentu Bibi Nawangsasth senantiasa dalam
kekhawatiran tentang Kakanda. Ketika Kakanda berangkat ke
Blambangan beliau dalam sakit. Apalagi mendengar berita yang bermacam-
macam tentang diri Kakanda, jangan-jangan Bibinda sangat berduka cita."
Keduanya berdiam diri pula. Malam telah bertambah larut.
Jalan-jalan sudah mulai sepi. Keriaan dan keriuhan kota telah berganti dengan
kesunyian dan ketenangan. Hanya prajurit pengawas yang masih
berjalan dengan lesu dan perlahan-lahan atau berdiri di muka gardu
penjagaannya sampai waktunya digantikan oleh prajurit yang lain.
"Bagaimana pikiran Kakanda tentang Ayahanda dan Kakanda Layang Seta dan Layang
Kumitir..- " tanya Dewi Anjasmara.
"Itulah yang selalu menjadi pemikiran Kakanda. Kakanda sendiri sudah menetapkan
dalam hati Kanda, tidak akan menuntut segala perlakuan mereka terhadap diri
Kakanda sendiri, apa lagi Paman Patih dalam hal ini sebenarnya tidak apa-apa.
Beliau dipengaruhi oleh Kakanda kedua itu. Jika sekiranya Paman Patih hadir
dalam sidang kedua di bangsal niscaya beliaulah yang akan diangkat menjadi wakil
keratuan di Suwarnabumi, tetapi datang berita, Paman dan Kakanda keduanya telah
meninggalkan Majapahit.... Kakanda menghadapi soal yang serba sulit."
"Hal itu janganlah menjadi buah pikiran Kakanda. Adinda mengerti watak Kakanda
Seta dan Kumitir dan Adinda yakin seperti kata Kakanda sendiri, kebenaran itu
akan tetap menang dan unggul." -
Adapun Raden Damar sekembalinya dad Prabalingga di tengah jalan
pasukannya dihadang oleh rombongan pengacau, yang diduga dipimpin dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diatur oleh Layang Seta dan Layang Kumitir sendiri dan rupa-rupanya dengan
setahu parnannya pula, Patih Logender. Soal itu tentu menjadi buah pikiran bagi
Damarwulan yang senantiasa memaksanya bertindak dan berlaku
waspada. 14. Kedengkian Menyalakan Api Dendam yang Tak Padam-Padam
Orang-orang Layang Seta dan Layang Kumitir tiada berhasil membunuh
Damarwulan dalam perjalanan pulang dad Blambangan. Keduanya telah
membuat siasat jahat akan membinasakan Raden Damar dengan pengiring-
pengiringnya. Tetapi daya upaya mereka tidak berhasil
Mereka belum berputus asa. Bertiga dengan Patih Logender, mereka
mengatur siasat, menghasut rakyat pesisir, terutama Pesisir Utara dan dari sana
keduanya akan terus ke Sulebar di Suwarnabumi.')
"Bagaimana, Ayah, hubungan Sulebar dengan Majapahit?" tanya Kumitir, ketika
mereka bermalam di suatu desa dekat Ampel.
"Sulebar tempat rempah-rempah. Bandarnya ramai salah satu pelabuhannya juga
menghadap ke mulut kuala Selat Sunda Kelapa dalam sebuah teluk yang permai di
Suwarnabumi. Negerinya kaya raya. Seandainya Majapahit berhasil merebut ujung
kulon Jawadwipa, niscaya Majapahit bertambah kuat dan jaya.
Tetapi amat sayang, hubungan Majapahit dengan Pajajaran tak dapat
diperbaiki lagi, berhubung dengan peristiwa Bubat yang menggoncangkan itu."
"Ya, kami perlu mengetahui latar belakang peristiwa Bubat itu. Jika perlu kami
akan menghasut sekalian musuh Majapahit," ujar Layang Seta pula dengan geramnya.
"Sebelum sampai ke Sulebar Ananda akan menyinggahi tempat itu, sepatutnyalah
kami mengetahui sejarah serta hubungannya
dengan Majapahit. Buat sementara sebagai siasat kita akan berkawan dengan
sekalian musuh Majapahit."
Patih Logender tiada dapat cepat menjawab. Banyak persoalan yang
menyerang ingatannya. Sesungguhnya ia telah lama menyangsikan
kesanggupan dan kemampuan kedua orang anaknya itu. Tiap-tiap usahanya
selalu diikuti kegagalan serta kekecewaan atas dirinya. Ia sendiri
sesungguhnya sangat menyesal meninggalkan Majapahit dan menurutkan
kemauan kedua orang anaknya, yang selalu menurutkan hawa nafsu dan
dendam kesumat. Apalagi bila diingatnya putrinya sendiri, Dewi Anjasmara...
dan Raden Damar keponakannya yang sedang berbintang terang cemerlang.
Lama ia termenung. "Jalan yang lain, Ayah, tak ada, selain kita terpaksa meniup bara permusuhan
yang masih bernyala di hati para bupati dan raja-raja di seluruh Jawadwipa dan
Suwarnabumi. Kami telah mengirim orang pula kepada Bupati Bintara dan bagaimana
juga, boleh dikatakan, penduduk Pesisir Utara
seluruhnya menyokong kita," demikian desak Layang Seta selanjutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana Dewi Anjasmara, saudaramu sendiri!" sahut Patih Logender terharu dan
agak bimbang. "Kita bukan memusuhi dial" jawab Layang Seta dengan pendek.
"Damarwulan pun sepupumu, bukan?"
"Mana yang Ayah pentingkan, anak sendiri atau keponakan Ayah yang tak tahu diri
itu!" jawab Layang Kumitir pula.
"Dia telah menjadi suami adikmu, telah jadi iparmu!"
"Hal itu jangan Ayah bicarakan juga. Aku ingin berkuasa habis perkara. Atau
Majapahit runtuh sama sekali...," jawab Layang Seta, "dan Ayah harus menurut
kemauan kami.... Ayah jangan lupa, kita telah membuat perjanjian dengan orang-
orang dari Pesisir Utara!"
"Baiklah," jawab Patih Logender mengalah dan lesu.
"Ketika Prabu Hayam Wuruk menduduki singgasana baginda masih muda sekali.
Baginda tergila-gila melihat wajah seorang putri Sunda, putri raja Pajajaran."
"Di mana Prabu berjumpa dengan putri itu?" tanya Kumitir.
"Sang Prabu belum pernah bertemu muka dengan putri itu, hanya melihat lukisannya
yang sengaja ditulis oleh seorang seniman. Baginda segera
melahirkan keinginan beliau hendak mempersunting putri Parahiyangan itu.
Lalu dikirimlah utusan ke tanah Sunda dan tentu saja pinangan itu diterima.
Malah Raja Pajajaran amat berbesar hati dan bangga putrinya akan menjadi
permaisuri seorang raja besar, yang menguasai hampir seluruh Nusantara."
"Belumkah Prabu mempunyai permaisuri pada waktu itu?" tanya Layang Seta menyela.
"Tentu belum," ujar Patih Logender pula meneruskan ceritanya. "Karena itulah
kemudian timbul salah paham antara keluarga keraton serta orang besar kerajaan.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pajajaran dipandang sebagai suatu kerajaan kecil sedang Majapahit sebuah
kerajaan besar. Salah paham terjadi, karena orang Pajajaran merasa terhina
dengan perlakuan Majapahit yang sedemikian itu. Itulah sebab
musababnya terjadi peristiwa di Bubat itu."
"Serta bagaimana pulakah hubungan Majapahit dengan Suwarnabumi?"
tanya mereka. "Suwarnabumi atau Suwarnadwipa suatu negeri tua seperti Jawadwipa mungkin lebih
tua dan mempunyai sejarah yang hampir bersamaan pula. Baik dari pihak raja-raja
di Suwarnabumi maupun dari pihak raja-raja Jawadwipa telah berkali-kali
diusahakan kerja sama yang lebih erat atau persatuan, tetapi adaada saja
halangannya." "Apakah yang menjadi halangan itu, Ayah?" tanya Layang Kumitir.
"Di antaranya perbedaan kepercayaan dan perlainan kebiasaan, adat istiadat.
Agama atau kepercayaan yang dianut oleh rakyat sekarang ini sudah tak dapat
mengikat rakyat lagi, karena salah kaum agama sendiri."
"Apa maksud Ayah?" tanya Layang Seta, agak keheranheranan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ananda lihat sendiri, Brahmana dan pendeta bukan lagi membaca ajaran suci dari
kitabnya, tetapi semata-mata menjadi alat akan menyampaikan
perintah dan keinginan ... atasannya. Mereka mudah disuap untuk membodoh-bodohi
rakyat. Seperti Ananda saksikan sendiri kehidupan penduduk desa ini dan orang-
orang dari Utara sangat berbeda. Begitu pula kebiasaan,
kepercayaan dan masyarakat Suwarnabumi dengan kehidupan orang
Majapahit. Sudah beberapa lama kita bersembunyi di sini, tidakkah tampak oleh
Ananda perbedaan pribadi dan pekerti mereka?"
Keduanya terdiam beberapa lamanya, kemudian Layang Seta berkata pula,
"Keterangan Ayah ini amat penting artinya dalam mencapai jalan untuk
penyelenggaraan tujuan kita_ Sepeninggal kami ke Sulebar, Ayah hendaklah pergi
mengunjungi daerah Utara, terutama Bupati Bintara, untuk meminta bantuan
mereka." "Bagaimana hubungannya dengan Sulebar?" tanya Kumitir sekali lagi, "tadi belum
lagi Ayah jelaskan._.!"
"Seperti telah Ayah terangkan, Suwarnabumi sebelah Selatan itu telah lama di
bawah pengawasan Majapahit. Pamanmu sangat mengenal daerah itu,
karena is berulang kali mengunjunginya dan menetap di tempat itu." Patih
Logender terdiam pula seketika berpikir-pikir, kemudian katanya, "Jika tidak
salah yang memegang kekuasaan sekarang di Sulebar bukan orang lain, anak pamanmu
sendirilah." "Anak Patih Udara, Ayah?" tanya Layang Seta, agak bimbang dan heran.
"Benar!" "Kalau begitu saudara si Damar!" seru Kumitir.
"Sulit juga...!"
"Mengapa sulit," jawab Layang Seta. "Adakah mereka kenalmengenal, Ayah?"
"Ayah kira belum! Karena...." Ayahnya terdiam, berpikir. "Karena apa, Ayah?"
tanya Kumitir. "Hal itu rapat bertalian dengan rahasia pribadi pamanmu, Patih Udara masa
mudanya." "Bagaimana pula dengan kerajaan Pertiwi di pusat Suwarnabumi itu, Ayah?"
tanya Kumitir. "Kerajaan Sang Pertiwi merupakan negeri anal yang teramat tua yang masih
memperlihatkan keasliannya, menurut bahasa mereka disebut kerajaan Bunda
Kandung. Hubungannya luas sekali dan penduduknya tiada senang diam dari dahulu
kala, suka merantau ke mana-mana, karena itu banyak
cendekiawannya yang mempunyai akal seribu daya."
"Bagaimana pula hubungannya dengan Majapahit?" tanya keduanya.
"Pembesar Majapahit pernah dikirim mengajak patihnya berunding. Akan tetapi
ketika diketahuinya, pembesar Majapahit telah menyiapkan serta
diiringkan bala tentara yang amat besar jumlahnya, mereka segera membuka
.perundingan dengan kerajaan Pasai yang bermusuhan dengan Majapahit.
ltulah pangkal kegagalan Gajah Mada hendak mempersatukan Suw-arnabumi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan Jawadwipa. Kerajaan Bunda Kandung atau kedatuan Sang Ibu Pertiwi itu
sejak itu mulai menjadi pusat Islam, sangat dipengaruhi oleh Pasai."
"Bagaimana jalannya Majapahit berhasil mengalahkan Sriwijaya, Ayah?"
tanya Kumitir setelah berdiam diri seketika.
"Bukankah sebenarnya Sriwijaya yang besar itu ada bertalian darah juga dengan
kedatuan Ibu Pertiwi itu?"
Patih Logender berdiam diri seketika, kemudian katanya, "Kedatuan Ibu Pertiwi,
seperti telah diceritakan merupakan negeri asal yang tua, dari sanalah pada
mulanya asal keturunan raja-raja Melayu dan Sriwijaya. Sejak dari masa
pemerintahan Kartanegara di Singasari karena hubungan perkawinan kerajaan Melayu
itulah kemudian yang menjadi kerajaan Dharmasraya yang kemudian berpusat di Si
Guntur, yang telah berhasil dengan bantuan Majapahit
mengalahkan Sriwijaya yang agung itu."
"Bagaimana caranya, Ayah?" tanya Layang Seta pula.
Patih Logender tidak segera menjawab. Dirasakannya benar suasana
Majapahit pada waktu yang akhir-akhir itu tidak ubahnya pula dengan akhir
kebesaran Sriwijaya sebelum mengalami keruntuhannya. Selain kegoncangan yang
terjadi di kalangan kepercayaan rakyat terhadap penguasa, baik
penguasa di bidang agama baik di bidang pemerintahan, yang terutama
perebutan kekuasaan dan perpecahan di lingkungan istana. Sekaliannya
seakan-akan memberi kesempatan yang baik kepada kepercayaan yang
baru.... "Cobalah jelaskan, Ayah!" desak Kumitir.
"Kedatuan Sriwijaya memang sudah sangat tua, tiangtiangnya telah mulai lapuk
dasarnya tidak kuat lagi, terutama kepercayaan rakyat telah goyah...,"
sahut Patih Logender. Tengah mereka asyik berbincang-bincang itu beberapa orang yang mereka
suruh menyiapkan perahu telah pulang, membawa kabar bahwa dinihari
berikutnya mereka akan mengangkat sauh.
Dalam rencana mereka Patih Logender tidak akan turut dalam kunjungan ke Sulebar
dan Ujung Kulon Jawadwipa. Ia sendiri dari Ampel akan pergi ke Leren, Giri,
berjalan darat sepanjang pantai serta akan lebih cepat tiba di Bintara.
"Mohon restu, Ayah!" ujar Seta dan Kumitir, ketika keduanya akan berpisah dengan
orang tuanya. "Ingatlah Ayah, sekalian musuh Majapahit dan orang Utara menjadi
teman dan penolong kita!"
15. Usaha Memakmurkan Negeri dan Membela Rakyat
Berbilang bulan telah berlalu...! Banyak peristiwa sudah terjadi, menuju saat
pembaruan dan perubahan. Yang usang dan lapuk telah bertukar dan berganti,
dibina serta diperbarui dan yang jebol sudah pula diperbaiki. Tampaklah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kecintaan dan kepatuhan rakyat kepada ratunya. Terutama Damarwulan
pandai sekali mendekati dan menarik hati rakyat. Tak berhenti-hentinya is
berusaha memimpin dan menuntun rakyat, demi kemajuan dan kesejahteraan mereka
sendiri. Paseban selalu saja ramai. Pada saat-saat yang telah
ditetapkan Damarwulan sendiri muncul di tengah-tengah orang banyak,
memberi contoh dan teladan, penerangan dan pengajaran tentang tugas dan
kewajiban bernegara dan bermasyarakat. Semua golongan senang berhadapan dengan
dia, yang lemah dilindunginya dan yang bodoh dibimbing serta
dituntunnya. Yang pandai didekatinya dan diajaknya berunding serta bekerja
bersama-sama dalam membela kepentingan rakyat dan berusaha untuk
memajukannya. Sekaliannya turut membantu, baik yang beragama Hindu
Syiwa atau Buddha, baik yang menganut kepercayaan apa pun. Maupun
orang-orang dari Pesisir Utara yang menganut kepercayaan baru mendapat
kemerdekaan seluas-luasnya.
Damarwulan sendiri tak dapat diceritakan betapa girang hatinya serta
betapa giatnya berusaha, sehingga besar sekali tampak perubahan di seluruh kota
Majapahit, bahkan di seluruh wilayah kerajaan.
Apalagi setelah pamannya, Patih Logender, kembali ke Majapahit, tak ada lagi
yang dikhawatirkannya. Sekalipun Patih Logender tidak lagi turut dalam
pemerintahan, ia tetap berbesar hati, karena Seri Ratu telah memberi kurnia
secukupnya untuk jaminan kehidupan pamannya itu. Ternyata menurut
pandangan dan keputusan Ratu Suhita sendiri, pamannya tidak tersangkut dalam
peristiwa kedua orang anaknya. Sekalipun Damarwulan telah
mengetahui, bahwa Layang Seta dan Layang Kumitir, seperti keterangan Patih
Logender sendiri, telah melarikan diri dan ada di Sulebar, ia tidak akan
menuntutnya lagi asal saja ia tidak datang mengganggu ke Majapahit. Segala
pembicaraannya dengan kedua orang anaknya serta bagaimana rencana
Layang Seta dan Layang Kumitir tentu dirahasiakannya sungguh-sungguh. Ia seakan-
akan tidak tahu-menahu dengan keberangkatan anak-anaknya itu.
Memang Logender sangat pandai bersandiwara.
"Kakanda terlalu sibuk benar akhir-akhir tegur Dewi Anjasmara, sambil duduk di
samping suaminya. "Bagaimana keadaan di pertapaan-pertapaan yang Kakanda
kunjungi?" "Ah, tidak ... Adinda," sahut Damarwulan, menatap wajah istrinya. "Kakanda
berterima kasih kepada dewa-dewa, sekalian yang Kakanda jumpai dalam
perjalanan sangat membesarkan hati. Suasana di desa membayangkan
harapan baik pada zaman mendatang."
"Bagaimana tampaknya penghidupan orang desa?" tanya Anjasmara pula dengan penuh
perhatian. "Menyenangkan sekali, Adinda, malah dapat dikatakan sangat
menggirangkan!" "Menggirangkan bagaimana?"
"Dengarlah Kakanda kisahkan bagaimana terasa dekat kecintaan rakyat kepada
tentara Majapahit sekarang," ujar Damarwulan. "Karena banyak tempat pertapaan
yang harus dikunjungi dan tempat-tempat itu berjauh-jauhan letaknya, kami terus
memilih kuda yang sekencang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kencangnya di Majapahit. Aku menaiki seekor kuda hitam, Langlayang
namanya dan Senapati memilih seekor kuda putih, Jalurang."
"Yang lain bagaimana serta berapa orang pengiring Kakanda?" sela Anjasmara pula.
"Sekaliannya naik kuda, dua belas orang jumlahnya dengan kami."
"Lalu?" desak Dewi Anjasmara, ingin lekas mengetahui kisah perjalanan itu.
"Kepada Senapati telah aku beri tahukan supaya kami berpakaian biasa saja. Akan
tetapi...," Damarwulan berhenti pula. Dari wajahnya kelihatan ia teringat
sesuatu peristiwa yang lucu tetapi menyenangkan.
"Akan tetapi bagaimana?"
"Kesepuluh pengiring kami tentu berpakaian kesatria belaka, karena Kakanda lupa
memberitahukan kepada mereka untuk berpakaian biasa saja
seperti kami." "Mengapa pada waktu akan berangkat mereka tidak disuruh mengganti pakaian mereka
kembali?" "Tidak sempat lagi! Kami harus berangkat menurut rencana yang telah ditetapkan,
jika tidak tak dapat pula kami kembali pada waktunya," sahut Damarwulan.
"Tadi pun kalau Adinda tiada keliru,
Kakanda terlambat dari biasanya," ujar
Dewi Anjasmara menyiasat.
"Sesungguhnya tidak! Nanti Kakanda
jelaskan...." "Lalu apa yang terjadi dalam
perjalanan, Kakanda?"
"Tentu akibatnya, karena kami
berpakaian biasa, di manamana rakyat
menyambut pengiring kami yang berpakaian
kesatria itu." "Serta bagaimana terhadap Kakanda dan
Senapati?" "Bagaimana lagi, kami hams menerima
perlakuan sesuai dengan pakaian yang
melekat di badan kami. Perwira dan prajurit
yang jadi pengiring kami dthormati dan
dielu-elukan sepanjang jalan dan ke mana
mereka pergi, sebagai kesatria dan
pahlawan Majapahit. Tahukah Adinda sekarang, bagaimana hati rakyat
mencintai prajuritnya pada umumnya dan kesatria khususnya, lain dari
pandangan dan sambutan mereka terhadap prajurit yang dahulu?"
"Bagaimana lainnya?" tanya Dewi Anjasmara.
"Berlain sekali!" jawab Raden Damar. "Sebelum aku ke kota, Adinda tahu Kakanda
dibesarkan dan tinggal di desa. Pada waktu itu kalau ada prajurit atau tentara
yang masuk ke desa, anakanak habis berlarian menyembunyikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri dan perempuanperempuan segera menutup, mengunci atau memalang
pintunya. Negeri, kampung atau desa seperti dialahkan garuda, karena rakyat
ketakutan. Tetapi sekarang tidak lagi, mereka merasa bangga menyambut
prajurit-prajurit, karena mereka yakin prajurit-prajurit Majapahit sekarang
bercita-cita dan berusaha membela rakyat, betul-betul mereka telah dianggap jadi
pagar negeri." Dewi Anjasmara tersenyum bangga, kemudian katanya menggoda, "Akan tetapi Kakanda
sendiri, menurut cerita Kakanda tadi, tidak ikut merasakan penghargaan atau
penyambutan itu. Bukankah begitu, karena pakaian yang Kakanda pakai?"
"Memang!" jawab Dam ulan, "tetapi aku merasa mat bangga telah dapat
mengembalikan kepercayaan rakyat yang telah hilang selama ini; kepada
prajuritnya terutama!"
"Bagaimana pula sambutan para ajar dan pendeta di pertapaan?"
"Baik ... baik sekali! Biasanya rombongan kami dari desa diiringkan oleh orang-
orang desa dan anak-anak ke pertapaan beramai-ramai. Ketika itulah orang desa
mengetahui siapa kami."
"Bagaimana caranya?" tanya Anjasmara.
"Ketika tiba di desa, orang kampung seperti telah dikatakan amat
dipengaruhi oleh pakaian prajurit-prajurit kami dan kami dikiranya sebagai
cantrik-cantrik, kebayan atau lurch desa yang menjadi penunjuk jalan saja.
Buktinya pengiring-pengiring kami di desa mana pun kami berhenti senantiasa
disuguhi air nira, tuck atau seguir atau sekurang-kurangnya air kelapa muda,
tetapi aku dan Raden Menak Koncar... sedih... sedih... sedih sekali," ujar
Damarwulan. "Kakanda kedua disuguhi apa saja?" tanya Anjasmara.
"Disuguhi air di batok kelapa juga tetapi air sumur biasa saja."
"Memang sedih benar kalau begitu!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Tetapi tidakkah
ada di antara prajurit Kakanda itu yang memberitahukan kepada orang-orang desa
keadaan hal yang sebenarnya."
"Tentu tidak, Adinda! Sesuai dengan perintah atasan dan peraturan yang telah
dibuat sebelum berangkat. Seseorang harus tunduk kepada atasan, tidak boleh
membantah dan harus menerima seada-adanya, apa yang dikemukakan
orang desa dalam perjalanan itu."
"Lucu sekali," ujar Dewi Anjasmara. Keduanya tersenyum.
"Tadi Kakanda katakan sambutan di pertapaan baik sekali. Bagaimana pula
pengalaman Kakanda dan Raden Menak Koncar di sana?"
"Sambutan para ajar serta para pendeta lain sekali. Mereka seolah-olah tidak
memihak yang lahir, tetapi langsung melihat ke dalam. Mereka tidak mempergunakan
pandangan orang biasa lagi, tetapi sebaliknya dengan
pandangan cendekiawan yang mahabijaksana. Di sana kami dijamu dengan
kata-kata hikmat serta firman-firman kedewaan, yang tak terpahami oleh telinga
orang biasa. Di pertapaan-pertapaan itu kami tidak lama, sekadar mendengar
keinginan atau menerima usul para pendeta untuk keselamatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agama dan negara.... Setelah mendapat ucapan restu, kami lalu berangkat pula.
Ketika akan berangkat itulah rupanya orang banyak atau rakyat desa mengetahui,
siapa kami kedua, karena dalam mantra restu yang diucapkan Sang Pendeta, sesudah
menyebut nama Seri Ratu, lalu menyebut nama Raja Angabaya dengan Senapatinya
dengan suara yang merdu. Mantra restu itu
ringkasnya berisi pengharapan, mudah-mudahan para Dewa selalu
membimbing Majapahit dengan perantaraan Seri Ratu Dewi Suhita dan tangan
kanannya Raja Angabaya, Kakanda sendiri yang dipercayakan memegang
segala urusan kenegaraan dan tangan kiri Kakanda, Senapati, yang
memegang urusan pertahanan dan ketentaraan. Demikianlah kami
mengunjungi tiap-tiap desa dan tiap-tiap pertapaan."
Setelah membicarakan keadaan desa dan pertapaan, juga mereka
membicarakan rencana pembangunan dan perbaikannya.
"Tentu ada lagi pengalaman Kakanda yang lain, sampai terlambat tiba di rumah
sendiri!" ujar Dewi Anjasmara.
"Ah, itu yang Adinda maksud. Sesampai di luar kota, Kakanda singgah dahulu di
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedesaan Ayahanda." Patih Logender seperti telah diceritakan setelah mengunjungi Bintara segera
kembali ke Majapahit. Apa yang dilakukan selama itu sangat dirahasiakan tak
seorang pun yang tahu selain kedua orang putranya. Kemudian dengan suatu helah
pula ia diperkenankan mengundurkan diri dan tinggal di luar kota.
"Kakanda mula-mula agak terperanjat, karena bersua dengan orang banyak dari
Pantai Utara datang menghadap Paman, eh, Ayahanda!"
"Orang-orang dari Utara! Apakah urusannya dengan Ayah?"
Damarwulan tidak lekas menyahut. Dalam ingatannya ketika itu timbul pula suatu
pertanyaan, yang sebenarnya dari tadi itulah yang dipikir-pikirkannya, sebelum
Dewi Anjasmara datang bertanyakan tentang perjalanannya itu.
Kemudian ia berkata, "Karena tergesa-gesa dan karena takut akan terlambat sampai
di rumah tiada Kakanda perhatikan benar dan tak sempat pula
menanyakannya kepada Ayahanda."
"Tidakkah pernah Kakanda mencurigai orang-orang dari Pantai Utara itu"
Sepanjang penglihatan Adinda sendiri, pada waktu akhir-akhir banyak benar mereka
dalam kota Majapahit," ujar Dewi Anjasmara bersungguh-sungguh.
"Kecurigaanku tentu ada, akan tetapi terhadap Paman, ayah Adinda sendiri
pertimbangan Kakanda berlain, Dewi!" jawab Damarwulan dengan tegas.
"Tetapi tentang itu baiklah kita pikirkan kemudian. Yang sangat Kakanda
pentingkan dan sangat mengharapkan dorongan batin Adinda, ialah tentang
pembangunan Majapahit kembali! Bagaimana pertimbangan Adinda?"
"Pembangunan dan keselamatan negara harus sama-sama kita pikirkan, Kakanda!"
ujar Dewi Anjasmara dengan nada kecemasan. "Mata hati Adinda merasa dan melihat
matahari pembangunan di Majapahit bercahaya dan
bersinar amat terang menyilaukan mata, tetapi Adinda selalu
mengkhawatirkan pula jangan-jangan seperti sinar surya di waktu petang menjelang
senja, hanya sekadar menanti gelap malam turun merundung...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana kesudahannya jangan kita pikirkan, Adinda, terserah ke dalam tangan
para dewa. Dewa-dewa yang mengatur dan dewa-dewa pula yang
kuasa melenyapkannya," jawab Damarwulan dengan pendek.
"Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir bagi Adinda selalu menjadi pertanyaan
dalam hati, siang dan malam!" ujar Dewi Anjasmara pula. "Adinda mengenal pekerti
dan watak keduanya dan Ayahanda sangat mencintainya...."
16 Panji Wulung Kedatangan Tentara
Ada yang giat membangun, dan ada pula yang lebih giat meruntuh!
Bagaimana perjalanan Layang Seta dan Layang Kumitir sampai ke Sulebar, tidak
perlu diceritakan semuanya di sini. Karena tempat-tempat yang akan
'dikunjunginya itu telah dipelajari dan diketahuinya belaka dengan saksama,
mudah juga keduanya mendapat bantuan. Berbagai-bagai berita dan
kebohongan yang telah mereka siarkan, untuk memburukburukkan Majapahit serta
memfitnahkan Damarwulan. Keduanya tidak malu-malu menyiarkan
berita, sebenarnya yang mengalahkan dan yang telah menewaskan Menak
Jingga mereka berdua bersaudara bersama-sama seorang satria yang sudah tewas.
Dalam suasana sedang menghebat dan pertempuran masih berjalan,
sekonyong-konyong muncullah seorang kelana muda dengan orang-orangnya
yang terjadi dari kaum petualang belaka. Dengan tidak diduga-duga kelana yang
tak tentu asal usulnya itu, dengan akal dan siasat yang licik dapat menguasai
suasana. Ada yang menceritakan ia berasal dari anak tukang arit, ada pula yang
mengatakan keturunan perampok yang telah lama menantinanti kesempatan dan
berusaha menangguk di air keruh. Sehingga mereka yang
sebenarnya yang membunuh Menak Jingga, buat sementara terpaksa
meninggalkan Majapahit. Demikian pula orang tuanya. Patih Logender,
terpaksa meninggalkan kedudukannya karena beliau tak bersedia bekerja
dengan penipu dan perampok yang tak tentu asal usulnya itu.
Untung mujur bagi keduanya, Raden Panji Wulung sama sekali belum kenal akan nama
Damarwulan bahkan tentang ayahnya sendiri is hanya
mengetahuinya dari keterangan bundanya. Bundanya senantiasa menceritakan bahwa
yang jadi patih di Majapahit sekarang ialah "pakciknya" sendiri, Patih Logender,
ketika diketahuinya Layang Seta dan Layang Kumitir adalah anak pamannya anak
Patih Logender, tak dapat dikatakan betapa terharunya. Ia berjanji akan membantu
pamannya dan bersedia hendak mengembalikannya
kepada kedudukannya dan membela Majapahit dan akan datang sendiri
mengusir kelana itu, beserta kelengkapannya.
Adapun bunda Panji Wulung, putri tunggal Ratu Sulebar, dan ketika itu
dialah yang memegang pemerintahan Sulebar itu, menggantikan kakenda
dibantu Patih Pecat Tanda.
Sesuai dengan perhitungan ilmu pelayaran pada ketika itu, maka pada pagi hari
yang kedua belas, tibalah armada yang dikirim dari Sulebar di muara Kali Sedayu.
Ada lagi beberapa buah perahu yang akan datang menyusul, karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpaksa menyinggahi bala bantuan. Perahu-perahu yang telah sampai itu dipimpin
sendiri oleh Patih Pecat Tanda, yang lain oleh Raden Panji Wulung sendiri.
Rakyat tentu gempar melihat kedatangan perahu sebanyak itu, dan
bertanya-tanya, perahu atau armada dari mana gerangan. Mereka terlalu
keheran-heranan. "Yang berdiri di samping nakhodanya itu, seperti ... ya, serupa benar dengan
Layang Seta." Kata yang lain, "Benar ... tak salah lagi, yang berdiri di sebelahnya itu Layang
Kumitir, memang ... Kumitir...!"
"Dari manakah mereka gerangan?"
Yang lain menjawab pula dengan herannya, "Bukankah Seta dan Kumitir telah tewas
di medan pertempuran?"
"Bukan tewas tetapi dipenjarakan, karena telah berkhianat kepada Raden Gajah!"
sahut yang lain pula. "Tidak tewas dan bukan pula dipenjarakan," sela yang lain.
"Ah, mana boleh jadi...."
"Benar...! Layang Seta dan Layang Kumitir...?"
"Ini buktinya, ..." jawab yang lain pula. "Keduanya melarikan diri tengah malam,
sesudah beberapa hari ditahan."
"Ya, saya mengetahui rahasianya," kata seseorang yang baru sampai ke ujung
dermaga, tempat mereka bertengkar itu.
"Patih Logender sendiri yang menyelundupkan kedua orang anaknya itu dari penjara
dan membawanya keluar kota tengah malam. Itu sebabnya pada
upacara pelantikan Raja Angabaya dan Senapati yang penting itu Patih
Logender tidak tampak...," katanya pula.
"Bukan rahasia lagi di Majapahit," jawab yang lain, Patih Logender sangat
dipengaruhi oleh kedua orang anaknya, yang selalu berhati dengki kepada
sepupunya sendiri." "Malah telah menjadi iparnya pula!" sela yang lain.
"Kedengkian dan dendam telah meracuni kehidupan dan perhubungan
mereka berkeluarga...," sahut seorang nelayan yang lebih tua dari sekaliannya.
"Bukan semata-mata merusak atau meracuni hubungan mereka saja, tetapi pasti akan
membakar seluruh Majapahit dan meruntuhkannya menjadi abu!"
ujar orang yang berdiri di samping dan kelihatan hampir sebaya dengan
nelayan itu. "Kesatria Majapahit yang diharapkan untuk membela keraton, amat
sayang, mereka akan bertikam-tikaman dan berbunuh-bunuhan
sesamanya." "Sekarang usaha dan perjuangan kita, mudah-mudahan, akan lebih lancar jalannya,"
kata seorang anak muda berbisik kepada kawannya. Dari tadi keduanya berdiri agak
memencil-mencil dari orang banyak serta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperhatikan sekalian peristiwa itu dengan amat cermatnya. "Sudah jelas armada
orang Sulebar. Engkau segeralah menyampaikannya kepada Patih
Logender dan aku segera pergi ke Giri, dari sana mungkin terus ke Tuban...
Assalamualaikum...."
"Alaikumsalam!" jawab temannya dengan senyum bahagia. Insya Allah wa taala kita
segera berjumpa lagi...."
Keduanya keluar menuju ke jalan raya dan orang makin berbondong-
bondong dan berdesak-desakan ke kuala dan sebahagian pasukan yang datang itu
telah naik ke darat. Pada ujung jalan yang keluar dari muara Kali Sedayu itu
yang seorang membelokkan kudanya ke kanan akan menuju ke Giri, yang menjadi
pusat ajaran Islam dan yang seorang membelok ke kiri, terus ke selatan menuju ke
rumah Patih Logender. Keduanya sama-sama berusaha
secepat-cepatnya supaya dapat menyampaikan berita itu selekas-lekasnya.
Ke dalam istana Majapahit segera juga tersiar kabar tentang kedatangan perahu-
perahu dari Sulebar itu dan telah disampaikan orang pula tentang kedatangan
Layang Seta dan Layang Kumitir bersama-sama bala tentara yang datang itu. Raja
Angabaya segera memerintahkan orang untuk menahan dan membawa bekas Patih
Majapahit ke istana, tetapi ternyata Patih Logender sudah melarikan diri.
Rumahnya telah ditinggalkannya, sama sekali telah kosong.
"Ah Paman...!" keluh Damarwulan menyambut kabar dari prajurit yang diperintahkan
ke rumah pamannya itu. "Itulah, pertimbangan Kakanda terlalu terikat oleh perasaan kekeluargaan!"
ujar istrinya menyesali. "Ya, bagaimana tidak, Adinda!" jawab Damarwulan. "Bekas Patih Majapahit itu
pamanku serta mertuaku, ayahmu sendiri. Anjasmara! Kedua orang
anaknya itu, saudaramu, sepupuku dan iparku pula. Tak lain yang aku
harapkan kesadaran mereka sendiri."
"Adinda sudah memberi ingat kepada Kakanda, tentang orang-orang Utara yang
datang berkunjung ke pedesaan Ayahanda!"
Damarwulan terdiam seketika, kemudian ketika istrinya mendesak
dijawabnya, "Sejak bila ada larangan, orang asing tidak boleh berhubungan di
Majapahit!" sahut Damarwulan pula dengan tegas. "Hati manusia tidak dapat
dikongkong dan dibendung dengan seribu lapis penjagaan dan peraturan,
tetapi barangkali, mungkin dapat disadarkan dengan kebenaran serta
keinsafan tentang arti kebenaran itu. Saya tak pernah khawatir dan gentar, demi
dewa-dewa yang lebih kuasa, selama saya berdiri di atas yang benar dan berjuang
untuk membela kebenaran itu...."
Anjasmara menjawab dan seakan-akan menuduh, "Ya, Kakanda, karena
hendak membela kebenaran dan untuk menjaga rma Majapahit, Kakanda
seharusnya lebih waspada serta lebih berhati-hati. Sejak semula, tiadakah
Kakanda sadari, diri Kakanda diancam kedengkian, dendam, dan iri hati...."
Beberapa lamanya keduanya terdiam, sana-sama merasakan makna
perkataan masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kebenaran itu sendirilah yang akan unggul memperlihatkan diri seperti cahaya
matahari yang menyinari bumi tak akan tertutup oleh kabut atau mega mendung
sekalipun," jawab Damarwulan dengan lebih pasti dan yakin.
Di gapura kesatriaan tampak dua orang satria masuk dan segera turun dari atas
kudanya, menuju ke tempat mereka.
"Tilarsa dan Rarangin datang!" ujar Damarwulan. '
"Majapahit menanti satria yang setia mempersembahkan jiwa raganya...,"
seru Dewi Anjasmara kepada keduanya.
"Karena itulah kami datang, Kakanda!" jawab keduanya, seraya memberi hormat
kepada iparnya. Kemudian kepada Damarwulan selaku Raja Angabaya.
"Pasukan sudah disiapkan. Menunggu perintah!"
"Adinda kedua dengan pasukan Adinda, akan mengeluari musuh sampai ke muara Kali
Sedayu, sementara Senapati menyiapkan bala tentara menanti di perbatasan kota,"
demikian perintah Raja Angabaya. "Sebelum meninggalkan kota dengan pasukan
Adinda, Adinda kedua harus menghadap Senapati,
merundingkan tugas."
Adapun Patih Logender beberapa hari sebelum Armada Panji Wulung itu
masuk ke muara Kali Sedayu terlebih dahulu telah menerima berita. la segera
berangkat ke desa Ampel. Di sanalah ia menunggu kedatangan Panji Wulung dengan
kedua orang anaknya. la sangat berbesar hati menyambut mereka dan yang lebih
membesarkan hatinya lagi, Raden Panji Wulung belum mengenal dan mengetahui
bagaimana keadaan di Majapahit yang sebenarnya. Harus
dijaga benar, supaya ia jangan mengetahui, Damarwulan adalah saudaranya sendiri.
Untung pula! Kedatangan perahu kenaikan Raden Panji Wulung tidak bersama-sama
dengan Layang Seta dan Layang Kumitir. Dapat ia mengatur
dan membicarakan siasat lebih leluasa dengan anaknya yang tiba terlebih dahulu.
Demikian pula Patih Pecat Tanda harus dijaga benar, jangan dapat
hendaknya ia berhubungan dengan siapa pun, yang mungkin akan
membukakan rahasia itu. Kedatangan perahu Panji Wulung bersamaan benar dengan kehadiran
pasukan Raden Panji Kuda Tilarsa dan Raden Panji Kuda Rarangin. Bukan
kepalang ramainya orang di muara Sedayu. Dari mana-mana orang datang
berbondong-bondong sengaja hendak melihat dan ingin mengetahui maksud
kedatangan mereka, karena tampaknya bukan pelang atau kapal dagang
biasa. Sebuah armada dengan perlengkapan secukup-cukupnya.
Yang berjualan makin hari makin ramai, terutarna yang berjualan barang makanan
dan buah-buahan. Pasukan Panji Wulung itu makin hari makin
terbiasa pula dan makin berani naik ke darat. Maklum mereka telah berhari-hari
tinggal di laut. Selain mereka memerlukan sayur-mayur dan buah-
buahan, mereka perlu pula menghirup hawa segar dan menikmati
pemandangan alam ujung wetan Jawadwipa yang permai itu_ Ke mana
mereka pergi anak-anak ramai pula mengiringkan mereka. Bagi bangsa apa pun di
seluruh dunia, dari dahulu sampai sekarang, waktu damai maupun
waktu perang, ke mana mereka pergi, bila berjumpa dengan kanak-kanak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segeralah bercipta suasana damai yang akrab, kasih sayang yang kadang-
kadang sampai mereka lupa di mana dan waktu apa mereka berada.
Tetapi ... sayang...! Suasana gembira itu tidak lama. Di suatu tempat segera
terjadi peristiwa tegang, agaknya karena salah mengerti, salah bertindak mungkin
juga salah perlakuan. Tentara Tilarsa dan orang-orang Kuda Rarangin segera
bertindak untuk menjaga keamanan. Sebaliknya, yang sepihak lagi tidak mau
menerima perlakuan yang semacam itu, mereka merasa
tersinggung dan merasa benar sendiri. Terjadilah perkelahian kecil-kecil yang
satu segera diikuti oleh yang lain dan sesudah yang lain yang lain pula. Itulah
permulaan pertempuran itu.
Terjadi pula perkelahian antara Patih Pecat Tanda dengan Raden Menak
Koncar sendiri. Radon Menak Koncar segera tidak berdaya lalu jatuh pingsan.
Begitu pula sekalian yang berani menghadapinya.
Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin segera datang membantunya. Barulah Patih Pecat
Tanda mendapat perlawanan, malah seakan-akan kepayahan juga ia
menghadapinya, sehingga Raden Panji Wulung datang pula membantu.
Mula-mula ia berhadapan dengan Kuda Tilarsa. Kedua satria itu sama-sama tampan,
sebaya, sama-sama muda, ketangkasannya berbanding pula. Yang
seorang menyerang dengan gesitnya, yang lain menangkis dengan
tangkasnya. Beberapa lama mereka serang-menyerang, tangkis-menangkis,
belum ada juga yang kena.
Kemudian bergantian. Kuda Rarangin pula tampil ke depan, berhadapan
seorang lawan seorang dengan Raden Panji Wulung dari Sulebar itu. Kuda Rarangin
mempergunakan siasat yang lain. Dengan langkah lebih rapat dan lebih rapi serta
menyerang lebih cepat, menikam Panji Wulung dengan
tikaman yang bertubi-tubi. Itu pun sia-sia dan dengan mudahnya juga
ditangkis serta dielakkan oleh Panji Wulung.
Dicobanya pula cara menyerang yang lain, itu pun dengan mudah juga
dielakkannya. Sesudah berulang-ulang dan gantiberganti menyerang dan
menangkis mereka sama-sama tercengang dan sama-sama heran. Laku
mereka dalam perang tanding, tak ubahnya sebagai laku tukang gendang
dengan tukang tari, begini lagunya begitu tarinya, berubah lagunya lalu beralih
pula tarinya. Seimbang dan sejalan benar.
Ajar Tunggul Manik yang sejak semula diam-diam menyaksikan perkelahian itu lalu
tampil ke muka, menyeruak di antara orang banyak. Setelah sampai ke tempat kedua
orang satria itu ia berkata, "Wahai satria muda! Engkau kedua ternyata mempunyai
ilmu yang sama selain mempunyai aliran darah yang
sama pula. Berhentilah kalian berkelahi ... tiada gunanya diteruskan!"
Keduanya sama-sama memandang kepada ajar sakti itu seolah-olah dia
diutus para dewa, datang tiba-tiba datang melerai perkelahian itu. Siapakah dia
gerangan dan dari mana datangnya. Keduanya amat heran, demikian pula sekalian
yang hadir. Patih Pecat Tanda juga keheran-heranan. Ia masih mengenal ajar itu, tetapi ia
agak ragu-ragu akan menegurnya. Sinar matanya amat tenang tetapi
memesonakan, yang hanya didapati pada orang-orang yang berpribadi luhur belaka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ketahuilah, bahwa kamu ketiganya," ujarnya pula, seraya memegang pundak Kuda
Tilarsa yang segera pula mendekatinya, "adalah bersaudara!"
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Panji Wulung dan Kuda Rarangin masih tertegun, tegak sebagai terpaku di tanah.
Ketiga satria yang dikatakan bersaudara itu berpandang-pandangan; bagi yang
menyaksikan ketika itu akan kelihatanlah sorot pandangan
ketiganya tidak berbeda, raut mukanya serupa bahkan potongan badan serta lagak-
lagu mereka berkata-kata dan bertindak tidak berbeda sedikit juga.
Sekaliannya tidak didapati kecuali pada orang yang bersaudara juga.
"Ampunilah hamba ... Bendara Patih!" seru Pecat Tanda sujud menyembah di hadapan
ajar itu. "kalian kepandaian dan pengetahuan yang telah dilimpahkan atas diri
hamba telah hamba turunkan semuanya sesuai dengan amanat Bendara Patih!"
"Ya ya, Pecat Tanda," sahut ajar itu, "telah saya saksikan sekaliannya.
Terima kasih alas kesetiaanmu!"
Raden Panji Wulung masih terheran-heran juga.
"lnilah mendiang') Patih Udara," seru Patih Pecat Tanda pula, kepada Panji
Wulung, "Ayah Bendara Raden sendiri!"
Panji Wulung segera membungkukkan badannya memberi hormat kepada
Ajar Tunggul Manik, ayahnya yang belum pernah dilihat dan dikenalnya.
Dituruti oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa yang tak kurang pula herannya,
karena keduanya sebenarnya baru pada ketika itu pula menyadari bahwa Ajar
Tunggul Manik itu ayahnya sendiri.
Orang banyak tidak terkira-kira pula terharunya. Dari pertarungan yang amat
sengit sekarang berubah menjadi pertemuan kekeluargaan yang teramat mengharukan.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa segera mengajak ayahnya dan saudaranya
dari Sulebar itu masuk ke dalam kota menemui Raden Damarwulan, yang
telah diangkat menjadi Raja Angabaya. Seluruh kota terlalu amat gempar melihat
pasukan Kuda Tilarsa dan Kuda Rarangin menuju ke dalam kota
mengiringkan Panji Wulung, tentu dengan pengawal kebesarannya pula.
Senapati, Raden Menak Koncar, tentu serta pula mengiringkannya beserta beberapa
kepala pasukannya. "Apakah gerangan yang telah terjadi?" pikir Seri Ratu Suhita, melihat sekalian
pasukan itu telah memasuki gerbang kota Majapahit. Demikian pula Damarwulan
ketika sekaliannya menuju ke kesatriaannya, langsung menuju ke tempat
kediamannya. 17. Berkumpul dengan Keluarga
Pertemuan yang mengharukan!
Bagaimana pertemuan Panji Wulung dengan Damarwulan, Kuda Tilarsa dan
Kuda Rarangin di hadapan Ajar Tunggul Manik tidak usah diceritakan di sini
seluruhnya. Kemudian Ajar Suci itu telah menghilang dengan tiba-tiba, seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kehadirannya begitu juga kepergiannya dengan tiba-tiba pula. Tidak seorang pun
yang mengetahuinya. Setelah beberapa hari Panji Wulung tinggal di Majapahit berkatalah is
kepada saudaranya, Damarwulan, "Sudah tiba waktunya bagi Adinda akan kembali ke
Sulebar. Adinda memohonkan restu kepada Gusti yang Mahasuci, mudah-mudahan
Adinda sampai dengan selamat ke negeri Adinda!"
Lama juga mereka berunding mempercakapkan tentang kedatangan Raden
Layang Seta dan Raden Layang Kumitir ke Sulebar, Panji Wulung sama sekali tidak
menduga, bahwa ia telah diperdayakan keduanya dan tidak pula
mengira, bahwa Raden Damar saudaranya sendiri. Demikian pula
pertemuannya dengan Raden Kuda Rarangin dan Raden Kuda Tilarsa di
hadapan ayahnya sendiri, yang pada hari tuanya itu telah menjadi Ajar Suci
Tunggul Manik.... Lama mereka terdiam diri memikirkan pertemuan yang aneh itu serta
mengenangkan diri dan perjalanan hidup mereka di mayapada
"Terima kasih, Adinda, Kakanda pun memohon kepada Yang Mahakuasa, mudah-mudahan
Adinda sampai dengan selamat kembali ke negeri Adinda!"
ujar Damarwulan melepas saudaranya.
"Mengapa Adinda Panji Wulung cepat benar hendak meninggalkan
Majapahit" Kakanda sesungguhnya berharap supaya Adinda dapat lebih lama tinggal
di Majapahit!" sela Dewi Anjasmara. "Tidakkah Adinda merasa was-was meninggalkan
kami di Majapahit dalam keadaan semacam ini...?"
"Ya... kalau dipikirkan, lebih besar kekhawatiran Adinda meninggalkan Sulebar,
Kakanda!" jawab Panji Wulung. "Tambahan pula persoalan Kakanda Damarwulan dengan
Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir, bagaimana
Adinda akan turut mencampurinya. Lebih-lebih lagi apabila Adinda timbang-timbang
yang menyangkut diri Paman, ayah Kakanda sendiri, amat beratlah bagi kami
memasukinya.... Tidakkah Kakanda sendiri dapat merasakannya...?"
Mereka sama-sama berdiarn diri pula.
"Ya, karena itulah!" sahut Dewi Anjasmara agak bingung. "Bagi Adinda yang
terutama keamanan dan ketenteraman Majapahit." Ia terdiam pula seketika.
"Bagaimana untuk menciptakan ketenteraman itu pada pertimbangan
Kakanda sendiri?" tanya Panji Wulung.
"Kalau perlu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Kakanda tidak
berkeberatan...." "Bersediakah Kakanda membiarkan Majapahit menghukum Kakanda Layang Seta dan
Kakanda Layang Kumitir?" ujar Panji Wulung.
Dewi Anjasmara terdiam, kemudian katanya, "Kalau tidak bagaimana" Tentu mereka
akan menimbulkan kekacauan dan huru-hara juga kemudian!"
Panji Wulung pun terdiam. Sesungguhnya dia telah dapat membayangkan
apa yang akan terjadi bila Patih Logender, Layang Seta, dan Layang Kumitir tidak
dapat dicari. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakanda sendiri ingin mendengar lebih lanjut dari Adinda, tentang kedatangan
Kakanda Seta dan Kumitir ke Sulebar?" ujar Dewi Anjasmara menyiasati.
"Sekarang Adinda merasa telah tertipu oleh Kakanda keduanya itu. Rupanya dengan
sengaja mereka hendak mengadu Adinda dengan Kakanda Damar,
bahkan hendak mengadu kerajaan Sulebar dengan Majapahit."
Demikian jawab Raden Panji Wulung. Kemudian diceritakannyalah sekalian akal
busuk dan tipu muslihat yang telah dijalankan Layang Seta dan Layang Kumitir.
Lama mereka terdiam memikirkan kelakuan keduanya. Bahkan yang tiada habis-habis
mereka pikirkan dan merasa amat heran mengingat tindakan Patih Logender, ayah
keduanya, paman mereka sendiri.
"Lalu sekarang bagaimana bicara kita yang baik?" desak Dewi Anjasmara.
"Hendaknyalah persoalan Kakanda Seta dan Kakanda Kumitir dapat
diselesaikan secepat-cepatnya...! Bila tidak, keduanya pastilah akan
membakar Majapahit dengan hasutan dan api kedengkian."
"Bukan Layang Seta dan Layang Kumitir saja, tetapi yang lebih sulit lagi
menyangkut diri Paman sendiri!" sahut Damarwulan agak bingung.
"Kakanda harus bertindak tegas. Jangan dibiarkan bahaya itu sampai berlarut-
larut!" ujar Dewi Anjasmara.
Damarwulan tidak segera menjawab, memandang dengan tajam kepada
istrinya, seolah-olah is tidak suka mendengar perkataan yang semacam itu keluar
dari mulutnya. Kemudian dengan ragu-ragu menatap kepada Panji
Wulung sebagai minta pertimbangan.
"Bicara Kakanda Dewi Anjasmara itu benar sekali. Tindakan yang tepatlah yang
dapat mencegah bahaya sebelum ia berkobar lebih besar," jawab Panji Wulung_
"Jadi usul Adinda...?" tukas Anjasmara.
"Usul Adinda, supaya Kakanda Layang Seta dan Layang Kumitir segera ditahan."
"Alasan Adinda?" tanya Raden Damar pula terbata-bata.
"Ia akan tetap menjadi sumber fitnah dan jadi pengacau!"
"Paman Patih bagaimana?" ujar Damarwulan.
"Tidak ada jalan lain, demi keselamatan Majapahit... Apa boleh buat, Ayahanda
harus ditahan untuk menjaga keamanan...," jawab Anjasmara dengan tegas.
Damarwulan menatap sejurus kepada istrinya, kemudian memandang
dengan pandangan yang penuh tanda tanya kepada saudaranya Raden Panji
Wulung. "0, Gusti," katanya lambat-lambat. Ia telah dapat membayangkan apa yang akan
terjadi, jika sampai ia menjalankan keputusan yang diusulkan istrinya itu.
Cepat terkilat dalam ingatannya ketika itu, seluruh Majapahit akan menyiarkan
berita: memang Damarwulan ingin berkuasa dan untuk kemuliaan dirinya ia bersedia
menghukum paman dan mertuanya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak... tidak...!" ujarnya pula, kemudian memandang kepada istrinya sebagai
mengajuk. "Saya bersedia menghadapi musuh, tiga bahkan lima kali lipat dari kekuatan Menak
Jingga sekalipun, daripada menghadapi suasana yang sekarang ink..
berlawanan dengan keluarga, disuruh menghukum paman dan mertua
sendiri...!" Dari pintu gapura masuk pengawal tergesa-gesa dan mempersembahkan,
"Layang Seta dan Layang Kumitir telah tertangkap. Menunggu perintah...!"
"Siapa yang berhasil menangkapnya?" tanya Damarwulan.
"Kesatria Raden Kuda Rarangin bersama dengan Raden Kuda Tilarsa!"
"Yang lain?" "Hanya itu, ... yang lain tidak ada!"
Mereka berpandang-pandangan. Dewi Anjasmara kelihatan agak pucat.
"Ayahanda bagaimana?" katanya bertanya dan suaranya agak serak.
"Bendara Patih tiada hamba ketahui!" jawab bentara pengawal itu.
Kemudian bentara itu menghadap kepada Damarwulan dan berkata dengan
hormatnya, "Selanjutnya hamba menunggu perintah!"
Damarwulan, sebagai Raja Angabaya Majapahit memerintahkan, "Masukkan keduanya ke
dalam penjara dan jaga supaya jangan dapat melarikan diri
kembali!" Dari alun-alun di muka kesatriaan kedengaran suara ramai dan orang
banyak berlari-larian, ingin menyaksikan peristiwa penangkapan itu. Kemudian
mereka berbondong-bondong pula mengiringkan kedua orang tangkapan itu
menuju ke penjara. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam ruang tahanan dan dijaga
oleh beberapa orang prajurit.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa setelah melaksanakan tugasnya segera
menjumpai Damarwulan, Panji Wulung, dan Dewi Anjasmara. Mereka sendiri agaknya
juga sangat menyesalkan penangkapan itu, akan tetapi tidak ada jalan lain, demi
kepentingan keamanan dalam negeri Majapahit.
"Bagaimana Ayahanda?" tanya Dewi Anjasmara sekali lagi.
Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa berpandang-pandangan, kemudian sahut
keduanya, "Kami tiada dapat menangkap Paman. Terserah kepada
kebijaksanaan Kakanda Damar!"
Mereka berkumpul di tempat itu sampai larut malam. Tiada lain yang
mereka bicarakan, selain keselamatan Majapahit dan bagaimana jalan sebaikbaiknya
untuk menyelesaikan pertentangan antara mereka sekeluarga. Yang teramat sulit
bagi Raden Damarwulan mengambil keputusan untuk menghadap Patih Logender ...
paman dan mertuanya sendiri...!
Beberapa hari kemudian armada Panji Wulung kelihatanlah meninggalkan
pelabuhan Majapahit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
18. Fitnah dan Iri Hati Makin -Membakar Majapahit
Suasana di Majapahit makin lama makin panas. Raja Angabaya dengan
bantuan Senapati, Raden Menak Koncar, tiada lama dapat mempertahankan
keamanan. Makin banyak perubahan serta perbaikan dijalankannya untuk
kepentingan masyarakat, terutama ditujukannya untuk mengangkat kehidupan rakyat
jelata di desa-desa, makin hebat tantangan dari pihak tertentu.
Terutama dari pihak kaum bangsawan dan golongan agama. Menurut
pendapat mereka, Raja Angabaya terlampau memberi hati kepada rakyat.
Malah ada yang mengatakan, siasat Damarwulan memihak kepada rakyat itu adalah
untuk memperlemah kedudukan mereka, untuk mengurangi hak dan
kekuasaan kaum bangsawan serta untuk menghilangkan kekuasaan serta
pengaruh kaum pendeta. Ada pula yang sampai menuduh, sebagai seorang ksatria, is ingin berkuasa lebih
tinggi, sebab itu rakyat sekarang dipersiapkannya, dengan jalan memberi hati,
mengadakan perubahan dan perbaikan, yang semata-mata hanya
menguntungkan rakyat jelata. Malah ada pula yang menuduh, Raja Angabaya yang
baru telah dipengaruhi oleh orang-orang dari Utara, sebab itu mereka semakin
banyak jumlahnya di kota Majapahit.
Banyak lagi tuduhan yang bukan-bukan ditimpakan atas dirinya. Angin
pancaroba yang berbahaya tengah melanda Mahapahit! Kemenangan dan
kemasyhuran yang dicapai Damarwulan, dalam waktu pendek telah
mengangkat dirinya ke atas puncak kemasyhuran dan kemuliaan. Akan tetapi secepat
kemasyhuran itu menerbangkan namanya ke mana-mana, secepat itu pula kedengkian,
kebencian serta iri hati orang di sekelilingnya berusaha hendak menjatuhkannya
kembali, hendak meruntuhkan mahligai
kemasyhurannya itu. Majapahit kerajaan Hindu yang telah lapuk itu seakan-akan tak kuasa lagi menahan
serangan angin pancaroba yang amat dahsyat itu. Damarwulan
sebagai Raja Angabaya, karena fitnah, akhirnya dihadapkan kepada suatu majelis
tinggi, dengan tuduhan keji telah menghasut dan menyiapkan rakyat untuk
menggulingkan Seri Ratu dan akan menjatuhkan pemerintahan serta
rnenggantinya dengan pemerintahan yang baru. Huru-hara timbul di mana-
mana, Iebih-lebih setelah rakyat mengetahui maksud sidang itu.
"Bagaimana pendapat Tuanku Werda Menteri?" tanya seorang Werda dengan berbisik
kepada temannya yang baru sampai. Yang ditanya tidak
segera menjawab dan melihat dengan tajam dan agak liar berkeliling.
"Silakan Saudara!" seru yang bertanya itu pula kepada yang ditanya, menyuruh ia
duduk, setelah ternyata pertanyaannya tiada lekas mendapat jawaban. la masih
mondar-mandir perlahanlahan dan menggaruk-garuk daun telinganya kemudian
melekapkan tangan kirinya ke atas dadanya yang sebelah kanan. Semuanya itu
mengandung arti tertentu, sebuah isyarat rahasia. Maka yang bertanya itu
maklumlah maksudnya menggaruk atau memegang daun
telinga berarti bahwa ada dari pihak lawan yang mungkin dapat mendengar
percakapan mereka dan tangan kiri di atas dada memberi alamat: hendaklah sabar
seketika. Biasanya mereka datang ke tempat itu hanya untuk bertemu sementara
saja, untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka; tempat itu boleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikatakan tempat umum, sebuah warung biasa, yang boleh dikunjungi siapa saja.
"Saya permisi dahulu, Wak!" kata orang itu kepada yang empunya warung itu, Wak
Seberang Lor namanya. Sebenarnya bukan nama sesungguhnya,
hanya nama warungnya "Warung Seberang Lor" maka orang tua itu disebut merekalah
Wak Seberang Lor dan namanya yang sebenarnya, Salikun, serta ada seorang anaknya
laki-laki bernama Mukamat. Warung itu terletak di ujung jalan yang menuju ke
pasar, agak terpencil, akan tetapi selalu ramai, baik siang maupun malam, karena
Wak Seberang Lor selain masakannya enak dan bersih, ia terkenal seorang
pembanyol, yang ramah-tamah dan pandai
mengambil hati tiaptiap orang yang masuk ke warung itu.
"Tidak ada titipan...?" tanya Wak Seberang Lor pula dengan lemah lembut.
Pada waktu itu orang-orang dari I'esisir Utara telah mulai banyak berusaha,
membuka warung atau berdagang, bahkan orang Islam dari luar Pulau Jawa, seperti
dari Sumatera dan Malaka pun telah banyak, umumnya mereka orang dagang, mulai
dari yang sekecil-kecilnya, berjual malau dengan nila, benang dengan jarum
pentol dan peniti, minyak dan terasi, dan sebagainya. Ada pula yang berjual
barang pecah belah, cawan, pinggan, periuk, belanga, halus dan kasar, mulai dari
tembikar biasa buatan pribumi, sampai kepada porselen Tiongkok yang sehalus-
halusnya. Jangan dikata barang sandang, kain tenun yang hal[ s-halus, seperti
kain Bugis dan Donggala, Kubang dan Palembang, sutra Antelas dan kain-kain Makau
banyak masuk dan diperjual-belikan orang di Majapahit. Sekalian barang yang
masuk itu, sebagai gantinya, mereka tukar dengan hasil bumi dari Pulau Jawa.
Tentu tidak sedikit keuntungan yang mereka peroleh. Buktinya, pada mula-mula
tiba di kota Majapahit, mereka tidak mempunyai apa-apa, selain sedikit perabot
dapur untuk keperluan memasak sehari-hari dan sedikit barang dagangan yang menjadi sumber
pencaharian mereka. Tetapi setelah berusaha setahun dua tahun kadang-
kadang belum cukup sepuluh bulan mereka telah mendirikan gedung yang
baru, yang hampir menyamai gedung yang ditinggali seorang bupati. Begitu pula
tentang perabot rumah tangga mereka, barang pakaian dan perhiasan emas perak
mereka selalu berganti dan bertambah, karena makmur
penghidupan orang dagang pada waktu itu.
Pada umumnya kehidupan mereka lebih maju dan pembagian masyarakat
mereka lebih teratur. Kelihatan mereka selalu rukun dan damai serta sangat
mementingkan kebersihan. Lima kali sehari dan semalam mereka datang ke pinggir
Kali Berantas, ke tempat mereka beribadat, akan menyembah Hyang atau mereka,
yang mereka sebut Yang Maha Esa. Mereka sangat teliti sekali menjaga kebersihan
dan tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang itu, mereka tetap mensucikan dirinya
terlebih dahulu. Kalau sekiranya ada di antara mereka yang miskin, yang tidak empunya,
apa-apa bersama-sama pula mereka menolong atau membantunya, dengan
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan memberi sedekah atau zakat atau pertolongan yang lain-lain. Pada mulanya
kehidupan dan pergaulan orang-orang dari Pesisir Utara dan
umumnya penganut agama Islam itu telah memperlihatkan surf teladan yang amat
baik, laksana setumpuk kecil bumi yang segar dan subur di tengahtengah tandb
cadas yang gersang, kering, dan mati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Assalamualaikum_..!" ujar orang itu pula, ketika hendak melangkahkan kakinya ke
luar pintu. "Alaikum salam!" balas Wak Seberang Lor alias Salikun.
"Sudah mau berangkat ini...!" tegur seorang anak muda, ketika ia sampai di
halaman dan hendak membelok ke kiri. Anak muda itu tidak lain daft Mukamat bin
Salikun atau anak Wak Seberang Lor. Melengong ke kiri dan ke kanan dengan cepat
serta menoleh kepada orang-orang yang duduk dalam
warungnya ia membisikkan, "Sampeyan ditunggu oleh sidang...! Biar saya menanti
di sini ... selamat!"
Dengan tidak berkata lagi segeralah ia menuju ke tempat yang dimaksud.
Setelah membelok ke kiri is menyeberang jalan, menempuh sebuah lorong, kemudian
sebuah lorong lagi dan setelah keluar di ujung lorong yang kedua sampailah ia ke
jalan yang agak besar; jalan itulah yang menghubungkan kepatihan dengan penjara
dan orang yang diceritakan, menyeberang jalan itu dan setelah melalui sebuah
lorong lagi barulah ia sampai ke tempat yang dituju. Setelah memperlihatkan
tanda-tanda rahasia ia dipersilakan masuk.
"Silakan Saudara...!" seru kawannya yang ditanyainya di warung Seberang Lor
tadi. "Karena kita sudah berkumpul marilah kita mulai...."
Ia melihat berkeliling, memperlihatkan sekalian kawankawannya yang hadir, sambil
mengingat-ingat dengan cepat siapa yang belum kelihatan.
"Baiklah saya mulai dengan menceritakan pendapat Tuanku Werda
Menteri..." katanya dan melihat kepada kawannya yang baru .datang itu.
"Pada mulanya beliau ragu-ragu dan tampak agak tkut-takut."
"Takut bagaimana?" tanya seseorang yang duduk di ujung sekali di sebelah
kanannya. "Seperti kita semua, maklum Raden Damar alias Raden Gajah memang
seorang besar, orang besar yang mengangumkan. Keberaniannya luar biasa
menggegerkan Pulau Jawa, bahkan menggoncangkan seluruh Nusantara.
Apabila ia didekati atau barang siapa yang telah berdekatan dengan dia,
hilanglah sifat kepahlawanannya yang dahsyat menakutkan itu, ia lalu menjadi
sahabat tiap-tiap orang, tua muda, hina mulia dan kecintaannya kepada sesama
manusia terlalu besar, sama besarnya bahkan lebih besar, bila
dibanding dengan kecintaannya kepada pasukannya dan kepada pertempuran selaku
kesatria tinggi yang sesungguhnya dalam hati kecilnya ia ingin
menjauhi peperangan, karena memang ia sangat membencinya dan bercita-
cita hendak membangun kedamaian, keadilan, serta keutamaan budi."
"Karena itulah rupanya kepala agama menaruh dendam kepadanya," ujar yang lain
pula. "Bukan dendam," sela seorang lagi, "tetapi iri hati atau dengki"
"Ya, sesungguhnya demikianlah halnya!" sahut yang bercerita itu pula dengan
cepat. "Damarwulan sebenarnyalah seorang satria yang taat dan patuh kepada
ajaran agamanya dan kemurnian agama itulah yang hendak
diperjuangkannya." "Akan tetapi, mengapa ia mendapat tantangan atau perlawanan yang hebat dari
pihak kaum agama sendiri?" seru yang lain pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu sudah sewajarnya...!"
"Sudah sewajarnya bagaimana?" sahut orang yang ada di depannya. "Saya sungguh
tidak mengerti...." "Bukankah kaum agama, pemimpin-pemimpin kejiwaan itulah sebenarnya yang
seharusnya menunjuki rakyat ke jalan yang lurus dan benar, akan tetapi bagaimana
kenyataannya sekarang?" jawab orang yang pertama. "Agama jadi alat untuk
mengelabui rakyat...!"
"Kebenaran agama dan ajaran-ajarannya yang sejati telah lama hilang dan rusak,
di Majapahit yang hidup sekarang hanyalah namanya dan tinggal
semata-mata ketakhyulannya," sela temannya, yang duduk di sebelah kirinya.
"Ya! Tepat sebagaimana yang Saudara katakan itu," sambungnya pula. "Di pertapaan
pada mulanya orang datang untuk ketenangan jiwa, mematikan dan menjauhi huru-
hara dunia, akan memperdalam serta mensucikan kebatinan, dengan tujuan yang
utama sekali, ialah akan menyelamatkan masyarakat
ramai. Sekarang apa yang terjadi?" katanya pula sebagai bertanya.
"Pertapaan dikunjungi oleh orang-orang durhaka, serta tidak dengan citacita yang
baik sejak mulanya. Ayat suci dijadikan mantra, mereka menuntut ilmu kebal
supaya tidak dimakan besi, tidak telap, tak mempan kulitnya ditembus senjata
tajam. Ada pula yang mempelajari ilmu siluman di sekitar pertapaanpertapaan suci
itu, supaya dapat menghilang di hadapan orang
ramai atau mempelajari mantra "ilmu angin" dapat terbang di angkasa dengan tiada
bersayap, serta sanggup lobs ke dalam lubang jarum sekalipun... yang sangat
berbahaya kepada putriputri cantik atau gadis-gadis
"Mengapa...?" "Coba Anda bayangkan, jika sekiranya ada orang yang sampai berhasil memperoleh
mantra keramat ilmu angin semacam itu, bagaimana menjaga
keamanan rumah tangga" Alangkah takut dan ngerinya anak istri Saudara
ditinggalkan di rumah, biar pintu dipalang dengan jerajak besi, dikunci serta
diikat erat-erat dari dalam, namun penjahat juga masuk, sebab lalu angin lalu
pula dia karena pertolongan mantranya itu."
"Jadi, kalau begitu dari celah-celah dinding atau dari lubang angin, ia dapat
masuk...?" tanya yang lain.
"Ya, menurut kepercayaan mereka yang bodoh itu," jawab yang bercerita.
"Karena mereka bodoh lalu diperbodoh-bodoh benar dan pendeta-pendeta itu sebagai
pemimpin kerohanian bukanlah mengajarkan petunjuk agama yang
benar, yang akan dapat mencerdaskan rakyat, akan tetapi semata-mata
menyiarkan takhayul yang menyesatkan dan menggemparkan masyarakat.
Pertapaan ramai dikunjungi karena ilmu semacam itu.
Pintu depan kedengaran diketuk orang, lalu terbuka.
"Ini yang dinanti-nanti telah datang! Agaknya Saudara tidak kebenatan kami
mulai!" katanya pula sambil mempersilakannya duduk.
"Karena Saudara yang ditugaskan menghadap Tuanku Werda Menteri
baiklah Saudara teruskan!" sahut orang itu dengan cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terus terang harus diakui," katanya pula, "ibarat orang berlayar, kita sungguh-
sungguh mendapat angin turutan, angin dari buritan, tugas kita yang utama
menjaga kemudi dengan baik. Orang-orang besar Majapahit memang
masih dapat dipengaruhi oleh Patih Logender, sebabnya seperti saya ceritakan
tadi: Raden Damar terlalu keras bertindak dan sangat percaya akan kekuatan-nya
dan kebenaran mutlak yang diperjuangkannya itu."
Ia diam seketika. "Akan tetapi, ada pula kelemahannya," katanya, "kelemahannya inilah yang
membawanya kepada kehancuran..."
"Apakah yang Saudara maksud?" tanya yang kedua di sebelah kanannya.
"Raden Damar seharusnya telah lama mengambil tindakan dan bersikap tegas
terhadap mertuanya itu, tetapi sayang ia tak sanggup, sebenarnya ...
tidak mau...!" "Ya... tak sampai hati... terhadap mertua dan paman sendiri!" ujar seseorang
sebelah kirinya. "Sebenarnya yang menjadi pusat bencana dalam hal ini, ialah Layang Seta dan
Layang Kumitir, iparnya," kata yang lain pula, yang duduk di ujung sekali,
sebelah kiri. "Bukankah keduanya sekembalinya dari Sulebar bersamasama Raden Panji Wulung,
telah terbuka rahasianya, tegasnya fitnah busuknya, serta telah pula tertangkap
oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, saudara Damarwulan
sendiri?" "Memang sampai pada saat ini keduanya masih tetap dalam penjara, tetapi namanya
saja yang dipenjara, ayah bundanya bebas keluar masuk."
"Ya... ya... memang serba sulit, yang menjadi kepala penjara i
keluarga mereka juga," kata yang seorang.
"Mudah-mudahan mahkota Rajasa akan jatuh dan singgasana Majapahit yang telah
lapuk ini akan runtuh, supaya kepercayaan baru yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dapat membangun Jawadwipa dan mempersatukan
seluruh Nusantara. Kita sebagai pengikut Sunan Giri dalam memperjuangkan
kebenaran dan kemurnian ajaran baru yang telah jadi kepercayaan kita
dapatlah mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya!" katanya pula selanjutnya.
"Bagaimana tentang bangsawan yang lain?" tanya salah seorang.
Pembicara yang kedua, yang ditugaskan untuk itu, berkata, "Sri
Paramesywara pasti di pihak Patih Logender, karena beliau terhitung keluarga
dekat kepada ibu Layang Seta, pamannya di pihak ibu."
"Yang penting pula kita ketahui," kata yang lain lagi, "ialah pendirian Rakrian
Tumenggung.'}" "Rakrian Tumenggung ikut memusuhinya!" sahut seseorang.
"Percayalah Tuan-Tuan sekalian," kata yang lain memberi keterangan.
"Kebesaran dan ketinggian budi Damarwulan memang telah tertanam sangat dalam di
hati rakyat jelata, ia sesungguhnya sangat mencintai mereka,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyamai bahkan melebihi kecintaan seorang bapa membela serta
memperjuangkan kepentingan anak-anaknya. Seperti Bering kita dengarkan Raden
Damar berteriak-teriak di paseban atau di manguntur, di manamana, bahkan dalam
sidang sekalipun, katanya: rakyat jelata kurus kering karena kurang makan,
tenaganya diperas habishabisan diperintah menjalankan ini dan itu dan kewajiban
terlalu berat, semata-mata untuk kepentingan kaum
bangsawan belaka. Selama ini mereka telah ditekan dan ditindas, katanya, tiada
diberi hak sedikit juga untuk bersuara membela diri dan mempertahankan hak-hak
mereka." Diam sebentar, kemudian orang itu meneruskan keterangannya, "Karena Damarwulan
terlalu berpihak kepada rakyat, kaum bangsawan lalu menjadi musuhnya. Bukan saja
kaum bangsawan dan pegawai-pegawai tinggi
pemerintahan, tetapi lebih-lebih lagi kepala-kepala agama, Syiwa dan Buddha.
Sepanjang pendengaran hamba, sekalian kaum bangsawan, mulai dari rangga,
tumenggung, paramesywara, patih, mangkubumi dan kedua pembesar agama
membenci Damarwulan dan berusaha sekuatkuatnya untuk menjatuhkannya.
1=lanya seorang Senapati jadi sahabatnya yang setia, sedang Menak Koncar
sekarang sedang bertugas keluar kota.
"Boleh hamba menyela?" tanya seorang pula. "Silakan Saudara!" jawab yang
berbicara itu. "Jika demikian, pendirian Damarwulan tentang keadilan dan bangun
masyarakat, yang dikendaki serta dicita-citakannya itu sama benar dengan yang
dikendaki para wali kita?"
"Tampak-tampaknya memanglah demikian, tidak banyak bedanya. Agaknya itulah yang
Bering disebut-sebutnya dengan kebenaran mutlak itu! Ihanya...
sayang...!" Ia terdiam.
"Sayang bagaimana?" tanya orang itu.
"Setujuan akan tetapi berlainan caranya, dan ya... berbeda pula
hakikatnya!" "Ah... ah... janganlah pula Saudara berfilsafat terlalu tinggi...!" katanya
pula, "kami ini orang awam, belum mengerti benar istilah mantik dan filsafat!"
"Ya," sahut yang lain, "hamba sependapat dengan Tuan minty dijelaskan apa maksud
perkataan itu?" "Seperti telah diceritakan, para wali yang mengajarkan ajaran baru mengingini
dan memperjuangkan keadilan masyarakat, supaya seluruh
masyarakat dapat menerima dan merasakan
hikmat keadilan itu, langsung menurut petunjuk Yang Mahakuasa."
Ia diam dan memandang berkeliling.
"Raden Damar, karena pengalaman atau penderitaannya bersama-sama
dengan rakyat jelata selama ini, kita umpamakan jiwa dan batinnya itu
merupakan sebagian atau belahan jiwa rakyatjelata itu sendiri, bertindak karena
dendam atau karena iri hati belaka pada mulanya. Diumpamakan
karena usaha, karena tindakan dan perjuangan mereka sendiri, bila
perjuangannya itu telah berhasil, pertama umpamanya mereka menjadi orang kaya,
akan bergunakah kekayaan itu kepada dirinya sendiri" Atau kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masyarakat sekitarnya" Belum tentu! Mungkin is akan menjadi pengisap yang lebih
kejam. Kedua, ditnisalkan mereka hendak memperjuangkan golongan
atau kedudukan dalam masyarakat, bukan perjuangan untuk mencari
kekayaan atau harta benda. Katakanlah, golongannya dapat menggantikan
golongan yang berkuasa sekarang ini. Dari golongan rakyat jelata yang
dikendalikan, berubah menjadi yang mengendalikan, pasti mereka tidak akan
menyokong "keadilan" yang mereka perjuangkan pada mulanya itu! Mungkin
sebaliknya, setelah berhasil perjuangan mereka, segeralah mereka menginjak-injak
keadilan itu pula untuk mempertahankan kedudukan mereka. Manusia tidak mungkin
bersifat adil, jika tidak percaya kepada "I'uhan Yang Mahakuasa, serta bersedia
menjalankan petunjuk-petunjuk-Nya !"
Pintu masih diketuk-ketuk orang sekali lagi dengan keras dan setelah
dibukakan palangnya, segera dikuakkan dan dibantingkannya kuat-kuat,
karena gugupnya. "Ada apa, Mukamat?" tanya mereka serempak.
"Ada suruhan dari menguntur, mengabarkan, bahwa rakyat telah menyerbu ke pusat
kota dan keraton telah mereka kepung."
"Sudah adakah berita yang nyata tentang persiapan tentara Adipati Bintara?"
tanya seorang berbisik. Sebahagian yang ada dalam pertemuan itu termasuk anggota barisan
penyuluh atau penyelidik tentara Adipati Bintara sendiri, yang ditugaskan
mempelajari dan mengetahui segala sesuatu yang diperlukan. Segala gerak-gerik
dan kegiatan serta suasana dalam kota Majapahit pada akhir-akhir itu telah
mereka pelajari sebaik-baiknya.
"Bila tentara Senapati Menak Koncar tampak bergerak hendak kembali,"
kata seorang utusan pula, setelah is diberi kesempatan untuk melapor.
Mereka berpandang-pandangan, sama-sama dapat membayangkan apa
yang akan terjadi di bumi Majapahit.
"Tuhan selalu bersama kita.. !" bisik mereka.
19. Bala Tentara Bintara dengan Mudah Memasuki Majapahit
"Paseban dan menguntur terbakar...!" kedengaran orang berteriak-teriak sarnbil
berlari-lari. Mula-mula kelihatan asap mengepul ke udara, tegak lurus menjulang ke
angkasa, hitam keabu-abuan warnanya. Kemudian diiringi tiupan angin dari laut,
dari arah Selat Madura. Rupanya angin itu sangat rendah di bawah, karena asap
yang menjulang laksana pohon beringin raksasa itu, tampak
pecah terputus seperti ditebang di tengah-tengah. Api lalu menjilat ke sebelah
barat, menuju bangsal-bangsal prajurit, gedung-gedung pemerintah dan
rumah-rumah penduduk, yang sangat rapat dan luar biasa ramai nya.
Maklumlah kerajaan Majapahit, suatu kerajaan Indonesia-Hindu yang terbesar di
seluruh Nusantara, pada waktu itu pasti lebih besar daripada kerajaan yang
didirikan oleh seorang pangeran pelarian dari Sriwijaya, Sri Pararnesywara,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ialah kerajaan Malaka. Kotanya mungkin jauh lebih besar serta lebih megah dan
dapat dipastikan, ketika itu termasuk salah satu kota tua yang teramai
penduduknya di seluruh Nusantara, terletak di tanah lembah yang amat subur.
Hasil buminya melimpah ruah, perdagangannya amat maju. Apalagi sejak Raja
Angabaya yang baru itu memegang kekuasaan, kehidupan serta kemakmuran
rakyat sangat dipentingkannya. Sungguhlah seperti disebutkan dalam
peribahasa: lohjinawi karta raharja, sangat subur, aman dan makmur.
Mengapa penduduk Majapahit sangat padat pada waktu itu"! Ada
perumpamaan yang umum di seluruh Nusantara sejak dahulu, yang
maksudnya sangat mementingkan keturunan daripada harta benda. Bila
seorang gadis mengikat perkawinan, dimintakan oleh seluruh keluarga, agar
keduanya beroleh keturunan sebanyak bintang di langit, ada yang mendoakan
sebanyak titik air hujan yang terpencar dari celah-celah mega mendung. Ingat
saja perang Kurawa dengan Pendawa dalam cerita wayang, Bharatayuda yang terkenal
Kurawa keturunan Bharata, bersaudara sembilan puluh sembilan
orang, jadi kurang satu seratus. Itu yang terdaftar atau yang dikenal raja...
mungkin juga banyak yang tidak kenal karena tidak pernuh mendaftarkan
diri.... Sebagai hadiah keluarga, pemberian perkawinan yang terutarna menurut
adat, bukanlah barang elms, intan, berlian, atau kain tenun, sutra halus atau
cawan pinggan yang rnahal-mahal atau salah satu perabot rumah seperti
sekarang ini, akan tetapi sesuatu yang bersifat perlambang, sebagai doa atau
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mantra, seperti ikan belanak, (bun riwu-than, semacam lokan: peso-peno dan lain-
lain sebagainya. Ikan belanak semacam ikan yang cepat berkembang
biak, maksudnya supaya lekas beroleh anak dan berkembang biak; peno-peon sebunyi
dengan penuh, rium-rizvu dengan beribu-rilnr, jadi sama dengan filsafat Jawa
tersebut: niunlh rezeki banyak anak, sesuai dengan filsafat hidup bangsa
Nusantara ketika itu. letapi jangan salah. Pada waktu itu penduduk Pulau Jawa
belum sepadat sekarang. Sekarang perlu pembatasan dan
perencanaan, sesuai dengan keadaan.
Betullah ketika api telah menyambar ke kiri dan ke kanan dengan
dahsyatnya, penduduk berlompatan keluar, seperti kelinci yang kepanasan
bergelomparan keluar dari sarangnya. Ada yang sempat melilitkan sampingnya dan
mengenakan baju, ada yang menjinjing kain saja datang terburu-buru dan tak
sempat mencari bajunya lagi. Ada yang berkemben') saja rapi-rapi, tiada berbaju
dan terlupa pula memakai kain, lalu berlari sepanjang jalan raya yang telah
penuh sesak, dengan sangat gugup dan ketakutan.
Di muka Bangsal Agung, yang terletak di seberang jalan di sebelah timur rakyat
membuat huru hara. Mereka menyerbu pertahanan barisan pengawal.
Mereka menuntut keadilan, meminta supaya Damarwulan dilepaskan.
"Tuduhan yang ditimpakan kepada Raja Angabaya fitnah belaka!" seru mereka
beramai-ramai. "Majapahit menghadapi keruntuhan," teriak mereka, "karena fitnah dan iri
hati...!" "Lekas, Gusti, lekas...!" kata mereka, ketika melihat Dewi Anjasmara datang
berlari-lari dengan sekalian biti-biti perwaranya_ "Suami Gusti menjadi korban
kedengkian dan pengaduan Berta tuduhan palsu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tolong, Gusti, tolong...!" teriak yang lain beramai-ramai. Penjagaan pengawal
itu sangat rapat, tidak seorang pun diperkenankan masuk.
"Lekas, Gusti, lekas...!" seru mereka beramai-ramai lalu menyerbu barisan
pengawal itu. Maka terjadilah perkelahian hebat antara barisan pengawal dengan
rakyat. Sementara itu di tempat kebakaran kedengaran teriak, lolong, tangis dan jerit
makin riuh dan api makin menggila dengan semau-maunya tiada teralangi dan
terkendalikan yang sekarang telah mulai menjalar arah ke pasar, yang terkenal
sangat ramai. Raden Menak Koncar kembali dengan pasukannya dan langsung menuju ke
Bangsal Agung, akan mengetahui keputusan sidang keratuan tentang diri
Damarwulan yang difitnah itu. Ia akan berusaha mencegah dan membela
sahabatnya yang tiada bersalah itu. Didapatinya rakyat sedang menyerbu dan
berkelahi dengan barisan pengawal. Sekaliannya menjadi kalap, ketika melihat
Dewi Anjasmara tidak diizinkan masuk.
"Hentikan perkelahian ini...!" seru Menak Koncar lalu menahan kudanya di tengah-
tengah orang banyak itu. Mendengar suara Senapati itu orang banyak melapangkan jalan dan
menghentikan perkelahian.
"Hamba ingin mengetahui nasib suami hamba, Raden!" seru Dewi Anjasmara,
menghampiri kuda Menak Koncar.
Mendengar suara Dewi Anjasmara, Menak Koncar segera melompat dari atas kudanya
dan menyembah dengan hormatnya.
Sementara itu pasukannya telah berhasil menguasai suasana, segera
melapangkan jalan kepada rombongan Dewi Anjasmara, diiringkan senapati Menak
Koncar. Kedatangan mereka terlambat...! Sesaat sebelumnya Damarwulan telah
menerima nasibnya menjalani hukuman... dengan membenarkan tuduhan dan
kekerasan dan paksaan kaum bangsawan sebagian besar anggota Majelis
Agung telah membenarkan tuduhan dan fitnahan.
"Hamba mencari suami hamba, Gusti!" kata Dewi Anjasmara, setelah melihat
berkeliling dalam ruang sidang dengan tajam dan liar. Setelah ternyata orang
yang dicarinya tidak ada lalu menjatuhkan dirinya ke bawah kaki Dewi Suhita yang
masih duduk di atas singgasana Majapahit untuk penghabisan kalinya. Baginda
masih termangu seperti kena pesona mengenangkan
keputusan yang telah diambil oleh sidang.
Jika sekiranya suami hamba harus menerima hukuman, karena
kelancangannya bertindak, mengubah dan merombak, mana yang
dianggapnya telah usang dan lapuk, Gusti, hamba mohon dengan amat sangat akan
kebijaksanaan serta pertimbangan Gusti yang seadil-adilnya, supaya kepadanya
dijatuhkan hukuman yang seringan-ringannya. Hamba mengetahui benar jiwa dan isi
hati Damarwulan. Setelah ia Gusti angkat menjadi Raja Angabaya, karena hamba selalu
diajaknya berunding dalam suka dan dukanya, demi dewa-dewa, tiadalah
pernah ia menyembunyikan sesuatu kepada hamba; percayalah. Gusti, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segala yang dilakukannya itu dengan maksud baik belaka, guna keselamatan dan
kemajuan rakyat Majapahit pada umumnya, untuk memperkokoh serta
memperkuat dasar pemerintahan Seri Ratu juga khususnya.
Ia tiada mau senang dan diam, jiwanya hidup dan bergerak selalu. Ya
Gusti...! Kadang-kadang melihat kepincangan kehidupan masyarakat rakyat
Majapahit, jiwanya tampak seakanakan berontak dengan hebat. Acapkali ia berkata
di muka rakyat, dengan niat hendak menyadarkan dan menginsafkan mereka, ujarnya,
alangkah janggalnya apabila di bumi Jawadwipa yang kaya, sangat subur dan amat
indah ini ada rakyat yang melarat, hidup sengsara dan menderita.
Tidak patut... tidak patut...! Saling pengertian antara rakyat dan pemerintah
selama ini telah hilang, karena kepercayaan rakyat kepada petugas-petugas
pemerintah hampir-hampir tidak ada lagi. Senantiasa ia bercerita kepada hamba,
ia harus menghampiri rakyat untuk mengetahui isi hati mereka dan cita-cita yang
tersembunyi di dalamnya, serta hendak merigembalikan
kepercayaan mereka yang telah hampir hilang. Keinginannya amat besar dan luhur,
Gusti, bukan saja dalam memajukan penghidupan rakyat sehari-hari, akan tetapi ia bercitacita pula hendak
memperbaiki kehidupan keagamaan, yang menurut pendapatnya sudah amat kolot dan
banyak pula yang sebenarnya bertentangan dengan petunjuk kitab suci yang sesungguhnya.
Tiap malam hamba perhatikan ia mempelajari dan memahami kitab Weda
dan sering kali pula is berkata kepada hamba: tiap agama itu suci, kesalahan itu
selalu dibuat oleh orang yang menjalankannya, karena tidak dapat
memahami hakikat agama yang sebenarnya dan tidak mengerti lagi akan
makna ayatayat dalam kitab sucinya.
Ajaran agama itu diumpamakannya laksana mata air yang keluar dari celah-celah
batu di tanah pegunungan, bening dan jemih airnya, suci tiada bernoda sedikit
jua, sangat berguna dan bermanfaat kepada manusia, bahkan bagi tumbuh-tumbuhan
dan hewan serta makhluk sekalian.
Kalau tidak karena ajaran agama, yang merupakan pertunjuk-petunjuk suci daripada
Dewan Mulia Raya, jagat maya ini sudah lama musnah dan manusia selalu berbunuh-
bunuhan dan berdengkidengkian.
Akan tetapi kesucian ajaran agama itu, dijelaskannya kepada hamba, telah banyak
dirusak orang, diumpamakannya seperti air yang pada asal mulanya amat bening dan
jernih itu, makin lama makin berubhh, rusak dan keruh
makin banyak serta makin panjang sungai yang dilaluinya, makin banyak
kotoran dan lumpur yang menyelinap masuk menyertainya, sepanjang jalan sehingga
kadang-kadang sepintas lalu amat sulit membedakan dan
memisahkan air dan lumpur, Gusti!
Percayalah, Gusti, suami hamba sekali-kali bukan berniat hendak
mendurhaka atas kesucian sabda Dewa Mulia Raya, malah sebaliknya ia
bertindak untuk menyelamatkan dan membela kemurnian segala ajaran itu!
Diceritakannya pula, bahwa masa kita sekarang ini sudah terlalu amat jauh dari
sumber agama yang sesungguhnya, sebab itu suami hamba berusaha dan berdaya-upaya
untuk mengadakan penyaringan dan pembersihannya kembali, ya, Gusti, untuk
menjaganya dari kemusnahan_ Sekali-kali bukanlah seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang didesas-desuskan oleh suatu golongan tertentu, yang menaruh dendam dan iri
hati kepada suami hamba, karena hendak...."
Ia tiba-tiba terdiam dan memandang dengan liar berkeliling mengamati tiaptiap
muka yang menatap kepadanya.
"Katakanlah, Gusti hukuman apakah kiranya yang telah dijatuhkan atas diri suami
hamba...! Mengapa ia tiada kelihatan..."!" katanya dengan suara yang
membayangkan kecemasan. "Dari mula hamba tiba, perasaan hati hamba mengatakan, suami hamba sudah tidak
ada... lagi.._ di dunia... maya...! Benarkah, Gusti..."!"
Dewi Suhita tiba-tiba seakan-akan merasa serta menyadari akan
kelemahannya sebagai ratu dan baru menginsafi, bahwa dirinya sesungguhnya telah
dikelilingi oleh orang-orang yang sebenarnya telah bermufakat jahat, untuk
mendurhaka dan memfitnah untuk menjatuhkan dan membunuh
Damarwulan. "Paman Patih...!" serunya kepada bekas Patih Logender, yang turut hadir sebagai
saksi, yang sebenarnya sebagai penuduh. "Bagaimana pendapat Paman tentang bicara
Adinda Anjasmara itu" Berkata benarlah Paman! Demi para Dewa, sekarang baru
hamba melihat dengan senyata-nyatanva, bahwa
Pamanlah sebagai bekas patih Amangkubumi, yang dapat memberi keterangan seadil-
adilnya!" Patih Logender tidak dapat menjawab. Ia dari tadi menekur saja, menahan perasaan
tiada sanggup memandang wajah anaknya sendiri dalam sidang itu.
"Bagaimana nasib suami hamba, Ayah?" ujar Dewi Anjasmara pula berpaling kepada
orang tuanya yang masih berdiam diri.
"Sampai hati Ayah memutuskan cinta kasih hamba dengan suami hamba, setelah ia
berhasil membela serta mempertahankan Majapahit dari
kehancuran... Katakanlah Ayah, di mana suami hamba... anak saudara Ayah
sendiri.._! Ayah... Ayah...!!" suara Anjasmara makin keras, meneriakkan seluruh
kecemasan hatinya. "Apa alasannya maka Ayah jadi berbeda kasih berlain sayang terhadap anak
sendiri...!" katanya pula berhiba-hiba.
"Menjawablah, Paman Patih, sebagai anggota keluarga yang tertua...!" titah Dewi
Suhita sekali lagi. "Seri Ratu yang hamba muliakan, di mana suami hamba?" katanya pula putus asa dan
berpaling kepada Dewi Suhita, setelah ia sia-sia menanti jawab dari ayahnya.
"Aku... Aku... Dinda Dewi Anjasmara, tidak berdaya menghalangi...," jawab Seri
Ratu Suhita terputus-putus dan turun dari atas singgasananya lalu memeluk
Anjasmara. "Aku sendiri telah diperdayakan oleh saudara dan ayah Dinda
sendiri...!" Dewi Anjasmara segera melepaskan dirinya dari pelukan Seri Ratu Suhita, undur
selangkah dan menatap Dewi Suhita sejurus lamanya.
"Jadi, betullah seperti dugaan hamba, bahwa suami hamba... tidak ada lagi,
Gusti!" seru Dewi Anjasmara terputus-putus suaranya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seri Ratu Suhita tidak dapat menjawab, kerongkongannya seakan-akan
tersekat. "Majapahit akan musnah, negara akan hancur...! Mahkota Rajasanagara telah
berakhir di tangan Seri Ratu...!" teriaknya, memandang kepada orang banyak.
"Tuan-Tuan telah turut mengkhianati pahlawan sejati, pahlawan yang lama dinanti-
nanti selama ini. Ratu sendiri," katanya berpaling kepada Dewi Suhita yang masih
tegak terpaku di hadapan Dewi Anjasmara, "seakanakan Baginda sendiri tidak sadar
akan kedudukannya sebagai ratu. Dalam hati selalu memuja akan keluhuran budi
suami hamba. Akan tetapi sampai hati Gusti menjatuhkan hukuman, menyetujui
keputusan hukum yang tidak adil...."
Hening seketika! Yang hadir menahan napas.
"Bukan rahasia lagi, Gusti, di peluaran sejak suami hamba telah berhasil
menyelamatkan negara, sepatutnyalah ia duduk di samping Seri Ratu Bukan sebagai
Raja Angabaya, akan tetapi... sebagai mahkota hati Gusti ... sendiri."
Sekalian yang hadir gempar. Seorang perempuan gila tiba-tiba masuk dari pintu
bangsal yang menuju ke belakang, yang sewaktu-waktu memang tidak dijaga.
Majapahit akan hancur, Kerajaan Dewa-Dewa di Nusantara, Kebesaran mahkota Rajasanagara,
Telah lapuk menanti gugur...
Majapahit penuh pertentangan, Penuh kedengkian dan persaingan, Rakyat
menderita tidak terkira, Buminya makmur rakyat sengsara.
Hidup melarat tanpa perlindungan, Kezaliman merajalela di mana-mana,
Penuh khianat, penuh kedengkian,
Rakyat menderita lahir dan batin, Diperas, dihisap pembesar negeri,
KeadiIan dan kebenaran sukrr dicari.
Perempuan gila itu makin mendekat ke tengah-tengah ruang sidang dan di halaman
Bangsal Agung kedengaran suara rakyat makin gaduh.
"Api tak dapat dikuasai lagi...!" demikian kepala pengawal menyampaikan
pemberitahuan. Seri Ratu Suhita masih tegak kebingungan. Kedatangan dan perkataan
perempuan gila itu seakan-akan tiada diketahui dan dihiraukannya. Kemudian ia
memandang ke arah Patih Logender kembali.
"Bagaimana, Paman" Berkata benarlah...!" katanya.
"Layang Seta, Seri Ratu!" sahutnya lambat-lambat, hampir-hampir tiada kedengaran
oleh yang lain. Sidang lalu bubar. Layang Seta segera melompat keluar lebih dahulu.
Rakyat tiada dapat lagi menahan kemarahannya dan berteriak-teriak,
"Pegang Layang Seta...! Tangkap pengkhianat...!"
"Tangkap...! Tangkap...!"
"Bunuh...! Bunuh...!" seru mereka beramai-ramai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suasana tak dapat ditahan dan dikuasai lagi. Mula-mula Layang Seta
berdaya-upaya juga hendak melarikan diri, diiringkan oleh Layang Kumitir, tetapi
setelah dilihatnya di mana-mana api dan gelombang orang banyak yang telah siap
memperkepungkan dia, ia terpaksa menyerah. Pada saat itu barulah ia merasakan
pembalasan kedengkian dan buah perbuatan jahatnya sendiri.
Diceritakan, pada akhirnya ia telah diangkat menjadi Patih Amangkubumi,
menggantikan ayahnya, dengan alasan untuk kedamaian keluarga dan tentu dengan
persetujuan Damarwulan juga. Karena memang selama ini ia tiada
pemah menaruh dendam kepada kedua orang sepupunya, yang telah jadi
iparnya itu. Sebaliknya ia selalu berniat baik serta berpengharapan baik
terhadap pamannya, Patih Logender, bagaimana ia akan memusuhinya!"
Ada pula yang mengatakan, Damarwulan seorang yang terlalu percaya akan diri
sendiri, serta terlampau yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya itu, maka
tiadalah ia menghiraukan benar akan segala tindakan orang lain. Apalagi terhadap
mertuanya, pamannya sendiri dan terhadap kedua orang sepupunya, yang jadi
iparnya pula...! Adapun Adipati Bintara, yang telah lama berhubungan dengan pemimpin-
pemimpin Islam dari Malaka serta dari Pesisir Utara Pulau Sumatera dan ia
sendiri telah pula menganut ajaran baru itu, telah lama mengirim barisan
penyuluh, maka dengan mudahlah ia membawa bala tentaranya memasuki
kota Majapahit yang sedang kacau balau itu....
Sejak lebih kurang tahun 1500 Masehi mulailah sejarah kerajaan Islam-
Demak di Pulau Jawa. Riwayat Hidup ZUBER USMAN dilahirkan di Padang pada tahun 1916. Setamat dari Adabiah, ia
melanjutkan studinya ke Thawalib School di Padang Panjang dan kemudian Islamic
College di Padang (1937). Pada tahun 1938, ia pindah ke Jakarta dan menjadi guru
bahasa Melayu di sekolah Muhammadiyah. Selain pendidikan
formal, ia juga pernah mengikuti kursus Middelbare Acte Bahasa Indonesia di
Universiteit van Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1961, ia
menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Sastra Universitas Nasional.
Selain itu, ia juga meraih gelar sarjana pendidikan Universitas Indonesia pada
tahun 1962. Karya-karyanya, antara lain Sepanjang Jalan dan Beberapa Cerita Lain
(kumpulan cerpen, 1953), Aneka Rasa (1952), Kesusastraan Lama Indonesia (1954),
Hikajat Iskandar Zulkarnain (1956), Kesusastraan Baru Indonesia (1957),
Kedudukan Bahasa dan Sastra Indonesia (1960), dan Damarwulan
(1975). Suling Emas Dan Naga Siluman 26 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Penghuni Kuil Emas 1