Damar Wulan 2
Damar Wulan Karya Zuber Usman Bagian 2
akan tuanmu dan tidak akan merugikan kamu serta tuanmu."
Sabda Palon memandang kepada Naya Genggong, kemudian kepada
Anjasmara, seraya berkata, "Tuan hamba beruntung mendapat Ndara.
Berakhirlah sudah duka nestapanya selama ini."
"Apa maksudmu?" tanya Anjasmara menegasi.
"Waktu kami di Paluh Amba, sering Tuan hamba duduk seorang dirinya meniup suling
seperti meratap berhiba-hiba. Atau berhari-hari ia duduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung atau seorang diri di malam sunyi menatap tenang-tenang ke langit yang
penuh bertahur bintang," kata Sabda Palon.
"Akhirnya ia tak dapat tertawa lagi," seru Naya Genggong pula.
"Ya, kadang-kadang dengan tiba-tiba ia memanggil kami pergi berburu,"
sela Sabda Palon pula, "tetapi setelah sampai di pintu rumba, ketika kami
melihat sekelamin binatang buruan, ia melarang kamu melepas anak panah.
Sebaliknya kamu disuruhnya lekas-lekas kembali pulang."
"Acapkali pula seperti gila lakunya," ujar Naya Genggong, "ia bercakapcakap
dengan asyiknya seorang diri."
"Dikatakannya ia berhadapan dengan Batara Wisynu," sambung Sabda Palon pula.
"Cukuplah ceritamu sekian saja," ujar Anjasmara pula. "Hatiku sendiri dapat
menambahnya, karena cintaku akan tuanmu telah dapat pula mernbayangkan bagaimana
pula cintanya akan daku. Akan tetapi gilakah kamu jadi prajurit dalam laskar
Adipati Tuban?" "Kami bertemu dengan tentara Adipati itu, ketika kamu akan berangkat ke
Majapahit," jawab Sabda Palon. "Tuan hamba, Raden Damarwulan terus bermohon
kepada Adipati Tuban turut menyerbu ke Wirabumi."
"Kepandaiannya dalam berperang kelihatan sekali. Tidak siasia ia diajar kakeknya
sejak kecil serta ayahnya Patih Udara. Badannya kiiat, matanya tajam, karena
telah biasa hidup berkelana dalam rimba," sela Naya Genggong.
"Dalam pertempuran ia selalu di muka barisannya," kata Sabda Palon.
"Tetapi, Sabda Palon di belakang sekali," seru Naya Genggong.
Setelah berdiam seketika, Anjasmara bertanya pula, "Berjuangkah dia bersama-sama
dengan Raden Gajah, pahlawan yang hilang entah ke mana tak tentu rimbanya, yang
sudah lama dicari Seri Ratu. Pahlawan yang dapat
menggembirakan seluruh tentara yang tampil menyerang seperti singa?"
Sabda Palon dan Naya Genggong tertawa.
"Raden Gajah ialah nama Damarwulan dalam perlawatannya. Itulah
namanya yang dikenal oleh kawan-kawannya di antara anak-anak gembala
dan petani-petani di Paluh Amba. Apa sebabnya, kami tak tahu benar,
mungkin karena keberaniannya juga," demikian keterangan Sabda Palon.
"Damarwulanlah kiranya Raden Gajah itu?" ujar Anjasmara dengan amat girangnya.
"Sungguh hatiku tidak keliru memilih. Benarlah cinta telah berurat berakar dalam
hati dunia ini. Dewa Kamajaya telah memenuhi Swargaloka
dengan cintanya dan telah menghiasi seluruh muka bumi dengan cintanya
pula. Sekarang hatiku telah dimahkotai cinta yang ada dalam hatinya. Kami baru
saja dipertemukan Dewata, akan tetapi perasaan cinta seakanakan telah lama
mengikuti hati kami."
"Ndara," seru Naya Genggong! "Hamba lihat Raden
"Raden Gajah, Seri Ratu Majapahit telah lama mencari Kakanda. Mengapa Kakanda
berdiam diri juga" Jika saya sekiranya Tuan, sudah lamalah saya di gapura
Wirabumi." Demikian kata Dewi Anjasmara kepada Damarwulan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dewi Anjasmara, hamba bukan kesatria semata. Jika hamba hanya kesatria saja,
tentu telah hamba kerahkan bala tentara menyerang negeri Menak
Jingga yang durhaka itu. Darah pendeta pun mengalir pula dalam tubuh
hamba. Dalam menghadapi perang, yang hamba ingat hanya maju ke muka,
menyerangmenyerang memusnahkan segala yang menghalang, segala yang
menghambat di muka hamba. Dalam perang manusia bertindak seperti hewan, lupa
akan kemanusiaannya. la mabuk melihat darah seperti harimau lakunya, membunuh,
menerkam menewaskan mangsanya," demikian jawab
Damarwulan. "Akan tetapi, o, kekasih hamba, setelah redalah nafsu yang berkobar
dalam dada hamba, teringatlah hamba akan orang yang telah hamba bunuh dengan
tangan hamba sendiri. Terbayang kembali di hadapan mata
hamba bagaimana mereka mengaduh dan merintih. Senantiasa hamba melihat mayat
yang berkumpul-kumpul keliling hamba, matanya terbuka tidak melihat, mukanya
masih menyeringgit membayangkan sakit."
Diam sebentar, kemudian katanya, "Waktu hamba sampai kemari, hamba lihat
perempuan-perempuan di pintu gerbang bersama dengan anak-anaknya menantikan
suami dan ayahnya. Ratap tangis mereka memilukan hati dan
hamba sendiri turut menderita."
Dewi Anjasmara memandang dengan tenang, kemudian ujarnya, "Kakanda Damarwulan!
Sungguh aku bukan perempuan, kalau Adinda tidak mengerti
akan perasaan Kakanda. Akan tetapi, kekasihku, haruslah dibiarkan Majapahit
runtuh..."!" Damarwulan tiada segera menjawab. Keduanya sama-sama memandang ke
jalan, kepada orang-orang yang lalu lintas, prajurit-prajurit yang datang dan
pergi, yang menggambarkan keadaan dalam kota Majapahit yang sedang
rusuh dan gelisah. Kemudian dengan lesu, seakan-akan kata-katanya terlompat dari mulutnya dengan
tiada dipikir dan dirasakannya benar, "Ya, apa bedanya bagi hamba, siapa yang
jadi raja di Jawadwipa?"
"Bagaimana, jika sekiranya Menak Jingga yang menduduki takhta Kerajaan"
Akan selamatkah Jawadwipa?" ujar Anjasmara.
Damarwulan tiada lekas menjawab.
"Bagaimana pada timbangan Kakanda?" ujar Anjasmara mendesak.
"Pasti rakyat akan bertambah sengsara, negeri akan bertambah kacau, Menak Jingga
bersifat raksasa, tidak mengindahkan keadilan dan peri
kemanusiaan. Aku pernah menghadapi dia di medan pertempuran, is menaiki kuda
hitam. Badannya hitam seperti karang, pakaiannya seakan-akan tiada bergerak,
sekalipun angin bertiup dengan kencangnya. Matanya tiada
menyorotkan cahaya, seperti mata orang yang mati. Seakan-akan dia sedang
berhadapan dengan bala tentara raksasa dari neraka."
Dewi Anjasmara berkata pula, "Relakah Kakanda membiarkan dia merampas
Jawadwipa?" "Apa gunanya Majapahit ditolong lagi?" jawab Damarwulan. "Agama sekarang sudah
berubah menjadi takhayul, pendeta sekarang telah menjadi pemeras. Tahukah Adinda
apa yang terjadi di tempat-tempat peribadatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekarang, baiklah tiada hamba ceritakan. Agama dahulu meninggikan budi, sekarang
sudah berubah sifatnya seperti penjara yang mengurung dan
membelenggu hati rakyat, bahkan merusak-binasakan jiwa rakyat. Orang
melihat lahirnya saja, tidak mengerti lagi isinya. Arca disembah sebagai dewa,
sebab rakyat tak dapat berpikir lagi. Pendeta bukan memimpin kepada
beragama, tetapi mengajarkan kebohongan dan menambah kebodohan saja,
supaya kuasanya makin meluas, supaya tercapai kemauan yang hina dan
rendah." Damarwulan terdiam pula, seketika
kemudian katanya, "Kesatria namanya saja
yang masih tinggal, sifat dan perbuatannya
sudah seperti perampok. Rakyat jelata
hidup melarat, kurus kering tidak
bertenaga, seperti akan matt menahan
lapar sekalipun masih bernapas. Majapahit
akan punah, tidak dapat ditolong lagi.
Sekalipun keadaan dapat diubah, akan
tetapi apa gunanya?"
"Kakanda hams memenuhi kewajiban,
menuruti darmamu sebagai kesatria
Majapahit," ujar Dewi Anjasmara pula.
"Segala darma tidak hamba indahkan,
kalau hamba tidak mengerti," jawab
Darmawulan pula. Sambil melangkah
menuju ke jalan samping is berkata
perlahan-lahan, bimbang, seakan-akan ia
berkata kepada dirinya sendiri, "Kewajiban dan darma hamba sekarang menanti di
kandang kuda paman hamba!"
8. Berita dari Paluh Amba- Cinta dan Kew jiban
Selama tinggal di ibu kota Majapahit banyak pengalaman Damarwulan
bertambah. Panca mdranya seakan-akan semakin tajam, pendengarannya
semakin nyaring, pemandangannya bertambah awas dan jauh, pertimbangan
dan perhitungannya bertambah teliti.
Sekalipun umurnya muda sekali, tetapi karena pendidikan dan pergaulannya di
Paluh Amba. Damarwulan banyak berpikir dan merasakan. Sebagai kesatria sejati,
ia beroleh pendidikan yang sempurna dari kakeknya yang telah
menjalani darmanya di hari tuanya sebagai Maharesi serta dari ayahnya
sendiri bekas patih kerajaan Majapahit, yang dengan rela hati menyerahkan
kepatihannya kepada saudara sendiri. Akan tetapi sebagai anak desa, yang sehari-
hari bergaul dengan kaum tani, rakyat biasa atau orang bawahan, Damarwulan
selalu mempercermin kehidupan masyarakat yang sebenarnya
melihat sendiri kesusahan dan kesulitan rakyat. Di samping itu dilihatnya pula
golongan ksatria yang menempatkan dirinya terlalu tinggi di atas kasta-kasta
atau golongan yang lain, serta memperlakukan mereka dengan tiada semena-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mena, bahkan telah jauh di luar garis keadilan dan peri kemanusiaan,
terutama pada masa yang akhirakhir itu. Agama dan kaum brahmana hampirhampir
tiada berdaya lagi. Ketika itu pula seperti telah diceritakan di daerah pesisir
utara telah masuk pengaruh dan teladan kehidupan yang baru menurut ajaran Islam.
Sekalian pertentangan itu berkesan serta berpengaruh ke dalam jiwa
Damarwulan. Ayahnya dahulu acapkali mengatakan kepadanya, hati nurani
sendiri adalah ibarat matahari yang menyinari jalan kehidupan. Pernah pula orang
tuanya mengatakan, jalan kehidupan yang akan dilalui terentang dalam hati
sendiri, kita mesti melaluinya dengan awas barulah kita dapat selamat sampai ke
ujungnya. Karena sesuatu yang tiada sesuai dengan hati atau
kemauan sendiri, tidaklah mungkin dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Dipandang sepintas lalu Damarwulan seakan-akan orang yang amat keras
rupanya. Memanglah demikian! Sebaliknya is selalu menjalankan
kewajibannya dengan pikiran yang tenang. Sebagai kesatria sejati, ia selalu
membela dan mengutamakan kebenaran dan keadilan.
"Apa lagi yang Kakanda nantikan?" tanya Dewi Anjasmara pula. "Inginkah Kakanda
membiarkan Majapahit hancur, sedang Kakanda sendiri
sesungguhnya dapat membelanya!" Kakanda sendiri mengatakan, tugas
kesatria membela negara dari kehancuran, akan tetapi Kakanda sendiri
sekarang masih diam berpangku tangan."
Anjasmara makin mendekatkan dirinya kepada Damarwulan dan
membiarkan tangannya dipermainkan kekasihnya. Kemudian dengan
menyandarkan kepalanya ke dada Damarwulan, ia berkata pula, "Aku ingin
mengetahui apakah gerangan yang selalu mengganggu hatimu, kekasihku?"
"Rahasia kehidupan, Anjasmara, yang selalu menyelimuti jiwaku seperti awan hitam
yang menutupi muka bumi," jawab Damarwulan.
"Jiwa Kakanda barangkali masih dipenuhi perasaan dendam kepada
Ayahanda?" "Kalau begitu, pastilah kepada Kakanda Layang Seta dan Kurnitir?"
"Demi dewa-dewa, tidak, kekasihku!"
"Percuma Kakanda belajar kebatinan dan kesatriaan bertahun-tahun di asrama Paluh
Amba, jika di hati Kakanda masih membekas kedengkian
saudara sendiri." "Kalau begitu apakah yang membimbangkan hati Kakanda?" desak Anjasmara. Setelah
berdiam diri seketika dan tidak juga beroleh jawaban, ia bertanya pula,
"Tidakkah Kakanda mendengar berita dari istana?"
"Tentang apa maksud Adinda?"
Sebaliknya Damarwulan sekarang yang bertanya.
"Kesatria yang berhasil mengalahkan Menak Jingga akan diberi kedudukan yang
setinggi-tingginya di seluruh Majapahit. Apabila ia menghendaki, Seri Ratu
bersedia mendudukkan kesatria itu di samping Baginda untuk dapat
memerintah bersamasama. Adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari itu" Selain Tuan
akan memerintah seluruh Majapahit, Kakanda akan mempersunting
Kesuma Jawadwipa yang tiada taranya, yang sedang harum mewangi ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seluruh Nusantara," jawab Anjasmara, mengangkat kepalanya dari ribaan Damarwulan
dan melepaskan tangannya dari genggamannya, kemudian mena
tap dengan tajam kepada anak muda itu.
"Masihkah Adinda menyangsikan hati Damarwulan yang telah rela
mengabdikan dirinya di kepatihan ini, semata-mata terikat kepada dara yang
dicintainya"! Kalau tidak karena itu, sudah lamalah ia meninggalkan ibu kota
Majapahit yang selalu dalam huru-hara, pergi berkelana dan mengembara
entah ke mana!" ujar Damarwulan sambil meraih tangan Anjasmara yang halus itu ke
haribaannya. "Hamby seperti mungkir menjalankan kewajiban hamba, tetapi Anjasmara, ketahuilah
jauh dalam lubuk hati hamba, hamba ingat senantiasa, bahwa
hamba akan pergi ke Wirabumi. Dewadewa mudah-mudahan menolong hamba
untuk membela nama Majapahit, tetapi tidak karena mengharapkan mahkota.
Apalagi karena ingin hendak mempersunting Kesuma Jawadwipa, seperti
sangka!" "Tidakkah engkau dengar, Damarwulan, berapa banyak medan perang,
karena tergila-gila oleh kecantikan dan keayuan Ratu Kencana Wungu,
bermimpikan hendak bersanding dengan Ratu Majapahit yang amat muda belia itu!"
"Terutama Kakanda Seta dan Kumitir, bukan" Tidak patutnyalah hamba turut
bersaing dengan saudara sendiri," jawab Damarwulan tersenyum.
"Hamba senantiasa mengharapkan akan jadi iparnya, bukan jadi
saingannya.... Anjasmara pun tersenyum pula, mengerling kepada Damarwulan.
Sejurus lamanya keduanya sama-sama berdiam diri, samasama
membiarkan diri dipermainkan, dibuai dan diayunkan perasaan ma.sing-
masing. Kemudian Damarwulan berkata, "Anjasmara, hamba telah mengambil
keputusan untuk berangkat ke Wirabumi bersama bala tentara. Tetapi sebelum
berangkat, hamba ingin mendapat kepastian kawin dengan Adinda!"
Dewi Anjasmara tidak menjawab, ia agak terperanjat, kelihatan warna
merah naik sekonyong-konyong ke mukanya laksana rona fajar dini hari
menanti siang yang cerah dan terus menatap kepada Damarwulan.
"Bagaimana pendapat Adinda" Ke medan perang itu berarti
mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati, sebelum berangkat hamba ingin
beroleh kepastian. Keinginan Kakanda ini supaya direstui pula oleh Seri Ratu.
Permintaan hamba hanya satu, sebelum meninggalkan Majapahit, supaya kita kawin
terlebih dahulu. Jika sekiranya hamba harus gugur di medan perang, seandainya
hamba meninggal dunia, damailah hati hamba masuk ke
surgaloka, karena hamba telah mengenal bahagia cinta di dunia ini."
"Mana kemauan Kakanda, Adinda turut... terserah kepada Kakanda,"
demikian jawab Anjasmara, lemah lembut.
Setelah berkata itu, Damarwulan berdiri dan menuju ke tempatnya, rupanya hendak
berkemas. Tak lama kemudian kelihatan Sabda Palon dan Naya
Genggong datang dengan seorang utusan dari Paluh Amba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gusti, ada utusan dari Paluh Amba, membawa berita buruk. Di mana Raden Damar?"
ujar Sabda Palon. "Berita apa yang dibawa utusan itu?" tanya Anjasmara dengan cemas.
"Bunda Damarwulan sakit keras."
"Damarwulan hendak berangkat bersama bala tentara ke Wirabumi," sahut Anjasmara,
"ada berita semacam ini!"
"Damarwulan hendak berangkat ke Wirabumi, betulkah, Gusti"!" ujar Naya Genggong
pula. "Kalau begitu biarlah aku kembali ke Paluh Amba."
"Dengar, Gusti!" kata Sabda Palon sambil menunjuk kepada Naya Genggong, ?"belum
apa-apa si Naya sudah takut, hendak melarikan diri ke Paluh Amba."
"Bukan takut," jawab Naya Genggong, "kita perlu menghibur dan membela yang sakit
itu." Damarwulan selesai berkemas, ia masuk kembali berpakaian kesatria, di
tangannya telah tersedia sebuah lontar. Anjasmara segera menyongsongnya dengan
agak gugup dan cemas. "Damarwulan, kekasihku! Apa pun yang akan terjadi, janganlah lupa.
Anjasmara senantiasa ada di sisi Kakanda," ujarnya.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wajah Adinda tak 'kan pernah lagi hilang dari rongga hati Kakanda," jawab
Damarwulan. Kemudian ia menoleh kepada utusan yang datang dari Paluh
Amba dan bertanya, "Mengapa engkau disuruh datang kemari?"
"Jangan terkejut, Damarwulan, is membawa berita sedih bagi Kakanda,"
ujar Anjasmara pula. "Sakitkah bundaku, Sora..." Katakan terus terang!"
"Sesungguhnya demikian Bunda sakit payah, Raden, dan selalu memanggil Tuan,
karena tak ada harapan lagi."
Damarwulan terperanjat, kemudian menundukkan kepalanya, sangat
berduka cita rupanya. Tangannya dipegang Anjasmara dan berkata, "Baiklah Kakanda
berangkat ke Paluh Amba terlebih dahulu. Tentu Ibunda sangat
merindukan kedatangan Kakanda."
Damarwulan mengangkat kepalanya dan memandang dengan tenang,
kemudian berkata kepada kedua orang punakawannya, "Sabda Palon dan Naya
Genggong, kembalilah kalian berdua dahulu ke Paluh Amba. Persembahkan
baik-baik kepada Ibunda, pada saat ini saya tidak dapat datang, karena harus
berangkat ke Wirabumi. Jangan lupa mempersembahkan salam baktiku yang
sedalam-dalamnya." Damarwulan terdiam. "Kewajiban kepada negara memaksa hamba
menahan rindu kepada Bunda."
Sabda Palon dan Naya Genggong berpandang-pandangan dan
mendengarkan perintah Damarwulan dengan suka citanya.
"Bundaku tentu mengetahui, bahwa cinta-kasih putranya tiada berhingga, tetapi
negara lebih utama daripada urusan keluarga. Sekiranya malang
datang, menimpa, ibuku meninggal dunia, mintakanlah rahmatnya bagi
anaknya dan sampaikan sembah sujudku kepada Bunda yang tercinta."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan segera berangkat.
9. Majapahit Memerlukan Senapati
Bangsal witana, tempat sidang besar telah penuh orang, para bupati, para
tumenggung, patih dan para adipati telah hadir, tinggal menunggu Dewi
Suhita, Seri Ratu Majapahit. Tak lama kemudian kalasangka dibunyikanlah, serunai
ditiup serta gendang dan canang dipukul orang, tanda Sang Prabu akan masuk.
Bentara kanan dan bentara kiri telah berdiri. Sekalian yang hadir duduklah
dengan tertib dan azmatnya menanti kedatangan ratunya. Yang
berdiri di luar bangsal segera melapangkan jalan dan berjongkok menyusun jarinya
serta menundukkan kepala, masing-masing memberi hormat dengan
khidmatnya. Dewi Suhita, disebut juga Ratu Kencana Wungu, Seri Ratu Majapahit
kelihatan menuju bangsal, diiringkan oleh para pembesar istana, terus masuk dan
duduk di atas singgasana. Setelah memberi hormat seperti diadatkan oleh raja-
raja yang berkuasa di Majapahit sejak Kakenda Prabu Rajasa, Seri Ratu segera
membuka sidang, sabdanya, "Tuan hamba sekalian yang hadir di bangsal witana yang
terhormat ini! Adipati kepala agama, kepala
pemerintahan, para punggawa tinggi, serta adipati-adipati yang memimpin
ketentaraan! Pada saat ini acara sidang hanya satu: Kedurhakaan Adipati Wirabumi
dan pengangkatan senapati baru, menggantikan Adipati Tuban yang telah gugur di
medan laga." Dewi Suhita diam seketika, memandang kepada Adipati Matahun, adipati
yang tertua, kemudian memandang berkeliling, seakan-akan tiap-tiap muka hendak
ditatapnya, ingin mengetahui perasaan masing-masing.
"Setelah yang mulia, Adipati Tuban meninggal dunia, gugur di medan pertempuran,
belum ada senapati yang bersedia memimpin bala tentara.
Menurut berita yang penghabisan, Menak Jingga telah menguasai Lumajang dan tiada
berapa lama lagi akan sampai ke pintu gerbang Prabalingga. Dan telah berulang-
ulang kami umumkan kepada ksatria-ksatria yang tinggi
derajatnya, supaya suka dan bersedia menggantikan Adipati Tuban, tetapi sampai
sekarang belum berhasil juga. Tidak seorang pun yang menyediakan diri serta
menyanggupinya. "Sekarang bagaimana bicara kita sekalian" Akan kita biarkankah Menak Jingga
memasuki Majapahit, merampas serta meruntuhkan singgasana Prabu Kartarajasa
ini...?" Sekalian yang hadir berdiam diri; tak ada yang berani menyahut.
"Tuan-Tuan sekalian! ingatlah Tuan-Tuan, bahwa nenek moyang Tuan-
Tuanlah dahulu yang telah membina kebesaran Majapahit dengan darah,
pikiran dan perjuangan. Tidakkah Tuan-Tuan sekarang merasa berkewajiban untuk
mempertahankan, membela dan memelihara pusaka nenek moyang
Tuan-Tuan sekalian...?"
"Pada zaman kakenda Prabu Rajasanegara, kedurhakaan yang semacam ini pastilah
dengan segera mendapat hukuman yang setimpal. Kedurhakaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adipati Wirabumi telah mengancam seluruh Majapahit. Tindakannya itu,
seolah-olah telah memperlihatkan kelancangannya yang sangat keterlaluan, seakan-
akan ia menyangka, bahwa di Majapahit in sudah tak ada lagi laki-laki."
"Kalau betul darah kesatria ada mengalir dalam tubuh Tuan hamba sekalian,
tunjukkanlah kiranya jiwa kesatria Tuan hamba itu. Jikalau Tuan hamba
diamkan, Tuan-Tuan tidak segera membela Majapahit, apakah kata anak cucu Tuan
hamba kemudian hari. Iastilah mereka akan mencela dan mengutuki
perbuatan Tuan hamba yang tiada mengutamakan keselamatan negara.
Perbuatan Menak Jingga terlalu merendahkan rakyat Majapahit sekalian.
Tidakkah Tuan hamba sependapat dengan kami?"
Dewi Suhita berdiam diri sebentar, memandang berkeliling, seakan-akan
hendak merasakan pengaruh bicaranya itu. Kemudian ia berkata pula, "Tuan-Tuan
yang hadir dalam sidang ini adalah ksatria belaka, bangsawan Majapahit, sendi
kerajaan kami, sakaguru pemerintahan Jawadwipa, sekiranya Tuan-Tuan seiya
sekata, tiada bersatu menyusun kekuatan, alamat Majapahit akan
runtuh." Diam pula seketika. Anggota sidang berbisik-bisik sebagian menatap dengan
kebingungan kepada Seri Ratu.
"Sidang Majelis Mahkota yang terhormat! Sekarang kita harus memilih dan
mengangkat senapati yang baru, untuk memimpin bala tentara ke
Blambangan, guna menghukurn Adipati Menak Jingga yang durhaka itu.
Pamanda, Adipati Matahun, siapakah yang patut menurut pandangan Tuan
menjadi kepala bala tentara?"
"Seri Ratu...!" sahut Adipati Matahun, seraya menyembah "Jikalau patik tidak
dalam keadaan sakit, tentu patiklah yang pertama sekali memohonkan, minta diri
akan melawan Menak Jingga itu. Ingin benar hati patik hendak memusnahkan si
Durhaka itu. Patik serasa terikat sekarang ini, tidak berdaya, karena sakit,
sekalipun hati rindu hendak membawa serta memimpin laskar ke puncak kemenangan.
Prajurit patik sekaliannya patik serahkan kepada Seri Ratu."
"Siapakah menurut pandangan Pamanda, yang patut mengepalai bala
tentara?" tanya Dewi Suhita.
"Siapa lagi yang lebih patut...," jawab Adipati Matahun sambil menunjuk ke
sampingnya, "selain Adipati Daha."
"Pamanda Adipati Matahun, terima kasih atas pandangan Tuan hamba! Kami pun tahu
Tuan tiada sehat. Setia Tuan kepada mahkota tiada taranya,
keperwiraan Tuan termasyhur ke manamana. Sekali lagi kami berterima kasih atas
pandangan Tuan," jawab Dewi Suhita dengan hormatnya. Kemudian ia menoleh kepada
Adipati Daha. "Pamanda Adipati Daha! Bagaimana bicara Tuan hamba?"
"Seri Ratu," jawab Adipati Daha, "Seperti dimaklumi, patik sekarang mulai tua
dan layaklah patik mengundurkan diri, supaya terbuka kesempatan bagi yang lebih
muda menunjukkan keperwiraannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar perkataan Paman!" kata Dewi Suhita. "Sebelum yang muda-muda kami tanyai,
patutlah kami meminta bantuan kepada yang tua-tua terlebih dahulu. Pertama
karena pengalamannya, kedua karena rasa tanggung
jawabnya, dan ketiga memang yang tua itu lebih patut dijadikan pemimpin karena
perhitungannya yang matang, serta pertimbangannya yang saksama
dan bijaksana." Dewi Suhita memandang kepada Adipati Wengker dan setelah berdiam diri
sesaat berkata pula, "Bagaimana kalau Adipati Wengker...?"
"Ampun Seri Ratu, beribu-ribu ampun...!" jawab Adipati Wengker agak gugup.
"Kami mengetahui, antara Tuan-Tuan ada yang berkeluarga dengan Adipati Wirabumi,
tetapi pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh, apa arti
kewajiban dan kekeluargaan. Apa lagi dalam keadaan negara sekarang ini, yang
sedang diancam oleh pengkhianatan dari dalam. Barang siapa yang
mendiamkan pengkhianatan Adipati Wirabumi, berarti rela membiarkan
Majapahit runtuh," ujar Seri Ratu Kencana Wungu dengan agak keras serta
memandang dengan tajam, kemudian, "Bagaimana pikiran sidang majelis, kalau kami
tunjuk saja siapa yang harus diangkat menjadi kepala tentara, tidak boleh
membantah lagi, bila sudah kami putuskan."
"Seri Ratu," sahut salah seorang patih, "ada kurangnya kehendak duli itu.
Barang siapa dipaksa menjadi kepala bala tentara, tentu hatinya kurang gembira
dan khawatirlah patik, tidak bersungguh-sungguh ia memimpin bala tentara.
Artinya, belum lagi ia berangkat sudah berarti setengah kalah..."
"Perkataan Paman benar sekali, tetapi apakah yang patut diperbuat sekarang"
Waktu dahulu suatu kehormatan benar bila diangkat jadi kepala bala tentara,
sekarang sukar mencari orang yang suka menjadi senapati."
Seorang bentara dalam kelihatan menghadap dan menyembah.
"Apa sebabnya engkau masuk menghadap?" tanya Dewi Suhita kepadanya.
"Seri Ratu," sembahnya pula, "ada utusan dari Prabalingga..."
"Suruh ia datang ke sini!" titah Dewi Suhita.
Bentara dalam keluar dan sesaat kemudian masuk kembali, mengiringkan,
utusan itu ke hadapan ratu.
"Apa kabar yang engkau bawa?"
"Seri Ratu," ujar utusan itu dengan sembahnya, "patik diutus Tuan hamba Menak
Koncar, datang mempersembahkan kepada Seri Ratu bahwa Bupati
Prabalingga telah menyerahkan ibu negerinya kepada Adipati Menak Jingga...."
Dewi Suhita memperkatupkan kedua belah bibirnya. Wajahnya tetap tenang.
Hanya kelihatan sinar matanya makin memancar-mancar, membayangkan
perasaannya yang makin berkobar-kobar, kemudian keluar perkataan sebagai
terluncur dari mulutnya, "Bertambah lagi orang durhaka. Di Jawadwipa tidak ada
kesatria lagi." Pandangannya ditujukan kepada utusan itu, "Apabilakah Menak Jingga hendak
berangkat untuk menyerang Majapahit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tiga hari lagi, Seri Ratu, menurut pendengaran kami," jawab utusan itu.
"Laskarnya hams beristirahat dahulu, melepaskan lelah."
"Berapa.jumlah prajuritnya?"
"Menurut taksiran, kira-kira tiga puluh ribu, Seri Ratu!"
"Sekarang engkau boleh pergi. Sampaikan hormat kami kepada tuanmu, Raden Menak
Koncar. Jasa tuanmu akan senantiasa teringat oleh kami selama-lamanya."
Utusan keluar, diiringi oleh bentara dalam, diantarkan oleh pandangan mata
majelis sampai ia hilang di luar pintu.
"Majelis luhur, majelis mahkota kerajaan Majapahit!" ujar Dewi Suhita.
"Tuan-Tuan sudah mendengar berita. Apakah sekarang bicara kita" Tuan Mahapatih,
berbicaralah Tuan hamba!"
"Seri Ratu, Majapahit sekarang telah dipecah-pecah oleh sifat dengki dan iri
hati, telah dibakar oleh kelobaan orang-orang besarnya, serta diruntuhkan dari
dalam oleh pengkhianatan adipati-adipati kerajaan yang diharapkan
sebenarnya untuk membangunnya," jawab Patih. "Sekarang apa guna dipikir lagi,
sudah terlambat." "Dalam peperangan yang baru lalu," kata Dewi Suhita pula, "hanya prajurit
Adipati Tuban yang bersikap dan bertindak gagah berani membela kehormatan
Majapahit." "Seri Ratu, sekarang harus diusahakan agar sekalian adipati berusaha menjaga,
supaya negeri tinggal aman," sahut Adipati Matahun dan melihat berkeliling,
kemudian katanya dengan ragu-ragu, "Anak-anak bangsawan sudah menyukai Menak
Jingga." "Pamanda Adipati Matahun dan Anggota sidang sekalian!" seru Dewi Suhita.
"Tidak usah dibicarakan lagi segala perkara yang sudah terjadi. Sekarang marilah
kita pikirkan, apa yang harus kita lakukan. Pilihlah, turunan Prabu Rajasanegara
atau Menak Jingga! Jangan dinanti siapa yang menang lebih dahulu! Tiadalah sifat
kesatria yang sedemikian itu. Kami merasa banyak di antara Tuan-Tuan, yang
mendua hati yang selalu dalam keadaan bimbang,
kalau-kalau Menak Jingga menang ...."
Terdiam dan kemudian, "Adipati Kahuripan, saudara sepupuku sendiri, bagaimana
bicara Tuan?" Dewi Suhita dan Adipati Kahuripan sama-sama keturunan Sri Kartawardana, Adipati
Singasari. Adipati Kahuripan masih belum menyahut.
"Saudara sepupuku, kemukakanlah pikiran Tuan, supaya sama-sama kami dengar!"
ujar Dewi Suhita pula mendesak. "Bangunlah Tuan seperti Janaka melawan Kurawa.
Hilangkanlah kebimbangan dani hati Tuan, supaya Majapahit dapat tertolong
kembali." "Seri Ratu!" sembah Adipati Kahuripan yang masih muda sekali, hampir sebaya
dengan Dewi Kencana Wungu. "Sungguh patik ingin benar berjuang membela
Majapahit, akan tetapi bagaimana bicara patik, karena Kahuripan dalam kesusahan
sekarang. Rakyat kelaparan, karena kekurangan makanan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persawahan pertahunan kami tidak menjadi, padi rakyat, habis rusak ' belaka.
Dalam keadaan negeri tengah kelaparan ini bagaimana bicara patik, akan
mengerahkan rakyat untuk berperang. Bagaimana pula patik dapat
meninggalkan rakyat, takutlah patik kalau negeri ribut sepeninggal patik.
Sepatutnyalah adipati-adipati yang makmur ditunjuk mempertahankan
mahkota Majapahit." Dewi Suhita, "Keberatan Tuan, sudah sama-sama kami dengar. Patih
Amangkubumi, nasihat Tuan masih kami nantir"
"Seri Ratu," jawab Amangkubumi, "kalau kita pikirkan benar-benar, tahulah kita,
Majapahit kurang kuat sekarang. Sebab itu jika kita mengadang perang, tidak
mungkin akan menang. Pada timbangan patik baiklah kita menjalankan muslihat,
supaya kita jangan diserang. Kirimlah utusan yang bijaksana ke Prabalingga,
menyatakan bahwa Seri Ratu suka berdamai! Menak Jingga,
biarlah menjadi raja di sebelah Timur, dari Blambangan sampai ke
Prabalingga." "Mamanda Patih," sahut Dewi Suhita dengan marah, "kami tak akan undur barang
setapak." "Daulat Seri Ratu!" kata Patih
dengan tenang. "Patik pun ingin
melawan, tetapi sekarang keadaan
memaksa. Seperti kita dengar dari
Adipati Menak Koncar, dari berita
disampaikan oleh utusan tadi, Menak
Jingga sudah siap dengan tiga puluh
ribu bala tentara. Sedang bala tentara
yang ditinggalkan Adipati Tuban
hanya kira-kira dua puluh ribu saja,
dalam keadaan terpecahbelah pula ...
belum tersusun, karena ditinggalkan
senapatinya gugur dalam pertempuran yang lalu. Karena tidak
mungkin kita akan menang, maka kita
terpaksa mengambil muslihat
semacam itu. Bila Majapahit telah
kuat kembali, kita serang pula
Wirabumi. Hanya untuk sementara!
Sekarang haruslah Seri Ratu
mengakui kekuasaan Menak Jingga.
Itu bukan berarti takut, tetapi
bijaksana." Dewi Suhita berpikir sebentar, kemudian katanya, "Bagaimana jika Menak Jingga
tidak menerima keputusan kita dan terus datang menyerang ke
Majapahit, apa pula yang kita perbuat?"
"Seri Ratu," jawab Patih Amangkubumi, "menurut dugaan patik, Adipati Menak
Jingga agak takut datang ke sini, karena Majapahit masih mungkin dalam sekejap
mata saja kuat dan kokoh kembali. Daulat Wilwata, payung panji Prabu Rajasa,
belum terbang, masih menghikmati Jawadwipa. Marilah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita meminta kepada Dewata Raya, supaya Seri Ratu mencapai kedamaian
dengan jalan yang sebaik-baiknya. Majapahit akan dapat tertolong oleh segala
adipati, yang Seri Ratu katakan mendua-hati itu, mudah-mudahan akan tetap
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela Gusti." "Baiklah, Paman Patih!" ujar Dewi Suhita. "Akan tetapi bagaimanakah dengan Raden
Gajah, masih belumkah ada beritanya?"
"Raden Gajah seperti hilang dari muka bumi, entah di mana is sekarang, tidak ada
yang tahu." "Sejak aku menerima berita gugurnya Adipati Tuban dan peristiwa Raden Gajah yang
mengherankan itu, rasanya sudah lama benar aku menanti. Tetapi aku yakin, bahwa
pada suatu ketika Raden Gajah, satria sejati itu, akan muncul membela dan
mempertahankan Majapahit."
Sehabis perkataan Dewi Suhita, bentara-dalam datang pula menghadap, lalu ditegur
oleh Dewi Suhita, "Apa sebabnya engkau masuk, kami sedang bersidang?"
"Ampun, Seri Ratu, beribu-ribu ampun! Datang pula utusan Menak Jingga hendak
menghadap Seri Ratu," sahut bentara dalam itu. Sekalian yang hadir terperanjat
dan bertanya-tanya sesamanya.
"Suruh masuk utusan itu," perintah Dewi Suhita.
Bentara dalam keluar dan tak lama kemudian kembali bersama-sama utusan Menak
Jingga, tiga orang banyaknya.
"Tuan-Tuan disuruh Adipati Wirabumi datang kepada kami, apa berita yang Tuan-
Tuan bawa?" "Daulat Gusti, janganlah murka kepada patik-patik ini, karena patik bertiga
hanya utusan," sembah ketiga orang utusan itu.
"Berkatalah! Seri Ratu Majapahit yang memerintah Jawadwipa serta
Nusantara, tahu akan adat ratu-ratu," titah Dewi Suhita.
"Gusti," kata kepala utusan itu seraya menyembah dengan hormatnya,
"paduka Adipati Wirabumi telah sampai ke Prabalingga. Paduka Adipati segan
berangkat ke Majapahit, segan menghancurkan kota ini, karena Majapahit penuh
kenangkenangan. Beliau menaruh hormat kepada daulat Gusti, turunan paduka Sri
Rajasa_ Karena itu Sri Paduka meminta dengan sangat supaya
Gusti mengakui kemenangannya, kegagahan serta kebesarannya dengan hati yang
tulus ikhlas, supaya Jawadwipa aman serta selamat sentosa."
Sekalian yang hadir dalam sidang itu terdiam. Mereka memperhatikan
pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh.
"Seri Ratu," kata utusan itu pula, "Adipati Wirabumi meminta Gusti sudi datang
ke Prabalingga, seraya membawa upacara kerajaan. Di atas singgasana Majapahit
akan tetap tinggal Gusti duduk di sisi Prabu Menak Jingga sebagai Permaisuri.
Demikian titah yang diserahkan kepada patik-patik utusan bertiga ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dewi Suhita menjawab dengan marah, katanya, "Utusan Wirabumi,
sampaikan kepada Menak Jingga, ia boleh menghancurkan seluruh Majapahit serta
Seri Ratu Dewi Suhita, tetapi kami tidak akan menyerahkan diri kepada musuh...."
"Patik mohon berbicara sebentar, Gusti," ujar Patih pula.
"Apalagi hendak dipikir, kebiadaban ini tidak layak dibicarakan...!"
"Putusan Gusti tentang nasihat yang tadi patik bicarakan, baiklah sekarang
diterangkan," kata Patih pula. "Jika nasihat itu Gusti setujui, kita tidak usah
lagi mengirim utusan kepada Adipati Menak Jingga, utusan inilah yang
membawa titah Seri Ratu."
"Baiklah Patih menyampaikannya kepada utusan si durhaka itu," sahut Dewi Suhita
pula dengan pendek. Patih lalu berkata kepada ketiga utusan itu, "Dengarlah, para utusan!
Adapun titah Seri Ratu Majapahit: tuanmu, Adipati Menak Jingga boleh
menjadi raja di sebelah timur Prabalingga, karena Seri Ratu ingin damai menjaga
keselamatan Jawadwipa. Menak Jingga diberi kesempatan berpikir sepekan lamanya.
Jika sesudah itu ia masih tinggal di Prabalingga, tentara Majapahit akan datang
memusnahkannya dan menghancurkan negerinya.", Setelah selesai pembicaraan dengan
utusan itu, mereka dipersilakan
meninggalkan sidang. Kemudian setelah utusan itu berangkat, Dewi Suhita berkata pula, "Terasa lemah
sungguh Majapahit sekarang, sehingga orang telah berani menghina kami dengan
tiada semena-mena. Paman Patih Mangkubumi! Mata-mata harus segera dikirim ke
daerah Prabalingga, mengawasi dan mengamat-amati gerak-gerik Menak Jingga. Para
Adipati, kami titahkan jangan dahulu meninggalkan Majapahit, sampai kita
mendapat berita dari Prabalingga. Sekarang Tuan-Tuan boleh meninggalkan sidang!"
Dewi Suhita hendak berdiri pula, sekonyong-konyong seorang bentara
dalam yang lain masuk dan menyembah.
"Apakah yang hendak engkau persembahkan, katakanlah dengan segera!"
"Gusti, jalan-jalan dalam kota sudah lama penuh dengan orang, dan kini bertambah
sesak. Kalau-kalau akan timbul keributan...," kata orang itu.
"Apakah sebabnya orang berkumpul?" tanya Dewi Suhita.
"Mendengar kabar Menak Jingga akan menyerang Majapahit, rakyat sekalian gelisah
dan kebingungan sekarang. Ada yang bermaksud hendak menyerang
istana dan hendak membunuh para menteri serta bupati," jawab bentara dalam itu.
"Apakah artinya, Pamanda Patih" Cobalah jelaskan kepada kami!"
"Orang-orang jahat telah memenuhi kota. Mereka hendak menangguk di air keruh.
Mereka sengaja membuat keributan dan huru-hara di antara rakyat.
Kalau terjadi apa-apa, supaya mereka dapat merampas harta
benda...,"demikian jawab Patih Mangkubumi, "biarlah patik mengerahkan prajurit
memaksa orang-orang pulang ke rumah masing-masing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
10. Raden Gajah Memenuhi Harapan Ratu Wapahit
Majelis yang hadir dalam bangsal witana itu sudah mulai lesu sekaliannya.
Banyak yang tiada sabar lagi menunggu sidang selesai. Seorang bentara
dalam yang lain masuk tergesa-gesa.
"Hendak mengapa pula engkau?" tegur Dewi Suhita.
"Di luar menunggu Raden Gajah, hendak datang menghadap," ujar bentara itu. "Ia
akan mempersembahkan surat Adipati Tuban."
"Raden Gajah" Benarkah itu...?" seru Dewi Suhita, tersenyum riang seraya berdiri
dari singgasananya. Hampir lupa ia, bahwa ia sedang memimpin
sidang. Semangat majelis yang sudah kehilangan tenaga, seperti pelita yang sudah
hampir padam, sekonyong-konyong menyala, hidup kembali.
"Sungguh, Gusti!" sembahnya.
"Persilakan Raden Gajah masuk," kata Dewi Suhita pula dan kembali duduk,
memandang berkeliling dengan sinar mata yang membayangkan pengharapan.
"Aku merasa Majapahit kembali mulia...!"
Bentara pergi dan tak berapa lama kemudian Damarwulan masuk.
"Kami dengar, bahwa Raden membawa surat Adipati Tuban," titah Dewi Suhita.
"Sesungguhnyalah, seperti titah Duli Ratu," jawab Damarwulan dengan hormatnya.
"Mamanda Patih Amangkubumi, harap Tuan terima surat itu dan
membacakan di muka sidang."
Patih menerima surat dari tangan Damarwulan. Kelihatan air mukanya agak berubah.
Setelah menenangkan perasaannya seketika surat itu lalu dibacanya.
Begini bunyinya: "Adapun surat ini dari Raden Aria Ranggalawe, Adipati Tuban, ke hadirat dull
paduka Seri Ratu Jawadwipa dan Nusantara, bersemayam di Majapahit.
Rahmat Batara Syiwa melimpah kiranya atas Seri Ratu.
Sebelum sangulun meninggalkan mayapada, patik mempersembahkan ke
hadirat Seri Ratu, bahwa yang patut menjadi pengganti patik jadi Senapati, ialah
Raden Gajah atau lebih dikenal namanya, Raden Damarwulan, putra Patih Udara,
sahabat karib hamba yang telah lama mengundurkan diri.
Percayalah Sri Paduka kepadanya, karena ia kesatria sejati, tak ada taranya di
seluruh Jawadwipa sekarang ini.
Lain dari pada itu, patik harapkan Seri Ratu lama hendaknya bersemayam di atas
singgasana Majapahit. Tertulis di Lumajang, pada hari Respati Manis empat belas Manggakala, tahun
Syaka 1328." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalian yang hadir sangat tertarik mendengar bunyi surat itu. Kecuali yang
membacanya sendiri. Tak habis-habis herannya, memikirkan apa hubungan
Aria Ranggalawe dengan Damarwulan itu.
"Raden Gajah!" kata Dewi Suhita pula. "Kami ingin benar mengetahui, bagaimana
jalan perang dari mulut Tuan sendiri, sekalipun banyak sedikitnya telah kami
dengar juga dari orangorang yang kembali dari medan pertempuran itu. Terutama
ingin kami mengetahui, bagaimana Adipati Tuban meninggal dunia?"
"Daulat Seri Ratu!" sembah Damarwulan, lalu diceritakannyalah pertemuannya
dengan Adipati Tuban itu serta mengapa ia sampai menerima surat itu dari
tangannya. "Waktu itu Menak Jingga telah sampai pula ke Prabalingga," kata Dewi Suhita.
"Bupati negeri itu tidak melawan sedikit juga, malah disambutnya dengan gembira.
Kami baru menerima utusan dari Prabalingga. Sungguh
lancang sekali. Menak Jingga, ia berani meminta, supaya kami datang
menghadap dia membawa upacara negeri. Ia hendak jadi Prabu dan kami jadi
Permaisurinya." "Bagaimana jawab Seri Ratu?" tanya Damarwulan.
"Permintaan itu kami tolak dan kami usulkan begini: Menak Jingga diakui sebagai
penguasa dari Prabalingga ke Blambangan serta ia harus kembali ke ibu kotanya
dalam pekan ini juga. Kami kira Menak Jingga akan terus datang ke sini, karena
itu, Raden Gajah, Tuanlah sekarang yang jadi harapan kami.
Majapahit sekarang di tepi jurang, dalam bahaya besar. Kami menanti
pembela negeri, pahlawan sejati! Maukah Tuan menerima pangkat
kesenapatian itu dan memimpin tentara, mempertahankan kedaulatan kami?"
"Duli Seri Ratu," sembah Raden Damar dengan hormatnya, "segala titah patik
junjung di atas kepala."
"Jika demikian," sahut Dewi Suhita, "sekarang Majapahit tanah leluhur mendapat
harapan kembali." Hening seketika dan Dewi Suhita memandang dengan tenang dan penuh
harapan kepada Damarwulan, kesatria yang tampan itu. Lama benar Seri Ratu
menatap. Sekian lama dinanti-nanti dicari-cari dan disebut-sebut sekarang ia
muncul dengan tiba-tiba memenuhi harapan Majapahit.
"Penduduk Majapahit hendak berontak, mereka sudah berkumpul di jalan.
Baiklah segera Tuan perintahkan prajurit untuk mengembalikan ketenteraman dalam
kota," titah Baginda.
"Memang rakyat hendak berontak, Gusti! Akan tetapi, tahukah Tuan hamba apa
sebab-sebabnya?" jawab Damarwulan. "Rakyat menderita bukan kepalang, terlalu
sengsara karena kelakuan beberapa orang menteri. Iuran dipungut terlalu tinggi,
melewati kesanggupan rakyat, harta benda tidak terlindung lagi di Majapahit ini.
Sebaliknya golongan atasan, para menteri serta orang-orang besar, hidup mewah,
senantiasa bersuka-suka, tiada
mempedulikan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat bawahannya."
Damarwulan diam pula sebentar, menatap dengan tenang, merasakan
pengaruh perkataannya. Kemudian katanya dengan tegas, "Mereka biarkan, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kaki singgasana Seri Ratu orang banyak kelaparan dan meratap, minta
perlindungan. Gusti...! Patik enggan menumpahkan darah yang tidak
bersalah." "Senapati, tidak pernah kami dengar perkataan seperti ini. Kami sangka rakyat
kami selamat sentosa."
"Rakyat belum pernah Gusti lihat," jawab Damamwulan.
"Sayang patik tidak sempat menerangkan sekaliannya sekarang." Ia menoleh kepada
sidang, dengan pandangan yang berarti
"Titahkan, ya Gusti, kepada punggawa memberi tahu kepada rakyat di segala
simpang jalan, bahwa duli Baginda akan memeriksa keadaan negeri yang sebenarnya
dan akan meringankan segala beban rakyat, menghukum
para punggawa yang curang dan yang berlaku sewenang-wenang. Kalau tidak,
percayalah Gusti, Majapahit akan runtuh."
Patih Amangkubumi serasa ditusuk bermuka-mukaan, mendengar perkataan
Damarwulan. Mukanya menjadi merah padam.
"Izinkanlah patik berbicara, Gusti!" katanya.
"Berkatalah, Paman Patih!"
"Rakyat harus dikekang dengan keras, Gusti! Mereka bukan dalam sengsara, hanya
dibujuk orang-orang yang khianat. Jikalau Seri Ratu memberi hati sekali saja,
rakyat tentu bertambah berani. Sekali diberi sedikit, pasti kedua kalinya akan
meminta lebih banyak."
Ia memandang dengan tajam ke arah Damarwulan. Dari nada suaranya
ternyata benar kekesalan perasaan hatinya.
"Damarwulan baru sebentar di Majapahit, tidak tahu keadaan negeri, belum
mengenal hati rakyat," katanya. "Gusti, harus diperintahkan kepada senapati,
memaksa rakyat pulang ke rumah masing-masing. Hanya tangan yang kuat
dapat memerintah dengan selamat. Sekali saja Seri Ratu lemah, singgasana niscaya
akan runtuh." Ia memandang kepada orang banyak sebagai meminta persetujuan, serta
kepada Damarwulan, kemudian katanya pula, "Patik sudah bertahun-tahun jadi
Patih, melayani mahkota dan mengerti benar kelakuan rakyat, seperti mengetahui
perangai anak-anak sendiri."
"Apa bicara, Senapati?" tanya Dewi Suhita kepada Damarwulan.
"Seri Ratu," jawab Damarwulan, "Patik lebih mengerti hati rakyat dan mengetahui kemauan mereka. Kalau perlu nanti patik jelaskan panjang lebar.
Jika usul patik ditolak, Gusti, patik terpaksa mempersembahkan pangkat, yang
baru patik terima, ke hadirat Gusti kembali. Tidak sampai hati patik
menumpahkan darah yang tidak bersalah. Apa gunanya membela negeri, jika
rakyatnya tiada berhak" Negeri yang tidak mengutamakan rakyat akan lenyap dari
muka bumi. Kedaulatan terletak di tangan rakyat, kekuasaan di tangan Gusti.
Kabulkanlah permintaan patik, Gusti! Kemudian akan patik jelaskan."
"Patih Amangkubumi," perintah Dewi Suhita, "permintaan Senapati kami kabulkan.
Suruh pengawal menjalankan perintah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Patih segera berangkat melakukan perintah Dewi Suhita.
"Bentara kanan dan bentara kiri, kamu keduanya boleh meninggalkan ruangan,"
perintahnya kepada kedua bentara dalam, yang siap menjalankan perintah, yang
berdiri di kiri kanan singgasana Baginda itu.
"Gusti," sembah Damarwulan pula, "patik mohon Gusti menitahkan kepada para
penewu supaya datang ke pelawangan') untuk mengenal senapatinya
yang baru." "Bupati Raden Layang Kumitir," titah Dewi Suhita, "segera kumpulkan sekalian
penewu ketentaraan."
Layang Kumitir pergi. "Bagaimana pikiran Senapati melawan Menak Jingga?" tanya Dewi Suhita kepada
Damarwulan. Damarwulan, senapati baru itu, memandang berkeliling, lalu berkata,
"Karena hal ini berhubungan dengan siasat ketentaraan, hanya kepada Seri Ratu
patik bersedia menerangkannya."
Dewi Suhita mengangkat kepalanya serta memandang kapada majelis dan
berkata, "Majelis yang terhormat, apakah lagi yang hendak dipersembahkan kepada
kami?" Semuanya berdiam diri. "Kalau begitu," ujar Dewi Suhita pula, "Tuan-Tuan sekalian boleh meninggalkan
sidang hendak bermusyawarah dengan kepala bala tentara."
Sekaliannya berdiri dan menyembah, lalu bergegas-gegas keluar.
"Senapati!" titah Dewi Suhita kepada Damarwulan, ketika mereka tinggal hanya
berdua saja dalam bangsal witana itu.
"Cobalah Tuan kemukakan bagaimana akal Tuan memerangi Menak
Jingga"!" "Daulat Gusti," ujar Damarwulan, "Menak Jingga menyangka bahwa kita pasti datang
menyerang ke Prabalingga, karena mendengar berita utusan.
Pasti waktu yang Gusti katakan sepekan itu mereka perhitungkan benar-benar.
Akan tetapi perhitungan mereka bukan untuk datang menyerang ke Majapahit dan
bukan pula untuk meninggalkan Prabalingga. Malah sebaliknya untuk
memperkuat pertahanan mereka di Prabalingga, karena mereka yakin tentara
Majapahit akan datang menyerang. Karena itu patik akan berangkat selekas-
lekasnya membawa bala tentara dan menyerang dengan tiba-tiba', atau
mengepung kota itu secara diam-diam."
Damarwulan melihat berkeliling bangsal yang telah kosong itu, kemudian memandang
tenang-tenang kepada Dewi Suhita, sebagai hendak mengajuk
pikirannya. "Maksud ini sangat rahasia, Gusti!" katanya pula. "Sebab itu baiklah pengiring
Seri Ratu sekaliannya tinggal dalam istana sebelum bala tentara meninggalkan
kota." "Pengiring kami semuanya setia," jawab Dewi Suhita, "tetapi baiklah permintaan
Tuan kami setujui." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gusti, bolehkah patik meminta bantuan Seri Ratu?"
"Mengenai hal apa!?"
"Mengenai hal diri sendiri, Gusti!"
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berkatalah Tuan, jika dapat kami kabulkan."
"Gusti!" ujar Damarwulan, mendekatkan badannya ke singgasana Dewi Suhita, "Gusti
tahu Amangkubumi paman patik sendiri. Tetapi kami tidak berbaik sebenarnya, ia
tidak mengindahkan patik, apalagi kedua orang
putranya, Raden Layang Seta dan Raden Layang Kumitir."
"Lalu...?" desak Dewi Suhita tidak sabar.
"Gusti tahu, Paman mempunyai seorang putri, Anjasmara." Damarwulan berhenti pula
seketika, tiada langsung meneruskan perkataannya.
"Lalu bagaimana?" tanya Dewi Suhita bertambah mendesak.
"Gusti, Dewi Anjasmara bersedia dikawinkan dengan patik sebelum patik pergi
berperang. Paman Patih, ayahanda tentu akan menolak. Karena itu, Gusti, patik
memohonkan kepada Gusti sudilah kiranya memerintahkan Paman supaya mendudukkan
kami!" Dewi Suhita tersenyum dan berkata, "Permintaan Tuan kami kabulkan."
"Patik sangat berterima kasih ke bawah duli Seri Ratu," jawab Damarwulan dan
menoleh ke pintu. Patih Amangkubumi masuk tergesa-gesa dan menyembah.
"Ada berita apa, Paman Patih?" tegur Dewi Suhita.
"Prajurit Daha sekarang berkelahi di jalan dengan prajurit Matahun," kata Patih
Amangkubumi, "patik khawatir kalau-kalau rakyat turut gempar."
"Adipati Matahun dan Daha segera diberitahukan," titah Dewi Suhita.
"Mereka harus mengumpulkan prajurit masing-masing. Mereka boleh dengki-
mendengki, tetapi selama di Majapahit kami ingin damai."
Diam sebentar, kemudian, "Patih Amangkubumi, sudahkah dijalankan titah kami?"
Jawab I'atih Amangkubumi, "Punggawa sudah patik suruh
memberitahukannya kepada rakyat."
"Sudahkah hadir para penewu?" tanya Dewi Suhita.
"Mereka sudah mulai datang," sahut Patih.
"Senapati, ikutlah kami ke luar!" katanya pula sambil berdiri dan melangkah ke
pinto. "Kami perkenalkan Tuan kepada mereka."
"Sudahkah tetap hati Tuan sekarang?" seru Dewi Suhita pula kepada Damarwulan
setelah melalui pintu bangsal.
"Jika permintaan patik yang tadi sudah dijalankan...! Patik akan
mengorbankan tenaga untuk melindungi singgasana," jawab Damarwulan. Ia memandang
kepada pamannya, Patih Amangkubumi, dengan pandangan yang
mengandung arti dan berkata, "Paman Patih melindungi rakyat jelata...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka kemudian menuju ke pelawangan tempat bala tentara dikumpulkan
itu akan memperkenalkan senapatinya.
11. Menyerang Prabalingga
Sehari setelah Damarwulan didudukkan dengan Dewi Anjasmara, seperti
pernintaannya kepada Seri Ratu Dewi Suhita, berangkatlah tentara
Damarwulan ke Prabalingga dengan cara diam-diam. Segala-galanya berjalan dengan
rahasia sekali. Perkawinannya dengan Dewi Anjasmara dengan diam-diam pula.
Sekalian tentara yang akan menyerang itu, sehari sebelum
berangkat dijaga benar supaya jangan mengadakan hubungan dengan siapa
pun juga, dengan keluarganya sekalipun tak boleh berjumpa.
Juga dijaga benar supaya berita keberangkatan tentara itu jangan sampai
diketahui mata-mata musuh. Sehabis Damarwulan berbicara dengan Dewi
Suhita di bangsal witana, is segera mengatur siasat, beberapa orang mata-mata
yang berpengalaman telah dikirim ke luar kota akan mengamat-amati orang yang
akan masuk atau yang akan meninggalkan Majapahit. Prabalingga sendiri telah
diawasi dari dekat, mata-mata telah dikirim lebih dahulu.
Perhitungan Damarwulan tepat sekali!
Ketika bala tentaranya telah sampai ke perbatasan Prabalingga, ternyata dari
berita mata-matanya sendiri, tentara Blambangan sedang mengadakan perayaan
besar, sedang bersuka ria, beriang gembira. Beberapa mata-mata musuh dapat
ditangkap, merekalah yang memberi keterangan seperlunya
tentang pertahanan musuh serta bagaimana keadaan dalam kota.
Setelah beristirahat sehari di tempat yang sepi di luar kota, maka pada malam
berikutnya Damarwulan dengan diam-diam berhasil memasuki
Prabalingga. Karena petunjuk yang teliti dari barisan penyelidik dan mata-
matanya, boleh dikatakan kedatangan tentaranya sebanyak itu tidak diketahui
musuh. Memang penjagaan kota, boleh dikatakan tidak ada, karena menurut
perhitungan mereka, seperti telah diceritakan, tidak akan secepat itu
Majapahit datang menyerang.
Tentaranya diaturnya masuk cara bergelombang-gelombang, sebahagian
masuk dari sebelah utara, dari laut, menyusur pantai, dipimpin oleh Raden Menak
Koncar yang telah menggabungkan diri, sebahagian lagi dari selatan, dan
sebahagian dari pintu timur dan yang terakhir dari barat dipimpin oleh
Damarwulan sendiri. Di sebelah barat itu memang ada penjagaan, tetapi
rombongan penjagaan itu dengan mudah juga dikuasai dan diperdayakan oleh anak
buahnya. Sebahagian lagi pasukannya ditugaskan menjaga di luar kota, mengawasi
kalau-kalau bantuan musuh datang. Atau sebaliknya bila pasukan sendiri yang
masuk ke dalam kota memerlukan bantuan. Dengan hati-hati sekali mereka bergerak.
Mereka menghindari jalan-jalan biasa sedapat-dapatnya, supaya kedatangan mereka
tiada mendapat perlawanan. Orang-orang tani dan orangorang desa yang mengetahui
kedatangan tentara Majapahit telah memberikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bantuan sedapat-dapatnya, karena mereka tiada senang melihat kelakuan dan
tindakan tentara Blambangan yang mendurhaka kepada Seri Ratu Suhita.
"Bagaimana, Paman" ... Beres?" tanya Damarwulan, berbisikbisik kepada kedua
orang punakawannya, Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya
setelah selesai menyampaikan pesan Damarwulan kepada bundanya di Paluh Amba,
segera diperintahkan bundanya menyusul ke Blambangan.
"Beres, Den!" jawab Sabda Palon. "Naya sendiri yang masuk ke pekarangan
kabupaten." "Tidak diketahui oleh musuh?"
"Tentu tidak! Kami menyelinap bersama-sama orang banyak," jawab Naya pula.
"Menak Jingga dengan orangorangnya sedang bersuka ria. Kabupaten penuh sesak....
Selama tentaranya masuk ke Prabalingga tiap malam mereka minum-minum dan bersuka
ria, tak putus-putusnya."
"Bagaimana berita, yang dapat dikumpulkan oleh barisan penyuluh kita"1)"
tanya Damarwulan pula. "Mereka menanti berita dari mata-matanya yang dikirimnya ke Majapahit dan
direncanakan, selekas-lekasnya kira-kira sepuluh atau dua belas hari lagi baru
mereka berangkat." "Dapatkah diselidiki, ke mana biasanya Menak Jingga sehabis bersuka ria itu?"
"Yang terang ke rumah Dewi Wahita atau ke rumah Dewi Puyengan," jawab Sabda
Palon. "Kedua orang putri itu tinggal berdekat-dekatan, tiada jauh dari sini!"
Sabda Palon menunjuk ke rumah tempat tinggal Dewi Wahita kemudian ke rumah Dewi
Puyengan, yang berhampiran sekali letaknya.
Adapun kedua rumah itu agak meminggir kota letaknya, terpencil dari
rumah-rumah yang lain. Sebelum sampai ke pekarangan rumah itu ada
sebuah tegalan dan di tengah-tengah tegalan itu berdiri sebatang beringin yang
rindang; akar tunjangnya yang lurus-lurus bergantungan ke tanah
menambah gelap dan sepi sekeliling tempat itu. Agak jauh di belakang tegalan itu
tanah berlubang-lubang dan berpematang pendek-pendek tiada beraturan, kira-kira
sepanjang-panjang tubuh orang. Tak salah lagi di situlah terletak
"pendeman"2 warga kota sebelum dilakukan pembakaran mayat (ngaben).
"Sudah diselidiki keadaan dalam rumah Dewi Wahita dan Dewi Puyengan itu Paman!?"
tanya Damarwulan kepada Naya Genggong.
"Sudah, Den!" sahut Naya dengan cepat, "Beres..."
"Beres bagaimana?"
Rupanya pengawal-pengawal yang diperintahkan menjaga putri-putri itu
dengan diam-diam telah pergi pula ke tempat orang mengadakan tayuban,
sehingga yang ada di rumah itu hanya seorang perempuan tua, Mbok Suti, yang
sedang tidur di rumah depan. Dewi Wahita dengan Dewi Puyengan
sedang bercakapcakap di rumah belakang ketika saya tinggalkan...."
"Paman Sabda...!!" seru Damarwulan pula, "Paman tinggal di sini. Kami akan pergi
dengan Paman Naya mengunjungi Mbok Suti dan kedua orang putri itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sabda Palon melihat ke kiri dan ke kanan, takut rupanya. Sebelum is
sempat berkata, Damarwulan sudah hilang dalam gelap malam, diiringkan
Naya Genggong. Keduanya mengendapendap masuk ke pekarangan rumah
Dewi Wahita. Naya Genggong terus mendekati dinding dan berjalan lambat-lambat
sepanjang parit dinding itu. Malang, kakinya terpijak pada ujung batu parit yang
longgar, "rrrak" bunyinya.
"Wahita...!" seru Mbok Suti ketakutan, sekujur badannya gemetar.
"Jangan kaget, Mbok saya Naya, yang datang tadi. Ini Raden Damar, utusan Ratu
Majapahit ingin bertemu dan berbicara dengan Putri Wahita...." Suara Naya
Genggong telah dikenal oleh perempuan itu.
Setelah berdiam diri sebentar Mbok Suti lalu membukakan pintu. "0, Dik Naya!"
katanya pula tersipu-sipu.
"Raden Damar ingin berbicara sendiri dengan Dewi Wahita serta Dewi Puyengan,
Mbok!" ujar Naya dan menunjuk ke arah Damarwulan dengan ibu jarinya. Mbok Suti
tercenung seketika, memandang Damarwulan yang masih tertegun di muka pintu,
memandang dengan awas berkeliling. Kemudian
katanya dengan sangat hormatnya kepada Mbok Suti, "Kami sangat
mengharapkan bantuan Mbok...!"
Belum lagi habis Raden Damar berkata-kata, Mbok Suti telah menjatuhkan dirinya,
hendak sujud di kaki anak muda itu, tetapi segera dipapah oleh Damarwulan dan
didudukkannya ke atas bale-bale tempat tidurnya itu.
"Kami telah mendengar tentang penderitaan dan Mbok serta kedua orang putri itu,
mudah-mudahan para dewa menolong kita sekalian!" ujar
Damarwulan. "Mbok pura-pura tidurlah kembali. Biarlah kami saja
mengunjungi Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Tadi kami dengar keduanya
sedang bercakap-cakap."
Setelah membisikkan beberapa hal yang harus diketahui dan diingat Mbok Suti,
Damarwulan keluar diiringkan oleh Naya Genggong. Adapun kedua rumah itu
berbelakang-belakang letaknya. Naya Genggong diperintahkannya
menunggu di pintu belakang, kalau-kalau ada orang datang. la terus menuju ke
dinding tempat kedua orang putri itu, mendengarkan percakapan mereka.
Rumah itu amat sederhana keadaannya beratap tanah (genting) berdinding bilik,
yaitu bilah-bilah bambu yang dianyam. Apa yang dibicarakan kedua orang putri itu
nyata juga kedengaran dari luar, sekalipun keduanya berbicara sangat lambat-
lambat sekali, seperti berbisik-bisik lakunya.
"Bagaimanalah untung kita, Dinda Puyengan!" ujar Dewi Wahita, seperti berputus
asa seraya memeluk Dewi Puyengan, yang bertubuh ramping dan
semampai itu serta kelihatan lebih muda usianya.
"Yunda Wahita...!" sahut Dewi Puyengan dengan tenang.
Sekalipun umurnya lebih muda dan jika diamat-amati benar kelihatannya
masih anak-anak, paling tinggi baru 15 tahun umurnya, tetapi selamanya ia
bersikap tenang. "Marilah kita pasrahkan untung kita kepada Gusti yang Maha
Suci!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ... daripada menanggung malu dan menderita semacam ini sukalah aku mati
rasanya. Bila aku dipaksa Sang Prabu sampailah ajalku...," ujar Wahita, seperti
berputus asa. "Yunda Wahita jangan berputus harap demikian," jawab Puyengan, "seluruh
Majapahit berdaya-upaya membebaskan kita."
Ia membiarkan badannya dalam pelukan Dewi Wahita beberapa lamanya
dan ia seakan-akan mendengar detak-detik jantung Dewi Wahita, yang sedang dalam
kecemasan itu. Malam sudah larut, perubahan udara sudah terasa,
angin laut berembus dari arah mulut Selat Madura, amat sejuk terasa.
Biasanya larut malam semacam itu Prabu Menak Jingga pulang dari tayuban atau
dari melihat pertunjukan wayang. Menurut cerita, pertunjukan wayang pada zaman
Majapahit hanya sampai setengah malam, belum lagi semalam
suntuk seperti sekarang ini.
"Jika benar seperti diberitakan Mbok Suti, utusan dari Majapahit telah sampai ke
dalam kota...," kata Dewi Puyengan dan ia tertegun seketika, mendengar sesuatu
dan ia seakan-akan sudah merasa ada orang yang sedang mendengarkan pembicaraan
mereka. "Malam ini atau besok utusan itu akan mengunjungi kita ke sini."
"Nuwun ... kulo nuwun')...," kedengaran suara berseru dari batik dinding.
Dewi Wahita melepaskan pelukan Dewi Puyengan. Keduanya terdiam seketika.
Mereka tak lekas-lekas menyahut, ingin mengetahui siapakah gerangan yang datang
malam buta itu. Suara itu belum mereka kenal, tetapi Dewi Puyengan yang
bijaksana itu, sudah merasa bukan suara orang yang hendak berbuat jahat.
Selamanya orang jahat atau orang yang bermaksud jahat, tidak akan memberitahukan
kedatangan mereka, jangan pula akan meminta permisi
masuk. "Saya ... dari Majapahit, bolehkah saya bertemu dengan Adinda kedua!?"
seru Damarwulan, seraya menuju ke pintu belakang, yang ternyata sengaja tidak
dikunci. "Paman Naya, awasi di luar! Perhatikan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk bala
tentara kita...," perintah Damarwulan ketika akan masuk.
Sesampai di dalam Damarwulan tertegun pula beberapa lamanya, kedua
orang putri itu didapatinya masih berdiam diri. Ia menatap Dewi Puyengan dan
Dewi Wahita berganti-ganti. Keduanya memakai batik tulis seperti lazimnya
pakaian putri-putri Jawa di masa itu dan memakai kemben sutra halus, di tanah
Pasundan biasa disebut cinde wulung, sesuai benar dengan kulitnya yang kuning
keemas-emasan, seperti cahaya teja yang memancar atau
tersembul dari sela-sela awan ungu nila warni. Nyata benar kelihatan dada kedua
gadis yang sedang meningkat remaja itu bergerak turun naik dengan kencangnya dan
kedua ujung teteknya seperti buah yang sedang bernas,
seakan-akan hendak membelah kain kemben yang tipis halus itu.
Sebaliknya kedua putri itu, sekalipun telah diberi kabar sebelumnya, amat sangat
terperanjat dan kagum melihat kedatangan Damarwulan yang tiba-tiba itu, seolah-
olah seorang pahlawan atau perwira Batara Indra yang muncul dengan sekonyong-
konyong di hadapan mereka. Keduanya hendak bersuara
menyatakan harapan dan kegembiraannya, akan tetapi kerongkongan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keduanya seakan-akan tersumbat dan aliran darah mereka terasa lebih cepat naik
ke kepala. Demikianlah beberapa lamanya Damarwulan berpandang-pandangan dengan
kedua putri yang bernasib malang itu.
"Rayi Wahita dan Rayi Puyengan...," ujar Damarwulan kemudian, seraya mengulurkan
kedua belah tangannya, ketika dilihatnya keduanya hendak
menjatuhkan diri memeluk kakinya. "Seyogianyalah kita berterima kasih kepada
Gusti Yang Mahasuci_ Mudah-mudahan Majapahit serta kita semuanya dilindungi-Nya
dari angkara murka. Marilah kita sama-sama memuja kepada para dewa, dalam
menghadapi raja Blambangan yang durhaka"
Kedua orang putri itu lalu memeluk dan merangkulnya berganti-ganti,
seperti dua orang adik juga lakunya, memeluk kakak sendiri, yang datang akan
melepaskannya dari malapetaka yang mahabesar atas diri keduanya,
bahkan atas seluruh rakyat Majapahit.
"Untung nasib kami berdua ini terserah dalam tangan Rakanda')
Damarwulan!" ujar Dewi Puyengan, sambil melirik arah Dewi Wahita.
Dari Tosari ke Sukapura, dari Mataram ke Boyolali;
Untung kami siapa mengira, sudah tenggelam timbul kembali.
Dewi Wahita segera pula menjawab:
Dari Mataram ke Boyolali, orang Kelakuh menjual jala;
Sudah tenggelam timbul kembali,
Raden Gajah datang membela...!
Wahita menjatuhkan badannya ke dada Damarwulan, diikuti oleh Puyengan.
Beberapa lama mereka berbincang-bincang tidak usah dceritakan semuanya di sini.
Dewi Puyengan juga yang banyak ceritanya terutama mengenai ilmu dan kesaktian
Raja Blambangan itu. Sekaliannya telah dapat diketahuinya, lalu diceritakannya
kepada Damarwulan. Malah segala yang bersangkut-paut
dengan kerajaan Blambangan dan rakyatnya diketahuinya belaka dari
ayahnya, seorang bupati yang setia kepada Seri Ratu Majapahit dan karena bupati
itu tiada mau sekongkol dengan Menak Jingga lalu dipenjarakan dan putrinya
ditawan. Diceritakan pula, Prabu Menak Jingga, pada malam itu pergi mengunjungi
"tayuban", yaitu peralatan atau tari-tarian yang diadakan untuk merayakan
kemenagannya. Sekalian pembesar kerajaannya serta para panglimanya tentu datang
belaka, untuk beriang-riang, bergembira-ria. Minum-minuman keras, arak, tuak,
nira dan seguir, bertahang-tahang disediakan, tapui atau air tapui bertempayan-
tempayan, seakan-akan tidak akan putusputus gelak dan tawa mereka semalam-
malaman itu. Mana yang telah mabuk berjalanlah
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhuyung-huyung atau bercakap-cakap semau-maunya, menyebut-nyebut
apa saja yang teringat olehnya, yang sebenarnya tidak boleh disebut,
berhubungan dengan rahasia ketentaraan atau kunci pertahanan negara.
Bermacam-macamlah keadaan serta peri lakunya tentara yang telah mabuk
itu. Menak Jingga dikelilingi oleh para pembesar, adipati, patih, bupati, serta
petinggi-petinggi sekalian. Yang terlalu rapat kepadanya ialah Patih Angkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Buta dan Patih Kot Buta, tiada berhenti-hentinya mereka bercakap-cakap, makin
lama makin gembira rupanya dan makin keras suaranya.
Setelah lewat tengah malam barulah mereka pulang ke tempat masing-
masing. Prabu Menak Jingga sebelum kembali ke kepatihan yang dirombak menjadi
istana, tempat baginda, lebih dahulu baginda menyimpang ke tempat Dewi Wahita
dan Dewi Puyengan itu. Telah beberapa malam Prabu Menak Jingga
mencoba mendekati dan menjinaki hati kedua orang putri itu, tetapi sampai kepada
saat itu belum berhasil. Harapannya pada malam itu jangan sia-sia hendaknya.
"Engkau dengarkan, hai Dayun!" ujar Menak Jingga kepada pengiringnya, ketika
mereka telah tiba di pekarangan rumah itu.
"Keduanya tentu sedang bersuka-suka... Siapa tahu... barangkali keduanya sudah
lunak hatinya sekarang... dan telah sepakat dan setuju akan samasama
menjadi...." Mereka berdiri seketika dekat dinding tempat kedua orang gadis itu, akan
mengamat-amati dan mendengarkan percakapan mereka.
"Eh, dengar...! Pasti keduanya sedang membawakan suatu cerita yang mesra.
Menggambarkan pertemuan seorang pria... ya... ya... cerita apakah gerangan!
Suatu cerita yang amat menggiurkan hati rupanya...," ujar Menak Jingga pula,
kemudian diam seketika. "Pasti keduanya sedang membawakan-ya sedang memainkan dengan
bersungguh-sungguh lakon pertemuan seorang satria menjumpai seorang
putri. Ah, pandai benar ia menirukan suara serta lagak lagu satria itu. Dengar,
dengar ... suaranya betuI-betul seperti suara laki-laki yang sebenarnya, yang
sedang berhadapan dengan kekasihnya dan teramat mesra kedengarannya.
Ah... ah_.. seorang satria berhadapan dengan dua orang kekasih...," ujarnya pula
terlatah-latah, karena pengaruh minum-minuman di tempat tayuban itu.
"Eh, Dayun...," katanya pula membentak. "Masuklah engkau dahulu.
Tanyakan kepada Wahita dan Puyengan, lakon apakah gerangan yang tengah mereka
mainkan itu?" Ki Dayun lalu membungkuk dalam samar-samar malam itu, hidungnya yang
besar itu hampir terbentur ke lututnya, untuk menyatakan hormatnya.
Sebenarnya hatinya sangat kecut, karena jelas bagi telinganya, suara itu
bukanlah suara Wahita dan bukan pula suara Puyengan. Setelah mendengar bentak
Menak Jingga kedua kalinya barulah ia mengangkat kepalanya dan
bergerak lambat-lambat menuju ke pintu depan, lalu berseru-seru, hampir-hampir
tiada kedengaran suaranya, karena takut dan gemetar, "Den...! Den...!
... Den Ayu!" serunya berulang-ulang sambil mengetuk-ngetuk pintu. "Den...!
Den...!" Tidak ada yang menyahut.
"Den Ayu Puyengan...! Den... Den! Den Ayu Wahita...!"
"Den...!" Tidak juga menyahut. "Den Ayu Puyengan...!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Den Ayu Wahita ...!. Den... Ayu!"
Dewi Puyengan memandang kepada Damarwulan sambil berseloka:
"Orang Kelakah menjual jala, cemara hidup di rimba Pati. Pandan terletak di Bela
perigi, sediakan beras dengan gabahnya; Raden Damar datang membela, esa hidup,
kedua mati, Badan tak dapat bercerai lagi, biar kan tewas ketiga-tiganya."
Wahita tersenyum dan membalas:
"Ikan sepat dalam Perigi, sediakan beras dengan gabahnya, hampa padi tanlpi-
tampikan, dari Ungaran ke Ambarawa; badan tak dapat bercerai lagi, biar 'kan
tewas ketiga-tiganya, apa lagi kita takutkan, mari serahkan badan dan nyawa...!"
Keduanya memeluk Damarwulan dengan penuh kasih sayang seperti
memeluk kakak kandung sendiri.
Asyik benar rupanya ketiganya bercakap-cakap. Kemudian terdengar pula
mereka tergelak-gelak, tertawa-tawa, terutama Dewi Puyengan, terbuka benar
hatinya berhadapan dengan anak muda itu, lupa ia akan penderitaan dan
kedukaannya selama ini. Lembah Ungaran di Ambarawa, akar mengkudal berkait trait, anak penghulu naik
kudanya; Mari serahkan badan dan nyawa, persembahan ratu Majapahit, aku dahulu
jadi belanya. Sungguh benarlah mereka sedang membawakan bagian cerita yang teramat
menggairahkan dan menggembirakan, yaitu dua orang putri yang sedang
meningkat remaja dan seketika telah hampir berputus asa, sebagai tawanan dalam
tangan musuh, sekonyong-konyong muncullah seorang satria muda
belia, laksana diutus dewa-dewa datang membela mereka.
Cerita itu bukan dongeng, bukan bohong dan bukan pula buat-buatan, tetapi lakon
kehidupan yang sesungguhnya telah terjadi atas diri mereka sendiri....
"Hai... Dayun!" seru Menak Jingga pula dengan sebal hatinya_ "Mengapa engkau
belum juga masuk...?"
"Bagaimana hamba dapat masuk, kalau pintu tiada dibukakan...!" jawab Dayun
bertambah gemetar dan hilang belulangnya serta giginya gemeletuk kedinginan,
diembus angin malam. "Cari jalan lain!" perintah Menak Jingga pula dengan pendek. la sendiri sudah
tidak sabar lagi rupanya menahan dingin.
Bagaimana akal Ki Dayun untuk melihat dan mengetahui keadaan kedua
orang putri itu serta siapa anak muda yang sedang bercumbu-cumbuan
dengan keduanya" Ditariknya sepotong bambu, lalu ditegakkannya dekat pada tuturan atap, dekat
dinding tempat mereka asyik bercakap-cakap itu, kemudian naiklah ia dengan sudah
payah. Setelah sampai di atas dikisarkannyalah genteng sebata maka tampaklah
gadis itu duduk bersender di atas tempat tidur mengapit seorang jaka. Wahita
sebelah kanan dan Puyengan sebelah kiri. Asyik benar rupanya ia bercerita,
bergembira ria, berkata-kata kepada kedua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masyuknya itu. Tak salah lagi, karena mesranya sebentarbentar ia dirangkul ke
kanan, kemudian dihela dan dirangkul pula ke kiri.
Ki Dayun mendelik, mulutnya ternganga... kemudian berseru, "Raden Ayu, Sang
Prabu Menak Jingga datang berkunjung kemari serta Baginda ingin
mengetahui, yang membawakan lakon yang dipertunjukkan itu siapa
dalangnya?" Dewi Wahita menyahut, "Eh Dayun, ketahuilah, bukan dalang yang
membawakan cerita ini, tetapi utusan Ratu Majapahit. Katakanlah kepada rajamu,
perang sudah akan berakhir dan sedari saat ini, kami bukan lagi menjadi tawanan
perang tuanmu." Ki Dayun, setelah mendengar perkataan Dewi Wahita, segera turun
mendapatkan Prabu Menak Jingga serta menyampaikan apa yang didengar dan
disaksikannya di tempat itu.
Mendengar cerita Ki Dayun itu, tidak terkira-kira marahnya, sehingga
dadanya merah menyala-nyala sampai ke kepalanya, kedua belah incat
matanya melotot berapi-api, cuping hidungnya bergerak-gerak, kembang-
kempis, kedua belah daun telinganya mengipas-ngipas seperti telinga gajah.
"Mengapa tidak kau tikam perutnya... nyata itu maling," bentaknya, seraya
melompati Ki Dayun dengan membulatkan kedua belah tangannya.
"Gusti...!" sahut Ki Dayun ketakutan. "Bagaimana hamba dapat menikamnya, hamba
melihatnya dari atas tuturan atap ... dan hamba seorang diri pula, takutlah
hamba..._" Prabu Menak Jingga makin menjadi-jadi marahnya, membentak-bentak dan
menghardik-hardik, "Eh! eh! siapa itu di dalam" Jika benar laki-laki maxi
keluar...." "Gusti! Gusti...!" seru Ki Dayun pula dengan gugup,
"asap... asap!"
Tiada jauh dari utara istana tampak kebakaran, asap menjulang ke udara.
Berbareng dengan itu Sabda Talon dan Naya Genggong segera pula datang
hendak memberitahukan peristiwa itu kepada Damarwulan. Dengan pertanda itu
mengertilah tentara Majapahit seluruhnya, baik yang ada dalam kota maupun yang
menanti di luar kota, bahwa perlawanan serta penyerbuan telah mulai.
Damarwulan mempererat sabuknya dan memperbaiki letak kerisnya. Baru
saja ia melangkahi ambang pintu, hendak keluar, akan mengawasi pertanda yang
dilakukan para perwiranya, Damarwulan diterpa oleh Menak Jingga, tak ubahnya
sebagai seekor harimau melompati mangsanya. Damarwulan yang
berperawakan lincah serta awas itu dengan mudah juga dapat mengelakkan badannya
sehingga ia terhindar dari serangan Menak Jingga yang tiada terkirakira deras
datangnya itu. Hampir saja Dewi Puyengan kena oleh keris Menak Jingga yang sudah
kehilangan keseimbangan itu. Setelah pintu dibukakannya, ia dan Dewi Wahita
sama-sama berdiri dekat hang pintu, mengantarkan
Damarwulan dengan pandangan yang penuh pengharapan dan permohonan
kepada Sang Hiyang Mahatunggal, "Mudah-mudahan Raden Damar
dilindungi...!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menak Jingga, ketika melihat kedua orang putri itu agak reda hatinya dan setelah
memandanginya berganti-ganti, sebagai minta pertimbangan atau
penjelasan kepada keduanya, ia berkata, "Ai... ai... Wahita dan Puyengan!
Inginkah Adinda kedua menyaksikan kerisku ini mencabut nyawa anak muda
"Ai... ai... siapa namamu gerangan?"
"Damarwulan, utusan Ratu Majapahit...," sahut Dewi Wahita.
"Ai, ai... utusan Majapahit, benarkah" Hampir telanjur kerisku menembus
perutnya. Mengapa tidak dari tadi engkau jelaskan maksudnya! Bagaimana keadaan
Adinda Kencana Wungu ingin benar aku mengetahui keadaannya!
Ya... ya... baiklah engkau bercerita dahulu."
Menak Jingga berkata-kata itu masih terbata-bata sebagai orang mencacau.
"Adakah gerangan pesannya bagiku?"
Damarwulan menatap dengan tajam.
"Aku malah membawa perintahnya bukan pesannya saja," jawab
Damarwulan. "Sungguh beruntung aku," ujar Menak Jingga pula, "ada pesan Kencana Wungu.
Katakanlah pesannya itu....!"
"Dewi Suhita atau Ratu Ayu Kencana Wungu mengharapkan sekembali aku ke Majapahit
dapatlah mempersembahkan kepala Menak Jingga ke hadapan
Seri Ratu...." "Apa" Akan mempersembahkan kepalaku?" ujar Menak jingga. "Engkau yang
diperintahkannya mempersembahkan kepalaku kepadanya" Ah, ah,
terlalu Kencana Wungu! Aku kira ia sudah berbalik pikir dan memerintahkan engkau
kemari akan membawa berita gembira, bagiku menyatakan dia
bersedia menerima usulku, menjadi permaisuri Blambangan dan di samping itu ia
tetap memerintah Majapahit. Ah... ah, memang terlalu! Berani benar ia memesankan
kepalaku kepada anak muda ini! Terlalu... terlalu...."
Menak Jingga terdiam sebentar, memperhatikan asap yang mengepul-
ngepul makin lama makin besar juga. Sekitar tempat itu didengarnya pula bunyi
huru-hara dan ingar-bingar sepanjang jalan. Ia tentu tidak mengerti dari mana
asal kebakaran itu dan tidak mengerti pula apa maksudnya.
"Ai, siapa namamu, anak muda?" ujar Menak Jingga pula lalu mendekati Damarwulan.
"Engkau kulihat seorang anak muda yang tampan dan cakap!
Jika engkau mau aku bersedia melindungi nyawamu, malah aku akan
mengangkatmu kelak menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di istana
Blambangan. Jika engkau mau, akan kujadikan angkau Adipati kerajaan
Blambangan, janganlah kautolak usulku yang baik ini, demi keselamatan dirimu,
orang muda! Aku bukan seorang yang bengis percayalah!"
"Terima kasih atas usul dan tawaran Tuan yang manis sebagai madu," dan pahit
seperti empedu," ujar Damarwulan. "Sebagai seorang satria Majapahit, saya tetap
setia kepada Ratu Majapahit dan tetap menghendaki akan
mempersembahkan kepala Tuan, kepada Dewi Suhita, hai Menak Jingga.
Satria sejati sedia berkorban dan berbakti kepada negara dan ratunya...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, hai, coba engkau timbang-timbang dahulu, anak muda! Jangan terburu
nafsu...,"jawab Menak Jingga, ketika dilihatnya Raden Damar meraba-raba hulu
kerisnya. "Sayang rupamu yang setampan dan secakap ini menjadi korban senjataku dan
darahmu yang masih muda itu akan tertumpah ke bumi. Pikirlah baikbaik, pikirlah
sebelum telanjur!" "Aku bukan bakul') buah yang datang kemari untuk tawarmenawar," sahut Damarwulan
pula, "tetapi kedatanganku untuk membebaskan Majapahit, serta akan menghindarkan
ratunya dari seorang pengkhianat yang telah menodai namanya serta telah menodai
sejarah Jawa-dwipa...."
Damarwulan mencabut kerisnya.
Menak Jingga undur beberapa langkah dan kedengaran ia mendehem-
dehem kecil, kemudian kelihatan mulunya komat kamit_ Ia rupanya sedang membaca
mantra: Aku tahu mula kerismu, dari Gunung Kawi, pertapaan datu, asal besi mula ditempa,
dititik dicuca di sinar nyala.
Umm... umm...umm...umm asalnya dapat kukaji,
dari burni ibu pertiwi. Aku mengerti asal sesuatu,
dari air barang yang cair.
Umm... umm... umm... um....
Sudah kukaji mula segala,
kembalilah menurut kehendakku,
jadi lemut kembali ke asalnya,
barang cair balik ke air.
Karena kulitku telah kuisi
bagaikan waja landasan besi,
semangatku cula api, yang selalu membara, menyala,
membakar, melebur segala,
menjadi hancur binasa rnana yang kena... Uum.... urnmm, umrn... ummm....
1) bakul = saudagar, pedagang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan terpesonalah oleh mantra Benarlah seperti yang diucapkan oleh Menak
Jingga. Ketika Damarwulan menunjukkan ujung kerisnya ke tengahtengah dadanya
yang kelihatan memerah bagai bara, ia tiada mengelak sedikit juga, sebaliknya
malah membusungkan dadanya sehingga kelihatan
mengembung seperti bola yang sedang ditiup. Apa yang terjadi" Keris itu bilut.
Matanya jadi berlipat tiga.
Damarwulan terperanjat. Ketika ternyata mata keris itu tiada melukainya, ia terhuyung seketika, seperti
akan jatuh terpelanting. Cepat bagaikan kilat tangannya menjemba ke depan
menerpa Damarwulan. Anak muda itu tergegau, terpesona, seperti kena pukul dengan
benda keras lalu tersungkur hampir tak sadarkan diri.
"Ha... ha... Anak Muda...!" katanya dan tertawa- tawa dengan garangnya.
"Ha... ha... haaaa... sekarang baru engkau merasakan tanganku dan baru engkau
tahu siapa Menak Jingga. Coba sekali lagi kerismu ini dadaku...!"
Ia masih terhuyung-huyung dan meraba-raba, seperti orang yang kurang
awas penglihatannya. "Hai Puyengan, di mana engkau" Jangan dekati dia...!"
Dewi Puyengan dan Dewi Wahita, yang telah beberapa lama mengenal
perilaku dan ilmu kebal Menak Jingga itu, berpandang-pandangan. Mereka hendak
menolong Damarwulan. "Puyengan...! Wahita...! biarkan dia... marl tolong aku...! Mari... marl...!
Mari Adik... marl sayang...!"
Bicara Menak Jingga mulai mencacau. Benar-benar ia sudah mabuk, karena banyak
minum arak dan tuak dalam tayuban. Ia bergerak berputar-putar,
seperti orang sedang mengiringkan anak tandak disertai dengan bernyanyi-nyanyi
dengan gembiranya. Mari Puyengan, mari Wahita mari menari, mari bergembira mari menandak bersama-
sama... beriangan-riang, bersuka-cita...!
Mendengar Menak Jingga telah bernyanyi-nyanyi dan menari-nari semacam
itu Mbok Suti datang seperti biasanya. Ditolongnya memapah Menak Jingga ke ruang
belakang dan mendudukkannya di atas sebuah tapang dari jati.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puyengan segera mendapatkan Damarwulan lalu membisikkan sesuatu
kepadanya; anak muda itu hanya pusing saja sebentar. Setelah dipungutnya
kerisnya yang telah hampir bertemu ujung dengan hulunya, ia segera berdiri
kembali. "Menak Jingga mempunyai ilmu tahan besi, Kakang!" demikian katanya.
"Ya...! Sekarang baru saya mengetahuinya dan merasainya sendiri. Ya...ya
...saya sudah maklum."
Damarwulan ingat akan petuah guru dan nasihat eyangnya.
"Maklum bagaimana, Kakang" Dengan apa akan Kakang lawan...?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakang hanya memerlukan pohon birah air putih sebatang!" jawab Damarwulan.
"Dengan besi dia tidak mempan, akan tetapi dengan birah air ia akan...."
Di dalam kota api kelihatan makin berkobar-kobar, perkelahian terjadi di mana-
mana. Di sekitar rumah itu perkelahian antara Ki Dayun dengan Sabda Palon tidak
kurang hebatnya, dibantu oleh Naya Genggong. Di sekitar istana yang dijaga oleh
tentara Menak Jingga dan dibantu oleh barisan Patih
Prabalingga terjadi pertempuran besar-besaran melawan tentara Menak
Koncar. Menak Jingga setelah beristirahat sebentar, lalu bangun kembali. Rupanya lekas
jua ia teringat akan musuhnya atau mungkin ia merasa telah waktunya kembali ke
istananya tengah malam itu.
"Puyengan ...Puyengan...!" katanya memanggil-manggil. "Wahita ...! Wahita
...! panggilkan Ki Dayun, aku mau pulang."
Rupanya ia belum sadar benar dan belum menyadari bahwa telah terjadi
perkelahian besar dimana-mana diseluruh kota.
"Prabu Menak Jingga...!" seru Damarwulan dengan lantang suaranya,
"Ketahuilah aku diutus Seri Ratu Dewi Suhita, datang ke Prabalingga ini, akan
menjemput jemala Tuan. Sekiranya Tuan dengan rela menyerah dan bersedia tunduk
kepada Seri Ratu, aku akan menyerahkan Tuan berikut kepala Tuan hidup-hidup.
Tuan saya beri kesempatan berpikir seketika!"
"Apa ..." Saya dan kepala saya akan dibawa hidup-hidup kepada Dewi Suhita...?"
sahut Menak Jingga. "Ya ... ya... sampeyan'" akan saya bawa menghadap kepada Sang Prabu Kencana
Wungu!" "Kencana Wungu..." Kencana Wungu... yang masyur itu," jawabnya terbata-bata.
"Tetapi bersediakah Seri Ratu berunding dengan saya tentang usul saya, yang
telah pernah disampaikan kepada Seri Ratu...?"
"Pasti tidak!" ujar Damarwulan. "Sampeyan akan digiring ke Majapahit sebagai
seorang tawanan, sebagai penjahat perang yang akan diadili!"
"Ah... ah...! Bagaimana saya dapat menyembunyikan muka saya
berhadapan dengan Dewi Suhita yang amat mulia, yang sangat saya cintai...!"
Sekitar tempat itu dan di sepanjang alun-alun di sekitar kepatihan
pertempuran berlangsung dengan hebatnya.
Patih Angkat Buta dan Patih Kot Buta, kaki tangan Menak Jingga, segera juga
dapat diringkus oleh tentara Majapahit.
Menak Jingga lama juga berhadapan dengan Damarwulan, serang-
menyerang dan terpa-menerpa berganti-ganti, seakan-akan tidak akan habis-
habisnya perkelahian itu, disaksikan oleh Dewi Puyengan dan Dewi Wahita yang tak
dapat berbuat apa-apa untuk membantu. Akhirnya ketika perkelahian keduanya telah
beralih ke luar rumah, Raden Damarwulan berhasil
merenggutkan batang birah air yang kebetulan tumbuh di pekarangan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Batangnya yang tua berwarna kekuning-kuningan, lalu dipukulkannya ke
batang leher Menak Jingga yang kebal karena is menaruh ilmu tahan besi itu.
Tentu aneh, ya, memang terlalu aneh kedengarannya, seorang raja yang
tiada teralahkan selama ini, yang menakutkan dan menggemparkan penduduk dan
pembesar-besar kerajaan Majapahit, tiba-tiba telah berhasil dikalahkan,
ditundukkan bahkan telah terbunuh dengan sekerat batang birah air (talas) tua
yang telah kekuning-kuningan warnanya. Oleh penyebar-penyebar berita itu
kemudian, yang sejengkah telah disiarkan sehasta, yang sehasta dikatakan sedepa,
dua depa, sepuluh depa dan seterusnya. Tidak disesalkan, apabila dalam cerita
rakyat di tanah Parahiyangan diberitakan, dipukul dengan
Wesikuning dan di daerah Jawa Timur dengan sebuah gada yang sakti.
Orang-orang Nusantara zaman itu percaya kepada ilmu gaib dan mantra-
mantra. Damarwulan tentu telah memperoleh bermacam-macam ilmu pula di
pertapaan-pertapaan sekitar Paluh Amba.
Apabila Damarwulan mendapat sambutan luar biasa, tentu sudah pada
tempatnya dan tidak urung telah jadi berbagai-bagai pula cerita tentang dirinya.
12. Berita Kemenangan Seluruh penduduk kota Majapahit keluar belaka akan menyaksikan
kedatangan bala tentara yang membawa berita kemenangan. Sebagian
pasukan induk telah kembali dan tentu disambut dengan amat gembira dan meriah
oleh penduduk kota. Di mana-mana rakyat berkumpul berkelompok-kelompok
membicarakan kemenangan itu. Terutama sekitar alun-alun istana amat ramai orang,
ingin mendengar sendiri dari anggota pasukan yang baru kembali itu, bagaimana
caranya tentara Majapahit dapat memasuki
PrabaIingga dan berhasil memenangkan perang itu. Sekalipun telah
diumumkan, untuk menjaga keamanan, Damarwulan dengan sejumlah induk
pasukan, buat sementara akan tinggal beberapa hari, mungkin beberapa
pekan, di Prabalingga untuk menjaga keamanan dan untuk memulihkan
ketenteraman kembali, tetapi penduduk masih tetap berbondong-bondong
menuju ke alun-alun. "Raden Menak Koncar ...!" ujar Dewi Suhita kepada kepala pasukan yang baru
kembali itu. "Kami ingin mendengar, cobalah ceritakan sekali lagi, bagaimana
caranya bala tentara kita dapat mengalahkan tentara Menak
Jingga, supaya sama-sama kami dengar."
"Seri Ratu!" jawab Menak Koncar dengan hormat. "Atas segala kemenangan ini
Majapahit harus berterima kasih kepada Raden Damar satria yang
bijaksana, berani lagi berbudi itu...."
"Den Ayu Anjasmara!" ujar Dewi Suhita dengan amat bergirang hati dan tersenyum
kepada Dewi Anjasmara yang duduk di sisi Seri Ratu. "Adinda dengar sendiri
tentang suami Adinda! Adakah puji-pujian yang lebih mulia dan menyenangkan
terhadap seorang satria daripada berani dan berbudi....!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dewi Anjasmara tersenyum bangga dan berkata, "Tentu hamba lebih
maklum tentang pekerti suami hamba, sekalipun dia baru saja jadi suami hamba,
Seri Ratu!" Setelah memandang berkeliling dengan sukacitanya, Seri Ratu berkata pula kepada
satria Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah Raden, bagaimana
seterusnya!" "Seperti telah dimaklumi, keberangkatan tentara dari sini dengan diam-diam
sekali. Penduduk kota hampir-hampir tiada mengetahui keberangkatan kami, karena
kami baru meninggalkan kota setelah matahari terbenam, bahkan
setelah malam gelap. Sekalipun ada melihat kami menuju ke luar kota, tetapi
orang tidak akan nyana bahwa kami akan pergi berperang. Segala-galanya berjalan
menurut yang telah direncanakan oleh Raden Damarwulan. Begitu pula ketika akan
memasuki kota musuh. Waktu fajar kami berhenti di dalam hutan, jauh di luar kota
Prabalingga. Orang yang lalu pada waktu paginya, baik yang datang atau menuju ke
Prabalingga, semuanya ditahan dan dijaga benar supaya jangan ada orang yang
dapat membawa berita tentang keadaan kami kepada kaki tangan Menak Jingga.
Selain itu barisan penyuluh kita telah dikirim terlebih dahulu ke Prabalingga
dengan diam-diam dan diperintahkan supaya berhati-hati sekali, guna mempelajari
dan menyelidiki keadaan dalam kota. Pekerjaan mereka itu pun berjalan dengan
baik dan amat rapi. Setelah kami menerima berita selengkapnya dari pasukan penyuluh kita,
barulah Raden Damar menyusun rencana dengan terperinci dan teliti. Nasihat Raden
Damar kepada kami, berhasil atau tidaknya penyerangan kita, menang atau kalah,
tergantung pada usaha pasukan penyuluh dan perencanaan yang teliti itu.
"Kami ingin mendengar, bagaimana akal Raden Damar melawan Menak
Jingga, yang dikatakan tak teralahkan itu!" ujar Dewi Suhita.
"Hamba tentu tak dapat menceritakan peristiwa itu semua, selain apa yang telah
hamba saksikan sendiri dengan mata kepala hamba. Setelah kami tiba di luar kota
Prabalingga bala tentara dibagi-bagi, menurut keadaan pertahanan musuh yang akan
dimasuki. Tentu menurut laporan yang dapat diterima dari mata-mata atau
penyuluh-penyuluh kita."
"Hamba ingin benar mendengar bagaimana Damarwulan dapat menjatuhkan Menak
Jingga...?" ujar Dewi Suhita sambil melirik kepada Dewi Anjasmara.
"Cobalah Raden terangkan kepada kami!"
"Sayang hamba sendiri tidak menyaksikan dengan mata hamba, karena hamba dengan
pasukan hamba menghadapi musuh di tempat lain. Akan tetapi menurut berita yang
disampaikan kepada hamba, ketika Menak Jingga telah terdesak, Raden Damar masih
memberi kesempatan untuk menyerah dan
bersedia tunduk mengakui kekuasaan Seri Ratu, serta masih memberi
kesempatan kepadanya untuk berpikir."
Raden Menak Koncar terdiam seketika, is teringat akan beberapa peristiwa yang
hampir saja menewaskan nyawa Damarwulan.
"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Seri Ratu Dewi Suhita dengan tidak sabar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Daulat Seri Ratu yang mulia, baiklah hamba ceritakan dari permulaannya.
Kedka pemimpin-pemimpin pertempuran tentara kita selesai menerima tugas masing-
masing dan penjelasan yang diperlukan dari Raden Gajah, demikianlah nama
senapati dalam pertempuran, serta menjelaskan pula akan tanda-tanda penyerangan
dan yang berhubungan dengan itu, senapati diiringkan pula oleh kedua
punakawannya, Naya dan Sabda, lalu menuju ke rumah Dewi Puyengan dan Dewi
Wahita. Adapun tempat tinggal kedua orang putri yang malang itu berdekat-dekatan
tiada berapa jauh dari istana."
"Siapakah Dewi Puyengan dan Dewi Wahita itu?" tanya Dewi Suhita memotong bicara
Raden Menak Koncar. "Serta mengapa pula Raden Damar datang mengunjungi keduanya
tengah malam semacam itu?"
Memandang kepada Dewi Anjasmara, "Raden bercerita di hadapan istrinya sendiri
dan seperti diketahui, Raden Damarwulan dan Dewi Anjasmara baru saja jadi
pengantin, beberapa hari sebelum berangkat ke Prabalingga."
"Raden Ayu Anjasmara, maafkanlah hamba! Bukan maksud hamba hendak membuat
fitnah, jauh daripada akan mengasut dan mengada-ada... Seri
Ratu!" Raden Menak Koncar terdiam memandang kepada Anjasmara dan Dewi Suhita
berganti-ganti. "Cerita hamba belum selesai. Dewi Puyengan dan Dewi Wahitalah
yang memainkan peranan yang penting dalam peristiwa
"Lho, bagaimana peristiwanya lekas ceritakan! Dan siapa mereka?" desak Seri Ratu
Suhita. "Hamba harap dimafkan, Ratu! Sudilah Seri Ratu mendengarkan keterangan hamba
dengan sabar! Adapun kedua orang putri itu anak-anak bupati yang tiada mau
tunduk atau bersepakat dengan niat busuk Menak Jingga; kedua orang bupati itu
sangat setia kepada Seri Ratu."
Diam pula. "Kedua orang putri itu terkenal amat cantik, terutama Dewi Puyengan, yang lebih
muda serta lebih lincah, seperti namanya itu, benar-benar dapat
memabukkan dan menggilakan barang siapa yang berani memandangnya atau
jika dipandangnya dengan sudut matanya. Itu agaknya, yang dinamakan
orang mabuk kepayang. Menak Jingga tergila-gila kepadanya. Sebab itu
hampir tiap malam dia datang ke tempat itu, mengunjunginya, akan
membujuk dan merayu putri itu."
"Tunggu dahulu," kata Seri Ratu Suhita pula menyela. "Kalau kami tidak salah,
tadi Raden katakan senapati Raden Damar diiringkan oleh kedua orang
punakawannya, Naya dan Sabda, juga menuju ke rumah Dewi Puyengan dan
Dewi Wahita. Yang kurang terang bagi kami, siapa yang tergila-gila kepada si
Puyengan itu?" Melirik dengan tajam kepada Dewi Anjasmara yang masih menundukkan
kepalanya, "Damarwulan atau Menak Jingga?"
"Gusti, sekali lagi hamba mohon dimaafkan serta hamba berharap cerita hamba
jangan disela dahulu!"
"Raden!" sahut Seri Ratu Suhita agak membentak suaranya. "Bagaimana kami tidak
akan menyela, kami ingin mendengar berita kemenangan
Damarwulan! Tuan ceritakan yang lain-lain.._ tentang Dewi Puyengan dan Dewi
Wahita. Sekalipun tidak diceritakan, kami akan maklum juga, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang laki-laki itu sama saja dari dahulu sampai sekarang, bila berhadapan
dengan perempuan cantik, lagi muda pula. Apalagi dalam peperangan. Saya tiada
sudi mendengar tentang Puyengan dan Wahita itu."
Melihat ke arah Dewi Anjasmara yang masih berdiam diri.
"Tuan tahu, perempuan seperasaan! Hati Dewi Anjasmara sekarang sebagai bara api
yang sedang bernyala. Saya harap hendaknya Tuan bawakan obat
penawar! Akan tetapi ternyata Tuan ungguni pula dengan jerami kering. Saya takut
kalau makin membakar dan berkobar nyalanya. Demi untuk kepentingan perasaan
Adinda Anjasmara, tak usah Tuan ceritakan tentang penyelewengan-penyelewengan
semacam itu, tak usah... sekali lagi tak usah!"
"Ini sekali-kali bukan penyelewengan, Gusti, betul-betul bukan
penyelewengan, tetapi suatu siasat yang harus dilakukan. Jika sekiranya Gusti
tak sudi atau tidak bersedia mendengarkannya, tak dapatlah hamba
menggambarkan pertempuran dan bagaimana kami memperoleh kemenangan
itu. Karena dalam hubungan Dewi Puyengan dengan Damarwulan itulah
terletak kuncinya. Betul, Gusti, di sinilah terletak kuncinya, ibarat makanan
malah yang menjadi bumbunya. Bagaimana hamba akan menghidangkan
sesuatu makanan, apabila Gusti menghendaki supaya bumbunya dikeluarkan atau
disisihkan. Makanan yang telah bersatu dengan bumbu-bumbunya
bagaimana memisah-misahkannya terlebih dahulu...!"
Raden Menak Koncar terdiam sebentar menghadap kepada Seri Ratu Prabu
Suhita, seakan-akan menanti perintah.
"Gusti Ratu!" sembah Dewi Anjasmara. "Bila terserah kepada hamba, hamba tiada
berkeberatan, apabila hubungan suami hamba dengan Dewi Puyengan
serta Dewi Wahita itu diberitakan semuanya di depan hamba...!!"
Terdiam sebentar "Atau barangkali Gusti sendiri yang menaruh keberatan, tak tahulah hamba..."
Terdiam pula, kemudian katanya, "Hamba tidak buta, Gusti, dan sudah biasa
apabila seorang pahlawan mendapat pujaan serta sambutan di mana-mana
karena kepahlawannya itu, seperti jiwa hamba mengaguminya dan
mencintainya, tentulah akan ada pula perempuan selain diri hamba yang turut
mengaguminya bahkan sampai mencintainya sekalipun. Bukankah tanda emas yang
murni atau sifat berlian yang tulen itu disukai dan dicintai tiap-tiap orang, ya
Gusti, terutama akan menjadi pakaian kita golongan istri."
Anjasmara berdiam diri pula seperti hendak menelan perasaannya sendiri, kemudian
katanya agak bernafsu, "Hamba percaya kepada Kakanda
Damarwulan, sesuatu yang dilakukannya selamanya dengan pertimbangan
serta diperhitungkannya dengan cermat jua, Gusti!"
Menghadap kepada Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah sekaliannya, Raden, hamba
ingin tahu sekaliannya!"
Raden Menak Koncar tiada segera melanjutkan ceritanya. Sekarang tahulah ia akan
perasaan kedua orang yang dihadapinya itu. Rahasia hati masingmasing telah dapat
diselaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekali lagi hamba ulangi," katanya, "Menak Jinggalah yang telah tergila-gila
kepada Dewi Puyengan, sebab itu sehabis tayuban pada malam itu,'dapat
dipastikan sebelum kembali ke keraton istana tentu ia akan datang ke tempat
Puyengan dan Wahita lebih dahulu. Sangat menguntungkan bagi penyerangan kita,
yang dengan tiba-tiba itu, musuh tidak mengetahui sedikit juga, bahwa sebahagian
tentara kita telah ada dalam kota. Hal itu tiada akan berhasil, bila tidak
karena kerapian pekerjaan pasukan penyuluh kita, yang masuk dengan jalan diam-
diam dan sebahagian dengan jalan menyamar."
"Bagaimana Raden Damar, suami hamba, mengetahui tempat Dewi
Puyengan dan Dewi Wahita" Siapa yang memperkenalkannya kepada
mereka?" tanya Anjasmara.
"Seperti telah hamba terangkan terlebih dahulu, itulah gunanya dibentuk pasukan
penyuluh atau mata-mata, yaitu akan mempelajari segala sesuatu dan untuk
menyelidiki hal yang penting-penting yang berhubungan dengan pertahanan musuh
dan yang bersangkut-paut dengan siasat penyerangan
kita." Bagaimana pertemuan Damarwulan dengan kedua orang putri itu,
diceritakanlah sekaliannya oleh Menak Koncar, sampai Damarwulan hampirhampir
jatuh pingsan dalam perkelahian yang pertama.
"Untung benarlah karena pertolongan Dewi Puyengan yang cerdik itu dan bantuan
Dewi Wahita," kata Menak Koncar.
"Bagaimana jalannya" Karena apa pada mulanya Raden Damar hampir-
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir jatuh pingsan itu?" tanya Dewi Anjasmara.
"Menak Jingga itu seperti diberitakan, memang seorang yang hebat rupanya dan
sangat kuat dan tegap perawakannya. Apabila berhadapan dengan dia
tidak ada yang dapat melawan jangankan akan mengalahkannya. Akan tetapi ada juga
kelemahannya. Pada malam hari ia kurang awas dan karena terlalu banyak minum
minuman keras ia selalu kelihatan seperti orang kehilangan ingatan....
Kedatangan Damarwulan sekali-kali di luar dugaannya, tidak disangka-sangkanya."
"Kalau begitu Menak Jingga betul-betul berhadapan dengan Damarwulan dan tewas
dengan tangannya sendiri?" tanya Sang I'rabu pula.
"Memanglah demikian, Gusti Ayu!" jawab Menak Koncar.
"Damarwulan berhadapan dengan Menak Jingga seorang lawan seorang, sementara
pasukan kita berhadapan dengan pasukan Bupati Prabalingga dan bala tentara Menak
Jingga di keraton, di alun-alun dan di sepanjang pusat pertahanan kota."
"Bagaimana selanjutnya dengan Dewi Puyengan dan Dewi Wahita?" tanya Seri Ratu.
"Tunggu dahulu, Gusti!" sahut Menak Koncar. "Ternyata bala tentara kita bukan
menghadapi bala tentara Menak Jingga dan pasukan Bupati Prabalingga yang
mendurhaka itu raja, tetapi ada lagi unsur-unsur yang lain."
"orang-orang dari pesisir Utara yang Tuan maksud?"ujar Dewi Suhita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan orang-orang dari Pesisir Utara, tetapi ada gerombolan-gerombolan lain, di
antaranya yang dikenal dengan gerombolan Kelana Jaya, yang
dikepalai oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa."
"Ya...ya...! Mendiang Adipati Tuban telah pernah juga menceritakan tentang
gerombolan-gerombolan semacam itu! Memang pada waktu yang akhir-akhir
ini timbul banyak perusuh dan petualang semacam itu di mana-mana. Negara
menderita dan rakyat merana oleh kekacauan yang tidak habis-habisnya."
Seri Ratu Suhita terdiam sebentar, kemudian ujarnya, "Apakah yang telah
dilakukan oleh gerombolan Kelana Jaya, yang dikepalai oleh Kuda Rarangin dan
Kuda Tilarsa itu?" "Anehnya gerombolan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa itu, tidak seperti gerombolan
yang lain, yaitu mendatangkan kerusuhan atau kekacauan kepada penduduk dan
biasanya mereka seakan-akan berpihak atau berpura-pura
membantu tentara, tetapi tujuan mereka yang sebenarnya, hendak
menangguk di air keruh."
"Kalau ia tidak membantu tentara kita barangkali mereka menjadi kaki tangan
musuh...," jawab Dewi Suhita dengan cepat.
"Pada mulanya dugaan kami, memang, demikian! Ketika terjadi
pertempuran hebat di sekitar alun-alun Prabalingga mereka turut menyerang musuh
bersama-sama kami. Tetapi alangkah terperanjat kami semuanya,
ketika Raden Damar datang hendak membantu kami sesudah membunuh
Menak Jingga tiba-tiba Kuda Rarangin menghadangnya di jalan dan terjadilah
perkelahian antara Damarwulan dengan Kuda Rarangin. Lebih heran lagi kami,
ketika ternyata dalam perkelahian itu tak ada yang teralahkan, keduanya sama-
sama jaya dan sama-sama gigihnya, kemudian datang pula Kuda
Tilarsa; mula-mula rupanya ia hendak menolong Kuda Rarangin, tetapi tiba-tiba ia
undur ke belakang, kerisnya yang telah keluar dari sarungnya
dibantingkannya ke tanah."
"Lalu...?" ujar Seri Ratu mendesak, ketika Raden Menak Koncar tidak segera
melanjutkan ceritanya. "Kuda Rarangin memandang kepada Kuda Tilarsa sambil memungut
kerisnya lalu memasukkanya ke dalam sarungnya. Melihat perbuatan kedua orang
lawannya itu Raden Damar juga menyarungkan kerisnya dan ketiganya berpandang-
pandangan. Kami yang menyaksikan, malah sudah bersedia-sedia akan menangkap
kedua orang yang kami anggap pengacau atau musuh itu,
malah ikut terpaku di tanah."
"Mengapa?" "Dari sinar pandangan, raut muka dan potongan badan ketiganya, sebelum masing-
masing mengeluarkan perkataan, dapat kami lihat tentu bersaudara!
Benarlah ketika masing-masing menerangkan asal-usul mereka ternyata
ketiganya bersaudara."
"Mana mungkin!" sahut Dewi Anjasmara tiba-tiba. "Kakanda Raden Damar anak
tunggal. Sejak kecil ia tinggal di pertapaan kakenda Bagawan Santanu atau lebih
dikenal dengan panggilan Kiyai Ageng di Paluh Amba. Tak
mungkin!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden Menak Koncar tersenyum, kemudian katanya, "Sesungguhnya di
mayapada ini banyak hal-hal yang pada mulanya kita katakan tak mungkin, karena
kita hanya melihat lahirnya belaka, belum mengetahui rahasianya yang
sebenarnya." "Saya tahu benar tentang diri Kakanda Raden Damar, anak tunggal Paman Patih
Udara dengan Bibi Nawangsasih. Ketika Paman Udara mengundurkan diri dari
pemerintahan Raden Damar masih kecil, masih kanak-kanak, dan
dibesarkan di Paluh Amba oleh Kakenda Bagawan Santanu Murti atau Maharesi Paluh
Amba seperti hamba katakan tadi yang terkenal bijaksana dan
cendekiawan itu. Orang desa Paluh Amba seluruhnya mengenal Damarwulan, terutama
yang sebaya dengan dia, sekaliannya mencintai dan
menghormatinya, bukan karena ia anak Patih dan cucu seorang Maharesi,
tetapi karena ia telah dapat mempersatukan hatinya dan dirinya dengan anakanak
desa itu." "Benar, Den Ayu Anjasmara!" jawab Menak Koncar sambil memandang kepada Seri Ratu
sebagai minta pertimbangan. "Maaf, kalau boleh hamba bertanya, apa sebabnya
Patih Udara mengundurkan diri?"
"Semata-mata hendak memberi kesempatan kepada Ayahanda hamba,
adiknya." "Tidak adakah kiranya sebab-sebab
yang lain?" tanya Menak Koncar.
Dewi Anjasmara tidak segera dapat
menjawab. Setelah memandang
kepada Dewi Suhita ia berkata, "Ini
menyangkut soal pemerintahan, tentu
Gusti yang lebih mengetahuinya!"
"Sekarang saya tiada dapat memberi
keterangan, tetapi menurut yang saya
dengar Paman Patih Udara lebih
menyukai pengembaraan daripada
pemerintahan. Setelah mengundurkan
diri Patih Udara tidak langsung
memasuki pertapaan tetapi lebih
dahulu telah mengembara ke mana-
mana di seluruh Nusantara. Malah
selagi memegang jabatan pemerintahan ia suka mengembara ke
mana-mana. Tetapi apakah hubungan
sekalian itu dengan diri Damarwulan?"
ujar Dewi Suhita. "Dari keterangan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa ternyata mereka samasama anak
Patih Udara. Pada mulanya keduanya juga tidak kenal-mengenali, setelah berjumpa
di pengembaraan dan setelah sama-sama mengadu
kesaktian dan sama-sama tak dapat dialahkan barulah mereka mengetahui
bahwa mereka bersaudara. Kuda Rarangin berasal dari desa Pesawahan dan Kuda
Tilarsa dari Pratokal. Menurut keterangan Ajar Tunggul Manik, yang bertapa di
Gunung Mahameru, mereka ada empat orang bersaudara sebapak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetapi berlain ibu, pada suatu ketika mereka akan bertemu di depan Ajar Tunggul
Manik yang keramat itu."
"Ini Paman Patih datang!" ujar Seri Ratu dengan tersenyum kepada Patih Logender
yang datang dengan sekonyong-konyong.
"Maafkanlah hamba beribu-ribu maaf, karena hamba terlambat datang menghadap.
Rakyat seakan-akan membanjir datang dari seluruh pelosok
negeri, dari desa-desa, menyambut berita kemenangan tentara Majapahit.
Terpaksa hamba memberi penerangan dan menjelaskan bahwa baru
sebahagian bala tentara kita yang pulang. Raden Damar dengan sebagian
besar pasukannya baru beberapa hari lagi akan kembali. Jika tidak diberi tahu,
rakyat mungkin akan tetap berdiri sepanjang jalan, menantikan pahlawannya.
Juga hamba harus menjelaskan kepada mereka, bahwa pasukan kita terpaksa tinggal
beberapa lamanya, karena perlu mengamankan gerombolan dan
pengacau, selain untuk memulihkan keamanan dan ketenteraman dalam kota.
Ya, hamba sangat berbesar hati dan mengucapkan selamat atas kemenangan tentara
kita, Gusti!" Sekalian yang diucapkannya, seakan-akan telah diaturnya atau
dikarangkannya terlebih dahulu. Tetapi dari getar suaranya, apa yang
diucapkan lidahnya berlawanan dengan kehendak serta bisikan hatinya.
Sesudah mengaturkan sembah, Patih Logender lalu duduk ke dekat Raden
Menak Koncar. Sambil tersenyum dibuat-buat ia berkata pula, "Kepada Raden tiada
terkira terima kasih hamba, yang telah memenangkan peperangan ini bersama-sama
dengan Damarwulan. Anak saudara hamba, ah, ya menantu
hamba yang masih muda sekali, tentulah dengan petunjuk dan bantuan Raden juga
maka ia telah berhasil beroleh kemenangan. Sekali lagi hamba ucapkan terima
kasih dan selamat." Kemudian berpaling kepada Seri Ratu Suhita, sembahnya, "Majapahit sekarang
sementara telah terlepas dari bahaya, terhindar dari kehancuran, Gusti!"
"Mengapa Paman katakan sementara?" tanya Dewi Suhita agak keheranheranan.
"Maksud hamba, mudah-mudahan terhindar dari kehancuran untuk selama-lamanya,
ah ... bukan sementara, harap hamba diberi maaf, Gusti...," katanya terbata-
bata. "Hamba sangat bersyukur kepada dewa-dewa, yang telah melindungi
Pendekar Wanita Baju Merah 9 Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Memperebutkan Batu Kalimaya 1
akan tuanmu dan tidak akan merugikan kamu serta tuanmu."
Sabda Palon memandang kepada Naya Genggong, kemudian kepada
Anjasmara, seraya berkata, "Tuan hamba beruntung mendapat Ndara.
Berakhirlah sudah duka nestapanya selama ini."
"Apa maksudmu?" tanya Anjasmara menegasi.
"Waktu kami di Paluh Amba, sering Tuan hamba duduk seorang dirinya meniup suling
seperti meratap berhiba-hiba. Atau berhari-hari ia duduk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung atau seorang diri di malam sunyi menatap tenang-tenang ke langit yang
penuh bertahur bintang," kata Sabda Palon.
"Akhirnya ia tak dapat tertawa lagi," seru Naya Genggong pula.
"Ya, kadang-kadang dengan tiba-tiba ia memanggil kami pergi berburu,"
sela Sabda Palon pula, "tetapi setelah sampai di pintu rumba, ketika kami
melihat sekelamin binatang buruan, ia melarang kamu melepas anak panah.
Sebaliknya kamu disuruhnya lekas-lekas kembali pulang."
"Acapkali pula seperti gila lakunya," ujar Naya Genggong, "ia bercakapcakap
dengan asyiknya seorang diri."
"Dikatakannya ia berhadapan dengan Batara Wisynu," sambung Sabda Palon pula.
"Cukuplah ceritamu sekian saja," ujar Anjasmara pula. "Hatiku sendiri dapat
menambahnya, karena cintaku akan tuanmu telah dapat pula mernbayangkan bagaimana
pula cintanya akan daku. Akan tetapi gilakah kamu jadi prajurit dalam laskar
Adipati Tuban?" "Kami bertemu dengan tentara Adipati itu, ketika kamu akan berangkat ke
Majapahit," jawab Sabda Palon. "Tuan hamba, Raden Damarwulan terus bermohon
kepada Adipati Tuban turut menyerbu ke Wirabumi."
"Kepandaiannya dalam berperang kelihatan sekali. Tidak siasia ia diajar kakeknya
sejak kecil serta ayahnya Patih Udara. Badannya kiiat, matanya tajam, karena
telah biasa hidup berkelana dalam rimba," sela Naya Genggong.
"Dalam pertempuran ia selalu di muka barisannya," kata Sabda Palon.
"Tetapi, Sabda Palon di belakang sekali," seru Naya Genggong.
Setelah berdiam seketika, Anjasmara bertanya pula, "Berjuangkah dia bersama-sama
dengan Raden Gajah, pahlawan yang hilang entah ke mana tak tentu rimbanya, yang
sudah lama dicari Seri Ratu. Pahlawan yang dapat
menggembirakan seluruh tentara yang tampil menyerang seperti singa?"
Sabda Palon dan Naya Genggong tertawa.
"Raden Gajah ialah nama Damarwulan dalam perlawatannya. Itulah
namanya yang dikenal oleh kawan-kawannya di antara anak-anak gembala
dan petani-petani di Paluh Amba. Apa sebabnya, kami tak tahu benar,
mungkin karena keberaniannya juga," demikian keterangan Sabda Palon.
"Damarwulanlah kiranya Raden Gajah itu?" ujar Anjasmara dengan amat girangnya.
"Sungguh hatiku tidak keliru memilih. Benarlah cinta telah berurat berakar dalam
hati dunia ini. Dewa Kamajaya telah memenuhi Swargaloka
dengan cintanya dan telah menghiasi seluruh muka bumi dengan cintanya
pula. Sekarang hatiku telah dimahkotai cinta yang ada dalam hatinya. Kami baru
saja dipertemukan Dewata, akan tetapi perasaan cinta seakanakan telah lama
mengikuti hati kami."
"Ndara," seru Naya Genggong! "Hamba lihat Raden
"Raden Gajah, Seri Ratu Majapahit telah lama mencari Kakanda. Mengapa Kakanda
berdiam diri juga" Jika saya sekiranya Tuan, sudah lamalah saya di gapura
Wirabumi." Demikian kata Dewi Anjasmara kepada Damarwulan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dewi Anjasmara, hamba bukan kesatria semata. Jika hamba hanya kesatria saja,
tentu telah hamba kerahkan bala tentara menyerang negeri Menak
Jingga yang durhaka itu. Darah pendeta pun mengalir pula dalam tubuh
hamba. Dalam menghadapi perang, yang hamba ingat hanya maju ke muka,
menyerangmenyerang memusnahkan segala yang menghalang, segala yang
menghambat di muka hamba. Dalam perang manusia bertindak seperti hewan, lupa
akan kemanusiaannya. la mabuk melihat darah seperti harimau lakunya, membunuh,
menerkam menewaskan mangsanya," demikian jawab
Damarwulan. "Akan tetapi, o, kekasih hamba, setelah redalah nafsu yang berkobar
dalam dada hamba, teringatlah hamba akan orang yang telah hamba bunuh dengan
tangan hamba sendiri. Terbayang kembali di hadapan mata
hamba bagaimana mereka mengaduh dan merintih. Senantiasa hamba melihat mayat
yang berkumpul-kumpul keliling hamba, matanya terbuka tidak melihat, mukanya
masih menyeringgit membayangkan sakit."
Diam sebentar, kemudian katanya, "Waktu hamba sampai kemari, hamba lihat
perempuan-perempuan di pintu gerbang bersama dengan anak-anaknya menantikan
suami dan ayahnya. Ratap tangis mereka memilukan hati dan
hamba sendiri turut menderita."
Dewi Anjasmara memandang dengan tenang, kemudian ujarnya, "Kakanda Damarwulan!
Sungguh aku bukan perempuan, kalau Adinda tidak mengerti
akan perasaan Kakanda. Akan tetapi, kekasihku, haruslah dibiarkan Majapahit
runtuh..."!" Damarwulan tiada segera menjawab. Keduanya sama-sama memandang ke
jalan, kepada orang-orang yang lalu lintas, prajurit-prajurit yang datang dan
pergi, yang menggambarkan keadaan dalam kota Majapahit yang sedang
rusuh dan gelisah. Kemudian dengan lesu, seakan-akan kata-katanya terlompat dari mulutnya dengan
tiada dipikir dan dirasakannya benar, "Ya, apa bedanya bagi hamba, siapa yang
jadi raja di Jawadwipa?"
"Bagaimana, jika sekiranya Menak Jingga yang menduduki takhta Kerajaan"
Akan selamatkah Jawadwipa?" ujar Anjasmara.
Damarwulan tiada lekas menjawab.
"Bagaimana pada timbangan Kakanda?" ujar Anjasmara mendesak.
"Pasti rakyat akan bertambah sengsara, negeri akan bertambah kacau, Menak Jingga
bersifat raksasa, tidak mengindahkan keadilan dan peri
kemanusiaan. Aku pernah menghadapi dia di medan pertempuran, is menaiki kuda
hitam. Badannya hitam seperti karang, pakaiannya seakan-akan tiada bergerak,
sekalipun angin bertiup dengan kencangnya. Matanya tiada
menyorotkan cahaya, seperti mata orang yang mati. Seakan-akan dia sedang
berhadapan dengan bala tentara raksasa dari neraka."
Dewi Anjasmara berkata pula, "Relakah Kakanda membiarkan dia merampas
Jawadwipa?" "Apa gunanya Majapahit ditolong lagi?" jawab Damarwulan. "Agama sekarang sudah
berubah menjadi takhayul, pendeta sekarang telah menjadi pemeras. Tahukah Adinda
apa yang terjadi di tempat-tempat peribadatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekarang, baiklah tiada hamba ceritakan. Agama dahulu meninggikan budi, sekarang
sudah berubah sifatnya seperti penjara yang mengurung dan
membelenggu hati rakyat, bahkan merusak-binasakan jiwa rakyat. Orang
melihat lahirnya saja, tidak mengerti lagi isinya. Arca disembah sebagai dewa,
sebab rakyat tak dapat berpikir lagi. Pendeta bukan memimpin kepada
beragama, tetapi mengajarkan kebohongan dan menambah kebodohan saja,
supaya kuasanya makin meluas, supaya tercapai kemauan yang hina dan
rendah." Damarwulan terdiam pula, seketika
kemudian katanya, "Kesatria namanya saja
yang masih tinggal, sifat dan perbuatannya
sudah seperti perampok. Rakyat jelata
hidup melarat, kurus kering tidak
bertenaga, seperti akan matt menahan
lapar sekalipun masih bernapas. Majapahit
akan punah, tidak dapat ditolong lagi.
Sekalipun keadaan dapat diubah, akan
tetapi apa gunanya?"
"Kakanda hams memenuhi kewajiban,
menuruti darmamu sebagai kesatria
Majapahit," ujar Dewi Anjasmara pula.
"Segala darma tidak hamba indahkan,
kalau hamba tidak mengerti," jawab
Darmawulan pula. Sambil melangkah
menuju ke jalan samping is berkata
perlahan-lahan, bimbang, seakan-akan ia
berkata kepada dirinya sendiri, "Kewajiban dan darma hamba sekarang menanti di
kandang kuda paman hamba!"
8. Berita dari Paluh Amba- Cinta dan Kew jiban
Selama tinggal di ibu kota Majapahit banyak pengalaman Damarwulan
bertambah. Panca mdranya seakan-akan semakin tajam, pendengarannya
semakin nyaring, pemandangannya bertambah awas dan jauh, pertimbangan
dan perhitungannya bertambah teliti.
Sekalipun umurnya muda sekali, tetapi karena pendidikan dan pergaulannya di
Paluh Amba. Damarwulan banyak berpikir dan merasakan. Sebagai kesatria sejati,
ia beroleh pendidikan yang sempurna dari kakeknya yang telah
menjalani darmanya di hari tuanya sebagai Maharesi serta dari ayahnya
sendiri bekas patih kerajaan Majapahit, yang dengan rela hati menyerahkan
kepatihannya kepada saudara sendiri. Akan tetapi sebagai anak desa, yang sehari-
hari bergaul dengan kaum tani, rakyat biasa atau orang bawahan, Damarwulan
selalu mempercermin kehidupan masyarakat yang sebenarnya
melihat sendiri kesusahan dan kesulitan rakyat. Di samping itu dilihatnya pula
golongan ksatria yang menempatkan dirinya terlalu tinggi di atas kasta-kasta
atau golongan yang lain, serta memperlakukan mereka dengan tiada semena-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mena, bahkan telah jauh di luar garis keadilan dan peri kemanusiaan,
terutama pada masa yang akhirakhir itu. Agama dan kaum brahmana hampirhampir
tiada berdaya lagi. Ketika itu pula seperti telah diceritakan di daerah pesisir
utara telah masuk pengaruh dan teladan kehidupan yang baru menurut ajaran Islam.
Sekalian pertentangan itu berkesan serta berpengaruh ke dalam jiwa
Damarwulan. Ayahnya dahulu acapkali mengatakan kepadanya, hati nurani
sendiri adalah ibarat matahari yang menyinari jalan kehidupan. Pernah pula orang
tuanya mengatakan, jalan kehidupan yang akan dilalui terentang dalam hati
sendiri, kita mesti melaluinya dengan awas barulah kita dapat selamat sampai ke
ujungnya. Karena sesuatu yang tiada sesuai dengan hati atau
kemauan sendiri, tidaklah mungkin dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Dipandang sepintas lalu Damarwulan seakan-akan orang yang amat keras
rupanya. Memanglah demikian! Sebaliknya is selalu menjalankan
kewajibannya dengan pikiran yang tenang. Sebagai kesatria sejati, ia selalu
membela dan mengutamakan kebenaran dan keadilan.
"Apa lagi yang Kakanda nantikan?" tanya Dewi Anjasmara pula. "Inginkah Kakanda
membiarkan Majapahit hancur, sedang Kakanda sendiri
sesungguhnya dapat membelanya!" Kakanda sendiri mengatakan, tugas
kesatria membela negara dari kehancuran, akan tetapi Kakanda sendiri
sekarang masih diam berpangku tangan."
Anjasmara makin mendekatkan dirinya kepada Damarwulan dan
membiarkan tangannya dipermainkan kekasihnya. Kemudian dengan
menyandarkan kepalanya ke dada Damarwulan, ia berkata pula, "Aku ingin
mengetahui apakah gerangan yang selalu mengganggu hatimu, kekasihku?"
"Rahasia kehidupan, Anjasmara, yang selalu menyelimuti jiwaku seperti awan hitam
yang menutupi muka bumi," jawab Damarwulan.
"Jiwa Kakanda barangkali masih dipenuhi perasaan dendam kepada
Ayahanda?" "Kalau begitu, pastilah kepada Kakanda Layang Seta dan Kurnitir?"
"Demi dewa-dewa, tidak, kekasihku!"
"Percuma Kakanda belajar kebatinan dan kesatriaan bertahun-tahun di asrama Paluh
Amba, jika di hati Kakanda masih membekas kedengkian
saudara sendiri." "Kalau begitu apakah yang membimbangkan hati Kakanda?" desak Anjasmara. Setelah
berdiam diri seketika dan tidak juga beroleh jawaban, ia bertanya pula,
"Tidakkah Kakanda mendengar berita dari istana?"
"Tentang apa maksud Adinda?"
Sebaliknya Damarwulan sekarang yang bertanya.
"Kesatria yang berhasil mengalahkan Menak Jingga akan diberi kedudukan yang
setinggi-tingginya di seluruh Majapahit. Apabila ia menghendaki, Seri Ratu
bersedia mendudukkan kesatria itu di samping Baginda untuk dapat
memerintah bersamasama. Adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari itu" Selain Tuan
akan memerintah seluruh Majapahit, Kakanda akan mempersunting
Kesuma Jawadwipa yang tiada taranya, yang sedang harum mewangi ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seluruh Nusantara," jawab Anjasmara, mengangkat kepalanya dari ribaan Damarwulan
dan melepaskan tangannya dari genggamannya, kemudian mena
tap dengan tajam kepada anak muda itu.
"Masihkah Adinda menyangsikan hati Damarwulan yang telah rela
mengabdikan dirinya di kepatihan ini, semata-mata terikat kepada dara yang
dicintainya"! Kalau tidak karena itu, sudah lamalah ia meninggalkan ibu kota
Majapahit yang selalu dalam huru-hara, pergi berkelana dan mengembara
entah ke mana!" ujar Damarwulan sambil meraih tangan Anjasmara yang halus itu ke
haribaannya. "Hamby seperti mungkir menjalankan kewajiban hamba, tetapi Anjasmara, ketahuilah
jauh dalam lubuk hati hamba, hamba ingat senantiasa, bahwa
hamba akan pergi ke Wirabumi. Dewadewa mudah-mudahan menolong hamba
untuk membela nama Majapahit, tetapi tidak karena mengharapkan mahkota.
Apalagi karena ingin hendak mempersunting Kesuma Jawadwipa, seperti
sangka!" "Tidakkah engkau dengar, Damarwulan, berapa banyak medan perang,
karena tergila-gila oleh kecantikan dan keayuan Ratu Kencana Wungu,
bermimpikan hendak bersanding dengan Ratu Majapahit yang amat muda belia itu!"
"Terutama Kakanda Seta dan Kumitir, bukan" Tidak patutnyalah hamba turut
bersaing dengan saudara sendiri," jawab Damarwulan tersenyum.
"Hamba senantiasa mengharapkan akan jadi iparnya, bukan jadi
saingannya.... Anjasmara pun tersenyum pula, mengerling kepada Damarwulan.
Sejurus lamanya keduanya sama-sama berdiam diri, samasama
membiarkan diri dipermainkan, dibuai dan diayunkan perasaan ma.sing-
masing. Kemudian Damarwulan berkata, "Anjasmara, hamba telah mengambil
keputusan untuk berangkat ke Wirabumi bersama bala tentara. Tetapi sebelum
berangkat, hamba ingin mendapat kepastian kawin dengan Adinda!"
Dewi Anjasmara tidak menjawab, ia agak terperanjat, kelihatan warna
merah naik sekonyong-konyong ke mukanya laksana rona fajar dini hari
menanti siang yang cerah dan terus menatap kepada Damarwulan.
"Bagaimana pendapat Adinda" Ke medan perang itu berarti
mempertaruhkan nyawa, hidup atau mati, sebelum berangkat hamba ingin
beroleh kepastian. Keinginan Kakanda ini supaya direstui pula oleh Seri Ratu.
Permintaan hamba hanya satu, sebelum meninggalkan Majapahit, supaya kita kawin
terlebih dahulu. Jika sekiranya hamba harus gugur di medan perang, seandainya
hamba meninggal dunia, damailah hati hamba masuk ke
surgaloka, karena hamba telah mengenal bahagia cinta di dunia ini."
"Mana kemauan Kakanda, Adinda turut... terserah kepada Kakanda,"
demikian jawab Anjasmara, lemah lembut.
Setelah berkata itu, Damarwulan berdiri dan menuju ke tempatnya, rupanya hendak
berkemas. Tak lama kemudian kelihatan Sabda Palon dan Naya
Genggong datang dengan seorang utusan dari Paluh Amba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gusti, ada utusan dari Paluh Amba, membawa berita buruk. Di mana Raden Damar?"
ujar Sabda Palon. "Berita apa yang dibawa utusan itu?" tanya Anjasmara dengan cemas.
"Bunda Damarwulan sakit keras."
"Damarwulan hendak berangkat bersama bala tentara ke Wirabumi," sahut Anjasmara,
"ada berita semacam ini!"
"Damarwulan hendak berangkat ke Wirabumi, betulkah, Gusti"!" ujar Naya Genggong
pula. "Kalau begitu biarlah aku kembali ke Paluh Amba."
"Dengar, Gusti!" kata Sabda Palon sambil menunjuk kepada Naya Genggong, ?"belum
apa-apa si Naya sudah takut, hendak melarikan diri ke Paluh Amba."
"Bukan takut," jawab Naya Genggong, "kita perlu menghibur dan membela yang sakit
itu." Damarwulan selesai berkemas, ia masuk kembali berpakaian kesatria, di
tangannya telah tersedia sebuah lontar. Anjasmara segera menyongsongnya dengan
agak gugup dan cemas. "Damarwulan, kekasihku! Apa pun yang akan terjadi, janganlah lupa.
Anjasmara senantiasa ada di sisi Kakanda," ujarnya.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wajah Adinda tak 'kan pernah lagi hilang dari rongga hati Kakanda," jawab
Damarwulan. Kemudian ia menoleh kepada utusan yang datang dari Paluh
Amba dan bertanya, "Mengapa engkau disuruh datang kemari?"
"Jangan terkejut, Damarwulan, is membawa berita sedih bagi Kakanda,"
ujar Anjasmara pula. "Sakitkah bundaku, Sora..." Katakan terus terang!"
"Sesungguhnya demikian Bunda sakit payah, Raden, dan selalu memanggil Tuan,
karena tak ada harapan lagi."
Damarwulan terperanjat, kemudian menundukkan kepalanya, sangat
berduka cita rupanya. Tangannya dipegang Anjasmara dan berkata, "Baiklah Kakanda
berangkat ke Paluh Amba terlebih dahulu. Tentu Ibunda sangat
merindukan kedatangan Kakanda."
Damarwulan mengangkat kepalanya dan memandang dengan tenang,
kemudian berkata kepada kedua orang punakawannya, "Sabda Palon dan Naya
Genggong, kembalilah kalian berdua dahulu ke Paluh Amba. Persembahkan
baik-baik kepada Ibunda, pada saat ini saya tidak dapat datang, karena harus
berangkat ke Wirabumi. Jangan lupa mempersembahkan salam baktiku yang
sedalam-dalamnya." Damarwulan terdiam. "Kewajiban kepada negara memaksa hamba
menahan rindu kepada Bunda."
Sabda Palon dan Naya Genggong berpandang-pandangan dan
mendengarkan perintah Damarwulan dengan suka citanya.
"Bundaku tentu mengetahui, bahwa cinta-kasih putranya tiada berhingga, tetapi
negara lebih utama daripada urusan keluarga. Sekiranya malang
datang, menimpa, ibuku meninggal dunia, mintakanlah rahmatnya bagi
anaknya dan sampaikan sembah sujudku kepada Bunda yang tercinta."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan segera berangkat.
9. Majapahit Memerlukan Senapati
Bangsal witana, tempat sidang besar telah penuh orang, para bupati, para
tumenggung, patih dan para adipati telah hadir, tinggal menunggu Dewi
Suhita, Seri Ratu Majapahit. Tak lama kemudian kalasangka dibunyikanlah, serunai
ditiup serta gendang dan canang dipukul orang, tanda Sang Prabu akan masuk.
Bentara kanan dan bentara kiri telah berdiri. Sekalian yang hadir duduklah
dengan tertib dan azmatnya menanti kedatangan ratunya. Yang
berdiri di luar bangsal segera melapangkan jalan dan berjongkok menyusun jarinya
serta menundukkan kepala, masing-masing memberi hormat dengan
khidmatnya. Dewi Suhita, disebut juga Ratu Kencana Wungu, Seri Ratu Majapahit
kelihatan menuju bangsal, diiringkan oleh para pembesar istana, terus masuk dan
duduk di atas singgasana. Setelah memberi hormat seperti diadatkan oleh raja-
raja yang berkuasa di Majapahit sejak Kakenda Prabu Rajasa, Seri Ratu segera
membuka sidang, sabdanya, "Tuan hamba sekalian yang hadir di bangsal witana yang
terhormat ini! Adipati kepala agama, kepala
pemerintahan, para punggawa tinggi, serta adipati-adipati yang memimpin
ketentaraan! Pada saat ini acara sidang hanya satu: Kedurhakaan Adipati Wirabumi
dan pengangkatan senapati baru, menggantikan Adipati Tuban yang telah gugur di
medan laga." Dewi Suhita diam seketika, memandang kepada Adipati Matahun, adipati
yang tertua, kemudian memandang berkeliling, seakan-akan tiap-tiap muka hendak
ditatapnya, ingin mengetahui perasaan masing-masing.
"Setelah yang mulia, Adipati Tuban meninggal dunia, gugur di medan pertempuran,
belum ada senapati yang bersedia memimpin bala tentara.
Menurut berita yang penghabisan, Menak Jingga telah menguasai Lumajang dan tiada
berapa lama lagi akan sampai ke pintu gerbang Prabalingga. Dan telah berulang-
ulang kami umumkan kepada ksatria-ksatria yang tinggi
derajatnya, supaya suka dan bersedia menggantikan Adipati Tuban, tetapi sampai
sekarang belum berhasil juga. Tidak seorang pun yang menyediakan diri serta
menyanggupinya. "Sekarang bagaimana bicara kita sekalian" Akan kita biarkankah Menak Jingga
memasuki Majapahit, merampas serta meruntuhkan singgasana Prabu Kartarajasa
ini...?" Sekalian yang hadir berdiam diri; tak ada yang berani menyahut.
"Tuan-Tuan sekalian! ingatlah Tuan-Tuan, bahwa nenek moyang Tuan-
Tuanlah dahulu yang telah membina kebesaran Majapahit dengan darah,
pikiran dan perjuangan. Tidakkah Tuan-Tuan sekarang merasa berkewajiban untuk
mempertahankan, membela dan memelihara pusaka nenek moyang
Tuan-Tuan sekalian...?"
"Pada zaman kakenda Prabu Rajasanegara, kedurhakaan yang semacam ini pastilah
dengan segera mendapat hukuman yang setimpal. Kedurhakaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adipati Wirabumi telah mengancam seluruh Majapahit. Tindakannya itu,
seolah-olah telah memperlihatkan kelancangannya yang sangat keterlaluan, seakan-
akan ia menyangka, bahwa di Majapahit in sudah tak ada lagi laki-laki."
"Kalau betul darah kesatria ada mengalir dalam tubuh Tuan hamba sekalian,
tunjukkanlah kiranya jiwa kesatria Tuan hamba itu. Jikalau Tuan hamba
diamkan, Tuan-Tuan tidak segera membela Majapahit, apakah kata anak cucu Tuan
hamba kemudian hari. Iastilah mereka akan mencela dan mengutuki
perbuatan Tuan hamba yang tiada mengutamakan keselamatan negara.
Perbuatan Menak Jingga terlalu merendahkan rakyat Majapahit sekalian.
Tidakkah Tuan hamba sependapat dengan kami?"
Dewi Suhita berdiam diri sebentar, memandang berkeliling, seakan-akan
hendak merasakan pengaruh bicaranya itu. Kemudian ia berkata pula, "Tuan-Tuan
yang hadir dalam sidang ini adalah ksatria belaka, bangsawan Majapahit, sendi
kerajaan kami, sakaguru pemerintahan Jawadwipa, sekiranya Tuan-Tuan seiya
sekata, tiada bersatu menyusun kekuatan, alamat Majapahit akan
runtuh." Diam pula seketika. Anggota sidang berbisik-bisik sebagian menatap dengan
kebingungan kepada Seri Ratu.
"Sidang Majelis Mahkota yang terhormat! Sekarang kita harus memilih dan
mengangkat senapati yang baru, untuk memimpin bala tentara ke
Blambangan, guna menghukurn Adipati Menak Jingga yang durhaka itu.
Pamanda, Adipati Matahun, siapakah yang patut menurut pandangan Tuan
menjadi kepala bala tentara?"
"Seri Ratu...!" sahut Adipati Matahun, seraya menyembah "Jikalau patik tidak
dalam keadaan sakit, tentu patiklah yang pertama sekali memohonkan, minta diri
akan melawan Menak Jingga itu. Ingin benar hati patik hendak memusnahkan si
Durhaka itu. Patik serasa terikat sekarang ini, tidak berdaya, karena sakit,
sekalipun hati rindu hendak membawa serta memimpin laskar ke puncak kemenangan.
Prajurit patik sekaliannya patik serahkan kepada Seri Ratu."
"Siapakah menurut pandangan Pamanda, yang patut mengepalai bala
tentara?" tanya Dewi Suhita.
"Siapa lagi yang lebih patut...," jawab Adipati Matahun sambil menunjuk ke
sampingnya, "selain Adipati Daha."
"Pamanda Adipati Matahun, terima kasih atas pandangan Tuan hamba! Kami pun tahu
Tuan tiada sehat. Setia Tuan kepada mahkota tiada taranya,
keperwiraan Tuan termasyhur ke manamana. Sekali lagi kami berterima kasih atas
pandangan Tuan," jawab Dewi Suhita dengan hormatnya. Kemudian ia menoleh kepada
Adipati Daha. "Pamanda Adipati Daha! Bagaimana bicara Tuan hamba?"
"Seri Ratu," jawab Adipati Daha, "Seperti dimaklumi, patik sekarang mulai tua
dan layaklah patik mengundurkan diri, supaya terbuka kesempatan bagi yang lebih
muda menunjukkan keperwiraannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar perkataan Paman!" kata Dewi Suhita. "Sebelum yang muda-muda kami tanyai,
patutlah kami meminta bantuan kepada yang tua-tua terlebih dahulu. Pertama
karena pengalamannya, kedua karena rasa tanggung
jawabnya, dan ketiga memang yang tua itu lebih patut dijadikan pemimpin karena
perhitungannya yang matang, serta pertimbangannya yang saksama
dan bijaksana." Dewi Suhita memandang kepada Adipati Wengker dan setelah berdiam diri
sesaat berkata pula, "Bagaimana kalau Adipati Wengker...?"
"Ampun Seri Ratu, beribu-ribu ampun...!" jawab Adipati Wengker agak gugup.
"Kami mengetahui, antara Tuan-Tuan ada yang berkeluarga dengan Adipati Wirabumi,
tetapi pertimbangkanlah dengan sungguh-sungguh, apa arti
kewajiban dan kekeluargaan. Apa lagi dalam keadaan negara sekarang ini, yang
sedang diancam oleh pengkhianatan dari dalam. Barang siapa yang
mendiamkan pengkhianatan Adipati Wirabumi, berarti rela membiarkan
Majapahit runtuh," ujar Seri Ratu Kencana Wungu dengan agak keras serta
memandang dengan tajam, kemudian, "Bagaimana pikiran sidang majelis, kalau kami
tunjuk saja siapa yang harus diangkat menjadi kepala tentara, tidak boleh
membantah lagi, bila sudah kami putuskan."
"Seri Ratu," sahut salah seorang patih, "ada kurangnya kehendak duli itu.
Barang siapa dipaksa menjadi kepala bala tentara, tentu hatinya kurang gembira
dan khawatirlah patik, tidak bersungguh-sungguh ia memimpin bala tentara.
Artinya, belum lagi ia berangkat sudah berarti setengah kalah..."
"Perkataan Paman benar sekali, tetapi apakah yang patut diperbuat sekarang"
Waktu dahulu suatu kehormatan benar bila diangkat jadi kepala bala tentara,
sekarang sukar mencari orang yang suka menjadi senapati."
Seorang bentara dalam kelihatan menghadap dan menyembah.
"Apa sebabnya engkau masuk menghadap?" tanya Dewi Suhita kepadanya.
"Seri Ratu," sembahnya pula, "ada utusan dari Prabalingga..."
"Suruh ia datang ke sini!" titah Dewi Suhita.
Bentara dalam keluar dan sesaat kemudian masuk kembali, mengiringkan,
utusan itu ke hadapan ratu.
"Apa kabar yang engkau bawa?"
"Seri Ratu," ujar utusan itu dengan sembahnya, "patik diutus Tuan hamba Menak
Koncar, datang mempersembahkan kepada Seri Ratu bahwa Bupati
Prabalingga telah menyerahkan ibu negerinya kepada Adipati Menak Jingga...."
Dewi Suhita memperkatupkan kedua belah bibirnya. Wajahnya tetap tenang.
Hanya kelihatan sinar matanya makin memancar-mancar, membayangkan
perasaannya yang makin berkobar-kobar, kemudian keluar perkataan sebagai
terluncur dari mulutnya, "Bertambah lagi orang durhaka. Di Jawadwipa tidak ada
kesatria lagi." Pandangannya ditujukan kepada utusan itu, "Apabilakah Menak Jingga hendak
berangkat untuk menyerang Majapahit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tiga hari lagi, Seri Ratu, menurut pendengaran kami," jawab utusan itu.
"Laskarnya hams beristirahat dahulu, melepaskan lelah."
"Berapa.jumlah prajuritnya?"
"Menurut taksiran, kira-kira tiga puluh ribu, Seri Ratu!"
"Sekarang engkau boleh pergi. Sampaikan hormat kami kepada tuanmu, Raden Menak
Koncar. Jasa tuanmu akan senantiasa teringat oleh kami selama-lamanya."
Utusan keluar, diiringi oleh bentara dalam, diantarkan oleh pandangan mata
majelis sampai ia hilang di luar pintu.
"Majelis luhur, majelis mahkota kerajaan Majapahit!" ujar Dewi Suhita.
"Tuan-Tuan sudah mendengar berita. Apakah sekarang bicara kita" Tuan Mahapatih,
berbicaralah Tuan hamba!"
"Seri Ratu, Majapahit sekarang telah dipecah-pecah oleh sifat dengki dan iri
hati, telah dibakar oleh kelobaan orang-orang besarnya, serta diruntuhkan dari
dalam oleh pengkhianatan adipati-adipati kerajaan yang diharapkan
sebenarnya untuk membangunnya," jawab Patih. "Sekarang apa guna dipikir lagi,
sudah terlambat." "Dalam peperangan yang baru lalu," kata Dewi Suhita pula, "hanya prajurit
Adipati Tuban yang bersikap dan bertindak gagah berani membela kehormatan
Majapahit." "Seri Ratu, sekarang harus diusahakan agar sekalian adipati berusaha menjaga,
supaya negeri tinggal aman," sahut Adipati Matahun dan melihat berkeliling,
kemudian katanya dengan ragu-ragu, "Anak-anak bangsawan sudah menyukai Menak
Jingga." "Pamanda Adipati Matahun dan Anggota sidang sekalian!" seru Dewi Suhita.
"Tidak usah dibicarakan lagi segala perkara yang sudah terjadi. Sekarang marilah
kita pikirkan, apa yang harus kita lakukan. Pilihlah, turunan Prabu Rajasanegara
atau Menak Jingga! Jangan dinanti siapa yang menang lebih dahulu! Tiadalah sifat
kesatria yang sedemikian itu. Kami merasa banyak di antara Tuan-Tuan, yang
mendua hati yang selalu dalam keadaan bimbang,
kalau-kalau Menak Jingga menang ...."
Terdiam dan kemudian, "Adipati Kahuripan, saudara sepupuku sendiri, bagaimana
bicara Tuan?" Dewi Suhita dan Adipati Kahuripan sama-sama keturunan Sri Kartawardana, Adipati
Singasari. Adipati Kahuripan masih belum menyahut.
"Saudara sepupuku, kemukakanlah pikiran Tuan, supaya sama-sama kami dengar!"
ujar Dewi Suhita pula mendesak. "Bangunlah Tuan seperti Janaka melawan Kurawa.
Hilangkanlah kebimbangan dani hati Tuan, supaya Majapahit dapat tertolong
kembali." "Seri Ratu!" sembah Adipati Kahuripan yang masih muda sekali, hampir sebaya
dengan Dewi Kencana Wungu. "Sungguh patik ingin benar berjuang membela
Majapahit, akan tetapi bagaimana bicara patik, karena Kahuripan dalam kesusahan
sekarang. Rakyat kelaparan, karena kekurangan makanan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persawahan pertahunan kami tidak menjadi, padi rakyat, habis rusak ' belaka.
Dalam keadaan negeri tengah kelaparan ini bagaimana bicara patik, akan
mengerahkan rakyat untuk berperang. Bagaimana pula patik dapat
meninggalkan rakyat, takutlah patik kalau negeri ribut sepeninggal patik.
Sepatutnyalah adipati-adipati yang makmur ditunjuk mempertahankan
mahkota Majapahit." Dewi Suhita, "Keberatan Tuan, sudah sama-sama kami dengar. Patih
Amangkubumi, nasihat Tuan masih kami nantir"
"Seri Ratu," jawab Amangkubumi, "kalau kita pikirkan benar-benar, tahulah kita,
Majapahit kurang kuat sekarang. Sebab itu jika kita mengadang perang, tidak
mungkin akan menang. Pada timbangan patik baiklah kita menjalankan muslihat,
supaya kita jangan diserang. Kirimlah utusan yang bijaksana ke Prabalingga,
menyatakan bahwa Seri Ratu suka berdamai! Menak Jingga,
biarlah menjadi raja di sebelah Timur, dari Blambangan sampai ke
Prabalingga." "Mamanda Patih," sahut Dewi Suhita dengan marah, "kami tak akan undur barang
setapak." "Daulat Seri Ratu!" kata Patih
dengan tenang. "Patik pun ingin
melawan, tetapi sekarang keadaan
memaksa. Seperti kita dengar dari
Adipati Menak Koncar, dari berita
disampaikan oleh utusan tadi, Menak
Jingga sudah siap dengan tiga puluh
ribu bala tentara. Sedang bala tentara
yang ditinggalkan Adipati Tuban
hanya kira-kira dua puluh ribu saja,
dalam keadaan terpecahbelah pula ...
belum tersusun, karena ditinggalkan
senapatinya gugur dalam pertempuran yang lalu. Karena tidak
mungkin kita akan menang, maka kita
terpaksa mengambil muslihat
semacam itu. Bila Majapahit telah
kuat kembali, kita serang pula
Wirabumi. Hanya untuk sementara!
Sekarang haruslah Seri Ratu
mengakui kekuasaan Menak Jingga.
Itu bukan berarti takut, tetapi
bijaksana." Dewi Suhita berpikir sebentar, kemudian katanya, "Bagaimana jika Menak Jingga
tidak menerima keputusan kita dan terus datang menyerang ke
Majapahit, apa pula yang kita perbuat?"
"Seri Ratu," jawab Patih Amangkubumi, "menurut dugaan patik, Adipati Menak
Jingga agak takut datang ke sini, karena Majapahit masih mungkin dalam sekejap
mata saja kuat dan kokoh kembali. Daulat Wilwata, payung panji Prabu Rajasa,
belum terbang, masih menghikmati Jawadwipa. Marilah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita meminta kepada Dewata Raya, supaya Seri Ratu mencapai kedamaian
dengan jalan yang sebaik-baiknya. Majapahit akan dapat tertolong oleh segala
adipati, yang Seri Ratu katakan mendua-hati itu, mudah-mudahan akan tetap
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela Gusti." "Baiklah, Paman Patih!" ujar Dewi Suhita. "Akan tetapi bagaimanakah dengan Raden
Gajah, masih belumkah ada beritanya?"
"Raden Gajah seperti hilang dari muka bumi, entah di mana is sekarang, tidak ada
yang tahu." "Sejak aku menerima berita gugurnya Adipati Tuban dan peristiwa Raden Gajah yang
mengherankan itu, rasanya sudah lama benar aku menanti. Tetapi aku yakin, bahwa
pada suatu ketika Raden Gajah, satria sejati itu, akan muncul membela dan
mempertahankan Majapahit."
Sehabis perkataan Dewi Suhita, bentara-dalam datang pula menghadap, lalu ditegur
oleh Dewi Suhita, "Apa sebabnya engkau masuk, kami sedang bersidang?"
"Ampun, Seri Ratu, beribu-ribu ampun! Datang pula utusan Menak Jingga hendak
menghadap Seri Ratu," sahut bentara dalam itu. Sekalian yang hadir terperanjat
dan bertanya-tanya sesamanya.
"Suruh masuk utusan itu," perintah Dewi Suhita.
Bentara dalam keluar dan tak lama kemudian kembali bersama-sama utusan Menak
Jingga, tiga orang banyaknya.
"Tuan-Tuan disuruh Adipati Wirabumi datang kepada kami, apa berita yang Tuan-
Tuan bawa?" "Daulat Gusti, janganlah murka kepada patik-patik ini, karena patik bertiga
hanya utusan," sembah ketiga orang utusan itu.
"Berkatalah! Seri Ratu Majapahit yang memerintah Jawadwipa serta
Nusantara, tahu akan adat ratu-ratu," titah Dewi Suhita.
"Gusti," kata kepala utusan itu seraya menyembah dengan hormatnya,
"paduka Adipati Wirabumi telah sampai ke Prabalingga. Paduka Adipati segan
berangkat ke Majapahit, segan menghancurkan kota ini, karena Majapahit penuh
kenangkenangan. Beliau menaruh hormat kepada daulat Gusti, turunan paduka Sri
Rajasa_ Karena itu Sri Paduka meminta dengan sangat supaya
Gusti mengakui kemenangannya, kegagahan serta kebesarannya dengan hati yang
tulus ikhlas, supaya Jawadwipa aman serta selamat sentosa."
Sekalian yang hadir dalam sidang itu terdiam. Mereka memperhatikan
pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh.
"Seri Ratu," kata utusan itu pula, "Adipati Wirabumi meminta Gusti sudi datang
ke Prabalingga, seraya membawa upacara kerajaan. Di atas singgasana Majapahit
akan tetap tinggal Gusti duduk di sisi Prabu Menak Jingga sebagai Permaisuri.
Demikian titah yang diserahkan kepada patik-patik utusan bertiga ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dewi Suhita menjawab dengan marah, katanya, "Utusan Wirabumi,
sampaikan kepada Menak Jingga, ia boleh menghancurkan seluruh Majapahit serta
Seri Ratu Dewi Suhita, tetapi kami tidak akan menyerahkan diri kepada musuh...."
"Patik mohon berbicara sebentar, Gusti," ujar Patih pula.
"Apalagi hendak dipikir, kebiadaban ini tidak layak dibicarakan...!"
"Putusan Gusti tentang nasihat yang tadi patik bicarakan, baiklah sekarang
diterangkan," kata Patih pula. "Jika nasihat itu Gusti setujui, kita tidak usah
lagi mengirim utusan kepada Adipati Menak Jingga, utusan inilah yang
membawa titah Seri Ratu."
"Baiklah Patih menyampaikannya kepada utusan si durhaka itu," sahut Dewi Suhita
pula dengan pendek. Patih lalu berkata kepada ketiga utusan itu, "Dengarlah, para utusan!
Adapun titah Seri Ratu Majapahit: tuanmu, Adipati Menak Jingga boleh
menjadi raja di sebelah timur Prabalingga, karena Seri Ratu ingin damai menjaga
keselamatan Jawadwipa. Menak Jingga diberi kesempatan berpikir sepekan lamanya.
Jika sesudah itu ia masih tinggal di Prabalingga, tentara Majapahit akan datang
memusnahkannya dan menghancurkan negerinya.", Setelah selesai pembicaraan dengan
utusan itu, mereka dipersilakan
meninggalkan sidang. Kemudian setelah utusan itu berangkat, Dewi Suhita berkata pula, "Terasa lemah
sungguh Majapahit sekarang, sehingga orang telah berani menghina kami dengan
tiada semena-mena. Paman Patih Mangkubumi! Mata-mata harus segera dikirim ke
daerah Prabalingga, mengawasi dan mengamat-amati gerak-gerik Menak Jingga. Para
Adipati, kami titahkan jangan dahulu meninggalkan Majapahit, sampai kita
mendapat berita dari Prabalingga. Sekarang Tuan-Tuan boleh meninggalkan sidang!"
Dewi Suhita hendak berdiri pula, sekonyong-konyong seorang bentara
dalam yang lain masuk dan menyembah.
"Apakah yang hendak engkau persembahkan, katakanlah dengan segera!"
"Gusti, jalan-jalan dalam kota sudah lama penuh dengan orang, dan kini bertambah
sesak. Kalau-kalau akan timbul keributan...," kata orang itu.
"Apakah sebabnya orang berkumpul?" tanya Dewi Suhita.
"Mendengar kabar Menak Jingga akan menyerang Majapahit, rakyat sekalian gelisah
dan kebingungan sekarang. Ada yang bermaksud hendak menyerang
istana dan hendak membunuh para menteri serta bupati," jawab bentara dalam itu.
"Apakah artinya, Pamanda Patih" Cobalah jelaskan kepada kami!"
"Orang-orang jahat telah memenuhi kota. Mereka hendak menangguk di air keruh.
Mereka sengaja membuat keributan dan huru-hara di antara rakyat.
Kalau terjadi apa-apa, supaya mereka dapat merampas harta
benda...,"demikian jawab Patih Mangkubumi, "biarlah patik mengerahkan prajurit
memaksa orang-orang pulang ke rumah masing-masing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
10. Raden Gajah Memenuhi Harapan Ratu Wapahit
Majelis yang hadir dalam bangsal witana itu sudah mulai lesu sekaliannya.
Banyak yang tiada sabar lagi menunggu sidang selesai. Seorang bentara
dalam yang lain masuk tergesa-gesa.
"Hendak mengapa pula engkau?" tegur Dewi Suhita.
"Di luar menunggu Raden Gajah, hendak datang menghadap," ujar bentara itu. "Ia
akan mempersembahkan surat Adipati Tuban."
"Raden Gajah" Benarkah itu...?" seru Dewi Suhita, tersenyum riang seraya berdiri
dari singgasananya. Hampir lupa ia, bahwa ia sedang memimpin
sidang. Semangat majelis yang sudah kehilangan tenaga, seperti pelita yang sudah
hampir padam, sekonyong-konyong menyala, hidup kembali.
"Sungguh, Gusti!" sembahnya.
"Persilakan Raden Gajah masuk," kata Dewi Suhita pula dan kembali duduk,
memandang berkeliling dengan sinar mata yang membayangkan pengharapan.
"Aku merasa Majapahit kembali mulia...!"
Bentara pergi dan tak berapa lama kemudian Damarwulan masuk.
"Kami dengar, bahwa Raden membawa surat Adipati Tuban," titah Dewi Suhita.
"Sesungguhnyalah, seperti titah Duli Ratu," jawab Damarwulan dengan hormatnya.
"Mamanda Patih Amangkubumi, harap Tuan terima surat itu dan
membacakan di muka sidang."
Patih menerima surat dari tangan Damarwulan. Kelihatan air mukanya agak berubah.
Setelah menenangkan perasaannya seketika surat itu lalu dibacanya.
Begini bunyinya: "Adapun surat ini dari Raden Aria Ranggalawe, Adipati Tuban, ke hadirat dull
paduka Seri Ratu Jawadwipa dan Nusantara, bersemayam di Majapahit.
Rahmat Batara Syiwa melimpah kiranya atas Seri Ratu.
Sebelum sangulun meninggalkan mayapada, patik mempersembahkan ke
hadirat Seri Ratu, bahwa yang patut menjadi pengganti patik jadi Senapati, ialah
Raden Gajah atau lebih dikenal namanya, Raden Damarwulan, putra Patih Udara,
sahabat karib hamba yang telah lama mengundurkan diri.
Percayalah Sri Paduka kepadanya, karena ia kesatria sejati, tak ada taranya di
seluruh Jawadwipa sekarang ini.
Lain dari pada itu, patik harapkan Seri Ratu lama hendaknya bersemayam di atas
singgasana Majapahit. Tertulis di Lumajang, pada hari Respati Manis empat belas Manggakala, tahun
Syaka 1328." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalian yang hadir sangat tertarik mendengar bunyi surat itu. Kecuali yang
membacanya sendiri. Tak habis-habis herannya, memikirkan apa hubungan
Aria Ranggalawe dengan Damarwulan itu.
"Raden Gajah!" kata Dewi Suhita pula. "Kami ingin benar mengetahui, bagaimana
jalan perang dari mulut Tuan sendiri, sekalipun banyak sedikitnya telah kami
dengar juga dari orangorang yang kembali dari medan pertempuran itu. Terutama
ingin kami mengetahui, bagaimana Adipati Tuban meninggal dunia?"
"Daulat Seri Ratu!" sembah Damarwulan, lalu diceritakannyalah pertemuannya
dengan Adipati Tuban itu serta mengapa ia sampai menerima surat itu dari
tangannya. "Waktu itu Menak Jingga telah sampai pula ke Prabalingga," kata Dewi Suhita.
"Bupati negeri itu tidak melawan sedikit juga, malah disambutnya dengan gembira.
Kami baru menerima utusan dari Prabalingga. Sungguh
lancang sekali. Menak Jingga, ia berani meminta, supaya kami datang
menghadap dia membawa upacara negeri. Ia hendak jadi Prabu dan kami jadi
Permaisurinya." "Bagaimana jawab Seri Ratu?" tanya Damarwulan.
"Permintaan itu kami tolak dan kami usulkan begini: Menak Jingga diakui sebagai
penguasa dari Prabalingga ke Blambangan serta ia harus kembali ke ibu kotanya
dalam pekan ini juga. Kami kira Menak Jingga akan terus datang ke sini, karena
itu, Raden Gajah, Tuanlah sekarang yang jadi harapan kami.
Majapahit sekarang di tepi jurang, dalam bahaya besar. Kami menanti
pembela negeri, pahlawan sejati! Maukah Tuan menerima pangkat
kesenapatian itu dan memimpin tentara, mempertahankan kedaulatan kami?"
"Duli Seri Ratu," sembah Raden Damar dengan hormatnya, "segala titah patik
junjung di atas kepala."
"Jika demikian," sahut Dewi Suhita, "sekarang Majapahit tanah leluhur mendapat
harapan kembali." Hening seketika dan Dewi Suhita memandang dengan tenang dan penuh
harapan kepada Damarwulan, kesatria yang tampan itu. Lama benar Seri Ratu
menatap. Sekian lama dinanti-nanti dicari-cari dan disebut-sebut sekarang ia
muncul dengan tiba-tiba memenuhi harapan Majapahit.
"Penduduk Majapahit hendak berontak, mereka sudah berkumpul di jalan.
Baiklah segera Tuan perintahkan prajurit untuk mengembalikan ketenteraman dalam
kota," titah Baginda.
"Memang rakyat hendak berontak, Gusti! Akan tetapi, tahukah Tuan hamba apa
sebab-sebabnya?" jawab Damarwulan. "Rakyat menderita bukan kepalang, terlalu
sengsara karena kelakuan beberapa orang menteri. Iuran dipungut terlalu tinggi,
melewati kesanggupan rakyat, harta benda tidak terlindung lagi di Majapahit ini.
Sebaliknya golongan atasan, para menteri serta orang-orang besar, hidup mewah,
senantiasa bersuka-suka, tiada
mempedulikan kemelaratan dan kesengsaraan rakyat bawahannya."
Damarwulan diam pula sebentar, menatap dengan tenang, merasakan
pengaruh perkataannya. Kemudian katanya dengan tegas, "Mereka biarkan, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kaki singgasana Seri Ratu orang banyak kelaparan dan meratap, minta
perlindungan. Gusti...! Patik enggan menumpahkan darah yang tidak
bersalah." "Senapati, tidak pernah kami dengar perkataan seperti ini. Kami sangka rakyat
kami selamat sentosa."
"Rakyat belum pernah Gusti lihat," jawab Damamwulan.
"Sayang patik tidak sempat menerangkan sekaliannya sekarang." Ia menoleh kepada
sidang, dengan pandangan yang berarti
"Titahkan, ya Gusti, kepada punggawa memberi tahu kepada rakyat di segala
simpang jalan, bahwa duli Baginda akan memeriksa keadaan negeri yang sebenarnya
dan akan meringankan segala beban rakyat, menghukum
para punggawa yang curang dan yang berlaku sewenang-wenang. Kalau tidak,
percayalah Gusti, Majapahit akan runtuh."
Patih Amangkubumi serasa ditusuk bermuka-mukaan, mendengar perkataan
Damarwulan. Mukanya menjadi merah padam.
"Izinkanlah patik berbicara, Gusti!" katanya.
"Berkatalah, Paman Patih!"
"Rakyat harus dikekang dengan keras, Gusti! Mereka bukan dalam sengsara, hanya
dibujuk orang-orang yang khianat. Jikalau Seri Ratu memberi hati sekali saja,
rakyat tentu bertambah berani. Sekali diberi sedikit, pasti kedua kalinya akan
meminta lebih banyak."
Ia memandang dengan tajam ke arah Damarwulan. Dari nada suaranya
ternyata benar kekesalan perasaan hatinya.
"Damarwulan baru sebentar di Majapahit, tidak tahu keadaan negeri, belum
mengenal hati rakyat," katanya. "Gusti, harus diperintahkan kepada senapati,
memaksa rakyat pulang ke rumah masing-masing. Hanya tangan yang kuat
dapat memerintah dengan selamat. Sekali saja Seri Ratu lemah, singgasana niscaya
akan runtuh." Ia memandang kepada orang banyak sebagai meminta persetujuan, serta
kepada Damarwulan, kemudian katanya pula, "Patik sudah bertahun-tahun jadi
Patih, melayani mahkota dan mengerti benar kelakuan rakyat, seperti mengetahui
perangai anak-anak sendiri."
"Apa bicara, Senapati?" tanya Dewi Suhita kepada Damarwulan.
"Seri Ratu," jawab Damarwulan, "Patik lebih mengerti hati rakyat dan mengetahui kemauan mereka. Kalau perlu nanti patik jelaskan panjang lebar.
Jika usul patik ditolak, Gusti, patik terpaksa mempersembahkan pangkat, yang
baru patik terima, ke hadirat Gusti kembali. Tidak sampai hati patik
menumpahkan darah yang tidak bersalah. Apa gunanya membela negeri, jika
rakyatnya tiada berhak" Negeri yang tidak mengutamakan rakyat akan lenyap dari
muka bumi. Kedaulatan terletak di tangan rakyat, kekuasaan di tangan Gusti.
Kabulkanlah permintaan patik, Gusti! Kemudian akan patik jelaskan."
"Patih Amangkubumi," perintah Dewi Suhita, "permintaan Senapati kami kabulkan.
Suruh pengawal menjalankan perintah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Patih segera berangkat melakukan perintah Dewi Suhita.
"Bentara kanan dan bentara kiri, kamu keduanya boleh meninggalkan ruangan,"
perintahnya kepada kedua bentara dalam, yang siap menjalankan perintah, yang
berdiri di kiri kanan singgasana Baginda itu.
"Gusti," sembah Damarwulan pula, "patik mohon Gusti menitahkan kepada para
penewu supaya datang ke pelawangan') untuk mengenal senapatinya
yang baru." "Bupati Raden Layang Kumitir," titah Dewi Suhita, "segera kumpulkan sekalian
penewu ketentaraan."
Layang Kumitir pergi. "Bagaimana pikiran Senapati melawan Menak Jingga?" tanya Dewi Suhita kepada
Damarwulan. Damarwulan, senapati baru itu, memandang berkeliling, lalu berkata,
"Karena hal ini berhubungan dengan siasat ketentaraan, hanya kepada Seri Ratu
patik bersedia menerangkannya."
Dewi Suhita mengangkat kepalanya serta memandang kapada majelis dan
berkata, "Majelis yang terhormat, apakah lagi yang hendak dipersembahkan kepada
kami?" Semuanya berdiam diri. "Kalau begitu," ujar Dewi Suhita pula, "Tuan-Tuan sekalian boleh meninggalkan
sidang hendak bermusyawarah dengan kepala bala tentara."
Sekaliannya berdiri dan menyembah, lalu bergegas-gegas keluar.
"Senapati!" titah Dewi Suhita kepada Damarwulan, ketika mereka tinggal hanya
berdua saja dalam bangsal witana itu.
"Cobalah Tuan kemukakan bagaimana akal Tuan memerangi Menak
Jingga"!" "Daulat Gusti," ujar Damarwulan, "Menak Jingga menyangka bahwa kita pasti datang
menyerang ke Prabalingga, karena mendengar berita utusan.
Pasti waktu yang Gusti katakan sepekan itu mereka perhitungkan benar-benar.
Akan tetapi perhitungan mereka bukan untuk datang menyerang ke Majapahit dan
bukan pula untuk meninggalkan Prabalingga. Malah sebaliknya untuk
memperkuat pertahanan mereka di Prabalingga, karena mereka yakin tentara
Majapahit akan datang menyerang. Karena itu patik akan berangkat selekas-
lekasnya membawa bala tentara dan menyerang dengan tiba-tiba', atau
mengepung kota itu secara diam-diam."
Damarwulan melihat berkeliling bangsal yang telah kosong itu, kemudian memandang
tenang-tenang kepada Dewi Suhita, sebagai hendak mengajuk
pikirannya. "Maksud ini sangat rahasia, Gusti!" katanya pula. "Sebab itu baiklah pengiring
Seri Ratu sekaliannya tinggal dalam istana sebelum bala tentara meninggalkan
kota." "Pengiring kami semuanya setia," jawab Dewi Suhita, "tetapi baiklah permintaan
Tuan kami setujui." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gusti, bolehkah patik meminta bantuan Seri Ratu?"
"Mengenai hal apa!?"
"Mengenai hal diri sendiri, Gusti!"
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berkatalah Tuan, jika dapat kami kabulkan."
"Gusti!" ujar Damarwulan, mendekatkan badannya ke singgasana Dewi Suhita, "Gusti
tahu Amangkubumi paman patik sendiri. Tetapi kami tidak berbaik sebenarnya, ia
tidak mengindahkan patik, apalagi kedua orang
putranya, Raden Layang Seta dan Raden Layang Kumitir."
"Lalu...?" desak Dewi Suhita tidak sabar.
"Gusti tahu, Paman mempunyai seorang putri, Anjasmara." Damarwulan berhenti pula
seketika, tiada langsung meneruskan perkataannya.
"Lalu bagaimana?" tanya Dewi Suhita bertambah mendesak.
"Gusti, Dewi Anjasmara bersedia dikawinkan dengan patik sebelum patik pergi
berperang. Paman Patih, ayahanda tentu akan menolak. Karena itu, Gusti, patik
memohonkan kepada Gusti sudilah kiranya memerintahkan Paman supaya mendudukkan
kami!" Dewi Suhita tersenyum dan berkata, "Permintaan Tuan kami kabulkan."
"Patik sangat berterima kasih ke bawah duli Seri Ratu," jawab Damarwulan dan
menoleh ke pintu. Patih Amangkubumi masuk tergesa-gesa dan menyembah.
"Ada berita apa, Paman Patih?" tegur Dewi Suhita.
"Prajurit Daha sekarang berkelahi di jalan dengan prajurit Matahun," kata Patih
Amangkubumi, "patik khawatir kalau-kalau rakyat turut gempar."
"Adipati Matahun dan Daha segera diberitahukan," titah Dewi Suhita.
"Mereka harus mengumpulkan prajurit masing-masing. Mereka boleh dengki-
mendengki, tetapi selama di Majapahit kami ingin damai."
Diam sebentar, kemudian, "Patih Amangkubumi, sudahkah dijalankan titah kami?"
Jawab I'atih Amangkubumi, "Punggawa sudah patik suruh
memberitahukannya kepada rakyat."
"Sudahkah hadir para penewu?" tanya Dewi Suhita.
"Mereka sudah mulai datang," sahut Patih.
"Senapati, ikutlah kami ke luar!" katanya pula sambil berdiri dan melangkah ke
pinto. "Kami perkenalkan Tuan kepada mereka."
"Sudahkah tetap hati Tuan sekarang?" seru Dewi Suhita pula kepada Damarwulan
setelah melalui pintu bangsal.
"Jika permintaan patik yang tadi sudah dijalankan...! Patik akan
mengorbankan tenaga untuk melindungi singgasana," jawab Damarwulan. Ia memandang
kepada pamannya, Patih Amangkubumi, dengan pandangan yang
mengandung arti dan berkata, "Paman Patih melindungi rakyat jelata...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka kemudian menuju ke pelawangan tempat bala tentara dikumpulkan
itu akan memperkenalkan senapatinya.
11. Menyerang Prabalingga
Sehari setelah Damarwulan didudukkan dengan Dewi Anjasmara, seperti
pernintaannya kepada Seri Ratu Dewi Suhita, berangkatlah tentara
Damarwulan ke Prabalingga dengan cara diam-diam. Segala-galanya berjalan dengan
rahasia sekali. Perkawinannya dengan Dewi Anjasmara dengan diam-diam pula.
Sekalian tentara yang akan menyerang itu, sehari sebelum
berangkat dijaga benar supaya jangan mengadakan hubungan dengan siapa
pun juga, dengan keluarganya sekalipun tak boleh berjumpa.
Juga dijaga benar supaya berita keberangkatan tentara itu jangan sampai
diketahui mata-mata musuh. Sehabis Damarwulan berbicara dengan Dewi
Suhita di bangsal witana, is segera mengatur siasat, beberapa orang mata-mata
yang berpengalaman telah dikirim ke luar kota akan mengamat-amati orang yang
akan masuk atau yang akan meninggalkan Majapahit. Prabalingga sendiri telah
diawasi dari dekat, mata-mata telah dikirim lebih dahulu.
Perhitungan Damarwulan tepat sekali!
Ketika bala tentaranya telah sampai ke perbatasan Prabalingga, ternyata dari
berita mata-matanya sendiri, tentara Blambangan sedang mengadakan perayaan
besar, sedang bersuka ria, beriang gembira. Beberapa mata-mata musuh dapat
ditangkap, merekalah yang memberi keterangan seperlunya
tentang pertahanan musuh serta bagaimana keadaan dalam kota.
Setelah beristirahat sehari di tempat yang sepi di luar kota, maka pada malam
berikutnya Damarwulan dengan diam-diam berhasil memasuki
Prabalingga. Karena petunjuk yang teliti dari barisan penyelidik dan mata-
matanya, boleh dikatakan kedatangan tentaranya sebanyak itu tidak diketahui
musuh. Memang penjagaan kota, boleh dikatakan tidak ada, karena menurut
perhitungan mereka, seperti telah diceritakan, tidak akan secepat itu
Majapahit datang menyerang.
Tentaranya diaturnya masuk cara bergelombang-gelombang, sebahagian
masuk dari sebelah utara, dari laut, menyusur pantai, dipimpin oleh Raden Menak
Koncar yang telah menggabungkan diri, sebahagian lagi dari selatan, dan
sebahagian dari pintu timur dan yang terakhir dari barat dipimpin oleh
Damarwulan sendiri. Di sebelah barat itu memang ada penjagaan, tetapi
rombongan penjagaan itu dengan mudah juga dikuasai dan diperdayakan oleh anak
buahnya. Sebahagian lagi pasukannya ditugaskan menjaga di luar kota, mengawasi
kalau-kalau bantuan musuh datang. Atau sebaliknya bila pasukan sendiri yang
masuk ke dalam kota memerlukan bantuan. Dengan hati-hati sekali mereka bergerak.
Mereka menghindari jalan-jalan biasa sedapat-dapatnya, supaya kedatangan mereka
tiada mendapat perlawanan. Orang-orang tani dan orangorang desa yang mengetahui
kedatangan tentara Majapahit telah memberikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bantuan sedapat-dapatnya, karena mereka tiada senang melihat kelakuan dan
tindakan tentara Blambangan yang mendurhaka kepada Seri Ratu Suhita.
"Bagaimana, Paman" ... Beres?" tanya Damarwulan, berbisikbisik kepada kedua
orang punakawannya, Sabda Palon dan Naya Genggong. Keduanya
setelah selesai menyampaikan pesan Damarwulan kepada bundanya di Paluh Amba,
segera diperintahkan bundanya menyusul ke Blambangan.
"Beres, Den!" jawab Sabda Palon. "Naya sendiri yang masuk ke pekarangan
kabupaten." "Tidak diketahui oleh musuh?"
"Tentu tidak! Kami menyelinap bersama-sama orang banyak," jawab Naya pula.
"Menak Jingga dengan orangorangnya sedang bersuka ria. Kabupaten penuh sesak....
Selama tentaranya masuk ke Prabalingga tiap malam mereka minum-minum dan bersuka
ria, tak putus-putusnya."
"Bagaimana berita, yang dapat dikumpulkan oleh barisan penyuluh kita"1)"
tanya Damarwulan pula. "Mereka menanti berita dari mata-matanya yang dikirimnya ke Majapahit dan
direncanakan, selekas-lekasnya kira-kira sepuluh atau dua belas hari lagi baru
mereka berangkat." "Dapatkah diselidiki, ke mana biasanya Menak Jingga sehabis bersuka ria itu?"
"Yang terang ke rumah Dewi Wahita atau ke rumah Dewi Puyengan," jawab Sabda
Palon. "Kedua orang putri itu tinggal berdekat-dekatan, tiada jauh dari sini!"
Sabda Palon menunjuk ke rumah tempat tinggal Dewi Wahita kemudian ke rumah Dewi
Puyengan, yang berhampiran sekali letaknya.
Adapun kedua rumah itu agak meminggir kota letaknya, terpencil dari
rumah-rumah yang lain. Sebelum sampai ke pekarangan rumah itu ada
sebuah tegalan dan di tengah-tengah tegalan itu berdiri sebatang beringin yang
rindang; akar tunjangnya yang lurus-lurus bergantungan ke tanah
menambah gelap dan sepi sekeliling tempat itu. Agak jauh di belakang tegalan itu
tanah berlubang-lubang dan berpematang pendek-pendek tiada beraturan, kira-kira
sepanjang-panjang tubuh orang. Tak salah lagi di situlah terletak
"pendeman"2 warga kota sebelum dilakukan pembakaran mayat (ngaben).
"Sudah diselidiki keadaan dalam rumah Dewi Wahita dan Dewi Puyengan itu Paman!?"
tanya Damarwulan kepada Naya Genggong.
"Sudah, Den!" sahut Naya dengan cepat, "Beres..."
"Beres bagaimana?"
Rupanya pengawal-pengawal yang diperintahkan menjaga putri-putri itu
dengan diam-diam telah pergi pula ke tempat orang mengadakan tayuban,
sehingga yang ada di rumah itu hanya seorang perempuan tua, Mbok Suti, yang
sedang tidur di rumah depan. Dewi Wahita dengan Dewi Puyengan
sedang bercakapcakap di rumah belakang ketika saya tinggalkan...."
"Paman Sabda...!!" seru Damarwulan pula, "Paman tinggal di sini. Kami akan pergi
dengan Paman Naya mengunjungi Mbok Suti dan kedua orang putri itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sabda Palon melihat ke kiri dan ke kanan, takut rupanya. Sebelum is
sempat berkata, Damarwulan sudah hilang dalam gelap malam, diiringkan
Naya Genggong. Keduanya mengendapendap masuk ke pekarangan rumah
Dewi Wahita. Naya Genggong terus mendekati dinding dan berjalan lambat-lambat
sepanjang parit dinding itu. Malang, kakinya terpijak pada ujung batu parit yang
longgar, "rrrak" bunyinya.
"Wahita...!" seru Mbok Suti ketakutan, sekujur badannya gemetar.
"Jangan kaget, Mbok saya Naya, yang datang tadi. Ini Raden Damar, utusan Ratu
Majapahit ingin bertemu dan berbicara dengan Putri Wahita...." Suara Naya
Genggong telah dikenal oleh perempuan itu.
Setelah berdiam diri sebentar Mbok Suti lalu membukakan pintu. "0, Dik Naya!"
katanya pula tersipu-sipu.
"Raden Damar ingin berbicara sendiri dengan Dewi Wahita serta Dewi Puyengan,
Mbok!" ujar Naya dan menunjuk ke arah Damarwulan dengan ibu jarinya. Mbok Suti
tercenung seketika, memandang Damarwulan yang masih tertegun di muka pintu,
memandang dengan awas berkeliling. Kemudian
katanya dengan sangat hormatnya kepada Mbok Suti, "Kami sangat
mengharapkan bantuan Mbok...!"
Belum lagi habis Raden Damar berkata-kata, Mbok Suti telah menjatuhkan dirinya,
hendak sujud di kaki anak muda itu, tetapi segera dipapah oleh Damarwulan dan
didudukkannya ke atas bale-bale tempat tidurnya itu.
"Kami telah mendengar tentang penderitaan dan Mbok serta kedua orang putri itu,
mudah-mudahan para dewa menolong kita sekalian!" ujar
Damarwulan. "Mbok pura-pura tidurlah kembali. Biarlah kami saja
mengunjungi Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Tadi kami dengar keduanya
sedang bercakap-cakap."
Setelah membisikkan beberapa hal yang harus diketahui dan diingat Mbok Suti,
Damarwulan keluar diiringkan oleh Naya Genggong. Adapun kedua rumah itu
berbelakang-belakang letaknya. Naya Genggong diperintahkannya
menunggu di pintu belakang, kalau-kalau ada orang datang. la terus menuju ke
dinding tempat kedua orang putri itu, mendengarkan percakapan mereka.
Rumah itu amat sederhana keadaannya beratap tanah (genting) berdinding bilik,
yaitu bilah-bilah bambu yang dianyam. Apa yang dibicarakan kedua orang putri itu
nyata juga kedengaran dari luar, sekalipun keduanya berbicara sangat lambat-
lambat sekali, seperti berbisik-bisik lakunya.
"Bagaimanalah untung kita, Dinda Puyengan!" ujar Dewi Wahita, seperti berputus
asa seraya memeluk Dewi Puyengan, yang bertubuh ramping dan
semampai itu serta kelihatan lebih muda usianya.
"Yunda Wahita...!" sahut Dewi Puyengan dengan tenang.
Sekalipun umurnya lebih muda dan jika diamat-amati benar kelihatannya
masih anak-anak, paling tinggi baru 15 tahun umurnya, tetapi selamanya ia
bersikap tenang. "Marilah kita pasrahkan untung kita kepada Gusti yang Maha
Suci!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ... daripada menanggung malu dan menderita semacam ini sukalah aku mati
rasanya. Bila aku dipaksa Sang Prabu sampailah ajalku...," ujar Wahita, seperti
berputus asa. "Yunda Wahita jangan berputus harap demikian," jawab Puyengan, "seluruh
Majapahit berdaya-upaya membebaskan kita."
Ia membiarkan badannya dalam pelukan Dewi Wahita beberapa lamanya
dan ia seakan-akan mendengar detak-detik jantung Dewi Wahita, yang sedang dalam
kecemasan itu. Malam sudah larut, perubahan udara sudah terasa,
angin laut berembus dari arah mulut Selat Madura, amat sejuk terasa.
Biasanya larut malam semacam itu Prabu Menak Jingga pulang dari tayuban atau
dari melihat pertunjukan wayang. Menurut cerita, pertunjukan wayang pada zaman
Majapahit hanya sampai setengah malam, belum lagi semalam
suntuk seperti sekarang ini.
"Jika benar seperti diberitakan Mbok Suti, utusan dari Majapahit telah sampai ke
dalam kota...," kata Dewi Puyengan dan ia tertegun seketika, mendengar sesuatu
dan ia seakan-akan sudah merasa ada orang yang sedang mendengarkan pembicaraan
mereka. "Malam ini atau besok utusan itu akan mengunjungi kita ke sini."
"Nuwun ... kulo nuwun')...," kedengaran suara berseru dari batik dinding.
Dewi Wahita melepaskan pelukan Dewi Puyengan. Keduanya terdiam seketika.
Mereka tak lekas-lekas menyahut, ingin mengetahui siapakah gerangan yang datang
malam buta itu. Suara itu belum mereka kenal, tetapi Dewi Puyengan yang
bijaksana itu, sudah merasa bukan suara orang yang hendak berbuat jahat.
Selamanya orang jahat atau orang yang bermaksud jahat, tidak akan memberitahukan
kedatangan mereka, jangan pula akan meminta permisi
masuk. "Saya ... dari Majapahit, bolehkah saya bertemu dengan Adinda kedua!?"
seru Damarwulan, seraya menuju ke pintu belakang, yang ternyata sengaja tidak
dikunci. "Paman Naya, awasi di luar! Perhatikan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk bala
tentara kita...," perintah Damarwulan ketika akan masuk.
Sesampai di dalam Damarwulan tertegun pula beberapa lamanya, kedua
orang putri itu didapatinya masih berdiam diri. Ia menatap Dewi Puyengan dan
Dewi Wahita berganti-ganti. Keduanya memakai batik tulis seperti lazimnya
pakaian putri-putri Jawa di masa itu dan memakai kemben sutra halus, di tanah
Pasundan biasa disebut cinde wulung, sesuai benar dengan kulitnya yang kuning
keemas-emasan, seperti cahaya teja yang memancar atau
tersembul dari sela-sela awan ungu nila warni. Nyata benar kelihatan dada kedua
gadis yang sedang meningkat remaja itu bergerak turun naik dengan kencangnya dan
kedua ujung teteknya seperti buah yang sedang bernas,
seakan-akan hendak membelah kain kemben yang tipis halus itu.
Sebaliknya kedua putri itu, sekalipun telah diberi kabar sebelumnya, amat sangat
terperanjat dan kagum melihat kedatangan Damarwulan yang tiba-tiba itu, seolah-
olah seorang pahlawan atau perwira Batara Indra yang muncul dengan sekonyong-
konyong di hadapan mereka. Keduanya hendak bersuara
menyatakan harapan dan kegembiraannya, akan tetapi kerongkongan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keduanya seakan-akan tersumbat dan aliran darah mereka terasa lebih cepat naik
ke kepala. Demikianlah beberapa lamanya Damarwulan berpandang-pandangan dengan
kedua putri yang bernasib malang itu.
"Rayi Wahita dan Rayi Puyengan...," ujar Damarwulan kemudian, seraya mengulurkan
kedua belah tangannya, ketika dilihatnya keduanya hendak
menjatuhkan diri memeluk kakinya. "Seyogianyalah kita berterima kasih kepada
Gusti Yang Mahasuci_ Mudah-mudahan Majapahit serta kita semuanya dilindungi-Nya
dari angkara murka. Marilah kita sama-sama memuja kepada para dewa, dalam
menghadapi raja Blambangan yang durhaka"
Kedua orang putri itu lalu memeluk dan merangkulnya berganti-ganti,
seperti dua orang adik juga lakunya, memeluk kakak sendiri, yang datang akan
melepaskannya dari malapetaka yang mahabesar atas diri keduanya,
bahkan atas seluruh rakyat Majapahit.
"Untung nasib kami berdua ini terserah dalam tangan Rakanda')
Damarwulan!" ujar Dewi Puyengan, sambil melirik arah Dewi Wahita.
Dari Tosari ke Sukapura, dari Mataram ke Boyolali;
Untung kami siapa mengira, sudah tenggelam timbul kembali.
Dewi Wahita segera pula menjawab:
Dari Mataram ke Boyolali, orang Kelakuh menjual jala;
Sudah tenggelam timbul kembali,
Raden Gajah datang membela...!
Wahita menjatuhkan badannya ke dada Damarwulan, diikuti oleh Puyengan.
Beberapa lama mereka berbincang-bincang tidak usah dceritakan semuanya di sini.
Dewi Puyengan juga yang banyak ceritanya terutama mengenai ilmu dan kesaktian
Raja Blambangan itu. Sekaliannya telah dapat diketahuinya, lalu diceritakannya
kepada Damarwulan. Malah segala yang bersangkut-paut
dengan kerajaan Blambangan dan rakyatnya diketahuinya belaka dari
ayahnya, seorang bupati yang setia kepada Seri Ratu Majapahit dan karena bupati
itu tiada mau sekongkol dengan Menak Jingga lalu dipenjarakan dan putrinya
ditawan. Diceritakan pula, Prabu Menak Jingga, pada malam itu pergi mengunjungi
"tayuban", yaitu peralatan atau tari-tarian yang diadakan untuk merayakan
kemenagannya. Sekalian pembesar kerajaannya serta para panglimanya tentu datang
belaka, untuk beriang-riang, bergembira-ria. Minum-minuman keras, arak, tuak,
nira dan seguir, bertahang-tahang disediakan, tapui atau air tapui bertempayan-
tempayan, seakan-akan tidak akan putusputus gelak dan tawa mereka semalam-
malaman itu. Mana yang telah mabuk berjalanlah
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhuyung-huyung atau bercakap-cakap semau-maunya, menyebut-nyebut
apa saja yang teringat olehnya, yang sebenarnya tidak boleh disebut,
berhubungan dengan rahasia ketentaraan atau kunci pertahanan negara.
Bermacam-macamlah keadaan serta peri lakunya tentara yang telah mabuk
itu. Menak Jingga dikelilingi oleh para pembesar, adipati, patih, bupati, serta
petinggi-petinggi sekalian. Yang terlalu rapat kepadanya ialah Patih Angkat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Buta dan Patih Kot Buta, tiada berhenti-hentinya mereka bercakap-cakap, makin
lama makin gembira rupanya dan makin keras suaranya.
Setelah lewat tengah malam barulah mereka pulang ke tempat masing-
masing. Prabu Menak Jingga sebelum kembali ke kepatihan yang dirombak menjadi
istana, tempat baginda, lebih dahulu baginda menyimpang ke tempat Dewi Wahita
dan Dewi Puyengan itu. Telah beberapa malam Prabu Menak Jingga
mencoba mendekati dan menjinaki hati kedua orang putri itu, tetapi sampai kepada
saat itu belum berhasil. Harapannya pada malam itu jangan sia-sia hendaknya.
"Engkau dengarkan, hai Dayun!" ujar Menak Jingga kepada pengiringnya, ketika
mereka telah tiba di pekarangan rumah itu.
"Keduanya tentu sedang bersuka-suka... Siapa tahu... barangkali keduanya sudah
lunak hatinya sekarang... dan telah sepakat dan setuju akan samasama
menjadi...." Mereka berdiri seketika dekat dinding tempat kedua orang gadis itu, akan
mengamat-amati dan mendengarkan percakapan mereka.
"Eh, dengar...! Pasti keduanya sedang membawakan suatu cerita yang mesra.
Menggambarkan pertemuan seorang pria... ya... ya... cerita apakah gerangan!
Suatu cerita yang amat menggiurkan hati rupanya...," ujar Menak Jingga pula,
kemudian diam seketika. "Pasti keduanya sedang membawakan-ya sedang memainkan dengan
bersungguh-sungguh lakon pertemuan seorang satria menjumpai seorang
putri. Ah, pandai benar ia menirukan suara serta lagak lagu satria itu. Dengar,
dengar ... suaranya betuI-betul seperti suara laki-laki yang sebenarnya, yang
sedang berhadapan dengan kekasihnya dan teramat mesra kedengarannya.
Ah... ah_.. seorang satria berhadapan dengan dua orang kekasih...," ujarnya pula
terlatah-latah, karena pengaruh minum-minuman di tempat tayuban itu.
"Eh, Dayun...," katanya pula membentak. "Masuklah engkau dahulu.
Tanyakan kepada Wahita dan Puyengan, lakon apakah gerangan yang tengah mereka
mainkan itu?" Ki Dayun lalu membungkuk dalam samar-samar malam itu, hidungnya yang
besar itu hampir terbentur ke lututnya, untuk menyatakan hormatnya.
Sebenarnya hatinya sangat kecut, karena jelas bagi telinganya, suara itu
bukanlah suara Wahita dan bukan pula suara Puyengan. Setelah mendengar bentak
Menak Jingga kedua kalinya barulah ia mengangkat kepalanya dan
bergerak lambat-lambat menuju ke pintu depan, lalu berseru-seru, hampir-hampir
tiada kedengaran suaranya, karena takut dan gemetar, "Den...! Den...!
... Den Ayu!" serunya berulang-ulang sambil mengetuk-ngetuk pintu. "Den...!
Den...!" Tidak ada yang menyahut.
"Den Ayu Puyengan...! Den... Den! Den Ayu Wahita...!"
"Den...!" Tidak juga menyahut. "Den Ayu Puyengan...!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Den Ayu Wahita ...!. Den... Ayu!"
Dewi Puyengan memandang kepada Damarwulan sambil berseloka:
"Orang Kelakah menjual jala, cemara hidup di rimba Pati. Pandan terletak di Bela
perigi, sediakan beras dengan gabahnya; Raden Damar datang membela, esa hidup,
kedua mati, Badan tak dapat bercerai lagi, biar kan tewas ketiga-tiganya."
Wahita tersenyum dan membalas:
"Ikan sepat dalam Perigi, sediakan beras dengan gabahnya, hampa padi tanlpi-
tampikan, dari Ungaran ke Ambarawa; badan tak dapat bercerai lagi, biar 'kan
tewas ketiga-tiganya, apa lagi kita takutkan, mari serahkan badan dan nyawa...!"
Keduanya memeluk Damarwulan dengan penuh kasih sayang seperti
memeluk kakak kandung sendiri.
Asyik benar rupanya ketiganya bercakap-cakap. Kemudian terdengar pula
mereka tergelak-gelak, tertawa-tawa, terutama Dewi Puyengan, terbuka benar
hatinya berhadapan dengan anak muda itu, lupa ia akan penderitaan dan
kedukaannya selama ini. Lembah Ungaran di Ambarawa, akar mengkudal berkait trait, anak penghulu naik
kudanya; Mari serahkan badan dan nyawa, persembahan ratu Majapahit, aku dahulu
jadi belanya. Sungguh benarlah mereka sedang membawakan bagian cerita yang teramat
menggairahkan dan menggembirakan, yaitu dua orang putri yang sedang
meningkat remaja dan seketika telah hampir berputus asa, sebagai tawanan dalam
tangan musuh, sekonyong-konyong muncullah seorang satria muda
belia, laksana diutus dewa-dewa datang membela mereka.
Cerita itu bukan dongeng, bukan bohong dan bukan pula buat-buatan, tetapi lakon
kehidupan yang sesungguhnya telah terjadi atas diri mereka sendiri....
"Hai... Dayun!" seru Menak Jingga pula dengan sebal hatinya_ "Mengapa engkau
belum juga masuk...?"
"Bagaimana hamba dapat masuk, kalau pintu tiada dibukakan...!" jawab Dayun
bertambah gemetar dan hilang belulangnya serta giginya gemeletuk kedinginan,
diembus angin malam. "Cari jalan lain!" perintah Menak Jingga pula dengan pendek. la sendiri sudah
tidak sabar lagi rupanya menahan dingin.
Bagaimana akal Ki Dayun untuk melihat dan mengetahui keadaan kedua
orang putri itu serta siapa anak muda yang sedang bercumbu-cumbuan
dengan keduanya" Ditariknya sepotong bambu, lalu ditegakkannya dekat pada tuturan atap, dekat
dinding tempat mereka asyik bercakap-cakap itu, kemudian naiklah ia dengan sudah
payah. Setelah sampai di atas dikisarkannyalah genteng sebata maka tampaklah
gadis itu duduk bersender di atas tempat tidur mengapit seorang jaka. Wahita
sebelah kanan dan Puyengan sebelah kiri. Asyik benar rupanya ia bercerita,
bergembira ria, berkata-kata kepada kedua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masyuknya itu. Tak salah lagi, karena mesranya sebentarbentar ia dirangkul ke
kanan, kemudian dihela dan dirangkul pula ke kiri.
Ki Dayun mendelik, mulutnya ternganga... kemudian berseru, "Raden Ayu, Sang
Prabu Menak Jingga datang berkunjung kemari serta Baginda ingin
mengetahui, yang membawakan lakon yang dipertunjukkan itu siapa
dalangnya?" Dewi Wahita menyahut, "Eh Dayun, ketahuilah, bukan dalang yang
membawakan cerita ini, tetapi utusan Ratu Majapahit. Katakanlah kepada rajamu,
perang sudah akan berakhir dan sedari saat ini, kami bukan lagi menjadi tawanan
perang tuanmu." Ki Dayun, setelah mendengar perkataan Dewi Wahita, segera turun
mendapatkan Prabu Menak Jingga serta menyampaikan apa yang didengar dan
disaksikannya di tempat itu.
Mendengar cerita Ki Dayun itu, tidak terkira-kira marahnya, sehingga
dadanya merah menyala-nyala sampai ke kepalanya, kedua belah incat
matanya melotot berapi-api, cuping hidungnya bergerak-gerak, kembang-
kempis, kedua belah daun telinganya mengipas-ngipas seperti telinga gajah.
"Mengapa tidak kau tikam perutnya... nyata itu maling," bentaknya, seraya
melompati Ki Dayun dengan membulatkan kedua belah tangannya.
"Gusti...!" sahut Ki Dayun ketakutan. "Bagaimana hamba dapat menikamnya, hamba
melihatnya dari atas tuturan atap ... dan hamba seorang diri pula, takutlah
hamba..._" Prabu Menak Jingga makin menjadi-jadi marahnya, membentak-bentak dan
menghardik-hardik, "Eh! eh! siapa itu di dalam" Jika benar laki-laki maxi
keluar...." "Gusti! Gusti...!" seru Ki Dayun pula dengan gugup,
"asap... asap!"
Tiada jauh dari utara istana tampak kebakaran, asap menjulang ke udara.
Berbareng dengan itu Sabda Talon dan Naya Genggong segera pula datang
hendak memberitahukan peristiwa itu kepada Damarwulan. Dengan pertanda itu
mengertilah tentara Majapahit seluruhnya, baik yang ada dalam kota maupun yang
menanti di luar kota, bahwa perlawanan serta penyerbuan telah mulai.
Damarwulan mempererat sabuknya dan memperbaiki letak kerisnya. Baru
saja ia melangkahi ambang pintu, hendak keluar, akan mengawasi pertanda yang
dilakukan para perwiranya, Damarwulan diterpa oleh Menak Jingga, tak ubahnya
sebagai seekor harimau melompati mangsanya. Damarwulan yang
berperawakan lincah serta awas itu dengan mudah juga dapat mengelakkan badannya
sehingga ia terhindar dari serangan Menak Jingga yang tiada terkirakira deras
datangnya itu. Hampir saja Dewi Puyengan kena oleh keris Menak Jingga yang sudah
kehilangan keseimbangan itu. Setelah pintu dibukakannya, ia dan Dewi Wahita
sama-sama berdiri dekat hang pintu, mengantarkan
Damarwulan dengan pandangan yang penuh pengharapan dan permohonan
kepada Sang Hiyang Mahatunggal, "Mudah-mudahan Raden Damar
dilindungi...!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menak Jingga, ketika melihat kedua orang putri itu agak reda hatinya dan setelah
memandanginya berganti-ganti, sebagai minta pertimbangan atau
penjelasan kepada keduanya, ia berkata, "Ai... ai... Wahita dan Puyengan!
Inginkah Adinda kedua menyaksikan kerisku ini mencabut nyawa anak muda
"Ai... ai... siapa namamu gerangan?"
"Damarwulan, utusan Ratu Majapahit...," sahut Dewi Wahita.
"Ai, ai... utusan Majapahit, benarkah" Hampir telanjur kerisku menembus
perutnya. Mengapa tidak dari tadi engkau jelaskan maksudnya! Bagaimana keadaan
Adinda Kencana Wungu ingin benar aku mengetahui keadaannya!
Ya... ya... baiklah engkau bercerita dahulu."
Menak Jingga berkata-kata itu masih terbata-bata sebagai orang mencacau.
"Adakah gerangan pesannya bagiku?"
Damarwulan menatap dengan tajam.
"Aku malah membawa perintahnya bukan pesannya saja," jawab
Damarwulan. "Sungguh beruntung aku," ujar Menak Jingga pula, "ada pesan Kencana Wungu.
Katakanlah pesannya itu....!"
"Dewi Suhita atau Ratu Ayu Kencana Wungu mengharapkan sekembali aku ke Majapahit
dapatlah mempersembahkan kepala Menak Jingga ke hadapan
Seri Ratu...." "Apa" Akan mempersembahkan kepalaku?" ujar Menak jingga. "Engkau yang
diperintahkannya mempersembahkan kepalaku kepadanya" Ah, ah,
terlalu Kencana Wungu! Aku kira ia sudah berbalik pikir dan memerintahkan engkau
kemari akan membawa berita gembira, bagiku menyatakan dia
bersedia menerima usulku, menjadi permaisuri Blambangan dan di samping itu ia
tetap memerintah Majapahit. Ah... ah, memang terlalu! Berani benar ia memesankan
kepalaku kepada anak muda ini! Terlalu... terlalu...."
Menak Jingga terdiam sebentar, memperhatikan asap yang mengepul-
ngepul makin lama makin besar juga. Sekitar tempat itu didengarnya pula bunyi
huru-hara dan ingar-bingar sepanjang jalan. Ia tentu tidak mengerti dari mana
asal kebakaran itu dan tidak mengerti pula apa maksudnya.
"Ai, siapa namamu, anak muda?" ujar Menak Jingga pula lalu mendekati Damarwulan.
"Engkau kulihat seorang anak muda yang tampan dan cakap!
Jika engkau mau aku bersedia melindungi nyawamu, malah aku akan
mengangkatmu kelak menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di istana
Blambangan. Jika engkau mau, akan kujadikan angkau Adipati kerajaan
Blambangan, janganlah kautolak usulku yang baik ini, demi keselamatan dirimu,
orang muda! Aku bukan seorang yang bengis percayalah!"
"Terima kasih atas usul dan tawaran Tuan yang manis sebagai madu," dan pahit
seperti empedu," ujar Damarwulan. "Sebagai seorang satria Majapahit, saya tetap
setia kepada Ratu Majapahit dan tetap menghendaki akan
mempersembahkan kepala Tuan, kepada Dewi Suhita, hai Menak Jingga.
Satria sejati sedia berkorban dan berbakti kepada negara dan ratunya...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai, hai, coba engkau timbang-timbang dahulu, anak muda! Jangan terburu
nafsu...,"jawab Menak Jingga, ketika dilihatnya Raden Damar meraba-raba hulu
kerisnya. "Sayang rupamu yang setampan dan secakap ini menjadi korban senjataku dan
darahmu yang masih muda itu akan tertumpah ke bumi. Pikirlah baikbaik, pikirlah
sebelum telanjur!" "Aku bukan bakul') buah yang datang kemari untuk tawarmenawar," sahut Damarwulan
pula, "tetapi kedatanganku untuk membebaskan Majapahit, serta akan menghindarkan
ratunya dari seorang pengkhianat yang telah menodai namanya serta telah menodai
sejarah Jawa-dwipa...."
Damarwulan mencabut kerisnya.
Menak Jingga undur beberapa langkah dan kedengaran ia mendehem-
dehem kecil, kemudian kelihatan mulunya komat kamit_ Ia rupanya sedang membaca
mantra: Aku tahu mula kerismu, dari Gunung Kawi, pertapaan datu, asal besi mula ditempa,
dititik dicuca di sinar nyala.
Umm... umm...umm...umm asalnya dapat kukaji,
dari burni ibu pertiwi. Aku mengerti asal sesuatu,
dari air barang yang cair.
Umm... umm... umm... um....
Sudah kukaji mula segala,
kembalilah menurut kehendakku,
jadi lemut kembali ke asalnya,
barang cair balik ke air.
Karena kulitku telah kuisi
bagaikan waja landasan besi,
semangatku cula api, yang selalu membara, menyala,
membakar, melebur segala,
menjadi hancur binasa rnana yang kena... Uum.... urnmm, umrn... ummm....
1) bakul = saudagar, pedagang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Damarwulan terpesonalah oleh mantra Benarlah seperti yang diucapkan oleh Menak
Jingga. Ketika Damarwulan menunjukkan ujung kerisnya ke tengahtengah dadanya
yang kelihatan memerah bagai bara, ia tiada mengelak sedikit juga, sebaliknya
malah membusungkan dadanya sehingga kelihatan
mengembung seperti bola yang sedang ditiup. Apa yang terjadi" Keris itu bilut.
Matanya jadi berlipat tiga.
Damarwulan terperanjat. Ketika ternyata mata keris itu tiada melukainya, ia terhuyung seketika, seperti
akan jatuh terpelanting. Cepat bagaikan kilat tangannya menjemba ke depan
menerpa Damarwulan. Anak muda itu tergegau, terpesona, seperti kena pukul dengan
benda keras lalu tersungkur hampir tak sadarkan diri.
"Ha... ha... Anak Muda...!" katanya dan tertawa- tawa dengan garangnya.
"Ha... ha... haaaa... sekarang baru engkau merasakan tanganku dan baru engkau
tahu siapa Menak Jingga. Coba sekali lagi kerismu ini dadaku...!"
Ia masih terhuyung-huyung dan meraba-raba, seperti orang yang kurang
awas penglihatannya. "Hai Puyengan, di mana engkau" Jangan dekati dia...!"
Dewi Puyengan dan Dewi Wahita, yang telah beberapa lama mengenal
perilaku dan ilmu kebal Menak Jingga itu, berpandang-pandangan. Mereka hendak
menolong Damarwulan. "Puyengan...! Wahita...! biarkan dia... marl tolong aku...! Mari... marl...!
Mari Adik... marl sayang...!"
Bicara Menak Jingga mulai mencacau. Benar-benar ia sudah mabuk, karena banyak
minum arak dan tuak dalam tayuban. Ia bergerak berputar-putar,
seperti orang sedang mengiringkan anak tandak disertai dengan bernyanyi-nyanyi
dengan gembiranya. Mari Puyengan, mari Wahita mari menari, mari bergembira mari menandak bersama-
sama... beriangan-riang, bersuka-cita...!
Mendengar Menak Jingga telah bernyanyi-nyanyi dan menari-nari semacam
itu Mbok Suti datang seperti biasanya. Ditolongnya memapah Menak Jingga ke ruang
belakang dan mendudukkannya di atas sebuah tapang dari jati.
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puyengan segera mendapatkan Damarwulan lalu membisikkan sesuatu
kepadanya; anak muda itu hanya pusing saja sebentar. Setelah dipungutnya
kerisnya yang telah hampir bertemu ujung dengan hulunya, ia segera berdiri
kembali. "Menak Jingga mempunyai ilmu tahan besi, Kakang!" demikian katanya.
"Ya...! Sekarang baru saya mengetahuinya dan merasainya sendiri. Ya...ya
...saya sudah maklum."
Damarwulan ingat akan petuah guru dan nasihat eyangnya.
"Maklum bagaimana, Kakang" Dengan apa akan Kakang lawan...?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakang hanya memerlukan pohon birah air putih sebatang!" jawab Damarwulan.
"Dengan besi dia tidak mempan, akan tetapi dengan birah air ia akan...."
Di dalam kota api kelihatan makin berkobar-kobar, perkelahian terjadi di mana-
mana. Di sekitar rumah itu perkelahian antara Ki Dayun dengan Sabda Palon tidak
kurang hebatnya, dibantu oleh Naya Genggong. Di sekitar istana yang dijaga oleh
tentara Menak Jingga dan dibantu oleh barisan Patih
Prabalingga terjadi pertempuran besar-besaran melawan tentara Menak
Koncar. Menak Jingga setelah beristirahat sebentar, lalu bangun kembali. Rupanya lekas
jua ia teringat akan musuhnya atau mungkin ia merasa telah waktunya kembali ke
istananya tengah malam itu.
"Puyengan ...Puyengan...!" katanya memanggil-manggil. "Wahita ...! Wahita
...! panggilkan Ki Dayun, aku mau pulang."
Rupanya ia belum sadar benar dan belum menyadari bahwa telah terjadi
perkelahian besar dimana-mana diseluruh kota.
"Prabu Menak Jingga...!" seru Damarwulan dengan lantang suaranya,
"Ketahuilah aku diutus Seri Ratu Dewi Suhita, datang ke Prabalingga ini, akan
menjemput jemala Tuan. Sekiranya Tuan dengan rela menyerah dan bersedia tunduk
kepada Seri Ratu, aku akan menyerahkan Tuan berikut kepala Tuan hidup-hidup.
Tuan saya beri kesempatan berpikir seketika!"
"Apa ..." Saya dan kepala saya akan dibawa hidup-hidup kepada Dewi Suhita...?"
sahut Menak Jingga. "Ya ... ya... sampeyan'" akan saya bawa menghadap kepada Sang Prabu Kencana
Wungu!" "Kencana Wungu..." Kencana Wungu... yang masyur itu," jawabnya terbata-bata.
"Tetapi bersediakah Seri Ratu berunding dengan saya tentang usul saya, yang
telah pernah disampaikan kepada Seri Ratu...?"
"Pasti tidak!" ujar Damarwulan. "Sampeyan akan digiring ke Majapahit sebagai
seorang tawanan, sebagai penjahat perang yang akan diadili!"
"Ah... ah...! Bagaimana saya dapat menyembunyikan muka saya
berhadapan dengan Dewi Suhita yang amat mulia, yang sangat saya cintai...!"
Sekitar tempat itu dan di sepanjang alun-alun di sekitar kepatihan
pertempuran berlangsung dengan hebatnya.
Patih Angkat Buta dan Patih Kot Buta, kaki tangan Menak Jingga, segera juga
dapat diringkus oleh tentara Majapahit.
Menak Jingga lama juga berhadapan dengan Damarwulan, serang-
menyerang dan terpa-menerpa berganti-ganti, seakan-akan tidak akan habis-
habisnya perkelahian itu, disaksikan oleh Dewi Puyengan dan Dewi Wahita yang tak
dapat berbuat apa-apa untuk membantu. Akhirnya ketika perkelahian keduanya telah
beralih ke luar rumah, Raden Damarwulan berhasil
merenggutkan batang birah air yang kebetulan tumbuh di pekarangan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Batangnya yang tua berwarna kekuning-kuningan, lalu dipukulkannya ke
batang leher Menak Jingga yang kebal karena is menaruh ilmu tahan besi itu.
Tentu aneh, ya, memang terlalu aneh kedengarannya, seorang raja yang
tiada teralahkan selama ini, yang menakutkan dan menggemparkan penduduk dan
pembesar-besar kerajaan Majapahit, tiba-tiba telah berhasil dikalahkan,
ditundukkan bahkan telah terbunuh dengan sekerat batang birah air (talas) tua
yang telah kekuning-kuningan warnanya. Oleh penyebar-penyebar berita itu
kemudian, yang sejengkah telah disiarkan sehasta, yang sehasta dikatakan sedepa,
dua depa, sepuluh depa dan seterusnya. Tidak disesalkan, apabila dalam cerita
rakyat di tanah Parahiyangan diberitakan, dipukul dengan
Wesikuning dan di daerah Jawa Timur dengan sebuah gada yang sakti.
Orang-orang Nusantara zaman itu percaya kepada ilmu gaib dan mantra-
mantra. Damarwulan tentu telah memperoleh bermacam-macam ilmu pula di
pertapaan-pertapaan sekitar Paluh Amba.
Apabila Damarwulan mendapat sambutan luar biasa, tentu sudah pada
tempatnya dan tidak urung telah jadi berbagai-bagai pula cerita tentang dirinya.
12. Berita Kemenangan Seluruh penduduk kota Majapahit keluar belaka akan menyaksikan
kedatangan bala tentara yang membawa berita kemenangan. Sebagian
pasukan induk telah kembali dan tentu disambut dengan amat gembira dan meriah
oleh penduduk kota. Di mana-mana rakyat berkumpul berkelompok-kelompok
membicarakan kemenangan itu. Terutama sekitar alun-alun istana amat ramai orang,
ingin mendengar sendiri dari anggota pasukan yang baru kembali itu, bagaimana
caranya tentara Majapahit dapat memasuki
PrabaIingga dan berhasil memenangkan perang itu. Sekalipun telah
diumumkan, untuk menjaga keamanan, Damarwulan dengan sejumlah induk
pasukan, buat sementara akan tinggal beberapa hari, mungkin beberapa
pekan, di Prabalingga untuk menjaga keamanan dan untuk memulihkan
ketenteraman kembali, tetapi penduduk masih tetap berbondong-bondong
menuju ke alun-alun. "Raden Menak Koncar ...!" ujar Dewi Suhita kepada kepala pasukan yang baru
kembali itu. "Kami ingin mendengar, cobalah ceritakan sekali lagi, bagaimana
caranya bala tentara kita dapat mengalahkan tentara Menak
Jingga, supaya sama-sama kami dengar."
"Seri Ratu!" jawab Menak Koncar dengan hormat. "Atas segala kemenangan ini
Majapahit harus berterima kasih kepada Raden Damar satria yang
bijaksana, berani lagi berbudi itu...."
"Den Ayu Anjasmara!" ujar Dewi Suhita dengan amat bergirang hati dan tersenyum
kepada Dewi Anjasmara yang duduk di sisi Seri Ratu. "Adinda dengar sendiri
tentang suami Adinda! Adakah puji-pujian yang lebih mulia dan menyenangkan
terhadap seorang satria daripada berani dan berbudi....!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dewi Anjasmara tersenyum bangga dan berkata, "Tentu hamba lebih
maklum tentang pekerti suami hamba, sekalipun dia baru saja jadi suami hamba,
Seri Ratu!" Setelah memandang berkeliling dengan sukacitanya, Seri Ratu berkata pula kepada
satria Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah Raden, bagaimana
seterusnya!" "Seperti telah dimaklumi, keberangkatan tentara dari sini dengan diam-diam
sekali. Penduduk kota hampir-hampir tiada mengetahui keberangkatan kami, karena
kami baru meninggalkan kota setelah matahari terbenam, bahkan
setelah malam gelap. Sekalipun ada melihat kami menuju ke luar kota, tetapi
orang tidak akan nyana bahwa kami akan pergi berperang. Segala-galanya berjalan
menurut yang telah direncanakan oleh Raden Damarwulan. Begitu pula ketika akan
memasuki kota musuh. Waktu fajar kami berhenti di dalam hutan, jauh di luar kota
Prabalingga. Orang yang lalu pada waktu paginya, baik yang datang atau menuju ke
Prabalingga, semuanya ditahan dan dijaga benar supaya jangan ada orang yang
dapat membawa berita tentang keadaan kami kepada kaki tangan Menak Jingga.
Selain itu barisan penyuluh kita telah dikirim terlebih dahulu ke Prabalingga
dengan diam-diam dan diperintahkan supaya berhati-hati sekali, guna mempelajari
dan menyelidiki keadaan dalam kota. Pekerjaan mereka itu pun berjalan dengan
baik dan amat rapi. Setelah kami menerima berita selengkapnya dari pasukan penyuluh kita,
barulah Raden Damar menyusun rencana dengan terperinci dan teliti. Nasihat Raden
Damar kepada kami, berhasil atau tidaknya penyerangan kita, menang atau kalah,
tergantung pada usaha pasukan penyuluh dan perencanaan yang teliti itu.
"Kami ingin mendengar, bagaimana akal Raden Damar melawan Menak
Jingga, yang dikatakan tak teralahkan itu!" ujar Dewi Suhita.
"Hamba tentu tak dapat menceritakan peristiwa itu semua, selain apa yang telah
hamba saksikan sendiri dengan mata kepala hamba. Setelah kami tiba di luar kota
Prabalingga bala tentara dibagi-bagi, menurut keadaan pertahanan musuh yang akan
dimasuki. Tentu menurut laporan yang dapat diterima dari mata-mata atau
penyuluh-penyuluh kita."
"Hamba ingin benar mendengar bagaimana Damarwulan dapat menjatuhkan Menak
Jingga...?" ujar Dewi Suhita sambil melirik kepada Dewi Anjasmara.
"Cobalah Raden terangkan kepada kami!"
"Sayang hamba sendiri tidak menyaksikan dengan mata hamba, karena hamba dengan
pasukan hamba menghadapi musuh di tempat lain. Akan tetapi menurut berita yang
disampaikan kepada hamba, ketika Menak Jingga telah terdesak, Raden Damar masih
memberi kesempatan untuk menyerah dan
bersedia tunduk mengakui kekuasaan Seri Ratu, serta masih memberi
kesempatan kepadanya untuk berpikir."
Raden Menak Koncar terdiam seketika, is teringat akan beberapa peristiwa yang
hampir saja menewaskan nyawa Damarwulan.
"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Seri Ratu Dewi Suhita dengan tidak sabar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Daulat Seri Ratu yang mulia, baiklah hamba ceritakan dari permulaannya.
Kedka pemimpin-pemimpin pertempuran tentara kita selesai menerima tugas masing-
masing dan penjelasan yang diperlukan dari Raden Gajah, demikianlah nama
senapati dalam pertempuran, serta menjelaskan pula akan tanda-tanda penyerangan
dan yang berhubungan dengan itu, senapati diiringkan pula oleh kedua
punakawannya, Naya dan Sabda, lalu menuju ke rumah Dewi Puyengan dan Dewi
Wahita. Adapun tempat tinggal kedua orang putri yang malang itu berdekat-dekatan
tiada berapa jauh dari istana."
"Siapakah Dewi Puyengan dan Dewi Wahita itu?" tanya Dewi Suhita memotong bicara
Raden Menak Koncar. "Serta mengapa pula Raden Damar datang mengunjungi keduanya
tengah malam semacam itu?"
Memandang kepada Dewi Anjasmara, "Raden bercerita di hadapan istrinya sendiri
dan seperti diketahui, Raden Damarwulan dan Dewi Anjasmara baru saja jadi
pengantin, beberapa hari sebelum berangkat ke Prabalingga."
"Raden Ayu Anjasmara, maafkanlah hamba! Bukan maksud hamba hendak membuat
fitnah, jauh daripada akan mengasut dan mengada-ada... Seri
Ratu!" Raden Menak Koncar terdiam memandang kepada Anjasmara dan Dewi Suhita
berganti-ganti. "Cerita hamba belum selesai. Dewi Puyengan dan Dewi Wahitalah
yang memainkan peranan yang penting dalam peristiwa
"Lho, bagaimana peristiwanya lekas ceritakan! Dan siapa mereka?" desak Seri Ratu
Suhita. "Hamba harap dimafkan, Ratu! Sudilah Seri Ratu mendengarkan keterangan hamba
dengan sabar! Adapun kedua orang putri itu anak-anak bupati yang tiada mau
tunduk atau bersepakat dengan niat busuk Menak Jingga; kedua orang bupati itu
sangat setia kepada Seri Ratu."
Diam pula. "Kedua orang putri itu terkenal amat cantik, terutama Dewi Puyengan, yang lebih
muda serta lebih lincah, seperti namanya itu, benar-benar dapat
memabukkan dan menggilakan barang siapa yang berani memandangnya atau
jika dipandangnya dengan sudut matanya. Itu agaknya, yang dinamakan
orang mabuk kepayang. Menak Jingga tergila-gila kepadanya. Sebab itu
hampir tiap malam dia datang ke tempat itu, mengunjunginya, akan
membujuk dan merayu putri itu."
"Tunggu dahulu," kata Seri Ratu Suhita pula menyela. "Kalau kami tidak salah,
tadi Raden katakan senapati Raden Damar diiringkan oleh kedua orang
punakawannya, Naya dan Sabda, juga menuju ke rumah Dewi Puyengan dan
Dewi Wahita. Yang kurang terang bagi kami, siapa yang tergila-gila kepada si
Puyengan itu?" Melirik dengan tajam kepada Dewi Anjasmara yang masih menundukkan
kepalanya, "Damarwulan atau Menak Jingga?"
"Gusti, sekali lagi hamba mohon dimaafkan serta hamba berharap cerita hamba
jangan disela dahulu!"
"Raden!" sahut Seri Ratu Suhita agak membentak suaranya. "Bagaimana kami tidak
akan menyela, kami ingin mendengar berita kemenangan
Damarwulan! Tuan ceritakan yang lain-lain.._ tentang Dewi Puyengan dan Dewi
Wahita. Sekalipun tidak diceritakan, kami akan maklum juga, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang laki-laki itu sama saja dari dahulu sampai sekarang, bila berhadapan
dengan perempuan cantik, lagi muda pula. Apalagi dalam peperangan. Saya tiada
sudi mendengar tentang Puyengan dan Wahita itu."
Melihat ke arah Dewi Anjasmara yang masih berdiam diri.
"Tuan tahu, perempuan seperasaan! Hati Dewi Anjasmara sekarang sebagai bara api
yang sedang bernyala. Saya harap hendaknya Tuan bawakan obat
penawar! Akan tetapi ternyata Tuan ungguni pula dengan jerami kering. Saya takut
kalau makin membakar dan berkobar nyalanya. Demi untuk kepentingan perasaan
Adinda Anjasmara, tak usah Tuan ceritakan tentang penyelewengan-penyelewengan
semacam itu, tak usah... sekali lagi tak usah!"
"Ini sekali-kali bukan penyelewengan, Gusti, betul-betul bukan
penyelewengan, tetapi suatu siasat yang harus dilakukan. Jika sekiranya Gusti
tak sudi atau tidak bersedia mendengarkannya, tak dapatlah hamba
menggambarkan pertempuran dan bagaimana kami memperoleh kemenangan
itu. Karena dalam hubungan Dewi Puyengan dengan Damarwulan itulah
terletak kuncinya. Betul, Gusti, di sinilah terletak kuncinya, ibarat makanan
malah yang menjadi bumbunya. Bagaimana hamba akan menghidangkan
sesuatu makanan, apabila Gusti menghendaki supaya bumbunya dikeluarkan atau
disisihkan. Makanan yang telah bersatu dengan bumbu-bumbunya
bagaimana memisah-misahkannya terlebih dahulu...!"
Raden Menak Koncar terdiam sebentar menghadap kepada Seri Ratu Prabu
Suhita, seakan-akan menanti perintah.
"Gusti Ratu!" sembah Dewi Anjasmara. "Bila terserah kepada hamba, hamba tiada
berkeberatan, apabila hubungan suami hamba dengan Dewi Puyengan
serta Dewi Wahita itu diberitakan semuanya di depan hamba...!!"
Terdiam sebentar "Atau barangkali Gusti sendiri yang menaruh keberatan, tak tahulah hamba..."
Terdiam pula, kemudian katanya, "Hamba tidak buta, Gusti, dan sudah biasa
apabila seorang pahlawan mendapat pujaan serta sambutan di mana-mana
karena kepahlawannya itu, seperti jiwa hamba mengaguminya dan
mencintainya, tentulah akan ada pula perempuan selain diri hamba yang turut
mengaguminya bahkan sampai mencintainya sekalipun. Bukankah tanda emas yang
murni atau sifat berlian yang tulen itu disukai dan dicintai tiap-tiap orang, ya
Gusti, terutama akan menjadi pakaian kita golongan istri."
Anjasmara berdiam diri pula seperti hendak menelan perasaannya sendiri, kemudian
katanya agak bernafsu, "Hamba percaya kepada Kakanda
Damarwulan, sesuatu yang dilakukannya selamanya dengan pertimbangan
serta diperhitungkannya dengan cermat jua, Gusti!"
Menghadap kepada Raden Menak Koncar, "Ceritakanlah sekaliannya, Raden, hamba
ingin tahu sekaliannya!"
Raden Menak Koncar tiada segera melanjutkan ceritanya. Sekarang tahulah ia akan
perasaan kedua orang yang dihadapinya itu. Rahasia hati masingmasing telah dapat
diselaminya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekali lagi hamba ulangi," katanya, "Menak Jinggalah yang telah tergila-gila
kepada Dewi Puyengan, sebab itu sehabis tayuban pada malam itu,'dapat
dipastikan sebelum kembali ke keraton istana tentu ia akan datang ke tempat
Puyengan dan Wahita lebih dahulu. Sangat menguntungkan bagi penyerangan kita,
yang dengan tiba-tiba itu, musuh tidak mengetahui sedikit juga, bahwa sebahagian
tentara kita telah ada dalam kota. Hal itu tiada akan berhasil, bila tidak
karena kerapian pekerjaan pasukan penyuluh kita, yang masuk dengan jalan diam-
diam dan sebahagian dengan jalan menyamar."
"Bagaimana Raden Damar, suami hamba, mengetahui tempat Dewi
Puyengan dan Dewi Wahita" Siapa yang memperkenalkannya kepada
mereka?" tanya Anjasmara.
"Seperti telah hamba terangkan terlebih dahulu, itulah gunanya dibentuk pasukan
penyuluh atau mata-mata, yaitu akan mempelajari segala sesuatu dan untuk
menyelidiki hal yang penting-penting yang berhubungan dengan pertahanan musuh
dan yang bersangkut-paut dengan siasat penyerangan
kita." Bagaimana pertemuan Damarwulan dengan kedua orang putri itu,
diceritakanlah sekaliannya oleh Menak Koncar, sampai Damarwulan hampirhampir
jatuh pingsan dalam perkelahian yang pertama.
"Untung benarlah karena pertolongan Dewi Puyengan yang cerdik itu dan bantuan
Dewi Wahita," kata Menak Koncar.
"Bagaimana jalannya" Karena apa pada mulanya Raden Damar hampir-
Damar Wulan Karya Zuber Usman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir jatuh pingsan itu?" tanya Dewi Anjasmara.
"Menak Jingga itu seperti diberitakan, memang seorang yang hebat rupanya dan
sangat kuat dan tegap perawakannya. Apabila berhadapan dengan dia
tidak ada yang dapat melawan jangankan akan mengalahkannya. Akan tetapi ada juga
kelemahannya. Pada malam hari ia kurang awas dan karena terlalu banyak minum
minuman keras ia selalu kelihatan seperti orang kehilangan ingatan....
Kedatangan Damarwulan sekali-kali di luar dugaannya, tidak disangka-sangkanya."
"Kalau begitu Menak Jingga betul-betul berhadapan dengan Damarwulan dan tewas
dengan tangannya sendiri?" tanya Sang I'rabu pula.
"Memanglah demikian, Gusti Ayu!" jawab Menak Koncar.
"Damarwulan berhadapan dengan Menak Jingga seorang lawan seorang, sementara
pasukan kita berhadapan dengan pasukan Bupati Prabalingga dan bala tentara Menak
Jingga di keraton, di alun-alun dan di sepanjang pusat pertahanan kota."
"Bagaimana selanjutnya dengan Dewi Puyengan dan Dewi Wahita?" tanya Seri Ratu.
"Tunggu dahulu, Gusti!" sahut Menak Koncar. "Ternyata bala tentara kita bukan
menghadapi bala tentara Menak Jingga dan pasukan Bupati Prabalingga yang
mendurhaka itu raja, tetapi ada lagi unsur-unsur yang lain."
"orang-orang dari pesisir Utara yang Tuan maksud?"ujar Dewi Suhita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan orang-orang dari Pesisir Utara, tetapi ada gerombolan-gerombolan lain, di
antaranya yang dikenal dengan gerombolan Kelana Jaya, yang
dikepalai oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa."
"Ya...ya...! Mendiang Adipati Tuban telah pernah juga menceritakan tentang
gerombolan-gerombolan semacam itu! Memang pada waktu yang akhir-akhir
ini timbul banyak perusuh dan petualang semacam itu di mana-mana. Negara
menderita dan rakyat merana oleh kekacauan yang tidak habis-habisnya."
Seri Ratu Suhita terdiam sebentar, kemudian ujarnya, "Apakah yang telah
dilakukan oleh gerombolan Kelana Jaya, yang dikepalai oleh Kuda Rarangin dan
Kuda Tilarsa itu?" "Anehnya gerombolan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa itu, tidak seperti gerombolan
yang lain, yaitu mendatangkan kerusuhan atau kekacauan kepada penduduk dan
biasanya mereka seakan-akan berpihak atau berpura-pura
membantu tentara, tetapi tujuan mereka yang sebenarnya, hendak
menangguk di air keruh."
"Kalau ia tidak membantu tentara kita barangkali mereka menjadi kaki tangan
musuh...," jawab Dewi Suhita dengan cepat.
"Pada mulanya dugaan kami, memang, demikian! Ketika terjadi
pertempuran hebat di sekitar alun-alun Prabalingga mereka turut menyerang musuh
bersama-sama kami. Tetapi alangkah terperanjat kami semuanya,
ketika Raden Damar datang hendak membantu kami sesudah membunuh
Menak Jingga tiba-tiba Kuda Rarangin menghadangnya di jalan dan terjadilah
perkelahian antara Damarwulan dengan Kuda Rarangin. Lebih heran lagi kami,
ketika ternyata dalam perkelahian itu tak ada yang teralahkan, keduanya sama-
sama jaya dan sama-sama gigihnya, kemudian datang pula Kuda
Tilarsa; mula-mula rupanya ia hendak menolong Kuda Rarangin, tetapi tiba-tiba ia
undur ke belakang, kerisnya yang telah keluar dari sarungnya
dibantingkannya ke tanah."
"Lalu...?" ujar Seri Ratu mendesak, ketika Raden Menak Koncar tidak segera
melanjutkan ceritanya. "Kuda Rarangin memandang kepada Kuda Tilarsa sambil memungut
kerisnya lalu memasukkanya ke dalam sarungnya. Melihat perbuatan kedua orang
lawannya itu Raden Damar juga menyarungkan kerisnya dan ketiganya berpandang-
pandangan. Kami yang menyaksikan, malah sudah bersedia-sedia akan menangkap
kedua orang yang kami anggap pengacau atau musuh itu,
malah ikut terpaku di tanah."
"Mengapa?" "Dari sinar pandangan, raut muka dan potongan badan ketiganya, sebelum masing-
masing mengeluarkan perkataan, dapat kami lihat tentu bersaudara!
Benarlah ketika masing-masing menerangkan asal-usul mereka ternyata
ketiganya bersaudara."
"Mana mungkin!" sahut Dewi Anjasmara tiba-tiba. "Kakanda Raden Damar anak
tunggal. Sejak kecil ia tinggal di pertapaan kakenda Bagawan Santanu atau lebih
dikenal dengan panggilan Kiyai Ageng di Paluh Amba. Tak
mungkin!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden Menak Koncar tersenyum, kemudian katanya, "Sesungguhnya di
mayapada ini banyak hal-hal yang pada mulanya kita katakan tak mungkin, karena
kita hanya melihat lahirnya belaka, belum mengetahui rahasianya yang
sebenarnya." "Saya tahu benar tentang diri Kakanda Raden Damar, anak tunggal Paman Patih
Udara dengan Bibi Nawangsasih. Ketika Paman Udara mengundurkan diri dari
pemerintahan Raden Damar masih kecil, masih kanak-kanak, dan
dibesarkan di Paluh Amba oleh Kakenda Bagawan Santanu Murti atau Maharesi Paluh
Amba seperti hamba katakan tadi yang terkenal bijaksana dan
cendekiawan itu. Orang desa Paluh Amba seluruhnya mengenal Damarwulan, terutama
yang sebaya dengan dia, sekaliannya mencintai dan
menghormatinya, bukan karena ia anak Patih dan cucu seorang Maharesi,
tetapi karena ia telah dapat mempersatukan hatinya dan dirinya dengan anakanak
desa itu." "Benar, Den Ayu Anjasmara!" jawab Menak Koncar sambil memandang kepada Seri Ratu
sebagai minta pertimbangan. "Maaf, kalau boleh hamba bertanya, apa sebabnya
Patih Udara mengundurkan diri?"
"Semata-mata hendak memberi kesempatan kepada Ayahanda hamba,
adiknya." "Tidak adakah kiranya sebab-sebab
yang lain?" tanya Menak Koncar.
Dewi Anjasmara tidak segera dapat
menjawab. Setelah memandang
kepada Dewi Suhita ia berkata, "Ini
menyangkut soal pemerintahan, tentu
Gusti yang lebih mengetahuinya!"
"Sekarang saya tiada dapat memberi
keterangan, tetapi menurut yang saya
dengar Paman Patih Udara lebih
menyukai pengembaraan daripada
pemerintahan. Setelah mengundurkan
diri Patih Udara tidak langsung
memasuki pertapaan tetapi lebih
dahulu telah mengembara ke mana-
mana di seluruh Nusantara. Malah
selagi memegang jabatan pemerintahan ia suka mengembara ke
mana-mana. Tetapi apakah hubungan
sekalian itu dengan diri Damarwulan?"
ujar Dewi Suhita. "Dari keterangan Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa ternyata mereka samasama anak
Patih Udara. Pada mulanya keduanya juga tidak kenal-mengenali, setelah berjumpa
di pengembaraan dan setelah sama-sama mengadu
kesaktian dan sama-sama tak dapat dialahkan barulah mereka mengetahui
bahwa mereka bersaudara. Kuda Rarangin berasal dari desa Pesawahan dan Kuda
Tilarsa dari Pratokal. Menurut keterangan Ajar Tunggul Manik, yang bertapa di
Gunung Mahameru, mereka ada empat orang bersaudara sebapak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetapi berlain ibu, pada suatu ketika mereka akan bertemu di depan Ajar Tunggul
Manik yang keramat itu."
"Ini Paman Patih datang!" ujar Seri Ratu dengan tersenyum kepada Patih Logender
yang datang dengan sekonyong-konyong.
"Maafkanlah hamba beribu-ribu maaf, karena hamba terlambat datang menghadap.
Rakyat seakan-akan membanjir datang dari seluruh pelosok
negeri, dari desa-desa, menyambut berita kemenangan tentara Majapahit.
Terpaksa hamba memberi penerangan dan menjelaskan bahwa baru
sebahagian bala tentara kita yang pulang. Raden Damar dengan sebagian
besar pasukannya baru beberapa hari lagi akan kembali. Jika tidak diberi tahu,
rakyat mungkin akan tetap berdiri sepanjang jalan, menantikan pahlawannya.
Juga hamba harus menjelaskan kepada mereka, bahwa pasukan kita terpaksa tinggal
beberapa lamanya, karena perlu mengamankan gerombolan dan
pengacau, selain untuk memulihkan keamanan dan ketenteraman dalam kota.
Ya, hamba sangat berbesar hati dan mengucapkan selamat atas kemenangan tentara
kita, Gusti!" Sekalian yang diucapkannya, seakan-akan telah diaturnya atau
dikarangkannya terlebih dahulu. Tetapi dari getar suaranya, apa yang
diucapkan lidahnya berlawanan dengan kehendak serta bisikan hatinya.
Sesudah mengaturkan sembah, Patih Logender lalu duduk ke dekat Raden
Menak Koncar. Sambil tersenyum dibuat-buat ia berkata pula, "Kepada Raden tiada
terkira terima kasih hamba, yang telah memenangkan peperangan ini bersama-sama
dengan Damarwulan. Anak saudara hamba, ah, ya menantu
hamba yang masih muda sekali, tentulah dengan petunjuk dan bantuan Raden juga
maka ia telah berhasil beroleh kemenangan. Sekali lagi hamba ucapkan terima
kasih dan selamat." Kemudian berpaling kepada Seri Ratu Suhita, sembahnya, "Majapahit sekarang
sementara telah terlepas dari bahaya, terhindar dari kehancuran, Gusti!"
"Mengapa Paman katakan sementara?" tanya Dewi Suhita agak keheranheranan.
"Maksud hamba, mudah-mudahan terhindar dari kehancuran untuk selama-lamanya,
ah ... bukan sementara, harap hamba diberi maaf, Gusti...," katanya terbata-
bata. "Hamba sangat bersyukur kepada dewa-dewa, yang telah melindungi
Pendekar Wanita Baju Merah 9 Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Memperebutkan Batu Kalimaya 1