Pencarian

Darah Pendekar 11

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


kata Petani Lautan sambil memberi hormat.
Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti - nanti datangnya
saat ini, di mana Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang
berarti dia harus mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang
dianggapnya sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk
hitungan. "Ha - ha - ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak
berani menerima persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, ham-pir aku kehilangan
sebelah tanganku ketika men-coba untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi se-karang tentu engkau
sudah maju pesat sekali, buk-tinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu
engkau terpaksa harus selalu bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai
baju dan mengendalikan keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku
kepingin mencobanya juga!" Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk
membuat lawan tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga
dia harus menjaga segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar - benar kalah, dia
tidak sampai terbanting oleh sikap yang congkak sebelum bertanding. Sebenarnya, bagi orang -
orang yang hidup di dunia hitam, atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi
memperdulikan akan sopan santun, tidak perduli apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau me-
nyinggung orang lain. Setiap jalan pikiran, setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keun-tungan
diri sendiri. Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah
kita meneliti dan mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari" Bagaimanakah keadaan jalan
pikiran atau batin kita, kemudian bagaimana pula keadaan yang nya-ta dari perbuatan dan juga
ucapan kita " Pernah-kah kita berpikir, berkata atau berbuat yang di ba-liknya tidak
mengandung pamrih untuk enak sen-diri, senang sendiri, dan menang sendiri " Benar-kah apa yang terucap
oleh mulut kita selalu sejalan dengan bisikan hati kita " Adakah kesatuan antara batin, ucapan
dan perbuatan " Kita berlumba me-nonjolkan kebaikan - kebaikan kita, bukankah itu hanya
merupakan jembatan saja bagi kita untuk mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian,
harapan, pahala dan sebagainya " Per-nahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas
kasihan atau cinta kasih " Pernahkah " Kalau tidak pernah, mengapa " Semua pertanyaan ini kiranya
amat perlu bagi kita manusia - manusia yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan
berakal budi, bukan " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi
keuntungan diri sendiri, bukan rendah hati lagi. Rendah hati bukan terletak di
mulut, melainkan di batin, dan mulut baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa
dipertimbangkan dan disensor oleh pikiran yang selalu berpalsu - palsu.
Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui ter-senyum. Senyum orang yang percaya
akan kehe-batan diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan
tadi, menyembunyikannya di balik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk
pamer terselubung. Dia membuka bajunya sehingga badan yang kurus de-ngan tulang iga
menonjol dan membayang di balik kulit nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar
dari kulit tubuhnya. Akan tetapi semua orang yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat
mundur dan menjauh karena mereka tahu betapa berbahayanya benda cair kecut yang kelu-ar
dari tubuh tokoh ini. Phang Kui menarik napas panjang, menghim-
pun sinkangnya dan brolll ! Peluhnya mulai
keluar dari pori-pori kulitnya dan mengucur deras ! Mula-mula nampak butir-butir
air seperti mutiara menghias kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir - butir ini saling
bertemu dan mengalir ke bawah, berlenggak - lenggok dan membasahi semua kulit tubuhnya. Dia
mengacungkan senjata-nya yang istimewa, sebuah cangkul bergagang pan-jang.
Sebelum bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar sebuah teko terisi air teh dari atas
meja. Teko besar itu dituangkannya ke mulut yang ternganga sampai habis isinya. Dengan wajah
nampak lega dan puas, Si Petani Lautan mengem-balikan teko kosong dengan tangan kirinya ke atas
meja, kemudian mulutnya berkata lirih dan lem-but, "Terimalah persembahanku !" Kata-
kata yang halus itu tiba - tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring dan mengejutkan
semua orang. "Hyaaaatttt !!" Nampak sinar menyambar
dan cangkul bergagang panjang itu telah bergerak seperti kilat cepatnya. Mata
cangkul berki-lauan dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu
terangkat dan bung-kusan panjang terlempar dengan amat lajunya ke arah muka Rajawali Lautan !
Baru meluncurnya benda sumbangan itu saja sudah merupakan se-rangan kilat yang
berbahaya. Akan tetapi itu ha-nya merupakan "pembukaan" belaka karena lun-
curan benda sumbangan itu disusul hampir sama. cepatnya oleh mata cangkul yang
membacok atau mencangkul ke arah dada lawan !
"Hemmmm !" Rajawali Lautan Timur
menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, melon-cat ke belakang dan miringkan
kepala, menangkap bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.
"Trappp !" Kipas besi yang tadinya terbu-
ka itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup
dan menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada
saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar
ke arah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat.
Dengan gerakan indah Tung - hai - tiauw atau Ra-
jawali Lautan Timur sudah melemparkan barang
sumbangan itu ke arah pembantunya yang segera
menerimanya dan menumpuk benda itu di atas
meja tempat menaruh benda - benda sumbangan,
dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali
Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan
gagang kipas besinya. Akan tetapi karena sebelum
menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sum-
bangan, tangkisannya agak terlambat sehingga mata
cangkul itu masih menyerempet lambungnya.
"Cringgg trakk !" Mata cangkul tertangkis
gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi Kim-pouw-san (Jubah Mustika
Emas) yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak me-lukai kulit lambung! Bahkan
karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerang-nya merasa betapa
kuatnya lambung yang mene-rima mata cangkul tadi.
Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan ma-in. Dia sudah mempergunakan
langkah ajaibnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini
menyerang dengan sodokan keras ke arah leher lawan !
"Bagus !" Si Rajawali Lautan memuji dan dia-pun terkejut, tidak menyangka lawan
memiliki gerakan secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia
berani menang-kis dengan lengan kirinya yang kuat.
"Dukk !" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara
lengan dan gagang cangkul itu tidak terhenti di situ saja ka-rena gagang cangkul itu telah
membalik dan kini mata cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba
- tiba meluncur ke depan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk
cakar rajawali dan menceng-keram ke depan, ke arah pusar lawan ! Begitu ce-patnya kedua orang
ini bergerak melanjutkan per-temuan lengan dan gagang cangkul sehingga ke-duanya terkejut
karena tahu - tahu serangan lawan telah tiba sedemikian hebatnya ! Kalau mereka berdua
melanjutkan serangan dan membiarkan se-rangan lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan
mungkin keduanya akan tewas atau setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam - diam Lam
- siauw - ong sudah tersenyum-senyum girang. Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya,,
dan kursi Raja Lautan akan dapat diperolehnya tanpa banyak membuang tenaga !
Akan tetapi, Tung - hai - tiauw dan Petani La-utan adalah dua orang tckoh besar
yang telah me-miliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu
saja. Dalam ilmu silat ada hal - hal yang selalu dipentingkan oleh kaum per-silatan, yaitu pertama,
sedapat mungkin mendahu-lui lawan dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin,
maka yang terutama adalah menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih du-lu dari bahaya
yang mengancam pada saat itu. Ma-ka, melihat bahaya yang mengancam hebat, kedu-anya
lalu menunda serangan mereka dan lebih dulu mereka berdua melemparkan diri ke
belakang. Ragi Petani Lautan yang memiliki langkah - lang-kah ajaib, dengan lebih mudah sudah
dapat memu-tar kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya men-jauh dan sekaligus menghindarkan
diri dari ceng- keraman lawan akan tetapi juga hantaman mata cangkulnya tidak mencapai kepala
lawan. Si Raja- wali Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia me-lempar diri ke belakang
sehingga tubuhnya mem- buat poksai (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia - siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu
dapat menguasai posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur
keseimbangan tubuh, dia sudah mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban - seng - kun
yang dahsyat! Didesak seperti itu, Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar ki-pasnya
dan mengandalkan jubah emasnya untuk mempertahankan diri dan sampai belasan jurus
dia tidak sempat membalas serangan lawan yang ber-tubi - tubi.
Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini
dia sudah memperdalam gerakan - gerakannya, bahkan memperkuat sinkangnya dengan latihan -
latihan. Selain gerakannya cepat dan kuat, langkah - langkah ke-dua kakinya aneh sekali
dan tubuhnya seperti dapat pindah - pindah posisi di luar perhitungan la-wan, juga kini peluh
- peluhnya mulai berpercikan di sekitar tubuhnya dan terutama sekali di bagian depan tubuh
sehingga butiran - butiran keringat itu menyambar ke arah lawan seperti senjata - sen-jata rahasia.
Memang tentu saja butiran - butiran peluh ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana-pun juga
harus diakui bahwa sambaran air - air yang berbau kecut ini cukup membingungkan la-wan, apa
lagi kalau menyambar ke arah muka dan terutama mata.
Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan
kedudukan Raja Laut-an, Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya se-sedikit selisih tingkat di
antara mereka. Andaikata tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun
yang lalu, sekali ini mungkin dia akan kalah. Akan tetapi, sebagai seorang Raja La-utan, tentu
saja selama ini dia tidak tinggal diam. Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat
ketimbang merebut karena yang hendak me-rebut tentu berusaha mati - matian untuk merebut kedudukan
itu. Maka selama tiga tahun ini Si Ra-jawali Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan
mencapai kemajuan - kemajuan besar.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung - hai - tiauw dapat
mengatur kem-bali posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut
runtuh semua butiran keringat yang menyambar ke arahnya dan sekaligus menangkis setiap
serangan cangkul dan gagangnya. Kipas besinya itu seolah - olah membentuk benteng baja yang


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat cangkul lawan tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk
cakar rajawali dan menyam-bar-nyambar ke depan. Kipas telah dipindahkan ke tangan
kiri, dan kini lengan kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tang?n ka-nannya
tajam dan runcing melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat me-
lindungi dirinya karena semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-
langkah ajaib dari lawannya amat luar biasa pula.
membuat tubuh lawannya itu kadang - kadang se-perti lenyap dari depannya dan
tahu - tahu muncul di sebelah kiri, kanan atau bahkan di belakangnya !
Karena merasa jengkel melihat kelincahan la-wan, Rajawali Lautan Timur lalu
sengaja memper-lambat gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali
dan cangkulnya menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala lawan.
"Wuuuuttt !" Mata cangkul berobah men-
jadi sinar berkilat ketika menyambar muka Tung-
hai - tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak
mengelak atau menangkis, bahkan meloncat ke
atas sehingga mata cangkul menyambar ke arah
dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima han-
taman cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja
terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya
kebal. Dan satu - satunya bahaya hanyalah tenaga
pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat,
maka diapun mengerahkan tenaga sinkang ke arah
dada untuk melawan tenaga penyerangnya.
"Desss !" Pada saat mata cangkul meng-
hantam dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw menggunakan tangan kiri yang
memegang kipas menotok ke arah jalan darah di dada lawan.
Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cang-kulnya terpental ketika mengenai
dada lawan dan melihat totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan
Tung - hai - tiauw yang membentuk cakar telah mencengkeram ke arah ubun - ubun kepalanya.
Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalik-kan cangkulnya, menangkis dengan
gagangnya. Akan tetapi, Tiing - hai - tiauw melanjutkan serang-annya dan ketika gagang
cangkul menangkis, dia mencengkeramnya. "Krekkkk !" Gagang cangkul itu hancur
lebur dicengkeram oleh cakar rajawali! Dengan wajah pucat, Si Petani Lautan
meloncat dua meter ke belakang sambil menjura.
"Hai - ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja
Lautan. Aku mengaku kalah !"
Semua orang yang mengikuti jalannya perkela-hian itu memandang terbelalak dan
merasa ngeri membayangkan betapa kuatnya cakar rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan
yang kena diceng-keram, tentu akan cabik - cabik dagingnya dan re-muk-remuk tulangnya.
Setelah Si Petani Lautan mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji.
Tepuk tangan itu tiba - tiba terhenti ketika semua orang melihat majunya Lam -
siauw - ong. Si Raja Muda Selatan. Dengan sikapnya yang ang-kuh, pakaiannya yang mewah
seperti seorang bang-sawan tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah ke depan menghampiri tuan
rumah. "Hebat, hebat kepandaian Si Rajawali La-
utan Timur semakin tangguh saja, membuat aku
merasa jerih untuk dapat merebut kedudukan. Hai-
ong, terimalah persembahanku ini!" Sambil ber-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kata demikian, tangan kanannya meraba ke balik
jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu,
seorang pembantunya melontarkan sebuah bung-
kusan kecil yang kelihatan berat ke arahnya. Nam-
pak kilat menyambar menyilaukan mata dan tahu-
tahu Raja Muda Selatan ini telah memegang se-
batang pedang di depan dadanya, pedang dito-
dongkan ke depan dan bungkusan kecil yang berat
itu telah berada di ujung pedangnya !
"Tunggu sebentar, Siauw - ong !" kata Raja-wali Lautan Timur dan diapun sudah
mengham- piri meja tempat ditaruhnya barang - barang bing-kisan, menyimpan kipasnya dan
mengambil bung-kusan panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. dibukanya bungkusan itu dan
ternyata benda itu adalah sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok
pusaka yang telah dirampas oleh Si Petani Lautan dari perahu kerajaan ! Raja-wali Lautan
Timur agaknya sudah tahu ketika tadi menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda
Selatan, tidak cukup kalau hanya mempergunakan kipas besinya. Dia sudah mendengar bahwa lawan
ini telah memperdalam ilmu pedang-nya dan menguasai Ilmu Pedang Hun - kin - kiam (Pedang
Pemutus Urat) yang amat berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini
sengaja menciptakan sebagai tandingannya ilmu golok yang hebat. Dia memang ahli main
golok di samping ilmu silat lainnya dan dianggapnya bahwa satu - satunya senjata yang
tepat untuk menghadapi pedang lawan hanya ilmu golok. Dia sendiri me-miliki sebatang golok
yang baik, akan tetapi karena dia tahu bahwa golok yang dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu
adalah golok pusaka yang ampuh, maka diapun segera mengambilnya.
Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia se-ngaja menyerahkan golok itu karena dia
mende- ngar akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan. Memang sudah
direncanakan de-mikian. Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan
mengalahkan Raja Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau keduduk-an Raja Lautan itu akan
terampas oleh Lam- siauw-ong, saingan besarnya..
Tung - hai - tiauw kini melangkah ke depan dan berdiri di lantai atas, lebih
tinggi dua anak tangga dari pada Lam - siauw - ong yang berdiri di bawah. Raja Lautan ini nampak
gagah perkasa dengan pakaian yang mewah pula, gelung rambut di atas kepala itu dihias dengan
hiasan rambut seperti yang biasa dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa
dia adalah Raja Lautan, walaupun raja kaum bajak! Tubuhnya yang ting-gi itu berdiri tegak,
tangan kanan memegang golok pusaka di depan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang
tajam ke arah lawan. "Lam - siauw - ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun - kin - kiam dari
pedangmu !" katanya dengan sikap tenang.
Lam - siauw - ong berdiri tegak dengan kaki kanan di depan. Suasana amat sunyi
dan mene- gangkan hati. Orang bertubuh gendut yang meng-aku sebagai Raja Muda Selatan ini,
sejenak meno-leh dan memandang ke arah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya
diapun dapat "mencium" rencana siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi
sumbangan berupa sebuah golok pusaka kepada tuan rumah. Melihat Si Petani La-utan yang
sudah kalah itu tersenyum, Lam - siauw-ong mengeluarkan suara menggumam dari kerong-kongannya,
kemudian dia memandang lagi kepada tuan rumah yang sudah siap.
"Hai - ong, terimalah !" Tiba - tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar,
tiba - tiba bung-kusan di ujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya
meloncat ke arah tuan rumah ! Menyusul itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara
berdesing - desing di-sertai angin yang membuat lampu - lampu gantung bergoyang dan api
lilin berkelap - kelip. "Haiiiittt !" Lam - siauw - ong mengeluar-
kan suara melengking nyaring dan sinar pedang
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
yang bergulung - gulung itu kini meluncur ke arah tuan rumah, mengikuti
bungkusan barang sum-bangannya tadi. Tung - hai - tiauw sudah menggerakkan golok-nya menyambut bungkusan. "Trakkk !"
Bungkusan yang berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani.
Akan tetapi sinar pedang lawan sudah datang menyerang. Menerima bung-kusan sumbangan
haruslah dengan hormat dan pantang untuk menjatuhkan bungkusan itu. Akan tetapi kalau bungkusan
yang menempel pada golok itu tidak dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi
serangan lawan yang demikian dah-syat ! Maka Tung - hai - tiauw lalu menggetarkan goloknya dan
bungkusan itu terbang ke atas. Pada saat itulah sinar pedang datang menyambar dan golok yang
diputar itupun berobah menjadi gu-lungan sinar putih cemerlang.
"Trang - cringgg tranggg, tranggg !!" Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. Bu-nga api berpijar dan keduanya
merasa betapa ta-ngan mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bung-kusan sumbangan sudah
melayang turun kembali, disambut oleh Tung - hai - tiauw dengan tangan kiri sedangkan
kakinya meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri kalau - kalau lawan kembali menyerang. Akan
tetapi, sinar pedang itu berkele-bat panjang mengitari tubuh Lam - siauw - ong dan ketika dia
berdiri tegak, ternyata ada tiga batang lilin pendek bernyala di atas pedangnya ! Kiranya pedang itu telah menyambar
tiga batang lilin yang bernyala di atas meja tak jauh dari situ dan sede-mikian hebat
gerakan pedang itu sehingga mam-pu membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang,
sedangkan api ketiga lilin itu tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang
amat kuat ini membuat semua orang melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan
lilin itu seperti permainan sulap saja. Maka terdengarlah tepuk tangan me-muji.
Lam - siauw - ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah
melempar-kan bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera
menaruhnya dengan si-kap hormat ke atas meja, di antara tumpukan ba-rang - barang sumbangan
lain. Kemudian, Lam-siauw - ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga
batang lilin pendek yang bernya-la itu menyambar berturut - turut ke arah Tung-hai - tiauw.
Laki - laki tinggi kurus ini menggerak-kan goloknya dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan
mata tiga kali dan tiga batang potong-an lilin itu berobah menjadi enam potong dengan apinya
masih menyala ketika enam potong itu runtuh ke atas lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu
dengan kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu menjadi dua dengan belahan di
tengah-tengah sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masing - masing masih bernyala ! Tentu
saja demonstrasi penggunaan golok yang luar bia-sa hebatnya ini disambut dengan tepuk
sorak oleh para tamu. Lam - siauw - ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia
sudah me-nerjang ke depan, pedangnya bergerak dengan ce-pat. Lawannya menyambut dan
mereka sudah sa-ling serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan
sinar pedang dan golok yang seolah - olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan
saling himpit. Dua orang raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan
San - hek - houw, memperhatikan gerakan mereka berdua yang ber-kelahi itu dan diam - diam
mereka terkejut dan kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu
menandingi tuan rumah dan saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh -
tokoh darat dan sungai kini berada di "dunia lain", yaitu di daerah kekuasaan bajak-bajak
laut sehingga mereka terpencil dan merasa amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa
mereka berdua adalah utusan Raja Kelela-war dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu,
tentu mereka berdua akan merasa jerih sekali.
"Cring - trang - tranggg
!!" Untuk ke seki- an kalinya pedang bertemu dengan golok dan nam-
paklah bunga api berpijar menyilaukan mata. Ke-dua orang yang telah mengadu
tenaga

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat sen-jata mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati
mereka melihat bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak. Lam - siauw-ong yang tadinya
mengandalkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Hun - kin -kiam - sut itu, merasa pe-nasaran sekali
bahwa KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lawannya mampu mematah-kan semua serangannya dengan ilmu goloknya. Dia
mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang la-gi ke depan dengan dahsyat, pedangnya lenyap
berobah menjadi gulungan sinar panjang dan me-nyambar - nyambar dengan ganasnya. Hun -
kin-kiam- sut (Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu pedang yang dilatihnya selama tiga
tahun ini, dan merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat. Ujung pedang itu seperti hidup saja,
dapat mencari urat - urat halus dan jalan - jalan darah yang me-matikan, maka setiap tusukan
atau bacokan meru-pakan serangan maut. Karena Lam - siauw - ong menggerakkan pedangnya dengan
pengerahan sin-kang, maka selain pedang itu lenyap berobah men-jadi sinar
bergulung - gulung, juga dari gulungan sinar itu kadang - kadang mencuat sinar menyam-bar ke arah
lawan dan setiap kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan menge-rikan.
Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimain-kan oleh Tung - hai - tiauw juga
hebat sekali. Se-lain golok yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat
hebat. Golok itu adalah golok pusaka yang tadinya merupakan pu-saka istana kaisar, bernama
Toat - beng - to (Go-lok Pencabut Nyawa). Sebenarnya, kalau diban-dingkan dengan ilmu golok yang
dimainkan tuan rumah dengan Ilmu Pedang Hun - kin - kiam - sut, maka ilmu golok itu masih
kalah hebat. Sekiranya Tung - hai - tiauw hanya mengandalkan ilmu go-loknya menghadapi Lam -
siauw - ong, agaknya dia akan kalah. Akan tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu
tertutup oleh keuntungannya karena dia memakai baju emas yang membuatnya kebal itu. Beberapa
kali ketika ujung pedang me-nyambar ke arah dadanya, dengan berani dia me-nerima tusukan itu
dengan baju emasnya dan mem-barengi dengan bacokan golok sehingga Lam-siauw - ong
menjadi sibuk bukan main karena tu-sukannya meleset dan dirinya bahkan terancam bacokan maut!
Di samping baju emas yang mem-buatnya kebal itu, juga Tung - hai - tiauw masih memiliki
cengkeraman kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat berbahaya, tidak kalah dari
serangan goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku inilah maka Tung - hai-
tiauw mulai dapat mendesak lawannya !
Kembali pedang itu meluncur ke arah leher de-ngan tusukan yang halus dan cepat
sekali sampai mengejutkan hati Tung - hai - tiauw. Kalau tusuk
an itu mengenai jalan darah di lehernya, tidak usah dalam - dalam tusukan itu,
tentu dia akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali. Maka cepat dia menangkis
dengan goloknya sambil me-ngerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan dengan cepatnya
pedang yang tertangkis itu me-luncur ke bawah, membacok ke arah urat di pun-dak. Untuk ke
sekian kalinya, Lam - siauw - ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bah-wa lawannya
memakai baju emas yang membuat-nya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan. Tung - hai -
tiauw membiarkan saja pun-daknya diserang bacokan dan sebagai balasan, go-loknya
menyambar ke arah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar! Sungguh
luar biasa dahsyat dan berbahayanya se-rangan balasan Tung - hai - tiauw ini! Pada detik
terakhir yang amat menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar Lam - siauw - ong
mengeluarkan suara melengking, pedangnya ber-kelebat dan tubuhnya dilemparkan ke belakang.
"Bretttt !!" Terdengar suara nyaring dan
Lam - siauw - ong berjungkir balik dan dapat ber-diri dengan terhuyung, mukanya
pucat sekali ka-rena bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang
koyak oleh cengkeraman tadi dan pedangnya mampu menyerempet pung-gung tangan kiri lawan,
menimbulkan luka sedikit dan berdarah sedikit.
Mengertilah Lam - siauw - ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati
terhadap dirinya, karena kalau Tung - hai - tiauw tadi meng-hendaki, tentu kini dia telah
roboh dengan isi perut berantakan ! Maka diapun tahu diri, maklum bah-wa sampai saat itu tingkat
kepandaiannya masih kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung
kekecewaan besar, "Hai - ong, aku mengaku kalah !"
Tung - hai - tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang
paling berba-haya ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura. "Ah, Siauw - ong telah
bersikap merendahkan diri dan sengaja telah mengalah terhadapku. Terima kasih, Siauw-ong.
Nyaris tanganku buntung oleh pedangmu yang amat lihai!"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Raja Muda Selatan itu kembali ke tempat du-duknya dengan lesu dan tepuk sorak
para hadirin yang menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan
terhadap dirinya sehing-ga mukanya menjadi kemerahan.
Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak
yang berani maju mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas
bahwa kedudukan Hai - ong (Raja Lautan) masih dimiliki Tung - hai-tiauw untuk jangka waktu tiga
tahun lagi. Kursi singgasana yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, di
bawah tepuk tangan para hadirin, Tung - hai - tiauw duduk di atas kursi singgasana itu dengan sikap
gagah dan gembira. Semua orang lalu mengangkat cawan memberi se-lamat kepada Raja Lautan.
Sin - go Mo Kai Ci dan San - hek - houw yang; datang sebagai tamu yang tidak
mempunyai hu-bungan dengan pemilihan Raja Lautan, juga seba-gai rekan - rekan dari Tung -
hai - tiauw karena mereka bertiga pernah dikenal di dunia kang - ouw sebagai Sam - ok (Si
Tiga Jahat), juga bangkit dari kursi mereka, menghampiri Tung - hai - tiauw sam-bil mengangkat
cawan arak mereka. "Hai - ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas
kemenanganmu !" kata San - hek - houw dan dia mengangkat cawan arak-nya, diikuti oleh Si
Buaya Sakti. Karena dua orang ini merupakan tokoh - tokoh besar di dunia hitam, Tung - hai -
tiauw menerima ucapan selamat itu sambil tertawa gembira dan bangga, mengucapkan
terima kasih sambil meng-angkat cawan dan sekali tenggak habislah arak da-lam cawannya.
Sebelum kedua orang rekannya itu kembali ke tempat duduk mereka, Tung-hai-tiauw berkata kepada
mereka, "Dua sahabat baik yang jauh - jauh datang tentu membawa keperluan pen-ting. Nah,
setelah kini upacara pemilihan Raja La-utan yang baru telah selesai, harap kalian suka.
menceritakan keperluan penting itu."
Dua orang itu lalu menarik bangku dan duduk di depan Rajawali Lautan itu, dan Si
Buaya Sakti dengan suaranya yang tinggi lalu berkata, "Sesung-guhnya kami berdua
diutus oleh keturunan dari junjungan golongan kita, yaitu yang mulia Raja Kelelawar, untuk
menemuimu dan menanyakan apakah engkau sudah menerima surat undangan beliau beberapa bulan
yang lalu ?" Tung - hai - tiauw mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada kedua orang
tamunya. Kalau bukan dua orang ini yang datang bercerita, tentu dia tidak akan
mau percaya. Dua orang ini adalah raja-raja kaum sesat golongan darat dan sungai, mana mungkin
dapat menjadi utusan kalau yang mengutusnya itu bukan orang yang benar-benar hebat sekali
kepandaiannya " Mereka itu memiliki kedudukan dan kepandaian yang seting-kat dengan dirinya, dan
kini mereka datang seba-gai utusan, agaknya untuk menegurnya karena dia telah mengabaikan
surat undangan yang diterima-nya secara aneh itu.
"Memang benar, aku telah menerimanya. Akan tetapi aku harus hati - hati. Siapa
tahu ada orang yang memalsukan nama junjungan kita itu dan mengaku - aku saja. Kita
sendiri kan belum pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Raja Kelela-war itu. Kita cuma
mendengar saja dari dongeng nenek moyang kita. Mana kita bisa tahu apakah yang muncul ini tulen
ataukah palsu ?" San - hek - houw mengerutkah alisnya dan pandang matanya mengandung kemarahan.
Dia sudah takluk benar kepada Raja Kelelawar dan dia su-dah yakin bahwa raja iblis
itu memang benar amat sakti dan memiliki kesaktian - kesaktian seperti yang terdapat dalam
dongeng tentang Raja Kele-lawar. Kini sebagai orang kepercayaan Raja Kele-lawar, dia mendengar
bahwa keaselian junjungan-nya itu diragukan orang, maka hatinya menjadi panas. Akan tetapi dia
bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa dia sebagai seorang tamu di sarang ba-jak, mempunyai
kedudukan yang amat lemah dan berbahaya. Oleh karena itu, diapun menelan saja perasaan
dongkolnya dan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Buaya Sakti agar mereka cepat -
cepat pergi dari tempat itu. Si Buaya Sakti maklum akan kemarahan kawannya, maka diapun
berkata dengan suara datar, "Kami berdua hanya utusan saja, dan jawaban Hai - ong tentu akan kami sampaikan
seperti apa adanya kepada Raja Kelelawar yang mengutus kami. Nah, sekarang kami berdua
terpaksa mohon diri untuk kembali ke tempat kami masing - ma-sing."
"Ah, kenapa tergesa - gesa ?" Tung - hai - tiauw berkata, merasa tidak enak juga
karena tidak ingin dianggap kurang ramah apa lagi mengusir dua orang tamunya ini.
Diapun tahu bahwa KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
di darat, dua orang ini jauh lebih terkenal dari pada dirinya-dan juga kedudukan
mereka berdua ini lebih kuat. Dengan dua orang seperti ini, yang telah dirang-kaikan dengan dia
sebagai Si Tiga Jahat, lebih aman kalau bersahabat, bukan bermusuhan. "Apa-kah kalian tidak
ingin melihat perlumbaan perahu-perahu kita malam nanti " Dan yang lebih mena-rik lagi, apakah
kalian tidak ingin melihat upacara penyerahan korban perawan jelita di Pusaran Maut ?"
"Tidak, terima kasih." Kini Harimau Gunung, yang menjawab. "Kami harus cepat -
cepat pulang untuk membuat laporan kepada Raja Kelelawar."
Rajawali Lautan Timur bukan tidak berkesan mendengar tentang Raja Kelelawar itu.
Kalau dua orang rekannya ini sudah begitu tunduk, tentu to-koh yang mengaku sebagai
Raja Kelelawar ini benar - benar hebat kepandaiannya. Akan tetapi, dia sendiri baru saja
menangkan kedudukan Raja Lautan, mana mungkin dia memperlihatkan kele-mahan dan rasa jerihnya
terhadap tokoh yang baru muncul dan yang belum dikenal serta diketahui sampai di mana
kelihaiannya itu " Pula,
dia berada di tempat sendiri, di daerah bajak, di mana hadir orang - orang lihai
yang akan membantunya dan membela kawan sendiri seperti Petani Lautan, Ra-ja Muda Selatan
dan semua anak buah yang de-mikian banyaknya. Takut apa " Maka diapun ter-
{ senyum mengejek mendengar ucapan Harimau Gu-nung tadi.
"Hemm, baiklah. Aku tidak akan menahan lagi. Akan tetapi, kita bertiga yang
sudah lama menjadi rekan - rekan, yang nama kita dikaitkan orang seba-gai Sam - ok, sungguh
sayang kita kini berbeda pendapat dalam hal kekuasaan dan kedaulatan kita. Sampaikan saja
salam kami kepada orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu. Katakan bahwa kami,
orang - orang lautan, ingin hidup be-bas tanpa, harus diperintah orang dari golongan lain."
Ucapan ini merupakan tantangan halus yang ditujukan kepada Raja Kelelawar! Dua
orang to-koh sesat itu marah dan mendongkol sekali. Kalau saja mereka tidak berada di
wilayah bajak, tentu mereka akan menyerang Rajawali Lautan. Akan tetapi mereka tahu diri, maka
mereka tidak men-jawab dan hanya mengangguk. Tung - hai - tiauw juga tidak mau banyak cakap
lagi, lalu dia sendiri mengantar dua orang tamu ini keluar dan melihat sampai keduanya benar -
benar telah pergi mening-galkan pulau itu.


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah dua orang yang dianggapnya saingan berbahaya itu pergi, Tung - hai -
tiauw yang kini untuk ketiga kalinya kembali telah menduduki sing-gasana Raja Lautan dan
berhak menjadi majikan dari pulau dengan istananya itu, lalu mengajak dua orang tangan
kanannya, yaitu Petani Lautan dan juga Raja Muda Selatan untuk melihat perlumbaan perahu. Dengan
diiringkan oleh para pengawal, para dayang dan juga isteri dari Rajawali Lautan, mereka semua
lalu pergi ke panggung yang didiri-kan di tepi telaga, dengan wajah gembira nonton perlumbaan
yang baru akan dimulai setelah Raja Lautan itu hadir di panggung.
Senja telah mendatang, matahari telah condong jauh ke barat. Perlumbaan yang
hendak diadakan sekarang adalah perlumbaan terakhir yang merupa-kan puncak pertunjukan
karena kini yang akan berlumba hanya tiga buah sampan saja. Akan te-tapi, para penumpangnya
adalah thouw - bak-thouw - bak (mandor - mandor bajak) yang meru-pakan pembantu -
pembantu utama para raja bajak yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja keadaan
menjadi menegangkan dan panas, karena tiga perahu yang akan berlumba itu seakan - akan
mewakili golongan masing - masing, yaitu golongan anak buah tuan rumah yang menjadi Raja
Lautan, golongan anak buah Petani Lautan dan anak buah Raja Muda Selatan.
Setelah tiga buah perahu yang ditumpangi ma-sing-masing oleh tiga orang itu
siap, dimulailah perlumbaan dan terjadilah perlumbaan seperti yang sudah terjadi
kemarin. Akan tetapi sekarang lebih ramai-lagi karena para penghuni perahu itu adalah orang - orang
yang lihai, bukan hanya lihai ilmu silatnya akan tetapi juga lihai dalam mengemudikan dan
melayarkan perahu mereka. Dan se-perti juga kemarin, perlumbaan ini lebih berupa, perkelahian di
atas perahu atau usaha untuk saling; menenggelamkan perahu lawan dari pada perlum-baan adu cepat.
Setiap kali ada sebuah perahu yang agaknya meluncur paling cepat, yang dua lalu menggunting
dari kanan kiri dan menyerang pera-hu itu dengan dayung-dayung panjang mereka, bukan hanya
berusaha menghantam badan perahu atau merusak layar atau merobohkan tiang layar, akan
tetapi bahkan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak segan - segan untuk sa-ling hantam ! Mereka sungguh ahli mengemudikan
perahu. Perahu - perahu itu sampai miring, saling, serobot dan saling tabrak, akan tetapi dengan
ce-katan mereka mampu menghindar dan balas me-nyerang untuk menggenjot perahu lawan dari sam-
ping dalam usaha mereka menggulingkan lawan.
Perlumbaan atau perkelahian antara tiga pera-hu itu terjadi dalam suasana panas,
apa lagi karena tepuk sorak para pendukung masing - masing tak pernah berhenti memberi
semangat kepada jagoan masing - masing. Beberapa kali ada perahu yang tertabrak dan
terguling. Akan tetapi dengan ce-katan para penumpangnya sudah berhasil memba-likkan perahu
mereka dan mendayung lagi. Ada yang kepalanya benjol - benjol terkena hantaman dayung.
Akhirnya, dengan kepala benjol-benjol dan pera-hu dalam keadaan tidak utuh lagi, perahu anak buah
Raja Muda Selatan keluar sebagai pemenang setelah lebih dulu berhasil mencapai garis yang
ditentukan. Mereka menerima sambutan sorak-sorai dan juga menerima hadiah-hadiah dari Raja
Lautan. Sementara itu, matahari telah terbenam dan se-bagai gantinya, bulan yang amat
besar dan merah muncul dari permukaan laut sebelah timur. Sete-lah perlumbaan selesai,
kini disusul pesta air ! Raja Lautan dan keluarganya, juga para kepala bajak seperti Petani Lautan
dan Raja Muda Selatan, naik perahu yang dihias meriah dengan lampu - lampu gantung yang
berwarna - warni, dan berpesta-pora di atas telaga. Terdengar bunyi musik mengiringi nyanyian
wanita-wanita penghibur dan semua orang mulai bermabok - mabokan. Acara terakhir malam itu
adalah penyembahan korban untuk Dewa Laut yang akan dilakukan di Pusaran Maut. Seorang
perawan jelita akan dikorbankan, seperti yang terjadi setiap tiga tahun sekali!
Tiupan rumah kerang raksasa menjadi tanda bahwa upacara itu akan segera
dilaksanakan. Pera-hu - perahu dipersiapkan dan semua perahu yang berpesta - pora lalu
minggir. Perahu Rajawali La-utan dan perahu - perahu para pimpinan bajak te-lah siap mengikuti
upacara itu. Sebuah perahu yang dihias secara khas nampak diturunkan ke air dari pantai. Lalu
dari pantai nampak sebuah ge-robak dorong yang didorong orang ke atas perahu. Di atas
gerobak dorong ini nampak seorang gadis yang duduk bersandar tiang dalam keadaan terbe-lenggu kaki
tangannya. Gadis itu dalam keadaan sadar dan dengan sepasang matanya yang mengelu-arkan
sinar berapi - api, gadis itu memandang ke kanan kiri. Jelas bahwa ia berada dalam keadaan
terancam, akan tetapi hebatnya, sedikitpun ia ti-dak kelihatan takut. Kedua lengannya
terbelenggu ke belakang tubuhnya, diikat oleh belenggu besi pada tiang, dan kedua pergelangan kakinya
juga dibelenggu dengan belenggu besi yang dipasang di papan gerobak. Dara itu bukan lain adalah
Ho Pek Lian ! Seperti telah kita ketahui, dara itu memasuki pulau dengan berani dalam usahanya
mencari Bu Seng Kun, A-hai, dan juga Bu Bwee Hong, di samping juga berusaha untuk
mencari ayahnya yang pernah didengar suaranya di dalam sebuah perahu. Akan tetapi, karena
terkejut melihat pa- tung yang tiba - tiba hidup, ia ketahuan dan akhir-nya dikeroyok dan tertawan.
Sungguh malang baginya, pada waktu itu Raja Lautan membutuhkan seorang dara jelita yang pantas
untuk menjadi korban yang akan dipersembahkan kepada Dewa Laut, dan iapun terpilih ! Bahkan
Tung-hai-tiauw merasa bangga dapat mempersembahkan seorang dara yang bukan hanya cantik jelita
melainkan ju-ga gagah perkasa. Dia percaya bahwa Dewa La-utan akan merasa girang sekali
dengan persembah-an istimewa ini dan tentu akan memberi berkah kepada semua bajak
sehingga di masa mendatang akan berhasil baik dalam pekerjaan mereka mem-bajak !
Perahu kecil terhias yang membawa Pek Lian itu pun meluncur perlahan, diiringkan
oleh perahu-perahu Rajawali Lautan, Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan para kepala
bajak lainnya. Iring-iringan perahu itu amat banyak, seperti armada saja akan tetapi suasananya
tetap gembira, apa la-gi karena bulan purnama yang bundar besar ke-merahan itu nampak cemerlang
tidak terhalang awan seolah - olah sang bulan ikut merestui kesi-bukan mereka yang
akan mempersembahkan kor-ban sedemikian mulusnya kepada Dewa Laut! Bulan purnama yang
kemerahan itu nampak besar dan perlahan-lahan naik menjauhi permukaan laut.
Malam yang amat indah. Lautpun tenang sekali, seolah - olah tidak ada keriputnya sedikitpun
juga. Langit bersih sekali sehingga nampak bin-tang-bjintang dengan cahayanya yang pudar
karena dikalahkan oleh sinar bulan. Akan tetapi, kini para anak buah bajak mulai tenang dan suara kegaduhan
merekapun mereda, bahkan lalu menghilang. Mereka maklum bahwa perjalanan sekali ini bukan
lagi kelanjutan dari pesta - pora, melainkan perjalanan yang keramat dan penting,
juga berbahaya! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Mereka akan mela-kukan upacara persembahan korban seorang pera-wan suci,
kebiasaan tradisionil nenek moyang mereka. Yang membuat mereka merasa ngeri adalah karena
persembahan korban itu dilakukan di dae-rah yang teramat berbahaya dan yang amat
mere-ka takuti, yaitu daerah pusaran maut, tempat yang mereka anggap sebagai pintu
gerbang menuju ke neraka. Oleh karena itu, makin dekat dengan tem-pat mengerikan itu, makin
teganglah hati mereka dan makin sunyilah keadaan di atas perahu-perahu yang beriringan itu.
Pek Lian yang duduk terbelenggu di atas ge-robak dorong yang berada di atas
perahu itu, me-mandang semua kegiatan ini. Ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut walaupun
ia belum me-ngerti bahaya maut macam apa yang dihadapinya. Ia tertawan dan dalam keadaan
tertotok, ia telah ditelanjangi dan dimandikan oleh para dayang, di-mandikan dengan air yang
diberi wangi - wangian seperti seorang calon mempelai saja. Kemudian, pakaian yang baru dari
sutera dikenakan pada tu-buhnya. Sampai ia dibelenggu di atas gerobak dan didorong menuju ke
perahu itu, ia masih belum mengerti apa yang akan dilakukan orang terhadap dirinya. Namun, ia
bersikap tenang walaupun hati dan pikirannya tak pernah berhenti berusaha men-cari
kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Ia sudah terbebas dari totokan dan sudah beberapa kali ia
mengerahkan tenaga mencoba kekuatan be-lenggu kaki tangannya. Maka satu - satunya harap-an
hanyalah pada saat orang membebaskannya dari belenggu itu, baru ia akan bergerak mengamuk
mati - matian. Kalau perlu, ia akan meloncat ke dalam lautan dari pada mati di tangan
iblis - iblis berwajah manusia ini. Satu - satunya hal yang membuatnya berduka hanyalah bahwa
ia belum berhasil menemukan ayahnya dan yang amat aneh terasa olehnya adalah betapa dalam
keadaan menghadapi bahaya maut seperti itu, yang terba-yang olehnya hanya wajah ayahnya
dan wajah A-hai! Di manakah pemuda itu sekarang " Masih hidupkah " Apakah masih ingat
kepadanya " Pertanyaan - pertanyaan ini tanpa disengaja menyeli-nap dalam hatinya dan
membuatnya heran sendiri. Kini semua orang mulai dapat mendengar suara itu. Suara yang selalu mendatangkan
rasa ngeri di hati setiap orang bajak laut. Suara gemuruh bagai-kan guntur. Wajah
para bajak laut menjadi pucat. Itulah suara Pusaran Maut! Dan sungguh luar bi-asa sekali,
berbareng dengan terdengarnya suara gemuruh itu, seperti secara mendadak sekali, nam-pak awan
tebal hitam bergulung - gulung datang dan menutupi bulan purnama. Keadaan yang tadi-nya
terang- benderang itu tiba-tiba menjadi ge-lap-gulita dan lampu-lampu perahu kini baru
nampak terang berkelip-kelip. Semua orang me-mandang ke arah bulan yang menyelinap ke balik
awan hitam itu dengan hati cemas. Suara gemuruh semakin keras terdengar, membuat semua orang
menjadi gelisah. Tiba-tiba , tiba-tiba sekali sehingga mem-
bingungkan semua orang, terdengarlah suara
mengiang yang merupakan lengking tinggi, seperti
suara nyamuk di dekat telinga. Mengiang tajam
sekali, membuat semua orang menjadi semakin nge-
ri. Semua orartg yang memandang ke atas meng-
harapkan agar awan yang menutup bulan cepat
berlalu. Mereka tidak ingin datang ke daerah Pu-
saran Maut dalam cuaca yang gelap - gulita seperti
itu. Terlalu berbahaya ! Akhirnya, awan tebal itu
sedikit demi sedikit meninggalkan bulan purnama.
Para pengawal yang menjaga Pek Lian berna-pas lega. Calon korban masih terikat
di tempat-nya seperti tadi. Akan tetapi, tiba - tiba juru mudi perahu calon korban
itu mengeluarkan teriakan tertahan, disusul kata - katanya yang gagap, "Heiii
! Lihatlah ! Lihatlah bulan itu ! Ada manusia di dalamnya !!" Semua orang, di atas perahu - perahu itu memang sudah melihatnya dan semua mata
terbela-lak. Memang benar ucapan juru mudi perahu ca-lon korban itu ! Di sana,
di atas leher burung raja-wali sebagai penghias ujung perahu Rajawali La-utan, nampak seorang
laki - laki berpakaian hitam-hitam dan bermantel hitam pula, berdiri membela-kangi bulan
purnama, maka KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dia kelihatan seolah-olah berada di dalam bulan yang besar itu ! Karena
pakaiannya serba hitam dan bulan itu sendiri ku-ning keemasan, maka nampak kontras dan indah seperti
lukisan saja. Pek Lian sendiri juga sudah melihat bayangan itu dan jantungnya berdebar te-gang
ketika ia mengenal bahwa orang itu serupa benar dengan orang yang pernah dijumpainya di atas pulau


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nelayan. Raja Kelelawar! Semua orang masih memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, wajah
pucat. Mereka tidak tahu bagaimana ora
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** ntiba tubuh orang berpakaian serba hitam itu melayang de-ngan kecepatan seperti
burung terbang saja menuju ke arah perahu di mana Pek Lian terbelenggu. Mantel hitam
itu berkibar di belakangnya seperti sayap yang lebar dan tahu - tahu dia sudah berada di atas
dek perahu dekat gerobak di mana Pek Lian terikat. Kedua tangannya bergerak - gerak dan
terdengarlah besi belenggu itu patah - patah dan dalam sekejap mata saja Pek Lian telah be-bas !
Akan tetapi, Pek Lian masih belum mampu bergerak. Tubuhnya masih kaku - kaku karena terlalu lama
dibelenggu. Para pengawal tadinya tertegun seperti orang-orang terpesona oleh permainan
sulap yang meng-herankan saja- Akan tetapi, mereka segera sadar bahwa tawanan telah
dibebaskan orang, maka em-pat orang pengawal dengan senjata di tangan me-nerjang dan menyerang
pria tinggi kurus berjubah hitam itu.
Bit - bo - ong atau Raja Kelelawar, orang yang mukanya kaku seperti topeng itu,
seperti tidak memperdulikan datangnya empat buah senjata ta-jam yang menyerangnya. Dia
hanya mendengus, tangan kirinya bergerak cepat dan terdengar empat kali suara pekik
mengerikan dan empat orang pengawal itu roboh terpelanting dengan kepala berlubang tertembus
jari-jari tangan yang runcing bagaikan pedang. Tentu saja para pengawal lain yang berada di atas
perahu itu menjadi ngeri dan jerih. Bunyi terompet tanda bahaya segera ditiup-kan orang dan
perahu - perahu yang lain berda-tangan mengepung perahu calon korban.
"Hemmmm !" Raja Kelelawar mendengus,
tangan kirinya bergerak ke arah Pek Lian dan ga-dis ini mengeluh karena ia telah
tertotok dan di lain saat tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul di atas pundak iblis itu.
Gilanya, agaknya sesuai dengan watak iblisnya yang biadab, tangan kanan iblis itu mengelus - elus
pinggul dara yang membu-sung itu, sedikitpun tidak merasa takut atau ma-lu biarpun ditonton
oleh begitu banyaknya musuh yang mengepungnya ! Kasihan Pek Lian yang ha-nya dapat mematikan rasa malunya
karena ia sama sekali tidak berdaya biarpun ia merasa betapa pinggulnya dielus-elus dan
beberapa kali dicubit! Terdengar aba - aba dari Rajawali Lautan dan ratusan anak panah menyambar ke
arah Raja Kele-lawar. Agaknya tak mungkin orang dapat meng-hindarkan diri dari sambaran
ratusan anak panah itu kecuali kalau dapat memutar senjata menang kis atau kalau mengelakpun
harus meloncat keluar perahu. Akan tetapi, iblis itu sama sekali tidak mengelak, juga
tidak menggunakan senjata untuk menangkis, melainkan menggerakkan tangannya dan jubah lebarnya
bergerak melingkari dan me-nyelimuti seluruh tubuhnya dan tubuh Pek Lian yang
dipanggulnya. Anak panah yang ratusan ba-nyaknya itu begitu menyentuh jubahnya, berjatuh-an di
sekeliling badannya sampai bertumpuk - tum-puk. Tidak ada sebatangpun yang mampu me-nembus
jubah itu. Anak panah yang ratusan ba-nyaknya itu berserakan di sekeliling kakinya.
Me-lihat kesaktian ini, para anak buah perahu calon korban cepat-cepat meninggalkan perahu, pindah
ke perahu lain karena merasa takut dan ngeri ter-hadap iblis itu.
Para thauw - bak dengan suara gagap dan kaki gemetaran mencoba untuk
mengumpulkan kembali anak buah masing - masing yang dilanda ketakut-an. Melihat munculnya
orang yang sama sekali tidak pernah mereka sangka - sangka itu, apa lagi karena tadi Raja Lautan
memang membicarakan, iblis ini dengan kedua orang pembantunya, maka Tung - hai - tiauw,
Petani Lautan dan Raja Muda Selatan serentak berloncatan dari perahu masing-masing menuju ke
perahu calon korban di mana iblis itu masih berdiri sambil memanggul tubuh Pek Lian, dengan
sikap yang amat tenang. Tiga raja bajak itu tiba di perahu calon korban hampir berbareng, dari
tiga jurusan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Melihat ini, tiba - tiba Raja Kelelawar mengeluarkan suara melengking nyaring
dan begitu dia menggerakkan jubahnya yang dikembangkan dengan kekuatan dahsyat, tum-pukan anak
panah di sekelilingnya itu terbang ber-hamburan kembali ke tempat masing - masing !
Kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan belasan orang anak buah bajak roboh
dengan tu-buh tertembus anak panah ! Ada pula yang sempat menyelamatkan diri di balik
perisai mereka. Tiga orang raja bajak itu sendiri cepat mengibaskan ta-ngan mereka dan runtuhlah
anak panah yang me-luncur ke arah mereka.
Kini Tung - hai - tiauw, Petani Lautan, dan Ra-ja Muda Selatan sudah berdiri
berhadapan dengan iblis itu. Mereka bertiga tentu saja sudah mende-ngar dongeng penuturan
nenek moyang mereka tentang Raja Kelelawar dan kini, berhadapan de-ngan orang yang mengaku
keturunan Raja Kelela-war, mereka memandang tajam penuh selidik. Ter-
utama sekali Tung - hai - tiauw yang baru saja tadi menolak untuk menakluk
kepada iblis ini karena bagaimanapun juga, dia masih belum dapat mene-rima begitu saja munculnya
seseorang yang meng-aku sebagai keturunan raja - diraja penjahat yang hanya hidup sebagai
dongeng itu. Apa lagi kalau dia, seorang Raja Lautan, harus takluk begitu saja !
Bagaimanapun juga, hati tiga orang raja bajak ini gentar juga. Orang yang
berdiri dengan tegak di depan mereka itu memang mempunyai ciri - ciri seperti Raja Kelelawar
dalam dongeng yang mere-ka dengar dari orang - orang tua dan guru - guru mereka. Orangnya
tinggi kurus dengan pakaian serba hitam, mantel atau jubah hitam pula dan mukanya tersembunyi
dalam gelap karena membe-lakangi bulan, muka yang nampak kaku seperti to-peng. Di
pinggangnya sebelah kiri terselip dua buah pisau panjang yang gagangnya indah berta-bur batu
pennata. Tiga orang raja bajak itu terta-rik dan juga merasa tergetar hatinya, Menurut dongeng
yang pernah mereka dengar, raja iblis ini memiliki ilmu - ilmu yang sakti dan tidak lumrah.
Kabarnya memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang tidak ada bandingnya yang disebut Bu -
eng Hwee - teng (Loncat Lari Tanpa Bayang-an), ilmu silat sakti Kim - liong Sin - kun (Naga
Emas) dan tenaga sinkang yang dinamakan Pat-hong Sin - ciang (Tangan Sakti Delapan Dewa).
Akan tetapi, mereka bertiga memberanikan diri dan mengandalkan ilmu kepandaian
mereka sendiri yang tidak boleh dipandang rendah. Maka, mere-kapun bersikap menantang
dan bersiap untuk me-layani iblis itu. Raja Kelelawar melangkah maju dan dengan suaranya
yang tajam dan tinggi dia bertanya, "Siapakah di antara kalian yang berjuluk Raja-wali Lautan Timur ?"
Tung - hai - tiauw juga maju selangkah dengan berani, kemudian menjawab dengan
suara nyaring, lebih nyaring dari biasanya untuk menambah se-mangatnya sendiri,
"Akulah Tung - hai -
tiauw yang juga menjadi Hai - ong ! Siapakah engkau ?"
Iblis itu mendengus. "Huh, mengapa engkau tidak mau datang memenuhi perintahku
mengha-diri pertemuan di kuil atas bukit itu " Kenapa pula engkau tidak menerima
kedua orang utusanku siang tadi secara baik " Benarkah engkau tidak mau bersatu di bawah
benderaku, seperti yang terjadi pada jaman nenek moyang kita dahulu " Apakah engkau masih
meragukan aku " Nah, kalau begitu, majulah, akan kuperlihatkan bahwa aku adalah keturunan
Raja Kelelawar yang sejati!" Sambil berkata demikian, dengan lengan kiri masih memanggul tubuh Pek Lian di
atas pundak-nya, tangan kanan bertolak pinggang, raja iblis itu melangkah maju dengan
sikap menantang se-kali ! Tung - hai - tiauw abalah seorang tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi. Apa lagi dia merasa sebagai Raja Lautan, tentu saja dia tidak mau memperlihatkan
kelemahannya. Ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk undur selangkah.
"Bagus! Hendak kulihat macam apa adanya orang yang berani menggunakan nama Raja
Kele-lawar untuk mengacau"
Tung - hai - tiauw sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Tiauw - jiauw - kang
(Ilmu Kuku Rajawali) yang begitu dipergunakan, kuku - kuku jarinya menjadi kaku dan
keras seperti baja. Akan tetapi, cakaran - cakaran kedua tangannya itu di-sambut oleh tangan
kanan Bit - bo - ong seenaknya saja dan setiap kali cakar yang kuat itu bertemu dengan tangan
Raja Kelelawar, Tung - hai - tiauw merasa betapa tangannya panas dan tergetar he-bat ! Padahal,
lawannya itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menyambut serangan-serangannya hanya dengan sebelah tangan saja karena tangan
kirinya masih memanggul tubuh Pek Lian di pundaknya !
Tung - hai - tiauw merasa penasaran sekali dan dia sudah mengeluarkan senjatanya
yang ampuh, yaitu kipas besi dan segera menubruk ke depan, ta-ngan kirinya tetap
mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan kipas besinya sudah menotok ke arah pusar. Kembali
Raja Kelelawar memperlihat-kan kelihaiannya. Dengan mudah saja dia menang-kis cengkeraman pada
kepalanya sedangkan totok-an kipas besi itu diterimanya dengan badan yang terlindung jubah pusakanya.
"Trakkk !" Tubuh Tung - hai - tiauw terpental ke belakang karena ketika kipas
besinya menotok, senjatanya itu membalik dengan amat kerasnya. Dia menjadi semakin
penasaran dan dicabutlah golok pusaka Toat-beng-to hadiah dari Petani Lautan. Kini golok dan
kipasnya berkelebatan cepat menyerang Bit - bo - ong tanpa memperduli-kan kalau - kalau
senjatanya itu akan mengenai tu-buh nona yang dipanggul oleh raja iblis itu. Na-mun, tiba -
tiba saja tubuh Raja Kelelawar itu le-nyap dari pandang matanya dan dari samping, tangan kanan iblis
itu sudah mencengkeram ke arah pelipisnya! Demikian cepat gerakan iblis itu sehingga Tung
- hai - tiauw tidak mampu mengikuti gerakannya dengan pandang mata! Namun, Raja Lautan inipun
lihai dan dari angin pukulan yang menyambar dia tahu di mana lawan yang pandai
"menghilang" itu, dan
diapun membacokkan golok nya menangkis untuk membuntungi lengan lawan. Kembali
Bit - bo - ong mengelak dan kmi dengan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya yang
seolah-olah pandai menghilang atau beterbangan amat cepatnya itu, dia dapat mempermainkan
Tung - hai - tiauw !Raja Lautan itu merasa terkejut bukan main. Lawannya itu memanggul tubuh
dara itu, dan ha-nya mempergunakan sebelah tangan saja, tangan kosong pula, namun sanggup
menghadapi golok dan kipas besinya. Maklumlah dia bahwa memang
benar lawan ini sakti bukan main, maka diapun lalu memberi isyarat kepada dua
orang pembantu-nya. Memang sejak tadi Petani Lautan dan Raja Muda Selatan sudah merasa
penasaran. Mereka berduapun merasa tidak rela kalau sampai kedau-latan mereka di
atas lautan digeser dan dikuasai oleh seorang asing yang berada di daratan. Maka, begitu
melihat isyarat Raja Lautan, mereka berdua lalu terjun ke dalam perkelahian itu dan memper-gunakan
senjata mereka. "Plakkk !" Tiba - tiba sebuah tamparan tangan kanan Raja Kelelawar mengenai
punggung Raja Lautan. Tamparan itu memang bertemu dengan baju emas yang melindungi tubuh
Tung-hai- tiauw sehingga tidak sampai terluka. Akan tetapi hawa tamparan itu sedemikian
kuatnya sehingga dia me-rasa seolah - olah isi dadanya rontok semua ! Un-tung bahwa pada saat
itu, kedua orang pembantu utamanya sudah menerjang. Petani Lautan mempergunakan senjata cangkul
bergagang panjang sedangkan Raja Muda Selatan mempergunakan pedang pemutus urat yang
berbahaya itu. Bit - bo - ong mengeluarkan suara mendengus keras dari hidungnya. Harus
diakuinya bahwa se-telah tiga orang raja bajak ini mengeroyoknya, dia tidak mungkin dapat
melayani

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka seenaknya seperti itu. Betapapun lihainya, harus diakuinya bahwa tiga
orang itupun memiliki tingkat kepan-daian yang cukup tinggi. Maka diapun lalu meng-gerakkan
tangan kanannya dan tahu - tahu dia sudah mencabut keluar sebatang pisau panjang yang
gagangnya indah bertaburan batu permata itu. Karena tangan kirinya masih merangkul Pek
Lian yang dipanggulnya, maka dia hanya dapat mempergunakan sebatang pisau panjang saja.
Na-mun, ini juga sudah cukup karena dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa,
ditambah pula lindungan yang kuat dari jubah hitamnya, tiga orang lawannya itu tidak mampu
berbuat banyak. Senjata mereka hanya dapat mengenai jubah hitam dan selalu senjata mereka
terpental tanpa dapat melukai lawan, sedangkan gerakan iblis itu memang amat cepat, sukar
diikuti dengan pandang mata. Betapapun juga, karena mereka bertiga itu dapat bekerja sama dan
saling bantu, bagi raja iblis itupun tidak mudah untuk dapat merobohkan seorang di antara
mereka. Kalau saja iblis itu tidak memanggul tubuh Pek Lian, kiranya tiga orang jagoan laut itu
tidak akan mampu bertahan sedemikian lamanya.
Pertempuran satu melawan tiga ini sungguh amat seru dan mati - matian.
Sebetulnya, kalau saja Raja Kelelawar menghendaki, biarpun dia memanggul tubuh Pek Lian, dengan
ilmunya yang mujijat, agaknya dia masih mampu merobohkan dan membunuh para lawannya dengan
serangan- serangan maut. Akan tetapi, dia tidak menghen-daki demikian. Dia membutuhkan
bantuan rajaraja bajak ini untuk memperluas kekuasaannya, maka dia harus mampu
menaklukkan mereka, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
bu-kan membunuh mereka. Tenaga mereka akan sa-ngat berguna baginya kelak. Karena
inilah maka pertempuran itu berjalan seru dan sampai lewat ratusan jurus belum ada yang
kelihatan menang atau kalah. Perkelahian tingkat tinggi ini amat menegang-kan hati para anak buah bajak, juga
para raja ba-jak kecil yang tidak berani maju karena merasa be-tapa tingkat kepandaian
mereka masih belum cu-kup untuk membantu raja mereka. Mereka demi-kian tegang dan tertarik,
hampir tak pernah ber-kedip menyaksikan pertempuran di atas perahu calon korban itu
sehingga mereka tidak sadar bah-wa perahu - perahu itu bersama - sama terbawa arus yang halus
mendekati daerah Pusaran Maut! Baru setelah sebagian dari mereka terkena percik-an air
laut yang halus seperti kabut, mereka sadar! Tadi, suara gemuruh itu seolah - olah tertelan oleh
suara mengaungnya senjata - senjata yang digerak-kan oleh tangan - tangan yang
memiliki tenaga sakti amat kuat itu. Kini, tahu-tahu mereka sadar bahwa perahu-perahu mereka telah
berada di dae-rah Pusaran Maut. Semburan air akibat berpu-singnya air di pusaran maut itu telah
mengenai mereka, padahal pusaran itu masih jauh sekali. Setelah mereka sadar, kini suara gemuruh
itu menggeratak dan tiba-tiba saja seperti menulikan telinga. Mulailah mereka menjadi panik dan
ber-teriak - teriak, apa lagi setelah perahu - perahu mereka itu mulai terasa oleng terbawa arus dan
gelombang yang amat kuat menyeret perahu - pe-rahu itu ke satu jurusan.
Tadi mereka tidak merasakan bahwa perahu-perahu mereka terseret karena
perkelahian tingkat tinggi itu memang hebat bukan main. Demikian cepatnya gerakan Raja
Kelelawar menghindarkan diri dari kepungan tiga orang lawannya sehingga perkelahian itu
dilakukan sambil berloncatan di antara perahu - perahu, tiang - tiang layar, atap dan
bergantungan pada tali-tali
layar. Memang menakjubkan sekali menyaksikan kehebatan gin-kang dari Raja
Kelelawar yang seolah - olah memang hendak mendemonstrasikan kepandaiannya sambil memanggul
tubuh dara yang masih lemas tertotok itu.
Setelah kini mereka sadar, mereka semua ter-kejut bukan main dan mereka menjadi
ketakutan karena mereka maklum akan ancaman bahaya maut yang amat mengerikan.
Bagaikan orang-orang yang baru sadar dari mimpi buruk, semua orang tidak lagi
memperdulikan pertempuran yang masih berlangsung mati - matian itu dan mereka semua berusaha
untuk mendayung perahu masing-masing menjauhi atau keluar dari daerah berba-haya itu.
Akan tetapi, arus air begitu kuatnya menarik perahu-perahu itu ke arah satu jurusan dan kini
terasa hembusan angin yang amat kuat disertai alunan gelombang yang makin meninggi. Perahu-
perahu itu menjadi cerai - berai. Semua perahu seperti tersedot ke arah suara gemuruh sehingga
suasana menjadi semakin kacau dan semua orang menjadi panik ketakutan. Kabut tebal menggelap-kan
cuaca. Semua orang berteriak-teriak ketakutan. Perahu-perahu mereka tak dapat mereka
kuasai lagi, tersedot aras yang amat kuat dan melaju melingkari kabut tebal itu. Mereka telah
berada dalam kekuasaan cengkeraman Pusaran Maut! Pe-rahu - perahu berputaran semakin cepat
dan sema-kin ke tengah. Kabut air makin tebal, orang - orang berteriak dan tiba - tiba
terdengar suara gemeratak seperti benda kayu patah - patah disusul jeritan-jeritan mengerikan.
Pusaran Maut telah mendapat-kan korban pertama dengan pecahnya sebuah pera-hu dan
menghanyutkan semua penumpangnya, ter-sedot oleh air yang berpusing itu entah ke mana.
Para bajak yang berada di atas perahu - perahu yang agak besar dan yang belum
benar - benar ter-cengkeraman sedotan air berpusing itu berusaha mati - mat,ian untuk
menjauhi tempat berbahaya itu. Akan tetapi perahu mereka itu rasanya seperti ada yang menahan
dari belakang dengan kekuatan yang mengerikan, seperti ada tangan tak nampak yang memegangi
buritan mereka. Saking panik dan ketakutan, ada bajak yang meloncat ke laut, ingin
berenang menjauhi tempat itu. Akan tetapi justeru - dengan perbuatan itu, mereka itu seperti benda
kecil ringan yang dengan mudahnya terseret ke pusat dari Pusaran Maut. Hanya terdengar te-riakan -
teriakan mereka yang minta tolong melo-long-lolong lalu sunyi, sunyi yang mengerikan.
Korban - korban berikutnya berjatuhan ketika ada tiga buah perahu yang seperti saling diadu oleh
tangan raksasa yang tidak nampak, pecah beran-takan dan para penumpangnya terlempar disambut
air berpusing lalu disedot entah ke mana.
Para bajak itu menjadi semakin panik. Biasanya, dalam upacara persembahan korban
kepada Dewa Laut di Pusaran Maut, mereka tidak pernah sampai ke tempat sedekat
itu dengan air berpusing itu. Tadi, saking terpesona oleh perkelahian tingkat tinggi di atas
perahu, mereka tidak KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sadar dan tahu-tahu semua perahu telah berada begitu dekat di tempat berbahaya
itu. Perahu di mana tiga orang itu bertanding kini juga sudah berada di tepi pu-saran dan
diseret berputar - putar tak dapat diken-dalikan lagi.
Tentu saja perkelahian itu terhenti secara men-dadak. Tiga orang raja bajak itu
memandang ke-luar perahu dengan muka pucat dan mata terbela-lak, tidak perduli lagi kepada
Raja Kelelawar yarig berdiri tegak di atas dek sambil memanggul tubuh Pek Lian. Anak buah bajak
yang kebetulan berada di perahu itu sibuk berusaha mendayung, namun
usaha mereka sia-sia belaka, bahkan ada dayung yang patah ketika melawan arus.
Tiga orang raja bajak itu adalah ahli-ahli dalam air dan jagoan-jagoan dalam
mengemudikan perahu. Akan tetapi sekali ini mereka berdiri bengong dengan muka pu-cat seperti
kehilangan akal. Angin menghembus semakin kuat dan ombak mengganas menggiriskan hati. Awan hitam
bergulung - gulung dan tiba-tiba turun hujan badai yang dahsyat. Tentu saja hujan badai ini
tercipta oleh pusaran maut itu karena di daerah itu langit nampak bersih.
Setelah berada dalam keadaan seperti itu, maka setiap orang hanya ingat akan
keselamatan diri sendiri saja. Masing - masing hendak mencari ke-selamatan sendiri -
sendiri. Rasa takut merupakan perasaan yang paling kuat untuk menyeret manusia menjadi mahluk yang
paling pengecut, paling ke-jam, dan paling tidak berperikemanusiaan! Kalau ada orang
yang melakukan perbuatan kejam, pada hakekatnya di lubuk hatinya terdapat rasa takut yang amat
besar. Kalau ada orang melakukan per-buatan yang pengecut, diapun sedang dicengkeram oleh
rasa takut yang amat besar. Rasa takut meng-hilangkan kewaspadaan dan ketenangan, membuat
orang melakukan tindakan karena dorongan rasa takut itu, yang kadang-kadang merupakan
perbu-atan yang membuta. Bermacam - macam bentuk-nya rasa takut. Ada yang takut menghadapi
kesu- litan, takut kehilangan, takut kesepian, takut menderita, takut dijauhkan dari
kesenangannya, dan takut akan kematian. Akan tetapi, semua bentuk rasa takut itu sesungguhnya
berdasar sama, yaitu sang pikiran atau si aku yang membayangkan sesu-atu yang tidak
menyenangkan, yang mungkin akan menimpanya. Kalau kita dapat terbebas dari rasa takut dan
menghadapi segala sesuatu yang menim-pa diri kita pada saat itu juga, tanpa membayang-kan sesuatu
yang belum terjadi, maka kita akan selalu tenang dan waspada dan pada saat - saat bahaya
mengancam, kita akan dapat bertindak atau memberi tanggapan yang tepat berdasarkan ke-waspadaan
dan ketenangan. Dan untuk dapat ter-bebas dari rasa takut tentu saja harus
meniadakan si aku yang membayang-bayangkan hal-hal yang belum ada itu.
Tiga orang raja bajak itu cepat mencari perleng-kapan untuk menyelamatkan diri.
Mereka memang selalu membawa perlengkapan untuk menolong diri kalau-kalau perahu mereka
pecah atau terba-lik diserang badai atau apa saja. Kini mereka telah membawa sebuah
jangkar dengan tali yang pan-jang. Raja Laut yang lebih dulu mengayun jang-karnya ke belakang,
menggaet sebuah papan dari pecahan perahu. Dengan tepat jangkarnya meng-gaet papan itu
dan diapun meloncat sambil meme-gangi tali, lalu berenang menuju ke arah papan. Dari situ
dia meloncat lagi, jangkarnya menggaet lain benda. Dengan cara demikan, juga berkat
kepandaian renangnya yang mahir, akhirnya dia dapat lolos dari sedotan Pusaran Maut. Dua orang:
rekannya juga melakukan hal yang sama. Untuk melontarkan jangkar ke perahu lain tak mungkin
karena jarak mereka dengan perahu - perahu lain cukup jauh dan kabut tebal membuat cuaca
gelap. Hanya sedikit sinar bulan yang menembus kabut dan awan buatan Pusaran Maut itu,
membuat se-keliling tempat itu nampak air berkilauan seperti cengkeraman - cengkeraman tangan maut
yang hi-dup. Raja Kelelawar bersikap tenang untuk memper-lihatkan kebesarannya. Akan tetapi
sesungguhnya diapun agak bingung menghadapi ancaman maut mengerikan ini. Dia
tahu bahwa sebagai seorang manusia, betapapun saktinya, dia tidak akan mam-pu melawan
kekuatan alam yang demikian dah-syatnya. Pula, ilmu - ilmunya adalah ilmu di da-ratan, dan dia
sama sekali bukanlah jago air seperti tiga orang raja bajak itu, walaupun ini tidak ber-arti
bahwa dia tidak pandai berenang. Untuk dapat melakukan penyelamatan diri seperti tiga orang raja
bajak tadi, dia merasa tidak mampu. Akan te-tapi, tokoh yang satu ini memang luar biasa. Dia
sama sekali tidak menjadi panik sehingga dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Sambil memanggul
tubuh Pek Liari, dia melangkah ke tepi perahu. Dia masih mempunyai ilmu yang dapat diandalkan un-
tuk menyelamatkan dirinya, yaitu ilmu ginkangnya yang sudah mendekati kesempurnaan
itu. Setelah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mencari - cari dengan pandang matanya seperti hendak menembus kegelapan,
akhirnya dia meli- hat sebuah tiang layar hanyut tak jauh dari perahu. Cepat dia menurunkan tubuh
Pek Lian dari pang-gulan, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan diapun menggerakkan
kedua kakinya meloncat keluar dari perahu. Tubuhnya melayang dengan ringannya dan ketika kedua
kakinya hinggap di atas tiang layar yang terapung itu, diapun sudah menggunakan tiang
itu sebagai

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

landasan untuk meloncat lagi menjauh dan kini yang hendak dija-dikan tumpuan
loncatan adalah sesosok mayat orang yang terapung. Dengan cekatan dia melon-cat ke atas perut
mayat itu dan menggunakannya untuk mengenjot tubuhnya lagi ke arah pecahan perahu di dekatnya.
Karena pecahan perahu itu cukup besar, dia memperoleh kesempatan untuk berhenti sejenak
di atasnya. Akan tetapi dia tidak boleh terlalu lama di situ karena walaupun dia te-lah agak
menjauhi pusat Pusaran Maut, namun pecahan perahu itupun masih terseret ke tengah lagi. Maka
ketika dia melihat sebuah balok besar lewat, diapun meninggalkan pecahan perahu itu dan
meloncat ke arah balok besar. Ketika dia tiba di atas balok, dia mendengar suara hiruk - pikuk
dan ternyata perahu yang tadi dipakai meloncat telah "dimakan" pusaran air dan hancur beran-takan.
Kini dengan perimbangan badan yang luar
biasa, dia berdiri di atas balok yang bergoyang-go-yang. Hujan angin membuat
penglihatannya kabur dan dia tidak dapat melihat terlalu jauh. Dia men-cari -
cari dengan pandang matanya kalau - kalau terdapat perahu untuk dipakai menyelamatkan diri dari
tempat mengerikan itu, karena diapun tidak mungkin dapat terlalu lama bertahan di atas balok itu.
Kalau tidak ada tempat lain yang lebih aman, kalau sampai dia tergelincir ke dalam air dan ter-
seret ombak, akan celakalah dia ! (Bersambung jilid ke XV.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XV * * * TIBA-TIBA dia mengeluarkan suara tertahan sa-king girangnya. Dia tidak tahu
betapa Pek Lian sejak tadi menderita ketakutan yang amat hebat. Dara ini dalam keadaan
tertotok dipanggul dan di-bawa berkelahi mati - matian, lolos dari lubang ja-rum di antara sambaran
senjata tiga orang raja ba-jak yang mengeroyok raja iblis itu. Kemudian, se-karang dibawa
berloncatan berjuang memperta-hankan nyawa diancam kematian mengerikan di Pusaran Maut!
Ingin rasanya Pek Lian menjerit dan menangis, akan tetapi dara ini menguatkan ha-tinya dan
hanya memejamkan mata melihat ombak menggunung yang setiap saat seperti hendak me-
nelannya. Beberapa kali mukanya disiram air laut dan mulut, hidung dan matanya terasa asin
dan pedas sekali. Ketika raja iblis itu mengeluarkan suara tertahan dengan girang, Pek
Lian membuka matanya dan dara inipun melihat bayangan sebu-ah perahu yang hanya nampak samar
- samar dalam cuaca remang - remang itu. Perahu itu masih agak jauh, dan Raja Kelelawar
memperhitungkan bahwa untuk mencapai perahu itu dia membutuhkan tiga atau empat
kali loncatan lagi. Balok tempat dia berdiri sudah mulai berputaran kencang. Raja
Iblis itu memandang ke sekeliling dan tiba - tiba di de-kat balok yang dipijaknya itu tersembul dua
sosok mayat. Otaknya bekerja cepat sekali. Tangan ka-nannya mencengkeram rambut kepala dua
mayat itu dan menariknya ke atas. Karena ditambah be-ban dua sosok mayat itu, balok yang
dipijaknya tenggelam, akan tetapi raja iblis itu telah memper-gunakan balok itu untuk
mengenjot tubuhnya me-loncat ke arah perahu di depan sambil melempar-kan sebuah di antara dua mayat
yang dicengkeram-nya. Mayat itu menimpa permukaan air dan kedua kaki Raja Kelelawar
menyusul cepat, hinggap di atas punggung mayat itu dan diapun melontarkan mayat ke dua ke
depan, meloncat lagi dan dia sudah hinggap lagi di atas mayat ke dua. Kini dia sudah
makin mendekati perahu itu, tinggal dua kali loncatan lagi. Akan tetapi tidak ada benda yang
mengapung dekat, sedangkan tentu saja dia tidak mungkin dapat berdiri terlalu lama di atas mayat
itu yang merupakan benda yang tidak tahan tera-pung. Sekarangpun mayat itu telah mulai
turun dari permukaan air dan kedua kakinya sudah te-rendam ! Sekali ini, Raja Kelelawar
benar-benar KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
merasa ngeri. Tidak ada jalan lain lagi, pikirnya cepat. Sebelum dia terendam
terlalu dalam sehing- ga sukar untuk meloncat, dia sudah mengenjot tubuhnya lagi menggunakan mayat itu
sebagai lan-dasan, dan tubuhnya melayang ke depan. Karena tidak ada apa-apa yang dapat
dijadikan tempat mendarat, kini dia melemparkan tubuh Pek Lian ke atas air setelah
terlebih dahulu menotoknya sehingga jalan darah dara itu pulih kembali.
"Byuuurrr !!" Tubuh Pek Lian jatuh ke air
dan tiba-tiba kaki Raja Kelelawar telah mengin-jak punggungnya. Nona itu
gelagapan dan me-ronta, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tertekan kuat dan diapun tenggelam.
Kiranya tubuhnya dipakai landasan meloncat oleh Raja Kelelawar yang kini meloncat ke arah perahu
yang telah dekat. Akan tetapi oleh karena ketika dipakai landasan melon-cat, tubuh Pek Lian
tenggelam dan meronta, maka loncatan Raja Kelelawar itu tidak dapat mencapai sasaran dan
tubuhnya melayang turun masih ku-rang tiga meter dari perahu itu! Kalau orang lain yang meloncat
seperti itu, tak dapat dicegah lagi tentu tubuhnya akan terjatuh ke dalam air. Akan tetapi Raja
Kelelawar bukanlah manusia biasa, melainkan orang yang telah memiliki tingkat ke-pandaian
yang amat hebat. Maka ketika tubuh-nya melayang turun, dia lalu mengeluarkan sa-buknya,
melolos sabuk itu dan dihantamkannya sa-buk itu ke atas permukaan air laut. Terdengar bunyi
ledakan keras seperti cambuk yang dipukulkan dan ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan
air, terjadilah gelombang besar dan tubuhnya sendiri dapat berjungkir balik ke atas sampai
mende-kati perahu, kurang satu setengah meter lagi! Kini sabuknya kembali bergerak menyambar
pinggiran perahu dan sekali dia membetot, tubuhnya melun-cur ke arah perahu. Dengan gerakan yang
istime-wa, akhirnya Raja Kelelawar itu berhasil mendarat di atas dek perahu itu. Hatinya
lega bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh ke arah air di ma-na tadi dia melemparkan tubuh
Pek Lian, ternyata nona itu sudah tidak nampak lagi. Akan tetapi raja iblis ini tidak
memperdulikannya lagi. Dia lalu mendayung perahunya dan menyelamatkan dirinya dengan membawa perahu itu
menempuh ombak dan badai, menjauhi Pusaran Maut.
Badai dan ombak makin menggila dan agaknya keadaan ini malah dapat menyelamatkan
sebagian dari para anak buah bajak. Perahu - perahu itu ada yang ditiup badai
dan dibawa ombak menjauhi Pusaran Maut, walaupun banyak pula perahu yang diseret tenggelam
berikut para pemumpangnya. Tiga orang raja bajak itu dapat menyelamatkan diri mereka dan
dengan lesu mereka semua ber-kumpul di pulau Raja Laut, menghitung anak buah masing - masing
dan ternyata sepertiga bagian dari anak buah mereka lenyap menjadi korban Pu-saran
Maut. Sekali ini, bukan seorang perawan suci yang mereka persembahkan kepada Dewa La-ut, melainkan
anak buah mereka sendiri yang pu-luhan orang jumlahnya. Diam - diam mereka
menyalahkan peristiwa tiru. kepada Raja Kelelawar, akan tetapi di samping itu merekapun harus meng-
akui bahwa Raja Kelelawar itu sungguh luar biasa sekali ilmunya dan memang pantas menamakan diri
sebagai keturunan raja iblis itu. Biarpun dia masih terpilih sebagai Raja Lautan, namun
sekali ini pengangkatannya sebagai raja diawali peristiwa yang amat tidak menyenangkan,
membuat Tung- hai - tiauw berhati - hati dan cepat menyusun ke-kuatan anak buahnya lagi dengan
mengambil ang-gauta - anggauta baru.
* * * Pek Lian mengeluh ketika punggungnya diin-jak oleh kala Raja Kelelawar. Kekuatan
yang men-dorongnya membuat tubuhnya tenggelam. Ia gela-gapan, meronta dan akhirnya
dapat muncul kem-bali di permukaan air laut. Untung bahwa ia su-dah keluar dari arus
berputar yang dibawa oleh Pusaran Maut. Sekuat tenaga ia berenang menja-uhi walaupun seluruh
tubuh, terutama punggung-nya, terasa nyeri - nyeri. Akkhirnya ia berhasil meraih sebuah
papan yang cukup lebar dan yang lewat di dekatnya. Agaknya papan itu adalah be-kas pintu
kamar perahu. Ia lalu naik dan merebah-kan diri di atas papan itu, lalu dibiarkannya ombak
membawa papan itu ke mana saja. Ia sudah keha-bisan tenaga dan ia memasrahkan dirinya kepada
kekuasaan yang menggerakkan air laut luas itu. Dan iapun terlelap, setengah pingsan, tak tahu
apa - apa lagi. Fajar telah menyingsing. Matahari yang lembut sinarnya, kemerahan dan bulat
besar, muncul dari permukaan air laut sebelah timur. Sudah tidak ada bekasnya lagi
hujan badai semalam. Langit nam-pak bersih cerah, dengan awan - awan putih kebi-ruan
menghias di!sana- sini, nampak begitu tenang tenteram penuh damai yang mengamankan hati. Tiada
angin KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
menggerakkan awan - awan tipis itu. Burung camar beterbangan di udara. Sepagi
itu mereka belum sibuk mencari ikan, agalknya masih bermalas - malasan membiarkan dirinya
melayang dan meluncur berkeliling di udara. Sayap mereka hanya bergerak sekali - kali saja,
dan hanya dikem- bangkan untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika meluncur di langit yang kosong.
Ekornya kadang-kadang bergerak bersama kepala, agaknya untuk mengemudikan penerbangan
mereka yang seenak-nya itu. Kadang - kadang mereka mengangkat ke-pala agak tinggi dan
mengeluarkan teriakan, mung-kin memanggil pacarnya atau temannya. Namun gerakan tubuh yang
meluncur berkeliling itu, teri-akan sekali - kali yang parau itu, sama sekali tidak
mengganggu keheningan yang terasa menyelimuti dunia di saat itu. Mereka bahkan menjadi sebagi-an dari
kesunyian dan keheningan itu, dan tanpa mereka keheningan itu takkan lengkap agaknya.
8 Matahari pagi menciptakan sebuah lorong emas di permukaan air laut yang
tenang, sebuah lorong emas memanjang yang kadang - kadang dilintasi bayangan ikan yang
tersembul dari permukaan air, nampak siripnya lalu menyelam kembali mening-galkan
lingkaran - lingkaran di permukaan air. Makin lama, lorong keemasan itu berobah semakin terang dan
akhirnya terganti menjadi lorong perak yang mulai menyilaukan mata. Pada saat itu orang sudah
tidak lagi berani memandang ke arah mata-hari yang telah berobah menjadi bola perak yang bernyala
- nyala. Pek Lian mengeluh, membuka matanya dan sejenak ia bingung. Akan tetapi, begitu
terasa be-tapa punggung dan pundaknya nyeri, dan menge-nal papan di mana ia rebah, ia
segera teringat akan keadaannya dan iapun memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk. Laut
tenang sekali sehingga papan yang ditumpanginya itu hampir tidak bergerak. Ia memandang ke
sekeliling. Air dan air biru yang mulai berkilau tertimpa cahaya perak matahari. Ketika menoleh
ke arah timur, matanya menjadi silau dan cepat - cepat ia membuang muka. Ia ti-dak tahu sampai
di mana papan itu membawanya, dan di sekitarnya yang nampak hanya air laut sa-ja.
Perutnya terasa perih dan lapar bukan main.
Ketika ia melihat sebatang dayung di dekatnya, ia merasa girang bukan main dan
cepat mengam-bilnya. Ia tidak ingat lagi kapan ia menemukan
dayung ini, mungkiri semalam ketika ia naik ke papan ini, ia tidak tahu lagi.
Yang penting, da-yung ini akan dapat membawanya ke darat! Ia harus cepat - cepat menemukan
daratan kalau ia ingin hidup karena tidak mungkin ia dapat berta-han lama di atas papan ini
tanpa makan dan mi-num, sedangkan tubuhnya masih lelah dan nyeri semua rasanya. Ia tahu bahwa ia
berada di laut timur, maka ia tidak ragu lagi bahwa daratan tentu berada di barat, arah
sebaliknya dari matahari. Maka iapun mulai mendayung ke arah yang seba-liknya dari matahari
terbit, ke barat. Punggung dan pundaknya terasa nyeri ketika mendayung, na-mun ia memaksa diri dan
mendayung dengan gerak-an tetap, tidak berani terlalu mengerahkan tenaga karena
hal ini akan cepat menghabiskan tenaganya. Karena air laut amat tenang, maka papannya dapat


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur dengan kelajuan yang cukup membesar-kan hati.
Akan tetapi kebesaran hatinya mulai mengecil dan harapannya makin menipis
setelah matahari naik tinggi dan sinarnya menimpa ubun-ubun kepalanya, kedua lengannya
sudah pegal - pegal senerti hendak patah-patah rasanya, punggung dan pundaknya kiut - miut
rasanya, namun belum juga nampak adanya daratan atau pulau. Perutnya sudah terasa lapar sekali
dan tabuhnya lemas. Tenggo-rokannya kering. Tubuh terasa setengah lumpuh dan matanya mulai
berkunang- kunang. Pek Lian mengeluh dan menghentikan gerakan tangannya yang mendayung. Ia
memejamkan kedua matanya, merasa bahwa kematian agaknya tak lama lagi ten-tu
datang menjemputnya. Dari jauh ia seperti me-lihat wajah ayah dan ibunya. Mereka datang
hen-dak menjemputnya ! Ayahnya nampak berpakaian serba putih, jenggotnya yang panjang
dan putih itu berkibar tertiup angin dan ibunya yang telah tiada itu nampak masih muda dan
cantik sekali. Mereka berdua itu mengulurkan tangan kepada
nya dan iapun tidak ingat apa - apa lagi !
Samar - samar dilihatnya lagi ayahnya yang ber-pakaian putih, bersama ibunya
yang juga berpa-kaian serba putih. Mereka itu lewat atau lebih tepat melayang agak jauh
dari tempat ia rebah. Mereka meninggalkannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Ayaaahhh ! Ibu !" Pek Lian menge-
luh dan memanggil lalu tersadar. Ia membuka ma-
tanya. Bayangan ayah bundanya sudah tidak
nampak lagi. Dan ia mendapatkan dirinya berada
di dalam sebuah kamar kecil, rebah di atas sebuah
dipan. Ia terbawa oleng ke kanan kiri dan telinga-
nya dapat mendengar suara hempasan air memu-
kul dinding kamar. Ia berada dalam sebuah bilik
perahu ! Ketika menoleh ke kiri, ia melihat seorang
gadis berpakaian serba putih duduk di atas sebuah
kursi kayu, memejamkan kedua matanya, agaknya
tertidur atau beristirahat. Ketika Pek Lian meneliti
dirinya, ternyata pundak kirinya telah dibalut dan
terasa olehnya betapa punggung dan pundaknya hangat dengan obat lumur, juga ada
tercium bau obat olehnya. Sekalipun tubuhnya masih penat-pe-nat, akan tetapi
punggung dan pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi ketika digerakkan. Ia meman-dang ke
sekeliling memeriksa keadaan dalam bilik itu. Di atas meja kecil terdapat bermacam - macam
gelas obat, agaknya obat - obat untuknya. Akan tetapi tiba - tiba hidungnya mencium bau yang
aneh. Ia menjadi waspada dan ketika ia mengenal bau harum dupa yang biasa dipakai orang
untuk menyembahyangi orang mati, alisnya berkerut. Kurang ajar ! Agaknya orang - orang
dalam perahu ini menganggap bahwa ia sudah mati! Akan tetapi, pada saat itu timbul gagasan
yang membuat dara ini hampir tertawa cekikikan. Kalau ia dianggap sudah mati, biarlah ia akan
membuat mereka semua itu ketakutan! Tentu mereka itu akan ngeri melihat ia hidup kembali ! Ia
melirik ke arah gadis yang terkantuk-kantuk di atas kursi dan tersenyum. Orang pertama yang akan
melihat "mayat hidup" adalah gadis ini. Ia membayangkan betapa gadis itu akan terkejut
dan ketakutan setengah mati, ter-kencing - kencing!
"Ehem! Ehem!!" Ia terbatuk-batuk sambil duduk menghadapi gadis itu.
Benar saja. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Akan tetapi bukan gadis itu yang
terkejut ketakutan melihat mayat hidup, melainkan Pek Lian sen-diri yang kecelik karena
gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan girang. Gadis itu lalu me-loncat mendekati
dan berusaha mencegahnya un-tuk duduk terlalu lama.
"Aihh nona sudah siuman kembali
" Dan eh, harap nona jangan banyak bergerak
dulu, harap suka rebah saja "
Akan tetapi Pek Lian tidak mau rebah kembali. Sambil memandang tajam iapun
bertanya, "Di mana aku berada " Dan siapakah engkau "
Sebelum gadis itu menjawab, pintu bilik perahu itu terbuka dan muncullah seorang
gadis cantik je-lita yang berperawakan langsing. Juga gadis ini berpakaian serba
putih, terbuat dari pada sutera halus. Wajah yang cantik itu tersenyum ramah ke pada Pek Lian.
"Enci Lian berada di perahu kami. Lupakah enci kepadaku " Kami adalah kaum Tai-
bong-pai dan enci pernah membantuku ketika aku sedang diobati oleh keluarga keturunan
Tabib Sakti bebe-rapa bulan yang lalu."
"Ahli engkauadik Kwa Siok Eng ?" Pek Lian berkata lirih, kini teringat kepada gadis remaja yang cantik itu, yang
dahulu menderita sakit lumpuh dan diusung dalam keranjang pada tengah malam oleh anak
buah Tai - bong - pai, di-antar oleh nyonya Kwa tokoh Tai - bong - pai, ibu dari gadis ini.
"Enci Pek Lian, aku sangat berterima kasih ke-padamu atas budimu yang besar
itu." Siok Eng menjura dengan hormat, kemudian mendekati pem-baringan dan dengan halus ia
membujuk agar Pek Lian suka rebah kembali karena gadis itu sedang berada dalam pengobatan.
"Lukamu yang berada di sebelah dalam cukup gawat, enci, maka engkau perlu beristirahat dan
mengalami pengobatan yang teliti."
"Terima kasih, adik Eng. Kalau tidak bertemu
dengan perahumu eh, bagaimana engkau da- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pat menolongku dan dengan siapa saja engkau ber-
layar ini " Dan hendak ke mana ?"
Siok Eng tersenyum dan nampak deretan gigi yang putih dan rata seperti rangkaian
mutiara. Diam - diam Pek Lian harus mengakui bahwa da-ra ini juga amat cantik jelita !
Hanya sayangnya, wajah yang rautnya manis ini nampak kepucatan seperti wajah orang - orang Tai -
bong - pai pada umumnya. Siok Eng merasa geli mendengar hujan pertanyaan itu.
"Enci Lian, aku sedang pergi hendak mencari
Ban - kwi - to " "Ban - kwi - to ?" Pek Lian bergidik, teri-
ngat bahwa Ban - kwi - to (Pulau Selaksa Setan) adalah tempat tinggal orang -
orang yang amat lii hai dan kejam seperti Bouw Mo - ko dan Hoan
Mo - li, kakek nenek cabul tak tahu malu yang gai nas dan amat jahat itu.
Siok Eng mengangguk. "Dengan ditemani ti-gabelas orang dayang dan ahli-ahli
perahu, aku berlayar mencari Ban - kwi - to dan kebetulan seka0 li aku melihat engkau rebah
pingsan di atas panan itu. Aih, betapa besar rasa terima kasihku kepada Dewa Lautan yang telah
mempertemukan kita se-hingga aku berkesempatan untuk membalas segala budi kebaikanmu dahulu,
enci Lian." Ia berhenti sebentar dan menatap wajah Pek Lian, lalu melan-jutkan dengan
pertanyaan, "Akan tetapi, sungguh tak ada habisnya aku berheran bagaimana engkau tahu - tahu
berada di tengah lautan, di atas sebuah papan pintu, dalam keadaan terluka dan kehabisan tenaga,
enci Lian ?" Pek Lian menarik napas panjang. "Ah, agak panjang ceritanya, adik Eng. Aku
tertawan oleh anak buah Raja Lautan, hendak dijadikan korban Pusaran Maut agaknya."
"Ah, bukan main! Engkau terpilih menjadi korban Dewa Laut di Pusaran Maut "
Tentu mereka itu kembali mengadakan pemilihan Raia La-utan yang diadakan tiga tahun
sekali, bukan " Dan bagaimana engkau dapat lolos dari bahaya maut seperti itu ?"
"Terjadi keributan dengan munculnya Raja Ke-
lelawar " "Ihhh ......!" Siok Eng membelalakkan mata-nya yang bening. "Benarkah raja iblis
itu muncul di sana " Di pulau Raja Lautan ?"
"Tidak, tahu-tahu dia muncul di antara pe-rahu-perahu, hendak menundukkan tiga
raja ba- jak laut. Terjadi perkelahian hebat dan perahu-perahu itu tanpa mereka sadari
telah terseret oleh Pusaran Maut. Semua orang nyaris tewas dan aku sendiri akhirnya dapat
menyelamatkan diri dan menumpang pada papan itu " Pek Lian tidak
mau menceritakan semua pengalamannya yang mengerikan, juga memalukan. Mana
mungkin ia menceritakan betapa ia ditawan Raja Kelelawar, dipanggul dan
pinggulnya dielus - elus dan dicubit, kemudian betapa ia dijadikan batu loncatan oleh raja iblis itu yang
hendak menyelamatkan diri "
Siok Eng menarik napas panjang. "Ah, ternyata para dewa masih melindungimu, enci
Lian! Lolos dari tangan mereka sungguh merupakan keajaiban, dan lolos dari Pusaran
Maut juga merupakan suatu kemujijatan."
"Dan dalam keadaan hampir mati bertemu de-nganmu merupakan berkah yang luar
biasa besar-nya, adik Eng. Sebenarnya, orang seperti engkau ini mau apa pergi ke Pulau
Selaksa Setan yang menjadi sarang manusia-manusia iblis yang amat kejam itu ?"
Siok Eng tersenyum. "Biarkan aku memeriksa lagi luka-lukamu, enci, nanti
kuceritakan semua-nya kepadamu." Dara itu lalu membuka balut pun-dak Pek Lian, memeriksa dan
memijat sana - sini dengan jari - jari yang ahli.
"Engkau sekarang telah menjadi seorang ahli pengobatan yang hebat, Eng-moi," ia
memuji. "Dan tentu engkau sekarang sudah sembuh sama sekali dari penyakitmu dahulu itu,
bukan ?" Dara yang usianya baru kurang lebih tujuhbelas
tahun itu mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh
berkat pertolongan locianpwe Kam Song Ki "
"Apa " Kaumaksudkan kakek murid ke tiga dari Raja Tabib, yang amat hebat ilmu
ginkang- nya itu ?" Pek Lian berseru dan terbayanglah wa-jah yang tampan dari Kwee Tiong
Li, ketua lem- bah pemimpin para patriot itu. Biarpun dia menye-but nama kakek itu, namun
sesungguhnya yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ter-bayang olehnya adalah pemuda itu yang pergi bersama si kakek. "Di manakah
adanya kakek itu sekarang ?" Siok Eng menggeleng kepalanya. "Entahlah, setelah dia mengobati aku, bersama
muridnya dia lalu pergi meninggalkan tempat kami, entah ke mana. Apakah enci mengenal
mereka ?" Pek Lian mengangguk tanpa menjawab. Wajah yang tertimpa sinar lampu itu nampak
demikian cantiknya dan karena lampu itu terbungkus kertas warna merah sehingga
sinarnya kemerahan maka kepucatan wajahnya tertutup oleh sinar itu. Di lain fihak, Siok
Eng yang dipandang seperti itu oleh
Pek Lian, menjadi agak heran dan malu-malu. Ia melanjutkan pengobatannya,
memberi obat lumur ke pundak dan punggung Pek Lian sambil berce-rita.
"Engkau tadi bertanya mengapa aku pergi mencari Pulau Selaksa Setan "
Sesungguhnya aku mencari tempat tinggal orang - orang beracun dari pulau itu adalah untuk
mencari Hek - kui - hwa (Bunga Mawar Hitam atau Bunga Setan Hitam) yang berdaun putih. Menurut
ayahku, bunga itu hanya tumbuh di sana dan bunga itulah yang dapat menjadi obat untuk
membantuku menyempur-nakan latihan ilmu keturunan Tai - bong - pai. De-ngan bantuan racun
bunga itu, yang dalam hal umum mengandung racun yang mematikan dan tidak ada obat
penawarnya, maka aku akan dapat menyalurkan sinkang untuk membuka jalan darah yang paling rumit
dan gawat, yaitu Kim - nauw-hiat di ubun - ubun kepala. Tanpa dapat menem -bus jalan darah
itu, ilmu keturunan kami tidak akan danat dikuasai dengan sempurna. Akan tetapi memang
banyak bahayanya menyempurnakan ilmu itu sehingga ayah telah melarangku. Akan tetapi
aku nekat karena ingin sekali mewarisi ilmu itu dan akibatnya engkau telah tahu sendiri.
Aku menjadi lumpuh dan hampir saia mati. Melihat kenekatan-ku. setelah aku sembuh, ayah membuka
rahasia ini, yaitu bahwa kalau aku bisa memperoleh Hek-kui-hwa dari Pulau Ban-kwi-to, maka aku akan
dapat berhasil mewarisi ilmu itu. Sampai kini, hanya ayah seorang saja yang telah
menguasai ilmu ketu- runan itu dengan sempurna."
Pek Lian mendengarkan dengan hati penuh ka-gum. Semuda itu, Siok Eng telah
mempelajari ilmu yang sedemikian hebatnya dan semangat dara ini demikian besar sehingga
berani menempuh ba-haya dengan mencari pulau yang ditakuti oleh semua tokon kang-ouw itu. Mereka


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan pe layaran sampai seminggu lamanya. Karena diobati dengan tekun dan dibantu
pengerahan tenaga sinkang dari Siok Eng, maka kesehatan Pek Lian pulih kembali.
Setiap kali melihat cara Siok Eng melakukan siulian, Pek Lian merasa heran
sekali. Nona dari Tai - bong - pai itu kalau melakukan samadhi, sela-lu dikelilingi berpuluh dupa
wangi yang membara sehingga asap hio itu menyelimuti seluruh tubuh-nya. Akhirnya ia tidak
dapat menahan diri dan bertanya tentang hal ini kepada Siok Eng.
"Biasanya orang bersamadhi sebaiknya memi-lih tempat di mana hawa udaranya
bersih dan te-nang, akan tetapi mengapa justeru engkau meng-gunakan begitu banyak dupa yang
asapnya dapat menyesakkan pemapasan ?"
Siok Eng tersenyum mendengar ucapan itu. "Enci yang baik, hio - hio yang kubakar
ini adalah dupa khusus buatan kami kaum Tai - bong - pai. Setiap batang hio
mengandung sari obat penguat urat-urat dan jalan darah. Siapa saja dari kami yang mulai mempelajari
sinkang perguruan Tai-bong - pai akan menggunakan dupa - dupa itu se-bagai landasan atau
dasar dari ilmu kami yaitu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat badan dan keringat kami
berbau harum seperti hio." Diam - diam Pek Lian bergidik. Keringat yang berbau harum seperti hio
mengingatkan orang akan iblis dan siluman. Hanya iblis dan siluman sajalah agaknya yang keringatnya
berbau hio. Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan isi hati itu melalui mulut. "Sudah
lamakah engkau melatih ilmu ra-hasia khusus Tai - bong - pai ?"
"Tentu saja sejak aku masih kecil. Akan tetapi ilmu - ilmu yang sukar hanya
dapat dipelajari se-telah dewasa." Pek Lian mengangguk-angguk dan meman-dang kagum. "Hemm, engkau tentu sekarang
telah menjadi lihai bukan main."
Siok Eng menggeleng kepala dan berkata me-rendah, "Masih belum, enci Lian. Aku
masih ha-rus dapat menembus pintu Kim - nauw - niat di ubun - ubun itu, baru ada
kemungkinan aku berha-sil baik." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Seorang dayang kepercayaan yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dan
melihat betapa nonanya selalu merendah, menjadi tidak sabar. "Nona kami memang pandai
merendah! Sebenar-nya nona kami adalah nomor tiga tingkat kepandaiannya di dalam perguruan
kami. Nomor satu tentu saja adalah pangcu (ketua), kemudian nomor dua adalah siauw -
ya (tuan muda) yaitu kakak dari nona kami, dan nomor tiga adalah nona Kwa Siok Eng. Toa -
hujin saja kalah oleh nona !" Mendengar ini, Siok Eng hanya mendengus dan menyuruh dayangnya berhenti bicara
sedangkan Pek Lian mendengar dengan hati penuh kagum. Ia pernah melihat betapa
ibu nona ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa lihainya. Jadi, kalau Siok Eng sudah
dapat melampaui ibunya, maka sukar dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepan-daian nona remaja ini!
Padahal, Siok Eng kelihatan begitu lemah lembut dan halus.
Malam itu gelap. Bulan tua belum lama mun-cul di langit timur, hanya memberi
cahaya yang remang - remang. Akan tetapi banyak bintang ber-munculan di angkasa. Setiap kali
angkasa tiada bidan atau yang ada hanya bulan sepotong yang remang - remang, pasti bintang -
bintang bermun-culan. Dua orang gadis itu berada di atas geladak perahu dan melihat -
lihat bintang yang memang nampak cemerlang indah seperti ratna mutu ma-nikam yang menghias langit -
langit beludru hitam kebiruan yang lembut dan maha luas.
"Di manakah adanya Pulau Selaksa Setan itu, Eng-moi" Apakah masih jauh dari
sini?" tanya Pek Lian. Ia sendiri merasa heran mengapa ia kini betah tinggal di sebuah
perahu. Pelayaran ini tera- sa indah dan menyenangkan baginya, mungkin hal ini karena baru saja ia mengalami
pelayaran yang penuh bahaya dan sama sekali tidak menyenang-kan hatinya. Kini ia
merasa begitu aman tenteram dan penuh damai di perahu milik Tai - bong - pai itu. Apa
lagi di situ terdapat Siok Eng yang amat ramah dan halus budi.
"Entahlah, enci Lian. Kami sendiri belum per-nah melihatnya. Akan tetapi aku
telah mempela-jari keadaan pulau itu dari keterangan yang dapat kukumpulkan. Menurut
penyelidikanku itu, Pulau Selaksa Setan tidak nampak dari jauh karena se-lalu diliputi kabut
tebal sehingga sukarlah dite-mukan dan orang luar tidak dapat melihat keada-annya. Mungkin
sekali kabut itu tercipta dari ha-wa beracun yang memenuhi pulau itu. Kabar-nya, semua benda,
binatang, tumbuh - tumbuhan dan apa saja yang berada di sana mengandung ra-cun. Juga
kabarnya, menurut para nelayan yang pernah melihatnya, pulau itu dapat berpindah-pin-dah,
mengikuti arus air laut." "Ih, kenapa bisa begitu ?" Pek Lian bertanya heran mendengar ada pulau yang bisa
pindah- pindah. "Itulah sebabnya maka pulau itu dinamakan Pulau Selaksa Setan," kata Siok Eng
sambil terse-nyum. "Bukan hanya karena beracun, melainkan juga karena dapat berpindah-
pindah seolah-olah ada setan - setan yang mendorong pulau itu pin-dah tempat."
"Tapi tapi, mana mungkin dongeng tah-
yul seperti itu dapat terjadi sungguh - sungguh ?"
"Aku sendiri tidak percaya ada setan mendo-rong - dorong pulau, enci Lian. Akan
tetapi, an- daikata benar terjadi pulau itu pindah - pindah tempat, ada kemungkinannya.
Mungkin saja tanah dari pulau itu di bagian bawahnya tidak menjadi satu dengan dasar laut, hanya
menempel saja. De-ngan demikian, apa bila ada terjadi arus yang kuat, bukan tak boleh jadi
pulau itu tergeser dari tempatnya. Bukankah kemungkinan itu besar dan masuk akal, enci Lian ?"
Pek Lian memandang kagum. "Adik Eng, eng-kau sungguh membuat hatiku kagum.
Engkau pandai dan cerdik, lihai ilmu silatmu dan cantik jelita lagi. Alangkah
bahagianya pemuda yang dapat menyuntingmu kelak. Dan aku yakin sebentar lagi ilmumu akan melebihi
ayahmu." "Aihh, cici pandai benar memuji orang! Siapa pula sudi mengawini gadis yang
pernah lum- puh sepertiku ini ?" Siok Eng berkata dengan mu-ka kemerahan. Akan tetapi di
sudut hatinya ia bergembira sekali. Terbayang di matanya wajah seorang pemuda yang jangkung dan
tampan sekali, pemuda yang pernah menyelamatkannya, bahkan yang hampir saja
mengorbankan nyawanya sendiri demi penyakit lumpuh yang dideritanya. Pemuda itu mengobati
dirinya yang waktu itu dalam kea-daan telanjang bulat. Seorang pemuda yang tam-pan, gagah
perkasa, dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
berbudi. Bu Seng Kun! Hatinya ingin sekali bertemu dengan pemuda itu, untuk
menyatakan rasa terima kasihnya. Akan te-tapi, apa bila ia teringat bahwa ia pernah bertelan-
jang di depan pemuda itu, ia merasa malu sekali dan sukar untuk membayangkan bagaimana ia akan dapat
berhadapan muka dengan pemuda itu. "Heii, itu di sana ada ikan besar terapung! Tu-kang dayung! Tangkaplah ikan itu,
kita adakan pesta besar malam ini!" Tiba - tiba terdengar se-man seorang dayang yang
menudingkan telunjuk- nya ke sebelah kanan perahu mereka.
Sibuklah anak buah perahu itu menangkap ikan yang besarnya seperti manusia
dewasa itu. Ikan meronta - ronta dalam jala. Dua orang gadis itu cepat mendekati dan
memeriksa ikan yang dari ja-uh nampak kebiruan itu. Dan memang benar. Ikan itu segala-galanya
berwarna biru. Sisiknya, ma-tanya, dagingnya dan segalanya.
"Awas, lepaskan dia! Ikan itu beracun!" kata Siok Eng dan mereka lalu,
melepaskan kembali ikan itu yang segera menyelam ke dalam air. "Ah, kita sudah dekat dengan daerah
Ban - kwi - to ! Agak-nya tidak sia - sia jerih payah kita berlayar sekian lamanya. Ikan itu
menurut keterangan adalah satu di antara penghuni perairan di sekitar pulau. Kulihat tadi dia
terluka di bagian kepalanya, maka tersesat ke sini." Siok Eng lalu memanggil seorang pembantunya
yang ahli dalam memeriksa arus ge-lombang. Kakek setengah tua yang juga menjadi kepala bagian
pendayung itu mengadakan peme-riksaan dengan teliti. Dia lalu menunjukkan arah arus air yang
menuju ke kiri. Sementara itu, bu-lan tua sudah naik semakin tinggi. Perahu mereka terus
dilajukan ke arah kiri dan semua orang ber-sikap tegang namun waspada karena nona mereka sudah
mengatakan bahwa mereka telah berada de-kat dengan tempat yang mereka cari.
"Nona, lihatlah! Air laut ini warnanya keme-rahan seperti darah !" kata seorang
dayang. "Dan baunya busuk sekali!" kata Pek Lian yang juga berada di tepi geladak perahu
bersama Siok Eng. Siok Eng juga meneliti ke arah air dan cuping hidungnya yang tipis itu
berkembang - kempis. Ti-ba - tiba ia berkata, suaranya mengandung kete-gangan dan kegembiraan, "Hati
- hati, agaknya daerah ini sudah termasuk perairan Ban - kwi - to. Air laut di sini sudah
beracun. Tutup hidung kali-an dengan saputangan, udaranya juga mengan dung racun. Nanti kuberi obat
penawar." Setelah nona itu mengeluarkan obat penawar berupa pel - pel putih kecil yang
dibagi - bagikan kepada anak buahnya, juga Pek Lian disuruh me-nelan sebutir, mereka
tidak perlu lagi melindungi pernapasan dengan saputangan. Akan tetapi ka-rena bau air laut amat
busuk, para dayang itu ber-bangkis - bangkis dan ada yang mau muntah.
Pek Lian bergidik ngeri. Sukar untuk dapat membayangkan bagaimana ada manusia
dapat hi-dup di tempat seperti ini. Dan iapun semakin ka-gum kepada Siok Eng. Ia tahu
bahwa kaum Tai-bong - pai adalah ahli - ahli racun, akan tetapi me-lihat seorang dara
remaja seperti Siok Eng bersikap sedemikian tenangnya menghadapi tempat yang amat berbahaya itu, ia
merasa kagum sekali. Ha-tinya terasa besar dan gembira untuk menghadapi petualangan bersama
seorang kawan seperti puteri ketua Tai - bong - pai ini.
Makin dalam mereka memasuki daerah itu, makin keras bau busuk dari air laut
merah. Akan tetapi tiba - tiba saja mereka telah melewati air berbau busuk itu, akan tetapi
sebagai gantinya, airnya kini berobah kehijauan dan baunya juga amat kecut, seperti bau keringat
yang sudah lama. "Ihh, seperti bau keringatmu, A - cin !' seorang dayang berolok kepada temannya.
"Sialan ! Keringatku tidak bau seperti ini, A-cui. Keringat seperti ini hanya
patut dimiliki oleh laki-laki !" "Hi - hik, ketahuan sekarang! Si A - cin agaknya sudah hafal akan bau keringat
laki - laki!" seorang dayang lain menggoda. "Tentu keringat pacarnya
seperti ini baunya. Wahhhh
I" "Lancang mulut! Kalau keringat pacarku se-perti ini baunya, dalam waktu sehari
saja mana aku kuat ?" kata pula A - cin dan semua dayang tertawa. Pek Lian ikut tersenyum.
Para dayang itu agaknya, sebagai orang - orang Tai - bong - pai, juga memiliki nyali yang besar
sehingga di tempat seperti itu masih sempat berkelakar. Memang bau air laut amat kecut,
mirip bau keringat. "Hei, kalian tenanglah!" tiba-tiba Siok Eng berkata. "Dan simpan kelakar kalian
itu. Ketahui- lah, kita sudah dekat! Ayah pernah bercerita bah-wa air laut yang merah berbau
busuk itu merupa-kan perbatasan, dan kalau sudah tiba di daerah air laut kehijauan yang
berbau masam, itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tanda-nya bahwa pulau itu akan kelihatan. Kita perhati-kan saja, menurut ayah
air laut akan berobah lagi kebiruan dan bau kecut itu akan terganti bau wa-ngi dan pulau itu
tentu akan kelihatan di depan kita."
Semua orang termasuk Pek Lian, kini dengan serius memperhatikan keadaan
Keruntuhan Netra Dahana 1 Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang Harimau Kemala Putih 7
^