Pencarian

Darah Pendekar 13

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


bahwa anak panah itu berbahaya sekali, keduanya
terpaksa menangkis dan meruntuhkan senjata - sen-
jata rahasia itu dengan pukulan sakti, akan tetapi
terpaksa pula mereka menurunkan kaki menginjak
ambang pintu dan merekapun terjeblos ke ba-
wah karena lantai berikut pintunya juga terjeblos
dalam jebakan rahasia itu! Guru dan murid ini
mengerahkan sinkang dan mereka berhasil berjung-
kir balik, membuat poksai (salto) ke atas sehingga
tubuh mereka yang sudah terjeblos ke bawah itu
mencelat ke atas lagi. Akan tetapi, kembali puluh-
an anak panah menyambar. Tentu saja mereka ter-
paksa menangkis dan tubuh mereka jatuh lagi ke
bawah dan lantai itupun telah tertutup kembali ke-
tika tubuh mereka meluncur ke dalam lubang yang
amat gelap. "Kerahkan ginkang !!" Yap-lojin masih sempat memperingatkan muridnya karena dia kha-watir kalau - kalau di bawah
terdapat senjata - sen-jata runcing menyambut tubuh mereka. Hanya dengan pengerahan
ginkang yang hebat saja mere-ka dapat menghindarkan maut kalau terjadi hal seperti itu dan
paling banyak hanya akan menga-lami sedikit luka - luka pada kaki mereka, Tentu saja Yap Kiong
Lee yang sudah banyak pengalam-an di dunia kang - ouw itupun telah tahu akan hal ini
sehingga tubuh guru dan murid itu melayang turun dengan ringan. Akan tetapi, mereka merasa lega
dan juga heran karena kedua kaki mereka hinggap di atas tanah kering biasa, tidak ada
sen-jata yang menerima tubuh mereka. Mereka telah tiba di dalam sebuah terowongan, lorong di
bawah tanah dan ada sinar menerangi terowongan itu dari depan dan belakang.
Sebelum mereka mengambil keputusan ke mana mereka akan mencari jalan keluar,
tiba - tiba terde-ngar bunyi ledakan cambuk, disusul suara gemuruh dan mencicit. Suara
tikus ! Dan kini nampaklah tikus - tikus itu. Tikus - tikus itu berwarna coklat dengan kepala dan
ekor berwarna putih. Kalau ha-nya seekor dua ekor, tentu binatang - binatang itu merupakan
tikus - tikus yang menarik, mungkin ba-gus untuk dipelihara. Akan tetapi, yang muncul ini bukan
seekor dua ekor melainkan ratusan dan ti-kus - tikus itu luar biasa besarnya, bukan seperti
tikus biasa. Juga mereka itu nampak ganas dan liar, sambil mencicit mereka menyerbu maju, ratusan
banyaknya, hampir memenuhi terowongan itu !
Melihat ini, guru dan murid cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri dari
tempat itu, menjauh. Mereka mengikuti terowongan yang berbelak-belok itu dan akhirnya
berhadapan dengan seorang kakek berwajah putih menyeramkan yang berdiri di de-pan sebuah pintu
baja. Kakek ini menyeringai dan tangannya bergerak mencabut obor yang tertancap
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
di atas pintu. Tiba - tiba pintu terbuka dan
ratusan, bahkan ribuan tikus putih menerobos ke-luar dan dengan bunyi bercicitan
menyerbu ke arah guru dan murid itu !
Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang sudah sering kali menghadapi
penjahat - penjahat kejam dan sudah sering menghadapi maut pula. dan Yap Kiong Lee juga
seorang pendekar yang berpengalaman. Namun belum pernah mereka menghadapi penyerbuan
ribuan ekor tikus yang kelihatan buas itu, maka mereka berdua terbelalak memandang dan
merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang bergidik. Mereka meloncat ke be-lakang dan
membalikkan tubuh hendak menjauh kan diri, akan tetapi dari arah belakang, barisan tikus
coklat yang tadi mengejar sudah datang, kini digiring oleh seorang kakek yang berambut coklat
penuh uban sambil tertawa - tawa. Karena berada di jalan terowongan dan sudah terjepit dari depan
dan belakang oleh dua barisan tikus, terpaksa Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berdiri tegak
beradu punggung saling membelakangi, memasang kudakuda dan siap untuk membela diri menghadapi ri-buan
ekor tikus itu. Diam-diam mereka mengerah-kan tenaga sakti Thian - hui Khong - ciang dan
be-gitu tikus - tikus itu sudah menyerbu dekat, kedua orang guru dan murid ini lalu menggerakkan
kedua tangan menyerang dan memukul ke depan. Terde-ngar suara gemuruh angin pukulan dahsyat
me- nyambar ke depan dan bagaikan petir menyambar pukulan - pukulan sakti itu
mengenai tikus - tikus dan batu - batu dinding. Tikus - tikus itu terpental dan darah
berhamburan, debu mengepul
tebal."Hati - hati, Kiong Lee. Jangan sampai tero-wongan runtuh terkena
pukulanmu!" teriak Yap-
lojin memperingatkan muridnya. Dia tahu bahwa muridnya itu marah dan pukulannya
mengandung tenaga dahsyat. Kalau sampai terowongan itu run-tuh karena pukulan
muridnya, berarti mereka akan terkubur hidup - hidup. Diam-diam guru ini amat kagum dan
sayang kepada muridnya atau anak angkatnya itu. Memang Kiong Lee memiliki bakat yang luar
biasa sehingga dalam usia semuda itu te-lah mewarisi ilmu - ilmu sakti dari perguruannya,
bahkan hampir mencapai tingkat yang sama de-ngannya.
Puluhan ekor tikus tewas dan hancur terbanting kepada dinding terowongan, dan
bau yang amat amis dan busuk memenuhi udara, memusingkan kepala guru dan murid itu,
"Suhu, tikus - tikus ini beracun !" teriak Kiong Lee.
"Tentu saja! Lindungi hidung dengan saputa-ngan." Mereka lalu mengeluarkan
saputangan dan mengikatkan saputangan itu di depan hidung.
Akan tetapi, tikus - tikus itu sungguh nekat dan liar sekali. Biarpun guru dan
murid itu sekali pukul membunuh puluhan ekor, namun yang datang se-makin banyak. Mati sepuluh
datang seratus! Dan ribuan ekor masih berjubel - jubel di belakang se-perti berebut
untuk dapat mengeroyok dua orang manusia yang menjadi musuh mereka itu, atau juga merupakan
calon - calon mangsa mereka. Bau amis membuat mata mereka berkunang. Biarpun mereka sudah melindungi hidung
dengan saputangan, tetap saja hawa beracun tikus - tikus itu membuat mereka
pengap dan sukar bernapas. Memang, dengan pukulan - pukulan Thian - hui Khong - ciang, tikus -
tikus itu tidak ada yang mam-pu mendekat, akan tetapi sampai kapan mereka akan mampu bertahan "
Tikus - tikus itu tak ter-hitung banyaknya, dan agaknya bukan liar atau bu-as lagi, melainkan
sudah gila dan agaknya sebelum habis sama sekali tidak akan mau mengaku kalah atau mundur. Dan
tidak mungkin guru dan murid itu akan sanggup bertahan demikian lamanya sam-pai tikus
- tikus itu habis."Suhu, kita menyerbu satu jurusan saja membu-ka jalan darah !" Tiba - tiba
Kiong Lee berkata, dan gurunya menjadi kagum dan girang. Memang be-nar pendapat muridnya.
Kalau mereka beradu punggung, masing - masing menghadapi satu ba-risan tikus, berarti
mereka terjepit dan harus me-layani barisan itu sampai habis, yang agaknya tidak
mungkin. Akan tetapi kalau mereka menyerbu satu jurusan saja, dengan kerja sama mereka, agaknya
mereka masih memiliki harapan untuk dapat mele-paskan diri dari himpitan maut ini.
"Baik, aku membantumu !" Yap - lojin berseru dan diapun membalik setelah lebih
dulu mengirim pukulan dahsyat yang membuat tikus - tikus di de-pannya itu terlempar
jauh ke belakang dan menjadi kacau. Mempergunakan kesempatan ini, dia mem-balik dan
membantu muridnya. Dengan pukulan mereka berdua, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi.
Gabungan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pukulan mereka membuat tikus-tikus coklat itu seperti sekumpulan daun kering di-
tiup angin badai. Ratusan ekor tikus terlempar saling bertubrukan dan bertumpuk - tumpuk.
Guru dan murid itu melakukan pukulan bertubi-tubi, lalu meloncat dan menggunakan tumpukan
bangkai tikus untuk menjadi batu loncatan, terus melarikan diri setelah melompati barisan
tikus coklat itu. Ka- kek penggiring tikus itupun tidak berani turun ta-ngan menyerang, bahkan mepet
di dinding karena merasa gentar melihat kelihaian guru dan murid itu. Akan tetapi, diapun
cepat membunyikan cam-buknya berdetak - detak dan tikus - tikus coklat itu.
diikuti oleh tikus - tikus putih, melakukan pengejar-an sambil mengeluarkan
bunyi bercicitan riuh-ren-dah. Udara di terowongan itu penuh dengan hawa beracun dari tikus - tikus itu. Yap -
lojin dan Kiong Lee merasa betapa kepala mereka pening sekali, akan tetapi mereka harus
berlari terus kalau tidak ingin celaka. Tiba-tiba mereka mendengar suara Pek Lian sayup-sayup
memanggil- manggil. Mereka berdua mempercepat lari mereka ke depan dan nampaklah oleh mereka tiga
orang dara itu berdempetan, berdiri ketakutan di sebuah ru-angan luas, dikepung oleh
ribuan tikus yang ber-macam - macam bentuk moncongnya dan berma-cam - macam pula warna bulunya.
Ada yang hitam, ada yang kemerahan atau bintik-bintik. Tikus-tikus itu sungguh amat luar
biasa banyaknya, sam-pai bertumpuk - tumpuk. Dan dari jarak jauh, nam-pak beberapa orang kakek
memegang cambuk yang dengan berbagai gaya dan cara memerintahkan ba-risan masing - masing
menyerang tiga orang dara itu. Namun, sungguh aneh. Tikus-tikus itu agak-nya
tidak berani menyerang, hanya memandang, mencicit dan memperlihatkan taring dengan buas-nya
tanpa berani maju menyerang. Tentu saja di-kerumuni ribuan ekor tikus yang
memperlihatkan sikap buas mengancam itu, tiga orang dara menja-di ketakutan dan jijik sekali. Agaknya
merekapun sudah bosan melawan tikus - tikus yang tiada habishabisnya itu, lelah dan muak
karena hawa beracun yang berbau busuk, apek dan amis.
"Yap - locianpwe tolonglah kami !" Pek Lian berseru ketika melihat Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berlarian datang.
Akan tetapi ia tidak tahu bahwa untuk menolong diri sendiri saja guru dan murid
itu sudah kerepot-an sekali. Kini tikus - tikus yang berada di ruangan itu, begitu melihat
munculnya Yap-lojin dan Kiong Lee, sudah membalikkan tubuh dan disertai suara mencicit riuh-rendah
mereka semua menyerbu ke arah Yap - lojin dan muridnya. Tentu saja guru dan murid ini
menyongsong mereka dengan pukulan sakti Thian - hui Khong - ciang. Kembali darah berhamburan ketika
tikus-tikus itu dilanda pukulan sakti. Akan tetapi binatang-binatang itu agaknya sudah sejak tadi menahan kemarahan
mereka ketika mereka secara aneh tidak berani menyerang tiga orang dara itu. Seperti
sekawanan tikus kelaparan melihat daging empuk tiga orang dara yang tinggal mengganyang saja
namun ada sesuatu yang mela-rang mereka atau membuat mereka tidak berani menyerang. Kini,
mereka menumpahkan semua kemarahan dan kerakusan mereka kepada dua orang pendatang baru
ini. Bagaikan air bah mereka itu menerjang datang. Tikus - tikus ini terdiri dari
ber-macam - macam jenis, menyerang menjadi satu, ri-buan banyaknya, disertai bau busuk menyengat
hidung. Kembali guru dan murid itu mengamuk, mengirim pukulan berantai bertubi-tubi, namun tikus
- tikus itu makin banyak juga yang datang menyerbu. Bau racun bercampur bau darah dan bau
kotoran mereka sungguh membuat udara di situ penuh racun.
Yap - lojin adalah seorang yang sakti, juga mu-ridnya amat gagah perkasa, dan
tiga orang dara itiipun bukan orang sembarangan. Di samping ini, mereka semua sudah menelan
pel anti racun yang amat mujarab. Namun, menghadapi bau yang ter-amat busuk ini, mereka
tidak dapat bertahan lagi dan isi perut mereka meronta, lalu mereka itu muntah - muntah!
Pek Lian yang memang sudah mempunyai pe-rasaan jijik terhadap tikus, dan di
antara mereka berlima itu dara inilah yang terhitung paling le-mah, tidak kuat dan
muntah - muntah lalu jatuh ter-duduk. Kepalanya pening bukan main. Untung ti-dak ada tikus yang
berani menyerangnya, karena kalau terjadi hal demikian, tentu ia dan dua orang kawannya
tidak akan dapat melawan dan tentu mereka akan dikeroyok dan diganyang sampai ha-bis oleh
tikus - tikus

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Mengerikan ! Syukur bah-wa tidak ada seekorpun yang berani menyerang
padahal begitu Yap- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lojin dan muridnya muncul, semua tikus berobah ganas dan menyerang dengan buas
dan berani. Mengapa demikian " Dalam kepeningannya, sambil duduk bersandar
dinding terowongan itu Pek Lian merenung. Apa-
kah karena mereka bertiga itu wanita maka tikus-
tikus ini tidak berani menyerang " Ah, mustahil!
Bukankah ketika pertama kali ia bertemu tikus-
tikus itu bersama Siok Eng, iapun dikejar - kejar "
Kenapa sekarang ah, kenapa ia lupa " Bu-
kankah ia dan Siok Eng membawa bubuk putih
yang mereka bungkus dengan saputangan itu "
Bukankah bubuk putih itu merupakan racun anti
tikus " Benar ! Itulah sebabnya dan agaknya Siok
Eng yang demikian gagahnya akan tetapi demikian
takutnya terhadap tikus sampai lupa pula akan hal
itu saking jijiknya menghadapi ribuan ekor tikus.
Kesadaran akan hal ini membangkitkan sema-ngat Pek Lian dan iapun membuka
matanya. Di-lihatnya kedua temannya sudah terduduk dengan lemas pula, di kanan kirinya.
Ketika ia melihat ke depan, ternyata guru dan murid yang lihai itu ma-sih mengamuk, akan tetapi
mereka berdua sudah kepayahan, terhuyung-huyung dan mepet ke din-ding terowongan. Tenaga
pukulan mereka tidaklah sedahsyat semula. Agaknya mereka mulai kehabis-an tenaga atau keracunan
oleh bau yang amat bu-suk itu. Pakaian guru dan murid itu yang terbuat dari sutera putih,
yang semula indah dan bersih, kini sudah koyak - koyak dan berlepotan darah. Di depan kedua
orang ini bertumpuk bangkai tikus dan daging-daging tikus yang hancur berserakan.
Baunya amat menjijikkan dan penglihatan itu sung-guh amat mengerikan. Tikus -
tikus itu masih terus menyerbu, tiada habis - habisnya dan jauh di bela-kang mereka nampak
kakek-kakek yang menjadi pawang - pawang mereka itu memegang cambuk, mendorong anak buah
mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Tikus - tikus itu mundur setiap kali dua orang
guru dan murid memukul, akan tetapi apa bila mereka berdua diam, mereka menyerbu. Ada beberapa
ekor telah bergantung di pakaian guru dan murid itu, mati akan tetapi mereka masih mengait
pada celana. Mengerikan! Dengan tubuh lemah Pek Lian lalu mengeluar-kan bungkusan bubuk putih itu sambil
berbisik kepada Siok Eng, "Eng-moi
kita lupa tidak mempergunakan bubuk anti tikus kita
" Siok Eng membuka matanya. Karena sinkang-nya jauh lebih kuat dibandingkan dengan
Pek Lian, maka iapun cepat dapat menguasai dirinya. "Aih, benar, enci!" Dan iapun
cepat mengeluarkan sa-putangan yang membungkus obat putih itu.
Dengan penuh harapan mereka lalu mengambil sejumput bubuk putih dan
menyebarkannya ke arah tikus - tikus yang mengurung guru dan murid itu. Dan begitu bubuk putih
itu disebarkan, tikus - tikus yang berada di dekat bubuk putih itu mencicit ke-takutan dan cepat
pergi menjauh. Hal ini meng-gembirakan hati dua orang dara itu yang cepat ber-jalan sambil
menyebarkan bubuk putih, membuka jalan ke arah Yap - lojin dan muridnya. Bwee Hong juga sudah
bangkit berdiri dan memandang dengan girang. Ia tahu apa artinya bubuk putih itu.
"Locianpwe, marilah mendekat ke sini !" kata Pek Lian. Yap - lojin dan Kiong Lee
juga merasa girang sekali. Melihat jalan terbuka, mereka berdua lalu berloncatan
mendekat dan bersatu dengan tiga orang gadis itu di dalam ruangan, sedangkan tikus-tikus itu
mengurung agak jauh, tidak berani men-dekat lagi dan mereka itu gelisah karena di satu pihak, para
pawang mereka membujuk mereka un-tuk maju, akan tetapi bubuk putih itu membuat mereka
ketakutan dan memaksa mereka untuk mundur menjauh.
Pek Lian berangkulan dengan Bwee Hong. Ba-ru sekarang mereka, dalam keadaan sama
- sama lemas, mendapat kesempatan untuk berdekatan.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Enci Hong, akhirnya kita dapat berkumpul dan sama - sama menempuh segala bahaya
lagi!" kata Pek Lian sambil mencium pipi yang kemerahan dan halus itu dengan
hidungnya. Bwee Hong membalas ciuman itu dan kedua pipinya menjadi semakin me-rah karena Pek
Lian bersikap sedemikian terbuka, padahal di situ ada Yap - lojin dan terutama sekali Yap
Kiong Lee. "Ah, adik Lian. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian yang telah
mempertemukan kita kem-bali, dan sekali ini engkau kembali telah menolong-ku dengan bubuk putihmu
yang mujijat itu!" "Hi - hik, bubuk ini adalah milik mereka," kata-nya sambil memandang ke
arah para pawang. "Un-tung adik Eng yang memperingatkan sehingga kami berdua membawanya dengan
saputangan." "Kita harus cepat - cepat keluar dari sini sebe-lum hawa beracun in'i membuat
kita semua ping-san," Yap - lojin berkata. "Hawa beracun ini lebih berbahaya dari pada
tikus - tikus itu sendiri." "Ke mana kita harus pergi " Lorong - lorong
di sini penuh rahasia dan tikus - tikus itu
" Kiong Lee mengeluh. Sementara itu, para pawang sudah memberi pe-rintah kepada tikus - tikus itu
dengan bermacam gerakan, suara dan ledakan cambuk. Dan tiba-tiba terdengar suara
berdesis - desis dan beberapa ma-cam tikus jenis tertentu mengeluarkan semburan yang mengeluarkan bau
yang luar biasa kerasnya, membuat ruangan itu penuh dengan hawa beracun ! Lima orang itu
merasakan ini dan kepeningan me-nyerang mereka, membuat mereka terhuyung-hu-yung.
"Mari kita pergi " Yap - lojin
memimpin kelompok itu meninggalkan ruangan se-telah dia menerima saputangan
berisi obat bubuk putih dari Pek Lian, sedangkan Kiong Lee juga menerima saputangan
berisi bubuk putih itu dari Siok Eng lalu dia berjalan di belakang. Dengan senjata bubuk
putih ini, mereka dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi keadaan mereka sudah payah, terutama sekali
Pek Lian yang paling lemah sinkangnya. Kepalanya terasa pening dan ia ter-paksa dipapah oleh
Bwee Hong dan Siok Eng yang lebih kuat sinkang mereka. Mereka semua merasa khawatir sekali.
Biarpun untuk sementara waktu, berkat khasiat bubuk putih, mereka terhindar dari maut karena
tikus - tikus itu takut menyerang mereka, namun keadaan mereka begini lemah dan ka-lau sampai tuan
rumah, Si Tikus Beracun, turun ta-ngan, bagaimana mereka akan mampu bertahan "
Pada saat yang amat gawat itu, Siok Eng ter-ingat akan botol berisi cairan
kuning yang diambil-nya dari dalam kamar merah, botol yang ada tulis-annya bahwa cairan
kuning itu adalah obat pena-war segala macam racun! Ia tadi sedang kebi-ngungan, karena biarpun
Tai - bong - pai merupakan perkumpulan para ahli racun, namun di antara obat - obat penawar racun
yang dibawanya sebagai bekal tidak terdapat obat untuk melawan hawa be-racun seperti
yang dikeluarkan oleh tikus - tikus itu. Kini ia teringat akan obat dalam botol yang
diper-olehnya di kamar Tikus Beracun, maka dikeluar-kanlah obat itu. Setelah diperiksanya,
sebagai se-orang ahli ia tahu bahwa obat itu dapat diperguna-kan dengan cara meminumnya, atau menciumnya
atau mengoleskannya. Memang benar obat pena-war segala macam racun. Iapun mencobanya
dan menciumnya dan seketika peningnya lenyap ketika ia mencium bau yang agak harum
itu, "Ah, inilah obat penawarnya. Harap kalian men-cium dan menyedotnya secara
bergilir," katanya. Empat orang yang lain itu menjadi girang dan cepat menyedot dari botol
cairan kuning itu dan memang mujarab bukan main. Mereka sembuh dan merasa tubuh mereka segar
kembali. Akan te-tapi, tiba - tiba Pek Lian jatuh terkulai.
"Celaka " keluhnya " obat bius
" dan dara inipun sudah jatuh pingsan !
Siok Eng dan Bwee Hong terkejut, apa lagi ke-tika mereka berduapun tiba - tiba
merasa lemas se-perti dilolosi semua urat dalam tubuh. Mereka men-coba mempertahankan
diri, namun terhuyung dan akhirnya jatuh pingsan pula !
Terdengar suara pecut meledak - ledak dan de-lapan orang pawang tikus telah
mengurung dan menyerang dengan cambuk - cambuk mereka. Yap-lojin dan Yap Kiong Lee juga
merasa betapa kele-mahan menyelubungi diri mereka, namun dengan pengerahan sinkang dan
kemauan membaja, mere-ka berdua masih dapat melakukan perlawanan dan dengan pukulan -
pukulan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sakti, mereka berdua ma-sih dapat menahan delapan orang itu sehingga mereka
tidak berani terlalu mendekat, hanya mengan-dalkan cambuk - cambuk panjang mereka untuk
menyerang dari jarak jauh. Akan tetapi, betapapun mereka mengerahkan tenaga mengamuk, dari dalam ada suatu
daya me-lumpuhkan membuat guru dan murid itu menjadi bulan - bulanan patukan dan
gigitan ujung cambuk delapan orang anak buah Tikus Beracun itu. Keti-ka Kiong Lee terhuyung ke
kiri, dia disambut oleh pukulan beracun pawang tikus putih, sebuah pu-kulan keras yang
menyambut dadanya. "Bukkk ! !" Kiong Lee mengeluh dan ter-
pental, kemudian terbanting ke dinding ruangan
itu dan jatuh terkapar dekat tubuh tiga orang dara
yang sudah pingsan terlebih dulu. Pemuda ini ti-
dak bergerak lagi. Tentu saja Yap - lojin merasa terkejut dan kha-watir bukan main. Dia tidak tahu
apakah murid-nya tewas atau hanya pingsan oleh pukulan yang keras tadi. Dia mengamuk
dan mengerahkan sin-kangnya, namun tenaganya semakin lemah dan diapun terhuyung -
huyung. 'Ha - ha - ha - ha ! Kiranya hanya sekian saja-kah kelihaian Yap - lojin yang
terkenal sebagai ke-turunan datuk utara Sin - kun Bu - tek itu " Ha-lia - ha, tidak berapa hebat!
Baru kau tahu seka-rang betapa lihainya para jago dari Ban - kwi - to, ha - ha !" Ini adalah
suara Tikus Beracun dan dia sudah berdiri di situ bersama puteranya si Tikus Langit Kecil yang
berdiri dengan sikap angkuh. Yap - lojin berhenti memandang dan kepalanya terasa semakin pening. Matanya
menjadi kabur dan musuh - musuhnya hanya kelihatan samar - samar saja. Akan tetapi,
kakek yang gagah perkasa ini tidak mau menyerah begitu saja, sedikitpun dia ti-dak menjadi
gentar. Nyawa empat orang muda yang sudah roboh entah pingsan entah tewas itu, kalau masih ada,
terletak dalam tangannya. Kalau dia jatuh, mereka semua tidak akan tertolong lagi. Dia sendiri
sudah lemah bahkan untuk berdiri tegak-pun sudah sukar, namun dia tidak memperlihatkan
kelemahannya. "Hemm, kalian majulah semua !" bentaknya.
"Tar - tar - tar - tarr !" Delapan orang pa-
wang itu tetap tidak berani mendekatinya karena
dari kedua tangannya keluar hawa pukulan yang
masih ampuh. "Minggirlah kalian !" tiba - tiba Siauw-thian-ci membentak. "Biar kuhadapi tua
bangka ini!" Sikap Siauw - thian - ci angkuh dan sombong karena memang matanya yang kecil
sipit akan tetapi tajam itu sudah dapat melihat bahwa kakek itu sudah kehilangan tenaga
saktinya dan gerakannya sudah kacau dan lemah. Kalau tidak melihat de-mikian, mana dia berani
omong besar " Tadi dia sudah menyaksikan sendiri kehebatan ketua Thian-kiam - pang ini.
Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu melawan dan mengalahkannya. Melihat kelemahan kakek itu,
Siauw-thian-ci dengan sikap sombongnya, untuk pamer kepada anak buahnya, melepaskan cambuknya
dan maju menyerang Yap-lojin dengan tangan kosong! Melihat ini, biarpun dia sudah lemah
dan terancam, Yap - lojin tidak mau mencabut pedangnya. Kalau tadi dia tidak
mencabut pedang ketika dikeroyok delapan, ada-lah karena untuk menghadapi cambuk


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- cambuk lemas itu lebih baik menggunakan kedua tangan, sekarang dia tidak mungkin
dapat menggunakan pedang melihat betapa penyerangnya hanya ber-tangan kosong saja.
Siauw - thian - ci menubruk ke depan dan me-ngirim pukulan kilat ke arah dada
Yap - lojin. Ka-kek ini mengenal pukulan berat, maka diapun cepat menangkis karena untuk
mengelak, dia sudah ku-rang gesit dan pandang matanya sudah kabur.
"Dukk !" Benturan kedua lengan yang ke-
ras itu membuat tubuh Yap - lojin terhuyung dan
sebelum dia mampu menguasai dirinya, Siauw-
thian - ci sudah menerjang lagi dengan tendangan-
nya yang mengenai pinggang lawan.
"Dess !" Tubuh kakek itu terpelanting.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini masih bangkit kembali, hanya untuk
menerima pukulan yang mengenai lehernya, membuat dia jatuh lagi dan terkapar pingsan.
Siauw - thian - ci menyeri-ngai puas dan bangga, lalu memandang kepada ayahnya, sikapnya menanti
perintah. Si Tikus Beracun memandangi tubuh lima orang yang sudah tak bergerak di atas
lantai itu, lalu dia berkata, "Hemm, mereka ini orang - orang berbaha-ya. Bunuh saja mereka
sekarang, tidak usah terlalu lama dibiarkan hidup, hanya akan merongrong kita saja!"
"Akan tetapi, tiga orang dara itu muda - muda, cantik dan mulus, ayah, apa lagi
yang berpakaian hitam itu. Sayang kalau dibunuh begitu saja," kata Siauw - thian -
ci, sikapnya ragu - ragu. Tikus Beracun menyeringai dan mengusap ku-misnya yang hanya beberapa
lembar, kumis tikus. "Heh - heh, benar juga ! Tapi yang berpakaian hi-tam itu untuk aku. Kau
ambil saja yang dua itu." Lalu dia memandang kepada Yap - lojin dan mu ridnya. "Akan tetapi
cepat bunuh dua orang itu, baru kita bersenang - senang dengan tiga orang da-ra itu."
Siauw - thian - ci menyeringai, terkekeh girang dan dia menghampiri tiga orang
dara yang sudah terkapar tak bergerak itu. Tangannya digerakkan ke depan, ke arah dada Pek
Lian, entah apa yang hendak diperbuatnya.
Sebelum jari - jari tangan yang kurang ajar itu berhasil menyentuh baju, tiba -
tiba terdengar ke-luhan dan ternyata Kiong Lee siuman ! Pemuda ini mengeluh dan
bangkit duduk, kepalanya digoyang-goyang seperti mengusir kepeningan, matanya dibu-ka. Tentu
saja Te - tok - ci dan Siauw - thian - ci menjadi terkejut dan khawatir sekali.
"Anakku, bunuh saja dulu bocah itu !" teriak Te-tok - ci.
Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Siauw-thian - ci mengerahkan tenaga pada
tangan kanan-nya, lalu dia menerjang ke depan, menghantam
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah ke-pala Kiong Lee yang masih duduk
dan masih na-nar itu. Kiong Lee terkejut dan cepat mengangkat lengan menangkis.
"Desss !" Benturan tenaga dahsyat itu
mengakibatkan, tubuh Siauw - thian - ci terlempar ke belakang sedangkan tubuh
Kiong Lee yang baru saja siuman itupun terguling - guling. Akan tetapi pemuda ini cepat
meloncat bangun dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebaliknya Siauw - thian - ci me-mandang dengan
muka pucat. Kiong Lee menoleh ke arah gurunya dan tiga orang dara itu. Melihat mereka
menggeletak pingsan, diapun marah bukan main dan dicabutnyalah sepasang pedang dari
punggungnya. Nampak sinar berkilat disusul dua gulungan sinar pedang menyambar - nyambar !
(Bersambung jilid ke XVII.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XVII SIAUW-THIAN-CI dan Te-tok-ci kaget setengah mati. Cepat - cepat mereka melon-cat
ke sana - sini untuk menghindarkan cengkeram-an maut melalui sinar pedang itu dan
merekapun sudah mencabut senjata masing - masing. Te - tok-ci mengeluarkan sebatang golok.
Biarpun kelihat-annya sebatang golok biasa saja, akan tetapi se-sungguhnya golok ini
istimewa sekali. Bukan ha-nya terbuat dari logam mulia yang amat kuat, akan tetapi juga
diperlengkapi dengan alat - alat rahasia sehingga golok ini dapat digerakkan dengan per menjadi
memanjang atau memendek sesuka hati pemegangnya, dan gagangnya dapat menyem-burkan jarum-jarum
beracun. Selain itu, juga ga-gang golok itu diikat dengan tali yang membuat
golok itu dapat dilempar seperti golok terbang dan dapat kembali kepada pemiliknya ketika
tadinya ditarik. Sebuah senjata istimewa yang berbahaya sekali! Sedangkan Siauw - thian - ci
lebih suka mempergunakan senjata kepercayaannya, yaitu cambuk panjang yang mengandung
rambut- rambut baja halus dan mengandung racun pula.
"Cringgg !" Sedikit bulu cambuk rontok
ketika bertemu pedang. "Tranggg ! !" Telapak tangan Te - tok - ci
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tergetar hebat. Ayah dan anak itupun terkejut dan maklum bahwa pemuda pakaian
putih itu sungguh merupakan seorang tokoh Thian - kiam - pang yang amat lihai. Sepasang
pedang itu kini menyambar-nyambar, membentuk dua gulungan sinar yang panjang dan menyilaukan,
seperti sepasang naga bermain di angkasa, menyemburkan maut!
Biarpun dikeroyok dua oleh tokoh pertama Tu-juh Iblis Ban-kwi-to dibantu
puteranya yang ju-ga amat lihai, namun Kiong Lee sama sekali tidak terdesak. Bahkan gulungan
sinar pedangnya me-rupakan bahaya besar bagi kedua orang pengero-yoknya, terutama sekali Siauw -
thian - ci yang berkali-kali terpaksa harus berlindung menyela-matkan diri di belakang
ayahnya. Beberapa kali jarum - jarum rahasia dari golok itu menyambar, namun hal itu sia - sia
belaka karena semua jarum runtuh oleh sinar pedang yang seolah - olah telah membentuk benteng sinar
yang kokoh kuat. juga beberapa kali golok itu melayang, terbang me-nyambar ke arah lawan
seperti benda hidup, akan tetapi hampir saja pedang di tangan Kiong Lee berhasil memukul jatuh
golok itu sehingga pemi-liknya menjadi gentar untuk melemparkannya lagi.
Sementara itu, tiga orang dara dan Yap - lojiri mulai bergerak dan mengeluh.
Melihat ini, tentu saja Te-tok-ci menjadi khawatir sekali. Dia me-ngeluarkan seruan panjang
dan bersama puteranya dia menghilang di balik dinding yang ada rahasia-nya. Juga delapan
orang pawang tikus telah menghilang. Kiong Lee cepat menolong gurunya dan tiga orang dara itu. Dengan totokan, dia
mempercepat kesadaran mereka. Dan mereka belima terheran-heran karena kini,
setelah siuman, tenaga mereka bukan hanya pulih kembali, bahkan merasa betapa tubuh mereka segar
sekali, seperti orang yang baru habis makan kenyang atau mandi air sejuk! Itulah khasiat
dari cairan kuning yang mereka sedot tadi! Cairan kuning itu membersihkan, bukan hanya
membersihkan hawa beracun, akan tetapi juga membersihkan darah dan rongga dada dan perut
secara luar biasa sekali. Akan tetapi, saking keras-nya obat ini, pemakainya memang biasanya
terti-dur atau pingsan lebih dulu, seperti yang dialami oleh mereka. Untung bahwa Kiong Lee
yang ping-san terlebih dahulu sehingga dia lebih dahulu pula siuman dan dapat menyelamatkan
mereka berlima yang terancam bahaya maut.
Setelah ditinggalkan oleh Tikus Beracun dan anak buahnya, lima orang itu mulai
mencari jalan keluar. Akan tetapi, mereka berputar - putar menu-rutkan lorong bawah
tanah dan tidak pernah ber-hasil menemukan jalan keluar dari terowongan itu. Tiba - tiba Kiong
Lee membungkuk dan mengam-bil sesuatu dari atas lantai lorong.
"Aih, itu saputanganku !" tiba - tiba Pek Lian berkata sambil menerima
saputangan itu dari Kiong Lee. "Benar, saputanganku yang terjatuh tanpa kuketahui. Ah, aku ingat
sekarang. Tak jauh dari sini terdapat pintu rahasia keluar. Kita jalan lurus saja dari sini, jangan
berbelok - belok. Saputangan ini terjatuh ketika untuk pertama kalinya aku dan adik Siok Eng
memasuki terowongan ini. Aku ter-lonjak kaget ketika menginjak seekor tikus. Ingatkah
engkau, adik Eng ?" Siok Eng mengangguk dan merasa girang karena iapun ingat bahwa tak jauh dari
situ terdapat jalan keluar. Mereka lalu maju terus, kini Pek Lian di depan sebagai
penunjuk jalan. Ingatan nona ini kuat sekali sehingga tak lama kemudian mereka tiba di jalan
buntu, tertutup oleh sebuah pintu baja. Pek Lian mengamati pintu itu dan berseru girang.
"Nah, inilah pintu rahasia itu! Di balik pintu ini terdapat jalan keluar. Akan
tetapi, aku tidak tahu rahasia cara membukanya. Tentu ada alatnya. Mari kita sama - sama mencari
alat rahasia untuk membukanya." "Biar kudobrak saja dengan kekerasan," kata Kiong Lee.
Gurunya mencegahnya. "Jangan. Pintu rahasia tidak boleh dibuka dengan kekerasan,
karena kalau hal itu dilakukan tentu akan mendatangkan baha-ya lain. Mari kita cari
alat rahasia pembukanya itu." Akan tetapi, sampai pusing dan bosan mereka mencari, tidak juga mereka dapat
menemukan alat rahasia pembuka pintu itu. Akhirnya mereka men-jadi bosan dan
putus asa. "Kita cari jalan keluar lain saja !" kata Bwee Hong.
"Nanti dulu " Pek Lian berseru dan ia ter-
ingat akan tempat lampu minyak di atas pintu baja
di mana tikus-tikus itu ditempatkan. Ia lalu me-
loncat ke atas, tangannya bergantung kepada celah-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
celah di atas pintu dan meraba - raba. Benar saja,
di atas daun pintu terdapat sebuah lubang dan di
situ terdapat pula sebuah lampu minyak. Ia men-
coba untuk mencabut lampu itu, akan tetapi tidak
bergoyang sedikitpun. Lalu diputar - putarnya dan
tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan daun
pintu itupun terbuka! Semua orang bersorak ke-
girangan. "Engkau memang hebat, enci Lian!" Siok Eng memujinya ketika Pek Lian melompat
turun. "Sudahlah, mari kita lari ke pantai!" kata Pek Lian. Mereka berlima cepat
berlari - larian menuju pantai, Pek Lian dan Siok Eng menjadi penunjuk jalan karena kedua orang
dara ini hendak mencari perahu-kecil mereka, yaitu milik Tiat - siang - kwi, tokoh ke dua dari
Tujuh Iblis Ban - kwi - to, perahu yang mereka larikan itu. Begitu mereka menemukan perahu, mereka
berlima segera naik ke perahu kecil itu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Pada saat itu,
mereka melihat orang berbondong - bon-dong lari ke pantai. Mereka telah ketahuan oleh Tikus
Beracun dan anak buahnya, akan tetapi pe-rahu mereka telah menjauh dan mereka telah aman dari
gangguan iblis- iblis jahat itu. ***"Ah, ternyata telah sehari penuh kita terkurung di dalam terowongan bawah
tanah itu," kata Yap-lojin. "Untung ada nona Ho Pek Lian, kalau tidak
ah, agaknya aku orang tua ini sekarang hanya
tinggal nama saja. Aku dan muridku ini sungguh berhutang budi dan nyawa kepada
nona Ho." "Aih, Yap - locianpwe, bagaimana dapat bersi-kap sungkan begitu " Di antara
kita ini mana bisa dikatakan melepas dan berhutang budi " Aku bah-kan berterima kasih sekali
dapat bertemu kembali dengan enci Bwee Hong. Bagaimanakah enci Bwee Hong dapat muncul secara
demikian tiba-tiba bersama locianpwe di pulau iblis itu " Aih, enci Hong, aku sudah putus
harapan dan mengira eng-kau telah benar-benar lenyap ditelan lautan ga-nas," kata Pek Lian.
"Sama saja dengan kekhawatiranku, adik Lian. Kusangka engkaupun sudah lenyap
ketika aku ter-cebur ke dalam lautan itu."
"Ah, aku kebetulan sekali bertemu dengan pera-hu adik Siok Eng dan ialah yang
menolongku. Ke-mudian ia mengajakku ke Pulau Ban - kwi - to itu karena ia hendak
mencari setangkai bunga obat yang hanya terdapat di sana. Dan engkau sendiri bagaimana,
enci Hong ?" "Akupun terapung - apung dan kebetulan ber-temu dengan perahu Yap - locianpwe
sehingga be-liau dan Yap - taihiap yang menyelamatkan aku. Karena mereka berdua sedang
menuju ke Pulau Ban - kwi - to untuk mencari putera Yap-locianpwe, maka akupun ikut dengan
mereka. Sama sekali tidak pernah kuduga bahwa di tempat pesta yang berbahaya itu aku


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bertemu dengan engkau dan adik Siok Eng yang menyamar sebagai selir-selir cantik!"
Tiga orang gadis itu lalu bercakap - cakap de-ngan gembira setelah pertemuan
yang sama sekali tak tersangka - sangka itu, pertemuan yang menda-tangkan kegembiraan
karena melihat kenyataan bahwa teman yang disayangnya itu ternyata masih dalam keadaan selamat.
Apa lagi setelah apa yang mereka alami di terowongan itu dan kemudian mereka bersama
berhasil menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut.
"Nona Ho," akhirnya Yap - lojin berkata, "ka-lau nona mengetahui di mana adanya
puteraku, harap segera memberi tahu karena aku ingin sekali tahu di mana dia berada."
Darah 17 "Dia berada tak jauh dari sini, locianpwe. Di
pulau kediaman Thian - te Tok - ong "
"Hemm, Si Kelabang Hijau tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu ?"
"Benar, locianpwe. Lihat, air laut di sini berwarna kekuning - kuningan dan
berbau busuk." "Memang begitu," kata Siok Eng yang banyak tahu tentang Ban - kwi - to karena
sebelum berang-kat ia telah mempelajarinya dari ayahnya. "Air laut di sini terkena
pengaruh racun membusuk dari bangkai - bangkai dan tulang - tulang yang dibuang oleh Tiat -
siang - kwi tokoh KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ke dua dari Tujuh Iblis. Tempat ini sudah termasuk wilayahnya. Nah, itu pulau
yang nampak gersang di depan, di sanalah raksasa itu tinggal."
"Hemm, tempat mengerikan," kata Kiong Lee. "Tidak nampak pohon sama sekali.
Hanya batu dan pasir melulu. Tempat berbahaya !"
"Lebih baik kita berputar dan menghindari tem-pat ini. Bukan main busuk baunya."
Perahu didayung terus meninggalkan pulau ger-sang itu dan bau busuk itupun makin
menghilang dan kini air laut berobah warnanya menjadi agak kebiruan bercampur
warna ungu, dan bau yang tadinya busuk seperti bangkai itu kini berobah menjadi amis sekali,
makin lama makin memuakkan! Semua orang memencet hidung karena bau itu membuat orang ingin
muntah. "Daerah ini termasuk wilayah orang terakhir dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to,
yaitu suami isteri Im - kan Siang - mo. Pulau kediaman mereka penuh dengan lumut dan rawa - rawa,
banyak terdapat binatang air dan binatang melata yang beracun sekali. Lihat, itu
pulaunya sudah tampak dari sini," kata pula Kwa Siok Eng puteri ketua Tai-bong-pai itu.
Karena ingin tahu, Yap - lojin mengajak mereka untuk mendayung perahu itu
mendekati pulau, apa lagi karena arus di situ kuat sekali. Tiba - tiba mereka mendengar
suara mendengung - dengung dari atas pulau dan nampaklah sekelompok lebah terbang lewat dan tercium
bau wangi arak. "Ahh lebah arak putih !" seru Yap - lojin
dan wajahnya berobah karena dia tahu betapa ja-hat dan berbahayanya lebah -
lebah itu. "Kurang ajar !" Tiba - tiba Kiong Lee memaki dan memalingkan mukanya agar tidak
melihat apa yang terjadi di atas pasir di pantai yang berdekatan. Akan tetapi, tanpa
disengaja, seruannya itu bahkan membuat tiga orang dara memandang ke arah pan-tai. Mata mereka
terbelalak, muka mereka berobah merah sekali dan cepat - cepat merekapun membu-ang muka. Apakah
yang mereka lihat di sana " Dua orang manusia berlainan kelamin, seorang pria dan
seorang wanita, sudah kakek dan nenek, akan tetapi gaya dan lagaknya membuat orang - orang muda
merasa malu. Mereka berdua itu sedang bersendau
gurau bermain cinta di atas pasir dalam keadaan telanjang bulat!
Dua orang itu bukan lain adalah Im- kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo - ko dan Hoan Mo
- li, suami isteri yang jahat seperti iblis dan yang tidak tahu malu itu, orang ke
enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to. Ketika mereka melihat ada pe-rahu lewat, keduanya
cepat mengenakan pakaian, lalu mereka memaki - maki, mencak - mencak dan mencari perahu mereka
untuk melakukan pengejar-an. Akan tetapi, Yap - lojin dan rombongannya su-dah cepat
meninggalkan pulau cabul itu ! Atas petunjuk Siok Eng, perahu itu kini mema-suki daerah yang berbau semerbak
harumi dan air laut kini berobah warnanya, menjadi kemerahan! Siok Eng memperhatikan
sekeliling lalu berkata, "Kita telah memasuki daerah kekuasaan Jeng - bin Siang-kwi (Sepasang
Iblis Bermuka Seribu), dua orang wanita kembar yang menjadi tokoh ke tiga dan ke empat dari
iblis - iblis itu. Mereka adalah sepasang wanita cantik yang ganas dan kejam bu-kan main.
Kesukaannya adalah mengumpulkan pemuda - pemuda tampan."
"Heii ! Perahu kita oleng !" teriak Pek Lian.
Air laut nampak bergelombang dan perahu mereka oleng ke kanan kiri. Tiba - tiba
mereka merasa perahu mereka tertumbuk sesuatu dan tergetar he-bat seperti dihantam oleh
sesuatu dari bawah. Dan di sekeliling perahu itu mendadak muncul moncong- moncong binatang
yang bergigi tajam ma-cam moncong buaya.
"Wah, perahu kita bocor!" teriak Kiong Lee "Cepat dayung perahu ke pulau !"
teriak pula Yap-lojin dan dia menggunakan dayung, dibantu muridnya, menghantam ke arah
moncong - moncong buaya laut yang tersembul di sekitar perahu. Akan tetapi, air mulai
memasuki perahu dan untunglah bahwa tiga orang dara yang mendayung perahu itu memiliki tenaga
sinkang yang kuat sehingga pera-hu sudah hampir mencapai pantai ketika air sema-kin
memenuhinya. Merekapun berloncatan ke pan-tai. Perahu tenggelam !
Sejenak mereka berlima berdiri bengong meman-dang ke arah perahu mereka yang
tenggelam dan perahu itu bergerak ke sana - sini seperti diserang oleh binatang
- binatang buas KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu di dalam air. Tak lama kemudian, nampak pecahan - pecahan perahu mereka
terapung di permukaan air. Yap-lojin menghela napas panjang sedangkan gadis-gadis itu bergidik. "Untung
kita sudah dekat dengan pulau ini, kalau di tengah-tengah lautan bisa berbahaya. Sekarang
kita harus berusaha men-dapatkan perahu lain."
Dengan hati-hati mereka berlima menyusuri pantai. Pulau itu merupakan pulau yang
indah dan subur, penuh dengan pohon-pohon yang hijau dan rimbun daunnya. Juga banyak
pohon- pohon bunga tumbuh di sana - sini, bentuk dan warnanya ber-macam - macam, selain
indah dipandang, juga se-dap dicium karena baunya harum semerbak.
"Kita harus hati - hati. Biarpun bunga - bunga itu kelihatan indah dan berbau
harum, akan tetapi semua itu beracun !" kata Siok Eng memperingat-kan. Bwee Hong dan Pek
Lian memandang kagum dan menjulurkan lidah.
Tiba-tiba Yap - lojin memberi isyarat dan mereka semua cepat menyelinap dan
bersembunyi di balik pohon - pohon, mengintai ke depan. Dari ja-uh nampak dua orang wanita
kembar sedang ber-jalan mendatangi tempat itu, bergandeng tangan dengan dua orang pemuda.
Kedua orang pemuda itu kelihatan lesu dan loyo, mandah saja digandeng dan diajak berjalan ke
manapun. Ketika mereka sudah tiba agak dekat, Bwee Hong memegang ta-ngan Pek Lian. Nona
inipun sudah mengenal kedua orang pemuda itu. Yang seorang adalah kakak Bwee Hong,
yaitu Chu Seng Kun, sedangkan pemuda yang ke dua adalah A-hai, pemuda sinting yang aneh itu !
"Kakakku !" Bwee Hong berbisik, lirih
akan tetapi terdengar oleh empat orang kawannya.
"Ssttt !" Kwa Siok Eng memberi isyarat.
"Hati-hati, lebih baik kita membayangi mereka. Kelihatannya kakakmu itu
keracunan, mungkin terbius atau keracunan hebat karena racun peram-pas ingatan."
"Hemm, itukah kakakmu yang kaucari-cari itu?" tanya Yap - lojin
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** ke dalam sebuah gedung, langsung mema-suki ruangan belakang. Dua orang pelayan
wanita sibuk mengeluarkan hidangan di atas meja dan mereka berempat lalu berpesta -
pora, makan minum Sepasang iblis itu dengan sikap manja dan genit beberapa kali menyuguhkan
arak kepada sepasang pemuda tampan, atau menyuapkan makanan de-ngan sumpit mereka, dan
kadang - kadang men-cumbu mereka. Melihat ini, kembali tiga orang dara itu menjadi merah
mukanya, akan tetapi seka-li ini Bwee Hong hampir tidak kuat bertahan dan ingin menyerbu
saja. "Enci Hong, harap bersabar. Kita harus berha-ti - hati. Ilmu silat kedua orang
iblis itu sih tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi mereka itu licik sekali dan ilmu mereka
tentang racun amat hebat. Apa gunanya kita turun tangan menolong kakakmu kalau kemudian ternyata
bahwa kakakmu keracun-an hebat dan sukar ditolong nyawanya " Kedua
orang pemuda itu jelas dalam keadaan tidak wajar. Tentu ada sebabnya," bisik
Siok Eng. Pek Lian mengangguk - angguk. "Enci Hong. apa yang diucapkan Eng-moi itu memang
benar. Kaulihat saja A - hai itu. Dia adalah seorang yang wajar dan tidak mampu
pura - pura, kini diapun kelihatan tidak wajar dan seperti kehilangan akal. Aku yakin bahwa mereka
berdua itu dalam keada-an terbius atau terampas akal mereka oleh racun yang digunakan oleh
dua iblis itu. Kita menanti saat yang baik."
Akan tetapi kini dua orang wanita kembar itu sudah bangkit dan menggandeng kedua
orang pemuda memasuki sebuah kamar besar dan lima orang yang mengintai itu tidak dapat
mengintai lagi. Sebelum mereka tahu apa yang harus mereka la-kukan, tiba-tiba terdengar
suara parau dari jauh. "Siang - sumoi ! Di mana kalian ?"
Kemudian, terdengar langkah-langkah yang membuat lantai tergetar. Muncullah
seorang rak-sasa yang memasuki ruangan itu dan langsung ma-suk ke dalam kamar besar di
mana dua orang iblis cantik dan dua orang mangsanya tadi masuk.
"Kiong Lee, lihatlah apa yang terjadi di dalam, Biar kami menanti di sini dan
baru turun tangan kalau kauberi isyarat. Hati-hati, jangan semba-rangan bertindak."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Baik, suhu !" Dan tubuh pemuda itu sudah mencelat ke atas, menerobos daun -
daun pohon dan hinggap di atas wuwungan rumah. Gerakan-nya gesit seperti terbang saja
sehingga Bwee Hong yang telah memiliki ginkang paling hebat itupun memandang kagum. Apa
lagi Pek Lian yang paling rendah tingkat kepandaiannya, memandang terbe-lalak. Siok Eng juga
kagum memuji, "Bukan ma-in !"
"Dia memang anak yang baik dan patut dibang-gakan," kata sang guru sambil
tersenyum. Yap-lojin sengaja mengutus murid atau putera angkat-nya itu untuk melakukan
pengintaian sendiri saja. Kalau mereka berlima semua mengintai di atas wuwungan, tentu mudah
diketahui lawan, dan se-lain itu, yang terpenting baginya adalah agar tiga orang dara itu tidak
usah melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu, yang diduganya tentulah adeg-an cabul yang
tidak layak ditonton gadis - gadis seperti mereka.
Kiong Lee mengintai ke dalam. Dari sebuah lubang di genteng dia melihat Seng
Kun, kakak Bwee Hong itu, rebah di atas sebuah kursi panjang sambil minum arak. Pemuda lain
yang bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah, yang oleh Pek Lian disebut bernama
A - hai, nampak tertelungkup di atas meja, agaknya sudah mabok dan tertidur.
Di atas tempat tidur rebah dua orang wanita kembar itu, dengan pakaian hampir
telanjang. Mereka itu cekikikan, entah apa yang mereka bicara-kan dan tertawakan.
"Siang - sumoi, di mana kalian ?" seruan lantang dari Tiat - siang - kwi, ji-
suheng mereka itu mem-buat mereka cepat bangkit dari tempat tidur. Akan tetapi sebelum mereka
sempat membetulkan pakai-an dalam yang awut - awutan itu, si raksasa sudah muncul dari
luar memasuki kamar besar itu. "Ha - ha - ha, Siang-sumoi, kalian sungguh tidak manis kepadaku ! Berkali - kali
kalian menghindar-kan diri, menjauhi aku dan tidak mau melayaniku seperti biasa,
padahal dahulu kalian suka saling berebut untuk melayaniku. Hemm, sejak kalian merampas dua orang
bocah itu dari tangan San-hek - houw dan Sin - go Mo Kai Ci, kalian seperti sudah lupa diri.
Ini namanya

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan keka-sih baru melupakan yang lama. Jangan begitu, Siang - sumoi,
sekali ini kalian harus melayani aku, untuk mengobati rinduku kepada kalian yang su-dah bertumpuk
- tumpuk !" Raksasa itu lalu me-langkah maju mendekat.
Kini dua orang wanita itu sudah berdiri berdam-pingan menghadapi si raksasa.
Mereka memang cantik dan bertubuh denok menggairahkan dan nampaknya usia mereka antara
tigapuluh sampai tigapuluh lima tahun.
"Ji-suheng, pergilah dan jangan ganggu kami.
Kami sedang lelah " kata seorang di antara
mereka. "Biar lain hari saja kami melayanimu, ji - su-heng!" kata yang ke dua.
"Ha - ha - ha, kalian lelah karena susah payah membujuk dua orang muda yang
keras kepala itu, ya " Ha - ha, kenapa susah - susah membujuk rayu orang - orang yang
tidak mau. sebaliknya menolak orang yang mau dan bergairah besar seperti aku " Sudahlah,
Siang-sumoi, kita panggang saja daging kedua orang muda ini. Dagingnya kalau dipang-gang
tentu lezat dan akan kuajarkan kalian makan daging manusia yang selain lezat juga dapat men-
datangkan kekuatan. Dan mari kalian layani aku, mari kita main - main sepuasnya seperti
dahulu !" Raksasa itu mengulur tangan hendak merangkul mereka.
Akan tetapi dua orang wanita itu mengelak dan kelihatan marah. "Ji - suheng,
ingat bahwa engkau berada di tempat kami. Pergilah dan jangan gang-gu kami. Ataukah kami
harus menggunakan keke-rasan ?"
"Ha - ha - ha, apakah kalian juga ingin aku menggunakan kekerasan untuk bermain
- main de-ngan kalian ?" Raksasa itu menubruk ke depan,. akan tetapi kedua orang wanita
itu bukan hanya mengelak, bahkan kini menyerang dari kanan kiri dengan hebatnya !
Terjadilah perkelahian mati - matian dalam ka-mar itu ! Walaupun mereka itu
masih merupakan sekutu bahkan saudara - saudara seperguruan, na-mun karena mereka
adalah datuk - datuk kaum se- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sat yang batinnya dipenuhi oleh nafsu pementingan diri sendiri, mereka saling
serang dengan sungguh-sungguh dan mati-matian. Mereka tidak saling mempergunakan racun
karena maklum bahwa hal itu tidak berguna mengingat bahwa mereka bertiga itu sudah
kebal racun, maka mereka berkelahi de-ngan mempergunakan ilmu silat saja. Dan dalam hal ilmu
silat dan tenaga, sepasang wanita kembar itu harus mengakui keunggulan si raksasa.
Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) tertawa-tawa ketika dia mulai dapat melukai
dua orang sumoi-nya dengan pukulan - pukulan, tendangan dan ka-dang-kadang cengkeraman
tangannya. Dia mera-sa gembira bukan main dapat menghajar dua orang wanita itu. Tubuh yang
hanya tertutup pakaian dalam yang banyak memperlihatkan kulit tubuh yang mulus itu
menjadi bulan - bulan pukulan, tam-paran dan tendangan, nampak lecet - lecet dan ma-tang biru
babak - belur. Bahkan darah mulai mele-leh dari mulut dan hidung mereka. Hal ini mem-buat si
raksasa semakin bernafsu dan gembira. Tentu saja Tiat - siang - kwi tidak pernah men-cinta dua orang wanita itu dalam
arti yang se- sungguhnya, baik mencinta sebagai pria terhadap wanita maupun mencinta sebagai
saudara terhadap adik - adik seperguruannya. Yang ada hanya nafsu dan kalau dia kadang-
kadang bermain cinta de-ngan mereka, sepenuhnya yang menjadi pendorong hanyalah nafsu
berahi yang memperalat orang lain demi pemuasan diri. Kini, nafsu berahinya agaknya telah
berobah menjadi nafsu kekejaman dan kesa-disan melihat tubuh yang mulus itu mulai babak belur
dan berdarah. Chu Seng Kun yang tadinya rebah di atas kursi sambil minum arak, memandang
dengan sikap te-nang dan tidak acuh, akan tetapi A - hai yang ta-dinya tertelungkup di
atas meja dan seperti tidur nyenyak, kini sudah bangkit berdiri, mukanya men-jadi pucat
melihat penyiksaan sadis yang dilakukan oleh si raksasa itu terhadap dua orang wanita yang kini
hanya dapat melawan dengan lemah saja. Mu-lut A - hai komat - kamit dan terdengar dia menge-
luh panjang pendek. "Ahhh jangan berkelahi ...... jangan mem-
bunuh, ahhh jangan menggunakan kekerasan
untuk menyiksa orang lain
" Ketika dia melihat
darah bercucuran dari hidung dan mulut sepasang iblis kembar yang cantik itu, A
- hai menutupi mu-kanya dengan kedua tangan dan dengan terhuyung-huyung seperti orang
mabok diapun sempoyongan menuju ke arah pintu keluar.
"Ha - ha - ha !" Si raksasa terbahak dan dengan dua kali jotosan, tubuh dua
orang wanita itu terpe-lanting roboh dengan napas senin-kemis. Melihat betapa dua orang
lawannya sudah tidak mampu melawan lagi, dan melihat A - hai menuju ke pintu, Tiat-siang-kwi
membentak, "Heh, kelinci tolol, kau hendak lari ke mana " Engkau kasihan dan-sayang kepada mereka, ya " Pantas
mereka tidak mau lagi dengan aku. Huh, lihat saja nanti kalau sudah kuganyang dagingmu
dan kuminum darah-mu !" Melihat raksasa itu mengejar ke pintu, ke arah A-hai yang hendak pergi
meninggalkan kamar itu, Kiong Lee sudah bersiap - siap. Dia tidak mungkin membiarkan raksasa itu
membunuh pemuda yang kelihatan lemah itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar siulan keras.
Itulah siulan gurunya yang memanggilnya ! Dia cepat menoleh dan meman-dang ke bawah. Kiranya
di dalam gelap itu telah terjadi pertempuran. Si Tikus Beracun dan Im-kan Siang-mo, suami
isteri cabul itu, telah datang mem-bawa anak buah mereka. Melihat ini, Kiong Lee menjadi bingung,
mana yang harus dibantunya lebih dulu.
Terdengar suara gaduh di dalam kamar. Dia memandang dan dia mengerutkan alisnya.
Ternya-ta dia telah terlambat. Pemuda itu telah dihajar, terkena pukulan keras
dari kepalan tangan yang besar dan kuat dari Tiat - siang - kwi sehingga pemuda itu terlempar
menabrak meja, lalu jatuh tunggang-langgang dengan darah mengucur dari luka di dahinya. Pemuda
itu bangkit duduk, nam-pak nanar dan tangannya meraba ke arah dahi yang terbuka.
Kembali terdengar siulan gurunya. Kiong Lee
semakin bingung. Dia melihat betapa Tiat - siang-
kwi sudah mencabut senjatanya, yaitu golok ger-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
gaji yang besar mengerikan. Agaknya raksasa itu
benar - benar hendak membantai dan menguliti
pemuda itu. Pada saat itu, A-hai mengusap luka-
nya dan ketika dia melihat tangannya penuh darah,
juga mukanya menjadi berlepotan darah, terjadi
perobahan hebat pada dirinya. Matanya terbelalak,
mencorong ganas, dan lidahnya terjulur menjilati
darah yang berlepotan di telapak tangannya sambil
menggumam lirih, "Darah
darah !" Me- lihat ini, Kiong Lee terbelalak dan merasa kasihan
sekali. Dia mengira bahwa tentu pukulan si raksa-
sa tadi telah mengakibatkan luka di dalam kepala
pemuda itu sehingga dia mendadak menjadi gila!
Dan Tiat - siang - kwi sendiripun melihat ini dan
si raksasa tertawa lalu menyimpan kembali golok-
nya. "Ha - ha - ha, akan kubeset kulitmu dengan ku-ku jari tanganku saja, ha-ha-ha!"
katanya dan tiba - tiba kata - katanya terhenti dan matanya ter-belalak ketika dia
melihat secara luar biasa
sekali pemuda yang menjilati darah dari telapak tangan-nya itu mendadak terbang!
Ya, gerakan pemuda itu hanya tepat disebut "terbang" karena tidak nampak dia membuat gerakan
meloncat dan tahu tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas, ke depan dan menyerangnya. Kiong
Lee sendiri terbelalak melihat ini, sungguh penglihatan yang ajaib dan membuat dia merasa seperti dalam
mimpi. Semen-tara itu, Chu Seng Kun yang sedang minum arak itu masih enak - enak saja
minum araknya da-lam keadaan tidak sadar, terbuai dalam kemabokan mendalam.
"Haaaiiiittt !" Tiat - siang - kwi menangkis,
bahkan menyambut serangan itu dengan hantaman tangannya yang terbuka seperti
cakar naga. "Blaarrrrr !" Dua tenaga raksasa bertemu
dan seluruh ruangan sampai ke atas genteng ter-
getar hebat. Akibatnya tubuh raksasa sebesar gajah itu terlempar melayang menghantam dinding sehingga dinding kamar itu jebol
dan tubuhnya yang besar itu terbanting keluar !
"Adouuhh ehhh ohhh,, !" Si rak- sasa merangkak bangun, memandang dengan muka
pucat dan mata terbelalak melalui lubang besar di
dinding kepada pemuda itu, kemudian membalik-
kan tubuh dan lari tunggang-langgang! A-hai
yang sudah berobah menjadi buas itu segera me-
ngejar melalui lubang di dinding.
Kiong Lee mengucek - ngucek kedua matanya, lalu berkejap - kejap, masih belum
dapat percaya akan penglihatannya sendiri. Raksasa itu demikian lihai dan kuat
sehingga dua orang sumoinya juga tidak kuat melawannya. Akan tetapi apa yang telah terjadi sehingga
sekali hantam saja A - hai telah membuat tubuhnya terlempar keras membobolkan
dinding dan membuat raksasa itu lari ketakutan "
Siulan gurunya untuk ketiga kalinya membuat dia sadar. Dia cepat meloncat turun.
Kiranya gup runya dan juga tiga orang dara perkasa itu berada dalam keadaan berbahaya!
Gurunya dikeroyok oleh Tikus Beracun dan puteranya, sedangkan tiga orang dara itu
berkelahi melawan kakek dan ne-nek cabul. Tentu saja mereka berempat akan dapat mengalahkan lawan
- lawan itu dengan mudah da-lam keadaan biasa. Akan tetapi, mereka berempat itu kewalahan,
bukan oleh lawan melainkan oleh ribuan ekor lebah putih yang beterbangan di atas kepala
mereka dan menyerang mereka dengan ga-nas membuat empat orang pendekar itu benar-be-nar
kewalahan. Bukan hanya bahaya penyengatan mereka yang beracun itu yang mengkhawatirkan,
melainkan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
juga suara mereka yang berdengung se-perti gemuruh air terjun itu membuat Yap -
lojin dan kawan - kawannya panik. Bahkan ketika Kiong Lee menyerbu, pemuda itupun segera
dikeroyok oleh ribuan ekor lebah putih.
"Lari ke bawah pohon itu !" Tiba - tiba Yap-lojin berteriak dan empat orang muda
itu mengerti maksudnya. Kalau mereka berada di bawah pohon yang rindang daunnya itu,
tentu lebah - lebah ini akan kurang leluasa beterbangan di atas kepala mereka, atau
setidaknya tentu jumlah mereka ber-kurang karena sempitnya ruangan di atas kepala mereka. Maka
mereka lalu memutar sebelah tangan di atas kepala sedangkan tangan lain dipergunakan untuk
menghadapi serangan musuh, dan mereka-pun akhirnya berhasil menyusup ke bawah pohon
walaupun Tikus Beracun, puteranya dan sepasang suami isteri iblis itu mencoba untuk menghalangi
mereka. Akan tetapi, hanya sebentar saja mereka merasa lega karena benar - benar ribuan
lebah itu tidak begitu leluasa menyerang mereka, karena tiba - tiba Pek Lian menjerit-
jerit dan diikuti oleh dua orang gadis lainnya ketika kaki mereka dirambati semut-semut merah yang buas
sekali! Semut merah be-racun yang buas. Repotlah mereka sekarang harus melawan musuh
yang cukup berbahaya sambil menghalau lebah - lebah dan menepuk mati semut-semut yang
merayap ke mana - mana ! "Lari ke dalam rumah !" Kembali Yap - lojin memberi komando dan merekapun
berlari - larian memasuki ruangan di mana A - hai dan Seng Kun berada. Biarpun mereka
masih dikeroyok oleh empat orang iblis yang dibantu lebah - lebah mere-ka, namun kini mereka


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sesibuk tadi. Lebih dari tiga perempat bagian dari pasukan lebah itu kebingungan, tertahan di
antara daun - daun pohon tadi. Sedangkan yang masih mengeroyok mereka di dalam rumah juga
tidak dapat bergerak leluasa. Melihat betapa kawan - kawannya tidak kerepotan lagi, Bwee
Hong segera lari menghampiri Seng Kun. "Koko !" katanya sambil merangkul pemu-
da itu. Akan tetapi Seng Kun hanya memandang
kepadanya dengan sinar mata bingung karena ka-
kak ini tidak mengenal adiknya lagi. Bwee Hong
cepat memeriksa denyut nadi tangan kakaknya dan
setelah melakukan pemeriksaan, iapun mengerti
bahwa kakaknya berada di dalam pengaruh obat
bius perampas ingatan yang amat kuat.
Pada saat itu, tiba - tiba nampak berkelebatnya orang ke dalam ruangan itu.
Ternyata dia adalah si raksasa yang melarikan diri dikejar oleh A - hai.
"Dess !" Tubuh raksasa itu tunggang-lang-
gang mengacaukan pertempuran yang sedang ber-
langsung. "Aduh aduhh tobat ! Aku menyerah !" teriaknya dengan suara parau dan mulut-
nya muntahkan darah segar.
Akan tetapi, agaknya A - hai sudah seperti kese-tanan. Dia mengeluarkan suara
gerengan buas, tubuhnya melayang ke atas dan jari - jari tangan-nya terbuka, mencengkeram
ke arah kepala raksa-sa itu. Melihat ini, Kiong Lee terkejut. Bagaimana-pun juga, dia
tidak ingin melihat pemuda aneh itu menjadi seorang pembunuh keji, membunuh lawan yang sudah mengaku
kalah dan bertobat. Dia me-nyayangi pemuda luar biasa itu, maka untuk men-cegah agar A
- hai jangan menjadi pembunuh keji, diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan meng-gunakan
tangannya memukul ke arah lengan A-hai yang terulur hendak mencengkeram kepala Tiat-siang
- kwi itu. "Dukkk !" Dua lengan bertemu, keduanya terisi tenaga sinkang yang luar biasa
kuatnya. Akibatnya, pukulan A - hai itu menyeleweng dan menghantam lantai di bawah, dekat
kaki Tiat - siang - kwi. "Blarrrr ...... !" Debu mengepul tinggi dan lan-tai itu berlubang besar. Semua
orang terkejut dan memandang kagum. Kiong Lee sendiri terkejut bukan main ketika lengannya
bertemu dengan le-ngan pemuda itu dan dia sudah meloncat ke bela-kang sejauh tiga meter. Kini
dia berdiri tegak dan memandang dengan mata bernyala. Hatinya terba-kar juga. Sebagai seorang
pemuda perkasa, dia te-lah menemukan tandingan. Kini kedua orang muda itu berdiri
saling pandang, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sama - sama tegap dan gagah. Akan tetapi sepasang mata A - hai tidaklah sebuas
tadi, agak meredup, agaknya ada sesuatu yang meringankan kegilaannya yang kambuh itu.
Melihat ini, Pek Lian meninggalkan sepasang suami isteri tua yang masih
bertanding melawan Siok Eng dan iapun cepat menghampiri dua orang pemuda yang saling
berhadapan dalam jarak tiga meter seperti dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga itu.
"Saudara Yap, dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Jangan layani dia!" Setelah berkata demikian, Pek Lian
menghampiri A - hai. "A - hai , lupakah engkau kepadaku ?"
A - hai memandang kepada Pek Liari, alisnya berkerut dan dia menggeleng
kepalanya, akan teta-pi walaupun dia tidak mengenal gadis ini, agaknya ada sesuatu yang membuat
hatinya lunak dan pandang matanya tidak seganas tadi.
Pada saat itu, tanpa diketahui orang lain, Tiat-siang - kwi yang nyaris melayang
nyawanya kalau tidak ditolong oleh Kiong Lee, tiba - tiba melompat dan menubruk Bwee Hong
yang sedang memeriksa keadaan kakaknya. Semua orang terkejut dan Pek Lian menjerit. Akan
tetapi terlambat karena Bwee Hong yang tidak mengira akan diserang itu, tahu-tahu telah
dicengkeram bahu dan tangan kirinya. Ia dibikin tidak berdaya dengan pukulan jari ta-ngan pada
tengkuknya, dan kini kuku - kuku jari yang runcing melengkung itu menusuk daging balut dan lengannya
yang lembut. Darah mengalir ke-luar. Sambil tertawa si raksasa itu menyeret Bwee Hong, dengan kasar dan buas,
menjauhi Seng Kun yang masih memandang dengan linglung. Sambil tertawa - tawa ganas, raksasa
itu lalu mencengkeram kaki Bwee Hong, diangkatnya dara itu dan iapun mengamuk, memutar -
mutar tubuh Bwee Hong untuk mencari dan membuka jalan keluar dan mem-bantu kawan-
kawannya. Tentu saja Yap-lojin dan teman - temannya menjadi khawatir dan cepat mundur,
tidak berani menyerang karena takut kalau - kalau serangan mereka mengenai tubuh Bwee Hong
yang diputar - putar itu. Mereka memandang gelisah, tidak tahu bagaimana harus menghadapi
lawan yang amat curang itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara geraman buas seperti keluar dari mulut
seekor binatang liar. Sepasang mata A - hai yang tadinya sudah mere-dup, berobah ganas
lagi. Sepasang mata itu kini memandang ke arah si raksasa dengan pandang mata buas, seperti
mata harimau yang penuh nafsu membunuh. Tubuhnya perlahan-lahan bergerak, berputar ke arah
raksasa yang tertawa terbahak-bahak kegirangan melihat musuh-musuhnya yang tangguh itu
menyingkir semua. Tiba-tiba, kedua lengannya mengeluarkan uap putih dan begitu ta-ngan
kirinya digerakkan ke depan seperti menusuk ke arah kaki Tiat - siang - kwi, raksasa itu berteriak
kesakitan dan kakinya terkulai, lututnya tertekuk. Dia hanya merasa seolah - olah pahanya
dihantam palu godam yang tidak nampak. Dia mencoba bangkit, akan tetapi jatuh berlutut lagi. A - hai
kembali menggerakkan tangan kanannya, kini mem-buat gerakan membacok ke arah pundak.
Kembali raksasa itu berteriak kesakitan dan lengan kanan-nya terkulai. Tentu saja Bwee
Hong terlepas jatuh ke lantai dan Siok Eng cepat menyambarnya dan memulihkan jalan darahnya
yang tadi tertotok. Sementara itu, Yap - lojin yang sejak tadi meng-ikuti semua gerakan A - hai,
ternganga dan tanpa disadarinya dia menggeleng - geleng kepala dan
berkata, "Thai - kek Sin - ciang
!" Kiong Lee terkejut. Yang disebut gurunya itu adalah ilmu pukulan yang kabarnya
hanya dimiliki dewa saja, yang hanya terdapat dalam dongeng. Akan tetapi, melihat apa
yang dilakukan oleh A-hai tadi, dia percaya bahwa ilmu pukulan jarak ja-uh itu sungguh amat
luar biasa. Sikap A-hai sungguh luar biasa sekali. Setelah si raksasa roboh, kebuasannyapun
lenyap dan kini dia termangu - mangu memandang kepada Bwee Hong yang juga sudah bangkit
berdiri dan meman-dang kepadanya setelah terbebas dari totokan. Dan tiba - tiba saja, A
- hai menangis ! Air matanya ber-cucuran dan dia memandang kepada Bwee Hong melalui air
matanya, kemudian diapun berlari ke depan, menubruk kedua kaki itu dan menangis.
"Ibu ....... ibu ......!" A-hai meratap sambil
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
merangkul kedua kaki Bwee Hong. Sejenak suasa-na menjadi hening, akan tetapi
melihat robohnya adiknya yang ke dua, Te - tok - ci lalu mengeluar-kan aba - aba lagi
dan semua anak buahnya bergerak lagi mengeroyok. Pertempuran pecah lagi dan kini pihak tuan
rumah ditambah dengan dua orang wanita kembar yang agaknya sudah pulih kesehat-annya dan sudah
berpakaian. Yap - lojin memimpin kawan - kawannya untuk melakukan perlawanan.
Hanya A - hai dan Bwee Hong yang tidak memper-
dulikan itu semua. A-hai masih merangkul kedua kaki dara itu sambil menangis.
Sejenak Bwee Hong menjadi bengong termangu-
mangu. Akan tetapi, melihat penolongnya yang
memiliki kesaktian luar biasa itu kini berlutut di de-
pannya sambil memeluk kedua kakinya dan mena-
ngis, Bwee Hong membiarkannya saja. Sedikit ba-
nyak ia sudah mendengar dari Pek Lian tentang
pemuda aneh ini yang agaknya mengalami guncang-
an jiwa yang amat hebat. Melihat keadaan pemuda
ini, timbul rasa iba yang amat mendalam di hati
Bwee Hong. Tak terasa lagi kedua tangannya me-
nyentuh dan membelai rambut kepala A - hai yang
awut - awutan itu dan dengan suara halus ia mem-
bujuk, "Jangan menangis
!" Akan tetapi ia sendiri tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata dari sepasang
matanya karena terha-ru dan kasihan.
Mendengar suara halus ini, A - hai mengangkat mukanya. Air mata gadis itu
mengalir turun dan menetes dari wajahnya yang menunduk, jatuh me-ngenai dahi A-hai, mengalir
turun bercampur de-ngan air mata pemuda itu. Tiba - tiba tubuh A-hai bergetar. Agaknya
ada suatu pergolakan jiwa ter-jadi di bawah sadarnya dan tiba - tiba saja tangis-nya
meledak, terisak-isak tak terkendalikan lagi. Hati Bwee Hong semakin terharu. Ia merasa betapa pemuda itu merangkul kakinya
sambil me-nangis sesenggukan, membasahi sepatunya dengan air mata yang hangat.
"Sudahlah harap jangan menangis " bujuknya akan tetapi ia sehdiripun
menangis. Menghadapi peristiwa ini, semua orang menjadi bengong. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara berdengung nyaring, bergemuruh datang dari luar. Itulah suara
pasukan lebah, pikir Pek Lian dengan hati ngeri.
"Yap - locianpwe, kita harus cepat pergi dan sini !" katanya.
"Benar," kata Yap-lojin setelah tadi dia sendiri termangu menyaksikan hal-hal yang luar
biasa itu. "Kiong Lee, engkau mengendong Chu Seng Kun !"
Kiong Lee juga melihat datangnya ancaman ba-haya. Agaknya pihak lawan yang tadi
mengundur-kan diri karena merasa kalah kuat, kini telah me-nyusun kembali
kekuatannya dan hendak datang menyerbu. Maka diapun cepat menggendong Chu Seng Kun yang selain
kehilangan ingatannya, juga kelihatan amat lemah. A - hai kini tidak kelihatan lemah lagi
walaupun dia juga seperti kebingungan dan bahkan tidak mengenal Pek Lian. Akan tetapi, begitu Bwee
Hong mengulurkan tangan dan berka-ta, "A-hai, mari kita pergi dari sini." Diapun
bang-kit dan kelihatan girang, seperti seorang anak kecil yang diajak pesiar oleh ibunya.
"Mari ikut aku !" Pek Lian berkata cepat dan segera ia membawa rombongan itu
melalui tero-wongan di bawah laut yang menuju ke pulau Si
Kelabang Hijau, tokoh ke lima dari para penghuni Ban - kwi - to itu. Selagi
mereka berlari - lari me-masuki terowongan, terdengar suara Te - tok - ci dan anak buahnya
mengejar dari belakang. Akan tetapi, agaknya para pengejar itu juga ti-dak terlalu berani sehingga
pengejaran mereka itu dilakukan dari jarak jauh saja sehingga memudah-kan Yap - lojin dan
rombongannya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
untuk melarikan diri. Setelah mereka keluar dari mulut terowongan dan tiba di
pulau tempat kediaman Kelabang Hi-jau, Yap - lojin dibantu Kiong Lee lalu menggu-nakan tenaga
sinkang mereka menggempur batu karang di mulut terowongan sehingga batu - batu itu
terbongkar dan terowongan itu. tertutup !
"Inikah pulau di mana puteraku berada ?" tanya Yap - lojin.
"Benar, locianpwe. Inilah tempat tinggal Thian-te Tok-ong atau Ceng - ya - kang
Si Kelabang Hi-jau tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu," jawab Pek Lian. Mereka lalu memasuki
bangunan yang ber-ada di tengah pulau. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong dan biarpun
mereka telah mencari ke seluruh pulau itu, namun mereka tidak dapat me-nemukan bayangan Si
Kelabang Hijau maupun ba-yangan Yap Kim. Tentu saja Yap - lojin dan kawan-kawannya menjadi
kecewa sekali. "Tentu iblis itu telah tahu akan kedatangan kita maka dia sudah lebih dahulu
melarikan diri

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meng-ajak putera locianpwe," kata Pek Lian.
Pada saat itu, terdengar bunyi terompet kapal ditiup nyaring. Mendengar ini, Kwa
Siok Eng ter-belalak. "Ah, itu suara kapalku berada dalam ba-haya. Dayang-dayangku
memanggil agar aku se-gera kembali ke perahu kami."
Rombongan itu lalu berlari-lari ke arah di mana perahu besar Tai-bong-pai itu
disembunyikan. Seperti kita ketahui, ketika Siok Eng dan Pek Lian meninggalkan
perahu, para dayang atau anak bu-ah Tai - bong - pai itu oleh Siok Eng diperintahkan untuk
menunggu dan bersembunyi di situ sampai ia kembali.
Ketika rombongan ini sedang berlari menuju ke pantai di mana perahu itu
disembunyikan, di jalan mereka bertemu dengan seorang anak buah Tai-bong - pai yang terhuyung -
huyung dan mukanya kehijauan. "Siocia perahu kita dirampas seorang gendut dan seorang pemuda
" dan dayang itu terguling dan terkulai, tewas.
"Si Kelabang Hijau !" Siok Eng berseru marah melihat tewasnya anak buahnya dengan muka kehijauan itu. Ia tahu bahwa
itulah akibat pukulan yang mengandung racun kelabang hijau yang amat ganas. Mereka lalu
mempercepat lari mereka ke arah pantai dan benar saja, di atas pe-rahu besar itu
nampak belasan orang anggauta Tai-bong - pai kewalahan menandingi seorang kakek gemuk pendek
dan berkepala gundul yang lihai sekali.
"Iblis keparat, berani engkau mengacau orang-orang Tai - bong - pai ?" Siok Eng
membentak ma-rah dan ia mendahului yang lain, menerjang ke atas perahu dan
langsung menyerang kakek gundul pendek itu.
"Plak - plak - plakk !" Tiga kali tamparan Siok Eng dapat ditangkis oleh Si
Kelabang Hijau akan tetapi kakek itu repot juga menghadapi kecepatan gerakan dara Tai - bong -
pai ini. "Wah - wah - wah, galaknya !" Dia berte-
riak - teriak dan berloncatan ke belakang. "Yap-
kongcu, bantulah !" Tiba - tiba berkelebat bayangan orang dari da-
lam bilik perahu dan seorang pemuda menerjang
Siok Eng untuk membantu kakek gendut pendek
itu. Akan tetapi dari samping, Kiong Lee sudah
meloncat dan menangkap tangan pemuda itu sam-
bil berseru, "Sute !!" Pemuda tampan itu menoleh dan terkejut bukan main melihat Kiong Lee. "Eh, toa -
suheng!" te-riaknya girang. "Sute, lihat siapa yang datang !" Kiong Lee me-nunjuk ke kiri dan ketika Yap Kim
menoleh, dia makin terkejut dan girang.
"Ayah !" teriaknya sambil menghampiri
ayahnya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. Yap-lojin mengelus
jenggotnya, dan alisnya berkerut. Hatinya lega melihat puteranya dalam keadaan
sehat dan selamat, akan tetapi perasaannya tidak sedap melihat puteranya itu bersa-habat
dengan iblis KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
macam Kelabang Hijau, bahkan tadi dilihatnya puteranya hendak membantu kakek
iblis itu menghadapi Siok Eng. "Hemmm, bagus sekali! Engkau bergaul de ngan segala macam iblis dan sekarang
engkau malah hendak membantu iblis Kelabang Hijau ini mela-wan kami " Boleh, majulah
dan lawanlah aku!" bentak Yap - lojin dengan muka merah karena marah.
"Tapi tapi Tok - ong itu baik sekali,
ayah !" Yap Kim berkata dengan muka pucat
mendengar ucapan ayahnya yang mengandung ke-marahan itu.
"Hemm , dia baik " Orang yang mengatakan
bahwa Tujuh Iblis penghuni Ban - kwi - to baik hanyalah orang jahat, dan dia
adalah tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu !"
"Tapi tahukah ayah ketika aku terlu- ka oleh Raja Kelelawar dan hampir mati, kalau ti-
dak ada Tok - ong yang menolongku, tentu seka-
rang aku hanya tinggal nama saja. Aku berhutang
nyawa padanya, ayah, dan kulihat selama ini dia bukan orang jahat. Perahu ini milik orang-
orang Tai - bong - pai, bukankah perkumpulan itu
termasuk perkumpulan kaum sesat, ayah " Kenapa
ayah dan suheng malah berpihak kepada
orang - orang Tai - bong - pai "'"
Yap - lojin adalah seorang gagah perkasa yang berwatak adil. Mendengar ucapan
puteranya itu, dia termangu - mangu. Memang benar ucapan pu-teranya yang terakhir itu. Tai
- bong - pai terkenal sebagai perkumpulan hitam yang sesat, akan tetapi karena Siok Eng,
puteri ketua Tai - bong - pai baik, diapun menganggapnya baik. Agaknya demikian pula dengan
puteranya, yaitu menganggap baik kepada Thian - te Tok - ong karena Tok - ong bersi-kap baik,
bahkan telah menyelamatkan nyawanya. Sesungguhnya, baik atau buruk hanyalah pendapat yang
berdasarkan penilaian dan penilaian tentu saja amat pribadi, tergantung ke aku - an masing-
masing. Dia menoleh dan melihat betapa Kelabang Hijau terdesak hebat karena sekarang Kiong
Lee membantu Siok Eng. "Kiong Lee, bebaskan dia!" katanya. Mende-ngar bentakan ini, Kiong Lee melompat
mundur, dan Siok Eng juga menghentikan penyerangannya dan memandang dengan ragu.
Sementara itu, Thian - te Tok - ong meloncat turun dari perahu menghadapi Yap-
lojin sambil tertawa - tawa. "Ha - ha - ha - ha. Yap - lojin tidak suka kepadaku, hal
itu tidaklah aneh ! Akupun ti-dak suka kepadamu, dan tidak suka kepada para pendekar karena mereka
itu adalah orang - orang sombong sok suci ! Kami memang golongan jahat, akan tetapi
setidaknya kami tidaklah berpura - pura suci. Tangan kami memang kotor dan kami mengakuinya,
tidak menutupinya dengan sarung tangan bersih ! Ha - ha - ha, terus terang saja, aku
suka kepada Yap - kongcu karena dia tidaklah pura-pura suci seperti para pendekar."
"Thian - te Tok - ong, Tujuh Iblis Ban - kwi - to sudah terkenal dengan
kejahatannya. Orang yang suka bermain dengan racun seperti engkau, mana bisa dibilang baik ?"
"Bagus! Bagus ! Memang sejak kecil aku sudah diajar bermain dengan segala macam
binatang beracun. Dan binatang - binatang beracun itu lebih baik dari pada
manusia. Setidaknya, mereka itu mempergunakan racun mereka untuk membela diri dan mereka tidak pura -
pura. Sebaliknya, sikap gagah dan baik, sikap manis dari manusia menyem-bunyikan racun
yang lebih jahat dari pada binatang beracun."
Siok Eng termangu mendengar ucapan itu, ucap-an yang sering kali didengarnya di
antara para to-koh Tai - bong - pai sendiri! Ucapan yang me-ngandung kepahitan hati
orang - orang yang di-anggap jahat dan kotor, dipandang dengan sinar mata menghina oleh para tokoh
kang - ouw yang menganggap diri mereka pendekar - pendekar bu-diman dan baik. Ia sendiri
tidak setuju dengan tin-dakan - tindakan kasar dan bengis dari orang-orang Tai - bong - pai,
namun kadang - kadang terasa pu-la olehnya betapa kaumnya itu dikesampingkan dan bahkan kadang
- kadang dihimpit dan disudut- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kan oleh orang - orang yang menganggap diri mereka "baik".
Sementara itu, Yap-lojin merasa penasaran men-dengar kata - kata tokoh sesat itu
yang jelas me-nyerang pihak pendekar. "Tok - ong, apakah eng-kau hendak mengatakan
bahwa kaum sesat lebih benar dari pada para pendekar " Kalian adalah orang-orang yang suka
melakukan kejahatan, meng-andalkan kekerasan dan bertindak sewenang - wenang, sedangkan
kami para pendekar mempergu-nakan kepandaian untuk menentang kejahatan dan membela pihak
lemah yang tertindas. Bukankah sudah jelas adanya garis pemisah antara kita ?"
"Ha - ha - ha, Yap - lojin, apa yang berbeda " Kalau kami mempergunakan
kekerasan dan membu-nuh, kalian para pendekar juga menggunakan keke-rasan dan membunuh. Apa
bedanya " Dan garis antara baik dan buruk, di mana letaknya " Pula, apakah engkau hendak
melupakan bahwa tanpa adanya kami, kalian tidak akan ada " Tanpa ada-nya Im takkan ada
Yang, tanpa adanya buruk tak-kan ada baik, tanpa adanya kanan takkan ada kiri ! Kekayaan
dapat dinikmati hanya karena adanya kemiskinan ! Kesehatan dapat dinikmati karena adanya
penyakit, dan apa artinya ahli pengobatan tanpa adanya racun - racun dan penyakit-penyakit" Ha -
ha - ha, dipikir lebih mendalam, kalian para pendekar yang suka sok suci ini sepatutnya berte-
rima kasih kepada kami, karena sesungguhnya kamilah yang mengangkat nama kalian sehingga di-puji -
puji sebagai pendekar !" Yap - lojin termangu bingung. Orang ini memi-liki kepandaian bicara yang luar
biasa, pikirnya. Pantas puteranya mudah terpikat. Dia menoleh kepada kawan - kawannya
yang juga termangu bi-ngung mendengar ucapan - ucapan yang langsung menyentuh hati mereka
itu. Hanya A-hai seorang-lah yang tidak acuh, juga Chu Seng Kun yang ma-sih
"linglung". Apa yang diucapkan oleh Thian - te Tok - ong atau Ceng - ya - kang Si Kelabang
Hijau secara ugal - ugalan itu memang sesungguhnya mengan-dung kenyataan - kenyataan
yang patut untuk kita pikirkan. Di dunia ini kehidupan manusia sudah terbelenggu dengan
kuatnya oleh dua hal yang se-lalu bertentangan. Baik - buruk, senang - susah, ka-ya - miskin,
pintar - bodoh, sorga - neraka dan se-lanjutnya. Keduanya merupakan lingkaran setan yang saling kait -
mengait mempermainkan batin manusia sehingga setiap saat terjadilah konflik da-lam batin
antara yang satu dengan yang lain. Di antara semua dualisme itu yang terbesar menggun-cang
dunia dan manusia adalah perang dan damai. Karena adanya perang orang rindu akan perdamai-
an, lalu menggunakan segala cara, kalau perlu de-ngan cara berperang pula, untuk mencapai
keda-maian ! Padahal, kalau tidak ada perang, tidak seorangpun membutuhkan damai! Jadi,
bukan damai yang perlu dikejar-kejar, melainkan perang yang perlu dihentikan atau
dibuang jauh - jauh. Demikian pula dengan golongan yang baik dan yang jahat. Kaum pendekar yang
"baik" ini me-nentang kaum yang dianggap jahat, kalau perlu dengan jalan kekerasan, bahkan
membunuh. Akan tetapi, mungkinkah kejahatan dapat dibunuh atau dibasmi " Orangnya tentu
dapat dibunuh atau disik-sa, akan tetapi kejahatan itu letaknya bukan di luar atau di tubuh,
melainkan di dalam batin! Jadi, yang diobati haruslah batinnya kalau kita ingin melihat kejahatan
lenyap. Kejahatan seperti penya-kit, harus kita usahakan agar penyakitnya itu le-nyap.
Bagaimanapun juga, setelah kita terseret ke da-lam kebudayaan seperti sekarang
ini, di mana kita terbelenggu oleh dualisme - dualisme yang saling berlawanan, kita
dapat melihat bahwa segala hal-hal negatip ini bukannya tidak ada manfaatnya ! Karena adanya
kebodohan maka timbul gairah un-tuk belajar. Karena ada kemiskinan maka timbul perjuangan untuk
memperoleh kemajuan dalam materi. Karena ada ancaman neraka maka timbul usaha untuk
memperoleh sorga, dan sebagainya. Dan apakah artinya kekayaan kalau tidak ada ke-miskinan "
Kalau kita semua manusia di seluruh dunia ini kaya, siapakah yang akan dapat menik-mati
kekayaan lagi " Kalau tidak ada kebodohan, apa lagi artinya menjadi orang pintar " Bahkan
setelah kita memasuki lingkaran setan dalam kebuda-yaan kita sekarang ini, jangankan orang - orang ma-
cam Tujuh Iblis itu, bahkan Setan sendiripun bukan tidak ada manfaatnya! Adanya Setan menjadi
pendorong bagi manusia untuk berpaling dan men-cari Tuhan! Andaikata tidak ada Setan, andaikata
tidak ada dosa, mungkinkah manusia mencari Tu-han lagi " Untuk apa "
Karena ucapan Si Kelabang Hijau itu menda-tangkan kebingungan, maka Yap - lojin
lalu berseru kepada puteranya, "Kim - ji, katakan saja, engkau hendak ikut ayahmu
pulang ataukah engkau akan tinggal bersama dia selamanya " Jawab !"


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Yap Kim kebingungan. Selama dia berkelana bersama Kelabang Hijau, dia merasakan
kehidupan yang lain. Dia merasa bebas dan tidak ada ikatan apapun, tidak ada
penghalang - penghalang berupa peraturan - peraturan dan pantangan - pantangan, hidup bebas
seperti burung di udara, melakukan apa saja yang dibisikkan oleh hatinya, bicara apa saja yang
dikehendaki hatinya. Akan tetapi, sejak kecil dia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi
pendekar dan dia tahu bahwa jawabannya ini akan merupakan keputusan. Dan bagaimanapun senang-nya
hidup seperti ketika dia berkelana dengan Ke-labang Hijau, tidak mungkin dia dapat
melepaskan ayahnya begitu saja. "Aku ikut bersama ayah," jawabnya lirih.
"Kalau begitu, mari kita pergi dari neraka ini! kata Yap - lojin.
"Silahkan naik ke perahu kami, locianpwe," ka-ta Siok Eng dan semua orang naik
ke dalam perahu besar itu. Dayung digerakkan, layar dipasang dan perahu itu meninggalkan
pantai pulau diiringi suara ketawa bergelak - gelak oleh. Kelabang Hijau yang berdiri di
pantai dengan kedua kaki terpentang le-bar dan kedua tangan di pinggang. Tak seorangpun di atas
perahu itu melihat betapa kedua mata kakek pendek gendut itu menjadi basah ketika dia melihat Yap
Kim ikut terbawa pergi oleh perahu itu.
** * Perahu itu melaju dengan cepatnya. Layar ter-kembang penuh didorong angin. Semua
orang me-rasa lega hatinya. Ho Pek Lian bergidik, merasa ngeri hatinya.
"Ih, aku tidak mau lagi pergi ke pulau-pulau itu. Benar - benar mengerikan
sekali! Heii, kenapa gatal amat ?" Iapun menggaruk punggung tangan-nya dan melihat bercak-
bercak putih. Teriakan-nya disusul oleh teriakan Siok Eng dan Bwee Hong.
"Celaka, ini racun lebah putih itu
!" seru Siok Eng. "Saya saya kedinginan
" kata seorang anggauta Tai - bong - pai kepada Siok Eng.
"Saya juga, nona " kata yang ke dua dan
disusul oleh yang ke tiga. Muka mereka pucat kehijauan dan tubuh mereka
menggigil. "Hemm, itu tentu pukulan Si Kelabang Hijau, pukulan beracun kelabang hijau!"
kata pula Siok Eng. "Hemm, kakiku juga terasa panas dan gatal ga-tal !" Kiong Lee juga berkata dan
ketika dia me-nyingkap celananya, kakinya nampak ada totol-to-tol merah.
"Gigitan semut merah !" seru Siok Eng. "Racun-nya juga jahat sekali!"
Semua orang kebingungan, akan tetapi Yap-lo-jin tetap tenang dan tiba - tiba dia
bertanya kepada Pek Lian dan Siok Eng, "Bukankah kalian masih mempunyai obat penawar
racun cairan kuning dari Ban - kwi - to itu ?"
"Aihh, benar ! Kenapa kita lupakan obat
itu, adik Eng ?" teriak Pek Lian yang memegang lengan Siok Eng. Puteri ketua Tai
- bong - pai ini-pun menjadi girang dan cepat mengeluarkan sisa obat cairan kuning yang
diambilnya dari kamar Te-tok-ci itu. Semua orang yang keracunan diberi obat ini dan sungguh amat
luar biasa sekali! Agak-nya memang obat itu khusus dibuat oleh Te-tok-ci untuk melawan
segala macam racun yang ada di Ban - kwi - to, karena begitu memakai obat ini, semua orang
sembuh. Bahkan Chu Seng Kun dan A-hai juga sembuh dari kehilangan ingatan mereka,
walaupun tubuh mereka, terutama Seng Kun, masih terasa lemah !
Begitu keduanya diberi minum obat ini, kedua orang pemuda ini segera tertidur
pulas setengah pingsan, demikian pula yang lain - lain karena ke-rasnya obat itu
bekerja. Orang terakhir yang siu-man dari pingsannya adalah A - hai dan Seng Kun Akan tetapi karena A -
hai memang sudah lebih dulu linglung, maka ketika sadar diapun masih tetap lupa segala,
kecuali Pek Lian dan Bwee Hong! Begitu melihat Pek Lian, dia tersenyum dan cepat bangkit berdiri,
memandang dengan wajah berseri. "Engkau nona Pek Lian !" kata- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
nya girang. Pek Lian juga memandang dengan ter-
senyum manis. "A - hai, engkau sudah sembuh !"
Akan tetapi A-hai memandang ke sekeliling dan ketika dia melihat Bwee Hong,
terdengar se- ruan heran dan kaget di kerongkongannya dan dia-pun melangkah maju menghampiri
gadis ini, me-mandang bengong lalu berkata bingung, "Nona ....
nona ?" Bwee Hong tersenyum, mengangguk. "Namaku
Chu Bwee Hong." "Chu Bwee Hong Chu Bwee Hong " A-hai berulang-ulang menyebut nama itu lirih-lirih seperti seorang anak kecil
sedang menghafal tiga buah huruf baru. Semua orang memandang kepadanya dengan hati
kasihan sekali, akan tetapi, sungguh Pek Lian merasa heran kepada diri sendiri mengapa sikap A -
hai itu mendatangkan rasa tidak enak di hatinya! Ia merasa seolah - olah tidak di-
perdulikan lagi oleh A - hai dan pemuda itu kini duduk dekat Bwee Hong seperti seekor anjing yang tidak
mau jauh dari majikannya! Ia merasa iri
ataukah cemburu " Ia sendiri tidak tahu, akan
tetapi yang jelas, ia merasa betapa hatinya tidak sedap.
Seng Kun sadar paling akhir karena dialah yang paling banyak terkena racun dari
Kepulauan Ban-kwi - to. Begitu sadar dia bangkit duduk dan terhe-ran-heran melihat semua
orang berkumpul di da-lam perahu, merubungnya. Akan tetapi, wajahnya berseri gembira ketika dia
melihat adiknya. "Hong - moi !" "Koko !" Dara yang cantik jelita itu mem-
biarkan dirinya dirangkul oleh kakaknya.
"Nona Ho ! Dan engkau saudara A - hai! Syu-kurlah kalian juga selamat!" kata
Seng Kun. Akan tetapi dia melihat Yap - lojin, Kiong - Lee dan juga Siok Eng. Alisnya
berkerut memandang Yap-lojin dan Kiong Lee yang tak dikenalnya.
"Koko, ini adalah Yap - locianpwe, ketua Thian-kiam-pang dan ini adalah saudara
Yap Kiong Lee, putera beliau. Mereka berdua telah menyelamat-kan aku dari ancaman bahaya
tenggelam di lautan." "Ah, sungguh besar budi ji - wi yang telah me-nyelamatkan nyawa adikku," ' kata
Seng Kun yang cepat - cepat menjura dengan hormat. Tentu saja Yap - lojin dan muridnya
cepat membalas penghor-matan itu. Pada saat itu, terdengar suara halus, "In - kong, kami menghaturkan selamat dan
hormat." Seng Kun memandang dan dia melihat seorang gadis cantik bersama semua anak buah
perahu yang terdiri dari wanita - wanita cantik, berlutut di de-pannya ! Seng
Kun mengerutkan alisnya dan dia tidak ingat lagi kepada gadis cantik itu.
"Koko, ia adalah Kwa Siok Eng, puteri dari ke-tua Tai-'bong-pai yang pernah kita
obati dahulu itu." "Ahhh !" Seng Kun teringat dan kedua
mukanya menjadi merah. Dia bukan hanya merasa jengah teringat kepada dara yang
hampir mati, yang diobati olehnya dan oleh ayah bundanya yang ter-nyata kemudian
hanyalah paman kakeknya suami isteri, dan pengobatan itulah yang mengakibatkan matinya dua
orang tua itu. Dia merasa jengah mengingat betapa gadis ini dahulu telanjang bulat di depan matanya
ketika diobati, akan tetapi di samping rasa malu - malu ini, juga dia teringat akan kematian
paman kakek dan isterinya itu, yang su-dah dianggapnya sebagai orang tua sendiri.
"In - kong (tuan penolong), perkenankanlah saya menghaturkan terima kasih atas
pertolongan in-kong dahulu, yang in - kong lakukan dengan pe-ngorbanan yang
teramat besar." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Seng Kun menggerakkan tangan menolak. "Su-dahlah, nona, harap jangan memakai
banyak per-aturan dan sungkan - sungkan. Kita berada di an-tara teman sendiri dan sudah
seharusnyalah kalau selagi hidup kita saling bantu-membantu."
Sikap yang sederhana dan halus dari pemuda ini mendatangkan rasa kagum dalam
hati Yap - lojin dan muridnya, apa lagi mengingat bahwa pemuda inilah ahli waris utama
dari ilmu - ilmu sakti yang dimiliki oleh mendiang Raja Tabib Sakti!
Kalau semua orang ikut terharu menyaksikan adegan ini, adalah A - hai yang
bersikap tidak per-duli, bahkan seperti orang bingung dia hanya duduk memandang wajah Bwee Hong
yang cantik jelita itu, membuat Bwee Hong kadang - kadang tersipu malu, akan tetapi
membuat hati Pek Lian merasa semakin tidak enak saja.
Malam itu lewat tanpa peristiwa yang berarti. Perahu mereka melaju, cepat sekali
menuju ke ba-rat, ke arah daratan besar. Karena lautan cukup tenang dan angin kuat, perahu
mereka dapat mela-ju dengan amat cepatnya. Setelah berlayar sehari lagi, menjelang senja
mereka sudah dapat melihat daratan besar, merupakan garis hitam di barat. Tentu saja hati mereka
merasa gembira setelah lama mereka merantau di lautan ganas dan di anta-ra pulau-pulau yang
mengerikan. Hanya dua orang yang nampak tidak gembira, yaitu Yap Kim dan Pek Lian. Agaknya
pemuda putera tunggal ketua Thian - kiam - pang itu merasa kehilangan kebebas-annya setelah dia kembali ke
"dunia sopan" di mana dia terikat oleh peraturan - peraturan, tidak seperti ketika dia
berada di dunianya Si Kelabang Hijau yang serba bebas. Sedangkan Pek Lian me-rasa gelisah
memikirkan ayahnya yang juga belum dapat ditemukan, walaupun ia telah berkumpul kembali dengan Seng
Kun dan Bwee Hong. "Heiiii! Perahu besar di depan !" Tiba-
tiba terdengar teriakan wanita penjaga di atas. Se-
mua orang keluar dari bilik dan memandang ke
depan. Benar saja, remang - remang nampak sebu-
ah perahu besar di depan, bahkan kini perahu besar
itu mulai menyalakan lampu lampunya yang cukup
banyak. "Eh, itu perahu Mongol yang dipimpin orang-orang bermuka merah dan berambut
putih itu!" Tiba-tiba Pek Lian berseru.
"Benar sekali, adik Lian!" seru Bwee Hong.
"Di mana engkau mendengar suara ayahmu itu, nona Ho ?" tanya Seng Kun dengan
hati tertarik. Dia sudah mendengar dari Pek Lian dan Bwee Hong tentang pengalaman
mereka ketika berpisah darinya. "Kalau begitu, kita harus menolong Menteri Ho !" kata Yap - lojin yang juga
berjiwa gagah dan sudah lama kagum kepada menteri itu. Sejak da-hulu dia memang tidak suka
kepada keluarga kaisar, dan inilah sebabnya mengapa dia sampai cekcok dengan isterinya
karena isterinya, bibi dari kaisar, mengajaknya menghambakan diri kepada kaisar. Sejak
dahulu Yap - lojin berpihak kepada para pendekar dan orang gagah yang menentang kelaliman, maka
kini mendengar bahwa mungkin Menteri Ho yang dikaguminya itu tertawan musuh dan
berada di perahu besar di depan, timbul sema-ngatnya untuk menolong menteri itu.
"Kita kejar perahu di depan !" katanya penuh semangat dan sikapnya ini tentu
saja menggirang-kan hati Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian yang memang bertugas untuk
menyelamatkan Menteri Ho. Layar cadangan dipasang dan perahu melaju cepat
menyusul perahu besar di depan. "Ayah, aku mendengar bahwa orang - orang dari utara itu bukan orang Mongol asli
dan mereka adalah ahli - ahli di lautan. Kulihat perahu besar itu tentu kuat sekali
dan banyak anak buahnya. Perahu kecil kita dengan tenaga kita yang sedikit ini mana dapat menang
" Pula, perlu apa kita men-campuri urusan orang lain dan menanam permu-suhan dengan mereka ?"
Yap Kim berkata. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ucapan putera kandungnya ini, se-pasang mata Yap - lojin melotot.
"Apakah engkau tidak tahu siapa adanya Menteri Ho itu " Dia ada-lah seorang patriot
besar, seorang menteri yang setia dan bersih, jujur, berani menentang kelaliman
kaisar dan pembela rakyat jelata. Dan kau bilang mencampuri urusan orang lain
kalau kita kini hen-dak menyelamatkannya dari tangan musuh-musuh-nya yang menawannya "
Sungguh ucapan yang tolol sekali. Tolol!"
Yap Kini menarik napas panjang. "Maaf, ayah. Bukan maksudku untuk bersikap
pengecut dan tentu aku akan membantu ayah dengan taruhan nyawa. Hanya kupikir, bodoh
sekali dan sama se-kali bukan gagah kalau nekat menyerbu lawan yang jauh lebih kuat. Dan
agaknya di dunia ini terlalu banyak terjadi permusuhan karena pencampurta-nganan pihak ke
tiga." Sang ayah tidak membantah lagi walaupun amat marah karena ketika itu, perahu
mereka telah ber-dekatan dengan perahu besar di depan yang agak-nya juga memperlambat
pelayaran dan menanti mereka. Dan tiba - tiba saja, para perajurit di atas perahu besar
itu bersorak - sorak dan menghujan-kan anak panah ke arah perahu para pendekar! Bukan anak panah
biasa, melainkan anak panah yang membawa api! Jarak mereka sudah terlam-pau dekat untuk
serangan anak panah, akan tetapi masih terlampau jauh untuk meloncat dan menyer-bu, maka
para pendekar sibuk menangkis anak pa-nah yang datang seperti hujan itu. Melihat A -
hai sama sekali tidak mampu mengelak atau menang-kis, Bwee Hong sudah memutar pedangnya
melindungi pemuda ini yang kelihatan ketakutan dan bingung. Para anak buah perahu sibuk
memadam-kan kebakaran - kebakaran yang diakibatkan anak panah api itu, dan karena kesibukan
ini, maka be- berapa orang di antara mereka roboh terkena anak panah. Keadaan menjadi kalut,
apa lagi ketika ke-bakaran makin menghebat dan layar sudah terma-kan api, juga tiang layar dan
perahu itupun mulai terbakar ! Sukar meloncat ke perahu musuh yang memang sengaja menjauh itu,
maka tiada pilihan lain, para pendekar itu berloncatan ke air yang gelap !
Pek Lian gelagapan. Di dalam hatin ya ia me-ngeluh. Kenapa ia harus terlempar ke
air lautan lagi " Apakah sudah menjadi nasibnya untuk mati di lautan " Ia
menggerakkan kaki tangannya ber-usaha berenang ke arah perahu besar di mana didu-ga ayahnya
berada. Ia ingin naik ke perahu besar itu dan mengamuk, kalau perlu mati demi membela ayahnya.
Akan tetapi, perahu besar itu setelah melihat perahu kecil terbakar, lalu cepat menjauh-kan
diri dan terdengar sorak - sorai para perajurit itu yang merasa memperoleh kemenangan besar. Pek
Lian tidak mampu mengejar perahu itu dan ia hampir kehabisan tenaga dipermainkan gelombang.
Tiba - tiba terdengar seruan, "Adik Lian, ke si-nilah !"
Remang - remang dilihatnya Bwee Hong dan dua orang lain di atas atap perahu
mereka. Atap ini masih utuh, akan tetapi perahunya entah lenyap ke mana, juga entah ke
mana perginya orang-orang lain. Pek Lian mengerahkan sisa tenaganya dan akhirnya terengah -
engah ia berhasil mencapai atap perahu itu dan dibantu oleh Bwee Hong dan dua orang itu yang
ternyata adalah Seng Kun dan A-hai, iapun naik dan terkapar di atas papan dalam keadaan setengah
pingsan. "Nona Pek Lian ! Nona Pek Lian !!" Suara itu terdengar sayup - sayup, seperti pang-gilan orang dari jauh, dan ia
mengenal benar suara itu, karena selama ini, suara itu hampir selalu ter-ngiang di dalam
telinganya. Suara A - hai! Pek Lian merasa seolah - olah ia terbawa oleh air, ha-nyut di atas perahu
kecil, makin jauh meninggalkan A - hai yang juga berada di atas perahu lain dengan seorang dara
jelita yang bukan lain adalah Bwee Hong ! Dan A - hai memanggil - manggilnya. Ah, betapa ingin
hatinya menjawab panggilan itu, dan betapa inginnya untuk dekat dengan pemuda yang sejak semula
telah menimbulkan rasa iba dan suka bercampur kagum di dalam hatinya. Akan tetapi,
kini A - hai bersama dengan Bwee Hong dalam sebuah perahu dan ia tahu betapa akrab hubungan
antara mereka. Ia tidak ingin menjadi penghalang, tidak ingin menyaingi Bwee Hong! Maka
iapun tidak menjawab dan membiarkan perahunya hanyut makin jauh meninggalkan A-hai. Hatinya
seperti ditusuk rasanya dan tak tertahankan lagi, iapun menangis terisak - isak !
Padahal, tidak mudah bagi pendekar wanita ini untuk menangis!
"Nona Pek Lian !" Kembali terdengar se-
ruan A - hai, sekali ini suaranya terdengar amat dekat.
"Adik Lian, engkau kenapakah ?" Tiba - tiba terdengar suara Bwee Hong, juga
dekat sekali. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pek Lian membuka kedua matanya dan melihat betapa A - hai dan Bwee Hong berlutut
di dekat-nya, mengguncang - guncang tubuhnya yang basah kuyup dan kedinginan itu.
Ia masih terpengaruh mimpi tadi, mengira bahwa mereka berdua berha-sil mengejarnya dan
kini berada di atas perahunya dan berusaha menghiburnya. Keramahan mereka bahkan menambah perih
pada luka di hatinya, maka iapun menggerakkan kedua lengannya meno-lak dengan halus
dan berkata dengan nada suara sedih, "Biarkan aku-sendiri ah, biarkan aku sen-
diri dalam kemalanganku hu - huhuuhhh " Dan iapun terisak menangis karena ia segera teri-ngat akan ayahnya dan merasa
betapa sengsara hidupnya. Seng Kun memberi isyarat kepada adiknya dan A - hai untuk membiarkan dara itu
menangis. Pemuda ini dapat menduga apa yang menyebabkan
Pek Lian berduka, tentu karena teringat akan ayahnya, pikirnya. Tentu saja dia
tidak dapat menduga lebih mendalam dari pada itu. Setelah tangis Pek Lian agak mereda,
diapun menghibur. "Nona Ho, harap engkau dapat menenangkan hatimu. Bagaimanapun juga, aku tidak
akan ber-henti berusaha untuk menemukan kembali ayahmu. Hal itu merupakan tugasku,
perintah dari sri bagin-da kaisar sendiri."
Pek Lian sadar akan kelemahannya. Iapun bangkit duduk, menyusut air matanya,
memandang dengan sinar mata bersyukur kepada Chu Seng Kun dan menarik napas
panjang. "Harap kalian maafkan kelemahanku tadi," katanya kepada Bwee Hong, sedangkan A -
hai diam saja, memandang bingung karena dia tidak mengerti urusan.
Perahu istimewa mereka itu dipermainkan ge-lombang samudera dan karena mereka
berempat tidak berdaya, merekapun hanya dapat menyerah-kan nasib mereka kepada
lautan luas. Mereka mencari - cari, namun tidak pernah dapat melihat tanda - tanda tentang
teman - teman mpreka yang lain. Tidak ada bayangan seorangpun di antara teman - teman
uriereka. Padahal mereka begitu banyak. Kwa Siok Eng dengan anak buahnya, Yap - lojin, Yap Kiong
Lee dan Yap Kim. Apakah mereka semua itu telah menjadi korban dan ditelan lautan "
"Mudah - mudahan saja mereka dapat tertolong, seperti juga kita," kata Seng Kun
menghibur hati Pek Lian dan Bwee Hong yang merasa gelisah dan berduka kalau
membayangkan malapetaka menimpa teman - teman mereka itu.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, begitu ma-tahari terbit, mereka bergembira
sekali melihat daratan begitu dekatnya ! Daratan besar ! Perahu mereka yang
dipermainkan gelombang itu ternyata telah dihanyutkan oleh gelombang menuju pantai. Seperti pulih
kembali tenaga mereka dan dengan wajah cerah mereka mendayung perahu yang se-sungguhnya bukan
perahu melainkan atap perahu itu, mendekat tepi. Mereka hanya menggunakan tangan saja
untuk mendayung, akan tetapi karena mereka adalah pendekar - pendekar yang memiliki
kekuatan hebat, mereka berhasil juga mendayung perahu atap itu sampai kandas ke pasir.
Mereka berlompatan dan dengan pakaian basah kuyup mereka tiba di daratan.
Chu Seng Kun dan A - hai masih lemah walau-pun mereka sudah sembuh. Agaknya,
pemuda sinting itu pada dasarnya memiliki tubuh luar biasa yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan Seng Kun, karena tubuhnya tidaklah selemas Seng Kun yang benar - benar harus
banyak istirahat untuk memulihkan kembali tenaganya.
Mereka berempat duduk di tepi pantai ketika tiba - tiba hidung mereka mencium
bau harum du-pa ! Cuping hidung mereka kembang - kempis dan mereka menoleh ke kanan kiri.
Pantai lautan itu sunyi dan tidak nampak adanya manusia lain, na-mun jelas bahwa yang
tercium oleh miereka itu adalah bau dupa harum. Pek Lian dan Bwee Hong saling pandang dan
berbareng mereka berbisik, "Dupa harum kaum Tai - bong - pai!"
"Adik Siok Eng selamat
!" kata Pek Lian girang karena mengira bahwa tentu dara puteri ketua Tai - bong - pai itu yang
mengeluarkan bau dupa harum seperti ini.
Akan tetapi, mereka berempat memandang de-ngan curiga dan khawatir ketika muncul
belasan orang laki - laki kasar yang dipimpin oleh seorang pria berusia kurang
lebih tigapuluh tahun yang berperawakan kurus. Orang ini juga kelihatan ka-sar dan menyeramkan.
Pakaiannya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
serba putih, rambutnya awut-awutan dan kaku, mukanya se-perti muka mayat saja,
pucat dan jarang bergerak. Wajah itu sebetulnya tampan, akan tetapi karena pucat dan tak
bergerak seperti mayat, maka me-nyeramkan sekali. Begitu tiba di situ, belasan orang itu segera
mengurung dan bau hio semakin keras. Empat orang itu bangkit berdiri dan Pek Lian cepat menjura ke arah pemuda yang
seperti mayat itu. "Kami adalah sahabat - sahabat dari adik Kwa Siok Eng. Di manakah dia
" Apakah ia selamat?" Akan tetapi, pertanyaan ini agaknya membuat belasan orang itu marah - marah.
Mereka menge-pal tinju dan memandang dengan sikap mengan-cam. Pek Lian tidak tahu bahwa
pertanyaan kese-lamatan merupakan pantangan bagi para anggauta Tai - bong - pai!
Mereka itu menganggap diri mereka sebagai keluarga kuburan, sebagai orang-orang yang telah
mati, maka pertanyaan tentang kesela-matan itu seperti ejekan atau penghinaan saja bagi
mereka ! Pemuda pucat itupun marah - marah dan tanpa banyak cakap dia sudah mengeluarkan tong-
katnya dan menyerang Pek Lian. "Eh, eh gila !" Pek Lian cepat meng-
elak, akan tetapi sambaran tongkat itu lihai bukan
main seolah - olah tongkat itu bernyawa dan terus
mengikuti ke mana ia mengelak, sampai Pek Lian
terpaksa bergulingan menyelamatkan diri.
"Manusia jahat!" Bwee Hong membentak sam-bil menotok dari belakang ke arah
punggung pemuda miuka pucat itu. Akan tetapi, biarpun totok-an yang dilakukan oleh Bwee
Hong itu bukan sem-barang totokan melainkan ilmu keturunan dari Si Tabib Sakti, ternyata pemuda
itu mampu mengelak dengan cekatan ! Diam - diam Bwee Hong terke-jut juga, dan maklumlah
dara perkasa ini bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Pek Lian dapat bernapas lega karena serangan bertubi - tubi tadi tidak
dilanjutkan dan kini pemuda mengerikan itu telah ditandingi oleh Bwee Hong yang jauh lebih lihai dari
padanya. Akan te-tapi ia sendiripun tidak dapat tinggal enak - enakan karena belasan orang
sudah mengeroyoknya dengan sengit. Kiranya para anggauta Tai - bong - pai itu
membencinya karena pertanyaan keselamatan tadi! Tentu saja Pek Lian melawan mati - matian dan
untung baginya bahwa tingkat kepandaian para anggauta Tai - bong - pai ini tidaklah sehebat
pemuda muka pucat itu. Biarpun demikian, repot jugalah ia karena dikeroyok oleh belasan orang ka-
sar dan ia sendiri bertangan kosong. Pedangnya telah hilang ketika ia terlempar ke lautan.
Keadaan Bwee Hong sama buruknya dengan Pek Lian. Ternyata pemuda kurus pucat itu
lihai bukan main ! Dan makin kagetlah hati Bwee Hong ketika melihat betapa
pemuda itu mengeluarkan ilmu - ilmu yang mujijat dari Tai - bong - pai, ilmu-ilmu yang
pernah didengarnya.

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu sebuah pu-kulan menyerempet lengannya, ia melihat lengan bajunya menjadi
merah dan ternyata darah telah keluar dari lubang pori-pori kulit lengannya! Tahulah ia
bahwa itu adalah ilmu mengerikan dari Tai - bong - pai yang disebut Pukulan Penghisap Darah! Dan
tenaga pemuda kurus itu sungguh membuatnya pening, karena tenaga sinkang yang amat kuat itu
mengeluarkan bau asap hio wangi! Selain Tenaga Sakti Asap Hio ini, yang membuat keringat
pemuda itu berbau dupa, juga ilmu silatnya aneh dan mengerikan. Tentu itulah yang dina-makan Ilmu
Silat Mayat Hidup karena kadang-ka-dang gerakan pemuda itu kaku seperti mayat hidup. Hanya
dengan kelebihan ginkang (ilmu meringan-kan tubuh) sajalah maka sampai sekian lamanya
Bwee Hong masih mampu mempertahankan diri dan tidak sampai terkena pukulan - pukulan ampuh
itu. Entah mana yang lebih berbahaya, sinar tong-kat yang menyambar-nyambar itu ataukah
cengke-raman tangan kiri itu. "Jangan berkelahi ah, jangan berkelahi....!"
A - hai berteriak - teriak kebingungan, mengangkat kedua tangan ke atas dan lari
ke sana ke sini. Dengan matanya yang bersinar tajam, Seng Kun dapat melihat bahwa adik
kandungnya terancam bahaya besar. Pukulan - pukulan orang kurus pucat itu sungguh amat
ampuh dan dia tahu bahwa sekali terkena pukulan itu, tentu adiknya akan terluka parah dan
mungkin akan keracunan. Dia sendiri masih amat lemah, tenaganya belum pulih benar, akan
tetapi tentu saja tak mungkin dia mendiamkan adiknya terancam bahaya tanpa membantu. Meli-hat betapa
adiknya ini KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
hanya dapat mengelak ke kanan kiri mengandalkan kegesitannya, Seng Kun lalu
meloncat ke depan dan membantu adiknya, mengirim pukulan yang merupakan tamparan ta-ngan
kanan ke arah leher pemuda kurus pucat itu.
Hebat tamparan ini dan si muka pucat terkejut,
lalu diapun menggunakan lengan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Pengasuh Setan 1 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Tiga Maha Besar 17
^