Darah Pendekar 18
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Akan tetapi Bwee Hong sudah siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu
terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan amat cepatnya dan membalas dengan tendangan ke
arah perut orang tinggi be-sar itu. "Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengan-nya dan dari tangkisan ini tahulah
Bwee Hong bahwa lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu
menangkis, tangannya sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi,
tangan Bwee Hong su-dah menyambar ke depan dan tangan kirinya yang membentuk paruh
burung sudah menyambar ke arah mata lawan. Kagetlah laki - laki itu karena gerakan
gadis itu sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia tidak mampu menghindarkan diri-nya
lagi. Hanya dengan membuang dirinya ke be-lakang dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong
telah menyusulkan tendangan berantainya yang amat lihai itu- Lawannya berusaha
mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendang-an susulan yang ke lima kalinya
tanpa dapat dice-gah lagi telah mengenai lambungnya.
"Dukk augghhh !" Tubuh yang ting- gi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak mampu bangun lagi
karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka andalkan itu ternyata
roboh pula oleh ga-dis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi ter-belalak dan muka
mereka berobah pucat sekali.Sementara itu, A - hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya
guci uang itu. Agaknya, pemuda inipun menjadi penasaran sekali" "Memaksa orang memberikan
uangnya, sama saja de-ngan perampokan di siang hari, di tempat ramai pula. Sungguh
keterlaluan!" Sambil
berkata de-mikian, A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya
sehingga banyak uang berham-buran keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar
- sebarkannya. Tentu saja menjadi rebutan orang - orang yang banyak lalu-lalang,
di tempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani banyak bergerak, bahkan diam - diam mereka
lalu menggotong pimpinan mereka dan meng-ambil langkah seribu melarikan diri dari tempat itu.
Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah membuat mereka tidak mampu mela-wan, apa
lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama dara itu juga turun tangan. Bisa celaka
mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun segera menghmbil langkah aman dan
melarikan diri. Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat - lihat keadaan. Berita
tentang diha-jarnya para pencoleng oleh gadis cantik yang da-tang bersama dua orang muda
itu segera tersiar dan ramai dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa
dalam keadaan kalut seperti itu masih ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan.
Peristiwa itu mendatangkan secercah sinar harapan dalam hati mereka yang ta-dinya sudah
menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan yang melanda kehidupan mereka selama ini.
Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun di dalam kota kecil itu masih terdapat
orang - orang berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka
itu tak acuh walaupun masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka.
Sore hari itu, setelah memperoleh kamar pengi-napan, Bwee Hong, Seng Kun dan A -
hai keluar dan memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar da-lam keadaan kalut,
restoran itu menyediakan ma-kanan yang cukup lengjkap sehingga Bwee Hong merasa gembira
ketika memesan masakan kesa-yangannya. Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran
yang cukup besar itupun memelihara be-lasan orang tukang pukul yang berjaga di dalam
ruangan dan juga di depan pintu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tiga orang muda itu sedang enak - enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika
terde-ngar suara ribut - ribut di luar pintu. Karena mereka itu kebetulan
memperoleh tempat duduk di dekat pintu, maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut - ribut itu
adalah percekcokan antara seorang pengemis tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung
keamanan restoran itu. Percekcokan mulut' yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian.
Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main. Pengemis jembel yang me-
ngempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja, akan
tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpe-lanting ke kanan kiri, jatuh
bangun dan dihajar kalang - kabut. Akhirnya, semua tukang pukul su-dah roboh terguling dan
tidak berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya
buncit itu lalu mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu. ke arah meja
kasir yang berada di dekat pintu. "Penuhi kantongku itu !" bentaknya dan mata-nya yang kemerahan itu melotot.
Melihat ini Bwee Hong memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun
berbisik. "Jangan ikut campur. Lihat di sudut itu. Di sana ada empat orang petugas
keamanan kota, pa-kaiannya seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura - pura tidak melihat
keributan ini. Mengapa kita harus campur tangan ?"
Majikan restoran itu yang duduk di meja keu-angan, terpaksa memenuhi kantong
butut itu de-ngan uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut -
takut. Pengemis itu menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan ke dalam kantong
besar yang diikat di punggung-nya. Kemudian, kantong butut kosong itu dilem-parkannya ke
atas meja yang dihadapi Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai.
"Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat
di pintu gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau
menghabiskan perka-ra itu!"
A - hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa
lihainya pe ngemis tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat
bangun dari kursinya, bertolak pinggang di luar pintu restoran menghadapi pengemis itu
sambil tersenyum meng-ejek. "Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau
jembel bu-suk yang menjadi sekutu para pencoleng itu. Me-muakkan sekali I"
Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat
yang tadi ke-tika dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan
itu. Baru dengan sebelah tangan kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang
pukul. Dapat dibayangkan betapa lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata.
Akan tetapi, pengemis yang sudah tua itu agaknya tahu malu dan merasa sung-kan kalau dia
sebagai seorang tokoh besar harus menandingi seorang gadis cantik yang begitu muda. Maka matanya
yang merah mengerling ke arah A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel.
"Tak tahu malu ada dua orang, lelaki membiar-kan teman wanitanya yang maju.
Kalau kalian bu-kan pengecut, majulah dan jangan berlindung di belakang wanita!"
Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia me-miliki kepandaian tinggi, akan
tetapi A-hai sama sekali bukan seorang pengecut. Dia bangkit ber-diri dan menudingkan
telunjuknya ke arah muka pengemis itu. "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya!
Aku bukan tukang berkelahi seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!"
Bwee Hong cepat berkata, "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar
para penco-leng di pintu gerbang adalah aku, maka kini aku-lah yang akan
mempertanggungjawabkan perbuat-an itu terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan
mengejek, "Jembel - busuk, kalau engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak
cerewet lagi !" "Perempuan rendah !" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat
menusuk ke arah leher Bwee Hong. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis
di depannya itu tiba-tiba lenyap dan tahu - tahu dari samping gadis itu telah membalas
serangannya dengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sebuah ten-dangan kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat
meloncat ke depan sambil menge-lebatkan tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee
Hong sudah menarik kembali kakinya. Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat
sekali. Gerakan pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi meng-hadapi Bwee Hong dia
masih kalah jauh dalam hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat
mereka yang melihatnya menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak
penuh perhatian lalu diapun melanjutkan makan minum dengan sikap tenang. A-hai yang
juga nonton dengan gelisah, melihat betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang
berkelahi itu, menegur, "Engkau ini bagaimana sih " Adikmu berkela-hi melawan pengemis yang demikian
lihainya dan engkau enak - enak makan minum saja !"
Seng Kun mengangkat muka memandang wa-jah yang tampan gagah itu sambil
tersenyum. "Ha-bis harus bagaimana aku ?"
"Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu !"
"Tidak apa, ia tidak akan kalah."
"Bagaimana engkau tahu
" A - hai mene- ngok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahu-
tahu pengemis tua itu telah terpelanting jauh, en-
tah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong
yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap me-
nantang. "Bawa kantong busukmu dan enyahlah !" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong
kosong yang tadi oleh si pengemis dilemparkan ke atas meja.
Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bang-kit berdiri dan memandang ke arah
Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah
lagi ketika dia berkata, "Kalian mempunyai perhitungan dengan kami, orang - orang rimba hijau
dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian !"
Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan
makan minum, tidak memperdulikan pandang mata orang - orang yang ditujukan ke arah
mereka dengan kagum. Setelah kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali ke kamar
hotel mereka. Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A - hai yang
sudah tidur sore - sore. Kakak beradik ini maklum bahwa pe-ristiwa sore dan pagi hari
tadi tentu masih akan berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para pen-jahat yang agaknya menguasai
kota kecil itu, se-telah mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan
jagoan - jago-an mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya
di mana dia tinggal bersama A - hai dan bercakap - cakap sambil ber-jaga dengan adiknya di
ruangan depan adiknya. Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi.
Menjelang tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba
- tiba mereka dikejutkan oleh suara harimau mengaum. Keduanya masih duduk dengan tenang
akan tetapi dengan jantung berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu
terbuka dengan mudahnya dari luar, seolah-olah didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah
seorang kakek tinggi besar yang mengenakan ju-bah kulit harimau. Kakek itu usianya tentu sudah
limapuluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya ma-sih nampak tegap dan membayangkan tenaga besar,
rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih nampak hitam lebat, dengan cambang bauk mem-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya dari kulit harimau tutul dan sepasang
matanya bersinar - sinar galak. Berturut - turut muncul pula enam orang laki - laki yang
kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap.
Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Bwee Hong juga sudah bangkit dan
men- dampingi kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba - tiba kakek
tinggi besar itu ter-tawa. Suara ketawanya menyeramkan karena di-seling gerengan - gerengan
seperti auman KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
harimau. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia penjahat, seorang di antara Sam
- ok (Si Tiga Jahat) dan dia-lah yang kini menjadi seorang di antara, pemban-tu - pembantu dan
kepercayaan Raja Kelelawar. Orang ini adalah San - hek - houw Si Harimau Gu-
28 29 nung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si pengemis
lihai, adalah anak buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak buahnya, juga si
pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak buah yang beroperasi di
kota kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja San - hek - houw menjadi marah dan
penasaran sekali. Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pemban-tunya, dia
mendatangi rumah penginapan di mana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik rumah
penginapan dan para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara
auman harimau itu, yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "raja" penjahat yang mengua-sai
kota itu. Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu
hanyalah seo-orang gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya
lemah, San-hek - houw tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah
kepada anak - anak ini. "Ha - ha - ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi
mengacau di kota ini ?" tanyanya, suaranya menggetar dan pa-rau menyeramkan.
Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat
dan merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata
dengan sua-ra halus, "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman -
temanmu itu, dan kami hanya membela orang yang tertindas saja."
"Ha - ha - ha, orang muda, aku mendengar bah-wa yang memukul anak buahku adalah
seorang gadis cantik. Ia itukah orangnya ?" San-hek-houw menudingkan telunjuknya
ke arah Bwee Hong. Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini
mendengar pertanyaan itu, iapun menjawab lantang, "Benar ! Akulah yang menghajar pencoleng
- pencoleng bu-suk itu. Habis, engkau mau apa ?"
"Bagus ! Engkau harus menyerahkan diri un-tuk kutangkap dan menerima hukuman!"
kata San - hek - houw. "Hemrn, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah
kepada segala macam penjahat kejam !" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya.
"Ha - ha - ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk
ditundukkan dulu sebelum dijinakkan ! Ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya
dan ada angin menyambar dahsyat ketika lengannya yang pan-jang mencuat dan mencengkeram ke
arah dada Bwee Hong. "Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping.
Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat
lengannya terge-tar. Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata ber-isi juga, maka diapun
mengeluarkan suara auman yang menggetarkan seluruh bangunan rumah pe-nginapan itu, kemudian diapun
menyerang Seng Kun dengan kalang - kabut. Sepak terjangnya memang kasar sekali,
dan mengandung kebuasan, apa lagi serangannya itu disertai gerengan - gerengan
seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini mempunyai pembawaan seperti harimau. Biasa-nya,
kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang harimau kumbang, akan tetapi sekali
ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke kota raja, dia terpaksa meninggalkan sepasang
binatang peliha-raan itu di dalam kandang. Dan ilmu silatnya ju-ga merupakan ilmu silat
yang gerakan - gerakan-nya didasari gerakan binatang harimau yang bu-as. Kedua tangannya
membentuk cakar harimau, yang disebut Houw - jiauw - kang dan dengan ca-karnya ini dia mampu
merobek - robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghan-curkan batu karang saking
kuatnya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia
terhuyung ketika mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena
cengkeraman dan menja-di korban Ilmu Houw - jiauw - kang ! Terpaksa Seng Kun lalu menghunus
pedangnya dan melin-dungi dirinya dengan putaran pedangnya. Melihat ini, San - hek - houw
tertawa bergelak dan melo-loskan sebatang rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat
dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali! Terjadilah perkelahian yang lebih seru
lagi di dalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki - laki pengikut San-hek-houw hanya
menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang congkak.
Diam - diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar - benar amat tangguh,
bukan sembarang tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya
selalu terpen- tal ketika bertemu dengan senjata lawan yang be-rat dan segera dia terdesak oleh
gerakan senjata lawan yang berat dan panjang itu. Melihat kea-daan kakaknya, Bwee Hong
meloncat maju dan membantu. Enam orang teman San - hek - houw hendak bergerak mencegah, akan
tetapi San - hek-houw tertawa. "Ha - ha - ha, biarlah ia maju untuk mengha-ngatkan suasana, ha - ha !"
Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak
dan mem-biarkan gadis itu mengeroyok San - hek - houw yang ternyata memang
tangguh itu. Bagaimanapun juga, setelah Bwee Hong maju dan kakak beradik itu mengandalkan
ginkang mereka yang luar biasa, San-hek-houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar
senjatanya melindungi diri. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak
beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga senjatanya lebih menguntungkan, lebih pan-
jang, berat dan juga mudah digerakkan karena me-rupakan rantai yang lemas.
Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka,
ada yang meng-gunakan golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan
membantu San - hek-houw. Tentu saja kini kakak beradik itu yang ber-balik terkepung dan
terdesak hebat! Melihat ini, Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bah-wa kalau ia dan
kakaknya kalah, tentu kakaknya akan dibunuh dan ia sendiri ah, ngeri ia me-
mikirkan nasibnya kalau sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam, ini. Pada
saat itu, ia melihat A - hai muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur
dan kini A-hai ber-diri terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berka-li - kali A - hai
mengangkat tangan ke atas
seperti hendak mencegah atau melerai perkelahian itu.
Melihat munculnya A-'hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang
akan mampu menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan sa-tu - satunya jalan hanyalah
merangsangnya, meng-guncang batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya. Itulah
satu - satunya jalan dan jalan lain tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak
akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos dengan selamat. Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang
untuk melarikan diri sekalipun, lalu bagaimana dengan A - hai " Tentu pemuda itu akan
dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal
seperti ini memang ia sudah membuat persiapan sebelumnya. Ketika ia melakukan per-jalanan bersama A
- hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat
merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan. Yang merugikan adalah bahwa pemuda ini
dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan
tetapi yang menguntungkan adalah bah-wa pemuda ini dapat "dibikin" menjadi lihai. Maka iapun
sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam keadaan darurat seperti sekarang
ini, mempergunakan akal dan siasat untuk memba-ngunkan pemuda itu, untuk membuatnya
menjadi kumat gilanya dan juga lihainya !
Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan be-nar-benar dan tiba - tiba, sapuan
senjata rantai yang berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah
saatnya, pikir Bwee Hong, sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu
menjerit dan mengha-dap kepada A - hai, pisau belatinya bergerak seo-lah - olah menikam perut
sendiri, tangannya mencengkeram ke perutnya dan iapun roboh, dari pe-rutnya bercucuran
darah merah membasahi lantai dan pakaiannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sepasang mata A - hai terbelalak, mukanya se-ketika menjadi pucat. Kemudian dia
mendelik, dari mulutnya keluar teriakan parau, "Ibuuu !!"
Dan tubuhnya mencelat ke depan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong,
dirangkulnya dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas
dingin ketika ia merasa betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak
yang menangisi ibunya dengan air mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya
menggigil. Hal ini membuat A-hai menjadi semakin khawatir.
Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu
kini ber-ubah sama sekali. Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan
menyeramkan, penuh nafsu membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak
kengerian itu ketika meman-dang penuh perhatian, tiba - tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru
sebanyak tiga buah di pe-lipis kiri A - hai. Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk
segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah
terdapat tonjolan seperti itu di pelipis A - hai.
Kini A - hai yang melihat bahwa nona yang di-sebut ibunya itu masih hidup,
merebahkan Bwee Hong dengan lembut ke atas tanah, kemudian se-kali menggerakkan tubuh, dia
sudah meloncat dan membalik, menghadapi San - hek - houw. Hari-mau Gunung Hitam ini
memandang kepada A-hai, juga terheran akan tetapi tentu saja dia tidak me-mandang sebelah
mata kepada pemuda yang tidak waras ini. Melihat A - hai berdiri tegak mengha-dapinya dengan
sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh hitam ini merasa tidak senang.
"Mampuslah !" bentaknya dan diapun menu-bruk dengan kedua tangannya setelah tadi
me- nyimpan kembali senjata rantainya yang diang-gapnya tidak perlu dipergunakannya
lagi. Dia merasa yakin bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda
ini, baru kemudian dia akan melanjutkan serangannya terhadap kakak beradik itu.
"Dukkk! !" San - hek - houw terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan
suara gerengan sambil bergulingan. Selain kesakitan, dia juga ka-get setengah mati.
Tak disangkanya bahwa pemuda yang seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia
tadi merasa seperti membentur gunung baja! Melihat ini, enam orang teman San-hek - houw
menjadi marah dan merekapun menye-rang maju dengan serentak.
Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang me-ngerikan dan tubuh pemuda ini
menerjang bagai-kan badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik - pekik
kesakitan dan enam orang itu sudah dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti orang mencabuti dan membuang rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam
orang itu sudah malang melin-tang, roboh tak mampu bangkit kembali!
San - hek - houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu
dan dia-pun meloncat keluar dari ruangan. Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa
lagi setelah ada enam tubuh teman - temannya malang melintang. Dia keluar dari rumah penginapan
dan menanti di kebun samping. A - hai mengejar dan setelah tiba di situ, dia disambut
serangan yang buas oleh San-hek - houw yang kini sudah melolos rantainya. A-hai menyambutnya dan
terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat, juga liar dan buas. Mereka sama buasnya,
akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong yang mengikuti pula jalannya perke-lahian, melihat betapa
San - hek - houw terdesak hebat oleh gerakan silat A - hai yang aneh. Ran-tai yang
menyambar-nyambar itu selalu dapat die-lakkan atau ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerak-annya
otomatis mengikuti gerakan lawan dan ba-lasan serangan A - hai yang kelihatannya kacau-balau itu
sesungguhnya pada dasarnya mengandung gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi.
"Wuuuuttt plakk !" Tiba - tiba ujung ran-
tai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditang-
kap oleh A - hai. San - hek - houw menggerakkan
tangannya yang memegang gagang rantai dan ran-
tai itu seperti hidup melingkari kepala dan menje-
rat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan
Bwee Hong terkejut bukan main dan siap meno-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
long karena melihat A - hai terancam bahaya ter-
cekik lehernya. Akan tetapi, rantai yang menjerat
leher A - hai itu tidak mampu mencekik leher yang
nampak berotot dan kuat itu. bahkan kini A - hai
secara tiba - tiba mengangkat kakinya menendang,
suatu gerakan yang tidak disangka - sangka oleh
San - hek - houw yang menduga bahwa pemuda itu
tentu menjadi panik dan berusaha melepaskan
rantai yang menjirat leher.
"Desss !" Tendangan yang amat keras itu
membuat tubuh San-hek-houw yang tinggi be-sar terlempar dan rantainya terlepas,
tertinggal ke tangan A - hai dan sebagian masih melingkari le-her pemuda itu.
"Huhh !" A - hai membuang rantai itu dan de-ngan langkah lebar menghampiri San -
hek - houw yang kini sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A -
hai sudah menyerangnya de-ngan tamparan - tamparan dan pukulan - pukulan bertubi - tubi,
kelihatannya semua serangan itu kacau, akan tetapi justeru cara yang kacau itulah yang
membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi, San - hek - houw yang masih merasa pening
karena terbanting tadi, terkena sebuah pu-kulan tangan kiri, tepat pada dadanya.
"Desss !" Terdengar datuk kaum sesat itu
mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini bahkan terguling -
guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali me-ngeluh, menggoyang -
goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang - bintang bertaburan dan me-nari - nari,
dari mulutnya mengalir darah segar. A - hai masih melangkah lebar mengejarnya. Me-lihat betapa
pada wajah A - hai nampak sinar be-ringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin
melihat A- hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat
dekat dan tanpa dipikir lagi dia berte-riak melarang.
"Saudara A - hai, jangan bunuh orang !"
Akan tetapi, pada saat itu, A - hai sudah tidak ingat apa - apa lagi, yang ada
hanya perasaan duka bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar
siapapun juga yang mengha-langinya. Kini melihat Seng Kun berani mengha-dangnya, diapun
menganggap pemuda ini musuh-nya. Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang
ke arah Seng Kun. Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A - hai
dalam keada-an tidak sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya.
Dia tadi sudah meli-hat perkelahian antara A - hai dan San - hek - houw dan melihat
betapa setiap kali pukulannya dielak-kan lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus
mengejar lawan. Lebih aman me-nangkis dari pada mengelak.
"Dukkk !" Hebat bukan main tenaga yang
mendorong pukulan A - hai itu sehingga begitu menangkis, seketika tubuh Seng Kun
terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras di atas tanah ! Akan
tetapi A - hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya ke arah Seng Kun
yang rebah di atas tanah. "Blaaarrr!" Debu dan tanah berhambur-
an. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun
yang sudah bergulingan dan wajah pemuda ini
mlenjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung
tenaga sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya,
belum tentu dia akan sanggup bertahan.
"Jangan !!" Tiba-tiba Bwee Hong men-
jerit dan jeritan yang melengking tinggi ini menge-
jutkan A - hai. Sementara itu, San - hek - houw
mempergunakan kesempatan ini untuk lari mening-
galkan tempat berbahaya itu.
Mendengar jeritan itu, A - hai termangu - ma-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ngu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun,
kini menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah
padam seperti dibakar, seluruh darah di tubuhnya
seolah - olah berkumpul di kepalanya. Tiga bintik
tonjolan biru itu makin jelas nampak di pelipisnya.
Matanya inengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar
menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenar-
nya memiliki ketabahan besar dan bukan seorang
penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki
gemetar, menggigil ketakutan! Ngeri hatinya
membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya
ini adalah orang yang gila, bukan gila biasa, mela-
inkan gila yang amat berbahaya karena memiliki
ilmu yang amat mengerikan. Kini A - hai berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua
lengannya digerak - gerakkan secara aneh, ke de-
pan, ke atas, ke samping, bukan seperti orang ber-
silat, akan tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan
itu mengeluarkan hawja yang kuat sehingga terde-
ngar bunyi "wuuuuttt wuuuttt
wuuuttt!" Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh,
menggunakan Il-mu Coan - im - jip - bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh
adiknya itu, "Hong-moi,
tenanglah. Engkau senyumlah, cepat. Jangan pa-nik karena diapun akan menjadi
panik. Pasrah sa-ja, jangan kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan
dia akan menurut se-gala kata - katamu, percayalah !"
Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan
hatinya ke-cut, berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum " Bagaimanapun
juga, Bwee Hong segera mentaati perintah kakaknya dan diapun ter-senyum manis. Mula - mula
senyumnya merupa-kan senyum kecut, senyum dipaksakan. Akan te-tapi, ketika ia melihat
betapa sinar mata yang bu-as dari A - hai itu seketika agak melunak dan gerak - gerik kedua lengan
itu lebih lambat dan ra-gu - ragu, kini Bwee Hong benar - benar tersenyum, senyum lega yang
membuat senyumnya nampak benar - benar manis sekali, dengan lesung pipit di pipi
kirinya. "A - hai, tenanglah, A - hai, tidak ada apa - apa yang perlu dibuat gelisah atau
marah lagi. Aku Bwee Hong ingatkah engkau " Aku Bwee
Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko
!" Dengan suara yang halus merdu dan ramah, de-ngan pandang mata yang lunak dan
halus, dengan senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk.
A - hai sejenak memandang wajah gadis itu de-ngan bingung, akan tetapi lambat -
laun pandang matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lem-but, lalu dia tertegun
dan berdiri seperti patung, kedua tangan kini tergantung di kanan kiri tubuh-nya. Mukanya
ditundukkan dan sepasang matanya dipejamkan.
Seng Kun melihat ini semua dengan penuh per-hatian. Ketika dia melihat betapa
wajah A-hai itu kini merah padam, tiba - tiba dia teringat akan soal pengobatan dan
diapun seperti memperoleh petunjuk. "Hong - moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir ke kepala. Lihat,
mukanya begitu merah sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah.
Tekanan darahnya keli-hatan sangat kuat dan semua mengalir ke arah ke-palanya. Ini
sangat berbahaya bagi jiwanya. Ka-lau dia tidak lekas - lekas jatuh pingsan seperti biasanya,
darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini akan dapat memecahkan dinding-din-ding pembuluh
darahnya dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengalir keluar me-lalui mata, hidung, telinga dan merusak otak-otak-nya. Dia
akan tewas dalam keadaan yang menge-rikan !"
Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang
ini dan sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya me-muncak. "Koko, apa yang harus
kita lakukan ?" "Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat,
urat-uratnya sudah mengembung, sebentar lagi dapat pecah ! Si-apkan sebatang jarum emas. Hati
- hati, jangan sampai dia melihatnya. Berusahalah menusuk-nya di jalan darah balik
tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia tahu dan curiga. Begitu dia
tahu, dia tentu akan mengira engkau menyerang-
nya dan kalau dia menyerangmu, aku sendiri be-
lum tentu dapat menyelamatkanmu ! Cepat, Hong-
moi, tapi hati - hati " Biarpun Seng Kun ber-
sikap setenang mungkin, tetap saja suaranya ter-
dengar gugup dan agak gemetar. Hal ini tentu
saja membuat Bwee Hong menjadi semakin geli-
sah dan ngeri. Amatlah menegangkan saat itu ba-
gi Bwee Hong dan Seng Kun. A - hai berada di
ambang kematian, kalau tidak tertolong, sebentar
lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan te-
tapi hal ini sedikitpun tidak disadari sendiri oleh-
nya. Sedangkan kakak beradik ahli pengobatan
itu ingin sekali menyelamatkan nyawanya, akan
tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka
salah gerak atau diterima salah oleh A - hai dan
menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda
penyakit hilang ingatan itu, mereka akan mati ko-
nyol karena mereka berdua tidak akan mampu me-
nandingi kelihaiannya. Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak.
Di ta- ngannyalah terletak keselamatan nyawa A - hai, ju-ga keselamatan mereka berdua
sendiri. Ia harus dapat bertindak cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju
mendekati A - hai yang masih berdiri seperti patung itu. Tadi keti-ka ia hendak melangkah
maju, melihat A - hai me-mejamkan kedua matanya, diam - diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas
yang kini di-genggamnya. Begitu ia melangkah maju, A - hai membuka kedua matanya dan
kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang mata pemuda itu, walau-pun tidak beringas dan liar
seperti tadi, akan teta-pi masih nampak merah penuh darah dan mena-kutkan sekali.
"A - hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat ba-
ikmu. Ingat " Aku bukan musuhmu, aku tidak
akan mengganggumu . . . . . . . . "
Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba - tiba A - hai meman-dang dengan matanya yang
merah, bibirnya ber-bisik - bisik aneh, penuh keraguan.
"Hong-moi ah, Hong-moi !" Sua- ranya seperti orang merintih atau hendak mena-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngis dan tiba - tiba saja kedua lengannya merang-
kul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget
dan juga heran. Bagaimana A - hai yang berada
dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menye-
butnya Hong - moi, seolah - olah teringat akan na-
manya " Dan pelukan yang mesra itu membuat ia
gelagapan dan bingung. Akan tetapi pada saat
itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coan-
im - jip - bit. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia le-
ngah. Cepat, antara dua jari di belakang telinga
kirinya. Cepat, jangan sampai terlambat dan pem-
buluhnya pecah " Suara Seng Kun terdengar
penuh kekhawatiran. Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. ta-pun pura - pura balas merangkul
leher pemuda itu dan setelah meraba - raba, cepat ia menusuk-kan jarum emas itu di
tempat yang tepat. "Aduhhh ;!" A-hai mengaduh lirih dan
rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalau-kalau pemuda itu mengamuk,
cepat mele-paskan dirinya dengan hati was - was. Akan tetapi ternyata A-hai tidak
mengamuk dan masih ber-diri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya merah dan liar
itu meredup. Perla- han - lahan muka yang merah padam menjadi pu-tih dan bagian - bagian tubuhnya
yang lain kem- bali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru di pelipisnya itupun perlahan -
lahan mengempis dan menghilang. Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang di wajahnyapun mulai surut
dan per- lahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, ka-dang-kadang kedua matanya
dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi tenang,
agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan
baik. Tak lama kemudian, A-hai mengangkat muka-
nya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang
lembut dan jujur. "Aduh
tubuhku dingin se- kali " dan diapun agak menggigil.
Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan
melihat pemuda itu telah dapat diselamatkan dan tidak tera-sa lagi kedua matanya menjadi
basah saking ter-haru dan lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A - hai memandangnya
dengan wajah membayangkan keheranan. "Siapakah engkau, nona ?" Tentu saja Bwee Hong menjadi
terkejut bukan main, langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A - hai dengan bengong, tak
tahu apa yang harus dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya.
"Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kaukira. Dia masih tetap dalam
keadaan ku-mat dan masih berpijak di masa lalunya yang hi-lang itu. Dia tidak mengenal
siapa engkau akan tetapi dia tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk
dipergunakan. Jarum yang kau-tusukkan tadi hanya membuat darah yang berkum-pul di kepalanya dapat
menyebar lagi ke seluruh tubuh. Sebentar lagi kalau tekanan darahnya su-dah normal, dia akan
kembali menjadi kawan kita yang lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu
dan sebentar lagi dia akan men-dusin, seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah
tiba saatnya seperti yang kita bica-rakan dahulu. Saat - saat dia seperti inilah kita harus
dapat mengetahui masa lalunya. Saat seper-ti inilah di mana dia berada dalam keadaan kumat akan
tetapi mudah diajak bicara. Sekarang coba-
Darah 23 49 lah, tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia
kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan."
Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura ke arah A - hai seperti
orang yang baru saling jumpa. Pemuda itupun berdiri memandang-nya dengan terheran - heran.
"Saudara, bolehkah aku mengenal namamu ?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut
dan sikap menghormat. "Apa " Nama " Namaku
namaku Thian Hai !" "Saudara dari perguruan manakah ?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar
tegang karena ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh
ini. "Aku aku dari ooohhh " Tiba- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba A-hai terjerembab ke depan. Tentu saja Bwee
Hong cepat menyambutnya dengan kedua lengan
karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpe-
lanting. A - hai nampak bingung, lalu mengangkat mu-
ka memandang. "Ahh " Dan diapun cepat melepaskan dirinya. "Nona
Hong, mana pen- jahat tadi " Sudah pergikah dia ?" Suaranya kem-
bali seperti suara A - hai yang tolol!
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol
sekali. Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A - hai,
dan kini pemuda itu bertanya di mana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat
sedikit lebih maju dalam mengungkap tabir rahasia pemuda itu, yalah bah-wa nama pemuda yang mereka
kenal sebagai A-hai itu adalah Thian Hai. Apa she - nya dan dari mana asalnya belum
mereka ketahui. Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah
penginap-an dan melanjutkan perjalanan karena dia khawa-tir kalau - kalau San -
hek - houw datang' lagi mem-bawa teman - teman yang lebih banyak dan lebih kuat.
Untung malam itu ada bulan menerangi perja-lanan mereka. Di tengah perjalanan,
Bwee Hong memuji kakaknya. "Kun - koko, engkau benar - be-nar pantas menjadi ahli
waris sucouw kita Bu-eng Sin - yok - ong. Semua keteranganmu tentang pe-nyakit yang diderita oleh
saudara Thian Hai ini cocok semua. Kini tinggal mencari dan melaksana-kan cara - cara
pengobatannya saja."
"Thian Hai " Siapa yang bernama Thian Hai " Akukah ?" A - hai bertanya heran.
"Kalau begitu, kalian telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku ?"
"Sabarlah, saudara A - hai. Kami sedang mela-kukan penyelidikan dan mudah -
mudahan kami dapat membantumu untuk menemukan kembali dirimu."
"Kalian sahabat-sahabat baik , sahabat-
sahabat baik " kata A-hai dengan suara ter-
haru dan juga kecewa karena mereka itu ternyata
belum dapat menemukan rahasianya. Mereka ber-
henti di puncak sebuah bukit dan A - hai menjauh-
kan diri, berdiri memandang ke depan, ke bawah
di mana terhampar pemandangan yang remang-
remang karena sinar bulan tidak mungkin dapat
memberi penerangan yang jelas.
"Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru di
pelipis kirinya. Akan tetapi sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu ?" tanya Bwee Hong. Mereka
duduk di atas batu-batu gunung untuk beristirahat.
Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget. "Tiga tonjolan biru di pelipis " Benarkah
itu " Coba kita periksa. Saudara A - hai, maukah engkau datang ke sini sebentar ?"
A - hai yang sedang berdiri melamun itu, ter-kejut dan menoleh, lalu menghampiri
mereka. "Di bawah sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera
ke sana, aku akan me-mesan ayam panggang!"
Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini. "Akupun sudah lapar. Nanti kita
lanjutkan perjalanan, akan tetapi di dusun mana ada ayam panggang ?"
"Saudara A - hai, aku hendak memeriksa peli-pismu sebentar, bolehkah ?"
"Pelipisku " Ada apa dengan pelipisku " Tapi, tentu saja boleh !"
Kakak beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A - hai. Kulit pelipis itu kini
nampak bersih saja, tidak ada tanda apa - apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat
- lapat dia merasa seperti ada tiga buah benda kecil bulat di bawah kulit.
"Hemmm " ahli obat muda itu bergumam
sambil meraba - raba. "Seperti gumpalan daging mengeras karena memar. Atau kalau
tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda
keras, atau eh, ini, satu di antara tiga tonjolan
ini persis melintang di pembuluh darah otak de-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pan " "Mungkinkah benda itu yang menyebabkan pe-nyakitnya ?" tanya si adik serius.
"Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa me-mastikan, harus memeriksanya dengan
teliti lebih dulu. Penyakit yang berdekatan dengan otak amat-lah berbahaya kalau keliru
pengobatannya." Ka-kak beradik itu lalu termenung, nampak murung. Melihat ini A
- hai menjadi tidak sabar. "Aih, kenapa susah - susah memikirkan penya-kitku " Lihat, sinar matahari pagi
sudah mulai nampak di sana. Lebih baik kita turun dan men-cari dusun untuk sarapan !"
Kakak beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju. "Perutku sudah lapar, biar
aku jalan dulu, akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni
puncak bukit itu. "Saudara A - hai, hati - hatilah, masih gelap dan jalannya licin !" Bwee Hong
memperingatkan dan bersama kakaknya ia mengejar. Akan tetapi, sung-guh amat
mengherankan hati dua orang muda ahli ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi,
tidak mampu menyusul pemuda itu. Jalan menurun itu memang agak sukar dan licin, apa lagi
karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cu-aca masih gelap sehingga mereka harus melang-
kah hati - hati agar jangan sampai terpeleset ma-suk jurang. Padahal, A - hai yang berada dalam
keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa - apa, jangankan berlari cepat. Akan tetapi
ba-gaimana kini A - hai dapat meninggalkan mereka " Satu - satunya kemungkinan adalah bahwa pemuda
itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan tetapi mana mungkin " Andaikata A - hai
pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah melupakan jalan itu.
Matahari telah muncul ketika kakak beradik itu menuruni bukit dan mereka
terpaksa berhenti karena ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun
perahu di tem-pat sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyebe-rang.
"Eh, ke mana dia ?" Bwee Hong memandang ke kanan kiri.
54 "Saudara A-hai !" Seng Kun berteriak.
"Di mana engkau ?"
Tidak ada jawaban. Tiba - tiba Bwee Hong yang meloncat ke atas batu dan
memandang ke seberang sungai berseru, "Heiiii, itu dia! Di se-berang sungai!"
Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A - hai di seberang
sungai. Pemuda itu sedang melenggang dengan santainya, menu-ju ke sebuah dusun yang
dapat dilihat dari sebe-rang sini. Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil, "Saudara A-hai!!!
Tung- gu dulu ! Di mana kita harus menyeberang " Apa-kah memakai perahu " Di mana ?""
"Jangan - jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau
harus be-renang menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi
airnya berlumpur dan kelihatan dalam.
Teriakan yang menggema karena didorong te-naga khikang itu terdengar oleh A -
hai di sebe-rang sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap
ketololan diapun berjalan kembali ke tepi sungai lalu dia menghilang di ba-lik semak - semak di
tepi sungai seberang sana. Sampai lama dia tidak muncul - muncul.
"Eh, eh, ke mana dia " Kenapa malah ber-sembunyi " Dia menghilang di balik
semak-semak. 55 Apakah dia buang air besar ?" Bwee Hong meng-omel. "Atau ketiduran ?"
"Ha - ha, jangan bergurau !" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melcngak -
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
longok ke seberang, mencari - cari bayangan A - hai yang belum juga nampak.
Tiba - tiba kakak beradik itu cepat mengggerak-kan tubuh membalik ketika
mendengar langkah ka-ki orang dan mereka memandang dengan mata ter-belalak ketika melihat
bahwa yang datang melang-kah itu bukan lain adalah A - hai!
"Ehhh ! Ohhh ! Bagaimana eng- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kau tadi menyeberang " Kami tidak melihatmu
" "Hemm, engkau tentu lewat di sebuah tero-wongan, bukan ?" Seng Kun yang cerdik
menduga. A - hai makin bingung, dan sikapnya semakin ke-tololan ketika dia melihat dua
orang yang biasanya cerdik itu kini nampak kebingungan. "Benar .. ,
aku memang lewat di bawah air sungai. Kenapa ka-lian heran " Memang itulah satu
- satunya jalan un-tuk menyeberang !"
Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi
semakin terheran - heran. Apakah A - hai ini sudah benar-benar menjadi gila
sekarang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak percaya begitu saja.
"Jangan main - main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi
sungai ini," kata Bwee Hong.
56 A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi pena-saran. "Kalian tidak percaya "
Marilah ikut aku !" katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua
orang itu dan di-tariknya menuju ke balik pohon - pohon lalu nam-paklah bahwa di balik
semak - semak belukar ter-dapat sebuah jalan terowongan yang melewati da-sar sungai. Agak
gelap di situ sehingga Bwee Hong dan Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai
melangkah seenaknya saja sambil menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah
membawa kakak beradik itu menyebe-rang dan mereka muncul di belakang semak-semak di tepi
seberang sana. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa
jalan penyeberangan ini bukan jalan umum karena tempatnya tersem-bunyi dan di mulut
terowongan ditumbuhi semak belukar yang liar sehingga menutupi jalan itu.
Seng Kun memandang wajah A - hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu
memandang kepa-danya penuh selidik. "Saudara A - hai, bagaimana-kah engkau bisa mengetahui
adanya jalan tero-wongan menyeberangi sungai ini ?"
"Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun
bingung. "Aku aku tidak mengetahui. Aku
57 tadi berjalan sambil membayangkan panggang a-yam yang kupesan nanti di warung
dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup.
Darah 23 Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu
dan sampai di se-berang. Kenapa sih " Bukankah terowongan itu memang jalan satu -
satunya untuk menyeberang " Apakah aku telah salah jalan ?"
Ditanya demikian, kakak beradik itu saling pandang dan menjadi bingung sendiri
bagaimana harus menjawab. "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adik-nya. "Mari kita cepat
pergi ke dusun di depan un-tuk mencari sarapan."
"Dusun itu berada di sana ! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak beradik itu
saling pandang de-ngan heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu me-lainkan mengikuti A - hai
yang melangkah tegap menuju ke suatu arah tertentu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah
dusun dan biarpun tidak mengeluarkan sebuah katapun, namun ada pero-bahan terjadi pada
wajah A - hai yang tampan. Wa-jah itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya
menuju ke sebuah warung. Dusun itu tidak begitu besar. Rumah - rumah-nya berjajar sampai di tepi sungai.
Agaknya memang hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa bu-ah perahu berjajar di tepi
seberang ini dan ada ja-ring - jaring yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak
sibuk bekerja. Ada yang menjahit jaring yang robek, ada yang sedang men-jemur ikan - ikan hasil
tangkapan mereka di halaman rumah masing - masing. Bau amis ikan me-rangsang hidung.
Sebuah dusun nelayan seder-hana. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ketika mereka sedang berjalan, tiba - tiba di ujung jalan itu muncul seorang
pendek bertopi lebar keluar dari sebuah kedai minuman. Dia ber-gegas menuju ke sebuah gerobak
pembawa barang yang berdiri di depan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya
dan A - hai untuk me-nyelinap ke belakang sebuah rumah. Melihat ini, A - hai bertanya, "Ada
apakah ?" "Ssttt !" Seng Kun memberi tanda dengan
telunjuk ditempelkan di bibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak
banyak mengeluarkan suara. Kemudian dia mengajak mereka menyeli-nap dan mengambil jalan
memutar mencapai wa-rung yang dimaksudkan oleh A - hai untuk dikun-jungi tadi. Di sini
mereka duduk di tempat ter-lindung, akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat ke arah jalan
raya di depan. "Koko, ada apakah " Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan ?" Bwee Hong
bertanya ke-pada kakaknya. "Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman di ujung jalan sana tadi ?"
dia balas ber-tanya. "Ya, tapi kenapa ?" Bwee Hong mendesak. "Apakah engkau tidak mengenalnya "
Biarpun dia menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga
perawakannya. Akupun belum yakin benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-ha-ti. Nah, dia akan lewat
di depan sini, mari kita perhatikan."
Tak lama kemudian, lewatlah di depan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup
rapat dan dihela oleh seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek
tegap yang berpakaian se-derhana, mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak
hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat, terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan
seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang belum jadi.
Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat. "Siapa dia " Aku
tidak mengenal-nya. Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang ke dusun
ini untuk berbelanja ikan asin ?"
A - hai juga menggeleng kepala. "Aku tidak me-ngenal dia!"
Seng Kun menghela napas panjang. "Aku ter-ingat akan seorang yang perawakannya
persis orang itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi
berjalan sama seperti orang itu, ialah Pek - lui - kong Tong Ciak, jagoan Soa - hu - pai,
komandan pengawal istana yang li-hai itu ! Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan
pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga belum yakin bahwa orang tadi adalah Tongciangkun yang
sesungguhnya. Perlu apa dia me-nyamar seperti itu " Dan kenapa pula dia berada di sini "
Padahal, keadaan di istana sendiri sedang dalam kemelut ?"
Mereka menduga - duga akan tetapi tidak me-nemukan jawaban yang masuk akal
sehingga akhir-nya Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee
Hong dan A-hai bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan
memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan Pek - lui - kong Tong Ciak. Mem-bayangkan kemungkinan
ini, Seng Kun menterta-wakan kekhawatirannya sendiri.
Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mende-kati mereka dengan wajah berseri
karena sepagi itu sudah ada tamu datang ke warungnya. Wa-rungnya hanyalah sebuah kedai
makan yang se-derhana dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan
ikan asin. Ketika dia menanyakan pesanan mereka, tiba - tiba saja dengan cepat A - hai
berkata, "Aku minta ayam panggang satu!"
Mendengar pesanan yang tak masuk akal meli-hat warung itu hanya sederhana
sekali, Bwee Hong dan Seng Kun memandang kepada A - hai dan hen-dak menegurnya. Akan tetapi
pada saat itu, pemi-lik warung memandang kepada A - hai dan kelihat-an terkejut sekali.
"Kongcu !" Dia berseru. "Aih, saya be-
nar - benar linglung, tidak mengenali kongcu. Ha-
bis, kongcu berpakaian seperti ini sih! Di mana
nona kecil " Tentu sekarang sudah besar, ya " Su-
dah empat tahun lebih kongcu tidak singgah di si-
ni. Ya, sejak Gu - lojin meninggal dunia."
Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan meman-dang heran, akan tetapi yang lebih
heran dan bi-ngung lagi adalah A - hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut,
akan tetapi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sedikitpun dia ti-dak mengenal orang itu. Jantungnya berdebar ke-ras dan dengan
hati tegang dia bangkit berdiri, ta-ngannya menyambar baju pemilik warung itu dan
dengan gemetar dia berseru, "Engkau
engkau mengenal siapa aku " Ah, cepat katakan! Siapa-kah aku ini " Siapa pula nona
kecil yang kauta-nyakan itu ?" Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakut-an. Apa lagi karena cengkeraman
tangan A-hai pada bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari
memandang kepa-danya dengan mata berapi-api. "Ahhh, kongcu
eh, aku aku mungkin yang salah lihat!
Mungkin " Beberapa orang yang duduk di dalam warung dan sedang makan bubur, menjadi
terkejut melihat adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang.
Melihat ini, Seng Kun ce-pat melerai. Sabarlah, saudara A - hai, jangan membuat onar di sini. Kita adalah orang asing
di tempat ini. Tenangkah dan mari bicara baik-baik." A-hai terpaksa melepaskan
cengkeramannya dan dengan wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan
nasi, sayur dan ikan asin. "Tenanglah, saudara A - hai," Seng Kun berbi-sik. "Sabar saja, nanti setelah
makanan dihidang-kan, dengan halus kita menanyakan hal itu kepa-danya."
Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Seng Kun. Ketika pemilik warung datang meng-hidangkan pesanan mereka, dengan
suara halus Seng Kun bertanya, "Paman, tolong ceritakan ba-gaimana engkau sampai mengenal
teman kami ini?" Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia
menggeleng kepala, memandang kepada A - hai
sejenak, lalu menggeleng kepala lagi. "Tidak, saya
tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah
lihat, maaf " "Sungguh, paman, kami tidak apa - apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman
sebut kongcu tadi. Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan
suara yang halus. Melihat sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau
tadi dia tidak berani bicara adalah karena sikap A - hai yang kasar. Maka dia-pun berceritalah.
"Saya memang mengenal seorang kongcu yang
wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak
tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia
Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal na-
ma lengkap dari Gu - lojin yang sering dikunjungi
oleh Souw - kongcu. Dia selalu singgah di warung
kami ini apa bila mengunjungi Gu - lojin yang ber-
diam di tengah hutan itu. Dan Souw - kongcu itu
kalau singgah ke sini tentu selalu memesan ayam
panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya,
akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyem-
belihkan ayam kami sendiri. Dan dia ini
eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak pute-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rinya yang mungil ehh !" (Bersambung jilid ke XXIV.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXIV * * * TUKANG warung itu menghentikan cerita-nya karena terkejut melihat betapa tiga
orang pendengarnya itu tersentak. A - hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu
menyentuh pe- rasaan hatinya ketika pemilik warung itu menye-but tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku
sudah mempunyai anak, pikirnya dengan keras. Sementara itu, Bwee Hong merasa
kaget dan se- perti ada sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu
telah mempunyai seorang puteri. Dengan wajah agak berobah pu-cat ia memandang kepada A - hai
yang nampak termangu - mangu dan seperti orang yang berusa-ha mengingat-ingat sesuatu dengan
sia-sia. Seng Kun sendiri termangu - mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia
merasa sangat tertarik. Tiba - tiba A - hai menggebrak meja dan mena-
ngis tersedu - sedu, menelungkupkan mukanya di
atas meja. "A-hai A-hai ...... engkau manu-
sia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini
?" Kakak beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul
pundak A-hai. "Saudara A - hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala
sesuatu ten-tang dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan dapat membuka tabir
rahasiamu di tempat ini." Setelah dibujuk oleh kakak beradik itu, A-hai
berhenti menangis, mengusap air matanya dengan
kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum
masam, "Terima kasih, kalian sungguh amat baik
kepadaku " Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk, "Paman, kami
bertiga sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat
buruk. Akan tetapi, terus terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang
kongcu itu, dan juga tentang Gu-lojin. Kami tentu akan mtemberi imbalan jasa ke-padamu kalau
engkau suka menceritakan sejujur-nya kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang Gu-lojin.
Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering membawa teman kalau dia sedang mem-beli makanan
di sini?" Pemilik warung itu menggeleng kepala. "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman
maupun pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat
, saya mempunyai pedang eh, golok besar pening-
galan Souw - kongcu." Pemilik warung itu berlari
ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali lagi sambil membawa sebuah
golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu di-bawanya dengan
kedua tangannya. Seng Kun ber-tiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Go-lok itu tebalnya
hampir dua senti, dan di bagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda ke-ras. Ketika Bwee
Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa di tem-pat
yang somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga
buah tonjolan yang terdapat di pelipis kiri A - hai, yaitu berbentuk segi tiga !
"Tolong kauceritakan tentang golok ini, pa-man." Seng Kun membujuk pemilik
warung itu. "Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir di dusun ini, dan
kebetulan dia me- masuki warung saya. Pada saat itu, kebetulan pu-la Souw - kongcu sedang berada
di sini menikmati eh, ayam panggangnya." Dia melirik ke arah
A - hai dengan takut - takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang menghadapi
pesanannya tadi, yaitu panggang ayam ! "Bajak sungai membuat onar di sini. Souw - kongcu
menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas ! Golok
besarnya yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dipakai menang-kis jari - jari tangan Souw - kongcu somplak dan jari - jari itu
tetap mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika."
4 5 Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan
dengan kakaknya. "Jari tangan " Jadi ini bekas jari ta-ngan ?" Ia menunjuk ke
arah lubang - lubang pada golok itu dan melirik ke arah pelipis A - hai. Ke-duanya mulai
mengerti sekarang. Mereka berdua melihat betapa susunan bekas jari tangan pada go-lok itu sama
benar dengan susunan tiga tonjolan pada pelipis A - hai. Dan bekas - bekas jari itu tentu
merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan
mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin
bahwa antara A - hai dan perguruan itu tentu ada hubungannya yang dekat, entah se-bagai kawan
ataukah sebagai lawan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana
yang memiliki ilmu menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti
itu, akan tetapi dia tidak ingat, atau juga mungkin belum pernah mende-ngarnya. Tiba-tiba dia
bangkit berdiri. Mereka sudah selesai makan karena tadi mereka bicara sambil makan. "Paman,
tolong kautunjukkan di mana rumah Gu - lojin itu."
"Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar
warungmu ini dan kami akan memberi kerugian kepadamu," sam-bung Bwee Hong dengan sikap manis.
Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada
pemban-tunya, diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi ke hutan tak jauh
dari dusun itu. "Biarlah saya mengantar sam - wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa
mendiang Gu - lojin adalah seorang yang amat baik, sedangkan
Souw - kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang Gu - lojin itu tidak jauh
dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah me-lukis. Marilah!"
Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan
di tengah hutan itu terdapat sebuah rumah yang sudah rusak kare-na tidak terawat.
Gentengnya banyak yang pecah dan bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah
itupun banyak yang pecah ka-rena diterjang akar - akar pohon yang menutupi rumah itu.
Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A - hai, melihat
sesuatu yang aneh pada diri orang muda ini. Begitu memasuki hutan, A - hai berjalan
seperti dengan sendirinya menuju ke rumah itu dan setiba di situ, seperti orang gila A - hai
lari ke sana - sini mengitari rumah, seperti orang yang sedang mencari - cari se-suatu. Seng Kun
menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh
A - hai. A-hai memasuki rumah itu dan tak lama ke-mudian diapun keluar dari kamar
belakang dan tangannya membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada
boneka itu amat halus dan ternyata boneka itu adalah patung se-orang puteri bangsawan
istana dengan rambut di-sanggul tinggi. Cantik bukan main boneka itu dan kakak beradik itu
diam - diam amat mengaguminya karena boneka itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih
warnanya. Tanpa berkata - kata, A - hai memberikan bone-
ka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan
memeriksanya bersama Seng Kun. "Koko, boneka
giok ini merupakan benda yang tak ternilai harga-
nya. Eh ada tulisan di bawah alas kakinya.
Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas."
"Bagaimana bunyinya ?" tanya Seng Kun.
"Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tiba - tiba A - hai kembali lari ke sana - sini mencari sesuatu. Dia berhenti di
depan sebuah batu nisan yang hampir terpendam di bawah ta-nah. Melihat pemuda itu mengamati
batu nisan seperti orang linglung, si pemilik warung mende-katinya.
"Ini adalah makam aduhhh !" Be- lum habis ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** dini, harus dilaku-kan dengan sabar," kata Bwee Hong dengan ha-lus. A - hai
melepaskan si pemilik warung dan dia-pun duduk di atas tanah, di depan tanah kuburan itu dan
menutupi mukanya. "Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal -
usulku. Siapakah se-benarnya aku ini " Siapakah bocah perempuan ke-cil itu " Jangan -
jangan ia benar - benar anakku. Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya baik - baik.
Benarkah aku adalah Souw - kongcu itu, seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini " Aihh, kenapa
Gu - lojin ini juga sudah mati sehingga kita tidak dapat bertanya kepadanya
" A - hai kelihatan amat berduka memandang ke arah batu nisan.
Melihat keadaan A - hai dan mendengar ratap-annya, hati Bwee Hong tergerak dan
tanpa disadarinya lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk di dekatnya dan
membujuknya. Bwee Hong merasa iba hati melihat A - hai, biarpun ia merasa
Parah 24 9 betapa di dalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya tergores setelah ia
menduga bahwa besar kemungkinan A - hai adalah Souw - kongcu yang telah mempunyai
seorang puteri. Di luar kesadar-annya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah ja-tuh hati kepada
A - hai! "Saudara A - hai, janganlah terlalu berduka.
Percayalah, aku akan membantumu untuk menye-
lidiki rahasia tentang dirimu, percayalah
" kata gadis itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan. A - hai yang
sedang hanyut da-lam kedukaan, begitu ada uluran tangan, tanpa sadar diapun menangkap
tangan yang kecil mungil itu dan menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong
hampir tak dapat mena-han air matanya dan sejenak ia membiarkan ta-ngannya digenggam pemuda
itu sebelum dengan halus ia menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A - hai.
Melihat keadaan mereka ini, diam - diam Seng
Kun menjadi prihatin dan serba salah. "Apakah
ini tanda bahwa adikku jatuh cinta kepadanya "
Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hong-
moi " Ketika kakak beradik itu mengajak A - hai kem-bali ke dusun karena matahari
telah condong ke barat, A - hai menolak keras. "Tidak, aku akan tinggal di sini dan bermalam
di sini. Biarpun aku sendiri tidak ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku
merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua pulanglah ke
dusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur di sini," katanya ber-keras.
Akan tetapi kakak beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan
A-hai tinggal di situ seorang diri. Mereka khawatir kalau - kalau terjadi sesuatu
menimpa diri pemuda yang masih kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu me-nyuruh si pemilik
warung pulang ke dusun terle-bih dahulu dan mereka hendak menemani A - hai bermalam di rumah tua
itu. Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A - hai yang masih duduk termenung di depan
batu nisan kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, member-sihkan ruangan yang tidak
bocor untuk dipakai beristirahat malam nanti.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bagaimana pendapatmu tentang A - hai, Hong-moi ?" tanya Seng Kun ketika mereka
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang sibuk bekeria membersihkan ruangan itu.
"Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahas;a kehidupan masa
lalunya. Aku yakin bahwa tidak lama lagi kita akan dapat mem-beri tahu kepadanya siapa
sebenarnya dia. Penye-lidikan itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara
kebetulan sekali." "Maksudmu ?" Seng Kun menegas.
"Engkau tentu ingat betapa secara tidak senga-ja dia menemukan terowongan di
bawah sungai itu, kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan
boneka giok tadi " Pada saat - saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak
mempergunakan akal dan pikiran, tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak
menyeberangi sungai dia tidak membayangkan ayam panggang, dia akan kebi-ngungan dan tidak
tahu bagaimana harus menye-berang. Karena dia melamunkan ayam panggang, maka
nalurinya yang menuntunnya pergi ke tem-pat terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pu-lang
ke rumah sendiri, kita tidak usah harus ber-pikir lagi ke mana kita akan berbelok.
Gerakan ka-ki kita seperti
terjadi dengan sendirinya."
"Engkau benar," Seng Kun mengangguk. "Dan itu berarti bahwa tempat - tempat ini
sudah sa-ngat dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itu-lah yang menlbuat dia tiba -
tiba menginginkan ayam panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia
menginginkan ayam panggang yang dipesannya di warung itu, dan otomatis pu-la merabawa kakinya
menuju ke terowongan. Dan karena dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya
menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan."
"Koko, itu berarti bahwa A - hai adalah
Souw - kongcu itu, bukan " Souw - kongcu yang sudah punya isteri dan anak ?"
Dalam pertanyaan ini terkandung suara yang getir.
Seng Kun dapat merasakan rial ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk
membenarkan. "Ku-rasa demikian. Kini kita tinggal melanjutkan pe-nyelidikan kita. Siapakah
Souw - kongcu itu " To-koh dari mana ?" "Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang
lihai sekali dan bekas tangannya masih nampak pada golok itu."
"Akan tetapi kalau benar dia itu Souw - kongcu yang lihai itu, kenapa justeru
pelipisnya sendiri terluka oleh totokan tiga jari yang hebat itu " A-dikku, kita harus
menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw - kongcu yang pandai
menotok tiga jari da-lam bentuk segi tiga. Mungkin A - hai ini kakak atau adiknya, atau sanak
keluarganya yang mem-punyai wajah mirip sehingga penjaga warung itu mengenalnya."
Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan di dalam hati Bwee Hong dan
wajahnya nampak berseri. Hal ini tidak terlepas dari penga-matan Seng Kun dan
kakak ini menarik napas panjang. Benar - benar ia sudah jatuh cinta, pikir-nya.
Pada saat itu A - hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan
itu. Setelah selesai, mereka duduk di atas lantai yang sudah bersih. "Saudara A -
hai, tempat ini sepi dan tenang. Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakirmu ?" kata Seng Kun.
A - hai mengangguk. "Silahkan."
Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula - mula
dia meme- riksa mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan de-ngan amat teliti dia memeriksa
denyut nadi kedua pergelangan tangan A - hai. Di dalam pengobatan tradisionil Tiongkok,
pemeriksaan lewat denyut nadi merupakan bagian yang terpenting. Seorang yang sudah ahli benar, dapat
merasakan gejala- gejala macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan
dengan teliti, ma-kin yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sum-ber penyakit yang
menghilangkan ingatan A -
hai terletak pada kekacauan jalan darah di kepala ! Maka Seng Kun lalu langsung
memeriksa pelipis kiri. Seng Kun meraba - raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh
kulit di sekitar benjolan - benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan
darah yang keluar, kemu-dian menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya,
setelah memeriksa dengan teliti, Seng Kun menarik napas panjang.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Saudara A - hai, benjolan - benjolan di pelipis-mu ini adalah akibat terkena
ilmu totok urat yang amat hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa
ilmu itu adalah se-macam Sam - ci Tiam - hwe - louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar
biasa ampuhnya dan yang memang khusus untuk menotok urat - urat kematian. Akan tetapi entah
karena ilmu kepandaian si pe-notok itu yang belum sempurna ataukah karena il-mu kepandaianmu
yang lebih unggul dari padanya, akibat dari totokan itu tidak sampai menewaskan-mu,
melainkan hanya mengakibatkan memar di urat jalan darah yang tertotok. Memar itu menye-babkan
darah matang menyumbat hiat - to (jalan darah) yang menuju ke otak tidak mendapatkan aliran
darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini membuat otak tidak dapat bekerja de-
ngan baik. Masih untung bahwa totokan itu hanya mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju ke
bagian otak yang depan saja sehingga engkau masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi te-
lah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan masa lalumu. Kalau totokan itu
mengakibatkan tersumbatnya jalan darah ke semua bagian dari otak, engkau akan hidup seperti
seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa - apa !"
Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang.
"Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu ku-mat, dia memperoleh kembali ingatan -
ingatannya walaupun hanya sebagian saja ?"
Kakaknya mengangguk - angguk. "Mudah di-perkirakan, Hong - moi. Engkau pernah
mengata-kan bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu
peristiwa yang sangat ber-pengaruh atas naluri saudara A - hai pernah terjadi di masa lalunya.
Kita tidak tahu persis apa adanya peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bah-wa peristiwa
itu ada hubungannya dengan darah manusia. Maka apa bila dia melihat genangan da-rah,
otomatis terjadilah guncangan hebat pada ba-tinnya. Nah, akibat guncangan batin yang
hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali le-bih keras dari biasanya. Dan karena jantung
be-kerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menja-di sedemikian kuatnya sehingga darah dapat
juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat menga-lir ke otak yang kering itu, biarpun hanya
dengan sukar sekali. Dengan demikian, untuk saat - saat itu otak yang membeku dapat
bekerja kembali wa-laupun belum sempurna benar. Dan setelah pe-ngaruh guncangan itu habis, maka
berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan jarum di
bagian atas dan bawah ben-jolkan, aliran darahnya berbeda - beda, ada yang tetesannya cukup deras ada
pula yang sama sekali tidak keluar ?"
Bwee Hong mengangguk - angguk kagum se-dangkan A - hai hanya mendengarkan dengan
be-ngong saja. Darah 24 17 "Kun - ko, engkau sungguh hebat. Keterangan-
mu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu menga-pa apa bila saudara A - hai sedang
kumat dia me-lupakan semua orang " Termasuk juga kita ?"
Seng Kun tersenyum. "Aku sudah memperhati-kan hal itu. Lihatlah satu tonjolan
ini tidak berada di dalam urat, akan tetapi mengenai bagian di luar urat. Inilah yang
menyelamatkan saudara A - hai, selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi
tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan otot - otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apa
bila otot - otot itu mengejang karena saudara A-hai sedang marah, tonjolan itu malah mende-sak dan
menghimpit urat di dekatnya dengan oto-matis. Dengan demikian, maka bagian yang nor-mal
dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah karena himpitan itu. Mengertikah engkau?"
Bwee Hong mengangguk. "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah
ke otak itu dapat terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan
wajar ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan -
sumbatan itu. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah. Darah yang me-ngental itu sudah sedemikian
kerasnya sehingga aku khawatir kekuatan obat saia tidak akan mam-pu mencairkannya
kembali. Padahal kalau kita menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak
pembuluh darah dan ini berbahaya sekali. Satu - satunya cara ialah membuat lu-
bang darurat di bagian darah yang mengental itu.
Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan
pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan.
Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang ba-
ru karena lubang yang lama itu lambat - laun akan
tertutup lagi oleh darah. Dan itu berarti sau-
dara A - hai ini akan selalu tergantung kepada kita
yang harus membuatkan lubang darurat baru seti-
ap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara
A - hai sendiri." "Saudara Seng Kun dan nona Hong ! Lakukan-lah sesuka hati kalian terhadap
diriku. Aku me-nyerah sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku
ini !" Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengpbatan, tentu saja
menghadapi seorang dengan gangguan penyakit seperti A - hai ini dia merasa ditantang dan
dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalah-kan penyakit itu. Dan
kalau A - hai bersikap pa-srah, maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya
bagi pengobatannya. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah
kental yang menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan
darah yang berada di luar jalan darah, yang menghalang di kumpulan otot pelipis itu.
Hal ini untuk mence- gah agar otak yang normal tidak tertutup lagi ja-lan darahnya sewaktu engkau
marah atau dalam keadaan kumat. Nah, Hong - moi, siapkan alat-nya dan mari kita bekerja !"
A - hai disuruh rebah miring ke kanan sehingga pelipis kirinya berada di atas.
Dengan dibantu adiknya, Seng Kun duduk bersila di dekatnya, de-ngan teliti mengamati
ketika Bwee Hong memper-gunakan jarum - jarumnya untuk menusuk bebera-pa jalan darah di tengkuk
dan pundak. Tusuk-an - tusukan ini untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika
pembedahan dilakukan. Kemudi-an mulailah Seng Kun mengerjakan pisaunya yang tajam. Karena pembedahan
itu hanya kecil dan sederhana saja, hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati -
hati agar jangan sampai me-rusak jaringan darah, tak lama kemudian gumpal-an darah kental itu
dapat dikeluarkan. A - hai ti-dak merasa sakit, dan baru setelah luka itu dijahit dan
diobati, kemudian jarum - jarum yang menu-suk beberapa bagian badan itu diambil, dia merasa betapa
pelipisnya agak perih. "Nah, saudara A - hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan
tetap mengenal siapa saja yang pernah kaukenal, termasuk kami," kata Seng Kun.
"Terima kasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A - hai berkata
dengan terha-ru. Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan
lilin mem- buat penerangan. Kemudian mereka bertiga ma-kan roti kering yang dibawa sebagai
bekal oleh ga-dis itu. Ketika Bwee Hong melihat betapa A - hai mengunyah roti itu dengan
kaku, iapun tertawa. "Saudara A - hai, untuk beberapa hari jahitan di pelipismu itu akan sedikit
mengganggu apa
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila engkau sedang makan."
"Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian pe-nyakit lupaku sudah hilang.
Saudara Seng Kun, kapankah lubang di pembuluh darah itu akan di-buat " Aku sudah tidak sabar
lagi menanti." "Hemm, saudara A - hai, jangan tergesa - gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh
sembarangan. Harus dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam.
Kalau dibuat secara mendadak, besar bahayanya darah yang mengalir ke dalam otak terlalu
banyak dan tiba - KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba itu akan men-datangkan guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan -
akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka secara tiba - tiba dan sekaligus, tentu
akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. De-mikian pula dengan jalan darah itu, yang semula
tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka seka-ligus, ada bahayanya darah yang membanjir
itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbul-kan guncangan pada otak. Kesembuhan itu
harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan ke-sabaran."
"Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk
membuat lu-bang itu ?" "Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh
hari saja. Tidak terlalu lama, bukan ?"
"Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai se-karang juga, lebih cepat lebih baik
bagiku. "Akan tetapi baru saja engkau mengalami pem-
bedahan " Bwee Hong mencela.
"Tidak mengapa ! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona."
"Baiklah kalau begitu, saudara A - hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi.
Akan tetapi se-kali ini, sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat,
tidak boleh banyak ber-gerak." A - hai mengangguk dan dengmi penuh sema-ngat diapun merebahkan diri. Seng Kun
menotok jalan darah di kedua pundak dan punggung se-dangkan Bwee Hong lalu
menusukkan jarum - ja-rumnya di sekitar pelipis. A - hai segera tertidur pulas oleh totokan
- totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan hati-hati Seng Kun lalu mempersiapkan jarumnya.
Lebih dulu dia duduk me-lakukan siulian dan mengheningkan pikiran, kemu-dian mengumpulkan hawa
murni disalurkan di kedua lengannya. Barulah dia berani melakukan pe-nusukan itu.
Kedua tangannya bergerak mantap, jari - jari tangannya tidak gemetar dan sepasang matanya
memandang tajam, setiap gerakan dila-kukan dengan tepat. Dia tahu betapa berbahaya-nya pekerjaan
yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada bahaya nyawa A - hai akan
melayang! Dia harus dapat menancapkan jarum-nya mengenai sasaran, yaitu gumpalan darah itu,
jangan sampai merusak pembuluh darah dan ja-ngan sampai mengenai jalan darah lain walaupun
yang kecil sekali. Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan apa - apa. Darah masih
be lum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bah-kan Bwee Hong yang melayaninya juga
mengelu-arkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang mengancam nyawa A
- hai. Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah
hitam sedikit mengalir keluar. Kakak beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun
menyudahi pekerjaannya. "Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar
mencari hawa se- gar," kata Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya.
"Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat - alat
pengobatan ki-ta dan menyimpannya. Nanti aku akan menyusul-mu keluar."
Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum
tega me-ninggalkan A - hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya
itu. Di luar hawa-nya sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang di antara awan - awan nampak
indah sekali. Tanpa disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan - lahan menuju ke makam
Gu - lojin yang berada tidak jauh dari rumah tua itu.
Akan tetapi ketika dia sudah tiba di dekat ma-kam, mendadak dia menahan langkah
kakinya dan matanya terbelalak. Di batu nisan itu nampak se-orang laki - laki duduk
bersandar, matanya melo-tot dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati !
Cepat Seng Kun mendekati dan memeriksanya. Kiranya orang itu adalah ka-kek penjaga warung, dan
baru saja mati. Badan-nya masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia
mengumpat, "Sungguh kejam pem-bunuh itu ! Seperti iblis ! Orang ini mati karena diinjak
lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih nampak nyata."
Tiba - tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia
mendengar suara ketawa parau dan lantang di dekatnya. Dia cepat meno-leh, akan tetapi tidak
nampak bayangan orang. Dia mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis ter-tawa. Tentu suara
orang dan dia hampir yakin bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
24 kejam yang mentertawakannya. Dia merasa pena-saran dan marah. Orang sekejam itu
pasti bukan orang baik - baik dan harus dilawannya. Maka dia-pun mencari ke arah suara
ketawa yang kini terde-ngar lagi dari arah sungai. Akhirnya, di tepi sungai itu, nampak
seorang laki - laki pendek gemuk du-duk di atas batu, kakinya direndam di air dan mu-kanya
menengadah memandang bulan. Laki-laki ini usianya hampir limapuluh tahun, tubuhnya pendek
gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berben-tuk
alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna pu-tih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat
dari pada baja putih.Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan
dia tahu bahwa dia ber-hadapan dengan orang ke dua dari Sam - ok, kawan dari San - hek - houw.
Inilah Sin - go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti yang menjadi raja di antara bajak-bajak sungai, seorang
di antara pembantu - pem-bantu Raja Kelelawar.
Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini
yang membunuh kakek pemilik warung, tiba - tiba si gendut pendek itu menoleh
kepadanya dan bertanya, "Engkau mencari pembunuh tukang wjarung ?"
Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai
perasaan hatinya yang sedang bertanya - tanya. Si gendut
Darah 24 pendek itu tertawa. Di bawah sinar bulan, perut gendutnya bergerak - gerak naik
turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali pendeknya.
"Ha - ha - ha - ha, dan engkau akan menemani-nya di sana!" Tiba - tiba saja
tubuh yang gendut pendek itu meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas
melihat tubuhnya yang gendut itu dan didahului oleh gulungan sinar pu-tih dari
senjatanya, datuk sesat ini
telah menyerang Seng Kun. Hebat sekali serangannya itu, mengan-dung tenaga yang
kuat sehingga terdengar suara angin bersiutan menyambar - nyambar. Seng Kun maklum
akan kelihaian lawan, maka diapun me-lawan sambil mengerahkan tenaganya dan karena
dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan ginkangnya yang hebat untuk
menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu. Bi-arpun gerakannya amat cepat,
namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan diban-dingkan dengan San - hek - houw,
dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia lebih ulet. Karena
bertangan kosong, terpaksa
Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu dengan tangkisan lengannya yang
membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tigapuluh jurus lebih, Seng Kun terdesak.
Tiba - tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati
Seng Kun terkejut dan penuh kekhawatiran. Adiknya berada di dalam rumah tua itu dan yang
mengeluarkan jeritan itu tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan
kesempatan ini di- pergunakan oleh Sin - go Mo Kai Ci untuk men-cengkeram pundak Seng Kun dan
pemuda itu seke- tika merasa tubuhnya lumpuh tidak mampu bergerak lagi.
"Ha - ha - ha, engkau mendengar jeritan gadis itu " Heh - heh, San - hek - houw
tentu sedang memperkosanya. Heh - heh - heh !"
Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan men-dengar kata - kata keji itu. Si Buaya
Sakti tidak perduli, bahkan kelihatan gembira sekali. Dia me-nyeret tubuh Seng Kun ke arah
rumah tua sambil berteriak - teriak. "Heii, bangsat tua ! Sudah selesaikah engkau " Nih, bocah itu telah kuhajar
setengah mampus. Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaian-nya bukan main hebatnya.
Tidak tahunya cuma sebegitu saja!"
Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Si Buaya Sakti melemparkan
tubuh Seng Kun ke dekat mayat pemilik warung, lalu dia du-duk di atas batu nisan, mulutnya
memaki - maki dan menyumpah - nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara
wanita. "Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur
masih gemar main perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah
itu, tidak ada sedikitpun jawaban terhadap kata-kata dan ma-kiannya. Hal ini membuat Si Buaya
Sakti menjadi semakin uring-uringan dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga,
rekannya itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak akan berani menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian
saja sejak tadi, seperti orang gila. Dia lalu bangkit berdiri, meludah ke tanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah
dia menu-ju ke rumah tua itu. Sambil tersenyum - senyum nakal dia menghampirri
jendela dan dengan lagak seorang bocah nakal diapun lalu mengintai ke da-lam sambil cengar-
cengir. Akan tetapi, matanya terbelalak dan liar mencari - cari. Kamar itu ko-song ! Tidak
nampak ada gerakan orang di situ. Tubuh yang gendut itu dengan ringannya me-layang masuk ruangan itu melalui
jendela. Di atas lantai nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Di sudut
ruangan itu ter-dapat pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi ga-dis itu sendiri tidak
berada di situ. Juga San - hek-houw tidak nampak bayangannya. Ke manakah mereka pergi " Si Buaya Sakti
mengepal tinju, mengamang - amangkan tinjunya ke atas lalu mem-banting-banting kakinya
yang besar dan pendek itu ke atas lantai sampai rumah itu tergetar.
"Bedebah ! Keparat ! Bangsat hina ! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh
berkelahi, sedangkan dia sendiri enak - enak pergi dengan pe-rempuan, bersenang - senang
tanpa memperdulikan teman. Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar eng-kau nanti!" Si Buaya
Sakti menjadi marah bukan main, tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali
loncatan saja dia sudah tiba di depan nisan. Karena dia sedang marah, dia lalu meng-hampiri tubuh
Seng Kun yang terkapar di atas ta-nah ketika dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu
menginjak sambil mengerahkan tena-ganya ke arah dadanya.
"Krekk! Krekkk! !"
Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya
dan diapun meludahinya. Daun - daun dan ranting - ranting berhamburan dari "tubuh" yang
diinjaknya tadi. "Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya
Sakti " Siapa yang bosan hidup di dunia ini dan berani main - main dengan aku " Akan
kulumatkan ke- palamu, kuhancurkan dadamu !" Alu baja itu di-amang - amangkannya dan matanya
melotot, men-cari-cari ke segenap penjuru. Kiranya yang diin-jak dadanya tadi hanyalah
pakaian yang diisi de-ngan daun-daun dan ranting-ranting kecil.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku berada di sini !" Suara itu halus dan ter-dengar perlahan dari atas
sebatang pohon tua yang tinggi. Si Buaya Sakti terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas sebuah dahan
panjang yang ting-gi, duduklah seorang kakek bersama dua orang pemuda, seorang di antara dua
pemuda itu adalah Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang
turun dengan gerakan yang amat ringan seperti daun - daun kering yang rontok dari dahannya.
Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia
mengenal wajah kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang
lalu, kakek tua renta yang sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang
dengan Raja Kelelawar dan bahkan mengalahkan rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan
gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan main. Apa lagi di situ masih ada pula dua orang
pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang lunak. Akan tetapi, dia adalah Si Bu-aya Sakti,
pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang datuk kaum sesat yang terkenal seba-gai rajanya kaum
bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil
mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar alu bajanya dan menyerang ke depan.
"Tranggg !" Bunga api berpijar ketika se-
batang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya
yang menangkis dengan pedang adalah pemuda
ke dua yang datang bersama kakek itu. Dia ada-
lah Kwee Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi
murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah
menjadi ketua Lembah Yangj - ce. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, pemuda ini bertemu
dengan kakek Kam Song Ki yang menjadi murid
ke tiga dari mendiang Bu - eng Sin-yok-ong. Se-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
telah diselamatkan oleh kakek itu. Kwee Tiong Li
yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu
ikut bersama kakek itu mempelajari ilmu silat, se-
hingga dia yang memang tadinya sudah lihai mem-
peroleh kemaiuan yang pesat sekali. Pemuda yang
mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pe-
dangnya. Dan setelah mereka berdua saling serang
selama limapuluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya
Sakti bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat bukan
main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka.
Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju.
Maka, tanpa malu - malu lagi, dia lalu meloncat
ke belakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li
tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya
sempat menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti se-
hingga bajunya robek dan berdarah.
Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti,
Seng Kun me-nengok ke arah rumah tua. Dia maklum bahwa
dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawa-tirkan pemuda itu akan kalah
melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan mencari adiknya ke rumah
tua. Dengan hati ber-debar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, lang-sung menuju ke dalam
ruangan di mana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan dijaga oleh Bwee
Hong. Akan tetapi, dia ha-nya melihat A - hai yang masih rebah dan tertidur pulas,
sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berse-rakan di sudut
ruangan. Tentu saja hatinya menja-di pilu dan gelisah. Ke manakah perginya Bwee Hong " Apa yang
telah terjadi dengan adiknya " Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkela-hian antara Kwee Tiong Li dan Si
Buaya Sakti su-dah berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah ke mana. Seng Kun lalu
menghampiri kedua orang yang tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia di-lempar dalam keadaan
pingsan oleh Si Buaya Sakti di dekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik ke
atas pohon oleh seorang ka-kek. Kemudian seorang pemuda yang datang ber-sama kakek itu
mempergunakan daun dan ranting yang dibungkus pakaian untuk menggantikan tu-buhnya. Dengan
beberapa kali totokan, diapun sadar dan bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat,
kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam diri dan mereka menanti sampai Si
Buaya Sakti muncul dengan marah - marah dari dalam rumah tua.
"Ji - wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak
terima kasih. Akan tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya
tinggalkan di dalam rumah tua itu. Saya khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat
itu. Mohon bantuan ji - wi untuk me-nyelamatkan adik saya."
Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua ta-ngan di depan dada lalu menancapkan
tongkatnya ke atas tanah. "Siancai
, negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah semua iblis telah keluar
dari neraka untuk mendatangkan onar di permukaan bumi. Kami ba-ru datang dan kebetulan saja
danat menyelamat-kanmu, orang muda. Kami tidak tahu ke mana perginya adikmu itu."
'Tadi adik perempuan saya berada di dalam rumah tua. Di tempat ini hanya
terdapat sebuah dusun. Kalau ada yang menculiknya, tentu ke du-sun itulah dibawanya. Saya akan
mencari ke sa- na !" kata Seng Kun.
"Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu.
Mereka tidak sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan
gelisah sekali memikirkan keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya dise-rang oleh San - hek -
houw, tentu adiknya kalah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Darah 24 33 dan kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah!
Merekapun mulai mencari - cari jejak. Karena malam itu hanya diterangi bulan
sepotong, maka sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju ke dusun dengan
mengambil jalan setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan di depan dan di tengah perjalanan
ini dia membungkuk dan meng-ambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya se-bagai sepatu
Bwee Hong. Tentu saja hatinya men-jadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah.
Hatinya tegang karena jejak itu telah ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah
dilari-kan penjahat menuju ke dusun itu. Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah me-nutup pintunya rapat - rapat dan di
depan rumah-rumah itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun men-jadi tidak sabar dan
mulailah dia memanggil-manggil nama adiknya. Suaranya bergema di du-sun itu, namun tidak
terdengar jawaban. Kemudi-an dia mulai memanggil nama San - hek - houw dengan nada suara
marah. "San - hek - houw, iblis busuk ! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding
sampai seorang di antara kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan
seorang wanita!" Namun teriakan-teriakannya inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah
sekali dan keringat dingin membasahi bajunya. Dia tidak dapat menduga di rumah yang mana iblis itu
bersembunyi. Memeriksa rumah itu satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat -
cepat menyelamatkan adiknya. Saking jengkelnya dia mengancam.
"Kubakar semua rumah di sini apa bila engkau tetap sembunyi! !"
Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya. "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah
pendu-duk yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada
tindakan yang sesat." Sete-lah berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya ke arah
rumah para penduduk dan ber-teriak, suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu dan-
jendela rumah - rumah itu. "Saudara - saudara penghuni dusun ini semua !
Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah
kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang
tinggal di dalam ! Yang tidak mau keluar, rumah-
nya akan kami bakar. Cepat ! !"
Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut
dan ketakutan. Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong
anak - anak yang masih ke-cil dan menuntun kakek - kakek dan nenek - nenek yang sudah hampir
tidak kuat berjalan. Kepala du-sun itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan meli-hat bahwa
tiga orang yang minta mereka semua keluar itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang
nampaknya bukan orang jahat, lalu menghampiri mereka.
"Ada urusan apakah maka sam - wi minta kami semua keluar ?" tanya kepala dusun.
"Kami mencari seorang kakek iblis yang mela-rikan seorang wanita. Mungkin dia
bersembunyi di sebuah di antara rumah - rumah dusun ini," ka-ta Seng Kun tak
sabar. Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa
tidak ada kakek iblis bersembunyi di rumah mereka.
"Sam - wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu,
harap sam - wi mencari saja ke lain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua
anak buahnya ter-nyata tidak ada yang melakukan kesalahan.
"Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan
ketika melihat kedatangan kami ?" Seng Kun bertanya penasaran.
"Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan di warung makan itu. Dua orang penjahat
memaksa pemilik warung untuk menunjukkan di mana rumah Gu-lojin."
Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda
itu cepat me-loncat dan mendekat. Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah
di tepi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sungai. Tubuh bawahnya masih terbenam ke air, nampaknya dengan susah payah dia
baru saja berenang ke tempat itu. Kepala dusun yang sudah mengejar ke situ se-gera mengenai nelayan muda ini dan
menegur, me-nanyainya. Akan tetapi nelayan itu hanya menge-luh dan tidak mampu
bicara, napasnya memburu. Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan
menggunakan dua buah jari tangannya untuk mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa ka-kek itu
menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk
menjepit urat di bagian tengkuk dan pundak, Seng Kun memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari
perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut "ning"!
Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bi-
cara. "Jahat jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh " Dan nelayan
itu meringis seperti orang menangis. Setelah dibu-juk, akhirnya nelayan muda itu
menceritakan be-tapa tadi, ketika dia mendayung perahunya hen-dak pulang, dengan
membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak, dengan hati gem-bira, dia
dipanggil oleh dua orang yang berdiri di tepi sungai. Karena mengira bahwa dua orang itu hendak
menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir. Sungguh ti-dak
disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu mereka tendang
keluar sehingga tumpah ke dalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan, dipukul sam-pai
tercebur ke dalam sungai dan perahunya di-rampas!
Sungguh mereka jahat " dia menangis.
"Ikan - ikanku dibuang, perahuku dirampas dan
aku dipukuli " "Bagaimana macamnya kedua orang itu ?" Seng Kun bertanya.
"Yang seorang pendek gendut membawa tong-
kat besar putih, seorang lagi tinggi besar
" "Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah. "Tahukah engkau ke mana
mereka pergi ?" Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan te-
tapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan
mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan
mendapatkan perahunya, dia berkata, "Ketika aku
minggir, mula - mula mereka bertanya kepadaku di
mana letaknya dusun Kim - le mungkin me-
reka ke sana "
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kita susul ke sana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang
penolongnya, tak lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah pe-rahu dan melakukan
pengejaran ke arah dusun Kim - le. Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan
mendayung dan biarpun pe-rahu sudah meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu
lambat dan dia kelihatan gelisah bukan main. Melihat itu, kakek itu meng-hibur.
"Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemua-nya kepada Thian. Di samping usaha
menyelamat-kan adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu sela-mat. Dengan
membiarkan hati gelisah, hal itu akan mengeruhkan pikiran dan hanya akan mem-buat tindakanmu
menjadi kacau tanpa perhitungan lagi. Jangan membiarkan pikiranmu membayang-kan hal - hal
buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada
gunanya." Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih te-nang. Baru sekarang dia teringat
betapa tidak pantasnya sikapnya selama ini. Dua orang ini te-lah menyelamatkannya dari tangan
Si Buaya Sakti, juga kini bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali
belum tahu siapa ada-nya mereka dan tidak pernah menanyakannya!
"Harap ji - wi sudi memaafkan saya yang ber-
sikap tak mengenal budi. Karena gelisah memi-
kirkan adik saya, maka saya belum sempat mem-
perkenalkan diri. Harap ji - wi ketahui bahwa sa-
ya bernama Seng Kun, she Bu, dan adik saya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapa-kah nama locianpwe yang mulia dan
juga saudara yang gagah perkasa ini ?"
Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun, "Engkau she Bu " Dan ginkangmu
tadi ketika berlari hemm, orang muda, nama ketu-
runanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang
bernama Bu Cian " Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mende-ngar disebutnya nama itu karena nama
itu adalah nama ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang!
"Apakah yang locian-pwe maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara ?"
"Ha - ha - ha, benar, dia menjadi datuk ahli sin-
kang dan ahli obat di utara
" "Locianpwe, beliau itu adalah kakek buyut sa-
ya, juga kakek guru "
"Ehh " Engkau anak siapakah ?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi. "Apakah engkau
mengenal Bu Kek Siang ?"
"Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat
saya juga guru saya, juga paman kakek saya
" "Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek " Bagaimana ini " Dan sudah
mendiang ?" kakek itu bertanya secara bertubi-tubi.
"Benar, locianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal
Pendekar Pemetik Harpa 17 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Pembalasan Ratu Mesum 2
Akan tetapi Bwee Hong sudah siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu
terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan amat cepatnya dan membalas dengan tendangan ke
arah perut orang tinggi be-sar itu. "Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengan-nya dan dari tangkisan ini tahulah
Bwee Hong bahwa lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu
menangkis, tangannya sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi,
tangan Bwee Hong su-dah menyambar ke depan dan tangan kirinya yang membentuk paruh
burung sudah menyambar ke arah mata lawan. Kagetlah laki - laki itu karena gerakan
gadis itu sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia tidak mampu menghindarkan diri-nya
lagi. Hanya dengan membuang dirinya ke be-lakang dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong
telah menyusulkan tendangan berantainya yang amat lihai itu- Lawannya berusaha
mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendang-an susulan yang ke lima kalinya
tanpa dapat dice-gah lagi telah mengenai lambungnya.
"Dukk augghhh !" Tubuh yang ting- gi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak mampu bangun lagi
karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka andalkan itu ternyata
roboh pula oleh ga-dis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi ter-belalak dan muka
mereka berobah pucat sekali.Sementara itu, A - hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya
guci uang itu. Agaknya, pemuda inipun menjadi penasaran sekali" "Memaksa orang memberikan
uangnya, sama saja de-ngan perampokan di siang hari, di tempat ramai pula. Sungguh
keterlaluan!" Sambil
berkata de-mikian, A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya
sehingga banyak uang berham-buran keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar
- sebarkannya. Tentu saja menjadi rebutan orang - orang yang banyak lalu-lalang,
di tempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani banyak bergerak, bahkan diam - diam mereka
lalu menggotong pimpinan mereka dan meng-ambil langkah seribu melarikan diri dari tempat itu.
Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah membuat mereka tidak mampu mela-wan, apa
lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama dara itu juga turun tangan. Bisa celaka
mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun segera menghmbil langkah aman dan
melarikan diri. Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat - lihat keadaan. Berita
tentang diha-jarnya para pencoleng oleh gadis cantik yang da-tang bersama dua orang muda
itu segera tersiar dan ramai dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa
dalam keadaan kalut seperti itu masih ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan.
Peristiwa itu mendatangkan secercah sinar harapan dalam hati mereka yang ta-dinya sudah
menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan yang melanda kehidupan mereka selama ini.
Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun di dalam kota kecil itu masih terdapat
orang - orang berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka
itu tak acuh walaupun masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka.
Sore hari itu, setelah memperoleh kamar pengi-napan, Bwee Hong, Seng Kun dan A -
hai keluar dan memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar da-lam keadaan kalut,
restoran itu menyediakan ma-kanan yang cukup lengjkap sehingga Bwee Hong merasa gembira
ketika memesan masakan kesa-yangannya. Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran
yang cukup besar itupun memelihara be-lasan orang tukang pukul yang berjaga di dalam
ruangan dan juga di depan pintu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tiga orang muda itu sedang enak - enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika
terde-ngar suara ribut - ribut di luar pintu. Karena mereka itu kebetulan
memperoleh tempat duduk di dekat pintu, maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut - ribut itu
adalah percekcokan antara seorang pengemis tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung
keamanan restoran itu. Percekcokan mulut' yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian.
Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main. Pengemis jembel yang me-
ngempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja, akan
tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpe-lanting ke kanan kiri, jatuh
bangun dan dihajar kalang - kabut. Akhirnya, semua tukang pukul su-dah roboh terguling dan
tidak berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya
buncit itu lalu mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu. ke arah meja
kasir yang berada di dekat pintu. "Penuhi kantongku itu !" bentaknya dan mata-nya yang kemerahan itu melotot.
Melihat ini Bwee Hong memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun
berbisik. "Jangan ikut campur. Lihat di sudut itu. Di sana ada empat orang petugas
keamanan kota, pa-kaiannya seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura - pura tidak melihat
keributan ini. Mengapa kita harus campur tangan ?"
Majikan restoran itu yang duduk di meja keu-angan, terpaksa memenuhi kantong
butut itu de-ngan uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut -
takut. Pengemis itu menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan ke dalam kantong
besar yang diikat di punggung-nya. Kemudian, kantong butut kosong itu dilem-parkannya ke
atas meja yang dihadapi Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai.
"Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat
di pintu gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau
menghabiskan perka-ra itu!"
A - hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa
lihainya pe ngemis tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat
bangun dari kursinya, bertolak pinggang di luar pintu restoran menghadapi pengemis itu
sambil tersenyum meng-ejek. "Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau
jembel bu-suk yang menjadi sekutu para pencoleng itu. Me-muakkan sekali I"
Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat
yang tadi ke-tika dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan
itu. Baru dengan sebelah tangan kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang
pukul. Dapat dibayangkan betapa lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata.
Akan tetapi, pengemis yang sudah tua itu agaknya tahu malu dan merasa sung-kan kalau dia
sebagai seorang tokoh besar harus menandingi seorang gadis cantik yang begitu muda. Maka matanya
yang merah mengerling ke arah A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel.
"Tak tahu malu ada dua orang, lelaki membiar-kan teman wanitanya yang maju.
Kalau kalian bu-kan pengecut, majulah dan jangan berlindung di belakang wanita!"
Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia me-miliki kepandaian tinggi, akan
tetapi A-hai sama sekali bukan seorang pengecut. Dia bangkit ber-diri dan menudingkan
telunjuknya ke arah muka pengemis itu. "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya!
Aku bukan tukang berkelahi seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!"
Bwee Hong cepat berkata, "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar
para penco-leng di pintu gerbang adalah aku, maka kini aku-lah yang akan
mempertanggungjawabkan perbuat-an itu terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan
mengejek, "Jembel - busuk, kalau engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak
cerewet lagi !" "Perempuan rendah !" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat
menusuk ke arah leher Bwee Hong. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis
di depannya itu tiba-tiba lenyap dan tahu - tahu dari samping gadis itu telah membalas
serangannya dengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sebuah ten-dangan kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat
meloncat ke depan sambil menge-lebatkan tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee
Hong sudah menarik kembali kakinya. Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat
sekali. Gerakan pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi meng-hadapi Bwee Hong dia
masih kalah jauh dalam hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat
mereka yang melihatnya menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak
penuh perhatian lalu diapun melanjutkan makan minum dengan sikap tenang. A-hai yang
juga nonton dengan gelisah, melihat betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang
berkelahi itu, menegur, "Engkau ini bagaimana sih " Adikmu berkela-hi melawan pengemis yang demikian
lihainya dan engkau enak - enak makan minum saja !"
Seng Kun mengangkat muka memandang wa-jah yang tampan gagah itu sambil
tersenyum. "Ha-bis harus bagaimana aku ?"
"Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu !"
"Tidak apa, ia tidak akan kalah."
"Bagaimana engkau tahu
" A - hai mene- ngok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahu-
tahu pengemis tua itu telah terpelanting jauh, en-
tah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong
yang berdiri bertolak pinggang dengan sikap me-
nantang. "Bawa kantong busukmu dan enyahlah !" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong
kosong yang tadi oleh si pengemis dilemparkan ke atas meja.
Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bang-kit berdiri dan memandang ke arah
Bwee Hong, Seng Kun dan A - hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah
lagi ketika dia berkata, "Kalian mempunyai perhitungan dengan kami, orang - orang rimba hijau
dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian !"
Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan
makan minum, tidak memperdulikan pandang mata orang - orang yang ditujukan ke arah
mereka dengan kagum. Setelah kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali ke kamar
hotel mereka. Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A - hai yang
sudah tidur sore - sore. Kakak beradik ini maklum bahwa pe-ristiwa sore dan pagi hari
tadi tentu masih akan berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para pen-jahat yang agaknya menguasai
kota kecil itu, se-telah mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan
jagoan - jago-an mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya
di mana dia tinggal bersama A - hai dan bercakap - cakap sambil ber-jaga dengan adiknya di
ruangan depan adiknya. Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi.
Menjelang tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba
- tiba mereka dikejutkan oleh suara harimau mengaum. Keduanya masih duduk dengan tenang
akan tetapi dengan jantung berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu
terbuka dengan mudahnya dari luar, seolah-olah didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah
seorang kakek tinggi besar yang mengenakan ju-bah kulit harimau. Kakek itu usianya tentu sudah
limapuluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya ma-sih nampak tegap dan membayangkan tenaga besar,
rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih nampak hitam lebat, dengan cambang bauk mem-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya dari kulit harimau tutul dan sepasang
matanya bersinar - sinar galak. Berturut - turut muncul pula enam orang laki - laki yang
kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap.
Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Bwee Hong juga sudah bangkit dan
men- dampingi kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba - tiba kakek
tinggi besar itu ter-tawa. Suara ketawanya menyeramkan karena di-seling gerengan - gerengan
seperti auman KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
harimau. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia penjahat, seorang di antara Sam
- ok (Si Tiga Jahat) dan dia-lah yang kini menjadi seorang di antara, pemban-tu - pembantu dan
kepercayaan Raja Kelelawar. Orang ini adalah San - hek - houw Si Harimau Gu-
28 29 nung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si pengemis
lihai, adalah anak buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak buahnya, juga si
pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak buah yang beroperasi di
kota kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja San - hek - houw menjadi marah dan
penasaran sekali. Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pemban-tunya, dia
mendatangi rumah penginapan di mana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik rumah
penginapan dan para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara
auman harimau itu, yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "raja" penjahat yang mengua-sai
kota itu. Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu
hanyalah seo-orang gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya
lemah, San-hek - houw tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah
kepada anak - anak ini. "Ha - ha - ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi
mengacau di kota ini ?" tanyanya, suaranya menggetar dan pa-rau menyeramkan.
Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat
dan merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata
dengan sua-ra halus, "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman -
temanmu itu, dan kami hanya membela orang yang tertindas saja."
"Ha - ha - ha, orang muda, aku mendengar bah-wa yang memukul anak buahku adalah
seorang gadis cantik. Ia itukah orangnya ?" San-hek-houw menudingkan telunjuknya
ke arah Bwee Hong. Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini
mendengar pertanyaan itu, iapun menjawab lantang, "Benar ! Akulah yang menghajar pencoleng
- pencoleng bu-suk itu. Habis, engkau mau apa ?"
"Bagus ! Engkau harus menyerahkan diri un-tuk kutangkap dan menerima hukuman!"
kata San - hek - houw. "Hemrn, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah
kepada segala macam penjahat kejam !" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya.
"Ha - ha - ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk
ditundukkan dulu sebelum dijinakkan ! Ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya
dan ada angin menyambar dahsyat ketika lengannya yang pan-jang mencuat dan mencengkeram ke
arah dada Bwee Hong. "Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping.
Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat
lengannya terge-tar. Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata ber-isi juga, maka diapun
mengeluarkan suara auman yang menggetarkan seluruh bangunan rumah pe-nginapan itu, kemudian diapun
menyerang Seng Kun dengan kalang - kabut. Sepak terjangnya memang kasar sekali,
dan mengandung kebuasan, apa lagi serangannya itu disertai gerengan - gerengan
seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini mempunyai pembawaan seperti harimau. Biasa-nya,
kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang harimau kumbang, akan tetapi sekali
ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke kota raja, dia terpaksa meninggalkan sepasang
binatang peliha-raan itu di dalam kandang. Dan ilmu silatnya ju-ga merupakan ilmu silat
yang gerakan - gerakan-nya didasari gerakan binatang harimau yang bu-as. Kedua tangannya
membentuk cakar harimau, yang disebut Houw - jiauw - kang dan dengan ca-karnya ini dia mampu
merobek - robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghan-curkan batu karang saking
kuatnya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia
terhuyung ketika mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena
cengkeraman dan menja-di korban Ilmu Houw - jiauw - kang ! Terpaksa Seng Kun lalu menghunus
pedangnya dan melin-dungi dirinya dengan putaran pedangnya. Melihat ini, San - hek - houw
tertawa bergelak dan melo-loskan sebatang rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat
dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali! Terjadilah perkelahian yang lebih seru
lagi di dalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki - laki pengikut San-hek-houw hanya
menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang congkak.
Diam - diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar - benar amat tangguh,
bukan sembarang tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya
selalu terpen- tal ketika bertemu dengan senjata lawan yang be-rat dan segera dia terdesak oleh
gerakan senjata lawan yang berat dan panjang itu. Melihat kea-daan kakaknya, Bwee Hong
meloncat maju dan membantu. Enam orang teman San - hek - houw hendak bergerak mencegah, akan
tetapi San - hek-houw tertawa. "Ha - ha - ha, biarlah ia maju untuk mengha-ngatkan suasana, ha - ha !"
Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak
dan mem-biarkan gadis itu mengeroyok San - hek - houw yang ternyata memang
tangguh itu. Bagaimanapun juga, setelah Bwee Hong maju dan kakak beradik itu mengandalkan
ginkang mereka yang luar biasa, San-hek-houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar
senjatanya melindungi diri. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak
beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga senjatanya lebih menguntungkan, lebih pan-
jang, berat dan juga mudah digerakkan karena me-rupakan rantai yang lemas.
Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka,
ada yang meng-gunakan golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan
membantu San - hek-houw. Tentu saja kini kakak beradik itu yang ber-balik terkepung dan
terdesak hebat! Melihat ini, Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bah-wa kalau ia dan
kakaknya kalah, tentu kakaknya akan dibunuh dan ia sendiri ah, ngeri ia me-
mikirkan nasibnya kalau sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam, ini. Pada
saat itu, ia melihat A - hai muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur
dan kini A-hai ber-diri terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berka-li - kali A - hai
mengangkat tangan ke atas
seperti hendak mencegah atau melerai perkelahian itu.
Melihat munculnya A-'hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang
akan mampu menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan sa-tu - satunya jalan hanyalah
merangsangnya, meng-guncang batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya. Itulah
satu - satunya jalan dan jalan lain tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak
akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos dengan selamat. Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang
untuk melarikan diri sekalipun, lalu bagaimana dengan A - hai " Tentu pemuda itu akan
dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal
seperti ini memang ia sudah membuat persiapan sebelumnya. Ketika ia melakukan per-jalanan bersama A
- hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat
merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan. Yang merugikan adalah bahwa pemuda ini
dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan
tetapi yang menguntungkan adalah bah-wa pemuda ini dapat "dibikin" menjadi lihai. Maka iapun
sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam keadaan darurat seperti sekarang
ini, mempergunakan akal dan siasat untuk memba-ngunkan pemuda itu, untuk membuatnya
menjadi kumat gilanya dan juga lihainya !
Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan be-nar-benar dan tiba - tiba, sapuan
senjata rantai yang berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah
saatnya, pikir Bwee Hong, sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu
menjerit dan mengha-dap kepada A - hai, pisau belatinya bergerak seo-lah - olah menikam perut
sendiri, tangannya mencengkeram ke perutnya dan iapun roboh, dari pe-rutnya bercucuran
darah merah membasahi lantai dan pakaiannya.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Sepasang mata A - hai terbelalak, mukanya se-ketika menjadi pucat. Kemudian dia
mendelik, dari mulutnya keluar teriakan parau, "Ibuuu !!"
Dan tubuhnya mencelat ke depan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong,
dirangkulnya dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas
dingin ketika ia merasa betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak
yang menangisi ibunya dengan air mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya
menggigil. Hal ini membuat A-hai menjadi semakin khawatir.
Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu
kini ber-ubah sama sekali. Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan
menyeramkan, penuh nafsu membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak
kengerian itu ketika meman-dang penuh perhatian, tiba - tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru
sebanyak tiga buah di pe-lipis kiri A - hai. Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk
segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah
terdapat tonjolan seperti itu di pelipis A - hai.
Kini A - hai yang melihat bahwa nona yang di-sebut ibunya itu masih hidup,
merebahkan Bwee Hong dengan lembut ke atas tanah, kemudian se-kali menggerakkan tubuh, dia
sudah meloncat dan membalik, menghadapi San - hek - houw. Hari-mau Gunung Hitam ini
memandang kepada A-hai, juga terheran akan tetapi tentu saja dia tidak me-mandang sebelah
mata kepada pemuda yang tidak waras ini. Melihat A - hai berdiri tegak mengha-dapinya dengan
sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh hitam ini merasa tidak senang.
"Mampuslah !" bentaknya dan diapun menu-bruk dengan kedua tangannya setelah tadi
me- nyimpan kembali senjata rantainya yang diang-gapnya tidak perlu dipergunakannya
lagi. Dia merasa yakin bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda
ini, baru kemudian dia akan melanjutkan serangannya terhadap kakak beradik itu.
"Dukkk! !" San - hek - houw terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan
suara gerengan sambil bergulingan. Selain kesakitan, dia juga ka-get setengah mati.
Tak disangkanya bahwa pemuda yang seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia
tadi merasa seperti membentur gunung baja! Melihat ini, enam orang teman San-hek - houw
menjadi marah dan merekapun menye-rang maju dengan serentak.
Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang me-ngerikan dan tubuh pemuda ini
menerjang bagai-kan badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik - pekik
kesakitan dan enam orang itu sudah dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti orang mencabuti dan membuang rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam
orang itu sudah malang melin-tang, roboh tak mampu bangkit kembali!
San - hek - houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu
dan dia-pun meloncat keluar dari ruangan. Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa
lagi setelah ada enam tubuh teman - temannya malang melintang. Dia keluar dari rumah penginapan
dan menanti di kebun samping. A - hai mengejar dan setelah tiba di situ, dia disambut
serangan yang buas oleh San-hek - houw yang kini sudah melolos rantainya. A-hai menyambutnya dan
terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat, juga liar dan buas. Mereka sama buasnya,
akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong yang mengikuti pula jalannya perke-lahian, melihat betapa
San - hek - houw terdesak hebat oleh gerakan silat A - hai yang aneh. Ran-tai yang
menyambar-nyambar itu selalu dapat die-lakkan atau ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerak-annya
otomatis mengikuti gerakan lawan dan ba-lasan serangan A - hai yang kelihatannya kacau-balau itu
sesungguhnya pada dasarnya mengandung gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi.
"Wuuuuttt plakk !" Tiba - tiba ujung ran-
tai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditang-
kap oleh A - hai. San - hek - houw menggerakkan
tangannya yang memegang gagang rantai dan ran-
tai itu seperti hidup melingkari kepala dan menje-
rat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan
Bwee Hong terkejut bukan main dan siap meno-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
long karena melihat A - hai terancam bahaya ter-
cekik lehernya. Akan tetapi, rantai yang menjerat
leher A - hai itu tidak mampu mencekik leher yang
nampak berotot dan kuat itu. bahkan kini A - hai
secara tiba - tiba mengangkat kakinya menendang,
suatu gerakan yang tidak disangka - sangka oleh
San - hek - houw yang menduga bahwa pemuda itu
tentu menjadi panik dan berusaha melepaskan
rantai yang menjirat leher.
"Desss !" Tendangan yang amat keras itu
membuat tubuh San-hek-houw yang tinggi be-sar terlempar dan rantainya terlepas,
tertinggal ke tangan A - hai dan sebagian masih melingkari le-her pemuda itu.
"Huhh !" A - hai membuang rantai itu dan de-ngan langkah lebar menghampiri San -
hek - houw yang kini sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A -
hai sudah menyerangnya de-ngan tamparan - tamparan dan pukulan - pukulan bertubi - tubi,
kelihatannya semua serangan itu kacau, akan tetapi justeru cara yang kacau itulah yang
membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi, San - hek - houw yang masih merasa pening
karena terbanting tadi, terkena sebuah pu-kulan tangan kiri, tepat pada dadanya.
"Desss !" Terdengar datuk kaum sesat itu
mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini bahkan terguling -
guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali me-ngeluh, menggoyang -
goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang - bintang bertaburan dan me-nari - nari,
dari mulutnya mengalir darah segar. A - hai masih melangkah lebar mengejarnya. Me-lihat betapa
pada wajah A - hai nampak sinar be-ringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin
melihat A- hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat
dekat dan tanpa dipikir lagi dia berte-riak melarang.
"Saudara A - hai, jangan bunuh orang !"
Akan tetapi, pada saat itu, A - hai sudah tidak ingat apa - apa lagi, yang ada
hanya perasaan duka bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar
siapapun juga yang mengha-langinya. Kini melihat Seng Kun berani mengha-dangnya, diapun
menganggap pemuda ini musuh-nya. Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang
ke arah Seng Kun. Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A - hai
dalam keada-an tidak sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya.
Dia tadi sudah meli-hat perkelahian antara A - hai dan San - hek - houw dan melihat
betapa setiap kali pukulannya dielak-kan lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus
mengejar lawan. Lebih aman me-nangkis dari pada mengelak.
"Dukkk !" Hebat bukan main tenaga yang
mendorong pukulan A - hai itu sehingga begitu menangkis, seketika tubuh Seng Kun
terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras di atas tanah ! Akan
tetapi A - hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya ke arah Seng Kun
yang rebah di atas tanah. "Blaaarrr!" Debu dan tanah berhambur-
an. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun
yang sudah bergulingan dan wajah pemuda ini
mlenjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung
tenaga sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya,
belum tentu dia akan sanggup bertahan.
"Jangan !!" Tiba-tiba Bwee Hong men-
jerit dan jeritan yang melengking tinggi ini menge-
jutkan A - hai. Sementara itu, San - hek - houw
mempergunakan kesempatan ini untuk lari mening-
galkan tempat berbahaya itu.
Mendengar jeritan itu, A - hai termangu - ma-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ngu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun,
kini menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah
padam seperti dibakar, seluruh darah di tubuhnya
seolah - olah berkumpul di kepalanya. Tiga bintik
tonjolan biru itu makin jelas nampak di pelipisnya.
Matanya inengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar
menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenar-
nya memiliki ketabahan besar dan bukan seorang
penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki
gemetar, menggigil ketakutan! Ngeri hatinya
membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya
ini adalah orang yang gila, bukan gila biasa, mela-
inkan gila yang amat berbahaya karena memiliki
ilmu yang amat mengerikan. Kini A - hai berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua
lengannya digerak - gerakkan secara aneh, ke de-
pan, ke atas, ke samping, bukan seperti orang ber-
silat, akan tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan
itu mengeluarkan hawja yang kuat sehingga terde-
ngar bunyi "wuuuuttt wuuuttt
wuuuttt!" Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh,
menggunakan Il-mu Coan - im - jip - bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh
adiknya itu, "Hong-moi,
tenanglah. Engkau senyumlah, cepat. Jangan pa-nik karena diapun akan menjadi
panik. Pasrah sa-ja, jangan kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan
dia akan menurut se-gala kata - katamu, percayalah !"
Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan
hatinya ke-cut, berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum " Bagaimanapun
juga, Bwee Hong segera mentaati perintah kakaknya dan diapun ter-senyum manis. Mula - mula
senyumnya merupa-kan senyum kecut, senyum dipaksakan. Akan te-tapi, ketika ia melihat
betapa sinar mata yang bu-as dari A - hai itu seketika agak melunak dan gerak - gerik kedua lengan
itu lebih lambat dan ra-gu - ragu, kini Bwee Hong benar - benar tersenyum, senyum lega yang
membuat senyumnya nampak benar - benar manis sekali, dengan lesung pipit di pipi
kirinya. "A - hai, tenanglah, A - hai, tidak ada apa - apa yang perlu dibuat gelisah atau
marah lagi. Aku Bwee Hong ingatkah engkau " Aku Bwee
Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko
!" Dengan suara yang halus merdu dan ramah, de-ngan pandang mata yang lunak dan
halus, dengan senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk.
A - hai sejenak memandang wajah gadis itu de-ngan bingung, akan tetapi lambat -
laun pandang matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lem-but, lalu dia tertegun
dan berdiri seperti patung, kedua tangan kini tergantung di kanan kiri tubuh-nya. Mukanya
ditundukkan dan sepasang matanya dipejamkan.
Seng Kun melihat ini semua dengan penuh per-hatian. Ketika dia melihat betapa
wajah A-hai itu kini merah padam, tiba - tiba dia teringat akan soal pengobatan dan
diapun seperti memperoleh petunjuk. "Hong - moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir ke kepala. Lihat,
mukanya begitu merah sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah.
Tekanan darahnya keli-hatan sangat kuat dan semua mengalir ke arah ke-palanya. Ini
sangat berbahaya bagi jiwanya. Ka-lau dia tidak lekas - lekas jatuh pingsan seperti biasanya,
darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini akan dapat memecahkan dinding-din-ding pembuluh
darahnya dan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
mengalir keluar me-lalui mata, hidung, telinga dan merusak otak-otak-nya. Dia
akan tewas dalam keadaan yang menge-rikan !"
Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang
ini dan sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya me-muncak. "Koko, apa yang harus
kita lakukan ?" "Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat,
urat-uratnya sudah mengembung, sebentar lagi dapat pecah ! Si-apkan sebatang jarum emas. Hati
- hati, jangan sampai dia melihatnya. Berusahalah menusuk-nya di jalan darah balik
tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia tahu dan curiga. Begitu dia
tahu, dia tentu akan mengira engkau menyerang-
nya dan kalau dia menyerangmu, aku sendiri be-
lum tentu dapat menyelamatkanmu ! Cepat, Hong-
moi, tapi hati - hati " Biarpun Seng Kun ber-
sikap setenang mungkin, tetap saja suaranya ter-
dengar gugup dan agak gemetar. Hal ini tentu
saja membuat Bwee Hong menjadi semakin geli-
sah dan ngeri. Amatlah menegangkan saat itu ba-
gi Bwee Hong dan Seng Kun. A - hai berada di
ambang kematian, kalau tidak tertolong, sebentar
lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan te-
tapi hal ini sedikitpun tidak disadari sendiri oleh-
nya. Sedangkan kakak beradik ahli pengobatan
itu ingin sekali menyelamatkan nyawanya, akan
tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka
salah gerak atau diterima salah oleh A - hai dan
menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda
penyakit hilang ingatan itu, mereka akan mati ko-
nyol karena mereka berdua tidak akan mampu me-
nandingi kelihaiannya. Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak.
Di ta- ngannyalah terletak keselamatan nyawa A - hai, ju-ga keselamatan mereka berdua
sendiri. Ia harus dapat bertindak cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju
mendekati A - hai yang masih berdiri seperti patung itu. Tadi keti-ka ia hendak melangkah
maju, melihat A - hai me-mejamkan kedua matanya, diam - diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas
yang kini di-genggamnya. Begitu ia melangkah maju, A - hai membuka kedua matanya dan
kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang mata pemuda itu, walau-pun tidak beringas dan liar
seperti tadi, akan teta-pi masih nampak merah penuh darah dan mena-kutkan sekali.
"A - hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat ba-
ikmu. Ingat " Aku bukan musuhmu, aku tidak
akan mengganggumu . . . . . . . . "
Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba - tiba A - hai meman-dang dengan matanya yang
merah, bibirnya ber-bisik - bisik aneh, penuh keraguan.
"Hong-moi ah, Hong-moi !" Sua- ranya seperti orang merintih atau hendak mena-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngis dan tiba - tiba saja kedua lengannya merang-
kul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget
dan juga heran. Bagaimana A - hai yang berada
dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menye-
butnya Hong - moi, seolah - olah teringat akan na-
manya " Dan pelukan yang mesra itu membuat ia
gelagapan dan bingung. Akan tetapi pada saat
itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coan-
im - jip - bit. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia le-
ngah. Cepat, antara dua jari di belakang telinga
kirinya. Cepat, jangan sampai terlambat dan pem-
buluhnya pecah " Suara Seng Kun terdengar
penuh kekhawatiran. Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. ta-pun pura - pura balas merangkul
leher pemuda itu dan setelah meraba - raba, cepat ia menusuk-kan jarum emas itu di
tempat yang tepat. "Aduhhh ;!" A-hai mengaduh lirih dan
rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalau-kalau pemuda itu mengamuk,
cepat mele-paskan dirinya dengan hati was - was. Akan tetapi ternyata A-hai tidak
mengamuk dan masih ber-diri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya merah dan liar
itu meredup. Perla- han - lahan muka yang merah padam menjadi pu-tih dan bagian - bagian tubuhnya
yang lain kem- bali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru di pelipisnya itupun perlahan -
lahan mengempis dan menghilang. Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang di wajahnyapun mulai surut
dan per- lahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, ka-dang-kadang kedua matanya
dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi tenang,
agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan
baik. Tak lama kemudian, A-hai mengangkat muka-
nya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang
lembut dan jujur. "Aduh
tubuhku dingin se- kali " dan diapun agak menggigil.
Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan
melihat pemuda itu telah dapat diselamatkan dan tidak tera-sa lagi kedua matanya menjadi
basah saking ter-haru dan lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A - hai memandangnya
dengan wajah membayangkan keheranan. "Siapakah engkau, nona ?" Tentu saja Bwee Hong menjadi
terkejut bukan main, langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A - hai dengan bengong, tak
tahu apa yang harus dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya.
"Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kaukira. Dia masih tetap dalam
keadaan ku-mat dan masih berpijak di masa lalunya yang hi-lang itu. Dia tidak mengenal
siapa engkau akan tetapi dia tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk
dipergunakan. Jarum yang kau-tusukkan tadi hanya membuat darah yang berkum-pul di kepalanya dapat
menyebar lagi ke seluruh tubuh. Sebentar lagi kalau tekanan darahnya su-dah normal, dia akan
kembali menjadi kawan kita yang lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu
dan sebentar lagi dia akan men-dusin, seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah
tiba saatnya seperti yang kita bica-rakan dahulu. Saat - saat dia seperti inilah kita harus
dapat mengetahui masa lalunya. Saat seper-ti inilah di mana dia berada dalam keadaan kumat akan
tetapi mudah diajak bicara. Sekarang coba-
Darah 23 49 lah, tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia
kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan."
Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura ke arah A - hai seperti
orang yang baru saling jumpa. Pemuda itupun berdiri memandang-nya dengan terheran - heran.
"Saudara, bolehkah aku mengenal namamu ?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut
dan sikap menghormat. "Apa " Nama " Namaku
namaku Thian Hai !" "Saudara dari perguruan manakah ?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar
tegang karena ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh
ini. "Aku aku dari ooohhh " Tiba- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba A-hai terjerembab ke depan. Tentu saja Bwee
Hong cepat menyambutnya dengan kedua lengan
karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpe-
lanting. A - hai nampak bingung, lalu mengangkat mu-
ka memandang. "Ahh " Dan diapun cepat melepaskan dirinya. "Nona
Hong, mana pen- jahat tadi " Sudah pergikah dia ?" Suaranya kem-
bali seperti suara A - hai yang tolol!
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol
sekali. Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A - hai,
dan kini pemuda itu bertanya di mana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat
sedikit lebih maju dalam mengungkap tabir rahasia pemuda itu, yalah bah-wa nama pemuda yang mereka
kenal sebagai A-hai itu adalah Thian Hai. Apa she - nya dan dari mana asalnya belum
mereka ketahui. Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah
penginap-an dan melanjutkan perjalanan karena dia khawa-tir kalau - kalau San -
hek - houw datang' lagi mem-bawa teman - teman yang lebih banyak dan lebih kuat.
Untung malam itu ada bulan menerangi perja-lanan mereka. Di tengah perjalanan,
Bwee Hong memuji kakaknya. "Kun - koko, engkau benar - be-nar pantas menjadi ahli
waris sucouw kita Bu-eng Sin - yok - ong. Semua keteranganmu tentang pe-nyakit yang diderita oleh
saudara Thian Hai ini cocok semua. Kini tinggal mencari dan melaksana-kan cara - cara
pengobatannya saja."
"Thian Hai " Siapa yang bernama Thian Hai " Akukah ?" A - hai bertanya heran.
"Kalau begitu, kalian telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku ?"
"Sabarlah, saudara A - hai. Kami sedang mela-kukan penyelidikan dan mudah -
mudahan kami dapat membantumu untuk menemukan kembali dirimu."
"Kalian sahabat-sahabat baik , sahabat-
sahabat baik " kata A-hai dengan suara ter-
haru dan juga kecewa karena mereka itu ternyata
belum dapat menemukan rahasianya. Mereka ber-
henti di puncak sebuah bukit dan A - hai menjauh-
kan diri, berdiri memandang ke depan, ke bawah
di mana terhampar pemandangan yang remang-
remang karena sinar bulan tidak mungkin dapat
memberi penerangan yang jelas.
"Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru di
pelipis kirinya. Akan tetapi sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu ?" tanya Bwee Hong. Mereka
duduk di atas batu-batu gunung untuk beristirahat.
Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget. "Tiga tonjolan biru di pelipis " Benarkah
itu " Coba kita periksa. Saudara A - hai, maukah engkau datang ke sini sebentar ?"
A - hai yang sedang berdiri melamun itu, ter-kejut dan menoleh, lalu menghampiri
mereka. "Di bawah sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera
ke sana, aku akan me-mesan ayam panggang!"
Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini. "Akupun sudah lapar. Nanti kita
lanjutkan perjalanan, akan tetapi di dusun mana ada ayam panggang ?"
"Saudara A - hai, aku hendak memeriksa peli-pismu sebentar, bolehkah ?"
"Pelipisku " Ada apa dengan pelipisku " Tapi, tentu saja boleh !"
Kakak beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A - hai. Kulit pelipis itu kini
nampak bersih saja, tidak ada tanda apa - apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat
- lapat dia merasa seperti ada tiga buah benda kecil bulat di bawah kulit.
"Hemmm " ahli obat muda itu bergumam
sambil meraba - raba. "Seperti gumpalan daging mengeras karena memar. Atau kalau
tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda
keras, atau eh, ini, satu di antara tiga tonjolan
ini persis melintang di pembuluh darah otak de-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pan " "Mungkinkah benda itu yang menyebabkan pe-nyakitnya ?" tanya si adik serius.
"Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa me-mastikan, harus memeriksanya dengan
teliti lebih dulu. Penyakit yang berdekatan dengan otak amat-lah berbahaya kalau keliru
pengobatannya." Ka-kak beradik itu lalu termenung, nampak murung. Melihat ini A
- hai menjadi tidak sabar. "Aih, kenapa susah - susah memikirkan penya-kitku " Lihat, sinar matahari pagi
sudah mulai nampak di sana. Lebih baik kita turun dan men-cari dusun untuk sarapan !"
Kakak beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju. "Perutku sudah lapar, biar
aku jalan dulu, akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni
puncak bukit itu. "Saudara A - hai, hati - hatilah, masih gelap dan jalannya licin !" Bwee Hong
memperingatkan dan bersama kakaknya ia mengejar. Akan tetapi, sung-guh amat
mengherankan hati dua orang muda ahli ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi,
tidak mampu menyusul pemuda itu. Jalan menurun itu memang agak sukar dan licin, apa lagi
karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cu-aca masih gelap sehingga mereka harus melang-
kah hati - hati agar jangan sampai terpeleset ma-suk jurang. Padahal, A - hai yang berada dalam
keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa - apa, jangankan berlari cepat. Akan tetapi
ba-gaimana kini A - hai dapat meninggalkan mereka " Satu - satunya kemungkinan adalah bahwa pemuda
itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan tetapi mana mungkin " Andaikata A - hai
pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah melupakan jalan itu.
Matahari telah muncul ketika kakak beradik itu menuruni bukit dan mereka
terpaksa berhenti karena ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun
perahu di tem-pat sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyebe-rang.
"Eh, ke mana dia ?" Bwee Hong memandang ke kanan kiri.
54 "Saudara A-hai !" Seng Kun berteriak.
"Di mana engkau ?"
Tidak ada jawaban. Tiba - tiba Bwee Hong yang meloncat ke atas batu dan
memandang ke seberang sungai berseru, "Heiiii, itu dia! Di se-berang sungai!"
Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A - hai di seberang
sungai. Pemuda itu sedang melenggang dengan santainya, menu-ju ke sebuah dusun yang
dapat dilihat dari sebe-rang sini. Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil, "Saudara A-hai!!!
Tung- gu dulu ! Di mana kita harus menyeberang " Apa-kah memakai perahu " Di mana ?""
"Jangan - jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau
harus be-renang menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi
airnya berlumpur dan kelihatan dalam.
Teriakan yang menggema karena didorong te-naga khikang itu terdengar oleh A -
hai di sebe-rang sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap
ketololan diapun berjalan kembali ke tepi sungai lalu dia menghilang di ba-lik semak - semak di
tepi sungai seberang sana. Sampai lama dia tidak muncul - muncul.
"Eh, eh, ke mana dia " Kenapa malah ber-sembunyi " Dia menghilang di balik
semak-semak. 55 Apakah dia buang air besar ?" Bwee Hong meng-omel. "Atau ketiduran ?"
"Ha - ha, jangan bergurau !" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melcngak -
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
longok ke seberang, mencari - cari bayangan A - hai yang belum juga nampak.
Tiba - tiba kakak beradik itu cepat mengggerak-kan tubuh membalik ketika
mendengar langkah ka-ki orang dan mereka memandang dengan mata ter-belalak ketika melihat
bahwa yang datang melang-kah itu bukan lain adalah A - hai!
"Ehhh ! Ohhh ! Bagaimana eng- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
kau tadi menyeberang " Kami tidak melihatmu
" "Hemm, engkau tentu lewat di sebuah tero-wongan, bukan ?" Seng Kun yang cerdik
menduga. A - hai makin bingung, dan sikapnya semakin ke-tololan ketika dia melihat dua
orang yang biasanya cerdik itu kini nampak kebingungan. "Benar .. ,
aku memang lewat di bawah air sungai. Kenapa ka-lian heran " Memang itulah satu
- satunya jalan un-tuk menyeberang !"
Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi
semakin terheran - heran. Apakah A - hai ini sudah benar-benar menjadi gila
sekarang, pikir mereka. Tentu saja mereka tidak percaya begitu saja.
"Jangan main - main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi
sungai ini," kata Bwee Hong.
56 A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi pena-saran. "Kalian tidak percaya "
Marilah ikut aku !" katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua
orang itu dan di-tariknya menuju ke balik pohon - pohon lalu nam-paklah bahwa di balik
semak - semak belukar ter-dapat sebuah jalan terowongan yang melewati da-sar sungai. Agak
gelap di situ sehingga Bwee Hong dan Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai
melangkah seenaknya saja sambil menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah
membawa kakak beradik itu menyebe-rang dan mereka muncul di belakang semak-semak di tepi
seberang sana. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa
jalan penyeberangan ini bukan jalan umum karena tempatnya tersem-bunyi dan di mulut
terowongan ditumbuhi semak belukar yang liar sehingga menutupi jalan itu.
Seng Kun memandang wajah A - hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu
memandang kepa-danya penuh selidik. "Saudara A - hai, bagaimana-kah engkau bisa mengetahui
adanya jalan tero-wongan menyeberangi sungai ini ?"
"Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun
bingung. "Aku aku tidak mengetahui. Aku
57 tadi berjalan sambil membayangkan panggang a-yam yang kupesan nanti di warung
dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup.
Darah 23 Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu
dan sampai di se-berang. Kenapa sih " Bukankah terowongan itu memang jalan satu -
satunya untuk menyeberang " Apakah aku telah salah jalan ?"
Ditanya demikian, kakak beradik itu saling pandang dan menjadi bingung sendiri
bagaimana harus menjawab. "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adik-nya. "Mari kita cepat
pergi ke dusun di depan un-tuk mencari sarapan."
"Dusun itu berada di sana ! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak beradik itu
saling pandang de-ngan heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu me-lainkan mengikuti A - hai
yang melangkah tegap menuju ke suatu arah tertentu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah
dusun dan biarpun tidak mengeluarkan sebuah katapun, namun ada pero-bahan terjadi pada
wajah A - hai yang tampan. Wa-jah itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya
menuju ke sebuah warung. Dusun itu tidak begitu besar. Rumah - rumah-nya berjajar sampai di tepi sungai.
Agaknya memang hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa bu-ah perahu berjajar di tepi
seberang ini dan ada ja-ring - jaring yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak
sibuk bekerja. Ada yang menjahit jaring yang robek, ada yang sedang men-jemur ikan - ikan hasil
tangkapan mereka di halaman rumah masing - masing. Bau amis ikan me-rangsang hidung.
Sebuah dusun nelayan seder-hana. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Ketika mereka sedang berjalan, tiba - tiba di ujung jalan itu muncul seorang
pendek bertopi lebar keluar dari sebuah kedai minuman. Dia ber-gegas menuju ke sebuah gerobak
pembawa barang yang berdiri di depan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya
dan A - hai untuk me-nyelinap ke belakang sebuah rumah. Melihat ini, A - hai bertanya, "Ada
apakah ?" "Ssttt !" Seng Kun memberi tanda dengan
telunjuk ditempelkan di bibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak
banyak mengeluarkan suara. Kemudian dia mengajak mereka menyeli-nap dan mengambil jalan
memutar mencapai wa-rung yang dimaksudkan oleh A - hai untuk dikun-jungi tadi. Di sini
mereka duduk di tempat ter-lindung, akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat ke arah jalan
raya di depan. "Koko, ada apakah " Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan ?" Bwee Hong
bertanya ke-pada kakaknya. "Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman di ujung jalan sana tadi ?"
dia balas ber-tanya. "Ya, tapi kenapa ?" Bwee Hong mendesak. "Apakah engkau tidak mengenalnya "
Biarpun dia menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga
perawakannya. Akupun belum yakin benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-ha-ti. Nah, dia akan lewat
di depan sini, mari kita perhatikan."
Tak lama kemudian, lewatlah di depan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup
rapat dan dihela oleh seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek
tegap yang berpakaian se-derhana, mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak
hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat, terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan
seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang belum jadi.
Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat. "Siapa dia " Aku
tidak mengenal-nya. Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang ke dusun
ini untuk berbelanja ikan asin ?"
A - hai juga menggeleng kepala. "Aku tidak me-ngenal dia!"
Seng Kun menghela napas panjang. "Aku ter-ingat akan seorang yang perawakannya
persis orang itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi
berjalan sama seperti orang itu, ialah Pek - lui - kong Tong Ciak, jagoan Soa - hu - pai,
komandan pengawal istana yang li-hai itu ! Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan
pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga belum yakin bahwa orang tadi adalah Tongciangkun yang
sesungguhnya. Perlu apa dia me-nyamar seperti itu " Dan kenapa pula dia berada di sini "
Padahal, keadaan di istana sendiri sedang dalam kemelut ?"
Mereka menduga - duga akan tetapi tidak me-nemukan jawaban yang masuk akal
sehingga akhir-nya Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee
Hong dan A-hai bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan
memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan Pek - lui - kong Tong Ciak. Mem-bayangkan kemungkinan
ini, Seng Kun menterta-wakan kekhawatirannya sendiri.
Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mende-kati mereka dengan wajah berseri
karena sepagi itu sudah ada tamu datang ke warungnya. Wa-rungnya hanyalah sebuah kedai
makan yang se-derhana dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan
ikan asin. Ketika dia menanyakan pesanan mereka, tiba - tiba saja dengan cepat A - hai
berkata, "Aku minta ayam panggang satu!"
Mendengar pesanan yang tak masuk akal meli-hat warung itu hanya sederhana
sekali, Bwee Hong dan Seng Kun memandang kepada A - hai dan hen-dak menegurnya. Akan tetapi
pada saat itu, pemi-lik warung memandang kepada A - hai dan kelihat-an terkejut sekali.
"Kongcu !" Dia berseru. "Aih, saya be-
nar - benar linglung, tidak mengenali kongcu. Ha-
bis, kongcu berpakaian seperti ini sih! Di mana
nona kecil " Tentu sekarang sudah besar, ya " Su-
dah empat tahun lebih kongcu tidak singgah di si-
ni. Ya, sejak Gu - lojin meninggal dunia."
Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan meman-dang heran, akan tetapi yang lebih
heran dan bi-ngung lagi adalah A - hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut,
akan tetapi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sedikitpun dia ti-dak mengenal orang itu. Jantungnya berdebar ke-ras dan dengan
hati tegang dia bangkit berdiri, ta-ngannya menyambar baju pemilik warung itu dan
dengan gemetar dia berseru, "Engkau
engkau mengenal siapa aku " Ah, cepat katakan! Siapa-kah aku ini " Siapa pula nona
kecil yang kauta-nyakan itu ?" Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakut-an. Apa lagi karena cengkeraman
tangan A-hai pada bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari
memandang kepa-danya dengan mata berapi-api. "Ahhh, kongcu
eh, aku aku mungkin yang salah lihat!
Mungkin " Beberapa orang yang duduk di dalam warung dan sedang makan bubur, menjadi
terkejut melihat adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang.
Melihat ini, Seng Kun ce-pat melerai. Sabarlah, saudara A - hai, jangan membuat onar di sini. Kita adalah orang asing
di tempat ini. Tenangkah dan mari bicara baik-baik." A-hai terpaksa melepaskan
cengkeramannya dan dengan wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan
nasi, sayur dan ikan asin. "Tenanglah, saudara A - hai," Seng Kun berbi-sik. "Sabar saja, nanti setelah
makanan dihidang-kan, dengan halus kita menanyakan hal itu kepa-danya."
Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Seng Kun. Ketika pemilik warung datang meng-hidangkan pesanan mereka, dengan
suara halus Seng Kun bertanya, "Paman, tolong ceritakan ba-gaimana engkau sampai mengenal
teman kami ini?" Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia
menggeleng kepala, memandang kepada A - hai
sejenak, lalu menggeleng kepala lagi. "Tidak, saya
tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah
lihat, maaf " "Sungguh, paman, kami tidak apa - apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman
sebut kongcu tadi. Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan
suara yang halus. Melihat sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau
tadi dia tidak berani bicara adalah karena sikap A - hai yang kasar. Maka dia-pun berceritalah.
"Saya memang mengenal seorang kongcu yang
wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak
tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia
Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal na-
ma lengkap dari Gu - lojin yang sering dikunjungi
oleh Souw - kongcu. Dia selalu singgah di warung
kami ini apa bila mengunjungi Gu - lojin yang ber-
diam di tengah hutan itu. Dan Souw - kongcu itu
kalau singgah ke sini tentu selalu memesan ayam
panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya,
akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyem-
belihkan ayam kami sendiri. Dan dia ini
eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak pute-
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rinya yang mungil ehh !" (Bersambung jilid ke XXIV.)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXIV * * * TUKANG warung itu menghentikan cerita-nya karena terkejut melihat betapa tiga
orang pendengarnya itu tersentak. A - hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu
menyentuh pe- rasaan hatinya ketika pemilik warung itu menye-but tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku
sudah mempunyai anak, pikirnya dengan keras. Sementara itu, Bwee Hong merasa
kaget dan se- perti ada sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu
telah mempunyai seorang puteri. Dengan wajah agak berobah pu-cat ia memandang kepada A - hai
yang nampak termangu - mangu dan seperti orang yang berusa-ha mengingat-ingat sesuatu dengan
sia-sia. Seng Kun sendiri termangu - mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia
merasa sangat tertarik. Tiba - tiba A - hai menggebrak meja dan mena-
ngis tersedu - sedu, menelungkupkan mukanya di
atas meja. "A-hai A-hai ...... engkau manu-
sia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini
?" Kakak beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul
pundak A-hai. "Saudara A - hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala
sesuatu ten-tang dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan dapat membuka tabir
rahasiamu di tempat ini." Setelah dibujuk oleh kakak beradik itu, A-hai
berhenti menangis, mengusap air matanya dengan
kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum
masam, "Terima kasih, kalian sungguh amat baik
kepadaku " Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk, "Paman, kami
bertiga sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat
buruk. Akan tetapi, terus terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang
kongcu itu, dan juga tentang Gu-lojin. Kami tentu akan mtemberi imbalan jasa ke-padamu kalau
engkau suka menceritakan sejujur-nya kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang Gu-lojin.
Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering membawa teman kalau dia sedang mem-beli makanan
di sini?" Pemilik warung itu menggeleng kepala. "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman
maupun pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat
, saya mempunyai pedang eh, golok besar pening-
galan Souw - kongcu." Pemilik warung itu berlari
ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali lagi sambil membawa sebuah
golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu di-bawanya dengan
kedua tangannya. Seng Kun ber-tiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Go-lok itu tebalnya
hampir dua senti, dan di bagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda ke-ras. Ketika Bwee
Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa di tem-pat
yang somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga
buah tonjolan yang terdapat di pelipis kiri A - hai, yaitu berbentuk segi tiga !
"Tolong kauceritakan tentang golok ini, pa-man." Seng Kun membujuk pemilik
warung itu. "Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir di dusun ini, dan
kebetulan dia me- masuki warung saya. Pada saat itu, kebetulan pu-la Souw - kongcu sedang berada
di sini menikmati eh, ayam panggangnya." Dia melirik ke arah
A - hai dengan takut - takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang menghadapi
pesanannya tadi, yaitu panggang ayam ! "Bajak sungai membuat onar di sini. Souw - kongcu
menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas ! Golok
besarnya yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dipakai menang-kis jari - jari tangan Souw - kongcu somplak dan jari - jari itu
tetap mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika."
4 5 Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan
dengan kakaknya. "Jari tangan " Jadi ini bekas jari ta-ngan ?" Ia menunjuk ke
arah lubang - lubang pada golok itu dan melirik ke arah pelipis A - hai. Ke-duanya mulai
mengerti sekarang. Mereka berdua melihat betapa susunan bekas jari tangan pada go-lok itu sama
benar dengan susunan tiga tonjolan pada pelipis A - hai. Dan bekas - bekas jari itu tentu
merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan
mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin
bahwa antara A - hai dan perguruan itu tentu ada hubungannya yang dekat, entah se-bagai kawan
ataukah sebagai lawan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana
yang memiliki ilmu menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti
itu, akan tetapi dia tidak ingat, atau juga mungkin belum pernah mende-ngarnya. Tiba-tiba dia
bangkit berdiri. Mereka sudah selesai makan karena tadi mereka bicara sambil makan. "Paman,
tolong kautunjukkan di mana rumah Gu - lojin itu."
"Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar
warungmu ini dan kami akan memberi kerugian kepadamu," sam-bung Bwee Hong dengan sikap manis.
Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada
pemban-tunya, diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi ke hutan tak jauh
dari dusun itu. "Biarlah saya mengantar sam - wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa
mendiang Gu - lojin adalah seorang yang amat baik, sedangkan
Souw - kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang Gu - lojin itu tidak jauh
dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah me-lukis. Marilah!"
Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan
di tengah hutan itu terdapat sebuah rumah yang sudah rusak kare-na tidak terawat.
Gentengnya banyak yang pecah dan bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah
itupun banyak yang pecah ka-rena diterjang akar - akar pohon yang menutupi rumah itu.
Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A - hai, melihat
sesuatu yang aneh pada diri orang muda ini. Begitu memasuki hutan, A - hai berjalan
seperti dengan sendirinya menuju ke rumah itu dan setiba di situ, seperti orang gila A - hai
lari ke sana - sini mengitari rumah, seperti orang yang sedang mencari - cari se-suatu. Seng Kun
menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh
A - hai. A-hai memasuki rumah itu dan tak lama ke-mudian diapun keluar dari kamar
belakang dan tangannya membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada
boneka itu amat halus dan ternyata boneka itu adalah patung se-orang puteri bangsawan
istana dengan rambut di-sanggul tinggi. Cantik bukan main boneka itu dan kakak beradik itu
diam - diam amat mengaguminya karena boneka itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih
warnanya. Tanpa berkata - kata, A - hai memberikan bone-
ka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan
memeriksanya bersama Seng Kun. "Koko, boneka
giok ini merupakan benda yang tak ternilai harga-
nya. Eh ada tulisan di bawah alas kakinya.
Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas."
"Bagaimana bunyinya ?" tanya Seng Kun.
"Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Tiba - tiba A - hai kembali lari ke sana - sini mencari sesuatu. Dia berhenti di
depan sebuah batu nisan yang hampir terpendam di bawah ta-nah. Melihat pemuda itu mengamati
batu nisan seperti orang linglung, si pemilik warung mende-katinya.
"Ini adalah makam aduhhh !" Be- lum habis ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** dini, harus dilaku-kan dengan sabar," kata Bwee Hong dengan ha-lus. A - hai
melepaskan si pemilik warung dan dia-pun duduk di atas tanah, di depan tanah kuburan itu dan
menutupi mukanya. "Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal -
usulku. Siapakah se-benarnya aku ini " Siapakah bocah perempuan ke-cil itu " Jangan -
jangan ia benar - benar anakku. Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya baik - baik.
Benarkah aku adalah Souw - kongcu itu, seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini " Aihh, kenapa
Gu - lojin ini juga sudah mati sehingga kita tidak dapat bertanya kepadanya
" A - hai kelihatan amat berduka memandang ke arah batu nisan.
Melihat keadaan A - hai dan mendengar ratap-annya, hati Bwee Hong tergerak dan
tanpa disadarinya lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk di dekatnya dan
membujuknya. Bwee Hong merasa iba hati melihat A - hai, biarpun ia merasa
Parah 24 9 betapa di dalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya tergores setelah ia
menduga bahwa besar kemungkinan A - hai adalah Souw - kongcu yang telah mempunyai
seorang puteri. Di luar kesadar-annya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah ja-tuh hati kepada
A - hai! "Saudara A - hai, janganlah terlalu berduka.
Percayalah, aku akan membantumu untuk menye-
lidiki rahasia tentang dirimu, percayalah
" kata gadis itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan. A - hai yang
sedang hanyut da-lam kedukaan, begitu ada uluran tangan, tanpa sadar diapun menangkap
tangan yang kecil mungil itu dan menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong
hampir tak dapat mena-han air matanya dan sejenak ia membiarkan ta-ngannya digenggam pemuda
itu sebelum dengan halus ia menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A - hai.
Melihat keadaan mereka ini, diam - diam Seng
Kun menjadi prihatin dan serba salah. "Apakah
ini tanda bahwa adikku jatuh cinta kepadanya "
Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hong-
moi " Ketika kakak beradik itu mengajak A - hai kem-bali ke dusun karena matahari
telah condong ke barat, A - hai menolak keras. "Tidak, aku akan tinggal di sini dan bermalam
di sini. Biarpun aku sendiri tidak ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku
merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua pulanglah ke
dusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur di sini," katanya ber-keras.
Akan tetapi kakak beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan
A-hai tinggal di situ seorang diri. Mereka khawatir kalau - kalau terjadi sesuatu
menimpa diri pemuda yang masih kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu me-nyuruh si pemilik
warung pulang ke dusun terle-bih dahulu dan mereka hendak menemani A - hai bermalam di rumah tua
itu. Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A - hai yang masih duduk termenung di depan
batu nisan kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, member-sihkan ruangan yang tidak
bocor untuk dipakai beristirahat malam nanti.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Bagaimana pendapatmu tentang A - hai, Hong-moi ?" tanya Seng Kun ketika mereka
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang sibuk bekeria membersihkan ruangan itu.
"Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahas;a kehidupan masa
lalunya. Aku yakin bahwa tidak lama lagi kita akan dapat mem-beri tahu kepadanya siapa
sebenarnya dia. Penye-lidikan itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara
kebetulan sekali." "Maksudmu ?" Seng Kun menegas.
"Engkau tentu ingat betapa secara tidak senga-ja dia menemukan terowongan di
bawah sungai itu, kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan
boneka giok tadi " Pada saat - saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak
mempergunakan akal dan pikiran, tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak
menyeberangi sungai dia tidak membayangkan ayam panggang, dia akan kebi-ngungan dan tidak
tahu bagaimana harus menye-berang. Karena dia melamunkan ayam panggang, maka
nalurinya yang menuntunnya pergi ke tem-pat terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pu-lang
ke rumah sendiri, kita tidak usah harus ber-pikir lagi ke mana kita akan berbelok.
Gerakan ka-ki kita seperti
terjadi dengan sendirinya."
"Engkau benar," Seng Kun mengangguk. "Dan itu berarti bahwa tempat - tempat ini
sudah sa-ngat dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itu-lah yang menlbuat dia tiba -
tiba menginginkan ayam panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia
menginginkan ayam panggang yang dipesannya di warung itu, dan otomatis pu-la merabawa kakinya
menuju ke terowongan. Dan karena dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya
menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan."
"Koko, itu berarti bahwa A - hai adalah
Souw - kongcu itu, bukan " Souw - kongcu yang sudah punya isteri dan anak ?"
Dalam pertanyaan ini terkandung suara yang getir.
Seng Kun dapat merasakan rial ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk
membenarkan. "Ku-rasa demikian. Kini kita tinggal melanjutkan pe-nyelidikan kita. Siapakah
Souw - kongcu itu " To-koh dari mana ?" "Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang
lihai sekali dan bekas tangannya masih nampak pada golok itu."
"Akan tetapi kalau benar dia itu Souw - kongcu yang lihai itu, kenapa justeru
pelipisnya sendiri terluka oleh totokan tiga jari yang hebat itu " A-dikku, kita harus
menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw - kongcu yang pandai
menotok tiga jari da-lam bentuk segi tiga. Mungkin A - hai ini kakak atau adiknya, atau sanak
keluarganya yang mem-punyai wajah mirip sehingga penjaga warung itu mengenalnya."
Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan di dalam hati Bwee Hong dan
wajahnya nampak berseri. Hal ini tidak terlepas dari penga-matan Seng Kun dan
kakak ini menarik napas panjang. Benar - benar ia sudah jatuh cinta, pikir-nya.
Pada saat itu A - hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan
itu. Setelah selesai, mereka duduk di atas lantai yang sudah bersih. "Saudara A -
hai, tempat ini sepi dan tenang. Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakirmu ?" kata Seng Kun.
A - hai mengangguk. "Silahkan."
Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula - mula
dia meme- riksa mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan de-ngan amat teliti dia memeriksa
denyut nadi kedua pergelangan tangan A - hai. Di dalam pengobatan tradisionil Tiongkok,
pemeriksaan lewat denyut nadi merupakan bagian yang terpenting. Seorang yang sudah ahli benar, dapat
merasakan gejala- gejala macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan
dengan teliti, ma-kin yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sum-ber penyakit yang
menghilangkan ingatan A -
hai terletak pada kekacauan jalan darah di kepala ! Maka Seng Kun lalu langsung
memeriksa pelipis kiri. Seng Kun meraba - raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh
kulit di sekitar benjolan - benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan
darah yang keluar, kemu-dian menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya,
setelah memeriksa dengan teliti, Seng Kun menarik napas panjang.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Saudara A - hai, benjolan - benjolan di pelipis-mu ini adalah akibat terkena
ilmu totok urat yang amat hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa
ilmu itu adalah se-macam Sam - ci Tiam - hwe - louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar
biasa ampuhnya dan yang memang khusus untuk menotok urat - urat kematian. Akan tetapi entah
karena ilmu kepandaian si pe-notok itu yang belum sempurna ataukah karena il-mu kepandaianmu
yang lebih unggul dari padanya, akibat dari totokan itu tidak sampai menewaskan-mu,
melainkan hanya mengakibatkan memar di urat jalan darah yang tertotok. Memar itu menye-babkan
darah matang menyumbat hiat - to (jalan darah) yang menuju ke otak tidak mendapatkan aliran
darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini membuat otak tidak dapat bekerja de-
ngan baik. Masih untung bahwa totokan itu hanya mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju ke
bagian otak yang depan saja sehingga engkau masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi te-
lah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan masa lalumu. Kalau totokan itu
mengakibatkan tersumbatnya jalan darah ke semua bagian dari otak, engkau akan hidup seperti
seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa - apa !"
Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang.
"Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu ku-mat, dia memperoleh kembali ingatan -
ingatannya walaupun hanya sebagian saja ?"
Kakaknya mengangguk - angguk. "Mudah di-perkirakan, Hong - moi. Engkau pernah
mengata-kan bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu
peristiwa yang sangat ber-pengaruh atas naluri saudara A - hai pernah terjadi di masa lalunya.
Kita tidak tahu persis apa adanya peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bah-wa peristiwa
itu ada hubungannya dengan darah manusia. Maka apa bila dia melihat genangan da-rah,
otomatis terjadilah guncangan hebat pada ba-tinnya. Nah, akibat guncangan batin yang
hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali le-bih keras dari biasanya. Dan karena jantung
be-kerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menja-di sedemikian kuatnya sehingga darah dapat
juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat menga-lir ke otak yang kering itu, biarpun hanya
dengan sukar sekali. Dengan demikian, untuk saat - saat itu otak yang membeku dapat
bekerja kembali wa-laupun belum sempurna benar. Dan setelah pe-ngaruh guncangan itu habis, maka
berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan jarum di
bagian atas dan bawah ben-jolkan, aliran darahnya berbeda - beda, ada yang tetesannya cukup deras ada
pula yang sama sekali tidak keluar ?"
Bwee Hong mengangguk - angguk kagum se-dangkan A - hai hanya mendengarkan dengan
be-ngong saja. Darah 24 17 "Kun - ko, engkau sungguh hebat. Keterangan-
mu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu menga-pa apa bila saudara A - hai sedang
kumat dia me-lupakan semua orang " Termasuk juga kita ?"
Seng Kun tersenyum. "Aku sudah memperhati-kan hal itu. Lihatlah satu tonjolan
ini tidak berada di dalam urat, akan tetapi mengenai bagian di luar urat. Inilah yang
menyelamatkan saudara A - hai, selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi
tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan otot - otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apa
bila otot - otot itu mengejang karena saudara A-hai sedang marah, tonjolan itu malah mende-sak dan
menghimpit urat di dekatnya dengan oto-matis. Dengan demikian, maka bagian yang nor-mal
dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah karena himpitan itu. Mengertikah engkau?"
Bwee Hong mengangguk. "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah
ke otak itu dapat terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan
wajar ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan -
sumbatan itu. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah. Darah yang me-ngental itu sudah sedemikian
kerasnya sehingga aku khawatir kekuatan obat saia tidak akan mam-pu mencairkannya
kembali. Padahal kalau kita menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak
pembuluh darah dan ini berbahaya sekali. Satu - satunya cara ialah membuat lu-
bang darurat di bagian darah yang mengental itu.
Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan
pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan.
Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang ba-
ru karena lubang yang lama itu lambat - laun akan
tertutup lagi oleh darah. Dan itu berarti sau-
dara A - hai ini akan selalu tergantung kepada kita
yang harus membuatkan lubang darurat baru seti-
ap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara
A - hai sendiri." "Saudara Seng Kun dan nona Hong ! Lakukan-lah sesuka hati kalian terhadap
diriku. Aku me-nyerah sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku
ini !" Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengpbatan, tentu saja
menghadapi seorang dengan gangguan penyakit seperti A - hai ini dia merasa ditantang dan
dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalah-kan penyakit itu. Dan
kalau A - hai bersikap pa-srah, maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya
bagi pengobatannya. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah
kental yang menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan
darah yang berada di luar jalan darah, yang menghalang di kumpulan otot pelipis itu.
Hal ini untuk mence- gah agar otak yang normal tidak tertutup lagi ja-lan darahnya sewaktu engkau
marah atau dalam keadaan kumat. Nah, Hong - moi, siapkan alat-nya dan mari kita bekerja !"
A - hai disuruh rebah miring ke kanan sehingga pelipis kirinya berada di atas.
Dengan dibantu adiknya, Seng Kun duduk bersila di dekatnya, de-ngan teliti mengamati
ketika Bwee Hong memper-gunakan jarum - jarumnya untuk menusuk bebera-pa jalan darah di tengkuk
dan pundak. Tusuk-an - tusukan ini untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika
pembedahan dilakukan. Kemudi-an mulailah Seng Kun mengerjakan pisaunya yang tajam. Karena pembedahan
itu hanya kecil dan sederhana saja, hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati -
hati agar jangan sampai me-rusak jaringan darah, tak lama kemudian gumpal-an darah kental itu
dapat dikeluarkan. A - hai ti-dak merasa sakit, dan baru setelah luka itu dijahit dan
diobati, kemudian jarum - jarum yang menu-suk beberapa bagian badan itu diambil, dia merasa betapa
pelipisnya agak perih. "Nah, saudara A - hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan
tetap mengenal siapa saja yang pernah kaukenal, termasuk kami," kata Seng Kun.
"Terima kasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A - hai berkata
dengan terha-ru. Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan
lilin mem- buat penerangan. Kemudian mereka bertiga ma-kan roti kering yang dibawa sebagai
bekal oleh ga-dis itu. Ketika Bwee Hong melihat betapa A - hai mengunyah roti itu dengan
kaku, iapun tertawa. "Saudara A - hai, untuk beberapa hari jahitan di pelipismu itu akan sedikit
mengganggu apa
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bila engkau sedang makan."
"Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian pe-nyakit lupaku sudah hilang.
Saudara Seng Kun, kapankah lubang di pembuluh darah itu akan di-buat " Aku sudah tidak sabar
lagi menanti." "Hemm, saudara A - hai, jangan tergesa - gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh
sembarangan. Harus dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam.
Kalau dibuat secara mendadak, besar bahayanya darah yang mengalir ke dalam otak terlalu
banyak dan tiba - KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tiba itu akan men-datangkan guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan -
akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka secara tiba - tiba dan sekaligus, tentu
akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. De-mikian pula dengan jalan darah itu, yang semula
tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka seka-ligus, ada bahayanya darah yang membanjir
itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbul-kan guncangan pada otak. Kesembuhan itu
harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan ke-sabaran."
"Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk
membuat lu-bang itu ?" "Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh
hari saja. Tidak terlalu lama, bukan ?"
"Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai se-karang juga, lebih cepat lebih baik
bagiku. "Akan tetapi baru saja engkau mengalami pem-
bedahan " Bwee Hong mencela.
"Tidak mengapa ! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona."
"Baiklah kalau begitu, saudara A - hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi.
Akan tetapi se-kali ini, sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat,
tidak boleh banyak ber-gerak." A - hai mengangguk dan dengmi penuh sema-ngat diapun merebahkan diri. Seng Kun
menotok jalan darah di kedua pundak dan punggung se-dangkan Bwee Hong lalu
menusukkan jarum - ja-rumnya di sekitar pelipis. A - hai segera tertidur pulas oleh totokan
- totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan hati-hati Seng Kun lalu mempersiapkan jarumnya.
Lebih dulu dia duduk me-lakukan siulian dan mengheningkan pikiran, kemu-dian mengumpulkan hawa
murni disalurkan di kedua lengannya. Barulah dia berani melakukan pe-nusukan itu.
Kedua tangannya bergerak mantap, jari - jari tangannya tidak gemetar dan sepasang matanya
memandang tajam, setiap gerakan dila-kukan dengan tepat. Dia tahu betapa berbahaya-nya pekerjaan
yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada bahaya nyawa A - hai akan
melayang! Dia harus dapat menancapkan jarum-nya mengenai sasaran, yaitu gumpalan darah itu,
jangan sampai merusak pembuluh darah dan ja-ngan sampai mengenai jalan darah lain walaupun
yang kecil sekali. Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan apa - apa. Darah masih
be lum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bah-kan Bwee Hong yang melayaninya juga
mengelu-arkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang mengancam nyawa A
- hai. Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah
hitam sedikit mengalir keluar. Kakak beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun
menyudahi pekerjaannya. "Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar
mencari hawa se- gar," kata Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya.
"Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat - alat
pengobatan ki-ta dan menyimpannya. Nanti aku akan menyusul-mu keluar."
Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum
tega me-ninggalkan A - hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya
itu. Di luar hawa-nya sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang di antara awan - awan nampak
indah sekali. Tanpa disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan - lahan menuju ke makam
Gu - lojin yang berada tidak jauh dari rumah tua itu.
Akan tetapi ketika dia sudah tiba di dekat ma-kam, mendadak dia menahan langkah
kakinya dan matanya terbelalak. Di batu nisan itu nampak se-orang laki - laki duduk
bersandar, matanya melo-tot dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati !
Cepat Seng Kun mendekati dan memeriksanya. Kiranya orang itu adalah ka-kek penjaga warung, dan
baru saja mati. Badan-nya masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia
mengumpat, "Sungguh kejam pem-bunuh itu ! Seperti iblis ! Orang ini mati karena diinjak
lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih nampak nyata."
Tiba - tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia
mendengar suara ketawa parau dan lantang di dekatnya. Dia cepat meno-leh, akan tetapi tidak
nampak bayangan orang. Dia mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis ter-tawa. Tentu suara
orang dan dia hampir yakin bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
24 kejam yang mentertawakannya. Dia merasa pena-saran dan marah. Orang sekejam itu
pasti bukan orang baik - baik dan harus dilawannya. Maka dia-pun mencari ke arah suara
ketawa yang kini terde-ngar lagi dari arah sungai. Akhirnya, di tepi sungai itu, nampak
seorang laki - laki pendek gemuk du-duk di atas batu, kakinya direndam di air dan mu-kanya
menengadah memandang bulan. Laki-laki ini usianya hampir limapuluh tahun, tubuhnya pendek
gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berben-tuk
alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna pu-tih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat
dari pada baja putih.Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan
dia tahu bahwa dia ber-hadapan dengan orang ke dua dari Sam - ok, kawan dari San - hek - houw.
Inilah Sin - go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti yang menjadi raja di antara bajak-bajak sungai, seorang
di antara pembantu - pem-bantu Raja Kelelawar.
Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini
yang membunuh kakek pemilik warung, tiba - tiba si gendut pendek itu menoleh
kepadanya dan bertanya, "Engkau mencari pembunuh tukang wjarung ?"
Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai
perasaan hatinya yang sedang bertanya - tanya. Si gendut
Darah 24 pendek itu tertawa. Di bawah sinar bulan, perut gendutnya bergerak - gerak naik
turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali pendeknya.
"Ha - ha - ha - ha, dan engkau akan menemani-nya di sana!" Tiba - tiba saja
tubuh yang gendut pendek itu meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas
melihat tubuhnya yang gendut itu dan didahului oleh gulungan sinar pu-tih dari
senjatanya, datuk sesat ini
telah menyerang Seng Kun. Hebat sekali serangannya itu, mengan-dung tenaga yang
kuat sehingga terdengar suara angin bersiutan menyambar - nyambar. Seng Kun maklum
akan kelihaian lawan, maka diapun me-lawan sambil mengerahkan tenaganya dan karena
dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan ginkangnya yang hebat untuk
menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu. Bi-arpun gerakannya amat cepat,
namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan diban-dingkan dengan San - hek - houw,
dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia lebih ulet. Karena
bertangan kosong, terpaksa
Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu dengan tangkisan lengannya yang
membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tigapuluh jurus lebih, Seng Kun terdesak.
Tiba - tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati
Seng Kun terkejut dan penuh kekhawatiran. Adiknya berada di dalam rumah tua itu dan yang
mengeluarkan jeritan itu tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan
kesempatan ini di- pergunakan oleh Sin - go Mo Kai Ci untuk men-cengkeram pundak Seng Kun dan
pemuda itu seke- tika merasa tubuhnya lumpuh tidak mampu bergerak lagi.
"Ha - ha - ha, engkau mendengar jeritan gadis itu " Heh - heh, San - hek - houw
tentu sedang memperkosanya. Heh - heh - heh !"
Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan men-dengar kata - kata keji itu. Si Buaya
Sakti tidak perduli, bahkan kelihatan gembira sekali. Dia me-nyeret tubuh Seng Kun ke arah
rumah tua sambil berteriak - teriak. "Heii, bangsat tua ! Sudah selesaikah engkau " Nih, bocah itu telah kuhajar
setengah mampus. Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaian-nya bukan main hebatnya.
Tidak tahunya cuma sebegitu saja!"
Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Si Buaya Sakti melemparkan
tubuh Seng Kun ke dekat mayat pemilik warung, lalu dia du-duk di atas batu nisan, mulutnya
memaki - maki dan menyumpah - nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara
wanita. "Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur
masih gemar main perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah
itu, tidak ada sedikitpun jawaban terhadap kata-kata dan ma-kiannya. Hal ini membuat Si Buaya
Sakti menjadi semakin uring-uringan dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga,
rekannya itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak akan berani menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian
saja sejak tadi, seperti orang gila. Dia lalu bangkit berdiri, meludah ke tanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah
dia menu-ju ke rumah tua itu. Sambil tersenyum - senyum nakal dia menghampirri
jendela dan dengan lagak seorang bocah nakal diapun lalu mengintai ke da-lam sambil cengar-
cengir. Akan tetapi, matanya terbelalak dan liar mencari - cari. Kamar itu ko-song ! Tidak
nampak ada gerakan orang di situ. Tubuh yang gendut itu dengan ringannya me-layang masuk ruangan itu melalui
jendela. Di atas lantai nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Di sudut
ruangan itu ter-dapat pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi ga-dis itu sendiri tidak
berada di situ. Juga San - hek-houw tidak nampak bayangannya. Ke manakah mereka pergi " Si Buaya Sakti
mengepal tinju, mengamang - amangkan tinjunya ke atas lalu mem-banting-banting kakinya
yang besar dan pendek itu ke atas lantai sampai rumah itu tergetar.
"Bedebah ! Keparat ! Bangsat hina ! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh
berkelahi, sedangkan dia sendiri enak - enak pergi dengan pe-rempuan, bersenang - senang
tanpa memperdulikan teman. Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar eng-kau nanti!" Si Buaya
Sakti menjadi marah bukan main, tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali
loncatan saja dia sudah tiba di depan nisan. Karena dia sedang marah, dia lalu meng-hampiri tubuh
Seng Kun yang terkapar di atas ta-nah ketika dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu
menginjak sambil mengerahkan tena-ganya ke arah dadanya.
"Krekk! Krekkk! !"
Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya
dan diapun meludahinya. Daun - daun dan ranting - ranting berhamburan dari "tubuh" yang
diinjaknya tadi. "Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya
Sakti " Siapa yang bosan hidup di dunia ini dan berani main - main dengan aku " Akan
kulumatkan ke- palamu, kuhancurkan dadamu !" Alu baja itu di-amang - amangkannya dan matanya
melotot, men-cari-cari ke segenap penjuru. Kiranya yang diin-jak dadanya tadi hanyalah
pakaian yang diisi de-ngan daun-daun dan ranting-ranting kecil.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku berada di sini !" Suara itu halus dan ter-dengar perlahan dari atas
sebatang pohon tua yang tinggi. Si Buaya Sakti terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas sebuah dahan
panjang yang ting-gi, duduklah seorang kakek bersama dua orang pemuda, seorang di antara dua
pemuda itu adalah Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang
turun dengan gerakan yang amat ringan seperti daun - daun kering yang rontok dari dahannya.
Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia
mengenal wajah kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang
lalu, kakek tua renta yang sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang
dengan Raja Kelelawar dan bahkan mengalahkan rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan
gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan main. Apa lagi di situ masih ada pula dua orang
pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang lunak. Akan tetapi, dia adalah Si Bu-aya Sakti,
pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang datuk kaum sesat yang terkenal seba-gai rajanya kaum
bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil
mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar alu bajanya dan menyerang ke depan.
"Tranggg !" Bunga api berpijar ketika se-
batang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya
yang menangkis dengan pedang adalah pemuda
ke dua yang datang bersama kakek itu. Dia ada-
lah Kwee Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi
murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah
menjadi ketua Lembah Yangj - ce. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, pemuda ini bertemu
dengan kakek Kam Song Ki yang menjadi murid
ke tiga dari mendiang Bu - eng Sin-yok-ong. Se-
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
telah diselamatkan oleh kakek itu. Kwee Tiong Li
yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu
ikut bersama kakek itu mempelajari ilmu silat, se-
hingga dia yang memang tadinya sudah lihai mem-
peroleh kemaiuan yang pesat sekali. Pemuda yang
mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pe-
dangnya. Dan setelah mereka berdua saling serang
selama limapuluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya
Sakti bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat bukan
main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka.
Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju.
Maka, tanpa malu - malu lagi, dia lalu meloncat
ke belakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li
tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya
sempat menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti se-
hingga bajunya robek dan berdarah.
Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti,
Seng Kun me-nengok ke arah rumah tua. Dia maklum bahwa
dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawa-tirkan pemuda itu akan kalah
melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan mencari adiknya ke rumah
tua. Dengan hati ber-debar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, lang-sung menuju ke dalam
ruangan di mana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan dijaga oleh Bwee
Hong. Akan tetapi, dia ha-nya melihat A - hai yang masih rebah dan tertidur pulas,
sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berse-rakan di sudut
ruangan. Tentu saja hatinya menja-di pilu dan gelisah. Ke manakah perginya Bwee Hong " Apa yang
telah terjadi dengan adiknya " Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkela-hian antara Kwee Tiong Li dan Si
Buaya Sakti su-dah berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah ke mana. Seng Kun lalu
menghampiri kedua orang yang tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia di-lempar dalam keadaan
pingsan oleh Si Buaya Sakti di dekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik ke
atas pohon oleh seorang ka-kek. Kemudian seorang pemuda yang datang ber-sama kakek itu
mempergunakan daun dan ranting yang dibungkus pakaian untuk menggantikan tu-buhnya. Dengan
beberapa kali totokan, diapun sadar dan bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat,
kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam diri dan mereka menanti sampai Si
Buaya Sakti muncul dengan marah - marah dari dalam rumah tua.
"Ji - wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak
terima kasih. Akan tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya
tinggalkan di dalam rumah tua itu. Saya khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat
itu. Mohon bantuan ji - wi untuk me-nyelamatkan adik saya."
Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua ta-ngan di depan dada lalu menancapkan
tongkatnya ke atas tanah. "Siancai
, negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah semua iblis telah keluar
dari neraka untuk mendatangkan onar di permukaan bumi. Kami ba-ru datang dan kebetulan saja
danat menyelamat-kanmu, orang muda. Kami tidak tahu ke mana perginya adikmu itu."
'Tadi adik perempuan saya berada di dalam rumah tua. Di tempat ini hanya
terdapat sebuah dusun. Kalau ada yang menculiknya, tentu ke du-sun itulah dibawanya. Saya akan
mencari ke sa- na !" kata Seng Kun.
"Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu.
Mereka tidak sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan
gelisah sekali memikirkan keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya dise-rang oleh San - hek -
houw, tentu adiknya kalah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Darah 24 33 dan kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah!
Merekapun mulai mencari - cari jejak. Karena malam itu hanya diterangi bulan
sepotong, maka sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju ke dusun dengan
mengambil jalan setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan di depan dan di tengah perjalanan
ini dia membungkuk dan meng-ambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya se-bagai sepatu
Bwee Hong. Tentu saja hatinya men-jadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah.
Hatinya tegang karena jejak itu telah ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah
dilari-kan penjahat menuju ke dusun itu. Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah me-nutup pintunya rapat - rapat dan di
depan rumah-rumah itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun men-jadi tidak sabar dan
mulailah dia memanggil-manggil nama adiknya. Suaranya bergema di du-sun itu, namun tidak
terdengar jawaban. Kemudi-an dia mulai memanggil nama San - hek - houw dengan nada suara
marah. "San - hek - houw, iblis busuk ! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding
sampai seorang di antara kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan
seorang wanita!" Namun teriakan-teriakannya inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah
sekali dan keringat dingin membasahi bajunya. Dia tidak dapat menduga di rumah yang mana iblis itu
bersembunyi. Memeriksa rumah itu satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat -
cepat menyelamatkan adiknya. Saking jengkelnya dia mengancam.
"Kubakar semua rumah di sini apa bila engkau tetap sembunyi! !"
Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya. "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah
pendu-duk yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada
tindakan yang sesat." Sete-lah berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya ke arah
rumah para penduduk dan ber-teriak, suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu dan-
jendela rumah - rumah itu. "Saudara - saudara penghuni dusun ini semua !
Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah
kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang
tinggal di dalam ! Yang tidak mau keluar, rumah-
nya akan kami bakar. Cepat ! !"
Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut
dan ketakutan. Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong
anak - anak yang masih ke-cil dan menuntun kakek - kakek dan nenek - nenek yang sudah hampir
tidak kuat berjalan. Kepala du-sun itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan meli-hat bahwa
tiga orang yang minta mereka semua keluar itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang
nampaknya bukan orang jahat, lalu menghampiri mereka.
"Ada urusan apakah maka sam - wi minta kami semua keluar ?" tanya kepala dusun.
"Kami mencari seorang kakek iblis yang mela-rikan seorang wanita. Mungkin dia
bersembunyi di sebuah di antara rumah - rumah dusun ini," ka-ta Seng Kun tak
sabar. Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa
tidak ada kakek iblis bersembunyi di rumah mereka.
"Sam - wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu,
harap sam - wi mencari saja ke lain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua
anak buahnya ter-nyata tidak ada yang melakukan kesalahan.
"Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan
ketika melihat kedatangan kami ?" Seng Kun bertanya penasaran.
"Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan di warung makan itu. Dua orang penjahat
memaksa pemilik warung untuk menunjukkan di mana rumah Gu-lojin."
Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda
itu cepat me-loncat dan mendekat. Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah
di tepi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sungai. Tubuh bawahnya masih terbenam ke air, nampaknya dengan susah payah dia
baru saja berenang ke tempat itu. Kepala dusun yang sudah mengejar ke situ se-gera mengenai nelayan muda ini dan
menegur, me-nanyainya. Akan tetapi nelayan itu hanya menge-luh dan tidak mampu
bicara, napasnya memburu. Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan
menggunakan dua buah jari tangannya untuk mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa ka-kek itu
menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk
menjepit urat di bagian tengkuk dan pundak, Seng Kun memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari
perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut "ning"!
Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bi-
cara. "Jahat jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh " Dan nelayan
itu meringis seperti orang menangis. Setelah dibu-juk, akhirnya nelayan muda itu
menceritakan be-tapa tadi, ketika dia mendayung perahunya hen-dak pulang, dengan
membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak, dengan hati gem-bira, dia
dipanggil oleh dua orang yang berdiri di tepi sungai. Karena mengira bahwa dua orang itu hendak
menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir. Sungguh ti-dak
disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu mereka tendang
keluar sehingga tumpah ke dalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan, dipukul sam-pai
tercebur ke dalam sungai dan perahunya di-rampas!
Sungguh mereka jahat " dia menangis.
"Ikan - ikanku dibuang, perahuku dirampas dan
aku dipukuli " "Bagaimana macamnya kedua orang itu ?" Seng Kun bertanya.
"Yang seorang pendek gendut membawa tong-
kat besar putih, seorang lagi tinggi besar
" "Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah. "Tahukah engkau ke mana
mereka pergi ?" Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan te-
tapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan
mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan
mendapatkan perahunya, dia berkata, "Ketika aku
minggir, mula - mula mereka bertanya kepadaku di
mana letaknya dusun Kim - le mungkin me-
reka ke sana "
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kita susul ke sana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang
penolongnya, tak lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah pe-rahu dan melakukan
pengejaran ke arah dusun Kim - le. Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan
mendayung dan biarpun pe-rahu sudah meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu
lambat dan dia kelihatan gelisah bukan main. Melihat itu, kakek itu meng-hibur.
"Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemua-nya kepada Thian. Di samping usaha
menyelamat-kan adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu sela-mat. Dengan
membiarkan hati gelisah, hal itu akan mengeruhkan pikiran dan hanya akan mem-buat tindakanmu
menjadi kacau tanpa perhitungan lagi. Jangan membiarkan pikiranmu membayang-kan hal - hal
buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada
gunanya." Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih te-nang. Baru sekarang dia teringat
betapa tidak pantasnya sikapnya selama ini. Dua orang ini te-lah menyelamatkannya dari tangan
Si Buaya Sakti, juga kini bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali
belum tahu siapa ada-nya mereka dan tidak pernah menanyakannya!
"Harap ji - wi sudi memaafkan saya yang ber-
sikap tak mengenal budi. Karena gelisah memi-
kirkan adik saya, maka saya belum sempat mem-
perkenalkan diri. Harap ji - wi ketahui bahwa sa-
ya bernama Seng Kun, she Bu, dan adik saya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapa-kah nama locianpwe yang mulia dan
juga saudara yang gagah perkasa ini ?"
Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun, "Engkau she Bu " Dan ginkangmu
tadi ketika berlari hemm, orang muda, nama ketu-
runanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang
bernama Bu Cian " Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mende-ngar disebutnya nama itu karena nama
itu adalah nama ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang!
"Apakah yang locian-pwe maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara ?"
"Ha - ha - ha, benar, dia menjadi datuk ahli sin-
kang dan ahli obat di utara
" "Locianpwe, beliau itu adalah kakek buyut sa-
ya, juga kakek guru "
"Ehh " Engkau anak siapakah ?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi. "Apakah engkau
mengenal Bu Kek Siang ?"
"Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat
saya juga guru saya, juga paman kakek saya
" "Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek " Bagaimana ini " Dan sudah
mendiang ?" kakek itu bertanya secara bertubi-tubi.
"Benar, locianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal
Pendekar Pemetik Harpa 17 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Pembalasan Ratu Mesum 2