Darah Pendekar 17
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
tertimpa atap yang ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Mali-sang berloncatan pergi
menyelamatkan diri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri
ke dalam ke- gelapan malam. Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan
mereka me- lakukan pengejaran sambil mengerahkan anak buahnya. Akan tetapi dua orang
pendekar itu su- dah menghilang ke dalam sebuah hutan yang gelap di luar dusun itu. Melakukan
pengejaran terhadap orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-bengcu dan pemuda
tampan itu berarti mengun-dang bahaya maut kalau hal itu dilakukan di dalam hutan yang amat gelap,
maka terpaksa Kwa Sun Tek hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak
tergesa - gesa sehingga dia dan ka-wan - kawannya tertinggal jauh dan kehilangan jejak
buruannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng
lengan Bu Beng Han yang menderita luka cukup parah aki-bat pukulan yang dilontarkan
oleh tokoh Tai- bong- pai itu. "Gila, dia memiliki pukulan - pukulan iblis !" Bu Beng Han mengomel.
"Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong - pai. Untung engkau masih dapat
bertahan terhadap pukulan mautnya, Bu Beng."
"Liu - twako, di manakah nona Ho ?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir.
"Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan
berpengalaman, tentu ia dapat menjauhkan diri dari pasukan mu-suh itu. Nanti saja kita
mencarinya. Sekarang yang terpenting kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka.
Ssstt, ada pasukan datang !" Liu Pang menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup ke dalam semak
- semak di balik pohon besar, bersembunji sambil mengintai.
Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang
bukanlah pasu-kan musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria
gagah perkasa yang bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati - hati karena
belum mengenal mereka, akan tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu,
Bu Beng Han segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah berseri-
"Ngo - suheng !" serunya girang.
Pria berpedang sepasang itu menoleh dan ter-kejut, akan tetapi wajahnya berseri
dan diapun meloncat mendekati.
"Kim - sute ! Kau di sini ?" Alisnya
berkerut ketika dia melihat wajah sutenya. "Eh,
Kim - sute, engkau kenapakah " Terluka
?" Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap - lojin ketua Thian - kiam -
pang itu mengangguk lemah. "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai - bong
- pai." Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera
memperkenalkan ngo - suhengnya kepada pemimpin itu. "Liu-twako, ini adalah
suheng saya yang ke lima bernama Kwan Hok. Ngo - suheng, inilah Liu - twako, pemimpin para
pendekar yang terkenal itu." Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan
dengan orang yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagak perkasa yang
berjiwa pahlawan itu, "Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu
dariku ?" tanya Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia mem-balas penghormatan Kwan Hok dan
kawan - kawan-nya. Yap Kim menghela napas panjang. Kini meli-hat betapa ngo - suhengnya malah
menjadi pemim-pin sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan
dirinya. "Terus te-rang saja, Liu - twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam - pang."
"Ah, kiranya putera Yap - lojin yang lihai itu !" Liu Pang berseru girang
sekali. Kini orang - orang Thian - kiam - pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati
sekali. Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin
murid Thian - kiam - pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati
Liu - bengcu men-jadi girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup
parah, maka terpaksa mereka lalu pergi ke tebing - tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk
menyembunyikan diri. Sampai malam tiba, fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka
mengaso di te-bing sungai. Yap Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi,
menghimpun hawa murni dan suheng-nya bercakap - cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal
penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh.
"Di dalam kota Sian - cung itu terdapat pasukan pilihan dari kota raja yang
dipimpin oleh Jenderal Lai. Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari kota raja dan
pasukan - pasukan kepala daerah terdapat rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu -
bengcu ketahui bahwa di dalam pasukan kepala daerah itu terdapat dua orang per-wiranya yang
memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian antara lain Kwan Hok bercerita.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tidak salah ! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang
melukai su-temu justeru adalah seorang di antara mereka, ya-itu tokoh Tai - bong - pai,
sedangkan yang seorang lagi bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu
tentulah orang asing yang bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama
pasukannya yang mengejar-ngejar kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum
ketahuan ke mana perginya "
Tiba - tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang,
diikuti oleh pasukan-nya yang terdiri dari duapuluh orang pilihan yang
menjadi anak buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan
kini melakukan penyerbuan serentak.
Tentu saja Kwan Hok dan kawan - kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang
dan Kwan Hok segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu, bahkan Yap Kim
biarpun sudah terluka, masih membantu suhengnya untuk menge-royok kakek raksasa itu.
Biarpun dikeroyok oleh tiga orang, Malisang mengamuk dan sepak terjang-nya memang
menggiriskan. Pukulan - pukulannya seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi
adalah cengkeraman kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali ter-kena
cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas!
Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang
mengeroyoknya, menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar
dengan kulit tubuh berbintik-bintik darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini
keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam keadaan seperti itu, tokoh Tai - bong-pai ini
berada dalam puncak keganasannya. Agak-nya, para pendekar itu tentu akan tewas semua di
tangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang meluncur dengan
cepat. Begitu tiba, dua orang anak buah Kwa Sun Tek terjungkal dan kini bayangan itu menerjang
Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh ramping juga sudah menerjang, Mali-sang,
membantu Liu Pang dan kawan - kawannya.
"Ngo - sute ! Siauw - sute
!" Bayangan pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik sepergmuan itu. Kiranya
dia adalah Yap Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian - kiam - pang dan
merupakan tokoh muda yang paling lihai dari perguruan itu. Ada-pun orang ke dua yang
datang adalah Ho Pek Lian yang dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena
dikeroyok empat. Sementara itu, anak buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga
terjadilah pertempuran yang amat seru di lembah sungai yang bertebing tinggi itu.
Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song - bun - kwi (Iblis
Berkabung) Kwa Sun Tek melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk - datuk
persilatan yang amat hebat kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ke-tua Tai - bong - pai
tellah mewarisi ilmu - ilmu kesaktian peninggalan dari datuk Cui - beng Kui-ong pendiri Tai -
bong - pai dan dia telah mengua-sai ilmu-ilmu Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat
Hidup dan memiliki pula te-naga sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau dupa harum.
Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, meru-pakan ahli waris dari datuk Sin - kun
Bu - tek datuk pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian - hui
Khong - ciang (Tangan Kosong Api Langit) dan Hong - i Sin - kun (Silat Sakti Angin Puyuh),
juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang pasangan dari Thian - kiam - pang! Kini, karena bertemu
lawan tangguh, keduanya menge-luarkan ilmu - ilmu simpanan mereka dan terjadilah perkelahian
dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar yang mencoba memasuki gelang-gang
perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang dengan darah berbintik - bintik
merembes keluar melalui pori - pori kulit lengan mereka ! Juga fihak anak buah Kwa Sun
Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun terkapar dengan muka
go-song terbakar! Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat.
Mengeluarkan ha-wa panas dan seperti meledak - ledak, menggetar-kan keadaan sekelilingnya.
Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan
keduanya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terpental. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling
desak dengan mati - matian. Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus
memeras keringat menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap
Kim yang terluka parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh.
Akan tetapi melihat ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur
karena perkelahian amat membahayakan dirinya. Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani
dan berhati baja, maka biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan
pengeroyokannya. Repotlah
Malisang oleh penge-royokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan
Hok dan Liu Pang amat merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan
sebatang dari sepasang pedangnya kepada pemimpin ini.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan
pengawal Kwa Sun Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru-Akan tetapi, makin lama makin
nampak bahwa pa-ra pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak buah pasukan musuh roboh
dan terbunuh. Perke-lahian antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai
puncaknya dan sedikit demi sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek
melawan dengan gigih dan keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengelu-arkan
semua ilmu simpanan mereka. "Hiaaaatttt !" Suara lengkingan nyaring
keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini menangkis pukulan lawan
sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki kirinya.
"Desss !" Kaki itu tepat menghantam ping-
gang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar ke bela-
kang, menghantam sebatang pohon dengan amat
kerasnya. Pohon itu tumbang seketika ! Akan te-
tapi, dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat
bangun, tubuhnya bergoyang - goyang dan dari
hidung serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat
tadi. Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki ki-rinya nyeri sekali. Cepat dia
mengeluarkan sebu-tir pel yang segera ditelannya, kemudian memerik-sa kakinya. Ternyata
sepatunya ada tanda - tanda darah dan ketika dia membukanya, nampaklah da-rah merembes keluar dari
pori - pori kakinya sam-pai sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya
benar-benar memiliki ilmu yang menyeramkan.
Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari keja-uhan. Seorang pendekar datang
berlari-lari dan berkata kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang, "Liu-bengcu,
pasukan, pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Lai datang !"
Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir
berhasil menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan
yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan
besar itu. Liu Pang lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri. Malisang dan Kwa Sun
Tek tidak berani me-ngejar, karena selain anak buah mereka banyak yang sudah tewas, juga
keadaan Kwa Sun Tek yang sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pemuda ini untuk
bertanding lagi. Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali ke perkemahan
pasukannya, di lembah Huang - ho. Mereka disambut oleh pa-sukan pendekar dan Liu
Pang lalu memperkenalkan Yap Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian - Idam - pang
itu, kepada para pembantunya. Semua orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar
betapa pemuda perkasa ini mampu menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai - bong - pai
yang memiliki ilmu penghisap darah yang mengerikan itu.
Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditung-gui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap
Kim dengan halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hama menunduk, merasa bahwa
dia memang bersalah. Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menja-di kakak seperguruan
yang membimbingnya dalam ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras.
"Tidak, twako. Aku KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak mau pulang ke rumah yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu
dengan ayah yang selalu mengasing-kan diri di tempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu
dengan ibu yang selalu berdiam di istana membantu kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan
pembesar - pembesar lalim penindas rak-yat. Aku ingin bersama kawan - kawan berjuang di
antara rakyat. Kalau twako memaksa aku pu-lang, lebih baik engkau bunuh sajalah aku !"
Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee ter-mangu - mangu. Di dalam hatinya dia
harus meng-akui bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya
seperti sudah mengasing-kan diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersa-madhi saja di dalam
kamarnya. Sedangkan subo-nya bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu
ambisius untuk menjadi tokoh istana. Dia dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai
putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia
sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan putera angkat, kadang - kadang juga merasakan
kepahitan kenyataan ini. Sementara itu, di bagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap -
cakap dengan muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba - tiba
menghi-lang kemudian secara mendadak muncul pula ber-sama Yap Kiong Lee.
"Suhu, kita semua harus berterima kasih kepa-da Yap - twako. Tanpa ada dia yang
turun tangan, agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu
akan celaka kalau tidak ada dia yang menolong."
Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia
disuruh oleh Liu Pang untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi ke belakang
rumah, ke sebuah sumur yang agak jauh terpencil di tempat sunyi dan selagi ia hendak
menimba air tiba - tiba ia dikejutkan oleh bayangan orang berkelebat. Ia mengangkat muka dan
kiranya di situ telah mun-cul seorang laki - laki bertubuh kecil pendek, ber-pakaian mewah dan
tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek
Lian segera mengenal orang itu. Dia mengenal laki - laki bertubuh pendek kecil bermata sipit
yang duduk di pagar sumur itu. Si cebol itupun memandang tajam lalu tersenyum menyeringai.
"Hi - hi - hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu
luas lagi, hi-hi- hik! Di manakah kawan - kawanmu yang cantik-cantik itu ?" Suaranya juga kecil
mencicit seperti suara tikus. Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus di lorong - lorong bawah
tanah. Bagaimana-kah iblis ini bisa sampai di tempat ini " Iblis ini adalah putera Te -
tok - ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang berjuluk Siauw - thian - ci. Apakah orang - orang Ban -
kwi - to telah keluar dari sarang mereka semua "
Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah be-gitu saja dan tanpa menjawab
sedikitpun, ia sudah menyerang dengan pedangnya- Siauw - thian - ci tertawa dan menghadapi
gadis itu dengan meng-gunakan cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya,
ilmu silat dari si katai ini tidaklah berapa tinggi. Orang - orang Ban-kwi-to memang tidak
memiliki ilmu kepandaian yang ter-lalu hebat. Mereka hanya mengandalkan penggu-naan racun
saja, maka Siauw - thian - ci, biarpun menjadi putera dari orang pertama Ban - kwi - to,
juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan
cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah
perkelahian itu berlangsung puluhan jurus dan belum juga dia mampu menundukkan
Pek Lian, Siauw - thian - ci menjadi penasaran dan ma-rah sekali.
"Bocah bandel, engkau belum juga mau me-nyerah ?" bentaknya dan tiba - tiba
cambuknya meledak ketika dia menyerang. Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi
dia terkejut sekali melihat sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu! Ternyata musuh
mempergunakan senjata rahasia yang agaknya dipasang di dalam cambuk dan kini ada
beberapa batang jarum hitam menyambar ke arah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik
kembali pedangnya dan memutar senjata itu, menyampok runtuh semua jarum yang menyambar
ke arahnya. Pada saat itu, tangan kiri Siauw - thian - ci mengebutkan sehelai
saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau me-nyambar ke depan. Pek Lian terkejut dan
melon-cat ke belakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis memuakkan. Tak
tertahan-kan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lagi ia muntah - muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntah - muntah
itu, ujung cam- buk Siauw - thian - ci mematuk pergelangan tangan-nya. Seketika Pek Lian
merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan di lain saat, cambuk panjang itu seperti
seekor ular telah mem-belit tubuhnya. Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauw -
thian - ci meno-toknya sambil tertawa - tawa.
Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur
itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat seekor kuda dan tubuh-nya lalu ditelungkupkan di
atas punggung kuda. Si cebol sudah meloncat ke atas punggung kuda dan melarikan binatang itu.
Pek Lian tidak tahu dibawa ke mana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia
dibawa masuk ke dalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga di
situ sudah mengenal Siauw - thian - ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit
tertawa - tawa fnelihat si cebol ini datang membawa tangkapan seorang dara cantik.
Darah 22 17 Sambil tertelungkup melintang di atas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara
para penjaga itu. "Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia
selalu men-cari pengganti baru!"
"Husssh, jangan keras - keras bicara. Jangan - ja-ngan engkau nanti hanya
tinggal tulang- tulang saja digerogoti tikus - tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu
untung ada Kwa - taihiap yang mence-gahnya, kalau tidak tentu akupun sudah habis di-makan tikus -
tikusnya." Mendengar percakapan itu, Pek Liari merasa ngeri. Kiranya manusia tikus ini
telah bersekutu dengan tokoh Tai - bong - pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan
tetapi matanya dapat mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya di depan
sebuah rumah penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan
itupun sudah tutup daun pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari
kuda, kemudian si katai itu mengetuk daun pintu. Ketika daun pintu terbuka, ternyata di ruangan
depan masih terang - bende-rang. Di sudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah
tua sedang asyik bermain catur. Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka
itu. Suami isteri cabul dari Ban-kwi - to, Im - kan Siang - mo !
Bouw Mo - ko, kakek berusia enampuluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa
menoleh agaknya sudah tahu akan kedatangan Siauw - thian - ci, dan dia menegur, "Engkau
baru datang " Mana pa-man - paman dan bibi - bibimu yang lain ?"
Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira, "Ah, kiranya
paman guru dan bibi guru sudah datang lebih dulu ! Aku belum melihat yang lain -
lain." Diam - diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh
bantuan banyak golongan sesat termasuk tokoh - tokoh Ban-kwi - to ini. Sungguh merupakan
lawan berat dan Liu - bengcu harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana
mungkin ia meloloskan diri dari tangan iblis - iblis ini "
Setelah dia menjalankan biji caturnya dan me-nanti isterinya mendapat giliran,
Bouw Mo - ko menoleh, memandang kepada murid keponakan-nya. Pada saat itulah dia baru melihat
gadis yang dipanggul oleh Siauw - thian - ci dan seketika dia bangkit berdiri.
"Heiii ! Itu adalah gadis tawananku tempo
hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat me-nangkapkannya untukku, ha - ha.
Berikan kepada-ku !" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur tangan hendak mencengkeram
Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan meram-pasnya dari panggilan
Siauw - thian - ci. Akan tetapi si cebol itu meloncat ke belakang, mengelak dan memandang marah.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Susiok, ia ini milikku ! Aku yang menangkap-nya dan siapapun juga tidak boleh
merampasnya!" Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata
cambuknya, sikapnya mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada
di depan mulutnya. "Apa " Kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu " Gadis ini milikku, dan
engkau hanya membantuku menangkapnya kembali. Berikan!"
"Tidak !" "Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku ?" "Tidak !"
"Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo - ko menubruk ke depan, tangan
kiri meraih ke arah tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanan-nya menghantam dengan
tangan terbuka ke arah kepala murid keponakannya. Siauw - thian - ci maklum akan kelihaian
susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut. Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak
mampu bergerak itu ke sudut ruangan dan cambuknya diputar cepat, mele-dak - ledak membalas
serangan paman gurunya. Paman dan murid keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit
mati - matian ! Demiki-anlah watak orang - orang dari golongan sesat.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak se-gan - segan untuk saling serang,
kalau perlu saling bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo - li, nenek gendut galak yang tadi
bermain catur bersama suaminya, agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan per-kelahian itu
dan masih enak- enak saja mengerutkan alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya
yang tadi terdesak. Orang - orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan
mereka. Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. Kaum sesat ini
bersikap bebas semau gue, bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang
sendiri. Kebebasan macam ini bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini
merupakan semacam ikatan atau beleng-gu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri. Yang
dinamakan kebebasan hidup bukan sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan
adalah kebebasan yang wajar, bebas dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan
dan men-capai kemenangan sendiri. Sungguhpun bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap
saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang bukan tim-bul dari ingin menyenangkan
atau ingin disenang-kan, ingin menghormat atau dihormat, tertib diri ini tidak mengandung
pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga batin yang
demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain!
Perkelahian antara dua orang tokoh Ban - kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat
mereka memang tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun! Dan
sekali orang Ban-kwi-to mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung.
Rumah penginapan itu menjadi geger. Para ta-mu yang tadinya sudah mengaso dalam
kamar, mendengar suara ribut - ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh
celaka bagi mereka yang ka-marnya berdekatan dengan ruangan itu, karena di antara para tamu itu ada
yang terkena jarum atau pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu. Mereka yang
terkena senjata rahasia beracun ini, langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi
melihat bermacam binatang kecil seperti kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor
lebah beracun beterbangan, para tamu men-jadi panik dan melarikan diri.
Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Mo-li menaruh
perhatian. Inipun karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya. "Heii, suami tolol,
kini giliranmu menggerakkan biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya
berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia mengerutkan alisnya. "Siauw - thian - ci, tikus kecil
keparat. Hentikan ribut - ribut ini dan biarkan suamiku melanjutkan permainan caturnya denganku !
Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan permainan, kupatahkan hidungmu !"
Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu,
mana mau men-dengarkan ucapan si nenek galak " Mereka masih terus saling serang dan
mengobral senjata - senjata dan binatang - binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan
kehebatan masing - masing. Hoan Mo - li menjadi kesal rupanya dan iapun me-noleh ke arah
Pek Lian yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
masih rebah miring di sudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka
bangkitlah Hoan Mo - li dari tempat du-duknya, sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian.
"Hi - hik, si genit ini kiranya yang menjadi ga-ra - gara sampai paman dan
keponakan saling han-tam sendiri. Dasar kaum laki - laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat
perempuan cantik. Dari pada sekeluarga berkelahi karena perempuan, le-bih baik perempuan genit ini
kubunuh saja !" Ia mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya di tangan
wanita gendut itu. Akan tetapi Hoan Mo - li menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang
manis itu sambil tertawa ha ha - hi-hi.
"Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki - laki mata keranjang
ingin mencium dan membelainya. Coba hendak kulihat apakah mere
ka masih akan memperebutkan dirimu kalau muka-mu kubikin rusak dan menjadi
buruk. Hi- hi-hik !" Wanita itu terkekeh - kekeh seolah - olah ia memperoleh pikiran yang
amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan kuning.
Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan ja-lan
darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak. Pada saat wanita gendut itu membuka tutup
botol dan menuangkan cairan ku-ning ke arah wajahnya, Pek Lian cepat menggu-lingkan
tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk menge-nai mukanya
kini menetes ke atas lantai. Terde-ngar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan permukaan
lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar! Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan
kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mu-kanya akan
berlubang - lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan ! Sementara itu, Hoan Ma-li
terkekeh girang melihat gadis itu bergu-lingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya
gadis itu sambil mengacung - acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang
ter-siksa merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena
ancaman sik- saan amat menggembirakan hatinya. Agaknya se-perti itulah setan - setan penjaga
neraka kalau menyiksa orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng - dongeng lama.
Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis se-perti ini, yaitu merasa gembira
melihat mahluk atau orang lain ketakutan atau tersiksa atau men-derita, agaknya menjadi
semacam penyakit yang menghinggapi diri kita masing - masing. Kalau kita mau mengamati
dengan jujur, akan nampaklah penyakit itu melekat di batin kita. Kitapun selalu merasa senang
atau gembira melihat mahluk atau orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada kebencian
dalam hati kita terhadap mahluk atau orang lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan
dirugikan. Kalau kita mau membuka mata melihat dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati
melihat mahluk - mahluk yang merugikan kita seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita
bunuh perlahan - lahan, kita siksa sebagai pelam-piasan dari pada dendam karena kita diganggu "
Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati kita, di luar kesadaran kita, kalau kita
mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan sedang kita musuhi, menderita
malapetaka " Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita melihat atau mendengar orang yang
tidak kita su- kai, penjahat - penjahat dalam film atau cerita mi-salnya, menerima hukuman dan
siksaan yang amat sadis " Bukankah kadang-kadang datang keingin-an atau harapan dalam batin
kita melihat orangDarah 22 yang kita benci mengalami penderitaan seberat-beratnya "
Hoan Mo - li terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia
melemparkan botol itu agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia
tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia ingin melihat jelas ketika tetesan ca-iran kuning
beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu
menggeliat - geliat seperti cacing terkena panas, maka iapun terus mengejar. Akhirnya, ia
dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak rambut gadis itu, memaksa muka yang
pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah siap menuangkan isi
botol sambil ter- kekeh - kekeh. "Wuuuuutttt plakkk!" Botol kecil itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan
lantai mengelu-arkan asap dan berlubang - lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya
bagi Pek Lian itu, nam-pak sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda
ini cepat menendang ke arah tangan Hoan Mo-li yang memegang botol sehing-ga botolnya
terlempar. Pek Lian cepat menggu-lingkan tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan,
tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir pingsan.
Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari -
cari sutenya inipun bermalam di tempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi
saja di kamarnya dan di-am-diam melakukan penyelidikan ketika dia me-lihat betapa suami isteri
cabul dari Ban - kwi - to itu berada di situ. Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan
terkejutlah dia melihat Pek
Lian ter-ancam bahaya. Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan
itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat
menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh dara itu di pundak kirinya.
Sementara itu, Hoan Mo-li tadi terkejut seka-li. Lengannya seperti patah rasanya
dan racun di botol itu sudah terbuang sia - sia. Marahlah wa-nita ini dan iapun
mengeluarkan teriakan seperti
seekor serigala, dan iapun menyerbu dan menye-rang Kiong Lee dengan ganas,
dengan kedua ta- ngan membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan
ketika kaki kirinya menyambar, Hoan Mo-li nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu
terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** a mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu. Sebetulnya, ting-kat
kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini
memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka ber-tiga. Akan
tetapi, musuh - musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia
dan racun - racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pe-
dangnya untuk menangkis dan menolak semua ra-cun.
Melihat orang - orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir
dan men-jauhi ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada be-berapa orang yang terhuyung
dan roboh karena ruangan itu kini penuh dengjan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan
mengandung racun-racun ganas. Biarpun Kiong Lee amat lihai, bau memu-akkan dan mengandung
hawa beracun itu membuat dia repot dan kepalanya terasa pusing. Dia meli-hat bahwa
Pek Lian juga sudah pingsan karena bau keras itu. Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat
tiga orang lawan mundur dan dia melon-cat keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga
orang Ban - kwi - to yang merasa penasaran melakukan pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu me-
ringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu masih belum mampu menandingi Kiong Lee
sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang menyelinap di antara rumah - rumah orang.
Terjadi kejar - kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi - to itu berteriak - teriak di sepanjang
jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak buah Liu Pang, memasuki kota. Teriakan - teriakan ini
menimbul-kan kegempalan dan banyak perajurit mulai berkeliaran ikut mencari di seluruh kota
itu. Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek - ubekan mencari ke semua
penjuru kota itu, terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari - cari.
Mereka ini bukan lain adalah Kiong Lee dan Pek Lian ! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya,
mereka berdua lalu menawan dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan me-notok lalu membelenggu
dan menyumpal mulut mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan
penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga.
Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba di pintu gerbang sebelah selatan. Dengan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikap gagah Kiong Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan
Pek Lian dibukakan pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu.
"Ada mata - mata berkeliaran di dalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan
tidak membiarkan seorangpun keluar. Demikian perin-tah atasan !" bantah komandan jaga.
"Siapa yang tak tahu akan perintah itu ?" ben-tak Kiong Lee. "Kamipun sudah
mendengarnya. Akan tetapi, kami mempunyai dugaan keras bah-wa para penjahat mata
- mata itu sudah mening-galkan kota dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian
mencegah kami KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dan sampai mata-ma-ta itu jauh meninggalkan kota, kami akan mela-porkan hal ini
kepada atasan !" Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para pen-jaga pintu gerbang menjadi bingung.
Akhir- akhir ini memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira
yang baru tiba. Pin-tu gerbang lalu dibuka perlahan - lahan dan kedua orang pendekar itu
segera cepat menyelinap keluar dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pa-sukan juga
mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai yang memimpin pasukan itu untuk ikut men-cari, menjadi
marah melihat pintu gerbang dibuka. "Hei, siapa berani lancang membuka pintu ger-bang " Bukankah sudah kami
perintahkan agar semua pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar ?"
bentaknya. Dengan muka pucat komandan jaga lalu menghadap dan membe-ri hormat kepada panglima itu.
"Harap paduka maafkan. Kami membuka pin-tu hanya untuk membiarkan dua orang
perwira keluar karena mereka hendak mengejar mata - mata yang melarikan diri,"
Panglima itu melotot dan marah sekali. "Tolol kamu ! Merekalah mata - mata
itu !" Dan diapun menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah
terlambat. Dua orang bu-ronan itu sudah menghilang di dalam gelap dan mereka semua tidak tahu
ke arah mana harus me-ngejar. Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua
segera mem-buang pakaian perwira yang dipakai di luar pakai-an mereka sendiri itu. Pek
Lian mengucap terima kasih atas pertolongan Kiong Lee.
"Berkali - kali Yap - twako menolongku, sungguh budimu besar sekali."
"Sudahlah, nona. Lebih baik kauceritakan ba-gaimana engkau sampai tertawan oleh
iblis dari Pulau Selaksa Setan itu."
Pek Lian lalu bercerita tentang semua penga-lamannya. "Aku sedang melakukan
penyelidikan tentang keadaan fihak musuh, bersama guruku,
Liu-bengcu, dan bersama Bu Beng
ah, se- karang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Ban-kwi-to dan bertemu
denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim putera ketua Thian -
kiam - pang !" Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia me-rasa sudah mengenal wajah
Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Sekarang tiba - tiba saja ia
teringat bahwa ia pernah berte-mu dengan pemuda itu di Ban - kwi - to, ketika pemuda itu bersama -
sama dengan Thian - te Tok-ong atau Ceng-yang-kang Si Kelabang Hijau, orang ke lima. dari
iblis-iblis Ban-kwi- to, berada di kepulauan itu !
Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari -
carinya itu sudah ber-ada bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan
penuturan gadis itu yang bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh
dan yang kini hanya dikenal seba-gai Bu Beng Han. Mereka berdua lalu melanjutkan
perjalanan ke dusun sunyi itu dan seperti telah kita ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini
amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee
dapat menyelamatkan mereka dan kembali ke markas pasukan para pendekar di Lembah
Huang-ho. "Demikianlah, suhu. Untung sekali aku berte-mu dengan Yap - twako sehingga kita
semua dapat terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian meng-akhiri ceritanya.
Liu Pang mengerutkan alisnya. "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu
bersahabat dengan para iblis Ban - kwi - to
hemm, berat juga bagi kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan
asing, juga tidak segan-segan memperalat orangworang dunia hitam."
"Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bongrpai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa
orang di an-tara mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang
gadis yang biarpun wataknya aneh, namun menghargai kega-gahan dan sama sekali tidak jahat"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Liu Pang menghela napas panjang. "Tidak aneh, di dalam keadaan negara sedang
kacau- balau, ten-tu bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar -
besarnya, dengan cara dan jalan apapun."
* * * Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musya-warah dengan para pembantunya, yaitu
para pim-pinan pasukan pendekar yang sudah menggabung-kan diri dengan pasukan induk
yang dipimpinnya. Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid
utama dan juga putera angkat ketua Thian - kiam - pang ini terpaksa mengalah terhadap sute
atau adik ang- katnya yang amat disayangnya itu-. Dia terpaksa
32 Darah 22 33 ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Liu Pang, yang telah
menarik per-hatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini yang
merasa bersimpati. Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya
banyak bantuan dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit ke-rajaan yang
menyeberang dan membantu, Liu-beng-cu berkata lantang, "Di hadapan kita terdapat dua kekuatan
yang biarpun berdiri sendiri - sendiri, namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu
untuk menghadapi kita. Yang satu adalah pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai,
sedangkan kekuatan ke dua adalah pasukan pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasu-kan asing. Kita
harus mencari akal agar keduanya itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah
begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus."
Semua orang yang menghadiri rapat itu me-ngerutkan alis dan berpikir. Tiba -
tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri- Dia ini adalah
Siong - ciangkun, seorang bekas komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan
Liu Pang, seorang ahli perang yang usianya sudah hampir enampuluh tahun.
"Memang benar sekali pendapat Liu - twako bahwa kita harus mencari akal yang
baik untuk menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita
mempelajari dahulu keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru
saya akan menge- mukakan akal saya." Liu Pang mengangguk - angguk. "Siong-ciang-kun tentu lebih mengetahui keadaan
bala tentara kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun meng-gambarkan agar kita semua
mengetahuinya." "Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pem-
bantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal
Lai ditugaskan untuk menghentikan gerakan pa-
sukan kita agar tidak menjalar ke kota raja. Jen-
deral Beng Tian sendiri bersama induk pasukan-
nya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat,
membendung gerakan pasukan Chu Siang Yu yang
semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa kaisar
kini mengutus pangeran mahkota untuk memimpin
tentara cadangan dari kota raja untuk membantu-
nya " Bekas perwira kerajaan itu berhenti se-
bentar dan dengan pandang matanya menyapu para
hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lee yang selalu dekat dengan istana di kota raja
menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan
semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan
di istana dari pada bekas perwira itu. Melihat
sikap ini, Siong - ciangkun bertanya kepadanya,
"Bukankah demikian, Yap - taihiap ?"
Yap Kiong Lee mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong -
ciangkun. Akan tetapi sesungguhnya bukan kaisar yang mengutus
pangeran mahkota membawa pasukan ke garis de-
pan peperangan, melainkan Perdana Menteri Li
Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan
di istana kota raja sungguh berobah. Penuh raha-
hasia dan semua orang berada dalam ketegangan
dan kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan,
bahkan semua orang berani menduga bahwa kai-
sar tidak berada di istana, tidak berada di kota
raja lagi. Entah di mana, tidak ada yang tahu atau
dapat menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi
pengawal pribadi kaisar, juga tidak tahu ! Yang
diketahui hanyalah bahwa kaisar telah melimpah-
kan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su
untuk urusan kenegaraan dan kepada thaikam ke-
pala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam istana,
lalu kaisar menghilang !"
. Semua orang terheran - heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi
karena pemuda itu baru saja datang dari kota raja dan mereka tahu bahwa subo dari
pendekar itu adalah Siang Houw Nio - nio, bibi dan juga pengawal pribadi kaisar, maka mereka menaruh
kepercayaan dan menanti pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik
sekali. Dia menganggap betapa pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda
itu suka melanjutkan cerita-nya. Yap Kiong Lee menghela napas panjang. "Se-telah Perdana Menteri Li Su berkuasa
di kota raja, bergandeng tangan dengan Chao - thaikam, maka mulailah kemelut
menggelapkan kota raja. Wakil Perdana Menteri Kang dan para menteri setia yang tadinya sudah diangkat
kembali oleh kaisar, satu demi satu disingkirkan."
"Ahhh ! " Para pendekar mengepal tinju
mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran dan marah.
"Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai
tersiar ke luar kota raja." Murid utama Thian - kiam - pang itu melanjutkan. "Semua orang
yang masih setia menjatuhkan harapan mereka kepada putera mah-kota, akan tetapi pada suatu hari,
pangeran itu dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bah-wa semua ini tentulah akal
muslihat Li Su dan Chao Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengang-kat putera kaisar ke dua yang
berwatak jelek itu sebagai pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka di tangan mereka. Kini yang
berkuasa ada-lah panglima-panglima dan menteri-menteri yang menjadi kaki tangan kedua
orang lalim itu. Hanya Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang - orang
seperti mereka itulah yang benar - benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi
kepada kerajaan. Oleh ka-rena itu saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan
Liu - bengcu clan saudara sekalian untuk kelak memikirkan nasib mereka itu, yang
saya tahu ada-lah orang - orang yang menjunjung kegagahan dan kesetiaan."
Liu Pang mengangguk - angguk. "Terima kasih atas semua keterangan yang amat
penting itu, Yap - sicu. Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan
menghancurkan mereka yang jahat itu. Nah, Siong - ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana
rencana siasatmu itu ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah
barisan kita menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati mar-kas Jenderal Lai dan
bersikap seolah - olah
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meng-hindarkan diri tidak menghendaki bentrokan, lang-sung; saja ke depan dan
menyerang atau menduduki kota kecil di depan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar
dia segera melakukan pengejar-an."
"Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang ?"
"Benar, Liu - twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng
melakukan pengejar-an, kita menggunakan tiga perlima bagian pasu-kan untuk menghadangnya
agar pasukan itu tidak dapat kembali ke markas, kita memotong jalan. Sementara itu.
yang seperlima bagian lagi kita pergunakan untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan
pejabat daerah yang bersekong-kol dengan orang - orang asing itu."
Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh
Siong - ciangkun. Kekuatan pertama yang bertugas memancing ha-rimau keluar dari sarang
hanya merupakan seper-lima bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan
para pendekar lain. Bagian ke dua merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima
bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thian - kiam - pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan
dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid ke lima Thian - kiam - pang dan diperkuat oleh
Siong - ciangkun sebagai penasihat. Adapun bagian ke tiga, yaitu hanya seperlima bagian, di-
pimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan inilah yang bertugas untuk menduduki dan
menyerbu benteng yang dikosong-kan oleh Jenderal Lai nanti, untuk menghancurkan pasukan
daerah yang dibantu oleh orang - orang asing itu, musuh utama dari pasukan para pende-kar.
Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi - bagi. Sesuai
dengan rencana, pa-sukan pertama berangkatlah, menghindarkan mar-kas besar Jenderal
Lai, lalu menuju ke kota kecil di depan. Sementara itu, diam - diam pasukan be-sar yang dipimpin
oleh tiga saudara seperguruan Thian - kiam - pang juga meninggalkan sarang dan
38 39 mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan pemotongan atau penghadangan
terhadap pasukan Jenderal Lai. Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan
mendekati benteng musuh dengan hati - hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi di
tepi sebuah su-ngai kecil yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar
Jenderal Lai meninggalkan benteng. Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua
hari atau tiga hari sampai Jen-deral Lai melakukan pengejaran dengan pasukan-nya terhadap
pasukan para pendekar yang me-nyerang kota kecil di depan.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbe-nam, barulah Liu Pang menerima
kabar bahwa gerakan pertama dari pasukan pertama telah ber-hasil mengepung kota kecil
di depan, dalam gerak-an memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan
pasukan para pendekar se-ngaja membiarkan kepala daerah dan para penga-walnya lolos,
agar mereka dapat mengabarkan ke-pada Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan jen-deral ini.
Seperti yang telah direncanakan, ternyata ha-silnya memang tepat. Jenderal Lai
yang mende-ngar bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil di depan, menjadi
geram. "Kurang ajar sekali Liu Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku
dan sengaja mengambil jalan memutar untuk bergerak ke arah kota raja. Hemm, hal ini tak
boleh dibiarkan saja!" Diapun lalu memerintahkan para perwiranya untuk mempersiapkan pasukan
mereka. Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar dengan megah, menuju ke kota kecil
untuk merampas kembali kota itu, mengha-langi pasukan Liu Pang menuju ke kota raja dan
menghajar mereka. Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap
sesuai dengan siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan
pasukannya untuk menyer-bu ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi,
tiba - tiba KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka sangka - sangka. Terjadilah
kegemparan ketika sebagian besar dari para anak buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi
perut mereka yang terasa sakit sekali! Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil
saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang
mengaduh - aduh tak berdaya itu. 41 Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasa-kan betapa perut mereka mulas dan
nyeri. Terke-jutlah mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan.
Untunglah bahwa dia dan muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh,
dan pula agaknya me- marah 22, reka tidak begitu banyak terkena racun seperti anak buah mereka. Setelah
mengadakan pemerik-saan dan melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati di
dalam sungai kecil, tahulah Liu Pang bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah
dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat
persembunyian mereka itu dan men-campuri air sungai dengan racun.
"Ini tentu perbuatan iblis Tai - bong - pai itu !" Pek Lian teringat dan gurunya
mengangguk. Liu Pang dan para pembantunya segera mem-bagi - bagi obat penawar. Untunglah
bahwa racun yang telah larut dengan air sungai itu hanya ter-batas kekuatannya, hanya
membuat mabok dan sakit perut saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak
berdaya dan lemas badan. Selagi mereka sibuk mengobati diri, men-jelang tengah malam itu
terdengarlah sorak-sorai dan datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal di benteng itu,
dibantu oleh pasukan asing, menye-rang para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan
keracunan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Song - bun - kwi Kwa Sun Tek dan Malisang
raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pem-bantaian terhadap pasukan para pendekar.
Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan mati - matian itu dapat melarikan diri
cerai - berai memasuki hutan-hutan gelap mencari
selamat sendiri - sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda
sakit perut, dapat dikatakan hancur total walaupun banyak juga di antara mereka yang
berhasil selamat. Liu Pang sendiri bersama muridnya, dengan pedang di tangan mengamuk.
Namun, menghadapi Kwa Sun Tek dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan
dan akhirnya mereka berdua terpaksa menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan
kekacauan yang terjadi di tepi sungai kecil itu.
Dengan dilindungi oleh belasan orang penga-walnya yang terdiri dari pendekar -
pendekar yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri,
dikejar oleh pemuda Tai-bong - pai dan raksasa Mongol.
"Ha - ha - ha, Kwa - taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua
pemberontak ini, habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu ke-padaku kata
Malisang dan dengan dua losin pengawal diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman -
temannya. Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh
sebelas orang pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari da-lam hutan. Perkelahian
seru terjadi secara kero-yokan. Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju
menghadapinya, sedangkan Pek Lian membantu para pengawal menandingi para
pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak itu.
Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pe-dangnya yang lihai, namun pada saat itu
dia mengalami pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya
dipukul cerai- berai oleh musuh, betapa siasatnya telah digagal-kan fihak musuh bahkan dia kena
ditipu sehingga pasukannya menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air
beracun yang biarpun ti-dak membahayakan keselamatan nyawanya, na-mun cukup membuat tubuhnya
lemas dan tenaga-nya berkurang. Karena itu, kecepatannyapun ba-nyak berkurang sehingga
beberapa kali dia terke-na hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan
gurunya, Pek Lian cepat mener-jang maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa - tawa
girang karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
raksasa ini sudah me-mastikan bahwa malam itu dia tentu akan berha-sil membekuk
pemberontak besar Liu Pang ini, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
"Suhu, mari kita pergi!" Tiba - tiba Pek Lian menusukkan pedangnya ke arah dada
Malisang. Ketika raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram ke depan, kedua
tangannya berani menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali
pedangnya, menggan-deng tangan gurunya dan mengajak gurunya yang
sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu un-tuk bersama - sama meloncat ke
dalam sungai. "Byuurrr !" Keduanya ditelan air yang
gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek
Lian membantu gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan
Malisang dan kawan-kawannya yang hendak melakukan pengejaran. Dalam usaha ini, beberapa
orang pendekar yang menolong dan melindungi guru dan murid itu ro-boh dan tewas,
lainnya terpaksa melarikan diri karena kekuatan fihak musuh jauh lebih besar.
Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu be-nar - benar mengalami hantaman yang
tidak kepa-lang tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan
lainnya kembali meng-alami nasib seperti yang pernah berkali - kali mereka alami, yaitu cerai -
berai melarikan diri men-cari keselamatan masing - masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan
mereka. Bagaimana-pun juga, mereka itu tidak pernah kehilangan se-mangat perlawanan,
sesuai dengan watak mereka sebagai pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang
kekuasaan lalim. Sejarah berulang tenis. Golongan yang mena-makan dirinya penentang
kejaliman, yang meng-anggap diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan
yang berjuang dengan se-mangat bernyala - nyala, rela berkorban apa saja
H 4i yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa, selalu bangkit menentang golongan
yang pada sa-at itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golong-an yang lalim, golongan
penindas dan golongan yang jahat. Fihak penentang kekuasaan yang ada selalu menganggap diri
mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan sebaliknya, fihak
yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu sebagai
perusuh - perusuh, pengacau - pengacau dan peru-sak - perusak ketenteraman, sebagai pemberontak-
pemberontak yang hanya bergerak demi satu am-bisi, yakni merebut kekuasaan. Fihak yang
berku-asa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak
menyengsara-kan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak itu
selalu men- dasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi
menentang keja- hatan dan kebusukan ! Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, di dalam negeri manapun juga. Selalu
nama rakyat dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rak-yat ditarik sana - sini
untuk dijadikan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekutu, un-tuk memperkuat landasan mereka. Dan bagaima-na kalau sampai golongan
yang menentang kekua-saan yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan
kekuasaan yang ada dan fihak pe-nentang ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi
yang berkuasa " Sejarahpun berulang kembali! Cepat atau lambat muncullah lagi go-
longan - golongan yang menentangnya, golongan yang sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan
kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasa-an baru itu, untuk menumbangkannya, untuk me-
rebut kekuasaan ! Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini
selalu mengaki-batkan satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat
jelata yang menanggung akibat-nya ! Rakyat bagaikan pohon - pohon kecil dilanda badai
peperangan, daun- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
daunnya rontok, kem-bang - kembangnya gugur, bahkan batang-batang-nya tumbang
dan mati. Rakyat mengalami keta-kutan, penderitaan, korban kekerasan - kekerasan yang
mengerikan. Padahal, semua gerakan yang dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi
rakyat! Memang sungguh menyedihkan, namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat
oleh kita semua di dunia ini. Mengapa harus demikian " Kalau semua go-longan itu benar - benar berjuang demi
rakyat je-lata seperti yang selalu didengang - dengungkan, bukankah tujuan mereka semua
itu sama, yakni demi kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat " Apakah kemakmuran rakyat
dapat dicapai dengan perang, dengan bunuh - bunuhan, dengan keka-cauan - kekacauan, dengan
perebutan kekuasaan yang pada hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila
kekuasaan belaka " Mengapa semua golongan itu tidak mem-buang senjata saja,
menggantikan dengan alat-alat pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, meng-ajak rakyat untuk
benar-benar membangun lahir batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejah-teraan hidup, yang
penuh damai, penuh ketente-raman, jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari
kekacauan " Sungguh menyedihkan ! Yang jelas, rakyat ha-nya menjadi korban nafsu kemurkaan
beberapa ge-lintir orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang - orang gila yang
selalu mengejar kekuasaan, yang tidak segan - segan melakukan apapun juga demi mencapai
ambisi, bahkan kalau perlu meng-gunakan nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat,
asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhir-nya duduk di puncak kekuasaan bersama teman-
temannya " Dan mereka selalu menaburi cara men-capai tujuan yang amat busuk ini dengan bunga
rampai, dengan slogan-slogan yang muluk - muluk, demi rakyat, demi keadilan dan
kebenaran, bahkan mereka tidak segan - segan untuk sekali waktu mengatakan Demi Tuhan! Ya ampun,
semoga rakyat di seluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak terbuai oleh taburan
bunga rampai yang ha-rum dan muluk - muluk itu, dan semoga rakyat dapat melihat bahwa di balik
semua itu tersembu- 48, nyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar keku-asaan, kemuliaan dan kesenangan
sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula !
* * * Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari
pengejaran musuh - musuhnya. Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan
pelarian mereka menjelang subuh itu, tertatih - tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka
terpaksa berhenti di sebuah kuburan yang sunyi di pagi hari itu, ka-rena Liu Pang harus
beristirahat dan merawat lu-
ka - lukanya. "Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti di sini untuk merawat luka
suhu yang perlu beristirahat sebelum kita melanjutkan per-jalanan," kata Pek Lian dan Liu
Pang mengangguk lesu. Karena pukulan - pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup
hebat, selama sehari itu Liu Pang bersila, menghimpun tenaga dan ha-wa murni sambil menelan
beberapa macam obat. Pada senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka
- luka yang dideritanya men-jadi sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi.
Sehari itu, Pek Lian merawat dan Darah 22 menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari
makan sekedarnya. Malam itu bulan sepotong muncul di antara awan tipis. Guru dan murid yang merasa
berduka atas kekalahan mereka itu duduk menghadapi ma-kan malam yang hanya
terdiri dari daging ayam hutan panggang sambil bercakap - cakap.
"'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya.
Juga ba-nyak orang lihai di antara mereka."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Gurunya mengangguk - angguk dani menghela napas panjang. "Di sana ada tokoh Tai-
bong- pai yang jahat sekali dan amat lihai, hampir saja ra-cun - racunnya membunuh
kita sepasukan ! Dan raksasa Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh
tidak kusangka, rencana kita dapat gagal, padahal sudah kita susun baik - baik. Kita
malah yang menjadi sasaran se-rangan mereka. Orang - orang yang bergabung da-lam benteng
itu kiranya bukan orang - orang sem-barangan."
"Agaknya demikianlah, suhu. Di sana berkumpul pembesar - pembesar daerah dan
perwira - perwira yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu
saja dipimpin oleh orang-orang pandai di samping tokoh - tokoh kaum sesat yang lihai."
Tiba - tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka
kembangkempis dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba - tiba mereka
mencium bau asap dupa wangi yang semerbak menusuk hidung! Di tempat se-perti itu, di kuburan tua
yang sepi tercium bau dupa. Sungguh menyeramkan!
Guru dan murid itu segera memandang ke ka-nan kiri dengan sikap yang waspada dan
seluruh urat syaraf mereka menegang dalam kesiapsiagaan. Mereka memandang ke
arah gundukan - gundukan tanah kuburan yang tersebar di tempat luas itu. Akan tetapi,
tempat itu benar - benar sunyi, tak nampak ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada
sesuatupun yang nampak bergerak. Kadang-kadang, selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang si-
narnya memang lemah itu, membuat suasana men-jadi semakin menyeramkan. Akan tetapi,
hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar wa-laupun mereka tidak melihat adanya
asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolah-olah dupa yang terbakar itu
berada amat dekat de-ngan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkuk-nya berdiri. Ia sudah
mengenal bau ini dan oto-matis ketika ada bau keras datang dari arah bela-kangnya, ia menoleh
cepat. "Hiiihhh !" Ia menjerat tertahan dan ta-
ngannya menangkap lengan suhunya.
"Ada apa ?" bisik gurunya kaget sambil
menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan.
"Di sana tadi ah, ke mana perginya
?" "Sttt, tenanglah. Apa yang kaulihat ?" gurunya berbisik dan bersikap waspada.
"Tadi tadi kulihat di sana, di belakang
gundukan tanah itu, seorang laki - laki dan seorang wanita melihat ke sini.
Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi
sekarang menghilang " "Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenang-kan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang
yang setiap kali teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Men-teri Ho selalu menyebutnya
nona walaupun gadis itu adalah muridnya.
Tiba - tiba mereka terkejut sekali ketika men-
dengar suara orang tertawa. "Ha - ha - ha - ha
! Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lo-los dari tanganku ?" Tiba - tiba
muncullah raksasa Mongol Malisang bersama belasan orang pemban-tunya yang telah mengepung
tempat itu dengan senjata di tangan dan dengan sikap mengancam se-kali !
Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian
segera menghunus pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang di-serang oleh Malisang yang
dibantu oleh dua orang perwira Mongol lainnya sedangkan anak buah la-innya mengeroyok
Pek Lian. Terjadilah perkelahian seru dan mati - matian di tanah kuburan itu, per-kelahian
dalam cuaca remang - remang yang hanya diterangi oleh bulan kecil sepotong. Tentu saja guru
dan murid itu segera terdesak dan terhimpit, berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali
karena mereka berdua itu jauh kalah kuat.
Terpaksa guru dan murid itu kini saling melin-dungi dengan berdiri beradu
punggung dengan pe-dang melintang di depan dada. Malisang tertawa bergelak melihat
keadaan kedua orang buruannya yang sudah tersudut ini. "Ha - ha - ha, Liu Pang, engkau seperti
seekor tikus yang sudah terjepit di pojok. Lebih baik menyerah saja untuk kubeleng-gu dari
pada harus kuseret sebagai mayat." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya di depan
dada. "Mati dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada
kemampuan, majulah dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' ben-taknya menantang. Malisang
mengeluarkan ben- takan nyaring memberi aba - aba kepada anak bu-ahnya untuk mendesak dan
menyerang guru dan murid yang sudah tersudut itu.
"Trang - trang - tranggg
!!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan
anak buah pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah -
patah, jatuh berhamburan sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sam-bil memegangi tangan
mereka yang terasa panas. Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang.
Kiranya di situ telah muncul dua orang, seorang laki - laki dan seorang wanita sete-ngah tua yang bermuka pucat -
pucat dan berpa-kaian putih - putih dengan gerakan dingin menye-ramkan seperti mayat -
mayat hidup ! Melihat mereka, Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang
yang tadi dilihatnya mun-cul di balik gundukan tanah kuburan lalu menghi-lang seperti
setan. Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata, "Nona Ho, selamat bertemu
kembali !" Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh
perhatian dan di bawah sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan
kecantikan akan tetapi wajah itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera
mengenal wajah itu, apa lagi setelah hidungnya mencium bau dupa wangi kelu-ar dari tubuh nenek itu.
"Bibi Kwa !" Pek Lian berseru girang
karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok Eng, atau
nyonya ketua Tai - bong-pai yang lihai itu ! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat menduga
siapa adanya kakek dan ne-nek itu karena dia pernah mendengar cerita mu-ridnya. Diapun memandang
dengan mata terbela-lak. Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah mendengar
nama Tai - bong - pai, per-kumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah tahu
bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong - pai pula.
Kalau yang muncul ini suami isteri ketua Tai - bong - pai, berarti mereka ini adalah ayah ibu
pemuda Kwa Sun Tek,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tentu dia akan celaka!
Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telun-juknya kepada muka Malisang dan
dengan suara dingin nenek itu berkata, "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa
anak buahmu dan jangan engkau berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih
lama lagi!" Malisang adalah seorang kepala suku yang li-hai dan bertubuh kuat, tidak pernah
merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang
kakek dan nenek yang telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi
ketika mendengar ucapan nenek itu yang amat memandang rendah kepada-nya, dia segera
mengeluarkan suara menggeleng seperti seekor biruang dan diapun menubruk ke
depan dengan kedua lengannya yang panjang itu menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya
dengan jari - jari terbuka mencengkeram.
"Duk! Duk!" Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tang-kisan yang dilakukan oleh kakek itu
yang mewakili isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga
mengeluarkan seruan marah
ketika merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan
raksasa Mongol yang ber-tenaga raksasa itu. Malisang segera menyerang la-gi, mengerahkan
kekuatan dan kekebalannya. Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong - pai,
seorang tokoh yang memiliki ilmu mu-jijat. Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong - pai itu,
sudah amat lihai. Apa lagi kakek ini adalah ayahnya, ketua Tai - bong - pai yang ten-tu saja telah
menguasai ilmu - ilmu siluman dari Tai - bong - pai dengan sempurna. Baru belasan jurus saja,
Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya roboh terguling dengan darah me-rembes
keluar dari tubuhnya bercampur keringat-nya. Dia telah terkena ilmu ampuh Tai - bong - pai,
yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak bu-ahnya memandang dengan mata terbelalak, bahkan
Liu Pang sendiri sampai bergidik. Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai - bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap
seorang ketua yang berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan
menjadi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
korban ilmu-nya, dia lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua
butir pel itu ke arah Ma-lisang sambil berkata, "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan
sampai engkau mati oleh pu-kulanku. Minumlah dua butir pel penawar itu!"
Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi dia-pun maklum bahwa kalau tidak
memperoleh obat penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan
diri dan mengam-bil dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang
merembes keluar dari pori-pori kulit tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu
dan tahu bahwa melawan tiada gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh
anak buahnya, tanpa mengelu-arkan kata - kata lagi.
Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak
buahnya te-lah dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan
apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh suami isteri iblis Tai-bong - pai yang menyeramkan
itu. "Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami
yang nakal itu " Kami khawatir sekali, ia pergi
tanpa pamit, padahal ia belum sembuh benar
" Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami isteri yang
seperti ma-yat hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka,
iapun tidak banyak bicara dan hanya menjawab, "Saya sendiri tidak tahu, bibi." Pek Lian
masih meragukan keadaan suami isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya
bahwa Kwa Siok Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis
itu kini bahkan bersekong-kol dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak
yang bersekutu dengan Darah 22 57 pejabat - pejabat daerah " Sukar diduga keadaan orang-orang Tai - bong - pai,
maka ia merasa lebih aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka.
"Sudahlah, mari kita mencari di tempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan
sekali berke-lebat, dua orang itu lenyap dari situ seperti menghi-lang saja. Hanya bau
dupa harum yang lapat-lapat masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya. Mereka berdua
bergidik ngeri. Sungguh, banyak terdapat orang - orang lihai yang aneh di dunia ini dan agaknya,
dalam keadaan negara dilanda keka-cauan, tokoh - tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan
aneh - aneh pada bermunculan keluar da-ri sarang mereka.
Setelah suami isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka
yang kini bersekutu dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak
dibicarakannya dengan mereka tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan men-dapatkan kesan baik
dari ibu Siok Eng dan siapa tahu ketua Tai - bong - pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak
gadis itu dan akan menen-tangnya. Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu
saja, Liu Pang lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat
itu, mengambil jalan memutar melalui tempat - tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri
dengan pa- sukan lain yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam - pang. Mereka mengambil
jalan di lembah bukit yang terjal dan sunyi, dengan hati - hati mereka melalui jurang - jurang
dan tanah yang penuh dengan dinding-dinding karang dan gua-gua. Setelah matahari menyingsing,
mereka beristirahat sambil bersembunyi di dalam sebuah guha di mana mereka bersila
untuk memulihkan tenaga. Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia,
mereka me-lanjutkan perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba di tepi sebuah sungai.
"Hati - hati ada asap di depan itu, tentu ada orangnya di sana," kata Liu Pang.
Mereka lalu menyelinap dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati
tempat itu. Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Di depan
sebuah gua kecil nampak seorang laki - laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi
sebuah api KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ung-gun. Laki - laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan
mengeluarkan bau sedap, sedangkan di dekatnya duduk seorang ga-dis yang menundukkan mukanya
dan gadis itu termenung menatap ke dalam api unggun seperti orang yang sedang bersedih-
Di tempat persembunyian mereka yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang
mereka intai, Pek Lian menyentuh tangan gurunya dan berbisik, "Suhu, dia adalah
si jahat Jai - hwa Toat-beng - kwi yang tersohor itu."
Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki - laki tampan pesolek
itu kini me-nyodorkan sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan
sedih. "Nih, makanlah, agar engkau tidak nampak lesu begitu."
Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak.
Diterimanya po-tongan daging panggang itu dan gadis itupun ma-kan karena memang perutnya
amat lapar. Jai-hwa Toat - beng - kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain.
"Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan
senang." Keduanya makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya
terisi arak karena tercium bau arak ketika laki - laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa
minum arak walaupun ia kelihatan tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung
himcwe emasnya dan tercium-lah bau asap tembakau.
"'Aku sudah banyak mendengar tentang jaha-nam itu," bisik Liu Pang. "Gadis itu
tentu seorang korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusik-nya. Penjahat seperti
dia banyak muslihatnya. Ja-ngan-jangan urusan kita malah menjadi berantak-an. Kaum sesat
seperti mereka itu kini bersatu di bawah Si Raja Kelelawar, sangiat berbahaya kalau mencari
perkara dengan mereka. Dia sendiri sih tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan - ka-
wannya muncul, berbahaya juga. Mari kita meng-hindar saja."
Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sem-pat pergi, tiba - tiba terdengar
siulan nyaring yang menuju ke tempat itu. Terpaksa mereka menyeli-nap dan bersembunyi lagi
sambil mengintai. Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita
yang berwajah cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tigapuluh tahun dan
gerakannya cepat sekali, dan kini setelah berdiri di dekat api unggun, mata-nya yang jeli
mengerling ke arah si Jai - hwa Toat-beng - kwi, lalu kerling mata itu menyambar ke arah si gadis yang
bermuka sedih dan wanita ini tersenyum mengejek, bibirnya yang merah berjebi.
"Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik !"
Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata
bukan wanita penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang -
orang yang di dunia kang-ouw sudah terkenal sebagai tokoh - tokoh kaum sesat. Ada sembilan
orang banyaknya dan kini Jai - hwa Toat - beng - kwi bangkit berdiri dan mengomel.
"Wah, sampai penat - penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong -
ya ! Siauw- kwi, bacalah keras - keras agar semua orang mendengarnya !" kata jai-hwa Toat -
beng - kwi sambil melemparkan segulung kertas ke arah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu
menyambar cepat dan ditangkap oleh Pek - pi Siauw - kwi yang segera membuka gulungannya
dan terdengarlah suaranya yang lembut namun nyaring itu.
"Sekalian rakyatku yang malang-melintang di rimba raya dan sungai telaga,
dengarlah baik- baik ! Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. Pem-berontakan terjadi di
mana - mana. Negara berada dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para
pemberontak sedikit demi sedikit men-duduki daerah - daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja di
sekitar kota raja yang masih tersisa. Nah, sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada
kalian itu tiba. Berkumpullah kalian semua ke kota raja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita
akan bersuka ria dan kejayaan ber-ada di tangan kita!"
Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pek - pi Siauw - kwi, semua orang
menyambut gembira. "Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong - ya!" Kalau saja mereka semua
belum me- nyaksikan sendiri kehebatan orang yang kini men-jadi pemimpin mereka itu, tentu
para tokoh sesat ini tidak akan mudah begitu saja mempercayai jan-ji yang dikeluarkan
sedemikian mudahnya. Bergerak di kota raja ! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya
hal ini akan dianggap seperti orang mencari mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah
percaya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan apapun yang diperintahkannya akan mereka
taati tanpa banyak ragu lagi. Sambil bersorak - sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai -
hwa Toat beng-kwi sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan
penjahat cabul itu-pun berkelebat pergi.
Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama
pergi, mereka masih saja bersembunyi di tempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan,
malam amat gelap dan kini api unggun itu telah padam. Di dalam kegelapan ini sukar diketahui
apakah benar - benar tempat itu telah bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman
pendengaran saja Liu
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pang meneliti keadaan di tempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti
dulu sebelum meninggalkan tempat persembunyian mereka.
"Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya. "Golongan
sesat yang dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan
negara, bahkan mereka itu langsung bergerak ke kota raja. Ini benar-benar merupakan hal yang
amat gawat. Jenderal Beng Tian dan putera mahkota sudah tidak berada di kota raja dan kini
keadaan akan menjadi sema-kin kalut. Kiranya di istana yang dapat diandal-
kan kini hanyalah pasukan pengawal istana saja. Sedangkan barisan kita sendui
kini masih tertahan di daerah ini. Untuk mencapai kota raja masih melalui jalan yang
panjang dan sukar. Bagaimana-pun juga, kita harus cepat dapat mencapai kota raja, jangan sampai
didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau istana sampai dikuasai
oleh iblis - iblis pimpinan Raja Kelelawar, ahh jangan sampai terjadi hal itu!
Kita harus cepat mencari pasukan kita."
(Bersambung jilid ke XXIII)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXIII * * * TIBA - TIBA Liu Pang memegang tangan mu-ridnya dan menyuruhnya jangan
bergerak. Bulan sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan di dalam cuaca
yang suram - muram itu nampak bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali. Tahu - tahu,
seperti setan saja di tempat itu, tak jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua
orang kakek berjenggot putih panjang. Mereka adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah
panjang berwarna coklat dan di bagian dada jubah itu nampak jelas lukisan na-ga terbuat
dari pada benang kuning emas. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak - gerik kedua orang
kakek itu, guru dan murid ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki
kesaktian dan sedikit saja mereka mengeluarkan suara tentu akan terde-ngar oleh dua orang
kakek itu. Seorang di antara mereka, yang lebih muda, menuding ke arah bekas api unggun dan
terdengar suaranya lirih, "Lihat, suheng. Iblis - iblis itu ten-tu baru saja berkumpul di
sini. Sungguh menghe-rankan, mereka itu biasanya bergerak sendiri - sen-diri, kalau sampai
mereka dapat berkumpul, tentu telah terjadi hal yang amat luar biasa."
"Benar, memang telah terjadi hal yang luar bia-sa," kata temannya. "Munculnya
seorang pelindung seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan ke-pada mereka untuk tumbuh,
keadaan mereka se-perti harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang
sudah cukup menderita sengsara akibat peperangan - peperangan itu. Mereka itu menjadi
semakin berani dan ganas karena mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada
kekuatan yang berani menghalangi mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk me-nanggulangi para
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pemberontak. Musuh bebuyutan mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk
melawan pemerintah." "Para iblis itu mengganas di kota raja sekalipun, takkan ada yang menghalangi.
Bukankah ini sudah keterlaluan sekali " Bagaimana jadinya dengan ne-gara ini nanti ?"
"Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak,
sudah kuhancur-kan orang - orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju
dengan sikap marah. "Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang - orang itu.
Hayo kita pergi, benteng itu tidak jauh lagi dari sini."
Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi
memang sudah hebat dan menunjukkan betapa mereka itu rata - rata berkepandaian tinggi. Akan
tetapi, tingkat kepan-daian dua orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka
berkelebat lenyap, Liu Pang menghela napas panjang.
"Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan
suara. Entah dari golongan manakah mereka itu " Agaknya mereka tidak menyukai golongan
Chu Siang Yu mau-pun golongan kita. Dan mereka amat membenci anak buah Raja Kelelawar.
Mereka juga tidak su-ka kepada golongan yang mengkhianati pemerin-tah. Hemm, sungguh aneh,
mereka itu dari golong-an mana dan berpihak kepada siapakah ?"
"Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak
beradik Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orangj-orang tadi masih
terhitung susiok kakak ber-adik itu. Guru orang - orang tadi adalah murid ke dua dari mendiang
Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu di tempat
kediaman murid keturunan Sin - kun Bu - tek, yaitu ketua Thian - kiam - pang. Agaknya di antara
kedua orang tua itu terdapat persahabatan yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thian-
kiam-pang adalah keluarga kai-sar, maka kurasa kedua orang itupun tentu termasuk pengikut
kaisar." Liu Pang mengangguk - angguk. "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa
sebenarnya tugas yang mereka terima dari guru mereka itu ?"
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah
malam, tibalah mereka di suatu padang rumput Kini bintang berta-buran di langit bersih
sehingga cahaya cukup me-nerangi keadaan sekeliling.
"Suhu, lihat di sana itu ! Apakah itu
?" Pek Lian menunjuk jauh ke depan. Guru dan murid itu memandang dan jauh di depan
nampak peman-dangan yang amat menarik. Seolah - olah ribuan bintang di langit itu
bergerak turun dan berbaris di atas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip.
"Hemm , itu sudah pasti sebuah barisan
pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedi-
kitnya tentu ada limaribu orang, dan ada iring-
iringan kereta lagi, hemim
entah pasukan ma- na yang bergerak pada malam hari ini ?"
Mereka lalu cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati, kemudian
bersembunyi di balik pohon - pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan
ringkik kuda, juga bunyi roda kere-ta sudah terdengar oleh mereka, diseling berkerin-cingnya
senjata para anak buah pasukan. Dugaan Liu - bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak
itu adalah sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani
terlalu mendekatkan diri, dan hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada di
lereng bukit itu. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda mendekat dan nam-paklah beberapa orang
perajufit pengawal mengi-ringkan dua orang raksasa. Pek Lian terkejut sekali mengenal
bahwa raksasa pertama adalah Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol de-ngan
pasukan daerah itu. Kiranya orang Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pu-kulan
mujijat ketua Tai - bong, - pai dan kini sudah berada di sini, agaknya memimpin pasukan besar
yang melakukan gerakan di waktu malam itu. Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika
mengenal raksasa ke dua yang lebih besar lagi tubuhnya dari pada si tokoh Mongol. Dan iapun menjadi
gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata adalah Tiat - siang - kwi (Setan Gajah
Besi), tokoh ke dua dari para iblis Ban - kwi - to itu ! Tentu saja guru dan murid itu tak berani
banyak berkutik ketika KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
melihat betapa dua orang raksasa bersama penga-walnya itu kini berhenti di dekat
pohon - pohon tempat mereka bersembunyi!
"Ha - ha !" Raksasa Ban - kwi - to itu tertawa bergelak ketika mereka itu
memandang ke arah pasukan yang lewat di bawah. "Kalau kota raja se-
dang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, lang-sung menyerang kota raja terus
menduduki istana-nya, apakah sukarnya ?"
"Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara ! Keadaan istana dan kota raja memang
ka-lut, akan tetapi bukan itulah yang selama ini me-musingkan kami, melainkan si
petani Liu Pang itu-lah ! Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan
menyerbu kota raja." "Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu
bahwa kami mau mem-bantu karena pasukanmu hendak menyerbu istana di kota raja," kata pula si
raksasa dengan suaranya yang lantang. "Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu istana,
tentu kami akan mem-beri kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara - saudaramu untuk
berpesta - pora sepuas-nya di istana. Ha - ha - ha !"
"Huhh !" Tiba - tiba raksasa dari Ban-
kwi - to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia celingukan ke
kanan kiri, ke belakang dan hidungnya terdengar mendengus - dengus. "Aku mencium bau daging
wanita muda! Ada wanita muda di sekitar tempat ini!"
Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging
manusia ini benar - benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja.
Akan tetapi Malisang tertawa. "Saudara Tiat - siang - kwi benar - benar memiliki penciuman
yang hebat. Memang ada wanita-wa-nita di dalam barisan itu. Di dalam kereta itu terdapat
para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi dan kita kawal!"
"Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada di sini, di sekitar tempat ini!" kata
raksasa itu dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar di mana Liu Pang dan
muridnya bersembunyi. Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi di atas pohon besar itu,
di antara dahan - dahan dan daun - daun pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu
menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup
kencang penuh ketegangan. Liu Pang sendiri sudah bersiap - siap untuk meloncat turun dan kalau
perlu mengadu nyawa melindungi mu-ridnya.
Akan tetapi, ketika tiba di bawah pohon besar itu, Tiat - siang - kwi bukan
menengok ke atas, me-lainkan membungkuk ke bawah dan tangannya menyambar ke arah sehelai
ikat pinggang yang berkembang merah. "Inilah wanita itu
!" katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam
tanah. Malisang menghampiri dan memandang heran.
"Eh, ini tanah galian baru !" katanya dan dia-pun membantu raksasa itu menarik
ikat pinggang yang sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka
dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang su-
dah menjadi mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek
Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal
bahwa itulah gadis yang mereka lihat bersama Jai-
hwa Toat - beng - kwi itu ! Kiranya gadis korban
penjahat cabul itu telah dibunuh dan mayatnya
dikubur secara sembarangan di bawah pohon itu.
"Heii ! Mayat siapakah itu ?" Ter-
dengar seruan orang dan seorang pria muda yang
rambutnya riap-riapan tahu-tahu muncul di situ.
Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-
pai itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Entahlah, kami temukan ia terkubur di sini," jawab Malisang. Kwa Sun Tek
berjongkok meme-riksa. "Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi.
"Kwa - sicu, apa maksudmu ?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap
pemuda ini seper-ti orang marah - marah dan mencari - cari sesuatu.
"Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel. "Para penjahat itu sungguh
tidak me-mandang sebelah mata kepada kita! Berani meng-ganggu barisan kita yang besar.
Seorang dayang gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga gubernur. Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menan-tang sekali " Seorang di
antara mereka, kalau tidak salah yang berjuluk Pek - pi Siauw - kwi, terkena pukulanku,
akan tetapi ia gesit sekali dan dapat melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari ke dalam
hutan, bagaimana aku dapat menge-jar mereka ?"
"Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita
bisa kapiran. Hayo kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan
sebelum matahari terbit." Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu.
Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian me-nyaksikan iring - iringan yang besar
dan ternyata bahwa pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing.
Mereka agaknya meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir
barisan itu nampak kereta - kereta, di antaranya gerobak suami isteri Ban - kwi - to yang
sudah amat dikenal oleh Pek Lian itu. Melihat ini, Liu Pang berpikir. "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur
daerah itu bukan hanya bersekongkol dengan orang - orang asing, akan tetapi juga dibantu
oleh kaum sesat."Setelah barisan itu lewat dan suasana di situ menjadi sunyi lagi, Liu
Pang dan muridnya turun dari batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada
mayat gadis yang ma- sih menggeletak di bawah pohon. Liu Pang me-narik napas panja*
"Gadis yang malang "
"Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita,
suhu," kata Pek Lian. Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu.
Setelah itu, keduanya lalu dengan hati - hati melanjutkan perjalanan. Semua
pengalaman yang dialami oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat
berharga baginya. Tanpa disengaja dia telah memperoleh banyak ke-terangan mengenai
keadaan musuh - musuhnya se-hingga dari semua pengalaman ini dapat dipergu-nakannya untuk
menyusun siasatnya kelak ketika dia memimpin pasukannya sampai berhasil.
* * * ** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak beradik yang
melakukan perjalanan ke kota raja dan diikuti oleh A - hai itu. Makin mendekati
kota raja, kakak beradik ini me-lihat betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa.
Memang arus para pengungsi berku-rang akan tetapi ketegangan terasa di mana - mana. Kota - kota
menjadi sunyi, dusun - dusun diliputi ketegangan dan ketakutan. Para penjahat berpes-ta-pora,
melakukan aksi di mana saja, terutama sekali di sekitar kota raja. Para penjahat ini tahu bahwa
para perajurit sedang sibuk bertempur menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas kea-manan hanya
lemah dan sedikit saja, bahkan para petugas keamanan sendiri ikut - ikutan bersikap
sewenang - wenang karena tidak diawasi oleh atas-an mereka yang sibuk sendiri. Para penjahat yang
memiliki kepandaian seperti menjadi raja - raja ke-cil atau penguasa - penguasa yang
menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keaman-an, juga para pendekar menentang
mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang me-ninggalkan rumah dan bergabung dengan
pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang para pengacau. Keadaan sungguh kalut
dan hu- kum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Para hartawan dan para pejabat, orang - orang terkemuka dan mampu, menggaji
barisan tukang pukul untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka
ini mendekati para penja-hat, menyogok sana - sini agar keluarga mereka ti-dak diganggu.
Segala macam perbuatan kejipun terjadilah di malam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan
dan kerusuhan karena persainganpun terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat me-nyedihkan.
Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A - hai juga melihatnya, akan tetapi
pemuda yang linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan.
Sebaliknya, kakak ber-adik yang berjiwa pendekar itu merasa berduka se-kali. Mereka prihatin
menyaksikan keadaan ini, melihat bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah
rakyat jelata yang miskin dan lemah. Rakyat yang tidak mempunyai pelin-dung dan tidak kuasa
melindungi diri sendiri inilah yang ditindas, diinjak - injak, disiksa, dibunuh, di-perkosa hak
- haknya, sedikitpun tidak ada kemam-puan untuk membalas dan biasanya hanya mena-ngis saja.
Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang
terletak di sebelah tenggara kota raja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang di
depan, memasuki pintu gerbang utara untuk menuju ke arah kota raja. Kota kecil ini
biasanya cukup ramai akan tetapi sekarang di balik keramaian itu terasa adanya ke-tegangan dan
rasa takut membayang dalam pandang mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya
berdagang. Baru sampai di pintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang
amat mengheran-kan. Mereka melihat betapa setiap orang yang le-wat di situ
menghampiri sebuah sudut di pintu gerbang. Di situ berdiri sebuah guci besar, tinggi-nya ada satu
meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit di bagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci
itu lalu memasukkan uang ke dalam mulut guci. Di belakang guci itu duduk ber-sila seorang
laki - laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Di sekitar tempat itu terdapat enam
orang laki - laki yang rata - rata berwajah se-rem dan bersikap galak. Mereka inilah yang meng-
amati setiap ada orang memasukkan uang ke da-lam guci, dan orang - orang yang memasukkan uang
itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya, seolah - olah
hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang secukupnya. Dari
sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut
terhadap orang - orang yang menjaga guci itu.
Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak
tahu apa artinya guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat di pintu gerbang itu.
Maka Seng Kun dan Bwee Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang
menghampiri guci itu dengan mulut kemak - kemik dan muka pucat, mata terbelalak
membayangkan rasa takut. Nenek itu berusia hampir enampuluh tahun, memikul ke-
ranjang sayuran yang kosong. Melihat pakaiannya, tentu ia seorang nenek dusun yang baru
saja pu-lang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sa-yur - sayuran. Dengan tangan
gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak me-
masukkannya ke dalam mulut guci. Akan tetapi tiba - tiba terdengar bentakan
keras dan nenek itu terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki
- laki tinggi besar yang membentaknya tadi. "Nenek mau mampus ! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang
tiada har-ganya itu?" Seorang di antara enam laki-laki ga-lak itu membentak dan
menghampiri dengan sikap mengancam. "Ampun saya saya tidak punya uang
" nenek itu berkata dengan suara gemetar dan
merangkapkan kedua tangan, memberi soja berka-li-kali.
"Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran
sepikul " Hayo cepat beri lima kali itu !"
"Akan tetapi ah cucu saya sakit pa- nas ....... uang penjualan sayur nanti untuk mem-
beli obat " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Alasan ! Biar cucumu mampus ! Cepat beri-kan uang itu !"
"Tidak tidak nanti bagaimana cucu-
ku " "Plak !" Laki - laki kasar itu menggerakkan ta-ngan menampar dan nenek itu
terkena tamparan pada pipinya, membuatnya terpelanting.
"Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan
hendak melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan.
"Manusia berhati kejam seperti binatang!" Ti-ba - tiba nampak bayangan
berkelebat dan Bwee Hong sudah berada di situ, menyambar tubuh ne-nek itu sehingga terluput
dari tendangan. Dengan sikap halus Bwee Hong mengajak nenek itu ber-diri di tepi jalan,
membersihkan baju nenek itu dan menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata, "Nenek,
pakailah uang ini untuk membeli obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini."
Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan
cepat pergi terbongkok - bongkok. Sementara itu, laki - laki tinggi besar tadi
memandang kepada Bwee Hong dengan muka merah. Dia hendak marah, akan te-tapi begitu melihat wajah yang
cantik jelita itu, kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah
tersenyum lebar dan matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu.
"Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah ! Nona
manis, kalau no-na yang mintakan, ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** bng - tukang pukul yang pandai ilmu silat. Melihat nona cantik itu menggerakkan
ta-ngan menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih
dan hendak menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menam-par. Akan tetapi, tiba tiba ada
bayangan menyam-bar dari bawah dan tahu - tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului
tangan kirinya, menen-dang tinggi ke atas dan menyambar ke arah muka pria itu dengan kecepatan
kilat. "Plakkk !" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba
tiba saja membeng-kak, dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya
telah rontok terkena ten-dangan kaki Bwee Hong. Kiranya nona ini telak sudi menyentuh muka
orang dengan tangan dan tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan me-mancing belaka
sedangkan yang sungguh - sung-guh menyerang adalah kakinya.
Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami
penghi-naan seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata
pandai ilmu silat. Bagaimana-pun juga, mereka masih memandang rendah. Bo-leh jadi nona ini pandai
dan berhasil menendang muka kawan mereka, akan tetapi menghadapi mereka semua, tentu nona
ini, tidak akan mampu ber-buat banyak. Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan
untuk menangkap dan mem-balas dendam dengan menghina dara ini.
"Perempuan tak tahu diuntung ! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!"
kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan bertu-buh gendut pendek. Lima
orang itu dengan kedua tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan
seekor domba, lalu menu-bruk ke depan dari semua jurusan.
Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya
rontok tadi, se-kali ini benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini,
dikepalai oleh orang tinggi besar yang masih duduk bersila, bersikap sewenang - wenang di kota kecil
itu, merajalela seperti raja - raja kecil memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut
mereka sendiri, tanpa ada yang dapat menentang mereka. Kini, mereka kecelik dan benar-benar
bertemu batunya. Mereka hanya meli-hat tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nam-pak bayangan
berkelebatan dan bagaikan terbang saja Bwee Hong berloncatan ke sana - sini, mem-bagi - bagi
tendangan dengan kedua kakinya, su-sul - menyusul dan ganti - berganti. Terdengar sua-ra
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan perut, disusul teriakan kesakitan dan enam
orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri
dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh - aduh.
Ada yang pe-rutnya mendadak menjadi mulas, ada yang dada-nya sesak sukar bernapas,
ada yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
patah tulang dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya ron-tok ! Hebat memang
sepak terjang Bwee Hong dengan kecepatannya yang membuat semua lawan-nya roboh tanpa mereka
ketahui apa yang sebe-narnya menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi.
Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat se-perti seekor srigala marah dan tahu -
tahu laki- laki tinggi besar yang tadi duduk bersila di belakang guci uang, melompat ke
atas dan dengan kedua lengan bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk ke arah
Bwee Hong. Jelaslah bahwa dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam
orang temannya tadi dan memang sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang
tentu saja memiliki ilmu silat yang lebih lihai. Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau
dan dengan loncatan itu, dia sudah me-nerkam ke arah Bwee Hong, mencengkeram ke arah kepala dan dada
gadis itu. Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Pendekar Patung Emas 26
tertimpa atap yang ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Mali-sang berloncatan pergi
menyelamatkan diri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri
ke dalam ke- gelapan malam. Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan
mereka me- lakukan pengejaran sambil mengerahkan anak buahnya. Akan tetapi dua orang
pendekar itu su- dah menghilang ke dalam sebuah hutan yang gelap di luar dusun itu. Melakukan
pengejaran terhadap orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-bengcu dan pemuda
tampan itu berarti mengun-dang bahaya maut kalau hal itu dilakukan di dalam hutan yang amat gelap,
maka terpaksa Kwa Sun Tek hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak
tergesa - gesa sehingga dia dan ka-wan - kawannya tertinggal jauh dan kehilangan jejak
buruannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng
lengan Bu Beng Han yang menderita luka cukup parah aki-bat pukulan yang dilontarkan
oleh tokoh Tai- bong- pai itu. "Gila, dia memiliki pukulan - pukulan iblis !" Bu Beng Han mengomel.
"Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong - pai. Untung engkau masih dapat
bertahan terhadap pukulan mautnya, Bu Beng."
"Liu - twako, di manakah nona Ho ?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir.
"Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan
berpengalaman, tentu ia dapat menjauhkan diri dari pasukan mu-suh itu. Nanti saja kita
mencarinya. Sekarang yang terpenting kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka.
Ssstt, ada pasukan datang !" Liu Pang menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup ke dalam semak
- semak di balik pohon besar, bersembunji sambil mengintai.
Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang
bukanlah pasu-kan musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria
gagah perkasa yang bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati - hati karena
belum mengenal mereka, akan tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu,
Bu Beng Han segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah berseri-
"Ngo - suheng !" serunya girang.
Pria berpedang sepasang itu menoleh dan ter-kejut, akan tetapi wajahnya berseri
dan diapun meloncat mendekati.
"Kim - sute ! Kau di sini ?" Alisnya
berkerut ketika dia melihat wajah sutenya. "Eh,
Kim - sute, engkau kenapakah " Terluka
?" Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap - lojin ketua Thian - kiam -
pang itu mengangguk lemah. "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai - bong
- pai." Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera
memperkenalkan ngo - suhengnya kepada pemimpin itu. "Liu-twako, ini adalah
suheng saya yang ke lima bernama Kwan Hok. Ngo - suheng, inilah Liu - twako, pemimpin para
pendekar yang terkenal itu." Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan
dengan orang yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagak perkasa yang
berjiwa pahlawan itu, "Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu
dariku ?" tanya Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia mem-balas penghormatan Kwan Hok dan
kawan - kawan-nya. Yap Kim menghela napas panjang. Kini meli-hat betapa ngo - suhengnya malah
menjadi pemim-pin sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan
dirinya. "Terus te-rang saja, Liu - twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam - pang."
"Ah, kiranya putera Yap - lojin yang lihai itu !" Liu Pang berseru girang
sekali. Kini orang - orang Thian - kiam - pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati
sekali. Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin
murid Thian - kiam - pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati
Liu - bengcu men-jadi girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup
parah, maka terpaksa mereka lalu pergi ke tebing - tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk
menyembunyikan diri. Sampai malam tiba, fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka
mengaso di te-bing sungai. Yap Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi,
menghimpun hawa murni dan suheng-nya bercakap - cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal
penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh.
"Di dalam kota Sian - cung itu terdapat pasukan pilihan dari kota raja yang
dipimpin oleh Jenderal Lai. Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari kota raja dan
pasukan - pasukan kepala daerah terdapat rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu -
bengcu ketahui bahwa di dalam pasukan kepala daerah itu terdapat dua orang per-wiranya yang
memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian antara lain Kwan Hok bercerita.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Tidak salah ! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang
melukai su-temu justeru adalah seorang di antara mereka, ya-itu tokoh Tai - bong - pai,
sedangkan yang seorang lagi bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu
tentulah orang asing yang bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama
pasukannya yang mengejar-ngejar kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum
ketahuan ke mana perginya "
Tiba - tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang,
diikuti oleh pasukan-nya yang terdiri dari duapuluh orang pilihan yang
menjadi anak buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan
kini melakukan penyerbuan serentak.
Tentu saja Kwan Hok dan kawan - kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang
dan Kwan Hok segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu, bahkan Yap Kim
biarpun sudah terluka, masih membantu suhengnya untuk menge-royok kakek raksasa itu.
Biarpun dikeroyok oleh tiga orang, Malisang mengamuk dan sepak terjang-nya memang
menggiriskan. Pukulan - pukulannya seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi
adalah cengkeraman kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali ter-kena
cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas!
Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang
mengeroyoknya, menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar
dengan kulit tubuh berbintik-bintik darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini
keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam keadaan seperti itu, tokoh Tai - bong-pai ini
berada dalam puncak keganasannya. Agak-nya, para pendekar itu tentu akan tewas semua di
tangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang meluncur dengan
cepat. Begitu tiba, dua orang anak buah Kwa Sun Tek terjungkal dan kini bayangan itu menerjang
Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh ramping juga sudah menerjang, Mali-sang,
membantu Liu Pang dan kawan - kawannya.
"Ngo - sute ! Siauw - sute
!" Bayangan pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik sepergmuan itu. Kiranya
dia adalah Yap Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian - kiam - pang dan
merupakan tokoh muda yang paling lihai dari perguruan itu. Ada-pun orang ke dua yang
datang adalah Ho Pek Lian yang dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena
dikeroyok empat. Sementara itu, anak buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga
terjadilah pertempuran yang amat seru di lembah sungai yang bertebing tinggi itu.
Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song - bun - kwi (Iblis
Berkabung) Kwa Sun Tek melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk - datuk
persilatan yang amat hebat kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ke-tua Tai - bong - pai
tellah mewarisi ilmu - ilmu kesaktian peninggalan dari datuk Cui - beng Kui-ong pendiri Tai -
bong - pai dan dia telah mengua-sai ilmu-ilmu Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat
Hidup dan memiliki pula te-naga sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau dupa harum.
Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, meru-pakan ahli waris dari datuk Sin - kun
Bu - tek datuk pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian - hui
Khong - ciang (Tangan Kosong Api Langit) dan Hong - i Sin - kun (Silat Sakti Angin Puyuh),
juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang pasangan dari Thian - kiam - pang! Kini, karena bertemu
lawan tangguh, keduanya menge-luarkan ilmu - ilmu simpanan mereka dan terjadilah perkelahian
dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar yang mencoba memasuki gelang-gang
perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang dengan darah berbintik - bintik
merembes keluar melalui pori - pori kulit lengan mereka ! Juga fihak anak buah Kwa Sun
Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun terkapar dengan muka
go-song terbakar! Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat.
Mengeluarkan ha-wa panas dan seperti meledak - ledak, menggetar-kan keadaan sekelilingnya.
Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan
keduanya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terpental. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling
desak dengan mati - matian. Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus
memeras keringat menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap
Kim yang terluka parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh.
Akan tetapi melihat ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur
karena perkelahian amat membahayakan dirinya. Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani
dan berhati baja, maka biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan
pengeroyokannya. Repotlah
Malisang oleh penge-royokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan
Hok dan Liu Pang amat merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan
sebatang dari sepasang pedangnya kepada pemimpin ini.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan
pengawal Kwa Sun Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru-Akan tetapi, makin lama makin
nampak bahwa pa-ra pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak buah pasukan musuh roboh
dan terbunuh. Perke-lahian antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai
puncaknya dan sedikit demi sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek
melawan dengan gigih dan keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengelu-arkan
semua ilmu simpanan mereka. "Hiaaaatttt !" Suara lengkingan nyaring
keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini menangkis pukulan lawan
sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki kirinya.
"Desss !" Kaki itu tepat menghantam ping-
gang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar ke bela-
kang, menghantam sebatang pohon dengan amat
kerasnya. Pohon itu tumbang seketika ! Akan te-
tapi, dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat
bangun, tubuhnya bergoyang - goyang dan dari
hidung serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat
tadi. Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki ki-rinya nyeri sekali. Cepat dia
mengeluarkan sebu-tir pel yang segera ditelannya, kemudian memerik-sa kakinya. Ternyata
sepatunya ada tanda - tanda darah dan ketika dia membukanya, nampaklah da-rah merembes keluar dari
pori - pori kakinya sam-pai sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya
benar-benar memiliki ilmu yang menyeramkan.
Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari keja-uhan. Seorang pendekar datang
berlari-lari dan berkata kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang, "Liu-bengcu,
pasukan, pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Lai datang !"
Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir
berhasil menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan
yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan
besar itu. Liu Pang lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri. Malisang dan Kwa Sun
Tek tidak berani me-ngejar, karena selain anak buah mereka banyak yang sudah tewas, juga
keadaan Kwa Sun Tek yang sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pemuda ini untuk
bertanding lagi. Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali ke perkemahan
pasukannya, di lembah Huang - ho. Mereka disambut oleh pa-sukan pendekar dan Liu
Pang lalu memperkenalkan Yap Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian - Idam - pang
itu, kepada para pembantunya. Semua orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar
betapa pemuda perkasa ini mampu menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai - bong - pai
yang memiliki ilmu penghisap darah yang mengerikan itu.
Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditung-gui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap
Kim dengan halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hama menunduk, merasa bahwa
dia memang bersalah. Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menja-di kakak seperguruan
yang membimbingnya dalam ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras.
"Tidak, twako. Aku KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
tidak mau pulang ke rumah yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu
dengan ayah yang selalu mengasing-kan diri di tempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu
dengan ibu yang selalu berdiam di istana membantu kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan
pembesar - pembesar lalim penindas rak-yat. Aku ingin bersama kawan - kawan berjuang di
antara rakyat. Kalau twako memaksa aku pu-lang, lebih baik engkau bunuh sajalah aku !"
Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee ter-mangu - mangu. Di dalam hatinya dia
harus meng-akui bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya
seperti sudah mengasing-kan diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersa-madhi saja di dalam
kamarnya. Sedangkan subo-nya bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu
ambisius untuk menjadi tokoh istana. Dia dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai
putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia
sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan putera angkat, kadang - kadang juga merasakan
kepahitan kenyataan ini. Sementara itu, di bagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap -
cakap dengan muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba - tiba
menghi-lang kemudian secara mendadak muncul pula ber-sama Yap Kiong Lee.
"Suhu, kita semua harus berterima kasih kepa-da Yap - twako. Tanpa ada dia yang
turun tangan, agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu
akan celaka kalau tidak ada dia yang menolong."
Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia
disuruh oleh Liu Pang untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi ke belakang
rumah, ke sebuah sumur yang agak jauh terpencil di tempat sunyi dan selagi ia hendak
menimba air tiba - tiba ia dikejutkan oleh bayangan orang berkelebat. Ia mengangkat muka dan
kiranya di situ telah mun-cul seorang laki - laki bertubuh kecil pendek, ber-pakaian mewah dan
tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek
Lian segera mengenal orang itu. Dia mengenal laki - laki bertubuh pendek kecil bermata sipit
yang duduk di pagar sumur itu. Si cebol itupun memandang tajam lalu tersenyum menyeringai.
"Hi - hi - hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu
luas lagi, hi-hi- hik! Di manakah kawan - kawanmu yang cantik-cantik itu ?" Suaranya juga kecil
mencicit seperti suara tikus. Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus di lorong - lorong bawah
tanah. Bagaimana-kah iblis ini bisa sampai di tempat ini " Iblis ini adalah putera Te -
tok - ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang berjuluk Siauw - thian - ci. Apakah orang - orang Ban -
kwi - to telah keluar dari sarang mereka semua "
Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah be-gitu saja dan tanpa menjawab
sedikitpun, ia sudah menyerang dengan pedangnya- Siauw - thian - ci tertawa dan menghadapi
gadis itu dengan meng-gunakan cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya,
ilmu silat dari si katai ini tidaklah berapa tinggi. Orang - orang Ban-kwi-to memang tidak
memiliki ilmu kepandaian yang ter-lalu hebat. Mereka hanya mengandalkan penggu-naan racun
saja, maka Siauw - thian - ci, biarpun menjadi putera dari orang pertama Ban - kwi - to,
juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan
cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah
perkelahian itu berlangsung puluhan jurus dan belum juga dia mampu menundukkan
Pek Lian, Siauw - thian - ci menjadi penasaran dan ma-rah sekali.
"Bocah bandel, engkau belum juga mau me-nyerah ?" bentaknya dan tiba - tiba
cambuknya meledak ketika dia menyerang. Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi
dia terkejut sekali melihat sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu! Ternyata musuh
mempergunakan senjata rahasia yang agaknya dipasang di dalam cambuk dan kini ada
beberapa batang jarum hitam menyambar ke arah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik
kembali pedangnya dan memutar senjata itu, menyampok runtuh semua jarum yang menyambar
ke arahnya. Pada saat itu, tangan kiri Siauw - thian - ci mengebutkan sehelai
saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau me-nyambar ke depan. Pek Lian terkejut dan
melon-cat ke belakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis memuakkan. Tak
tertahan-kan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
lagi ia muntah - muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntah - muntah
itu, ujung cam- buk Siauw - thian - ci mematuk pergelangan tangan-nya. Seketika Pek Lian
merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan di lain saat, cambuk panjang itu seperti
seekor ular telah mem-belit tubuhnya. Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauw -
thian - ci meno-toknya sambil tertawa - tawa.
Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur
itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat seekor kuda dan tubuh-nya lalu ditelungkupkan di
atas punggung kuda. Si cebol sudah meloncat ke atas punggung kuda dan melarikan binatang itu.
Pek Lian tidak tahu dibawa ke mana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia
dibawa masuk ke dalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga di
situ sudah mengenal Siauw - thian - ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit
tertawa - tawa fnelihat si cebol ini datang membawa tangkapan seorang dara cantik.
Darah 22 17 Sambil tertelungkup melintang di atas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara
para penjaga itu. "Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia
selalu men-cari pengganti baru!"
"Husssh, jangan keras - keras bicara. Jangan - ja-ngan engkau nanti hanya
tinggal tulang- tulang saja digerogoti tikus - tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu
untung ada Kwa - taihiap yang mence-gahnya, kalau tidak tentu akupun sudah habis di-makan tikus -
tikusnya." Mendengar percakapan itu, Pek Liari merasa ngeri. Kiranya manusia tikus ini
telah bersekutu dengan tokoh Tai - bong - pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan
tetapi matanya dapat mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya di depan
sebuah rumah penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan
itupun sudah tutup daun pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari
kuda, kemudian si katai itu mengetuk daun pintu. Ketika daun pintu terbuka, ternyata di ruangan
depan masih terang - bende-rang. Di sudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah
tua sedang asyik bermain catur. Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka
itu. Suami isteri cabul dari Ban-kwi - to, Im - kan Siang - mo !
Bouw Mo - ko, kakek berusia enampuluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa
menoleh agaknya sudah tahu akan kedatangan Siauw - thian - ci, dan dia menegur, "Engkau
baru datang " Mana pa-man - paman dan bibi - bibimu yang lain ?"
Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira, "Ah, kiranya
paman guru dan bibi guru sudah datang lebih dulu ! Aku belum melihat yang lain -
lain." Diam - diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh
bantuan banyak golongan sesat termasuk tokoh - tokoh Ban-kwi - to ini. Sungguh merupakan
lawan berat dan Liu - bengcu harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana
mungkin ia meloloskan diri dari tangan iblis - iblis ini "
Setelah dia menjalankan biji caturnya dan me-nanti isterinya mendapat giliran,
Bouw Mo - ko menoleh, memandang kepada murid keponakan-nya. Pada saat itulah dia baru melihat
gadis yang dipanggul oleh Siauw - thian - ci dan seketika dia bangkit berdiri.
"Heiii ! Itu adalah gadis tawananku tempo
hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat me-nangkapkannya untukku, ha - ha.
Berikan kepada-ku !" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur tangan hendak mencengkeram
Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan meram-pasnya dari panggilan
Siauw - thian - ci. Akan tetapi si cebol itu meloncat ke belakang, mengelak dan memandang marah.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Susiok, ia ini milikku ! Aku yang menangkap-nya dan siapapun juga tidak boleh
merampasnya!" Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata
cambuknya, sikapnya mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada
di depan mulutnya. "Apa " Kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu " Gadis ini milikku, dan
engkau hanya membantuku menangkapnya kembali. Berikan!"
"Tidak !" "Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku ?" "Tidak !"
"Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo - ko menubruk ke depan, tangan
kiri meraih ke arah tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanan-nya menghantam dengan
tangan terbuka ke arah kepala murid keponakannya. Siauw - thian - ci maklum akan kelihaian
susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut. Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak
mampu bergerak itu ke sudut ruangan dan cambuknya diputar cepat, mele-dak - ledak membalas
serangan paman gurunya. Paman dan murid keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit
mati - matian ! Demiki-anlah watak orang - orang dari golongan sesat.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak se-gan - segan untuk saling serang,
kalau perlu saling bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo - li, nenek gendut galak yang tadi
bermain catur bersama suaminya, agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan per-kelahian itu
dan masih enak- enak saja mengerutkan alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya
yang tadi terdesak. Orang - orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan
mereka. Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. Kaum sesat ini
bersikap bebas semau gue, bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang
sendiri. Kebebasan macam ini bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini
merupakan semacam ikatan atau beleng-gu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri. Yang
dinamakan kebebasan hidup bukan sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan
adalah kebebasan yang wajar, bebas dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan
dan men-capai kemenangan sendiri. Sungguhpun bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap
saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang bukan tim-bul dari ingin menyenangkan
atau ingin disenang-kan, ingin menghormat atau dihormat, tertib diri ini tidak mengandung
pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga batin yang
demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain!
Perkelahian antara dua orang tokoh Ban - kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat
mereka memang tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun! Dan
sekali orang Ban-kwi-to mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung.
Rumah penginapan itu menjadi geger. Para ta-mu yang tadinya sudah mengaso dalam
kamar, mendengar suara ribut - ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh
celaka bagi mereka yang ka-marnya berdekatan dengan ruangan itu, karena di antara para tamu itu ada
yang terkena jarum atau pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu. Mereka yang
terkena senjata rahasia beracun ini, langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi
melihat bermacam binatang kecil seperti kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor
lebah beracun beterbangan, para tamu men-jadi panik dan melarikan diri.
Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Mo-li menaruh
perhatian. Inipun karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya. "Heii, suami tolol,
kini giliranmu menggerakkan biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya
berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia mengerutkan alisnya. "Siauw - thian - ci, tikus kecil
keparat. Hentikan ribut - ribut ini dan biarkan suamiku melanjutkan permainan caturnya denganku !
Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan permainan, kupatahkan hidungmu !"
Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu,
mana mau men-dengarkan ucapan si nenek galak " Mereka masih terus saling serang dan
mengobral senjata - senjata dan binatang - binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan
kehebatan masing - masing. Hoan Mo - li menjadi kesal rupanya dan iapun me-noleh ke arah
Pek Lian yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
masih rebah miring di sudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka
bangkitlah Hoan Mo - li dari tempat du-duknya, sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian.
"Hi - hik, si genit ini kiranya yang menjadi ga-ra - gara sampai paman dan
keponakan saling han-tam sendiri. Dasar kaum laki - laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat
perempuan cantik. Dari pada sekeluarga berkelahi karena perempuan, le-bih baik perempuan genit ini
kubunuh saja !" Ia mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya di tangan
wanita gendut itu. Akan tetapi Hoan Mo - li menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang
manis itu sambil tertawa ha ha - hi-hi.
"Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki - laki mata keranjang
ingin mencium dan membelainya. Coba hendak kulihat apakah mere
ka masih akan memperebutkan dirimu kalau muka-mu kubikin rusak dan menjadi
buruk. Hi- hi-hik !" Wanita itu terkekeh - kekeh seolah - olah ia memperoleh pikiran yang
amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan kuning.
Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan ja-lan
darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak. Pada saat wanita gendut itu membuka tutup
botol dan menuangkan cairan ku-ning ke arah wajahnya, Pek Lian cepat menggu-lingkan
tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk menge-nai mukanya
kini menetes ke atas lantai. Terde-ngar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan permukaan
lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar! Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan
kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mu-kanya akan
berlubang - lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan ! Sementara itu, Hoan Ma-li
terkekeh girang melihat gadis itu bergu-lingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya
gadis itu sambil mengacung - acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang
ter-siksa merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena
ancaman sik- saan amat menggembirakan hatinya. Agaknya se-perti itulah setan - setan penjaga
neraka kalau menyiksa orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng - dongeng lama.
Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis se-perti ini, yaitu merasa gembira
melihat mahluk atau orang lain ketakutan atau tersiksa atau men-derita, agaknya menjadi
semacam penyakit yang menghinggapi diri kita masing - masing. Kalau kita mau mengamati
dengan jujur, akan nampaklah penyakit itu melekat di batin kita. Kitapun selalu merasa senang
atau gembira melihat mahluk atau orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada kebencian
dalam hati kita terhadap mahluk atau orang lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan
dirugikan. Kalau kita mau membuka mata melihat dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati
melihat mahluk - mahluk yang merugikan kita seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita
bunuh perlahan - lahan, kita siksa sebagai pelam-piasan dari pada dendam karena kita diganggu "
Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati kita, di luar kesadaran kita, kalau kita
mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan sedang kita musuhi, menderita
malapetaka " Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita melihat atau mendengar orang yang
tidak kita su- kai, penjahat - penjahat dalam film atau cerita mi-salnya, menerima hukuman dan
siksaan yang amat sadis " Bukankah kadang-kadang datang keingin-an atau harapan dalam batin
kita melihat orangDarah 22 yang kita benci mengalami penderitaan seberat-beratnya "
Hoan Mo - li terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia
melemparkan botol itu agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia
tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia ingin melihat jelas ketika tetesan ca-iran kuning
beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu
menggeliat - geliat seperti cacing terkena panas, maka iapun terus mengejar. Akhirnya, ia
dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak rambut gadis itu, memaksa muka yang
pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah siap menuangkan isi
botol sambil ter- kekeh - kekeh. "Wuuuuutttt plakkk!" Botol kecil itu
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan
lantai mengelu-arkan asap dan berlubang - lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya
bagi Pek Lian itu, nam-pak sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda
ini cepat menendang ke arah tangan Hoan Mo-li yang memegang botol sehing-ga botolnya
terlempar. Pek Lian cepat menggu-lingkan tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan,
tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir pingsan.
Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari -
cari sutenya inipun bermalam di tempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi
saja di kamarnya dan di-am-diam melakukan penyelidikan ketika dia me-lihat betapa suami isteri
cabul dari Ban - kwi - to itu berada di situ. Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan
terkejutlah dia melihat Pek
Lian ter-ancam bahaya. Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan
itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat
menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh dara itu di pundak kirinya.
Sementara itu, Hoan Mo-li tadi terkejut seka-li. Lengannya seperti patah rasanya
dan racun di botol itu sudah terbuang sia - sia. Marahlah wa-nita ini dan iapun
mengeluarkan teriakan seperti
seekor serigala, dan iapun menyerbu dan menye-rang Kiong Lee dengan ganas,
dengan kedua ta- ngan membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan
ketika kaki kirinya menyambar, Hoan Mo-li nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu
terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** a mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu. Sebetulnya, ting-kat
kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini
memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka ber-tiga. Akan
tetapi, musuh - musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia
dan racun - racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pe-
dangnya untuk menangkis dan menolak semua ra-cun.
Melihat orang - orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir
dan men-jauhi ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada be-berapa orang yang terhuyung
dan roboh karena ruangan itu kini penuh dengjan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan
mengandung racun-racun ganas. Biarpun Kiong Lee amat lihai, bau memu-akkan dan mengandung
hawa beracun itu membuat dia repot dan kepalanya terasa pusing. Dia meli-hat bahwa
Pek Lian juga sudah pingsan karena bau keras itu. Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat
tiga orang lawan mundur dan dia melon-cat keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga
orang Ban - kwi - to yang merasa penasaran melakukan pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu me-
ringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu masih belum mampu menandingi Kiong Lee
sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang menyelinap di antara rumah - rumah orang.
Terjadi kejar - kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi - to itu berteriak - teriak di sepanjang
jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak buah Liu Pang, memasuki kota. Teriakan - teriakan ini
menimbul-kan kegempalan dan banyak perajurit mulai berkeliaran ikut mencari di seluruh kota
itu. Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek - ubekan mencari ke semua
penjuru kota itu, terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari - cari.
Mereka ini bukan lain adalah Kiong Lee dan Pek Lian ! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya,
mereka berdua lalu menawan dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan me-notok lalu membelenggu
dan menyumpal mulut mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan
penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga.
Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba di pintu gerbang sebelah selatan. Dengan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikap gagah Kiong Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan
Pek Lian dibukakan pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu.
"Ada mata - mata berkeliaran di dalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan
tidak membiarkan seorangpun keluar. Demikian perin-tah atasan !" bantah komandan jaga.
"Siapa yang tak tahu akan perintah itu ?" ben-tak Kiong Lee. "Kamipun sudah
mendengarnya. Akan tetapi, kami mempunyai dugaan keras bah-wa para penjahat mata
- mata itu sudah mening-galkan kota dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian
mencegah kami KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
dan sampai mata-ma-ta itu jauh meninggalkan kota, kami akan mela-porkan hal ini
kepada atasan !" Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para pen-jaga pintu gerbang menjadi bingung.
Akhir- akhir ini memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira
yang baru tiba. Pin-tu gerbang lalu dibuka perlahan - lahan dan kedua orang pendekar itu
segera cepat menyelinap keluar dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pa-sukan juga
mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai yang memimpin pasukan itu untuk ikut men-cari, menjadi
marah melihat pintu gerbang dibuka. "Hei, siapa berani lancang membuka pintu ger-bang " Bukankah sudah kami
perintahkan agar semua pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar ?"
bentaknya. Dengan muka pucat komandan jaga lalu menghadap dan membe-ri hormat kepada panglima itu.
"Harap paduka maafkan. Kami membuka pin-tu hanya untuk membiarkan dua orang
perwira keluar karena mereka hendak mengejar mata - mata yang melarikan diri,"
Panglima itu melotot dan marah sekali. "Tolol kamu ! Merekalah mata - mata
itu !" Dan diapun menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah
terlambat. Dua orang bu-ronan itu sudah menghilang di dalam gelap dan mereka semua tidak tahu
ke arah mana harus me-ngejar. Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua
segera mem-buang pakaian perwira yang dipakai di luar pakai-an mereka sendiri itu. Pek
Lian mengucap terima kasih atas pertolongan Kiong Lee.
"Berkali - kali Yap - twako menolongku, sungguh budimu besar sekali."
"Sudahlah, nona. Lebih baik kauceritakan ba-gaimana engkau sampai tertawan oleh
iblis dari Pulau Selaksa Setan itu."
Pek Lian lalu bercerita tentang semua penga-lamannya. "Aku sedang melakukan
penyelidikan tentang keadaan fihak musuh, bersama guruku,
Liu-bengcu, dan bersama Bu Beng
ah, se- karang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Ban-kwi-to dan bertemu
denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim putera ketua Thian -
kiam - pang !" Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia me-rasa sudah mengenal wajah
Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Sekarang tiba - tiba saja ia
teringat bahwa ia pernah berte-mu dengan pemuda itu di Ban - kwi - to, ketika pemuda itu bersama -
sama dengan Thian - te Tok-ong atau Ceng-yang-kang Si Kelabang Hijau, orang ke lima. dari
iblis-iblis Ban-kwi- to, berada di kepulauan itu !
Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari -
carinya itu sudah ber-ada bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan
penuturan gadis itu yang bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh
dan yang kini hanya dikenal seba-gai Bu Beng Han. Mereka berdua lalu melanjutkan
perjalanan ke dusun sunyi itu dan seperti telah kita ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini
amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee
dapat menyelamatkan mereka dan kembali ke markas pasukan para pendekar di Lembah
Huang-ho. "Demikianlah, suhu. Untung sekali aku berte-mu dengan Yap - twako sehingga kita
semua dapat terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian meng-akhiri ceritanya.
Liu Pang mengerutkan alisnya. "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu
bersahabat dengan para iblis Ban - kwi - to
hemm, berat juga bagi kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan
asing, juga tidak segan-segan memperalat orangworang dunia hitam."
"Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bongrpai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa
orang di an-tara mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang
gadis yang biarpun wataknya aneh, namun menghargai kega-gahan dan sama sekali tidak jahat"
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Liu Pang menghela napas panjang. "Tidak aneh, di dalam keadaan negara sedang
kacau- balau, ten-tu bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar -
besarnya, dengan cara dan jalan apapun."
* * * Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musya-warah dengan para pembantunya, yaitu
para pim-pinan pasukan pendekar yang sudah menggabung-kan diri dengan pasukan induk
yang dipimpinnya. Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid
utama dan juga putera angkat ketua Thian - kiam - pang ini terpaksa mengalah terhadap sute
atau adik ang- katnya yang amat disayangnya itu-. Dia terpaksa
32 Darah 22 33 ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Liu Pang, yang telah
menarik per-hatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini yang
merasa bersimpati. Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya
banyak bantuan dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit ke-rajaan yang
menyeberang dan membantu, Liu-beng-cu berkata lantang, "Di hadapan kita terdapat dua kekuatan
yang biarpun berdiri sendiri - sendiri, namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu
untuk menghadapi kita. Yang satu adalah pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai,
sedangkan kekuatan ke dua adalah pasukan pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasu-kan asing. Kita
harus mencari akal agar keduanya itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah
begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus."
Semua orang yang menghadiri rapat itu me-ngerutkan alis dan berpikir. Tiba -
tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri- Dia ini adalah
Siong - ciangkun, seorang bekas komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan
Liu Pang, seorang ahli perang yang usianya sudah hampir enampuluh tahun.
"Memang benar sekali pendapat Liu - twako bahwa kita harus mencari akal yang
baik untuk menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita
mempelajari dahulu keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru
saya akan menge- mukakan akal saya." Liu Pang mengangguk - angguk. "Siong-ciang-kun tentu lebih mengetahui keadaan
bala tentara kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun meng-gambarkan agar kita semua
mengetahuinya." "Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pem-
bantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal
Lai ditugaskan untuk menghentikan gerakan pa-
sukan kita agar tidak menjalar ke kota raja. Jen-
deral Beng Tian sendiri bersama induk pasukan-
nya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat,
membendung gerakan pasukan Chu Siang Yu yang
semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa kaisar
kini mengutus pangeran mahkota untuk memimpin
tentara cadangan dari kota raja untuk membantu-
nya " Bekas perwira kerajaan itu berhenti se-
bentar dan dengan pandang matanya menyapu para
hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Lee yang selalu dekat dengan istana di kota raja
menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan
semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan
di istana dari pada bekas perwira itu. Melihat
sikap ini, Siong - ciangkun bertanya kepadanya,
"Bukankah demikian, Yap - taihiap ?"
Yap Kiong Lee mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong -
ciangkun. Akan tetapi sesungguhnya bukan kaisar yang mengutus
pangeran mahkota membawa pasukan ke garis de-
pan peperangan, melainkan Perdana Menteri Li
Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan
di istana kota raja sungguh berobah. Penuh raha-
hasia dan semua orang berada dalam ketegangan
dan kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan,
bahkan semua orang berani menduga bahwa kai-
sar tidak berada di istana, tidak berada di kota
raja lagi. Entah di mana, tidak ada yang tahu atau
dapat menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi
pengawal pribadi kaisar, juga tidak tahu ! Yang
diketahui hanyalah bahwa kaisar telah melimpah-
kan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su
untuk urusan kenegaraan dan kepada thaikam ke-
pala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam istana,
lalu kaisar menghilang !"
. Semua orang terheran - heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi
karena pemuda itu baru saja datang dari kota raja dan mereka tahu bahwa subo dari
pendekar itu adalah Siang Houw Nio - nio, bibi dan juga pengawal pribadi kaisar, maka mereka menaruh
kepercayaan dan menanti pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik
sekali. Dia menganggap betapa pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda
itu suka melanjutkan cerita-nya. Yap Kiong Lee menghela napas panjang. "Se-telah Perdana Menteri Li Su berkuasa
di kota raja, bergandeng tangan dengan Chao - thaikam, maka mulailah kemelut
menggelapkan kota raja. Wakil Perdana Menteri Kang dan para menteri setia yang tadinya sudah diangkat
kembali oleh kaisar, satu demi satu disingkirkan."
"Ahhh ! " Para pendekar mengepal tinju
mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran dan marah.
"Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai
tersiar ke luar kota raja." Murid utama Thian - kiam - pang itu melanjutkan. "Semua orang
yang masih setia menjatuhkan harapan mereka kepada putera mah-kota, akan tetapi pada suatu hari,
pangeran itu dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bah-wa semua ini tentulah akal
muslihat Li Su dan Chao Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengang-kat putera kaisar ke dua yang
berwatak jelek itu sebagai pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka di tangan mereka. Kini yang
berkuasa ada-lah panglima-panglima dan menteri-menteri yang menjadi kaki tangan kedua
orang lalim itu. Hanya Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang - orang
seperti mereka itulah yang benar - benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi
kepada kerajaan. Oleh ka-rena itu saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan
Liu - bengcu clan saudara sekalian untuk kelak memikirkan nasib mereka itu, yang
saya tahu ada-lah orang - orang yang menjunjung kegagahan dan kesetiaan."
Liu Pang mengangguk - angguk. "Terima kasih atas semua keterangan yang amat
penting itu, Yap - sicu. Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan
menghancurkan mereka yang jahat itu. Nah, Siong - ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana
rencana siasatmu itu ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah
barisan kita menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati mar-kas Jenderal Lai dan
bersikap seolah - olah
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meng-hindarkan diri tidak menghendaki bentrokan, lang-sung; saja ke depan dan
menyerang atau menduduki kota kecil di depan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar
dia segera melakukan pengejar-an."
"Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang ?"
"Benar, Liu - twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng
melakukan pengejar-an, kita menggunakan tiga perlima bagian pasu-kan untuk menghadangnya
agar pasukan itu tidak dapat kembali ke markas, kita memotong jalan. Sementara itu.
yang seperlima bagian lagi kita pergunakan untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan
pejabat daerah yang bersekong-kol dengan orang - orang asing itu."
Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh
Siong - ciangkun. Kekuatan pertama yang bertugas memancing ha-rimau keluar dari sarang
hanya merupakan seper-lima bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan
para pendekar lain. Bagian ke dua merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima
bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thian - kiam - pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan
dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid ke lima Thian - kiam - pang dan diperkuat oleh
Siong - ciangkun sebagai penasihat. Adapun bagian ke tiga, yaitu hanya seperlima bagian, di-
pimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan inilah yang bertugas untuk menduduki dan
menyerbu benteng yang dikosong-kan oleh Jenderal Lai nanti, untuk menghancurkan pasukan
daerah yang dibantu oleh orang - orang asing itu, musuh utama dari pasukan para pende-kar.
Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi - bagi. Sesuai
dengan rencana, pa-sukan pertama berangkatlah, menghindarkan mar-kas besar Jenderal
Lai, lalu menuju ke kota kecil di depan. Sementara itu, diam - diam pasukan be-sar yang dipimpin
oleh tiga saudara seperguruan Thian - kiam - pang juga meninggalkan sarang dan
38 39 mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan pemotongan atau penghadangan
terhadap pasukan Jenderal Lai. Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan
mendekati benteng musuh dengan hati - hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi di
tepi sebuah su-ngai kecil yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar
Jenderal Lai meninggalkan benteng. Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua
hari atau tiga hari sampai Jen-deral Lai melakukan pengejaran dengan pasukan-nya terhadap
pasukan para pendekar yang me-nyerang kota kecil di depan.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbe-nam, barulah Liu Pang menerima
kabar bahwa gerakan pertama dari pasukan pertama telah ber-hasil mengepung kota kecil
di depan, dalam gerak-an memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan
pasukan para pendekar se-ngaja membiarkan kepala daerah dan para penga-walnya lolos,
agar mereka dapat mengabarkan ke-pada Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan jen-deral ini.
Seperti yang telah direncanakan, ternyata ha-silnya memang tepat. Jenderal Lai
yang mende-ngar bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil di depan, menjadi
geram. "Kurang ajar sekali Liu Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku
dan sengaja mengambil jalan memutar untuk bergerak ke arah kota raja. Hemm, hal ini tak
boleh dibiarkan saja!" Diapun lalu memerintahkan para perwiranya untuk mempersiapkan pasukan
mereka. Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar dengan megah, menuju ke kota kecil
untuk merampas kembali kota itu, mengha-langi pasukan Liu Pang menuju ke kota raja dan
menghajar mereka. Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap
sesuai dengan siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan
pasukannya untuk menyer-bu ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi,
tiba - tiba KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka sangka - sangka. Terjadilah
kegemparan ketika sebagian besar dari para anak buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi
perut mereka yang terasa sakit sekali! Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil
saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang
mengaduh - aduh tak berdaya itu. 41 Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasa-kan betapa perut mereka mulas dan
nyeri. Terke-jutlah mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan.
Untunglah bahwa dia dan muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh,
dan pula agaknya me- marah 22, reka tidak begitu banyak terkena racun seperti anak buah mereka. Setelah
mengadakan pemerik-saan dan melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati di
dalam sungai kecil, tahulah Liu Pang bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah
dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat
persembunyian mereka itu dan men-campuri air sungai dengan racun.
"Ini tentu perbuatan iblis Tai - bong - pai itu !" Pek Lian teringat dan gurunya
mengangguk. Liu Pang dan para pembantunya segera mem-bagi - bagi obat penawar. Untunglah
bahwa racun yang telah larut dengan air sungai itu hanya ter-batas kekuatannya, hanya
membuat mabok dan sakit perut saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak
berdaya dan lemas badan. Selagi mereka sibuk mengobati diri, men-jelang tengah malam itu
terdengarlah sorak-sorai dan datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal di benteng itu,
dibantu oleh pasukan asing, menye-rang para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan
keracunan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Song - bun - kwi Kwa Sun Tek dan Malisang
raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pem-bantaian terhadap pasukan para pendekar.
Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan mati - matian itu dapat melarikan diri
cerai - berai memasuki hutan-hutan gelap mencari
selamat sendiri - sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda
sakit perut, dapat dikatakan hancur total walaupun banyak juga di antara mereka yang
berhasil selamat. Liu Pang sendiri bersama muridnya, dengan pedang di tangan mengamuk.
Namun, menghadapi Kwa Sun Tek dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan
dan akhirnya mereka berdua terpaksa menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan
kekacauan yang terjadi di tepi sungai kecil itu.
Dengan dilindungi oleh belasan orang penga-walnya yang terdiri dari pendekar -
pendekar yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri,
dikejar oleh pemuda Tai-bong - pai dan raksasa Mongol.
"Ha - ha - ha, Kwa - taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua
pemberontak ini, habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu ke-padaku kata
Malisang dan dengan dua losin pengawal diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman -
temannya. Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh
sebelas orang pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari da-lam hutan. Perkelahian
seru terjadi secara kero-yokan. Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju
menghadapinya, sedangkan Pek Lian membantu para pengawal menandingi para
pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak itu.
Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pe-dangnya yang lihai, namun pada saat itu
dia mengalami pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya
dipukul cerai- berai oleh musuh, betapa siasatnya telah digagal-kan fihak musuh bahkan dia kena
ditipu sehingga pasukannya menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air
beracun yang biarpun ti-dak membahayakan keselamatan nyawanya, na-mun cukup membuat tubuhnya
lemas dan tenaga-nya berkurang. Karena itu, kecepatannyapun ba-nyak berkurang sehingga
beberapa kali dia terke-na hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan
gurunya, Pek Lian cepat mener-jang maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa - tawa
girang karena KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
raksasa ini sudah me-mastikan bahwa malam itu dia tentu akan berha-sil membekuk
pemberontak besar Liu Pang ini, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
"Suhu, mari kita pergi!" Tiba - tiba Pek Lian menusukkan pedangnya ke arah dada
Malisang. Ketika raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram ke depan, kedua
tangannya berani menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali
pedangnya, menggan-deng tangan gurunya dan mengajak gurunya yang
sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu un-tuk bersama - sama meloncat ke
dalam sungai. "Byuurrr !" Keduanya ditelan air yang
gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek
Lian membantu gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan
Malisang dan kawan-kawannya yang hendak melakukan pengejaran. Dalam usaha ini, beberapa
orang pendekar yang menolong dan melindungi guru dan murid itu ro-boh dan tewas,
lainnya terpaksa melarikan diri karena kekuatan fihak musuh jauh lebih besar.
Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu be-nar - benar mengalami hantaman yang
tidak kepa-lang tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan
lainnya kembali meng-alami nasib seperti yang pernah berkali - kali mereka alami, yaitu cerai -
berai melarikan diri men-cari keselamatan masing - masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan
mereka. Bagaimana-pun juga, mereka itu tidak pernah kehilangan se-mangat perlawanan,
sesuai dengan watak mereka sebagai pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang
kekuasaan lalim. Sejarah berulang tenis. Golongan yang mena-makan dirinya penentang
kejaliman, yang meng-anggap diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan
yang berjuang dengan se-mangat bernyala - nyala, rela berkorban apa saja
H 4i yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa, selalu bangkit menentang golongan
yang pada sa-at itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golong-an yang lalim, golongan
penindas dan golongan yang jahat. Fihak penentang kekuasaan yang ada selalu menganggap diri
mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan sebaliknya, fihak
yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu sebagai
perusuh - perusuh, pengacau - pengacau dan peru-sak - perusak ketenteraman, sebagai pemberontak-
pemberontak yang hanya bergerak demi satu am-bisi, yakni merebut kekuasaan. Fihak yang
berku-asa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak
menyengsara-kan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak itu
selalu men- dasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi
menentang keja- hatan dan kebusukan ! Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, di dalam negeri manapun juga. Selalu
nama rakyat dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rak-yat ditarik sana - sini
untuk dijadikan
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekutu, un-tuk memperkuat landasan mereka. Dan bagaima-na kalau sampai golongan
yang menentang kekua-saan yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan
kekuasaan yang ada dan fihak pe-nentang ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi
yang berkuasa " Sejarahpun berulang kembali! Cepat atau lambat muncullah lagi go-
longan - golongan yang menentangnya, golongan yang sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan
kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasa-an baru itu, untuk menumbangkannya, untuk me-
rebut kekuasaan ! Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini
selalu mengaki-batkan satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat
jelata yang menanggung akibat-nya ! Rakyat bagaikan pohon - pohon kecil dilanda badai
peperangan, daun- KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
daunnya rontok, kem-bang - kembangnya gugur, bahkan batang-batang-nya tumbang
dan mati. Rakyat mengalami keta-kutan, penderitaan, korban kekerasan - kekerasan yang
mengerikan. Padahal, semua gerakan yang dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi
rakyat! Memang sungguh menyedihkan, namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat
oleh kita semua di dunia ini. Mengapa harus demikian " Kalau semua go-longan itu benar - benar berjuang demi
rakyat je-lata seperti yang selalu didengang - dengungkan, bukankah tujuan mereka semua
itu sama, yakni demi kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat " Apakah kemakmuran rakyat
dapat dicapai dengan perang, dengan bunuh - bunuhan, dengan keka-cauan - kekacauan, dengan
perebutan kekuasaan yang pada hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila
kekuasaan belaka " Mengapa semua golongan itu tidak mem-buang senjata saja,
menggantikan dengan alat-alat pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, meng-ajak rakyat untuk
benar-benar membangun lahir batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejah-teraan hidup, yang
penuh damai, penuh ketente-raman, jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari
kekacauan " Sungguh menyedihkan ! Yang jelas, rakyat ha-nya menjadi korban nafsu kemurkaan
beberapa ge-lintir orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang - orang gila yang
selalu mengejar kekuasaan, yang tidak segan - segan melakukan apapun juga demi mencapai
ambisi, bahkan kalau perlu meng-gunakan nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat,
asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhir-nya duduk di puncak kekuasaan bersama teman-
temannya " Dan mereka selalu menaburi cara men-capai tujuan yang amat busuk ini dengan bunga
rampai, dengan slogan-slogan yang muluk - muluk, demi rakyat, demi keadilan dan
kebenaran, bahkan mereka tidak segan - segan untuk sekali waktu mengatakan Demi Tuhan! Ya ampun,
semoga rakyat di seluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak terbuai oleh taburan
bunga rampai yang ha-rum dan muluk - muluk itu, dan semoga rakyat dapat melihat bahwa di balik
semua itu tersembu- 48, nyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar keku-asaan, kemuliaan dan kesenangan
sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula !
* * * Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari
pengejaran musuh - musuhnya. Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan
pelarian mereka menjelang subuh itu, tertatih - tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka
terpaksa berhenti di sebuah kuburan yang sunyi di pagi hari itu, ka-rena Liu Pang harus
beristirahat dan merawat lu-
ka - lukanya. "Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti di sini untuk merawat luka
suhu yang perlu beristirahat sebelum kita melanjutkan per-jalanan," kata Pek Lian dan Liu
Pang mengangguk lesu. Karena pukulan - pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup
hebat, selama sehari itu Liu Pang bersila, menghimpun tenaga dan ha-wa murni sambil menelan
beberapa macam obat. Pada senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka
- luka yang dideritanya men-jadi sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi.
Sehari itu, Pek Lian merawat dan Darah 22 menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari
makan sekedarnya. Malam itu bulan sepotong muncul di antara awan tipis. Guru dan murid yang merasa
berduka atas kekalahan mereka itu duduk menghadapi ma-kan malam yang hanya
terdiri dari daging ayam hutan panggang sambil bercakap - cakap.
"'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya.
Juga ba-nyak orang lihai di antara mereka."
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Gurunya mengangguk - angguk dani menghela napas panjang. "Di sana ada tokoh Tai-
bong- pai yang jahat sekali dan amat lihai, hampir saja ra-cun - racunnya membunuh
kita sepasukan ! Dan raksasa Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh
tidak kusangka, rencana kita dapat gagal, padahal sudah kita susun baik - baik. Kita
malah yang menjadi sasaran se-rangan mereka. Orang - orang yang bergabung da-lam benteng
itu kiranya bukan orang - orang sem-barangan."
"Agaknya demikianlah, suhu. Di sana berkumpul pembesar - pembesar daerah dan
perwira - perwira yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu
saja dipimpin oleh orang-orang pandai di samping tokoh - tokoh kaum sesat yang lihai."
Tiba - tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka
kembangkempis dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba - tiba mereka
mencium bau asap dupa wangi yang semerbak menusuk hidung! Di tempat se-perti itu, di kuburan tua
yang sepi tercium bau dupa. Sungguh menyeramkan!
Guru dan murid itu segera memandang ke ka-nan kiri dengan sikap yang waspada dan
seluruh urat syaraf mereka menegang dalam kesiapsiagaan. Mereka memandang ke
arah gundukan - gundukan tanah kuburan yang tersebar di tempat luas itu. Akan tetapi,
tempat itu benar - benar sunyi, tak nampak ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada
sesuatupun yang nampak bergerak. Kadang-kadang, selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang si-
narnya memang lemah itu, membuat suasana men-jadi semakin menyeramkan. Akan tetapi,
hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar wa-laupun mereka tidak melihat adanya
asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolah-olah dupa yang terbakar itu
berada amat dekat de-ngan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkuk-nya berdiri. Ia sudah
mengenal bau ini dan oto-matis ketika ada bau keras datang dari arah bela-kangnya, ia menoleh
cepat. "Hiiihhh !" Ia menjerat tertahan dan ta-
ngannya menangkap lengan suhunya.
"Ada apa ?" bisik gurunya kaget sambil
menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan.
"Di sana tadi ah, ke mana perginya
?" "Sttt, tenanglah. Apa yang kaulihat ?" gurunya berbisik dan bersikap waspada.
"Tadi tadi kulihat di sana, di belakang
gundukan tanah itu, seorang laki - laki dan seorang wanita melihat ke sini.
Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi
sekarang menghilang " "Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenang-kan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang
yang setiap kali teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Men-teri Ho selalu menyebutnya
nona walaupun gadis itu adalah muridnya.
Tiba - tiba mereka terkejut sekali ketika men-
dengar suara orang tertawa. "Ha - ha - ha - ha
! Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lo-los dari tanganku ?" Tiba - tiba
muncullah raksasa Mongol Malisang bersama belasan orang pemban-tunya yang telah mengepung
tempat itu dengan senjata di tangan dan dengan sikap mengancam se-kali !
Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian
segera menghunus pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang di-serang oleh Malisang yang
dibantu oleh dua orang perwira Mongol lainnya sedangkan anak buah la-innya mengeroyok
Pek Lian. Terjadilah perkelahian seru dan mati - matian di tanah kuburan itu, per-kelahian
dalam cuaca remang - remang yang hanya diterangi oleh bulan kecil sepotong. Tentu saja guru
dan murid itu segera terdesak dan terhimpit, berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali
karena mereka berdua itu jauh kalah kuat.
Terpaksa guru dan murid itu kini saling melin-dungi dengan berdiri beradu
punggung dengan pe-dang melintang di depan dada. Malisang tertawa bergelak melihat
keadaan kedua orang buruannya yang sudah tersudut ini. "Ha - ha - ha, Liu Pang, engkau seperti
seekor tikus yang sudah terjepit di pojok. Lebih baik menyerah saja untuk kubeleng-gu dari
pada harus kuseret sebagai mayat." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya di depan
dada. "Mati dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada
kemampuan, majulah dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' ben-taknya menantang. Malisang
mengeluarkan ben- takan nyaring memberi aba - aba kepada anak bu-ahnya untuk mendesak dan
menyerang guru dan murid yang sudah tersudut itu.
"Trang - trang - tranggg
!!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan
anak buah pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah -
patah, jatuh berhamburan sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sam-bil memegangi tangan
mereka yang terasa panas. Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang.
Kiranya di situ telah muncul dua orang, seorang laki - laki dan seorang wanita sete-ngah tua yang bermuka pucat -
pucat dan berpa-kaian putih - putih dengan gerakan dingin menye-ramkan seperti mayat -
mayat hidup ! Melihat mereka, Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang
yang tadi dilihatnya mun-cul di balik gundukan tanah kuburan lalu menghi-lang seperti
setan. Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata, "Nona Ho, selamat bertemu
kembali !" Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh
perhatian dan di bawah sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan
kecantikan akan tetapi wajah itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera
mengenal wajah itu, apa lagi setelah hidungnya mencium bau dupa wangi kelu-ar dari tubuh nenek itu.
"Bibi Kwa !" Pek Lian berseru girang
karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok Eng, atau
nyonya ketua Tai - bong-pai yang lihai itu ! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat menduga
siapa adanya kakek dan ne-nek itu karena dia pernah mendengar cerita mu-ridnya. Diapun memandang
dengan mata terbela-lak. Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah mendengar
nama Tai - bong - pai, per-kumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah tahu
bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong - pai pula.
Kalau yang muncul ini suami isteri ketua Tai - bong - pai, berarti mereka ini adalah ayah ibu
pemuda Kwa Sun Tek,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tentu dia akan celaka!
Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telun-juknya kepada muka Malisang dan
dengan suara dingin nenek itu berkata, "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa
anak buahmu dan jangan engkau berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih
lama lagi!" Malisang adalah seorang kepala suku yang li-hai dan bertubuh kuat, tidak pernah
merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang
kakek dan nenek yang telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi
ketika mendengar ucapan nenek itu yang amat memandang rendah kepada-nya, dia segera
mengeluarkan suara menggeleng seperti seekor biruang dan diapun menubruk ke
depan dengan kedua lengannya yang panjang itu menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya
dengan jari - jari terbuka mencengkeram.
"Duk! Duk!" Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tang-kisan yang dilakukan oleh kakek itu
yang mewakili isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga
mengeluarkan seruan marah
ketika merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan
raksasa Mongol yang ber-tenaga raksasa itu. Malisang segera menyerang la-gi, mengerahkan
kekuatan dan kekebalannya. Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong - pai,
seorang tokoh yang memiliki ilmu mu-jijat. Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong - pai itu,
sudah amat lihai. Apa lagi kakek ini adalah ayahnya, ketua Tai - bong - pai yang ten-tu saja telah
menguasai ilmu - ilmu siluman dari Tai - bong - pai dengan sempurna. Baru belasan jurus saja,
Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya roboh terguling dengan darah me-rembes
keluar dari tubuhnya bercampur keringat-nya. Dia telah terkena ilmu ampuh Tai - bong - pai,
yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak bu-ahnya memandang dengan mata terbelalak, bahkan
Liu Pang sendiri sampai bergidik. Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai - bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap
seorang ketua yang berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan
menjadi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
korban ilmu-nya, dia lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua
butir pel itu ke arah Ma-lisang sambil berkata, "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan
sampai engkau mati oleh pu-kulanku. Minumlah dua butir pel penawar itu!"
Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi dia-pun maklum bahwa kalau tidak
memperoleh obat penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan
diri dan mengam-bil dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang
merembes keluar dari pori-pori kulit tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu
dan tahu bahwa melawan tiada gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh
anak buahnya, tanpa mengelu-arkan kata - kata lagi.
Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak
buahnya te-lah dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan
apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh suami isteri iblis Tai-bong - pai yang menyeramkan
itu. "Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami
yang nakal itu " Kami khawatir sekali, ia pergi
tanpa pamit, padahal ia belum sembuh benar
" Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami isteri yang
seperti ma-yat hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka,
iapun tidak banyak bicara dan hanya menjawab, "Saya sendiri tidak tahu, bibi." Pek Lian
masih meragukan keadaan suami isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya
bahwa Kwa Siok Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis
itu kini bahkan bersekong-kol dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak
yang bersekutu dengan Darah 22 57 pejabat - pejabat daerah " Sukar diduga keadaan orang-orang Tai - bong - pai,
maka ia merasa lebih aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka.
"Sudahlah, mari kita mencari di tempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan
sekali berke-lebat, dua orang itu lenyap dari situ seperti menghi-lang saja. Hanya bau
dupa harum yang lapat-lapat masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya. Mereka berdua
bergidik ngeri. Sungguh, banyak terdapat orang - orang lihai yang aneh di dunia ini dan agaknya,
dalam keadaan negara dilanda keka-cauan, tokoh - tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan
aneh - aneh pada bermunculan keluar da-ri sarang mereka.
Setelah suami isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka
yang kini bersekutu dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak
dibicarakannya dengan mereka tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan men-dapatkan kesan baik
dari ibu Siok Eng dan siapa tahu ketua Tai - bong - pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak
gadis itu dan akan menen-tangnya. Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu
saja, Liu Pang lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat
itu, mengambil jalan memutar melalui tempat - tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri
dengan pa- sukan lain yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam - pang. Mereka mengambil
jalan di lembah bukit yang terjal dan sunyi, dengan hati - hati mereka melalui jurang - jurang
dan tanah yang penuh dengan dinding-dinding karang dan gua-gua. Setelah matahari menyingsing,
mereka beristirahat sambil bersembunyi di dalam sebuah guha di mana mereka bersila
untuk memulihkan tenaga. Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia,
mereka me-lanjutkan perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba di tepi sebuah sungai.
"Hati - hati ada asap di depan itu, tentu ada orangnya di sana," kata Liu Pang.
Mereka lalu menyelinap dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati
tempat itu. Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Di depan
sebuah gua kecil nampak seorang laki - laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi
sebuah api KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
ung-gun. Laki - laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan
mengeluarkan bau sedap, sedangkan di dekatnya duduk seorang ga-dis yang menundukkan mukanya
dan gadis itu termenung menatap ke dalam api unggun seperti orang yang sedang bersedih-
Di tempat persembunyian mereka yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang
mereka intai, Pek Lian menyentuh tangan gurunya dan berbisik, "Suhu, dia adalah
si jahat Jai - hwa Toat-beng - kwi yang tersohor itu."
Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki - laki tampan pesolek
itu kini me-nyodorkan sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan
sedih. "Nih, makanlah, agar engkau tidak nampak lesu begitu."
Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak.
Diterimanya po-tongan daging panggang itu dan gadis itupun ma-kan karena memang perutnya
amat lapar. Jai-hwa Toat - beng - kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain.
"Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan
senang." Keduanya makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya
terisi arak karena tercium bau arak ketika laki - laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa
minum arak walaupun ia kelihatan tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung
himcwe emasnya dan tercium-lah bau asap tembakau.
"'Aku sudah banyak mendengar tentang jaha-nam itu," bisik Liu Pang. "Gadis itu
tentu seorang korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusik-nya. Penjahat seperti
dia banyak muslihatnya. Ja-ngan-jangan urusan kita malah menjadi berantak-an. Kaum sesat
seperti mereka itu kini bersatu di bawah Si Raja Kelelawar, sangiat berbahaya kalau mencari
perkara dengan mereka. Dia sendiri sih tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan - ka-
wannya muncul, berbahaya juga. Mari kita meng-hindar saja."
Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sem-pat pergi, tiba - tiba terdengar
siulan nyaring yang menuju ke tempat itu. Terpaksa mereka menyeli-nap dan bersembunyi lagi
sambil mengintai. Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita
yang berwajah cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tigapuluh tahun dan
gerakannya cepat sekali, dan kini setelah berdiri di dekat api unggun, mata-nya yang jeli
mengerling ke arah si Jai - hwa Toat-beng - kwi, lalu kerling mata itu menyambar ke arah si gadis yang
bermuka sedih dan wanita ini tersenyum mengejek, bibirnya yang merah berjebi.
"Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik !"
Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata
bukan wanita penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang -
orang yang di dunia kang-ouw sudah terkenal sebagai tokoh - tokoh kaum sesat. Ada sembilan
orang banyaknya dan kini Jai - hwa Toat - beng - kwi bangkit berdiri dan mengomel.
"Wah, sampai penat - penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong -
ya ! Siauw- kwi, bacalah keras - keras agar semua orang mendengarnya !" kata jai-hwa Toat -
beng - kwi sambil melemparkan segulung kertas ke arah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu
menyambar cepat dan ditangkap oleh Pek - pi Siauw - kwi yang segera membuka gulungannya
dan terdengarlah suaranya yang lembut namun nyaring itu.
"Sekalian rakyatku yang malang-melintang di rimba raya dan sungai telaga,
dengarlah baik- baik ! Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. Pem-berontakan terjadi di
mana - mana. Negara berada dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para
pemberontak sedikit demi sedikit men-duduki daerah - daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja di
sekitar kota raja yang masih tersisa. Nah, sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada
kalian itu tiba. Berkumpullah kalian semua ke kota raja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita
akan bersuka ria dan kejayaan ber-ada di tangan kita!"
Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pek - pi Siauw - kwi, semua orang
menyambut gembira. "Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong - ya!" Kalau saja mereka semua
belum me- nyaksikan sendiri kehebatan orang yang kini men-jadi pemimpin mereka itu, tentu
para tokoh sesat ini tidak akan mudah begitu saja mempercayai jan-ji yang dikeluarkan
sedemikian mudahnya. Bergerak di kota raja ! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya
hal ini akan dianggap seperti orang mencari mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah
percaya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan apapun yang diperintahkannya akan mereka
taati tanpa banyak ragu lagi. Sambil bersorak - sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai -
hwa Toat beng-kwi sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan
penjahat cabul itu-pun berkelebat pergi.
Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama
pergi, mereka masih saja bersembunyi di tempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan,
malam amat gelap dan kini api unggun itu telah padam. Di dalam kegelapan ini sukar diketahui
apakah benar - benar tempat itu telah bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman
pendengaran saja Liu
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pang meneliti keadaan di tempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti
dulu sebelum meninggalkan tempat persembunyian mereka.
"Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya. "Golongan
sesat yang dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan
negara, bahkan mereka itu langsung bergerak ke kota raja. Ini benar-benar merupakan hal yang
amat gawat. Jenderal Beng Tian dan putera mahkota sudah tidak berada di kota raja dan kini
keadaan akan menjadi sema-kin kalut. Kiranya di istana yang dapat diandal-
kan kini hanyalah pasukan pengawal istana saja. Sedangkan barisan kita sendui
kini masih tertahan di daerah ini. Untuk mencapai kota raja masih melalui jalan yang
panjang dan sukar. Bagaimana-pun juga, kita harus cepat dapat mencapai kota raja, jangan sampai
didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau istana sampai dikuasai
oleh iblis - iblis pimpinan Raja Kelelawar, ahh jangan sampai terjadi hal itu!
Kita harus cepat mencari pasukan kita."
(Bersambung jilid ke XXIII)
xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid XXIII * * * TIBA - TIBA Liu Pang memegang tangan mu-ridnya dan menyuruhnya jangan
bergerak. Bulan sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan di dalam cuaca
yang suram - muram itu nampak bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali. Tahu - tahu,
seperti setan saja di tempat itu, tak jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua
orang kakek berjenggot putih panjang. Mereka adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah
panjang berwarna coklat dan di bagian dada jubah itu nampak jelas lukisan na-ga terbuat
dari pada benang kuning emas. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak - gerik kedua orang
kakek itu, guru dan murid ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki
kesaktian dan sedikit saja mereka mengeluarkan suara tentu akan terde-ngar oleh dua orang
kakek itu. Seorang di antara mereka, yang lebih muda, menuding ke arah bekas api unggun dan
terdengar suaranya lirih, "Lihat, suheng. Iblis - iblis itu ten-tu baru saja berkumpul di
sini. Sungguh menghe-rankan, mereka itu biasanya bergerak sendiri - sen-diri, kalau sampai
mereka dapat berkumpul, tentu telah terjadi hal yang amat luar biasa."
"Benar, memang telah terjadi hal yang luar bia-sa," kata temannya. "Munculnya
seorang pelindung seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan ke-pada mereka untuk tumbuh,
keadaan mereka se-perti harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang
sudah cukup menderita sengsara akibat peperangan - peperangan itu. Mereka itu menjadi
semakin berani dan ganas karena mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada
kekuatan yang berani menghalangi mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk me-nanggulangi para
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
pemberontak. Musuh bebuyutan mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk
melawan pemerintah." "Para iblis itu mengganas di kota raja sekalipun, takkan ada yang menghalangi.
Bukankah ini sudah keterlaluan sekali " Bagaimana jadinya dengan ne-gara ini nanti ?"
"Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak,
sudah kuhancur-kan orang - orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju
dengan sikap marah. "Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang - orang itu.
Hayo kita pergi, benteng itu tidak jauh lagi dari sini."
Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi
memang sudah hebat dan menunjukkan betapa mereka itu rata - rata berkepandaian tinggi. Akan
tetapi, tingkat kepan-daian dua orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka
berkelebat lenyap, Liu Pang menghela napas panjang.
"Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan
suara. Entah dari golongan manakah mereka itu " Agaknya mereka tidak menyukai golongan
Chu Siang Yu mau-pun golongan kita. Dan mereka amat membenci anak buah Raja Kelelawar.
Mereka juga tidak su-ka kepada golongan yang mengkhianati pemerin-tah. Hemm, sungguh aneh,
mereka itu dari golong-an mana dan berpihak kepada siapakah ?"
"Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak
beradik Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orangj-orang tadi masih
terhitung susiok kakak ber-adik itu. Guru orang - orang tadi adalah murid ke dua dari mendiang
Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu di tempat
kediaman murid keturunan Sin - kun Bu - tek, yaitu ketua Thian - kiam - pang. Agaknya di antara
kedua orang tua itu terdapat persahabatan yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thian-
kiam-pang adalah keluarga kai-sar, maka kurasa kedua orang itupun tentu termasuk pengikut
kaisar." Liu Pang mengangguk - angguk. "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa
sebenarnya tugas yang mereka terima dari guru mereka itu ?"
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah
malam, tibalah mereka di suatu padang rumput Kini bintang berta-buran di langit bersih
sehingga cahaya cukup me-nerangi keadaan sekeliling.
"Suhu, lihat di sana itu ! Apakah itu
?" Pek Lian menunjuk jauh ke depan. Guru dan murid itu memandang dan jauh di depan
nampak peman-dangan yang amat menarik. Seolah - olah ribuan bintang di langit itu
bergerak turun dan berbaris di atas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip.
"Hemm , itu sudah pasti sebuah barisan
pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedi-
kitnya tentu ada limaribu orang, dan ada iring-
iringan kereta lagi, hemim
entah pasukan ma- na yang bergerak pada malam hari ini ?"
Mereka lalu cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati, kemudian
bersembunyi di balik pohon - pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan
ringkik kuda, juga bunyi roda kere-ta sudah terdengar oleh mereka, diseling berkerin-cingnya
senjata para anak buah pasukan. Dugaan Liu - bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak
itu adalah sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani
terlalu mendekatkan diri, dan hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada di
lereng bukit itu. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda mendekat dan nam-paklah beberapa orang
perajufit pengawal mengi-ringkan dua orang raksasa. Pek Lian terkejut sekali mengenal
bahwa raksasa pertama adalah Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol de-ngan
pasukan daerah itu. Kiranya orang Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pu-kulan
mujijat ketua Tai - bong, - pai dan kini sudah berada di sini, agaknya memimpin pasukan besar
yang melakukan gerakan di waktu malam itu. Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika
mengenal raksasa ke dua yang lebih besar lagi tubuhnya dari pada si tokoh Mongol. Dan iapun menjadi
gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata adalah Tiat - siang - kwi (Setan Gajah
Besi), tokoh ke dua dari para iblis Ban - kwi - to itu ! Tentu saja guru dan murid itu tak berani
banyak berkutik ketika KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
melihat betapa dua orang raksasa bersama penga-walnya itu kini berhenti di dekat
pohon - pohon tempat mereka bersembunyi!
"Ha - ha !" Raksasa Ban - kwi - to itu tertawa bergelak ketika mereka itu
memandang ke arah pasukan yang lewat di bawah. "Kalau kota raja se-
dang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, lang-sung menyerang kota raja terus
menduduki istana-nya, apakah sukarnya ?"
"Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara ! Keadaan istana dan kota raja memang
ka-lut, akan tetapi bukan itulah yang selama ini me-musingkan kami, melainkan si
petani Liu Pang itu-lah ! Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan
menyerbu kota raja." "Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu
bahwa kami mau mem-bantu karena pasukanmu hendak menyerbu istana di kota raja," kata pula si
raksasa dengan suaranya yang lantang. "Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu istana,
tentu kami akan mem-beri kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara - saudaramu untuk
berpesta - pora sepuas-nya di istana. Ha - ha - ha !"
"Huhh !" Tiba - tiba raksasa dari Ban-
kwi - to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia celingukan ke
kanan kiri, ke belakang dan hidungnya terdengar mendengus - dengus. "Aku mencium bau daging
wanita muda! Ada wanita muda di sekitar tempat ini!"
Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging
manusia ini benar - benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja.
Akan tetapi Malisang tertawa. "Saudara Tiat - siang - kwi benar - benar memiliki penciuman
yang hebat. Memang ada wanita-wa-nita di dalam barisan itu. Di dalam kereta itu terdapat
para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi dan kita kawal!"
"Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada di sini, di sekitar tempat ini!" kata
raksasa itu dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar di mana Liu Pang dan
muridnya bersembunyi. Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi di atas pohon besar itu,
di antara dahan - dahan dan daun - daun pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu
menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup
kencang penuh ketegangan. Liu Pang sendiri sudah bersiap - siap untuk meloncat turun dan kalau
perlu mengadu nyawa melindungi mu-ridnya.
Akan tetapi, ketika tiba di bawah pohon besar itu, Tiat - siang - kwi bukan
menengok ke atas, me-lainkan membungkuk ke bawah dan tangannya menyambar ke arah sehelai
ikat pinggang yang berkembang merah. "Inilah wanita itu
!" katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam
tanah. Malisang menghampiri dan memandang heran.
"Eh, ini tanah galian baru !" katanya dan dia-pun membantu raksasa itu menarik
ikat pinggang yang sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka
dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang su-
dah menjadi mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek
Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal
bahwa itulah gadis yang mereka lihat bersama Jai-
hwa Toat - beng - kwi itu ! Kiranya gadis korban
penjahat cabul itu telah dibunuh dan mayatnya
dikubur secara sembarangan di bawah pohon itu.
"Heii ! Mayat siapakah itu ?" Ter-
dengar seruan orang dan seorang pria muda yang
rambutnya riap-riapan tahu-tahu muncul di situ.
Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-
pai itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Entahlah, kami temukan ia terkubur di sini," jawab Malisang. Kwa Sun Tek
berjongkok meme-riksa. "Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi.
"Kwa - sicu, apa maksudmu ?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap
pemuda ini seper-ti orang marah - marah dan mencari - cari sesuatu.
"Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel. "Para penjahat itu sungguh
tidak me-mandang sebelah mata kepada kita! Berani meng-ganggu barisan kita yang besar.
Seorang dayang gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga gubernur. Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menan-tang sekali " Seorang di
antara mereka, kalau tidak salah yang berjuluk Pek - pi Siauw - kwi, terkena pukulanku,
akan tetapi ia gesit sekali dan dapat melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari ke dalam
hutan, bagaimana aku dapat menge-jar mereka ?"
"Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita
bisa kapiran. Hayo kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan
sebelum matahari terbit." Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu.
Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian me-nyaksikan iring - iringan yang besar
dan ternyata bahwa pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing.
Mereka agaknya meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir
barisan itu nampak kereta - kereta, di antaranya gerobak suami isteri Ban - kwi - to yang
sudah amat dikenal oleh Pek Lian itu. Melihat ini, Liu Pang berpikir. "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur
daerah itu bukan hanya bersekongkol dengan orang - orang asing, akan tetapi juga dibantu
oleh kaum sesat."Setelah barisan itu lewat dan suasana di situ menjadi sunyi lagi, Liu
Pang dan muridnya turun dari batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada
mayat gadis yang ma- sih menggeletak di bawah pohon. Liu Pang me-narik napas panja*
"Gadis yang malang "
"Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita,
suhu," kata Pek Lian. Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu.
Setelah itu, keduanya lalu dengan hati - hati melanjutkan perjalanan. Semua
pengalaman yang dialami oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat
berharga baginya. Tanpa disengaja dia telah memperoleh banyak ke-terangan mengenai
keadaan musuh - musuhnya se-hingga dari semua pengalaman ini dapat dipergu-nakannya untuk
menyusun siasatnya kelak ketika dia memimpin pasukannya sampai berhasil.
* * * ** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak beradik yang
melakukan perjalanan ke kota raja dan diikuti oleh A - hai itu. Makin mendekati
kota raja, kakak beradik ini me-lihat betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa.
Memang arus para pengungsi berku-rang akan tetapi ketegangan terasa di mana - mana. Kota - kota
menjadi sunyi, dusun - dusun diliputi ketegangan dan ketakutan. Para penjahat berpes-ta-pora,
melakukan aksi di mana saja, terutama sekali di sekitar kota raja. Para penjahat ini tahu bahwa
para perajurit sedang sibuk bertempur menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas kea-manan hanya
lemah dan sedikit saja, bahkan para petugas keamanan sendiri ikut - ikutan bersikap
sewenang - wenang karena tidak diawasi oleh atas-an mereka yang sibuk sendiri. Para penjahat yang
memiliki kepandaian seperti menjadi raja - raja ke-cil atau penguasa - penguasa yang
menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keaman-an, juga para pendekar menentang
mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang me-ninggalkan rumah dan bergabung dengan
pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang para pengacau. Keadaan sungguh kalut
dan hu- kum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang.
KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
Para hartawan dan para pejabat, orang - orang terkemuka dan mampu, menggaji
barisan tukang pukul untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka
ini mendekati para penja-hat, menyogok sana - sini agar keluarga mereka ti-dak diganggu.
Segala macam perbuatan kejipun terjadilah di malam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan
dan kerusuhan karena persainganpun terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat me-nyedihkan.
Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A - hai juga melihatnya, akan tetapi
pemuda yang linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan.
Sebaliknya, kakak ber-adik yang berjiwa pendekar itu merasa berduka se-kali. Mereka prihatin
menyaksikan keadaan ini, melihat bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah
rakyat jelata yang miskin dan lemah. Rakyat yang tidak mempunyai pelin-dung dan tidak kuasa
melindungi diri sendiri inilah yang ditindas, diinjak - injak, disiksa, dibunuh, di-perkosa hak
- haknya, sedikitpun tidak ada kemam-puan untuk membalas dan biasanya hanya mena-ngis saja.
Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang
terletak di sebelah tenggara kota raja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang di
depan, memasuki pintu gerbang utara untuk menuju ke arah kota raja. Kota kecil ini
biasanya cukup ramai akan tetapi sekarang di balik keramaian itu terasa adanya ke-tegangan dan
rasa takut membayang dalam pandang mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya
berdagang. Baru sampai di pintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang
amat mengheran-kan. Mereka melihat betapa setiap orang yang le-wat di situ
menghampiri sebuah sudut di pintu gerbang. Di situ berdiri sebuah guci besar, tinggi-nya ada satu
meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit di bagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci
itu lalu memasukkan uang ke dalam mulut guci. Di belakang guci itu duduk ber-sila seorang
laki - laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Di sekitar tempat itu terdapat enam
orang laki - laki yang rata - rata berwajah se-rem dan bersikap galak. Mereka inilah yang meng-
amati setiap ada orang memasukkan uang ke da-lam guci, dan orang - orang yang memasukkan uang
itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya, seolah - olah
hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang secukupnya. Dari
sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut
terhadap orang - orang yang menjaga guci itu.
Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak
tahu apa artinya guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat di pintu gerbang itu.
Maka Seng Kun dan Bwee Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang
menghampiri guci itu dengan mulut kemak - kemik dan muka pucat, mata terbelalak
membayangkan rasa takut. Nenek itu berusia hampir enampuluh tahun, memikul ke-
ranjang sayuran yang kosong. Melihat pakaiannya, tentu ia seorang nenek dusun yang baru
saja pu-lang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sa-yur - sayuran. Dengan tangan
gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak me-
masukkannya ke dalam mulut guci. Akan tetapi tiba - tiba terdengar bentakan
keras dan nenek itu terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki
- laki tinggi besar yang membentaknya tadi. "Nenek mau mampus ! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang
tiada har-ganya itu?" Seorang di antara enam laki-laki ga-lak itu membentak dan
menghampiri dengan sikap mengancam. "Ampun saya saya tidak punya uang
" nenek itu berkata dengan suara gemetar dan
merangkapkan kedua tangan, memberi soja berka-li-kali.
"Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran
sepikul " Hayo cepat beri lima kali itu !"
"Akan tetapi ah cucu saya sakit pa- nas ....... uang penjualan sayur nanti untuk mem-
beli obat " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
"Alasan ! Biar cucumu mampus ! Cepat beri-kan uang itu !"
"Tidak tidak nanti bagaimana cucu-
ku " "Plak !" Laki - laki kasar itu menggerakkan ta-ngan menampar dan nenek itu
terkena tamparan pada pipinya, membuatnya terpelanting.
"Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan
hendak melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan.
"Manusia berhati kejam seperti binatang!" Ti-ba - tiba nampak bayangan
berkelebat dan Bwee Hong sudah berada di situ, menyambar tubuh ne-nek itu sehingga terluput
dari tendangan. Dengan sikap halus Bwee Hong mengajak nenek itu ber-diri di tepi jalan,
membersihkan baju nenek itu dan menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata, "Nenek,
pakailah uang ini untuk membeli obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini."
Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan
cepat pergi terbongkok - bongkok. Sementara itu, laki - laki tinggi besar tadi
memandang kepada Bwee Hong dengan muka merah. Dia hendak marah, akan te-tapi begitu melihat wajah yang
cantik jelita itu, kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah
tersenyum lebar dan matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu.
"Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah ! Nona
manis, kalau no-na yang mintakan, ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know
How To Register.]*** bng - tukang pukul yang pandai ilmu silat. Melihat nona cantik itu menggerakkan
ta-ngan menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih
dan hendak menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menam-par. Akan tetapi, tiba tiba ada
bayangan menyam-bar dari bawah dan tahu - tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului
tangan kirinya, menen-dang tinggi ke atas dan menyambar ke arah muka pria itu dengan kecepatan
kilat. "Plakkk !" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba
tiba saja membeng-kak, dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya
telah rontok terkena ten-dangan kaki Bwee Hong. Kiranya nona ini telak sudi menyentuh muka
orang dengan tangan dan tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan me-mancing belaka
sedangkan yang sungguh - sung-guh menyerang adalah kakinya.
Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami
penghi-naan seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata
pandai ilmu silat. Bagaimana-pun juga, mereka masih memandang rendah. Bo-leh jadi nona ini pandai
dan berhasil menendang muka kawan mereka, akan tetapi menghadapi mereka semua, tentu nona
ini, tidak akan mampu ber-buat banyak. Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan
untuk menangkap dan mem-balas dendam dengan menghina dara ini.
"Perempuan tak tahu diuntung ! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!"
kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan bertu-buh gendut pendek. Lima
orang itu dengan kedua tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan
seekor domba, lalu menu-bruk ke depan dari semua jurusan.
Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya
rontok tadi, se-kali ini benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini,
dikepalai oleh orang tinggi besar yang masih duduk bersila, bersikap sewenang - wenang di kota kecil
itu, merajalela seperti raja - raja kecil memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut
mereka sendiri, tanpa ada yang dapat menentang mereka. Kini, mereka kecelik dan benar-benar
bertemu batunya. Mereka hanya meli-hat tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nam-pak bayangan
berkelebatan dan bagaikan terbang saja Bwee Hong berloncatan ke sana - sini, mem-bagi - bagi
tendangan dengan kedua kakinya, su-sul - menyusul dan ganti - berganti. Terdengar sua-ra
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan perut, disusul teriakan kesakitan dan enam
orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri
dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh - aduh.
Ada yang pe-rutnya mendadak menjadi mulas, ada yang dada-nya sesak sukar bernapas,
ada yang KANG ZUSI website http://kangzusi.com/
patah tulang dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya ron-tok ! Hebat memang
sepak terjang Bwee Hong dengan kecepatannya yang membuat semua lawan-nya roboh tanpa mereka
ketahui apa yang sebe-narnya menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi.
Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat se-perti seekor srigala marah dan tahu -
tahu laki- laki tinggi besar yang tadi duduk bersila di belakang guci uang, melompat ke
atas dan dengan kedua lengan bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk ke arah
Bwee Hong. Jelaslah bahwa dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam
orang temannya tadi dan memang sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang
tentu saja memiliki ilmu silat yang lebih lihai. Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau
dan dengan loncatan itu, dia sudah me-nerkam ke arah Bwee Hong, mencengkeram ke arah kepala dan dada
gadis itu. Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Pendekar Patung Emas 26