Pencarian

Golok Kelembutan 7

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 7


ini, inilah pertempuran wajib yang harus kita hadapi, berhasil menggetarkan
dunia persilatan atau lenyap dari muka bumi, semuanya tergantung pada hasil
pertarungan nanti," kata Pek Jau-hui, kemudian kepada Lui Tun dan Thio Than
katanya, "Cuma sebelum kita turun tangan, harus diper?jelas dulu duduknya
persoalan, dia datang sebagai musuh kita atau datang sebagai sahabat?"
"Mi-thian-jit bertujuan menangkap aku, kalian tak perlu turun tangan," kata Lui
Tun. "Sayang demi Kim-hong-si-yu-lau, aku tak akan memberi kesempatan kepada Kwan Jit
untuk mengumbar kejumawaan-nya di tempat ini," kata Pek Jau-hui angkuh.
"Baik, dalam kondisi harus menghadapi musuh yang sama, tentu saja kita harus
bersahabat," kata Lui Tun.
"Kita memang selamanya bersahabat," tukas Ong Siau-sik cepat, "sahabat karib!"
"Tapi kalian mesti menjelaskan dulu, sebetulnya Mi-thian-jit itu terdiri dari
berapa orang?" tanya Un Ji keheranan.
"Hanya satu orang! Tapi anak buahnya terdiri dari enam orang jago tangguh, baik
ilmu silat maupun kecerdasan mereka terhitung luar biasa."
"Seperti Ci Thian-ciu?" tanya Un Ji sambil mencibir.
"Dia?" Lui Tun mendengus sinis, "jangan lagi menjadi ja?goan tangguh, mau masuk
lingkaran dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng saja sudah tak mampu"
Sambil mendengus Un Ji segera mengayunkan goloknya, ia berkata, "Aku jadi ingin
membuktikan, sebetulnya dia seorang memiliki berapa banyak batok kepala
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, kembali serunya, "Sialan, perempuan yang
bernama Lui Moay itu, dia telah mencuri sarung golokku!"
"Aku yang mencuri sarung golokmu," tiba-tiba Thio Than mengakui.
"Kau?" teriak Un Ji marah.
Lekas Lui Tun menghiburnya, ia berkata, "Sebetulnya Lui Kun berniat menangkapmu,
karena tak berhasil membujuknya, maka aku suruh Thio kecil dengan mencatut nama
Lui Moay pergi mencuri sarung golokmu, maksudku adalah memberi peringatan agar
kau secepatnya meninggalkan kotaraja, tak usah mencampuri urusan ruwet di sini."
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, "Thio kecil pandai menggunakan delapan
cara ilmu mencuri serta delapan besar dunia persilatan, dia terhitung salah satu
copet paling unggul di antara tiga jagoan lainnya."
"Terlalu memuji," Thio Than tertawa merendah.
"Hmmm, jangan keburu senang," sindir Tong Po-gou sam?bil mendengus dingin,
"kehebatanmu paling hanya bisa menco?pet barang orang lain."
"Hahaha," Thio Than tertawa terbahak-bahak, "kalau bu?kan gara-gara mempunyai
ilmu mencopet, darimana aku bisa tahu kalau dalam saku seorang lelaki ternyata
menyimpan selembar saputangan milik kaum wanita."
Tong Po-gou segera meraba sakunya, tapi dengan cepat ia naik darah.
Melihat Thio Than sedang mengendus sebuah saputangan kain sutera, ia menjadi
jengah bercampur gusar, hardiknya, "Ce?pat kembalikan padaku!" Dengan cepat ia
menyambar ke depan. Sekali mengegos Thio Than berputar ke arah lain, cengke?raman Tong Po-gou pun
mengenai sasaran kosong. Pada saat itulah dari arah depan, belakang dan sekeliling jalan raya itu bergema
suara seruling dan gembreng yang dibunyikan bertalu-talu.
Pada mulanya hanya terdengar dua pekikan nyaring yang menusuk pendengaran,
menyusul kemudian suara itu saling bersahut-sahutan hingga makin ramai.
Akhirnya dari empat penjuru bergemalah suara pekikan seperti tiupan seruling
yang gegap gempita. "Jangan berisik!" Lui Tun maupun Un Ji segera menghar?dik Tong Po-gou dan Thio
Than. Kedua orang jago itu serentak menghentikan keributannya.
Cuaca makin lama semakin bertambah gelap, awan pun makin lama semakin
menyelimuti langit. Suara seruling itu makin lama semakin nyaring, bagaikan sebilah pisau yang sudah
lama dibakar di atas api kemudian dihujamkan ke atas dada.
ooOOoo 32. Bukan bertanya pada Rakyat, tapi pada Setan
Irama seruling menggema di angkasa, tinggi tajam serasa menyayat telinga.
"Tampaknya kita sudah kedatangan banyak tamu tak di?undang," bisik Pek Jau-hui.
Biarpun cuaca di luar berubah hebat, paras mukanya sama sekali tak berubah.
"Perkumpulan Mi-thian-jit -seng telah mengerahkan begitu banyak jago, tampaknya
mereka bertujuan menangkan perta?rungan ini," kata Ong Siau-sik.
"Makin banyak orang semakin baik, malah jadi ramai!" sela Thio Than sambil
tertawa. "He, pencuri yang tak tahu malu, cepat kembalikan barang milikku!" terdengar
Tong Po-gou masih ribut. "Kalau punya kepandaian, ambil saja sendiri!"
Tong Po-gou sangat gusar, ia segera mengejar, tapi Thio Than kembali mengegos,
kejar-mengejar pun segera berlang?sung, tanpa terasa jarak mereka berdua dengan
daun jendela tinggal tujuh langkah.
Baru saja Un Ji hendak menghardik Tong Po-gou untuk menghentikan ulahnya, tiba-
tiba terlihat Tong Po-gou serta Thio Than berdua telah menjebol dinding kayu
yang menghadap ke arah jalan raya, kemudian dengan gaya monyet sakti
menju?lurkan lengan dan naga emas menunjukkan cakar, mereka men?cengkeram
seseorang dan melayang balik ke dalam ruangan.
Ternyata orang itu adalah sang pelayan rumah makan.
Pelayan itu dijepit di bawah ketiak Tong Po-gou, sementara jalan darahnya
ditotok Thio Than, dengan saling membetot, mereka menyeret pelayan itu menuju ke
ruang tengah. Karena dijadikan barang rebutan, pelayan itu jadi tersiksa setengah mati, nyaris
tak bisa menghembuskan napas.
Tampak paras mukanya berubah hebat.
Dengan wajah garang Thio Than segera menegur, "Meng?gunakan kesempatan ketika
mereka berdua melayang masuk ke dalam rudngan, kau menyelinap ke bawah jendela
dan mencuri dengar semua pembicaraan kami, hmm! Kau sangka aku tidak tahu" Kalau
ingin membandingkan ilmu cakar kucingmu de?ngan ilmu copet saktiku, huhh ...
masih selisih jauh."
"Sejak masih bersantap di bawah loteng tadi, aku sudah menaruh curiga pada
tampangnya, aku tahu dengan tampang malingnya itu, dia pasti bukan orang baik-
baik," sambung Tong Po-gou.
"Hmm, siapa bilang kau yang mengetahui duluan" Sudah jelas aku yang tahu
terlebih dulu" "Ada apa" Ingin berkelahi?" teriak Tong Po-gou dengan mata melotot, "kalau tidak
kau kembalikan barang milikku, ja?ngan harap aku Tong Ki-hiap akan melepaskan
dirimu." Pek Jau-hui tahu, dagelan kedua orang itu tak bakal ada habisnya, cepat dia
menukas, "Cepat jawab, kau berasal dari aliran mana?"
"Sebentar lagi kalian bakal mampus, buat apa menanyakan persoalan ini?" biar
sudah ditangkap, sikap pelayan itu masih angkuh dan jumawa, dalam pandangannya,
seolah semua yang ada dalam ruang loteng itu sebentar lagi bakal mampus.
"Ooh, kalau begitu kau adalah anggota Perkumpulan Mi-thian-jit-seng," kata Pek
Jau-hui sambil manggut-manggut.
"Baiklah, jika kalian tetap ingin tahu, akan kukatakan terus terang, aku adalah
wakil Toucu Perkumpulan Mi-thian-jit-seng, daerah pengawasanku adalah seputar
Sam-hap-lau." "Setahuku Sam-hap-lau masih termasuk wilayah kekuasa?an Kim-hong-si-yu-lau dan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tidak aneh kalau kalian pun menyebar mata-mata di
sekitar sini, boleh tahu siapa namamu?"
"Hmmm, hanya mengandalkan posisimu sekarang, masih belum pantas untuk mengetahui
namaku," kembali pelayan itu mendengus sinis.
Mendengar jawaban itu, Tong Po-gou maupun Un Ji seke?tika tertawa geli,
sementara Pek Jau-hui mulai berkerut kening, sekilas hawa membunuh terlintas di
wajahnya, tapi hanya se?jenak, kemudian sambil tersenyum ujarnya, "Dalam
pandangan?mu, kami adalah orang yang bakal mampus, sementara iden?titasmu juga
sudah ketahuan, berarti jika kami tidak jadi mati, kau pun jangan harap bisa
melakukan pengintaian lagi di wilayah ini. Kalau toh begitu, kenapa kau masih
menjadi kura-kura yang takut menyebut nama sendiri?"
"Baik, akan kukatakan terus terang. Hari ini orang-orang dari Rasul keenam bakal
datang semua kemari, bahkan bisa jadi Jit-seng-ya Rasul ketujuh akan hadir
sendiri di sini, kalian bakal mampus semua!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Aku disebut orang Kalajengking
air Tan Cian-kui!" Diam-diam Pek Jau-hui terkesiap, batinnya, "Tampaknya Perkumpulan Mi-thian-jit-
seng sudah mulai memukul gende?rang mengumpulkan kekuatan, mereka menggunakan
kesem?patan di saat Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong saling
berebut kekuatan, secara diam-diam menghim?pun kawanan jago persilatan untuk
bergabung dengan mereka. Si Kalajengking air adalah seorang perampok ulung dari
ka?langan liok-lim, dia tersohor di seputar wilayah Si-sui, sungguh tak nyana
sekarang sudah menjadi anggota perkumpulan Mi-thian-jit, kelihatannya pengaruh
mereka sudah makin melebar."
Sementara berpikir, dengan senyum tak senyum ia menya?hut, "Ah, rupanya Tan-
toucu, sudah lama kudengar nama besar?mu, sungguh tak disangka kini telah
bergabung dengan per?kumpulan Mi-thian-jit-seng, boleh tahu dari pihak kalian
siapa saja yang bakal datang?"
Belum sempat pelayan itu menjawab, mendadak terdengar seseorang menyahut dengan
suara dingin menyeramkan, "Kami semua telah tiba di sini, bukannya bertanya
langsung kepadaku, apa gunanya kau bertanya kepada dia?"
Ucapan itu seolah bergema di sisi telinga mereka yang ada dalam ruangan, hal ini
membuat Tong Po-gou dan Thio Than jadi amat terperanjat.
Terdengar Pek Jau-hui segera menyahut, "Bukan bertanya kepada Rakyat (Cong-
seng), bertanya pada setan (Kui-sin). Liu Cong-seng, Jin Kui-sin, kebetulan
sekali kedatangan kalian."
Tampak seseorang berjalan naik ke atas loteng dengan langkah lebar, sementara
seorang lagi menerobos masuk lewat daun jendela.
Begitu tiba dalam ruang loteng, kedua orang itu langsung bertarung sengit
melawan Tong Po-gou serta Thio Than, dalam waktu singkat mereka sudah saling
menyerang sebanyak tujuh gebrakan lebih.
Begitu dahsyat serangan yang dilancarkan, membuat Tong Po-gou berdua tak sanggup
lagi mempertahankan cengkeraman?nya pada tubuh pelayan itu, tak kuasa lagi
mereka melepaskan Tan Cian-kui.
Dalam waktu singkat Tan Cian-kui telah beralih tangan, kini dia sudah berada di
tangan kedua orang penerobos itu.
Dalam pada itu paras muka Tan Cian-kui telah berubah hebat, dia memang pantas
kaget sebab dia sendiri pun tidak tahu siapa nama sebentarnya dari Rasul ketiga
serta Rasul keempat, tapi Pek Jau-hui dapat menyebutnya sekaligus.
Darimana anak muda itu bisa mengetahui identitas mereka yang sebenarnya"
Yang membuat Tan Cian-kui lebih kaget lagi adalah ter?nyata Rasul ketiga dan
Rasul keempat adalah Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin, setahunya, kedua orang itu
merupakan gem?bong iblis paling kosen dalam kalangan hek-to, bahkan terkenal
sebagai dua orang pembunuh kelas atas.
Mereka berdua terkenal karena kemampuannya membu?nuh, malah sejajar nama
besarnya dengan organisasi pembunuh lainnya seperti kelompok Chin-si-beng-gwe-
han-si-kwan (saat Chin terang bulan saat Han buka gerbang), Boan-thian-seng,
Liang-cing-cing (bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip), Sin-put-ci,
Kui-put-kak (dewa tak tahu, setan tak merasa).
Orang persilatan memberi julukan kepada mereka berdua sebagai Yu-hoat-yu-thian
(ada hukum ada langit). Konon dikarenakan dua alasan maka mereka memperoleh julukan itu.
Pertama, karena mereka yang satu mewakili hukum dan satu lagi mewakili langit.
Kedua, karena mereka pernah bertarung melawan kelom?pok 'Berbuat onar semau
sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Kelompok 'Berbuat onar semau sendiri' merupakan pasu?kan andalan Kim-hong-si-yu-
lau, dulunya terdiri dari tiga puluh tiga orang dan kini tersisa dua puluh
sembilan orang karena ada empat orang sudah gugur dalam tugas.
Namun pengorbanan mereka sama sekali tak sia sia, setiap pengorbanan selalu
ditukar dengan satu nilai prestasi yang luar biasa, yang membuat Kim-hong-si-yu-
lau memperoleh manfaat yang amat besar.
Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin pernah bertarung melawan tiga puluh satu orang
jago kelompok 'Berbuat onar semau sen?diri', bukan saja mereka berhasil mundur dalam keadaan
sela?mat, bahkan berhasil membunuh dua anggota pasukan lawan. Sejak itulah
mereka berdua mendapat julukan 'ada hukum ada langit'.
Sejak pertarungan itu, konon hampir setengah tahun lama?nya Liu Cong-seng dan
Jin Kui-sin tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, katanya mereka sempat
menderita luka yang cukup parah dalam pertarungan itu.
Tan Cian-kui masih ingat dengan jelas, selama setengah tahun lamanya, Rasul
ketiga dan Rasul keempat memang belum pernah tampil dalam perkumpulan Mi-thian-
jit-seng. Tapi benarkah mereka tak pernah menampilkan wajahnya" Tan Cian-kui sendiri pun
tidak tahu, karena Mi-thian-jit memang tak punya wajah.
Kecuali Rasul ketujuh, setiap kali menampilkan diri, ke?enam Rasul yang lain
selalu muncul dengan mengenakan cadar, belum pernah satu kali pun tampil dengan
wajah aslinya. Bahkan Kwan Siau-te, adik kandung ketua mereka sendiri pun baru secara kebetulan
dapat menjumpai wajah asli saudara kandungnya itu setelah ia menikah dengan Lui
Sun. Dari ketujuh Rasul pembius langit, hanya Rasul ketujuh Jit-seng-ya yang benar-
benar merupakan 'Seng-cu', sementara keenam orang lainnya kendatipun menyandang julukan Rasul,
sesungguhnya hanya merupakan jago tangguh pelindung kese?lamatan Rasul ketujuh,
sementara urusan lain sama sekali tak punya kekuasaan untuk menentukannya.
Oleh sebab itu begitu Pek Jau-hui berhasil menyebut nama asli mereka, semua
orang jadi tertegun dibuatnya.
Diam-diam Tan Cian-kui menghembuskan napas lega, ber?untung dia sendiri pun
tidak tahu identitas sebenarnya dari Rasul ketiga serta Rasul keempat ini, kalau
tidak, kedua orang jago tangguh itu pasti menaruh curiga kepadanya, menyangka
dia yang telah membocorkan rahasia itu.
Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan kedua orang jagoannya, sebab wajah Rasul
ketiga tertutup oleh sebuah caping lebar yang terbuat dari bambu, sementara
wajah Rasul keempat ditutup dengan topeng wajah malaikat bengis.
Ong Siau-sik juga tak bisa melihat bagaimana perubahan mimik muka Jin Kui-sin
maupun Liu Cong-seng saat itu.
Dia hanya bisa melihat orang yang berperawakan tinggi itu mengenakan baju warna
biru dengan kancing warna kuning, wajahnya ditutup dengan topi caping yang
terbuat dari bambu, hanya dua lubang kecil saja yang tampak di atas caping itu,
dari balik lubang terpancar sinar mata yang menggidikkan hati.
Sementara yang satu lagi berjubah putih, sepatunya bersih lagi necis, kaus
kakinya putih dengan alas sepatu terbuat dari kain, dari balik topeng yang
dikenakan terlihat juga sorot ma?tanya yang jauh lebih tajam ketimbang rekannya.
Kendatipun Ong Siau-sik tak dapat melihat perubahan wajahnya, tapi dia tahu
tebakan Pek Jau-hui tadi pasti benar.
Jelas kedua orang jago tangguh itu amat terperanjat dibu?atnya.
Begitu muncul dan turun tangan, secara gampang kedua orang itu berhasil merampas
balik Tan Cian-kui dari tangan lawan, siapa sangka justru karena itu identitas
mereka malah ketahuan Pek Jau-hui.
Padahal perasaaan yang dialami Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng waktu itu bukan
cuma tercengang, mereka benar-benar terperangah dibuatnya.
Seingat mereka berdua, sewaktu turun tangan melancarkan serangan tadi, mereka
sama sekali tidak menggunakan jurus andalan masing-masing, darimana anak muda
itu bisa menge?tahui rahasia identitas mereka yang sebenarnya"
Lagi pula mana mungkin dari satu gerak serangan saja, orang itu sudah dapat
menebak identitas mereka secara benar"
Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin segera saling bertukar pan?dang sekejap, mereka
sadar, pertarungan yang bakal berlang?sung tampaknya tidak segampang dan
seringan apa yang mere?ka duga sebelumnya.
Sebenarnya kedatangan mereka berdua hanya punya satu tujuan, dan untuk mencapai
tujuan itu ada dua cara yang tersedia.
Pertama, membantai habis semua orang yang hadir, atau kedua, menakut-nakuti
semua orang yang hadir hingga semua?nya melarikan diri.
Oleh karena itu Jin Kui-sin segera memutuskan untuk men?coba dulu cara yang
kedua. "Kami datang kemari karena ketua ingin bertemu dengan nona Lui, asal dia
bersedia pergi bersama kami, maka orang lain tak akan kami jamah," kata Jin Kui-
sin dengan suara nyaring,
"akan tetapi jika ada yang tak takut mati, berani maju mengha?langi, terpaksa


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kukirim mereka menuju ke neraka."
Sejak awal dia memang tak siap membuat pihak lawan ketakutan lantaran
perkataannya itu, khususnya terhadap bebe?rapa orang anak muda yang kelihatan
acuh dan suka mencari gara-gara itu, dia sadar, biasanya manusia semacam ini
paling tidak takut mati, biar langit ambruk di hadapan mereka pun belum tentu
bisa membuat mereka ketakutan.
Dia memang paling tak suka dengan anak muda. Biasanya anak muda paling tak takut
mati. Mungkin bukannya mereka tak takut mati, tapi lantaran jarak mereka dengan saat
kematian masih terlalu jauh, maka mereka belum tahu bagaimana menakutkannya
menanti saat kematian. Benar saja, terdengar anak muda yang hitam bulat seperti tiang bundar itu sudah
menegur dengan suara keras, "Hei, kau yang bernama Liu Cong-seng atau Jin Kui-
sin?" "Aku Jin Kui-sin!"
"Hahaha, bagus sekali," seru Thio Than sambil bertepuk tangan, "kalau ada setan
yang jadi pengiringnya, biar mati pun pasti mati dalam suasana ramai."
Jin Kui-sin merasa anak muda jaman sekarang bukan saja tak takut mati, pada
hakikatnya sama sekali tak mengerti bagai?mana bersikap hormat kepada kalangan
tua dunia persilatan, apalagi dengan satu serangannya tadi ia berhasil memukul
mun?dur orang ini, dalam anggapannya kungfu yang dimiliki orang ini tidak
terlalu tangguh, maka dengan nada keras serunya, "Kau tahu, andaikata seranganku
tadi tidak kutahan separuh tenaganya, sekarang kau sudah tak sanggup mengoceh
lagi di sini." "Wah, kalau begitu kau sudah mengampuni jiwaku?" ejek Thio Than.
"Tadi aku hanya bertujuan menolong orang, bukan untuk membunuhmu, kalau tidak,
mungkin sekarang kau sudah dalam perjalanan menuju ke alam baka."
"Padahal aku sendiri pun sudah mengampuni nyawamu," ejek Thio Than sambil
membuka telapak tangannya, dalam genggamannya terlihat ada sebiji kancing
tembaga berwarna kuning. Sekilas pandang Jin Kui-sin segera mengenali kalau kan?cing itu adalah kancing
baju miliknya yang telah berkurang satu, diam-diam hatinya tercekat.
Terdengar Thio Than berkata lagi sambil tertawa terkekeh, "Coba kalau aku tidak
ingat bahwa Thian itu maha pengasih, sedari tadi aku sudah mengantar kau untuk
bertemu dengan nenek moyang setanmu."
"Kau ... !" teriak Jin Kui-sin penuh amarah, tapi ia tak melanjutkan debatannya,
dengan langkah lebar mendadak ia berjalan menghampiri Lui Tun.
"Mau apa kau?" Thio Than segera melakukan pengha?dangan.
"Berani menghadang berarti mati." "Kau ingin mampus" Silakan."
Jin Kui-sin tidak banyak bicara, dia membalik ujung baju?nya lalu melepaskan
sebuah bacokan. Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, benturan keras
membuat tubuhnya bergetar keras.
"Kenapa tidak segera menggelinding pergi?" bentak Jin Kui-sin sambil melepaskan
sebuah pukulan lagi. Kembali Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, kali ini
tubuhnya mundur satu langkah, wajahnya yang semula hitam pekat kini berubah jadi
pucat pias. Menyaksikan hal itu Tong Po-gou segera mengejek, "He, Gentong nasi, kalau sudah
tak mampu, biar aku yang mela?kukan penghadangan."
Tapi belum sempat dia bergerak maju, Liu Cong-seng sudah berjalan
menghampirinya. Jangan dilihat orang itu berpakaian necis, bersepatu bersih dan berjalan santai,
begitu dia melangkah maju, menerjang ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Tong Po-gou tak berani ayal, dia ikut melangkah ke depan, menghadang jalan pergi
lawan. Menyaksikan jalan lewatnya terhadang, Liu Cong-seng segera menggelengkan kepala
berulang kali, namun Tong Po-gou tidak menggubris, dia malah ikut menggelengkan
pula kepalanya. Kembali Liu Cong-seng menggoyangkan tangannya, mak?sudnya agar dia segera
menyingkir dari hadapannya.
Tong Po-gou tertawa menyengir, dia ikut menggoyangkan juga tangannya, bermaksud
agar kau saja yang pergi dari ha?dapannya.
Kali ini Liu Cong-seng tidak melakukan gerakan apa-apa lagi, ia berdiri tenang.
Melihat itu Tong Po-gou ikut berdiri tanpa bergerak.
Ketika Liu cong-seng menghela napas, Tong Po-gou meni?ru dengan menghela napas
pula. Tiba-tiba Liu cong-seng merangsek ke depan sambil me?lancarkan serangan, lima
jari tangannya dipentang lebar bagai?kan sebuah sekop, dia langsung menusuk dada
lawannya. "Cepat menghindar!" teriak Ong Siau-sik yang menyaksi?kan serangan itu.
Tak usah disuruh pun Tong Po-gou sudah menyingkir lebih dulu, jangan dilihat
badannya gede seperti raksasa, ter?nyata gerakannya berkelit jauh lebih cepat
dari suara. "Braaaak!", tusukan jari tangan Liu Cong-seng segera menghujam di atas tiang
kayu besar. Sebelum Tong Po-gou sempat membalikkan badan sambil melancarkan serangan, ia
sudah mencabut kembali jari tangan?nya.
Seandainya dalam genggamannya memegang sebilah go?blok, tentu saja peristiwa ini
bukan suatu kejadian yang aneh, tapi dia hanya bertangan kosong.
Sebuah tangan yang terdiri dari darah daging ternyata sanggup menusuk tiang kayu
sebesar itu secara gampang, bah?kan sewaktu mencabut keluar pun dilakukan secara
mudah, seolah menarik tangannya dari selembar kertas saja, kontan saja kejadian
ini membuat hati Tong Po-gou terkesiap.
Belum sempat ingatan kedua melintas dalam benaknya, Liu Cong-seng sudah
merangsek maju ke hadapan Lui Tun.
Jangan dilihat ia berjalan santai, kenyataan cepatnya bukan kepalang, dalam
waktu singkat ia sudah tiba di hadapan Lui Tun.
Tapi belum sempat melancarkan serangan, keempat orang dayang yang berada di
belakang Lui Tun sudah menerjang maju sambil melepaskan tusukan dengan
pedangnya. Biarpun tusukan dilakukan empat bilah pedang sekalius, ternyata hanya satu
desingan angin tajam yang terdengar.
Kerja sama keempat orang dayang itu memang luar biasa, jelas sudah melalui
latihan yang tekun dan ketat, oleh sebab itu bukan saja serangan yang
dilontarkan tertuju pada sasaran yang sama, bahkan dilakukan secara bersamaan
dan rapi. Empat bilah pedang dari empat sudut yang berbeda me?nusuk empat buah jalan darah
penting di tubuh lawan. Di sinilah letak kehebatan kerja sama ini, karena serangan yang dilancarkan
empat orang hanya menampilkan sepasang tangan, sepasang mata dan sebuah hati
yang sama. Jarang ada orang bisa menggunakan empat bilah pedang pada saat dan keadaan yang
sama, menggunakan empat jenis ilmu pedang yang berbeda dan menyerang dari empat
sudut yang berbeda. Namun serangan semacam ini ternyata tidak menyulitkan Liu Cong-seng untuk
menghadapinya. ooOOoo 33. Tolong Entah apa yang terjadi, tahu-tahu empat bilah pedang itu patah jadi dua.
Sepintas tampaknya keempat bilah pedang itu patah pada saat yang bersamaan,
sesungguhnya tidak. Liu Cong-seng sekaligus telah melancarkan empat buah
serangan, keempat buah serangan itu semuanya menggunakan gerakan empat buah jari
tangan, ketika disentilkan pada jarak tiga inci dari ujung mata pedang lawan,
seketika itu juga ujung pedang patah jadi dua.
Posisi tiga inci dari ujung pedang memang merupakan bagian terlemah dari sebilah
pedang, sama seperti bagian tujuh inci dari tubuh ular yang menjadi titik
kematian, ternyata semua serangan yang dilancarkan Liu Cong-seng ditujukan ke
arah situ. Berhasil menghajar keempat bilah pedang tadi, kembali dia melanjutkan langkahnya
mendekati Lui Tun. Tong Po-gou segera menyusul dari belakang, tampaknya dia hendak melancarkan
serangan ke punggung lawan.
Liu Cong-seng sama sekali tidak bereaksi, dia tetap melanjutkan langkahnya,
seakan dia memang sedang menunggu hingga Tong Po-gou melancarkan serangannya
terlebih dahulu. Siapa tahu ketika Tong Po-gou mengejar hingga tiga langkah di belakang
punggungnya, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, ternyata sewaktu berlarian
tadi ia dapat merasakan goncangan keras yang timbul di lantai ruangan itu, dia
kuatir lantai loteng itu ambruk, maka selain menghentikan pengejaran, dengan
sendirinya dia pun tak sanggup melancarkan serangan.
Waktu itu sebenarnya Liu Cong-seng sudah meningkatkan kewaspadaannya dengan
menghimpun seluruh kekuatannya, dia sudah siap menahan gempuran dari Tong Po-gou
dengan punggungnya. Siapa tahu serangan tidak jadi dilancarkan lawan, ini membuat tenaganya yang
terhimpun jadi sia-sia, ketika ditunggu sekejap lagi serangan tetap tak muncul,
dengan penuh kegusaran ia membalikkan tubuh.
Tapi sebelum sempat mengucapkan sesuatu, Tong Po-gou sudah berseru duluan, "Kau
sudah kalah." Sekali lagi Liu Cong-seng tertegun, agaknya ia tak mengerti apa yang dimaksud.
"Kau sudah kalah secara mengenaskan, sedemikian mengenaskan sampai aku tak tega
untuk melancarkan serangan lagi terhadapmu," kata Tong Po-gou lagi sambil
menggeleng kepala. Liu Cong-seng merupakan seorang jago yang tak pandai bicara, dia pun segan
banyak bicara, namun setelah mendengar ejekan itu, tak urung teriaknya juga,
"Apa kau bilang?"
"Habis sudah, ternyata sampai suaramu pun ikut jadi parau."
"Kau merah padam wajah Liu Cong-seng, dengan penuh amarah ia menyilangkan
tangannya di depan dada siap melancarkan serangan lagi.
"Ah, betul, bukankah ilmu yang kau latih adalah Cong-seng-ci (tusukan rakyat)
sedang ilmu andalan Jin Kui-sin adalah bacokan setan?"
Liu Cong-seng melengak, tapi segera mengangguk, dia benar-benar curiga bercampur
tak habis mengerti, padahal kepandaian yang mereka latih merupakan kepandaian
khusus yang jarang diketahui umat persilatan, darimana bocah itu bisa
mengetahuinya" Terdengar Tong Po-gou berkata lagi sehabis menghela napas, "Ai, ternyata ilmu
yang kalian berdua pelajari benar-benar merupakan ilmu pukulan sakti yang
mempunyai daya penghancur luar biasa ....... tapi tahukah kalian apa sebabnya
banyak jago berbakat dalam dunia persilatan yang gagal mempelajari ilmu duri
rakyat dan bacokan setan?"
Sebenarnya Liu Cong-seng enggan memberikan tanggapan, tapi ucapan Tong Po-gou
yang terakhir terasa sangat menggelitik rasa ingin tahunya sehingga tanpa sadar
ia bertanya, "Kenapa?"
"Nah, itulah dia, jadi kau belum tahu" Di sinilah letak kesalahanmu," kata Tong
Po-gou sambil berlagak serius, "kau tahu, apa sebabnya ilmu pukulan Cong-sin-ci
gagal mencapai puncak kesempurnaan" Ini disebabkan Jin-meh serta Tok-meh di
tubuhmu belum tembus jadi satu, apalagi bila tidak memiliki bakat alam yang
bagus, salah-salah kau bisa Cau-hwe-jip-mo (jalan api menuju neraka), paling
enteng kau kehabisan tenaga, kalau sampai parah bisa gila jadinya. Coba
bayangkan sendiri betapa hebatnya Si-hun-to, si Golok pelenyap sukma Tiau Siau-
hong serta si Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong, mereka adalah jago sangat
tangguh di kolong langit, tapi akhirnya ... mereka semua jadi orang idiot!"
Sejak kecil Liu Cong-seng memang sudah gemar belajar silat, banyak pengetahuan
yang ia peroleh dari berbagai pergaulan, maka setelah mendengar keterangan Tong
Po-gou itu dan dirasakan apa yang diucapkan ada benarnya juga, ia jadi kesemsem
dan mendengarkan dengan lebih seksama.
Tapi ketika dirasakan ada yang tidak pas dengan apa yang didengar, ia pun segera
berseru, "Eh, tampaknya Tiau Siau-hong bukan gila lantaran urusan itu, dan lagi
siapa itu Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong" Kenapa aku belum pernah
mendengar namanya?" "Thio Seng-cong?" Tong Po-gou melirik sekejap ke arah Thio Than yang masih
bertarung sengit di tengah arena, kemudian setelah pura-pura menghela napas,
terusnya, "jadi kau belum pernah mendengar nama itu" Berarti pengetahuanmu
betul-betul dangkal."
Liu Cong-seng kontan meradang, ia meraung keras. . "He, jangan meraung, begitu
kau menjerit, akan ketahuan semua titik kelemahanmu."
Liu Cong-seng agak tertegun, ternyata ia benar-benar tidak meraung lagi, namun
berbagai pertanyaan melintas di benaknya.
"Belakangan, setiap mendung atau hujan, bukankah jalan darah Siang-ci, Toa-ho,
Yu-bun dan Sin-hong di tubuhmu terasa sakit seperti ada hawa yang tersumbat
bukan" Bahkan kau pasti sering panas dalam bahkan batuk keluar darah?" kembali
Tong Po-gou bertanya. "Ya, benar, darimana kau tahu?" "Berarti semua yang aku katakan betul?" "Jalan
darah Toa-ho, Sin-hong sih tidak apa apa, tapi Yu-bun dan Siang-ci memang sakit
seperti ditusuk, waktu batuk juga ada darahnya. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Gawat, wah, gawat sekali, jika kau berani berkelahi lagi, jiwamu bisa
terancam." Jin Kui-sin yang sedang bertarung melawan Thio Than lekas berteriak, "Lotoa,
jangan percaya dengan omongan orang itu, dia sedang berbohong, cepat singkirkan
dia lalu bantu aku."
"Hahaha, hahaha," beberapa kali Thio Than ingin turut mengejek, akan tetapi
tekanan Jin Kui-sin yang begitu gencar membuat dia tak mampu mengucapkan kata-
kata. Beberapa saat kemudian ia baru berteriak dengan suara terbata-bata, "Kau ......
ce ......... cepat panggil ........ panggil bala bantuan........ hahaha
Sadar dirinya sedang dipermainkan orang, Liu Cong-seng jadi sangat berang,
kelima jari tangannya yang tajam bagai jepitan baja segera direntangkan lebar-
lebar, kemudian sambil menatap Tong Po-gou dengan mata tajam, hardiknya, "Kau
berani mempermainkan aku?"
Lekas Tong Po-gou mundur selangkah, sahutnya sambil menggoyangkan tangan
berulang kali, "Dengarkan dulu perkataanku, aku bukan sedang membohongimu, kalau tidak percaya,
coba himpun tenaga dalammu, bukankah jalan darah di seputar pinggang terasa agak
sakit?" "Benar," sahut Liu Cong-seng setelah tertegun sejenak.
"Kalau memang benar, kenapa mesti marah-marah" Cepat obati dulu luka dalammu."
Liu Cong-seng tidak banyak bicara, dia benar-benar mem?buyarkan tenaga dalamnya
yang telah terhimpun. Diam-diam Tong Po-gou menghembuskan napas lega, tapi ia kembali berkata,
"Tahukah kau apa sebabnya sampai begitu?"
"Apa sebabnya?"
"Sebab caramu berlatih menyimpang."
"Apa?" kembali Liu Cong-seng mencak-mencak gusar.
"Jika cara latihanmu tidak menyimpang, dengan mengandalkan tenaga murnimu yang
terhimpun dari Kun-goan-it-khi-sin-kang tak mungkin akan timbul perasaan sakit
di beberapa bagian tubuhmu, bukankah begitu?"
Liu Cong-seng tertegun, untuk beberapa saat lamanya dia tak berbicara lagi.
"Lotoa," Jin Kui-sin kembali berteriak keras, "jangan percaya dengan obrolan
ngawurnya itu, cepat bunuh orang itu dan segera bantu aku menangkap orang."
Kali ini Liu Cong-seng tak menggubris, malah tanyanya pada Tong Po-gou,
"Darimana kau tahu cara latihanku salah?"
"Yang kau latih adalah ilmu mengerahkan tenaga putaran kecil, Jin-meh serta Tok-
meh mesti dibuat tembus dulu, hawa murni baru bisa berputar lancar, dengan
lancarnya hawa murni, maka kau bisa menggunakan sistim latihan satu putaran
besar "Tapi aku sudah melampaui taraf itu, kenapa bisa terjadi hal semacam ini?"
Agak berubah paras muka Tong Po-gou, tapi segera sahutnya, "Sekalipun kau
berhasil mencapai tingkatan itu, namun ada beberapa jalan darah penting yang
belum kau tembus, seperti misalnya jalan darah Cian-keng, Thian-lian ..."
"Tunggu, tunggu sebentar, jangan terlalu cepat kalau bicara," seru Liu Cong-seng
dengan peluh bercucuran, "tadi kau mengatakan ada jalan darah tertentu yang
harus dilalui, tapi apa hubungannya dengan cara latihanku?"
"Ah, kau hanya tahu satu tak tahu dua, jika ingin berhasil dengan ilmu Cong-
seng-ci, maka jalan darah tadi perlu ditembus terlebih dulu...."
Seperti orang sinting, Liu Cong-seng malah berdiri melongo, sampai lama sekali
dia berdiri kebingungan. "Be ... benarkah yang kau katakan
"Tentu saja aku bicara sejujurnya, bahkan masih ada bebe?rapa buah jalan darah
lagi yang mesti diperhatikan."
"Masih ada jalan darah apa lagi?"


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Misalnya Tong-cu-lian, Sian-lian
"Lotoa, kau sedang dibodohi orang, jangan percaya teriak Jin Kui-sin makin
keras. "Tutup mulut!" hardik Liu Cong-seng memotong teriakan rekannya itu, kemudian
kepada Tong Pogou tanyanya lagi, "Kau bilang jalan darah apa lagi?"
"Jalan darah apa" Hmmm, jika ingin minta petunjuk, seharusnya kau bersikap lebih
sopan, kau seharusnya memanggil aku dengan sebutan Tong Ki-hiap lebih dulu ..."
Tampaknya Liu Cong-seng sudah makin percaya pada obrolan orang.
Tan Cian-kui yang mengikuti jalannya tanya jawab itu jadi tak kuasa menahan
diri, mendadak serunya, "Sam-seng, kau jangan percaya dengan omongan bangsat
itu, kau sedang ditipu habis-habisan, bagaimana jika hamba menghajarnya lebih
dulu?" "Minggir kau dari situ," hardik Liu Cong-seng marah.
Tan Cian-kui tak berani melawan perintah, ia segera me?nyingkir ke samping.
Dengan suara berat, kembali Liu Cong-seng bertanya, "Tong Ki-hiap, kau bilang
caraku berlatih menyimpang, boleh tahu dimana letak penyimpangan itu?"
"Aku tahu setelah melihat caramu turun tangan, kemudian mendengar suaramu
berbicara,oleh karena itu kuanjurkan agar kau jangan turun tangan, coba
bayangkan sendiri, kalau aku sudah tahu titik kelemahanmu, apa jadinya bila kau
tetap nekat menyerang?"
Sebenarnya Liu Cong-seng terhitung orang yang lugu, berangasan tapi lurus,
saking gelisahnya ia segera melepaskan topeng yang dikenakan sehingga terlihat
wajahnya yang lebar dengan hidung besar mulut lebar, kemudian tanyanya lagi,
"Tadi kau menyebut beberapa tempat jalan darah yang ada di bagian leher, tengkuk
dan dada, boleh tahu bagaimana caraku berlatih agar tidak menyimpang?"
"Kau ingin tahu caranya" Baiklah, segera akan kuberitahu sambil berkata Tong Po-
gou segera berjalan mendekat, be?gitu sudah tiba di hadapan Liu Cong-thian
mendadak ia melancarkan sebuah pukulan kilat ke wajah lawan.
Mimpi pun Liu Cong-thian tidak menyangka kalau dirinya akan diserang dengan cara
begitu, untuk menghindar tak sempat lagi, tahu-tahu terdengar suara tulang yang
retak, batang hidungnya sudah terhajar telak hingga hancur remuk, sementara
tubuhnya mencelat ke udara dan terlempar keluar jendela.
Sambil tertawa terbahak seru Tong Po-gou, "Hahaha, apa kataku" Untung aku cuma
memukul dengan tenaga sebesar dua bagian, coba kalau kuhajar dengan sekuat
tenaga, mungkin habis sudah nyawamu."
Belum selesai ia berkata, terasa segulung desingan angin tajam menyergap,
ternyata Liu Cong-seng telah muncul kembali di hadapannya.
Biarpun batang hidungnya terhajar hingga tulang hidungnya retak, pukulan itu
tidak sampai membuat badannya terbanting jatuh ke bawah loteng.
Begitu tubuhnya terlempar, lekas dia menghimpun tenaga dalam dan kembali
melompat naik ke lantai dua.
Wajahnya saat ini jauh lebih menakutkan ketimbang wajah singa yang sedang marah,
kalau ada seekor singa yang sedang marah, paling dia hanya akan menggigit orang,
tapi tampang Liu Cong-seng saat ini seakan ingin menelan musuhnya kulit berikut
tulangnya, kemudian ditumpahkan lagi dan ditelan lagi.
Kini Tong Po-gou baru menyesal, menyesal kenapa hanya menggunakan tenaga sebesar
dua bagian sewaktu menghajar tulang hidung lawan tadi.
Tahu begini, dia akan mengerahkan tenaganya sebesar enam bagian untuk menghajar
wajah lawan, sayang, menyesal saat ini tak ada gunanya sebab keadaan sudah
terlambat. "Kau berani menipu aku teriak Liu Cong-seng penuh amarah, begitu buka suara,
darah segera menyembur keluar dari lubang hidung, telinga serta mulutnya.
Lekas Tong Po-gou menggoyangkan tangan berulang kali, serunya, "Liu Cong-kui ...
eh salah, kakek Liu, Liu-locianpwee, dengarkan dulu perkataanku, aku
Kali ini Liu Cong-seng tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk bicara,
ilmu Cong-seng-ci segera digunakan untuk melancarkan serangan.
Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus mengayunkan kepalannya untuk
menyambut datangnya serangan itu.
Jangan dilihat kepalannya lebih besar dari sebuah mangkuk, namun ketika
membentur jari tangan lawan, ia merasa kepalannya itu seolah sedang menghantam
selapis dinding baja. Tong Po-gou menjerit kesakitan, saking sakitnya ia sampai melompat-lompat, ia
merasa tangannya seolah sedang menghajar sebatang paku baja yang tajamnya luar
biasa, membuat permukaan tangannya robek, terluka dan berdarah.
Bukan cuma sebatang paku baja, bahkan empat batang paku sekaligus.
Belum hilang rasa sakit di tangannya, Liu Cong-seng telah melancarkan tusukan
yang kedua. Tong Po-gou berusaha menghindar, dia ingin menghindar, ingin bersembunyi, sayang
semuanya sudah terlambat.
Merasa jiwanya mulai terancam, ia berteriak keras, sambil merogoh sakunya dia
mengancam, "Jika kau berani mendekat lagi, jangan salahkan kalau aku lemparkan
Yan-hi-bong-bong (hujan asap menyelimuti angkasa), senjata rahasia paling ampuh
dari keluarga Tong!"
Yan-hi-bong-bong adalah senjata rahasia khas keluarga Tong, keluarga yang
tersohor ilmu senjata rahasianya di wilayah Suchuan, senjata rahasia ini memang
amat sulit di hadapi. Liu Cong-seng cukup tahu kehebatan ilmu senjata rahasia keluarga Tong ini, tentu
saja ia tak berani bertindak secara gegabah.
Begitu ia sedikit merandek, Tong Po-gou segera melejit ke samping dengan gerakan
ikan Le-hi meletik. Siapa sangka belum lagi badannya berdiri tegak, "Sreeet!",
benda yang berada dalam genggamannya tahu-tahu sudah direbut orang.
Entah sedari kapan tahu-tahu di samping tubuhnya telah berdiri seseorang yang
mengenakan sebuah topi rumput yang sangat lebar, topi itu dikenakan amat rendah
hingga tak nampak raut wajahnya.
Setelah merampas benda di tangan Tong Po-gou, dengusnya dingin, "Hmmm, benda
beginipun disebut senjata rahasia keluarga Tong?"
Ternyata benda yang direbut hanya sebuah kantung uang.
Begitu melihat kemunculan orang itu, dengan wajah girang Liu Cong-seng segera
menyapa, "Ji-seng (Rasul kedua), rupanya kau pun sudah datang!"
"Hmmm, kalau Jit-sengcu sendiri ikut hadir pada hari ini, masa Lohu hanya
berpangku tangan?" sahut orang itu dingin, tampaknya ia merasa sangat tak puas, "sudah sejak tadi
kau dan Lo-su berusaha meringkus dua orang bocah busuk itu, namun belum juga
berhasil, bagaimana nantinya kalian akan bertanggung jawab di hadapan Sengcu?"
Dengan perasaan malu Liu Seng-seng menundukkan kepala, tapi kembali dia menatap
wajah Tong Po-gou dengan sorot mata buas.
Sementara itu Tong Po-gou telah berteriak keras, "He, siapa bocah busuk yang
dimaksud" Aku adalah jago nomor wahid yang tak terkalahkan di kolong langit,
Tong Po-gou!" Tahu gelagat semakin tidak menguntungkan, ia berusaha mengulur waktu.
"Baik," kata orang bertopi rumput itu bengis, "akan kubunuh dirimu lebih dulu!"
Begitu selesai berkata, sepasang tangannya langsung menyambar tenggorokan Tong
Po-gou. Kendati Tong Po-gou sudah bersiap, namun ia tak menyangka kalau serangan bakal
datang secepat itu, lekas ia menangkis dengan lengan kirinya.
Baru saja ia menggerakkan tangan kirinya, kembali ancaman orang itu berubah
sasaran, kali ini dia mencengkeram bahunya.
Kontan saja Tong Po-gou merasakan separuh badan sebelah kirinya kesemutan dan
menjadi kaku, lekas dia menangkis dengan lengan kanannya.
Tapi baru saja dia menggerakkan lengan kanannya, lagi-lagi tangan orang itu
menekan bahu kanannya, tangan Tong Po-gou seketika menjadi lemas dan tak bisa
digunakan lagi. Menyusul kemudian tangan orang itu melanjutkan gerakannya mencengkeram
tenggorokan Tong Po-gou. Beberapa jurus serangan yang dilancarkan secepat kilat ini nyaris hanya
menggunakan sebelah tangan saja, tangan kanan, bahkan boleh dibilang tak pernah
terlihat ia menggerakkan tangan kirinya.
Orang itu seakan tidak memiliki tangan kiri, seperti juga dia memang tak butuh
tangan kirinya itu. Karena cukup mengandalkan tangan kanannya, semua gerakan dapat dilakukan amat
cepat, sedemikian cepatnya hingga tak bisa diikuti dengan mata, bahkan bagaikan
besi semberani, kemana pun dia bergerak, semuanya terbelenggu dan tak mampu
bergerak bebas lagi. Kini tangan yang keras bagaikan baja, cepat bagaikan bayangan setan itu sudah
mengancam tenggorokan Tong Po-gou, kelihatannya sulit bagi pemuda itu untuk
menghindarkan diri lagi. Menyaksikan ancaman maut yang muncul di depan mata, Tong Po-gou kaget setengah
mati, saking kaget dan ngerinya, nyaris dia hendak berteriak minta tolong.
Siapa tahu belum lagi teriakan itu meluncur dari mulutnya, seseorang yang lain
sudah berteriak duluan, "Tolong!"
ooOOoo 34. Karena lapar Thio Than tak punya pilihan lain.
Mau tak mau dia harus berteriak minta tolong.
Ketika bertarung untuk pertama kalinya melawan Jin Kui-sin tadi, dia masih
percaya penuh dengan kemampuan yang dimilikinya, tapi setelah Jin Kui-sin
melancarkan pukulannya yang ketiga, Thio Than mulai putus asa, rasa percaya
dirinya mulai goyah. Ketika Jin Kui-sin mulai melepaskan pukulannya yang kelima, rasa percaya diri
yang dimiliki Thio Than sudah hancur berantakan tak keruan.
Kehilangan rasa percaya diri bukan berarti dia bisa lepas tangan dan mundur dari
arena pertarungan. Ada sementara orang kerap kali lantaran nasib, lingkungan, keadaan atau karena
sebab musabab lain yang tak bisa ditanggulangi, menyebabkan rasa percaya dirinya
goyah, tapi asal mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak, biasanya
rasa percaya dirinya akan pulih kembali.
Siapa pun di dunia ini pasti ada saatnya kehilangan rasa percaya diri, terutama
dalam kondisi ditimpa berbagai kemalangan dan kegagalan.
Rasa percaya diri mirip dengan sebatang lilin, ketika bertemu angin kencang yang
meniupnya, bibit api terkadang meredup seolah hendak padam, tapi seringkah dia
akan menyala dan menjadi terang kembali.
Terkadang ada hal-hal yang tetap harus dikerjakan, sekalipun telah kehilangan
rasa percaya diri. Thio Than adalah manusia macam begini, dia seringkali harus melakukan pekerjaan
seperti ini. Setelah menerima lima buah pukulan dari Jin Kui-sin secara beruntun, bukan saja
tubuhnya terdesak mundur dengan sempoyongan, paras mukanya juga telah berubah
pucat pias, padahal paras muka hitamnya jarang sekali berganti warna.
Begitu melihat musuhnya sudah dibuat tercecar, Jin Kui-sin tidak mempedulikan
Thio Than lagi, dia seakan sudah tak sudi memandang lawannya itu, dengan langkah
cepat dia menghampiri Lui Tun.
"Berhenti!" bentak Thio Than setelah menarik napas panjang.
Jin Kui-sin mendengus dingin, ia sama sekali tak menggubris, langkahnya
dilanjutkan menuju ke hadapan si nona.
"Berhenti, monyet!" sekali lagi Thio Than membentak gu?sar.
"Hmmm, panglima yang sudah kalah bertarung masih berani melarang aku untuk
melangkah?" "He, panglima yang kalah perang, aku melarang kau maju selangkah lagi!"
Tiba-tiba Jin Kui-sin membalikkan badan, topi caping bambunya nampak bergetar
keras, teriaknya penuh amarah, "Apa kau bilang?"
"Coba lihat, apakah benda ini milikmu?" ejek Thio Than sambil memperlihatkan
sebuah lencana yang terbuat dari bambu.
Hanya sekilas pandang, Jin Kui-sin sudah dapat mengenali lencana itu sebagai
leng-pay dari Sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng, lekas dia memeriksa sakunya,
ternyata benda yang semula tersimpan rapi di situ, kini sudah hilang.
"Bagaimana?" ejek Thio Than lagi sambil tertawa dingin, "kehilangan barang
pusaka bukan" Nah, itulah keampuhan jurus tangan kosong penggeledah saku, jangan lupa, aku
menguasai ilmu pencuri sakti, jadi kalau aku ingin mencomot nyawamu, kau bakal
segera kehilangan nyawamu."
Pada mulanya Jin Kui-sin sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap
kemampuan Thio Than, tapi setelah bertarung beberapa gebrakan dan kenyataannya
dua kali dia harus kehilangan barang, pertama kancing bajunya kena dicomot dan
kali ini leng-pay perkumpulannya diambil tanpa dia sadari, diam-diam peluh
dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Bocah keparat," serunya kemudian, "tak kusangka kau begitu hebat, siapa
namamu?" "Aku she Thio," sahut Thio Than sambil tertawa, "kau pun boleh menyebut aku
sebagai Thio Tay-ki-hiap."
Ternyata kali ini Jin Kui-sin tidak marah, hanya ujarnya, "Aku merasa sangat
kagum dengan kehebatanmu, tak kusangka kau mampu mencopet kancing bajuku dan
leng-pay milikku tanpa kusadari, tolong kembalikan leng-pay itu, selama kau tak
akan mencampuri urusan ini lagi, aku pun tak bakal mengganggumu lagi."
"Kau menginginkan leng-pay ini?" kembali Thio Than mengejek, dia tahu kalau
tidak mengejeknya, pertarungan ini pasti gagal dilanjutkan, "Bukankah barang itu
berada dalam sakumu" Kalau sekarang telah berpindah tangan, itu berarti sudah
menjadi milikku. Hehehe, kalau menginginkan kembali benda ini, gunakan
kepandaianmu untuk merebutnya lagi. Tapi kalau kancing baju ini sih tak berguna
bagiku, nih, aku kembalikan!"
Seraya berkata segera dia sentilkan kedua jari tangannya ke depan, diiringi
suara desingan yang amat nyaring, kancing baju itu melesat ke depan menghajar
mata lawan. Thio Than tahu, sehebat apa pun serangan yang dia lancarkan, mustahil sambitan
itu dapat melukai lawannya, maka dia pun tidak berharap banyak, begitu Jin Kui-
sin bergerak, dia berniat mendekati tubuhnya, menyingkap topi caping yang ia
kenakan dan mencuri lihat paras muka aslinya.
Siapa sangka Jin Kui-sin sama sekali tidak menghindar, ketika kancing baju itu
tiba setengah langkah di hadapannya, mendadak benda itu bergetar keras, kemudian
mencelat ke sisi kiri dan menghajar tiang penyangga ruangan.
Lamat-lamat Thio Than sempat melihat janggut Jin Sin-kui yang tersembunyi di
balik topi caping bambunya, janggutnya berwarna kehijauan.
"Kau mau mengembalikan benda itu atau tidak?" teriak Jin Kui-sin lagi.
Thio Than tidak menjawab, sebaliknya malah melanjutkan ejekannya, "Wah, wah, kau
memang tak malu bernama Jin Kui-sin, ternyata seranganku dengan jurus tiupan
setan pun dapat kau hindari secara mulus
"Tutup mulutmu! Cepat kembalikan leng-pay itu, atau aku tak akan berlaku sungkan
lagi," ancam Jin Kui-sin.
"Kau tak perlu berteriak macam monyet yang ditulup kacang kedelai, kau mesti
ingat, kalau leng-pay yang tersimpan dalam saku pun dapat kucomot, berarti aku
pun sanggup menyingkap caping bambumu itu
"Hmmm, mencuri barang milik orang tak lebih cuma pekerjaaan seorang copet, coba
kalau benar-benar bertarung, kau bakal mempertaruhkan nyawamu."
"Hmmm, jadi kau anggap kepandaian terhebatku cuma mencopet" Kalau memang kau
ingin menjajal kehebatanku, silakan saja maju menyerang, aku ingin tahu sampai
dimana kehebatan kungfumu itu."
Mendadak Jin Kui-sin tertawa tergelak.
"Berapa sih usiamu tahun ini?" tegurnya, "lagakmu macam orang berpengalaman
saja, tampaknya kau sudah merasa bakal mampus di bawah telapak tanganku?"
"Hmmm, kau tak usah menjilat pantat, kalau memang punya kemampuan, ayo, buktikan
saja, nih, batok kepalaku ada di sini, kalau merasa mampu, ambil saja sekarang."
"Baik," napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh tubuh Jin Kui-sin, "tadinya
aku berniat mengampuni nyawamu, ternyata kau tak tahu diri, jangan kau anggap
aku bisa dipermainkan sesuka hatimu."
Sementara berbicara, tubuhnya merangsek ke depan, tangan kirinya menyambar ke
muka mencengkeram ke arah leng-pay miliknya.
Selama ini tangan kiri Jin Kui-sin selalu dibiarkan terkulai tanpa bergerak,
tapi begitu digerakkan sekarang, tahu-tahu ia sudah mencengkeram leng-pay
miliknya. Sejak awal Thio Than sudah membuat persiapan, tapi mimpi pun dia tak menyangka
kalau gerak tubuh Jin Kui-sin sedemikian cepatnya, belum habis ingatan kedua
melintas, bagaikan bayangan setan saja tahu-tahu tubuhnya sudah muncul persis di
hadapannya. Melihat Jin Kui-sin berhasil mencengkeram leng-pay itu, lekas Thio Than
memperkuat cengkeramannya, dia tak sudi melepaskan benda itu begitu saja.
Dalam waktu singkat dia melancarkan sebelas jurus serangan ke tubuh lawan.
Kesebelas jurus serangan itu dilancarkan secara beriring bahkan terbentuk satu
rangkaian serangan yang sambung menyambung.
"Bagus!" puji Ong Siau-sik yang menyaksikan serangan itu.
Di dalam sebelas jurus serangan yang dilancarkan, diantaranya terdapat ilmu
Shia-tan-keng (pukulan keras menyerong) dari ilmu pukulan macan kumbang emas,


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus Say-cu-yau-tau (singa emas geleng kepala) dari ilmu pukulan Pat-kwa-yu-
sin-ciang, jurus Beng-hau-hu-cong (harimau ganas mendekam) dari ilmu Siau-lim-
hu-hau-ciang, jurus Thiu-gou-keng-te (sapi besi membajak sawah) dari Siau-lim-
cap-pwe-lo-han-jiu, sementara kakinya menendang dengan jurus Cu-bo-yan-yang-tui
(tendangan burung Yan-yang) dari ilmu langkah Lian-ci-poh, mengunci ketiak lawan
dengan Thiat-bun-tau, kemudian menyelinap maju dengan gerakan Ki-hwe-sau-thian
(mengangkat obor membakar langit), menerjang dengan gerakan Hong-hqng-taijr,
cian-ci (burung Hong?pentang sayap). "............
Seandainya kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh sebelas orang yang
berbeda, hal ini tidak aneh, tapi kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh
orang yang sama, bahkan menggunakan sebelas jurus dasar dari sebelas perguruan
yang berbeda, ini baru aneh dan hebat.
Yang luar biasa lagi adalah orang yang melancarkan serangan itu baru berusia dua
puluh tahunan. Thio Than memang tak sudi mengalah pada musuhnya, sementara dia melancarkan
sebelas jurus serangan sekaligus, tangan yang lain masih tetap mencengkeram
leng-pay itu dengan kencang.
Baik dia maupun Jin Kui-sin sama-sama tak ingin melepaskan cengkeramannya
terlebih dulu. Ternyata Jin Kui-sin memang luar biasa hebatnya, bukan saja ia harus menghadapi
kesebelas jurus serangan itu sekaligus, tangan yang lain pun tetap mencengkeram
leng-pay miliknya. Begitu berhasil mematahkan ancaman yang tiba, dengan cepat dia balas melancarkan
sebuah pukulan. Serangan itu sepintas kelihatan amat sederhana dan biasa, tapi ketepatan,
kedahsyatan, kehebatan dan kekuatan yang ter?kandung di balik serangan itu
benar-benar menggidikkan hati.
Tak selang berapa saat kemudian, semua serangan yang dilancarkan Thio Than sudah
terbendung habis, tapi pemuda ini tak patah semangat, dia memang tak boleh patah
semangat, dia harus melancarkan serangan lagi sebelum pihak lawan
menda?huluinya, dia harus merobohkan lawannya secepat mungkin.
Pemuda ini sadar, bila ia tak sanggup merobohkan lawannya, maka dialah yang
segera akan roboh terjungkal.
Kejadian dalam dunia ini memang sering kali begitu, bila gagal merobohkan lawan,
biasanya dia sendiri yang akan mendapat giliran untuk dirobohkan, maka selama
tak yakin bisa menangkan musuh, lebih baik janganlah menyerang secara sem-
barangan. Bagi Thio Than, selama hidup ia tak pernah kenal dengan kata tidak berhasil.
Dia hanya tahu, jika gempuran tidak berhasil mengenai sasaran maka cepatlah
mundur. Kemudian selama masih bisa bernapas, dia akan maju lagi dan kembali melancarkan
serangan yang lebih hebat.
Maka kini lagi-lagi dia menerjang maju ke depan, sekuat tenaga dia menghajar
leng-pay itu, maksudnya akan memotong benda itu menjadi dua bagian hingga
masing-masing pihak mendapat setengah bagian.
Tentu saja Jin Kui-sin tak ingin leng-pay miliknya hancur berantakan, menghadapi
ancaman seperti ini terpaksa ia lepas tangan.
Berhasil merampas kembali leng-pay itu, Thio Than segera merangsek maju lebih ke
depan, serangan yang dilancarkan pun semakin ganas, kali ini dia menyerang
dengan menggunakan ilmu kim-na-jiu-hoat.
Jin Kui-sin mendengus dingin, dengan taktik berdiam untuk menghadapi perubahan,
ia menyambut datangnya serangan lawan.
Dia menunggu sampai lawan bergerak lebih dekat, kemudian baru melancarkan
serangan balasan. Setiap kali dia melepaskan pukulan, jurus serangan yang dilancarkan Thio Than
seketika buyar. Betapapun Thio Than sudah mengeluarkan segenap ilmu Kim-na-jiu yang paling
ganas, begitu bacokan setan dilepaskan lawan, ancaman yang dia lancarkan segera
punah begitu saja. Dalam keadaan begini, Thio Than hanya bisa mengeluh dalam hati, kini dia sadar,
musuh yang sedang dihadapi benar-benar seorang lawan tangguh.
Baru saja ia bersiap mengundurkan diri, mendadak Jin Kui-sin mendesak maju lagi
ke depan, sekali menyambar, tahu-tahu ia berhasil mencengkeram lagi leng-pay
itu. Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama mempertahankan diri, siapa pun tak
ingin melepaskan leng-pay itu, akibatnya siapa pun jangan harap bisa mundur dari
arena. Jin Kui-sin sendiri pun mulai panik bercampur gelisah, ia tahu cara bertarung
seperti ini tak akan menyelesaikan masalah.
Pada saat itulah ia mendengar Tong Po-gou membual dengan berbagai teori yang
membuat rekannya, Liu Cong-thian terbuai, ia sadar rekannya sedang dikerjai
musuh tanpa ia sadari, karena itulah cepat Jin Kui-sin berteriak memberi
peringatan. Pada mulanya Liu Cong-seng masih mau menuruti peringatannya, tapi lama kelamaan
dia semakin terpesona oleh ucapan Tong Po-gou hingga akhirnya lupa diri.
Melihat rekannya semakin terjebak oleh tipuan lawan, Jin Kui-sin menjadi panik,
apa daya dia pun tak bisa melepaskan diri dari posisinya, hal ini membuat
hatinya makin gelisah. Sebaliknya Thio Than yang menyaksikan Jin Kui-sin masih bisa mengikuti situasi
di sekitarnya dengan jelas, kendatipun ia sedang menghadapi serangan yang
bertubi-tubi, diam-diam ia terperanjat, dia anggap kejadian ini membuatnya
kehilangan muka, maka dalam jengkelnya, lekas dia gunakan ilmu Huan-huan-sin-kang untuk menghajar
lawan. Jin Kui-sin sendiri tak kalah kagetnya ketika pukulan yang semula disangka dapat
memaksa Thio Than lepas tangan ternyata tidak membuahkan hasil, dia semakin
kaget lagi ketika terasa munculnya segulung tenaga pantulan yang menggiring
tenaga serangannya miring ke samping lalu lenyap tak berbekas, bukan hanya
begitu, bahkan tenaga pukulan yang dipunahkan itu justru bergabung dengan tenaga
musuh berbalik menerjang ke tubuhnya dengan kekuatan luar biasa.
Dalam keadaan begini, Jin Kui-sin tak berani gegabah, begitu merasa pukulannya
mengenai sasaran kosong, lekas dia menggetarkan sepasang tangannya dengan jurus
Ing-siu-that-khong (menyambut semu menginjak kosong), kemudian balik membabat ke
depan menyongsong datangnya tenaga pantulan yang sangat aneh itu.
"Blaaaam!", satu benturan dahsyat menggelegar memenuhi seluruh ruangan.
Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Jin Kui-sin, tak urung tubuhnya
tergetar mundur juga dengan sempoyongan.
Berhasil mendesak mundur musuhnya, Thio Than tak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini, lagi-lagi dia menggunakan ilmu Huan-huan-sin-kang dengan jurus Un-sim-bu-
hui (bertanya ke hati tanpa menyesal) untuk menyerang lawan.
Setiap kali Jin Kui-sin melepaskan serangan balasan maka sama halnya dengan dia
mesti melawan tenaga pukulan yang dilontarkan sebelumnya ditambah tenaga pukulan
lawan, makin lama tekanan yang berbalik makin bertambah berat.
Kendatipun dia sudah mengeluarkan ilmu pukulan andalannya hingga semaksimal
mungkin, namun setelah menerima tujuh delapan pukulan kemudian, ia mulai
kedodoran, bukan saja hawa darah di rongga dadanya bergolak, bahkan kepala
terasa mulai pening dan mata mulai berkunang-kunang.
Yang membuatnya lebih jengkel lagi adalah peringatan yang diteriakkan berulang
kali sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Liu Cong-thian, seolah
teriakannya sama sekali tak ada.
Menggunakan kesempatan ini Thio Than menekan lebih keras, serangan demi serangan
dilancarkan makin gencar dan rapat.
Tapi sepuluh gebrakan kemudian, jurus serangan yang dilancarkan bukannya
bertambah ketat dan ganas, sebaliknya makin lama semakin mengendor dan lemah.
Padahal jika dia menekan lebih jauh, dengan tenaga pantulan yang dihasilkan
ditambah tekanan dari dirinya, Jin Kui-sin pasti akan semakin tercecar sebelum
akhirnya keok. Lalu mengapa Thio Than malah mengendorkan serangannya" Mengapa tenaga pukulannya
makin lama malah semakin melemah"
Ternyata alasannya sederhana.
Dia mulai kelaparan!! ooOOoo 35. Enyah atau mampus Ilmu Huan-huan-sin-kang milik Thio Than memang termasuk sejenis kepandaian yang
sangat aneh, setiap gempuran yang dilancarkan selalu menguras banyak tenaga,
ilmu ini tiga puluh kali lipat lebih boros energi ketimbang ilmu Tay-lek-ki-
kong-jiu. Itulah alasannya mengapa setiap hari dia butuh makan nasi berpuluh mangkuk
banyaknya. Dia selalu beranggapan, makan nasi jauh lebih bersih ketimbang makan segala
jenis makanan lainnya. Itulah sebabnya sumber energi yang terutama bagi ilmu Huan-huan-sin-kang berasal
dari nasi. Hari ini dia memang sudah makan berpuluh mangkuk nasi, akan tetapi setelah
melepaskan serangan yang kesepuluh, dia mulai merasa kehabisan tenaga, kekuatan
yang diperlukan untuk melancarkan serangan makin menipis.
Menyusul menipisnya tenaga yang dimiliki, kemampuannya untuk memantulkan tenaga
serangan musuh semakin kedodoran dan muncul banyak titik kelemahan.
Dengan semakin bertambah lemahnya tenaga pantulan yang dihasilkan, ditambah lagi
tenaga serangan yang ia lancarkan juga bertambah lemah, otomatis ancaman yang
datang dari Jin Kui-sin makin lama semakin bertambah tangguh, bila keadaan
seperti ini dibiarkan berlangsung terus, bila terkena sebuah pukulan telak tentu
bisa merenggut nyawanya. Thio Than sadar akan kondisinya yang makin gawat, jangan kan mencecar lawan,
leng-pay yang semula berada dalam genggamannya pun kini berhasil dirampas balik
oleh Jin Kui-sin. Saat itulah hidung Liu Cong-seng kena dihajar oleh Tong Po-gou hingga retak dan
berdarah, menyaksikan itu, lekas dia melompat mundur sambil berseru, "Tunggu,
tunggu sebentar." "Ada apa" Hendak meninggalkan pesan terakhir?" jengek Jin Kui-sin sambil tertawa
dingin. "Bukan begitu," kata Thio Than cepat, memanfaatkan kesempatan itu dia menarik
napas panjang panjang, ketika merasa perutnya bertambah lapar, semaya kemudian,
"Tadi aku telah mengalah kepadamu, sekarang kau pun harus mengalah kepadaku, toh
kita bukan bertarung lantaran ada bini yang diserobot orang, bagaimana kalau
kita sudahi sampai di sini saja?"
"Hahaha, kau tak usah bicara manis," Jin Kui-sin tertawa tergelak, "kalau
mengaku kalah, cepat sembah aku sambil me memanggil Yaya, kalau tidak, pasti
akan kusuruh kau tergeletak bermandikan darah di Sam-hap-lau ini."
"Wah, rugi, rugi kalau begitu," seru Thio Than sambil berkerut kening.
"Apanya yang rugi?"
"Apa susahnya memanggil Yaya tiga kali" Suruh menyembah" Paling anggap saja
menganggukkan kepala kepada langit, apanya yang rugi" Itu sih bukan hukuman,
terlalu menguntungkan pihak lain."
"Lantas apa maumu?"
"Hahaha, kelihatannya aku jauh lebih diuntungkan," sambil berkata Thio Than
membalikkan tangannya dan memperlihatkan sebuah kantung uang, dalam kantung itu
masih berisikan beberapa tahil perak.
Begitu melihat kantung uang itu, Jin Kui-sin langsung berteriak marah, ternyata
walaupun ia berhasil merebut kembali leng-paynya, akan tetapi kantung uangnya
lagi-lagi berhasil dicomot lawan.
"Nah, apa aku bilang," ejek Thio Than kemudian, "seandainya aku tak ingin banyak
melakukan pembunuhan sehingga mengampuni nyawamu, sejak tadi nyawa anjingmu
sudah kucabut. Kalau kau masih tahu diri, lebih baik cepatlah mundur dari sini."
Tentu saja keberhasilannya mencomot barang orang adalah karena dia memiliki ilmu
mencopet yang luar biasa, namun bila bicara soal pertarungan dengan mengandalkan
ilmu silat, jelas dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan lawan.
Tadinya dia hanya bermaksud menakut-nakuti Jin Kui-sin dengan ilmu copetnya itu,
menakuti dirinya agar tidak menyerang lagi, siapa sangka Jin Kui-sin yang
berangasan itu jadi semakin sewot, setelah dipermainkan berulang kali dia
menjadi makin mendendam. Mendadak sambil membentak nyaring, tubuhnya menubruk ke depan, kali ini dia
membabat dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya.
Thio Than tidak menyangka karena main-main malah mengundang bencana bagi
dirinya. Setelah menyambut dua tiga jurus serangan lawan, ia mulai sadar gelagat tidak
menguntungkan, karena itu dia mencoba kabur melalui jendela, siapa sangka muncul
seorang lelaki bertopi lebar yang memotong jalan mundurnya, bahkan mengunci
semua serangan yang dilancarkan Thio Than.
Dalam keadaan begini, Thio Than benar-benar terkesiap setengah mati, tanpa sadar
dia pun menjerit minta tolong.
Sejak awal, Jin Kui-sin memang tidak berniat membunuh anak muda yang
kelihatannya tak takut mati ini, niat itu semakin bertambah kuat setelah melihat
pemuda yang tampaknya tak takut mati itu ternyata begitu takut menghadapi
kematian. Bila seseorang tidak takut mati, tak nanti dia akan berteriak minta tolong.
Jika seseorang tidak takut menghadapi kematian, buat apa dia minta orang lain
menolong jiwanya" Oleh karena itu dia hanya berniat melukai anak muda itu saja, memberi pelajaran
yang setimpal kepada orang ini karena berani mempermainkan dirinya, cukup
asalkan dia berbaring selama dua tiga bulan.
Sekalipun tak ada niat membunuh, bukan berarti serangan yang dilancarkan menjadi
ringan, kekuatan yang terhimpun dalam serangan itu sama dahsyat dan hebatnya.
Namun lagi-lagi dia dibuat kaget, seorang pemuda yang jauh tua dari Thio Than
ternyata mampu menyambut serangannya tanpa menderita luka.
Pemuda itu masih muda, mengenakan pakaian sutera yang perlente.
Kalau dipandang sepintas, usia orang ini sedikit lebih tua dari Thio Than, namun
keangkuhannya justru sepuluh kali lipat dibanding Thio Than.
Orang ini bukan saja angkuh dan jumawa, bahkan sangat menakutkan, menakutkan
karena hawa membunuh yang menyelimuti wajahnya membuat hati orang bergidik.
Tapi yang lebih menakutkan lagi adalah caranya turun tangan, cukup menggunakan
jari tangannya, serangan maut yang dilancarkan Jin Kui-sin berhasil dipunahkan,
bahkan dia masih mampu melepaskan sebuah ancaman yang memaksa Jin Kui-sin harus
menarik kembali pukulan berikutnya.
Jika Jin Kui-sin tidak segera menarik kembali pukulannya, maka telapak tangan
itu akan segera tertembus oleh totokan jari tangannya.
Tentu saja pemuda angkuh yang sangat menakutkan itu tak lain adalah Pek Jau-hui.
"Terima kasih atas pertolonganmu," seru Thio Than. "Hmm, aku tidak suka dengan
dirimu," dengus Pek Jau-hui. "Kenapa?" "Sebab kau tak bernyali, yang dihormati orang persilatan adalah Hohan yang
bernyali, tapi kenyataan kau adalah manusia pengecut yang takut mampus."
"Keliru, keliru besar," ujar Thio Than segera, "siapa bilang aku takut mati"
Siapa bilang aku pengecut" Mati ada yang berat bagaikan bukit Thay-san, ada pula
yang ringan bagai bulu angsa.
Jika kita berkorban demi negara, demi bangsa, siapa yang takut mati" Tapi
sekarang aku harus mati konyol di tangan manusia macam dia, harus mati pada saat
yang tak tepat, tempat yang tak tepat, kenapa aku tak boleh takut mati" Kalau
memang takut, kenapa tak berani berteriak"
Kalau ada orang takut mati tapi tak berani mengaku, dia adalah lelaki konyol.
Jika tak tahu masalah lalu bertepuk dada mengatakan tak takut mati, dia adalah
lelaki dungu, manusia semacam ini tidak pantas disebut lelaki sejati, tak pantas
disebut Enghiong Hohan! Aku tak ingin mati, aku takut mati karena itu aku
berteriak minta tolong, kalau menginginkan pertolongan dari orang, teriaklah
minta tolong, memangnya ini keliru" Memangnya aku mesti membungkam macam kerbau
dungu, agar dibunuh orang, dan manusia macam begini baru pantas disebut lelaki
bernyali" Bila manusia macam begitu yang kau inginkan ... hehehe ... kamsia,
ambil saja untukmu! Kita hidup di dunia ini berkat perawatan dari orang tua, siapa sih yang tidak
sayang dengan nyawa sendiri" Jika seseorang belum saatnya untuk mati, tidak
seharusnya mati, tapi secara dungu dia pergi mencari mati, manusia beginilah
baru benar-benar pantas mati! Karena takut mati, maka aku berteriak minta
tolong, karena takut sakit maka aku menjerit aduh, karena takut sedih maka aku
melelehkan air mata, kejadian macam begini adalah lumrah, lumrah dilakukan
setiap manusia, lalu apa salahnya" Berteriak minta tolong bukan berarti aku
minta diampuni, bukan menjual naluri demi sisa hidup, teriak adalah teriak,
menangis adalah menangis, takut mati adalah takut mati, kalau suruh aku
melakukan hal yang tak kuinginkan, hmmm, sekali aku bilang tak mau, sampai mati
pun tetap tidak mau!"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jadi, kau telah salah menilai aku si Raja


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nasi!" Pek Jau-hui tidak menyangka kalau sepatah katanya bisa mengundang penjabaran
yang panjang lebar, ia jadi tertegun, terpana, lama kemudian baru ujarnya,
"Masuk akal, sangat masuk akal, rupanya aku memang salah menilaimu."
"Tak apa-apa, kumaafkan kesalahanmu," senyuman kembali menghiasi wajah Thio
Than. Mendadak terdengar orang bertopi bambu yang baru melayang masuk ke dalam ruangan
itu berkata, "Peduli siapa benar siapa salah, kalian hanya ada satu pilihan."
Lalu dengan suara yang lebih keras dan nyaring, dia mengulang sekali lagi,
"Pilihan yang terakhir!"
Nada ucapannya memang dingin menyeramkan, setiap patah kata yang ia ucapkan
seolah mencantumkan sebuah nama dalam kitab kematian, bila seseorang tidak
terbiasa mempunyai kekuasaan besar dalam menentukan mati hidup orang lain, tak
mungkin setiap perkataannya terselip hawa pembunuhan yang begitu besar.
"Pilihan apa?" tanya Thio Than kemudian.
"Enyah atau mati."
"Apakah aku boleh memilih yang lain?" Orang itu segera menggeleng.
Terpaksa Thio Than berpaling ke arah Pek Jau-hui sambil bertanya, "Bagaimana
dengan kau" Apa yang kau pilih?"
"Aku tak akan memilih, biar dia yang memilih," kata Pek Jau-hui sambil menatap
orang bertopi bambu itu, kemudian dengan menirukan gayanya, ia berkata, "Enyah
atau mampus?" Dalam pada itu Tong Po-gou sebenarnya sudah siap berteriak minta tolong, ia jadi
lupa diri ketika mendengar orang lain berteriak duluan, begitu teledor, tangan
yang lembut halus itu tahu-tahu sudah tiba di depan tenggorokannya.
Menyusul kemudian ia melihat tangan yang halus lembut itu mendadak berubah jadi
kaku., membeku bagaikan sebuah bongkahan es, seperti sebuah tangan yang terukir
dari bongkahan salju. Tangan itu tidak pernah maju lagi biar satu inci pun, tak pernah berhasil
mencengkeram tenggorokan Tong Po-gou, anehnya tangan itupun tidak ditarik balik.
Sepasang mata orang bertopi rumput itu sebenarnya sedang mengawasi tenggorokan
Tong Pogou dengan sorot matanya yang lebih beracun dari mata ular, tapi sekarang
pandangannya telah ditarik balik, dia sedang mengawasi tangan Ong Siau-sik.
Tangan Ong Siau-sik berada di atas gagang pedang, gagang pedang yang berupa
sebilah golok. Sebilah golok bulan sabit yang kecil dan mungil.
Entah sejak kapan tahu-tahu Ong Siau-sik sudah berdiri di samping Tong Po-gou,
bukan saja lelaki raksasa ini tidak tahu, bahkan dia sama sekali tidak merasa.
Tempat dimana ia berdiri, posisi dimana ia bersiap membuat orang bertopi rumput
itu percaya, andaikata tangannya yang lebih beracun dari ular itu dilanjutkan
gerakannya untuk mencekik leher Tong Po-gou, maka golok atau pedang itu
seke?tika akan memenggal tangannya.
Tentu saja dia tak ingin menyerempet bahaya, karenanya ia langsung menghentikan
semua gerakannya. Tong Po-gou dengan sepasang matanya yang besar celi-ngukan sekejap ke sekeliling
tempat itu, kemudian ia menarik tengkuknya, membungkukkan pinggangnya, miringkan
badan dan seinci demi seinci menggeser tenggorokannya dari hadapan jari tangan
musuh yang siap mencekik itu.
Menanti dia benar-benar sudah lolos dari ancaman dan sanggup berdiri tegak
kembali, baru katanya, "Berbahaya, sungguh berbahaya, masih untung aku sanggup
menenangkan diri." Sementara itu tangan Ong Siau-sik yang menggenggam pedang pun perlahan-lahan
dikendorkan kembali. Tampaknya tangan yang kaku itupun tak ingin bertindak gegabah, dia ikut menarik
kembali tangannya. Ia menarik sangat perlahan, amat berhati-hati, dengan penuh kewaspadaan
menariknya kembali ke balik baju.
Sepasang mata yang lebih berbisa dari ular itu kini sudah dialihkan ke tubuh Ong
Siau-sik, yang aneh, biarpun sorot mata itu amat ganas, amat beracun tapi justru
memberi kesan indah bagi yang memandang.
"Betul," terdengar Ong Siau-sik berkata sambil tertawa, "beruntung kau cukup
tenang. Bila kau tak cukup tenang, aku pun pasti ikut gugup, takutnya begitu
hatiku gugup, terkadang mau mencabut golok malah keliru mencabut pedang, ada
kalanya ingin mencabut pedang malah keliru mencabut golok."
"Wah, gawat kalau begitu," Tong Po-gou menjulurkan lidahnya, "jangan-jangan
begitu kau mulai gugup, maksud hati ingin membacok tangannya, salah-salah malah
kepalaku yang kau tebas?"
"Untung aku tidak jadi menebas."
"Ya, untung cepat-cepat kutarik kembali kepalaku," sambung Tong Po-gou.
Ong Siau-sik tertawa geli.
"Eh, tahukah kau makhluk apa yang paling cepat menarik kepalanya?"
"Tentu saja kepalaku," jawab Tong Po-gou cepat, "tak usah ditebak lagi, sudah
pasti bukan kepala kura-kura, kepalaku yang paling cepat ditarik."
"Apakah kalian semua ingin menyelamatkan kepalamu itu?" tiba-tiba Rasul kedua,
orang bertopi rumput itu bertanya.
"Ingin!" sahut Ong Siau-sik berdua serentak.
"Kalau menginginkan kepala, cepat gerakkan kaki dan segera enyah dari sini,"
perkataan itu disampaikan secara enteng, rendah dan santai.
"Kalau aku tak ingin kepalaku?" tanya Ong Siau-sik.
"Kalau tak menginginkan kepalamu lagi, silakan menggerakkan tangan," setelah
berhenti sejenak, tambahnya, "kalau harus menunggu sampai kedatangan Jit-sengcu,
aku kuatir bukan saja kalian tak berkepala, sepasang kaki pun bisa turut
lenyap." Diam-diam Ong Siau-sik merasa heran, biasanya anak buah yang sedang berada di
lapangan selalu berusaha menyanjung dan mengagungkan pemimpinnya, sekalipun dia
berniat jahat atau ada rencana lain, paling dia hanya akan mendompleng nama
pemimpinnya atau memalsukan perintah ketuanya untuk melakukan perbuatan yang
menguntungkan diri sendiri.
Tapi selama ini belum pernah ada anak buah yang melimpahkan semua kesalahan dan
kebusukan yang dilakukannya kepada atasannya, bukan saja berlagak sok suci
bahkan mencari keuntungan di atas penderitaan orang, bukankah tindakan semacam
ini jauh lebih menakutkan daripada berkhianat"
Kalau membunuh satu orang, paling satu orang yang terbunuh, tapi kalau
mencelakai seseorang dengan menggunakan kata busuk, bukan saja yang terluka
hanya satu orang, paling tidak si pembicara dan pendengar akan turut dicelakai,
masih untung kalau hanya satu orang pendengarnya, kalau sampai banyak yang ikut
mendengar, bukankah bencana yang diciptakan akan bertambah besar"
Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan ngerinya mempekerjakan orang, ternyata
menggunakan orang jauh lebih susah ketimbang mempercayai orang atau memaafkan
orang. Memaafkan orang saja sudah susahnya setengah mati, bukan saja harus bisa
mengendalikan diri, harus pula menyamakan pendapat dengan orang lain.
Mempercayai orang lebih sukar lagi, siapa yang tak ingin dipercaya orang" Siapa
yang tak ingin mempercayai orang" Mempercayai orang berarti tak usah curiga,
kalau curiga tak usah percaya.
Tapi seringkah mempercayai orang tak punya lan-dasan yang kuat, bila kau
mempercayai seseorang, besar ke?mungkinan dapat membuat dirimu tak dipercaya
orang, salah mempercayai orang.
Menggunakan, orang jauh lebih susah lagi.
Kalau ingin menggunakan orang, gunakanlah orang yang berguna, tapi sering kali
orang yang berguna susah digunakan, orang yang tak berguna justru tak bisa
digunakan. Contohnya seperti perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mereka telah
menggu?nakan orang yang tak bisa digunakan, akibatnya semakin ba?nyak orang
persilatan yang disalahi, semakin banyak permusuhan yang terjalin.
Seperti juga perkumpulan Mi-thian-jit-seng, mungkin saja persoalan mereka pun
terletak pada masalah penggunaan orang, ini berakibat kekuatan mereka tak pernah
bisa seimbang dengan kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kim-
hong-si-yu-lau. Bagaimana pula dengan Kim-hong-si-yu-lau"
Bagaimana dengan tokoh-tokoh penting perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang selalu
mengatasnamakan diri sendiri setiap kali melakukan pekerjaan yang menguntungkan
dan mengatasnamakan ketuanya setiap kali melakukan kejahatan"
Membayangkan semua itu, diam-diam timbul kewaspadaan dalam hati Ong Siau-sik.
Dia tidak sadar, gara-gara timbulnya kewaspadaan ini, di kemudian hari pikiran
itu sangat mempengaruhi sepak terjangnya bahkan mendatangkan manfaai besar
baginya. Banyak kejadian penting dalam kehidupan manusia seringkah terjadi berubah dalam
waktu sekejap atau dalam pemikiran sekejap sebuah keputusan yang diambil secara
tak sengaja. Banyak pula manusia yang memahami atau berhasil mengambil suatu kesimpulan
tentang kehidupan karena suatu ketidak sengajaan.
Sayang Tong Po-gou tak pernah merasakan hal semacam ini.
Padahal ada baiknya juga bagi seseorang yang tidak kele-wat sensitip
perasaannya, paling tidak dia tak usah merasakan belenggu cinta atau siksaan
batin. Terdengar lelaki raksasa itu bertanya, "Kenapa sih orang-orang perkumpulan Mi-
thian-jit-seng selalu tampil sok rahasia, sok misterius" Kenapa wajah kalian
selalu ditutup dengan kain cadar, topeng atau topi lebar" Apakah wajah kalian
memang malu diperlihatkan kepada umum?"
Pertanyaan ini amat sinis, gampang menimbulkan gara-gara.
Ternyata kali ini si Rasul kedua tidak marah.
"Kalian masih mempunyai satu pilihan lagi," katanya.
Berbinar sepasang mata Tong Po-gou, teriaknya, "Bagus sekali, sebab kami tetap
menginginkan kepala, tetap ingin memiliki kaki tapi belum ingin segera pergi
meninggalkan tempat mi. "Boleh saja bila kalian tak ingin meninggalkan tempat ini, kami akan mengajak
pergi nona Lui, dan aku harap kalian tak usah mencampuri urusan ini lagi."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Mengenai ulahmu yang telah melukai Rasul
ketiga, untuk sementara waktu tak akan kami persoalkan dulu."
"Soal ini...." "Kenapa?" "Aku "Kau tak usah peduli bagaimana keputusan orang lain, yang penting kau segera
menyingkir ke sana dan tak usah ikut campur urusan ini lagi."
"Aku hanya ingin berkata
"Katakan saja!" seru Rasul kedua keheranan.
"Aku benar-benar boleh bicara?"
"Katakan saja terus terang!"
"Aku ... aku cinta kamu!"
Begitu perkataan itu diucapkan, bukan saja Rasul kedua jadi amat terperanjat
hingga mundur satu langkah, bahkan Ong Siau-sik pun ikut terpana, bahkan Liu
Cong-thian yang sedang marah-marah pun ikut melongo, Lui Tun, Un Ji dan keempat
orang dayang itupun ikut berdiri melenggong.
Sementara semua orang masih termangu karena kaget, Tong Po-gou sudah tertawa
terpingkal-pingkal, sambil membungkukkan badannya karena kegelian serunya
terbata-bata, "Hahaha, aku ...
geli aku ... setiap ... setiap kali dalam ... dalam keadaan kepepet... dalam
suasana yang ... yang kepepet, aku ... ....hahaha ....... aku selalu melanturkan
kata-kata yang ... yang konyol ... hingga
... hingga membikin orang ... orang jadi melenggong ... hahaha ... sungguh
geli... sungguh menggelikan
Mendengar itu Ong Siau-sik ikut tertawa, dia merasa Tong Po-gou maupun Thio Than
adalah tokoh yang lucu, tokoh yang menyenangkan dan menarik-hati.
Sayang sekali dia tak dapat melihat perubahan mimik muka Rasul kedua saat itu.
Tapi ia bisa membayangkan, hidung si Rasul kedua pasti sedang kembang-kempis
lantaran menahan rasa dongkolnya.
ooOOoo 36. Cu Siau-yau, guguran bunga dalam impian
Hidung Rasul kedua tidak kembang-kempis, Ong Siau-sik tidak tahu akan hal itu.
Tapi ia bisa mendengar nada suaranya telah berubah.
"Baik! Kalau memang arak kehormatan kau tampik, arak hukuman justru kau cari,
jangan salahkan kalau kau harus membayar mahal untuk banyolanmu tadi,"
Tiba-tiba perkataannya berubah jadi tinggi meruncing, tajam bagaikan mata
sebilah pisau. Setelah berhenti sejenak, ia baru mendehem dengan suara rendah dan katanya lagi,
"Bila kalian memang sudah bosan hidup ... baiklah, Lohu akan mengabulkan
permintaan kalian." Ia sengaja menandaskan istilah "Lohu" dengan suara tajam.
Sayang musuhnya saat ini adalah Tong Po-gou yang suka membanyol.
Dengan tabiat lelaki raksasa ini, sekali dia mulai bergurau, maka banyolannya
tiada habisnya, cepat dia menyahut, "Oohh ... rupanya Lo-hujin (nyonya tua),
kalau begitu kabulkanlah permintaan kami."
Begitu perkataan itu diucapkan, Tong Po-gou sudah mampus sebanyak dua belas kali
andaikata Ong Siau-sik tidak berdiri di sampingnya.
Mendadak tubuh Rasul kedua melompat ke udara, sepa?sang jari tangannya langsung
mencongkel mata Tong Po-gou.
Ia tidak ingin mencongkel keluar biji mata milik pemuda itu, tapi ingin
menghujamkan jari tangannya ke atas bola ma?tanya hingga tembus ke belakang
otaknya. Kuku jari tangannya nampak tajam berkilauan seperti mata pisau, dari desingan
angin yang menderu bisa diketahui bahwa Rasul kedua benar-benar sudah mendendam
pada Tong Po-gou hingga merasuk ke tulang sumsum.
Mengapa ia begitu gusar"
Mengapa ia begitu keji dan tega melancarkan serangan mematikan"
Mengapa ia begitu mendendam"
Ong Siau-sik sendiri pun merasa gurauan Tong Po-gou sudah kelewatan, sekalipun
begitu, tidak seharusnya gurauan itu dihadapi secara begitu marah dan dendam.
Dalam keadaan seperti ini, tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang, ia
segera menghadang di hadapan pemuda raksasa itu.
Tiga kali sang rasul kedua berusaha menjojoh bola mata Tong Po-gou, tiga kali
pula Ong Siau-sik menghadang dan menghalau ancamannya.
Ketika serangan yang keempat kalinya dilancarkan, Ong Siau-sik mulai merasa
kewalahan, ia mulai merasa tak sanggup membendung lebih jauh.
Serangan dari Rasul kedua memang luar biasa dahsyatnya, begitu hebat dan
mengerikan seakan dia hanya tahu bagaimana menghabisi lawannya, ia sudah tak
peduli lagi dengan kesela?matan diri sendiri.
Dari balik mata Tong Po-gou muncul perasaan ngeri, namun dia masih membelalakkan
matanya lebar-lebar, mengawasi datangnya serangan dengan perasaan ingin tahu.
Semakin besar Tong Po-gou membelalakkan matanya, semakin benci si Rasul kedua,
kalau bisa dia ingin sekali mencongkel keluar sepasang biji matanya, dia ingin
mencongkel mata itu lalu diinjak-injak sampai hancur, dia ingin melampiaskan
rasa benci dan jengkelnya yang tak terhingga.
Sekali lagi Ong Siau-sik segera menghadang di depannya, "Breeet!", kali ini baju
bagian bahunya kena tersambar hingga muncul sebuah robekan panjang.
Ketika menerjang untuk kelima kalinya, Rasul kedua membentak nyaring, "Enyah kau
dari situ, tak ada urusan dengan dirimu!"
Ong Siau-sik menghela napas panjang, sambil menarik napas ia melolos goloknya.
Cahaya golok memancar bagai satu bait syair yang menggetarkan sukma.
Sambaran golok bagai sebuah impian.
Guguran bunga di dalam impian, berapa banyak bunga yang telah gugur"
"Guguran bunga dalam impian" adalah nama golok itu.
Topi lebar terbuat dari rumput itu terbelah dua, terbelah persis di bagian
tengah. Di balik topi terlihat selembar wajah yang sayu bagaikan sukma gentayangan,
selembar paras cantik bagai sekuntum bunga yang sedang mekar.
Tapi sayang ia'mempunyai sepasang mata yang menakutkan, sepasang mata penuh
kebencian yang menggidikkan hati.
Sambaran golok Ong Siau-sik hanya membelah topi rumput itu jadi dua, sama sekali
tidak melukai raut mukanya yang cantik jelita itu.
Begitu berhasil dengan serangannya, Ong Siau-sik malah terkesima dibuatnya,
sekarang dia sudah paham.
Dia paham apa sebabnya Rasul kedua begitu marah setelah mendengar perkataan Tong
Po-gou tadi. Sementara itu Tong Po-gou sendiri pun terperangah dibuatnya, tiba-tiba ia
berteriak keras, ternyata pemuda itu sedang bersin berulang kali.
Wajah cantik yang pucat, bentuk muka yang bulat telur kelihatan agak mengejang,
perempuan itu menggigit bibirnya kencang, tidak membiarkan suaranya meloncat
keluar. Pada saat itulah Tong Po-gou tak kuasa menahan diri, tiba-tiba pujinya, "Wow,


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sungguh cantik, wajah secantik ini sayang kalau selalu tertutup topi
lebar ... kau hanya menyia-nyiakan kecantikanmu saja!"
Seraya berkata ia bersin berulang kali.
Mula-mula semua orang agak tertegun setelah mendengar ucapan itu, menyusul
kemudian sebagian besar orang mempunyai perasaan yang sama.
Sebetulnya gadis itu nyaris hendak menangis, tapi setelah mendengar perkataan
itu, dari wajahnya segera muncul perubahan mimik muka yang aneh, perubahan dari
menangis menjadi tersenyum.
Perubahan semacam ini sulit digambarkan dengan ucapan, tapi yang jelas cantik
sekali. Saat seorang wanita kelihatan amat cantik, sering kali justru terjadi di saat
mimik mukanya sedang mengalami perubahan yang aneh.
Mungkin setiap gadis selalu menggambarkan perasaannya bagaikan sebuah syair,
padahal perasaan bagaikan syair adalah perasaan yang paling susah dijabarkan
dengan perkataan, oleh sebab itu syair adalah darah yang paling berharga dari
sebuah ucapan. Sebenarnya gadis itu ingin menangis, namun setelah mendengar kata pujian itu,
dari sedih berubah menjadi cemberut, namun dia tak berani tertawa maka dari
perasaan benci berubah jadi agak marah, dari agak marah jadi cemberut, pada
hakikatnya semua perubahan itu membuat Tong Po-gou benar-benar berdiri
melenggong. Begitu melihat wanita cantik, secara kejiwaan segera timbul keinginannya untuk
mendekati gadis itu, tapi secara fisik dia segera bersin berulang kali.
Tiba-tiba terdengar Lui Tun berkata, "Ternyata Rasul kedua perkumpulan Mi-thian-
jit-seng adalah I-tiong-bo-jin (dalam ingatan tak ada manusia) Cu Siau-yau!"
Semua orang terperanjat dibuatnya, khususnya Un Ji.
Tujuan kedatangannya ke daratan Tionggoan antara lain adalah ingin berjumpa
dengan seseorang, orang itu tak lain adalah Cu Siau-yau.
Ia dengar gadis yang bernama Cu Siau-yau ini memiliki empat kelebihan, Amat
cantik, amat garang, amat angkuh dan pinggangnya amat langsing (Siau-yau).
Kini Un Ji telah bertemu dengannya.
Dia memang cantik, caranya turun tangan amat telengas, orangnya pun amat angkuh.
Tapi sayang seluruh tubuhnya terbungkus di balik jubahnya yang lebar sehingga
sulit untuk mengetahui apakah pinggangnya memang langsing.
"Ooh, jadi kau adalah Cu Siau-yau?" sapa Un Ji dengan suara lembut, "buat apa
kau mengenakan jubah longgar yang tak sedap dipandang" Cepat gantilah dengan
gaun dan baju, aku ingin tahu apakah pinggangmu betul-betul amat ramping."
"Nona Lui," terdengar orang bertopi bambu itu menegur, "tajam benar matamu, coba
kau tebak siapakah Lohu?"
Lui Tun termenung sambil memutar otak.
Pek Jau-hui sendiri pun tak bisa menebak siapa gerangan orang ini, sebab dari
tujuh rasul yang ada, empat rasul di antaranya belum pernah bertarung melawan
siapa pun. "Aku bisa menebaknya," mendadak Thio Than berteriak, "kau adalah Put-lo Sinsian
(dewa yang tak pernah tua)!"
Seperti anak kecil yang baru pertama kali berhasil menaikkan layang-layang, ia
bersorak sorai kegirangan, kembali serunya, "Kau adalah Put-lo Thongcu, Gan Hok-
hoat, betul bukan" Pasti betul! Kau malah Toa-seng si Rasul pertama."
"Da ... darimana kau bisa tahu?" tanya orang bertopi bambu itu dengan badan
bergetar. Kali ini mau tak mau Pek Jau-hui harus merasa kagum akan kehebatan rekannya itu.
Perlahan-lahan Gan Hok-hoat melepas caping bambunya sehingga kelihatan rambut,
jenggot dan kumisnya yang telah memutih, hanya alis matanya yang kelihatan masih
hitam lebat, kulit wajahnya berkilat persis seperti wajah seorang bocah.
Sambil memutar biji matanya berulang kali dengan penuh tanda tanya, ia bertanya,
"Sampai sekarang aku belum lagi turun tangan ... darimana kau bisa tahu?"
Dari dalam sakunya Thio Than segera mengeluarkan dua lembar cap yang segera
dikibarkan ke tengah udara, katanya sambil tertawa terkekeh, "Di dalam sakumu
terdapat dua buah cap, yang satu bertuliskan Mi-thian-su-seng (rasul utama
pembius langit) sementara yang lain bertuliskan Put-lo Sinsian Gan Hok-hoat.
Jika kau bukan Gan Hok-hoat, lantas siapa yang bernama Gan Hok-hoat?"
Begitu tahu cap yang disimpan dalam sakunya dicuri Thio Than, tak terlukiskan
rasa gusar Gan Hok-hoat, umpatnya, "Dasar copet, kau ... akan kubunuh kau!"
Lekas Pek Jau-hui maju satu langkah, setelah menarik napas dan berseru,
"Bagus!", lima jari tangan kanannya segera disentilkan perlahan di punggung
tangan kirinya. Melihat gerakan itu Ong Siau-sik segera tahu kalau rekannya siap melancarkan
serangan dengan ilmu jari pengejut dewa.
Dia tahu, jika Pek Jau-hui sampai dipaksa turun tangan, maka korban yang
berjatuhan pasti amat banyak, lekas tanyanya, "Apakah kalian bersikeras hendak
membawa nona Lui pergi dari sini?"
"Selain itu, aku tetap akan membunuhnya!" sahut Liu Cong-seng sambil menuding ke
arah Tong Po-gou. "Aku pun bersumpah akan membunuh copet ini," sambung Gan Hok-hoat sambil melotot
ke arah Thio Than. "Keliru kau, masa aku cuma bangsa copet" Aku ini perampok tahu!" sambung Thio
Than cepat. Mereka telah menderita kerugian besar di tangan kedua orang itu, karenanya
mereka bersumpah akan membunuh Thio Than dan Tong Po-gou untuk melampiaskan rasa
benci dan dendamnya, termasuk Jin Kui-sin sendiri pun punya niat demikian, di
antara sekian jago, hanya Cu Siau-yau seorang yang tidak berkomentar.
"Baik," kata Ong Siau-sik kemudian, "bila kalian ingin membunuh atau menangkap
orang, tanyakan dulu kepadaku, aku sudah memutuskan untuk turut campur dalam
persoalan ini." "Kalau begitu kau cari mampus," seru Gan Hok-hoat.
"Di antara kita toh tak terikat dendam sakit hati, buat apa sih begitu bertemu
lantas saling bunuh"
Lebih baik kita cari sebuah cara lain yang lebih baik, kalau bisa tak usah
saling membunuh bukankah jauh lebih baik?"
"Hmm, jika kau takut, cepat sipat ekormu dan menyingkir dari situ."
"Aku memang takut, takut kalau pedangku tak bermata sehingga karena kurang hati-
hati membuat kalian semua terbunuh, bukankah aku jadi tak enak?"
Keempat orang rasul itu jadi marah, tapi sebelum mereka melakukan suatu aksi,
kembali Ong Siau-sik berkata, "Lebih baik begini saja, kalian mencari sebuah
cara untuk maju bersama-sama, sementara aku akan menghadapi kalian berempat
secara bersama-sama, seandainya aku beruntung, maka kumohon kalian berempat sudi
membuka sebuah jalan untuk mereka semua, sebaliknya bila aku yang kalah sehingga
harus mampus di tangan kalian, tak akan ada orang yang menuntut balas gara-gara
urusan ini." Menyaksikan kejumawaan Ong Siau-sik yang berani menantang mereka berempat untuk
bertarung satu melawan empat, satu ingatan segera melintas dalam benak mereka,
pikir mereka, kalau dilihat dari kemampuannya membelah topi rumput yang
dikenakan Cu Siau-yau dalam sekali tebasan saja, jelas kungfu yang dimiliki
orang ini sangat hebat, mungkin malah orang terhebat dalam Sam-hap-lau saat ini.
Jika mereka harus menghadapi satu lawan satu, belum tentu kemampuan mereka bisa
menangkan lawannya ini, sebaliknya bila mereka berempat maju bersama dan
berhasil merobohkan dia, paling di kemudian hari orang hanya mengejek mereka
sebagai orang tak tahu diri yang beraninya mengembut seorang anak muda, namun
hasil yang diperoleh justru lebih dari itu, yakni menggunakan peluang ini untuk
menyingkirkan seorang musuh tangguh.
Berpikir begitu Gan Hok-hoat segera berseru, "Anak muda, kau sendiri yang cari
mati, jangan salahkan kami."
"Aku tak bakal menyalahkan orang lain, anggap saja aku memang sudah bosan
hidup." Takut lawannya menyesal, kembali Gan Hok-hoat berseru, "Jika kau tak sanggup,
cepat lepaskan kentutmu sekarang juga, kami tak akan mempermasalahkan lagi."
"Hahaha, sekalipun perkataanku ibarat orang melepaskan ....... hawa itu, aku
tahu kalian pun bukan hawa semacam itu, jangan kuatir, aku tak bakal mungkir
dari ucapanku sendiri!"
Kini keempat orang jago itu benar-benar sudah naik pitam. Dengan suara berat Liu
Cong-seng berseru, "Bocah muda, kau ingin bertanding apa?"
Ong Siau-sik segera berpikir, lebih baik dia yang membuat jengkel keempat orang
itu hingga meradang ketimbang membiarkan Pek Jau-hui yang turun tangan, sebab
rekannya selalu menghabisi nyawa lawannya secara telengas, sahutnya cepat,
"Terserah apa maumu!"
Liu Cong-seng adalah orang yang jujur dan polos, dia tahu pemuda yang muncul di
kotaraja dengan membawa senjata pedang tak mirip pedang, golok tak mirip golok
ini memiliki kungfu yang sangat hebat, maka katanya, "Kami ada empat orang
sementara kau hanya seorang, jika ingin menggunakan golok atau pedangmu, silakan
saja, kami akan menghadapimu dengan tangan kosong."
"Aku tahu, kalian berempat, seorang pandai ilmu Cong-seng-ci yang bisa membelah
dada orang dari jarak sepuluh langkah, yang seorang lagi bisa membunuh orang
dari jarak berapa langkah dengan ilmu bacokan setannya." Kemudian kepada Cu
Siau-yau dan Gan Hok-hoat katanya lagi sembari tertawa, "Sedang kalian berdua,
yang satu konon bisa memadamkan api lilin dari jarak ratusan langkah dengan
mengandalkan ilmu pukulan lembek Im-un-bian-ciang, sementara yang lain adalah
ahli waris Eng-jiau-ong yang mampu menotok jalan darah orang dari jarak jauh.
Justru karena amat mengagumi kemampuan kalian, maka aku ingin mengandalkan
sedikit kepandaian yang kumiliki ini untuk minta pelajaran dari kalian.
Perkataan ini bernada setengah menyanjung, kontan saja membuat keempat rasul itu
merasa segar dalam hati. Terdengar Ong Siau-sik berkata lebih jauh, "Dengan kemampuan silat yang kalian
berempat miliki, bukan halangan untuk melukai seseorang dari jarak jauh,
bagaimana kalau kita tentukan sebuah garis batas dan masing-masing hanya boleh
melancarkan serangan dari jarak tujuh langkah"
Pertama bisa menambah pengetahuanku, kedua Cayhe agak takut mati, karena kuatir
pertarungan jarak dekat bisa berakibat fatal, maka kalau kita bertarung dari
jarak jauh, paling lukaku tak akan seberapa berat. Ini untuk mencegah adanya
dendam kesumat di kemudian hari, karena tujuanku bertarung saat ini tak lebih
hanya ingin menjajal kehebatan ilmu silat kalian saja."
Perkataan Ong Siau-sik ini boleh dibilang merupakan ucapan merendah, tapi
terselip juga kejumawaan, kontan paras muka keempat orang rasul itu berubah
hebat, dasar bocah kepala ubi, jumawa amat, beraninya menantang mereka berempat
untuk bertarung empat lawan satu"
Jin Kui-sin kontan berseru sambil tertawa, "Daripada kami berempat yang maju
bersama, lebih baik kalian saja yang maju berbareng, biar kubereskan kalian
semua seorang diri."
"Tidak bisa," Ong Siau-sik menggeleng.
"Kenapa?" "Sebab kau tak bakal sanggup menghadapi kami." "Kurangajar!" umpat Jin Kui-sin
teramat gusar, "cabut pedangmu!"
Kembali Ong Siau-sik menggeleng.
"Cabut golokmu atau pedangmu, aku ingin memberi pelajaran kepadamu," kembali Jin
Kui-sin membentak gusar. Tiba-tiba Ong Siau-sik tidak menggeleng lagi, sinar tajam memancar dari matanya,
sinar mata yang jauh lebih tajam dari sebilah pedang.
Jin Kui-sin agak tertegun, tapi serunya kemudian, "Ayo, cabut golokmu, buat apa
kau pelototi aku?" "Kau keliru besar!" ucap Ong Siau-sik sepatah demi sepatah.
Tampaknya Jin Kui-sin tergetar perasaannya oleh ucapan itu, tak sadar tanyanya,
"Kenapa?" "Pertama, kau bukan bapakku, kedua, kau belum pantas memaksaku mencabut golok."
"Aku belum pantas?" Jin Kui-sin mundur setengah langkah sambil tertawa seram,
"sialan kau Baru bicara sampai di situ, mendadak ia saksikan tangan Ong Siau-sik sudah
menempel di atas gagang pedangnya.
Jin Kui-sin segera bersiap melakukan aksinya.
Ia berniat turun tangan lebih dulu, mengincar gerak serangan lawan, siap
menghindar, menangkis lalu mundur ... tapi ingatan itu hanya melintas secepat
kilat dalam benaknya, tahu-tahu pandangan matanya silau.
Ternyata topi bambu yang menutupi wajahnya telah terbelah dua dan jatuh ke
tanah. Terbelah oleh senjata tajam!
Ong Siau-sik sudah turun tangan, bahkan dalam sekali gebrakan telah membuahkan
hasil. Ia telah mencabut gagang pedangnya, gagang pedang miliknya berupa golok.
Begitu goloknya berhasil menebas topi bambu, senjata itu sudah disarungkan
kembali sebagai gagang pedangnya.
Sekarang semua orang dapat melihat, seandainya tebasan itu diarahkan ke tengkuk
Jin Kui-sin, dia sudah berhasil memenggal batok kepala jagoan itu secara
gampang. Tiada yang berani memandang enteng anak muda itu lagi.
Tak ada orang yang tidak memandang serius dirinya lagi.
Seperti juga banyak kejadian lain, bila seseorang ingin me?nonjol, bila
seseorang ingin punya nama, dia harus menunjukkan dulu prestasi kerjanya, dia
harus mengeluarkan dulu ke?mampuan dan kehebatannya.
Begitu juga dengan anak muda ini.
Babatan golok Ong Siau-sik itu hanya sekali babatan, namun di balik babatan itu
justru terkandung hasil latihan gigihnya selama bertahun-tahun, terkandung semua
kehebatan yang diperolehnya dari petunjuk seorang guru yang hebat, juga terlihat
betapa hebatnya bakat alam yang dimilikinya.
Manusia bisa saja berteduh di bawah sebatang pohon yang sama, dapat duduk di
atas batu yang sama, tapi keberhasilan bacokan golok itu sudah mencerminkan
berapa banyak pengorbanan, berapa banyak cucuran keringat dan darah yang telah
dikeluarkan anak muda itu.
Bacokan golok Ong Siau-sik ini seketika mendapat penilaian yang tinggi dari
setiap jago yang hadir di situ.
Terdengar Gan Hok-hoat berdehem, kemudian ujarnya, "Apa kami dapat
mengunggulimu" Apa pula yang bisa kami peroleh setelah berhasil membunuhmu?"
"Bukankah tadi sudah kujelaskan, jika kalian sanggup membereskan Cayhe, aku tak
akan mencampuri urusan ini lagi, dia pun tak akan melibatkan diri dalam urusan
ini." Bicara sampai di sini, ia segera menuding ke arah Pek Jau-hui yang berdiri di
sisinya, kemudian lanjutnya, "Sebaliknya bila kalian tak mampu mengungguli kami,
ini membuktikan kemam?puan kalian belum mencapai tingkat kesempurnaan, jadi ...
ya, selamat jalan!" "Baik," seru Gan Hok-hoat kemudian sambil mengertak gigi, "jika kami berempat
tak mampu mengatasimu, anggap saja kami yang kalah."
"Ucapan Gan-sengcu terlalu serius," Ong Siau-sik tersenyum.
Pek Jau-hui tahu, senjata yang diandalkan Ong Siau-sik adalah senjata golok
pedangnya, bukan pukulan jarak jauh, sementara empat orang jago yang akan
dihadapinya adalah jagoan yang punya nama besar, bila dia harus satu lawan
empat, jelas tak ada keuntungan yang bisa diraihnya, berpikir sampai di situ
timbul perasaan kuatirnya atas keselamatan jiwa rekannya ini.
"He, sebetulnya kau mampu tidak?" bisiknya, "bagaimana kalau aku saja yang
menerima tantangan mereka ini" Ilmu jari sam-ci-tan-thian (tiga jari menyentil
langit) andalanku sangat cocok untuk pertarungan jarak jauh."
Setelah beberapa kali bentrok dengan keempat rasul dari perkumpulan Mi-thian-
jit-seng, Ong Siau-sik dapat menyimpulkan bahwa mereka bukan terhitung tokoh
silat berhati buas bertangan telengas seperti apa yang dibayangkan semula, dia
tak menyangka kalau mereka tak pernah mau membunuh orang secara sembarangan,
justru dia sengaja mengajukan diri untuk tampil dalam pertarungan ini, tujuannya
tak lain agar tidak terjadi pembantaian yang dilakukan Pek Jau-hui.
Oleh sebab itu lekas sahutnya, "Kalau cuma pertarungan semacam ini saja tak
sanggup, sungguh membikin malu orang saja, Jiko, bila aku sampai kalah nanti,
tolong buang saja badanku di luar kota, biar disantap anjing liar."
"Omonganmu ngawur ..." umpat Pek Jau-hui cepat, tapi ia segera bungkam dan tak
banyak bicara lagi. Dalam pada itu keempat rasul dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah mengambil
posisi, Jin Kui-sin kelihatan paling jengkel, sepasang tangannya diputar kencang
bagaikan dua sekop baja yang segera dilontarkan ke depan.
Sementara Cu Siau-yau tidak langsung melancarkan serangan, dengan santainya dia
mengikat dulu rambutnya dengan seutas tali, kemudian dia mengencangkan pula
jubah lebarnya sehingga pinggangnya yang ramping kelihatan amat jelas.
Gan Hok-hoat juga sudah menggulung ujung bajunya, wajahnya lambat-laun berubah
jadi merah padam, entah dikarenakan sedang menghimpun hawa murninya atau karena
naik darah. Liu Cong-seng yang menyaksikan hal itu jadi habis kesabarannya, dengan jengkel
teriaknya, "He, bagaimana ini" Kalau memang ingin mengantar kematian, kenapa


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak segera bertindak?"
Ong Siau-sik segera melompat masuk ke tengah arena, berdiri di tengah kepungan
keempat orang itu, lalu katanya seraya menjura, "Silakan!"
ooOOoo 37. Tangan golok telapak pedang.
Liu Cong-seng merupakan orang pertama yang tak mampu mengendalikan diri.
Dari sekian banyak jago, kerugian yang ia derita terhitung paling besar, baginya
kalau bisa, secepat mungkin membereskan bocah muda itu lebih dulu kemudian ia
akan menghancur-lumatkan Tong Po-gou.
Sepasang telapak tangannya dirangkap menjadi satu lalu digosokkan ke atas turun
ke bawah dan tiba-tiba direntangkan ke samping, desingan angin tajam menderu,
gulungan angin serangan yang tajam langsung menerjang bahu kiri Ong Siau-sik.
Pada saat yang bersamaan Jin Kui-sin dengan bacokan setannya telah melancarkan
serangan terlebih dulu, pukulan jarak jauh itu menghajar bahu kanan lawan.
Gan Hok-hoat tak mau ketinggalan, ia membentak pula, "Terima seranganku ini!"
Ong Siau-sik mendengus dingin, dia incar datangnya arah sasaran, lalu tubuhnya
mendadak merendah ke bawah.
Gerakan ini dilakukan tepat pada saatnya, akibatnya serangan Cong-seng-ci dan
bacokan setan yang sedang meluncur ke depan saling bertumbukan sendiri di udara,
"Blaaam!", diiringi suara benturan nyaring tubuh Liu Cong-seng maupun Jin Kui-
sin sama-sama tergetar mundur satu langkah.
Tapi di saat Ong Siau-sik merendahkan tubuhnya itulah segulung tenaga lembek,
tanpa menimbulkan sedikit suara pun telah menggulung tiba.
Serangan tenaga lembek itu berasal dari sentilan jari tangan Cu Siau-yau.
Jarang sekali ada orang persilatan yang mampu melancarkan serangan jarak jauh
dengan tenaga lembek, lebih jarang lagi ada yang bisa menyerang dengan ilmu Im-
ji-bian-ciang, tapi sekarang Cu Siau-yau melancarkan serangan tenaga lembek
melalui ujung jarinya, kejadian semacam ini boleh dibilang merupakan satu
kejadian langka. Sekilas pandang, serangan itu sangat lembek seolah sama sekali tak bertenaga,
padahal tenaga paipghancur yang terkandung di balik -ajncaman itu justru jauh
lebih dahsyat dan menakutkan ketimbang serangan yang'di:epaskan Jin Kui-sin
maupun Liu Cong-seng. Mendadak Ong Siau-sik menggulung sepasang tangannya, menarik dari atas menuju ke
bawah dengan gerakan menggulung, begitu tenaga musuh tersapu, kembali dia
merentangkan tangannya ke samping.
Setelah itu badannya setengah berjongkok ke bawah, kuda-kuda sejajar lantai,
gerakannya aneh sekali, dia seakan hendak menyongsong datangnya ancaman dari Cu
Siau-yau itu dengan dadanya.
Bukan saja tidak menghindar, dia malah diam di tempat, mungkinkah anak muda itu
hendak menyerah kalah"
Angin serangan yang dilancarkan Cu Siau-yau sungguh dahsyat, jangan kan Ong
Siau-sik yang langsung saling berhadapan, Tong Po-gou yang berdiri di luar arena
pertarungan pun dapat merasakan betapa tajamnya hawa dingin yang menyelimuti
angkasa, Thio Than yang ada pada jarak lebih jauh malah tergetar mundur sampai
beberapa langkah. Mereka berdua jadi tercengang setelah menyaksikan sikap Ong Siau-sik, baru saja
tubuhnya siap bergerak untuk ikut terjun ke arena pertarungan, maksudnya memberi
pertolongan, tiba-tiba bahunya terasa ditahan orang sehingga tubuh mereka sama
sekali tak mampu bergerak.
Dengan perasaan kaget mereka berpaling, rupanya Pek Jau-hui yang telah memegang
bahu mereka dengan ujung jarinya sehingga tak mampu bergerak
Jangan dilihat hanya ujung jari yang menempel di atas bahu, kekuatan yang
terkandung justru mencapai ribuan kati lebih, jangan kan maju ke depan, mau
berkutik pun Thio Than maupun Tong Po-gou tak mampu.
Kali ini kedua orang jago itu benar-benar terkesiap, pikirnya hampir bersamaan,
"Masih untung dia hanya teman bukan musuh, kalau tidak, bukankah nyawaku sudah
melayang sejak tadi?"
Dalam pada itu sorot mata Pek Jau-hui mulai berbinar, menyaksikan jurus serangan
yang diperlihatkan Ong Siau-sik, hatinya mulai terasa panas, kepalannya panas,
wajahnya panas bahkan sorot matanya pun ikut menjadi panas.
"Jurus serangan yang hebat!" pekiknya dalam hati.
Wasiat Sang Ratu 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Makam Bunga Mawar 14
^