Pencarian

Golok Kelembutan 6

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 6


"Dalam dua jam mendatang, biarpun kau memukul gem-breng keras-keras di sisi
telinganya, dia tetap tak akan mendengar apa-apa," sahut Pek Jau-hui penuh
keyakinan, "kalau Lui Cian menggunakan ilmu jari pelenyap kesadaran, maka ilmu
jariku adalah ilmu jari pengejut kesadaran, daya kemampuanku sama sekali tak di
bawah kemampuan It-sin-ci, dalam hal ini kau boleh percaya penuh."
"Tentu saja aku percaya penuh dengan perkataanmu, aku Si Say-sin pun tidak
berharap bisa menjumpai kehebatan ilmu jarimu itu, karena aku tidak berharap
suatu hari nanti kau justru menggunakan ilmu jari itu untuk menghadapi kami
empat malaikat bengis."
"Semoga saja tidak," Pek Jau-hui tertawa, "sebab menghadapi empat malaikat
bengis merupakan satu kejadian yang sangat menakutkan."
Setelah berhenti sejenak, tambahnya dengan nada setajam pisau belati, "Namun
kejadian ini merupakan satu tantangan yang sangat menawan pula."
Ada banyak manusia di dunia ini yang sejak lahir sudah gemar berpetualang,
menyerempet bahaya, biasanya orang-orang semacam ini senang akan rangsangan,
suka akan ketegangan, seperti misalnya menaiki kuda yang berlari cepat, berjudi
dengan taruhan yang luar biasa besarnya, mengunjungi tempat yang paling panas,
membunuh orang yang paling sulit dibunuh dan sebagainya.
Tak bisa disangkal, pekerjaan atau perbuatan semacam itu merupakan sebuah
tantangan bagi mereka. Mereka suka menghadapi tantangan semacam ini, karena mereka pun senang
menciptakan sebuah tantangan bagi diri sendiri.
ooOOoo Ong Siau-sik tidak termasuk manusia jenis itu, dia tak mau melakukan tantangan,
apalagi tantangan bagi diri sendiri, dia lebih suka main-main.
Lui Heng adalah seorang jago yang gampang naik darah, dia pernah mendengar
tentang, hal ini, maka dia ingin membuatnya gusar, dia ingin tahu sampai dimana
ia sanggup membuatnya gusar!
Lui Heng adalah seorang jago yang tidak mudah dihadapi, dia pun mendengar
tentang hal ini, maka dia ingin mengganggunya, dia ingin tahu sampai dimana
susahnya menghadapi orang ini!
Lui Heng adalah seorang jago yang sama sekali tak memiliki 'kelemahan', dia pun
mendengar tentang hal ini, maka dia ingin mencoba untuk bertarung melawannya,
ingin tahu apa yang disebut manusia yang tak memiliki kelemahan.
Kecuali karena dorongan kepentingan dan keuntungan, ada sementara orang
melakukan suatu pekerjaaan hanya dikare nakan kesepian. Ketika seseorang sedang
kesepian, dia akan mencarikan suatu pekerjaan yang bisa membuat dirinya tak
perlu kesepian lagi, oleh sebab itu bila seseorang melakukan suatu pekerjaan
dikarenakan masalah kesepian, maka akan tersedia alasan yang cukup bagi dirinya
untuk melakukan pekerjaan apa pun.
Itulah sebabnya terkadang kesepian justru lebih menakutkan daripada suatu
kematian. Ada sementara orang melakukan suatu pekerjaan karena terdorong rasa ketidak
adilan, ketidak adilan merupakan semacam semangat. Orang yang suka menolong kaum
lemah, menindas kaum kuat mungkin saja melewati suatu kehidupan yang penuh
keramaian, sekalipun dia tak akan mendapat keuntungan apa pun bahkan harus
berjuang keras demi orang lain, tapi semangat
'ketidak adilan' sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk melakukan hal-hal
semacam itu. Sebab ada kalanya semangat ketidak adilan justru jauh lebih membangkitkan
semangat hidup daripada yang lain.
Tapi bagi Ong Siau-sik, dia bukan lantaran kesepian, juga bukan lantaran
semangat ketidak adilan saja, selain demi So Bong-seng, dia pergi mencari Lui
Heng demi keinginannya untuk bermain-main.
Suka bermain termasuk sifat dasar setiap makhluk yang disebut manusia, ketika
seseorang mulai merasa tak suka bermain, semangat hidupnya akan mulai melemah,
oleh sebab itu anak-anak paling suka bermain, sedang orang tua yang masih
mengharapkan semangat hidupnya tetap tinggi, ada pula yang 'tua-tua keladi,
makin tua makin menjadi', mereka pun suka bermain-main.
Tentu saja suka bermain macam begini ibarat pancaran sinar senja, kilauan cahaya
yang sesaat sebelum benar-benar menjadi gelap.
Lui Heng bukan seseorang yang enak dibuat permainan.
Ketika Ong Siau-sik pergi mencarinya, ia sedang melampiaskan perasaan bencinya.
Caranya untuk melampiaskan rasa bencinya adalah dengan membenturkan diri ke
dinding. Tentu saja dia tak akan menggunakan badannya untuk membentur dinding, dia bukan
kerbau, bukan pula gajah, dia adalah Lui Heng, maka dia menggunakan tangan kiri
dan kanannya untuk menghantam dinding.
Tenaga pukulannya yang membentur dinding akan memantul balik, hawa pukulan yang
memantul makin lama sema?kin menguat hingga membentuk satu pusaran angin yang
kuat, ia berdiri di tengah lingkaran pusaran, membiarkan tubuhnya dikelilingi
tenaga pukulan yang sangat kuat itu.
Ketika tenaga pusaran itu membalik, maka dia akan melawan tenaga itu dengan
pukulan lain, dia tak akan membiarkan badannya terpental mundur, dia pun tak
akan membiarkan tenaga pantulan itu menghantam ke tubuhnya.
Dengan cara ini pula Lui Heng melatih tenaga pukulannya.
Dia tak ingin membuang percuma semua perasaan bencinya, karena itu dengan
memanfaatkan tenaga pantulan dan perasaan benci, ia melatih diri dengan tekun.
Ia mempunyai nama besar, mempunyai kedudukan tinggi, kungfu yang dimiliki pun
sangat hebat, siapa lagi yang berani mengganggunya" Tapi ia tetap rajin
berlatih, selamanya tak pernah melepaskan kesempatan untuk melatih diri.
Kesuksesan seseorang ditopang oleh tiga syarat, pertama, dia harus berbakat,
termasuk cerdas, kedua, dia mesti rajin, mau berlatih tekun, ketiga, dia harus
punya nasib baik, dengan begitu baru akan memperoleh kesempatan.
Bila ketiga syarat itu tersedia, tidak sulit bagi orang itu untuk mencapai
tingkat kesuksesan yang luar biasa.
Lui Heng mempunyai bakat, dia pun mau berlatih tekun, sementara dia pun
merupakan orang kepercayaan keluarga Lui, oleh karena itu ilmu pukulan Ngo-lui-
hong-teng (lima guntur meledakkan puncak) yang berhasil dikuasainya merupakan
ilmu pukulan paling hebat di antara anggota keluarga Lui lainnya.
Sayang dia masih belum dapat menandingi ilmu pukulan Ngo-lui-thian-sim (lima
guntur menghajar inti langit) milik Lui Tong-thian, itulah sebabnya dia
bersumpah akan berlatih terus hingga kepandaiannya mampu melampaui Lui Tong-
thian. Dia tak berani bersaing dengan Congtongcu Lui Sun, tapi punya ambisi yang kuat
untuk bersaing dengan saudara keduanya, Lui Tong-thian.
Bila ingin mengungguli orang yang lebih tangguh, dia harus berlatih tekun,
karena cara ini merupakan cara paling tepat dan paling mendatangkan hasil.
Lui Heng sembari melatih ilmu Ceng-san-lui-sim-hoat di tengah gulungan angin
pukulannya, ia membayangkan kembali kejadian yang dialaminya kemarin.
Terbayang kembali kejadian kemarin, ketika bertemu de?ngan So Bong-seng, namun
dia tak mampu melancarkan serang?an, ia merasa benci dan dendam sekali, saking
bencinya ia sam?pai mengertak gigi.
Setiap kali rasa bencinya tumbuh, dia tak tahan ingin sekali membunuh orang.
Pagi tadi dia telah membunuh tiga orang.
Ketiga orang itu, satu adalah pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng,
seorang adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang berkhianat dan seorang
lagi adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Biau-jiu-tong dari kota Lokyang.
Pagi tadi tatkala untuk pertama kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia
telah menangkap sang mata-mata dari perkumpulan Biau-jiu-tong, melemparkan orang
itu ke pusat pantulan tenaga pukulannya dan membiarkan orang itu terhajar tenaga
pantulannya hingga hancur isi perutnya dan mati dengan muntah darah.
Ketika untuk kedua kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia bekuk sang
pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan menggunakan cara yang sama
membiarkan orang itu terhajar tenaga pantulan yang dilepaskannya, dia baru puas
setelah menyaksikan tubuh orang itu tercabik-cabik hingga hancur.
Ketika rsa bencinya muncul untuk ketiga kalinya, dia perintahkan orang untuk
menyeret datang sang pengkhianat dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kemudian
dengan melepaskan pukulan yang bertubi-tubi dia menghajar tubuh orang itu secara
kalap, akibatnya bukan saja batok kepalanya retak, sepasang baji matanya sampai
mencelat keluar diiringi semburan darah bagaikan pancuran air, pemandangan waktu
itu amat menggidikkan. Lui Heng benar-benar merasa puas.
Tapi dia masih ingin mencoba sekali lagi, dalam sehari minimal dia harus lima
enam kali melampiaskan rasa kesal dan bencinya sebelum perasaannya benar-benar
jadi lega. Kali ini dia bersiap melampiaskan rasa kesal dan bencinya itu terhadap anggota
Kim-hong-si-yu-lau . Menghajar mampus musuh memang merupakan cara yang terbaik untuk melampiaskan
rasa kesal dan bencinya. Oleh sebab itu dia membuyarkan dulu tenaga pantulannya, kemudian baru bertepuk
tangan beberapa kali. Musuh segera akan didorong masuk ke sana, menjadi kelinci percobaannya, ia sudah
memutuskan akan membuat musuhnya kali ini mati dengan cara yang jauh lebih
sadis, jauh lebih mengenaskan ketimbang ketiga orang korban sebelumnya.
Lui Heng memang bukan seorang manusia yang enak diajak bermain, dia suka
melampiaskan napsu secara berlebihan.
Dia paling suka menggunakan nyawa orang lain untuk memuaskan napsunya.
ooOOoo 26. Melampiaskan napsu dan permainan menarik
Korban yang akan digunakan untuk melampiaskan napsu telah digiring masuk.
Kembali seluruh tubuh Lui Heng dipenuhi oleh napsu benci yang meluap.
Orang yang digiring masuk ternyata bukan musuh yang sudah ia perintahkan anak
buahnya untuk dipersiapkan, sebab dia masuk sendiri ke sana, bahkan orang ini
pernah dijumpainya satu kali, yakni ketika berada di depan loteng Sam-hap-lau
kemarin siang, orang itu pernah berjalan bersama So Bong-seng.
Jadi orang ini benar-benar adalah musuhnya.
Sejak dulu hingga sekarang, musuh yang dibawa masuk untuk melampiaskan napsunya
selalu didorong, bahkan setengah diseret, ini disebabkan orang-orang itu selalu
sudah dibuat ketakutan setengah mati sehingga sudah tidak berbentuk manusia
lagi. Tapi orang yang muncul kali ini tampil dengan wajah cengar-cengir, sama sekali
tak nampak ketakutan, melihat ini Lui Heng semakin benci, semakin jengkel,
giginya sampai gemerutukan saking gatalnya, namun dia tidak langsung menyergap
ke depan, dia tak ingin turun tangan secara terburu-buru.
Benci dan terburu napsu jelas merupakan dua hal yang berbeda, rasa benci
terkadang bisa menggabungkan semangat dan kekuatan menjadi satu, sebaliknya
terburu napsu justru merupakan pemborosan semangat serta tenaga.
Oleh sebab itu kendatipun rasa bencinya sudah mencapai ubun-ubun, dia masih
mencoba untuk menahan diri.
"Jadi kau datang untuk mengantar kematian?" ia menegur.
"Benar," Ong Siau-sik tertawa semakin riang, "aku memang datang untuk mengantar
kematian, sayang tak seorang pun dari anak buahmu yang bersedia mendorongku
masuk ke sini, terpaksa aku merobohkan dulu orang-orangmu baru kemudian
melangkah masuk sendiri kemari."
Orang ini sanggup menyusup masuk ke tempat latihan kungfunya, mampu merobohkan
delapan orang murid kebanggaannya, sementara dia sendiri sama sekali tidak
menyadari akan hal ini, bisa dibayangkan betapa tinggi dan hebatnya kepandaian
silat orang ini. Lui Sun agak bergidik, namun perasaan itu tak dikemu-kakan keluar.
"Jadi kau datang untuk membunuhku?" ia menegur.
"Betul," jawab Ong Siau-sik masih cengengesan.
"Memangnya kita punya dendam?"
"Tidak ada." "Ada ganjalan?"
"Juga tidak ada," jawab Ong Siau-sik cepat, "tapi ada kebencian."
"Kebencian?" Lui Heng keheranan.
"Berhubung kau bernama Lui Heng sementara aku paling senang melihat orang
membenciku, terlebih suka dengan tampangmu yang penuh kebencian, maka aku datang
kemari," kata Ong Siau-sik sambil tertawa terkekeh-kekeh, "tahukah kau, setiap
kali kau tunjukkan kebencianmu, tampangmu persis seperti seekor babi, apalagi
memakai celana merah .......... hahaha ............
tadinya kusangka kepala babimu itu adalah pantat seekor monyet
Lui Heng meraung gusar, dia sudah tak sanggup menahan diri lagi.
Seluruh rasa benci dan kesalnya dilampiaskan keluar semua.
Detik itu juga dia mengambil keputusan, dia ingin melenyapkan orang di
hadapannya ini dari muka bumi, bukan cuma badannya, sepotong daging, bahkan
sekerat tulangnya pun tak boleh tetap utuh di muka bumi!
Begitu melancarkan serangan, ia melepaskan pukulan dengan ilmu Ceng-san-lui
(guntur yang menggetarkan bukit).
Kepalan kanannya melepaskan satu tonjokan, sementara telapak tangan kirinya
melancarkan sebuah tolakan dahsyat.
Lekas Ong Siau-sik melompat mundur, sembari berusaha menggunakan tangan kirinya
memunahkan ancaman tangan kanan lawan, tangan kanannya menangkis serangan tangan
kiri musuh. Belum sempat empat tangan saling membentur, Ong Siau-sik sudah merasakan
gulungan angin kencang bagaikan guntur itu bukan datang dari tangan kiri maupun
lengan kanan musuh, tapi muncul bagaikan gulungan ombak di tengah samudra dari
tengah-tengah lengannya, gulungan angin pukulan itu langsung menghimpit dadanya.
Ong Siau-sik segera miringkan badan sambil mencakar ke belakang, dia congkel
keluar sepotong batu bata kemudian ditamengkan di depan badan.
"Braaakkk!", diiringi suara benturan, batu bata itu hancur berkeping, bukan
hanya berkeping, bahkan jauh lebih lembut daripada bubuk tepung.
Daya penghancur yang dihasilkan pukulan Ceng-san-lui ternyata jauh melebihi daya
ledak bahan mesiu! Sayangnya, kali ini daya penghancur itu tidak membuahkan hasil, tenaga ledakan
yang maha dahsyat itu hanya mampu menghancurkan sebiji batu bata.
Lui Heng semakin meradang, dia makin mendendam.
Bukannya mundur, Ong Siau-sik malah merangsek maju ke depan, memanfaatkan
peluang itu dia menyusup masuk dan semakin mendekati tubuh lawan.
Kembali pukulan yang menggelegar meluncur tiba silih berganti, serangan demi
serangan dilancarkan tiada putusnya.
Kali ini Ong Siau-sik tidak menghindar, sambil memutar ujung baju kirinya dia
menerobos masuk ke tengah lingkaran tenaga pukulan lawan. Ujung bajunya seketika
menggelembung besar bagaikan sebuah balon, sementara ujung baju kanannya kembali
dilontarkan. Kali ini ujung baju kanannya dilempar ke arah dinding bangunan sebelah timur.
"Blaaaam!", diiringi suara benturan dahsyat, dinding batu itu hancur berantakan
dan berserakan kemana-mana.
Menyusul benturan dahsyat itu, ujung baju Ong Siau-sik ikut mengkeret layu,
namun tubuhnya tetap sehat walafiat seakan tak pernah terjadi sesuatu apa pun.
Rupanya dia telah mengeluarkan ilmu I-hoa-ciap-bok-sin-kang (ilmu memindahkan
bunga menyambung kayu) yang sudah lama punah dari dunia persilatan untuk
memindahkan tena?ga serangan Ceng-san-lui yang dilancarkan Lui Heng ke atas
dinding batu itu. Melihat serangan pertama berhasil dijebol Ong Siau-sik, serangan kedua dialihkan
ke dinding, Lui Heng jadi mencak-mencak gusar, dengan mata merah dan nyaris
muntah darah saking dongkolnya, serangan ketiga segera dilontarkan.
Serangannya kali ini jauh lebih menakutkan ketimbang dua kali serangannya yang
pertama, bahkan dibandingkan gabungan kedua serangan yang pertama pun masih
lebih menyeramkan, tak disangkal rasa benci Lui Heng sudah mencapai puncaknya.
Kini dia sudah melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ong Siau-sik seakan ingin melompat mundur
untuk menghindar, namun belum sempat ia berbuat sesuatu, serangan dahsyat itu
telah bersarang telak di atas dadanya.
Seluruh tubuh Ong Siau-sik terlempar ke tengah udara, sedemikian kerasnya
lemparan itu hingga punggungnya menghantam di dinding, lalu seperti seekor ikan
yang meletik di tanah, ia menggeser tubuhnya ke arah lain dan melompat bangun
bagai seekor burung manyar putih, bahkan berdiri kembali dengan senyuman
menghias wajahnya. Dinding batu yang berada di belakang tubuhnya seketika roboh berantakan diiringi
suara dentuman yang amat keras.
Butiran keringat sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat Lui Heng, setelah
melancarkan tiga buah pukulan dahsyat, tenaga dalamnya sudah terkuras sangat
banyak. Kelihatannya Ong Siau-sik memang amat sukar dihadapi, jauh di luar sangkaannya
semula, bahkan sulitnya setengah mati, sulitnya minta ampun.
Namun bagi Lui Heng, semakin susah menghadapi seseorang, semangat tempurnya


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya semakin berkobar. Ia segera mengeluarkan ilmu sakti andalannya, Ngo-
lui-hong-teng (lima guntur meledakkan puncak).
Begitu Lui Heng mengeluarkan jurus Ngo-lui-hong-teng, bahkan dia sendiri pun tak
tahan untuk memuji jurus serangannya ini telah digunakan secara sempurna tanpa
cacad dan sama sekali tidak membuatnya terengah. Padahal setelah melepaskan tiga
pukulan Ceng-san-lui tadi, tenaga dalamnya mengalami kerugian sangat besar,
namun daya pukulan yang dihn silkan Ngo-lui-hong-teng ini bukan saja tidak
mengurangi tenaga serangannya, bahkan daya penghancur yang dihasilkan tujuh kali
lipat lebih dahsyat dari kekuatan sesungguhnya, tidak kurang tidak lebih, persis
tujuh kali! Jurus serangan Ngo-lui-hong-teng ini berbeda sekali dengan jurus Ceng-san-lui,
kalau Ceng-san-lui dilepaskan ke udara sehingga ada kesempatan bagi musuh untuk
meminjam tenaga membuang datangnya ancaman, sementara serangan Ngo-lui-hong-teng
justru langsung membabat ubun-ubun musuh, jika terkena hantaman ini bukan saja
tulang belulangnya akan hancur, bahkan sama sekali tak aaa peluang untuk lolos
dalam keadaan hidup. Pada saat dia melepaskan serangan, tiba-tiba Ong Siau-sik mulai bergerak,
merangsek, menerjang, menghindar, mencopot lalu membetot keras.
Lui Heng menyangka musuh sedang berusaha meronta untuk menghindari kematian,
cepat dia miringkan tubuh dan sekali lagi pukulan Ngo-lui-hong-teng dibabatkan
ke bawah. Tangan kanan Ong Siau-sik dengan punggung menempel rambut, telapak menghadap ke
atas, tiba-tiba kelima jari tangannya mengepal, sementara tangan kirinya
menyambar ujung baju Lui Heng dan "Breeet!", tahu-tahu baju itu sudah terbetot
hingga robek. Dalam keadaan seperti ini, Lui Heng sudah tak ambil peduli apakah bajunya robek
atau tidak, dia hanya ingin secepatnya menghajar Ong Siau-sik dan menghabisi
nyawanya. Pukulan Ngo-lui-hong-teng sudah dilepas, serangan itu dilontarkan secara
sempurna tanpa cacad sedikitpun dan langsung menghantam ke atas kepala lawan.
Di atas kepala Ong Siau-sik sudah siap tangannya, tangan sebelah kanan, pukulan
itu langsung menghajar di atas telapak tangannya itu.
"Plok!", sobekan kain yang ada dalam genggaman tangan kiri Ong Siau-sik seketika
hancur berkeping dan menyebar ke empat penjuru.
Alhasil, Ong Siau-sik masih tetap berdiri. Ia sama sekali tidak mengalami
cedera, paras mukanya kelihatan sedikit agak berubah, tapi dalam waktu singkat
sudah pulih kembali seperti sedia kala.
Hantaman Ngo-lui-hong-teng yang selama ini sangat dibangga-banggakan Lui Heng,
apakah kemampuannya hanya untuk menghancurkan secarik robekan kain"
Berubah hebat paras muka Lui Heng, dia makin benci, makin risau dan makin
terkesiap. Terkesiap beda dengan benci, kalau benci lantaran ada dendam, tapi kalau
terkesiap lantaran takut. Padahal selama ini belum pernah ada orang persilatan
yang mendengar Lui Heng pernah takut, ia tak pernah takut terhadap siapa pun,
tak pernah takut dengan persoalan apa pun.
Tapi sekarang, Lui Heng benar-benar sedang terkesiap, terkesiap lantaran kaget
dan tak menyangka. Mengawasi hingga hancuran kain berserakan kemana-mana, Ong Siau-sik baru
menjulurkan lidahnya sambil bergumam, "Wouw, hebat, sungguh hebat, sampai kain
pun bisa dihancurkan oleh tenaga pukulannya hingga hancur, luar biasa, sungguh
luar biasa!" Dia sedang memuji Lui Heng. Tapi bagi pendengaran Lui Heng, ucapan itu justru
jauh lebih menyiksa batinnya ketimbang ditampar orang ratusan kali.
Pada hakikatnya dia menerima pujian itu sebagai sindiran yang tajam, ejekan yang
sangat menyakitkan hati. Kalau didengar dari nada pembicaraan Ong Siau-sik, tampaknya dia sama sekali
bukan lagi bertarung mati-matian melawan Lui Heng, tapi hanya ingin menjajal
sejauh mana keberhasilan ilmu silat yang diyakininya, dia hanya ingin tahu
apakah kungfunya memang hebat, kalau ampuh, keampuhannya sudah mencapai
tingkatan yang mana. Lalu setelah tahu, setelah menyaksikan, ia pun memberi
pujian, persis seperti se?orang guru yang sedang memuji hasil karya muridnya.
"Bagaimana?" jengek Ong Siau-sik lagi sambil tertawa cengengesan, "apakah masih
punya jurus serangan lain yang jauh lebih ampuh?"
"Masih!" Tentu saja jawaban itu bukan berasal dari Lui Heng.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, segera terjadilah dua perubahan.
Yang pertama adalah perubahan paras muka serta sorot mata Lui Heng.
Paras mukanya bukan saja telah berubah jadi normal kembali, bahkan ia kelihatan
jauh lebih bersemangat, jauh lebih kosen, sorot matanya yang dipakai untuk
memandang Ong Siau-sik persis seperti sorot matanya ketika memandang sesosok
mayat. Perubahan kedua adalah dinding batu yang ada di sebelah utara tiba-tiba roboh ke
tanah, dari belakang dinding yang roboh itu muncullah tiga orang.
Dari tiga orang yang muncul itu, Ong Siau-sik sudah pernah bersua dua orang di
antaranya, yang satu adalah nenek kedelai yang pernah dijumpainya di puing
bangunan yang roboh sore itu, sementara yang lain adalah Lu Sam-ciam, jagoan
yang sempat bertarung dengannya di Po-pan-bun waktu itu.
Namun orang yang barusan berbicara bukan kedua orang itu.
Sorot mata dan perhatian Ong Siau-sik saat inipun bukan tertuju ke tubuh mereka
berdua, tapi tertuju ke tubuh orang ketiga.
Kelihatannya selama ada orang ketiga, maka tak ada kesempatan bagi nenek kedelai
dan jenderal tiga anak panah untuk ikut berbicara.
Orang ketiga adalah seorang lelaki setengah umur yang kurus kering, kecil dan
tinggal kulit pembungkus tulang..........
Begitu kurus kering orang itu sehingga setiap saat seakan bisa terbawa hembusan
angin, tapi jika diteliti lebih seksama, maka akan terlihat kalau sisa daging
yang menempel di tubuhnya itu jauh lebih keras daripada lempengan baja, setiap
otot menempel ketat dengan tulang sehingga ketika ia menggerakkan tubuhnya, akan
menimbulkan kekuatan yang luar biasa menakutkan.
Ong Siau-sik segera menghembuskan napas panjang setelah menjumpai orang itu,
katanya, "Kalau aku tak salah mene?bak, seharusnya kau adalah Tongcu kedua dari
perkumpulan Lak-hunpoan-tong, Lui Tong-thian."
Tapi setelah berhenti sejenak, dengan lagak kemalas-malasan dia berkata lagi,
"Semoga saja dugaanku keliru."
Tentu saja dia berharap dugaannya keliru, sebab dengan kehadiran Lui Tong-thian,
ditambah Lui Heng, Ciangkun tiga panah dan nenek kedelai, berarti ada empat
jagoan tangguh telah hadir di situ, jangan lagi dia seorang, biar So Bong-seng
datang sendiri pun belum tentu mampu menghadapi serangan gabungan keempat orang
ini. Sekilas sorot mata sedih memancar dari balik mata lelaki setengah umur yang
kurus kering itu, sahutnya perlahan, "Aku pun berharap tebakanmu itu keliru,
tapi sayang ........... tebakanmu sedikitpun tak salah!"
Keempat orang itu mulai melakukan pengepungan, bahkan lingkaran kepungan kian
lama kian bertambah kecil.
Tampaknya mereka sudah menunggu lama sekali di situ, mereka seakan sebuah jaring
besar, jaring yang menunggu sang ikan masuk perangkap.
Ong Siau-sik adalah sang 'ikan' yang sedang mereka tunggu.
Kelihatannya Lui Heng sendiri pun tidak tahu akan jaring perangkap itu, maka
sewaktu mengetahui kemunculannya jaring lebar ini, dia terkejut bercampur
girang, kemudian dengan pengalaman mereka yang sudah bekerja sama sekian lama,
ia segera bergabung dalam pengepungan itu dan mulai memperkecil kepungan.
Ia mendapat bagian berjaga di sisi selatan.
Di sisi selatan terdapat lagi selapis dinding batu, tempat ini paling gampang
dipertahankan sebab siapa pun yang ingin kabur lewat situ, dia harus melompati
dinding batu itu terlebih dulu, dan ia merasa mampu untuk membantai musuhnya,
biarpun harus membunuhnya sepuluh kali.
Ong Siau-sik memandang sekejap ke samping kiri, kanan, depan dan belakang, lalu
kepada Lui Tong-thian katanya, "Ternyata kau adalah seorang manusia yang
menarik, jauh lebih menarik ketimbang dia."
Ia menuding ke arah Lui Heng, kemudian tambahnya, "Sayang aku tak punya waktu
untuk mengajakmu bermain, sedang dia pun tak ada waktu untuk bermain lebih
jauh." Lui Tong-thian melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri melongo.
Kendatipun sekilas usianya nampak baru tiga puluh tahunan, sesungguhnya tahun
ini dia sudah berusia lima puluh dua tahun.
Dia memang pandai merawat tubuh, selama ini kehidupannya sederhana, latihan
silat tak pernah dilupakan, malah dengan bertambahnya usia dia berlatih lebih
tekun lagi, oleh karena itu selain kungfunya maju semakin pesat, tampangnya juga
jauh lebih muda ketimbang usia sesungguhnya.
Jangan dilihat perawakan tubuhnya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus
tulang, padahal dia jauh lebih berbobot, posisinya jauh lebih terhormat
ketimbang Ciangbunjin dari partai besar mana pun.
Oleh sebab itu dia teramat jarang mendengar perkataan seperti apa yang diucapkan
Ong Siau-sik barusan, sudah lama ia tak pernah mendengar perkataan semacam itu.
Dari logat bicara anak muda itu, dia seakan sama sekali tidak memandang dirinya
sebagai seorang musuh tangguh, malah dia dipandang sebagai teman bermain.
Di kolong langit dewasa ini, manusia mana yang berani menganggap Lui Tong-thian
sebagai seorang teman bermain"
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Lui Tong-thian setelah mendengar perkataan itu,
tapi sebelum ia melakukan sesuatu, Ong Siau-sik sudah melancarkan serangan
terlebih dulu. Dia langsung menyerang Lui Heng, sementara tangan yang lain sudah meraba gagang
pedangnya. Tergopoh-gopoh Lui Heng melompat mundur ke belakang, dia tahu Jikonya pasti akan
turun tangan menghadang kejaran si anak muda itu.
Ciangkun tiga panah tidak tinggal diam, ia merangsek maju, panahnya ditusukkan
ke punggung lawan. Nenek kedelai tak mau ketinggalan, baju rombengnya ditebarkan ke udara,
mengurung batok kepala Ong Siau-sik.
Panah si panglima tiga panah yang jelas dilancarkan menu?suk punggung musuhnya
itu tiba-tiba patah jadi dua ketika sudah berada di tengah udara, panah itu
langsung menusuk belakang kepala pemuda itu, bahkan dari ujung panah itu
mendadak menyembur keluar dua mata panah lagi, dengan begitu ada tiga mata panah
ditambah sebatang anak panah yang mengancam belakang kepala Ong Siau-sik!
Beberapa hari lalu, baju rombeng milik si nenek kedelai ini pernah berhasil
mempecudangi Wo Hu-cu, anak buah andalan So Bong-seng, asal tertempel baju
langit tanpa nyawa Bo-mia-thian-i miliknya ini, maka bagian tubuh yang terkena
segera akan membusuk. Oleh karena itu setiap kali si nenek kedelai hendak menggunakan baju langit
tanpa nyawa itu, dia selalu mengenakan sarung tangan enam lapis, tiga lapis di
antaranya dikenakan untuk melindungi lengan sendiri, dia kuatir senjata makan
tuan, sebab termasuk dia sendiri pun tak tahan bila tersentuh racun ganas itu.
Nenek kedelai adalah Tongcu ketujuh dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong,
sementara Lu Sam-ciam, si panglima tiga panah itu adalah Tongcu kesepuluh, kini
mereka berdua telah melancarkan serangan bersama-sama, tentu saja daya
penghancur yang diciptakan sangat luar biasa, mereka memang sangat bernapsu
untuk membunuh. Ong Siau-sik adalah orang yang hendak mereka bunuh.
Berhadapan dengan musuh yang begini tangguh, tak ada pilihan lain bagi Ong Siau-
sik kecuali harus menghadapinya.
Pedang yang selama ini belum pernah digunakan, akhirnya harus dilolos juga dari
sarungnya. Belum pernah ada orang menyaksikan Ong Siau-sik mencabut pedangnya.
Orang lain hanya tahu dia memiliki sebilah pedang, pedang dengan gagang
berbentuk bulan sabit, tapi belum pernah ada yang tahu dengan cara apa dia akan
mempergunakan pedang aneh itu.
Sebenarnya pedang apakah itu"
Kalau dibilang senjata itu adalah sebilah pedang, sebenarnya keliru besar,
senjata itu bukan pedang, tapi sebilah golok, golok lengkung! Golok bulan sabit.
Padahal senjata yang dicabut Ong Siau-sik adalah sebilah pedang, kenapa secara
tiba-tiba bisa berubah menjadi golok"
Ternyata gagang pedang itu bukan gagang pedang sesungguhnya, melainkan sebilah
golok, sebilah golok bulan sabit, melengkung persis alis mata seorang gadis.
Sebilah golok bulan sabit yang amat kecil.
Cahaya golok memancar sangat terang, begitu menyilaukan mata bagaikan sebuah
bintang meteor. Dengan golok bulan sabit itu dia menangkis tusukan anak panah, ujung panah
menahan baju langit, ketika Ong Siau-sik mendorong senjatanya ke depan, panah
berikut baju rombeng itu seketika mencelat balik dan mengarah ke tubuh panglima
tiga panah serta si nenek kedelai.
Tampaknya kedua orang jago itu tidak menyangka akan kejadian ini, dengan
perasaan terkesiap bercampur ngeri, lekas si nenek kedelai dan Lu Sam-ciam
melompat mundur untuk menghindar.
Lui Heng yang menyaksikan peristiwa itupun turut terkesiap dibuatnya.
Kemampuan Ong Siau-sik ketika menerima pukulan Ceng-san-lui dan Ngo-lui-hong-
teng masih membekas dalam hatinya, kemampuan anak muda itu sudah menimbulkan
perasaan ngeri di hati kecilnya, padahal saat itu Ong Siau-sik belum lagi
melolos senjata andalannya.
Tapi sekarang Ong Siau-sik sudah melolos senjatanya, bahkan sedang merangsek
maju menghampiri tubuhnya, jelas anak muda itu sedang mengincar jiwanya, tak
heran kalau Lui Heng menjadi ngeri sekali.
Sambil berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, dia mulai mundur terus
selangkah demi selangkah.
Belakang tubuhnya adalah sebuah dinding batu, kini punggungnya sudah menempel di
atas dinding, sudah tak ada jalan mundur lagi baginya.
Tapi perasaan terkejut hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba dari ngeri ia nampak
kegirangan, sebab dia melihat Lui Tong-thian sudah menghadang jalan pergi anak
muda itu. Pada saat itulah tiba-tiba dadanya terasa sakit, dadanya seakan sudah tersumbat
oleh semacam benda, menyusul kemudian dia pun dapat melihat benda yang menyumbat
dadanya itu. Sebilah ujung pedang yang bernoda darah!
Mula-mula ia merasa terkesiap, kemudian keheranan dan menyusul ia merasa ngeri
sekali, rasa sakit yang luar biasa membuatnya menjerit keras, menjerit sekeras-
kerasnya! Lui Tong-thian yang sedang bersiap-siap melancarkan serangan mematikan ke arah
Ong Siau-sik pun secara tiba-tiba menyaksikan sebilah ujung pedang yang bernoda
darah muncul dari balik dada Lui Heng.
Ujung pedang itu berdarah, pedang yang terbuat dari kayu.
Ujung pedang sudah menembusi dada Lui Heng!
Tampaknya Lui Heng sudah tak mungkin hidup terus!
Ternyata di balik dinding sebelah selatan masih ada musuh tangguh lainnya!
Lui Tong-thian merasa pikirannya kalut, menggunakan kesempatan itu Ong Siau-sik
segera menerobos lewat dan mundur dari situ.
Tugasnya telah tercapai, tentu saja dia harus segera mundur!
Bila ia tidak mundur, artinya dia ingin mencari mati di tempat itu!
Ternyata tugasnya hanya mendesak Lui Heng agar mundur ke dinding sebelah
selatan, So Bong-seng berpesan begini kepadanya, "Kwik Tang-sin yang akan
membereskan nyawanya".
Sewaktu menyampaikan pesan itu, Pek Jau-hui tidak berada di tempat, karena
inilah rencana yang telah diatur So Bong-seng.
Mengenai siapa Kwik Tang-sin itu" Dia sendiri pun tidak tahu. Dia hanya
menyaksikan pedang kayu milik Kwik Tang-sin berhasil menembus dinding batu lalu
menembusi dada Lui Heng, menusuk tanpa menimbulkan suara tapi sekali tusukan
berhasil membunuh lawannya, serangan semacam ini benar-benar merupakan sebuah
serangan maut yang susah diduga, susah dihindari!
Tubuh Ong Siau-sik yang semula sedang merangsek ke arah Lui Heng, kini bagaikan
sebuah batu ketapil melejit balik ke belakang untuk kemudian mundur dengan
cepat. Lui Tong-thian tidak tinggal diam, kendatipun saat itu perhatiannya sedang
bercabang, namun pukulan Ngo-lui-thian-sim miliknya sempat dilontarkan ke arah
anak muda itu. Menyaksikan datangnya serangan Ngo-lui-thian-sim yang begitu dahsyat, Ong Siau-
sik segera tahu kalau hari ini mau tak mau terpaksa dia harus melakukan satu
tindakan. Terpaksa dia harus betul-betul melolos pedangnya.
Kalau tadi dia hanya mencabut goloknya, golok bulan sabit yang berada pada
gagang pedangnya, maka sekarang dia benar-benar telah mencabut keluar pedangnya.
Jika pedang tanpa gagang, bagaimana caranya dia melolos pedang"


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ooOOoo 27. Mencabut pedang Pedang tetap adalah pedang, tanpa gagang pun pedang itu tetap pedang.
Pedang milik Ong Siau-sik, gagang pedangnya adalah sebilah golok, sementara
pedang itu sendiri sama sekali tak bergagang.
Teorinya sama seperti monyet yang tak berekor tetap disebut monyet, orang yang
tak punya rambut tetap manusia dan kita pun tak bisa mengatakan pohon yang tak
dapat berbuah itu bukan pohon.
Ong Siau-sik telah mencabut pedangnya, sebuah tusukan kilat dilontarkan ke tubuh
Lui Tong-thian, tak ada yang bisa melukiskan bagaimana hebatnya serangan itu.
Mau dengan perkataan, dengan lukisan, dengan tulisan, tak satu pun bisa
digunakan untuk melukiskan serangan pedang yang dilancarkan, sebab serangan itu
bukan cepat, bukan aneh, terlebih bukan luar biasa, tapi bukan saja mencakup
keindahan yang luar biasa, bahkan gabungan dari kesemuanya itu mencerminkan tiga
puluh persen keindahan, tiga puluh persen keanggunan, tiga puluh persen
kegarangan dan sepuluh persen luar biasa.
Manusia macam apa yang bisa menciptakan ilmu pedang sehebat dan seluar biasa
ini" Ilmu yang dia gunakan sebenarnya ilmu pedang ataukah ilmu dewa"
Pedang yang dipergunakan sebenarnya pedang dari bumi atau pedang dewa"
Bersamaan waktu Ong Siau-sik mencabut pedangnya, Lui Tong-thian telah
melancarkan pula serangan dengan Ngo-lui-thian-sim (lima guntur inti langit).
Dengan satu gerakan cepat, kedua orang itu saling bertukar satu serangan.
Menanti Lui Tong-thian berhasil melompati pagar dinding batu itu, di belakang
tembok sudah tak ada orang, yang tersisa hanya sebuah gagang pedang kayu, gagang
pedang yang masih berguncang keras.
Tubuh pedang kayu itu sudah menancap di atas dinding, tembus hingga ke sisi
dinding sebelah. Lui Tong-thian tahu mata pedang telah menghujam di dada saudaranya, menembus
tubuhnya hingga tembus ke depan, sementara sang pembunuh belum pergi terlalu
jauh, karena gagang pedang masih terasa hangat.
Namun dia tidak melakukan pengejaran, rasa kaget dan ngerinya belum juga mereda.
Pakaian yang dikenakan, mulai dari bawah ketiak turun ke bawah sudah robek satu
lingkaran besar, dari depan dada hingga belakang punggung pakaiannya terbelah
jadi dua, masih untung tidak sampai melukai kulit badannya.
Diam-diam ia terkesiap juga, dia tak mengira tusukan pedang si pemuda
cengengesan yang dilepaskan dari depan, ternyata mampu membabat hingga
merobekkan pakaian belakang punggungnya, ilmu pedang aliran manakah yang ia
pergunakan" Andaikata dia tidak memiliki ilmu Tay-lui-sin-kang (tenaga guntur sakti) yang
melindungi tubuhnya, bukankah serangan pedang itu telah menghabisi nyawanya"
Yang lebih menakutkan lagi adalah andaikata bersamaan dengan serangan pedangnya
tadi pemuda itu menerjang juga dongan menggunakan golok bulan sabitnya, maka
kendatipun dia memiliki ilmu Ngo-lui-thian-sim, belum tentu jiwanya dapat
diselamatkan. Siapakah anak muda itu sebenarnya"
Ilmu pedang apa yang dilatihnya"
Ilmu golok macam apa pula yang dia pergunakan"
Siapa pula jagoan yang bersembunyi di belakang dinding" Bukan saja ia sanggup
membunuh Lui Heng secara mudah, bahkan berada di hadapan dirinya dan kepungan
kawanan jago lihai pun dia mampu meloloskan diri secara gampang.
Lui Tong-thian merasa kepalanya sangat berat, seberat digantungi bongkahan besi
baja yang sangat besar, sejak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah ia
rasakan keadaan seperti ini.
Jika perkumpulan Lak-hun-poan-tong harus berhadapan dengan musuh setangguh ini,
mungkin mereka harus meninjau kembali formasi yang digunakan untuk menghadapi
musuh yang digunakan selama ini.
Jika Kim-hong-si-yu-lau sudah memperoleh bantuan setangguh ini, jelas kekuatan
mereka tak boleh dipandang enteng.
Di satu sisi Lui Tong-thian dibuat sangsi bercampur kaget, di sisi lain Ong
Siau-sik sendiri pun merasa jantungnya berdebar keras.
Gempuran yang dilontarkan Lui Tong-thian memang benar-benar menggidikkan hati.
Setelah berlarian hampir sejauh sepuluh li, dia baru melihat ada selembar
bajunya yang rontok ke tanah.
Robekan baju itu persis berada di bagian tubuhnya yang " terhajar pukulan tadi,
bukan saja kain itu hangus terbakar, bahkan rambutnya yang ada di kening sebelah
kiri pun ikut rontok sebagian, rambut itu rontok seperti dipapas dengan pedang.
Pukulan Ngo-lui-thian-sim yang betul-betul mengerikan!
Padahal serangan maut itu tidak dilancarkan Lui Tong-thian dengan sepenuh
tenaga, sebab waktu itu konsentrasinya sedang terbagi, justru karena
perhatiannya bercabang, maka Ong Siau-sik mendapat peluang untuk melarikan diri.
Jika serangan itu dilancarkan dengan sepenuh tenaga, mungkinkah daya perusaknya
jauh lebih mengerikan"
Dengan jelas Ong Siau-sik tahu bahwa ia berhasil mem?babat tubuh lawan dengan
menggunakan ilmu pedang Siau-hun-kiam-hoat (ilmu pedang pelenyap sukma) yang
dimilikinya, tapi dengan perlindungan Tay-lui-sin-kang di seluruh tubuhnya, Lui
Tong-thian berhasil lolos dari luka yang parah, ini mem?buktikan musuh memiliki
ilmu kebal yang hebat. Mungkin saja bila bersamaan dia menyerang juga dengan menggunakan ilmu golok
kerinduan, ia sanggup mengungguli lawan. Tapi sebaliknya jika Lui Tong-thian
balas melancarkan serangan dengan sekuat tenaga, sanggupkah dia menerima pukulan
Ngo-lui-thian-sim itu"
Semakin dibayangkan, diam-diam Ong Siau-sik merasa semakin tercekat hatinya.
Masih untung So Bong-seng telah merencanakan segala sesuatunya secara baik,
kalau tidak, mungkin dia sudah terjebak dalam kerubutan empat orang jago tangguh
dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kalau sampai begitu, sulit rasanya bagi dia
untuk mundur dengan selamat.
Berpikir sampai di sini, lagi-lagi dia merasa keheranan.
Siapakah Kwik Tang-sin itu" Kenapa ia bisa menyusup ke dalam markas besar
perkumpulan Lak-hun-poan-tong tanpa diketahui lawan, bahkan berhasil membunuh
musuhnya dalam sekali gebrakan"
Dia hanya merasa bahwa cara So Bong-seng mengatur rencana, tampaknya hanya
ditujukan khusus orang per orang sehingga kecuali yang bersangkutan saja yang
tahu setiap bagian, setiap langkah dan setiap detil yang harus dilaksanakan,
orang lain tak akan mengetahui apa yang akan terjadi.
Tentu saja Ong Siau-sik pun tidak melupakan satu hal ........... setelah urusan
selesai, segera berangkat ke loteng Sam-hap-lau.
Maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera berangkat menuju ke loteng Sam-hap-
lau. Dia harus menghadiri pertemuan itu.
Dia ingin tahu, pertemuan apakah yang diselenggarakan disana.
Dalam kehidupan manusia, terkadang ada pertemuan yang sama sekali tak diduga,
bahkan pertemuan yang tak bisa dihindari, tak bisa diperkirakan sebelumnya.
Ong Siau-sik pergi menghadiri pertemuan itu hanya didasari rasa ingin tahu,
menganggapnya sebagai suatu kejadian yang menarik sehingga dia tidak merasa
berat atau masgul karenanya, manusia macam dia tak terlalu serius memandang soal
menang kalah, dia pun tak pernah menganggap pergi berpetualang itu merupakan
sesuatu peristiwa yang serius.
Oleh sebab itu sepanjang perjalanan, Ong Siau-sik berjalan amat santai, dia
melanjutkan perjalanannya sambil menonton keramaian yang ada di sepanjang jalan
raya. Di tengah pasar terlihat ada seorang kakek dan seorang gadis muda sedang menjual
silat, wajah kakek itu amat lesu namun tidak menutupi sorot matanya yang penuh
perhatian ditujukan pada gadis itu.
Selain penjual silat, dia pun melihat ada seorang dayang sedang bergurau dengan
seorang nyonya bergigi emas, ada lagi seorang pelayan sedang memasangkan pelana
kuda bagi tuannya. Suasana di sekeliling tempat itu sangat ramai, aneka macam manusia bercampur-
baur di situ, berbagai ragam manusia dengan segala aktivitasnya berbaur di
tengah hiruk-pikuknya suasana.
Bagi Ong Siau-sik, orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya,
justru ada tiga orang yang sama sekali tidak mencolok segera memancing
kewaspadaannya. Tiga orang itu sebetulnya tidak mencolok, dandanannya sangat sederhana, otang
semacam ini biasanya tak akan menarik perhatian siapa pun.
Mereka hanya orang yang kebetulan lewat di jalan raya itu, tiga orang yang
sedang melakukan perjalanan bersama-sama.
Orang pertama mengenakan baju berwarna abu-abu, orang kedua mengenakan jubah
berwarna abu-abu tua, sementara orang ketiga mengenakan jubah abu-abu yang
nyaris sudah mendekati warna putih.
Ketiga orang itu muncul dari arah yang berbeda, berjalan menuju ke arah dimana
Ong Siau-sik sedang berdiri.
Ketika tiba lebih kurang tiga kaki dari Ong Siau-sik, tiba-tiba secara serentak
mereka melancarkan serangan bersama.
Begitu turun tangan, mereka bertiga segera mengeluarkan jurus serangan
mematikan! Dalam waktu singkat semua jalan mundur Ong Siau-sik sudah tertutup rapat, bukan
saja anak muda itu tak mungkin bisa menghindar, kesempatan untuk menangkis pun
tak ada. "Bagus!" teriak anak muda itu tanpa terasa.
Menyaksikan datangnya serangan yang begitu hebat dan kerja sama yang begitu
rapat, membuat pemuda itu untuk sesaat lupa kalau ancaman sedang ditujukan ke
tubuhnya. Bagus atau tidak, ketika seseorang akan kehilangan nyawa, biar sebagus apa pun
juga percuma. Kini Ong Siau-sik tak bisa mundur, dari tiga arah serangan musuh meluncur tiba
dengan dahsyatnya, padahal dia tak ingin beradu keras lawan keras.
Ong Siau-sik tahu, suasana di tempat itu sedang ramai-ramainya, banyak orang tak
berdosa yang berada di seputar pasar, dia tak ingin dan tak tega menyaksikan
orang-orang itu ikut menjadi korban.
Dalam keadaan kepepet, tiba-tiba ia melejit ke udara, dengan kecepatan luar
biasa tubuhnya membumbung tinggi ke angkasa.
ooOOo 28. Golok atau pedang Gerakan tubuhnya selain cepat juga sangat indah, kontan saja memancing sorak-
sorai memuji dari para penonton yang ada di sekeliling tempat itu.
Ketika dia melayang turun kembali, tubuhnya sudah berada beberapa kaki dari
posisi semula, melayang turun di samping seorang kakek bersepatu rumput yang
kebetulan berdiri di tepi jalan.
Ia sudah memperhitungkan jarak sejak awal, dengan begitu dia mempunyai waktu
yang cukup untuk menghadapi serangan yang datang dari tiga orang manusia berbaju
abu-abu itu. Siapa sangka baru saja kakinya menginjak tanah, seorang lelaki berbaju putih
sudah tiba di hadapannya, bahkan nyaris berdiri saling berhadapan dengan
dirinya. Sekarang Ong Siau-sik baru terkesiap dibuatnya, terpaksa dia harus melolos
pedangnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ketika menghadapi hadangan dari tiga orang manusia berbaju abu-abu tadi, ia
menganggap belum perlu mencabut pedangnya, tapi kemunculan orang berbaju putih
ini berbeda sekali, dia sadar sekarang adalah saatnya untuk mencabut pedang.
Kali ini golok atau pedangnya yang harus dilolos"
Akhirnya dia urung melolos senjatanya, karena orang ber?baju putih itu telah
berkata, "Jangan panik, aku!"
Ong Siau-sik kembali tertawa. Ternyata orang berbaju putih itu adalah Pek Jau-
hui. Ketika menengok kembali ke arah ketiga orang berbaju abu-abu itu, ternyata
mereka telah roboh terkapar di atas tanah. Ilmu jari Keng-sin-ci milik Pek Jau-
hui memaksa mereka kehilangan kemampuannya untuk melancarkan serangan, orang-
orang itu belum sempat melepaskan ancamannya yang kedua dan sudah roboh
terkapar. Oleh karena yang muncul adalah Pek Jau-hui, sudah barang tentu Ong Siau-sik tak
usah melolos pedangnya lagi.
Beda dengan Pek Jau-hui, wajahnya justru memperlihatkan perasaan kecewa dan
sayang, gumamnya lirih, "Ketika datang tadi, aku toh hanya bilang "Aku", sama
sekali tidak mengatakan "jangan turun tangan", kenapa kau tidak melolos pedangmu?"
"Kalau memang kau sudah datang, kenapa aku mesti repot-repot mencabut pedang?"
jawab Ong Siau-sik sambil tersenyum.
"Selama kau tidak melolos pedangmu, berarti aku tak akan mendapat kesempatan
untuk menjajal jurus pedangmu, jelas kejadian semacam ini merupakan kejadian
yang membikin hati kecewa, aku tak ingin kekecewaan seperti ini berlarut terus."
"Selamanya aku tak pernah melolos pedang terhadap sahabat sendiri."
"Ketika melolos pedangmu, kau toh boleh tidak mengang?gap aku sebagai temanmu?"
"Kau bukan cuma sahabatku, bahkan merupakan saudara angkatku!" dengan wajah
bersungguh-sungguh Ong Siau-sik berkata, "seorang Tayhiap pernah berkata
kepadaku, 'Sehari sebagai saudara, selama hidup adalah saudara'. Hanya cucu
kura-kura telur busuk yang membokong saudara dari belakang, mencabut pedang di
hadapannya." Pek Jau-hui menatap pemuda itu sekejap, lalu katanya, "Tahu begitu, aku baru
mengangkat saudara denganmu setelah menjajal kepandaian silatmu terlebih dulu."
"Bila pertarungan terjadi duluan, mungkin kita tak bakal jadi saudara."
"Ooh, jadi kau tak tahan jika dikalahkan orang?" ejek Pek Jau-hui sambil tertawa
dingin. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng.
"Ooh, jadi kau takut aku yang kalah?" Pek Jau-hui mulai agak berang.
Kembali Ong Siau-sik menggeleng.
"Masalahnya bukan kau yang kalah atau aku yang asor, juga bukan lantaran kau
yang unggul atau aku yang menang, justru yang aku kuatirkan, sekali kita
bertarung, maka bukan cuma menang kalah yang ketahuan, justru mati hidup yang
mesti dihadapi, coba bayangkan sendiri, mana ada orang mati bisa mengangkat
saudara dengan orang hidup?"
"Siapa tahu justru ada dua orang mati yang mengangkat saudara di istana neraka?"
senyuman lega kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui.
Sementara kedua orang pemuda itu sedang bercakap-cakap, di tengah arena kembali
telah terjadi perubahan. Beberapa orang berdandan opas muncul di tengah arena dan menggotong pergi mayat
ketiga orang manusia berbaju abu-abu itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
kawanan opas itu juga tidak terlihat mendatangi Pek Jau-hui serta Ong Siau-sik
untuk melakukan penyelidikan.
Tak selang beberapa saat kemudian, suasana di jalanan itu sudah pulih kembali
seperti sedia kala, orang mulai berlalu-lalang, meski ada sebagian kecil orang
yang melirik sekejap ke arah Pek Jau-hui berdua dengan pandangan kagum dan
hormat, tapi sebentar kemudian mereka sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing
sehingga tak ada lagi yang menggubris kedua pemuda itu.
Semua kejadian yang terjadi di jalanan besar itu seolah sebuah sampan kecil yang
ditelan ombak samudra, hanya sekejap mata sudah lenyap tak berbekas.
Begitukah kehidupan manusia yang mengalir dalam peredaran waktu"
Kalau memang demikian keadaannya, lalu buat apa manusia berkarya, buat apa
manusia mencari nama" Bukankah pada akhirnya semua akan larut dalam waktu, larut
dalam kehidupan manusia yang luas bagai samudra"
Walau hasil karya seseorang akan ditelan sejarah, tapi sekecil apa pun hasil
karyamu, lebih baik menjadi api kunang-kunang daripada sama sekali tak ada. Ini
menurut jalan pikiran Ong Siau-sik.
Lalu bagaimana menurut pandangan Pek Jau-hui"
Entah bagaimana cara pandang Pek Jau-hui, tapi yang pasti saat itu dia sedang
mengawasi seseorang. Seseorang yang berdiri di mana pun, berdiri dengan siapa pun, ia selalu tampil
bagaikan seekor bangau yang berada di tengah kerumunan ayam.
Bahkan sejak dilahirkan, mungkin orang itu jauh lebih tinggi daripada orang
lain, jauh lebih besar dan kekar ketimbang rekannya, bahkan sewaktu tertawa pun
jauh lebih manis dipandang.
Orang itu sambil menggendong tangan sedang berjalan menuju ke Sam-hap-lau.
Ketika melihat Pek Jau-hui memperhatikan orang itu, tanpa terasa Ong Siau-sik
ikut berpaling. Ia memandang sedikit lebih lambat ketimbang Pek Jau-hui, oleh karena itu ia tak
sempat melihat dengan jelas bagaimanakah raut wajah lelaki itu.
Sementara dia masih termenung, lelaki itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah
makan. Dalam waktu singkat suasana dalam rumah makan itu agak gaduh, pelayan
menganggapnya sebagai tamu agung, melayaninya dengan sikap hormat yang
berlebihan, sementara para tamu lain terburu-buru menyelesaikan rekening dan


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluyur pergi, seakan mereka tak berani duduk berjajar dengan orang itu.
Manusia zaman sekarang memang lebih banyak menilai orang dari penampilan
ketimbang dari perbuatan, jika melihat seseorang tampil dengan baju mahal atau
perhiasan mahal, maka mereka akan dilayani bak seorang raja dan permaisuri,
sebaliknya bila hanya tampil sederhana, dianggapnya tak punya duit, tidak
mendatangkan kebanggaan bagi mereka, jangan harap akan memperoleh pelayanan yang
istimewa. Begitu juga dengan lelaki tinggi besar itu, karena pakaian yang dikenakan
terbuat dari bahan halus yang mahal harganya, orang lantas menganggap dia adalah
orang kaya atau paling tidak bangsawan kenamaan, bagi mereka yang mengenakan
pakaian sederhana atau merasa dalam almari rumahnya tak memiliki pakaian mewah
semacam itu, rasa rendah diri seketika menyelimuti hatinya, mereka jadi minder
dan menganggap dirinya tak pantas untuk duduk sejajar dengannya.
Bagi pelayan, khususnya pelayan rumah makan, mereka jauh lebih menghargai
kunjungan orang-orang kaya semacam ini, sebab kehadiran orang kaya atau orang
kenamaan justru menjadi iklan hidup bagi rumah makannya, bahkan banyak pengusaha
rumah makan yang sengaja mendatangkan orang-orang kenamaan, tujuannya hanya
ingin memakai mereka sebagai iklan gratis, agar pamor rumah makannya bertambah
tinggi. Tak heran kalau ada orang berpendapat, 'Mengunjungi rumah makan bukan lantaran
ingin menikmati hidangan lezat, lapi ingin merasakan kepopuleran dari rumah
makan itu, ingin menaikkan gengsi sendiri karena dapat berkunjung ke rumah makan
itu'. Demikian pula dalam soal pakaian, banyak orang mengenakan baju bukan untuk
menghangatkan badan, tapi lebih bertujuan untuk memamerkan merek pakaian yang
dikenakan, lebih ingin menaikkan gengsi dan pamor sendiri.
Mungkin lantaran itulah, mendadak terdengar seorang tamu yang duduk di rumah
makan itu, seorang gemuk yang disebut orang sebagai si 'Gentong nasi' karena
takaran makannya yang luar biasa, berkata sambil menghela napas, "Kalau dulu,
orang makan nasi karena untuk mempertahankan hidup, tapi sekarang, orang hanya
makan sayur dan tidak makan nasi, bahkan banyak orang yang memesan sayur bukan
untuk dimakan, tapi hanya untuk ditonton, arak juga bukan untuk diminum tapi
untuk pemborosan, untuk memamerkan diri, untuk menaikkan gengsi sendiri
Kebetulan waktu itu lelaki tinggi besar tadi sedang memesan seguci arak Kao-
liang. Belum lagi secawan arak diteguk, ia sudah mendengar sindiran si 'Gentong nasi,
kontan saja lelaki itu tertegun dan meletakkan kembali cawan araknya.
Orang-orang dalam rumah makan tahu keadaan mulai tidak menguntungkan, semua
orang mulai menggerutu, Gentong nasi itu sungguh tak tahu diri, berani amat
mencari masalah dengan lelaki berbaju halus itu. Mencari gara-gara dengan orang
kaya, biasanya sama seperti mencari penyakit buat diri sendiri!
Betul juga, lelaki itu segera berpaling ke arah si Gentong
nasi. Sejak melangkah masuk ke dalam rumah makan Sam-hap-lau, dia tahu semua yang ada
di situ adalah manusia hidup, baik ciangkwe maupun pelayan, baik para tamu atau
pengemis, hampir semuanya menengok ke arahnya kecuali seseorang.
Dan orang itu tak lain adalah orang yang sedang asyik makan ini.
OOOOOO 29. Gentong nasi dan babi
BAB III: MANUSIA KOSONG Semenjak melangkah masuk ke dalam pintu rumah makan, ia sudah memperhatikan
orang ini, orang yang sedang asyik makan nasi ini.
Alasannya sederhana sekali, jarang ada orang yang 'berani' tidak melihat ke
arahnya, 'dapat' tidak melihat ke arahnya dan 'boleh' tidak melihat ke arahnya.
Sebaliknya dia sendiri pun tidak melihat si Gentong nasi ini, karena orang yang
asyik bersantap ini wajahnya sudah tertutup oleh tumpukan mangkuk yang ada di
hadapannya. Total ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang tertumpuk di atas meja orang
itu, ditumpuk meninggi sehingga nyaris menutupi seluruh kepala orang itu, tak
ada yang tahu bagaimana cara dia menghabiskan nasi sebanyak itu, juga tak ada
yang tahu apakah dia masih tetap asyik bersantap.
Kini walaupun lelaki kekar itu sudah berpaling ke arahnya, ia tetap tak dapat
melihat wajahnya, yang terdengar hanya suara sumpit serta suara orang sedang
mengunyah. Lelaki kekar itu segera tertawa, tegurnya kepada sang pelayan, "He, suara apa
itu?" Sang pelayan agak tertegun, tanyanya, "Tuan, apa kau bilang?"
"Coba dengar, suara apa itu?" kata lelaki kekar itu sambil tertawa.
Sang pelayan benar-benar tidak tahu suara apa yang dimaksud, sebab di jalan, di
rumah makan hampir semuanya bersuara, maka dia tak tahu harus menjawab apa.
"Coba kau dengar," kembali lelaki kekar itu berkata, "seperti ada babi sedang
makan nasi!" Pelayan itu segera mengerti apa yang dimaksud, ia tak berani menyahut, hanya
menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Salah, salah besar mendadak terdengar si Gentong nasi menyahut, "tidak benar,
tidak benar Kembali lelaki kekar itu tertawa tergelak.
"Hahaha, coba dengar, kali ini kau sudah mendengar dengan jelas bukan" Ternyata
sang babi bukan cuma pandai makan nasi, dia malah pandai juga berbicara!"
"Yang dimakan babi bukan nasi, nasi hanya untuk makanan manusia, masa teori
semacam inipun kau tidak mengerti" seru si Gentong nasi serius, "memangnya
otakmu tumbuh seperti otak babi?"
"Lebih baik berhati-hatilah jika berbicara," seru lelaki kekar itu sambil
tertawa dingin. "Antara manusia dengan manusia memang mesti saling menghormati, manusia boleh
memetik harpa di hadapan kerbau, tapi kalau manusia menghadapi babi... yang
penting timbangan badannya, apakah cukup berbobot atau tidak, jadi soal hormat
menghormat tak perlu disinggung."
, Berubah hebat paras muka lelaki kekar itu, dengan wajah merah padam hardiknya,
"Kau sedang mengatai aku?"
"Tidak, aku sedang bicara soal babi," sahut si Gentong nasi.
Lelaki kekar itu tak kuasa menahan diri lagi, ia menggebrak meja sambil
membentak penuh amarah, "Coba kau ulangi sekali lagi!"
"Braaak!", meja yang dihajar segera membuat guci arak terguling dan hancur
berantakan, arak berceceran dimana-mana.
Melihat pertarungan antara dua orang itu bakal segera terjadi, banyak tamu yang
segera membayar rekening dan diam-diam mengeluyur pergi dari situ.
"Ai, babinya mulai sewot, sayang, arak wangi dibuang sia-sia," kata si Gentong
nasi lagi sambil menghela napas, "sayang, benar-benar sayang, betul-betul
seperti kerbau makan bunga Botan, mau makan pun tidak pilih-pilih tumbuhan!"
Lelaki kekar itu sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, dia segera bangkit
berdiri. Setelah tumpukan mangkuk di meja berserakan, kini Ong Siau-sik dapat melihat
jelas raut wajahnya. Rambut dan jenggot orang itu sudah saling menyambung jadi satu hingga sulit
dibedakan mana rambut mana jenggot, tapi semuanya berwarna hitam dan kusut,
sepasang bahunya lebar bagaikan dua bilah golok kwan-to berwarna hitam, sorot
mata?nya tajam seperti cahaya petir berwarna biru, jidatnya lebar dan hidungnya
besar, dari balik baju suteranya terlihat punggungnya yang kekar dan pinggangnya
yang kencang. Begitu ia bangkit berdiri, terlihat betapa tinggi besarnya perawakan orang itu,
seluruh otot badannya nampak menonjol keluar, sepuluh jari tangannya besar,
sementara Tay-yang-hiat kelihatan tinggi menggelembung, wajahnya selain keren
juga tampak garang, tak ubahnya seperti seorang Pa-ong (raja be?ngis).
"Betul betul seorang lelaki kekar!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa.
Sementara itu dengan langkah lebar lelaki kekar itu sudah berjalan menghampiri
si Gentong nasi, langkahnya berat dan mantap bahkan menimbulkan suara benturan
keras. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan si Gentong nasi waktu itu,
mungkinkah dia masih tetap bersantap"
Terdengar lelaki kekar itu berkata lagi, sepatah demi separah, "Aku tak akan
menghajar kaum lemah, asal kau bersedia minta maaf, kali ini kuampuni
kelancanganmu." "Kenapa aku mesti minta maaf kepada seekor babi?" sahut si Gentong nasi sambil
menyuapi mulutnya dengan nasi, "ah, keliru, tak ada babi yang begini tinggi
besar, semestinya disebut kerbau!"
Lelaki kekar itu membentak gusar, tangannya langsung dihantamkan ke atas meja si
Gentong nasi. Dengan satu gebrakan yang perlahan saja tadi ia telah menghancurkan guci arak di
meja sendiri, apalagi sekarang dia menghajar meja dengan penuh amarah, bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi.
Semua orang mulai takut, semua orang mulai menguatirkan sesuatu ... tumpukan
mangkuk kosong di atas meja!
Memecahkan satu dua biji mangkuk memang kejadian lumrah, tapi kalau ada lima
puluh lima buah mangkuk kosong yang pecah bersama, saat itu keadaannya pasti
sangat luar biasa. Bahkan saat itu, mereka semua seolah sudah 'mendengar' suara mangkuk yang pecah,
suara lima puluh lima biji mangkuk kosong yang pecah dan hancur berantakan.
Ternyata tak ada yang pecah, tak satu pun mangkuk kosong itu pecah.
Di saat lelaki tinggi besar itu siap menggebrakkan kedua belah tangannya ke atas
meja, mendadak si Gentong nasi merentangkan tangannya ke samping, entah
bagaimana caranya, tahu-tahu kelima puluh lima buah mangkuk itu berikut mangkuk
yang baru saja ia gunakan sudah berjajar di kedua belah lengannya masing-masing
dua puluh delapan biji, kemudian dengan satu sentakan lagi, dua baris mangkuk
yang berjajar itu kembali sudah menumpuk menjadi satu garis di atas kepalanya.
Ketika kelima puluh enam buah mangkuk kosong itu tertumpuk jadi satu, mangkuk
terakhir menjulang ke atas persis menempel di bawah lantai ruang tingkat dua.
Si Gentong nasi tidak nampak kepayahan meski harus menyangga begitu banyak
mangkuk kosong di atas kepalanya, dia masih tetap santai seakan yang di atas
kepalanya bukan mangkuk kosong melainkan tangannya sendiri.
Hampir semua orang yang berada di dalam maupun di luar rumah makan tertegun
dibuatnya, malah si lelaki kekar itu-pun ikut terbelalak matanya.
Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat akan seseorang, seseorang yang pernah
didengarnya dari cerita dongeng.
Baru selesai dia berpikir, lelaki tinggi kekar itu sudah berteriak keras, "Ah,
rupanya kau adalah si Raja nasi, kau adalah Thio Than!"
Orang persilatan tentu banyak sekali yang mempunyai takaran makan sangat besar,
mereka banting tulang, peras keringat, bercucuran darah, tujuannya tak lain agar
bisa makan tiga kali sehari dengan kenyang, asal ada makanan, bisa makan, siapa
pun pasti berharap bisa makan sepuasnya.
Tapi seorang yang bisa menghabiskan nasi sebanyak lima puluh enam mangkuk
sekaligus teramat langka, amat jarang dijumpai, belum pernah dijumpai ada orang
yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu sekaligus, mau ditaruh dimana semua
nasi yang dimakan itu"
Orang yang bisa sekaligus menghabiskan lima puluh enam mangkuk nasi, dan setelah
itu mampu menggunakan mangkuk-mangkuk itu untuk bermain akrobat, hal ini tentu
jauh terlebih langka lagi
... sebagian besar orang, selesai makan, meninggalkan mangkuknya.
Bila ada orang yang begitu memperhatikan nasi serta mangkuknya, maka di dunia
ini hanya ada satu orang.
Konon orang ini bisa menggunakan nasi sebagai tambahan energi, sembari melahap
nasi sembari berlatih ilmu Huan-huan-sin-kang. (ilmu sakti bolak-balik).
Dia tak lain adalah si Raja nasi, Thio Than.
"Betul, aku memang bernama Thio Than, aku juga si Raja nasi" ujar si Gentong
nasi sambil tertawa, "berada di hadapan nasi, kecuali aku, tak seorang pun
pantas disebut raja."
"Kalau memang kau adalah Thio Than, mestinya tahu juga siapakah aku?" tak tahan
lelaki raksasa itu berseru.
"Aku hanya tahu kau mempunyai seorang teman bernama Pui Heng-sau, sayangnya
meskipun Pui Heng-sau itu kutu buku, tapi apa yang sudah dibaca akan segera
terlupakan, semakin banyak buku yang dibaca semakin banyak yang dia lupakan,
makin senang belajar pengetahuan, sayang makin goblok tindak-tanduknya sehingga
sering dibuat bahan tertawaan orang banyak."
Bicara sampai di sini ia berpaling sekejap ke arah lelaki raksasa itu, kemudian
katanya lagi, "Tahukah kau, kenapa aku teringat orang yang bernama Pui Heng-sau ini?"
"Hmm, karena dia sama gobloknya dengan kau!" sahut lelaki raksasa itu sambil
mendengus dingin. "Tidak, karena dia sama seperti aku, mempunyai hobi mengisi perut. Aku senang
makan nasi, banyak makan nasi, banyak mendatangkan manfaat, bagi orang yang
berlatih tenaga dalam, paling baik jika banyak makan nasi, kurangi makan yang
tak berguna, apalagi makan ikan dan daging. Bagiku, makan nasi harus penuh
perhatian, kau mesti tahu beras darimana paling bersih, beras darimana paling
utuh, beras mana harus dicampur dengan beras apa baru menjadi nasi yang harum,
pokoknya semua detil tentang menanak nasi dan jenis beras harus kau kuasai
secara sempurna, Jika setiap hari makan nasi tapi sama sekali tak punya
pengetahuan tentang nasi, orang semacam ini adalah manusia yang sangat goblok?"
"Kau suka nasi sementara Siau-pui suka makan telur," kata lelaki raksasa itu
kemudian, "bocah itu bukan saja suka makan telur rebus, juga suka telur asm,
telur goreng, telur mentah, pokoknya segala macam telur, pada hakikatnya dia
seakan sudah menganggap dirinya keluar dari telur."
"Betul, justru karena dia suka telur maka orang menyebutnya si Raja telur,
sementara aku adalah Raja nasi."
"Oleh karena itu kalian berdua yang satu adalah telur busuk, yang lain adalah
Gentong nasi," ejek lelaki itu sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau bilang?" mendadak Thio Than berteriak gusar.
"Kalau kau bukan Gentong nasi, kenapa hanya Pui Heng-sau yang kau kenal sedang
aku Giok-bin-long-kun (pemuda tampan berwajah kemala) Tong Po-gou yang tersohor
karena kehebatannya, jago paling kebal di kolong langit malah tidak kau
ketahui?" Thio Than tidak menjawab, dia malah memegangi perut sendiri sambil tertawa
terpingkal-pingkal. "He, apa yang kau tertawakan" Memangnya aku lucu?" tegur Tong Po-gou gusar.
"Hahaha, untung baru sekarang kau sebut namamu, coba kalau sejak tadi kau
memperkenalkan diri, mungkin selera makanku langsung lenyap."
Tong Po-gou gusar setengah mati, sekujur badannya sampai gemetar keras. Bukan
cuma gemetar, bahkan tulang belu?langnya saling gemerutuk seolah suara mercon
renteng yang meledak. Begitu menyaksikan kemarahan musuh, Thio Than tak berani tertawa lagi, dia tahu
lelaki raksasa itu benar-benar sudah naik darah bahkan segera akan turun tangan.
Bukan hanya dia saja yang tahu, setiap orang yang dapat melihat tampang Tong Po-
gou saat ini, tentu tahu kalau dia akan segera menyerang Thio Than, bahkan
begitu turun tangan, sudah pasti serangan mematikan yang akan dilancarkan.
Tak urung semua orang mulai menguatirkan keselamatan si Gentong nasi.
Di antara sekian banyak orang yang merasa kuatir, hanya Ong Siau-sik seorang
yang tidak berpendapat begitu, karena dia telah menyaksikan ada sesosok bayangan
manusia menyelinap ke ujung loteng, kemudian menyelinap ke lantai dua, membuka
jendela dan menerobos masuk ke dalam.
Gerakan tubuh orang itu gesit dan cepat bagaikan burung walet, bahkan anak muda
itu merasa sangat mengenalnya.
Baru saja dia akan memberitahu apa yang dilihat kepada Pek Jau-hui, ternyata
orang yang dicari sudah muncul di atap lantai dua rumah makan itu, bukan saja
dia sedang menyelinap ke balik wuwungan rumah, bahkan sedang menggapai ke
arahnya. Dengan cepat Ong Siau-sik melompat ke atap rumah, dia pun bergerak sangat hati-
hati. Di tengah hari bolong begini, terlebih berada di bawah sorot mata banyak orang,
dia tak ingin gerak-geriknya ketahuan mereka dia tak ingin orang di jalanan pun
tahu kalau ada orang sedang bergerak di atap rumah.
Tak berapa lama Ong Siau-sik tiba di samping Pek Jau-hui, saat itulah dia
menyaksikan perubahan aneh di wajah rekannya itu.
Ternyata Pek Jau-hui sedang tercengang karena telah menyaksikan suatu
pemandangan di balik jendela.
Apa yang dilihatnya di situ" Ternyata di dalam ruangan itu terlihat ada lima
orang gadis. Seorang di antaranya berdandan anggun dengan sanggul yang dijepit tusuk kondai
kemala, dari dandanannya bisa ditebak dia adalah seorang nona dari keluarga
kenamaan, sementara sisanya yang empat orang berdandan seperti dayang, mereka
berdiri di samping nona itu dengan pedang pendek berada dalam genggaman.
Dipandang dari atas, keempat orang dayang itu memiliki paras muka yang cantik,


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara si nona duduk membelakanginya sehingga dari sudut Pek Jau-hui berada
sekarang, ia tak dapat melihat jelas raut mukanya.
Yang membuat Pek Jau-hui tercengang bukan kelima orang gadis itu.
Ternyata di dalam ruang rumah makan yang luas, selain kelima orang gadis itu, di
situ pun masih hadir seorang gadis lain.
Nona itu mengenakan pakaian ketat berwarna merah, wajahnya yang cantik dihiasi
dengan senyum tak senyum.
Sekilas pandang Pek Jau-hui segera merasa kalau wajah gadis itu sangat
dikenalnya, bahkan sebuah wajah yang sudah amat melekat di dalam hatinya.
Begitu teringat siapa nona itu, hampir saja ia menjerit keras.
Unji! Ternyata gadis berbaju merah itu adalah Un Ji, si gadis nakal dengan senyuman
yang manis. Pek Jau-hui hanya merasa heran, sebelum bertemu Un Ji tadi, ia sudah merasakan
kehangatan dan kelembutan dari nona itu. Mengapa perasaan itu bisa muncul dalam
hatinya" Biasanya hanya terhadap orang yang dicintainya sejak pandangan pertama, perasaan
itu akan muncul dan berkecamuk dalam hatinya.
Sekarang mengapa Pek Jau-hui pun mempunyai perasaan semacam itu setelah bertemu
Un Ji, mengapa ia merasa tercengang dan gembira setelah mengetahui gadis itu
adalah Un Ji" Ya, mengapa" Bukankah waktu itu dia yang telah membuat Un Ji marah sehingga lari meninggalkan
mereka" Sementara itu Ong Siau-sik sudah tiba di sisinya, bahkan menyaksikan juga mimik
tercengang di wajahnya. Oleh karena itu dia pun ikut melongok ke dalam ruangan, dan dia pun menyaksikan
Un Ji ada di situ, menyaksikan juga goloknya yang lembut.
Golok kelembutan! ooOOoo 30. Cinta atau benci Golok itu lembut, tapi bagaimana dengan orangnya" Orangnya amat galak!
Un Ji telah melolos goloknya, cahaya golok menyinari wajahnya yang cantik, wajah
itu kelihatan galak, paling tidak Un Ji berharap dia bisa tampil galak, berharap
semua orang tahu kalau dia galak.
Ia tahu, sebagai seorang pendekar wanita yang sering ber?kelana dalam dunia
persilatan, sebagai jago yang selalu berke-cimpungan dalam lumuran darah, tidak
mungkin kalau dia ti?dak bertampang galak.
Maka dengan suara nyaring bentaknya, "Lui Moay, kau si Semangka busuk, perempuan
tak tahu malu, kau gunakan ke?sempatan ketika nonamu tidak waspada, tidak hati-
hati karena baru masuk kotaraja lantas kau mencuri sarung golok milikku secara
licik dan tak tahu malu, jika kau tidak segera mengem?balikan kepadaku, aku ...
aku ... akan ... membacok ... membacok tubuhmu Melihat si nona tergagap, baik
Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik jadi sangat geli, nyaris suara tawa mereka
melompat keluar dari mulut.
Mereka ingin tertawa karena dari pembicaraan itu dapat disimpulkan kalau Un Ji
sudah dipecundangi Lui Moay begitu sampai di kotaraja, dimana sarung goloknya
telah dicuri orang. Tapi anehnya, buat apa Lui Moay mencuri sarung goloknya itu"
Selain itu yang mereka berdua merasa geli adalah umpatan Un Ji terhadap gadis
itu, "si Semangka busuk", darimana ia mempelajari kata makian itu"
Lui Moay masih tetap berdiri membelakangi Un Ji, sama sekali tidak menjawab.
Sebaliknya keempat orang dayang itu sudah melotot ke arah musuhnya dengan sorot
mata penuh gusar. Ong Siau-sik segera melihat keempat orang dayang itu mempunyai mata yang indah,
ada yang mirip mutiara, ada yang mirip batu kristal, ada yang mirip hujan
gerimis, ada juga yang mirip bintang, dibandingkan sepasang mata Un Ji yang
sipit, jauh lebih indah dan menawan.
Tiba-tiba ia tahu, bagaimanapun Un Ji berusaha bersikap galak, ia tak pernah
berhasil menampilkan kebuasannya itu.
Sebab walaupun sepasang mata sipitnya sudah berusaha melotot sebesar besarnya,
mata itu belum cukup besar dan belum cukup galak. Itulah sebabnya ia merasa
sangat geli. Pada saat itulah terdengar Lui Moay berkata, ucapannya diutarakan tetap
membelakangi Un Ji, sepatah kata yang amat sederhana, "Kenapa So-kongcu
mengutusmu kemari" Apakah ia tega membiarkan kau datang kemari seorang diri?"
Sebuah perkataan yang sangat lembut, nada ucapannya mendatangkan perasaan hangat
dan penuh persahabatan. Akan tetapi begitu mendengar perkataan itu, bukan saja Ong Siau-sik terperanjat,
paras muka Pek Jau-hui juga berubah, malah Un Ji sendiri nampak agak terkesiap.
Kali ini sepasang mata sipitnya melotot makin lebar, de?ngan perasaan setengah
tak percaya teriaknya, "Kenapa bisa kau" Kenapa kau" Kenapa bisa kau"!"
'Tentu saja aku, tentu saja aku, kenapa bukan aku?" jawab perempuan cantik itu
sambil perlahan-lahan membalikkan ba?dannya.
"He, selama ini kau sudah kabur kemana saja?" teriak Un Ji sambil maju mendekat
dengan penuh kegembiraan, "aku sudah mencarimu kemana-mana, aku merindukan kau,
kami semua mencari kau. Aduh ... payah benar kami mencarimu. Untung kau segera
bersuara, kalau tidak, aku sudah menyerangmu sejak tadi, kalau golokku sampai
diayunkan ... hehehe ... aku sendiri pun tak tahu bisa menahan diri atau tidak,
kalau sampai salah bacok bagaimana jadinya" Tadi aku masih mengira kau adalah
Lui Moay si Semangka busuk itu!"
Dalam waktu singkat ia sudah mengoceh tiada hentinya, bagi orang yang tak tahu
masalahnya, tentu saja kebingungan dibuatnya, selain itu dia pun menganggap
keadaan waktu itu tak berbeda dengan keadaan dulu, dia seolah lupa kalau keem-.
pat orang dayang itu memandangnya dengan sikap permusuh?an.
Begitu tubuhnya bergerak mendekat, keempat orang da?yang itu serentak bergerak
pula ke depan, empat bilah pedang segera menghadang jalannya.
Un Ji betul-betul lupa diri, dia seakan sama sekali tidak memperhatikan keempat
bilah pedang yang menghadang di hadapannya itu.
Sebaliknya keempat orang dayang itupun tidak mengira kalau Un Ji tak sanggup
menghadapi empat buah serangan yang sebetulnya hanya berniat menghadang jalan
perginya itu, jurus serangan sudah telanjur dilancarkan, mau ditarik kembali pun
sudah tak sempat. Terdengar nona cantik itu berseru tertahan, "Jangan me?lukai orang!"
Tapi dia tak pandai ilmu silat, bagaimana mungkin bisa menghalangi serangan itu"
Dalam waktu singkat keempat bilah pedang itu sudah menusuk ke arah Un Ji.
Waktu itu dalam pandangan Un Ji hanya ada nona cantik ini, dia seolah melupakan
ancaman yang datang dari depan, kendatipun keempat bilah pedang itu tak sampai
merenggut nyawanya, tapi paling tidak bisa melukai tubuhnya.
"Tahan!", dalam keadaan yang amat kritis itulah menda?dak dari tangga sana
muncul seorang lelaki raksasa yang mem?punyai rambut dan jenggot lebat.
Bentakannya itu bukan saja bagaikan suara guntur yang membelah bumi, pada
hakikatnya menimbulkan suara getaran yang amat keras di ruang lantai dua itu.
Dalam kagetnya, lekas keempat orang dayang itu memi?ringkan senjatanya ke
samping, "triing, triing, triing, triiing", empat kali dentingan nyaring bergema
di seluruh ruangan. Un Ji menjerit tertahan sembari menutup telinganya.
Ternyata lelaki yang muncul itu bukan lain adalah Tong Po-gou si manusia
raksasa, dengan lima kali lompatan ia sudah tiba di lantai atas dan mengawasi
gadis itu sambil tertawa lebar.
"He, dewa geledek, kau membuat bising saja!" teriak Un Ji dengan nada jengkel.
Di lain pihak, si nona cantik itu sambil memegang dada sendiri lantaran kaget,
telah berkata pula, "Un-lihiap adalah sahabat karibku, kenapa kalian hendak melukainya?"
Keempat orang dayang itu lekas menundukkan kepala sambil menyingkir ke samping.
Tak selang berapa saat kemudian, kembali terlihat sese?orang melompat naik ke
ruang atas, dia adalah seorang pemuda berkulit hitam yang bulat bentuk badannya,
yang aneh di masing-masing tangannya terlihat tumpukan dua puluh delapan biji
mangkuk kosong. Tentu saja orang ini tak lain adalah si Raja nasi Thio Than.
Begitu tiba di ruangan atas, Thio than langsung melotot ke arah manusia raksasa
itu dengan perasaan jengkel.
Tong Po-gou kontan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, gesit juga gerakan tubuhmu."
"Orang ini betul-betul tak tahu aturan," seru Thio Than kepada gadis cantik itu,
"katanya mau menantangku bertarung, siapa tahu tiba-tiba ia berlari naik ke atas
loteng, aku ... aku tak menyangka dia licik, akibatnya aku gagal mencegahnya
naik "Aku tahu, aku tidak menyalahkan dirimu," jawab gadis cantik itu sambil
tersenyum. Dari pembicaraan yang barusan berlangsung, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera
tahu kalau Thio Than dan Tong Po-gou sempat bertarung beberapa gebrak
sepeninggal mereka berdua naik ke lantai dua, rupanya Thio Than adalah anak buah
perem?puan cantik itu, sedangkan Tong Po-gou adalah rekan Un Ji.
Kendatipun begitu, kedua orang anak muda itu sempat juga dibuat terperangah,
yang membuat mereka paling kaget adalah perempuan cantik itu.
Kalau dilihat dari situasi dalam ruangan, seharusnya pe?rempuan cantik itu
adalah Lui Moay, yang mereka tidak me?nyangka adalah ternyata Lui Moay adalah
orang yang sering kali mereka pikirkan, sering kali mereka rindukan.
Thian Tun! Thian Tun masih tampil cantik.
Sepasang biji matanya masih nampak sayu bagaikan im?pian, kecantikannya tetap
bagai bulan purnama apalagi sewaktu tertawa, sungguh menyegarkan seperti
hembusan angin di mu?sim semi.
Bedanya, di balik senyumannya sekarang terselip perasaan murung yang amat tebal,
ia kelihatan sedih bercampur masgul.
Dalam pada itu Un Ji sudah tak mampu menahan diri lagi, kembali tegurnya,
"Kenapa bisa kau"
Kenapa kau bisa berada di sini?"
Thian Tun tidak menjawab, ia melirik ke arah Tong Po-gou sekejap kemudian
bertanya, "Apakah dia adalah sahabatmu?"
Jelas gadis ini sedang menghindari pertanyaan itu.
Un Ji seakan tidak menyadari akan hal itu, jawabnya, "Dia bernama Tong Po-gou,
jangan dilihat orangnya kasar dan be-rangasan, hatinya sangat baik, aku kenal
dengannya sewaktu sedang melacak peristiwa berdarah di perguruan Cing-te-bun,
selain dia, masih ada seorang lagi yang bernama Pui Heng-sau, lalu Sim Hou-sian
Begitu menyinggung nama orang-orang itu, wajahnya keli?hatan bertambah gembira
sampai pipinya pun ikut bersemu me?rah.
"Kau belum ... belum lama terjun ke dalam dunia persi?latan, tak kusangka teman
kenalanmu begitu banyak. Apakah So-kongcu yang mengutusmu datang kemari?"
"Tidak, bukan dia yang mengirim aku kemari!" sahut Un Ji sambil menuding ke arah
Tong Po-gou, ujung jarinya nyaris menusuk ujung hidung lelaki raksasa itu.
Dengan cepat Tong Po-gou menyingkir ke samping.
"Suheng tidak menyuruhku kemari," kembali Un Ji berse?ru, "aku bertemu dengannya
di dalam kota, maka kuajak dia datang kemari, Suheng menganggap orang ini punya
kemam?puan tapi tak dihargai orang, maka aku disuruh mengajaknya untuk
menghadapi seseorang yang bernama Lui Moay, siapa tahu ternyata bertemu kau di
sini!" "Ooh, rupanya begitu," sahut Thian Tun seakan sudah mengerti, "makanya aku juga
heran, masa dia menyuruh kau menyerempet bahaya."
"He, apa yang kau katakan?" seru Un Ji dengan kening berkerut.
"Sudah pasti So-kongcu mengirim tuan Tong untuk me?nangkap Lui Moay di sini,
sementara kau menguntit secara diam-diam, bukan begitu?"
"Aku bernama Tong Po-gou, panggil saja namaku," sela manusia raksasa itu sambil
tertawa, "kau jangan menyebut aku tuan Tong, selama hidup aku paling takut
panggilan sopan seperti itu."
"Aku belum kenal anda, mana boleh langsung memanggil nama?" sahut Thian Tun
sambil mengerling lelaki itu sekejap. "Kenapa tidak boleh?"
"Biarpun tidak menjadi masalah bagimu, tapi aku toh seorang wanita, sebagai
perempuan harus mengerti tata krama dan sopan-santun bukan?"
"Ehmm, benar juga perkataanmu itu."
"Maka kalau aku tidak memanggilmu tuan Tong, memangnya mesti memanggil dengan
sebutan nona Tong?" "Jangan, jangan panggil aku nona," Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal, "atau begini saja, kau menyebutku Tong-kongcu atau Tong-tayhiap, tapi
bagi mereka yang benar-benar memahamiku, aku dipanggil dengan sebutan Tong Ki-
hiap (pendekar raksasa)."
"Pendekar raksasa Tong?"
"Betul. Pendekar raksasa itu adalah pendekar dari pendekar, aku paling cocok
dipanggil Tong Ki-hiap, kalau ada yang memanggilku begitu, aku pasti akan
menyambutnya dengan senang hati."
Thian Tun tertawa geli, bahkan keempat dayangnya ikut tertawa cekikikan lantaran
geli, "Tong Ki-hiap, kau memang lucu sekali."
"Itulah," seru Un Ji pula dengan perasan tak puas, "aku bilang, Suheng betul-
betul tak mengerti menggunakan orang!"
Mungkin di kolong langit saat ini hanya Un Ji seorang yang berani menggambarkan
So Bong-seng, pemimpin tertinggi Kim-hong-si-yu-lau sebagai "manusia yang tak
mengerti menggunakan orang".
Terdengar gadis itu kembali berkata, "Daripada dia mengutus Tong Po-gou,
mendingan aku yang datang sendiri. Maka kusuruh Tong Po-gou membuat keonaran di
bawah loteng, sementara aku secara diam-diam menyelinap naik ke ruang atas."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia nampak sangat bangga.
Sementara itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang bersembunyi di atap rumah tiba-
tiba seperti memahami akan satu hal.
So Bong-seng pernah bilang, orang yang dikirim untuk menghadapi 'seseorang yang
lain' adalah seorang 'yang sangat menarik hati', paling tidak dia adalah 'orang
yang suka bermain'. Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik mengakui bahwa apa yang dikatakan So Bong-seng
memang benar. Peduli orang itu Un Ji atau Tong Po-gou, mereka memang pantas disebut 'orang
yang menarik' dan 'orang yang suka bermain'.
Ketika Un Ji menyelesaikan perkataannya, terdengar Thio Than berkata pula, "Tak
heran kalau nona Thian menyuruh aku menghadapi si pembuat onar di bawah loteng,
sementara dia menghadapi sendiri orang yang menyelinap masuk lewat jen?dela
loteng." Entah Un Ji dapat menangkap kata sindiran itu atau tidak, ternyata dia tidak
marah, malah ujarnya lagi, "Thian Tun, kena?pa kau berada di sini" Mana Lui
Moay?" Dengan tenang Thian Tun mengawasi Un Ji sekejap, lalu sahutnya, "Sebelum kujawab
pertanyaanmu itu, tolong jawab dulu sebuah pertanyaanku."
"Baik, katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan."
"Apakah kali ini Kim-hong-si-yu-lau hanya mengirim kau dan Tong Ki-hiap untuk
mendatangi rumah makan Sam-hap-lau?"
"Hanya mengirim Tong Po-gou seorang."
"Kalau begitu gampang penyelesaiannya."
"Penyelesaian apa?" tanya Un Ji keheranan.
Thian Tun tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah berseru, "Sahabat yang
ada di atap rumah, sudah waktunya bagi kalian untuk unjuk diri."
Seorang gadis yang tak mengerti ilmu silat, darimana bisa tahu kalau di atap
rumah ada orang sedang bersembunyi"
Karena sudah diteriaki orang, tentu saja Pek Jau-hui berdua tak bisa bersembunyi
terus, serentak mereka melayang masuk ke dalam ruangan.
Begitu mereka muncul, Thian Tun maupun Un Ji sama-sama tertegun dibuatnya.
Un Ji kontan melompat ke depan seraya meninju Pek Jau-hui, kemudian memeluk Ong
Siau-sik, serunya kegirangan, "Ternyata kau pun ikut datang, ternyata kau pun
ikut datang Pek Jau-hui tertawa, di balik tawanya itu terselip perasaan murung
yang tak kentara. Sebaliknya Ong Siau-sik berdiri dengan wajah bersemu merah, ia tersipu-sipu dan
tak tahu harus berkata apa.
Saat itulah rupanya Un Ji baru sadar akan ulahnya, lekas dia lepaskan
pelukannya, paras mukanya kontan berubah merah padam.
Pek Jau-hui dan Thian Tun saling berpandangan sekejap, kemudian mereka berdua
sama-sama tertawa. Semula Pek Jau-hui mengira dia tetap akan mendendam pada Thian Tun karena
kepergiannya tanpa pamit, tapi setelah pertemuan hari ini, khususnya setelah
saling berpandangan sambil tertawa, entah mengapa, semua rasa jengkel dan
bencinya seolah hilang sirna dari dalam hati.
"Nona Lui!" sapanya kemudian.
"Pek-kongcu, Ong-siauhiap," Thian Tun balas menyapa sambil tertawa.
Saat itulah Ong Siau-sik baru teringat akan perkataannya yang hendak
disampaikan, kontan serunya, "Thian Tun, kau benar-benar telah membohongi kami,


Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau membuat kami berdua sengsara..."
Kemudian sambil menuding ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Khususnya dia, gara-gara
kepergianmu, dia jadi uring-uringan macam orang kehilangan sukma
"He, apa kau bilang?" teriak Pek Jau-hui gusar, "waktu itu aku uring-uringan
gara-gara merasa menyesal kepada Un-lihiap, ucapanku yang kelewat kasar ketika
ada di tepi sungai tempo hari membuat Un-lihiap pergi meninggalkan kita, gara-
gara kejadian itu Ong-Iosam jadi murung sepanjang hari, seperti anjing yang
habis digebuki, dia tidak enak makan, tidak enak tidur, lagaknya seperti orang
yang sudah kehilangan sukma saja
"Apa kau bilang?" teriak Ong Siau-sik sambil menarik bahu rekannya.
"Hahaha, rupanya kau sadar telah berbuat salah kepada nonamu ini," teriak Un Ji
cekikikan, "kenapa masih belum minta maaf kepada nonamu?"
"Ah, kalian semua memang pandai bikin onar saja," sela Thian Tun sambil tertawa.
Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba Un Ji berseru lagi, "He, mengapa mereka
memanggilmu sebagai nona Lui" Bukankah kau dari marga Thian?"
"Tidak, aku bukan bermarga Thian, sesungguhnya aku memang bermarga Lui," jawab
Thian Tun tenang. "Tapi seingatku Lui Moay yang pernah kujumpai bukan kau," sela Ong Siau-sik
cepat. "Siapa bilang aku adalah Lui Moay?" Lui Tun balik ber?tanya.
"Jadi kau bukan Lui Moay?" seru Ong Siau-sik lagi keheranan.
"Lantas siapakah kau?" ujar Pek Jau-hui pula dengan wajah serius.
Tiba-tiba Thio Than berseru, "Dia adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan
Lak-hunpoan-tong, nona Lui Tun!"
Mendengar penjelasan itu, kontan saja beberapa persoalan seketika melintas dalam
benak Ong Siau-sik. Pertama, jika Thian Tun adalah Lui Tun putri tunggal Lui Sun, padahal di satu
sisi Lui Sun adalah musuh bebuyutan So Bong-seng, perkumpulan Lak-hun-poan-tong
yang dibangun Lui Sun saling bermusuhan dengan Kim-hong-si-yu-lau yang didirikan
So Bong-seng, di sisi lain dia maupun Pek Jau-hui adalah saudara angkat So Bong-
seng, lalu mengapa antara mereka dan Lui Tun harus saling bermusuhan" Mengapa
tidak boleh bersahabat"
Kedua, Pek Jau-hui amat kesemsem pada Lui Tun, padahal Lui Tun akan dinikahkan
dengan So Bong-seng guna memperlunak sikap permusuhan kedua perkumpulan,
bagaimana pula perasaan Pek Jau-hui saat ini" Harusnya tetap mencintainya" Atau
justru berubah jadi benci"
Ketiga, bila gadis yang muncul hari ini di Sam-hap-lau adalah Lui Tun dan bukan
Lui Moay, kenapa So Bong-seng justru mengirim mereka berdua untuk mendatangi
tempat itu" Tindakan ini sebuah kesalahan, satu kebetulan atau justru mem?punyai
maksud tujuan lain" Kenapa Lui Tun bisa muncul di loteng Sam-hap-lau" Ini maksud
Lui Sun atau niat dia pribadi" Kenapa pula Un Ji bisa melibatkan diri dalam air
keruh itu" Makin dipikir Ong Siau-sik merasa semakin bingung, pikirannya makin kalut.
Namun di balik semua kebingungan dan kekalutannya, ada satu hal yang dia tahu
dengan pasti, yakni perasaan Pek Jau-hui saat itu.
Lekas ujarnya kemudian, Oooh rupanya Lui-toasioca, maaf, maaf, sungguh tak
disangka kita sudah berkenalan dulu dengan nona Lui ketika masih berada di tepi
sungai Han-swe, berarti kita punya jodoh dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong,
tahu begini, tidak seharusnya kita saling bermusuhan."
"Tapi sekarang kalian sudah menjadi tamu agung Kim-hong-si-yu-lau!" ujar Lui
Tun, meski perkataan ditujukan kepada Ong Siau-sik, namun matanya justru melirik
ke arah Pek Jau-hui. "Ah, tak nyana beritamu sungguh tajam juga," seru Ong Siau-sik tertawa.
"Mana mungkin urusan sebesar ini tidak diketahui perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
Lui Sun menghela napas sedih, "padahal aku selalu memperhatikan gerak-gerik
kalian, aku selalu berharap kalian bisa secepatnya meninggalkan kotaraja."
Pek Jau-hui mendengus dingin.
Lekas Ong Siau-sik menyela lagi, "Jadi menurut Lui-toasiocia, kami kurang cocok
untuk tetap tinggal di kotaraja?" "Tempat ini adalah tempat penuh masalah."
"Hmmm, kami tak pernah takut menghadapi masalah,"
Pek Jau-hui tetap menjawab dengan nada ketus.
"Tempat inipun merupakan tempat yang penuh dengan bau anyir darah," sambung Lui
Tun lagi. "Aku justru paling senang dengan tempat yang banyak masalah dan penuh bau anyir
darah, jauh lebih segar ketimbang tempat lain."
"Kalau memang begitu, ya terserahlah, cuma seseorang yang ingin mencari nama,
kedudukan dan keuntungan di tempat ini, dia harus membayar mahal untuk
kesemuanya itu, lambat laun ia akan kehilangan identitas diri dan akhirnya
menjadi seorang manusia persilatan yang tak berdaya."
"Pada dasarnya aku memang orang persilatan."
"Dulu kalian bukan ... ah, kalian masih ada sedikit barang
Pek Jau-hui tertawa dingin, tukasnya, "Peduli ya atau tidak, sekarang kami sudah
bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau, So-toako menghargai kemampuan kami, dia
telah mengundang kami untuk membantunya menghadapi perkumpulanmu, tentunya kau
tak ingin kami tetap tinggal di sini bukan?" Lui Tun menghela napas panjang.
"Terserah apa yang ingin kau katakan, terserah apa yang ingin kau kerjakan, tapi
aku tetap beranggapan, tidak sepantasnya kalian tetap tinggal di sini, sebab
kalian harus membayar mahal untuk kesemuanya itu, tidak sesuai dengan apa yang
bakal kalian peroleh."
"Kau adalah putri tunggal pangcu nomor wahid di kota-raja, kau pun bakal menjadi
nyonya pangcu dari perkumpulan tak terkalahkan di kolong langit, tentu saja kau
berhak mengatakan kalau pengorbanan kami tak sesuai dengan yang akan kami
peroleh, tapi kami hanya orang persilatan yang mengandalkan tangan kosong untuk
mendapatkan dunia, kami tak akan mengucapkan perkataan seperti itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ada saru hal yang ingin kukatakan
sekarang, kenapa kami begitu tak tahu diri sehingga menolong kau sewaktu di Han-
swe tempo hari, kenapa kami begitu goblok hingga masuk ke dalam perangkapmu?"
Tampaknya Lui Tun mulai jengkel dengan ulah pemuda itu, katanya, "Aku amat
berterima kasih karena kalian telah menolongku, terus terang kejadian itu bukan
perangkap, tanpa bantuan kalian, mustahil aku masih bisa hidup sampai sekarang,
jika aku ingin memperalat kalian, kenapa aku mesti kabur secara diam-diam"
Bukankah aku bisa gunakan kesempatan itu untuk mengajak kalian bergabung dengan
perkumpulan Lak-hun-poan-tong?"
Perlahan-lahan Pek Jau-hui dapat mengendalikan diri, pikirannya mulai dingin dan
perasaannya mulai tenang, katanya, "Sekalipun kau tidak memancing kami masuk
perangkap, tapi kau tetap telah membohongi kami."
"Satu-satunya hal yang kulakukan hanya menyamarkan identitasku yang sebenarnya,"
ujar Lui Tun sedih, "tapi bukankah kalian menolongku bukan lantaran identitasku"
Kita berkenalan, berteman, bersahabat apakah disebabkan identitasku" Bukan toh?"
"Betul!" teriak Un Ji lantang dengan jengkel dia melotot sekejap ke arah Pek
Jau-hui. "Tepat sekali!" Tong Po-gou ikut berteriak.
"Ya, sangat tepat!" Thio Than tak mau kalah.
Mendengar itu, Tong Po-gou kontan melotot gusar, sindirnya, "Orang bilang tepat,
kau ikut bilang tepat, dasar kentut busuk!"
Thio Than tidak menanggapi, dia menuding keluar jendela sambil bergumam, "Ah,
coba lihat, lagi-lagi turun hujan."
"Turun hujan?" dengan heran Tong Po-gou ikut celingukan.
"Hahaha, dasar kerbau!" kontan Thio Than tertawa tergelak, "kalau ada kerbau
dungu mulai menguak di tengah jalan, itu pertanda segera akan turun hujan, bukan
begitu?" Dugaan Thio than, ejekannya itu pasti akan memancing amarah Tong Po-gou, paling
tidak, pasti akan membuatnya mencak-mencak bagai kebakaran jenggot.
Siapa tahu sama sekali tiada reaksi.
Dengan keheranan ia berpaling, dilihatnya Tong Po-gou sedang mengawasi keluar
jendela dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Dengan keheranan dan ingin tahu Thio than ikut melongok keluar jendela, tapi dia
pun segera berdiri terbelalak.
Ternyata pagi hari yang semula cerah, kini betul-betul dilanda hujan angin yang
amat kencang! ooOOoo 31. Musuh atau sahabat Ternyata di luar bangunan loteng itu sudah bukan merupa?kan tempat yang semula.
Jika kau bisa menonton opera, maka akan ada orang yang mengganti layar latar
belakang panggung tontonan itu.
Tapi yang membuat Thio Than dan Tong Po-gou terbelalak adalah saat itu mereka
berada di rumah makan Sam-hap-lau.
Rumah makan Sam-hap-lau terletak di tengah jalan raya.
Jalanan itu merupakan pusat keramaian seluruh kota, ber?bagai lapisan manusia
nyaris berkumpul di situ, mulai dari penjaja kue sampai pengemis, dari ibu-ibu
yang ke pasar hingga Siauya pemogoran yang kelayapan mencari pipi licin.
Ketika pertarungan hampir berlangsung di atas ruang lo?teng tadi, Tong Po-gou
kuatir pertarungan itu akan mengancam keselamatan Un Ji, maka ia bermaksud
memancing Thio Than turun dari loteng dan melanjutkan pertarungan di tengah
jalan. Itulah sebabnya dia segera melongok keluar untuk meme?riksa situasi di situ.
Siapa tahu suasana, jalan yang semula amat ramai dan dipenuhi manusia yang
berlalu-lalang itu kini jadi sepi, semua orang yang tadinya berkumpul di situ,
sekarang sudah hilang lenyap tak berbekas.
Jalan raya itu masih seperti jalan raya semula.
Loteng itupun masih tetap loteng semula, tentu saja tak mungkin ada orang mampu
'memboyong' pergi kedua bangun?an itu.
Tapi di jalanan itu tak nampak sesosok manusia pun.
Suasana di jalan raya itu sangat hening, sepi, tak satu pun bayangan manusia
yang muncul di situ, semua pintu rumah tertutup rapat, tiada suara manusia yang
berbicara, tiada bina?tang yang berkeliaran, seakan-akan jalan raya itu sudah
berubah menjadi gurun pasir.
Gurun pasir yang jauh dari keramaian dunia, jauh terpencil dari semua kehidupan.
Kenapa bisa jadi begitu"
Kemana perginya semua orang"
Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Untuk sesaat baik Tong Po-gou maupun Thio Than hanya bisa berdiri tertegun,
melongo. Sementara itu Pek Jau-hui telah berkata, "Aku sama sekali tidak menuduh kau
telah merahasiakan identitasmu."
"Lalu apa lagi yang telah kukelabui?" tanya Lui Tun tak habis mengerti.
"Kau mengerti silat, padahal tak perlu bantuan dari kami."
"Aku tidak mengerti kungfu."
"Mana mungkin" Kau pandai silat!"
"Aku benar-benar tidak mengerti."
"Apa itu mengerti atau tidak," teriak Tong Po-gou, "kalau semua orang yang ada
di jalanan mendadak lenyap, masa masih ditanya mengerti atau tidak" "
"Kenapa bisa begitu?" teriak Un Ji setelah menghampiri jendela dan melongok
keluar. Pek Jau-hui masih bergeming dari prinsipnya, terdengar ia berkata lagi, "Kau
pasti bisa silat." "Atas dasar apa kau mengatakan aku bisa?"
"Tadi kami berada di atap rumah, kenapa kau bisa men?dengar kehadiran kami?"
"Ini disebabkan aku sangat teliti," Lui Tun tertawa, ketika tersenyum, gadis ini
nampak cantik sekali, "Aku sempat men?dengar dua kali suara lirih bergema dari
atas atap rumah." "Dua kali suara lirih?" Pek Jau-hui tertegun.
"Benar, benar, benar," lekas Ong Siau-sik berseru, "sewak?tu naik ke atap tadi,
begitu melihat yang ada dalam ruangan adalah nona Un, tanpa sadar injakan kakiku
jadi lebih berat hingga memecahkan ujung genteng, kemudian sewaktu mende?ngar
nona Lui buka suara, lagi-lagi lututmu menyentuh ping?giran atap, mungkin sura
itu yang dimaksud." "Hmmm, mungkin aku kurang hati-hati waktu itu" Pek Jau-hui mendengus dingin.
"Juga gara-gara keteledoranku," sambung Ong Siau-sik.
"Jadi kau yang membunuh Lotoa dari Mi-thian-jit-seng?"
"Benar." "Makanya dia mati dalam keadaan aneh."
"Aku tak ingin dia membocorkan identitasku, lagi pula ma?nusia macam dia memang
pantas mendapat ganjaran mati."
"Wah, seandainya kau ingin membunuh kami, bukankah hal ini bisa dilakukan dengan
gampang?" seru Un Ji sambil menjulurkan lidah, "apalagi kami.tak akan menduga ke situ, tak
pernah waspada terhadapmu!"
"Mungkin gampang bila ingin membunuh kau, tapi jelas bukan kami," sambung Pek
Jau-hui dingin. "Kenapa aku mesti membunuh kalian?" ucap Lui Tun sam?bil tertawa sedih, "kalian
tidak bermaksud membunuh aku, hal ini sudah satu kejadian yang bagus."
"Wah, mulai hujan, hujan deras," tiba-tiba terdengar Tong Po-gou berteriak
keras. "Apa sih yang perlu diherankan dengan hujan deras?" tegur Thio Than mendongkol.
"Kau memang goblok, dasar otak udang," umpat Tong Po?gou sambil mencak-mencak,
"pagi tadi cuaca amat cerah, tahu-tahu mendung menggelayut dan sekarang hujan
amat deras, apa kejadian ini tidak aneh?"
Terdengar Pek Jau-hui bertanya lagi kepada Lui Tun, "Apa benar orang yang hendak
membunuhmu di tepi sungai Han-swe tempo hari adalah anak buah perkumpulan Mi-
thian-jit-seng?" "Benar." "Kenapa?" "Sebab aku akan menikah dengan So Bong-seng. Jika peris?tiwa ini sampai
berlangsung, maka besar kemungkinan perse?lisihan antara Kim-hong-si-yu-lau
dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan berakhir, jelas kondisi semacam ini
sangat tidak menguntungkan pihak perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Oleh sebab itu
mumpung Kim-hong-si-yu-lau maupun perkum?pulan Lak-hun-poan-tong sedang
menggerakkan segenap keku?atan yang dimilikinya untuk saling mengisi celah yang
ada, mereka berniat menculikku dan kemudian akan memeras ayah?ku serta So-
kongcu." "Apakah perkumpulan Mi-thian-jit-seng tidak kuatir kalau tindakannya itu justru
memancing ketidak-puasan Kim-hong-si-yu-lau serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong
hingga kemung?kinan besar akan bekerja sama untuk menghadapinya?"
"Analisa serta cara pandang perkumpulan Mi-thian-jit-seng memang sangat lihai,
mereka sudah memperhitungkan sebelum berlangsungnya perkawinan ini, tak mungkin
perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa akur dengan Kim-hong-si-yu-lau, jangan kan
bekerja sama, saling membantu pun belum tentu mau."
"Betul, sebelum daya pikatmu memperlihatkan pengaruh?nya, mustahil perkumpulan
Lak-hunpoan-tong bisa bekerja sa?ma dengan Kim-hong-si-yu-lau, oleh sebab itu
perkumpulan Mi-thian-jit-seng memang sudah sepantasnya memusnahkan dirimu
terlebih dulu," sindir Pek Jau-hui.
"Padahal sekalipun aku telah kawin dengan So-kongcu juga belum tentu bisa
mengubah semua ini," kata Lui Tun lagi tanpa menggubris sindiran yang sinis itu,
"di atas satu gunung mana boleh ada dua harimau" Perselisihan antara Kim-hong-
si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong mustahil bisa diselesaikan tanpa
terjadinya pertumpahan darah."
Berbicara sampai di situ ia berhenti sebentar, kemudian baru katanya lagi, "Oleh
sebab itu aku tidak berharap kalian melibatkan diri dalam persoalan ini."
"Kau keliru besar," Pek Jau-hui tertawa dingin, "urusan ini bukan urusan
pribadimu seorang, tapi persolan kita semua."
Sepasang mata Lui Tun mulai berkaca-kaca, namun hanya sebentar, bila tidak
dicermati, air mata yang sudah mengembeng di matanya itu sulit untuk terlihat.
Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kami bekerja bukan demi kau, tapi demi Kim-
hong-si-yu-lau!" "Peduli kau berjuang demi siapa," gumam Tong Po-gou, "sekarang langit sudah
gelap, matahari sudah tak bersinar, buat apa sih urusan tetek-bengek begitu
masih diributkan?" "Justru lantaran cuaca yang makin gelap, kita baru membi?carakan persoalan ini,"
sela Ong Siau-sik. "Aneh benar," Tong Po-gou semakin keheranan, "apa sangkut-pautnya antara cuaca
dengan kau berbuat untukku dan aku berbuat untuk kau?"
"Tentu saja sangat besar, ketika dalam dunia persilatan ada seseorang muncul,
langit pasti berubah, cuaca ikut berubah, matahari tak bersinar, manusia pun
ikut tak bercahaya."
"Wah, apakah orang semacam itu bisa disebut juga sebagai manusia?"
"Tentu saja manusia," sahut Thio Than.
"Siapa dia?"

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seseorang yang sangat menakutkan," paras muka Thio Than tiba-tiba berubah amat
serius. "Sreeet!", mendadak terdengar desingan angin tajam mem?belah angkasa, sebatang
anak panah meluncur masuk dari balik jendela.
Sebatang anak panah raksasa yang kasar, hitam dan sangat mengerikan.
Belum pernah ada anak panah raksasa semacam ini muncul dalam dunia persilatan.
Batang panah itu enam kali lipat lebih besar daripada anak panah biasa, bulu
yang ada di ekor panah terbuat dari lempeng?an baja tipis, anak panah berbentuk
bulat mengkilap, cukup dilihat dari bentuk anak panah ini saja sudah tampak
bobotnya sembilan kali lipat lebih berat daripada anak panah biasa.
Kalau bentuk panah itu aneh, maka gerakan anak panah itu justru jauh lebih aneh
lagi. Panah itu muncul dari bawah menuju ke atas, langsung dibidikkan ke tengah udara.
Setelah melewati jendela, panah itu melesat naik ke atas dan bukan melesat lewat
ke samping. Jangan-jangan orang yang membidikkan panah itu bukan manusia, melainkan burung
yang terbang di angkasa, atau bah?kan mungkin hasil bidikan dewa"
Di saat anak panah melesat lewat jendela, "Sreeet!", kemba?li dari balik batang
panah itu melesat keluar sebatang panah lagi.
Panah raksasa itu melesat lurus ke atas, sewaktu melalui jendela, batang panah
itu meletupkan sebatang panah yang lain dan langsung menerjang ke ruangan lantai
dua Sam-hap-lau, gerakannya cepat, ringan, ganas, lincah, jauh lebih lincah dari
panah mana pun, jauh lebih ganas dari serangan mana pun.
Anak panah itu langsung mengancam tubuh Lui Tun!
Dengan sekali lompatan Pek Jau-hui menghadang ke de?pan, dia bermaksud menjepit
datangnya anak panah itu.
Thio Than melompat pula ke depan menghadang di hadap?an Lui Tun, kalau dilihat
dari gerakannya, dia seakan hendak menangkis datangnya serangan anak panah itu
dengan menggu?nakan kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya.
Tong Po-gou tak sempat melakukan sesuatu, dia hanya menjerit kaget diikuti
seruan tertahan dari Un Ji.
"Jangan bergerak!" bentak Lui Tun nyaring, baru ia berseru, panah itu sudah
rontok ke tanah. Ternyata anak panah yang meluncur datang dengan kece?patan luar biasa dan amat
garang itu tahu-tahu rontok sendiri secara otomatis setelah tiba lebih kurang
tujuh langkah dari Lui Tun berdiri.
Ong Siau-sik segera memungut anak panah itu.
"Tolong bawa kemari," pinta Lui Tun.
Ong Siau-sik melihat di ujung mata panah terikat secarik kertas kecil, lekas dia
serahkan kepada Lui Tun. Segera ia membuka lipatan kertas itu, maka terbacalah beberapa huruf yang
berbunyi, "Tujuh Rasul sedang menerjang ke arah Sam-hap-lau".
Di bawah surat itu terlukis sebuah gambar sungai kecil.
Lukisan sungai kecil itu melambangkan apa"
Apakah nama seseorang"
Ataukah nama dari sebuah organisasi"
Mungkin juga sebuah kata sandi" Atau sepatah kata"
Selesai membaca tulisan di atas kertas itu, Lui Tun segera menyerahkannya ke
tangan seorang dayangnya, dan dayang itu segera membakar surat itu hingga jadi
abu. Setelah itu Lui Tun menarik napas panjang, wajahnya kembali bersemu merah,
bisiknya, "Dia benar-benar telah datang." "Siapa?" tanya Un Ji. "Mi-thian-jit."
Ong Siau-sik kembali tertawa, dia merasa kejadian seperti ini sangat menarik.
"Konon di kotaraja hanya So-toako dan Lui-congtongcu yang bisa mengendalikan
Kwan Jit dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, sayang mereka berdua iidak hadir di
sini," katanya. "Itu berarti situasi sekarang harus dihadapi kau dan aku."
"Tiba-tiba aku mempunyai satu firasat," kata Ong Siau-sik sambil tertawa.
"Katakan." "Aku rasa dua orang yang harus kita hadapi tadi bukan sasaran utama yang
dipersiapkan Toako, justru orang inilah sasaran utama kita yang sebenarnya,
bagaimana menurut kau?"
"Aku pikir tak mungkin So-toako dan Lui Sun turut serta dalam pertarungan kali
Tengkorak Maut 12 Pendekar Bayangan Sukma 5 Keris Naga Merah Darah Dan Cinta Di Kota Medang 5
^