Pencarian

Empat Besar 3

Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie Bagian 3


"Tak ada lagikah soal-soal kecil yang dapat Anda ceritakan pada saya mengenal
dia?" tanyanya. "Saya rasa tak ada lagi."
"Juga tidak - bahwa dia kidal?"
"Tajam benar mata Anda, M. Poirot. Bagaimana Anda sampai tahu itu" Dia memang
kidal. Meskipun hal itu tak ada hubungannya dengan perkara ini.
"Memang tak ada," Poirot cepat-cepat membenarkan, waktu dilihatnya Japp kurang
senang. "Itu hanya lelucon kecil saya saja -
tak lebih. Saya suka mempermainkan Anda. Sampai bertemu."
Setelah berbasa-basi dengan ramah, kami keluar.
Esok paginya kami pergi ke flat Dr. Savaronoff di Westminster.
"Sonia Daviloff," aku merenung, "sebuah nama yang indah."
Poirot berhenti dan memandangku dengan pandangan putus asa.
"Selalu saja mencari sesuatu yang bersifat romantis. Kau ini tak bisa
disembuhkan lagi. Kalau Sonia Daviloff itu nanti ternyata adalah sahabat dan
musuh kita Countess Vera Rossakoff, baru tahu kau."
Mendengar nama countess itu disebut aku jadi murung.
"Mana bisa, Poirot, masakan kau mencurigai-"
"Ah, tidak, tidak. Itu hanya suatu lelucon! Tak sampai ke situ pikiranku
mengenal Empat Besar, apa pun yang mungkin dikatakan Japp."
Pintu flat dibuka oleh seorang pelayan laki-laki yang berwalah aneh, kaku
seperti papan. Rasanya air muka yang kaku seperti itu, tidak akan pernah
memperlihatkan suatu perasaan.
Poirot menyerahkan kartu yang telah ditulisi Japp dengan beberapa patah kata
perkenalan. Kami dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang panjang dan berlangit-
langit rendah. Perabotnya mewah dan banyak barang antlknya. Beberapa buah
lukisan orang-orang suci yang indah-indah tergantung di dinding. Lantainya
beralaskan permadani-permadani terpilih dari Persia. Sebuah cerek Rusia berdin
di atas meja. Aku mengamat-amati salah satu gambar orangorang suci yang kunilai punya nilai
tinggi, dan waktu aku menoleh, kulihat Poirot sedang tertelungkup di lantai.
Betapapun indahnya permadani itu, kurasa tidak sampai harus mendapatkan
perhatian yang begitu teliti.
"Apakah begitu indahnya?" tanyaku.
"Ha" Oh! Permadani ini. Bukan, bukan permadani yang
kuperhatikan. Memang permadani ini benar-benar cantik, terlalu amat cantik untuk
dengan ceroboh dipasangi paku besar di tengah-tengahnya. Tidak, Hastings,"
katanya waktu aku mendekati tempat itu, "pakunya sudah tak ada lagi di situ.
Tapi lubang bekasnya masih tetap ada."
Suatu bunyi yang tiba-tiba terdengar, membuatku berputar, dan Poirot melompat
berdiri dengan lincah. Seorang gadis sedang berdiri di ambang pintu. Matanya
yang hitam memandang kami dengan penuh curiga. Gadis itu tinggi tubuhnya sedang.
Wajahnya cantik, agak murung, matanya hitam, dan rambutnya hitam legam dipotong
pendek. Waktu dia berbicara, suaranya bagus dan berat, sama sekali tidak
berlogat Inggris. "Paman saya tak bisa menemul Anda. Dia lumpuh sama sekali."
"Sayang sekali, tapi sebagai gantinya, barangkali Anda mau berbaik hati untuk
membantu saya. Anda Nona Paviloff, bukan?"
"Benar, saya Sonia Daviloff. Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Saya sedang mencari keterangan-keterangan mengenai kejadian menyedihkan, malam
kemarin dulu itu - kematian Tuan Gilmour Wilson. Apa yang dapat Anda ceritakan
pada saya mengenal hal itu?"
Mata gadis itu terbuka lebar.
"Dia meninggal karena serangan jantung - waktu dia sedang main catur."
"Polisi tidak begitu yakin bahwa itu adalah serangan jantung, Mademoiselle."
Gadis itu menggerakkan tangannya kengerian.
"Kalau begitu memang benar," serunya. "Ivan benar.
"Siapa Ivan, dan mengapa Anda katakan bahwa dia benar?"
"Ivan yang membukakan Anda pintu tadi - dan dia sudah
mengatakan pada saya bahwa menurut dia Gilmour Wilson tidak meninggal dengan
wajar - bahwa dia telah diracuni tanpa disengaja."
"Tanpa sengaja."
"Ya, racun itu sebenarnya ditujukan untuk paman saya.
Kini dia tidak lagi bersikap curiga, dan dia suka berbicara.
"Merigapa Anda berkata begitu, Mademoiselle" Siapa yang ingin meracuni Dr.
Savaronoff?" Gadis itu menggeleng. "Entahlah. Saya tak tahu. Dan paman saya tidak akan percaya pada saya. Mungkin
wajar juga. Soalnya, beliau boleh dikatakan tak kenal pada saya. Beliau bertemu
saya waktu saya masih kecil sekali.
Sejak itu tak pernah lagi, sampai saya datang untuk tinggal bersamanya di London
ini. Tapi saya tahu bahwa beliau takut akan sesuatu. Di Rusia banyak perkumpulan
rahasia. Pada suatu hari saya mendengar orang mengatakan sesuatu, yang telah
menimbulkan dugaan saya bahwa perkumpulan semacam itulah yang ditakuti Paman.
Tolong katakan, Monsieur," dia mendekati kami selangkah,
lalu berkata dengan berbisik - "pernahkah Anda mendengar tentang suatu
perkumpulan yang bernama Empat Besar?"
Poirot hampir terlompat karena terkejut. Matanya benar-benar terbelalak
terperanjat. "Mengapa Anda - apa yang Anda ketahui tentang Empat Besar itu, Madernoiselle?"
"Jadi, kalau begitu memang ada perkumpulan semacam itu! Saya pernah mendengar
orang menyebutnya dan saya menanyakannya pada Paman setelah itu. Tak pernah saya
melihat orang ketakutan sehebat Paman waktu itu. Beliau jadi pucat pasi dan
gemetar. Paman takut pada mereka, Monsieur, ketakutan sekali, saya yakin akan
hal itu. Dan, tanpa mereka sengaja, mereka telah membunuh Wilson, orang Amerika
itu." "Empat Besar," gumam Poirot. "Selalu Empat Besar! Suatu kebetulan yang
mengejutkan, Mademoiselle, paman Anda masih terancam bahaya. Saya harus
menyelamatkannya. Sekarang coba ceritakan dengan tepat semua kejadian pada malam
celaka itu. Tolong perlihatkan papan caturnya, mejanya, bagaimana kedua orang itu duduk -
segala-galanya. " Gadis itu pergi ke sisi ruangan itu, lalu mengeluarkan sebuah meja kecil.
Permukaan meja itu elok sekali, kotak-kotaknya berlapis perak dan hitam.
"Meja ini dikirimkan pada Paman beberapa minggu yang lalu sebagai hadiah, dengan
permintaan supaya beliau menggunakannya pada pertandingan berikutnya bila Paman
main. Meja ini dipasang di tengah-tengah kamar - begini."
Poirot meneliti meja itu dengan perhatian yang menurutku berlebihan. Dia sama
sekali tidak melakukan penyelidikan seperti seandainya aku yang melakukannya.
Bagiku kebanyakan pertanyaannya tak mengarah ke mana-mana, sedang mengenal soal-soal yang benar-
benar penting, dia malah tidak bertanya apa-apa.
Kesimpulanku adalah, bahwa disebutnya nama Empat Besar dengan begitu mendadak
tadi, membuat dia linglung.
Setelah memeriksa dengan teliti meja itu dan tempat meja itu dipasang, dia minta
izin untuk melihat buah-buah caturnya. Sonia Daviloff membawakan sebuah kotak
berisi buah-buah itu. Diperiksanya satu atau dua buah di antaranya dengan sepintas lalu.
"Perangkat yang elok sekali," gumamnya seperti orang linglung.
Belum juga dia menanyakan makanan atau minuman apa yang disuguhkan, atau orang-
orang macam apa yang hadir.
Aku meneguk air ludahku terang-terangan.
"Poirot, apakah tidak -"
Dipotongnya perkataanku dengan tegas.
"Jangan ikut-ikutan, Sahabatku. Serahkan segalanya padaku.
Mademoiselle, benar-benar tak mungkinkah saya bertemu dengan paman Anda?"
Seulas senyum kecil terbayang di wajah gadis itu.
"Ya, beliau tentu mau bertemu dengan Anda. Harap Anda
mengerti, saya merasa berkewajiban untuk bertanya-jawab dulu dengan semua orang
asing." Gadis itu menghilang. Kudengar gumam suara di kamar sebelah, dan sebentar
kemudian dia kembali dan mengisyaratkan kepada kami untuk masuk kekamar yang di
sebelah itu. Laki-laki yang berbaring di sofa itu bertubuh besar. Dia tinggi, kurus, dengan
alis besar yang lebat dan jenggot putih, dan wajahnya adalah wajah seseorang
yang keletihan akibat kelaparan dan penderitaan. Dr. Savaronoff memang seorang
tokoh yang terkemuka. Kulihat bentuk kepalanya yang aneh, yang seperti biasanya berdahi lebar. Seorang
pemain catur yang besar tentu mempunyai otak yang hebat. Dengan mudah aku
percaya bahwa Dr. Savaronoff itu adalah seorang pecatur nomor dua terbesar di
dunia. Poirot membungkuk. "M. le Docteur, bolehkah saya berbicara dengan Anda saja?"
Savaronoff berpaling pada keponakannya.
"Tinggalkan kami, Sonia."
Gadis itu pergi dengan patuh.
"Nah, ada apa, Tuan?"
"Dr. Savaronoff, baru-baru ini Anda telah mendapatkan kekayaan besar. Bila Anda
meninggal mendadak, siapa yang akan
mewarisinya?" "Saya sudah membuat surat wasiat, saya meninggalkan segala-galanya untuk
keponakan saya, Sonia Daviloff. Anda tak ingin mengatakan -"
"Saya tidak mengatakan apa-apa, tapi Anda tak pernah melihat keponakan Anda itu
sejak dia masih kecil benar, bukan" Orang lain akan mudah sekali menyamar
sebagai keponakan Anda itu."
Bagai disambar petir Savaronoff mendengar kata-kata itu. Poirot melanjutkan
seenaknya. "Hanya itu saja. Saya sudah memberi peringatan pada Anda, itu saja. Yang saya
inginkan sekarang adalah Anda menggambarkan pada saya permainan catur malam
kemarin dulu itu." "Maksud Anda - menggambarkan bagaimana?"
"Yah, saya sendiri tak pandai main catur, tapi saya dengar ada beberapa macam
langkah yang biasa digunakan sebagai
pendahuluan - yang kalau tak salah, disebut gambit, kan?"
Dr. Savaronoff tersenyum kecil.
"Ah, sekarang saya mengerti. Wilson mengadakan pembukaan dengan gaya Ruy Lopez -
salah satu langkah pembukaan yang paling baik, dan yang sering dipakai orang
dalam turnamen atau pertandingan. "
"Lalu sudah berapa lama Anda main, waktu tragedi itu terjadi?".
"Kalau tak salah kira-kira pada langkah ketiga atau keempat, waktu Wilson tiba-
tiba jatuh tersungkur di meja, dan meninggal mendadak. "
Poirot bangkit untuk pergi. Kemudian dilemparkannya pertanyaan yang terakhir,
seolah-olah itu sama sekali tak penting, tapi aku lebih maklum.
"Apakah ada sesuatu yang dimakan atau diminumnya?"
"Saya rasa wiski dan soda."
"Terima kasih, Dr. Savaronoff. Saya tidak akan mengganggu Anda lagi.",
Ivan siap di lorong rumah untuk mengantar kami ke luar. Poirot berlambat-lambat
di ambang pintu. "Tahukah Anda siapa yang tinggal diflat di bawah ini?"
"Sir Charies Kingwell, seorang anggota parlemen, Tuan. Tapi akhir-akhir ini
disewakan lengkap dengan perabotnya. "
"Terima kasih."
Kami keluar menyambut sinar matahari yang cerah dalam musim salju.
"Aduh kau ini, Poirot, cetusku. " Kurasa kali ini kau benar-benar tidak
cemerlang. Pertanyaan-pertanyaanmu tadi itu benar-benar tidak memuaskan.
"Begitu menurutmu, Hastings?" tanyanya sambil memandangku dengan penuh
perhatian. "Menyedihkan sekali aku tadi, ya. Apa kira-kira yang akan
kautanyakan?" Kupertimbangkan baik-baik pertanyaan itu, lalu kugambarkan rencanaku padanya.
Dia mendengarkan dengan apa yang
kelihatannya seolah-olah perhatian yang besar. Aku berbicara sendiri, sampai
kami hampir tiba di penginapan.
"Hebat sekali, kau penuh usaha untuk mencari, Hastings," kata Poirot, sambil
memasukkan kunci ke lubangnya, dan mendahului aku naik tangga. "Tapi itu sama
sekali tak perlu." "Tak perlu!" teriakku tanpa mengerti. "Bila orang itu diracuni -"
"Aha," seru Poirot sambil menyambar sepucuk surat yang terletak di meja. "Dari
Japp. Tepat seperti yang kuduga." Dilemparkannya surat itu padaku. Isinya
singkat dan langsung ke tujuan. Tak ada bekas-bekas racun ditemukan, dan tak ada
petunjuk-petunjuk mengenai cara bagaimana orang itu menemul ajalnya.
"Kaulihat," kata Poirot, "kalau kita tadi banyak bertanya-tanya, itu tidak akan
berguna." "Apakah hal itu sudah kauduga?"
"Ramalkan hasil dari suatu taruhan," Poirot mengulangi kata-kata dari suatu
masalah permainan bridge yang akhir-akhir ini telah menghabiskan banyak waktuku.
"Mon ami, bila kita meramal dengan benar, itu tidak lagi disebut menduga."
"Tak usahlah kita berfalsafah," kataku tak sabaran. "Kau sudah menduga hal ini,
bukan?" "Memang sudah. "Mengapa?" Poirot memasukkan tangannya ke dalam sakunya, lalu
mengeluarkan sebuah gajah putih.
"Waduh," terlakku, "kau lupa mengembalikannya pada Dr.
Savaronoff." "Kau keliru, Sahabatku. Yang itu, masih ada di dalam saku kiriku.
Kuambil pasangannya ini, dari kotak tadi. Mademoiselle Daviloff telah berbaik
hati mengizinkan aku untuk memeriksanya. Dalam bahasa Inggris, bentuk jamak dari
suatu kata benda dinyatakan dengan huruf s, bukan?"
Bunyi huruf akhiran 's' itu diucapkannya dengan suara desis yang taiam. Aku tak
mengerti. "Lalu mengapa kauambil ltu?"
"Parbleu, aku ingin melihat apakah keduanya benar-benar serupa?"
Poirot mendirikan kedua buah catur itu bersisian di atas meja.
"Nah, tentu saja keduanya serupa," kataku.
Poirot memperhatikan keduanya dengan memiringkan kepalanya.
"Kuakui, kelihatannya memang begitu. Tapi kita tak boleh begitu saja menerima
baik suatu kenyataan, sebelum hal itu dibuktikan.
Coba tolong ambilkan timbanganku yang kecil."
Dengan sangat hati-hati, ditimbangnya kedua buah catur itu, kemudian dia menoleh
padaku dengan wajah berseri penuh kemenangan.
"Aku benar. Kaulihat, aku benar. Hercule Poirot tak bisa ditipu."
Dia terburu-buru ke pesawat telepon - dan menuggu dengan tak sabaran.
Japp-kah ini" Oh! Japp, Andakah itu" Hercule Poirot di sini. Awasi Ivan, pelayan
laki-laki itu. Bagaimanapun juga, jangan sampai dia lolos. Ya, ya, itulah yang
saya katakan." Gagang telepon diletakkannya kembali, dia lalu berpaling padaku.
"Apakah kau tidak mengerti, Hastings" Mari kuterangkan. Wilson tidak diracuni,
tubuhnya telah dialiri arus listrik. Seutas kawat logam yang halus sekali telah
dipasang di tengah-tengah salah sebuah buah catur itu. Pemasangan mejanya sudah
diatur sebelumnya. Meja itu dipasang di suatu tempat tertentu di lantai. Waktu
gajah itu dipasang di salah satu petak segi empat yang dari perak itu,
mengalirlah arus listrik melalui tubuh Wilson, dan dia pun langsung meninggal.
Satu-satunya petunjuk adalah bekas luka bakar listrik di tangannya itu - di
tangan kirinya, karena dia kidal. 'Meja istimewa' itu hasil karya yang cerdik
sekali. Meja yang kuperiksa itu adalah duplikatnya, sama sekali tak ada apa-
apanya. Meja itu pengganti meja yang sebuah lagi, segera setelah pembunuhan itu.
Meja itu dihubungkan dengan flat di
bawah, yang sebagaimana kauingat, disewakan, lengkap dengan perabotnya. Tapi
sekurang-kurangnya harus ada seorang anggota komplotan di flat Savaronoff itu.
Gadis itu adalah kaki-tangan Empat Besar, yang bertugas sebagai ahli waris uang
Savaronoff." "Dan Ivan?" "Aku menduga keras bahwa Ivan lt.u tak lain dari Nomor Empat yang terkenal itu."
"Apa?" "Ya, laki-laki itu seorang aktor hebat yang pandai memainkan peran apa saja yang
disukainya." Aku berpikir lagi tentang petualangan-petualangan kami yang lalu, pengawas Rumah
Sakit jiwa, pengantar daging, dokter yang halus budi, semuanya laki-laki yang
sama, tapi semuanya sama sekali tak serupa.


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membingungkan sekali," kataku akhirnya. "Semuanya cocok.
Savaronoff punya dugaan akan terjadi sesuatu, dan sebab itu dia enggan sekali
memainkan pertandingan itu."
Poirot memandangku tanpa berkata apa-apa. Kemudian dia tiba-tiba berbalik, lalu
berjalan hilir-mudik. "Apakah kau punya buku mengenai catur, mon ami?" tanyanya tiba-tiba.
"Kurasa ada. " Aku memerlukan waktu untuk mencarinya, tapi akhirnya
kutemukan juga, lalu kuberikan pada Poirot. Dia duduk di sebuah kursi dan
langsung membacanya dengan penuh perhatian.
Seperempat jam kemudian, telepon berdering. Aku yang
menyambutnya. Telepon itu dari Japp. Diberitahukannya bahwa Ivan telah
meninggalkan flat itu dengan membawa sebuah bungkusan besar. Dia melompat ke
dalam sebuah taksi yang siap menunggu, dan pengejaran sudah dimulai. Nyata benar
bahwa dia sedang berusaha untuk lolos dari para pengejarnya. Akhirnya dia
menyangka bahwa dia sudah lolos, lalu menuju ke sebuah rumah besar di Hampstead. Sekarang
rumah itu sudah dikepung.
Semuanya itu kuceritakan lagi pada Poirot. Dia hanya menatapku saja, seolah-olah
dia hampir-hampir tak mengerti apa yang kukatakan. Buku catur itu di angkatnya.
"Dengarkan ini, Sahabatku. Beginilah pembukaan gaya Ruy Lopez 1 e2-e4, e7-e5; 2
Kgl-f3, Kb8-c6; 3 Gf1 - b5. Kemudian timbullah pertanyaan langkah ketiga hitam
mana yang terbaik. Ada beberapa macam pilihan. Pada langkah buah putih yang
ketigalah, Gilmour Wilson tewas, yaitu pada 3Gfl-b5. Baru pada langkah ketiga -
tidakkah itu berarti apa-apa bagimu?"
l Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya, dan hal itu kukatakan padanya.
"Bagaimana, Hastings, ketika kau sedang duduk di kursi itu, engkau mendengar
pintu depan dibuka lalu ditutup kembali, akan berpikir apa kau?"
"Kurasa aku harus berpikir ada orang yang baru keluar. "
"Ya - tapi sesuatu harus ditinjau dari dua sudut. Seseorang yang baru keluar -
seseorang yang masuk - dua hal yang benar-benar berlawanan, Hastings. Tapi bila
kita menduga salah, maka akan segera timbul suatu pertentangan kecil yang
menunjukkan bahwa kita berada di jalan yang salah."
"Apa arti semuanya ini, Poirot?"
Tiba-tiba Poirot melompat dengan penuh semangat.
"Itu berarti bahwa aku benar-benar goblok. Cepat, ayo cepat, kita ke flat
Westminster. Mungkin kita belum terlambat."
Kami berlari-lari memasuki sebuah taksi. Poirot tidak menjawab semua
pertanyaanku yang kacau. Kami berlari-lari ketika menaiki tangga. Meskipun berulang kali kami menekan bel
dan mengetuk, tak ada yang membukakan, tapi
waktu memasang telinga baik-baik, aku mendengar suara orang mengerang dari
dalam. Penjaga pintu bangunan ternyata memiliki kunci induk semua flat, dan dengan
susah payah akhirnya dilzinkannya juga kami menggunakannya.
Poirot langsung memasuki kamar dalam. Bau chloroform menusuk hidung kami. Di
lantai tergeletak Sonia Daviloff, dengan mulut tersumbat dan kaki-tangan
terikat, sedang segumpal besar kapas yang sudah dibasahi obat bius, menutupi
hidung dan mulutnya. Poirot menanggalkan semuanya itu, lalu melakukan usaha-usaha untuk memulihkan
gadis itu. Sebentar kemudian seorang dokter datang, Poirot menyerahkan gadis itu
di bawah perawatannya, dan memisahkan diri bersamaku. Dr. Savaronoff sama sekali
tak kelihatan lagi. "Apa arti semuanya ini?" tanyaku, tak mengerti.
"Itu berarti bahwa, di antara dua kemungkinan yang harus kuuraikan, aku telah
memilih yang salah. Kau tentu mendengar aku berkata bahwa dengan mudah seseorang
bisa menyamar sebagai Sonia Daviloff, karena pamannya sudah bertahun-tahun tidak
pernah melihatnya lagi. "Lalu?" "Ya, seballknya pun bisa saja terjadi. Mudah pula bagi seseorang untuk menyamar
menjadi pamannya. " "Apa?" "Savaronoff memang sudah meninggal waktu revolusi Rusia pecah. Laki-laki yang
seolah-olah telah berhasil lolos melalui penderitaan-penderitaan yang mengerikan
itu, laki-laki yang dikatakan telah berubah hebat itu, sehingga sahabat-sahabat
lamanya sendiri pun sulit mengenalinya- kembali, laki-laki yang telah berhasil
menuntut kekayaan yang sangat besar itu -"
"Ya" Siapa dia?"
"Nomor Empat. Tak heran dia ketakutan waktu Sonia
memberitahukan padanya, bahwa dia pernah mendefigar salah satu percakapan
pribadinya mengenal Empat Besar. Lagi-lagi dia telah lolos dari kejaranku. Dia
sudah menduga bahwa aku akhirnya akan tiba pada jalan pikiran yang benar, maka
disuruhnyalah Ivan yang jujur itu pergi untuk menjadi umpan pengejaran yang
menyesatkan, disekapnya gadis itu dengan chloroform, lalu dia keluar. Sekarang
dia pasti sudah menguasai sebagian besar surat berharga yang ditinggalkan oleh
Madame Gospoja." "Tapi - tapi siapa yang telah mencoba membunuhnya?"
"Tak seorang pun mencoba membunuh dia.
Wilson memang korban yang diinginkan - sejak semula.
"Tapi mengapa?"
"Sahabatku, Savaronoff adalah pemain catur terbaik kedua di dunia. Besar
kemungkinannya bahwa Nomor Empat, bahkan sama sekali tak tahu aturan-aturan
permainan itu. Jelas bahwa dia tak bisa menyanggupi suatu pertandingan. Dia
telah mencoba dengan sekuat tenaga untuk menghindari pertandingan. Waktu
usahanya itu gagal, sampailah ajal Wilson. Bagaimanapun juga Wilson harus
dicegah, supaya dia jangan sampai tahu bahwa Savaronoff yang hebat itu sama
sekali tak pandai main catur. Wilson suka sekali memainkan langkah pembukaan
gaya Ruy Lopez, dan dia pasti menggunakan cara itu. Nomor Empat mengatur supaya
kematian terjadi pada langkah ketiga, sebelum pertahanan yang rumit dalam
permainan itu muncul."
"Tapi, Poirot sahabatku," aku bertahan, "apakah kita ini berurusan dengan
seseorang yang tak waras" Aku mengerti betul jalan pikiranmu, dan kuakul bah,wa
kau pasti benar, tapi membunuh seseorang hanya untuk mempertahankan perannya -!
Tentu ada jalan-jalan yang lebih sederhana untuk mengatasi kesulitan tersebuti
daripada jalan itu" Dia bisa saja berkata bahwa dokternya melarang bertanding
karena takut dia akan mengalami ketegangan."
Poirot mengerutkan dahinya.
"Tentu, H astings," katanya, "tentu ada cara-cara lain, tapi tak ada yang begitu
meyakinkan. Selain itul kau beranggapan bahwa membunuh seseorang Itu adalah
sesuatu yang harus dihindari, bukan" Pikiran Nomor Empat tidak begitu. Aku
membayangkan diriku berada di tempatnya. Aku membayangkan pikiran-pikirannya.
Dia berbuat seolah-olah dialah profesor dalam permainan itu, aku yakin bahwa dia
telah menghadiri pertandingan-pertandingan catur untuk mempelajarinya. Dia duduk
dan mengerutkan dahinya seolah-olah tenggelam dalam pikirannya; dia memberikan
kesan bahwa dia sedang memikirkan rencana-rencana besar, padahal selama itu dia
tertawa dalam hatinya. Dia menyadari bahwa dia hanya tahu tak lebih dari dua
langkah - dan memang hanya itu saja yang perlu diketahuinya. Sekali lagi muncul
dalam pikirannya untuk mengatur peristiwa-peristiwa sedemikian rupa, hingga
orang itu menjadi algojo dari kematiannya sendiri, pada saat yang ini Nomor
Empat.... Ya, ya, Hastings, aku mulai mengerti teman kita itu dan psikologinya."
Aku mengangkat bahuku. "Yah, kurasa kau benar, tapi aku tak mengerti mengapa ada orang yang mau
menantang bahaya yang bisa dihindarinya dengan begitu mudah."
"Bahaya!" dengus Poirot. "Di mana letak bahayanya" Apakah kaupikir Japp akan
bisa menyelesaikan perisoalan ini" Tidak; seandainya Nomor Empat tidak membuat
satu kesalahan kecil, tidak akan ada bahaya yang dihadapinya."
"Apa kesalahannya itu?" tanyaku, meskipun aku sudah menduga jaw.aban apa yang
akan diberikannya. "Mon ami, dia tidak melihat sel-sel kelabu kecil yang dimiliki Hercule Poirot
ini." Poirot memang banyak segi baiknya, tapi kerendahan hati bukanlah salah satu di
antaranya. Bab 12 PERANGKAP YANG BERUMPAN WAKTU Itu pertengahan bulan Januari suatu hari dalam musim salju khas Inggris di
London. Udara lembab dan kotor. Poirot dan aku sedang duduk di kursi yang kami
tempatkan dekat-dekat dengan perapian. Aku merasa bahwa sahabatku sedang
memandangi diriku dengan senyum aneh, yang artinya tak dapat kuduga.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanyaku dengan nada ringan.
"Aku sedang berpikir, Sahabatku, bahwa waktu kau pertama kali datang kemari,
pada pertengahan musim panas, kau berkata bahwa kau berniat untuk tinggal di
negeri ini hanya selama beberapa bulan saja.
"Begitukah kataku?" tanyaku agak salah tingkah.
"Aku tak ingat. "
Poirot tersenyum lebih lebar.
"Begitulah katamu, mon arni. Sejak itu kau telah mengubah rencanamu, bukan?"
"Eh - ya." "Mengapa begitu?"
"Persetan, Poirot, apakah kaupikir aku mau meninggalkan kau seorang diri,
padahal kau harus melawan Empat Besar?"
Poirot mengangguk dengan halus.
"Tepat seperti dugaanku. Engkau sahabat yang setia, Hastings.
Karena akan membantu akulah, engkau tinggal di sini. Sedang istrimu - Cinderella
kecil kau menyebutnya, apa katanya?"
"Aku tentu belum menceritakannya secara terperinci, tapi dia mengerti. Dia
merupakan orang terakhir yang menginginkan aku membelakangi seorang sahabat."
"Ya, ya, dia juga seorang sahabat yang setia. Tapi urusan ini barangkali akan berkepanjangan."
Aku mengangguk, agak kehilangan semangat.
"Enam bulan sudah," kataku merenung, "dan sudah sampai di mana kita" Ketahuilah,
Poirot, mau tak mau aku berpikir bahwa kita seharusnya - yah, berbuat sesuatu. "
"Hastings yang selalu penuh semangat kerja! Lalu apa yang tepatnya harus
kulakukan?" Itu memang sesuatu yang sulit, tapi aku tidak akan menarik diri dari
pendirianku. "Seharusnya kita yang mengadakan penyerangan," desakku. "Apa yang telah kita
lakukan selama ini?"
"Lebih banyak daripada yang kausangka, Sahabat
ku. Paling tidak, kita telah memastikan identitas Nomor Dua dan Nomor Tiga, dan
kita sudah tahu lebih dari cukup mengenal cara-cara dan aturanaturan kerja Nomor
Empat." Aku merasa lebih senang sedikit. Sebagaimana yang dikatakan Poirot, keadaannya
tidaklah begitu buruk. "Oh! Ya, Hastings, sudah banyak yang kita laksanakan. Memang benar aku belum
bisa menuntut Ryland maupun Madame Olivier -
siapa yang akan percaya padaku" Ingatkah kau bahwa pada suatu kali aku menyangka
bahwa aku telah berhasil menyudutkan Ryland"
Bagaimanapun juga, aku telah memberitahukan kecurigaanku pada pusat-pusat
tertentu. Yang tertinggi - Lord Aldington yang pernah meminta bantuanku dalam perkara
pencurian rencana-rencana kapal selam, sudah tahu benar mengenai informasiku
sehubungan dengan Empat Besar - dan dia mempercayainya, meskipun yang lain masih
meragukannya. Ryland dan Madame Olivier, dan Li Chang Yen sendiri, boleh sala
bebas bergerak, tapi ada suatu lampu sorot yang telah terarah pada gerak-gerik
mereka." "Dan Nomor Empat?" tanyaku.
"Seperti yang baru saja kukatakan - aku mulai tahu dan mengerti cara-cara
kerjanya. Kau boleh saja tersenyum, Hastings - tapi kalau kita sudah bisa
menyusupi pribadi seseorang, untuk mengetahui benar-,benar apa yang akan
dilakukannya dalam keadaan tertentu -
itu merupakan awal suatu keberhasllan. Ini duel antara kami, dan sementara dia
terus-menerus membukakan sifat-sifat mentalnya padaku, aku berusaha untuk
sesedikit mungkin membiarkannya mengetahui tentang diriku. Dia berada di tempat
yang terang, aku di tempat yang gelap. Dengar, Hastings, makin hari mereka makin
takut padaku justru karena aku sedang tak mau banyak kegiatan."
"Bagaimanapun juga, mereka tak lagi menyusahkan kita," aku mengingatkannya. "Tak
ada lagi usaha-usaha untuk membunuhmu, dan tak ada lagi serangan-serangan atau
semacamnya." "Memang tidak," kata Poirot dengan merenung.
"Sebenarnya hal itu membuatku heran. Terutama karena ada satu atau dua cara yang
jelas untuk menyerang kita, yang aku yakin mereka sadari benar. Mungkin kau
mengerti maksudku?" "Semacam bom waktu, mungkin?" kataku memberanikan diri.
Poirot mendecakkan lidahnya dengan nyaring, tidak sabar.
"Tentu saja bukan! Aku mengharapkan daya khayalmu, tapi yang kausebutkan tidak
lebih halus dari bom dalam perapian. Wah, aku perlu korek api. Aku harus pergi,
tak peduli cuaca buruk begini. Maaf, Sahabatku, tapi mungkinkah sementara aku
pergi engkau bisa membaca empat buah buku yang berlainan judulnya, sekaligus?"
Aku tertawa, dan mengakul bahwa buku yang berjudul Petunjuk Merah Tua-lah yang
sekarang sedang menarik perhatianku. Poirot menggeleng dengan sedih.
"Kalau begitu kembalikanlah buku-buku yang lain itu ke rak buku!
Kelihatannya aku benar-benar tidak akan pernah melihatmu teratur dan bermetode!
Mon Dieu, lalu untuk apa rak buku itu?"
Aku meminta maaf dengan segala kerendahan hati.
Setelah Poirot mengembalikan buku-buku yang berantakan, masing-masing ke
tempatnya yang sudah ditentukan, dia keluar.
Maka tinggallah aku untuk menikmati buku pilihanku tanpa diganggu.
Namun harus kuakui, bahwa aku setengah tertidur. Aku terbangun waktu Nyonya
Pearson mengetuk pintu. "Telegram untuk Anda, Kapten."
Kubuka amplop berwarna jingga itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Lalu aku terduduk bagai patung.
Telegram itu dikirim oleh Bronsen, manager perusahaan
peternakanku di Amerika Selatan, dan telegram itu berbunyi:
"Nyonya Hastings menghilang kemarin, kuatir diculik oleh suatu komplotan yang
menamakan dirinya Empat Besar. Kirim perintah-perintah. Sudah memberi tahu
polisi. Belum ada petunjuk. Bronsen.
Kuisyaratkan dengan tanganku supaya Nyonya Pearson
meninggalkan kamar itu, dan aku duduk saja seperti patung, membaca kata-kata itu
berulang kali. Cinderella - diculik! Dalam tangan Empat Besar yang kejam itu!
Tuhanku, apa yang bisa kulakukan"
Poirot! Aku harus segera mencari Poirot. Dia akan bisa menasihati aku.
Bagaimanapun juga, dia akan bisa mematikan langkah mereka.
Beberapa menit lagi, dia akan kembali. Aku harus menunggu dengan sabar sampai
dia kembali. Tapi Cinderella dalam tangan Empat Besar!
Suatu ketukan lagi. Nyonya Pearson sekali lagi menjengukk n kepalanya.
"Ada surat untuk Anda, Kapten - diantarkan oleh seorang Cina. Dia masih menunggu
di bawah. Surat itu kurampas dari wanita itu. Surat singkat dan tegas.
"Bila Anda masih ingin bertemu dengan istri Anda, ikutlah segera dengan pembawa
surat ini. Jangan tinggalkan pesan untuk teman Anda, kalau tak ingin istri Anda
menderita." Surat peringatan itu ditandatangani dengan angka empat yang besar.
Apa yang harus kulakukan" Apa yang akan pembaca lakukan bila Anda berada di
tempatku" Aku tak punya waktu untuk berpikir. Hanya satu hal yang tampak olehku -
Cinderella berada dalam tangan setan-setan itu. Aku harus mematuhinya - aku tak
berani membiarkan sehelai pun rambutnya terancam bahaya. Aku harus pergi dengan
orang Cina itu, ke mana pun diajaknya. Ini memang perangkap, dan ini berarti
penangkapan dan bahkan mungkin kematian. Tetapi perangkap itu berumpankan orang
yang paling kucintai di seluruh dunia ini.
Aku tak berani ragu-ragu bertindak.
Yang paling merisaukan hatiku adalah, bahwa aku tak bisa meninggalkan pesan pada
Poirot. Bila saja aku bisa memberinya petunjuk tentang kepergianku, semuanya
akan beres! Beranikah aku menantang bahaya itu" Kelihatannya aku tidak berada di
bawah pengawasan, tapi aku bimbang. Sebenarnya akan mudah sekali orang Cina itu
naik ke tempatku, dan menyaksikan sendiri bahwa aku mematuhi isi surat itu.
Mengapa itu tidak dilakukannya" Justru keadaannya yang membisu itulah yang
membuatku curiga. Aku sudah melihat kekuasaan yang teramat besar dari Empat


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Besar itu, hingga kuanggap mereka itu mempunyai kekuasaan yang hampir melebihi
kekuasaan manusia. Sepanjang pengetahuanku, bahkan
seorang gadis pelayan yang compang-camping sekalipun, mungkin saja merupakan
salah seorang kaki-tangannya.
Tidak, aku tak berani menantang bahaya itu.
Tetapi aku bisa melakukan satu hal, yaitu meninggalkan telegram itu. Maka Poirot
akan tahu bahwa Cinderella sudah menghilang, dan siapa yang bertanggung jawab
atas hilangnya itu. Semuanya itu bergalau dalam kepalaku dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang kuperlukan untuk menceritakannya. Dalam waktu satu menit lebih sedikit, aku
sudah menuruni tangga ke tempat penunjuk jalanku itu menunggu.
Pembawa surat perintah ltu seorang Cina bertubuh jangkung dan kaku. Dia
berpakaian rapi tetapi agak lusuh. Dia membungkuk lalu berbicara padaku. Bahasa
Inggrisnya sempurna, tetapi logatnya agak berlagu.
"Anda Kapten Hastings?"
"Ya," kataku. "Tolong kembalikan surat perintah tadi.
Aku sudah menduga permintaan itu, maka kuserahkan saja potongan kertas tadi
tanpa berkata apa-apa. Tapi rupanya bukan itu saja.
"Anda tadi menerima telegram kan" Yang baru saja tiba" Dari Amerika Selatan?"
Aku menyadari lagi betapa ketatnya cara kerja mata-mata mereka
- atau mungkin itu merupakan dugaan yang tajam dari pihaknya.
Mereka yakin bahwa Bronsen pasti akan mengirim telegram padaku.
Mereka menunggu sampai telegram itu diantarkan padaku, dan mereka lalu segera
bertindak. Tidak akan ada manfaatnya bila kenyataan itu dilawan.
"Ya," kataku. "Saya memang menerima telegram tadi.
"Tolong ambilkan, ya" Tolong ambilkan telegram itu sekarang."
Gigiku gemeretak, tapi apa yang bisa kulakukan" Aku berlarl naik ke lantai atas
lagi. Pada saat itu, timbul niatku untuk menceritakan rahasia itu pada Nyonya Pearson,
hanya mengenai hilangnya Cinderella. Nyonya Pearson ada di tangga, tapi ada
gadis pelayan kecil di belakangnya.
Aku jadi ragu. Bila gadis itu seorang mata-mata - maka menarilah kata-kata itu
di hadapan mataku. "...Istri Anda akan menderita. Aku masuk ke ruang duduk tanpa
berkata apa-apa. Kuambil telegram itu.
Baru saja aku akan melangkah ke luar lagi, tiba-tiba datang suatu gagasan. Tak
bisakah aku meninggalkan suatu tanda, yang tidak akan berarti bagi musuh-
musuhku, tetapi yang akan cukup jelas bagi Poirot sendiri" Aku buru-buru
menyeberang ke rak buku, dan kulemparkan empat buah buku ke lantai. Aku tak
perlu kuatir, bahwa Poirot tidak akan melihatnya. Buku-buku itu akan segera
mengganggu penglihatannya - dan karena perbuatanku itu terjadi langsung setelah
ceramah kecilnya mengenal kerapian, maka dia pasti akan merasa hal itu tak
wajar. Kemudian kumasukkan satu sekop arang ke api, dan sengaia kujatuhkan empat
potong arang ke alas perapian. Aku telah melakukan sebatas kemampuanku - aku
tinggal berdoa pada Tuhan, semoga Poirot menafsirkan tanda-tanda itu dengan
benar. Aku buru-buru turun lagi. Oran'g Cina itu mengambil telegram dariku, membacanya,
lalu memasukkannya ke dalam sakunya.
Setelah itu dia mengangguk mengajakku pergi.
Dia membawaku menempuh perjalanan jauh yang melelahkan.
Sekali kami naik bus, dan sekali kami pergi agak jauh naik trem. Kami selalu
menuju ke arah timur. Kami lalui daerah yang aneh-aneh, yang tak pernah
kuimpikan ada di negeri ini. Aku tahu bahwa kami kini tiba di dekat pelabuhan,
dan aku sadar sedang dibawa ke pusat daerah Cina.
Tanpa kusadari aku menggigil. Penunjuk jalanku masih saja berjalan terus,
membelok, dan mengelok melalui jalan-jalan dan lorong-lorong yang buruk
keadaannya, sampai akhirnya dia berhenti di sebuah rumah lapuk, lalu mengetuk
pintu empat kali. Pintu itu segera dibuka oleh seorang Cina lain, yang menyisih memberi kami jalan
untuk masuk. Dengan terbantingnya pintu yang tertutup di belakangku, putus
pulalah harapanku yang terakhir. Aku sudah berada dalam tangan musuh.
Aku lalu diserahkannya pada orang Cina yang kedua. Aku diajak menuruni tangga
yang goyah, ke dalam sebuah gudang bawah tanah yang penuh karung dan peti yang
menghamburkan bau pedas, bau rempah-rempah dari negara-negara Timur. Aku merasa
diriku diselubungi oleh suasana Timur, yang penuh kelicikan, kecerdikan, dan
rahasia Penunjuk jalanku tiba-tiba menggulingkan dua buah tong kayu, dan aku melihat
sebuah lubang di bagian bawah dinding yang menyerupai terowongan.
Diisyaratkannya padaku supaya berjalan ke lubang itu. Terowongan itu cukup
panjang, dan terlalu rendah bagiku hingga aku tak bisa berdiri tegak. Tetapi
akhirnya jalan itu melebar ke arah sebuah lorong di luar, dan beberapa menit
kemudian kami berdiri di dalam sebuah gudang bawah tanah lain lagi. Orang Cina
itu melangkah ke depan, lalu mengetuk empat kali pada salah satu dinding.
Seluruh bagian dinding itu terbuka lebar, hingga tinggal sebuah jalan masuk yang
sempit. Aku berjalan melewati jalan itu, dan alangkah terkejutnya aku waktu
kemudian mendapatkan diriku dalam sebuah istana seribu satu malam. Sebuah
ruangan bawah tanah yang rendah dan panjang, yang bertirai-tirai kain sutra
Cina, yang terang-benderang dan dipenuhi harum wewangian serta rempah-rempah.
Ada empat atau lima buah dipan yang beralas sutra dan sehelai permadani hasil
seni pillhan dari Cina terbentang di lantai. Di ujung ruang itu terdapat bagian
yang tersembunyi yang ditutupi tirai. Dari balik tirai itu terdengar suara.
"Sudah kaubawa tamu kita yang terhormat itu?"
"Dia ada di sini, Yang Mulia," sahut penunjuk jalanku.
"Bawa masuk tamu kita itu," jawabnya.
Pada saat itu juga, tirai itu ditarik ke samping oleh tangan-tangan yang tak
kelihatan, dan aku berhadapan dengan sebuah sofa yang besar sekali, yang penuh
dengan bantal. Di sofa itu duduk seorang
Cina yang tinggi kurus berjubah sulam indah sekali. Melihat betapa panjang kuku
jari tangannya, jelaslah dia orang besar.
"Silakan duduk, Kapten Hastings," katanya sambil mengisyaratkan dengan
tangannya. "Anda telah memenuhi permintaan saya untuk segera datang, saya senang
bertemu dengan Anda."
"Anda siapa?" tanyaku. "Li Chang Yen?"
"Sama sekali bukan, saya hanya pelayan yang paling rendah dari tuan besar itu.
Saya hanya melaksanakan perintah-perintahnya -
demiklan pula semua pelayannya di negara-negara lain - di Amerika Selatan,
umpamanya." Aku maju selangkah., "Mana istri saya" Apa yang telah kalian lakukan atas dirinya?"
"Dia berada di tempat yang aman - tak seorang pun bisa menemukannya. Sampai saat
ini, dia masih belum disakiti. Perhatikan kata-kata saya - sampai saat ini."
Berdiri bulu kudukku, berhadapan dengan setan yang tersenyum ini.
"Apa yang kalian inginl?" teriakku. "Uang?"
"Kapten Hastings yang baik, yakinlah bahwa kami tidak
menginginkan uang simpanan Anda yang sedikit itu. Maafkan saya -
kalau saya harus mengatakan bahwa usul Anda itu - bukanlah usul orang yang
cerdas. Saya rasa rekan Anda itu pasti tidak akan mau mengusulkan begitu."
"Saya rasa," kataku dengan napas berat, "kalian menginginkan saya, untuk
mencengkeram saya dalam genggaman kalian. Yah, kalian telah berhasil. Saya telah
datang kemari dengan mata terbuka.
Perlakukanlah saya sesuka hati kalian, tapi bebaskan istri saya. Dia tak tahu
apa-apa dan dia tak akan mungkin berguna bagi kalian.
Anda telah menggunakan dia untuk bisa menangkap saya - sekarang kalian sudah
mendapatkan saya, jadi sudah selesai." Orang Cina yang tersenyum itu membelai
pipinya yang mulus, sambil memperhatikan diriku dengan tajam, dengan matanya
yang sipit. "Anda terlalu terburu-buru," katanya, dengan suara seperti kucing mendengkur.
"Itu tidak akan memberikan penyelesajan. Sebenarnya, apa yang Anda katakan,
'untuk bisa menangkap Anda', itu, bukanlah tujuan kami. Tapi melalui Anda, kami
berharap akan bisa menangkap sahabat Anda, Hercule Poirot."
"Saya rasa kalian tidak akan bisa berhasil," kataku dengan tertawa pendek.
"Inilah yang akan saya usulkan," sambungnya.
Kata-katanya mengalir terus seolah-olah aku tidak didengarnya.
"Anda harus menulis surat pada Hercule Poirot. Dalam surat itu Anda harus
membujuknya supaya dia bergegas datang kemari untuk menyertai Anda."
"Saya tidak akan mau berbuat begitu," kataku dengan marah.
"Akibat penolakan Anda tidak akan menyenangkan."
"Persetan dengan akibat-akibat kalian itu."
"Kemungkinannya bisa kematian!"
Sekali lagi bulu kudukku berdiri karena kengerian, tetapi kuusahakan supaya
wajahku membayangkan keberanian.
"Tak ada gunanya mengancam dan menakut-nakuti saya. Simpan saja ancaman-
ancamanmu itu untuk orang-orang Cina yang pengecut."
"Ancaman-ancaman saya bukan ancaman kosong."
Kapten Hastings. Saya tanya lagi Anda, maukah Anda menulis surat itu?"
"Aku tak mau, dan lebih-lebih lagi, kau tidak akan berani membunuhku. Dalam
waktu singkat sekali, polisi akan mencari jejakku."
Lawan bicaraku langsung bertepuk tangan. Dua orang petugas Cina muncul, seperti
hatuh dari langit saja, lalu mereka mengikat kedua belah tanganku ke belakang.
Majikan mereka mengatakan -
sesuatu dalam bahasa Cina dengan cepat sekali, lalu mereka menyeretku ke
seberang ruangan itu, ke suatu tempat di sudut kamar itu. Salah seorang di
antaranya membungkuk, lalu tiba-tiba, tanpa kusangka sama sekali, lantai di
bawah kakiku terbuka. Bila saja tak ada tangan orang yang menahanku, pasti aku
sudah masuk ke dalam lubang gelap yang menganga di bawah kakiku. Tempat itu
gelap gulita, aku bisa mendengar desau air mengalir.
"Itu sungai," kata lawan bicaraku dari sofa tempatnya duduk.
"Pikirlah baik-baik, Kapten Hastings. Bila Anda menolak lagi, Anda akan langsung
tercebur ke alam baka, menemul kematian Anda di dalam sungai yang gelap di bawah
itu. Untuk terakhir kalinya, maukah Anda menulis surat ini?"
Aku tidak lebih berani daripada kebanyakan orang. Kuakui terus terang bahwa aku
ketakutan setengah mati. Setan Cina itu rupanya bersungguh-sungguh, aku yakin
itu. Inilah yang akan merupakan perpisahanku dengan dunia yang indah ini. Tanpa
kuingini, suaraku agak gemetar waktu menjawab.
"Untuk terakhir kalinya, tidak! Persetan dengan suratmu itu."
Kemudian tanpa kusadari aku menutup mataku, lalu mengucapkan doa singkat.
Bab 13 TIKUS MASUK PERANGKAP TAK sering seseorang merasa berada di tepi liang kuburnya sendiri. Tetapi waktu
aku mengucapkan kata-kata itu di gudang bawah tanah di East End itu, aku benar-
benar yakin bahwa itulah kata-kataku yang terakhir di muka bumi ini. Kukuatkan
diriku untuk menghadapi shock dari sungai yang gelap dan menderu di bawah.
Belum-belum aku sudah terlebih dulu merasakan ngerinya jatuh yang mencekam itu.
Tetapi aku terkejut karena mendengar orang tertawa dengan suara rendah. Aku
membuka mataku. Atas perintah yang diberikan dengan suatu isyarat oleh laki-laki
yang duduk di sofa itu, kedua orang yang memegangi diriku tadi, membawaku
kembali ke tempat dudukku semula, menghadapi majikannya.
"Anda seorang pemberani, Kapten Hastings," katanya. "Kami bangsa Timur
menghargai keberanian. Saya akui sudah saya duga, Anda akan berbuat begitu.
Sekarang kita melangkah pada adegan kedua drama kecil Anda, seperti yang sudah
direncanakan. Kematian bagi Anda sendiri, sudah Anda hadapi dengan berani -
bersediakah pula Anda menghadapi kematian orang lain?"
"Apa maksud Anda?" tanyaku dengan suara serak, aku dilanda rasa takut yang
hebat. "Anda tentu tak lupa akan wanita yang kini berada dalam kekuasaan kami - mawar
dalam kebun Anda. " Aku menatapnya, membisu tersiksa.
"Saya rasa, Kapten Hastings, sekarang Anda akan mau menulis surat itu. Lihat, di
sini ada blanko telegram. Pesan yang akan saya tuliskan di sini, tergantung pada
Anda, dan itu akan berarti hidup atau mati bagi istri Anda."
Dahiku basah oleh keringat. Penylksaku melanjutkan sambil tersenyum ramah, dan
berbicara dengan nada yang menunjukkan darah dinginnya,
"Nah, Kapten, pena sudah siap untuk Anda gunakan. Anda hanya harus menulis.
Kalau tidak-" "Kalau tidak?" aku mengulangi.
"Kalau tidak, maka wanita yang Anda cintai itu akan mati - mati perlahan-lahan.
Majikan saya, Li Chang Yen, dalam waktu senggangnya suka menghibur dirinya
dengan menciptakan-alat-alat yang baru dan hebat untuk menyiksa."
"Tuhanku!" teriakku. "Setan kalian! Jangan berani - kalian tidak akan berbuat
demikian -" "Apakah akan saya ceritakan pada Anda beberapa alat dan cara kerjanya?"
Tanpa memperhatikan teriakan-teriakan protesku, dia berbicara terus - dengan
suara datar, dengan tenang - hingga dengan memekik ngeri kututup kedua telingaku
dengan telapak tangan. "Saya lihat kisah saya itu sudah cukup. Ambillah pena itu dan tulislah."
"Anda tidak akan berani-"
"Kata-kata Anda hanya akan merupakan usaha bodoh saja, Anda pasti tahu itu.
Ambillah pena itu dan tulislah."
"Kalau saya tulis?"
"Istri Anda akan bebas. Telegram ini akan segera dikirimkan. "
"Bagaimana saya bisa yakin, bahwa Anda akan memegang janji Anda itu?"
"Saya bersumpah di hadapan nisan-nisan suci leluhur saya. Apa lagi, coba Anda
timbang sendiri untuk apa saya ingin menyakitinya"
Penculikan atas dirinya saja sudah cukup untuk mencapai tujuan kami.
"Lalu - lalu Poirot?"
"Kami akan menahannya dengan aman, sampai kami berhasil menyelesaikan operasi
kami. Barulah dia akan kami bebaskan."
"Apakah Anda juga akan bersumpah di hadapan nisan-nisan leluhur Anda, mengenai
kebenaran hal itu?" "Saya sudah mengucapkan sumpah satu kali pada Anda. Itu sudah cukup."
Semangatku pudar. Aku akan mengkhianati sahabatku - demi apa" Aku ragu sebentar
- lalu pillhan yang mengerikan itu terpampang di hadapan mataku sebagai mimpi buruk.
Cinderella - dalam tangan setan-setan Cina ini.
Dia akan mati dalam siksaan perlahan-lahan.
Tanpa kusadari aku menggeram. Kusambar pena itu. Dengan pilihan kata-kata yang
cermat, mungkin aku akan bisa menyampaikan suatu peringatan hingga Poirot akan
bisa menghindari perangkap ini.
Itulah satu-satunya harapanku.
Tapi harapan itu pun punah pula. Suara orang Cina itu terdengar lagi, halus dan
sopan. "Izinkan saya mendiktekannya pada Anda."
Dia berhenti berbicara, mempelaiarl setumpuk catatan yang ada di sisinya, lalu
mendiktekan sebagai berikut,
"Poirot yang baik, Kurasa aku sudah menemukan markas Nomor Empat. Siang ini,
seorang Cina membujukku kemari dengan sebuah pesan palsu. Untunglah aku sempat
menyadari permainannya itu.
Aku menyelinap melepaskan diri darinya. Kemudian aku membalik keadaan, akulah
yang berhasil mengikuti jejaknya - dengan cara yang hebat pula, pikirku memuji
diriku sendiri. Seorang anak laki-laki yang cerdas, kuminta mengantarkan surat
ini padamu. Tolong beri dia upah setengah crown. Aku sudah berjanji padanya akan
memberikan sekian banyaknya, bila dia berhasil mengantarkan ini dengan aman. Aku
sedang mengamat-amati rumah itu dan tak berani meninggalkannya. Aku akan
menunggumu sampai jam enam. Bila kau tak datang sampai waktu itu aku akan
mencoba masuk ke rumah itu seorang diri. Ini suatu kesempatan yang terIalu baik
untuk disia-siakan, dan tentulah ada kemungkinannya anak itu tak bertemu
denganmu. Tapi bila dia bertemu denganmu, suruh dia mengantarmu kemari. Tutuplah
kumismu yang bagus itu, karena aku takut kalau-kalau ada orang yang mengintaimu
dari dalam rumah dan mengenalimu. Salam terburu-buru, A.H. Setiap perkataan yang kutulis membuatku merasa terbenam lebih dalam ke arah
keputusasaan. Cara itu memang luar biasa pintarnya.
Kusadari betapa telitinya mereka mengetahul setiap bagian hidup kami, sampai hal
yang sekecil-kecilnya. Gaya surat itu pun sama benar dengan surat yang kubuat
sendiri. Pernyataan bahwa orang Cina yang datang tadi siang telah berusaha untuk
membulukku pergi, membuat tanda yang kutinggalkan berupa empat buah buku itu,
jadi tak berlaku lagi. Itu memang suatu perangkap, dan aku
menyadarinya, begitulah Poirot akan berpikir. Waktunya pun telah direncanakan


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cerdik sekali. Begitu menerima suratku itu, Poirot pasti akan langsung
bergegas pergi dengan penunjuk jalan yang kelihatan polos itu, dan aku tahu
bahwa dia akan berbuat begitu. Ketetapan hatiku untuk masuk ke rumah itu seorang
diri, akan menjadikan dia lebih terburu-buru. Dia selalu memperlihatkan bahwa
dia tak percaya akan kemampuanku, suatu hal yang sebenarnya tak masuk akal. Dia
akan merasa yakin bahwa aku sedang memasuki bahaya tanpa mengenali betul
situasinya, dan bahwa aku akan mengambil tindakan gegabah.
Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menulis menurut perintah. Orang yang
menawanku itu mengambil surat itu, dibacanya, lalu dia mengangguk membenarkan,
dan memberikannya pada salah seorang petugas yang sejak tadi membisu. Pesuruh
itu menghilang dengan surat itu, ke balik salah satu tirai sutra pada dinding
yang melindungi sebuah pintu.
Sambil tersenyum, laki-laki di hadapanku itu mengambil blanko telegram tadi,
lalu menulis. Telegram itu diberikannya padaku.
Telegram itu berbunyi: "Lepaskan burung putih secepatnya."
Aku mendesah lega. "Apakah ini akan Anda kirimkan segera?" desakku.
Dia tersenyum dan menggeleng.
"Bila Tuan Hercule Poirot sudah ada dalam tangan saya, baru akan dikrimkan.
Sebelum itu, tidak."
"Tapi Anda sudah berjanji -"
"Bila cara ini gagal, saya mungkin masih akan membutuhkan burung putih kami -
supaya kalian mau melakukan usaha-usaha kami selanjutnya."
Bukan main marahnya aku. "Oh Tuhan! Kalau kau-"
Dia melambaikan tangannya yang panjang, kecil dan kuning.
"Yakinlah, saya rasa ini tidak akan gagal. Dan begitu Poirot ada dalam tangan
kami, saya akan memenuhi sumpah saya."
"Kalau Anda mempermainkan saya."
"Saya sudah bersumpah demi leluhur saya yang saya junjung tinggi. Jangan takut.
Beristirahatlah di sini sebentar. Pelayan-pelayan saya akan memenuhi kebutuhan
Anda, sementara saya tak berada di sini."
Aku ditinggalkan sendiri dalam sarang bawah tanah yang mewah ini. Petugas Cina
yang kedua, muncul lagi. Salah seorang di antaranya, membawa makanan dan minuman
dan menawarkannya padaku, tetapi kutolak. Aku muak - muak - dalam hatiku.
Kemudian tiba-tiba pimpinan itu muncul lagi, jangkung dan anggun dalam jubah
sutranya. Dia keluarkan beberapa perintah.
Berdasarkan perintahnya, aku dibawa kembali ke rumah yang pertama kumasuki,
melalui gudang bawah tanah dan terowongan. Di rumah itu, mereka membawaku
kelantai satu. Jendela-jendelanya ditutupi, kerai juga diturunkan, tetapi
melalui celah-celahnya aku bisa melihat ke jalan. Seorang laki-laki tua yang
berpakaian compang-camping sedang berjalan terseret-seret di tepi seberang
jalan. Kulihat dia memberikan isyarat ke arah jendela, dan tahulah aku bahwa dia
salah seorang anggota komplotan yang sedang berjaga-jaga.
"Bagus," kata orang Cina yang menemaniku. "Hercule Poirot telah masuk perangkap.
Dia sedang menuju kemari - seorang diri, hanya dengan anak yang menjadi penunjuk
jalan itu. Nah, Kapten Hastings, sekarang tinggal satu hal saja yang harus Anda
lakukan. Kalau Anda tidak memperlihatkan diri Anda, dia tidak akan mau masuk ke
rumah ini. Bila dia tiba di seberang rumah ini, Anda harus keluar ke tangga, dan
melambai padanya supaya dia datang kemari.
"Apa?" teriakku, memberontak.
"Bagian itu harus Anda lakukan seorang diri. Ingat apa imbalannya bila gagal.
Bila Hercule Poirot mencurigai bahwa ada sesuatu yang tak beres, dan tak mau
masuk ke rumah, istri Anda akan mati dengan cara 'Tujuh Puluh Cara Kematian'
perlahan-lahan! Nah! Itu dia."
Aku mengintip melalui celah-celah kerai, dengan hati berdebar-debar dan perasaan
muak setengah mati. Aku segera kenal bahwa sosok yang sedang berjalan di tepi
seberang jalan itu adalah sahabatku, meskipun leher mantelnya di tegakkan dan
sehelai syal kuning lebar menutupi seluruh bagian bawah wajahnya. Tapi gaya
jalannya itu, tak salah lagi, ditambah dengan letak kepala yang berbentuk telur
itu. Poirot datang untuk membantu aku dengan segala ketulusan hatinya, tanpa curiga
sedikit pun bahwa ada sesuatu yang tak beres.
Di sisinya berjalan seorang anak laki-laki Cina khas London, yang berwajah kotor
dan berpakaian compang-camping. Poirot berhenti sebentar., melihat ke seberang
ke rumah ini, sementara anak laki-laki itu bercakap-cakap dengannya dengan
bersemangat dan menunjuk.
Waktu itulah aku harus bertindak. Oleh isyarat si Cina Jangkung, salah seorang
membuka kunci pintu. "Ingat imbalannya bila ini gagal," kata musuhku perlahan.
Aku keluar berdiri di tangga. Aku melambai memanggil Poirot. Dia bergegas
menyeberang. "Oh! Kau tak apa-apa rupanya, Sahabatku. Aku sudah mulai kuatir. Kau berhasil
masuk" Jadi, kosongkah rumah ini?"
"Ya," kataku dengan suara rendah, yang kupaksa supaya
terdengar wajar. "Pasti ada jalan rahasia ke luar, di suatu tempat.
Mari masuk dan kita cari." Aku melangkah mundur melalui ambang pintu.
Tanpa mencurigai apa-apa, Poirot pun bersiap-siap untuk menyusulku.
Kemudian rasanya ada sesuatu yang terjadi di dalam kepalaku.
Aku melihat begitu jelasnya peran yang sedang kumainkan - aku sebagai Judas.
"Kembali, Poirot!" teriakku. "Kembali dan selamatkan nyawamu.
Ini jebakan. Jangan pedulikan aku. Lari segera!"
Begitu aku mengucapkan - atau sebenarnya memekikkan
peringatanku, kurasa tangan-tangan orang mencengkerarnku seperti jepitan tang.
Salah seorang pelayan Cina itu melompat melewati aku untuk menangkap Poirot.
Masih sempat kulihat Poirot melompat mundur, lengannya diangkatnya ke atas, lalu
tiba-tiba asap tebal menyelubungi diriku, menyesakkan napasku - membunuhku. Aku
merasa diriku jatuh - aku lemas - inilah kematianku
Perlahan-lahan dan dengan susah payah, aku sadar - semua syarafku lumpuh. Yang
pertama-tama kulihat adalah wajah Poirot.
Dia duduk di seberangku, memperhatikan diriku dengan wajah kuatir.
Dia berseru gembira, waktu dilihatnya aku memandanginya.
"Nah, kau siuman - kau sudah sadar. Semuanya sudah beres!
Sahabatku - kasihan kau, Sahabatku!"
"Di mana aku?" tanyaku dengan kesakitan.
"Di mana" Di bawah atap rumah kita sendiri tentu!"
Aku melihat ke sekelilingku. Benar rupanya, aku berada di lingkunganku sendiri
yang begitu kukenal. Dan di alas perapian, masih terdapat empat potong arang
yang dengan sengaja telah kujatuhkan.
Poirot mengikuti arah pandanganku.
"Memang, itu gagasanmu yang hebat - demikian pula dengan buku-buku itu. Dengar,
bila pada suatu ketika ada orang yang
berkata, 'Sahabat Anda, Hastings itu, otaknya kurang cerdas, bukan"', maka aku
akan menjawab, 'Arida keliru.' Gagasanmu itu hebat dan istimewa."
"Jadi kau mengerti maksudnya?"
"Apakah aku ini orang tolol" Tentu saja aku mengerti. Benda-benda itu memberikan
peringatan yang tepat, yang memang kuperlukan, dan memberi aku waktu untuk
mematangkan rencana-rencanaku. Rupanya Empat Besar telah membawamu lari. Dengan
tujuan apa" Jelas bukan untuk mengaiakmu bersenang-senang - dan jelas tidak pula
karena mereka takut padamu dan ingin
menyingkirkan dirimu. Tidak, tujuan mereka sudah jelas. Kau akan dipakal sebagai
umpan untuk mendapatkan Hercule Poirot ke dalam cengkeraman mereka. Aku sudah
lama siap untuk perbuatan semacam itu. Maka, aku pun bersiap-siap, dan kemudian,
seperti yang sudah kuduga, pembawa surat itu pun datang - hanya anak laki-laki
suruhan yang tak tahu apa-apa. Aku menelan saja segala-galanya, dan buru-buru
kuikuti anak itu. Dan alangkah mujurnya, mereka mengizinkan kau keluar ke tangga
pintu itu. Satu hal itulah yang kukuatirkan, yaltu kalau-kalau aku terpaksa
menyingkirkan mereka sebelum aku tiba di tempat kau disembunylkan, dan kalau-
kalau aku harus mencari-carimu mungkin sia-sia -."
"Menyingkirkan mereka, katamu?" tanyaku lemah. "Seorang diri saja?"
"Ah, tak ada hebatnya dalam hal itu. Bila kita sudah siap sebelumnya, semuanya
jadi sederhana bukankah itu semboyan kepanduan" Semboyan yang bagus. Aku sudah
siap waktu itu. Belum lama ini, aku pernah memberi bantuan kepada seorang ahli
kimia yang sangat terkenal. Waktu perang dulu pekerjaan orang itu banyak
berhubungan dengan gas racun. Dia memperalati aku dengan sebuah bom kecil -
sederhana dan mudah dibawa ke mana-mana - kita hanya perlu melemparkannya, bom
itu akan meledak mengeluarkan asap - orang-orang yang kena akan pingsan.
Kemudian aku langsung meniup peluit kecil, dan beberapa orang anak buah Japp
yang pandai-pandai, yang sudah mengawasi rumah itu lama sebelum anak
tadi tiba, dan yang telah berhasil mengikuti kami dengan sembunyi-sembunyi
sampai ke rumah itu, segera berlompatan dan menguasai keadaan."
"Tapi mengapa kau sendiri tak pingsan?"
"Suatu keuntungan lagi. Teman kita Nomor Empat (yang pasti telah mengarang surat
licik itu), masih sempat memperolok-olokkan kumisku. Akibatnya, sangat mudahlah
bagiku menyembunylkan alat pernapasan di bawah lindungan syal kuning itu. "
"Aku ingat," teriakku bersemangat, dan dengan kata-kata 'aku ingat' itu,
bermunculanlah semua rasa takut yang mengerikan, yang untuk sementara tadi telah
kulupakan. Cinderella-Aku tergeletak lagi dengan mengerang.
Pasti aku pingsan lagi beberapa menit. Aku terbangun
mendapatkan Poirot sedang memaksakan brandy ke dalam mulutnya.
"Ada apa, mon ami" Ada apa - ini" Katakan."
Kata demi kata, sambil bergidik, akhirnya berhasil juga kuceritakan padanya.
Poirot memekik. "Sahabatku! Sahabatku! Alangkah banyaknya yang harus
kautanggung! Dan aku tak tahu semuanya itu! Tapi yakinlah!
Semuanya beres!" "Maksudmu, kau akan menemukannya kembali" Tapi dia ada di Amerika Selatan. Dan
sebelum kita tiba di sana - dia sudah lama meninggal - dan hanya Tuhan yang
tahu, bagaimana dan dengan cara mengerikan yang bagaimana pula dia meninggal."
"Tidak, tidak, kau tidak mengerti. Dia aman dan sehat-sehat. Dia tak pernah
berada dalam tangan mereka barang sesaat pun."
"Tapi aku menerima telegram dari Bronsen."
"Tidak. Mungkin kau menerima telegram dari Amerika Selatan yang ditandatangani
dengan nama Bronsen - itu lain sekali soalnya.
Sahabatku, tak pernahkah terbayangkan olehmu bahwa suatu organisasi semacam itu,
yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh
dunia, akan dengan mudah sekali menyerang kita melalui kesayanganmu,
Cinderellamu, yang begitu kaucintai itu?"
"Tapi, tak pernah," sahutku.
"Nah, aku bisa membayangkannya. Aku memang tidak
mengatakan apa-apa padamu, karena aku tak mau membuatmu susah tanpa perlu, tapi
aku telah mengambil langkah-langkah sendiri.
Surat-surat istrimu semuanya seakan-akan ditulis dari tanah peternakan kalian,
padahal sebenarnya, sudah lebih dari tiga bulan ini dia berada di suatu tempat
yang aman, yang telah kuatur."
Aku memandanginya lama-lama.
"Betul?" "Parbleu! Aku tahu betul. Mereka menyiksamu dengan
kebohongan!" Kupalingkan kepalaku, Poirot meletakkan tangannya di pundakku.
Ada yang lain dalam suaranya.
"Aku tahu betul, kau tak suka kalau aku merangkulmu atau mempertontonkan
perasaanku. Aku akan bersikap sebagai orang Inggris tulen. Aku tidak akan
mengatakan apa-apa - sama sekali tidak! Hanya ini saja - bahwa dalam petualangan
yang terakhir ini, semua penghargaan adalah untukmu. Beruntunglah orang yang
punya sahabat seperti yang kumiliki!"
Bab 14 SI RAMBUT KUNING AKU kecewa sekali akan hasil serangan bom Poirot di daerah Cina waktu itu.
Pertama, pemimpin komplotan itu berhasil lolos. Waktu anak buah Japp berlari
masuk, setelah mendengar tiupan peluit Poirot, mereka menemukan empat orang Cina
yang pingsan di lorong rumah. Tetapi laki-laki yang telah mengancamku dengan
kematian, tak ada di antara mereka. Setelah itu aku baru ingat
bahwa, waktu aku dipaksa keluar ke pintu depan untuk menjadi umpan supaya Poirot
mau masuk ke dalam rumah, laki-laki itu selalu menyembunylkan dirinya dengan
baik di baglan belakang. Oleh karenanya dia berada di luar daerah bahaya bom
itu, dan segera melarikan diri melalui salah satu dari sejumlah jalan keluar
yang kemudian kami temukan.
Dari keempat orang yang ada dalam tangan kami, kami tak bisa mendapatkan
keterangan apa-apa. Penyelidikan yang sempurna oleh polisi pun, tak bisa
memberikan titik terang untuk menghubungkan mereka dengan Empat Besar. Mereka
itu penduduk biasa kelas rendahan di daerah itu. Mereka sama sekali tidak
mengenal Li Chang Yen. Seorang pria Cina telah menggaji mereka untuk menjadi
pelayan di rumah tepi sungai itu. Mereka tak tahu apa-apa mengenai urusan-urusan
pribadi orang itu. Esok harinya aku sudah benar-benar sembuh dari akibat bom gas Poirot itu,
kecuali sakit kepala sedikit. Kami pergi ke daerah Cina dan memeriksa rumah
tempat aku dibebaskan itu. Di tanah pekarangan itu terdapat dua buah rumah
bobrok, yang digabungkan menjadi satu oleh lorong bawah tanah. Baik di lantai-
lantai bawah, maupun di lantai-lantai atas rumah-rumah itu, tak ada perabotnya.
Sedang jendela-jendelanya yang sudah rusak ditutup kerai yang sudah rusak pula.
Japp telah menggerayang sampai ke gudang di bawah tanah,.
dan menemukan pintu rahasia yang menuju ruang tempat aku selama setengah jam
mengalami pengalaman pahit. Setelah diselidiki lebih teliti, ternyata kesanku
mengenai tempat itu pada waktu itu, memang benar. Sutra-sutra yang bergantungan
di dinding dan di sofa, serta permadani-permadani yang ada di lantai, aku hanya
tahu sedikit mengenal kesenian Cina, aku bisa menilai bahwa semua barang yang
ada di dalam kamar itu sempurna mutunya.
Dengan bantuan Japp dan beberapa orang anak buahnya, kami mengadakan pemeriksaan
menyeluruh di apartemen itu. Aku menyimpan harapan besar bahwa kami Aan
menemukan dokumenclokumen yang penting, atau catatan-catatan dengan tulisan rahasia
mengenal rencana-rencana mereka. Tetapi kami tidak menemukan apa-apa. Satu-
satunya kertas yang kami temukan di situ
adalah catatan yang dipelajari orang Cina itu waktu dia sedang mendiktekan surat
untuk Poirot. Kertas-kertas itu terdiri dari catatan-catatan yang lengkap sekali
mengenal karier-karier kami, penilaian-penilalan mengenal watak kami dan
kelemahan-kelemahan kami, serta saran-saran mengenai cara yang terbaik untuk
menyerang kami melalui kelemahan-kelemahan itu.
Bukan main senangnya Poirot menemukan kertas-kertas itu.
Kekanak-kanakan. Aku pribadi, tak bisa melihat apa nilainya. Lebih-lebih, karena
siapa pun yang telah menyusun catatan itu telah membuat kesalahan yang
menggelikan dalam beberapa hal. Hal itu kukatakan pada sahabatku setelah kami
kembali ke rumah. "Poirot yang baik," kataku, "sekarang kau tahu bagaimana pendapat musuh mengenai
diri kita. Agaknya mereka mempunyai gagasan yang, benar-benar berlebihan
mengenai kemampuan otakmu, dan dengan cara yang memalukan sekali, meremehkan
otakku. Tapi aku tidak mengerti apa manfaatnya bagi kita untuk mengetahui hal
itu." Poirot tertawa kecil dengan agak mengejek.
"Kau tak memahaminya, Hastings" Sekarang kita bisa
mempersiapkan diri terhadap beberapa metode serangan mereka, setelah kita tahu
tentang sebagian dari kelemahan-kelemahan kita sendiri. Umpamanya, Sahabatku,
kita sekarang tahu bahwa kau harus berpikir baik-baik dahulu sebelum bertindak.
Lagi pula, bila kau bertemu dengan wanita muda berambut merah yang berada dalam
kesulitan, hendaknya kau memandangnya dengan rasa curiga."
Catatan-catatan mercka berisi tentang beberapa hal yang memalukan mengenal apa
yang mereka sebut kelemahan naluriahku.
Dicantumkan di situ bahwa aku mudah terpengaruh oleh daya tarik wanita-wanita
muda yang punya rambut dengan warna tertentu. Aku merasa bahwa pernyataan Poirot
itu sangat tidak pada tempatnya, tapi untunglah aku bisa membalasnya.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanyaku. "Apakah kau akan
mencoba menyembuhkan 'sifatmu yang suka memuji diri itu" Juga
'keapikanmu yang tak ada duanya' itu?"
Aku mencelanya dan aku bisa melihat bahwa dia tak senang dengan kata-kata itu.
"Ah, Hastings, dalam beberapa hal jelas mereka telah menipu diri -
dan hal itu malah lebih baik! Akan tiba waktunya mereka tahu. Dan sementara itu
kita sudah tahu sesuatu. Mengetahui sesuatu berarti mempersiapkan diri."
Kata-kata yang terakhir itu telah menjadi ungkapan kegemarannya akhir-akhir ini,


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian gemarnya sehingga aku jadi benci.
"Kita sudah tahu sesuatu, Hastings," sambungnya. "Ya, kita sudah tahu sesuatu -
dan itu bagus - tapi belum cukup yang kita ketahui itu.
Kita harus tahu lebih banyak."
"Dengan cara bagaimana?"
Poirot menyandarkan dirinya, diluruskannya letak korek api yang tadi kulemparkan
sembarangan saja ke atas meja. Dia duduk dengan sikap yang sudah sangat kukenal.
Aku melihat bahwa dia sudah siap untuk berbicara paniang-lebar.
"Begini, Hastings, kita harus siap melawan empat orang musuh, artinya melawan
empat macam kepribadian yang berbeda-beda.
Dengan Nomor Satu kita belum pernah berhubungan secara pribadi -
kita hanya mengenalnya melalui besarnya pengaruh pikirannya - dan sambil lalu,
Hastings, akan kukatakan padamu bahwa aku mulai sangat mengenal pikiran itu -
sangat licik dan ketimuran. Setiap rencana dan langkah yang kita jumpai, berasal
dari otak Li Chang Yen. Nomor Dua dan Nomor Tiga, begitu besar kuasanya, begitu
tinggi kedudukannya, hingga pada saat ini mereka kebal terhadap serangan-
serangan kita. Namun demikian, yang menjadi
perlindungan mereka, secara kebetulan sekali, merupakan perlindungan kita pula.
Demikian banyaknya mereka berada dalam sorotan hingga gerak-gerik mereka harus
diatur dengan cermat sekali. Sekarang tibalah kita pada nomor yang terakhir dari
komplotan itu - kita tiba pada orang yang dikenal sebagai Nomor Empat."
Suara Poirot agak berubah, suatu hal yang selalu terjadi bila dia sedang
membahas pribadi yang satu ini.
"Nomor Dua dan Nomor Tiga bisa berhasil menjalankan segala kegiatan mereka tanpa
terancam bahaya, berkat kebengisan mereka yang termasyhur dan kedudukan mereka
yang sudah kokoh. Nomor Empat berhasil, dengan alasan sebaliknya - dia berhasil
karena sulitnya dia dikenall orang. Siapa dia" Tak seorang pun tahu. Seperti apa
dia" Lagi-lagi tak seorang pun yang tahu. Berapa kali kita melihatnya, kau dan
aku" Lima kali, bukan" Dan bisakah salah seorang di antara kita secara jujur
mengatakan bahwa kita akan bisa mengenalinya kembali?"
Aku terpaksa menggeleng, sambil mengingat-ingat kembali, lima orang yang
berbeda-beda yang, meskipun kedengarannya sangat tak masuk akal, adalah orang
yang itu-itu Juga. Petugas Rumah Sakit jiwa yang tegap itu, laki-laki di Paris
yang memakal mantel terkancing sampai ke dagu, James si pelayan, dokter muda
yang sopan santun dalam perkara Melati Kuning, serta profesor Rusia itu. Tak
pernah sekali pun ada dua di antara orang-orang itu yang serupa.
"Tidak," kataku dengan putus asa. "Tak ada yang bisa menjadi pegangan kita."
Poirot tersenyum. "Kuminta padamu supaya tidak terlalu berputus asa. Kita sudah tahu satu atau dua
hal." "Apa itu?" tanyaku dengan tak percaya.
"Kita tahu bahwa tinggi badannya sedang-sedang saja, dan warna kulit dan rambut
sedang atau agak pirang. Bila dia jangkung, dan rambut serta matanya hitam, dia
tidak akan bisa menyamar menjadi dokter kekar yang berambut pirang itu. Tentu
saja mudah sekali menambahkan satu dua senti untuk bisa berperan sebagai james,
atau profesor. Lalu, dia tentu berhidung pendek dan lurus. Dengan rias muka oleh
seorang ahli, hidung bisa diberl beberapa tambahan, sedang hidung yang besar,
tidak akan bisa dijadikan kecil dalam waktu singkat. Kemudian pula, dia tentu
masih agak muda, tak lebih
dari tiga puluh lima tahun. Kaulihat, kita sudah mulai ada kemajuan.
Seorang laki-laki yang berumur antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun, yang
tinggi badannya cukupan, warna rambutnya sedang pirangnya, dan mudah diubah-ubah
dengan seni rias muka, juga yang giginya hanya ada beberapa buah atau mungkin
sama sekali tak ada. "Apa?" "Jelas, Hastings. Sebagai pengawas Rumah Sakit jiwa waktu itu, giginya rusak dan
buruk warnanya, waktu di Paris, giginya rata dan putih, sebagai dokter agak
menonjol ke depan, sedang sebagai Savaronoff, mempunyal taring yang panjang
sekali. Tak ada yang lebih mampu mengubah wajah demikian sempurnanya, selain
susunan gigi. Kaulihatkah ke mana semuanya ini menuntun kita?"
"Belum," kataku dengan berhati-hati.
"Kata orang pekerjaan seseorang terlukis pada wajahnya.
"Dia itu penjahat," teriakku.
"Dia ahli dalam seni rias muka."
"Sama saja." "Itu pernyataan yang terlalu luas, Hastings, dan yang hampir-hampir tak bisa
dihargai dalam dunia teater. Tidakkah engkau lihat bahwa orang itu adalah, atau
sekurang-kurangnya pernah menjadi aktor?"
"Aktor?" "Tentu saja. Dia sangat menguasai semua teknik bersandiwara.
Ada dua golongan aktor, yaitu yang membenamkan dirinya dalam perannya, dan yang
berusaha untuk menggambarkan pribadinya sendiri ke dalam perannya itu. Dari
golongan yang kedua inilah biasanya muncul manager bagi aktor-aktor. Mereka
menerima suatu peran, lalu menyatukannya ke dalam pribadinya sendiri. Golongan
yang pertama mungkin sekali bisa memerankan orang-orang terkemuka dari satu
gedung musik ke gedung musik lain, atau memerankan orang tua berjenggot dalam
sandiwara musik. Kita harus mencari teman kita Nomor Empat itu di antara seniman golongan yang pertama
itu. Dia adalah seniman luar biasa, yang membenamkan dirinya dalam setiap peran
yang dimainkannya. Aku makin merasa tertarik.
"Jadi kaupikir kau dapat menelusuri identitasnya melalui hubungannya dengan
pentas?" "Jalan pikiranmu selalu cemerlang, Hastings."
"Sebenarnya akan lebih baik," kataku dingin, "kalau dulu-dulu engkau mendapatkan
gagasan itu. Kita sudah kehilangan banyak waktu."
"Kau keliru, mon ami. Tidak ada waktu yang terbuang, yang telah terjadi memang
tak terhindarkan. Sudah beberapa bulan ini, kaki-tanganku kutugaskan untuk itu.
Joseph Aarons salah seorang di antaranya. Ingat kau padanya" Mereka telah
menyusun suatu daftar untukku, daftar nama orang-orang yang memenuhi cirl-ciri
jasmaniah tertentu - orang-orang muda yang berumur sekitar tiga puluhan, yang
penampilannya tidak begitu menonjol, dan yang punya bakat untuk memainkan peran-
peran berwatak - terutama orang-orang yang sudah meninggalkan pentas sama
sekali, selama tiga tahun terakhir ini."
"Lalu?" tanyaku dengan penuh perhatian.
"Daftar itu panjang sekali; itu memang perlu. Sudah beberapa lama ini kami sibuk
menyaring nama-nama itu. Dan akhirnya, semuanya itu sudah kami peras menjadi
tinggal empat nama saja. Inilah nama-nama itu, Sahabatku."
Dilemparkannya padaku sehelai kertas. Kubaca isinya dengan nyaring.
"Ernest Luttrell. Putra- seorang pendeta di North Country. Selalu tak beres
moralnya. Pernah dikeluarkan dari sekolah. Naik pentas waktu berumur dua puluh
tiga tahun. (Kemudian tercantum daftar peran-peran yang telah dimainkannya,
lengkap dengan tanggal dan
tempatnya.) Pencandu obat bius. Diduga telah pergi ke Australia empat tahun
yang lalu. Tak dapat ditelusuri lagi setelah meninggalkan Inggris.
Umur tiga puluh dua tahun, tinggi badanya 176 cm, muka bercukur bersih, rambut
coklat, hidung lurus, warna kulit muka putih, mata kelabu.
John St. Maur. Nama samaran. Nama sebenarnya tak diketahul.
Kemungkinan keturunan London asli. Naik pentas waktu masih kanak-kanak. Main
sandiwara musik. Tak pernah didengar lagi selama tiga tahun. Umur kira-kira tiga
puluh tiga tahun, tinggi badan 1,75 cm, bertubuh langsing, mata biru, warna
kulit putih. Austen Lec. Nama samaran. Nama sebenarnya 'Austen Foly,' dari keluarga baik-
baik. Sejak dulu punya selera untuk main sandiwara, dan di Universitas Oxford
pun menonjol dalam hal itu. Punya nama baik dalam masa perang. Berperan dalam
(Menyusul daftar seperti biasanya. Meliputi banyak sandiwara muslk). Sangat
tertarik pada kriminologi. Pernah mengalami kerusakan syaraf akibat kecelakaan
mobil tiga setengah tahun yang lalu. Sejak itu tak pernah lagi muncul di pentas.
Tak ada petunjuk di mana dia sekarang berada. Umur tiga puluh Ilma tahun, tinggi
badan 173 cm, warna kulit muka, putih, mata biru, rambut coklat.
Claud Darrell. Diduga nama sebenarnya. Asal usulnya misterius.
Main di gedung-gedung musik, juga dalam sandiwara musik. Agaknya tak punya
sahabat karlb. Berada di Cina dalam tahun 1919. (Buku ini diterbitkan pertama
kali pada tahun 1927.) Kembali melalui Amerika.
Memainkan beberapa peran di New York. Pada suatu malam tak muncul di pentas, dan
sejak itu tak pernah lagi terdengar beritanya.
Menurut polisi New York, hilangnya sangat misterius. Umurnya kira-kira tiga
puluh tiga tahun, warna rambut coklat, kulit muka putih, mata kelabu. Tinggi
badan 176 cm. "Menarik sekali," kataku, sambil meletakkan kertas itu. "Jadi itulah hasil
penyelidikan selama berbulan-bulan" Empat nama itu" Yang mana yang cenderung
kaucurigai?" Poirot membuat gerakan yang sangat bergaya.
"Mon ami, untuk sementara, itu pertanyaan yang belum bisa dijawab. Aku hanya mau
menunjukkan padamu, bahwa Claud Darrell pernah berada di negeri Cina dan di
Amerika - suatu kenyataan yang mungkin bisa memberikan suatu petunjuk. Namun
kita tak boleh membiarkan diri - kita sampai berprasangka gara-gara soal itu.
Mungkin itu hanya suatu kebetulan.
"Lalu langkah berikutnya?" tanyaku dengan bersemangat.
"Kegiatan-kegiatan sudah mulai berjalan. Setiap hari akan muncul iklan dengan
kata-kata yang terpilih cermat. Sahabat-sahabat dan sanak saudara mereka, atau
siapa saja, diminta untuk menghubungi pengacaraku di kantornya. Bahkan harl ini
pun, mungkin kita - aha, telepon! Mungkin juga, seperti biasanya, orang salah
sambung, dan mereka akan menyesal karena telah menyusahkan kita, tapi mungkin
juga, - ya, mungkin juga - telah muncul seseorang."
Aku pergi ke seberang kamar lalu mengangkat gagang telepon.
"Ya, benar, kediaman Tuan Poirot. Benar, Kapten Hastings yang berbicara. Oh,
Anda, Tuan McNell! (McNell dan Hodgson adalah pengacara-pengacara Poirot). Akan
saya sampaikan padanya. Ya, kami segera datang. "
Kuletakkan gagang telepon itu, lalu berpaling pada Poirot. Mataku berapi-api
karena kegirangan. "Dengar, Poirot, ada seorang wanita di sana.
Teman Claud Darrell. Nona Flossie Monro. McNell memintamu ke sana.
"Sekarang juga!" pekik Poirot, sambil berlari ke kamar tidurnya dan muncul
kembali dengan topinya. Dengan taksi kami mencapal tempat tujuan. Kami diantar
masuk ke kamar pribadi Tuan McNell. Di sebuah kursi yang menghadap pengacara
itu, duduk seorang wanita yang tampak agak murung. Dia sudah tidak terlalu muda
lagi. Rambutnya kuning sekali, lebat dan keriting dan menutupi kedua belah telinganya.
Kelopak matanya dicat hitam sekali, dia sama sekali tak lupa memerahi pipimya
dan mencat bibirnya. "Nah, ini Tuan Poirot!" kata McNeil. "Poirot, ini Nona ee - Monro, yang telah
berbaik hati datang untuk memberl kita informasi."
"Oh, bagus sekali!" seru Poirot.
Dia melangkah maju dengan bersemangat, lalu bersalaman hangat dengan wanita itu.
"Mademoiselle, Anda bagaikan sekuntum bunga mekar dalam kantor yang gersang
berdebu lnl," katanya, tanpa menimbang perasaan McNell.
Rayuan gombal itu bukannya tanpa hasil. Wajah Nona Monro memerah, dan dia
tersenyum dibuat-buat. "Ah, sudahlah, Tuan Poirot! " serunya. "Saya tahu bagaimana kaum pria Prancis
seperti Anda." "Mademoiselle, kami tidak mau membisu seperti orang Inggris kalau menghadapi
kecantikan. Bukan karena saya orang Prancis -
saya orang BeIgia." "Saya sendiri pernah pergi ke Ostend," kata Nona Monro.
Pokoknya semua berjalan tancar, demikian pasti istilah Poirot.
"Jadi Anda bisa menceritakan pada kami tentang Claud Darrell?"
sambung Poirot. "Saya pernah kenal Darrell," wanita itu menjelaskan. "Dan saya kebetulan melihat
iklan Anda, waktu saya sedang keluar dari sebuah toko. Karena saya bebas
bergerak, saya berkata pada diri saya sendiri, 'Nah, mereka ingin tahu tentang
Claudle yang malang - apalagi mereka pengacara - mungkin ini berhubungan dengan kekayaan, mungkin
mereka sedang mencari ahli warisnya. Sebaiknya aku segera ke sana."
McNell bangkit. "Nah, Poirot, sebaiknya saya tinggalkan saja Anda untuk bercakap-cakap dengan
Nona Monro, kan?" "Anda baik sekali. Tetap sajalah di sini - saya mendapat suatu gagasan. Waktu
makan siang sudah tiba. Barangkall Mademoiselle mau memberi saya kehormatan
untuk ikut-serta makan siang dengan saya?"
Mata Nona Monro tampak berbinar-binar. Aku mendapatkan kesan bahwa wanita itu
sedang tak punya uang, dan bahwa kesempatan untuk makan dengan sempurna, tentu
tidak akan ditolaknya. Beberapa menit kemudian, kami semua naik taksi, menuju ke salah satu restoran
termahal di London. Begitu tiba di sana Poirot memesan makanan yang enak-enak sekali, kemudian
berpaling pada tamunya. "Dan anggurnya, Mademoiselle" Bagaimana kalau sampanye?"
Nona Monro tidak berkata apa-apa, tetapi dalam kediamannya itu dia seolah-olah
mengatakan segala-galanya.
Makan siang itu dimulai dengan menyenangkan. Poirot tak pernah lengah mengisi
gelas wanita itu kembali, berulang kali, dan berangsur-angsur mendekati bahan
pembicaraan yang ditujunya.
"Kasihan Tuan Darrel. Sayang dia tidak bersama kita. "
"Memang," desah Nona Monro. "Kasihan dia, saya ingin tahu apa -
yang telah terjadi atas dirinya.
"Sudah lamakah Anda tak bertemu dengan dia?"
"Oh, sudah lama sekali - sudah sejak perang. Dia orang yang lucu, si Claudie
itu. Sangat tertutup, tak mau menceritakan apa-apa tentang dirinya. Tapi itu
tentu memang wajar, kalau dia memang seorang ahli waris yang hilang. Apakah
warisan itu berupa gelar, Tuan Poirot?"
"Ah, sayang, hanya warisan biasa," kata Poirot, tanpa kenal malu.
"Tapi ini mungkin berhubungan dengan soal identifikasi. Sebab itu perlu sekali
kami menemukan seseorang yang kenal betul dengannya, kan Mademoiselle?"
"Saya tak keberatan menceritakannya pada Anda, Tuan Poirot.
Anda pria terhormat. Anda tahu bagaimana memesan makanan untuk wanita - tidak
seperti anak-anak muda zaman sekarang yang tak berguna itu. Mereka itu benar-
benar kikir. Seperti saya katakan tadi, sebagai seorang Prancis Anda pasti tidak
akan terkejut. Ah, kalian laki-laki Prancis! Nakal, benar-benar nakal!" Dia
menggoyang-goyangkan telunjuknya ke arah Poirot dengan sangat riang. "Nah, saya
dan Claudle - yah, dua orang anak muda - apa lagi yang bisa diharapkan" Sampai
sekarang pun, saya masih menaruh perasaan terhadapnya. Meskipun dia sebenarnya
tidak memperlakukan saya dengan baik - ya, sama sekati tidak baik - dia
memperlakukan saya dengan buruk sekali. Tidak sebagaimana pantasnya seorang
wanita harus diperlakukan. Mereka itu semuanya sama saja kalau sudah sampai pada
uang." "Jangan, jangan berkata be,gitu, Mademoiselle, protes Poirot sambil mengisi
gelas wanita itu sekali lagi. "Bagaimana kalau sekarang Anda lukiskan Darell
ltu?" "Dia sama sekali tak tampan," renung Flossie Monro. "Tidak tinggi dan tidak pula
pendek, tapi cukup berisi. Dia selalu apik. Matanya kelabu agak kebiruan. Dan
saya rasa, rambutnya agak pirang. Tapi dia seniman sejati! Saya tak pernah
melihat seorang pun yang bisa mendekati kemampuan profesinya ituf Sekarang dia
pasti sudah menjadi seniman yang punya nama, kalau saja bukan gara-gara rasa
iri. Aduh, Tuan Poirot - rasa iri - Pasti Anda tidak percaya, pasti tidak.
Betapa kami kaum seniman harus menderita gara-gara rasa iri itu.
Ah, saya ingat pada suatu kali di Manchester -"
Kami menunjukkan kesabaran sebisa-bisanya waktu
mendengarkan cerita panjang lebar yang rumit, mengenai suatu pantomim dan
kelakuan buruk orang yang jadi pokok
pembicaraannya. Kemudian, perlahan-lahan, Poirot menuntunnya kembali pada pokok
pembicaraan mengenai Claud Darrell.
"Menarik sekali, semuanya yang bisa Anda ceritakan tentang Darrell,
Mademoiselle. Kaum wanita memang pengamat yang paling baik - mereka bisa melihat segala-galanya,
mereka bisa melihat sampai hal-hal kecil yang tak tampak oleh laki-laki biasa.
Saya pernah melihat seorang wanita yang mampu mengenali seorang laki-laki dari
dua belas orang lainnya -
dan bagaimana dia bisa, menurut Anda" Berdasarkan


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengamatannya, laki-laki itu mempunyai kebiasaan mengusap hidungnya, bila dia
sedang kacau. Nah, apakah laki-laki bisa melihat hal-hal semacam itu?"
"Luar biasa!" seru Nona Monro. "Tapi saya rasa kami memang bisa melihat hal-hal
tertentu. Saya jadi ingat, ya, saya ingat sesuatu tentang Claudie. Dia suka
mempermainkan rotinya kalau sedang makan. Dijepitnya sepotong kecil dengan dua
jari, lalu diketuk-ketukkan, baru ia punguti remah-remahnya. Saya melihatnya
melakukan hal itu beratur-ratus kali. Ah, saya akan bisa mengenalinya kembali di
mana pun juga, karena kebiasaannya itu."
"Benar kan apa yang saya katakan?" Pengamatan yang luar biasa dari seorang
wanita. Lalu pernahkah Anda membicarakan
kebiasaannya itu dengan dia, Mademoiselle?"
"Tidak, tak pernah, Anda tahu bagaimana kaum pria, kan" Mereka tak suka kalau
ada orang melihat sesuatu tentang dirinya - terutama bila kita kelihatannya akan
menceritakannya pada orang lain. Saya sama sekali tak pernah mengatakan apa-apa
- tapi saya sering kali tersenyum sendiri. Sungguh mati, dia sama sekali tidak
menyadari perbuatannya itu. "
Poirot mengangguk lembut. Kulihat tangannya agak gemetar, waktu dia
mengulurkannya untuk mengambil gelasnya.
"Kemudian ada pula tulisan tangan sebagai alat untuk menentukan identitas orang,
" kata Poirot lagi. "Anda pasti ada menyimpan surat yang ditulis oleh Darrell,
ya?" Flossie Monro menggeleng dengan menyesal.
"Dia bukan orang yang suka menulis. Selama hidupnya, sekali pun tak pernah dia
menulis surat pada saya. "Sayang sekali," kata Poirot.
"Tapi coba dengar," kata Nona Monro. "Saya punya fotonya, kalau memang ada
gunanya." "Anda punya fotonya?"
Poirot hampir saja melompat dari tempat duduknya, kegirangan.
"Foto itu sudah tua - sekurang-kurangnya sudah delapan tahun umurnya. "
"Tidak apa-apa! Tak peduli betapapun tua dan usangnya! Ah, ma foi, benar-benar
mujur! Maukah Anda mengizinkan saya melihatnya, Mademoiselle?"
"Ya, tentu saja."
"Barangkali Anda bahkan mau mengizinkan saya mencetak ulang foto itu. Itu tidak
akan memakan waktu lama. "
"Boleh saja, kalau Anda mau."
Nona Monro bangkit. "Nah, saya harus buru-buru pergi, " katanya ceria.
"Senang sekali sudah bertemu dengan Anda dan sahabat Anda, Tuan Poirot."
"Lalu foto itu" Kapan saya boleh menerimanya?"
"Malam ini akan saya cari dulu. Saya rasa saya tahu tempatnya.
Lalu akan saya kirimkan segera pada Anda.
"Beribu-ribu terima kasih, Mademoiselle. Anda-lah orang yang paling baik hati.
Mudah-mudahan kita akan bisa mengatur untuk makan siang bersama lagi, dalam
waktu dekat. " "Secepat mungkin, kapan saja Anda suka," kata Nona Monro.
"Saya bersedia."
"Coba saya ingat-Ingat dulu. Saya rasa saya tak punya alamat Anda?"
Dengan bergaya, Nona Monro mengeluarkan sehelai kartu dari tasnya, lalu
menyerahkannya pada Poirot. Kartu itu sudah agak
lusuh, dan alamatnya yang asli sudah dicoret dan diganti dengan tulisan pensil.
Kemudian setelah Poirot berulang kali membungkuk dengan penuh gaya, kami
mengucapkan selamat berpisah pada wanita itu, lalu pergi.
"Apakah kaupikir foto ini benar-benar penting?" tanyaku pada Poirot.
"Ya, mon ami, kamera tak bisa berbohong. Foto itu bisa kita besarkan, dan dengan
demikian kita bisa melihat bagian-bagian yang menonjol. Lagi pula, ada beribu-
ribu bagian kecil - seperti bentuk telinganya, yang tak bisa dilukiskan dengan
kata-kata. Oh, ini benar-benar kesempatan besar bagi kita! Sebab itu kita harus
sangat berhati-hati."
Setelah selesai berbicara, dia menyeberang ke tempat telepon, dan pada petugas
penjaga dia menyebutkan nomor, yang sepanjang ingatanku adalah nomor telepon
suatu kantor detektif pribadi, yang kadang-kadang diberinya tugas. Instruksi-
instruksi yang diberikannya jelas dan pasti. Dua orang harus pergi ke suatu
alamat yang diberikannya, dan secara umum mereka harus mengawasi
keselamatan Nona Monro. Mereka harus mengikuti ke mana pun dia pergi.
Poirot menggantungkan kembali gagang telepon, lalu kembali ke tempatnya semula.
"Apakah kaupikir itu betul-betul perlu, Poirot?" tanyaku.
"Mungkin saja. Tak bisa diragukan lagi, kita pasti diawasi, kau dan aku. Oleh
karenanya mereka akan segera tahu dengan siapa kita makan siang hari ini. Dan
Nomor Empat mungkin lalu mencium adanya bahaya. "
Kira-kira dua puluh menit kemudian, telepon berdering. Kuangkat gagang telepon
itu. Suatu suara berbicara dengan tegas.
"Apakah di situ Tuan Poirot" Di sini Rumah Sakit St. James.
Sepuluh menit yang lalu, seorang wanita muda dibawa kemari. Dia
mengalami kecelakaan di jalan. Nona Flossie Monro. Dia mendesak minta berbicara
dengan Tuan Poirot. Tapi dia harus segera datang.
Wanita itu tidak akan bisa bertahan lama."
Kusampaikan kata-kata itu pada Poirot. Wajahnya menjadi pucat pasi.
"Cepat, Hastings. Kita harus pergi secepat kilat."
Sebuah taksi melarikan kami ke rumah sakit, dalam waktu kurang dari sepuluh
menit. Kami minta bertemu dengan Nona Monro, dan segera diantarkan ke Bangsal
Kecelakaan. Tetapi seorang suster bertopi putih, menemui kami di pintu.
Poirot membaca berita buruk di wajahnya.
"Sudah terlambat?"
"Dia meninggal enam menit yang lalu."
Poirot berdiri mematung. Juru rawat, yang salah menafsirkan perasaan Poirot itu, berbicara dengan lembut.
"Dia tidak menderita, dan menjelang saat-saat terakhirnya dia tidak sadar. Dia
digilas mobil dan pengemudi mobil itu bahkan sama sekali tak berhenti. Kejam
sekali, bukan" Mudah-mudahan saja ada orang yang mencatat nomornya."
"Nasib baik tidak menyertai kita," kata Poirot berbisik.
"Apakah Anda ingin melihatnya?"
Juru rawat itu berjalan mendahului kami, dan kami menyusulnya.
Flossie Monro yang malang, dengan pemerah pipi dan rambutnya yang dicat. Dia
terbaring begitu tenang, dengan seulas senyum kecil, di bibirnya.
"Ya, " gumam Poirot. "Nasib baik tidak menyertai kita - tapi apakah benar itu
nasib?" Poirot mengangkat kepala seolah-olah tiba-tiba mendapat gagasan. "Apakah
itu memang nasib, Hastings" Kalau bukan - kalau bukan... oh, aku bersumpah
padamu, Sahabatku, dengan berdiri di sisi jenazah wanita malang ini, aku bersumpah tidak akan kenal
ampun, bila tiba saatnya!"
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Tetapi Poirot sudah berpaling pada juru rawat, dan meminta informasinya dengan
penuh semangat. Akhirnya diberikan kepadanya suatu daftar barang-barang yang
ditemukan di dalam tasnya. Poirot mengeluarkan seruan tertahan setelah membaca
daftar itu. "Kaulihat, Hastings, kaulihat?"
"Lihat apa?" "Di sini tak dituliskan ada kunci pintu. Padahal seharusnya dia membawa kunci
pintu. Dia telah ditabrak dengan sengaja dan orang pertama yang membungkuk di
dekatnya, telah mengambil anak kunci itu dari tasnya. Tapi mungkin kita masih
punya waktu. Mungkin dia belum bisa segera menemukan apa yang dicarinya."
Dengan naik taksi lagi kami pergi ke alamat yang diberikan Flossie Monro, berupa
blok bangunan kotor, di daerah yang tak sehat.
Setelah beberapa lama, barulah kami dlizinkan masuk ke flat Nona Monro.
Sekurang-kurangnya kami boleh merasa senang karena tak seorang pun bisa
meninggalkan bangunan itu, sementara kami masih berada di luar. Akhirnya kami
masuk. Jelas kelihatan ada yang telah mendahului kami. Isi lemari dan laci
berserakan di lantai. Apa-apa yang terkunci telah dibuka dengan paksa, bahkan
meja-meja kecil pun telah dijungkirbalikkan demikiin terburu-burunya orang yang
mencari itu. Poirot mulai memeriksa di antara barang-barang yang berserakan itu. Tiba-tiba
dia berdiri tegak dengan suatu pekikan, sambil mengulurkan sesuatu. Benda itu
adalah sebuah bingkai foto model lama kosong.
Perlahan-lahan dibalikkannya bingkai foto itu. Di bagian belakangnya tertempel
sebuah label kecil yang bulat - sebuah label harga.
"Bingkai ini berharga empat shilling," kataku.
"Tuhanku! Hastings, gunakan matamu. Label ini masih baru dan bersih. Label ini
dipasang di situ oleh orang yang mengeluarkan foto itu, orang yang telah berada
di sini sebelum kita. Dia tahu bahwa kita pasti akan datang, dan dia
meninggalkan ini untuk kita, Claud Darrell
- atau Nomor Empat."
Bab 15 BENCANA YANG MENGERIKAN SETELAH kematian Nona Flossie Monro yang menyedihkan itu, aku mulai melihat
perubahan pada diri Poirot. Sampai saat ini, rasa percaya dirinya selalu tahan
uji. Tetapi akhirnya tampak ketegangan yang berkepanjangan mulai menunjukkan
akibat-akibatnya. Sikapnya tenang tetapi murung, dan tegang. Akhir-akhir ini dia
mudah sekali terkejut, seperti kucing- saja. Dia selalu menghindari pembicaraan
tentang Empat Besar sejauh mungkin. Kelihatannya dia benamkan dirinya ke dalam
pekerjaannya yang biasa dengan semangatnya yang dulu juga. Namun demikian aku
tahu, diam-diam dia masih aktif dalam perkara besar itu. Orang-orang dari suku
Slavia yang kelihatan aneh-aneh, sering datang mengunjunginya. Meskipun dia tak
mau memberikan keterangan mengenal kegiatan-kegiatan misterius itu, aku tahu
betul dia sedang membangun suatu pertahanan atau senjata perlawanan baru, dengan
bantuan orang-orang asing yang tampak agak mengerikan itu. Suatu kali, kebetulan
sekali aku berkesempatan melihat-lihat buku simpanannya di bank - dia memintaku
untuk mencek suatu hal yang sepele - kulihat pembayaran sejumlah besar uang -
bahkan bagi Poirot yang sekarang sedang panen uang pun, itu jumlah yang besar
sekali. Uang itu telah dibayarkan kepada seorang Rusia yang namanya seolah-olah
terdiri dari semua huruf dalam abjad. Namun dia tetap tidak mau memberikan
petunjuk mengenai cara kerja yang sedang
direncanakannya. Hanya, ada satu kalimat yang diucapkannya berulang kali; "Salah
besar kalau kita meremehkan musuh. Ingat itu,
mon ami." Dan aku tahu bahwa itulah lubang kesalahan yang dengan sekuat tenaga
sedang dihindarinya. Demikianlah peristiwa demi peristiwa berlalu sampai akhir bulan Maret. Pada
suatu pagi, Poirot mengeluarkan pernyataan yang membuatku sangat terkejut.
"Pagi ini, Sahabatku, kuanjurkan supaya engkau mengenakan pakaian yang terbaik.
Kita akan mengunjungi Sekretaris Negara."
"Sungguh" Asyik sekali. Apa dia memintamu untuk menangani perkara baru?"
"Bukan begitu. Akulah yang telah meminta waktu untuk bertemu.
Mungkin kau ingat aku pernah berkata bahwa aku pernah
memberikan jasa kecil padanya" Akibatnya, dia mengagung-agungkan kemampuanku
secara berlebihan, dan sekarang aku akan meminta imbalan jasaku itu. Seperti
kauketahui, perdana menterl Prancis, Desiardeaux, sekarang ini sedang berada di
London. Atas permintaanku, Sekretaris Negara telah mengatur supaya beliau itu
hadir pula dalam pertemuan kecil kita pagi ini."
Sekretaris negara Inggris, Yang Mulia Sydney Crowther, adalah seorang tokoh yang
populer dan terkenal. Beliau seorang pria berumur kira-kira lima puluh tahun.
Air mukanya cerdas jenaka dan matanya tajam berwarna kelabu. Beliau menyambut
kami dengan ramah-tamah dan menyenangkan, salah satu sifat utamanya yang
terkenal. Seorang pria yang kurus dan tinggi, berjenggot hitam lancip, dan beroman muka
peka, sedang berdiri membelakangi perapian.
"M. Desjardeaux," kata Crowther, "Izinkan saya memperkenalkan Hercule Poirot,
yang mungkin sudah pernah Anda dengar."
Orang Prancis itu membungkuk lalu mereka bersalaman.
"Memang saya sudah banyak mendengar tentang Hercule Poirot,"
katanya dengan cara yang menyenangkan. "Siapa yang belum?"
"Anda terlalu baik, Yang Mulia," kata Poirot, sambil membungkuk, tetapi waiahnya
memerah karena senang. "Bagaimana dengan sapaan untuk teman lama?" tanya suatu suara yang tenang, lalu
muncullah seorang laki-laki dari sudut dekat sebuah rak buku yang tinggi..
Dia kenalan lama kami, Ingles.
Poirot menyalami orang itu dengan hangat.
"Nah, sekarang, Poirot," kata Crowther, "kami siap membantu Anda. Bukankah Anda
mengatakan, Anda ingin menghubungi kami untuk suatu urusan yang penting sekali."
"Memang benar, Yang Mulia. Di dunia sekarang ini ada suatu organisasi besar -
suatu organisasi kejahatan. Organisasi itu dipimpin oleh empat pribadi yang
dikenal dan disebut Empat Besar. Nomor Satu adalah seorang Cina, Li Chang Yen;
Nomor Dua jutawan besar Amerika, Abe Ryland; Nomor Tiga seorang wanita Prancis;
Nomor Empat, saya sudah tahu benar bahwa dia seorang aktor Inggris yang tak
terkenal, yang bernama Claud Darrell. Keempat orang itu bekerja sama untuk
memusnahkan susunan kemasyarakatan yang sudah ada dan akan menggantikannya
dengan suatu kekuatan pemerintahan dengan mereka sebagai para diktatornya. "
"Sulit dipercaya," gumam orang Prancis itu.
"Ryland terlibat dalam hal semacam itu" Pikiran itu pasti khayalan."
"Harap Anda dengarkan, Yang Mulia, sementara saya ceritakan pada Anda beberapa
kegiatan Empat Besar itu."
Poirot membeberkan kisah yang sangat mencekam perhatian.
Meskipun aku sudah tahu semuanya sampai hal yang sekecil-kecilnya, aku masih
saja merasa ngeri mendengar kisah gamblang tentang petualangan-petualangan kami
dan bagaimana kami bisa lolos.
Desjardeaux menatap Crowther dengan membisu, setelah Poirot selesal. Crowther
membalas tatapan itu. "Ya, M. Desjardeaux, saya rasa kita memang harus mengakui adanya Empat Besar.
Scotland Yard mula-mula cenderung mencibir
saja, tapi mereka terpaksa mengakui bahwa Poirot memang benar dalam banyak
pernyataannya. Satu-satunya pertanyaan adalah sampai sejauh manakah tujuan
mereka. Dalam hal itu, mau tak mau, saya merasa bahwa Poirot agak - eh -
berlebihan." Sebagai jawaban, Poirot mengemukakan sepuluh pokok kejadian yang menonjol. Dia
telah meminta padaku untuk tidak
menceritakannya pada siapa pun juga, sebab itu selama ini aku tetap menahan diri
tidak membuka mulut. Kisah Poirot itu meliputi pula bencana luar biasa terhadap
kapal selam yang terjadi beberapa bulan yang lalu, juga serangkaian kecelakaan
pesawat terbang dan pendaratan-pendaratan yang dipaksa. Menurut Poirot, semuanya
itu adalah perbuatan Empat Besar, dan hal itu membuktikan kenyataan bahwa mereka
memiliki bermacam-macam rahasia ilmiah, yang tak dikenal dunia luas.
Keterangan itu membawa akibat yang memang sudah kuduga.
Perdana Menteri Prancis lalu bertanya,
"Kata Anda, anggota yang ketiga adalah wanita Prancis. Apakah Anda tahu
namanya?" "Nama itu terkenal, Yang mulia. Nama yang terhormat. Nomor Tiga itu tak lain
Madame Olivier yang termasyhur itu."
Waktu disebut nama ilmuwan yang termasyhur di seluruh dunia itu yang dianggap
sebagai pengganti suami-istri Curie, Desiardeaux benar-benar terlompat dari
kursinya, wajahnya merah padam, karena emosi.
"Madame Olivier! Tidak mungkin! Tak masuk akal! Perkataan Anda itu merupakan
penghinaan!" Poirot menggeleng perlahan-lahan, tetapi tak menjawab.
Desjardeaux memandanginya dengan terpana beberapa lama.
Kemudian wajahnya cerah kembali. Dia menoleh kepada Sekretaris Negara sambil
mengetuk-ngetuk dahinya terang-terangan.
"M. Poirot memang seorang besar," katanya. "Tapi orang besar sekalipun - kadang-
kadang bisa keranjingan, kan" Dia mencari-cari
komplotan khayalan di kalangan tinggi. Itu memang sudah diakul umum. Anda
sependapat dengan saya kan, Crowther?"
Beberapa lamanya Sekretaris Negara tak bisa menjawab.
Kemudian perlahan-lahan dia berkata dengan berat.
"Demi Tuhan, saya tak tahu," katanya akhirnya.
"Saya selalu dan masih tetap menaruh kepercayaan besar pada diri Poirot, tapi -
yah, kali ini memang sulit dipercaya."
"Lalu Li Chang Yen itu juga," sambung Desiardeaux, "'siapa pula yang pernah
mendengar tentang dia?"
"Saya pernah," terdengar suara Ingles tanpa disangka.
Orang Prancis itu menatapnlya, dan Ingles membalas tatapan itu dengan tenang.
Dalam keadaan demikian makin serupa dia dengan sebuah patung dewa Cina.
"Tuan Ingles ini orang yang paling banyak dan paling dalam pengetahuannya


Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenai soal-soal di dalam negerl Cina," Sekretaris Negara menjelaskan. "Dan
Anda pernah mendengar tentang Li Chang Yen itu?"
"Sebelum Poirot datang pada saya, saya sangka hanya sayalah satu-satunya di
Inggris yang tahu. Jangan keliru, M. Desjardeaux, hanya ada satu orang yang
paling besar pengaruhnya di Cina sekarang ini - yaitu Li Chang Yen. Mungkin dia,
ingat saya hanya mengatakan mungkin, adalah orang yang paling pandai di seluruh
dunia saat ini." Desjardeaux duduk seakan terpana. Tetapi kemudian dia sadar.
"Apa yang Anda katakan itu mungkin ada benarnya, M. Poirot,"
katanya dingin. "Tapi mengenal Madame Olivier, Anda pasti keliru.
Dia putri Prancis sejati, dan dia hanya mengabdikan dirinya semata-mata pada
ilmu pengetahuan." Poirot mengangkat bahunya, dan tidak menjawab.
Selama satu-dua menit, tak ada seorang pun yang berkata-kata.
Ilmu Ulat Sutera 2 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Pendekar Sakti Suling Pualam 17
^