Pencarian

Bayangan Bidadari 5

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


tahulah ia mengapa gadis itu demikian tangguh dan
lihay! "Locianpwe, harap locianpwe maklum bahwa gadis ini
telah mengacau Siauw-lim-si dan?""
"Cukup, aku sudah tahu semua! Semenjak puluhan
tahun yang lalu, Siauw-lim-si memang terkenal kikir
dan memikirkan kepentingan sendiri! In Hong ini
adalah murid isteriku, juga muridku sendiri, siapa
berani mengganggunya" Aku sudah mengalah dan
mematikan nafsu selama puluhan tahun, akan tetapi
hari ini kalau ada yang berani mengganggunya,
akulah lawannya!" Mendengar suara yang amat berpengaruh dan
dipenuhi oleh nafsu yang meluap-luap, Ceng Seng
Hwesio menjadi keder. Diam-diam In Hong juga
merasa betapa kakek ini dahulunya pasti seorang
yang bernafsu besar dan yang amat ganas dan tabah.
"Omitohud, tidak tahunya Koay-jin masih hidup dan
bersembunyi disini!" tiba-tiba terdengar suara orang
dari luar gua. Belum lenyap gema suara itu, orangnya telah berjalan
masuk, yakni seorang kakek tua berkepala gundul,
memakai topi hwesio dan di tangannya memegang
sebatang tongkat hwesio yang besar dan panjang.
Hwesio ini sudah tua sekali, usianya paling sedikit
delapanpuluh tahun, alis dan jenggotnya sudah putih
semua, nampak halus seperti benang sutera putih.
Matanya menyinarkan cahaya lembut dan mukanya
kelihatan terang dan sabar.
Inilah Bu Kek Tianglo, ketua dari Siauw-lim-pay,
seorang hwesio yang sudah puluhan tahun
menyembunyikan diri di ruangan paling dalam dari
Siauw-lim-si untuk menyucikan hati dan pikiran.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Teng San
menyuruh Lian Hong pulang ke Siauw-lim-pay untuk
memberi laporan kepada Bu Kek Tianglo tentang
peristiwa aneh yang terjadi di dalam gua, di hutan tak
jauh dari Siauw-lim-si. Tadinya Bu Kek Tianglo mendengarkan penuturan
murid muda ini dengan tenang dan sama sekali tidak
menaruh perhatian, akan tetapi ketika ia mendengar
betapa gadis yang mengacau Siauw-lim-si itu
mengalahkan semua muridnya dengan tenaga
lweekang yang mentakjubkan, ia menjadi tertarik
dan mengerutkan kening. "Mengalahkan yang lain-lain masih tidak aneh, akan
tetapi seorang gadis muda dapat mengalahkan
lweekang Ceng Seng, benar-benar amat menarik hati.
Lian Hong, minggirlah!"
Kakek ini sekali berkelebat melewati pinggir Lian
Hong dan telah lenyap dari dalam kamarnya!
Lian Hong meleletkan lidah saking kagumnya,
kemudian gadis cilik ini berlari-lari keluar mengejar
gurunya. Setelah Bu Kek Tanglo memasuki gua, kakek aneh
yang buntung kaki tangannya itu, yang bukan lain
adalah Buthan Koay-jin, suami dari Hek Moli, tertawa
bergelak, suaranya bergema di dalam gua, amat
menyeramkan. "Bu Kek Tianglo, kau makin tua makin gagah saja.
Apakah kau datang hendak turun tangan dan hendak
membuntungkan kaki tangan gadis muridku ini" Ha,
ha, ha!" "Omitohud, Koay-jin, kau sampai sekarang masih saja
belum dapat menguasai nafsumu. Tentu saja ini dapat
juga kau sengaja dan berpura-pura, karena kau
memang orang aneh. Sayang aku tidak dapat
menjenguk isi hatimu sehingga aku dapat mengetahui
sampai dimana gerangan kemajuanmu."
"Bu Kek Tianglo, gadis muda ini adalah murid isteriku,
juga muridku karena mulai hari ini dia ku ambil murid.
Dia telah melakukan kesalahan seperti yang pernah
kulakukan dahulu, akan tetapi apakah kau tidak
dapat mencegah anak buahmu yang mendesaknya
terus" Biarlah aku yang minta maaf kepadamu, kalau
perlu tangan dan kakiku yang sudah buntung ini
bersedia menerima beberapa gebukan tongkatmu
yang lihay." Bu Kek Tianglo mengerutkan alisnya yang putih.
"Koay-jin, aku malu sekali kepadamu. Anak muridku
memang terlampau keras memegang aturan. Akan
tetapi, setelah ternyata bahwa bocah ini menjadi
muridmu, perlu apa kita berselisih lagi" Urusan
puluhan tahun yang lalu cukup mengenaskan hati
kita, tak perlu diulang lagi. Ceng Seng, hayo lekas
berlutut minta ampun kepada Koay-jin!"
Ceng Seng Hwesio kembali berlutut mengangguk-
anggukkan kepala, diturut oleh lain-lain hwesio yang
berada disitu. "Mohon locianpwe sudi mengampuni
kami." Akan tetapi Bhutan Koay-jin tidak memandang
kepada mereka ini. Sepasang matanya yang bersinar-
sinar itu ditujukan ke arah Teng San. Pemuda ini tidak
mau berlutut, hanya memandang dengan mata penuh
keheranan. "Siapa pemuda ini, Tianglo?" tanya kakek buntung itu.
"Dia ini Ong Teng San, muridku yang termuda."
,Bagus, dia telah kemasukan I-kin-keng. Mari kita
bertaruh, siapa kelak yang lebih berhasil, kau dengan
pemuda itu atau aku dengan muridku ini. Ha, ha, ha!"
"Omitohud, kau benar-benar masih kukoay (aneh)
watakmu, agaknya tidak berubah," jawab hwesio itu.
"Aneh dan tidak aneh, apa bedanya" Berubah atau
tidak, dimana letak perbedaannya" Ha, ha, Bu Kek
Tianglo, tunggu setahun lagi kita melihat hasil kita.
Mudah-mudahan saja kita masih dapat
mengalaminya." Bu Kek Tianglo tersenyum, menjura dan mengajak
semua muridnya berlalu dari tempat itu. Di tengah
perjalanan, Bu Kek Tianglo memesan kepada semua
muridnya agar jangan sekali-kali mengganggu gua itu,
bahkan jangan sekali-kali mendekati tempat itu.
Sepeninggal semua hwesio itu, Bhutan Koay-jin
berkata: "Kau mau menjadi muridku, bukan?"
In Hong sudah menyaksikan semua kejadian tadi dan
sebagai murid seorang pandai iapun mengerti bahwa
kakek ini memiliki tenaga lweekang yang luar biasa
tingginya sehingga hanya dengan menempelkan dua
lengan buntung di punggung dan lehernya, kakek ini
sudah "meminjam" dua tangannya untuk mengusir
dan mengalahkan tokoh-tokoh Siauw-lim-pay tadi.
Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Bhutan Koay-jin
dan berkata: "Teecu merasa bahagia sekali kalau mendapat
pimpinan suhu." "Nah, sekarang kauceritakan tentang gurumu Hek
Moli, dan bagaimana ia sampai tewas oleh orang-
orang Kun-lun-pay." Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Mewujudkan Tantangan Bhutan Koay-jin
In Hong lalu menceritakan semua pengalamannya
dan apa yang ia ketahui tentang kematian Hek Moli.
Juga ia ceritakan bagaimana ia mendatangi murid Go-
bi-pay dan kemudian menyerbu Kun-lun-pay,
mengalami kegagalan dan seterusnya sampai ia
menyerbu Siauw-lim-pay. Mendengar semua penuturan murid-barunya ini,
kakek itu menarik napas panjang berulang-ulang.
"Kalau datang derita nestapa, apa perlunya mencela
Tuhan dan mencaci setan" Mencari biangkeladi harus
membuka dada melihat perbuatan sendiri. Segala
akibat yang menimpa diri adalah lanjutan sebab
perbuatan diri pribadi, baik perbuatan dihidup kini
maupun dihidup lalu."
Kakek itu bicara seperti pada diri sendiri, kemudian ia
memandang kepada In Hong dan melanjutkan kata-
katanya: "In Hong, gurumu Hek Moli terlampau menurutkan
nafsu. Demikian pula aku. Kaulihat kaki tanganku ini"
Inipun akibat daripada nafsu angkara murka. Dahulu
aku tidak pernah memandang langit, merasa diri
paling tinggi dan paling pandai. Aku datangi semua
partai, kujatuhkan semua ketua partai besar,
kutertawai mereka dan kusombongkan
kepandaianku. Akhirnya aku roboh dalam tangan
tokoh-tokoh besar dari Kun-lun, Go-bi, Bu-tong, dan
Siauw-lim yang maju bersama. Akibatnya, kaki
tanganku buntung. Mereka itu masih berhati lemah
tidak menewaskan aku. Ha, ha, ha!"
In Hong memandang kepada suhunya dengan kagum.
"seorang diri dapat mengalahkan tokoh-tokoh besar
itu satu persatu, kau benar-benar hebat, suhu.
Sayangnya mereka itu curang dan maju
mengeroyokmu." Kembali Bhutan Koay-jin tertawa bergelak. "Kau
memang serupa benar dengan Hek Moli, dan Hek Moli
juga hampir sama wataknya dengan aku. Ah,
mengapa kita bertiga ini mempunyai dasar watak
yang sama" Agaknya memang sudah jodoh. Hanya
satu-satunya nasihatku, jangan kau mengikuti jejak
Hek Moli atau jejakku. Akibatnya takkan baik, Hek
Moli tewas di tangan orang pandai dan akupun roboh
di tangan orang pandai."
"Harap suhu suka meneruskan cerita tadi, selanjutnya
bagaimana?" tanya In Hong yang ingin mengetahui
riwayat suami isteri yang keduanya menjadi gurunya
itu. "Mendengar bahwa aku roboh oleh tokoh-tokoh besar
itu, isteriku, Hek Moli, menyusulku dari Sikkim. Aku
sengaja menyembunyikan diri karena malu bertemu
muka dengan isteriku tidak saja malu karena aku
telah kalah oleh tokoh-tokoh besar empat partai, juga
aku tidak mau isteriku melihat kaki tanganku yang
buntung. Kuharap dia akan kembali ke Sikkim dan
menikah dengan laki-laki lain. Siapa tahu iapun
dikuasai nafsu marah ketika ia mendengar bahwa
aku mungkin sudah tewas oleh tokoh-tokoh besar
Siauw-lim, Kun-lun, Go-bi, dan Bu-tong. Maka ia lalu
menyerbu ke Kun-lun dan Go-bi, mungkin juga Bu-
tong-pay. Hanya Siauw-lim-pay ia tidak berani ganggu
karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh
untuk dapat menandingi hwesio-hwesio Siauw-lim
yang lihay." Demikianlah, mulai hari itu, Bhutan Koay-jin
menurunkan kepandaiannya kepada In Hong dengan
penuh semangat. Sebaliknya In Hong yang bercita-cita
menyerbu Kun-lun-pay, belajar dengan tekun pula,
tidak ingat waktu dan tidak tahu lelah.
Sesuai dengan keinginan hati In Hong, dan cocok pula
dengan pandangan Bhutan Koay-jin, gadis itu
menerima ilmu lweekang yang amat luar biasa, yang
cara mempelajarinya bukan dari Tiongkok aseli,
melainkan sudah tercampur dengan ilmu yoga dari
barat. Bhutan Koay-jin menurunkan ilmu lweekang ini
dengan jalan paling singkat dan cepat. Ia langsung
menurunkan lweekang dengan cara "memindahkan"
tenaganya sendiri ke dalam tubuh In Hong. Dengan
menyalurkan tenaga ini melalui telapak tangan In
Hong, juga dengan cara menotok bagian-bagian tubuh
muridnya dengan lengannya yang buntung, kakek ini
akhirnya dapat memindahkan tenaga dan sinkang
ditubuhnya ke dalam tubuh muridnya.
Dengan cara ini, In Hong hanya tinggal melatih diri
saja sehingga ia dapat menguasai tenaga sinkang
yang dahsyat dan yang kini sudah terkumpul di dalam
tubuhnya itu. Memelihara tenaga sinkang ini tidak
mudah. Tanpa latihan-latihan tertentu dan peraturan
pernapasan yang selalu harus dilaksanakan, tenaga
sinkang itu akan musnah sedikit demi sedikit seperti
gandum dari kantong yang bocor.
Akan tetapi, pengoperan sinkang seperti itu amat
membahayakan kesehatan Bhutan Koay-jin, karena
hal itu membutuhkan pengerahan tenaga yang
melewati ukuran, yang melewati batas daya tahan
tubuhnya yang sudah tua sekali. Apalagi ia masih
memberi petunjuk-petunjuk dalam gerakan ilmu silat
kepada In Hong. Setiap kali ada lowongan waktu yang sebagian besar
dipergunakan untuk pelajaran ilmu lweekang, ia
me?nyuruh In Hong mengeluarkan ilmu silat yang
paling lihay yang pernah dipelajarinya dari Hek Moli.
Bhutan Koay-jin hanya menonton, akan tetapi
kadang-kadang ia menyetop dan memberi petunjuk
pada bagian-bagian tertentu yang dianggap kurang
sempurna. "Ilmu silatmu sudah hebat," katanya. "Memang sejak
dahulu, ilmu silat isteriku itu tidak kalah olehku, hanya
ia lemah dalam lweekang."
Memeras tenaga yang sudah tua ini akhirnya
mengakibatkan kakek itu jatuh sakit. Selama
setengah tahun ia terus menerus setiap hari melatih
In Hong sehingga dalam waktu setengah tahun, gadis
itu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Semua tenaga sinkang dari kakek itu telah berpindah
ke dalam dirinya, juga ilmu silatnya, terutama ilmu


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya, mendapat banyak kemajuan berkat
petunjuk-petunjuk dari Bhutan Koay-jin.
Segala daja-upaja In Hong untuk mengobati gurunya
gagal. Bhutan Koay-jin bukan menderita sakit biasa,
melainkan penyakit tua yang sudah tidak ada
obatnya lagi. Bhutan Koay-jin meninggal dunia dengan
senyum di mulut, seakan-akan merasa yakin bahwa
ia akan menang dalam taruhannya dengan Bu Kek
Tianglo ketua Siauw-lim-pay.
Memang, pada saat terakhir dari hidupnya, tiap kali
dia membuka mulut mengeluarkan suara, tentu ia
menyebut-nyebut soal pertaruhan itu.
Seorang diri In Hong mengurus jenazah gurunya,
mengubur jenazah itu di dalam gua dan menangis di
depan kuburan. Kemudian ia keluar dari tempat itu
dan tempat pertama yang ditujunya adalah kelenteng
Siauw-lim-si! Gadis ini hendak memenuhi kehendak gurunya,
keinginan yang disebut-sebut sebelum meninggal
dunia, yakni agar ia dapat mengalahkan murid muda
Siauw-lim-pay, murid yang telah mempelajari I-kin-
keng. Ia harus dapat mengalahkan pemuda itu,
pemuda yang dahulu telah menolongnya, yang
bernama Ong Teng San! "Y" Dengan tenang ia memasuki halaman kelenteng
Siauw-lim-si. Kedatangannya sekarang jauh bedanya
dengan dahulu. Setengah tahun yang lalu, ia datang di
tempat ini pada malam hari dengan maksud mencuri
kitab I-kin-keng. Akan tetapi sekarang, datang pada
pagi hari dengan terang-terangan dengan maksud
mengajak pibu orang yang mewarisi ilmu I-kin-keng!
Semenjak terjadi peristiwa penyerbuan In Hong ke
Siauw-lim-si, kelenteng ini sekarang terjaga keras.
Tidak mengherankan apabila baru saja gadis itu
memasuki pekarangan depan, tiba-tiba datang lima
orang hwesio yang bukan lain adalah hwesio-hwesio
Ngo-heng-tin! Mereka memegang toya dan memandang kepada
gadis ini dengan mata penuh kecurigaan dan juga
keheranan. Akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek
ke-pada mereka. "Kau?"?" tegur seorang di antara lima hwesio itu.
"Apa kehendakmu, nona?" Mereka masih merasa
gentar kalau teringat akan pengalaman mereka di
dalam gua, dimana mereka secara aneh sekali dibikin
jatuh bangun oleh gadis ini yang melawan mereka
hanya dengan duduk bersila.
Akan tetapi setelah mereka tahu bahwa di belakang
gadis itu ada Bhutan Koay-jin, lenyap rasa heran dan
penasaran hati mereka. Namun diam-diam mereka
menaruh hati marah kepada gadis yang menjadi
gara-gara sehingga mereka sebagai tokoh-tokoh
besar Siauw-lim-si mengalami rasa malu dan
penghinaan. "Ngowi suhu harap memberitahu kepada Bu Kek
Tianglo bahwa aku datang untuk bicara dengan dia,
atau boleh juga dengan muridnya yang bernama Ong
Teng San," kata In Hong dengan tenang.
Tentu saja lima orang hwesio itu tidak membiarkan In
Hong terus masuk, karena mereka mengira bahwa
gadis ini tentu datang hendak membikin ribut pula.
Kini mereka tidak takut menghadapi gadis ini, karena
dahulu di dalam gua, ke-kalahan mereka bukan oleh
gadis ini melainkan oleh Bhutan Koay-jin yang
meminjam sepasang lengan In Hong. Biarpun mereka
tahu bahwa gadis ini telah diterima menjadi murid
Bhutan Koay-jin, akan tetapi dalam waktu setengah
tahun saja, kepandaian apakah yang sudah dapat
dipelajarinya" "Nona, jangan kau main gila seperti dulu! Kalau kau
memang ada keperluan, mengapa harus mencari suhu
atau Ong-sute" Kami berlima ditugaskan menjaga
disini, maka segala keperluanmu, katakan saja
kepada kami, pasti kami takkan berani mengabaikan
dan akan melayanimu."
In Hong mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.
"Kalian ini masih saja tidak berubah, bersikap galak
terhadap orang muda. Bukankah sudah kukatakan
tadi bahwa aku ingin bertemu dengan Bu Kek Tianglo
atau Ong Teng San" Hayo lekas panggil mereka
keluar, kalau tidak jangan bilang aku kurangajar
kalau aku masuk dan mencari mereka sendiri."
Lima orang hwesio itu nampak ragu-ragu. Memang
bukan hal yang sederhana dan mudah saja untuk
memanggil keluar Bu Kek Tianglo. Kakek ini selalu
menyembunyikan diri di dalam kamarnya, bersamadhi
dan tidak mau mencampuri urusan di luar kamarnya.
Ia tidak mau diganggu, maka tidak ada orang yang
berani mengganggu kakek ini kalau tidak karena
urusan amat penting. Sekarang, gadis ini datang hendak bertemu dengan
Bu Kek Tianglo, mana lima orang hwesio itu berani
mengganggu suhu mereka" Apalagi kalau diingat
bahwa gadis ini adalah seorang yang pernah
mengacaukan Siauw-lim-si, kalau Bu Kek Tianglo
diganggu dari samadhinya hanya untuk menjumpai
gadis ini, tentu kakek itu akan menjadi marah.
Adapun In Hong ketika melihat lima orang hwesio itu
ragu-ragu dan tidak mau memenuhi permintaannya,
lalu melangkah maju dan berkata:
"Kalau tidak mau melaporkan kepada Bu Kek Tianglo,
minggirlah, biar aku sendiri masuk menghadap!"
Akan tetapi, lima orang hwesio itu cepat
memalangkan toya dan menghadang di tengah jalan.
"Nona, jangan kau kurangajar!" Lima batang toya
bergerak mendorong ke arah tubuh In Hong untuk
memaksa gadis itu mundur lagi.
Akan tetapi, sebaliknya daripada mundur, In Hong
malah melangkah terus ke depan. Dua tangannya
bergerak cepat dan dilain saat, dua orang hwesio
telah terlempar jauh berikut toya yang mereka
pegang, sedangkan seorang hwesio lain terpaksa
bertekuk lutut karena sambungan lututnya tercium
ujung sepatu In Hong. Gerakan nona ini demikian
cepat dan tenaganya demikian hebat sehingga tiga
orang hwesio itu tak sempat mempertahankan diri.
Mereka berdiri lagi cepat-cepat dan bersama dua
orang hwesio yang belum roboh, mereka siap untuk
melakukan serangan. Akan tetapi pada saat itu,
terdengar suara keras: "Tahan senjata!"
Ternyata bahwa yang muncul adalah Ceng Seng
Hwesio yang bermuka hitam dan bersuara tenang
berpengaruh. Ceng Seng Hwesio tadi melihat gerakan In Hong dan
diam-diam ia terkejut. Tendangan In Hong masih tidak
mengherankan karena ia memang tahu bahwa gadis
ini memiliki gerakan yang amat cepat dan tidak
terduga. Akan tetapi, menerima toya dengan kedua
tangan kosong lalu melemparkan toya-toya itu berikut
pemegangnya, sungguh merupakan bukti bahwa
gadis ini sekarang telah memiliki tenaga lweekang
yang tinggi sekali! "Sam-sute, pergilah ke dalam dan laporkan kepada
suhu bahwa murid Bhutan Koay-jin datang
mengunjungi Siauw-lim-si," kata Ceng Seng Hwesio.
Sekali saja melihat sepak terjang In Hong, hwesio ini
maklum bahwa tentu gadis ini datang untuk
memenuhi tantangan Bhutan Koay-jin setengah tahun
yang lalu, maka ia pikir lebih baik minta suhunya
keluar. Kemudian ia menjura kepada In Hong sambil
terse?nyum: "Ah, kiranya Kwee-lihiap yang datang. Tidak tahu
apakah Kwee-lihiap membawa pesanan sesuatu dari
Bhutan Locianpwe?" "Memang aku membawa pesanan untuk memenuhi
tantangan pibu dengan murid Siauw-lim-pay!" jawab
In Hong singkat. Ia tahu bahwa Ceng Seng Hwesio
adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo, maka ia mau
memberitahukan maksud kedatangannya.
Pada saat itu, dari ruangan dalam sudah nampak Bu
Kek Tianglo menghampiri tempat itu, berjalan
perlahan dibantu oleh tongkatnya. Hwesio ini sudah
amat tua dan lemah sehingga In Hong teringat akan
gurunya sendiri yang telah meninggal dunia.
Seorang pemuda berjalan disebelah kirinya dan In
Hong segera mengenal pemuda ini sebagai Ong Teng
San yang pernah menolongnya.
Ia melihat betapa sepasang mata pemuda itu
ditujukan kepadanya dan hati In Hong terheran-heran.
Mengapa sinar mata itu kelihatan begitu sedih" Di
belakang pemuda ini berjalan gadis cilik yang dahulu
ia lihat di atas pagar tembok.
Makin terheranlah hati In Hong karena baru sekarang
ia melihat wajah gadis ini dengan jelas. Tidak aneh
bahwa dulu ia melihat gadis ini seperti seorang yang
sudah lama dikenalnya, karena ternyata bahwa
wajah gadlis cilik ini hampir serupa dengan wajah
yang ia lihat setiap hari apabila ia bercermin! Juga
gadis ini kelihatan berduka.
Memang Teng San sudah bercerita kepada Lian Hong
bahwa gadis yang mengacau Siauw-lim-si itu bukan
lain adalah Kwee In Hong, puteri dari ibu mereka
yang hilang ketika dahulu suami ibu mereka itu
dibunuh oleh ayah mereka! Kini nona yang menjadi
saudara tiri mereka itu datang memusuhi Siauw-lim-si
dan otomatis mereka harus menghadapi nona itu
sebagai lawan, bagaimana mereka takkan bersedih"
Untuk memperkenalkan diri bahwa mereka adalah
anak dari Ong Tiang Houw, lebih tidak mungkin lagi.
In Hong tentu membenci Tiang Houw dan seorang
gadis yang memiliki watak demikian keras dan ganas,
pasti akan berusaha membalas sakit hati terhadap
Tiang Houw. Kalau In Hong mendengar bahwa Teng San dan Lian
Hong adalah anak dari Tiang Houw, otomatis gadis
murid Hek Moli itu pasti akan memusuhi mereka pula.
Hal ini semua pendeta di Siauw-lim-si sudah
mengetahui karena mereka sudah mendengar
penuturan Teng San. Akan tetapi, mereka tidak mau
membuka rahasia karena mereka sudah diminta
dengan sangat oleh Teng San agar jangan
mencenitakan rahasia ini kepada In Hong. Mereka
semua dapat membayangkan betapa akan hebatnya
akibat apabila In Hong mengetahui bahwa Teng San
dan Lian Hong adalah anak-anak dari musuh
besarnya, yakni Ong Tiang Houw yang telah
membunuh Kwee Seng, ayahnya.
Sementara itu, dengan suaranya yang halus dan
lemah lembut, Bu Kek Tianglo sudah berkata kepada
In Hong: "Nona, bagaimana kabarnya dengan Bhutan Koay-jin
gurumu" Mengapa dia tidak ikut datang beromong-
omong dengan pinceng?"
Mendengar pertanyaan ini, In Hong mengerutkan
keningnya dan wajahnya berubah sedih.
"Guruku telah meninggal dunia kemarin pagi?""
Mendengar ini, semua hwesio merangkapkan kedua
tangan di depan dada. Teng San menundukkan muka
dan Lian Hong memandang kepada In Hong dengan
muka berkasihan. Hening beberapa lama, keheningan yang
menyesakkan dada In Hong dan membuat gadis itu
hampir tak dapat menahan mengucurnya air mata. Ia
menjadi gemas kepada diri sendiri dan un?tuk
menyembunyikan perasaan dan kelemahan hatinya
ini, ia berkata: "Suhu sudah meninggal dengan tenang dan aku tidak
perlu mendapat rasa kasihan orang lain!" Kata-kata ini
membuktikan betapa keras adanya hati gadis ini.
"Omitohud?" Bhutan Koay-jin, kau sudah mendahului
pinceng. Kau sudah senang dan bebas, semoga kita
akan dapat bertemu pula di alam lain," terdengar Bu
Kek Tianglo berdoa perlahan, kemudian ia
memandang kepada In Hong dan bertanya:
"Setelah suhumu meninggal, apakah kedatanganmu
ini hanya untuk menyampaikan warta itu, nona?"
"Aku datang memenuhi pesanan suhu bahwa aku
harus memenuhi janji suhu untuk mengadakan pibu
dengan murid Siauw-lim-pay untuk menentukan,
mana yang lebih unggul antara ilmu kepandaian yang
diturunkan oleh suhu dengan ilmu kepandaian dari
Siauw-lim-pay!" Sambil berkata demikian ia
mengerling ke arah Teng San yang masih
menundukkan mukanya. Bu Kek Tianglo tersenyum dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Bhutan Koay-jin, kau benar-benar telah mendapatkan
murid yang cocok dengan watakmu," katanya
perlahan, kemudian kepada In Hong ia berbuat
dengan suara sungguh-sungguh: "Nona kau baru
menerima latihan selama setengah tahun dari
mendiang Bhutan Koay-jin, apakah kau sudah merasa
cukup kuat untuk menghadapi Teng San?"
"Aku memang seorang lemah dan bodoh, akan tetapi
kiranya aku takkan mengecewakan arwah dari suhu,"
jawab In Hong. "Suhu, nona Kwee ini sudah mewarisi sinkang dari
Bhutan Locanpwe," kata Ceng Seng Hwesio kepada


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurunya, "tadi teecu sudah menyaksikan betapa dia
mengalahkan tiga orang sute dengan tenaga
lweekangnya." Bu Kek Tianglo mengangguk-angguk puas. "Hm,
begitukah" Bagus sekali. Agaknya Bhutan Koay-jin
sudah dapat memperdalam kepandaiannya selama
puluhan tahun ini sehingga ia telah dapat menurunkan
sinkang sekaligus tanpa menghiraukan kesehatannya
sendiri. Bagus! Hanya sinkang dari Koay-jin saja yang
kiranya patut menghadapi Teng San, kau lawan nona
Kwee ini dengan I-kin-keng!"
Dapat dibayangkan betapa berat hati Teng San
menerima perintah ini, akan tetapi tentu saja ia tidak
berani membantah kehendak suhunya, maka sambil
menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah maju
dan bersiap sedia mengha-dapi In Hong.
Melihat pemuda itu telah maju, In Hong juga segera
melangkah maju tanpa mencabut pedangnya. Ia tidak
suka menghadapi seorang lawan yang bertangan
kosong dengan pedang, karena iapun tahu bahwa
orang menghendaki meng?adu tenaga lweekang.
"Kwee-siocia, silahkan," kata Teng San yang sudah
memasang kuda-kuda. Ia menyalurkan sinkang dari I-
kin-keng ke dalam sepasang lengannya dan
memasang kuda-kuda dari ilmu silat Lo-han-kun,
yakni ilmu silat dari Siauw-lim-pay yang terkenal
tangguh dan lihay. Biarpun ia berwatak ganas dan keras hati, namun In
Hong bukanlah orang yang mudah melupakan budi. Ia
telah hutang budi kepada pemuda ini yang telah
memperlihatkan kebaikan hati dan menolongnya
ketika ia dikepung oleh para hweesio Siauw-lim-si.
Juga sebagai seorang wanita, perasaannya yang halus
membisikkan kepadanya bahwa pemuda ini tertarik
kepadanya. Oleh karena itu, pada mulanya In Hong merasa
enggan untuk bertanding melawan Teng San. Ia akan
lebih suka menghadapi Ceng Seng Hwesio, atau kalau
perlu, ia bahkan lebih suka kalau menghadapi Bu Kek
Tianglo sendiri! Akan tetapi, mengingat akan nama
baik suhunya, segera timbul semangatnya dan ia
mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaian untuk merebut kemenangan
dalam pertandingan ini. "Baik, kau jagalah seranganku!" jawab In Hong dan
dengan cepat sekali ia mulai menyerang,
mempergunakan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek
Moli. In Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan
sekali, maka serangannya inipun datang dengan
dahsyat dan cepatnya. Tangan kanannya memukul ke
arah dada Teng San dan tangan kiri menjaga di atas
pusar. Teng San ingin menguji tenaga gadis ini, maka ia
tidak mengelak, melainkan menangkis sambil
mengerahkan sebagian dari tenaga lweekangnya.
Dua buah lengan tangan kanan bertemu.
"Duk!" Keduanya tergeser mundur dan berubah kuda-
kuda kaki mereka. Tadipun In Hong hanya
mengeluarkan sebagian saja dari tenaganya, maka
melihat akibat pertemuan dua lengan itu, dapat
diduga bahwa tenaga mereka memang berimbang.
Melihat ketangguhan lawan, dua orang muda ini lalu
menghilangkan rasa sungkan lagi dan mulailah
mereka bertanding sambil mempergunakan seluruh
tenaga. Memang hebat sekali pertandingan itu. Gerakan In
Hong lincah dan cepat, sebaliknya gerakan Teng San
tenang dan lambat. Namun, tiap kali keduanya
bertemu tangan, selalu terasa betapa masing-masing
terdorong oleh tenaga yang dahsyat.
Setelah bertempur selama duapuluh jurus lebih, Teng
San dapat mengukur tenaga lawannya. Ia adalah ahli
waris dari I-kin-keng, ilmu pusaka dari Siauw-lim-si,
maka tentu saja tenaga lweekangnya hebat. Ilmu I-
kin-keng sudah amat terkenal dan dikagumi oleh
seluruh tokoh kangouw, sedangkan Teng San sudah
mempelajari ilmu ini bertahun-tahun dan bakatnya
memang baik sekali. Sebaliknya, biarpun ilmu sinkang yang diturunkan oleh
Bhutan Koay-jin kepada In Hong juga luar biasa sekali
dan hampir setingkat dengan I-kin-keng, akan tetapi
In Hong menerima ilmu ini baru setengah tahun
lamanya. Dalam hal tenaga dalam ini, In Hong masih
kalah dan hal ini diketahui baik oleh Teng San.
Akan tetapi, pemuda ini tidak tega melukai hati In
Hong, tidak tega mengalahkannya. Ia merasa kasihan
sekali melihat In Hong dan di dalam hatinya timbul
perasaan aneh dari kasih sayang.
Perasaan kasihan dan kasih sayang ini membuat Teng
San ingin menolong dan membantu In Hong, mana
bisa ia tega merobohkannya" Oleh karena itu, ia
sengaja mengeluarkan tiga-perempat bagian saja dari
lweekangnya dan ini cukup untuk mengimbangi
kekuatan In Hong. Namun, dipihak In Hong lain lagi. Biarpun gadis ini
tadinya merasa berhutang budi dan tidak enak untuk
bertanding dengan pemuda yang pernah
menolongnya ini, akan tetapi setelah melihat bahwa
tenaga dari pemuda ini memang hebat, ia lalu
mengerahkan seluruh tenaga dalam setiap
serangannya. Bahkan ia melakukan serangan dengan gerakan cepat
sekali, mengeluarkan gerak tipu-tipu yang paling lihay
dari ilmu silatnya. Dengan gerakannya yang lebih
cepat dan lincah karena ginkangnya memang tinggi.
In Hong dapat mendesak lawannya yang sebagian
banyak hanya membela diri saja.
Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Balasan Pembunuh Hek Mo-li
Pertandingan berjalan sampai tujuhpuluh jurus dan
keadaan mereka masih seimbang, sungguhpun
kelihatannya In Hong selalu mendesak dan menindih,
namun gadis ini maklum bahwa ia tidak mendapat
banyak kesempatan menghadapi pemuda yang
kokoh kuat penjagaannya ini.
Tiba-tiba In Hong melakukan serangan nekat. Gadis
yang keras hati ini merasa penasaran dan
mendongkol sekali karena sebegitu lama semua
serangannya tidak berhasil, bahkan kedua lengannya
sudah terasa lelah dan sakit-sakit.
Kini ia mengeluarkan gerak tipu yang disebut Sam-
houw-toat-beng (Tiga harimau mencabut nyawa),
sebuah pukulan yang luar biasa ganasnya dari Hek
Moli. Dengan gerakan yang susul menyusul dan bukan
main cepatnya sehingga hampir boleh dibilang dalam
satu saat, tangan kanan In Hong memukul ke arah
pusar, disusul dengan cengkeraman tangan kiri ke
arah leher dan diikuti dengan tendangan maut ke
depan! Terdengar Bu Kek Tianglo mengeluarkan napas berat,
tanda bahwa kakek ini merasa khawatir melihat
muridnya terancam hebat. Juga Teng San terkejut
bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu
memiliki ilmu pukulan yang demikian ganasnya. Akan
tetapi, sukarlah untuk menghindarkan diri sekaligus
dari tiga macam serangan ini dan ia harus
menghadapinya dengan tenang.
Ia mempergunakan tangan kanan untuk menyampok
cengkeraman ke arah leher, tangan kirinya menahan
datangnya tendangan maut yang amat berbahaya itu
sedangkan tubuhnya agak direndahkan sehingga
pukulan In Hong ke arah pusarnya menjadi berubah
sasaran dan tiba di atas dadanya. Hal ini memang ia
sengaja karena dalam menerima pukulan gadis itu
didadanya, Teng San mengerahkan tenaga
lweekangnya yang luar biasa.
Terdengar kain robek dan seruan In Hong. Tubuh gadis
ini terjengkang ke belakang dan terhuyung-huyung.
Hampir saja ia roboh kalau saja tidak lekas-lekas
mengatur keseimbangan tubuhnya. Kepalan kanannya
terasa panas dan kesemutan, akan tetapi ia tidak
terluka. Dilain pihak, Teng San yang terpukul dadanya itu
berdiri tegak tidak bergeming, hanya pundaknya
terkena cengkeraman tangan kiri In Hong. Ketika
tangan kiri In Hong tadi disampok, gadis ini dengan
cepatnya menyelewengkan tangan kirinya sehingga
tangan ini dapat melanjutkan serangan ke arah
pundak lawan. Tangan inilah yang melukai Teng San karena
cengkeraman jari tangan yang terisi tenaga lweekang
ini telah merobek kain penutup pundak dan terus
melukai kulit dan daging pundak!
"Kwee-lihiap, aku mengaku kalah?"," kata Teng San
sambil tersenyum dan menjura.
In Hong menjadi merah sekali mukanya. Dari tadi
juga ia telah dapat mengerti bahwa dalam hal tenaga
lweekang, ia masih kalah oleh pemuda ini. Gebrakan
terakhir tadi membuktikan.
Juga gebrakan terakhir ini membuka rahasia hati Teng
San yang sengaja membiarkan dirinya terpukul tanpa
bermaksud merobohkan atau melukai In Hong. Orang
yang sudah dapat menahan pukulan pada dadanya
tadi tanpa terluka, kalau mau, memang dapat
mengirim kembali hawa pukulan dan mengakibatkan
luka melakukan hal itu, hanya membuat In Hong
mencelat dan terhuyung-huyung saja.
"Ong-tayhiap, kau sudah mengalah. Kau patut
menjadi terbaik dari Siauw-lim-pay?"" jawab In Hong
yang segera menjura kepada Bu Kek Tianglo,
kemudian tanpa banyak cakap lagi gadis ini
berkelebat dan berlari keluar dari kuil Siauw-lim-si.
Seperginya gadis ini. Bu Kek Tianglo terdengar
menarik napas panjang. "Hm, gadis seganas itu berkeliaran seorangdiri di dunia
kangouw, benar-benar berbahaya! Entah kebodohan
apa lagi yang akan ia lakukan. Teng San, pinceng tahu
mengapa kau tadi mengalah. Memang, dalam
kedudukanmu sebagai putera musuh besarnya, dan
mengingat pula akan perbuatan ayahmu terhadap
ayah dan ibunya, amat sukarlah bagimu untuk tidak
menaruh hati iba dan mengalah. Akan tetapi, gadis itu
memiliki watak yang amat keras dan perbuatannya
sewaktu-waktu bisa ganas seperti mendiang Hek
Moli. Lweekang?nya pinceng lihat sudah amat tinggi
sehingga di dunia kangouw, kiranya hanya kau
dengan I-kin-keng yang dapat mengendalikannya.
Oleh karena itu, sekarang kau pinceng paksa keluar
dari sini untuk mengamat-amati gadis itu, syukur
kalau kau bisa menguasainya dengan jalan halus,
kalau tidak kau harus menjaga agar jangan sampai ia
menimbulkan gara-gara seperti yang pernah
dilakukan oleh Bhutan Koay-jin dan Hek Moli."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Teng San dan
Lian Hong meninggalkan Siauw-lim-si dan kedua
orang kakak dan adik ini merasa gelisah kalau
mereka memikirkan In Hong. Bagaimana kelak kalau
In Hong bertemu dengan ibunya dan mendapat tahu
bahwa ibunya telah menikah dengan pembunuh
ayahnya" Mengingat akan semua ini, Teng San menjadi amat
berduka. Diam-diam ia kecewa terhadap ayahnya,
karena setelah membunuh suaminya, ayahnya lalu
mengambil isterinya. Benar-benar hal yang amat
memalukan! Dan sekarang ditambah lagi oleh
kenyataan betapa menarik adanya In Hong dan
betapa hatinya selalu tak dapat melupakan wajah
yang cantik jelita dan gagah itu.
"Y" Apa yang dikhawatirkan oleh Bu Kek Tianglo memang
beralasan. In Hong adalah seorang yang semenjak
kecilnya dididik oleh seorang yang ganas seperti Hek
Moli, maka otomatis gadis inipun menjadi dewasa
dengan watak yang sama dengan gurunya. Keras hati
dan ganas. Ia takkan mau berhenti sebelum dapat memuaskan
hatinya membalas dendamnya kepada musuh-musuh
besar yang sudah menewaskan gurunya. Di dalam
hati In Hong, hidupnya hanya mempunyai tujuan
tertentu, yakni membalas dendam atas kematian
gurunya, kemudian mencari ibunya dan mencari
musuh besar yang sudah menewaskan ayahnya!
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, gadis ini langsung
menuju ke Kun-lun-san! Ia melakukan perjalanan
cepat sekali dan tidak pernah berhenti kalau tidak
sudah lelah sekali. Ia tidur dimana saja sang malam
menghalang perjalanannya. Tidur di udara terbuka, di
dalam kelenteng tua bobrok, di atas pohon, atau
dimana saja bagi gadis ini bukan apa-apa.
Kadang-kadang sehari semalam ia tidak menemui
kampung dan terpaksa kalau bekal makanan habis, ia
berpuasa atau makan buah-buahan. Inipun tidak
membuatnya merasa sengsara. Setiap orang
kangouw harus berani menghadapi keadaan seperti
ini dengan tabah. Ketika tiba di kaki bukit Kun-lun-san, di luar sebuah
hutan kecil ia melihat seorang laki-laki berjalan
dengan kepala menunduk. Laki-laki ini berjalan di


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah depan dan In Hong hanya melihat punggung
dan pundaknya yang bidang.
Melihat potongan tubuh orang itu, In Hong merasa
sudah mengenalnya, apalagi melihat langkah kaki
yang biarpun perlahan namun masih kelihatan
ketegapan dan kegagahannya, seperti langkah seekor
harimau. In Hong mempercepat larinya dan tak lama kemudian
ia telah dapat menyusul orang itu. Laki-laki itu
mendengar kedatangan orang lalu menengok.
"Kau?" Bu Jin Ay?"?" seru In Hong, akan tetapi dilain
saat gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi
merah dan menekan perasaannya yang membuat
dadanya bergelombang. Seperti juga dulu ketika bertemu untuk pertama
kalinya, ia mendapatkan perasaan aneh. Apalagi
sekarang pendekar yang bernama Bu Jin Ay (Tidak
Ada yang Menyinta) ini memandangnya dengan sinar
mata demikian mesra seakan-akan orang terkena
pesona, pandangan mata yang mengandung berbagai
macam perasaan, ada terkejut, heran, kagum, dan
terbayang kasih sayang yang besar.
Inilah yang membuat In Hong berdebar dan
menundukkan mukanya. Gadis ini sendiripun merasa
aneh di dalam hatinya. Kalau laki-laki lain yang
memandangnya seperti itu, tentu ia akan marah atau
setidaknya, akan ditinggalnya pergi tanpa perduli lagi.
Akan tetapi, dipandang sedemikian rupa oleh laki-laki
ini, ia merasa bangga! Adapun pendekar gagah itu benar-benar seperti orang
dalam mimpi. Ia menatap wajah In Hong dan bibirnya
bergerak perlahan, mula-mula tidak dapat didengar
jelas kata-katanya, kemudian In Hong dapat
menangkap suara itu: "Kau?" isteriku?" kekasihku?" kau cantik seperti
bidadari?"" "Gila?"" kata In Hong dengan muka menjadi makin
merah. Kemudian ia melihat betapa muka orang itu agak
pucat dan lengan kirinya agak kaku gerakannya. Ia
terkejut sekali dan tak terasa pula ia melangkah maju
menghampiri laki-laki itu.
"Apakah?" apakah lenganmu masih sakit" Hebatkah
luka akibat pasir hitamku?"
Bu Jin Ay tersenyum, mukanya yang gagah itu
memang kelihatan tampan sekali, dagunya nampak
kuat, giginya putih dan berjajar rapi, sepasang
matanya bersinar dan berpengaruh. Muka seorang
pendekar gagah, muka seorang jantan!
"Pasirmu memang lihay, Put Hauw Li, dan aku terlalu
bodoh sehingga tak dapat menyembuhkannya."
Memang dahulu, dalam pertemuan pertama, In Hong
mengaku bernama Put Hauw Li (Anak perempuan
tidak berbakti). Tentu saja Bu Jin Ay tahu bahwa
nama yang dipakai gadis ini adalah nama palsu,
seperti halnya In Hong yang tahu benar bahwa nama
pendekar ini adalah nama palsu pula.
In Hong nampak menyesal sekali. Pasir hitamnya
amat lihay dan berbahaya. Sudah setengah tahun
lebih orang ini menderita luka akibat senjata
rahasianya itu, ah, tentu orang ini telah menderita
kesakitan hebat. Ia melangkah maju lagi dan
mendekati Bu Jin Ay. "Biarkan aku memeriksa lukamu dan mencoba untuk
mengobatinya," katanya.
Tanpa menanti jawaban, ia lalu memegang pundak
laki-laki itu dan sekali jari-jari tangannya yang kecil
runcing bergerak, terdengar suara kain memberebet
dan pakaian Bu Jin Ay di bagian pundak dan pangkal
lengan telah robek terbuka!
"Kau masih ingat di bagian mana aku terluka?" Bu Jin
Ay berkata heran. "Kalau begitu selama ini kau
seringkali ingat kepadaku?"
"Hush, diam dan jangan banyak cakap. Lukamu
berbahaya sekali," kata In Hong yang sudah
mengeluarkan pedangnya. Dengan ujung pedang ia membuat beberapa guratan
pada kulit lengan yang menghitam dan gembung itu,
kemudian ia mengurut beberapa otot dan menotok
jalan darah. Tak lama kemudian, dari guratan-guratan
yang dibuat oleh pedangnya pada lengan Bu Jin Ay,
keluarlah darah hitam. Tiba-tiba In Hong merasa betapa lengannya yang
sedang bekerja itu disentuh oleh jari-jari tangan Bu Jin
Ay, dibelai halus. "Isteriku?" kekasihku?"," kembali bibir Bu Jin Ay
bergerak-gerak dan keadaannya seperti orang gila,
sepasang mata?nya memandang kepada In Hong
penuh kemesraan dan kasih sayang sehingga dengan
kaget sekali In Hong merenggut tangannya dan
melompat mundur. Jantungnya berdebar keras dan aneh sekali. Perasaan
marah yang sudah meluap-luap di dadanya, tiba-tiba
padam kembali oleh perasaan lain ketika ia
memandang kepada Bu Jin Ay. Entah mengapa, muka
itu mendatangkan welas asih dan suka. Akan tetapi,
rasa jengah dan malu membuat In Hong tidak mau
mendekat lagi. Ia mengambil sebungkus obat penawar pasir hitam,
memberikannya kepada Bu Jin Ay sambil berkata lirih:
"Kau sudah gila! Aku tidak mau dekat lagi. Kau
keluarkan semua darah hitam dari lenganmu,
kemudian kau pakai obat ini di lukanya. Pasti sembuh
dalam beberapa hari saja."
Akan tetapi Bu Jin Ay tidak menerima obat itu
sehingga bungkusan obat jatuh ke atas tanah.
Sebaliknya, dengan mata saju Bu Jin Ay memandang
In Hong dan berkata: "Isteriku manis, tidak kasihankah kau kepadaku?"?"
Mendengar ini dan melihat pandangan mata Bu Jin Ay,
In Hong bergidik dan gadis ini melompat pergi. Suara
yang aneh keluar dari kerongkongannya, suara seperti
setengah tangis setengah tertawa.
Memang In Hong merasa terharu dan kasihan sekali
melihat Bu Jin Ay, akan tetapi sikap Bu Jin Ay
kepadanya membuat ia merasa geli juga. Dia adalah
se-orang gadis yang belum pernah menghadapi sikap
laki-laki seperti ini, demikian penuh rangsang, penuh
kemesraan dan penuh cinta kasih.
Sambil berlari cepat mendaki bukit Kun-lun, In Hong
diam-diam memikirkan keadaan dirinya. Mengapa ia
begitu tertarik kepada Bu Jin Ay" Laki-laki ini biarpun
tak dapat disangkal lagi memilik wajah yang tampan,
tubuh yang gagah, sikap yang mengagumkan, namun
usianya tidak muda lagi. Kurang lebih empatpuluh
tahun, sudah patut menjadi ayahnya!
Akan tetapi, cinta memang aneh sekali. In Hong
agaknya tidak anggap hal ini penting. Ia
membayangkan wajah dan sikap Yo Kang, putera
pamannya. Ia sudah tahu pasti bahwa Yo Kang cinta
kepadanya. Pemuda itu, biarpun kepandaiannya tidak amat tinggi,
namun boleh disebut seorang yang bersemangat
gagah, wajahnya tampan pula, hartawan dan masih
muda. Akan tetapi, anehnya, ia sama sekali tidak
tertarik kepada Yo Kang. Masih ada lagi, yakni Ong Teng San, pemuda luar
biasa yang baru-baru ini mengadu kepandaian
dengannya di Siauw-lim-si. Kurang apakah pemuda
ini" Tentang kepandaian, tidak dibawah tingkat
kepandaiannya sendiri. Tentang watak ia tahu bahwa
pemuda itu berwatak baik, terlihat dari sikapnya, dari
usahanya untuk menolongnya dahulu dan bahkan
akhir ini di dalam pibu, pemuda itu sengaja tidak
mendesaknya dan berlaku mengalah.
Ini saja sudah membuktikan bahwa Teng San suka
kepadanya. Akan tetapi, benar-benar mengherankan,
ia sama sekali tidak tertarik kepada Ong Teng San.
Mengapa kalau terhadap dua orang pemuda pilihan
ini, juga banyak sekali pemuda-pemuda lain yang
pernah memandang kepadanya dengan rindu, ia
sama sekali tidak tergerak hatinya, sebaliknya
terhadap Bu Jin Ay, pendekar yang sudah tak muda
lagi, yang wataknya biarpun gagah namun seperti
orang gila, ia jatuh hati" Benar-benarkah ini yang
dibilang cinta" In Hong merasa malu kepada diri
sendiri dan berusaha untuk menyangkal perasaan ini.
"Tak mungkin! Dia sudah tua, patut menjadi ayahku!"
Akan tetapi pikiran ini bahkan mendatangkan
kesedihan karena ia teringat akan ayahnya yang
terbunuh mati oleh orang yang tidak diketahuinya
siapa dan di dalam kesedihan ini kembali terbayang
wajah Bu Jin Ay yang nampaknya demikian
menyintanya! Ingin ia kembali, mendekati Bu Jin Ay
dan menumpahkan semua kedukaan yang di
deritanya. Kembali ia mencela keinginan ini dan
bagaikan seorang berubah ingatan, In Hong berlari-lari
cepat sambil kadang-kadang tersenyum, kadang-
kadang menangis! Setelah tiba di depan kelenteng Kun-lun-pay yang
besar, ia segera memasuki pekarangan yang luas.
Dilihatnya banyak tosu berada di depan kelenteng,
maka ia segera berseru nyaring:
"Kun-lun Sam-lojin, keluarlah untuk membayar hutang
kalian!" Para tosu yang berada disitu ketika mengenal In Hong
segera melarikan diri ke dalam untuk memberi
laporan. Tak lama kemudian, muncullah Kun-lun Sam-
lojin, tiga orang tokoh Kun-lun-pay murid dari Pek
Ciang San-lojin. Dengan sikap tenang akan tetapi mata mereka
bersinar marah, tiga orang tosu ini cepat menghampiri
In Hong yang masih berdiri di pekarangan dengan
sikap menantang. Melihat tiga orang musuh besarnya
ini, kemarahan hati In Hong meluap. Cepat ia
mencabut pedang Liong-gan-kiam dan membentak:
"Kun-lun Sam-lojin, hari ini kalian harus menyusul
arwah guruku!" "Iblis wanita kau benar-benar harus dibasmi. Apa kau
masih belum kapok dan mencari mampus" Benar-
benar menjemukan!" Sun Sim San-lojin marah sekali
dan menyerang dengan hudtimnya. Dua orang
suhengnya juga cepat maju menyerang sehingga
dilain saat tiga orang tokoh Kun-lun ini telah
mengeroyok In Hong. Terjadi pertempuran hebat sekali dan baru beberapa
jurus saja, tiga orang kakek Kun-lun-pay itu
mengeluarkan seruan tertahan. Tak disangkanya
bahwa nona ini sekarang, selama kurang dari satu
tahun, telah memperoleh kemajuan yang hebat
sekali. Yang benar-benar amat mengherankan dan
mengagumkan adalah tenaga lweekang dari gadis ini,
benar-benar luar biasa kuatnya sehingga tiap kali
beradu senjata, tiga orang kakek Kun-lun-pay ini
merasa tergetar tangannya.
In Hong kali ini tidak mau memberi banyak
kesempatan kepada tiga orang musuh besarnya yang
ia benci. Dengan cepat pedangnya bergerak
menyambar-nyambar, tangan kirinya juga dikepal dan
mengirim pukulan yang disertai hawa lweekang yang
ia pelajari dari Bhutan Koay-jin.
Baru belasan jurus, ia telah berhasil memukul dada
Sun Sim San-lojin dengan tangan kirinya. Tosu
termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini terlalu sembrono
dan berani menerima pukulan tangan kosong dengan
dada terbuka. Memang sebetulnya ia tidak terlalu singkat pikiran.
Dahulu, setengah tahun lebih yang lalu, In Hong masih
memiliki lweekang yang tingkatnya dibawah
tingkatnya sendiri, maka tak mungkin dalam waktu
setengah tahun saja gadis itu akan memiliki
lweekang yang luar biasa.
Andaikata sudah sangat maju, kiranya pukulan
tangan kiri takkan dapat menembus ilmu kebalnya
yang disebut tiat-pouw-san (baju besi). Oleh karena
mengandalkan ilmu weduk inilah maka Sun Sim San-
lojin berani menerima pukulan In Hong dengan
tenang, sebaliknya hud-tim (kebutan) di tangannya
menotok ke arah uluhati In Hong!
"Blekk!" Tubuh Sun Sim San-lojin terlempar ke
belakang dan tosu ini melepaskan hud-timnya, roboh
dengan mata mendelik, maka pucat dan dari hidung
serta mulutnya keluar darah! Ia telah menderita luka
hebat sekali di dalam dadanya dan sukarlah ditolong
lagi keselamatan nyawanya.
Tentu saja Cu Sim San-lojin dan Kim Sim San-lojin
menjadi marah sekali. Sambil berseru keras mereka
menyerang, bahkan beberapa orang tosu mulai
mendekati In Hong hendak mengeroyok.
Melihat ini, In Hong mengamuk makin hebat. Ia tidak
ingin membunuh lain orang kecuali tiga kakek yang
pernah mengeroyok dan menewaskan gurunya itu.
Pedangnya menyambar laksana kilat dan terdengar
Cu Sim San-lojin menjerit.
Tadi pedang gadis itu menyambar menyerang leher.
Kakek ini yang mengandalkan lweekangnya, cepat
menyampok dengan ujung lengan baju dengan
maksud membikin pedang terpental sehingga ia dapat
membalas dengan serangan maut. Tidak tahunya,
ujung lengan bajunya terbabat putus dan pedang itu


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus menyerang lehernya. Biarpun ia sudah berusaha
mengelak, sia-sia belaka, lehernya terbabat pedang
dan kakek ini menggeletak dengan leher hampir
putus! Kini terdengar seruan-seruan disana-sini dan sebentar
kemudian In Hong sudah dikeroyok oleh banyak tosu
yang menjadi marah melihat gadis ini telah
menewaskan dua orang tosu kepala. Akan tetapi
menghadapi keroyokan ini, In Hong tidak menjadi
keder, bahkan mengamuk makin hebat. Untuk
kesekian kalinya, seorang tosu roboh dan akhirnya
setelah mendesak terus, In Hong berhasil merobohkan
Kim Sim San-lojin! "Cukup! Hanya mereka bertiga inilah yang hendak
kutewaskan, kalian tidak ada urusan denganku, harap
mundur!" bentak In Hong sambil memutar pedang
sedemikian rupa sehingga beberapa batang toya dan
golok para pengeroyok terlempar.
Melihat kehebatan ini, para tosu ada yang merasa
gentar dan terbukalah jalan bagi In Hong. Akan tetapi
baru saja ia melompat dan hendak keluar dari
pekarangan, tiba-tiba ia merasa sambaran angin dari
kiri, dibarengi bentakan keras:
"Siluman betina, kau berani membunuh murid-
muridku!" In Hong cepat menangkis dengan pedangnya ke kiri.
"Traang?"!" Bunga api berpijar menyilaukan mata
ketika pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat
panjang yang dipegang oleh seorang tosu tinggi besar
yang bertangan putih. ,"Pek Ciang San-lojin, kau juga turut-turut?" In Hong
membentak ketika mengenal kakek ini sebagai ketua
dari Kun-lun-pay. "Bocah keji, kau membunuh-bunuhi murid-muridku,
apakah aku harus tinggal diam saja?"
"Kun-lun Sam-lojin tiga orang muridmu itu telah
mengeroyok dan membunuh guruku, sekarang aku
datang menewaskan mereka untuk membayar
hutang, bukankah itu sudah adil dan perhitungan
sudah habis" Kau mau apa?"
Pek Ciang San-lojin tertawa menyindir. "Iblis cilik
seperti kau kalau tidak dibasmi, kelak hanya
mengotorkan dunia. Kau lebih keji daripada Hek Moli,"
kata Pek Ciang San-lojin dan begitu kata-kata ini
ditutup, tongkatnya telah menyerang dengan cepat
dan kuat sekali. In Hong dengan mudah mengelak, akan tetapi tiba-
tiba sebatang pedang menye-rangnya sebagai susulan
penyerangan tongkat tadi. In Hong terkejut. Tak
disangkanya bahwa ketua Kun-lun-pay ini benar-
benar hebat ilmu silatnya. Entah kapan, tahu-tahu
pedang pusaka yang terselip di punggung kakek itu
kini telah berada di tangan kiri sehingga kakek ini
memegang dua macam senjata, tongkat panjang di
tangan kanan dan pedang pusaka di tangan kiri!
In Hong cepat menangkis serangan pedang lawan
dan ia mendapat kenyataan bahwa tenaga
lweekangnya yang ia dapat dari Bhutan Koay-jin,
ternyata hanya cukup untuk mengim?bangi tenaga
kakek Kun-lun-pay ini. Maka ia berlaku hati-hati sekali
dan mainkan pedangnya dengan penuh perhatian.
Pertempuran kali ini seru sekali. Baiknya yang turun
tangan menyerang In Hong adalah ketua Kun-lun
sendiri sehingga semua tosu yang berada disitu tidak
berani sembarangan turun tangan membantu. Hal ini
akan dianggap meremehkan si ketua saja. Tanpa
diminta, tak seorangpun tosu disitu berani bergerak
membantu Pek Ciang San-lojin.
Akan tetapi, toh ada yang membantunya, yakni
seorang kakek yang amat tua, bukan lain adalah
Siang Te Lokay, susiok dari ketua Kun-lun-pay yang
bekerja sebagai tukang sapu kelenteng! Tadinya,
kakek ini tidak membantu, hanya datang menyeret
sapunya dan melihat pertempuran itu, ia berseru
kagum: "Nona cilik, dalam waktu beberapa bulan saja kau
sudah dapat memiliki lweekang seperti ini, benar-
benar bikin lohu kagum sekali! Biarpun I-kin-keng dari
Siauw-lim belum tentu lebih tinggi sumbernya
daripada lweekangmu itu!"
Pertarungan melawan Ketua Kun-lun-pay
Adapun Pek Ciang San-lojin yang sudah merasa
penasaran dan juga kewalahan menghadapi
kelihayan In Hong, ketika melihat kedatangan Siang
Te Lokay, lalu berkata keras:
"Siang Te Susiok! Harap kau segera turun tangan dan
robohkan siluman wanita ini."
Siang Te Lokay mengerutkan keningnya dan bermain
dengan sapunya. "Aku?" aku tidak tega?"" katanya kemudian.
"Susiok, ingat bahwa dahulu gadis ini telah kau
lepaskan dan lihat, apa yang menjadi akibat dari
perbuatan susiok itu. Ia kini datang dan selain
membunuh tiga orang murid kami secara keji, ia
masih menewaskan beberapa orang tosu lagi. Apakah
kejahatan seperti ini masih harus diampunkan lagi?"
Siang Te Lokay menggeleng-geleng kepalanya yang
botak lalu dengan apa boleh buat ia menoleh ke arah
In Hong: "Nona harap kau suka mengalah dan menyerah saja!"
Akan tetapi mana In Hong sudi menyerah"
"Aku datang membalas sakit hati guruku, untuk
keperluan ini, aku sudah menyediakan nyawaku
sebagai taruhan. Sekarang musuh-musuh besar
guruku sudah tewas, dan aku tidak ingin mencari
perkara lagi. Kalau kalian orang-orang Kun-lun-pay
mau melepas aku pergi, aku selamanya takkan
menginjakkan kaki disini lagi. Akan tetapi kalau kalian
mau membunuh, cobalah, aku tidak takut."
Pek Ciang San-lojin membentak marah dan kembali
ia menyerang sambil menyuruh susioknya turun
tangan. Siang Te Lokay meloloskan sebatang biting
sapunya dan sekali tangannya bergerak, biting itu
meluncur cepat melebihi anak panah dan tahu-tahu
telah menyerang kaki In Hong!
Gadis ini tengah sibuk melayani Pek Ciang San-lojin
sedangkan biting itu datangnya demikian cepat tidak
terduga, maka begitu merasa ada angin menyambar
ke arah kakinya, In Hong terkejut dan cepat
menggerakkan kaki. Namun tongkat di tangan Pek
Ciang San-lojin menyodok dadanya sehingga terpaksa
ia menangkis dengan pedangnya dan kakinya turun
kembali. Tak dapat dihindarkan lagi, biting itu
menusuk pahanya. In Hong sudah memiliki singkang yang tinggi, warisan
dari Bhutan Koay-jin. Akan tetapi biarpun yang
me?nyerang pahanya itu hanya sebatang biting kecil,
namun pelemparnya adalah Siang Te Lokay, seorang
tokoh besar yang tingkatnya sudah sejajar dengan
ketua Siauw-lim-si dan Bhutan Koay-jin sendiri. Maka,
biarpun tidak tepat menusuk paha, biting itu masih
melukai kulit ketika menyeleweng karena hawa
sinkang dari tubuh In Hong. Kulit dan sedikit daging
paha terluka. Baiknya biting itu kecil saja sehingga
pakaian yang menutup paha tidak robek, hanya
berlubang sedikit. Namun rasa perih pada pahanya membuat In Hong
terpecah perhatiannya, sehingga ilmu silatnya tidak
begitu kuat lagi menjaga dirinya. Padahal, pada saat
itu, Siang Te Lokay sudah ikut menyerbu dan
menyerangnya dengan sapunya yang lihay! Didesak
oleh dua orang pandai ini, mau tidak mau In Hong
sibuk juga. Yang membikin ia sibuk sekali adalah sapu
di tangan Siang Te Lokay.
Memang, cara penyerangan kakek tua ini berbeda
sekali dengan cara penyerangan Pek Ciang San-lojin.
Kalau sepasang senjata di tangan ketua Kun-lun-pay
ini, yakni tongkat dan pedang, selalu mengarah
bagian tubuh yang berbahaya dan kedua senjata ini
digerakkan dalam penyerangan yang sifatnya
membunuh. Menghadapi gadis yang gagah itu, Pek Ciang San-lojin
tidak mau berlaku sungkan lagi, apapula kalau ia
ingat bahwa murid-muridnya telah tewas dalam
tangan In Hong. Ia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan
tangan maut. Sebaliknya, penyerangan dari Siang Te Lokay sama
sekali tidak mengandung maksud membunuh, hanya
ingin membikin gadis itu tidak berdaya saja. Oleh
karena ini sapunya hanya menyerang ke arah jalan
darah yang melumpuhkan, atau menyapu kaki,
menyerang pergelangan tangan dan lain-lain. Justeru
inilah yang membikin In Hong bingung dan terdesak.
Penyerangan Pek Ciang San-lojin dapat ia layani
dengan cara keras sama keras, sebaliknya
penyerangan kakek tua itu benar-benar membikin ia
gemas sekali. Kalau ia perhatikan, maka bahaya yang
datang dari Pek Ciang San-lojin menjadi lebih besar,
sebaliknya kalau ia tidak ambil perduli, serangan-
serangan dari kakek tukang sapu ini sekali mengenai
sasaran, ia akan jatuh dan tidak berdaya lagi.
Karena terdesak terus, akhirnya pundak kiri In Hong
terkena sambaran ujung tongkat Pek-Ciang San-lojin.
Gadis ini menggigit bibirnya dan menahan rasa sakit.
Sambungan tulang pundak kirinya terlepas dan
tangan kirinya menjadi lumpuh tak dapat digunakan
lagi! Pada saat itu, sapu yang lihay dari Siang Te Lokay
menyerampang kakinya. In Hong mengeluh dan
tubuhnya terguling, cepat menggunakan gerak tipu
Teringgiling-turun-gunung. Tubuhnya masih tetap
bergulingan dan pedangnya ia siapkan. Ia ingin
menggulingkan diri sampai jauh kemudian melarikan
diri. Akan tetap, biarpun Siang Te Lokay hanya tertawa
dan tidak mau mengejarnya, tidak demikian dengan
Pek Ciang San-lojin. Ketua Kun-lun-pay ini tahu akan
maksud gadis itu, maka tentu saja ia tidak mau
membiarkan In Hong melarikan diri.
"Siluman betina, hendak lari kemana kau?" serunya
dan tubuhnya yang tinggi besar itu melayang,
mengejar In Hong yang masih bergulingan. Dengan
sekuat tenaga, ketua Kun-lun-pay ini menggerakkan
tongkat memukul ke arah kepala In Hong.
Gadis ini cepat menggerakkan tubuh mengelak dan
batu kecil yang berada di atas tanah terpukul hancur
oleh kepala tongkat! In Hong sudah melompat berdiri
akan tetapi ia roboh lagi ketika kaki Pek Ciang San-
lojin menyambar lututnya.
Pek Ciang San-lojin mengangkat lagi tongkatnya
untuk mengirim pukulan terakhir ke arah kepala In
Hong, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang
cepat sekali dan seorang laki-laki bertubuh gagah
berseru keras sambil mengangkat tangan mencegah:
"Tak semestinya ketua Kun-lun membunuh aeorang
gadis muda!" Pek Ciang San-lojin memandang. Ia melihat seorang
laki-laki tinggi besar beralis tebal yang memandang
kepadanya dengan mata bernyala. Sampai beberapa
lama ia tidak mengenal laki-laki ini, maka ia menjadi
marah. "Kau tahu apa tentang urusan kami" Hayo pergi!"
Dengan mengucapkan kata-kata ini, Pek Ciang San-
lojin mendorongkan tongkatnya ke arah orang itu.
Akan tetapi, orang itu tidak mau pergi, bahkan
dengan tangannya ia menolak tongkat yang
didorongkan ke arah dadanya.
Pek Ciang San-lojin kaget sekali. Tenaga yang keluar
dari tolakan tangan itu benar-benar hebat. Mengertilah
ia bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan.
"Hm, kau membela siluman ini" Tentu kau konconya
dan kau seorang jahat pula! Robohlah." Tongkat itu
menyerang dengan hebatnya.
Mengerti bahwa tongkat lawan ini tak boleh dibuat
main-main, orang itu melompat ke belakang dengan
cepat, tidak berani menangkis.
Pek Ciang San-lojin melihat orang itu mengelak
sambil melompat mundur, mengeluarkan suara
ketawa mengejek dan secepat kilat tongkatnya
diayun lagi, akan tetapi bukan untuk menyerang
orang itu, melainkan unuk menghantam kepala In
Hong yang sudah duduk! "Celaka?"! Jangan ganggu kekasihku?"!" Orang itu
menjerit dan menubruk ke depan, membiarkan
tubuhnya yang mewakili In Hong menerima pukulan
tongkat itu. "Bluk! Tubuh orang itu terlempar dan menubruk In
Hong. Orang itu merintih perlahan akan tetapi ia
masih dapat memeluk tubuh In Hong dan
memondongnya! In Hong tadi terkena tendang
lututnya, maka gadis ini tidak bisa berjalan. Sekarang,
melihat laki-laki itu terpukul hebat oleh tongkat unbuk
mewakili dirinya kemudian laki-laki yang sudah
terluka hebat ini masih memondongnya, In Hong
berkata lirih: "Bu Jin Ay?" kau baik sekali?"."
Orang itu memang Bu Jin Ay. Kalau tadinya ia
merintih dan bibirnya gemetar menahan sakit, kini ia
memandang kepada In Hong, matanya bersinar,
wajahnya berseri dan bibirnya gemetar. "Aku akan


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membelamu, melindungimu, aku akan
mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanmu,
kekasihku?" isteriku manis?""
Melihat adegan aneh ini, Pek Ciang San-lojin ragu-
ragu, mengerutkan kening dan juga merasa jemu
sekali. ,"Kalian sepasang manusia iblis, bersiaplah untuk
mampus!" serunya marah. Tongkatnya melayang pula,
siap untuk menghancurkan kepala Bu Jin Ay dan In
Hong. "Plak!" Tongkat itu bertemu dengan gagang sapu yang
dilontarkan oleh Siang Te Lokay.
"Susiok, mengapa kau mencegah teecu membunuh
dua siluman ini?"?" tanya ketua Kun-lun-pay dengan
marah. Siang Te Lokay menghampiri mereka dan
memandang kepada Bu Jin Ay.
"Pek Ciang, ketahuilah, orang ini adalah murid dari
mendiang Bu Sek Tianglo. Tak baik kalau kita
mengganggunya." Pek Ciang San-lojin kaget mendengar ini.
"Ahh?" apakah dia murid Tianglo yang dulu amat
terkenal dan she-nya Ong?"?"
Sementara itu, dengan terhuyung-huyung dan mulut
bicara mesra, menghibur In Hong dan berjanji hendak
mengobati luka-lukanya, Bu Jin Ay meninggalkan
tempat itu. Orang ini sebetulnya sudah terluka hebat.
Pukulan tongkat dari Pek Ciang San-lojin yang
ditujukan ke arah kepala In Hong dan ia wakili tadi,
tepat mengenai punggungnya dan telah mematahkan
dua buah tulang iganya. Namun, Bu Jin Ay ini memang seorang yang luar biasa
kuatnya. Ia tidak mem-perlihatkan rasa sakit dan
tidak memperdulikan dirinya sendiri bahkan ia masih
dapat memondong tubuh In Hong dan membawanya
pergi dari kelenteng Kun-lun-pay.
Baiknya Siang Te Lokay mengenalnya dan
memperingatkan Pek Ciang San-lojin, kalau tidak
apabila pihak Kun-lun-pay mengejar dan menyerang
terus, pasti Bu Jin Ay dan In Hong takkan dapat
melawan dan menyelamatkan diri lagi.
"Put Hauw Li, bidadariku jangan kau susah, aku akan
merawatmu sampai sembuh?"" Bu Jin Ay menghibur
In Hong yang merasa terharu sekali.
Orang gagah yang bernama Bu Jin Ay ini telah
menyelamatkan nyawanya, bahkan telah
mempertaruhkan nyawa sendiri untuk melindunginya
dari bahaya maut. Di dalam pondongan orang gagah
ini ia merasa demikian aman dan senang. Belum
pernah In Hong mendapat perasaan aneh seperti ini,
perasaan bahagia bahwa ada orang yang
menyintainya, orang yang membelanya mati-matian.
Biarpun Bu Jin Ay bersikap seperti orang yang tidak
beres otaknya, namun In Hong dapat menduga
bahwa orang ini bersikap aneh seperti itu karena
telah menderita kesedihan besar. Beberapa kali Bu Jin
Ay menyebutnya "Isterinya atau kekasihnya,"
mengapa demikian" Apakah barangkali Bu Jin Ay
telah kehilangan isterinya"
"Bu Jin Ay, punggungmu terluka, mungkin tulang
igamu patah," kata In Hong terharu sekali ketika
dalam pondongan, tidak terasa tangannya kena
meraba punggung orang gagah itu.
"Tidak apa, hanya dua tulang iga patah, masih cukup
murah untuk menebus nyawamu dari tongkat Si
tangan putih yang ganas itu," jawab Bu Jin Ay sambil
tersenyum. "Bagiku, yang terpenting adalah
keselamatanmu. Aku sendiri, ah, aku orang apa"
Hanya nyawa lebihan, hanya manusia yang dibenci
sana sini, tidak ada orang yang sayang kepadaku."
Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Bu Jin Ay
mengerutkan kening dan sinar matanya nampak
berduka sekali. ,.Bu Jin Ay, orang sedunia boleh membencimu, akan
tetapi percayalah, aku Put Hauw Li tidak akan
membencimu selama hidupku."
"Betulkah" Dan kau?" kau suka kepadaku?"
"Tentu saja. Kau satu-satunya orang di dunia ini yang
baik menurut pandanganku, mengapa aku takkan
suka?" "Bagus! Put Hauw Li, marilah kita berdua pergi jauh,
pergi meninggalkan semua keributan ini, pergi
meninggalkan kebencian dan permusuhan, kita pergi
keluar dunia ramai, hidup berbahagia sebagai
sepasang suami isteri untuk sela?manya!"
In Hong terkejut sekali sehingga ia tersentak kaget.
Belum pernah ia berpikir tentang suami isteri dan
kata-kata ini benar-benar mengejutkan hatinya.
"Hush jangan omong tidak karuan!" tegurnya dan tak
terasa tangannya menepuk punggung Bu Jin Ay.
"Aduuh?"! Bu Jin Ay terhuyung-huyung akan tetapi
tetap ia memondong tubuh In Hong dan menahan
rasa sakit sampai keringat membasahi jidatnya.
"Ah, maafkan aku, Bu Jin Ay. Aku tidak sengaja?"
Mari kita mencari tempat yang teduh agar kita bisa
saling mengobati. Aku membutuhkan perawatanmu,
akan tetapi sebaliknya kaupun perlu dengan
perawatanku''. "Ada sebuah tempat baik di kaki gunung ini, aku akan
membawamu kesana. Kau?" kau tidak marah lagi?"
Muka In Hong menjadi merah sekali, entah mengapa
ia sendiri tidak tahu, akan tetapi ia merasa jengah
dan malu terhadap orang gagah ini, akan tetapi juga
ada sesuatu yang amat mesra terasa di dalam
hatinya. Sudah gilakah aku"
Demikian In Hong bertanya kepada diri sendiri karena
ia dapat menduga bahwa hatinya tertarik serta suka
kepada orang ini. Ia merasa begitu aman dan betah
dalam pondongan Bu Jin Ay, merasa disayang sekali,
merasa berbahagia dapat bersama-sama dengan
orang ini! "Tidak, Bu Jin Ay, aku tidak marah. Akan tetapi kau
jangan bicara yang bukan-bukan lagi."
Mendengar ucapan ini, Bu Jin Ay tersenyum-senyum
dan wajahnya yang gagah itu berseri gembira. Ia
seperti mendapat kekuatan baru dan setengah berlari
ia turun dari gunung itu, menuju ke sebuah gua besar
yang berada di kaki gunung.
Ia pernah tinggal digua ini, bahkan ia telah
membersihkannya dan disitu ia telah menaruh meja
kursi dan pembaringan buatan sendiri, beberapa tahun
yang lalu. "Y" Belum lama Bu Jin Ay dan In Hong meningalkan
puncak Kun-lun-san, seorang pemuda yang cepat
larinya datang di kelenteng Kun-lun-pay. Pemuda ini
berwajah tampan, bertubuh tinggi agak kurus dan di
punggungnya terselip sebatang pedang. Dia ini bukan
lain adalah Ong Teng San, murid termuda dan
tersayang dari Siauw-lim-pay.
Ia menjalankan perintah suhunya untuk turun gunung
dan mengamat-amati sepak terjang In Hong murid
mendiang Bhutan Koay-jin yang telah memiliki
kepandaian tinggi. Tadinya pemuda ini turun gunung
bersama adiknya, Ong Lian Hong. Akan tetapi ia
menyuruh adiknya itu pulang ke rumah orangtuanya.
"Lian Hong, kau tentu tahu sendiri bahwa In Hong
adalah puteri dari ibu yang dahulu hilang. Dia tentu
berusaha hendak mencari ibu, juga berusaha hendak
membalas dendam atas kematian ayahnya yang
terbunuh oleh ayah kita. Oleh karena itu, kita harus
berpisah. Biar aku yang menjalankan perintah suhu
dan mengamat-amatinya agar ia jangan
menimbulkan kekacauan seperti yang diperbuat oleh
mendiang Hek Moli dan suaminya. Adapun kau harus
pulang ke rumah, mencari tahu tentang ayah dan ibu
yang sudah amat lama kita tinggalkan. Kemudian kau
harus menjaga keselamatan ibu di rumah. Kasihan ibu
kita?"" "Baik, koko," kata Lian Hong.
Diam-diam gadis ini merasa terharu sekali dan
memuji hati pemuda yang budiman ini. Biarpun ibu
Lian Hong bukan ibu Teng San, namun pemuda ini
amat kasih kepada ibu tirinya, bahkan dalam urusan
dengan ayahnya, Teng San membela ibu tirinya.
Demikianlah, Lian Hong menuju ke kampung tempat
tinggal orangtuanya, sedangkan Teng San
melanjutkan perjalanan ke Kun-lun-san.
Pemuda ini dapat menduga bahwa setelah kini
memiliki kepandaian tinggi, In Hong pasti akan
mengunjungi Kun-lun-pay untuk membalas dendam
atas kema-tian Hek Moli. Bukankah dahulu gadis itu
datang ke Siauw-lim-pay mencuri kitab dengan
maksud untuk dipelajari dan kelak dipergunakan
melawan Kun-lun-pay" Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
lalu mengarahkan perjalanannya ke Kun-lun-san.
Seperti juga In Hong, pemuda ini berlari cepat dan
tidak pernah menunda perjalanannya. Akan tetapi
oleh karena In Hong telah berangkat sehari dimuka,
tetap saja Teng San datang terlambat. Ia tiba
dikelenteng Kun-lun-pay setelah In Hong dipondong
dan dibawa pergi oleh Bu Jin Ay.
Kedatangannya disambut oleh seorang tosu penjaga.
Di ruang tengah terdapat beberapa buah peti mati, hio
mengebul dan banyak tosu bersembahyang dan
berdoa. Hati Teng San berdebar tak enak.
"Totiang, siapakah yang meninggal dunia dan
mengapa sekaligus begitu banyak yang meninggal"
Ada terjadi apakah?"
Setelah tosu itu mendengar bahwa pemuda ini adalah
murid Siauw-lim-pay, ia tidak menaruh hati curiga dan
berkata: "Ah, baru saja tempat kami diserbu oleh iblis-iblis
jahat." Teng San makin gelisah. "Totiang, terus terang saja
akupun mendapat tugas dari suhu Bu Kek Tianglo
untuk mengamat-amati sepak terjang seorang
nona?"" "Ah! Kau terlambat. Dia itulah yang datang menyebar
maut. Bukankah yang kau maksudkan itu nona murid
Hek Moli?" "Betul, totiang. Apa yang ia lakukan" Dan dimana ia
sekarang?" Teng San kini menjadi agak pucat. Ia menyesal sekali
bahwa kedatangannya terlambat. Anehnya dalam
mengajukan pertanyaan ini, yang terutama sekali
teringat olehnya adalah keadaan In Hong! Ia
mengkhawatirkan kalau-kalau gadis itu mengalami
kecelakaan. "Siluman betina itu datang dan mengamuk,
menewaskan Kun-lun Sam-lojin dan beberapa orang
saudara lain. Kemudian, setelah ketua kami keluar
dibantu oleh Siang Te Locianpwe, barulah ia dapat
dikalahkan dan terluka. Tentu bocah siluman itu akan
dibasmi oleh ketua kami kalau saja pada saat itu
tidak datang pertolongan seorang aneh."
"Ditolong orang" Siapa yang menolong dan
bagaimana kesudahannya, totiang?" tanya Teng San
dan hatinya makin berdebar. Tadinya ia merasa
khawatir dan gelisah bukan main, akan tetapi
sekarang agak terhibur mendengar bahwa In Hong
tertolong orang aneh. "Agaknya antara siluman betina itu dan penolongnya
memang sudah ada hubungan. Memang aneh sekali.
Laki-laki itu biarpun gagah dan tampan, patut menjadi
ayahnya, akan tetapi dasar wanita siluman. Kami
sampai menjadi malu melihat sikap mereka yang
saling mengutarakan cinta kasih. Benar-benar
kurangajar!" Hati Teng San terpukul mendengar ucapan ini. Ingin ia
menggaplok muka tosu yang menghina dan
memburukkan nama In Hong, akan tetapi Teng San
masih dapat bersabar, apalagi ia masih menghendaki
penjelasan. "Apa yang dilakukan oleh penolongnya itu dan
kemana mereka sekarang, totiang?"
"Laki-laki penolongnya itu merampas nona tadi dari
ancaman tongkat ketua kami, lalu membawanya lari
turun gunung. Setelah mereka pergi baru kami
ketahui dari Siang Te Locianpwe bahwa laki-laki itu
bukanlah orang sembarangan. Biarpun kelihatannya
seperti orang yang berotak miring, akan tetapi tidak
tahunya dia adalah murid dari Bu Sek Tianglo dan
shenya Ong?"" Tiba-tiba tosu itu membelalakkan matanya dan
hampir menjerit karena pundaknya dipegang dengan
eratnya oleh jari tangan Teng San, hampir remuk
rasanya. "Lekas katakan, ke jurusan mana mereka pergi!" kini
suara Teng San terdengar penuh ancaman, mukanya
pucat sekali. Tosu itu hanya menudingkan telunjuknya ke arah
bawah gunung. Teng San melepaskan cenkeramannya dan secepat
kilat tubuhnya berkelebat ke jurusan itu. Bagaikan
terbang cepatnya Teng San turun gunung untuk
mengejar In Hong. Hatinya tidak karuan rasanya.
Mungkinkah" Mungkinkah In Hong bersama ayahnya"
Tak salah lagi bahwa orang yang dimaksudkan oleh
tosu tadi adalah ayahnya. Siapa lagi murid Bu Sek


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tianglo she Ong kalau bukan Ong Tiang Houw
ayahnya" Akan tetapi, mana mungkin ayahnya bersama-sama
dengan In Hong dan lebih tak mungkin lagi antara
mereka ada perhubungan seperti yang dikatakan oleh
tosu tadi! Sama sekali tak masuk akal.
Ayahnya adalah musuh-besar In Hong, orang yang
telah membunuh ayah gadis itu, bahkan setelah
membunuh ayahnya, lalu merampas dan mengawini
ibunya! Kalau In Hong bertemu dengan ayahnya,
tentu gadis itu akan membunuhnya, akan mencincang
hancur tubuh ayahnya. Ia dapat mengerti betapa sakit hati gadis itu kepada
ayahnya yang telah membunuh ayah dan merampas
ibu gadis itu. Bagaimana sekarang ia mendengar dari
tosu Kun-lun-pay bahwa ayahnya menolong In Hong
dan bahwa di antara mereka terdapat perhubungan
yang memalukan" "Tak mungkin!" Teng San berseru keras untuk
menyangkal semua tuduhan yang menyakitkan
hatinya itu. Ia memang tidak puas akan perbuatan
ayahnya yang telah membunuh Kwee Seng kemudian
mengambil isterinya, perbuatan ini dianggapnya
rendah sekali. Akan tetapi kini memikat hati In Hong, puteri dari
Kwee Seng" Benar-benar ia anggap keterlaluan dan
betapapun juga hatinya tidak rela mengaku bahwa
ayahnya sampai hati melakukan perbuatan macam
itu. Setelah mencari dengan penuh perhatian, akhirnya
Teng San melihat jejak kaki ditanah yang agak
lembek di kaki gunung Kun-lun. Jejak kaki ini
menunjukkan bahwa belum lama di tempat itu
berjalan seorang yang membawa barang berat.
Ia lalu mengikuti jejak kaki itu dan sampailah ia
dimulut sebuah gua yang besar dan gelap, karena
ditutup oleh cabang dan ranting pohon dari sebelah
dalam. Agaknya ada orang memasuki gua itu dan
menutup mulut gua dengan cabang pohon untuk
mencegah gangguan binatang buas.
Teng San ragu-ragu. Ia hendak membuka cabang-
cabang pohon itu akan tetapi tiba-tiba ia mendengar
suara orang bicara: "Bu Jin Ay, tulang igamu sudah tersambung baik, akan
tetapi kau masih harus banyak mengaso."
Inilah suara In Hong! Teng San masih kenal suara
gadis ini. Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Pertemuan Dengan Ibu Kandung
Hatinya berdebar dan ia makin ragu-ragu. Terang
bahwa orang yang diajak bicara oleh In Hong itu
bukan ayahnya, karena dipanggil Bu Jin Ay, nama
yang aneh dan asing baginya.
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki tertawa
perlahan. Jantung Teng San seakan-akan berhenti berdetik
karena tegang dan ragu. Ia menahan napas untuk
mendengar dan mengenal suara orang yang tertawa
itu. "Kau bidadari berhati mulia, pundakmu sendiri terlepas
sambungannya dan lututmu juga terluka, akan tetapi
kau selalu memperhatikan keadaanku. Eh, bidadariku,
apakah sengaja Thian menyuruhmu turun ke bumi
untuk mengawani aku orang yang dibenci
sesamanya?" Itulah suara Ong Tiang Houw, ayahnya! Hal inipun
tidak diragukan lagi oleh Teng San. Tak terasa pula
pemuda ini jatuh bersimpuh di atas tanah. Kedua
kakinya terasa lemas dan mukanya pucat seperti
mayat. Akan tetapi ia masih mendengar suara
mereka bercakap-cakap: "Bu Jin Ay, kau sudah menolong nyawaku, bukan aku
yang baik, melainkan kaulah orang terbaik dan
termulia di dunia ini. Yang lain-lain itu palsu belaka.
Aku sebatangkara, kau seorang-diri, nasib kita sama,
selalu bertemu musuh dan selalu sengsara. Aku
senang sekali dapat bertemu denganmu, Bu Jin Ay."
Suara ini mengandung kemesraan yang
mengharukan, karena begitu jujur dan setulusnya.
Kembali laki-laki itu tertawa. "Memang kita sudah
berjodoh agaknya?" heran sekali aku, kau serupa
benar dengan dia?""
"Bu Jin Ay, kau mulai mengaco lagi. Selalu kau sebut-
sebut aku sama dengan orang lain. Aku tidak
perdulikan orang lain!"
"Ha, kau cemburu?"
"Cih! Siapa perduli" Sudahlah, kau harus tidur,
keadaanmu lemah sekali," terdengar suara In Hong
membujuk. Teng San tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia
merasa jemu, malu, marah, menyesal, kecewa dan
penasaran sekali. Pendeknya semua perasaan tidak
enak berkumpul di dalam hatinya, membuat ia
menjadi pucat. Bagaikan seorang gila ia mencabut pedangnya dan
sekali ia bergerak, cabang-cabang pohon itu terlempar
ke kanan kiri dan terbukalah mulut gua. Dengan
sepasang mata liar seperti harimau luka ia
memandang ke dalam gua dan pemandangan yang
terlihat olehnya merupakan minyak pembakar
disiramkan pada api yang sedang bernyala.
In Hong namnak duduk bersandar dinding gua,
tangannya mengusap kepala seorang laki-laki yang
rebah di lantai gua dan yang menaruh kepalanya di
atas pangkuan gadis itu. Laki-laki yang rebah
telentang dengan mata meram itu bukan lain adalah
ayahnya! Bermacam-macam pikiran terbayang dalam
kepala Teng San, terutama sekali pikiran tentang
keburukan perbuatan ayahnya.
Ayahnya telah mengepalai perampok-rampok liar
untuk merampok dan membunuh-bunuhi orang
hartawan dan bangsawan tanpa memilih bulu,
sehingga dalam keganasan itu ayahnya telah
membunuh seorang hartawan she Kwee yang
terkenal budiman dan dermawan. Kemudian, setelah
membunuh Kwee Seng, ayahnya ini mengambil
nyonya Kwee menjadi isterinya, tentu dengan
bujukan karena kalau tidak demikian, bagaimana
Nyonya Kwee tidak tahu bahwa Tiang Houw itu
pembunuh suaminya" Dua perbuatan yang jahat itu dikotori pula dengan
penyimpanan rahasia pembunuhan itu, sifat yang
amat pengecut dan rendah dalam pandangan Teng
San. Kemudian, kini ayahnya itu bahkan main gila dan
memikat anak perempuan dari Kwee Seng, atau anak
tirinya sendiri! Tentu dengan maksud agar supaya
nona ini jangan membunuhnya, jangan membalaskan
sakit hati Kwee Seng karena ayahnya juga tahu
bahwa In Hong telah memiliki kepandaian tinggi"
Alangkah palsu dan jahatnya ayahnya!
Dengan pikiran ini memuncak di dalam hati dan
kepalanya dan membuat Teng San mata gelap,
pemuda ini tidak perdulikan lagi pandang mata In
Hong yang terbelalak heran melihat pemuda itu telah
berada disitu. In Hong tidak menyangka buruk, maka ia tidak
berdaya ketika sambil berteriak mengerikan seperti
orang menjerit atau menangis, Teng San menubruk
maju dan dilain saat, ujung pedangnya telah amblas
ke dalam uluhati Ong Tiang Houw!
Ong Tiang Houw tersentak dan tubuhnya terlempar
ketika dengan jeritan marah In Hong melompat
berdiri. Tiang Houw membuka mata dan melihat Teng
San yang memegang sebatang pedang berlumur
darah, ia tersenyum dan berkata perlahan:
"Teng San?" anakku?""
In Hong tidak memperhatikan lain hal. Melihat bahwa
Teng San telah membunuh Bu Jin Ay, ia berseru keras:
"Jahanam keji, rasakan pembalasanku!" Ia menerjang
dengan pedangnya, tidak perduli akan lutut kakinya
yang masih sakit, juga rasa nyeri pada pundak tidak
dihiraukannya lagi. Teng San setelah menusuk uluhati ayahnya dan
mendengar kata-kata ayahnya tadi, seketika menjadi
lemas. Airmatanya mengucur dan ia tidak kuat lagi
melihat ayahnya yang sedang menghadapi maut.
Maka ia lalu melompat keluar dari gua pada saat
pedang In Hong menyerangnya.
"Jahanam keparat, jangan lari!"
In Hong mengejar keluar gua. Di luar gua ia melihat
Teng San berdiri dengan muka pucat sekali. Pedang
yang masih berlumur darah itu biarpun dipegangnya,
akan tetapi tergantung ke bawah dan pemuda itu
menundukkan mukanya. "Keparat, kau datang-datang membunuh orang tak
berdosa! Tidak malukah kau murid Siauw-lim-si
melakukan perbuatan serendah ini?"
Teng San mengangkat mukanya, memandang kepada
In Hong dengan sepasang mata basah. Ia merasa
kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi juga
menyesal. Mengapa orang gadis muda secantik dan
sepandai ini, sampai mudah terpikat oleh ayahnya"
Kalau tidak terjadi hal demikian, tentu ia takkan
membunuh ayah sendiri, dan mungkin sekali dapat
dicari jalan damai dan baik untuk membereskan
urusan sakit hati yang ruwet ini. Kini keadaan sudah
terlanjur, ia sudah membunuh ayah sendiri dengan
tangannya. Ia tidak perduli lagi!
"Aku membunuh dia, kau mau apakah?"
"Keparat!" In Hong mengayun tangan kiri, menyebar
toat-beng hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa),
disusul oleh tusukan pedangnya ke arah lambung
Teng San. "Cepp?"!!"
Pedangnya menembus lambung pemuda itu dan pasir
hitamnya juga mengenai sasaran dengan tepat.
Semua serangannya tadi ternyata tidak ditangkis
maupun dielakkan sama sekali oleh Teng San.
In Hong berdiri dengan mata terbuka lebar saking
heran dan ngerinya. Ia memandang pemuda itu yang
terhuyung lalu jatuh terduduk. Darah membanjir dari
perutnya, akan tetapi pemuda itu masih dapat
memandangnya dengan mulut dipaksa tersenyum
sehingga mendatangkan penglihatan yang amat
menyeramkan. "Teng San, kau kenapakah" Mengapa kau sengaja
menerima seranganku?" tanya In Hong sambil berlutut
di depan pemuda itu. Pemuda itu hanya tersenyum dan menggeleng-geleng
kepalanya perlahan. "Teng San, mengapa kau membunuh Bu Jin Ay"
Mengapa?" In Hong mulai menyesal melihat keadaan
pemuda ini dan ia bingung sekali.
Teng San menggerakkan bibirnya yang gemetar. Kata
lirih keluar dari mulutnya: "Dia?" dia adalah
ayahku?" dia harus mati?" dia harus mati?""
"Mengapa" Apa dosanya" Teng San, mengapa kau
membunuh ayahmu sendiri?"
Teng San hanya menggeleng kepalanya, wajahnya
mulai memucat dan nampaknya berduka sekali.
"Dan mengapa kau membiarkan aku membunuhmu"
Kalau kau melawan, aku takkan dapat menang!"
Kembali Teng San mengerahkan tenaga dan berkata
lirih: "Aku?" menebus dosa ayah?" juga menerima
hukuman?" karena telah membunuh ayah sendiri?"
In Hong?" kalau kau mau tahu?" kau pergilah ke
dusun Hok-te-chung?" sebelah barat kota?" Im-
goan-kan, disana?" disana kau carilah ibumu?""
Tiba-tiba tubuh Teng San lemas dan ia takkan
mempertahankan diri lagi, roboh terguling.
"Teng San, kau bilang ibuku?"?""
Akan tetapi pemuda itu tak dapat menjawab lagi
karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. In
Hong melompat ke dalam gua untuk menghampiri Bu
Jin Ay atau Ong Tiang Houw, akan tetapi yang
dihampiri juga telah menjadi mayat!
Ayah dan anak keduanya telah tewas dan darah
mereka membanjiri tanah di dalam dan di luar gua.
Sungguh mengerikan dan menyedihkan.
In Hong yang kebingungan itu menangis. Kemudian ia
dapat menekan perasaan hatinya dan digalinyalah
lubang di dalam gua, sebuah lubang yang cukup lebar
untuk mengubur dua mayat. Sampai sore ia bekerja
dan akhirnya ia dapat mengubur mayat ayah dan
anak itu ke dalam lubang. Pada malam harinya, ia
menangis di atas timbunan tanah di dalam gua!
"Y" "Lian Hong, anakku, terima kasih kau mau pulang dan
kembali kepada ibumu. Baiknya kau lekas datang,
nak, kalau tidak, kiranya ibumu takkan tahan lebih
lama hidup menderita seperti ini?""
Cui Hwa atau ibu Lian Hong mendekap kepala
putrinya yang berlutut dan memeluk ibunya.
Lian Hong terharu sekali. Ibunya telah kelihatan tua
dan lemah, wajahnya pucat dan rambutnya kusut.
Padahal ia ingat bahwa ibunya adalah seorang wanita
yang amat cantik, seperti In Hong yang ia lihat belum


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama ini. "Ibu, dimana?" ayah?"
Cui Hwa menarik napas panjang, lalu membetot
anaknya supaya duduk di sampingnya. Untuk
beberapa lama ia memandang wajah Lian Hong dan
kelihatan puas melihat puterinya sehat-sehat saja.
"Ayahmu telah pergi beberapa hari setelah kau dan
kakakmu pergi, sampai sekarang belum pernah
pulang. Ah, ya, dimana adanya Teng San" Mengapa ia
tidak turut pulang?"
Dua orang wanita ini lalu menceritakan pengalaman
masing-masing. Cui Hwa mendengarkan penuturan
puterinya tentang kedua anak ini yang belajar ilmu
silat di Siauw-lim-pay, dan hatinya girang sekali
karena mendengar bahwa Teng San juga sudah
memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Ibu, aku membawa kabar yang tentu amat
menyenangkan hati ibu."
Ibunya menoleh dan melihat wajah ibunya yang
kurus pucat serta matanya yang sayu seakan-akan
telah dekat mati dari pada hidup, Lian Hong tidak tega
untuk menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Ia
memeluk ibunya dan berkata:
"Ibu, aku telah bertemu dengan enci In Hong?""
Di dalam pelukan ibunya, Lian Hong merasa betapa
kedua tangan ibunya gemetar dan jantung di dalam
dada itu berdetak-detak keras.
"In Hong?"" Dimana dia" In Hong?" aah?"!" Dan
nyonya ini lalu menangis tersedu-sedu sambil
mendekap kepala Lian Hong.
Lian Hong sudah besar dan sudah cukup mengerti apa
yang mengganggu hati ibunya. Tentu ibunya ingat
akan keadaannya yang benar-benar membingungkan
itu. Tentu ibunya bingung, bagaimana kalau In Hong
tahu bahwa pembunuh Kwee Seng adalah ayah Lian
Hong" "Harap tenangkan pikiran, ibu. Mudah-mudahan saja
semua urusan ini akan berakhir dengan baik.
Sekarang Teng San-ko sedang mengikuti perjalanan
enci In Hong secara diam-diam, dan aku disuruhnya
pulang untuk menemui ibu disini. Percayalah, tak lama
lagi San-ko tentu pulang dan mudah-mudahan saja ia
datang membawa enci In Hong."
Karena banyak mendapat hiburan dari Liang Hong, Cui
Hwa mulai timbul harapannya. Matahari kini bersinar
pula setelah ia berada di dekat puterinya.
Tadinya keadaan nyonya ini memang menyedihkan.
Ia lebih banyak berbaring menderita sakit daripada
sehat. Barang-barang di rumah sudah mulai menipis,
dijual untuk keperluan sehari-hari. Can Ma sudah
meninggal karena usia tua, maka Cui Hwa hanya
hidup bersama seorang pelayan wanita lain. Hidup
kesepian dan hampir putus harapan.
Kedatangan Lian Hong merupakan obat penawar
yang mustajab dan mulailah terlihat senyum di wajah
Cui Hwa. Mulailah ia membereskan rambut dan
pakaian. Beberapa pekan kemudian, ketika Lian Hong dan
ibunya tengah duduk bercakap-cakap di ruangan
depan, mereka mendengar suara orang berjalan
masuk di pekarangan. Mereka menengok dan
terlihatlah seorang gadis berpakaian kusut wajah dan
rambutnya juga kusut tidak terpelihara, bahkan ada
bekas-bekas air mata dikedua pipinya, kelihatan sedih
dan bingung. Di pinggangnya tergantung sebatang
pedang. "Enci In Hong?"!" Lian Hong melompat turun dari
bangkunya dan menyambut kedatangan gadis itu.
In Hong tidak merasa heran melihat Lian Hong berada
disitu, bahkan ia hanya memandang sejenak kepada
gadis muda ini, selanjutnya matanya memandang
kepada Cui Hwa yang juga sudah berdiri dari
bangkunya dan kini memandang kepada In Hong
dengan wajah pucat dan kedua mata mengucurkan
airmata yang turun bertitik dikedua pipinya.
"In Hong?" benar-benar kaukah ini, anakku?"?" kata
Cui Hwa dengan suara merintih dan nyonya ini
melompat ke depan, menubruk In Hong dan ia tentu
akan roboh kalau In Hong tidak cepat-cepat
menyambut dan memeluknya.
"Ya Thian Yang Mahakuasa, terima kasih?" kau
benar-benar In Hong!"
Cui Hwa dengan airmata bercucuran menangis dan
tertawa seperti orang gila, sambil memegang kepala
anaknya dengan kedua tangan, menciumi dan me-
nimang-nimang kepala itu.
"Ibu, mengapa ibu bisa berada disini?"
"Mengapa" Apa maksudmu, In Hong?"
In Hong menoleh ke arah Lian Hong. "Bagaimana ibu
bisa disini bersama dia?"
Cui Hwa tersenyum di antara tangisnya. "Aah, benar!
Kau belum tahu kiranya. Dia ini adalah Lian Hong,
adikmu!" In Hong merasa betapa dadanya berdetak keras. "Ibu,
bukankah dia ini adik dari Ong Teng San?"
"Benar, Teng San itu adalah kakakmu sendiri?""
Cui Hwa mulai mendapat firasat tidak enak.
In Hong merenggut diri dan melepaskan pelukan
ibunya. Ia melangkah mundur tiga tindak dan
menatap wajah ibunya dengan penuh ketegangan.
Diam-diam Lian Hong sudah menyiapkan diri untuk
turun tangan kalau gadis aneh yang berwatak keras
itu hendak mengganggu ibunya.
"Ibu, apakah artinya semua ini" Anak telah bertemu
dengan Yo-supek, diberitahu bahwa ayah telah tewas
dalam tangan penjahat dan ibu telah hilang, juga Can
Ma telah lenyap secara aneh. Bagaimana tahu-tahu
ibu sudah berada disini dan adik ini?", bagaimana
pula ibu dapat berkata bahwa Ong Teng San adalah
kakakku?" Cui Hwa benar-benar terdesak oleh pertanyaan In
Hong yang bertubi-tubi ini sehingga ia berdiri dengan
kaki gemetar dan tak dapat menjawab.
Lian Hong melihat keadaan ibunya ini, bergerak maju,
menarik ibunya dan menyediakan kursi sehingga
ibunya dapat duduk. Cui Hwa menggunakan kedua
tangan untuk menutupi mukanya, tidak kuasa lagi
menentang pandang mata In Hong yang demikian
tajam menusuk kalbu. Lian Hong kini menghadapi In Hong dengan sikap
gagah akan tetapi sikapnya cukup menghormat.
"Enci In Hong, karena akupun anak ibu, biarlah aku
yang mewakili ibu untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaanmu. Jangan kau merasa heran melihat ibu
berada disini, karena sesungguhnya, ibu telah
menikah dengan ayah dari kakak Ong Teng San yang
ketika itu telah menjadi duda. Dari pernikahan ini
terlahir aku, oleh karena ini maka Teng San-ko adalah
kakak-tiriku, juga kakak-tirimu."
Muka In Hong menjadi pucat. "Siapakah nama
ayahmu yang mengawini ibuku?"
"Ayah bernama Ong Tiang Houw," jawab Lian Hong
singkat. Gadis cilik ini maklum bahwa ia telah tiba di
bagian yang amat berbahaya.
In Hong memandang ibunya, hatinya tidak karuan
rasanya. Jadi Bu Jin Ay, laki-laki gagah perkasa yang
membikin ia jatuh hati itu sebenarnya adalah suami
ibunya" Akan tetapi mengapa Teng San membunuh ayahnya
sendiri" Mengapa pula Teng San membiarkan dirinya
terbunuh seakan-akan hendak menebus dosa
ayahnya" Apa yang terjadi"
"Ibu, harap kau suka berterus terang. Mengapa ibu
menikah, sedangkan musuh besar yang membunuh
ayah belum kita balas" Juga ibu tidak berusaha
mencariku?" Lian Hong tidak berani menjawab pertanyaan ini dan
sekarang Cui Hwa sudah menguasai perasaan
hatinya, maka nyonya ini berkata dengan suara
tenang. "Dengarlah, In Hong. Sesungguhnya, baru kurang lebih
lima tahun yang lalu aku ketahui bahwa pembunuh
dari ayahmu adalah Ong Tiang Houw sendiri. Teng
San dan Lian Hong mendengar ini menjadi marah dan
melarikan diri, adapun Tiang Houw sendiri seperti gila
dan pergi tak pernah pulang. Adapun aku?" aku
hanya dapat menangis dan bersedih. Kalau aku tahu
bahwa dia pembunuh Kwee Seng ayahmu, sudah
tentu aku takkan sudi menjadi isterinya?""
Setelah berkata demikian dan melihat betapa wajah
Lian Hong yang tersinggung hatinya menjadi pucat
dan berduka, Cui Hwa menangis sambil memeluk Lian
Hong. Mendengar penuturan itu, makin lama wajah In Hong
menjadi makin pucat. Ia berdiri seperti patung,
memandang kepada ibunya dengan mata sayu dan
bibir gemetar. Kemudian terdengar ia merintih perlahan,
membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ. Akan
tetapi, baru saja tiga langkah ia bertindak, tubuhnya
terguling dan ia roboh pingsan!
Dapat dibayangkan betapa hancur dan pedihnya hati
In Hong. Ia telah mencurahkan kasih sayang dan
kasihan kepada Bu Jin Ay, dan tidak disangkanya
sama sekali bahwa Bu Jin Ay itu adalah suami ibunya,
bahkan pembunuh ayahnya! Orang satu-satunya di dunia ini yang dikasihinya,
ternyata adalah orang satu-satunya yang menjadi
musuh besarnya, yang seharusnya ia bunuh dan ia
cincang hancur tubuhnya! Baru sekarang terbuka matanya, dan tahulah ia
mengapa Teng San membunuh ayahnya sendiri.
Pemuda itu tentu merasa terhina sekali melihat
ayahnya yang setelah membunuh Kwee Seng lalu
mengawini nyonya Kwee, kini bahkan hendak
memikat In Hong, puteri dari Kwee Seng. In Hong
tahu bahwa Tiang Houw atau Bu Jin Ay melakukan
hal ini tanpa disadarinya.
Orang itu setelah ditinggal pergi oleh anak-anaknya
dan dibenci oleh isterinya, menjadi patah hati dan
seperti gila. Kemudian bertemu dengan dia yang
mempunyai wajah seperti Cui Hwa dan Lian Hong,
tidak mengherankan apabila Bu Jin Ay jatuh hati
kepadanya. Ketika siuman kembali, In Hong mendapatkan dirinya
telah berada di dalam kamar, ditangisi oleh ibunya.
Lian Hong juga duduk dikamar itu, keduanya nampak
sedih sekali. "Ibu, anak telah berdosa besar. Tak pantas lagi anak
mendekati ibu. Biarkan anak pergi sekarang juga,
untuk merantau seperti yang pernah dilakukan oleh
guruku," kata In Hong sambil bangkit dari
pembaringan. "In Hong, anakku, mengapa begitu" Akulah, ibumu
yang bersalah dan kau harus dapat maafkan ibumu.
Mari kita hidup berkumpul lagi, In Hong. Tidak
kasihankah kau kepada ibumu?"
"Ibu, aku tahu, enci In Hong tentu hendak mencari
ayah untuk membalas sakit hati. Bukan begitu, enci In
Hong?" tanya Lian Hong.
In Hong menggelengkan kepalanya. "Kau keliru.
Memang seharusnya demikianlah, akan tetapi nasib
menentukan lain. Agaknya memang ayahmu sudah
terlalu banyak dosanya, maka ia telah tewas dalam
tangan puteranya sendiri."
"Apa?"?" Cui Hwa dan Lian Hong terkejut sekali
mendengar warta ini dan keduanya memandang
kepada In Hong, penuh pertanyaan.
"Sesungguhnya, Teng San telah membunuh ayahnya
dan untuk perbuatan itu?" untuk perbuatan itu aku
telah membela?" Ong Tiang Houw dan sebaliknya
aku telah menewaskan Ong Teng San?""
Ibu dan anak itu hampir tak dapat percaya kepada In
Hong akan penuturan ini. Sungguh tak masuk diakal
dan amat mengherankan. "Jenazah keduanya telah kurawat dan ku kubur baik-
baik di dalam gua di kaki gunung Kun-lun-san. Ibu,
sekarang aku harus melanjutkan perantauanku."
"In Hong, jangan?""
"Kalau tinggal disini, mungkin aku dapat mati berduka
atau dapat membunuh diri sendiri ibu. Biarpun anak
pergi, mudah-mudahan saja kelak aku akan kembali.
Adik Lian Hong, kau seorang anak yang baik dan
berbakti, kau jagalah ibu baik-baik."
Tanpa dapat dicegah lagi, In Hong meninggalkan
rumah ibunya dan mulai saat itu, di dunia kangouw
muncullah seorang pendekar wanita yang gagah
perkasa. Dara perkasa ini adalah Kwee In Hong. Dia
merasa berdosa sekali maka untuk menebus dosa, ia
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang amat
menggemparkan. Entah berapa banyak penjahat di dunia kangouw
yang dibasminya dan banyak sekali orang sudah
menerima pertolongannya. Sebentar saja namanya
amat terkenal dan ia dijuluki orang SIAN-LI ENG-CU
(Bayangan Bidadari). Demikianlah akhir cerita ini dengan catatan dari
penulis bahwasanya segala perbuatan yang dilakukan
oleh manusia itu sama halnya dengan bibit ditanam
olehnya. Siapa menanam bibit dia akan memetik


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buahnya. Perbuatan baik pasti mendatangkan berkah,
sebaliknya perbuatan jahat pasti mendatangkan
malapetaka kepada diri sendiri.
HABIS Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Misteri Hantu Tanpa Kepala 2 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Adipati Bukit Sekarat 1
^