Pencarian

Bayangan Bidadari 4

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


mengerling tajam ke arah Cu Sim San-lojin dan
berkata, suaranya tidak halus dan lambat lagi,
melainkan nyaring dan tajam menusuk:
"Cu Sim, kau tidak memenuhi tugasmu dengan baik.
Bagaimana ada seorang nona dapat memasuki lian-
bu-thia?" Cu Sim San-lojin menjadi merah mukanya dan ia
memandang kepada In Hong dengan mata marah.
"Suhu, dengan halus teecu sekalian sudah mencoba
untuk mencegahnya masuk, akan tetapi nona ini
berkeras hendak bertemu dengan suhu. Mohon suhu
sudi memaafkan teecu sekalian," katanya dengan
nada suara merendah. Mendengar kata-kata Cu Sim San-lojian ini, In Hong
tidak ragu-ragu lagi. Inilah orangnya yang menjadi
ketua Kun-lun-pay, yang bernama Pek Ciang San-lojin.
In Hong melirik ke arah kedua tangan yang
memegang tongkat dan benar saja seperti yang
dituturkan oleh gurunya dahulu, kedua tangan tosu
tua ini putih sekali seakan-akan tidak ada darah pada
telapak tangan dan jari-jari itu. Inilah pula mengapa ia
bernama Pek Ciang San-lojin (Kakek Gunung
bertangan putih). "Apakah kau yang menjadi ciang-bun-jin Kun-lun-pay
dan bernama Pek Ciang San-lojin?" tanya In Hong
kepada tosu tua itu. Semua tosu menjadi marah sekali karena sikap gadis
ini benar-benar keterlaluan dan dianggap amat
kurangajar. Pek Ciang San-lojin memutar tubuh menghadapi In
Hong, sepasang alisnya yang tebal itu bergerak dan
matanya memandang tak senang.
"Kau siapakah?" bentaknya.
"Suhu, dia mengaku bernama Put Hauw Li, murid dari
iblis wanita Hek Moli," kata Cu Sim San-lojin.
"Pantas, pantas?" Orang seperti dia mana bisa
mempunyai murid yang tahu aturan" Nona, kau sudah
melakukan pelanggaran besar, memaksa masuk ke
dalam kelenteng kami. Kau berkeras hendak bertemu
dengan pinto, ada urusan apakah?"
Melihat sikap ketua Kun-lun-pay yang keras ini, hati In
Hong sudah menjadi mendongkol sekali, maka iapun
tidak memperlihatkan sikap merendah, suaranya
terdengar kering dan ketus ketika menjawab:
"Totiang, aku datang kesini untuk menuntut agar kau
sebagai ciang-bun-jin di Kun-lun-pay, mengadili murid-
muridmu yang secara curang telah membunuh guruku
Hek Moli. Kalau aku tidak memandang muka
perkumpulan dan ketuanya, apakah aku perlu susah-
susah bertemu denganmu" Aku tidak ingin turun
tangan sendiri dan menyerahkan hukuman kepada
tiga orang muridmu yang curang dan licik itu ke
dalam tanganmu sendiri."
Pek Ciang San-lojin tiba-tiba berubah air mukanya,
tidak keren dan mengeras seperti tadi, kini ia
tersenyum, agaknya geli mendengar kata-kata ini.
"Nona, kalau tidak melihat bahwa kau masih begini
muda, masih terhitung anak-anak hijau, tentu
ucapanmu ini akan menimbulkan sangkaan bahwa
kau sudah gila. Kaupikir kau ini siapakah dapat
memerintah pinto dan kami sekalian anak murid Kun-
lun-pay untuk berbuat apa yang kau kehendaki"
Gurumu Hek Moli bukanlah orang baik-baik, dia yang
mencari keributan disini. Kemudian, iapun menyerbu
pelbagai partai persilatan dan sudah melukai serta
membunuh entah berapa banyak orang. Akhir-akhir
ini, dalam sebuah pibu ia tewas, hal sudah
sewajarnya. Mengapa kau penasaran?"
"Akan tetapi guruku tewas karena keroyokan tiga
orang muridmu. Apakah perbuatan ini pantas"
Bukankah itu perbuatan yang pengecut sifatnya?"
Pek Ciang San-lojin mengerutkan keningnya dan
suaranya keren lagi seperti tadi:
"Hek Moli jahat, jahat dan ganas, mencoba untuk
menjatuhkan nama Go-bi-pay dan Kun-lun-pay
dengan mengandalkan kepandaiannya. Biarpun dia
berkepandaian tinggi, kalau dia jahat sudah menjadi
kewajiban Kun-lun-pay untuk membasminya. Di
dalam sebuah pibu tanpa perjanjian, se?orang
menghadapi banyak lawan bukanlah hal aneh. Empat
orang Go-bi-pay tewas dan sebaliknya Hek Moli juga
tewas, apa anehnya dalam sebuah pibu ada akibat
terluka ataupun tewas" Sekarang kau sebagai murid
Hek Moli, sudah melaku-kan pelanggaran, memasuki
kelenteng secara kasar dan seperti orang yang
memancing permusuhan. Akan tetapi oleh karena
pinto mempertimbangkan bahwa kau masih muda
sekali, biarlah kali ini pinto memberi ampun dan kau
boleh lekas-lekas enyah dari sini!"
In Hong marah sekali dan ia membanting-banting
kakinya dengan gemas sebelum menjawab: "Pek
Ciang kau terlalu menghina guruku dan aku sendiri!
Kau anggap bahwa guruku sudah tewas dalam
sebuah pibu, baik. Sekarang aku muridnya pun datang
untuk menantang pibu kepada kau dan siapa saja
tokoh Kun-lun-pay, hendak kulihat sampai dimana
kepandaiannya maka berlagak sombong. Kalian mau
maju seorang lawan seorang boleh, mau maju semua
mengeroyokku pun baik, aku menyediakan nyawaku
untuk membalas sakit hati guruku!" Setelah berkata
demikian, In Hong mencabut pedang Liong-gan-kiam
dan bersiap-sedia menghadapi lawan!
"Perempuan liar, jangan kurangajar!" bentak Sun Sim
San-lojin yang menjadi marah sekali melihat sikap
dan mendengar kata-kata In Hong terhadap suhunya.
Ia menyerang dengan hud-timnya dan ujung kebutan
itu meluncur ke arah pundak In Hong untuk menotok
jalan darah, sedangkan tangan kirinya bergerak
hendak merampas pedang. Tosu ini sudah tahu akan
kelihayan Hek Moli, akan tetapi terhadap murid Hek
Moli, seorang gadis yang masih begitu muda, tentu
saja ia memandang ringan.
Akan tetapi, dilain saat tosu ini mencelat mundur
dengan muka pucat. Kebutannya telah terbabat putus
oleh pedang nona itu dan kalau tadi ia tidak lekas-
lekas mempergunakan gerakan Pek-liong-hoan-sin
(Naga putih membalikkan tubuh) dan melompat ke
belakang, tentu tangan kirinya akan terbabat putus
pula! Demikian cepat dan ganasnya gerakan pedang
di tangan gadis itu. "Begitu sajakah kelihayan tosu Kun-lun-pay?" In Hong
yang tidak mengejar, tersenyum mengejek dengan
sikap menantang. "Hayo siapakah lagi yang mau
main-main?" Cu Sim San-lojin dan Kim Sim San-lojin marah sekali
dan mereka sudah siap untuk turun tangan dan
senjata mereka sudah disiapkan pula. Akan tetapi Pek
Ciang San-lojin berkata: "Biar pinto sendiri memberi hajaran kepada nona yang
kejam dan ganas ini!" Guru besar ini dari gerakan tadi
sudah maklum bahwa ilmu pedang dari In Hong amat
ganas dan cepat, dan kiranya kepandaian nona ini
sudah mengimbangi kepandaian Hek Moli. Kekalahan
Sun Sim San-lojin dalam segebrakan tadi biarpun
terjadi karena Sun Sim San-lojin kurang berhati-hati
dan memandang terlampau rendah kepada lawan,
namun sudah merupakan hal yang amat memalukan.
Kalau kedua muridnya yang lain maju kemudian
kalah oleh nona yang masih ini, bukankah itu akan
mencemarkan nama baik Kun-lun-pay" Maka, dalam
penasaran dan malunya, Pek Ciang San-lojin sampai
melupakan kedudukannya yang tinggi dan mau turun
tangan sendiri menghadapi seorang lawan yang patut
menjadi murid cucunya. Mendengar ucapan Pek Ciang San-lojin, In Hong juga
berlaku waspada. Memang kepandaiannya sudah
hampir menyamai kepandaian gurunya, bahkan
dalam kecepatan ia mungkin masih menang,
sungguhpun tenaga lweekangnya memang masih
jauh daripada memuaskan. Dahulu gurunya baru
roboh setelah dikeroyok tiga oleh Kun-lun Sam-lojin
dengan bantuan tosu-tosu Go-bi-pay pula, maka
sekarang menghadapi tiga orang tokoh Kun-lun-pay
itu ia tidak takut sama sekali, biarpun andaikata akan
dikeroyok tiga. Akan tetapi sekarang Pek Ciang San-lojin sendiri yang
akan maju. Menghadapi-nya dan inilah lain lagi!
Sebagai ketua partai Kun-lun-pay, In Hong percaya
bahwa kepandaian tosu tua ini pasti luar biasa sekali,
maka ia harus menghadapinya dengan hati-hati.
Diam-diam tangan kiri gadis ini merogoh segenggam
pasir hitam, senjata rahasianya yang disebut toat-
beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)!
Pada saat itu terdengar suara "sreeek?" sreeek?"
sreeek?"!" dan masuklah seorang tosu tua sambil
menyeret sapunya yang menerbitkan suara itu ke
dalam ruangan lian-bu-thia. Dia ini bukan lain adalah
tosu tua tukang menyapu pekarangan depan yang
tadi bekerja sambil bernyanyi-nyanyi dan tertawa-
tawa seorang diri seperti orang gendeng.
Kini, tosu yang lebih tua dari Pek Ciang San-lojin ini,
yang sudah tujuhpuluh tahun lebih usianya,
menghampiri In Hong sambil menyeret sapunya.
"Tugasku sebagai tukang sapu disini, membersihkan
segala kekotoran. Kalau masih ada aku disini,
mengapa ciang-bun-jin harus turun tangan sendiri
menyapu sehelai daun muda yang melayang turun
mengotori ini" Biarkan aku tua bangka
mengerjakannya." Pek Ciang San-lojin tadi sudah siap dengan
tongkatnya untuk memberi hajaran kepada In Hong.
Melihat datangnya tosu tua ini, ia segera melangkah
mundur dan mukanya bero?bah merah. Baru ia insaf
bahwa tadi ia terlalu terburu nafsu dan hampir saja ia
merendahkan nama Kun-lun-pay.
Bagaimana akan kata orang-orang kangouw kalau
mereka mendengar betapa untuk mengusir seorang
gadis muda yang datang mengacau, ciang-bun-jin dari
Kun-lun-pay sendiri sampai turun tangan" Hal ini sama
saja dengan mengaku kepada dunia bahwa Kun-lun-
pay sudah kehabisan orang pandai!
"Susiok (paman guru) memperingatkan teecu dan
datang membantu, itulah bagus sekali!" kata Pek
Ciang San-lojin dengan wajah berseri.
Tidak saja ia terbebas dari keadaan yang memalukan
dan merendahkan kedudukannya, juga kalau kakek
tua ini maju, pasti segalanya akan beres. Andaikata
paman gurunya ini sampai kalah oleh In Hong, maka
kiranya tidak ada orang lain disitu yang akan dapat
memenangkannya! Tosu tua tukang sapu itu lalu membalikkan tubuh
menghadapi In Hong, tersenyum-senyum dan
matanya yang sipit itu berkejapan aneh. "Kau murid
Hek Moli" Mari kuantar kau keluar kembali, tak baik
berada disini, di antara puluhan orang pria, sedangkan
kau seorang gadis muda. Ha, ha, ha!"
Kata-kata ini diterima oleh In Hong sebagai
penghinaan maka ia menjadi marah sekali.
"Tosu bau yang berotak miring. Kau juga ingin
mampus" Lihat pedang!" seru In Hong marah dan
pedangnya cepat sekali menusuk ke arah leher tosu
tua itu. Gerakan serangan ini luar biasa cepatnya sehingga
diam-diam Pek Ciang San-lojin terkejut. Benar-benar
seorang gadis yang lihay sekali, pikirnya, dan baiknya
yang menghadapinya adalah susioknya. Maka ia tidak
merasa khawatir sedikitpun, tahu akan kelihayan
susiok itu. Sebaliknya, In Hong terkejut bukan-main ketika tiba-
tiba ujung pedangnya itu telah "ditangkap" oleh sapu.
Sapu itu membelit ujung pedangnya dan betapapun ia
membetot, tak berhasil ia melepaskan pedang dari
libatan ini. Ia tahu bahwa tenaga lweekangnya jauh
lebih rendah daripada tenaga kakek aneh ini, maka
diam-diam ia merasa gelisah sekali.
"Lepaskan pedang!" serunya dan kaki kirinya
menendang ke arah gagang sapu lawannya.
Tosu tua itu menangkis dengan tangan kiri dan begitu
kaki itu bertemu dengan lengan si kakek, In Hong
terhuyung-hujung dan saat itu dipergunakan oleh tosu
itu untuk menarik sapunya dengan tenaga lweekang
yang hebat sekali sehingga In Hong tak dapat
menahan dan pedangnya terampas!
Bukan main marahnya gadis ini, sedangkan para tosu
disitu tersenyum-senyum girang. Juga Pek Ciang San-
lojin tersenyum girang dan diam-diam memuji
kelihayan susioknya yang aneh ini. Akan tetapi
kegirangan mereka itu terganti dengan kekagetan
hebat ketika tiba-tiba tangan kiri In Hong yang marah
menyambar dan sinar hitam menyambar ke arah
tubuh tosu tua tadi. Tosu ini nampak terkejut, mengayun sapu dan lengan
baju untuk menyampok pasir beracun itu. Akan tetapi,
biarpun sebagian besar pasir itu dapat ditangkis,
masih ada yang menembus ujung lengan baju dan
melukai lengannya. Untuk beberapa detik tosu tua ini
terhuyung-uyung dengan muka pucat!
Akan tetapi, dilain saat, tosu itu mengeluarkan seruan
keras, tubuhnya melayang ke arah In Hong dan


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sapunya menyambar. In Hong mengelak, namun
kakinya masih terlibat oleh sapu dan tubuh gadis ini
terguling! Dilain saat, kakek tua ini sudah mengempit
tubuhnya dan sambil membawa tubuh gadis itu
keluar, ia tertawa-tawa dan berkata:
"Biar aku melempar keluar daun ini, ha, ha, ha!"
Semua tosu menarik napas lega, akan tetapi diam-
diam Pek Ciang San-lojin menjadi gelisah sekali.
Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pay ini maklum bahwa
susioknya telah terkena sambaran senjata rahasia
yang amat lihay. Ia pernah mendengar bahwa Hek
Moli memiliki senjata rahasia toat-beng-hek-kong dan
kiranya tadilah senjata rahasia itu, diperlihatkan oleh
muridnya dan benar-benar hebat sekali sehingga
susioknya yang berilmu tinggi masih terkena juga.
"Cu Sim, kau lihatlah keadaan susiok-couwmu itu dan
kalau ia terluka, lekas memberi laporan agar dapat
berusaha mengobatinya!"
Cu Sim San-lojin menyatakan baik lalu keluar dari
ruangan itu. Tosu-tosu lain lalu bubaran, melakukan
pekerjaan mereka seperti biasa. Memang mereka
sudah amat terlatih, cepat berkumpul apabila
dibutuhkan dan tenang kembali setelah peristiwa
selesai. Betapapun In Hong meronta dan mengerahkan
tenaga, ia tidak mampu melepaskan diri dari
kempitan lengan tosu tua itu yang setelah keluar dari
kelenteng, berlari cepat sekali sehingga sebentar saja
sudah tiba di lereng gunung. Kemudian ia melepaskan
nona itu sambil tersenyum dan berkata:
"Nona, kalau tidak teringat akan mendiang gurumu,
siapa sudi menolongmu dan rela membiarkan
lenganku terkena toat-beng-hek-kong?" katanya dan
dari dalam saku bajunya ia mengeluarkan sebungkus
obat, terus mengobati luka yang diakibatkan oleh
pasir-pasir hitam. Melihat obat ini, In Hong terkejut. Itulah obat
pemunah pasir hitam yang dibuat oleh gurunya
sendiri, yang juga berada di dalam bungkusan
pakaiannya. Darimana tosu ini mendapatkan obat itu"
"Gurumu adalah sahabat baikku, dan karena aku
pernah ditolong olehnya, maka tadi melihat kau
menghadapi Pek Ciang San-lojin, aku sengaja datang
untuk menyeretmu keluar dari lembah maut. Kalau
tidak aku keburu datang, apa kaukira sekarang kau
masih bernyawa" Hm, biarpun ilmu silat dan ilmu
pedangmu lihay, mana kau dapat menghadapi tokoh-
tokoh Kun-lun-pay" Lweekangmu masih amat rendah
dan kalau kau bertanding melawan Pek Ciang, kau
tentu akan terluka dan binasa."
Mendengar semua kata-kata ini, maklumlah In Hong
bahwa kakek aneh ini bermaksud baik dan bahkan
telah menolongnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menjatuhkan diri berlutut.
"Locianpwe, banyak terima kasih atas pertolonganmu.
Akan tetapi teecu Kwee In Hong tidak takut mati.
Untuk membalas budi mendiang guruku, teecu harus
berani berkorban nyawa. Teecu harus membalas
dendamnya atas pengeroyokan tosu-tosu Kun-lun-
pay." "Ha, ha, ha, inilah namanya anak kerbau tidak takut
hari?mau. Dengan tenaga lweekangmu serendah itu,
biar sepuluh tahun lagi tak mungkin kau dapat
mengalahkan kami. Kecuali kalau kau bisa
mendapatkan kitab Tat Mo I-kin-keng dari Siauw-lim-
si dan mempelajarinya sampai tamat, baru ki?ranya
kau akan dapat menghadapi kami! Nah, kau pergilah,
aku bicara semua ini bukan terhadapmu, melainkan
terhadap arwah gurumu!" Setelah berkata demikian,
sambil menyeret sapunya tosu tua itu berjalan pergi.
"Tahan dulu, locianpwe, mohon tahu nama locianpwe
yang mulia." Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
" Sian Li Eng Tju (Tamat) " Murid
Pewaris I-Khi-keng Murid Pewaris I-Khi-keng Tanpa menoleh tosu itu herkata: "Siang-te Lo-koay
hanya tukang sapu di kelenteng Kun-lun, tidak ada
harganya untuk diingat lagi." Kakek itu mempercepat
larinya dan sebentar saja telah naik kembali ke bukit
itu. In Hong menarik napas panjang. Ia kagum sekali
kepada kakek ini, yang biarpun ilmu silatnya tidak
amat tinggi, namun ginkang dan lweekangnya sudah
sampai di puncak yang tak dapat diukur tingginya
sehingga ia merupakan seorang anak kecil yang tidak
berdaya terhadapnya. Ia pikir bahwa betul sekali apa
yang diucapkan oleh kakek itu. Kepandaiannya, atau
lebih tepat ilmu lweekangnya, masih terlampau
rendah sehingga kalau ia nekad membalas dendam
ke Kun-lun-pay, hal itu bukan berarti kegagahan,
melainkan ketololan besar. Sakit hati gurunya takkan
terbalas, sebaliknya ia seperti mengantarkan nyawa
secara sia-sia belaka. Tat Mo I-khi-keng dari Siauw-lim-si! Kata ini terukir di
dalam hatinya. Apa artinya semua kepandaiannya
kalau ia tidak dapat memiliki lweekang yang tinggi"
Ia pernah mendengar dari gurunya bahwa dalam
pertandingan menghadapi tokoh lihay memang
tenaga lweekang amat penting. Dan gurunya pernah
mengaku bahwa dalam hal lweekang, masih kalah
oleh partai-partai besar, apalagi partai silat Siauw-lim-
si yang amat mengutamakan ilmu lweekang ini.
"Aku harus mendapatkan kitab Tat Mo I-kin-keng dari
Siauw-lim-si, biarpun harus menjadi pencuri!" Pikiran
ini menjadi keputusan di dalam hati gadis yang masih
penasaran itu, dan sekali mengambil keputusan, ia
tidak mau menunda-nunda lagi, maka begitu turun
dari Kun-lun-san, ia langsung menuju ke Siauw-lim-si.
"Y" Berbeda dengan partai persilatan Kun-lun-pay, Siauw-
lim-pay adalah partai persilatan dari penganut-
penganut agama Buddha. Kelenteng Siauw-lim-si
adalah sebuah kelenteng yang besar sekali, di kelilingi
oleh tembok yang tebal dan tinggi. Di antara semua
partai persilatan yang besar, nama Siauw-lim-pay
sudah amat terkenal. Setiap orang hwesio, atau anak
murid Siauw-lim-pay yang berada di luar kelenteng,
sudah dapat dipastikan memiliki ilmu kepandaian
tinggi, karena kalau belum tamat belajar mencapai
tingkat tertentu, murid Siauw-lim-si tidak boleh
meninggalkan perguruan! Setiap orang anak murid yang tamat harus
menempuh ujian, yakni melalui sebuah lorong yang
sudah disiapkan untuk menguji si murid. Lorong ini
penuh dengan alat-alat rahasia dan si murid akan
menghadapi serangan-serangan berbahaya, baik yang
dilakukan dengan alat-alat rahasia itu maupun oleh
guru-gurunya sendiri. Kalau ia berhasil menembusi lorong inti, ia dianggap
cukup cakap untuk keluar dari Siauw-lim-si. Akan
tetapi kalau dalam menghadapi ujian ini ia gagal,
harus belajar lebih giat lagi. Atau kalau sam?pai ia
tewas dalam ujian ini, itu sudah menjadi nasibnya!
Oleh karena ada aturan dan disiplin yang keras ini,
maka selamanya Siauw-lim-pay dapat menjaga nama
dan anak-anak murid keluaran Siauw-lim-pay dapat
menjunjung tinggi nama perguruan itu.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-
pay adalah Bu Kek Tianglo, seorang hwesio yang
usianya sudah hampir delapanpuluh tahun. Selama
berpuluh tahun hwesio ini memegang pimpinan
Siauw-lim-pay dan boleh dibilang ia berhasil dalam
memajukan partai persilatan ini. Akan tetapi hatinya
tidak puas. Ada hal yang amat mengganjel hatinya
dan kalau ia teringat akan hal ini, diam-diam ia
menarik napas seorang diri dan berbisik:
"Apakah akan jadinya dengan Siauw-lim-pay" Tat Mo
Couwsu pasti arwahnya akan mengutukku kalau aku
tidak bisa mendapatkan seorang ahliwaris yang baik."
Yang menjadikan kakek hwesio ini berduka adalah
karena selama ini, ia tidak bisa mendapatkan
seorangpun murid yang berbakat dan yang akan
dapat mewarisi kepandaian aseli dari Tat Mo Couwsu.
Ilmu silat peninggalan guru besar Tat Mo Couwsu,
yang disebut Tat Mo Kun-hoat, terdiri dari bermacam-
macam ilmu silat. Memang semua anak murid Siauw-lim-pay
mempelajari ilmu silat ini, akan tetapi tingkat mereka
yang paling tinggi hanya sampai enam bagian saja.
Yang sudah mewarisi ilmu silat ini sampai sembilan
bagian hanyalah Bu Kek Tianglo seorang, karena
untuk berhasil mewarisi seluruh pelajaran yang amat
sukar dari ilmu silat itu, dibutuhkan bakat luar biasa
serta kebersihan batin, hawa dalam tubuh, dan darah.
Sampai sebegitu jauh, tak seorangpun anak murid
yang sanggup menerima latihan I-kin-keng, yakni
latihan ilmu lweekang yang tertinggi. Hanya Bu Kek
Tianglo sendiri yang berhasil, akan tetapi ia sudah
terlalu tua. Usianya takkan lama lagi
mempertahankan hidupnya dan sebelum mati, hwesio
tua ini ingin sekali mendapatkan seorang murid yang
dapat mewarisi I-kin-keng dan ilmu silat tertinggi dari
Tat Mo kun-hoat. Bu Kek Tianglo sudah hampir putus asa sampai
datangnya seorang hwesio Siauw-lim-si yang
membawa seorang pemuda dan seorang bocah
perempuan ke kelenteng itu. Hal ini terjadi lima tahun
yang lalu. Hwesio yang datang ini adalah murid
kepala dari Bu Kek Tianglo yang bernama Ceng Seng
Hwesio. Ceng Seng Hwesio berlutut menghadap ketua Siauw-
lim-pay itu dan disebelahnya, pemuda dan anak
perempuan itupun ikut berlutut dengan penuh
penghormatan. "Muridku yang baik, tiga bulan lamanya kau meninjau
keadaan di luar, bagaimanakah khabarnya dengan
para anak murid kita yang berada di luar?"
"Mereka baik-baik semua, suhu, dan tak seorangpun
yang melakukan pelanggaran, kesemuanya patuh
akan pelajaran dan larangan Siauw-lim-pay," jawab
Ceng Seng Hwesio. Jawaban ini kelihatannya amat menyenangkan hati
Bu Kek Tianglo, karena kakek ini memang selalu
merasa gelisah kalau ia teringat betapa banyaknya
murid-murid Siauw-lim-pay berada di luar kelenteng
sehingga ia tidak kuasa untuk mengawasi tingkah
laku mereka. Ia selalu khawatir kalau-kalau ada anak
murid yang melakukan perbuatan jahat, melanggar
larangan Siauw-lim-pay dan di dunia luar merusak
nama baik Siauw-lim-pay. Oleh karena ini, seringkali
ia mengutus murid-muridnya untuk meninjau keadaan
di dunia kangouw dan memberi wewenang kepada
murid-muridnya ini apabila mendengar anak murid
Siauw-lim-pay yang menyeleweng, untuk menangkap
dan menyeretnya ke Siauw-lim-pay!
"Siapakah orang muda dan nona cilik ini?" kemudian
kakek itu bertanya sambil memandang kepada
pemuda dan anak perempuan yang berlutut di dekat
Ceng Seng Hwesio. "Di dalam perantauan, teecu bertemu dengan mereka
ini, dikeroyok oleh perampok di dalam hutan. Teecu
amat tertarik melihat ilmu silat pemuda ini
berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-si, akan tetapi
gerakannya sudah menyeleweng jauh. Setelah teecu
mengajak mereka bercakap-cakap, ternyata bahwa
mereka ini masih cucu murid dari supek Bu Sek
Tianglo!" Bu Kek Tianglo nampak tercengang dan memandang
kepada pemuda itu dengan penuh perhatian.
"Anak muda, siapa namamu" Dan kau murid
siapakah?" tanya Bu Kek Tianglo.
Pemuda itu mengangkat mukanya yang tampan dan
membayangkan kedukaan, memandang kepada tosu
tua itu kemudian menunduk kembali dan menjawab,
suaranya halus dan sopan:
"Susiok-couw, teecu bernama Ong Teng San, dan ini
adik teecu bernama Ong Lian Hong. Teecu berdua
menerima pe?lajaran ilmu silat dari ayah teecu sendiri
yang bernama Ong Tiang Houw, murid dari sucouw
Bu Sek Tianglo. Kebetulan sekali teecu berdua yang
sengsara bertemu dengan supek Ceng Seng Hwesio,
maka apabila susiok-couw tidak berkeberatan, teecu
berdua mohon diterima menjadi murid di Siauw-lim-si,
karena teecu berdua sudah tidak mempunyai tempat
tinggal lagi." Suara pemuda itu menjadi perlahan dan
ia kelihatan berduka sekali.
"Hm, mengapa kalian pergi dari rumah" Dimana
ayahmu" Biarpun ayahmu tidak langsung menjadi
murid Siauw-lim-pay, akan tetapi sudah lama pinceng
(aku) mendengar akan sepak terjangnya yang patut
dihargai sebagai seorang pendekar yang gagah.
Agaknya mendiang suhengku Bu Sek Tianglo tidak
terlalu salah menerima murid sungguhpun dia sendiri
telah meninggalkan Siauw-lim-pay."
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Teng San terisak
menangis! Hati pemuda ini bersedih sekali kalau ia
teringat akan ayahnya yang dianggap telah


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan perbuatan yang amat memalukan dan
tidak berbudi. Melihat pemuda ini menangis, Bu Kek Tianglo
wajahnya tiba-tiba berseri. Di dalam hatinya ia
berkata: "Aha, anak inilah yang kiranya akan dapat
mewarisi I-kin-keng, hatinya perasa sekali dan
perasaan yang halus inilah yang amat dibutuhkan
untuk bisa mempelajari I-kin-keng dengan sempurna."
Akan tetapi di luarnya, ia berkata dengan suara tegas:
"Teng San, tidak patut seorang pemuda mengalirkan
airmata. Ada urusan, boleh kau beritahukan kepada
pinceng dengan terus terang, boleh jadi pinceng akan
dapat mencarikan jalan terang bagimu."
Teng San menekan perasaan sedihnya, kemudian ia
dengan terus-terang menceritakan bagaimana
ayahnya telah membunuh seorang hartawan muda
bernama Kwee Seng, kemudian mengambil isteri
hartawan itu sebagai isterinya. Hal ini dianggapnya
amat menyakitkan dan memalukan hati, apalagi
karena Teng San sudah menganggap ibu tiri itu
sebagai ibunya sendiri, bahkan sudah berkali-kali
berjanji kepada ibu tirinya untuk membalaskan
dendam atas terbunuhnya suami yang dahulu dari ibu
tirinya itu. Tidak disangka-sangkanya bahwa
pembunuhnya adalah ayahnya sendiri!
Mendengar penuturan ini, Bu Kek Tianglo mengerutkan
keningnya dan beberapa kali ia menggeleng-geleng
kepalanya yang gundul. "Omitohud, bagaimana ada kejadian seperti itu"
Pinceng sudah mendengar tentang ayahmu yang
memimpin pasukan Kay-sin-tin membasmi orang-
orang hartawan dan bangsawan. Perjuangan
memperbaiki nasib kaum jembel memang baik,
bahkan semenjak dahulu dipelopori oleh orang-orang
gagah sedunia yang tidak suka melihat sesama hidup
bersengsara dan melihat keganjilan di dunia ini,
dimana yang hidup kaya sampai berlebihan dan yang
hidup miskin sampai tidak bisa makan. Akan tetapi,
setiap perjuangan memperbaiki nasib haruslah
dilakukan dengan hati-hati dan waspada, karena
hampir selalu ada bahaya kemasukan anasir-anasir
buruk dan sifat-sifat yang tidak baik. Ayahmu
terlampau dikuasai oleh nafsunya, nafsu dan dendam
karena kematian isterinya, yaitu ibumu, dan orang
yang sudah dikuasai oleh nafsu dan dendam, tiada
ubahnya seperti binatang buas yang tidak memilih
bulu, siapa saja diterkamnya. Orang gagah harus
dapat berlaku adil, menghukum mereka yang
bersalah dan menolong mereka yang tergencet.
Secara membuta tuli saja membasmi orang-orang
hartawan dan bangsawan, adalah perbuatan yang
amat keliru, karena tak mungkin seluruh hartawan
dan bangsawan itu jahat belaka. Karena kekeliruan
ayahmu itu, sekarang ia harus memetik buahnya
yang amat pahit. Bagaimana dengan ayahmu
sekarang?" "Teecu tidak tahu, susiok-couw. Entah bagaimana
dengan ayah, dan kalau teecu teringat akan ibu?""
Sampai disini terdengar suara tangisan Liang Hong.
"San-ko, aku mau pulang, mau menjaga ibu?"," anak
ini menangis. Bu Kek Tianglo adalah seorang yang hatinya penuh
welas asih, sesuai dengan penganut agama Buddha,
maka ia amat terharu melihat keadaan dua orang
anak itu. Apalagi kalau ia melihat Teng San, diam-
diam ia memuji ketajaman mata muridnya, karena
pemuda ini benar-benar memiliki bakat yang luar
biasa. Oleh karena itu, ia menerima Teng San dan Lian
Hong menjadi murid Siauw-lim-si, dan menyerahkan
pendidikan mereka kepada Ceng Seng Hwesio. Akan
tetapi, terhadap Teng San ia turun tangan sendiri
memberi pelajaran ilmu silat tinggi sehingga pemuda
itu mendapatkan kemajuan yang amat pesat.
Selama lima tahun Teng San dan Lian Hong dilatih di
dalam kelenteng Siauw-lim-si dan Teng San kini
benar-benar telah mewarisi ilmu-ilmu silat tertinggi
dari Siauw-lim-pay. Akan tetapi, tetap saja ia masih
mengalami kesukaran untuk mewarisi I-kin-keng dan
setelah lima tahun, baru ia mulai mendapat
penjelasan tentang ilmu lweekang tertinggi dari
Siauw-lim-pay ini. Juga Lian Hong merupakan murid
yang amat memuaskan hati Ceng Seng Hwesio,
karena dalam usia empatbelas tahun, gadis cilik ini
telah mampu melewati lorong ujian dengan selamat
dan tidak terluka sedikitpun!
Pada waktu inilah ketika Siauw-lim-si mendapat
serbuan yang menggemparkan kelenteng besar itu,
serbuan yang dilakukan oleh Kwee In Hong, gadis
murid Hek Moli yang amat berani dan keras hati itu!
Waktu itu tepat tanggal limabelas, bulan bersinar
terang dan hawa malam itu dingin bukan main, tanda
bahwa musim panas sudah mulai bertukar musim.
Tak seorangpun di kelenteng Siauw-lim-si yang
menduga bahwa malam itu tempat mereka yang
disegani dan ditakuti oleh semua orang kangouw
akan menerima tamu tak diundang yang amat berani.
Memang sudah berpuluh tahun tidak ada orang yang
berani memusuhi Siauw-lim-si, apalagi datang sebagai
seorang tamu malam tak diundang yang bermaksud
jahat. Maka para hwesio enak-enak saja dan tidak
menyangka buruk. Apalagi karena In Hong memasuki tempat itu dengan
mempergunakan ginkangnya yang sudah tinggi
tingkatnya. Hanya bayangannya saja yang
berkelebatan ketika ia mendaki bukit itu menuju ke
kelenteng. Kemudian, dengan amat mudahnya ia
melompat pagar tembok yang tinggi, yang
mengelilingi semua bangunan kelenteng dan rumah
tinggal para anak murid Siauw-lim-pay.
Kalau orang melihat In Hong melompat-lompat di
dalam sinar bulan purnama, tentu ia akan mengira
bahwa gadis ini seorang bidadari yang turun dari
bulan. Memang gadis ini amat cantik, lincah, dan
pakaiannya yang serba ringkas membayangkan
potongan tubuhnya yang langsing.
In Hong merasa agak heran ketika melihat keadaan
di dalam pagar tembok itu sunyi saja, tidak kelihatan
penjaganya. Begini sajakah keadaan Siauw-lim-si
yang tersohor kuat itu" Ia merasa lega dan setelah
meneliti bahwa keadaan di dalam benar-benar aman,
ia lalu melayang turun dari pagar tembok dengan
gerakan ringan seakan-akan seekor burung walet
menyambar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan
suara ketika ia tiba di atas tanah dalam sebuah
pekarangan yang lebar. Sambil menyelinap dan bersembunyi di dalam
bayang-bayang pohon dan tembok yang gelap, gadis
yang berani ini maju terus. Tiba-tiba ia melihat
seorang hwesio cilik membawa lampu berjalan
perlahan. Sambil berjalan, hwesio cilik ini mulutnya
berkemak-kemik mengeluarkan suara seperti orang
berdoa, agaknya ia sedang menghafal ayat-ayat suci
yang baru dipelajarinya siang hari tadi.
In Hong cepat bersembunyi ke dalam tempat gelap
dan ketika hwesio kecil itu lewat, ia melompat dan
pedangnya sudah menempel pada leher hwesio ini.
Alangkah heran dan kagumnya hati In Hong ketika
melihat betapa hwesio cilik ini sama sekali tidak
terkejut. Jangankan berteriak minta tolong atau melepaskan
lampunya, bahkan ia memandang sambil tersenyum!
Ketenangan hwesio cilik ini membuat In Hong
menjadi kagum dan malu kepada diri sendiri, maka ia
menjauhkan pedangnya dari leher anak yang sudah
menjadi calon pendeta itu.
"Siauw-suhu, aku tidak berniat buruk kepadamu,
hanya aku harap kau suka memberitahu kepadaku
dimana adanya kamar penyimpanan kitab Siauw-lim-
si!" bisiknya. Memang aneh sekali Hwesio cilik ini sambil tersenyum
lalu menuding ke arah kiri. "Kau hendak mencari
kamar penyimpanan kitab" Lihat, bangunan di sudut
kiri yang jendelanya kuning itulah tempat
penyimpanan kitab." In Hong tertegun. "Kau tidak bohong, siauw-suhu?"
Hweesio cilik itu tersenyum dan menggeleng
kepalanya yang gundul kelimis. "Kalau orang masih
suka berbohong apa gunanya berada disini" Tidak,
disini kau tidak bertemu dengan orang yang suka
membohong." In Hong menggerakkan tangan hendak menotok
hwesio cilik ini agar jangan dapat bergerak atau
berteriak, akan tetapi melihat muka yang jujur dan
polos serta senyuman yang terbuka itu, ia menahan
tangannya. "Aku takkan mengganggumu, akan tetapi kau harus
berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun
juga akan kedatanganku ini."
Kembali hwesio cilik itu tertawa. "Lihiap, tentang
kedatanganmu, siapakah yang tidak tahu" Para suhu
disini sudah tahu semua, untuk apa diberitahukan
lagi?" Setelah berkata demikian, hwesio cilik ini
berjalan terus dengan lambat, lampu di tangannya
bergoyang-goyang. Untuk sejenak In Hong berdiri terpaku. Keterangan
terakhir ini mengejutkan hatinya. Akan tetapi,
betulkah itu" Kalau para tokoh Siauw-lim-pay sudah
mengetahui kedatangannya, mengapa mereka tidak
muncul" Betapapun juga, aku sudah sampai disini dan
harus kucoba mendapatkan kitab I-kin-keng, pikirnya.
Tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu melompat cepat ke
kiri, menuju ke bangunan berjendela kuning yang
ditunjuk oleh hwesio kecil tadi.
Untuk sampai di tempat itu, ia harus melalui beberapa
ruangan dan di sana sini terdapat arca-arca Buddha
sebesar orang sehingga kadang-kadang gadis ini
terkejut karena dari jauh arca-arca ini seperti seorang
hwesio sedang duduk bersamadhi. Akhirnya ia sampai
di sebuah ruangan dan di dekat ruangan terbuka
inilah adanya kamar yang berjendela kuning. Hatinya
berdebar girang dan dengan hati-hati ia mendekati
kamar itu. Di ujung ruangan itu, dekat dengan pintu kamar, ia
melihat punggung sebuah patung lagi yang sebesar
manusia, patung seperti arca-arca lain yang dilihatnya
tadi. Maka ia tidak menaruh perhatian. Dengan
langkah lebar In Hong menghampiri jendela kuning
dari kayu dan sekali mencongkel dengan pedang-nya,
jendela itu terbuka tanpa menerbitkan suara apa-apa.
Kamar ini luas sekali dan diterangi oleh lampu besar.
Ia melihat lemari-lemari yang penuh dengan buku-
buku kuno dan di tengah kamar ini ia melihat seorang
laki-laki sedang duduk membaca buku. Laki-laki
itupun bersila dan biarpun kedua tangannya
memegang sebuah kitab terbuka, namun ia tidak
bergerak sama sekali. Agaknya seluruh perhatiannya
dicurahkan untuk membaca isi kitab, maka ia tidak
memperdulikan lain hal yang terjadi disekelilingnya.
In Hong tercengang dan ia memandang dengan mata
terbelalak. Kalau ia melihat laki-laki itu seorang
hwesio gundul, ia takkan terheran. Akan tetapi laki-
laki ini bukan seorang hwesio, melainkan seorang
pemuda yang tampan dengan pakaian serba putih. Ia
hendak menerjang masuk, akan tetapi menarik diri
kembali dan bersembunyi ketika melihat pemuda itu
menggerakkan leher dan menengok ke arah jendela.
"Sampai berani merusak jendela, inilah keterlaluan
sekali!" kata pemuda itu dan ketika In Hong hendak
memandang ke dalam, tiba-tiba jendela itu sudah
tertutup! In Hong meraba penutup yang kini berwarna
hitam itu dan ternyata bahwa yang menutup jendela
secara aneh itu adalah besi yang tebal dan dingin!
Ia mencoba mendorong, namun sia-sia karena besi
penutup jendela itu kokoh kuat. In Hong penasaran
dan sekali ia melompat, ia telah naik ke atas genteng
kamar itu. Namun, ketika ia membuka genteng,
ternyata bahwa dibawah genteng juga tertutup oleh
lapisan besi yang tak mungkin ditembus!
"Kurangajar!" ia memaki perlahan dan melayang turun
kembali, kini ia menghampiri pintu. "Kaukira aku tidak
berani menerjang dari pintu?" pikirnya.
Akan tetapi, sebelum ia membuktikan ancamannya
ini, arca yang tadi ia lihat punggungnya, tiba-tiba
bergerak dan sudah berdiri di belakangnya.
"Nona, tak seorangpun boleh memasuki pintu ini!"
In Hong sampai mencelat setombak lebih saking
kagetnya. Tidak disangkanya bahwa yang dikira arca
itu ternyata seorang hwesio gundul tua yang agaknya
duduk bersamadhi di depan pintu itu!
Pada saat itu, terdengar suara kelenengan perlahan
yang sambut menyambut di seluruh tempat itu, maka
tahulah In Hong bahwa ia sudah terkepung. Pintu
kamar itu terbuka dan pemuda yang tadi dilihatnya
membaca kitab, sudah ber-diri dengan pedang di
tangan, sedangkan daun pintu itu tertutup sendiri
dengan suara keras dan nyaring yang menyatakan
bahwa daun pintu inipun terbuat daripada besi atau
baja! Gagal dan aku harus cepat melarikan diri, pikir In
Hong dengan kecewa.

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona, jalan masuk ke Siauw-lim-si amat mudah,
namun jalan keluarnya tidak semudah kaukira,"
hwesio tadi berkata dengan nada mengejek.
"Minggir kau!" bentak In Hong sambil mempergunakan
tangan kirinya mendorong.
Hwesio itu tidak mau mengelak, sebaliknya
menyambut dengan tangan kanannya. Tubuh In Hong
terpental ke belakang, demikian kerasnya tenaga
dorongan hwesio itu. In Hong terkejut sekali. Lihay betul lweekang dari
hweesio ini, pikirnya, maka ia tidak berani
memandang ringan. Baru seorang hwesio saja begini
lihay, kalau mereka semua muncul, ia tentu takkan
mampu melawan mereka semua. Cepat ia hendak
lari, akan tetapi hwesio itu sudah menghadangnya
sambil tertawa: "Coan Sim Hwesio menjaga kamar kitab takkan
membiarkan kau pergi, nona," katanya dan tangannya
menyambar hendak menangkap lengan In Hong yang
memegang pedang. Nona ini menjadi marah dan
cepat ia menggerakkan pedang hendak membacok
lengan hwesio itu. Lawannya ternyata memiliki
gerakan yang gesit juga, karena sudah dapat menarik
lengannya dan membalas dengan tendangan loan-
hoan-twi, yakni tendangan berantai yang dilakukan
bertubi-tubi. In Hong cepat melompat tinggi ke belakang, dan
sambil memutar tubuhnya, pedangnya menusuk dada
hwesio itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat
sehingga hwesio ini mengeluarkan seruan kaget dan
cepat mengelak sambil melompat ke belakang.
Namun In Hong tidak memberi kesempatan padanya
dan terus menyerang. Pedangnya kini merupakan
sinar dan bergulung-gulung menyerang hwesio itu
yang menjadi kewalahan, melompat dan mengelak
ke sana ke mari. "Pencuri nekat jangan kau kurangajar!" tiba-tiba
pedang In Hong tertangkis oleh pedang lain dan
ternyata bahwa yang menangkis oleh pedang lain
dan ternyata bahwa yang menangkis pedangnya
adalah pemuda yang tadi membaca kitab. "Murid
termuda Siauw-lim-si Ong Teng San takkan
membiarkan pencuri pergi!"
In Hong menjadi marah. Tanpa mengeluarkan kata-
kata lagi ia lalu memutar pedangnya secepatnya,
menyerang pemuda itu dengan jurus ilmu pedangnya
yang paling lihay. Pemuda itu terkejut sekali dan
buru-buru ia menangkis sambil melangkah mundur,
karena serangan ini benar-benar merupakan desakan
yang masih berbahaya kalau hanya ditangkis saja.
In Hong penasaran. Serangannya tadi amat lihay dan
kalau lawan tidak memiliki ilmu silat tinggi tak
mungkin dapat menghindarkan diri. Namun pemuda
itu masih dapat mengelak dan menangkis. Selagi ia
hendak mendesak terus, dari samping Coan Sim
Hwesio kembali mengulur tangan mendorongnya dan
kembali angin dorongan itu membuat In Hong
terhuyung. Celaka pikirnya. Tidak menguntungkan kalau ia
melawan terus, maka sekali kakinya dienjotkan, ia
telah melayang naik ke atas genteng. Coan Sim
Hwesio dan pemuda yang bukan lain adalah Ong
Teng San itu, tidak mau mengejarnya. Mereka
maklum bahwa gadis itu takkan mungkin dapat
keluar dari kepungan para hwesio Siauw-lim-si.
Betapapun juga mereka tidak mau tinggal diam dan
keduanya lalu pergi mela-kukan penjagaan di lain
tempat, hwesio itu lari ke kanan untuk membantu
penjagaan di tembok sebelah kanan, sedangkan Teng
San melompat naik ke atas genteng melakukan
penjagaan di atas. In Hong berlari terus, menuju keluar. Maksudnya
hendak lekas-lekas pergi dari tempat itu, apalagi
setelah ia melihat dari atas betapa banyak hwesio-
hwesio menjaga di sana sini. Tempat yang ketika ia
datang nampak sunyi itu sekarang sudah berobah
sama sekali. Di setiap sudut terdapat lampu
penerangan. Selagi ia mencari tempat yang dapat dilaluinya untuk
melarikan diri, tiba-tiba terdengar bentakan:
"Nona tak tahu aturan, tidak lekas-lekas menyerah?"
In Hong memutar pedangnya untuk menangkis ketika
merasa sambaran angin datang dari sebelah kanan.
Terdengar suara keras dan ujung sebatang toya
terbabat putus oleh pedang Liong-gan-kiam. Hwesio
yang menyerangnya berseru kaget, akan tetapi dua
orang kawannya lagi maju menubruk untuk
menangkap In Hong. Nona ini melihat dirinya dikeroyok tiga orang hwesio,
tidak mau melayani dan secepat burung terbang, ia
melompat turun lagi dari atas genteng. Kemudian ia
berlari terus ke depan dan anehnya, tiga orang
hwesio itupun tidak mau mengejarnya.
Begitu kedua kaki In Hong menginjak tanah, ia
dikejutkan oleh bentakan mengguntur: "Penjahat
wanita yang berani mati mengacau Siauw-lim-si, lebih
baik kau menyerah untuk pinceng ikat kaki
tanganmu!" In Hong melihat seorang hwesio tinggi besar yang
memegang sebatang rantai baja panjang. Darahnya
naik mendengar bentakan itu. Masa ia hendak diikat
dengan rantai baja yang lebih pantas untuk mengikat
gajah itu" Tanpa mengeluarkan suara, pedangnya
membabat dan secepat kilat ia telah melakukan
serangan ke arah perut hwesio itu dengan tusukan
maut. "Siancay?" ganas betul kau!" Hwesio itu
menggerakkan rantainya dan hampir saja pedang In
Hong terlepas dari pegangannya ketika dua senjata
itu bertemu dengan kerasnya.
Diam-diam In Hong amat terkejut. Biarpun gerakan
para hwesio di Siauw-lim-si ini tidak terlalu cepat,
namun ia harus akui bahwa mereka rata-rata
memiliki tenaga yang besar. Telapak tangannya
sampai terasa pedas ketika gagang pedangnya
tergetar dalam pertemuan senjata itu. Ia cepat
menarik pedang dan kembali melakukan tiga jurus
serangan bertubi-tubi. Namun dengan pemutaran
rantai sehingga merupakan kitiran baja yang tangguh,
semua serangannya gagal. "Suheng, jangan lepaskan dia!" terdengar suara
hwesio lain membentak dan In Hong menjadi gemas
sekali melihat datangnya dua orang hwesio lain yang
memegang toya. Melayani si tinggi besar dengan
rantai ini saja belum tentu ia akan dapat menang
secara cepat, apalagi sekarang datang pula dua orang
pengeroyok. Dan ia maklum bahwa senjata toya bagi
Siauw-lim-si merupakan senjata yang ampuh dan
ilmu toya Siauw-lim-si amat terkenal
ketangguhannya. "Kalian memaksakan dan tidak mau membiarkan aku
pergi" Baik, kalian rasakan ini!" bentaknya marah
sekali dan tiba-tiba, ketika tangan kiri In Hong
bergerak, sinar hitam menyambar ke arah tiga orang
hwesio itu. Inilah Toat-beng-hek-kong yang luar biasa.
Pasir hitam halus yang mengandung racun itu sukar
sekali dihindarkan, apalagi dipergunakan di waktu
malam. Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sian Li Eng Tju (Tamat) " Adik Tiri
Yang Hilang Adik Tiri Yang Hilang Biarpun tiga orang hwesio itu cepat-cepat mengelak,
namun masih saja mereka terkena samberan pasir
dan segera terdengar suara mengaduh-aduh dari tiga
orang ini. In Hong mempergunakan kesempatan ini untuk
berlari terus. Akan tetapi karena ia tidak kenal jalan
dan tempat itu ternyata amat luasnya, ia tidak tahu
harus mengambil jalan mana dan berlari saja dengan
membuta. Ia tiba di sebuah ruangan lain yang amat
terang dan ditengah-tengah ruangan ini ia melihat
seorang hwesio tua, bertubuh tinggi besar dan
bermuka hitam, tengah duduk bersamadhi. Sebatang
toya besar menggeletak di dekatnya.
Melihat sikap yang angker dan muka yang
memancarkan cahaya kelembutan itu, In Hong
hendak menghindari hwesio ini dan hendak keluar
lagi dari ruangan itu untuk mengambil jalan lain. Akan
tetapi, tiba-tiba hwesio bermuka hitam itu membuka
matanya dan berkata dengan suara lemah lembut.
"Nona, kau sudah memasuki Siauw-lim-si secara
menggelap, jangan kau harap akan dapat keluar lagi.
Lebih baik kau mengakulah kepada pinceng, siapa
namamu dan apa keperluanmu datang ke tempat
kami ini. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Ceng Seng
Hwesio dan pinceng memimpin para anak murid
Siauw-lim-si. Pinceng bukan seorang yang berhati
kejam, dan kalau sekiranya menurut pertimbangan
pinceng, dosamu tidak terlalu besar, tentu kau akan
pinceng lepaskan." Mendengar ini, In Hong memasuki ruangan itu. Lebih
baik mengakui terus terang, pikirnya. Kalau dia
diampuni dan dibolehkan pergi tanpa gangguan, itu
baik sekali. Sebaliknya kalau tidak diampuni, daripada
menghadapi keroyokan semua hwesio di Siauw-lim-si,
lebih baik terlebih dulu ia menggempur hwesio
pemimpin ini! Kalau saja ia bisa membikin hwesio ini tidak berdaya,
ia dapat mempergunakan sebagai perisai untuk keluar
melarikan diri. Setelah berpikir demikian, In Hong lalu
menghadapi Ceng Seng Hwesio dan berkata,
pedangnya melintang di depan dada:
"Losuhu, terus terang saja, kedatanganku disini
bukannya mengandung maksud buruk. Aku bernama
Kwee In Hong dan aku adalah murid dari Hek Moli."
"Sudah pinceng duga, melihat gerakan pedangmu
yang ganas dan melihat Toat-beng-hek-kong tadi.
Teruskan, nona, kau bilang tidak bermaksud buruk,
apakah maksud kedatanganmu malam-malam di
Siauw-lim-si?" hwesio itu memotong.
In Hong terkejut. Hwesio ini tadi duduk bersemadhi
saja, bagaimana bisa ketahui semua perbuatannya"
Akan tetapi ia tidak gentar, dan melanjutkan kata-
katanya: "Guruku tewas oleh keroyokan orang-orang Kun-lun-
pay dan aku telah naik ke Kun-lun-san untuk
membalas dendam. Akan tetapi aku dikalahkan oleh
tenaga lweekang mereka, oleh karena itu,
kedatanganku di Siauw-lim-si ini hanya untuk
meminjam kitab I-kin-keng."
"Meminjam kitab suci Tat-mo I-kin-keng?" Ceng Seng
Hwesio benar-benar terkejut dan heran. "Untuk
apakah?" "Untuk kupelajari isinya dan kelak tentu akan
kukembalikan dengan pernyataan terima kasihku.
Bahkan, kalau dengan I-kin-keng aku berhasil
membalas sakit hati guruku, aku kelak sambil
mengembalikan kitab, rela menerima segala hukuman
dari Siauw-lim-si. Harap kau orang tua suka
mempertimbangkan dan meluluskan permintaanku."
Mendengar ini, Ceng Seng Hwesio bangkit berdiri dan
tertawa bergelak. "Lucu, lucu?"! Kau anggap begitu
mudah meminjam I-kin-keng" Ha, ha, nona, tidak
sembarang manusia di kolong langit ini dapat
mempelajari Tat-Mo I-kin-keng, apalagi dalam waktu
singkat. Ini masih belum penting, yang terutama
sekali, siapapun juga di dunia ini tidak dibolehkan
menjamah kitab suci itu tanpa perkenan dari suhu,
ketua Siauw-lim-si. Apalagi kau datang dengan
maksud hendak mencuri kitab itu. Ah, ini sebuah
kedosaan besar sekali, nona. Kalau Hek Moli yang
datang kesini melakukan perbuatan ini, pinceng masih
dapat memakluminya, akan tetapi kau?" benar-benar
kebetulan dan aneh sekali?""
In Hong tidak mengerti apa maksud kata-kata
terakhir itu, akan tetapi ia sudah tidak sabar lagi dan
berkata keras sambil menggerak-gerakkan
pedangnya: "Losuhu, bagaimana keputusanmu, boleh atau tidak?"
"Nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, akan tetapi
kau telah melukai tiga orang murid Siauw-lim-si
dengan toat-beng-hek-kong."
"Aku tidak sengaja, aku terpaksa karena didesak dan
untuk menyelamatkan diri. Aku menyesal sekali dan
inilah obat penawar untuk mereka!" kata In Hong
sambil merogoh sakunya. "Tak perlu, nona. Orang lain boleh menakuti toat-
beng-hek-kong, akan tetapi Siauw-lim-si tidak. Kami
ada obat penawar sendiri untuk senjata rahasiamu
yang ganas itu. Dan tentang peminjaman kitab suci
itu, tentu saja tidak mungkin!"
"Pinjam kitab tidak boleh dan sekarang akupun tidak
boleh keluar" Begitukah kebijaksanaan Siauw-lim-si?"
In Hong sudah siap sedia untuk mengamuk.
"Tentang hal kedua, kau sudah melakukan dosa besar,
sudah melakukan pelanggaran dan oleh karena itu,
kau harus ditangkap dan dihadapkan ketua Siauw-


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lim-si. Hanya suhu yang berhak memberi keputusan.
Oleh karena itu, harap kau suka menyerah."
"Orang tua, kau sama saja dengan yang lain! Aku
harus menyerah" Terimalah ini!" Tangan kiri In Hong
bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Ceng
Seng Hwesio! Hwesio ini mengebutkan ujung lengan bajunya dan
semua pasir hitam yang menyerangnya runtuh.
Sebelum In Hong sempat melompat keluar, hwesio ini
sudah menyambar dengan toyanya, menyerampang
kaki gadis itu. In Hong cepat melompat ke atas dan
membalas serangan lawan dengan tusukan
pedangnya. Tak lama kemudian keduanya sudah
bertanding dengan hebatnya.
In Hong maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan
berat, maka ia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya
bergerak cepat sekali sehingga berubah menjadi
segulung sinar yang berkilauan, menyambar-nyambar
dan berbahaya sekali. Ia mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan kini terlihatlah ilmu pedang yang
ia warisi dari Hek Moli, ilmu pedang yang amat aneh
gerakannya dan amat ganas sifatnya.
Menghadapi ilmu pedang ini, diam-diam Ceng Seng
Hwesio kagum sekali. Tidak heran banyak orang
roboh karena ilmu pedang yang hebat ini dari Hek
Moli, pikirnya. Ia sudah memiliki banyak sekali
pengalaman dan sebagai murid kepala dari Bu Kek
Tianglo, tentu saja hwesio ini memiliki kepandaian
tinggi. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan
lawan yang memiliki ilmu pedang sehebat ini, maka
ia menjadi kewalahan juga menghadapinya.
Baiknya, dalam hal tenaga lweekang, In Hong masih
kalah jauh sekali sehingga tiap kali toya membentur
pedang, gadis itu merasa telapak tangannya seperti
dibeset kulitnya, perih dan sakit bukan main. Maka ia
selalu menghindari bentrokan senjata dan inilah
kelemahannya sehingga ia tidak dapat mendesak
lawannya. Sebaliknya, sambaran toya di tangan Ceng
Seng Hwesio mengeluarkan angin yang amat kuat.
In Hong maklum bahwa kalau dilanjutkan, ia akhirnya
akan kalah juga, maka lagi-lagi tangan kirinya
bergerak dan dari jarak dekat sekali, pasir hitamnya
menyambar ke arah muka Ceng Seng Hwesio.
"Ganas sekali?"!" seru hwesio ini yang terpaksa
melompat ke belakang sambil mengibas dengan
lengan bajunya agar terlepas daripada serangan maut
ini. Ketika ia melihat lagi, nona itu sudah lari
memasuki ruangan di sebelah kiri.
Ceng Seng Hwesio tidak mengejar, bahkan tertawa:
"Ha, ha, nona yang ganas. Kau memasuki Ngo-heng-
thia (Ruangan Ngo-heng), biarlah kau mencoba
kepandaianmu dengan tempat ujian Siauw-lim-pay
yang paling sulit!" Setelah berkata demikian, hwesio
ini berdongak ke atas dan berkata keras:
"Sute, kau jagalah dimulut Ngo-heng-thia dan cegat
dia kalau keluar!" Ong Teng San memang sejak tadi berdiri di atas
genteng menonton pertempuran. Ia tadi mendengar
semua kata-kata yang diucapkan oleh In Hong dan
wajahnya berubah pucat. Nona itu bernama Kwee In
Hong, pikirnya, tidak salah lagi, dia itulah anak
perempuan dari ibu tirinya yang dikabarkan lenyap!
Pikiran Teng San menjadi tidak karuan sehingga ia
kurang hati-hati dan kakinya yang menginjak genteng
menerbitkan suara, maka Ceng Seng Hwesio
mengetahui kehadirannya. Mendengar suara
suhengnya, ia menjawab: "Baik, suheng?"" Cepat ia melompat turun dan berlari
untuk menjaga di pintu keluar ruangan Ngo-heng-thia
itu. Dadanya masih berdebar-debar. Apakah yang
harus ia lakukan terhadap gadis itu"
Teringatlah ia kepada ibu tirinya dan teringat pula ia
akan penuturan ibu tirinya bahwa adik tirinya yang
bernama In Hong ini lenyap ketika terjadi keributan,
ketika terjadi pembunuhan atas diri suami ibu tirinya
itu oleh?" ayahnya! Jadi, gadis ini adalah kurban
daripada ayahnya juga! Iapun mendengar kata-kata In Hong tadi bahwa guru
In Hong yang bernama Hek Moli telah terbunuh dan
kini gadis ini datang untuk mencuri kitab I-kin-keng,
untuk memperdalam ilmu silat dan kelak membalas
dendam atas kematian gurunya itu. Hal ini dapat ia
maklumi. Bukankah semenjak kecil gadis ini
kehilangan ayah bundanya dan menganggap gurunya
sebagai pengganti orang tua" Sekarang gurunya
terbunuh orang, tidak terlalu mengherankan apabila
gadis itu mengerahkan seluruh usaha untuk
membalas dendam. Demikianlah, dengan hati tidak karuan rasa, Teng San
dengan pedang di tangan menjaga di pintu keluar
Ngo-heng-thia, dan diam-diam ia berkhawatir sekali
akan keselamatan In Hong! Ia tahu bahwa Ngo-heng-
thia adalah ruangan untuk menguji para murid tingkat
tinggi, dan merupakan tempat yang amat berbahaya.
Dia sendiri baru beberapa bulan yang lalu diuji di
dalam Ngo-heng-thia, dan biarpun ia dapat keluar
dengan selamat, namun ia masih terluka pundaknya.
Bagaimana dengan keadaan In Hong" Gadis yang
pemberani ini memasuki ruangan Ngo-heng-thia tanpa
curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa tempat itu
adalah tempat untuk menguji kepandaian murid yang
sudah tinggi tingkat kepandaiannya, maka ia berjalan
terus dengan cepat. Namun ia tetap waspada, karena
ia menduga, di ruangan inipun ia tentu akan menemui
lawan. Ia melihat ruangan itu hanya memiliki sebuah lorong
yang lebarnya kurang lebih sepuluh kaki dan agak
gelap. Tanpa curiga ia masuk ke dalam lorong ini.
Alangkah kagetnya ketika ia masuk baru beberapa
langkah, ia mendengar suara keras di belakangnya
dan pintu lorong itu tertutup dari atas, tertutup oleh
lapisan besi! Keadaan menjadi remang-remang dan
tidak ada jalan kembali lagi.
"Tempat apa ini?" tanyanya seorang diri sambil berdiri
diam. Ia harus membiasakan pandangan matanya di
dalam tempat yang setengah gelap ini, kemudian
dengan berani ia melangkah maju perlahan-lahan.
Baru kurang-lebih lima langkah ia maju, tiba-tiba dari
kiri terasa sambaran angin ke arah kepalanya. Cepat
In Hong mengelak dengan menggerakkan kepala ke
belakang sambil membabat dengan pedangnya.
Terdengar suara keras dan pedangnya bertemu
dengan sebuah lengan yang terbuat dari pada baja!
Lengan inilah kiranya yang tadi memukulnya secara
tiba-tiba, keluar dari dinding!
"Ah, kiranya tempat rahasia!" pikirnya setelah melihat
lengan itu lenyap kembali. "Aku harus hati-hati
sekali?"" Kembali ia melangkah maju. Tiba-tiba dari atas
meluncur besi yang beratnya ratusan kati. Kalau orang
tertimpa besi ini, pasti kepalanya akan hancur. In
Hong mengelak cepat ke kiri, akan tetapi kembali dari
kiri keluar bayangan yang menubruknya! Pada saat
itu, besi yang tadi menimpa, telah tertarik dan naik
kembali, karena besi itu ternyata tergantung pada
sehelai tali baja yang kuat.
Karena serangan bayangan yang menubruknya itu
amat tidak terduga dan cepat, In Hong terpaksa
mempergunakan gerakan Trenggiling-menggelundung-
dari-bukit untuk mengelak. Ia menjatuhkan diri di atas
lantai dan menggelinding sambil tidak lupa membabat
dengan pedangnya ke arah bayangan yang
menyerangnya tadi. Ternyata bahwa bayangan itu adalah sebuah orang-
orangan dari besi pula, yang digerakkan dengan alat
dan keluar sendiri dari dinding kiri. Setelah tidak
berhasil menubruk mangsanya, orang-orangan ini
bergerak sendiri mundur dan masuk ke dalam dinding.
In Hong melompat berdiri dan duduk beberapa lama
ia termenung. Benar-benar berbahaya, pikirnya.
Tempat agak gelap dan semua serangan terjadi tiba-
tiba, tidak dapat diduga dari?mana akan muncul
orang-orangan itu. Dengan pedangpun tidak berguna
menghalau bahaya, karena orang-orangan dari baja
ini tidak terluka oleh pedang.
Ia lalu berpikir. Gerakan orang-orangan dan juga
lengan yang menyerangnya tadi adalah gerakan ilmu
silat, bukan penyerangan biasa. Untuk menghadapi
serangan-serangan itu bahkan lebih baik kalau ia
bertangan kosong, agar ia dapat mempergunakan
kegesitannya untuk mengelak.
Dengan pikiran ini, In Hong lalu menyimpan
pedangnya, kemudian ia melangkah maju dengan
hati tabah, matanya tajam memandang ke depan dan
seluruh urat syarafnya menegang, waspada
menghadapi segala kemungkinan. Tidak ada jalan lain
baginya, harus maju terus karena jalan belakang
sudah tertutup. Ia melangkah maju lagi dan melihat bahwa lorong itu
membelok ke kiri. Baru saja ia tiba di tikungan itu,
tiba-tiba ia tnelihat sebuah orang-orangan tinggi besar
yang terus saja menyerangnya dari depan. Serangan
dengan jurus-jurus ilmu silat yang datangnya bertubi-
tubi! Mula-mula orang-orangan ini menjotos ke arah
lehernya, lalu tiba-tiba merendahkan diri dan
menendang. In Hong mempergunakan kegesitannya. Ia mengelak
ke kanan dan miringkan tubuh sambil menyampok
dengan telapak tangannya ketika kaki orang-orangan
ini menyambar. Akan tetapi, orang-orangan ini tidak
berhenti sampai disitu saja. Seperti bernyawa, orang-
orangan ini terus melakukan serangan dan tiga jurus
terus-menerus! In Hong menjadi marah. Ketika orang-orangan itu
menggunakan lengan besi untuk mencengkeram
kepalanya, ia mengelak ke kiri dengan cepat sekali
dan menggunakan telapak tangannya untuk
mendorong dada patung itu. Akan tetapi, ternyata
bahwa orang-orangan itu tidak dapat didorong jatuh.
bahkan sebaliknya kini kedua tangan orang-orangan
itu memeluknya dengan gerakan tangan dari kanan
kiri, cepat bukan main! In Hong hampir mengeluarkan
teriakan terkejut, namun gadis ini memang memiliki
kegesitan luar biasa, maka ia cepat merosot atau
merendahkan diri, hampir berjongkok untuk
menghindarkan diri dari pelukan, kemudian dari
bawah ia mendorongkan kedua tangannya ke arah
tubuh orang-orangan itu sekuat tenaga. Kali ini ia
berhasil karena orang-orangan itu terjengkang dan
roboh mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
Bagaikan seekor burung, In Hong melompati patung
itn dan baru saja kakinya menginjak lantai, dari
kanan kiri, yakni keluar dari dinding kanan kiri,
meluncur pedang tajam yang menusuknya dari kanan
kiri. In Hong tidak mau mundur, bahkan ia maju
selangkah dan mendengar desir angin dari kanan kiri,
ia cepat membalikkan tubuhnya untuk menghadapi
dua orang-orangan yang memegang pedang!
"Setan!" makinya. "Kalian kira aku takut?"
Sambil berkata demikian, ia cepat mengelak dari
sambaran pedang yang dilakukan oleh orang-orangan
sebelah kiri. Pedang ini menyambar ke arah lehernya
dan gerakan orang-orangan ini memang gerakan
serangan ilmu silat pedang yang lihay. Dilain saat, In
Hong sudah harus menghadapi serangan bertubi-tubi
dari dua orang-orangan itu. Baiknya gin-kang dari
gadis ini sudah tinggi. Sekali mengenjot tubuhnya, ia
telah melompat naik dan dengan sebelah kakinya, ia
berdiri di atas kepala orang-orangan yang di kiri!
Dengan hati geli gadis ini melihat betapa dua orang-
orangan itu terus saja bergerak-gerak menyerang
dengan pedang, kemudian setelah habis jurus-jurus
itu dimainkan, dua orang-orangan itu tiba-tiba
bergerak kembali ke dinding di kanan kiri! In Hong
cepat melompat turun dan melanjutkan
perjalanannya. Hatinya mulai gembira, karena di tempat yang aneh
ini ia mendapat kesempatan untuk menguji
kepandaiannya, sungguhpun ujian seperti ini
bukannya tidak berbahaya! Serangan dari alat-alat
rahasia itu merupakan serangan sungguh-sungguh
dan ia terlengah berarti ia akan tewas di tempat
setengah gelap ini! In Hong maklum bahwa ilmu silat yang digerakkan
dengan perantaraan orang-orangan itu adalah ilmu
silat Siauw-lim-si yang amat lihay dan setiap pukulan
orang-orangan besi itu tentu saja amat kuat. Baiknya,
dari Hek Moli ia pernah mendapat tahu biarpun serba
sedikit tentang ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai
persilatan besar, dan pula, nona ini sudah memiliki
ginkang yang hampir sempurna, maka mengandalkan
ginkangnya, ia tidak merasa gelisah. Ia maju terus
dan sebentar saja berturut-turut ia harus menghadapi
keroyokan orang-orangan yang berjumlah tiga orang,
kemudian empat buah orang-orangan.
Dengan amat susah payah, akhirnya berhasil juga
nona ini melewati rintangan-rintangan ini, ia merasa
lelah sekali dan juga agak pening karena apa yang ia
alami benar-benar amat berbahaya. Ketika ia
melewati empat orang-orangan yang mengeroyoknya


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa terluka, tiba-tiba ketika ia melangkah ke depan,
kakinya terjeblos lubang!
Kalau bukan In Hong, tentu akan terjeblos terus ke
bawah. Baiknya nona ini memang amat gesit. Dengan
sebelah kaki terjeblos lubang sehingga tubuhnya
sudah ma?suk sebagian, tangannya dapat menepuk
lantai di pinggir lubang dan sambil mengerahkan
ginkangnya, ia dapat melompat tinggi melewati
lubang itu! In Hong berdiri dengan muka pucat dan keringat
dingin membasahi lehernya. Ia menghapus keringat
itu dengan saputangan, menenteramkan hatinya
sambil beristirahat, kemudian ia maju lagi. Dari jauh ia
sudah melihat pintu lorong itu terbuka lebar, maka
hatinya menjadi girang sekali.
Akan tetapi, sebelum tiba dipintu itu, ia melewati
sebuah ruangan yang berbentuk bundar dan lebih luas
daripada lorong yang dilaluinya tadi. Dan di ruangan
itu, berdiri lima buah orang-orangan sebesar manusia,
kesemuanya orang-orangan seperti hwesio yang
memegang toya! Ia melihat bahwa pada dada setiap
orang-orangan terdapat tulisan huruf besar. Yang
pertama dadanya ada tulisan KIM (emas), kedua BOK
(kaju), ketiga SUI (air), keempat HO (api) dan kelima
TOUW (logam tanah). Inilah Ngo-heng-tin (Barisan
Ngo-heng) yang merupakan inti daripada lorong Ngo-
heng-thia itu. Di ruang Ngo-heng-thia inilah barisan
Ngo-heng-tin telah menanti untuk melakukan ujian
terakhir, ujian yang paling berat.
Lima orang-orangan itu digerakkan oleh alat-alat
rahasia yang amat luar biasa sehingga gerakan
mereka teratur seperti gerakan lima orang ahli silat
Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-si! Disini pula hanyak
anak-anak murid Siauw-lim-pay yang pandai gagal
dalam ujian, bahkan belum lama ini Ong Teng San
yang kepandaiannya sudah tinggi, masih mendapat
luka di pundaknya ketika ia berusaha melewati
rintangan terakhir ini. Namun In Hong tidak tahu akan lihaynya lima orang-
orangan ini. Bahkan ia tertawa mengejek.
"Dilihat dari jauh, benar-benar seperti hwesio-hwesio
tulen! Benar-benar Siauw-lim-si pandai menakut-
nakuti orang!" Ia berjalan masuk ke dalam ruangan
itu dengan waspada. Baru saja kedua kakinya
menginjak lantai, otomatis lima orang-orangan itu
mulai bergerak. Mereka bergerak dan sebentar saja
mereka itu mengurung In Hong. Ketika gadis ini
memindahkan kakinya, otomatis lima orang-orangan
itu mulai menyerang! Orang-orangan itu diperlengkapi dengan alat-alat dari
per dan kawat-kawat halus dan di lantai itulah pusat
pergerakan mereka. Setiap kali lantai terinjak, pasti
mengakibatkan gerakan mereka yang berubah-ubah,
tergantung dimana orang yang dikeroyok bertindak!
Rintangan terakhir ini memang berat. Setiap gerakan
orang-orangan itu adalah penyerangan senjata toya
yang sesuai dengan ilmu silat Ngo-heng-kun yang luar
biasa. Biarpun orang-orangan tidak mengenal ilmu
lweekang, namun gerakan me?reka amat kuat,
sedikitnya setiap sambaran toya itu mengan?dung
tenaga tigaratus kati! Lima batang toya menyambar-
nyambar dan menyerang In Hong dari segala jurusan,
dan gadis ini sebentar saja menjadi terdesak hebat
dan kewalahan. Akhirnya ia menjadi nekat dan
marah. Dicabutnya pedang Liong-gan-kiam dan
diputarnya untuk melindungi dirinya.
Berbeda dengan rintangan-rintangan yang tadi, orang-
orangan yang menye-rangnya selalu akan
mengundurkan diri sendiri setelah pe?nyerangan
habis. Akan tetapi, barisan Ngo-heng ini tidak
de?mikian. Selama orang yang dikepung mereka
masih berada di ruangan itu, lima orang-orangan ini
masih akan menyerang terus, karena seperti telah
dituturkan tadi, pergerakan mereka ber-pusat pada
per-per di bawah lantai sehingga kalau ada orang
menginjak lantai, per-per bekerja dan otomatis orang-
orangan itupun bergerak menyerang dengan ilmu
toya Ngo-heng-kun dari jurus-jurus yang paling lihay.
In Hong tidak melihat jalan keluar. Beberapakali ia
mencoba untuk menerobos kepungan itu dan
melarikan diri, namun sia-sia. Datangnya toya-toya itu
amat cepat dan amat berbahaya sehingga lagi-lagi
usahanya menerobos gagal karena ia harus
menyelamatkan diri dari sambaran toya. Pedangnya
mengeluarkan bunyi "trang-tring-trang!" berkali-kali
ketika bertemu dengan toya-toya yang mendesaknya.
Tubuhnya lincah bergerak kesana kemari, karena tak
mungkin baginya untuk menghindarkan diri dengan
jalan menangkis saja. Kulit telapak tangannya sampai lecet-lecet dan
napasnya mulai memburu. Keringat memenuhi
jidatnya dan In Hong merasa lelah bukan-main. Ia
telah maklum bahwa takkan dapat mempertahankan
lebih lama. Akan tetapi sama sekali ia tidak takut,
bahkan merasa penasaran dan marah sekali.
Beberapa kali ia menyebar pasir hitamnya ke arah
lima orang-orangan itu seakan-akan ia menghadapi
lawan terdiri dari manusia-manusia biasa. Orang-
orangan itu tentu saja tidak merasakan sesuatu dan
melanjutkan penyerangan mereka.
Beberapa kali In Hong mem?bacok dan mengenai
tubuh orang-orangan, namun hanya bunga api yang
berpijar. Ia mencoba untuk menendang, mendorong,
tetap sia-sia. Lima boneka besar ini benar-benar kuat
sekali. Limapuluh jurus lebih In Hong mempertahankan diri.
Ia demikian sibuk menghadapi keroyokan lima orang-
orangan ini sehingga ia tidak merasa bahwa sejak
tadi ada sepasang mata mengintai dari luar pintu
ruangan itu dengan pandang mata kagum. Pengintai
ini adalah Teng San. Pemuda ini memang benar-benar
kagum bukan main melihat cara In Hong menghadapi
barisan Ngo-heng. Hebat, pikirnya.
Gadis itu belum pernah mengenal Ngo-heng-tin, dan
belum pernah mempelajari Ngo-heng-kun sehingga
tentu saja tidak dapat menduga datangnya serangan-
serangan toya itu. Namun, bukan saja dapat
mempertahankan diri selama limapuluh jurus dengan
baiknya tanpa terluka sedikitpun, bahkan masih dapat
menendang, memukul dan mendorong patung-patung
hidup itu! "Sayang lweekangnya kurang kuat," pikir Teng San.
"Kalau ia berhasil mencuri kitab I-kin-keng dan
mempelajarinya, ia akan menjadi lihay sekali dan
biarpun suhu sendiri agaknya akan sukar
menghadapinya." Semenjak tadi Teng San memang menunggu di luar
pintu. termenung dan memikirkan keadaan gadis
yang dikejar-kejar, gadis yang sebetulnya masih adik
tirinya sendiri. Ia makin berduka kalau mengingat
kembali kepada ibu tirinya yang amat disayangnya
seperti ibu sendiri. Timbul rasa kasihan di dalam
hatinya terhadap In Hong, terhadap adik tirinya. Kalau
sampai adik tirinya ini mengalami malapetaka disini,
bukankah ibu tirinya akan berduka sekali"
Kemudian ia mendengar suara pedang beradu dengan
toya-toya itu, maka cepat ia mengintai ke dalam dan
dapat menyaksikan kelincahan In Hong. Ia menjadi
kagum dan makin sayang, tidak tega membiarkan In
Hong mengalami kebinasaan disitu. Setelah melihat
betapa keadaan gadis itu mulai payah dan kelelahan,
Teng San cepat melompat ke dalam ruangan Ngo-
heng-thia itu. Ia lari kedinding sebelah kiri, menekan
beberapa kenop dan lima orang-orangan itu tiba-tiba
terdiam, tidak dapat bergerak lagi!
In Hong cepat memutar tubuh menghadapi Teng San.
Pedangnya siap menyerang karena ia mengira bahwa
pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab ini akan
menangkapnya. Akan tetapi, ia melihat pemuda itu
tidak memegang senjata, bahkan kini ia tahu bahwa
pemuda inilah yang menghentikan pengeroyokan
orang-orangan itu. "Nona, kalau kau ingin keluar dengan selamat, lekas
kau lari keluar dari ruangan ini, membelok ke kanan,
terus saja sampai kau tiba di pagar tembok dan
melompati pagar itu. Aku akan mengejarmu dari
belakang dan kau jangan melayani semua rintangan.
Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sian Li Eng Tju Pengejaran Hwesio Siauw-lim-. Pengejaran Hwesio Siauw-lim-pay
In Hong tertegun. Ia tidak tahu mengapa pemuda
yang tampan dan halus sekali gerak geriknya ini
berusaha menolongnya, sedangkan tadi
menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Ia juga
masih belum percaya betul-betul, akan tetapi dalam
keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain kecuali
menurut nasihat ini. Ia hanya menganggukkan kepala
dan segera melompat keluar.
Betul saja, di depan pintu ruangan Ngo-heng-thia ini
terdapat tiga jalan simpangan, satu lurus ke depan,
kedua membelok ke kiri dan ketiga membelok ke
kanan. Ia mengambil jalan ketiga ini, menikung ke
kanan dan terus berlari cepat, pedangnya masih siap
di tangan dan pasir hitam di tangan kiri.
Ketika In Hong menengok, ia melihat pemuda tadi
benar-benar mengejarnya dengan ilmu lari cepat yang
tinggi pula. Dan kini pemuda itu telah memegang
sebatang pedang! "Kau hendak lari kemana?" pemuda itu membentak
sambil mengejar terus. Dari depan mendatangi tiga orang hwesio gundul
yang bertugas menjaga disitu. Mereka ini memegang
toya dan melihat kedatangan In Hong, mereka
langsung menyerang dengan gerakan kilat. In Hong
mengelak sambil memutar pedang, terdengar suara
"cring, traang!" dan ujung sebatang toya kena dibikin
buntung! Namun, taat akan nasihat pemuda tadi, In Hong tidak
melayani terus dan cepat melompat tinggi dan
melanjutkan larinya lurus ke depan. Ia tidak
menengok lagi dan hanya mendengar suara pemuda
tadi berkata keras: "Sam-wi takusah mengejar, biarkan siauwte yang
menangkapnya!" In Hong berlari terus dan sekali lagi ia menengok, ia
melihat pemuda itu masih terus mengejarnya dengan
pedang di tangan! Ia tidak mengerti akan sikap
pemuda ini. Mengapa ia hendak menolongnya, pikir In
Hong. Akan tetapi pada saat seperti ini, tidak ada
waktu lagi baginya untuk menyelidiki hal itu. Ia sudah
amat lelah, kedua kakinya sudah mulai gemetar dan
kedua tangannya lemas. Juga kedua telapak
tangannya lecet-lecet mengeluarkan darah.
Malam sudah lewat dan pagi mulai menampakkan
diri. Setengah malam lamanya In Hong berputaran di
dalam kurungan Siauw-lim-si ini! Setengah malam
lamanya ia bertemu dengan lawan berganti-ganti,
melakukan pertempuran puluhan kali banyaknya.
Kembali lima orang hwesio mencegat di depan. In
Hong mengeluh. Celaka aku sekarang, pikirnya. Lima
orang hwesio itu adalah hwesio-hwesio tua dan
mereka semua memegang sebatang toya dengan
cara seperti yang dilakukan oleh lima orang-orangan
tadi! Baru menghadapi keroyokan lima orang-orangan
saja, ia sudah hampir celaka, apalagi sekarang kalau
harus menghadapi keroyokan lima orang hwesio tulen
sedangkan keadaannya sudah amat lelah, sudah
dapat dibayangkan akibatnya!
Lima orang hwesio itu menghadang dan melihat nona
yang dikejar-kejar itu datang, seorang di antaranya
berkata dengan bengis: "Jangan harap bisa lari sebelum menghadapi Ngo-
heng-tin dari Siauw-lim-si!"
In Hong terkejut. Apa yang ia takuti memang benar-
benar. Lima orang hwesio tua ini tentu sama dengan
lima orang-orangan tadi. Ia masih ingat huruf-huruf
yang merupakan Ngo-heng pada dada orang-orangan
tadi. Kalau Ngo-heng-tin (barisan Ngo-heng) boneka
saja sudah demikian lihaynya, apalagi sekarang Ngo-
heng-tin tulen. Namun In Hong tak dapat memikirkan jalan lain.
Diam-diam ia mendongkol sekali dan merasa ditipu
oleh pemuda itu. Sudah terang bahwa pemuda itu
sengaja menggiringnya supaya menghadapi Ngo-
heng-tin yang tangguh ini. Jadi pemuda itu tak lain
hanya memancingnya, agar ia mudah ditawan
dengan bantuan Ngo-heng-tin. Kurangajar!
In Hong marah sekali dan ia sudah siap hendak
mempergunakan toat-beng-hek-kong, pasir-hitamnya.
Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara halus dari
belakang, suara yang dibisikkan dengan penyaluran
tenaga khikang sehingga yang dapat mendengar
hanya dia sendiri, tidak sampai terdengar oleh lima
orang hwesio yang berada jauh di depan itu:
"Nona, jangan menggunakan hek-kong!"
Selagi In Hong termangu-mangu dan ragu-ragu,
terdengar pemuda itu berkata dengan lantang:
"Ngo-wi suheng, harap membuka jalan, biarkan


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siauwte menangkapnya sendiri. Ini merupakan ujian
bagi siauwte dan demikian pula perintah twa-suheng!"
Lima orang hwesio itu ketika mendengar suara Teng
San, tidak ragu-ragu lagi. Mereka semua maklum
bahwa ilmu kepandaian Teng San, sute mereka yang
termuda ini, sudah amat tinggi, bahkan akhir-akhir ini,
Teng San mendapat kepercayaan untuk menerima
ilmusakti I-kin-keng! Maka mereka tersenyum dan
melompat minggir sehingga ketika In Hong yang
berlari cepat menerobos masuk, mereka tidak
mengganggu. Bayangan In Hong berkelebat cepat di
depan mata mereka, disusul oleh bayangan Teng San
yang tak kalah cepatnya. "Siauw-sute, hati-hatilah, dia lihay dan ganas sekali!"
kata seorang hwesio kepada Teng San.
"Baik, suheng".."
Kejar mengejar ini berjalan terus dan tanpa ada
perintang lagi, In Hong akhirnya tiba di bawah pagar
tembok. Gadis ini telah berdebar hatinya, ia merasa
malu kepada diri sendiri yang tadi menyangsikan
kebaikan hati pemuda ini. Ah, siapakah dia dan
mengapa ia benar-benar berusaha menolongku"
Terang dia seorang murid Siauw-lim yang lihay,
mengapa ia tidak menawanku, bahkan menolongku
melarikan diri" Namun In Hong terus saja melompat ke atas tembok.
Tiba-tiba ia melihat seorang gadis cilik nongkrong di
atas pagar tembok itu dan memujinya: "Cici, kau lihay
sekali ilmu ginkangmu, juga kau cantik sekali seperti
bidadari!" In Hong tercengang. Bagaimana seorang gadis cilik
semuda ini dapat naik ke atas pagar tembok"
Biarpun In Hong amat tertarik melihat seorang gadis
cilik yang duduk di atas pagar tembok, namun ia tidak
berani berlaku lambat. Yang amat menarik hatinya
adalah wajah gadis yang cantik itu seakan-akan ia
pernah mengenal-nya, bahkan seakan-akan gadis itu
seringkali dilihatnya. Akan tetapi dimana" Ia hanya tersenyum manis
kepada gadis yang usianya paling banyak empatbelas
tahun itu, lalu melompat turun keluar pagar tembok
sambil berkata: "Adik yang manis, hati-hati jangan sampai kau jatuh
dari atas!" In Hong masih mendengar pemuda yang bernama
Ong Teng San dan yang secara aneh sekali telah
menolongnya melarikan diri itu berkata kepada gadis
cilik di atas tembok: "Lian Hong, turun kau!"
"Koko, orang lain semalam suntuk bermain-main
dengan cici yang gagah itu, apakah aku tidak boleh
menonton?" jawab gadis cilik itu, akan tetapi
selanjutnya In Hong tidak mendengar apa-apa karena
ia sudah lari jauh. Sementara itu Teng San dan Lian Hong yang sudah
berdiri di atas pagar tembok, tidak melanjutkan
pengejaran. Teng San menarik napas lega karena
melihat In Hong berhasil melarikan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan:
"Siauw-sute, bagaimana kau berani melepaskan
pengacau itu" Apakah kau tidak takut mendapat
marah dari suhu?" Lima bayangan orang berkelebat dan lima orang
hwesio yang tadi membentuk Ngo-heng-tin telah
berdiri di atas tembok menghadapi Teng San! Gerakan
mereka demikian cepat dan ringan ketika melompat
ke atas sehingga dari gerakan ini saja sudah dapat
diukur akan tingginya tingkat kepandaian mereka.
Teng San tidak berani membohong. Sambil
menundukkan kepalanya ia menjawab:
"Suheng sekalian, nona itu sudah cukup terhukum,
semalam suntuk telah diserang, didesak, bahkan telah
pula berkenalan dengan Ngo-heng-thia sehingga ia
kehabisan tenaga dan mungkin menderita luka-luka.
Biarpun ia telah melakukan dosa dengan mengacau
dan akan melakukan pencurian, akan tetapi belum
ada sesuatu yang tercuri. Siauwte menganggap
bahwa ia sudah cukup terhukum. Untuk ini siauwte
mengaku salah dan bersedia diberi hukuman."
"Sute, bukan kau dan juga bukan pinceng sekalian
yang berhak memutuskan hukuman, melainkan suhu
sendiri. Lebih baik kau membantu kami mengejarnya."
Pada saat itu, berkelebat bayangan lain yang luar
biasa cepatnya, disusul suara Ceng Seng Hwesio:
"Suhu memberi perintah agar supaya bocah pengacau
itu ditangkap dan dihadapkan kepada suhu untuk
diperiksa!" Tanpa berhenti di atas tembok, tubuh Ceng Seng
Hwesio sudah melesat lewat. Lima orang hwesio
itupun tanpa berkata apa-apa lagi cepat mengejar
twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mereka.
Teng San menjadi serba salah, akan tetapi karena
pengejaran sekarang ini adalah atas perintah
suhunya, iapun tidak berani tinggal diam.
"Adik Lian Hong, kau kembalilah ke kamarmu."
"Tidak, aku ikut mengejar!" seru gadis cilik itu yang
mendahului kakaknya melompat keluar tembok dan
menyusul para hwesio yang sudah berlari cepat.
Dalam hal ilmu, ginkang, Lian Hong tidak ketinggalan
jauh. Memang gadis cilik ini memiliki gerakan lincah
sekali, maka setelah dengan tekun mempelajari ilmu
silat di Siauw-lim-si selama kurang lebih tujuh tahun,
ia dapat mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup
hebat. Lian Hong berwatak periang dan biasanya penurut,
akan tetapi sekali gadis cilik ini mempunyai kehendak,
sukar dihalangi. Teng San mengetahui baik akan
watak adiknya itu, maka ia tidak mencegah ketika
Lian Hong ikut melakukan pengejaran. Demikianlah,
pada saat matahari mulai muncul, di luar kelenteng
Siauw-lim-si, terjadi kejar mengejar yang tentu akan
mengherankan orang luar. In Hong sudah lelah sekali, maka larinya tidak begitu
cepat lagi. Selain ini, ia juga tadinya mengira bahwa
ia sudah terlepas daripada ancaman orang-orang
Siauw-lim-pay yang ternyata luar biasa lihaynya itu.
Dengan jengkel dan kecewa ia berlari terus, tidak
begitu cepat, memasuki sebuah hutan yang liar.
Akan tetapi, tengah ia berlari itu, terdengar bentakan
nyaring dari belakang: "Bocah setan, kau hendak lari kemana?"
In Hong menengok kagetlah ia. Lima orang hwesio
yang dikenalnya sebagai barisan Ngo-heng-tin,
dikepalai oleh hwesio tangguh yang pernah ia rasai
kelihayannya dan keunggulannya bermain toya, yakni
Ceng Seng Hwesio. Dan di belakang rombongan ini, ia
melihat pula pemuda Ong Teng San dan adik
perempuannya! "Kalian mendengar" Baik, aku Kwee In Hong tidak
takut mati!" katanya gemas sekali dan begitu
rombongan itu datang dekat, In Hong lalu menyerang
mereka dengan Toat-beng-hek-kong, pasir hitam
beracun yang amat lihay itu.
Akan tetapi, semua pasir hitam ini dapat dikibas
runtuh oleh ujung lengan baju Ceng Seng Hwesio
yang segera memberi komando:
"Tangkap bocah ganas ini!"
Ngo-heng-tin bergerak dan dilain saat, In Hong sudah
dikurung di tengah-engah! Ngo-heng-tin sudah hebat,
apalagi ditambah oleh Ceng Seng Hwesio, maka kini
enam buah toya dipalangkan, mengurung dan
menutup semua jalan keluar.
Teng San dan Lian Hong yang sudah tiba di tempat itu
hanya berdiri menonton. Lian Hong biarpun belum
tahu bahwa In Hong adalah kakak tirinya, namun
bocah ini merasa suka sekali kepada In Hong dan
karenanya ia tidak mau membantu pengepungan itu.
"Kalian hendak menangkapku" Boleh, kalau aku sudah
menjadi mayat!" bentak In Hong yang cepat
mengerjakan Liong-gan-kiam, menyerang membabi-
buta. Akan tetapi kali ini ia menghadapi lawan yang
terlampau kuat. Baru menghadapi seorang Ceng Seng
Hwesio saja, belum tentu ia menang. Kini masih ada
Ngo-heng-tin yang demikian kuatnya, maka sebentar
saja ia sudah lelah sekali.
Semua serangan pedangnya membentur toya yang
amat kuat. Lweekang dari enam orang hwesio itu
rata-rata lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri,
maka sebentar saja tangan kanannya menjadi lelah
bukan main. Gadis ini menggigit bibir dan
memindahkan pedang di tangan kiri, lalu mengamuk
lebih hebat lagi. Berkali-kali Ceng Seng Hwesio memperingatkan lima
orang sutenya agar jangan melukai In Hong dan agar
menawan gadis itu tanpa melukainya. Hal inilah yang
menolong In Hong, karena kalau tidak demikian,
kiranya sebentar saja ia akan roboh terpukul toya.
Menangkap In Hong hidup-hidup tanpa melukainya
masih jauh lebih sukar daripada menangkap seekor
harimau betina yang mengamuk ganas.
Malihat ini, Ceng Seng Hwesio menjadi penasaran dan
malu. Benar-benar memalukan sekali kalau dilihat
oleh orang-orang kangouw. Enam orang tokoh besar
Siauw-lim-si masih tidak mampu membekuk seorang
gadis muda setelah pertempuran demikian lama"
"Nona, lebih baik kau menyerah untuk kami hadapkan
kepada ketua Siauw-lim-pay agar kau dapat diadili.
Kalau tidak, terpaksa pinceng melukai kakimu agar
kau dapat ditawan!" katanya.
In Hong tertawa mengejek. "Hwesio bau! Kaukira aku
gentar mendengar ancaman dan gertak sambalmu"
Mau pu?kul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh,
siapa takut?" "Bagus, kau memang tiada bedanya dengan Hek Moli,
siluman wanita itu. Rebahlah!" Setelah berkata
demikian Ceng Seng Hwesio merobah gerakan
toyanya, demikian pula barisan Ngo-heng-tin.
Sebentar saja keadaan berobah.
Kalau tadi In Hong yang selalu menyerang dan
membentur benteng toya, kini semua toya
menyerangnya dan ia sibuk menangkis dan
mengelak. Akhirnya, toya Ceng Seng Hwesio
mengenai paha kirinya! In Hong menggigit bibir menahan keluhan, sehingga
dari mulutnya tidak terdengar suara. Padahal rasa
sakit di pahanya sampai menembus ke tulang
sungsum. Biarpun ia dapat mempertahankan diri dan
tulang pahanya tidak patah, namun urat dan daging
pahanya telah terluka sehingga rasanya sakit bukan
main. Tadi Ceng Seng Hwesio masih menaruh hati kasihan
sehingga pukulan itu dilakukan dengan tenaga
sepertiga saja. Kalau hwesio ini berlaku kejam, pasti
tulang paha gadis ini telah patah-patah.
Pada saat itu, In Hong masih bertahan, bahkan
mengamuk dengan nekad. Tiba-tiba telinga gadis ini
mendengar suara halus, seakan-akan ada orang
berbisik didekat telinganya:
"Murid Hek Moli, kau larilah ke kiri dan masuk ke
dalam gua yang terletak di dekat pohon pek!"
In Hong heran sekali, akan tetapi ia menurut nasihat
ini. Dengan putaran pedangnya ke kiri secara hebat
dan ganas, ia dapat membuat para pengepung yang
berada di sebelah kiri melompat minggir. Cepat ia
menerobos bagian ini sambil memutar pedang dan
tangan kirinya menyebar toat-beng-hek-kong,
kemudian sambil menyeret kaki kirinya, ia terpincang-
pincang melarikan diri ke sebelah kiri.
Ceng Seng Hwesio diam-diam merasa kagum sekali
melihat daya tahan yang luar biasa dari gadis itu.
Orang lain, biar laki-laki gagah sekalipun, kalau sudah
terluka seperti itu, pasti akan menyerah. Apalagi
menyerah bukan untuk dibunuh musuh, hanya untuk
diadili oleh ketua Siauw-lim-pay yang terkenal adil
dan penuh welas asih hatinya. Mengapa gadis ini
begitu keras-kepala"
"Nona, laripun takkan ada gunanya. Lebih baik kau
menyerah!" katanya sambil mengejar bersama lima
orang sutenya. Teng San juga ikut mengejar. Maka pemuda ini pucat
sekali dan di dalam hatinya ia mengeluh. Ia merasa
kasihan sekali kepada gadis yang dikaguminya. Ingin
ia membantu dan menolong, akan tetapi tentu saja ia
tidak berani menghianati suheng-suhengnya. Juga Lian
Hong diam saja dan gadis cilik inipun merasa kasihan
kepada In Hong. "Koko, mengapa cici itu begitu nekat" Kalau ia
menurut saja dengan baik-baik dibawa menghadap
suhu, tentu ia tidak mengalami luka dan dikejar-
kejar." "Diamlah, Lian Hong. Mari kita lihat saja bagaimana
akhirnya. Kalau nona itu hendak dibunuh oleh para
suheng kita harus mencegah dan mintakan ampun."
Lian Hong menoleh dan memandang wajah kakaknya
yang pucat. Ia tidak tahu mengapa kakaknya begitu
menaruh perhatian kepada gadis yang dimusuhi oleh
Siauw-lim-pay itu, akan tetapi ia sendiripun takkan
rela kalau suheng-suhengnya membunuh gadis itu.
In Hong berlari sambil terpincang-pincang. Tak jauh


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari situ memang terdapat pohon pek yang besar.
Ketika tiba dibawah pohon, ia sudah hampir tidak
kuat menahan rasa sakit di pahanya. Kepalanya
sudah pening dan tenaganya sudah hampir habis.
Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa betul
saja, tak jauh dari pohon itu, terdapat sebuah gua
yang besar dan di depan gua penuh oleh rumput
alang-alang. Gua itu nampak menyeramkan dan hanya patut
menjadi tempat bersembunyi binatang-binatang buas.
Akan tetapi In Hong tidak ambil perduli dan tidak
berpikir panjang pula, cepat ia melompat masuk ke
dalam gua. Kakinya terlibat rumput alang-alang dan ia
jatuh menggelinding ke dalam gua dan baru berhenti
ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu.
Hampir saja gadis yang tabah ini mengeluarkan
teriakan kaget ketika ia membuka matanya dan
melihat bahwa ia telah tertahan oleh tubuh seorang
kakek yang menyeramkan sekali. Kakek ini nampak
tua, kurus seperti tengkorak, hanya tulang terbungkus
kulit saja. Yang kelihatan hidup hanya sepasang
matanya yang lebar dan bergerak-gerak
mengeluarkan cahaya ber-pengaruh.
Yang lebih menyeramkan lagi, kakek ini sudah
buntung semua kaki tangannya. Kedua lengan
buntung sebatas pergelangan tangan, sedangkan
kedua kakinya buntung sebatas lutut! Pakaiannya
compang-camping dan kakek ini duduk melonjorkan
kedua paha yang tidak berkaki lagi, kedua tangannya
bersedekap kelihatan mengerikan karena tidak ada
tangannya. Sebelum In Hong sempat membuka mulut, kakek itu
bertanya dengan suara halus, suara yang dikenal oleh
In Hong karena tadi yang berbisik didekat telinganya
juga suara ini: "Benarkah kau murid Hek Moli" Siapa namamu?"
In Hong ingat akan pesan gurunya bahwa di dunia ini
memang ada orang berilmu tinggi yang lweekangnya
sudah demikian hebat sehingga dapat mengirim suara
dari jauh, ditujukan kepada orang yang dimaksud
saja sehingga suara itu hanya terdengar oleh orang
itu dan tidak terdengar oleh lain orang. Kakek ini tentu
seorang berilmu tinggi, pikirnya.
"Teecu bernama Kwee In Hong, memang betul teecu
murid tunggal dari Hek Moli."
"Mengapa kau dikejar-kejar oleh para hwesio Siauw-
lim-pay?" "Guru teecu tewas dalam tangan orang-orang Kun-lun-
pay, ketika teecu hendak membalas dendam disana,
teecu kalah oleh tokoh-tokoh Kun-lun-pay. Karena itu
teecu datang ke Siauw-lim-si untuk mencuri kitab I-
kin-keng karena teecu hanya kalah dalam tenaga
lweekang. Teecu hendak mempelajari isi kitab itu dan
kelak hendak membalas dendam lagi. Tak tahunya
teecu bukan saja tidak berhasil, bahkan dikalahkan
oleh para hwesio Siauw-lim dan hendak ditawan."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya aneh
menyeramkan, jauh bedanya dengan suara halus
ketika ia bicara. "Jangan takut, duduklah di depanku dan kalau mereka
datang, kau lawanlah sambil duduk."
In Hong menurut dan bangun karena tadi ia masih
setengah rebah, tubuhnya lemas bukan main. Ia
duduk dengan kaki gemetar dan mencoba bersila.
"Locianpwe, dengan berdiri dan mengeluarkan seluruh
kepandaian saja teecu masih tak sanggup menang,
bagaimana locianpwe menyuruh teecu melawan
mereka sambil duduk?" tanyanya dengan penasaran
dan juga jengkel, mengira kakek ini main-main.
"Kau keras kepala seperti gurumu! Jangan kau banyak
membantah kalau ingin selamat! Hayo bersiap, kalau
mereka menyerang, kau menangkis dan balas
menyerang dengan pedangmu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba In Hong merasa
punggung dan lehernya tersentuh oleh ujung lengan
buntung itu. Ia merasa geli karena lengan buntung itu
lunak sekali, akan tetapi tiba-tiba ada hawa yang
panas memasuki tubuhnya dari punggung dan leher
dan seketika itu juga rasa sakit-sakit dan lelah
ditubuhnya terusir pergi!
"Bocah ganas, kau hendak sembunyi kemana" Lebih
baik menyerah saja agar kami tak usah
mempergunakan kekerasan!" terdengar suara Ceng
Seng Hwesio yang memasuki gua itu, diikuti oleh lima
orang sutenya. Di belakang sekali Teng San dan Lian Hong, akan
tetapi dua orang muda ini tidak ikut masuk, hanya
menanti di luar. Gua itu amat besar maka enam orang
hwesio Siauw-lim-pay dapat masuk berbareng dan
mereka segera berhadapan dengan In Hong.
Tubuh kakek itu tidak kelihatan, tertutup oleh tubuh In
Hong. Biarpun kakek itu sebenarnya lebih jangkung,
akan tetapi entah bagaimana, setelah enam orang
hwesio itu masuk gua, tubuh kakek itu mengecil dan
teraling oleh tubuh In Hong sehingga tidak kelihatan
oleh para hwesio. Melihat In Hong duduk bersila dengan pedang di
tangan kanan dan mata memandang tajam, Ceng
Seng Hwesio tercengang. Ia menduga bahwa gadis
itu tentu menderita kesakitan hebat pada pahanya,
akan tetapi benar-benar tidak disangkanya bahwa
setelah kini lumpuh, gadis itu masih menanti dengan
pedang di tangan sambil duduk bersila, nampaknya
tenang dan menantang! Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
http://cerita-silat.mywapblog.com
Kakek Bhutan Koay-jin "Nona, sudah lama pinceng hidup, sudah banyak
pinceng menjumpai orang-orang gagah, akan tetapi
baru sekali ini pin?ceng bertemu dengan seorang
muda yang keraskepala seperti kau! Gurumu sendiri,
Hek Moli, agaknya tidak demikian keras kepala.
Mengapa kau mempersukar kami" Lebih baik kau
menyerah dan dengan sukarela. Ikut dengan kami ke
kuil untuk menghadap guru kami. Kau sudah bersalah,
mengacau Siauw-lim-si, mengapa untuk menghadap
suhu dan menerima salah saja kau enggan?"
"Hm, setan-setan gundul bau busuk! Kalian ini
orangtua-orangtua tak tahu malu semalam suntuk
sudah mengurung, mengeroyok dan mendesak aku.
Sekarang aku sudah berada disini, tak dapat lari lagi,
kalian mau apa" Jangan harap akan dapat
memaksaku ikut dan minta-minta ampun, kalau
kalian mau bunuh, boleh maju, aku tidak takut!"
"Ah, benar-benar siluman betina! Nona kecil bernyali
siluman! Liok-sute, kau tangkap dia," seru Ceng Seng
Hwesio marah. Orang kelima dari barisan Ngo-heng-tin yang disebut
Liok-sute (adik seperguruan keenam) melangkah
maju, toyanya digerakkan. Ia tidak mau menyerang
tubuh In Hong, hanya mengerahkan tenaga untuk
memukul pedang di tangan nona itu agar terlepas dari
pegangan, karena kalau pedang itu sudah terlepas,
akan lebih mudah menawannya.
In Hong maklum bahwa pukulan toya itu keras dan
hebat sekali dan tadi sudah dirasai kelihayan tenaga
para hwesio ini. Tenaganya sendiri sudah hampir habis
dan kalau tadi menangkis pukulan toya ini, pasti
pedangnya akan terlepas dari pegangannya. Akan
tetapi, kali ini ia tidak bisa seperti tadi
mempergunakan kelincahannya mengelak, maka
terpaksa ia mengangkat pedang menangkis toya itu.
Terdengar suara keras dan hampir berbareng enam
orang hwesio itu mengeluarkan seruan kaget. Juga In
Hong merasa heran sekali akan kesudahan dari
benturan senjata ini. Ia merasa seakan-akan ada dorongan tenaga dari
belakang dan tenaga ini merupakan hawa hangat
yang menjalar sampai ke tangan kanannya yang
memegang pedang. Ketika senjatanya menangkis
toya, ia hanya merasa getaran hebat, akan tetapi
tidak terpengaruh apa-apa, pedangnya tidak terlepas
bahkan membuat keras sehingga toya itu menjadi
patah! Potongan toya melayang ke atas dan
menancap pada dinding gua sedangkan hwesio itu
sendiri tertolak ke belakang dan jatuh bergulingan
seperti daun tertiup angin! Tentu saja hal ini
mengagetkan semua orang. Dua orang hwesio menjadi penasaran dan berbareng
mereka maju dengan toya digerakkan. Toya pertama
datang dari arah kiri, menghantam pedang di tangan
In Hong dengan gerakan menyamping, sedangkan
toya dari hwesio kedua me-luncur ke arah pundak
kanan In Hong dengan maksud menotok jalan darah
atau melukai pundak sehingga boleh dibilang kedua
serangan ini bermaksud sama, yakni merampas
senjata nona itu. Melihat serangan dari kanan kiri ini, In Hong terkejut
sekali. Pedangnya cepat membentur toya dari kiri,
akan tetapi pada saat itu, toya dari kanan telah
menotok pundaknya. Kembali terjadi keanehan yang
sukar dipercaya. Toya dari kiri itu terkena sampokan pedang, biarpun
tidak putus akan tetapi terlepas dari pegangan dan
membalik lalu memukul hwesio itu sendiri, tepat kena
kepalanya yang gundul sehingga menimbulkan suara
keras dan kepala itu timbul benjol sebesar kepalan
tangan! Adapun toya yang menotok pundak kanan In
Hong, seakan-akan mengenai karet saja dan toya ini
membal kembali. Hwesio yang menotoknya berseru keras karena
tenaga totokannya kembali dan menyerang
tangannya sendiri sehingga ia terpaksa melepaskan
toyanya dan melompat ke belakang dengan muka
pucat. In Hong sendiri tidak merasa apa-apa, seakan-
akan pundaknya dilindungi oleh baja yang kuat.
Dua orang hwesio lagi menjadi marah. Sambil berseru
keras toya mereka bergerak, kini tidak sungkan lagi
dan bukan hanya hendak merampas pedang karena
toya ini yang satu mengemplang kepala In Hong
sedangkan yang kedua menusuk ke arah uluhati.
Pendeknya, kedua toya ini mengirim serangan maut!
Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan kaget,
mencegah kedua sutenya melakukan serangan keji
itu, akan tetapi terlambat karena toya itu sudah
menyambar laksana dua ekor harimau menubruk.
Melihat serangan ini, biarpun In Hong berkepandaian
tinggi dan bernyali besar, tetap saja gadis ini merasa
ngeri dan putus asa. Ia hanya melakukan gerakan
pedang melindungi diri, memutar pedang itu untuk
menjadi perisai. Ia maklum bahwa gerakannya ini
lemah saja dan tak mungkin dapat menghalangi dua
senjata lawan yang mengarah nyawanya.
Namun, dalam memutar pedangnya, kembali ia
merasa punggung dan lehernya panas dan otomatis
tangannya yang memegang pedang itu menyambar
cepat. Terdengar bunyi keras lagi dan dua batang toya
itu terlempar, pedangnya dengan aneh seakan-akan
tak dapat dikuasai lagi oleh In Hong, terus meluncur
dan tubuhnya condong ke depan. Dalam sekejap
mata, dua orang hwesio itu memekik kesakitan dan
kaki kanan mereka mengucurkan darah karena
terluka oleh goresan pedang!
"Omitohud?"!" Ceng Seng Hwesio memuji nama
Buddha ketika ia melihat keanehan ini. Ia menjadi
curiga sekali karena ia melihat bahwa dalam tiga
gebrakan berturut-turut dimana In Hong merobohkan
atau mengalahkan lima orang hwesio Ngo-heng-tin,
gadis itu hanya bergerak sembarangan saja. Sudah
jelas bahwa kekalahan lima orang sutenya itu bukan
karena ilmu silat, melainkan karena tenaga lweekang
yang luar biasa menghantam mereka dari pedang
gadis itu. Ceng Seng Hwesio melangkah maju. In Hong yang
kini maklum bahwa ia dilindungi oleh kakek tua renta
di belakangnya, menjadi besar hati. Ia tersenyum
mengejek dan berkata: "Hwesio gundul, apakah kau juga masih hendak
menawan?" Ceng Seng Hwesio tidak marah, hanya terheran-heran
dan penasaran. Ia telah menyaksikan kelihayan gadis
ini pada malam hari tadi di Siauw-lim-si, dan biarpun
ia harus akui bahwa ilmu pedang gadis ini luar biasa
ganas dan lihaynya, namun dalam hal ilmu lweekang,
gadis ini masih terhitung lemah. Bagaimana sekarang
tiba-tiba saja dapat menjadi begitu kuat" Apakah
tiba-tiba gadis itu mendapatkan ilmu yang aneh"
Tak mungkin, andaikata mendapatkan ilmu juga, tak
mungkin dapat dilatih dan dimiliki dalam waktu
singkat. Apalagi, baru saja gadis itu telah terkena
pukulan toyanya pada pahanya dan ia melihat sendiri
gadis itu melarikan diri lalu masuk ke dalam gua.
Bagaimana dan bila gadis itu mendapat ilmu yang
aneh" Karena penasaran sekali, Ceng Seng Hwesio
hendak mencoba dengan toyanya sendiri. Ia
mengayun toya sambil berseru keras:
"Lepaskan pedang!"
Dalam sambaran toyanya ini, ia mempergunakan
seluruh tenaga dalamnya. Dalam hal lweekang, Ceng


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seng Hwesio sudah dapat dikatakan tinggi dan hanya
di bawah suhunya, Bu Kek Tianglo. Memang betul dia
sendiri belum dapat mewarisi ilmu I-kin-keng, akan
tetapi tenaga lweekangnya sudah men?capai tingkat
yang tinggi di dunia kangouw, jarang sekali ia
bertemu tandingan. Kini, karena penasaran ia mengerahkan seluruh
tenaganya, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya sambaran toya itu! Kalau menurut
perhitungan dan kalau sewajarnya, tidak saja In Hong
takkan kuat menahannya, bahkan selain pedangnya
akan terlepas, tentu gadis itu akan roboh pula karena
serangan hawapukulan itu akan melukai anggauta di
dalam tubuh. In Hong cepat mengangkat pedang menangkis. Dua
senjata bertemu, api berpijar mengeluarkan cahaya
menyilaukan di dalam gua yang agak gelap itu. Dua
tenaga dahsyat yang tidak kelihatan bertemu dalam
benturan pedang dan toya. In Hong mengeluarkan
keluhan perlahan karena telapak tangan gadis ini
tidak dapat tahan menghadapi benturan ini.
Sebaliknya Ceng Seng Hwesio juga berseru kaget,
toya dan pedang terlepas dari tangan masing-masing,
toyanya melayang dan hampir saja menghantam
seorang sute dari Ceng Seng Hwesio yang cepat
mengelak sehingga toya itu meluncur dan menancap
di dinding gua. Sedangkan pedang In Hong melayang
ke atas dan menancap pada langit-langit gua!
Ceng Seng Hwesio berdiri seperti patung, matanya
terbelalak, penuh keheranan. Ia tadi merasa betapa
dari pedang gadis itu menyambar hawa pukulan yang
luar biasa sekali dan ia harus mengaku bahwa dalam
benturan tenaga tadi, ia masih kalah jauh sehingga
tenaganya sendiri membalik dan terpaksa toyanya
terlepas dari pegangan dan meluncur ke belakang.
Memang, melihat kemana dua senjata itu meluncur,
sudah dapat diketahui siapa yang lebih unggul dalam
adu tenaga tadi. Toya di tangan Ceng Seng Hwesio
membalik dan meluncur ke belakang, sedangkan
pedang di tangan In Hong mencelat ke atas, maka
berarti bahwa toya ini terpental ke belakang karena
kalah tenaga! Sebaliknya, lima orang hwesio Ngo-heng-tin setelah
melihat betapa pedang itu telah terlepas dari
pegangan In Hong, menjadi besar hati. Mereka
berlima bergerak maju dan dengan berbareng mereka
menyerang. Ada yang menotok jalan darah, ada yang
mencengkeram pundak, ada pula yang
mencengkeram lengan. Kalau menurut suara hatinya, In Hong sudah putus
asa dan tidak punya harapan lagi. Akan tetapi,
kepercayaannya terhadap kakek aneh yang
melindunginya mendatangkan keberaniannya
kembali. Ia mengangkat kedua tangan,
menggerakkan kedua tangannya cepat-cepat untuk
menangkis dan balas menyerang.
Luar biasa sekali. Dari kedua tangan gadis ini keluar
hawa pukulan dahsyat. Tanpa pedang, ternyata hawa
hangat yang mengalir dalam tubuhnya menjadi makin
dahsyat dan langsung sehingga tenaga pukulannya
terasa anginnya menyambar-nyambar.
Dalam segebrakan saja, terdengar suara teriakan
kesakitan ketika tubuh lima orang hwesio yang
tangguh itu satu persatu melayang dan terbentur
pada dinding gua! Teng San dan Lian Hong yang tadinya berada di mulut
gua, melihat semua kejadian ini dengan mata
terbelalak dan mulut bengong. Keduanya merasa
heran dan bingung karena memang peristiwa yang
mereka saksikan itu benar-benar luar biasa dan tak
dapat mereka mengerti. "Lian Hong, lekas kau beritahukan kepada suhu
tentang kejadian ini!" kata Teng San.
Pemuda ini selain khawatir sekali akan keselamatan
In Hong yang dikeroyok oleh suheng-suhengnya, juga
ia merasa terheran-heran dan tahu bahwa kiranya
hanya suhunya, Bu Kek Tianglo saja yang akan dapat
membereskan dan memecahkan soal yang aneh ini.
Dia sendiri lalu masuk ke dalam gua.
Pada saat itu, Ceng Seng Hwesio sudah melangkah
maju. Dengan kedua tangannya, ia menyerang dan
hendak mencengkeram kedua pundak In Hong untuk
ditekan dan dibikin tidak berdaya. In Hong
menyambut kedua tangan ini dan dua pasang telapak
tangan bertemu. Ceng Seng Hwesio menekan ke bawah dan In Hong
menyangga dan mendorong ke atas. Dua tenaga
dahsyat kembali bertarung melalui telapak dua
pasang tangan itu. Ceng Seng Hwesio mengerahkan tenaga
lweekangnya ketika merasa betapa telapak tangan
dari gadis itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Ia
terkejut dan tahu bahwa gadis ini mempergunakan
tenaga "im" yang dapat mencelakainya, maka ia
memperhebat tenaganya untuk melawan tenaga ini.
In Hong tentu saja pernah mempelajari lweekang dari
Hek Moli. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan
tingkat Ceng Seng Hwesio, ia kalah jauh.
Sekarang, dalam pertandingan ini, ia sendiri tidak turut
apa-apa, hanya merasa betapa tekanan pada
punggung dan lehernya makin kuat dan hawa panas
seakan-akan membakar tubuhnya. Ia hanya
menyalurkan hawa panas ini melalui lengan dan jari-
jari serta telapak tangannya untuk menahan gencetan
lawan yang seakan-akan hendak meremuknya.
Beberapakali ia merasa betapa dari dua telapak
tangan hwesio itu menyerang tenaga dahsyat yang
menindihnya, akan tetapi dari punggungnya juga
keluar tenaga raksasa yang terus mengalir ke arah
telapak tangannya dan mendorong kembali tenaga
lawan yang menindih itu. Tiba-tiba nampak urat-urat dijidat Ceng Seng Hwesio
menonjol. Hwesio ini saking penasaran dan
marahnya, mengerahkan tenaga terakhir. Ia merasa
malu kalau sampai kalah oleh gadis muda ini, maka
dengan mati-matian ia menghabiskan tenaga terakhir.
Akibatnya hebat sekali, In Hong juga merasa hawa
panas yang membuat napasnya sesak dan tiba-tiba
hawa panas ini mengalir ke arah kedua lengannya,
membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga ini supaya
keluar dari telapak tangan dan terdengarlah teriakan
keras Ceng Seng Hwesio dan tubuh hwesio ini
terlempar ke atas! Ceng Seng Hwesio memang lihay sekali. Biarpun ia
telah terpukul oleh tenaga dahsyat ditambah
tenaganya sendiri yang terserang dan membalik,
namun ia masih dapat menguasai diri. Sebelum
kepalanya terbentur langit-langit gua, ia telah
membalikkan tubuh sehingga hanya bagian belakang
tubuhnya yang terbentur pada langit-langit dan kini
tubuhnya me?layang turun kembali.
Dalam melayang turun ini, Ceng Seng Hwesio
mengeluarkan seruan: "Omitohud?"!" Agaknya ia
terkejut sekali sehingga ia tidak menguasai tubuhnya
lagi. Ia pasti akan terbanting keras kalau saja Teng
Seng Hwesio cepat-cepat melangkah maju dan
menyambut tubuh suhengnya dengan kedua
tangannya. "Nona, kau kejam sekali!" Teng San menegur dan
hendak melangkah maju. "Memang aku kejam, dan para hwesio Siauw-lim-si
itu tentu amat baik budi dan tidak kejam, bukan" Hm,
kalau menurut pandanganku, di dunia ini hanya
kaulah satu-satunya orang yang memiliki welas-asih,"
kata In Hong ini biarpun setengah mengejek, namun
merupakan pernyataan hatinya.
Di antara para penghuni Siauw-lim-si, memang hanya
pemuda ini yang tidak berlaku kejam dan tidak
mendesaknya hanya sayangnya, pemuda ini berdiri
dipihak mereka yang memusuhinya.
Teng San menjadi merah mukanya. Sesungguhnya,
sekali melihat In Hong, hatinya telah jatuh dan ia
suka kepada gadis ini. Apalagi setelah ia tahu bahwa
gadis ini adalah Kwee In Hong, puteri dari ibu tirinya
yang lenyap. Ia merasa suka dan juga amat kasihan.
Akan tetapi, karena ia adalah murid Siauw-lim-pay,
sudah menjadi kewajibannya untuk membela Siauw-
lim-pay melihat partainya telah mengalami hinaan
dan malu karena tokoh-tokohnya dikalahkan oleh
gadis ini. Sebelum ia melakukan sesuatu, tiba-tiba Ceng Seng
Hwesio berkata: "Siauw-sute, jangan kau kurangajar terhadap seorang
locianpwe!" Teng San menoleh dengan mata mengandung penuh
pertanyaan, dan ia makin terheran ketika melihat
suhengnya itu berlutut di depan In Hong!
"Bhutan Locianpwe, siauw-ceng tidak tahu bahwa
locianpwe berada disini, mohon banyak maaf!"
katanya. In Hong mengerti bahwa hwesio itu telah tahu akan
adanya kakek aneh, maka ia diam saja. Tiba-tiba,
kakek aneh yang tadinya tidak kelihatan karena
tubuhnya seakan-akan mengkeret kecil, kini kelihatan
lagi, duduk bersila di belakang In Hong!
Juga Teng San baru saja melihat kakek ini, maka
kagetnya bukan main. "Ceng Seng Hwesio, muka hitam! Akhirnya kau dapat
juga melihatku dari atas," kakek itu berkata sambil
tertawa. Memang, ketika tadi Ceng Seng Hwesio mencelat ke
atas dan membalikkan tubuh, dari atas ia melihat
kakek yang bersembunyi di belakang In Hong, maka
Rahasia Istana Terlarang 11 Boma Gendeng Triping Geger Pantai Rangsang 1
^