Gara Gara Warisan 1
Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Bagian 1
Gara-Gara Warisan Kisah Oey Eng ( Si Burung Kenari )
oleh Siao Ping Dituturkan oleh : Oey Kim Tiang
Cetakan Pertama STAR WEEKLY No. 425 (20/02/1954) s/d No. 437 (15/05/1954)
Keng Po, Jakarta Bagian I SHUEN FUNG, kapal layar dengan tiga tihang, telah keluar dari pelabuhan Woosung, melancari laut yang bergelombang, ia lintasi Chenhai dan Shenchia-men, mampir beberapa jam di Shihpu, untuk turuni muatan dan lantas berangkat pula, untuk via Sanmemean pergi ke Taichowwan.
Kira-kira duapuluh orang pesisir duduk berkumpul, memasang omong, akan melewati waktu yang senggang selama pelayaran mereka, "Dalam buku cerita kuno kita baca tentang orang-orang gagah dengan kepandaian silat luar biasa," kata satu pemuda, "tetapi kita orang belum pernah saksikan orang yang benar-benar mempunyai kepandaian itu, siapa tahu..."
"Itu ada buah lamunan dari si pengarang" kata satu pesisir, "sebenarnya sama sekali tak ada orang-orang dengan kepandaian seperti dilukiskan itu"."
"Ah, nyata kau belum tahu, sahabat" kata pemuda itu, "Sekarang benar-benar telah muncul semacam orang gagah. Kau kenal atau tidak lie hiap Oey Eng" "
"Aku pernah dengar orang omong tentang lie-hiap, itu," kata penumpang yang ketiga, seorang dagang. "Katanya ia ada asal Fuling di Szechuen, tubuhnya langsing, romannya cantik, hingga orang tak sangka ia berkepandaian tinggi, Ia biasa satrukan orang-orang jahat,"
"Aku tak percaya!" kata pesisir yang kedua,
"Jikalau kau tidak percaya, pergilah kau ke Hungyao Road di Shanghai," kata si pemuda. "Siapa mau dustakan kau. Ia punya dua kawan adaKat Po dan Hiang Kat. Mereka tinggal sama-sama di sebuah gedung. Mereka paling benci segala orang jahat. Segala kurcaci, kalau dengar nama In Hong tentu kepalanya pusing. Mereka itu melebihi orang-orang dalam cerita silat!"
"Jangan kau melebih-lebihkan sahabat," kata pesisir kedua "Aku tetap tidak percaya. Apakah kau pernah lihat sendiri mereka itu?"
"Tentu, aku pernah lihat sendiri!" si anak muda pastikan. Toh dia sebenarnya cuma dengar ceritera orang lain. Ia mendusta dengan terpaksa. "Diantara mereka bertiga, In Hong paling lihay, karena ia gagah dan cerdik. Kat Po pun gagah tapi dia rada sembrono. Yang paling rendah kepandaiannya ada Hiang Kat, ia baru berusia belum delapan belas tahun orangnya kecil molek dan cantik."
"Cara bagaimana kau ketahui ia belum berusia delapan belas tahun?" tanya pesisir kedua secara menyindir. "Apakah pernah sanak dari ianya?"
"Bukan melainkan sanak malah aku pernah dansa satu kali sama ia!" pemuda itu memberahol terus. "Malah satu kali?"
Di pojok kiri dari ruangan dimana mereka berkumpul ada satu pemuda cakap siapa dengan tangannya menyenggol satu nona di sampingnya.
Nona itu adalah Hiang Kat, yang jadi buah pembicaraan. Ia ada pakai sweater biru dengan celana biru, overcoat biru juga. Di lehernya ada tergubet selembar handuk biru dengan sulaman bunga seruni. Ia asik memandang laut dengan tenang,
"Hiang, apakah kau kenal pemuda itu" " tanya si anak muda, Ia bicara dengan pelahan, ia punya air muka ada lesu. Ia ada Leng In, engko piauw [kakak misan] dari Hiang Kat, Ia punya ayah sedang sakit, dari Shantung ia dipanggil pulang, ketika ia lewat di Shanghai, ia mampir dan ajak adik misan ini bersama untuk pulang ke Haimen, Taichowwan. "Apakah kau dengar apa yang ia bilang" " ia tegasi.
"Antap dia ngaco-belo," sahut si nona, dengan pelahan, "asal dia tak merusak nama baikku." Ia tidak sesabar In Hong tetapi ia pun tak sesembrono sebagai Kat Po, "Satu kali, dalam satu medan pesta, aku ada bersama-sama nona Hiang Kat itu," si pemuda melanjuti dongengnya, "dan ia ceritakan aku bagaimana ia sering labrak segala telur busuk. Menurut ia, manusia jahat ada terlalu banyak, orang gagah ada sangat sedikit..."
"Asal ada semacam orang gagah, tak sukar untuk basmi orang jahat" pesisir kedua masih saja menyindir, "Mereka bertiga sudah basmi berapa banyak orang jahat" "
"Nona Hiang Kat janjikan aku bahwa dengan pelahan-pelahan ia akan bikin habis orang-orang jahat, sampai satu pun tak ketinggalan," kata si pemuda, yang nampaknya ada bangga sekali,
Sementara itu lima penumpang, yang baru naik di Shihpu, yang duduk di kepala kapal, kelihatannya sebal dan mendongkol mendengari ceritanya si pemuda itu. Di antara mereka ini, satu ada tinggi besar, romannya bengis, ia bersenyum ewah.
"Sahabat, hematkanlah kegembiraanmu, tak usah kau omong begitu banyak tentang tiga nona itu," memperingati si orang dagang, penumpang yang ketiga, Dengan tak disengaja, ia lihat air mukanya lima penumpang itu.
"Boleh apa sih" " kata si anak muda. "Aku mau bicara, siapa suka dengar, boleh dengar, siapa tidak suka, ia boleh sumpel kupingnya! Siapa bisa larang aku" Nona Hiang Kat kasi tahu aku, ia pernah musnakan kawanan bajak dari Boe Tek Pa-ong..."
"Setan" mengutuk si tetamu yang romannya bengis.
Saudagar itu bercekat hatinya, ia rupanya ada seorang dengan banyak pengalaman.
"Jangan-jangan mereka ada bajak atau konconya bajak.....," pikir Hiang Kat, yang pun bercuriga. "Sayang aku ada bersendirian. sukar untuk aku lawan begitu banyak, musuh..." ia kisiki Leng In
"Habis bagaimana" " tanya si engko misan.
"Lihat saja bagaimana nanti," nyatakan si nona.
Di lain pihak, di ujung kanan, seorang perempuan asik bicara sama satu kenalannya, seorang perempuan tua, dan bahan ceritera adalah hal memedi penculik...
"Sahabatku, baiklah kita dengari itu enso dongeng!" si pesisir kedua ajak si pemuda. Ia nyata sekali sebal benar pada pemuda itu.
"Kamu jangan usil aku!" pemuda itu baliki.
"Jangan tekebur sahabat," nyeletuk si penumpang tinggi besar beroman bengis.
Si Saudagar tarik pemuda itu.
"Apakah kau tidak lihat salatan?" ia bilang. "Kalau aku berkelahi, aku cari musuh yang terlebih kecil dan kurus daripada aku "
Pemuda itu ada kecil dan kurus dan pesisir satunya ada tinggi dan besar. Ia berdiam.
"Mari kita dengar dongengnya itu enso" kata pesisir yang kedua, yang saban-saban datang sama tengah.
"Aku bukannya dongeng, ini ada cerita benar" kata nyonya yang berceritera itu. Ia pakai baju dan celana biru, usianya baru tigapuluh lebih. "Aku ada punya kenalan sekampung, namanya Liok Ah Tin. Kita sama-sama bekerja pada keluarga Han di Sanghai. Majikan perempuan kita, nyonya Han atau namanya sendiri Thia Bwee Hee, ada punya bapak buyut luar yang tinggal di dusun Haiwanchun diluar kotan Sanmen hsien, rumahnya ada model kuno. Orang tua itu menutup mata pada tahun yang lalu. Warisan rumahnya itu jatuh kepada nyonyaku itu. Buat setengah bulan. Nyonya Han tinggal di rumah kuno itu, untuk urus jenazah bapa buyutnya itu, kemudian ia kembali ke Shanghai. Rumah itu diserahkan dijaga pada dua bujang lelaki. Pada enam bulan lalu, nyonya Han pergi pula ke itu rumah tua di Sanmen, ia ajak dua bekas temannya sekolah, satu lelaki, satu perempuan, begitupun si Ah Tin. Mereka meninggalkan Shanghai untuk menyingkir dari hawa udara yang mengkedus. Pada suatu malam, nyonya dan temannya yang lelaki pergi kebelakang taman bunga, disitu ada terdapat banyak pepohonan. Kemudian Ah Tin dan kawannya nyonya yang perempuan, pergi menyusul. benar waktu mereka ini sampai di tempat pepohonan itu, mereka mendadakan dengar jeritannya nyonya. mereka kaget tetapi mereka lantas memburu. Di situ mereka tampak pemandangan yang menakuti. Di bawahnya sinar bulan jauhnya kira-kira tigaratus tindak, mereka lihat seorang yang tubuhnya tinggi dan besar, kopianya kopia batok dengan runce merah, dari belakang kepalanya ada tergantung kuncir yang panjang. Ia pakai baju yang gerombongan, baju pembesar di jaman Boanciu, dan ia sedang kempit seorang, yang dari pakaiannya nyata sekali ada Nyonya Han. Ia lari ke dalam tempat yang lebat dan gelap, Mereka menguber, tetapi orang itu keras larinya, benar ia tak dapat dicandak, akan tetapi mereka berdua bisa lihat Nyonya Han dibawa lari masuk ke dalam sebuah kuburan diujung utara dari tempat lebat itu..."
Ceritera sampai disitu, si enso ini nampaknya bergidik.
"Apa benar begitu?" tanya si pemuda. "Sungguh luar biasa"
"Kau jangan potong ceriteranya ini enso!" penumpang yang kedua mengasi ingat,
"Aku pastikan, ini bukannya dongeng," nyonya itu tegaskan.
"Kemudian" " tanya si saudagar.
"Ah Tin menjerit bahwa orang Boan itu ada setan," si nyonya melanjuti, "karena itu, ia tak berani menguber lebih jauh. Temannya nyonya tak percaya di dunia ada setan, ia mengejar terus. Tapi buktinya, ia lihat tegas, nyonya dibawa masuk ke dalam kuburan itu"
"Apakah buktinya" " tanya si saudagar.
"Batu kuburan melekah dan tertutup pula sendirinya. Di sela- sela itu ada terjepit saputangannya nyonya, ujungnya keluar. Saputangan itu ada disulam namanya nyonya, dua huruf Bwee Hee. Saputangan itu pun tak dapat dibetot lolos. Di luar situ pun ada ketinggalan sebelah sepatu kulit putih dari nyonya..."
"Ah.." mengelah si Saudagar, agaknya ia bergidik. "kemudian lagi?"
"Berdua mereka lari pulang, akan panggil kedua bujang lelaki. Mereka ini coba bongkar batu kuburan itu akan tetapi tidak berhasil.
"Jadi Nyonya Han itu terus lenyap" " tanya satu nyonya lain, yang kulit mukanya hitam dan kasar.
"Ya. Tuan Han Sie Kiat, suaminya Nyonya Han, sudah lantas dikabarkan dan dia telah lantas datang. Ia telah majukan laporan pada polisi setempat, akan tetapi, sudah selang setengah tahun, perkara nyonya itu tinggal gelap."
"Apakah mereka tak bongkar saja kuburan itu" " tanya pula si nyonya kulit hitam dan kasar.
"Tidak. Polisi tak percaya ceritera hal setan itu, sedang kuburan ada kuburan keluarga lain hingga tak boleh sembarangan dibongkar"
"Bagaimana dengan sahabat lelaki dari Nyonya Han itu" "
"Dia kedapatan pingsan di dalam rimba, katanya bekas disemerot dengan hawa gas beracun. Ketika dia ditolongi dan tersedar ia kasi keterangan bahwa ia tak ingat suatu apa."
"Aku tak percaya ceritera ini," si anak muda, berkeras.
"Ini ada pengalamannya Ah Tin dan ia telah ceritera sendiri kepadaku," terangkan si nyonya tukang ceritera.
Suaranya kira-kira tigapuluh penumpang gumbreng, satu pada lain mereka omongkan ceriteranya nyonya itu, mereka lantas menghubungi sama cerita-cerita dari Uauw Tjay. Lebih banyak orang yang percaya Nyonya Han ketemu setan dan diculik sedikit yang tidak percaya itu.
Leng In dan Hiang Kat tidak banyak omong, mereka lebih perhatikan itu lima penumpang baru.
Selagi kapal layar mendekati Sanmen-wan, segera tertampak sebuah kapal lain sedang berlayar di sebelah belakang, agaknya sedang mengikuti. Dalam tempo sepuluh menit, kapal itu telah datang lebih dekat, hingga dimuka kapal tertampak nyata belasan orang dengan tubuh kasar, diantaranya ada yang mengacungkan senapan.
"Berhenti!" demikian tanda perintah dari kapal di sebelah belakang itu.
Mereka sedang berada di laut yang sepi.
Semua orang kaget, apapula kapan tembakan terdengar, maka lantas saja uap perdebatan mereka tentang adanya setan atau tidak.
Menyusul tembakan itu, beberapa penumpang yang dicurigai itu sudah lantas bergerak; mereka loncat bangun seraya tangan mencabut pistol. Mereka serentak sambut tanda dari kapal pengejar itu.
Akan tetapi Hiang Kat sudah siap.
"Angkat tangan!" ia berseru. "Jangan bergerak! Aku memang sudah duga bahwa kau orang ada konco-konconya bajak!"
Kawanan bajak itu menyerah. Mereka tidak sangkah bahwa mereka telah ada yang dului.
"Di sini sempit pergi ke sebelah kanan sana! Hiang Kat menintah semua penumpang lainnya. "Aku hendak ringkus semua bajak ini".
Semua penumpang itu lantas berlalu dengan bererot.
Hiang Kat kosongi dek, supaya kapan ia perlu gunai senjata, ia tak akan bikin peluru nyasar kepada lain orang.
"Sekarang kau orang Pergi kau orang ke pojok sana" ia menitah lebih jauh.
Kawanan itu menurut, mereka berdiri berbaris.
Hiang Kat niat rampas orang punya senjata, ia hendak ringkus semua penjahat itu, tetapi ia sendirian saja, inilah sukar. Leng In tak tepat buat jadi pembantu dalam urusan begini, kanda misan itu ada terlalu lemah,
"Engko In, pergi kau kasi tahu kapten kapal supaya ia jangan takut bajak dan jalan terus," ia minta pada saudara misan itu, "Dan minta kapten itu kirim empat atau lima orangnya kemari, untuk bantu aku ringkus mereka ini!"
Leng In terima itu perintah, ia berlalu dengan cepat, meski dengan sedikit limbung. Pengalaman itu ada terlalu hebat bagi ia, Hiang Kat psang mata, ia menjaga dengan siap 'sama pistolnya,
"Lepaskan senjatamu!"
Hiang Kat dengar suara keren dari seorang perempuan, suara titahan untuk ia. Suara itu dibarengi sama sodokan dengan ujung revolver pada ia punya bebokong. Orang telah berada di belakang ia, hingga ia jadi tidak berdaya, Dengan terpaksa, ia lemparkan ia punya senjata api.
"Eh, Tay Kiong, jangan bengong saja" terdengar pula suara perempuan tadi. "Ini budak aku telah bikin tidak berdaya!"
Lima bajak itu lantas menoleh, malah Tay Kiong, si orang tinggi-besar dengan roman bengis, lantas samber revolvernya Hiang Kat, kemudian ia ajak kawannya pergi ke lain ruangan, untuk jalankan tugas mereka, akan kumpulkan semua penumpang, yang mereka terus kurung. Tubuhnya Hiang Kat terus digeledah oleh perempuan yang tidak dikenal itu, setelah itu, ia diperintah pergi ke pojok. Baharu sekarang ia bisa menoleh dan kenali si bajak perempuan adalah itu penumpang dengan kulit kasar dan hitam, tangannya mencekal sebuah revolver. Ia benar-benar tidak sangka bahwa perempuan ini ada konco bajak.
"Apakah nona tidak kenalkan bajak perempuan ini" " tanya penumpang yang kedua.
"Sayang, aku tak mendugah," Hiang Kat jawab.
"Dia ini naik bareng sama aku di Shanghai," kata si saudagar. "Siapa sangka ia ada kawan bajak. Dasar sia1 habislah semua barangku....."
"Barangku pun bakal habis....." mengeluh beberapa pesisir lain.
Itu waktu muncul kapten kapal dan Leng In, juga anak-anak kapal lainnya, di bawah ancaman Tay Kiong.
Ketiga layar sudah dikasih turun mesin telah dikasih berhenti, maka kapal layar lantas seperti berlabuh, hingga lekas sekali, ia kena disusul oleh kapal layar yang mengejar. Dan begitu lekas kedua kapal satu pada lain, kawanan bajak lantas pindah-pindahkan orang punya isi muatan.
Tay Kiong dan si bajak perempuan mulai geledah orang punya tubuh, akan rapas segala apa yang beharga, dan ketika mereka geledah Leng In dan Hiang Kat, dua bajak lain datang dengan perintah pemimpinnya. "Ketua kita ingin dua penumpang yang bikin perlawanan dibawa kekapal kita!"
Perintah ini diturut, Tay Kiong serahkan dua orang tawanan itu, untuk dibawa pergi, kemudian datang giliran si penumpang anak muda. Tay Kiong awasi ia dengan roman bengis.
"Sahabat, kau kenal Hiang Kat, In Hong dan Kat Po, bukankah kau ada konco mereka?"
"Bukan, bukan?" pemuda itu menyangkal, suaranya tidak lancar. "Aku tidak kenal mereka, satu pun tidak!"
"Toh tadi kau sendiri yang bilang, kau telah berdansa sama Hiang Kat dan kau bilang, Hiang Kat niat bikin habis semua orang jahat?"
"Tidak, itulah cuma sebab aku sedang mengebul. Aku cuma dengar ceritera tentang mereka, orangnya sendiri aku belum pernah lihat!"
"Kau ngebul untuk terbitkan bencana" menegor si pesisir yang kedua.
"Kau kenal atau tidak, kau tetap ada orang busuk!" kata Tay Kiong. "Kau harus dibawa ke kapal kita!"
"Ia tak punya hubungan sama In Hong, kasi dia ampun!" kata si bajak perempuan. Ia rupanya bisa kenali orang.
"Karena memandang kepada enso Hek ini, aku kasi ampun pada kau!" kata Tay Kiong. Tapi ia geledah orang punya tubuh dan buka orang punya baju luar dan stelan, hingga pemuda itu tinggal dengan pakaian dalamnya!
"Kau bukai orang punya pakaian, apa kau bukan hendak bikin dia mati kedinginan?" kata si saudagar, yang hatinya murah.
"Kau hendak belai dia?" Tay Kiong tanya. "Dia mampus kedinginan juga pantas! Awas aku juga nanti lucuti pakaianmu!"
Mendengar demikian, saudagar itu lantas tutup mulutnya.
Lekas sekali kawanan bajak sudah selesai pindahkan orang punya muatan, berikut dua orang tawanannya, dan Tay Kiong dan si nyonya muka hitam dan kasar adalah yang pindah paling belakang, kemudian dengan bunyikan tembakan, kawanan ini berangkatkan kapal mereka, meninggalkan mangsanya.
Selagi berlayar, Tay Kiong mengawasi kapal SHUEN FUNG kerek naik tiga layarnya dan mulai berlayar pula, ke arah selatan, ke Haimen, dan kapan kapal itu sudah tak tertampak bayangannya, ia putar kapalnya sendiri menuju ke Sanmen-wan.
Kepala bajak Tam Pit Sin, seorang kate-dampak dengan mata tikus, sedang duduk dengan anteng, mulutnya mengebulkan pipa.
"Pit Seng, Pit Kong, bawalah itu dua orang tangkapan ke mari!" demikian titahnya.
Dua anggauta bajak yang disebutkan, yang mukanya brewokan, ambil Hiang Kat dan Leng In dari mereka punya kamar tahanan yang sempit.
Pit Sin awasi dua kurbannya itu, dua-dua muda, cakap dan eilok. Mereka berdiri di hadapannya dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang,
"Nona" ia tanya, "kau bawa-bawa senjata api apa sebenarnya kerjaan kau!"
"Senjata api untuk dipakai buat keperluan sendiri," Hiang Kat jawab.
Pit Sin mengawasi orang punya pakaian, yang sederhana. Orang dengan dandanan demikian macam tak selayaknya membawa senjata api, kecuali mereka ada hamba polisi atau detektif.
"Jikalau kamu tidak beritahukan tentang dirimu yang sebenarnya, kita akan hukum mati pada kau!" kepala bajak itu mengancam. "Kasi tahu kau orang punya she dan nama dan siapa diri kamu orang. Jikalau kauorang bicara sebenarnya, barangkali kau orang masih bisa hidup".
Leng In gemetar saking kuatir, ia punya mata mendelong mengawasi adik misannya, ia harap saudara ini suka berikan jawaban dengan terus-terang.
Hiang Kat sebaliknya berpemandangan lain daripada kanda misannya itu. Ia tahu, satu kali ia perkenalkan diri, sang kanda bisa jadi akan turut binasa seperti dia. Ia tahu benar, bangsa "telur busuk" pandang ia sebagai satru besar.
"Kau orang ingin ketahui tentang diri kita, itu tidak sukar," sahut si nona, yang ingin bajak merdekakan ia dan Leng in, perkara ada dibelakang. Ia bicara secara menghina. "Tapi kau orang bernyali kecil bagaikan tikus, aku kuatir nama kita nanti bikin pecah nyalimu!"
"Hm! Kau ada orang besar bagaimana sih. Cara bagaimana namamu akan bikin kita kaget hingga nyali kita pecah?"
"Kalau nyalimu bukan seperti nyali tikus, kenapa kau takuti kita" Perlu apa kedua tangan kita ditelikung" "
Kalau si kepala banyak bicara secara adem, Hiang Kat secara menghina.
"Kauorang, semua nampaknya sebagai hrimau yang garang, siapa nyana nyalimu adalah nyali tikus!" demikian si nona, dengan ejekannya, "Lepaskan ikatan mereka," menitah si kepala bajak. "Aku mau lihat, apa mereka bisa bikin!"
"Jangan, ia jangan dilepaskan belengguannya!" kata anggauta bajak Yam Pit Seng, "Ia ada begini tenang, ia tentu bukan orang sembarangan. Siapa tahu kalau dia ada salah satu dari tiga bandit perempuan yang tersohor."
"Benar !" Tay Kiong nyeletuk. " Jangan-jangan dia Hiang Kat , adanya "
"Benar atau bukan, dia harus ditembak mampus!" kata Pit Kong. Kita orang mesti babat rumput berikut akarnya, untuk mencegah bencana dibelakang hari."
"Lebih baik gayor mereka ke laut!" kata Ngo-so, ialah si nyonya yang mukanya hitam dan kasar. "Dengan tangan tertelikung, tidak nanti, mereka bisa hidup lagi.."
Kepala bajak itu awasi Hiang Kat dan Leng In bergantian.
"Hm! Hm!" ia berulang-ulang kasi dengar suaranya, yang seram.
"Hm, hm..." Hiang Kat juga perdengarkan hinaannya. "Lihat, belum sampai aku perkenalkan diri, kauorang sudah ketakutan tra keruan! Coba aku sebutkan she dan namaku, apa kauorang tak akan kaget dan mampus karenanya" "
"Nona, baiklah kau sebutkan namamu dan hal-ihwalmu juga," kata si kepala bajak, yang coba berlaku sabar. "Kalau tidak, kita orang akan terpaksa tembak pecah kepalamu!....."
"Aku sudah bilang nyali kau orang kecil bagaikan nyali tikus!" Hiang Kat ulangi. "Kauorang tak berhak untuk jadi bajak! Terang kauorang tak berani merdekakan tangan kita!.....
"Lepaskan belengguan mereka!" Pit Sin berseru. Ia gusar karena orang sangat memandang enteng kepadanya. "Kitaorang tidak takut! Merdekakan dia, merdekakan!"
Ejekannya Hiang Kat telah memberikan hasil, Pit Sin punya hati kena dibikin panas. Tapi Pit Seng dan Pit Kong, Hek Ngoso dan Tay Kiong, menentangi.
"Jangan, itulah berbahaya," mereka kata.
Akhirnya kepala bajak itu anggap, memang ada berbahaya akan kasi tinggal hidup pada itu dua tawanan,
"Nona, kau menbandel, menyesal terhadap kita mesti ambil tindakan!" achirnya kata pemimpin ini. Ia telah tarik keluar revolver dari saku celananya, Hiang Kat lihat jiwa mereka berdua terancam, karena tidak ada lain jalan lagi, dengan mendadakan ia dupak Leng In, sampai kanda itu terpelanting kecebur ke laut, sedang ia sendiri menyusul dengan dengan terjunkan dirinya. Hingga sekejab kemudian, tubuh mereka sudah lenyap dari permukaan air, terbawa oleh arus laut.
Kejadian ini ada diluar dugaan, semua bajak tercengang, ketika mereka tersadar, mereka menembak ke arah laut dengan sia-sia saja.
"Mereka beruntung!" kata si kepala bajak.
"Mereka tidak binasa di ujung revolver, mereka mampus di perut ikan!" kata Hek Ngo so
Kapal berlayar terus, sampai di pantai Sanmen-wan dimana ada rumah-rumah di sepanjang tepi laut. Pit Seng, Pit Kong, Tay Kiong dan Hek Ngo so berempat tinggal di dalam salah satu kampung di situ. Diatas kapalanya, kawanan bajak itu memecah bahagian, kemudian mereka mendarat, pulang berpencarana ke masing-masing rumahnya.
Bagian II Hiang Kat di dalam laut bergulet sama malaikat el-maut, ia coba lepaskan diri, ketika ia timbul, ia celentang di muka air dan menggayu dengan kedua kakinya, Dengan ini jalan ia bisa bikin mukanya berada di atas air, hingga ia bisa bernapas dari hidung dan mulut, cuma berenangnya tidak cepat. Sukur gelombang tak dibantu oleh angin besar. Ia pun percaya Leng In punya kepandaian berenang ,akan bisa menolong dirinya. Hanya, di muka air, ia tak tampak iapunya kanda misan itu. Hanya jauh sekali, 1a nampak suatu benda kecil yang mengambang, hingga ia menduga itu adalalh sang kanda itu.
Lama-lama benda hitam itu datang semakin dekat. Hiang Kat terus mengawasi, sampai ia kenali bukan si kanda misan, hanya seekor ikan besar. Ia kaget, hatinya mencelos. Kalau itu ada ikan cucut! Ia tentu akan jadi dedaharannya ikan itu!
Tiba-tiba binatang laut putar haluan.
Hiang Kat tidak tahu, kenapa ikan itu tinggalkan jurusannya tetapi ia merasa lega bukan main, ia hanya duga, di sebelah sana tentu ada makanan lain untuk ikan itu.
Ia terus berenang sambil celentang atau diam mengambang, antap sang ombak gempur ia, sampai ia lihat sebuah perahu layar lagi mendatangi. Ia tunggu sampai mereka sudah terpisah cukup dekat, lantas ia berteriak minta tolong.
Dari dalam perahu ada orang yang menggape-gape, perahu itu sendiri jalan terus, kemudian selembar dadung (tali besar (untuk menambat kerbau, lembu, dsb) edtr) dilemparkan. Dengan kakinya, Hiang Kat samber dadung itu, maka segera juga ia punya tubuh kena dibetot, maka di lain saat orang telah angkat ia naik ke atas perahu, ikatannya dibukakan,.
"Hiang!" demikian satu suara memanggil.
Hiang Kat menoleh untuk kegirangannya, ia tampak Leng In duduk diatas perahu, tubuhnya memakai baju dan celana pinjaman.
"Oh, Engko In kita beruntung!" kata nona ini " kita orang telah terlupt dari bahaya maut, Apakah kau juga tertolong oleh perahu ini" "
Leng In manggut. Lantas Hiang Kat haturkan terima kasih pada tiga penghuni perahu, seorang tua, setengah tua dan muda juga satu nyonya setengah tua.
Tiga penghuni itu, enkong anak dan cucu, ada orang-orang dengan hati mulia, sedang si nyonya sudah lantas pinjamkan satu perangkat pakaiannya, untuk Hiang Kat salin, hingga pakaiannya sendiri, bersama-sama pakaiannya Leng In, bisa digarang di dapur.
"Apakah kau orang hendak menuju terus ke Haimen ?" tanya siorang tua.
"Benar," Leng In manggut.
"Kalau begitu kau orang baik turut kita pergi ke dusun Haiwan chun di Sanmen," kata si orang setengah tua, "nanti di kota Sanmen, kau orang boleh bermalam, besoknya dengan ambil jalan darat, kau orang menuju langsung ke Haimenn,"
Leng In manggut-manggut. "Terima kasih," ia bilang.
Maka di bawah matahari lohor, kendaraan air itu menuju ke Haiwan-chun, Di tepi laut di dusun Haiwan-chun ada sebuah rumah makan yang menjadi tempat berkumpulnya segala nelayan atau penduduk lainnya di dusun itu. Tetapi pada hari itu, di sebuah meja lain, ada tambahan dua tetamu asing. Ialah Hiang Kat dan kanda misannya, Leng In. Mereka telah pakai mereka punya pakaian biasa, yang kering bekas digarang, maka bisa dimengerti, pakaian itu ada lecek tidak karuan, Mereka pun datang dengan perut kosong dan tubuh kedinginan, Maka mereka lantas minta makanan berikut arak kuning, guna bikin angat perut. Mereka pesan daging dan daging ayam.
Dengan ini jalan, mereka bisa lenyapkan rasa lapar mereka.
"Dari sini ke kota Samen katanya ada duapuluh lie lebih, itu artinya kitaorang mesti jalan kaki buat tiga jam kurang-lebih," kata Leng In pada kawannya. Ia punya jam tangan telah mengunjuk jam 8.15. Kalau kita sampai di kota, tentu sudah mendekati tengah malam!"
Hiang Kat manggut, "Ketika kawanan bajak bekuk kita, mereka sudah alpa akan geledah dahulu pada kita," kata nona ini, "maka meskipun uang kertas kita telah basah tapi kita masih ada punya pena, jam tangan dan uang perak, hingga meskipun harga uang kertas boleh jatuh, milik kita ini masih tetap berharga. Kita jadinya masih ada punya ongkos untuk di jalanan..."
"Eh, tuan rumah, masih ada tempat kosong atau tidak" Tiba-tiba terdengar suara orang perempuan di ruangan luar,
"Di luar sudah penuh semua, di dalam masih ada," sahut tuan rumah. "Silahkan masuk ke dalam!"
"Tldak Di dalam ada sempit dan hawanya mengkedus, kita lebih suka di luar!" sahut satu suara orang lelaki.
"Dengar, Engko In, kita ketemu musuh kita!" kata Hiang Kat dengan pelahan pada engko misannya. "Itu ada suaranya Hek N go-so dan si Pit Seng..."
Leng In terperanjat tetapi ia diam saja.
"Tetapi di luar sudah penuh," kata tuan rumah. "Kauorang lihat saja sendiri. Di dalam ada tiga buah meja, yang dua masih kosong.....
"Kitaorang ada langganan lama, apa kau tidak bisa minta salah satu pindah ke dalam" " kata suara seorang lelaki ain, "Minta tolong sebuah meja untuk kita! Kita orang paling suka duduk di luar!"
"Yang datang kemari, ada langganan," kata tuan rumah. "Siapa yang aku mesti minta pindah" Baiklah kauorang sendiri yang berdamai sama salah satu tetamu, barangkali ada yang sudi mengalah....."
"Engko In, itu ada suara kurang ajar dari si Tay Kiong," Hiang Kat kata, seraya ia menghampirkan pintu dan moeilie ia singkap untuk ia mengintip, hingga sekarang ia dapat kepastian, mereka itu ada si bajak- bajak Pit Seng, Pit Kiong, Hek ngo so dan Tay Kiong. Mereka itu lagi berebut mulut sama tiga tetamu yang duduk pada sebuah meja, yang mereka itu mohon suka mengalah.
"Benarkah mereka, Hiang?" tanya Leng In, ketika Hiang Kat kembali ke mejanya. Ia kerutkan alis, ia menanya dengan pelahan.
Adik misannya itu manggut.
"Kau tidak punya senjata api, mereka ada punya, inilah yang berbahaya," kata Leng In. "Kita justeru ada bekas mangsanya yang mereka niat bikin mati. Kita sekarang bertemu sama mereka, apakah mereka mau mengerti" Bagaimana, Hiang pikiranmu?"
Suaranya pemuda ini mulai menggetar.
"Coba ada In Hong atau Kat Po di sini, biar mereka bersenjata lengkap, kita orang tak usah kuatir," Hiang Kat jawab, "Sayang kepandaianku tak ada seperti kepandaiannya ia orang berdua. Umpama aku bokong mereka, berdua, paling bisa aku rubuhkan dua, yang dua lagi bisa menembak aku. Atau umpama aku beber rahasia mereka didepan orang banyak ini, belum tentu ada yang berani turun tangan, mereka tentu berani menembak kita."
Leng In meringis, tubuhnya bergemetar,
"Paling bagus kalau kita bisa menyingkir dari mata mereka. Atau kita lihat gelagat saja. Engko In, kau harus tenang!.."
"Hatiku justeru susah dibikin tenteram," sang engko aku. "Diluar tak ada meja kosong, mereka tentu bakal masuk kemari"."
"Mereka tak sukai ruangan dalam, belum tentu mereka akan masuk kemari?"
"Baik kita lekas bayar uang makan dan diam-diam kita orang angkat kaki"."
"Disini tidak ada jendela untuk keluar, kita mesti jalan kedepan. Mana bisa" Maka baiklah kita menunggu di sini. Kau sabar?"
Leng In berkuatir, sampai lenyap napsunya berdahar.
Hiang Kat coba kendalikan diri, ia dahar dengan pelahann. Ia kalah sabar daripada In Hong akan tetapi tak sembarang orang bisa melebihi ia.
Tiga tetamu diluar ada orang- orang halus, akhirnya mereka mengalah juga dan pindah ke dalam; mereka tak mau adu tenaga sama orang-orang kasar itu.
Dan Tay Kiong berempat sudah lantas gegares dengan bernapsu sekali, saban-saban mereka keringkan cawan arak mereka.
"Tay Kiong, apa kau ingat itu dongengannya si bujang perempuan di atas kapal" " tanya si enso kulit hitam dan kasar.
"Lelakonnya itu setan bangsa Boan yang culik orang di dusun Haiwan-chun ini" " tegaskan Tay Kiong. "Aku mau percaya ceritera itu Aku sendiri, pada suatu malam, pernah lihat setan itu, hingga aku kaget dan kabur, tetapi ia mengejar, sukur aku bisa lari lebih keras, kalau tidak, aku bisa jadi kurbannya seperti Nyonya Han itu."
"Eh, Tay Kiong kau pun pernah ketemu setan itu" " Hek Ngo-so tegasi. "Memang, ceriteranya itu bujang perempuan bukan dongeng belaka, malah aku pernah ketemu sampai dua kali dengan memedi itu, kira-kira di bulan empat atau lima yang baharu lalu?"
"Kira-kira di bulan empat atau lima?" Tay Kiong ulangi, "Kejadian atas, dirinya Nyonya Han ada di muka bulan enam dan kita ketemu dia kira-kira di bulan empat atau lima, nyata iblis itu ketagihan manusia!..."
"Ketika aku ketemu setan itu aku belum tahu halnya si Nyonya Han," Hek Ngoso lanjuti keterangannya. "Itu ada malam yang gelap dan sunyi. Pertama-tama sedangnya aku jalan di jalanan yang becek akan pergi ke kota, tiba-tiba aku dengar suara 'hu, hu, hu' dan 'hang, hang," berulang-ulang. Karena suara aneh itu, aku menoleh ke belakang, di dalam cuaca yang gelap, samar-samar aku lihat si setan yang dandan sebagai satu pembesar Boan, ia terus kejar aku, hingga aku lantas lari. Sembari lari, aku liamkeng. Doaku itu bisa mengusir setan, iblis itu tidak terus kejar aku, hanya ia lari masuk ke dalam sebuah kuburan..." Hek Ngo-so keringi iapunya cawan. "Ketika kedua kalinya aku ketemu setan itu, ia pun kembali lari ke dalam kuburan karena aku liamkeng pula..."
"Apakah kauorang ceritera halnya Nyonya Han si buyut perempuan dari keluarga Kiong di ujung Haiwan-chun" " tanya Pit Kong sambil ia geragoti sepotong paha ayam.
"Apakah kau pun ketahui kejadian itu" " tanya Hek Ngo-so.
"Tentang itu nyonya diculik iblis memang benar permulaannya ada sedikit orang yang mengetahuinya, akan tetapi sekarang sudah hamper semua orang..." kata Pit Kong.
" Penduduk sini sudah banyak yang di tengah malam buta-rata dapat lihat setan Boan itu-ia pakai kopia batok dengan runce merah, menyeret tauwcang yang panjang, bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Ia mirip dengan pembesar Boan yang meninggal pada beberapa puluh atau seratus tahun yang lampau, sebagai iblis sekarang ia suka muncul dari liang kuburnya, ia menjadi siluman?"
Lantas omongan itu jadi buah pembicaraan lain-lainnya tetamu.
"Kemarin dahulu malam jam empat juga tetanggaku, Tie Ah Hok, yang tinggal dekat rimpa pada Keluarga Kiong itu, telah menemui itu iblis jangkung yang menakuti. Ia hendak lari, tetapi sudah tidak keburu, tangan yang dingin adem dari iblis itu telah merabah ia punya muka, sampai ia bergidik dan pingsan, ketika kemudian ia mendusin, matahari sudah naik di timur. Segera ia dapat kenyataan yang ia telah rebah menggeletak didekat sebuah kuburan. Rupanya setan itu kesiangan, hingga ia tak keburu bawa masuk Ah Hok ke dalam liang kuburan. Kabarnya, Nyonya Han itu telah dibawa masuk ke dalam kuburan itu. Ah Hok ada sangat ketakutan, ketika pulang, ia jatuh sakit, sampai sekarang, ia masih belum sembuh?" demikian satu orang.
"Turut apa yang aku dengar," berkata Pit Seng, "mengenai lenyapnya Nyonya Han itu, polisi setempat sedang membikin pengusutan. Tapi segala gentong nasi itu tak mampu peroleh kemajuan, kalau pihak pengadu mendesak, mereka baru bekerja keras, kalau tidak, mereka turut kendor sendirinya. Aku sendiri, aku tidak percaya orang hidup bisa dibekuk setan dan dibawa masuk ke dalam kuburan, Hanya memang benar, lenyapnya Nyonya Han itu ada suatu rahasia.....
"Semua orang percaya adanya iblis itu di Haiwan-chun ini, malah pernah ada yang lihat, cuma kau sendiri yang tak percaya, itu tak akan menjadi sebab yang si iblis akan tak muncul lagi!" berkata Pit Kong, "Aku tak takuti liang aku tak jerihkan bumi, tetapi aku justeru takut setan... Eh, enso Hek, kaupunya doa itu benar atau tidak ditakuti setan" Kalau benar, tolong kau ajarkan aku....."
"Kenapa tidak" Asal setan dengar doaku, ia akan ada seumpama tikus yang melihat kucing!"Hek Ngo-so tetapkan.
"Baiklah, mulai besuk, aku akan belajar dari kau!"
"Malam ini tak ada bintang, tak ada rembulan, setan itu pasti bakal muncul!" kata satu tetamu. "Maka marilah kitaorang pulang siangan sedikit!"
Ini kata-kata telah memberi pengaruh, lantas saja ada tetamu yang membikin perhitungan sama tuan rumah makan.
Setengah lie jauhnya dari rumah makan itu ada sebuah kali kecil, ini ada kali atau muara yang nembus ke laut, tetapi ujungnya kali itu menyambung jauh ke pegunungan Thian Tay San.
Satu tetamu telah mengawasin ke jurusan kali itu, ia lihat satu bayangan berjalan di tepi kali itu. Bayangan itu ada membawa satu tengloleng, jalannya terbongkok-bongkok. Tengtoleng itu tidak terang, tetapi di tempat gelap, cahayanya ada cukup.
Beberapa tetamu lainpun lantas dapat lihat bayangan itu, ia terbongkok-bongkok karena ia ada gendol suatu apa di bebokongnya, sedang tangannya yang lain ada memegangi payung. Gendolan itu ada besar. Ia jalan digili-gili sebelah kanan.
Sebagai juga bayangan itu ada tontonan, orang pada mengawasi terus.
Tiba-tiba sedikit jauh dibelakangnya itu bayangan, ada muncul satu bayangan lain. Ia ini ada tinggi dan besar. Orang punya perhatian tidak sangat tertarik sampai satu perbuatan ada mengambil tempat. Bayangan yang pertama lari, dan yang belakangan mengejar.
"Lihat, lihat!" beseru tetamu yang pertama, suaranya ada suara dari orang yang kaget. "Itulah si setan orang Boan! Ia sedang kejar itu orang yang bawa gendolan!..."
Di rumah makan itu ada lebih dari duapuluh tetamu, mereka semua pada berjubelan di pintu, untuk menyaksikan. Benar mereka lihat bayangan yang membawa lentera lagi berlari-lari, di belakangnya mengejar bayangan yang tinggi dan besar. Semingkin lama orang melihat semingkin tegas. Bayangan tinggi-besar itu tidak pakai setelan, tidak pakai thungsha, hanya ia pakai baju gerombongan, pakaian pembesar di jaman ahala Ceng, seperti kopianya ada kopia batok yang pakai runce merah, dibawahnya kopia itu ada terumbang-ambing cacingnya yang panjang. Itu ada pakaian pembesar Boan dari puluhan atau ratusan tahun yang telah silam!
Karena sinarnya tengloleng, karena setan itu menguber semingkin dekat, maka orang bisa lihat kopia dan pakaiannya dengan terlebih nyata. Pun kopianya saja sudah cukup untuk mengenali padanya!
'Itulah si setan pembesar Boan" banyak orang berseru.
Suasana ada genting, apapula kapan orang lihat sibayangan
pertama telah kecandak, tubuhnya disamber, terus dikelek, dibawa lari.
"Tolong!..." demikian ada jeritan samar-samar yang orang dengar.
Setan itu kabur dari gili-gili kanan ke gili-gili kiri, ketika api tengtoleng padam, ia seperti lenyap dari pemandangan, suaranya si kurban pun tak kedengaran lagi.
Apa yang toh orang dengar kemudian ada suara lapat-lapat:
"Hu, hu, hu"Hang, hang, hang!"
"Itu kali tak ada jembatannya, kalinya pun lebarp!" kata satu tetamu selagi orang agaknya heran dan bingung dan takut juga, "Kenapa itu setan bisa lompat sebrangi kali itu?"
"Jangan lupa bahwa dia ada satu setan!"kata satu tetamu lainnya lagi. "Setan tak membutuhkan jembatan, dia bisa kemana dia suka!"
"Coba kita lihat, kali itu benar ada jembatannya atau tidak!" kata satu tetamu yang sudah jadi kurbannya air kata-kata "Umpama benar tidak ada jembatannya dan dia benar menyebrang sambil berlompat atau terbang melayang, dia benar ada satu setan"
Tapi beberapa tetamu sudah lantas lari keluar. Sedang mereka yang bimbang, pada balik ke meja mereka.
Didalam kamar, semua tetamu telah dengar suara ramai-ramai diluar itu, mereka heran dan terperanjat. Hiang Kat dan Leng In tak terkecuali. Mereka juga pergi keluar. Hanya ketika apinya kurban setan itu padam, mereka telah kembali ke dalam.
Dari tiga tetamu itu, Hiang Kat dapatkan yang dua ada punya lampu batre. Lampu macam itu ia butuhkan. Maka ia samperin itu tetamu dan minta bagi satu di antaranya, ia kasi tahu bahwa ia berdua perlu melakukan perjalanan malam. Tetamu itu akur akan jual satu lampunya malah ia pun bersedia akan tukarkan uang kertas, yang ada perlu buat Hiang Kat berdua, pakai di dalam perjalanan.
Sementara itu, beberapa tetamu yang berani itu, sudah balik dari pemeriksaannya.
"Benar kali itu tidak punya jembatan dan lebarnya pun ada kira-kira dua tumbak," kata seorang diantara mereka."Tidak salah lagi, bayangan tinggi besar itu ada satu memedi"."
"Siapa itu bayangan yang lagi apes?" tanya seorang lain.
Tapi hati orang ada tidak tenteram, satu per satu, tetamu pada berlalu. Pun tiga tetamu yang bersantap didalam, sudah keluar.
Hiang Kat lihat Tay Kiong berempat, yang rupanya sudah minum cukup banyak, masih belum niat angkat kaki. Meski begitu, ia telah ambil putusan.
"Engko In, sekarang sudah waktunya kita berangkat," kata ia.
"Di antara mereka berempat, tiga sudah sinting, aku percaya aku sanggup melayani mereka. Umpama kata aku mesti tempur mereka, kau sendiri boleh loloskan diri, lari terus di itu sepanjang jalan ke arah kota, nanti aku susul kau,"
Leng In menurut, maka mereka lantas bayar uang makanan.
Meja di mana Tay Kiong dan kawan-kawannya duduk adalah meja yang harus dilewati oleh Hiang Kat berdua kalau mereka ini hendak keluar, empat orang itu sudah minum banyak tetapi Pit Seng masih sedar, sedang duduknya pun madapi pintu kamar, Maka di saat Hiang Kat menyingkap moeilie dan ia muncul bersama Leng In, bajak ini sudah lantas lihat mereka, malah mereka segera dikenali.
"Binatang" bajak itu berseru sambil ia berjingkrak bangun.
"Kiranya kauorang belum mampus dan masih ada di sini Kauorang tak bisa dapat ampun lagi"
Sembari berseru begitu, ia rogo sakunya, untuk keluarkan senjata apinya.
Hiang Kat tidak layani orang adu mulut, pesat luar biasa, ia loncat ke depannya bajak itu sambil kepelannya dikasi melayang, untuk tidak kasi ketika orang cabut senjatanya, maka sambil menjerit, Pit Seng rubuh terbanting.
"He, siapa yang belum binasa" " tanya Tay Kiong dengan tingkahnya si orang sinting, sebelum kawannya terguling.
"Tak perduli siapa, mari keringin lagi beberapa cawan" menyahut Hek Ngo-so, yang sama sintingnya seperti si adat kasar.
Pit Kong telah berbangkit, tangannya merogo ke saku. Tapi Hiang Kat, sambil memutar tubuh, berikan ia bogem mentah.
Kepelannya nona itu tidak sekeras kepelannya In Hong atau Kat Po, tapi toh Pit Kong mesti rubuh terpelanting sebagai Pit Seng.
Itu waktu Leng In lari keluar.
"Kurang ajar! Aku kira siapa, tak tahunya mereka ini belum mampus..." Tay Kiong berseru kapan ia insaf akan keadaan. Ia pun segera merogo ke sakunya.
Pit Seng rebah dengan kesakitan dan kepala pusing, meski demikian, Ia tak lupai iapunya senjata api, benar waktu ia sudah keluarkan itu dan hendak menjuju, dupakannya Hiang Kat bikin senjatanya itu terlepas dari tangannya, terlempar ke pojok di kolongnya sebuah meja.
Hiang Kat gunai ketikanya akan loncat keluar, akan lari ketika ia tampak Leng In sedang kabur, ia lantas menyusul.
Pit Kong sudah bangun, ia memburu keluar, dari depan pintu rumah makan, ia menembak ke jurusannya si nona tetapi tidak ada hasilnya, Pit Seng telah pungut revolvernya, ia turut memburu keluar, dibelakang ia ada mengikuti Tay Kiong dan Hek Ngo so.
"Eh, kau orang belum membayar!" berseru tuan rumah, yang sedari tadi bengong bahna kaget.
Tapi empat bajak itu tak meladeni, atau tak mendengar, mereka terus lari mengejar.
"Empat orang itu aneh ada waktunya mereka mewah sekali ada waktunya merasa sangat melarat, aku telah duga mereka bukan orang baik-baik, sekarang dugahanku itu berbukti..?" demikian tuan rumah ngaco senderian sambil ia berdiri didepan pintu, mengawasi jauh ke tempat gelap.
Pit Seng berempat tidak berhasil menyusul Hiang Kat berdua, dengan mendongkol dan uring-uringan mereka lantas ngeloyor pulang.
Hiang Kat berdua Leng In telah kesasar. Dalam gelap gulita, Leng In tak dapat perhatikan jalanan, benar mereka lolos dari tembakan-tembakan dan pengejaran tapi sekarang mereka bukannya menuju kearah kota. Baharu setelah tidak ada yang uber, Hiang Kat berhenti berlari dan gunai batre, akan menyuluhi jalanan. Mereka berada di tegalan dekat kali.
Mari kita menuju ke selatan," kata Hiang Kat kemudian. Ia sekarang ingat pengunyukannya tuan rumah makan.
Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini hari, dari pagi sampai malam, kita saban-saban hadapi bencana, " kata Leng In.
"Sekarang bencana telah lewat," Hiang Kat bilang, ia jalan berendeng sama itu kanda misan, "Sesampainya dikota, kit cari hotel untuk beristirahat, disitu aku nanti tulis surat untuk In Hong dan Kat Po, supaya mereka datang kemari. Kawanan bajak itu mesti ditumpas, untuk tolong orang banyak."
"Tapi aku merasa seperti juga bencana belum lewat," kata Leng In, ia masgul dan tak gembira, ia berpikiran pendek. "Nasib kita begini malang, siapa tahu kalau kita ketemu sama itu setan dengan dandanan seperti pembesar Boan "...."
"Aku tak percaya setan, apapula setan seperti setan Boan ini," kata Hiang Kat, "Kita tunggu datangnya In Hong dan Kat Po, kemudian sekalian kita nanti cari tahu juga tentang setan ini?"
Disitu, dekat kali, ada sebuah kuburan, di belakang kuburan itu, ada duduk numprah si setan yang dandan sebagai pembesar Boan, tongkrongannya merupakan satu bayangan besar dan tinggi. Malam ini ia keluar dari 'sarang'nya, ia telah bekuk si orang yang menenteng tengloleng dan menggendol buntalan, rupanya ia belum puas, maka ia masih menunggu lain-lain kurban. Ia dengar suaranya itu sepasang anak muda ia lihat tubuh mereka. Lalu, setelah mereka lewati ia, dengan mereka tak dapat lihat padanya, ia berbangkit, ia mengekor di belakang mereka itu...
"Kenapa kau tak percaya" " Leng In tanya. "Tadi dari rumah makan kita toh lihat sendiri setan itu telah bekuk orang" "
"Toh masih belum bisa dipastikan dia ada setan" kata Hiang Kat. "Bayangan itu ada tinggi dan besar, ia mirip dengan orang biasa!"
"Orang" " Leng In agaknya merasa aneh. "Cara bagaimana dia bisa kelek satu orang dan lari melewati kali seperti ia lari di tanah datar, hingga ia tak membutuhkan jembatan" Bagaimana kau mengartinya ini" "
"Untuk sementara, aku belum bisa mengartikannya," Hiang Kat jawab, Mereka jalan terus. Kadang- kadang Hiang Kat gunai lampu batrenya memandang ke depan, ke kiri dan kanan. Ia tak nyalahkan terus lampu itu, karena iaorang punya perjalanan masih duapuluh lielebih, ia kuatir kehabisan.
"Eh, Hiang," kata Leng In, setelah mereka jalan sedikit jauh, "aku merasa, kecuali suara tindakan kaki kita, ada kaki dari orang yang ketiga di sebelah belakang kita.."
Diluar keinginannya, pemuda ini bergidik.
"Kau menyangka, itu setan" " Hiang Kat tertawa. "Kau anggap setan sudah menguntit dibelakang kita" Nanti aku suluhkan, benar ada setan tidak di belakang kita.....
"Jangan, jangan Hiang, jangan suluhkan!" Leng In mencegah. Dan ia coba rampas lampu batre dari tangannya adik misan itu. Kita jangan ganggu padanya, Dia barangkali tak akan ganggu kita... Hayo jalan lekasan"
Hiang Kat lantas ratakan tindakannya sama tindakannya Leng In, dengan begitu, meskipun mereka berdua, tindakan mereka jadi. seperti tindakannya satu orang, maka sekarang ia pun dengar ada tindakan lain, benar di belakang mereka, dan menurut suaranya, suara itu tak terpisah jauh,
"Hiang, dengarlah..,"
Suaranya Leng In tidak tegas tubuhnya gemetar.
Hiang Kat berhenti. Leng In ikuti ia, ketika tindakan kaki mereka tidak bersuara, suara yang ketiga pun tidak ada. Tapi, asal mereka bertindak, suara itu terdengar pula.
"Enko In, mari itu lampu batre," Hiang Kat meminta. "Aku hendak menyuluhi untuk itu orang lain," tetapi ia tak berani menoleh untuk melihat, hatinya goncang keras.
Hiang Kat tidak mau mengerti. Ia ulur tangannya, maka dilain pihak, lampu batre sudah lantas terampas dari Leng In, siapa telah menoleh ketika Hiang Kat sudah lantas pencet knop lampu itu.
"Ayoh!" berteriak Leng In, yang terpaksa turut menoleh ke belakang.
Di antara terangnya sorot lampu batre, mereka lihat satu setang yang tinggi dan besar, kopianya pakai runce merah, jubanya gerombongan dan terlapis, di lehernya ada tergantung kalung mutiara. Itu ada si setan dengan dandanan cara Boan yang menambah menakuti adalah orang punya muka lonjong dan jelek sekali, jidatnya jantuk dibahagian atas dan bahagian bawahnya rata sama muka. Disebelah hidungnya melesak, matanya pun celong, mukanya kuning seumpama kertas kuning. Sepasang matanya yang celong itu ada hitam bijinya dan bersinar tajam, diatas itu ada
sepasang alis yang hitam dan gompiok. Iapunya mulut lebar seperti sekup.
Leng In berniat lari, apamau kedua kakinya tak sudi turut perintah, maka ia berdiri bengong saja.
Hiang Kat pun kaget tetapi ia coba kendalikan diri, ia berdiri di samping si kanda misan, siap untuk berkelahi.
"Hoe, hu, hu! Hang, hang, hang!" demikian setan itu keluarkan silaranya, yang biasa. Sembari bicara, ia maju setindak demi setindak, mendekati dua orang it n, Segera Hiang Kat tolak tubuh kandanya, setelah mana, Leng In jadi bisa geraki kedua kakinya, maka, tidak tempo lagi, ia terus lari, meskipun dengan limbung.
Kapan setan itu lihat Leng In lari, ia berlompat, beberapa kali, hingga ia sampai di depannya Hiang Kat, Tapi nona papak ia dengan satu dupakan.
Setan itu awas matanya dan gesit tubuhnya, ia lompat mumdur untuk serangan itu, kemudian ia maju pula, akan samber orang punya kaki.
Hiang Kat telah tarik pulang kakinya, waktu tubuh setan maju, ia geser sebelah kakinya ke samping dan kepalanya menyamber ke pinggang.
Lagi-lagi setan itu bisa egos tubuhnya.
Itu waktu, Leng In telah lari terus, hanya setelah sedikit jauh, ia berhenti, putar tubuhnya dan menoleh, dengan lampu batre, ia menyuluhi, maka ia bisa lihat Hiang Kat sedang bertempur seruh sama setan itu. Tapi tidak lama, ia terperanjat. Ia lihat si setan ulur tangannya yang panjang ke arah mukanya iapunya adik misan, tangan itu seperti dikebut atau diusapi, atas mana Hiang Kat, yang tak keburu kelit atau loncat, lantas saja rubuh. Maka si setan lantas berdongko akan samber orang punya tubuh, diangkat terus dibawa lari, bukannya untuk menyingkir, hanya ke jurusan si anak muda..
Leng In kaget dan ketakutan, buat dirinya sendiri, buat adik misannya.
Ia tahu boegee dari Hiang Kat sudah cukup sempurna, tapi sekarang nona itu kena dirubuhkan, oleh karenanya ia percaya, musuh itu benar bukan orang biasa, hanya setan. Kalau si adik kalah, apa ia sendiri bisa berbuat" Maka, mau atau tidak terpaksa ia putar tubuhnya, akan lari sekeras-kerasnya ia bisa. Ia kabur sambil berteriak-teriak minta tolong. Ia merasa bahwa ia lari sangat keras, akan tetapi, setan itu bisa lari terlebih keras pula. Baharu tiga menit, rasanya setan itu sudah datang dekat sekali kepadanya. Benar dalam itu saat yang berbahaya, ia tinggal dijambret saja atau dari sebelah depan ada mendatangi belasan hweeshio bersama dua kacungnya, yang menggotong suatu apa, rupanya mereka habis menjalankan upacara di suatu rumah. Mereka itu dengar teriakan, mereka lari memburu. Atas ini, setan itu beilok ke samping dan lari terus akan menghilang di tempat yang gelap.
Hatinya Leng In menjadi lega, dengan napas sengal-sengal ia menoleh dan menyuluhi, maka itu, ia masih bisa lihat tubuhnya Hiang Kat dibawa lari si setan yang sekali sudah pergi jauh.
"Ada kejadian apa eh" " tanya satu hweeshio.
"Adik misanku perempuan diculik si setan pembesar Boan.." sahut Leng In. "Tolong, suhu, tolong kejar mereka, akan tolongi adikku itu!....."
Tapi mendengar disebutnya setan itu, semua hweeshio itu jadi ketakutan, bukannya mereka pergi menolongi, mereka justeru pergi kabur!
"Kau orang toh bisa menyampe?" kata Leng In.
Tapi semua pendeta itu sudah kabur jauh, maka ia jadi takut pula, maka ia pun lantas saja lari pula"..
Bagian III Hiang Kat buka matanya dapatkan dirinya berada di sebuah kamar tetamu. Ia loncat bangun, Ia mengawasi ke sekelilingnya. Itu ada kamar yang kecil dan bundar, perabotannya indah. Bangku panjang, meja patsiantoh, kursi malas, dan meja teh, semua terbikin dari kayu kuning. Di atas patsiantoh ada sepasang lilin dengan, ciaktay timah, lilinnya kuning dan apinya menggendang. Di kolong meja ada sebuah payung serta satu buntalan. Terang payung dan buntalan itu ada kepunyaannya kurban tadi yang membawa tengtoleng.Tembok sebaliknya ada demak, hingga hawa di dalam kamar ini ada semak.
Sekarang Hiang Kat dapat kenyataan, handdoek di lehernya sudah lenyap.
Tentu ini ada kamar di dalam tanah," pikir ini nona. Ia heran akan tidak lihat pintu, ia jalan mundar-mandir dengan sia-sia saja.
Tiba-tiba terdengar tindakan kaki yang berat. Suara itu menyusul gerakan tembok di sebelah kanan, di mana lantas muncul satu pintu rahasia. Dimulut tembok tertampak satu orang dengan thungsha hijau terlapis ma-kwa, di pinggangnya ada tergantung sarung golok, yang bengkok, dengan goloknya terhunus ditangan kanan. Orang itu bermuka kuning, itu ada dandanan dari satu hambanya pembesar Boan.
"Nona Hiang Kat," berkata pengawal Boan itu, "tuan kita, Touwtong Toalooya, undang kau bicara di ia punya kamar tidur!"
Ia bicara dengan dialek Peking.
"Siapa itu tuan kau?" Hiang Kat tanya.
"Touwtong toalooya Ma Wie Siang" sahut si pengawal.
"Surulah tuan kau saja yang datang kemari menemui aku!" Hiang Kat bilang
"Titahnya Touwtong Toalooya tak ada yang berani bantah!" kata si pengawal. Ia ayun ia punya golok. "Silahkan, nona!"
Hiang Kat tidak mau berbantah.
"Aku tidak takut pergi kemana " kau jalan didepan!" ia bilang. Ia harap selagi orang jalan di depan ia, ia bisa rampas orang punya golok itu.
"Nona jalan di depan, nanti aku beri pengunjukan," kata pengawal itu.
Dengan terpaksa, Hiang Kat bertindak ke pintu. Mereka bertindak di gang yang sempit, yang muat hanya dua orang. Jalanan diterangi dengan lilin yang terpasang di tembok. Itu ada lilin warna kuning.
Ketika merasa sampai di jalanan bercagak, pengawal itu tunjuki jalan mana yang mesti diambil. Itu ada suatu gang lain.
"Berhenti!" kata si pengawal, sesudah mereka jalan belasan tindakan, Hiang Kat menurut.
Mengetok tembok di mana ada petahan tiga pesagi, pengawal itu kasih dengar suara yang Hiang Kat kenali bukan suara batu, hanya suara logam, hanya barang logam itu disapu mirip dengan warna tembok di situ, berpetah sebagai bata pesagi. Sebagai kesudahanan dari itu ketokan tiga kali, sebuah pintu rahasia lantas terpentang dengan pelahan-pelahan, "Masuk" pengawal itu mengasi perintah.
Hiang Kat bertindak masuk, hingga ia dapati sebuah kamar yang potongannya mirip dengan kamarnya barusan. Di sini pun tidak ada jendela, malah tidak ada pembaringan atau perabotan lainnya, yang ada hanya dua buah peti mati. Dan di atas sebuah peti mati ada bercokol si setan pembesar Boan, dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, dengan romannya yang jelek dan menakuti.
Dibelakang dia ada satu pengawal lain, yang pun menghunus golok. Di depan kedua peti mati ada sebuah meja abu dengan segala macam perabotan sembahyangnya, dengan ciaktay timah juga, tapi semua halus dan indah buatannya.
Ciaktay itu ada lilinnya, yang menyala. Di atas meja pun ada hiolouw kecil.
"Apakah kau yang dipanggil Ma Wie Siang" " Hiang Kat dului menanya.
Pembesar itu manggut, "Aku ada Ma Wie Siang, Touwtong Toalooya dari Kerajaan Ceng yang terbesar," ia menyahut, sambil ia tertawa hingga ia perlihatkan dua baris giginya yang kasar. Iapunya suara tertawa seram terdengarnya, sama seramnya seperti iapunya muka jelek dan bengis.
"Dengan cara rendah kau tangkap dan bawa aku kemari, apa maksudmu" " Hiang Kat tanya pula. Ia sengaja bersikap tenang. "Ini ada kamar rahasia di dalam tanah"
"Kamar rahasia di dalam tanah" Ha ha ha" mengulangi setan pembesar Boan itu, dengan suara tertawanya nyaring dan tak sedapp didengarnya. "Ini ada aku punya rumah tinggal dan ini ada kamar tidurku" Ia tepok-tepok peti mati yang ia duduki. "Dan ini ada pembaringanku! Ini adalah kupunya kuburan"
Hiang Kat mengawasi orang dengan tajam.
"Nona Hiang Kat, kau sekarang bukannya manusia lagi" kata pula pembesar Boan itu, atau setannya si pembesar Boan. "Kau adalah sama dengan aku-kitaorang sama-sama sudah menjadi setan! Kau sekarang sudah berada di dalam kuburan! Kau sekarang jangan mengharap lagi akan bertemu sama In Hong atau Kat Po, atau umpama kau mengharap sia-sia saja... Di antara manusia dan setan sudah ada batas perpisahannya, mereka tidak akan mampu melihat kan, dan mereka tak akan dapat dengar suaramu "
Dengan mata menyala bahna gusarnya, Hiang Kat terus mengawasi pembesar itu, "Lagi beberapa hari apahila In Hong dan Kat Po telah dapat ketahui tentang kematianmu, kau bakal terima kiriman uang kertas yang mereka akan bakari untuk kau" kata pula Touwtong Toalooya itu, "Nona Hiang Kat, kau telah menutup mata, kau bukan lagi manusia adanya, dan untuk selamanya, kau bakal temani aku berdiam di dalam liang kubur ini!"
Secara demikian Ma Wie Siang peringati Hiang Kat, agar si nona insaf bahwa ia telah menjadi setan.
Tapi si nona sendiri terus bersikap tenang.
"Pada tahun ke enam dari Baginda Too Kong, atau tahun masehi 1826," demikian Touwtong Toalooya itu bicara lebih jauh, "aku telah turut Jendral Yo Gie Coen pergi perangi pemberontak Thio Kok Lie kemudian dua tahun lagi, Too Kong tahun ke delapan, aku menutup mata di kampung halamanku sendiri. Menurut perhitungan, aku tinggal di dalam kuburan ini sudah seratus sembilan belas hari. Tapi aku telah menjadi koei sian, ialah dewa didalam bumi, maka itu, aku ada merdeka untuk hidup juga di dalam dunia?"
"Ngaco belo!" berseru Hiang Kat. "Sedikitpun aku tak percaya kedustaan kau ini!"
"Kau tak percaya?" tegasi Ma Wie Siang. Ia kerutkan ia punya alis yang seperti sesapu. Ia agaknya putus asa karena orang tak percaya ia. "Kau tidak percaya bahwa kau telah menutup mata" Kau tidak percaya bahwa kau sekarang berada dalam liang kuburku" Kau tidak percaya bahwa aku ada?"
"Sedikitpun aku tak percaya!" Hiang Kat berseru. "Aku bukannya bangsa itu orang-orang perempuan tolol! Jikalau kau tidak segera merdekakan aku?"
"Merdekakan kau?" ulangi Touwtong Toalooya itu. Dan alisnya semingkin mengkerat. "Jikalau aku merdekakan aku, kau lantas jadi setan yang tak punya rumah tinggal kemana kau bisa pulang " kau akan jadi setan berkeliaran! Kau bakal mundar-mandir di Jalanan Sumber Kuning, hingga kau nanti dapat ditemukan oleh Giam Lo Ong punya Goe Tauw atau Bee Bin, atau opas lainnya, hingga kau akan dicekuk, buat dibawa ke neraka dari delapan belas lapis, untuk disiksa! Bagaimana tegah akan lihat kau ditangkap dan disiksa di dalam neraka".."
Setannya Ma Wie Siang bicara secara simpatik, ia tampaknya ingin sangat menginsafi Hiang Kat bahwa si nona sudah binasa dan telah menjadi setan.
"Aku tak sudi dengar ocean kau ini!"
"Bunuh saja padamu!" berseru si pengawal dibelakangnya si touwtong.
"Sabar" Touwtong itu mencegah, "Nona Hiang Kat, kau tidak percaya aku, itu artinya kau sudah langgar undang-undang di dalam liang kubur ini! Umpamanya kau bisa ubah kaupunya sikap melawan, kita barangkali bisa mengasi ampun padamu, jikalau tidak, untuk menjadi setan saja, kau akan tak bisa..."
"Bunuh padanya" berteriak si pengawal, yang tadi antar nona kita.
"Bunuh padanya" mengulangi si pengawal di belakang si touwtong.
"Tampang muka begini cantik, tetapi otak sangat kukuh..." kata Ma Wie Siang, yang masih belum mau keluarkan putusan atau titahnya.
Pengawal di belakangnya touwtong ini bertindak dengan mengitari peti mati.
Hian Kat mengarti ancaman bahaya dengan tiba-tiba ia loncat ke depan meja, akan samber satu ciaktay, yang ia terus pakai menangkis goloknya pengawal itu, yang sudah lantas membacok padanya.
" Suara keras terdengar, pengawal itu tercengang! Di luar iapunya sangkah, bacokannya sudah tak memberi hasil, malah sebaliknya, goloknya kena ditangkis sampai terlepas dari cekalan dan terlempar.
Justeru itu, pengawal yang kedua sampai dengan bacokannya.
Hiang Kat lihat orang maju, ia pun maju, tapi selagi dengan ciaktay ia tangkis orang punya golok, sebelah kakinya naik ke atas, atas mana pengawal itu kena didupak sampai dia rubuh terguling.
Sekarang tak lagi ada rintangan, Hiang Kat lalu lari balik ke jalan dari mana tadi ia datang. Mula-mula ia loncati pintu, lantas ia lari
Setannya Ma Wie Siang, bersama-sama dua hambanya, sudah lantas mengejar.
Hiang Kat kembali ke kamarnya kamar dimana ia tersedar. Ia ingat pesawat rahasia, yang membikin terbukanya pintu rahasia, maka sesampainya di dalam gang, ia 1antas pasang mata, akan cari pesawat rahasia itu. Ia merasa pasti, kalau ada pesawat untuk membuka pintu, mesti juga ada yang untuk menutupinya. Dan ia tak usah mencari sampai lama, akan dapatkan itu. Benar di saat Ma Wie Siang bertiga berada jauhnya lagi tujuh atau delapan tindak, nona ini lantas samber pesawat itu dan tarik, hingga pintu lantas tertutup sendirinya, hingga ketiga pengejar itu terhalang di sebelah luar. Maka, setealh merasa dirinya terlolos dari ancaman, ia lantas susuti keringat yang membasahi jidatnya.
Akan tetapi pintu rahasia itu bisa dibuka dan ditutup dari luar dan dalam, dua-duanya sama saja. Selagi si nona mengilangi lelah, ia lihat daun pintu naik dengan pelahan-pelahan, renggangnya empat atau lima dim, Tentu saja ia jadi kaget, karena ia tahu musuh tentunya sedang buka pintu dari luar. Maka lekas " lekas ia menahan pesawat rahasiannya. Hingga mereka jadi berkutetan. Diluar, orang membuka, didalam orang menutup.
Beberapa kali dau pintu naik dan turun pula, dan naik lagi.
Sukur buat Hiang Kat, tenaga membuka ada diminta terlebih banyak dari pada tenaga menutup, maka itu, biar ia ada bersendirian, ia bisa lawan tenaganya tiga satru diluar. Setiap kali pintu terangkat, setiap kali juga ia tekan turun. Melihat ini, lama-lama ia berkuatir juga.
Betul disaat daun pintu terangkat lima atau enam dim tingginya, Hiang Kat dengar.
"Ini setan yang berusiah muda ada bandel sekali, ia tak percaya bahwa ia sudah mati!"
"Kalau setan tak lihat mayatnya sendiri, ia memang tak mau percaya dirinya sudah tak bernyawa!"
"Gotonglah ia punya mayat, bawa kemari!"
Mendengar itu, Hiang Kat jadi berpikir, hingga ia tahu-tahu jadi kaget ketiga dari sela-sela pintu ujungnya golok menyamber ia punya kaki, sukur ia keburu melihat, maka ia geser kakinya, sedang di lain pihak, dengan ciak tay, yang ia masih pegangi, ia ketok ujung golok itu.
Mau atau tidak, nona ini menjadi bingung juga. Mana bisa untuk ia terus-terusan berkutetan di pintu itu" Bagaimana kalau ia kehabisan tenaga" Dan ia pun menjadi pusing kepalanya, disebabkan ruwetnya ia punya pikiran.
Apa benar ia sudah mati, seperti katanya mereka itu"
Apa benar ia masih berjiwa"
Bagian IV Leng in duduk dengan dengan pikiran kusut di dalam kamar hotelnya. Ia menghadapi meja dan memegang fountain pen, akan tulis iapunya pengalaman bersama Hiang Kat. Karena sulitnya kejadian beberapa kali ia robek kertasnya, yang sudah penuh dengan coretan. Setelah mencoba beberapa kali, baharulah ia bisa karang pengalamannya itu dengan rapi. Ia niat kirim 'laporannya' pada itu In Hong.
Hanya, ketika ia menulis sampai di bahagian ia menyoroti dengan lampu batre pada si setan Boan, hatinya berdebaran, ketakutannya datang pula, Ada hebat akon tengok romannya si Setan, Ia segera merasa tidak aman.
"Jangan-jangan sakit jantungku kumat.." ia berpikir, dalam kekuatirannya. Ia tak bersangsi bahwa ia telah mewariskan sakit jantung dari ia punya ayah.
Ia sampai pembaringan, ia rebah diri, hingga suratnya kena tertundah.
Jam tangannya memberitahukan Leng In bahwa sang waktu sudah jam 3.50 pagi. Cuaca bakal segera datang, langit akan jadi terang.
"Aku mesti dapat thabib, ia berpikir. Ia niat minta bantuannya tuan rumah atau jongos. Ia mengharapi sang pagi, tapi sang pagi nampaknya datang ajal-ajalan...
En toh, akhirnya, sang fajar datang juga, dengan cahaya terangnya.
Lantas Leng In panggil jurulayan yang bernama Beng To Hok, yang telah layanin ia sejak ia sampai di hotel.
"To Hok..,.. kata ia, dengan suara susah keluar.
"Ah, tuan... kapannya kau datang dan tinggal di hotel kita ini" " tanya jongos itu, dengan suaranya tak lancar, dengan roman terheran-heran.
"Eh, kenapa kau begini pelupaan" " Leng In menegor. "Toh ketika aku datang pada waktu tengah malam, kau sendiri yang sambut aku dan terus layani aku, Kau toh yang anter aku ke kamar ini?"
"Oh, ya, benar..." sahut jongos itu, sambil ia pegang kepalanya, sesudah ia bengong sekian 1ama. "Benar, benar, kaulah yang datang tadi malam-malam... Kau she apa, tuan" "
"Leng" "Oh, oh, kau jadinya she Leng" ....."
To Hok berpikir pula. Iapunya otak ada lemah, ia paling gampang lupa segala apa. Ia sering lupa iapunya she dan nama sendiri, ia suka tak ingat ia asal kampung atau kota apa. Malah ia perna tanya isterinya, kenapa isteri itu datang ke kamarnya dan tidur di iapunya pembaringan! Ia baharu ingat waktu si isteri kasi tahu, bahwa ia adalah isterinya sendiri
"Tuan Leng, ada apa kau memanggil aku" " tanya jongos pelupaan ini,
"Apa di sini ada thabib" Aku ingin kau tolong aku panggilkan","
"Thabib ada, hanya sekarang masih terlalu pagi... Kau harus tunggu sedikitnya dua atau tiga jam lagi"
"Kau toh bisa menolongi memanggil lebih pagian?"
"Nanti aku coba..."
Habis kata begitu, Beng To Hok undurkan diri.
Leng In mesti menunggu lama atau To Hok belum juga kembali, thabib pun tidak ada yang datang, maka ia habis sabar. Ia bunyikan bel.
"Ada apa kau memanggil aku, tuan?" tanya To Hok, yang muncul dengan lantas.
"Aku minta kau tolong panggilkan thabib, bagaimana?"
"Kau minta aku tolong panggilkan thabib" Eh, kapannya kau menyuruh aku?"
"Kira dua jam yang lalu! Leng In jadi mendelu, tapi ia tahu orang ada pelupaan.
"Oh, ya, aku ingat sekarang!" To Hok bilang. "Aku telah minta tolong Ah Hong yang pergi panggilkan!"
"Kenapa thabib masih belum datang?" Leng In bingung. Ia merasa jantungnya memukul lebih keras, ia merasa telah jadi semingkin lemah. Ia kuatir, kalau nanti dokter datang, ia punya napas sudah berhenti jalan.
"Aku kira, dia bakal datang.." kata To Hok, "Kau she apa, tuan?"
"Leng", Leng In mendelu bukan main.
"Oh, ya tuan Leng. Kau suka dengar suatu kabaran?" kata jongos itu. Tadi ada orang datang dari desa dengan kabarnya yang menggemparkan. Tadi malam di Haiwan-chun, di Sanmen, ada kejadian penculikan luar biasa, yang jadi kurban ada seorang yang jalan sambil membawa tengloleng dan satu nona dengan pakaian biru, yang memakai handuk sulam. Mereka telah dibawa lari ke dalam kuburan. Nona itu, orang tahu benar, ada nona yang tadi sorenya dahar di rumah makan. Dan tadi, dua orang kampung ketemukan diapunya hand-doek dan tengloleng si kurban lainnya, yang kedapatan di pinggir kuburan, Kabarnya, lebih dahulu dari ini, di bulan enam, ada satu Nyonya Han yang pun kena dibawa lari ke dalam kuburan itu....."
Leng In kaget, sampai mukanya, jadi pucat dan matanya mendelik.
"Eh, kau kenapa" " tanya To Hok, yang jujur. Sayang ia sangat pelupaan, Ia lantas lari ke luar, akan minta secawan brendi, yang mana ia cekoki pada tetamunya itu.
Air kata-kata itu ada baiknya, tidak lama, Leng In sedar akan dirinya.
To Hok bukannya thabib atau juru rawat, tetapi kebiasaan bikin ia tahu, orang pingsan harus dicekok brend. Sebagai jongos hotel, ia sering dapati tetamu-tetamu yang pingsan mendadakan.
"Kemarikan itu surat, tutupnya dan penanya," kata Leng In dengan lemah.
To Hok ambilkan barang yang diminta.
Leng In paksakan berbangkit, dengan menyender pada pembaringan. ia coba rampungi iapunya surat, ia menambahi:
"Besuknya, orang ketemui hand-doeknya Hiang Kat di samping kuburan Keluarga Ma. Tak salah lagi, ia telah diculik si setan pembesar Boan, yang bawa ia masuk ke uang kubur. Penyakit jantungku kumat, aku harap kauorang lekas datang,"
Habis itu, ia menulis alamatnya surat.Ia lipat surat itu, masuki ke dalam amplop dan tempel amplop itu. Untuk mengirim surat ia berpikir, ia ingat, kalau surat dikirim per pos, sampainya lama.
Maka akhirnya, ia tulis surat kawat di mana ia berikan iapunya alamat sendiri.
"Tolong kau segera bawa ini ke kantor kawat dan kirimkan," ia kata pada To Hok si pelupaan. "Dan ini surat, tolong kau simpan, kalau nanti datang Nona In Hong atau Nona Kat Po, tolong kau serahkan padanya!"
"Baik, baik, tuan." To Hok sambut surat kawat dan surat dalam amplop itu, "Hanya surat ini, tuan, kalau si nona datang, kau toh bisa serahkan sendiri kepadanya..."
"Aku kuatir aku tak sanggup menunggu mereka. Surat ini ada penting, tolong kau sampaikan padanya" Ia loloskan iapunya jam tangan waterproof. "Kau jual jam tangan ini, uangnya kau pakai membayar ongkos kirim surat kawat, selebihnya kau boleh ambil untuk kau sendiri..."
To Hok sambuti erloji itu dengan ia melongoh.
Pintu kamar lantas ada yang ketok.
"Masuk!" Ah Hong muncul. "Tuan dokter akan segera sampai," ia kasi tahu.
"Ah Hong, tolong kau kirim surat kawat ini," kata To Hok pada rekannya. Ia serahkan surat kawat itu, bersama uang untuk ongkos kirimnya, yang ia rogo dari sakunya.
"Aku hendak pulang dan tidur." ia tambahkan.
Ah Hong menurut, ia terima itu surat kawat dan undurkan diri.
Hatinya Leng In tenteram begitu lekas ia lihat Ah Hong sudah pergi. Ia tahu betul, seterimanya telegram itu, In Hong atau Kat Po, atau mereka itu berdua, bakal datang dengan segera, Ia pun berlegah hati, karena ia tahu, thabib segera akan datang. Ia percaya, asal ia dapat suntikan, ia akan sembuh. Maka itu, hatinya kurang goncangnya, hingga ia jadi seperti sudah sembuh sendirinya,
"Rebah saja, tuan," kata To Hok, "Dokter akan segera datang. Aku lihat, sakit kau tidak ada begitu hebat seperti kau pikir,"
"Ja, sekarang aku berada enakan. Pergilah kau menaso,"
To Hok manggut, ia lantas undurkan diri.
Beberapa jam di muka dari sampainya tilgram dari Leng In kepada In Hong di rumahnya di Hungyao Road, nona itu telah terima kedatangannya dua tetamu yang tidak diundang yang membawa kabar yang luar biasa.
"Apa yang terjadi itu, aku saksikan sendiri. Dan Miss Teng Hoei Hoa, teman sekolah dari majikanku Nyonya Thia Bwee Hee atau Nyonya Han, turut menyaksikan sendiri," demikian penuturannya Liok Ah Tin, bujang perempuan dari Nyonya Han, sesudah ia ceritera panjang lebar. Ia telah ucapkan lain-lain kata, untuk menguatkan ia punya keterangan itu.
"Itulah dongengan, aku tak percaya!" kata Kat Po, si adat keras.
"Dan kau, tuan Han Sie Kiat, bagaimana anggapanmu sendiri?" In Hong tanya tetamunya yang kedua, atau suaminya Nyonya Han yang termaksud.
"Dongeng semacam demikian mana masuk ke dalam otaknya seorang intelek" sahut orang yang ditanya, yang berumur kurang lebih tigapuluh tahun. Orangnya cakap tapi air mukanya lesuh dan sedih, sedang suaranya ada dingin. "Tapi sampai sekarang ini, istriku telah lenyap lamanya setengah tahun lebih dan polisi mencaari dengan sia-sia saja; sebagai lumpur dilempar ke dalam laut, sedikit saja sinar tak kelihatan. Hilangnya Bwee Hee ada sebagai aku kehilangan hatiku, aku ampir sukar hidup lebih lama, atau aku bakal jadi gila!..."
"Itu artinya cinta suami-isteri," In Hong bilang, secara menghibur, "Apa kauorang menikah sesudah bergaul sekian lama" Berapa lama kauorang telah menikah" "
Kat Po tidak puas atas sikapnya In Hong ini. Kenapa soal dibawa ke urusan percintaan dan pernikahan" Apakah yaang jadi hubungannya" Kenapa mesti melilit-lilit" Ini ada kebiasaan sang kawan, yang ia paling tak setujui.
"Apakah kau tidak bisa menanya langsung dan yang penting?" begitu ia tegor kawan itu.
"Maaf, Kat Po, tetapi aku paling suka tanya hal-hal yang tak akan ada hubungannya," In Hong menyahut dengan tenang, sambil tersenyum. "Apakah kau merasa tak sabaran" Tuan Han, kau orang jadinya menikah sesudah pergaulan sekian lama?"
"Benar," Han Sie Kiat manggut. "Kita orang menikah baharu satu tahung setengah?"
"Apa selama pergaulan kau orang pernah ngalami kesulitan?"
"Tidak ada kesulitan. Kita ada bertiga yang ketarik sama Bwee Hee tetapi di akhirnya akulah yang menang."
"Dan siapa itu dua orang lainnya" "
"Teng Hoei Kie dan Hoo Tiong Keng, dua-duanya kawanku sejak kita di sekolah menengah dan midrasa. Mereka bersungguh-sungguh akan mendapatkan Bwee Hee. Hoo bukannya seorang yang cakap dan sikapnya kaku, dan Teng adatnya keras, itulah yang menyebahkan kekalahan mereka,"
"Hoei Kie itu ada kanda kandung dari Hoei Hoa, pada bulan enam itu, mereka telah kawani Nyonya Han pergi ke rumah orang tuanya si nyonya di Haiwan-chun akan menyingkir dari hawa panas di kota, bukankah" "
Sie Kiat manggut, berbareng dari sakunya, ia keluarkan selembar foto.
"Ini ada foto dari belasan tahun yang lalu, ketika kita berlima masih duduk dalam sekolah menengah."
In Hong lihat satu nona yang cantik dalam foto itu, dengan tak usah tanya lagi, ia tahu itu ada Thia Bwee Hee. Di sebelahnya kiri ada Teng Hoei Hoa, tubuh siapa ada besar dan gemuk dan tak eilok. Di sebelah nona Teng ini ada iapunya engko, Hoei Kie, satu sportsman. Di kanannya Bwee Hee ada Sie Kiat, rloman dan tubuh siapa tak ada ubahnya dengan orangnya sekarang. Di paling kanan adalah Hoo Tiong Keng, yang romannya jelek, tubuhnya tinggi dan besar ampir mirip sama Hoei Hoa.
"Tuan Han, kenapa baru-baru itu kau tak temani sendiri isterimu itu" " Kat Po Po tanya,
"Oleh karena aku terhalang oleh aku punya kerjaan salinan yang penting," sahut Sie Kiat. "Aku piker akan menyusuk setengah bulan kemudian, siapa tahu, kejadian latah mendahului mengambil tempat"."
"Apakah pepergian ke Haiwan-chun untuk melulu menyingkir dari hawa panas di kota" " In Hong tegasi.
"Bukan anteronya. Bwee Hee ada sangat tergiur dengan harta, ia telah dipengaruhi oleh keinginan keras akan bongkar warisan harta yang ia dapati....."
"Kenapa warisan itu mesti dibongkar" "
"Ini bisa dibilang lucu!" sahut Sie Kiat, dengan senyuman meringis. Bwee Hee ada punya bapa buyut yang telah berusia sembilan puluh dua tahun bernama Kiong Pok dan ia adalah buyut satu-satunya, maka itu pada tahun yang berselang, sebelum orang tua itu menutup mata, ia panggil Bwee Hee dating padanya dan pada Bwee Hee ia wariskan itu gedung tua di Haiwan-chun. Berbareng dengan itu, pada Bwee Hee pun diserahkan sepotong kertas yang memuat tulisan, yang menurut katanya adalah menjadi kunci bagi satu harta besar. Biasanya tidak pernah orang tua itu perlihatkan surat rahasianya itu pada 1ain orang, sebab ia takut, satu kali lain orang lihat itu, harta simpanannya nanti hilang terbang."
"Ketika ia serahkan surat rahasia itu, ia ada sangat bersungguh-sungguh sikapnya, dan pada Bwee Hee pun ia pesan wanti-wanti. Pada Bwee Hee ia kata, "Surat wasiat ini bersama-sama ini gedung tua ada peninggalan dari aku punya bapa buyut. Aku punya engkong dan ayah, yang ditinggali ini, tak ada punya keinginan, akan ambil harta besar itu. Ketika surat wasiat diserahkan padaku, pada beberapa puluh tahun yang lalu, pernah timbul keinginanku akan coba membongkarnya, akan tetapi niat itu terhilang disebabkan aku tidak tahu di mana letaknya tempat harta itu dipendam. Sekarang aku sudah tua dan bakal lekas meninggalkan dunia ini, maka surat wasiat aku peserahkan padamu. Kau muda dan pintar, kau tentu akan bisa meyakini hingga kau akan dapat cari harta besar itu. Hanya kau mesti meyakini sendiri, jangan sekali kasi lihat surat wasiat ini kepada lain orang, sebab itu berarti lain orang nanti bisa mendahulukan ambil. Ingat baik-baik pesanku ini."
Bapa buyut itu ada penasehat dari Ong Tek Po, itu jendral yang kesohor di jaman Kaisar Kee Keng dari ahala Boan.
Dalam tahun Kee Keng ke XIV, atau Masehi 1809, Jendral Ong Tek Po telah basmi kawanan bajak di lautan antara Ciatkang dan Hokkian, dan untuk itu, sang bapa buyut itu, Kiong Te namanya, adalah yang membantu Jendral Ong mengatur segala siasat. Setelah itu, Kiong Tie dapatkan harta besarnya itu. Segera ternyata, harta ini ada sangat membikin ia berabe dan tak tenang hatinya, maka harta itu ia lantas simpan, di suatu tempat yang terahasia.
Pada Kee Keng tahun ke XIX, Kiong Tie mendapat sakit berat, diwaktu hendak menutup mata, ia sudah tulis dan tinggalkan surat wasiatnya yang aneh itu untuk anak cucunya"
"Apakah yang tertulis dalam surat wasiat itu?" In Hong Tanya.
"Itu benar-benar ada suatu surat wasiat yang luar biasa," jawab Han Sie Kiat, "Bwee Hee perna tunjuki itu padaku dan aku bantu memecahkannya. Tapi hatiku ada tawar terhadap harta besar itu dan aku nasehatkan Bwee Hee untuk simpan itu sebagai tanda peringatan saja, agar ia singkirkan keinginannya untuk mencari itu, akan tetapi Bwee Hee sudah sangat terpengaruh, hingga iapunya keinginan itu tak dapat diubah lagi. Begitulah aku terpaksa telah bantu ia, hingga aku ingat benar bunyinya surat itu. Coba nona berdua dengar, aku hendak ulangi membaca itu diluar kepala..."
Dan Sie Kiat lantas mengucap:
"Pintu bunder pintu pesegi, pintu dari luar pintu.
Air cetek air dalam, air dari pinggirannya air.
Pohon besar pohon kecil, pohon dari dalam pohon.
Bukit tinggi bukit rendah, bukit dari luar bukit.
Pagoda depan pagoda belakang, pagoda dari belakang pagoda.
Batu hijau batu kuning, batu dari bawah batu.
Akupunya anak-cucu, bila mereka mengerti ini teka-teki,
Kaya sangat kaya. Senang sangat senang. "
"Aku putus daya akan dapat mengerti teka-teki itu," kemudian Sie Kiat melanjuti. "Maka itu Bwee Hee ajak Tiong Keng dan Hoei Hoa , untuk memahamkan itu, untuk membadenya. Tapi mereka itu pun tidak mendapat hasil. Karena ini, untuk setengah tahun lamanya, Bwee Hee tunda iapunya keinginan itu. Lalu pada suatu hari, Hoei Hoa usulkan pada Bwee Hee untuk pergi ke Haiwan-chun. Itu waktu, mereka sudah bisa menduga lima atau enam bahagian dari teka-teki itu, hingga Hoei Hoa anggap, ada faedahnya untuk periksa sendiri keletakannya tempat, barangkali saja achir-akhirnya mereka akan mencapai maksud mereka, hingga harta besar itu bisa dibongkar dan didapati. Bwee Hee setujui usu itu, ia ada sangat gembira. Begitu ia lantas berangkat dengan ajak pelayannya ini, Liok Ah Tin, serta Hoei Hoa dan Hoei Kie engko dan adik."
Sementara itu, Kat Po sudah cata itu teka-teki.
"Dari semua kata-kata dalam teka-teki itu, dua baris kata-kata yang paling akhir ada suatu alamat," berkata In Hong. "Pada seratus beberapa puluh tahun di muka, bukankah si leluhur telah jelaskan untuk anak-cucunya, bahwa sesudahnya sangat kaya dan senang, orang mesti merasai kesedihan" "
"Ya, itulah benar," Sie Kiat akuh. "Juga Hoo Tiong Keng telah nasehati Bwee Hee agar ia jangan terlalu dipengaruhi oleh harta besar itu, bahwa umpama kata ia dapati itu harta besar, bisa-bisa dari sebab kegirangan yang sangat, ia akan merasai kedukaan yang hebat. Sebagai obat manjur pait rasanya dan nasehat baik bertentangan sama kuping, demikian Bwee Hee, ia terusi usahanya dan kesudahannya sekarang ia mendapat celaka".."
"Berapa lama mereka itu telah berdiam di Haiwan-chun" "
"Sepuluh hari, dan di malam kesepuluh telah terjadi bencana itu."
"Apakah Bwee Hee telah berhasil mendapat harta itu, atau tempatnya saja di mana harta disimpan?"
"Selama sepuluh hari yang mereka mencari, mereka belum peroleh hasil sama sekali."
"Apa tidak bisa jadi, harta itu terpendam dalam kuburan?" Kat Po ikut bicara pula.
"Di sana ada terdapat banyak kuburan tua. Di kuburan mana tersimpannya itu?" Sie Kiat baliki.
"Aku maksudkan dalam kuburan Keluarga Kiong," Kat Po jelaskan.
"Kuburan Keluarga Kiong perna dibongkar dan dipindahkan ke kuburan baharu, selama pembongkaran orang tak dapati suatu apa yang berharga."
"Harta itu boleh digali, cuma tak boleh digunai untuk diri sendiri," In Hong kata. "Baharulah ada harganya bila itu harta dipakai untuk amal dan umum."
"Kau benar Nona In. tapi di mana terpendamnya itu?"
"Apakah itu ada saputangannya Bwee Hee yang kedapatan kejepit di batu kuburan" " Kat Po tanya.
"Benar. Saputangannya Bwee Hee selalu ada tersulam namanya, Tapi kedua batu itu tak dapat diangkat atau dibikin tergerak, maka terang, saputangan diselipkan di situ bukannya secara mendadakan....."
"Ibuku dan banyak orang lain ada percaya setan, maka itu mereka anggap, setan tak dapat dirintangi gerak-geriknya oleh segala batu," Sie Kiat terangkan lebih jauh. "Mereka percaya betul, setan ada merdeka akan mundar-mandir diantara kedua batu itu. Maka mereka percaya, ketika si setan pembesar Boan cukik Bwee Hee dan di bawa masuk ke dalam kuburan, saputangannya Bwee Hee telah kejepit dengan tidak disengaja dan jadi ketinggalan disela-sela batu itu." Sie Kiat meringis pula. "Itu adalah takhayul! Tapi, kemana toh perginya Bwee Hee" Sudah setengah tahun ia lenyap, sia-sia saja kita cari padanya."
"Bagaimana dengan ikhtiarnya polisi?" In Hong tanya.
"Aku telah minta bantuannya Tuan To Tjie An, pemimpin reserse yang kesohor, tetapi ia pun belum peroleh kemajuan. Ia telah curigai Teng Hoei Kie dan telah berulang-ulang dengar keterangannya dia ini. Hoei Kie bilang ia sedang jalan-jalan di pekarangan dekat rimba waktu
mendadakan ia dapat cium bau bacin seperti bau mayat nowah, lantas ia tak sadar akan dirinya, hingga segala apa, ia tak mendapat ketahui. Baharu belakangan ini aku desak pula Detektif To. Pada empat atau lima hari yang lalu ia telah pergi ke Haiwan-chun. Baharu kemarin malam ada satu sahabatku yang anjurkan aku minta pertolongan kauorang berdua, jiewie, maka itu, ini pagi-pagi kita telah datang menggerecoki kauorang. Maukah jiewie menolong kepadaku" "
"Kita bersedia akan menerimanya," sahut In Hong. "Ini ada termasuk dalam kalangan pekerjaan kita."
Sie Kiat menjadi girang sekali.
"Apakah perlu untuk aku kawani jiewie pergi ke Haiwan-chun" " tanya ia.
"Nanti saja, bila sudah datang waktu keperluannya."
Dan In Hong rebahkan diri di atas sofa ketika kedua tetamunya telah pamitan pulang..
Kat Po sendiri bergulet sama itu teka-teki, ketika ia tetap tak berhasil memecahkan, ia remas catatan itu dan lemparkan ke jubin!
"Kau bikin nenekmu pusing!" ia kata.
In Hong tak gubris itu kawan.
Tapi tidak selang lama, Kat Po pungut pula itu kertas, beber kembali di depan matanya, akan mulai memahamkan lagi, akan akhirnya, buang pula!
Justeru itu bel pintu berbunyi dan loper pos datang dengan surat kawat untuk In Hong.
"Siapa mengirim tilgram" Heran" kata Kat Po, yang pergi keluar terima surat kawat itu, yang ia terus serahkan pada alamatnya, " Tilgram dari siapa" " ia tanya
In Hong bersenyum, ia abai-abaikan surat surat kawat itu, "Hayo, bukalah lekasan!" kata Kat Po, yang tak sabaran
In Hong membuka dengan pelahan-pelahan.
"Dari siapa" Ada urusan apa" " Kat Po tanya pula.
"Leng In"." sahut In Hong dengan adam.
Kat Po kenal baik adatnya In Hong, yang sabar luar biasa, tetapi ini kali, kawan itu ada adam, dingin laksana es, hingga ia jadi heran. Mesti ada terjadi apa-apa yang sangat penting.
Kawat dari Leng ! Apa sudah terjadi" Toh Leng In dan Hiang Kat berlayar dengan kapal SHUEN FUNG pergi ke Hai-men, Apa ini mengenai dirinya Hiang Kat" Hiang Kat ada anak satu-satunya dari encinya In Hong, maka iapunya keselamatan ada jadi tanggung jawabnya In Hong.
"Ada kejadian apa-apa atas diri Hiang Kat, bukankah?" ia tanya pula.
Dengan pelahan In Hong angsurkan tangannya, tapi Kat Po segera ulur tangannya, akan rampas surat kawat itu.
"Hiang Kat nampak bahaya, mari kita lekas pergi!" kata In Hong kemudian.
"Ya, lekasan!" berseru Kat Po, yang tarik tangannya ia punya kawan, untuk diseret keluar, "Mari kita berangkat ke Haimen!"
"Ke Haimen?" kata In Hong dengan tawar. "Coba periksa lagi!"
"Leng In, hotel An Tay, Sanmen Street! Ah, Sanmen" Bukankah di luar itu ada dusun Haiwan-chun" Itulah tempat kejadiannya penculikan aneh itu! Berseru Kat Po.
Bagian V Leng In rebah anteng, tanda-tanda penyakitnya sudah mulai lenyap dan ia tak merasa ada apa-apa yang mengganggu dirinya. Umpama kata thabib tidak datang, ia toh bakal sembuh sendirinya.
Pintu tertolak dengan pelahan.
"Masuk!" ia sahuti.
Ah Hong masuk, ia habis kembali dari kantor tilgram.
"Kawat sudah dikirim, tuan," kata pelayan ini sambil ia serahkan recu, dan setelah Leng In periksa itu, ia suru letaki di atas meja di mana ada copie dari tilgram yang dikirim.
"Terima kasih," kata Leng In.
"Terima kasih kembali. Nampaknya kau banyak baik, tuan."
"Aku merasa enakan banyak."
"Apa tuan ingin bersantap pagi sekarang?"
"Belum. Kalau perlu, sebentar aku nanti panggil kau."
Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Hong undurkan diri. Tidak lama, pintu tertolak pula.
"Masuk!" Leng In mempersilahkan.
"Tuan Leng, Dokter Ma Pek Teng datang!" begitu suaranya Ah Hong.
"Sebenarnya aku sudah sembuh. Tapi karena dokter sudah datang, silahkan ia masuk," sahut Leng In.
Ah Hong keluar, akan kemudian masuk pula bersama thabib yang ia undang.
Kapan Leng In lihat si thabib, ia sudah lantas keluarkan jeritan tertahan, hatinya goncang, pikirannya kalut, matanya bersinar ketakutan. Ia telah lihat satu thabib dengan tubuh yang tinggi dan besar, kulitnya gelap, mukanya persegi panjang, jidat dan janggutnya nonjol tetapi hidungnya ngelepot, sepasang alisnya yang gompiok menawungi .dua matanya yang celong, tapi yang sinar matanya, yang hitam, tajam sekali! Itu hukannya thabib, itu ada mukanya si setan pembesar Boan, si tukang culik manusia, si setan yang bawa lari Hiang Kat...
Toh thabib ini ada pakai setelan donkerblauw dengan overcoat hijau daun, sebelah tangannya mengempit koffer hitam, iapunya kulit muka tidak kuning dan juga tidak pakai pakaian Boan yang gerombongan!
"Kenapa kau, Tuan Leng" " tanya Ah Hong. "Harap kau tidak menjerit-jerit. Nanti orang sangka kaupunya otak terganggu..."
Jongos ini heran lihat tetamunya menjerit beberapa kali.
Benar-benar ada beberapa tetamu yang datang, untuk lihat apa yang terjadi, karena mereka dengar jeritannya Leng In. Dia ini tidak perdulikan banyak orang, pikirannya kusut benar, lagi-lagi ia perdengarkan jeritannya, agaknya ia sangat ketakutan.
"Tidak apa-apa," kata Ah Hong pada beberapa tetamu itu. "Tetamu ini sakit dan ia undang thabib. Tolong tuan-tuan undurkan diri."
Beberapa tetamu itu menurut, mereka pada berlalu. Mereka percaya otaknya Leng In ada sedikit tergganggu.
"Tuan ini sakit jantung atau asabat?"tanya Dr. Ma sambil ia letaki koffernya diatas meja.
Leng In sudah berhenti menjerit, matanya terbuka lebar dan terus mengawasi si thabib, yang benar adalah ia sudah tak mampu berteriak.
Selagi Dr. Ma buka koffernya, ia dapat lihat copie tilgram dan recu pengirimannya, untuk baca itu, ia sengaja ajal-ajalan mencari perabotannya. Maka ia pun lantas lihat kertas di mana tulisannya Leng In untuk In Hong. Itu ada copie yang batal dibikin, kertasnya sangat jelek, To Hok beli itu untuk lain tetamu tetapi si tetamu tak bisa pakai, ia antap saja di dalam laci, sampai Leng In minta kertas dan ia kasikan itu. Di atas itu ada kertas petalnya, yang masih ada tapak suratnya.
Maka itu, di antaranya ia dapat baca namanya In Hong. Air mukanya berubah kapan ia dapat baca isinya surat, meskipun sangat samar.
"Nanti aku periksa penyakitnya," ia kata setelah ia ambil iapunya pesawat, Dengan tindakan pelahan, ia hampirkan Leng In.
"Pergi, pergi, pergi!...." Leng In menjerit dengan usirannya, tetapi suaranya jadi sangat lemah.
Thabib itu berhenti bertindak, tetapi ia awasi si sakit itu.
"Tuan Leng, ini ada Dokter Ma yang aku undang atas permintaan kau," kata Ah Hong. "Ia ada dokter kesohor buat di tempat kita ini."
"Pergi, pergi!" Leng In berteriak pula. "Suru dia pergi!"
Ia ada sangat lemah tetapi ia coba kuati diri, "Menyesal, tuan Dokter," kata Ah Hong. "Baik tuan kembali saja, uang honorariumnya sebentar aku anteri..."
"Tidak," kata dokter itu, "Sakitnya tuan ini ada hebat. Sebagai dokter adalah kewajibanku untuk menolong, maka cara bagaimana aku bisa awasi saja orang menghadapi bahaya. Tidak apa untuk iapunya sikap kurang ajar ini". Apa bukannya tadi malam dia datang ke hotelmu ini" "
"Eh, kenapa tuan ketahui ia datang tadi malam" " tanya Ah Hong dengan heran. Ia menyangkah, kecuali pandai obati sakit, thabib ini pun bisa ilmu tenung.
"Eh, eh, ini..... sahut thabib itu, yang tak dapat kata-kata untuk menyahuti si pelayan. "Kalau dia datang kemarin, karena sakitnya begini hebat, tentu kemarin juga ia undang thabib. Ia tentu datang tengah malam maka sesudah kelambatan, baru sekarang kau undang aku. Nanti aku periksa jantungnya,"
Kembali Dr. Ma bertindak menghampirkan.
"Pergi!... pergi.....
Dan suaranya Leng In lemah sekali.
Dr. Ma sampai di depan pembaringan, dengan ia hadapi Leng In. ini berarti Ah Hong berada di sebelah belakang ia. Ia hadapi si sakit dengan mata dibuka lebar, mulutnya menyengir gedeh, hingga kelihatannya nyata romannya yang Jelek dan bengis. Itu ada roman yang menyeramkan, yang menakuti.
"Oh!.." Leng In menjerit, untuk penghabisan kali, karena ia terus berdiam, tubuhnya bergerak sedikit, lalu tak berkutik lagi.
Dr. Ma perlihatkan senyuman dari kemenangan, tetapi ia periksa orang punya dada, kemudian ia goyang-goyang kepala.
"Sakitnya tuan ini ada sangat berat, thabib pun diundang sesudah kasep." Ia kata pada Ah Hong, "meski aku sangat ingin menolong dia, sayang aku tak punya ilmu untuk menghidupi orang yang sudah mati. Baik kau undang lain thabib"."
Dr. Ma benahkan ia punya perabotan.
Ah Hong menghampirkan ke pembaringan, ia lihat tubuhnya Leng In berdiam, matanya mendelik.
"Tuan Leng, tuan," ia memanggil.
Leng In tidak menyahuti. "Tuan Leng!" memanggil pula si jongos, Sekarang ia datang dekat sekali, tubuhnya tunduk.
Leng In tidak menjawab. "Ah, tuan dokter, apakah ia sudah putus jiwa" " tanya jongos itu.
"Belum, ia belum mati, jantungnya toh masih memukul," sahut thabib itu. "Iapunya keadaan ada sangat berbahaya, ia bkal lepaskan napasnya yang penghabisan,"
Ah Hong gunai daya yang paling sederhana. Ia ambil kaca dan dekati itu pada mulutnya Leng In, kemudian itu ia periksa, Di situ tidak ada hawa mulut, yang biasa tertampak sebagai kabut, yang bikin kaca guram.
"Ia sudah putus jiwa, iapunya napas telah berhenti jalan," ia kata.
"Tuan dokter..... "Kalau begitu, benar dia sudah mati. Ia ada seorang asing, kau harus laporkan pada polisi," kata Dr. Ma "Kau pun harus wartakan pada pihak keluarganya,"
"Ia datang ke mari baru delapan atau sembilan jam, kita tidak tahu siapa keluarganya...." kata Ah Hong, yang jadi sangat bingung.
"Apakah kau tak pernah diperintah kirim surat ke rumahnya" Alamatnya iapunya surat tentu ada keluarganya,"
"Aku belum perna kirimkan suratnya,"
"Barangkali pelayan yang jaga malam. Coba kau tanyakan pada kawanmu!"
"Sahabatku tidak perna minta tolong aku kirimkan surat, ada juga tilgram"
"Tilgram itu toh memakai alamat?" kata Dr Ma pula.
"Benar, aku tolol" kata Ah Hong, "Setelah terima tilgram itu, tentu keluarganya akan datang kemari"
"Sekarang pergi lekas mlengabarkan pada kuasamu," kata Dr. Ma.
Ah Hong menurut, ia berlari-lari turun dari lauwteng.
Begitu lekas Ah Hong berlalu, Dr. Ma lantas repot cari suratnya Leng In, yang ia dugah belum dikirim. Di kantong bajunya Leng In, ia dapati sepotong surat yang sudah lecek, maka bersama kertas petal, ia masuki itu ke dalam sakunya.
cuma dua orang, Leng In dan Hiang Kat yang perna lihat jelas si setan pembesar Boan, dan di sebelah itu, adalah itu suratnya Leng In, berikut itu tapak surat di kertas petal. Maka ini bukti penjelasan hal si setan, mesti dilenyapkan, Hiang Kat berada di dalam kuburan dan Leng In sekarang menemui ajalnya. Kalau surat dan kertas petal dibakar, habislah semua saksi dan bukti.
Romannya si setan tak boleh diwartakan kepada umum.
Lalu Dr. Ma bawa koffernya dan berlalu dengan lekas dari kamarnya Leng In.
Tiga hari setelah Leng In meninggal, ke hotel An Tai ada datang satu nona dengan kemeja wol kuning dan celana jas kuning tua dengan mantel hitam di pundaknya.
Bersama ia ini ada satu nona dengan serba putih. Kalau si nona baju kuning ada eilok, yang berbaju putih ada gagah dan keren,
"Tuan Leng In menutup mata di itu hari juga, tidak lama sehabisnya dia kirim tilgramnya," terangkan kuasa hotel.
"Apa" " berseru Kat Po, dan tangannya terulur, untuk jambak kuasa hotel yang bertubuh kecil.
"Kau telah celakai dia, bukan" Dan mana dia punya kawan, satu nona?"
"Dia, dia datang sendirian, seorang diri?" sahut kuasa hotel itu dalam bingungnya, bahna ketakutan.
"Lepaskan tanganmu, aku tak bisa bicara..."
"Lepaskan dia, Kat Po," kata In Hong.
Kat Po tak berani membantah, ia lepaskan jambakannya.
"Itu tengah malam, tuan Leng datang sendirian," kata pula kuasa hotel itu. "Tidak ada satu nona yang datang bersama-sama dia?"
"Maukah kau tuturkan tentang tuan Leng ini" " kata In Hong, tetapi dengan tawar,
"Ia menutup mata sudah tiga hari, mayatnya telah dibawa ke kantor polisi," sahut kuasa hotel itu.
"Dua pelayanku ketahui baik tentang tuan Leng ini, nanti aku panggil mereka."
Dan Ah Hong dan To Hok sudah lantas dipanggil datang.
"Kauorang tuturkan kepada dua nona ini tentang tuan Leng sampai pada saat ajalnya," kata ini majikan pada dua pegawainya itu.
To Hok berdiri bengong, otaknya bekerja. Dalam ingatannya yang lemah, ia merasa perna dengar namanya ini dua nona, yang ada punya hubungan sama suatu Perkara, hanya meskipun demikian samar-samar, ia susah ingat itu dengan baik.
Ah Hong bisa menutur, segala apa yang ia tahu, benar ia tak bisa bicara dengan rapi, akan tetai In Hong dan Kat Po bisa tangkap maksudnya dengan jelas.
Kat Po tidak tunggu orang bicara selesai, ia sudah lantas lari keluar.
"Eh, kau hendak pergi kemana ?" In Hong tanya.
"Aku hendak cari Dokter Ma Pek Teng!" sahut saudara angkat itu.
Justru itu, To Hok perdengarkan suaranya.
"Kau toh yang dipanggil Nona In Hong?" begitu ia tanya.
"Benar, aku In Hong, " sahut nona kita.
"Kalau kau benar In Hong, aku ingat suatu apa, " kata To Hok, yang seperti orang sedar. "Ketika Tuan Leng belum menutup mata, ia titipkan sepucuk surat padaku, katanya untuk diserahkan pada Nona In Hong kalau nona data. Ia bilang itu ada satu surat yang sangat penting."
"Mana itu surat" " Kat Po berseru, "Lekas ambil surat itu!"
"Aku... aku lupa di mana disimpannya itu surat" sahut To Hok. Kembali ia bengong.
Kat Po jambak orang punya baju di bagian dada, "Mana itu surat" " ia membentak.
"Dia ada satu manusia pelupaan," Ah Hong kasi tahu.
"Ia pun bisa tak ingat bahwa isterinya bermuka bundar atau lonjong!"
"Ah..." dan Kat Po lepaskan tangannya dengan lesuh.
"Kau sabar, coba pikir dengan pelahan-pelahan," kata In Hong dengan sabar.
"Apa itu disimpan disini, di dalam hotel, atau di rumahmu" Atau itu berada dalam saku bajumu" ?"
"Di kantong, tidak ada, aku sudah rogo sakuku," sahut To Hok "Aku mesti ingat-ingat..."
"Berapa lama kau hendak berpikir" " tanya Kat Po.
"Barangkali satu-dua hari, tiga-empat hari, atau tujuh atau delapan hari...." sahut To Hok. "Biar bagaimana, mesti ada satu hari, yang aku akan ingat itu....."
"Oh, Thian!......." Kat Po mengeluh.
Karena belum bisa dapat keterangan lebih jauh, In Hong ajak Kat Po berlalu dari hotel.
"In Hong, kematiannya Leng In bikin kita sukar ketahui Hiang Kat menampak bencana apa..... kata Kat Po di sepanjag jalan besar.
"Celakanya, suratnya Leng In pun si jongos lupa simpan di mana..."
"Dr. Ma harus dicurigai, mari kita pergi padanya!" ia tambahkan kemudian.
"Tidak, lebih dahulu kita pergi ke kantor polisi," kata In Hong.
Bagian VI In Hong dan Kat Po sampai di kamar mayat dari kantor polisi, sebuah kamar yang buruk, Di sana mereka lihat mayatnya Leng In, mata dan muka siapa masih menunjuki roman dari ketakutan.
Kemudian, di kantor polisi, di kamarnya Detektif Kwa Tay Yong, mereka bertemu sama Detektif To Tjie An, si sahabat lawas, serta dia ini empunya pembantu. si Gemuk yang jujur dan polos.
Dan kedua detektif itu sedang fahamkan teka-teki pintu bunder pintu pesegi, pintu dari luar pintu, kunci yang akan membuka rahasia dari satu harta besar.
"Apa kedua nona-nona In dan Kat datang untuk itu harta besar yang terahasia" " tanya Detektif To separuh menyindir.
"Memang kita datang untuk itu harta besar yang terahasia," sahun In Hong dengan tawar. "Tapi kita pun datang untuk sanakku, tuan Leng In yang apes..."
"In Siocia, aku sudah dugah kau bakal datang kemari," kata si gendut. "Di hotel kita lihat copie untuk tilgram yang dikirim padamu, dari situ kita ketahui kau dan Leng In ada punya hubungan. Hanya ntah dengan Nona Hiang Kat, setahu bencana apa yang menimpah dirinya,,,"
"Halnya Hiang Kat, melainkan Leng In seorang yang ketahui, apa mau, Leng In telah menutup mata"." kata In Hong.
"Apa tak bisa jadi, Nona Hiang Kat dapat pengalaman seperti Nyonya Han" " si Gemuk nyatakan, "Selama yang belakangan ini kembali ramai tersiar perihal itu setan tukang culik manusia dikuburan Keluarga Ma di luar Sanmen. Di muka tiga hari yang lalu ada banyak orang yang lihat sendiri satu setan pembesar Boan telah tangkap seorang yang sedang berjalan malam dan besuknya di kuburan Keluarga Ma itu orang dapatkan diapunya lentera dan juga, itu handdoek sulam bungah seruni?"
"Apa handdoek itu masih disimpan disini" " In Hong tanya Kwa Tay Yong, Detektif Kwa manggut.
"Apakah aku boleh lihat itu tuan Kwa?"
"Tentu sekali, nona" sahut Detektif Kwa, yang terus keluarkan handdoek itu dari lemari.
In Hong dan Kat Po kenalkan handdoek dari kawan mereka.
"Ah Poan, benar dugahanmu," kata In Hong pada si Gemuk. "Benar Hiang Kat dapat nasib seperti Nyonya Han."
"Nona In, aku pereaya setan, aku tak punya otak akan memikir Iain," si Gemuk aku, "Laginya kejadian itu telah dilihat oleh banyak mata. Kalau mereka, bukan dibawa masuk ke dalam kuburan, habis kenapa mereka tidak ada bayangannya, tidak ada bekas-bekasnya" "
"Itulah untuk sementara saja, Ah Poan," kata In Hong. "Baik hidup maupun mati, aku akan bikin mereka nanti kelihatan bayangan dan bekas-bekasnya! Handdoek ini tentu kedapatan di dekat kuburannya Keluarga Ma, bukannya kejepit di batu seperti saputangannya Nyonya Han, bukan?"
"Benar, di tangga batu kuburan" si Gemuk jawab. "Nona In, cara bagaimana kau ketahui ini" "
"Sebab setan tak ada waktunya!"
"Aku tak mengarti, nona....."
"Dibelakang hari kau akan mengerti ini! Ah Poan, mautah kau tuturkan tentang penglihatannya itu tetamu-tetamu rumah makan, yang katanya melihat sendri si setan bawa lari si orang yang berjalan malam."
Si Gemuk suka berikan keterangan dan ia telah berikan itu dengan jelas.
"Dengan begitu," kata In Hong, "sebelumnya Hiang Kat terhilang, ia sudah tempur tiga orang lelaki dan seorang perempuan. Ini kejadian bisa dijadikan bahan penyelidikan terlebih jauh. Sekarang aku ingin bicarakan soal kematiannya Leng In. tuan Kwa, dan kau Tuan To, bagaimana pemandangan kau orang mengenai kematian Leng In itu?"
"Itu ada kejadian sewajarnya saja," sahut Kwa Tay Yong.
"Dan kau, Tuan To?"
Diantara In Hong dan To Tjie An ada permusuhan, atau persaingan gelap. Adanya In Hong menyebabkan Tjie An kekurangan suatu apa, ia jadi kelihatan sembrono, tolol dan jelus, hingga ia kehilangan muka, kehilangan keangkarannya. Ia mirip dengan Cioe Jie yang menghadapi Coekat Liang, yang sampai diundang tiga kali oleh Lauw Pie. Diam-diam ia sumpahkan In Hong dan juga Kat Po, nanti turut dibetot masuk ke dalam liang kuburan!
"Eh, To Tjie An, bagaimana kau" " Kat Po mendesak, dengan suara nyaring.
"Ah, Kat Siocia, suaramu ampir bikin aku budek" kata Tjie An, yang sedikit terperanjat, "Ini ada urusannya polisi setempat, aku tak punya pandangan apa-apa,"
"Leng In tak punya sakit jantung," In Hong kasi tahu, "Tak bisa menjadi ia binasa dengan tidak ada pokok sebabnya. Iapunya mayat kudu dibedah, untuk periksa isih-perutnya, guna mendapatkan kepastian,"
"Perlengkapan polisi di sini ada serbah kurang. Kita tak punya thabib," Tay Yong kasi tahu, "Ah Poan," kata In Hong, "tadi di jalanan aku lihat satu rumah sakit besar juga, harap kau suka segera bawa mayatnya Leng In ke sana,"
"Aku suka bantu kau, nona," kata si Gemuk.
"Tolol!" kataa To Tjie An dalam hatinya. Ia mendugah yang orang bawahannya itu sudi dengar titahnya In Hong. Malah nampaknya si Gemuk lebih gembira menjalankan titahnya si nona daripada titahnya sendiri, Ah Poan dapat lihat bibir sepnya memain, ia mendugah tentulah sep itu sedang maki ia si tolol, maka ia pun geraiki bibirnya, seperti ia mau menyahuti: "Ya, tuan,"
"Eh, Ah Poan, kau bilang apa" " tanya Detectip To, yang lihat orangnya kemak-kemik.
"Aku ucapkan kata-kata biasa untuk sambungi kata-kata kau, tuan...." sahut orang sebawahan itu, yang terus ngeloyor, Tapi tidak lama, ia sudah kembali.
"Nona In, ada suatu apa yang aku lupa bilangi kau" ia kata pada In Hong.
"Eh, kau mau apa lagi" " menegor Cie An. Ia tak ingin In Hong dapat banyak keterangan, ia kuatir si nona mendapat lebih banyak dan akan dului ia pecahkan perkara harta besar itu. Ia sendiri masih belum bisa pahamkan teka-teki itu.
"Ya, tuan," si Gemuk menyahut dengan pendek, seperti kebiasaannya.
"Kau tidak boleh sembarang banyak omong!" sang sep menegor, "Kuburan Keluarga Ma ada kuburan leluhurnya Dr. Ma Pek Teng dan kedua perkara ini tak ada hubungannya satu pada lain?"
"Siapa bilang tidak ada hubungannya" Seorang dan seorang telah dibawa masuk ke dalam kuburan, bagaimana bisa tak ada hubungannya" " kata si Gemuk sambil ia ngeloyor keluar!
"Memang Ma Pek Teng harus dicurigai," kata Kat Po, "dan polisi harus menyelidikinya"
"Nona Kat," berkata Detektif Kwa. "Aku sudah bekerja lama di sini, aku ketahui baik keadaan di tempat kita., Dr. Ma Pek Ten dan ia punya ayah, Ma Seng Hong, ada penduduk hartawan dan kenamaan di sini, pasti mereka tidak melakukan kejahatan. Apa nona percaya benar kedua orang yang lenyap itu telah dibawa masuk ke dalam kuburan" "
"Aku tidak bilang mereka dibawa masuk ke dalam kuburan"
kata Kat Po, "Tapi mengenai kematian secara tiba-tiba dari Leng In, Dr. Ma harus dicurigai! umpama kata pihak kauorang berdiam saja, terpaksa kita nanti pergi sendiri pada Keluarga Ma..."
"Bagus, bagus!" kata Detektif To. "Baiklah kauorang pergi sendiri kepada Keluarga Ma, akan tegor mereka. Hanya, aku kuatir, kauorang bukannya tandingan dari keluarga itu..."
Cie An ubah taktik setelah ia tak bisa kilungi bahwa kuburan keluarga Ma adalah kuburan dari keluarganya Dr. Ma. Ia mencoba akan bikin gusar kedua nona itu.
"Aku peringati baiklah jiewie jangan pergi pada Keluarga Ma," Detektif Kwa mencegah. "Ma Pek Teng dan Ma Seng Hong bukannya orang-orang yang bisa dibuat permainan. Kecuali kauorang telah dapatkan bukti yang kuat bhwa benar Dr. Ma telah bikin celaka pada Leng In. Kalau tidak, jiewie bisa datang ke rumahnya dengan masih hidup tetapi keluarnya sesudah binasa, nanti menyesal pun sudah kasep?"
"Aku tak tahu bahwa sesudahnya mati aku bisa menyesal?" sahut In Hong dengan adam.
"Tempat apa sih rumahnya keluarga Ma itu?" tanya Kat Po, "apa itu ada kedung naga dan guha harimau atau sarang bandit?"
"Semuanya bukan," sahut Kwa Tay Yong. "Ma Seng Hong, ayahnya Dr. Ma, ada seorang tua dengan adat kukuh dan koekoay, ia punya sikap adalah kalau orang tidak ganggu padanya, ia tak mau ganggu orang, ia hidup dengan damai dan halal, tetapi satu kali ada orang yang main gila, yang berani busuki ia sendiri atau keluarganya, atau yang merugikan ia punya kepentingan, ia tentu tak mau mengarti, ia tak kenal takut. Ia sudah berumur enam puluh lebih tetapi ia masih gagah, ilmu silatnya ada tinggi sekali. Dia punya bapa buyut, Ma Wie Siang, pernah jadi Touw-tong Toalooya dari Kaisar Boan, boegeenya ada liehay sekali, dan kepandaiannya Ma Wie Siang ada warisan dari leluhurnya. Dengan kepelannya ia bisa pukul batu menjadi ancur. Satu tendangannya bisa bikin roboh pohon kayu besar! Siapa juga tak berani menyebabkan kemarahannya orang tua itu. Dan itu kuburan tua adalah kuburan dari Ma Wie Siang ini. Di sebelah boegeenya, Ma Seng Hong ada berpengaruh, ia bergaul rapat sama segala pembesar negara. Siapa bentur Ma Seng Hong, ia ada seumpama membentur dato, atau menepuk lalat di kepala harimau. Maka itu aku kasi nasehat pada kau, jie wie, inlah aku punya maksud yang baik."
"Saudara Kwa, kau terlalu memandang enteng kepada dua nona ini," kata Tjie An si jelus. Ia kembali hendak kipasi hawa amarah dari dua nona itu. "Kedua nona ini ada punya boegee yang tak ada tandingannya, dari itu tak ada perlunya untuk saudara mengasi nasehat kepada mereka?"
Tjie An tahu benar, Kat Po paling gampang diobor, ia ingin obor dua-duanya, tetapi asal satu gusar, itupun sudah cukkup bagi ia untuk terbitkan gelombang di laut yang tenang, ia ingin sekali saksikan mereka itu bentrok dengan Ma Seng Hong, supaya mereka celaka, atau ia orang berdua pihak sama-sama musna"
"Laginya kedua nona ini bukan orang-orang tolol, sebaliknya mereka ada cerdik sekali," detektif ini tambahkan. "Mereka tahu yang mereka mesti pergi atau jangan. Buat pergi menantang Keluarga Ma itu ada sama saja orang anter jiwa atau membunuh diri! Sekalipun kau tak menasehati, saudara, mereka tak nanti pergi secara sembrono. Bukankah benar demikian, nona Kat?"
"Aku tidak berani pergi?" Kat Po kata. "Meskipun menerjang api, aku tidak takut! Mustahil aku jeri terhadap itu tua bangka she Ma?"
Kat Po lantas saja menjadi panas. Ia memangnya sedang mendongkol dan penasaran, pikirannya kusut memikiri Hiang Kat.
"In Hong, mari kita pergi!" ia teriaki encienya. Dan belum lagi kumandang suaranya berhenti, tubuhnya sudah mencelat keluar.
In Hong berbangkit, sambil tersenyum, ia hadapi To Tjie An.
"Tuan To, kau punya politik mengipasi sudah memberi hasil!" ia kata dengan sindirannyya. "Barangkali benar yang itu orang tua she Ma ada punya kepandaian liehay yang mengagumkan, tetapi aku harap saja apa yang kau kehendaki tak nanti berwujud! Nah sampai ketemu pula, jie wie!"
Lantas In Hong bertindak keluar, sambil berlari-lari, ia susul Kat Po, yang sudah sampai dijalan besar. Ia teriaki itu soemoay.
"Kenapa kau begini kesusu?" ia tegor kawan itu. "Kita harus menunggu sampai pembedahan atas tubuhnya Leng In, untuk mengetahui kesudahannya, apabila sudah ketahuan, sebab apa ia menutup mata, baharu kita pergi pada Keluarga Ma."
"Aku tak sabar lagi," Kat Po akuh."Sudah terang sekali, Leng In binasa di tanganya Dr. Ma Pek Teng. Apa yang kita mesti tunggu" Asal kita dapati pembunuhnya Leng In, lantas kita akan ketahui dimana dan bagaimana dengan keadaannya Hiang Kat. Kalau kau tidak mau pergi, biarkan aku pergi sendiri!"
Ucapan terakhir dari Kat Po sering bikin In Hong menuruti, hingga ia tak dapat lagi bertindak menurut ia punya rencana.
Ketika mereka lewati rumah sakit umum, di depan situ mereka lihat si Gemuk asik bicara sama beberapa dokter, juru rawat atau pegawai rumah sakit, dan waktu ia lihat kedua nona, ia segera memanggil.
"Nona In, Nona Kat!" kata detektif muda itu dengan ramah-tamah. "Dokter kepala disini telah janjikan aku bahwa besuk pagi ia akan kirim laporannya kepada kantor polisi. Sekarang kemana kau orang hendak pergi?"
"Kita hendak pergi ke rumah Keluarga Ma," sahut Kat Po.
"Jiewie toh bukan penduduk sini?" tanya satu pegawai rumah sakit.
In Hong manggut. "Bailah jiewie berhati-hati sedikit," kata satu pegawai lain.
"Lebih baik jiewie jangan pergi," kata pegawai yang ketiga. Ia kelihatannya lat sim. "Ma Seng Hong adalah ular setempat, satu okpa besar, kepandaiannya ada memeras dan menipu, hingga penduduk sini rata-rata takuti dia, semua lebih suka menyingkir jauh-jauh daripadanya! Ma Pek Teng juga bukannya dokter resmi. Buat beberapa tahun Pek Teng bekerja dalam sebuah rumah sakit di Shanghai dari itu ia dapat pahamkan ilmu menyuntik. Lalu dengan banyak baca buku-buku ilmu kethabiban, ia peroleh kepandaian yang lumayan, ketika kemudian ia pulang ke kampungnya sendiri, entah bagaimana, ia bisa dapati selembar diploma sekolah dokter. Maka dengan andeli pengaruh ayahnya, ia lantas dapatkan surat keterangan sah yang mengijinkan ia buka praktek disini. Ayah dan anak itu ada berkonco, mereka menjadi dua racun bagi tempat kita ini. Kabarnya Ma Seng Hong ada punya satu murid kepercayaan, yang katanya ada kepala dari satu rombongan bajak, oleh karena mana, ada dibilang dia ada menjadi tukang tadahnya?"
"Terima kasih atas kebaikan kauorang, tuan-tuan," In Hong mengucap. "Umpama kata tenaga kita berdua mengijinkan, kita harap nanti bisa singkirkan mereka itu."
Mereka tinggalkan rumah sakit, mereka jalan terus hingga mereka lihat hotel An Tay.
"Suratnya Leng In untuk kita pasti ada sangat penting," kata Kat Po. "Mari kita mampir lagi di hotel, barangkali itu juru layang Beng To Hok sudah ingat dimana dia simpan surat itu?"
In Hong setuju. Selagi mereka bertindak di pintu hotel, Ah Hong kelihat sedang turun dari lauwteng kedua.
"Ah Hong, apa kabar dengan To Hok?" Kat Po dului tanya."Apa ia sudah ingat?"
"Belum," jawab Ah Hong, "Sekarang To Hok sedang sendirian di dalam kamar kosong, ia lagi berpikir keras akan ingat di mana ia simpan suratnya! Ia larang siapa juga datang ganggu padanya!"
"Ah," mengela Kat Po, dengan putus asa.
"Eh, Ah Hong," tannya In Hong, "ketika itu pagi tuan Leng minta kau panggilkan dia thabib, kenapa kau tidak pergi saja ke rumah sakit?"
"Dr. Ma Pek Teng ada bikin perjanjian sama hotel kita ini, asal ada tetamu kita yang sakit, ialah yang mesti dipanggil," Ah Hong kasi keterangan. "Kalau kita tidak undang ia, kita orang bisa nampak kesulitan!"
Ah Hong kelihatan ada bersusah hati, ia seperti hilang kegembiraan.
In Hong dan Kat Po jalan terus, mereka batal mampir di hotel. Mereka sudah lewati satu jalan besar yang melintang, lantas mereka lihat sebuah rumah gedung. Itulah sebuah gedung model kuno dan bersifat gedung pembesa negeri jaman feodal, dua daun pintunya yang besar, yang di cat hitam, ada memakai gelang kuningan. Kelihatannya seperti gedung itu baharu dicat pula, gelang kuninganna juga ada mengkilap mentereng sekali.
Di pintu pun ada dipasang dua papan merek dari kuningan, yang satu berbunyai " Ma Hoe" atau gedungnya orang she Ma, dan yang lain ada ukiran namanya Dr. Ma Pek Teng. Di kedua samping pintu ada nongkrong sepasang cio say atau singa-singaan batu yang berat sekali, menandakan itu ada gedungnya seorang agung dan berpengaruh"
In Hong hampirkan pintu, memegang gelang kuningan, ia mengetok tiga kali. Ia mengetok dengan pelahan, ia menunggu sekian lama, ia tidak lihat ada yang keluar atau menyahuti, maka ia mengetok pula, lagi tiga kali.
"Kau terlalu sabar, In Hong, maka juga pintu tak ada yang buka," kata Kat Po. "Marilah kasi aku!"
Dan nona yang berangasan ini bukannya mengetok pintu, hanya ia mendupak beberapa kali, hingga daun pintu menerbitkan suara sangat berisik, sampai seperti gedung itu hendak ambruk, sedang dicat pintu lantas berpetah tapak kaki!
Kat Po percaya bahwa Keluarga Ma ini, bapak dan anak, ada keturunan okpa, hartawan yang jahat, dari itu kebenciannnya lantas timbul, dan kebenciannya itu suka dirupakan oleh perbuatannya ia punya kaki dan tangan. Ia tak setujui sikapnya In Hong, yang gusar dan girang jarang terlihat tegas pada tampang mukanya.
"Eh, eh, kurang ajar!" demikian satu suara keras dan kasar, "Kurang ajar! Kurang ajar!"
Dua-dua In Hong dan Kat Po segera menoleh, kearah dari mana suara datang.
Disamping, kira-kira dua puluh tindak dari pintu besar itu, ada sebuah pintu yang kecil, dan dimuka pintu itu, ditangga batu, ada berdiri seorang lelaki umur tigapuluh lebih, tubuhny tinggi dan besar, bajunya pendek. Dengan ulur sebelah tangannya, dengan keluarkan dua jarinya, dia itu sedang menuding. Dialah yang mencaci.
"Eh, darimana datangnya ini dua perempuan liar, kenapa diaorang berani gedor-gedor rumahnya Ma Looya"..." ia kata. "Kurang ajar!"
Kat Po hendak maju, untuk memberi ajaran, tetapi In Hong cegah ia.
"Apakah kau ini ada pegawai dari gedung ini?" In Hong tanya. "Kitaorang mau ketemu Dr. Ma Pek Teng."
Pendekar Penyebar Maut 13 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Kaum Pemuja Setan 2
Gara-Gara Warisan Kisah Oey Eng ( Si Burung Kenari )
oleh Siao Ping Dituturkan oleh : Oey Kim Tiang
Cetakan Pertama STAR WEEKLY No. 425 (20/02/1954) s/d No. 437 (15/05/1954)
Keng Po, Jakarta Bagian I SHUEN FUNG, kapal layar dengan tiga tihang, telah keluar dari pelabuhan Woosung, melancari laut yang bergelombang, ia lintasi Chenhai dan Shenchia-men, mampir beberapa jam di Shihpu, untuk turuni muatan dan lantas berangkat pula, untuk via Sanmemean pergi ke Taichowwan.
Kira-kira duapuluh orang pesisir duduk berkumpul, memasang omong, akan melewati waktu yang senggang selama pelayaran mereka, "Dalam buku cerita kuno kita baca tentang orang-orang gagah dengan kepandaian silat luar biasa," kata satu pemuda, "tetapi kita orang belum pernah saksikan orang yang benar-benar mempunyai kepandaian itu, siapa tahu..."
"Itu ada buah lamunan dari si pengarang" kata satu pesisir, "sebenarnya sama sekali tak ada orang-orang dengan kepandaian seperti dilukiskan itu"."
"Ah, nyata kau belum tahu, sahabat" kata pemuda itu, "Sekarang benar-benar telah muncul semacam orang gagah. Kau kenal atau tidak lie hiap Oey Eng" "
"Aku pernah dengar orang omong tentang lie-hiap, itu," kata penumpang yang ketiga, seorang dagang. "Katanya ia ada asal Fuling di Szechuen, tubuhnya langsing, romannya cantik, hingga orang tak sangka ia berkepandaian tinggi, Ia biasa satrukan orang-orang jahat,"
"Aku tak percaya!" kata pesisir yang kedua,
"Jikalau kau tidak percaya, pergilah kau ke Hungyao Road di Shanghai," kata si pemuda. "Siapa mau dustakan kau. Ia punya dua kawan adaKat Po dan Hiang Kat. Mereka tinggal sama-sama di sebuah gedung. Mereka paling benci segala orang jahat. Segala kurcaci, kalau dengar nama In Hong tentu kepalanya pusing. Mereka itu melebihi orang-orang dalam cerita silat!"
"Jangan kau melebih-lebihkan sahabat," kata pesisir kedua "Aku tetap tidak percaya. Apakah kau pernah lihat sendiri mereka itu?"
"Tentu, aku pernah lihat sendiri!" si anak muda pastikan. Toh dia sebenarnya cuma dengar ceritera orang lain. Ia mendusta dengan terpaksa. "Diantara mereka bertiga, In Hong paling lihay, karena ia gagah dan cerdik. Kat Po pun gagah tapi dia rada sembrono. Yang paling rendah kepandaiannya ada Hiang Kat, ia baru berusia belum delapan belas tahun orangnya kecil molek dan cantik."
"Cara bagaimana kau ketahui ia belum berusia delapan belas tahun?" tanya pesisir kedua secara menyindir. "Apakah pernah sanak dari ianya?"
"Bukan melainkan sanak malah aku pernah dansa satu kali sama ia!" pemuda itu memberahol terus. "Malah satu kali?"
Di pojok kiri dari ruangan dimana mereka berkumpul ada satu pemuda cakap siapa dengan tangannya menyenggol satu nona di sampingnya.
Nona itu adalah Hiang Kat, yang jadi buah pembicaraan. Ia ada pakai sweater biru dengan celana biru, overcoat biru juga. Di lehernya ada tergubet selembar handuk biru dengan sulaman bunga seruni. Ia asik memandang laut dengan tenang,
"Hiang, apakah kau kenal pemuda itu" " tanya si anak muda, Ia bicara dengan pelahan, ia punya air muka ada lesu. Ia ada Leng In, engko piauw [kakak misan] dari Hiang Kat, Ia punya ayah sedang sakit, dari Shantung ia dipanggil pulang, ketika ia lewat di Shanghai, ia mampir dan ajak adik misan ini bersama untuk pulang ke Haimen, Taichowwan. "Apakah kau dengar apa yang ia bilang" " ia tegasi.
"Antap dia ngaco-belo," sahut si nona, dengan pelahan, "asal dia tak merusak nama baikku." Ia tidak sesabar In Hong tetapi ia pun tak sesembrono sebagai Kat Po, "Satu kali, dalam satu medan pesta, aku ada bersama-sama nona Hiang Kat itu," si pemuda melanjuti dongengnya, "dan ia ceritakan aku bagaimana ia sering labrak segala telur busuk. Menurut ia, manusia jahat ada terlalu banyak, orang gagah ada sangat sedikit..."
"Asal ada semacam orang gagah, tak sukar untuk basmi orang jahat" pesisir kedua masih saja menyindir, "Mereka bertiga sudah basmi berapa banyak orang jahat" "
"Nona Hiang Kat janjikan aku bahwa dengan pelahan-pelahan ia akan bikin habis orang-orang jahat, sampai satu pun tak ketinggalan," kata si pemuda, yang nampaknya ada bangga sekali,
Sementara itu lima penumpang, yang baru naik di Shihpu, yang duduk di kepala kapal, kelihatannya sebal dan mendongkol mendengari ceritanya si pemuda itu. Di antara mereka ini, satu ada tinggi besar, romannya bengis, ia bersenyum ewah.
"Sahabat, hematkanlah kegembiraanmu, tak usah kau omong begitu banyak tentang tiga nona itu," memperingati si orang dagang, penumpang yang ketiga, Dengan tak disengaja, ia lihat air mukanya lima penumpang itu.
"Boleh apa sih" " kata si anak muda. "Aku mau bicara, siapa suka dengar, boleh dengar, siapa tidak suka, ia boleh sumpel kupingnya! Siapa bisa larang aku" Nona Hiang Kat kasi tahu aku, ia pernah musnakan kawanan bajak dari Boe Tek Pa-ong..."
"Setan" mengutuk si tetamu yang romannya bengis.
Saudagar itu bercekat hatinya, ia rupanya ada seorang dengan banyak pengalaman.
"Jangan-jangan mereka ada bajak atau konconya bajak.....," pikir Hiang Kat, yang pun bercuriga. "Sayang aku ada bersendirian. sukar untuk aku lawan begitu banyak, musuh..." ia kisiki Leng In
"Habis bagaimana" " tanya si engko misan.
"Lihat saja bagaimana nanti," nyatakan si nona.
Di lain pihak, di ujung kanan, seorang perempuan asik bicara sama satu kenalannya, seorang perempuan tua, dan bahan ceritera adalah hal memedi penculik...
"Sahabatku, baiklah kita dengari itu enso dongeng!" si pesisir kedua ajak si pemuda. Ia nyata sekali sebal benar pada pemuda itu.
"Kamu jangan usil aku!" pemuda itu baliki.
"Jangan tekebur sahabat," nyeletuk si penumpang tinggi besar beroman bengis.
Si Saudagar tarik pemuda itu.
"Apakah kau tidak lihat salatan?" ia bilang. "Kalau aku berkelahi, aku cari musuh yang terlebih kecil dan kurus daripada aku "
Pemuda itu ada kecil dan kurus dan pesisir satunya ada tinggi dan besar. Ia berdiam.
"Mari kita dengar dongengnya itu enso" kata pesisir yang kedua, yang saban-saban datang sama tengah.
"Aku bukannya dongeng, ini ada cerita benar" kata nyonya yang berceritera itu. Ia pakai baju dan celana biru, usianya baru tigapuluh lebih. "Aku ada punya kenalan sekampung, namanya Liok Ah Tin. Kita sama-sama bekerja pada keluarga Han di Sanghai. Majikan perempuan kita, nyonya Han atau namanya sendiri Thia Bwee Hee, ada punya bapak buyut luar yang tinggal di dusun Haiwanchun diluar kotan Sanmen hsien, rumahnya ada model kuno. Orang tua itu menutup mata pada tahun yang lalu. Warisan rumahnya itu jatuh kepada nyonyaku itu. Buat setengah bulan. Nyonya Han tinggal di rumah kuno itu, untuk urus jenazah bapa buyutnya itu, kemudian ia kembali ke Shanghai. Rumah itu diserahkan dijaga pada dua bujang lelaki. Pada enam bulan lalu, nyonya Han pergi pula ke itu rumah tua di Sanmen, ia ajak dua bekas temannya sekolah, satu lelaki, satu perempuan, begitupun si Ah Tin. Mereka meninggalkan Shanghai untuk menyingkir dari hawa udara yang mengkedus. Pada suatu malam, nyonya dan temannya yang lelaki pergi kebelakang taman bunga, disitu ada terdapat banyak pepohonan. Kemudian Ah Tin dan kawannya nyonya yang perempuan, pergi menyusul. benar waktu mereka ini sampai di tempat pepohonan itu, mereka mendadakan dengar jeritannya nyonya. mereka kaget tetapi mereka lantas memburu. Di situ mereka tampak pemandangan yang menakuti. Di bawahnya sinar bulan jauhnya kira-kira tigaratus tindak, mereka lihat seorang yang tubuhnya tinggi dan besar, kopianya kopia batok dengan runce merah, dari belakang kepalanya ada tergantung kuncir yang panjang. Ia pakai baju yang gerombongan, baju pembesar di jaman Boanciu, dan ia sedang kempit seorang, yang dari pakaiannya nyata sekali ada Nyonya Han. Ia lari ke dalam tempat yang lebat dan gelap, Mereka menguber, tetapi orang itu keras larinya, benar ia tak dapat dicandak, akan tetapi mereka berdua bisa lihat Nyonya Han dibawa lari masuk ke dalam sebuah kuburan diujung utara dari tempat lebat itu..."
Ceritera sampai disitu, si enso ini nampaknya bergidik.
"Apa benar begitu?" tanya si pemuda. "Sungguh luar biasa"
"Kau jangan potong ceriteranya ini enso!" penumpang yang kedua mengasi ingat,
"Aku pastikan, ini bukannya dongeng," nyonya itu tegaskan.
"Kemudian" " tanya si saudagar.
"Ah Tin menjerit bahwa orang Boan itu ada setan," si nyonya melanjuti, "karena itu, ia tak berani menguber lebih jauh. Temannya nyonya tak percaya di dunia ada setan, ia mengejar terus. Tapi buktinya, ia lihat tegas, nyonya dibawa masuk ke dalam kuburan itu"
"Apakah buktinya" " tanya si saudagar.
"Batu kuburan melekah dan tertutup pula sendirinya. Di sela- sela itu ada terjepit saputangannya nyonya, ujungnya keluar. Saputangan itu ada disulam namanya nyonya, dua huruf Bwee Hee. Saputangan itu pun tak dapat dibetot lolos. Di luar situ pun ada ketinggalan sebelah sepatu kulit putih dari nyonya..."
"Ah.." mengelah si Saudagar, agaknya ia bergidik. "kemudian lagi?"
"Berdua mereka lari pulang, akan panggil kedua bujang lelaki. Mereka ini coba bongkar batu kuburan itu akan tetapi tidak berhasil.
"Jadi Nyonya Han itu terus lenyap" " tanya satu nyonya lain, yang kulit mukanya hitam dan kasar.
"Ya. Tuan Han Sie Kiat, suaminya Nyonya Han, sudah lantas dikabarkan dan dia telah lantas datang. Ia telah majukan laporan pada polisi setempat, akan tetapi, sudah selang setengah tahun, perkara nyonya itu tinggal gelap."
"Apakah mereka tak bongkar saja kuburan itu" " tanya pula si nyonya kulit hitam dan kasar.
"Tidak. Polisi tak percaya ceritera hal setan itu, sedang kuburan ada kuburan keluarga lain hingga tak boleh sembarangan dibongkar"
"Bagaimana dengan sahabat lelaki dari Nyonya Han itu" "
"Dia kedapatan pingsan di dalam rimba, katanya bekas disemerot dengan hawa gas beracun. Ketika dia ditolongi dan tersedar ia kasi keterangan bahwa ia tak ingat suatu apa."
"Aku tak percaya ceritera ini," si anak muda, berkeras.
"Ini ada pengalamannya Ah Tin dan ia telah ceritera sendiri kepadaku," terangkan si nyonya tukang ceritera.
Suaranya kira-kira tigapuluh penumpang gumbreng, satu pada lain mereka omongkan ceriteranya nyonya itu, mereka lantas menghubungi sama cerita-cerita dari Uauw Tjay. Lebih banyak orang yang percaya Nyonya Han ketemu setan dan diculik sedikit yang tidak percaya itu.
Leng In dan Hiang Kat tidak banyak omong, mereka lebih perhatikan itu lima penumpang baru.
Selagi kapal layar mendekati Sanmen-wan, segera tertampak sebuah kapal lain sedang berlayar di sebelah belakang, agaknya sedang mengikuti. Dalam tempo sepuluh menit, kapal itu telah datang lebih dekat, hingga dimuka kapal tertampak nyata belasan orang dengan tubuh kasar, diantaranya ada yang mengacungkan senapan.
"Berhenti!" demikian tanda perintah dari kapal di sebelah belakang itu.
Mereka sedang berada di laut yang sepi.
Semua orang kaget, apapula kapan tembakan terdengar, maka lantas saja uap perdebatan mereka tentang adanya setan atau tidak.
Menyusul tembakan itu, beberapa penumpang yang dicurigai itu sudah lantas bergerak; mereka loncat bangun seraya tangan mencabut pistol. Mereka serentak sambut tanda dari kapal pengejar itu.
Akan tetapi Hiang Kat sudah siap.
"Angkat tangan!" ia berseru. "Jangan bergerak! Aku memang sudah duga bahwa kau orang ada konco-konconya bajak!"
Kawanan bajak itu menyerah. Mereka tidak sangkah bahwa mereka telah ada yang dului.
"Di sini sempit pergi ke sebelah kanan sana! Hiang Kat menintah semua penumpang lainnya. "Aku hendak ringkus semua bajak ini".
Semua penumpang itu lantas berlalu dengan bererot.
Hiang Kat kosongi dek, supaya kapan ia perlu gunai senjata, ia tak akan bikin peluru nyasar kepada lain orang.
"Sekarang kau orang Pergi kau orang ke pojok sana" ia menitah lebih jauh.
Kawanan itu menurut, mereka berdiri berbaris.
Hiang Kat niat rampas orang punya senjata, ia hendak ringkus semua penjahat itu, tetapi ia sendirian saja, inilah sukar. Leng In tak tepat buat jadi pembantu dalam urusan begini, kanda misan itu ada terlalu lemah,
"Engko In, pergi kau kasi tahu kapten kapal supaya ia jangan takut bajak dan jalan terus," ia minta pada saudara misan itu, "Dan minta kapten itu kirim empat atau lima orangnya kemari, untuk bantu aku ringkus mereka ini!"
Leng In terima itu perintah, ia berlalu dengan cepat, meski dengan sedikit limbung. Pengalaman itu ada terlalu hebat bagi ia, Hiang Kat psang mata, ia menjaga dengan siap 'sama pistolnya,
"Lepaskan senjatamu!"
Hiang Kat dengar suara keren dari seorang perempuan, suara titahan untuk ia. Suara itu dibarengi sama sodokan dengan ujung revolver pada ia punya bebokong. Orang telah berada di belakang ia, hingga ia jadi tidak berdaya, Dengan terpaksa, ia lemparkan ia punya senjata api.
"Eh, Tay Kiong, jangan bengong saja" terdengar pula suara perempuan tadi. "Ini budak aku telah bikin tidak berdaya!"
Lima bajak itu lantas menoleh, malah Tay Kiong, si orang tinggi-besar dengan roman bengis, lantas samber revolvernya Hiang Kat, kemudian ia ajak kawannya pergi ke lain ruangan, untuk jalankan tugas mereka, akan kumpulkan semua penumpang, yang mereka terus kurung. Tubuhnya Hiang Kat terus digeledah oleh perempuan yang tidak dikenal itu, setelah itu, ia diperintah pergi ke pojok. Baharu sekarang ia bisa menoleh dan kenali si bajak perempuan adalah itu penumpang dengan kulit kasar dan hitam, tangannya mencekal sebuah revolver. Ia benar-benar tidak sangka bahwa perempuan ini ada konco bajak.
"Apakah nona tidak kenalkan bajak perempuan ini" " tanya penumpang yang kedua.
"Sayang, aku tak mendugah," Hiang Kat jawab.
"Dia ini naik bareng sama aku di Shanghai," kata si saudagar. "Siapa sangka ia ada kawan bajak. Dasar sia1 habislah semua barangku....."
"Barangku pun bakal habis....." mengeluh beberapa pesisir lain.
Itu waktu muncul kapten kapal dan Leng In, juga anak-anak kapal lainnya, di bawah ancaman Tay Kiong.
Ketiga layar sudah dikasih turun mesin telah dikasih berhenti, maka kapal layar lantas seperti berlabuh, hingga lekas sekali, ia kena disusul oleh kapal layar yang mengejar. Dan begitu lekas kedua kapal satu pada lain, kawanan bajak lantas pindah-pindahkan orang punya isi muatan.
Tay Kiong dan si bajak perempuan mulai geledah orang punya tubuh, akan rapas segala apa yang beharga, dan ketika mereka geledah Leng In dan Hiang Kat, dua bajak lain datang dengan perintah pemimpinnya. "Ketua kita ingin dua penumpang yang bikin perlawanan dibawa kekapal kita!"
Perintah ini diturut, Tay Kiong serahkan dua orang tawanan itu, untuk dibawa pergi, kemudian datang giliran si penumpang anak muda. Tay Kiong awasi ia dengan roman bengis.
"Sahabat, kau kenal Hiang Kat, In Hong dan Kat Po, bukankah kau ada konco mereka?"
"Bukan, bukan?" pemuda itu menyangkal, suaranya tidak lancar. "Aku tidak kenal mereka, satu pun tidak!"
"Toh tadi kau sendiri yang bilang, kau telah berdansa sama Hiang Kat dan kau bilang, Hiang Kat niat bikin habis semua orang jahat?"
"Tidak, itulah cuma sebab aku sedang mengebul. Aku cuma dengar ceritera tentang mereka, orangnya sendiri aku belum pernah lihat!"
"Kau ngebul untuk terbitkan bencana" menegor si pesisir yang kedua.
"Kau kenal atau tidak, kau tetap ada orang busuk!" kata Tay Kiong. "Kau harus dibawa ke kapal kita!"
"Ia tak punya hubungan sama In Hong, kasi dia ampun!" kata si bajak perempuan. Ia rupanya bisa kenali orang.
"Karena memandang kepada enso Hek ini, aku kasi ampun pada kau!" kata Tay Kiong. Tapi ia geledah orang punya tubuh dan buka orang punya baju luar dan stelan, hingga pemuda itu tinggal dengan pakaian dalamnya!
"Kau bukai orang punya pakaian, apa kau bukan hendak bikin dia mati kedinginan?" kata si saudagar, yang hatinya murah.
"Kau hendak belai dia?" Tay Kiong tanya. "Dia mampus kedinginan juga pantas! Awas aku juga nanti lucuti pakaianmu!"
Mendengar demikian, saudagar itu lantas tutup mulutnya.
Lekas sekali kawanan bajak sudah selesai pindahkan orang punya muatan, berikut dua orang tawanannya, dan Tay Kiong dan si nyonya muka hitam dan kasar adalah yang pindah paling belakang, kemudian dengan bunyikan tembakan, kawanan ini berangkatkan kapal mereka, meninggalkan mangsanya.
Selagi berlayar, Tay Kiong mengawasi kapal SHUEN FUNG kerek naik tiga layarnya dan mulai berlayar pula, ke arah selatan, ke Haimen, dan kapan kapal itu sudah tak tertampak bayangannya, ia putar kapalnya sendiri menuju ke Sanmen-wan.
Kepala bajak Tam Pit Sin, seorang kate-dampak dengan mata tikus, sedang duduk dengan anteng, mulutnya mengebulkan pipa.
"Pit Seng, Pit Kong, bawalah itu dua orang tangkapan ke mari!" demikian titahnya.
Dua anggauta bajak yang disebutkan, yang mukanya brewokan, ambil Hiang Kat dan Leng In dari mereka punya kamar tahanan yang sempit.
Pit Sin awasi dua kurbannya itu, dua-dua muda, cakap dan eilok. Mereka berdiri di hadapannya dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang,
"Nona" ia tanya, "kau bawa-bawa senjata api apa sebenarnya kerjaan kau!"
"Senjata api untuk dipakai buat keperluan sendiri," Hiang Kat jawab.
Pit Sin mengawasi orang punya pakaian, yang sederhana. Orang dengan dandanan demikian macam tak selayaknya membawa senjata api, kecuali mereka ada hamba polisi atau detektif.
"Jikalau kamu tidak beritahukan tentang dirimu yang sebenarnya, kita akan hukum mati pada kau!" kepala bajak itu mengancam. "Kasi tahu kau orang punya she dan nama dan siapa diri kamu orang. Jikalau kauorang bicara sebenarnya, barangkali kau orang masih bisa hidup".
Leng In gemetar saking kuatir, ia punya mata mendelong mengawasi adik misannya, ia harap saudara ini suka berikan jawaban dengan terus-terang.
Hiang Kat sebaliknya berpemandangan lain daripada kanda misannya itu. Ia tahu, satu kali ia perkenalkan diri, sang kanda bisa jadi akan turut binasa seperti dia. Ia tahu benar, bangsa "telur busuk" pandang ia sebagai satru besar.
"Kau orang ingin ketahui tentang diri kita, itu tidak sukar," sahut si nona, yang ingin bajak merdekakan ia dan Leng in, perkara ada dibelakang. Ia bicara secara menghina. "Tapi kau orang bernyali kecil bagaikan tikus, aku kuatir nama kita nanti bikin pecah nyalimu!"
"Hm! Kau ada orang besar bagaimana sih. Cara bagaimana namamu akan bikin kita kaget hingga nyali kita pecah?"
"Kalau nyalimu bukan seperti nyali tikus, kenapa kau takuti kita" Perlu apa kedua tangan kita ditelikung" "
Kalau si kepala banyak bicara secara adem, Hiang Kat secara menghina.
"Kauorang, semua nampaknya sebagai hrimau yang garang, siapa nyana nyalimu adalah nyali tikus!" demikian si nona, dengan ejekannya, "Lepaskan ikatan mereka," menitah si kepala bajak. "Aku mau lihat, apa mereka bisa bikin!"
"Jangan, ia jangan dilepaskan belengguannya!" kata anggauta bajak Yam Pit Seng, "Ia ada begini tenang, ia tentu bukan orang sembarangan. Siapa tahu kalau dia ada salah satu dari tiga bandit perempuan yang tersohor."
"Benar !" Tay Kiong nyeletuk. " Jangan-jangan dia Hiang Kat , adanya "
"Benar atau bukan, dia harus ditembak mampus!" kata Pit Kong. Kita orang mesti babat rumput berikut akarnya, untuk mencegah bencana dibelakang hari."
"Lebih baik gayor mereka ke laut!" kata Ngo-so, ialah si nyonya yang mukanya hitam dan kasar. "Dengan tangan tertelikung, tidak nanti, mereka bisa hidup lagi.."
Kepala bajak itu awasi Hiang Kat dan Leng In bergantian.
"Hm! Hm!" ia berulang-ulang kasi dengar suaranya, yang seram.
"Hm, hm..." Hiang Kat juga perdengarkan hinaannya. "Lihat, belum sampai aku perkenalkan diri, kauorang sudah ketakutan tra keruan! Coba aku sebutkan she dan namaku, apa kauorang tak akan kaget dan mampus karenanya" "
"Nona, baiklah kau sebutkan namamu dan hal-ihwalmu juga," kata si kepala bajak, yang coba berlaku sabar. "Kalau tidak, kita orang akan terpaksa tembak pecah kepalamu!....."
"Aku sudah bilang nyali kau orang kecil bagaikan nyali tikus!" Hiang Kat ulangi. "Kauorang tak berhak untuk jadi bajak! Terang kauorang tak berani merdekakan tangan kita!.....
"Lepaskan belengguan mereka!" Pit Sin berseru. Ia gusar karena orang sangat memandang enteng kepadanya. "Kitaorang tidak takut! Merdekakan dia, merdekakan!"
Ejekannya Hiang Kat telah memberikan hasil, Pit Sin punya hati kena dibikin panas. Tapi Pit Seng dan Pit Kong, Hek Ngoso dan Tay Kiong, menentangi.
"Jangan, itulah berbahaya," mereka kata.
Akhirnya kepala bajak itu anggap, memang ada berbahaya akan kasi tinggal hidup pada itu dua tawanan,
"Nona, kau menbandel, menyesal terhadap kita mesti ambil tindakan!" achirnya kata pemimpin ini. Ia telah tarik keluar revolver dari saku celananya, Hiang Kat lihat jiwa mereka berdua terancam, karena tidak ada lain jalan lagi, dengan mendadakan ia dupak Leng In, sampai kanda itu terpelanting kecebur ke laut, sedang ia sendiri menyusul dengan dengan terjunkan dirinya. Hingga sekejab kemudian, tubuh mereka sudah lenyap dari permukaan air, terbawa oleh arus laut.
Kejadian ini ada diluar dugaan, semua bajak tercengang, ketika mereka tersadar, mereka menembak ke arah laut dengan sia-sia saja.
"Mereka beruntung!" kata si kepala bajak.
"Mereka tidak binasa di ujung revolver, mereka mampus di perut ikan!" kata Hek Ngo so
Kapal berlayar terus, sampai di pantai Sanmen-wan dimana ada rumah-rumah di sepanjang tepi laut. Pit Seng, Pit Kong, Tay Kiong dan Hek Ngo so berempat tinggal di dalam salah satu kampung di situ. Diatas kapalanya, kawanan bajak itu memecah bahagian, kemudian mereka mendarat, pulang berpencarana ke masing-masing rumahnya.
Bagian II Hiang Kat di dalam laut bergulet sama malaikat el-maut, ia coba lepaskan diri, ketika ia timbul, ia celentang di muka air dan menggayu dengan kedua kakinya, Dengan ini jalan ia bisa bikin mukanya berada di atas air, hingga ia bisa bernapas dari hidung dan mulut, cuma berenangnya tidak cepat. Sukur gelombang tak dibantu oleh angin besar. Ia pun percaya Leng In punya kepandaian berenang ,akan bisa menolong dirinya. Hanya, di muka air, ia tak tampak iapunya kanda misan itu. Hanya jauh sekali, 1a nampak suatu benda kecil yang mengambang, hingga ia menduga itu adalalh sang kanda itu.
Lama-lama benda hitam itu datang semakin dekat. Hiang Kat terus mengawasi, sampai ia kenali bukan si kanda misan, hanya seekor ikan besar. Ia kaget, hatinya mencelos. Kalau itu ada ikan cucut! Ia tentu akan jadi dedaharannya ikan itu!
Tiba-tiba binatang laut putar haluan.
Hiang Kat tidak tahu, kenapa ikan itu tinggalkan jurusannya tetapi ia merasa lega bukan main, ia hanya duga, di sebelah sana tentu ada makanan lain untuk ikan itu.
Ia terus berenang sambil celentang atau diam mengambang, antap sang ombak gempur ia, sampai ia lihat sebuah perahu layar lagi mendatangi. Ia tunggu sampai mereka sudah terpisah cukup dekat, lantas ia berteriak minta tolong.
Dari dalam perahu ada orang yang menggape-gape, perahu itu sendiri jalan terus, kemudian selembar dadung (tali besar (untuk menambat kerbau, lembu, dsb) edtr) dilemparkan. Dengan kakinya, Hiang Kat samber dadung itu, maka segera juga ia punya tubuh kena dibetot, maka di lain saat orang telah angkat ia naik ke atas perahu, ikatannya dibukakan,.
"Hiang!" demikian satu suara memanggil.
Hiang Kat menoleh untuk kegirangannya, ia tampak Leng In duduk diatas perahu, tubuhnya memakai baju dan celana pinjaman.
"Oh, Engko In kita beruntung!" kata nona ini " kita orang telah terlupt dari bahaya maut, Apakah kau juga tertolong oleh perahu ini" "
Leng In manggut. Lantas Hiang Kat haturkan terima kasih pada tiga penghuni perahu, seorang tua, setengah tua dan muda juga satu nyonya setengah tua.
Tiga penghuni itu, enkong anak dan cucu, ada orang-orang dengan hati mulia, sedang si nyonya sudah lantas pinjamkan satu perangkat pakaiannya, untuk Hiang Kat salin, hingga pakaiannya sendiri, bersama-sama pakaiannya Leng In, bisa digarang di dapur.
"Apakah kau orang hendak menuju terus ke Haimen ?" tanya siorang tua.
"Benar," Leng In manggut.
"Kalau begitu kau orang baik turut kita pergi ke dusun Haiwan chun di Sanmen," kata si orang setengah tua, "nanti di kota Sanmen, kau orang boleh bermalam, besoknya dengan ambil jalan darat, kau orang menuju langsung ke Haimenn,"
Leng In manggut-manggut. "Terima kasih," ia bilang.
Maka di bawah matahari lohor, kendaraan air itu menuju ke Haiwan-chun, Di tepi laut di dusun Haiwan-chun ada sebuah rumah makan yang menjadi tempat berkumpulnya segala nelayan atau penduduk lainnya di dusun itu. Tetapi pada hari itu, di sebuah meja lain, ada tambahan dua tetamu asing. Ialah Hiang Kat dan kanda misannya, Leng In. Mereka telah pakai mereka punya pakaian biasa, yang kering bekas digarang, maka bisa dimengerti, pakaian itu ada lecek tidak karuan, Mereka pun datang dengan perut kosong dan tubuh kedinginan, Maka mereka lantas minta makanan berikut arak kuning, guna bikin angat perut. Mereka pesan daging dan daging ayam.
Dengan ini jalan, mereka bisa lenyapkan rasa lapar mereka.
"Dari sini ke kota Samen katanya ada duapuluh lie lebih, itu artinya kitaorang mesti jalan kaki buat tiga jam kurang-lebih," kata Leng In pada kawannya. Ia punya jam tangan telah mengunjuk jam 8.15. Kalau kita sampai di kota, tentu sudah mendekati tengah malam!"
Hiang Kat manggut, "Ketika kawanan bajak bekuk kita, mereka sudah alpa akan geledah dahulu pada kita," kata nona ini, "maka meskipun uang kertas kita telah basah tapi kita masih ada punya pena, jam tangan dan uang perak, hingga meskipun harga uang kertas boleh jatuh, milik kita ini masih tetap berharga. Kita jadinya masih ada punya ongkos untuk di jalanan..."
"Eh, tuan rumah, masih ada tempat kosong atau tidak" Tiba-tiba terdengar suara orang perempuan di ruangan luar,
"Di luar sudah penuh semua, di dalam masih ada," sahut tuan rumah. "Silahkan masuk ke dalam!"
"Tldak Di dalam ada sempit dan hawanya mengkedus, kita lebih suka di luar!" sahut satu suara orang lelaki.
"Dengar, Engko In, kita ketemu musuh kita!" kata Hiang Kat dengan pelahan pada engko misannya. "Itu ada suaranya Hek N go-so dan si Pit Seng..."
Leng In terperanjat tetapi ia diam saja.
"Tetapi di luar sudah penuh," kata tuan rumah. "Kauorang lihat saja sendiri. Di dalam ada tiga buah meja, yang dua masih kosong.....
"Kitaorang ada langganan lama, apa kau tidak bisa minta salah satu pindah ke dalam" " kata suara seorang lelaki ain, "Minta tolong sebuah meja untuk kita! Kita orang paling suka duduk di luar!"
"Yang datang kemari, ada langganan," kata tuan rumah. "Siapa yang aku mesti minta pindah" Baiklah kauorang sendiri yang berdamai sama salah satu tetamu, barangkali ada yang sudi mengalah....."
"Engko In, itu ada suara kurang ajar dari si Tay Kiong," Hiang Kat kata, seraya ia menghampirkan pintu dan moeilie ia singkap untuk ia mengintip, hingga sekarang ia dapat kepastian, mereka itu ada si bajak- bajak Pit Seng, Pit Kiong, Hek ngo so dan Tay Kiong. Mereka itu lagi berebut mulut sama tiga tetamu yang duduk pada sebuah meja, yang mereka itu mohon suka mengalah.
"Benarkah mereka, Hiang?" tanya Leng In, ketika Hiang Kat kembali ke mejanya. Ia kerutkan alis, ia menanya dengan pelahan.
Adik misannya itu manggut.
"Kau tidak punya senjata api, mereka ada punya, inilah yang berbahaya," kata Leng In. "Kita justeru ada bekas mangsanya yang mereka niat bikin mati. Kita sekarang bertemu sama mereka, apakah mereka mau mengerti" Bagaimana, Hiang pikiranmu?"
Suaranya pemuda ini mulai menggetar.
"Coba ada In Hong atau Kat Po di sini, biar mereka bersenjata lengkap, kita orang tak usah kuatir," Hiang Kat jawab, "Sayang kepandaianku tak ada seperti kepandaiannya ia orang berdua. Umpama aku bokong mereka, berdua, paling bisa aku rubuhkan dua, yang dua lagi bisa menembak aku. Atau umpama aku beber rahasia mereka didepan orang banyak ini, belum tentu ada yang berani turun tangan, mereka tentu berani menembak kita."
Leng In meringis, tubuhnya bergemetar,
"Paling bagus kalau kita bisa menyingkir dari mata mereka. Atau kita lihat gelagat saja. Engko In, kau harus tenang!.."
"Hatiku justeru susah dibikin tenteram," sang engko aku. "Diluar tak ada meja kosong, mereka tentu bakal masuk kemari"."
"Mereka tak sukai ruangan dalam, belum tentu mereka akan masuk kemari?"
"Baik kita lekas bayar uang makan dan diam-diam kita orang angkat kaki"."
"Disini tidak ada jendela untuk keluar, kita mesti jalan kedepan. Mana bisa" Maka baiklah kita menunggu di sini. Kau sabar?"
Leng In berkuatir, sampai lenyap napsunya berdahar.
Hiang Kat coba kendalikan diri, ia dahar dengan pelahann. Ia kalah sabar daripada In Hong akan tetapi tak sembarang orang bisa melebihi ia.
Tiga tetamu diluar ada orang- orang halus, akhirnya mereka mengalah juga dan pindah ke dalam; mereka tak mau adu tenaga sama orang-orang kasar itu.
Dan Tay Kiong berempat sudah lantas gegares dengan bernapsu sekali, saban-saban mereka keringkan cawan arak mereka.
"Tay Kiong, apa kau ingat itu dongengannya si bujang perempuan di atas kapal" " tanya si enso kulit hitam dan kasar.
"Lelakonnya itu setan bangsa Boan yang culik orang di dusun Haiwan-chun ini" " tegaskan Tay Kiong. "Aku mau percaya ceritera itu Aku sendiri, pada suatu malam, pernah lihat setan itu, hingga aku kaget dan kabur, tetapi ia mengejar, sukur aku bisa lari lebih keras, kalau tidak, aku bisa jadi kurbannya seperti Nyonya Han itu."
"Eh, Tay Kiong kau pun pernah ketemu setan itu" " Hek Ngo-so tegasi. "Memang, ceriteranya itu bujang perempuan bukan dongeng belaka, malah aku pernah ketemu sampai dua kali dengan memedi itu, kira-kira di bulan empat atau lima yang baharu lalu?"
"Kira-kira di bulan empat atau lima?" Tay Kiong ulangi, "Kejadian atas, dirinya Nyonya Han ada di muka bulan enam dan kita ketemu dia kira-kira di bulan empat atau lima, nyata iblis itu ketagihan manusia!..."
"Ketika aku ketemu setan itu aku belum tahu halnya si Nyonya Han," Hek Ngoso lanjuti keterangannya. "Itu ada malam yang gelap dan sunyi. Pertama-tama sedangnya aku jalan di jalanan yang becek akan pergi ke kota, tiba-tiba aku dengar suara 'hu, hu, hu' dan 'hang, hang," berulang-ulang. Karena suara aneh itu, aku menoleh ke belakang, di dalam cuaca yang gelap, samar-samar aku lihat si setan yang dandan sebagai satu pembesar Boan, ia terus kejar aku, hingga aku lantas lari. Sembari lari, aku liamkeng. Doaku itu bisa mengusir setan, iblis itu tidak terus kejar aku, hanya ia lari masuk ke dalam sebuah kuburan..." Hek Ngo-so keringi iapunya cawan. "Ketika kedua kalinya aku ketemu setan itu, ia pun kembali lari ke dalam kuburan karena aku liamkeng pula..."
"Apakah kauorang ceritera halnya Nyonya Han si buyut perempuan dari keluarga Kiong di ujung Haiwan-chun" " tanya Pit Kong sambil ia geragoti sepotong paha ayam.
"Apakah kau pun ketahui kejadian itu" " tanya Hek Ngo-so.
"Tentang itu nyonya diculik iblis memang benar permulaannya ada sedikit orang yang mengetahuinya, akan tetapi sekarang sudah hamper semua orang..." kata Pit Kong.
" Penduduk sini sudah banyak yang di tengah malam buta-rata dapat lihat setan Boan itu-ia pakai kopia batok dengan runce merah, menyeret tauwcang yang panjang, bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Ia mirip dengan pembesar Boan yang meninggal pada beberapa puluh atau seratus tahun yang lampau, sebagai iblis sekarang ia suka muncul dari liang kuburnya, ia menjadi siluman?"
Lantas omongan itu jadi buah pembicaraan lain-lainnya tetamu.
"Kemarin dahulu malam jam empat juga tetanggaku, Tie Ah Hok, yang tinggal dekat rimpa pada Keluarga Kiong itu, telah menemui itu iblis jangkung yang menakuti. Ia hendak lari, tetapi sudah tidak keburu, tangan yang dingin adem dari iblis itu telah merabah ia punya muka, sampai ia bergidik dan pingsan, ketika kemudian ia mendusin, matahari sudah naik di timur. Segera ia dapat kenyataan yang ia telah rebah menggeletak didekat sebuah kuburan. Rupanya setan itu kesiangan, hingga ia tak keburu bawa masuk Ah Hok ke dalam liang kuburan. Kabarnya, Nyonya Han itu telah dibawa masuk ke dalam kuburan itu. Ah Hok ada sangat ketakutan, ketika pulang, ia jatuh sakit, sampai sekarang, ia masih belum sembuh?" demikian satu orang.
"Turut apa yang aku dengar," berkata Pit Seng, "mengenai lenyapnya Nyonya Han itu, polisi setempat sedang membikin pengusutan. Tapi segala gentong nasi itu tak mampu peroleh kemajuan, kalau pihak pengadu mendesak, mereka baru bekerja keras, kalau tidak, mereka turut kendor sendirinya. Aku sendiri, aku tidak percaya orang hidup bisa dibekuk setan dan dibawa masuk ke dalam kuburan, Hanya memang benar, lenyapnya Nyonya Han itu ada suatu rahasia.....
"Semua orang percaya adanya iblis itu di Haiwan-chun ini, malah pernah ada yang lihat, cuma kau sendiri yang tak percaya, itu tak akan menjadi sebab yang si iblis akan tak muncul lagi!" berkata Pit Kong, "Aku tak takuti liang aku tak jerihkan bumi, tetapi aku justeru takut setan... Eh, enso Hek, kaupunya doa itu benar atau tidak ditakuti setan" Kalau benar, tolong kau ajarkan aku....."
"Kenapa tidak" Asal setan dengar doaku, ia akan ada seumpama tikus yang melihat kucing!"Hek Ngo-so tetapkan.
"Baiklah, mulai besuk, aku akan belajar dari kau!"
"Malam ini tak ada bintang, tak ada rembulan, setan itu pasti bakal muncul!" kata satu tetamu. "Maka marilah kitaorang pulang siangan sedikit!"
Ini kata-kata telah memberi pengaruh, lantas saja ada tetamu yang membikin perhitungan sama tuan rumah makan.
Setengah lie jauhnya dari rumah makan itu ada sebuah kali kecil, ini ada kali atau muara yang nembus ke laut, tetapi ujungnya kali itu menyambung jauh ke pegunungan Thian Tay San.
Satu tetamu telah mengawasin ke jurusan kali itu, ia lihat satu bayangan berjalan di tepi kali itu. Bayangan itu ada membawa satu tengloleng, jalannya terbongkok-bongkok. Tengtoleng itu tidak terang, tetapi di tempat gelap, cahayanya ada cukup.
Beberapa tetamu lainpun lantas dapat lihat bayangan itu, ia terbongkok-bongkok karena ia ada gendol suatu apa di bebokongnya, sedang tangannya yang lain ada memegangi payung. Gendolan itu ada besar. Ia jalan digili-gili sebelah kanan.
Sebagai juga bayangan itu ada tontonan, orang pada mengawasi terus.
Tiba-tiba sedikit jauh dibelakangnya itu bayangan, ada muncul satu bayangan lain. Ia ini ada tinggi dan besar. Orang punya perhatian tidak sangat tertarik sampai satu perbuatan ada mengambil tempat. Bayangan yang pertama lari, dan yang belakangan mengejar.
"Lihat, lihat!" beseru tetamu yang pertama, suaranya ada suara dari orang yang kaget. "Itulah si setan orang Boan! Ia sedang kejar itu orang yang bawa gendolan!..."
Di rumah makan itu ada lebih dari duapuluh tetamu, mereka semua pada berjubelan di pintu, untuk menyaksikan. Benar mereka lihat bayangan yang membawa lentera lagi berlari-lari, di belakangnya mengejar bayangan yang tinggi dan besar. Semingkin lama orang melihat semingkin tegas. Bayangan tinggi-besar itu tidak pakai setelan, tidak pakai thungsha, hanya ia pakai baju gerombongan, pakaian pembesar di jaman ahala Ceng, seperti kopianya ada kopia batok yang pakai runce merah, dibawahnya kopia itu ada terumbang-ambing cacingnya yang panjang. Itu ada pakaian pembesar Boan dari puluhan atau ratusan tahun yang telah silam!
Karena sinarnya tengloleng, karena setan itu menguber semingkin dekat, maka orang bisa lihat kopia dan pakaiannya dengan terlebih nyata. Pun kopianya saja sudah cukup untuk mengenali padanya!
'Itulah si setan pembesar Boan" banyak orang berseru.
Suasana ada genting, apapula kapan orang lihat sibayangan
pertama telah kecandak, tubuhnya disamber, terus dikelek, dibawa lari.
"Tolong!..." demikian ada jeritan samar-samar yang orang dengar.
Setan itu kabur dari gili-gili kanan ke gili-gili kiri, ketika api tengtoleng padam, ia seperti lenyap dari pemandangan, suaranya si kurban pun tak kedengaran lagi.
Apa yang toh orang dengar kemudian ada suara lapat-lapat:
"Hu, hu, hu"Hang, hang, hang!"
"Itu kali tak ada jembatannya, kalinya pun lebarp!" kata satu tetamu selagi orang agaknya heran dan bingung dan takut juga, "Kenapa itu setan bisa lompat sebrangi kali itu?"
"Jangan lupa bahwa dia ada satu setan!"kata satu tetamu lainnya lagi. "Setan tak membutuhkan jembatan, dia bisa kemana dia suka!"
"Coba kita lihat, kali itu benar ada jembatannya atau tidak!" kata satu tetamu yang sudah jadi kurbannya air kata-kata "Umpama benar tidak ada jembatannya dan dia benar menyebrang sambil berlompat atau terbang melayang, dia benar ada satu setan"
Tapi beberapa tetamu sudah lantas lari keluar. Sedang mereka yang bimbang, pada balik ke meja mereka.
Didalam kamar, semua tetamu telah dengar suara ramai-ramai diluar itu, mereka heran dan terperanjat. Hiang Kat dan Leng In tak terkecuali. Mereka juga pergi keluar. Hanya ketika apinya kurban setan itu padam, mereka telah kembali ke dalam.
Dari tiga tetamu itu, Hiang Kat dapatkan yang dua ada punya lampu batre. Lampu macam itu ia butuhkan. Maka ia samperin itu tetamu dan minta bagi satu di antaranya, ia kasi tahu bahwa ia berdua perlu melakukan perjalanan malam. Tetamu itu akur akan jual satu lampunya malah ia pun bersedia akan tukarkan uang kertas, yang ada perlu buat Hiang Kat berdua, pakai di dalam perjalanan.
Sementara itu, beberapa tetamu yang berani itu, sudah balik dari pemeriksaannya.
"Benar kali itu tidak punya jembatan dan lebarnya pun ada kira-kira dua tumbak," kata seorang diantara mereka."Tidak salah lagi, bayangan tinggi besar itu ada satu memedi"."
"Siapa itu bayangan yang lagi apes?" tanya seorang lain.
Tapi hati orang ada tidak tenteram, satu per satu, tetamu pada berlalu. Pun tiga tetamu yang bersantap didalam, sudah keluar.
Hiang Kat lihat Tay Kiong berempat, yang rupanya sudah minum cukup banyak, masih belum niat angkat kaki. Meski begitu, ia telah ambil putusan.
"Engko In, sekarang sudah waktunya kita berangkat," kata ia.
"Di antara mereka berempat, tiga sudah sinting, aku percaya aku sanggup melayani mereka. Umpama kata aku mesti tempur mereka, kau sendiri boleh loloskan diri, lari terus di itu sepanjang jalan ke arah kota, nanti aku susul kau,"
Leng In menurut, maka mereka lantas bayar uang makanan.
Meja di mana Tay Kiong dan kawan-kawannya duduk adalah meja yang harus dilewati oleh Hiang Kat berdua kalau mereka ini hendak keluar, empat orang itu sudah minum banyak tetapi Pit Seng masih sedar, sedang duduknya pun madapi pintu kamar, Maka di saat Hiang Kat menyingkap moeilie dan ia muncul bersama Leng In, bajak ini sudah lantas lihat mereka, malah mereka segera dikenali.
"Binatang" bajak itu berseru sambil ia berjingkrak bangun.
"Kiranya kauorang belum mampus dan masih ada di sini Kauorang tak bisa dapat ampun lagi"
Sembari berseru begitu, ia rogo sakunya, untuk keluarkan senjata apinya.
Hiang Kat tidak layani orang adu mulut, pesat luar biasa, ia loncat ke depannya bajak itu sambil kepelannya dikasi melayang, untuk tidak kasi ketika orang cabut senjatanya, maka sambil menjerit, Pit Seng rubuh terbanting.
"He, siapa yang belum binasa" " tanya Tay Kiong dengan tingkahnya si orang sinting, sebelum kawannya terguling.
"Tak perduli siapa, mari keringin lagi beberapa cawan" menyahut Hek Ngo-so, yang sama sintingnya seperti si adat kasar.
Pit Kong telah berbangkit, tangannya merogo ke saku. Tapi Hiang Kat, sambil memutar tubuh, berikan ia bogem mentah.
Kepelannya nona itu tidak sekeras kepelannya In Hong atau Kat Po, tapi toh Pit Kong mesti rubuh terpelanting sebagai Pit Seng.
Itu waktu Leng In lari keluar.
"Kurang ajar! Aku kira siapa, tak tahunya mereka ini belum mampus..." Tay Kiong berseru kapan ia insaf akan keadaan. Ia pun segera merogo ke sakunya.
Pit Seng rebah dengan kesakitan dan kepala pusing, meski demikian, Ia tak lupai iapunya senjata api, benar waktu ia sudah keluarkan itu dan hendak menjuju, dupakannya Hiang Kat bikin senjatanya itu terlepas dari tangannya, terlempar ke pojok di kolongnya sebuah meja.
Hiang Kat gunai ketikanya akan loncat keluar, akan lari ketika ia tampak Leng In sedang kabur, ia lantas menyusul.
Pit Kong sudah bangun, ia memburu keluar, dari depan pintu rumah makan, ia menembak ke jurusannya si nona tetapi tidak ada hasilnya, Pit Seng telah pungut revolvernya, ia turut memburu keluar, dibelakang ia ada mengikuti Tay Kiong dan Hek Ngo so.
"Eh, kau orang belum membayar!" berseru tuan rumah, yang sedari tadi bengong bahna kaget.
Tapi empat bajak itu tak meladeni, atau tak mendengar, mereka terus lari mengejar.
"Empat orang itu aneh ada waktunya mereka mewah sekali ada waktunya merasa sangat melarat, aku telah duga mereka bukan orang baik-baik, sekarang dugahanku itu berbukti..?" demikian tuan rumah ngaco senderian sambil ia berdiri didepan pintu, mengawasi jauh ke tempat gelap.
Pit Seng berempat tidak berhasil menyusul Hiang Kat berdua, dengan mendongkol dan uring-uringan mereka lantas ngeloyor pulang.
Hiang Kat berdua Leng In telah kesasar. Dalam gelap gulita, Leng In tak dapat perhatikan jalanan, benar mereka lolos dari tembakan-tembakan dan pengejaran tapi sekarang mereka bukannya menuju kearah kota. Baharu setelah tidak ada yang uber, Hiang Kat berhenti berlari dan gunai batre, akan menyuluhi jalanan. Mereka berada di tegalan dekat kali.
Mari kita menuju ke selatan," kata Hiang Kat kemudian. Ia sekarang ingat pengunyukannya tuan rumah makan.
Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini hari, dari pagi sampai malam, kita saban-saban hadapi bencana, " kata Leng In.
"Sekarang bencana telah lewat," Hiang Kat bilang, ia jalan berendeng sama itu kanda misan, "Sesampainya dikota, kit cari hotel untuk beristirahat, disitu aku nanti tulis surat untuk In Hong dan Kat Po, supaya mereka datang kemari. Kawanan bajak itu mesti ditumpas, untuk tolong orang banyak."
"Tapi aku merasa seperti juga bencana belum lewat," kata Leng In, ia masgul dan tak gembira, ia berpikiran pendek. "Nasib kita begini malang, siapa tahu kalau kita ketemu sama itu setan dengan dandanan seperti pembesar Boan "...."
"Aku tak percaya setan, apapula setan seperti setan Boan ini," kata Hiang Kat, "Kita tunggu datangnya In Hong dan Kat Po, kemudian sekalian kita nanti cari tahu juga tentang setan ini?"
Disitu, dekat kali, ada sebuah kuburan, di belakang kuburan itu, ada duduk numprah si setan yang dandan sebagai pembesar Boan, tongkrongannya merupakan satu bayangan besar dan tinggi. Malam ini ia keluar dari 'sarang'nya, ia telah bekuk si orang yang menenteng tengloleng dan menggendol buntalan, rupanya ia belum puas, maka ia masih menunggu lain-lain kurban. Ia dengar suaranya itu sepasang anak muda ia lihat tubuh mereka. Lalu, setelah mereka lewati ia, dengan mereka tak dapat lihat padanya, ia berbangkit, ia mengekor di belakang mereka itu...
"Kenapa kau tak percaya" " Leng In tanya. "Tadi dari rumah makan kita toh lihat sendiri setan itu telah bekuk orang" "
"Toh masih belum bisa dipastikan dia ada setan" kata Hiang Kat. "Bayangan itu ada tinggi dan besar, ia mirip dengan orang biasa!"
"Orang" " Leng In agaknya merasa aneh. "Cara bagaimana dia bisa kelek satu orang dan lari melewati kali seperti ia lari di tanah datar, hingga ia tak membutuhkan jembatan" Bagaimana kau mengartinya ini" "
"Untuk sementara, aku belum bisa mengartikannya," Hiang Kat jawab, Mereka jalan terus. Kadang- kadang Hiang Kat gunai lampu batrenya memandang ke depan, ke kiri dan kanan. Ia tak nyalahkan terus lampu itu, karena iaorang punya perjalanan masih duapuluh lielebih, ia kuatir kehabisan.
"Eh, Hiang," kata Leng In, setelah mereka jalan sedikit jauh, "aku merasa, kecuali suara tindakan kaki kita, ada kaki dari orang yang ketiga di sebelah belakang kita.."
Diluar keinginannya, pemuda ini bergidik.
"Kau menyangka, itu setan" " Hiang Kat tertawa. "Kau anggap setan sudah menguntit dibelakang kita" Nanti aku suluhkan, benar ada setan tidak di belakang kita.....
"Jangan, jangan Hiang, jangan suluhkan!" Leng In mencegah. Dan ia coba rampas lampu batre dari tangannya adik misan itu. Kita jangan ganggu padanya, Dia barangkali tak akan ganggu kita... Hayo jalan lekasan"
Hiang Kat lantas ratakan tindakannya sama tindakannya Leng In, dengan begitu, meskipun mereka berdua, tindakan mereka jadi. seperti tindakannya satu orang, maka sekarang ia pun dengar ada tindakan lain, benar di belakang mereka, dan menurut suaranya, suara itu tak terpisah jauh,
"Hiang, dengarlah..,"
Suaranya Leng In tidak tegas tubuhnya gemetar.
Hiang Kat berhenti. Leng In ikuti ia, ketika tindakan kaki mereka tidak bersuara, suara yang ketiga pun tidak ada. Tapi, asal mereka bertindak, suara itu terdengar pula.
"Enko In, mari itu lampu batre," Hiang Kat meminta. "Aku hendak menyuluhi untuk itu orang lain," tetapi ia tak berani menoleh untuk melihat, hatinya goncang keras.
Hiang Kat tidak mau mengerti. Ia ulur tangannya, maka dilain pihak, lampu batre sudah lantas terampas dari Leng In, siapa telah menoleh ketika Hiang Kat sudah lantas pencet knop lampu itu.
"Ayoh!" berteriak Leng In, yang terpaksa turut menoleh ke belakang.
Di antara terangnya sorot lampu batre, mereka lihat satu setang yang tinggi dan besar, kopianya pakai runce merah, jubanya gerombongan dan terlapis, di lehernya ada tergantung kalung mutiara. Itu ada si setan dengan dandanan cara Boan yang menambah menakuti adalah orang punya muka lonjong dan jelek sekali, jidatnya jantuk dibahagian atas dan bahagian bawahnya rata sama muka. Disebelah hidungnya melesak, matanya pun celong, mukanya kuning seumpama kertas kuning. Sepasang matanya yang celong itu ada hitam bijinya dan bersinar tajam, diatas itu ada
sepasang alis yang hitam dan gompiok. Iapunya mulut lebar seperti sekup.
Leng In berniat lari, apamau kedua kakinya tak sudi turut perintah, maka ia berdiri bengong saja.
Hiang Kat pun kaget tetapi ia coba kendalikan diri, ia berdiri di samping si kanda misan, siap untuk berkelahi.
"Hoe, hu, hu! Hang, hang, hang!" demikian setan itu keluarkan silaranya, yang biasa. Sembari bicara, ia maju setindak demi setindak, mendekati dua orang it n, Segera Hiang Kat tolak tubuh kandanya, setelah mana, Leng In jadi bisa geraki kedua kakinya, maka, tidak tempo lagi, ia terus lari, meskipun dengan limbung.
Kapan setan itu lihat Leng In lari, ia berlompat, beberapa kali, hingga ia sampai di depannya Hiang Kat, Tapi nona papak ia dengan satu dupakan.
Setan itu awas matanya dan gesit tubuhnya, ia lompat mumdur untuk serangan itu, kemudian ia maju pula, akan samber orang punya kaki.
Hiang Kat telah tarik pulang kakinya, waktu tubuh setan maju, ia geser sebelah kakinya ke samping dan kepalanya menyamber ke pinggang.
Lagi-lagi setan itu bisa egos tubuhnya.
Itu waktu, Leng In telah lari terus, hanya setelah sedikit jauh, ia berhenti, putar tubuhnya dan menoleh, dengan lampu batre, ia menyuluhi, maka ia bisa lihat Hiang Kat sedang bertempur seruh sama setan itu. Tapi tidak lama, ia terperanjat. Ia lihat si setan ulur tangannya yang panjang ke arah mukanya iapunya adik misan, tangan itu seperti dikebut atau diusapi, atas mana Hiang Kat, yang tak keburu kelit atau loncat, lantas saja rubuh. Maka si setan lantas berdongko akan samber orang punya tubuh, diangkat terus dibawa lari, bukannya untuk menyingkir, hanya ke jurusan si anak muda..
Leng In kaget dan ketakutan, buat dirinya sendiri, buat adik misannya.
Ia tahu boegee dari Hiang Kat sudah cukup sempurna, tapi sekarang nona itu kena dirubuhkan, oleh karenanya ia percaya, musuh itu benar bukan orang biasa, hanya setan. Kalau si adik kalah, apa ia sendiri bisa berbuat" Maka, mau atau tidak terpaksa ia putar tubuhnya, akan lari sekeras-kerasnya ia bisa. Ia kabur sambil berteriak-teriak minta tolong. Ia merasa bahwa ia lari sangat keras, akan tetapi, setan itu bisa lari terlebih keras pula. Baharu tiga menit, rasanya setan itu sudah datang dekat sekali kepadanya. Benar dalam itu saat yang berbahaya, ia tinggal dijambret saja atau dari sebelah depan ada mendatangi belasan hweeshio bersama dua kacungnya, yang menggotong suatu apa, rupanya mereka habis menjalankan upacara di suatu rumah. Mereka itu dengar teriakan, mereka lari memburu. Atas ini, setan itu beilok ke samping dan lari terus akan menghilang di tempat yang gelap.
Hatinya Leng In menjadi lega, dengan napas sengal-sengal ia menoleh dan menyuluhi, maka itu, ia masih bisa lihat tubuhnya Hiang Kat dibawa lari si setan yang sekali sudah pergi jauh.
"Ada kejadian apa eh" " tanya satu hweeshio.
"Adik misanku perempuan diculik si setan pembesar Boan.." sahut Leng In. "Tolong, suhu, tolong kejar mereka, akan tolongi adikku itu!....."
Tapi mendengar disebutnya setan itu, semua hweeshio itu jadi ketakutan, bukannya mereka pergi menolongi, mereka justeru pergi kabur!
"Kau orang toh bisa menyampe?" kata Leng In.
Tapi semua pendeta itu sudah kabur jauh, maka ia jadi takut pula, maka ia pun lantas saja lari pula"..
Bagian III Hiang Kat buka matanya dapatkan dirinya berada di sebuah kamar tetamu. Ia loncat bangun, Ia mengawasi ke sekelilingnya. Itu ada kamar yang kecil dan bundar, perabotannya indah. Bangku panjang, meja patsiantoh, kursi malas, dan meja teh, semua terbikin dari kayu kuning. Di atas patsiantoh ada sepasang lilin dengan, ciaktay timah, lilinnya kuning dan apinya menggendang. Di kolong meja ada sebuah payung serta satu buntalan. Terang payung dan buntalan itu ada kepunyaannya kurban tadi yang membawa tengtoleng.Tembok sebaliknya ada demak, hingga hawa di dalam kamar ini ada semak.
Sekarang Hiang Kat dapat kenyataan, handdoek di lehernya sudah lenyap.
Tentu ini ada kamar di dalam tanah," pikir ini nona. Ia heran akan tidak lihat pintu, ia jalan mundar-mandir dengan sia-sia saja.
Tiba-tiba terdengar tindakan kaki yang berat. Suara itu menyusul gerakan tembok di sebelah kanan, di mana lantas muncul satu pintu rahasia. Dimulut tembok tertampak satu orang dengan thungsha hijau terlapis ma-kwa, di pinggangnya ada tergantung sarung golok, yang bengkok, dengan goloknya terhunus ditangan kanan. Orang itu bermuka kuning, itu ada dandanan dari satu hambanya pembesar Boan.
"Nona Hiang Kat," berkata pengawal Boan itu, "tuan kita, Touwtong Toalooya, undang kau bicara di ia punya kamar tidur!"
Ia bicara dengan dialek Peking.
"Siapa itu tuan kau?" Hiang Kat tanya.
"Touwtong toalooya Ma Wie Siang" sahut si pengawal.
"Surulah tuan kau saja yang datang kemari menemui aku!" Hiang Kat bilang
"Titahnya Touwtong Toalooya tak ada yang berani bantah!" kata si pengawal. Ia ayun ia punya golok. "Silahkan, nona!"
Hiang Kat tidak mau berbantah.
"Aku tidak takut pergi kemana " kau jalan didepan!" ia bilang. Ia harap selagi orang jalan di depan ia, ia bisa rampas orang punya golok itu.
"Nona jalan di depan, nanti aku beri pengunjukan," kata pengawal itu.
Dengan terpaksa, Hiang Kat bertindak ke pintu. Mereka bertindak di gang yang sempit, yang muat hanya dua orang. Jalanan diterangi dengan lilin yang terpasang di tembok. Itu ada lilin warna kuning.
Ketika merasa sampai di jalanan bercagak, pengawal itu tunjuki jalan mana yang mesti diambil. Itu ada suatu gang lain.
"Berhenti!" kata si pengawal, sesudah mereka jalan belasan tindakan, Hiang Kat menurut.
Mengetok tembok di mana ada petahan tiga pesagi, pengawal itu kasih dengar suara yang Hiang Kat kenali bukan suara batu, hanya suara logam, hanya barang logam itu disapu mirip dengan warna tembok di situ, berpetah sebagai bata pesagi. Sebagai kesudahanan dari itu ketokan tiga kali, sebuah pintu rahasia lantas terpentang dengan pelahan-pelahan, "Masuk" pengawal itu mengasi perintah.
Hiang Kat bertindak masuk, hingga ia dapati sebuah kamar yang potongannya mirip dengan kamarnya barusan. Di sini pun tidak ada jendela, malah tidak ada pembaringan atau perabotan lainnya, yang ada hanya dua buah peti mati. Dan di atas sebuah peti mati ada bercokol si setan pembesar Boan, dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, dengan romannya yang jelek dan menakuti.
Dibelakang dia ada satu pengawal lain, yang pun menghunus golok. Di depan kedua peti mati ada sebuah meja abu dengan segala macam perabotan sembahyangnya, dengan ciaktay timah juga, tapi semua halus dan indah buatannya.
Ciaktay itu ada lilinnya, yang menyala. Di atas meja pun ada hiolouw kecil.
"Apakah kau yang dipanggil Ma Wie Siang" " Hiang Kat dului menanya.
Pembesar itu manggut, "Aku ada Ma Wie Siang, Touwtong Toalooya dari Kerajaan Ceng yang terbesar," ia menyahut, sambil ia tertawa hingga ia perlihatkan dua baris giginya yang kasar. Iapunya suara tertawa seram terdengarnya, sama seramnya seperti iapunya muka jelek dan bengis.
"Dengan cara rendah kau tangkap dan bawa aku kemari, apa maksudmu" " Hiang Kat tanya pula. Ia sengaja bersikap tenang. "Ini ada kamar rahasia di dalam tanah"
"Kamar rahasia di dalam tanah" Ha ha ha" mengulangi setan pembesar Boan itu, dengan suara tertawanya nyaring dan tak sedapp didengarnya. "Ini ada aku punya rumah tinggal dan ini ada kamar tidurku" Ia tepok-tepok peti mati yang ia duduki. "Dan ini ada pembaringanku! Ini adalah kupunya kuburan"
Hiang Kat mengawasi orang dengan tajam.
"Nona Hiang Kat, kau sekarang bukannya manusia lagi" kata pula pembesar Boan itu, atau setannya si pembesar Boan. "Kau adalah sama dengan aku-kitaorang sama-sama sudah menjadi setan! Kau sekarang sudah berada di dalam kuburan! Kau sekarang jangan mengharap lagi akan bertemu sama In Hong atau Kat Po, atau umpama kau mengharap sia-sia saja... Di antara manusia dan setan sudah ada batas perpisahannya, mereka tidak akan mampu melihat kan, dan mereka tak akan dapat dengar suaramu "
Dengan mata menyala bahna gusarnya, Hiang Kat terus mengawasi pembesar itu, "Lagi beberapa hari apahila In Hong dan Kat Po telah dapat ketahui tentang kematianmu, kau bakal terima kiriman uang kertas yang mereka akan bakari untuk kau" kata pula Touwtong Toalooya itu, "Nona Hiang Kat, kau telah menutup mata, kau bukan lagi manusia adanya, dan untuk selamanya, kau bakal temani aku berdiam di dalam liang kubur ini!"
Secara demikian Ma Wie Siang peringati Hiang Kat, agar si nona insaf bahwa ia telah menjadi setan.
Tapi si nona sendiri terus bersikap tenang.
"Pada tahun ke enam dari Baginda Too Kong, atau tahun masehi 1826," demikian Touwtong Toalooya itu bicara lebih jauh, "aku telah turut Jendral Yo Gie Coen pergi perangi pemberontak Thio Kok Lie kemudian dua tahun lagi, Too Kong tahun ke delapan, aku menutup mata di kampung halamanku sendiri. Menurut perhitungan, aku tinggal di dalam kuburan ini sudah seratus sembilan belas hari. Tapi aku telah menjadi koei sian, ialah dewa didalam bumi, maka itu, aku ada merdeka untuk hidup juga di dalam dunia?"
"Ngaco belo!" berseru Hiang Kat. "Sedikitpun aku tak percaya kedustaan kau ini!"
"Kau tak percaya?" tegasi Ma Wie Siang. Ia kerutkan ia punya alis yang seperti sesapu. Ia agaknya putus asa karena orang tak percaya ia. "Kau tidak percaya bahwa kau telah menutup mata" Kau tidak percaya bahwa kau sekarang berada dalam liang kuburku" Kau tidak percaya bahwa aku ada?"
"Sedikitpun aku tak percaya!" Hiang Kat berseru. "Aku bukannya bangsa itu orang-orang perempuan tolol! Jikalau kau tidak segera merdekakan aku?"
"Merdekakan kau?" ulangi Touwtong Toalooya itu. Dan alisnya semingkin mengkerat. "Jikalau aku merdekakan aku, kau lantas jadi setan yang tak punya rumah tinggal kemana kau bisa pulang " kau akan jadi setan berkeliaran! Kau bakal mundar-mandir di Jalanan Sumber Kuning, hingga kau nanti dapat ditemukan oleh Giam Lo Ong punya Goe Tauw atau Bee Bin, atau opas lainnya, hingga kau akan dicekuk, buat dibawa ke neraka dari delapan belas lapis, untuk disiksa! Bagaimana tegah akan lihat kau ditangkap dan disiksa di dalam neraka".."
Setannya Ma Wie Siang bicara secara simpatik, ia tampaknya ingin sangat menginsafi Hiang Kat bahwa si nona sudah binasa dan telah menjadi setan.
"Aku tak sudi dengar ocean kau ini!"
"Bunuh saja padamu!" berseru si pengawal dibelakangnya si touwtong.
"Sabar" Touwtong itu mencegah, "Nona Hiang Kat, kau tidak percaya aku, itu artinya kau sudah langgar undang-undang di dalam liang kubur ini! Umpamanya kau bisa ubah kaupunya sikap melawan, kita barangkali bisa mengasi ampun padamu, jikalau tidak, untuk menjadi setan saja, kau akan tak bisa..."
"Bunuh padanya" berteriak si pengawal, yang tadi antar nona kita.
"Bunuh padanya" mengulangi si pengawal di belakang si touwtong.
"Tampang muka begini cantik, tetapi otak sangat kukuh..." kata Ma Wie Siang, yang masih belum mau keluarkan putusan atau titahnya.
Pengawal di belakangnya touwtong ini bertindak dengan mengitari peti mati.
Hian Kat mengarti ancaman bahaya dengan tiba-tiba ia loncat ke depan meja, akan samber satu ciaktay, yang ia terus pakai menangkis goloknya pengawal itu, yang sudah lantas membacok padanya.
" Suara keras terdengar, pengawal itu tercengang! Di luar iapunya sangkah, bacokannya sudah tak memberi hasil, malah sebaliknya, goloknya kena ditangkis sampai terlepas dari cekalan dan terlempar.
Justeru itu, pengawal yang kedua sampai dengan bacokannya.
Hiang Kat lihat orang maju, ia pun maju, tapi selagi dengan ciaktay ia tangkis orang punya golok, sebelah kakinya naik ke atas, atas mana pengawal itu kena didupak sampai dia rubuh terguling.
Sekarang tak lagi ada rintangan, Hiang Kat lalu lari balik ke jalan dari mana tadi ia datang. Mula-mula ia loncati pintu, lantas ia lari
Setannya Ma Wie Siang, bersama-sama dua hambanya, sudah lantas mengejar.
Hiang Kat kembali ke kamarnya kamar dimana ia tersedar. Ia ingat pesawat rahasia, yang membikin terbukanya pintu rahasia, maka sesampainya di dalam gang, ia 1antas pasang mata, akan cari pesawat rahasia itu. Ia merasa pasti, kalau ada pesawat untuk membuka pintu, mesti juga ada yang untuk menutupinya. Dan ia tak usah mencari sampai lama, akan dapatkan itu. Benar di saat Ma Wie Siang bertiga berada jauhnya lagi tujuh atau delapan tindak, nona ini lantas samber pesawat itu dan tarik, hingga pintu lantas tertutup sendirinya, hingga ketiga pengejar itu terhalang di sebelah luar. Maka, setealh merasa dirinya terlolos dari ancaman, ia lantas susuti keringat yang membasahi jidatnya.
Akan tetapi pintu rahasia itu bisa dibuka dan ditutup dari luar dan dalam, dua-duanya sama saja. Selagi si nona mengilangi lelah, ia lihat daun pintu naik dengan pelahan-pelahan, renggangnya empat atau lima dim, Tentu saja ia jadi kaget, karena ia tahu musuh tentunya sedang buka pintu dari luar. Maka lekas " lekas ia menahan pesawat rahasiannya. Hingga mereka jadi berkutetan. Diluar, orang membuka, didalam orang menutup.
Beberapa kali dau pintu naik dan turun pula, dan naik lagi.
Sukur buat Hiang Kat, tenaga membuka ada diminta terlebih banyak dari pada tenaga menutup, maka itu, biar ia ada bersendirian, ia bisa lawan tenaganya tiga satru diluar. Setiap kali pintu terangkat, setiap kali juga ia tekan turun. Melihat ini, lama-lama ia berkuatir juga.
Betul disaat daun pintu terangkat lima atau enam dim tingginya, Hiang Kat dengar.
"Ini setan yang berusiah muda ada bandel sekali, ia tak percaya bahwa ia sudah mati!"
"Kalau setan tak lihat mayatnya sendiri, ia memang tak mau percaya dirinya sudah tak bernyawa!"
"Gotonglah ia punya mayat, bawa kemari!"
Mendengar itu, Hiang Kat jadi berpikir, hingga ia tahu-tahu jadi kaget ketiga dari sela-sela pintu ujungnya golok menyamber ia punya kaki, sukur ia keburu melihat, maka ia geser kakinya, sedang di lain pihak, dengan ciak tay, yang ia masih pegangi, ia ketok ujung golok itu.
Mau atau tidak, nona ini menjadi bingung juga. Mana bisa untuk ia terus-terusan berkutetan di pintu itu" Bagaimana kalau ia kehabisan tenaga" Dan ia pun menjadi pusing kepalanya, disebabkan ruwetnya ia punya pikiran.
Apa benar ia sudah mati, seperti katanya mereka itu"
Apa benar ia masih berjiwa"
Bagian IV Leng in duduk dengan dengan pikiran kusut di dalam kamar hotelnya. Ia menghadapi meja dan memegang fountain pen, akan tulis iapunya pengalaman bersama Hiang Kat. Karena sulitnya kejadian beberapa kali ia robek kertasnya, yang sudah penuh dengan coretan. Setelah mencoba beberapa kali, baharulah ia bisa karang pengalamannya itu dengan rapi. Ia niat kirim 'laporannya' pada itu In Hong.
Hanya, ketika ia menulis sampai di bahagian ia menyoroti dengan lampu batre pada si setan Boan, hatinya berdebaran, ketakutannya datang pula, Ada hebat akon tengok romannya si Setan, Ia segera merasa tidak aman.
"Jangan-jangan sakit jantungku kumat.." ia berpikir, dalam kekuatirannya. Ia tak bersangsi bahwa ia telah mewariskan sakit jantung dari ia punya ayah.
Ia sampai pembaringan, ia rebah diri, hingga suratnya kena tertundah.
Jam tangannya memberitahukan Leng In bahwa sang waktu sudah jam 3.50 pagi. Cuaca bakal segera datang, langit akan jadi terang.
"Aku mesti dapat thabib, ia berpikir. Ia niat minta bantuannya tuan rumah atau jongos. Ia mengharapi sang pagi, tapi sang pagi nampaknya datang ajal-ajalan...
En toh, akhirnya, sang fajar datang juga, dengan cahaya terangnya.
Lantas Leng In panggil jurulayan yang bernama Beng To Hok, yang telah layanin ia sejak ia sampai di hotel.
"To Hok..,.. kata ia, dengan suara susah keluar.
"Ah, tuan... kapannya kau datang dan tinggal di hotel kita ini" " tanya jongos itu, dengan suaranya tak lancar, dengan roman terheran-heran.
"Eh, kenapa kau begini pelupaan" " Leng In menegor. "Toh ketika aku datang pada waktu tengah malam, kau sendiri yang sambut aku dan terus layani aku, Kau toh yang anter aku ke kamar ini?"
"Oh, ya, benar..." sahut jongos itu, sambil ia pegang kepalanya, sesudah ia bengong sekian 1ama. "Benar, benar, kaulah yang datang tadi malam-malam... Kau she apa, tuan" "
"Leng" "Oh, oh, kau jadinya she Leng" ....."
To Hok berpikir pula. Iapunya otak ada lemah, ia paling gampang lupa segala apa. Ia sering lupa iapunya she dan nama sendiri, ia suka tak ingat ia asal kampung atau kota apa. Malah ia perna tanya isterinya, kenapa isteri itu datang ke kamarnya dan tidur di iapunya pembaringan! Ia baharu ingat waktu si isteri kasi tahu, bahwa ia adalah isterinya sendiri
"Tuan Leng, ada apa kau memanggil aku" " tanya jongos pelupaan ini,
"Apa di sini ada thabib" Aku ingin kau tolong aku panggilkan","
"Thabib ada, hanya sekarang masih terlalu pagi... Kau harus tunggu sedikitnya dua atau tiga jam lagi"
"Kau toh bisa menolongi memanggil lebih pagian?"
"Nanti aku coba..."
Habis kata begitu, Beng To Hok undurkan diri.
Leng In mesti menunggu lama atau To Hok belum juga kembali, thabib pun tidak ada yang datang, maka ia habis sabar. Ia bunyikan bel.
"Ada apa kau memanggil aku, tuan?" tanya To Hok, yang muncul dengan lantas.
"Aku minta kau tolong panggilkan thabib, bagaimana?"
"Kau minta aku tolong panggilkan thabib" Eh, kapannya kau menyuruh aku?"
"Kira dua jam yang lalu! Leng In jadi mendelu, tapi ia tahu orang ada pelupaan.
"Oh, ya, aku ingat sekarang!" To Hok bilang. "Aku telah minta tolong Ah Hong yang pergi panggilkan!"
"Kenapa thabib masih belum datang?" Leng In bingung. Ia merasa jantungnya memukul lebih keras, ia merasa telah jadi semingkin lemah. Ia kuatir, kalau nanti dokter datang, ia punya napas sudah berhenti jalan.
"Aku kira, dia bakal datang.." kata To Hok, "Kau she apa, tuan?"
"Leng", Leng In mendelu bukan main.
"Oh, ya tuan Leng. Kau suka dengar suatu kabaran?" kata jongos itu. Tadi ada orang datang dari desa dengan kabarnya yang menggemparkan. Tadi malam di Haiwan-chun, di Sanmen, ada kejadian penculikan luar biasa, yang jadi kurban ada seorang yang jalan sambil membawa tengloleng dan satu nona dengan pakaian biru, yang memakai handuk sulam. Mereka telah dibawa lari ke dalam kuburan. Nona itu, orang tahu benar, ada nona yang tadi sorenya dahar di rumah makan. Dan tadi, dua orang kampung ketemukan diapunya hand-doek dan tengloleng si kurban lainnya, yang kedapatan di pinggir kuburan, Kabarnya, lebih dahulu dari ini, di bulan enam, ada satu Nyonya Han yang pun kena dibawa lari ke dalam kuburan itu....."
Leng In kaget, sampai mukanya, jadi pucat dan matanya mendelik.
"Eh, kau kenapa" " tanya To Hok, yang jujur. Sayang ia sangat pelupaan, Ia lantas lari ke luar, akan minta secawan brendi, yang mana ia cekoki pada tetamunya itu.
Air kata-kata itu ada baiknya, tidak lama, Leng In sedar akan dirinya.
To Hok bukannya thabib atau juru rawat, tetapi kebiasaan bikin ia tahu, orang pingsan harus dicekok brend. Sebagai jongos hotel, ia sering dapati tetamu-tetamu yang pingsan mendadakan.
"Kemarikan itu surat, tutupnya dan penanya," kata Leng In dengan lemah.
To Hok ambilkan barang yang diminta.
Leng In paksakan berbangkit, dengan menyender pada pembaringan. ia coba rampungi iapunya surat, ia menambahi:
"Besuknya, orang ketemui hand-doeknya Hiang Kat di samping kuburan Keluarga Ma. Tak salah lagi, ia telah diculik si setan pembesar Boan, yang bawa ia masuk ke uang kubur. Penyakit jantungku kumat, aku harap kauorang lekas datang,"
Habis itu, ia menulis alamatnya surat.Ia lipat surat itu, masuki ke dalam amplop dan tempel amplop itu. Untuk mengirim surat ia berpikir, ia ingat, kalau surat dikirim per pos, sampainya lama.
Maka akhirnya, ia tulis surat kawat di mana ia berikan iapunya alamat sendiri.
"Tolong kau segera bawa ini ke kantor kawat dan kirimkan," ia kata pada To Hok si pelupaan. "Dan ini surat, tolong kau simpan, kalau nanti datang Nona In Hong atau Nona Kat Po, tolong kau serahkan padanya!"
"Baik, baik, tuan." To Hok sambut surat kawat dan surat dalam amplop itu, "Hanya surat ini, tuan, kalau si nona datang, kau toh bisa serahkan sendiri kepadanya..."
"Aku kuatir aku tak sanggup menunggu mereka. Surat ini ada penting, tolong kau sampaikan padanya" Ia loloskan iapunya jam tangan waterproof. "Kau jual jam tangan ini, uangnya kau pakai membayar ongkos kirim surat kawat, selebihnya kau boleh ambil untuk kau sendiri..."
To Hok sambuti erloji itu dengan ia melongoh.
Pintu kamar lantas ada yang ketok.
"Masuk!" Ah Hong muncul. "Tuan dokter akan segera sampai," ia kasi tahu.
"Ah Hong, tolong kau kirim surat kawat ini," kata To Hok pada rekannya. Ia serahkan surat kawat itu, bersama uang untuk ongkos kirimnya, yang ia rogo dari sakunya.
"Aku hendak pulang dan tidur." ia tambahkan.
Ah Hong menurut, ia terima itu surat kawat dan undurkan diri.
Hatinya Leng In tenteram begitu lekas ia lihat Ah Hong sudah pergi. Ia tahu betul, seterimanya telegram itu, In Hong atau Kat Po, atau mereka itu berdua, bakal datang dengan segera, Ia pun berlegah hati, karena ia tahu, thabib segera akan datang. Ia percaya, asal ia dapat suntikan, ia akan sembuh. Maka itu, hatinya kurang goncangnya, hingga ia jadi seperti sudah sembuh sendirinya,
"Rebah saja, tuan," kata To Hok, "Dokter akan segera datang. Aku lihat, sakit kau tidak ada begitu hebat seperti kau pikir,"
"Ja, sekarang aku berada enakan. Pergilah kau menaso,"
To Hok manggut, ia lantas undurkan diri.
Beberapa jam di muka dari sampainya tilgram dari Leng In kepada In Hong di rumahnya di Hungyao Road, nona itu telah terima kedatangannya dua tetamu yang tidak diundang yang membawa kabar yang luar biasa.
"Apa yang terjadi itu, aku saksikan sendiri. Dan Miss Teng Hoei Hoa, teman sekolah dari majikanku Nyonya Thia Bwee Hee atau Nyonya Han, turut menyaksikan sendiri," demikian penuturannya Liok Ah Tin, bujang perempuan dari Nyonya Han, sesudah ia ceritera panjang lebar. Ia telah ucapkan lain-lain kata, untuk menguatkan ia punya keterangan itu.
"Itulah dongengan, aku tak percaya!" kata Kat Po, si adat keras.
"Dan kau, tuan Han Sie Kiat, bagaimana anggapanmu sendiri?" In Hong tanya tetamunya yang kedua, atau suaminya Nyonya Han yang termaksud.
"Dongeng semacam demikian mana masuk ke dalam otaknya seorang intelek" sahut orang yang ditanya, yang berumur kurang lebih tigapuluh tahun. Orangnya cakap tapi air mukanya lesuh dan sedih, sedang suaranya ada dingin. "Tapi sampai sekarang ini, istriku telah lenyap lamanya setengah tahun lebih dan polisi mencaari dengan sia-sia saja; sebagai lumpur dilempar ke dalam laut, sedikit saja sinar tak kelihatan. Hilangnya Bwee Hee ada sebagai aku kehilangan hatiku, aku ampir sukar hidup lebih lama, atau aku bakal jadi gila!..."
"Itu artinya cinta suami-isteri," In Hong bilang, secara menghibur, "Apa kauorang menikah sesudah bergaul sekian lama" Berapa lama kauorang telah menikah" "
Kat Po tidak puas atas sikapnya In Hong ini. Kenapa soal dibawa ke urusan percintaan dan pernikahan" Apakah yaang jadi hubungannya" Kenapa mesti melilit-lilit" Ini ada kebiasaan sang kawan, yang ia paling tak setujui.
"Apakah kau tidak bisa menanya langsung dan yang penting?" begitu ia tegor kawan itu.
"Maaf, Kat Po, tetapi aku paling suka tanya hal-hal yang tak akan ada hubungannya," In Hong menyahut dengan tenang, sambil tersenyum. "Apakah kau merasa tak sabaran" Tuan Han, kau orang jadinya menikah sesudah pergaulan sekian lama?"
"Benar," Han Sie Kiat manggut. "Kita orang menikah baharu satu tahung setengah?"
"Apa selama pergaulan kau orang pernah ngalami kesulitan?"
"Tidak ada kesulitan. Kita ada bertiga yang ketarik sama Bwee Hee tetapi di akhirnya akulah yang menang."
"Dan siapa itu dua orang lainnya" "
"Teng Hoei Kie dan Hoo Tiong Keng, dua-duanya kawanku sejak kita di sekolah menengah dan midrasa. Mereka bersungguh-sungguh akan mendapatkan Bwee Hee. Hoo bukannya seorang yang cakap dan sikapnya kaku, dan Teng adatnya keras, itulah yang menyebahkan kekalahan mereka,"
"Hoei Kie itu ada kanda kandung dari Hoei Hoa, pada bulan enam itu, mereka telah kawani Nyonya Han pergi ke rumah orang tuanya si nyonya di Haiwan-chun akan menyingkir dari hawa panas di kota, bukankah" "
Sie Kiat manggut, berbareng dari sakunya, ia keluarkan selembar foto.
"Ini ada foto dari belasan tahun yang lalu, ketika kita berlima masih duduk dalam sekolah menengah."
In Hong lihat satu nona yang cantik dalam foto itu, dengan tak usah tanya lagi, ia tahu itu ada Thia Bwee Hee. Di sebelahnya kiri ada Teng Hoei Hoa, tubuh siapa ada besar dan gemuk dan tak eilok. Di sebelah nona Teng ini ada iapunya engko, Hoei Kie, satu sportsman. Di kanannya Bwee Hee ada Sie Kiat, rloman dan tubuh siapa tak ada ubahnya dengan orangnya sekarang. Di paling kanan adalah Hoo Tiong Keng, yang romannya jelek, tubuhnya tinggi dan besar ampir mirip sama Hoei Hoa.
"Tuan Han, kenapa baru-baru itu kau tak temani sendiri isterimu itu" " Kat Po Po tanya,
"Oleh karena aku terhalang oleh aku punya kerjaan salinan yang penting," sahut Sie Kiat. "Aku piker akan menyusuk setengah bulan kemudian, siapa tahu, kejadian latah mendahului mengambil tempat"."
"Apakah pepergian ke Haiwan-chun untuk melulu menyingkir dari hawa panas di kota" " In Hong tegasi.
"Bukan anteronya. Bwee Hee ada sangat tergiur dengan harta, ia telah dipengaruhi oleh keinginan keras akan bongkar warisan harta yang ia dapati....."
"Kenapa warisan itu mesti dibongkar" "
"Ini bisa dibilang lucu!" sahut Sie Kiat, dengan senyuman meringis. Bwee Hee ada punya bapa buyut yang telah berusia sembilan puluh dua tahun bernama Kiong Pok dan ia adalah buyut satu-satunya, maka itu pada tahun yang berselang, sebelum orang tua itu menutup mata, ia panggil Bwee Hee dating padanya dan pada Bwee Hee ia wariskan itu gedung tua di Haiwan-chun. Berbareng dengan itu, pada Bwee Hee pun diserahkan sepotong kertas yang memuat tulisan, yang menurut katanya adalah menjadi kunci bagi satu harta besar. Biasanya tidak pernah orang tua itu perlihatkan surat rahasianya itu pada 1ain orang, sebab ia takut, satu kali lain orang lihat itu, harta simpanannya nanti hilang terbang."
"Ketika ia serahkan surat rahasia itu, ia ada sangat bersungguh-sungguh sikapnya, dan pada Bwee Hee pun ia pesan wanti-wanti. Pada Bwee Hee ia kata, "Surat wasiat ini bersama-sama ini gedung tua ada peninggalan dari aku punya bapa buyut. Aku punya engkong dan ayah, yang ditinggali ini, tak ada punya keinginan, akan ambil harta besar itu. Ketika surat wasiat diserahkan padaku, pada beberapa puluh tahun yang lalu, pernah timbul keinginanku akan coba membongkarnya, akan tetapi niat itu terhilang disebabkan aku tidak tahu di mana letaknya tempat harta itu dipendam. Sekarang aku sudah tua dan bakal lekas meninggalkan dunia ini, maka surat wasiat aku peserahkan padamu. Kau muda dan pintar, kau tentu akan bisa meyakini hingga kau akan dapat cari harta besar itu. Hanya kau mesti meyakini sendiri, jangan sekali kasi lihat surat wasiat ini kepada lain orang, sebab itu berarti lain orang nanti bisa mendahulukan ambil. Ingat baik-baik pesanku ini."
Bapa buyut itu ada penasehat dari Ong Tek Po, itu jendral yang kesohor di jaman Kaisar Kee Keng dari ahala Boan.
Dalam tahun Kee Keng ke XIV, atau Masehi 1809, Jendral Ong Tek Po telah basmi kawanan bajak di lautan antara Ciatkang dan Hokkian, dan untuk itu, sang bapa buyut itu, Kiong Te namanya, adalah yang membantu Jendral Ong mengatur segala siasat. Setelah itu, Kiong Tie dapatkan harta besarnya itu. Segera ternyata, harta ini ada sangat membikin ia berabe dan tak tenang hatinya, maka harta itu ia lantas simpan, di suatu tempat yang terahasia.
Pada Kee Keng tahun ke XIX, Kiong Tie mendapat sakit berat, diwaktu hendak menutup mata, ia sudah tulis dan tinggalkan surat wasiatnya yang aneh itu untuk anak cucunya"
"Apakah yang tertulis dalam surat wasiat itu?" In Hong Tanya.
"Itu benar-benar ada suatu surat wasiat yang luar biasa," jawab Han Sie Kiat, "Bwee Hee perna tunjuki itu padaku dan aku bantu memecahkannya. Tapi hatiku ada tawar terhadap harta besar itu dan aku nasehatkan Bwee Hee untuk simpan itu sebagai tanda peringatan saja, agar ia singkirkan keinginannya untuk mencari itu, akan tetapi Bwee Hee sudah sangat terpengaruh, hingga iapunya keinginan itu tak dapat diubah lagi. Begitulah aku terpaksa telah bantu ia, hingga aku ingat benar bunyinya surat itu. Coba nona berdua dengar, aku hendak ulangi membaca itu diluar kepala..."
Dan Sie Kiat lantas mengucap:
"Pintu bunder pintu pesegi, pintu dari luar pintu.
Air cetek air dalam, air dari pinggirannya air.
Pohon besar pohon kecil, pohon dari dalam pohon.
Bukit tinggi bukit rendah, bukit dari luar bukit.
Pagoda depan pagoda belakang, pagoda dari belakang pagoda.
Batu hijau batu kuning, batu dari bawah batu.
Akupunya anak-cucu, bila mereka mengerti ini teka-teki,
Kaya sangat kaya. Senang sangat senang. "
"Aku putus daya akan dapat mengerti teka-teki itu," kemudian Sie Kiat melanjuti. "Maka itu Bwee Hee ajak Tiong Keng dan Hoei Hoa , untuk memahamkan itu, untuk membadenya. Tapi mereka itu pun tidak mendapat hasil. Karena ini, untuk setengah tahun lamanya, Bwee Hee tunda iapunya keinginan itu. Lalu pada suatu hari, Hoei Hoa usulkan pada Bwee Hee untuk pergi ke Haiwan-chun. Itu waktu, mereka sudah bisa menduga lima atau enam bahagian dari teka-teki itu, hingga Hoei Hoa anggap, ada faedahnya untuk periksa sendiri keletakannya tempat, barangkali saja achir-akhirnya mereka akan mencapai maksud mereka, hingga harta besar itu bisa dibongkar dan didapati. Bwee Hee setujui usu itu, ia ada sangat gembira. Begitu ia lantas berangkat dengan ajak pelayannya ini, Liok Ah Tin, serta Hoei Hoa dan Hoei Kie engko dan adik."
Sementara itu, Kat Po sudah cata itu teka-teki.
"Dari semua kata-kata dalam teka-teki itu, dua baris kata-kata yang paling akhir ada suatu alamat," berkata In Hong. "Pada seratus beberapa puluh tahun di muka, bukankah si leluhur telah jelaskan untuk anak-cucunya, bahwa sesudahnya sangat kaya dan senang, orang mesti merasai kesedihan" "
"Ya, itulah benar," Sie Kiat akuh. "Juga Hoo Tiong Keng telah nasehati Bwee Hee agar ia jangan terlalu dipengaruhi oleh harta besar itu, bahwa umpama kata ia dapati itu harta besar, bisa-bisa dari sebab kegirangan yang sangat, ia akan merasai kedukaan yang hebat. Sebagai obat manjur pait rasanya dan nasehat baik bertentangan sama kuping, demikian Bwee Hee, ia terusi usahanya dan kesudahannya sekarang ia mendapat celaka".."
"Berapa lama mereka itu telah berdiam di Haiwan-chun" "
"Sepuluh hari, dan di malam kesepuluh telah terjadi bencana itu."
"Apakah Bwee Hee telah berhasil mendapat harta itu, atau tempatnya saja di mana harta disimpan?"
"Selama sepuluh hari yang mereka mencari, mereka belum peroleh hasil sama sekali."
"Apa tidak bisa jadi, harta itu terpendam dalam kuburan?" Kat Po ikut bicara pula.
"Di sana ada terdapat banyak kuburan tua. Di kuburan mana tersimpannya itu?" Sie Kiat baliki.
"Aku maksudkan dalam kuburan Keluarga Kiong," Kat Po jelaskan.
"Kuburan Keluarga Kiong perna dibongkar dan dipindahkan ke kuburan baharu, selama pembongkaran orang tak dapati suatu apa yang berharga."
"Harta itu boleh digali, cuma tak boleh digunai untuk diri sendiri," In Hong kata. "Baharulah ada harganya bila itu harta dipakai untuk amal dan umum."
"Kau benar Nona In. tapi di mana terpendamnya itu?"
"Apakah itu ada saputangannya Bwee Hee yang kedapatan kejepit di batu kuburan" " Kat Po tanya.
"Benar. Saputangannya Bwee Hee selalu ada tersulam namanya, Tapi kedua batu itu tak dapat diangkat atau dibikin tergerak, maka terang, saputangan diselipkan di situ bukannya secara mendadakan....."
"Ibuku dan banyak orang lain ada percaya setan, maka itu mereka anggap, setan tak dapat dirintangi gerak-geriknya oleh segala batu," Sie Kiat terangkan lebih jauh. "Mereka percaya betul, setan ada merdeka akan mundar-mandir diantara kedua batu itu. Maka mereka percaya, ketika si setan pembesar Boan cukik Bwee Hee dan di bawa masuk ke dalam kuburan, saputangannya Bwee Hee telah kejepit dengan tidak disengaja dan jadi ketinggalan disela-sela batu itu." Sie Kiat meringis pula. "Itu adalah takhayul! Tapi, kemana toh perginya Bwee Hee" Sudah setengah tahun ia lenyap, sia-sia saja kita cari padanya."
"Bagaimana dengan ikhtiarnya polisi?" In Hong tanya.
"Aku telah minta bantuannya Tuan To Tjie An, pemimpin reserse yang kesohor, tetapi ia pun belum peroleh kemajuan. Ia telah curigai Teng Hoei Kie dan telah berulang-ulang dengar keterangannya dia ini. Hoei Kie bilang ia sedang jalan-jalan di pekarangan dekat rimba waktu
mendadakan ia dapat cium bau bacin seperti bau mayat nowah, lantas ia tak sadar akan dirinya, hingga segala apa, ia tak mendapat ketahui. Baharu belakangan ini aku desak pula Detektif To. Pada empat atau lima hari yang lalu ia telah pergi ke Haiwan-chun. Baharu kemarin malam ada satu sahabatku yang anjurkan aku minta pertolongan kauorang berdua, jiewie, maka itu, ini pagi-pagi kita telah datang menggerecoki kauorang. Maukah jiewie menolong kepadaku" "
"Kita bersedia akan menerimanya," sahut In Hong. "Ini ada termasuk dalam kalangan pekerjaan kita."
Sie Kiat menjadi girang sekali.
"Apakah perlu untuk aku kawani jiewie pergi ke Haiwan-chun" " tanya ia.
"Nanti saja, bila sudah datang waktu keperluannya."
Dan In Hong rebahkan diri di atas sofa ketika kedua tetamunya telah pamitan pulang..
Kat Po sendiri bergulet sama itu teka-teki, ketika ia tetap tak berhasil memecahkan, ia remas catatan itu dan lemparkan ke jubin!
"Kau bikin nenekmu pusing!" ia kata.
In Hong tak gubris itu kawan.
Tapi tidak selang lama, Kat Po pungut pula itu kertas, beber kembali di depan matanya, akan mulai memahamkan lagi, akan akhirnya, buang pula!
Justeru itu bel pintu berbunyi dan loper pos datang dengan surat kawat untuk In Hong.
"Siapa mengirim tilgram" Heran" kata Kat Po, yang pergi keluar terima surat kawat itu, yang ia terus serahkan pada alamatnya, " Tilgram dari siapa" " ia tanya
In Hong bersenyum, ia abai-abaikan surat surat kawat itu, "Hayo, bukalah lekasan!" kata Kat Po, yang tak sabaran
In Hong membuka dengan pelahan-pelahan.
"Dari siapa" Ada urusan apa" " Kat Po tanya pula.
"Leng In"." sahut In Hong dengan adam.
Kat Po kenal baik adatnya In Hong, yang sabar luar biasa, tetapi ini kali, kawan itu ada adam, dingin laksana es, hingga ia jadi heran. Mesti ada terjadi apa-apa yang sangat penting.
Kawat dari Leng ! Apa sudah terjadi" Toh Leng In dan Hiang Kat berlayar dengan kapal SHUEN FUNG pergi ke Hai-men, Apa ini mengenai dirinya Hiang Kat" Hiang Kat ada anak satu-satunya dari encinya In Hong, maka iapunya keselamatan ada jadi tanggung jawabnya In Hong.
"Ada kejadian apa-apa atas diri Hiang Kat, bukankah?" ia tanya pula.
Dengan pelahan In Hong angsurkan tangannya, tapi Kat Po segera ulur tangannya, akan rampas surat kawat itu.
"Hiang Kat nampak bahaya, mari kita lekas pergi!" kata In Hong kemudian.
"Ya, lekasan!" berseru Kat Po, yang tarik tangannya ia punya kawan, untuk diseret keluar, "Mari kita berangkat ke Haimen!"
"Ke Haimen?" kata In Hong dengan tawar. "Coba periksa lagi!"
"Leng In, hotel An Tay, Sanmen Street! Ah, Sanmen" Bukankah di luar itu ada dusun Haiwan-chun" Itulah tempat kejadiannya penculikan aneh itu! Berseru Kat Po.
Bagian V Leng In rebah anteng, tanda-tanda penyakitnya sudah mulai lenyap dan ia tak merasa ada apa-apa yang mengganggu dirinya. Umpama kata thabib tidak datang, ia toh bakal sembuh sendirinya.
Pintu tertolak dengan pelahan.
"Masuk!" ia sahuti.
Ah Hong masuk, ia habis kembali dari kantor tilgram.
"Kawat sudah dikirim, tuan," kata pelayan ini sambil ia serahkan recu, dan setelah Leng In periksa itu, ia suru letaki di atas meja di mana ada copie dari tilgram yang dikirim.
"Terima kasih," kata Leng In.
"Terima kasih kembali. Nampaknya kau banyak baik, tuan."
"Aku merasa enakan banyak."
"Apa tuan ingin bersantap pagi sekarang?"
"Belum. Kalau perlu, sebentar aku nanti panggil kau."
Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ah Hong undurkan diri. Tidak lama, pintu tertolak pula.
"Masuk!" Leng In mempersilahkan.
"Tuan Leng, Dokter Ma Pek Teng datang!" begitu suaranya Ah Hong.
"Sebenarnya aku sudah sembuh. Tapi karena dokter sudah datang, silahkan ia masuk," sahut Leng In.
Ah Hong keluar, akan kemudian masuk pula bersama thabib yang ia undang.
Kapan Leng In lihat si thabib, ia sudah lantas keluarkan jeritan tertahan, hatinya goncang, pikirannya kalut, matanya bersinar ketakutan. Ia telah lihat satu thabib dengan tubuh yang tinggi dan besar, kulitnya gelap, mukanya persegi panjang, jidat dan janggutnya nonjol tetapi hidungnya ngelepot, sepasang alisnya yang gompiok menawungi .dua matanya yang celong, tapi yang sinar matanya, yang hitam, tajam sekali! Itu hukannya thabib, itu ada mukanya si setan pembesar Boan, si tukang culik manusia, si setan yang bawa lari Hiang Kat...
Toh thabib ini ada pakai setelan donkerblauw dengan overcoat hijau daun, sebelah tangannya mengempit koffer hitam, iapunya kulit muka tidak kuning dan juga tidak pakai pakaian Boan yang gerombongan!
"Kenapa kau, Tuan Leng" " tanya Ah Hong. "Harap kau tidak menjerit-jerit. Nanti orang sangka kaupunya otak terganggu..."
Jongos ini heran lihat tetamunya menjerit beberapa kali.
Benar-benar ada beberapa tetamu yang datang, untuk lihat apa yang terjadi, karena mereka dengar jeritannya Leng In. Dia ini tidak perdulikan banyak orang, pikirannya kusut benar, lagi-lagi ia perdengarkan jeritannya, agaknya ia sangat ketakutan.
"Tidak apa-apa," kata Ah Hong pada beberapa tetamu itu. "Tetamu ini sakit dan ia undang thabib. Tolong tuan-tuan undurkan diri."
Beberapa tetamu itu menurut, mereka pada berlalu. Mereka percaya otaknya Leng In ada sedikit tergganggu.
"Tuan ini sakit jantung atau asabat?"tanya Dr. Ma sambil ia letaki koffernya diatas meja.
Leng In sudah berhenti menjerit, matanya terbuka lebar dan terus mengawasi si thabib, yang benar adalah ia sudah tak mampu berteriak.
Selagi Dr. Ma buka koffernya, ia dapat lihat copie tilgram dan recu pengirimannya, untuk baca itu, ia sengaja ajal-ajalan mencari perabotannya. Maka ia pun lantas lihat kertas di mana tulisannya Leng In untuk In Hong. Itu ada copie yang batal dibikin, kertasnya sangat jelek, To Hok beli itu untuk lain tetamu tetapi si tetamu tak bisa pakai, ia antap saja di dalam laci, sampai Leng In minta kertas dan ia kasikan itu. Di atas itu ada kertas petalnya, yang masih ada tapak suratnya.
Maka itu, di antaranya ia dapat baca namanya In Hong. Air mukanya berubah kapan ia dapat baca isinya surat, meskipun sangat samar.
"Nanti aku periksa penyakitnya," ia kata setelah ia ambil iapunya pesawat, Dengan tindakan pelahan, ia hampirkan Leng In.
"Pergi, pergi, pergi!...." Leng In menjerit dengan usirannya, tetapi suaranya jadi sangat lemah.
Thabib itu berhenti bertindak, tetapi ia awasi si sakit itu.
"Tuan Leng, ini ada Dokter Ma yang aku undang atas permintaan kau," kata Ah Hong. "Ia ada dokter kesohor buat di tempat kita ini."
"Pergi, pergi!" Leng In berteriak pula. "Suru dia pergi!"
Ia ada sangat lemah tetapi ia coba kuati diri, "Menyesal, tuan Dokter," kata Ah Hong. "Baik tuan kembali saja, uang honorariumnya sebentar aku anteri..."
"Tidak," kata dokter itu, "Sakitnya tuan ini ada hebat. Sebagai dokter adalah kewajibanku untuk menolong, maka cara bagaimana aku bisa awasi saja orang menghadapi bahaya. Tidak apa untuk iapunya sikap kurang ajar ini". Apa bukannya tadi malam dia datang ke hotelmu ini" "
"Eh, kenapa tuan ketahui ia datang tadi malam" " tanya Ah Hong dengan heran. Ia menyangkah, kecuali pandai obati sakit, thabib ini pun bisa ilmu tenung.
"Eh, eh, ini..... sahut thabib itu, yang tak dapat kata-kata untuk menyahuti si pelayan. "Kalau dia datang kemarin, karena sakitnya begini hebat, tentu kemarin juga ia undang thabib. Ia tentu datang tengah malam maka sesudah kelambatan, baru sekarang kau undang aku. Nanti aku periksa jantungnya,"
Kembali Dr. Ma bertindak menghampirkan.
"Pergi!... pergi.....
Dan suaranya Leng In lemah sekali.
Dr. Ma sampai di depan pembaringan, dengan ia hadapi Leng In. ini berarti Ah Hong berada di sebelah belakang ia. Ia hadapi si sakit dengan mata dibuka lebar, mulutnya menyengir gedeh, hingga kelihatannya nyata romannya yang Jelek dan bengis. Itu ada roman yang menyeramkan, yang menakuti.
"Oh!.." Leng In menjerit, untuk penghabisan kali, karena ia terus berdiam, tubuhnya bergerak sedikit, lalu tak berkutik lagi.
Dr. Ma perlihatkan senyuman dari kemenangan, tetapi ia periksa orang punya dada, kemudian ia goyang-goyang kepala.
"Sakitnya tuan ini ada sangat berat, thabib pun diundang sesudah kasep." Ia kata pada Ah Hong, "meski aku sangat ingin menolong dia, sayang aku tak punya ilmu untuk menghidupi orang yang sudah mati. Baik kau undang lain thabib"."
Dr. Ma benahkan ia punya perabotan.
Ah Hong menghampirkan ke pembaringan, ia lihat tubuhnya Leng In berdiam, matanya mendelik.
"Tuan Leng, tuan," ia memanggil.
Leng In tidak menyahuti. "Tuan Leng!" memanggil pula si jongos, Sekarang ia datang dekat sekali, tubuhnya tunduk.
Leng In tidak menjawab. "Ah, tuan dokter, apakah ia sudah putus jiwa" " tanya jongos itu.
"Belum, ia belum mati, jantungnya toh masih memukul," sahut thabib itu. "Iapunya keadaan ada sangat berbahaya, ia bkal lepaskan napasnya yang penghabisan,"
Ah Hong gunai daya yang paling sederhana. Ia ambil kaca dan dekati itu pada mulutnya Leng In, kemudian itu ia periksa, Di situ tidak ada hawa mulut, yang biasa tertampak sebagai kabut, yang bikin kaca guram.
"Ia sudah putus jiwa, iapunya napas telah berhenti jalan," ia kata.
"Tuan dokter..... "Kalau begitu, benar dia sudah mati. Ia ada seorang asing, kau harus laporkan pada polisi," kata Dr. Ma "Kau pun harus wartakan pada pihak keluarganya,"
"Ia datang ke mari baru delapan atau sembilan jam, kita tidak tahu siapa keluarganya...." kata Ah Hong, yang jadi sangat bingung.
"Apakah kau tak pernah diperintah kirim surat ke rumahnya" Alamatnya iapunya surat tentu ada keluarganya,"
"Aku belum perna kirimkan suratnya,"
"Barangkali pelayan yang jaga malam. Coba kau tanyakan pada kawanmu!"
"Sahabatku tidak perna minta tolong aku kirimkan surat, ada juga tilgram"
"Tilgram itu toh memakai alamat?" kata Dr Ma pula.
"Benar, aku tolol" kata Ah Hong, "Setelah terima tilgram itu, tentu keluarganya akan datang kemari"
"Sekarang pergi lekas mlengabarkan pada kuasamu," kata Dr. Ma.
Ah Hong menurut, ia berlari-lari turun dari lauwteng.
Begitu lekas Ah Hong berlalu, Dr. Ma lantas repot cari suratnya Leng In, yang ia dugah belum dikirim. Di kantong bajunya Leng In, ia dapati sepotong surat yang sudah lecek, maka bersama kertas petal, ia masuki itu ke dalam sakunya.
cuma dua orang, Leng In dan Hiang Kat yang perna lihat jelas si setan pembesar Boan, dan di sebelah itu, adalah itu suratnya Leng In, berikut itu tapak surat di kertas petal. Maka ini bukti penjelasan hal si setan, mesti dilenyapkan, Hiang Kat berada di dalam kuburan dan Leng In sekarang menemui ajalnya. Kalau surat dan kertas petal dibakar, habislah semua saksi dan bukti.
Romannya si setan tak boleh diwartakan kepada umum.
Lalu Dr. Ma bawa koffernya dan berlalu dengan lekas dari kamarnya Leng In.
Tiga hari setelah Leng In meninggal, ke hotel An Tai ada datang satu nona dengan kemeja wol kuning dan celana jas kuning tua dengan mantel hitam di pundaknya.
Bersama ia ini ada satu nona dengan serba putih. Kalau si nona baju kuning ada eilok, yang berbaju putih ada gagah dan keren,
"Tuan Leng In menutup mata di itu hari juga, tidak lama sehabisnya dia kirim tilgramnya," terangkan kuasa hotel.
"Apa" " berseru Kat Po, dan tangannya terulur, untuk jambak kuasa hotel yang bertubuh kecil.
"Kau telah celakai dia, bukan" Dan mana dia punya kawan, satu nona?"
"Dia, dia datang sendirian, seorang diri?" sahut kuasa hotel itu dalam bingungnya, bahna ketakutan.
"Lepaskan tanganmu, aku tak bisa bicara..."
"Lepaskan dia, Kat Po," kata In Hong.
Kat Po tak berani membantah, ia lepaskan jambakannya.
"Itu tengah malam, tuan Leng datang sendirian," kata pula kuasa hotel itu. "Tidak ada satu nona yang datang bersama-sama dia?"
"Maukah kau tuturkan tentang tuan Leng ini" " kata In Hong, tetapi dengan tawar,
"Ia menutup mata sudah tiga hari, mayatnya telah dibawa ke kantor polisi," sahut kuasa hotel itu.
"Dua pelayanku ketahui baik tentang tuan Leng ini, nanti aku panggil mereka."
Dan Ah Hong dan To Hok sudah lantas dipanggil datang.
"Kauorang tuturkan kepada dua nona ini tentang tuan Leng sampai pada saat ajalnya," kata ini majikan pada dua pegawainya itu.
To Hok berdiri bengong, otaknya bekerja. Dalam ingatannya yang lemah, ia merasa perna dengar namanya ini dua nona, yang ada punya hubungan sama suatu Perkara, hanya meskipun demikian samar-samar, ia susah ingat itu dengan baik.
Ah Hong bisa menutur, segala apa yang ia tahu, benar ia tak bisa bicara dengan rapi, akan tetai In Hong dan Kat Po bisa tangkap maksudnya dengan jelas.
Kat Po tidak tunggu orang bicara selesai, ia sudah lantas lari keluar.
"Eh, kau hendak pergi kemana ?" In Hong tanya.
"Aku hendak cari Dokter Ma Pek Teng!" sahut saudara angkat itu.
Justru itu, To Hok perdengarkan suaranya.
"Kau toh yang dipanggil Nona In Hong?" begitu ia tanya.
"Benar, aku In Hong, " sahut nona kita.
"Kalau kau benar In Hong, aku ingat suatu apa, " kata To Hok, yang seperti orang sedar. "Ketika Tuan Leng belum menutup mata, ia titipkan sepucuk surat padaku, katanya untuk diserahkan pada Nona In Hong kalau nona data. Ia bilang itu ada satu surat yang sangat penting."
"Mana itu surat" " Kat Po berseru, "Lekas ambil surat itu!"
"Aku... aku lupa di mana disimpannya itu surat" sahut To Hok. Kembali ia bengong.
Kat Po jambak orang punya baju di bagian dada, "Mana itu surat" " ia membentak.
"Dia ada satu manusia pelupaan," Ah Hong kasi tahu.
"Ia pun bisa tak ingat bahwa isterinya bermuka bundar atau lonjong!"
"Ah..." dan Kat Po lepaskan tangannya dengan lesuh.
"Kau sabar, coba pikir dengan pelahan-pelahan," kata In Hong dengan sabar.
"Apa itu disimpan disini, di dalam hotel, atau di rumahmu" Atau itu berada dalam saku bajumu" ?"
"Di kantong, tidak ada, aku sudah rogo sakuku," sahut To Hok "Aku mesti ingat-ingat..."
"Berapa lama kau hendak berpikir" " tanya Kat Po.
"Barangkali satu-dua hari, tiga-empat hari, atau tujuh atau delapan hari...." sahut To Hok. "Biar bagaimana, mesti ada satu hari, yang aku akan ingat itu....."
"Oh, Thian!......." Kat Po mengeluh.
Karena belum bisa dapat keterangan lebih jauh, In Hong ajak Kat Po berlalu dari hotel.
"In Hong, kematiannya Leng In bikin kita sukar ketahui Hiang Kat menampak bencana apa..... kata Kat Po di sepanjag jalan besar.
"Celakanya, suratnya Leng In pun si jongos lupa simpan di mana..."
"Dr. Ma harus dicurigai, mari kita pergi padanya!" ia tambahkan kemudian.
"Tidak, lebih dahulu kita pergi ke kantor polisi," kata In Hong.
Bagian VI In Hong dan Kat Po sampai di kamar mayat dari kantor polisi, sebuah kamar yang buruk, Di sana mereka lihat mayatnya Leng In, mata dan muka siapa masih menunjuki roman dari ketakutan.
Kemudian, di kantor polisi, di kamarnya Detektif Kwa Tay Yong, mereka bertemu sama Detektif To Tjie An, si sahabat lawas, serta dia ini empunya pembantu. si Gemuk yang jujur dan polos.
Dan kedua detektif itu sedang fahamkan teka-teki pintu bunder pintu pesegi, pintu dari luar pintu, kunci yang akan membuka rahasia dari satu harta besar.
"Apa kedua nona-nona In dan Kat datang untuk itu harta besar yang terahasia" " tanya Detektif To separuh menyindir.
"Memang kita datang untuk itu harta besar yang terahasia," sahun In Hong dengan tawar. "Tapi kita pun datang untuk sanakku, tuan Leng In yang apes..."
"In Siocia, aku sudah dugah kau bakal datang kemari," kata si gendut. "Di hotel kita lihat copie untuk tilgram yang dikirim padamu, dari situ kita ketahui kau dan Leng In ada punya hubungan. Hanya ntah dengan Nona Hiang Kat, setahu bencana apa yang menimpah dirinya,,,"
"Halnya Hiang Kat, melainkan Leng In seorang yang ketahui, apa mau, Leng In telah menutup mata"." kata In Hong.
"Apa tak bisa jadi, Nona Hiang Kat dapat pengalaman seperti Nyonya Han" " si Gemuk nyatakan, "Selama yang belakangan ini kembali ramai tersiar perihal itu setan tukang culik manusia dikuburan Keluarga Ma di luar Sanmen. Di muka tiga hari yang lalu ada banyak orang yang lihat sendiri satu setan pembesar Boan telah tangkap seorang yang sedang berjalan malam dan besuknya di kuburan Keluarga Ma itu orang dapatkan diapunya lentera dan juga, itu handdoek sulam bungah seruni?"
"Apa handdoek itu masih disimpan disini" " In Hong tanya Kwa Tay Yong, Detektif Kwa manggut.
"Apakah aku boleh lihat itu tuan Kwa?"
"Tentu sekali, nona" sahut Detektif Kwa, yang terus keluarkan handdoek itu dari lemari.
In Hong dan Kat Po kenalkan handdoek dari kawan mereka.
"Ah Poan, benar dugahanmu," kata In Hong pada si Gemuk. "Benar Hiang Kat dapat nasib seperti Nyonya Han."
"Nona In, aku pereaya setan, aku tak punya otak akan memikir Iain," si Gemuk aku, "Laginya kejadian itu telah dilihat oleh banyak mata. Kalau mereka, bukan dibawa masuk ke dalam kuburan, habis kenapa mereka tidak ada bayangannya, tidak ada bekas-bekasnya" "
"Itulah untuk sementara saja, Ah Poan," kata In Hong. "Baik hidup maupun mati, aku akan bikin mereka nanti kelihatan bayangan dan bekas-bekasnya! Handdoek ini tentu kedapatan di dekat kuburannya Keluarga Ma, bukannya kejepit di batu seperti saputangannya Nyonya Han, bukan?"
"Benar, di tangga batu kuburan" si Gemuk jawab. "Nona In, cara bagaimana kau ketahui ini" "
"Sebab setan tak ada waktunya!"
"Aku tak mengarti, nona....."
"Dibelakang hari kau akan mengerti ini! Ah Poan, mautah kau tuturkan tentang penglihatannya itu tetamu-tetamu rumah makan, yang katanya melihat sendri si setan bawa lari si orang yang berjalan malam."
Si Gemuk suka berikan keterangan dan ia telah berikan itu dengan jelas.
"Dengan begitu," kata In Hong, "sebelumnya Hiang Kat terhilang, ia sudah tempur tiga orang lelaki dan seorang perempuan. Ini kejadian bisa dijadikan bahan penyelidikan terlebih jauh. Sekarang aku ingin bicarakan soal kematiannya Leng In. tuan Kwa, dan kau Tuan To, bagaimana pemandangan kau orang mengenai kematian Leng In itu?"
"Itu ada kejadian sewajarnya saja," sahut Kwa Tay Yong.
"Dan kau, Tuan To?"
Diantara In Hong dan To Tjie An ada permusuhan, atau persaingan gelap. Adanya In Hong menyebabkan Tjie An kekurangan suatu apa, ia jadi kelihatan sembrono, tolol dan jelus, hingga ia kehilangan muka, kehilangan keangkarannya. Ia mirip dengan Cioe Jie yang menghadapi Coekat Liang, yang sampai diundang tiga kali oleh Lauw Pie. Diam-diam ia sumpahkan In Hong dan juga Kat Po, nanti turut dibetot masuk ke dalam liang kuburan!
"Eh, To Tjie An, bagaimana kau" " Kat Po mendesak, dengan suara nyaring.
"Ah, Kat Siocia, suaramu ampir bikin aku budek" kata Tjie An, yang sedikit terperanjat, "Ini ada urusannya polisi setempat, aku tak punya pandangan apa-apa,"
"Leng In tak punya sakit jantung," In Hong kasi tahu, "Tak bisa menjadi ia binasa dengan tidak ada pokok sebabnya. Iapunya mayat kudu dibedah, untuk periksa isih-perutnya, guna mendapatkan kepastian,"
"Perlengkapan polisi di sini ada serbah kurang. Kita tak punya thabib," Tay Yong kasi tahu, "Ah Poan," kata In Hong, "tadi di jalanan aku lihat satu rumah sakit besar juga, harap kau suka segera bawa mayatnya Leng In ke sana,"
"Aku suka bantu kau, nona," kata si Gemuk.
"Tolol!" kataa To Tjie An dalam hatinya. Ia mendugah yang orang bawahannya itu sudi dengar titahnya In Hong. Malah nampaknya si Gemuk lebih gembira menjalankan titahnya si nona daripada titahnya sendiri, Ah Poan dapat lihat bibir sepnya memain, ia mendugah tentulah sep itu sedang maki ia si tolol, maka ia pun geraiki bibirnya, seperti ia mau menyahuti: "Ya, tuan,"
"Eh, Ah Poan, kau bilang apa" " tanya Detectip To, yang lihat orangnya kemak-kemik.
"Aku ucapkan kata-kata biasa untuk sambungi kata-kata kau, tuan...." sahut orang sebawahan itu, yang terus ngeloyor, Tapi tidak lama, ia sudah kembali.
"Nona In, ada suatu apa yang aku lupa bilangi kau" ia kata pada In Hong.
"Eh, kau mau apa lagi" " menegor Cie An. Ia tak ingin In Hong dapat banyak keterangan, ia kuatir si nona mendapat lebih banyak dan akan dului ia pecahkan perkara harta besar itu. Ia sendiri masih belum bisa pahamkan teka-teki itu.
"Ya, tuan," si Gemuk menyahut dengan pendek, seperti kebiasaannya.
"Kau tidak boleh sembarang banyak omong!" sang sep menegor, "Kuburan Keluarga Ma ada kuburan leluhurnya Dr. Ma Pek Teng dan kedua perkara ini tak ada hubungannya satu pada lain?"
"Siapa bilang tidak ada hubungannya" Seorang dan seorang telah dibawa masuk ke dalam kuburan, bagaimana bisa tak ada hubungannya" " kata si Gemuk sambil ia ngeloyor keluar!
"Memang Ma Pek Teng harus dicurigai," kata Kat Po, "dan polisi harus menyelidikinya"
"Nona Kat," berkata Detektif Kwa. "Aku sudah bekerja lama di sini, aku ketahui baik keadaan di tempat kita., Dr. Ma Pek Ten dan ia punya ayah, Ma Seng Hong, ada penduduk hartawan dan kenamaan di sini, pasti mereka tidak melakukan kejahatan. Apa nona percaya benar kedua orang yang lenyap itu telah dibawa masuk ke dalam kuburan" "
"Aku tidak bilang mereka dibawa masuk ke dalam kuburan"
kata Kat Po, "Tapi mengenai kematian secara tiba-tiba dari Leng In, Dr. Ma harus dicurigai! umpama kata pihak kauorang berdiam saja, terpaksa kita nanti pergi sendiri pada Keluarga Ma..."
"Bagus, bagus!" kata Detektif To. "Baiklah kauorang pergi sendiri kepada Keluarga Ma, akan tegor mereka. Hanya, aku kuatir, kauorang bukannya tandingan dari keluarga itu..."
Cie An ubah taktik setelah ia tak bisa kilungi bahwa kuburan keluarga Ma adalah kuburan dari keluarganya Dr. Ma. Ia mencoba akan bikin gusar kedua nona itu.
"Aku peringati baiklah jiewie jangan pergi pada Keluarga Ma," Detektif Kwa mencegah. "Ma Pek Teng dan Ma Seng Hong bukannya orang-orang yang bisa dibuat permainan. Kecuali kauorang telah dapatkan bukti yang kuat bhwa benar Dr. Ma telah bikin celaka pada Leng In. Kalau tidak, jiewie bisa datang ke rumahnya dengan masih hidup tetapi keluarnya sesudah binasa, nanti menyesal pun sudah kasep?"
"Aku tak tahu bahwa sesudahnya mati aku bisa menyesal?" sahut In Hong dengan adam.
"Tempat apa sih rumahnya keluarga Ma itu?" tanya Kat Po, "apa itu ada kedung naga dan guha harimau atau sarang bandit?"
"Semuanya bukan," sahut Kwa Tay Yong. "Ma Seng Hong, ayahnya Dr. Ma, ada seorang tua dengan adat kukuh dan koekoay, ia punya sikap adalah kalau orang tidak ganggu padanya, ia tak mau ganggu orang, ia hidup dengan damai dan halal, tetapi satu kali ada orang yang main gila, yang berani busuki ia sendiri atau keluarganya, atau yang merugikan ia punya kepentingan, ia tentu tak mau mengarti, ia tak kenal takut. Ia sudah berumur enam puluh lebih tetapi ia masih gagah, ilmu silatnya ada tinggi sekali. Dia punya bapa buyut, Ma Wie Siang, pernah jadi Touw-tong Toalooya dari Kaisar Boan, boegeenya ada liehay sekali, dan kepandaiannya Ma Wie Siang ada warisan dari leluhurnya. Dengan kepelannya ia bisa pukul batu menjadi ancur. Satu tendangannya bisa bikin roboh pohon kayu besar! Siapa juga tak berani menyebabkan kemarahannya orang tua itu. Dan itu kuburan tua adalah kuburan dari Ma Wie Siang ini. Di sebelah boegeenya, Ma Seng Hong ada berpengaruh, ia bergaul rapat sama segala pembesar negara. Siapa bentur Ma Seng Hong, ia ada seumpama membentur dato, atau menepuk lalat di kepala harimau. Maka itu aku kasi nasehat pada kau, jie wie, inlah aku punya maksud yang baik."
"Saudara Kwa, kau terlalu memandang enteng kepada dua nona ini," kata Tjie An si jelus. Ia kembali hendak kipasi hawa amarah dari dua nona itu. "Kedua nona ini ada punya boegee yang tak ada tandingannya, dari itu tak ada perlunya untuk saudara mengasi nasehat kepada mereka?"
Tjie An tahu benar, Kat Po paling gampang diobor, ia ingin obor dua-duanya, tetapi asal satu gusar, itupun sudah cukkup bagi ia untuk terbitkan gelombang di laut yang tenang, ia ingin sekali saksikan mereka itu bentrok dengan Ma Seng Hong, supaya mereka celaka, atau ia orang berdua pihak sama-sama musna"
"Laginya kedua nona ini bukan orang-orang tolol, sebaliknya mereka ada cerdik sekali," detektif ini tambahkan. "Mereka tahu yang mereka mesti pergi atau jangan. Buat pergi menantang Keluarga Ma itu ada sama saja orang anter jiwa atau membunuh diri! Sekalipun kau tak menasehati, saudara, mereka tak nanti pergi secara sembrono. Bukankah benar demikian, nona Kat?"
"Aku tidak berani pergi?" Kat Po kata. "Meskipun menerjang api, aku tidak takut! Mustahil aku jeri terhadap itu tua bangka she Ma?"
Kat Po lantas saja menjadi panas. Ia memangnya sedang mendongkol dan penasaran, pikirannya kusut memikiri Hiang Kat.
"In Hong, mari kita pergi!" ia teriaki encienya. Dan belum lagi kumandang suaranya berhenti, tubuhnya sudah mencelat keluar.
In Hong berbangkit, sambil tersenyum, ia hadapi To Tjie An.
"Tuan To, kau punya politik mengipasi sudah memberi hasil!" ia kata dengan sindirannyya. "Barangkali benar yang itu orang tua she Ma ada punya kepandaian liehay yang mengagumkan, tetapi aku harap saja apa yang kau kehendaki tak nanti berwujud! Nah sampai ketemu pula, jie wie!"
Lantas In Hong bertindak keluar, sambil berlari-lari, ia susul Kat Po, yang sudah sampai dijalan besar. Ia teriaki itu soemoay.
"Kenapa kau begini kesusu?" ia tegor kawan itu. "Kita harus menunggu sampai pembedahan atas tubuhnya Leng In, untuk mengetahui kesudahannya, apabila sudah ketahuan, sebab apa ia menutup mata, baharu kita pergi pada Keluarga Ma."
"Aku tak sabar lagi," Kat Po akuh."Sudah terang sekali, Leng In binasa di tanganya Dr. Ma Pek Teng. Apa yang kita mesti tunggu" Asal kita dapati pembunuhnya Leng In, lantas kita akan ketahui dimana dan bagaimana dengan keadaannya Hiang Kat. Kalau kau tidak mau pergi, biarkan aku pergi sendiri!"
Ucapan terakhir dari Kat Po sering bikin In Hong menuruti, hingga ia tak dapat lagi bertindak menurut ia punya rencana.
Ketika mereka lewati rumah sakit umum, di depan situ mereka lihat si Gemuk asik bicara sama beberapa dokter, juru rawat atau pegawai rumah sakit, dan waktu ia lihat kedua nona, ia segera memanggil.
"Nona In, Nona Kat!" kata detektif muda itu dengan ramah-tamah. "Dokter kepala disini telah janjikan aku bahwa besuk pagi ia akan kirim laporannya kepada kantor polisi. Sekarang kemana kau orang hendak pergi?"
"Kita hendak pergi ke rumah Keluarga Ma," sahut Kat Po.
"Jiewie toh bukan penduduk sini?" tanya satu pegawai rumah sakit.
In Hong manggut. "Bailah jiewie berhati-hati sedikit," kata satu pegawai lain.
"Lebih baik jiewie jangan pergi," kata pegawai yang ketiga. Ia kelihatannya lat sim. "Ma Seng Hong adalah ular setempat, satu okpa besar, kepandaiannya ada memeras dan menipu, hingga penduduk sini rata-rata takuti dia, semua lebih suka menyingkir jauh-jauh daripadanya! Ma Pek Teng juga bukannya dokter resmi. Buat beberapa tahun Pek Teng bekerja dalam sebuah rumah sakit di Shanghai dari itu ia dapat pahamkan ilmu menyuntik. Lalu dengan banyak baca buku-buku ilmu kethabiban, ia peroleh kepandaian yang lumayan, ketika kemudian ia pulang ke kampungnya sendiri, entah bagaimana, ia bisa dapati selembar diploma sekolah dokter. Maka dengan andeli pengaruh ayahnya, ia lantas dapatkan surat keterangan sah yang mengijinkan ia buka praktek disini. Ayah dan anak itu ada berkonco, mereka menjadi dua racun bagi tempat kita ini. Kabarnya Ma Seng Hong ada punya satu murid kepercayaan, yang katanya ada kepala dari satu rombongan bajak, oleh karena mana, ada dibilang dia ada menjadi tukang tadahnya?"
"Terima kasih atas kebaikan kauorang, tuan-tuan," In Hong mengucap. "Umpama kata tenaga kita berdua mengijinkan, kita harap nanti bisa singkirkan mereka itu."
Mereka tinggalkan rumah sakit, mereka jalan terus hingga mereka lihat hotel An Tay.
"Suratnya Leng In untuk kita pasti ada sangat penting," kata Kat Po. "Mari kita mampir lagi di hotel, barangkali itu juru layang Beng To Hok sudah ingat dimana dia simpan surat itu?"
In Hong setuju. Selagi mereka bertindak di pintu hotel, Ah Hong kelihat sedang turun dari lauwteng kedua.
"Ah Hong, apa kabar dengan To Hok?" Kat Po dului tanya."Apa ia sudah ingat?"
"Belum," jawab Ah Hong, "Sekarang To Hok sedang sendirian di dalam kamar kosong, ia lagi berpikir keras akan ingat di mana ia simpan suratnya! Ia larang siapa juga datang ganggu padanya!"
"Ah," mengela Kat Po, dengan putus asa.
"Eh, Ah Hong," tannya In Hong, "ketika itu pagi tuan Leng minta kau panggilkan dia thabib, kenapa kau tidak pergi saja ke rumah sakit?"
"Dr. Ma Pek Teng ada bikin perjanjian sama hotel kita ini, asal ada tetamu kita yang sakit, ialah yang mesti dipanggil," Ah Hong kasi keterangan. "Kalau kita tidak undang ia, kita orang bisa nampak kesulitan!"
Ah Hong kelihatan ada bersusah hati, ia seperti hilang kegembiraan.
In Hong dan Kat Po jalan terus, mereka batal mampir di hotel. Mereka sudah lewati satu jalan besar yang melintang, lantas mereka lihat sebuah rumah gedung. Itulah sebuah gedung model kuno dan bersifat gedung pembesa negeri jaman feodal, dua daun pintunya yang besar, yang di cat hitam, ada memakai gelang kuningan. Kelihatannya seperti gedung itu baharu dicat pula, gelang kuninganna juga ada mengkilap mentereng sekali.
Di pintu pun ada dipasang dua papan merek dari kuningan, yang satu berbunyai " Ma Hoe" atau gedungnya orang she Ma, dan yang lain ada ukiran namanya Dr. Ma Pek Teng. Di kedua samping pintu ada nongkrong sepasang cio say atau singa-singaan batu yang berat sekali, menandakan itu ada gedungnya seorang agung dan berpengaruh"
In Hong hampirkan pintu, memegang gelang kuningan, ia mengetok tiga kali. Ia mengetok dengan pelahan, ia menunggu sekian lama, ia tidak lihat ada yang keluar atau menyahuti, maka ia mengetok pula, lagi tiga kali.
"Kau terlalu sabar, In Hong, maka juga pintu tak ada yang buka," kata Kat Po. "Marilah kasi aku!"
Dan nona yang berangasan ini bukannya mengetok pintu, hanya ia mendupak beberapa kali, hingga daun pintu menerbitkan suara sangat berisik, sampai seperti gedung itu hendak ambruk, sedang dicat pintu lantas berpetah tapak kaki!
Kat Po percaya bahwa Keluarga Ma ini, bapak dan anak, ada keturunan okpa, hartawan yang jahat, dari itu kebenciannnya lantas timbul, dan kebenciannya itu suka dirupakan oleh perbuatannya ia punya kaki dan tangan. Ia tak setujui sikapnya In Hong, yang gusar dan girang jarang terlihat tegas pada tampang mukanya.
"Eh, eh, kurang ajar!" demikian satu suara keras dan kasar, "Kurang ajar! Kurang ajar!"
Dua-dua In Hong dan Kat Po segera menoleh, kearah dari mana suara datang.
Disamping, kira-kira dua puluh tindak dari pintu besar itu, ada sebuah pintu yang kecil, dan dimuka pintu itu, ditangga batu, ada berdiri seorang lelaki umur tigapuluh lebih, tubuhny tinggi dan besar, bajunya pendek. Dengan ulur sebelah tangannya, dengan keluarkan dua jarinya, dia itu sedang menuding. Dialah yang mencaci.
"Eh, darimana datangnya ini dua perempuan liar, kenapa diaorang berani gedor-gedor rumahnya Ma Looya"..." ia kata. "Kurang ajar!"
Kat Po hendak maju, untuk memberi ajaran, tetapi In Hong cegah ia.
"Apakah kau ini ada pegawai dari gedung ini?" In Hong tanya. "Kitaorang mau ketemu Dr. Ma Pek Teng."
Pendekar Penyebar Maut 13 Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Kaum Pemuja Setan 2