Pencarian

Naga Bhumi Mataram 8

Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 8


Membayang kembali apa yang terjadi pada lebih dari dua puluh
lima tahun silam. Saat orang yang disebut namanya itu dikatakan
telah membunuh dua orang terdekatnya. Dua orang yang
merupakan pilar utama Perguruan Warja Kunta (Tombak Petir),
Dua Adik Seperguruan dari orang itu. Tubuh orang itu bergetar
dan giginya berbunyi gemerutuk. Nama itu telah membangkitkan
amarahnya. Amarah yang sangat dalam.
Tidak seperti orang dengan tombak pendek yang telah
menyatakan amarahnya, orang tua bermuka pucat itu justru
terdiam. Ia tahu persis apa yang terjadi di balik peristiwa yang
telah membuat orang dengan tombak pendek menjadi sangat
murka. Peristiwa dua puluh tahun silam.
Muka Iblis kemudian menceritakan bagaimana pertemuannya
dengan jejak Abhinaya itu. Orang tua itu mengusulkan agar jejak
itu terus dibayang-bayangi dan dicermati. Orang-orang di sana
setuju dengan usul itu. Usul yang sebelumnya telah didukung
oleh Nenek Taragnyana dan Utpala Waliwis. Jejak itu harus
diwaspadai, karena keberadaannya dapat berpengaruh terhadap
437 18 rencana di Tembelang. Berpengaruh terhadap Tembelang Geger
Rancang. *** Arga dan Janaloka berdampingan menuju Pesanggerahan. Dua
anak muda itu berjalan pelan. Berjalan sambil bercakap-cakap.
Kadang tertawa bersama. Pesanggerahan itu terletak tepat di
belakang kediaman Samaragrawira sebagai Ketua Merak Mas.
Tempat Arga telah menghabiskan masa kecilnya. Pesanggrahan
itu tidak telalu luas namun sangat nyaman dan tenang. Tempat
yang sangat tepat untuk mengurung diri, mendalami sesuatu
yang rumit dan memerlukan banyak pertimbangan.
Di pesanggerahan itu, Ketua Samaragrawira telah mengurung diri
selama hampir dua purnama belakangan ini. Mengurung diri
bersama Ki Gilingwesi. Selama itu pula, urusan Perguruan
ditangani sementara oleh Bawana Manyura Sapta (Tujuh Merak
Dunia), tujuh murid utama Merak Mas. Sementara untuk urusan
pemerintahan, Samaragrawira menyerahkan kepada Janaloka.
"Biar anak muda itu belajar tentang pemerintahan". Tetua
Gilingwesi mengatakan itu menyakinkan keputusan Saudara
Seperguruannya. Dua Tetua itu mengurung diri untuk mengurai dan menyelami
kekuatan Perguruan. Kekuatan yang dipercayakan kepada
mereka berdua. Dalam upaya itu, mereka telah mengurai satu per
satu, bahkan bagian per bagian, jurus-jurus utama dari Perguruan
Merak Mas. Mengurai untuk melihat dan mencermati kembali
seluruh bentuk dan isi dari apa yang telah diwariskan kepada
mereka. Atas dasar itu, mereka tahap demi tahap dengan cermat
438 dan hati-hati membentuk dan memberi makna dan pengertian
baru tentang bagian-bagian itu. Makna dan pengertian baru
menurut bentuk dan isi, yang untuk selanjutnya diletakkan dalam
konteks yang baru. Dalam konteks baru itu, dua Tetua Perguruan
Merak Mas merangkai dan membentuk gerakan-gerakan baru
melengkapi enam jurus yang telah ada sebelumnya.
Selama dua purnama, Ketua Samaragrawira dan Tetua
Gilingwesi telah merampungkan dan mematangkan empat jurus
lain baru. Empat jurus yang mereka beri nama: Swarna Manyura
Ampak-ampak (Kabut Merak Mas), Swarna Manyura Yakut
(Mutiara Merak Mas), Gardaka Swarna Manyura (Merak Mas
Mengamuk) dan terakhir Belapati Swarna Manyura (Merak Mas
Bertempur Hingga Akhir). Empat jurus tambahan hasil
permenungan bersama. Cahaya senthir telah menerangi ruangan di pesanggerahan itu.
Lima orang di ruangan itu datang telah mengambil tempat
masing-masing. Duduk bersila membentuk lingkaran. Satusatunya gadis bersila di samping Ki
Gilingwesi. Raut muka gadis
itu masih membeku sekalipun sudah tampil merona segar.
"Engg?r Arga, aku bersyukur bahwa kini engkau telah kembali
19 dengan tidak kekurangan sesuatu apapun." Ketua Samaragrawira
membuka pembicaraan di ruangan itu.
"Selama delapan tahun aku terus dibayang-bayangi kekhawatiran
mengenai keberadaanmu. Aku pun telah meminta murid-murid
Merak Mas mencari dan menemukan dirimu untuk kembali
pulang. Namun, usaha itu tidak membawa hasil. Tetapi, syukurlah
sekarang engkau telah kembali ke Merak Mas. Kembali dengan
sesuatu yang tidak terbayangkan. Seperti halnya yang berada di
sini, aku sangat tertarik untuk mendengar bagaimana dirimu
439 melewatkan hari-harimu selepas meninggalkan Merak Mas".
Ketua Samaragrawira pada akhirnya menyatakan keingintahuan.
Yang ditanya tetap bersila dan menundukkan kepala. Tunduk
pada orang yang sangat dihormatinya. Menarik nafas panjang, ia
pun berkata. "Paman, Arga sekali lagi meminta maaf atas apa
yang terjadi delapan tahun silam. Karena ketakutan, aku telah
melarikan diri dari kediaman Paman. Apa yang kulakukan itu
telah membuat Paman dan seluruh Perguruan Merak Mas
menjadi khawatir. Sekali lagi Paman, aku minta maaf atas apa
yang telah aku lakukan menyusul peristiwa itu." Arga kembali
menyatakan penyesalan dan permintaan maaf.
"Sudahlah. Apa yang telah terjadi sudah lama aku lupakan. Aku
hanya berharap dan menanti kapan engkau kembali" Perkataan
itu memberi kelegaan pada pemuda itu.
"Yang aku tidak mengerti bagaimana engkau bisa menerima
jurus-jurus gadis nakal itu tanpa meninggalkan pengaruh yang
berarti dalam dirimu". Dalam perkataan Ketua Samaragrawira itu
ada penekanan. Penekanan pada kata-kata "gadis nakal". Sontak
orang yang dimaksudkan pun menjadi tambah tertunduk.
Arga memaknai kata-kata terakhir Ketua Samaragrawira itu
sebagai upaya orang tua itu menelisik. Menelisik apa yang telah
terjadi sesudah kepergiannya dari Merak Mas. Bagaimana ia
dapat menyadap kekuatan yang sekarang ada padanya.
Penelisikan atas apa yang telah terjadi selama delapan tahun.
Anak muda itu pun menceritakan apa yang telah dialaminya.
Menemukan tidak sengaja sebuah gua. Gua yang sebelumnya
pernah ditinggali oleh seseorang. Mempelajari ukiran-ukiran pada
dinding gua itu. Ukiran yang ditinggalkan oleh orang itu. Lalu
kembali menemukan gua lain. Gua kediaman orang yang sama.
440 Orang yang menamakan dirinya Naga Branjangan. Orang yang
tidak banyak menyatakan diri siapa sebenarnya. Dan, pada
akhirnya memutuskan pergi kembali mengunjungi Perguruan
Merak Mas. "Dari apa yang telah Arga lalui, yang terpenting
adalah Hyang Agung selalu memberikan perlindungan
kepadanya. Dalam lindungan itu, pada akhirnya Arga dapat
bertemu kembali dengan Paman Wira, Paman Gilingwesi,
Kakang Janaloka dan Puteri Maheswari". Garis besarnya apa
20 yang telah terjadi sepanjang delapan tahun silam telah dikatakan.
Dikatakan dengan tekanan pada kuasa Hyang Agung yang terus
menjaga dan memberikan perlindungan.
"Dengar Maheswari, syukur Hyang Agung telah melindungi diri
Arga dari apa yang telah kau lakukan. Kalau saja tidak demikian,
ayah tidak akan mengampunimu. Engkau telah sembarangan
turun tangan, apalagi itu dengan Merak Menggetar-guncangkan
Semesta. Bukankah sejak awal ayah telah berpesan untuk tidak
sembarangan melepaskan jurus itu. Segeralah minta maaf pada
Engg?r Arga." Teguran keras kembali meluncur dari Ketua
Samaragrawira kepada Maheswari.
Gadis itu menjadi kian menunduk, dan lirih hampir menyatu
dengan kesunyian suasana pada sanggar itu, berkata: "Maaf
aku". Hanya dua potong kata singkat keluar dari mulut gadis itu.
Kental terasa bahwa dua kata diucapkan dengan terpaksa dan
rasa enggan. Tetapi, harus dikatakan karena perasaan takut pada
orang yang telah menegurnya.
"Baiklah, hari sudah semakin malam. Aku ada keperluan dengan
Paman Gilingwesi. Janaloka, ayah minta engkau menjaga dan
mengawasi Maheswari. Jangan biarkan adikmu itu mengulangi
apa yang telah dilakukannya." Kata-kata itu bukan permintaan
441 tetapi merupakan peringatan. Suatu peringatan keras tertuju anak
gadisnya. "Engg?r Arga, sebaiknya engkau pergi beristirahat untuk
memulihkan keadaanmu". Katanya menyusul. Sesudah memberi
hormat kepada dua orang tua itu, tiga anak muda itu pun
beringsut meninggalkan pesanggerahan.
Kini hanya Ketua Samaragrawira dan Ki Gilingwesi pun berdiam
di ruangan itu. "Baik apabila aku meminta Kakang Cutajanma
datang ke mari. Pandangan dan pertimbangan Kakang
Cutajanma sangat dibutuhkan untuk menilai empat jurus yang
telah didalami. Selain itu, kita pun secara bersama dapat
membicarakan perkembangan yang telah terjadi, khususnya
kehadiran Wilmuka di kota ini". Ketua Samaragrawira menyetujui
usul itu. Tidak berapa lama kemudian di ruang itu telah hadir Ki
Cutajanma bersama dengan Ki Gilingwesi yang telah meminta
orang tua itu datang ke pesanggerahan. Kini, pada
pesanggerahan itu telah duduk tiga orang. Yang pertama kali
mereka bicarakan adalah kehadiran Wilmuka di Tembelang dan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi menyusul kehadiran
mereka. Pembicaraan itu begitu serius berlangsung, dan mereka
telah larut dengan pendapatnya masing-masing.
*** Kakak beradik itu telah mengantar Arga tiba pada sebuah bilik itu.
Bilik yang disediakan untuk Arga menginap. Di depan bilik itu tiga
anak muda itu sesaat berhenti dan bercakap-cakap sejenak.
"Arga, beristirahatlah. Besok aku akan menemanimu
mengunjungi ruang kitab. Selama engkau pergi, terdapat
21 442 sejumlah kitab telah menambah kumpulan kitab-kitab di sana.
Aku jamin engkau pasti lupa segalanya setelah membaca kitabkitab itu". Janaloka memang sangat
mengerti kesukaan Arga. Mendengar ruang kitab, hati Arga bergolak gembira. Ruang itu
adalah ruangan yang paling sering didatangi Arga kala ia masih
berada di perguruan Merak Mas. "Dasar kutu kitab." Kata adik
pemuda itu dalam hati. Setelah berkata demikian, Janaloka pamit undur diri dan kakak
beradik itu pun meninggalkan Arga sendirian di biliknya. Setelah
membersihkan diri, Arga pun membaringkan dirinya di
pembaringan pada bilik itu.
*** Tidak berapa lama setelah mengantar Arga beristirahat dalam
biliknya, Janaloka menarik menjewer telinga adiknya. "Dengar
anak nakal, untung ada Paman Gilingwesi. Kalau tidak, engkau
pasti telah dikurung untuk menjalani hukumanmu". Kata-kata itu
terdengar jenaka diutarakan dengan gaya orang tua yang
menghukum anak gadis kecilnya yang nakal.
Gadis itu melotot marah. "Habis anak itu telah berulah yang
mengakibatkan aku kehilangan kuda kesayanganku". Ia pun
menepis tangan kakaknya untuk melepaskan jeweran pada
telinganya. "Kakang, aku sangat heran mengapa anak itu tidak menjadi
terluka oleh pukulan Merak Menggetar-guncangkan Semesta?"
Tanya gadis itu mengungkapkan keheranannya. "Sebegitu
beruntungnyakah, sampai-sampai Hyang Agung mengulurkan
tanganNya untuk melindunginya", gadis itu menambahkan. Yang
443 ditanya tetap terdiam, hanya mengangkat bahunya tanda tidak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Saat itu keduanya telah tiba di sebuah taman tetap di belakang
bilik gadis itu. "Kakang Janaloka, aku akan melatih jurus-jurusku
di sini. Kakang boleh meninggalkan aku. Menjelang tengah
malam nanti aku berjanji akan berhenti dan pergi masuk ke
kamarku". Janaloka hanya diam memandang adiknya yang perlahan
meninggalkannya bergerak menuju suatu tempat di tengah
taman. Tempat yang sering digunakannya berlatih, selain
pesanggerahan ayahnya. Melihat adiknya itu, Janaloka hanya
menggelengkan kepala sebentar kemudian pergi meninggalkan
gadis itu. Hari ini ia sangat gembira. Teman masa kecil telah
kembali padanya. Di tengah taman, Maheswari telah mengambil sikapnya. Bergerak
melenting langsung membawakan jurus Merak Membuka
Sirkulasi Jalan Langit. Jurus ini merupakan teknik menghindar.
Jurus menghindar yang didasarkan pada gerak sirkulasi bendabenda angkasa. Ketua
Samaragrawira dan Ki Gilingwesi telah
22 membimbing langsung gadis itu. Membimbing hingga pada
penguasaan yang matang dan sempurna. Dengan jurus ini, gadis
itu dapat menghindar sekaligus menyerang secara bersamaan. Ia
mampu menyeimbangkan dengan sempurna antara gerakan
mengelak sekaligus menyerang.
Maheswari terus bergerak memainkan teknik andalan Merak Mas
lain. Kini, separuh sudah gadis itu melewatkan jurus Merak
Membalik Arus Jagat Raya. Jurus elastis yang memungkinkan
gadis itu melakukan perubahan-perubahan dari sifat tenaga yang
dikerahkannya dari keras ke lembut ataupun sebaliknya. Dalam
444 kemampuan ini pun, gadis itu telah mapan untuk mengubah sifat
tenaga sekehendak hatinya. Perubahan sifat tenaga ini akan
sangat berguna dalam pertarungan, karena akan menyulitkan
lawan mengantisipasi sifat tenaga yang telah melandasi suatu
serangan. Selesai sudah seluruh jurus Merak Membalik Arus Jagat Raya
dimainkan. Gadis itu cepat beralih memulai Merak Mas Merah
Membara dari pembukaan hingga penutup. Bergerak sedikit
menyamping, Maheswari menggelar tiga jurus andalan Merak
Mas secara berturut-turut. Merak Membalik Arus Jagat Raya,
Merak Melontarkan Halilintar ke Sembilan Langit dan Merak
Menggetar-guncangkan Semesta. Tiga jurus itu dimainkan tahap
demi tahap, dari awal hingga penutupannya.
Tanpa disadari oleh gadis itu, sepasang mata mengintainya dari
atas atap sebuah bangunan di dekat taman. Sepasang mata dari
orang yang menempel rapat pada atap bangunan yang terbuat
dari tanah liat. Orang itu telah menyamarkan dirinya dengan
gelap yang menjalari atap. Atap tempatnya rapat menempel. Ia
terus mengamati setiap gerakan yang dimainkan gadis itu,
bahkan sejak gadis itu mengambil suatu sikap saat ingin memulai
gerakan-gerakannya. Orang itu tidak hanya mengamati gerakangerakan itu, melainkan telah


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencatat dalam benaknya bentuk
dan isi dari setiap gerakan gadis itu.
Pada saat gadis itu memasuki bagian penutup jurus Merak
Menggetar-guncangkan Semesta, tiba-tiba sebuah bayangan
menyambar turun dari atap bangunan dekat taman. Bayangan itu
hinggap ringan di hadapan gadis itu.
Ketika itu juga tampil seorang lelaki dengan wajah ditutup cadar.
Yang telihat hanya puncak dari kepala dengan rambut yang lebat
445 dan sepasang matanya yang tajam bersinar. Pada pundak tubuh
orang itu terlihat sebuah punguk sebagaimana ada pada sapi
jantan. Punguk tanda cacat tubuh.
Pada umumnya orang berpunguk akan terlihat pendek. Orang itu
tidak demikian. Dengan punguk yang ada pada punggungnya,
orang itu masih terlihat tinggi. Bisa dibayangkan jika punguk itu
tidak ada, maka orang itu akan berdiri tinggi di atas pada
23 umumnya lelaki waktu itu. Ia adalah seorang lelaki yang
seharusnya menjulang jangkung bila tidak ada punguk pada
punggungnya. Tilikan mata, yang tajam bersinar itu, telah
menatap lekat anak gadis Ketua Samaragrawira.
"Siapa ka...." Belum sempat gadis itu merampungkan kalimatnya,
orang bercadar dengan punguk telah berkelebat cepat
menyerang. Gadis itu dengan sigapnya telah berkelit dengan
jurus Merak Mengayun 1000 Hasta. Salah satu teknik
menghindar yang menjadi andalan perguruan Merak Mas.
Sekalipun mampu menghindar, namun gadis itu masih terus
berada dalam bayang-bayang kepungan serangan orang itu.
Beberapa kali orang berpunguk itu melakukan gerakan mematuk,
menendang dan mengunting menyerang dirinya.
Gadis itu sangat terperanjat dengan gelar gerakan-gerakan itu.
Gerakan dari jurus-jurus perguruannya sendiri. "Siapakah orang
bercadar yang juga mahir menggelar jurus-jurus Merak Mas?"
Batin sang gadis. Orang itu memang telah memainkan pembukaan dari Merak Mas
Merah Membara, yang juga telah dimainkannya tadi. Hanya saja
pada gerakan orang itu, panas unsur api menjadi begitu nyata
melebihi apa yang bisa ditampilkannya sendiri. Kekagetan itu
telah membangkitkan kewaspadaan dan kecermatan Maheswari
446 untuk mengamati setiap gerakan orang bercadar yang telah
memainkan jurus-jurus perguruannya sendiri.
Hanya saja gadis itu mencatat beberapa perubahan pada
gerakan-gerakan orang itu. Perubahan yang telah menjadikan
Merak Mas Merah Membara lebih efektif, khususnya lebih efektif
dalam mengalirkan sengatan panas elemen api yang melambari
jurus itu. Di tangan orang itu, jurus Merak Mas Merah Membara
yang sangat ia kenali telah mengurung dan terus mendesak
dirinya. "Aneh, bagaimana mungkin aku dapat terpenjara di
bawah bayang-bayang jurusku sendiri." Lagi Puteri Ketua Merak
Mas membatin. Paduan Merak Mengayun 1000 Hasta dan Merak Membuka
Sirkulasi Jalan Langit telah membuat gadis itu bergerak lincah.
Lincah untuk terus menghindar dan sesekali membalas
menyerang. Hanya sesekali menyerang. Begitulah keadaan gadis
itu. Sebab, orang itu terus memburu. Tiada henti memburu
sehingga gadis itu hanya bisa menghindar. Menghindar dengan
sekuat tenaga. Dihadapkan pada gerakan orang yang terus
memburunya, gadis itu seakan-akan berada di tengah kurungan
sekat-sekat yang tak terlihat.
Sependeresan nira, kepungan terus berlangsung tidak sedikitpun
menjadi kendor. Semakin rapat. Mencoba mengendorkan
kepungan, Maheswari melancarkan sebuah serangan balasan.
Tapi, serangan itu tetap tertekan dan terhimpit. Tertekan dan
terhimpit oleh serangan jurus yang sama. Hanya dilakukan oleh
orang yang berbeda: orang bercadar dengan punggung
24 berpunguk. Sepanjang pertarungan itu, orang bercadar telah menampilkan
jurus-jurus Merak Mas. Jurus-jurus yang juga sangat dikuasainya.
447 Ini semua justru telah membuat gadis itu terkesiap. Di
hadapannya, ada orang yang telah memainkan jurus-jurus Merak
Mas menurut cara yang berbeda. Jurus-jurus itu dapat dimainkan
berubah-ubah sesuai keadaannya. Hal ini telah membuka mata
gadis itu. Di bawah tangan orang yang sangat piawai,
sebagaimana orang bercadar itu telah perlihatkan, jurus-jurus
Merak Mas dapat dijalankan dengan perubahan-perubahan yang
tidak terduga. Di tangan orang itu, peralihan satu jurus ke jurus
lain berjalan begitu sempurna. Peralihan dalam satu kesatuan
rangkaian gerak yang tidak menyisakan celah kosong di
dalamnya. Apa yang ditunjukkan orang itu, telah membuka
cakrawala baru dalam memahami jurus-jurus Merak Mas.
Di tengah apa yang sedang berlangsung, Maheswari sangat
menyadari keadaannya. Pada waktunya orang itu akan
menjatuhkannya. Sekarang atau nanti. Sama saja. Karena itu, ia
pun mengerahkan Merak Menggetar-guncangkan Semesta ke
tingkat tertinggi penguasaannya. Sore tadi, jurus yang sama telah
menerjang tiga kali tubuh anak muda yang dihukumnya. Jurus
yang berintikan pengabungan lima unsur. Meluncur secepat kilat,
gadis itu menerjang dengan Merak Menggetar-guncangkan
Semesta. Melihat datangnya jurus itu, secepat kilat orang bercadar itu
mengubah jurus yang sedang digelarnya. Ia memainkan jurus
yang sama. Merak Menggetar-guncangkan Semesta. "Tidak
masuk akal. Bagaimana mungkin, orang itu dapat mengubah
gerakan di tengah jalan. Mengubah itu dengan jurus sama
dengan jurus yang aku mainkan." Gadis itu menjadi keder dan
kecut. Harapannya sirna. "DESSS". 448 Jurus yang sama namun digelar oleh dua orang yang berbeda
telah membentur. Akibat benturan itu, kepala Maheswari menjadi
pening. Dadanya sesak dan perutnya menjadi sangat mual.
Desakan tenaga yang terlontar, telah membalik menyerang
dirinya. Tidak lama kemudian, gadis itu memuntahkan sesuatu yang
tampak pekat dari mulutnya. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk
ke tanah. Tidak sampai terbentur tanah, orang bercadar
menyambar tubuh gadis itu.
"Gadis yang sangat cantik". Mata gadis itu telah tertutup rapat.
Tidak sadarkan diri. Cepat begerak ia membopong dan membawa ke balik rimbunan
tanaman yang tumbuh subur di taman itu. Entah apa yang akan
dilakukan oleh orang bercadar pada gadis yang telah menjadi
25 tidak sadarkan diri dan dibopongnya masuk ke dalam gelapnya
rimbunan tanaman di taman itu. Saat itu suasana taman menjadi
sangat sepi, hanya bunyi jangkrik dan binatang malam yang
terdengar menyambut malam yang kian menjelang.
*** Dua penderesan nira kemudian, sekelebat bayang bergerak ke
luar dari rimbunan tanaman di tanam. Bayangan itu bergerak
cepat. Sangat cepat. Menghilang. Di pesanggerahan tiga orang
tua masih bersama. Mereka adalah Ketua Samaragrawira, Ki
Gilingwesi dan Ki Cutajanma. Tidak lagi bersila seperti
sebelumnya. Tapi, telah berdiri dengan penuh sigap. Dua berdiri
agak di pinggir. Seorang di tengah dan telah mengambil suatu
sikap. Ketua Samaragrawira akan menunjukkan empat jurus baru
449 yang telah dimatangkan bersama dengan Ki Gilingwesi.
Sebentar saja, Swarna Manyura Ampak-ampak (Kabut Merak
Mas) telah dimainkan. Dari tubuh Ketua Samaragrawira, keluar
kabut tebal dan menebar ke sekeliling. Orang tua itu pun
bergerak tangkas. Begitu ia bergerak, kabut itu pun bergerak
bersamanya. Orang tua itu telah berkelebat memainkan jurus ke
segala arah. Sebentar saja ruangan pesanggerahan itu telah
dipenuhi oleh kabut. Kabut yang disertai dengan bunyi sambaran
angin yang menderu. Sambaran angin itu adalah efek yang
ditimbukan oleh setiap unsur gerak orang tua itu. Unsur gerak
menggunaan dua tangan dan kaki. Baik berupa pukulan, tebasan,
totokan maupun tendangan.
Ruangan itu belum sepenuhnya terbebas dari kabut. Kabut masih
menebar di mana-mana. Saat itu, Ketua Samaragrawira telah
menyelesaikan Kabut Merak Mas. Cepat orang tua itu telah
beralih pada tahapan Swarna Manyura Yakut (Mutiara Merak
Mas). Lewat jurus ini, terlontar butir-butir putih. Kristal-kristal air
yang mengeras karena pembekuan. Tenaga murni Ketua
Samaragrawira telah mengubah kabut dalam sekejap menjadi
dua wujud berbeda. Tenaga murni itu mengubah kabut menjadi
uap air dan pada saat yang sama membekukan uap air itu
menjadi kristal air. Kristal-kristal air itu berdesing-desing terlontar.
Terlontar ke arah yang dikehendaki oleh Ketua Samaragrawira.
Kristal air itu tidak sekedar terlontar. Tapi, di dalamnya terdapat
muatan tenaga. Dengan tenaga itu, kristal-kristal air itu telah
melesat sangat cepat. Begitu deras membentur sasaran padanya
jurus itu diarahkan. Saat membentur sasaran, kristal-kristal air itu
tidak luruh atau pecah, tapi mendesak tembus sasaran itu.
Tenaga pada kristal yang memungkinkan itu terjadi. Itu terlihat
450 pada dinding batu pesanggerahan itu. Sebagian dinding batu itu
telah tertembus oleh kristal-kristal air. Daya tembus luas biasa.
Pengerahan Mutiara Merak Mas telah mengubah unsur alam
tidak kasat mata menjadi benda padat. Melalui jurus itu, kristalkrital air dapat dimanfaatkan sebagai
26 senjata untuk menyerang lawan. Selepas itu, Ketua Samaragrawira pun memainkan dua jurus baru
lain. Gardaka Swarna Manyura (Merak Mas Mengamuk) dan
terakhir Belapati Swarna Manyura (Merak Mas Bertempur Hingga
Akhir). Dua jurus luar biasa. Tidak kalah dengan yang
sebelumnya. "Luar biasa, jurus-jurus yang telah melalui pengolahan mendalam
oleh orang yang memang sangat piawai." Batin orang yang sejak
tadi mengamati tiga orang tua itu. Orang itu menempatkan diri
pada sebuah sudut sempit di pojok atas pesanggerahan itu.
Hanya terlihat matanya. Kekaguman terpancar dalam diri orang
itu. Serta merta ia membuat sebuah gerakan gelengan kepala.
Gerakan kecil itu telah menyibakkan keberadaannya.
"Siapa di situ. Keluarlah turun." Ki Gilingwesi membentak dan
mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh.
Mengapa keberadaanya bisa tercium oleh tiga orang itu"
Mungkinkah orang itu begitu ceroboh melakukan gerakan ringan
tadi" Atau ia sengaja melakukannya" Melakukan untuk memberi
tahu kepada tiga orang tua itu tentang keberadaannya di tempat
itu. Hanya orang itu seorang yang tahu. Melihat sebuah aliran
tenaga telah meluncur ke arahnya, orang itu meloncat gesit
menghindar dan mendarat di hadapan tiga orang tua itu.
Ki Gilingwesi tidak meneruskan serangannya. Ia sekedar
451 membuat orang itu menampakkan diri. Ingin tahu siapa yang
telah mencuri lihat jurus-jurus baru Merak Mas.
*** Kini berdiri sosok lelaki bercadar dengan punggung berpunguk.
Orang itu adalah orang yang sama dengan lelaki cadar yang telah
melumpuhkan Maheswari. Melumpuhkan gadis itu dengan jurusjurusnya sendiri. Agaknya, sesudah
melakukan sesuatu terhadap
gadis muda itu, lelaki bercadar dengan punggung berpunguk
telah beranjak dan mengintai apa yang sedang dilakukan oleh
tiga orang tua di pesanggerahan.
"Siapa kau" Apa maksudmu menyusup ke tempat ini?" Ketua
Samaragrawira mengorek keterangan.
"Kakang, apakah orang itu salah satu dari wilmuka?" Bisik Ki
Gilingwesi kepada Ki Cutajanma. Yang ditanya menjawab dengan
gelengan kepada. Orang bercadar itu diam saja.
"Baik, aku akan mengungkap siapa dirimu." Ketua Samaragrawira
telah berancang-ancang dan seketika itu juga tubuhnya telah
terbalut oleh kabut. Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma telah
menyingkir minggir. Memberi ruang pada Ketua Samaragrawira
dan orang bercadar dengan punggung berpunguk.
Melihat Ketua Samaragrawira telah menyiapkan kekuatannya,
orang itu pun telah sedikit bergeser dan menggetar-getarkan
tubuhnya. Sebagaimana tubuh ketua Samaragrawira telah
27 mengalirkan kabut, demikian juga dengan orang itu. Selapis demi
selapis kabut menebal keluar dari tubuh. Tubuh yang telah
digetar-getarkan. Hanya saja pada orang itu, yang telah
menyembul keluar bukanlah kabut yang sepenuhnya berwarna
452 putih, melainkan kabut yang pada beberapa bagian berwarna
agak kemerahan. Ketua Samaragrawira pun bergerak cepat menerobos masuk
kabut. Kabut yang terbentuk oleh dirinya maupun orang bercadar.
Bagi Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma, keberadaan kabut itu tidak
mengganggu kejernihan pandangan mereka. Kabut itu sama
sekali tidak membuat mereka kehilangan pengamatan atas laga
yang sudah dimulai. Ketua Samaragrawira telah bergerak menyerang orang bercadar.
Orang itu tetap berdiri di tempatnya. Ia menunggu datangnya
serangan Ketua Merak Mas. Angin serangan datang menderu,
mendahului gebrakan Ketua Samaragrawira. Ketua itu tengah
memainkan satu jurus baru, Kabut Merak Mas. Jurus baru untuk
menyerang orang bercadar.
Inti serangan Kabut Merak Mas pun tiba. Tidak sekedar angin
yang berderu, tapi sebuah gerakan menotok. Gerakan itu dalam
sekejap saja telah mengarah pada enam titik sasaran yang
berbeda. Enam titik berbeda pada bagian tengah tubuh. Sebelum
serangan itu menyentuh dirinya, orang itu telah bergeser cepat.
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Bergeser melepaskan diri. Ia bergeser menurut suatu teknik
menghindar. Teknik itu mirip dengan Merak Membuka Sirkulasi
Jalan Langit. Hanya saja pada teknik orang itu, telah masuk
beberapa unsur gerak yang lain. Gerakan dari pergeseran bendabenda di angkasa, yang memang
merupakan dasar dari teknik
menghindar Merak Membuka Sirkulasi Jalan Langit.
Selepas menghindari serangan orang tua itu, orang bercadar
telah meluncurkan sebuah serangan. Serangan gabungan dari
dua bentuk teknik. Lagi-lagi, dua bentuk teknik yang mirip dengan
dua jurus milik Perguruan itu. Merak Membalik Arus Jagat Raya


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

453 dan Merak Menggetar-guncangkan Semesta.
"Adhi Gilingwesi, orang itu mampu menggelar jurus-jurus Merak
Mas". Bisikan Ki Cutajanma mengarah pada Saudara Angkatnya.
Ki Gilingwesi hanya mengangguk. Terdiam terpaku.
Pandangannya tajam terus mengamati gerakan-gerakan orang
bercadar. Sedangkan, pikirannya larut menelisik sebuah
pertanyaan, "Apakah kakek guru atau guru telah membentuk
orang lain untuk menguasai jurus-jurus Merak Mas" Jika iya,
kepada siapa jurus-jurus itu telah diturunkan?"
Tidak hanya dua orang di pinggir laga yang telah menjadi
terkesiap heran. Ketua Samaragrawira pun tercenggang. Ia telah
dibenturkan dengan jurus-jurus miliknya sendiri. Hanya jurus itu
telah dilancarkan dengan cara berbeda. Cara menurut orang
bercadar. Jika saja ia yang menggelar jurus itu, maka jurus itu akan tampil
satu per satu. Tidak dalam wujud pengabungan. Itu tidak
dilakukan oleh orang bercadar. Ada sesuatu yang sangat
mengejutkan. Di tangan orang bercadar, Merak Menggetarguncangkan Semesta tampil
meledak-ledak dalam bentuk
sambaran tenaga lima unsur yang deras menghujam. Hanya saja,
ledakan-ledakan itu terkendali. Dapat dihentikan kapan pun
diinginkan. Tidak harus menumbuk suatu sasaran agar berhenti.
Dengan paduan itu, orang bercadar seperti menunjukkan
bagaimana memberi kekang kendali pada Merak Menggetarguncangkan Semesta.Kekang kendali
tanpa mengurangi daya serang jurus itu. Ki Gilingwesi melihat jelas apa yang ditunjukkan orang bercadar.
Merak Membalik Arus Jagat Raya digunakan untuk mengubah
atau menggonta-ganti sifat tenaga. Menggonta-ganti lambaran
454 serangan. Setiap saat, sesuka hati. Entah dari keras ke lembut
atau sebaliknya. Itulah hakekat Merak Membalik Arus Jagat
Raya: Memes Gandes (luwes lentur). Luwes lentur untuk
mengubah atau menggonta-ganti isi atau lambaran tenaga dari
serangan. 1 Orang bercadar juga telah menerapkan prinsip Memes Gandes.
Lewat Merak Membalik Arus Jagat Raya, ia menerapkan
pengubahan atau gonta-ganti. Tapi, gonta-ganti itu tidak
diterapkan untuk isi atau lambaran tenaga dari serangan. Orang
bercadar telah menerapkan prinsip Memes Gandes pada
keutuhan sebuah jurus. Baik bentuk maupun isi. Gonta-ganti
pada unsur gerak maupun sifat tenaga yang melambari gerak itu.
Bahkan, gonta-ganti jurus dengan jurus. Gonta-ganti dalam
keutuhan. Dengan cara itulah, sifat kejam dan telengas jurus
Merak Menggetar-guncangkan Semesta dapat dikekang dan
dikendalikan. Tanpa mengurangi kekuatan dari jurus itu sendiri.
"Suatu cara yang tidak biasa. Aku pun sering memikirkan cara itu,
hanya saja tidak mencoba untuk memainkannya. Tidak seperti
orang itu. Ia betul-betul telah memainkan. Memainkan apa yang
hanya aku pikirkan. Luar biasa. Siapakah orang itu?" Ki
Gilingwesi mengutarakan pendapatnya di dalam batin.
Dua orang di tengah gelanggang silih berganti serang menyerang
dan berkelebat saling menghindar. Sudah dikatakan sebelumnya,
dua orang itu telah sama-sama melepaskan kabut dari dalam
tubuhnya. Kabut dengan warna berbeda. Kini kabut itu telah
membentuk gumpalan. Gumpalan putih dan gumpalan
kemerahan. Masing-masing gumpalan kian menebal dan terus
menebar memenuhi gelanggang, bahkan hampir setiap sudut
pesanggerahan itu. 455 Sementara dua orang itu kian seru memasuki laga, seseorang
telah melangkah mendekati Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma.
Melihat siapa yang telah datang dua orang tua itu
menganggukkan kepala dan membiarkannya berdiri bersama
mereka. Yang tengah berlaga terus saling mendesak. Mendesak untuk
setahap demi setahap meraih keunggulan atas lawan. Tiga orang
di pinggir lagi melihat dengan jelas, siapa yang tengah mendesak
dan siapa yang sedang terdesak. Paling nyata, hal itu
mengemuka melalui keberadaan kabut yang tampil di tengah
gelanggang. Kabut kemerahan itu berangsur-angsur menekan
kabut putih. Kabut yang dialirkan oleh Ketua Samaragrawira.
Orang bercadar perlahan tapi pasti telah semakin mendesak
Ketua Perguruan Merak Mas.
"Bagaimana ia bisa melakukan itu", sambil terus bergerak Ketua
Samaragrawira menelaah cermat keadaan dan apa yang
dilakukan lawannya. "Ah, rupanya ia telah memanfaatkan
keberadaan kabut untuk menekan diriku. Ia telah mengalirkan
tenaga melalui kabut. Baginya, kabut bukan sekedar
mengaburkan lawan. Cerdas! Cara yang cerdas! Merambatkan
energi lewat kabut untuk menekan lawan. Baik, aku juga akan
melakukan hal itu". Ketua Samaragrawira pun telah mengalirkan
tenaga, merasukkan dan menyusupkan tenaga itu ke dalam kabut
yang ada pada dirinya. Kini telah terjadi perubahan pada laga.
2 Kabut putih yang sebelumnya menyusut, telah tampil kembali
mengimbangi kabut kemerahan.
Orang bercadar telah membuka suatu kemungkinan lain dalam
memanfaatkan kabut. Tidak hanya mengaburkan, tapi juga
menekan lawan. Suatu teknik melipatgandakan fungsi kabut
456 dalam laga. Orang bercadar bosan dengan gumpalan kabut yang berada di
sana. Ia berupaya melenyapkan keberadaan gumpalan kabut di
ruang itu. Tapi, ia tidak melenyapkan dengan mengibas-hilangkan
tapi dengan menyerap dan mengisap. Sedikit demi sedikit
gumpalan kabut itu diserap dan dihisap. Baik gumpalan kabut
putih maupun kabut kemerahan. Masih dengan teknik Merak
Membalik Arus Jagat Raya, orang bercadar kemudian
meleburkan dua gumpalan kabut yang telah terhisap menjadi
bagian dari kekuatan. Kabut itu telah memberi tambahan
kekuatan dalam berlaga. Sekali lagi, ia telah memperlihatkan
bagaimana jurus Merak Mas dapat dimanfaatkan menurut cara
berbeda. Lenyapnya keberadaan kabut, telah meniadakan kemungkinan
bagi Ketua Samaragrawira memainkan Mutiara Merak Mas. Ketua
Perguruan Merak Mas tidak memiliki "bahan" menggubah kristalkristal air beku untuk dilontarkan
sebagai alat menyerang. Orang
bercadar telah mendahului Ketua Merak Mas. Seakan-akan telah
merampas kesempatan Ketua Samaragrawira untuk
memanfaatkan kabut sebagai senjata yang dapat menyerang
dirinya. "Agaknya, Adhi Samaragrawira kalah cepat dibandingkan orang
itu. Kabut-kabut itu justru lebih dahulu diserap dan diubah
menjadi kekuatan olehnya." Ki Cutajanma menyatakan
pendapatnya kepada Ki Gilingwesi.
Sebagai orang yang juga berandil menciptakan Mutiara Merak
Mas, saat itu juga Ki Gilingwesi disadarkan akan sesuatu.
Kesadaran itu serta merta membuat ia menggelengkan kepala. Ia
menjadi sangat kagum atas apa yang telah diperlihatkan oleh
457 orang bercadar itu. Orang itu telah membuka jalan bagi untuk
memperkuat Mutiara Merak Mas. Jurus itu jauh lebih kuat apabila
dilontarkan dengan kekuatan tambahan. Kekuatan tambahan dari
penyerapan dan penghisapan kabut. Kabut yang dihasilkan oleh
jurus Ampak-ampak. Jurus Merak Membalik Arus Jagat Raya
merupakan teknik untuk menghisap dan menyerap kabut serta
mengubahnya menjadi bagian dari kekuatan. "Sungguh
cemerlang". Sekali lagi Ki Gilingwesi menggeleng-gelengkan
kepala. Tanpa peluang menggelar Mutiara Merak Mas, Swarna Manyura
Gardaka (Merak Mas Mengamuk) telah dilepaskan oleh Ketua
Samaragrawira. Jurus ini lebih ganas dari Merak Menggetarguncangkan Semesta. Kekuatan pada
3 jurus ini adalah kesinambungan yang sempurna dari aliran gerakan menyerang.
Kesinambungan yang tidak memungkinkan pihak lawan melihat
celah dari serangan itu. Jurus yang mengalir rapat satu serangan
ke serangan lain. Kesinambungan rapatnya serangan memberi
ciri akan kegarangan jurus ini. Kegarangan layaknya sebuah
amukan. Tidak hanya itu. Kegarangan juga ditampilkan lewat
lambaran dari jurus ini. Tenaga yang melandasi pengerahan jurus
ini adalah tenaga yang bersumber dari penyatupaduan lima
anasir semesta. Hal ini telah diperlihatkan oleh Ketua Samaragrawira pada laga
yang tengah berlangsung. Dilambari dengan lima anasir semesta,
dua tangan Ketua Merak Mas telah berubah kehijauan. Penuh
dengan tenaga lima anasir semesta. Kini, serangan Ketua
Samaragrawira tidak lagi berupa angin yang menderu. Tapi,
serangan itu telah menimbulkan suara seperti menyayat atau
menyobek. 458 SRREEETTT, SRREEETTT... Terus berkesinambungan. Tidak terputus-putus.
Merak Mas Mengamuk telah mengubah keadaan laga. Ketua
Samaragrawira telah tampil sepenuhnya menyerang dan
menekan serta mengurung orang bercadar. Tekanan serangan
dari Ketua Merak Mas cepat dan deras tidak pernah putus.
"Hebat!" sebuah suara serak berat telah terlontar dari mulut orang
bercadar. Suara yang baru pertama kali diperdengarkan.
Masih seperti sebelumnya, orang bercadar memainkan jurusjurus perguruan Merak Mas. Berbeda
dengan Ketua Samaragrawira yang terus bergerak mengalir, orang bercadar itu
menggerakkan jurus Merak Mas secara terputus-putus. Orang itu
tampak sebentar gerak, namun mendadak berhenti di tengah
jalan. Lalu kembali mendadak bergerak dan seketika itu juga
berhenti. Gerakan terputus-putus orang itu terlihat sangat ganjil
dan canggung. Yang terlihat pada laga menjadi sangat aneh,
yang satu bergerak mulus apik dan mengalir sambung
menyambung, yang satu lagi bergerak terbata-bata berantakan
dan terputus-putus tidak tentu arahnya. Dua orang itu telah
menampilkan suatu laga yang janggal. Hanya saja, orang yang
melihat laga itu mengerti bahwa baik Ketua Samaragrawira
maupun orang bercadar telah menampilkan dan memilih gerakan
menurut jurus-jurus Merak Mas.
"Dahsyat!" Lirih terlontar dari mulut Ki Gilingwesi. Orang tua itu
menilai bahwa dua orang itu telah melakukan hal yang sama.
Mengurai dan merangkai gerak jurus-jurus Merak Mas. Hanya
saja itu dilakukan dengan prinsip berbeda. Ketua Merak Mas
telah mengurai dan merangkai gerak jurus-jurus Merak Mas
dalam keteraturan dan keselarasan, sementara orang itu
459 4 melakukan menurut prinsip ketidakberaturan dan ketimpangan.
Yang mulus menyatu selaras dalam keberaturan telah
dihadapkan pada fragmen-fragmen gerakan janggal dalam
ketidakteraturan. Sekali lagi, apa yang diperagakan oleh orang bercadar membuka
perspektif lain atas jurus-jurus Merak Mas. Memainkannya dalam
ketidakberaturan, bukan keberaturan. Sekalipun terlihat tertekan,
orang bercadar selalu dapat melepaskan diri. Melepaskan diri
melalui gerakan-gerakan tak beraturan. Gerakan tanpa pola.
Sekalipun sepenuhnya memegang kendali, ternyata gerakan
teratur selaras tidak juga mampu menguasai, apalagi
melumpuhkan gerakan tak beraturan timpang.
*** "Biarkan aku juga ikut bermain". Ki Gilingwesi sudah gatal sejak
tadi. Kini kegatalan itu sudah tak terbendung. Orang tua itu pun
telah bergerak maju ke tengah laga. Apa yang telah dilakukan
oleh Ki Gilingwesi, ternyata juga dibuat oleh Ki Cutajanma. Kini di
tepi laga itu hanya tertinggal sesorang yang belakang masuk ke
pesanggerahan dan telah mengambil tempat berdiri bersama
kedua orang tua yang telah turun ke laga itu. Orang itu hanya
berdiri di sana terbengong-bengong tidak tahu apa yang akan
dilakukannya. Demikian, orang bercadar telah mendapat tambah dua orang
lawan. Dua orang tua yang tadi hanya berdiri sebagai penonton.
Tambahan tentu semakin memperberat tekanan yang akan
dialaminya. Benar saja. Kini, orang bercadar sama sekali tidak
memiliki ruang. Ia terkurung dari tiga sudut. Terkuruang oleh
460 serangan-serangan tiga orang yang telah mengangkat diri
sebagai saudara. Akan tetapi, keadaan itu hanya sesaat. Orang bercadar terlihat
telah mengubah gerakan. Tidak lagi memainkan jurus-jurus
Merak Mas. Tapi gerakan yang sama sekali berbeda. Tata
gerakan asli dari orang bercadar itu sendiri. Dalam gerakan
aslinya, ia berubah menjadi begitu mantap. Ia telah terisi dengan
kekuatan diri yang sebenarnya. Dalam wujud aslinya, orang
bercadar telah menempur tiga orang tua itu yang semula telah
mengurung dengan andalan ilmu masing-masing. Mereka
mengurung dari tiga jurusan yang berbeda.
"Memang, sejak dari waktu-waktu sebelumnya aku ingin bermainmain denganmu". Dengan
kecermatannya Ki Cutajanma telah
mengenali orang bercadar. Wajahnya tampak sekali penuh
kecerahan. Ia pun mengerahkan Pukulan Sembilan Bukit, sebuah
jurus andal yang berintikan pada pukulan berat yang kekuatannya
dapat menghancurkan batu gunung seukuran gajah dewasa.
Serangan susul menyusul dilancarkan tiga orang tua kosen pada
lambaran ilmu masing-masing. Serangan itu terus menerus
datang, dengan kekuatan yang meningkat. Menerima tekanan itu,
orang bercadar pun kian memantapkan diri. Sejumlah benturan
5 telah terjadi. Benturan dengan Ketua Samaragrawira, yang telah
memainkan Belapati Swarna Manyura (Merak Mas Bertempur
Hingga Akhir). Jika tidak melakukan serangan, melalui jurus Merak Mas
Bertempur Hingga Akhir, Ketua Samaragrawira selalu memapas
serangan orang bercadar. Bahkan, Ketua Merak Mas itu
membiarkan dirinya terpukul namun seketika itu juga membalas
memukul. Ia dengan orang bercadar telah saling memukul. Tidak
461 hanya saling memukul, tapi juga saling menendang. Demikian
memang hakekat dari Merak Mas Bertempur Hingga Akhir,
Gugrug Prasama (Rontok Tumbang Bersama).
Empat kali Ketua Samaragrawira saling bertukar pukulan dengan
orang bercadar. Dua kali saling mendaratkan tendangan. Cukup
mengejutkan bahwa itu semua tidak mampu membuat orang


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercadar itu surut. Sementara, ia telah terlontar surut saat
menerima pukulan atau tendangan orang itu. Apalagi, orang
bercadar itu pun telah mendapat sejumlah hantaman dari dua
orang yang bertempur bersamanya. Bahkan, sesekali tiga orang
tua itu secara serentak telah mengenai orang bercadar dengan
serangan mereka masing-masing. Akan tetapi, serangan tiga
orang tua yang serempak bersarang telak itu tidak mampu
mengoyakkan kekuatan yang telah melapisi orang bercadar. Saat
itu, orang bercadar terlihat hanya bergetar untuk kemudian
kembali meneruskan laga. Dari sisi kanan mengisi sebuah sudut serangan, Ki Gilingwesi
telah melancarkan Gardaka Swarna Manyura (Merak Mas
Mengamuk). Di Ki Gilingwesi, jurus ini pun dilancarkan menurut
cara berbeda. Jurus Gardaka Swarna Manyura ini tidak
sepenuhnya mengikuti prinsip gerak yang selaras beraturan,
melainkan telah dipadukan dengan prinsip gerak timpang tidak
beraturan. Prinsip sebagaimana orang bercadar tadi jalankan
untuk menghadapi jurus yang sama dari Ketua Samaragrawira.
Ki Cutajanma menekan dari atas karena jurus-jurusnya memang
menjadi lebih berpengaruh bila dilancarkan dari atas. Pukulan
dari Ki Cutajanma itu telah berubah seperti kekuatan sembilan
bukit yang runtuh. Sungguh suatu tekanan dari arah atas yang
sangat berat. 462 *** Orang yang menyaksikan di pinggir laga menjadi sangat terpukau
dan tercenggang. Ia tercenung diam. Tidak berayal
membandingkan diri dengan orang-orang di dalam laga. Apalagi
dengan orang bercadar. Beberapa waktu lalu, orang bercadar itu telah menyerang dan
mengurung serta melumpuhkan dirinya. Tidak dengan gerakan
lain, tapi dengan jurus-jurus yang justru sangat dikuasainya.
Pada akhir laga dengan orang itu, ia telah membenturkan jurus
6 yang ia agungkan sebagai jurus utama Merak Mas tiada tanding.
Namun, pengalaman itu telah membuka mata. Ia luruh di tangan
orang yang telah memainkan jurusnya.
"Syukur, aku tidak jatuh terbanting ke tanah. Karena orang
bercadar dengan punggung berpunguk yang mengidikkan itu
telah berkelebat cepat ke arahku sesaat berada dalam keadaan
antara sadar dan tidak sadar akibat benturan dengannya". Itu
ingatan yang tertinggal di benaknya. Ingatan akan peristiwaperistiwa antara dirinya dengan orang
bercadar. Setelah itu, ia
tidak ingat apa yang kemudian terjadi.
Yang kemudian ia tahu dan rasakan, sekalipun dalam kesadaran
yang belum sepenuhnya pulih, secara samar-samar orang
bercadar telah memijat-mijat beberapa bagian tubuhnya. Pijatan
itu mendatangkan suatu aliran yang memberi kesegaran. Sesaat
setelah itu, seluruh tubuh diputari oleh aliran itu. Akhirnya, aliran
itu memusat dan bermuara pada titik pusat tepat di tengah perut.
Di sana aliran itu menyatu lebur. Memperkuat dan
melipatgandakan apa yang telah ada sebelumnya.
Orang bercadar itu telah membantu untuk membuka sebagian
simpul-simpul pusat penghimpun tenaga. Pusat tenaga yang tidak
463 pernah ia bayangkan bisa terbuka. Terbuka dalam latihan lima
atau tujuh tahun. Sekalipun latihan itu di bawah bimbingan dua
Sesepuh Merak Mas. Cepat orang bercadar telah melompat pergi meninggalkannya.
Meninggalkan di kegelapan kerimbunan tanaman di taman.
Taman tempat berlatih, berlatih hingga larut malam.
Ia masih terkesima dengan apa yang terjadi. Terkesima karena Ia
telah mendapati kembali kesadarannya. Kesadaran penuh. Ia pun
cepat bangun dan mencari-cari orang bercadar. Ia mencari
berkeliling untuk beberapa lama. Lebih dari sependeresan nira
pun berlalu. Pencarian itu agaknya sia-sia. Orang bercadar telah
raib pergi. Maka, ia pun memutuskan pergi ke pesanggerahan. Ia
hendak mengatakan apa yang telah dialaminya.
Saat telah masuk ke pesanggerahan, ia melihat Paman
Gilingwesi dan Ki Cutajanma berdiri di pinggir. Ia pun mendapati
dua sosok sedang berlaga. Ia melihat dua orang itu sekalipun
terhalang-halangi oleh kabut tebal. Kabut yang terlihat semakin
menebar luas dengan dua warna yang berbeda: satu putih dan
satu lagi kemerahan. Ia mengenal dua sosok yang tengah berada di dalam kabut. Yang
putih adalah ayahnya. Pada kabut kemerahan terlihat samarsamar suatu benjolan di atas
punggung. Orang itu adalah orang
bercadar dengan punggung berpunguk. Orang yang tengah
dicarinya. *** Di dalam pesanggerahan, gadis itu telah menjadi bingung dan
bimbang untuk bersikap. Di depannya terlihat ayahnya sedang
464 7 bertarung ketat dengan orang bercadar. Orang bercadar yang
telah mengulurkan tangan. Membantu melepaskan titik-titik
simpul tenaga yang telah memperkuat dan meningkatkan tenaga
simpanannya. Keadaan laga yang telah merayap terus naik memuncak, ia pun
cemas dan gelisah. Ia tidak ingin ada yang terluka di antara
mereka yang berlaga. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa
cemas dan gelisah semakin bertambah. Saat itu Paman
Gilingwesi dan Ki Cutajanma telah meloncat dan turun ke laga itu.
Mereka mengepung orang bercadar.
Saat ini, kegelisahan gadis itu pun memuncak. Di depan mata
empat orang telah membentuk suatu formasi yang indah namun
mendebarkan. Formasi yang tidak pernah disaksikan sepanjang
hidupnya. Entah bagaimana orang bercadar telah melakukan itu.
Sekejab sebelum formasi itu terbentuk, Maheswari melihat jelas.
Melihat sejelas-jelasnya. Memapak serangan tiga orang yang
datang padanya, tiba-tiba orang bercadar itu telah bergerak
melenting cepat. Dengan dua kakinya, orang itu memapak
serangan pukulan Sembilan Bukit dari Ki Cutajanma yang datang
dari atas. Dua tangan pun telah direntangkan untuk menahan dan
memapas. Tangan kiri meredem Merak Mas Mengamuk dari Ki
Gilingwesi. Tangan kanan menghentikan Swarna Manyura
Belapati dari Ketua Samaragrawira.
Kaki menjejak ke atas dan dua tangan merentang. Orang
bercadar membentuk posisinya. Posisi melayang. Melayang
tertahan oleh Ki Gilingwesi di sisi kiri dan Ketua Samaragrawira di
sisi kanan. Dua orang tua itu di bawah seakan-akan menyangga
orang bercadar dan Ki Cutajanma tetap di udara. Suatu bentuk
akrobatik indah. Empat orang itu membentuk tiga tingkatan.
465 Paling bawah Ki Gilingwesi dan ketua Samaragrawira, di tengah
orang bercadar dan di puncak Ki Cutajanma. Baik orang bercadar
dan Ki Cutajanma tampak telah menukikkan tubuh lurus ke
bawah. Seketika itu juga, orang bercadar yang berada di tengah telah
menerima aliran tenaga. Tenaga yang disalurkan oleh tiga lawan.
Pengerahan tenaga itu terus kian meningkat. Peningkatan itu
terlihat nyata di gelanggang. Pada diri yang berlaga.
Ki Gilingwesi dan Ketua Samaragrawira telah berdiri sebagai
sosok hijau merona. Ki Cutajanma telah berbalur rona
kemerahan. Rona kemerahan pun telah dapat dilihat pada orang
bercadar. Orang yang berada di tengah apitan aliran tenaga tiga
orang tua itu. Pada tubuh orang bercadar pun telah berpijar bintil
putih. Bintil itu yang bergerak cepat beredar memutari tubuh.
Pijaran bintil putih itu semakin bersinar terang seiring pengerahan
tenaga yang telah ditingkatkan. Ditingkatkan untuk membendung
kekuatan tiga lawan. Di pinggir laga, Maheswari semakin dicekam oleh ketegangan
8 dan kegelisahan luar biasa, menyaksikan apa yang sedang
berlangsung pada laga itu. Dua perasaan itu begitu mencekam
merasuk. Tubuh Maheswari pun telah bergetar. Sepenuhnya,
gadis itu menyadari empat orang dalam laga telah memasuki
suatu tahap yang sangat berbahaya. Membenturkan dan
mendesakkan kekuatan tenaga dalam.
Keadaan itu berlangsung cukup lama. Akan tetapi, tiga orang tua
itu belum juga dapat menguasai orang bercadar. Mereka telah
terus menekan orang bercadar. Menekan dengan kekuatan
tenaga dalam yang terus meningkat hingga ke puncak. Dua rona,
hijau dan merah, semakin terang menyala. Bahkan, terang itu
466 telah merayap dan menyebar ke segala sisi ruangan. Dengan
suatu pengaruh: tertebarnya serangkum hawa panas menyengat.
Hawa panas dari tengah gelanggang. Hawa panas yang bila tidak
segera dihentikan, bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada
gadis itu. Menimbang keadaan laga, dengan penuh kecermatan dan
ketepatan, orang bercadar telah membuat suatu gerakan.
Gerakan berputar seperti gasing. Dengan dua kaki yang
mengarah ke atas sebagai poros dari gerak memutar itu. Orang
bercadar telah memanfaatkan tenaga tekanan Sembilan Bukit
dari Ki Cutajanma, yang telah ditahannya, sebagai tenaga
pemutar tubuh untuk bergerak seperti gasing.
Dengan perputaran itu, tiga lawan yang menekan juga ikut
terbawa berputar. Kini empat orang itu sesaat bergerak memutar
bersama. Perputaran itu telah mengendorkan aliran tenaga tiga
orang tua itu. Menyusul kemudian, orang bercadar membuat
suatu sentakan. Dengan sentakan itu, ia telah menarik kaki dan
tangan dari tiga lawan. Lentur melipat tubuh dan melenting
menjauh dari tiga orang tua itu. Ia telah melepaskan diri dari
kesatuan dengan tiga orang tua itu. Melepaskan diri dengan cara
yang luar biasa. Dalam keadaan tubuh yang masih meraskan sengatan tajam
hawa panas, mata sipit gadis itu terbelalak. Terbelalak melihat
gerakan orang bercadar saat melepaskan diri. Kini orang
bercadar itu telah mendarat tepat membelakanginya. Hanya
berjarak 2 hasta di depannya. Saat orang bercadar itu mendarat
ringan di depannya, sengatan hawa panas yang sebelumnya ia
rasakan sekejab telah sirna. Ia menyadari lenyapnya sengatan
hawa panas itu berhubungan orang yang telah hadir di depannya.
467 Orang itu telah melenyapkan hawa panas yang menyengat. Ia
telah membuat itu baginya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Cutajanma pun telah
mendaratkan ringan tetap di tengah dua Tetua Perguruan Merak
Mas. Tiga orang tua itu saling berpandangan. Masih terpana.
Tidak habis pikir. Benar-benar terkesan atas apa yang
9 diperagakan oleh orang bercadar. Ki Gilingwesi dan Ketua
Samaragrawira pun telah bersiap untuk menyerang. Tetapi itu
tertahan urung. Tertahan oleh Ki Cutajanma.
"Sudahlah. Aku sudah sangat lelah. Kumohon buka cadarmu dan
buanglah kain sebagai punguk dari punggungmu." Kata Ki
Cutajanma. Orang bercadar pun terdiam bebarapa saat. Ia tampak
menimbang sesuatu. Pada akhirnya, ia bergerak. Tangan kiri
bergerak meraih kain penutup wajah. Tangan kanan meraih ke
belangan punggung untuk melakukan hal yang sama. Menarik
sesuatu yang terpasang di punggung. Dengan gerakan itu, orang
bercadar menyatakan diri.
Kecuali Ki Cutajanma, mereka telah menjadi sangat terkejut
melihat siapa yang tampil di hadapan mereka.
"Maaf Paman sekalian, aku telah memainkan suatu permainan
yang tidak semestinya." Orang yang telah menyatakan diri itu
merapatkan tangan membungkuk hormat.
"Tidak bisa dipercaya. Orang bercadar itu adalah dirinya," kata
Maheswari dalam hati. "Sudahlah, aku mengerti apa maksudmu Engg?r Arga", Sebuah
nama disebut Ki Cutajanma. "Sejak semula, aku sudah menduga
bahwa di balik cadar itu adalah dirimu". Suatu keyakinan
diungkapkan. 468 Dari tiga orang tua yang berada di sana, Ketua Samaragrawira
yang tampak paling gembira. Dari dalam batinnya meluncur katakata penuh syukur. Syukur karena
telah menyaksikan sendiri,
anak yang dulu dipercayakan kepadanya, dipercayakan oleh
orang yang sangat ia dihormati, kini telah menjelma sebagai
Naga. Naga dengan kekuatan tidak terbayangkan. Ki Gilingwesi
juga demikian adanya. *** Laga sepenuhnya telah usai. Tidak ada pemenang. Yang ada
penakluk. Takluk dengan tulus. Lebih dari itu, takluk dengan rasa
syukur. Hal yang aneh. Bagaimana mungkin orang dapat takluk
dengan rasa syukur" Bukankah umumnya orang takluk dengan
rasa giris, keder takut, dan ngeri" Tapi itu yang telah terjadi pada
tiga orang tua itu. Setulusnya tiga orang itu mengakui bahwa kemampuan anak
muda itu telah melampaui kemampuan mereka. Melampaui entah
hingga berapa tingginya. Mereka yakin anak muda itu belum
menyatakan kekuatan yang sebenarnya saat menghadapi
serangan dan kepungan pada laga tadi. Kenyataan ini spontan
telah membangkitkan rasa takluk.
Tapi rasa takluk itu sama sekali tidak menyisipkan setitik pun
kengerian atau ketakutan. Justru, bersamaan dengan rasa takluk
itu, mengalir deras perasaan penuh syukur pada tiga orang tua
itu. Mereka bersyukur bahwa Arga adalah orang yang telah
berdiri hingga tataran itu. Tataran yang tidak diketahui seberapa
10 tingginya. 469 *** Lima orang pun telah bersila, tepat di tempat laga sebelumnya
berlangsung. Ketua Samaragrawira bersila diapit oleh Ki
Cutajanma di kiri dan Ki Gilingwesi di kanan. Arga pun telah
bersila di depan tiga orang tua itu. Sedikit tersembunyi dari
pandangan anak muda itu, Maheswari bersimbuh di balik tubuh Ki
Gilingwesi. "Engg?r Arga, aku sungguh terkejut dengan permainan Engg?r.
Suatu permaianan yang berbahaya. Sangat berbahaya." Suara
Ketua Samaragrawira segera memecahkan keheningan ruangan
itu. Ketua Perguruan Merak Mas itu terdiam. Di benaknya
berputar kembali permainan itu. Permainan dalam wujud orang
bercadar, yang semula dikiranya salah seorang Wilmuka,
dedengkot pesilatan yang telah lama menghilang. Permainan
yang segera berkembang menjadi laga. Laga antara dirinya
dengan orang bercadar. Bahkan, laga itu telah melibatkan dua


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahabatnya. "Sungguh permaiann yang berbahaya, bahkan bila aku sendiri
yang memainkannya. Akan tetapi, di tangan orang bercadar
permainan itu sepenuhnya terkendali. Luar biasa." Ketua
Samaragrawira menampilkan diri Arga sebagai orang bercadar.
"Aku tidak tahu, sebatas mana orang bercadar telah memendam
kekuatan pada dirinya. Kekuatan yang tidak perlu diperoleh dari
mana atau dengan cara apa. Yang pasti, kekuatan itu memang
sungguh telah ada. Ada di dalam diri orang bercadar. Dan,
mungkin...." Ketua Samaragrawira memutus perkataannya.
Terdiam berpikir sesat. "Ah, mungkin aku akan terpaksa harus melakukan brata sand?
(pembatalan sumpah). Membatalkan sumpah yang telah aku
470 ucapkan dua puluh tahun silam. Sumpah di depan orang yang
sangat aku hormati. Sumpah menyangkut diri orang bercadar.
Aku akan memikirkannya." Arga sangat terkejut atas ucapan itu.
Paman Wira telah mengikat suatu sumpah. Sumpah yang terkait
dengan dirinya. Jantungnya berdebar keras. Sangat keras. Arga
sangat ingin tahu sesuatu yang tersimpan di balik sumpah itu.
Sumpah dua puluh tahun silam. "Siapakah diriku sebenarnya"
Siapakah Ayah Bundaku" Di mana mereka berada sekarang"
Mengapa semua terjadi demikian" Semua itu agaknya telah
tersimpan dan terikat kuat dengan sumpah itu". Arga membatin.
"Baiklah, sudah saatnya kita mengakhiri pertemuan saat ini. Aku
akan tetap di pesanggerahan ini. Silahkan Kakang Cutajanma
dan Adhi Gilingwesi begitu juga Engg?r Arga dan kau,
Maheswari, jika ingin undur diri." Begitu Ketua Samaragrawira
menutup apa yang telah berlangsung dalam pesanggerahan itu.
11 "Aku akan tetap di sini Kakang", jawab Ki Gilingwesi.
*** Sebentar kemudian tiga orang itu pun undur diri. Mereka berjalan
beriringan, dan gadis itu terlihat berlalu di belakang dua orang di
depannya. "Puteri, apa engkau perlu kami antar hingga bilikmu?" Sebuah
tawaran datang dari anak muda itu.
"Tidak perlu." Suara pelan menyahut hampir tidak terdengar.
Selepas mereka berpisah. Seseorang terus memikirkan apa yang
telah terjadi. Tidak habis dimengerti. Orang itu adalah Maheswari.
Ia tidak percaya atas apa yang dilihatnya. "Bagaimana mungkin
seorang uncalan berubah menjadi anjaya. Pecundang menjadi
471 penakluk?" Puteri itu masih berupaya menepis kenyataan yang
dilihat. "Tetapi, orang itu memang adalah Arga, orang yang tadi
sore telah menerima hukuman dariku." Gadis itu kini telah
menyebut anak muda itu dengan sebuah nama. Sekalipun hanya
menyebutnya di dalam batin.
Itu semua telah membuka mata gadis itu. Membuka mata untuk
memberikan penilaian atas anak muda itu. Penilaian yang sama
sekali sangat berbeda. Berbeda dari sebelumnya.
Sebelum tabir orang bercadar terungkap, gadis itu hanya menilai
anak muda itu sebagai pecundang. Pecundang sebagaimana
delapan tahun lalu, bahkan hingga sore tadi. Di sore saat ia telah
membuat anak muda itu tergolek terkapar. Terkapar oleh jurusjurusnya. Anak muda itu adalah
pecundang, dan tetap selamanya
pecundang. Tapi, itu telah menguap. Menguap begitu orang
bercadar mengungkapkan diri.
"Tidak. Ia bukan pecundang, tapi penakluk. Bukan uncalan! Ia
anjaya." Puteri itu memberikan pengakuan. Pengakuan takluk!
*** Arga dan empat orang yang bersamanya telah berdiam di
Perguruan Merak Mas selama tiga hari. Arga lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama-sama dengan Janaloka. Entah
di barak prajurit, di kraton Tembelang, atau sebuah sanggar
besar tepat di belakang kraton itu. Sebuah bangunan besar yang
seharusnya ditinggali oleh Paman Wira, selaku Pejabat Utama
Tembelang. Akan tetapi, Paman Wira lebih memilih menetap di
Perguruan Merak Mas. Bangunan itu kemudian diubah menjadi
sebuah sanggar besar tempat Senopati-Senopati Utama melatih
472 diri menurut jalur sandaran masing-masing. Prawiratama
Warabrata Sanggar (Sanggar Latihan Perwira Utama). Di tempat
itu, Arga menyaksikan bagaimana Senopati-Senopati Tembelang
menggembleng diri. Selama bersama Janaloka, Arga hanya dua kali bertemu dengan
Maheswari. Itu pun hanya berpapasan. Berpapasan sesaat. "Biar
anak nakal itu menerima suatu peringatan atas ulahnya.
12 Peringatan agar ia berpikir panjang dan tidak berulah tanpa
kendali". Begitu Janaloka mengatakan penilaian terhadap
Maheswari. "Kasihan gadis itu. Aku telah membuatnya, terus
mengurung diri. Mengurung diri karena malu". Suatu penyelasan
menyelip di hati Arga. Kebersamaan dengan Janaloka seakan telah mengembalikan
masa silam anak muda itu. Masa silam yang delapan tahun telah
dirindukannya. Kerinduan itu telah dilepaskannya sekalipun harus
meninggalkan empat orang yang bersamanya. Meninggalkan
empat orang itu untuk sementara. Mereka memahami anak muda
itu dan membiarkan anak muda itu melepaskan kerinduan
bersama dengan Putera Ketua Perguruan Merak Mas. Orang
yang telah menjalani masa kecil bersama. Sebagai sahabat dan
saudara. *** Pagi itu satu rombongan orang terlihat berjalan bersama. Yang
tanpa disadari telah membentuk lima barisan dengan sedikit jarak
di antaranya. Rombongan itu Berjalan menuju sebuah bangunan
besar. Manyura Grha (Wisma Merak). Bangunan berhiaskan arca
besar seekor merak anggun (simbol perguruan) tepat di
473 depannya. Seperti biasa murid-murid Perguruan itu telah berlatih
di lapangan besar di depan Manyura Grha.
Pada barisan terdepan tampak Ki Gilingwesi, Ki Antargata, Ki
Gardapati dan Ki Cutajanma. Disusul kemudian sepuluh Murid
Perguruan Bukit Suci. Sedikit di belakang tiga orang gadis, Puteri
Rajni, Kanistha dan Acintya. Menyusul di belakang tiga gadis itu,
Janaloka berjalan menjajar dengan Arga. Agak tersendiri di
belangan, berjalan mengikuti seorang gadis, Maheswari. Gadis
yang memang sedang menyendiri.
Mereka langsung menuju ruangan utama. Di sana mereka
disambut oleh tiga Murid Utama Merak Mas. Dua orang dari
Bawana Manyura Sapta, Tujuh Merak Dunia.
"Selamat pagi Guru, silahkah." Tiga dari Tujuh Merak Dunia
langsung menyambut dan membawa rombongan itu ke ruangan
besar. Ruang pertemuan paripurna. Di ruangan itu mereka duduk
bersila di lantai yang telah dihampari dengan tikar pandan.
"Ini Bhadrika, Aradhana dan Bayanaka". Ki Gilingwesi
memperkenalkan tiga orang dari Tujuh Merak Dunia. Ki
Cutajanma mewakili rombongan itu menyebutkan orang-orang
dalam rombongan itu. Tentu, pertanyaan telah muncul di hati
beberapa anggota rombongan itu, mengapa Tujuh Merak Dunia
hanya tiga orang saja, ke mana yang lainnya!
"Kakang Bhadrasana dan Mbokayu Antari, suami isteri, disertai
Kakang Jitaksara dan isterinya Mbokayu Antya, sedang keluar
bersama. Sudah hampir dua pekan. Mereka pergi mengunjungi
Perguruan Butala Wyaghra (Macan Bumi) dan Salaka Banth?ng
(Banteng Perak). Dua perguruan di Wwatan." Satu dari dua Tujuh
Merak Dunia, Bhadrika, memberikan penjelasan. Tanpa
13 menyebutkan alasan kepergian empat Saudara Seperguruannya
474 pergi ke dua perguruan di Wwatan. Dari penjelasan itu terungkap
bahwa Tujuh Merak Dunia terdiri dari lima orang laki-laki dan dua
orang wanita. Empat dari Tujuh Merak Dunia merupakan dua
pasang suami isteri. Mereka hanya berkumpul sebentar pada ruangan itu. Aradhana
dan Bayanaka telah mengantar rombongan itu berkeliling untuk
menyaksikan kegiatan murid-murid Perguruan Merak Mas. Sambil
berkeliling, Aradhana menjelaskan keadaan Merak Mas.
Perjelasan dari Aradhana sesuai benar dengan catatan
kuwad?an banija mengenai Merak Mas, saat kuwad?an banija itu
mengatakan catatannya dalam sebuah pertemuan pada sebuah
wand? (toko) di tengah Kota Tembelang. Sungguh luar biasa
kuwad?an banija itu menyadap keterangan. Keterangan yang
sangat rahasia. Menjelang siang, mereka kembali ke ruangan itu dan meneruskan
pembicaraan mereka. Pembicaraan yang mengarah pada
pengamanan Tembelang. Membicarakan keamanan kota itu
menyusul hadirnya Wilmuka di Tembelang.
"Persoalan ini memang sebaiknya ditangani dengan membentuk
kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok itu bisa terdiri dari
sepuluh hingga dua belas orang. Masing-masing dipimpin oleh
seorang murid tingkatan Adhigana....." Ketukan pintu telah
menghentikan penjelasan Ki Gilingwesi. Tentu pesan yang akan
disampaikan di tengah pertemuan itu merupakan pesan penting.
Pesan yang tidak mungkin ditunda. Memang demikian adanya.
Orang yang mengetuk telah cepat menyusup melewati pintu
ruangan yang telah dibuka sementara suara ketukan masih
berlangsung. Suatu tanda orang itu tergesa-gesa. Ingin segera
menyatakan apa yang ingin disampaikannya.
475 "Maaf......" "Ada apa" Ada apa dengan......" Bayanaka langsung bergegas,
menepis ke pinggir orang yang baru mengucapkan satu kata,
menerobos pintu yang setengah terbuka dan menghilang di
baliknya. Sekejab kemudian, Murid Utama Merak Mas itu masuk
kembali dengan memapah seseorang. Seseorang yang jelas
sedang terluka. Seorang wanita. Wanita berusia di awal tiga
puluhan. Pada bagian tubuh sedikit di atas dada kirinya tampak
membiru. Kontras dengan warna kulitnya yang putih. Wanita yang
cantik di usia kematangannya.
"Mbokayu Antya....." Aradhana, Janaloka dan Maheswari. Tiga
orang yang telah mengenal wanita itu serentak berteriak.
Bayanaka terus membawa wanita itu mendekati mereka yang
sedang berkumpul. Sebagian dari mereka sudah lagi tidak pada
posisinya. Tiga orang yang tadi berteriak telah berdiri. Salah
seorang telah mengambilalih dan mendudukkan perlahan wanita
14 itu dengan menyandar di dadanya. Saat itu, Wanita yang terluka
telah ditopang bersandar pada Maheswari.
Bhadrika, Aradhana dan Janaloka telah menghilang dari ruangan
itu. Tiga orang itu telah bergegas pergi. Menduga sesuatu yang
lain telah terjadi. Memang demikian. Bhadrika dan Aradhana telah
kembali ke ruangan itu. Mereka kembali dengan satu rombongan.
Rombongan yang mengusung empat tubuh yang telah membujur
kaku. Tubuh tanpa kehidupan. Kini, tinggal Maheswari yang
masih bersimpuh duduk dengan seorang wanita yang telah
terluka. Yang lain telah berdiri memberi ruang bagi rombongan itu
lewat. Di tengah ruangan itu, telah diletakkan tiga tubuh. Empat orang
tua di sana cepat mendekat dan memeriksa tubuh-tubuh kaku itu.
476 Satu wanita, dua orang laki-laki. Pada dahi wanita itu terlihat
mengental darah menghitam yang telah mengering. Darah yang
sebelumnya telah mengalir dari kepala. Tanda tempurung kepala
itu telah retak terluka berat. Dua tubuh laki-laki pun telah
meninggalkan bekas luka. Luka berat yang telah membunuh
mereka. Tempatnya hampir sama di bagian dada. Dada sebelah
kiri. Tiga orang itu adalah Murid Utama Merak Mas. Tiga orang
dari Bawana Manyura Sapta. Tiga dari empat orang yang
dikatakan telah keluar dari Perguruan Merak Mas ke Wwatan dua
pekan lalu. *** Janaloka telah hadir kembali ke ruangan itu. Telah bersamanya,
Ketua Samaragrawira. Orang tua itu langsung memburu dan
berjongkok di depan tiga tubuh Muridnya. Seperti halnya Ki
Gilingwesi, ia tampak sangat murka. Ia pun memeriksa cermat
keadaan tubuh-tubuh itu. Bergidik dan mengerutkan kening.
"Sesuatu yang mengerikan dari masa silam telah muncul. Wiwuda
Maha Wisya (Racun Maha Dewa)". Lirih suatu itu begitu saja
meluncur. Empat orang tua lainnya mengangguk, menyetujui apa
yang meluncur lirih dari bibir Ketua Samaragrawira. Ia pun
mengatakan sesuatu kepada Puteranya dan Aradhana. Sekejap
Janaloka kembali menghilang. Sementara Aradhana meminta
sejumlah murid pergi meninggalkan ruangan itu. "Ketua
Samaragrawira, akan menggelar pertemuan istimewa". Wanita
yang telah terluka itu membatin.
Hanya sependeresan nira, orang-orang telah berkumpul kembali
bersila dengan tambahan Empat Senopati Utama Tembelang.
477 "Aku harus memainkan peranku. Peran yang sangat meyakinkan.
Sebagaimana peran itu telah aku jalani selama lima tahun." Suatu
kebulatan hati telah dinyatakan dalam batin.
"Maaf Paman, boleh aku memeriksa Murid Paman yang terluka".
Sebuah permintaan memecahkan ruangan itu. "Aku akan
menyalurkan tenaga untuk sekedar mengembalikan keadaan
15 wanita itu, agar ia dapat menceritakan apa yang dialaminya lebih
baik". Pikiran itu dikatakan Arga kepada dirinya sendiri.
"Silahkan Engg?r Arga." Izin diberikan oleh Ketua Samaragrawira.
Arga pun beringsut dari tempatnya mendekat pada wanita yang
terluka. Wanita yang masih bersandar di dada seorang gadis.
"Ah, dia telah mendekat ke arahku". Sekalipun ia tahu salah.
Anak muda itu tidak sedang mendekati dirinya, melainkan wanita
yang bersandar di dadanya, tapi toh ia benar karena memang
anak muda itu telah bergerak mendekat kepadanya. Wajahnya
tampak memerah. Cepat tubuh itu beringsut untuk bersembunyi
di balik tubuh wanita yang tersandar.
Lewat Sahwahita Prayoga (Teknik yang Bermanfaat Bagi
Semua), Arga mengenal aneka racun dengan sifat-sifatnya dan
bagaimana menanganinya. Arga melihat pundak kiri wanita itu
terlihat sebuah jejak pukulan. Jejak yang telah membiru. Dengan
tangan kirinya, ia mengangkat tangan kiri wanita itu lalu
menempelkan telapak tangan kanan pada telapak kiri wanita
yang telah terluka. Melalui Samana Yatna (Pengerahan Tenaga
untuk Memperoleh Nafas Hidup), ia penyaluran dan pengerahan
tenaga murni untuk memeriksa sifat-sifat dari sesuatu yang asing
pada tubuh wanita itu. Sesuatu yang telah masuk bersama
dengan pukulan di bahu kirinya. Arga tidak mengenal apa yang
telah menyusup masuk. Ia hanya mengenal sifat-sifatnya. Panas,


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

478 ganas, merusak dan mematikan. "Tapi, mengapa sifat-sifat itu
juga tersimpan padanya. Sifat-sifat yang berbeda dengan apa
yang melambari kekuatan Merak Mas". Anak muda itu bertanyatanya atas kejanggalan yang
didapati pada wanita itu. Ia pun
mencatatnya dalam hati. "Syukur, orang yang telah mengenainya hanya melukai
pundaknya. Itu pun tidak sangat serius. Agaknya, orang itu hanya
sekedar mengirim suatu pesan. Pesan kepada Penguasa
Tembelang dan Perguruan Merak Mas". Anak muda itu menarik
kesimpulan. Sementara ia menangani wanita itu, gadis di balik
tubuh wanita itu beberapa kali menyembulkan kepalanya. Ia tahu,
gadis itu tidak melihat apa yang dilakukannya tapi sembunyisembunyi memandang wajahnya.
Karena takut tertangkap terlihat, gadis itu sering cepat-cepat kembali menyembunyikan
dirinya. Sangat cepat. Tidak lebih dari sependeresan nira, Arga telah
mengerahkan Samana Yatna untuk meredam dan membatasi
pengaruh kekuatan pukulan itu agar tidak merasuk lebih jauh dan
mengganggu fungsi organ tubuh wanita itu. Setelah itu, ia
meminta wanita menarik nafas beberapa kali dan mengamatinya.
"Aku rasa sudah cukup." Setelah memberi salam, ia pun kembali
ke tempatnya. "Pantas Kakangmas meminta aku untuk berhatihati kepada anak muda yang telah
dikatakan cirinya kepadaku.
Ciri-ciri yang telah disampaikan seorang Wilmuka kepada
Kakangmas". Wanita yang baru saja sedikit pulih dari lukanya.
16 *** 479 "Antya, apa yang sebenarnya telah terjadi?" Pandangan tegas
namun membayang rasa iba dari Ketua Samaragrawira telah
mengiring pertanyaan itu. "Akhirnya, peran itu harus aku mainkan.
Harus aku mainkan dengan meyakinkan". Dengan sedikit
terbatuk-batuk, wanita itu mencoba melepaskan ketegangan
untuk memulai perannya. Peran yang mulai dimainkan sejak lima
tahun lalu. Dua tahun sebelum ia menerima Jitaksara, Kakak
Seperguruannya, sebagai suami. Suami yang juga menjadi
bagian dari perannya. Dengan suara pelan, kadang lirih tidak terdengar, terputus-putus
oleh sebuah tangis sesunggukkan atau helaan nafas dalam, serta
dua atau sebelah tangan menutup muka, wanita itu mengatakan
apa yang telah dialami. Sebuah cerita yang harus dikatakannya
atas permintaan seseorang. Seseorang dalam wujud pedagang,
kuwad?an banija. Orang itu adalah kekasihnya. Kekasih sebenarnya. Orang itu
telah meluluhkan hatinya sejak lima tahun silam. Pada orang itu
ia telah menyerahkan segala-galanya. Padahal ia telah
mengangkat sumpah pada dirinya sendiri untuk nirsraya
(melajang, tidak kawin) sepanjang hidupnya. Menjadi nirsraya
demi merambah kekuatan setinggi-tingginya. Untuk itu, ia tidak
kunjung menerima permintaan Jitaksara yang sejak ia berusia
sembilan belas tahun telah menyatakan cinta. Ia akhirnya
menerima Jitaksara sebagai suami tiga tahun silam. Jitaksara
yang tidak mempertanyakan keadaannya saat malam pertama,
karena ia begitu gembira. Begitu gembira, akhirnya mendapatkan
apa yang didamba lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Menyandingkan dirinya sebagai seorang isteri. Padahal itu semua
dilakukan atas permintaan orang itu. Kekasih sebenarnya.
480 Kekasih itu dikenalnya dalam suatu perjumpaan di Watugaluh
dan menyatakan diri sebagai Penguasa Watugaluh. Penguasa
Watugaluh yang kini berperan dalam wujud seorang kuwad?an
banija. "... Guru kami telah diserang secara sembunyi dan tiba-tiba di
pinggir hutan jati selepas meninggalkan Wwatan. Serangan dari
dua sisi jalan.....jalan...jalan yang......" Sebuah cerita tragis harus
dimulainya. Dimulai setelah ia menceritakan pertemuan dengan
dua Perguruan utama di Wwatan. Tentu juga suatu cerita rekaan.
Rekaan dari seorang kuwad?an banija. Meyakinkan. Sungguh
sangat menyakinkan. Wanita itu memulai suatu tragedi dengan
terputus-putus. Dua kali terputus, dan kemudian berhenti.
Berhenti untuk menutup mukanya dengan dua tangan. Maheswari
kontan telah mengulurkan dua tangan memijat pelan bahu kanan
dan leher wanita itu untuk sekedar memberi ketenangan.
17 "Kakangmas, mereka telah termakan oleh ceritamu yang luar
biasa". Suatu pujian pada pujaannya di dalam hati.
"Jalan yang telah terhalang oleh sebatang pohon. Kakang
Jitaksara pun turun dari kudanya. Turun untuk memindahkan
batang kayu itu. Tapi, tiba-tiba.... tiba-tiba.... Huuu ... Huuuu ..."
Terhenti oleh suara tangis. "Dua sosok dari sebelah kiri dan
kanan telah bergerak menyerang. Satu telah menghantam kepala
Mbokayu Anta......" Kembali terhenti tidak kuat menyebut lengkap
nama itu. Sesungguhnya, wanita itu memang tidak sanggup
menyebut lengkap nama orang yang telah dibunuhnya. Orang
yang telah bersamanya. Bersama lebih dari dua puluh tahun.
"Sekejab... sekejab saja dua orang itu telah merobohkan kami.
Bahkan, telah menewaskan Kakang-Kakang dan Mbokayu,
termasuk Kakang Jitaksa...... Jitaksara." Nama itu dengan agak
481 keras disebutnya secara lengkap di akhir. Lengkap untuk
menyatakan suatu pelepasan. Bukan pelepasan haru, melainkan
emosi. Emosi yang menyatakan lepasnya suatu belenggu.
Belunggu itu telah mengikatnya selama tiga tahun. Sejak
belunggu itu terpasang, ia menjadi tidak leluasa untuk bertemu
dengan kekasihnya. Selama tiga tahun itu, ia hanya
berkesempatan empat lima kali melepaskan bara rindunya.
Sampai kira-kira dua purnama lalu, yang dirindukannya itu
muncul di Tembelang. Muncul dalam wujud seorang kuwad?an
banija. Dua kali pada kesempatan pertama bertemu itu, ia
bercinta dengan orang yang sangat dirindukannya. Bercinta
sehabis-habisnya, meledakkan rindu yang menggunung. Selama
di Tembelang, orang itu telah bertanya mengenai kekuatan
Tembelang dan Merak Mas. "Aku sendiri tergolek tidak sadarkan diri tidak tahu dalam berapa
lama. Entah mengapa, dua orang itu tidak membunuhku seperti
yang lainnya. Aku tersadar di dalam sebuah pedati. Pedati dari
dua orang yang kebetulan melewati jalan itu. Setelah bertanya
kepada diriku, mereka pun membawa aku dan tubuh KakangKakang dan Mbokayu pulang ke
Perguruan......." Sangat lirih kata
perguruan diperdengarkan wanita itu.
"Dua orang. Dua orang dengan Wiwuda Maha Wisya (Racun
Maha Dewa)". Yang tadi telah disebut lirih, kini terdengar jelas
dari mulut Ketua Samaragrawira. "Jadi apa yang telah merasuki
itu Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa)". Arga mengingatingat nama itu. Nama yang mungkin
berguna baginya. "Mungkinkah mereka adalah dua orang Wilmuka. Tapi, bukankah
tiga orang Wilmuka yang Kakang Cutajanma sebut-sebut tidak
memiliki ciri seperti itu?" Menatap Ki Cutajanma, Ketua
482 Samaragrawira mengutarakan kebimbangan dan keraguannya.
"Kakangmas, Guru telah memikirkan dua Wilmuka dengan ciri
Racun Maha Dewa. Aku dan dirimu, yang telah memiliki ciri itu,
18 dikatakan Guru sebagai Wilmuka. Benar Kakangmas, dua
Wilmuka yang mereka pikirkan telah membingungkan dan akan
memecah perhatian mereka. Suatu rekaan yang luar biasa."
Kembali batin wanita memuji rekaan pujaannya.
"Siapa pun mereka, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan
kehati-hatian." Selanjutnya Ketua Samaragrawira mengutarakan
sejumlah pertimbangan untuk menjaga Tembelang. Begitu pun
dengan empat orang tua dan empat Senopati Utama di ruang itu,
mereka pun telah menyatakan pandangan-pandangannya.
Hampir dua belas penderesan nira, pembicaraan di antara
mereka telah berlangsung. Wanita bernama Antya itu, salah
seorang Tujuh Merak Dunia, terus dibujuk halus. Dibujuk untuk
meninggalkan ruangan itu agar beristirahat, bersikeras tinggal di
ruangan itu sampai pertemuan berakhir.
"Malam ini kita mempersiapkan perabuan untuk Bhadrasana,
Antari dan Jitaksara. Besok menjelang matahari tepat di atas
kepala kita akan memperabukan mereka sebagaimana mestinya.
Memperabukan menurut ..........." Orang memahami apa yang
dikatakan oleh Ketua Samaragrawira sekalipun tidak selesai
menuntaskan perkataan. Perkataan yang tidak selesai karena
sebuah suara keras meledak di ruangan itu.
"Kakang...... Kakang Jitaksara". Wanita itu memburu sesosok
tubuh telah membiru dan membisu. Ia memburu tubuh itu diiringi
oleh jeritan tangis keras, sangat keras...... Jeritan penutup dari
seluruh perannya hari itu. Peran yang secara gemilang berhasil
dimainkannya. Orang-orang di ruangan itu, mendiamkan
483 beberapa sesaat wanita yang sedang memeluk erat, menciumi
dan mengguncang-guncangkan tubuh itu. Beberapa murid Merak
Mas telah masuk ke ruangan itu, untuk mempersiapkan apa yang
diminta Ketua Samaragrawira. Saat itu, Maheswari pun terlihat
telah meminta wanita itu melepaskan tubuh yang dipeluknya
karena tubuh itu harus menjalani persiap untuk perabuan, lalu
memapah berdiri dan membawa pergi wanita itu meninggalkan
ruangan. Dua mata wanita itu telah basah oleh air mata. Ketika dipapah
meninggalkan ruang oleh Maheswari, terlihat dua mata itu
menerawang jauh. Menerawang untuk kemudian berhenti pada
bayang-bayang seorang kuwad?an banija. "Kakangmas, kau
boleh bangga atas apa yang telah aku lakukan. Peran itu
sungguh telah menerkam bulat-bulat kepercayaan Perguruan
Merak Mas, bahkan kepercayaan seluruh Kota Tembelang." Mata
itu pun membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang
terjadi atas empat orang Bawana Manyura Sapta. Tujuh Merak
Dunia. Tujuh Murid Utama Perguruan Merak Mas. Sungguh, pada
mata itu kembali telah melintas jelas kisah tragis. Kisah tradis
sebagai Tembelang Geger (Kegemparan di Tembelang) pertama
yang akan disusul dengan yang lainnya. Kegemparan itu dimulai
dengan pembunuhan terhadap empat Bawana Manyura Sapta.
19 *** Tiga sasawa (jenasah) telah dipersiapkan. Dimandikan bersih
dengan ambarukma hartara (air yang dibuat harum wangi), kuku
dikerik, benang diikatkan pada dua ibu jari kaki dan tangan,
badan dilulur dan ditaburi wewangian. Sejumlah benda pun
484 dikenakan bagian-bagian tubuh pada jenasah itu. Ditaruh pada
alis daun nimba atau intaran, daun gadung di dada, pusuh menur
di lobang hidung, pecahan carmin (kaca) pada kedua matanya,
sekeping waja di gigi, daun terong di kemaluan (laki-laki), daun
teratai pada kemaluan (perempuan), bedak di wajah. Pakaian
lengkap pun sudah dikenakan. Pakaian berciri Perguruan Merak
Mas. Akhirnya, tiga jenasah itu dibungkus dengan tikar pandan
diikat dengan tali bambu. Di depan jenasah keluarga
menyembayangi. Pada akhirnya, jenazah diusung ke M?ru Pancaka (tempat
pembakaran), tidak jauh dari pusat Perguruan Merak Mas.
Jenasah itu diletakan pada pancaka (panggung pembakaran)
berupa menara tinggi yang telah terisi dengan kayu. Ketua
Samaragrawira dan Ki Gilingwesi pun telah menyulukan api pada
pancaka. Api pun menjalar dan membakar. Cepat
menghanguskan yang ada di sana. Sepasang mata kecil telah
meneteskan air mata dan dengan tangis keras telah
menyusupkan wajah tak berdaya mereka ke dada seorang gadis.
Maheswari. Dua pasang mata itu milik dua anak kecil yang tidak
kuasa melihat api membakar ayah ibunya. Bhadrasana dan
Antari. Dua dari Bawana Manyura Sapta.
*** Dua purnama telah berlalu sejak perabuan empat Bawana
Manyura Sapta. Sejak terbunuhnya empat Murid Utama
Perguruan Merak Mas, tidak mengemuka satu pun kejadian yang
mengejutkan. Namun, pengamanan dan penjagaan di Tembelang
terus ketat dilakukan. Kewaspadaan dan kesiagaan tetap
485 dijalankan. Sebab, sejumlah prajurit telah melaporkan kehadiran
beberapa orang tua. Laporan dari jaringan tersembunyi di Kota
Tembelang. Jaringan itu telah menerima penjelasan mengenai
ciri-ciri orang tua yang dikatakan sebagai Wilmuka dari masa
silam. Mencermati siatuasi itu Arga bersama-sama dengan empat orang
yang bersamanya masih berada di Tembelang. Begitu juga
dengan orang-orang dari Bukit Suci. Untuk Arga sendiri,
keberadaan di Tembelang sangat berarti. Sebab, ia masih
menunggu, tidak kuasa meminta, Paman Wira untuk menyatakan
jati dirinya. Jati diri yang telah diikat dengan suatu sumpah pada
dua puluh tahun silam. Ia tidak kuasa meminta Paman Wira untuk
membatalkan sumpahnya. Pembatalan yang harus dilakukan
dengan suatu penebusan. Begitulah, sumpah dari orang
20 terhormat selalu meminta penebusan saat dilakukan pembatalan.
Dua rombongan itu telah mengisi waktu dua purnama di
Tembelang dengan suatu pertemuan rutin. Pertemuan di sebuah
sanggar yang telah dikhususkan untuk mereka. Pada sanggar itu
setiap hari dua kali mereka berkumpul di sanggar itu. Yakni, pagipagi buta sampai menjelang siang
dan setelah makan malam hingga tengah malam. Di sanggar itu, mereka menggelar latihan,
terus mendalami apa yang telah mereka sadap menurut jalur
masing-masing. Mereka berlatih di bawah pengawasan rutin tiga
orang tua dan seorang anak muda. Ketua Samaragrawira dan Ki
Gilingwesi sesekali hadir bersama mereka. Bersama mereka juga
rutin hadir dua kakak beradik, Janaloka dan Maheswari.
"Nduk sana ikut bergabung di sanggar. Kalau kau malu ajak
Kakangmu bergabung". Usul Ki Gilingwesi kepada gadis itu satu
pekan setelah perabuan empat murid utamanya. Ia pun telah
486 melakukan hal itu dua hari kemudian. Ia datang ke sanggar itu
dengan Janaloka. Terhitung saat itu, gadis itu telah bergabung
dalam latihan di sanggar itu hampir satu purnama tiga pekan. Ia
latihan di sanggar dengan tiga gadis lainnya, Puteri Rajni,
Kanistha dan Acintya. Empat gadis itu sering berlatih tanding.
Dua purnama merupakan waktu yang cukup bagi Arga untuk
mengenali jurus-jurus yang digelar oleh mereka yang berlatih di
sanggar itu. Jurus dari tiga Perguruan dan satu padepokan:
Rembulan Emas, Bukit Suci, Merak Mas dan Chandrakapala.
Apalagi, ia pernah menjajal jurus-jurus itu dalam suatu laga. Laga
yang sangat berguna untuk mengurai bentuk dan isi jurus-jurus


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari tiga perguruan itu. Pemahaman atas bentuk dan isi pun
semakin mendalam dengan melihat secara rutin jurus-jurus itu
digelar dalam latihan di sanggar. Ditambah lagi keberadaan tiga
orang tua pada sanggar itu. Tiga orang tua yang dengannya
terlibat pembicaraan mendalam mengenai pengembangan jurusjurus perguruan mereka baik
menurut bentuk maupun isi.
Lewat itu semua, Arga dengan sangat terperinci mengenal unsurunsur jurus-jurus itu menurut
bentuk (gerakan yang terlihat) dan
isi (tenaga yang melambari). Ia melakukan hal itu lewat mengikuti
setiap gerak dan pengerahan tenaga dari jurus-jurus yang dilihat.
Anak muda itu mengenali jurus-jurus itu lewat suatu praktek,
bukan teori. Ia berlatih menurut tata gerak jurus-jurus itu. Tentu
atas sepengetahuan orang-orang tua di sana, jika tidak ia
melakukan sesuatu dengan mencuri. Mencuri ilmu.
Dalam latihan itu, Arga telah mengurai setiap unsur di dalamnya,
dalam segala kemungkinan yang bisa diraihnya. Hampir setiap
kali melakukan penguraian itu, Arga menemukan bentuk
(gerakan-gerakan)baru. Bentuk yang selalu dicatat. Atas dasar
487 bentuk-bentuk yang ditemukan itu, ia memberi konteks atau isi
(lambaran tenaga) yang sesuai dengan itu. Hal yang pernah
21 dilakukan di pesanggerahan Paman Wira. Kini hal itu secara
terbuka kembali dilakukannya. Semua itu telah melahirkan suatu
jurus-jurus baru baik menurut jalur masing-masing perguruan
maupun penggabungan dari unsur-unsur perguruan dalam bentuk
dan isi yang telah mendapat penyesuaian.
Satu purnama lalu, Arga memperlihatkan apa yang telah
dicapainya. Dipertunjukkan di hadapan lima orang tua, Di sana
Arga telah mengetengahkan sesuatu yang baru baik berdiri dalam
unsur yang dikenali menjadi ciri satu perguruan maupun paduan
dari empat ciri perguruan secara serentak. Tapi, ia semua tetap
dapat dikenali akarnya. Di luar itu, anak muda itu pun telah
menyatakan sesuatu yang memang benar-benar baru. Baru dari
bentuk maupun isi. Hanya decak kagum dan takjub yang keluar dari bibir lima orang
tua itu. Mereka heran memuji ketajaman intuisi (naluri) dan
penalaran serta bagaimana memadukan dua hal ini dalam
mengembangkan sesuatu. Sebenarnya hal itu tidak perlu
diherankan. Arga sejak sangat dini telah melatih dan mengasah
pelanaran lewat kegemaran membaca buku. Untuk intuisi (naluri)
ia telah menjalani latihan selama delapan tahun. Melatihnya
setiap hari menurut cara-cara yang tertera dalam kitab
Panchajanya. Karena dua kemampuan itu, Arga cepat menyadap
apa yang dilihatnya. "Sungguh-sungguh seperti seekor
branjangan*) . Ia tidak hanya cepat meniru suara burung lain,
tetapi juga meniru gerak bahkan gerak yang tersulit sekalipun".
Lirih suara Ki Gilingwesi namun terdengar oleh orang tua lain di
sana dan diamini bersama.
488 Sejak saat itu Arga diminta membimbing empat gadis menyelami
jurus-jurus masing-masing menurut caranya. Cara yang telah
ditemukan dan dirangkai oleh anak muda itu. Mulanya, anak
muda itu sangat sungkan. Sungkan berada dan berdekatan
seorang diri di antara empat gadis itu. Oleh karena itu, setidaknya
salah seorang dari tiga orang tua itu bersedia menemani anak
muda itu saat berlatih. Mereka berlatih terpisah, tidak di dalam
sanggar itu, melainkan di sebuah bukit sebelah barat Perguruan
Merak Mas. Bukit yang penuh kenangan. Saksi bisu berakhirnya
ajal seekor kuda kesayangan, Karkasa Bayu.
Sejak satu purnama lalu, bukit itu selalu kedatangan setidaknya
enam orang. Enam orang yang berlatih. Atas inisiatif dirinya, dua
pekan lalu Arga telah mencoba sesuatu yang baru pada empat
gadis itu. Bertempur menurut tata gerak suatu barisan. Barisan
empat gadis. Pada barisan itu mereka bertempur dengan masingmasing bersenjatakan sepasang
pedang. Pada dasarnya barisan
itu merupakan gubahan anak muda itu yang kemudian
disempurnakan lewat salawa (pembahasan mendalam) dengan
lima orang tua itu. Barisan ini digubah berdasarkan Taranggana
Pranahara (Ilmu Perbintangan) yang pernah di dalaminya selama
di gua. Atas usul Ki Cutajanma, barisan pedang empat gadis itu
22 dinamakan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur (Empat Barisan
Pedang Bianglala). "Nama yang indah, seindah empat gadis yang
memainkannya". Anak muda itu tersenyum.
*** Menjelang siang terlihat lima orang telah menjalani lagi. Laga di
bukit itu. Satu lawan empat. Satu orang tua terjepit di antara
489 empat gadis muda. Terkepung rapat oleh barisan yang dimainkan
secara menyatu selaras penuh perubahan. Pertarungan itu telah
berjalan hampir dua belas penderesan nira. Laga yang telah
membuat lima orang itu semakin larut. Larut dalam jurus-jurus.
"Luar biasa. Semakin larut, semakin ketat aku terkurung. Seolaholah terkepung dari dua puluh satu
penjuru." Batin orang tua itu
terus berupaya lepas dari kepungan. Kepungan dari Ayaskara
Prasapa Salikur (Dua Puluh Satu Amanat Batu Bintang). Salah
satu perubahan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur (Empat
Barisan Pedang Bianglala).
Di pinggir laga, empat orang tua menonton ditemani dua orang
anak muda. Empat orang tua itu telah sering mengumbar senyum
sepanjang laga. Senyum gembira. Lain dengan dua anak muda
itu. Dua anak muda yang besar bersama semasa kecil. Janaloka
dan Arga. Mereka telah bosan latih tanding oleh Ki Gilingwesi
dengan barisan empat gadis. Latih tanding seperti telah dia lihat
beberapa kali sebelumnya. Selalu dengan hasil yang sama.
Orang tua itu akan terkurung terus semakin rapat, lalu terjepit
tidak berkutik sehingga pada akhirnya harus meloncat sangat
jauh dan melontarkan satu kata: Cukup! Tanda menyerah. Begitu
pun dengan dua orang tua lainnya. Mengalami hal yang sama di
bawah kepungan barisan dari empat gadis itu. "Memang suatu
barisan yang luar biasa. Barisan penuh perubahan yang
mengejutkan dan memerangkap lawan. Tapi, sudah tiga empat
kali barisan itu aku saksikan dan selalu memberikan hasil yang
sama. Cukup membosankan." Ia pun mengajak anak muda yang
lain menyingkir cukup jauh dari empat orang tua itu.
Dari belakang empat orang di pinggir laga, seorang wanita
berjalan menaiki bukti membawa sejumlah makanan. Makanan
490 untuk orang-orang di atas sana. "Luar biasa. Mereka memiliki
jurus simpanan. Jurus yang dimainkan bersama-sama dalam
suatu barisan. Siapa yang telah menurukan jurus-jurus itu"
Apakah Guru dan Paman Guru selama dipesanggerahan". Ah...
Maheswari! Ia kuncinya" Wanita itu pun mempersiapkan makanan
yang dibawanya. Di sana ia tidak melihat anak muda yang telah
memulihkan dirinya sewaktu terluka. Ia tidak ambil peduli.
Sebentar kemudian ia telah mengambil tempat di antara orangorang tua di pinggir lama. Tidak lama
ia di sana. Tapi, itu cukup
untuk memberi catatan kepada "Kakangmas". Catatan tentang
kekuatan Merak Mas. Kekuatan yang akan segera dikenalinya
23 lewat satu dari empat gadis dalam barisan itu.
Arga tidak sengaja melihat wanita itu turun untuk kembali ke
Perguruan. "Kakang bukankah itu Mbokayu Antya" Kasihan
dirinya." Mata anak muda itu masih mengikuti ke mana wanita itu
pergi. "Tertarik" Sana kejar. Ia janda. Janda tanpa anak lagi....
syuurr seorang wanita yang sangat matang. Matang dalam
segala teknik..... ha...ha...ha...." Selalu saja anak itu
menggodanya. Menggoda dalam urusan wanita. Tidak jarang ia
menggoda secara terbuka. Terbuka di hadapan sang gadis,
termasuk di depan Maheswari, adiknya. "Dasar mulut
cabul...."Dua mata itu yang justru melotot kepada Arga setelah
mengatakan hal itu dan ia pun secepatnya luruh pergi. Yang
segera disusul oleh anak muda lainnya untuk kembali ke sisi
orang-orang tua di sana. Arga masih terus memikirkan wanita itu. Kasihan! Pertama,
ditinggal suami. Lalu, luka yang dideritanya. Luka karena sesuatu
yang terus diingatnya: Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa).
Kekuatan dengan sifat-sifat panas, ganas, merusak dan
491 mematikan. "Sifat-sifat?" Pikiran anak muda itu lalu mengumbar
sejumlah pertanyaan lain: "Mengapa wanita itu juga menyimpan
dalam dirinya sifat-sifat itu" Mungkinkah sifat dari Wiwuda Maha
Wisya (Racun Maha Dewa) telah masuk dan menyusupi sumbersumber pada dirinya" Sejauhmana
pengaruh sifat-sifat itu akan
berpengaruh?" Sebuah tepukan di pundak menghentikan buyar
pertanyaan itu. "Masih memikirkan janda muda itu?" Yang
kemudian diikuti tawa terkekeh sahabatnya.
Laga pada akhirnya telah berhenti. Berhenti seperti dugaan
Janaloka. "Cukup. Paman tidak kuasa lagi menahan gempuran
Pawitra Dhadhung Taranggana (Rasi Bintang Tali Suci)." Sebuah
sosok meloncat turun dari gelanggang. Ki Gilingwesi mencelat
menjauh melepaskan diri dari sebuah perubahan Empat Barisan
Pedang Bianglala yang dimainkan gadis-gadis itu. Empat gadis
itu pun berlari ke arah orang tua di sana. "Bagaimana Paman?"
Hampir serentak mereka bertanya. Bukan sekedar bertanya, tapi
lebih-lebih minta pujian. Pujian atas kemampuan mereka
memainkan barisan Empat Barisan Pedang Bianglala.
"Kian hari kian sempurna. Berkembang dan meningkat cepat dari
sebelumnya. Kini aku hanya dapat bertahan atas dua perubahan
Empat Barisan Pedang Bianglala. Suatu kemajuan pesat. Tapi,
itu wajar. Gadis mana yang tidak bersemangat dan bergelora
berada di bawah seorang Janaka. Arjuna Muda yang...." Empat
gadis itu serentak pergi begitu saja sebelum orang tua itu selesai
dengan penilaian yang telah mereka minta. Gadis-gadis itu pergi
dengan pikiran masing-masing.
Mereka menghabiskan siang itu di atas bukit. Hingga petang
mereka melakukan salawa (pembahasan mendalam). Di sebuah
batang pohon dekat mereka berkumpul, terdengar jelas kicau
492 24 branjangan. Burung semak kecil yang periang. "Lihat branjangan
itu. Ia persis seperti dirimu. Ia tidak hanya cepat meniru suara
burung lain, tetapi juga meniru gerak bahkan gerak yang tersulit
sekalipun". Ini kali kedua Ki Gilingwesi mensejajarkan Arga
dengan branjangan. Anak muda itu pun memperhatikan hewan
kecil itu. Hewan itu sering menemaninya sewaktu berlatih di gua.
Ia pun memperhatikan gerak-geriknya. Burung kecil itu telah
menirukan suara burung lain, lalu berkicau sembari terbang di
tempat dan hinggap di atas tanah. Tiba-tiba burung kecil itu
terbang secara memanjat, terus membumbung ke atas sembari
berkicau terus mumbul semakin tinggi hingga tidak terlihat, dan
sekonyong-konyong sudah meluncur cepat sampai di tanah.
"Apa?" Pekik anak muda itu tiba-tiba. Pekik sebuah pencerahan.
Yang ada di sana langsung kaget dan sontak menjadi siap-siaga.
"Ada apa?" Kata Janaloka. Wajah anak muda itu memerah
menyadari sebuah pekikan yang tidak disengaja meluncur dari
mulutnya. Sejurus kemudian anak itu menyatakan burung itu
telah membuatnya terkejut. "Ha....ha....ha..... aku kira ada
Wilmuka atau sebangsanya. Hanya branjangan rupanya. Terkejut
oleh branjangan kecil ......" Semua telah tertawa. Tepatnya,
mentertawakan. "Anak muda itu telah menemukan sesuatu!" Di
antara tawa itu Ki Gilingwesi menyatakan keyakinannya.
Sejak peristiwa di bukit itu, dua hal telah mengurung pikiran Arga.
Pertama, sifat-sifat Wiwuda Maha Wisya pada sumber tenaga
pada diri satu-satunya wanita yang masih tertinggal sebagai
Murid Utama Merak Mas. Kedua, perilaku branjangan. Untuk hal
terakhir ini, pikiran anak muda itu telah mengotak-atik sesuatu.
Branjangan yang suka meniru dan bergerak cekatan luar
biasa....cepat meniru seperti dirinya.... dan Naga Branjangan....
493 Julukan orang di gua itu... "Ah, julukan itu menyimpan makna
Maju untuk menjangkau pemahaman baru. Pemahaman yang
akan mengantar pada puncak kemampuannya.
*** Malam baru saja naik, seorang wanita terlihat mendatangi
seorang gadis sedang duduk bersimpuh dengan membiarkan dua
anak kecil tidur dipangkuannya. Dua anak kecil yang telah
ditinggal ayah ibunya. Bhadrasana dan Antari. Dua anak lola
(yatim piatu) dari Dua Bawana Manyura Sapta. Dua anak itu
tampak telah tertidur, namun akan segera terbangun jika
dipindahkan ke pembaringan. Telah tertidur namun belum lelap.
Gadis itu adalah Maheswari.
"Hanasta dan Harana tampak sudah tertidur, Diajeng."
"Silahkan Mbokayu Antya." Wanita itu pun duduk mendekat. Ia
menjatuhkan diri perlahaan saat duduk. Tidak ingin mengganggu
lelap dua anak lola di pangkuan gadis itu, demi kepentingannya.
"Wah, Diajeng kini sungguh sangat luar biasa. Tadi siang
Mbokayu lihat sendiri, saat mengantar makanan. Jurus yang luar
25 biasa. Bahkan Paman Guru Gilingwesi sendiri telah terjepit.
Sangat luar biasa." Sangat terukur wanita itu memainkan
suaranya. Tidak keras, namun menggetarkan kekaguman yang
seolah spontan keluar. Kekaguman spontan yang keluar tanpa
sebuah teriakan kaget, yang dapat membangunkan dua anak itu
terjaga. Terjaga untuk kemudian menggangu pembicaraannya.
Pembicaraan untuk menarik keterangan seutuhnya dari Puteri
Ketua Merak Mas. 494 "Tidak demikian, Mbokayu."
"Jika Puterinya saja sehebat itu, bagaimana dengan Guru. Guru
yang telah mengurung diri selama dua purnama ternyata
sungguh-sungguh telah melahirkan jurus yang sangat luar biasa.
Jurus yang sulit dikalahkan". Sebuah umpan telah dilepaskan.
Umpan yang sangat nikmat untuk ditelan.
"Tidak demikian, Mbokayu. Jurus yang aku latih bukan digubah
oleh Ayah. Tapi, digagas dan dicetuskan oleh Arga". Wajah gadis
itu tampak sesaat buncah salah tingkah saat menyebut sebuah
nama. "Apa! ... Peringatan Kakangmas atas anak muda itu
agaknya tidak sekedar main-main." Wanita itu telah
menyembunyikan kekagetannya dengan senangi gadis itu untuk
kemudian banyak mengumbar keterangan mengenai anak muda
itu. "Anak muda yang luar biasa. Gagah, santun, perkasa. Anak
muda yang sempurna. Syukur, Diajeng sering berada
bersamanya. Witing Tresno Jalaran Soko Kulino (Cinta karena
sering bertemu)." Kena.
"Mbokayu bisa saja. Mana pantas aku dijajarkan dengan dirinya.
Lagi pula bersamaku ada tiga gadis lain. Tiga gadis yang sangat
luar biasa. Mana mungkin ia melirik padaku." Gadis itu telah


Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termakan oleh siasat wanita yang memang sangat cermat dan
apik. Apik dalam membaca situasi yang dihadapi. Sungguhsungguh seorang Duta Cara
(Mata-mata). Merak Mas Duta Cara.
"Bodoh benar anak muda itu tidak mau melirik gadis secantik
Diajeng. Pasti buta matanya. Jika boleh tahu, siapa sebenarnya
anak muda itu dan apa yang telah digagas dan dicetuskannya."
Pada akhirnya Duta Cara itu tiba pada inti urusannya. Anak muda
dan jurus-jurus yang digubahnya. Dengan sangat bersemangat
495 dan dipenuhi kegairahan, Maheswari mengatakan siapa anak
muda itu dan sejumlah jurus yang telah dibentuknya, termasuk
jurus dalam bentuk barisan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur
(Empat Barisan Pedang Bianglala). Barisan dahsyat dengan
empat perubahan: Ayaskara Prasapa Salikur (Dua Puluh Satu
Amanat Batu Bintang), Pawitra Dhadhung Taranggana (Rasi
Bintang Tali Suci), Teluh Braja Kangkam Cancala (Gerak Pedang
Bintang Beralih), dan Akasa Cudaka Bukung (Memutus Utusan
Langit). 26 "Mbokayu, Empat Barisan Pedang Bianglala itu khusus
dicetuskan bagi diriku dan tiga gadis lain." Gedhe rasa. Gadis itu
merasa dirinya lebih berarti di hati anak muda itu. Ia memisahkan
dirinya tersendiri: dicetuskan bagi "diriku" dan "tiga gadis lain".
"Anak ini sungguh-sungguh sedang jatuh cinta". Wanita muda itu
mengenang kembali pertemuannya lima tahun silam dengan
seorang di Watugaluh. Maheswari mengatakan bahwa barisan Empat Barisan Pedang
Bianglala itu dialaskan pada kitab Taranggana Pranahara (Ilmu
Perbintangan). dan kemudian melebar kembali pada anak muda
ingin dibacanya. Orang-orang bilang membaca kitab itu buangbuang waktu. Tapi, ia melakukannya.
Ia tahu kitab-kitab itu berguna membuka cakrawala penalarannya. Benar, dengan
kitab-kitab yang telah dibacanya ia telah mencetuskan dan
membentuk barisan Empat Barisan Pedang Bianglala." Alih-alih
mendengarkan tuntas kata-kata Maheswari, wanita itu mengingatingat dua kata Taranggana
Pranahara. Terus gadis itu mengumbar cerita. Cerita gadis itu telah lebih
banyak bercerita kekaguman pada anak muda itu. Tidak ada lagi
496 hal penting dari cerita itu, kecuali ketika anak muda itu
memainkan peran sebagai orang bercadar dengan punguk di
punggungnya. Dengan sangat rinci, gadis itu menceritakan
bagaimana anak muda itu telah menempur Ayahnya, Paman
Gilingwesi dan Paman Cutajanma. Termasuk dalam cerita itu,
bagaimana anak muda itu pun mampu menggelar jurus-jurus
baru Merak Mas sekalipun dalam bentuk dan isi yang agak
berbeda. "Ah, benar-benar harus waspada. Tidak mungkin aku
dapat mendekati anak muda itu. Mendekati tanpa membangkitkan
kecurigaan pada dirinya. Sepertinya, aku harus menghindari anak
muda itu. Lebih baik tidak menampilkan diri di hadapnya. Tidak
tampil bila tidak sangat perlu". Wanita itu mengatakan suatu
peringatan untuk dirinya sendiri. Menilai telah cukup menyadap
keterangan dari gadis itu, wanita itu pun ingin segera pergi. Pergi
mengunjungi seseorang. "Diajeng, Hanasta dan Harana tampak sudah sangat lelap.
Kasihan dua anak itu. Harus hidup sebagai Jakalola. Silahkan bila
Diajeng ingin membawa mereka ke pembaringan." Ia tidak berani
menyebut nama orang tua anak-anak itu, khususnya nama ibu
mereka, Maheswari pun telah menjadi bahwa memang anak-anak
itu telah lelap. Ia begitu semangat dan bergairah mengumbar
cerita. Cerita mengenai anak muda itu. Anak muda yang sering
hadir dalam benaknya. Arga. Gadis itu pun beringsut lembut dan
perlahan menggendong Hanasta. Hal yang sama juga dilakukan
wanita itu, ia memeluk dalam-dalam Harana. Memeluk agar tidak
melihat wajah anak itu. Wajah yang menyimpan banyak
kemiripan dengan ibunya. Mbokayu Antari yang telah
dibunuhnya. 27 497 *** Dua penderesan nira, sosok ramping bergerak cepat menyelinap
pergi meninggalkan Perguruan Merak Mas. Mudah baginya
menghilang angkat kaki tanpa tertangkap mata dari Perguruan
yang sangat dikenalnya. Bergerak tergesa-gesa menuju pusat
Kota Tembelang. Dengan kemampuan bergerak cepat, ia tidak
membutuhkan waktu lama untuk tiba di tempat tujuannya.
Sebuah wand?. Toko pakaian dan kain yang telah tutup. Ia
membuat beberapa ketukan dengan suatu ritme. Pintu baru
setengah dibuka. tapi ia sudah langsung menyelinap masuk serta
menubruk seseorang dan lapar melumat bibir orang itu dengan
bibirnya. Cepat dengan tangan orang itu kembali mengunci pintu.
Yang baru menyelinap masuk adalah wanita satu-satunya dari
Bawana Manyura Sapta. Antya, wanita yang baru dua purnama di
tinggal suaminya. Bibir mungil Wanita yang cantik di usia kematangan itu bergerak
liar memainkan indera pengecapnya di dalam mulut orang dalam
wujud kuwad?an banija. Orang itu pun tidak tinggal diam. Ia cepat
meloloskan tali p (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
engikat pakaian bagian bawah Antya. Pakaian
itu pun melorot turun. Tangkas tangan orang itu beralih membuka
pakaian atas Antya, lalu menarik lepas bebed penutup dua bukit
kenyal sempurna. Hal yang sama pun telah dilakukan oleh Antya
atas pakaian orang yang dengan lapar sedang dilalapnya.
Tidak berapa lama, masih berdiri merapat, orang itu telah
membalik dan menyandarkan tubuh Antya pada dinding wand?.
Ruang itu terbilang terang untuk mengungkap dua orang di sana
dalam keadaan gantung kepuh. Hanya secarik kain melekat pada
tubuh. Untuk segera melarutkan gumpalan kerinduan, Antya
498 menarik lepas kupina (cawat laki-laki) pada orang itu, dengan
tangan yang sama ia juga menarik apa yang masih menutup
miliknya. Antya dan orang itu kini wlaha, tidak memakai apa-apa.
Mengerti apa yang diinginkan Antya, orang itu telah mengangkat
tubuh wanita itu hingga sebatas pinggul, membelah dua kakinya
dan menempatkan miliknya untuk mengisi ruang yang tersedia
tepat di tengah pangkal paha wanita itu. Yoni dan lingga pun
menyatu. Menyatu dalam suatu gerak irama. Irama bersama.
Dan, orang itu sepenuhnya menentukan gerak irama itu, baik
menurut kecepatan maupun kekuatan hentakan. Mulanya orang
itu bergerak menurut laras slendro (irama slendro). Nama irama
itu diambil dari nama wangsanya, Syailendra. Dalam laras itu,
mereka bergerak lembut, kalem, luwes, gemulai, tenang
menghayati setiap momen yoni lingga yang telah menyatu.
Dimulai dengan Antya, orang itu pun mengubah laras slendro
menjadi laras pelog. Cepat, keras, menghentak-hentak, bergairah
Si Rase Hitam 3 Fear Street - Confession Kisah Membunuh Naga 13
^