Naga Bhumi Mataram 9
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 9
dan bersemangat. Berlangsung cukup lama, sampai akhirnya
Antya melempar tubuh ke belakang. Tubuh yang tetap tersangga
menggantung sebatas panggul orang itu. Kepala wanita itu
mendongak ke atas, dengan mata terpejam.
Orang itu membiarkan sejenak miliknya sesaat terlanda
gelombang yang mengedut-ngedut dalam dinding rongga wanita
itu. Dinding itu selalu mengedut manakala wanita itu mengalirkan
lepas apa yang selalu ingin digapainya. Kedutan dibalas dengan
kedutan. Kedutan yang dialirkan melalui milik orang itu. Itulah
akhir dari setiap kebersamaan mereka. Mencapai paripurna
bersama. Paripurna dalam saresmi (bersenggama).
Orang itu pun lembut merendah dan menaruh pelan tubuh wlaha
Antya pada tumpukan kain. Menarik sebuah prangwedani
499 (permadani) dan membabarkan di tempat sela dalam wand? itu,
lalu orang itu berjalan ke arah wanita itu. Lembut ia mengangkat
tubuh Antya, dan membaringkan di atas permadani. Kini, dua
tubuh wlaha telah berbaring bersama. Manja wanita itu
menyandarkan kepalanya pada dada orang itu sambil memainkan
1 milik orang itu. Lingga yang sangat istimewa baginya.
Orang dalam wujud kuwad?an banija itu akan segera meminta
upahnya. Upah yang selama tiga purnama ini selalu diberikan
oleh Antya saat orang itu mengantar wanita itu meraih paripurna.
Paripurna itu telah membutakan wanita itu. Untuk itu, ia bersedia
membayat upah yang sangat mahal. Upah berupa kekuatan
Tembelang dan Merak Mas, termasuk empat Saudara
Seperguruannya. Tak terbilang ia dan laki-laki itu meraih paripurna bersama sejak
lima tahun silam. Paripurna yang telah membatalkan nirsraya
(melajang, tidak kawin). Berbaring menyandarkan tubuh mata
Antya menerawang jauh. Jauh ke masa silam. "Ia toh nanti akan
menceritakan apa yang telah didapatnya mengenai kekuatan
Tembelang dan Merak Mas". Orang itu membiarkan wanita itu
terhanyut dalam pikirannya beberapa lama. Pikiran yang memutar
ulang sejumlah peristiwa, yang dimulai dari Watugaluh lima tahun
silam. *** Di Watugaluh ia bertemu pertama kali dengan orang itu. Lewat
sebuah pertolongan yang telah diberikan orang itu kepadanya.
Pertolongan melindas dua belas begundal yang mencoba
menistakan dirinya dan melukai tiga murid Merak Mas. Orang itu
pun mengundang dan menyatakan diri sebagai Penguasa
500 Watugaluh. Wajah dan bayang-bayang orang itu terus lekat dan tidak mau
pergi. Kurang dari sepekan, orang itu telah muncul di Tembelang
dan menemuinya. Di tempat di mana ia sedang berbaring saat ini.
Tempat ini dinyatakan sebagai miliknya. Tiga hari berturut-turut,
ia menghilang pergi sesaat dari perguruan. Menghilang hingga
menjelang malam untuk menemui orang itu. Selalu di tempat ini.
Di malam ketiga, orang itu menyatakan akan kembali besok ke
Watugaluh, namun rutin akan mengunjunginya setiap bulan.
Saat itu ia telah luruh luluh takluk pada orang itu. Malam itu juga
ia telah membatalkan nirsraya pada dirinya sendiri. Dengan
dipenuhi keraguan, ia melewati pembatalan itu. Hanya sesaat.
Sebab, keraguan itu segera beralih menjadi kegairahan dan
kegilaan yang tidak pernah ia dirasakan. Di tempat ini juga, ia dan
orang itu mencapai paripurna bersama. Paripurna dalam saresmi
(bersenggama) pertamanya.
Wanita itu ingat, waktu itu orang itu kaget manakala mengetahui
keadannya. Keadaan bahwa dirinya belum pernah melepaskan
miliknya pada orang lain, padahal usia jauh dari cukup untuk
melalui keadaan itu. Seperti saat ini, sambil bersandar di dada
orang itu, wanita itu mengatakan bahwa selama ini ia hidup
menjalani nirsraya (melajang, tidak kawin) sepanjang hidupnya.
Sumpah nirsraya demi merambah kekuatan setinggi-tingginya.
Sumpah yang malam itu telah dibatakan bersama orang itu di
sebuah wand?. Orang itu pun memeluk erat dan mengatakan
2 akan membantu dirinya meraih hal itu. Merambah kekuatan
setinggi-tingginya. Wanita itu gembira dan percaya orang itu akan
memberikan sokongan mewujudkan hal itu. Dipenuhi
kegembiraan, wanita itu meminta orang itu melakukan sekali lagi
501 bagi dirinya suatu paripurna. Dua kali ia mendapatkan paripurna
bersama orang itu di saat pertamanya.
Orang itu sungguh memenuhi janjinya. Janji yang pertama. Terus
datang ke Tembelang. Selalu menemuinya. Pertemuan itu selalu
hampir pasti berujung di tempat ini. Berakhir dengan paripurna
bersama. Kegairahan bersama orang itu, tidak jarang ia melalui
paripurna dua tiga kali. Entah atas permintaan dirinya, entah atas
permintaan orang itu. Itu sepenuhnya tidak bisa dipastikan. Yang
pasti orang itu telah ditempatkan dalam dirinya sebagai kekasih.
Enam purnama berlalu, orang itu membawanya ke sebuah hutan
jati. Di sana orang itu menyatakan suatu kemampuan.
Kemampuan itu sungguh mencenggangkan hati. Itu adalah
Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa). Kekuatan dari masa
silam. Orang itu pun memenuhi janji kedua, mengajarkan Racun
Maha Dewa lewat sebuah catatan yang telah diberikan
kepadanya. Catatan bagaimana melatih kekuatan itu. Hatinya
berkobar-kobar menapaki kekuatan itu. Delapan belas purnama
ia sembunyi-sembunyi mempelajari kekuatan itu, baik lewat
catatan maupun langsung di bawah bimbingan orang itu saat ia
berkunjung. "Kini, kekuatan itu sungguh-sungguh menjadi bagian
dari diriku. Bagian yang tidak terpisahkan. Lewat kekuatan itu aku
telah melepaskan pembalasanku. Pembalasan pada orang yang
telah membujuk Guru sehingga belenggu itu mengekang diriku.
Mbokayu Antari ." Wanita itu tersenyum puas di dada orang itu.
Sekejab, wanita itu kembali teringat bagaimana belenggu itu
terpasang pada dirinya. Tiga tahun silam. Dua Gurunya datang
meminta dirinya menerima Kakang Jitaksara sebagai suami.
Mbokayu Antari, isteri Kakang Bhadrasana, ada di balik
permintaan itu. Permintaan itu menempatkan diri wanita itu pada
502 pilihan yang sulit. Maka, ia pun mengatakan pada orang itu.
Mulanya, ia marah karena orang itu pun mengatakan hal yang
sama, menerima Jitaksara sebagai suaminya.
"Ini semua demi kita dan demi dirimu", orang yang disandarinya
saat ini pernah berkata. Dengan mengabulkan permintaaan itu,
kata orang itu, lima hati telah dimenangkan wanita itu. Dua Guru,
Kakang Bhadrasana dan Mbokayu Antari, serta Jitaksara. Itu
semua akan memberi jalan terbuka meraih kekuatan yang lebih
tinggi. Cita-citanya. Terpenting, orang itu berjanji, janji yang selalu
ditepati, tetap akan bersama wanita itu sekalipun dengan cara
yang lebih hati-hati dan sangat tersembunyi. Tidak mungkin bagi
wanita itu menolak perkataan orang itu, untuk menerima Jitaksara
sebagai suaminya. Begitulah, Jitaksara ada di sisinya. Ada
3 sisinya sebagai suami, karena permintaan orang itu.
Tiga tahun ia menjalani kehidupan suami isteri. Masa yang
sangat mengekang dan membelenggu. Belenggu itu telah
dikenakan pada dirinya atas prakarsa Mbokayu Antari. Wanita itu
di dalam hatinya sangat benci pada Antari. Karena prakarsanya
telah menutup kesempatan untuk bertemu dengan orang itu.
Selama dalam belunggu itu, hanya empat lima kali dalam dua
belas purnama, orang itu menemuinya. Kesempatan yang begitu
terbatas. Sangat terbatas untuk melepaskan paripurna bersama.
Wanita itu ingin lari dari belenggunya. Lari bersama orang itu. Itu
dikatakan wanita itu pada pertemuan lima purnama silam. Tapi,
orang itu telah menahannya, meminta dirinya tetap menjalani
belenggu itu. Menjalani belenggu itu hanya untuk sementara,
karena orang itu berjanji akan melepaskan belunggu itu.
Melepaskan belenggu dengan tangannya sendiri. Orang itu selalu
memenuhi janjinya. Kurang dari dua purnama lalu, orang itu
503 menepati janji. Membunuh Kakang Bhadrasana, Kakang
Jitaksara dan Kakang Bhadrika. Wanita itu pun telah turun tangan
sendiri membunuh Antari. Untuk melepaskan benci yang
terpendam selama tiga puluh enam purnama. Benci karena
sebuah prakarsa yang berujung pada belunggu atas dirinya. Dua
purnama lalu, wanita itu telah bebas dari belenggu. Bebas
sepenuhnya. *** Setelah cukup lama hanyut dengan diri sendiri, wanita itu pun
membalikkan tubuh, menatap orang itu lalu membelai wajah
tampannya. Kemudian mencium bibir orang itu. Mengawali
permintaan untuk melakukan kembali sebuah paripurna.
Paripurna sambil berbaring di atas prangwedani. Dalam dua
penderesan nira, sebuah paripurna lain telah dicapainya.
Paripurna yang selalu memberikan kelegaan bagi dahaganya.
Dalam kelegaan itu, tanpa diminta, wanita itu menceritakan apa
yang dicatatnya mengenai Perguruan Merak Mas. Seluruhnya,
khususnya anak muda itu dan barisan Wangkawa Kangkam
Banjeng Catur (Empat Barisan Pedang Bianglala). Barisan yang
dikatakan dialaskan pada kitab Taranggana Pranahara (Ilmu
Perbintangan). Tidak sepotongkan kata keluar dari orang itu. Ia
membiarkan wanita itu terus berbicara. Kini wanita itu tidak lagi
bicara mengenai Merak Mas, melainkan angan-angan masa
depan yang diinginkannya. Hidup bersama dengan orang itu.
Orang itu pun tetap tampak mendengarkan, hanya saja
pikirannya telah terbang jauh: Siapakah orang muda itu" Entah
apakah Guru telah mengenal anak muda itu" Orang itu pun
memikikan keduanya: Guru dan anak muda. Intuisinya
504 mengatakan Gurunya telah mengenal anak muda itu. Tapi,
bagaimana bentuk "mengenal" itu berwujud ia tidak
4 mengetahuinya. Orang itu membiarkan pertanyaan itu terbuka.
Tidak membiarkan membebani pikirannya.
"Diajeng sudah hampir fajar." Cepat mengambil dan mengenakan
pakaian, orang itu pun meminta wanita itu melakukan hal yang
sama. Dengan enggan, wanita itu melakukannya. Orang itu
berdiri, kemudian membungkuk dan membopong wanita itu, lalu
berjalan menuju pintu wand?. Sesaat kembali mengecup bibir
wanita itu sambil meletakkan pelan wanita itu berdiri. Wanita itu
membalas kecupan dengan lahapan. Lahapan menjelang
perpisahan. Tidak lama, wanita itu telah menghilang.
Seorang diri, orang yang telah kembali dalam wujud kuwad?an
banija dalam wand?. Sejalur senyum pada bibirnya. Tersenyum
atas apa yang telah ditebarnya. Tidak salah orang tua bermuka
pucat memberikan penilaiannya pada orang itu: terhadap
kuwad?an banija itu, ia sepenuhnya menyerahkan apa pun yang
hendak dilakukannya. Apapun itu! Ruang yang dipercayakan
orang tua itu telah diisinya dengan memainkan seorang Duta
Cara. Mata-mata istimewa yang baru saja menghilang pergi.
Tembelang Duta Cara. *** Empat gadis riang berkejaran di taman. Main kejar-kejaran
dengan dua anak kecil. Dua anak lola. Pagi itu, mereka tidak
berlatih. Atas ajakan Maheswari, empat gadis itu telah bersama
dengan dua anak. Mereka agak enggan berlatih karena tidak ada
anak muda itu. Sudah dua hari, anak muda itu tenggelam pada
505 sesuatu. Ia telah mengatakan suatu kepentingan kepada lima
orang tua yang ada pada Perguruan itu. Kepentingan untuk
mengungkapkan sesuatu yang masih mengganjal. Karena
kepentingan itu, Arga tidak muncul di atas bukit. Serta merta,
ketidakhadirannya telah menurunkan semangat empat gadis itu.
Pagi itu mereka memutuskan tidak berlatih. Kini, mereka berada
di taman bermain dengan dua anak lola.
Untuk mengungkap sesuatu yang masih mengganjal, Arga
menggunakan ruang kitab. Untuk itu, ia minta izin kepada Ki
Gilingwesi. Kepada orang tua itu, ia mengatakan akan mendalami
Wiwuda Maha Wisya. Racun Maha Dewa yang telah mengganjal
dirinya. Dengan ditemani pengurus ruangan itu, hampir dua hari
Arga mencari dan mengumpulkan kitab-kitab yang berisi
keterangan Racun Maha Dewa. Lebih dua puluh empat kitab
menyinggung Racun Maha Dewa. Tapi, hanya tiga kitab yang di
sejumlah bagian mengulas secara memadai kekuatan itu.
Arga pun meminjam tiga kitab itu untuk memeriksa rincian
keterangan mengenai kekuatan itu. Memeriksa dengan cermat
dan teliti. Bosan berada di biliknya, anak muda itu naik ke lereng
bukit. Ia membawa serta tiga kitab itu.
Sebentar saja, ia telah menyandarkan diri di bawah pohon besar,
kembali meneliti kitab-kitab itu. Di sana ia tenggelam dalam
pencariannya ditemani oleh sejumlah branjangan. Branjangan
5 yang terus bermain lincah di antara bebatuan pada sebidang
tanah lapang. Dua belas penderesan nira lewat. Arga pun
menemukan sejumlah catatan mengenai Racun Maha Dewa dari
tiga kitab itu. Pada kitab pertama dimuat keterangan bahwa Racun Maha Dewa
pernah muncul pada kepenuhannya dalam Dhatu Wisya Wimba
506 (Raja Racun Kembar). Tidak tercatat kapan tokoh itu hidup. Yang
dikatakan tokoh itu telah merajalela di tanah Yawadw?pa dan
telah menebar ketakutan, dengan sejumlah pembunuhan.
Pembunuhan di banyak tempat dan menyasar pada tokoh-tokoh
utama dunia pesilatan. Di suatu lembah bersama dengan seorang
murid, Raja Racun Kembar dikalahkan oleh Asmatuna. Orang
Tanpa Nama. Ilmu Raja Racun Kembar diluruhkan. "Seorang
murid" Mungkin ia yang terus melanggengkan Racun Maha
Dewa setelah Raja Racun Kembar menghilang". Anak muda ini
menarik suatu dugaan. "Ah, ini dia. Bagaimana melatih Racun Maha Dewa." Wajah anak
muda itu cerah. Pada kitab kedua termuat penjelasan melatih
Racun Maha Dewa. "Dasar utama melatih jurus ini adalah bekal
tenaga dalam, dari mana pun sumbernya. Semakin tinggi tenaga
dalam yang dimiliki semakin kuat Racun Maha Dewa dapat
dilatih. Latihan harus dilalui dengan cermat, hati-hati, tahap demi
tahap dan mengikuti aturan yang ketat. Kecerobohan sekecil apa
pun dalam melatih Racun Maha Dewa, akan berakibat pada
kematian. Sebab, Racun Maha Dewa digapai lewat cara
"meracuni diri" dengan memasukkan suatu cairan beracun ke
dalam tubuh. Cairan beracun yang diolah getah pohon upas*)."
Sebuah pengantar telah dilewati oleh Arga. Pengantar tentang
prinsip menyadap kekuatan Racun Maha Dewa.
"Pohon upas memiliki tingkat kekuatan racun berbeda-beda
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergantung pada kondisi pohon. Pohon upas yang "tumbuh
sendiri" (tidak berkelompok) mempunyai kekuatan racun lebih
kuat dari yang berkelompok. Penyadapan getah pohon biasanya
dilakukan pada musim kering." Catatan kecil yang sangat berarti
untuk memilih sumber racun yang bermutu.
507 "Digunakan setidaknya 1 kati**) getah upas yang dikumpulkan
dalam tabung bambu pada sore hari, lalu dituangkan ke kuali
lantas direbus. Selama perebusan ini, getah upas ditambahi arum
atau nampu (sejenis tanaman yang juga beracun), kencur, bengli,
bawang merah dan bawang putih, masing-masing sebanyak
setengah potong, dan ditambah sedikit bubuk lada hitam serta
biji-biji cabai. Cairan itu terus diaduk sampai berbuih dan
membentuk lingkaran pertanda masak.***) Untuk memperkuat
efek racun, bisa ditambahkan pada racikan itu aneka racun
binatang. Begitulah cairan beracun itu dibuat." Cara peracikan
yang sangat sederhana. 6 "Rupaya, getah upas hanya diracik dangan bahan-bahan yang
mudah didapat dan cukup dijerang dalam air. Bahan-bahan dan
cara yang sederhana". Batinnya. Pembuatan cairan ditutup
dengan penjelasan yang cukup menarik. "Jika tidak untuk melatih
Racun Maha Dewa dan tidak ditambahkan racun binatang, cairan
itu sangat berguna untuk berburu. Hewan buruan akan segera
mati terkena racun, namun daging binatang itu aman untuk
dimakan karena tidak terjalar racun". Dari keterangan ini anak
muda itu mendapatkan bahwa bukan hanya pesilat yang dapat
memanfaatkan racun itu. Selanjutnya, kitab itu menjelaskan bagaimana cairan itu
dimanfaatkan untuk melatih Racun Maha Dewa. "Dalam berlatih
Racun Maha Dewa, penggunaan cairan itu dilakukan dengan
diminum. Diminum dengan takaran terukur, sesuai tingkat
pemilikan tenaga dalam. Begitu cairan itu masuk dan mengendap
dalam tubuh. Sesaat cairan itu memasuki tubuh, pengerahan
tenaga dalam harus segera dilakukan untuk meredam dan
mengendalikan pengaruh cairan itu dengan menguapkannya.
508 Cairan itu kini berwujud menjadi uap beracun. Dengan
pengerahan tenaga dalam yang sama, uap itu kemudian diserap,
disebarkan dan disusupkan ke sejumlah titik penghimpun tenaga
dalam untuk dilebur dan diendapkan. Endapan uap beracun ini
merupakan cikal bakal penguasaan Racun Maha Dewa." Kitab itu
secara jelas memaparkan bagaimana cairan itu digunakan untuk
membentuk kekuatan Racun Maha Dewa di tahap awal.
"Hanya satu langkah lain dibutuhkan untuk menguasai Racun
Maha Dewa." Anak muda itu menjadi sangat bergairah membaca
keterangan selanjutnya. "Kembali, dibutuhkan pengerahan tenaga dalam untuk
memadukan endapan uap beracun itu agar menyatu sebagai
bagian dari tenaga dalam itu sendiri. Bagian yang tidak
terpisahkan sebagai sifat-sifat dari tenaga dalam itu sendiri.
Sejauh mana tingkat penyatuan itu akan dicapai sangat
tergantung dari tingkat pemilikan tenaga dalam. Selain latihan
keras yang terus menerus, peran seorang guru dapat
menentukan. Guru yang dapat mengalirkan tenaga dalam saat
seorang murid menjalani penyatuan itu. Pengaliran tenaga dari
orang lain hanya berperan memperkuat dan mempercepat
penyatuan. Penyatuan itu mutlak harus dilewati oleh siapapun.
Siapapun yang menginginkan kekuatan Racun Maha Dewa agar
dapat dibangkitkan bagi dirinya. Racun Maha Dewa tidak bisa
dialihkan, sekalipun oleh yang telah mencapai puncak kekuatan
itu. Penyatuan adalah jalan satu-satunya untuk menggapai Racun
Maha Dewa." Terbayang sosok Pangeran Abhinaya yang telah
mengalihkan kekuatan pada dirinya. Lebih lanjut tertulis pada
kitab itu. "Penyatuan yang sekali dicapai dan harus terus
ditingkatkan, Demikian, Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau
509 7 sifat dari lambaran tenaga inti. Pada tahap ini, Racun Maha Dewa
telah merasuk terhimpun lewat penyatuan dan dapat disalurkan
setiap saat, sebagai kekuatan Racun Maha Dewa untuk
menyerang lawan." Selanjutnya diterangkan pengaruh kekuatan
itu. "Pengaruh kekuatan Racun Maha Dewa sangat dahsyat,
langsung menyerang saluran pernafasan. Tubuh mengejang,
nafas memberat dan tercekik, lalu kelojotan hebat dan mati. Mati
dalam hitungan menit." Arga telah melihat semua tanda-tanda itu
pada tiga Murid Utama yang telah menjadi korban kekuatan itu.
"Siapapun yang terkena Racun Maha Dewa tidak bisa
disembuhkan. Sebab, sifat-sifat racun itu seketika menyerang
saluran pernafasan sekaligus menghancurkan sumber-sumber
penghimpunan tenaga." Ia membaca catatan itu sebagai
peringatan. "Kekuatan Racun Maha Dewa dapat dilontarkan sebagai pukulan
jarak jauh dalam bentuk Manila Widyutmala Tebah. Pukulan Mata
Petir Intan Biru, puncak tertinggi pencapaian kekuatan Racun
Maha Dewa." Kitab itu menyebut suatu bentuk tertinggi dari
pengungkapan kekuatan Racun Maha Dewa. "Mata Petir Intan
Biru". Aku akan mengingat itu.
Dalam kitab terakhir, Arga tidak menemukan sesuatu yang
istimewa. Kitab itu lebih hanya menjelaskan sifat-sifat dari Racun
Maha Dewa. Panas, ganas, merusak dan mematikan. Sifat-sifat
yang telah diketahuinya saat memeriksa Mbokayu Antya. Teringat
pada wanita itu, Arga menjadi kasihan. Kasihan karena telah
terjalar oleh racun itu. Menjalar hingga ke titik-titik sumber tenaga
dalam. Untuk yang terakhir ini, anak muda itu telah memastikan:
Sifat-sifat Racun Maha Dewa ada pada Mbokayu Antya akibat
terkena pukulan. 510 Saat itu mata Arga menangkap seekor branjangan satu tumbak
jauhnya. Branjangan itu berjalan di lapangan berumput, kemudian
terbang tinggi dan menggantung beberapa lama di udara, lalu
menukik ke tanah dan menghilang. Menghilang begitu saja dari
pandangannya.****) "Aneh" Ke mana burung kecil itu?"
Penasaran, Arga bangkit dan berjalan ke arah burung itu
menghilang. Hanya dalam empat langkah, tiba-tiba burung itu
meloncat terbang, terbang sangat tinggi. Branjangan itu
menyamarkan dirinya dengan rumput yang kering di lapangan itu.
Suatu penyamaran yang sangat sempurna. "Ah, rupanya ia telah
menyamarkan diri". Batin Arga.
Ia pun kembali ke tempatnya. Pikirannya pun kembali tertuju pada
sifat-sifat Racun Maha Dewa pada wanita itu dan terutama
memikirkan bagaimana mengeyahkan racun itu. Arga meneliti
dan memeriksa kembali kitab-kitab itu. Membaca bagian per
bagian secara perlahan dan berulang dengan sebuah harapan:
dapat mengeyahkan racun itu. Tapi, harapan itu terbentur oleh
sebuah catatan."... Racun Maha Dewa tidak bisa disembuhkan..."
8 Seberkas raut kasihan kembali membayang di wajahnya. Kasihan
pada Mbokayu Antya. "... menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga." Ia
bergidik akan pengaruh racun itu. "Tapi, mengapa racun itu tidak
menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga Mbokayu
Antya?" Keheranan terpancar dari wajah anak muda itu. "Aku
justru merasakan dengan pasti sifat-sifat racun itu ada dalam
sumber-sumber tenaga Mbokayu Antya. Mungkinkah telah terjadi
suatu pengalihan?" Pertanyaan itu langsung terbantahkan. "... Racun Maha Dewa
tidak bisa dialihkan, .... Penyatuan adalah jalan satu-satunya
511 untuk menggapai Racun Maha Dewa." Keterangan itu
memberikan jawab tegas. "Penyatuan?" Arga memeriksa kembali
tentang penyatuan sebagaimana dimaksudkan pada kitab itu.
"... Hewan buruan akan mati terkena racun, namun daging
binatang itu aman untuk dimakan karena tidak terjalar racun."
Arga kembali mendapati sebuah penegasan tidak langsung,
bahwa kekuatan Racun Maha Dewa tidak bisa dialihkan. Racun
itu hanya membunuh, tidak menjalari yang terkena. "Penyatuan
yang sekali dicapai dan harus terus ditingkatkan, Demikian,
Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau sifat dari lambaran
tenaga inti." Sampai di sini, Arga terdiam dan memandang ke
tanah lapang. Ia kembali menangkap seekor brajangan yang
sedang memainkan penyamarannya. "Penyamaran?" Pekik anak
muda itu tanpa sadar kemudian terdiam. Terdiam lama.
"Bagaimana memastikannya?" Pemuda itu bertanya lirih pada
dirinya. *** Senja telah menjelang, Arga sudah menghentikan beberapa lalu
pencariannya dengan ujung pada sebuah pertanyaan:
Bagaimana Memastikannya! Kini perhatiannya mengarah pada
seekor branjangan dan tersenyum sendiri. Branjangan itu
melakukan gerakan seperti yang pernah dilihatnya, berkicau
nyaring, melesat tinggi hingga sepuluh tumbak dan berhenti di
udara beberapa saat lalu tiba-tiba menukik deras ke tanah. "Luar
biasa burung kecil itu". Kekaguman atas burung itu tidak pernah
menghilang. Menurut Ki Gilingwesi, dirinya mirip branjangan.
Pandai dan sempurna mengikuti apa yang dilihat. Branjangan
512 yang merupakan juga sebuah julukan yang telah dilekatkan pada
seseorang melengkapi julukan lainnya: Naga Branjangan. Kali ini,
ia kembali teringat nama itu. "Julukan itu sepertinya menyimpan
tanah lapang itu. Ia akan melakukan hal yang sama seperti
burung itu. Di tengah lapang itu, Arga segera menyiapkan diri. Menghimpun
segenap tenaganya dan bergerak memainkan Naga Semesta
Cemerlang. Jurus yang cocok dengan gerakan branjangan yang
9 tadi dilihatnya. Sesaat kemudian, ia melejit vertikal ke atas dan
berhenti di udara. Tubuhnya telah penuh dialiri tenaga yang
dikerahkan lewat Panchajanya. Tubuh itu telah berubah merah
membara efek dari Naga Semesta Cemerlang yang telah
dilambari aliran tenaga Panchajanya. Ia pun cepat menukik ke
tanah dan kembali memainkan Naga Semesta Cemerlang
beberapa saat dan melenting ke atas lagi dan kembali menukik.
Berulang-ulang ia bergerak menurut cara itu.
"Hebat. Luar biasa, anak itu". Kata pemilik sepasang mata
kepada seorang lainnya. Dua orang itu melihat nyata sebuah
selubung tak berwujud semakin membesar melapisi anak muda
yang terus bergerak mencelat dan menukik berulang-ulang.
Tiba-tiba anak muda itu menghentikan gerakannya. Berhenti
pada saat masih melambung di udara. Berhenti untuk beberapa
lama. Mata terpejam. Sikap tubuh berdiri sempurna dengan dua
cakar di silangkan di depan dada. Sesungguhnya, anak muda itu
sedang membuka kesadarannya. Membuka diri terhadap alam
semesta dan sedang mencerna sederetan baris yang belum
dipahaminya. "Membuka diri pada semesta,
513 melebur dalam kepenuhan hadirnya,
berdiri satu sebagai dirinya...
Biarkan semesta bebas memilih jalan:
Jalan baginya sendiri".
"Edan! Ia mengapung di udara lebih dari dua penderesan nira".
Memang Arga telah melewati lebih dari dua penderesan nira
menyelami sederetan baris itu. Menyelami di udara.
Mulanya, Arga menyelami itu dengan pikiranan. Mencari makna
di balik deretan kata-kata itu. Tetap buntu! Ia pun segera
meninggalkannya. Menganggap kata-kata itu memang tidak
bermakna. Ia lebih memusatkan diri, seutuh dan sepenuhnya,
untuk membuka diri terhadap kekuatan semesta. Membuka diri
seluas-luasnya. Ia merasa nyaman. Saat itu tenaga semesta
bergelombang mengalir deras merasuk dan menyatulebur
dengan kekuatannya. Selubung tak berwujud pun semakin
membesar melapisi anak muda itu.
Pada akhirnya, masih dengan sikap tubuh seperti semula, anak
muda itu membuka mata. Selarik sinar mencelat melesat dari dua
mata itu. Sinar merah yang tajam, dan meluncur menembus batu
sebesar kepala di tanah, tidak jauh dari tempat ia mengapung.
Arga terkejut. Terkejut oleh serangkaian tenaga yang terasa telah
mengalir dari dua mata. Ia pun segera menutup mata. "Ada apa
itu?" Batinnya. Untuk memastikan yang terjadi, ia kembali
membuka kedua mata. Lagi, suatu aliran tenaga dirasakan deras
meluncur dari dua mata itu dan memberi efek seperti
sebelumnya, mampu menembus sebongkah batu. Ia mendapat
suatu kepastian. Dalam keadaannya saat ini, ia telah mampu
melontarkan tenaga lewat pandangan mata. Atas dasar kepastian
10 itu, ia meningkatkan pengerahan tenaga dan melontarkannya
514 lewat dua mata masih terbuka. "BLLAAARRR". Sebuah ledakan.
Pandangan mata itu telah meledakkan sebongkah batu, tidak lagi
menembusnya. Tidak berhenti di situ, kini Arga bergerak menukik turun ke tanah
dan kembali memainkan Naga Semesta Cemerlang. Seperti
sebelumnya, rentetan cahaya itu selalu mengiring ke mana ia
bergerak. Cahaya yang sangat berbahaya. Karena cahaya itu
tidak hanya membelah-belah (chedana) apapun yang dilewati,
melainkan meledakkannya. Kini, Arga telah sampai pada puncak
kemampuannya. Naga Semesta Cemerlang.
Menyadari ada yang datang ke arahnya, Arga kembali
melambung tinggi dan menarik kembali kekuatannya kembali
pada tempat yang seharusnya. Di dalam tubuhnya. Lalu, cepat
menukik dan mendarat di tanah dengan keadaan yang sangat
nyaman dan ringan. Dua orang itu telah dekat padanya, seorang
bertepuk tangan riang. Dua orang itu adalah kakak beradik, Janaloka dan Maheswari.
"Anak manja itu, terus membujukku mencari dirimu. Rasa kangen
sudah tidak lagi dapat ditanggungnya dan ...heeeiiiii". Janaloka
beringsut menjauh melepaskan tangan gadis yang keras
mencubit pinggangnya. Wajah itu merah seperti teratai yang
bersemi. "Memang, seperti teratai". Sebuah pujian terlepas di
dalam hati anak muda itu. Ia telah terbiasa dengan godaan
Janaloka. Selalu membiarkan itu berlalu.
"Ada apa Kakang dan Puteri datang ke sini?" Salah satu yang
ditanya terlihat masam. "Puteri. Masih memanggil aku Puteri. Aku
ini muridmu. Dasar canggung". Ia mengganti julukan uncalan
dengan canggung. Uncalan yang memang sama sekali tidak
cocok lagi. 515 "Luar biasa. Baru kali ini aku melihat kemampuanmu, Adhi.
Sebelumnya, aku ingin bermain-main denganmu. Bermain-main
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barang dua tiga jurus. Tapi, sejak saat ini, mana berani itu aku
lakukan......". Alih-alih menjawab pertanyaan Janaloka justru
melancarkan pujian. Pujian itu terceloteh terus tanpa henti hingga
lebih dari sependeresan nira. Suatu litani pujian. "...... Tapi, Adhi
jangan besar kepala, mana tahu anak manja ini berani
menantang dan mengalahkan Adhi seperti di seberang sungai
tempo hari...." Selalu saja Janaloka memojokkan Maheswari.
Memojokkan dengan godaan yang konyol dan terkadang
kelewatan. Setelah itu semua, pada akhirnya Janaloka
menyampaikan bahwa mereka datang hanya sekedar ingin
bertemu. Dua hari mereka tidak bertemu.
Mereka telah beringsut dari tanah lapang ke tempat di mana
sebelumnya Arga menyimak tiga kitab tentang Racun Maha
Dewa. Di sana kitab-kitab itu masih tergetak di atas rumpun.
11 Janaloka pun mengambil sebuah. "Kitab mengenai racun." Lirih
Janaloka berkata. Arga pun mengatakan apa yang telah
didapatnya sebagai sebuah kemungkinan. Kemungkinan yang
harus dipastikan. "Kakang, aku memang sudah tiga hari ini sedang mencari tahu
mengenai Racun Maha Dewa. Racun itu telah mendekam dalam
diri Mbokayu Antya. Saat aku memeriksa dirinya tempo hari, aku
memastikan di dalam dirinya tersimpan sifat-sifat racun itu. Aku
menduga wanita itu telah terpapar racun itu. Atas seizin Paman
Gilingwesi aku telah memasuki ruang kitab dan mencari sumbersumber yang dapat mengungkap
racun itu dan sebisa mungkin
meredam pengaruhnya pada Mbokayu Antya. Tiga kitab ini telah
memberi aku suatu pengertian atas racun itu. Dari sana, aku
516 mendapatkan dua kemungkinan sebagai kesimpulan. Pertama,
Mbokayu Antya sungguh-sungguh terjalar racun itu." Penjelasan
itu terpotong oleh Janaloka. "Pernyataan yang janggal! Bukankah
Adhi sendiri telah memastikan hal itu" Mengapa kini hal ini
menjadi salah satu kemungkinan" Aneh!".
"Ya Kakang, memang aneh. Dari dua kitab, aku mendapat kan
bahwa Racun Maha Dewa sangat fatal. Racun itu seketika
menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga. Ini tidak
terjadi pada Mbokayu Antya. Suatu penyimpangan telah terjadi.
Alih-alih menghancurkan sumber penghimpunan tenaga, racun itu
telah beralih menjadi sifat-sifat tenaga dalam Mbokayu Antya.
Padahal, menurut kitab itu, Racun Maha Dewa tidak bisa
dialihkan. Kembali suatu penyimpang terjadi. Mengapa" Karena
Racun Maha Dewa tidak bisa dialihkan. Keberadaannya di dalam
tenaga inti sesorang hanya dapat diraih lewat penyatuan dalam
latihan panjang. Hal jelas dikatakan dalam kitab itu. Penyatuan
adalah jalan satu-satunya untuk menggapai Racun Maha Dewa.
Penyatuan yang sekali dicapai dan harus terus ditingkatkan,
Demikian, Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau sifat dari
lambaran tenaga inti." Arga terdiam sebentar. Mempertimbangkan
apakah ia harus mengatakan kemungkinan kedua. Menarik nafas
pelan, ia pun berada pada keputusannya.
"Sebenarnya sangat berat aku mengatakan kemungkinan kedua
ini. Mbokayu Antya adalah satu dari Tujuh Murid Utama Merak
Mas, apalagi ia telah kehilangan suaminya. Tapi, menimbang
keadaan yang terjadi di Tembelang, yang kini berada di bawah
bayang-bayang kekuatan yang mengancam, aku harus
mengatakan kemungkinan itu". Janaloka tidak sabar. "Ayo Adhi,
jangan bertele-tele."
517 "Kakang, kemungkinan kedua adalah Mbokayu Antya memang
sungguh-sungguh memiliki kekuatan racun itu". Sontak Janaloka
dan Maheswari kaget. "Apa?" Gadis yang dari tadi hanya diam
melontarkan keterkejutannya. Gadis itu sangat memahami arah
12 kemungkinan itu. Ia menyimak seluruh penjelasan anak muda itu.
"Sungguh-sungguh memiliki kekuatan racun itu" berarti Mbokayu
mempelajari kekuatan itu. Mempelajari dengan sembunyisembunyi. Yang lebih menguncangkan
adalah kenyataan bahwa racun yang sungguh-sungguh dimiliki oleh Mbokayu Antya telah
membunuh tiga Murid Utama Merak Mas. "Mbokayu berada di
balik pembunuhan itu, atau setidak-tidaknya terlibat atas
pembunuhan itu". Ujung pelanaran itulah yang menjadi
keterkejutan Maheswari. "Begitulah". Arga mengetahui kemungkinan itu telah membawa
kesimpulan mengenai keterlibatan Mbokayu Antya atas
pembunuhan. "Seperti seekor branjangan, wanita itu telah
memainkan penyamaran. Penyamaran yang sempurna." Tiga
anak muda itu kemudian terdiam. Hanyut dengan pikiran masingmasing. "Sudahlah, dua
kemungkinan itu harus kita perhatikan.
Barangkali, kemungkinan kedua yang harus mendapatkan
catatan." Janaloka memecahkan keheningan. Lalu, mengajak
kembali ke Perguruan karena matahari telah condong jauh ke
barat. Mereka berlalu dari tempat itu juga terdiam. Kembali
hanyut dengan diri sendiri.
"Luar biasa. Anak itu telah menyelami sesuatu yang tersembunyi.
Sesuatu yang tidak terlihat". Gadis itu tersenyum sendiri semakin
kagum. "Sore yang sangat indah. Branjangan kecil terima kasih." Batin
Arga. Burung kecil itu telah mengantarnya pada dua hal yang
518 sangat penting. Kemungkinan penyamaran dan terutama
menyibak kekuatan Naga Semesta Cemerlang.
"Aku harus lebih waspada kepada Mbokayu. Mungkin aku akan
meminta sejumlah prajurit khusus untuk membayang-bayangi
dirinya". Janaloka menetapkan sebuah rencana.
*** Dua pekan berlalu. Laporan telah diterima. Laporan atas gerakgerik Antya. Laporan itu dari
prajurit-prajurit pilihan yang disebar
Janaloka. Disebar untuk membayang-bayangi wanita itu.
Membayanginya berdasarkan kemungkinan yang telah dikatakan
sahabatnya di atas bukit. Pagi itu, Janaloka telah mengumpulkan
seorang Senopati dan tujuh prajurit tilik sandi yang telah disebar
selama dua pekan untuk mengamati Antya.
"Pangeran, selama satu hari penuh, siang dan malam, tujuh
prajurit secara bergantian mengawasi wanita itu. Ia sama sekali
tidak menampilkan tindakan mencurigakan. Wanita itu melakukan
hal-hal yang lumrah. Berlatih seperti biasa, mencuci pakaian,
memasak, dan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh seorang
wanita. Tidak ada yang luar biasa. Hanya saja, terlihat tiga kali ia
pergi pada malam hari ke tengah kota Tembelang. Pergi ke
sebuah wand?. Di sana ia beberapa lama. Dua belas penderesan
nira lamanya, setelah itu ia kembali. Pada siang hari, dalam
sebuah penyamaran prajurit mengunjungi wand? itu. Wand? milik
13 seorang tua. Saat ditanya, orang itu pun mengaku, semalam ia
kedatangan seorang wanita. Seorang wanita yang memesan kain
istimewa. Tidak ada yang mencurigakan pada wanita itu. Hanya,
sewaktu pergi dan kembali, wanita itu selalu dengan cara
519 menyelinap. Seakan tidak ingin kepergiannya diketahui orang
lain." Janaloka mendengarkan dengan seksama setiap perkataan
Senopati itu. Memang, ia mengakui gerak-gerik Mbokayu Antya
tidak ada yang mencurigakan. Sangat biasa. Bukankah, penting
bagi seorang janda yang masih sangat muda untuk tampil
istimewa" Tampil dengan kain istimewa. Tapi, mengapa ia
melakukannya dengan menyelinap diam-diam. Ia pun mencatat
itu: menyelinap. Selain itu, Janaloka juga memasukkan sebuah
wand? sebagai catatan yang lain, dan meminta Senopati itu
mengawasi juga kegiatan pada wand? setiap saat.
*** Sore itu seorang wanita membawa sebakul pakaiannya. Pakaian
yang telah kotor. Ia hendak mencuci pakaian itu di tepi anak
sungai. Wanita itu adalah Antya. Mencari tempat yang landai,
wanita itu memulai kegiatannya sembari mengalunkan tembang
lirih. Tidak jauh darinya ada seorang laki-laki bercaping dengan
seekor sapi besar. Orang itu sedang membilas dan menggosok
badan hewan itu. Orang itu pun mengalunkan suatu tembang
dengan lirih namun terdengar. Antya terkejut, sebab orang itu
mengalunkan tembang yang sama dengan tembang yang
dilantunkannya. "Kakangmas?" Hatinya berbunga.
Ia pun berjalan mendekati orang itu. Memang, orang itu adalah
Kakangmas, Penguasa Watugaluh. Namun, orang itu bergerak di
balik hewan yang sedang dimandikannya. Bergerak untuk
menjadikan hewan itu sebagai penghalang antara dirinya dengan
wanita itu. Suatu sikap yang sangat waspada dan hati-hati. Ia
berusaha menghindari tindakan wanita itu yang tidak terkendali.
520 Memeluk dan menciumnya. Suatu tindakan yang mungkin bisa
terlihat. Terlihat dan menjadi perhatian.
"Diajeng Antya, malam nanti Kakang akan menyusup ke Merak
Mas." Laki-laki bercaping itu membisik, sambil meletakkan
sebuah jari di bibirnya. Ia memberi isyarat kepada wanita itu tidak
bersuara. "Menjelang tengah malam, Kakang akan datang. Diajeng dapat
menunggu di tempat biasa kita bertemu di Perguruan Merak Mas.
Dari situ Kakang minta Diajeng mengantar kepada
Samaragrawira". Ia pun menembang lagi, sambil kembali sibuk
membersihkan sapi. Tidak lama kemudian ia beranjak pergi.
"Kakangmas akan menyusup ke Merak Mas". Dari kejauhan dua
orang mengamati seluruh kejadian itu. Kejadian yang umum
berlangsung di antara orang-orang yang melakukan kegiatan di
anak sungai: mencuci dan memandikan hewan. "Wanita itu tidak
14 hanya terlihat menembang dan bercakap-cakap dengan seorang
yang memandikan sapinya." Kesimpulan dua orang itu. Kejadian
lumrah dan biasa! Hanya saja yang luar biasa luput dari
pengetahuan mereka: isi dari percakapan itu!
*** Sejak kehadiran Wilmuka dan terbunuhnya tiga Murid Utama
Merak Mas, penjagaan dan pengawasan di Tembelang menjadi
sangat ketat. Demikian juga dengan perguruan Merak Mas.
Setiap malam, empat kelompok. Empat kelompok yang tidak lagi
terdiri sepuluh anggota seperti rencana sebelumnya, melainkan
dua puluh empat. Dipimpin langsung oleh murid dalam tingkatan
adhigana. Setiap kelompok berkeliling meronda menurut bagian
521 wilayah yang telah ditetapkan. Berkeliling ke sudut-sudut wilayah
Perguruan, bahkan jauh melintas sungai hingga mencapai bukit
atau hutan yang cukup jauh dari Perguruan.
"Mbokayu Antya, selamat malam. Sedang apa Mbokayu
menjelang tengah malam begini berada di tempat ini." Tanya
seorang murid Merak yang menjadi pimpinan kelompok itu.
Sudah sejak enam penderesan nira, wanita itu berdiam di tempat
itu. Berdiam di sebuah gubuk pada pinggir sawah sebelah utara
Perguruan itu. Ia tampak asyik memandangi rembulan. Rembulan
yang dua tiga malam lagi akan menampakkan bulatannya secara
sempurna. Purnama. "Tidak bisa tidur. Bosan di dalam bilik. Datang ke sini menikmati
indah rembulan yang akan purnama. Menunggu kantuk datang."
Murid-murid Merak Mas dalam kelompok itu sangat maklum
dengan jawaban wanita itu. Maklum, seorang yang telah menjadi
sendirian tidak dapat lekas terlelap tidur kemudian merasa bosan
di dalam bilik, lalu ke gubuk itu menikmati rembulan sampai
kantuk menyerang. "Mari Mbokayu, kami pamit berkeliling kembali". Pimpinan
rombongan itu tidak ingin berlama-lama mengganggu wanita itu.
Mereka pun pergi meninggalkannya sendiri.
Dua penderesan nira sejak kelompok itu pergi, seorang telah
bergerak sangat cepat mendatangi wanita pada gubuk itu.
Seorang dalam wujud kuwad?an banija. Wanita itu cepat
memburunya dan mendaratkan bibirnya ke bibir orang itu. Orang
itu memberinya kesempatan untuk beberapa lama, lalu dengan
lembut ia menarik ke belakang wanita itu. "Kita teruskan nanti
Diajeng. Kita teruskan setelah Kakang bertemu dengan
Samaragrawira." Wanita itu pun tersenyum gembira, malam ini ia
522 akan mendapatkan paripurna. Satu atau mungkin dua paripurna
bersama orang itu. Mereka berdua pun berkelebat pergi.
"Akhirnya muncul juga." Seseorang terlihat bergegas mengikuti
arah ke mana wanita itu bergerak bersama seorang dalam wujud
kuwad?an banija. 15 *** Wanita itu bergerak menuju pesanggerahan di mana Ketua
Samaragrawira biasa berada. Setidak jauh dari tempat itu, orang
dalam wujud kuwad?an banija itu meminta wanita itu
meninggalkannya. Sesaat sebelum pergi, wanita itu kembali
melumat bibir orang itu dan meninggalkannya. Tidak seperti
sebelumnya, pada pesanggerahan itu ditempatkan delapan orang
murid Perguruan untuk berjaga. Masing-masing berdua di setiap
sudut arah mata angin. "Mereka menuju pesanggerahan, Bra*) Samaragrawira". Orang
yang mengawasi wanita berkata dalam hati dan pergi. "Bra"
begitu Samaragrawira biasa disapa oleh prajurit Tembelang.
Hanya dengan dua gerakan ringan, orang dalam wujud kuwad?an
banija telah merobohkan dua murid Merak Mas yang berjaga di
utara. Lalu, bergerak ke arah lain untuk melumpuhkan yang
tersisa. Sangat cepat orang itu bergerak dan menjatuhkan
delapan penjaga pesanggerahan itu.
Kini dengan leluasa, orang dalam wujud kuwad?an banija itu
memasuki pesanggerahan itu. Sangat santai, tanpa
menyembunyikan kehadirannya.
"Siapa kau?" Ketua Samaragrawira kaget.
"Oh, Hyang Buddha. Keberuntungan apa yang sedang aku
523 terima. Di hadapanku muka dengan muka, aku bisa berjumpa
dengan seorang Samaragrawira. Penguasa, Panglima dengan
delapan ribu prajurit, Ketua Perguruan yang menaungi empat
ratus murid, dan Satria Utama yang pilih tanding. Sungguh
tersanjung aku di hadapannya." Jawaban yang sangat cerdas dari
seorang jenius. Ia tidak menjawab pertanyaan Ketua
Samaragrawira dengan keterangan atas dirinya. Yang dikatakan
orang dalam wujud kuwad?an banija itu justru keterangan
mengenai orang yang bertanya. Keterangan mengenai Ketua
Samaragrawira, dengan kekuatan yang ada padanya. Dalam
keadaan ini, orang itu telah mengungguli Ketua Samaragrawira.
"Ia sungguh telah mengenal Tembelang dan Merak Mas. Jika ia
datang malam ini, tentu orang itu datang dengan penuh
perhitungan." Ketua Samaragrawira pun mempersiapkan
kekuatan. Bersiaga.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hyang Buddha. Terima kasih. Ketua Samaragrawira telah
mempersiapkan sambutan bagi diriku. Baik, segera aku akan
menyongsong sambutannya." Balur rona putih seketika
menyembul dari tubuh orang itu. Ia telah menyatakan lambaran
dirinya. Carmi Samudra (Samudera Kaca). Lambaran itu telah
menjadi landasan baginya mencapai tingkat kemapanan Racun
Maha Dewa. Kekuatan yang diandalkan.
"Ketua bisa memulai." Yakin atas apa yang tersimpan di dalam
dirinya orang dalam wujud kuwad?an banija membuka suatu
ajakan. Ajakan itu sangat luar biasa, ditujukan kepada Ketua
Samaragrawira. Satria Terdepan Yawadw?pa saat itu.
16 Kembali ruangan pesanggerahan itu dipenuhi oleh kabut, seperti
beberapa purnama lalu sewaktu orang bercadar datang
menyambangi tempat itu. Dari dalam kabut, sebuah bayangan
524 berkelebat cepat mendatangi orang dalam wujud kuwad?an
banija itu. Sebuah serangan telah dilancarkan. Tidak terdengar
deruan angin pada sambaran serang itu. Yang terdengar justru
suara seperti menyayat atau menyobek.
SRREEETTT, SRREEETTT... Berkesinambungan. Tak terputus. Ketua Samaragrawira
melancarkan sekaligus jurus Swarna Manyura Ampak-ampak
(Kabut Merak Mas) dan Swarna Manyura Gardaka (Merak Mas
Mengamuk). Luar biasa. Hanya dalam hitungan beberapa
purnama saja, Ketua Samaragrawira telah meningkat jauh.
"Jurus luar biasa...." Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
sedikit bergeser dan membiarkan lengan bahu dibentur serangan
itu. SRREEETTT. Jelas lengan bahu orang dalam wujud kuwad?an banija itu
tersayat oleh sebuah sabetan jurus Merak Mas Mengamuk. Tak
ada sesuatu pun yang terjadi. Lengan orang itu tetap pada
tempatnya, tidak terputus. Bahkan, pakaian yang dikenakan
orang itu pun tidak menjadi sobek. Seutuhnya, bagian yang
terkena sabetan jurus Merak Mas Mengamuk terlindungi.
Terlindungi sempurna dengan Samudera Kaca.
"Serangan itu sangat kuat. Hanya saja belum cukup untuk
mengoyak Samudera Kaca." Sambil menghindari serangan
susulan, orang dalam wujud kuwad?an banija itu memberikan
penilaian. Ketua Samaragrawira memburu dengan dua gabungan
jurus baru Merak Mas., dan orang dalam wujud kuwad?an banija
pun tangkas menghindar sambil melancarkan serangan balasan.
Dua orang itu bergerak cepat, tangkas, dan bertenaga. Saling
menghindar dan menyerang.
525 Sependeresan nira telah lewat. Kabut pada ruangan itu sedikit
demi sedikit menyusut surut. Menyusut karena terserap oleh
Ketua Samaragrawira. Ruangan telah menjadi jernih. Seketika
Ketua Samaragrawira mengubah sikap, lalu melontarkan sebuah
serangan. Swarna Manyura Yakut (Mutiara Merak Mas)
dilepaskan. Tidak dalam serangan butiran-butiran kristal air beku,
tetapi gelombang angin bertekanan sangat kuat. Deras, tajam
dan mendecit tinggi. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
terkejut dengan perubahan seketika itu.
SSSRRRAAAKKK. Tubuh orang itu terhantam telak, terlontar satu tombak dan
membentur dinding. Pada sudut bibir orang itu mengalir cairan
merah. Samudera Kaca telah terkoyak. Orang dalam wujud
kuwad?an banija itu menjadi murka. Serta merta terjadi
17 perubahan pada diri orang itu. Tidak ada lagi rona putih yang
membalur. Tapi, biru menyala. Kekuatan Racun Maha Dewa.
Tidak dapat menutupi rasa kaget yang tiba-tiba menyentak, Ketua
Samaragrawira beringsut menyurut. "Orang ini ada di balik
terbunuhnya tiga Murid Utama Merak Mas". Ia mendapat
kepastian. Segera Ketua Samaragrawira menerapkan lambaran
ilmu hingga ke puncak kemampuan. Orang dalam wujud
kuwad?an banija itu kini yang memulai sebuah serangan.
Serangan mematikan, menusuk langsung pangkal tenggorokan.
Tidak mau menjadi korban atas serangan itu Ketua
Samaragrawira dengan Merak Mengayun 1000 Hasta dan Merak
Membuka Sirkulasi Jalan Langit. Ketua Samaragrawira bergerak
menghindar dan membalas menyerang. Perubahan telah terjadi
pada laga itu. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu terus
bergerak cepat mengurung dan mendesak. "Aku harus cepat
526 meraih penyelesaian". Tekad orang itu. Tapi, aneh ia
mengendorkan serangan, memberi keleluasaan bagi Ketua
Samaragrawira untuk menyerang dan membalas serangannya.
Sebentar saja orang itu telah terkurung dan terdesak.
"Kena! Ia terperangkap dalam L?ngs?r Gata Estu Esmu (bergeser
pergi sesungguhnya mendekat)." Membuka dan memberi
kesempatan kepada Ketua Samaragrawira mengurung dirinya.
"Sebentar lagi, buruan itu akan terperangkap". Memang, apa
yang diinginkan orang dalam wujud kuwad?an banija itu sebentar
lagi akan terjadi. Ketua Samaragrawira yang telah menjadi murka,
atas perbuatan orang itu pada tiga Murid Utama Merak Mas, terus
hanyut dalam serangan dan gempuran lewat Merak Mas
Mengamuk. Suara meyobek terdengar keras semakin keras dan
terus mengeras, seiring hati yang telah mendidih karena
kemarahan. "Sekarang!" Sebuah gempuran datang dari Ketua Samaragrawira,
dan orang itu tidak menghindar namun menerima serang itu. Ia
menerima dengan sebuah samplokan dua tangan. Dua tangan
yang biru menyala. Tangan dengan lambaran Racun Maha Dewa.
DESSS. DESSS. Merak Mas Mengamuk bertemu Racun Maha
Dewa. Bertemu dua kali, dan telah melontarkan dua orang itu
surut. Mereka tetap berdiri tegak. Orang itu berdiri dengan segaris
senyum lepas, Ketua Samaragrawira tegak dengan segaris bibir
tertahan. Orang itu ingin kembali menyerang. Menyerang Ketua Merek Mas
yang hanya dua tumbak di depannya. Tapi, segera ia urungkan.
Di luar terdengar derap kaki bergerak cepat menuju
pesanggerahan ini. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
justru bergerak berbalik berputar dan berkelebat keluar. Ia tidak
527 ingin berpapasan dengan mereka yang datang. Orang yang tidak
diketahui kekuatannya. 18 Selepas orang itu pergi, sejumlah orang telah bermunculan. Ki
Cutajanma, Ki Gilingwesi, Ki Antargata, Ki Gardapati, dan
beberapa murid serta dua Senopati Utama dan sejumlah prajurit.
"Adhi". Ki Cutajanma memburu Ketua Samaragrawira serta
langsung memapahnya duduk. Wajah Ketua Samaragrawira
segera menjadi pucat dan nafasnya tersendak. Empat orang tua
itu segera bergerak mengelilingi Ketua Samaragrawira dan
memberikan pertolongan. Menyalurkan tenaga dalam mereka
kepada Ketua Samaragrawira.
"Ayah...." Seorang gadis ingin segera meluncur ke orang yang
dikelilingi oleh empat orang tua. Tapi, tangan seseorang telah
menahan gadis itu dan orang itu bergerak cepat sambil
memberikan peringatan "Paman mohon hentikan upaya itu. Akan
menjadi sangat berbahaya." Kepatuhan pada peringatan itu
segera terlaksana. Empat orang tua itu menghentikan apa yang
beberapa saat mereka lakukan. Anak muda itu menggantikan
mereka. Dengan Samana Yatna yang dilambari dengan tenaga
Panchajanya, anak muda itu mengitari seluruh sumber-sumber
penghimpunan tenaga Ketua Samaragrawira. Kekuatan Racun
Maha Dewa memang telah merasuki diri Ketua Merak Mas dan
menghancurkan sejumlah sumber-sumber itu. Celakanya lagi,
penghancuran itu diperparah dengan aliran tenaga yang dengan
pengaliran tenaga empat orang tua itu. Pengaliran yang hanya
dilakukan sesaat saja. "Luar biasa pengaruh Racun Maha Dewa.
Apa yang telah dihancurkannya tidak mungkin dipulihkan. Yang
bisa aku lakukan adalah memberi perlindungan terhadap sumbersumber yang belum dihancurkan
serta membatasi ruang gerak
528 racun itu pada tubuh Paman Wira". Anak muda itu pun segera
menerapkan Warastika Sambega (Melunakkan Kristal dengan
Kasih Sayang) untuk menjinakkan Racun Maha Dewa. Ia pun
menarik sebaran Racuan Maha Dewa dan mengumpulkan
menjadi satu racun itu dan menempat di bawah ketiak Ketua
Samaragrawira. Pada saat yang sama ia membentengi sejumlah
sumber masih dapat bekerja. Menbentengi dengan tenaga yang
dialirkan dan ditempatkan melingkungi sumber-sumber itu.
Langkah terakhir, anak muda itu mengalirkan tenaga untuk
memulihkan Ketua Samaragrawira. Tiga penderesan nira, anak
muda itu bekerja. Bekerja untuk meredam Racun Maha Dewa di
dalam diri Ketua Samaragrawira.
Anak muda itu menghela nafas, sedikit lega, tetap menyalurkan
tenaganya. "Syukur Paman Samaragrawira masih dapat
tertolong, sekalipun akan kehilangan banyak kekuatannya.
Kekuatan yang telah tersimpan dalam dirinya. Mungkin setelah ini
Paman Wira tidak akan mampu memainkan empat jurus baru
temuannya". Enam penderesan nira lewat. Anak muda itu pun
meminta Maheswari mendekat. Gadis itu langsung merangkul
Ketua Samaragrawira memberikan sandaran kepada Ayahnya
yang telah terluka. Gadis itu menangis keras. Matanya merah
19 menyala memandang wanita yang bersimpuh lemah di depan tiga
gadis lain dan seorang pemuda. Wanita itu adalah Antya.
*** Malam itu prajurit pengintai yang dikirimnya melaporkan bahwa
wanita itu telah membawa seseorang ke pesanggerahan.
Seseorang dalam wujud kuwad?an banija. Ia tidak ingin bertindak
529 gegabah dan sendirian. Yang sedang dihadapi kemungkinan
adalah Wilmuka. Dedengkot masa silam. Oleh karena itu, ia pun
bergerak cepat pergi ke bukit menemui orang-orang yang berada
di sana. Orang-orang yang dapat diandalkan menghadapi
Wilmuka. Mereka adalah empat orang tua dan seorang pemuda.
Mereka sedang membimbing empat gadis mematangkan barisan
dalam empat bentuknya. Lebih dari satu pekan lalu, empat gadis
itu kembali memulai latihan. Latihan yang sebelumnya sempat
tertunda. Malam itu, mereka di sana membimbing empat gadis
pada latihan babak kedua. Latihan malam hari.
"Ada apa Nakmas Janaloka". Ki Gilingwesi bertanya.
Mendengar apa yang dikatakan anak muda itu, mereka segera
bergegas pergi. Kelompok dibagi dua. Yang muda mencari Antya,
sementara yang tua langsung bergerak ke pesanggerahan.
Tidak terlalu sulit bagi enam anak muda itu menangkap Antya.
Wanita itu terlihat sedang duduk di tempat di mana ia sebelumnya
berjanji. Sebuah gubuk di pinggir sawah sebelah utara
Perguruan. Ini semua diketahui berkat keterangan pengintai. Saat
melihat wanita itu, enam orang muda itu menyebar dan
mengendap-endap hati-hati untuk kemudian muncul tiba-tiba
mengurung wanita itu. Tentu saja, kemunculan enam anak muda
itu mengejutkan wanita itu. Ia pun berpura-pura.
"Ada apa Diajeng?" Sebuah dengusan dingin dan sinis keluar
sebagai jawaban pertanyaan itu.
"Aku ingin menangkapmu." Langsung. Tanpa basa-basi. Tidak
ada kata depan "Mbokayu". Gadis itu telah memandang wanita di
depannya sebagai "bukan siapa-siapa" lagi. Gadis itu ingat dua
anak kecil yang telah menjadi lola karena wanita itu. Sebuah
serangan telah dilancarkan gadis itu. Tentu saja, wanita itu ingin
530 melayani dan melawan gadis yang telah menyerang. Akan tetapi,
gadis itu tidak sendirian. Kekuatan mereka jauh melampaui
kekuatannya. Maka, wanita itu hanya berusaha menghindar
sambil melompat jauh mencari kesempatan angkat kaki.
Sebentar saja, gadis itu telah mengurung dan menempatkan
dirinya dalam himpitan tekanan. Jurus-jurus gadis itu tidak
sepenuhnya dikenali. Sebagian jurus Merak Mas, sebagian
bukan. Membingungkan. Tekanan-tekanan itu pun memaksa
wanita itu mempersiapkan apa yang bukan disadapnya dari
Merak Mas. Racun Maha Dewa. Ada perubahan pada dua tangan
wanita itu. Biru berpijar. Wanita itu memutuskan untuk melawan
20 dan membentur Racun Maha Dewa pada gadis itu. "Benturan ini
akan melongarkan tekanan dari gadis itu, dan barangkali dapat
melepaskan diri dari kepungan anak muda yang lain."
"HIAAAT." Wanita itu mengerahkan Racun Maha Dewa dan
segera akan memapakkan dua tangan kepada serangan gadis
itu. BUK. BUK. BUK. Dua pukulan dan satu tendangan telak bersarang di tubuh wanita
itu. Kontan, wanita itu mencelat dan terkapar. "Aneh! Saat ingin
membenturkan dua tangan, tangan itu tidak bisa terangkat.
Tenaga yang dialirkan pada dua tangan itu terputus dan terhenti.
Tangannya seketika menjadi lunglai. Ada orang yang telah
menyerangnya. Tapi, siapa?"
Tentu saja, wanita itu tidak melihat. Tidak juga orang-orang yang
ada di sana. Dari belakang, anak muda itu telah melontarkan
serangan. Serangan itu dipancarkan lewat sepasang mata, dan
seketika memutus aliran tenaga di tangan wanita itu, sehingga
tangan itu lunglai dan gagal melesakkan kekuatan Racun Maha
531 Dewa. Anak muda itu berlaku demikian karena khawatir atas
perubahan pada diri wanita itu. Perubahan sebagai isyarat, ia
akan melepaskan Racun Maha Dewa.
Menyusul serangan lewat sorotan mata itu, tiga serangan telah
mendarat telak. Tiga serangan dari gadis itu cukup untuk
melumpuhkan wanita itu. Saat itu juga, wanita itu merasakan
bahwa tanah serasa menjadi berputar dan berbalik. Wanita itu
luruh bersama segala semangat dan mimpinya. Ini adalah ujung
dari segala-galanya. Sebuah Kalawasana (Akhir Zaman) yang
menyumbat rapat semua harapan dan segala ambisi. Gontai tak
berdaya, wanita itu berjalan dengan dipaksa menuju ke
pesanggerahan. Tempat wanita itu telah mengantar seseorang
dalam wujud kuwad?an banija. Sepanjang perjalanan wanita itu
menangis dan dalam hatinya berteriak. "Kakangmas..........".
*** Wanita itu duduk bersimpuh lemah. Tubuhnya terus bergetar
karena isak tangis. Dua tangan belum dapat digerakkan. Masih
lunglai lemah. Kepala tertunduk dalam-dalam. Di tengah ruangan
itu, wanita itu merasa kesepian. Sepi terasing di tengah orangorang yang telah melihatnya sebagai
"bukan siapa-siapa". Wanita
itu tidak berani menatap orang-orang itu. Orang-orang yang
hanya dengan pandangan mata mereka. sudah memberikan
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hukuman. Hukuman bagi Duta Cara (mata-mata).
Anak muda itu telah selesai bekerja atas diri Ketua
Samaragrawira, dan meminta untuk berdiam seperti semula.
Diam beristirahat. "Sungguh biadab! Minda cebur jambuka (anjing hutan masuk ke
532 dalam kawanan kambing). Membunuh saudara dan menghianati
21 Perguruan. Tujuh kali hukuman cabut nyawa pun tidak cukup
mengganjar kebiadaban itu." Ki Gilingwesi begitu murka. Ia pun
memuntahkan gumpalan yang lama menekan dada. Gumpalan
itu tiba-tiba ada di sana, bersama munculnya wadag wanita itu.
Orang tua itu sama sekali tidak menggunakan sebuah kata
sebutan bagi wanita itu. Ki Gilingwesi pun telah memandang
wanita itu "bukan siapa-siapa".
"Ah, Kakangmas. Semua telah menutup pintu bagi diriku. Hanya
seorang yang dengan senang hati menyediakan pintunya tetap
terbuka. Terbuka lebar-lebar. Dia, Batara Yama." Dengan dua
kaki yang masih dapat digerakkan wanita itu pun beringsut sambil
bersimpuh duduk mendekat ke Ki Gilingwesi. Di tengah
perjalanan, ia tiba-tiba mencelat tinggi hingga kepala membentur
tiang kayu besar melintang penyangga pesanggerahan. Tiang
kayu hitam kuat sebesar paha orang dewasa.
PRRAKKKK. Wanita itu memasuki pintu Batara Yama. Masuk dengan kepala
pecah dan sejumlah tulang di tubuh patah karena terbanting.
Yang hadir di ruangan itu terhenyak. Apa yang dilakukan wanita
itu begitu tiba-tiba. Ruang itu kembali sunyi. Semua terdiam
dengan pandangan terpaku pada tubuh yang tergolek tidak kaku.
Segera tubuh itu disingkirkan pergi dari pesanggerahan itu.
Dua orang tiba-tiba masuk ke ruangan. Dua prajurit. Mereka
langsung diminta mendatang mendekat kepada Janaloka.
"Pangeran, wand? di tengah kota itu telah dibakar." Seorang di
antara dua prajurit itu pelan melapor. "Ia telah pergi". Janaloka
menarik nafas kecewa, dan mengizinkan dua prajurit itu undur
diri. 533 *** Ketua Samaragrawira telah membuka mata. Lemah tersandari di
dada Maheswari. Ki Gilingwesi berjongkok mendekat. Orang tua
itu menangkap dalam pandangan mata Ketua Samaragrawira,
bahwa Ketua Perguruan Merak Mas ingin mengatakan sesuatu.
Ia pun berdiri dan meminta sejumlah orang tetap tinggal dan
sebagian lain untuk pergi.
"Aku sama sekali tidak dapat mengenali siapa orang itu."
Sekalipun telah sekuat tenaga mencari pada ingatannya wajah
orang dalam wujud kuwad?an banija, pada akhinya lirih Ketua
Samaragrawira mengatakan akhir dari pencarian itu. "Akan tetapi,
aku mengenali dengan pasti dua ciri pada orang itu. Kecuali ciri
Racun Maha Dewa, aku pun melihat orang itu menyimpan
lambaran, yang beberapa kali aku lihat dalam latihan, ada pada
Gendhuk Kanistha. Carmi Samudra (Samudera Kaca)." Ki
Gardapati, Kanistha, Ki Antargata dan Arga menjadi sangat
terkejut. Sekalipun demikian, tidak seorang pun pada ruangan itu
dapat mengerti, siapa sesungguhnya orang dalam wujud
kuwad?an banija. Orang yang memiliki Samudera Kaca sekaligus
Racun Maha Dewa. Dua bentuk ilmu dari masa lampau.
22 Keadaan di Perguruan Merak Mas telah mereda. Tidak ingin lebih
membebani, Ki Gilingwesi meminta kepada Maheswari untuk
membawa beristirahat Ketua Samaragrawira yang telah terluka.
Yang masih tertinggal meneruskan pembicaraan. Pembicaraan
untuk menyatakan sikap yang lebih waspada. Tidak lama itu
berlangsung. Mereka pun pergi meninggalkan pesanggerahan.
Pergi dengan pertanyaan terbuka: Siapa pemilik Samudera Kaca
sekaligus Racun Maha Dewa. Pemilik yang dalam wujud
534 kuwad?an banija telah membuat Samaragrawira Raja Tatu (Luka
Parah Samaragrawira). *** Sesaat setelah melarikan diri dari pesanggerahan, orang dalam
wujud kuwad?an banija itu pergi ke tempat wanita itu menunggu.
Sebuah gubuk di pinggir sawah sebelah utara. Sesuai janji, ia
akan membawa serta wanita itu bersama. Di tempat itu, ia melihat
dua wanita sedang bergebrak. Wanita yang dikenalnya terlihat
terkurung dan terdesak. Ia ingin turun membantu. Akan tetapi
segera urung, ada dua pemuda dan tiga gadis lain. Lima anak
muda yang diam saja namun sigap berjaga. Ia gelisah melihat
apa yang terjadi pada wanita itu. "Ayo Diajeng gunakan racun itu".
Teriak orang itu dalam hati. Sebentar kemudian, ia pun
tersenyum. Tersenyum melihat perubahan pada wanita yang
dikenalnya. "Nasibnya itu akan sama dengan Samaragrawira."
Wajah orang itu tampak senang. Tapi itu hanya sesaat.
"Apa!" Jelas orang itu melihat selarik sinar merah dari arah
seorang anak muda di sana. Pemuda itu berada di belakang
wanita yang dikenalnya. Sinar itu cepat dan deras menusuk
membatalkan serangan Racun Maha Dewa. Tidak ada gerakan
yang ia lihat pada anak muda itu. "Bagaimana anak muda itu
melakukannya" Darimana serangan itu berasal" Ia sama sekali
tidak bergerak." Kecemasan melanda dirinya. Cemas akan dua
hal. Pertama, cemas atas nasib wanita itu. Wanita yang telah
bersama dirinya selama lima tahun. Kedua, cemas terhadap
kekuatan anak muda yang telah melontarkan sesuatu, dengan
cara yang tidak diketahuinya. Berbekal dua kecemasan itu, orang
535 dalam wujud kuwad?an banija itu pergi meninggalkan tempat itu.
Pergi untuk meninggalkan suatu kemungkinan yang tidak
diinginkannya. Cepat ia berkelabat menuju tengah kota, langsung
masuk ke wand? lalu menumpuk sejumlah besar kain dan
membakarnya. Sejenak berdiri di depan api yang membesar
membakar isi wand? , orang itu pun menyelinap pergi. Pergi
menghilang dari Tembelang. Ia akan keluar dari Tembelang untuk
menghadiri suatu pertemuan di sebuah bukit dekat padepokan.
Padepokan yang asri. Pertemuan dua pekan ke depan.
*** Satu pekan berlalu sejak dua peristiwa terlukanya Ketua
23 Samaragrawira bersamaan dengan terbakarnya sebuah wand? di
tengah Kota Tembelang. Dua peristiwa itu telah menjadi
pembicaraan utama di Tembelang. Sejumlah prajurit sering
tampak berkeliling di tengah kota. Memastikan keamanan kota
dengan penjagaan dan kesiapsiagaan. Penjagaan itu telah
melegakan penduduk kota. Dua orang telah muncul di
Tembelang. Mereka datang dari luar kota. Datang ke Tembelang
untuk menyambangi Perguruan Merak Mas.
Dua orang itu telah berada di Perguruan Merak Mas. Berada di
antara delapan murid Perguruan itu yang berjaga dan bersiaga.
"Maaf, ada kepentingan apa Paman dan Ki Sanak datang ke
Merak Mas". Suara itu kental dengan kecurigaan dan
kewaspadaan, langsung pada intinya: kepentingan.
"Kami berkunjung ke Perguruan ini mencari Saudaraku, Ki
Gardapati yang beberapa purnama lalu berkunjung ke sini dan
belum juga kembali. Ia datang bersama dengan empat orang
536 lain." Pimpinan murid Merak Mas itu berkerut dan memberi suatu
isyarat. Dua orang murid seketika telah bergegas pergi.
"Silahkan Paman menunggu. Kami akan memastikan hal itu."
Tidak lama kemudian, muncul seorang gadis didampingi dua
murid yang tadi telah bergegas pergi. Gadis itu adalah Kanistha.
"Paman Gardagarjita dan Kakang Labdajaya". Gadis itu melonjak
dan menyongsong dua orang itu.
"Kanistha". Serentak dua orang itu membalas.
Gadis itu pun mengiring dua orang itu masuk ke Perguruan Merak
Mas. Mengantar mereka untuk bertemu dengan Ki Gardapati,
Arga dan Ki Antargata dan Puteri Rajni. Empat orang lain yang
telah berada di Merak Mas dan dikenal oleh dua orang itu. Di
depan sebuah bilik, yakni bilik Ki Antargata, empat orang itu
berkumpul. Bersama mereka juga ada orang dari Bukit Suci dan
Ki Gilingwesi. Ki Gardapati segera mengambil alih pembicaraan
untuk mempemperkenalkan masing-masing orang yang baru saat
itu bertemu. "Kami berdua telah diizinkan oleh Pangeran Abhinaya menyusul
ke Perguruan Merak Mas. Hanya saja satu dua pekan kemudian,
Pangeran berpesan agar segera kembali." Sedikit kecewa Ki
Gardagarjita mengatakan batasan waktu kepergiannya.
"Apakah Eyang Kawiswara baik-baik saja, Paman?" Arga
bertanya tentang keadaan orang tua itu. Menjawab pertanyaan
anak muda itu, Ki Gardagarjita menceritakan keadaan Eyang
Kawiswara. Beliau dalam keadaan baik dan selama ini telah
beberapa kali melakukan perjalanan.
"Bagaimana dengan keadaan kalian". Ki Gardagarjita balas
bertanya. Ki Gardapati tampil sebagai juru bicara dan dengan
sangat bersemangat mengatakan apa yang dialami beberapa
537 purnama ini di Merak Mas. Termasuk juga kejadian-kejadian yang
24 telah menggemparkan. "Ah, itu yang telah terjadi. Pantas sepanjang memasuki Kota
Tembelang dan Peguruan ini aku melihat penjagaan di sejumlah
tempat. Penjagaan dari prajurit dan murid-murid Merak Mas." Ki
Gardagarjita mengatakan suatu kesan. Kesan bahwa Tembelang
sedang terancam keamanannya. Kesan itu memperlihatkan
kepekaannya sebagai seorang Senopati Utama. Seorang
Senopati Utama yang sudah menjadi tua.
"Labdajaya, agaknya kita tidak akan segera kembali ke
padepokan. Biar nanti akan aku jelaskan kepada Pangeran
alasan kita tidak kembali seperti yang dipesan." Panggilan
seorang prajurit masih kental membara. Tampil ke muka untuk
melindungi salah satu wilayah Bhumi Mataram.
"Sungguh Guru, kita tidak segera kembali ke padepokan
Chandrakapala......" Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma tersentak
kaget mendengar sebuah nama disebut. Wajah mereka berubah
mengeras. Arga menangkap perubahan itu, dan tampil bicara.
"Paman Gilingwesi dan Paman Cutajanma, Chandrakapala yang
dikatakan oleh Kakang Labdajaya sama sekali tidak berhubungan
dengan sejumlah kegemparan yang terjadi di Bhumi Mataram.
Chandrakapala itu adalah sebuah padepokan di mana Ki
Gardapati, Bibi Kanista dan diriku menjadi bagian dari padepokan
itu. Padepokan itu dibangun oleh Eyang Kawiswara atas dasar
suatu ikatan yang tidak dibelenggu oleh wangsa, keyakinan dan
kekuasaan." Arga membuka penjelasan mengenai padepokan
Chandrakapala. Penjelasan anak muda itu kemudian diteruskan
oleh Ki Gardapati. "Apa! Engg?r Arga tampil sebagai Ascarya (Pemimpin) dari
538 Chandrakapala." Dua wajah yang beberapa saat lalu mengeras
telah berubah. Berubah oleh raut kegembiraan yang tegas
membayang. Kegembiraan manakala Ki Gardapati
mengungkapkan bahwa Arga telah dipilih sebagai Chandrakapala
Ascarya. Mereka berkumpul di tempat itu hingga petang. Ki Gilingwesi, Ki
Cutajanma dan Arga pamit. Mereka mohon diri untuk menjenguk
Ketua Samaragrawira yang masih dalam perawatan sejak
menderita luka Racun Maha Dewa satu pekan lalu. Sejak hari itu,
Ki Gardagarjita dan Labdajaya berkumpul kembali dengan Ki
Gardapati dan Kanistha. Mereka sementara menetap pada
Perguruan Merak Mas di Kota Tembelang memenuhi panggilan
seorang satria. Menjaga dan mengamankan Bhumi Mataram.
*** Di sebuah bukit. Tidak jauh dari sebuah padepokan. Padepokan
yang dikelilingi oleh lebatnya pohon-pohon bambu. Setiap saat
pohon itu membentuk alunan suara riuh, saat daun-daunnya
tertiup angin. Di atas bukit di sebelah timur padepokan, telah
didirikan sebuah motha (kemah) besar yang biasa digunakan oleh
prajurit. Di dalam kemah itu telah berkumpul sekitar dua puluh
25 orang. Tampak di dalam kemah itu, orang tua bermuka pucat di
seputarnya telah hadir empat Wilmuka, seorang berpakaian
pendeta, seorang pejabat utama, dan seorangan yang sangat
istimewa, Penguasa Watugaluh, Pangeran Sikara. Dua belas
orang yang tersisa adalah empat Senopati Utama Watugaluh dan
delapan Senopati Utama dari pulau seberang, Suaranadwipa.
"Baik, kita akan memulai pertemuan ini". Orang tua bermuka
539 pucat itu menyatakan kehendaknya. Akan tetapi, sesaat
kehendak itu tertunda karena Muka Iblis menginginkan kehadiran
seorang dalam wujud kuwad?an banija hadir juga pada
pertemuan itu. Hadir sebagaimana dijanjikan pada pertemuan
mereka sebelumnya di sebuah wand? di tengah kota Tembelang.
"Seperti biasa pedagang itu selalu minta ditunggu. Sampai kapan
kita harus menunggu". Wilmuka dengan tombak pendek lirih
menyatakan keberatannya. "Pedagang macam apa" Guru apakah kita harus menunggu
orang itu" Seperti kata Paman Guru sampai kapan kita harus
menunggu." Dengan pertanyaan itu Pangeran Sikara telah
mendesak orang tua bermuka pucat itu memulai pertemuan itu.
Segera orang tua itu pun menyampaikan rencananya. Rencana
berdasarkan keterangan terbaru yang didapatkannya.
*** "Tembelang harus ada digenggaman. Tembelang adalah
kekuatan kunci Bhumi Mataram di bagian timur. Kekuatan itu kini
masih berada di tangan Samaragrawira. Akan tetapi tidak lebih
dari dua purnama ke depan, kekuatan itu akan beralih ke tangan
kita. Dengan menguasai Tembelang berarti kita telah menguasai
Yawadw?pa di bagian timur. Menguasai sepenuhnya. Demikian
pada kita ada tiga kekuatan: Kambang Putih, Watugaluh dan
Tembelang. Berpijak pada tiga kekuatan itu, sangat mudah bagi
kita bergerak menguasai Carangsoka dan terus ke barat dan
selatan. Sekali lagi, Tembelang merupakan anak tangga pertama
untuk Wangsa Syailendra yang murni kembali ke tahta.Syailendra
540 yang mulia." Senyum puas membayang di muka keriput dan putih
pucat orang tua itu. "Mulai dengan dua pekan ke depan, lima ribu prajurit sudah harus
berada di Pegunungan Kendeng. Lima hingga enam ratus prajurit
sudah harus masuk menyebar di antara pemukiman penduduk di
pinggir Kota Tembelang. Menyebar dengan berbagai
penyamaran. Aku akan meminta orang dalam wujud kuwad?an
banija untuk mempersiapkan hal ini." Orang tua bermuka pucat itu
telah mempersiap jalan untuk menyebar kekuatan di sekitar
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tembelang jauh sebelum penyerangan atas kota itu diwujudkan.
Kata "aku akan meminta", sebenarnya sudah tidak diperlukan
oleh orang tua bermuka pucat. Sebab, semalam ia telah bertemu
dengan orang dalam wujud kuwad?an banija. Orang itu justru
26 mengatakan telah mempersiapkan sejumlah tempat di
pemukiman sekitar Tembelang untuk menempatkan prajuritprajurit dalam penyamaran. Di
antaranya, penyamaran sebagai
ahli dan buruh bangunan, pengrajin tikar dan kebutuhan rumah
tangga lain. Ia akan datang ke Pengunungan Kendeng untuk
memberikan pembekalan keahlian pada prajurit sesuai dengan
peran yang akan masing-masing mainkan.
"Lalu, aku minta Pendeta Hong Mei membawa seratus orang
prajurit dalam bentuk pendeta-pendeta Buddha. Menyamarkan
prajurit-prajurit sebagai kumpulan pendeta-pendeta. Aku akan
mengatur mereka bisa tinggal di kuil-kuil Buddha yang tersebar di
Tembelang. Seratus prajurit sebagai pendeta itu masuk dalam
beberapa kelompok, tidak serentak dan untuk itu Pendeta Hong
Mei yang mengaturnya. Juga mengatur bagaimana seorang
pendeta Buddha itu bersikap dan berperilaku. Mengajarkan sikap
dan kebiasaan pendeta kepada prajurit sebelum menjalani
541 penyamaran dan masuk ke Kota Tembelang." Orang tua itu
sungguh pandai memanfaatkan orang-orangnya. Mengubah
prajurit menjadi pendeta dan menyusupkan ke Tembelang,
sangat luar biasa. "Anakku dan delapan Senopati Prajurit akan bertanggungjawab
mendudukkan prajurit-prajurit di Pengunungan Kendeng.
Bagaimana prajurit-prajurit itu ditempatkan hendaknya menjadi
perhatian, agar tidak begitu saja tercium oleh kekuatan
Tembelang. Latihan perang dengan memakai pengenalan
prajurit-prajurit Bhumi Mataram dari Carangsoka dan Watugaluh,
adalah hal terbaik untuk menutupi keberadaan prajurit-prajurit di
Pengunungan itu. Pengunungan yang masih berada di bawah
Carangsoka yang tidak jauh dari Kambang Putih." Orang tua
bermuka pucat itu mengatakan cara menutup keberadaan prajurit
di Pengunungan Kendeng dengan Gelar Latihan Perang.
"Prajurit-prajurit di Pengunungan Kendeng harus dalam keadaan
siap siaga untuk bergerak ke Tembelang. Setiap saat siap untuk
segera bergerak setelah menerima pesan. Tentang jalur yang
harus ditempuh oleh prajurit bergerak ke Tembelang, silahkan
tentukan sesuai dengan keadaan. Tiga hari adalah waktu paling
lama yang ditetapkan bagi prajurit itu mencapai Tembelang."
Target waktu untuk tiba pada sasaran telah ditetapkan oleh orang
tua bermuka pucat itu. Paling lama Tiga hari.
"Nakmas Sikara, aku minta engkau membawa dua ribu pasukan
Watugaluh ke Tembelang tiga pekan ke depan. Untuk meminta
pertanggungjawaban Penguasa di sana atas peristiwa di Gunung
Welirang. Saat itu prajurit pelapis di Pengunungan Kendeng
sudah siap sepenuhnya. Begitu juga sejumlah prajurit sudah
disusupkan ke sekitar Tembelang setiap saat dapat menjadi Bindi
542 Bretya (Prajurit Pemukul) yang bergerak cepat. Dengan dua ribu
27 prajurit ditambah dengan pasukan pemukul dalam penyamaran di
sekitar Tembelang, Nakmas bisa bertahan hingga empat lima
hari. Waktu yang cukup bagi prajurit di Pengunungan Kendeng
untuk kemudian memberikan bantuannya." Suatu persiapan
matang, termasuk terhadap kemungkinan terjadinya perang
terbuka antara Prajurit Watugaluh dan Tembelang pada saat
Penguasa Watugaluh meminta sebuah pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban yang tidak pada tempatnya. Hanya sebuah
siasat untuk menyerang Tembelang.
"Itulah rencana utama pengerahan kekuatan ke Tembelang.
Untuk langkah-langkah yang lebih rinci silahkan mengatur sendiri.
Tapi, ingat setiap perubahan yang mungkin harus
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
dilakukan, segera mengatakan perubahan kepada diriku." Kecermatan orang
tua bermuka pucat itu memang luar biasa. Ia meminta laporan
atas setiap kemungkinan terjadinya perubahan.
"Tentang bagaimana pesan itu akan disampaikan, aku telah
mengatur. Pesan itu akan dibawa oleh orang yang memiliki ciri
istimewa. Ciri diriku: Lencana berukir seekor naga dengan cakar
kiri menggenggam sebuah bola. Bola simbol semesta." Ini
merupakan penjelasan terakhir dari orang tua itu mengenai
rencana terakhir atas Tembelang. Rencana Sempurna atas
Tembelang. Tembelang Paripurna Rancana.
Sesudah mengatakan itu semua, orang tua bermuka pucat itu
memberi kesempatan kepada orang-orang di sana
menyampaikan pertimbangan masing-masing. Alih-alih
menyampaikan pertimbangan, Pangeran Sikara mengutarakan
apa yang menjadi tekadnya. Ambisi. Kehendak untuk tampil
berkuasa. Berkuasa di atas Bhumi Mataram. "Dengan apa yang
543 telah dicapainya saat ini, agaknya ia merasa masih belum
selesai. Duduk berkuasa di Watuhgaluh, tidak juga memuaskan
dahaga untuk lebih berkuasa. Anak harimau yang baik untuk
tetap dipelihara. Hingga pada waktunya, akan aku serahkan pada
penyamak kulit untuk diambil kulitnya". Orang tua itu memberi
catatan terhadap Penguasa Watugaluh itu.
"Kakangmas Pangeran, bagaimana dengan kuwad?an banija
itu?" Muka Iblis bertanya.
"Aku akan segera mengatur pertemuan dengan dirinya. Apa
disampaikan pada pertemuan akan aku katakan kepadanya. Lalu,
aku memintanya bergerak sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan pada pertemuan ini. Ia orang yang mudah melihat
penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan menurut caranya."
Orang tua bermuka pucat ini teringat pertemuannya dengan
kuwad?an banija itu semalam. Kuwad?an banija itu telah
mengatakan apa yang dilakukan di Tembelang, dan saat ini telah
melakukan penyesuaian atas rencana ke depan.
"Kepada Adhi dan Nimas, kalian berempat mulai sekarang
bersama-sama diriku. Kita akan membayang-bayangi Tembelang
dan Merak Mas. Mungkin saat di kota dan perguruan itu,
sejumlah hal akan diwujudkan untuk membelah perhatian dan
kekuatan Tembelang." Kegembiraan terpancar pada wajah
Wilmuka itu. "Akhirnya, Kakangmas Pangeran memberi ruang
untuk bermain. Permainan yang sudah lama tidak aku nikmati".
Wajah Ibils bersemangat. Setelah tidak ada lagi yang ingin dikatakan, mereka pun pergi ke
tempat masing-masing. Pangeran Sikara kembali ke Watugaluh
bersama dengan empat Senopati Utama, Pendeta negeri
seberang dan orang berpakaian pejabat Poh Pitu bersama
1 544 delapan Senopati ke Kambang Putih. Lima orang masih tinggal di
kemah. Orang tua bermuka pucat dan empat Wilmuka. Lima
orang itu pun tidak lama berdiam di kemah. Setelah membakar
musnah kemah itu, lima orang itu pun meninggalkan bukit itu
menuju ke sebuah padepokan. Padepokan yang asri.
*** Di padepokan yang asri. Pada malam sebelumnya, dua orang
telah berbicara. Berbicara mengenai sebuah rencana. Rencana
besar terhadap Tembelang. Rencana yang akan dikatakan besok
dalam sebuah pertemuan di atas bukit dekat padepokan itu.
"Guru, pada pertemuan besok aku sebaiknya tidak menampakkan
diri. Biarkan diriku tetap samar dan sembunyi. Hanya Guru
seorang yang kini mengenal diriku". Orang itu mengatakan
demikian, karena seorang lain yang mengenal dirinya telah
masuk jauh untuk tinggal bersama Batara Yama yang telah
membukakan pintu selebar-lebarnya.
"Nakmas, aku pun berpikir demikian." orang tua itu setuju dengan
apa yang dikatakan orang itu.
"Aku akan mengatakan apa yang telah terjadi di Tembelang. Tiga
dari Tujuh Murid Utama Merak Mas telah terbunuh. Sementara,
Samaragrawira pun telah terluka. Terluka parah. Itu semua terjadi
karena Racun Maha Dewa." Orang tua itu tersenyum puas. Apa
yang telah diturunkan pada orang itu telah menjadi bagian dari
penyelesaian rencananya. "Apa yang telah terjadi dengan orang-orang itu". Orang yang
ditanya tidak segera menjawab. Pikirannya terpaku dengan orang
yang telah bersamanya selama lima tahun. Bersama sejak
bertemu di Watugaluh. Orang itu terdiam lama.
545 *** Beberapa purnama lalu, di tengah kota Tembelang. Dua orang
baru saja melepaskan paripurna bersama.
"Diajeng, Kakangmas minta Diajeng mengajak orang-orang yang
Kakangmas inginkan ke hutan jati di antara Tembelang dan
Wwatan." Dengan sengang hati wanita yang dipanggil Diajeng itu
memenuhi permintaan Kakangmas. Satu pekan kemudian, wanita
itu membawa tiga orang bersamanya memasuki hutan jati itu.
Mereka berencana pergi ke Wwatan dengan berkuda. Di hutan
jati itu, Kakangmas telah menunggu dan mencegat empat orang
yang berkuda hendak ke Wwatan.
"Siapakah Ki Sanak dan mengapa menghalangi perjalanan kami".
Tanya salah satu laki-laki dari atas kuda di samping Diajeng.
"Bukan siapa-siapa. Mengapa" Sangat sederhana. Aku tidak
akan membiarkan kalian ke Wwatan. Aku justru akan mengantar
kalian kepada Batara Yama." Sungguh sangat sederhana. Tiga
orang di atas kuda, dua laki-laki dan seorang wanita, sangat
terkejut dengan kata-kata sederhana dari orang itu.
2 "Apa maksudmu Ki Sanak". Kembali orang di atas kuda itu
bertanya. "Turunlah dari kuda, mari ke mari biar cepat aku mengantar kalian
bertemu Batara Yama". Orang itu menginginkan kematian. Empat
orang itu pun turun dari kuda. Bersiap-siap. Dua laki-laki maju ke
depan, dan meminta dua wanita yang bersamanya menyingkir.
Orang itu pun telah bergerak, menyerang dua orang yang baru
turun dari kuda. Melihat orang itu telah bergerak menyerang dua
orang itu pun cepat berkelit menghindar. Tiga orang terlibat laga
di sebuah hutan jati. Tapi, laga itu tidak berlangsung lama. Telah
546 terjadi perubahan pada orang itu, perubahan pada dua
tangannya. Biru menyala. Dalam sebuah gebrakan, ia membiarkan dirinya menerima
serang dari dua orang berkuda. Dua orang yang sudah terukur
kekuatannya. Kekuatan itu tidak akan mengoyak ilmu mustika
kacanya. Pada saat serangan dua orang itu telak mengena
tubuhnya, ia pun menghantamkan dua telapak pada dada dua
orang itu. Dua orang itu pun terlontar dengan dada membiru
terluka. Terluka pada dada kiri dan kanan dengan jejak sebuah
tapak tangan. Seorang wanita di tepi laga, berteriak histeris menyaksikan dua
orang yang bersamanya telah roboh tidak bernyawa. Teriakan
terhenti seketika. PLLAAKKK. Sebuah pukulan tepat mengena kepala wanita itu. Pukulan dari
samping. Dilancarkan oleh wanita di sisinya. Wanita yang
bersamanya. "Terimalah ajalmu, Mbokayu. Terima ganjaranmu. Ganjaran atas
prakarsa menaruh belenggu pada diriku. Belenggu itu sudah tiga
tahun membebani dan mencekik leherku". Wanita itu tersenyum
sangat puas. melihat wanita yang dihantamnya tergolek. Tak
bernyawa dalam seketika. "Diajeng, tiga orang itu Diajeng bawa pulang". Orang itu pun
mengatakan sebuah rencana. Ia menyaksikan bagaimana wanita
itu melukai pundaknya sendiri. Melukai dengan kekuatan yang
telah membunuh wanita lain yang dihantamnya. Sesuai rencana,
wanita itu membiarkan Kakangmasnya pergi dan ia pun siap
memainkan peran sesuai dengan rencana. Pada akhirnya,
rencana itu berujung, yang kemudian diketahuinya juga, telah
547 mengantar wanita itu memasuki pintu Batara Yama. Pintu yang
terbuka lebar bagi wanita itu di malam Samaragrawira terluka.
*** "Sudahlah, apabila Nakmas tidak ingin mengatakan apa yang
terjadi pada orang-orang. Mari kita bicarakan apa yang hendak
disampaikan pada pertemuan esok hari." Orang tua itu pada
akhirnya berkata, setelah membiarkan orang yang bersamanya
3 terdiam beberapa lama. Lalu, orang itu pun mengatakan
rencananya. Sejumlah prajurit harus segera disusupkan di sekitar
Tembelang. Untuk itu, ia telah mempersiapkan sejumlah tempat
di pemukiman sekitar Tembelang. Ia mengusulkan untuk
menyusupkan prajurit-prajurit dalam penyamaran sebagai ahli
dan buruh bangunan, pengrajin tikar dan kebutuhan rumah
tangga lain. Ia pun mengatakan akan menyiapkan pembekalan
atas keahlian prajurit sesuai peran masing-masing. Di luar itu,
penyusupan prajurit juga dapat dilakukan dengan penyamaran
sebagai pendeta-pendeta Buddha. "Luar biasa. Siasat yang
sangat cerdas". Anak ini memang sungguh berbakat dalam
menyusun suatu siasat. Siasat yang sempurna.
Menjelang tengah malam pertemuan dua orang itu berakhir.
Orang tua itu mencatat cermat pertimbangan yang telah
diutarakan kepadanya.Sebelum pergi, orang itu mengatakan
sesuatu yang masih tertinggal. "Guru, seperti yang dikatakan oleh
seorang Paman Guru, anak muda di Tembelang itu sepantasnya
diwaspadai. Anak muda itu mampu melontarkan suatu serangan
tanpa aku tahu bagaimana itu dilakukan. Anak muda yang
berbahaya bagi rencana kita." Setelah itu, terlihat seorang dalam
548 wujud kuwad?an banija bergerak cepat meninggalkan sebuah
padepokan. Sebuah padepokan yang asri. Meninggalkan orang
tua bermuka pucat dengan wajah yang menyimpan sesuatu.
Sesuatu atas diri anak muda yang dimaksudkan oleh orang
dalam wujud kuwad?an banija,
*** Arga rutin mengunjungi sebuah bilik. Sudah dua pekan. Bilik itu
adalah tempat Ketua Samaragrawira dirawat sejak menderita luka
Racun Maha Dewa. Rutin dua hari sekali, Arga menyalurkan
Samana Yatna kepada Ketua Merak Mas. Anak muda itu terus
berupaya memperkuat perlindungan sumber-sumber
penghimpunan tenaga orang tua itu. Sumber-sumber yang masih
bisa bekerja, belum dihancurkan oleh Racun Maha Dewa. Di bilik
itu, Arga ditemani oleh Maheswari dan Ki Gilingwesi. Mereka
berdua menyaksikan apa yang dilakukan anak muda itu. Dari
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awal hingga selesai. "Sekalipun sudah cukup terlindungi, Paman Wira tidak boleh
memaksakan diri mengerahkan tenaga, apalagi pengerahan
tenaga dari sumber-sumber, yang sekalipun masih bekerja
namun sebagian telah dirusak oleh Racun Maha Dewa. Hal itu
akan kembali menyebarkan racun itu. Penyebaran itu akan
sangat berbahaya dari sebelumnya. Karena, saat ini Paman Wira
tidak sekuat sebelumnya." Ki Gilingwesi dengan seksama
mendengarkan penjelasan Arga sesaat ia menyelesaikan
pekerjaannya terhadap Ketua Samaragrawira. Setelah itu ia pun
beranjak pergi. Maheswari bersama dengan dirinya. Hubungan
mereka menjadi cair. Kembali seperti delapan tahun silam. Hanya
549 4 saja ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang selalu mereka rasakan
setiap kali bersama. "Arga, ayo ikut aku pergi ke suatu tempat. Tempat di mana aku
dan Paman Gilingwesi dahulu sering menangkap terw?lu (kelinci
liar)." Dengan senang hati anak muda itu menerima tawaran itu.
Dua anak muda itu pun berjalan ke arah barat menuju sebuah
hutan kecil yang cukup lebat tidak jauh dari sebuah bukit. Dalam
dua penderesan nira, mereka tiba di kaki bukit itu. Delapan tahun
lalu, ia telah kehilangan Karkasa Bayu, kuda kesayangan Paman
Wira, di bukit itu. Peristiwa itu menjadi awal kepergiannya dari
Perguruan Merak Mas. "Puteri, di sisi sebelah selatan kaki bukit
ini, pada sebuah tanah lapang, aku membawa Karkasa Bayu.
Nasib malang telah menimpa kuda itu. Sebuah pagutan ular
berbisa telah menewaskannya. Ah, kasihan! Tapi, lebih kasihan
lagi orang yang telah membawa kuda itu, ia dipukul babak belur
oleh......" Sebuah cubitan telah mampir di lambung kanan Arga.
Serta merta anak muda itu menangkap tangan itu. Seketika itu
juga ia memandang wajah pemilik tangan itu. Sesaat dua pasang
mata telah saling menatap. Lalu, sepasang mata telah tertunduk.
Anak muda itu pun mengeser sedikit berdiri tetap di hadapan
gadis. Tangan kirinya bergerak mengangkat dahu gadis itu, agar
ia dapat menatap penuh wajah gadis itu. Wajah yang sudah
dikenalnya sejak kecil. Wajah itu sepunuhnya sudah sangat
berbeda. Tidak tahu bagaimana awalnya, telah mencium bibir
gadis itu. Tanpa ragu, gadis itu membalas. Mengikuti dorongan
hasrat yang terus berpijar saat bersama dengan anak muda itu.
Dalam keadaan bibir yang masih melekat, gadis itu merendahkan
diri, terus bergerak pelan merendah hingga punggung menyentuh
rumput di kaki bukit itu. Gadis itu telah memasrahkan dirinya.
550 Sambil berbaring di atas rumput, Lama, Arga mencium bibir gadis
yang berbaring tertindih tepat di bawahnya. Cium yang berbalas.
Penuh kelembutan dan kehendak bebas. Ciuman itu lembut
dihentikan oleh anak muda itu, karena ia mengenali gerakan yang
halus. Gerakan istimewa, "Ada orang yang datang". Bibir itu mengeluarkan suara dengan
jarak yang begitu dekat dengan bibir lainnya. Ia pun mengajak
gadis itu perlahan menyingkir. Gadis itu terdiam. Memikirkan apa
yang baru saja berlalu. Sebuah ciuman telah ia lepaskan, dengan
kehendak bebas. Ciuman pertama. Hatinya penuh dengan
perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Swargaloka
Swasana (Suasana Surga). Mereka menyingkir di balik semak
rimbun, cukup jauh dari jalan menuju atau meninggalkan hutan di
lereng bukit. Benar saja, lima orang terlihat bergerak sangat ringan menuruni
bukit. Bukan gerakan orang kebanyakan. Mereka adalah lima
orang tua. Anak muda itu tidak percaya atas apa yang dilihat. Ia
melihat empat orang tua yang telah dikenalnya. Bahkan, satu dari
5 empat orang tua itu sangat ia dikenal. Sunguh tidak dapat
dipercaya. Tidak berapa lama lima orang tua itu telah melewati
semak. Sebelum mereka melewati semak itu, Arga telah memberi
isyarat kepada gadis di sisinya diam sempurna. Setelah beberapa
lama, Arga bersama dengan gadis itu keluar dari persembunyian.
Keluar dan mengajak gadis itu meninggalkan bukit untuk kembali
ke Perguruan Merak Mas. Dua anak muda itu beranjak pergi dengan dua perasaan yang
berbeda. Gadis itu membawa serta perasaan yang terus
tertinggal di hatinya. Perasaan Suasana Surga. Sementara, anak
muda itu pergi dengan perasaan tidak percaya. Tidak percaya
551 bahwa seorang yang sangat dikenalnya berada di antara
Wilmuka. *** Satu purnama telah lewat sejak peristiwa di pesanggerahan yang
telah melukai Ketua Samaragrawira. Kondisi Ketua itu telah
membaik, sekalipun sebagian besar kekuatannya telah sirna.
Sejak terluka, Ketua Samaragrawira tidak mungkin menjalani apa
yang sebelumnya ia lakukan di pesanggerahan. Mendalami jurusjurus Merak Mas. Keadaan telah
menghentikan kegiatan itu. Oleh
karena itu, Ketua Samaragrawira lebih banyak menghabiskan
waktu di Istana. Mengurus dan memerintah kembali Kota
Tembelang. Menjelang siang, Arga telah berjalan bersama-sama Ki
Gardagarjita dan Labdajaya. Mereka tampak terus menapak jalan
menanjak dan berliku di punggung bukit. Ia ingin menunjukkan
kepada dua orang itu bagaimana Kanistha berlatih bersama tiga
gadis lain. Berlatih barisan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur
(Empat Barisan Pedang Bianglala). Tiga orang itu berjalan
perlahan melewati beberapa semak dan pohon-pohon yang
benyak tumbuh di jalur menuju bukit itu. Hanya empat belokan
melingkar mereka akan tiba di sebuah tanah lapang pada bukit
itu. Tanah lapang yang biasa digunakan berlatih.
Di antara semak-semak, lima pasang mata mengawasi tiga orang
itu. "Orang itu tidak juga kembali ke padepokan. Padahal, aku
hanya mengizinkan untuk meninggalkan padepokan selama satu
dua pekan. Kini tiga pekan sudah, terhitung ia meninggalkan
padepokan. Ah, suatu kesalahan kecil telah aku buat. Aku telah
552 melupakan bahwa dirinya adalah seorang prajurit. Senopati
Utama, dua puluh tahun silam. Panggilan jiwa prajurit itu belum
juga padam. Panggilan jiwa yang langsung menyala saat Bhumi
Mataram terancam." Orang tua bermuka pucat itu mengakui
kesalahan kecil yang telah ia buat. Bagaimana pun keberadaan
orang itu di Tembelang telah memberi kekuatan tambahan bagi
kota itu. "Anak muda itu jejak Abhinaya. Begitu juga dengan dua orang
6 yang bersamanya, berasal dari padepokan Abhinaya". Sebuah
jerat dipasang dalam perkataan orang tua bermuka pucat. Jerat
yang langsung mengena pada sasarannya. Orang tua dengan
tombak pendek langsung melesat dalam semak-semak keluar
dari persembunyian. Tiga orang lain ingin menyusul, tapi
dihalang-halangi oleh orang tua bermuka pucat itu. "Biarkan Adhi
Wajra Sasmaka Kunta yang turun tangan. Kita lihat
perkembangan selanjutnya." Orang tua bermuka pucat itu
mencegah, agar jeratnya tidak mengena pada sasaran yang tidak
diinginkannya. "Berhenti!" Sebuah bentakan meledak dari arah belakang. Tiga
orang itu pun berhenti. Ki Gardagarjita dan Arga kaget. Anak
muda kaget bahwa seorang yang dikenal telah bersama dengan
tiga Wilmuka muncul di hadapannya. Ia menjadi khawatir akan
yang lainnya. Karena kemunculan orang tua itu berada tidak jauh
dari tempat empat gadis berlatih. "Wajra Sasmaka Kunta". Lirih
bisik Ki Gardagarjita. "Aku menginginkan sebuah penebusan. Penebusan pada dua
puluh tahun silam atas dua orang sekaligus. Dua Saudaraku. Dua
orang yang telah tewas di tangan Abhinaya." Langsung orang tua
bertombak pendek itu menghujam pada duduk persoalan. Di
553 antara tiga orang itu, yang paling terkejut adalah Arga. Anak
muda itu sangat terkejut. Ia tidak terkejut pada duduk persoalan
yang dikatakan orang tua bertombak pendek itu. Tapi, pada hal
yang lain. "Bagaimana mungkin orang tua itu minta penebusan
pada orang lain, sementara orang yang dimaksudkannya
beberapa waktu lalu terlihat bersama dirinya. Bersama dirinya
menuruni sebuah bukit. Sebuah sandiwara" Atau kepikunan telah
mengidap pada orang tua bertombak pendek itu?" Anak muda itu
terkejut dan bingung. Akan tetapi, apa pun keadaan yang
melanda anak muda itu, di hadapannya orang tua bertombak
pendek itu telah mempersiapkan diri. Suatu sikap telah diurai.
Sikap yang menjadi ciri orang bertombak pendek. Tombak
pendek di tangan orang itu telah berkilauan merah membara.
"Bersiap-siaplah. Aku tidak ingin berlama-lama. Ciri orang
bertombak pendek sudah berada pada puncak. Kerahkan apa
yang kalian miliki. Juga pada puncak. Sekalian dengan Racun
Maha Dewa. Racun dari orang itu. Racun yang telah membunuh
dua Saudaraku". Peringatan jujur dari Ki Wajra Sasmaka Kunta.
Arga mendengar jelas perkataan orang tua bertombak pendek itu.
Mendengar orang tua itu mengatakan sesuatu. Sesuatu yang
selalu diingatnya. Karena telah mengambil banyak korban. Racun
Maha Dewa. Akan tetapi, anak muda tidak sempat untuk
memikirkan hal itu. Orang tua bertombak pendek telah bergerak
cepat. Memainkan jurus utama untuk menyerang. Jurus utama
yang diandalkan oleh Perguruan Tombak Petir.
"Paman dan Kakang, minggirlah." Arga meminta dua orang yang
bersamanya menyingkir. Anak muda itu pun tidak ingin berlamalama. Khawatir akan orang-orang
7 yang sedang berlatih di bukit
itu. Ia pun saat itu sudah pada puncaknya. Tubuh anak muda itu
554 telah membentuk selubung berona kemerahan. Selubung dari
Naga Semesta Cemerlang. Anak muda itu pun bergerak
menyongsong serangan orang tua bertombak pendek. Ia tidak
menghindar melainkan memapak serangan itu. Memapak dengan
Naga Semesta Cemerlang. Sebuah tombak pendek bermata tajam datang bersama serangan
orang tua itu. Tombak itu digenggam erat dengan tangan kanan
dan didorong dengan telapak tangan kiri. Dengan sasaran dada
anak muda itu. Tombak itu adalah Tombak Pusaka Kara Welang.
Tombak yang mampu menembus logam apapun, dan dengan
sisinya yang tajam dapat membelah batu sekeras apa pun.
Tombak itu merupakan pusaka ciri Perguruan Tombak Petir.
Pusaka Perguruan Tombak Petir di tangan orang tua itu seketika
telah membentur lengan anak muda itu. Lengan yang telah
disilangkan sejengkal di depan dada. Lewat benturan itu, dua
kekuatan, yang dua-duanya bersifat keras, bertemu.
Menimbulkan suara yang sangat keras.
BLLLAAARRRR. Orang tua bertombak pendek itu terhempas. Tidak kuasa di
hadapan Naga Semesta Cemerlang. Alih-alih mengoyak tembus,
orang tua yang telah menyerang menusuk dengan tombak
pusaka serta dilambari oleh jurus dan kekuatan puncak dari
Perguruan Tombak Petir, justru tertahan dan tersapu. Tertahan
dan tersapu oleh kekuatan anak muda. Tombak pusaka bermata
tajam dan kekuatan puncak Perguruan Tombak Petir tidak berarti
di hadapan Naga Semesta Cemerlang.
Dua tumbak orang tua itu terlontar ke belakang. Dadanya sesak.
Sangat sesak. Tangan kanan bergetar. Bergetar karena berusaha
mempertahankan tombak pusaka. Tetap tidak terlepas. Terlontar
555 oleh kekuatan anak muda itu. Terlihat jelas, bibir orang itu rapat
mengunci. Mengunci kuat. Dua mata terbelalak. Entah heran,
entah semakin murka. "Racun itu tidak ada padanya! Mana
mungkin?" Ah, mata itu rupanya terbelalak heran. Bukan murka!
"Dengan kekuatan seperti itu, tidak perlu anak muda itu
menggunakan racun. Apakah anak muda itu tidak sepenuhnya
menyadap milik Abhinaya" Tidak menyadap Racun Maha Dewa.
Atau justru anak muda itu tidak sama sekali menyadap sesuatu
dari Abhinaya" Kekuatannya tidak bersumber dari Abhinaya.
itu menjadi ragu. Ragu oleh pertanyaan-pertanyaan yang ia
ajukan sendiri. Anak muda itu pun melihat keraguan pada orang tua bertombak
pendek itu. Ia membiarkan orang tua itu terpaku dengan dirinya
sendiri. Sesungguhnya, anak muda itu ingin bertemu dengan
orang tua itu. Bertemu tidak dalam keadaan berhadapan pada
8 suatu laga. Tapi, bertemu untuk bertanya mengenai dua hal.
Pertama, siapa yang dimaksudkan dengan Abhinaya yang
dikatakan telah membunuh dua saudaranya. Bukankah ia telah
bersamanya" Kedua, mengapa ia mengatakan Racun Maha
Dewa dihubungkan dengan Eyang Kawiswara yang dikenal juga
dengan Pangeran Abhinaya"
Ki Wajra Sasmaka Kunta dan Arga itu masih terdiam. Terdiam
dalam penalaran masing-masing. Penalaran yang sebenarnya
tertuju pada pertanyaan satu sosok yang sama: Abhinaya.
Tiba-tiba Ki Wajra Sasmaka Kunta telah bergerak. Tidak bergerak
ke arah Arga. Tapi, ia bergerak mengundurkan diri dengan
melesat ke samping meninggalkan anak muda dan juga
meninggalkan orang-orang yang bersamanya. Bagi orang tua
556 bertombak pendek, laga itu sudah tidak berarti. Ia tidak melihat
jejak Abhinaya pada kemampuan anak muda itu. "Anak itu tidak
menyimpan kekuatan Abhinaya. Aku hanya berurusan dengan
Abhinaya dan jejaknya. Tidak dengan orang lain." Orang tua
bertombak pendek menarik kesimpulan bagi dirinya, sebelum
beranjak pergi meninggalkan laga. Ia pergi dengan sebuah
keinginan: menemui anak muda itu di lain kesempatan.
Orang-orang yang masih bersembunyi pada kerimbunan semaksemak bertanya-tanya atas tindakan
orang tua bertombak pendek. "Apa yang telah dilakukan oleh Ki Wajra Sasmaka
Kunta?" Muka Iblis mengutarakan keheranannya. "Jika ia tidak
kembali padaku, agaknya Wajra Sasmaka Kunta telah
menemukan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya. Aku harus
bersiap apabila Wajra Sasmaka Kunta datang memintanya."
Orang tua bermuka pucat mengutarakan sikap dalam hatinya. Ia
pun mengajak pergi tiga orang lainnya. Pergi ke arah berbeda.
Berlawanan dengan arah perginya orang bertombak pendek.
Arga membiarkan pergi lawannya. Lawan yang telah pergi begitu
saja meninggalkan laga. Segera, anak muda itu berpaling pada
dua orang yang bersamanya.
"Paman dan Kakang, mari cepat kita ke tanah lapang." Suara itu
menyimpan kekhawatiran. Mereka pun bergerak cepat mendekat
ke tujuan. Sebentar kemudian, tiga orang itu telah mencapai
tempat yang dituju. Lalu, segera merapat bersama-sama dengan
orang-orang yang telah berada di sana. Seperti biasa, di tanah
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lapang itu empat orang gadis sedang memainkan suatu barisan.
Barisan itu kentara sekali sangat rapat padat, saling kerjasama,
cepat berdesing, kuat bertenaga dan penuh perubahan. "Sebuah
barisan yang sempurna". Ki Gardagarjita menilai saat pertama
557 kali melihat barisan itu, dan sambil melihat bagaimana empat
gadis ini memainkan barisan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur
(Empat Barisan Pedang Bianglala), ia menceritakan peristiwa
yang baru saja terjadi. 9 "Syukur! Orang tua bertombak pendek itu tidak bersama orangorang yang lain. Orang-orang yang
dapat menghadirkan kemungkinan buruk. Kemungkian buruk bagi ..." Apa yang
dipikirkan dalam diri Arga terputus oleh sebuah pertanyaan.
"Benarkah Engg?r Arga baru saja bergebrak dengan Ki Wajra
menganggukkan kepala. Orang tua dari Bukit Suci itu meminta
empat gadis menghentikan latihan mereka. Ia pun mengajak
pulang untuk kembali ke Perguruan Merak Mas. Pulang karena
mengkhawatirkan kemungkinan orang itu berulah terhadap Merak
Mas. Tidak lama mereka tiba di Merak Mas. Apa yang
dikekhawatirkan tidak terjadi. Perguruan Merak Mas berjalan
wajar. Lalu, mereka sepakat untuk meneruskan latihan di
pesanggerahan. Pesanggerahan yang tidak lagi digunakan oleh
Ketua Samaragrawira. *** Menjelang senja. Tiga orang datang ke pesanggerahan itu. Tiga
prajurit. Datang dengan tergesa-gesa. Langsung mengarah dan
mendekat kepada Ki Gilingwesi.
"Sesuatu telah terjadi". Firasat anak muda itu mengemuka dalam
hati. "Tetua, di alun-alun istana telah datang ribuan prajurit dari
Watugaluh. Lengkap dengan senjata. Dibawa langsung oleh
558 Penguasa kota itu" Seorang prajurit itu mengatakan laporan
kepada Ki Gilingwesi. Tapi pikir panjang, seketika itu juga orang
tua itu pergi disusul dengan orang-oran lain yang ada di
pesenggerahan. Mereka menuju istana, seperti yang dikatakan
prajurit itu. *** Pada alun-alun di depan istana. Di sebuah tanah lapang. Dua
kelompok orang terlihat berhadapan dengan jarak dua tumbak.
Pada satu kelompok terlihat seseorang telihat berdiri tegak
dengan empat orang berkuda di belakangnya. Orang itu berdiri
tegak dengan sebilah keris yang masih bersarang dalam sarung.
Bukan keris miliknya, karena di punggungnya ada sebilah keris
lain terselip di sana. Orang itu adalah Pangeran Sikara. Di
belakang Pangeran itu berjejer di atas kuda seorang Senopati
Utama dan tiga Pengiring Istimewa. Tiga tumbak di belakang
empat orang itu berbaris sejumlah pasukan berkuda. Pasukan
berkuda yang terdiri dari prajurit pilihan dan istimewa.
Pada kelompok lainnya terlihat seorang sedang berjongkok
membelakangi tiga orang yang lain. Ia berjongkok untuk
memberikan sandaran dengan paha kirinya, tubuh orang lain
yang tergolek telah terluka. Pada bibir orang yang tergolek itu
terdapat cairan merah. Ia adalah Ketua Samaragrawira, dan
orang berjongkok yang telah memberikan paha kiri sebagai
sandaran adalah Janaloka didampingi tiga orang lainnya, tiga
Murid Utama Merak Mas. Anak muda yang baru tiba melihat jelas pemandangan pada
10 tengah lapangan itu. Atas pemandangan itu, ia menjadi sangat
murka. Sangat murka! Karena orang yang membesarkan dirinya,
559 orang terakhir yang mengetahui siapa dirinya, kini dilihatnya
terkapar tidak berdaya. Terkapar, yang menurut penilaiannya,
dalam keadaan terluka parah. Mungkin sangat parah. Karena
sesuatu yang sebelumnya telah mengidap di dalam dirinya.
Racun Maha Dewa. Seketika itu juga terjadi perubahan pada diri
anak muda itu. Perubahan dalam murka. Kemurkaan yang belum
pernah diperlihatkannya. Anak muda itu sejenak berpaling memandang Ki Gilingwesi.
Pandangan sebagai bentuk izin untuk bertindak. Bergidik Ki
Gilingwesi melihat wajah anak muda itu, walau hanya sesaat.
"Anak muda itu dalam rupa triwikrama. Menakutkan." Benar. Ki
Gilingwesi telah melihat Arga telah berubah. Anak muda itu kini
telah mengenakan nama keduanya: Triwikrama*) . Selepas itu,
anak muda itu melesat cepat ke tengah lapang. Ke tengah lapang
dengan wujud yang tidak lumrah. Wujud dalam kemurkaan luar
biasa. Angin sangat kencang datang menderu. Angin itu telah
mengguncang orang yang berdiri. Mengguncang hingga mundur
dua tindak. Tampil di sana seorang anak muda satu tumbak di
hadapan Pangeran Sikara. Ia berada dalam keadan berjongkok,
menekuk kaki kanan sedikit ke belakang dengan lutut menyentuh
tanah dan kaki kiri menekuk di depan.
Menyusul anak muda itu, seorang gadis datang memburu,
langsung menubruk Ketua Samaragrawira. Ia menangis keras.
Gadis itu adalah Maheswari. Sebenarnya, gadis itu bergerak lebih
dahulu daripada anak muda itu. Namun, kecepatan anak muda itu
telah mendahului gadis itu. Anak muda itu tiba lebih cepat. Yang
kehadirannya diiringi samplokan angin kuat yang telah menerjang
Pangeran Sikara. 560 Kehadiran anak muda itu sangat mengejutkannya. "Hanya
dengan datang berkelebat, anak itu telah mendorong mundur
diriku dua tindak. Matanya ......?" Pangeran Watugaluh itu
bergidik dan kembali mundur. Bahkan mundur empat tindak. Dua
Mata itu. Wujud itu telah mengentarkan dirinya. Gentar dan
bergidik. Kehadiran anak muda serta gelagat Pangeran Sikara,
seketika itu juga telah mengundang orang yang menyertainya.
Empat orang telah bergerak tampil di tengah lapangan itu.
Mereka berdiri berjajar di samping Pangeran Sikara. Seorang
Senopati Utama dan tiga orang dengan ciri yang masing-masing
berbeda. Pangeran Sikara menengok ke kiri dan ke kanan memastikan
kehadiran orang-orang yang diinginkannya. Orang-orang luar
biasa yang selalu mendampinginya. Wajah Pangeran itu kembali
terlihat tenang. Sekalipun, tidak berani memandang wujud anak
11 muda itu. Janaloka pun telah terkejut akan kehadiran tiba-tiba sebuah
sosok. Kehadiran dengan disertai sapuan kuat angin yang telah
menghempas Penguasa Watugaluh. Penguasa itu telah datang
membawa ribuan prajurit meminta suatu pertanggungjawaban
atas peristiwa yang terjadi di lereng Gunung Welirang.
Pertanggungjawaban kepada Tembelang. Membayang di wajah
Janaloka peristiwa yang telah mengakibatkan Ayahnya, terbaring
Pedang Kiri 5 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein The Devil In Black Jeans 5
dan bersemangat. Berlangsung cukup lama, sampai akhirnya
Antya melempar tubuh ke belakang. Tubuh yang tetap tersangga
menggantung sebatas panggul orang itu. Kepala wanita itu
mendongak ke atas, dengan mata terpejam.
Orang itu membiarkan sejenak miliknya sesaat terlanda
gelombang yang mengedut-ngedut dalam dinding rongga wanita
itu. Dinding itu selalu mengedut manakala wanita itu mengalirkan
lepas apa yang selalu ingin digapainya. Kedutan dibalas dengan
kedutan. Kedutan yang dialirkan melalui milik orang itu. Itulah
akhir dari setiap kebersamaan mereka. Mencapai paripurna
bersama. Paripurna dalam saresmi (bersenggama).
Orang itu pun lembut merendah dan menaruh pelan tubuh wlaha
Antya pada tumpukan kain. Menarik sebuah prangwedani
499 (permadani) dan membabarkan di tempat sela dalam wand? itu,
lalu orang itu berjalan ke arah wanita itu. Lembut ia mengangkat
tubuh Antya, dan membaringkan di atas permadani. Kini, dua
tubuh wlaha telah berbaring bersama. Manja wanita itu
menyandarkan kepalanya pada dada orang itu sambil memainkan
1 milik orang itu. Lingga yang sangat istimewa baginya.
Orang dalam wujud kuwad?an banija itu akan segera meminta
upahnya. Upah yang selama tiga purnama ini selalu diberikan
oleh Antya saat orang itu mengantar wanita itu meraih paripurna.
Paripurna itu telah membutakan wanita itu. Untuk itu, ia bersedia
membayat upah yang sangat mahal. Upah berupa kekuatan
Tembelang dan Merak Mas, termasuk empat Saudara
Seperguruannya. Tak terbilang ia dan laki-laki itu meraih paripurna bersama sejak
lima tahun silam. Paripurna yang telah membatalkan nirsraya
(melajang, tidak kawin). Berbaring menyandarkan tubuh mata
Antya menerawang jauh. Jauh ke masa silam. "Ia toh nanti akan
menceritakan apa yang telah didapatnya mengenai kekuatan
Tembelang dan Merak Mas". Orang itu membiarkan wanita itu
terhanyut dalam pikirannya beberapa lama. Pikiran yang memutar
ulang sejumlah peristiwa, yang dimulai dari Watugaluh lima tahun
silam. *** Di Watugaluh ia bertemu pertama kali dengan orang itu. Lewat
sebuah pertolongan yang telah diberikan orang itu kepadanya.
Pertolongan melindas dua belas begundal yang mencoba
menistakan dirinya dan melukai tiga murid Merak Mas. Orang itu
pun mengundang dan menyatakan diri sebagai Penguasa
500 Watugaluh. Wajah dan bayang-bayang orang itu terus lekat dan tidak mau
pergi. Kurang dari sepekan, orang itu telah muncul di Tembelang
dan menemuinya. Di tempat di mana ia sedang berbaring saat ini.
Tempat ini dinyatakan sebagai miliknya. Tiga hari berturut-turut,
ia menghilang pergi sesaat dari perguruan. Menghilang hingga
menjelang malam untuk menemui orang itu. Selalu di tempat ini.
Di malam ketiga, orang itu menyatakan akan kembali besok ke
Watugaluh, namun rutin akan mengunjunginya setiap bulan.
Saat itu ia telah luruh luluh takluk pada orang itu. Malam itu juga
ia telah membatalkan nirsraya pada dirinya sendiri. Dengan
dipenuhi keraguan, ia melewati pembatalan itu. Hanya sesaat.
Sebab, keraguan itu segera beralih menjadi kegairahan dan
kegilaan yang tidak pernah ia dirasakan. Di tempat ini juga, ia dan
orang itu mencapai paripurna bersama. Paripurna dalam saresmi
(bersenggama) pertamanya.
Wanita itu ingat, waktu itu orang itu kaget manakala mengetahui
keadannya. Keadaan bahwa dirinya belum pernah melepaskan
miliknya pada orang lain, padahal usia jauh dari cukup untuk
melalui keadaan itu. Seperti saat ini, sambil bersandar di dada
orang itu, wanita itu mengatakan bahwa selama ini ia hidup
menjalani nirsraya (melajang, tidak kawin) sepanjang hidupnya.
Sumpah nirsraya demi merambah kekuatan setinggi-tingginya.
Sumpah yang malam itu telah dibatakan bersama orang itu di
sebuah wand?. Orang itu pun memeluk erat dan mengatakan
2 akan membantu dirinya meraih hal itu. Merambah kekuatan
setinggi-tingginya. Wanita itu gembira dan percaya orang itu akan
memberikan sokongan mewujudkan hal itu. Dipenuhi
kegembiraan, wanita itu meminta orang itu melakukan sekali lagi
501 bagi dirinya suatu paripurna. Dua kali ia mendapatkan paripurna
bersama orang itu di saat pertamanya.
Orang itu sungguh memenuhi janjinya. Janji yang pertama. Terus
datang ke Tembelang. Selalu menemuinya. Pertemuan itu selalu
hampir pasti berujung di tempat ini. Berakhir dengan paripurna
bersama. Kegairahan bersama orang itu, tidak jarang ia melalui
paripurna dua tiga kali. Entah atas permintaan dirinya, entah atas
permintaan orang itu. Itu sepenuhnya tidak bisa dipastikan. Yang
pasti orang itu telah ditempatkan dalam dirinya sebagai kekasih.
Enam purnama berlalu, orang itu membawanya ke sebuah hutan
jati. Di sana orang itu menyatakan suatu kemampuan.
Kemampuan itu sungguh mencenggangkan hati. Itu adalah
Wiwuda Maha Wisya (Racun Maha Dewa). Kekuatan dari masa
silam. Orang itu pun memenuhi janji kedua, mengajarkan Racun
Maha Dewa lewat sebuah catatan yang telah diberikan
kepadanya. Catatan bagaimana melatih kekuatan itu. Hatinya
berkobar-kobar menapaki kekuatan itu. Delapan belas purnama
ia sembunyi-sembunyi mempelajari kekuatan itu, baik lewat
catatan maupun langsung di bawah bimbingan orang itu saat ia
berkunjung. "Kini, kekuatan itu sungguh-sungguh menjadi bagian
dari diriku. Bagian yang tidak terpisahkan. Lewat kekuatan itu aku
telah melepaskan pembalasanku. Pembalasan pada orang yang
telah membujuk Guru sehingga belenggu itu mengekang diriku.
Mbokayu Antari ." Wanita itu tersenyum puas di dada orang itu.
Sekejab, wanita itu kembali teringat bagaimana belenggu itu
terpasang pada dirinya. Tiga tahun silam. Dua Gurunya datang
meminta dirinya menerima Kakang Jitaksara sebagai suami.
Mbokayu Antari, isteri Kakang Bhadrasana, ada di balik
permintaan itu. Permintaan itu menempatkan diri wanita itu pada
502 pilihan yang sulit. Maka, ia pun mengatakan pada orang itu.
Mulanya, ia marah karena orang itu pun mengatakan hal yang
sama, menerima Jitaksara sebagai suaminya.
"Ini semua demi kita dan demi dirimu", orang yang disandarinya
saat ini pernah berkata. Dengan mengabulkan permintaaan itu,
kata orang itu, lima hati telah dimenangkan wanita itu. Dua Guru,
Kakang Bhadrasana dan Mbokayu Antari, serta Jitaksara. Itu
semua akan memberi jalan terbuka meraih kekuatan yang lebih
tinggi. Cita-citanya. Terpenting, orang itu berjanji, janji yang selalu
ditepati, tetap akan bersama wanita itu sekalipun dengan cara
yang lebih hati-hati dan sangat tersembunyi. Tidak mungkin bagi
wanita itu menolak perkataan orang itu, untuk menerima Jitaksara
sebagai suaminya. Begitulah, Jitaksara ada di sisinya. Ada
3 sisinya sebagai suami, karena permintaan orang itu.
Tiga tahun ia menjalani kehidupan suami isteri. Masa yang
sangat mengekang dan membelenggu. Belenggu itu telah
dikenakan pada dirinya atas prakarsa Mbokayu Antari. Wanita itu
di dalam hatinya sangat benci pada Antari. Karena prakarsanya
telah menutup kesempatan untuk bertemu dengan orang itu.
Selama dalam belunggu itu, hanya empat lima kali dalam dua
belas purnama, orang itu menemuinya. Kesempatan yang begitu
terbatas. Sangat terbatas untuk melepaskan paripurna bersama.
Wanita itu ingin lari dari belenggunya. Lari bersama orang itu. Itu
dikatakan wanita itu pada pertemuan lima purnama silam. Tapi,
orang itu telah menahannya, meminta dirinya tetap menjalani
belenggu itu. Menjalani belenggu itu hanya untuk sementara,
karena orang itu berjanji akan melepaskan belunggu itu.
Melepaskan belenggu dengan tangannya sendiri. Orang itu selalu
memenuhi janjinya. Kurang dari dua purnama lalu, orang itu
503 menepati janji. Membunuh Kakang Bhadrasana, Kakang
Jitaksara dan Kakang Bhadrika. Wanita itu pun telah turun tangan
sendiri membunuh Antari. Untuk melepaskan benci yang
terpendam selama tiga puluh enam purnama. Benci karena
sebuah prakarsa yang berujung pada belunggu atas dirinya. Dua
purnama lalu, wanita itu telah bebas dari belenggu. Bebas
sepenuhnya. *** Setelah cukup lama hanyut dengan diri sendiri, wanita itu pun
membalikkan tubuh, menatap orang itu lalu membelai wajah
tampannya. Kemudian mencium bibir orang itu. Mengawali
permintaan untuk melakukan kembali sebuah paripurna.
Paripurna sambil berbaring di atas prangwedani. Dalam dua
penderesan nira, sebuah paripurna lain telah dicapainya.
Paripurna yang selalu memberikan kelegaan bagi dahaganya.
Dalam kelegaan itu, tanpa diminta, wanita itu menceritakan apa
yang dicatatnya mengenai Perguruan Merak Mas. Seluruhnya,
khususnya anak muda itu dan barisan Wangkawa Kangkam
Banjeng Catur (Empat Barisan Pedang Bianglala). Barisan yang
dikatakan dialaskan pada kitab Taranggana Pranahara (Ilmu
Perbintangan). Tidak sepotongkan kata keluar dari orang itu. Ia
membiarkan wanita itu terus berbicara. Kini wanita itu tidak lagi
bicara mengenai Merak Mas, melainkan angan-angan masa
depan yang diinginkannya. Hidup bersama dengan orang itu.
Orang itu pun tetap tampak mendengarkan, hanya saja
pikirannya telah terbang jauh: Siapakah orang muda itu" Entah
apakah Guru telah mengenal anak muda itu" Orang itu pun
memikikan keduanya: Guru dan anak muda. Intuisinya
504 mengatakan Gurunya telah mengenal anak muda itu. Tapi,
bagaimana bentuk "mengenal" itu berwujud ia tidak
4 mengetahuinya. Orang itu membiarkan pertanyaan itu terbuka.
Tidak membiarkan membebani pikirannya.
"Diajeng sudah hampir fajar." Cepat mengambil dan mengenakan
pakaian, orang itu pun meminta wanita itu melakukan hal yang
sama. Dengan enggan, wanita itu melakukannya. Orang itu
berdiri, kemudian membungkuk dan membopong wanita itu, lalu
berjalan menuju pintu wand?. Sesaat kembali mengecup bibir
wanita itu sambil meletakkan pelan wanita itu berdiri. Wanita itu
membalas kecupan dengan lahapan. Lahapan menjelang
perpisahan. Tidak lama, wanita itu telah menghilang.
Seorang diri, orang yang telah kembali dalam wujud kuwad?an
banija dalam wand?. Sejalur senyum pada bibirnya. Tersenyum
atas apa yang telah ditebarnya. Tidak salah orang tua bermuka
pucat memberikan penilaiannya pada orang itu: terhadap
kuwad?an banija itu, ia sepenuhnya menyerahkan apa pun yang
hendak dilakukannya. Apapun itu! Ruang yang dipercayakan
orang tua itu telah diisinya dengan memainkan seorang Duta
Cara. Mata-mata istimewa yang baru saja menghilang pergi.
Tembelang Duta Cara. *** Empat gadis riang berkejaran di taman. Main kejar-kejaran
dengan dua anak kecil. Dua anak lola. Pagi itu, mereka tidak
berlatih. Atas ajakan Maheswari, empat gadis itu telah bersama
dengan dua anak. Mereka agak enggan berlatih karena tidak ada
anak muda itu. Sudah dua hari, anak muda itu tenggelam pada
505 sesuatu. Ia telah mengatakan suatu kepentingan kepada lima
orang tua yang ada pada Perguruan itu. Kepentingan untuk
mengungkapkan sesuatu yang masih mengganjal. Karena
kepentingan itu, Arga tidak muncul di atas bukit. Serta merta,
ketidakhadirannya telah menurunkan semangat empat gadis itu.
Pagi itu mereka memutuskan tidak berlatih. Kini, mereka berada
di taman bermain dengan dua anak lola.
Untuk mengungkap sesuatu yang masih mengganjal, Arga
menggunakan ruang kitab. Untuk itu, ia minta izin kepada Ki
Gilingwesi. Kepada orang tua itu, ia mengatakan akan mendalami
Wiwuda Maha Wisya. Racun Maha Dewa yang telah mengganjal
dirinya. Dengan ditemani pengurus ruangan itu, hampir dua hari
Arga mencari dan mengumpulkan kitab-kitab yang berisi
keterangan Racun Maha Dewa. Lebih dua puluh empat kitab
menyinggung Racun Maha Dewa. Tapi, hanya tiga kitab yang di
sejumlah bagian mengulas secara memadai kekuatan itu.
Arga pun meminjam tiga kitab itu untuk memeriksa rincian
keterangan mengenai kekuatan itu. Memeriksa dengan cermat
dan teliti. Bosan berada di biliknya, anak muda itu naik ke lereng
bukit. Ia membawa serta tiga kitab itu.
Sebentar saja, ia telah menyandarkan diri di bawah pohon besar,
kembali meneliti kitab-kitab itu. Di sana ia tenggelam dalam
pencariannya ditemani oleh sejumlah branjangan. Branjangan
5 yang terus bermain lincah di antara bebatuan pada sebidang
tanah lapang. Dua belas penderesan nira lewat. Arga pun
menemukan sejumlah catatan mengenai Racun Maha Dewa dari
tiga kitab itu. Pada kitab pertama dimuat keterangan bahwa Racun Maha Dewa
pernah muncul pada kepenuhannya dalam Dhatu Wisya Wimba
506 (Raja Racun Kembar). Tidak tercatat kapan tokoh itu hidup. Yang
dikatakan tokoh itu telah merajalela di tanah Yawadw?pa dan
telah menebar ketakutan, dengan sejumlah pembunuhan.
Pembunuhan di banyak tempat dan menyasar pada tokoh-tokoh
utama dunia pesilatan. Di suatu lembah bersama dengan seorang
murid, Raja Racun Kembar dikalahkan oleh Asmatuna. Orang
Tanpa Nama. Ilmu Raja Racun Kembar diluruhkan. "Seorang
murid" Mungkin ia yang terus melanggengkan Racun Maha
Dewa setelah Raja Racun Kembar menghilang". Anak muda ini
menarik suatu dugaan. "Ah, ini dia. Bagaimana melatih Racun Maha Dewa." Wajah anak
muda itu cerah. Pada kitab kedua termuat penjelasan melatih
Racun Maha Dewa. "Dasar utama melatih jurus ini adalah bekal
tenaga dalam, dari mana pun sumbernya. Semakin tinggi tenaga
dalam yang dimiliki semakin kuat Racun Maha Dewa dapat
dilatih. Latihan harus dilalui dengan cermat, hati-hati, tahap demi
tahap dan mengikuti aturan yang ketat. Kecerobohan sekecil apa
pun dalam melatih Racun Maha Dewa, akan berakibat pada
kematian. Sebab, Racun Maha Dewa digapai lewat cara
"meracuni diri" dengan memasukkan suatu cairan beracun ke
dalam tubuh. Cairan beracun yang diolah getah pohon upas*)."
Sebuah pengantar telah dilewati oleh Arga. Pengantar tentang
prinsip menyadap kekuatan Racun Maha Dewa.
"Pohon upas memiliki tingkat kekuatan racun berbeda-beda
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergantung pada kondisi pohon. Pohon upas yang "tumbuh
sendiri" (tidak berkelompok) mempunyai kekuatan racun lebih
kuat dari yang berkelompok. Penyadapan getah pohon biasanya
dilakukan pada musim kering." Catatan kecil yang sangat berarti
untuk memilih sumber racun yang bermutu.
507 "Digunakan setidaknya 1 kati**) getah upas yang dikumpulkan
dalam tabung bambu pada sore hari, lalu dituangkan ke kuali
lantas direbus. Selama perebusan ini, getah upas ditambahi arum
atau nampu (sejenis tanaman yang juga beracun), kencur, bengli,
bawang merah dan bawang putih, masing-masing sebanyak
setengah potong, dan ditambah sedikit bubuk lada hitam serta
biji-biji cabai. Cairan itu terus diaduk sampai berbuih dan
membentuk lingkaran pertanda masak.***) Untuk memperkuat
efek racun, bisa ditambahkan pada racikan itu aneka racun
binatang. Begitulah cairan beracun itu dibuat." Cara peracikan
yang sangat sederhana. 6 "Rupaya, getah upas hanya diracik dangan bahan-bahan yang
mudah didapat dan cukup dijerang dalam air. Bahan-bahan dan
cara yang sederhana". Batinnya. Pembuatan cairan ditutup
dengan penjelasan yang cukup menarik. "Jika tidak untuk melatih
Racun Maha Dewa dan tidak ditambahkan racun binatang, cairan
itu sangat berguna untuk berburu. Hewan buruan akan segera
mati terkena racun, namun daging binatang itu aman untuk
dimakan karena tidak terjalar racun". Dari keterangan ini anak
muda itu mendapatkan bahwa bukan hanya pesilat yang dapat
memanfaatkan racun itu. Selanjutnya, kitab itu menjelaskan bagaimana cairan itu
dimanfaatkan untuk melatih Racun Maha Dewa. "Dalam berlatih
Racun Maha Dewa, penggunaan cairan itu dilakukan dengan
diminum. Diminum dengan takaran terukur, sesuai tingkat
pemilikan tenaga dalam. Begitu cairan itu masuk dan mengendap
dalam tubuh. Sesaat cairan itu memasuki tubuh, pengerahan
tenaga dalam harus segera dilakukan untuk meredam dan
mengendalikan pengaruh cairan itu dengan menguapkannya.
508 Cairan itu kini berwujud menjadi uap beracun. Dengan
pengerahan tenaga dalam yang sama, uap itu kemudian diserap,
disebarkan dan disusupkan ke sejumlah titik penghimpun tenaga
dalam untuk dilebur dan diendapkan. Endapan uap beracun ini
merupakan cikal bakal penguasaan Racun Maha Dewa." Kitab itu
secara jelas memaparkan bagaimana cairan itu digunakan untuk
membentuk kekuatan Racun Maha Dewa di tahap awal.
"Hanya satu langkah lain dibutuhkan untuk menguasai Racun
Maha Dewa." Anak muda itu menjadi sangat bergairah membaca
keterangan selanjutnya. "Kembali, dibutuhkan pengerahan tenaga dalam untuk
memadukan endapan uap beracun itu agar menyatu sebagai
bagian dari tenaga dalam itu sendiri. Bagian yang tidak
terpisahkan sebagai sifat-sifat dari tenaga dalam itu sendiri.
Sejauh mana tingkat penyatuan itu akan dicapai sangat
tergantung dari tingkat pemilikan tenaga dalam. Selain latihan
keras yang terus menerus, peran seorang guru dapat
menentukan. Guru yang dapat mengalirkan tenaga dalam saat
seorang murid menjalani penyatuan itu. Pengaliran tenaga dari
orang lain hanya berperan memperkuat dan mempercepat
penyatuan. Penyatuan itu mutlak harus dilewati oleh siapapun.
Siapapun yang menginginkan kekuatan Racun Maha Dewa agar
dapat dibangkitkan bagi dirinya. Racun Maha Dewa tidak bisa
dialihkan, sekalipun oleh yang telah mencapai puncak kekuatan
itu. Penyatuan adalah jalan satu-satunya untuk menggapai Racun
Maha Dewa." Terbayang sosok Pangeran Abhinaya yang telah
mengalihkan kekuatan pada dirinya. Lebih lanjut tertulis pada
kitab itu. "Penyatuan yang sekali dicapai dan harus terus
ditingkatkan, Demikian, Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau
509 7 sifat dari lambaran tenaga inti. Pada tahap ini, Racun Maha Dewa
telah merasuk terhimpun lewat penyatuan dan dapat disalurkan
setiap saat, sebagai kekuatan Racun Maha Dewa untuk
menyerang lawan." Selanjutnya diterangkan pengaruh kekuatan
itu. "Pengaruh kekuatan Racun Maha Dewa sangat dahsyat,
langsung menyerang saluran pernafasan. Tubuh mengejang,
nafas memberat dan tercekik, lalu kelojotan hebat dan mati. Mati
dalam hitungan menit." Arga telah melihat semua tanda-tanda itu
pada tiga Murid Utama yang telah menjadi korban kekuatan itu.
"Siapapun yang terkena Racun Maha Dewa tidak bisa
disembuhkan. Sebab, sifat-sifat racun itu seketika menyerang
saluran pernafasan sekaligus menghancurkan sumber-sumber
penghimpunan tenaga." Ia membaca catatan itu sebagai
peringatan. "Kekuatan Racun Maha Dewa dapat dilontarkan sebagai pukulan
jarak jauh dalam bentuk Manila Widyutmala Tebah. Pukulan Mata
Petir Intan Biru, puncak tertinggi pencapaian kekuatan Racun
Maha Dewa." Kitab itu menyebut suatu bentuk tertinggi dari
pengungkapan kekuatan Racun Maha Dewa. "Mata Petir Intan
Biru". Aku akan mengingat itu.
Dalam kitab terakhir, Arga tidak menemukan sesuatu yang
istimewa. Kitab itu lebih hanya menjelaskan sifat-sifat dari Racun
Maha Dewa. Panas, ganas, merusak dan mematikan. Sifat-sifat
yang telah diketahuinya saat memeriksa Mbokayu Antya. Teringat
pada wanita itu, Arga menjadi kasihan. Kasihan karena telah
terjalar oleh racun itu. Menjalar hingga ke titik-titik sumber tenaga
dalam. Untuk yang terakhir ini, anak muda itu telah memastikan:
Sifat-sifat Racun Maha Dewa ada pada Mbokayu Antya akibat
terkena pukulan. 510 Saat itu mata Arga menangkap seekor branjangan satu tumbak
jauhnya. Branjangan itu berjalan di lapangan berumput, kemudian
terbang tinggi dan menggantung beberapa lama di udara, lalu
menukik ke tanah dan menghilang. Menghilang begitu saja dari
pandangannya.****) "Aneh" Ke mana burung kecil itu?"
Penasaran, Arga bangkit dan berjalan ke arah burung itu
menghilang. Hanya dalam empat langkah, tiba-tiba burung itu
meloncat terbang, terbang sangat tinggi. Branjangan itu
menyamarkan dirinya dengan rumput yang kering di lapangan itu.
Suatu penyamaran yang sangat sempurna. "Ah, rupanya ia telah
menyamarkan diri". Batin Arga.
Ia pun kembali ke tempatnya. Pikirannya pun kembali tertuju pada
sifat-sifat Racun Maha Dewa pada wanita itu dan terutama
memikirkan bagaimana mengeyahkan racun itu. Arga meneliti
dan memeriksa kembali kitab-kitab itu. Membaca bagian per
bagian secara perlahan dan berulang dengan sebuah harapan:
dapat mengeyahkan racun itu. Tapi, harapan itu terbentur oleh
sebuah catatan."... Racun Maha Dewa tidak bisa disembuhkan..."
8 Seberkas raut kasihan kembali membayang di wajahnya. Kasihan
pada Mbokayu Antya. "... menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga." Ia
bergidik akan pengaruh racun itu. "Tapi, mengapa racun itu tidak
menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga Mbokayu
Antya?" Keheranan terpancar dari wajah anak muda itu. "Aku
justru merasakan dengan pasti sifat-sifat racun itu ada dalam
sumber-sumber tenaga Mbokayu Antya. Mungkinkah telah terjadi
suatu pengalihan?" Pertanyaan itu langsung terbantahkan. "... Racun Maha Dewa
tidak bisa dialihkan, .... Penyatuan adalah jalan satu-satunya
511 untuk menggapai Racun Maha Dewa." Keterangan itu
memberikan jawab tegas. "Penyatuan?" Arga memeriksa kembali
tentang penyatuan sebagaimana dimaksudkan pada kitab itu.
"... Hewan buruan akan mati terkena racun, namun daging
binatang itu aman untuk dimakan karena tidak terjalar racun."
Arga kembali mendapati sebuah penegasan tidak langsung,
bahwa kekuatan Racun Maha Dewa tidak bisa dialihkan. Racun
itu hanya membunuh, tidak menjalari yang terkena. "Penyatuan
yang sekali dicapai dan harus terus ditingkatkan, Demikian,
Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau sifat dari lambaran
tenaga inti." Sampai di sini, Arga terdiam dan memandang ke
tanah lapang. Ia kembali menangkap seekor brajangan yang
sedang memainkan penyamarannya. "Penyamaran?" Pekik anak
muda itu tanpa sadar kemudian terdiam. Terdiam lama.
"Bagaimana memastikannya?" Pemuda itu bertanya lirih pada
dirinya. *** Senja telah menjelang, Arga sudah menghentikan beberapa lalu
pencariannya dengan ujung pada sebuah pertanyaan:
Bagaimana Memastikannya! Kini perhatiannya mengarah pada
seekor branjangan dan tersenyum sendiri. Branjangan itu
melakukan gerakan seperti yang pernah dilihatnya, berkicau
nyaring, melesat tinggi hingga sepuluh tumbak dan berhenti di
udara beberapa saat lalu tiba-tiba menukik deras ke tanah. "Luar
biasa burung kecil itu". Kekaguman atas burung itu tidak pernah
menghilang. Menurut Ki Gilingwesi, dirinya mirip branjangan.
Pandai dan sempurna mengikuti apa yang dilihat. Branjangan
512 yang merupakan juga sebuah julukan yang telah dilekatkan pada
seseorang melengkapi julukan lainnya: Naga Branjangan. Kali ini,
ia kembali teringat nama itu. "Julukan itu sepertinya menyimpan
tanah lapang itu. Ia akan melakukan hal yang sama seperti
burung itu. Di tengah lapang itu, Arga segera menyiapkan diri. Menghimpun
segenap tenaganya dan bergerak memainkan Naga Semesta
Cemerlang. Jurus yang cocok dengan gerakan branjangan yang
9 tadi dilihatnya. Sesaat kemudian, ia melejit vertikal ke atas dan
berhenti di udara. Tubuhnya telah penuh dialiri tenaga yang
dikerahkan lewat Panchajanya. Tubuh itu telah berubah merah
membara efek dari Naga Semesta Cemerlang yang telah
dilambari aliran tenaga Panchajanya. Ia pun cepat menukik ke
tanah dan kembali memainkan Naga Semesta Cemerlang
beberapa saat dan melenting ke atas lagi dan kembali menukik.
Berulang-ulang ia bergerak menurut cara itu.
"Hebat. Luar biasa, anak itu". Kata pemilik sepasang mata
kepada seorang lainnya. Dua orang itu melihat nyata sebuah
selubung tak berwujud semakin membesar melapisi anak muda
yang terus bergerak mencelat dan menukik berulang-ulang.
Tiba-tiba anak muda itu menghentikan gerakannya. Berhenti
pada saat masih melambung di udara. Berhenti untuk beberapa
lama. Mata terpejam. Sikap tubuh berdiri sempurna dengan dua
cakar di silangkan di depan dada. Sesungguhnya, anak muda itu
sedang membuka kesadarannya. Membuka diri terhadap alam
semesta dan sedang mencerna sederetan baris yang belum
dipahaminya. "Membuka diri pada semesta,
513 melebur dalam kepenuhan hadirnya,
berdiri satu sebagai dirinya...
Biarkan semesta bebas memilih jalan:
Jalan baginya sendiri".
"Edan! Ia mengapung di udara lebih dari dua penderesan nira".
Memang Arga telah melewati lebih dari dua penderesan nira
menyelami sederetan baris itu. Menyelami di udara.
Mulanya, Arga menyelami itu dengan pikiranan. Mencari makna
di balik deretan kata-kata itu. Tetap buntu! Ia pun segera
meninggalkannya. Menganggap kata-kata itu memang tidak
bermakna. Ia lebih memusatkan diri, seutuh dan sepenuhnya,
untuk membuka diri terhadap kekuatan semesta. Membuka diri
seluas-luasnya. Ia merasa nyaman. Saat itu tenaga semesta
bergelombang mengalir deras merasuk dan menyatulebur
dengan kekuatannya. Selubung tak berwujud pun semakin
membesar melapisi anak muda itu.
Pada akhirnya, masih dengan sikap tubuh seperti semula, anak
muda itu membuka mata. Selarik sinar mencelat melesat dari dua
mata itu. Sinar merah yang tajam, dan meluncur menembus batu
sebesar kepala di tanah, tidak jauh dari tempat ia mengapung.
Arga terkejut. Terkejut oleh serangkaian tenaga yang terasa telah
mengalir dari dua mata. Ia pun segera menutup mata. "Ada apa
itu?" Batinnya. Untuk memastikan yang terjadi, ia kembali
membuka kedua mata. Lagi, suatu aliran tenaga dirasakan deras
meluncur dari dua mata itu dan memberi efek seperti
sebelumnya, mampu menembus sebongkah batu. Ia mendapat
suatu kepastian. Dalam keadaannya saat ini, ia telah mampu
melontarkan tenaga lewat pandangan mata. Atas dasar kepastian
10 itu, ia meningkatkan pengerahan tenaga dan melontarkannya
514 lewat dua mata masih terbuka. "BLLAAARRR". Sebuah ledakan.
Pandangan mata itu telah meledakkan sebongkah batu, tidak lagi
menembusnya. Tidak berhenti di situ, kini Arga bergerak menukik turun ke tanah
dan kembali memainkan Naga Semesta Cemerlang. Seperti
sebelumnya, rentetan cahaya itu selalu mengiring ke mana ia
bergerak. Cahaya yang sangat berbahaya. Karena cahaya itu
tidak hanya membelah-belah (chedana) apapun yang dilewati,
melainkan meledakkannya. Kini, Arga telah sampai pada puncak
kemampuannya. Naga Semesta Cemerlang.
Menyadari ada yang datang ke arahnya, Arga kembali
melambung tinggi dan menarik kembali kekuatannya kembali
pada tempat yang seharusnya. Di dalam tubuhnya. Lalu, cepat
menukik dan mendarat di tanah dengan keadaan yang sangat
nyaman dan ringan. Dua orang itu telah dekat padanya, seorang
bertepuk tangan riang. Dua orang itu adalah kakak beradik, Janaloka dan Maheswari.
"Anak manja itu, terus membujukku mencari dirimu. Rasa kangen
sudah tidak lagi dapat ditanggungnya dan ...heeeiiiii". Janaloka
beringsut menjauh melepaskan tangan gadis yang keras
mencubit pinggangnya. Wajah itu merah seperti teratai yang
bersemi. "Memang, seperti teratai". Sebuah pujian terlepas di
dalam hati anak muda itu. Ia telah terbiasa dengan godaan
Janaloka. Selalu membiarkan itu berlalu.
"Ada apa Kakang dan Puteri datang ke sini?" Salah satu yang
ditanya terlihat masam. "Puteri. Masih memanggil aku Puteri. Aku
ini muridmu. Dasar canggung". Ia mengganti julukan uncalan
dengan canggung. Uncalan yang memang sama sekali tidak
cocok lagi. 515 "Luar biasa. Baru kali ini aku melihat kemampuanmu, Adhi.
Sebelumnya, aku ingin bermain-main denganmu. Bermain-main
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barang dua tiga jurus. Tapi, sejak saat ini, mana berani itu aku
lakukan......". Alih-alih menjawab pertanyaan Janaloka justru
melancarkan pujian. Pujian itu terceloteh terus tanpa henti hingga
lebih dari sependeresan nira. Suatu litani pujian. "...... Tapi, Adhi
jangan besar kepala, mana tahu anak manja ini berani
menantang dan mengalahkan Adhi seperti di seberang sungai
tempo hari...." Selalu saja Janaloka memojokkan Maheswari.
Memojokkan dengan godaan yang konyol dan terkadang
kelewatan. Setelah itu semua, pada akhirnya Janaloka
menyampaikan bahwa mereka datang hanya sekedar ingin
bertemu. Dua hari mereka tidak bertemu.
Mereka telah beringsut dari tanah lapang ke tempat di mana
sebelumnya Arga menyimak tiga kitab tentang Racun Maha
Dewa. Di sana kitab-kitab itu masih tergetak di atas rumpun.
11 Janaloka pun mengambil sebuah. "Kitab mengenai racun." Lirih
Janaloka berkata. Arga pun mengatakan apa yang telah
didapatnya sebagai sebuah kemungkinan. Kemungkinan yang
harus dipastikan. "Kakang, aku memang sudah tiga hari ini sedang mencari tahu
mengenai Racun Maha Dewa. Racun itu telah mendekam dalam
diri Mbokayu Antya. Saat aku memeriksa dirinya tempo hari, aku
memastikan di dalam dirinya tersimpan sifat-sifat racun itu. Aku
menduga wanita itu telah terpapar racun itu. Atas seizin Paman
Gilingwesi aku telah memasuki ruang kitab dan mencari sumbersumber yang dapat mengungkap
racun itu dan sebisa mungkin
meredam pengaruhnya pada Mbokayu Antya. Tiga kitab ini telah
memberi aku suatu pengertian atas racun itu. Dari sana, aku
516 mendapatkan dua kemungkinan sebagai kesimpulan. Pertama,
Mbokayu Antya sungguh-sungguh terjalar racun itu." Penjelasan
itu terpotong oleh Janaloka. "Pernyataan yang janggal! Bukankah
Adhi sendiri telah memastikan hal itu" Mengapa kini hal ini
menjadi salah satu kemungkinan" Aneh!".
"Ya Kakang, memang aneh. Dari dua kitab, aku mendapat kan
bahwa Racun Maha Dewa sangat fatal. Racun itu seketika
menghancurkan sumber-sumber penghimpunan tenaga. Ini tidak
terjadi pada Mbokayu Antya. Suatu penyimpangan telah terjadi.
Alih-alih menghancurkan sumber penghimpunan tenaga, racun itu
telah beralih menjadi sifat-sifat tenaga dalam Mbokayu Antya.
Padahal, menurut kitab itu, Racun Maha Dewa tidak bisa
dialihkan. Kembali suatu penyimpang terjadi. Mengapa" Karena
Racun Maha Dewa tidak bisa dialihkan. Keberadaannya di dalam
tenaga inti sesorang hanya dapat diraih lewat penyatuan dalam
latihan panjang. Hal jelas dikatakan dalam kitab itu. Penyatuan
adalah jalan satu-satunya untuk menggapai Racun Maha Dewa.
Penyatuan yang sekali dicapai dan harus terus ditingkatkan,
Demikian, Racun Maha Dewa akan menjadi ciri atau sifat dari
lambaran tenaga inti." Arga terdiam sebentar. Mempertimbangkan
apakah ia harus mengatakan kemungkinan kedua. Menarik nafas
pelan, ia pun berada pada keputusannya.
"Sebenarnya sangat berat aku mengatakan kemungkinan kedua
ini. Mbokayu Antya adalah satu dari Tujuh Murid Utama Merak
Mas, apalagi ia telah kehilangan suaminya. Tapi, menimbang
keadaan yang terjadi di Tembelang, yang kini berada di bawah
bayang-bayang kekuatan yang mengancam, aku harus
mengatakan kemungkinan itu". Janaloka tidak sabar. "Ayo Adhi,
jangan bertele-tele."
517 "Kakang, kemungkinan kedua adalah Mbokayu Antya memang
sungguh-sungguh memiliki kekuatan racun itu". Sontak Janaloka
dan Maheswari kaget. "Apa?" Gadis yang dari tadi hanya diam
melontarkan keterkejutannya. Gadis itu sangat memahami arah
12 kemungkinan itu. Ia menyimak seluruh penjelasan anak muda itu.
"Sungguh-sungguh memiliki kekuatan racun itu" berarti Mbokayu
mempelajari kekuatan itu. Mempelajari dengan sembunyisembunyi. Yang lebih menguncangkan
adalah kenyataan bahwa racun yang sungguh-sungguh dimiliki oleh Mbokayu Antya telah
membunuh tiga Murid Utama Merak Mas. "Mbokayu berada di
balik pembunuhan itu, atau setidak-tidaknya terlibat atas
pembunuhan itu". Ujung pelanaran itulah yang menjadi
keterkejutan Maheswari. "Begitulah". Arga mengetahui kemungkinan itu telah membawa
kesimpulan mengenai keterlibatan Mbokayu Antya atas
pembunuhan. "Seperti seekor branjangan, wanita itu telah
memainkan penyamaran. Penyamaran yang sempurna." Tiga
anak muda itu kemudian terdiam. Hanyut dengan pikiran masingmasing. "Sudahlah, dua
kemungkinan itu harus kita perhatikan.
Barangkali, kemungkinan kedua yang harus mendapatkan
catatan." Janaloka memecahkan keheningan. Lalu, mengajak
kembali ke Perguruan karena matahari telah condong jauh ke
barat. Mereka berlalu dari tempat itu juga terdiam. Kembali
hanyut dengan diri sendiri.
"Luar biasa. Anak itu telah menyelami sesuatu yang tersembunyi.
Sesuatu yang tidak terlihat". Gadis itu tersenyum sendiri semakin
kagum. "Sore yang sangat indah. Branjangan kecil terima kasih." Batin
Arga. Burung kecil itu telah mengantarnya pada dua hal yang
518 sangat penting. Kemungkinan penyamaran dan terutama
menyibak kekuatan Naga Semesta Cemerlang.
"Aku harus lebih waspada kepada Mbokayu. Mungkin aku akan
meminta sejumlah prajurit khusus untuk membayang-bayangi
dirinya". Janaloka menetapkan sebuah rencana.
*** Dua pekan berlalu. Laporan telah diterima. Laporan atas gerakgerik Antya. Laporan itu dari
prajurit-prajurit pilihan yang disebar
Janaloka. Disebar untuk membayang-bayangi wanita itu.
Membayanginya berdasarkan kemungkinan yang telah dikatakan
sahabatnya di atas bukit. Pagi itu, Janaloka telah mengumpulkan
seorang Senopati dan tujuh prajurit tilik sandi yang telah disebar
selama dua pekan untuk mengamati Antya.
"Pangeran, selama satu hari penuh, siang dan malam, tujuh
prajurit secara bergantian mengawasi wanita itu. Ia sama sekali
tidak menampilkan tindakan mencurigakan. Wanita itu melakukan
hal-hal yang lumrah. Berlatih seperti biasa, mencuci pakaian,
memasak, dan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh seorang
wanita. Tidak ada yang luar biasa. Hanya saja, terlihat tiga kali ia
pergi pada malam hari ke tengah kota Tembelang. Pergi ke
sebuah wand?. Di sana ia beberapa lama. Dua belas penderesan
nira lamanya, setelah itu ia kembali. Pada siang hari, dalam
sebuah penyamaran prajurit mengunjungi wand? itu. Wand? milik
13 seorang tua. Saat ditanya, orang itu pun mengaku, semalam ia
kedatangan seorang wanita. Seorang wanita yang memesan kain
istimewa. Tidak ada yang mencurigakan pada wanita itu. Hanya,
sewaktu pergi dan kembali, wanita itu selalu dengan cara
519 menyelinap. Seakan tidak ingin kepergiannya diketahui orang
lain." Janaloka mendengarkan dengan seksama setiap perkataan
Senopati itu. Memang, ia mengakui gerak-gerik Mbokayu Antya
tidak ada yang mencurigakan. Sangat biasa. Bukankah, penting
bagi seorang janda yang masih sangat muda untuk tampil
istimewa" Tampil dengan kain istimewa. Tapi, mengapa ia
melakukannya dengan menyelinap diam-diam. Ia pun mencatat
itu: menyelinap. Selain itu, Janaloka juga memasukkan sebuah
wand? sebagai catatan yang lain, dan meminta Senopati itu
mengawasi juga kegiatan pada wand? setiap saat.
*** Sore itu seorang wanita membawa sebakul pakaiannya. Pakaian
yang telah kotor. Ia hendak mencuci pakaian itu di tepi anak
sungai. Wanita itu adalah Antya. Mencari tempat yang landai,
wanita itu memulai kegiatannya sembari mengalunkan tembang
lirih. Tidak jauh darinya ada seorang laki-laki bercaping dengan
seekor sapi besar. Orang itu sedang membilas dan menggosok
badan hewan itu. Orang itu pun mengalunkan suatu tembang
dengan lirih namun terdengar. Antya terkejut, sebab orang itu
mengalunkan tembang yang sama dengan tembang yang
dilantunkannya. "Kakangmas?" Hatinya berbunga.
Ia pun berjalan mendekati orang itu. Memang, orang itu adalah
Kakangmas, Penguasa Watugaluh. Namun, orang itu bergerak di
balik hewan yang sedang dimandikannya. Bergerak untuk
menjadikan hewan itu sebagai penghalang antara dirinya dengan
wanita itu. Suatu sikap yang sangat waspada dan hati-hati. Ia
berusaha menghindari tindakan wanita itu yang tidak terkendali.
520 Memeluk dan menciumnya. Suatu tindakan yang mungkin bisa
terlihat. Terlihat dan menjadi perhatian.
"Diajeng Antya, malam nanti Kakang akan menyusup ke Merak
Mas." Laki-laki bercaping itu membisik, sambil meletakkan
sebuah jari di bibirnya. Ia memberi isyarat kepada wanita itu tidak
bersuara. "Menjelang tengah malam, Kakang akan datang. Diajeng dapat
menunggu di tempat biasa kita bertemu di Perguruan Merak Mas.
Dari situ Kakang minta Diajeng mengantar kepada
Samaragrawira". Ia pun menembang lagi, sambil kembali sibuk
membersihkan sapi. Tidak lama kemudian ia beranjak pergi.
"Kakangmas akan menyusup ke Merak Mas". Dari kejauhan dua
orang mengamati seluruh kejadian itu. Kejadian yang umum
berlangsung di antara orang-orang yang melakukan kegiatan di
anak sungai: mencuci dan memandikan hewan. "Wanita itu tidak
14 hanya terlihat menembang dan bercakap-cakap dengan seorang
yang memandikan sapinya." Kesimpulan dua orang itu. Kejadian
lumrah dan biasa! Hanya saja yang luar biasa luput dari
pengetahuan mereka: isi dari percakapan itu!
*** Sejak kehadiran Wilmuka dan terbunuhnya tiga Murid Utama
Merak Mas, penjagaan dan pengawasan di Tembelang menjadi
sangat ketat. Demikian juga dengan perguruan Merak Mas.
Setiap malam, empat kelompok. Empat kelompok yang tidak lagi
terdiri sepuluh anggota seperti rencana sebelumnya, melainkan
dua puluh empat. Dipimpin langsung oleh murid dalam tingkatan
adhigana. Setiap kelompok berkeliling meronda menurut bagian
521 wilayah yang telah ditetapkan. Berkeliling ke sudut-sudut wilayah
Perguruan, bahkan jauh melintas sungai hingga mencapai bukit
atau hutan yang cukup jauh dari Perguruan.
"Mbokayu Antya, selamat malam. Sedang apa Mbokayu
menjelang tengah malam begini berada di tempat ini." Tanya
seorang murid Merak yang menjadi pimpinan kelompok itu.
Sudah sejak enam penderesan nira, wanita itu berdiam di tempat
itu. Berdiam di sebuah gubuk pada pinggir sawah sebelah utara
Perguruan itu. Ia tampak asyik memandangi rembulan. Rembulan
yang dua tiga malam lagi akan menampakkan bulatannya secara
sempurna. Purnama. "Tidak bisa tidur. Bosan di dalam bilik. Datang ke sini menikmati
indah rembulan yang akan purnama. Menunggu kantuk datang."
Murid-murid Merak Mas dalam kelompok itu sangat maklum
dengan jawaban wanita itu. Maklum, seorang yang telah menjadi
sendirian tidak dapat lekas terlelap tidur kemudian merasa bosan
di dalam bilik, lalu ke gubuk itu menikmati rembulan sampai
kantuk menyerang. "Mari Mbokayu, kami pamit berkeliling kembali". Pimpinan
rombongan itu tidak ingin berlama-lama mengganggu wanita itu.
Mereka pun pergi meninggalkannya sendiri.
Dua penderesan nira sejak kelompok itu pergi, seorang telah
bergerak sangat cepat mendatangi wanita pada gubuk itu.
Seorang dalam wujud kuwad?an banija. Wanita itu cepat
memburunya dan mendaratkan bibirnya ke bibir orang itu. Orang
itu memberinya kesempatan untuk beberapa lama, lalu dengan
lembut ia menarik ke belakang wanita itu. "Kita teruskan nanti
Diajeng. Kita teruskan setelah Kakang bertemu dengan
Samaragrawira." Wanita itu pun tersenyum gembira, malam ini ia
522 akan mendapatkan paripurna. Satu atau mungkin dua paripurna
bersama orang itu. Mereka berdua pun berkelebat pergi.
"Akhirnya muncul juga." Seseorang terlihat bergegas mengikuti
arah ke mana wanita itu bergerak bersama seorang dalam wujud
kuwad?an banija. 15 *** Wanita itu bergerak menuju pesanggerahan di mana Ketua
Samaragrawira biasa berada. Setidak jauh dari tempat itu, orang
dalam wujud kuwad?an banija itu meminta wanita itu
meninggalkannya. Sesaat sebelum pergi, wanita itu kembali
melumat bibir orang itu dan meninggalkannya. Tidak seperti
sebelumnya, pada pesanggerahan itu ditempatkan delapan orang
murid Perguruan untuk berjaga. Masing-masing berdua di setiap
sudut arah mata angin. "Mereka menuju pesanggerahan, Bra*) Samaragrawira". Orang
yang mengawasi wanita berkata dalam hati dan pergi. "Bra"
begitu Samaragrawira biasa disapa oleh prajurit Tembelang.
Hanya dengan dua gerakan ringan, orang dalam wujud kuwad?an
banija telah merobohkan dua murid Merak Mas yang berjaga di
utara. Lalu, bergerak ke arah lain untuk melumpuhkan yang
tersisa. Sangat cepat orang itu bergerak dan menjatuhkan
delapan penjaga pesanggerahan itu.
Kini dengan leluasa, orang dalam wujud kuwad?an banija itu
memasuki pesanggerahan itu. Sangat santai, tanpa
menyembunyikan kehadirannya.
"Siapa kau?" Ketua Samaragrawira kaget.
"Oh, Hyang Buddha. Keberuntungan apa yang sedang aku
523 terima. Di hadapanku muka dengan muka, aku bisa berjumpa
dengan seorang Samaragrawira. Penguasa, Panglima dengan
delapan ribu prajurit, Ketua Perguruan yang menaungi empat
ratus murid, dan Satria Utama yang pilih tanding. Sungguh
tersanjung aku di hadapannya." Jawaban yang sangat cerdas dari
seorang jenius. Ia tidak menjawab pertanyaan Ketua
Samaragrawira dengan keterangan atas dirinya. Yang dikatakan
orang dalam wujud kuwad?an banija itu justru keterangan
mengenai orang yang bertanya. Keterangan mengenai Ketua
Samaragrawira, dengan kekuatan yang ada padanya. Dalam
keadaan ini, orang itu telah mengungguli Ketua Samaragrawira.
"Ia sungguh telah mengenal Tembelang dan Merak Mas. Jika ia
datang malam ini, tentu orang itu datang dengan penuh
perhitungan." Ketua Samaragrawira pun mempersiapkan
kekuatan. Bersiaga.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hyang Buddha. Terima kasih. Ketua Samaragrawira telah
mempersiapkan sambutan bagi diriku. Baik, segera aku akan
menyongsong sambutannya." Balur rona putih seketika
menyembul dari tubuh orang itu. Ia telah menyatakan lambaran
dirinya. Carmi Samudra (Samudera Kaca). Lambaran itu telah
menjadi landasan baginya mencapai tingkat kemapanan Racun
Maha Dewa. Kekuatan yang diandalkan.
"Ketua bisa memulai." Yakin atas apa yang tersimpan di dalam
dirinya orang dalam wujud kuwad?an banija membuka suatu
ajakan. Ajakan itu sangat luar biasa, ditujukan kepada Ketua
Samaragrawira. Satria Terdepan Yawadw?pa saat itu.
16 Kembali ruangan pesanggerahan itu dipenuhi oleh kabut, seperti
beberapa purnama lalu sewaktu orang bercadar datang
menyambangi tempat itu. Dari dalam kabut, sebuah bayangan
524 berkelebat cepat mendatangi orang dalam wujud kuwad?an
banija itu. Sebuah serangan telah dilancarkan. Tidak terdengar
deruan angin pada sambaran serang itu. Yang terdengar justru
suara seperti menyayat atau menyobek.
SRREEETTT, SRREEETTT... Berkesinambungan. Tak terputus. Ketua Samaragrawira
melancarkan sekaligus jurus Swarna Manyura Ampak-ampak
(Kabut Merak Mas) dan Swarna Manyura Gardaka (Merak Mas
Mengamuk). Luar biasa. Hanya dalam hitungan beberapa
purnama saja, Ketua Samaragrawira telah meningkat jauh.
"Jurus luar biasa...." Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
sedikit bergeser dan membiarkan lengan bahu dibentur serangan
itu. SRREEETTT. Jelas lengan bahu orang dalam wujud kuwad?an banija itu
tersayat oleh sebuah sabetan jurus Merak Mas Mengamuk. Tak
ada sesuatu pun yang terjadi. Lengan orang itu tetap pada
tempatnya, tidak terputus. Bahkan, pakaian yang dikenakan
orang itu pun tidak menjadi sobek. Seutuhnya, bagian yang
terkena sabetan jurus Merak Mas Mengamuk terlindungi.
Terlindungi sempurna dengan Samudera Kaca.
"Serangan itu sangat kuat. Hanya saja belum cukup untuk
mengoyak Samudera Kaca." Sambil menghindari serangan
susulan, orang dalam wujud kuwad?an banija itu memberikan
penilaian. Ketua Samaragrawira memburu dengan dua gabungan
jurus baru Merak Mas., dan orang dalam wujud kuwad?an banija
pun tangkas menghindar sambil melancarkan serangan balasan.
Dua orang itu bergerak cepat, tangkas, dan bertenaga. Saling
menghindar dan menyerang.
525 Sependeresan nira telah lewat. Kabut pada ruangan itu sedikit
demi sedikit menyusut surut. Menyusut karena terserap oleh
Ketua Samaragrawira. Ruangan telah menjadi jernih. Seketika
Ketua Samaragrawira mengubah sikap, lalu melontarkan sebuah
serangan. Swarna Manyura Yakut (Mutiara Merak Mas)
dilepaskan. Tidak dalam serangan butiran-butiran kristal air beku,
tetapi gelombang angin bertekanan sangat kuat. Deras, tajam
dan mendecit tinggi. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
terkejut dengan perubahan seketika itu.
SSSRRRAAAKKK. Tubuh orang itu terhantam telak, terlontar satu tombak dan
membentur dinding. Pada sudut bibir orang itu mengalir cairan
merah. Samudera Kaca telah terkoyak. Orang dalam wujud
kuwad?an banija itu menjadi murka. Serta merta terjadi
17 perubahan pada diri orang itu. Tidak ada lagi rona putih yang
membalur. Tapi, biru menyala. Kekuatan Racun Maha Dewa.
Tidak dapat menutupi rasa kaget yang tiba-tiba menyentak, Ketua
Samaragrawira beringsut menyurut. "Orang ini ada di balik
terbunuhnya tiga Murid Utama Merak Mas". Ia mendapat
kepastian. Segera Ketua Samaragrawira menerapkan lambaran
ilmu hingga ke puncak kemampuan. Orang dalam wujud
kuwad?an banija itu kini yang memulai sebuah serangan.
Serangan mematikan, menusuk langsung pangkal tenggorokan.
Tidak mau menjadi korban atas serangan itu Ketua
Samaragrawira dengan Merak Mengayun 1000 Hasta dan Merak
Membuka Sirkulasi Jalan Langit. Ketua Samaragrawira bergerak
menghindar dan membalas menyerang. Perubahan telah terjadi
pada laga itu. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu terus
bergerak cepat mengurung dan mendesak. "Aku harus cepat
526 meraih penyelesaian". Tekad orang itu. Tapi, aneh ia
mengendorkan serangan, memberi keleluasaan bagi Ketua
Samaragrawira untuk menyerang dan membalas serangannya.
Sebentar saja orang itu telah terkurung dan terdesak.
"Kena! Ia terperangkap dalam L?ngs?r Gata Estu Esmu (bergeser
pergi sesungguhnya mendekat)." Membuka dan memberi
kesempatan kepada Ketua Samaragrawira mengurung dirinya.
"Sebentar lagi, buruan itu akan terperangkap". Memang, apa
yang diinginkan orang dalam wujud kuwad?an banija itu sebentar
lagi akan terjadi. Ketua Samaragrawira yang telah menjadi murka,
atas perbuatan orang itu pada tiga Murid Utama Merak Mas, terus
hanyut dalam serangan dan gempuran lewat Merak Mas
Mengamuk. Suara meyobek terdengar keras semakin keras dan
terus mengeras, seiring hati yang telah mendidih karena
kemarahan. "Sekarang!" Sebuah gempuran datang dari Ketua Samaragrawira,
dan orang itu tidak menghindar namun menerima serang itu. Ia
menerima dengan sebuah samplokan dua tangan. Dua tangan
yang biru menyala. Tangan dengan lambaran Racun Maha Dewa.
DESSS. DESSS. Merak Mas Mengamuk bertemu Racun Maha
Dewa. Bertemu dua kali, dan telah melontarkan dua orang itu
surut. Mereka tetap berdiri tegak. Orang itu berdiri dengan segaris
senyum lepas, Ketua Samaragrawira tegak dengan segaris bibir
tertahan. Orang itu ingin kembali menyerang. Menyerang Ketua Merek Mas
yang hanya dua tumbak di depannya. Tapi, segera ia urungkan.
Di luar terdengar derap kaki bergerak cepat menuju
pesanggerahan ini. Orang dalam wujud kuwad?an banija itu
justru bergerak berbalik berputar dan berkelebat keluar. Ia tidak
527 ingin berpapasan dengan mereka yang datang. Orang yang tidak
diketahui kekuatannya. 18 Selepas orang itu pergi, sejumlah orang telah bermunculan. Ki
Cutajanma, Ki Gilingwesi, Ki Antargata, Ki Gardapati, dan
beberapa murid serta dua Senopati Utama dan sejumlah prajurit.
"Adhi". Ki Cutajanma memburu Ketua Samaragrawira serta
langsung memapahnya duduk. Wajah Ketua Samaragrawira
segera menjadi pucat dan nafasnya tersendak. Empat orang tua
itu segera bergerak mengelilingi Ketua Samaragrawira dan
memberikan pertolongan. Menyalurkan tenaga dalam mereka
kepada Ketua Samaragrawira.
"Ayah...." Seorang gadis ingin segera meluncur ke orang yang
dikelilingi oleh empat orang tua. Tapi, tangan seseorang telah
menahan gadis itu dan orang itu bergerak cepat sambil
memberikan peringatan "Paman mohon hentikan upaya itu. Akan
menjadi sangat berbahaya." Kepatuhan pada peringatan itu
segera terlaksana. Empat orang tua itu menghentikan apa yang
beberapa saat mereka lakukan. Anak muda itu menggantikan
mereka. Dengan Samana Yatna yang dilambari dengan tenaga
Panchajanya, anak muda itu mengitari seluruh sumber-sumber
penghimpunan tenaga Ketua Samaragrawira. Kekuatan Racun
Maha Dewa memang telah merasuki diri Ketua Merak Mas dan
menghancurkan sejumlah sumber-sumber itu. Celakanya lagi,
penghancuran itu diperparah dengan aliran tenaga yang dengan
pengaliran tenaga empat orang tua itu. Pengaliran yang hanya
dilakukan sesaat saja. "Luar biasa pengaruh Racun Maha Dewa.
Apa yang telah dihancurkannya tidak mungkin dipulihkan. Yang
bisa aku lakukan adalah memberi perlindungan terhadap sumbersumber yang belum dihancurkan
serta membatasi ruang gerak
528 racun itu pada tubuh Paman Wira". Anak muda itu pun segera
menerapkan Warastika Sambega (Melunakkan Kristal dengan
Kasih Sayang) untuk menjinakkan Racun Maha Dewa. Ia pun
menarik sebaran Racuan Maha Dewa dan mengumpulkan
menjadi satu racun itu dan menempat di bawah ketiak Ketua
Samaragrawira. Pada saat yang sama ia membentengi sejumlah
sumber masih dapat bekerja. Menbentengi dengan tenaga yang
dialirkan dan ditempatkan melingkungi sumber-sumber itu.
Langkah terakhir, anak muda itu mengalirkan tenaga untuk
memulihkan Ketua Samaragrawira. Tiga penderesan nira, anak
muda itu bekerja. Bekerja untuk meredam Racun Maha Dewa di
dalam diri Ketua Samaragrawira.
Anak muda itu menghela nafas, sedikit lega, tetap menyalurkan
tenaganya. "Syukur Paman Samaragrawira masih dapat
tertolong, sekalipun akan kehilangan banyak kekuatannya.
Kekuatan yang telah tersimpan dalam dirinya. Mungkin setelah ini
Paman Wira tidak akan mampu memainkan empat jurus baru
temuannya". Enam penderesan nira lewat. Anak muda itu pun
meminta Maheswari mendekat. Gadis itu langsung merangkul
Ketua Samaragrawira memberikan sandaran kepada Ayahnya
yang telah terluka. Gadis itu menangis keras. Matanya merah
19 menyala memandang wanita yang bersimpuh lemah di depan tiga
gadis lain dan seorang pemuda. Wanita itu adalah Antya.
*** Malam itu prajurit pengintai yang dikirimnya melaporkan bahwa
wanita itu telah membawa seseorang ke pesanggerahan.
Seseorang dalam wujud kuwad?an banija. Ia tidak ingin bertindak
529 gegabah dan sendirian. Yang sedang dihadapi kemungkinan
adalah Wilmuka. Dedengkot masa silam. Oleh karena itu, ia pun
bergerak cepat pergi ke bukit menemui orang-orang yang berada
di sana. Orang-orang yang dapat diandalkan menghadapi
Wilmuka. Mereka adalah empat orang tua dan seorang pemuda.
Mereka sedang membimbing empat gadis mematangkan barisan
dalam empat bentuknya. Lebih dari satu pekan lalu, empat gadis
itu kembali memulai latihan. Latihan yang sebelumnya sempat
tertunda. Malam itu, mereka di sana membimbing empat gadis
pada latihan babak kedua. Latihan malam hari.
"Ada apa Nakmas Janaloka". Ki Gilingwesi bertanya.
Mendengar apa yang dikatakan anak muda itu, mereka segera
bergegas pergi. Kelompok dibagi dua. Yang muda mencari Antya,
sementara yang tua langsung bergerak ke pesanggerahan.
Tidak terlalu sulit bagi enam anak muda itu menangkap Antya.
Wanita itu terlihat sedang duduk di tempat di mana ia sebelumnya
berjanji. Sebuah gubuk di pinggir sawah sebelah utara
Perguruan. Ini semua diketahui berkat keterangan pengintai. Saat
melihat wanita itu, enam orang muda itu menyebar dan
mengendap-endap hati-hati untuk kemudian muncul tiba-tiba
mengurung wanita itu. Tentu saja, kemunculan enam anak muda
itu mengejutkan wanita itu. Ia pun berpura-pura.
"Ada apa Diajeng?" Sebuah dengusan dingin dan sinis keluar
sebagai jawaban pertanyaan itu.
"Aku ingin menangkapmu." Langsung. Tanpa basa-basi. Tidak
ada kata depan "Mbokayu". Gadis itu telah memandang wanita di
depannya sebagai "bukan siapa-siapa" lagi. Gadis itu ingat dua
anak kecil yang telah menjadi lola karena wanita itu. Sebuah
serangan telah dilancarkan gadis itu. Tentu saja, wanita itu ingin
530 melayani dan melawan gadis yang telah menyerang. Akan tetapi,
gadis itu tidak sendirian. Kekuatan mereka jauh melampaui
kekuatannya. Maka, wanita itu hanya berusaha menghindar
sambil melompat jauh mencari kesempatan angkat kaki.
Sebentar saja, gadis itu telah mengurung dan menempatkan
dirinya dalam himpitan tekanan. Jurus-jurus gadis itu tidak
sepenuhnya dikenali. Sebagian jurus Merak Mas, sebagian
bukan. Membingungkan. Tekanan-tekanan itu pun memaksa
wanita itu mempersiapkan apa yang bukan disadapnya dari
Merak Mas. Racun Maha Dewa. Ada perubahan pada dua tangan
wanita itu. Biru berpijar. Wanita itu memutuskan untuk melawan
20 dan membentur Racun Maha Dewa pada gadis itu. "Benturan ini
akan melongarkan tekanan dari gadis itu, dan barangkali dapat
melepaskan diri dari kepungan anak muda yang lain."
"HIAAAT." Wanita itu mengerahkan Racun Maha Dewa dan
segera akan memapakkan dua tangan kepada serangan gadis
itu. BUK. BUK. BUK. Dua pukulan dan satu tendangan telak bersarang di tubuh wanita
itu. Kontan, wanita itu mencelat dan terkapar. "Aneh! Saat ingin
membenturkan dua tangan, tangan itu tidak bisa terangkat.
Tenaga yang dialirkan pada dua tangan itu terputus dan terhenti.
Tangannya seketika menjadi lunglai. Ada orang yang telah
menyerangnya. Tapi, siapa?"
Tentu saja, wanita itu tidak melihat. Tidak juga orang-orang yang
ada di sana. Dari belakang, anak muda itu telah melontarkan
serangan. Serangan itu dipancarkan lewat sepasang mata, dan
seketika memutus aliran tenaga di tangan wanita itu, sehingga
tangan itu lunglai dan gagal melesakkan kekuatan Racun Maha
531 Dewa. Anak muda itu berlaku demikian karena khawatir atas
perubahan pada diri wanita itu. Perubahan sebagai isyarat, ia
akan melepaskan Racun Maha Dewa.
Menyusul serangan lewat sorotan mata itu, tiga serangan telah
mendarat telak. Tiga serangan dari gadis itu cukup untuk
melumpuhkan wanita itu. Saat itu juga, wanita itu merasakan
bahwa tanah serasa menjadi berputar dan berbalik. Wanita itu
luruh bersama segala semangat dan mimpinya. Ini adalah ujung
dari segala-galanya. Sebuah Kalawasana (Akhir Zaman) yang
menyumbat rapat semua harapan dan segala ambisi. Gontai tak
berdaya, wanita itu berjalan dengan dipaksa menuju ke
pesanggerahan. Tempat wanita itu telah mengantar seseorang
dalam wujud kuwad?an banija. Sepanjang perjalanan wanita itu
menangis dan dalam hatinya berteriak. "Kakangmas..........".
*** Wanita itu duduk bersimpuh lemah. Tubuhnya terus bergetar
karena isak tangis. Dua tangan belum dapat digerakkan. Masih
lunglai lemah. Kepala tertunduk dalam-dalam. Di tengah ruangan
itu, wanita itu merasa kesepian. Sepi terasing di tengah orangorang yang telah melihatnya sebagai
"bukan siapa-siapa". Wanita
itu tidak berani menatap orang-orang itu. Orang-orang yang
hanya dengan pandangan mata mereka. sudah memberikan
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hukuman. Hukuman bagi Duta Cara (mata-mata).
Anak muda itu telah selesai bekerja atas diri Ketua
Samaragrawira, dan meminta untuk berdiam seperti semula.
Diam beristirahat. "Sungguh biadab! Minda cebur jambuka (anjing hutan masuk ke
532 dalam kawanan kambing). Membunuh saudara dan menghianati
21 Perguruan. Tujuh kali hukuman cabut nyawa pun tidak cukup
mengganjar kebiadaban itu." Ki Gilingwesi begitu murka. Ia pun
memuntahkan gumpalan yang lama menekan dada. Gumpalan
itu tiba-tiba ada di sana, bersama munculnya wadag wanita itu.
Orang tua itu sama sekali tidak menggunakan sebuah kata
sebutan bagi wanita itu. Ki Gilingwesi pun telah memandang
wanita itu "bukan siapa-siapa".
"Ah, Kakangmas. Semua telah menutup pintu bagi diriku. Hanya
seorang yang dengan senang hati menyediakan pintunya tetap
terbuka. Terbuka lebar-lebar. Dia, Batara Yama." Dengan dua
kaki yang masih dapat digerakkan wanita itu pun beringsut sambil
bersimpuh duduk mendekat ke Ki Gilingwesi. Di tengah
perjalanan, ia tiba-tiba mencelat tinggi hingga kepala membentur
tiang kayu besar melintang penyangga pesanggerahan. Tiang
kayu hitam kuat sebesar paha orang dewasa.
PRRAKKKK. Wanita itu memasuki pintu Batara Yama. Masuk dengan kepala
pecah dan sejumlah tulang di tubuh patah karena terbanting.
Yang hadir di ruangan itu terhenyak. Apa yang dilakukan wanita
itu begitu tiba-tiba. Ruang itu kembali sunyi. Semua terdiam
dengan pandangan terpaku pada tubuh yang tergolek tidak kaku.
Segera tubuh itu disingkirkan pergi dari pesanggerahan itu.
Dua orang tiba-tiba masuk ke ruangan. Dua prajurit. Mereka
langsung diminta mendatang mendekat kepada Janaloka.
"Pangeran, wand? di tengah kota itu telah dibakar." Seorang di
antara dua prajurit itu pelan melapor. "Ia telah pergi". Janaloka
menarik nafas kecewa, dan mengizinkan dua prajurit itu undur
diri. 533 *** Ketua Samaragrawira telah membuka mata. Lemah tersandari di
dada Maheswari. Ki Gilingwesi berjongkok mendekat. Orang tua
itu menangkap dalam pandangan mata Ketua Samaragrawira,
bahwa Ketua Perguruan Merak Mas ingin mengatakan sesuatu.
Ia pun berdiri dan meminta sejumlah orang tetap tinggal dan
sebagian lain untuk pergi.
"Aku sama sekali tidak dapat mengenali siapa orang itu."
Sekalipun telah sekuat tenaga mencari pada ingatannya wajah
orang dalam wujud kuwad?an banija, pada akhinya lirih Ketua
Samaragrawira mengatakan akhir dari pencarian itu. "Akan tetapi,
aku mengenali dengan pasti dua ciri pada orang itu. Kecuali ciri
Racun Maha Dewa, aku pun melihat orang itu menyimpan
lambaran, yang beberapa kali aku lihat dalam latihan, ada pada
Gendhuk Kanistha. Carmi Samudra (Samudera Kaca)." Ki
Gardapati, Kanistha, Ki Antargata dan Arga menjadi sangat
terkejut. Sekalipun demikian, tidak seorang pun pada ruangan itu
dapat mengerti, siapa sesungguhnya orang dalam wujud
kuwad?an banija. Orang yang memiliki Samudera Kaca sekaligus
Racun Maha Dewa. Dua bentuk ilmu dari masa lampau.
22 Keadaan di Perguruan Merak Mas telah mereda. Tidak ingin lebih
membebani, Ki Gilingwesi meminta kepada Maheswari untuk
membawa beristirahat Ketua Samaragrawira yang telah terluka.
Yang masih tertinggal meneruskan pembicaraan. Pembicaraan
untuk menyatakan sikap yang lebih waspada. Tidak lama itu
berlangsung. Mereka pun pergi meninggalkan pesanggerahan.
Pergi dengan pertanyaan terbuka: Siapa pemilik Samudera Kaca
sekaligus Racun Maha Dewa. Pemilik yang dalam wujud
534 kuwad?an banija telah membuat Samaragrawira Raja Tatu (Luka
Parah Samaragrawira). *** Sesaat setelah melarikan diri dari pesanggerahan, orang dalam
wujud kuwad?an banija itu pergi ke tempat wanita itu menunggu.
Sebuah gubuk di pinggir sawah sebelah utara. Sesuai janji, ia
akan membawa serta wanita itu bersama. Di tempat itu, ia melihat
dua wanita sedang bergebrak. Wanita yang dikenalnya terlihat
terkurung dan terdesak. Ia ingin turun membantu. Akan tetapi
segera urung, ada dua pemuda dan tiga gadis lain. Lima anak
muda yang diam saja namun sigap berjaga. Ia gelisah melihat
apa yang terjadi pada wanita itu. "Ayo Diajeng gunakan racun itu".
Teriak orang itu dalam hati. Sebentar kemudian, ia pun
tersenyum. Tersenyum melihat perubahan pada wanita yang
dikenalnya. "Nasibnya itu akan sama dengan Samaragrawira."
Wajah orang itu tampak senang. Tapi itu hanya sesaat.
"Apa!" Jelas orang itu melihat selarik sinar merah dari arah
seorang anak muda di sana. Pemuda itu berada di belakang
wanita yang dikenalnya. Sinar itu cepat dan deras menusuk
membatalkan serangan Racun Maha Dewa. Tidak ada gerakan
yang ia lihat pada anak muda itu. "Bagaimana anak muda itu
melakukannya" Darimana serangan itu berasal" Ia sama sekali
tidak bergerak." Kecemasan melanda dirinya. Cemas akan dua
hal. Pertama, cemas atas nasib wanita itu. Wanita yang telah
bersama dirinya selama lima tahun. Kedua, cemas terhadap
kekuatan anak muda yang telah melontarkan sesuatu, dengan
cara yang tidak diketahuinya. Berbekal dua kecemasan itu, orang
535 dalam wujud kuwad?an banija itu pergi meninggalkan tempat itu.
Pergi untuk meninggalkan suatu kemungkinan yang tidak
diinginkannya. Cepat ia berkelabat menuju tengah kota, langsung
masuk ke wand? lalu menumpuk sejumlah besar kain dan
membakarnya. Sejenak berdiri di depan api yang membesar
membakar isi wand? , orang itu pun menyelinap pergi. Pergi
menghilang dari Tembelang. Ia akan keluar dari Tembelang untuk
menghadiri suatu pertemuan di sebuah bukit dekat padepokan.
Padepokan yang asri. Pertemuan dua pekan ke depan.
*** Satu pekan berlalu sejak dua peristiwa terlukanya Ketua
23 Samaragrawira bersamaan dengan terbakarnya sebuah wand? di
tengah Kota Tembelang. Dua peristiwa itu telah menjadi
pembicaraan utama di Tembelang. Sejumlah prajurit sering
tampak berkeliling di tengah kota. Memastikan keamanan kota
dengan penjagaan dan kesiapsiagaan. Penjagaan itu telah
melegakan penduduk kota. Dua orang telah muncul di
Tembelang. Mereka datang dari luar kota. Datang ke Tembelang
untuk menyambangi Perguruan Merak Mas.
Dua orang itu telah berada di Perguruan Merak Mas. Berada di
antara delapan murid Perguruan itu yang berjaga dan bersiaga.
"Maaf, ada kepentingan apa Paman dan Ki Sanak datang ke
Merak Mas". Suara itu kental dengan kecurigaan dan
kewaspadaan, langsung pada intinya: kepentingan.
"Kami berkunjung ke Perguruan ini mencari Saudaraku, Ki
Gardapati yang beberapa purnama lalu berkunjung ke sini dan
belum juga kembali. Ia datang bersama dengan empat orang
536 lain." Pimpinan murid Merak Mas itu berkerut dan memberi suatu
isyarat. Dua orang murid seketika telah bergegas pergi.
"Silahkan Paman menunggu. Kami akan memastikan hal itu."
Tidak lama kemudian, muncul seorang gadis didampingi dua
murid yang tadi telah bergegas pergi. Gadis itu adalah Kanistha.
"Paman Gardagarjita dan Kakang Labdajaya". Gadis itu melonjak
dan menyongsong dua orang itu.
"Kanistha". Serentak dua orang itu membalas.
Gadis itu pun mengiring dua orang itu masuk ke Perguruan Merak
Mas. Mengantar mereka untuk bertemu dengan Ki Gardapati,
Arga dan Ki Antargata dan Puteri Rajni. Empat orang lain yang
telah berada di Merak Mas dan dikenal oleh dua orang itu. Di
depan sebuah bilik, yakni bilik Ki Antargata, empat orang itu
berkumpul. Bersama mereka juga ada orang dari Bukit Suci dan
Ki Gilingwesi. Ki Gardapati segera mengambil alih pembicaraan
untuk mempemperkenalkan masing-masing orang yang baru saat
itu bertemu. "Kami berdua telah diizinkan oleh Pangeran Abhinaya menyusul
ke Perguruan Merak Mas. Hanya saja satu dua pekan kemudian,
Pangeran berpesan agar segera kembali." Sedikit kecewa Ki
Gardagarjita mengatakan batasan waktu kepergiannya.
"Apakah Eyang Kawiswara baik-baik saja, Paman?" Arga
bertanya tentang keadaan orang tua itu. Menjawab pertanyaan
anak muda itu, Ki Gardagarjita menceritakan keadaan Eyang
Kawiswara. Beliau dalam keadaan baik dan selama ini telah
beberapa kali melakukan perjalanan.
"Bagaimana dengan keadaan kalian". Ki Gardagarjita balas
bertanya. Ki Gardapati tampil sebagai juru bicara dan dengan
sangat bersemangat mengatakan apa yang dialami beberapa
537 purnama ini di Merak Mas. Termasuk juga kejadian-kejadian yang
24 telah menggemparkan. "Ah, itu yang telah terjadi. Pantas sepanjang memasuki Kota
Tembelang dan Peguruan ini aku melihat penjagaan di sejumlah
tempat. Penjagaan dari prajurit dan murid-murid Merak Mas." Ki
Gardagarjita mengatakan suatu kesan. Kesan bahwa Tembelang
sedang terancam keamanannya. Kesan itu memperlihatkan
kepekaannya sebagai seorang Senopati Utama. Seorang
Senopati Utama yang sudah menjadi tua.
"Labdajaya, agaknya kita tidak akan segera kembali ke
padepokan. Biar nanti akan aku jelaskan kepada Pangeran
alasan kita tidak kembali seperti yang dipesan." Panggilan
seorang prajurit masih kental membara. Tampil ke muka untuk
melindungi salah satu wilayah Bhumi Mataram.
"Sungguh Guru, kita tidak segera kembali ke padepokan
Chandrakapala......" Ki Gilingwesi dan Ki Cutajanma tersentak
kaget mendengar sebuah nama disebut. Wajah mereka berubah
mengeras. Arga menangkap perubahan itu, dan tampil bicara.
"Paman Gilingwesi dan Paman Cutajanma, Chandrakapala yang
dikatakan oleh Kakang Labdajaya sama sekali tidak berhubungan
dengan sejumlah kegemparan yang terjadi di Bhumi Mataram.
Chandrakapala itu adalah sebuah padepokan di mana Ki
Gardapati, Bibi Kanista dan diriku menjadi bagian dari padepokan
itu. Padepokan itu dibangun oleh Eyang Kawiswara atas dasar
suatu ikatan yang tidak dibelenggu oleh wangsa, keyakinan dan
kekuasaan." Arga membuka penjelasan mengenai padepokan
Chandrakapala. Penjelasan anak muda itu kemudian diteruskan
oleh Ki Gardapati. "Apa! Engg?r Arga tampil sebagai Ascarya (Pemimpin) dari
538 Chandrakapala." Dua wajah yang beberapa saat lalu mengeras
telah berubah. Berubah oleh raut kegembiraan yang tegas
membayang. Kegembiraan manakala Ki Gardapati
mengungkapkan bahwa Arga telah dipilih sebagai Chandrakapala
Ascarya. Mereka berkumpul di tempat itu hingga petang. Ki Gilingwesi, Ki
Cutajanma dan Arga pamit. Mereka mohon diri untuk menjenguk
Ketua Samaragrawira yang masih dalam perawatan sejak
menderita luka Racun Maha Dewa satu pekan lalu. Sejak hari itu,
Ki Gardagarjita dan Labdajaya berkumpul kembali dengan Ki
Gardapati dan Kanistha. Mereka sementara menetap pada
Perguruan Merak Mas di Kota Tembelang memenuhi panggilan
seorang satria. Menjaga dan mengamankan Bhumi Mataram.
*** Di sebuah bukit. Tidak jauh dari sebuah padepokan. Padepokan
yang dikelilingi oleh lebatnya pohon-pohon bambu. Setiap saat
pohon itu membentuk alunan suara riuh, saat daun-daunnya
tertiup angin. Di atas bukit di sebelah timur padepokan, telah
didirikan sebuah motha (kemah) besar yang biasa digunakan oleh
prajurit. Di dalam kemah itu telah berkumpul sekitar dua puluh
25 orang. Tampak di dalam kemah itu, orang tua bermuka pucat di
seputarnya telah hadir empat Wilmuka, seorang berpakaian
pendeta, seorang pejabat utama, dan seorangan yang sangat
istimewa, Penguasa Watugaluh, Pangeran Sikara. Dua belas
orang yang tersisa adalah empat Senopati Utama Watugaluh dan
delapan Senopati Utama dari pulau seberang, Suaranadwipa.
"Baik, kita akan memulai pertemuan ini". Orang tua bermuka
539 pucat itu menyatakan kehendaknya. Akan tetapi, sesaat
kehendak itu tertunda karena Muka Iblis menginginkan kehadiran
seorang dalam wujud kuwad?an banija hadir juga pada
pertemuan itu. Hadir sebagaimana dijanjikan pada pertemuan
mereka sebelumnya di sebuah wand? di tengah kota Tembelang.
"Seperti biasa pedagang itu selalu minta ditunggu. Sampai kapan
kita harus menunggu". Wilmuka dengan tombak pendek lirih
menyatakan keberatannya. "Pedagang macam apa" Guru apakah kita harus menunggu
orang itu" Seperti kata Paman Guru sampai kapan kita harus
menunggu." Dengan pertanyaan itu Pangeran Sikara telah
mendesak orang tua bermuka pucat itu memulai pertemuan itu.
Segera orang tua itu pun menyampaikan rencananya. Rencana
berdasarkan keterangan terbaru yang didapatkannya.
*** "Tembelang harus ada digenggaman. Tembelang adalah
kekuatan kunci Bhumi Mataram di bagian timur. Kekuatan itu kini
masih berada di tangan Samaragrawira. Akan tetapi tidak lebih
dari dua purnama ke depan, kekuatan itu akan beralih ke tangan
kita. Dengan menguasai Tembelang berarti kita telah menguasai
Yawadw?pa di bagian timur. Menguasai sepenuhnya. Demikian
pada kita ada tiga kekuatan: Kambang Putih, Watugaluh dan
Tembelang. Berpijak pada tiga kekuatan itu, sangat mudah bagi
kita bergerak menguasai Carangsoka dan terus ke barat dan
selatan. Sekali lagi, Tembelang merupakan anak tangga pertama
untuk Wangsa Syailendra yang murni kembali ke tahta.Syailendra
540 yang mulia." Senyum puas membayang di muka keriput dan putih
pucat orang tua itu. "Mulai dengan dua pekan ke depan, lima ribu prajurit sudah harus
berada di Pegunungan Kendeng. Lima hingga enam ratus prajurit
sudah harus masuk menyebar di antara pemukiman penduduk di
pinggir Kota Tembelang. Menyebar dengan berbagai
penyamaran. Aku akan meminta orang dalam wujud kuwad?an
banija untuk mempersiapkan hal ini." Orang tua bermuka pucat itu
telah mempersiap jalan untuk menyebar kekuatan di sekitar
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tembelang jauh sebelum penyerangan atas kota itu diwujudkan.
Kata "aku akan meminta", sebenarnya sudah tidak diperlukan
oleh orang tua bermuka pucat. Sebab, semalam ia telah bertemu
dengan orang dalam wujud kuwad?an banija. Orang itu justru
26 mengatakan telah mempersiapkan sejumlah tempat di
pemukiman sekitar Tembelang untuk menempatkan prajuritprajurit dalam penyamaran. Di
antaranya, penyamaran sebagai
ahli dan buruh bangunan, pengrajin tikar dan kebutuhan rumah
tangga lain. Ia akan datang ke Pengunungan Kendeng untuk
memberikan pembekalan keahlian pada prajurit sesuai dengan
peran yang akan masing-masing mainkan.
"Lalu, aku minta Pendeta Hong Mei membawa seratus orang
prajurit dalam bentuk pendeta-pendeta Buddha. Menyamarkan
prajurit-prajurit sebagai kumpulan pendeta-pendeta. Aku akan
mengatur mereka bisa tinggal di kuil-kuil Buddha yang tersebar di
Tembelang. Seratus prajurit sebagai pendeta itu masuk dalam
beberapa kelompok, tidak serentak dan untuk itu Pendeta Hong
Mei yang mengaturnya. Juga mengatur bagaimana seorang
pendeta Buddha itu bersikap dan berperilaku. Mengajarkan sikap
dan kebiasaan pendeta kepada prajurit sebelum menjalani
541 penyamaran dan masuk ke Kota Tembelang." Orang tua itu
sungguh pandai memanfaatkan orang-orangnya. Mengubah
prajurit menjadi pendeta dan menyusupkan ke Tembelang,
sangat luar biasa. "Anakku dan delapan Senopati Prajurit akan bertanggungjawab
mendudukkan prajurit-prajurit di Pengunungan Kendeng.
Bagaimana prajurit-prajurit itu ditempatkan hendaknya menjadi
perhatian, agar tidak begitu saja tercium oleh kekuatan
Tembelang. Latihan perang dengan memakai pengenalan
prajurit-prajurit Bhumi Mataram dari Carangsoka dan Watugaluh,
adalah hal terbaik untuk menutupi keberadaan prajurit-prajurit di
Pengunungan itu. Pengunungan yang masih berada di bawah
Carangsoka yang tidak jauh dari Kambang Putih." Orang tua
bermuka pucat itu mengatakan cara menutup keberadaan prajurit
di Pengunungan Kendeng dengan Gelar Latihan Perang.
"Prajurit-prajurit di Pengunungan Kendeng harus dalam keadaan
siap siaga untuk bergerak ke Tembelang. Setiap saat siap untuk
segera bergerak setelah menerima pesan. Tentang jalur yang
harus ditempuh oleh prajurit bergerak ke Tembelang, silahkan
tentukan sesuai dengan keadaan. Tiga hari adalah waktu paling
lama yang ditetapkan bagi prajurit itu mencapai Tembelang."
Target waktu untuk tiba pada sasaran telah ditetapkan oleh orang
tua bermuka pucat itu. Paling lama Tiga hari.
"Nakmas Sikara, aku minta engkau membawa dua ribu pasukan
Watugaluh ke Tembelang tiga pekan ke depan. Untuk meminta
pertanggungjawaban Penguasa di sana atas peristiwa di Gunung
Welirang. Saat itu prajurit pelapis di Pengunungan Kendeng
sudah siap sepenuhnya. Begitu juga sejumlah prajurit sudah
disusupkan ke sekitar Tembelang setiap saat dapat menjadi Bindi
542 Bretya (Prajurit Pemukul) yang bergerak cepat. Dengan dua ribu
27 prajurit ditambah dengan pasukan pemukul dalam penyamaran di
sekitar Tembelang, Nakmas bisa bertahan hingga empat lima
hari. Waktu yang cukup bagi prajurit di Pengunungan Kendeng
untuk kemudian memberikan bantuannya." Suatu persiapan
matang, termasuk terhadap kemungkinan terjadinya perang
terbuka antara Prajurit Watugaluh dan Tembelang pada saat
Penguasa Watugaluh meminta sebuah pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban yang tidak pada tempatnya. Hanya sebuah
siasat untuk menyerang Tembelang.
"Itulah rencana utama pengerahan kekuatan ke Tembelang.
Untuk langkah-langkah yang lebih rinci silahkan mengatur sendiri.
Tapi, ingat setiap perubahan yang mungkin harus
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
dilakukan, segera mengatakan perubahan kepada diriku." Kecermatan orang
tua bermuka pucat itu memang luar biasa. Ia meminta laporan
atas setiap kemungkinan terjadinya perubahan.
"Tentang bagaimana pesan itu akan disampaikan, aku telah
mengatur. Pesan itu akan dibawa oleh orang yang memiliki ciri
istimewa. Ciri diriku: Lencana berukir seekor naga dengan cakar
kiri menggenggam sebuah bola. Bola simbol semesta." Ini
merupakan penjelasan terakhir dari orang tua itu mengenai
rencana terakhir atas Tembelang. Rencana Sempurna atas
Tembelang. Tembelang Paripurna Rancana.
Sesudah mengatakan itu semua, orang tua bermuka pucat itu
memberi kesempatan kepada orang-orang di sana
menyampaikan pertimbangan masing-masing. Alih-alih
menyampaikan pertimbangan, Pangeran Sikara mengutarakan
apa yang menjadi tekadnya. Ambisi. Kehendak untuk tampil
berkuasa. Berkuasa di atas Bhumi Mataram. "Dengan apa yang
543 telah dicapainya saat ini, agaknya ia merasa masih belum
selesai. Duduk berkuasa di Watuhgaluh, tidak juga memuaskan
dahaga untuk lebih berkuasa. Anak harimau yang baik untuk
tetap dipelihara. Hingga pada waktunya, akan aku serahkan pada
penyamak kulit untuk diambil kulitnya". Orang tua itu memberi
catatan terhadap Penguasa Watugaluh itu.
"Kakangmas Pangeran, bagaimana dengan kuwad?an banija
itu?" Muka Iblis bertanya.
"Aku akan segera mengatur pertemuan dengan dirinya. Apa
disampaikan pada pertemuan akan aku katakan kepadanya. Lalu,
aku memintanya bergerak sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan pada pertemuan ini. Ia orang yang mudah melihat
penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan menurut caranya."
Orang tua bermuka pucat ini teringat pertemuannya dengan
kuwad?an banija itu semalam. Kuwad?an banija itu telah
mengatakan apa yang dilakukan di Tembelang, dan saat ini telah
melakukan penyesuaian atas rencana ke depan.
"Kepada Adhi dan Nimas, kalian berempat mulai sekarang
bersama-sama diriku. Kita akan membayang-bayangi Tembelang
dan Merak Mas. Mungkin saat di kota dan perguruan itu,
sejumlah hal akan diwujudkan untuk membelah perhatian dan
kekuatan Tembelang." Kegembiraan terpancar pada wajah
Wilmuka itu. "Akhirnya, Kakangmas Pangeran memberi ruang
untuk bermain. Permainan yang sudah lama tidak aku nikmati".
Wajah Ibils bersemangat. Setelah tidak ada lagi yang ingin dikatakan, mereka pun pergi ke
tempat masing-masing. Pangeran Sikara kembali ke Watugaluh
bersama dengan empat Senopati Utama, Pendeta negeri
seberang dan orang berpakaian pejabat Poh Pitu bersama
1 544 delapan Senopati ke Kambang Putih. Lima orang masih tinggal di
kemah. Orang tua bermuka pucat dan empat Wilmuka. Lima
orang itu pun tidak lama berdiam di kemah. Setelah membakar
musnah kemah itu, lima orang itu pun meninggalkan bukit itu
menuju ke sebuah padepokan. Padepokan yang asri.
*** Di padepokan yang asri. Pada malam sebelumnya, dua orang
telah berbicara. Berbicara mengenai sebuah rencana. Rencana
besar terhadap Tembelang. Rencana yang akan dikatakan besok
dalam sebuah pertemuan di atas bukit dekat padepokan itu.
"Guru, pada pertemuan besok aku sebaiknya tidak menampakkan
diri. Biarkan diriku tetap samar dan sembunyi. Hanya Guru
seorang yang kini mengenal diriku". Orang itu mengatakan
demikian, karena seorang lain yang mengenal dirinya telah
masuk jauh untuk tinggal bersama Batara Yama yang telah
membukakan pintu selebar-lebarnya.
"Nakmas, aku pun berpikir demikian." orang tua itu setuju dengan
apa yang dikatakan orang itu.
"Aku akan mengatakan apa yang telah terjadi di Tembelang. Tiga
dari Tujuh Murid Utama Merak Mas telah terbunuh. Sementara,
Samaragrawira pun telah terluka. Terluka parah. Itu semua terjadi
karena Racun Maha Dewa." Orang tua itu tersenyum puas. Apa
yang telah diturunkan pada orang itu telah menjadi bagian dari
penyelesaian rencananya. "Apa yang telah terjadi dengan orang-orang itu". Orang yang
ditanya tidak segera menjawab. Pikirannya terpaku dengan orang
yang telah bersamanya selama lima tahun. Bersama sejak
bertemu di Watugaluh. Orang itu terdiam lama.
545 *** Beberapa purnama lalu, di tengah kota Tembelang. Dua orang
baru saja melepaskan paripurna bersama.
"Diajeng, Kakangmas minta Diajeng mengajak orang-orang yang
Kakangmas inginkan ke hutan jati di antara Tembelang dan
Wwatan." Dengan sengang hati wanita yang dipanggil Diajeng itu
memenuhi permintaan Kakangmas. Satu pekan kemudian, wanita
itu membawa tiga orang bersamanya memasuki hutan jati itu.
Mereka berencana pergi ke Wwatan dengan berkuda. Di hutan
jati itu, Kakangmas telah menunggu dan mencegat empat orang
yang berkuda hendak ke Wwatan.
"Siapakah Ki Sanak dan mengapa menghalangi perjalanan kami".
Tanya salah satu laki-laki dari atas kuda di samping Diajeng.
"Bukan siapa-siapa. Mengapa" Sangat sederhana. Aku tidak
akan membiarkan kalian ke Wwatan. Aku justru akan mengantar
kalian kepada Batara Yama." Sungguh sangat sederhana. Tiga
orang di atas kuda, dua laki-laki dan seorang wanita, sangat
terkejut dengan kata-kata sederhana dari orang itu.
2 "Apa maksudmu Ki Sanak". Kembali orang di atas kuda itu
bertanya. "Turunlah dari kuda, mari ke mari biar cepat aku mengantar kalian
bertemu Batara Yama". Orang itu menginginkan kematian. Empat
orang itu pun turun dari kuda. Bersiap-siap. Dua laki-laki maju ke
depan, dan meminta dua wanita yang bersamanya menyingkir.
Orang itu pun telah bergerak, menyerang dua orang yang baru
turun dari kuda. Melihat orang itu telah bergerak menyerang dua
orang itu pun cepat berkelit menghindar. Tiga orang terlibat laga
di sebuah hutan jati. Tapi, laga itu tidak berlangsung lama. Telah
546 terjadi perubahan pada orang itu, perubahan pada dua
tangannya. Biru menyala. Dalam sebuah gebrakan, ia membiarkan dirinya menerima
serang dari dua orang berkuda. Dua orang yang sudah terukur
kekuatannya. Kekuatan itu tidak akan mengoyak ilmu mustika
kacanya. Pada saat serangan dua orang itu telak mengena
tubuhnya, ia pun menghantamkan dua telapak pada dada dua
orang itu. Dua orang itu pun terlontar dengan dada membiru
terluka. Terluka pada dada kiri dan kanan dengan jejak sebuah
tapak tangan. Seorang wanita di tepi laga, berteriak histeris menyaksikan dua
orang yang bersamanya telah roboh tidak bernyawa. Teriakan
terhenti seketika. PLLAAKKK. Sebuah pukulan tepat mengena kepala wanita itu. Pukulan dari
samping. Dilancarkan oleh wanita di sisinya. Wanita yang
bersamanya. "Terimalah ajalmu, Mbokayu. Terima ganjaranmu. Ganjaran atas
prakarsa menaruh belenggu pada diriku. Belenggu itu sudah tiga
tahun membebani dan mencekik leherku". Wanita itu tersenyum
sangat puas. melihat wanita yang dihantamnya tergolek. Tak
bernyawa dalam seketika. "Diajeng, tiga orang itu Diajeng bawa pulang". Orang itu pun
mengatakan sebuah rencana. Ia menyaksikan bagaimana wanita
itu melukai pundaknya sendiri. Melukai dengan kekuatan yang
telah membunuh wanita lain yang dihantamnya. Sesuai rencana,
wanita itu membiarkan Kakangmasnya pergi dan ia pun siap
memainkan peran sesuai dengan rencana. Pada akhirnya,
rencana itu berujung, yang kemudian diketahuinya juga, telah
547 mengantar wanita itu memasuki pintu Batara Yama. Pintu yang
terbuka lebar bagi wanita itu di malam Samaragrawira terluka.
*** "Sudahlah, apabila Nakmas tidak ingin mengatakan apa yang
terjadi pada orang-orang. Mari kita bicarakan apa yang hendak
disampaikan pada pertemuan esok hari." Orang tua itu pada
akhirnya berkata, setelah membiarkan orang yang bersamanya
3 terdiam beberapa lama. Lalu, orang itu pun mengatakan
rencananya. Sejumlah prajurit harus segera disusupkan di sekitar
Tembelang. Untuk itu, ia telah mempersiapkan sejumlah tempat
di pemukiman sekitar Tembelang. Ia mengusulkan untuk
menyusupkan prajurit-prajurit dalam penyamaran sebagai ahli
dan buruh bangunan, pengrajin tikar dan kebutuhan rumah
tangga lain. Ia pun mengatakan akan menyiapkan pembekalan
atas keahlian prajurit sesuai peran masing-masing. Di luar itu,
penyusupan prajurit juga dapat dilakukan dengan penyamaran
sebagai pendeta-pendeta Buddha. "Luar biasa. Siasat yang
sangat cerdas". Anak ini memang sungguh berbakat dalam
menyusun suatu siasat. Siasat yang sempurna.
Menjelang tengah malam pertemuan dua orang itu berakhir.
Orang tua itu mencatat cermat pertimbangan yang telah
diutarakan kepadanya.Sebelum pergi, orang itu mengatakan
sesuatu yang masih tertinggal. "Guru, seperti yang dikatakan oleh
seorang Paman Guru, anak muda di Tembelang itu sepantasnya
diwaspadai. Anak muda itu mampu melontarkan suatu serangan
tanpa aku tahu bagaimana itu dilakukan. Anak muda yang
berbahaya bagi rencana kita." Setelah itu, terlihat seorang dalam
548 wujud kuwad?an banija bergerak cepat meninggalkan sebuah
padepokan. Sebuah padepokan yang asri. Meninggalkan orang
tua bermuka pucat dengan wajah yang menyimpan sesuatu.
Sesuatu atas diri anak muda yang dimaksudkan oleh orang
dalam wujud kuwad?an banija,
*** Arga rutin mengunjungi sebuah bilik. Sudah dua pekan. Bilik itu
adalah tempat Ketua Samaragrawira dirawat sejak menderita luka
Racun Maha Dewa. Rutin dua hari sekali, Arga menyalurkan
Samana Yatna kepada Ketua Merak Mas. Anak muda itu terus
berupaya memperkuat perlindungan sumber-sumber
penghimpunan tenaga orang tua itu. Sumber-sumber yang masih
bisa bekerja, belum dihancurkan oleh Racun Maha Dewa. Di bilik
itu, Arga ditemani oleh Maheswari dan Ki Gilingwesi. Mereka
berdua menyaksikan apa yang dilakukan anak muda itu. Dari
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
awal hingga selesai. "Sekalipun sudah cukup terlindungi, Paman Wira tidak boleh
memaksakan diri mengerahkan tenaga, apalagi pengerahan
tenaga dari sumber-sumber, yang sekalipun masih bekerja
namun sebagian telah dirusak oleh Racun Maha Dewa. Hal itu
akan kembali menyebarkan racun itu. Penyebaran itu akan
sangat berbahaya dari sebelumnya. Karena, saat ini Paman Wira
tidak sekuat sebelumnya." Ki Gilingwesi dengan seksama
mendengarkan penjelasan Arga sesaat ia menyelesaikan
pekerjaannya terhadap Ketua Samaragrawira. Setelah itu ia pun
beranjak pergi. Maheswari bersama dengan dirinya. Hubungan
mereka menjadi cair. Kembali seperti delapan tahun silam. Hanya
549 4 saja ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang selalu mereka rasakan
setiap kali bersama. "Arga, ayo ikut aku pergi ke suatu tempat. Tempat di mana aku
dan Paman Gilingwesi dahulu sering menangkap terw?lu (kelinci
liar)." Dengan senang hati anak muda itu menerima tawaran itu.
Dua anak muda itu pun berjalan ke arah barat menuju sebuah
hutan kecil yang cukup lebat tidak jauh dari sebuah bukit. Dalam
dua penderesan nira, mereka tiba di kaki bukit itu. Delapan tahun
lalu, ia telah kehilangan Karkasa Bayu, kuda kesayangan Paman
Wira, di bukit itu. Peristiwa itu menjadi awal kepergiannya dari
Perguruan Merak Mas. "Puteri, di sisi sebelah selatan kaki bukit
ini, pada sebuah tanah lapang, aku membawa Karkasa Bayu.
Nasib malang telah menimpa kuda itu. Sebuah pagutan ular
berbisa telah menewaskannya. Ah, kasihan! Tapi, lebih kasihan
lagi orang yang telah membawa kuda itu, ia dipukul babak belur
oleh......" Sebuah cubitan telah mampir di lambung kanan Arga.
Serta merta anak muda itu menangkap tangan itu. Seketika itu
juga ia memandang wajah pemilik tangan itu. Sesaat dua pasang
mata telah saling menatap. Lalu, sepasang mata telah tertunduk.
Anak muda itu pun mengeser sedikit berdiri tetap di hadapan
gadis. Tangan kirinya bergerak mengangkat dahu gadis itu, agar
ia dapat menatap penuh wajah gadis itu. Wajah yang sudah
dikenalnya sejak kecil. Wajah itu sepunuhnya sudah sangat
berbeda. Tidak tahu bagaimana awalnya, telah mencium bibir
gadis itu. Tanpa ragu, gadis itu membalas. Mengikuti dorongan
hasrat yang terus berpijar saat bersama dengan anak muda itu.
Dalam keadaan bibir yang masih melekat, gadis itu merendahkan
diri, terus bergerak pelan merendah hingga punggung menyentuh
rumput di kaki bukit itu. Gadis itu telah memasrahkan dirinya.
550 Sambil berbaring di atas rumput, Lama, Arga mencium bibir gadis
yang berbaring tertindih tepat di bawahnya. Cium yang berbalas.
Penuh kelembutan dan kehendak bebas. Ciuman itu lembut
dihentikan oleh anak muda itu, karena ia mengenali gerakan yang
halus. Gerakan istimewa, "Ada orang yang datang". Bibir itu mengeluarkan suara dengan
jarak yang begitu dekat dengan bibir lainnya. Ia pun mengajak
gadis itu perlahan menyingkir. Gadis itu terdiam. Memikirkan apa
yang baru saja berlalu. Sebuah ciuman telah ia lepaskan, dengan
kehendak bebas. Ciuman pertama. Hatinya penuh dengan
perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Swargaloka
Swasana (Suasana Surga). Mereka menyingkir di balik semak
rimbun, cukup jauh dari jalan menuju atau meninggalkan hutan di
lereng bukit. Benar saja, lima orang terlihat bergerak sangat ringan menuruni
bukit. Bukan gerakan orang kebanyakan. Mereka adalah lima
orang tua. Anak muda itu tidak percaya atas apa yang dilihat. Ia
melihat empat orang tua yang telah dikenalnya. Bahkan, satu dari
5 empat orang tua itu sangat ia dikenal. Sunguh tidak dapat
dipercaya. Tidak berapa lama lima orang tua itu telah melewati
semak. Sebelum mereka melewati semak itu, Arga telah memberi
isyarat kepada gadis di sisinya diam sempurna. Setelah beberapa
lama, Arga bersama dengan gadis itu keluar dari persembunyian.
Keluar dan mengajak gadis itu meninggalkan bukit untuk kembali
ke Perguruan Merak Mas. Dua anak muda itu beranjak pergi dengan dua perasaan yang
berbeda. Gadis itu membawa serta perasaan yang terus
tertinggal di hatinya. Perasaan Suasana Surga. Sementara, anak
muda itu pergi dengan perasaan tidak percaya. Tidak percaya
551 bahwa seorang yang sangat dikenalnya berada di antara
Wilmuka. *** Satu purnama telah lewat sejak peristiwa di pesanggerahan yang
telah melukai Ketua Samaragrawira. Kondisi Ketua itu telah
membaik, sekalipun sebagian besar kekuatannya telah sirna.
Sejak terluka, Ketua Samaragrawira tidak mungkin menjalani apa
yang sebelumnya ia lakukan di pesanggerahan. Mendalami jurusjurus Merak Mas. Keadaan telah
menghentikan kegiatan itu. Oleh
karena itu, Ketua Samaragrawira lebih banyak menghabiskan
waktu di Istana. Mengurus dan memerintah kembali Kota
Tembelang. Menjelang siang, Arga telah berjalan bersama-sama Ki
Gardagarjita dan Labdajaya. Mereka tampak terus menapak jalan
menanjak dan berliku di punggung bukit. Ia ingin menunjukkan
kepada dua orang itu bagaimana Kanistha berlatih bersama tiga
gadis lain. Berlatih barisan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur
(Empat Barisan Pedang Bianglala). Tiga orang itu berjalan
perlahan melewati beberapa semak dan pohon-pohon yang
benyak tumbuh di jalur menuju bukit itu. Hanya empat belokan
melingkar mereka akan tiba di sebuah tanah lapang pada bukit
itu. Tanah lapang yang biasa digunakan berlatih.
Di antara semak-semak, lima pasang mata mengawasi tiga orang
itu. "Orang itu tidak juga kembali ke padepokan. Padahal, aku
hanya mengizinkan untuk meninggalkan padepokan selama satu
dua pekan. Kini tiga pekan sudah, terhitung ia meninggalkan
padepokan. Ah, suatu kesalahan kecil telah aku buat. Aku telah
552 melupakan bahwa dirinya adalah seorang prajurit. Senopati
Utama, dua puluh tahun silam. Panggilan jiwa prajurit itu belum
juga padam. Panggilan jiwa yang langsung menyala saat Bhumi
Mataram terancam." Orang tua bermuka pucat itu mengakui
kesalahan kecil yang telah ia buat. Bagaimana pun keberadaan
orang itu di Tembelang telah memberi kekuatan tambahan bagi
kota itu. "Anak muda itu jejak Abhinaya. Begitu juga dengan dua orang
6 yang bersamanya, berasal dari padepokan Abhinaya". Sebuah
jerat dipasang dalam perkataan orang tua bermuka pucat. Jerat
yang langsung mengena pada sasarannya. Orang tua dengan
tombak pendek langsung melesat dalam semak-semak keluar
dari persembunyian. Tiga orang lain ingin menyusul, tapi
dihalang-halangi oleh orang tua bermuka pucat itu. "Biarkan Adhi
Wajra Sasmaka Kunta yang turun tangan. Kita lihat
perkembangan selanjutnya." Orang tua bermuka pucat itu
mencegah, agar jeratnya tidak mengena pada sasaran yang tidak
diinginkannya. "Berhenti!" Sebuah bentakan meledak dari arah belakang. Tiga
orang itu pun berhenti. Ki Gardagarjita dan Arga kaget. Anak
muda kaget bahwa seorang yang dikenal telah bersama dengan
tiga Wilmuka muncul di hadapannya. Ia menjadi khawatir akan
yang lainnya. Karena kemunculan orang tua itu berada tidak jauh
dari tempat empat gadis berlatih. "Wajra Sasmaka Kunta". Lirih
bisik Ki Gardagarjita. "Aku menginginkan sebuah penebusan. Penebusan pada dua
puluh tahun silam atas dua orang sekaligus. Dua Saudaraku. Dua
orang yang telah tewas di tangan Abhinaya." Langsung orang tua
bertombak pendek itu menghujam pada duduk persoalan. Di
553 antara tiga orang itu, yang paling terkejut adalah Arga. Anak
muda itu sangat terkejut. Ia tidak terkejut pada duduk persoalan
yang dikatakan orang tua bertombak pendek itu. Tapi, pada hal
yang lain. "Bagaimana mungkin orang tua itu minta penebusan
pada orang lain, sementara orang yang dimaksudkannya
beberapa waktu lalu terlihat bersama dirinya. Bersama dirinya
menuruni sebuah bukit. Sebuah sandiwara" Atau kepikunan telah
mengidap pada orang tua bertombak pendek itu?" Anak muda itu
terkejut dan bingung. Akan tetapi, apa pun keadaan yang
melanda anak muda itu, di hadapannya orang tua bertombak
pendek itu telah mempersiapkan diri. Suatu sikap telah diurai.
Sikap yang menjadi ciri orang bertombak pendek. Tombak
pendek di tangan orang itu telah berkilauan merah membara.
"Bersiap-siaplah. Aku tidak ingin berlama-lama. Ciri orang
bertombak pendek sudah berada pada puncak. Kerahkan apa
yang kalian miliki. Juga pada puncak. Sekalian dengan Racun
Maha Dewa. Racun dari orang itu. Racun yang telah membunuh
dua Saudaraku". Peringatan jujur dari Ki Wajra Sasmaka Kunta.
Arga mendengar jelas perkataan orang tua bertombak pendek itu.
Mendengar orang tua itu mengatakan sesuatu. Sesuatu yang
selalu diingatnya. Karena telah mengambil banyak korban. Racun
Maha Dewa. Akan tetapi, anak muda tidak sempat untuk
memikirkan hal itu. Orang tua bertombak pendek telah bergerak
cepat. Memainkan jurus utama untuk menyerang. Jurus utama
yang diandalkan oleh Perguruan Tombak Petir.
"Paman dan Kakang, minggirlah." Arga meminta dua orang yang
bersamanya menyingkir. Anak muda itu pun tidak ingin berlamalama. Khawatir akan orang-orang
7 yang sedang berlatih di bukit
itu. Ia pun saat itu sudah pada puncaknya. Tubuh anak muda itu
554 telah membentuk selubung berona kemerahan. Selubung dari
Naga Semesta Cemerlang. Anak muda itu pun bergerak
menyongsong serangan orang tua bertombak pendek. Ia tidak
menghindar melainkan memapak serangan itu. Memapak dengan
Naga Semesta Cemerlang. Sebuah tombak pendek bermata tajam datang bersama serangan
orang tua itu. Tombak itu digenggam erat dengan tangan kanan
dan didorong dengan telapak tangan kiri. Dengan sasaran dada
anak muda itu. Tombak itu adalah Tombak Pusaka Kara Welang.
Tombak yang mampu menembus logam apapun, dan dengan
sisinya yang tajam dapat membelah batu sekeras apa pun.
Tombak itu merupakan pusaka ciri Perguruan Tombak Petir.
Pusaka Perguruan Tombak Petir di tangan orang tua itu seketika
telah membentur lengan anak muda itu. Lengan yang telah
disilangkan sejengkal di depan dada. Lewat benturan itu, dua
kekuatan, yang dua-duanya bersifat keras, bertemu.
Menimbulkan suara yang sangat keras.
BLLLAAARRRR. Orang tua bertombak pendek itu terhempas. Tidak kuasa di
hadapan Naga Semesta Cemerlang. Alih-alih mengoyak tembus,
orang tua yang telah menyerang menusuk dengan tombak
pusaka serta dilambari oleh jurus dan kekuatan puncak dari
Perguruan Tombak Petir, justru tertahan dan tersapu. Tertahan
dan tersapu oleh kekuatan anak muda. Tombak pusaka bermata
tajam dan kekuatan puncak Perguruan Tombak Petir tidak berarti
di hadapan Naga Semesta Cemerlang.
Dua tumbak orang tua itu terlontar ke belakang. Dadanya sesak.
Sangat sesak. Tangan kanan bergetar. Bergetar karena berusaha
mempertahankan tombak pusaka. Tetap tidak terlepas. Terlontar
555 oleh kekuatan anak muda itu. Terlihat jelas, bibir orang itu rapat
mengunci. Mengunci kuat. Dua mata terbelalak. Entah heran,
entah semakin murka. "Racun itu tidak ada padanya! Mana
mungkin?" Ah, mata itu rupanya terbelalak heran. Bukan murka!
"Dengan kekuatan seperti itu, tidak perlu anak muda itu
menggunakan racun. Apakah anak muda itu tidak sepenuhnya
menyadap milik Abhinaya" Tidak menyadap Racun Maha Dewa.
Atau justru anak muda itu tidak sama sekali menyadap sesuatu
dari Abhinaya" Kekuatannya tidak bersumber dari Abhinaya.
itu menjadi ragu. Ragu oleh pertanyaan-pertanyaan yang ia
ajukan sendiri. Anak muda itu pun melihat keraguan pada orang tua bertombak
pendek itu. Ia membiarkan orang tua itu terpaku dengan dirinya
sendiri. Sesungguhnya, anak muda itu ingin bertemu dengan
orang tua itu. Bertemu tidak dalam keadaan berhadapan pada
8 suatu laga. Tapi, bertemu untuk bertanya mengenai dua hal.
Pertama, siapa yang dimaksudkan dengan Abhinaya yang
dikatakan telah membunuh dua saudaranya. Bukankah ia telah
bersamanya" Kedua, mengapa ia mengatakan Racun Maha
Dewa dihubungkan dengan Eyang Kawiswara yang dikenal juga
dengan Pangeran Abhinaya"
Ki Wajra Sasmaka Kunta dan Arga itu masih terdiam. Terdiam
dalam penalaran masing-masing. Penalaran yang sebenarnya
tertuju pada pertanyaan satu sosok yang sama: Abhinaya.
Tiba-tiba Ki Wajra Sasmaka Kunta telah bergerak. Tidak bergerak
ke arah Arga. Tapi, ia bergerak mengundurkan diri dengan
melesat ke samping meninggalkan anak muda dan juga
meninggalkan orang-orang yang bersamanya. Bagi orang tua
556 bertombak pendek, laga itu sudah tidak berarti. Ia tidak melihat
jejak Abhinaya pada kemampuan anak muda itu. "Anak itu tidak
menyimpan kekuatan Abhinaya. Aku hanya berurusan dengan
Abhinaya dan jejaknya. Tidak dengan orang lain." Orang tua
bertombak pendek menarik kesimpulan bagi dirinya, sebelum
beranjak pergi meninggalkan laga. Ia pergi dengan sebuah
keinginan: menemui anak muda itu di lain kesempatan.
Orang-orang yang masih bersembunyi pada kerimbunan semaksemak bertanya-tanya atas tindakan
orang tua bertombak pendek. "Apa yang telah dilakukan oleh Ki Wajra Sasmaka
Kunta?" Muka Iblis mengutarakan keheranannya. "Jika ia tidak
kembali padaku, agaknya Wajra Sasmaka Kunta telah
menemukan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya. Aku harus
bersiap apabila Wajra Sasmaka Kunta datang memintanya."
Orang tua bermuka pucat mengutarakan sikap dalam hatinya. Ia
pun mengajak pergi tiga orang lainnya. Pergi ke arah berbeda.
Berlawanan dengan arah perginya orang bertombak pendek.
Arga membiarkan pergi lawannya. Lawan yang telah pergi begitu
saja meninggalkan laga. Segera, anak muda itu berpaling pada
dua orang yang bersamanya.
"Paman dan Kakang, mari cepat kita ke tanah lapang." Suara itu
menyimpan kekhawatiran. Mereka pun bergerak cepat mendekat
ke tujuan. Sebentar kemudian, tiga orang itu telah mencapai
tempat yang dituju. Lalu, segera merapat bersama-sama dengan
orang-orang yang telah berada di sana. Seperti biasa, di tanah
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lapang itu empat orang gadis sedang memainkan suatu barisan.
Barisan itu kentara sekali sangat rapat padat, saling kerjasama,
cepat berdesing, kuat bertenaga dan penuh perubahan. "Sebuah
barisan yang sempurna". Ki Gardagarjita menilai saat pertama
557 kali melihat barisan itu, dan sambil melihat bagaimana empat
gadis ini memainkan barisan Wangkawa Kangkam Banjeng Catur
(Empat Barisan Pedang Bianglala), ia menceritakan peristiwa
yang baru saja terjadi. 9 "Syukur! Orang tua bertombak pendek itu tidak bersama orangorang yang lain. Orang-orang yang
dapat menghadirkan kemungkinan buruk. Kemungkian buruk bagi ..." Apa yang
dipikirkan dalam diri Arga terputus oleh sebuah pertanyaan.
"Benarkah Engg?r Arga baru saja bergebrak dengan Ki Wajra
menganggukkan kepala. Orang tua dari Bukit Suci itu meminta
empat gadis menghentikan latihan mereka. Ia pun mengajak
pulang untuk kembali ke Perguruan Merak Mas. Pulang karena
mengkhawatirkan kemungkinan orang itu berulah terhadap Merak
Mas. Tidak lama mereka tiba di Merak Mas. Apa yang
dikekhawatirkan tidak terjadi. Perguruan Merak Mas berjalan
wajar. Lalu, mereka sepakat untuk meneruskan latihan di
pesanggerahan. Pesanggerahan yang tidak lagi digunakan oleh
Ketua Samaragrawira. *** Menjelang senja. Tiga orang datang ke pesanggerahan itu. Tiga
prajurit. Datang dengan tergesa-gesa. Langsung mengarah dan
mendekat kepada Ki Gilingwesi.
"Sesuatu telah terjadi". Firasat anak muda itu mengemuka dalam
hati. "Tetua, di alun-alun istana telah datang ribuan prajurit dari
Watugaluh. Lengkap dengan senjata. Dibawa langsung oleh
558 Penguasa kota itu" Seorang prajurit itu mengatakan laporan
kepada Ki Gilingwesi. Tapi pikir panjang, seketika itu juga orang
tua itu pergi disusul dengan orang-oran lain yang ada di
pesenggerahan. Mereka menuju istana, seperti yang dikatakan
prajurit itu. *** Pada alun-alun di depan istana. Di sebuah tanah lapang. Dua
kelompok orang terlihat berhadapan dengan jarak dua tumbak.
Pada satu kelompok terlihat seseorang telihat berdiri tegak
dengan empat orang berkuda di belakangnya. Orang itu berdiri
tegak dengan sebilah keris yang masih bersarang dalam sarung.
Bukan keris miliknya, karena di punggungnya ada sebilah keris
lain terselip di sana. Orang itu adalah Pangeran Sikara. Di
belakang Pangeran itu berjejer di atas kuda seorang Senopati
Utama dan tiga Pengiring Istimewa. Tiga tumbak di belakang
empat orang itu berbaris sejumlah pasukan berkuda. Pasukan
berkuda yang terdiri dari prajurit pilihan dan istimewa.
Pada kelompok lainnya terlihat seorang sedang berjongkok
membelakangi tiga orang yang lain. Ia berjongkok untuk
memberikan sandaran dengan paha kirinya, tubuh orang lain
yang tergolek telah terluka. Pada bibir orang yang tergolek itu
terdapat cairan merah. Ia adalah Ketua Samaragrawira, dan
orang berjongkok yang telah memberikan paha kiri sebagai
sandaran adalah Janaloka didampingi tiga orang lainnya, tiga
Murid Utama Merak Mas. Anak muda yang baru tiba melihat jelas pemandangan pada
10 tengah lapangan itu. Atas pemandangan itu, ia menjadi sangat
murka. Sangat murka! Karena orang yang membesarkan dirinya,
559 orang terakhir yang mengetahui siapa dirinya, kini dilihatnya
terkapar tidak berdaya. Terkapar, yang menurut penilaiannya,
dalam keadaan terluka parah. Mungkin sangat parah. Karena
sesuatu yang sebelumnya telah mengidap di dalam dirinya.
Racun Maha Dewa. Seketika itu juga terjadi perubahan pada diri
anak muda itu. Perubahan dalam murka. Kemurkaan yang belum
pernah diperlihatkannya. Anak muda itu sejenak berpaling memandang Ki Gilingwesi.
Pandangan sebagai bentuk izin untuk bertindak. Bergidik Ki
Gilingwesi melihat wajah anak muda itu, walau hanya sesaat.
"Anak muda itu dalam rupa triwikrama. Menakutkan." Benar. Ki
Gilingwesi telah melihat Arga telah berubah. Anak muda itu kini
telah mengenakan nama keduanya: Triwikrama*) . Selepas itu,
anak muda itu melesat cepat ke tengah lapang. Ke tengah lapang
dengan wujud yang tidak lumrah. Wujud dalam kemurkaan luar
biasa. Angin sangat kencang datang menderu. Angin itu telah
mengguncang orang yang berdiri. Mengguncang hingga mundur
dua tindak. Tampil di sana seorang anak muda satu tumbak di
hadapan Pangeran Sikara. Ia berada dalam keadan berjongkok,
menekuk kaki kanan sedikit ke belakang dengan lutut menyentuh
tanah dan kaki kiri menekuk di depan.
Menyusul anak muda itu, seorang gadis datang memburu,
langsung menubruk Ketua Samaragrawira. Ia menangis keras.
Gadis itu adalah Maheswari. Sebenarnya, gadis itu bergerak lebih
dahulu daripada anak muda itu. Namun, kecepatan anak muda itu
telah mendahului gadis itu. Anak muda itu tiba lebih cepat. Yang
kehadirannya diiringi samplokan angin kuat yang telah menerjang
Pangeran Sikara. 560 Kehadiran anak muda itu sangat mengejutkannya. "Hanya
dengan datang berkelebat, anak itu telah mendorong mundur
diriku dua tindak. Matanya ......?" Pangeran Watugaluh itu
bergidik dan kembali mundur. Bahkan mundur empat tindak. Dua
Mata itu. Wujud itu telah mengentarkan dirinya. Gentar dan
bergidik. Kehadiran anak muda serta gelagat Pangeran Sikara,
seketika itu juga telah mengundang orang yang menyertainya.
Empat orang telah bergerak tampil di tengah lapangan itu.
Mereka berdiri berjajar di samping Pangeran Sikara. Seorang
Senopati Utama dan tiga orang dengan ciri yang masing-masing
berbeda. Pangeran Sikara menengok ke kiri dan ke kanan memastikan
kehadiran orang-orang yang diinginkannya. Orang-orang luar
biasa yang selalu mendampinginya. Wajah Pangeran itu kembali
terlihat tenang. Sekalipun, tidak berani memandang wujud anak
11 muda itu. Janaloka pun telah terkejut akan kehadiran tiba-tiba sebuah
sosok. Kehadiran dengan disertai sapuan kuat angin yang telah
menghempas Penguasa Watugaluh. Penguasa itu telah datang
membawa ribuan prajurit meminta suatu pertanggungjawaban
atas peristiwa yang terjadi di lereng Gunung Welirang.
Pertanggungjawaban kepada Tembelang. Membayang di wajah
Janaloka peristiwa yang telah mengakibatkan Ayahnya, terbaring
Pedang Kiri 5 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein The Devil In Black Jeans 5