Tembok Besar 3
Tembok Besar Karya Unknown Bagian 3
tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik, maka kini ia memilih Sian Lun
sebagai ahli warisnya. "Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira yang gagah
dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak berbakat untuk menjadi seorang
pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak terjangmu, kau harus selalu ingat kepada hati
putih, yakni hatimu sendiri.
Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka jalan hidupmu
takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya lebih rendah daripada
tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara tua.
Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih pandai dalam hal
ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan mentaati nasehat mereka."
Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-nama kelima orang muridnya,
pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-
Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau
dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun mempelajari dengan
penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan dan bakat yang amat baik,
maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini membuat
Liang Gi Cinjin menjadi girang
"Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang Pek-sim
Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya."
Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua kepandaiannya
kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-jurus ilmu silat itu di luar
kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal betul-betul jalannya Pek-sim Kiam-hoat dan
Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih dan menyempurnakan gerakangerakannya saja.
Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu. "Aku harus turun gunung,"
katanya kepada sahabat baik ini, "siapa tahu kalau-kalau terjadi perobahan hebat di dunia ramai.
Setan sayur, terima kasih atas segala kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu memberi
kesempatan kepadaku untuk meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang patut
menerimanya." Dan kepada Sian Lun ia berkata, "Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik sampai setahun,
setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu dengan aku dijaga oleh kelima
orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau mundur menghadapi segala rintangan untuk
bertemu dengan aku."
Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian Lun berlatih
dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta murid tunggalnya inipun
membantunya memberi petunjuk-petunjuk.
****** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba kembali di kota
Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar tentang permusuhan antara
pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li.
Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan
kepada para muridnya untuk menjaga tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada orangmuda yang hendak bertemu dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya tanpa
"Akan tetapi jangan main keroyok," ia berpesan, "sungguh amat memalukan kalau muridmuridku
mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua orang wanita dari hutan itu!"
Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin sebenarnya
menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan lima orang pendeta
itu untuk menguji kepandaian Sian Lun.
Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-jaga untuk
menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah berjanji hendak
datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar mereka ini, yang pertama-
tama datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling Ling dan ibunya.
Bab 09..... Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja kelima Peksim
Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah dua orang wanita cantik
dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah Liem Sui Giok dan puterinya Kwee Ling
Ling atau yang sudah biasa disebut Ling Ling saja.
Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan gardu
pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua dijaga oleh Pek
Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek Hong Ji dan yang terakhir atau
yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi Cinjin tinggal, dijaga oleh murid pertama,
yakni Pek Im Ji. Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-pendeta
tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar dan luas itu, telah
dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang mengeroyok, hanya diharuskan
memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain agar dapat bersiap siaga.
Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan
kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang.
"Anakku," katanya, "biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta Pek-simkauw,
akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu telah ditebus oleh tiga orang
musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar lunas. Tak perlu kita membunuh orang-orang lain
dan kedatangan kita ini hanya untuk memenuhi janji, satu persoalan kehormatan. Pendeta-pendeta
ini memang jahat, akan tetapi sebelum kita membuktikan kejahatan mereka, tak perlu kita
membunuh orang." Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana terdapat
sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ, bersila sambil
meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah mengetahui akan
kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran yang amat terlatih dan
tajam. "He, orang Pek-sim-kauw!" Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan khikangnya
sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu. "Kami telah datang,
keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama, jangan berlaku pengecut
main keroyokan!" Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri dihadapan Ling Ling dan
Sui Giok dengan gagah. "Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?" tanyanya dengan
suara lantang. "Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi Cinjin, ketuamu
maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan tunjukkanlah di mana adanya gurumu
itu!" kata Ling Ling.
"Sukar!" kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala. "Jalan untuk menemui suhu memang
melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin kau dapat masuk
sebelum Pek Te Ji kau kalahkan."
"Bagus," teriak Ling Ling marah. "Kau mau main keroyok lagi" Tidak malukah Liang Gi
Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?"
"Jangan sembarangan membuka mulut!" kata Pek Te Ji. "Siapa yang mau mengeroyokmu" Asal
saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu. Ketahuilah bahwa jalan masuk ke tempat
suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan kau harus dapat mengalahkan kami dulu seorang demi
seorang dan menurut syarat-syarat yang kami tentukan dalam pertandingan."
"Boleh, boleh ! Siapa takut menghadapai pendeta palsu ?" tantang Ling Ling dengan tabah.
"Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam cianghoat
(ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku."
"Hm, begitukah?" Ling Ling tersenyum kepada ibunya, "Ibu, ternyata pendeta-pendeta Pek-
sim-kauw tidak securang yang kita duga!" Kemudian ia berkata kepada Pek Te
"Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku melelahkan diri
turun tangan" Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu menotokmu) yang kau pamerkan
kepada ibu dahulu itu!"
Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan pendeta ini
dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa sehingga ia dahulu tidak dapat
membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya kini pendeta ini hendak mengandalkan
totokannya yang lihai. Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan bajunya, lalu
berkata, "Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah aku takluk kepadamu!"
Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di susul oleh tangan kirinya. Melihat
betapa tangan pendeta itu menyerang dengan jari-jari terkepal, kecuali jari telunjuk yang
dibuka lurus ke depan untuk menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali.
Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai sekali. Juga angin
serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang kanan menotok dengan keras,
yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan demikian sebaliknya. Ia maklum akan
bahayanya ilmu totokan macam ini.
Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul totokan
tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil mengerahkan ilmu
menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang berlawanan sama sekali secara
bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena totokan pendeta ini, akan celakalah dia.
Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan tubuhnya,
mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya, kemudian iapun membalas
dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat keturunan keluarga Kam, memang terdapat
ilmu totok yang cukup lihai, semacam Coat-meh-hoat (ilmu totokan cabang Bu-tong-pai) yang
dilakukan dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.
Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat kepandaian Liem Sui
Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih kalah jauh. Hal ini harus diakuinya
ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia sudah menjadi pening karena tubuh gadis cantik itu
seakan-akan merupakan seekor burung walet yang gesit sekali, yang berterbangan
mengelilinginya. Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu " Tubuh lawannya sukar diikuti dengan
pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang membutuhkan
ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah tertentu. Belum juga dua puluh
jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya menjadi kabur.
"Sudah cukup?" Ling Ling mengejek. "Nah, kau rebahlah!"
Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-hiat lawannya. Pek
Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya totokan ini, yang apabila mengenai
tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi kaku. Cepat ia mengerahkan khikangnya dan
menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang, karena totokan membuat kaku pada jalan darah
tai-twi-hiat ini termasuk serangan Yang
Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri Ling Ling tertolak
oleh tenaga khikangnya, jari tangan kanan gadis itu dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah
menotok pundaknya dengan mengambil jalan darah thian-hu-hiat. Inilah serangan dengan tenaga
Im dan seketika itu juga tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri lagi dan robohlah ia ke
bawah dengan lemas bagaikan sehelai kain.
Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan siasat Im dan
Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling Ling. Gadis ini
memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu dapat mempergunakannya
untuk merobohkan lawan. Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan penolakan segala
macam serangan "tiam-hoat", maka ia lalu meniru lawannya itu dan melakukan serangan yang
berlawanan pada saat yang sama. Berkat kecepatan gerakannya, maka ia dapat menipu Pek Te Ji
yang kini rebah di tanah tanpa dapat bergerak, hanya kedua matanya saja memandang dengan
penuh penyesalan atas kebodohannya sendiri.
Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus, menuju ke
dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji menantikan kedatangan mereka.
Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya saling pandang sambil tersenyum karena
mereka mengenal pendeta ini yang dulu pernah pula bertempur dengan mereka.
Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek Thian Ji telah
memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu penjagaannya, sebanyak
tiga puluh enam buah. Patok-patok itu ditancapkan di atas tanah, agaknya secara sembarangan
saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-patok ini merupakan barisan yang berbentuk pat-kwa
dan dipasang menurut perhitungan yang masak.
Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki, tepat untuk
pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-lompat. Melihat kecilnya patok
dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk dapat bersilat di atas patok-patok
ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang tinggi.
Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri dengan satu kaki di
atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia
menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan kata-kata tidak ramah.
"Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama, akan tetapi
aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis wanita yang jahat itu. Kalian
telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian telah dapat melalui suteku. Nah, jangan banyak
membuang waktu lagi, kalau ada kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan aku!"
Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan Ling Ling
maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan pengetahuannya tentang
patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis ini telah memiliki ginkang yang tidak
kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali lipat.
Tentu saja ia tidak takut menghadapi pendeta itu di atas pa
Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan tetapi oleh
karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu saja pendeta itu lebih
hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling dan puterinya itu tersenyum manis.
Ling Ling lalu melompat sambil berkata, "Pendeta sombong, siapa takut menghadapi patok-
patokmu yang bobrok ini?" Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia sengaja melompat ke
atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh yang disebut tenaga Jiankin-cui
(Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu terinjak oleh kaki kirinya, patok bambu ini
melesak ke bawah sampai rata dengan tanah. Dari sini ia melompat ke patok keempat,
membuatnya rata dengan tanah, lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang patok
sehingga akhirnya patok-patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak enam kaki.
"Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!" Ling Ling berkata dan sebagai lanjutan katakata
ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua tangannya diulur kearah pundak
Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain. Kini keduanya harus mengerahkan tenaga
ginkang seluruhnya karena untuk bertempur sambil berlompatan dari patok ke patok yang
jauhnya enam kaki, bukan hal yang amat mudah dilakukan.
Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita ini lihai
sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan betapa hebatnya tenaga
lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya diratakan tinggal separohnya, maka
rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan boleh dibilang
keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan ginkang. Akan tetapi Pek
Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan hebat pula. Pertandingan ini benar-benar
seru dan indah ditonton. Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu dengan yang
lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat dan saling serang di tengah
udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas patok lain. Demikianlah mereka saling
sambar bagaikan sepasang burung berkelahi, mengandalkan ginkang sepenuhnya, karena sekali
saja kaki meleset menginjak patok, berarti yang terpeleset ini akan dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun ginkang mereka
hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih lincah dan gesit, hal ini
karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling Ling mengeluarkan ilmu silat
Kim-gan-liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang dilakukan dengan pukulan, cengkeramdan tangkapa
Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan melompat
pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram pergelangan tangan
Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa lengannya sakit sekali dan ketika ia
mengerahkan tenaga untuk membetot lengannya, Ling Ling sudah mendahuluinya turun dan
berdiri di atas sebuah patok, kemudian gadis ini berseru keras sambil melontarkan tubuh
pendeta yang tangannya masih dipegangnya itu keluar dari lingkungan patok.
Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang diinjak oleh
Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan tetapi tubuh pendeta itu
terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah. Bukan main hebatnya kepandaian
meringankan tubuh dari Pek Thian Ji.
Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia memekik keras dan
tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di udara dan dengan gerakan kaki
tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung, ia dapat mengatur tubuhnya dan kini ia
melayang kembali ke bawah, tepat di atas patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya, adalah Ling
Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan pertunjukkan ginkang
yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu ginkang dari Pek Thian Ji ini
hebat sekali. Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum pendeta itu
dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang sambil mengeluarkan
serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok
paling pinggir, tentu saja sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan
hebat ini dan untuk menjaga dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai
seperti iblis ini, terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia
mengaku sambil menjura. "Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!"
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai merasa khawatir
dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw ini. Baru dua orang saja sudah
sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada tiga orang lain yang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi. Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling, maka ahli
lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang, sukarlah baginya untuk
dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia telah bersiap menghadapi gadis itu dalam
pertandingan tenaga lweekang.
Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada jarak satu
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia menyambut kedatangan
Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
"Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu aku tidak
suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba mendorongku roboh
dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja dan siapa yang turun dari batu, ia
terhitung kalah!" Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling merasakan
pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa pendeta ini tentu akan
mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya dari atas batu. Pukulan
Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnya itu tidak perlu
memukul dar Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin pukulan saja
sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya
menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu tombak, dengan berdiri di atas sebuah batu. Akan
tetapi, sebagai seorang gadis gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau menolak.
"Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!" kata Sui Giok kepada puterinya, karena
nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh pukulan lawan yang lihai. Dalam hal
ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga dalam hal
ginkang, ia sudah kalah setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini agaknya tidak berada
di sebelah bawah tingkat Ling Ling.
Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang menghadapi lawan
tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya dihadapan lawan, ia merasa malu.
Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.
"Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!"
Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali, "Jangan khawatir, aku mempunyai
akal untuk mengalahkannya!"
Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas batu
menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,
"Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?"
"Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang yang hanya
kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah, silahkan kau mencoba
untuk menurunkan aku dari batu ini!"
Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas dan ke
bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi berkerotokan dan
kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa seluruh tenaga telah berkumpul di
kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan mata mencorong ke arah Sui Giok, lalu
mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, memukul dengan tenaga
Thai-lek-ki Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan tetapi nyonya ini
cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan dengan kedua lengannya ke arah
lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan "Dewi Mendorong Batang pohon", mengumpulkan
tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh lawannya. Inilah yang ia katakan sebagai akalnya
untuk mengalahkan lawan. Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia terkena
tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui Giok
dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini
mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi miring
saja, tidak sampai terdorong roboh.
Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi siapa
kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat
merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok
sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas dengan
pukulan dari atas. Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah pendeta
itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia lalu
mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk mengelak di atas
batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan hanya masih dapat
menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari samping untuk menolak
dan mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini
ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi, Sui
Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam Nio, di
samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan suaminya.
Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh akal.
Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar
tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini
peluh telah memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
"Pendeta busuk, kau rebahlah!" Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak tipu
"Dewi Mendorong Batang Pohon" lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini bukan
ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek Yang Ji.
Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak
dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama sekali
tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia lalu
melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.
Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil
berkata, "Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku
kalah." Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah
menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil memeramkan
mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta itu telah
mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing tangannya.
"Ibu, kau hebat sekali!" gadis itu memuji, "Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat
mengalahkan pendeta yang kuat itu."
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin
dangan wajah pucat. "Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!"
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan
tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, ?"Pergilah keluar dan biarkan orang yang
menang sampai ke sini!" Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati gembira ia
mengira bahwa "orang yang datang" itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang baru.
Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji. Murid
kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian melepas
senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan dengan Ling
Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
"Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!"
Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata
rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapi bagaimana
mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjata rahasia"
Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri,
akan tetapi itu bukan berarti menang.
Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. "Totiang, senjata rahasia
hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu tadi
amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega hati
untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap" Bukankah itu perbuatan curang
yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?"
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya
tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
"Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?"
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, "Siapa takut menghadapi senjata
rahasiamu" Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah dan
berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan kepalan
tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap seperti kau. Aku tidak sudi
berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan naik ke atas
pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!"
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.
"Bocah bermulut jahat!" teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas tanah. "Apa kau
kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?" Setelah berkata demikian, ia
lalu menyerang dengan tangan kosong.
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu
menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi
lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya.
Bab 10".. Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-sim-
ciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan
mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang
saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.
Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua
adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir sedangkan
gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih banyak dari
pada adik-adiknya. Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak hanya
sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini
diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan tetapi,
menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat keturunan
dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi ilmu silat
Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling Ling
sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam bu
Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil
mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu "Harimau Sakti
Menubruk Bulan", kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling Ling,
sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu, melakukan
totokan dari kanan kiri. Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling Ling
yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan tubuhnya
sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak cepat, kedua
tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu."
"Brett!!" ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata
bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini
robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
"Hebat, hebat!" kata pendeta itu sambil menghela napas. "Kau cukup pandai untuk menghadapi
twa-suheng, nona!" Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati Ling Ling, oleh
karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan tetapi bagian lain
yang berbahaya dari tubuhnya.
Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
"Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!"
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena dapat
menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Pada saat itu mereka
telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Ji yang berdiri dengan
gagah sambil memegang pedang.
"Totiang," kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, "belum cukupkah kami
mengalahkan empat orang saudaramu" Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar
dapat bertemu dengan kami."
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang
kagum. "Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan
empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di sini,
maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan suhu.
Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah sungai
Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami" Suhu telah menganggap
habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit" Seandainya kalian
bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?"
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, "Totiang, kau keliru. Kami datang bukan hendak
berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih merasa
penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami takkan
mundur demi membela kebenaran.
Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak
mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta
pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami
takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan
kami bertemu dengan suhumu."
"Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini" Tidak
bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!" pendeta itu berkeras.
"Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!" Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan
sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.
Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin,
"Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur
melawan twa-suhu!" Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya "iblis wanita", "Apa katamu" Siapa
yang datang?" "Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw."
"Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?"
"Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!"
Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa
muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang
dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita.
Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat menang,
maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. "Ibu, silakan mundur, biar anak yang memberi
rasa kepada pendeta ini!"
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur,
digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa
terkejut sekali. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan
oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya.
Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling.
Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka.
Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh
perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan kening
berkerut. Tidak salahkah penglihatannya"
Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan "cam" (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan
"coan" (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras
sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur sedangkan
pedangnya terpental ke atas udara.
"Bagus sekali!" Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut pedang
Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia menyerang
Ling Ling sambil berkata, "Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga Mata Emas
merebut Mustika) tadi!"
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya yang
telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang kakek
ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin. Gerakan pedangnya demikian hebat dan
kuat. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan
kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai tokoh
tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah
menyerangnya. Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia
berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa
sekali, biarpun dengan cara yang berbeda.
Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar dan
mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan
terdengar suara nyaring sekali.
"Traaang.....! Krek!!" Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi
pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
"Ha, ha, ha!" Liang Gi Cinjin tertawa. "Tak salah lagi......! Eh, nona, apakah kau seorang she
Kam?" "Bukan," jawab Ling Ling, "teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi
Cinjin yang terhormat?"
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. "Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi ilmu
pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku ada
pembicaraan penting sekali!"
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis itu
bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawa senang
seakan-akan bertemu dengan seorang kawan l
Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa heran,
sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar aneh
baginya. Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marah, "Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari
sahabat baikku Kam Kok Han itu!"
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari Bu
Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Liang Gi Cinjin. "Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekalikali
bukan dengan jalan mencuri." Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya menerima
pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han.
Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, "Jadi demikianlah kalian dapat
mewarisi kepandaian itu" Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang bernasib
malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau mempunyai
bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok Han yang
malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu" Apakah dia masih hidup?"
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang
dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
"Locianpwe," kata Ling Ling, "sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak mengetahui
hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe, sesungguhnya
adalah Bu Lam Nio itulah!"
"Apa......!" Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi apa
hendak dikata" Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
"Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan
keadaannya?" Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu menganggukangguk
sambil mengelus-elus jenggotnya. "Kasihan sekali wanita itu," katanya, "akan tetapi sudahlah.
Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang amat
mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda ini. Ilmu
silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar besar yang rela
mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus disesalkan bahwa ilmu
silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali tentang kepahlawanan. Kalian
menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh orang-orang disebut iblis-iblis wanita,
bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga Kam" Negara sedang kacau balau, rakyat
sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela
rakyat" Rakyat di mana-mana sedang bergerak untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan
menakut-nakuti rakyat" Ah, sayang sekali, kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok
Han, tentu ia dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan
seorang bocah perempuan yang masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja."
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan
berkata dengan mata terbelalak,
"Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memakimakiku
sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah" Apa kau kira hanya orang-orang laki
seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa" Apakah kau kira hanya kalian
saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar" Aku sendiri, bersama ibuku ini,
telah menjadi korban "kelaliman kaisar"! Aku sendiri akan mengambil kepala kaisar! Kau dengar
ini" Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik kembali omonganmu tadi, kalau
tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan pada suatu hari aku pasti akan
membuat perhitungan denganmu!"
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan
mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak
enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari kedua
matanya menitik air mata.
"Kau" Kau hendak mengambil kepala kaisar" Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar!
Menarik kembali omonganku" Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau
sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah aku
orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!"
Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut
sarungnya, lalu berkata. "Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang
sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar" Nah, terimalah pedang ini. Aku mau
bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam,
dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan yang
lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau tercium
olehku darah kaisar pada pedang ini!"
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu adalah
pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh Kam Kok Han
sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar supaya Ling Ling
mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah pedang Kam Kok Han yang
dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang pedang Oei-hong-kiam tentu
mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata, "Baiklah kita sama
lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti, dan kau
orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!" Setelah berkata demikian,
Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini
berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri, "Mudahmudahan ia
berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan ...... belum tentu kalah baik oleh Sian Lun!"
Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu. "alangkah baiknya, alangkah
cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati masa kacau ini dengan
selamat sehingga akan tercapai maksudku!" Ucapan ini adalah akibat dari pikiran kakek itu yang
melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis tadi dengan Sian Lun.
****** Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan
Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan
nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan
timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang Korea.
Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua keburukan
pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para petani di
pegunungan Cingpai di propinsi Santung.
Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang
besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai
menduduki kota-kota dan dusun-dusun.
Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di Honan.
Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok ini seringkali
kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama makin besar
jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain.
Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh Li
Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak yang
besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak menyerang
barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan pemberontak
sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini.
Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang
memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Sui di
Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh
orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah
korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te ya
Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal kerajaan
Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan pemerintahan Kaisar
Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan ia memimpin ratusan
ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan. Liem
Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang panglima
kepercayaan Li Goan. Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan
mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam segala
hal mereka sependapat. Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan dan
panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan luas.
Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil
Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang
Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua
pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak
merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
"Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari pemerintah
Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga terhadap semua
nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan mendengarkan
hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperas habishabisan, dan selagi
keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan mati-matian ke
Liem Siang Hong menarik napas panjang. "Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan,
Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orang-
orang militer seperti kita" Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dorna yang lemah itu
bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan
maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!"
"Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan
sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran
tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah kepada
kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang. Akan tetapi,
jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak yang sesungguhnya
adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki para menteri dorna berikut
kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku mengendalikan nafsu agar jangan
ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak menghadap kaisar dan memberi nasihat
terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku, menarik mundur barisan dari timur dan
memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan memihak kepada pemberontak!"
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. "Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk
memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku
yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar."
Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, "Saudaraku, tahukah kau
betapa bahayanya tugas ini?"
"Tentu saja aku tahu!" jawab panglima itu dengan gagah. "Akan tetapi, perasaan takut
merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!"
"Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang mewakiliku
menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan aku tidak berani
menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena malapetaka dari para
dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan untuk menyerbu dan
meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu" Kau berangkatlah, bawalah surat nasehatku
kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh anak buahku. Kalau ada yang
berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku bersumpah untuk mengganti kerugian
dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para dorna!"
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke
rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada
isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada
puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
"Isteriku!" katanya pada malam hari itu, "besok pagi aku akan pergi melakukan tugas
pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi
mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di kota
inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu dan aku
belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau berada
dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah
kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan
anakmu sebagai keluarga sendiri!"
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika bertanya.
"Suamiku, mengapa kau berkata demikian" Seakan-akan kau berpamit untuk pulang ke alam baka
saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?"
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum
untuk membikin tenang hati isterinya. "Soal mati hidup, siapa yang tahu" Aku hanya bicara
sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang
makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya kalau
perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita terpisah
jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat berlindung."
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah Liem
Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap kaisar dan
menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada Kaisar,
mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti bujukan dan
hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang
mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik angkatnya
ini ia memberi surat. Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan
alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini.
Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi
surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin takkan
kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar
dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal. Kakakmu, Liem Siang Hong Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak
angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, "menasehati" kaisar merupakan pantangan besar
bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati
kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka
yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati.
Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang Hong
untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia sembilan
tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Bab 11".. Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar ini
dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem Siang
Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee
Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika mendengar
bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para pengawal
mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan tidak dapat
dikejar lagi. Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan
lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
"Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah kemasukkan
iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak lama lagi aku
akan menghancur leburkan Tiang-an!"
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat
jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara
menyerbu Tiang-an. ****** Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan
pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan Liem Sian Lun, putera
tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang
diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To
Siansu untuk turun gunung.
"Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana telah
ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan dunia di
sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati
keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan hebat.
Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan ayahmu.
Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus kau
berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangk
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan
langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan
Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak,
terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena
selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu silat
dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali
pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus.
Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima orang pendeta tua
yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di antara
mereka bertanya garang. "Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?"
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah
mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima
orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan
menjawab, "Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi
Cinjin." Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat penasaran dan
marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu. Mereka masih
merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat marah dan teguran,
akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di tempat penjagaan
masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi Cinjin.
"Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya,
akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam
permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja."
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang pendeta
itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling pandang dengan
kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek Thian Ji yang galak.
"Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat mengalahkan
pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu suhu!"
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi
ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak
galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang
pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
"Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!"
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka
dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan
herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda
tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat.
Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin
pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan tetapi
Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru mereka
miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, maka tentu saja Sian
Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai
sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima
pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali.
Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun
memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras
sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan
terlempar jauh. Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu
mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.
"Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?" Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam.
Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kiri
sambil berseru, "Suhu ......!" Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin
telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan
mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui
bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula
dihadapan Liang Gi Cinjin.
"Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini. Baiknya
kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini masih
banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah muridku
sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam mempelajari
ilmu silat daripada kalian berlima."
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
"Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!"
"Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu."
Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa puas
dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu mengajak
semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,
"Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada
pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku,
jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau
perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah
orangnya yang patut kita bantu."
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua anggauta
Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu pergerakan
untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan kejam.
Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu. Sian
Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu lalu
berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota.
Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang
besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan
pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.
Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi, baru
saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu Liang Gi
Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya ini sambil
memandang heran. "Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku memberitahukan
ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku telah bertemu dengan
seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah ahli waris dari seorang
yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silat dari sahabatku, Panglima Besar Kam Kok
Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan dapat menghadapi
Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah timbul niat dalam hatikuntuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah kepadamu dan kepada orang
tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar bahwa gadis itu adalah ahli warPanglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia akan setuju juga. Nah, puaslah hattelah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku. Ketahuilah bahwa aku telah memberikan
pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah saja kau mengenalnya apabila kau melihat
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi.
Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap
suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar biasa
anehnya. Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat
mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah
mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas
sekali. Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat
perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kini Tai-goan
sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota
raja. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat di
depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu. Ibunya
sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun melompat maju
dan memeluk ibunya. "Ibu....., ada apakah...." Siapa.... siapa yang ....?" Nyonya yang sedang menangis itu menengok
dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di antara tangis
dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang Hong telah
dihukum mati oleh kaisar.
Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia
berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata yang
berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan
menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat
itu." "Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari
mulut dari pada dilaksanakan!" terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang
amat kuat memegang pundaknya.
Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga
menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia cepat
mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang gesit ia
berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan
bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian ayahnya
dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li)," kata ibunya.
Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li
Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan
Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan
seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata.
Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya
Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka berada di dalam,
ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin daripada
pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan.
Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan
tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera menyambut
dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu dan girang
melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.
"Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat
keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh
dihandalkan tenaganya!" kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir. "Kita amat
membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa
mendapat bantuannya?"
"Aku akan membantu sekuat tenaga!" kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat. "Kalau
perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!" sambungnya sambil menghadapi
jenderal yang gagah itu. Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan
Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang
panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.
"Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an," katanya.
"Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan
petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba, tidak
akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an.
Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu
memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an dari
dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang menyerbu dari selatan akan dipimpin
sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk dipimpin.
Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai
hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she
Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para tawanan
sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka.
Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee
Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang
menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.
"Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak untuk
menangkap dan mengadili!" kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua orang setuju sekali dan
demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu dikerahkan,
lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an.
Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin
bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu perjuangan
ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak terdapat
pendeta-pendeta Pek-sim-kauw.
Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat dengan
keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar oleh keluarga
mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun yang masih kecil.
"Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!" kata Kwee Cun
dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,
"Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!"
Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang
sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya
tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.
Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan di
kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan
pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya saja
yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan oleh
Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian besar
ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan pemberontak.
Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di luar
tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga jumlahnya
dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih yang tinggi
besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya dan suaranya
seperti geluduk ketika ia menantang,
"Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara
dibawah pimpinanku?" Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar
pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara
nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.
Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu
benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.
"Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?" tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di atas
kuda, di sebelahnya. "Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia dulu
mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia amat gagah
dan berkepandaian tinggi," jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening. Memang ia sudah
mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah perkasa tak terlawan.
Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia
menudingkan pedangnya dan membentak keras.
"Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi anugerah
kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan
pemberontak. Mana anjing tua Li Goan" Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun
untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!"
"Kwan Sun Giok!" Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju menghadapi
panglima itu. "Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin sengsara rakyat tidak
patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta agaknya hanya mabok oleh
kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar kepadamu. Tahukah kau harta benda
siapa yang menyenangkan hidupmu" Keringat dan darah rakyatlah yang kaupergunakan untuk
berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesarpembesar jahat. Untuk menghadapi orang
macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju, cukup dengan pedangku saja!"
Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua
matanya dan memandang kepada Sian Lun.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi oleh
Sian Lun. "Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh
pemimpin barisan ini maju!"
"Akulah pemimpinnya," jawab pemuda itu.
"Kau.......!?" Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia
tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak. "Ha, ha, ha, ha!
Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan
menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!"
"Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!" kata
Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat
menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan
kelemahannya dan bahkan menantang.
"Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau memang
gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!"
"Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah
saja!" jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.
Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas
tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan tetapi
sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya jangan
menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.
"Bocah yang masih ingusan!" Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.
"Bersiaplah untuk terima binasa!" Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan
dengan pedangnya. Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain
pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar
hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut
lawannya.
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia
cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan tetapi
Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang lawan yang
mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata.
Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubitubi.
Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat
gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.
Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak
disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang yang
demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan ilmu-ilmu
pedang yang banyak dipelajarinya.
Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak
macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang
sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmuilmu
pedang itu ia pelajari sampai sempurna.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat.
Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi terutama sekali
karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang mustika) lawan.
Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim seranganserangan
dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan ilmu pedang dari
Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata bahwa jenderal itupun
mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu
mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang benar-benar hebat dan belum dikenal oleh
jenderal ini. Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal
Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.
"Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu
pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula
gurumu?" Sian Lun tersenyum mengejek. "Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Pek-
sim-kiam-hoat" Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah
murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian L
Bab 12".. Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi
Cinjin, maka ia cepat berkata,
"Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat
Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!"
Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai
seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan
tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,
"Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau kau
dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan kaisar lalim
dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai omonganmu tadi."
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada
semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian Lun
dengan sekuat tenaga. Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para
perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa
ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa
terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus
menjadi dua. "Ha, ha, ha! Mampuslah kau!" Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini ditutup
oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet Merebut
Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi. Gerakannya yang
amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehingga tahutahu tangan kirinya telah
merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan yang tepat mengenai ulu
hati Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi
besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh terjengkang dalam keadaan mati dan
dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban.
Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang rampasannya
tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima orang perwira musuh
telah ronoh mandi darah. Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan
melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat
yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.
"Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu sudah
maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan untuk
membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang
sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang
menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim
pasti akan mampus di Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar
keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh,
karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka.
Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda
yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian
besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah.
Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang
ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi
penjagaannya. Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan
hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah
barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih
daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota
raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan
kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang besar
jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat pergerakan
barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah
panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam
ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama
sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan. Banyak
perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan tiga
orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa
kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak
memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang panglima
kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun mengadakan perlawanan
mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapi Cia Soan Kun dan Wong Pak
berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan.
Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa Jenderal Li
Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya. Ia memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang dan tidak
mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh
bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang dan
menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih
menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan
halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi.
Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga
orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglima-
panglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.
"Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!"
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan
membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
"Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!" teriak Song Kian Hi sambil menyambut serbuan
Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan hanya
menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan tetapi kini
keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima itu,
namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua puluh
jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung
tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hongkiam
telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh
terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia
mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik
keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.
"Terima kasih, jiwi lihiap!" kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus
bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini perlawanan
pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li Goan dengan
gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala orang yang sudah
putus lehernya. "Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!" teriakannya keras sekali
karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika balatentara kerajaan berikut
para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal besar itu
adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi ketakutan. Ada
yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk
menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak
mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah itu
telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk
menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya
kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia memimpin tentaranya masuk ke
dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu
gerbangnya. Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun juga
berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai
sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan penjaga kaisar
dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi ternyata
bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu atas
hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan
Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa pedang
itu, terkejutlah dia, "Aah.......! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok Han
yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut sekali
dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang kegagahan dan
kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras
rakyat akan kupenggal lehernya!" Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu
menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang menyilau
Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali
memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu lalu
menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang pusaka,
yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh nenek
moyang Jenderal Li Goan. Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya
menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,
"Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya kita
berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an! Sungguhpun
kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah berada di tangan kita.
Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang baik dan perjuangan kita
yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap dan tahan semua, akan tetapi
jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri. Semua tawanan baru harus
diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong. Hanya dialah seorang yang berhak
memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan. Juga awaslah terhadap
penyelewengan-penyelewengan para perajurit!"
Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah
seorang perwira yang bicara dengan gugup.
"Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit dia
tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!"
Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata,
"Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!"
Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil membawa
pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu"
Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita
gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang
perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan
sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja.
Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk" Hal ini diakibatkan oleh
penyelewengan para perajurit. Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu peperangan,
pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak sewenang-wenang.
Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li Goan yang menang
perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan penculikan terhadap kaum
wanita. Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan perampokan
dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik orang-orang
yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik perhatian Ling Ling
dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang diduduki oleh barisan
Jenderal Li Goan itu. Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia
menjadi marah sekali. "Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriot-patriot?"
bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala seorang tentara
yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan tenaga, perajurit
yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketika jatuh ke atas tanah ia tak dapat
bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak cepat dan tujuh orang
perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak semua dalam keadaan
terluka hebat. Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua
orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara
mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita.
Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang dapat
ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah roboh kena
pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor naga betina
yang marah. Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat
besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksa dulu apakah
kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.
Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling Ling
dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang ingin
menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh. Ling
Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai bahkan
membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk dibunuh.
Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya
makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya dan
berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali.
Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan tetapi
mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.
"Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah
perampok-perampok jahat!" seru Ling Ling di antara amukannya. "Sama halnya dengan
mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!"
"Ling Ling!" teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya, "jangan sembarangan membunuh!
Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita
melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!"
Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit
berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para
bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para pengeroyoknya"
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, "Semua perajurit, mundur!" Dan berkelebatlah bayangan
yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok. Perajurit-perajurit yang tadinya
mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang, menjadi lega dan
cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang wanita itu.
Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat
Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara. Tak
terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun menjadi
merah mukanya. Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah
merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya
merasa berat sekali. Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu
menegur, "Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit"
Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?"
Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan
membentak. "Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini" Bagus, kalau begitu rasakan
tajamnya pedangku!" Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan
pedangnya yang bersinar merah.
Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah berani
memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun menangkis
Dalam Derai Hujan 4 Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan Suka Suka Cinta 1
tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik, maka kini ia memilih Sian Lun
sebagai ahli warisnya. "Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira yang gagah
dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak berbakat untuk menjadi seorang
pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak terjangmu, kau harus selalu ingat kepada hati
putih, yakni hatimu sendiri.
Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka jalan hidupmu
takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya lebih rendah daripada
tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara tua.
Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih pandai dalam hal
ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan mentaati nasehat mereka."
Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-nama kelima orang muridnya,
pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-
Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau
dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun mempelajari dengan
penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan dan bakat yang amat baik,
maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini membuat
Liang Gi Cinjin menjadi girang
"Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang Pek-sim
Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya."
Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua kepandaiannya
kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-jurus ilmu silat itu di luar
kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal betul-betul jalannya Pek-sim Kiam-hoat dan
Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih dan menyempurnakan gerakangerakannya saja.
Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu. "Aku harus turun gunung,"
katanya kepada sahabat baik ini, "siapa tahu kalau-kalau terjadi perobahan hebat di dunia ramai.
Setan sayur, terima kasih atas segala kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu memberi
kesempatan kepadaku untuk meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang patut
menerimanya." Dan kepada Sian Lun ia berkata, "Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik sampai setahun,
setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu dengan aku dijaga oleh kelima
orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau mundur menghadapi segala rintangan untuk
bertemu dengan aku."
Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian Lun berlatih
dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta murid tunggalnya inipun
membantunya memberi petunjuk-petunjuk.
****** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba kembali di kota
Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar tentang permusuhan antara
pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li.
Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan
kepada para muridnya untuk menjaga tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada orangmuda yang hendak bertemu dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya tanpa
"Akan tetapi jangan main keroyok," ia berpesan, "sungguh amat memalukan kalau muridmuridku
mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua orang wanita dari hutan itu!"
Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin sebenarnya
menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan lima orang pendeta
itu untuk menguji kepandaian Sian Lun.
Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-jaga untuk
menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah berjanji hendak
datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar mereka ini, yang pertama-
tama datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling Ling dan ibunya.
Bab 09..... Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja kelima Peksim
Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah dua orang wanita cantik
dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah Liem Sui Giok dan puterinya Kwee Ling
Ling atau yang sudah biasa disebut Ling Ling saja.
Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan gardu
pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua dijaga oleh Pek
Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek Hong Ji dan yang terakhir atau
yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi Cinjin tinggal, dijaga oleh murid pertama,
yakni Pek Im Ji. Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-pendeta
tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar dan luas itu, telah
dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang mengeroyok, hanya diharuskan
memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain agar dapat bersiap siaga.
Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan
kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang.
"Anakku," katanya, "biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta Pek-simkauw,
akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu telah ditebus oleh tiga orang
musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar lunas. Tak perlu kita membunuh orang-orang lain
dan kedatangan kita ini hanya untuk memenuhi janji, satu persoalan kehormatan. Pendeta-pendeta
ini memang jahat, akan tetapi sebelum kita membuktikan kejahatan mereka, tak perlu kita
membunuh orang." Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana terdapat
sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ, bersila sambil
meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah mengetahui akan
kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran yang amat terlatih dan
tajam. "He, orang Pek-sim-kauw!" Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan khikangnya
sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu. "Kami telah datang,
keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama, jangan berlaku pengecut
main keroyokan!" Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri dihadapan Ling Ling dan
Sui Giok dengan gagah. "Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?" tanyanya dengan
suara lantang. "Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi Cinjin, ketuamu
maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan tunjukkanlah di mana adanya gurumu
itu!" kata Ling Ling.
"Sukar!" kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala. "Jalan untuk menemui suhu memang
melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin kau dapat masuk
sebelum Pek Te Ji kau kalahkan."
"Bagus," teriak Ling Ling marah. "Kau mau main keroyok lagi" Tidak malukah Liang Gi
Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?"
"Jangan sembarangan membuka mulut!" kata Pek Te Ji. "Siapa yang mau mengeroyokmu" Asal
saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu. Ketahuilah bahwa jalan masuk ke tempat
suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan kau harus dapat mengalahkan kami dulu seorang demi
seorang dan menurut syarat-syarat yang kami tentukan dalam pertandingan."
"Boleh, boleh ! Siapa takut menghadapai pendeta palsu ?" tantang Ling Ling dengan tabah.
"Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam cianghoat
(ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku."
"Hm, begitukah?" Ling Ling tersenyum kepada ibunya, "Ibu, ternyata pendeta-pendeta Pek-
sim-kauw tidak securang yang kita duga!" Kemudian ia berkata kepada Pek Te
"Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku melelahkan diri
turun tangan" Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu menotokmu) yang kau pamerkan
kepada ibu dahulu itu!"
Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan pendeta ini
dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa sehingga ia dahulu tidak dapat
membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya kini pendeta ini hendak mengandalkan
totokannya yang lihai. Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan bajunya, lalu
berkata, "Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah aku takluk kepadamu!"
Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di susul oleh tangan kirinya. Melihat
betapa tangan pendeta itu menyerang dengan jari-jari terkepal, kecuali jari telunjuk yang
dibuka lurus ke depan untuk menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali.
Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai sekali. Juga angin
serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang kanan menotok dengan keras,
yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan demikian sebaliknya. Ia maklum akan
bahayanya ilmu totokan macam ini.
Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul totokan
tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil mengerahkan ilmu
menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang berlawanan sama sekali secara
bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena totokan pendeta ini, akan celakalah dia.
Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan tubuhnya,
mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya, kemudian iapun membalas
dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat keturunan keluarga Kam, memang terdapat
ilmu totok yang cukup lihai, semacam Coat-meh-hoat (ilmu totokan cabang Bu-tong-pai) yang
dilakukan dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.
Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat kepandaian Liem Sui
Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih kalah jauh. Hal ini harus diakuinya
ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia sudah menjadi pening karena tubuh gadis cantik itu
seakan-akan merupakan seekor burung walet yang gesit sekali, yang berterbangan
mengelilinginya. Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu " Tubuh lawannya sukar diikuti dengan
pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang membutuhkan
ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah tertentu. Belum juga dua puluh
jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya menjadi kabur.
"Sudah cukup?" Ling Ling mengejek. "Nah, kau rebahlah!"
Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-hiat lawannya. Pek
Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya totokan ini, yang apabila mengenai
tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi kaku. Cepat ia mengerahkan khikangnya dan
menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang, karena totokan membuat kaku pada jalan darah
tai-twi-hiat ini termasuk serangan Yang
Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri Ling Ling tertolak
oleh tenaga khikangnya, jari tangan kanan gadis itu dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah
menotok pundaknya dengan mengambil jalan darah thian-hu-hiat. Inilah serangan dengan tenaga
Im dan seketika itu juga tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri lagi dan robohlah ia ke
bawah dengan lemas bagaikan sehelai kain.
Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan siasat Im dan
Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling Ling. Gadis ini
memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu dapat mempergunakannya
untuk merobohkan lawan. Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan penolakan segala
macam serangan "tiam-hoat", maka ia lalu meniru lawannya itu dan melakukan serangan yang
berlawanan pada saat yang sama. Berkat kecepatan gerakannya, maka ia dapat menipu Pek Te Ji
yang kini rebah di tanah tanpa dapat bergerak, hanya kedua matanya saja memandang dengan
penuh penyesalan atas kebodohannya sendiri.
Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus, menuju ke
dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji menantikan kedatangan mereka.
Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya saling pandang sambil tersenyum karena
mereka mengenal pendeta ini yang dulu pernah pula bertempur dengan mereka.
Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek Thian Ji telah
memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu penjagaannya, sebanyak
tiga puluh enam buah. Patok-patok itu ditancapkan di atas tanah, agaknya secara sembarangan
saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-patok ini merupakan barisan yang berbentuk pat-kwa
dan dipasang menurut perhitungan yang masak.
Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki, tepat untuk
pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-lompat. Melihat kecilnya patok
dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk dapat bersilat di atas patok-patok
ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang tinggi.
Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri dengan satu kaki di
atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia
menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan kata-kata tidak ramah.
"Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama, akan tetapi
aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis wanita yang jahat itu. Kalian
telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian telah dapat melalui suteku. Nah, jangan banyak
membuang waktu lagi, kalau ada kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan aku!"
Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan Ling Ling
maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan pengetahuannya tentang
patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis ini telah memiliki ginkang yang tidak
kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali lipat.
Tentu saja ia tidak takut menghadapi pendeta itu di atas pa
Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan tetapi oleh
karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu saja pendeta itu lebih
hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling dan puterinya itu tersenyum manis.
Ling Ling lalu melompat sambil berkata, "Pendeta sombong, siapa takut menghadapi patok-
patokmu yang bobrok ini?" Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia sengaja melompat ke
atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh yang disebut tenaga Jiankin-cui
(Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu terinjak oleh kaki kirinya, patok bambu ini
melesak ke bawah sampai rata dengan tanah. Dari sini ia melompat ke patok keempat,
membuatnya rata dengan tanah, lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang patok
sehingga akhirnya patok-patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak enam kaki.
"Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!" Ling Ling berkata dan sebagai lanjutan katakata
ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua tangannya diulur kearah pundak
Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain. Kini keduanya harus mengerahkan tenaga
ginkang seluruhnya karena untuk bertempur sambil berlompatan dari patok ke patok yang
jauhnya enam kaki, bukan hal yang amat mudah dilakukan.
Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita ini lihai
sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan betapa hebatnya tenaga
lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya diratakan tinggal separohnya, maka
rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan boleh dibilang
keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan ginkang. Akan tetapi Pek
Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan hebat pula. Pertandingan ini benar-benar
seru dan indah ditonton. Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu dengan yang
lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat dan saling serang di tengah
udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas patok lain. Demikianlah mereka saling
sambar bagaikan sepasang burung berkelahi, mengandalkan ginkang sepenuhnya, karena sekali
saja kaki meleset menginjak patok, berarti yang terpeleset ini akan dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun ginkang mereka
hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih lincah dan gesit, hal ini
karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling Ling mengeluarkan ilmu silat
Kim-gan-liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang dilakukan dengan pukulan, cengkeramdan tangkapa
Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan melompat
pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram pergelangan tangan
Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa lengannya sakit sekali dan ketika ia
mengerahkan tenaga untuk membetot lengannya, Ling Ling sudah mendahuluinya turun dan
berdiri di atas sebuah patok, kemudian gadis ini berseru keras sambil melontarkan tubuh
pendeta yang tangannya masih dipegangnya itu keluar dari lingkungan patok.
Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang diinjak oleh
Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan tetapi tubuh pendeta itu
terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah. Bukan main hebatnya kepandaian
meringankan tubuh dari Pek Thian Ji.
Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia memekik keras dan
tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di udara dan dengan gerakan kaki
tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung, ia dapat mengatur tubuhnya dan kini ia
melayang kembali ke bawah, tepat di atas patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya, adalah Ling
Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan pertunjukkan ginkang
yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu ginkang dari Pek Thian Ji ini
hebat sekali. Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum pendeta itu
dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang sambil mengeluarkan
serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok
paling pinggir, tentu saja sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan
hebat ini dan untuk menjaga dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai
seperti iblis ini, terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia
mengaku sambil menjura. "Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!"
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai merasa khawatir
dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw ini. Baru dua orang saja sudah
sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada tiga orang lain yang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi. Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling, maka ahli
lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang, sukarlah baginya untuk
dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia telah bersiap menghadapi gadis itu dalam
pertandingan tenaga lweekang.
Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada jarak satu
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia menyambut kedatangan
Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
"Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu aku tidak
suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba mendorongku roboh
dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja dan siapa yang turun dari batu, ia
terhitung kalah!" Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling merasakan
pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa pendeta ini tentu akan
mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya dari atas batu. Pukulan
Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnya itu tidak perlu
memukul dar Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin pukulan saja
sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya
menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu tombak, dengan berdiri di atas sebuah batu. Akan
tetapi, sebagai seorang gadis gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau menolak.
"Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!" kata Sui Giok kepada puterinya, karena
nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh pukulan lawan yang lihai. Dalam hal
ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga dalam hal
ginkang, ia sudah kalah setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini agaknya tidak berada
di sebelah bawah tingkat Ling Ling.
Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang menghadapi lawan
tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya dihadapan lawan, ia merasa malu.
Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.
"Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!"
Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali, "Jangan khawatir, aku mempunyai
akal untuk mengalahkannya!"
Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas batu
menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,
"Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?"
"Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang yang hanya
kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah, silahkan kau mencoba
untuk menurunkan aku dari batu ini!"
Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas dan ke
bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi berkerotokan dan
kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa seluruh tenaga telah berkumpul di
kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan mata mencorong ke arah Sui Giok, lalu
mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, memukul dengan tenaga
Thai-lek-ki Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan tetapi nyonya ini
cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan dengan kedua lengannya ke arah
lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan "Dewi Mendorong Batang pohon", mengumpulkan
tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh lawannya. Inilah yang ia katakan sebagai akalnya
untuk mengalahkan lawan. Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia terkena
tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui Giok
dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini
mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi miring
saja, tidak sampai terdorong roboh.
Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi siapa
kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat
merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok
sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas dengan
pukulan dari atas. Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah pendeta
itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia lalu
mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk mengelak di atas
batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan hanya masih dapat
menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari samping untuk menolak
dan mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini
ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi, Sui
Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam Nio, di
samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan suaminya.
Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh akal.
Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar
tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini
peluh telah memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
"Pendeta busuk, kau rebahlah!" Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak tipu
"Dewi Mendorong Batang Pohon" lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini bukan
ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek Yang Ji.
Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak
dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama sekali
tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia lalu
melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.
Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil
berkata, "Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku
kalah." Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah
menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil memeramkan
mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta itu telah
mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing tangannya.
"Ibu, kau hebat sekali!" gadis itu memuji, "Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat
mengalahkan pendeta yang kuat itu."
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin
dangan wajah pucat. "Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!"
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan
tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, ?"Pergilah keluar dan biarkan orang yang
menang sampai ke sini!" Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati gembira ia
mengira bahwa "orang yang datang" itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang baru.
Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji. Murid
kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian melepas
senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan dengan Ling
Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
"Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!"
Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata
rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapi bagaimana
mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjata rahasia"
Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri,
akan tetapi itu bukan berarti menang.
Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. "Totiang, senjata rahasia
hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu tadi
amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega hati
untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap" Bukankah itu perbuatan curang
yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?"
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya
tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
"Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?"
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, "Siapa takut menghadapi senjata
rahasiamu" Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah dan
berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan kepalan
tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap seperti kau. Aku tidak sudi
berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan naik ke atas
pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!"
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.
"Bocah bermulut jahat!" teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas tanah. "Apa kau
kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?" Setelah berkata demikian, ia
lalu menyerang dengan tangan kosong.
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu
menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi
lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya.
Bab 10".. Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-sim-
ciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan
mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang
saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.
Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua
adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir sedangkan
gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih banyak dari
pada adik-adiknya. Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak hanya
sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini
diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan tetapi,
menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat keturunan
dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi ilmu silat
Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling Ling
sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam bu
Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil
mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu "Harimau Sakti
Menubruk Bulan", kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling Ling,
sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu, melakukan
totokan dari kanan kiri. Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling Ling
yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan tubuhnya
sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak cepat, kedua
tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu."
"Brett!!" ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata
bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini
robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
"Hebat, hebat!" kata pendeta itu sambil menghela napas. "Kau cukup pandai untuk menghadapi
twa-suheng, nona!" Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati Ling Ling, oleh
karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan tetapi bagian lain
yang berbahaya dari tubuhnya.
Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
"Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!"
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena dapat
menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Pada saat itu mereka
telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Ji yang berdiri dengan
gagah sambil memegang pedang.
"Totiang," kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, "belum cukupkah kami
mengalahkan empat orang saudaramu" Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar
dapat bertemu dengan kami."
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang
kagum. "Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan
empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di sini,
maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan suhu.
Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah sungai
Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami" Suhu telah menganggap
habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit" Seandainya kalian
bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?"
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, "Totiang, kau keliru. Kami datang bukan hendak
berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih merasa
penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami takkan
mundur demi membela kebenaran.
Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak
mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta
pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami
takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan
kami bertemu dengan suhumu."
"Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini" Tidak
bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!" pendeta itu berkeras.
"Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!" Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan
sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.
Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin,
"Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur
melawan twa-suhu!" Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya "iblis wanita", "Apa katamu" Siapa
yang datang?" "Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw."
"Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?"
"Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!"
Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa
muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang
dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita.
Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat menang,
maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. "Ibu, silakan mundur, biar anak yang memberi
rasa kepada pendeta ini!"
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur,
digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa
terkejut sekali. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan
oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya.
Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling.
Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka.
Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh
perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan kening
berkerut. Tidak salahkah penglihatannya"
Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan "cam" (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan
"coan" (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras
sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur sedangkan
pedangnya terpental ke atas udara.
"Bagus sekali!" Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut pedang
Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia menyerang
Ling Ling sambil berkata, "Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga Mata Emas
merebut Mustika) tadi!"
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya yang
telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang kakek
ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin. Gerakan pedangnya demikian hebat dan
kuat. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan
kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai tokoh
tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah
menyerangnya. Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia
berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa
sekali, biarpun dengan cara yang berbeda.
Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar dan
mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan
terdengar suara nyaring sekali.
"Traaang.....! Krek!!" Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi
pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
"Ha, ha, ha!" Liang Gi Cinjin tertawa. "Tak salah lagi......! Eh, nona, apakah kau seorang she
Kam?" "Bukan," jawab Ling Ling, "teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi
Cinjin yang terhormat?"
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. "Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi ilmu
pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku ada
pembicaraan penting sekali!"
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis itu
bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawa senang
seakan-akan bertemu dengan seorang kawan l
Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa heran,
sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar aneh
baginya. Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marah, "Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari
sahabat baikku Kam Kok Han itu!"
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari Bu
Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Liang Gi Cinjin. "Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekalikali
bukan dengan jalan mencuri." Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya menerima
pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han.
Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, "Jadi demikianlah kalian dapat
mewarisi kepandaian itu" Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang bernasib
malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau mempunyai
bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok Han yang
malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu" Apakah dia masih hidup?"
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang
dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
"Locianpwe," kata Ling Ling, "sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak mengetahui
hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe, sesungguhnya
adalah Bu Lam Nio itulah!"
"Apa......!" Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi apa
hendak dikata" Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
"Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan
keadaannya?" Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu menganggukangguk
sambil mengelus-elus jenggotnya. "Kasihan sekali wanita itu," katanya, "akan tetapi sudahlah.
Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang amat
mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda ini. Ilmu
silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar besar yang rela
mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus disesalkan bahwa ilmu
silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali tentang kepahlawanan. Kalian
menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh orang-orang disebut iblis-iblis wanita,
bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga Kam" Negara sedang kacau balau, rakyat
sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela
rakyat" Rakyat di mana-mana sedang bergerak untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan
menakut-nakuti rakyat" Ah, sayang sekali, kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok
Han, tentu ia dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan
seorang bocah perempuan yang masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja."
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan
berkata dengan mata terbelalak,
"Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memakimakiku
sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah" Apa kau kira hanya orang-orang laki
seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa" Apakah kau kira hanya kalian
saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar" Aku sendiri, bersama ibuku ini,
telah menjadi korban "kelaliman kaisar"! Aku sendiri akan mengambil kepala kaisar! Kau dengar
ini" Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik kembali omonganmu tadi, kalau
tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan pada suatu hari aku pasti akan
membuat perhitungan denganmu!"
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan
mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak
enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari kedua
matanya menitik air mata.
"Kau" Kau hendak mengambil kepala kaisar" Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar!
Menarik kembali omonganku" Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau
sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah aku
orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!"
Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut
sarungnya, lalu berkata. "Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang
sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar" Nah, terimalah pedang ini. Aku mau
bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam,
dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan yang
lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau tercium
olehku darah kaisar pada pedang ini!"
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu adalah
pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh Kam Kok Han
sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar supaya Ling Ling
mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah pedang Kam Kok Han yang
dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang pedang Oei-hong-kiam tentu
mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata, "Baiklah kita sama
lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti, dan kau
orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!" Setelah berkata demikian,
Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini
berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri, "Mudahmudahan ia
berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan ...... belum tentu kalah baik oleh Sian Lun!"
Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu. "alangkah baiknya, alangkah
cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati masa kacau ini dengan
selamat sehingga akan tercapai maksudku!" Ucapan ini adalah akibat dari pikiran kakek itu yang
melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis tadi dengan Sian Lun.
****** Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan
Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan
nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan
timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang Korea.
Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua keburukan
pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para petani di
pegunungan Cingpai di propinsi Santung.
Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang
besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai
menduduki kota-kota dan dusun-dusun.
Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di Honan.
Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok ini seringkali
kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama makin besar
jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain.
Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh Li
Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak yang
besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak menyerang
barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan pemberontak
sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini.
Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang
memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Sui di
Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh
orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah
korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te ya
Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal kerajaan
Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan pemerintahan Kaisar
Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan ia memimpin ratusan
ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan. Liem
Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang panglima
kepercayaan Li Goan. Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan
mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam segala
hal mereka sependapat. Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan dan
panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan luas.
Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil
Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang
Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua
pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak
merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
"Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari pemerintah
Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga terhadap semua
nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan mendengarkan
hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperas habishabisan, dan selagi
keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan mati-matian ke
Liem Siang Hong menarik napas panjang. "Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan,
Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orang-
orang militer seperti kita" Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dorna yang lemah itu
bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan
maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!"
"Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan
sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran
tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah kepada
kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang. Akan tetapi,
jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak yang sesungguhnya
adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki para menteri dorna berikut
kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku mengendalikan nafsu agar jangan
ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak menghadap kaisar dan memberi nasihat
terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku, menarik mundur barisan dari timur dan
memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan memihak kepada pemberontak!"
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. "Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk
memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku
yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar."
Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, "Saudaraku, tahukah kau
betapa bahayanya tugas ini?"
"Tentu saja aku tahu!" jawab panglima itu dengan gagah. "Akan tetapi, perasaan takut
merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!"
"Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang mewakiliku
menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan aku tidak berani
menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena malapetaka dari para
dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan untuk menyerbu dan
meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu" Kau berangkatlah, bawalah surat nasehatku
kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh anak buahku. Kalau ada yang
berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku bersumpah untuk mengganti kerugian
dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para dorna!"
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke
rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada
isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada
puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
"Isteriku!" katanya pada malam hari itu, "besok pagi aku akan pergi melakukan tugas
pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi
mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di kota
inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu dan aku
belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau berada
dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah
kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan
anakmu sebagai keluarga sendiri!"
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika bertanya.
"Suamiku, mengapa kau berkata demikian" Seakan-akan kau berpamit untuk pulang ke alam baka
saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?"
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum
untuk membikin tenang hati isterinya. "Soal mati hidup, siapa yang tahu" Aku hanya bicara
sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang
makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya kalau
perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita terpisah
jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat berlindung."
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah Liem
Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap kaisar dan
menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada Kaisar,
mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti bujukan dan
hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang
mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik angkatnya
ini ia memberi surat. Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan
alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini.
Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi
surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin takkan
kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar
dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal. Kakakmu, Liem Siang Hong Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak
angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, "menasehati" kaisar merupakan pantangan besar
bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati
kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka
yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati.
Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang Hong
untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia sembilan
tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Bab 11".. Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar ini
dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem Siang
Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee
Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika mendengar
bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para pengawal
mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan tidak dapat
dikejar lagi. Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan
lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
"Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah kemasukkan
iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak lama lagi aku
akan menghancur leburkan Tiang-an!"
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat
jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara
menyerbu Tiang-an. ****** Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan
pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan Liem Sian Lun, putera
tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang
diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To
Siansu untuk turun gunung.
"Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana telah
ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan dunia di
sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati
keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan hebat.
Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan ayahmu.
Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus kau
berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangk
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan
langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan
Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak,
terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena
selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu silat
dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali
pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus.
Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima orang pendeta tua
yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di antara
mereka bertanya garang. "Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?"
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah
mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima
orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan
menjawab, "Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi
Cinjin." Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat penasaran dan
marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu. Mereka masih
merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat marah dan teguran,
akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di tempat penjagaan
masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi Cinjin.
"Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya,
akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam
permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja."
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang pendeta
itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling pandang dengan
kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek Thian Ji yang galak.
"Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat mengalahkan
pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu suhu!"
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi
ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak
galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang
pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
"Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!"
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka
dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan
herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda
tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat.
Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin
pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan tetapi
Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru mereka
miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, maka tentu saja Sian
Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai
sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima
pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali.
Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun
memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras
sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan
terlempar jauh. Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu
mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.
"Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?" Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam.
Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kiri
sambil berseru, "Suhu ......!" Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin
telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan
mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui
bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula
dihadapan Liang Gi Cinjin.
"Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini. Baiknya
kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini masih
banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah muridku
sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam mempelajari
ilmu silat daripada kalian berlima."
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
"Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!"
"Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu."
Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa puas
dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu mengajak
semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,
"Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada
pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku,
jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau
perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah
orangnya yang patut kita bantu."
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua anggauta
Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu pergerakan
untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan kejam.
Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu. Sian
Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu lalu
berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota.
Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang
besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan
pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.
Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi, baru
saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu Liang Gi
Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya ini sambil
memandang heran. "Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku memberitahukan
ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku telah bertemu dengan
seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah ahli waris dari seorang
yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silat dari sahabatku, Panglima Besar Kam Kok
Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan dapat menghadapi
Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah timbul niat dalam hatikuntuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah kepadamu dan kepada orang
tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar bahwa gadis itu adalah ahli warPanglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia akan setuju juga. Nah, puaslah hattelah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku. Ketahuilah bahwa aku telah memberikan
pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah saja kau mengenalnya apabila kau melihat
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi.
Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap
suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar biasa
anehnya. Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat
mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah
mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas
sekali. Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat
perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kini Tai-goan
sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota
raja. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat di
depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu. Ibunya
sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun melompat maju
dan memeluk ibunya. "Ibu....., ada apakah...." Siapa.... siapa yang ....?" Nyonya yang sedang menangis itu menengok
dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di antara tangis
dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang Hong telah
dihukum mati oleh kaisar.
Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia
berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata yang
berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
"Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan
menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat
itu." "Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari
mulut dari pada dilaksanakan!" terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang
amat kuat memegang pundaknya.
Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga
menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia cepat
mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang gesit ia
berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan
bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian ayahnya
dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li)," kata ibunya.
Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li
Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan
Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan
seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata.
Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya
Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka berada di dalam,
ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin daripada
pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan.
Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan
tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera menyambut
dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu dan girang
melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.
"Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat
keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh
dihandalkan tenaganya!" kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir. "Kita amat
membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa
mendapat bantuannya?"
"Aku akan membantu sekuat tenaga!" kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat. "Kalau
perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!" sambungnya sambil menghadapi
jenderal yang gagah itu. Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan
Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang
panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.
"Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an," katanya.
"Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan
petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba, tidak
akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an.
Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu
memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an dari
dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang menyerbu dari selatan akan dipimpin
sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk dipimpin.
Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai
hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she
Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para tawanan
sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka.
Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee
Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang
menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.
"Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak untuk
menangkap dan mengadili!" kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua orang setuju sekali dan
demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu dikerahkan,
lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an.
Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin
bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu perjuangan
ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak terdapat
pendeta-pendeta Pek-sim-kauw.
Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat dengan
keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar oleh keluarga
mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun yang masih kecil.
"Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!" kata Kwee Cun
dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,
"Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!"
Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang
sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya
tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.
Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan di
kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan
pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya saja
yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan oleh
Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian besar
ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan pemberontak.
Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di luar
tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga jumlahnya
dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih yang tinggi
besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya dan suaranya
seperti geluduk ketika ia menantang,
"Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara
dibawah pimpinanku?" Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar
pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara
nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.
Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu
benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.
"Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?" tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di atas
kuda, di sebelahnya. "Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia dulu
mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia amat gagah
dan berkepandaian tinggi," jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening. Memang ia sudah
mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah perkasa tak terlawan.
Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia
menudingkan pedangnya dan membentak keras.
"Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi anugerah
kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan
pemberontak. Mana anjing tua Li Goan" Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun
untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!"
"Kwan Sun Giok!" Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju menghadapi
panglima itu. "Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin sengsara rakyat tidak
patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta agaknya hanya mabok oleh
kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar kepadamu. Tahukah kau harta benda
siapa yang menyenangkan hidupmu" Keringat dan darah rakyatlah yang kaupergunakan untuk
berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesarpembesar jahat. Untuk menghadapi orang
macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju, cukup dengan pedangku saja!"
Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua
matanya dan memandang kepada Sian Lun.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi oleh
Sian Lun. "Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh
pemimpin barisan ini maju!"
"Akulah pemimpinnya," jawab pemuda itu.
"Kau.......!?" Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia
tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak. "Ha, ha, ha, ha!
Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan
menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!"
"Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!" kata
Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat
menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan
kelemahannya dan bahkan menantang.
"Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau memang
gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!"
"Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah
saja!" jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.
Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas
tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan tetapi
sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya jangan
menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.
"Bocah yang masih ingusan!" Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.
"Bersiaplah untuk terima binasa!" Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan
dengan pedangnya. Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain
pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar
hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut
lawannya.
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia
cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan tetapi
Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang lawan yang
mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata.
Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubitubi.
Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat
gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.
Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak
disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang yang
demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan ilmu-ilmu
pedang yang banyak dipelajarinya.
Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak
macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang
sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmuilmu
pedang itu ia pelajari sampai sempurna.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu singkat.
Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi terutama sekali
karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang mustika) lawan.
Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim seranganserangan
dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan ilmu pedang dari
Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata bahwa jenderal itupun
mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu
mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang benar-benar hebat dan belum dikenal oleh
jenderal ini. Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal
Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.
"Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu
pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula
gurumu?" Sian Lun tersenyum mengejek. "Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Pek-
sim-kiam-hoat" Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah
murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian L
Bab 12".. Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi
Cinjin, maka ia cepat berkata,
"Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat
Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!"
Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai
seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan
tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,
"Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau kau
dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan kaisar lalim
dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai omonganmu tadi."
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada
semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian Lun
dengan sekuat tenaga. Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para
perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa
ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa
terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus
menjadi dua. "Ha, ha, ha! Mampuslah kau!" Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini ditutup
oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet Merebut
Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi. Gerakannya yang
amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehingga tahutahu tangan kirinya telah
merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan yang tepat mengenai ulu
hati Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi
besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh terjengkang dalam keadaan mati dan
dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban.
Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang rampasannya
tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima orang perwira musuh
telah ronoh mandi darah. Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan
melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat
yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.
"Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu sudah
maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan untuk
membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang
sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang
menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim
pasti akan mampus di Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar
keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh,
karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka.
Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda
yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian
besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah.
Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang
ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi
penjagaannya. Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan
hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah
barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih
daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota
raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan
kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang besar
jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat pergerakan
barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah
panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam
ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama
sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan. Banyak
perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan tiga
orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa
kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak
memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang panglima
kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun mengadakan perlawanan
mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapi Cia Soan Kun dan Wong Pak
berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan.
Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa Jenderal Li
Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya. Ia memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang dan tidak
mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh
bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang dan
menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih
menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan
halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi.
Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga
orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglima-
panglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.
"Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!"
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan
membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
"Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!" teriak Song Kian Hi sambil menyambut serbuan
Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan hanya
menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan tetapi kini
keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima itu,
namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua puluh
jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung
tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hongkiam
telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh
terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia
mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik
keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.
"Terima kasih, jiwi lihiap!" kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus
bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini perlawanan
pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li Goan dengan
gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala orang yang sudah
putus lehernya. "Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!" teriakannya keras sekali
karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika balatentara kerajaan berikut
para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal besar itu
adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi ketakutan. Ada
yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk
menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak
mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah itu
telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk
menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya
kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia memimpin tentaranya masuk ke
dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu
gerbangnya. Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun juga
berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai
sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan penjaga kaisar
dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi ternyata
bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu atas
hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan
Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa pedang
itu, terkejutlah dia, "Aah.......! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok Han
yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut sekali
dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang kegagahan dan
kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras
rakyat akan kupenggal lehernya!" Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu
menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang menyilau
Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali
memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu lalu
menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang pusaka,
yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh nenek
moyang Jenderal Li Goan. Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya
menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,
"Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya kita
berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an! Sungguhpun
kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah berada di tangan kita.
Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang baik dan perjuangan kita
yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap dan tahan semua, akan tetapi
jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri. Semua tawanan baru harus
diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong. Hanya dialah seorang yang berhak
memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan. Juga awaslah terhadap
penyelewengan-penyelewengan para perajurit!"
Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah
seorang perwira yang bicara dengan gugup.
"Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit dia
tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!"
Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata,
"Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!"
Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil membawa
pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu"
Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita
gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang
perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan
sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja.
Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk" Hal ini diakibatkan oleh
penyelewengan para perajurit. Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu peperangan,
pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak sewenang-wenang.
Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li Goan yang menang
perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan penculikan terhadap kaum
wanita. Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan perampokan
dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik orang-orang
yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik perhatian Ling Ling
dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang diduduki oleh barisan
Jenderal Li Goan itu. Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia
menjadi marah sekali. "Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriot-patriot?"
bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala seorang tentara
yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan tenaga, perajurit
yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketika jatuh ke atas tanah ia tak dapat
bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak cepat dan tujuh orang
perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak semua dalam keadaan
terluka hebat. Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua
orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara
mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita.
Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang dapat
ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah roboh kena
pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor naga betina
yang marah. Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat
besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksa dulu apakah
kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.
Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling Ling
dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang ingin
menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh. Ling
Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai bahkan
membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk dibunuh.
Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya
makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya dan
berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali.
Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan tetapi
mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.
"Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah
perampok-perampok jahat!" seru Ling Ling di antara amukannya. "Sama halnya dengan
mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!"
"Ling Ling!" teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya, "jangan sembarangan membunuh!
Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita
melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!"
Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit
berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para
bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para pengeroyoknya"
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, "Semua perajurit, mundur!" Dan berkelebatlah bayangan
yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok. Perajurit-perajurit yang tadinya
mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang, menjadi lega dan
cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang wanita itu.
Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang
Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat
Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara. Tak
terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun menjadi
merah mukanya. Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah
merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya
merasa berat sekali. Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu
menegur, "Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit"
Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?"
Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan
membentak. "Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini" Bagus, kalau begitu rasakan
tajamnya pedangku!" Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan
pedangnya yang bersinar merah.
Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah berani
memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun menangkis
Dalam Derai Hujan 4 Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan Suka Suka Cinta 1