Pencarian

Tembok Besar 4

Tembok Besar Karya Unknown Bagian 4


serangan itu dengan pedang Gi-tiang-kiam dan membalas dengan serangan yang tak kalah
hebatnya. Terkejutlah keduanya ketika pedang mereka bertemu, karena mereka merasa betapa telapak
tangan mereka pedas dan tergetar, sedangkan kedua pedang itu mengeluarkan titik bunga api.
Pertempuran dilanjutkan dengan hebat dan makin lama keduanya menjadi makin heran, kagum
dan kaget. Ilmu pedang lawan benar-benar kuat dan tinggi sekali. Mereka sama gesit, sama kuat
dan sama pandai. Betapun juga, lambat laun Ling Ling merasa betapa ilmu pedang pemuda itu benar-benar
amat mengagumkan dan gerakannya lebih tenang dan kuat dari pada gerakan pedangnya
sendiri. Memang, sesungguhnya Sian Lun masih menang sedikit ilmu pedangnya, karena
selain ia telah menerima gemblengan dari suhunya, Beng To Siansu, iapun telah mewarisi
ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat dari Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat akan tetapi kedua orang muda itu masih saling serang dengan hebatnya.
Biarpun dalam keadaan terdesak, gadis yang tabah itu tidak menjadi gentar, bahkan ia lalu
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan lawan. Bagi Sian Lun, ia
makin tertarik kepada gadis ini dan hatinya tidak tega untuk melukainya. Maka ia berlaku
hati-hati dan tidak mau melakukan serangan-serangan maut, sehingga keadaan mereka teberimbang.
Sui Giok merasa gelisah sekali. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, puterinya akan kalah.
Akan tetapi, bagaimana ia dapat membantu"
"Ling Ling, hayo kita pergi dari sini!" teriaknya berulang-ulang karena kini para perwira
lainnya telah mengurung tempat itu dan keadaan mereka amat terancam.
"Tidak, ibu. Sebelum aku berhasil merobohkan cacing tanah ini, aku tidak mau pergi?" jawab
Ling Ling yang merasa penasaran sekali.
Beberapa orang perwira hendak maju membantu Sian Lun, akan tetapi begitu Sui Giok memutar
pedangnya menghadapi mereka, senjata tiga orang perwira telah terpental dan tubuh mereka kena
disapu oleh kaki Sui Giok sehingga terguling-guling. Melihat kehebatan nyonya ini, terkejutlah
semua perwira dan mereka tidak berani lagi maju mendekati.
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang tinggi besar dan terdengarlah seruannya yang
menggeledek dan berpengaruh sekali.
"Sian Lun, tahan! Nona pedang merah, harap kau bersabar dulu!"
Mendengar seruan ini, Sian Lun lalu melompat mundur, karena yang datang adalah Jenderal Li
Goan sendiri. Juga Ling Ling ketika melihat jenderal besar ini, menahan pedangnya. Akan tetapi
ia berdiri tegak dan memandang kepada jenderal itu dengan pandangan mata tajam.
"Kau mau apa, goanswe?" tanyanya angkuh.
Li Goan tersenyum dan berkata, "Kau dan panglimaku ini bertempur bagaikan dua ekor naga
sakti saja! Sungguh hebat, sungguh indah dilihat, akan tetapi amat berbahaya!" Kemudian ia
berpaling kepada Sui Giok dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata kepada ibu dan
anak itu. "Jiwi lihiap, baru kemaren jiwi membantu barisanku mengalahkan barisan kaisar, akan tetapi
mengapa hari ini jiwi telah melakukan hal sebaliknya" Mengapa jiwi menyerang para perajuritku
dan bahkan menyerang panglimaku" Sungguh aneh sekali jiwi ini, kemaren menjadi pembantu
sekarang menjadi lawan!"
Jenderal ini bicara dengan suara yang jelas, tenang dan muka terang sehingga Sui Giok merasa
malu. Akan tetapi Ling Ling menudingkan pedangnya kepada semua perajurit yang
menggeletak di situ sambil berkata keras.
"Kemaren yang kami bantu adalah barisan orang-orang gagah yang berjuang menumbangkan
kekuasaan raja lalim. Akan tetapi hari ini kami menyerang barisan perampok yang berlaku
sewenang-wenang, merampok, membunuh, dan menculik wanita. Apanya yang aneh dalam
perbuatan kami" Kaulah orangnya yang aneh, goanswe! Kemaren kau memimpin pasukan
pejuang, apakah hari ini kau hendak membela dan memimpin perampok-perampok jahat macam
ini?" Mendengar ucapan ini, bukan main malu dan marahnya jenderal itu. Mukanya yang gagah itu
menjadi merah sampai ke telinganya. Tanpa menjawab kata-kata Ling Ling, ia memandang
kepada seorang perajurit yang terluka, menghampirinya lalu menjambak rambutnya, dipaksa
berdiri. "Siapa yang memimpin perampokan ini?" tanyanya dengan suara bagaikan harimau
mengaum. Perajurit yang terluka pahanya oleh pedang Ling Ling itu, menjadi pucat dan dengan bibir
gemetar dan tubuh menggigil ia menjawab.
"Hamba......, hamba hanya terbawa-bawa, yang menjadi biang keladinya adalah Ciu-twako
itu........." Ia menuding ke arah seorang perajurit yang patah tulang pundaknya dan rebah
merintih-rintih di atas tanah.
Jenderal Li Goan melepaskan jambakannya, akan tetapi ia menendang tubuh perajurit itu
sehingga tubuh itu terpental jauh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian menghampiri
perajurit she Ciu yang kini memandang dengan mata terbelalak takut.
Semua orang, termasuk Ling Ling, Sui Giok, dan Sian Lun, memandang dengan diam tak
mengeluarkan sedikitpun suara. Demikian pula para perajurit dan perwira. Keadaan menjadi
sunyi sekali. "Kau mengaku telah membawa kawan-kawanmu merampok dan menculik wanita-wanita?"
tanyanya dengan suara mengguntur.
Perajurit itu tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani pula menatap pandang mata
pemimpin besar itu. Ia menundukkan kepalanya dan tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan. "Jawab!" Jenderal Li Goan membentak.
"Hamba..... hamba hanya merampok...... bangsawan-bangsawan ....... kaki tangan kaisar........"
"Bagaimana bunyi larangan ketiga dan kelima?" suara Jenderal Li mengguntur lagi.
"Ketiga..... tidak boleh merampok......, kelima .... tidak boleh mengganggu wanita....."
"Bedebah, kau masih ingat larangannya, namun tetap kau langgar!" Srrrrt! Pedang yang
mengeluarkan cahaya kuning tercabut dari pinggang jenderal itu dan sekali ia ayunkan
pedangnya, putuslah leher perajurit yang menyeleweng tadi.
Jenderal Li Goan lalu mengangkat pedang Oei Hong Kiam tinggi-tinggi, dan berkata dengan
suara keras terhadap semua perwira dan perajurit.
"Dengarlah semua, hai patriot-patriot bangsa sejati. Kalian telah mencucurkan peluh,
mengeluarkan darah, mempertaruhkan nyawa untuk membela bangsa dan mengusir penindas
rakyat. Perjuanganmu itu baru disebut suci dan bermanfaat apabila tidak kalian kotori dan nodai
sendiri dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti yang telah dilakukan oleh manusiamanusia ini.
Jangan menjadi pelindung rakyat hanya di mulut saja, akan tetapi dihati selalu mencari
kesempatan untuk memeras rakyat jelata. Contohnya perajurit yang kupenggal lehernya ini, siapa
saja yang berani melakukan pelanggaran seperti dia, pedangku ini akan memenggal lehernya."
Bab 13".. Setelah berkata demikian, Jenderal Li Goan hendak memberi hormat kepada Sui Giok dan Ling
Ling, akan tetapi ibu dan anak itu memandangnya dengan mata terbelalak. Pandangan mata Ling
Ling dan Sui Giok sebenarnya bukan tertuju kepada wajah jenderal itu melainkan kepada
pedang Oei Hong Kiam yang diangkat tinggi-tinggi oleh Jenderal Li Goan.
"Oei Hong Kiam ......!" berseru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng dan tiba-tiba wajah
mereka menjadi beringas. Inilah pedang peninggalan Panglima Kam Kok Han yang telah
dirampas oleh pembunuhnya. Sebelum menarik napas terakhir, Bu Lam Nio telah berpesan agar
mereka berdua mencari dan membunuh pemegang pedang Oei Hong Kiam!
Bagaikan mendapat komando, serentak Ling Ling dan Sui Giok menubruk maju dengan pedang
mereka, menyerang Jenderal Li Goan yang sama sekali tidak menyangkanya. Baiknya jenderal
besar ini memiliki ilmu silat tinggi, maka ketika dua pedang itu menyambarnya, ia masih dapat
menangkis pedang Sui Giok dan mengelakkan diri dari tusukan pedang merah di tangan Ling Ling
yang menyambar lehernya. Namun gerakan Ling Ling amat cepatnya sehingga biarpun jenderal
itu berhasil menyelamatkan nyawanya masih saja ujung pundaknya terbabat sehingga baju dan
kulit pundaknya terobek oleh ujung pedang.
"Eh, gilakah kalian?" Jenderal Li Goan masih sempat berseru kaget, dan Sian Lun lalu menyerbu
ke depan menghadapi amukan Ling Ling yang amat berbahaya ilmu pedangnya itu. Juga semua
perwira mengurung maju sambil berteriak-teriak.
"Tangkap pemberontak wanita! Bunuh mereka!"
Ada pula yang berseru, "Mereka adalah siluman kejam! Bunuh!"
Ling Ling tertawa bergelak dan dengan suara yang menyeramkan ia berseru,
"Hayo, majulah! Keroyoklah Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li! Kami tidak takut! Pemegang
Oei Hong Kiam harus mampus di tangan kami!" Ia terus mengejar Jenderal Li Goan, akan
tetapi oleh karena Sian Lun menghalanginya, dengan sengit dan marah sekali ia lalu menyerang
Sian Lun sehingga kembali ia bertempur dengan hebatnya menghadapi pemuda kosen itu.
Nama Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li sudah terkenal sekali, karena nama ini telah banyak
diceritakan orang. Maka mendengar nama ini, terkejutlah semua orang, termasuk Sian Lun dan
Jenderal Li Goan. Akan tetapi jenderal yang berpengalaman ini tidak mau melihat wanita gagah itu terbunuh, karena
ia pikir tentu ada apa-apanya di belakang yang mereka hendak membunuhnya. Apalagi ucapan
Ling Ling yang terakhir, yang menyatakan bahwa pemegang pedang Oei Hong Kiam harus mati di
tangan mereka, amat menarik hatinya.
"Sian Lun, jangan bunuh mereka! Tangkap mereka hidup-hidup! Ini merupakan perintah!"
katanya keras sehingga terdengar oleh semua perwira yang beramai-ramai mengurung ibu dan
anak itu. Para perwira ketika mendengar perintah ini lalu mengambil tambang dan jala, dan beramairamai
mereka melemparkan jala dan tambang ke arah kedua orang wanita yang mengamuk bagaikan
kerbau gila itu. Dikeroyok demikian banyak orang, terutama sekali menghadapi pedang Sian
Lun yang luar biasa, akhirnya Ling Ling dan Sui Giok dapat tertutup oleh jala.
Mereka memberontak dan dengan pedang mereka, banyak jala yang putus-putus dan banyak
pula perwira yang terkena bacokan sehingga terluka. Akan tetapi, selagi mereka merontaronta di
dalam jala, Sian Lun lalu menghampiri Ling Ling dan dengan cepat sekali lalu menotok pundak
gadis itu di jalan darah tai-hwi-hiat sehingga lemaslah tubuh Ling Ling.
Jenderal Li Goan juga melompat ke dekat Sui Giok dan jenderal yang berkepandaian tinggi ini
menyontoh tindakan Sian Lun dengan tiam-hoatnya yang dipelajarinya dari ilmu totokan
Siauw-lim-pai, maka robohlah Sui Giok dengan tubuh lemas
"Tahan mereka dan hadapkan kepada pengadilan tertinggi untuk diperiksa!" jenderal itu
memerintahkan kepada para perwiranya. "Akan tetapi harus memperlakukan mereka baik-
baik!" Setelah berkata demikian, ia mengajak Sian Lun masuk ke dalam istana untuk melanjutkan
usaha perkembangan selanjutnya agar pemerintahan yang baru dapat berjalan lancar.
****** Pada keesokan harinya, Kwee Siong dengan pakaian kebesaran telah duduk di belakang meja
besar di dalam istana di ruang lebar bagian persidangan pengadilan kaisar. Pembantu-
pembantunya telah menduduki tempat masing-masing dan di kanan kiri siap menjaga empat
belas orang perwira yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Empat orang algojo yang
bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa berdiri di kanan kiri pula, diam tak bergerak bagaikan
patung. Suasana di ruang pengadilan sepi sunyi, tidak ada seorangpun berani mengeluarkan suara.
Memang Kwee Siong terkenal amat memegang aturan dan melarang orang-orang membuat gaduh
apabila ia sedang mengadakan pemeriksaan terhadap para pesakitan. Ia amat manis budi akan
tetapi memegang disiplin teguh sekali. Di dalam pemeriksaan, ia amat jujur dan adil, pandai
sekali memancing omongan pesakitan. Pandai pula ia mengangkat dan menyanjung-nyanjung
pesakitan untuk kemudian dibantingnya sehingga banyaklah para pesakitan yang tadinya
mati-matian menyangkal perbuatannya, terkena bujuk dan masuk dalam perangkap sehingga
tanpa diminta lagi mereka itu dengan sukarela telah mengakui semua perbuatann
Di dalam pekerjaan ini, sistim yang dipergunakan oleh Kwee Siong jauh berbeda dengan sistim
pengadilan di masa itu. Biasanya, seorang hakim mengandalkan alat penyiksaan untuk memaksa
pesakitan mengakui perbuatannya.
Pendapat Kwee Siong lain lagi, karena menurut pendapatnya, pemeriksaan mengandalkan alat
penyiksaan ini banyak sekali membuat orang-orang yang tidak bersalah terpaksa mengakui
perbuatan pelanggaran yang sebenarnya tidak dilakukan, semata-mata karena tidak tahan terhadap
siksaan-siksaan tadi. Dengan demikian terkenal di zaman itu banyak sekali orang tidak berdosa
terpaksa menjalani hukuman, karena terpaksa mengakui perbuatan kejahatan yang tidak
dilakukannya, dipaksa oleh alat-alat penyiksa tadi.
Algojo-algojo atau tukang-tukang penyiksa yang seperti raksasa itu diadakan di situ oleh Kwee
Siong hanya untuk menakut-nakuti saja, dan mereka berempat ini jarang sekali turun tangan.
Setelah memeriksa surat-surat tuduhan dan laporan dari para pesakitan yang banyak sekali
jumlahnya, Kwee Siong lalu memanggil nama seorang pesakitan. Dengan amat lancar
dilakukan tanya jawab dan pemeriksaan terhadap para pesakitan, seorang demi seorang.
Cara memutuskan sesuatu perkara amat bijaksana dan kadang-kadang membuat para
pembantunya diam-diam saling pandang dengan terheran-heran. Sebagai contoh dari pada
kebijaksanaan pemeriksaan dan keputusan Kwee Siong yang dianggap aneh oleh para
pendengarnya, adalah dua hal sebagai berikut.
Seorang bangsawan tua yang dekat dengan keluarga kaisar, ketika dibawa menghadap di
ruangan itu, tidak mau berlutut di depan meja pengadilan.
"Berlutut!" bentak seorang algojo sambil memaksanya untuk berlutut. Karena tenaga algojo itu
amat kuat, maka bangsawan tua itu terpaksa berlutut. Akan tetapi, begitu ia berlutut dan tangan
algojo yang menekan pundaknya dilepaskan, ia berdiri lagi dengan tegak dan memandang
kepada Kwee Siong dengan mata menentang.
"Tua bangka kurang ajar! Kau harus berlutut!" Alagojo itu berseru lagi dan mengangkat
tangannya untuk mengancam bangsawan itu, akan tetapi terdengar Kwee Siong berkata.
"Biarkan saja!" Kemudian ia memandang kepada bangsawan itu dengan sabar, dan ia
mengenal bangsawan itu yang bukan lain adalah Cin Kui Ong, seorang yang berpangkat
kepala urusan kebudayaan di zaman pemerintah Sui.
"Kiranya Cin Kui Ong taijin yang berdiri dihadapanku," hakim ini berkata tenang, "kerajaan Sui
telah musnah, apakah kau masih saja berkeras kepala dan hendak melakukan perlawanan dengan
sikapmu yang angkuh?"
Cin Kui Ong meludah ke atas tanah dengan sikap yang menghina sekali. "Cih! Kerajaan boleh
musnah, akan tetapi kesetiaanku takkan musnah, biarpun kau akan memenggal leherku. Aku Cin
Kui Ong tidak boleh dipersamakan dengan segala siauwjin (orang rendah) she Kwee yang tidak
ingat budi. Kau dulu mendapat anugerah kaisar dan sekarang kau berbalik memihak pemberontak.
Apakah kau tidak malu menghadapi nenek moyangmu?"
Seorang algojo hendak turun tangan membungkam mulut yang amat menghina itu, akan tetapi
Kwee Siong memberi tanda agar bangsawan itu dibiarkan saja bicara.
"Orang she Kwee!" Cin Kui Ong melanjutkan bicaranya dengan semangat membubung tinggi dan
muka merah. "Telah beberapa keturunan aku orang she Cin mengabdi kepada kaisar, mengalami
jatuh bangunnya kerajaan, akan tetapi belum pernah keluargaku berlaku khianat. Kami adalah
orang-orang setia yang tidak akan takut menerima datangnya hukuman dari pihak pemberontak
keji. Bagi kami, lebih baik mati sebagai seorang pahlawan terhadap kaisar!"
"Bagus, Cin Kui Ong! Kau masih bisa bicara tentang kepahlawanan dan kegagahan. Memang
tepat sekali ucapanmu bahwa orang harus menjunjung tinggi kesetiaan, akan tetapi lupakah kau
bahwa diatasnya kesetiaan masih terdapat kebajikan, prikemanusiaan, dan keadilan" Apakah
benar-benar kau tidak melihat betapa Kaisar Yang Te berlaku amat lalim dan tidak
memperdulikan keadaan rakyat jelata" Lupakah kau betapa ratusan laksa jiwa rakyat kecil
dikorbankan hanya untuk kesenangan dan nafsu dari kaisar yang angkara murka itu" Tidak tahu
pulakah kau betapa pembesar-pembesar tinggi berlaku korup, memeras rakyat, menggendutkan
kantongnya dan perutnya sendiri tanpa memperdulikan keluh kesah dan penderitaan rakyat?"
"Tak usah kau memberi petuah kepadaku, Kwee Siong! Dalam hal ini, kau yang masih muda
mana dapat melampaui pengalamanku. Aku tahu, tidak buta mataku, aku tahu akan semua itu,
akan tetapi aku orang she Cin tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Betapapun juga, kami
adalah orang-orang yang patuh akan kewajiban, tidak sudi memeras rakyat, tidak sudi berlaku
korup, patuh dan setia dengan setulusnya hati!"
Kwee Siong tertawa, "Kesetiaan membuta, ketulusan yang timbul dari hati lemah. Eh, orang she
Cin, pernahkah kau yang melihat segala ketidak adilan itu menegur kaisar" Pernahkah kau turun
tangan menghalangi kawan-kawan sejawatmu yang melakukan pekerjaan terkutuk itu?"
Untuk pertanyaan ini, Cin Kui Ong tak dapat menjawab. Akhirnya ia membela diri. "Urusan orang
lain bukanlah urusanku. Kewajibanku telah kuselesaikan dengan hati bersih. Perduli apa dengan
urusan orang lain. Thian tidak buta dan semua orang yang berbuat jahat pasti akan mendapat
hukumannya sendiri."
"Nah, itulah kelemahanmu, Cin-taijin! Kegagahan tanpa disertai keadilan dan kebajikan akan
menjadi kegagahan yang merusak. Kesetiaan tanpa disertai pertimbangan dan prikemanusiaan
akan menjadi kesetiaan yang palsu. Setialah orang-orang yang berani menegur dan
memperingatkan junjungannya dari pada kesesatan. Setialah orang-orang yang berani melakukan
hal itu, tanpa memperdulikan nasib sendiri, tidak takut menghadapi murka raja. Rakyat menderita
hebat, yang makmur hanyalah orang-orang yang memegang pangkat, akan tetapi kau membutakan
mata terhadap nasib rakyat jelata. Aku dapat melihat hal itu dan aku membantu perjuangan rakyat
yang memang sudah seadil-adilnya. Pemimpin yang tidak pandai membawa rakyat ke arah
kemakmuran sudah tak layak lagi disebut pemimpin. Kaisar diangkat bukan untuk menyenangkan
diri sendiri, melainkan untuk berusaha ke arah kemakmuran rakyatnya, kekuatan negaranya!"
Mendengar uraian ini, diam-diam Cin Kui Ong menjadi kagum sekali. Terbukalah matanya
bahwa kesetiaannya terhadap pemerintah Sui itu sama halnya dengan mendorong dan membela
kejahatan merajalela. Akan tetapi, ia tetap mengangkat dada dan berkata.
"Kalau begitu, biarlah aku mengaku bahwa pemerintah Sui memang buruk. Dan sebagai
seorang pembesar dari pemerintah yang buruk, aku siap untuk dihukum mati. Biarlah aku
membayar kesalahan kerajaan Sui dengan kesetiaan dan nyawaku!"
Kwee Siong tersenyum girang. Ia memberi tanda kepada penjaga dan berkata, "Bebaskan dia!
Kembalikan gedungnya yang disita dan bebaskan pula semua keluarganya!"
"Kwee Siong, kau menghinaku!" Cin Kui Ong berkata marah. "Lebih senang hatiku kalau kau
menjatuhi hukuman mati kepadaku!"
Akan tetapi Kwee Siong menggelengkan kepalanya. "Tidak, Cin-taijin. Orang-orang bersemangat
kesatria dan berjiwa pahlawan seperti kau amat dibutuhkan oleh rakyat yang perlu dipimpin.
Pemerintahan baru membutuhkan tenagamu, dan kalau kau memang mencinta nusa dan bangsa,
tentu kau akan suka menyumbangkan tenagamu!"
Demikianlah, Cin Kui Ong yang terheran-heran itu didorong keluar dari ruang sidang itu dan
disuruh pulang. Hal ini amat mengherankan semua orang, akan tetapi perhitungan Kwee Siong
memang tepat. Sebelumnya ia memang telah tahu bahwa pembesar ini termasuk di antara para pembesar yang
jujur dan adil, dan setelah kini dikeluarkan, ternyata kelak Cin Kui Ong akan merupakan seorang


Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembesar yang amat baik dan membantu lancarnya roda pemerintahan yang baru.
Keputusan kedua yang dijatuhkan kepada seorang pembesar muda bernama Oei Lok Cun juga
mengherankan semua orang. Pembesar ini usianya baru tiga puluh tahun lebih dan tadinya ia
berpangkat kepala bagian perbendaharaan.
Seperti juga Cin Kui Ong, ia ditawan sebelum sempat melarikan diri, karena ia tidak dapat pergi
meninggalkan gedungnya yang penuh dengan harta bendanya. Sebelum melakukan pemeriksaan,
Kwee Siong sudah membuat catatan riwayat hidup dan keadaan seorang pesakitan, maka ia tahu
bahwa pembesar muda she Oei ini dulunya terkenal sebagai seorang pembesar tukang korupsi.
Betapapun juga, ia hendak melihat sikapnya dulu, baru mengambil keputusan.
Begitu dihadapkan dengan Kwee Siong, Oei Lok Cun lalu menjatuhkan diri berlutut tanpa
berani mengangkat mukanya.
Atas pertanyaan Kwee Siong, Oei Lok Cun menjawab bahwa dia adalah seorang bekas
pembesar bagian perbendaharaan, mempunyai seorang putera dan tidak ikut mengungsi
dengan kaisar karena katanya ia hendak tunduk terhadap pemerintah yang baru.
"Oei Lok Cun!" Kwee Siong membentak dengan suara keras. "Kau kini menyatakan hendak
tunduk terhadap pemerintahan yang baru, apakah kau tahu siapakah para pemberontak yang kini
menggulingkan kaisar?"
"Hamba tahu, hamba tahu!" jawab Oei Lok Cun cepat-cepat. "Yang menggulingkan kaisar
adalah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa dan adil."
Marahlah Kwee Siong mendengar jawaban ini. "Bodoh! Tidak terbukalah matamu bahwa Li-
goanswe hanya menjadi pemimpin yang terpilih oleh rakyat" Rakyat jelatalah yang
menggulingkan pemerintah kaisar lalim. Tahukah kau" Rakyat jelata yang telah lama terinjak-
injak dan tercekik yang bangkit menggulingkan kaisar!"
"Betul..... betul......" kata Oei Lok Cun gagap. "Hamba tadi lupa, rakyat jelatalah yang gagah
berani yang memberontak dan menggulingkan raja lalim!"
Kwee Siong tersenyum menyindir. Manusia yang tak dapat dipercaya, makinya di dalam hati.
Anjing penjilat yang berbahaya.
"Hm, sekarang kau menyebut rakyat jelata yang gagah berani" Akan tetapi berapa banyak
sudah uang suapan yang kau terima pada waktu rakyat diperas dan dipaksa menjadi pekerja
paksa?" Pucatlah muka Oei Lok Cun mendengar tuduhan ini. Dengan bibir gemetar dan tubuh
menggigil, ia berkata, "Itu..... itu..... hamba terpaksa......, taijin!"
"Terpaksa bagaimana?"
"Hamba..... hamba hanya menurut perintah kaisar...... hamba ...... hamba tidak memakai uang
itu...... kalau taijin kehendaki, sekarang juga hamba akan kembalikan semua uang itu..... sungguh
mati, hamba tidak menggunakan uang itu, hamba mau menyerahkan kembali kepada taijin....."
"Tutup mulutmu!" Kwee Siong membentak marah karena merasa ia akan diberi suapan secara
demikian berterang dan tak tahu malu. "Kau kira aku semacam engkau" Kau bilang bahwa kau
sekarang hendak menurut dan tunduk kepada pemerintah baru" Betul-betul kau bersumpah bahwa
kau akan membantu kami?"
Gembiralah wajah Oei Lok Cun karena mendapat harapan baru.
"Tentu saja, taijin! Hamba bersumpah untuk membela dan bersetia, hamba suka membantu
dengan jiwa raga hamba!"
Hampir saja Kwee Siong tertawa bergelak mendengar omong kosong ini. "Nah, bagus kalau
begitu," katanya menahan senyum, "sekarang kaisar telah melarikan diri dan kami
membutuhkan tentara untuk mengejar dan menawannya. Kau harus membantu dan berjuang di
garis depan, menghadapi tentara penjaga kaisar."
Bukan main terkejutnya Oei Lok Cun mendengar ucapan ini.
"Ampun, taijin! Hamba seorang yang lemah, tak pernah memegang senjata! Biarlah hamba
membantu dengan harta benda hamba saja, untuk membeli ransum. Hamba....... hamba bersedia
berjuang di garis paling belakang saja!"
Habislah kesabaran Kwee Siong. Ia memberi tanda kepada penjaga dan memutuskan,
"Masukkan pengecut dan penjilat ini ke dalam penjara. Hukumannya sepuluh tahun, harta
bendanya disita, ditinggalkan sepuluh bagian untuk putera dan keluarganya!"
Oei Lok Cun menangis dan mengeluh panjang pendek ketika ia diseret keluar. Seorang
pembantu Kwee Siong yang duduk di sebelah kiri hakim itu dan yang tergerak hatinya oleh
keluh kesah bekas pembesar kerajaan Sui itu memandang kepada Kwee Siong dengan mata
memohon penjelasan. "Orang macam itu," kata Kwee Siong dengan sabar, "adalah orang yang amat berbahaya. Dalam
keadaan negara aman, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan kekayaan, tak perduli dengan
jalan korupsi atau memeras rakyat. Kalau negara berada dalam bahaya, ia menyembunyikan diri,
dalam persiapan perang ia selalu melepaskan diri mempergunakan uangnya.
Kalau peperangan selesai, ia akan gembar gembor menonjolkan diri sebagai pahlawan terbesar
dan menuntut jasa. Ia pengecut dan penjilat, berusaha menyuap pembesar atasannya dan
mencekik pekerja bawahannya."
Penjelasan ini membuat semua orang menahan napas karena kagum dan takut. Kalau ada di
antara para pembantu itu yang bercita-cita seburuk kelakuan Oei Lok Cun, akan lenyaplah
cita-cita itu bagaikan asap tertiup ang
Demikianlah, Kwee Siong memeriksa semua tawanan dan pesakitan dengan caranya sendiri,
penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan keadilan. Banyak yang dibebaskan, ada pula yang
dihukum mati atau dihukum sampai bertahun-tahun.
Ketika tiba giliran dua orang pesakitan wanita yang di dalam laporan disebut sebagai Toatbeng
Mo-li dan Cialing Mo-li, ia mengerutkan keningnya. Disangkanya bahwa kedua orang wanita itu
tentulah perampok-perampok jahat yang mempergunakan kesempatan dalam peperangan itu untuk
melakukan kejahatan, Akan tetapi ketika ia membaca laporan itu mendapat kenyataan bahwa dua
orang wanita itu menyerang dan melukai Jenderal Li Goan, ia menjadi terkejut sekali.
"Bawa ke sini seorang demi seorang!" perintahnya.
Tak lama kemudian dari luar terdengar suara ribut-ribut dan seorang gadis muda yang cantik
jelita diseret masuk. Gadis ini adalah Ling Ling yang diikat kedua kaki tangannya akan tetapi
gadis itu masih berusaha meronta-ronta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan tertotok maka ia
akan dapat membuat tali-tali yang mengikat kaki tangannya itu akan putus semua.
"Hati-hatilah, jahanam-jahanam biadab!" desisnya dengan suaranya yang merdu dan nyaring
sekali. "Kalau aku dapat bebas, aku akan patahkan lehermu seorang demi seorang."
Ketika ia diseret di depan Kwee Siong, Ling Ling berdiri tegak dan memandang kepada pembesar
ini dengan mata tajam dan penuh kebencian. Akan tetapi Kwee Siong memandangnya dengan
senyum ramah dan pandang mata lembut, sehingga Ling Ling merasa heran dan juga jengah.
Dengan heran ia merasa betapa kemarahannya mencair menghadapi wajah pembesar yang
bermata tajam dan bermuka ramah itu.
Pada saat itu, seorang perwira datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Kwee Siong. Ketika
Kwee Siong membaca surat itu, ternyata itu adalah surat dari Li Goan yang minta agar supaya
Kwee Siong menyelidiki keadaan kedua orang wanita yang mengamuk itu dengan seksama dan
teliti. Dalam suratnya ini, Li Goan menceritakan betapa di dalam perjalanannya menyerbu kota
raja, kedua orang wanita itu telah membantunya mati-matian dan jasa mereka amat besar.
"Nona, siapakah namamu?" tanyanya setelah membaca surat itu.
"Perlu apa bertanya lagi. Aku disebut Iblis Wanita dan aku sudah kalah karena keroyokan
yang pengecut sekali. Aku sudah tertangkap, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak
tanya?" "Kau gagah berani sekali, nona. Sayang sekali seorang gadis yang masih muda seperti kau,
seorang yang masih banyak harapan di hari depan, yang seharusnya menjadi seorang calon ibu
yang bijaksana, seorang berkepandaian tinggi yang seharusnya menjadi pejuang yang amat
dibutuhkan oleh rakyat, kau ternyata telah tersesat sedemikian jauhnya. Sungguh sayang sekali
kau menerima pelajaran ilmu kepandaian setinggi itu, kalau hanya kau pergunakan untuk
membunuh Jenderal Li Goan, pemimpin besar dari rakyat jelata!"
Kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh Kwee Siong mengharukan hati Ling Ling sehingga
hampir saja ia mengeluarkan air matanya. Akan tetapi ucapan terakhir itu memanaskan hatinya
sehingga ia menjawab marah,
"Kau ini siapakah maka berani bicara tentang kegagahan" Siapa yang tersesat" Aku
selamanya membela rakyat dan membenci kaisar lalim dan pembesar terkutuk. Aku
mengamuk dan membunuh perajurit-perajuritmu karena mereka merampok dan menculik
wanita!" Kwee Siong tersenyum dan mengangguk-angguk. "Aku sudah tahu, nona. Aku sudah tahu pula
betapa kau dan kawanmu yang seorang lagi telah membantu perjuangan Jenderal Li Goan.
Akan tetapi, mengapa kau tiba-tiba menyerang Jenderal Li Goan" Mengapa kau dan kawanmu
tiba-tiba berbalik pikiran dan berusaha mati-matian untuk membunuhnya?"
"Karena ia musuh besar Kam Kok Han! Karena dia yang memegang Oei Hong Kiam!"
"Apa maksudmu?" tanya Kwee Siong dengan heran sekali.
"Tak perlu aku banyak bicara. Pendeknya siapa saja yang menjadi ahli waris pedang Oei
Hong Kiam, orang itu harus kubunuh!"
Tertarik sekali hati Kwee Siong mendengar ini. Ia sudah hampir dapat membuka tabir rahasia
tentang penyerangan itu. Ia mendesak dan membujuk, akan tetapi benar saja, Ling Ling tidak mau
menjawab lagi. Ia tidak mau membuka rahasia Bu Lam Nio, dan hanya menyatakan bahwa ia
harus membunuh Jenderal Li Goan, karena jenderal itu membawa pedang Oei Hong Kiam.
Kwee Siong menjadi kewalahan menghadapi gadis yang keras kepala ini.
"Bawa yang seorang lagi ke sini!" perintahnya kepada penjaga.
Berbeda dengan Ling Ling, Sui Giok masuk ke dalam ruangan itu dengan patuh dan tidak
banyak memberontak. Ketika ia dihadapkan kepada Kwee Siong, Sui Giok mengangkat
mukanya dan memandang, juga Kwee Siong memandang tajam. Dan..... keduanya menjadi
pucat sekali. Baik Sui Giok maupun Kwee Siong seakan-akan melihat setan di siang hari, mata
mereka terbelalak, mulut celangap, bibir gemetar dan tubuh menggigil.
"Siapa namamu?" tanya Kwee Siong menahan getaran hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya
terdengar parau dan menggigil sehingga semua orang memandangnya dengan khawatir.
"Hamba bernama Liem Sui Giok, taijin....." menjawab Sui Giok sambil menundukkan mukanya
untuk menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya. Ling Ling hampir saja berteriak
saking herannya melihat sikap ibunya ini. Belum pernah ia melihat ibunya bersikap demikian
lemah lembut dan tunduk. "Dan........ dan ini........ ini anakmu......?" Wajah Kwee Siong makin pucat dan suaranya makin
perlahan. "Betul, inilah Ling Ling, puteri hamba...."
Terdengar teriakan keras dan ributlah semua orang di situ melihat betapa Kwee Siong roboh
pingsan di atas bangkunya dengan kepala terkulai di atas meja. Dan yang amat mengherankan hati
Ling Ling, ibunya berlutut sambil menundukkan muka dan menangis.
Dalam keadaan ribut-ribut, ibu dan anak ini dibawa kembali ke kamar tahanan, sedangkan Kwee
Siong lalu digotong masuk ke dalam istana. Ia pingsan sampai lama sekali dan ketika siuman, ia
menderita demam panas yang hebat. Ia menderita pukulan batin yang hebat sekali ketika ia
melihat isteri dan puterinya telah menjadi orang-orang yang disebut siluman-siluman wanita.
Begitu siuman, ia berteriak-teriak dan kemudian jatuh pingsan lagi. Jenderal Li Goan cepat
mencari ahli obat untuk memeriksanya dan memberinya obat. Semua orang berpendapat bahwa
Kwee Siong terlampau lemah dan setelah ikut dalam peperangan yang melelahkan, sekarang
kelelahan membuatnya jatuh sakit berat.
Bab 14..... Malam hari itu, Sian Lun dipanggil oleh Jenderal Li Goan.
"Kau pergilah ke tempat tahanan dan sedapat mungkin lanjutkan pemeriksaan pamanmu (Kwee
Siong) atas diri dua orang wanita itu. Coba kau tanya dengan jelas, mengapa mereka itu
membenci orang yang memegang pedang Peihk ini!" Jenderal ini sudah mendengar tentang
hasil pemeriksaan itu dan hatinya ingin tahu sekali.
Kemudian Jenderal Li Goan lalu berpesan kepada Sian Lun agar supaya membebaskan kedua
orang itu. "Mengaku atau tidak, kau harus bebaskan mereka. Biarlah mereka datang lagi kalau
masih penasaran hendak membunuhku!" Jenderal ini tertawa. "Aku sudah siap menantinya."
Demikianlah, malam hari itu sambil membawa surat perintah, Sian Lun menuju ke tempat
tahanan. Sebelum ia tiba di tempat itu, Ling Ling dan ibunya bicara dengan asyik sekali.
Berkali-kali Ling Ling membujuk ibunya agar suka menceritakan sikapnya yang aneh tadi,
akan tetapi ibunya hanya menarik napas panjang.
"Tidak ada apa-apa, anakku, hanya bahwa dahulu aku pernah berkenalan dengan pembesar itu.
Dia adalah kawan baik ayahmu dan....... agaknya ia terharu melihat keadaan kita. Sudahlah, tak
perlu kau tahu lebih banyak akan hal ini dan tak perlu pula kau bicara dengan siapapun juga.
Biar aku yang akan menyelesaikan sendiri urusan ini apabila dia sudah dapat memeriksa lagi."
Ling Ling tak dapat mendesak ibunya yang nampak sedih dan selalu menangis itu. Dan pada saat
itu, Sian Lun telah memperlihatkan surat kuasa kepada kepala penjaga, karena tanpa adanya
surat kuasa dari Jenderal Li Goan, biarpun Sian Lun cukup dikenal sebagai panglima muda, tak
mungkin ia diperkenankan masuk untuk bercakap-cakap dengan para tawanan. Demikianlah
disiplin yang amat baik dan keras dari Jenderal Li Goan.
Ketika melihat ada orang berjalan mendekati kamar tahanan mereka, Sui Giok menghentikan
tangisnya dan Ling Ling memandang dengan marah ketika melihat bahwa yang datang adalah
pemuda lihai yang kemarin bertempur dengan dia.
"Mau apa kau datang?" ia menegur dengan marah sekali dan seluruh mukanya berobah
merah. Akan tetapi Sian Lun ketika melihat betapa kedua orang itu dibelenggu dan keadaan mereka
masih lemah bekas totokannya dan totokan jenderal Li Goan, merasa amat kasihan. Ia cepat
membuka pintu kamar tahanan itu dan membuka pula belenggu kaki tangan mereka.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka totokan dengan menepuk dan menotok kedua
pundak gadis dan ibunya itu. Sesungguhnya totokan yang kemarin dilakukan olehnya dan oleh
jenderal Li Goan telah lenyap pengaruhnya dalam waktu seperempat hari saja, akan tetapi kalau
lenyapnya bukan karena dibuka dengan totokan lain, pengaruhnya masih ada dan masih membuat
tubuh terasa lemas. Bukan main herannya hati Ling Ling dan Sui Giok ketika mereka melihat perbuatan pemuda bekas
lawan ini. Lebih-lebih lagi rasa heran mereka ketika Sian Lun mengeluarkan dua batang pedang
dari dalam mantelnya, yakni pedang Ling Ling dan pedang Sui Giok yang kemaren telah
dirampas. "Apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Ling Ling masih ketus dan galak. "Apakah kau hendak
menyombongkan keberanianmu dan menantangku melanjutkan pertempuran kita satu lawan satu
tanpa adanya pengeroyokan yang pengecut?" Sambil berkata demikian, gadis ini sudah siap dan
mencabut pedangnya. Akan tetapi ia dicegah oleh ibunya yang segera bertanya kepada Sian Lun,
"Orang muda, sesungguhnya mengapa kau melepaskan kami" Apakah kehendakmu?"
"Aku diperintah oleh Jenderal Li Goan untuk melepaskan kalian karena beliau menganggap
kalian telah membantu perjuangan dan berjasa kepadanya."
Ucapan ini benar-benar di luar persangkaan kedua anak dan ibu itu. Tadinya mereka mengira
bahwa Sian Lun sendiri yang mempunyai maksud menolong mereka, akan tetapi Jenderal Li
Goan" Bukankah mereka telah menyerang dan hendak membunuhnya, bahkan Ling Ling telah
berhasil melukai pundaknya"
Sian Lun dapat menduga apa yang mereka pikirkan, maka ia lalu berkata lagi. "Sesungguhnya,
Jenderal Li Goan merasa amat penasaran mengapa kalian hendak membunuhnya hanya karena
kebetulan sekali ia memegang pedang Oei Hong Kiam. Padahal, ia memiliki pedang itu adalah
atas pemberianku!" Mendengar ucapan ini, baik Ling Ling maupun Sui Giok melompat bangun dan memandang
kepada Sian Lun dengan mata tajam mengancam.
"Jadi tadinya pedang itu adalah milikmu?"" tanya Sui Giok yang tiba-tiba berobah suaranya
menjadi keren sekali sehingga Sian Lun merasa amat terkejut.
Kemudian ............... "Memang Jenderal Li menerima pedang itu dariku," kata pula Sian Lun sambil memandang
tajam. "Kalau begitu kau harus mampus ditanganku!" seru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng.
Sian Lun makin terkejut dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangannya. "Harap sabar dulu
toanio, dan kau juga nona. Pedang itu bukanlah pedang yang kuwarisi dari nenek moyangku.
Aku hanya kebetulan saja mendapatkan pedang itu!"
Sui Giok menunda serangannya dan memandang tajam penuh perhatian. "Coba kau ceritakan
bagaimana kau mendapatkan pedang itu" Siapa pemiliknya sebelum terjatuh ke dalam
tanganmu?" Melihat ketegangan pada muka kedua orang wanita itu, Sian Lun dapat menduga bahwa
pedang Oei Hong Kiam itu tentu mempunyai riwayat yang hebat sekali. Dengan singkat ia lalu
menuturkan betapa ia mendapatkan pedang itu dari tangan seorang Panglima lawan, yakni
Jenderal Kwan Sun Giok yang menjadi murid dari Liang Hoat Cinjin.
Mendengar penuturan ini, Sui Giok menarik napas panjang dan berkata kepada Ling Ling. "Ah,
mengapa buruk benar nasib kita" Jenderal Li Goan yang gagah perkasa hampir saja kita bunuh
karena kecerobohanku. Anak muda, tolong kau sampaikan pernyataan maafku kepada
Jenderal Li Goan, dan juga terima kasih kami bahwa dia telah begitu baik hati untuk
melepaskan kembali kami, ibu dan anak yang berdosa."
Bangga hati Sian Lun mendengar ucapan ini dan pemuda yang tadinya merasa gelisah ini, kini
dapat tersenyum kembali. Dengan mata berseri, ia memandang kepada Ling Ling dan ibunya lalu
berkata, "Jenderal Li Goan adalah seorang pemimpin besar yang bijaksana. Kalau saja jiwi sudi bertemu
dengan dia dan menyatakan hendak bekerja sama menggulingkan kaisar lalim yang kini masih
belum tewas, tentu dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka."
Sui Giok menggelengkan kepalanya. "Kami bukanlah orang-orang yang haus akan kedudukan dan
pangkat." "Betapapun juga, kaisar lalim itu akhirnya pasti akan mampus di ujung pedangku!" Ling Ling
menyambung kata-kata penolakan ibunya.
"Orang muda, sebelum kami pergi, dapatkah kau menerangkan padaku, siapakah gerangan
hakim yang memeriksa kami siang tadi?"
Sian Lun tersenyum gembira ketika menjawab, "Ah, dia" Dia adalah pamanku sendiri,
bernama Kwee Siong, orang termulia di atas dunia ini!"
Wajah Sui Giok menjadi pucat sekali dan bibirnya gemetar. Untuk menyembunyikan
kebingungan dan keharuan hatinya, ia berkata gagap. "Jadi kau keponakannya, bukan
anaknya.....?" Pertanyaan ini sebetulnya merupakan ucapan penutup keharuannya, asal keluar
saja, akan tetapi dijawab oleh Sian Lun yang tidak menduga sesuatu.
"Bukan toanio. Aku bukan anaknya. Pamanku Kwee hanya mempunyai seorang putera yang
bernama Kwee Cun, baru delapan tahun usianya."
Belum habis pemuda itu mengeluarkan ucapan ini, Sui Giok telah memegang tangan Ling
Ling dan menariknya keluar. "Hayo kita pergi!"
Tentu saja Sian Lun menjadi heran sekali. Akan tetapi ketika ia menyusul keluar, ibu dan anak
yang aneh itu telah lenyap ditelan malam gelap. Terpaksa ia kembali ke tempat tinggal Kwee


Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siong dengan hati menduga-duga.
Adapun Ling Ling yang semenjak kecil belum diberitahu oleh ibunya akan nama ayahnya, juga
sama sekali tidak pernah mengira bahwa hakim itu adalah ayahnya sendiri. Tadinya Sui Giok
menanti dengan hati penuh harapan ketika ia melihat betapa hakim itu adalah suaminya sendiri,
akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar dari Sian Lun bahwa
suaminya yang kini telah menduduki pangkat tinggi itu ternyata telah menikah lagi dan telah
mempunyai seorang putera.
Ia menyembunyikan hal ini dari Ling Ling, karena ia maklum akan kekerasan hati puterinya ini.
Ia tidak dapat menyalahkan pernikahan suaminya itu, karena sebagai seorang bijaksana, Sui
Giok dapat mempertimbangkan keadaan suaminya yang tadinya seakan-akan menghidupkan
jiwanya yang telah mati, kini api harapan itu padam lagi dan membuat ia merasa betapa
kosongnya dunia ini. Sementara itu, ketika siuman kembali dari pingsannya, Kwee Siong memandang ke kanan
kiri, kemudian terdengar ia mengeluh.
"Mana........ mana mereka........?"" bisiknya berkali-kali dengan tubuh terasa panas bagaikan
dibakar. Seorang tinggi besar mendekatinya dan memegang tangannya.
"Saudara Kwee, kau kenapakah?" suara ini halus sekali sungguhpun terdengar besar dan
dalam. Kwee Siong memandang kepada wajah Jenderal Li Goan, dan tiba-tiba ia bangun dan duduk.
"Goanswe.... tolonglah..... keluarkan mereka. Ah, mereka itu adalah isteriku dan puteriku! Sui
Giok..... isteriku ternyata masih hidup dengan anaknya .... anakku ..... Ling Ling!"
Tentu saja Li Goan menjadi terharu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengira bahwa hakim ini
telah menjadi kacau pikirannya karena terserang demam.
"Beristirahatlah, saudara Kwee, kau terserang penyakit panas. Mungkin kau terlalu lelah," katanya
lemah lembut sambil mendorong perlahan pundak Kwee Siong supaya berbaring lagi.
Akan tetapi, dengan mata terbelalak Kwee Siong memegang tangannya dan berkata,
"Tidak, Goanswe, tidak! Dua orang wanita itu..... yang katanya menyerangmu, mereka itu
benar-benar isteri dan puteriku yang kukira tewas belasan tahun yang lalu!"
Barulah Jenderal Li Goan terkejut mendengar ucapan ini. Ia lalu duduk di pinggir pembaringan
Kwee Siong yang menceritakan riwayatnya ketika ia dibawa pergi oleh pasukan pengumpul
tenaga rakyat untuk dipaksa bekerja. Ia menuturkan pula bahwa telah beberapa kali ia menyuruh
orang menyelidiki keadaan isteri dan anaknya, dan mendengar bahwa mereka itu tidak kelihatan
bekas-bekasnya lagi, kemungkinan besar sudah tewas di dalam hutan.
"Dan sekarang mereka muncul..... mereka berada di sini! Ah, tolonglah Goanswe, bebaskan
mereka, biar mereka datang ke sini!"
Li Goan terkejut sekali dan cepat ia pergi keluar untuk memberi kabar kepada Sian Lun. Akan
tetapi ia mendengar dari pemuda ini bahwa kedua ibu dan anak itu telah pergi, entah ke mana.
Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan dengan wajah lesu jenderal ini lalu masuk kembali ke
kamar di mana Kwee Siong berbaring dengan penuh harapan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Kwee Siong ketika ia mendengar Li Goan berkata,
"Mereka sudah pergi, agaknya isterimu tidak mau bertemu dengan kau." Ia lalu menuturkan
kembali apa yang ia dengar dari Sian Lun tadi.
Kwee Siong menutup mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis terisak-isak seperti
anak kecil. "Ah, Sui Giok..... Sui Giok...... tentu kau marah dan membenciku..... aku telah berdosa besar
kepadamu! Sui Giok, mengapa kau tidak mau kembali kepadaku.....?"
Dalam keadaan sakit keras Kwee Siong lalu diangkat pulang ke rumah sendiri. Atas
permintaannya, peristiwa itu dirahasiakan, hanya Kwee Siong dan Li Goan sendiri yang
mengetahuinya. Bahkan Sian Lun sendiri tidak diberi tahu bahwa ibu dan anak yang
menyerang Li Goan itu sebenarnya adalah isteri dan puteri dari Kwee Siong.
Nyonya Kwee Siong dari keluarga Liok adalah seorang yang terpelajar. Melihat keadaan
suaminya dan mendengar betapa di dalam sakitnya, suaminya mengingau dan memanggil-
manggil nama Sui Giok, ia menjadi curiga.
Ia telah diberitahu oleh suaminya bahwa suaminya dulu pernah menikah dengan orang yang
bernama Sui Giok dan yang dikabarkan telah tewas, maka ketika ia melihat suaminya sudah
menjadi agak sembuh, dengan halus ia mendesak dan membujuk kepada Kwee Siong untuk
menceritakan keadaannya. Kwee Siong maklum akan kebaikan hati isterinya, maka ia lalu
berterus terang, menceritakan apa yang telah terjadi.
Nyonya Kwee menjadi sangat terharu dan dengan setulus hatinya ia mengucurkan air mata.
"Aduh, kasihan sekali mereka! Suamiku, mengapa pada saat kau bertemu dengan mereka, kau
tidak mengajak mereka pulang ke sini" Mereka berhak duduk di sampingmu dan hidup bersama
kita serumah. Dia adalah ibu dari anakmu yang sulung dan aku adalah ibu dari anakmu yang
bungsu. Kami dapat menjadi enci-adik dan hidup rukun di sini."
Kwee Siong menghela napas berulang berkali dengan penuh kemenyesalan.
"Aku berdosa besar ..... aku berdosa besar kepada mereka......" hanya inilah yang diucapkan
berkali-kali dan hatinya penuh dengan pertanyaan bagaimana Sui Giok yang lemah lembut itu kini
telah menjelma menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan
mengerikan. Akan tetapi siapakah dapat menjawab pertanyaan ini" Puterinya, Ling Ling yang
dulu masih berada dalam kandungan Sui Giok ketika mereka terpaksa berpisah, ternyata demikian
cantik jelita, demikian gagah berani, ah........
Tiada habisnya penyesalan menggerogoti hati Kwee Siong sehingga dalam beberapa bulan saja
rambut kepalanya banyak yang menjadi putih, sikapnya makin pendiam dan seringkali ia duduk
melamun. Sungguhpun ia masih melakukan tugas pekerjaannya seperti biasa, namun ia tak pernah
lagi nampak gembira seperti biasa. Tentu saja isterinya juga ikut menjadi sedih. Berkali-kali isteri
yang bijaksana ini menghiburnya.
"Suamiku, kau tidak berdosa, sama sekali tidak berdosa. Kau bukan sengaja meninggalkan enci
Sui Giok, dan kau menikah dengan aku karena mengira bahwa enci Sui Giok sudah meninggal
dunia. Nasiblah yang menjadikan enci Sui Giok seperti itu dan yang telah merusakkan
kebahagiaan rumah tanggamu bersama enci Sui Giok. Ada ujar-ujar kuno yang menyatakan
bahwa perbuatan salah yang dilakukan tanpa disadarinya dan tanpa disengaja bukanlah perbuatan
dosa. Lebih baik kita berusaha mencari mereka dan membawa mereka itu ke sini."
Terhibur jugalah jati Kwee Siong oleh ucapan isterinya yang bijaksana ini dan ia mulai
menyuruh orang-orangnya untuk mencari di mana adanya ibu dan anak itu.
****** Jenderal Li Goan ternyata adalah seorang yang tidak saja pandai mainkan senjata dan memimpin
barisan, akan tetapi ternyata ia pandai pula menghatur pemerintahan. Ia mulai mengatur
pemerintahan, mengangkat pembesar-pembesar, membagi-bagi tugas dan mulai mengatur
pekerjaan, melanjutkan ketatanegaraan dengan adil dan baik. Disamping ini, ia masih
mengerahkan pasukan-pasukannya untuk terus mengejar kaisar dan sisa balatentaranya.
Sementara itu, di mana-mana masih saja berkobar api pemberontakan. Sebagian besar para
pasukan pemberontak yang bergerak menyendiri, dapat dibujuk dan dapat digabungkan dengan
barisan di bawah pimpinan Jenderal Li.
Akan tetapi ada pula pemberontak-pemberontak yang mempunyai cita-cita sendiri dan yang
bahkan memerangi pasukan Jenderal Li, oleh karena ini dipimpin oleh orang-orang yang
sesungguhnya menginginkan kedudukan kaisar. Oleh karena ini, di mana-mana terjadi
pertempuran antara pasukan kaisar melawan para pemberontak dan antara pasukan-pasukan
Jenderal Li melawan pemberontak-pemberontak yang tidak mau menggabungkan diri. Keadaan
negara menjadi rusuh sekali, pertempuran kacau balau terjadi di mana-mana.
Kedudukan Kaisar Yang Te makin lemah, sungguhpun kaisar ini masih melakukan perlawanan
mati-matian. Pemberontak-pemberontak yang paling hebat menggempur barisan Kaisar Yang Te
adalah sepasukan pemberontak baru yang terdiri dari pendeta-pendeta dan anak buah
perkumpulan agama Pek-sim-kauw.
Mereka ini berjuang tanpa maksud untuk keuntungan diri sendiri. Mereka hanya bergerak untuk
menumbangkan kekuasaan Kaisar Yang Te yang amat dibenci karena kelalimannya. Tadinya
anggauta-anggauta Pek-sim-kauw ini bangun dan menggabungkan diri dengan para pemberontak
setempat, tidak memilih pihak mana dan siapa yang memimpin pemberontakan itu.
Akan tetapi, akhirnya terbuka mata mereka dan yang merasa bahwa barisan pemberontak di
mana mereka menggabung diselewengkan pemimpinnya yang memberontak dengan maksud
untuk menjadi kaisar, lalu keluar dari pasukan itu. Akhirnya para anggauta Pek-sim-kauw ini
agaknya mendapatkan seorang pemimpin baru dan mereka bersatu merupakan sebuah pasukan
Pek-sim-kauw yang luar biasa kuatnya.
Tiap kali terjadi pertempuran antara barisan Pek-sim-kauw melawan barisan pelindung kaisar
banyaklah perwira-perwira gagah perkasa dari kaisar yang roboh tewas oleh pasukan yang kuat
ini. Sesungguhnya pasukan Pek-sim-kauw ini tidak seberapa banyak jumlahnya, akan tetapi
mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi pemimpin mereka yang baru, ternyata
bahwa pemimpin ini amat tangguh dan tiap kali pasukan Pek-sim-kauw menghadapi perlawanan
yang dipimpin oleh seorang perwira lihai selalu pemimpin Pek-sim-kauw inilah yang
merobohkan perwira itu. Siapakah pemimpn Pek-sim-kauw yang lihai ini" Bukan lain adalah Ling Ling dan ibunya, Sui
Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ibu dan anak ini melarikan diri dari tempat
tahanan setelah dilepaskan oleh Sian Lun. Karena Sui Giok merasa hancur hatinya dan habis
binasa pengharapannya ketika mendengar bahwa suaminya yang kini telah menjadi seorang
pembesar tinggi ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera.
Kalau dulu di dalam setiap tindakan, Sui Giok selalu menjadi kemudi dan selalu mencegah
puterinya berlaku ganas, adalah kini nyonya mempunyai sepak terjang mengerikan sekali. Di
dalam setiap pertempuran, Sui Giok mengamuk bagaikan kerbau luka, menghancurkan tentara
musuh yang berani menghadapinya.
Ia berlaku nekad dan tidak memperdulikan lagi bahaya yang mengancamnya, seakan-akan ia
tidak perduli lagi akan hidup matinya. Memang nyonya ini telah putus harapan dan di dalam
dadanya terdapat kedukaan besar sekali yang selalu disembunyikan dari mata orang lain, bahkan
dari mata puterinya sendiri.
Ling Ling dan Sui Giok diangkat menjadi pemimpin oleh pasukan Pek-sim-kauw, ketika pada
suatu hari serombongan pendeta Pek-sim-kauw terdiri dari belasan orang telah dikurung oleh
sepasukan tentara kaisar di dalam sebuah hutan. Belasan pendeta Pek-sim-kauw ini melawan
mati-matian, akan tetapi karena pihak lawan amat banyak jumlahnya dan dipimpin oleh lima
orang perwira kelas satu, agaknya rombongan pendeta Pek-sim-kauw itu tidak akan menang dan
tidak mempunyai jalan keluar p
Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan nyaring dan dua bayangan orang yang luar biasa sekali
gerakannya menyerbu masuk, mengocar-ngacirkan barisan kaisar ini dan dalam beberapa jurus
saja telah berhasil merobohkan lima orang perwira kaisar. Barisan kaisar menjadi kacau balau
dan ketika melihat betapa pemimpin-pemimpin mereka gugur, mereka lalu melarikan diri.
"Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li!" tiba-tiba terdengar seruan heran dan ketika kedua orang
wanita yang telah membantu mereka itu menengok, Ling Ling dan Sui Giok mengenal bahwa di
antara para pendeta itu, terdapat dua orang pendeta yang mereka kenal baik, yakni Pek Hong Ji
dan Pek Thian Ji dua orang di antara Pek-sim Ngo-lojin di Cengtu.
Demikianlah, Ling Ling dan ibunya lalu diangkat menjadi pemimpin mereka dan ketika ditanya,
Pek Hong Ji dan adiknya memberitahukan bahwa tiga orang di antara kelima kakek gagah itu,
yakni Pek Im Ji, Pek Yang Ji, dan Pek Te Ji, telah gugur di dalam pertempuranpertempuran
yang lalu. Dengan adanya pasukan Pek-sim-kauw ini, maka para anggauta dan pendeta Pek-sim-kauw yang
tersebar di mana-mana lalu datang menggabungkan diri sehingga pasukan ini menjadi makin
besar dan kuat. Pasukan ini bermarkas di dalam sebuah hutan di luar kota Yang-kouw di mana
Kaisar Yang Te membangun benteng sebagai tempat pertahanan terakhir.
Memang, karena dikejar-kejar dan sebagian besar barisannya telah dapat dipukul mundur
hancur, Kaisar Yang Te dengan para pengikut dan pasukannya yang masih bersetia kepadanya,
lalu bersembunyi di dalam kota Yang-kouw. Sisa-sisa barisan dikumpulkan dan dipusatkan di
tempat ini, membuat pertahanan yang cukup kuat. Beberapa kali pasukanpasukan pemberontak
datang menggempur, akan tetapi pertahanan kaisar ini berhasil memukul mundur barisan
penyerang sehingga sampai hampir setahun kaisar itu masih hidup selamat di kota Yang-kouw
ini. Pada suatu hari, ketika Ling Ling dan Sui Giok sedang duduk beristirahat di bawah sebatang
pohon pek yang besar, datanglah seorang pendeta Pek-sim-kauw dan setelah dekat, ternyata
bahwa yang datang itu adalah pendeta Pek Hong Ji. Napasnya terengah-engah tanda bahwa
pendeta yang sudah tua ini telah berlari-lari dari tempat jauh dalam keadaan yang tegang.
"Ada apakah, totiang?" tanya Ling Ling sambil bangun berdiri.
"Siocia, toanio, pertempuran besar telah dimulai! Penyerbuan besar-besaran telah terjadi,
dilakukan oleh barisan Jenderal Li dari Tiang-an. Inilah saatnya benteng Yang-kouw
dihancurkan." Seakan-akan menjadi bukti dari laporan pendeta Pek Hong Ji ini, tiba-tiba terdengar sorak
sorai yang riuh sekali dari jurusan kota Yang-kouw.
"Bagus, kita harus cepat menyerbu, membantu barisan Jenderal Li!" dengan sigap Ling Ling
memberi perintah. "Kumpulkan kawan-kawan kita dan kita menyerbu dari belakang kota.
Biarkan barisan Tiang-an yang besar jumlahnya menggempur dari depan dan selagi para tentara
kaisar mempertahankan dan mengumpulkan kekuatan di benteng depan, kita menyerbu dari
belakang dan memasuki kota!"
Ketika pasukan mereka sudah berkumpul dan hendak berangkat, Sui Giok berkata kepada
Ling Ling dan kepada kedua pendeta Pek-sim-kauw, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji.
Kalau kita sudah berhasil menyerbu masuk, jangan mengganggu kaisar, dia adalah bagianku dan
pedang ini yang akan menamatkan riwayatnya!"
Pek Thian Ji tersenyum. "Aduh, toanio bersemangat benar"! Jangan kuatir, toanio, kami
takkan mendahului." Berangkatlah pasukan istimewa ini keluar dari dalam hutan, berlari dengan cepat sekali tanpa
mengeluarkan suara. Mereka ini rata-rata memiliki ilmu lari cepat yang cukup baik. Ketika
mereka telah keluar dari hutan, suara sorak sorai peperangan makin terdengar ramai.
Ternyata bahwa barisan dari Tiang-an telah mulai menyerbu dan peperangan telah terjadi
dengan hebatnya. Pasukan dari Tiang-an ini mempergunakan anak panah yang menghujani
tempat-tempat penjagaan di atas tembok benteng, sedangkan dari dalam benteng juga keluar
anak panah dan batu dari atas tembok bagaikan hujan.
Ling Ling dan Sui Giok memimpin pasukan mereka ke belakang kota dan menghampiri
tembok kota. Akan tetapi ternyata perhitungan mereka meleset. Serbuan balatentara dari
Tiang-an yang amat besar jumlahnya dan amat kuat itu, membuat kaisar menjadi ketakutan
sehingga kaisar ini bersiap-siap untuk lari mengung
Oleh karena itu, ketika pasukan Pek-sim-kauw tiba di luar benteng sebelah belakang dan hendak
mendobrak pintu itu, tiba-tiba dari atas tembok yang nampaknya tak terjaga itu turunlah batu-batu
dan anak panah bagaikan hujan lebatnya. Dan selagi mereka menjadi terkejut dan kacau balau
serta banyak anak buah yang menjadi korban hujan batu dan anak panah, tiba-tiba pintu benteng
terbuka lebar-lebar dan sepasukan perwira istimewa, yakni barisan pelindung kaisar yang
berkepandaian tinggi sekali, menerjang dan membabat mereka.
Ling Ling dan Sui Giok menjadi marah sekali. Dengan nekad kedua ibu dan anak ini lalu
menyerbu dan menghadapi keroyokan para perwira dengan gagahnya. Akan tetapi, para
perwira itu benar-benar tangguh sehingga ibu dan anak ini tidak dapat mencegah ketika kaisar
dapat melarikan diri dengan sebuah kendaraan, dikawal oleh sepasukan pelindung yang nampak
gagah dan kuat. Ling Ling dan Sui Giok tidak dapat mengejar, karena para pengeroyok mereka amat banyak dan
amat tangguh. Adapun para pendeta Pek-sim-kauw juga sibuk menghadapi serbuan
perajurit-perajurit baya Sui Giok menjadi sengit sekali. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga robohlah
seorang lawan, kemudian ia berteriak keras, "Tahan anjing-anjing ini! Aku hendak mengejar
kaisar jahanam itu!"
Ia lalu melompat pergi, mengejar ke arah rombongan kaisar sambil menjerit-jerit. "Kaisar lalim!
Tunggulah pembalasanku! Kau telah menghancurkan hidupku, sekaranglah saatnya aku membalas
dendam!!" Jeritan ini disertai isak tangis sehingga Ling Ling menjadi terharu dan terkejut juga. Amat
berbahayalah kalau ibunya menyerbu rombongan kaisar itu seorang diri. Ia maklum bahwa di
antara rombongan kaisar itu terdapat banyak sekali pelindung yang ilmu silatnya tinggi. Maka ia
lalu menyerbu cepat, merobohkan dua orang pengeroyok dan berkata kepada Pek Hong Ji.
"Totiang, aku hendak menyusul ibu." Ia lalu melompat cepat, menyusul ibunya.
Alangkah kagetnya ketika akhirnya ia dapat menyusul ibunya yang sedang dikeroyok oleh dua
orang perwira yang amat gagah perkasa. Rombongan kaisar tidak kelihatan lagi, agaknya telah
melarikan diri ke atas bukit yang nampak dari situ, dan ibunya telah dilawan oleh dua orang
perwira yang berkepandaian tinggi.
"Kaisar jahanam, tunggu ku penggal lehermu!" Sui Giok masih menjerit-jerit sambil memutar
pedangnya. "Perempuan gila, kau ingin mampus!" seru seorang di antara kedua perwira yang mengeroyok dan
dengan sebuah sabetan hebat goloknya berhasil merobohkan Sui Giok.
"Ibu.......!" Ling Ling yang tak keburu mencegah peristiwa itu melompat menerjang dengan
hebat dan begitu pedangnya berkelebat, ia telah membabat kepala perwira yang bergolok itu
bersama goloknya yang juga terbabat putus. Tanpa dapat mengeluarkan suara, perwira itu roboh
dengan kepala pecah. Bab 15..... Ling Ling menjadi marah sekali. Perwira kedua yang bersenjata tombak hendak lari melihat
kehebatan sepak terjang gadis ini, akan tetapi belum sepuluh langkah ia lari, tiba-tiba ia merasa
ada sambaran angin dari belakangnya.
Cepat ia membalikkan tubuh dan memutar tombaknya, akan tetapi terdengar suara keras dan
tombaknya terbabat putus oleh pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling. Sebuah tusukan
dengan gerak tipu Burung Hong Mematuk Jantung dan robohlah perwira bertombak itu dengan
dada tertembus pedang. Dalam kemarahannya, Ling Ling hendak mengejar terus ke atas bukit, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar keluhan ibunya yang memanggil namanya. Ia cepat menghampiri ibunya dan berlutut
lalu memeluk kepala ibunya. Ternyata bahwa sebelum menerima bacokan golok tadi, Sui Giok
telah menderita banyak luka dalam pertempurannya dengan dua orang perwira tadi.
"Ibu......!" Sui Giok membuka matanya mendengar panggilan anaknya ini dan ia merangkul leher
Ling Ling, menarik kepala puterinya itu, mendekat dan menciumi muka anaknya. Ketika ia
melepaskan pelukannya, muka Ling Ling penuh darah, darah yang mengalir keluar dari jidat
ibunya. "Ling Ling....... dengarlah, hakim itu....... pembesar yang bernama Kwee Siong, hakim yang
memeriksa kita itu....... dia adalah suamiku, dia adalah ayahmu!"
"Ibu........." "Dia benar ayahmu, Ling Ling, ayahmu yang dulu dipaksa berpisah dariku, sewaktu kau masih


Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kandunganku.......... sekarang dia telah menjadi pembesar tinggi......." wajah Sui Giok
berseri sebentar, "dan ...... dia sudah menikah lagi, sudah berputera......."
"Aku hendak mencari dan membunuhnya, ibu! Dia telah menyakiti hatimu!"
"Jangan, Ling Ling, dia ayahmu........"
"Aku tidak perduli! Kalau dia ayahku, mengapa dia melupakan ibu" Mengapa dia kawin lagi dan
membiarkan ibu hidup sengsara" Aku harus membunuhnya!"
Wajah Sui Giok yang sudah pucat itu menjadi makin pucat. Inilah yang ia takutkan selama ini.
"Ling Ling, dengar..... aku terluka parah dan takkan lama lagi hidup......."
"Ibu, jangan kau berkata demikian. Akan kubawa kau kepada Pek Hong Ji Totiang. Dia bisa
mengobatimu." Ling Ling mengangkat tubuh ibunya, memondongnya dan hendak membawanya
kembali ke tempat pertempuran tadi, di luar pintu belakang benteng.
"Ling Ling......... aku tak kuat lagi, nak..... perhatikanlah kata-kataku terakhir. Jangan kau
membunuh ayahmu, dia tidak bersalah. Dia mengira aku telah mati, Ling-ji, bersumpahlah
bahwa kau takkan membunuh ayahmu! Yang berdosa dan bersalah besar adalah kaisar......"
"Aku akan bunuh mereka....... akan kubunuh mereka semua......." kata Ling Ling bagaikan
mabok sambil membawa lari tubuh ibunya.
"Ling-ji........" suara ibunya melemah dan tiba-tiba bagaikan tersentak kaget, Ling Ling
menahan kakinya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang ke depan, tidak berani
memandang kepada ibunya, akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali. Ia merasa betapa di
dalam pondongannya, tubuh ibunya menegang sebentar lalu tiba-tiba menjadi lemas dan
dingin.....! "Ibu......" bisiknya perlahan tanpa berani memandang ke bawah.
"Ibu.......!" panggilannya mengeras. Tiada jawaban.
"Ibu......!!" kini ia memandang kepada wajah ibunya yang masih berada di dalam
pondongannya. Mata Ling Ling terbelalak, wajahnya makin pucat sekali, kedua kakinya
menggigil sehingga ia jatuh berlutut dengan tubuh ibunya masih dipondongnya.
Ibu......!!!" ia menjerit keras sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah menjadi mayat.
"Ibu, bicaralah, bukalah matamu, ibu........" Bagaikan gila, Ling Ling membuka-buka pelupuk
mata ibunya yang sudah tertutup, melihat betapa bola mata ibunya diam tak bergerak, menciumi
mulut dan mata ibunya, memohon supaya ibunya hidup kembali. Akhirnya gadis yang malang ini
roboh pingsan sambil memeluk tubuh ibunya.
Ketika siuman kembali, ternyata Ling Ling telah ditolong Pek Hong Ji dan kawan-kawannya.
Dengan penuh penghormatan jenazah Sui Giok lalu dikubur, diiringi tangis dan ratap Ling Ling
yang memilukan. Dari Pek Hong Ji, Ling Ling mendengar betapa kota Yang-kouw telah terjatuh
ke dalam tangan balatentara Jenderal Li Goan dan bahwa pasukan-pasukan kaisar telah dapat
dihancurkan. "Yang memimpin pasukan dari Tiang-an itu bukan lain adalah sute kami yang gagah perkasa!"
Pek Hong Ji menuturkan kepada Ling Ling dengan bangga. "Memang benar-benar hebat sepak
terjang sute kami Liem Sian Lun itu. Kegagahannya dapat disamakan dengan kau siocia."
Akan tetapi Ling Ling tidak tertarik. Di dalam kesedihannya ditinggal mati ibunya, yang
teringat olehnya hanya balas dendam saja.
"Kiumpulkan kawan-kawan, sekarang juga kita menyerbu ke bukit itu, menghabiskan sisasisa
pengikut kaisar dan membunuh kaisar jahanam itu."
"Nona, kawan-kawan sudah lelah dan menurut Liem-sute, sudah disiapkan pasukan istimewa
untuk menyerbu naik ke bukit dan menawan kaisar!"
Ling Ling memandang marah. "Begitukah" Kalau demikian, biarlah aku sendiri naik ke atas dan
melakukan penangkapan sendiri!"
Terpaksa Pek Hong Ji lalu menjawab, "Baiklah, baiklah, tentu saja kami menurut perintahmu."
Maka dikumpulkanlah pasukan Pek-sim-kauw yang masih ada tiga puluh orang lebih jumlahnya
itu dan menyerbulah mereka ke atas bukit.
Benar seperti yang dikatakan Pek Hong Ji, dari lain jurusan yakni dari jurusan kota Yang-
kouw, nampak barisan yang panjang sedang menuju ke bukit di mana Kaisar Yang Te
mengungsi. "Cepat, jangan sampai terdahului oleh mereka!" Ling Ling memberi perintah dan mereka
bergerak lebih cepat lagi untuk mendahului barisan yang dipimpin oleh Liem Sian Lun.
Sementara itu, Liem Sian Lun yang memimpin pasukannya, juga melihat pasukan Pek-simkauw ini
menaiki bukit. Ia telah mendengar dari Pek Hong Ji bahwa pasukan itu dipimpin oleh Toat-beng
Mo-li, wanita yang dicari-cari oleh pamannya, Kwee Siong itu. Ia tidak tahu mengapa pamannya
mencari mereka, akan tetapi hatinya merasa gembira ketika mendengar bahwa dua orang wanita itu
ternyata membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan kaisar.
Kini melihat pasukan Pek-sim-kauw mempercepat gerakannya, iapun lalu memberi aba-aba
kepada pasukannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Maka bergeraklah dua pasukan itu dari lain
jurusan, bercepat-cepat dan agaknya berlomba untuk dulu mendului menerjang pertahanan
akhir dari kaisar di puncak bukit itu.
Bukan main sibuknya barisan pengawal kaisar menghadapi serbuan dua pasukan musuh ini.
Betapapun juga, barisan pengawal terakhir ini adalah barisan terkuat, yang terdiri dari pada
pengawal-pengawal yang setia dan gagah berani.
Mereka melakukan perlawanan hebat sehingga tidak mudahlah bagi pasukan-pasukan
penyerbu untuk membobolkannya. Pertempuran hebat terjadi, di mana dari dua pihak jatuh
korban-korban yang banyak sekali.
Di dalam kehebatan pertempuran ini, Ling Ling lalu memisahkan diri dan dengan cepatnya ia lalu
mendaki bukit itu, menuju perkemahan kaisar yang berada di pinggir sebuah anak sungai.
Keadaan di puncak bukit itu indah sekali. Ketika Ling Ling sudah tiba di atas, ia sendiri terpesona
oleh keindahan pemandangan alam di tempat itu. Suara pertempuran di lereng bukit hanya
terdengar samar-samar saja dan keadaan di situ amat sunyi dan indah. Burung-burung berkicau,
mengiringi desiran anak sungai, kadang-kadang dihembus angin gunung yang membuat
daun-daun dan kembang-kembang menari-n
Perkemahan yang dibuat di situ amat banyaknya. Adapun kemah di mana kaisar berada
merupakan kemah terbesar dengan bendera naga terpancang di atasnya.
Di situ nampak kosong dan sunyi, karena para penjaga semua dikerahkan ke lereng bukit untuk
membendung serbuan para musuh. Akan tetapi, ketika Ling Ling hendak menyerbu ke dalam
kemah kaisar itu, tiba-tiba muncul lima orang perwira dengan pedang di tangan.
Lima orang ini adalah pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah lima orang siwi (pengawal
kaisar) yang berkepandaian tinggi, karena tingkat kepandaian mereka bahkan masih sedikit
lebih tinggi dari pada kepandaian perwira-perwira kelas satu dari kerajaan.
Mereka inilah yang menjadi perisai kaisar dan untuk dapat menawan atau membunuh kaisar,
orang harus dapat merobohkan mereka terlebih dulu. Bagaikan patung-patung batu, kelima orang
siwi itu berdiri dengan pedang di tangan, menghadang di depan kemah dengan mata memandang
penuh kemarahan. "Nona, sekarang bukan waktunya bersenang-senang. Kalau kau hendak mencumbu Hong-
siang, lebih baik mencari kesempatan lain waktu," kata seorang di antara mereka dengan
senyum sindir. "Keparat jahanam! Aku datang untuk memenggal leher kaisar lalim!"
"Oho, mudah benar kau membuka mulut!" seru siwi kedua.
Akan tetapi Ling Ling tidak mau banyak bicara lagi, pedang Pek-hong-kiam diputar cepat dan
berobah menjadi segunduk sinar putih yang menerjang kelima orang siwi itu.
"Bagus, kau dapat juga mainkan pedang!" seru seorang siwi dan kelimanya lalu menyambut
serbuan Ling Ling. Gadis ini harus mengakui ketangguhan para lawannya, karena tangkisan
pedang mereka membuat pedangnya terpental kembali, sedangkan kelimanya ternyata juga
memiliki pedang pusaka yang kuat sekali.
Pertempuran terjadilah dengan hebatnya di tempat sunyi itu. Dan betapapun Ling Ling
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, namun sukar sekali baginya
untuk merobohkan seorang di antara kelima pengeroyoknya.
Ilmu pedang para siwi itu amat kuatnya, karena mereka ini adalah murid-murid dari Bu-tongpai
yang sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat. Kalau saja mereka tidak
maju berlima, agaknya Ling Ling masih akan dapat menang, karena sesungguhnya ilmu pedang
Ling Ling yang luar biasa, yakni Kim-gan-liong-kiam-sut, masih lebih menang dan unggul
daripada ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat.
Akan tetapi dengan majunya lima orang yang ilmu kepandaiannya setingkat ini, mereka
merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka dapat bermain pedang dengan saling membela dan
saling melindungi, dan melakukan serangan pembalasan yang tak kalah berbahayanya.
Ditambah lagi oleh kelelahannya, Ling Ling mulai terdesak dan terkurung hebat. Akhirnya ia
bermain pedang sambil mundur. Selalu menangkis dan harus mempergunakan ginkangnya untuk
menghindarkan diri dari bahaya maut yang disebarkan oleh pedang-pedang lawannya.
Ia menjadi marah dan penasaran sekali, Hanya keteguhan hati dan ketabahannya yang luar biasa
saja membuat Ling Ling masih kuat bertahan selama itu. Pertempuran telah berjalan hampir
seratus jurus, namun tetap saja kelima orang siwi itu tidak mampu merobohkan gadis pendekar
ini. Bukan main kagum dan penasaran rasa hati para siwi ini. Mereka telah berlatih hebat, dan ilmu
silat mereka untuk di kotaraja, telah amat terkenal dan sukar dicari tandingannya. Setelah melalui
ujian yang amat berat dan mengalahkan banyak calon-calon, barulah mereka diterima sebagai yang
terkuat dan diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi sekarang,
menghadapi seorang gadis muda saja mereka tidak berdaya merobohkannya. Sungguh memalukan
sekali. "Kurang ajar!" seru seorang siwi yang berjenggot panjang. "Rasakan hui-to (golok terbang)
mautku!" Setelah berseru demikian, ia melemparkan tiga batang golok kecil yang melayang
cepat sekali ke arah tubuh gadis itu. Hui-to ini benar-benar berbahaya sekali karena selain cepat
sekali datangnya, juga mengeluarkan bunyi melengking yang dapat mengacaukan semangat
lawan. Tiga batang hui-to ini menyambar ke arah leher, dada, dan pusar Ling Ling. Dan pada saat itu,
empat orang siwi lain sedang menyerang Ling Ling dari kanan kiri. Agaknya tidak ada jalan keluar
lagi bagi gadis ini dan agaknya ia akan menjadi korban sambaran tiga buah hui-to tadi.
Akan tetapi ternyata Ling Ling memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Begitu melihat serangan hui-to dari depan dan serangan pedang dari kanan kiri, tiba-tiba ia
berseru nyaring dan ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dangan gerak tipu Trenggiling
Turun Dari Gunung. Dengan amat cepatnya setelah tubuhnya rebah telentang sehingga tiga batang hui-to itu
menyambar lewat di atasnya, ia lalu menggulingkan tubuhnya ke depan dan pedangnya
menyambar cepat sekali ke arah kaki siwi yang melepaskan hui-to tadi.
Bukan main kagetnya siwi berjenggot panjang itu. Serangan balasan ini sama sekali tak pernah
disangkanya, demikian cepat dan kontan datangnya. Ia cepat mengelak sambil melompat ke atas
dan sebelum Ling Ling dapat melanjutkan serangannya, kawan-kawannya telah datang
mengurung dan kembali Ling Ling dikeroyok lima.
Pada saat yang amat berbahaya bagi gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan keras,
"Jangan khawatir, nona, aku datang membantumu membinasakan lima anjing penjaga ini!"
Dan Liem Sian Lun telah memutar pedangnya yang bersinar kuning itu untuk menggempur
para pengeroyok Ling Ling. Memang, dalam tugasnya ini, Sian Lun diberi pinjam pedang
Oei-hong-kiam dari Jenderal Li Goa
Biarpun tidak menjawab sesuatu dan berpura-pura tidak melihat Sian Lun, namun Ling Ling
bertambah semangatnya ketika melihat pemuda yang pernah dikenal kelihaiannya ini. Pedang
Pek-hong-kiam diputar makin cepat dan dengan sebuah sabetan kilat, ia berhasil membacok roboh
seorang pengeroyok. Tadi ketika mengeroyok Ling Ling seorang saja, lima orang siwi itu masih belum dapat
mengalahkannya dalam seratus jurus, apalagi setelah sekarang Ling Ling mendapat bantuan Sian
Lun yang ilmu pedangnya bahkan lebih lihai dari pada nona itu. Tentu saja kedua orang muda ini
bukanlah makanan empuk bagi empat orang siwi itu dan tak lama kemudian, terdengar
teriakan-teriakan susul menyusul dan kelima orang siwi itu semua telah tewas di ujung pedang
Sian Lun dan Lin "Nona, dimanakah ibumu?" tanya Sian Lun yang tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap
nona itu. Akan tetapi matanya memandang dengan amat kagum sehingga Ling Ling menjadi
cemberut. Ia menganggap pandang mata pemuda itu kurang sopan. Tanpa menjawab sesuatu,
Ling Ling lalu melompat dan menyerbu ke dalam kemah kaisar. Akan tetapi, di dalamnya
ternyata sunyi dan kosong.
Ling Ling berjalan terus dan keluar dari pintu belakang kemah itu, diikuti oleh Sian Lun yang
merasa penasaran melihat sikap nona yang seakan-akan membencinya itu.
Ketika kedua orang muda itu sampai di belakang kemah itu, tiba-tiba mereka berhenti dan
berdiri memandang ke depan dengan muka tertegun. Apakah yang mereka lihat"
Kaisar Yang Te, masih nampak gagah dan berpakaian mewah, sedang berdiri di dekat anak
sungai, dihadap oleh seorang kakek tua yang berpakaian sebagai pelayan. Terdengar suara
kaisar itu berkata sambil tersenyum-senyum.
"Tidak betulkah kata-kataku tadi, Lao Kwang" Seorang kaisar harus menghadapi kebangkitan
atau keruntuhannya dengan senyum di mulut. Semua orang memberontak, tidak ingat bahwa aku
adalah kaisar yang harus mereka hormati, kaisar yang dipilih oleh Thian sendiri untuk memimpin
rakyat seluruh negara. Ha, ha, ha! Dan sekarang mereka mengejar-ngejarku untuk membunuhku.
Bukankah ini lucu sekali" Lihatlah, laksaan orang saling membunuh hanya karena aku seorang!
Bukankah hal ini hebat sekali" Apakah artinya aku mengorbankan
nyawaku untuk kebesaran seperti itu" Ha, ha, Lao Kwang, kau bilang apa tadi" Kaupun ingin
pula memberontak?" Kakek itu sambil bercucuran air mata lalu mencabut sebilah pedang pendek dan setelah
berlutut ia lalu berkata,
"Hong-siang, junjunganku, juga anak yang kutimang-timang semenjak masih bayi! Mengapa
tidak dulu-dulu paduka mendengar nasehat seorang rendah seperti hamba" Mengapa paduka,
hanya menurutkan kata nafsu hati, menurutkan bujukan para pembesar buruk" Mengapa paduka
ingin memuaskan hati tanpa memperdulikan pengorbanan rakyat jelata" Ah, apakah yang akan
menimpa diri paduka?"
Kaisar itu tertawa bergelak. "Lao Kwang, kau seorang yang setia dan bersikap selalu merendah.
Alangkah bodohnya kau ini! Kalau aku bertindak sebagai seorang kaisar yang bodoh dan
mengalah, tdak mau memeras tenaga rakyat untuk membuat bangunan-bangunan besar, untuk
menyerang negara timur, akan jadi kaisar apakah aku ini" Betapapun juga, akhirnya aku toh mesti
mati. Kalau aku membiarkan keadaan negara tanpa memperkuatnya, biarpun dengan menekan
rakyat, aku akan mati sebagai seekor semut, rakyat yang gendut dan senang akan lupa kepadaku
dan negara sebentar lagi akan dirampas oleh orang asing. Sekarang, biarpun aku mati, lihatlah
saluran air yang megah, lihatlah tembok besar yang jaya, semua adalah bekas tanganku. Orang
takkan melupakan selama sejarah berkembang. Mati" Ha, ha, ha, siapa yang takut mati" Di dunia
aku menjadi kaisar, mustahil di alam baka aku tidak diberi pangkat dan kedudukan" Aku adalah
kaisar, tahu" Dalam keadaan bagaimanapun juga, kaisar tetap dihormati, menjadi tawanan pun
berbeda dengan perajurit biasa. Tetap menjadi tawanan besar dan penting, diperlakukan penuh
penghormatan!" Pada saat itu, mereka melihat dua orang muda yang berdiri dengan pedang di tangan.
"Hong-siang, musuh telah datang menyerbu!" bisik Lao Kwang
"Mereka itu?" Kaisar membalikkan tubuhnya dan menudingkan telunjuknya ke arah Ling Ling
dan Sian Lun. "Hanya dua orang muda yang bodoh, yang menjadi alat dari pada keganasan
perang! Apakah mereka ini akan dapat menggantikan kedudukanku" Ha, ha, ha!"
"Kaisar lalim, rasakan pembalasanku!" tiba-tiba Ling Ling berseru keras dan menyerbu. Akan
tetapi, ia kalah dulu oleh Lao Kwang. Dari belakang, pelayan yang semenjak Yang Te masih kecil
telah menjadi pelayannya itu, telah menusuk punggung Kaisar Yang Te dengan pedangnya. Kaisar
itu mengeluh berat dan tubuhnya roboh telentang, tak bergerak lagi.
"Hamba ikut, tuanku!" kata Lao Kwang dan sebuah tusukan ke arah dadanya dengan pedang
yang dipegangnya membuat ia roboh di samping Kaisar Yang Te.
Tertegunlah Ling Ling dan Sian Lun menyaksikan peristiwa ini. Untuk beberapa lama Ling Ling
berdiri memandang ke arah tubuh kaisar itu. Inikah musuh besarnya" Inikah orang yang telah
menghancurkan penghidupan ibunya" Yang telah menghancurkan penghidupan rakyat banyak"
Sukar untuk dipercaya. Kaisar ini hanya memerintah dan memberi petunjuk. Yang menjadi pelaksana bukanlah dia sendiri
dan mana kaisar ini bisa mengetahui cara pelaksanaan perintahnya" Tahukah kaisar ini bahwa
tenaga rakyat yang dikerahkan itu diperoleh dengan jalan yang curang dan keji oleh
para petugasnya" Siapakah yang salah" Kaisarnya, atau para petugas yang nyeleweng,
ataukah jamannya yang salah" Setelah menarik napas panjang, Ling Ling lalu berpaling dan
Sian Lun melihat betapa kedua mata gadis cantik itu basah oleh air mata. Ling Ling lalu
melompat pergi meninggalkan tempat itu.
"Nona, tunggu dulu!" Ling Ling menahan tindakannya. Mereka telah berada jauh dari kemah
kaisar itu. "Kau mau apa?" tanyanya dengan tegas dan ketus. Sian Lun menggerakkan alisnya dan
tersenyum pahit. "Beginikah sikapmu kepada orang yang
kah telah berusaha membantumu" Nona, kau agaknya benci kepadaku. Ada apakah dan apakesalahanku?" "Tidak ada yang benci dan tidak ada yang salah! Aku hanya ingin tahu
mengapa kau menyusulku?"
"Nona, aku hanya ingin menyatakan bahwa pamanku Kwee Siong telah mencari-cari dan
menanti-nanti kau dan ibumu." Berkerut kening Ling Ling mendengar nama Kwee Siong
disebut-sebut. "Aku tidak kenal pamanmu. Ada apa dia menanti-nanti kami?" "Entahlah, hanya aku tahu
bahwa paman sedang sakit dan seringkali menanyakan kau dan ibumu. Di manakah ibumu?"
"Ibu..... ibu sudah meninggal dunia!" Setelah berkata demikian Ling Ling melompat dan lari lagi
dengan cepatnya. "Nona, tunggu dulu.....!" Ling Ling berlari terus, akan tetapi Sian Lun mengejarnya dan karena
ia sudah lelah sekali, Ling Ling terpaksa berhenti. Sian Lun melihat kini betapa air mata telah
mengalir turun di kedua pipi gadis itu yang agak pucat.
"Mengapa kau mengejarku" Apakah kau menagih budimu ketika kau menolongku tadi" Nah,
biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu, dan sekarang pergilah!" Sian Lun
memandang dengan penuh iba. "Nona, aku menyesal sekali, yakni ... tentang ibumu..."
"Jangan kau sebut-sebut akan hal ibuku. Ibu telah gugur dalam pertempuran, tidak ada
hubungannya dengan kau." Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan dua orang perwira
pembantu Sian Lun tiba di tempat itu.
"Liem-ciangkun, musuh telah dipukul habis. Sebagian besar telah menyerah. Menanti
perintah!" Demikian kata mereka sambil turun dan berdiri dengan sikap gagah.
"Bawa semua tawanan dan kembalikan ke Tiang-an. Kau mewakili aku memimpin pasukan.
Seperti biasa, berlakulah keras, jangan biarkan anak buah kita meninggalkan barisan," perintah
Sian Lun dengan suara keren. Kedua pembantunya memberi hormat dan pergi lagi menunggang
kuda. "Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal!" kata Ling Ling.


Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti dulu, nona. Kau telah banyak berjasa dalam perjuangan kami, apakah kau tidak mau
bersamaku kembali ke Tiang-an" Sungguh, nona, pamanku amat mengharap-harap
kedatanganmu." "Memang aku mau ke Tiang-an, akan tetapi tidak bersama engkau!"
Berseri wajah Sian Lun mendengar ini,
"Bagus, kau tentu akan datang kepada pamanku Kwee Siong, bukan" Baik sekali."
"Memang aku akan mencari orang she Kwee itu, untuk membunuhnya dengan pedangku!"
Setelah berkata demikian, Ling Ling melompat dan berlari pergi.
Untuk sejenak Sian Lun berdiri bagaikan sebuah patung batu. Ucapan yang dikeluarkan dengan
sengit oleh gadis itu benar-benar telah membuatnya terheran-heran dan terkejut sekali. Ada apakah
antara pamannya dan gadis ini serta ibunya yang telah gugur" Ah, ia harus mencegah maksud
gadis itu. Setelah melihat bayangan Ling Ling lenyap dibalik pohon-pohon barulah Sian Lun
menjadi terkejut dan cepat ia lalu melompat dan berlari cepat mengejar.
Dengan hati yang amat berat karena masih berduka mengingat kematian ibunya, Ling Ling berlari
dengan cepat sekali. Kakinya telah terasa lelah dan lemahlah seluruh tubuhnya. Ia telah bertempur
melawan musuh-musuh yang tangguh dan telah sehari lamanya ia tidak makan. Akan tetapi ia
tidak mau berhenti mengaso karena maklum bahwa pemuda she Liem itu tentu akan mengejarnya.
Ketika ia tiba di sebuah dusun dan melihat, bahwa pemuda itu tidak dapat menyusulnya, ia lalu
masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan. Setelah makan dan beristirahat sejenak,
pulihlah kembali kekuatannya dan ia merasa tubuhnya sehat. Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya dan alangkah mendongkolnya ketika tiba di luar dusun itu, pemuda she Liem itu
telah menantinya sambil duduk di atas rumput seorang diri.
Ling Ling berpura-pura tidak melihatnya dan hendak berlari terus, akan tetapi Sian Lun
berkata. "Nona Ling Ling, mengapa tergesa-gesa" Akupun hendak menuju ke Tiang-an. Tidak sudikah kau
melakukan perjalanan bersamaku?"
"Kau melakukan perjalanan, apa hubungannya dengan aku" Aku tidak melarang orang menuju ke
Tiang-an," jawab Ling Ling merasa marah kepada dirinya sendiri mengapa melihat pemuda ini
hatinya berdebar girang. Sian Lun terpaksa mempercepat langkahnya agar dapat mengimbangi kecepatan lari gadis
aneh ini. "Nona, bukankah kau adalah nona yang dulu pernah menerima pedang Pek-hong-kiam dari
Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw?"
"Memang akulah yang dimaksudkan oleh suhumu itu. Dia seorang yang baik hati, akan tetapi
suhumu itu masih mempunyai hutang kepadaku yang harus dibayarnya!"
Setelah berkata demikian, kembali Ling Ling berlari pergi tanpa memperdulikan kepada Sian Lun
lagi. Pemuda ini segera mengejarnya. Ling Ling mengerahkan kepandaiannya berlari cepat yang
disebut Couw-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput). Ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya
karena ia hendak mencoba apakah pemuda itu akan dapat mengejarnya.
Sian Lun merasa penasaran sekali melihat betapa gadis itu berlari dengan amat cepatnya. Iapun
lalu mengeluarkan ilmunya berlari cepat yang disebut Keng-sin-sut dan setelah berlarilarian
beberapa belas li, akhirnya dapat juga ia mengejar gadis itu.
"Nona, kau sungguh terlalu. Mengapa kita tidak berjalan perlahan saja menuju ke Tiang-an"
Apakah yang membuat nona demikian terburu-buru?"
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi tiba-tiba lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang
pohon besar. Enak sekali duduk di situ, ditiup angin sambil mendengarkan gemersiknya daundaun
pohon tertiup angin. Peluhnya mengalir dari atas jidat, disapunya dengan sehelai saputangannya.
Sian Lun juga duduk di depannya, agak jauh dari nona itu. Sungguhpun mereka duduk
berhadapan, akan tetapi keduanya tidak berkata-kata dan bahkan tidak saling memandang.
Sungguh keadaan yang amat lucu dan ganjil.
"Mengapa kau mati-matian mengejarku dan hendak berjalan bersamaku?" tanya Ling Ling
tiba-tiba dan sepasang matanya yang indah dan tajam itu menatap wajah Sian Lun. Untuk
sesaat, pemuda itu berusaha menahan serangan sinar mata ini, akan tetapi akhirnya ia
menunduk karena pandangan mata gadis yang menyelidik ini benar-benar tajam sekali.
"Nona, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku kagum sekali akan kegagahanmu,
hanya aku merasa tidak enak mendengar ucapanmu tadi yang hendak membunuh pamanku Kwee
Siong. Ketahuilah bahwa paman Kwee bagiku sama dengan ayahku sendiri. Tidak boleh kau
mengganggunya. Dia orang yang baik-baik, semulia-mulianya orang, mengapakah kau begitu
membencinya dan hendak membunuhnya?"
Ling Ling memandang tajam dengan kening berkerut. Ia amat benci kepada ayahnya itu.
Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan ibunya. Ibunya menyatakan bahwa ayahnya itu
tidak bersalah. Kalau memang ayahnya itu orang baik-baik, mengapa tidak dicarinya ibunya yang hidup seperti
seorang "iblis" di dalam hutan" Mengapa ayahnya yang sudah menjadi seorang pembesar itu
bahkan lalu menikah lagi dan telah memperoleh seorang putera" Mengapa ketika bertemu di
pengadilan dulu, ayahnya tidak menerima mereka sebagai isteri dan anak" Kalau dipikir-pikir,
bukan kaisar yang menjadi biang keladi kesengsaraan ibunya, melainkan Kwee Siong itulah!
Orang itu harus dibunuhnya, untuk membalas sakit hati ibunya.
Kini melihat sikap Sian Lun yang hendak membela Kwee Siong, mendengar ucapan pemuda
gagah ini yang memuji-muji Kwee Siong sebagai seorang yang berhati mulia, hatinya menjadi
perih dan gemas sekali. "Paman Kwee amat baik kepadaku," terdengar lagi Sian Lun berkata, "seakan-akan aku
anaknya sendiri. Ia memperlakukan aku seperti anak sendiri, mengajarku membaca dan
menulis, memberi nasehat-nasehat dan pelajaran filsafat dan budi pekerti. Orang sebaik dia
tidak mungkin mempunyai musuh dan tak mungkin mengganggu orang lain. Mengapa kau
hendak membunuhnya, nona?"
Bab 16..... "Kau tak perlu tahu, Liem-ciangkun. Urusan ini adalah urusanku sendiri, orang luar tak berhak
tahu. Betapapun juga, aku akan mencarinya di Tiang-an dan akan membunuhnya dengan
tanganku sendiri." Kata-kata ini diucapkan dengan tegas dan mengandung kemauan bulat.
"Tidak mungkin, nona. Perbuatanmu itu sebelum dapat kau lakukan, kau akan menghadapi
seluruh penduduk Tiang-an, seluruh barisan di bawah pimpinan Jenderal Li Goan sendiri.
Kwee-susiok adalah seorang yang dihormati dan dipandang tinggi oleh semua orang. Takkan
mungkin mengganggu, lebih sukar dari pada mengganggu kaisar s
Makin tinggi orang memuji ayahnya makin banyak orang mengingatkan kepadanya akan
kemuliaan ayahnya, makin teringatlah Ling Ling akan kesengsaraan ibunya dan makin
panaslah hatinya. Ia tersenyum mengejek dan menjawab sambil berdiri dan mencabut
pedangnya. "Kau kira aku takut menghadapi siapapun juga" Biarpun ada selaksa dewa hendak melindungi
orang she Kwee itu, tetap aku hendak membunuhnya!"
Mulai panas darah Sian Lun. Betapapun ia mengagumi gadis ini dan menaruh hati kasihan
mendengar kematian ibu gadis ini, namun sikap gadis itu dianggapnya amat keterlaluan. Iapun
bangkit berdiri dan berkata.
"Dan dengarlah, nona. Orang pertama yang akan menghalangi kehendakmu yang kejam itu
bukan lain orang adalah aku sendiri!"
"Kau....?" Ling Ling memandang tajam sambil mengangkat alisnya yang berbentuk
melengkung seperti bulan sabit itu.
"Ya, aku sendiri! Aku yang telah diperlakukan dengan baik oleh Kwee-susiok, yang telah
dianggap sebagai anak sendiri, aku takkan membiarkan siapapun juga mengganggunya!"
"Manusia sombong! Siapa takut kepadamu" Apa kau kira dulu aku sudah kalah olehmu"
Cabutlah pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran yang dulu!" tantang Ling Ling.
"Nona, haruskah kita bertempur lagi" Mengapa kau begitu berkeras hendak membunuh
pamanku" Berilah penjelasan agar aku ikut pula mempertimbangkan apakah niatmu itu benar
atau salah." "Bukan urusanmu, tak usah kau bertanya lagi. Pendeknya aku hendak membunuh Kwee
Siong dan kalau kau menghalangiku boleh kau mencoba mengalahkanku!"
Terpaksa Sian Lun mencabut pedangnya Oei-hong-kiam. "Menyesal sekali, nona. Aku tak
ingin bertempur dengan kau......"
"Awas pedang!" teriak Ling Ling tanpa memperdulikan ucapan ini dan langsung menyerang
dengan sebuah tusukan berbahaya. Sian Lun cepat menangkis dan berpijarlah bunga api ketika
dua pedang pusaka itu bertemu.
Ling Ling menyerang lagi dan mainkan pedangnya dengan hebat sehingga yang nampak
hanyalah gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sian Lun terpaksa mengimbangi
permainan pedang nona ini dan pedang Oei-hong-kiam segera diputarnya merupakan
segulung sinar kuning yang tak kalah cepatnya.
Demikianlah, kedua orang muda yang lihai itu kembali mengadu kepandaian di dalam hutan,
ramai dan seru, tanpa ada seorangpun yang menjadi saksi.
Sian Lun bertempur dengan hati-hati. Ia maklum bahwa gadis ini amat lihai. Ginkang dan
lweekangnya berimbang dengan kepandaiannya sendiri dan ilmu pedang gadis itu luar biasa
ganasnya. Betapapun juga, ia tidak tega untuk melukai gadis ini, dan bertempur hanya dengan maksud
menguji kepandaian saja dan kalau ia mencari kemenangan juga, bukan dengan cara
merobohkan gadis itu dalam keadaan terluka. Ia hanya akan merampas atau melepaskan pedang
dari tangan nona itu. Akan tetapi ia maklum bahwa hal ini bukanlah mudah saja.
Sebaliknya, Ling Ling yang sudah tahu pula akan kepandaian pemuda ini, kini berusaha untuk
mengalahkan lawannya dan bertempur dengan amat sengitnya. Dalam keadaan demikian, maka
sedikit kelebihan permainan pedang Sian Lun menjadi tertutup dan pertempuran itu menjadi
berimbang dan luar biasa ramainya.
Seratus jurus lewat tanpa terasa, dan belum juga di antara kedua orang muda ini ada yang kalah
atau menang. Mereka saling serang dan saling desak, mengeluarkan gerak-gerak tipu yang
terlihai. Betapapun juga, diam-diam Ling Ling harus mengakui keunggulan pemuda itu, karena
setelah pertempuran berjalan seratus lima puluh jurus, ia mulai merasa lelah dan telapak tangan
kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan perih. Adapun Sian Lun lawannya masih
nampak kuat dan gerakan serta kecepatannya tidak berkurang.
Akhirnya Sian Lun merasa bahwa ia takkan dapat mengalahkan nona yang nekat ini tanpa
melukainya. Akan tetapi bagaimana ia sampai hati untuk melukai nona yang dikagumi dan
dikasihinya ini" Dan sedikit saja ia melamun, tiba-tiba ujung pedang Pek-hong-kiam di tangan
Ling Ling sudah menyerangnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-hian-jiauw (Naga Bermata
Emas Mengulur Kuku). Sedangkan pada saat itu pedangnya masih tersembunyi di balik lengan ketika ia tadi bergerak
dengan gerak tipu Burung Walet Menyembunyikan Ekor. Melihat serangan maut ini, Sian Lun
terkejut sekali dan cepat ia mempergunakan tenaga pergelangan tangan untuk memutar
pedangnya yang segera meluncur ke depan melakukan tangkisan ke arah ujung pedang lawan
yang menusuk ke arah dadanya.
"Traaang!" dua pedang itu beradu keras sekali. Saking hebatnya tenaga keduanya yang
dikeluarkan pada saat genting itu, ujung pedang Ling Ling meleset dan meluncur cepat ke arah
tenggorokan Sian Lun sedangkan pedang Sian Lun sebaliknya kena terpukul dan melesat menuju
ke arah pundak gadis itu.
Keduanya terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tiada waktu lagi. Dengan cepat tangan kiri
mereka bergerak. Ling Ling melakukan gerakan Kwan-im-siu-kiam (Dewi Kwan-im
Menyambut Pedang) sedangkan Sian Lun membuat gerakan Siauw-kin-na-jiu-hwat
mencengkeram ke arah gagang pedang gadis itu.
Gerakan mereka begitu kuat dan cepat sehingga pada saat itu juga, pedang mereka telah
pindah tangan. Oei-hong-kiam telah terampas oleh Ling Ling sedangkan Pek-hong-kiam
terampas oleh Sian Lun. Mereka terhindar dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja mereka
menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin Sian Lun cepat melompat ke belakang dan
menjura. "Nona, ilmu pedangmu benar-benar luar biasa sekali. Dan pedang inipun amat baiknya."
"Pedang itu adalah pedang suhumu, Liang Gi Cinjin. Biarlah kau kembalikan kepadanya.
Adapun pedang ini......"
Ling Ling menggerak-gerakkan Oei-hong-kiam yang terasa lebih enak ditangannya, karena
pedang ini gagangnya lebih kecil dan lebih cocok untuk jari-jari tangannya. "Pedang ini adalah
pedang dari Panglima Kam Kok Han, dan aku sebagai ahli waris ilmu pedangnya, ..... aku berhak
mendapatkan pedang ini!"
Sambil berkata demikian, Ling Ling memandang kepada pemuda itu dengan sikap
menantang. Sian Lun menjadi tertegun. "Kau ....., kau hendak merampas pedang itu" Kembalikan, nona.
Pedang itupun boleh kupinjam dari Jenderal Li!"
"Bukankah kau dulu merampasnya dari seorang panglima kerajaan Sui" Pedang ini bukan
pedangmu, bukan pula pedang Jenderal Li, akan tetapi adalah pedang dari mendiang Panglima
Kam! Kalau kau ada kepandaian, boleh kau rampas kembali, pedang ini sekarang sudah berada
di tanganku!" kembali Ling Ling memandang dengan sikap menantang.
Untuk sesaat teganglah semua urat dalam tubuh Sian Lun. Ia hendak bergerak menyerang
nona itu untuk merampas kembali pedangnya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan
kemudian bahkan duduk di atas rumput sambil tersenyum.
"Biarlah, ambillah...... kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh paman Kwee."
"Kau perduli apa dengan segala niatku" Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri dan mari kita
lanjutkan pertempuran kita!"
Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya. "Kau serang dan bunuhlah aku kalau kau
mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa ada alasannya.
Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang tidak melawan."
Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan
menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang muda itu
duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur mati-matian.
Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa mulai terasa dingin.
Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya.
"Hendak ke manakah, nona?"
"Ke mana lagi" Tentu ke Tiang-an!" jawaban ini terdengar penuh tantangan.
"Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari."
"Apa maksudmu?"
"Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan rawa-rawa yang
amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup rumput dan merupakan
perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak sekali terdapat binatangbinatang
berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui tempat itu di waktu malam!"
Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel. Apalagi yang
mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi musuhnya, pemuda yang
"dibencinya", tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati nasehatnya. Ia teringat akan daerah berawa
ini, karena dulu ia pernah lewat di daerah ini.
"Aku tidak takut!" katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari hutan itu, tibalah ia di
daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan menyeramkan. Matahari telah lenyap, terganti
oleh malam yang remang-remang, dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang di sana-sini,
seperti raksasa-raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman.
Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari jauh, nampak
sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya. Ia terkejut, akan tetapi
setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai bayangan Sian Lun.
Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya yang
takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam malam yang
menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu seperti Sian Lun
sekalipun. Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa gemas. Ia ingin
berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam daerah yang demikian
berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang luas di depannya itu belum
tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos ke dalam rawa yang tertutup rumput, akan
celakalah dia. Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan
sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan berkeliaran di daerah
menyeramkan itu. "Gadis bandel!" tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol sekali. Akan
tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap. Telah berkalikali
ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini ia merasa girang dapat membalas
dendam dan membuat Sian Lun marah dan mendongkol.
Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan liku-liku jalan di
situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi ia diam saja dan hanya
menurut ke mana Ling Ling memilih jalan. Ia maklum bahwa gadis itu telah tersasar dan salah
jalan, akan tetapi ia diam saja.
Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman tempat itu, belum
juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-tiba Ling Ling menahan kakinya dan
melompat mundur. Hampir saja ia celaka, karena ketika kakinya menyentuh rumput di depannya,
ternyata bahwa di bawah rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku hati-hati, kalau tidak
tentu ia akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya.
Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan, akan tetapi baru
beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke kiri tidak mungkin, karena di
sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk kembali" Ah, bagaimana ia harus kembali
melalui jalan tadi yang demikian jauhnya" Ia berdiri termenung dengan bingung.
"Kita telah salah jalan," kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi mengandung
kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu.
Ling Ling cemberut. "Kau sudah tahu dari tadi?"
"Tentu saja aku tahu," jawab pemuda itu.
"Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja" Mengapa kau membiarkan kita tersesat ke
jalan buntu ini?" "Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya" Biarlah, gadis kepala batu
seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran."
"Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku" Kau pergilah dan biarkan aku
sendiri!" Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan.
Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun kering dan
memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya daun dan ranting itu di
situ lalu ia membuat api unggun.
"Pergi!" seru Ling Ling. "Mengapa kau tidak mau pergi" Aku tidak ingin ditemani!"
"Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja boleh bermalam
di sini. Kau suruh aku pergi ke mana" Kembali ke jalan tadi, mungkin akan tersasar ke tempat


Tembok Besar Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak jauh dari sini terdapat daerah yang penuh
dengan ular-ular kecil berbisa" Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil yang tiba-tiba
menyerang kakimu dari dalam gelap" Sekali saja kena gigitan seekor ular itu, tubuh kita akan
menjadi kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana aku harus pergi" Aku
akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah dapat kita keluar dari neraka
ini." Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu. Padahal
cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali Ling Ling duduk di
bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi dan ia memandang kepada
pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai bernyala.
Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam saja dan
agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih berani memandang dan
menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan yang agak gelap ini, sinar mata
gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu menikam pandang matanya.
"Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?" tanya Sian Lun kemudian.
"Ya," jawab Ling Ling singkat.
"Jadi kau she Kam?"
"Bukan," kembali jawaban yang singkat sekali.
Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang menarik
perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan telah mengeras dalam
rendaman air pengalaman yang pahit getir.
Siapakah dia ini" Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong" Betapapun juga, ia seorang gadis
patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi. Buktinya, gadis yang pernah
bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di dalam perjuangan bahkan menjadi pemimpin
pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal dan ditakuti musuh.
"Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah shemu?"
Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia teringat bahwa
pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Kwee Siong. Ia tidak mau
pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee Siong, maka ia lalu menutup kembali
bibinya yang sudah hampir digerakkan.
"Nona, mengapa kau diam saja" Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?" setelah
menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.
"Sudahlah, jangan banyak tanya," akhirnya Ling Ling menjawab juga, "aku lelah dan
mengantuk, hendak tidur!" Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan hendak pergi
menjauhkan diri dari tempat itu.
"Eh, nona, mengapa pergi" Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat api unggun.
Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin berdekatan dengan aku."
Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata, "Aku tidak biasa tidur dalam terang api.
Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!"
"Mana bisa dipadamkan" Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu kita.
Dan pula, hawa malam begini dingin." Sian Lun membantah.
Ling Ling membanting-banting kakinya. "Kalau begitu, mengapa kau menawarkan tempat itu
kepadaku" Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras kepala!" Gadis ini
dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke jalan tadi, kemudian merebahkan diri
di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari tempat Sian Lun.
Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke arahnya. Akan
tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan segera duduk bersandar ke
pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah mantelnya.
Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu, .....aneh, galak, akan tetapi
amat manis dan menarik hati........
Lembah Nirmala 28 Tiga Dalam Satu 01 Seribu Hawa Kematian Tamu Dari Gurun Pasir 7
^