Pencarian

Membunuh Itu Gampang 1

Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie Bagian 1


MURDER IS EASY by Agatha Christie MEMBUNUH ITU GAMPANG Alih bahasa: Ny. Suwarni A.S.
Penerbit: PT Gramedia Cetakan kelima: November 2002
MENGENAI PENULIS AGATHA Christie lahir di Torquay, Devon, Inggris, pada tahun 1890. Ibunya
seorang Inggris dan ayahnya orang Amerika. Novelnya yang pertama adalah The
Mysterious Affair at Styles, ditulis menjelang akhir Perang Dunia Pertama. Dalam
peperangan itu dia mengabdi sebagai anggota Detasemen Bala Bantuan Sukarela di
Prancis. Dalam buku itulah dia menciptakan tokoh detektif berkebangsaan Belgia
yang cerdas, bertubuh kecil, dengan kepala berbentuk telur dan berkumis lebat,
Hercule Poirot. Tokoh itu kemudian menjadi tokoh detektif yang paling populer
dalam cerita-cerita kriminal, setelah Sherlock Holmes.
Dalam tahun 1926 dia menulis cerita yang dianggap sebagai salah satu karyanya
yang besar, yaitu Pembunuhan atas Roger Ackroyd. Buku itu adalah buku pertama
yang diterbitkan oleh William Collins, dan sejak itu buku-bukunya selalu
diterbitkan oleh penerbit tersebut. Novel detektifnya yang ketujuh puluh tiga,
Elephants Can Remember, terbit dalam bulan November 1972.
Agatha Christie menikah dengan seorang arkeolog terkemuka, Sir Max Mallowan.
Mereka sering mengadakan perjalanan ke Timur Tengah. Kecuali mengarang, Agatha
juga menaruh perhatian besar pada bidang suaminya.
Tokoh Hercule Poirot meninggal dalam Tirai yang edisi bahasa Inggrisnya terbit
dalam tahun 1975. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Januari 1976, Agatha
Christie meninggal di Wallingford, Inggris.
BAB 1 TEMAN SEPERJALANAN INGGRIS! Berada di Inggris lagi setelah bertahun-tahun meninggalkannya!
Bagaimana kelak perasaannya"
Luke Fitzwilliam bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia menuruni tangga
kapal. Pertanyaan itu tetap menggema di kepalanya selama dia menunggu di tempat
pemeriksaan bea-cukai. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul waktu dia sedang duduk
di kapal penyeberangan dari daratan Eropa.
Datang ke Inggris untuk berlibur adalah soal lain. Ditandai dengan uang yang
dihambur-hamburkan (begitu selalu awalnya!), sahabat-sahabat lama yang akan
dikunjungi, berkenalan dengan orang-orang yang juga ingin berlibur - dan selalu
terasa suasana santai yang bernada, "Ah, aku tidak akan lama di sini. Sebaiknya
aku memuaskan diri dan bersenang-senang! Sebentar lagi aku sudah harus pergi
dari sini." Tapi kini tidak akan ada lagi kemungkinan untuk pergi dari sini. Tidak akan ada
lagi malam-malam hangat yang mendebarkan, tidak akan ada lagi matahari yang
menyilaukan dan keindahan daerah tropis yang kaya akan tumbuh-tumbuhan. Tidak
akan ada lagi malam-malam sepi yang dilewatkan dengan membaca dan membaca ulang
nomor-nomor lama harian The Times.
Dia kini adalah seorang pensiunan yang terhormat, yang memiliki sedikit harta
pribadi, yang tak perlu bekerja lagi, dan yang pulang kembali ke Inggris. Apa
yang akan diperbuatnya"
Inggris! Inggris pada suatu hari di bulan Juni, dengan langit yang kelabu dan
angin yang tajam menggigil. Dengan cuaca yang begini, sama sekali tak terasa
sambutan yang ramah dari negeri ini! Demikian pula orang-orangnya! Berjubel-
jubel, semua berwajah kelabu, sama kelabunya dengan warna langit - wajah yang
penuh rasa cemas dan kuatir. Begitu pula rumah-rumahnya - bermunculan bagai jamur
di musim hujan. Rumah-rumah kecil yang jelek! Rumah-rumah kecil yang tak sedap
dipandang! Daerah-daerah pedesaan penuh dengan rumah-rumah yang mirip kandang
ayam! Dengan enggan Luke Fitzwilliam mengalihkan pandangannya dari pemandangan di luar
yang kelihatan melalui jendela kereta api itu dan mulai membaca surat kabar-
surat kabar yang baru saja dibelinya. The Times, Daily Clarion, dan Punch.
Dimulainya membaca Daily Clarion. Surat kabar itu penuh dengan berita mengenai
Epsom. "Sayang sekali, coba aku datang kemarin," pikir Luke. "Sejak umur sembilan belas
tahun aku tak pernah lagi melihat pacuan kuda di Derby."
Dia pernah memenangkan taruhan atas seekor kuda, dan kini dia ingin melihat
bagaimana ramalan wartawan Daily Clarion. Dilihatnya bahwa ramalan itu hanya
dinyatakan dengan kalimat-kalimat singkat. "Salah satu dari kuda-kuda ini,
Jujube II, Mark's Mile, Santony, dan Jerry Boy, agaknya tidak punya kemungkinan
untuk menang. Yang punya harapan adalah seekor kuda asing yaitu..."
Tetapi Luke tidak menaruh perhatian pada kuda asing yang punya harapan itu.
Matanya meneliti pasaran taruhan. Jujube II hanya terdaftar dengan perbandingan
40 melawan 1. Dia melihat arlojinya. Pukul empat kurang seperempat. "Ah, sudah lewat
sekarang," pikirnya. Padahal dia berharap bisa memasang taruhan untuk Clarigold
yang telah dijagokan orang pada nomor dua.
Kemudian dibukanya The Times dan mulai asyik membaca persoalan-persoalan yang
lebih serius. Namun keasyikan itu tak berlangsung lama, karena seorang kolonel berwajah seram
yang duduk di sudut di seberangnya, menjadi demikian marahnya oleh apa yang baru
saja dibacanya, hingga dia merasa harus membagi perasaannya itu dengan teman
seperjalanannya. Setengah jam penuh kolonel itu mencurahkan buah pikirannya
tentang "penghasut Komunis sialan itu".
Akhirnya kolonel itu diam, dan tertidur dengan mulut ternganga. Tak lama
kemudian, kecepatan kereta api berkurang dan akhirnya berhenti. Luke melihat ke
luar jendela. Mereka berada di sebuah stasiun besar berperon banyak, yang tampak
kosong. Terlihat olehnya sebuah kios buku agak di ujung peron, di sana terpasang
sebuah plakat yang bertulisan: HASIL PACUAN KUDA DI DERBY. Luke membuka pintu,
melompat ke luar, lalu berlari ke arah kios buku itu. Sesaat kemudian sambil
tersenyum, dia memandangi beberapa baris tulisan yang di sana-sini tintanya
mengembang. Di situ tertulis dalam bentuk berita singkat.
HASIL PACUAN KUDA DERBY JUJUBE II MAZEPPA CLARIGOLD Senyumnya makin lebar. Seratus pound terbuang percuma! Ternyata si Jujube II
yang menang, padahal tadinya begitu diremehkan oleh semua pecandu taruhan.
Surat kabar itu dilipatnya, masih tetap tersenyum sendirian, lalu berbalik - dan
mendapati tempat itu sudah kosong. Dalam luapan kegembiraannya karena kemenangan
Jujube II, kereta api yang ditumpanginya sudah meninggalkan stasiun tanpa
diketahuinya. "Kapan kereta api sialan itu berangkat?" tanyanya pada seorang kuli stasiun yang
tampak murung. Yang ditanya menyahut, "Kereta api apa" Tak ada yang masuk stasiun, sejak kereta yang berangkat jam
3.14 tadi." "Baru saja ada kereta api di sini. Saya baru saja turun dari kereta api itu.
Kereta api ekspres pengangkut para penumpang kapal penyeberangan."
Dengan tenang kuli itu menjawab,
"Kereta api pengangkut penumpang kapal penyeberangan takkan berhenti sebelum
sampai ke London." "Tapi tadi berhenti di sini," Luke meyakinkannya. "Saya turun dari kereta api
itu." "Tak pernah berhenti sebelum sampai ke London," ulang kuli itu dengan
bersiteguh. "Tadi kereta itu berhenti tepat di peron ini dan saya turun. Sungguh!"
Dihadapkan pada kenyataan itu, kuli itu mengubah pendiriannya.
"Sebenarnya Anda tak boleh turun tadi," katanya dengan nada menegur. "Kereta itu
tak berhenti di sini."
"Berhenti." "Lihat sinyal kereta api itu. Sinyal itu tidak menyatakan 'stop'."
"Saya tak sepandai Anda dalam hal tanda-tanda itu," kata Luke. "Yang penting
sekarang, apa yang harus saya lakukan?"
Kuli itu, laki-laki yang berdaya pikir lamban, mengulangi tegurannya.
"Sebenarnya Anda tak boleh turun tadi."
"Saya akui itu," kata Luke. "Jangan mengingat-ingat kesalahan yang telah lalu -
bagaimanapun kita menangis, kita tidak akan bisa mengembalikannya - begitu yang
bisa kita kutip dari sajak Nevermore. Maksud saya, sebagai orang yang telah
berpengalaman dalam perkereta-apian, apa nasihat Anda sekarang?"
"Anda bertanya apa yang sebaiknya Anda lakukan sekarang?"
"Begitulah," kata Luke. "Saya yakin, pasti ada kereta api yang berhenti, benar-
benar berhenti secara resmi, di sini. Ya, kan?"
"Tentu," kata kuli itu. "Sebaiknya Anda melanjutkan perjalanan dengan kereta api
yang jam 4.25." "Bila kereta api yang jam 4.25 itu berangkat ke London," kata Luke, "saya akan
naik kereta api itu."
Setelah mendapat kepastian, Luke berjalan hilir-mudik di peron. Pada papan yang
besar terbaca olehnya bahwa dia kini ada di Persimpangan Fenny Clayton yang
menuju ke Wychwood-under-Ashe. Tak lama kemudian sebuah kereta api yang terdiri
dari sebuah gerbong, yang didorong mundur oleh sebuah mesin kecil tua, masuk
perlahan-lahan lalu berhenti. Enam atau tujuh orang keluar dari gerbong itu, dan
setelah menyeberangi sebuah titian, mereka sampai di peron tempat Luke berada.
Kuli yang murung tadi tiba-tiba jadi bersemangat, dan mulai mendorong sebuah
gerobak penuh peti-peti kemas dan keranjang. Seorang kuli lain menyusulnya dan
mendorong kaleng-kaleng susu. Stasiun Fenny Clayton jadi terbangun dan penuh
dengan kegiatan. Akhirnya, masuklah kereta London dengan megahnya. Gerbong-gerbong kelas tiga
penuh sesak, gerbong kelas satunya hanya ada tiga buah, dan masing-masing
kabinnya berisi seorang atau beberapa orang penumpang. Luke mengamat-amati
setiap kabin. Kabin pertama, sebuah kabin khusus untuk para perokok, ditempati
oleh seorang pria yang bertampang militer. Orang itu sedang mengisap sebatang
cerutu. Luke merasa sudah bosan dengan kolonel-kolonel Inggris yang pernah
bertugas di India. Dia berjalan terus ke kabin berikutnya. Di situ terdapat
seorang wanita muda dari kalangan baik-baik, yang kelihatan lelah. Mungkin dia
seorang pengasuh kanak-kanak, soalnya dia pergi bersama seorang anak laki-laki
kecil berumur kira-kira tiga tahun yang kelihatan lincah. Luke cepat-cepat
berlalu. Pintu kabin berikutnya terbuka, dan di dalamnya ada seorang penumpang,
seorang wanita yang sudah berumur. Wanita itu membuat Luke teringat pada salah
seorang bibinya, Bibi Mildred, yang dengan berani mengizinkannya menyimpan
seekor ular rumput, waktu dia berumur sepuluh tahun. Kalau dibandingkan dengan
bibi-bibi yang lain, Bibi Mildred jelas merupakan seorang bibi yang baik. Luke
masuk ke gerbong itu lalu duduk.
Setelah lima menit yang sibuk dengan pengangkutan gerobak-gerobak susu, gerobak-
gerobak barang dan keributan-keributan lainnya, bergeraklah kereta api itu
perlahan-lahan keluar dari stasiun. Luke membuka lipatan surat kabarnya, dan
mengarahkan perhatiannya pada berita-berita yang menarik perhatian seseorang
yang telah membaca harian paginya.
Dia tidak berharap akan bisa membaca lama. Sebagai orang yang mempunyai banyak
bibi, dia yakin benar bahwa wanita tua yang duduk di sudut itu, pasti tak punya
niat untuk berdiam diri sepanjang perjalanan ke London.
Dugaannya memang benar - sebuah jendela yang perlu diatur, disusul dengan payung
yang jatuh - wanita itu pun lalu berkata bahwa kereta api yang mereka tumpangi itu
bagus. "Hanya memerlukan waktu satu jam sepuluh menit. Itu sudah bagus, benar-benar
bagus. Jauh lebih baik daripada kereta api pagi, yang memerlukan waktu satu jam
empat puluh menit." Wanita itu melanjutkan, "Tentu saja, orang lebih suka naik kereta pagi. Maksud saya, kalau lebih murah
naik yang pagi, mengapa naik yang sore. Tadinya saya punya rencana naik kereta
pagi, tapi Wonky Pooh hilang - dia kucing saya, kucing Persia yang cantik sekali,
sayang akhir-akhir ini telinganya sakit - dan saya tentu tak bisa berangkat
sebelum dia ketemu!"
"Ya, memang," gumam Luke, lalu sengaja menekuri surat kabarnya lagi. Tetapi sia-
sia saja. Banjir kata-kata berlangsung terus.
"Jadi saya lakukan saja yang terbaik, yaitu naik kereta sore. Ada untungnya
juga, sebab kereta sore tidak sepadat yang pagi - meskipun hal itu tidak ada
pengaruhnya bila kita bepergian naik gerbong kelas satu. Sebenarnya itu bukan
kebiasaan saya. Maksud saya, saya anggap hal itu suatu pemborosan, mengingat
adanya bermacam-macam pajak dan bunga tabungan yang makin rendah, lalu upah
pembantu rumah tangga yang makin tinggi, dan segala macam soal lainnya - lagi pula
saya sedang bingung - karena saya sedang ada urusan yang penting sekali. Saya
ingin dengan tenang memikirkan apa tepatnya yang harus saya katakan nanti - " Luke
menahan senyum. "Dan bila orang-orang yang kita kenal juga bepergian - yah, kita
tentu harus bersikap ramah, - jadi saya pikir, biarlah untuk sekali ini,
pengeluaran semacam ini tidak merugikan - meskipun saya tetap berpendapat bahwa
zaman sekarang ini banyak sekali pemborosan - boleh dikatakan tak ada orang yang
menabung dan memikirkan masa depan. Orang menyesal karena membuang-buang waktu -
tapi itu hampir tak ada bedanya."
Sambil memandang sekilas ke wajah Luke yang kecoklatan kena sinar matahari, dia
cepat-cepat melanjutkan, "Saya mengerti bahwa seorang prajurit yang sedang cuti
harus bepergian naik gerbong kelas satu. Maksud saya sebagai seorang perwira,
memang sepantasnya dia berbuat demikian - "
Luke menjadi sasaran pandangan mata yang cerah dan bersinar, yang penuh
mengandung tanya. Dia segera mengalah. Dia maklum bahwa akhirnya wanita itu akan
tahu juga. "Saya bukan prajurit," katanya.
"Oh, maaf. Bukan maksud saya - saya pikir - kulit Anda begitu coklat - mungkin Anda
sedang pulang cuti dari salah satu negeri Timur."
"Saya memang pulang dari Timur," kata Luke. "Tapi tidak sedang cuti." Semua
pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan lagi, dipotongnya dengan pernyataan yang
tegas. "Saya seorang polisi."
"Seorang polisi" Wah, itu menarik sekali. Putra seorang teman dekat saya baru
saja diangkat jadi polisi Palestina."
"Saya dari Selat Mayang," kata Luke memotong lagi.
"Waduh - menarik sekali. Benar-benar suatu kebetulan - maksud saya, Anda bepergian
naik gerbong ini juga. Karena urusan yang menjadi tujuan kepergian saya ke kota
ini - yah, terus terang, saya akan pergi ke Scotland Yard."
"Sungguh?" kata Luke.
Pikir Luke, "Apakah kisah wanita ini akan habis masa putarnya seperti jam, atau
apakah hal ini akan berlangsung terus sampai ke London?" Sebenarnya dia tidak
terlalu keberatan, karena dia amat sayang pada Bibi Mildred, dan dia ingat,
suatu kali bibinya itu pernah memberinya uang lima penny tepat waktu dia sangat
membutuhkannya. Lagi pula dari dalam diri wanita-wanita tua seperti yang duduk
di hadapannya ini dan juga dalam diri Bibi Mildred, selalu terpancar sesuatu
yang bersifat Inggris dan menyenangkan. Di Selat Mayang, sama sekali tak ada
yang seperti mereka itu. Wanita-wanita tua seperti dia bisa disamakan dengan
puding Natal, atau olahraga cricket di desa, atau perapian kuno yang menggunakan
kayu api. Pokoknya, seperti segala sesuatu yang paling kita hargai bila kita
tidak memilikinya, dan kita sedang berada di negara lain. (Mereka juga bisa
membuat kita bosan bila selalu berada di dekat kita. Tetapi seperti diketahui,
Luke baru tiga atau empat jam mendarat di Inggris.)
Wanita tua itu melanjutkan dengan ceria,
"Jadi, saya memang bermaksud berangkat pagi-pagi - tapi seperti sudah saya
ceritakan, saya selalu merasa cemas memikirkan Wonky Pooh. Tapi menurut Anda,
saya tidak akan terlambat, bukan" Maksud saya, apakah ada jam-jam kerja tertentu
di Scotland Yard?" "Saya rasa jam empat mereka belum tutup," kata Luke.
"Tentu tidak, tak mungkin. Maksud saya, mungkin saja setiap saat ada seseorang
yang ingin melaporkan suatu kejahatan, bukan?"
"Tepat," kata Luke.
Beberapa saat lamanya wanita tua itu terdiam. Dia kelihatan risau.
"Saya selalu berpendapat, sebaiknya kita menghubungi orang yang di puncak
sekali," katanya akhirnya. "Memang, John Reed itu orang baik - dia agen polisi di
Wychwood - orangnya sangat menyenangkan dan budi bahasanya baik - tapi, entah
mengapa, saya merasa - dia bukanlah orang yang bisa menangani persoalan yang
serius. Dia biasa menangani orang-orang yang minum terlalu banyak, atau orang
yang berkendaraan dengan kecepatan yang melampaui batas - atau orang-orang yang
tidak mendaftarkan anjingnya - atau bahkan masalah perampokan. Tapi saya rasa - ya,
saya yakin sekali - dia bukanlah orang yang bisa menangani suatu pembunuhan!"
Alis Luke terangkat.

Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pembunuhan?" Wanita tua itu mengangguk kuat-kuat.
"Ya, pembunuhan. Saya lihat Anda terkejut. Mula-mula saya juga terkejut.... Saya
benar-benar tak bisa percaya. Saya pikir saya pasti mengkhayal."
"Apakah Anda yakin bahwa Anda tidak mengkhayal?" tanya Luke dengan lembut.
"Oh, tidak." Dia menggeleng dengan yakin. "Pertama kali mungkin, tapi pada
peristiwa yang kedua, atau yang ketiga, atau yang keempat, tidak lagi. Sesudah
sekian kali kita jadi yakin."
Luke bertanya, "Apakah maksud Anda - eh - telah terjadi beberapa kali pembunuhan?"
Dengan suara tenang yang lembut dia menyahut,
"Bahkan banyak sekali."
Katanya lagi, "Sebab itu saya pikir, sebaiknya saya langsung saja pergi ke Scotland Yard dan
menceritakannya pada mereka. Apakah menurut Anda itu bukan hal yang sebaik-
baiknya dilakukan?" Luke memandanginya dengan termangu, lalu berkata,
"Yah, ya - saya rasa Anda benar."
Katanya dalam hati, "Mereka akan tahu bagaimana harus memperlakukan nenek ini. Mungkin, dalam
seminggu mereka biasa menerima lima atau enam wanita tua yang ngoceh tentang
sejumlah pembunuhan yang telah terjadi di desa mereka yang tenang dan nyaman!
Mungkin di sana bahkan ada bagian khusus yang melayani nenek-nenek tua seperti
ini." Lalu dibayangkannya seorang kepala polisi yang kebapakan, atau seorang inspektur
muda yang tampan, yang menggumam dengan bijaksana,
"Terima kasih, Ibu, kami benar-benar berterima kasih pada Ibu. Sekarang Ibu
pulang saja dulu, dan serahkan semuanya itu kepada kami, dan Ibu tak usah
merisaukan hal itu lagi."
Dia tersenyum sendiri membayangkan hal itu. Pikirnya,
"Mengapa mereka sampai mengkhayalkan hal-hal itu" Kurasa itu disebabkan oleh
hidup yang amat membosankan - dan suatu keinginan besar akan adanya drama. Aku
pernah mendengar tentang beberapa wanita tua, yang membayangkan bahwa setiap
orang mencoba meracuni makanannya."
Dia terbangun dari renungannya, karena mendengar suara halus dan lembut itu
melanjutkan, "Saya ingat, saya pernah membaca - saya rasa mengenai perkara Abercrombie - setelah
laki-laki itu meracuni banyak orang, barulah timbul kecurigaan - eh, apa kata
saya" Oh, ya, orang berkata bahwa cara dia memandang - semacam sorot mata khusus
yang ditujukannya pada seseorang - lalu, tak lama setelah itu orang yang
dipandangnya akan jatuh sakit. Saya tak percaya benar waktu saya membaca hal itu
- tapi nyatanya benar!"
"Apa yang benar?"
"Sorot mata seseorang itu...."
Luke memandanginya dengan terbelalak. Wanita itu agak gemetar, dan pipinya yang
halus dan berwarna merah muda, agak memucat.
"Pertama-tama saya melihat kejadian itu atas diri Amy Gibbs - kemudian gadis itu
meninggal. Kemudian Carter. Dan Tommy Pierce. Lalu - kemarin - Dr. Humbleby yang
mendapat sorot mata seperti itu - padahal dia orang yang sangat baik - baik sekali.
Si Carter itu, yah, dia memang tukang mabuk, sedang Tommy Pierce adalah anak
laki-laki yang benar-benar kurang ajar, dia suka menggertak anak-anak kecil,
memelintirkan lengan mereka dan mencubit mereka. Saya tidak terlalu merisaukan
mereka. Tapi Dr. Humbleby lain. Dia diselamatkan. Yang menjengkelkan adalah,
bila saya mendatanginya dan mengatakan hal itu padanya, dia takkan percaya! Dia
hanya akan tertawa! Dan John Reed pun takkan percaya pada saya. Tapi di Scotland
Yard akan lain halnya. Karena mereka pasti sudah terbiasa menangani kejahatan!"
Wanita itu melihat ke luar jendela.
"Wah, sebentar lagi kita akan tiba." Dia sibuk membuka dan menutup tasnya, lalu
mengambil payungnya. "Terima kasih - terima kasih banyak," katanya pada Luke yang mengambilkan
payungnya untuk kedua kalinya. "Saya lega sekali sudah berbicara dengan Anda -
Anda baik sekali - saya benang Anda beranggapan bahwa saya sedang melakukan hal
yang benar." Luke berkata dengan ramah,
"Saya yakin mereka akan memberikan petunjuk yang baik di Scotland Yard."
"Saya sangat berterima kasih." Dia membongkar-bongkar tasnya. "Kartu nama saya -
astaga, saya hanya punya satu - ini harus saya simpan - untuk Scotland Yard...."
"Tentu, tentu...."
"Tapi nama saya Pinkerton."
"Sesuai benar nama itu bagi Anda, Miss Pinkerton," kata Luke sambil tersenyum,
lalu karena melihat wanita itu agak kebingungan, ditambahkannya, "nama saya Luke
Fitzwilliam." Waktu kereta api memasuki peron, Luke berkata lagi,
"Perlukah saya panggilkan taksi untuk Anda?"
"Ah, tak usah, terima kasih." Miss Pinkerton kelihatan agak terkejut mendengar
gagasan itu. "Saya akan naik kereta api bawah tanah saja, turun di Trafalgar
Square, dan jalan kaki ke Whitehall."
"Yah, semoga berhasil," kata Luke.
Miss Pinkerton menyalami Luke dengan hangat.
"Anda baik sekali," gumamnya lagi. "Tahukah, Anda, mula-mula saya pikir Anda
tidak percaya pada saya."
Wajah Luke sempat memerah.
"Yah," katanya. "Banyak sekali pembunuhan! Sulit juga untuk bisa lolos begitu
saja setelah melakukan begitu banyak pembunuhan, bukan?"
Miss Pinkerton menggeleng.
Dengan penuh kesungguhan dia berkata,
"Tidak, tidak, Anakku, di situ Anda keliru. Membunuh itu gampang - selama tak ada
orang yang mencurigai kita. Dan tahukah Anda, si pelaku itu sendiri justru orang
yang paling tidak dicurigai!"
"Bagaimanapun juga, semoga Anda berhasil," kata Luke.
Miss Pinkerton tenggelam dalam gelombang orang banyak. Luke sendiri mulai
mencari barang-barang bawaannya, sambil berpikir,
"Mungkinkah dia agak kurang waras" Tidak, kurasa tidak demikian. Suatu khayalan
yang terlalu jelas, itu saja. Kuharap mereka menyuruhnya pergi dengan halus. Dia
orang yang patut disayangi."
BAB 2 IKLAN KEMATIAN JIMMY LORRIMER adalah salah seorang sahabat karib Luke. Dengan sendirinya, Luke
menginap di rumah Jimmy setibanya di London. Dengan Jimmy pula malam harinya dia
pergi mencari hiburan. Kopi Jimmy pula yang diminumnya esok paginya waktu
kepalanya pusing, dan kata-kata Jimmy tak disahutinya karena dia sedang membaca
ulang sebuah artikel kecil yang tak berarti, dalam harian pagi.
"Sorry, Jimmy," katanya tersadar.
"Asyik membaca apa kau - situasi politik?"
Luke tertawa. "Jangan kuatir. Bukan itu, tapi ini ada yang aneh sekali - nenek tua teman
seperjalananku di kereta api kemarin, tewas ditabrak."
"Bagaimana kau tahu bahwa si korban memang wanita itu?"
"Ya, mungkin saja bukan dia. Tapi namanya sama - Pinkerton - dia ditabrak mobil dan
tewas, ketika sedang menyeberang ke Whitehall. Mobil itu terus lari."
"Urusan yang brengsek," kata Jimmy.
"Ya, kasihan nenek tua itu. Aku kasihan sekali padanya. Dia membuatku teringat
pada Bibi Mildred." "Siapa pun pengendara mobil itu, dia harus mendapat hukuman. Itu sama saja
dengan pembunuhan. Terus terang, aku takut setengah mati mengemudikan mobil
sekarang ini." "Apa merk mobilmu sekarang?"
"Ford V 8. Sungguh, Sahabat..."
Percakapan selanjutnya benar-benar hanya mengenai mesin-mesin mobil.
Tiba-tiba Jimmy berhenti dan bertanya,
"Luke, apa yang kausenandungkan itu?"
Luke sedang bersenandung,
"Fiddle de dee, fiddle de dee, the fly has married the humble bee."
Lalu dia meminta maaf. "Itu lagu kanak-kanak yang kuingat dari masa kecilku. Aku pun tak tahu mengapa
aku tiba-tiba teringat lagu itu."
Lebih dari seminggu kemudian waktu Luke sedang membaca halaman depan harian The
Times dengan santai, tiba-tiba dia terpekik karena terkejut.
"Astaga, apa ini!"
Jimmy Lorrimer mengangkat kepalanya.
"Ada apa?" Luke tak menjawab. Dia sedang menatap sebuah nama dalam sebuah kolom yang
tercetak. Jimmy mengulangi pertanyaannya.
Luke mengangkat kepalanya lalu memandang sahabatnya. Air mukanya demikian
anehnya hingga Jimmy jadi terkejut.
"Ada apa, Luke" Kau seperti baru saja melihat hantu."
Beberapa saat lamanya sahabatnya itu belum juga menyahut. Surat kabar itu
diletakkannya, lalu dia berjalan ke jendela dan kembali lagi. Jimmy
memandanginya dengan perasaan bertambah heran.
Luke menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi lalu membungkukkan tubuhnya.
"Jimmy, Sahabatku, ingatkah kau ceritaku tentang seorang wanita tua teman
seperjalananku ke kota ini - pada hari aku tiba di Inggris?"
"Wanita yang katamu membuatmu teringat pada Bibi Mildred" Dan yang kemudian
meninggal ditabrak mobil?"
"Benar yang itu. Dengarkan, Jimmy. Wanita tua itu waktu itu ngoceh panjang
lebar. Dikatakannya bahwa dia akan pergi ke Scotland Yard, akan mengadukan
tentang banyaknya pembunuhan yang telah terjadi. Ada seorang pembunuh yang
gentayangan di desanya - sampai begitu jauhlah agaknya, dan pembunuh itu telah
melakukan pembunuhan beruntukn."
"Kau tidak menceritakan bahwa dia tak waras," kata Jimmy.
"Kurasa dia bukan orang gila."
"Alaa, Kawan, pembunuhan beruntun...."
Tak sabaran Luke berkata,
"Kurasa pikirannya tidak terganggu. Dia hanya membiarkan khayalannya berkembang,
seperti yang biasa dilakukan oleh nenek-nenek tua."
"Yah, kurasa memang begitu. Tapi mungkin dia juga agak bingung."
"Persetan dengan apa yang kaupikir, Jimmy. Saat ini akulah yang sedang bercerita
padamu, mengerti?" "Oh, ya - ya, benar - lanjutkan."
"Dia tahu betul keadaannya sampai hal yang sekecil-kecilnya. Disebutkannya nama
satu-dua orang korban dan dijelaskannya bahwa apa yang benar-benar
mengguncangkannya adalah kenyataan bahwa dia tahu siapa yang akan menjadi korban
berikutnya." "Lalu?" kata Jimmy memberi semangat.
"Kadang-kadang sebuah nama melekat di kepala kita, entah karena apa. Nah, salah
satu nama itu melekat di kepalaku, karena kukaitkan dengan lirik sebuah lagu
kanak-kanak yang biasa dinyanyikan untukku waktu aku masih kecil. Fiddle de dee,
fiddle de dee, the fly has married the humble bee."
"Memang, sangat masuk akal, tapi lalu apa hubungannya?"
"Hubungannya, Sahabatku yang tolol, adalah bahwa nama orang itu adalah Humbleby -
Dokter Humbleby. Nenek tuaku itu berkata bahwa Dokter Humbleby yang akan menjadi
korban berikutnya, dan dia merasa risau sekali karena dokter itu adalah 'orang
yang sangat baik sekali'. Nama itu melekat di kepalaku gara-gara lirik lagu yang
sudah kusebutkan tadi."
"Lalu?" tanya Jimmy.
"Coba lihat ini."
Luke memberikan surat kabar itu, jarinya menunjuk sebuah iklan dalam kolom
berita kematian. HUMBLEBY - Pada tanggal 13 Juni, secara mendadak, di kediamannya, Sandgate,
Wychwood-under-Ashe, DR. JOHN EDWARD HUMBLEBY, suami tercinta dari JESSIE ROSE
HUMBLEBY. Pemakaman pada hari Jumat. Harap tidak mengirimkan bunga.
"Kaulihat, Jimmy" Itulah namanya dan tempatnya, dan dia seorang dokter. Apa
kesimpulanmu?" Jimmy menunggu beberapa saat sebelum menjawab. Suaranya serius waktu akhirnya
dia berkata agak tak yakin,
"Kurasa ini hanya suatu kebetulan saja."
"Begitukah, Jimmy" Benarkah begitu" Hanya suatu kebetulan saja?"
Luke mulai berjalan hilir-mudik lagi.
"Apa lagi kemungkinannya?" tanya Jimmy.
Luke tiba-tiba memutar tubuhnya.
"Seandainya setiap kata yang diucapkan nenek yang baik itu semuanya benar!
Seandainya cerita khayalan itu memang suatu kenyataan yang sebenar-benarnya!"
"Alaa, Sahabatku! Itu terlalu dicari-cari! Hal semacam itu tidak terjadi!"
"Bagaimana dengan kasus Abercrombie itu" Bukankah pembunuh itu juga telah
mencabut nyawa banyak orang?"
"Lebih dari yang bisa diduga," kata Jimmy. "Seorang temanku mempunyai sepupu
yang menjadi petugas penguburan setempat di sana. Aku mendengar kisahnya dari
dia. Mereka menangkap Abercrombie karena kedapatan telah meracuni dokter hewan
di sana dengan racun arsenikum, lalu mereka menggali kembali jenazah istri
dokter itu, dan ternyata wanita itu pun penuh dengan racun itu. Lalu bisa pula
dipastikan bahwa ipar laki-laki dokter itu pun meninggal dengan cara yang sama -
dan tidak hanya sampai di situ saja. Temanku itu mengatakan bahwa menurut
perkiraan tak resmi, Abercrombie telah menghabisi nyawa sekurang-kurangnya lima
belas orang dalam masa jayanya. Lima belas orang!"
"Tepat! Jadi peristiwa seperti itu memang terjadi!"
"Ya, tapi kejadiannya tidak sering."
"Bagaimana kau tahu" Mungkin saja terjadi lebih sering daripada yang kauduga."
"Nah, nah, kalau seorang bekas polisi yang berbicara! Apakah kau tak bisa
melupakan bahwa kau seorang polisi, setelah kini kau menarik dirimu ke dalam
kehidupan biasa?" "Kurasa, sekali polisi, tetap polisi," kata Luke. "Sekarang coba bayangkan,
Jimmy, seandainya sebelum Abercrombie menjadi begitu nekat dan seolah-olah
secara terang-terangan menyodorkan pembunuhan-pembunuhannya ke bawah hidung
polisi, seorang perawan tua nyinyir telah menduga apa yang dilakukan laki-laki
itu, lalu nenek itu pergi menghadap seorang pejabat untuk menceritakan semua
yang diketahuinya. Apakah menurutmu pejabat itu akan mau mendengarkannya?"
Jimmy tertawa. "Pasti tidak!" "Tepat. Mereka akan mengatakan bahwa otak nenek itu tak beres. Tepat seperti
yang kaukatakan tadi! Atau mungkin mereka berkata, 'Terlalu banyak berkhayal.
Kurang kerjaan!' Seperti yang aku katakan! Dan kita berdua, Jimmy, akan keliru!"
Lorrimer mempertimbangkannya beberapa saat, lalu berkata,
"Bagaimana keadaan sebenarnya, menurut pandanganmu?"
Lambat-lambat Luke berkata,
"Begini duduk perkaranya. Kepadaku telah dikisahkan suatu cerita - suatu cerita
yang tak masuk akal, tapi bukannya tak mungkin terjadi. Cerita itu didukung oleh
satu bukti, yaitu kematian Dokter Humbleby. Lalu ada pula suatu kenyataan
gamblang yang lain. Miss Pinkerton sedang dalam perjalanan ke Scotland Yard
membawa kisahnya yang tak masuk akal itu. Tapi dia tak sampai ke sana. Dia
ditabrak dan tewas dalam suatu peristiwa tabrak lari."
Jimmy membantah. "Tapi kau tak tahu bahwa dia belum sampai ke sana. Mungkin saja dia terbunuh
sesudah kunjungannya itu, bukan sebelumnya."
"Ya, mungkin - tapi kurasa belum."
"Itu benar-benar hanya perkiraan saja. Kesimpulannya begini - kau mempercayai -
kisah sedih itu." Luke menggeleng dengan pasti.
"Tidak, aku tidak berkata begitu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa perkara ini
perlu diselidiki." "Dengan kata lain, kau yang akan pergi ke Scotland Yard."
"Tidak, belum sampai ke situ - sama sekali belum. Seperti yang kaukatakan,
kematian Humbleby itu mungkin hanya suatu kebetulan saja."
"Lalu, kalau aku boleh bertanya, apa gagasanmu?"
"Gagasanku adalah, pergi ke desa itu dan melihat duduk perkaranya."
"Jadi itu gagasanmu?"
"Tidakkah kau sependapat bahwa itu merupakan satu-satunya jalan yang masuk akal
dan bisa dilaksanakan?"
Jimmy menatapnya lalu berkata,
"Apakah kau serius dalam urusan ini, Luke?"


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Serius sekali."
"Bagaimana kalau itu hanya merupakan isapan jempol semata?"
"Itu sangat mungkin."
"Ya, tentu...." Jimmy mengerutkan alisnya. "Tapi kau tidak beranggapan demikian,
bukan?" "Sahabatku, aku mau menerima segala macam kemungkinan." Jimmy diam beberapa
saat. Lalu dia berkata, "Apakah kau punya rencana" Maksudku, kau harus punya
alasan untuk tiba-tiba berada di tempat itu."
"Ya, kurasa memang begitu."
"Jangan hanya 'merasa' begitu saja. Sadarkah kau betapa kecilnya desa itu"
Setiap orang baru akan tampak menonjol dari jarak 1 mil!"
"Kalau begitu aku terpaksa menyamar," kata Luke, tiba-tiba tertawa. "Apa usulmu"
Apakah sebagai seorang seniman" Kurang tepat - menggambar biasa saja aku tak bisa,
apalagi melukis." "Kau bisa menjadi seorang seniman modern," usul Jimmy. "Maka soal itu tak ada
pengaruhnya." Tetapi Luke tetap bersiteguh.
"Seorang pengarang" Lazimkah seorang pengarang datang ke sebuah penginapan desa
yang tak dikenalnya, untuk menulis" Kurasa, mungkin saja. Atau, mungkin seorang
pemancing ikan - tapi aku harus tahu dulu apakah ada sungai di sekitar daerah itu.
Atau seorang penderita suatu penyakit yang diperintahkan dokter untuk tetirah
guna mendapatkan udara pedesaan" Aku tidak kelihatan seperti orang sakit,
apalagi sekarang ini semua orang sakit pergi ke rumah-rumah perawatan. Bisa pula
aku mencari rumah di sekitar tempat itu. Tapi alasan itu kurang kuat. Buang saja
semua itu, Jimmy, tapi tentu ada suatu alasan yang masuk akal, mengapa seorang
yang benar-benar asing tiba-tiba datang ke sebuah desa di Inggris?"
Jimmy berkata, "Tunggu - bawa kemari surat kabar itu."
Setelah mengambilnya, dibacanya sepintas lalu, dan kemudian berkata dengan nada
penuh kemenangan, "Sudah kuduga! Luke, Sahabatku - pokoknya - aku bisa mengurusmu. Semuanya akan mudah
sekali!" Luke memutar tubuhnya. "Apa?" Dengan rasa bangga yang disembunyikan, Jimmy melanjutkan,
"Sejak tadi aku sudah merasa seperti ada sesuatu yang kukenal! Wychwood-under-
Ashe. Tentu! Itulah tempatnya!"
"Apakah kau kebetulan punya sahabat yang mengenal petugas pemakaman di sana?"
"Kali ini tidak. Lebih dari itu, Kawan. Mungkin kau tahu, aku dianugerahi banyak
bibi dan saudara sepupu - karena ayahku adalah seorang dari tiga belas bersaudara.
Nah, sekarang dengar ini, Aku punya sepupu di Wychwood-under-Ashe."
"Jimmy, sungguh suatu keajaiban."
"Mujur sekali, ya?" kata Jimmy merendah.
"Tolong ceritakan tentang laki-laki itu."
"Dia seorang wanita. Namanya Bridget Conway. Selama dua tahun terakhir ini dia
menjadi sekretaris Lord Whitfield."
"Pria yang memiliki mingguan-mingguan kecil brengsek itukah?"
"Benar. Orangnya pun agak brengsek! Besar cakap! Dia lahir di Wychwood-under-
Ashe. Orangnya angkuh, suka memamerkan asal-usul dan pendidikannya, serta
keberhasilannya yang katanya adalah berkat perjuangannya sendiri. Dia telah
kembali ke desa kelahirannya itu, dibelinya satu-satunya rumah besar di tempat
itu (perlu kauketahui bahwa semula rumah itu adalah rumah keluarga Bridget), dan
sekarang dia sedang berusaha untuk menjadikan tempat itu sebuah 'desa teladan'."
"Dan saudara sepupumu adalah sekretarisnya?"
"Mula-mula memang," kata Jimmy agak murung. "Sekarang dia sudah meningkatkan
kedudukannya! Dia bertunangan dengan Lord Whitfield itu!"
"Oh," kata Luke, agak terkejut.
"Beruntung sekali tentu anak itu," kata Jimmy. "Laki-laki itu banyak sekali
uangnya. Bridget harus memilih antara dia dan seorang pria lain - kekayaan telah
menghapuskan rasa cinta dari hati gadis itu. Aku bisa berkata bahwa hal itu akan
berhasil baik. Mungkin dia akan bersikap tegas terhadap suaminya, dan suaminya
akan menurut terus padanya."
"Lalu bagaimana dengan aku?"
Jimmy langsung menjawab, "Pergi saja kau ke sana dan menginap di rumah mereka - sebaiknya kau pura-pura
menjadi seorang sepupu juga. Bridget mempunyai saudara sepupu banyak sekali,
jadi satu orang lebih atau kurang, tidak apa-apa. Itu akan kuurus dengan dia.
Kami berdua selalu dekat. Lalu mengenai alasanmu pergi ke sana - ilmu sihir saja,
Sahabatku." "Ilmu sihir?" "Cerita-cerita rakyat setempat, takhyul setempat - atau semacam itu. Wychwood-
under-Ashe cukup terkenal dalam hal-hal seperti itu. Tempat itu merupakan salah
satu tempat di mana orang masih memperingati Hari Para Penyihir - dalam abad yang
lalu bahkan orang masih membakar para penyihir di sana - masih ada bermacam-macam
upacara adat yang aneh di sana. Ingat, kau sedang menulis buku. Menghubungkan
adat-istiadat di Teluk Mayang dengan cerita-cerita rakyat di pedalaman Inggris -
mencari titik persamaannya dan sebagainya. Kau tentu tahu hal-hal semacam itu.
Pergilah berkeliling di tempat itu dengan membawa buku catatan, lalu
wawancarailah penduduk tertua di situ mengenai takhyul dan adat-istiadat
setempat. Mereka sudah biasa dengan hal-hal semacam itu, di sana, dan bila kau
menginap di Ashe Manor, maka itu akan merupakan jaminan bagimu untuk mendapatkan
kemudahan-kemudahan."
"Bagaimana dengan Lord Whitfield?"
"Dia tak apa-apa. Pendidikannya tidak begitu tinggi dan dia sangat mudah percaya
- dia bahkan percaya akan apa-apa yang dibacanya dalam majalah-majalahnya
sendiri. Pokoknya, Bridget-lah yang akan mengaturnya. Bridget itu baik. Aku
berani tanggung." Luke menarik napas panjang.
"Jimmy, Sahabatku, kelihatannya semuanya akan mudah. Kau memang ajaib. Kalau kau
memang benar-benar bisa mengurus dengan saudara sepupumu...."
"Itu akan beres. Serahkan saja padaku."
"Tak terhingga terima kasihku padamu."
Kata Jimmy, "Aku hanya minta supaya, bila kau memburu pembunuh manusia itu, beri tahu aku
bagaimana hasilnya kelak!"
Dengan tajam dia menambahkan,
"Ada apa?" Lambat-lambat Luke berkata,
"Aku hanya teringat apa yang dikatakan nenek tuaku itu padaku. Aku berkata
padanya bahwa rasanya tak mungkin bisa melakukan begitu banyak pembunuhan dan
bisa lolos begitu saja, dan dia menjawab bahwa aku keliru - dikatakannya bahwa
membunuh itu gampang...." Dia berhenti, lalu ditambahkannya lambat-lambat, "Aku
jadi ingin tahu, Jimmy, apakah memang benar...."
"Apa?" "Membunuh itu gampang...."
BAB 3 NENEK SIHIR TANPA GAGANG SAPU
MATAHARI sedang bersinar waktu Luke tiba di bukit, lalu menuruninya menuju ke
kota kecil Wychwood-under-Ashe. Dia telah membeli sebuah mobil bekas merk
Standard Swallow. Dia berhenti sebentar di lereng bukit itu. Mesin mobil
dimatikannya. Waktu itu adalah musim panas. Matahari bersinar terik dan udara terasa cerah. Di
bawahnya terletak desa, yang benar-benar belum dirusak oleh pembangunan. Desa
itu tampak polos dan damai, bermandikan sinar matahari - jalan-jalan desa yang
sempit berserakan di lereng Bukit Ashe Ridge.
Desa itu tampak terpencil dan tak pernah terganggu. Luke berpikir, "Mungkin aku
ini sudah gila. Semuanya ini tak masuk akal."
Apakah dia datang kemari, dengan niat untuk memburu seorang pembunuh - semata-mata
berdasarkan celoteh seorang wanita tua, dan sebuah iklan pemberitahuan tentang
kematian yang kebetulan dibacanya"
Dia menggeleng. "Hal-hal semacam itu tak mungkin terjadi," gumamnya. "Atau - mungkin jugakah"
Luke, kini benar-benar terserah padamu untuk membuktikan apakah kau benar-benar
orang yang paling goblok di dunia ini, atau apakah hidung polisimu benar-benar
telah terangsang." Mesin mobil dihidupkannya lagi, dimasukkannya persneling dan perlahan-lahan
dituruninya jalan yang berkelok-kelok, sebelum masuk ke jalan utama.
Seperti telah diceritakan, Wychwood terutama terdiri dari sebuah jalan utama. Di
sana terdapat toko-toko, rumah-rumah kecil bergaya Georgia yang anggun dan
gagah, yang tangganya dicat putih dan alat-alat pengetuk pintunya digosok
mengkilap. Ada pula rumah-rumah kecil yang molek dikelilingi kebun-kebun bunga.
Ada sebuah penginapan yang bernama Bells and Motley, yang terletak agak jauh ke
dalam dari jalan utama. Ada sebuah taman desa dan sebuah kolam tempat itik-itik
berenang, dan di atasnya terdapat sebuah rumah megah bergaya Georgia, yang
semula disangka Luke adalah rumah yang ditujunya, yaitu Ashe Manor. Tetapi
setelah lebih mendekatinya, dilihatnya sekeping papan bercat putih yang
memberitahukan bahwa itu adalah gedung museum dan perpustakaan. Lebih jauh
terdapat sesuatu yang tidak cocok dengan pemandangan di sekitarnya, sebuah
bangunan modern yang besar, berwarna putih, sangat sederhana dan tak sesuai
dengan lingkungannya yang ceria namun tak teratur. Ternyata bangunan itu adalah
Gedung Yayasan dan Perkumpulan Remaja.
Di situ dia berhenti, lalu menanyakan jalan ke tempat tujuannya.
Dia mendapat keterangan bahwa Ashe Manor masih kira-kira setengah mil lagi
jauhnya - dia akan melihat gerbang rumah itu di sebelah kanannya.
Luke melanjutkan perjalanannya. Gerbang itu dapat ditemukannya dengan mudah -
gerbang itu masih baru dan terbuat dari besi tuang yang halus. Luke masuk. Dari
celah pepohonan tampak sekilas sebuah bangunan dari bata merah, dan setelah
membelok di tikungan, dia terpana memandang bangunan hebat yang atapnya mirip
sebuah benteng kuno. Sama sekali tidak selaras.
Ketika dia masih asyik memandangi bangunan yang tak masuk akal itu, matahari
terbenam. Tiba-tiba dia merasakan ancaman yang menyelubungi Ashe Ridge. Angin
berhembus tajam, menyingkapkan dedaunan, dan pada saat itu seorang gadis datang
dari sudut bangunan yang menyerupai benteng itu.
Rambutnya yang hitam terangkat ke atas oleh hembusan angin yang tiba-tiba, dan
Luke jadi teringat akan sebuah lukisan yang pernah dilihatnya - lukisan Nevinson
yang berjudul Nenek Sihir. Wajahnya yang panjang, halus, dan pucat, rambutnya
hitam, tertiup ke atas ke arah bintang-bintang. Dibayangkan gadis itu duduk di
gagang sapu, terbang menuju bulan....
Gadis itu langsung mendatanginya.
"Kau pasti Luke Fitzwilliam. Aku Bridget Conway."
Luke menyambut tangan yang diulurkan gadis itu. Kini Luke bisa melihatnya dengan
jelas - tanpa pengaruh khayalan yang mengejutkan tadi. Gadis itu tinggi, ramping,
berwajah panjang dan halus, tulang pipinya agak cekung - alis matanya hitam - mata
dan rambutnya hitam pula. Dia seperti sebuah lukisan etsa yang halus, pikir Luke
- cantik dan sendu. Dalam perjalanan pulang ke Inggris, dia sudah menyimpan suatu gambaran dalam
pikirannya - gambaran seorang gadis Inggris yang berwajah kemerahan tersengat
sinar matahari - sedang mengusap-usap leher kuda, membungkuk mencabuti rumput di
sepanjang tepi halaman rumahnya atau duduk sambil menghangatkan tangannya ke
arah api yang sedang menyala dalam perapian. Gambaran itu memberikan perasaan
hangat dan menyenangkan....
Kini tanpa mengetahui apakah dia menyukai Bridget Conway atau tidak - dia tahu
bahwa gambarannya tentang gadis Inggris menjadi kabur dan hancur - menjadi tak
berarti dan terasa tolol....
Dia berkata, "Apa kabar" Aku harus minta maaf karena menyusahkan saja. Tapi Jimmy telah
memberikan kepastian bahwa kau tidak akan keberatan."
"Oh, sama sekali tidak. Kami senang." Dia tersenyum. Senyum itu melekukkan
bibirnya, hingga ujung mulutnya yang lebar naik tinggi ke pipinya. "Aku dan
Jimmy selalu rukun. Dan kalau kau sedang menulis buku mengenai cerita-cerita
rakyat setempat, maka ini memang tempat yang tepat. Di sini terdapat bermacam-
macam legenda dan tempat-tempat yang bagus."
"Bagus," kata Luke.
Mereka berjalan bersama-sama ke arah rumah. Diam-diam Luke memandangi rumah itu
lagi. Kini tampak olehnya garis-garis rumah aslinya yang bergaya Ratu Anne yang
sederhana. Kini semuanya itu sudah terselubung dan terhapus oleh kemegahan yang
ceria. Dia ingat Jimmy mengatakan bahwa rumah itu semula adalah rumah keluarga
Bridget. Waktu itu pasti rumah ini belum diubah seperti ini, pikir Luke. Dia
mencuri pandang ke potongan tubuh Bridget - tangannya panjang dan cantik, dan dia
lalu menduga-duga. Diperkirakannya gadis itu berumur dua puluh delapan atau dua puluh sembilan
tahun. Gadis itu cerdas. Dan dia adalah tipe orang yang tidak akan kita ketahui
apa-apa tentang dirinya, bila dia sendiri tidak menghendakinya....
Di dalam, rumah itu nyaman dan ditata dengan penuh selera - selera tinggi seorang
penata rumah kelas satu. Bridget Conway berjalan mendahuluinya ke sebuah kamar
yang penuh dengan rak-rak buku dan kursi-kursi yang nyaman. Dekat jendela
terdapat sebuah meja dan peralatan minum teh. Dua orang duduk dekat meja itu.
Bridget berkata, "Gordon, ini Luke, dia saudara sepupu dari sepupuku."
Lord Whitfield adalah seorang pria pendek yang kepalanya hampir botak. Berwajah
bulat dan bertampang polos, mulutnya seperti orang yang sedang merajuk, dan
matanya agak menonjol. Dia mengenakan pakaian pedesaan yang tampak tak rapi.
Pakaian itu membuat tampangnya kelihatan buruk dan perutnya gendut.
Dia menyapa Luke dengan ramah,
"Senang bertemu denganmu - senang sekali. Kudengar baru kembali dari Timur, ya"
Tempat yang menarik. Kau sedang menulis buku, kata Bridget. Kata orang, sekarang
ini terlalu banyak buku ditulis. Kataku, tidak - selalu masih ada tempat untuk
buku yang bagus." Bridget berkata, "Ini bibiku, Bibi Anstruther," dan Luke pun bersalaman dengan
seorang wanita setengah baya yang mulutnya seperti mulut orang tolol.
Luke segera tahu bahwa Bu Anstruther amat gemar berkebun. Dia tak pernah
membicarakan hal lain, dan pikirannya selalu dipenuhi pertimbangan apakah
sesuatu tanaman langka akan bisa tumbuh dengan baik di tempat yang dia inginkan.
Setelah menyambut baik perkenalan itu, wanita tersebut berkata lagi,
"Tahukah kau, Gordon, tempat yang paling tepat untuk jenis karang-karangan
adalah di belakang kebun mawar, dan kita akan memiliki kebun berair yang paling
indah - airnya mengalir melalui tanah rendah."
Lord Whitfield bersandar lagi ke kursinya.
"Atur saja semuanya itu dengan Bridget," kata Lord Whitfield dengan santai.
"Menurut aku, karang-karangan adalah tanaman yang rewel - tapi biarlah."
Kata Bridget, "Karang-karangan itu tak sesuai dengan gaya hidupmu yang serba besar, Gordon."
Dia menuang teh untuk Luke, dan Lord Whitfield berkata dengan tenang,
"Benar. Kurasa tanaman itu tak sebanding dengan harganya. Bunganya kecil-kecil,
hampir tak kelihatan.... Aku suka tanam-tanaman bagus yang bisa dipamerkan di
lemari tanaman, atau beberapa bedeng bunga geranium yang berwarna merah tua."
Bu Anstruther, yang mempunyai bakat luar biasa untuk mempertahankan pokok
pikirannya tanpa merasa terganggu oleh pendapat-pendapat orang lain, berkata,
"Kurasa mawar karang yang baru itu akan tumbuh dengan baik dalam cuaca seperti
ini." Lalu dia menekuni sebuah katalogus.
Sambil menyandarkan tubuhnya yang pendek-gemuk di kursinya, Lord Whitfield
menghirup tehnya dan memandang Luke dengan pandangan menilai.
"Jadi kau mengarang buku," gumamnya.
Dengan perasaan agak gugup, Luke bersiap-siap akan memberikan penjelasan, tapi
kemudian tampak olehnya bahwa Lord Whitfield tidak benar-benar menginginkan
informasi. "Aku pun sering berpikir ingin menulis buku," katanya dengan tenang.
"Begitukah?" kata Luke.
"Dan ingat, aku pasti mampu," kata Lord Whitfield. "Dan buku itu akan merupakan
buku yang amat menarik. Aku sudah bertemu dengan banyak orang yang menarik.
Susahnya, aku tak punya waktu. Aku ini sibuk sekali."
"Tentu. Anda pasti sibuk sekali."
"Kau pasti tidak akan bisa membayangkan betapa berat tugas yang harus kupikul,"
kata Lord Whitfield. "Aku mencurahkan perhatian khususku pada semua hasil
terbitanku. Kuanggap diriku bertanggung jawab dalam mencetak pandangan umum.
Minggu depan, berjuta-juta orang akan merasa dan berpikir tepat seperti yang
kuinginkan. Itu merupakan pemikiran yang serius. Tapi aku tak kuatir. Aku bisa
bertanggung jawab." Lord Whitfield membusungkan dadanya, mencoba mengempiskan perutnya, dan menatap
Luke dengan pandangan bersahabat.


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bridget Conway berkata dengan ringan,
"Kau memang orang besar, Gordon. Mau teh lagi?"
Dengan santai Lord Whitfield menyahut,
"Aku memang orang besar. Tidak, aku tak mau teh lagi."
Kemudian dia seolah-olah turun dari ketinggian budinya yang begitu sempurna,
menyamai manusia biasa, lalu bertanya dengan ramah pada tamunya.
"Adakah seseorang yang kaukenal di sekitar tempat ini?"
Luke menggeleng. Kemudian, terdorong dan merasa bahwa makin cepat dia mulai
bekerja, makin baik baginya, ditambahkannya,
"Sebenarnya ada seseorang di sini yang akan saya kunjungi - seorang kawan dari
kawan-kawan saya. Seseorang yang bernama Humbleby. Dia seorang dokter."
"Oh!" Lord Whitfield mencoba menegakkan tubuhnya dengan susah-payah. "Dokter
Humbleby" Sayang...."
"Mengapa sayang?"
"Dia meninggal seminggu yang lalu," kata Lord Whitfield.
"Astaga," kata Luke. "Sayang sekali."
"Jangan menyangka bahwa kau akan menyukainya," kata Lord Whitfield. "Orang tua
itu keras kepala, perusak suasana dan tukang bingung."
"Yang berarti bahwa dia sering tak sependapat denganmu, bukan begitu, Gordon?"
sela Bridget. "Soal persediaan air bersih kami," kata Lord Whitfield. "Boleh kukatakan,
Saudara Fitzwilliam, aku ini orang yang bersemangat sosial. Aku sangat
memperhatikan kesejahteraan kota ini. Aku lahir di sini. Ya, lahir di kota
ini...." Luke merasa kesal karena tahu bahwa pokok pembicaraan tentang Dr. Humbleby telah
beralih ke topik mengenai diri Lord Whitfield.
"Aku tidak malu mengakuinya, dan siapa pun boleh tahu," lanjut pria itu. "Aku
tak pernah menikmati kesenangan hidup seperti kalian. Ayahku memiliki toko
sepatu - ya, sebuah toko sepatu biasa. Dan aku bekerja di toko itu waktu masih
kecil. Aku mengangkat diriku dengan usaha sendiri, Fitzwilliam - aku bertekad
untuk keluar dari kemiskinan - dan aku berhasil keluar dari kemiskinan itu! Usaha,
kerja keras, dan bantuan Tuhan - itulah yang membawa keberhasilan! Itulah yang
menjadikan aku seperti keadaanku sekarang ini."
Maka secara panjang-lebar dipaparkannya kepada Luke perjalanan karier Lord
Whitfield dan diakhirinya dengan bangga,
"Dan inilah aku, dan seluruh dunia boleh tahu bagaimana aku bisa jadi begini!
Aku tak malu mengenai asal-usul dan perjuanganku - sama sekali tidak - aku kembali
kemari, ke tempat kelahiranku. Tahukah kau ada apa sekarang di tempat di mana
toko ayahku berdiri" Sebuah bangunan bagus yang kudirikan dan kuhadiahkan untuk
Yayasan dan Perkumpulan Remaja, lengkap dengan segala fasilitasnya dan berselera
masa-kini. Arsitek yang terbaik di daerah ini yang kusewa! Terus-terang hasilnya
biasa-biasa saja - menurut aku tak ubahnya seperti panti asuhan atau penjara saja -
tapi kata mereka itu cukup baik, jadi kurasa, ya baik jugalah."
"Jangan mengeluh," kata Bridget. "Rumah ini dibangun menurut seleramu!"
Lord Whitfield tertawa kecil, membenarkan.
"Ya, mereka ingin mencoba menjalankan kehendak mereka di sini! Mereka ingin
mempertahankan semangat asli gedung ini. Tidak, kataku, aku yang akan tinggal di
sini, dan aku ingin sesuatu yang kelihatan dari hasil uangku! Waktu seorang
arsitek tak mau menuruti keinginanku, kupecat dia dan kuganti dengan yang lain.
Orang yang akhirnya kutemukan, mengerti benar gagasan-gagasanku."
"Ya, dia menuruti sampai-sampai pada khayalanmu yang terburuk," kata Bridget.
"Dia ini sebenarnya ingin tempat ini dibiarkan sebagaimana aslinya," kata Lord
Whitfield, sambil menepuk lengan Bridget. "Tak ada gunanya hidup dalam suasana
masa lalu, Sayang. Orang-orang zaman Georgia itu tak tahu apa-apa. Aku tak mau
rumah biasa dari bata merah. Aku selalu mengangankan sebuah puri - dan kini aku
memilikinya!" Ditambahkannya, "Aku tahu seleraku tidak terlalu tinggi, jadi
kuberi mereka kebebasan untuk merancang bagian dalam, dan harus kuakui bahwa
hasilnya tak jelek - meskipun beberapa di antaranya agak membosankan."
"Yah," kata Luke yang merasa agak susah mencari kata-kata, "sungguh hebat kalau
kita tahu apa yang kita inginkan."
"Dan biasanya aku berhasil mendapatkannya," kata lawan bicaranya sambil tertawa
kecil. "Hampir saja rencanamu mengenai persediaan air bersih itu tak keturutan,"
Bridget mengingatkan. "Oh, itu!" kata Lord Whitfield. "Humbleby itu bodoh. Orang tua biasanya memang
keras kepala. Mereka tak mau mendengar pendapat orang lain."
"Dokter Humbleby itu orangnya suka berterus-terang, bukan?" kata Luke
memberanikan diri. "Dengan demikian, saya rasa dia punya banyak musuh."
"Ti - tidak, kurasa aku tak bisa berkata begitu," kata Lord Whitfield ragu-ragu
sambil menggosok-gosok hidungnya. "Bagaimana, Bridget?"
"Menurutku, dia disukai semua orang," kata Bridget. "Aku hanya sekali bertemu
dengan dia waktu dia datang untuk merawat pergelangan kakiku, tapi kurasa dia
baik sekali." "Ya, umumnya dia cukup disukai," Lord Whitfield mengakui. "Tapi aku juga tahu
satu atau dua orang yang tak suka padanya. Lagi-lagi karena keras kepalanya."
"Satu atau dua orang yang tinggal di sini?"
Lord Whitfield mengangguk.
"Di tempat sekecil ini banyak pertengkaran dan persekongkolan," katanya.
"Ya, saya rasa memang begitu," kata Luke. Dia ragu dan tak yakin apa langkah
berikut yang harus diambilnya.
"Bagaimana kebanyakan orang di sini?" tanyanya.
Itu merupakan pertanyaan yang agak lemah, tapi dia mendapat jawaban langsung.
"Sebagian besar janda," kata Bridget. "Keluarga para pendeta, anak-anak
perempuan, saudara-saudara perempuan, dan istri-istri mereka. Demikian pula
dengan para dokternya. Perbandingan antara pria dengan wanita di sini adalah
satu berbanding enam."
"Tapi cukup banyak juga prianya, bukan?" kata Luke memberanikan diri.
"Ya, tentu. Misalnya Pak Abbot, pengacara, dan Dokter Thomas yang masih muda,
dia patner Dokter Humbleby. Lalu Pak Wake, pendeta setempat, dan - siapa lagi,
Gordon" Oh! Ellsworthy, pemilik toko barang antik dan terlalu manis mulut! Juga
Mayor Horton dengan anjing-anjing bulldog-nya."
"Ada seseorang lagi yang kalau tak salah kawan-kawanku, tinggal di sini juga,"
kata Luke. "Kata mereka dia adalah seorang wanita tua yang baik, tapi nyinyir."
Bridget tertawa. "Separuh dari isi desa ini memang begitulah!"
"Siapa ya nama wanita itu" Oh ya, saya ingat, Miss Pinkerton."
Sambil tertawa kecil dan dengan suara serak, Lord Whitfield berkata,
"Kau benar-benar sial! Dia juga sudah meninggal. Pada suatu hari dia ditabrak
mobil di London. Dia tewas seketika."
"Banyak sekali orang yang meninggal di sini," kata Luke.
Lord Whitfield langsung membatasi.
"Sama sekali tidak. Ini merupakan salah satu tempat yang paling sehat di Inggris
ini. Kecelakaan itu di luar dugaan kita. Itu bisa menimpa siapa saja."
Tetapi Bridget Conway berkata sambil merenung,
"Kalau kita lihat kenyataannya, Gordon, dalam tahun terakhir ini memang telah
terjadi banyak kematian. Sering kali kita melihat penguburan."
"Omong kosong."
Luke berkata, "Apakah kematian Dokter Humbleby suatu kecelakaan pula?"
Lord Whitfield menggeleng.
"Oh, bukan," katanya. "Humbleby meninggal karena keracunan darah. Biasa...
seorang dokter. Jarinya tergores paku berkarat atau entah apa - dan itu tak
dipedulikannya, kemudian ternyata jari itu keracunan. Dalam waktu tiga hari dia
meninggal." "Dokter-dokter memang begitu," kata Bridget. "Padahal kurasa, besar sekali
kemungkinan mereka ketularan penyakit bila mereka tidak berhati-hati. Pokoknya
menyedihkan sekali. Istrinya patah hati."
"Tak ada gunanya melawan kehendak nasib," kata Lord Whitfield seenaknya.
"Tapi apakah semua itu memang kehendak nasib?" tanya Luke pada dirinya sendiri,
kemudian, ketika dia berganti pakaian untuk makan malam. Keracunan darah"
Mungkin. Bagaimanapun juga, suatu kematian mendadak.
Lalu kata-kata Bridget yang diucapkannya dengan ringan tadi bergema kembali.
"Telah terjadi banyak kematian dalam tahun terakhir ini."
BAB 4 LUKE MULAI BEKERJA LUKE telah memikirkan rencananya dengan cermat, dan bersiap-siap untuk langsung
melaksanakannya esok paginya, segera setelah sarapan.
Bibi yang gemar berkebun itu tak kelihatan. Tetapi Lord Whitfield sedang sarapan
dan minum kopi, sementara Bridget Conway yang sudah selesai makan berdiri dekat
jendela dan memandang ke luar.
Setelah saling mengucapkan selamat pagi dan setelah Luke duduk menghadapi telur
dan lemak babi sepiring penuh, dia berkata.
"Saya harus mulai bekerja," katanya. "Yang sulit adalah membujuk orang-orang
supaya mau bicara. Anda tahu apa maksud saya - bukan orang-orang seperti Anda dan -
eh - Bridget." (Untung dia masih sempat ingat untuk tidak menyebut Nona Conway).
"Anda berdua tentu mau menceritakan apa-apa yang Anda ketahui - tapi sulitnya,
Anda tak tahu apa yang ingin saya ketahui - yaitu takhyul-takhyul setempat. Sulit
rasanya untuk percaya betapa banyaknya takhyul yang masih diyakini orang di
bagian dunia yang terpencil ini. Di sebuah desa di Devonshire, umpamanya.
Pemimpin gereja di sana harus memindahkan sejumlah batu granit yang terdapat di
dekat gereja, karena masyarakat tetap mempertahankan adat mereka, yaitu
mengelilingi batu-batu tersebut setiap kali ada kematian. Sungguh luar biasa,
betapa upacara-upacara adat seperti ini masih dipertahankan."
"Kau benar," kata Lord Whitfield. "Rakyat membutuhkan pendidikan. Sudahkah
kuceritakan padamu bahwa aku telah menghadiahkan sebuah perpustakaan yang baik
di sini" Gedungnya adalah bekas rumah seorang bangsawan - dijual murah sekali - kini
merupakan salah satu perpustakaan yang terbaik...."
Luke dengan tegas memotong pembicaraan yang kelihatannya mulai mengarah ke jasa-
jasa Lord Whitfield lagi.
"Hebat," katanya sungguh-sungguh. "Pekerjaan yang baik. Anda pasti tahu latar
belakang kebodohan dari masa lalu yang masih terdapat di sini. Menurut saya,
justru informasi tentang itulah yang saya perlukan. Adat-istiadat lama - cerita-
cerita wanita-wanita tua, sisa-sisa upacara keagamaan lama seperti...."
Maka diulanginya apa-apa yang tertulis dalam salah satu halaman sebuah buku yang
telah dibacanya khusus untuk kesempatan itu. Luke hafal tulisan itu hampir kata
demi kata. "Kematian merupakan kejadian yang paling bisa diandalkan untuk keperluan itu,"
katanya akhirnya. "Upacara-upacara dan ritus pemakaman selalu bertahan lebih
lama daripada yang lain-lain. Kecuali itu, entah karena apa, orang-orang desa
suka sekali membicarakan kematian."
"Mereka menyukai upacara pemakaman," kata Bridget membenarkan dari dekat
jendela. "Kurasa sebaiknya hal itu kujadikan titik awal," sambung Luke. "Bila aku bisa
memperoleh daftar kematian yang baru-baru ini terjadi dalam lingkungan ini, lalu
menghubungi keluarga yang ditinggalkan dan mengajaknya bercakap-cakap, pasti aku
akan mendapat petunjuk mengenai apa yang kucari. Dari siapa sebaiknya aku
mencari keterangan - dari pendetakah?"
"Mungkin Pak Wake akan sangat tertarik," kata Bridget. "Dia orang tua yang baik
sekali dan seolah-olah merupakan benda antik di sini. Kurasa dia bisa memberimu
banyak bahan." Luke tiba-tiba merasa kuatir. Dia takut kalau-kalau Pak Pendeta itu orangnya
sangat cerdas, hingga bisa membongkar alasannya yang sebenarnya.
Dia pun berkata dengan sungguh-sungguh,
"Baiklah. Apakah kau tahu siapa-siapa yang telah meninggal dalam tahun terakhir
ini?" Bridget bergumam, "Coba kuingat. Pertama-tama Carter. Dia pemilik Seven Stars, rumah minum kecil
yang brengsek di dekat sungai itu."
"Seorang bajingan pemabuk," kata Lord Whitfield. "Dia seorang yang tak berbudi
dan pengacau masyarakat. Syukurlah dia tak ada lagi."
"Lalu Nyonya Rose, tukang cuci kami," lanjut Bridget. "Dan Tommy Pierce - dia anak
muda yang nakalnya luar biasa. Dan, oh ya, seorang gadis Amy - siapa namanya?"
Suara Bridget agak berubah waktu menyebutkan nama yang terakhir itu.
"Amy?" "Amy Gibbs. Dia bekas pembantu rumah tangga di sini, lalu dia pindah dan bekerja
pada Miss Waynflete. Telah diadakan pemeriksaan pengadilan mengenai
kematiannya." "Mengapa?" "Dia gadis tolol, dia telah keliru mengambil botol dalam gelap," kata Lord
Whitfield. "Dia mengambil apa yang disangkanya obat batuk, padahal cat topi," Bridget
menjelaskan. Luke mengangkat alisnya. "Menyedihkan sekali."
Bridget berkata, "Ada dugaan bahwa dia sengaja melakukannya. Dia baru saja bertengkar dengan
pacarnya." Bridget berbicara lambat-lambat - seolah-olah enggan.
Semuanya diam sebentar. Naluri Luke merasakan adanya suatu perasaan yang tak
diucapkan, yang membuat suasana tertekan.
Pikirnya, "Amy Gibbs" Ya, itu salah satu nama yang disebutkan Miss Pinkerton."
Wanita tua itu juga menyebutkan seorang anak laki-laki - Tommy anu - yang agaknya
tak disukainya (agaknya demikian pula dengan Bridget!). Dan ya - dia rasanya yakin
- nama Carter ada pula diucapkan.
Sambil bangkit dia berkata dengan ringan,
"Saya jadi merasa agak ngeri berbicara begini - seolah-olah saya ini hanya
berkecimpung dalam soal-soal kematian. Upacara-upacara perkawinan juga menarik -
tapi agak lebih sulit dibawa ke dalam suatu percakapan kalau tak ada hubungannya
- sama sekali." "Kurasa memang begitu," kata Bridget dengan bibir yang agak tegang.
"Kutukan dan guna-guna, itu juga suatu bahan yang menarik," lanjut Luke, pura-
pura bersemangat. "Kita sering mengalaminya di tempat-tempat setua ini. Apakah
Anda pernah mendengar gunjingan semacam itu di sini?"
Lord Whitfield menggeleng perlahan-lahan. Bridget berkata, "Kita tidak akan
mendengar yang begituan...."
Sebelum dia selesai bicara, Luke memotong,
"Aku yakin memang begitu, aku harus bergerak di lapisan masyarakat yang lebih
rendah untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Pertama-tama aku akan pergi ke
rumah pendeta untuk melihat apa yang bisa kuperoleh di sana. Setelah itu mungkin
pergi ke - apa yang kalian sebutkan tadi" Seven Stars" Lalu bagaimana dengan anak
laki-laki yang punya kebiasaan jelek itu" Adakah dia meninggalkan keluarga yang
merasa sedih karena kematiannya?"
"Nyonya Pierce memiliki sebuah toko kertas dan tembakau di High Street."
"Itu semata-mata adalah nasib," kata Luke. "Nah, saya berangkat dulu."
Bridget beranjak dari jendela dengan suatu gerakan yang cepat dan anggun.
"Aku ingin ikut kau kalau kau tidak keberatan," katanya.
"Tentu tidak." Luke mengucapkan kata-kata itu dengan bersemangat, tapi dia ingin tahu apakah
Bridget tidak melihat barang sesaat pun bahwa dia sebenarnya terkejut.
Akan lebih mudah baginya untuk menangani seorang pendeta tua, tanpa kehadiran
orang yang cerdas, waspada, dan berotak tajam di sisinya.
"Ah, biarlah," pikirnya sendiri. "Terserah padaku saja bagaimana aku menjalankan
urusanku dengan meyakinkan."
Bridget berkata, "Tunggu sebentar ya, Luke. Aku ganti sepatu dulu."
Luke - nama kecilnya, diucapkannya dengan begitu ringan, itu membuat perasaan Luke
jadi hangat. Tapi gadis itu memang tak bisa memanggilnya dengan nama lain. Dia
sendiri telah membenarkan pernyataan Jimmy bahwa dia masih sepupunya, jadi tentu
tak pantas bila Bridget menyebutnya Tuan Fitzwilliam. Tiba-tiba dia berpikir
dengan perasaan risau, "Bagaimana gerangan perasaan gadis itu tentang urusan
ini" Bagaimana pendapatnya?"
Aneh, sebelumnya dia tak pernah merasa risau. Menjadi saudara sepupu Jimmy, itu
hanya merupakan suatu khayalan yang justru menguntungkan - menjadi tokoh
sampingan. Sebelumnya, dia tak bisa membayangkan Bridget, dia hanya menerima
begitu saja gambaran sahabatnya bahwa, "Bridget tidak akan keberatan."
Bayangannya mengenai Bridget - kalaupun dia pernah mencoba membayangkan - adalah
sebagai seorang sekretaris yang bertubuh langsing, berambut pirang, dan yang
cukup cerdik, hingga berhasil menggaet seorang laki-laki kaya.
Padahal ternyata gadis itu punya kemauan keras, otak, kecerdasan yang istimewa,


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Luke sendiri tak tahu bagaimana penilaian gadis itu tentang dirinya. Sedang
penilaiannya sendiri tentang Bridget adalah: dia bukan wanita yang mudah ditipu.
"Aku sudah siap."
Bridget mendekatinya tanpa suara hingga Luke tidak mendengar dia mendekat. Dia
tidak mengenakan topi, dan di rambutnya tidak pula ada jala. Waktu mereka
melangkah keluar dari rumah, angin yang bertiup dari sudut bangunan jelek yang
seperti benteng itu, menghembus rambutnya yang hitam panjang dan tiba-tiba
mengangkatnya hingga menjadi kusut menutupi wajahnya.
Bridget berkata sambil tersenyum,
"Kau membutuhkan aku untuk menunjukkan jalan."
"Kau baik sekali," sahut Luke dengan sopan.
Dan dia lalu bertanya sendiri, apakah hanya khayalannya saja, atau memang
benarkah ada terkilas sebentar seulas senyum mengejek.
Sambil menoleh lagi ke bangunan yang menyerupai benteng itu, Luke berkata,
"Jelek sekali bangunan itu! Apakah tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya?"
Bridget menyahut, "Bagi seorang pria Inggris, rumahnya adalah istananya - dan
Gordon berpegang pada prinsip itu secara harfiah! Dia memuja rumah itu."
"Itu bekas rumahmu, bukan" Apakah kau juga 'memuja' rumah itu dalam bentuknya
yang sekarang?" tanya Luke.
Dia menyadari bahwa kata-katanya itu bisa berakibat buruk, tapi dia tak bisa
mengekang lidahnya. Bridget lalu memandanginya - suatu pandangan lekat yang mengandung rasa geli.
"Sebenarnya aku tak mau menghancurkan gambaran dramatis yang sedang
kauciptakan," gumamnya. "Tapi sebenarnya aku sudah meninggalkan tempat ini waktu
aku berumur dua tahun, jadi kau tentu mengerti bahwa rasa cintaku pada rumah tua
itu sudah tak ada lagi. Aku bahkan tak ingat lagi tempat ini."
"Kau benar," kata Luke. "Maafkan kekeliruanku."
Bridget tertawa. "Kenyataan memang sering kali tidak romantis," katanya.
Dan dalam suaranya terdengar suatu nada mengejek, yang membuat Luke terkejut.
Wajahnya yang coklat karena sengatan matahari, menjadi merah. Kemudian, tiba-
tiba dia sadar bahwa nada pahit itu tidak tertuju padanya. Ejekan serta rasa
pahit itu ditujukan Bridget pada dirinya sendiri. Luke merasa lebih baik berdiam
diri saja. Tapi dalam hatinya dia bertanya-tanya tentang Bridget....
Dalam waktu lima menit mereka sudah sampai di gereja, dan di rumah pendeta yang
terletak di sampingnya. Mereka menjumpai pendeta di kamar kerjanya.
Alfred Wake adalah seorang pria tua yang bertubuh kecil dan bungkuk, matanya
biru dan ramah. Sikapnya sopan tetapi linglung. Kelihatannya dia senang tapi
agak heran dengan kunjungan itu.
"Tuan Fitzwilliam menginap di rumah kami, di Ashe Manor," Bridget menjelaskan,
"dan dia ingin minta petunjuk-petunjuk Anda sehubungan dengan buku yang sedang
ditulisnya." Pak Wake mengalihkan pandangan matanya yang ramah dan mengandung tanya, ke arah
Luke, dan Luke langsung memberikan penjelasan-penjelasan.
Dia merasa gugup - gugup sekali. Pertama-tama dia merasa gugup karena dia yakin
bahwa pria yang dihadapinya itu pastilah memiliki pengetahuan yang jauh lebih
mendalam tentang cerita-cerita rakyat, upacara-upacara takhyul, serta adat-
istiadat, daripada yang bisa diperoleh seseorang yang hanya membaca suatu
koleksi buku yang dipilih sembarangan saja, secara sepintas lalu, dan terburu-
buru, seperti yang telah dilakukannya sendiri. Kedua, dia gugup karena Bridget
Conway ikut mendengarkan.
Luke merasa lega ketika tahu bahwa Pak Wake menaruh perhatian khusus pada
peninggalan-peninggalan Romawi. Dengan halus Pak Wake mengakui bahwa sedikit
sekali yang diketahuinya tentang cerita-cerita rakyat dalam Abad Pertengahan dan
tentang ilmu sihir. Diceritakannya tentang adanya pokok-pokok tertentu yang ada
dalam sejarah Wychwood, dan dia menawarkan diri untuk mengantar Luke ke lereng
bukit tertentu, di mana kata orang biasa diadakan apa yang disebut upacara Hari
Para Penyihir. Namun dia minta maaf karena tak bisa menambahkan informasi
khusus. Dengan lega Luke menyatakan bahwa dia agak kecewa, kemudian dia beralih pada
pertanyaan-pertanyaan mengenai takhyul-takhyul yang ada hubungannya dengan
kematian. Pak Wake menggeleng dengan halus.
"Maaf, sayalah orang yang paling tak tahu mengenai hal itu. Umat saya menjaga
benar agar saya jangan sampai mendengar sesuatu yang berbau non-agama."
"Tentu." "Namun demikian, saya yakin bahwa masih banyak sekali takhyul yang dipercaya
umat sini. Mereka masih sangat terbelakang."
Luke melanjutkan dengan nekat.
"Saya telah meminta Nona Conway untuk membuatkan saya daftar kematian yang bisa
diingatnya. Saya pikir, dengan cara itu saya mungkin bisa memperoleh sesuatu.
Saya rasa Anda bisa memberi saya suatu daftar pula, supaya dapat saya
bandingkan." "Ya - ya - itu bisa diatur. Giles, penjaga gereja kami, bisa membantu Anda mengenai
hal itu. Dia orang baik, tapi tuli. Coba saya ingat-ingat dulu. Memang banyak -
banyak sekali - yang terjadi dalam musim semi yang menyesatkan dan musim salju
yang amat dingin - lalu banyak pula kecelakaan - pokoknya merupakan serangkaian
nasib buruk." "Kadang-kadang," kata Luke, "serangkaian nasib buruk itu disebabkan oleh adanya
seseorang." "Ya, ya. Itu menurut kisah Nabi Yunus. Tapi saya rasa di sini tak pernah ada
orang-orang asing - artinya tak ada seseorang yang menonjol dalam sesuatu hal, dan
saya sama sekali tak pernah mendengar desas-desus mengenai dugaan semacam itu.
Nah, coba saya ingat-ingat - yang terakhir sekali kita kehilangan Dokter Humbleby
dan Lavinia Pinkerton yang malang.... Dokter Humbleby itu orang yang baik...."
Bridget menyela, "Tuan Fitzwilliam mengenal beberapa orang temannya."
"Begitukah" Menyedihkan sekali. Kematiannya membuat kita merasa kehilangan. Dia
orang yang punya banyak kawan."
"Tapi pasti banyak pula musuhnya," kata Luke. "Itu berdasarkan apa yang
dikatakan teman-teman saya," lanjutnya cepat-cepat.
Pak Wake mendesah, "Yah, boleh dikatakan dia orang yang terlalu berterus terang - dan kurang tenggang
rasa kalau bicara...." Dia menggeleng. "Itu memang membuat orang marah. Tapi dia
sangat disayangi orang-orang miskin."
Luke berkata seenaknya, "Saya selalu merasa bahwa salah satu kenyataan yang paling tak enak yang harus
dihadapi dalam hidup ini adalah, kenyataan bahwa kematian seseorang, bisa
berarti keuntungan bagi orang lain - maksud saya, bukan hanya dalam soal
keuangan." Pendeta itu mengangguk sambil merenung.
"Ya, saya mengerti maksud Anda. Dalam iklan pemberitahuan kematian kita baca
bahwa kematian seseorang sangat disesali oleh semua orang, tapi saya rasa itu
kebenarannya sedikit sekali. Dalam hal Dokter Humbleby, tak dapat diingkari
bahwa patnernya, Dokter Thomas, akan jadi lebih baik kedudukannya karena
kematian Dokter Humbleby."
"Mengapa begitu?"
"Menurut saya, Thomas itu dokter yang cakap - Humbleby sendiri berkata begitu,
tapi dia tidak selalu berhasil di sini. Saya rasa, dia tersembunyi dalam bayang-
bayang Humbleby, orang yang punya daya tarik besar. Sebaliknya Thomas kelihatan
agak tak berarti. Dia sama sekali tidak bisa memberi keyakinan pada pasien-
pasiennya. Dia juga risau memikirkan hal itu, dan itu menjadikan keadaannya
makin buruk - makin gugup dan makin menutup diri. Akhir-akhir ini saya melihat
suatu perubahan yang mengejutkan pada dirinya. Dia jadi lebih percaya diri - lebih
berkepribadian. Saya kira dia merasa bertambah yakin akan dirinya. Saya juga
menduga, bahwa dia dan Humbleby tidak selalu sepaham. Thomas ingin menerapkan
cara pengobatan baru, sedang Humbleby lebih suka bertahan pada cara-cara lama.
Lebih dari satu kali mereka bentrok - mengenai cara pengobatan itu, maupun
mengenai sesuatu yang lebih pribadi sifatnya - tapi ah, saya tak boleh
bergunjing...." Dengan suara halus tetapi jelas, Bridget berkata,
"Tapi saya rasa Tuan Fitzwilliam memang ingin Anda bergunjing!"
Luke sekilas melemparkan pandangan jengkel ke arahnya.
Pak Wake menggeleng ragu-ragu, lalu berkata lagi sambil tersenyum kecil
menunjukkan keengganannya,
"Saya rasa kita ini terlalu banyak memberikan perhatian pada urusan-urusan
tetangga kita. Rose Humbleby adalah seorang gadis yang cantik sekali. Tak heran
kalau Geoffrey Thomas sampai jatuh hati, dan pendirian Humbleby mengenai hal itu
dapat pula dimengerti - gadis itu masih muda, dan terkurung saja di sini serta tak
punya kesempatan bertemu dengan pria-pria lain."
"Apakah orang tua itu tidak merestui?" tanya Luke.
"Dengan tegas tidak menyetujuinya. Dikatakannya bahwa mereka masih terlalu muda.
Dan anak-anak muda tentu benci sekali dikatakan begitu! Lalu hubungan antara
kedua pria itu menjadi dingin. Tapi harus saya katakan, saya yakin bahwa Dokter
Thomas benar-benar sedih atas kematian patnernya yang mendadak."
"Keracunan darah, kata Lord Whitfield pada saya."
"Ya - hanya suatu goresan kecil yang mengalami infeksi. Para dokter harus
menanggung risiko besar dalam menjalankan profesinya. Tuan Fitzwilliam.?"
"Memang benar," kata Luke.
Pak Wake tiba-tiba terkejut.
"Saya sudah menyimpang jauh dari pokok pembicaraan kita," katanya. "Saya telah
menjadi orang tua penggunjing. Kita sedang membicarakan kebiasaan-kebiasaan
orang kafir sehubungan dengan kematian, dan tentang kematian-kematian yang
akhir-akhir ini terjadi. Salah seorang di antaranya Lavinia Pinkerton - salah
seorang pembantu gereja kami yang terbaik. Lalu gadis malang itu, Amy Gibbs -
mungkin Anda bisa menemukan sesuatu dalam bidang Anda di situ, Tuan Fitzwilliam -
soalnya, ada anggapan bahwa kematiannya disebabkan oleh bunuh diri - dan
sehubungan dengan kematian macam itu, ada upacara tertentu yang mengerikan. Ada
seorang bibinya, yang saya rasa bukan wanita terhormat, dan tidak begitu sayang
pada keponakannya itu, tapi banyak sekali bicaranya."
"Itu akan berharga sekali," kata Luke.
"Kemudian Tommy Pierce - dia pernah menjadi anggota paduan suara gereja - suaranya
tinggi dan bagus - anaknya tampan - tapi kelakuannya buruk. Kami akhirnya terpaksa
menyuruhnya keluar, karena dia membuat anak-anak lain ikut-ikutan berkelakuan
buruk. Kasihan anak itu, saya rasa tak ada yang suka padanya. Kami usahakan
supaya dia bisa bekerja di kantor pos sebagai pengantar telegram, tapi dari situ
pun dia dipecat. Lalu dia bekerja di kantor Tuan Abbot, tapi tak lama kemudian
dipecat pula - kalau tak salah karena mengintip surat-surat rahasia. Kemudian dia
juga bekerja sebentar di Ashe Manor, sebagai tukang kebun, ya kan, Nona Conway"
Tapi Lord Whitfield terpaksa mengusirnya karena dia sangat kurang ajar. Saya
kasihan sekali pada ibunya - seorang wanita yang bekerja keras. Miss Waynflete
berbaik hati dan memberinya pekerjaan untuk sekali-sekali mencuci jendela. Mula-
mula Lord Whitfield keberatan, tapi kemudian dia tiba-tiba setuju - sebenarnya
sayang sekali beliau setuju."
"Mengapa?" "Karena dalam pekerjaan itulah anak itu tewas. Dia sedang membersihkan jendela-
jendela paling atas dari gedung perpustakaan (Wych Hall), lalu mencoba melakukan
suatu gerakan sirkus - menari di bendul jendela atau bagaimana - dia kehilangan
keseimbangannya, atau mungkin tiba-tiba pusing lalu jatuh. Mengerikan sekali!
Dia tak pernah sadar kembali, dan meninggal beberapa jam setelah dibawa ke rumah
sakit." "Adakah seseorang yang melihat dia jatuh?" tanya Luke penuh perhatian.
"Tidak. Dia berada di bagian yang menghadap kebun - bukan di bagian depan gedung.
Menurut perkiraan orang, sudah setengah jam dia terbaring di situ, baru
ditemukan." "Siapa yang menemukannya?"
"Miss Pinkerton. Anda tentu ingat, wanita yang tadi saya ceritakan tewas secara
menyedihkan karena kecelakaan lalu lintas beberapa hari yang lalu. Kasihan
wanita itu, dia menjadi kacau. Suatu pengalaman yang mengerikan! Dia telah
mendapat izin untuk mengambil stek beberapa tanaman, dan menemukan anak itu
terbaring di situ." "Dia tentu terkejut sekali," kata Luke tercenung.
"Lebih daripada terkejut...," pikirnya sendiri, "dan engkau tahu...."
"Seorang anak yang masih begitu muda, yang tewas dengan cara seperti itu,
sangatlah menyedihkan," kata pria itu sambil menggeleng. "Kesalahan Tommy
terutama adalah karena dia terlalu berani barangkali."
"Dia anak kurang ajar yang menjengkelkan," kata Bridget. "Anda tentu tahu itu,
Pak Wake. Dia suka sekali menyiksa kucing dan anak-anak anjing yang berkeliaran
dan suka mencubit anak-anak kecil."
"Saya tahu - saya tahu," Pak Wake menggeleng dengan sedih. "Tapi kita harus
maklum, Nona Conway, bahwa kekejaman itu kadang-kadang bukan merupakan
pembawaan, melainkan disebabkan oleh daya khayal yang lambat pematangannya.
Sebab itu bila kita melihat orang dewasa yang mentalnya seperti anak kecil, kita
menyadari bahwa kelicikan dan kebengisan yang dilakukannya tidak disadari oleh
orang itu sendiri. Saya yakin bahwa kelambanan dalam pertumbuhan merupakan akar
dari kebanyakan kekejaman dan kebengisan di dunia ini sekarang. Kita harus
menghapuskan sifat kekanak-kanakan itu...."
Dia menggeleng dan membentangkan tangannya.
Bridget berkata dengan suara yang tiba-tiba menjadi serak,
"Ya, Anda benar. Saya mengerti maksud Anda. Seseorang yang kekanak-kanakan
adalah yang paling menakutkan di dunia ini...."
Luke memandangnya dengan pandangan ingin tahu. Dia yakin bahwa Bridget sedang
berpikir khususnya tentang seseorang, dan meskipun Lord Whitfield dalam beberapa
hal sangat kekanak-kanakan, rasanya bukanlah dia yang dipikirkannya. Lord
Whitfield memang agak aneh, tapi dia tidak menakutkan.
Luke Fitzwilliam ingin sekali tahu siapa gerangan yang ada dalam pikiran
Bridget. BAB 5 MENGUNJUNGI MISS WAYNFLETE
PAK Wake masih menyebutkan beberapa nama lagi.
"Nah, ini lagi - Nyonya Rose yang malang, dan Pak Tua Bell, dan anak dari pasangan
Elkins dan Harry Carter - mereka itu bukan umat gereja saya. Nyonya Rose dan
Carter telah memisahkan diri dari gereja saya. Lalu cuaca yang amat dingin di
bulan Maret yang lalu itu akhirnya menyebabkan kematian si tua Ben Stanbury - dia
mencapai umur sembilan puluh dua tahun."
"Amy Gibbs meninggal dalam bulan April," kata Bridget.
"Benar, kasihan gadis itu - suatu kekeliruan yang menyedihkan."
Luke mengangkat mukanya dan mendapati Bridget sedang memandanginya. Gadis itu
cepat-cepat menekurkan matanya. Dengan rasa jengkel Luke berpikir,
"Ada sesuatu yang tak kumengerti di sini. Sesuatu sehubungan dengan gadis Amy
Gibbs itu." Setelah mereka minta diri dari pendeta itu, dan berada di luar lagi, Luke
bertanya, "Apa dan siapakah sebenarnya Amy Gibbs itu?"
Beberapa saat kemudian barulah Bridget menyahut. Dia berkata - dan Luke menangkap
ketegangan dalam suaranya,
"Amy adalah salah seorang pembantu rumah tangga yang paling tak beres."
"Itukah sebabnya dia dipecat?"
"Bukan hanya itu. Dia sering keluar dan main dengan anak-anak muda. Gordon
mempunyai pandangan hidup yang bermoral tinggi dan agak kuno. Menurut dia,
setelah jam sebelas malam banyak dosa dibuat orang, dosa yang tak terbendung.
Sebab itu gadis itu dipecatnya dan anak itu menerimanya dengan kurang ajar."
Luke bertanya, "Cantikkah gadis itu?"
"Cantik sekali."
"Apakah dia yang keliru minum cat topi, padahal seharusnya obat batuk itu?"
"Ya." "Apakah itu suatu perbuatan tolol?" tanya Luke lagi dengan nekat.
"Tolol sekali."
"Apakah dia memang tolol?"
"Tidak, dia gadis yang cukup cerdas."
Luke mencuri pandang pada gadis itu. Dia tak mengerti. Bridget menjawab
pertanyaan-pertanyaannya dengan suara datar, tanpa tekanan dan bahkan tanpa
banyak perhatian. Tapi dia yakin bahwa di balik apa-apa yang diucapkannya itu
ada sesuatu. Pada saat itu Bridget menghentikan langkahnya dan menyapa seorang pria jangkung
yang membuka topinya dan menyapanya dengan ramah sekali.
Setelah berbasa-basi, Bridget memperkenalkan Luke.
"Ini sepupu saya, Tuan Fitzwilliam. Dia menginap di Manor. Dia berada di sini
untuk menulis buku. Kenalkan, ini Pak Abbot."
Luke memandangi Pak Abbot dengan penuh perhatian. Inilah pengacara yang pernah


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi majikan Tommy Pierce.
Luke punya prasangka buruk terhadap para pengacara pada umumnya - hal itu
disebabkan karena begitu banyak kaum politik yang diangkat dari golongan itu.
Dia juga jengkel karena mereka tak pernah mau melibatkan diri pada apa pun juga.
Tapi Pak Abbot sama sekali bukan jenis pengacara seperti yang biasa itu, dia
tidak kurus, tidak lemah, dan tak mahal bicara. Tubuhnya besar, orangnya
periang, dan dia mengenakan jas dari wol yang mengesankan bahwa dia orang yang
ramah-tamah. Sudut-sudut matanya berkerut-kerut, sedang sorot mata itu sendiri
sesungguhnya lebih tajam daripada kesan pertama yang kita peroleh bila kita
memandangnya. "Sedang menulis buku, ya" Novel?"
"Cerita rakyat," kata Bridget.
"Anda telah datang ke tempat yang tepat untuk itu," kata pengacara itu. "Ini
merupakan bagian dunia yang sangat menarik."
"Sudah banyak yang berkata begitu pada saya," kata Luke. "Saya yakin Anda bisa
membantu saya sedikit. Anda tentu pernah menemukan kebiasaan-kebiasaan lama yang
mengundang pertanyaan - atau tahu tentang upacara-upacara adat yang menarik yang
masih ada." "Wah, saya tak tahu itu - mungkin-mungkin...."
"Apakah masih banyak orang yang percaya pada hantu-hantu di daerah ini?" tanya
Luke. "Mengenai hal itu saya tak dapat mengatakannya - benar-benar tak bisa."
"Apakah tak ada rumah-rumah yang berhantu?"
"Tidak ada - saya tak tahu yang seperti itu."
"Pasti ada takhyul kanak-kanak," kata Luke. "Kematian seorang anak laki-laki -
maksud saya kematian akibat kekejaman - anak itu akan menjadi hantu. Bukan anak
perempuan - itu yang menarik."
"Sungguh?" kata Pak Abbot. "Saya belum pernah mendengarnya."
Jawaban itu tak mengherankan, karena kata-kata Luke itu memang hanya karangan
saja. "Saya dengar di sini ada seorang anak laki-laki - Tommy - yang agaknya pernah
bekerja di kantor Anda. Ada cerita bahwa itu menjadi hantu."
Wajah Pak Abbot yang merah berubah jadi ungu.
"Tommy Pierce" Anak tak beres yang kurang ajar, suka mengintip dan mencampuri
urusan orang lain." "Agaknya hantu-hantu selalu nakal. Orang-orang yang selalu patuh pada undang-
undang jarang menyusahkan dunia ini setelah mereka meninggal."
"Siapa yang pernah melihatnya - omong kosong apa pula itu?"
"Hal-hal semacam itu sulit diselidiki," kata Luke. "Orang enggan mengeluarkan
pernyataan secara terus-terang. Boleh dikatakan hanya mengambang saja di udara."
"Ya - ya, saya rasa memang begitu."
Dengan tangkas Luke mengalihkan pokok pembicaraan.
"Orang yang paling tepat untuk didengar keterangannya adalah dokter setempat.
Mereka tentu banyak mendengar tentang penyakit orang-orang miskin yang
diobatinya. Segala macam takhyul dan mantra - mungkin pula guna-guna, dan yang
sejenis itu." "Untuk itu Anda harus menemui Thomas. Dia orang baik, dan mengikuti zaman. Tidak
seperti Pak Tua Humbleby yang malang itu."
"Beliau agak pembangkang, ya?"
"Keras kepala luar biasa - orang kolot yang tak ada duanya."
"Anda bertengkar hebat dengannya mengenai rencana persediaan air bersih, bukan?"
kata Bridget. Lagi-lagi wajah Pak Abbot menjadi ungu.
"Humbleby itu penghambat kemajuan yang terbesar," katanya dengan tajam. "Dia
berkeras menentang rencana yang baik itu! Kata-katanya pun kasar. Tak
dipertimbangkan kata-katanya. Bahkan ada ucapannya yang ditujukan pada saya,
yang benar-benar bisa diadukan ke pengadilan."
"Tapi seorang pengacara pantang berhubungan dengan pengadilan, bukan?" gumam
Bridget. "Dia tahu apa yang harus diperbuatnya."
Abbot tertawa dengan gaya yang berlebihan. Amarahnya hilang secepat timbulnya
tadi. "Bagus, Nona Bridget! Dan Anda tidak terlalu keliru. Kami yang berkecimpung di
dalamnya, tahu terlalu banyak, ha, ha. Yah, saya harus terus. Datang saja pada
saya bila Anda rasa saya bisa membantu, Tuan - eh - "
"Fitzwilliam," kata Luke. "Terima kasih, saya akan datang."
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, Bridget berkata,
"Menurut pengamatanku, cara kerjamu adalah, mengeluarkan pernyataan-pernyataan,
lalu melihat bagaimana reaksinya."
"Cara kerjaku," kata Luke, "tidak selamanya menyatakan yang sesungguhnya. Itukah
maksudmu?" "Itulah yang kulihat."
Luke merasa tak enak, dia ragu-ragu apa yang harus dikatakannya lagi. Tapi
sebelum dia sempat berkata, Bridget menyambung,
"Kalau kau ingin mendengar lebih banyak tentang Amy Gibbs, kau bisa kuantar ke
rumah seseorang yang bisa membantumu."
"Siapa?" "Seseorang yang bernama Miss Waynflete. Amy bekerja di sana setelah dia berhenti
dari Manor. Dia tinggal di sana waktu dia meninggal."
"Oh, begitukah - " Luke agak terkejut. "Yah, terima kasih sekali."
"Dia tinggal di sini."
Mereka menyeberangi taman desa itu. Sambil menunjuk dengan kepalanya ke arah
rumah besar bergaya Georgia, yang telah dilihat Luke sehari sebelumnya, Bridget
berkata, "Itu Wych Hall. Sekarang merupakan perpustakaan."
Menempel pada gedung itu ada sebuah rumah kecil, yang besarnya mirip rumah
boneka. Tangganya putih bersih, besi pengetuk pintunya mengkilap, dan tirai-
tirai jendelanya putih serta rapi.
Bridget mendorong pintu pagarnya, lalu berjalan menuju tangga rumah itu. Waktu
itu pintu depannya terbuka dan seorang wanita yang sudah agak tua keluar.
Luke langsung menilainya sebagai perawan tua. Tubuhnya kecil, dia mengenakan jas
dan rok yang rapi dari bahan wol dan dia mengenakan blus sutra berwarna abu-abu
berhiaskan sebuah bros bermata kuning. Sebuah topi laken yang apik bertengger di
kepalanya yang berbentuk bagus. Wajahnya menyenangkan, sedang matanya yang
tersembunyi di balik kaca mata tanpa gagang, tampak cerdas. Wanita itu
mengingatkan Luke akan kambing hitam Yunani yang tangkas. Dia memandangi mereka
dengan pandangan ingin tahu.
"Selamat pagi, Miss Waynflete," kata Bridget. "Ini Tuan Fitzwilliam." Luke
membungkuk. "Dia sedang menulis buku - tentang kematian, adat-istiadat desa, dan
banyak lagi yang mengerikan."
"Ah," kata Miss Waynflete. "Menarik sekali."
Dan dengan wajah berseri dia memandang Luke.
Luke jadi teringat pada Miss Pinkerton.
"Saya pikir, Anda bisa menceritakan sesuatu tentang Amy kepadanya," kata Bridget
- dan sekali lagi Luke mendengar nada datar yang aneh dalam suaranya.
"Oh," kata Miss Waynflete, "mengenai Amy" Ya. Mengenai Amy Gibbs."
Luke melihat suatu guratan lain pada air mukanya. Agaknya dia sedang menilai
Luke dengan cermat. Kemudian, seolah-olah sudah mengambil keputusan, dia masuk ke dalam rumah.
"Mari masuk," katanya. "Biar nanti saja saya pergi. Tidak, tidak," katanya
membantah protes Luke. "Keperluan saya tidak mendesak. Saya hanya akan
berbelanja keperluan rumah tangga biasa."
Ruang tamunya kecil, rapi tak bercacat, dan samar-samar tercium harumnya biji
lavender yang dibakar. Di atas perapian, beberapa hiasan berupa gembala dari
porselen Dresden, seolah-olah tersenyum manis. Di dinding terdapat lukisan-
lukisan cat air yang berbingkai, dua helai kain tenun untuk hiasan, dan tiga
buah lukisan hasil sulaman. Ada beberapa buah foto, mungkin foto keponakan-
keponakannya, dan beberapa perabot yang bagus - sebuah meja kerja bergaya
Chippendale, dan beberapa buah meja kayu kecil - juga sebuah sofa bergaya Victoria
yang tak nyaman dan tampak mengerikan.
Miss Waynflete mempersilakan tamu-tamunya duduk lalu berkata dengan nada meminta
maaf, "Maaf, saya sendiri tidak merokok, jadi saya tak punya rokok, tapi silakan
merokok jika Anda suka."
Luke menolak, tapi Bridget segera menyalakan rokok.
Sambil duduk tegak lurus di kursi yang sandarannya berukir, Miss Waynflete
mengamat-amati tamu-tamunya sejenak, lalu setelah (agaknya) merasa puas, dia
berkata, "Anda ingin tahu tentang Amy, gadis malang itu" Kejadian itu sangat menyedihkan.
Saya benar-benar sedih. Suatu kekeliruan yang tragis."
"Apakah tak ada kemungkinan - bunuh diri?" tanya Luke.
Miss Waynflete menggeleng.
"Tidak, tidak, sedikit pun saya tak menduga begitu. Amy sama sekali bukan gadis
semacam itu." "Gadis macam apa dia?" tanya Luke langsung. "Saya ingin mendengar pandangan Anda
mengenai dia." Miss Waynflete berkata, "Ya, dia memang bukan pembantu rumah tangga yang baik. Tapi zaman sekarang ini
kita sudah boleh berterima kasih bila kita bisa mendapatkan seseorang.
Pekerjaannya tak pernah beres dan selalu ingin keluar - yah, dia memang masih muda
dan gadis-gadis zaman sekarang memang begitu. Mereka agaknya tidak menyadari
bahwa waktu mereka sebenarnya dikuasai oleh majikan mereka."
Luke memperlihatkan perhatian penuh dan Miss Waynflete terus mengeluarkan
pendapatnya. "Saya kurang suka gadis macam dia - yang bisa nekat - tapi sekarang saya tak mau
banyak bicara karena dia sudah meninggal. Kita merasa tak berdosa untuk berbuat
demikian - tapi saya rasa itu bukan alasan yang masuk akal untuk menyembunyikan
kenyataan." Luke mengangguk. Disadarinya bahwa perbedaan antara Miss Pinkerton dan Miss
Waynflete adalah, bahwa Miss Waynflete punya pikiran yang lebih logis dan jalan
pikirannya baik. "Gadis itu suka sekali dipuji-puji," lanjut Miss Waynflete, "dan dia terlalu
banyak memikirkan dirinya sendiri. Mr. Ellsworthy - pemilik toko antik yang baru,
yang selalu bersikap sopan itu - kadang-kadang suka melukis dengan cat air, dia
telah membuat dua buah lukisan sketsa wajah gadis itu - dan saya rasa itu membuat
Amy menganggap dirinya hebat. Dia bertengkar dengan tunangannya - Jim Harvey. Anak
muda itu seorang montir di bengkel dan dia cinta sekali pada gadis itu."
Setelah berhenti sebentar, Miss Waynflete melanjutkan lagi,
"Saya tidak akan lupa malam yang mengerikan itu. Waktu itu Amy kurang sehat - dia
batuk hebat dan entah apa lagi (gara-gara kaus kaki sutra murahan yang suka
dipakai gadis-gadis itu, dan sepatu yang solnya benar-benar dari kertas - tentu
saja mereka mudah masuk angin). Petang itu dia pergi ke dokter."
Luke cepat-cepat bertanya,
"Dokter Humbleby atau Dokter Thomas?"
"Dokter Thomas. Dokter memberinya sebotol obat batuk yang dibawanya pulang.
Sesuatu yang tidak berbahaya, saya rasa obat batuk biasa. Dia tidur sore-sore.
Lalu kira-kira jam 1 malam mulailah terdengar suara itu - semacam teriakan
tercekik yang mengerikan. Saya bangun dan pergi ke kamarnya, tapi pintunya
terkunci dari dalam. Saya memanggil-manggil dia tapi tidak mendapat jawaban.
Juru masak menyertai saya dan kami berdua kebingungan. Lalu kami pergi ke pintu
depan dan mujurlah ada Reed (agen polisi sini) yang kebetulan meronda dan lewat
di situ. Kami memanggilnya. Dia pergi ke bagian belakang rumah dan berhasil
memanjat atap gudang di situ. Dan karena jendela kamar Amy tak terkunci, Reed
bisa masuk dengan mudah lewat jendela itu lalu membuka pintu kamarnya. Kasihan
gadis itu, mengerikan sekali keadaannya. Dia tak tertolong lagi, dan dia
meninggal beberapa jam kemudian."
"Dan yang telah diminumnya adalah - cat topi?"
"Ya. Racun asam oxalic namanya. Botolnya berukuran hampir sama dengan botol obat
batuknya. Botol obat batuk itu ada di wastafel, sedang botol cat topi itu ada di
meja, di samping tempat tidurnya. Pasti dia keliru mengambil botol dalam gelap
dan meletakkannya di situ, siap untuk diambil bila diperlukan. Begitulah teori
yang dikemukakan dalam pemeriksaan pengadilan."
Miss Waynflete berhenti. Matanya yang cerdas yang mirip mata kambing, memandangi
Luke, dan Luke merasa bahwa di balik pandangan itu ada sesuatu yang sengaja
disembunyikan. Dia merasa bahwa ada bagian dari peristiwa itu yang tidak
diceritakan oleh wanita itu - dan ada perasaan yang lebih kuat lagi, bahwa entah
mengapa, wanita itu ingin agar Luke menyadarinya sendiri.
Lama mereka diam - sulit untuk mulai pembicaraan lagi. Luke merasa seperti seorang
aktor yang tak tahu perannya. Dengan agak lemah dia berkata,
"Dan Anda tidak berpendapat bahwa itu bunuh diri?"
Miss Waynflete segera menjawab,
"Pasti bukan. Bila gadis itu telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dia
pasti membeli sesuatu yang lebih masuk akal. Dan bahan itu pasti telah lama
disimpannya. Dan bagaimanapun juga, sebagaimana telah saya katakan, dia bukan
gadis macam itu." "Jadi - apa pendapat Anda?" kata Luke terus terang.
Kata Miss Waynflete, "Saya rasa itu nasib buruk."
Kemudian dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memandang Luke dengan serius.
Pada saat Luke merasa bahwa dia harus berusaha keras untuk mengatakan apa yang
dirasakannya, terjadilah suatu perubahan keadaan. Terdengar pintu dicakar-cakar
dan suara ngeong yang mengeluh.
Miss Waynflete melompat bangkit untuk membuka pintu. Seekor kucing Persia yang
bagus yang bulunya berwarna jingga, masuk. Kucing itu berhenti, memandangi para
tamu dengan pandangan tak senang, lalu melompat ke lengan kursi Miss Waynflete.
Miss Waynflete mengajaknya bicara dengan suara merayu,
"Hai, Wonky Pooh - ke mana saja Wonky Pooh-ku sepanjang pagi ini?"
Nama itu menyentuh salah satu senar ingatan Luke. Di mana dia pernah mendengar
sesuatu tentang seekor kucing Persia bernama Wonky Pooh" Katanya,
"Bagus sekali kucing itu. Sudah lamakah Anda memilikinya?"
Miss Waynflete menggeleng.
"Oh tidak, dia kucing sahabat saya, Miss Pinkerton. Dia meninggal ditabrak mobil
sialan. Saya tentu tak bisa membiarkan Wonky Pooh dimiliki orang lain yang tak
dikenalnya. Lavinia pasti akan merasa risau. Dia sayang sekali padanya - dia
cantik sekali, bukan?"
Luke mengagumi kucing itu dengan tulus.
Miss Waynflete berkata, "Hati-hati dengan telinganya. Akhir-akhir ini telinganya
luka." Luke membelai binatang itu dengan hati-hati.
Bridget bangkit. Katanya, "Kita harus pulang."
Miss Waynflete berjabatan tangan dengan Luke.
"Mungkin tak lama lagi saya akan bertemu lagi dengan Anda."
Dengan cerita Luke berkata, "Saya harap begitu."
Pikirnya, wanita itu kelihatan bingung dan agak kecewa. Kemudian dia melirik
Bridget - suatu pandangan sekilas yang mengandung tanya. Luke merasa bahwa di
antara kedua wanita itu ada sesuatu yang hanya dipahami mereka berdua, dan bahwa
dia tak masuk hitungan. Dia merasa jengkel. Tapi dia berjanji pada dirinya
sendiri akan menyelidiki hal itu secara tuntas - secepatnya.
Miss Waynflete mengantarkan mereka ke luar. Beberapa saat lamanya Luke berdiri
di puncak tangga, dengan rasa senang memandangi kerapian taman desa dan kolam
bebeknya. "Tempat ini memang belum dirusak," katanya.
Wajah Miss Waynflete berseri.
"Memang benar," katanya penuh semangat. "Semuanya ini masih seperti yang saya
ingat sejak saya masih kanak-kanak. Waktu itu kami tinggal di Wych Hall, di
sebelah ini. Tapi setelah abang saya mewarisinya, dia tak mau tinggal di situ -
sebenarnya karena dia tak mampu merawatnya, lalu rumah itu dijualnya. Seorang
pengusaha bangunan menawarnya, dan saya rasa dia akan 'mengolah tanah itu',
istilahnya. Untunglah Lord Whitfield menghalanginya. Dia membeli tanah itu dan
menyelamatkannya. Rumah ini diubahnya menjadi perpustakaan dan museum - tanpa
diubah sama sekali. Saya bekerja sebagai pengelola perpustakaan dua kali
seminggu - tentu tanpa dibayar - dan tak terkatakan betapa senangnya saya bisa
berada di bekas rumah sendiri dan merasa yakin bahwa rumah ini tidak akan
dirusak dengan kejam. Dan tempat ini memang benar-benar sesuai - Anda harus
mengunjungi museum kecil kami kapan-kapan, Tuan Fitzwilliam. Ada beberapa barang
peninggalan setempat yang menarik."
"Saya pasti akan pergi ke situ, Miss Waynflete."
"Lord Whitfield itu orang yang benar-benar banyak amalnya untuk Wychwood," kata
Miss Waynflete. "Saya sedih sekali karena ada beberapa orang yang tak tahu
berterima kasih." Bibirnya terkatup rapat lagi. Demi kesopanan, Luke tidak bertanya apa-apa. Dia


Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta diri lagi. Setiba di luar pintu pagar, Bridget berkata,
"Apakah kau masih ingin mengadakan riset-riset lagi, atau tidakkah sebaiknya
kita pulang sambil menelusuri sungai" Menyenangkan berjalan-jalan di situ."
Luke langsung menjawab bahwa dia tak punya niat untuk melanjutkan penyelidikan.
Dia tak suka menyelidiki sesuatu dengan didampingi oleh Bridget Conway yang ikut
mendengarkan. Katanya, "Baiklah. Mari kita menelusuri sungai."
Mereka berjalan menyusuri High Street. Di salah sebuah rumah di ujung jalan, ada
papan yang dihiasi huruf-huruf keemasan dengan kata 'Antik'. Luke berhenti
sebentar lalu mengintip melalui salah sebuah jendela ke dalam rumah yang tampak
sejuk. "Ada pinggan yang bagus sekali," katanya. "Cocok untuk salah seorang bibiku.
Berapa harganya kira-kira, ya?"
"Sebaiknya kita masuk melihatnya."
"Kau tak keberatan" Aku suka masuk ke toko-toko antik. Kadang-kadang kita bisa
mendapatkan barang dengan harga murah."
"Aku tak yakin di sini bisa," kata Bridget datar. "Kurasa Mr. Ellsworthy tahu
betul nilai barang-barangnya."
Pintu toko terbuka. Di ruang depan ada beberapa buah kursi, dipan, dan bufet. Di
atas bufet itu terdapat barang-barang dari porselen dan dari timah. Di kiri-
kanan ruang itu terdapat dua buah kamar yang penuh dengan barang-barang.
Luke masuk ke kamar yang di sebelah kiri lalu mengambil pinggan tadi. Pada saat
itu, sesosok tubuh kecil muncul dari bagian belakang kamar, di mana dia tadi
duduk di dekat meja tulis dari kayu kenari yang bergaya Queen Anne.
"Oh, Nona Conway, senang sekali bertemu Anda."
"Selamat pagi, Mr. Ellsworthy."
Mr. Ellsworthy adalah seorang pria muda yang aneh. Dia mengenakan pakaian
berwarna kuning kecoklatan. Mukanya panjang dan pucat, mulutnya seperti mulut
wanita, rambutnya hitam panjang, diatur penuh seni dan gaya jalannya dibuat-
buat. Luke diperkenalkan, dan Mr. Ellsworthy segera mengalihkan perhatiannya pada
Luke. "Itu barang asli dari zaman Inggris kuno. Cantik, ya" Saya sayang pada barang-
barang saya, baik yang besar maupun yang kecil. Sebenarnya saya tak suka
menjualnya. Sudah lama saya memimpikan untuk tinggal di pedesaan dan memiliki
sebuah toko. Sungguh tempat yang luar biasa Wychwood ini - punya suasana
tersendiri, mudah-mudahan Anda tahu maksud saya."
"Temperamen seni yang berbicara," gumam Bridget.
Mr. Ellsworthy berpaling padanya sambil melambaikan tangannya yang panjang dan
putih. "Jangan gunakan ungkapan yang mengerikan itu, Nona Conway. Jangan - saya mohon,
jangan. Jangan katakan bahwa saya ini keranjingan seni, dan keranjingan
kerajinan tangan - saya tak tahan itu. Sungguh mati saya tak memiliki bahan wol
yang dipintal dengan tangan dan barang-barang timah yang ditempa dengan tangan.
Saya hanya seorang pedagang, tak lebih dari itu, seorang pedagang."
"Tapi Anda memang seorang seniman, bukan?" kata Luke. "Maksud saya, Anda pernah
melukis dengan cat air, bukan?"
"Nah, siapa yang menceritakan hal itu pada Anda?" seru Mr. Ellsworthy, sambil
mengatupkan kedua belah tangannya. "Anda lihat sendiri, tempat ini memang benar-
benar luar biasa - kita sama sekali tak bisa menyimpan rahasia. Itulah yang saya
sukai - berbeda sekali dengan sifat kota besar yang tak manusiawi, yang hanya mau
tahu urusan masing-masing - segala-galanya di sini menyenangkan sekali, bila kita
menyerapnya dengan semangat yang tepat!"
Luke merasa cukup kalau menjawab pertanyaan Mr. Ellsworthy saja, tanpa menaruh
perhatian pada pernyataannya yang terakhir.
"Miss Waynflete menceritakan pada kami bahwa Anda telah membuat beberapa buah
lukisan sketsa dari seorang gadis - Amy Gibbs."
"Oh, Amy," kata Mr. Ellsworthy. Dia mundur selangkah hingga sebuah cangkir bir
yang besar bergoyang-goyang. Diperbaikinya letak cangkir itu dengan hati-hati.
Katanya, "Apakah saya ada membuatnya" Oh ya, saya rasa ada."
Sikap tenangnya tampak agak goyah.
"Dia gadis yang cantik sekali," kata Bridget.
"Begitukah menurut Anda?" tanyanya. Ketenangannya tampak pulih kembali. "Saya
selalu menilainya biasa-biasa saja. Jika Anda tertarik pada barang-barang
halus," lanjutnya pada Luke, "saya punya beberapa burung - cantik-cantik sekali."
Luke memperlihatkan sedikit perhatian pada burung-burung itu, lalu menanyakan
harga pinggan tadi. Mr. Ellsworthy menyebutkan suatu angka.
"Terima kasih," kata Luke, "tapi saya rasa, saya tidak akan membiarkan Anda
merasa kehilangan barang itu."
"Saya memang selalu merasa lega," kata Mr. Ellsworthy, "bila barang saya tak
terjual. Bodoh saya, ya" Tapi biarlah, ambillah, dan harganya saya kurangi dua
puluh satu shilling. Anda menyukai barang itu. Saya bisa melihatnya - itu membuat
persoalannya jadi lain. Dan bagaimanapun juga, ini memang sebuah toko!"
"Tak usah sajalah!" kata Luke.
Mr. Ellsworthy mengantar mereka sampai ke pintu, lalu melambaikan tangannya.
Luke menilai bahwa tangan itu tidak menyenangkan - dagingnya tidak begitu putih,
melainkan kehijau-hijauan.
"Tak ada barang-barangmu yang bagus, Mr. Ellsworthy," kata Luke, setelah dia dan
Bridget berada pada jarak di mana kata-katanya tak mungkin terdengar oleh Mr.
Ellsworthy. "Menurutku, pikiran dan kebiasaan-kebiasaannya juga jelek," kata Bridget.
"Sebenarnya mengapa dia, datang ke tempat seperti ini?"
"Kudengar dia berkecimpung dalam bidang ilmu hitam. Memang tak sampai menyembah
berhala atau semacam itu. Keadaan di sini menunjang kegiatannya itu."
"Astaga - " kata Luke agak canggung, "kurasa dialah orang yang benar-benar
kubutuhkan. Seharusnya aku membicarakan hal itu dengan dia."
"Begitukah?" kata Bridget. "Dia tahu banyak tentang hal-hal seperti itu."
Dengan agak tak enak, Luke berkata,
"Aku akan mengunjunginya lagi, lain kali."
Bridget tak menyahut. Kini mereka berada di luar kota. Bridget membelok dan
menyusuri jalan setapak, lalu mereka tiba di tepi sungai.
Di sana mereka berpapasan dengan seorang pria kecil yang kumisnya kaku dan
matanya menonjol. Dia membawa tiga ekor anjing bulldog yang secara bergantian
diteriakinya dengan suara serak. "Nero, mari sini! Nelly jangan merampas!
Lepaskan, kataku! Augustus - AUGUSTUS, kataku...."
Tiba-tiba dia berhenti dan mengangkat topinya, memberi hormat pada Bridget.
Ditatapnya Luke dengan rasa ingin tahu yang tak disembunyikannya, hingga Luke
merasa seakan-akan hendak ditelannya, lalu dia berlalu sambil mengulangi lagi
teriakan-teriakannya yang serak.
"Apakah itu Mayor Horton dengan anjing-anjing bulldog-nya?" tanya Luke.
"Ya." "Rasanya pagi ini kita sudah bertemu dengan semua orang yang berarti di
Wychwood, ya?" "Boleh dikatakan begitulah."
"Aku merasa agak terlalu menonjolkan diriku," kata Luke. "Padahal sebenarnya
seseorang yang tak dikenal di sebuah desa di Inggris, seharusnya bisa menahan
diri," tambahnya dengan murung, mengingat kata-kata Jimmy Lorrimer.
"Mayor Horton tak pernah bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya dengan baik,"
kata Bridget. "Matanya memang melototimu tadi."
"Memang kelihatan bahwa dia seorang mayor, di mana pun dia berada," kata Luke
dengan tekanan. Tiba-tiba Bridget berkata, "Mari kita duduk-duduk di tebing sungai sebentar.
Kita masih punya banyak waktu."
Mereka duduk di sebuah pohon tumbang, yang merupakan tempat duduk yang nyaman
Terjebak Bencana Gaib 1 Dewa Linglung 6 Dewi Lintah Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 7
^