Misteri Listerdale 4
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie Bagian 4
mengganggu Anda." "Aku tidak bicara padanya," ujar Anthony. "Dialah yang bicara padaku - terkutuklah
dia." Rogers terbatuk. "Saya sangat menyesal atas keperluan itu, Sir," gumamnya.
"Keperluan?" "Hingga terpaksa berpisah dengan harta milik Anda yang kecil-kecil itu, Sir."
"Eh" Oh, ya. Ha, ha!" Ia tertawa getir. "Kurasa mereka sekarang sudah pergi.
Mereka - maksudku teman-temanku itu?"
"Oh, ya, Sir, beberapa saat yang lalu. Saya memasukkan kedua peti itu ke taksi,
dan tuan yang jangkung itu kembali ke atas lagi, setelah itu mereka berdua
berlarian turun dan langsung pergi... Maaf, Sir, apa ada yang salah?"
Sudah sepantasnya Rogers bertanya. Erangan yang diperdengarkan Anthony bisa saja
menimbulkan dugaan macam-macam.
"Semuanya salah, terima kasih, Rogers. Tapi kulihat kau tidak bisa disalahkan.
Tinggalkan aku, aku mau menelepon."
Lima menit kemudian Anthony sudah mencurahkan kisahnya pada Inspektur Driver
yang duduk di hadapannya sambil memegang notes. Inspektur Driver bukan pria
simpatik, dan tidak mirip inspektur betulan, menurut Anthony. Penampilannya
seperti dibuat-buat malah. Lagi-lagi sebuah contoh jitu tentang superioritas
Seni melawan Alam. Anthony sampai di akhir kisahnya. Sang inspektur menutup notesnya.
"Bagaimana?" ujar Anthony harap-harap cemas.
"Jelas sekali," jawab sang inspektur. "Ini pasti geng Patterson. Belakangan ini
mereka banyak beraksi dan sangat cerdik. Laki-laki pirang jangkung, laki-laki
kecil berambut hitam, dan gadis itu."
"Gadis itu?" "Ya, berkulit gelap dan sangat cantik. Biasanya dijadikan umpan."
"Seorang... seorang gadis Spanyol?"
"Dia bisa saja mengaku begitu. Dia lahir di Hampstead."
"Sudah kukatakan itu tempat yang menyegarkan," gumam Anthony.
"Ya, sudah cukup jelas," ujar sang inspektur sambil bangkit berdiri. "Dia
menelepon Anda dan mengarang cerita - dia menebak Anda pasti datang. Kemudian dia
mendatangi Ibu Gibson tua yang mau saja dibayar untuk menyewakan kamarnya
sebagai tempat bertemu - untuk para kekasih. Itu bukan tindakan kriminal. Anda
sudah masuk perangkap, mereka berhasil membawa Anda kemari, dan sementara salah
seorang dari mereka menyuguhkan cerita pada Anda, yang seorang lagi membereskan
barang curian. Mereka pasti geng Patterson - ini ciri khas mereka."
"Dan bagaimana dengan barang-barang saya?" sahut Anthony cemas.
"Kami akan berusaha sedapat mungkin, Sir. Tapi kelompok Patterson ini luar biasa
licin." "Sepertinya begitu," kata Anthony getir.
Inspektur itu beranjak, dan ia baru saja pergi saat bel pintu berdering. Anthony
membuka pintu. Seorang bocah laki-laki berdiri sambil memegang bingkisan.
"Paket untuk Anda, Sir."
Anthony menerimanya dengan heran. Ia tidak sedang menantikan paket apa pun.
Setelah kembali ke ruang duduknya, ia memotong tali pengikatnya.
Isinya ternyata perangkat liqueur yang dibelinya itu!
"Sialan!" umpat Anthony.
Kemudian ia melihat di dasar salah satu gelas ada setangkai mawar artifisial
mungil. Ingatannya kembali ke ruang atas di Kirk Street itu.
"Aku benar-benar menyukai Anda - ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang
terjadi, Anda akan mengingatnya, bukan?"
Itulah yang dikatakan gadis itu. Apa pun yang terjadi... Apakah maksudnya...
Anthony mengendalikan diri dengan keras.
"Tidak bisa begini," ia menegur diri.
Pandangannya jatuh ke mesin tik, dan ia pun duduk dengan wajah tegas.
MISTERI MENTIMUN KEDUA Wajahnya menerawang kembali. Selendang Seribu Bunga. Apa gerangan yang ditemukan
di lantai di samping mayat itu" Benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh
misteri" Tidak ada, tentu saja, mengingat itu sekadar kisah isapan jempol untuk menyita
perhatiannya, dan pembawa ceritanya telah menggunakan siasat lama dari kisah
Seribu Satu Malam dengan memutus kisah di bagian yang paling memikat. Tapi apa
benar tidak ada benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri"
Bagaimana" Kalau ia mau berpikir keras...
Anthony mencabut lembaran kertas dari mesin tiknya, lalu menukarnya dengan
lembaran lain. Ia mengetik sebuah judul:
MISTERI SELENDANG SPANYOL
Ia mengamatinya beberapa saat dengan diam.
Kemudian ia mulai mengetik dengan cepat....
BOLA EMAS GEORGE DUNDAS berdiri di City of London sambil merenung.
Di sekelilingnya para pekerja dan pencari uang datang dan pergi, mengalir
bagaikan air pasang. Namun George yang berpakaian rapi, dengan celana panjang
tersetrika lurus, tidak memedulikan mereka. Ia sibuk memikirkan apa yang harus
ia lakukan selanjutnya. Ada masalah! Di antara George dan pamannya yang kaya (Ephraim Leadbetter dari
perusahaan Leadbetter and Gilling) telah terjadi pertengkaran. Yang lebih banyak
bicara adalah Mr. Leadbetter. Dari bibirnya tak henti-henti mengalir
kejengkelan, semuanya kebanyakan berupa pengulangan, tapi tampaknya itu tidak
jadi masalah baginya. Menyampaikan sesuatu satu kali saja bukanlah motto Mr.
Leadbetter. Temanya sederhana saja - kebodohan orang muda yang suka bertindak seenaknya,
membolos sehari penuh di pertengahan minggu tanpa meminta izin. Setelah selesai
menyampaikan segala uneg-unegnya dan mengulang berbagai hal sampai dua kali, Mr.
Leadbetter berhenti sesaat untuk menarik napas, lalu bertanya apa maksud George
berbuat demikian. George cuma menjawab bahwa ia ingin tidak masuk sehari. Jelasnya, berlibur.
Mr. Leadbetter bertanya, bagaimana dengan hari Sabtu sore dan Minggu" Belum lagi
hari Pentakosta yang baru lalu, dan August Bank Holiday mendatang"
George menjawab bahwa ia tidak peduli pada hari-hari Sabtu sore, Minggu, atau
Bank Holiday. Ia ingin berlibur pada hari kerja, saat orang bisa mencari tempat
yang tidak ramai dipenuhi separo penduduk London.
Mr. Leadbetter lalu berkata bahwa ia telah berusaha semaksimal mungkin
membimbing putra mendiang kakak perempuannya ini - tak ada yang bisa berkata bahwa
ia belum memberikan kesempatan pada George. Tapi sudah jelas usahanya sia-sia
saja. Untuk selanjutnya, George boleh berlibur pada lima hari kerja ditambah
hari Sabtu dan Minggu, dan berbuat sesukanya dengan hari-hari itu.
"Bola emas kesempatan telah dilemparkan padamu, Nak," ujar Mr. Leadbetter dengan
gaya penyair. "Dan kau telah gagal menangkapnya."
George berkata bahwa menurutnya, justru itulah yang telah dilakukannya. Mr.
Leadbetter menjadi sangat murka, lalu mengusirnya keluar.
Demikianlah kisahnya mengapa George... merenung. Apakah pamannya akan mengalah
atau tidak" Apakah ia diam-diam memendam rasa sayang terhadap George, atau
sekadar rasa tidak suka"
Tepat pada saat itulah terdengar suara - yang sama sekali tak terduga - menyapa,
"Halo!" Sebuah mobil tamasya merah manyala dengan kap superpanjang menepi di sampingnya.
Di belakang kemudi duduklah Mary Montresor, gadis cantik tokoh masyarakat
terkenal. (Deskripsi ini diberikan oleh koran-koran yang memuat fotonya paling
sedikit empat kali sebulan.) Ia tersenyum pada George dengan gaya penuh pengalaman.
"Belum pernah aku melihat orang yang kelihatan begitu kesepian," ujar Mary
Montresor. "Mau menumpang?"
"Mau sekali," ujar George tanpa ragu, lalu masuk dan duduk di samping gadis itu.
Mereka maju perlahan-lahan karena lalu lintas yang padat.
"Aku sudah bosan dengan kota ini," kata Mary Montresor. "Aku kemari untuk
melihat seperti apa tempat ini. Aku akan kembali ke London."
Tanpa maksud memperbaiki pengetahuan geografis gadis itu, George berkata itu ide
yang bagus. Adakalanya mereka maju perlahan-lahan, adakalanya dengan kecepatan
meledak-ledak saat Mary Montresor melihat kesempatan untuk memotong jalan.
Menurut George, gadis itu agak terlalu nekat dalam hal satu ini, tapi orang toh
cuma mati satu kali, pikir George. Bagaimanapun, ia menganggap lebih baik tidak
menggalang percakapan. Ia lebih suka pengemudi cantik ini hanya memerhatikan
tugas mengemudinya. Ternyata gadis itulah yang membuka percakapan kembali, saat mereka menikung
tajam di Hyde Park Corner.
"Bagaimana kalau kau menikah denganku?" ia bertanya santai.
George tersentak, tapi ini bisa saja gara-gara bus besar yang sepertinya membawa
malapetaka. Ia bangga dengan kelincahannya memberikan tanggapan.
"Aku akan senang sekali," sahutnya ringan.
"Nah," kata Mary Montresor, samar-samar. "Mungkin suatu hari nanti."
Mobil mereka kembali berjalan lurus tanpa celaka, dan saat itulah George melihat
poster-poster besar yang baru di stasiun kereta api Hyde Park Corner. Diapit
poster berbunyi SITUASI POLITIK YANG SURAM dan KOLONEL MASUK DOK, terlihat
poster berbunyi GADIS TOKOH MASYARAKAT AKAN MENIKAH DENGAN DUKE, dan satu lagi
berbunyi DUKE DARI EDGEHILL DENGAN MISS MONTRESOR.
"Lalu bagaimana dengan Duke dari Edgehill itu?" tanya George tajam.
"Aku dan Bingo" Kami bertunangan."
"Tapi kalau begitu... ucapanmu tadi..."
"Oh, itu," sahut Mary Montresor. "Begini, aku belum memutuskan dengan siapa aku
akan benar-benar menikah."
"Lalu untuk apa kau bertunangan dengannya?"
"Cuma untuk melihat apa aku bisa. Sepertinya semua orang beranggapan itu akan
sangat sulit terjadi, ternyata sama sekali tidak!"
"Benar-benar nasib sial bagi... mm... Bingo," kata George, mengatasi rasa
jengahnya karena menyebut seorang duke betulan dengan nama julukan.
"Sama sekali tidak," ujar Mary Montresor. "Itu pelajaran bagus bagi Bingo - tapi
aku meragukannya." George menemukan hal lain - lagi-lagi berkat sebuah poster.
"Wah, tentu saja, hari ini di Ascot sedang diselenggarakan acara minum teh.
Seharusnya aku tahu itulah tempat yang akan kautuju hari ini."
Mary Montresor menghela napas.
"Aku ingin berlibur," katanya sayu.
"Wah, sama denganku," sahut George senang. "Dan akibatnya, aku diusir pamanku
supaya mati kelaparan."
"Kalau begitu, seandainya kita jadi menikah," kata Mary, "pendapatanku sebesar
dua puluh ribu setahun akan bermanfaat?"
"Uang itu pasti bisa dibelikan beberapa perangkat rumah tangga," jawab George.
"Omong-omong tentang rumah tangga," ujar Mary, "mari kita tinggal di pedesaan
dan mencari rumah yang kita sukai."
Rencana ini tampak sederhana dan sangat menarik. Mereka melintasi Putney Bridge,
mencapai jalan raya Kingston, dan Mary menginjak pedal gasnya dalam-dalam sambil
mendesah puas. Mereka tiba di daerah pedesaan dalam waktu singkat. Setengah jam
kemudian, Mary menunjuk penuh semangat.
Di lereng bukit di depan mereka tampak rumah yang oleh para agen perumahan
sering digambarkan (namun jarang sesuai kenyataan) sebagai daya tarik "antik".
Cobalah membayangkan keadaan kebanyakan rumah pedesaan, dan Anda akan mendapat
gambaran tentang rumah ini.
Mary menghentikan mobilnya di depan pintu pagar berwarna putih.
"Kita tinggalkan mobil di sini, lalu berjalan ke atas dan melihat rumah itu. Itu
rumah kita!" "Pasti, itu rumah kita," George mengiyakan. "Tapi saat ini kelihatannya sudah
ada penghuninya." Mary mengabaikan para penghuninya dengan kibasan tangan. Berdua mereka melangkah
menyusuri jalan masuk. Dari dekat, rumah itu tampak semakin menarik.
"Kita akan mengintip ke dalam dari semua jendela," ujar Mary.
George keberatan. "Apa menurutmu para penghuninya..."
"Aku tidak akan memedulikan mereka. Itu rumah kita - mereka cuma kebetulan saja
menempatinya. Lagi pula, ini hari yang cerah, dan mereka pasti sedang keluar
menikmatinya. Seandainya ada yang memergoki kita, aku akan berkata... aku akan
berkata... kusangka ini rumah... rumah Mrs. Pardonstenger, dan aku benar-benar
menyesal telah salah sangka."
"Hm, sepertinya alasan yang cukup aman," ujar George.
Mereka melihat ke dalam melalui beberapa jendela. Rumah itu berisi perabotan
indah. Mereka baru saja mengintip ke dalam ruang kerja ketika dari arah belakang
terdengar langkah-langkah kaki di kerikil. Mereka menoleh dan berhadapan dengan
seorang kepala pelayan tulen tanpa cela.
"Oh!" ujar Mary. Ia lalu tersenyum sangat memukau dan berkata, "apakah Mrs.
Pardonstenger ada" Saya tadi melongok ke ruang kerja untuk melihat kalau-kalau
dia ada di situ." "Mrs. Pardonstenger ada di rumah, Madam," sahut sang kepala pelayan. "Silakan
lewat sini." Mereka terpaksa mengikutinya. George sedang menerka-nerka kemungkinan apa yang
ada di balik kejadian ini. Ia menarik kesimpulan bahwa dengan nama
Pardonstenger, kemungkinannya satu di antara dua puluh ribu. Mary berbisik,
"Serahkan padaku. Semuanya pasti beres."
Dengan senang hati George menyerahkan urusan itu padanya. Menurut pendapatnya,
situasi ini membutuhkan siasat perempuan.
Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. Setelah kepala pelayan itu meninggalkan
ruangan, pintu terbuka kembali dan seorang wanita tinggi besar dengan wajah
kemerah-merahan dan rambut putih bersih masuk dengan penuh harapan.
Mary Montresor beranjak ke arahnya, dan berhenti mendadak seakan tertegun.
"Wah!" serunya. "Ternyata bukan Amy! Luar biasa sekali!"
"Ini memang luar biasa," sahut seseorang dengan bengis.
Seorang laki-laki masuk mengikuti Mrs. Pardonstenger. Pria tambun dengan wajah
mirip anjing buldog dan seringai menakutkan. George belum pernah melihat makhluk
sekasar dan seseram ini. Laki-laki itu menutup pintu dan berdiri di depannya.
"Luar biasa sekali," ulangnya mengejek. "Tapi kurasa kami mengerti permainan
kalian!" Tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol besar. "Angkat tangan! Angkat
tangan, kataku. Geledah mereka, Bella."
Kalau sedang membaca kisah-kisah detektif, George sering bertanya-tanya seperti
apa rasanya digeledah. Sekarang ia tahu. Bella (alias Mrs. P.) merasa puas
karena George maupun Mary tidak menyembunyikan senjata berbahaya.
"Kalian pikir kalian sangat pintar, ya?" ejek pria itu. "Datang kemari begitu
saja dan berpura-pura tidak bersalah. Kali ini kalian keliru - sangat keliru. Aku
bahkan sangat ragu apakah teman-teman dan sanak keluarga kalian akan bisa
berjumpa kalian lagi. Ah! Kau mau coba-coba, ya?" bentaknya saat George
bergerak. "Jangan berani main-main. Aku akan langsung menembakmu."
"Hati-hati, George," bisik Mary gemetar.
"Akan kulakukan," kata George penuh perasaan. "Dengan sangat hati-hati."
"Sekarang, jalan," perintah laki-laki itu. "Buka pintunya, Bella. Dan kalian
berdua, letakkan tangan di atas kepala. Madam dulu - betul begitu. Aku akan
menyusul tepat di belakang kalian. Lewat ruang depan. Naik..."
Mereka menurut. Apa lagi yang bisa mereka lakukan" Mary menaiki tangga dengan
tangan terangkat tinggi-tinggi. George mengikuti. Di belakang mereka menyusul
bajingan tambun itu dengan menodongkan pistolnya.
Mary sampai di ujung anak tangga dan berbelok. Tepat pada saat itulah tanpa
diduga-duga George menyerang dengan tendangan ke belakang. Pria itu terkena
tepat di pinggangnya, dan terjengkang berguling-guling ke bawah tangga. Saat
berikutnya George berbalik dan melompat menuruni tangga, lalu berlutut di atas
dada pria itu. Dengan tangan kanannya ia memungut pistol yang terjatuh saat pria
tadi berguling-guling. Bella menjerit dan mundur teratur melalui pintu. Mary berlarian menuruni tangga
dengan wajah pucat pasi. "George, apa kau membunuhnya?"
Laki-laki itu tergeletak tak bergerak. George membungkuk di atasnya.
"Kurasa tidak," ujarnya menyesal. "Tapi yang jelas, dia pingsan."
"Puji Tuhan." Napas Mary terengah-engah.
"Lumayan juga," ujar George mengagumi diri. "Banyak pelajaran bisa ditarik dari
keledai tua ini. Eh, apa?"
Mary menarik tangannya. "Ayo kita pergi," serunya tegang. "Ayo kita cepat pergi."
"Kalau saja kita punya sesuatu untuk mengikat orang ini," ujar George, sibuk
dengan rencananya sendiri. "Apa kau tidak bisa mencari sepotong tali atau
sejenisnya?" "Tidak, aku tidak bisa," jawab Mary. "Ayolah, kita pergi saja - ayolah - aku takut
sekali."
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak perlu takut," ujar George, berlagak jantan. "Aku ada di sini."
"George, Darling, ayolah - demi aku. Aku tidak mau terlibat. Ayolah kita pergi."
Caranya membisikkan kata-kata "demi aku" menggoyahkan tekad George. Ia
membiarkan dirinya ditarik meninggalkan rumah itu, lalu bergegas melintasi jalan
masuk, menuju mobil yang sudah menunggu. Mary berkata lemah, "Kau saja yang
mengemudi. Rasanya aku tidak mampu." George pun duduk di belakang kemudi.
"Tapi kita harus menyelesaikan persoalan ini," ujar George. "Mana kita tahu,
kejahatan apa yang direncanakan laki-laki seram itu. Kalau kau keberatan, aku
tidak akan menghubungi polisi - tapi aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Aku
pasti mampu menyelidiki mereka."
"Jangan, George, aku tidak mau kau melakukannya."
"Kita mendapatkan petualangan kelas satu seperti ini, dan kau ingin aku mundur
teratur" Jangan harap."
"Tak kuduga kau ternyata haus darah seperti ini," ujar Mary berlinang air mata.
"Aku tidak haus darah. Bukan aku yang memulainya. Bedebah terkutuk itu mengancam
kita seenaknya dengan pistol besar. Omong-omong, mengapa pistol itu tidak
meletus saat aku menendangnya ke bawah?"
George menghentikan mobil dan mengeluarkan senjata itu dari kantong samping
mobil. Setelah memeriksanya, ia bersiul.
"Wah, sialan! Pistol ini tak ada pelurunya. Seandainya aku tahu sejak awal..."
Ia terdiam, sibuk berpikir. "Mary, masalah ini sangat aneh."
"Aku tahu. Itu sebabnya aku memohonmu untuk membiarkannya."
"Takkan pernah," ujar George tegas.
Mary menghela napas dengan pilu.
"Kurasa aku harus mengatakannya padamu," ujar Mary. "Masalahnya, aku sama sekali
tidak tahu bagaimana tanggapanmu nanti."
"Apa maksudmu...?"
"Begini, awalnya seperti ini." Mary diam sejenak. "Kurasa, dewasa ini kaum
wanita harus bersatu - mereka harus bertekad lebih mengenal para pria yang mereka
temui." "Lalu?" ujar George tidak mengerti.
"Penting sekali bagi seorang gadis untuk tahu bagaimana seorang laki-laki akan
bertindak dalam keadaan darurat - apakah dia berkepala dingin, punya keberanian,
kecerdasan" Hal-hal ini nyaris tidak bisa diketahui - sampai sudah terlambat.
Keadaan darurat mungkin saja takkan muncul sampai bertahun-tahun setelah
menikah. Paling-paling yang bisa diketahui tentang seorang pria adalah cara dia
berdansa, dan apakah dia cekatan mencari taksi di tengah hujan."
"Dua-duanya prestasi yang sangat berguna," George menunjukkan.
"Betul, tapi orang ingin merasakan bahwa laki-laki adalah laki-laki."
"Daerah luas membentang, tempat laki-laki adalah laki-laki," George mengutip
ungkapan, setengah melamun.
"Tepat sekali. Tapi di Inggris tidak ada daerah luas membentang. Jadi, orang
harus menciptakan sendiri situasi tiruan. Itulah yang telah kulakukan."
"Apa maksudmu..."
"Itulah maksudku. Rumah tadi kebetulan memang rumahku. Kita datang ke situ
sesuai rencana - bukan secara kebetulan. Dan laki-laki itu - yang hampir terbunuh
olehmu..." "Ya?" "Adalah Rube Wallace - aktor film. Dia petinju bayaran. Laki-laki paling baik dan
lembut. Aku menyewanya. Bella adalah istrinya. Itu sebabnya aku begitu cemas
kalau-kalau kau telah membunuhnya. Tentu saja pistol itu tidak ada pelurunya.
Itu pistol-pistolan properti panggung. Oh, George, apa kau marah sekali?"
"Apakah aku pria pertama yang telah... kauuji?"
"Oh, tidak. Sudah ada - tunggu sebentar - sembilan setengah orang!"
"Siapa laki-laki yang setengahnya?" tanya George ingin tahu.
"Bingo," jawab Mary dingin.
"Adakah di antara mereka yang terpikir untuk menendang seperti keledai?"
"Tidak - tidak ada. Ada beberapa yang mencoba menggertak, dan ada yang langsung
menyerah, tapi mereka semua membiarkan diri digiring ke atas, diikat, dan
disumpal mulutnya. Setelah itu, tentu saja aku berhasil melepaskan diri dari
ikatan - seperti dalam buku - melepaskan ikatan mereka juga, dan kabur - dan menemukan
rumah sudah kosong."
"Dan tak seorang pun terpikir akan siasat keledai atau semacamnya?"
"Tidak." "Kalau begitu," sahut George sangat ramah, "aku memaafkanmu."
"Terima kasih, George," ujar Mary tanpa perlawanan.
"Sesungguhnya," George menambahkan, "satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah:
ke mana kita pergi sekarang" Aku tidak yakin apakah tempatnya Lambeth Palace
atau Doctor's Commons, di mana pun itu."
"Kau ini bicara apa?"
"Tentang surat nikah. Kurasa kita perlu surat nikah khusus. Kau terlalu gemar
bertunangan dengan seseorang, tapi meminta orang lain menikah denganmu."
"Aku tidak memintamu menikah denganku!"
"Kau memintanya. Di Hyde Park Corner. Memang bukan tempat yang akan kupilih
untuk melamar, tapi dalam hal ini setiap orang punya ciri khas masing-masing."
"Sama sekali tidak. Aku cuma bertanya, dengan bercanda, apakah kau berminat
menikah denganku" Aku tidak serius."
"Seandainya aku meminta pendapat pengacara, aku yakin dia akan berkata ungkapan
itu merupakan pinangan murni. Lagi pula, kau tahu kau ingin menikah denganku."
"Tidak." "Bahkan setelah gagal sembilan setengah kali" Bayangkan betapa amannya
perasaanmu bisa menjalani hidup bersama pria yang mampu mengeluarkanmu dari
situasi berbahaya." Mary tampak agak mengendur mendengar argumentasi ini. Tapi dengan tegas ia
berkata, "Aku takkan mau menikah dengan seorang pria, kecuali dia bersedia
berlutut di hadapanku."
George menatapnya. Perempuan ini sangat memesona. Tapi selain bisa menendang,
George masih memiliki perangai lain yang khas keledai. Dengan sikap tidak kalah
tegas ia berkata, "Berlutut di hadapan wanita sungguh merendahkan martabat. Aku takkan
melakukannya." Dengan wajah prihatin yang memikat, Mary berkata, "Sayang sekali."
Mereka kembali ke London. George mengemudi dengan diam dan pantang menyerah.
Wajah Mary terlindung di balik tepi topinya. Saat melintasi Hyde Park Corner, ia
bergumam lembut, "Tidak bisakah kau berlutut di hadapanku?"
Dengan tegas George berkata, "Tidak."
Ia merasa bagaikan Superman. Mary mengagumi sikapnya ini. Tapi sayangnya, George
juga melihat kecenderungan keras kepala dalam diri gadis itu. Mendadak ia
menepi. "Permisi sebentar," ujarnya.
Ia melompat keluar dari mobil, melangkah menuju gerobak dorong berisi buah-
buahan yang baru saja mereka lewati, dan kembali begitu cepat hingga polisi yang
menghampiri mereka untuk menanyakan maksud mereka tidak sempat mencapai mobil.
George melanjutkan perjalanan, lalu melemparkan sebutir apel ke pangkuan Mary.
"Makanlah lebih banyak buah," katanya. "Selain itu, ini juga punya arti
simbolis." "Simbolis?" "Ya. Mula-mula Hawa-lah yang memberikan apel pada Adam. Zaman sekarang Adam-lah
yang memberikannya pada Hawa. Paham?"
"Ya," jawab Mary ragu.
"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya George resmi.
"Ke rumah saja."
George mengarahkan mobil menuju Grosvenor Square. Wajahnya sama sekali tanpa
ekspresi. Ia melompat keluar dan mengitari mobil untuk membantu Mary turun.
Gadis itu meminta sekali lagi.
"George, Darling - tidak bisakah kau" Sekadar menyenangkan hatiku?"
"Takkan pernah," jawab George.
Tiba-tiba terjadilah hal itu. George terpeleset, berusaha mencari keseimbangan,
tapi gagal. Ia sudah berlutut di lumpur tepat di hadapan Mary. Gadis itu memekik
bahagia sambil bertepuk tangan.
"George darling! Sekarang aku mau menikah denganmu. Kau boleh langsung ke
Lambeth Palace dan mengaturnya dengan Uskup Besar Canterbury."
"Aku tidak bermaksud melakukannya," sembur George sengit. "Itu tadi cuma gara-
gara kulit pisang yang dib... saja." Dengan kesal ia mengangkat benda yang telah
menjadi gara-gara tadi. "Tidak mengapa," sahut Mary. "Pokoknya sudah terjadi. Waktu kita bertengkar dan
kau bersikeras aku melamarmu, aku bisa menuntut agar kau berlutut di hadapanku
dulu sebelum aku bersedia menikah denganmu. Dan semua ini terjadi karena kulit
pisang yang diberkati itu! Kau tadi memang hendak berkata kulit pisang yang
diberkati, kan?" "Semacam itulah," ujar George.
*** Pukul setengah enam sore, Mr. Leadbetter diberitahu bahwa keponakannya datang
untuk menemuinya. "Datang untuk meminta maaf," kata Mr. Leadbetter dalam hati. "Aku memang agak
terlalu keras pada anak itu, tapi itu untuk kebaikannya sendiri."
Dan ia memberi perintah agar George dipersilakan masuk.
George masuk dengan langkah-langkah ringan.
"Aku ingin bicara sebentar, Paman," katanya. "Pagi tadi Paman berlaku sangat
tidak adil padaku. Aku ingin tahu apakah ada orang seusiaku yang diusir oleh
sanak keluarganya, tapi antara jam sebelas lewat seperempat dan setengah enam
sore bisa mendapatkan penghasilan sebesar dua puluh ribu pound setahun. Inilah
yang baru kulakukan!"
"Kau pasti sudah gila, Nak."
"Bukan gila, tapi banyak akal! Aku akan menikahi wanita muda tokoh masyarakat
kaya raya yang cantik jelita. Wanita yang rela meninggalkan seorang duke demi
diriku." "Menikahi seorang gadis demi uangnya" Aku tak menyangka kau bisa berbuat
begitu." "Paman memang benar. Aku sendiri takkan pernah berani memintanya seandainya dia
tidak - untung saja - memintaku. Belakangan dia menarik kembali kata-katanya, tapi
aku membuatnya berubah pikiran. Dan tahukah Paman bagaimana semuanya ini
terjadi" Melalui pengeluaran bijaksana sebesar dua pence dan menangkap bola emas
kesempatan." "Mengapa dua pence?" tanya Mr. Leadbetter, tertarik secara finansial.
"Untuk mengambil pisang - dari kereta dorong. Tidak semua orang akan terpikir
menggunakan pisang itu. Di mana aku bisa mendapatkan surat nikah" Di Doctor's
Commons atau Lambeth Palace?"
BATU ZAMRUD SANG RAJAH DENGAN upaya keras James Bond kembali memusatkan perhatian pada buku kuning
kecil di tangannya. Di sampul luarnya terbaca tulisan sederhana namun
menyenangkan, "Anda ingin meningkatkan penghasilan Anda sampai ?300 per tahun?"
Harga buku itu cuma satu shilling. James baru selesai membaca dua halaman yang
memuat alinea-alinea segar berisi tips agar ia menatap atasannya lurus-lurus,
menunjukkan kepribadian dinamis, dan menebarkan kesan efisien. Ia sudah sampai
pada masalah yang lebih pelik. "Ada waktu untuk jujur, ada waktu untuk
bijaksana," demikian menurut buku kuning kecil itu. "Pria perkasa tidak selalu
memuntahkan semua hal yang diketahuinya." James menutup bukunya, mendongak, lalu
menatap lautan biru yang terbentang di depannya. Ia curiga jangan-jangan ia
bukan pria perkasa. Pria perkasa bisa menguasai keadaan, bukan menjadi korban.
Untuk keenam puluh kalinya sepanjang pagi itu, James mengingat-ingat semua
kesalahannya. Ini adalah liburannya. Liburannya" Ha ha! Ia tertawa sinis. Siapa yang
membujuknya datang ke Kimpton-on-Sea, resor pantai terkemuka ini" Grace. Siapa
yang mendorongnya untuk mengeluarkan biaya melebihi kemampuannya" Grace. Ia
bahkan telah menyambut rencana itu dengan semangat. Gadis itu telah berhasil
mengajaknya kemari, dan apa akibatnya" Sementara James tinggal di penginapan
kumuh sekitar dua setengah kilometer dari tepi pantai, Grace yang seharusnya
juga tinggal di tempat serupa (bukan yang sama - tata krama lingkungan James
sangat ketat), telah meninggalkannya dengan terang-terangan, dan tinggal di
tempat yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Esplanade Hotel di dekat pantai.
Sepertinya ia punya teman-teman di sana. Teman-teman! Lagi-lagi James tertawa
sinis. Ingatannya melayang kembali merenungi masa pacaran santai dengan Grace
selama tiga tahun terakhir ini. Ketika pertama kali mendapat perhatian khusus
dari James, Grace sangat senang. Itu sebelum ia melambung di lingkungan salon-
salon topi wanita Messrs Bartles di High Street. Di awal masa pacaran mereka,
James-lah yang bersikap angkuh, sekarang boro-boro! Posisi mereka sudah
berbalik. Secara teknis, Grace bisa dikatakan "punya penghasilan bagus". Ini
membuatnya tinggi hati. Ya, tinggi hati luar-dalam. James teringat kembali
sepenggal sajak dari buku kumpulan puisi, yang berbicara tentang "bersyukur pada
langit sambil berpuasa, atas kasih sayang pria yang mulia". Tetapi pada diri
Grace tidak tampak sikap seperti ini. Dengan perut kenyang oleh sarapan
Esplanade Hotel, ia mengabaikan sepenuhnya kasih sayang pria yang mulia. Ia
bahkan menyambut perhatian yang dilimpahkan idiot licik bernama Claud Sopworth,
laki-laki yang diyakini James tak berharga sama sekali.
James membenamkan tumit ke dalam pasir, dan menatap kaki langit dengan geram.
Kimpton-on-Sea. Apa yang telah merasuki dirinya hingga mau datang ke tempat
seperti ini" Ini tempat peristirahatan unggul orang kaya dan ternama, dengan dua
hotel dan beberapa mil pantai dihiasi bungalo-bungalo cantik milik para aktris
terkenal, orang-orang Yahudi kaya, dan para bangsawan Inggris yang menikahi
istri-istri kaya-raya. Ongkos menginap di bungalo terkecil dua puluh lima guinea
seminggu. Bisa dibayangkan berapa uang sewa bungalo yang besar. Tepat di
belakang tempat duduk James berdiri salah satu istana itu. Bangunan ini milik
Lord Edward Campion, olahragawan terkenal itu, dan saat ini mereka yang sedang
menginap di situ adalah tamu-tamu terhormat, termasuk Rajah dari Maraputna yang
sangat kaya. Pagi itu James membaca berita tentang dirinya di koran mingguan
lokal; tentang jumlah kekayaannya di India, istana-istananya, koleksi
perhiasannya yang luar biasa, dengan pemberitaan khusus perihal batu zamrud yang
terkenal dan ramai dibicarakan, berukuran sebesar telur burung merpati. James
yang dibesarkan di kota, tidak begitu tahu soal ukuran telur merpati, tapi ia
sangat terkesan. "Seandainya aku punya batu zamrud seperti itu," ujar James sambil menatap kaki
langit kembali, "akan kutunjukkan pada Grace."
Perasaan itu cuma samar-samar, tapi ucapan tadi membuat James merasa lebih
nyaman. Dari belakang terdengar gelak tawa ceria, dan ketika menoleh ia langsung
berhadapan dengan Grace. Bersamanya terlihat Clara Sopworth, Alice Sopworth,
Dorothy Sopworth dan... aduh! Claud Sopworth. Gadis-gadis itu bergandengan
tangan sambil mengikik. "Wah, kau ini seperti orang asing saja," seru Grace genit.
"Ya," sahut James.
Sebenarnya ia bisa saja menemukan gertakan yang lebih tajam. Orang tidak bisa
menyampaikan kesan kepribadian dinamis hanya dengan menggunakan sepatah kata
"ya". Dengan hati mendidih ia menatap Claud Sopworth. Pakaian pemuda ini nyaris
sama meriahnya dengan pemeran utama pertunjukan musik komedi. Saat itu James
berharap sepenuh hati ada anjing pantai lincah yang menapakkan kaki depannya
yang basah dan penuh pasir ke atas pipa celana flanel Claud yang putih bersih
itu. James sendiri mengenakan celana panjang flanel kelabu tua yang sudah usang.
"Udaranya segaa...aar, bukan?" ujar Clara sambil menarik napas dalam-dalam.
"Membuatmu bersemangat, betul?"
Ia mengikik. "Itu namanya ozon," kata Alice Sopworth. "Khasiatnya sebagus tonikum." Dan ia
juga mengikik. Pikir James, "Aku ingin sekali membenturkan kepala dungu mereka. Apa gunanya
tertawa sepanjang waktu seperti itu" Padahal tidak ada yang lucu."
Claude yang sangat rapi itu bergumam lesu,
"Bagaimana kalau kita mandi-mandi" Atau ini terlalu meletihkan?"
Ide untuk mandi-mandi itu disambut meriah. James ikut bergabung dengan mereka.
Dengan cerdik ia bahkan berhasil menarik Grace agak terpisah dari yang lain.
"Dengar!" keluhnya. "Aku nyaris tidak pernah melihatmu."
"Hm, kan kita sekarang sudah bersama-sama," sahut Grace, "dan kau bisa bergabung
dan makan siang bersama kami di hotel, setidaknya..."
Ia menatap kedua kaki James dengan ragu.
"Ada apa?" bentak James sengit. "Penampilanku kurang pantas bagimu?"
"Sayangku, kau perlu menjaga penampilanmu," kata Grace. "Semua orang di sini
berpenampilan begitu keren. Lihat saja Claud Sopworth!"
"Aku sudah melihatnya," ujar James muram. "Aku belum pernah melihat pria sedungu
dia." Grace berdiri tegak dengan marah.
"Tidak perlu mengkritik teman-temanku, James, itu tidak sopan. Pakaiannya sama
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan semua pria terhormat di hotel."
"Bah!" sembur James. "Tahukah kau apa yang kubaca di Society Snippets waktu itu"
Nah, Duke dari... Duke dari, aku lupa, tapi ada duke yang dinobatkan sebagai
pria berpenampilan terburuk di Inggris!"
"Huh," sahut Grace, "tapi setidaknya dia seorang duke, tahu!"
"Jadi?" bentak James. "Siapa tahu suatu hari nanti aku jadi seorang duke" Paling
tidak, hm... mungkin bukan duke, tapi yang sebanding."
James menepuk buku kuning di sakunya, dan menyebutkan sederetan panjang nama
orang yang mengawali kehidupan dalam situasi lebih parah daripada James Bond.
Grace cuma mengikik. "Jangan konyol, James," ujarnya. "Yang benar saja, masa kau menjadi Earl dari
Kimpton-on-Sea!" James menatapnya dengan rasa marah bercampur putus asa. Udara Kimpton-on-Sea
pasti sudah merasuki kepala Grace.
Pantai pasir Kimpton-on-Sea terbentang panjang. Sejauh dua setengah kilometer
berderet pondok-pondok dan bilik-bilik untuk bertukar pakaian. Rombongan mereka
baru saja berhenti di depan sebaris kamar ganti yang berjumlah enam buah,
masing-masing diberi tanda "Khusus untuk tamu Esplanade Hotel".
"Kita sudah sampai," ujar Grace ceria, "tapi kau tidak bisa masuk bersama kami,
James, kau terpaksa ke tenda-tenda umum di sebelah sana untuk bertukar pakaian.
Kami akan menemuimu di laut. Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa!" kata James, dan ia melangkah menuju arah yang ditunjuk tadi.
Dua belas tenda bobrok berdiri menghadap laut. Seorang pelaut tua menjaga tenda-
tenda itu dengan segulung kertas biru di tangannya. Ia menerima koin yang
diberikan James, menyobek sehelai karcis biru dari gulungan tadi, melemparkan
handuk ke arahnya, lalu mengayunkan jempol ke belakang pundaknya.
"Silakan antre," ujarnya serak.
Saat itulah James tersadar adanya persaingan. Selain dirinya, orang-orang lain
juga berminat masuk ke laut. Selain semua tenda sudah ada orangnya, di luar
setiap tenda sudah menunggu sekelompok orang yang saling memelototi dengan
galak. James bergabung di kelompok yang paling kecil, dan menunggu. Kelepak
tenda terbuka, dan dari dalamnya muncul wanita muda cantik dengan pakaian mandi
minim sambil mengenakan topi mandinya dengan sangat santai. Ia melangkah menuju
bibir pantai, lalu duduk di pasir sambil melamun.
"Percuma saja," kata James dalam hati, lalu bergabung dengan kelompok lain.
Setelah menunggu lima menit, terdengar aktivitas dalam tenda kedua. Setelah
terdorong ke sana kemari, kelepak tenda terbuka lebar dan muncullah empat anak
bersama ayah-ibu mereka. Mengingat ukuran tenda kecil itu, pemandangan ini mirip
permainan sulap. Pada saat yang sama, dua wanita melompat maju dan masing-masing
menyambar kelepak tenda yang sama.
"Saya duluan," ujar wanita muda pertama sedikit terengah.
"Saya yang lebih dulu," balas wanita muda kedua sambil mendelik.
"Anda harus tahu, saya sudah berada di sini sepuluh menit sebelum Anda tiba,"
kata wanita muda pertama dengan cepat.
"Saya sudah berada di sini seperempat jam yang lalu, dan semua orang juga tahu
itu," balas wanita kedua menantang.
"Sudah, sudah," ujar pelaut tua itu sambil mendekat.
Kedua wanita muda itu bicara dengan suara melengking padanya. Setelah mereka
selesai mengadu, pelaut itu mengayunkan jempolnya ke arah wanita kedua, lalu
berkata singkat, "Silakan masuk."
Setelah itu ia beranjak pergi dengan tenang, seakan tidak mendengar protes yang
dilontarkan padanya. Ia tidak tahu dan tidak peduli siapa yang tiba lebih dulu,
tapi keputusannya, seperti tertulis di koran tentang kompetisi, adalah final.
James yang resah menangkap lengan pelaut itu.
"Coba dengar kataku!"
"Ada apa, Mister?"
"Berapa lama lagi aku bisa masuk tenda?"
Dengan acuh tak acuh pelaut tua itu melihat sekilas ke arah kerumunan orang yang
menunggu giliran. "Mungkin sejam, mungkin satu setengah jam, entahlah."
Saat itulah James melihat Grace dan gadis-gadis Sopworth itu berlarian di pasir,
menuju laut. "Sialan!" umpat James dalam hati. "Oh, sialan!"
Ia kembali menyambar lengan pelaut tua itu.
"Apa aku tidak bisa mendapat tenda di tempat lain" Bagaimana dengan salah satu
kamar ganti di sana itu" Kelihatannya semua pondok kosong."
"Pondok-pondok itu," ujar pelaut tua itu dengan sombong, "adalah kamar ganti
PRIBADI." Selesai mengomel, ia melangkah pergi. Dengan hati getir karena merasa tertipu,
James meninggalkan kerumunan orang yang menunggu giliran itu, lalu melangkah
geram menuju pantai. Ini luar biasa! Ini benar-benar luar biasa! Dengan geram ia
memelototi deretan rapi kamar ganti yang dilewatinya. Saat itu juga ia berubah
dari pengikut partai Liberal Independen menjadi Sosialis tulen. Mengapa orang
kaya memiliki kamar-kamar ganti pribadi dan bisa mandi kapan saja mereka mau
tanpa harus menunggu giliran di tengah kerumunan" "Sistem kita," ujar James
samar, "sama sekali salah."
Dari arah laut terdengar jeritan-jeritan genit gadis yang terkena percikan air.
Suara Grace! Dan meningkahi pekikannya, terdengar gelak tawa "Ha ha ha" si tolol
Claud Sopworth. "Sialan!" maki James sambil mengertakkan gigi, hal yang belum pernah dicobanya
dan hanya dibacanya dalam kisah-kisah fiksi.
Ia menghentikan langkah, dan sambil memutar-mutar ranting dengan geram, ia
berdiri membelakangi laut. Dengan kebencian meluap-luap ia menatap Eagle's Nest,
Buena Vista, dan Mon Desir. Sudah menjadi kebiasaan penghuni Kimpton-on-Sea
untuk menandai kamar ganti mereka dengan nama-nama keren. Bagi James, Eagle's
Nest terdengar konyol, dan Buena Vista tidak ada dalam perbendaharaan kata-
katanya. Tapi pengetahuan bahasa Prancis-nya cukup memadai untuk menyadari
keserasian nama ketiga. "Mon Desir," ujar James. "Aku harus mengakuinya."
Ia melihat bahwa sementara pintu-pintu kamar ganti yang lain tertutup rapat,
pintu Mon Desir terbuka lebar. James mengamati pantai, dan menyadari bagian ini
terutama digunakan para ibu dengan keluarga besar, masing-masing sibuk mengurus
anak-anak mereka. Hari baru pukul sepuluh, masih terlampau pagi bagi kaum
bangsawan Kimpton-on-Sea untuk turun kemari dan mandi.
"Menikmati daging burung puyuh dan jamur di tempat tidur, dilayani bujang
berbedak, bah! Takkan ada yang turun kemari sebelum jam dua belas," pikir James.
Ia melihat ke arah laut lagi. Dengan kepatuhan penyanyi opera terlatih, jeritan
melengking Grace berkumandang di udara. Diikuti "Ha ha ha" Claud Sopworth.
"Akan kulakukan," desis James.
Ia mendorong pintu Mon Desir dan masuk ke dalam. Untuk sesaat ia ketakutan
melihat berbagai macam pakaian bergantungan dari pasak, tapi segera tenang
kembali. Pondok itu dibagi menjadi dua. Di sebelah kanan terlihat sweater gadis
berwarna kuning, topi jerami yang sudah penyok, dan sepasang sepatu pantai yang
tergantung di pasak. Di sebelah kiri, celana panjang flanel kelabu yang sudah
tua, sehelai pullover, dan topi pelaut anti air menunjukkan pemisahan ruang
sesuai jenis kelamin. James bergegas ke bagian laki-laki dalam pondok itu, dan
cepat-cepat menanggalkan pakaiannya. Tiga menit kemudian, ia sudah berada di
laut, asyik menyembur dan mendengus dengan sombong, sambil memamerkan beberapa
gaya renang profesional - dengan kepala di bawah air, lengan mengayuh kuat - penuh
gaya. "Oh, di situ kau rupanya!" seru Grace. "Aku khawatir kau tidak bisa segera masuk
ke air, melihat kerumunan orang yang menunggu giliran di sana."
"Begitu?" ujar James.
Dengan setia ia berpikir tentang buku kuningnya. "Adakalanya pria perkasa bisa
bersikap bijaksana." Untuk sementara amarahnya sudah reda. Ia bisa berbicara
dengan ramah namun tegas pada Claud Sopworth, yang sedang mengajarkan gaya
overarm pada Grace. "Bukan, bukan begitu, Bung, kau keliru. Aku akan menunjukkan caranya padanya."
Nada bicaranya begitu yakin, hingga Claud mengundurkan diri dengan tersipu.
Sayangnya, kemenangan ini singkat saja. Suhu perairan Inggris menyebabkan para
perenang tidak tahan berlama-lama di dalamnya. Grace dan gadis-gadis Sopworth
itu sudah menampakkan dagu kebiru-biruan dan gigi gemeletuk kedinginan. Mereka
bergegas menuju pantai, dan James melangkah seorang diri menuju Mon Desir.
Sementara menggosok badannya dengan handuk, lalu mengenakan kemejanya, ia merasa
puas terhadap diri sendiri. Menurutnya, ia telah menunjukkan kepribadian
dinamis. Tiba-tiba ia terpaku, nyaris lumpuh ketakutan. Dari luar terdengar celoteh
beberapa gadis, suara mereka berbeda dengan suara Grace dan teman-temannya.
Sesaat kemudian ia menyadari kenyataan, pemilik Mon Desir yang sesungguhnya
telah tiba. Seandainya James sudah berpakaian lengkap, ia bisa saja menunggu
kedatangan mereka dengan sikap bergengsi, lalu mencoba memberikan penjelasan.
Tapi ia kalang kabut. Jendela-jendela Mon Desir hanya tertutup tirai-tirai hijau
tua. James menahan pintu dengan badannya dan menggenggam tombol pintu sekuat
tenaga. Dari luar, beberapa tangan mencoba memutarnya dengan sia-sia.
"Pintu ini ternyata terkunci," kata seorang gadis. "Sial betul, sekarang kita
harus mengambil kuncinya."
James mendengar langkah-langkah mereka menjauh. Ia menarik napas lega dalam-
dalam. Dengan tergesa ia mengenakan sisa pakaiannya. Dua menit kemudian ia sudah
melangkah sembarangan di pantai, seakan tidak bersalah sedikit pun. Seperempat
jam kemudian, Grace dan gadis-gadis Sopworth itu bergabung dengannya. Sisa pagi
itu mereka lewatkan dengan cukup menyenangkan sambil melempar batu, menulis di
pasir, dan bercanda. Kemudian Claud melirik arlojinya.
"Sudah waktunya makan siang," ujarnya. "Sebaiknya kita pulang."
"Aku lapar sekali," ujar Alice Sopworth.
Gadis-gadis yang lain juga berkata mereka kelaparan.
"Kau mau ikut, James?" tanya Grace.
Tak diragukan lagi, James terlalu mudah tersinggung. Ia memilih untuk merasa
terhina oleh nada bicara Grace.
"Tidak, bila pakaianku tidak cukup baik bagimu," ujarnya getir. "Mungkin,
mengingat kau begitu kritis, sebaiknya aku tidak ikut."
Ini merupakan petunjuk bagi Grace bahwa James menyampaikan protes, tapi udara
laut telah membawa dampak buruk atas dirinya. Ia cuma menjawab,
"Baiklah. Terserah kau saja, kalau begitu, sampai jumpa sore nanti."
James tercengang. "Wah!" katanya sambil menatap kelompok yang berjalan meninggalkannya. "Wah, ya
ampun..." Dengan murung ia melangkah ke kota. Di Kimpton-on-Sea ada dua kafe, keduanya
panas, berisik, dan penuh sesak. Kejadian di tenda-tenda ganti pakaian terulang
kembali, James harus menunggu giliran. Ia terpaksa menunggu lebih lama daripada
giliran sebenarnya, karena seorang wanita tak tahu aturan yang baru saja tiba
menyerobot tempat duduk yang baru saja kosong. Akhirnya ia mendapat tempat juga
di sebuah meja kecil. Tidak jauh dari telinga kirinya, tiga gadis berambut cepak
acak-acakan sedang asyik menirukan opera Itali dengan kacau. Untung saja James
tidak berbakat musik. Dengan lesu ia memerhatikan daftar menu, dengan kedua
tangan di kantong celana.
Pikirnya, "Apa pun yang kupesan pasti akan dijawab 'habis'. Memang begitulah
nasibku." Tangan kanannya yang dibenamkan sampai ke dasar kantong, menyentuh benda yang
tidak dikenalnya. Sepertinya ini sebutir kerikil, batu kerikil bulat yang besar.
"Untuk apa pula aku memasukkan batu ke dalam kantong celanaku?" pikir James.
Ia menggenggam benda itu. Seorang pelayan perempuan menghampirinya.
"Tolong minta ikan goreng dan keripik kentang," kata James.
"Ikan gorengnya habis," gumam si pelayan sambil menerawang ke langit-langit.
"Kalau begitu, saya minta gulai daging sapi," ujar James.
"Gulai daging sapinya habis."
"Apa ada sesuatu di menu sialan ini yang tidak habis?" bentak James.
Pelayan itu tampak sakit hati, dan menunjuk tulisan sup daging domba + kacang
merah dengan jarinya yang pucat. James menerima nasibnya yang tak terelakkan dan
memesan sup daging domba dengan kacang merah. Masih dengan hati mendidih
mengingat cara kafe-kafe menjalankan usaha, ia mengeluarkan tangan dari kantong
celananya, masih juga menggenggam batu itu. Setelah membuka genggamannya, ia
melihat benda di telapak tangannya dengan linglung. Kemudian mendadak semua hal
lain tersingkir dari benaknya, dan ia menatap benda itu dengan mata melotot.
Benda di tangannya itu bukanlah sebutir kerikil, melainkan - ia sangat yakin -
sebutir batu zamrud, batu zamrud hijau yang sangat besar. James menatap dengan
sangat ketakutan. Tidak, ini tak mungkin batu zamrud, ini pasti kaca berwarna
biasa. Mana ada batu zamrud sebesar ini, kecuali... Tulisan di koran menari-nari
di depan mata James, "Rajah dari Maraputna - batu zamrud terkenal sebesar telur
burung merpati." Apakah ini - mungkinkah ini - batu zamrud itu yang saat ini sedang
dipandangnya" Pelayan itu datang kembali membawa pesanan supnya, dan James
mengatupkan jarinya dengan kejang. Badannya panas-dingin. Ia merasa lelah
terjebak dalam dilema serius. Seandainya ini memang batu zamrud - tapi apa memang
demikian" Apa ini mungkin" Ia membuka genggamannya lagi dan mengintip cemas.
James bukan ahli batu-batu berharga, tapi kilau cemerlang permata itu meyakinkan
dirinya bahwa ini batu permata asli. Ia menaruh kedua sikunya di meja dan
mencondongkan badan ke depan, sambil melamun menatap lemak di sup daging
dombanya yang perlahan-lahan membeku. Ia harus mencari pemecahannya. Bila ini
memang batu zamrud milik sang Rajah apa yang akan dilakukannya" Perkataan
"polisi" berkelebat di benaknya. Bila orang menemukan barang berharga, ia harus
membawanya ke kantor polisi. Dengan aksioma inilah ia telah dididik.
Ya, tapi... bagaimana batu zamrud ini bisa berada di kantong celananya" Dengan
putus asa ia memandang kedua kakinya, dan tiba-tiba perasaan takut menyergapnya.
Ia menatap lebih cermat. Celana panjang tua berwarna kelabu ini sangat mirip
dengan celana panjang kelabu lainnya, tapi secara naluriah James merasa ini
bukan celana panjang miliknya. Ia bersandar tertegun saat menyadari kemungkinan
ini. Sekarang ia mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi. Karena terburu-
buru ingin segera keluar dari kamar ganti itu, ia telah salah mengambil celana.
Ia ingat telah menggantung celananya di pasak yang berdampingan dengan celana
yang sudah tergantung di situ. Ya, sejauh ini masalahnya sudah jelas, ia telah
salah mengambil celana. Tapi bagaimana batu zamrud senilai ratusan ribu pound
ini bisa sampai ke situ" Semakin dipikirkan, semakin aneh saja persoalan itu. Ia
tentu saja bisa menjelaskannya pada polisi...
Tak diragukan lagi, masalah ini memang memalukan, amat sangat memalukan. Ia
terpaksa harus menjelaskan bahwa ia telah sengaja masuk ke kamar ganti milik
orang lain. Ini tentu saja bukan pelanggaran serius, tapi tetap saja salah.
"Bisa saya bawakan yang lainnya, Sir?"
Pelayan tadi kembali lagi. Ia menatap sup daging domba yang tak tersentuh itu.
James buru-buru menuang sebagian di piringnya, lalu meminta bon. Setelah
melunasinya, ia keluar. Sementara ia berdiri bimbang di jalan, poster di
seberang jalan menarik perhatiannya. Kota Harchester yang bersebelahan dengan
resor ini memiliki koran sore, dan James menatap sebuah judul berita. Judul
sederhana sekaligus sensasional: BATU ZAMRUD RAJAH DICURI. "Astaga," ujar James
lemas sambil bersandar di tiang. Sambil menenangkan diri, ia mengeluarkan koin
satu penny dan membeli koran. Ia langsung menemukan berita yang dicarinya.
Berita-berita sensasional lokal memang tidak banyak dan jarang terjadi. Judul-
judul utama menghiasi halaman depan. "Pencurian Sensasional di Kediaman Lord
Edward Campion. Pencurian Batu Zamrud Bersejarah yang Terkenal. Kerugian Besar
Rajah dari Maraputna." Fakta-faktanya tidak banyak dan sederhana. Malam
sebelumnya, Lord Edward Campion telah menjamu beberapa teman. Karena ingin
menunjukkan batu itu pada salah seorang tamu wanita, sang Rajah masuk untuk
mengambilnya, dan mendapati batu permata itu sudah raib. Polisi telah dipanggil.
Sejauh ini belum ada petunjuk yang berhasil didapat. James menjatuhkan koran itu
ke lantai. Ia masih belum paham, bagaimana batu zamrud itu bisa berada di
kantong celana flanel tua di kamar ganti, tapi ia semakin menyadari polisi pasti
akan menganggap ceritanya mencurigakan. Jadi, apa yang harus dilakukannya" Di
sinilah dia, berdiri di jalan utama Kimpton-on-Sea dengan harta curian senilai
uang tebusan raja beristirahat nyaman di dalam kantong celananya, sementara
seluruh pasukan polisi distrik sedang sibuk mencari benda curian yang sama. Ada
dua tindakan yang bisa dilakukannya. Tindakan pertama, langsung ke kantor polisi
dan menyampaikan kisahnya - tapi harus diakui, James sangat takut melakukannya.
Tindakan kedua, bagaimanapun, ia harus menyingkirkan batu zamrud itu. Ia
terpikir untuk membungkus permata itu di dalam kotak kecil dan mengirimnya lewat
pos kepada sang Rajah. Ia lalu menggeleng. Ia telah banyak membaca kisah
detektif. Ia tahu cara kerja detektif ulung yang beraksi dengan kaca pembesar
dan semua jenis peralatan canggih lainnya. Setiap detektif tulen akan sibuk
memeriksa paket James, dan dalam setengah jam akan berhasil menemukan profesi,
usia, kebiasaan, dan penampilan pribadi pengirimnya. Sesudah itu hanya
dibutuhkan beberapa jam untuk menelusuri jejaknya.
Tiba-tiba muncul rencana yang sangat sederhana di benak James. Ini jam makan
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siang. Pantai relatif sepi, ia akan kembali ke Mon Desir, menggantung kembali
celana itu di tempat semula, dan mengenakan celananya sendiri. Dengan cepat ia
melangkah menuju pantai. Bagaimanapun, nuraninya mulai berbicara. Batu zamrud itu harus dikembalikan pada
sang Rajah. Mungkin ada baiknya ia melakukan sedikit pekerjaan detektif - tentunya
sesudah ia mendapatkan kembali celananya sendiri dan mengembalikan yang satu.
Guna melaksanakan ide ini, ia mengarahkan langkah-langkahnya menuju pelaut tua
itu, yang dianggapnya sumber informasi Kimpton-on-Sea yang tiada habis-habisnya.
"Permisi!" ujar James sopan. "Saya rasa teman saya yang bernama Mr. Charles
Lampton punya pondok kamar ganti di pantai ini. Pondok itu diberi nama Mon
Desir, saya kira." Pelaut tua itu sedang duduk santai di kursinya, mengisap pipa tembakau sambil
memandang ke arah laut. Ia menggeser pipanya sedikit, dan menjawab tanpa
mengalihkan pandangannya dari kaki langit.
"Mon Desir adalah kepunyaan Paduka Lord Edward Campion, semua orang tahu itu.
Aku belum pernah mendengar nama Charles Lampton, dia tentunya pendatang baru."
"Terima kasih." kata James sambil mengundurkan diri.
Informasi ini sangat mengejutkannya. Sang Rajah pasti tak mungkin menyelipkan
batu itu ke dalam kantong celana dan melupakannya. James menggeleng, teori ini
tidak memuaskan, tapi sudah jelas salah satu penghuni rumah itulah pencurinya.
Situasi ini mengingatkan James akan beberapa kisah fiksi favoritnya.
Bagaimanapun, tujuannya belum berubah. Segala sesuatu berjalan lancar. Seperti
yang diharapkannya, pantai tampak sepi. Yang lebih menguntungkan lagi, pintu Mon
Desir masih tetap terbuka lebar. Menyelinap masuk hanya butuh waktu sekejap.
James baru saja mengambil celananya sendiri dari pasak, ketika suara di
belakangnya membuatnya berbalik secepat kilat.
"Nah, kena kau, Bung!" kata suara tadi.
James memandang dengan mulut ternganga. Di pintu Mon Desir berdiri seorang
asing: seorang pria berpakaian bagus berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah
tajam bagaikan burung elang.
"Kena kau sekarang!" ulang orang asing itu.
"Siapa... siapa Anda?" James tergagap.
"Detektif Inspektur Merrilees dari Scotland Yard," jawab orang itu tegas. "Dan
silakan menyerahkan batu zamrud itu."
"Batu zamrud?" James berusaha mengulur waktu.
"Itulah yang kukatakan tadi, bukan?" sahut Inspektur Merrilees.
Ucapannya tegas dan praktis. James berusaha menenangkan diri.
"Saya tidak paham maksud Anda," ujarnya dengan gaya yang dianggapnya penuh
gengsi. "Oh, ya, Nak, kurasa kau paham."
"Semuanya ini," ujar James, "adalah kekeliruan. Saya bisa menjelaskannya dengan
mudah..." Ia terhenti.
Wajah pria itu tampak bosan.
"Mereka selalu berkata begitu," gumam petugas Scotland Yard itu jemu. "Kurasa
kau mencurinya saat sedang berjalan-jalan di pantai, kan" Itulah penjelasan yang
benar." James menyadari bahwa kenyataannya memang mirip, tapi ia masih harus mengulur
waktu. "Bagaimana saya bisa tahu Anda benar-benar detektif?" ia bertanya lesu.
Merrilees menyingkapkan jaketnya sesaat, menunjukkan lencananya. James
menatapnya terbelalak. "Dan sekarang," ujar pria itu riang, "kaulihat kesulitan apa yang sedang
kauhadapi! Kau orang baru - bisa kulihat. Ini pengalaman pertamamu, bukan?"
James mengangguk. "Sudah kuduga. Sekarang, Nak, apa kau akan menyerahkan batu zamrud itu, atau
haruskah aku menggeledahmu?"
James menemukan kembali suaranya.
"Saya... saya tidak membawanya," katanya.
Ia memutar otak. "Apa kau meninggalkannya di penginapan?" tanya Merrilees.
James mengangguk. "Baiklah kalau begitu," ujar sang detektif, "kita akan ke sana bersama-sama."
Ia menyelipkan lengannya di bawah lengan James.
"Aku tidak mau mengambil risiko kau kabur dariku," katanya lembut. "Kita akan
pergi ke penginapanmu, dan kau harus menyerahkan batu itu padaku."
James berkata ragu, "Bila saya melakukannya, apa Anda akan melepaskan saya?"
Merrilees tampak malu. "Kami tahu bagaimana batu itu dicuri," jelasnya, "dan tentang wanita yang
terlibat, dan tentu saja, sejauh ini sang Rajah ingin hal ini dirahasiakan. Anda
tahu tentang para penguasa pribumi?"
James, yang tidak tahu apa-apa tentang penguasa pribumi, kecuali seorang cause
c?l?bre, mengangguk seakan mengerti sepenuhnya.
"Tentu saja ini tidak biasa," kata sang detektif, "tapi kau mungkin akan
dibebaskan tanpa hukuman."
Lagi-lagi James mengangguk. Mereka sudah berjalan sepanjang Esplanade, dan
sekarang melangkah menuju kota. James menunjukkan arahnya, tapi pria itu tidak
mengendurkan cengkeramannya di lengan James.
Tiba-tiba James terhenti dan bergumam. Merrilees mendongak ke atas, lalu
tertawa. Mereka baru saja melintasi kantor polisi, dan ia melihat lirikan cemas
James ke arah tempat itu.
"Aku akan memberimu kesempatan dahulu," ujarnya riang.
Saat itulah terjadi sesuatu. James berteriak keras-keras. Sambil mencekal lengan
pria itu, ia berteriak sekuat tenaga,
"Tolong! Maling! Tolong! Maling!"
Dalam waktu kurang dari semenit, orang-orang berkerumun di sekeliling mereka.
Merrilees berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman James.
"Aku akan menuntut orang ini!" seru James. "Aku akan menuntut orang ini, dia
mencopetku." "Kau ini bicara apa, tolol?" seru pria itu.
Seorang polisi mengambil alih situasi. Mr. Merrilees dan James digiring ke dalam
kantor polisi. James mengulangi pengaduannya.
"Orang ini baru saja mencopet saya," ujarnya penuh emosi. "Dia menyembunyikan
dompet saya di saku kanannya, di situ!"
"Orang muda ini gila," gerutu pria itu. "Anda bisa memeriksa sendiri, Inspektur,
dan lihatlah apa dia berkata benar."
Atas isyarat sang inspektur, polisi tadi menyelipkan tangan dengan sikap hormat
ke dalam saku Merrilees. Ia mengeluarkan sesuatu dan ternganga keheranan.
"Ya Tuhan!" seru sang inspektur, lupa akan sikap profesionalnya. "Itu pasti batu
zamrud milik Rajah."
Merrilees tampak lebih terperangah daripada yang lain.
"Ini mengerikan," ia tergagap, "mengerikan. Orang ini pasti telah memasukkannya
ke dalam saku saya sementara kami berjalan bersama. Ini perangkap."
Kepribadian Merrilees yang penuh semangat membuat inspektur itu agak ragu.
Kecurigaannya beralih ke James. Ia membisikkan sesuatu pada polisi tadi, yang
lalu pergi keluar. "Baiklah, Tuan-tuan," ujar inspektur itu, "izinkan saya mendengar penjelasan
Anda, satu per satu."
"Tentu saja," ujar James. "Saya sedang berjalan-jalan di pantai ketika berjumpa
dengan tuan ini, dan dia berpura-pura mengenal saya. Saya tidak ingat pernah
bertemu dengannya, tapi saya terlalu sopan untuk mengatakannya. Kami lalu
berjalan bersama-sama. Saya merasa curiga padanya, dan tepat ketika kami
melintas di depan kantor polisi, tangannya sudah berada di dalam saku saya. Saya
langsung mencekalnya dan berteriak minta tolong."
Inspektur itu mengalihkan pandangannya pada Merrilees.
"Sekarang giliran Anda, Sir."
Merrilees tampak agak malu.
"Kisah itu nyaris betul," ujarnya perlahan, "tapi tidak sepenuhnya benar. Bukan
saya, tapi dialah yang berpura-pura kenal. Tak diragukan lagi, dia sedang
berusaha mengenyahkan batu zamrud itu, dan menyelipkannya ke dalam saku saya
saat kami berbincang-bincang."
Inspektur itu berhenti menulis.
"Ah!" katanya tanpa memihak. "Nah, sebentar lagi akan tiba seorang tuan yang
akan membantu kita membereskan masalah ini."
Merrilees mengerutkan dahi.
"Saya tidak mungkin menunggu," gumamnya sambil mengeluarkan arlojinya. "Saya
sudah ada janji. Inspektur, Anda tentunya tidak sekonyol itu, mengira saya
mencuri batu zamrud dan berjalan-jalan sambil mengantonginya?"
"Saya setuju itu tidak mungkin, Sir," jawab sang inspektur. "Tapi Anda terpaksa
menunggu lima atau sepuluh menit sampai kita membereskan persoalan ini. Ah!
Paduka sudah tiba." Seorang pria jangkung melangkah masuk ruangan. Ia mengenakan celana panjang
lusuh dan sweater lama. "Baik, Inspektur, ada apa ini?" ujarnya. "Anda berkata batu zamrud itu sudah
ditemukan" Itu hebat, kerja yang sangat bagus. Siapa orang-orang yang bersama
Anda ini?" Matanya memandang James, dan berhenti saat melihat Merrilees. Kepribadian laki-
laki yang tadi penuh semangat itu sepertinya merosot dan menyusut.
"Wah - Jones!" seru Lord Edward Campion.
"Anda mengenal orang ini, Lord Edward?" tanya inspektur itu tajam.
"Tentu saja," jawab Lord Edward dingin. "Dia pelayanku, datang kepadaku sebulan
yang lalu. Orang yang diutus dari London langsung memeriksanya, tapi jejak batu
zamrud itu tidak ditemukan di antara barang-barangnya."
"Dia membawa batu itu di dalam saku jaketnya," sahut inspektur itu. "Tuan inilah
yang mempertemukan kami dengannya." Ia menunjuk James.
Saat berikutnya, James diberi ucapan selamat dan jabat tangan hangat.
"Anak muda yang baik," ujar Lord Edward Campion. "Jadi, Anda sudah mencurigainya
sejak awal, kata Anda?"
"Ya," jawab James. "Saya terpaksa mengarang cerita tentang kecopetan, agar bisa
membawanya ke kantor polisi."
"Nah, itu hebat sekali," kata Lord Edward, "amat sangat hebat. Anda harus ikut
dan makan siang bersama kami, itu kalau Anda belum makan siang. Aku tahu ini
sudah siang, hampir jam dua."
"Tidak," ujar James, "saya belum makan siang - tapi..."
"Cukup, cukup," ujar Lord Edward. "Rajah pasti ingin menyampaikan terima kasih
pada Anda karena mendapatkan kembali batu zamrud itu baginya. Meski aku belum
memahami cerita sesungguhnya."
Sementara itu mereka sudah berada di luar kantor polisi, berdiri di anak tangga.
"Sebenarnya," kata James, "saya ingin menyampaikan kejadian sesungguhnya."
Dan ia menceritakannya. Paduka sangat senang mendengarnya.
"Kisah paling bagus yang pernah kudengar seumur hidupku," ujarnya. "Sekarang
jelaslah bagiku. Jones tentunya bergegas ke kamar ganti begitu dia berhasil
mencuri batu itu, karena tahu polisi pasti akan menggeledah rumah dengan cermat.
Celana tua yang terkadang kupakai saat memancing tak mungkin disentuh siapa pun,
dan dia bisa mengambil kembali permata itu dengan santai. Dia tentunya terkaget-
kaget saat kembali dan mendapati batu itu sudah lenyap. Begitu Anda muncul, dia
menyadari Anda-lah yang telah memindahkan batu itu. Tapi aku masih belum
mengerti, bagaimana Anda berhasil membuka kedok detektifnya itu."
"Pria perkasa," pikir James diam-diam, "tahu kapan harus terus terang dan kapan
harus bijaksana." Ia tersenyum mencemooh, sementara jari-jarinya meraba bagian dalam kelepak jaket
dan membelai lencana perak kecil Merton Park Super Cycling Club, perkumpulan
penggemar sepeda yang tidak terkenal itu. Benar-benar kebetulan yang
mengherankan bila laki-laki bernama Jones itu juga salah satu anggotanya, tapi
memang itulah kenyataannya!
"Halo, James!" Ia menoleh. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu memanggilnya dari seberang jalan.
Ia menoleh pada Lord Edward.
"Permisi sebentar."
Ia menyeberangi jalan, menemui mereka.
"Kami mau pergi menonton bioskop," kata Grace. "Mungkin kau mau ikut?"
"Maaf," ujar James. "Aku akan makan siang bersama Lord Edward Campion. Ya, pria
di sana yang mengenakan pakaian tua yang nyaman itu. Dia ingin aku bertemu Rajah
dari Maraputna." Ia mengangkat topinya dengan sopan, lalu bergabung kembali dengan Lord Edward.
NYANYIAN TERAKHIR I SUATU pagi di bulan Mei, pukul sebelas di London. Mr. Cowan sedang memandang ke
luar jendela, di belakangnya tampak semarak ruang duduk kamar suite Ritz Hotel.
Kamar ini telah dipesan untuk Madame Paula Nazarkoff, bintang opera terkenal
itu, yang baru tiba di London. Mr. Cowan, manajer bisnis Madame, sedang menunggu
bertemu dengannya. Ia langsung menoleh begitu pintu terbuka, tapi ternyata yang
masuk itu Miss Read, sekretaris Madame Nazarkoff, gadis pucat dengan sikap
efisien. "Oh, ternyata kau," ujar Mr. Cowan. "Madame belum bangun?"
Miss Read menggeleng. "Dia memintaku datang sekitar jam sepuluh," kata Mr. Cowan. "Aku sudah menunggu
satu jam." Ia tidak menampakkan rasa kesal maupun heran. Mr. Cowan sudah terbiasa dengan
tingkah laku aneh dan temperamen seniman. Ia pria jangkung dengan wajah dicukur
bersih, sosoknya agak terlalu perlente, dan pakaiannya sedikit terlalu sempurna.
Rambutnya hitam legam dan mengilat, giginya sangat putih berkilau. Saat bicara,
ia mengucapkan huruf "s" agak cadel. Tidak perlu imajinasi berlebihan untuk
menyadari bahwa nama ayahnya mungkin Cohen. Saat itu pintu di seberang ruangan
terbuka, dan seorang gadis Prancis yang ramping bergegas melintasi ruangan.
"Madame sudah bangun?" tanya Cowan penuh harap. "Katakan pada kami, Elise."
Elise langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Pagi ini Madame uring-uringan, tak ada yang menyenangkan hatinya! Katanya
mawar-mawar kuning cantik yang dikirimkan Monsieur semalam memang bagus sekali
untuk di New York, tapi sungguh imbecile untuk mengirimkannya di London. Menurut
Madame, di London hanya mawar merahlah yang pantas, dan dia langsung membuka
pintu, membuang mawar-mawar kuning itu ke lorong hingga menimpa seorang tuan,
tr?s comme il faut, saya rasa seorang perwira militer, dan tuan ini tentu saja
marah!" Cowan mengangkat alis, tapi tidak menampakkan tanda-tanda emosi lainnya. Ia lalu
mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya dan menulis kata-kata "mawar merah"
di dalamnya. Elise bergegas keluar lewat pintu lain, dan Cowan kembali menghadap jendela.
Vera Read duduk di meja, mulai membuka surat-surat serta memilah-milahnya.
Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, dan tiba-tiba pintu kamar tidur
terpentang. Paula Nazarkoff melangkah masuk ke ruangan itu. Kehadirannya
langsung membuat ruangan itu tampak lebih sempit dan Vera Read tampak lebih
pucat, sedangkan Cowan jadi sekadar seperti sosok di latar belakang.
"Ah ha! Anak-anakku," ujar sang primadona, "bukankah aku tepat waktu?"
Wanita ini bertubuh tinggi besar, dan untuk ukuran penyanyi, ia tidak terlalu
gemuk. Lengan dan kakinya masih cukup langsing, sedangkan lehernya tegak
bagaikan tiang yang indah. Rambutnya yang disanggul berupa gelungan memanjang
sampai ke tengkuk, berwarna merah tua. Warna ini antara lain disebabkan oleh
henna. Ia tidak muda lagi, usianya paling tidak empat puluh tahun, namun raut
wajahnya masih tampak cantik, meskipun kulit di seputar mata hitamnya yang
berkilat itu sudah agak kendur dan keriput. Ia memiliki gelak tawa anak kecil,
pencernaan burung unta, dan temperamen iblis. Selain itu, ia diakui sebagai
penyanyi soprano dramatis terbesar di zamannya. Ia berpaling ke Cowan.
"Sudah kaulakukan instruksiku" Apa kau sudah menyingkirkan piano Inggris jelek
itu dan membuangnya ke Sungai Thames?"
"Saya sudah mendapatkan yang lain untuk Anda," ujar Cowan sambil menunjuk ke
arah piano yang tegak di sudut.
Nazarkoff bergegas menghampiri, lalu membuka tutupnya.
"Piano Erard," katanya, "itu lebih bagus. Sekarang mari kita coba."
Suara soprano yang merdu itu mengalunkan nada yang bergantian cepat, kemudian
dua kali naik-turun oktaf dengan ringan, melambung mencapai nada tinggi,
bertahan di situ dengan volume semakin keras, lalu melembut kembali sampai
lenyap. "Ah!" kata Paula Nazarkoff, puas dan lugu. "Alangkah merdunya suaraku! Bahkan di
London pun suaraku tetap merdu."
"Betul," Cowan mengiyakan sambil memberikan ucapan selamat dengan hangat.
"Berani bertaruh London akan tergila-gila pada Anda, sama seperti New York."
"Kaupikir begitu?" tanya sang penyanyi.
Senyuman tipis membayang di bibirnya, dan sangat jelas bahwa pertanyaan tadi
sekadar basa-basi lumrah belaka.
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tentu," jawab Cowan.
Paula Nazarkoff menutup piano itu kembali, lalu berjalan menuju meja dengan
langkah-langkah lambat bergelombang yang terbukti efektif di atas panggung.
"Well, well," ujarnya, "sekarang mari kita bekerja. Kau sudah mengatur semuanya,
Kawan?" Cowan mengeluarkan beberapa surat dari map yang tadi diletakkan di atas kursi.
"Tidak banyak perubahan," komentarnya. "Anda akan menyanyi lima kali di Covent
Garden, membawakan Tosca liga kali, dan Aida dua kali."
"Aida! Bah," keluh sang primadona, "membosankan sekali. Tosca, itu baru beda."
"Ah, ya," sahut Cowan. "Tosca memang keahlian Anda."
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
"Akulah penyanyi Tosca terbesar di seluruh dunia," ujarnya tenang.
"Betul sekali," Cowan mengiyakan. "Tak seorang pun mampu menandingi Anda."
"Kurasa Roscari akan menyanyikan 'Scarpia'?"
Cowan mengangguk. "Dan Emile Lippi."
"Apa"!" jerit Nazarkoff. "Lippi, si katak kerdil menggonggong itu, kung - kung -
kung. Aku takkan menyanyi dengannya, aku akan menggigitnya, aku akan mencakar
wajahnya." "Sudah, sudah," ujar Cowan menenangkan.
"Dengar kataku, dia bukan menyanyi, dia anjing kampung yang menggonggong."
"Hm, kita lihat nanti, kita lihat nanti," kata Cowan.
Ia terlalu bijak untuk berdebat dengan penyanyi temperamental.
"Bagaimana dengan Cavaradossi?" bentak Nazarkoff.
"Hensdale, penyanyi tenor Amerika itu yang akan membawakannya."
Nazarkoff mengangguk. "Dia pemuda yang baik, suaranya merdu."
"Dan saya percaya Barr?re akan menyanyikannya satu kali."
"Dia seniman," puji Madame. "Tapi membiarkan si kodok Lippi itu memerankan
Scarpia! Bah - aku takkan menyanyi bersamanya."
"Serahkan saja pada saya," ujar Cowan menghibur.
Ia berdeham, lalu mengeluarkan setumpuk kertas lain.
"Saya sedang mengatur konser istimewa di Albert Hall."
Nazarkoff menyeringai. "Saya tahu, saya tahu," ujar Cowan, "tapi semua orang melakukannya."
"Aku akan menyanyi dengan bagus," ujar Nazarkoff, "gedung itu akan penuh sesak
sampai ke langit-langit, dan aku akan mendapatkan banyak uang. Ecco!"
Lagi-lagi Cowan mengambil surat-surat.
"Berikut ini ada usul yang agak berbeda," katanya, "dari Lady Rustonbury. Dia
ingin Anda datang untuk menyanyi."
"Rustonbury?" Sang primadona mengerutkan kening, seakan berusaha mengingat sesuatu.
"Aku pernah mendengar nama itu - baru saja. Itu nama kota - atau desa, kan?"
"Betul, desa kecil yang permai di Hertfordshire. Mengenai kediaman Lord
Rustonbury sendiri, yaitu Rustonbury Castle, tempat ini bergaya anggun, antik,
dan feodal, lengkap dengan hantu-hantu, potret-potret keluarga, tangga-tangga
rahasia, dan teater pribadi bermutu tinggi. Mereka kaya-raya, dan selalu
mengadakan pertunjukan pribadi. Dia menyarankan kita membawakan opera lengkap,
kalau bisa Butterfly."
"Butterfly?" Cowan mengangguk. "Dan mereka bersedia membayar. Kita tentu saja harus menyelesaikan pertunjukan
di Covent Garden dulu, tapi sesudah itu pun secara finansial usul itu sangat
memadai. Hampir bisa dipastikan akan ada bonusnya juga. Ini akan menjadi iklan
yang sangat bermutu."
Madame mengangkat dagunya yang masih indah itu.
"Memangnya aku masih membutuhkan iklan?" sergahnya bangga.
"Kalau ada kesempatan, mengapa tidak?" ujar Cowan tanpa malu.
"Rustonbury," gumam penyanyi itu, "di mana aku pernah membacanya...?"
Mendadak ia melompat berdiri, dan sambil berlari ke meja tengah, ia mulai
membalik-balik halaman koran yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba tangannya
terhenti dan melayang di atas salah satu halaman. Setelah itu ia menjatuhkan
koran itu ke lantai dan melangkah perlahan kembali ke tempat duduknya. Suasana
hatinya cepat berubah, dan sekarang kepribadiannya tampak sangat berbeda.
Sikapnya sangat tenang, nyaris sederhana.
"Atur semuanya untuk Rustonbury, aku mau menyanyi di situ, tapi dengan satu
syarat - operanya harus Tosca."
Cowan tampak ragu. "Itu takkan mudah - untuk pertunjukan pribadi, Anda tahu bukan, dekor pemandangan
dan sebagainya." "Tosca atau tidak sama sekali."
Cowan memerhatikannya dengan cermat. Apa yang dilihatnya seakan meyakinkan
dirinya. Ia mengangguk singkat, lalu bangkit berdiri.
"Akan saya coba," ujarnya tenang.
Nazarkoff juga bangkit berdiri. Ia tampak lebih bersemangat daripada biasanya
untuk menjelaskan keputusannya.
"Ini peranku yang terbesar, Cowan. Aku mampu membawakan bagian itu lebih baik
daripada perempuan mana pun."
"Itu memang bagian yang indah," ujar Cowan. "Tahun lalu Jeritza mendapat
sambutan meriah saat membawakannya."
"Jeritza!" pekik Nazarkoff dengan wajah memerah. Dengan panjang-lebar ia
memuntahkan pendapatnya tentang Jeritza.
Cowan, yang sudah terbiasa mendengar pendapat para penyanyi tentang penyanyi
lain, mengalihkan perhatiannya sampai semburan itu reda. Setelah itu ia berkata
dengan nekat, "Bagaimanapun, dia menyanyikan Vissi D'arte sambil berbaring tertelungkup."
"Mengapa tidak?" bentak Nazarkoff. "Apa susahnya" Aku akan menyanyikannya sambil
berbaring telentang dengan menendang-nendangkan kedua kakiku ke atas."
Cowan menggeleng serius. "Saya tidak percaya gaya itu akan mengalahkan siapa pun," komentarnya. "Namun,
hal seperti itu memang menantang."
"Tak seorang pun mampu menyanyikan Vissi D'Arte sehebat aku," kata Nazarkoff
yakin. "Aku membawakannya dengan suara biara - seperti diajarkan para biarawati
bertahun-tahun lalu. Dengan suara bening bocah paduan suara laki-laki atau
malaikat, tanpa perasaan, tanpa gairah."
"Saya tahu," sahut Cowan riang. "Saya sudah mendengarnya, Anda memang hebat
sekali." "Itu yang namanya seni," kata sang primadona, "membayar harganya, menderita,
bertahan, dan akhirnya bukan saja menguasai ilmunya, tapi juga kemampuan untuk
mundur ke awal, dan menangkap kembali keindahan hati anak kecil yang sudah
terhilang." Cowan menatapnya heran. Nazarkoff menatap kosong dengan janggal, dan ada sesuatu
dalam pandangan itu yang membuat Cowan merinding. Bibir Nazarkoff terbuka
sedikit, dan ia membisikkan beberapa kata dengan lirih. Cowan nyaris tak mampu
mendengarnya. "Akhirnya," gumam wanita itu. "Akhirnya - setelah sekian tahun."
II Lady Rustonbury wanita yang ambisius sekaligus artistik. Ia menggabungkan kedua
hal itu dengan sangat sukses. Ia beruntung memiliki suami yang tidak peduli pada
ambisi maupun seni, dan karenanya tidak merintanginya dalam bentuk apa pun. Earl
Rustonbury pria bertubuh besar dan kekar yang hanya tertarik pada kuda. Ia
mengagumi istrinya dan bangga terhadapnya, dan senang kekayaannya yang luar
biasa itu bisa memuaskan semua rencana istrinya. Teater pribadi itu dibangun
kurang dari seabad yang lalu oleh kakeknya. Ini merupakan mainan utama Lady
Rustonbury - ia sudah menyelenggarakan drama Ibsen di situ, dan sandiwara sekolah
yang baru, mengenai perceraian dan obat-obat terlarang, selain fantasi puitis
dengan dekor abstrak. Pagelaran Tosca mendatang telah menggugah minat luas. Lady
Rustonbury akan mengadakan pesta rumah bagi kalangan yang sangat ternama, dan
para undangan dari London akan datang dengan mobil masing-masing untuk
menghadirinya. Madame Nazarkoff beserta rombongan tiba tepat sebelum acara makan siang.
Hensdale, penyanyi tenor muda dari Amerika, akan menyanyikan Cavaradossi,
sedangkan Roscari, penyanyi bariton terkenal dari Itali, akan memerankan
Scarpia. Pengeluaran untuk pertunjukan ini sangat besar, tapi tak ada yang
peduli. Suasana hati Paula Nazarkoff sangat cerah. Sikapnya memikat, ramah
tamah, dan sangat internasional. Cowan heran sekaligus senang, dan berharap
keadaan ini terus bertahan.
Selesai makan siang, rombongan ini beranjak menuju teater, dan memeriksa dekor
serta berbagai hal lainnya. Orkestra akan dipimpin oleh Mr. Samuel Ridge, salah
seorang dirigen paling ternama. Segala sesuatu sepertinya berjalan mulus tanpa
cela, dan anehnya, fakta ini justru membuat khawatir Mr. Cowan. Ia lebih
terbiasa dengan suasana penuh kesibukan, dan suasana tenteram yang tidak biasa
ini mengganggunya. "Semua ini agak terlalu mulus," gumam Mr. Cowan. "Madame bagaikan kucing
kekenyangan. Ini terlalu bagus dan tak mungkin bertahan, sesuatu pasti terjadi."
Boleh jadi karena telah begitu lama berkecimpung di dunia opera, Mr. Cowan telah
mengembangkan indra keenam, dan ramalannya menjadi kenyataan. Malam itu baru
pukul tujuh saat Elise, si pelayan Prancis, berlari menemuinya dengan panik.
"Ah, Mr. Cowan, cepat ikut, saya mohon, cepatlah ikut saya."
"Ada apa?" tanya Cowan cemas. "Madame marah-marah lagi tentang sesuatu -
bertengkar lagi, begitu?"
"Bukan, ini bukan soal Madame, ini soal Signor Roscari. Dia sakit parah, dia
sedang sekarat!" "Sekarat" Yang benar saja."
Cowan bergegas mengikuti pelayan yang mengantarnya ke kamar tidur penyanyi Itali
yang sedang terkapar itu. Pria bertubuh kecil itu berbaring di tempat tidur,
atau tepatnya, kejang-kejang di atasnya, pemandangan yang mungkin akan dianggap
lucu seandainya situasi tidak gawat. Paula Nazarkoff sedang membungkuk di
atasnya; ia menyambut Cowan dengan angkuh.
"Ah! Akhirnya kau datang juga! Roscari yang malang, dia sangat menderita. Dia
pasti telah memakan sesuatu."
"Aku akan mati," erang pria kecil itu. "Sakitnya - sakitnya luar biasa. Aduh!"
Ia kejang lagi, dan sambil menekan perutnya dengan kedua tangan, ia berputar-
putar di atas ranjang. "Kita harus memanggil dokter," kata Cowan.
Paula menangkap tangannya saat ia hendak beranjak ke pintu.
"Dokter sudah dalam perjalanan kemari, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menolong orang malang ini. Itu sudah diatur, tapi Roscari tak mungkin bisa
menyanyi malam ini."
"Aku takkan pernah menyanyi lagi, aku akan mati," erang penyanyi Itali itu.
"Tidak, tidak, Anda takkan mati," ujar Paula. "Ini cuma gangguan pencernaan,
namun Anda tidak mungkin menyanyi malam ini."
"Aku telah diracuni."
"Ya, ini pasti racun ptomaine," ujar Paula. "Tetap tinggal bersamanya, Elise,
sampai dokter tiba."
Penyanyi sopran itu menarik Cowan keluar kamar.
"Apa yang harus kita lakukan?" ia bertanya.
Cowan menggeleng putus asa. Hari sudah terlalu malam untuk menjemput orang lain
dari London untuk menggantikan Roscari. Lady Rustonbury, yang baru saja
diberitahu tentang tamunya yang sakit itu, bergegas sepanjang koridor dan
bergabung dengan mereka. Keprihatinannya yang terbesar, sama seperti Paula
Nazarkoff, adalah kesuksesan Tosca.
"Seandainya ada orang yang bisa menggantikannya," keluh sang primadona.
"Ah!" seru Lady Rustonbury tiba-tiba. "Tentu saja! Br?on."
"Br?on?" "Betul, Edouard Br?on. Anda tahu bukan, penyanyi bariton terkenal dari Prancis
itu. Dia tinggal tak jauh dari sini, ada foto rumahnya yang dimuat di Country
Homes edisi minggu ini. Dialah orang yang paling tepat."
"Ini benar-benar jawaban dari langit," seru Nazarkoff. "Br?on sebagai Scarpia,
aku ingat padanya, ini salah satu peran yang sangat cocok untuknya. Tapi dia
sudah pensiun, bukan?"
"Aku akan menjemputnya," ujar Lady Rustonbury. "Serahkan saja padaku."
Dan mengingat ia wanita yang biasa membuat keputusan, ia langsung berangkat
menjemput sang Hispano Suiza. Sepuluh menit kemudian, rumah peristirahatan
pedesaan M. Edouard Br?on itu diserbu sang countess yang gelisah. Lady
Rustonbury wanita yang penuh tekad kalau sudah memutuskan sesuatu, dan tak pelak
lagi M. Br?on menyadari bahwa tak ada jalan lain kecuali mengalah. Sebagai orang
yang berasal dari kalangan rendahan, ia telah meniti karier sampai ke puncak,
dan bergaul akrab dengan para duke maupun pangeran. Fakta ini selalu memberinya
kepuasan. Namun sejak pensiun dan mengundurkan diri ke tempat kuno Inggris ini,
ia merasa tidak bahagia. Ia kehilangan gaya hidup yang penuh sanjungan dan
aplaus, dan menurut pendapatnya, wilayah Inggris tidak langsung mengenalinya
seperti seharusnya. Karena itu ia sangat tersanjung dan bahagia oleh ajakan Lady
Rustonbury. "Saya akan berusaha sebaik mungkin," ujarnya tersenyum. "Seperti Anda ketahui,
sudah lama saya tidak bernyanyi di depan umum. Saya bahkan tidak punya murid-
murid, kecuali satu-dua orang untuk kesenangan saja. Namun berhubung Signor
Roscari sayang sekali berhalangan..."
"Ini pukulan yang amat keras," sela Lady Rustonbury.
"Tapi sebenarnya dia bukan penyanyi sejati," ujar Br?on.
Akhirnya ia menjelaskan mengapa bisa begitu. Sepertinya tidak ada lagi penyanyi
bariton yang berkelas sejak Edouard Br?on pensiun.
"Madame Nazarkoff akan menyanyikan Tosca," ujar Lady Rustonbury. "Saya yakin
Anda mengenalnya?" "Saya belum pernah bertemu dengannya," ujar Br?on. "Saya pernah satu kali
mendengarnya menyanyi di New York. Seniwati hebat - dia memiliki bakat drama."
Lady Rustonbury merasa lega - orang tidak pernah bisa menduga perangai para
penyanyi ini - mereka memiliki kecemburuan dan antipati yang begitu aneh.
Dua puluh menit kemudian, ia memasuki kembali ruang depan kastilnya sambil
melambaikan tangan penuh kemenangan.
"Sudah kudapat dia," serunya sambil tertawa. "M. Br?on yang baik itu benar-benar
sangat baik, aku takkan pernah melupakannya."
Semua orang berkerumun di sekitar orang Prancis itu, dan baginya, rasa terima
kasih dan penghargaan mereka bagaikan dupa yang membubung. Edouard Br?on,
meskipun sudah hampir berusia enam puluh tahun, masih tampak tampan, tinggi
besar, dan berkulit gelap, dengan kepribadian amat menarik.
"Sebentar," ujar Lady Rustonbury. "Di mana Madame" Oh! Itu dia."
Paula Nazarkoff tidak turut menyambut laki-laki Prancis itu. Ia tetap duduk diam
di kursi kayu ek, di kegelapan dekat perapian. Di dalamnya sudah tentu tak ada
api, sebab malam itu hangat, dan penyanyi sopran itu sedang mengipasi diri
perlahan-lahan dengan kipas daun palem yang besar. Ia tampak begitu menyendiri
dan terpisah, hingga Lady Rustonbury khawatir ia sedang tersinggung.
"M. Br?on." Ia mengajak penyanyi bariton itu menghampiri Paula. "Anda berkata
belum pernah berjumpa dengan Madame Nazarkoff."
Dengan lambaian terakhir yang nyaris gemulai, Paula Nazarkoff meletakkan kipas,
dan mengulurkan tangannya pada orang Prancis itu. Pria itu menyambut tangannya,
lalu membungkuk dalam-dalam, dan sang primadona menghela napas lembut.
"Madame," ujar Br?on, "kita belum pernah menyanyi bersama-sama. Itu akibat umur
saya! Namun Nasib sudah berbaik hati dan datang menyelamatkan saya."
Paula tertawa lembut. "Anda terlalu baik, M. Br?on. Ketika saya baru jadi penyanyi kecil yang tidak
terkenal, saya pernah duduk di bawah kaki Anda. Peran Rigoletto Anda - betapa
berseni, betapa sempurna! Tidak ada yang bisa menyamai Anda."
"Aah!" ujar Br?on, pura-pura menghela napas. "Masa jaya saya sudah berakhir.
Scarpia, Rigoletto, Radames, Sharpless, sudah berapa kali saya menyanyikan semua
itu, dan sekarang... tidak lagi!"
"Ya - malam nanti."
"Benar, Madame - saya lupa. Malam nanti."
"Anda sudah sering menyanyi bersama para 'Tosca' lain," ujar Nazarkoff arogan.
"Tapi belum pernah dengan saya!"
Laki-laki Prancis itu membungkuk.
"Ini akan menjadi kehormatan bagi saya," ujarnya lembut. "Ini bagian yang sangat
bagus, Madame." "Bagian yang bukan saja membutuhkan seorang penyanyi, tapi seorang aktris," Lady
Rustonbury menimpali. "Benar," Br?on setuju. "Saya teringat, ketika saya masih muda di Itali, saya
mengunjungi sebuah teater kecil di Milan. Saya hanya mengeluarkan beberapa lira
untuk tempat duduk saya, tapi malam itu saya mendengar nyanyian yang sama
merdunya dengan yang saya dengar di Metropolitan Opera House di New York.
Seorang gadis belia menyanyikan Tosca, dan dia menyanyi bagaikan malaikat. Saya
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takkan pernah melupakan suaranya saat membawakan Vissi D'Arte, sangat bening dan
murni. Namun kekuatan dramatisnya tidak ada."
Nazarkoff mengangguk. "Itu akan terdengar kemudian," ujarnya tenang.
"Betul. Gadis muda ini - namanya Bianca Capelli - saya tertarik dengan kariernya.
Melalui saya, dia memperoleh peluang mendapatkan kontrak-kontrak penting. Tapi
dia bodoh - amat sangat bodoh."
Br?on angkat bahu. "Bodoh bagaimana?"
Yang mengatakan ini adalah Blanche Amery, putri Lady Rustonbury yang berusia dua
puluh empat tahun. Gadis ramping dengan mata biru lebar.
Dengan sopan pria Prancis itu langsung menoleh padanya.
"Aah! Mademoiselle, dia melibatkan diri dengan laki-laki rendahan, seorang
bandit, anggota kelompok Camorra. Dia berurusan dengan polisi, dan dijatuhi
hukuman mati. Gadis itu datang pada saya, memohon agar saya menolong
kekasihnya." Blanche Amery menatap Br?on dengan mata terbelalak.
"Dan Anda melakukannya?" ia bertanya sambil menahan napas.
"Saya, Mademoiselle, apa yang bisa saya lakukan" Saya orang asing di negeri
itu." "Barangkali Anda punya pengaruh?" pancing Nazarkoff dengan suara lirih bergetar.
"Seandainya saya punya, saya ragu apakah saya mau menggunakannya. Laki-laki itu
tidak pantas menerimanya. Saya berbuat sebisanya untuk gadis itu."
Ia tersenyum tipis, dan tiba-tiba gadis Inggris itu sadar bahwa senyuman itu
terasa agak janggal. Saat itu ia merasa kata-katanya tidak cukup mewakili jalan
pikirannya. "Anda berbuat sebisanya," ujar Nazarkoff. "Anda baik sekali, dan gadis itu
tentunya berterima kasih, bukan?"
Pria Prancis itu angkat bahu.
"Laki-laki itu dieksekusi," ucapnya, "dan gadis itu masuk biara. Eh, voil?!
Dunia telah kehilangan seorang penyanyi."
Nazarkoff tertawa kecil. "Kami orang Rusia lebih plin-plan," ujarnya ringan.
Blanche Amery kebetulan sedang memerhatikan Cowan ketika penyanyi sopran itu
berbicara, dan ia melihat pandangan terkejut sesaat. Bibir Cowan setengah
terbuka, kemudian terkatup rapat kembali setelah mendapat tatapan tajam dari
Paula. Kepala pelayan muncul di pintu.
"Makan malam," kata Lady Rustonbury sambil bangkit berdiri. "Orang-orang malang,
saya kasihan pada kalian. Pasti tidak enak karena kalian terpaksa kelaparan
sebelum menyanyi. Tapi sesudah itu akan ada makan malam yang sangat lezat."
"Kami sangat mengharapkannya," ujar Paula Nazarkoff. Ia tertawa lembut. "Sesudah
itu!" III Di dalam teater, babak pertama Tosca baru saja berakhir. Para penonton saling
berbicara. Para bangsawan, memukau dan anggun, menempati tiga kursi beludru di
baris terdepan. Semua orang asyik berbisik dan bergumam. Semua orang merasa
bahwa di bagian pertama, Nazarkoff belum berperan sesuai reputasinya. Sebagian
besar penonton tidak menyadari bahwa justru di sinilah sang penyanyi menunjukkan jiwa seninya. Di babak pertama itu ia menghemat
suara maupun dirinya sendiri. Ia menjadikan La Tosca tokoh yang remeh dan
sembrono, bermain-main dengan cinta, cemburu sekaligus genit dan menggairahkan.
Br?on, meski suaranya sudah melewati masa jayanya, masih mampu memerankan tokoh
yang luar biasa sebagai Scarpia yang sinis. Tak ada sekelumit pun kesan jompo
pada dirinya dalam memainkan perannya. Ia membuat Scarpia tokoh yang tampan dan
nyaris lembut, dengan setitik dendam yang bersembunyi di balik penampilan
luarnya. Dalam bagian terakhir, diiringi alunan organ dan prosesi, saat Scarpia
tenggelam dalam pikirannya, senang dengan rencananya untuk menguasai Tosca,
Br?on memperlihatkan jiwa seni yang luar biasa. Sekarang tirai diangkat memasuki
babak kedua, sebuah adegan di apartemen Scarpia.
Kali ini, waktu Tosca masuk, jiwa seni Nazarkoff tiba-tiba tampak jelas. Inilah
wanita yang dicekam ketakutan dan sedang memainkan perannya dengan kepiawaian
aktris sejati. Sapaannya yang ringan pada Scarpia, sikap santainya, dan jawaban
penuh senyum yang diberikannya pada laki-laki itu! Dalam adegan ini, Paula
Nazarkoff berperan dengan matanya, ia membawa diri dengan ketenangan mutlak,
dengan wajah tersenyum tanpa perasaan. Hanya matanya yang terus mencuri pandang
ke arah Scarpia mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Kisah terus berlanjut
sampai ke adegan penyiksaan, runtuhnya ketenangan Tosca, penyerahan total saat
ia tersungkur di kaki Scarpia, memohon belas kasihan dengan sia-sia. Lord
Leconmere, pakar penilai musik, mengangguk kagum, dan seorang duta besar asing
di sampingnya berbisik, "Malam ini Nazarkoff bahkan melampaui dirinya sendiri. Tak ada wanita lain di
panggung yang mampu memainkan peran habis-habisan seperti dia."
Leconmere mengangguk. Sekarang Scarpia menyebutkan syaratnya, dan dengan ketakutan Tosca berlari ke
jendela. Dari jauh terdengar bunyi genderang, dan dengan lemas Tosca
mengempaskan dirinya ke atas sofa. Scarpia yang sedang berdiri mengawasinya,
menyampaikan bagaimana orang-orangnya mendirikan tiang gantungan - kemudian
hening, dan bunyi genderang kembali terdengar dari kejauhan. Nazarkoff berbaring
telungkup di atas sofa, kepalanya terkulai nyaris menyentuh lantai, tertutup
rambutnya. Kemudian, sangat kontras dengan gairah dan tekanan dua puluh menit
terakhir, suaranya berkumandang, melengking dan jernih, suara bocah paduan suara
atau malaikat, seperti yang tadi dijelaskannya pada Cowan.
"Vissi d'arte, vissi d'arte, no feci mai male ad anima viva.
Con man furtiya quante miserie conobbi, aiutai."
Ini suara seorang anak bingung yang sedang bertanya-tanya. Kemudian ia sekali
lagi berlutut dan memohon, sampai Spoletta masuk. Kehabisan tenaga, Tosca
menyerah, dan Scarpia mengutarakan kata-katanya yang menentukan dan bermakna
ganda. Poletta mengundurkan diri. Kemudian tibalah saat yang dramatis, ketika
Tosca, sambil mengangkat segelas anggur dengan tangan gemetar, melihat pisau di
meja, lalu menyembunyikannya di balik punggungnya.
Br?on berdiri tegak, tampan, pendiam, dan terbakar gairah. "Tosca, finalmente
mia!" Pisau menyambar bagaikan kilat, dan Tosca mendesis penuh dendam,
"Questo e il bacio di Tosca!" ("Seperti inilah Tosca mencium.")
Belum pernah Nazarkoff menunjukkan apresiasi setinggi ini atas adegan pembalasan
dendam Tosca. Bisikan garang terakhir "Muori dannato," yang disusul suara tenang
sekaligus aneh yang berkumandang memenuhi teater,
"Or gli perdono!" ("Sekarang aku mengampuninya!")
Lagu kematian mengalun lembut sementara Tosca memulai upacaranya, meletakkan
sebatang lilin di kedua sisi kepala Scarpia, salib di atas dadanya, menoleh
untuk terakhir kali sebelum lenyap di balik pintu, deru genderang di kejauhan,
dan tirai diturunkan. Kali ini meledaklah antusiasme penonton, tapi hanya sejenak. Seseorang bergegas
keluar dari samping panggung dan berbicara pada Lord Rustonbury. Ia bangkit
berdiri, dan sesudah berunding sejenak, ia menoleh dan memberi isyarat pada Sir
Donald Calthrop, seorang dokter terkenal. Hampir seketika itu juga berita itu
menyebar di antara hadirin. Sesuatu telah terjadi, kecelakaan, dan ada yang
terluka parah. Salah seorang penyanyi muncul di depan tirai dan menjelaskan
bahwa sayang sekali M. Br?on mendapat kecelakaan - jadi operanya tidak bisa
dilanjutkan. Sekali lagi kabar burung itu menyebar, Br?on telah ditikam,
Nazarkoff kehilangan akal sehatnya, ia begitu menjiwai perannya hingga ia benar-
benar menikam pria lawan mainnya. Lord Leconmere, yang sedang berbincang dengan
duta besar, temannya itu, merasa ada yang menyentuh lengannya. Ia menoleh dan
melihat Blanche Amery di sampingnya.
"Ini bukan kecelakaan," ujar gadis itu. "Saya yakin ini bukan kecelakaan.
Tidakkah Anda mendengar, tepat sebelum makan malam, kisah yang diceritakan Br?on
tentang gadis Itali itu" Gadis itu Paula Nazarkoff. Setelah itu dia menyebut-
nyebut tentang dirinya sebagai orang Rusia, dan saya melihat Mr. Cowan terkejut.
Dia mungkin saja menggunakan nama Rusia, tapi Mr. Cowan tahu sebenarnya Madame
Nazarkoff orang Itali."
"Blanche, sayangku," ujar Lord Leconmere.
"Saya yakin itu. Di kamar tidurnya ada koran yang terbuka di halaman yang
menunjukkan M. Br?on di rumah pedesaan Inggris miliknya. Madame Nazarkoff sudah
tahu sebelum dia datang kemari. Saya percaya dia memberikan sesuatu kepada pria
Itali yang malang itu agar dia sakit."
"Tapi mengapa?" seru Lord Leconmere. "Mengapa?"
"Apa Anda tidak memahaminya" Kisah Tosca terulang kembali. Br?on menginginkan
gadis itu di Itali, tapi gadis itu setia pada kekasihnya, dan dia datang pada
Br?on dan memintanya menyelamatkan kekasihnya itu. Br?on berpura-pura
menyanggupi, tapi ternyata dia membiarkan kekasih gadis itu mati. Dan sekarang
saat untuk membalas dendam telah tiba. Tidakkah Anda mendengar cara dia mendesis
'Akulah Tosca'" Dan saya melihat wajah Br?on saat Madame Nazarkoff
mengucapkannya, saat itulah dia tahu - Br?on mengenalinya!"
Di kamar gantinya, Paula Nazarkoff duduk tak bergerak, terbungkus mantel bulu
putih. Terdengar ketukan di pintunya.
"Silakan masuk," kata sang primadona.
Elise masuk. Ia menangis terisak-isak.
"Madame, Madame, pria itu mati! Dan..."
"Ya?" "Madame, bagaimana saya harus mengatakannya" Ada dua polisi di luar. Mereka
ingin bicara pada Anda."
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
"Aku akan pergi menemui mereka," sahutnya tenang.
Ia menanggalkan seuntai kalung mutiara dari lehernya, dan meletakkannya di
tangan gadis Prancis itu.
"Kalung ini untukmu, Elise, kau gadis baik. Di tempat yang akan kutuju, aku
tidak membutuhkannya lagi. Kau mengerti, Elise" Aku takkan pernah menyanyikan
Tosca lagi." Ia berdiri sesaat di pintu, matanya menyapu isi kamar ganti itu, seakan menoleh
ke belakang, menatap kariernya sepanjang tiga puluh tahun terakhir.
Kemudian ia bergumam lirih, mengucapkan baris terakhir sebuah opera lain,
"La commedia e finita!"
Sumber buku: I - Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
Mutiara Hitam 5 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Lembah Tiga Malaikat 19
mengganggu Anda." "Aku tidak bicara padanya," ujar Anthony. "Dialah yang bicara padaku - terkutuklah
dia." Rogers terbatuk. "Saya sangat menyesal atas keperluan itu, Sir," gumamnya.
"Keperluan?" "Hingga terpaksa berpisah dengan harta milik Anda yang kecil-kecil itu, Sir."
"Eh" Oh, ya. Ha, ha!" Ia tertawa getir. "Kurasa mereka sekarang sudah pergi.
Mereka - maksudku teman-temanku itu?"
"Oh, ya, Sir, beberapa saat yang lalu. Saya memasukkan kedua peti itu ke taksi,
dan tuan yang jangkung itu kembali ke atas lagi, setelah itu mereka berdua
berlarian turun dan langsung pergi... Maaf, Sir, apa ada yang salah?"
Sudah sepantasnya Rogers bertanya. Erangan yang diperdengarkan Anthony bisa saja
menimbulkan dugaan macam-macam.
"Semuanya salah, terima kasih, Rogers. Tapi kulihat kau tidak bisa disalahkan.
Tinggalkan aku, aku mau menelepon."
Lima menit kemudian Anthony sudah mencurahkan kisahnya pada Inspektur Driver
yang duduk di hadapannya sambil memegang notes. Inspektur Driver bukan pria
simpatik, dan tidak mirip inspektur betulan, menurut Anthony. Penampilannya
seperti dibuat-buat malah. Lagi-lagi sebuah contoh jitu tentang superioritas
Seni melawan Alam. Anthony sampai di akhir kisahnya. Sang inspektur menutup notesnya.
"Bagaimana?" ujar Anthony harap-harap cemas.
"Jelas sekali," jawab sang inspektur. "Ini pasti geng Patterson. Belakangan ini
mereka banyak beraksi dan sangat cerdik. Laki-laki pirang jangkung, laki-laki
kecil berambut hitam, dan gadis itu."
"Gadis itu?" "Ya, berkulit gelap dan sangat cantik. Biasanya dijadikan umpan."
"Seorang... seorang gadis Spanyol?"
"Dia bisa saja mengaku begitu. Dia lahir di Hampstead."
"Sudah kukatakan itu tempat yang menyegarkan," gumam Anthony.
"Ya, sudah cukup jelas," ujar sang inspektur sambil bangkit berdiri. "Dia
menelepon Anda dan mengarang cerita - dia menebak Anda pasti datang. Kemudian dia
mendatangi Ibu Gibson tua yang mau saja dibayar untuk menyewakan kamarnya
sebagai tempat bertemu - untuk para kekasih. Itu bukan tindakan kriminal. Anda
sudah masuk perangkap, mereka berhasil membawa Anda kemari, dan sementara salah
seorang dari mereka menyuguhkan cerita pada Anda, yang seorang lagi membereskan
barang curian. Mereka pasti geng Patterson - ini ciri khas mereka."
"Dan bagaimana dengan barang-barang saya?" sahut Anthony cemas.
"Kami akan berusaha sedapat mungkin, Sir. Tapi kelompok Patterson ini luar biasa
licin." "Sepertinya begitu," kata Anthony getir.
Inspektur itu beranjak, dan ia baru saja pergi saat bel pintu berdering. Anthony
membuka pintu. Seorang bocah laki-laki berdiri sambil memegang bingkisan.
"Paket untuk Anda, Sir."
Anthony menerimanya dengan heran. Ia tidak sedang menantikan paket apa pun.
Setelah kembali ke ruang duduknya, ia memotong tali pengikatnya.
Isinya ternyata perangkat liqueur yang dibelinya itu!
"Sialan!" umpat Anthony.
Kemudian ia melihat di dasar salah satu gelas ada setangkai mawar artifisial
mungil. Ingatannya kembali ke ruang atas di Kirk Street itu.
"Aku benar-benar menyukai Anda - ya, aku benar-benar menyukai Anda. Apa pun yang
terjadi, Anda akan mengingatnya, bukan?"
Itulah yang dikatakan gadis itu. Apa pun yang terjadi... Apakah maksudnya...
Anthony mengendalikan diri dengan keras.
"Tidak bisa begini," ia menegur diri.
Pandangannya jatuh ke mesin tik, dan ia pun duduk dengan wajah tegas.
MISTERI MENTIMUN KEDUA Wajahnya menerawang kembali. Selendang Seribu Bunga. Apa gerangan yang ditemukan
di lantai di samping mayat itu" Benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh
misteri" Tidak ada, tentu saja, mengingat itu sekadar kisah isapan jempol untuk menyita
perhatiannya, dan pembawa ceritanya telah menggunakan siasat lama dari kisah
Seribu Satu Malam dengan memutus kisah di bagian yang paling memikat. Tapi apa
benar tidak ada benda mengerikan yang bisa mengungkap seluruh misteri"
Bagaimana" Kalau ia mau berpikir keras...
Anthony mencabut lembaran kertas dari mesin tiknya, lalu menukarnya dengan
lembaran lain. Ia mengetik sebuah judul:
MISTERI SELENDANG SPANYOL
Ia mengamatinya beberapa saat dengan diam.
Kemudian ia mulai mengetik dengan cepat....
BOLA EMAS GEORGE DUNDAS berdiri di City of London sambil merenung.
Di sekelilingnya para pekerja dan pencari uang datang dan pergi, mengalir
bagaikan air pasang. Namun George yang berpakaian rapi, dengan celana panjang
tersetrika lurus, tidak memedulikan mereka. Ia sibuk memikirkan apa yang harus
ia lakukan selanjutnya. Ada masalah! Di antara George dan pamannya yang kaya (Ephraim Leadbetter dari
perusahaan Leadbetter and Gilling) telah terjadi pertengkaran. Yang lebih banyak
bicara adalah Mr. Leadbetter. Dari bibirnya tak henti-henti mengalir
kejengkelan, semuanya kebanyakan berupa pengulangan, tapi tampaknya itu tidak
jadi masalah baginya. Menyampaikan sesuatu satu kali saja bukanlah motto Mr.
Leadbetter. Temanya sederhana saja - kebodohan orang muda yang suka bertindak seenaknya,
membolos sehari penuh di pertengahan minggu tanpa meminta izin. Setelah selesai
menyampaikan segala uneg-unegnya dan mengulang berbagai hal sampai dua kali, Mr.
Leadbetter berhenti sesaat untuk menarik napas, lalu bertanya apa maksud George
berbuat demikian. George cuma menjawab bahwa ia ingin tidak masuk sehari. Jelasnya, berlibur.
Mr. Leadbetter bertanya, bagaimana dengan hari Sabtu sore dan Minggu" Belum lagi
hari Pentakosta yang baru lalu, dan August Bank Holiday mendatang"
George menjawab bahwa ia tidak peduli pada hari-hari Sabtu sore, Minggu, atau
Bank Holiday. Ia ingin berlibur pada hari kerja, saat orang bisa mencari tempat
yang tidak ramai dipenuhi separo penduduk London.
Mr. Leadbetter lalu berkata bahwa ia telah berusaha semaksimal mungkin
membimbing putra mendiang kakak perempuannya ini - tak ada yang bisa berkata bahwa
ia belum memberikan kesempatan pada George. Tapi sudah jelas usahanya sia-sia
saja. Untuk selanjutnya, George boleh berlibur pada lima hari kerja ditambah
hari Sabtu dan Minggu, dan berbuat sesukanya dengan hari-hari itu.
"Bola emas kesempatan telah dilemparkan padamu, Nak," ujar Mr. Leadbetter dengan
gaya penyair. "Dan kau telah gagal menangkapnya."
George berkata bahwa menurutnya, justru itulah yang telah dilakukannya. Mr.
Leadbetter menjadi sangat murka, lalu mengusirnya keluar.
Demikianlah kisahnya mengapa George... merenung. Apakah pamannya akan mengalah
atau tidak" Apakah ia diam-diam memendam rasa sayang terhadap George, atau
sekadar rasa tidak suka"
Tepat pada saat itulah terdengar suara - yang sama sekali tak terduga - menyapa,
"Halo!" Sebuah mobil tamasya merah manyala dengan kap superpanjang menepi di sampingnya.
Di belakang kemudi duduklah Mary Montresor, gadis cantik tokoh masyarakat
terkenal. (Deskripsi ini diberikan oleh koran-koran yang memuat fotonya paling
sedikit empat kali sebulan.) Ia tersenyum pada George dengan gaya penuh pengalaman.
"Belum pernah aku melihat orang yang kelihatan begitu kesepian," ujar Mary
Montresor. "Mau menumpang?"
"Mau sekali," ujar George tanpa ragu, lalu masuk dan duduk di samping gadis itu.
Mereka maju perlahan-lahan karena lalu lintas yang padat.
"Aku sudah bosan dengan kota ini," kata Mary Montresor. "Aku kemari untuk
melihat seperti apa tempat ini. Aku akan kembali ke London."
Tanpa maksud memperbaiki pengetahuan geografis gadis itu, George berkata itu ide
yang bagus. Adakalanya mereka maju perlahan-lahan, adakalanya dengan kecepatan
meledak-ledak saat Mary Montresor melihat kesempatan untuk memotong jalan.
Menurut George, gadis itu agak terlalu nekat dalam hal satu ini, tapi orang toh
cuma mati satu kali, pikir George. Bagaimanapun, ia menganggap lebih baik tidak
menggalang percakapan. Ia lebih suka pengemudi cantik ini hanya memerhatikan
tugas mengemudinya. Ternyata gadis itulah yang membuka percakapan kembali, saat mereka menikung
tajam di Hyde Park Corner.
"Bagaimana kalau kau menikah denganku?" ia bertanya santai.
George tersentak, tapi ini bisa saja gara-gara bus besar yang sepertinya membawa
malapetaka. Ia bangga dengan kelincahannya memberikan tanggapan.
"Aku akan senang sekali," sahutnya ringan.
"Nah," kata Mary Montresor, samar-samar. "Mungkin suatu hari nanti."
Mobil mereka kembali berjalan lurus tanpa celaka, dan saat itulah George melihat
poster-poster besar yang baru di stasiun kereta api Hyde Park Corner. Diapit
poster berbunyi SITUASI POLITIK YANG SURAM dan KOLONEL MASUK DOK, terlihat
poster berbunyi GADIS TOKOH MASYARAKAT AKAN MENIKAH DENGAN DUKE, dan satu lagi
berbunyi DUKE DARI EDGEHILL DENGAN MISS MONTRESOR.
"Lalu bagaimana dengan Duke dari Edgehill itu?" tanya George tajam.
"Aku dan Bingo" Kami bertunangan."
"Tapi kalau begitu... ucapanmu tadi..."
"Oh, itu," sahut Mary Montresor. "Begini, aku belum memutuskan dengan siapa aku
akan benar-benar menikah."
"Lalu untuk apa kau bertunangan dengannya?"
"Cuma untuk melihat apa aku bisa. Sepertinya semua orang beranggapan itu akan
sangat sulit terjadi, ternyata sama sekali tidak!"
"Benar-benar nasib sial bagi... mm... Bingo," kata George, mengatasi rasa
jengahnya karena menyebut seorang duke betulan dengan nama julukan.
"Sama sekali tidak," ujar Mary Montresor. "Itu pelajaran bagus bagi Bingo - tapi
aku meragukannya." George menemukan hal lain - lagi-lagi berkat sebuah poster.
"Wah, tentu saja, hari ini di Ascot sedang diselenggarakan acara minum teh.
Seharusnya aku tahu itulah tempat yang akan kautuju hari ini."
Mary Montresor menghela napas.
"Aku ingin berlibur," katanya sayu.
"Wah, sama denganku," sahut George senang. "Dan akibatnya, aku diusir pamanku
supaya mati kelaparan."
"Kalau begitu, seandainya kita jadi menikah," kata Mary, "pendapatanku sebesar
dua puluh ribu setahun akan bermanfaat?"
"Uang itu pasti bisa dibelikan beberapa perangkat rumah tangga," jawab George.
"Omong-omong tentang rumah tangga," ujar Mary, "mari kita tinggal di pedesaan
dan mencari rumah yang kita sukai."
Rencana ini tampak sederhana dan sangat menarik. Mereka melintasi Putney Bridge,
mencapai jalan raya Kingston, dan Mary menginjak pedal gasnya dalam-dalam sambil
mendesah puas. Mereka tiba di daerah pedesaan dalam waktu singkat. Setengah jam
kemudian, Mary menunjuk penuh semangat.
Di lereng bukit di depan mereka tampak rumah yang oleh para agen perumahan
sering digambarkan (namun jarang sesuai kenyataan) sebagai daya tarik "antik".
Cobalah membayangkan keadaan kebanyakan rumah pedesaan, dan Anda akan mendapat
gambaran tentang rumah ini.
Mary menghentikan mobilnya di depan pintu pagar berwarna putih.
"Kita tinggalkan mobil di sini, lalu berjalan ke atas dan melihat rumah itu. Itu
rumah kita!" "Pasti, itu rumah kita," George mengiyakan. "Tapi saat ini kelihatannya sudah
ada penghuninya." Mary mengabaikan para penghuninya dengan kibasan tangan. Berdua mereka melangkah
menyusuri jalan masuk. Dari dekat, rumah itu tampak semakin menarik.
"Kita akan mengintip ke dalam dari semua jendela," ujar Mary.
George keberatan. "Apa menurutmu para penghuninya..."
"Aku tidak akan memedulikan mereka. Itu rumah kita - mereka cuma kebetulan saja
menempatinya. Lagi pula, ini hari yang cerah, dan mereka pasti sedang keluar
menikmatinya. Seandainya ada yang memergoki kita, aku akan berkata... aku akan
berkata... kusangka ini rumah... rumah Mrs. Pardonstenger, dan aku benar-benar
menyesal telah salah sangka."
"Hm, sepertinya alasan yang cukup aman," ujar George.
Mereka melihat ke dalam melalui beberapa jendela. Rumah itu berisi perabotan
indah. Mereka baru saja mengintip ke dalam ruang kerja ketika dari arah belakang
terdengar langkah-langkah kaki di kerikil. Mereka menoleh dan berhadapan dengan
seorang kepala pelayan tulen tanpa cela.
"Oh!" ujar Mary. Ia lalu tersenyum sangat memukau dan berkata, "apakah Mrs.
Pardonstenger ada" Saya tadi melongok ke ruang kerja untuk melihat kalau-kalau
dia ada di situ." "Mrs. Pardonstenger ada di rumah, Madam," sahut sang kepala pelayan. "Silakan
lewat sini." Mereka terpaksa mengikutinya. George sedang menerka-nerka kemungkinan apa yang
ada di balik kejadian ini. Ia menarik kesimpulan bahwa dengan nama
Pardonstenger, kemungkinannya satu di antara dua puluh ribu. Mary berbisik,
"Serahkan padaku. Semuanya pasti beres."
Dengan senang hati George menyerahkan urusan itu padanya. Menurut pendapatnya,
situasi ini membutuhkan siasat perempuan.
Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu. Setelah kepala pelayan itu meninggalkan
ruangan, pintu terbuka kembali dan seorang wanita tinggi besar dengan wajah
kemerah-merahan dan rambut putih bersih masuk dengan penuh harapan.
Mary Montresor beranjak ke arahnya, dan berhenti mendadak seakan tertegun.
"Wah!" serunya. "Ternyata bukan Amy! Luar biasa sekali!"
"Ini memang luar biasa," sahut seseorang dengan bengis.
Seorang laki-laki masuk mengikuti Mrs. Pardonstenger. Pria tambun dengan wajah
mirip anjing buldog dan seringai menakutkan. George belum pernah melihat makhluk
sekasar dan seseram ini. Laki-laki itu menutup pintu dan berdiri di depannya.
"Luar biasa sekali," ulangnya mengejek. "Tapi kurasa kami mengerti permainan
kalian!" Tiba-tiba ia mengeluarkan sepucuk pistol besar. "Angkat tangan! Angkat
tangan, kataku. Geledah mereka, Bella."
Kalau sedang membaca kisah-kisah detektif, George sering bertanya-tanya seperti
apa rasanya digeledah. Sekarang ia tahu. Bella (alias Mrs. P.) merasa puas
karena George maupun Mary tidak menyembunyikan senjata berbahaya.
"Kalian pikir kalian sangat pintar, ya?" ejek pria itu. "Datang kemari begitu
saja dan berpura-pura tidak bersalah. Kali ini kalian keliru - sangat keliru. Aku
bahkan sangat ragu apakah teman-teman dan sanak keluarga kalian akan bisa
berjumpa kalian lagi. Ah! Kau mau coba-coba, ya?" bentaknya saat George
bergerak. "Jangan berani main-main. Aku akan langsung menembakmu."
"Hati-hati, George," bisik Mary gemetar.
"Akan kulakukan," kata George penuh perasaan. "Dengan sangat hati-hati."
"Sekarang, jalan," perintah laki-laki itu. "Buka pintunya, Bella. Dan kalian
berdua, letakkan tangan di atas kepala. Madam dulu - betul begitu. Aku akan
menyusul tepat di belakang kalian. Lewat ruang depan. Naik..."
Mereka menurut. Apa lagi yang bisa mereka lakukan" Mary menaiki tangga dengan
tangan terangkat tinggi-tinggi. George mengikuti. Di belakang mereka menyusul
bajingan tambun itu dengan menodongkan pistolnya.
Mary sampai di ujung anak tangga dan berbelok. Tepat pada saat itulah tanpa
diduga-duga George menyerang dengan tendangan ke belakang. Pria itu terkena
tepat di pinggangnya, dan terjengkang berguling-guling ke bawah tangga. Saat
berikutnya George berbalik dan melompat menuruni tangga, lalu berlutut di atas
dada pria itu. Dengan tangan kanannya ia memungut pistol yang terjatuh saat pria
tadi berguling-guling. Bella menjerit dan mundur teratur melalui pintu. Mary berlarian menuruni tangga
dengan wajah pucat pasi. "George, apa kau membunuhnya?"
Laki-laki itu tergeletak tak bergerak. George membungkuk di atasnya.
"Kurasa tidak," ujarnya menyesal. "Tapi yang jelas, dia pingsan."
"Puji Tuhan." Napas Mary terengah-engah.
"Lumayan juga," ujar George mengagumi diri. "Banyak pelajaran bisa ditarik dari
keledai tua ini. Eh, apa?"
Mary menarik tangannya. "Ayo kita pergi," serunya tegang. "Ayo kita cepat pergi."
"Kalau saja kita punya sesuatu untuk mengikat orang ini," ujar George, sibuk
dengan rencananya sendiri. "Apa kau tidak bisa mencari sepotong tali atau
sejenisnya?" "Tidak, aku tidak bisa," jawab Mary. "Ayolah, kita pergi saja - ayolah - aku takut
sekali."
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak perlu takut," ujar George, berlagak jantan. "Aku ada di sini."
"George, Darling, ayolah - demi aku. Aku tidak mau terlibat. Ayolah kita pergi."
Caranya membisikkan kata-kata "demi aku" menggoyahkan tekad George. Ia
membiarkan dirinya ditarik meninggalkan rumah itu, lalu bergegas melintasi jalan
masuk, menuju mobil yang sudah menunggu. Mary berkata lemah, "Kau saja yang
mengemudi. Rasanya aku tidak mampu." George pun duduk di belakang kemudi.
"Tapi kita harus menyelesaikan persoalan ini," ujar George. "Mana kita tahu,
kejahatan apa yang direncanakan laki-laki seram itu. Kalau kau keberatan, aku
tidak akan menghubungi polisi - tapi aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Aku
pasti mampu menyelidiki mereka."
"Jangan, George, aku tidak mau kau melakukannya."
"Kita mendapatkan petualangan kelas satu seperti ini, dan kau ingin aku mundur
teratur" Jangan harap."
"Tak kuduga kau ternyata haus darah seperti ini," ujar Mary berlinang air mata.
"Aku tidak haus darah. Bukan aku yang memulainya. Bedebah terkutuk itu mengancam
kita seenaknya dengan pistol besar. Omong-omong, mengapa pistol itu tidak
meletus saat aku menendangnya ke bawah?"
George menghentikan mobil dan mengeluarkan senjata itu dari kantong samping
mobil. Setelah memeriksanya, ia bersiul.
"Wah, sialan! Pistol ini tak ada pelurunya. Seandainya aku tahu sejak awal..."
Ia terdiam, sibuk berpikir. "Mary, masalah ini sangat aneh."
"Aku tahu. Itu sebabnya aku memohonmu untuk membiarkannya."
"Takkan pernah," ujar George tegas.
Mary menghela napas dengan pilu.
"Kurasa aku harus mengatakannya padamu," ujar Mary. "Masalahnya, aku sama sekali
tidak tahu bagaimana tanggapanmu nanti."
"Apa maksudmu...?"
"Begini, awalnya seperti ini." Mary diam sejenak. "Kurasa, dewasa ini kaum
wanita harus bersatu - mereka harus bertekad lebih mengenal para pria yang mereka
temui." "Lalu?" ujar George tidak mengerti.
"Penting sekali bagi seorang gadis untuk tahu bagaimana seorang laki-laki akan
bertindak dalam keadaan darurat - apakah dia berkepala dingin, punya keberanian,
kecerdasan" Hal-hal ini nyaris tidak bisa diketahui - sampai sudah terlambat.
Keadaan darurat mungkin saja takkan muncul sampai bertahun-tahun setelah
menikah. Paling-paling yang bisa diketahui tentang seorang pria adalah cara dia
berdansa, dan apakah dia cekatan mencari taksi di tengah hujan."
"Dua-duanya prestasi yang sangat berguna," George menunjukkan.
"Betul, tapi orang ingin merasakan bahwa laki-laki adalah laki-laki."
"Daerah luas membentang, tempat laki-laki adalah laki-laki," George mengutip
ungkapan, setengah melamun.
"Tepat sekali. Tapi di Inggris tidak ada daerah luas membentang. Jadi, orang
harus menciptakan sendiri situasi tiruan. Itulah yang telah kulakukan."
"Apa maksudmu..."
"Itulah maksudku. Rumah tadi kebetulan memang rumahku. Kita datang ke situ
sesuai rencana - bukan secara kebetulan. Dan laki-laki itu - yang hampir terbunuh
olehmu..." "Ya?" "Adalah Rube Wallace - aktor film. Dia petinju bayaran. Laki-laki paling baik dan
lembut. Aku menyewanya. Bella adalah istrinya. Itu sebabnya aku begitu cemas
kalau-kalau kau telah membunuhnya. Tentu saja pistol itu tidak ada pelurunya.
Itu pistol-pistolan properti panggung. Oh, George, apa kau marah sekali?"
"Apakah aku pria pertama yang telah... kauuji?"
"Oh, tidak. Sudah ada - tunggu sebentar - sembilan setengah orang!"
"Siapa laki-laki yang setengahnya?" tanya George ingin tahu.
"Bingo," jawab Mary dingin.
"Adakah di antara mereka yang terpikir untuk menendang seperti keledai?"
"Tidak - tidak ada. Ada beberapa yang mencoba menggertak, dan ada yang langsung
menyerah, tapi mereka semua membiarkan diri digiring ke atas, diikat, dan
disumpal mulutnya. Setelah itu, tentu saja aku berhasil melepaskan diri dari
ikatan - seperti dalam buku - melepaskan ikatan mereka juga, dan kabur - dan menemukan
rumah sudah kosong."
"Dan tak seorang pun terpikir akan siasat keledai atau semacamnya?"
"Tidak." "Kalau begitu," sahut George sangat ramah, "aku memaafkanmu."
"Terima kasih, George," ujar Mary tanpa perlawanan.
"Sesungguhnya," George menambahkan, "satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah:
ke mana kita pergi sekarang" Aku tidak yakin apakah tempatnya Lambeth Palace
atau Doctor's Commons, di mana pun itu."
"Kau ini bicara apa?"
"Tentang surat nikah. Kurasa kita perlu surat nikah khusus. Kau terlalu gemar
bertunangan dengan seseorang, tapi meminta orang lain menikah denganmu."
"Aku tidak memintamu menikah denganku!"
"Kau memintanya. Di Hyde Park Corner. Memang bukan tempat yang akan kupilih
untuk melamar, tapi dalam hal ini setiap orang punya ciri khas masing-masing."
"Sama sekali tidak. Aku cuma bertanya, dengan bercanda, apakah kau berminat
menikah denganku" Aku tidak serius."
"Seandainya aku meminta pendapat pengacara, aku yakin dia akan berkata ungkapan
itu merupakan pinangan murni. Lagi pula, kau tahu kau ingin menikah denganku."
"Tidak." "Bahkan setelah gagal sembilan setengah kali" Bayangkan betapa amannya
perasaanmu bisa menjalani hidup bersama pria yang mampu mengeluarkanmu dari
situasi berbahaya." Mary tampak agak mengendur mendengar argumentasi ini. Tapi dengan tegas ia
berkata, "Aku takkan mau menikah dengan seorang pria, kecuali dia bersedia
berlutut di hadapanku."
George menatapnya. Perempuan ini sangat memesona. Tapi selain bisa menendang,
George masih memiliki perangai lain yang khas keledai. Dengan sikap tidak kalah
tegas ia berkata, "Berlutut di hadapan wanita sungguh merendahkan martabat. Aku takkan
melakukannya." Dengan wajah prihatin yang memikat, Mary berkata, "Sayang sekali."
Mereka kembali ke London. George mengemudi dengan diam dan pantang menyerah.
Wajah Mary terlindung di balik tepi topinya. Saat melintasi Hyde Park Corner, ia
bergumam lembut, "Tidak bisakah kau berlutut di hadapanku?"
Dengan tegas George berkata, "Tidak."
Ia merasa bagaikan Superman. Mary mengagumi sikapnya ini. Tapi sayangnya, George
juga melihat kecenderungan keras kepala dalam diri gadis itu. Mendadak ia
menepi. "Permisi sebentar," ujarnya.
Ia melompat keluar dari mobil, melangkah menuju gerobak dorong berisi buah-
buahan yang baru saja mereka lewati, dan kembali begitu cepat hingga polisi yang
menghampiri mereka untuk menanyakan maksud mereka tidak sempat mencapai mobil.
George melanjutkan perjalanan, lalu melemparkan sebutir apel ke pangkuan Mary.
"Makanlah lebih banyak buah," katanya. "Selain itu, ini juga punya arti
simbolis." "Simbolis?" "Ya. Mula-mula Hawa-lah yang memberikan apel pada Adam. Zaman sekarang Adam-lah
yang memberikannya pada Hawa. Paham?"
"Ya," jawab Mary ragu.
"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya George resmi.
"Ke rumah saja."
George mengarahkan mobil menuju Grosvenor Square. Wajahnya sama sekali tanpa
ekspresi. Ia melompat keluar dan mengitari mobil untuk membantu Mary turun.
Gadis itu meminta sekali lagi.
"George, Darling - tidak bisakah kau" Sekadar menyenangkan hatiku?"
"Takkan pernah," jawab George.
Tiba-tiba terjadilah hal itu. George terpeleset, berusaha mencari keseimbangan,
tapi gagal. Ia sudah berlutut di lumpur tepat di hadapan Mary. Gadis itu memekik
bahagia sambil bertepuk tangan.
"George darling! Sekarang aku mau menikah denganmu. Kau boleh langsung ke
Lambeth Palace dan mengaturnya dengan Uskup Besar Canterbury."
"Aku tidak bermaksud melakukannya," sembur George sengit. "Itu tadi cuma gara-
gara kulit pisang yang dib... saja." Dengan kesal ia mengangkat benda yang telah
menjadi gara-gara tadi. "Tidak mengapa," sahut Mary. "Pokoknya sudah terjadi. Waktu kita bertengkar dan
kau bersikeras aku melamarmu, aku bisa menuntut agar kau berlutut di hadapanku
dulu sebelum aku bersedia menikah denganmu. Dan semua ini terjadi karena kulit
pisang yang diberkati itu! Kau tadi memang hendak berkata kulit pisang yang
diberkati, kan?" "Semacam itulah," ujar George.
*** Pukul setengah enam sore, Mr. Leadbetter diberitahu bahwa keponakannya datang
untuk menemuinya. "Datang untuk meminta maaf," kata Mr. Leadbetter dalam hati. "Aku memang agak
terlalu keras pada anak itu, tapi itu untuk kebaikannya sendiri."
Dan ia memberi perintah agar George dipersilakan masuk.
George masuk dengan langkah-langkah ringan.
"Aku ingin bicara sebentar, Paman," katanya. "Pagi tadi Paman berlaku sangat
tidak adil padaku. Aku ingin tahu apakah ada orang seusiaku yang diusir oleh
sanak keluarganya, tapi antara jam sebelas lewat seperempat dan setengah enam
sore bisa mendapatkan penghasilan sebesar dua puluh ribu pound setahun. Inilah
yang baru kulakukan!"
"Kau pasti sudah gila, Nak."
"Bukan gila, tapi banyak akal! Aku akan menikahi wanita muda tokoh masyarakat
kaya raya yang cantik jelita. Wanita yang rela meninggalkan seorang duke demi
diriku." "Menikahi seorang gadis demi uangnya" Aku tak menyangka kau bisa berbuat
begitu." "Paman memang benar. Aku sendiri takkan pernah berani memintanya seandainya dia
tidak - untung saja - memintaku. Belakangan dia menarik kembali kata-katanya, tapi
aku membuatnya berubah pikiran. Dan tahukah Paman bagaimana semuanya ini
terjadi" Melalui pengeluaran bijaksana sebesar dua pence dan menangkap bola emas
kesempatan." "Mengapa dua pence?" tanya Mr. Leadbetter, tertarik secara finansial.
"Untuk mengambil pisang - dari kereta dorong. Tidak semua orang akan terpikir
menggunakan pisang itu. Di mana aku bisa mendapatkan surat nikah" Di Doctor's
Commons atau Lambeth Palace?"
BATU ZAMRUD SANG RAJAH DENGAN upaya keras James Bond kembali memusatkan perhatian pada buku kuning
kecil di tangannya. Di sampul luarnya terbaca tulisan sederhana namun
menyenangkan, "Anda ingin meningkatkan penghasilan Anda sampai ?300 per tahun?"
Harga buku itu cuma satu shilling. James baru selesai membaca dua halaman yang
memuat alinea-alinea segar berisi tips agar ia menatap atasannya lurus-lurus,
menunjukkan kepribadian dinamis, dan menebarkan kesan efisien. Ia sudah sampai
pada masalah yang lebih pelik. "Ada waktu untuk jujur, ada waktu untuk
bijaksana," demikian menurut buku kuning kecil itu. "Pria perkasa tidak selalu
memuntahkan semua hal yang diketahuinya." James menutup bukunya, mendongak, lalu
menatap lautan biru yang terbentang di depannya. Ia curiga jangan-jangan ia
bukan pria perkasa. Pria perkasa bisa menguasai keadaan, bukan menjadi korban.
Untuk keenam puluh kalinya sepanjang pagi itu, James mengingat-ingat semua
kesalahannya. Ini adalah liburannya. Liburannya" Ha ha! Ia tertawa sinis. Siapa yang
membujuknya datang ke Kimpton-on-Sea, resor pantai terkemuka ini" Grace. Siapa
yang mendorongnya untuk mengeluarkan biaya melebihi kemampuannya" Grace. Ia
bahkan telah menyambut rencana itu dengan semangat. Gadis itu telah berhasil
mengajaknya kemari, dan apa akibatnya" Sementara James tinggal di penginapan
kumuh sekitar dua setengah kilometer dari tepi pantai, Grace yang seharusnya
juga tinggal di tempat serupa (bukan yang sama - tata krama lingkungan James
sangat ketat), telah meninggalkannya dengan terang-terangan, dan tinggal di
tempat yang tidak tanggung-tanggung, yaitu Esplanade Hotel di dekat pantai.
Sepertinya ia punya teman-teman di sana. Teman-teman! Lagi-lagi James tertawa
sinis. Ingatannya melayang kembali merenungi masa pacaran santai dengan Grace
selama tiga tahun terakhir ini. Ketika pertama kali mendapat perhatian khusus
dari James, Grace sangat senang. Itu sebelum ia melambung di lingkungan salon-
salon topi wanita Messrs Bartles di High Street. Di awal masa pacaran mereka,
James-lah yang bersikap angkuh, sekarang boro-boro! Posisi mereka sudah
berbalik. Secara teknis, Grace bisa dikatakan "punya penghasilan bagus". Ini
membuatnya tinggi hati. Ya, tinggi hati luar-dalam. James teringat kembali
sepenggal sajak dari buku kumpulan puisi, yang berbicara tentang "bersyukur pada
langit sambil berpuasa, atas kasih sayang pria yang mulia". Tetapi pada diri
Grace tidak tampak sikap seperti ini. Dengan perut kenyang oleh sarapan
Esplanade Hotel, ia mengabaikan sepenuhnya kasih sayang pria yang mulia. Ia
bahkan menyambut perhatian yang dilimpahkan idiot licik bernama Claud Sopworth,
laki-laki yang diyakini James tak berharga sama sekali.
James membenamkan tumit ke dalam pasir, dan menatap kaki langit dengan geram.
Kimpton-on-Sea. Apa yang telah merasuki dirinya hingga mau datang ke tempat
seperti ini" Ini tempat peristirahatan unggul orang kaya dan ternama, dengan dua
hotel dan beberapa mil pantai dihiasi bungalo-bungalo cantik milik para aktris
terkenal, orang-orang Yahudi kaya, dan para bangsawan Inggris yang menikahi
istri-istri kaya-raya. Ongkos menginap di bungalo terkecil dua puluh lima guinea
seminggu. Bisa dibayangkan berapa uang sewa bungalo yang besar. Tepat di
belakang tempat duduk James berdiri salah satu istana itu. Bangunan ini milik
Lord Edward Campion, olahragawan terkenal itu, dan saat ini mereka yang sedang
menginap di situ adalah tamu-tamu terhormat, termasuk Rajah dari Maraputna yang
sangat kaya. Pagi itu James membaca berita tentang dirinya di koran mingguan
lokal; tentang jumlah kekayaannya di India, istana-istananya, koleksi
perhiasannya yang luar biasa, dengan pemberitaan khusus perihal batu zamrud yang
terkenal dan ramai dibicarakan, berukuran sebesar telur burung merpati. James
yang dibesarkan di kota, tidak begitu tahu soal ukuran telur merpati, tapi ia
sangat terkesan. "Seandainya aku punya batu zamrud seperti itu," ujar James sambil menatap kaki
langit kembali, "akan kutunjukkan pada Grace."
Perasaan itu cuma samar-samar, tapi ucapan tadi membuat James merasa lebih
nyaman. Dari belakang terdengar gelak tawa ceria, dan ketika menoleh ia langsung
berhadapan dengan Grace. Bersamanya terlihat Clara Sopworth, Alice Sopworth,
Dorothy Sopworth dan... aduh! Claud Sopworth. Gadis-gadis itu bergandengan
tangan sambil mengikik. "Wah, kau ini seperti orang asing saja," seru Grace genit.
"Ya," sahut James.
Sebenarnya ia bisa saja menemukan gertakan yang lebih tajam. Orang tidak bisa
menyampaikan kesan kepribadian dinamis hanya dengan menggunakan sepatah kata
"ya". Dengan hati mendidih ia menatap Claud Sopworth. Pakaian pemuda ini nyaris
sama meriahnya dengan pemeran utama pertunjukan musik komedi. Saat itu James
berharap sepenuh hati ada anjing pantai lincah yang menapakkan kaki depannya
yang basah dan penuh pasir ke atas pipa celana flanel Claud yang putih bersih
itu. James sendiri mengenakan celana panjang flanel kelabu tua yang sudah usang.
"Udaranya segaa...aar, bukan?" ujar Clara sambil menarik napas dalam-dalam.
"Membuatmu bersemangat, betul?"
Ia mengikik. "Itu namanya ozon," kata Alice Sopworth. "Khasiatnya sebagus tonikum." Dan ia
juga mengikik. Pikir James, "Aku ingin sekali membenturkan kepala dungu mereka. Apa gunanya
tertawa sepanjang waktu seperti itu" Padahal tidak ada yang lucu."
Claude yang sangat rapi itu bergumam lesu,
"Bagaimana kalau kita mandi-mandi" Atau ini terlalu meletihkan?"
Ide untuk mandi-mandi itu disambut meriah. James ikut bergabung dengan mereka.
Dengan cerdik ia bahkan berhasil menarik Grace agak terpisah dari yang lain.
"Dengar!" keluhnya. "Aku nyaris tidak pernah melihatmu."
"Hm, kan kita sekarang sudah bersama-sama," sahut Grace, "dan kau bisa bergabung
dan makan siang bersama kami di hotel, setidaknya..."
Ia menatap kedua kaki James dengan ragu.
"Ada apa?" bentak James sengit. "Penampilanku kurang pantas bagimu?"
"Sayangku, kau perlu menjaga penampilanmu," kata Grace. "Semua orang di sini
berpenampilan begitu keren. Lihat saja Claud Sopworth!"
"Aku sudah melihatnya," ujar James muram. "Aku belum pernah melihat pria sedungu
dia." Grace berdiri tegak dengan marah.
"Tidak perlu mengkritik teman-temanku, James, itu tidak sopan. Pakaiannya sama
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan semua pria terhormat di hotel."
"Bah!" sembur James. "Tahukah kau apa yang kubaca di Society Snippets waktu itu"
Nah, Duke dari... Duke dari, aku lupa, tapi ada duke yang dinobatkan sebagai
pria berpenampilan terburuk di Inggris!"
"Huh," sahut Grace, "tapi setidaknya dia seorang duke, tahu!"
"Jadi?" bentak James. "Siapa tahu suatu hari nanti aku jadi seorang duke" Paling
tidak, hm... mungkin bukan duke, tapi yang sebanding."
James menepuk buku kuning di sakunya, dan menyebutkan sederetan panjang nama
orang yang mengawali kehidupan dalam situasi lebih parah daripada James Bond.
Grace cuma mengikik. "Jangan konyol, James," ujarnya. "Yang benar saja, masa kau menjadi Earl dari
Kimpton-on-Sea!" James menatapnya dengan rasa marah bercampur putus asa. Udara Kimpton-on-Sea
pasti sudah merasuki kepala Grace.
Pantai pasir Kimpton-on-Sea terbentang panjang. Sejauh dua setengah kilometer
berderet pondok-pondok dan bilik-bilik untuk bertukar pakaian. Rombongan mereka
baru saja berhenti di depan sebaris kamar ganti yang berjumlah enam buah,
masing-masing diberi tanda "Khusus untuk tamu Esplanade Hotel".
"Kita sudah sampai," ujar Grace ceria, "tapi kau tidak bisa masuk bersama kami,
James, kau terpaksa ke tenda-tenda umum di sebelah sana untuk bertukar pakaian.
Kami akan menemuimu di laut. Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa!" kata James, dan ia melangkah menuju arah yang ditunjuk tadi.
Dua belas tenda bobrok berdiri menghadap laut. Seorang pelaut tua menjaga tenda-
tenda itu dengan segulung kertas biru di tangannya. Ia menerima koin yang
diberikan James, menyobek sehelai karcis biru dari gulungan tadi, melemparkan
handuk ke arahnya, lalu mengayunkan jempol ke belakang pundaknya.
"Silakan antre," ujarnya serak.
Saat itulah James tersadar adanya persaingan. Selain dirinya, orang-orang lain
juga berminat masuk ke laut. Selain semua tenda sudah ada orangnya, di luar
setiap tenda sudah menunggu sekelompok orang yang saling memelototi dengan
galak. James bergabung di kelompok yang paling kecil, dan menunggu. Kelepak
tenda terbuka, dan dari dalamnya muncul wanita muda cantik dengan pakaian mandi
minim sambil mengenakan topi mandinya dengan sangat santai. Ia melangkah menuju
bibir pantai, lalu duduk di pasir sambil melamun.
"Percuma saja," kata James dalam hati, lalu bergabung dengan kelompok lain.
Setelah menunggu lima menit, terdengar aktivitas dalam tenda kedua. Setelah
terdorong ke sana kemari, kelepak tenda terbuka lebar dan muncullah empat anak
bersama ayah-ibu mereka. Mengingat ukuran tenda kecil itu, pemandangan ini mirip
permainan sulap. Pada saat yang sama, dua wanita melompat maju dan masing-masing
menyambar kelepak tenda yang sama.
"Saya duluan," ujar wanita muda pertama sedikit terengah.
"Saya yang lebih dulu," balas wanita muda kedua sambil mendelik.
"Anda harus tahu, saya sudah berada di sini sepuluh menit sebelum Anda tiba,"
kata wanita muda pertama dengan cepat.
"Saya sudah berada di sini seperempat jam yang lalu, dan semua orang juga tahu
itu," balas wanita kedua menantang.
"Sudah, sudah," ujar pelaut tua itu sambil mendekat.
Kedua wanita muda itu bicara dengan suara melengking padanya. Setelah mereka
selesai mengadu, pelaut itu mengayunkan jempolnya ke arah wanita kedua, lalu
berkata singkat, "Silakan masuk."
Setelah itu ia beranjak pergi dengan tenang, seakan tidak mendengar protes yang
dilontarkan padanya. Ia tidak tahu dan tidak peduli siapa yang tiba lebih dulu,
tapi keputusannya, seperti tertulis di koran tentang kompetisi, adalah final.
James yang resah menangkap lengan pelaut itu.
"Coba dengar kataku!"
"Ada apa, Mister?"
"Berapa lama lagi aku bisa masuk tenda?"
Dengan acuh tak acuh pelaut tua itu melihat sekilas ke arah kerumunan orang yang
menunggu giliran. "Mungkin sejam, mungkin satu setengah jam, entahlah."
Saat itulah James melihat Grace dan gadis-gadis Sopworth itu berlarian di pasir,
menuju laut. "Sialan!" umpat James dalam hati. "Oh, sialan!"
Ia kembali menyambar lengan pelaut tua itu.
"Apa aku tidak bisa mendapat tenda di tempat lain" Bagaimana dengan salah satu
kamar ganti di sana itu" Kelihatannya semua pondok kosong."
"Pondok-pondok itu," ujar pelaut tua itu dengan sombong, "adalah kamar ganti
PRIBADI." Selesai mengomel, ia melangkah pergi. Dengan hati getir karena merasa tertipu,
James meninggalkan kerumunan orang yang menunggu giliran itu, lalu melangkah
geram menuju pantai. Ini luar biasa! Ini benar-benar luar biasa! Dengan geram ia
memelototi deretan rapi kamar ganti yang dilewatinya. Saat itu juga ia berubah
dari pengikut partai Liberal Independen menjadi Sosialis tulen. Mengapa orang
kaya memiliki kamar-kamar ganti pribadi dan bisa mandi kapan saja mereka mau
tanpa harus menunggu giliran di tengah kerumunan" "Sistem kita," ujar James
samar, "sama sekali salah."
Dari arah laut terdengar jeritan-jeritan genit gadis yang terkena percikan air.
Suara Grace! Dan meningkahi pekikannya, terdengar gelak tawa "Ha ha ha" si tolol
Claud Sopworth. "Sialan!" maki James sambil mengertakkan gigi, hal yang belum pernah dicobanya
dan hanya dibacanya dalam kisah-kisah fiksi.
Ia menghentikan langkah, dan sambil memutar-mutar ranting dengan geram, ia
berdiri membelakangi laut. Dengan kebencian meluap-luap ia menatap Eagle's Nest,
Buena Vista, dan Mon Desir. Sudah menjadi kebiasaan penghuni Kimpton-on-Sea
untuk menandai kamar ganti mereka dengan nama-nama keren. Bagi James, Eagle's
Nest terdengar konyol, dan Buena Vista tidak ada dalam perbendaharaan kata-
katanya. Tapi pengetahuan bahasa Prancis-nya cukup memadai untuk menyadari
keserasian nama ketiga. "Mon Desir," ujar James. "Aku harus mengakuinya."
Ia melihat bahwa sementara pintu-pintu kamar ganti yang lain tertutup rapat,
pintu Mon Desir terbuka lebar. James mengamati pantai, dan menyadari bagian ini
terutama digunakan para ibu dengan keluarga besar, masing-masing sibuk mengurus
anak-anak mereka. Hari baru pukul sepuluh, masih terlampau pagi bagi kaum
bangsawan Kimpton-on-Sea untuk turun kemari dan mandi.
"Menikmati daging burung puyuh dan jamur di tempat tidur, dilayani bujang
berbedak, bah! Takkan ada yang turun kemari sebelum jam dua belas," pikir James.
Ia melihat ke arah laut lagi. Dengan kepatuhan penyanyi opera terlatih, jeritan
melengking Grace berkumandang di udara. Diikuti "Ha ha ha" Claud Sopworth.
"Akan kulakukan," desis James.
Ia mendorong pintu Mon Desir dan masuk ke dalam. Untuk sesaat ia ketakutan
melihat berbagai macam pakaian bergantungan dari pasak, tapi segera tenang
kembali. Pondok itu dibagi menjadi dua. Di sebelah kanan terlihat sweater gadis
berwarna kuning, topi jerami yang sudah penyok, dan sepasang sepatu pantai yang
tergantung di pasak. Di sebelah kiri, celana panjang flanel kelabu yang sudah
tua, sehelai pullover, dan topi pelaut anti air menunjukkan pemisahan ruang
sesuai jenis kelamin. James bergegas ke bagian laki-laki dalam pondok itu, dan
cepat-cepat menanggalkan pakaiannya. Tiga menit kemudian, ia sudah berada di
laut, asyik menyembur dan mendengus dengan sombong, sambil memamerkan beberapa
gaya renang profesional - dengan kepala di bawah air, lengan mengayuh kuat - penuh
gaya. "Oh, di situ kau rupanya!" seru Grace. "Aku khawatir kau tidak bisa segera masuk
ke air, melihat kerumunan orang yang menunggu giliran di sana."
"Begitu?" ujar James.
Dengan setia ia berpikir tentang buku kuningnya. "Adakalanya pria perkasa bisa
bersikap bijaksana." Untuk sementara amarahnya sudah reda. Ia bisa berbicara
dengan ramah namun tegas pada Claud Sopworth, yang sedang mengajarkan gaya
overarm pada Grace. "Bukan, bukan begitu, Bung, kau keliru. Aku akan menunjukkan caranya padanya."
Nada bicaranya begitu yakin, hingga Claud mengundurkan diri dengan tersipu.
Sayangnya, kemenangan ini singkat saja. Suhu perairan Inggris menyebabkan para
perenang tidak tahan berlama-lama di dalamnya. Grace dan gadis-gadis Sopworth
itu sudah menampakkan dagu kebiru-biruan dan gigi gemeletuk kedinginan. Mereka
bergegas menuju pantai, dan James melangkah seorang diri menuju Mon Desir.
Sementara menggosok badannya dengan handuk, lalu mengenakan kemejanya, ia merasa
puas terhadap diri sendiri. Menurutnya, ia telah menunjukkan kepribadian
dinamis. Tiba-tiba ia terpaku, nyaris lumpuh ketakutan. Dari luar terdengar celoteh
beberapa gadis, suara mereka berbeda dengan suara Grace dan teman-temannya.
Sesaat kemudian ia menyadari kenyataan, pemilik Mon Desir yang sesungguhnya
telah tiba. Seandainya James sudah berpakaian lengkap, ia bisa saja menunggu
kedatangan mereka dengan sikap bergengsi, lalu mencoba memberikan penjelasan.
Tapi ia kalang kabut. Jendela-jendela Mon Desir hanya tertutup tirai-tirai hijau
tua. James menahan pintu dengan badannya dan menggenggam tombol pintu sekuat
tenaga. Dari luar, beberapa tangan mencoba memutarnya dengan sia-sia.
"Pintu ini ternyata terkunci," kata seorang gadis. "Sial betul, sekarang kita
harus mengambil kuncinya."
James mendengar langkah-langkah mereka menjauh. Ia menarik napas lega dalam-
dalam. Dengan tergesa ia mengenakan sisa pakaiannya. Dua menit kemudian ia sudah
melangkah sembarangan di pantai, seakan tidak bersalah sedikit pun. Seperempat
jam kemudian, Grace dan gadis-gadis Sopworth itu bergabung dengannya. Sisa pagi
itu mereka lewatkan dengan cukup menyenangkan sambil melempar batu, menulis di
pasir, dan bercanda. Kemudian Claud melirik arlojinya.
"Sudah waktunya makan siang," ujarnya. "Sebaiknya kita pulang."
"Aku lapar sekali," ujar Alice Sopworth.
Gadis-gadis yang lain juga berkata mereka kelaparan.
"Kau mau ikut, James?" tanya Grace.
Tak diragukan lagi, James terlalu mudah tersinggung. Ia memilih untuk merasa
terhina oleh nada bicara Grace.
"Tidak, bila pakaianku tidak cukup baik bagimu," ujarnya getir. "Mungkin,
mengingat kau begitu kritis, sebaiknya aku tidak ikut."
Ini merupakan petunjuk bagi Grace bahwa James menyampaikan protes, tapi udara
laut telah membawa dampak buruk atas dirinya. Ia cuma menjawab,
"Baiklah. Terserah kau saja, kalau begitu, sampai jumpa sore nanti."
James tercengang. "Wah!" katanya sambil menatap kelompok yang berjalan meninggalkannya. "Wah, ya
ampun..." Dengan murung ia melangkah ke kota. Di Kimpton-on-Sea ada dua kafe, keduanya
panas, berisik, dan penuh sesak. Kejadian di tenda-tenda ganti pakaian terulang
kembali, James harus menunggu giliran. Ia terpaksa menunggu lebih lama daripada
giliran sebenarnya, karena seorang wanita tak tahu aturan yang baru saja tiba
menyerobot tempat duduk yang baru saja kosong. Akhirnya ia mendapat tempat juga
di sebuah meja kecil. Tidak jauh dari telinga kirinya, tiga gadis berambut cepak
acak-acakan sedang asyik menirukan opera Itali dengan kacau. Untung saja James
tidak berbakat musik. Dengan lesu ia memerhatikan daftar menu, dengan kedua
tangan di kantong celana.
Pikirnya, "Apa pun yang kupesan pasti akan dijawab 'habis'. Memang begitulah
nasibku." Tangan kanannya yang dibenamkan sampai ke dasar kantong, menyentuh benda yang
tidak dikenalnya. Sepertinya ini sebutir kerikil, batu kerikil bulat yang besar.
"Untuk apa pula aku memasukkan batu ke dalam kantong celanaku?" pikir James.
Ia menggenggam benda itu. Seorang pelayan perempuan menghampirinya.
"Tolong minta ikan goreng dan keripik kentang," kata James.
"Ikan gorengnya habis," gumam si pelayan sambil menerawang ke langit-langit.
"Kalau begitu, saya minta gulai daging sapi," ujar James.
"Gulai daging sapinya habis."
"Apa ada sesuatu di menu sialan ini yang tidak habis?" bentak James.
Pelayan itu tampak sakit hati, dan menunjuk tulisan sup daging domba + kacang
merah dengan jarinya yang pucat. James menerima nasibnya yang tak terelakkan dan
memesan sup daging domba dengan kacang merah. Masih dengan hati mendidih
mengingat cara kafe-kafe menjalankan usaha, ia mengeluarkan tangan dari kantong
celananya, masih juga menggenggam batu itu. Setelah membuka genggamannya, ia
melihat benda di telapak tangannya dengan linglung. Kemudian mendadak semua hal
lain tersingkir dari benaknya, dan ia menatap benda itu dengan mata melotot.
Benda di tangannya itu bukanlah sebutir kerikil, melainkan - ia sangat yakin -
sebutir batu zamrud, batu zamrud hijau yang sangat besar. James menatap dengan
sangat ketakutan. Tidak, ini tak mungkin batu zamrud, ini pasti kaca berwarna
biasa. Mana ada batu zamrud sebesar ini, kecuali... Tulisan di koran menari-nari
di depan mata James, "Rajah dari Maraputna - batu zamrud terkenal sebesar telur
burung merpati." Apakah ini - mungkinkah ini - batu zamrud itu yang saat ini sedang
dipandangnya" Pelayan itu datang kembali membawa pesanan supnya, dan James
mengatupkan jarinya dengan kejang. Badannya panas-dingin. Ia merasa lelah
terjebak dalam dilema serius. Seandainya ini memang batu zamrud - tapi apa memang
demikian" Apa ini mungkin" Ia membuka genggamannya lagi dan mengintip cemas.
James bukan ahli batu-batu berharga, tapi kilau cemerlang permata itu meyakinkan
dirinya bahwa ini batu permata asli. Ia menaruh kedua sikunya di meja dan
mencondongkan badan ke depan, sambil melamun menatap lemak di sup daging
dombanya yang perlahan-lahan membeku. Ia harus mencari pemecahannya. Bila ini
memang batu zamrud milik sang Rajah apa yang akan dilakukannya" Perkataan
"polisi" berkelebat di benaknya. Bila orang menemukan barang berharga, ia harus
membawanya ke kantor polisi. Dengan aksioma inilah ia telah dididik.
Ya, tapi... bagaimana batu zamrud ini bisa berada di kantong celananya" Dengan
putus asa ia memandang kedua kakinya, dan tiba-tiba perasaan takut menyergapnya.
Ia menatap lebih cermat. Celana panjang tua berwarna kelabu ini sangat mirip
dengan celana panjang kelabu lainnya, tapi secara naluriah James merasa ini
bukan celana panjang miliknya. Ia bersandar tertegun saat menyadari kemungkinan
ini. Sekarang ia mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi. Karena terburu-
buru ingin segera keluar dari kamar ganti itu, ia telah salah mengambil celana.
Ia ingat telah menggantung celananya di pasak yang berdampingan dengan celana
yang sudah tergantung di situ. Ya, sejauh ini masalahnya sudah jelas, ia telah
salah mengambil celana. Tapi bagaimana batu zamrud senilai ratusan ribu pound
ini bisa sampai ke situ" Semakin dipikirkan, semakin aneh saja persoalan itu. Ia
tentu saja bisa menjelaskannya pada polisi...
Tak diragukan lagi, masalah ini memang memalukan, amat sangat memalukan. Ia
terpaksa harus menjelaskan bahwa ia telah sengaja masuk ke kamar ganti milik
orang lain. Ini tentu saja bukan pelanggaran serius, tapi tetap saja salah.
"Bisa saya bawakan yang lainnya, Sir?"
Pelayan tadi kembali lagi. Ia menatap sup daging domba yang tak tersentuh itu.
James buru-buru menuang sebagian di piringnya, lalu meminta bon. Setelah
melunasinya, ia keluar. Sementara ia berdiri bimbang di jalan, poster di
seberang jalan menarik perhatiannya. Kota Harchester yang bersebelahan dengan
resor ini memiliki koran sore, dan James menatap sebuah judul berita. Judul
sederhana sekaligus sensasional: BATU ZAMRUD RAJAH DICURI. "Astaga," ujar James
lemas sambil bersandar di tiang. Sambil menenangkan diri, ia mengeluarkan koin
satu penny dan membeli koran. Ia langsung menemukan berita yang dicarinya.
Berita-berita sensasional lokal memang tidak banyak dan jarang terjadi. Judul-
judul utama menghiasi halaman depan. "Pencurian Sensasional di Kediaman Lord
Edward Campion. Pencurian Batu Zamrud Bersejarah yang Terkenal. Kerugian Besar
Rajah dari Maraputna." Fakta-faktanya tidak banyak dan sederhana. Malam
sebelumnya, Lord Edward Campion telah menjamu beberapa teman. Karena ingin
menunjukkan batu itu pada salah seorang tamu wanita, sang Rajah masuk untuk
mengambilnya, dan mendapati batu permata itu sudah raib. Polisi telah dipanggil.
Sejauh ini belum ada petunjuk yang berhasil didapat. James menjatuhkan koran itu
ke lantai. Ia masih belum paham, bagaimana batu zamrud itu bisa berada di
kantong celana flanel tua di kamar ganti, tapi ia semakin menyadari polisi pasti
akan menganggap ceritanya mencurigakan. Jadi, apa yang harus dilakukannya" Di
sinilah dia, berdiri di jalan utama Kimpton-on-Sea dengan harta curian senilai
uang tebusan raja beristirahat nyaman di dalam kantong celananya, sementara
seluruh pasukan polisi distrik sedang sibuk mencari benda curian yang sama. Ada
dua tindakan yang bisa dilakukannya. Tindakan pertama, langsung ke kantor polisi
dan menyampaikan kisahnya - tapi harus diakui, James sangat takut melakukannya.
Tindakan kedua, bagaimanapun, ia harus menyingkirkan batu zamrud itu. Ia
terpikir untuk membungkus permata itu di dalam kotak kecil dan mengirimnya lewat
pos kepada sang Rajah. Ia lalu menggeleng. Ia telah banyak membaca kisah
detektif. Ia tahu cara kerja detektif ulung yang beraksi dengan kaca pembesar
dan semua jenis peralatan canggih lainnya. Setiap detektif tulen akan sibuk
memeriksa paket James, dan dalam setengah jam akan berhasil menemukan profesi,
usia, kebiasaan, dan penampilan pribadi pengirimnya. Sesudah itu hanya
dibutuhkan beberapa jam untuk menelusuri jejaknya.
Tiba-tiba muncul rencana yang sangat sederhana di benak James. Ini jam makan
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siang. Pantai relatif sepi, ia akan kembali ke Mon Desir, menggantung kembali
celana itu di tempat semula, dan mengenakan celananya sendiri. Dengan cepat ia
melangkah menuju pantai. Bagaimanapun, nuraninya mulai berbicara. Batu zamrud itu harus dikembalikan pada
sang Rajah. Mungkin ada baiknya ia melakukan sedikit pekerjaan detektif - tentunya
sesudah ia mendapatkan kembali celananya sendiri dan mengembalikan yang satu.
Guna melaksanakan ide ini, ia mengarahkan langkah-langkahnya menuju pelaut tua
itu, yang dianggapnya sumber informasi Kimpton-on-Sea yang tiada habis-habisnya.
"Permisi!" ujar James sopan. "Saya rasa teman saya yang bernama Mr. Charles
Lampton punya pondok kamar ganti di pantai ini. Pondok itu diberi nama Mon
Desir, saya kira." Pelaut tua itu sedang duduk santai di kursinya, mengisap pipa tembakau sambil
memandang ke arah laut. Ia menggeser pipanya sedikit, dan menjawab tanpa
mengalihkan pandangannya dari kaki langit.
"Mon Desir adalah kepunyaan Paduka Lord Edward Campion, semua orang tahu itu.
Aku belum pernah mendengar nama Charles Lampton, dia tentunya pendatang baru."
"Terima kasih." kata James sambil mengundurkan diri.
Informasi ini sangat mengejutkannya. Sang Rajah pasti tak mungkin menyelipkan
batu itu ke dalam kantong celana dan melupakannya. James menggeleng, teori ini
tidak memuaskan, tapi sudah jelas salah satu penghuni rumah itulah pencurinya.
Situasi ini mengingatkan James akan beberapa kisah fiksi favoritnya.
Bagaimanapun, tujuannya belum berubah. Segala sesuatu berjalan lancar. Seperti
yang diharapkannya, pantai tampak sepi. Yang lebih menguntungkan lagi, pintu Mon
Desir masih tetap terbuka lebar. Menyelinap masuk hanya butuh waktu sekejap.
James baru saja mengambil celananya sendiri dari pasak, ketika suara di
belakangnya membuatnya berbalik secepat kilat.
"Nah, kena kau, Bung!" kata suara tadi.
James memandang dengan mulut ternganga. Di pintu Mon Desir berdiri seorang
asing: seorang pria berpakaian bagus berusia sekitar empat puluhan, dengan wajah
tajam bagaikan burung elang.
"Kena kau sekarang!" ulang orang asing itu.
"Siapa... siapa Anda?" James tergagap.
"Detektif Inspektur Merrilees dari Scotland Yard," jawab orang itu tegas. "Dan
silakan menyerahkan batu zamrud itu."
"Batu zamrud?" James berusaha mengulur waktu.
"Itulah yang kukatakan tadi, bukan?" sahut Inspektur Merrilees.
Ucapannya tegas dan praktis. James berusaha menenangkan diri.
"Saya tidak paham maksud Anda," ujarnya dengan gaya yang dianggapnya penuh
gengsi. "Oh, ya, Nak, kurasa kau paham."
"Semuanya ini," ujar James, "adalah kekeliruan. Saya bisa menjelaskannya dengan
mudah..." Ia terhenti.
Wajah pria itu tampak bosan.
"Mereka selalu berkata begitu," gumam petugas Scotland Yard itu jemu. "Kurasa
kau mencurinya saat sedang berjalan-jalan di pantai, kan" Itulah penjelasan yang
benar." James menyadari bahwa kenyataannya memang mirip, tapi ia masih harus mengulur
waktu. "Bagaimana saya bisa tahu Anda benar-benar detektif?" ia bertanya lesu.
Merrilees menyingkapkan jaketnya sesaat, menunjukkan lencananya. James
menatapnya terbelalak. "Dan sekarang," ujar pria itu riang, "kaulihat kesulitan apa yang sedang
kauhadapi! Kau orang baru - bisa kulihat. Ini pengalaman pertamamu, bukan?"
James mengangguk. "Sudah kuduga. Sekarang, Nak, apa kau akan menyerahkan batu zamrud itu, atau
haruskah aku menggeledahmu?"
James menemukan kembali suaranya.
"Saya... saya tidak membawanya," katanya.
Ia memutar otak. "Apa kau meninggalkannya di penginapan?" tanya Merrilees.
James mengangguk. "Baiklah kalau begitu," ujar sang detektif, "kita akan ke sana bersama-sama."
Ia menyelipkan lengannya di bawah lengan James.
"Aku tidak mau mengambil risiko kau kabur dariku," katanya lembut. "Kita akan
pergi ke penginapanmu, dan kau harus menyerahkan batu itu padaku."
James berkata ragu, "Bila saya melakukannya, apa Anda akan melepaskan saya?"
Merrilees tampak malu. "Kami tahu bagaimana batu itu dicuri," jelasnya, "dan tentang wanita yang
terlibat, dan tentu saja, sejauh ini sang Rajah ingin hal ini dirahasiakan. Anda
tahu tentang para penguasa pribumi?"
James, yang tidak tahu apa-apa tentang penguasa pribumi, kecuali seorang cause
c?l?bre, mengangguk seakan mengerti sepenuhnya.
"Tentu saja ini tidak biasa," kata sang detektif, "tapi kau mungkin akan
dibebaskan tanpa hukuman."
Lagi-lagi James mengangguk. Mereka sudah berjalan sepanjang Esplanade, dan
sekarang melangkah menuju kota. James menunjukkan arahnya, tapi pria itu tidak
mengendurkan cengkeramannya di lengan James.
Tiba-tiba James terhenti dan bergumam. Merrilees mendongak ke atas, lalu
tertawa. Mereka baru saja melintasi kantor polisi, dan ia melihat lirikan cemas
James ke arah tempat itu.
"Aku akan memberimu kesempatan dahulu," ujarnya riang.
Saat itulah terjadi sesuatu. James berteriak keras-keras. Sambil mencekal lengan
pria itu, ia berteriak sekuat tenaga,
"Tolong! Maling! Tolong! Maling!"
Dalam waktu kurang dari semenit, orang-orang berkerumun di sekeliling mereka.
Merrilees berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman James.
"Aku akan menuntut orang ini!" seru James. "Aku akan menuntut orang ini, dia
mencopetku." "Kau ini bicara apa, tolol?" seru pria itu.
Seorang polisi mengambil alih situasi. Mr. Merrilees dan James digiring ke dalam
kantor polisi. James mengulangi pengaduannya.
"Orang ini baru saja mencopet saya," ujarnya penuh emosi. "Dia menyembunyikan
dompet saya di saku kanannya, di situ!"
"Orang muda ini gila," gerutu pria itu. "Anda bisa memeriksa sendiri, Inspektur,
dan lihatlah apa dia berkata benar."
Atas isyarat sang inspektur, polisi tadi menyelipkan tangan dengan sikap hormat
ke dalam saku Merrilees. Ia mengeluarkan sesuatu dan ternganga keheranan.
"Ya Tuhan!" seru sang inspektur, lupa akan sikap profesionalnya. "Itu pasti batu
zamrud milik Rajah."
Merrilees tampak lebih terperangah daripada yang lain.
"Ini mengerikan," ia tergagap, "mengerikan. Orang ini pasti telah memasukkannya
ke dalam saku saya sementara kami berjalan bersama. Ini perangkap."
Kepribadian Merrilees yang penuh semangat membuat inspektur itu agak ragu.
Kecurigaannya beralih ke James. Ia membisikkan sesuatu pada polisi tadi, yang
lalu pergi keluar. "Baiklah, Tuan-tuan," ujar inspektur itu, "izinkan saya mendengar penjelasan
Anda, satu per satu."
"Tentu saja," ujar James. "Saya sedang berjalan-jalan di pantai ketika berjumpa
dengan tuan ini, dan dia berpura-pura mengenal saya. Saya tidak ingat pernah
bertemu dengannya, tapi saya terlalu sopan untuk mengatakannya. Kami lalu
berjalan bersama-sama. Saya merasa curiga padanya, dan tepat ketika kami
melintas di depan kantor polisi, tangannya sudah berada di dalam saku saya. Saya
langsung mencekalnya dan berteriak minta tolong."
Inspektur itu mengalihkan pandangannya pada Merrilees.
"Sekarang giliran Anda, Sir."
Merrilees tampak agak malu.
"Kisah itu nyaris betul," ujarnya perlahan, "tapi tidak sepenuhnya benar. Bukan
saya, tapi dialah yang berpura-pura kenal. Tak diragukan lagi, dia sedang
berusaha mengenyahkan batu zamrud itu, dan menyelipkannya ke dalam saku saya
saat kami berbincang-bincang."
Inspektur itu berhenti menulis.
"Ah!" katanya tanpa memihak. "Nah, sebentar lagi akan tiba seorang tuan yang
akan membantu kita membereskan masalah ini."
Merrilees mengerutkan dahi.
"Saya tidak mungkin menunggu," gumamnya sambil mengeluarkan arlojinya. "Saya
sudah ada janji. Inspektur, Anda tentunya tidak sekonyol itu, mengira saya
mencuri batu zamrud dan berjalan-jalan sambil mengantonginya?"
"Saya setuju itu tidak mungkin, Sir," jawab sang inspektur. "Tapi Anda terpaksa
menunggu lima atau sepuluh menit sampai kita membereskan persoalan ini. Ah!
Paduka sudah tiba." Seorang pria jangkung melangkah masuk ruangan. Ia mengenakan celana panjang
lusuh dan sweater lama. "Baik, Inspektur, ada apa ini?" ujarnya. "Anda berkata batu zamrud itu sudah
ditemukan" Itu hebat, kerja yang sangat bagus. Siapa orang-orang yang bersama
Anda ini?" Matanya memandang James, dan berhenti saat melihat Merrilees. Kepribadian laki-
laki yang tadi penuh semangat itu sepertinya merosot dan menyusut.
"Wah - Jones!" seru Lord Edward Campion.
"Anda mengenal orang ini, Lord Edward?" tanya inspektur itu tajam.
"Tentu saja," jawab Lord Edward dingin. "Dia pelayanku, datang kepadaku sebulan
yang lalu. Orang yang diutus dari London langsung memeriksanya, tapi jejak batu
zamrud itu tidak ditemukan di antara barang-barangnya."
"Dia membawa batu itu di dalam saku jaketnya," sahut inspektur itu. "Tuan inilah
yang mempertemukan kami dengannya." Ia menunjuk James.
Saat berikutnya, James diberi ucapan selamat dan jabat tangan hangat.
"Anak muda yang baik," ujar Lord Edward Campion. "Jadi, Anda sudah mencurigainya
sejak awal, kata Anda?"
"Ya," jawab James. "Saya terpaksa mengarang cerita tentang kecopetan, agar bisa
membawanya ke kantor polisi."
"Nah, itu hebat sekali," kata Lord Edward, "amat sangat hebat. Anda harus ikut
dan makan siang bersama kami, itu kalau Anda belum makan siang. Aku tahu ini
sudah siang, hampir jam dua."
"Tidak," ujar James, "saya belum makan siang - tapi..."
"Cukup, cukup," ujar Lord Edward. "Rajah pasti ingin menyampaikan terima kasih
pada Anda karena mendapatkan kembali batu zamrud itu baginya. Meski aku belum
memahami cerita sesungguhnya."
Sementara itu mereka sudah berada di luar kantor polisi, berdiri di anak tangga.
"Sebenarnya," kata James, "saya ingin menyampaikan kejadian sesungguhnya."
Dan ia menceritakannya. Paduka sangat senang mendengarnya.
"Kisah paling bagus yang pernah kudengar seumur hidupku," ujarnya. "Sekarang
jelaslah bagiku. Jones tentunya bergegas ke kamar ganti begitu dia berhasil
mencuri batu itu, karena tahu polisi pasti akan menggeledah rumah dengan cermat.
Celana tua yang terkadang kupakai saat memancing tak mungkin disentuh siapa pun,
dan dia bisa mengambil kembali permata itu dengan santai. Dia tentunya terkaget-
kaget saat kembali dan mendapati batu itu sudah lenyap. Begitu Anda muncul, dia
menyadari Anda-lah yang telah memindahkan batu itu. Tapi aku masih belum
mengerti, bagaimana Anda berhasil membuka kedok detektifnya itu."
"Pria perkasa," pikir James diam-diam, "tahu kapan harus terus terang dan kapan
harus bijaksana." Ia tersenyum mencemooh, sementara jari-jarinya meraba bagian dalam kelepak jaket
dan membelai lencana perak kecil Merton Park Super Cycling Club, perkumpulan
penggemar sepeda yang tidak terkenal itu. Benar-benar kebetulan yang
mengherankan bila laki-laki bernama Jones itu juga salah satu anggotanya, tapi
memang itulah kenyataannya!
"Halo, James!" Ia menoleh. Grace dan gadis-gadis Sopworth itu memanggilnya dari seberang jalan.
Ia menoleh pada Lord Edward.
"Permisi sebentar."
Ia menyeberangi jalan, menemui mereka.
"Kami mau pergi menonton bioskop," kata Grace. "Mungkin kau mau ikut?"
"Maaf," ujar James. "Aku akan makan siang bersama Lord Edward Campion. Ya, pria
di sana yang mengenakan pakaian tua yang nyaman itu. Dia ingin aku bertemu Rajah
dari Maraputna." Ia mengangkat topinya dengan sopan, lalu bergabung kembali dengan Lord Edward.
NYANYIAN TERAKHIR I SUATU pagi di bulan Mei, pukul sebelas di London. Mr. Cowan sedang memandang ke
luar jendela, di belakangnya tampak semarak ruang duduk kamar suite Ritz Hotel.
Kamar ini telah dipesan untuk Madame Paula Nazarkoff, bintang opera terkenal
itu, yang baru tiba di London. Mr. Cowan, manajer bisnis Madame, sedang menunggu
bertemu dengannya. Ia langsung menoleh begitu pintu terbuka, tapi ternyata yang
masuk itu Miss Read, sekretaris Madame Nazarkoff, gadis pucat dengan sikap
efisien. "Oh, ternyata kau," ujar Mr. Cowan. "Madame belum bangun?"
Miss Read menggeleng. "Dia memintaku datang sekitar jam sepuluh," kata Mr. Cowan. "Aku sudah menunggu
satu jam." Ia tidak menampakkan rasa kesal maupun heran. Mr. Cowan sudah terbiasa dengan
tingkah laku aneh dan temperamen seniman. Ia pria jangkung dengan wajah dicukur
bersih, sosoknya agak terlalu perlente, dan pakaiannya sedikit terlalu sempurna.
Rambutnya hitam legam dan mengilat, giginya sangat putih berkilau. Saat bicara,
ia mengucapkan huruf "s" agak cadel. Tidak perlu imajinasi berlebihan untuk
menyadari bahwa nama ayahnya mungkin Cohen. Saat itu pintu di seberang ruangan
terbuka, dan seorang gadis Prancis yang ramping bergegas melintasi ruangan.
"Madame sudah bangun?" tanya Cowan penuh harap. "Katakan pada kami, Elise."
Elise langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Pagi ini Madame uring-uringan, tak ada yang menyenangkan hatinya! Katanya
mawar-mawar kuning cantik yang dikirimkan Monsieur semalam memang bagus sekali
untuk di New York, tapi sungguh imbecile untuk mengirimkannya di London. Menurut
Madame, di London hanya mawar merahlah yang pantas, dan dia langsung membuka
pintu, membuang mawar-mawar kuning itu ke lorong hingga menimpa seorang tuan,
tr?s comme il faut, saya rasa seorang perwira militer, dan tuan ini tentu saja
marah!" Cowan mengangkat alis, tapi tidak menampakkan tanda-tanda emosi lainnya. Ia lalu
mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya dan menulis kata-kata "mawar merah"
di dalamnya. Elise bergegas keluar lewat pintu lain, dan Cowan kembali menghadap jendela.
Vera Read duduk di meja, mulai membuka surat-surat serta memilah-milahnya.
Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, dan tiba-tiba pintu kamar tidur
terpentang. Paula Nazarkoff melangkah masuk ke ruangan itu. Kehadirannya
langsung membuat ruangan itu tampak lebih sempit dan Vera Read tampak lebih
pucat, sedangkan Cowan jadi sekadar seperti sosok di latar belakang.
"Ah ha! Anak-anakku," ujar sang primadona, "bukankah aku tepat waktu?"
Wanita ini bertubuh tinggi besar, dan untuk ukuran penyanyi, ia tidak terlalu
gemuk. Lengan dan kakinya masih cukup langsing, sedangkan lehernya tegak
bagaikan tiang yang indah. Rambutnya yang disanggul berupa gelungan memanjang
sampai ke tengkuk, berwarna merah tua. Warna ini antara lain disebabkan oleh
henna. Ia tidak muda lagi, usianya paling tidak empat puluh tahun, namun raut
wajahnya masih tampak cantik, meskipun kulit di seputar mata hitamnya yang
berkilat itu sudah agak kendur dan keriput. Ia memiliki gelak tawa anak kecil,
pencernaan burung unta, dan temperamen iblis. Selain itu, ia diakui sebagai
penyanyi soprano dramatis terbesar di zamannya. Ia berpaling ke Cowan.
"Sudah kaulakukan instruksiku" Apa kau sudah menyingkirkan piano Inggris jelek
itu dan membuangnya ke Sungai Thames?"
"Saya sudah mendapatkan yang lain untuk Anda," ujar Cowan sambil menunjuk ke
arah piano yang tegak di sudut.
Nazarkoff bergegas menghampiri, lalu membuka tutupnya.
"Piano Erard," katanya, "itu lebih bagus. Sekarang mari kita coba."
Suara soprano yang merdu itu mengalunkan nada yang bergantian cepat, kemudian
dua kali naik-turun oktaf dengan ringan, melambung mencapai nada tinggi,
bertahan di situ dengan volume semakin keras, lalu melembut kembali sampai
lenyap. "Ah!" kata Paula Nazarkoff, puas dan lugu. "Alangkah merdunya suaraku! Bahkan di
London pun suaraku tetap merdu."
"Betul," Cowan mengiyakan sambil memberikan ucapan selamat dengan hangat.
"Berani bertaruh London akan tergila-gila pada Anda, sama seperti New York."
"Kaupikir begitu?" tanya sang penyanyi.
Senyuman tipis membayang di bibirnya, dan sangat jelas bahwa pertanyaan tadi
sekadar basa-basi lumrah belaka.
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tentu," jawab Cowan.
Paula Nazarkoff menutup piano itu kembali, lalu berjalan menuju meja dengan
langkah-langkah lambat bergelombang yang terbukti efektif di atas panggung.
"Well, well," ujarnya, "sekarang mari kita bekerja. Kau sudah mengatur semuanya,
Kawan?" Cowan mengeluarkan beberapa surat dari map yang tadi diletakkan di atas kursi.
"Tidak banyak perubahan," komentarnya. "Anda akan menyanyi lima kali di Covent
Garden, membawakan Tosca liga kali, dan Aida dua kali."
"Aida! Bah," keluh sang primadona, "membosankan sekali. Tosca, itu baru beda."
"Ah, ya," sahut Cowan. "Tosca memang keahlian Anda."
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
"Akulah penyanyi Tosca terbesar di seluruh dunia," ujarnya tenang.
"Betul sekali," Cowan mengiyakan. "Tak seorang pun mampu menandingi Anda."
"Kurasa Roscari akan menyanyikan 'Scarpia'?"
Cowan mengangguk. "Dan Emile Lippi."
"Apa"!" jerit Nazarkoff. "Lippi, si katak kerdil menggonggong itu, kung - kung -
kung. Aku takkan menyanyi dengannya, aku akan menggigitnya, aku akan mencakar
wajahnya." "Sudah, sudah," ujar Cowan menenangkan.
"Dengar kataku, dia bukan menyanyi, dia anjing kampung yang menggonggong."
"Hm, kita lihat nanti, kita lihat nanti," kata Cowan.
Ia terlalu bijak untuk berdebat dengan penyanyi temperamental.
"Bagaimana dengan Cavaradossi?" bentak Nazarkoff.
"Hensdale, penyanyi tenor Amerika itu yang akan membawakannya."
Nazarkoff mengangguk. "Dia pemuda yang baik, suaranya merdu."
"Dan saya percaya Barr?re akan menyanyikannya satu kali."
"Dia seniman," puji Madame. "Tapi membiarkan si kodok Lippi itu memerankan
Scarpia! Bah - aku takkan menyanyi bersamanya."
"Serahkan saja pada saya," ujar Cowan menghibur.
Ia berdeham, lalu mengeluarkan setumpuk kertas lain.
"Saya sedang mengatur konser istimewa di Albert Hall."
Nazarkoff menyeringai. "Saya tahu, saya tahu," ujar Cowan, "tapi semua orang melakukannya."
"Aku akan menyanyi dengan bagus," ujar Nazarkoff, "gedung itu akan penuh sesak
sampai ke langit-langit, dan aku akan mendapatkan banyak uang. Ecco!"
Lagi-lagi Cowan mengambil surat-surat.
"Berikut ini ada usul yang agak berbeda," katanya, "dari Lady Rustonbury. Dia
ingin Anda datang untuk menyanyi."
"Rustonbury?" Sang primadona mengerutkan kening, seakan berusaha mengingat sesuatu.
"Aku pernah mendengar nama itu - baru saja. Itu nama kota - atau desa, kan?"
"Betul, desa kecil yang permai di Hertfordshire. Mengenai kediaman Lord
Rustonbury sendiri, yaitu Rustonbury Castle, tempat ini bergaya anggun, antik,
dan feodal, lengkap dengan hantu-hantu, potret-potret keluarga, tangga-tangga
rahasia, dan teater pribadi bermutu tinggi. Mereka kaya-raya, dan selalu
mengadakan pertunjukan pribadi. Dia menyarankan kita membawakan opera lengkap,
kalau bisa Butterfly."
"Butterfly?" Cowan mengangguk. "Dan mereka bersedia membayar. Kita tentu saja harus menyelesaikan pertunjukan
di Covent Garden dulu, tapi sesudah itu pun secara finansial usul itu sangat
memadai. Hampir bisa dipastikan akan ada bonusnya juga. Ini akan menjadi iklan
yang sangat bermutu."
Madame mengangkat dagunya yang masih indah itu.
"Memangnya aku masih membutuhkan iklan?" sergahnya bangga.
"Kalau ada kesempatan, mengapa tidak?" ujar Cowan tanpa malu.
"Rustonbury," gumam penyanyi itu, "di mana aku pernah membacanya...?"
Mendadak ia melompat berdiri, dan sambil berlari ke meja tengah, ia mulai
membalik-balik halaman koran yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba tangannya
terhenti dan melayang di atas salah satu halaman. Setelah itu ia menjatuhkan
koran itu ke lantai dan melangkah perlahan kembali ke tempat duduknya. Suasana
hatinya cepat berubah, dan sekarang kepribadiannya tampak sangat berbeda.
Sikapnya sangat tenang, nyaris sederhana.
"Atur semuanya untuk Rustonbury, aku mau menyanyi di situ, tapi dengan satu
syarat - operanya harus Tosca."
Cowan tampak ragu. "Itu takkan mudah - untuk pertunjukan pribadi, Anda tahu bukan, dekor pemandangan
dan sebagainya." "Tosca atau tidak sama sekali."
Cowan memerhatikannya dengan cermat. Apa yang dilihatnya seakan meyakinkan
dirinya. Ia mengangguk singkat, lalu bangkit berdiri.
"Akan saya coba," ujarnya tenang.
Nazarkoff juga bangkit berdiri. Ia tampak lebih bersemangat daripada biasanya
untuk menjelaskan keputusannya.
"Ini peranku yang terbesar, Cowan. Aku mampu membawakan bagian itu lebih baik
daripada perempuan mana pun."
"Itu memang bagian yang indah," ujar Cowan. "Tahun lalu Jeritza mendapat
sambutan meriah saat membawakannya."
"Jeritza!" pekik Nazarkoff dengan wajah memerah. Dengan panjang-lebar ia
memuntahkan pendapatnya tentang Jeritza.
Cowan, yang sudah terbiasa mendengar pendapat para penyanyi tentang penyanyi
lain, mengalihkan perhatiannya sampai semburan itu reda. Setelah itu ia berkata
dengan nekat, "Bagaimanapun, dia menyanyikan Vissi D'arte sambil berbaring tertelungkup."
"Mengapa tidak?" bentak Nazarkoff. "Apa susahnya" Aku akan menyanyikannya sambil
berbaring telentang dengan menendang-nendangkan kedua kakiku ke atas."
Cowan menggeleng serius. "Saya tidak percaya gaya itu akan mengalahkan siapa pun," komentarnya. "Namun,
hal seperti itu memang menantang."
"Tak seorang pun mampu menyanyikan Vissi D'Arte sehebat aku," kata Nazarkoff
yakin. "Aku membawakannya dengan suara biara - seperti diajarkan para biarawati
bertahun-tahun lalu. Dengan suara bening bocah paduan suara laki-laki atau
malaikat, tanpa perasaan, tanpa gairah."
"Saya tahu," sahut Cowan riang. "Saya sudah mendengarnya, Anda memang hebat
sekali." "Itu yang namanya seni," kata sang primadona, "membayar harganya, menderita,
bertahan, dan akhirnya bukan saja menguasai ilmunya, tapi juga kemampuan untuk
mundur ke awal, dan menangkap kembali keindahan hati anak kecil yang sudah
terhilang." Cowan menatapnya heran. Nazarkoff menatap kosong dengan janggal, dan ada sesuatu
dalam pandangan itu yang membuat Cowan merinding. Bibir Nazarkoff terbuka
sedikit, dan ia membisikkan beberapa kata dengan lirih. Cowan nyaris tak mampu
mendengarnya. "Akhirnya," gumam wanita itu. "Akhirnya - setelah sekian tahun."
II Lady Rustonbury wanita yang ambisius sekaligus artistik. Ia menggabungkan kedua
hal itu dengan sangat sukses. Ia beruntung memiliki suami yang tidak peduli pada
ambisi maupun seni, dan karenanya tidak merintanginya dalam bentuk apa pun. Earl
Rustonbury pria bertubuh besar dan kekar yang hanya tertarik pada kuda. Ia
mengagumi istrinya dan bangga terhadapnya, dan senang kekayaannya yang luar
biasa itu bisa memuaskan semua rencana istrinya. Teater pribadi itu dibangun
kurang dari seabad yang lalu oleh kakeknya. Ini merupakan mainan utama Lady
Rustonbury - ia sudah menyelenggarakan drama Ibsen di situ, dan sandiwara sekolah
yang baru, mengenai perceraian dan obat-obat terlarang, selain fantasi puitis
dengan dekor abstrak. Pagelaran Tosca mendatang telah menggugah minat luas. Lady
Rustonbury akan mengadakan pesta rumah bagi kalangan yang sangat ternama, dan
para undangan dari London akan datang dengan mobil masing-masing untuk
menghadirinya. Madame Nazarkoff beserta rombongan tiba tepat sebelum acara makan siang.
Hensdale, penyanyi tenor muda dari Amerika, akan menyanyikan Cavaradossi,
sedangkan Roscari, penyanyi bariton terkenal dari Itali, akan memerankan
Scarpia. Pengeluaran untuk pertunjukan ini sangat besar, tapi tak ada yang
peduli. Suasana hati Paula Nazarkoff sangat cerah. Sikapnya memikat, ramah
tamah, dan sangat internasional. Cowan heran sekaligus senang, dan berharap
keadaan ini terus bertahan.
Selesai makan siang, rombongan ini beranjak menuju teater, dan memeriksa dekor
serta berbagai hal lainnya. Orkestra akan dipimpin oleh Mr. Samuel Ridge, salah
seorang dirigen paling ternama. Segala sesuatu sepertinya berjalan mulus tanpa
cela, dan anehnya, fakta ini justru membuat khawatir Mr. Cowan. Ia lebih
terbiasa dengan suasana penuh kesibukan, dan suasana tenteram yang tidak biasa
ini mengganggunya. "Semua ini agak terlalu mulus," gumam Mr. Cowan. "Madame bagaikan kucing
kekenyangan. Ini terlalu bagus dan tak mungkin bertahan, sesuatu pasti terjadi."
Boleh jadi karena telah begitu lama berkecimpung di dunia opera, Mr. Cowan telah
mengembangkan indra keenam, dan ramalannya menjadi kenyataan. Malam itu baru
pukul tujuh saat Elise, si pelayan Prancis, berlari menemuinya dengan panik.
"Ah, Mr. Cowan, cepat ikut, saya mohon, cepatlah ikut saya."
"Ada apa?" tanya Cowan cemas. "Madame marah-marah lagi tentang sesuatu -
bertengkar lagi, begitu?"
"Bukan, ini bukan soal Madame, ini soal Signor Roscari. Dia sakit parah, dia
sedang sekarat!" "Sekarat" Yang benar saja."
Cowan bergegas mengikuti pelayan yang mengantarnya ke kamar tidur penyanyi Itali
yang sedang terkapar itu. Pria bertubuh kecil itu berbaring di tempat tidur,
atau tepatnya, kejang-kejang di atasnya, pemandangan yang mungkin akan dianggap
lucu seandainya situasi tidak gawat. Paula Nazarkoff sedang membungkuk di
atasnya; ia menyambut Cowan dengan angkuh.
"Ah! Akhirnya kau datang juga! Roscari yang malang, dia sangat menderita. Dia
pasti telah memakan sesuatu."
"Aku akan mati," erang pria kecil itu. "Sakitnya - sakitnya luar biasa. Aduh!"
Ia kejang lagi, dan sambil menekan perutnya dengan kedua tangan, ia berputar-
putar di atas ranjang. "Kita harus memanggil dokter," kata Cowan.
Paula menangkap tangannya saat ia hendak beranjak ke pintu.
"Dokter sudah dalam perjalanan kemari, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menolong orang malang ini. Itu sudah diatur, tapi Roscari tak mungkin bisa
menyanyi malam ini."
"Aku takkan pernah menyanyi lagi, aku akan mati," erang penyanyi Itali itu.
"Tidak, tidak, Anda takkan mati," ujar Paula. "Ini cuma gangguan pencernaan,
namun Anda tidak mungkin menyanyi malam ini."
"Aku telah diracuni."
"Ya, ini pasti racun ptomaine," ujar Paula. "Tetap tinggal bersamanya, Elise,
sampai dokter tiba."
Penyanyi sopran itu menarik Cowan keluar kamar.
"Apa yang harus kita lakukan?" ia bertanya.
Cowan menggeleng putus asa. Hari sudah terlalu malam untuk menjemput orang lain
dari London untuk menggantikan Roscari. Lady Rustonbury, yang baru saja
diberitahu tentang tamunya yang sakit itu, bergegas sepanjang koridor dan
bergabung dengan mereka. Keprihatinannya yang terbesar, sama seperti Paula
Nazarkoff, adalah kesuksesan Tosca.
"Seandainya ada orang yang bisa menggantikannya," keluh sang primadona.
"Ah!" seru Lady Rustonbury tiba-tiba. "Tentu saja! Br?on."
"Br?on?" "Betul, Edouard Br?on. Anda tahu bukan, penyanyi bariton terkenal dari Prancis
itu. Dia tinggal tak jauh dari sini, ada foto rumahnya yang dimuat di Country
Homes edisi minggu ini. Dialah orang yang paling tepat."
"Ini benar-benar jawaban dari langit," seru Nazarkoff. "Br?on sebagai Scarpia,
aku ingat padanya, ini salah satu peran yang sangat cocok untuknya. Tapi dia
sudah pensiun, bukan?"
"Aku akan menjemputnya," ujar Lady Rustonbury. "Serahkan saja padaku."
Dan mengingat ia wanita yang biasa membuat keputusan, ia langsung berangkat
menjemput sang Hispano Suiza. Sepuluh menit kemudian, rumah peristirahatan
pedesaan M. Edouard Br?on itu diserbu sang countess yang gelisah. Lady
Rustonbury wanita yang penuh tekad kalau sudah memutuskan sesuatu, dan tak pelak
lagi M. Br?on menyadari bahwa tak ada jalan lain kecuali mengalah. Sebagai orang
yang berasal dari kalangan rendahan, ia telah meniti karier sampai ke puncak,
dan bergaul akrab dengan para duke maupun pangeran. Fakta ini selalu memberinya
kepuasan. Namun sejak pensiun dan mengundurkan diri ke tempat kuno Inggris ini,
ia merasa tidak bahagia. Ia kehilangan gaya hidup yang penuh sanjungan dan
aplaus, dan menurut pendapatnya, wilayah Inggris tidak langsung mengenalinya
seperti seharusnya. Karena itu ia sangat tersanjung dan bahagia oleh ajakan Lady
Rustonbury. "Saya akan berusaha sebaik mungkin," ujarnya tersenyum. "Seperti Anda ketahui,
sudah lama saya tidak bernyanyi di depan umum. Saya bahkan tidak punya murid-
murid, kecuali satu-dua orang untuk kesenangan saja. Namun berhubung Signor
Roscari sayang sekali berhalangan..."
"Ini pukulan yang amat keras," sela Lady Rustonbury.
"Tapi sebenarnya dia bukan penyanyi sejati," ujar Br?on.
Akhirnya ia menjelaskan mengapa bisa begitu. Sepertinya tidak ada lagi penyanyi
bariton yang berkelas sejak Edouard Br?on pensiun.
"Madame Nazarkoff akan menyanyikan Tosca," ujar Lady Rustonbury. "Saya yakin
Anda mengenalnya?" "Saya belum pernah bertemu dengannya," ujar Br?on. "Saya pernah satu kali
mendengarnya menyanyi di New York. Seniwati hebat - dia memiliki bakat drama."
Lady Rustonbury merasa lega - orang tidak pernah bisa menduga perangai para
penyanyi ini - mereka memiliki kecemburuan dan antipati yang begitu aneh.
Dua puluh menit kemudian, ia memasuki kembali ruang depan kastilnya sambil
melambaikan tangan penuh kemenangan.
"Sudah kudapat dia," serunya sambil tertawa. "M. Br?on yang baik itu benar-benar
sangat baik, aku takkan pernah melupakannya."
Semua orang berkerumun di sekitar orang Prancis itu, dan baginya, rasa terima
kasih dan penghargaan mereka bagaikan dupa yang membubung. Edouard Br?on,
meskipun sudah hampir berusia enam puluh tahun, masih tampak tampan, tinggi
besar, dan berkulit gelap, dengan kepribadian amat menarik.
"Sebentar," ujar Lady Rustonbury. "Di mana Madame" Oh! Itu dia."
Paula Nazarkoff tidak turut menyambut laki-laki Prancis itu. Ia tetap duduk diam
di kursi kayu ek, di kegelapan dekat perapian. Di dalamnya sudah tentu tak ada
api, sebab malam itu hangat, dan penyanyi sopran itu sedang mengipasi diri
perlahan-lahan dengan kipas daun palem yang besar. Ia tampak begitu menyendiri
dan terpisah, hingga Lady Rustonbury khawatir ia sedang tersinggung.
"M. Br?on." Ia mengajak penyanyi bariton itu menghampiri Paula. "Anda berkata
belum pernah berjumpa dengan Madame Nazarkoff."
Dengan lambaian terakhir yang nyaris gemulai, Paula Nazarkoff meletakkan kipas,
dan mengulurkan tangannya pada orang Prancis itu. Pria itu menyambut tangannya,
lalu membungkuk dalam-dalam, dan sang primadona menghela napas lembut.
"Madame," ujar Br?on, "kita belum pernah menyanyi bersama-sama. Itu akibat umur
saya! Namun Nasib sudah berbaik hati dan datang menyelamatkan saya."
Paula tertawa lembut. "Anda terlalu baik, M. Br?on. Ketika saya baru jadi penyanyi kecil yang tidak
terkenal, saya pernah duduk di bawah kaki Anda. Peran Rigoletto Anda - betapa
berseni, betapa sempurna! Tidak ada yang bisa menyamai Anda."
"Aah!" ujar Br?on, pura-pura menghela napas. "Masa jaya saya sudah berakhir.
Scarpia, Rigoletto, Radames, Sharpless, sudah berapa kali saya menyanyikan semua
itu, dan sekarang... tidak lagi!"
"Ya - malam nanti."
"Benar, Madame - saya lupa. Malam nanti."
"Anda sudah sering menyanyi bersama para 'Tosca' lain," ujar Nazarkoff arogan.
"Tapi belum pernah dengan saya!"
Laki-laki Prancis itu membungkuk.
"Ini akan menjadi kehormatan bagi saya," ujarnya lembut. "Ini bagian yang sangat
bagus, Madame." "Bagian yang bukan saja membutuhkan seorang penyanyi, tapi seorang aktris," Lady
Rustonbury menimpali. "Benar," Br?on setuju. "Saya teringat, ketika saya masih muda di Itali, saya
mengunjungi sebuah teater kecil di Milan. Saya hanya mengeluarkan beberapa lira
untuk tempat duduk saya, tapi malam itu saya mendengar nyanyian yang sama
merdunya dengan yang saya dengar di Metropolitan Opera House di New York.
Seorang gadis belia menyanyikan Tosca, dan dia menyanyi bagaikan malaikat. Saya
Misteri Listerdale The Listerdale Mystery Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takkan pernah melupakan suaranya saat membawakan Vissi D'Arte, sangat bening dan
murni. Namun kekuatan dramatisnya tidak ada."
Nazarkoff mengangguk. "Itu akan terdengar kemudian," ujarnya tenang.
"Betul. Gadis muda ini - namanya Bianca Capelli - saya tertarik dengan kariernya.
Melalui saya, dia memperoleh peluang mendapatkan kontrak-kontrak penting. Tapi
dia bodoh - amat sangat bodoh."
Br?on angkat bahu. "Bodoh bagaimana?"
Yang mengatakan ini adalah Blanche Amery, putri Lady Rustonbury yang berusia dua
puluh empat tahun. Gadis ramping dengan mata biru lebar.
Dengan sopan pria Prancis itu langsung menoleh padanya.
"Aah! Mademoiselle, dia melibatkan diri dengan laki-laki rendahan, seorang
bandit, anggota kelompok Camorra. Dia berurusan dengan polisi, dan dijatuhi
hukuman mati. Gadis itu datang pada saya, memohon agar saya menolong
kekasihnya." Blanche Amery menatap Br?on dengan mata terbelalak.
"Dan Anda melakukannya?" ia bertanya sambil menahan napas.
"Saya, Mademoiselle, apa yang bisa saya lakukan" Saya orang asing di negeri
itu." "Barangkali Anda punya pengaruh?" pancing Nazarkoff dengan suara lirih bergetar.
"Seandainya saya punya, saya ragu apakah saya mau menggunakannya. Laki-laki itu
tidak pantas menerimanya. Saya berbuat sebisanya untuk gadis itu."
Ia tersenyum tipis, dan tiba-tiba gadis Inggris itu sadar bahwa senyuman itu
terasa agak janggal. Saat itu ia merasa kata-katanya tidak cukup mewakili jalan
pikirannya. "Anda berbuat sebisanya," ujar Nazarkoff. "Anda baik sekali, dan gadis itu
tentunya berterima kasih, bukan?"
Pria Prancis itu angkat bahu.
"Laki-laki itu dieksekusi," ucapnya, "dan gadis itu masuk biara. Eh, voil?!
Dunia telah kehilangan seorang penyanyi."
Nazarkoff tertawa kecil. "Kami orang Rusia lebih plin-plan," ujarnya ringan.
Blanche Amery kebetulan sedang memerhatikan Cowan ketika penyanyi sopran itu
berbicara, dan ia melihat pandangan terkejut sesaat. Bibir Cowan setengah
terbuka, kemudian terkatup rapat kembali setelah mendapat tatapan tajam dari
Paula. Kepala pelayan muncul di pintu.
"Makan malam," kata Lady Rustonbury sambil bangkit berdiri. "Orang-orang malang,
saya kasihan pada kalian. Pasti tidak enak karena kalian terpaksa kelaparan
sebelum menyanyi. Tapi sesudah itu akan ada makan malam yang sangat lezat."
"Kami sangat mengharapkannya," ujar Paula Nazarkoff. Ia tertawa lembut. "Sesudah
itu!" III Di dalam teater, babak pertama Tosca baru saja berakhir. Para penonton saling
berbicara. Para bangsawan, memukau dan anggun, menempati tiga kursi beludru di
baris terdepan. Semua orang asyik berbisik dan bergumam. Semua orang merasa
bahwa di bagian pertama, Nazarkoff belum berperan sesuai reputasinya. Sebagian
besar penonton tidak menyadari bahwa justru di sinilah sang penyanyi menunjukkan jiwa seninya. Di babak pertama itu ia menghemat
suara maupun dirinya sendiri. Ia menjadikan La Tosca tokoh yang remeh dan
sembrono, bermain-main dengan cinta, cemburu sekaligus genit dan menggairahkan.
Br?on, meski suaranya sudah melewati masa jayanya, masih mampu memerankan tokoh
yang luar biasa sebagai Scarpia yang sinis. Tak ada sekelumit pun kesan jompo
pada dirinya dalam memainkan perannya. Ia membuat Scarpia tokoh yang tampan dan
nyaris lembut, dengan setitik dendam yang bersembunyi di balik penampilan
luarnya. Dalam bagian terakhir, diiringi alunan organ dan prosesi, saat Scarpia
tenggelam dalam pikirannya, senang dengan rencananya untuk menguasai Tosca,
Br?on memperlihatkan jiwa seni yang luar biasa. Sekarang tirai diangkat memasuki
babak kedua, sebuah adegan di apartemen Scarpia.
Kali ini, waktu Tosca masuk, jiwa seni Nazarkoff tiba-tiba tampak jelas. Inilah
wanita yang dicekam ketakutan dan sedang memainkan perannya dengan kepiawaian
aktris sejati. Sapaannya yang ringan pada Scarpia, sikap santainya, dan jawaban
penuh senyum yang diberikannya pada laki-laki itu! Dalam adegan ini, Paula
Nazarkoff berperan dengan matanya, ia membawa diri dengan ketenangan mutlak,
dengan wajah tersenyum tanpa perasaan. Hanya matanya yang terus mencuri pandang
ke arah Scarpia mengungkapkan perasaan sesungguhnya. Kisah terus berlanjut
sampai ke adegan penyiksaan, runtuhnya ketenangan Tosca, penyerahan total saat
ia tersungkur di kaki Scarpia, memohon belas kasihan dengan sia-sia. Lord
Leconmere, pakar penilai musik, mengangguk kagum, dan seorang duta besar asing
di sampingnya berbisik, "Malam ini Nazarkoff bahkan melampaui dirinya sendiri. Tak ada wanita lain di
panggung yang mampu memainkan peran habis-habisan seperti dia."
Leconmere mengangguk. Sekarang Scarpia menyebutkan syaratnya, dan dengan ketakutan Tosca berlari ke
jendela. Dari jauh terdengar bunyi genderang, dan dengan lemas Tosca
mengempaskan dirinya ke atas sofa. Scarpia yang sedang berdiri mengawasinya,
menyampaikan bagaimana orang-orangnya mendirikan tiang gantungan - kemudian
hening, dan bunyi genderang kembali terdengar dari kejauhan. Nazarkoff berbaring
telungkup di atas sofa, kepalanya terkulai nyaris menyentuh lantai, tertutup
rambutnya. Kemudian, sangat kontras dengan gairah dan tekanan dua puluh menit
terakhir, suaranya berkumandang, melengking dan jernih, suara bocah paduan suara
atau malaikat, seperti yang tadi dijelaskannya pada Cowan.
"Vissi d'arte, vissi d'arte, no feci mai male ad anima viva.
Con man furtiya quante miserie conobbi, aiutai."
Ini suara seorang anak bingung yang sedang bertanya-tanya. Kemudian ia sekali
lagi berlutut dan memohon, sampai Spoletta masuk. Kehabisan tenaga, Tosca
menyerah, dan Scarpia mengutarakan kata-katanya yang menentukan dan bermakna
ganda. Poletta mengundurkan diri. Kemudian tibalah saat yang dramatis, ketika
Tosca, sambil mengangkat segelas anggur dengan tangan gemetar, melihat pisau di
meja, lalu menyembunyikannya di balik punggungnya.
Br?on berdiri tegak, tampan, pendiam, dan terbakar gairah. "Tosca, finalmente
mia!" Pisau menyambar bagaikan kilat, dan Tosca mendesis penuh dendam,
"Questo e il bacio di Tosca!" ("Seperti inilah Tosca mencium.")
Belum pernah Nazarkoff menunjukkan apresiasi setinggi ini atas adegan pembalasan
dendam Tosca. Bisikan garang terakhir "Muori dannato," yang disusul suara tenang
sekaligus aneh yang berkumandang memenuhi teater,
"Or gli perdono!" ("Sekarang aku mengampuninya!")
Lagu kematian mengalun lembut sementara Tosca memulai upacaranya, meletakkan
sebatang lilin di kedua sisi kepala Scarpia, salib di atas dadanya, menoleh
untuk terakhir kali sebelum lenyap di balik pintu, deru genderang di kejauhan,
dan tirai diturunkan. Kali ini meledaklah antusiasme penonton, tapi hanya sejenak. Seseorang bergegas
keluar dari samping panggung dan berbicara pada Lord Rustonbury. Ia bangkit
berdiri, dan sesudah berunding sejenak, ia menoleh dan memberi isyarat pada Sir
Donald Calthrop, seorang dokter terkenal. Hampir seketika itu juga berita itu
menyebar di antara hadirin. Sesuatu telah terjadi, kecelakaan, dan ada yang
terluka parah. Salah seorang penyanyi muncul di depan tirai dan menjelaskan
bahwa sayang sekali M. Br?on mendapat kecelakaan - jadi operanya tidak bisa
dilanjutkan. Sekali lagi kabar burung itu menyebar, Br?on telah ditikam,
Nazarkoff kehilangan akal sehatnya, ia begitu menjiwai perannya hingga ia benar-
benar menikam pria lawan mainnya. Lord Leconmere, yang sedang berbincang dengan
duta besar, temannya itu, merasa ada yang menyentuh lengannya. Ia menoleh dan
melihat Blanche Amery di sampingnya.
"Ini bukan kecelakaan," ujar gadis itu. "Saya yakin ini bukan kecelakaan.
Tidakkah Anda mendengar, tepat sebelum makan malam, kisah yang diceritakan Br?on
tentang gadis Itali itu" Gadis itu Paula Nazarkoff. Setelah itu dia menyebut-
nyebut tentang dirinya sebagai orang Rusia, dan saya melihat Mr. Cowan terkejut.
Dia mungkin saja menggunakan nama Rusia, tapi Mr. Cowan tahu sebenarnya Madame
Nazarkoff orang Itali."
"Blanche, sayangku," ujar Lord Leconmere.
"Saya yakin itu. Di kamar tidurnya ada koran yang terbuka di halaman yang
menunjukkan M. Br?on di rumah pedesaan Inggris miliknya. Madame Nazarkoff sudah
tahu sebelum dia datang kemari. Saya percaya dia memberikan sesuatu kepada pria
Itali yang malang itu agar dia sakit."
"Tapi mengapa?" seru Lord Leconmere. "Mengapa?"
"Apa Anda tidak memahaminya" Kisah Tosca terulang kembali. Br?on menginginkan
gadis itu di Itali, tapi gadis itu setia pada kekasihnya, dan dia datang pada
Br?on dan memintanya menyelamatkan kekasihnya itu. Br?on berpura-pura
menyanggupi, tapi ternyata dia membiarkan kekasih gadis itu mati. Dan sekarang
saat untuk membalas dendam telah tiba. Tidakkah Anda mendengar cara dia mendesis
'Akulah Tosca'" Dan saya melihat wajah Br?on saat Madame Nazarkoff
mengucapkannya, saat itulah dia tahu - Br?on mengenalinya!"
Di kamar gantinya, Paula Nazarkoff duduk tak bergerak, terbungkus mantel bulu
putih. Terdengar ketukan di pintunya.
"Silakan masuk," kata sang primadona.
Elise masuk. Ia menangis terisak-isak.
"Madame, Madame, pria itu mati! Dan..."
"Ya?" "Madame, bagaimana saya harus mengatakannya" Ada dua polisi di luar. Mereka
ingin bicara pada Anda."
Paula Nazarkoff berdiri tegak.
"Aku akan pergi menemui mereka," sahutnya tenang.
Ia menanggalkan seuntai kalung mutiara dari lehernya, dan meletakkannya di
tangan gadis Prancis itu.
"Kalung ini untukmu, Elise, kau gadis baik. Di tempat yang akan kutuju, aku
tidak membutuhkannya lagi. Kau mengerti, Elise" Aku takkan pernah menyanyikan
Tosca lagi." Ia berdiri sesaat di pintu, matanya menyapu isi kamar ganti itu, seakan menoleh
ke belakang, menatap kariernya sepanjang tiga puluh tahun terakhir.
Kemudian ia bergumam lirih, mengucapkan baris terakhir sebuah opera lain,
"La commedia e finita!"
Sumber buku: I - Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
Mutiara Hitam 5 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Lembah Tiga Malaikat 19