Mr Quin Yang Misterius 1
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie Bagian 1
THE MYSTERIOUS MR. QUIN by Agatha Christie MR. QUIN YANG MISTERIUS Alihbahasa: Julanda Tantani
Penerbit: PT Gramedia April 1996 Untuk Harlequin yang Tak Tampak
Bab 1 MUNCULNYA MR. QUIN SAAT itu malam menjelang Tahun Baru.
Para penghuni yang lebih tua di Royston sedang berkumpul di ruang keluarga yang
besar. Mr. Satterthwaite merasa lega karena anak-anak muda itu telah pergi tidur
semuanya. Ia memang tidak menyukai kelompok anak-anak muda. Menurutnya mereka
tidak menarik, kasar, dan kurang sopan. Padahal dengan semakin bertambahnya
umur, ia semakin menyukai kesopanan.
Mr. Satterthwaite berumur 62 - sedikit bungkuk, membosankan, dengan raut muka lucu
seperti peri, tapi sangat berminat terhadap kehidupan manusia. Boleh dibilang,
sepanjang hidupnya ia duduk di barisan depan panggung kehidupan, menonton
berbagai drama sifat-sifat manusia yang terjadi di hadapannya. Peranannya dari
dulu memang sebagai penonton. Baru sekarang, gara-gara usia yang semakin lanjut,
ia betul-betul kritis terhadap drama-drama yang disodorkan kepadanya. Sekarang
ia menghendaki sesuatu yang sedikit luar biasa.
Tidak diragukan lagi bahwa ia memang gandrung akan hal-hal tersebut. Ia langsung
tahu kalau unsur-unsur suatu drama muncul di hadapannya Bak kuda perang, ia bisa
mencium baunya. Semenjak kedatangannya di Royston sore ini, perasaannya yang
peka itu telah tergugah dan membuka matanya. Sesuatu yang menarik sedang terjadi
atau akan segera terjadi.
Para penghuni rumah itu tidak terlalu banyak. Ada Tom Evesham, tuan rumah mereka
yang betul-betul ramah dan istrinya yang serius, yang sebelum menikah adalah
Lady Laura Keene. Juga ada Sir Richard Conway, tentara, pengelana, dan
olahragawan, serta enam atau tujuh anak-anak muda yang namanya tidak bisa
diingat lagi oleh Mr. Satterthwaite, serta pasangan bernama Portal.
Pasangan Portal itulah yang menarik perhatian Mr. Satterthwaite.
Ia belum pernah bertemu dengan Alex Portal, tapi ia tahu segalanya tentang orang
itu. Ia mengenal ayah dan kakeknya. Alex Portal adalah orang yang gampang
ditebak. Umurnya sekitar empat puluh tahun, berambut pirang, bermata biru
seperti Portal-portal lainnya, menyukai olahraga, terampil dalam permainan, dan
sama sekali tidak punya imajinasi. Tidak ada yang luar biasa pada diri Alex
Portal. Pokoknya ia cuma orang Inggris yang kedengarannya baik-baik dan biasa-
biasa saja. Tapi istrinya lain. Ia, seperti yang diketahui Mr. Satterthwaite, berasal dari
Australia. Portal memang pernah mengunjungi Australia dua tahun yang lalu,
bertemu dengannya di sana, menikahinya dan membawanya pulang. Sebelum menikah,
istrinya belum pernah pergi ke Inggris. Bagaimanapun, ia sama sekali tidak mirip
dengan wanita-wanita Australia yang pernah dijumpai Mr. Satterthwaite.
Sekarang ia mengamat-amatinya dengan diam-diam. Wanita yang menarik - sangat.
Begitu tenang, tapi begitu... hidup. Hidup! Itu dia! Tidak betul-betul cantik -
tidak, kita tak bisa menganggapnya cantik, tapi ada semacam kesenduan pada
dirinya yang tak mungkin kita abaikan - yang tak mungkin diabaikan oleh laki-laki.
Sisi maskulin Mr. Satterthwaite-lah yang bersuara dalam hal ini, tapi sisi
femininnya (Mr. Satterthwaite juga punya sisi feminin yang lumayan) juga sama
tertariknya dalam hal yang berbeda. Mengapa Mrs. Portal mengecat rambutnya"
Mungkin laki-laki lain tidak tahu bahwa wanita itu mengecat rambutnya, tapi Mr.
Satterthwaite tahu. Ia memang tahu hal-hal begitu. Dan itu membingungkannya.
Banyak wanita berkulit gelap mengecat pirang rambut mereka, tapi ia tak pernah
bertemu dengan wanita berkulit pucat yang mengecat hitam rambutnya.
Segala sesuatu pada dirinya menarik minat Mr. Satterthwaite. Entah kenapa, ia
yakin wanita itu sangat bahagia atau sangat tidak bahagia - tapi ia tidak tahu
yang mana, dan hal itu membuatnya jengkel. Lagi pula wanita itu memberikan efek
aneh pada diri suaminya. "Portal memujanya," kata Mr. Satterthwaite dalam hati, "tapi kadang-kadang
dia... ya, takut padanya! Ini sungguh-sungguh menarik dan tidak biasa."
Portal minum terlalu banyak. Itu sudah jelas. Dan caranya memandang istrinya
secara diam-diam kelihatan aneh.
"Gugup," kata Mr. Satterthwaite. "Laki-laki itu betul-betul gugup. Istrinya
tahu, tapi tidak berbuat apa-apa."
Mr. Satterthwaite menganggap pasangan itu aneh sekali. Sesuatu sedang terjadi,
tapi ia tak bisa menebaknya.
Renungannya tentang mereka terusik bunyi bel jam besar di ujung ruangan.
"Jam dua belas," kata Evesham. "Tahun Baru. Selamat, teman-teman. Sebetulnya jam
itu terlalu cepat lima menit. Aku tidak mengerti kenapa anak-anak tidak mau
menunggu dan menyaksikan datangnya Tahun Baru?"
"Menurutku, mereka sama sekali tidak pergi tidur," ujar istrinya dengan tenang.
"Mereka mungkin sibuk meletakkan sikat rambut atau barang-barang lainnya di
tempat tidur kita Hal-hal begituan menyenangkan mereka. Aku tidak tahu kenapa.
Kami sama sekali tidak boleh berbuat begitu waktu aku masih muda."
"Autre temps, autre moeurs," sahut Conway sambil tersenyum.
Ia seorang laki-laki jangkung dengan tampang tentara. Baik ia maupun Evesham
mempunyai tipe sama - jujur, lurus, ramah, dan tidak begitu pintar.
"Waktu aku masih muda dulu, kami semua bergandeng tangan membentuk lingkaran dan
menyanyikan Auld Lang Syne," Lady Laura meneruskan.
"Haruskah kenalan lama dilupakan - kata-katanya begitu menyentuh, menurutku."
Evesham bergerak dengan tidak sabar.
"Oh! Hentikan, Laura," omelnya. "Jangan di sini."
Ia melintasi ruang keluarga yang besar itu, tempat mereka duduk-duduk, dan
menyalakan lampu tambahan.
"Aku memang goblok," kata Lady Laura, sotto voce. "Itu tentu mengingatkannya
pada Mr. Capel yang malang. Sayangku, apa perapiannya terlalu panas untukmu?"
Eleanor Portal bergerak sekejap.
"Terima kasih. Akan kumundurkan kursinya sedikit."
Betapa merdu suaranya - lirih dan menggema, suara yang akan selalu terekam dalam
ingatan kita, pikir Mr. Satterthwaite. Wajahnya tertutup bayangan sekarang.
Sayang. Dari tempat duduknya yang tertutup bayangan itu, ia berbicara lagi.
"Mr. - Capel?" "Ya. Pemilik asli rumah ini. Kau tahu, dia menembak dirinya sendiri - oh! baiklah,
Tom sayang, aku tidak akan menceritakannya kalau kau tidak setuju. Kejadian itu
betul-betul membuat Tom shock, sebab waktu itu dia ada di sini. Anda juga kan,
Sir Richard?" "Ya, Lady Laura."
Jam besar dan tua di ujung ruangan itu menggeram, mendesum, mendengus seperti
orang sakit asma, kemudian berdentang dua belas kali.
"Selamat Tahun Baru, Tom," gumam Evesham otomatis.
Lady Laura menggulung rajutannya dengan sengaja.
"Nah, kita sudah menyaksikan datangnya Tahun Baru," katanya, dan menambahkan
sambil memandang Mrs. Portal, "bagaimana pendapatmu, Sayang?"
Eleanor Portal segera bangkit berdiri.
"Mau tidur," sahutnya ringan.
"Dia tampak pucat sekali," pikir Mr. Satterthwaite sambil ikut-ikutan bangkit
dan menyibukkan diri dengan tempat lilin. "Biasanya dia tidak sepucat itu."
Mr. Satterthwaite menyalakan lilin dan mengulurkannya padanya sambil membungkuk
sedikit, seperti adat kuno. Ia menerima lilin itu, mengucapkan terima kasih, dan
naik ke loteng dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba suatu perasaan aneh menyerang diri Mr. Satterthwaite. Ia ingin
mengikuti wanita itu untuk menghiburnya. Ia punya perasaan paling aneh bahwa
wanita itu sedang terancam bahaya. Tapi kemudian perasaan itu lenyap dan ia jadi
malu. Kok ia ikut-ikutan gugup"
Eleanor Portal tidak memandang suaminya ketika naik ke loteng tadi, tapi
sekarang ia menoleh dan menatapnya lama dengan pandangan menyelidik yang aneh
dan tajam. Efeknya pada Mr. Satterthwaite juga sangat aneh.
Mr. Satterthwaite buru-buru mengucapkan selamat malam pada tuan rumahnya.
"Saya berharap Tahun Baru ini akan membahagiakan." kata Lady Laura. "Tapi
situasi politik, menurut saya, agaknya sedang diliputi ketidakpastian."
"Saya rasa memang begitu," sahut Mr. Satterthwaite sungguh-sungguh. "Saya rasa
memang begitu." "Saya cuma berharap," lanjut Lady Laura, tanpa perubahan sikap sama sekali,
"yang pertama kali melewati ambang pintu nanti adalah seorang laki-laki kulit
hitam. Anda tahu kan takhayul itu, Mr. Satterthwaite" Tidak" Anda membuat saya
heran. Agar rejeki mau datang ke suatu rumah, yang pertama kali melewati ambang
pintu pada hari pertama di Tahun Baru haruslah seorang laki-laki berkulit gelap.
Astaga, semoga saya tidak menemukan apa pun yang tidak menyenangkan di ranjang
saya nanti. Saya tak pernah mempercayai anak-anak itu. Semangat mereka terlalu
menggebu-gebu." Sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan murung, Lady Laura beranjak naik ke
loteng dengan gaya anggun.
Sepeninggal para wanita, kursi-kursi ditarik lebih dekat mengelilingi perapian
yang membara. "Bilang selamat," kata Evesham riang, sambil mengacungkan botol wiski.
Setelah setiap orang mengucapkan selamat, pembicaraan beralih ke topik yang
tadinya dianggap tabu. "Kau mengenal Derek Capel kan, Satterthwaite?" tanya Conway.
"Sedikit - ya."
"Dan kau, Portal?"
"Tidak, aku tidak pernah bertemu dengannya."
Begitu tegas dan keras ia menyahut, sampai Mr. Satterthwaite mendongak kaget.
"Aku benci kalau Laura menyinggung-nyinggung kejadian itu," kata Evesham pelan.
"Sesudah tragedi itu, tempat ini dijual pada seorang usahawan kaya. Dia pindah
setahun kemudian - katanya tempat ini tidak cocok untuknya. Tentu saja ada banyak
gosip bahwa tempat ini ada hantunya, dan itu menjatuhkan nama rumah ini.
Kemudian, ketika Laura menyuruhku memegang West Kidleby, tentu saja itu berarti
kami harus tinggal di daerah ini, dan tidak gampang mencari rumah yang cocok.
Royston ditawarkan dengan harga murah, dan... yah, akhirnya kubeli. Hantu itu
cuma omong kosong saja, tapi bagaimanapun kita kan merasa tidak enak kalau
diingatkan bahwa kita tinggal di rumah tempat teman kita pernah bunuh diri di
dalamnya Derek yang malang - kita takkan pernah tahu kenapa dia melakukannya."
"Dia bukan orang pertama ataupun terakhir yang bunuh diri tanpa mampu memberikan
alasan," ujar Alex Portal berat.
Ia bangkit dan menuangkan minuman bagi dirinya sendiri dengan gaya dibuat-buat.
"Ada yang tidak beres dengan dirinya," kata Mr. Satterthwaite dalam hati.
"Sungguh tidak beres. Kuharap aku tahu alasannya."
"Astaga!" teriak Conway. "Coba dengar suara angin. Benar-benar liar."
"Malam yang bagus buat para hantu untuk berjalan-jalan," kata Portal sambil
tertawa nyinyir. "Semua setan di neraka sedang bergentayangan malam ini."
"Menurut Lady Laura, bahkan yang paling hitam dari setan-setan itu akan membawa
rejeki untuk kita," kata Conway sambil tertawa. "Mari minum untuknya!"
Angin meraung lagi, keras sekali, dan ketika reda terdengar tiga ketukan keras
di pintu depan yang besar.
Semua orang kaget. "Siapa sih yang mau bertamu malam-malam begini?" teriak Evesham.
Mereka saling menatap. "Aku akan membuka pintu," kata Evesham. "Para pembantu pasti sudah tidur semua."
Ia melintasi ruangan menuju pintu, dengan kaku mengangkat palang-palangnya yang
berat, dan akhirnya membukanya lebar-lebar. Tiupan angin sedingin es menyembur
ke dalam ruangan. Di ambang pintu berdiri seorang laki-laki jangkung dan langsing. Bagi Mr.
Satterthwaite, yang asyik mengamat-amati, laki-laki itu tampak seolah mengenakan
pakaian warna-warni bak pelangi, sebab sosoknya tertimpa sinar-sinar aneh dari
kaca warna-warni di atas pintu. Setelah melangkah masuk, barulah tampak jelas ia
seorang laki-laki kurus berkulit gelap, mengenakan baju pembalap.
"Saya minta maaf telah mengganggu Anda sekalian," katanya dengan suara asing
yang menyenangkan. "Tapi mobil saya mogok. Tidak serius, sopir saya sedang
memperbaikinya sekarang, tapi dia butuh waktu sekitar setengah jam, dan karena
di dalam mobil rasanya dingin sekali..."
Ia berhenti, tapi dengan cepat Evesham memahami maksudnya.
"Sudah pasti dingin sekali. Silakan masuk dan minum. Apa kami bisa menolong
memperbaiki mobil Anda?"
"Tidak perlu, terima kasih. Sopir saya tahu apa yang harus dilakukannya. Omong-
omong, nama saya Quin - Harley Quin."
"Duduklah, Mr. Quin," kata Evesham. "Sir Richard Conway, Mr. Satterthwaite. Dan
saya, Evesham." Mr. Quin mengangguk kecil pada mereka dan duduk di kursi yang telah ditarikkan
oleh Evesham dengan ramah. Waktu ia duduk, seberkas cahaya api menyinari
wajahnya, membuat wajah itu seperti topeng.
Evesham melemparkan dua batang kayu lagi ke dalam perapian.
"Minum?" "Terima kasih."
Evesham mengulurkan minuman sambil bertanya,
"Omong-omong, apakah Anda mengenal daerah ini dengan baik, Mr. Quin?"
"Saya pernah melewatinya beberapa tahun yang lalu."
"Masa?" "Ya. Rumah ini dulu kepunyaan seseorang bernama Capel."
"Ah! Ya," sahut Evesham. "Derek Capel yang malang. Anda kenal?"
"Ya, saya kenal."
Sikap Evesham berubah sedikit, hampir tak kentara bagi orang yang tidak mengenal
karakteristik orang Inggris. Sebelumnya sikapnya agak berjaga-jaga, tapi
sekarang tidak lagi. Mr. Quin telah mengenal Derek Capel. Jadi, ia teman dari
seorang teman, dan itu sudah cukup meyakinkan.
"Kejadiannya luar biasa, kan?" katanya penuh keyakinan. "Kami baru saja
membicarakannya. Terus terang, membeli tempat ini sesungguhnya tidak masuk akal.
Seandainya saja ada tempat lain yang cocok, tapi tidak ada tempat lagi. Saya ada
di rumah ini pada malam dia menembak dirinya sendiri - begitu juga Conway, dan
percayalah, saya selalu mengharapkan kedatangan hantunya."
"Betul-betul kejadian yang tak bisa dijelaskan," kata Mr. Quin pelan, dan ia
berhenti sejenak bak seorang aktor yang baru saja mengucapkan kata-kata kunci
yang penting. "Anda boleh saja menganggapnya tak bisa dijelaskan," sembur Conway. "Kejadian
itu memang merupakan misteri yang gelap - dan akan tetap begitu."
"Saya ingin tahu," ujar Mr. Quin. "Ya, Sir Richard, apa kata Anda?"
"Luar biasa - begitulah. Padahal dia sedang berada di puncak kehidupan, ceria,
ramah, tanpa masalah apa pun di dunia ini. Ada lima atau enam teman lama yang
tinggal bersamanya waktu itu. Dia betul-betul bersemangat waktu makan malam,
penuh rencana untuk masa depan. Selesai makan dia langsung pergi ke kamarnya,
mengambil pistol dari laci, dan menembak dirinya sendiri. Kenapa" Tak seorang
pun tahu. Tak seorang pun akan tahu."
"Bukankah pernyataan itu agak berlebihan, Sir Richard?" tanya Mr. Quin sambil
tersenyum. Conway menatapnya. "Apa maksud Anda" Saya tidak mengerti."
"Suatu masalah tidak mesti tak dapat dipecahkan hanya karena sampai sekarang
masih belum terpecahkan."
"Oh! Ayolah, Bung, kalau waktu itu tidak ada jalan keluarnya dan sekarang pun
kelihatannya masih begitu... sepuluh tahun lagi, apa masih mungkin?"
Mr. Quin menggeleng pelan.
"Saya tidak setuju. Bukti-bukti sejarah yang ada menentang pendapat Anda. Para
sejarawan sekarang takkan pernah menulis sejarah sebenar yang akan ditulis
sejarawan generasi mendatang. Masalahnya adalah bagaimana mendapatkan perspektif
yang benar, melihat segala sesuatu pada tempatnya. Kalau Anda senang dengan
istilah umum itu, memang, seperti hal-hal lainnya, ini masalah relativitas."
Alex Portal mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya mengernyit kesakitan.
"Anda benar, Mr. Quin," serunya, "Anda benar. Waktu tidak pernah meninggalkan
suatu masalah - malah menyajikannya lagi dalam bentuk baru dan berbeda."
Evesham tersenyum penuh toleransi.
"Kalau begitu, maksud Anda, Mr. Quin, kalau kita misalnya membentuk suatu Dewan
Pemeriksa malam ini untuk membahas kematian Derek Capel, kita kemungkinan akan
mengetahui kebenarannya seperti yang seharusnya kita ketahui waktu itu?"
"Kemungkinan besar begitu, Mr. Evesham. Kesan-kesan pribadi sebagian besar akan
ditinggalkan, dan Anda hanya akan mengingat fakta sebagai fakta saja, tanpa
mempengaruhinya dengan interpretasi Anda sendiri tentang fakta itu."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Evesham tampak ragu-ragu.
"Tapi kita harus tahu dulu ujung-pangkalnya," kata Mr. Quin dengan suaranya yang
tenang dan datar. "Suatu ujung-pangkal biasanya cuma teori belaka. Saya yakin
salah seorang dari Anda pasti punya teori. Bagaimana dengan Anda, Sir Richard?"
Conway mengerutkan dahinya dengan serius.
"Yah, tentu saja," katanya dengan nada minta maaf, "kami mengira - sudah wajar
kalau kami semua mengira - ada seorang wanita yang terlibat. Biasanya selalu itu
alasannya, kalau bukan uang, ya kan" Dan sudah pasti bukan uang alasannya. Udak
ada masalah dalam hal itu. Jadi, alasan apa lagi yang mungkin?"
Mr. Satterthwaite kaget. Ia telah mencondongkan tubuh ke depan untuk
menyampaikan pendapat yang ada dalam kepalanya, dan ketika hendak berbuat
demikian, pandangannya menangkap sosok seorang wanita yang sedang bersandar pada
jeruji di loteng atas. Wanita itu betul-betul merapatkan diri pada jeruji, tidak
tampak dari mana pun kecuali dari tempat Mr. Satterthwaite duduk, dan sudah
jelas ia turut mendengarkan dengan penuh perhatian pada apa yang sedang terjadi
di bawah. Begitu diam ia di sana, sampai Mr. Satterthwaite nyaris tidak
mempercayai matanya sendiri.
Tapi ia mengenali corak bajunya dengan mudah - brokat kuno. Wanita itu Eleanor
Portal. Dan tiba-tiba seluruh kejadian malam itu membentuk suatu pola - kemunculan Mr.
Quin bukan sekadar kebetulan, tapi kemunculan seorang aktor setelah diberi
tanda. Ada drama yang sedang dimainkan di ruang keluarga yang besar di Royston
malam ini - drama yang sudah pasti nyata, meski salah seorang aktornya sudah mati.
Ya. Derek Capel punya peranan dalam permainan ini. Mr. Satterthwaite yakin akan
hal itu. Dan, sekali lagi dengan tiba-tiba, suatu gambaran baru muncul di benaknya. Ini
akibat perbuatan Mr. Quin. Dialah yang sedang memimpin permainan, memberikan
tanda pada para aktor. Ia jantung misteri ini, yang menarik tali-talinya supaya
boneka-boneka itu bisa bergerak-gerak. Ia tahu segalanya, bahkan juga kehadiran
wanita yang bersandar pada jeruji kayu di loteng itu. Ya, ia tahu.
Sambil duduk tenang di kursinya, aman dalam peranannya sebagai penonton, Mr.
Satterthwaite memperhatikan drama itu berlangsung di depan matanya. Dengan
tenang dan wajar Mr. Quin menarik tali-tali itu, menggerak-gerakkan boneka-
bonekanya. "Seorang wanita - ya," gumamnya sambil merenung. "Apa ada seorang wanita tertentu
yang disebut-sebut waktu makan malam itu?"
"Ya, tentu saja," teriak Evesham. "Dia mengumumkan pertunangannya. Itu yang
membuat segalanya jadi tidak masuk akal. Dia malah sangat bersemangat
mengenainya. Dia berkata mestinya tidak boleh diumumkan dulu, tapi dia memberi
kami petunjuk bahwa dia telah mempertaruhkan sesuatu yang hebat."
"Tentu saja kami semua menebak siapa wanita itu," kata Conway. "Marjorie Dilke.
Gadis yang baik." Tampaknya saat itu giliran Mr. Quin untuk berbicara, tapi ia tidak melakukannya,
dan sikap diamnya itu malah terasa mengusik. Rasanya seolah-olah ia menentang
pernyataan yang terakhir itu. Hal itu membuat Conway mempertahankan diri.
"Wanita mana lagi yang mungkin" Eh, Evesham?"
"Aku tidak tahu," sahut Tom Evesham pelan. "Apa tepatnya yang dikatakannya waktu
itu" Mempertaruhkan sesuatu yang hebat - dia tak bisa mengatakan nama wanita itu
sampai dia mendapatkan izin darinya; masih belum saatnya diumumkan. Aku ingat
dia berkata bahwa dia laki-laki yang beruntung sekali. Dia ingin dua teman
baiknya mengetahui bahwa dia akan jadi suami yang bahagia pada saat ini satu
tahun lagi. Tentu saja kami mengira wanita itu Marjorie. Mereka akrab sekali dan
dia sering sekali bepergian bersamanya."
"Satu-satunya hal...," Conway memulai dan berhenti.
"Apa yang akan kaukatakan, Dick?"
"Yah, maksudku, memang aneh, kan" Kalau memang Marjorie, kenapa pertunangan
mereka tidak boleh segera diumumkan" Kenapa mesti dirahasiakan" Kedengarannya
seolah-olah wanita itu sudah menikah - kalian tahu, wanita yang suaminya baru
meninggal, atau yang sedang menceraikannya."
"Itu benar," ujar Evesham. "Kalau memang itu masalahnya, tentu saja pertunangan
itu tidak boleh segera diumumkan. Dan kau tahu, kalau dipikir-pikir lagi, kurasa
dia tidak terlalu sering menemui Marjorie. Itu semua terjadi setahun sebelumnya.
Aku ingat pernah mengira hubungan mereka berdua sudah renggang."
"Aneh," kata Mr. Quin.
"Ya, kelihatannya seperti ada orang lain yang muncul di antara mereka berdua."
"Seorang wanita lain," ujar Conway serius.
"Astaga," kata Evesham. "Kalian tahu, memang ada sesuatu yang betul-betul luar
biasa pada diri Derek malam itu. Dia tampak nyaris mabuk dalam kebahagiaan.
Tapi... aku tak bisa menjelaskan maksudku dengan tepat... tapi dia kelihatannya
juga bersikap menentang."
"Seperti orang yang menyangkal takdir," kata Alex Portal berat.
Apakah Derek Capel yang dimaksudkannya - atau dirinya sendiri" Mr. Satterthwaite,
yang menatapnya, cenderung berpendapat yang terakhir. Ya, itulah yang
ditunjukkan Alex Portal - orang yang menyangkal takdir.
Imajinasinya, yang telah bercampur dengan minuman, tiba-tiba bereaksi terkena
bagian cerita itu, sehingga ia tersentak dari lamunannya.
Mr. Satterthwaite mendongak. Wanita itu masih di sana. Memperhatikan,
mendengarkan, masih tetap tak bergerak, beku - seperti wanita mati.
"Benar sekali," kata Conway. "Capel memang tegang saat itu - dan aneh. Menurutku
dia seperti ikut taruhan yang besar dan menang, meskipun keadaannya nyaris
mustahil." "Mungkin mengumpulkan keberanian untuk melakukan apa yang telah diputuskannya?"
usul Portal. Dan seperti digerakkan oleh setumpuk ide, ia bangkit untuk menuangkan minuman
lagi bagi dirinya. "Sama sekali tidak begitu," sahut Evesham tajam. "Aku berani sumpah bahwa
pikiran semacam itu tak pernah ada dalam otaknya. Conway benar. Tingkah lakunya
memang seperti penjudi yang sudah lama bertaruh dan nyaris tak bisa mempercayai
keberuntungannya." Conway angkat bahu. "Tapi," katanya, "sepuluh menit kemudian..."
Mereka duduk dalam keheningan. Evesham meninju meja.
"Sesuatu pasti terjadi dalam sepuluh menit itu," teriaknya "Pasti begitu! Tapi
apa" Mari kita menelaahnya lagi dengan saksama. Waktu itu kami semua asyik
ngobrol. Tiba-tiba Capel berdiri dan meninggalkan ruangan."
"Kenapa?" tanya Mr. Quin.
Selaan itu tampaknya membuyarkan perhatian Evesham.
"Maaf?" "Saya hanya bertanya: Kenapa?" kata Mr. Quin.
Evesham mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat.
"Waktu itu kelihatannya... tidak penting. Oh! tentu saja - pos. Masa tidak ingat
bunyi bel nyaring yang membuat kita semua gembira" Kita kan terkurung salju
selama tiga hari. Badai salju terhebat selama bertahun-tahun. Semua jalan tak
bisa dilewati. Tidak ada koran, tidak ada surat. Capel pergi keluar untuk
melihat apa ada yang datang akhirnya, dan dia mendapat setumpuk barang. Koran
dan surat. Dia membuka korannya untuk melihat apa ada berita penting, kemudian
naik ke loteng sambil membawa surat-suratnya. Tiga menit kemudian kami mendengar
bunyi tembakan. Aneh - betul-betul tak dapat dijelaskan."
"Itu bukannya tak dapat dijelaskan," kata Portal. "Tentu saja penyebabnya karena
dia menerima kabar yang tidak diharapkan pada salah satu surat. Menurutku, malah
jelas sekali." "Oh! Jangan dikira kami sampai bisa mengabaikan petunjuk sejelas itu. Itu
pertanyaan pertama yang diajukan polisi. Tapi Capel tidak pernah membuka satu
pun surat-suratnya. Seluruh surat itu masih tertumpuk rapi di meja riasnya."
Portal kelihatan kecewa. "Kau yakin dia tidak membuka satu saja dari surat-surat itu" Mungkin dia
langsung menghancurkannya setelah membaca."
"Tidak, aku cukup yakin. Tentu saja itu pemecahan yang wajar. Tapi kenyataannya
semua surat itu tidak ada yang dibuka. Tidak ada yang dibakar, tidak ada yang
dirobek. Di kamar itu tidak ada perapiannya, kan?"
Portal menggeleng. "Luar biasa." "Betul-betul kejadian menyeramkan," kata Evesham dengan suara rendah. "Conway
dan aku segera naik ke loteng ketika mendengar bunyi tembakan itu dan
menemukannya Aku betul-betul shock, kalian tahu."
"Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menelepon polisi, saya rasa?" tanya Mr.
Quin. "Waktu itu di Royston belum ada telepon. Saya memasangnya waktu membeli tempat
ini. Tapi untungnya ada polisi lokal mampir di dapur waktu itu. Salah satu
anjing-anjing itu - kauingat Rover tua yang malang, Conway" - tersesat sehari
sebelumnya. Seorang tukang kereta menemukannya setengah terbenam di salju dan
membawanya ke kantor polisi. Mereka mengenalinya sebagai milik Capel, dan
kebetulan yang paling disayanginya, lalu polisi itu datang mengantarnya pulang.
Dia tiba semenit setelah tembakan itu meletus. Jadi, betul-betul menolong kami."
"Memang hebat badai salju malam itu," ujar Conway, terbayang-bayang. "Kira-kira
pada masa-masa seperti sekarang ini, kan" Awal Januari?"
"Februari, kurasa. Sebentar, kami pergi ke luar negeri segera setelah itu."
"Aku yakin waktu itu Januari. Pemburuku, Ned - kauingat Ned" - kakinya pincang pada
akhir Januari. Dan itu terjadi setelah kejadian itu."
"Kalau begitu, pasti akhir Januari. Heran, betapa sulit mengingat-ingat tanggal
setelah lewat bertahun-tahun."
"Salah satu hal paling sulit di dunia," ujar Mr. Quin basa-basi. "Kecuali kalau
kita bisa menemukan suatu kejadian penting - misalnya, pembunuhan kepala negara
atau pengadilan atas suatu pembunuhan besar."
"Astaga, tentu saja," teriak Conway, "kejadian itu tepat sebelum kasus
Appleton." "Malah segera sesudah itu, kan?"
"Tidak, tidak, kau tidak ingat - Capel mengenal pasangan Appleton itu. Dia pernah
tinggal dengan orang tua itu pada musim semi sebelumnya, tepatnya seminggu
sebelum kematiannya. Dia pernah menceritakan hal itu suatu malam - betapa
cerewetnya laki-laki itu dan betapa malangnya bagi seorang wanita yang masih
muda dan cantik seperti Mrs. Appleton untuk terikat padanya. Waktu itu belum ada
kecurigaan bahwa wanita itu yang menghabisi hidup suaminya."
"Demi Tuhan, kau benar. Aku ingat membaca tentang itu di koran yang menuliskan
bahwa perintah menggali lagi kuburnya telah dikeluarkan. Pasti hari itu aku cuma
membacanya setengah-setengah, karena aku masih khawatir dengan Derek yang
tergeletak mati di loteng."
"Itu memang gejala umum, tapi sangat aneh," ujar Mr. Quin. "Pada saat tertimpa
stres berat, otak cenderung menaruh perhatian pada hal-hal kurang penting, yang
malahan, teringat terus sesudahnya, terpicu oleh stres berat yang dialami waktu
itu. Yang diingat mungkin hal-hal kecil yang tidak ada artinya, seperti corak
kertas pelapis dinding, tapi hal itu tak pernah terlupakan."
"Ucapan Anda itu agak luar biasa, Mr. Quin," kata Conway. "Ketika Anda bicara
tadi, saya tiba-tiba merasa berada di kamar Derek Capel lagi - dengan Derek
tergeletak mati di lantai. Saya bisa melihat dengan jelas pohon besar di luar
jendela, bayangannya jatuh menimpa salju di luar. Ya, sinar rembulan, salju, dan
bayangan pohon itu - saya bisa melihat semuanya lagi sekarang. Demi Tuhan,
rasanya saya bisa menggambarkannya, padahal waktu itu saya tidak sadar telah
memandang semuanya itu."
"Kamarnya itu kamar besar di dekat pintu masuk, kan?" tanya Mr. Quin.
"Ya, dan pohon itu pohon beringin yang besar, tepat di sudut tikungan."
Mr. Quin mengangguk, seolah-olah puas. Mr. Satterthwaite betul-betul tegang. Ia
yakin bahwa setiap kata, setiap nada suara Mr. Quin, sarat oleh maksud. Ia
sedang mengarah ke sesuatu - tepatnya apa, Mr. Satterthwaite tidak tahu, tapi ia
cukup yakin siapa yang memegang kemudinya.
Sejenak semua terdiam, kemudian Evesham kembali ke topik sebelumnya.
"Kasus Appleton itu, saya ingat dengan jelas sekarang. Waktu itu cukup
sensasional. Wanita itu bebas, bukan" Cantik, berkulit putih - betul-betul putih."
Nyaris di luar kehendaknya, mata Mr. Satterthwaite berputar ke arah sosok yang
sedang berlutut di atas sana. Apa ia cuma berkhayal ataukah ia melihat sosok itu
mengkerut sedikit, seolah-olah terpukul" Apa ia melihat sebuah tangan meluncur
di atas taplak meja... kemudian berhenti"
Terdengar bunyi gelas pecah. Alex Portal, yang bermaksud menambah lagi wiskinya,
telah menjatuhkan botol wiski itu.
"Aduh, maaf, tidak sengaja. Entah kenapa aku ini."
Evesham segera menghentikan penyesalannya.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Teman. Aneh, bunyi pecah itu mengingatkanku.
Itulah yang dilakukannya, bukan" Mrs. Appleton" Menghancurkan botol anggur?"
"Ya. Appleton tua itu selalu minum segelas anggur merah - cuma segelas - setiap
malam. Sehari setelah kematiannya, salah seorang pembantu melihat sang nyonya
mengambil botol itu dan membantingnya dengan sengaja. Itu tentu saja membuat
mereka bergosip ria. Mereka semua tahu dia sudah jemu dengan suaminya. Gosip itu
terus berlanjut dan akhirnya, berbulan-bulan kemudian, beberapa sanak saudaranya
mengajukan permintaan untuk melakukan penggalian kuburan. Ternyata orang tua itu
memang diracun. Arsenik, bukan?"
"Bukan - kurasa strychnine. Tidak terlalu berarti. Yah, tapi tetap saja terbukti.
Hanya satu orang yang dirasa mungkin melakukannya. Mrs. Appleton diajukan ke
sidang. Tapi dia dibebaskan karena kurangnya bukti-bukti, bukan karena
ketidakbersalahannya. Dengan kata lain, dia beruntung. Ya, kurasa memang tak
perlu diragukan lagi dialah yang melakukannya. Apa yang terjadi padanya setelah
itu?" "Pergi ke Canada, kurasa. Atau Australia, ya" Dia punya paman atau entah apa di
sana yang menawarkan tempat tinggal baginya. Memang itulah jalan terbaik yang
bisa dipilihnya dalam kondisi seperti itu."
Mr. Satterthwaite tertarik dengan tangan kanan Alex Portal yang sedang memegang
gelas. Betapa kuat pegangannya itu.
"Kau pasti akan memecahkannya juga sebentar lagi, kalau tidak hati-hati," pikir
Mr. Satterthwaite. "Astaga, betapa menariknya semua ini."
Evesham berdiri dan menuang minuman lagi bagi dirinya sendiri.
"Yah, ternyata kita sama sekali tidak lebih tahu kenapa Derek Capel menembak
dirinya sendiri," katanya. "Dewan Pemeriksa ini tidak berhasil, bukan, Mr.
Quin?" Mr. Quin tertawa. Tawa yang aneh, menyindir, tapi juga sedih. Semua orang sampai kaget karenanya.
"Maaf," katanya. "Anda masih tenggelam dalam masa lalu, Mr. Evesham. Anda masih
terbayang-bayang pada kesimpulan Anda sendiri. Tapi saya, orang dari luar, orang
asing yang kebetulan lewat, cuma melihat fakta-fakta!"
"Fakta-fakta?" "Ya, fakta-fakta."
"Apa maksud Anda?" tanya Evesham.
"Saya melihat urutan yang jelas dari fakta-fakta yang Anda gambarkan tadi, tapi
yang tidak Anda sadari kepentingannya. Mari kita kembali ke sepuluh tahun yang
lalu dan melihat apa yang kita lihat - tanpa dipengaruhi oleh ide-ide ataupun
perasaan-perasaan." Mr. Quin berdiri. Ia tampak jangkung sekali. Api berkobar-kobar hebat di
belakangnya. Ia berbicara dengan suara rendah yang mencekam.
"Anda sedang makan malam Derek Capel mengumumkan pertunangannya. Waktu itu Anda
mengira wanitanya adalah Marjorie Dilke. Tapi sekarang Anda tidak yakin. Tingkah
lakunya waktu itu tegang sekali, bagaikan orang yang telah berhasil mengelabui
takdir, orang yang, dengan kata-kata Anda sendiri, telah menang taruhan,
meskipun keadaannya nyaris mustahil. Lalu terdengar bunyi bel. Dia keluar untuk
menerima pos yang sudah terlambat lama Dia tidak membuka surat-suratnya, tapi
Anda sendiri mengatakan dia membuka koran dan melirik beritanya. Semua itu
terjadi sepuluh tahun yang lalu, jadi kita tidak bisa tahu berita apa itu - gempa
bumi di luar negeri, krisis politik yang akan segera terjadi" Satu-satunya hal
yang kita ketahui tentang isi koran itu adalah yang tertulis dalam satu artikel
kecil - artikel yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri telah memberikan izin
untuk menggali lagi jenazah Mr. Appleton tiga hari yang lalu."
"Apa?" Mr. Quin melanjutkan. "Derek Capel naik ke kamarnya dan melihat sesuatu di luar jendela. Sir Richard
Conway telah bercerita bahwa waktu itu gordennya tidak ditarik dan jendela itu
menghadap ke jalanan. Apa yang dilihatnya" Apa yang mungkin telah dilihatnya
sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?"
"Apa maksud Anda" Apa yang telah dilihatnya?"
"Saya rasa," kata Mr. Quin, "dia melihat seorang polisi. Seorang polisi yang
kebetulan datang untuk mengantarkan seekor anjing. Tapi Derek Capel tidak tahu
itu; dia cuma melihat seorang polisi."
Ada kesunyian panjang, seolah-olah butuh waktu untuk mencerna semuanya itu.
"Astaga!" bisik Evesham akhirnya. "Mustahil. Appleton" Tapi dia tidak ada di
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana ketika Appleton meninggal. Orang tua itu sendirian dengan istrinya."
"Tapi dia mungkin ada di sana seminggu sebelumnya. Strychnine tidak terlalu
cepat larut kecuali kalau dalam bentuk hidroklorid. Sebagian besar racun itu,
kalau dimasukkan dalam anggur merah, akan terminum pada gelas terakhir, mungkin
seminggu setelah dia pulang."
Portal melompat ke depan. Suaranya serak, matanya membelalak.
"Kenapa istrinya memecahkan botol itu?" teriaknya. "Kenapa dia memecahkannya"
Coba katakan!" Untuk pertama kalinya malam itu, Mr. Quin berkata kepada Mr. Satterthwaite.
"Anda punya pengalaman hidup yang luas sekali, Mr. Satterthwaite. Mungkin Anda
bisa menjelaskannya pada kami semua."
Suara Mr. Satterthwaite sedikit gemetar. Tanda untuknya akhirnya muncul juga. Ia
harus mengucapkan bait paling penting dalam permainan itu. Ia sekarang aktor -
bukan penonton. "Seperti yang saya lihat," katanya dengan rendah hati, "wanita itu... sayang
pada Derek Capel. Dia, saya rasa, adalah wanita yang baik hati, dan dia telah
menyuruh Derek pulang. Ketika suaminya meninggal, dia mencurigai kebenarannya.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan laki-laki yang dicintainya, dia mencoba
menghancurkan barang bukti itu. Sesudah itu, saya kira, Derek merayunya sehingga
kecurigaannya hilang, dan dia setuju untuk menikah dengannya. Meskipun demikian,
dia tetap berjaga-jaga. Wanita, menurut saya, memang punya banyak insting."
Mr. Satterthwaite telah mengucapkan bagiannya.
Tiba-tiba suara desahan panjang dan gemetar memenuhi ruangan.
"Demi Tuhan!" teriak Evesham. "Apa itu tadi?"
Mr. Satterthwaite semestinya dapat menjelaskan padanya bahwa itu tadi adalah
suara Eleanor Portal di loteng, tapi ia terlalu sayang untuk merusak efek yang
bagus itu. Mr. Quin tersenyum. "Mobil saya pasti sudah beres sekarang. Teruna kasih atas keramahan Anda, Mr.
Evesham. Saya harap sudah melakukan sesuatu yang baik untuk teman saya."
Mereka menatapnya terpana.
"Aspek itu sama sekali tidak terpikirkan oleh Anda sekalian, bukan" Dia memang
mencintai wanita itu. Mencintai sampai rela membunuh untuknya. Ketika rasa
tanggung jawab menyerangnya, seperti yang salah dikiranya, dia menembak dirinya
sendiri. Tapi tanpa disadarinya, dia meninggalkan wanita itu menderita akibat
perbuatannya." "Dia toh dibebaskan," gumam Evesham.
"Karena kasus terhadapnya tak bisa dibuktikan. Saya membayangkan - cuma
membayangkan bahwa dia masih menderita akibat perbuatan itu."
Portal terenyak di kursi, wajahnya dibenamkan dalam tangannya.
Quin menoleh pada Satterthwaite.
"Sampai jumpa, Mr. Satterthwaite. Anda tertarik dengan drama itu, bukan?"
Mr. Satterthwaite mengangguk - kaget.
"Saya mesti merekomendasikan Harlequin* pada Anda. Sekarang ini sudah mulai
punah, tapi selalu ada imbalannya kalau Anda tertarik, percayalah. Simbolismenya
memang agak susah untuk dipahami, tapi yang abadi akan abadi, Anda harus tahu
itu. Saya ucapkan selamat malam pada Anda semua." *{tokoh badut pemain musik
dalam pantomim-pantomim kuno, yang mengenakan kostum ketat bercorak kotak-kotak
dan topeng. (Nama Mr. Harley Quin punya bunyi yang mirip dengan Harlequin)}
Mereka melihatnya keluar pintu, menuju kegelapan. Seperti sebelumnya, warna-
warni kaca memberiku efek pelangi.
Mr. Satterthwaite naik ke loteng. Ia menghampiri jendelanya untuk menutup
daunnya, karena udara betul-betul dingin. Sosok tubuh Mr. Quin tampak menyusuri
jalanan keluar, dan dari pintu samping terlihat sosok seorang wanita sedang
berlari. Selama beberapa saat mereka saling berbicara, kemudian wanita itu
kembali ke rumah. Ia berhenti sejenak di bawah jendela, dan Mr. Satterthwaite
terpana melihat vitalitas di wajahnya. Ia sekarang berjalan bagaikan seorang
wanita dalam sebuah mimpi indah.
"Eleanor!" Alex Portal menemuinya. "Eleanor, maafkan aku - maafkan aku. Kau menceritakan yang sebenarnya padaku,
tapi, semoga Tuhan mengampuniku, aku tidak terlalu mempercayaimu."
Mr. Satterthwaite memang sungguh-sungguh tertarik dengan urusan orang lain, tapi
ia tahu diri. Ia tahu bahwa saat itu ia harus menutup jendelanya. Maka ia
melakukannya. Tapi ia menutupnya perlahan-lahan.
Ia mendengar suara wanita itu, ceria dan bahagia.
"Aku tahu - aku tahu. Kau merana sekali seperti di neraka selama ini. Begitu pula
aku dulu. Mencintai, mempercayai, tapi sekaligus juga mencurigai - membuang
kecurigaan itu, tapi selalu timbul lagi begitu ada lirikan dari orang-orang
lain. Aku tahu, Alex, aku tahu. Tapi ada neraka yang lebih buruk dari itu semua,
neraka yang pernah kutinggali bersamamu. Aku tahu keraguanmu, ketakutanmu padaku
meracuni cinta kita. Orang itu - orang yang kebetulan lewat itu - menyelamatkanku.
Kau tahu, sesungguhnya aku sudah tidak tahan lagi. Malam ini... malam ini aku
bermaksud bunuh diri. Alex... Alex..."
Bab 2 BAYANGAN DI JENDELA "COBA dengar ini," kata Lady Cynthia Drage.
Ia membaca keras-keras koran yang dipegangnya.
"Mr. dan Mrs. Unkerton menyelenggarakan pesta di Greenways House minggu ini.
Tamu-tamu yang diundang antara lain Lady Cynthia Drage, Mr. dan Mrs. Richard
Scott, Mayor Porter, D.S.O., Mrs. Staverton, Kapten Allenson, dan Mr.
Satterthwaite." "Ada baiknya juga mengetahui untuk apa kita diundang," kata Lady Cynthia sambil
melemparkan koran itu. "Tapi mereka telah mengacaukan segalanya!"
Teman bicaranya, Mr. Satterthwaite, yang namanya disebutkan pada akhir daftar
tamu tadi, memandangnya penuh selidik. Kata orang, kalau Mr. Satterthwaite
berada di rumah orang-orang kaya yang baru saja pindah, pastilah di sana ada
makanan yang luar biasa lezat, atau ada drama kehidupan manusia yang akan
berlangsung. Mr. Satterthwaite memang betul-betul gandrung akan komedi dan
tragedi kehidupan sesamanya.
Lady Cynthia, yang setengah baya, dengan wajah kaku dan makeup agak berlebihan,
menepuknya dengan payung model mutakhir yang saat itu disandarkan dengan gagah
di samping lututnya. "Jangan pura-pura tidak mengerti. Kau toh tahu betul. Lagi pula aku percaya kau
di sini untuk melihat perang yang akan meledak!"
Mr. Satterthwaite segera membantahnya. Ia tidak tahu apa yang dimaksudkan Lady
Cynthia. "Yang kumaksud Richard Scott. Apa kau mau pura-pura tidak pernah mendengar
namanya?" "Tidak, tentu tidak. Dia kan terkenal sebagai si Pemburu Besar?"
"Memang - 'Beruang dan harimau yang besar-besar, dan seterusnya' seperti dalam
lagu. Sekarang ini dia sendiri bisa dibilang singa besar. Keluarga Unkerton
pasti gila mau mengundangnya - dan suaminya! Anak yang menarik! betul-betul
menarik - tapi begitu polos, baru dua puluh, padahal maminya paling sedikit sudah
45." "Mrs. Scott memang tampaknya sangat menarik," kata Mr. Satterthwaite tenang.
"Ya, anak malang."
"Kenapa mesti malang?"
Lady Cynthia menatapnya sebal, dan meneruskan cerita dengan gayanya sendiri.
"Porter lumayan, tapi membosankan - salah satu dari pemburu-pemburu Afrika itu
juga, dengan kulit terbakar matahari dan pendiam. Cuma jadi bayang-bayang
Richard Scott dari dulu sampai sekarang; mereka memang sudah lama bersahabat.
Kalau kupikir-pikir, mereka rasanya bersama-sama dalam perjalanan itu."
"Perjalanan apa?"
"Perjalanan itu. Perjalanan Mrs. Staverton. Sebentar lagi kau pasti bilang kau
tidak pernah mendengar tentang Mrs. Staverton."
"Aku pernah mendengar tentang Mrs. Staverton," kata Mr. Satterthwaite,
tersinggung. Ia dan Lady Cynthia bertukar pandang.
"Ini betul-betul ciri khas keluarga Unkerton," keluh Lady Cynthia. "Mereka itu
betul-betul kacau - dalam hal sosialisasi, maksudku. Bayangkan, bisa-bisanya
mereka mengundang kedua orang itu pada acara yang sama! Tentu saja mereka sudah
pernah mendengar tentang Mrs. Staverton yang olahragawati dan pengelana itu,
serta tentang bukunya. Orang-orang seperti keluarga Unkerton itu betul-betul
tidak menyadari bahwa bisa terjadi kesulitan! Aku sendiri baru saja mengalaminya
tahun lalu, dan tak seorang pun tahu betapa menderitanya aku. Harus ada yang
mengawasi mereka. 'Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh begini!' Untung aku
sudah melewati semua itu. Bukannya kami bertengkar - oh! tidak, aku tidak pernah
bertengkar, tapi biar orang lain saja yang meneruskan pekerjaan itu. Seperti
kataku selalu, aku bisa menerima kekasaran, tapi aku tidak tahan dengan
kepicikan!" Setelah mencurahkan keluh-kesahnya yang tidak jelas, Lady Cynthia terdiam
sejenak, merenungkan kepicikan keluarga Unkerton seperti yang dikatakannya tadi.
"Kalau aku harus membantu mereka untuk acara ini," ia meneruskan, "aku pasti
akan dengan tegas dan jelas mengatakan, Kalian tidak bisa mengundang Mrs.
Staverton dan suami-istri Richard Scott. Dulu mereka berdua pernah..."
Ia tiba-tiba berhenti. "Dulu mereka berdua pernah apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Temanku yang baik! Itu kan sudah terkenal. Perjalanan menuju Pulau! Aku heran
wanita itu masih punya muka untuk menerima undangan ini."
"Mungkin dia tidak tahu yang lainnya akan hadir juga?" pancing Mr.
Satterthwaite. "Mungkin. Itu lebih masuk akal."
"Kaupikir...?" "Menurutku dia itu wanita berbahaya - wanita yang tidak mau mengalah. Aku tidak
mau jadi Richard Scott akhir minggu ini."
"Dan menurutmu, istri Richard Scott tidak tahu apa-apa tentang hal ini?"
"Aku yakin dia tidak tahu apa-apa. Tapi kurasa cepat atau lambat pasti ada teman
yang memberitahunya. Ini dia Jimmy Allenson. Anak yang baik sekali. Dia
menyelamatkan hidupku di Mesir musim dingin yang lalu - aku begitu bosan waktu
itu. Halo, Jimmy, cepatlah kemari."
Kapten Allenson menurut, mendudukkan dirinya di rerumputan di samping Lady
Cynthia. Ia seorang pemuda tampan berusia sekitar tiga puluh, dengan gigi putih
dan senyum menawan. "Aku senang ada orang yang menginginkan diriku," katanya. "Pasangan Scott sedang
bermesraan, untuk itu butuh dua orang, bukan tiga, Porter sedang asyik membaca
Field, dan aku nyaris terperangkap diajak mengobrol dengan nyonya rumah."
Ia tertawa. Lady Cynthia ikut tertawa. Mr. Satterthwaite, yang dalam beberapa
hal memang masih kuno, tidak ikut tertawa, karena ia jarang menggunjingkan tuan
dan nyonya rumahnya sampai ia meninggalkan rumah mereka.
"Jimmy yang malang," kata Lady Cynthia.
"Aku tidak mau cari urusan, lebih baik menghindar saja. Aku baru saja meloloskan
diri dari cerita tentang hantu keluarga mereka."
"Hantu Unkerton," kata Lady Cynthia. "Menarik sekali."
"Bukan hantu Unkerton," kata Mr. Satterthwaite. "Hantu Greenway. Mereka
membelinya bersama dengan rumah ini."
"Tentu saja," kata Lady Cynthia. "Aku ingat sekarang. Tapi hantunya tidak
mengentak-entakkan rantainya, kan" Cuma berhubungan dengan sebuah jendela."
Jimmy Allenson mendongak cepat.
"Jendela?" Tapi Mr. Satterthwaite tidak menyahut. Ia sedang memandang di balik kepala
Jimmy, pada tiga sosok yang berjalan mendekat dari arah rumah - seorang gadis
langsing di antara dua laki-laki. Ada kemiripan kentara di antara kedua laki-
laki itu, tapi kalau diperhatikan dengan saksama, kemiripan itu lenyap. Richard
Scott, pemburu dan penjelajah, adalah laki-laki dengan kepribadian luar biasa
bersemangat Ia punya karisma bak magnet. John Porter, teman dan pasangannya
berburu, adalah laki-laki tegap dengan wajah kaku yang agak pasif serta mata
kelabu yang serius. Ia pendiam, selalu puas menjadi orang nomor dua di samping
temannya. Dan di antara keduanya berjalan Moira Scott, yang dulunya adalah Moira
O'Connell, sampai tiga bulan yang lalu. Tubuhnya langsing, matanya besar,
cokelat dan sayu, rambutnya merah dan membungkus wajahnya yang kecil, bagaikan
lingkaran di atas kepala seorang santa.
"Anak itu tidak boleh dilukai," kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Kurang ajar
sekali kalau sampai ada orang yang melukai anak seperti itu."
Lady Cynthia menyambut para pendatang baru itu dengan payung model mutakhirnya.
"Duduklah, dan jangan menyela," katanya. "Mr. Satterthwaite sedang bercerita
tentang hantu." "Saya suka sekali cerita hantu," kata Moira Scott. Ia menjatuhkan diri di
rerumputan. "Hantu di Greenways House?" tanya Richard Scott.
"Ya. Anda mengetahuinya?"
Scott mengangguk. "Saya dulu pernah tinggal di sini," katanya menjelaskan. "Sebelum keluarga
Elliot menjualnya. Hantu Bangsawan yang Mengamat-amati, bukan?"
"Bangsawan yang Mengamat-amati," ulang Moira pelan. "Saya suka itu.
Kedengarannya menarik. Tolong lanjutkan ceritanya."
Tapi Mr. Satterthwaite tampaknya enggan menceritakannya. Ia meyakinkan Moira
bahwa cerita itu sama sekali tidak menarik.
"Anda kena getahnya, Satterthwaite," kata Richard Scott, menyindir. "Keengganan
Anda malah membuat cerita itu semakin menarik."
Akhirnya, karena didesak semua orang, Mr. Satterthwaite terpaksa mengalah.
"Sesungguhnya cerita itu sama sekali tidak menarik," katanya minta maaf. "Saya
rasa cerita aslinya bermula dari seorang nenek moyang bangsawan di keluarga
Elliot. Istrinya punya pacar gelap. Suaminya dibunuh oleh si pacar gelap di
kamar di loteng, dan pasangan yang bersalah itu melarikan diri, tapi ketika
mereka minggat, mereka menoleh ke rumah itu dan melihat wajah suami yang sudah
mati itu di jendela, mengamat-amati mereka. Itulah legendanya, tapi cerita hantu
itu cuma berhubungan dengan kaca jendela dari kamar itu saja, yang ada nodanya;
kalau dari dekat nyaris tidak tampak, tapi dari jauh memberikan kesan seperti
bayangan seorang laki-laki yang sedang memandang ke luar."
"Jendela yang mana?" tanya Mrs. Scott, mendongak memandang ke rumah itu.
"Anda tidak bisa melihatnya dari sini," kata Mr. Satterthwaite. "Letaknya di
sisi lain, tapi jendela itu telah ditutup dari dalam beberapa tahun yang lalu -
empat puluh tahun yang lalu, saya kira."
"Kenapa harus ditutup" Tadi Anda bilang hantunya toh tidak gentayangan."
"Memang tidak," kata Mr. Satterthwaite meyakinkannya. "Saya rasa... yah, saya
rasa itu cuma karena rasa takhayul saja."
Kemudian, dengan cekatan ia berhasil membelokkan pembicaraan. Jimmy Allenson
langsung bercerita tentang para peramal Mesir.
"Kebanyakan mereka itu palsu. Selalu siap menceritakan masa lalu pada kita
secara samar-samar, tapi tidak mau bertanggung jawab tentang masa depan."
"Selama ini saya selalu mengira kebalikannya," ujar John Porter.
"Meramal masa depan adalah pekerjaan ilegal di negara ini, bukan?" tanya Richard
Scott. "Moira pernah membujuk seorang gipsi untuk meramal nasibnya, tapi wanita
itu mengembalikan uangnya, dan berkata itu tidak akan ada gunanya."
"Mungkin dia melihat sesuatu yang mengerikan, sehingga dia tidak mau
mengatakannya pada saya," kata Moira.
"Jangan terlalu memikirkannya, Mrs. Scott," kata Allenson ringan. "Saya, terus
terang, menolak percaya bahwa ada nasib buruk membayangi Anda."
"Aku ingin tahu," pikir Mr. Satterthwaite dalam hati. "Aku ingin tahu...."
Kemudian ia mendongak cepat Dua wanita sedang berjalan dari arah rumah, yang
seorang tegap dan pendek, berambut hitam, dengan gaun hijau kedodoran, seorang
lagi tinggi langsing dengan gaun krem. Wanita pertama adalah nyonya rumah, Mrs.
Unkerton, dan yang kedua adalah wanita yang sering didengarnya, tapi tak pernah
dijumpainya. "Ini dia, Mrs. Staverton," Mrs. Unkerton mengumumkan dengan nada puas. "Saya
rasa semua teman sudah ada di sini."
"Orang-orang seperti mereka memang punya bakat luar biasa untuk mengucapkan hal-
hal paling buruk," gerutu Lady Cynthia, tapi Mr. Satterthwaite tidak
mendengarkan. Ia sedang mengamat-amati Mrs. Staverton.
Sangat ramah - sangat wajar. Sapaannya ringan. "Halo! Richard, sudah lama kita
tidak bertemu. Maaf, aku tak bisa menghadiri pernikahanmu. Apakah ini istrimu"
Anda pasti lelah menemui semua teman suami Anda yang sudah tua-tua ini."
Tanggapan Moira sopan, agak kemalu-maluan. Pandangan wanita yang lebih tua itu
sekarang melayang ke arah teman lama yang lainnya.
"Halo, John!" Nada suara ringan yang sama, tapi dengan sedikit perbedaan -
perasaan hangat yang tadi tidak ada.
Kemudian senyuman mendadak itu. Membuatnya berubah. Lady Cynthia benar. Wanita
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berbahaya! Sangat putih, mata biru kelam - bukan warna yang biasanya gampang
meledak - raut wajahnya cekung tapi tenang. Wanita dengan suara diulur pelan dan
senyum mendadak yang menakjubkan.
Iris Staverton duduk. Ia langsung menjadi pusat perhatian kelompok itu. Dan
tampaknya memang selalu begitu.
Mr. Satterthwaite terbangun dari lamunannya oleh Mayor Porter yang mengajaknya
berjalan-jalan. Mr. Satterthwaite, yang biasanya tidak menyukai acara jalan-
jalan, menerimanya. Kedua laki-laki itu berjalan melintasi lapangan rumput.
"Cerita Anda tadi menarik sekali," kata si Mayor.
"Saya akan menunjukkan jendelanya," kata Mr. Satterthwaite.
Ia memimpin jalan memutar menuju sisi barat rumah itu. Di sana ada sebuah kebun
kecil yang apik - Kebun Tersembunyi, begitulah namanya, dan memang cocok, karena
kebun itu dikelilingi pagar tanaman berduri, bahkan jalan masuknya berbentuk zig
zag serta dipagari oleh tanaman berduri yang sama tingginya.
Begitu di dalam, kebun itu ternyata cantik sekali dengan bedeng-bedeng bunga
yang ditata secara antik, jalan-jalan setapak yang berkelok-kelok, dan tempat-
tempat duduk dari batu yang diulur indah. Ketika mereka sampai di tengah-tengah
kebun, Mr. Satterthwaite berbalik dan menunjuk ke arah rumah. Greenways House
terlihat membentang dari utara ke selatan. Di dinding baratnya yang sempit cuma
ada satu jendela, jendela yang terletak di lantai pertama, hampir tertutup oleh
tanaman merambat, kaca-kacanya buram, serta jelas tertutup dari dalam.
"Itu dia," kata Mr. Satterthwaite.
Sambil menjulurkan leher, Porter mendongak.
"Hm, saya melihat sejenis perubahan warna pada salah satu kaca jendela, cuma
itu." "Kita memang terlalu dekat," kata Mr. Satterthwaite. "Ada dataran yang lebih
tinggi di hutan sana Dari situ, kita bisa melihat dengan lebih baik."
Ia memimpin jalan keluar dari Kebun Tersembunyi, dan berbelok tajam ke kiri,
menuju hutan. Mr. Satterthwaite bersemangat sekali dalam menunjukkan jendela
itu, sampai-sampai nyaris tidak memperhatikan orang di sampingnya sebenarnya
tidak terlalu tertarik mendengarkan ocehannya.
"Tentu saja mereka harus membuat jendela lagi, ketika yang satu itu ditutup,"
katanya menjelaskan. "Jendela yang baru menghadap ke selatan, ke arah lapangan
rumput tempat kita duduk-duduk tadi. Saya rasa pasangan Scott-lah yang menempati
kamar itu. Itu sebabnya saya tidak mau meneruskan cerita hantu itu. Mrs. Scott
mungkin akan takut kalau tahu dia akan tidur di kamar yang disebut-sebut ada
hantunya." "Ya. Saya mengerti," kata Porter.
Mr. Satterthwaite memandangnya dengan saksama, dan sadar bahwa temannya itu
tidak mendengar satu pun kata yang diucapkannya.
"Sangat menarik," kata Porter. Ia memukulkan tongkatnya pada tanaman bunga yang
tinggi, dan sambil mengerutkan dahi ia berkata, "Mestinya dia tidak boleh
datang. Seharusnya dia tidak pernah boleh datang."
Orang-orang cenderung berbicara dengan gaya seperti itu kepada Mr.
Satterthwaite. Ia tampaknya tidak terlalu berarti, atau dianggap punya pribadi
negatif. Pokoknya ia cuma pendengar yang telaten.
"Tidak," kata Porter, "dia seharusnya tidak pernah boleh datang."
Mr. Satterthwaite langsung tahu yang dimaksudkannya bukanlah Mrs. Scott.
"Menurut Anda begitu?" tanyanya.
Porter menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah sedang merenung.
"Saya ikut dalam perjalanan itu," katanya tiba-tiba. "Kami pergi bertiga. Scott,
saya, dan Iris. Dia wanita hebat - dan sasaran yang betul-betul bagus." Ia
berhenti sejenak. "Apa sebabnya mereka mengundangnya?" tanyanya dengan tiba-tiba
pula. Mr. Satterthwaite angkat bahu.
"Ketidakpedulian," sahutnya.
"Pasti akan ada masalah," kata temannya lagi. "Kita harus berjaga-jaga - dan
melakukan apa yang bisa kita lakukan."
"Tapi tentunya Mrs. Staverton...?"
"Yang saya maksud adalah Scott." Ia berhenti sejenak. "Anda tahu - ada Mrs. Scott
yang harus dipertimbangkan."
Mr. Satterthwaite selama ini memang telah mempertimbangkan Mrs. Scott, tapi ia
merasa tak perlu mengatakannya, apalagi karena teman bicaranya telah betul-betul
melupakan wanita itu sampai detik itu.
"Bagaimana Scott bertemu istrinya?" tanyanya.
"Musim dingin lalu, di Kairo. Hubungan kilat. Mereka bertunangan dalam tiga
minggu dan menikah dalam enam minggu."
"Menurut saya, dia menarik sekali."
"Memang, tidak diragukan lagi. Dan Scott memujanya - tapi itu tidak ada bedanya."
Dan sekali lagi Mayor Porter mengulang kata-kata pada dirinya sendiri,
menggunakan nada yang juga hanya berarti bagi dirinya sendiri, "Tak peduli
bagaimana, dia mestinya tidak boleh datang."
Saat itu mereka sudah mendaki sebuah bukit kecil yang agak jauh letaknya dari
rumah. Sekali lagi dengan semangat seorang penunjuk, Mr. Satterthwaite
membentangkan tangannya. "Lihat," katanya.
Saat itu menjelang sore. Jendela itu masih bisa terlihat jelas, dan tampak
menempel pada salah satu kaca, bayangan wajah seorang laki-laki mengenakan topi
bangsawan. "Aneh sekali," kata Porter. "Sungguh aneh. Apa jadinya kalau kaca jendela itu
dipecahkan suatu hari nanti?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Itu bagian paling menarik dari cerita ini. Kaca jendela itu sudah pernah
diganti, dan setahu saya sudah sebelas kali, mungkin lebih. Terakhir kalinya dua
belas tahun yang lalu, waktu pemilik rumah berkeras hendak menghancurkan mitos
itu. Tapi hasilnya selalu sama. Noda itu muncul lagi - tidak sekaligus, tapi
perubahan warna itu menyebar secara perlahan-lahan. Biasanya butuh waktu sekitar
satu sampai dua bulan."
Untuk pertama kalinya, Porter menunjukkan minat besar. Ia tiba-tiba merinding.
"Hal-hal seperti itu memang konyol. Tidak ada penyebabnya. Apa alasan
sesungguhnya untuk menutup jendela itu dari dalam?"
"Ya, ada anggapan kalau kamar itu... membawa sial. Keluarga Evesham menempatinya
sebelum bercerai. Kemudian Stanley dan istrinya tinggal di sini dan tidur di
kamar itu, sebelum akhirnya ia minggat bersama gadis penyanyinya."
Porter mengangkat alisnya.
"Saya mengerti. Bahaya, bukan bagi kehidupan, tapi bagi moral."
"Dan sekarang," pikir Mr. Satterthwaite dalam hati, "pasangan Scott
menempatinya. Aku ingin tahu...."
Mereka kembali ke rumah. Berjalan tanpa suara di lapangan rumput yang lembut,
masing-masing terbenam dalam pikirannya, sampai-sampai tanpa sengaja mereka
mendengar sesuatu. Mereka sedang mengitari tikungan berpagar tanaman berduri itu ketika mendengar
suara Iris Staverton melengking tajam dan jelas dari dalam Kebun Tersembunyi.
"Kau pasti menyesal - menyesal - karena ini!"
Suara Scott yang menjawabnya, pelan dan tidak pasti, sehingga kata-katanya tidak
terdengar jelas, kemudian suara wanita itu melengking lagi, mengucapkan kata-
kata yang akan mereka ingat kemudian.
"Cemburu - itu bisa membuat orang gelap mata - betul-betul gelap mata! Membuat
orang bisa membunuh. Hati-hati, Richard, demi Tuhan, hati-hati!"
Kemudian ia keluar dari dalam Kebun Tersembunyi dan mengitari tikungan tanpa
melihat mereka, berjalan cepat, hampir berlari, seperti wanita yang sedang kesal
dan dikejar sesuatu. Mr. Satterthwaite merenungkan lagi kata-kata Lady Cynthia. Wanita berbahaya.
Untuk pertama kalinya, ia punya praduga akan terjadi suatu bencana, yang datang
dengan tiba-tiba dan pasti, tak dapat disangkal lagi.
Tapi malam itu ia jadi malu sendiri atas kekhawatirannya Segalanya tampak normal
dan menyenangkan. Mrs. Staverton, dengan gayanya yang ramah, tidak menunjukkan
tanda-tanda tegang. Moira Scott tetap menarik dan lugu. Kedua wanita itu tampak
cukup akrab. Richard Scott sendiri tampak bersemangat.
Orang yang kelihatannya paling cemas adalah Mrs. Unkerton yang tegap. Ia
mengeluh panjang-lebar pada Mr. Satterthwaite.
"Anda boleh menganggapnya konyol, tapi ada sesuatu yang membuat saya merinding.
Dan saya akan berterus terang pada Anda, saya sudah memanggil tukang kaca tanpa
sepengetahuan Ned." "Tukang kaca?" "Untuk memasang kaca baru di jendela itu. Lebih baik begitu. Ned memang
membanggakannya - dia bilang itu membuat rumah ini lain dari yang lain. Tapi saya
tidak suka. Saya bilang pada Anda Kami akan memasang kaca baru dan modem, yang
tidak ada cerita seramnya."
"Anda lupa," kata Mr. Satterthwaite, "atau mungkin Anda tidak tahu. Noda itu
selalu muncul lagi."
"Mungkin saja begitu," kata Mrs. Unkerton. "Yang dapat saya katakan cuma, kalau
memang noda itu muncul lagi, itu menyalahi hukum alam."
Mr. Satterthwaite mengangkat alisnya, tapi tidak menyahut.
"Dan bagaimana kalau ya?" kejar Mrs. Unkerton dengan gigih. "Kami toh tidak
miskin, Ned dan saya, sampai tidak bisa membeli sepotong kaca baru setiap bulan -
atau setiap minggu kalau memang perlu."
Mr. Satterthwaite tidak menerima tantangan itu. Ia telah melihat banyak hal
hancur dan luluh di bawah kekuasaan uang, sehingga ia cukup yakin Hantu
Bangsawan pun bisa jadi akan tetap menang. Bagaimanapun, ia tertarik dengan
ketidaksabaran sikap Mrs. Unkerton. Ternyata ia juga turut merasakan tegangnya
suasana - hanya saja ia menyalahkan cerita hantu itu sebagai penyebabnya, bukannya
pertengkaran pribadi di antara tamu-tamunya.
Mr. Satterthwaite ditakdirkan lagi untuk mendengar sepotong percakapan yang
kedengarannya cuma basa-basi. Ia sedang naik ke loteng untuk tidur, John Porter
dan Mrs. Staverton sedang duduk bersama di sofa ruang keluarga Mrs. Staverton
berbicara dengan sedikit nada sebal dalam suaranya yang merdu.
"Aku tidak tahu sama sekali kalau pasangan Scott itu akan kemari juga Terus
terang, kalau tahu, aku pasti takkan datang, tapi kuyakinkan kau, John sayang,
sekarang karena sudah berada di sini, aku takkan lari."
Mr. Satterthwaite meneruskan perjalanannya menaiki loteng tanpa terdengar. Ia
merenung sendiri. "Aku ingin tahu sekarang, seberapa benar ucapannya" Apakah dia
tahu" Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala.
Pada pagi yang cerah esok harinya ia merasa mungkin ia terlalu larut dalam
imajinasinya pada malam sebelumnya. Tegang - ya, pasti - dan itu memang tak
terhindarkan dalam suasana seperti itu - tapi cuma itu. Semua orang bisa
menyesuaikan diri. Bayangannya akan bencana cuma disebabkan oleh ketegangan -
semata-mata ketegangan - atau mungkin juga jantungnya. Ya, itu dia, jantungnya.
Memang ia harus mengunjungi dokternya dua minggu lagi.
Atas kemauannya sendiri, ia mengusulkan acara jalan-jalan lagi sore itu. Ia
mengusulkan pada Mayor Porter untuk naik lagi ke dataran dan melihat apakah Mrs.
Unkerton menepati kata-katanya dan telah menyuruh memasang kaca jendela yang
baru. Dalam hati, Mr. Satterthwaite berkata, "Latihan, itu yang kuperlukan.
Latihan." Kedua laki-laki itu berjalan pelan-pelan melalui hutan. Porter, seperti biasa,
diam saja. "Saya jadi berpikir," kata Mr. Satterthwaite dengan lancar, "jangan-jangan kita
kemarin agak konyol dengan imajinasi kita. Mengharapkan... eh... bencana. Anda
tahu. Padahal semua orang bersikap sopan kemarin, memendam perasaan dan menahan
diri." "Mungkin," kata Porter. Semenit-dua menit kemudian ia menambahkan, "Orang-orang
yang beradab." "Maksud Anda?" "Orang-orang yang biasa tinggal di luar peradaban kadang-kadang memang mundur.
Terbelakang. Terserah bagaimana Anda mau menyebutnya."
Mereka tiba di bukit kecil itu lagi. Mr. Satterthwaite terengah-engah. Ia memang
tidak pernah suka mendaki bukit.
Ia memandang ke arah jendela itu. Wajah itu masih di sana, bahkan jauh lebih
hidup. "Nyonya rumah kita sudah menyerah, saya rasa."
Porter cuma melirik sejenak pada jendela itu.
"Saya kira Unkerton pasti telah melarangnya," katanya tak acuh. "Dia jenis orang
yang mau membanggakan hantu keluarga lain dan tidak mau mengambil risiko untuk
mengusirnya, apalagi dia sudah membayar banyak untuknya"
Porter terdiam sejenak, menatap bukan ke arah rumah, tapi pada semak-semak liar
lebat yang tumbuh di sekitar mereka.
"Apakah menurut Anda peradaban itu betul-betul berbahaya?" tanyanya.
"Berbahaya?" Ucapannya yang luar biasa itu sangat mengagetkan Mr. Satterthwaite.
"Ya. Tidak ada katup pengamannya, Anda tahu."
Ia berbalik cepat, dan mereka menuruni jalan setapak dari mana mereka datang
tadi. "Saya betul-betul tidak memahami Anda," kata Mr. Satterthwaite, mengoceh terus
sambil berusaha menyamai langkah-langkah temannya dengan kaki goyah. "Kebanyakan
orang..." Porter tertawa Tawa singkat dan tak acuh. Kemudian ia memandang pria kecil dan
rapi di sampingnya. "Menurut Anda, saya ini cuma omong kosong kan, Mr. Satterthwaite" Tapi memang
ada orang-orang yang bisa menebak kalau akan segera terjadi angin ribut. Mereka
bisa merasakannya di udara. Dan ada orang yang bisa meramalkan bencana. Ada
bencana yang akan terjadi, Mr. Satterthwaite, bencana besar. Bisa terjadi kapan
saja. Mungkin..." Ia berhenti dengan tiba-tiba, mencengkeram lengan Mr. Satterthwaite. Pada menit
sunyi dan menegangkan itu terdengar... dua bunyi tembakan yang diikuti sebuah
jeritan - jeritan seorang wanita.
"Astaga!" teriak Porter, "bencana itu sudah terjadi."
Ia berlari menyusuri jalan setapak. Mr. Satterthwaite terengah-engah di
belakangnya. Dalam sekejap mereka sudah sampai di lapangan rumput, dekat dengan
pagar tanaman Kebun Tersembunyi. Pada waktu yang sama, Richard Scott dan Mr.
Unkerton muncul dari tikungan lain rumah itu. Mereka berhenti, saling menatap,
lalu menengok ke kiri dan kanan jalan masuk menuju Kebun Tersembunyi.
"Datangnya dari... dari sini," kata Unkerton sambil menunjuk dengan tangan
gemetar. "Kita harus memeriksanya," kata Porter. Ia memimpin jalan memasuki kebun. Ketika
mengitari belokan terakhir pagar tanaman berduri itu, ia mendadak berhenti. Mr.
Satterthwaite mengintip dari balik bahunya. Teriakan keras tersembur dari mulut
Richard Scott. Ada tiga orang di Kebun Tersembunyi. Dua di antaranya tergeletak di rumput, di
dekat tempat duduk dari batu, seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang ketiga
adalah Mrs. Staverton. Ia berdiri cukup dekat dengan mereka, di samping pagar
tanaman berduri, menatap dengan mata membelalak ngeri, dan memegang sesuatu di
tangan kanannya. "Iris," teriak Porter. "Iris. Demi Tuhan! Apa itu yang kaupegang?"
Ia lalu melihatnya - dengan rasa heran, betul-betul tercengang.
"Ini pistol," sahutnya heran. Kemudian, setelah berabad-abad rasanya, tapi
sesungguhnya cuma beberapa detik, "Aku... memungutnya tadi."
Mr. Satterthwaite telah beranjak menghampiri tempat Unkerton dan Scott sedang
berlutut di rerumputan. "Dokter," gumam Scott. "Kita harus memanggil dokter."
Tapi sudah terlambat untuk memanggil dokter mana pun. Jimmy Allenson, yang telah
mengeluhkan bahwa para peramal Mesir selalu menghindari masa depan, dan Moira
Scott, yang uangnya dikembalikan oleh seorang gipsi, tergeletak di sana, tak
bergerak. Richard Scott-lah yang melakukan pemeriksaan kilat. Sarafnya yang tegar bak baja
memang terlihat dalam krisis ini. Setelah berteriak kaget tadi, ia sudah pulih
lagi menjadi dirinya sendiri.
Ia meletakkan istrinya dengan perlahan.
"Ditembak dari belakang," katanya singkat. "Pelurunya menembus badannya."
Kemudian ia menangani Jimmy Allenson. Lukanya terdapat di dada dan pelurunya
bersarang di dalam tubuhnya.
John Porter mendekati mereka.
"Tidak boleh ada yang disentuh," katanya tegas. "Polisi harus melihat seperti
keadaan aslinya." "Polisi," kata Richard Scott. Matanya tiba-tiba menyala ketika memandang wanita
yang berdiri di samping tanaman berduri itu. Ia melangkah ke arah itu, tapi pada
waktu yang sama, John Porter juga bergerak untuk merintangi jalannya. Sejenak
terjadi duel mata di antara kedua sahabat itu.
Porter dengan sangat pelan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan, Richard," katanya, "Memang kelihatannya begitu - tapi kau salah."
Richard Scott berkata dengan terbata-bata, membasahi bibirnya yang kering.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, kenapa... dia memegang pistol itu di tangannya?"
Dan sekali lagi Iris Staverton menyahut dengan nada linglung seperti sebelumnya,
"Aku... memungutnya tadi."
"Polisi," kata Unkerton sambil berdiri. "Kita harus memanggil polisi - segera.
Anda mungkin mau melakukannya, Scott" Harus ada yang tetap di sini - ya, saya rasa
harus begitu." Dengan sikapnya yang tenang, Mr. Satterthwaite menawarkan diri. Tuan rumahnya
menerima tawarannya dengan lega.
"Para wanita," katanya menjelaskan. "Saya harus memberitahu mereka, Lady Cynthia
dan istri saya." Mr. Satterthwaite tetap tinggal di Kebun Tersembunyi, memandang sosok Moira
Scott. "Anak malang," katanya sendiri. "Anak malang."
Ia mengulangi pada dirinya sendiri nasihat yang mengatakan bahwa orang-orang
jahat memang hidup di sekitar mereka. Karena bukankah Richard Scott semestinya
juga ikut bertanggung jawab atas kematian istrinya yang lugu itu" Menurut
perasaannya, Iris Staverton pasti akan digantung. Bukannya ia suka memikirkan
hal itu, tapi bukankah kesalahan itu mestinya juga ditimpakan pada Richard
Scott" Ah, kejahatan yang bisa dilakukan seseorang...
Dan gadis itu, gadis lugu itu, telah membayarnya.
Ia memandang Moira Scott dengan penuh rasa iba Wajahnya yang mungil, begitu
putih, senyuman masih setengah tersungging di bibirnya Rambut pirangnya yang
acak-acakan, telinganya yang halus. Ada noda darah di cupingnya. Dengan perasaan
bagaikan seorang detektif, Mr. Satterthwaite menyimpulkan penyebabnya adalah
sebuah anting-anting yang tertarik lepas saat ia jatuh. Ia menjulurkan lehernya
ke depan. Ya, betul, sebuah anting-anting mutiara mungil masih terpasang pada
telinga satunya. Anak malang, anak malang.
*** "Dan sekarang, Sir," kata Inspektur Winkfield.
Mereka berada di perpustakaan. Inspektur itu, seorang laki-laki berwajah tajam
dan tegas, berumur sekitar empat puluh tahunan, sedang menyimpulkan
pemeriksaannya. Ia telah menanyai sebagian besar tamu, dan sekarang hampir dapat
menarik kesimpulan. Ia masih harus mendengarkan apa yang akan dikatakan Mayor
Porter dan Mr. Satterthwaite. Mr. Unkerton duduk terenyak di sebuah kursi dengan
mata membelalak menatap dinding di hadapannya.
"Saya tadi mendengar bahwa Anda berdua berjalan-jalan," kata inspektur itu.
"Anda sedang menuju rumah ini lagi melalui jalan setapak yang berkelok mengitari
sisi kiri Kebun Tersembunyi. Benar?"
"Benar sekali, Inspektur."
"Anda mendengar dua tembakan dan jeritan seorang wanita?"
"Ya." "Kemudian Anda lari secepat-cepatnya, keluar dari hutan dan masuk ke dalam Kebun
Tersembunyi. Kalau seseorang meninggalkan kebun, dia cuma bisa melakukannya
lewat jalan masuk itu. Semak-semak berduri di sana tak mungkin ditembus. Jadi,
kalau ada orang berlari keluar dari kebun dan berbelok ke kanan, dia pasti akan
bertemu dengan Mr. Unkerton dan Mr. Scott. Kalau dia berbelok ke kiri, tak
mungkin dia menghindar dari Anda berdua. Benar?"
"Benar," sahut Mayor Porter. Wajahnya pucat pasi.
"Kalau begitu, cocok," kata Inspektur. "Mr. dan Mrs. Unkerton serta Lady Cynthia
Drage sedang duduk-duduk di lapangan rumput, Mr. Scott ada di Ruang Biliar yang
terbuka menghadap lapangan rumput itu. Pada pukul 18.10, Mrs. Staverton keluar
rumah, berbicara sebentar dengan mereka yang duduk-duduk di sana, dan berjalan
mengitari rumah menuju Kebun Tersembunyi. Dua menit kemudian terdengar bunyi
tembakan. Mr. Scott berlari keluar rumah bersama Mr. Unkerton menuju Kebun
Tersembunyi. Pada waktu yang sama, Anda dan Mr.... eh... Satterthwaite muncul
dari arah berlawanan. Mrs. Staverton sudah ada di Kebun Tersembunyi dengan
pistol di tangannya, dari mana dua tembakan itu diletuskan. Menurut saya, dia
menembak dulu wanita itu dari belakang ketika dia sedang duduk di bangku.
Kemudian Kapten Allenson bangkit dan menerjangnya, dan dia menembaknya di dada.
Saya pernah dengar dulu ada... eh... semacam hubungan antara dia dan Mr. Richard
Scott." "Itu bohong," kata Porter.
Suaranya terdengar serak dan gigih. Inspektur itu tidak berkata apa-apa, cuma
menggeleng. "Bagaimana ceritanya sendiri?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Dia bilang, dia pergi ke Kebun Tersembunyi untuk menenangkan diri sejenak.
Tepat sebelum mengitari pagar tanaman berduri yang terakhir, dia mendengar
tembakan itu. Dia keluar dari balik tanaman, melihat pistol itu tergeletak di
dekat kakinya dan memungutnya. Tak ada orang melewatinya, dan dia tidak melihat
siapa pun dalam kebun, kecuali kedua korban tersebut." Inspektur itu diam
sejenak. "Begitulah katanya, dan meskipun sudah saya peringatkan, dia berkeras
minta dibuatkan pernyataan."
"Kalau dia sampai mengatakan begitu," kata Mayor Porter, wajahnya masih pucat
pasi, "berarti dia mengatakan yang sebenarnya. Saya mengenal Iris Staverton."
"Yah, Sir," kata inspektur itu, "banyak waktu untuk memeriksanya nanti.
Sementara itu, saya harus melaksanakan tugas saya."
Dengan gerakan tiba-tiba, Porter berbalik ke arah Mr. Satterthwaite.
"Anda! Apakah Anda tidak bisa menolong" Apakah Anda tidak bisa melakukan
sesuatu?" Mau tak mau Mr. Satterthwaite merasa tersanjung. Ia dimintai tolong, ia, orang
yang paling tidak berarti, dan oleh orang seperti John Porter.
Ia baru saja mau mengucapkan kata-kata penuh penyesalan, ketika pelayan laki-
laki itu, Thompson, masuk dengan sebuah kartu di baki, yang diantarnya pada
majikannya sambil berdeham minta maaf. Mr. Unkerton masih duduk terenyak di
kursi, tidak turut ambil bagian dalam suasana itu.
"Saya sudah mengatakan pada orang itu bahwa Anda mungkin tak dapat menerimanya,
Sir," kata Thompson. "Tapi dia mendesak. Katanya dia sudah janji, dan masalahnya
penting sekali." Unkerton mengambil kartu itu.
"Mr. Harley Quin," bacanya. "Aku ingat, dia memang hendak menemuiku untuk sebuah
lukisan. Aku memang sudah janji, tapi karena sekarang..."
Tapi Mr. Satterthwaite sudah menghampirinya.
"Mr. Harley Quin, Anda bilang?" teriaknya. "Betapa luar biasa, betapa luar
biasa. Mayor Porter, Anda tadi meminta tolong pada saya. Saya rasa saya bisa.
Mr. Quin ini adalah teman - atau lebih tepat, kenalan saya. Dia betul-betul orang
hebat." "Salah seorang detektif amatir itu, saya rasa," ujar inspektur itu mencemooh.
"Bukan," kata Mr. Satterthwaite. "Dia bukan orang seperti itu. Tapi dia punya
kekuatan - kekuatan yang nyaris gaib - untuk menunjukkan apa yang telah kita lihat
dengan mata kita sendiri, dan menjelaskan apa yang telah kita dengar dengan
telinga kita sendiri. Bagaimanapun, mari kita menceritakan kasus ini padanya
secara garis besar dan mendengar apa yang akan dikatakannya."
Mr. Unkerton melirik inspektur itu, yang cuma mendengus dan memandang langit-
langit. Kemudian Mr. Unkerton memberi anggukan kecil pada Thompson, yang
meninggalkan ruangan dan kembali bersama seorang asing yang jangkung dan
langsing. "Mr. Unkerton?" Orang asing itu menyalaminya. "Maaf saya mendesak untuk bertemu
dengan Anda pada saat seperti ini. Kita harus menyisihkan obrolan tentang
lukisan kecil itu untuk lain kali. Ah! Teman saya, Mr. Satterthwaite. Masih
tetap menggemari drama?"
Sekejap tampak senyum kecil tersungging di bibir orang asing itu ketika ia
mengucapkan kata-kata terakhir tersebut.
"Mr. Quin," sapa Mr. Satterthwaite hangat, "kami mempunyai sebuah drama di sini,
sedang mengalaminya malah, dan teman saya, Mayor Porter, ingin tahu pendapat
Anda." Mr. Quin duduk. Sinar lampu bertudung merah itu menerangi mantelnya yang
bercorak kotak-kotak dengan jelas, tapi tidak menerangi wajahnya, sehingga
menimbulkan kesan wajah bertopeng.
Secara ringkas, Mr. Satterthwaite mengulangi hal-hal pokok dalam tragedi itu.
Kemudian ia berhenti sejenak, kehabisan napas, menunggu kata-kata sang ahli.
Tapi Mr. Quin cuma menggelengkan kepala.
"Cerita yang sedih," katanya. "Tragedi yang sangat mengenaskan dan mengejutkan.
Kurangnya motif malah membuatnya sangat menarik."
Unkerton menatapnya. "Anda tidak mengerti," katanya. "Mrs. Staverton pernah terdengar sedang
mengancam Richard Scott. Dia betul-betul cemburu pada Moira. Kecemburuan..."
"Saya setuju," ujar Mr. Quin. "Kecemburuan atau Gelap Mata. Sama saja. Tapi Anda
salah memahami saya. Maksud saya bukan pembunuhan Mrs. Scott, tapi pembunuhan
Kapten Allenson." "Anda benar," teriak Porter sambil melompat ke depan. "Ada yang aneh di sini.
Kalau Iris memang berencana untuk menembak Mrs. Scott, dia pasti akan
menjebaknya supaya sendirian saja di suatu tempat. Tidak, kita memang berdiri
pada alur yang salah. Dan rasanya saya punya pemecahan lain. Cuma tiga orang itu
yang masuk ke dalam Kebun Tersembunyi. Itu tak bisa disangkal dan saya memang
tak akan menyangkalnya. Tapi saya akan merekonstruksi tragedi itu dengan cara
berbeda. Misalnya, Jimmy Allenson menembak Mrs. Scott dulu, kemudian dirinya
sendiri. Itu mungkin, kan" Dia menjatuhkan pistol itu ketika terjatuh - Mrs.
Staverton menemukannya tergeletak di tanah dan memungutnya, seperti katanya
tadi. Bagaimana?" Inspektur itu menggeleng.
"Tidak cocok, Mayor Porter. Kalau Kapten Allenson telah menembakkan pistol itu
dekat ke badannya, bajunya pasti takkan hangus."
"Mungkin dia menembakkan pistol itu dari jarak selengan." (selengan: satu
lengan) "Untuk apa" Tak ada alasan. Lagi pula tidak ada motifnya."
"Mungkin saja mendadak dia kehilangan akal sehat," gumam Porter tanpa keyakinan.
Ia terdiam lagi, dan tiba-tiba berkata dengan gigih kepada Mr. Quin. "Nah, Mr.
Quin?" Mr. Quin menggeleng. "Saya bukan tukang sulap. Saya juga bukan kriminologis. Tapi saya akan
mengatakan satu hal pada Anda - saya percaya pada kesan seseorang. Pada setiap
krisis, selalu ada suatu saat yang berbeda dengan saat-saat lainnya, satu
gambaran yang tetap melekat, meskipun yang lainnya sudah hilang. Mr.
Satterthwaite, saya rasa, adalah pengamat yang paling objektif di antara Anda
sekalian. Maukah Anda memutar otak lagi, Mr. Satterthwaite, dan menceritakan
saat yang memberikan kesan paling mendalam pada diri Anda" Apakah ketika Anda
pertama kali mendengar tembakan itu" Apakah ketika Anda pertama kali melihat
mayat-mayat itu" Apakah ketika Anda pertama kali mengamat-amati pistol di tangan
Mrs. Staverton" Bersihkan pikiran Anda dari pengaruh apa pun, dan ceritakan pada
kami." Mr. Satterthwaite menatap wajah Mr. Quin lekat-lekat, seperti murid sekolah yang
mengulangi pelajaran yang tidak terlalu dipahaminya.
"Tidak," katanya pelan. "Bukan saat-saat itu. Saat yang akan selalu saya ingat
adalah ketika saya berdiri sendiri di samping mayat-mayat itu - sesudahnya - dan
saya memandang Mrs. Scott. Dia berbaring menyamping. Rambutnya acak-acakan. Ada
noda darah di telinganya yang mungil."
Dan segera setelah mengatakannya, ia sadar baru saja mengatakan sesuatu yang
hebat dan penting. "Darah di telinganya" Ya, saya ingat," kata Unkerton pelan.
"Anting-antingnya pasti telah terlepas ketika dia jatuh," Mr. Satterthwaite
menjelaskan. Tapi kedengarannya agak tidak masuk akal ketika ia mengatakannya.
"Dia terbaring pada sisi kirinya," kata Porter. "Saya rasa itu telinga kiri,
bukan?" "Bukan," sahut Mr. Satterthwaite cepat. "Itu telinga kanannya."
Inspektur itu terbatuk. "Saya menemukan ini di rumput," katanya sambil mengulurkan sebentuk anting emas.
"Tapi, astaga," teriak Porter. "Barang ini tak mungkin bisa terlepas rusak hanya
karena jatuh. Kelihatannya malah seperti tertembak peluru."
"Jadi, itu sebabnya," teriak Mr. Satterthwaite. "Peluru. Pasti itu."
"Cuma ada dua tembakan," kata inspektur itu.
"Sebuah tembakan tak mungkin mengenai telinganya dan sekaligus mengenai
punggungnya. Dan kalau satu tembakan itu melepaskan anting-anting tersebut, dan
yang kedua membunuhnya, tak mungkin pelurunya membunuh Kapten Allenson sekaligus
- kecuali kalau Kapten Allenson sedang berdiri dekat sekali di hadapannya - sangat dekat - menghadap ke wajahnya. Oh! tidak, tak
mungkin begitu, kecuali..."
"Kecuali kalau mereka sedang berangkulan, begitu maksud Anda?" tanya Mr. Quin
sambil tersenyum kecil. "Yah, kenapa tidak?"
Semua orang saling menatap. Gagasan itu betul-betul asing bagi mereka - Allenson
dan Mrs. Scott. Mr. Unkerton menyuarakan perasaan yang sama.
"Tapi mereka nyaris tidak mengenal satu sama lain," katanya.
"Saya tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite serius. "Mungkin saja mereka mengenal
satu sama lain lebih akrab dari yang kita sangka. Lady Cynthia mengatakan Kapten
Allenson pernah menyelamatkannya dari kebosanan di Mesir pada musim dingin lalu,
dan Anda" - ia berpaling pada Porter - "Anda bilang Richard Scott bertemu dengan
istrinya di Kairo musim dingin lalu. Mereka mungkin sudah saling kenal dengan
baik di sana." "Mereka tampaknya tidak pernah bersama," kata Unkerton.
"Tidak - mereka malah agak menjaga jarak. Bukankah itu sangat tidak wajar, kalau
dipikir-pikir..." Mereka semua memandang Mr. Quin, seolah-olah sedikit kaget atas kesimpulan yang
mereka tarik, yang sama sekali tidak mereka sangka.
Mr. Quin bangkit berdiri.
"Anda lihat," katanya, "apa yang telah diperbuat kesan Mr. Satterthwaite pada
diri kita semua." Ia berpaling pada Unkerton. "Sekarang giliran Anda."
"Eh" Saya tidak mengerti?"
"Anda betul-betul serius tadi, ketika saya masuk ke ruangan ini. Saya ingin
tahu, apa tepatnya pikiran yang merongrong Anda. Udak jadi masalah kalau hal itu
tidak ada kaitannya dengan tragedi ini. Tidak jadi masalah meskipun Anda
menganggapnya... takhayul." Mr. Unkerton tampak heran. "Ceritakan pada kami."
"Saya tidak keberatan menceritakannya," kata Unkerton. "Meskipun hal itu tidak
ada kaitannya dengan masalah ini, dan Anda mungkin akan menertawakan saya
karenanya. Saya selalu berharap istri saya tidak ikut campur dan tidak mengganti
kaca di jendela berhantu itu. Menurut saya, perbuatan itu membawa sial bagi
kami." Ia tidak mengerti kenapa dua orang di sampingnya menatapnya heran.
"Tapi istri Anda kan belum menggantinya," kata Mr. Satterthwaite akhirnya.
"Sudah. Tukang kaca itu datang kemari pagi-pagi sekali."
"Astaga!" kata Porter. "Saya mulai mengerti. Kamar itu berlapis papan, saya
rasa, bukan kertas?"
"Ya, tapi apa hubungan...?"
Porter sudah berlari keluar ruangan. Yang lain mengikutinya. Ia langsung menuju
kamar tidur Scott. Kamar itu cantik, berlapis papan berwarna krem dengan dua
jendela menghadap selatan. Porter meraba-raba dengan tangannya di sepanjang
papan lapis di dinding barat.
"Pasti ada semacam klep di sekitar sini. Ah!" Terdengar bunyi klik, dan sebagian
papan lapis itu berputar. Di belakangnya terdapat kaca-kaca buram jendela
berhantu itu. Salah satu kaca tampak bersih dan baru. Porter berjongkok cepat
dan memungut sesuatu. Ia meletakkannya di telapak tangannya. Benda itu adalah
secuil bulu burung unta. Kemudian ia memandang Mr. Quin. Mr. Quin mengangguk.
Ia menghampiri lemari topi di kamar tidur itu. Ada beberapa topi di dalamnya -
topi wanita yang sudah mati itu. Ia mengeluarkan satu topi bertepi lebar dengan
bulu-bulu ikal - sebuah topi Ascot yang cantik.
Mr. Quin mulai berbicara dengan suara jelas dan lembut.
"Mari kita asumsikan," kata Mr. Quin. "Ada seorang laki-laki yang pada dasarnya
mempunyai sifat cemburu berlebihan. Seorang laki-laki yang pernah tinggal di
sini bertahun-tahun lalu dan mengetahui adanya klep di papan lapis itu. Iseng-
iseng dia membukanya dan memandang keluar ke Kebun Tersembunyi. Di sana, karena
dirasa aman tanpa bisa dilihat siapa pun, dia melihat istrinya dengan laki-laki
lain. Dia sama sekali tidak meragukan hubungan mereka berdua. Dia marah sekali.
Apa yang harus dilakukannya" Sebuah gagasan muncul di benaknya. Dia pergi ke
lemari, mengenakan topi bertepi dan berbulu-bulu. Saat itu menjelang matahari
terbenam, dan dia ingat cerita di balik noda kaca itu. Setiap orang yang
mendongak melihat jendela pasti mengira mereka melihat Hantu Bangsawan yang
Mengamat-amati. Jadi, dia dengan aman bisa mengamati mereka, dan saat mereka
asyik berangkulan, dia menembak mereka. Dia penembak jitu - betul-betul hebat.
Ketika mereka jatuh, dia menembak sekali lagi - tembakan itu menghancurkan anting-
anting si wanita. Kemudian dia melemparkan pistolnya ke luar jendela, ke dalam
Kebun Tersembunyi, buru-buru turun ke bawah, dan masuk ke ruang biliar."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Porter melangkah mendekatinya.
"Tapi dia membiarkan Iris dituduh!" teriaknya. "Dia berdiri di sampingnya dan
membiarkannya dituduh. Kenapa" Kenapa?"
"Saya rasa saya tahu," kata Mr. Quin. "Saya bisa menebak - saya cuma menebak, lho.
Richard Scott dulu pernah jatuh cinta sampai tergila-gila pada Iris Staverton -
saking cintanya, bahkan setelah bertahun-tahun lewat, perjumpaan dengannya masih
bisa membuatnya teringat rasa cemburu itu. Menurut saya, Iris Staverton dulu
pernah membayangkan dirinya jatuh cinta pada Richard Scott, sehingga dia mau
pergi dengannya dalam perjalanan berburu itu bersama laki-laki lainnya - tapi
waktu kembali, dia jatuh cinta pada laki-laki yang lebih baik itu."
"Laki-laki yang lebih baik," gumam Porter terpana. "Maksud Anda...?"
"Ya," kata Mr. Quin sambil tersenyum simpul. "Maksud saya Anda." Ia berhenti
sejenak, kemudian berkata, "Kalau saya jadi Anda, saya akan mendatanginya
sekarang." "Saya akan melakukannya," kata Porter.
Ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.
Bab 3 DI BELLS AND MOTLEY MR. SATTERTHWAITE merasa sebal. Hari itu betul-betul sial. Dari awalnya mereka
sudah terlambat, mengalami dua kali ban bocor, dan akhirnya membelok pada
tikungan yang salah, sehingga tersesat di keramaian Salisbury Plain. Sekarang
sudah hampir pukul 08.00, dan mereka masih sekitar empat puluh mil dari Marswick
Manor, tujuan mereka, dan ban bocor yang ketiga malah semakin menghambat
perjalanan. Mr. Satterthwaite, yang tampak seperti seekor burung dengan bulu kusut, berjalan
mondar-mandir di depan sebuah bengkel desa sementara sopirnya bercakap-cakap
dengan suara serak pada montir setempat.
"Paling tidak butuh setengah jam," kata si montir sambil mengira-ngira.
"Itu kalau kita beruntung," kata Masters, si sopir. "Menurut saya, kelihatannya
bakal makan waktu tiga perempat jam."
"Omong-omong, apa sih nama tempat ini?" tanya Mr. Satterthwaite gemas. Karena ia
seorang gentleman yang selalu peduli dengan perasaan orang lain, ia memakai kata
"tempat ini", bukannya "tempat keparat", seperti yang hendak diucapkannya
semula. "Kirtlington Mallet."
Mr. Satterthwaite tidak begitu yakin, tapi nama itu serasa pernah didengarnya.
Ia memandang ke sekelilingnya dengan gaya mencemooh. Kirtlington Mallet
tampaknya cuma mempunyai satu jalan yang tidak menuju ke mana-mana, sebuah
bengkel dan kantor pos terletak di salah satu sisi jalan itu, serta tiga toko
yang kelihatannya tidak keruan di sisi lainnya. Bagaimanapun, di kejauhan, di
tepi jalan itu juga, Mr. Satterthwaite melihat sesuatu yang berderik dan berayun
tertimpa angin, dan semangatnya berkobar sedikit.
"Kurasa di sana ada sebuah penginapan," katanya.
"Bells and Motley," ujar si montir. "Itu namanya - di sana."
"Kalau saya boleh mengusulkan, Sir," kata Masters, "mengapa Anda tidak
mencobanya" Mungkin mereka bisa menyuguhkan makanan - tapi sudah pasti tidak akan
seperti yang biasa Anda santap." Ia berhenti sejenak, minta maaf, karena Mr.
Satterthwaite memang terbiasa dengan makanan hasil masakan koki-koki terkenal,
dan punya seorang cordon bleu yang digajinya dengan bayaran tinggi.
"Kita tak mungkin bisa meneruskan perjalanan lagi dalam waktu tiga perempat jam
ini, Sir. Saya yakin itu. Dan sekarang sudah lebih dari jam 08.00. Anda bisa
menelepon Sir George Foster, Sir, dari penginapan, dan menceritakan alasan
keterlambatan kita."
"Kau kelihatannya mengira bisa mengatur segala-galanya, Masters," kata Mr.
Satterthwaite gusar. Masters, yang memang mengira demikian, diam saja dengan sopan.
Mr. Satterthwaite, meskipun ingin membantah setiap usulan yang diajukan padanya -
begitulah mood-nya saat itu - mau tak mau melihat ke arah penginapan yang
berderik-derik itu sambil mengeluh kecil, menyerah. Ia orang dengan nafsu makan
seperti burung, berselera tinggi, tapi orang seperti itu juga bisa merasa lapar.
"Bells and Motley," ucapnya serius. "Nama yang lucu untuk sebuah penginapan. Aku
tidak yakin pernah mendengarnya sebelum ini."
"Banyak orang aneh datang ke sana," ujar montir itu.
Ia sedang berjongkok di pinggir sebuah ban, suaranya terdengar buram dan tidak
jelas. "Orang aneh?" tanya Mr. Satterthwaite. "Nah, apa maksud Anda dengan istilah
itu?" Orang itu tampaknya tidak memahami maksudnya.
"Orang yang datang dan pergi. Sejenis itulah," sahutnya lirih.
Mr. Satterthwaite berpikir bahwa orang yang mendatangi sebuah penginapan,
sebagian besar pastilah orang yang memang "datang dan pergi". Menurutnya
definisi itu kurang tepat. Tapi rasa ingin tahunya tergelitik juga. Lagi pula ia
toh harus menghabiskan kurang-lebih tiga perempat jam. Siapa tahu Bells and
Motley bagus juga seperti tempat-tempat lainnya.
Dengan langkah-langkah kecil seperti biasanya, ia menyusuri jalan. Dari kejauhan
terdengar bunyi guntur. Montir itu mendongak dan berbicara pada Masters.
"Akan ada badai. Saya bisa merasakannya di udara."
"Astaga," kata Masters. "Padahal kami masih harus menempuh empat puluh mil
lagi." "Ah!" sahut si montir. "Tidak perlu buru-buru dengan pekerjaan ini. Anda pasti
tidak mau meneruskan perjalanan sebelum badai reda. Majikan Anda yang kecil itu
tampaknya tidak suka keluar dalam cuaca buruk."
"Semoga tempat itu bisa memenuhi seleranya," gumam si sopir. "Saya sendiri akan
ke sana sebentar lagi untuk makan."
"Billy Jones lumayan," kata si montir. "Orang itu cukup rapi."
Mr. William Jones, seorang laki-laki besar dan gempal dengan umur sekitar lima
puluhan, pemilik Bells and Motley, pada saat itu sedang mengangguk-angguk penuh
hormat pada Mr. Satterthwaite yang kecil.
"Saya akan menyajikan bistik yang enak, Sir - dan kentang goreng, juga keju
terbaik. Lewat sini, Sir, di ruang kopi. Kami tidak terlalu penuh sekarang ini,
tamu pengail yang terakhir bara saja pulang. Sebentar lagi kami akan penuh lagi
dengan adanya musim berburu. Cuma ada seorang tamu sekarang, namanya Quin."
Mr. Satterthwaite mendadak berhenti.
"Quin?" katanya bersemangat. "Anda bilang Quin?"
"Begitulah namanya, Sir. Teman Anda, barangkali?"
"Ya, memang. Oh! Ya, bisa dibilang begitu." Saking bersemangatnya, Mr.
Satterthwaite nyaris tidak menyadari bahwa di dunia ini bisa saja ada orang lain
bernama Quin. Ia sama sekali tidak ragu. Entah kenapa, informasi itu cocok
dengan istilah yang dipakai montir di bengkel tadi. "Orang yang datang dan
pergi". Deskripsi yang tepat untuk Mr. Quin. Lagi pula nama penginapan itu
tampaknya juga sesuai dan pantas.
"Aduh, aduh," kata Mr. Satterthwaite. "Betapa anehnya. Cara kami bertemu seperti
ini! Mr. Harley Quin, bukan?"
"Betul, Sir. Ini ruang kopinya, Sir. Ah, ini dia tamu itu."
Tinggi, gelap, dan sambil tersenyum, sosok Mr. Quin yang tidak asing lagi
berdiri dari belakang meja tempat ia duduk tadi, dan suara enak yang selalu
terngiang itu berbicara. "Ah! Mr. Satterthwaite, kita berjumpa lagi. Pertemuan yang tidak disangka-
sangka!" Mr. Satterthwaite menyalaminya dengan hangat.
"Senang sekali. Senang sekali. Saya betul-betul beruntung karena hambatan itu.
Mobil saya, Anda tahu. Dan Anda menginap di sini" Berapa lama?"
"Cuma satu malam."
"Kalau begitu, saya memang beruntung sekali."
Mr. Satterthwaite duduk di hadapan temannya sambil mengembuskan napas puas,
mengamati wajah gelap yang tersenyum di hadapannya itu dengan gembira.
Mr. Quin menggeleng pelan.
"Saya yakinkan Anda," katanya, "saya tidak akan mengeluarkan akuarium ikan mas
atau kelinci dari balik baju saya."
"Sayang sekali," seru Mr. Satterthwaite, sedikit kaget. "Ya, saya harus
mengakui, saya memang punya prasangka begitu terhadap Anda. Seorang tukang
sulap. Ha ha. Begitulah anggapan saya pada Anda. Tukang sulap."
"Padahal," kata Mr. Quin, "Andalah yang melakukan permainan sulap itu, bukan
saya." "Ah!" kata Mr. Satterthwaite bersemangat. "Tapi saya tidak bisa melakukannya
tanpa Anda. Saya tidak punya - apa ya - inspirasi?"
Mr. Quin menggeleng sambil tersenyum.
"Kata itu terlalu besar artinya. Saya cuma memberikan petunjuk, itu saja."
Saat itu muncul si pemilik penginapan sambil membawa roti dan sebongkah mentega
kuning. Ketika ia sedang menyajikan makanan itu di meja, terlihat kilatan petir
yang sangat terang, diikuti bunyi guntur membahana.
"Malam yang buas, Tuan-tuan."
"Pada malam seperti ini...," Mr. Satterthwaite hendak berkata, dan berhenti.
"Lucu sekali," ujar pemilik penginapan, tidak menyadari masalahnya, "saya baru
saja hendak mengucapkan kata-kata itu. Pada malam seperti inilah Kapten Harwell
membawa pulang istrinya, hari yang persis sama sebelum dia menghilang untuk
selamanya." "Ah!" teriak Mr. Satterthwaite tiba-tiba. "Tentu saja!"
Ia sudah memperoleh petunjuk itu. Ia tahu sekarang, kenapa nama Kirtlington
Mallet serasa dikenalnya. Tiga bulan sebelumnya ia telah membaca sampai rinci
berita lenyapnya Kapten Richard Harwell. Seperti pembaca koran lainnya di
seluruh Kerajaan Inggris, ia dibuat bingung oleh berita tentang lenyapnya kapten
itu, dan juga seperti orang-orang Inggris lainnya, ia mempunyai teori sendiri.
"Tentu saja," ulangnya. "Terjadinya di Kirtlington Mallet."
"Dia menginap di rumah ini waktu berburu musim dingin lalu," kata pemilik
penginapan. "Oh! saya mengenalnya dengan baik. Laki-laki yang sangat tampan dan
boleh dikatakan tidak punya masalah apa pun di dunia ini. Dia disingkirkan -
begitulah pendapat saya. Saya sering melihat mereka menunggang kuda bersama-sama
- dia dan Miss Le Couteau; semua orang desa mengatakan mereka sangat serasi, dan
kenyataannya memang demikian. Wanita itu cantik sekali, dan baik-baik, orang
Canada. Ah! ada misteri gelap di sini. Kita takkan pernah tahu apa yang terjadi.
Pokoknya dia patah hati dan pergi ke luar negeri, tak tahan lagi tinggal di sini
karena ditatap dan jadi bahan omongan setiap orang - meskipun itu bukan
kesalahannya sama sekali! Misteri yang gelap, begitulah."
Ia menggeleng-gelengkan kepala, meneruskan pekerjaannya, serta buru-buru
meninggalkan ruangan. "Misteri yang gelap," kata Mr. Quin pelan.
Suaranya terdengar menggoda di telinga Mr. Satterthwaite.
"Apakah Anda mengira kita bisa memecahkan misteri ini, padahal Scotland Yard
sudah gagal?" tanyanya tajam.
Temannya itu menyahut dengan gaya seperti biasanya.
"Kenapa tidak" Sudah lewat, tiga bulan. Itu saja sudah membuat perbedaan."
"Gagasan Anda memang aneh," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Bahwa kita bisa
melihat segala sesuatunya dengan lebih baik setelah lewatnya waktu."
"Semakin lama waktu yang lewat, semakin jelas segalanya terlihat. Kita dapat
melihat setiap kejadian pada tempatnya."
Tidak ada yang berkata-kata lagi selama beberapa menit.
"Saya tidak yakin, apakah saya ingat fakta-fakta itu dengan jelas sekarang,"
kata Mr. Satterthwaite dengan nada ragu-ragu.
"Saya rasa Anda ingat sekali," ujar Mr. Quin tenang.
Cuma itu yang dibutuhkan untuk membangkitkan semangat Mr. Satterthwaite.
Peranannya dalam kehidupan memang sebagai pendengar dan pengamat. Hanya saja
kalau bersama Mr. Quin peranannya jadi terbalik. Pada saat-saat itu Mr. Quin
menjadi pendengar yang telaten, sementara Mr. Satterthwaite menjadi aktornya.
"Kejadiannya kurang-lebih setahun yang lalu," katanya, "ketika Ashley Grange
menjadi milik Miss Eleanor Le Couteau. Rumah itu sudah tua dan cantik, tapi tak
terawat dan kosong selama bertahun-tahun. Baginya tak mungkin ada pemilik yang
lebih baik lagi. Miss Le Couteau berdarah Prancis dan Canada, nenek moyangnya
adalah emigran dari Zaman Revolusi Prancis, dan telah mewariskan padanya koleksi
patung dan barang antik Prancis kuno yang tak ternilai harganya. Dia pembeli dan
juga kolektor, dengan selera khas dan bagus. Oleh karena itu, ketika dia
memutuskan untuk menjual Ashley Grange bersama segala isinya setelah tragedi
itu, Mr. Cyrus G. Bradburn, seorang miliuner Amerika, merasa tak perlu menawar
lagi dan langsung membayar sejumlah enam puluh ribu pound untuk Grange dan
isinya." Mr. Satterthwaite berhenti sejenak.
"Saya mengatakan hal-hal ini," katanya minta maaf, "bukan karena ada kaitannya
dengan cerita itu - terus terang malah tidak ada kaitannya sama sekali - tapi untuk
menjelaskan asal-usulnya, asal-usul Mrs. Harwell."
Mr. Quin menangguk. "Asal-usul selalu penting," katanya tenang.
"Jadi, sekarang kita sudah mempunyai gambaran tentang gadis itu," lanjut Mr.
Satterthwaite. "Berumur 23, berkulit gelap, cantik, dan terampil, pokoknya tidak
ada yang jelek dan jahat pada dirinya. Dan kaya - kita tidak boleh lupa itu. Dia
yatim piatu. Mrs. St. Clair, seorang wanita dengan asal-usul terhormat serta
status sosial tinggi, tinggal bersamanya sebagai pembimbing. Tapi Eleanor Le
Couteau memegang sendiri kontrol atas seluruh kekayaannya. Dan para pemburu
harta memang selalu ada. Paling tidak, ada selusin pemuda yang diketahui pernah
menemaninya dalam berbagai kesempatan, di ladang perburuan, di tempat pesta, ke
mana pun dia pergi. Lord Leccan yang muda, pemuda paling mengesankan di negeri
ini, katanya pernah meminangnya, tapi dia tidak mau. Begitulah, sampai akhirnya
muncul Kapten Richard Harwell.
"Kapten Harwell menginap di penginapan setempat selama musim berburu. Dia
pemburu hebat. Ganteng dan punya selera humor yang bagus. Anda ingat kata
peribahasa, Mr. Quin" 'Rayuan yang hebat takkan makan waktu lama'. Yah, paling
tidak, itu ada benarnya. Tepat dua bulan kemudian, Richard Harwell dan Eleanor
Le Couteau bertunangan. "Pernikahannya menyusul tiga bulan sesudahnya. Pasangan yang bahagia itu pergi
ke luar negeri selama dua minggu untuk berbulan madu, kemudian kembali untuk
menetap di Ashley Grange. Pemilik penginapan barusan bercerita bahwa waktu itu
adalah malam berbadai seperti sekarang ini, ketika mereka pulang ke rumah.
Mungkinkah itu suatu pertanda" Siapa yang tahu" Tapi nyatanya, keesokan harinya
pagi-pagi sekali, sekitar jam 07.30, Kapten Harwell terlihat berjalan-jalan di
kebun oleh salah seorang tukang kebun di sana, John Mathias. Dia tidak memakai
topi dan sedang bersiul-siul. Kita sekarang punya gambaran bahwa dia sedang
gembira dan bahagia. Tapi semenjak saat itu, sepanjang yang kita ketahui, tak
seorang pun pernah melihat Kapten Richard Harwell lagi."
Mr. Satterthwaite berhenti sejenak, menikmati drama yang diceritakannya.
Pandangan penuh kagum dari Mr. Quin memberinya pujian yang diharapkannya, dan ia
melanjutkan. "Lenyapnya Kapten Harwell memang hebat - tak bisa dijelaskan. Baru keesokan
harinya istrinya yang bingung itu melapor pada polisi. Dan seperti Anda ketahui,
mereka tidak berhasil memecahkan misteri itu."
"Tapi ada teori-teori mengenainya, bukan?" tanya Mr. Quin.
"Oh! Teori-teori banyak. Teori No. 1, Kapten Harwell telah dibunuh,
disingkirkan. Tapi kalau memang begitu, di mana mayatnya" Tak mungkin bisa
dimusnahkan begitu saja. Lagi pula, apa motifnya" Sepanjang yang diketahui
orang, Kapten Harwell tidak punya musuh satu pun di dunia."
Ia berhenti tiba-tiba, seolah-olah tak yakin. Mr. Quin mencondongkan badannya ke
depan. "Anda sedang memikirkan pemuda Stephen Grant itu," katanya pelan.
"Memang," Mr. Satterthwaite mengakui. "Stephen Grant, kalau saya mengingatnya
dengan benar, adalah petugas yang merawat kuda-kuda Kapten Harwell, dan dia
telah dipecat oleh majikannya karena suatu sebab sepele. Pada pagi setelah
kepulangan mereka berdua, pagi-pagi sekali, Stephen Grant terlihat berada di
sekitar Ashley Grange dan tidak bisa memberi alasan apa pun atas kehadirannya di
sana. Dia didakwa oleh polisi sebagai penyebab lenyapnya Kapten Harwell, tapi
tidak ada bukti yang memberatkannya, dan akhirnya dia dibebaskan. Memang benar
dia mungkin punya dendam terhadap Kapten Harwell karena dipecat, tapi motif itu
tidaklah kuat. Saya kira polisi mendakwanya karena merasa mereka harus melakukan
sesuatu. Anda tahu, seperti baru saya katakan tadi, Kapten Harwell tidak punya
musuh satu pun di dunia."
"Sepanjang yang kita ketahui," kata Mr. Quin sambil merenung.
Mr. Satterthwaite mengangguk setuju.
"Kita hampir ke bagian itu. Apa sih yang sebenarnya diketahui tentang Kapten
Harwell" Ketika polisi datang untuk memeriksa, mereka dihadapkan pada suatu
masalah penting. Siapakah Richard Harwell" Dari mana asalnya" Dia kelihatannya
muncul begitu saja, entah dari mana. Dia penunggang kuda yang hebat, dan
tampaknya juga kaya. Tak seorang pun di Kirtlington Mallet merasa perlu
menyelidikinya dengan lebih teliti. Miss Le Couteau tidak punya orangtua atau
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawas yang bisa meneliti asal-usul tunangannya itu. Dia menjaga dirinya
sendiri. Teori polisi pada bagian ini cukup jelas. Seorang gadis kaya dan
seorang pengkhianat. Cerita kuno!
"Tapi sesungguhnya tidak tepat begitu. Memang benar Miss Le Couteau tidak punya
orangtua atau pengawas, tapi dia punya pengacara hebat di London yang menjadi
wakilnya. Keterangan mereka malah membuat misteri ini bertambah gelap. Eleanor
Le Couteau bermaksud memberikan sejumlah uang pada calon suaminya itu, tapi
Harwell menolaknya. Katanya dia sendiri sudah cukup kaya. Itu bukti kuat bahwa
Harwell tak pernah memperoleh satu sen pun uang istrinya. Harta kekayaannya sama
sekali tidak terusik. "Jadi, Kapten Harwell itu bukan penipu biasa, tapi apakah yang diincarnya adalah
sesuatu yang berseni" Apakah dia bermaksud mengancam di kemudian hari, kalau
Eleanor Harwell hendak menikah dengan laki-laki lain" Saya harus mengakui, teori
seperti itu dulu tampaknya merupakan pemecahan yang paling masuk akal. Begitulah
- sampai malam ini."
Mr. Quin mencondongkan badannya ke depan lagi, menunggu.
"Malam ini?" "Malam ini. Saya tidak, puas dengan teori itu. Bagaimana dia bisa lenyap secara
mendadak dan begitu saja - pada pagi-pagi sekali, ketika dia sedang bersemangat
dan hendak bekerja" Tanpa topi lagi."
"Apa tidak ada keraguan tentang itu, meskipun tukang kebun itu melihatnya?"
"Ya - tukang kebun itu - John Mathias. Apa ada yang tidak beres dengan hal itu,
ya?" "Polisi pasti tidak lupa untuk memeriksanya," kata Mr. Quin.
"Mereka sudah menanyainya dengan saksama. Dia tak pernah bergeming dari
pernyataannya. Istrinya mendukungnya. Dia meninggikan pondoknya pada pukul 07.00
untuk merawat tanaman di rumah kaca; dia kembali pada pukul 07.40. Para pembantu
di rumah mendengar pintu depan terbanting sekitar 07.15. Itulah waktu ketika
Kapten Harwell meninggalkan rumah. Ah ya, saya tahu apa yang Anda pikirkan."
"O ya?" kata Mr. Quin.
"Saya rasa begitu. Selang waktu itu cukup lama bagi Mathias untuk menyingkirkan
majikannya. Tapi kenapa" Kenapa" Dan kalau memang ya, di mana dia menyembunyikan
mayatnya?" Pemilik penginapan itu muncul lagi sambil membawa baki.
"Maaf telah membuat Anda menunggu lama, tuan-tuan."
Ia meletakkan seporsi besar bistik di meja dan di sampingnya sebuah piring yang
penuh berisi kentang goreng kering dan kecokelatan. Bau yang tercium oleh Mr.
Satterthwaite sangat membangkitkan selera. Ia senang sekali.
"Ini kelihatannya lezat," katanya. "Lezat sekali. Kami sedang membahas peristiwa
lenyapnya Kapten Harwell. Apa jadinya dengan tukang kebun itu, si Mathias?"
"Pindah ke Essex, saya kira. Tidak mau lagi tinggal di sini. Memang ada orang-
orang yang menuduhnya, Anda tahu. Saya sendiri tidak percaya kalau dia punya
kaitan dengan peristiwa itu."
Mr. Satterthwaite mencicipi bistiknya. Mr. Quin mengikutinya. Pemilik penginapan
itu tampaknya ingin tinggal dan ikut mengobrol, dan Mr. Satterthwaite tidak
keberatan. "Mathias ini," katanya. "Orang macam apa dia?"
"Laki-laki setengah baya, dulunya mungkin kuat sekali, tapi sekarang sudah
bungkuk dan timpang karena rematik. Penyakitnya parah sekali, dan dia sudah
sering mengalaminya, sampai tak mampu bekerja sama sekali. Menurut saya, Miss
Eleanor tidak tega padanya, sehingga masih mau mempekerjakannya. Dia bukan
tukang kebun yang hebat, meskipun istrinya sangat membantu di rumah itu. Dulu
istrinya itu tukang masak dan selalu siap membantu."
"Wanita macam apa dia?" tanya Mr. Satterthwaite cepat.
Jawaban pemilik penginapan itu mengecewakannya.
"Wanita yang biasa-biasa saja. Setengah baya dan agak kecut sikapnya. Juga tuli.
Saya tidak terlalu mengenal mereka. Mereka baru sebulan di sini, ketika
peristiwa itu terjadi. Orang bilang Mathias dulu tukang kebun yang sangat-sangat
hebat. Miss Eleanor mengetahuinya."
"Apakah Mrs. Harwell tertarik pada kegiatan berkebun?" tanya Mr. Quin lembut.
"Tidak, Sir, saya rasa tidak, tidak seperti beberapa wanita di sini yang
bersedia mengeluarkan banyak uang untuk menggaji tukang kebun dan menghabiskan
sebagian besar waktu mereka ikut-ikutan mengurus kebun. Menurut saya itu konyol.
Anda tahu, Miss Le Couteau tidak pernah tinggal terlalu lama di sini, kecuali
pada musim dingin, untuk berburu. Pada waktu-waktu lainnya dia tinggal di London
atau di pantai-pantai asing itu, di mana orang bilang para wanita Prancis sangat
menjaga agar kaki mereka jangan sampai terkena air, supaya tidak merusak baju
mereka, begitulah yang saya dengar."
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Tidak ada... eh... wanita lain yang terlibat dengan Kapten Harwell?" tanyanya.
Meskipun teorinya yang pertama sudah tercampakkan, ia masih tetap berpegang pada
gagasannya. Mr. William Jones menggeleng.
"Tidak ada. Tak pernah ada gosip seperti itu. Memang ini misteri yang gelap,
bukan?" "Dan teori Anda" Bagaimana pendapat Anda sendiri?" desak Mr. Satterthwaite.
"Bagaimana pendapat saya?"
"Ya." "Saya tidak tahu. Saya yakin dia telah disingkirkan, tapi oleh siapa, saya tidak
tahu. Saya akan mengambilkan keju untuk Anda."
Ia keluar dari ruangan itu sambil membawa piring-piring kosong. Badai itu, yang
sudah agak reda, tiba-tiba muncul lagi dengan kekuatan ganda. Sambaran petir dan
gemuruh guntur yang muncul bersahut-sahutan membuat Mr. Satterthwaite terlompat
dari kursinya, dan sebelum bunyi gemuruh guntur terakhir itu lenyap, seorang
gadis memasuki ruangan sambil membawa keju yang dijanjikan.
Ia berpotongan tinggi, berkulit gelap, dan bisa dianggap cantik. Kemiripannya
dengan pemilik penginapan Bells and Motley jelas sekali, sehingga orang langsung
tahu bahwa ia putri laki-laki itu.
"Selamat malam, Mary," sapa Mr. Quin. "Malam yang buas, bukan?"
Ia mengangguk. "Saya benci malam-malam seperti ini," gumamnya.
"Mungkin Anda takut petir?" tanya Mr. Satterthwaite ramah.
"Takut petir" Tentu tidak! Saya hampir tidak takut pada apa pun. Tidak, petir
itu membuat saya jengkel. Bicara, bicara terus tentang hal yang sama, seperti
burung beo. Ayah selalu memulainya. 'Membuatku teringat, sungguh, pada malam
Kapten Harwell yang malang...' Dan seterusnya, dan seterusnya." Ia berpaling
pada Mr. Quin. "Anda sudah pernah mendengar dia bercerita. Apa gunanya" Apakah
kejadian masa lalu itu tak bisa dibiarkan saja?"
"Suatu kejadian hanya bisa berlalu kalau sudah diselesaikan," sahut Mr. Quin.
"Apakah yang ini belum selesai" Bisa saja dia memang bermaksud untuk menghilang"
Kadang-kadang orang baik-baik bisa melakukannya."
"Maksud Anda dia menghilang atas kemauannya sendiri?"
"Kenapa tidak" Bukankah itu lebih masuk akal ketimbang menuduh orang sebaik
Stephen Grant telah membunuhnya" Untuk apa dia membunuhnya" Stephen minum
terlalu banyak hari itu dan berbicara tidak sopan padanya, jadi dia dipecat.
Pendekar Sadis 18 Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian Rajawali Lembah Huai 2
THE MYSTERIOUS MR. QUIN by Agatha Christie MR. QUIN YANG MISTERIUS Alihbahasa: Julanda Tantani
Penerbit: PT Gramedia April 1996 Untuk Harlequin yang Tak Tampak
Bab 1 MUNCULNYA MR. QUIN SAAT itu malam menjelang Tahun Baru.
Para penghuni yang lebih tua di Royston sedang berkumpul di ruang keluarga yang
besar. Mr. Satterthwaite merasa lega karena anak-anak muda itu telah pergi tidur
semuanya. Ia memang tidak menyukai kelompok anak-anak muda. Menurutnya mereka
tidak menarik, kasar, dan kurang sopan. Padahal dengan semakin bertambahnya
umur, ia semakin menyukai kesopanan.
Mr. Satterthwaite berumur 62 - sedikit bungkuk, membosankan, dengan raut muka lucu
seperti peri, tapi sangat berminat terhadap kehidupan manusia. Boleh dibilang,
sepanjang hidupnya ia duduk di barisan depan panggung kehidupan, menonton
berbagai drama sifat-sifat manusia yang terjadi di hadapannya. Peranannya dari
dulu memang sebagai penonton. Baru sekarang, gara-gara usia yang semakin lanjut,
ia betul-betul kritis terhadap drama-drama yang disodorkan kepadanya. Sekarang
ia menghendaki sesuatu yang sedikit luar biasa.
Tidak diragukan lagi bahwa ia memang gandrung akan hal-hal tersebut. Ia langsung
tahu kalau unsur-unsur suatu drama muncul di hadapannya Bak kuda perang, ia bisa
mencium baunya. Semenjak kedatangannya di Royston sore ini, perasaannya yang
peka itu telah tergugah dan membuka matanya. Sesuatu yang menarik sedang terjadi
atau akan segera terjadi.
Para penghuni rumah itu tidak terlalu banyak. Ada Tom Evesham, tuan rumah mereka
yang betul-betul ramah dan istrinya yang serius, yang sebelum menikah adalah
Lady Laura Keene. Juga ada Sir Richard Conway, tentara, pengelana, dan
olahragawan, serta enam atau tujuh anak-anak muda yang namanya tidak bisa
diingat lagi oleh Mr. Satterthwaite, serta pasangan bernama Portal.
Pasangan Portal itulah yang menarik perhatian Mr. Satterthwaite.
Ia belum pernah bertemu dengan Alex Portal, tapi ia tahu segalanya tentang orang
itu. Ia mengenal ayah dan kakeknya. Alex Portal adalah orang yang gampang
ditebak. Umurnya sekitar empat puluh tahun, berambut pirang, bermata biru
seperti Portal-portal lainnya, menyukai olahraga, terampil dalam permainan, dan
sama sekali tidak punya imajinasi. Tidak ada yang luar biasa pada diri Alex
Portal. Pokoknya ia cuma orang Inggris yang kedengarannya baik-baik dan biasa-
biasa saja. Tapi istrinya lain. Ia, seperti yang diketahui Mr. Satterthwaite, berasal dari
Australia. Portal memang pernah mengunjungi Australia dua tahun yang lalu,
bertemu dengannya di sana, menikahinya dan membawanya pulang. Sebelum menikah,
istrinya belum pernah pergi ke Inggris. Bagaimanapun, ia sama sekali tidak mirip
dengan wanita-wanita Australia yang pernah dijumpai Mr. Satterthwaite.
Sekarang ia mengamat-amatinya dengan diam-diam. Wanita yang menarik - sangat.
Begitu tenang, tapi begitu... hidup. Hidup! Itu dia! Tidak betul-betul cantik -
tidak, kita tak bisa menganggapnya cantik, tapi ada semacam kesenduan pada
dirinya yang tak mungkin kita abaikan - yang tak mungkin diabaikan oleh laki-laki.
Sisi maskulin Mr. Satterthwaite-lah yang bersuara dalam hal ini, tapi sisi
femininnya (Mr. Satterthwaite juga punya sisi feminin yang lumayan) juga sama
tertariknya dalam hal yang berbeda. Mengapa Mrs. Portal mengecat rambutnya"
Mungkin laki-laki lain tidak tahu bahwa wanita itu mengecat rambutnya, tapi Mr.
Satterthwaite tahu. Ia memang tahu hal-hal begitu. Dan itu membingungkannya.
Banyak wanita berkulit gelap mengecat pirang rambut mereka, tapi ia tak pernah
bertemu dengan wanita berkulit pucat yang mengecat hitam rambutnya.
Segala sesuatu pada dirinya menarik minat Mr. Satterthwaite. Entah kenapa, ia
yakin wanita itu sangat bahagia atau sangat tidak bahagia - tapi ia tidak tahu
yang mana, dan hal itu membuatnya jengkel. Lagi pula wanita itu memberikan efek
aneh pada diri suaminya. "Portal memujanya," kata Mr. Satterthwaite dalam hati, "tapi kadang-kadang
dia... ya, takut padanya! Ini sungguh-sungguh menarik dan tidak biasa."
Portal minum terlalu banyak. Itu sudah jelas. Dan caranya memandang istrinya
secara diam-diam kelihatan aneh.
"Gugup," kata Mr. Satterthwaite. "Laki-laki itu betul-betul gugup. Istrinya
tahu, tapi tidak berbuat apa-apa."
Mr. Satterthwaite menganggap pasangan itu aneh sekali. Sesuatu sedang terjadi,
tapi ia tak bisa menebaknya.
Renungannya tentang mereka terusik bunyi bel jam besar di ujung ruangan.
"Jam dua belas," kata Evesham. "Tahun Baru. Selamat, teman-teman. Sebetulnya jam
itu terlalu cepat lima menit. Aku tidak mengerti kenapa anak-anak tidak mau
menunggu dan menyaksikan datangnya Tahun Baru?"
"Menurutku, mereka sama sekali tidak pergi tidur," ujar istrinya dengan tenang.
"Mereka mungkin sibuk meletakkan sikat rambut atau barang-barang lainnya di
tempat tidur kita Hal-hal begituan menyenangkan mereka. Aku tidak tahu kenapa.
Kami sama sekali tidak boleh berbuat begitu waktu aku masih muda."
"Autre temps, autre moeurs," sahut Conway sambil tersenyum.
Ia seorang laki-laki jangkung dengan tampang tentara. Baik ia maupun Evesham
mempunyai tipe sama - jujur, lurus, ramah, dan tidak begitu pintar.
"Waktu aku masih muda dulu, kami semua bergandeng tangan membentuk lingkaran dan
menyanyikan Auld Lang Syne," Lady Laura meneruskan.
"Haruskah kenalan lama dilupakan - kata-katanya begitu menyentuh, menurutku."
Evesham bergerak dengan tidak sabar.
"Oh! Hentikan, Laura," omelnya. "Jangan di sini."
Ia melintasi ruang keluarga yang besar itu, tempat mereka duduk-duduk, dan
menyalakan lampu tambahan.
"Aku memang goblok," kata Lady Laura, sotto voce. "Itu tentu mengingatkannya
pada Mr. Capel yang malang. Sayangku, apa perapiannya terlalu panas untukmu?"
Eleanor Portal bergerak sekejap.
"Terima kasih. Akan kumundurkan kursinya sedikit."
Betapa merdu suaranya - lirih dan menggema, suara yang akan selalu terekam dalam
ingatan kita, pikir Mr. Satterthwaite. Wajahnya tertutup bayangan sekarang.
Sayang. Dari tempat duduknya yang tertutup bayangan itu, ia berbicara lagi.
"Mr. - Capel?" "Ya. Pemilik asli rumah ini. Kau tahu, dia menembak dirinya sendiri - oh! baiklah,
Tom sayang, aku tidak akan menceritakannya kalau kau tidak setuju. Kejadian itu
betul-betul membuat Tom shock, sebab waktu itu dia ada di sini. Anda juga kan,
Sir Richard?" "Ya, Lady Laura."
Jam besar dan tua di ujung ruangan itu menggeram, mendesum, mendengus seperti
orang sakit asma, kemudian berdentang dua belas kali.
"Selamat Tahun Baru, Tom," gumam Evesham otomatis.
Lady Laura menggulung rajutannya dengan sengaja.
"Nah, kita sudah menyaksikan datangnya Tahun Baru," katanya, dan menambahkan
sambil memandang Mrs. Portal, "bagaimana pendapatmu, Sayang?"
Eleanor Portal segera bangkit berdiri.
"Mau tidur," sahutnya ringan.
"Dia tampak pucat sekali," pikir Mr. Satterthwaite sambil ikut-ikutan bangkit
dan menyibukkan diri dengan tempat lilin. "Biasanya dia tidak sepucat itu."
Mr. Satterthwaite menyalakan lilin dan mengulurkannya padanya sambil membungkuk
sedikit, seperti adat kuno. Ia menerima lilin itu, mengucapkan terima kasih, dan
naik ke loteng dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba suatu perasaan aneh menyerang diri Mr. Satterthwaite. Ia ingin
mengikuti wanita itu untuk menghiburnya. Ia punya perasaan paling aneh bahwa
wanita itu sedang terancam bahaya. Tapi kemudian perasaan itu lenyap dan ia jadi
malu. Kok ia ikut-ikutan gugup"
Eleanor Portal tidak memandang suaminya ketika naik ke loteng tadi, tapi
sekarang ia menoleh dan menatapnya lama dengan pandangan menyelidik yang aneh
dan tajam. Efeknya pada Mr. Satterthwaite juga sangat aneh.
Mr. Satterthwaite buru-buru mengucapkan selamat malam pada tuan rumahnya.
"Saya berharap Tahun Baru ini akan membahagiakan." kata Lady Laura. "Tapi
situasi politik, menurut saya, agaknya sedang diliputi ketidakpastian."
"Saya rasa memang begitu," sahut Mr. Satterthwaite sungguh-sungguh. "Saya rasa
memang begitu." "Saya cuma berharap," lanjut Lady Laura, tanpa perubahan sikap sama sekali,
"yang pertama kali melewati ambang pintu nanti adalah seorang laki-laki kulit
hitam. Anda tahu kan takhayul itu, Mr. Satterthwaite" Tidak" Anda membuat saya
heran. Agar rejeki mau datang ke suatu rumah, yang pertama kali melewati ambang
pintu pada hari pertama di Tahun Baru haruslah seorang laki-laki berkulit gelap.
Astaga, semoga saya tidak menemukan apa pun yang tidak menyenangkan di ranjang
saya nanti. Saya tak pernah mempercayai anak-anak itu. Semangat mereka terlalu
menggebu-gebu." Sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan murung, Lady Laura beranjak naik ke
loteng dengan gaya anggun.
Sepeninggal para wanita, kursi-kursi ditarik lebih dekat mengelilingi perapian
yang membara. "Bilang selamat," kata Evesham riang, sambil mengacungkan botol wiski.
Setelah setiap orang mengucapkan selamat, pembicaraan beralih ke topik yang
tadinya dianggap tabu. "Kau mengenal Derek Capel kan, Satterthwaite?" tanya Conway.
"Sedikit - ya."
"Dan kau, Portal?"
"Tidak, aku tidak pernah bertemu dengannya."
Begitu tegas dan keras ia menyahut, sampai Mr. Satterthwaite mendongak kaget.
"Aku benci kalau Laura menyinggung-nyinggung kejadian itu," kata Evesham pelan.
"Sesudah tragedi itu, tempat ini dijual pada seorang usahawan kaya. Dia pindah
setahun kemudian - katanya tempat ini tidak cocok untuknya. Tentu saja ada banyak
gosip bahwa tempat ini ada hantunya, dan itu menjatuhkan nama rumah ini.
Kemudian, ketika Laura menyuruhku memegang West Kidleby, tentu saja itu berarti
kami harus tinggal di daerah ini, dan tidak gampang mencari rumah yang cocok.
Royston ditawarkan dengan harga murah, dan... yah, akhirnya kubeli. Hantu itu
cuma omong kosong saja, tapi bagaimanapun kita kan merasa tidak enak kalau
diingatkan bahwa kita tinggal di rumah tempat teman kita pernah bunuh diri di
dalamnya Derek yang malang - kita takkan pernah tahu kenapa dia melakukannya."
"Dia bukan orang pertama ataupun terakhir yang bunuh diri tanpa mampu memberikan
alasan," ujar Alex Portal berat.
Ia bangkit dan menuangkan minuman bagi dirinya sendiri dengan gaya dibuat-buat.
"Ada yang tidak beres dengan dirinya," kata Mr. Satterthwaite dalam hati.
"Sungguh tidak beres. Kuharap aku tahu alasannya."
"Astaga!" teriak Conway. "Coba dengar suara angin. Benar-benar liar."
"Malam yang bagus buat para hantu untuk berjalan-jalan," kata Portal sambil
tertawa nyinyir. "Semua setan di neraka sedang bergentayangan malam ini."
"Menurut Lady Laura, bahkan yang paling hitam dari setan-setan itu akan membawa
rejeki untuk kita," kata Conway sambil tertawa. "Mari minum untuknya!"
Angin meraung lagi, keras sekali, dan ketika reda terdengar tiga ketukan keras
di pintu depan yang besar.
Semua orang kaget. "Siapa sih yang mau bertamu malam-malam begini?" teriak Evesham.
Mereka saling menatap. "Aku akan membuka pintu," kata Evesham. "Para pembantu pasti sudah tidur semua."
Ia melintasi ruangan menuju pintu, dengan kaku mengangkat palang-palangnya yang
berat, dan akhirnya membukanya lebar-lebar. Tiupan angin sedingin es menyembur
ke dalam ruangan. Di ambang pintu berdiri seorang laki-laki jangkung dan langsing. Bagi Mr.
Satterthwaite, yang asyik mengamat-amati, laki-laki itu tampak seolah mengenakan
pakaian warna-warni bak pelangi, sebab sosoknya tertimpa sinar-sinar aneh dari
kaca warna-warni di atas pintu. Setelah melangkah masuk, barulah tampak jelas ia
seorang laki-laki kurus berkulit gelap, mengenakan baju pembalap.
"Saya minta maaf telah mengganggu Anda sekalian," katanya dengan suara asing
yang menyenangkan. "Tapi mobil saya mogok. Tidak serius, sopir saya sedang
memperbaikinya sekarang, tapi dia butuh waktu sekitar setengah jam, dan karena
di dalam mobil rasanya dingin sekali..."
Ia berhenti, tapi dengan cepat Evesham memahami maksudnya.
"Sudah pasti dingin sekali. Silakan masuk dan minum. Apa kami bisa menolong
memperbaiki mobil Anda?"
"Tidak perlu, terima kasih. Sopir saya tahu apa yang harus dilakukannya. Omong-
omong, nama saya Quin - Harley Quin."
"Duduklah, Mr. Quin," kata Evesham. "Sir Richard Conway, Mr. Satterthwaite. Dan
saya, Evesham." Mr. Quin mengangguk kecil pada mereka dan duduk di kursi yang telah ditarikkan
oleh Evesham dengan ramah. Waktu ia duduk, seberkas cahaya api menyinari
wajahnya, membuat wajah itu seperti topeng.
Evesham melemparkan dua batang kayu lagi ke dalam perapian.
"Minum?" "Terima kasih."
Evesham mengulurkan minuman sambil bertanya,
"Omong-omong, apakah Anda mengenal daerah ini dengan baik, Mr. Quin?"
"Saya pernah melewatinya beberapa tahun yang lalu."
"Masa?" "Ya. Rumah ini dulu kepunyaan seseorang bernama Capel."
"Ah! Ya," sahut Evesham. "Derek Capel yang malang. Anda kenal?"
"Ya, saya kenal."
Sikap Evesham berubah sedikit, hampir tak kentara bagi orang yang tidak mengenal
karakteristik orang Inggris. Sebelumnya sikapnya agak berjaga-jaga, tapi
sekarang tidak lagi. Mr. Quin telah mengenal Derek Capel. Jadi, ia teman dari
seorang teman, dan itu sudah cukup meyakinkan.
"Kejadiannya luar biasa, kan?" katanya penuh keyakinan. "Kami baru saja
membicarakannya. Terus terang, membeli tempat ini sesungguhnya tidak masuk akal.
Seandainya saja ada tempat lain yang cocok, tapi tidak ada tempat lagi. Saya ada
di rumah ini pada malam dia menembak dirinya sendiri - begitu juga Conway, dan
percayalah, saya selalu mengharapkan kedatangan hantunya."
"Betul-betul kejadian yang tak bisa dijelaskan," kata Mr. Quin pelan, dan ia
berhenti sejenak bak seorang aktor yang baru saja mengucapkan kata-kata kunci
yang penting. "Anda boleh saja menganggapnya tak bisa dijelaskan," sembur Conway. "Kejadian
itu memang merupakan misteri yang gelap - dan akan tetap begitu."
"Saya ingin tahu," ujar Mr. Quin. "Ya, Sir Richard, apa kata Anda?"
"Luar biasa - begitulah. Padahal dia sedang berada di puncak kehidupan, ceria,
ramah, tanpa masalah apa pun di dunia ini. Ada lima atau enam teman lama yang
tinggal bersamanya waktu itu. Dia betul-betul bersemangat waktu makan malam,
penuh rencana untuk masa depan. Selesai makan dia langsung pergi ke kamarnya,
mengambil pistol dari laci, dan menembak dirinya sendiri. Kenapa" Tak seorang
pun tahu. Tak seorang pun akan tahu."
"Bukankah pernyataan itu agak berlebihan, Sir Richard?" tanya Mr. Quin sambil
tersenyum. Conway menatapnya. "Apa maksud Anda" Saya tidak mengerti."
"Suatu masalah tidak mesti tak dapat dipecahkan hanya karena sampai sekarang
masih belum terpecahkan."
"Oh! Ayolah, Bung, kalau waktu itu tidak ada jalan keluarnya dan sekarang pun
kelihatannya masih begitu... sepuluh tahun lagi, apa masih mungkin?"
Mr. Quin menggeleng pelan.
"Saya tidak setuju. Bukti-bukti sejarah yang ada menentang pendapat Anda. Para
sejarawan sekarang takkan pernah menulis sejarah sebenar yang akan ditulis
sejarawan generasi mendatang. Masalahnya adalah bagaimana mendapatkan perspektif
yang benar, melihat segala sesuatu pada tempatnya. Kalau Anda senang dengan
istilah umum itu, memang, seperti hal-hal lainnya, ini masalah relativitas."
Alex Portal mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya mengernyit kesakitan.
"Anda benar, Mr. Quin," serunya, "Anda benar. Waktu tidak pernah meninggalkan
suatu masalah - malah menyajikannya lagi dalam bentuk baru dan berbeda."
Evesham tersenyum penuh toleransi.
"Kalau begitu, maksud Anda, Mr. Quin, kalau kita misalnya membentuk suatu Dewan
Pemeriksa malam ini untuk membahas kematian Derek Capel, kita kemungkinan akan
mengetahui kebenarannya seperti yang seharusnya kita ketahui waktu itu?"
"Kemungkinan besar begitu, Mr. Evesham. Kesan-kesan pribadi sebagian besar akan
ditinggalkan, dan Anda hanya akan mengingat fakta sebagai fakta saja, tanpa
mempengaruhinya dengan interpretasi Anda sendiri tentang fakta itu."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Evesham tampak ragu-ragu.
"Tapi kita harus tahu dulu ujung-pangkalnya," kata Mr. Quin dengan suaranya yang
tenang dan datar. "Suatu ujung-pangkal biasanya cuma teori belaka. Saya yakin
salah seorang dari Anda pasti punya teori. Bagaimana dengan Anda, Sir Richard?"
Conway mengerutkan dahinya dengan serius.
"Yah, tentu saja," katanya dengan nada minta maaf, "kami mengira - sudah wajar
kalau kami semua mengira - ada seorang wanita yang terlibat. Biasanya selalu itu
alasannya, kalau bukan uang, ya kan" Dan sudah pasti bukan uang alasannya. Udak
ada masalah dalam hal itu. Jadi, alasan apa lagi yang mungkin?"
Mr. Satterthwaite kaget. Ia telah mencondongkan tubuh ke depan untuk
menyampaikan pendapat yang ada dalam kepalanya, dan ketika hendak berbuat
demikian, pandangannya menangkap sosok seorang wanita yang sedang bersandar pada
jeruji di loteng atas. Wanita itu betul-betul merapatkan diri pada jeruji, tidak
tampak dari mana pun kecuali dari tempat Mr. Satterthwaite duduk, dan sudah
jelas ia turut mendengarkan dengan penuh perhatian pada apa yang sedang terjadi
di bawah. Begitu diam ia di sana, sampai Mr. Satterthwaite nyaris tidak
mempercayai matanya sendiri.
Tapi ia mengenali corak bajunya dengan mudah - brokat kuno. Wanita itu Eleanor
Portal. Dan tiba-tiba seluruh kejadian malam itu membentuk suatu pola - kemunculan Mr.
Quin bukan sekadar kebetulan, tapi kemunculan seorang aktor setelah diberi
tanda. Ada drama yang sedang dimainkan di ruang keluarga yang besar di Royston
malam ini - drama yang sudah pasti nyata, meski salah seorang aktornya sudah mati.
Ya. Derek Capel punya peranan dalam permainan ini. Mr. Satterthwaite yakin akan
hal itu. Dan, sekali lagi dengan tiba-tiba, suatu gambaran baru muncul di benaknya. Ini
akibat perbuatan Mr. Quin. Dialah yang sedang memimpin permainan, memberikan
tanda pada para aktor. Ia jantung misteri ini, yang menarik tali-talinya supaya
boneka-boneka itu bisa bergerak-gerak. Ia tahu segalanya, bahkan juga kehadiran
wanita yang bersandar pada jeruji kayu di loteng itu. Ya, ia tahu.
Sambil duduk tenang di kursinya, aman dalam peranannya sebagai penonton, Mr.
Satterthwaite memperhatikan drama itu berlangsung di depan matanya. Dengan
tenang dan wajar Mr. Quin menarik tali-tali itu, menggerak-gerakkan boneka-
bonekanya. "Seorang wanita - ya," gumamnya sambil merenung. "Apa ada seorang wanita tertentu
yang disebut-sebut waktu makan malam itu?"
"Ya, tentu saja," teriak Evesham. "Dia mengumumkan pertunangannya. Itu yang
membuat segalanya jadi tidak masuk akal. Dia malah sangat bersemangat
mengenainya. Dia berkata mestinya tidak boleh diumumkan dulu, tapi dia memberi
kami petunjuk bahwa dia telah mempertaruhkan sesuatu yang hebat."
"Tentu saja kami semua menebak siapa wanita itu," kata Conway. "Marjorie Dilke.
Gadis yang baik." Tampaknya saat itu giliran Mr. Quin untuk berbicara, tapi ia tidak melakukannya,
dan sikap diamnya itu malah terasa mengusik. Rasanya seolah-olah ia menentang
pernyataan yang terakhir itu. Hal itu membuat Conway mempertahankan diri.
"Wanita mana lagi yang mungkin" Eh, Evesham?"
"Aku tidak tahu," sahut Tom Evesham pelan. "Apa tepatnya yang dikatakannya waktu
itu" Mempertaruhkan sesuatu yang hebat - dia tak bisa mengatakan nama wanita itu
sampai dia mendapatkan izin darinya; masih belum saatnya diumumkan. Aku ingat
dia berkata bahwa dia laki-laki yang beruntung sekali. Dia ingin dua teman
baiknya mengetahui bahwa dia akan jadi suami yang bahagia pada saat ini satu
tahun lagi. Tentu saja kami mengira wanita itu Marjorie. Mereka akrab sekali dan
dia sering sekali bepergian bersamanya."
"Satu-satunya hal...," Conway memulai dan berhenti.
"Apa yang akan kaukatakan, Dick?"
"Yah, maksudku, memang aneh, kan" Kalau memang Marjorie, kenapa pertunangan
mereka tidak boleh segera diumumkan" Kenapa mesti dirahasiakan" Kedengarannya
seolah-olah wanita itu sudah menikah - kalian tahu, wanita yang suaminya baru
meninggal, atau yang sedang menceraikannya."
"Itu benar," ujar Evesham. "Kalau memang itu masalahnya, tentu saja pertunangan
itu tidak boleh segera diumumkan. Dan kau tahu, kalau dipikir-pikir lagi, kurasa
dia tidak terlalu sering menemui Marjorie. Itu semua terjadi setahun sebelumnya.
Aku ingat pernah mengira hubungan mereka berdua sudah renggang."
"Aneh," kata Mr. Quin.
"Ya, kelihatannya seperti ada orang lain yang muncul di antara mereka berdua."
"Seorang wanita lain," ujar Conway serius.
"Astaga," kata Evesham. "Kalian tahu, memang ada sesuatu yang betul-betul luar
biasa pada diri Derek malam itu. Dia tampak nyaris mabuk dalam kebahagiaan.
Tapi... aku tak bisa menjelaskan maksudku dengan tepat... tapi dia kelihatannya
juga bersikap menentang."
"Seperti orang yang menyangkal takdir," kata Alex Portal berat.
Apakah Derek Capel yang dimaksudkannya - atau dirinya sendiri" Mr. Satterthwaite,
yang menatapnya, cenderung berpendapat yang terakhir. Ya, itulah yang
ditunjukkan Alex Portal - orang yang menyangkal takdir.
Imajinasinya, yang telah bercampur dengan minuman, tiba-tiba bereaksi terkena
bagian cerita itu, sehingga ia tersentak dari lamunannya.
Mr. Satterthwaite mendongak. Wanita itu masih di sana. Memperhatikan,
mendengarkan, masih tetap tak bergerak, beku - seperti wanita mati.
"Benar sekali," kata Conway. "Capel memang tegang saat itu - dan aneh. Menurutku
dia seperti ikut taruhan yang besar dan menang, meskipun keadaannya nyaris
mustahil." "Mungkin mengumpulkan keberanian untuk melakukan apa yang telah diputuskannya?"
usul Portal. Dan seperti digerakkan oleh setumpuk ide, ia bangkit untuk menuangkan minuman
lagi bagi dirinya. "Sama sekali tidak begitu," sahut Evesham tajam. "Aku berani sumpah bahwa
pikiran semacam itu tak pernah ada dalam otaknya. Conway benar. Tingkah lakunya
memang seperti penjudi yang sudah lama bertaruh dan nyaris tak bisa mempercayai
keberuntungannya." Conway angkat bahu. "Tapi," katanya, "sepuluh menit kemudian..."
Mereka duduk dalam keheningan. Evesham meninju meja.
"Sesuatu pasti terjadi dalam sepuluh menit itu," teriaknya "Pasti begitu! Tapi
apa" Mari kita menelaahnya lagi dengan saksama. Waktu itu kami semua asyik
ngobrol. Tiba-tiba Capel berdiri dan meninggalkan ruangan."
"Kenapa?" tanya Mr. Quin.
Selaan itu tampaknya membuyarkan perhatian Evesham.
"Maaf?" "Saya hanya bertanya: Kenapa?" kata Mr. Quin.
Evesham mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat.
"Waktu itu kelihatannya... tidak penting. Oh! tentu saja - pos. Masa tidak ingat
bunyi bel nyaring yang membuat kita semua gembira" Kita kan terkurung salju
selama tiga hari. Badai salju terhebat selama bertahun-tahun. Semua jalan tak
bisa dilewati. Tidak ada koran, tidak ada surat. Capel pergi keluar untuk
melihat apa ada yang datang akhirnya, dan dia mendapat setumpuk barang. Koran
dan surat. Dia membuka korannya untuk melihat apa ada berita penting, kemudian
naik ke loteng sambil membawa surat-suratnya. Tiga menit kemudian kami mendengar
bunyi tembakan. Aneh - betul-betul tak dapat dijelaskan."
"Itu bukannya tak dapat dijelaskan," kata Portal. "Tentu saja penyebabnya karena
dia menerima kabar yang tidak diharapkan pada salah satu surat. Menurutku, malah
jelas sekali." "Oh! Jangan dikira kami sampai bisa mengabaikan petunjuk sejelas itu. Itu
pertanyaan pertama yang diajukan polisi. Tapi Capel tidak pernah membuka satu
pun surat-suratnya. Seluruh surat itu masih tertumpuk rapi di meja riasnya."
Portal kelihatan kecewa. "Kau yakin dia tidak membuka satu saja dari surat-surat itu" Mungkin dia
langsung menghancurkannya setelah membaca."
"Tidak, aku cukup yakin. Tentu saja itu pemecahan yang wajar. Tapi kenyataannya
semua surat itu tidak ada yang dibuka. Tidak ada yang dibakar, tidak ada yang
dirobek. Di kamar itu tidak ada perapiannya, kan?"
Portal menggeleng. "Luar biasa." "Betul-betul kejadian menyeramkan," kata Evesham dengan suara rendah. "Conway
dan aku segera naik ke loteng ketika mendengar bunyi tembakan itu dan
menemukannya Aku betul-betul shock, kalian tahu."
"Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menelepon polisi, saya rasa?" tanya Mr.
Quin. "Waktu itu di Royston belum ada telepon. Saya memasangnya waktu membeli tempat
ini. Tapi untungnya ada polisi lokal mampir di dapur waktu itu. Salah satu
anjing-anjing itu - kauingat Rover tua yang malang, Conway" - tersesat sehari
sebelumnya. Seorang tukang kereta menemukannya setengah terbenam di salju dan
membawanya ke kantor polisi. Mereka mengenalinya sebagai milik Capel, dan
kebetulan yang paling disayanginya, lalu polisi itu datang mengantarnya pulang.
Dia tiba semenit setelah tembakan itu meletus. Jadi, betul-betul menolong kami."
"Memang hebat badai salju malam itu," ujar Conway, terbayang-bayang. "Kira-kira
pada masa-masa seperti sekarang ini, kan" Awal Januari?"
"Februari, kurasa. Sebentar, kami pergi ke luar negeri segera setelah itu."
"Aku yakin waktu itu Januari. Pemburuku, Ned - kauingat Ned" - kakinya pincang pada
akhir Januari. Dan itu terjadi setelah kejadian itu."
"Kalau begitu, pasti akhir Januari. Heran, betapa sulit mengingat-ingat tanggal
setelah lewat bertahun-tahun."
"Salah satu hal paling sulit di dunia," ujar Mr. Quin basa-basi. "Kecuali kalau
kita bisa menemukan suatu kejadian penting - misalnya, pembunuhan kepala negara
atau pengadilan atas suatu pembunuhan besar."
"Astaga, tentu saja," teriak Conway, "kejadian itu tepat sebelum kasus
Appleton." "Malah segera sesudah itu, kan?"
"Tidak, tidak, kau tidak ingat - Capel mengenal pasangan Appleton itu. Dia pernah
tinggal dengan orang tua itu pada musim semi sebelumnya, tepatnya seminggu
sebelum kematiannya. Dia pernah menceritakan hal itu suatu malam - betapa
cerewetnya laki-laki itu dan betapa malangnya bagi seorang wanita yang masih
muda dan cantik seperti Mrs. Appleton untuk terikat padanya. Waktu itu belum ada
kecurigaan bahwa wanita itu yang menghabisi hidup suaminya."
"Demi Tuhan, kau benar. Aku ingat membaca tentang itu di koran yang menuliskan
bahwa perintah menggali lagi kuburnya telah dikeluarkan. Pasti hari itu aku cuma
membacanya setengah-setengah, karena aku masih khawatir dengan Derek yang
tergeletak mati di loteng."
"Itu memang gejala umum, tapi sangat aneh," ujar Mr. Quin. "Pada saat tertimpa
stres berat, otak cenderung menaruh perhatian pada hal-hal kurang penting, yang
malahan, teringat terus sesudahnya, terpicu oleh stres berat yang dialami waktu
itu. Yang diingat mungkin hal-hal kecil yang tidak ada artinya, seperti corak
kertas pelapis dinding, tapi hal itu tak pernah terlupakan."
"Ucapan Anda itu agak luar biasa, Mr. Quin," kata Conway. "Ketika Anda bicara
tadi, saya tiba-tiba merasa berada di kamar Derek Capel lagi - dengan Derek
tergeletak mati di lantai. Saya bisa melihat dengan jelas pohon besar di luar
jendela, bayangannya jatuh menimpa salju di luar. Ya, sinar rembulan, salju, dan
bayangan pohon itu - saya bisa melihat semuanya lagi sekarang. Demi Tuhan,
rasanya saya bisa menggambarkannya, padahal waktu itu saya tidak sadar telah
memandang semuanya itu."
"Kamarnya itu kamar besar di dekat pintu masuk, kan?" tanya Mr. Quin.
"Ya, dan pohon itu pohon beringin yang besar, tepat di sudut tikungan."
Mr. Quin mengangguk, seolah-olah puas. Mr. Satterthwaite betul-betul tegang. Ia
yakin bahwa setiap kata, setiap nada suara Mr. Quin, sarat oleh maksud. Ia
sedang mengarah ke sesuatu - tepatnya apa, Mr. Satterthwaite tidak tahu, tapi ia
cukup yakin siapa yang memegang kemudinya.
Sejenak semua terdiam, kemudian Evesham kembali ke topik sebelumnya.
"Kasus Appleton itu, saya ingat dengan jelas sekarang. Waktu itu cukup
sensasional. Wanita itu bebas, bukan" Cantik, berkulit putih - betul-betul putih."
Nyaris di luar kehendaknya, mata Mr. Satterthwaite berputar ke arah sosok yang
sedang berlutut di atas sana. Apa ia cuma berkhayal ataukah ia melihat sosok itu
mengkerut sedikit, seolah-olah terpukul" Apa ia melihat sebuah tangan meluncur
di atas taplak meja... kemudian berhenti"
Terdengar bunyi gelas pecah. Alex Portal, yang bermaksud menambah lagi wiskinya,
telah menjatuhkan botol wiski itu.
"Aduh, maaf, tidak sengaja. Entah kenapa aku ini."
Evesham segera menghentikan penyesalannya.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Teman. Aneh, bunyi pecah itu mengingatkanku.
Itulah yang dilakukannya, bukan" Mrs. Appleton" Menghancurkan botol anggur?"
"Ya. Appleton tua itu selalu minum segelas anggur merah - cuma segelas - setiap
malam. Sehari setelah kematiannya, salah seorang pembantu melihat sang nyonya
mengambil botol itu dan membantingnya dengan sengaja. Itu tentu saja membuat
mereka bergosip ria. Mereka semua tahu dia sudah jemu dengan suaminya. Gosip itu
terus berlanjut dan akhirnya, berbulan-bulan kemudian, beberapa sanak saudaranya
mengajukan permintaan untuk melakukan penggalian kuburan. Ternyata orang tua itu
memang diracun. Arsenik, bukan?"
"Bukan - kurasa strychnine. Tidak terlalu berarti. Yah, tapi tetap saja terbukti.
Hanya satu orang yang dirasa mungkin melakukannya. Mrs. Appleton diajukan ke
sidang. Tapi dia dibebaskan karena kurangnya bukti-bukti, bukan karena
ketidakbersalahannya. Dengan kata lain, dia beruntung. Ya, kurasa memang tak
perlu diragukan lagi dialah yang melakukannya. Apa yang terjadi padanya setelah
itu?" "Pergi ke Canada, kurasa. Atau Australia, ya" Dia punya paman atau entah apa di
sana yang menawarkan tempat tinggal baginya. Memang itulah jalan terbaik yang
bisa dipilihnya dalam kondisi seperti itu."
Mr. Satterthwaite tertarik dengan tangan kanan Alex Portal yang sedang memegang
gelas. Betapa kuat pegangannya itu.
"Kau pasti akan memecahkannya juga sebentar lagi, kalau tidak hati-hati," pikir
Mr. Satterthwaite. "Astaga, betapa menariknya semua ini."
Evesham berdiri dan menuang minuman lagi bagi dirinya sendiri.
"Yah, ternyata kita sama sekali tidak lebih tahu kenapa Derek Capel menembak
dirinya sendiri," katanya. "Dewan Pemeriksa ini tidak berhasil, bukan, Mr.
Quin?" Mr. Quin tertawa. Tawa yang aneh, menyindir, tapi juga sedih. Semua orang sampai kaget karenanya.
"Maaf," katanya. "Anda masih tenggelam dalam masa lalu, Mr. Evesham. Anda masih
terbayang-bayang pada kesimpulan Anda sendiri. Tapi saya, orang dari luar, orang
asing yang kebetulan lewat, cuma melihat fakta-fakta!"
"Fakta-fakta?" "Ya, fakta-fakta."
"Apa maksud Anda?" tanya Evesham.
"Saya melihat urutan yang jelas dari fakta-fakta yang Anda gambarkan tadi, tapi
yang tidak Anda sadari kepentingannya. Mari kita kembali ke sepuluh tahun yang
lalu dan melihat apa yang kita lihat - tanpa dipengaruhi oleh ide-ide ataupun
perasaan-perasaan." Mr. Quin berdiri. Ia tampak jangkung sekali. Api berkobar-kobar hebat di
belakangnya. Ia berbicara dengan suara rendah yang mencekam.
"Anda sedang makan malam Derek Capel mengumumkan pertunangannya. Waktu itu Anda
mengira wanitanya adalah Marjorie Dilke. Tapi sekarang Anda tidak yakin. Tingkah
lakunya waktu itu tegang sekali, bagaikan orang yang telah berhasil mengelabui
takdir, orang yang, dengan kata-kata Anda sendiri, telah menang taruhan,
meskipun keadaannya nyaris mustahil. Lalu terdengar bunyi bel. Dia keluar untuk
menerima pos yang sudah terlambat lama Dia tidak membuka surat-suratnya, tapi
Anda sendiri mengatakan dia membuka koran dan melirik beritanya. Semua itu
terjadi sepuluh tahun yang lalu, jadi kita tidak bisa tahu berita apa itu - gempa
bumi di luar negeri, krisis politik yang akan segera terjadi" Satu-satunya hal
yang kita ketahui tentang isi koran itu adalah yang tertulis dalam satu artikel
kecil - artikel yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri telah memberikan izin
untuk menggali lagi jenazah Mr. Appleton tiga hari yang lalu."
"Apa?" Mr. Quin melanjutkan. "Derek Capel naik ke kamarnya dan melihat sesuatu di luar jendela. Sir Richard
Conway telah bercerita bahwa waktu itu gordennya tidak ditarik dan jendela itu
menghadap ke jalanan. Apa yang dilihatnya" Apa yang mungkin telah dilihatnya
sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?"
"Apa maksud Anda" Apa yang telah dilihatnya?"
"Saya rasa," kata Mr. Quin, "dia melihat seorang polisi. Seorang polisi yang
kebetulan datang untuk mengantarkan seekor anjing. Tapi Derek Capel tidak tahu
itu; dia cuma melihat seorang polisi."
Ada kesunyian panjang, seolah-olah butuh waktu untuk mencerna semuanya itu.
"Astaga!" bisik Evesham akhirnya. "Mustahil. Appleton" Tapi dia tidak ada di
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana ketika Appleton meninggal. Orang tua itu sendirian dengan istrinya."
"Tapi dia mungkin ada di sana seminggu sebelumnya. Strychnine tidak terlalu
cepat larut kecuali kalau dalam bentuk hidroklorid. Sebagian besar racun itu,
kalau dimasukkan dalam anggur merah, akan terminum pada gelas terakhir, mungkin
seminggu setelah dia pulang."
Portal melompat ke depan. Suaranya serak, matanya membelalak.
"Kenapa istrinya memecahkan botol itu?" teriaknya. "Kenapa dia memecahkannya"
Coba katakan!" Untuk pertama kalinya malam itu, Mr. Quin berkata kepada Mr. Satterthwaite.
"Anda punya pengalaman hidup yang luas sekali, Mr. Satterthwaite. Mungkin Anda
bisa menjelaskannya pada kami semua."
Suara Mr. Satterthwaite sedikit gemetar. Tanda untuknya akhirnya muncul juga. Ia
harus mengucapkan bait paling penting dalam permainan itu. Ia sekarang aktor -
bukan penonton. "Seperti yang saya lihat," katanya dengan rendah hati, "wanita itu... sayang
pada Derek Capel. Dia, saya rasa, adalah wanita yang baik hati, dan dia telah
menyuruh Derek pulang. Ketika suaminya meninggal, dia mencurigai kebenarannya.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan laki-laki yang dicintainya, dia mencoba
menghancurkan barang bukti itu. Sesudah itu, saya kira, Derek merayunya sehingga
kecurigaannya hilang, dan dia setuju untuk menikah dengannya. Meskipun demikian,
dia tetap berjaga-jaga. Wanita, menurut saya, memang punya banyak insting."
Mr. Satterthwaite telah mengucapkan bagiannya.
Tiba-tiba suara desahan panjang dan gemetar memenuhi ruangan.
"Demi Tuhan!" teriak Evesham. "Apa itu tadi?"
Mr. Satterthwaite semestinya dapat menjelaskan padanya bahwa itu tadi adalah
suara Eleanor Portal di loteng, tapi ia terlalu sayang untuk merusak efek yang
bagus itu. Mr. Quin tersenyum. "Mobil saya pasti sudah beres sekarang. Teruna kasih atas keramahan Anda, Mr.
Evesham. Saya harap sudah melakukan sesuatu yang baik untuk teman saya."
Mereka menatapnya terpana.
"Aspek itu sama sekali tidak terpikirkan oleh Anda sekalian, bukan" Dia memang
mencintai wanita itu. Mencintai sampai rela membunuh untuknya. Ketika rasa
tanggung jawab menyerangnya, seperti yang salah dikiranya, dia menembak dirinya
sendiri. Tapi tanpa disadarinya, dia meninggalkan wanita itu menderita akibat
perbuatannya." "Dia toh dibebaskan," gumam Evesham.
"Karena kasus terhadapnya tak bisa dibuktikan. Saya membayangkan - cuma
membayangkan bahwa dia masih menderita akibat perbuatan itu."
Portal terenyak di kursi, wajahnya dibenamkan dalam tangannya.
Quin menoleh pada Satterthwaite.
"Sampai jumpa, Mr. Satterthwaite. Anda tertarik dengan drama itu, bukan?"
Mr. Satterthwaite mengangguk - kaget.
"Saya mesti merekomendasikan Harlequin* pada Anda. Sekarang ini sudah mulai
punah, tapi selalu ada imbalannya kalau Anda tertarik, percayalah. Simbolismenya
memang agak susah untuk dipahami, tapi yang abadi akan abadi, Anda harus tahu
itu. Saya ucapkan selamat malam pada Anda semua." *{tokoh badut pemain musik
dalam pantomim-pantomim kuno, yang mengenakan kostum ketat bercorak kotak-kotak
dan topeng. (Nama Mr. Harley Quin punya bunyi yang mirip dengan Harlequin)}
Mereka melihatnya keluar pintu, menuju kegelapan. Seperti sebelumnya, warna-
warni kaca memberiku efek pelangi.
Mr. Satterthwaite naik ke loteng. Ia menghampiri jendelanya untuk menutup
daunnya, karena udara betul-betul dingin. Sosok tubuh Mr. Quin tampak menyusuri
jalanan keluar, dan dari pintu samping terlihat sosok seorang wanita sedang
berlari. Selama beberapa saat mereka saling berbicara, kemudian wanita itu
kembali ke rumah. Ia berhenti sejenak di bawah jendela, dan Mr. Satterthwaite
terpana melihat vitalitas di wajahnya. Ia sekarang berjalan bagaikan seorang
wanita dalam sebuah mimpi indah.
"Eleanor!" Alex Portal menemuinya. "Eleanor, maafkan aku - maafkan aku. Kau menceritakan yang sebenarnya padaku,
tapi, semoga Tuhan mengampuniku, aku tidak terlalu mempercayaimu."
Mr. Satterthwaite memang sungguh-sungguh tertarik dengan urusan orang lain, tapi
ia tahu diri. Ia tahu bahwa saat itu ia harus menutup jendelanya. Maka ia
melakukannya. Tapi ia menutupnya perlahan-lahan.
Ia mendengar suara wanita itu, ceria dan bahagia.
"Aku tahu - aku tahu. Kau merana sekali seperti di neraka selama ini. Begitu pula
aku dulu. Mencintai, mempercayai, tapi sekaligus juga mencurigai - membuang
kecurigaan itu, tapi selalu timbul lagi begitu ada lirikan dari orang-orang
lain. Aku tahu, Alex, aku tahu. Tapi ada neraka yang lebih buruk dari itu semua,
neraka yang pernah kutinggali bersamamu. Aku tahu keraguanmu, ketakutanmu padaku
meracuni cinta kita. Orang itu - orang yang kebetulan lewat itu - menyelamatkanku.
Kau tahu, sesungguhnya aku sudah tidak tahan lagi. Malam ini... malam ini aku
bermaksud bunuh diri. Alex... Alex..."
Bab 2 BAYANGAN DI JENDELA "COBA dengar ini," kata Lady Cynthia Drage.
Ia membaca keras-keras koran yang dipegangnya.
"Mr. dan Mrs. Unkerton menyelenggarakan pesta di Greenways House minggu ini.
Tamu-tamu yang diundang antara lain Lady Cynthia Drage, Mr. dan Mrs. Richard
Scott, Mayor Porter, D.S.O., Mrs. Staverton, Kapten Allenson, dan Mr.
Satterthwaite." "Ada baiknya juga mengetahui untuk apa kita diundang," kata Lady Cynthia sambil
melemparkan koran itu. "Tapi mereka telah mengacaukan segalanya!"
Teman bicaranya, Mr. Satterthwaite, yang namanya disebutkan pada akhir daftar
tamu tadi, memandangnya penuh selidik. Kata orang, kalau Mr. Satterthwaite
berada di rumah orang-orang kaya yang baru saja pindah, pastilah di sana ada
makanan yang luar biasa lezat, atau ada drama kehidupan manusia yang akan
berlangsung. Mr. Satterthwaite memang betul-betul gandrung akan komedi dan
tragedi kehidupan sesamanya.
Lady Cynthia, yang setengah baya, dengan wajah kaku dan makeup agak berlebihan,
menepuknya dengan payung model mutakhir yang saat itu disandarkan dengan gagah
di samping lututnya. "Jangan pura-pura tidak mengerti. Kau toh tahu betul. Lagi pula aku percaya kau
di sini untuk melihat perang yang akan meledak!"
Mr. Satterthwaite segera membantahnya. Ia tidak tahu apa yang dimaksudkan Lady
Cynthia. "Yang kumaksud Richard Scott. Apa kau mau pura-pura tidak pernah mendengar
namanya?" "Tidak, tentu tidak. Dia kan terkenal sebagai si Pemburu Besar?"
"Memang - 'Beruang dan harimau yang besar-besar, dan seterusnya' seperti dalam
lagu. Sekarang ini dia sendiri bisa dibilang singa besar. Keluarga Unkerton
pasti gila mau mengundangnya - dan suaminya! Anak yang menarik! betul-betul
menarik - tapi begitu polos, baru dua puluh, padahal maminya paling sedikit sudah
45." "Mrs. Scott memang tampaknya sangat menarik," kata Mr. Satterthwaite tenang.
"Ya, anak malang."
"Kenapa mesti malang?"
Lady Cynthia menatapnya sebal, dan meneruskan cerita dengan gayanya sendiri.
"Porter lumayan, tapi membosankan - salah satu dari pemburu-pemburu Afrika itu
juga, dengan kulit terbakar matahari dan pendiam. Cuma jadi bayang-bayang
Richard Scott dari dulu sampai sekarang; mereka memang sudah lama bersahabat.
Kalau kupikir-pikir, mereka rasanya bersama-sama dalam perjalanan itu."
"Perjalanan apa?"
"Perjalanan itu. Perjalanan Mrs. Staverton. Sebentar lagi kau pasti bilang kau
tidak pernah mendengar tentang Mrs. Staverton."
"Aku pernah mendengar tentang Mrs. Staverton," kata Mr. Satterthwaite,
tersinggung. Ia dan Lady Cynthia bertukar pandang.
"Ini betul-betul ciri khas keluarga Unkerton," keluh Lady Cynthia. "Mereka itu
betul-betul kacau - dalam hal sosialisasi, maksudku. Bayangkan, bisa-bisanya
mereka mengundang kedua orang itu pada acara yang sama! Tentu saja mereka sudah
pernah mendengar tentang Mrs. Staverton yang olahragawati dan pengelana itu,
serta tentang bukunya. Orang-orang seperti keluarga Unkerton itu betul-betul
tidak menyadari bahwa bisa terjadi kesulitan! Aku sendiri baru saja mengalaminya
tahun lalu, dan tak seorang pun tahu betapa menderitanya aku. Harus ada yang
mengawasi mereka. 'Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh begini!' Untung aku
sudah melewati semua itu. Bukannya kami bertengkar - oh! tidak, aku tidak pernah
bertengkar, tapi biar orang lain saja yang meneruskan pekerjaan itu. Seperti
kataku selalu, aku bisa menerima kekasaran, tapi aku tidak tahan dengan
kepicikan!" Setelah mencurahkan keluh-kesahnya yang tidak jelas, Lady Cynthia terdiam
sejenak, merenungkan kepicikan keluarga Unkerton seperti yang dikatakannya tadi.
"Kalau aku harus membantu mereka untuk acara ini," ia meneruskan, "aku pasti
akan dengan tegas dan jelas mengatakan, Kalian tidak bisa mengundang Mrs.
Staverton dan suami-istri Richard Scott. Dulu mereka berdua pernah..."
Ia tiba-tiba berhenti. "Dulu mereka berdua pernah apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Temanku yang baik! Itu kan sudah terkenal. Perjalanan menuju Pulau! Aku heran
wanita itu masih punya muka untuk menerima undangan ini."
"Mungkin dia tidak tahu yang lainnya akan hadir juga?" pancing Mr.
Satterthwaite. "Mungkin. Itu lebih masuk akal."
"Kaupikir...?" "Menurutku dia itu wanita berbahaya - wanita yang tidak mau mengalah. Aku tidak
mau jadi Richard Scott akhir minggu ini."
"Dan menurutmu, istri Richard Scott tidak tahu apa-apa tentang hal ini?"
"Aku yakin dia tidak tahu apa-apa. Tapi kurasa cepat atau lambat pasti ada teman
yang memberitahunya. Ini dia Jimmy Allenson. Anak yang baik sekali. Dia
menyelamatkan hidupku di Mesir musim dingin yang lalu - aku begitu bosan waktu
itu. Halo, Jimmy, cepatlah kemari."
Kapten Allenson menurut, mendudukkan dirinya di rerumputan di samping Lady
Cynthia. Ia seorang pemuda tampan berusia sekitar tiga puluh, dengan gigi putih
dan senyum menawan. "Aku senang ada orang yang menginginkan diriku," katanya. "Pasangan Scott sedang
bermesraan, untuk itu butuh dua orang, bukan tiga, Porter sedang asyik membaca
Field, dan aku nyaris terperangkap diajak mengobrol dengan nyonya rumah."
Ia tertawa. Lady Cynthia ikut tertawa. Mr. Satterthwaite, yang dalam beberapa
hal memang masih kuno, tidak ikut tertawa, karena ia jarang menggunjingkan tuan
dan nyonya rumahnya sampai ia meninggalkan rumah mereka.
"Jimmy yang malang," kata Lady Cynthia.
"Aku tidak mau cari urusan, lebih baik menghindar saja. Aku baru saja meloloskan
diri dari cerita tentang hantu keluarga mereka."
"Hantu Unkerton," kata Lady Cynthia. "Menarik sekali."
"Bukan hantu Unkerton," kata Mr. Satterthwaite. "Hantu Greenway. Mereka
membelinya bersama dengan rumah ini."
"Tentu saja," kata Lady Cynthia. "Aku ingat sekarang. Tapi hantunya tidak
mengentak-entakkan rantainya, kan" Cuma berhubungan dengan sebuah jendela."
Jimmy Allenson mendongak cepat.
"Jendela?" Tapi Mr. Satterthwaite tidak menyahut. Ia sedang memandang di balik kepala
Jimmy, pada tiga sosok yang berjalan mendekat dari arah rumah - seorang gadis
langsing di antara dua laki-laki. Ada kemiripan kentara di antara kedua laki-
laki itu, tapi kalau diperhatikan dengan saksama, kemiripan itu lenyap. Richard
Scott, pemburu dan penjelajah, adalah laki-laki dengan kepribadian luar biasa
bersemangat Ia punya karisma bak magnet. John Porter, teman dan pasangannya
berburu, adalah laki-laki tegap dengan wajah kaku yang agak pasif serta mata
kelabu yang serius. Ia pendiam, selalu puas menjadi orang nomor dua di samping
temannya. Dan di antara keduanya berjalan Moira Scott, yang dulunya adalah Moira
O'Connell, sampai tiga bulan yang lalu. Tubuhnya langsing, matanya besar,
cokelat dan sayu, rambutnya merah dan membungkus wajahnya yang kecil, bagaikan
lingkaran di atas kepala seorang santa.
"Anak itu tidak boleh dilukai," kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Kurang ajar
sekali kalau sampai ada orang yang melukai anak seperti itu."
Lady Cynthia menyambut para pendatang baru itu dengan payung model mutakhirnya.
"Duduklah, dan jangan menyela," katanya. "Mr. Satterthwaite sedang bercerita
tentang hantu." "Saya suka sekali cerita hantu," kata Moira Scott. Ia menjatuhkan diri di
rerumputan. "Hantu di Greenways House?" tanya Richard Scott.
"Ya. Anda mengetahuinya?"
Scott mengangguk. "Saya dulu pernah tinggal di sini," katanya menjelaskan. "Sebelum keluarga
Elliot menjualnya. Hantu Bangsawan yang Mengamat-amati, bukan?"
"Bangsawan yang Mengamat-amati," ulang Moira pelan. "Saya suka itu.
Kedengarannya menarik. Tolong lanjutkan ceritanya."
Tapi Mr. Satterthwaite tampaknya enggan menceritakannya. Ia meyakinkan Moira
bahwa cerita itu sama sekali tidak menarik.
"Anda kena getahnya, Satterthwaite," kata Richard Scott, menyindir. "Keengganan
Anda malah membuat cerita itu semakin menarik."
Akhirnya, karena didesak semua orang, Mr. Satterthwaite terpaksa mengalah.
"Sesungguhnya cerita itu sama sekali tidak menarik," katanya minta maaf. "Saya
rasa cerita aslinya bermula dari seorang nenek moyang bangsawan di keluarga
Elliot. Istrinya punya pacar gelap. Suaminya dibunuh oleh si pacar gelap di
kamar di loteng, dan pasangan yang bersalah itu melarikan diri, tapi ketika
mereka minggat, mereka menoleh ke rumah itu dan melihat wajah suami yang sudah
mati itu di jendela, mengamat-amati mereka. Itulah legendanya, tapi cerita hantu
itu cuma berhubungan dengan kaca jendela dari kamar itu saja, yang ada nodanya;
kalau dari dekat nyaris tidak tampak, tapi dari jauh memberikan kesan seperti
bayangan seorang laki-laki yang sedang memandang ke luar."
"Jendela yang mana?" tanya Mrs. Scott, mendongak memandang ke rumah itu.
"Anda tidak bisa melihatnya dari sini," kata Mr. Satterthwaite. "Letaknya di
sisi lain, tapi jendela itu telah ditutup dari dalam beberapa tahun yang lalu -
empat puluh tahun yang lalu, saya kira."
"Kenapa harus ditutup" Tadi Anda bilang hantunya toh tidak gentayangan."
"Memang tidak," kata Mr. Satterthwaite meyakinkannya. "Saya rasa... yah, saya
rasa itu cuma karena rasa takhayul saja."
Kemudian, dengan cekatan ia berhasil membelokkan pembicaraan. Jimmy Allenson
langsung bercerita tentang para peramal Mesir.
"Kebanyakan mereka itu palsu. Selalu siap menceritakan masa lalu pada kita
secara samar-samar, tapi tidak mau bertanggung jawab tentang masa depan."
"Selama ini saya selalu mengira kebalikannya," ujar John Porter.
"Meramal masa depan adalah pekerjaan ilegal di negara ini, bukan?" tanya Richard
Scott. "Moira pernah membujuk seorang gipsi untuk meramal nasibnya, tapi wanita
itu mengembalikan uangnya, dan berkata itu tidak akan ada gunanya."
"Mungkin dia melihat sesuatu yang mengerikan, sehingga dia tidak mau
mengatakannya pada saya," kata Moira.
"Jangan terlalu memikirkannya, Mrs. Scott," kata Allenson ringan. "Saya, terus
terang, menolak percaya bahwa ada nasib buruk membayangi Anda."
"Aku ingin tahu," pikir Mr. Satterthwaite dalam hati. "Aku ingin tahu...."
Kemudian ia mendongak cepat Dua wanita sedang berjalan dari arah rumah, yang
seorang tegap dan pendek, berambut hitam, dengan gaun hijau kedodoran, seorang
lagi tinggi langsing dengan gaun krem. Wanita pertama adalah nyonya rumah, Mrs.
Unkerton, dan yang kedua adalah wanita yang sering didengarnya, tapi tak pernah
dijumpainya. "Ini dia, Mrs. Staverton," Mrs. Unkerton mengumumkan dengan nada puas. "Saya
rasa semua teman sudah ada di sini."
"Orang-orang seperti mereka memang punya bakat luar biasa untuk mengucapkan hal-
hal paling buruk," gerutu Lady Cynthia, tapi Mr. Satterthwaite tidak
mendengarkan. Ia sedang mengamat-amati Mrs. Staverton.
Sangat ramah - sangat wajar. Sapaannya ringan. "Halo! Richard, sudah lama kita
tidak bertemu. Maaf, aku tak bisa menghadiri pernikahanmu. Apakah ini istrimu"
Anda pasti lelah menemui semua teman suami Anda yang sudah tua-tua ini."
Tanggapan Moira sopan, agak kemalu-maluan. Pandangan wanita yang lebih tua itu
sekarang melayang ke arah teman lama yang lainnya.
"Halo, John!" Nada suara ringan yang sama, tapi dengan sedikit perbedaan -
perasaan hangat yang tadi tidak ada.
Kemudian senyuman mendadak itu. Membuatnya berubah. Lady Cynthia benar. Wanita
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berbahaya! Sangat putih, mata biru kelam - bukan warna yang biasanya gampang
meledak - raut wajahnya cekung tapi tenang. Wanita dengan suara diulur pelan dan
senyum mendadak yang menakjubkan.
Iris Staverton duduk. Ia langsung menjadi pusat perhatian kelompok itu. Dan
tampaknya memang selalu begitu.
Mr. Satterthwaite terbangun dari lamunannya oleh Mayor Porter yang mengajaknya
berjalan-jalan. Mr. Satterthwaite, yang biasanya tidak menyukai acara jalan-
jalan, menerimanya. Kedua laki-laki itu berjalan melintasi lapangan rumput.
"Cerita Anda tadi menarik sekali," kata si Mayor.
"Saya akan menunjukkan jendelanya," kata Mr. Satterthwaite.
Ia memimpin jalan memutar menuju sisi barat rumah itu. Di sana ada sebuah kebun
kecil yang apik - Kebun Tersembunyi, begitulah namanya, dan memang cocok, karena
kebun itu dikelilingi pagar tanaman berduri, bahkan jalan masuknya berbentuk zig
zag serta dipagari oleh tanaman berduri yang sama tingginya.
Begitu di dalam, kebun itu ternyata cantik sekali dengan bedeng-bedeng bunga
yang ditata secara antik, jalan-jalan setapak yang berkelok-kelok, dan tempat-
tempat duduk dari batu yang diulur indah. Ketika mereka sampai di tengah-tengah
kebun, Mr. Satterthwaite berbalik dan menunjuk ke arah rumah. Greenways House
terlihat membentang dari utara ke selatan. Di dinding baratnya yang sempit cuma
ada satu jendela, jendela yang terletak di lantai pertama, hampir tertutup oleh
tanaman merambat, kaca-kacanya buram, serta jelas tertutup dari dalam.
"Itu dia," kata Mr. Satterthwaite.
Sambil menjulurkan leher, Porter mendongak.
"Hm, saya melihat sejenis perubahan warna pada salah satu kaca jendela, cuma
itu." "Kita memang terlalu dekat," kata Mr. Satterthwaite. "Ada dataran yang lebih
tinggi di hutan sana Dari situ, kita bisa melihat dengan lebih baik."
Ia memimpin jalan keluar dari Kebun Tersembunyi, dan berbelok tajam ke kiri,
menuju hutan. Mr. Satterthwaite bersemangat sekali dalam menunjukkan jendela
itu, sampai-sampai nyaris tidak memperhatikan orang di sampingnya sebenarnya
tidak terlalu tertarik mendengarkan ocehannya.
"Tentu saja mereka harus membuat jendela lagi, ketika yang satu itu ditutup,"
katanya menjelaskan. "Jendela yang baru menghadap ke selatan, ke arah lapangan
rumput tempat kita duduk-duduk tadi. Saya rasa pasangan Scott-lah yang menempati
kamar itu. Itu sebabnya saya tidak mau meneruskan cerita hantu itu. Mrs. Scott
mungkin akan takut kalau tahu dia akan tidur di kamar yang disebut-sebut ada
hantunya." "Ya. Saya mengerti," kata Porter.
Mr. Satterthwaite memandangnya dengan saksama, dan sadar bahwa temannya itu
tidak mendengar satu pun kata yang diucapkannya.
"Sangat menarik," kata Porter. Ia memukulkan tongkatnya pada tanaman bunga yang
tinggi, dan sambil mengerutkan dahi ia berkata, "Mestinya dia tidak boleh
datang. Seharusnya dia tidak pernah boleh datang."
Orang-orang cenderung berbicara dengan gaya seperti itu kepada Mr.
Satterthwaite. Ia tampaknya tidak terlalu berarti, atau dianggap punya pribadi
negatif. Pokoknya ia cuma pendengar yang telaten.
"Tidak," kata Porter, "dia seharusnya tidak pernah boleh datang."
Mr. Satterthwaite langsung tahu yang dimaksudkannya bukanlah Mrs. Scott.
"Menurut Anda begitu?" tanyanya.
Porter menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah sedang merenung.
"Saya ikut dalam perjalanan itu," katanya tiba-tiba. "Kami pergi bertiga. Scott,
saya, dan Iris. Dia wanita hebat - dan sasaran yang betul-betul bagus." Ia
berhenti sejenak. "Apa sebabnya mereka mengundangnya?" tanyanya dengan tiba-tiba
pula. Mr. Satterthwaite angkat bahu.
"Ketidakpedulian," sahutnya.
"Pasti akan ada masalah," kata temannya lagi. "Kita harus berjaga-jaga - dan
melakukan apa yang bisa kita lakukan."
"Tapi tentunya Mrs. Staverton...?"
"Yang saya maksud adalah Scott." Ia berhenti sejenak. "Anda tahu - ada Mrs. Scott
yang harus dipertimbangkan."
Mr. Satterthwaite selama ini memang telah mempertimbangkan Mrs. Scott, tapi ia
merasa tak perlu mengatakannya, apalagi karena teman bicaranya telah betul-betul
melupakan wanita itu sampai detik itu.
"Bagaimana Scott bertemu istrinya?" tanyanya.
"Musim dingin lalu, di Kairo. Hubungan kilat. Mereka bertunangan dalam tiga
minggu dan menikah dalam enam minggu."
"Menurut saya, dia menarik sekali."
"Memang, tidak diragukan lagi. Dan Scott memujanya - tapi itu tidak ada bedanya."
Dan sekali lagi Mayor Porter mengulang kata-kata pada dirinya sendiri,
menggunakan nada yang juga hanya berarti bagi dirinya sendiri, "Tak peduli
bagaimana, dia mestinya tidak boleh datang."
Saat itu mereka sudah mendaki sebuah bukit kecil yang agak jauh letaknya dari
rumah. Sekali lagi dengan semangat seorang penunjuk, Mr. Satterthwaite
membentangkan tangannya. "Lihat," katanya.
Saat itu menjelang sore. Jendela itu masih bisa terlihat jelas, dan tampak
menempel pada salah satu kaca, bayangan wajah seorang laki-laki mengenakan topi
bangsawan. "Aneh sekali," kata Porter. "Sungguh aneh. Apa jadinya kalau kaca jendela itu
dipecahkan suatu hari nanti?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Itu bagian paling menarik dari cerita ini. Kaca jendela itu sudah pernah
diganti, dan setahu saya sudah sebelas kali, mungkin lebih. Terakhir kalinya dua
belas tahun yang lalu, waktu pemilik rumah berkeras hendak menghancurkan mitos
itu. Tapi hasilnya selalu sama. Noda itu muncul lagi - tidak sekaligus, tapi
perubahan warna itu menyebar secara perlahan-lahan. Biasanya butuh waktu sekitar
satu sampai dua bulan."
Untuk pertama kalinya, Porter menunjukkan minat besar. Ia tiba-tiba merinding.
"Hal-hal seperti itu memang konyol. Tidak ada penyebabnya. Apa alasan
sesungguhnya untuk menutup jendela itu dari dalam?"
"Ya, ada anggapan kalau kamar itu... membawa sial. Keluarga Evesham menempatinya
sebelum bercerai. Kemudian Stanley dan istrinya tinggal di sini dan tidur di
kamar itu, sebelum akhirnya ia minggat bersama gadis penyanyinya."
Porter mengangkat alisnya.
"Saya mengerti. Bahaya, bukan bagi kehidupan, tapi bagi moral."
"Dan sekarang," pikir Mr. Satterthwaite dalam hati, "pasangan Scott
menempatinya. Aku ingin tahu...."
Mereka kembali ke rumah. Berjalan tanpa suara di lapangan rumput yang lembut,
masing-masing terbenam dalam pikirannya, sampai-sampai tanpa sengaja mereka
mendengar sesuatu. Mereka sedang mengitari tikungan berpagar tanaman berduri itu ketika mendengar
suara Iris Staverton melengking tajam dan jelas dari dalam Kebun Tersembunyi.
"Kau pasti menyesal - menyesal - karena ini!"
Suara Scott yang menjawabnya, pelan dan tidak pasti, sehingga kata-katanya tidak
terdengar jelas, kemudian suara wanita itu melengking lagi, mengucapkan kata-
kata yang akan mereka ingat kemudian.
"Cemburu - itu bisa membuat orang gelap mata - betul-betul gelap mata! Membuat
orang bisa membunuh. Hati-hati, Richard, demi Tuhan, hati-hati!"
Kemudian ia keluar dari dalam Kebun Tersembunyi dan mengitari tikungan tanpa
melihat mereka, berjalan cepat, hampir berlari, seperti wanita yang sedang kesal
dan dikejar sesuatu. Mr. Satterthwaite merenungkan lagi kata-kata Lady Cynthia. Wanita berbahaya.
Untuk pertama kalinya, ia punya praduga akan terjadi suatu bencana, yang datang
dengan tiba-tiba dan pasti, tak dapat disangkal lagi.
Tapi malam itu ia jadi malu sendiri atas kekhawatirannya Segalanya tampak normal
dan menyenangkan. Mrs. Staverton, dengan gayanya yang ramah, tidak menunjukkan
tanda-tanda tegang. Moira Scott tetap menarik dan lugu. Kedua wanita itu tampak
cukup akrab. Richard Scott sendiri tampak bersemangat.
Orang yang kelihatannya paling cemas adalah Mrs. Unkerton yang tegap. Ia
mengeluh panjang-lebar pada Mr. Satterthwaite.
"Anda boleh menganggapnya konyol, tapi ada sesuatu yang membuat saya merinding.
Dan saya akan berterus terang pada Anda, saya sudah memanggil tukang kaca tanpa
sepengetahuan Ned." "Tukang kaca?" "Untuk memasang kaca baru di jendela itu. Lebih baik begitu. Ned memang
membanggakannya - dia bilang itu membuat rumah ini lain dari yang lain. Tapi saya
tidak suka. Saya bilang pada Anda Kami akan memasang kaca baru dan modem, yang
tidak ada cerita seramnya."
"Anda lupa," kata Mr. Satterthwaite, "atau mungkin Anda tidak tahu. Noda itu
selalu muncul lagi."
"Mungkin saja begitu," kata Mrs. Unkerton. "Yang dapat saya katakan cuma, kalau
memang noda itu muncul lagi, itu menyalahi hukum alam."
Mr. Satterthwaite mengangkat alisnya, tapi tidak menyahut.
"Dan bagaimana kalau ya?" kejar Mrs. Unkerton dengan gigih. "Kami toh tidak
miskin, Ned dan saya, sampai tidak bisa membeli sepotong kaca baru setiap bulan -
atau setiap minggu kalau memang perlu."
Mr. Satterthwaite tidak menerima tantangan itu. Ia telah melihat banyak hal
hancur dan luluh di bawah kekuasaan uang, sehingga ia cukup yakin Hantu
Bangsawan pun bisa jadi akan tetap menang. Bagaimanapun, ia tertarik dengan
ketidaksabaran sikap Mrs. Unkerton. Ternyata ia juga turut merasakan tegangnya
suasana - hanya saja ia menyalahkan cerita hantu itu sebagai penyebabnya, bukannya
pertengkaran pribadi di antara tamu-tamunya.
Mr. Satterthwaite ditakdirkan lagi untuk mendengar sepotong percakapan yang
kedengarannya cuma basa-basi. Ia sedang naik ke loteng untuk tidur, John Porter
dan Mrs. Staverton sedang duduk bersama di sofa ruang keluarga Mrs. Staverton
berbicara dengan sedikit nada sebal dalam suaranya yang merdu.
"Aku tidak tahu sama sekali kalau pasangan Scott itu akan kemari juga Terus
terang, kalau tahu, aku pasti takkan datang, tapi kuyakinkan kau, John sayang,
sekarang karena sudah berada di sini, aku takkan lari."
Mr. Satterthwaite meneruskan perjalanannya menaiki loteng tanpa terdengar. Ia
merenung sendiri. "Aku ingin tahu sekarang, seberapa benar ucapannya" Apakah dia
tahu" Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala.
Pada pagi yang cerah esok harinya ia merasa mungkin ia terlalu larut dalam
imajinasinya pada malam sebelumnya. Tegang - ya, pasti - dan itu memang tak
terhindarkan dalam suasana seperti itu - tapi cuma itu. Semua orang bisa
menyesuaikan diri. Bayangannya akan bencana cuma disebabkan oleh ketegangan -
semata-mata ketegangan - atau mungkin juga jantungnya. Ya, itu dia, jantungnya.
Memang ia harus mengunjungi dokternya dua minggu lagi.
Atas kemauannya sendiri, ia mengusulkan acara jalan-jalan lagi sore itu. Ia
mengusulkan pada Mayor Porter untuk naik lagi ke dataran dan melihat apakah Mrs.
Unkerton menepati kata-katanya dan telah menyuruh memasang kaca jendela yang
baru. Dalam hati, Mr. Satterthwaite berkata, "Latihan, itu yang kuperlukan.
Latihan." Kedua laki-laki itu berjalan pelan-pelan melalui hutan. Porter, seperti biasa,
diam saja. "Saya jadi berpikir," kata Mr. Satterthwaite dengan lancar, "jangan-jangan kita
kemarin agak konyol dengan imajinasi kita. Mengharapkan... eh... bencana. Anda
tahu. Padahal semua orang bersikap sopan kemarin, memendam perasaan dan menahan
diri." "Mungkin," kata Porter. Semenit-dua menit kemudian ia menambahkan, "Orang-orang
yang beradab." "Maksud Anda?" "Orang-orang yang biasa tinggal di luar peradaban kadang-kadang memang mundur.
Terbelakang. Terserah bagaimana Anda mau menyebutnya."
Mereka tiba di bukit kecil itu lagi. Mr. Satterthwaite terengah-engah. Ia memang
tidak pernah suka mendaki bukit.
Ia memandang ke arah jendela itu. Wajah itu masih di sana, bahkan jauh lebih
hidup. "Nyonya rumah kita sudah menyerah, saya rasa."
Porter cuma melirik sejenak pada jendela itu.
"Saya kira Unkerton pasti telah melarangnya," katanya tak acuh. "Dia jenis orang
yang mau membanggakan hantu keluarga lain dan tidak mau mengambil risiko untuk
mengusirnya, apalagi dia sudah membayar banyak untuknya"
Porter terdiam sejenak, menatap bukan ke arah rumah, tapi pada semak-semak liar
lebat yang tumbuh di sekitar mereka.
"Apakah menurut Anda peradaban itu betul-betul berbahaya?" tanyanya.
"Berbahaya?" Ucapannya yang luar biasa itu sangat mengagetkan Mr. Satterthwaite.
"Ya. Tidak ada katup pengamannya, Anda tahu."
Ia berbalik cepat, dan mereka menuruni jalan setapak dari mana mereka datang
tadi. "Saya betul-betul tidak memahami Anda," kata Mr. Satterthwaite, mengoceh terus
sambil berusaha menyamai langkah-langkah temannya dengan kaki goyah. "Kebanyakan
orang..." Porter tertawa Tawa singkat dan tak acuh. Kemudian ia memandang pria kecil dan
rapi di sampingnya. "Menurut Anda, saya ini cuma omong kosong kan, Mr. Satterthwaite" Tapi memang
ada orang-orang yang bisa menebak kalau akan segera terjadi angin ribut. Mereka
bisa merasakannya di udara. Dan ada orang yang bisa meramalkan bencana. Ada
bencana yang akan terjadi, Mr. Satterthwaite, bencana besar. Bisa terjadi kapan
saja. Mungkin..." Ia berhenti dengan tiba-tiba, mencengkeram lengan Mr. Satterthwaite. Pada menit
sunyi dan menegangkan itu terdengar... dua bunyi tembakan yang diikuti sebuah
jeritan - jeritan seorang wanita.
"Astaga!" teriak Porter, "bencana itu sudah terjadi."
Ia berlari menyusuri jalan setapak. Mr. Satterthwaite terengah-engah di
belakangnya. Dalam sekejap mereka sudah sampai di lapangan rumput, dekat dengan
pagar tanaman Kebun Tersembunyi. Pada waktu yang sama, Richard Scott dan Mr.
Unkerton muncul dari tikungan lain rumah itu. Mereka berhenti, saling menatap,
lalu menengok ke kiri dan kanan jalan masuk menuju Kebun Tersembunyi.
"Datangnya dari... dari sini," kata Unkerton sambil menunjuk dengan tangan
gemetar. "Kita harus memeriksanya," kata Porter. Ia memimpin jalan memasuki kebun. Ketika
mengitari belokan terakhir pagar tanaman berduri itu, ia mendadak berhenti. Mr.
Satterthwaite mengintip dari balik bahunya. Teriakan keras tersembur dari mulut
Richard Scott. Ada tiga orang di Kebun Tersembunyi. Dua di antaranya tergeletak di rumput, di
dekat tempat duduk dari batu, seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang ketiga
adalah Mrs. Staverton. Ia berdiri cukup dekat dengan mereka, di samping pagar
tanaman berduri, menatap dengan mata membelalak ngeri, dan memegang sesuatu di
tangan kanannya. "Iris," teriak Porter. "Iris. Demi Tuhan! Apa itu yang kaupegang?"
Ia lalu melihatnya - dengan rasa heran, betul-betul tercengang.
"Ini pistol," sahutnya heran. Kemudian, setelah berabad-abad rasanya, tapi
sesungguhnya cuma beberapa detik, "Aku... memungutnya tadi."
Mr. Satterthwaite telah beranjak menghampiri tempat Unkerton dan Scott sedang
berlutut di rerumputan. "Dokter," gumam Scott. "Kita harus memanggil dokter."
Tapi sudah terlambat untuk memanggil dokter mana pun. Jimmy Allenson, yang telah
mengeluhkan bahwa para peramal Mesir selalu menghindari masa depan, dan Moira
Scott, yang uangnya dikembalikan oleh seorang gipsi, tergeletak di sana, tak
bergerak. Richard Scott-lah yang melakukan pemeriksaan kilat. Sarafnya yang tegar bak baja
memang terlihat dalam krisis ini. Setelah berteriak kaget tadi, ia sudah pulih
lagi menjadi dirinya sendiri.
Ia meletakkan istrinya dengan perlahan.
"Ditembak dari belakang," katanya singkat. "Pelurunya menembus badannya."
Kemudian ia menangani Jimmy Allenson. Lukanya terdapat di dada dan pelurunya
bersarang di dalam tubuhnya.
John Porter mendekati mereka.
"Tidak boleh ada yang disentuh," katanya tegas. "Polisi harus melihat seperti
keadaan aslinya." "Polisi," kata Richard Scott. Matanya tiba-tiba menyala ketika memandang wanita
yang berdiri di samping tanaman berduri itu. Ia melangkah ke arah itu, tapi pada
waktu yang sama, John Porter juga bergerak untuk merintangi jalannya. Sejenak
terjadi duel mata di antara kedua sahabat itu.
Porter dengan sangat pelan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan, Richard," katanya, "Memang kelihatannya begitu - tapi kau salah."
Richard Scott berkata dengan terbata-bata, membasahi bibirnya yang kering.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, kenapa... dia memegang pistol itu di tangannya?"
Dan sekali lagi Iris Staverton menyahut dengan nada linglung seperti sebelumnya,
"Aku... memungutnya tadi."
"Polisi," kata Unkerton sambil berdiri. "Kita harus memanggil polisi - segera.
Anda mungkin mau melakukannya, Scott" Harus ada yang tetap di sini - ya, saya rasa
harus begitu." Dengan sikapnya yang tenang, Mr. Satterthwaite menawarkan diri. Tuan rumahnya
menerima tawarannya dengan lega.
"Para wanita," katanya menjelaskan. "Saya harus memberitahu mereka, Lady Cynthia
dan istri saya." Mr. Satterthwaite tetap tinggal di Kebun Tersembunyi, memandang sosok Moira
Scott. "Anak malang," katanya sendiri. "Anak malang."
Ia mengulangi pada dirinya sendiri nasihat yang mengatakan bahwa orang-orang
jahat memang hidup di sekitar mereka. Karena bukankah Richard Scott semestinya
juga ikut bertanggung jawab atas kematian istrinya yang lugu itu" Menurut
perasaannya, Iris Staverton pasti akan digantung. Bukannya ia suka memikirkan
hal itu, tapi bukankah kesalahan itu mestinya juga ditimpakan pada Richard
Scott" Ah, kejahatan yang bisa dilakukan seseorang...
Dan gadis itu, gadis lugu itu, telah membayarnya.
Ia memandang Moira Scott dengan penuh rasa iba Wajahnya yang mungil, begitu
putih, senyuman masih setengah tersungging di bibirnya Rambut pirangnya yang
acak-acakan, telinganya yang halus. Ada noda darah di cupingnya. Dengan perasaan
bagaikan seorang detektif, Mr. Satterthwaite menyimpulkan penyebabnya adalah
sebuah anting-anting yang tertarik lepas saat ia jatuh. Ia menjulurkan lehernya
ke depan. Ya, betul, sebuah anting-anting mutiara mungil masih terpasang pada
telinga satunya. Anak malang, anak malang.
*** "Dan sekarang, Sir," kata Inspektur Winkfield.
Mereka berada di perpustakaan. Inspektur itu, seorang laki-laki berwajah tajam
dan tegas, berumur sekitar empat puluh tahunan, sedang menyimpulkan
pemeriksaannya. Ia telah menanyai sebagian besar tamu, dan sekarang hampir dapat
menarik kesimpulan. Ia masih harus mendengarkan apa yang akan dikatakan Mayor
Porter dan Mr. Satterthwaite. Mr. Unkerton duduk terenyak di sebuah kursi dengan
mata membelalak menatap dinding di hadapannya.
"Saya tadi mendengar bahwa Anda berdua berjalan-jalan," kata inspektur itu.
"Anda sedang menuju rumah ini lagi melalui jalan setapak yang berkelok mengitari
sisi kiri Kebun Tersembunyi. Benar?"
"Benar sekali, Inspektur."
"Anda mendengar dua tembakan dan jeritan seorang wanita?"
"Ya." "Kemudian Anda lari secepat-cepatnya, keluar dari hutan dan masuk ke dalam Kebun
Tersembunyi. Kalau seseorang meninggalkan kebun, dia cuma bisa melakukannya
lewat jalan masuk itu. Semak-semak berduri di sana tak mungkin ditembus. Jadi,
kalau ada orang berlari keluar dari kebun dan berbelok ke kanan, dia pasti akan
bertemu dengan Mr. Unkerton dan Mr. Scott. Kalau dia berbelok ke kiri, tak
mungkin dia menghindar dari Anda berdua. Benar?"
"Benar," sahut Mayor Porter. Wajahnya pucat pasi.
"Kalau begitu, cocok," kata Inspektur. "Mr. dan Mrs. Unkerton serta Lady Cynthia
Drage sedang duduk-duduk di lapangan rumput, Mr. Scott ada di Ruang Biliar yang
terbuka menghadap lapangan rumput itu. Pada pukul 18.10, Mrs. Staverton keluar
rumah, berbicara sebentar dengan mereka yang duduk-duduk di sana, dan berjalan
mengitari rumah menuju Kebun Tersembunyi. Dua menit kemudian terdengar bunyi
tembakan. Mr. Scott berlari keluar rumah bersama Mr. Unkerton menuju Kebun
Tersembunyi. Pada waktu yang sama, Anda dan Mr.... eh... Satterthwaite muncul
dari arah berlawanan. Mrs. Staverton sudah ada di Kebun Tersembunyi dengan
pistol di tangannya, dari mana dua tembakan itu diletuskan. Menurut saya, dia
menembak dulu wanita itu dari belakang ketika dia sedang duduk di bangku.
Kemudian Kapten Allenson bangkit dan menerjangnya, dan dia menembaknya di dada.
Saya pernah dengar dulu ada... eh... semacam hubungan antara dia dan Mr. Richard
Scott." "Itu bohong," kata Porter.
Suaranya terdengar serak dan gigih. Inspektur itu tidak berkata apa-apa, cuma
menggeleng. "Bagaimana ceritanya sendiri?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Dia bilang, dia pergi ke Kebun Tersembunyi untuk menenangkan diri sejenak.
Tepat sebelum mengitari pagar tanaman berduri yang terakhir, dia mendengar
tembakan itu. Dia keluar dari balik tanaman, melihat pistol itu tergeletak di
dekat kakinya dan memungutnya. Tak ada orang melewatinya, dan dia tidak melihat
siapa pun dalam kebun, kecuali kedua korban tersebut." Inspektur itu diam
sejenak. "Begitulah katanya, dan meskipun sudah saya peringatkan, dia berkeras
minta dibuatkan pernyataan."
"Kalau dia sampai mengatakan begitu," kata Mayor Porter, wajahnya masih pucat
pasi, "berarti dia mengatakan yang sebenarnya. Saya mengenal Iris Staverton."
"Yah, Sir," kata inspektur itu, "banyak waktu untuk memeriksanya nanti.
Sementara itu, saya harus melaksanakan tugas saya."
Dengan gerakan tiba-tiba, Porter berbalik ke arah Mr. Satterthwaite.
"Anda! Apakah Anda tidak bisa menolong" Apakah Anda tidak bisa melakukan
sesuatu?" Mau tak mau Mr. Satterthwaite merasa tersanjung. Ia dimintai tolong, ia, orang
yang paling tidak berarti, dan oleh orang seperti John Porter.
Ia baru saja mau mengucapkan kata-kata penuh penyesalan, ketika pelayan laki-
laki itu, Thompson, masuk dengan sebuah kartu di baki, yang diantarnya pada
majikannya sambil berdeham minta maaf. Mr. Unkerton masih duduk terenyak di
kursi, tidak turut ambil bagian dalam suasana itu.
"Saya sudah mengatakan pada orang itu bahwa Anda mungkin tak dapat menerimanya,
Sir," kata Thompson. "Tapi dia mendesak. Katanya dia sudah janji, dan masalahnya
penting sekali." Unkerton mengambil kartu itu.
"Mr. Harley Quin," bacanya. "Aku ingat, dia memang hendak menemuiku untuk sebuah
lukisan. Aku memang sudah janji, tapi karena sekarang..."
Tapi Mr. Satterthwaite sudah menghampirinya.
"Mr. Harley Quin, Anda bilang?" teriaknya. "Betapa luar biasa, betapa luar
biasa. Mayor Porter, Anda tadi meminta tolong pada saya. Saya rasa saya bisa.
Mr. Quin ini adalah teman - atau lebih tepat, kenalan saya. Dia betul-betul orang
hebat." "Salah seorang detektif amatir itu, saya rasa," ujar inspektur itu mencemooh.
"Bukan," kata Mr. Satterthwaite. "Dia bukan orang seperti itu. Tapi dia punya
kekuatan - kekuatan yang nyaris gaib - untuk menunjukkan apa yang telah kita lihat
dengan mata kita sendiri, dan menjelaskan apa yang telah kita dengar dengan
telinga kita sendiri. Bagaimanapun, mari kita menceritakan kasus ini padanya
secara garis besar dan mendengar apa yang akan dikatakannya."
Mr. Unkerton melirik inspektur itu, yang cuma mendengus dan memandang langit-
langit. Kemudian Mr. Unkerton memberi anggukan kecil pada Thompson, yang
meninggalkan ruangan dan kembali bersama seorang asing yang jangkung dan
langsing. "Mr. Unkerton?" Orang asing itu menyalaminya. "Maaf saya mendesak untuk bertemu
dengan Anda pada saat seperti ini. Kita harus menyisihkan obrolan tentang
lukisan kecil itu untuk lain kali. Ah! Teman saya, Mr. Satterthwaite. Masih
tetap menggemari drama?"
Sekejap tampak senyum kecil tersungging di bibir orang asing itu ketika ia
mengucapkan kata-kata terakhir tersebut.
"Mr. Quin," sapa Mr. Satterthwaite hangat, "kami mempunyai sebuah drama di sini,
sedang mengalaminya malah, dan teman saya, Mayor Porter, ingin tahu pendapat
Anda." Mr. Quin duduk. Sinar lampu bertudung merah itu menerangi mantelnya yang
bercorak kotak-kotak dengan jelas, tapi tidak menerangi wajahnya, sehingga
menimbulkan kesan wajah bertopeng.
Secara ringkas, Mr. Satterthwaite mengulangi hal-hal pokok dalam tragedi itu.
Kemudian ia berhenti sejenak, kehabisan napas, menunggu kata-kata sang ahli.
Tapi Mr. Quin cuma menggelengkan kepala.
"Cerita yang sedih," katanya. "Tragedi yang sangat mengenaskan dan mengejutkan.
Kurangnya motif malah membuatnya sangat menarik."
Unkerton menatapnya. "Anda tidak mengerti," katanya. "Mrs. Staverton pernah terdengar sedang
mengancam Richard Scott. Dia betul-betul cemburu pada Moira. Kecemburuan..."
"Saya setuju," ujar Mr. Quin. "Kecemburuan atau Gelap Mata. Sama saja. Tapi Anda
salah memahami saya. Maksud saya bukan pembunuhan Mrs. Scott, tapi pembunuhan
Kapten Allenson." "Anda benar," teriak Porter sambil melompat ke depan. "Ada yang aneh di sini.
Kalau Iris memang berencana untuk menembak Mrs. Scott, dia pasti akan
menjebaknya supaya sendirian saja di suatu tempat. Tidak, kita memang berdiri
pada alur yang salah. Dan rasanya saya punya pemecahan lain. Cuma tiga orang itu
yang masuk ke dalam Kebun Tersembunyi. Itu tak bisa disangkal dan saya memang
tak akan menyangkalnya. Tapi saya akan merekonstruksi tragedi itu dengan cara
berbeda. Misalnya, Jimmy Allenson menembak Mrs. Scott dulu, kemudian dirinya
sendiri. Itu mungkin, kan" Dia menjatuhkan pistol itu ketika terjatuh - Mrs.
Staverton menemukannya tergeletak di tanah dan memungutnya, seperti katanya
tadi. Bagaimana?" Inspektur itu menggeleng.
"Tidak cocok, Mayor Porter. Kalau Kapten Allenson telah menembakkan pistol itu
dekat ke badannya, bajunya pasti takkan hangus."
"Mungkin dia menembakkan pistol itu dari jarak selengan." (selengan: satu
lengan) "Untuk apa" Tak ada alasan. Lagi pula tidak ada motifnya."
"Mungkin saja mendadak dia kehilangan akal sehat," gumam Porter tanpa keyakinan.
Ia terdiam lagi, dan tiba-tiba berkata dengan gigih kepada Mr. Quin. "Nah, Mr.
Quin?" Mr. Quin menggeleng. "Saya bukan tukang sulap. Saya juga bukan kriminologis. Tapi saya akan
mengatakan satu hal pada Anda - saya percaya pada kesan seseorang. Pada setiap
krisis, selalu ada suatu saat yang berbeda dengan saat-saat lainnya, satu
gambaran yang tetap melekat, meskipun yang lainnya sudah hilang. Mr.
Satterthwaite, saya rasa, adalah pengamat yang paling objektif di antara Anda
sekalian. Maukah Anda memutar otak lagi, Mr. Satterthwaite, dan menceritakan
saat yang memberikan kesan paling mendalam pada diri Anda" Apakah ketika Anda
pertama kali mendengar tembakan itu" Apakah ketika Anda pertama kali melihat
mayat-mayat itu" Apakah ketika Anda pertama kali mengamat-amati pistol di tangan
Mrs. Staverton" Bersihkan pikiran Anda dari pengaruh apa pun, dan ceritakan pada
kami." Mr. Satterthwaite menatap wajah Mr. Quin lekat-lekat, seperti murid sekolah yang
mengulangi pelajaran yang tidak terlalu dipahaminya.
"Tidak," katanya pelan. "Bukan saat-saat itu. Saat yang akan selalu saya ingat
adalah ketika saya berdiri sendiri di samping mayat-mayat itu - sesudahnya - dan
saya memandang Mrs. Scott. Dia berbaring menyamping. Rambutnya acak-acakan. Ada
noda darah di telinganya yang mungil."
Dan segera setelah mengatakannya, ia sadar baru saja mengatakan sesuatu yang
hebat dan penting. "Darah di telinganya" Ya, saya ingat," kata Unkerton pelan.
"Anting-antingnya pasti telah terlepas ketika dia jatuh," Mr. Satterthwaite
menjelaskan. Tapi kedengarannya agak tidak masuk akal ketika ia mengatakannya.
"Dia terbaring pada sisi kirinya," kata Porter. "Saya rasa itu telinga kiri,
bukan?" "Bukan," sahut Mr. Satterthwaite cepat. "Itu telinga kanannya."
Inspektur itu terbatuk. "Saya menemukan ini di rumput," katanya sambil mengulurkan sebentuk anting emas.
"Tapi, astaga," teriak Porter. "Barang ini tak mungkin bisa terlepas rusak hanya
karena jatuh. Kelihatannya malah seperti tertembak peluru."
"Jadi, itu sebabnya," teriak Mr. Satterthwaite. "Peluru. Pasti itu."
"Cuma ada dua tembakan," kata inspektur itu.
"Sebuah tembakan tak mungkin mengenai telinganya dan sekaligus mengenai
punggungnya. Dan kalau satu tembakan itu melepaskan anting-anting tersebut, dan
yang kedua membunuhnya, tak mungkin pelurunya membunuh Kapten Allenson sekaligus
- kecuali kalau Kapten Allenson sedang berdiri dekat sekali di hadapannya - sangat dekat - menghadap ke wajahnya. Oh! tidak, tak
mungkin begitu, kecuali..."
"Kecuali kalau mereka sedang berangkulan, begitu maksud Anda?" tanya Mr. Quin
sambil tersenyum kecil. "Yah, kenapa tidak?"
Semua orang saling menatap. Gagasan itu betul-betul asing bagi mereka - Allenson
dan Mrs. Scott. Mr. Unkerton menyuarakan perasaan yang sama.
"Tapi mereka nyaris tidak mengenal satu sama lain," katanya.
"Saya tidak tahu," kata Mr. Satterthwaite serius. "Mungkin saja mereka mengenal
satu sama lain lebih akrab dari yang kita sangka. Lady Cynthia mengatakan Kapten
Allenson pernah menyelamatkannya dari kebosanan di Mesir pada musim dingin lalu,
dan Anda" - ia berpaling pada Porter - "Anda bilang Richard Scott bertemu dengan
istrinya di Kairo musim dingin lalu. Mereka mungkin sudah saling kenal dengan
baik di sana." "Mereka tampaknya tidak pernah bersama," kata Unkerton.
"Tidak - mereka malah agak menjaga jarak. Bukankah itu sangat tidak wajar, kalau
dipikir-pikir..." Mereka semua memandang Mr. Quin, seolah-olah sedikit kaget atas kesimpulan yang
mereka tarik, yang sama sekali tidak mereka sangka.
Mr. Quin bangkit berdiri.
"Anda lihat," katanya, "apa yang telah diperbuat kesan Mr. Satterthwaite pada
diri kita semua." Ia berpaling pada Unkerton. "Sekarang giliran Anda."
"Eh" Saya tidak mengerti?"
"Anda betul-betul serius tadi, ketika saya masuk ke ruangan ini. Saya ingin
tahu, apa tepatnya pikiran yang merongrong Anda. Udak jadi masalah kalau hal itu
tidak ada kaitannya dengan tragedi ini. Tidak jadi masalah meskipun Anda
menganggapnya... takhayul." Mr. Unkerton tampak heran. "Ceritakan pada kami."
"Saya tidak keberatan menceritakannya," kata Unkerton. "Meskipun hal itu tidak
ada kaitannya dengan masalah ini, dan Anda mungkin akan menertawakan saya
karenanya. Saya selalu berharap istri saya tidak ikut campur dan tidak mengganti
kaca di jendela berhantu itu. Menurut saya, perbuatan itu membawa sial bagi
kami." Ia tidak mengerti kenapa dua orang di sampingnya menatapnya heran.
"Tapi istri Anda kan belum menggantinya," kata Mr. Satterthwaite akhirnya.
"Sudah. Tukang kaca itu datang kemari pagi-pagi sekali."
"Astaga!" kata Porter. "Saya mulai mengerti. Kamar itu berlapis papan, saya
rasa, bukan kertas?"
"Ya, tapi apa hubungan...?"
Porter sudah berlari keluar ruangan. Yang lain mengikutinya. Ia langsung menuju
kamar tidur Scott. Kamar itu cantik, berlapis papan berwarna krem dengan dua
jendela menghadap selatan. Porter meraba-raba dengan tangannya di sepanjang
papan lapis di dinding barat.
"Pasti ada semacam klep di sekitar sini. Ah!" Terdengar bunyi klik, dan sebagian
papan lapis itu berputar. Di belakangnya terdapat kaca-kaca buram jendela
berhantu itu. Salah satu kaca tampak bersih dan baru. Porter berjongkok cepat
dan memungut sesuatu. Ia meletakkannya di telapak tangannya. Benda itu adalah
secuil bulu burung unta. Kemudian ia memandang Mr. Quin. Mr. Quin mengangguk.
Ia menghampiri lemari topi di kamar tidur itu. Ada beberapa topi di dalamnya -
topi wanita yang sudah mati itu. Ia mengeluarkan satu topi bertepi lebar dengan
bulu-bulu ikal - sebuah topi Ascot yang cantik.
Mr. Quin mulai berbicara dengan suara jelas dan lembut.
"Mari kita asumsikan," kata Mr. Quin. "Ada seorang laki-laki yang pada dasarnya
mempunyai sifat cemburu berlebihan. Seorang laki-laki yang pernah tinggal di
sini bertahun-tahun lalu dan mengetahui adanya klep di papan lapis itu. Iseng-
iseng dia membukanya dan memandang keluar ke Kebun Tersembunyi. Di sana, karena
dirasa aman tanpa bisa dilihat siapa pun, dia melihat istrinya dengan laki-laki
lain. Dia sama sekali tidak meragukan hubungan mereka berdua. Dia marah sekali.
Apa yang harus dilakukannya" Sebuah gagasan muncul di benaknya. Dia pergi ke
lemari, mengenakan topi bertepi dan berbulu-bulu. Saat itu menjelang matahari
terbenam, dan dia ingat cerita di balik noda kaca itu. Setiap orang yang
mendongak melihat jendela pasti mengira mereka melihat Hantu Bangsawan yang
Mengamat-amati. Jadi, dia dengan aman bisa mengamati mereka, dan saat mereka
asyik berangkulan, dia menembak mereka. Dia penembak jitu - betul-betul hebat.
Ketika mereka jatuh, dia menembak sekali lagi - tembakan itu menghancurkan anting-
anting si wanita. Kemudian dia melemparkan pistolnya ke luar jendela, ke dalam
Kebun Tersembunyi, buru-buru turun ke bawah, dan masuk ke ruang biliar."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Porter melangkah mendekatinya.
"Tapi dia membiarkan Iris dituduh!" teriaknya. "Dia berdiri di sampingnya dan
membiarkannya dituduh. Kenapa" Kenapa?"
"Saya rasa saya tahu," kata Mr. Quin. "Saya bisa menebak - saya cuma menebak, lho.
Richard Scott dulu pernah jatuh cinta sampai tergila-gila pada Iris Staverton -
saking cintanya, bahkan setelah bertahun-tahun lewat, perjumpaan dengannya masih
bisa membuatnya teringat rasa cemburu itu. Menurut saya, Iris Staverton dulu
pernah membayangkan dirinya jatuh cinta pada Richard Scott, sehingga dia mau
pergi dengannya dalam perjalanan berburu itu bersama laki-laki lainnya - tapi
waktu kembali, dia jatuh cinta pada laki-laki yang lebih baik itu."
"Laki-laki yang lebih baik," gumam Porter terpana. "Maksud Anda...?"
"Ya," kata Mr. Quin sambil tersenyum simpul. "Maksud saya Anda." Ia berhenti
sejenak, kemudian berkata, "Kalau saya jadi Anda, saya akan mendatanginya
sekarang." "Saya akan melakukannya," kata Porter.
Ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.
Bab 3 DI BELLS AND MOTLEY MR. SATTERTHWAITE merasa sebal. Hari itu betul-betul sial. Dari awalnya mereka
sudah terlambat, mengalami dua kali ban bocor, dan akhirnya membelok pada
tikungan yang salah, sehingga tersesat di keramaian Salisbury Plain. Sekarang
sudah hampir pukul 08.00, dan mereka masih sekitar empat puluh mil dari Marswick
Manor, tujuan mereka, dan ban bocor yang ketiga malah semakin menghambat
perjalanan. Mr. Satterthwaite, yang tampak seperti seekor burung dengan bulu kusut, berjalan
mondar-mandir di depan sebuah bengkel desa sementara sopirnya bercakap-cakap
dengan suara serak pada montir setempat.
"Paling tidak butuh setengah jam," kata si montir sambil mengira-ngira.
"Itu kalau kita beruntung," kata Masters, si sopir. "Menurut saya, kelihatannya
bakal makan waktu tiga perempat jam."
"Omong-omong, apa sih nama tempat ini?" tanya Mr. Satterthwaite gemas. Karena ia
seorang gentleman yang selalu peduli dengan perasaan orang lain, ia memakai kata
"tempat ini", bukannya "tempat keparat", seperti yang hendak diucapkannya
semula. "Kirtlington Mallet."
Mr. Satterthwaite tidak begitu yakin, tapi nama itu serasa pernah didengarnya.
Ia memandang ke sekelilingnya dengan gaya mencemooh. Kirtlington Mallet
tampaknya cuma mempunyai satu jalan yang tidak menuju ke mana-mana, sebuah
bengkel dan kantor pos terletak di salah satu sisi jalan itu, serta tiga toko
yang kelihatannya tidak keruan di sisi lainnya. Bagaimanapun, di kejauhan, di
tepi jalan itu juga, Mr. Satterthwaite melihat sesuatu yang berderik dan berayun
tertimpa angin, dan semangatnya berkobar sedikit.
"Kurasa di sana ada sebuah penginapan," katanya.
"Bells and Motley," ujar si montir. "Itu namanya - di sana."
"Kalau saya boleh mengusulkan, Sir," kata Masters, "mengapa Anda tidak
mencobanya" Mungkin mereka bisa menyuguhkan makanan - tapi sudah pasti tidak akan
seperti yang biasa Anda santap." Ia berhenti sejenak, minta maaf, karena Mr.
Satterthwaite memang terbiasa dengan makanan hasil masakan koki-koki terkenal,
dan punya seorang cordon bleu yang digajinya dengan bayaran tinggi.
"Kita tak mungkin bisa meneruskan perjalanan lagi dalam waktu tiga perempat jam
ini, Sir. Saya yakin itu. Dan sekarang sudah lebih dari jam 08.00. Anda bisa
menelepon Sir George Foster, Sir, dari penginapan, dan menceritakan alasan
keterlambatan kita."
"Kau kelihatannya mengira bisa mengatur segala-galanya, Masters," kata Mr.
Satterthwaite gusar. Masters, yang memang mengira demikian, diam saja dengan sopan.
Mr. Satterthwaite, meskipun ingin membantah setiap usulan yang diajukan padanya -
begitulah mood-nya saat itu - mau tak mau melihat ke arah penginapan yang
berderik-derik itu sambil mengeluh kecil, menyerah. Ia orang dengan nafsu makan
seperti burung, berselera tinggi, tapi orang seperti itu juga bisa merasa lapar.
"Bells and Motley," ucapnya serius. "Nama yang lucu untuk sebuah penginapan. Aku
tidak yakin pernah mendengarnya sebelum ini."
"Banyak orang aneh datang ke sana," ujar montir itu.
Ia sedang berjongkok di pinggir sebuah ban, suaranya terdengar buram dan tidak
jelas. "Orang aneh?" tanya Mr. Satterthwaite. "Nah, apa maksud Anda dengan istilah
itu?" Orang itu tampaknya tidak memahami maksudnya.
"Orang yang datang dan pergi. Sejenis itulah," sahutnya lirih.
Mr. Satterthwaite berpikir bahwa orang yang mendatangi sebuah penginapan,
sebagian besar pastilah orang yang memang "datang dan pergi". Menurutnya
definisi itu kurang tepat. Tapi rasa ingin tahunya tergelitik juga. Lagi pula ia
toh harus menghabiskan kurang-lebih tiga perempat jam. Siapa tahu Bells and
Motley bagus juga seperti tempat-tempat lainnya.
Dengan langkah-langkah kecil seperti biasanya, ia menyusuri jalan. Dari kejauhan
terdengar bunyi guntur. Montir itu mendongak dan berbicara pada Masters.
"Akan ada badai. Saya bisa merasakannya di udara."
"Astaga," kata Masters. "Padahal kami masih harus menempuh empat puluh mil
lagi." "Ah!" sahut si montir. "Tidak perlu buru-buru dengan pekerjaan ini. Anda pasti
tidak mau meneruskan perjalanan sebelum badai reda. Majikan Anda yang kecil itu
tampaknya tidak suka keluar dalam cuaca buruk."
"Semoga tempat itu bisa memenuhi seleranya," gumam si sopir. "Saya sendiri akan
ke sana sebentar lagi untuk makan."
"Billy Jones lumayan," kata si montir. "Orang itu cukup rapi."
Mr. William Jones, seorang laki-laki besar dan gempal dengan umur sekitar lima
puluhan, pemilik Bells and Motley, pada saat itu sedang mengangguk-angguk penuh
hormat pada Mr. Satterthwaite yang kecil.
"Saya akan menyajikan bistik yang enak, Sir - dan kentang goreng, juga keju
terbaik. Lewat sini, Sir, di ruang kopi. Kami tidak terlalu penuh sekarang ini,
tamu pengail yang terakhir bara saja pulang. Sebentar lagi kami akan penuh lagi
dengan adanya musim berburu. Cuma ada seorang tamu sekarang, namanya Quin."
Mr. Satterthwaite mendadak berhenti.
"Quin?" katanya bersemangat. "Anda bilang Quin?"
"Begitulah namanya, Sir. Teman Anda, barangkali?"
"Ya, memang. Oh! Ya, bisa dibilang begitu." Saking bersemangatnya, Mr.
Satterthwaite nyaris tidak menyadari bahwa di dunia ini bisa saja ada orang lain
bernama Quin. Ia sama sekali tidak ragu. Entah kenapa, informasi itu cocok
dengan istilah yang dipakai montir di bengkel tadi. "Orang yang datang dan
pergi". Deskripsi yang tepat untuk Mr. Quin. Lagi pula nama penginapan itu
tampaknya juga sesuai dan pantas.
"Aduh, aduh," kata Mr. Satterthwaite. "Betapa anehnya. Cara kami bertemu seperti
ini! Mr. Harley Quin, bukan?"
"Betul, Sir. Ini ruang kopinya, Sir. Ah, ini dia tamu itu."
Tinggi, gelap, dan sambil tersenyum, sosok Mr. Quin yang tidak asing lagi
berdiri dari belakang meja tempat ia duduk tadi, dan suara enak yang selalu
terngiang itu berbicara. "Ah! Mr. Satterthwaite, kita berjumpa lagi. Pertemuan yang tidak disangka-
sangka!" Mr. Satterthwaite menyalaminya dengan hangat.
"Senang sekali. Senang sekali. Saya betul-betul beruntung karena hambatan itu.
Mobil saya, Anda tahu. Dan Anda menginap di sini" Berapa lama?"
"Cuma satu malam."
"Kalau begitu, saya memang beruntung sekali."
Mr. Satterthwaite duduk di hadapan temannya sambil mengembuskan napas puas,
mengamati wajah gelap yang tersenyum di hadapannya itu dengan gembira.
Mr. Quin menggeleng pelan.
"Saya yakinkan Anda," katanya, "saya tidak akan mengeluarkan akuarium ikan mas
atau kelinci dari balik baju saya."
"Sayang sekali," seru Mr. Satterthwaite, sedikit kaget. "Ya, saya harus
mengakui, saya memang punya prasangka begitu terhadap Anda. Seorang tukang
sulap. Ha ha. Begitulah anggapan saya pada Anda. Tukang sulap."
"Padahal," kata Mr. Quin, "Andalah yang melakukan permainan sulap itu, bukan
saya." "Ah!" kata Mr. Satterthwaite bersemangat. "Tapi saya tidak bisa melakukannya
tanpa Anda. Saya tidak punya - apa ya - inspirasi?"
Mr. Quin menggeleng sambil tersenyum.
"Kata itu terlalu besar artinya. Saya cuma memberikan petunjuk, itu saja."
Saat itu muncul si pemilik penginapan sambil membawa roti dan sebongkah mentega
kuning. Ketika ia sedang menyajikan makanan itu di meja, terlihat kilatan petir
yang sangat terang, diikuti bunyi guntur membahana.
"Malam yang buas, Tuan-tuan."
"Pada malam seperti ini...," Mr. Satterthwaite hendak berkata, dan berhenti.
"Lucu sekali," ujar pemilik penginapan, tidak menyadari masalahnya, "saya baru
saja hendak mengucapkan kata-kata itu. Pada malam seperti inilah Kapten Harwell
membawa pulang istrinya, hari yang persis sama sebelum dia menghilang untuk
selamanya." "Ah!" teriak Mr. Satterthwaite tiba-tiba. "Tentu saja!"
Ia sudah memperoleh petunjuk itu. Ia tahu sekarang, kenapa nama Kirtlington
Mallet serasa dikenalnya. Tiga bulan sebelumnya ia telah membaca sampai rinci
berita lenyapnya Kapten Richard Harwell. Seperti pembaca koran lainnya di
seluruh Kerajaan Inggris, ia dibuat bingung oleh berita tentang lenyapnya kapten
itu, dan juga seperti orang-orang Inggris lainnya, ia mempunyai teori sendiri.
"Tentu saja," ulangnya. "Terjadinya di Kirtlington Mallet."
"Dia menginap di rumah ini waktu berburu musim dingin lalu," kata pemilik
penginapan. "Oh! saya mengenalnya dengan baik. Laki-laki yang sangat tampan dan
boleh dikatakan tidak punya masalah apa pun di dunia ini. Dia disingkirkan -
begitulah pendapat saya. Saya sering melihat mereka menunggang kuda bersama-sama
- dia dan Miss Le Couteau; semua orang desa mengatakan mereka sangat serasi, dan
kenyataannya memang demikian. Wanita itu cantik sekali, dan baik-baik, orang
Canada. Ah! ada misteri gelap di sini. Kita takkan pernah tahu apa yang terjadi.
Pokoknya dia patah hati dan pergi ke luar negeri, tak tahan lagi tinggal di sini
karena ditatap dan jadi bahan omongan setiap orang - meskipun itu bukan
kesalahannya sama sekali! Misteri yang gelap, begitulah."
Ia menggeleng-gelengkan kepala, meneruskan pekerjaannya, serta buru-buru
meninggalkan ruangan. "Misteri yang gelap," kata Mr. Quin pelan.
Suaranya terdengar menggoda di telinga Mr. Satterthwaite.
"Apakah Anda mengira kita bisa memecahkan misteri ini, padahal Scotland Yard
sudah gagal?" tanyanya tajam.
Temannya itu menyahut dengan gaya seperti biasanya.
"Kenapa tidak" Sudah lewat, tiga bulan. Itu saja sudah membuat perbedaan."
"Gagasan Anda memang aneh," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Bahwa kita bisa
melihat segala sesuatunya dengan lebih baik setelah lewatnya waktu."
"Semakin lama waktu yang lewat, semakin jelas segalanya terlihat. Kita dapat
melihat setiap kejadian pada tempatnya."
Tidak ada yang berkata-kata lagi selama beberapa menit.
"Saya tidak yakin, apakah saya ingat fakta-fakta itu dengan jelas sekarang,"
kata Mr. Satterthwaite dengan nada ragu-ragu.
"Saya rasa Anda ingat sekali," ujar Mr. Quin tenang.
Cuma itu yang dibutuhkan untuk membangkitkan semangat Mr. Satterthwaite.
Peranannya dalam kehidupan memang sebagai pendengar dan pengamat. Hanya saja
kalau bersama Mr. Quin peranannya jadi terbalik. Pada saat-saat itu Mr. Quin
menjadi pendengar yang telaten, sementara Mr. Satterthwaite menjadi aktornya.
"Kejadiannya kurang-lebih setahun yang lalu," katanya, "ketika Ashley Grange
menjadi milik Miss Eleanor Le Couteau. Rumah itu sudah tua dan cantik, tapi tak
terawat dan kosong selama bertahun-tahun. Baginya tak mungkin ada pemilik yang
lebih baik lagi. Miss Le Couteau berdarah Prancis dan Canada, nenek moyangnya
adalah emigran dari Zaman Revolusi Prancis, dan telah mewariskan padanya koleksi
patung dan barang antik Prancis kuno yang tak ternilai harganya. Dia pembeli dan
juga kolektor, dengan selera khas dan bagus. Oleh karena itu, ketika dia
memutuskan untuk menjual Ashley Grange bersama segala isinya setelah tragedi
itu, Mr. Cyrus G. Bradburn, seorang miliuner Amerika, merasa tak perlu menawar
lagi dan langsung membayar sejumlah enam puluh ribu pound untuk Grange dan
isinya." Mr. Satterthwaite berhenti sejenak.
"Saya mengatakan hal-hal ini," katanya minta maaf, "bukan karena ada kaitannya
dengan cerita itu - terus terang malah tidak ada kaitannya sama sekali - tapi untuk
menjelaskan asal-usulnya, asal-usul Mrs. Harwell."
Mr. Quin menangguk. "Asal-usul selalu penting," katanya tenang.
"Jadi, sekarang kita sudah mempunyai gambaran tentang gadis itu," lanjut Mr.
Satterthwaite. "Berumur 23, berkulit gelap, cantik, dan terampil, pokoknya tidak
ada yang jelek dan jahat pada dirinya. Dan kaya - kita tidak boleh lupa itu. Dia
yatim piatu. Mrs. St. Clair, seorang wanita dengan asal-usul terhormat serta
status sosial tinggi, tinggal bersamanya sebagai pembimbing. Tapi Eleanor Le
Couteau memegang sendiri kontrol atas seluruh kekayaannya. Dan para pemburu
harta memang selalu ada. Paling tidak, ada selusin pemuda yang diketahui pernah
menemaninya dalam berbagai kesempatan, di ladang perburuan, di tempat pesta, ke
mana pun dia pergi. Lord Leccan yang muda, pemuda paling mengesankan di negeri
ini, katanya pernah meminangnya, tapi dia tidak mau. Begitulah, sampai akhirnya
muncul Kapten Richard Harwell.
"Kapten Harwell menginap di penginapan setempat selama musim berburu. Dia
pemburu hebat. Ganteng dan punya selera humor yang bagus. Anda ingat kata
peribahasa, Mr. Quin" 'Rayuan yang hebat takkan makan waktu lama'. Yah, paling
tidak, itu ada benarnya. Tepat dua bulan kemudian, Richard Harwell dan Eleanor
Le Couteau bertunangan. "Pernikahannya menyusul tiga bulan sesudahnya. Pasangan yang bahagia itu pergi
ke luar negeri selama dua minggu untuk berbulan madu, kemudian kembali untuk
menetap di Ashley Grange. Pemilik penginapan barusan bercerita bahwa waktu itu
adalah malam berbadai seperti sekarang ini, ketika mereka pulang ke rumah.
Mungkinkah itu suatu pertanda" Siapa yang tahu" Tapi nyatanya, keesokan harinya
pagi-pagi sekali, sekitar jam 07.30, Kapten Harwell terlihat berjalan-jalan di
kebun oleh salah seorang tukang kebun di sana, John Mathias. Dia tidak memakai
topi dan sedang bersiul-siul. Kita sekarang punya gambaran bahwa dia sedang
gembira dan bahagia. Tapi semenjak saat itu, sepanjang yang kita ketahui, tak
seorang pun pernah melihat Kapten Richard Harwell lagi."
Mr. Satterthwaite berhenti sejenak, menikmati drama yang diceritakannya.
Pandangan penuh kagum dari Mr. Quin memberinya pujian yang diharapkannya, dan ia
melanjutkan. "Lenyapnya Kapten Harwell memang hebat - tak bisa dijelaskan. Baru keesokan
harinya istrinya yang bingung itu melapor pada polisi. Dan seperti Anda ketahui,
mereka tidak berhasil memecahkan misteri itu."
"Tapi ada teori-teori mengenainya, bukan?" tanya Mr. Quin.
"Oh! Teori-teori banyak. Teori No. 1, Kapten Harwell telah dibunuh,
disingkirkan. Tapi kalau memang begitu, di mana mayatnya" Tak mungkin bisa
dimusnahkan begitu saja. Lagi pula, apa motifnya" Sepanjang yang diketahui
orang, Kapten Harwell tidak punya musuh satu pun di dunia."
Ia berhenti tiba-tiba, seolah-olah tak yakin. Mr. Quin mencondongkan badannya ke
depan. "Anda sedang memikirkan pemuda Stephen Grant itu," katanya pelan.
"Memang," Mr. Satterthwaite mengakui. "Stephen Grant, kalau saya mengingatnya
dengan benar, adalah petugas yang merawat kuda-kuda Kapten Harwell, dan dia
telah dipecat oleh majikannya karena suatu sebab sepele. Pada pagi setelah
kepulangan mereka berdua, pagi-pagi sekali, Stephen Grant terlihat berada di
sekitar Ashley Grange dan tidak bisa memberi alasan apa pun atas kehadirannya di
sana. Dia didakwa oleh polisi sebagai penyebab lenyapnya Kapten Harwell, tapi
tidak ada bukti yang memberatkannya, dan akhirnya dia dibebaskan. Memang benar
dia mungkin punya dendam terhadap Kapten Harwell karena dipecat, tapi motif itu
tidaklah kuat. Saya kira polisi mendakwanya karena merasa mereka harus melakukan
sesuatu. Anda tahu, seperti baru saya katakan tadi, Kapten Harwell tidak punya
musuh satu pun di dunia."
"Sepanjang yang kita ketahui," kata Mr. Quin sambil merenung.
Mr. Satterthwaite mengangguk setuju.
"Kita hampir ke bagian itu. Apa sih yang sebenarnya diketahui tentang Kapten
Harwell" Ketika polisi datang untuk memeriksa, mereka dihadapkan pada suatu
masalah penting. Siapakah Richard Harwell" Dari mana asalnya" Dia kelihatannya
muncul begitu saja, entah dari mana. Dia penunggang kuda yang hebat, dan
tampaknya juga kaya. Tak seorang pun di Kirtlington Mallet merasa perlu
menyelidikinya dengan lebih teliti. Miss Le Couteau tidak punya orangtua atau
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawas yang bisa meneliti asal-usul tunangannya itu. Dia menjaga dirinya
sendiri. Teori polisi pada bagian ini cukup jelas. Seorang gadis kaya dan
seorang pengkhianat. Cerita kuno!
"Tapi sesungguhnya tidak tepat begitu. Memang benar Miss Le Couteau tidak punya
orangtua atau pengawas, tapi dia punya pengacara hebat di London yang menjadi
wakilnya. Keterangan mereka malah membuat misteri ini bertambah gelap. Eleanor
Le Couteau bermaksud memberikan sejumlah uang pada calon suaminya itu, tapi
Harwell menolaknya. Katanya dia sendiri sudah cukup kaya. Itu bukti kuat bahwa
Harwell tak pernah memperoleh satu sen pun uang istrinya. Harta kekayaannya sama
sekali tidak terusik. "Jadi, Kapten Harwell itu bukan penipu biasa, tapi apakah yang diincarnya adalah
sesuatu yang berseni" Apakah dia bermaksud mengancam di kemudian hari, kalau
Eleanor Harwell hendak menikah dengan laki-laki lain" Saya harus mengakui, teori
seperti itu dulu tampaknya merupakan pemecahan yang paling masuk akal. Begitulah
- sampai malam ini."
Mr. Quin mencondongkan badannya ke depan lagi, menunggu.
"Malam ini?" "Malam ini. Saya tidak, puas dengan teori itu. Bagaimana dia bisa lenyap secara
mendadak dan begitu saja - pada pagi-pagi sekali, ketika dia sedang bersemangat
dan hendak bekerja" Tanpa topi lagi."
"Apa tidak ada keraguan tentang itu, meskipun tukang kebun itu melihatnya?"
"Ya - tukang kebun itu - John Mathias. Apa ada yang tidak beres dengan hal itu,
ya?" "Polisi pasti tidak lupa untuk memeriksanya," kata Mr. Quin.
"Mereka sudah menanyainya dengan saksama. Dia tak pernah bergeming dari
pernyataannya. Istrinya mendukungnya. Dia meninggikan pondoknya pada pukul 07.00
untuk merawat tanaman di rumah kaca; dia kembali pada pukul 07.40. Para pembantu
di rumah mendengar pintu depan terbanting sekitar 07.15. Itulah waktu ketika
Kapten Harwell meninggalkan rumah. Ah ya, saya tahu apa yang Anda pikirkan."
"O ya?" kata Mr. Quin.
"Saya rasa begitu. Selang waktu itu cukup lama bagi Mathias untuk menyingkirkan
majikannya. Tapi kenapa" Kenapa" Dan kalau memang ya, di mana dia menyembunyikan
mayatnya?" Pemilik penginapan itu muncul lagi sambil membawa baki.
"Maaf telah membuat Anda menunggu lama, tuan-tuan."
Ia meletakkan seporsi besar bistik di meja dan di sampingnya sebuah piring yang
penuh berisi kentang goreng kering dan kecokelatan. Bau yang tercium oleh Mr.
Satterthwaite sangat membangkitkan selera. Ia senang sekali.
"Ini kelihatannya lezat," katanya. "Lezat sekali. Kami sedang membahas peristiwa
lenyapnya Kapten Harwell. Apa jadinya dengan tukang kebun itu, si Mathias?"
"Pindah ke Essex, saya kira. Tidak mau lagi tinggal di sini. Memang ada orang-
orang yang menuduhnya, Anda tahu. Saya sendiri tidak percaya kalau dia punya
kaitan dengan peristiwa itu."
Mr. Satterthwaite mencicipi bistiknya. Mr. Quin mengikutinya. Pemilik penginapan
itu tampaknya ingin tinggal dan ikut mengobrol, dan Mr. Satterthwaite tidak
keberatan. "Mathias ini," katanya. "Orang macam apa dia?"
"Laki-laki setengah baya, dulunya mungkin kuat sekali, tapi sekarang sudah
bungkuk dan timpang karena rematik. Penyakitnya parah sekali, dan dia sudah
sering mengalaminya, sampai tak mampu bekerja sama sekali. Menurut saya, Miss
Eleanor tidak tega padanya, sehingga masih mau mempekerjakannya. Dia bukan
tukang kebun yang hebat, meskipun istrinya sangat membantu di rumah itu. Dulu
istrinya itu tukang masak dan selalu siap membantu."
"Wanita macam apa dia?" tanya Mr. Satterthwaite cepat.
Jawaban pemilik penginapan itu mengecewakannya.
"Wanita yang biasa-biasa saja. Setengah baya dan agak kecut sikapnya. Juga tuli.
Saya tidak terlalu mengenal mereka. Mereka baru sebulan di sini, ketika
peristiwa itu terjadi. Orang bilang Mathias dulu tukang kebun yang sangat-sangat
hebat. Miss Eleanor mengetahuinya."
"Apakah Mrs. Harwell tertarik pada kegiatan berkebun?" tanya Mr. Quin lembut.
"Tidak, Sir, saya rasa tidak, tidak seperti beberapa wanita di sini yang
bersedia mengeluarkan banyak uang untuk menggaji tukang kebun dan menghabiskan
sebagian besar waktu mereka ikut-ikutan mengurus kebun. Menurut saya itu konyol.
Anda tahu, Miss Le Couteau tidak pernah tinggal terlalu lama di sini, kecuali
pada musim dingin, untuk berburu. Pada waktu-waktu lainnya dia tinggal di London
atau di pantai-pantai asing itu, di mana orang bilang para wanita Prancis sangat
menjaga agar kaki mereka jangan sampai terkena air, supaya tidak merusak baju
mereka, begitulah yang saya dengar."
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Tidak ada... eh... wanita lain yang terlibat dengan Kapten Harwell?" tanyanya.
Meskipun teorinya yang pertama sudah tercampakkan, ia masih tetap berpegang pada
gagasannya. Mr. William Jones menggeleng.
"Tidak ada. Tak pernah ada gosip seperti itu. Memang ini misteri yang gelap,
bukan?" "Dan teori Anda" Bagaimana pendapat Anda sendiri?" desak Mr. Satterthwaite.
"Bagaimana pendapat saya?"
"Ya." "Saya tidak tahu. Saya yakin dia telah disingkirkan, tapi oleh siapa, saya tidak
tahu. Saya akan mengambilkan keju untuk Anda."
Ia keluar dari ruangan itu sambil membawa piring-piring kosong. Badai itu, yang
sudah agak reda, tiba-tiba muncul lagi dengan kekuatan ganda. Sambaran petir dan
gemuruh guntur yang muncul bersahut-sahutan membuat Mr. Satterthwaite terlompat
dari kursinya, dan sebelum bunyi gemuruh guntur terakhir itu lenyap, seorang
gadis memasuki ruangan sambil membawa keju yang dijanjikan.
Ia berpotongan tinggi, berkulit gelap, dan bisa dianggap cantik. Kemiripannya
dengan pemilik penginapan Bells and Motley jelas sekali, sehingga orang langsung
tahu bahwa ia putri laki-laki itu.
"Selamat malam, Mary," sapa Mr. Quin. "Malam yang buas, bukan?"
Ia mengangguk. "Saya benci malam-malam seperti ini," gumamnya.
"Mungkin Anda takut petir?" tanya Mr. Satterthwaite ramah.
"Takut petir" Tentu tidak! Saya hampir tidak takut pada apa pun. Tidak, petir
itu membuat saya jengkel. Bicara, bicara terus tentang hal yang sama, seperti
burung beo. Ayah selalu memulainya. 'Membuatku teringat, sungguh, pada malam
Kapten Harwell yang malang...' Dan seterusnya, dan seterusnya." Ia berpaling
pada Mr. Quin. "Anda sudah pernah mendengar dia bercerita. Apa gunanya" Apakah
kejadian masa lalu itu tak bisa dibiarkan saja?"
"Suatu kejadian hanya bisa berlalu kalau sudah diselesaikan," sahut Mr. Quin.
"Apakah yang ini belum selesai" Bisa saja dia memang bermaksud untuk menghilang"
Kadang-kadang orang baik-baik bisa melakukannya."
"Maksud Anda dia menghilang atas kemauannya sendiri?"
"Kenapa tidak" Bukankah itu lebih masuk akal ketimbang menuduh orang sebaik
Stephen Grant telah membunuhnya" Untuk apa dia membunuhnya" Stephen minum
terlalu banyak hari itu dan berbicara tidak sopan padanya, jadi dia dipecat.
Pendekar Sadis 18 Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian Rajawali Lembah Huai 2