Mr Quin Yang Misterius 4
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie Bagian 4
dan mendengarkan siaran radio - tidak pergi ke mana-mana dengan Charlie. Saya
bilang, tentu saja saya bersedia, dan saya sangat tersentuh dan akan selalu
berterima kasih padanya serta mengenangnya dengan penuh kasih."
Mr. Satterthwaite mengangguk, tapi ia jadi bingung. Ia jarang sekali keliru
dalam menaksir karakter seseorang, dan menurutnya Philip Eastney bukanlah jenis
pemuda sentimental seperti itu. Pemuda itu pastilah jauh lebih berperasaan
ketimbang yang dikiranya. Gillian jelas-jelas menganggap usul tersebut sesuai
dengan pribadi kekasih yang telah ditolaknya itu. Mr. Satterthwaite jadi sedikit
- hanya sedikit - kecewa. Ia sendiri memang sentimental, dan ia mengetahuinya,
tapi ia mengharapkan orang lain tidak seperti itu. Lagi pula perasaan
sentimental itu cuma dimiliki oleh orang-orang seusianya. Sifat itu tak mungkin
ada dalam dunia modem. Ia meminta Gillian menyanyi dan gadis itu menyetujuinya. Mr. Satterthwaite
memuji suaranya yang merdu, tapi ia tahu betul berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya bahwa suara itu suara kelas dua. Kesuksesan yang mungkin akan
didapat Gillian dari pekerjaannya sebagai penyanyi pastilah dikarenakan oleh
wajahnya, bukan suaranya.
Ia tidak terlalu kepingin bertemu Burns lagi, maka ia berdiri untuk pamit. Pada
saat itulah perhatiannya terpaku pada sebuah hiasan di atas perapian, yang
berdiri di antara barang-barang kusam lainnya bagaikan batu permata di atas
setumpuk debu. Benda itu adalah sebuah wadah dari gelas hijau tipis berbentuk melengkung,
dengan gagang panjang dan anggun. Pada ujungnya terdapat suatu benda yang
kelihatannya seperti busa sabun yang besar sekali, sebuah bola dari gelas
berwarna-warni. Gillian memperhatikan pandangan Mr. Satterthwaite.
"Itu hadiah tambahan dari Phil. Lumayan cantik, bukan" Dia bekerja di pabrik
gelas." "Memang cantik," sahut Mr. Satterthwaite serius. "Para peniup gelas di Murano
pasti mengaguminya."
Ia pulang sambil terus memikirkan Philip Eastney dalam benaknya. Betul-betul
pemuda yang sangat menarik. Tapi gadis itu, dengan wajahnya yang cantik, lebih
menyukai Charlie Burns. Betapa aneh dan peliknya dunia ini!
Mendadak Mr. Satterthwaite teringat sesuatu yang menurutnya telah diabaikannya
selama ini, gara-gara kecantikan Gillian West yang luar biasa itu. Ia teringat
pertemuannya malam itu dengan Mr. Quin. Seperti yang sudah-sudah, setiap
pertemuan dengan orang misterius itu selalu menghasilkan kejadian aneh dan tak
disangka-sangka. Dengan harapan akan bertemu lagi dengan orang misterius itu,
Mr. Satterthwaite mengayunkan langkahnya menuju Restoran Arlecchino, di mana
dulu, di masa lalu, ia pernah bertemu dengan Mr. Quin. Lagi pula Mr. Quin
sendiri pernah berkata ia sering mampir ke tempat itu.
Mr. Satterthwaite melihat-lihat seluruh ruangan di Arlecchino, berharap bisa
menjumpai Mr. Quin, tapi di sana tidak ada tanda-tanda wajah Mr. Quin yang
berkulit gelap dan tersenyum itu. Di sana malah ada orang lain. Philip Eastney,
yang duduk sendirian di sebuah meja kecil.
Restoran itu penuh dan Mr. Satterthwaite mengambil tempat berhadap-hadapan
dengan pemuda itu. Tiba-tiba saja hatinya diliputi perasaan tegang yang aneh,
seolah-olah ia telah terjebak dan turut ambil bagian dalam serangkaian kejadian
yang berkilauan. Ia memang telah ambil bagian dalam hal ini - apa pun itu. Ia tahu
sekarang apa yang dimaksud Mr. Quin malam itu di Gedung Opera. Sebuah drama
sedang berlangsung, dan di dalamnya ada sebuah peran, peran penting bagi
dirinya. Ia tidak boleh gagal dalam memahami segala petunjuk yang ada dan harus
hati-hati membawakan perannya.
Ia duduk berhadap-hadapan dengan Philip Eastney; perasaannya mengatakan ia harus
melaksanakan sesuatu yang tak bisa dihindarinya. Tidak susah mengajak pemuda itu
bercakap-cakap. Eastney tampaknya ingin sekali berbicara. Mr. Satterthwaite,
seperti biasa, adalah pendengar yang penuh perhatian dan simpatik. Mereka
membicarakan perang, bahan peledak, dan gas-gas racun. Eastney punya banyak
pengetahuan tentang dua hal yang terakhir itu, karena selama perang dulu ia
bertugas dalam pembuatan benda-benda tersebut. Mr. Satterthwaite merasa pemuda
itu menarik sekali. Ada satu gas, kata Eastney, yang tak pernah diuji-coba. Gara-garanya, pengumuman
untuk melakukan gencatan senjata terlalu cepat disiarkan. Tapi gas itu
dikabarkan hebat sekali kemampuannya. Satu hirupan saja sudah cukup mematikan.
Sikapnya bersemangat sekali ketika menceritakan tentang gas itu.
Setelah dirasanya perkenalannya dengan pemuda itu cukup akrab, Mr. Satterthwaite
dengan lembut membelokkan pembicaraan mereka pada topik musik. Wajah kurus
Eastney menjadi berseri-seri. Ia berbicara dengan penuh perasaan serta
kekaguman, seperti seorang pencinta musik yang sesungguhnya. Mereka membahas
tentang Yoaschbim, dan pemuda itu betul-betul bersemangat. Ia dan Mr.
Satterthwaite setuju kalau tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa
menyaingi suara tenor yang hebat itu. Waktu kecil dulu, Eastney pernah
mendengarkan suara Caruso dan ia tak pernah melupakannya.
"Apakah Anda tahu bahwa suaranya bisa memecahkan gelas anggur?" tanyanya.
"Selama ini saya menganggap hal itu cuma gosip belaka," kata Mr. Satterthwaite
sambil tersenyum. "Tidak, itu benar. Hal itu memang masuk akal. Cuma masalah resonansi saja."
Ia kemudian menjelaskan teknisnya secara detail. Wajahnya menjadi merah dan
matanya berkilat-kilat. Topik itu tampaknya menarik sekali baginya, dan Mr.
Satterthwaite memperhatikan pemuda itu tampaknya punya pengetahuan cukup
mendalam mengenai hal tersebut. Mr. Satterthwaite sadar bahwa pemuda yang
diajaknya bicara itu mempunyai otak jenius. Cerdas, eksentrik, belum tahu hendak
diapakan kepandaiannya, tapi tak diragukan lagi sungguh-sungguh jenius.
Ia jadi memikirkan Charlie Burns dan heran pada pilihan Gillian West.
Ia kaget sekali ketika menyadari betapa malam telah larut, dan ia memanggil
pelayan, meminta bonnya. Eastney tampak sedikit tersipu-sipu.
"Saya jadi malu - bicara terus-terusan," katanya. "Tapi saya beruntung sekali bisa
kebetulan bertemu dengan Anda malam ini. Saya... saya memang butuh seseorang
untuk diajak bicara."
Ia mengakhiri kata-katanya dengan tawa kecil yang aneh. Matanya masih berkilat-
kilat penuh semangat. Tapi entah kenapa ada kesan tragis pada dirinya.
"Saya sendiri senang bisa bertemu dengan Anda," sahut Mr. Satterthwaite.
"Pembicaraan kita tadi betul-betul menarik dan menambah ilmu pengetahuan saya."
Ia kemudian membungkuk kecil dengan gayanya yang khas dan lucu, lalu keluar dari
restoran itu. Malam itu udara hangat dan ketika ia sedang pelan-pelan menyusuri
jalanan, sebuah bayangan yang sangat aneh muncul di benaknya. Ia punya perasaan
bahwa ia tidak sendirian - ada seseorang berjalan di sampingnya. Dengan sia-sia ia
berusaha mengusir bayangan itu dan menganggapnya sebagai ilusi. Ada orang
berjalan di sampingnya di jalanan gelap dan sepi itu, seseorang yang tak bisa
dilihatnya. Ia heran, apa yang membawa sosok Mr. Quin begitu jelas dalam
benaknya. Ia betul-betul merasa Mr. Quin-lah yang berjalan di sampingnya,
padahal jelas-jelas matanya tidak melihat siapa-siapa, dan ia memang cuma
sendirian. Tapi pikiran tentang Mr. Quin tetap melekat, dan kemudian muncul pikiran
lainnya: sebuah kebutuhan, desakan akan sesuatu, perkiraan akan timbulnya
bencana. Ada yang harus dilakukannya - dilakukan dengan cepat. Ada yang tidak
beres, dan hanya tangannyalah yang bisa meluruskannya.
Begitu kuatnya perasaan itu, sampai Mr. Satterthwaite berusaha menindasnya.
Sebaliknya ia malah memejamkan mata dan mencoba membayangkan sosok Mr. Quin
dengan lebih jelas. Kalau saja ia bisa bertanya pada Mr. Quin - tapi ketika
pikiran itu melintas di benaknya pun ia tahu bahwa itu salah. Tak ada gunanya
bertanya apa pun pada Mr. Quin. "Semua benang ada di tangan Anda" - begitulah
yang akan dikatakan Mr. Quin.
Benang" Benang apa" Ia menganalisis perasaan dan kesannya sendiri dengan hati-
hati. Perasaan akan timbulnya suatu bahaya. Nah, siapa yang akan terancam"
Dengan segera sebuah gambaran berkelebat di depan matanya, gambaran tentang
Gillian West yang duduk sendirian mendengarkan radio.
Mr. Satterthwaite melemparkan sekeping uang logam pada seorang anak penjaja
koran dan mengambil korannya. Ia segera mencari-cari program siaran Radio
London. Yoaschbim akan mengudara malam ini, bacanya dengan penuh minat. Ia akan
menyanyikan Salve Dimora ciptaan Fraust dan, sesudahnya, lagu-lagu rakyat
pilihan. Lagu Si Gembala, Ikan, Si Rusa Kecil, dan lain-lain.
Mr. Satterthwaite meremas-remas koran itu. Gambaran tentang Gillian yang sedang
mendengarkan radio jadi semakin jelas. Duduk sendirian...
Sungguh, permintaan yang aneh dari Philip Eastney. Ini sama sekali tidak sesuai
dengan pribadinya. Tak ada perasaan sentimental pada diri Eastney. Ia pemuda
dengan perasaan buas, seorang pemuda berbahaya. Mungkin...
Sekali lagi benak Mr. Satterthwaite tersentak. Seorang pemuda berbahaya - itu
pasti ada maknanya. "Semua benang ada di tangan Anda." Pertemuan dengan Philip
Eastney malam ini - agak aneh. Kebetulan, begitulah kata Eastney tadi. Apa memang
begitu" Ataukah itu bagian dari suatu rangkaian kejadian yang sekali-dua kali
telah disadari oleh Mr. Satterthwaite malam ini"
Ia memutar ingatannya kembali. Pasti ada sesuatu dalam percakapan Eastney tadi,
ada suatu petunjuk di dalamnya. Pasti ada, sebab kalau tidak, kenapa ia merasa
didesak-desak oleh sesuatu" Apa yang telah dibicarakannya tadi" Menyanyi,
pekerjaannya selama perang, Caruso.
Caruso - pikiran Mr. Satterthwaite dengan cepat berputar. Suara Yoaschbim boleh
dianggap nyaris menyamai suara Caruso. Gillian akan duduk mendengarkannya
sekarang, sementara suara itu berkumandang merdu dan kuat, menggema ke seluruh
ruangan, membuat gelas-gelas berdenting....
Napasnya tersentak. Gelas-gelas berdenting! Caruso menyanyi sampai bisa
memecahkan gelas anggur. Yoaschbim akan menyanyi di sebuah studio di London, dan
di sebuah ruangan kurang-lebih satu mil jauhnya akan terdengar bunyi gelas
berdenting dan pecah - bukan gelas anggur, melainkan sebuah wadah dan gelas hijau
tipis. Bola kristal seperti busa sabun itu jatuh, bola yang mungkin saja tidak
kosong.... Pada saat itulah Mr. Satterthwaite, dengan disaksikan oleh orang yang kebetulan
lewat di situ, tiba-tiba jadi seperti orang gila. Dengan kasar ia membuka koran
itu sekali lagi, membaca sekilas kolom siaran radio, kemudian berlari secepat
kilat menyusuri jalanan yang sepi. Di ujung jalan itu ia melihat sebuah taksi
sedang berjalan perlahan-lahan, dan ia segera melompat masuk ke dalamnya,
meneriakkan sebuah alamat pada sopirnya dan menambahkan bahwa ini adalah masalah
hidup atau mati, sehingga ia harus cepat-cepat mencapai tempat itu. Si sopir,
yang menganggapnya gila tapi kaya, berusaha sebisa-bisanya.
Mr. Satterthwaite menyandarkan tubuhnya. Di kepalanya berkecamuk berbagai macam
pikiran, ilmu pengetahuan yang pernah dipelajarinya di sekolah dulu, istilah-
istilah yang dipakai Eastney tadi malam. Resonansi - titik yang alami - bahwa titik
suatu kekuatan bertemu dengan titik alami itu - ada percakapan tentang sebuah
jembatan gantung, para tentara berbaris melaluinya dan ayunan langkah mereka
harus sama dengan titik alami jembatan itu. Eastney telah mempelajari hal itu.
Eastney tahu. Dan Eastney seorang jenius.
Yoaschbim akan mengudara pada pukul 22,45. Sekarang ini. Ya, tapi lagu ciptaan
Faust akan dinyanyikan pertama kali. Lagu Si Gembala dengan refrennya yang keras
sekali itulah yang akan... akan... akan apa"
Pikirannya berputar-putar lagi. Nada, nada tinggi, nada setengah. Ia tidak
terlalu tahu akan hal-hal itu - tapi Eastney tahu. Semoga ia datang tepat pada
waktunya! Taksi berhenti. Mr. Satterthwaite melompat keluar dan terburu-buru menaiki anak
tangga menuju lantai kedua, bagaikan seorang atlet muda. Pintu flat itu terbuka
sedikit. Ia mendorongnya sampai terpentang dan suara tenor yang hebat itu
menyambutnya. Kata-kata dalam Lagu Si Gembala terdengar tak asing lagi di
telinganya. Gembala, lihatlah surai kudamu yang melambai-lambai....
Ia datang tepat waktu. Ia membuka pintu ruang duduk itu. Gillian sedang duduk di
sana, di sebuah kursi bersandaran tinggi di samping perapian.
Putri Bayra Mischa akan menikah hari ini: Aku harus cepat-cepat menghadiri
pernikahan itu. Gillian pasti menganggapnya gila. Mr. Satterthwaite mencengkeramnya, meneriakkan
sesuatu yang tidak dimengertinya, dan setengah menarik setengah menyeretnya
keluar, sampai mereka tiba di anak tangga.
Aku harus cepat-cepat menghadiri pernikahan itu -
Ya-ha! Nada yang tinggi sekali, betul-betul melengking, membahana, berkumandang dengan
keras di tengah, sebuah nada yang bisa menjadi kebanggaan penyanyi mana pun. Dan
bersamaan dengan itu terdengar bunyi lain, bunyi gelas pecah samar-samar.
Seekor kucing liar berlari melewati mereka dan masuk ke dalam flat itu. Gillian
bergerak, tapi Mr. Satterthwaite memegangnya erat-erat, sambil berbicara dengan
kacau. "Jangan, jangan - itu mematikan: tidak berbau, tidak ada gejalanya. Cuma sekali
hirup saja, kita akan mati. Tak seorang pun tahu betapa berbahayanya itu. Tidak
seperti lainnya yang sudah pernah diuji-coba."
Ia sedang mengulangi kata-kata yang telah diucapkan Philip Eastney di meja waktu
makan malam tadi. Gillian menatapnya bingung.
III Philip Eastney mengeluarkan jam sakunya dan memandangnya. Sudah pukul 23.30.
Selama tiga perempat jam terakhir ini ia telah berjalan mondar-mandir di
sepanjang Embankment. Ia memandangi Sungai Thames, kemudian berpaling - dan
melihat wajah teman makannya tadi.
"Ini aneh," katanya sambil tertawa. "Kita tampaknya ditakdirkan untuk saling
bertemu malam ini." "Anda menyebutnya 'takdir'?" kata Mr. Satterthwaite.
Philip Eastney memandangnya dengan lebih cermat dan ekspresi wajahnya berubah.
"Ya?" katanya pelan.
Mr. Satterthwaite langsung berkata terus terang,
"Saya baru saja kembali dari flat Miss West."
"Ya?" Suara yang sama, dengan nada mematikan yang sama.
"Kami telah... mengeluarkan seekor kucing mati dari dalamnya."
Hening sejenak, kemudian Eastney berkata,
"Siapa Anda ini?"
Mr. Satterthwaite berbicara selama beberapa saat. Ia mengulangi seluruh kejadian
itu. "Jadi, Anda lihat, saya datang tepat pada waktunya," katanya mengakhiri. Ia
berhenti, kemudian menambahkan dengan lembut,
"Apakah Anda hendak mengatakan... sesuatu?"
Ia mengharapkan sesuatu, yang meledak, membantah dengan keras. Tapi tidak ada
yang muncul. "Tidak," kata Philip Eastney pelan, kemudian berpaling serta berjalan menjauh.
Mr. Satterthwaite memandangnya sampai sosoknya menghilang di balik kegelapan.
Meskipun demikian, Mr. Satterthwaite merasa dapat memahami perasaan Eastney,
perasaan seorang seniman terhadap seniman lainnya, seorang yang sentimental
terhadap seorang kekasih sejati, seorang laki-laki biasa terhadap seorang
jenius. Akhirnya ia tersadar dari lamunannya dan mulai berjalan ke arah yang sama dengan
yang ditempuh Eastney tadi. Kabut mulai turun. Di tengah jalan ia bertemu dengan
seorang polisi yang memandangnya penuh kecurigaan.
"Apakah Anda mendengar bunyi ceburan barusan ini?" tanya polisi itu.
"Tidak," jawab Mr. Satterthwaite.
Polisi itu menjulurkan kepalanya, melihat-lihat sungai.
"Saya rasa ada orang yang berusaha bunuh diri lagi," omelnya dengan sebal.
"Banyak yang melakukannya."
"Saya rasa orang-orang itu pasti punya alasan," kata Mr. Satterthwaite.
"Kebanyakan alasannya uang," kata polisi itu. "Kadang-kadang wanita," katanya
lagi seraya beranjak pergi. "Orang-orang itu tidak selalu salah, tapi memang ada
wanita tertentu yang bisa menimbulkan banyak masalah."
"Ya, wanita tertentu," sahut Mr. Satterthwaite lirih, menyetujui.
Ketika polisi itu telah pergi, ia duduk di sebuah bangku sementara kabut
menyelimuti dirinya, dan memikirkan tentang Helen dari Troy. Ia ingin tahu
apakah Helen seorang wanita yang baik, sederhana, diberkahi atau dikutuk dengan
wajah rupawan. Bab 9 HARLEQUIN YANG MATI MR. SATTERTHWAITE berjalan santai menyusuri Bond Street, menikmati sinar
matahari. Seperti biasa, ia mengenakan setelan indah dan necis, dan ia bermaksud
mengunjungi Harchester Galleries, tempat pameran lukisan karya Frank Bristow,
seniman baru yang belum banyak dikenal orang, yang akhir-akhir ini diberitakan
punya ciri khas. Mr. Satterthwaite adalah pencinta seni.
Ketika Mr. Satterthwaite memasuki Harchester Galleries, ia segera disambut oleh
senyuman yang mengenalinya.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat pagi, Mr. Satterthwaite, saya tahu Anda pasti akan mengunjungi kami.
Anda tahu karya-karya Bristow" Bagus - bagus sekali. Betul-betul unik."
Mr. Satterthwaite membeli sebuah katalog dan berjalan memasuki ambang melengkung
menuju sebuah ruangan panjang tempat hasil karya sang seniman dipamerkan.
Lukisan-lukisan itu dibuat dengan cat air yang disapukan serta digoreskan dengan
teknik yang betul-betul luar biasa, sehingga menyerupai pahatan berwarna. Mr.
Satterthwaite berjalan perlahan-lahan mengitari dinding-dinding, mengamat-amati,
dan secara keseluruhan menyukai lukisan-lukisan itu. Menurutnya hasil karya
pemuda itu pantas dilihat. Lukisan-lukisannya mencerminkan keaslian, pikiran
jernih, teknik yang tajam, serta kerja keras. Tentu saja ada kesan-kesan kasar.
Itu sudah lumrah - tapi ada sesuatu yang bisa dianggap jenius. Mr. Satterthwaite
berhenti di depan sebuah karya masterpiece yang kecil, yang melukiskan
Westminster Bridge dengan bus-bus, kereta-kereta trem, serta orang-orang yang
berdesak-desakan. Sebuah karya mungil dan indah sekali. Lukisan itu, seperti
tertulis dalam katalog, berjudul Tumpukan Semut. Ia berjalan lagi dan tiba-tiba
napasnya tersentak, pandangannya terpaku dan tertumbuk pada sebuah lukisan lain.
Lukisan itu berjudul Harlequin yang Mati. Bagian depannya menggambarkan lantai
marmer kotak-kotak hitam-putih berselang-seling. Di tengah-tengah lantai itu
tergeletak Harlequin dengan tangan-tangan terentang. Ia mengenakan kostum hitam
dan merah. Di belakangnya tampak sebuah jendela dan di luar jendela itu, menatap
sosok yang tergeletak di lantai tersebut, adalah seorang laki-laki yang wajahnya
mirip dengan seseorang yang dikenalnya, dan ia berdiri membelakangi sinar merah
matahari terbenam. Lukisan itu membuat Mr. Satterthwaite bersemangat, karena dua alasan. Pertama,
karena ia mengenali, atau begitulah menurut perasaannya, wajah laki-laki pada
lukisan itu. Persis sekali dengan wajah Mr. Quin, teman yang pernah dijumpai Mr.
Satterthwaite beberapa kali dalam keadaan-keadaan misterius.
"Aku tak mungkin salah," gumamnya. "Kalau memang begitu... apa maksudnya?"
Sebab berdasarkan pengalaman Mr. Satterthwaite, setiap kemunculan Mr. Quin
selalu punya makna khusus.
Selain itu, seperti disebutkan sebelumnya, ada alasan kedua yang menarik
perhatian Mr. Satterthwaite. Ia mengenali pemandangan dalam lukisan itu.
"Ruang Beranda di Charnley," kata Mr. Satterthwaite. "Aneh - dan sangat menarik."
Ia mengamat-amati lukisan itu lagi dengan lebih saksama, ingin tahu apa tepatnya
yang ada dalam pikiran sang seniman. Satu Harlequin tergeletak mati di lantai,
sementara Harlequin lain sedang memandang dari balik jendela - ataukah itu
Harlequin yang sama" Ia berjalan pelan menyusuri dinding-dinding itu dengan
pikiran terpaku pada masalah tersebut. Ia merasa tegang. Kehidupan, yang rasanya
agak menjemukan pagi ini, tidaklah menjemukan lagi. Ia tahu pasti bahwa ia
sedang memasuki ambang peristiwa yang menarik dan menegangkan. Ia berjalan
melintasi ruangan, menuju meja Mr. Cobb, pejabat pengurus Harchester Galleries
yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun.
"Saya ingin membeli No. 39," katanya, "kalau memang belum laku."
Mr. Cobb membaca buku catatannya.
"Pilihan terbaik," gumamnya, "betul-betul indah, bukan" Tidak, lukisan itu belum
laku." Ia menyebutkan harganya. "Ini investasi yang bagus, Mr. Satterthwaite.
Anda harus membayar tiga kali lipat untuknya tahun depan."
"Begitulah yang selalu diucapkan dalam pameran-pameran seperti ini," kata Mr.
Satterthwaite sambil tersenyum.
"Yah, dan saya selalu benar, bukan?" tuntut Mr. Cobb. "Saya yakin kalau Anda mau
menjual koleksi Anda, Mr. Satterthwaite, Anda pasti akan memperoleh lebih dari
yang Anda bayarkan untuk membelinya dulu."
"Saya akan membeli lukisan ini," kata Mr. Satterthwaite. "Saya bisa memberikan
ceknya sekarang." "Anda pasti takkan menyesal. Kami menaruh kepercayaan pada Bristow."
"Dia masih muda?"
"Dua puluh tujuh atau delapan, menurut saya."
"Saya sebenarnya ingin bertemu dengannya," kata Mr. Satterthwaite. "Mungkin dia
bisa datang untuk makan malam dengan saya kapan-kapan?"
"Saya bisa memberikan alamatnya pada Anda. Saya yakin dia pasti gembira sekali
menerima undangan itu. Nama Anda sudah sangat dikenal dalam dunia seni."
"Anda cuma memuji saya," kata Mr. Satterthwaite, dan hendak berbalik pergi
ketika Mr. Cobb menyela, "Itu dia datang. Saya akan segera memperkenalkannya pada Anda."
Ia berdiri dan berjalan keluar dari balik meja. Mr. Satterthwaite menemaninya
berjalan ke arah seorang pemuda bertubuh besar dan kikuk yang sedang bersandar
pada dinding, mengamat-amati dunia sekelilingnya dengan dahi berkerut sengit.
Mr. Cobb mengenalkan mereka berdua, dan Mr. Satterthwaite menyampaikan sebuah
pidato kecil yang resmi dan indah.
"Saya baru saja mendapatkan kesempatan bagus untuk memiliki salah satu lukisan
Anda - Harlequin yang Mati."
"Oh! Yah, Anda takkan rugi," kata Mr. Bristow dengan sikap tidak ramah. "Menurut
saya, itu karya yang bagus sekali."
"Saya tahu itu," kata Mr. Satterthwaite. "Karya Anda sangat menarik hati saya,
Mr. Bristow. Betul-betul luar biasa matangnya untuk orang semuda Anda. Saya
ingin mengundang Anda makan malam. Bagaimana kalau malam ini" Apakah Anda sudah
punya acara?" "Saya tidak punya acara apa-apa malam ini," jawab Mr. Bristow, masih dengan
sikap tidak ramah seperti semula.
"Bagaimana kalau jam delapan?" tanya Mr. Satterthwaite. "Ini kartu nama saya
dengan alamatnya." "Oh, baiklah," kata Mr. Bristow. "Trims," tambahnya, seperti baru sadar.
"Pemuda dengan penilaian rendah atas dirinya sendiri, dan cemas kalau orang lain
juga akan bersikap begitu."
Demikianlah kesimpulan yang diperoleh Mr. Satterthwaite sementara ia berjalan
keluar menuju Bond Street yang diterangi sinar matahari. Padahal taksiran Mr.
Satterthwaite tentang pribadi orang lain nyaris tidak pernah meleset.
Frank Bristow tiba kira-kira pukul 20.05 dan menemukan tuan rumahnya dengan
seorang tamu ketiga. Tamu satunya itu diperkenalkan padanya sebagai Kolonel
Monckton. Mereka langsung makan malam. Ada tempat keempat yang dipersiapkan di
meja mahoni itu dan Mr. Satterthwaite menggumamkan kata-kata penjelasan.
"Saya setengah berharap teman saya, Mr. Quin, akan mampir malam ini," katanya.
"Apakah Anda pernah bertemu dengannya" Namanya Mr. Harley Quin."
"Saya tidak pernah bertemu siapa-siapa," gerutu Bristow.
Kolonel Monckton menatap seniman itu dengan pandangan acuh tak acuh, seolah-olah
spesies ubur-ubur yang baru. Mr. Satterthwaite berusaha membuat percakapan di
antara mereka berlangsung ramah.
"Saya menaruh perhatian khusus pada lukisan Anda karena rasanya saya mengenali
pemandangannya sebagai Ruang Beranda di Charnley. Apa betul?" Ketika seniman itu
mengangguk, ia melanjutkan. "Itu menarik sekali. Saya pernah menginap di
Charnley beberapa kali dulu. Mungkin Anda mengenal beberapa anggota keluarga
itu?" "Tidak, saya tidak mengenal mereka!" kata Bristow. "Keluarga seperti itu pasti
tidak mau mengenal saya. Saya ke sana naik karavan."
"Astaga," kata Kolonel Monckton, cuma untuk sekadar mengucapkan sesuatu. "Naik
karavan! Astaga." Frank Bristow memandangnya dengan dahi berkerut.
"Kenapa tidak?" tanyanya berang.
Kolonel Monckton yang malang jadi terkejut. Ia menatap sebal pada Mr.
Satterthwaite, seolah-olah hendak berkata, "Orang primitif ini mungkin menarik
untukmu sebagai seorang naturalis, tapi kenapa harus melibatkan saya juga?"
"Yah, karena karavan itu tidak enak sama sekali!" katanya, terpaksa menjawab.
"Membuat kita terlonjak-lonjak."
"Kalau Anda tidak bisa bepergian naik Rolls-Royce, Anda harus pergi naik
karavan," ujar Bristow getir.
Kolonel Monckton menatapnya. Mr. Satterthwaite berkata dalam hati, "Kalau aku
tidak bisa menenangkan pemuda ini, kami akan mengalami malam yang menegangkan."
"Charnley selalu membuat saya terpesona," katanya. "Saya cuma sekali datang ke
sana setelah tragedi itu. Rumah yang suram - juga ada hantunya."
"Itu betul," kata Bristow.
"Sebenarnya malah ada dua hantu," kata Monckton. "Orang bilang Charles I sering
berjalan mondar-mandir di beranda itu dengan kepala tertekuk di bawah lengannya -
saya lupa kenapa begitu. Selain itu ada hantu Wanita Menangis dengan Kendi
Perak-nya, yang sering kelihatan setelah salah seorang Charnley meninggal."
"Omong kosong," kata Bristow sengit.
"Mereka tampaknya keluarga dengan nasib buruk," kata Mr. Satterthwaite buru-
buru. "Empat orang pemegang gelar telah meninggal secara keji dan Lord Charnley
yang terakhir bunuh diri."
"Peristiwa yang menyeramkan," ujar Monckton serius. "Saya ada di sana ketika
peristiwa itu terjadi."
"Sebentar, itu pasti sudah empat belas tahun yang lalu, bukan?" kata Mr.
Satterthwaite. "Sejak saat itu rumah tersebut ditutup."
"Saya tidak heran," kata Monckton. "Peristiwa itu pasti berat sekali bagi
seorang wanita muda. Mereka baru sebulan menikah, baru saja pulang dari bulan
madu. Pesta dansa yang meriah diadakan untuk menyambut kepulangan mereka. Baru
saja tamu-tamu berdatangan ketika Charnley mengunci diri di Kamar Ek dan
menembak dirinya. Tidak masuk akal. Ya?"
Ia memalingkan kepala dengan tiba-tiba ke kiri, kemudian melihat ke seberang
pada Mr. Satterthwaite sambil tertawa malu.
"Saya pasti sudah mulai pikun, Satterthwaite. Tadi saya pikir saya melihat
seseorang duduk di kursi kosong itu dan mengatakan sesuatu pada saya."
"Ya," lanjutnya lagi beberapa saat kemudian, "betul-betul pukulan berat bagi
Alix Charnley. Dia wanita yang sangat cantik dan banyak orang menganggapnya
bunga kehidupan, tapi sekarang orang bilang dia jadi seperti hantu juga. Saya
sih sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu dengannya. Saya kira dia lebih
sering tinggal di luar negeri."
"Dan anak laki-lakinya?"
"Anak itu disekolahkan di Eton. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya kalau
dewasa nanti. Saya rasa dia takkan membuka kembali tempat itu."
"Pasti akan jadi Taman Hiburan Rakyat yang menyenangkan," ujar Bristow.
Kolonel Monckton menatapnya dengan pandangan mencemooh.
"Tidak, tak mungkin Anda sungguh-sungguh dengan kata-kata Anda," kata Mr.
Satterthwaite. "Kalau ya, tak mungkin Anda membuat lukisan itu. Tradisi dan
suasana adalah hal-hal tak berwujud. Butuh waktu berabad-abad untuk
menciptakannya. Kalau kita menghancurkannya, tak mungkin kita bisa membangunnya
kembali dalam waktu 24 jam."
Ia berdiri. "Mari kita pergi ke ruang merokok. Saya punya beberapa foto Charnley
yang ingin saya tunjukkan pada Anda."
Salah satu hobi Mr. Satterthwaite adalah fotografi amatir. Ia juga pengarang
buku yang berbangga hati. Buku itu berjudul Rumah Teman-temanku. Teman-teman
yang dimaksud hampir semuanya dari kalangan atas, sehingga buku itu sebenarnya
malah membuat Mr. Satterthwaite jadi kelihatan sok, ketimbang seorang pengarang
yang netral. "Ini ada sebuah foto Ruang Beranda yang saya ambil tahun lalu," katanya. Ia
mengulurkannya pada Bristow. "Anda lihat, saya mengambilnya kurang-lebih dari
sudut yang sama dengan yang terlukis pada karya Anda. Permadani itu sebenarnya
lumayan indah, bukan" Sayangnya foto ini hitam-putih."
"Saya ingat permadani itu," kata Bristow, "berwarna terang, indah sekali dan
menyala seperti api. Tapi rasanya kurang serasi ditempatkan di sana. Ukuran yang
salah untuk ruangan besar seperti itu dengan lantainya yang berkotak-kotak
hitam-putih. Tidak ada permadani lainnya di ruangan itu. Jadinya malah merusak
suasana - seperti noda darah raksasa."
"Mungkin itu yang memberi ide pada lukisan Anda?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Mungkin saja," sahut Bristow serius. "Siapa pun yang melihatnya, pasti dapat
membayangkan tragedi yang terjadi di ruang kecil berdinding papan yang terletak
di belakangnya." "Kamar Ek," kata Monckton. "Ya, itulah kamar berhantu itu. Kata orang, ada
lubang untuk bersembunyi di sana - di balik sebuah papan yang dapat digerakkan di
samping perapian. Menurut legenda, Charles I pernah disekap di sana dulu. Lalu
ada dua kematian karena pertarungan di kamar itu. Dan seperti saya katakan tadi,
Reggie Charnley juga menembak dirinya di kamar itu."
Ia mengambil foto itu dari tangan Bristow.
"Astaga, itu kan permadani Bokhara," katanya.
"Harganya sekitar dua ribu pound, saya rasa. Ketika saya di sana, permadani itu
masih terbentang di Kamar Ek - tempat yang serasi untuknya. Memang kelihatan
konyol kalau dipasang di ruangan besar dengan lantainya yang kotak-kotak itu."
Mr. Satterthwaite sedang merenungi kursi kosong yang telah ditariknya di samping
kursinya. Kemudian ia berkata dengan serius, "Saya ingin tahu, kapan permadani
itu dipindahkan?" "Pasti baru-baru ini. Yah, saya ingat pernah bercakap-cakap mengenainya pada
hari terjadinya tragedi itu. Charnley berkata permadani itu sebenarnya harus
disimpan di bawah tudung gelas."
Mr. Satterthwaite menggeleng-gelengkan kepala. "Rumah itu segera ditutup setelah
tragedi tersebut, dan segalanya ditinggalkan persis seperti sebelumnya."
Bristow menyelanya dengan sebuah pertanyaan. Ia telah mengesampingkan sikapnya
yang kasar. "Kenapa Lord Charnley menembak dirinya?" tanyanya.
Kolonel Monckton bergerak-gerak gelisah di kursinya.
"Tak seorang pun tahu," katanya lirih.
"Saya rasa dia memang bunuh diri," kata Mr. Satterthwaite pelan.
Kolonel itu menatapnya tercengang.
"Bunuh diri?" katanya. "Astaga, tentu saja dia bunuh diri. Temanku yang baik,
saya di sana waktu itu."
Mr. Satterthwaite memandang kursi kosong di sampingnya lagi, dan sambil
tersenyum sendiri, seolah-olah ia punya lelucon pribadi yang tak bisa dilihat
orang lain, menyahut pelan,
"Kadang-kadang kita melihat sesuatu dengan lebih jelas sepuluh tahun sesudahnya
ketimbang ketika kita melihatnya waktu itu."
"Omong kosong," sembur Monckton, "betul-betul tidak masuk akal! Bagaimana kita
bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas kalau semuanya sudah samar-samar dalam
otak kita, bukannya masih tajam dan terang?"
Tapi Mr. Satterthwaite tak bisa menjelaskan maksudnya, gara-gara Bristow
menyelanya. "Saya mengerti maksud Anda," kata seniman itu. "Menurut saya. Anda bisa jadi
benar. Itu cuma masalah proporsi, bukan" Dan mungkin lebih dari sekadar
proporsi. Relativitas dan sejenisnya."
"Kalau menurut saya," kata sang Kolonel, "semua urusan Einstein itu cuma omong
kosong belaka. Begitu juga dengan masalah spiritualisme dan cerita-cerita
takhayul itu!" Ia mendelik ke sekelilingnya dengan sebal.
"Tentu saja dia bunuh diri," lanjutnya. "Saya sendiri melihat kejadian itu
secara langsung." "Tolong ceritakan kejadian itu," pinta Mr. Satterthwaite, "supaya kami juga bisa
melihatnya dengan mata kami."
Sambil menggerutu jengkel, sang Kolonel mengatur duduknya agar lebih nyaman di
kursinya. "Seluruh kejadian itu memang sama sekali tidak disangka-sangka," katanya
memulai. "Sikap Charnley biasa-biasa saja. Banyak orang tinggal di rumah itu
untuk menghadiri pesta. Tak seorang pun mengira dia akan pergi dan menembak
dirinya sendiri tepat setelah tamu-tamu mulai berdatangan."
"Pasti lebih baik kalau dia mau menunggu sampai semua tamu sudah pulang," kata
Mr. Satterthwaite. "Tentu saja. Seleranya pasti jelek sekali - sampai bertindak seperti itu."
"Tidak cocok dengan pribadinya," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya," Monckton mengakui, "memang tidak seperti kelakuan Charnley."
"Tapi kejadian itu memang bunuh diri?"
"Tentu saja bunuh diri. Waktu itu ada tiga atau empat orang berdiri di puncak
tangga. Saya sendiri, gadis Ostrander itu, Algie Darcy - oh, dan satu atau dua
orang lainnya. Charnley berjalan melintasi gang di bawah dan masuk ke dalam
Kamar Ek. Gadis Ostrander itu berkata wajah Charnley tampak ketakutan dan
matanya membelalak, tapi tentu saja dia cuma membual - dia bahkan tak bisa melihat
wajah Charnley dari tempat kami berdiri, tapi Charnley memang berjalan agak
bungkuk, seolah-olah ada beban berat di pundaknya. Salah seorang gadis
memanggilnya - pengasuh anak tamu-tamu itu, saya kira, yang juga diundang ke pesta
oleh Lady Charnley karena kasihan. Gadis itu memang sedang mencari Charnley
karena hendak menyampaikan pesan. Dia memanggil, 'Lord Charnley, Lady Charnley
ingin tahu apakah...' Charnley tidak menyahut, langsung masuk ke dalam Kamar Ek
serta membanting pintunya, dan kami mendengar kuncinya diputar. Kemudian,
beberapa menit berikutnya, kami mendengar tembakan itu.
"Kami buru-buru turun ke bawah. Ada pintu lain dari Kamar Ek yang menuju Ruang
Beranda. Kami mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci juga. Akhirnya kami
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa mendobrak pintu itu. Charnley tergeletak di lantai - mati - dengan pistol
di samping tangan kanannya. Nah, apa itu bukan bunuh diri namanya" Kecelakaan"
Mana bisa. Cuma ada satu kemungkinan lain - pembunuhan - tapi tak mungkin ada
pembunuhan kalau tidak ada pembunuhnya. Kalian harus mengakui itu."
"Pembunuhnya mungkin sudah melarikan diri," usul Mr. Satterthwaite.
"Tidak mungkin. Kalau kau punya kertas dan pensil, aku akan menggambarkan denah
tempat itu. Ada dua pintu yang menuju Kamar Ek, satu dari gang dan satu dari
Ruang Beranda. Kedua pintu itu terkunci dari dalam dan kunci-kuncinya masih
melekat di lubang kunci masing-masing pintu."
"Bagaimana dengan jendela?"
"Tertutup dan tergerendel."
Hening sejenak. "Jadi, begitulah keadaannya," kata Kolonel Monckton penuh kemenangan.
"Kelihatannya memang begitu," kata Mr. Satterthwaite sedih.
"Tapi," kata sang Kolonel, "meskipun saya tadi menertawakan spiritualisme, saya
tidak keberatan mengakui ada suasana menyeramkan di sana - terutama di kamar itu.
Ada beberapa lubang peluru di papan-papan pelapisnya, akibat pertarungan yang
terjadi di situ dulu, juga ada noda aneh yang muncul terus di lantainya,
meskipun lantai kayunya sudah diganti berulang kali. Saya rasa sekarang pasti
ada noda darah lainnya - darah Charnley yang malang."
"Waktu itu apakah banyak darah mengucur?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Sangat sedikit - aneh sekali - begitulah kata dokter yang memeriksanya."
"Di mana dia menembak dirinya sendiri" Di kepala?"
"Tidak, di jantungnya."
"Itu bukan cara yang gampang," kata Bristow. "Sebenarnya malah sulit sekali,
karena tidak gampang untuk mengetahui letak jantung dengan tepat. Saya takkan
pernah melakukannya dengan cara seperti itu."
Mr. Satterthwaite menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa tidak puas. Tadinya ia
berharap akan memperoleh sesuatu - meskipun ia tidak tahu apa itu. Kolonel
Monckton meneruskan. "Charnley memang tempat yang menyeramkan. Tapi, saya tidak melihat apa-apa."
"Anda tidak melihat hantu Wanita Menangis dengan Kendi Perak itu?"
"Tidak, saya tidak melihatnya," sahut sang Kolonel tegas. "Tapi semua pelayan di
rumah itu bersumpah pernah melihatnya."
"Takhayul adalah kutukan dari Abad Pertengahan," kata Bristow. "Masih ada
sisanya di sana-sini, tapi syukur pada Tuhan, kita sudah semakin bebas dari hal
itu." "Takhayul," gumam Mr. Satterthwaite, matanya beralih lagi pada kursi kosong itu.
"Kadang-kadang, menurut Anda, apakah hal itu bisa berguna?"
Bristow menatapnya. "Berguna" Itu kata yang aneh."
"Yah, kuharap kau percaya sekarang, Satterthwaite," kata Kolonel Monckton.
"Oh, lumayanlah," sahut Mr. Satterthwaite. "Secara keseluruhan, memang tampaknya
aneh - tidak ada gunanya bagi seorang laki-laki yang baru saja menikah, masih
muda, kaya, gembira dan sedang merayakan kepulangannya - tidak masuk akal, tapi
aku setuju bahwa kita tidak boleh menyingkir dari fakta-fakta itu." Ia
mengulangi dengan pelan, "Fakta-fakta," dan mengerutkan dahi.
"Kurasa yang menarik justru alasan itu, yang takkan pernah bisa kita ketahui,"
kata Monckton. "Cerita di balik kejadian itu. Tentu saja banyak kabar burung -
bermacam-macam jenisnya. Kau tahu bagaimana orang-orang sering mendakwa
seenaknya." "Tapi tak seorang pun mengetahui sesuatu," kata Mr. Satterthwaite serius.
"Ini toh bukan cerita misteri yang terlaris, bukan?" tanya Bristow. "Tidak ada
yang beruntung dengan kematian laki-laki itu."
"Tidak ada, kecuali anak yang belum lahir itu," kata Mr. Satterthwaite.
Monckton berdecak keras. "Pukulan berat bagi Hugo Charnley," katanya. "Segera
setelah ada kabar tentang anak yang masih dalam kandungan itu, dia jadi waswas
dan terus menebak-nebak apakah anak itu perempuan atau laki-laki. Para
krediturnya juga ikut-ikutan menunggu dengan waswas. Akhirnya yang lahir anak
laki-laki dan mereka semua jadi kecewa."
"Apakah jandanya sangat terpukul?" tanya Bristow.
"Gadis malang," kata Monckton, "saya takkan pernah melupakannya. Dia tidak
menangis ataupun pingsan. Dia seperti.... beku. Seperti kata saya tadi, dia
menutup rumah itu tak lama setelah kejadian tersebut, dan sepanjang yang saya
ketahui, dia tak pernah membukanya lagi."
"Jadi, kita tetap tidak mengetahui motifnya sampai sekarang," kata Bristow
sambil tertawa kecil. "Seorang laki-laki lain atau wanita lain, pasti salah satu
dari itu, bukan?" "Kelihatannya begitu," kata Mr. Satterthwaite.
"Dan taruhannya lebih pada seorang wanita lain," lanjut Bristow, "karena janda
cantik itu tidak pernah menikah lagi. Saya benci wanita," lanjutnya muak.
Mr. Satterthwaite tersenyum kecil. Frank Bristow melihat senyuman itu dan
melabraknya. "Anda boleh tersenyum," katanya, "tapi saya memang benci wanita. Mereka itu
mengacaukan segalanya. Mereka suka ikut campur Mereka adalah perintang antara
kita dan pekerjaan kita. Mereka... saya cuma sekali bertemu dengan seorang
wanita yang... yah, menyenangkan."
"Saya kira memang akan ada satu wanita seperti itu," kata Mr. Satterthwaite.
"Tidak seperti yang Anda bayangkan. Saya... saya cuma bertemu dengannya.
Sebenarnya kami bertemu di kereta api. Lagi pula," katanya sengit, "kenapa kita
tidak boleh bertemu dengan seseorang di kereta api?"
"Boleh, boleh saja," kata Mr. Satterthwaite menenangkannya, "kereta api adalah
tempat pertemuan yang baik, seperti tempat-tempat lainnya."
"Kereta api itu datang dari Utara. Kami cuma berdua dalam gerbong itu. Saya
tidak tahu kenapa, tapi kami mulai bercakap-cakap. Saya tidak mengetahui namanya
dan rasanya saya juga takkan pernah berjumpa lagi dengannya. Saya tidak tahu
bahwa saya bakal ingin berjumpa lagi dengannya. Mungkin karena... saya iba
padanya." Ia berhenti sejenak, berusaha mengemukakan perasaannya. "Anda tahu,
dia kelihatannya seperti di awang-awang. Abstrak. Seperti makhluk dari negeri
dongeng." Mr. Satterthwaite mengangguk pelan. Imajinasinya dengan gampang membayangkan
pertemuan itu. Bristow yang sangat positif dan realistis dengan wanita yang
tidak nyata dan di awang-awang - abstrak, begitulah kata Bristow.
"Saya rasa kalau dalam hidup ini kita pernah mengalami sesuatu yang sangat
mengenaskan dan nyaris tak tertahankan, kita mungkin bisa seperti itu. Kita akan
melarikan diri dari dunia nyata dan bersembunyi dalam dunia kita sendiri, dan
setelah beberapa saat, kita jadi tidak bisa kembali."
"Apa memang itu yang terjadi pada dirinya?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya tidak tahu," sahut Bristow. "Dia tidak bercerita apa-apa pada saya. Saya
cuma menebak-nebak. Kita memang harus menebak-nebak kalau ingin terus."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Kita memang harus menebak-nebak."
Ia mendongak ketika pintu terbuka; mendongak dengan cepat dan penuh harap, tapi
kata-kata kepala pelayannya ternyata mengecewakan.
"Seorang wanita, Sir, berharap dapat menemui Anda untuk masalah yang mendesak
sekali. Miss Aspasia Glen."
Mr. Satterthwaite berdiri dengan heran. Ia mengenal nama Aspasia Glen. Siapa di
London yang tidak mengenalnya" Mula-mula ia dikenal sebagai Wanita Bersyal,
karena mengadakan berbagai pertunjukan solo dan menyebabkan kegegeran di London.
Berkat bantuan syalnya, ia dengan cepat bisa membawakan berbagai macam karakter.
Secara bergiliran syal itu bisa menjadi kerudung seorang biarawati, penutup
kepala seorang pekerja penggilingan, penghias kepala seorang petani, dan ratusan
hal lainnya. Dan dalam setiap penampilannya Aspasia Glen tampak betul-betul dan
sama sekali berbeda. Sebagai seorang seniman, Mr. Satterthwaite memberikan
pujian tinggi untuknya. Tapi sampai saat ini, ia masih belum mengenal Aspasia
Glen secara pribadi. Kedatangannya pada malam-malam seperti ini membuat Mr.
Satterthwaite heran. Sambil menggumamkan kata-kata permisi, ia meninggalkan
tamu-tamunya, keluar dari ruangan itu dan menuju ruang tamu.
Miss Glen sedang duduk tepat di tengah-tengah sofa berlapis brokat emas yang
besar sekali. Keberadaannya di sana betul-betul terasa. Mr. Satterthwaite segera
menyimpulkan bahwa wanita itu memang bermaksud mendominasi situasi. Entah
kenapa, kesan pertamanya terhadap wanita itu adalah memuakkan. Ia memang
pengagum yang tulus atas kesenian yang dibawakan oleh Aspasia Glen.
Kepribadiannya, seperti telah dilihat oleh Mr. Satterthwaite di bawah sorot
lampu panggung, tampak memukau dan simpatik. Kesan yang ditampilkannya adalah
melankolis dan mengundang, bukannya menuntut. Tapi sekarang, setelah berhadap-
hadapan dengan wanita itu sendiri, ia merasakan kesan yang sama sekali berbeda.
Ada sesuatu yang berkesan keras - berani - mendesak pada dirinya. Ia bertubuh
jangkung dan berkulit gelap, mungkin berusia sekitar tiga puluh limaan. Wajahnya
memang cantik sekali dan ia jelas-jelas memanfaatkan kenyataan itu.
"Anda harus memaafkan kedatangan saya yang tiba-tiba ini, Mr. Satterthwaite,"
katanya. Suaranya terdengar mantap dan merayu.
"Terus terang sudah lama saya ingin berkenalan dengan Anda, dan saya senang bisa
mendapat kesempatan untuk itu. Kedatangan saya kemari malam ini adalah karena" -
ia tertawa - "yah, kalau saya sudah menginginkan sesuatu, saya tidak tahan untuk
menunggu. Kalau saya sudah menginginkan sesuatu, saya harus mendapatkannya."
"Setiap alasan yang membawa seorang tamu wanita secantik Anda ke rumah saya akan
selalu saya terima dengan tangan terbuka," sahut Mr. Satterthwaite dengan
gayanya yang sopan dan kuno. "Anda baik sekali pada saya," kata Aspasia Glen.
"Miss Glen," kata Mr. Satterthwaite, "izinkan saya mengucapkan terima kasih pada
Anda karena kesenangan yang telah beberapa kali Anda berikan - dari tempat duduk
saya di kursi penonton."
Aspasia Glen tersenyum ceria padanya.
"Saya akan langsung mengemukakan tujuan saya. Saya tadi melihat-lihat pameran di
Harchester Galleries. Saya melihat sebuah lukisan yang betul-betul membuat saya
tergila-gila. Saya ingin membelinya, tapi tak bisa, karena Anda telah
membelinya. Jadi" - ia berhenti - "saya sungguh-sungguh menginginkan lukisan itu,"
katanya melanjutkan. "Mr. Satterthwaite yang baik, saya harus mendapatkannya.
Saya membawa buku cek saya." Ia menatap penuh harap pada Mr. Satterthwaite.
"Semua orang berkata pada saya bahwa Anda orang yang sangat baik hati. Dan Anda
tahu, orang-orang memang suka berbaik hati pada saya. Saya tahu itu tidaklah
baik untuk saya, tapi... yah, begitulah kenyataannya."
Jadi, begitulah cara yang dipakai Aspasia Glen. Mr. Satterthwaite dalam hati
mengritik caranya yang menonjolkan kewanitaan dan kemanjaan bak anak kecil itu.
Mestinya cara itu bisa menyentuh hatinya, tapi kenyataannya tidak. Aspasia Glen
telah membuat kesalahan. Ia telah menganggap Mr. Satterthwaite sebagai bujangan
tua yang gampang luluh oleh wanita cantik. Tapi di balik sikapnya yang sopan,
Mr. Satterthwaite mempunyai pikiran tajam dan kritis. Ia dapat melihat orang-
orang sebagaimana adanya mereka, bukan sebagaimana yang hendak mereka tampilkan
padanya Jadi, yang dilihatnya pada diri Aspasia Glen sekarang bukanlah seorang
wanita cantik yang memohon sesuatu padanya, melainkan seorang wanita egois yang
keji, yang berusaha keras mendapatkan keinginannya untuk suatu alasan yang tidak
diketahui olehnya. Dan ia bertekad bahwa Aspasia Glen tidak akan bisa bertindak
seenaknya. Ia tidak akan menyerahkan lukisan Harlequin yang Mati itu begitu saja
padanya. Buru-buru ia memutar otak untuk mencari alasan terbaik, agar bisa
menolak permintaan wanita itu tanpa bersikap kasar.
"Saya yakin setiap orang memang cenderung meluluskan permintaan Anda semampu
mereka, dan mereka juga senang sekali melakukannya," katanya.
"Kalau begitu, Anda tidak keberatan memberikan lukisan itu pada saya?"
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepalanya dengan perlahan dan penuh penyesalan.
"Saya rasa saya tak mungkin bisa memberikannya pada Anda. Anda tahu - " ia
berhenti sejenak - "saya membeli lukisan itu untuk seorang teman wanita saya,
sebagai hadiah untuknya."
"Oh! Tapi tentunya - "
Tiba-tiba telepon di meja berdering. Sambil menggumamkan kata-kata maaf, Mr.
Satterthwaite mengangkat gagangnya. Sebuah suara lirih, dingin, dan terdengar
jauh sekali, berbicara padanya.
"Bisakah saya berbicara dengan Mr. Satterthwaite?"
"Saya sendiri yang berbicara."
"Saya Lady Charnley, Alix Charnley. Saya rasa Anda sudah tak ingat lagi pada
saya, Mr. Satterthwaite, karena sudah bertahun-tahun kita tidak bertemu."
"Alix tersayang. Tentu saja saya ingat padamu."
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada Anda. Saya tadi mampir ke Harchester
Galleries, dan ada lukisan berjudul Harlequin yang Mati di sana. Mungkin Anda
bisa mengenali bahwa... bahwa lukisan itu menggambarkan Ruang Beranda di
Charnley. Saya... saya menginginkan lukisan itu. Kata mereka, Anda telah
membelinya." Ia berhenti sejenak. "Mr. Satterthwaite, saya punya alasan pribadi
mengapa saya menginginkan lukisan itu. Maukah Anda menjualnya pada saya?"
Mr. Satterthwaite merenung sebentar. "Astaga, ini kebetulan sekali." Sambil
berbicara melalui gagang telepon, ia merasa gembira karena Aspasia Glen cuma
bisa mendengar satu sisi saja dari percakapannya dengan Lady Charnley. "Kalau
kau mau menerima hadiah saya, Alix yang baik, saya akan senang sekali." Ia
mendengar bunyi teriakan di belakangnya dan buru-buru melanjutkan, "Saya memang
membelinya untukmu. Sungguh. Tapi coba dengarkan, Alix, saya ingin kau melakukan
sesuatu untuk saya, kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja, Mr. Satterthwaite, saya sungguh sangat berterima kasih pada Anda."
Mr. Satterthwaite melanjutkan, "Saya ingin kau datang ke rumah saya sekarang
ini." Sejenak tidak terdengar jawaban apa-apa, kemudian Lady Charnley menyahut pelan,
"Saya akan segera datang."
Mr. Satterthwaite meletakkan gagang telepon itu dan berpaling pada Miss Glen.
Wanita itu berkata dengan cepat dan berang,
"Anda tadi membicarakan tentang lukisan itu, bukan?"
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Wanita yang akan saya hadiahi lukisan itu akan
datang kemari sebentar lagi."
Tiba-tiba wajah Aspasia Glen menampakkan senyuman lagi. "Anda mau memberikan
kesempatan pada saya untuk membujuk wanita itu supaya mau memberikan lukisan itu
pada saya?" "Betul, saya memberi kesempatan pada Anda untuk membujuknya."
Dalam hati, Mr. Satterthwaite senang sekali. Ia sekarang sedang berada di
tengah-tengah suatu drama yang semakin lama semakin nyata ujudnya. Ia, sebagai
pengamat, sedang memainkan peran seorang aktor. Ia berpaling pada Miss Glen.
"Maukah Anda mengikuti saya ke ruangan lain" Saya ingin memperkenalkan Anda pada
teman-teman saya." Ia membukakan pintu untuk wanita itu, dan kemudian membukakan pintu ruang
merokok untuknya. "Miss Glen," katanya, "mari saya perkenalkan Anda pada teman lama saya, Kolonel
Monckton. Dan Mr. Bristow, pelukis lukisan yang sangat Anda kagumi itu." Mr.
Satterthwaite kaget sekali ketika melihat ada sosok ketiga di kursi kosong yang
terletak di samping kursinya tadi.
"Saya rasa Anda mengharapkan kedatangan saya malam ini," kata Mr. Quin. "Selama
Anda pergi tadi, saya sudah memperkenalkan diri pada teman-teman Anda. Saya
senang sekali bisa mampir kemari."
"Teman yang baik," kata Mr. Satterthwaite, "saya... saya berusaha membawakannya
semampu saya, tapi..." Ia berhenti karena sekilas melihat pandangan sinis di
mata Mr. Quin yang hitam. "Mari saya kenalkan Anda. Mr. Harley Quin, Miss
Aspasia Glen." Apakah itu cuma khayalannya - ataukah Aspasia Glen jadi sedikit terkejut karena
perkenalan itu" Ada kesan aneh di wajahnya. Tiba-tiba Bristow menyela dengan
keras. "Saya tahu."
"Tahu apa?" "Tahu apa yang membingungkan saya tadi. Ada kemiripan yang amat sangat." Ia
sedang menatap heran pada Mr. Quin. "Anda melihatnya?" - ia berpaling pada Mr.
Satterthwaite - "tidakkah Anda melihat kemiripan yang jelas antara Harlequin di
lukisan saya - laki-laki yang melihat dari balik jendela?"
Sekarang hal itu bukan khayalan lagi. Ia jelas-jelas mendengar Miss Glen menahan
napas dengan tajam, bahkan melihatnya mundur selangkah.
"Saya tadi sudah berkata bahwa saya menanti seseorang," kata Mr. Satterthwaite.
Ia berbicara dengan sikap penuh kemenangan. "Teman saya, Mr. Quin, memang orang
yang betul-betul luar biasa. Dia bisa memecahkan misteri. Dia bisa membuat kita
melihat segalanya." "Apakah Anda seorang medium, Sir?" tanya Kolonel Monckton sambil menatap Mr.
Quin ragu-ragu. Mr. Quin cuma tersenyum dan menggelengkan kepala perlahan-lahan.
"Mr. Satterthwaite cuma melebih-lebihkan saja," katanya pelan. "Memang beberapa
kali ketika saya bersamanya, dia berhasil melakukan pekerjaan deduksi yang luar
biasa. Saya tidak mengerti kenapa dia justru memuji-muji saya. Cuma rendah hati
saja, saya kira." "Tidak, tidak," protes Mr. Satterthwaite tegang. "Tidak begitu. Anda membuat
saya melihat segalanya - segalanya yang semestinya dapat saya lihat dari dulu,
yang sebenarnya sudah saya lihat, tapi tidak mengetahui maknanya ketika
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihatnya." "Kedengarannya pelik sekali," komentar Kolonel Monckton.
"Sesungguhnya tidak," kata Mr. Quin. "Masalahnya adalah kita tidak puas dengan
cuma melihat-lihat saja. Kita cenderung punya kesan yang salah atas apa yang
telah kita lihat." Aspasia Glen berpaling pada Frank Bristow.
"Saya ingin tahu," katanya gugup, "dari mana Anda memperoleh ide untuk membuat
lukisan itu?" Bristow angkat bahu. "Saya tidak tahu," katanya mengaku. "Ada sesuatu tentang
tempat itu - tentang Charnley, maksud saya, yang menangkap imajinasi saya. Ruangan
besar yang kosong itu. Berandanya di luar, cerita tentang hantu-hantu yang
gentayangan. Saya baru saja mendengar cerita tentang Lord Charnley yang
terakhir, yang bunuh diri. Misalkan Anda sudah meninggal dan jiwa Anda terus
hidup" Pasti aneh rasanya. Anda mungkin akan berdiri di beranda luar itu sambil
melongok ke dalam jendela pada jenazah Anda sendiri, dan Anda akan melihat
segalanya." "Apa maksud Anda?" tanya Aspasia Glen. "Melihat segalanya?"
"Yah, Anda akan melihat apa yang telah terjadi. Anda akan melihat..."
Pintu terbuka dan si kepala pelayan mengumumkan kedatangan Lady Charnley.
Mr. Satterthwaite beranjak untuk menyambutnya. Ia tidak pernah melihat wanita
itu selama hampir tiga belas tahun. Ia masih mengingatnya seperti keadaannya
dulu, seorang gadis yang bersemangat dan ceria. Dan sekarang ia melihatnya -
seorang Wanita Beku. Sangat cantik, sangat pucat, yang rasanya lebih pantas
disebut melayang ketimbang berjalan, bagaikan butiran salju yang tertiup angin
beku. Ada sesuatu yang tidak nyata pada dirinya. Begitu dingin, begitu jauh.
"Kau baik sekali mau datang," kata Mr. Satterthwaite.
Ia membimbingnya maju. Kelihatannya ia merasa mengenal Miss Glen, tapi kemudian
tidak jadi karena Miss Glen tidak menampakkan reaksi.
"Maafkan saya," gumamnya, "apakah saya pernah bertemu dengan Anda di suatu
tempat?" "Mungkin di atas panggung," kata Mr. Satterthwaite. "Ini Miss Aspasia Glen, Lady
Charnley." "Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda, Lady Charnley," kata Aspasia Glen.
Suaranya tiba-tiba terdengar sedikit bernada trans-Atlantik. Mr. Satterthwaite
jadi teringat pada salah satu peranan panggungnya yang terakhir.
"Kau sudah kenal dengan Kolonel Monckton," lanjut Mr. Satterthwaite, "dan ini
Mr. Bristow." Ia melihat wajah Lady Charnley tiba-tiba memerah.
"Mr. Bristow dan saya sudah pernah bertemu," katanya sambil tersenyum kecil. "Di
kereta api." "Dan Mr. Harley Quin."
Ia mengamat-amati Mr. Quin dengan cermat, tapi kali ini tidak ada kesan
mengenali. Mr. Satterthwaite mengatur sebuah kursi untuknya. Kemudian, setelah
ia sendiri duduk, ia membersihkan kerongkongannya dan berbicara dengan agak
gugup. "Saya... ini adalah pertemuan kecil yang tidak seperti biasanya. Topiknya
adalah lukisan ini. Saya... saya kira kalau kita memang menginginkannya, kita
bisa... memecahkan masalah itu."
"Kau tidak akan mengadakan seance, bukan, Satterthwaite?" tanya Kolonel
Monckton. "Sikapmu aneh sekali malam ini."
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite, "tidak persis seperti seance. Tapi teman saya
ini, Mr. Quin, percaya, dan saya setuju dengannya, bahwa dengan melihat ke masa
lalu, kita bisa melihat lagi segalanya sebagaimana keadaannya waktu itu dan
bukan sebagaimana tampaknya."
"Masa lalu?" tanya Lady Charnley.
"Saya membicarakan peristiwa bunuh diri suamimu, Alix. Saya tahu ini akan
melukaimu." "Tidak," kata Alix Charnley, "saya tidak akan terluka. Tak ada yang bisa melukai
saya sekarang." Mr. Satterthwaite memikirkan kata-kata Frank Bristow. "Anda tahu, dia
kelihatannya seperti di awang-awang. Abstrak. Seperti makhluk dari negeri
dongeng." "Abstrak," begitulah ia menggambarkan Lady Charnley. Tepat sekali. Abstrak, di
awang-awang, bayangan sesuatu. Kalau begitu, di mana Alix yang sesungguhnya" Dan
dengan cepat otaknya menjawab, "Di masa lalu. Terpisah dari orang-orang lainnya
oleh waktu empat belas tahun."
"Sayangku," katanya, "kau membuatku khawatir. Kau seperti Wanita Menangis dengan
Kendi Perak itu." Prang! Cangkir kopi di meja di samping siku tangan Aspasia terjatuh dan pecah
berkeping-keping di lantai. Mr. Satterthwaite mengesampingkan permintaan
maafnya. Ia berpikir, "Kita sudah semakin dekat, kita sudah semakin dekat setiap
menitnya - tapi semakin dekat pada apa?"
"Mari kita putar kenangan kita pada malam empat belas tahun yang lalu itu,"
katanya. "Lord Charnley menembak dirinya sendiri. Apa alasannya" Tak seorang pun
tahu." Lady Charnley bergerak sedikit di kursinya.
"Lady Charnley tahu," kata Frank Bristow tiba-tiba.
"Tak mungkin," bantah Kolonel Monckton, kemudian berhenti sambil menatap Lady
Charnley dengan dahi berkerut.
Yang ditatap sedang memandang sang seniman. Tampaknya Frank Bristow berhasil
mengeluarkan kata-kata dari dirinya. Ia berbicara sambil menganggukkan kepalanya
perlahan. Suaranya seperti butiran salju, dingin dan lembut.
"Ya, Anda benar. Saya memang tahu. Itulah sebabnya selama masih hidup, saya
takkan pernah bisa kembali ke Charnley. Itu sebabnya ketika anak saya, Dick,
meminta saya membuka tempat itu lagi dan tinggal di sana, saya mengatakan
padanya bahwa hal itu mustahil."
"Maukah Anda mengatakan alasan Anda, Lady Charnley?" pinta Mr. Quin.
Lady Charnley memandangnya. Kemudian, seolah-olah terhipnotis, ia berbicara
dengan pelan dan wajar, seperti anak kecil.
"Saya akan mengatakannya kalau Anda memang ingin mendengarnya. Tak ada yang
berarti lagi sekarang. Saya menemukan sepucuk surat di antara kertas-kertas
suami saya dan saya menghancurkannya."
"Surat apa?" tanya Mr. Quin.
"Surat dari seorang gadis - dari anak malang itu. Dia pengasuh anak-anak Merriam.
Reggie - dia telah bercintaan dengannya - ya, padahal dia telah bertunangan dengan
saya waktu itu. Dan gadis itu - dia juga sedang mengandung. Dia menulisnya dalam
surat itu. Katanya dia akan menceritakan semuanya pada saya. Jadi, itu sebabnya
Reggie bunuh diri." Ia memandang berkeliling pada mereka semua dengan letih dan menerawang, seperti
anak kecil yang mengulangi pelajaran yang telah dihafalnya dengan baik sekali.
Kolonel Monckton membersihkan ingusnya.
"Astaga," katanya. "Jadi, begitulah alasannya. Ternyata penyebabnya adalah
ancaman itu." "O ya?" kata Mr. Satterthwaite. "Menurutku alasan itu tidak memecahkan masalah
kita, karena tidak menunjukkan kenapa Mr. Bristow membuat lukisan itu."
"Apa maksudmu?"
Mr. Satterthwaite memandang ke seberang, pada Mr. Quin, seolah-olah minta
dukungan, dan tampaknya ia memperolehnya, karena itu ia melanjutkan,
"Ya, saya tahu kedengarannya gila bagi Anda sekalian, tapi lukisan itu
memusatkan pada satu hal. Kita semua ada di sini malam ini karena lukisan itu.
Lukisan itu memang harus dilukis - itulah maksud saya."
"Maksudmu suasana Kamar Ek yang luar biasa itu?" tanya Kolonel Monckton.
"Bukan," kata Mr. Satterthwaite. "Bukan Kamar Ek itu. Ruang Beranda. Itu dia!
Jiwa orang mati itu berdiri di luar jendela, memandang ke dalam dan melihat
jenazahnya sendiri yang tergeletak, di lantai."
"Tapi itu tidak mungkin," kata Kolonel Monckton, "karena jenazahnya ditemukan di
Kamar Ek." "Misalkan tidak demikian?" kata Mr. Satterthwaite. "Misalkan jenazah itu ada di
tempat Mr. Bristow melihatnya, secara imajinatif. Maksud saya, di lantai
berkotak-kotak hitam-putih itu, di depan jendela."
"Bicaramu ngawur," kata Kolonel Monckton. "Kalau jenazahnya memang di sana, kita
tak mungkin menemukannya di Kamar Ek."
"Tidak, kecuali ada orang yang memindahkannya ke sana," kata Mr. Satterthwaite.
"Kalau begitu, bagaimana kita bisa melihat Charnley memasuki pintu itu menuju
Kamar Ek?" tanya Kolonel Monckton.
"Yah, kau tidak bisa melihat wajahnya, bukan?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Maksudku, kau cuma melihat seorang laki-laki masuk ke dalam Kamar Ek dengan
mengenakan kostum." "Baju dari brokat dan rambut palsu," kata Monckton.
"Nah, dan kau mengira orang itu Lord Charnley, karena gadis itu memanggilnya
Lord Charnley." "Dan karena ketika kami mendobrak masuk beberapa menit berikutnya, cuma ada
jenazah Lord Charnley di sana. Kau tidak bisa memungkiri kenyataan itu,
Satterthwaite." "Tidak," kata Mr. Satterthwaite, patah semangat. "Tidak - kecuali di sana ada
semacam tempat persembunyian."
"Bukankah Anda tadi bilang ada semacam tempat persembunyian di kamar itu?"
"Oh!" teriak Mr. Satterthwaite. "Misalkan...?" Ia mengangkat tangannya agar
semua orang diam dan menopang kepalanya dengan tangan satunya, kemudian
berbicara lagi dengan pelan dan ragu-ragu.
"Saya punya ide - mungkin cuma ide, tapi saya rasa cukup masuk akal. Misalkan
seseorang telah menembak Lord Charnley. Menembaknya di Ruang Beranda Kemudian
dia - dan seorang lagi - menyeret jenazah itu ke dalam Kamar Ek. Mereka
meletakkannya di sana dengan pistol itu di samping tangan kanannya. Sekarang
kita beranjak ke langkah berikutnya. Sudah jelas harus dibuat kesan bahwa Lord
Charnley meninggal karena bunuh diri. Saya rasa itu gampang sekali. Laki-laki
dengan baju brokat dan rambut palsu itu berjalan melintasi gang dan masuk ke
Kamar Ek melalui pintu, lalu orang satunya, agar tampak meyakinkan, memanggilnya
sebagai Lord Charnley dari puncak tangga. Dia masuk ke dalam kamar, mengunci
kedua pintu itu dari dalam, dan menembakkan sebuah peluru ke papan-papan pelapis
itu. Anda ingat di sana memang sudah banyak lubang peluru, jadi satu lubang lagi
takkan ada yang tahu. Kemudian dia bersembunyi di tempat rahasia itu. Pintu
didobrak dan orang-orang berhamburan masuk. Kelihatannya memang Lord Charnley
melakukan bunuh diri. Tak ada kecurigaan lain."
"Yah, menurutku itu omong kosong," kata Kolonel Monckton. "Kau lupa bahwa
Charnley punya motif yang tepat untuk bunuh diri."
"Sepucuk surat yang ditemukan sesudahnya," kata Mr. Satterthwaite. "Sepucuk
surat keji yang telah ditulis dengan cerdik sekali oleh seorang aktris kecil
yang jahat, yang berharap bisa menjadi Lady Charnley suatu hari nanti."
"Maksudmu?" "Maksudku gadis itu berkomplot dengan Hugo Charnley," kata Mr. Satterthwaite.
"Kau sendiri tahu, Monckton, juga setiap orang tahu, bahwa laki-laki itu memang
berhati busuk. Dia yakin akan mewarisi gelar itu." Ia berpaling dengan tajam
pada Lady Charnley. "Siapa nama gadis yang menulis surat itu?"
"Monica Ford," sahut Lady Charnley.
"Apakah Monica Ford yang memanggil Lord Charnley dari puncak tangga, Monckton?"
"Ya, kurasa begitu."
"Oh, itu tidak mungkin," kata Lady Charnley. "Saya... saya pergi menemuinya Dia
berkata bahwa itu memang benar. Saya cuma sekali melihatnya setelah itu, tapi
tentunya dia tak mungkin berpura-pura terus sepanjang waktu."
Mr. Satterthwaite memandang ke seberang pada Aspasia Glen.
"Saya rasa dia bisa melakukannya," katanya pelan. "Saya rasa dia punya bakat
untuk menjadi aktris yang hebat."
"Ada satu hal yang belum Anda jelaskan," kata Frank Bristow. "Akan ada noda
darah di lantai Ruang Beranda. Itu sudah pasti. Mereka tak mungkin bisa
membersihkannya secepat itu."
"Memang tidak," Mr. Satterthwaite mengakui, "tapi ada sesuatu yang bisa mereka
lakukan - sesuatu yang cuma butuh waktu beberapa detik. Mereka bisa menutupi noda
darah itu dengan permadani Bokhara. Tak seorang pun pernah melihat permadani
Bokhara itu di Ruang Beranda sebelum malam itu."
"Kurasa kau benar," kata Monckton, "tapi bagaimanapun noda darah itu toh harus
dibersihkan juga pada akhirnya?"
"Ya," kata Mr. Satterthwaite, "pada tengah malam. Seorang wanita sambil membawa
sebuah kendi kecil dan waskom akan menuruni tangga dan membersihkan noda-noda
darah itu dengan mudah."
"Tapi misalkan ada orang melihatnya?"
"Saya rasa itu tidak masalah," kata Mr. Satterthwaite. "Saya baru saja
mengatakan sesuatu sebagaimana keadaannya. Saya mengatakan seorang wanita dengan
kendi dan waskom. Tapi bagaimana kalau kukatakan Wanita Menangis dengan Kendi
Perak, karena begitulah kesan yang hendak ditimbulkan." Ia berdiri dan berjalan
menghampiri Aspasia Glen.
"Memang begitulah yang Anda lakukan, bukan?" tanyanya. "Mereka menyebut Anda
'Wanita Bersyal' sekarang, tapi pada malam itulah Anda membawakan peranan Anda
yang pertama, 'Wanita Menangis dengan Kendi Perak'. Itu sebabnya Anda sampai
menjatuhkan cangkir kopi itu tadi. Anda ketakutan ketika melihat lukisan itu.
Anda mengira ada orang yang tahu."
Lady Charnley mengulurkan tangannya yang putih, menunjuknya.
"Monica Ford," desisnya. "Aku mengenalimu sekarang."
Aspasia Glen melompat berdiri sambil menjerit. Ia mendorong Mr. Satterthwaite
yang kecil itu ke samping dan berdiri gemetaran di depan Mr. Quin.
"Jadi, saya benar. Memang ada orang yang tahu! Oh, saya tak bisa ditipu dengan
semua omong kosong ini. Pura-pura hendak menganalisis segalanya." Ia menunjuk
pada Mr. Quin. "Anda ada di sana waktu itu. Anda berdiri di luar jendela dan
melongok ke dalam. Anda melihat apa yang kami lakukan, Hugo dan saya. Saya tahu
ada seseorang melongok ke dalam, saya selalu merasakannya. Tapi ketika saya
mendongak, tidak ada siapa-siapa di sana. Saya tahu ada seseorang mengamat-amati
kami. Saya tadinya mengira telah melihat sekilas wajah di jendela itu. Selama
bertahun-tahun saya jadi ketakutan. Kemudian saya melihat lukisan yang
menggambarkan Anda berdiri di jendela itu dan saya mengenali wajah Anda. Anda
sudah mengetahuinya selama bertahun-tahun. Kenapa Anda buka mulut sekarang" Itu
yang ingin saya ketahui."
"Mungkin agar orang yang meninggal itu boleh beristirahat dengan tenang," sahut
Mr. Quin. Tiba-tiba Aspasia Glen berlari menuju pintu dan berdiri di sana sambil
mempertahankan diri dengan suara keras.
"Terserah apa yang akan Anda lakukan. Tuhan tahu banyak saksi yang mendengarkan
kata-kata saya tadi. Saya tidak peduli, saya tidak peduli. Saya mencintai Hugo
dulu dan saya membantunya dengan urusan yang menyeramkan itu, tapi kemudian dia
mencampakkan saya. Dia meninggal tahun lalu. Anda bisa melaporkan saya pada
polisi, tapi seperti yang dikatakan laki-laki tua di sana itu, saya memang
aktris yang hebat. Polisi pasti sulit menemukan saya." Ia membanting pintu itu,
dan sejenak kemudian mereka mendengarnya membanting pintu depan juga.
"Reggie," ratap Lady Charnley, "Reggie." Air mata mengalir membasahi wajahnya.
"Oh, sayangku, sayangku, aku bisa kembali ke Charnley sekarang. Aku bisa tinggal
di sana bersama Dickie. Aku bisa bercerita padanya tentang ayahnya, orang paling
baik dan hebat di dunia ini."
"Kita harus membahas apa yang mesti dilakukan sekarang," kata Kolonel Monckton.
"Alix sayang, kalau kau mengizinkan saya mengantarmu pulang, saya akan senang
sekali membahas semuanya ini denganmu."
Lady Charnley berdiri. Ia menghampiri Mr. Satterthwaite, memegang pundaknya
dengan kedua tangannya, dan menciumnya dengan lembut sekali.
"Rasanya senang sekali bisa hidup kembali setelah bertahun-tahun mati," katanya.
"Anda tahu, saya seperti mati dulu. Terima kasih, Mr. Satterthwaite." Ia keluar
dari ruangan itu dengan Kolonel Monckton. Mr. Satterthwaite memandang mereka
dari belakang. Sebuah gerutuan dari Frank Bristow, yang sudah dilupakannya
selama ini, membuatnya berpaling.
"Dia memang cantik," kata Bristow muram. "Tapi tidak semenarik dulu," katanya
murung. "Itu pendapat seorang seniman," kata Mr. Satterthwaite.
"Yah, tapi itu betul," kata Mr. Bristow. "Saya rasa saya pasti akan ditolak
kalau saya muncul begitu saja di Charnley. Saya tidak mau pergi ke tempat saya
tidak diinginkan." "Anak muda yang baik," kata Mr. Satterthwaite, "janganlah terlalu memikirkan
kesan apa yang akan Anda timbulkan pada diri orang lain, dengan begitu saya rasa
Anda akan lebih bijaksana dan bahagia. Anda juga bisa menghapuskan pikiran kuno
itu dari otak Anda. Pada zaman modem ini, asal-usul keturunan seseorang tidaklah
penting lagi. Anda pemuda dengan tubuh kekar, yang biasanya digandrungi wanita,
dan sudah jelas Anda juga jenius. Coba ulangi semua itu pada diri Anda sendiri
sepuluh kali sebelum Anda pergi tidur setiap malam, dan setelah tiga bulan
pergilah mengunjungi Lady Charnley di Charnley. Itulah nasihat saya pada Anda,
sebab saya sudah tua dan sudah cukup banyak mengenal asam garam kehidupan."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senyuman yang sangat cerah menghiasi wajah sang seniman.
"Anda baik sekali pada saya," katanya tiba-tiba. Ia memegang tangan Mr.
Satterthwaite dan menjabatnya dengan erat. "Saya amat bersyukur. Saya harus
pergi sekarang. Terima kasih banyak untuk malam yang luar biasa ini."
Ia memandang sekeliling, seolah-olah hendak mengucapkan selamat tinggal pada
orang satunya, tapi ia jadi kaget.
"Astaga, Sir, teman Anda sudah pulang rupanya. Saya tidak melihatnya pergi. Dia
itu agak aneh, bukan?"
"Dia memang suka datang dan pergi dengan tiba-tiba," kata Mr. Satterthwaite.
"Itu salah satu ciri khasnya. Kita tidak selalu bisa melihat kedatangan dan
kepergiannya." "Seperti Harlequin," komentar Frank Bristow. "Dia tidak tampak." Kemudian ia
tertawa riang pada leluconnya sendiri.
Bab 10 BURUNG DENGAN SAYAP PATAH
MR. SATTERTHWAITE memandang ke luar jendela. Hujan terus turun dengan derasnya.
Ia menggigil. Menurutnya, rumah-rumah di pedesaan cuma sedikit saja yang
mempunyai sistem pemanasan yang layak. Dalam hati ia senang karena beberapa jam
lagi ia sudah akan meluncur cepat menuju London. Bagi orang yang berusia enam
puluh, London jadi tempat yang menyenangkan.
Ia sedang merasa sedikit tua dan mengibakan. Kebanyakan para penghuni rumah itu
adalah anak-anak muda. Empat di antaranya telah pergi ke ruang perpustakaan
untuk bermain jailangkung. Mereka mengundangnya untuk ikut serta, tapi ia
menolak. Ia tak bisa merasakan senangnya menghitung-hitung huruf dan membaca
kata-kata tak keruan yang muncul kemudian.
Ya, London adalah tempat terbaik untuknya. Ia gembira telah menolak undangan
Madge Keeley lewat telepon untuk mampir ke Laidell setengah jam yang lalu. Gadis
itu memang memesona, tapi London tetaplah yang terbaik.
Mr. Satterthwaite menggigil lagi dan ingat bahwa perapian di ruang perpustakaan
itu biasanya hangat sekali. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan matanya
berkilat-kilat. Meja itu bergoyang dan salah seorang gadis itu menghitungnya.
"LAI - tidak mungkin - tidak masuk akal. Tidak ada kata yang dimulai dengan LAI."
"Teruskan," kata Mr. Satterthwaite, nada perintah dalam suaranya terdengar
begitu tajam, sampai gadis itu langsung menurutinya tanpa bertanya apa-apa.
"LAIDEL" dan L satu lagi - oh! kelihatannya cuma itu."
"Teruskan." "Tolong katakan lebih banyak."
Berhenti sejenak. "Kelihatannya tidak ada lagi. Meja ini sudah betul-betul tenang sekarang. Konyol
amat." "Udak," kata Satterthwaite serius. "Saya tidak menganggapnya konyol."
Ia berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Ia langsung menghampiri pesawat
telepon. Akhirnya ia mendapatkan sambungan.
"Bisakah saya bicara dengan Miss Keeley" Kaukah itu, Madge sayang" Aku berubah
pikiran, kalau boleh, dan menerima undanganmu yang ramah itu. Ternyata aku tidak
perlu buru-buru balik ke London. Ya, ya, aku akan datang tepat pada waktu makan
malam." Ia menaruh kembali gagang pesawat telepon itu.
Entah kenapa wajahnya yang keriput jadi kemerah-merahan. Mr. Quin - Mr. Harley Quin yang misterius itu. Mr. Satterthwaite menghitung dengan jari-
jarinya saat-saat ia bertemu dengan laki-laki misterius itu. Di mana ada Mr.
Quin, di sana selalu ada kejadian! Apakah yang telah terjadi atau akan terjadi
di Laidell" Apa pun itu, yang pasti di sana ada sesuatu yang harus dilakukan oleh Mr.
Satterthwaite. Entah bagaimana, ia akan membawakan suatu peranan aktif. Ia yakin
itu. Laidell adalah rumah yang besar. Pemiliknya, David Keeley, adalah laki-laki
pendiam dengan kepribadian tidak pasti, dan tampaknya lebih menyerupai salah
satu perabotan rumah itu. Tapi penampilannya yang pendiam tidak ada sangkut
pautnya dengan kemampuan otaknya. David Keeley adalah ahli matematika paling
pintar dan telah menulis buku yang betul-betul tak dapat dimengerti oleh 99
persen manusia. Dan seperti kebanyakan orang-orang pintar lainnya, ia tidak
memancarkan semangat atau daya pikat jasmaniah. Sudah jadi lelucon umum bahwa
David Keeley dianggap sebagai "manusia tembus pandang". Para pelayan melewatinya
begitu saja dengan nampan-nampan berisi makanan, dan para tamu sering lupa
mengucapkan apa kabar dan selamat tinggal padanya.
Putrinya, Madge, berbeda sekali. Seorang wanita muda dengan postur tubuh bagus
serta vitalitas hidup yang energik. Berpikiran matang, sehat, dan normal, serta
luar biasa cantik. Ia sendiri yang menyambut kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Anda baik sekali mau datang - akhirnya."
"Kau juga baik sekali mengizinkan aku mengubah pikiran. Madge sayang, kau
kelihatan sehat sekali."
"Oh! Aku memang selalu sehat."
"Ya, aku tahu. Tapi ini lebih dari itu. Kau tampak... yah, merekah, itulah kata
yang ada di otakku. Apakah ada sesuatu yang terjadi, Sayang" Sesuatu yang...
istimewa?" Ia tertawa - dan sedikit tersipu-sipu.
"Anda ini jeli sekali, Mr. Satterthwaite. Anda selalu bisa menebak sesuatu."
Mr. Satterthwaite memegang tangannya.
"Jadi, itu, ya" Sang Pangeran Tampan sudah muncul?"
Istilah yang dipakai Mr. Satterthwaite memang kuno, tapi Madge tidak keberatan.
Ia agak menyukai cara-cara Mr. Satterthwaite yang kuno itu.
"Kurasa begitu - ya. Tapi mestinya orang lain tidak boleh mengetahuinya dulu. Ini
rahasia. Tapi aku tidak keberatan Anda mengetahuinya, Mr. Satterthwaite. Anda
selalu baik dan simpatik."
Mr. Satterthwaite senang menikmati kisah cinta orang lain. Ia orang yang
sentimental dan kuno. "Jadi, aku tidak boleh bertanya siapa laki-laki yang beruntung itu" Yah, kalau
begitu aku cuma bisa berharap dia cukup layak menerima kehormatan yang
kauberikan padanya."
Mr. Satterthwaite tua ini lucu juga, pikir Madge.
"Oh! Menurutku kami akan serasi sekali," katanya. "Anda tahu, kami menyukai hal-
hal yang sama, dan itu sungguh-sungguh penting, bukan" Kami memang mempunyai
banyak kesamaan - dan kami juga telah saling mengenal dengan baik. Sebenarnya
sudah cukup lama kami berpacaran. Itu memberikan rasa aman, bukan?"
"Tak diragukan lagi," sahut Mr. Satterthwaite. "Tapi berdasarkan pengalamanku,
tak seorang pun bisa mengenali seseorang sedalam-dalamnya. Itulah salah satu
daya tarik dan keunikan hidup."
"Oh, aku tidak keberatan menanggung risiko itu," kata Madge, tertawa, ketika
mereka naik ke loteng untuk mengganti pakaian, bersiap-siap makan malam.
Mr. Satterthwaite muncul terlambat. Ia tidak mengajak pelayannya dan karena
barang-barangnya telah diatur oleh seseorang yang tidak dikenalnya, ia jadi agak
bingung. Ketika ia turun, dilihatnya semua orang sudah berkumpul dan dengan gaya
modem Madge cuma berkata, "Oh! ini dia Mr. Satterthwaite. Aku sudah kelaparan.
Mari kita pergi ke ruang makan sekarang."
Ia memimpin jalan bersama seorang wanita jangkung berambut kelabu - seorang wanita
dengan kepribadian sangat menonjol. Suaranya terdengar jernih dan tegas,
wajahnya tampak bersih dan cukup cantik.
"Apa kabar, Mr. Satterthwaite?" sapa Mr. Keeley.
Mr. Satterthwaite terlompat kaget.
"Baik-baik saja," sahutnya. "Maaf, saya tidak melihat Anda tadi."
"Tak seorang pun melihat saya," kata Mr. Keeley sedih.
Mereka masuk ke ruang makan. Meja itu rendah, terbuat dari kayu mahoni dan
berbentuk oval. Mr. Satterthwaite ditempatkan di antara nona rumahnya yang muda
dan seorang gadis pendek berkulit gelap - seorang gadis yang bersemangat dengan
suara keras dan gelak tawa berdering-dering, lebih mencerminkan kesan ceria yang
dibuat-buat daripada tawa yang bebas. Nama gadis itu kedengarannya seperti
Doris, dan ia tipe wanita muda yang sangat tidak disukai Mr. Satterthwaite.
Menurutnya, gadis itu tidak punya selera tinggi atas penampilannya.
Di samping Madge duduk seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluhan, yang
kemiripannya dengan wanita berambut kelabu tadi membuat semua orang tahu bahwa
mereka adalah ibu dan anak.
Di samping laki-laki itu...
Mr. Satterthwaite sampai menahan napas.
Ia tidak tahu kenapa ia sampai begitu. Pokoknya bukan karena kecantikan. Ada
sesuatu yang lain - sesuatu yang jauh lebih berkesan dan tidak nyata ketimbang
kecantikan. Wanita itu sedang mendengarkan pembicaraan Mr. Keeley yang agak kikuk, kepalanya
merunduk ke samping sedikit. Ia memang duduk di sana, begitulah yang tampak oleh
Mr. Satterthwaite - tapi rasanya ia tidak ada di sana! Entah bagaimana, ia
seperti kurang nyata dibandingkan dengan orang-orang lain yang duduk
mengelilingi meja itu. Tubuhnya yang duduk agak miring tampak indah - lebih dari
sekadar indah sebenarnya. Ia mendongak, matanya bertemu dengan mata Mr.
Satterthwaite selama beberapa saat di seberang meja, dan kata yang selama ini
dicari-cari oleh Mr. Satterthwaite tiba-tiba muncul di benaknya.
Pemikat - itu dia. Ia punya kemampuan untuk menjadi seorang pemikat. Ia mungkin
termasuk makhluk setengah manusia - salah seorang makhluk dari Negeri Antah
Berantah. Ia membuat orang-orang lain jadi kelihatan terlalu nyata.
Tapi pada waktu yang sama, dengan cara aneh, ia menimbulkan rasa iba pada diri
Mr. Satterthwaite. Seolah-olah bagian dirinya yang setengah manusia itu
membuatnya jadi tak berdaya. Mr. Satterthwaite mencari-cari istilah yang cocok,
dan ia menemukannya. "Seekor burung dengan sayap patah," kata Mr. Satterthwaite.
Setelah puas, ia memusatkan otaknya kembali pada masalah Pramuka Putri sambil
berharap gadis bernama Doris itu tidak memperhatikan lamunannya tadi. Ketika
akhirnya Doris beralih pada laki-laki di sampingnya - seorang laki-laki yang
nyaris tidak diperhatikan oleh Mr. Satterthwaite - ia sendiri beralih pada Madge.
"Siapa wanita yang duduk di samping ayahmu?" tanyanya dengan suara lirih.
"Mrs. Graham" Oh, tidak! Maksud Anda Mabelle. Apakah Anda tidak mengenalnya"
Mabelle Annesley. Dia dulu bernama Clydesley - salah seorang dari keluarga
Clydesley yang malang itu."
Mr. Satterthwaite jadi kaget. Keluarga Clydesley yang malang. Ia ingat. Seorang
saudara laki-laki mati bunuh diri, seorang saudara perempuan mati tenggelam, dan
saudara perempuan lainnya hilang ketika terjadi gempa bumi. Kelihatannya seperti
sebuah keluarga yang dikutuk. Gadis itu pasti yang termuda dari antara mereka.
Renungannya tiba-tiba buyar. Tangan Madge menyentuh tangannya di bawah meja.
Semua orang asyik berbicara. Madge menyorongkan kepalanya ke kiri sedikit,
memberi petunjuk. "Itu dia," gumamnya dengan maksud tidak jelas.
Mr. Satterthwaite segera mengangguk memahami. Jadi, pemuda Graham inilah yang
menjadi pilihan Madge. Yah, pilihannya tak mungkin bisa lebih baik lagi,
sepanjang yang diutamakan adalah penampilan - dan Mr. Satterthwaite adalah
pengamat yang jeli. Tampaknya pemuda itu punya sikap menyenangkan dan agak
terang-terangan. Mereka akan jadi pasangan serasi. Tidak ada kekonyolan pada
diri mereka berdua - pokoknya dua orang muda yang sehat dan ramah.
Tata cara di Laidell memang masih kuno. Para wanitalah yang mula-mula
meninggalkan ruang makan. Mr. Satterthwaite berjalan menghampiri Graham dan
mengajaknya bicara. Taksirannya atas diri pemuda itu ternyata betul, tapi ada
sesuatu yang menurut perasaannya tidaklah sesuai. Roger Graham tampak agak
linglung, pikirannya seolah-olah berada di suatu tempat jauh, tangannya gemetar
ketika meletakkan gelasnya di meja.
"Ada sesuatu yang dipikirkannya," pikir Mr. Satterthwaite jeli. "Udak sepenting
yang disangkanya, kurasa. Tapi bagaimanapun, aku ingin tahu apa itu."
Mr. Satterthwaite punya kebiasaan menelan dua butir pastiles untuk melancarkan
pencernaannya sesudah makan. Karena ia tadi lupa membawanya sewaktu turun, maka
ia naik lagi ke kamarnya untuk mengambilnya.
Dalam perjalanan kembali menuju ruang duduk, ia melewati sebuah koridor panjang
di lantai dasar. Kurang-lebih di tengah-tengah koridor itu terdapat sebuah
ruangan yang dikenal sebagai ruang beranda. Dan ketika Mr. Satterthwaite
melongok ke dalamnya melalui pintunya yang terbuka, ia jadi kaget sendiri.
Sinar rembulan menerangi ruangan itu. Kayu pelapis dindingnya yang bergaris-
garis jadi tampak lebih nyata. Seseorang sedang duduk di ambang jendela yang
rendah, agak melorot ke samping dan dengan lembut memetik senar sebuah ukulele -
bukan dalam irama jazz, melainkan irama yang jauh lebih kuno, irama langkah kaki
kuda peri yang sedang mendaki bukit.
Mr. Satterthwaite berdiri terpesona. Wanita itu mengenakan gaun sifon berwarna
biru gelap yang kusam, dikerut dan diwiru hingga menyerupai bulu-bulu burung. Ia
memeluk alat musiknya dan bersenandung mengiringinya.
Mr. Satterthwaite melangkah masuk - dengan pelan, selangkah demi selangkah. Ia
sudah dekat sekali, ketika wanita itu mendongak dan melihatnya.
Ia tidak kaget ataupun heran, begitulah yang diperhatikan oleh Mr.
Satterthwaite. "Saya harap saya tidak mengganggu," katanya.
"Silakan duduk."
Mr. Satterthwaite duduk di dekatnya, di sebuah kursi kayu mengilap. Ia
bersenandung lirih sekali.
"Ada banyak keajaiban malam ini," katanya. "Tidakkah Anda setuju?"
"Ya, memang." "Mereka menyuruh saya mengambil ukulele saya," katanya menjelaskan. "Dan ketika
lewat tadi, saya pikir pasti senang sekali bisa sendirian di sini - dalam
kegelapan dan ditemani bulan."
"Kalau begitu, saya..." Mr. Satterthwaite setengah berdiri, tapi wanita itu
mencegahnya. "Jangan pergi. Entah kenapa, Anda... Anda cocok dengan suasana ini. Memang aneh,
tapi begitulah." Mr. Satterthwaite duduk lagi.
"Tapi malam ini memang aneh," katanya. "Saya tadi berjalan-jalan di hutan, dan
saya bertemu dengan seorang laki-laki - betul-betul orang yang aneh - jangkung dan
gelap, sepertinya dia tersesat. Matahari hampir terbenam, dan sinarnya dari
balik pepohonan membuat orang itu seperti Harlequin."
"Ah!" Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan - ia jadi berminat sekali.
"Saya ingin berbicara dengannya. Dia... dia seperti seseorang yang saya kenal.
Tapi dia menghilang di balik pepohonan."
"Rasanya saya mengenalnya," kata Mr. Satterthwaite.
"O ya" Dia... dia menarik, bukan?"
"Ya, dia memang menarik."
Hening sejenak. Mr. Satterthwaite jadi bingung. Ia tahu ada sesuatu yang harus
dilakukannya - tapi tak tahu apa itu. Yang pasti, hal itu ada kaitannya dengan
wanita ini. Ia berkata dengan agak kikuk,
"Kadang-kadang, kalau sedang tidak bahagia, kita ingin menyendiri."
"Ya. Itu benar." Wanita itu tiba-tiba menyelanya. "Oh! Saya mengerti maksud
Anda. Tapi Anda salah. Sebaliknya malah. Saya ingin sendirian karena saya
bahagia." "Bahagia?" "Bahagia sekali."
Ia berbicara dengan tenang, tapi Mr. Satterthwaite tiba-tiba jadi terpukul. Apa
yang dimaksud dengan kebahagiaan oleh wanita ini tidaklah sama dengan yang
dimaksud oleh Madge Keeley. Kebahagiaan, bagi Mabelle Annesley, berarti suatu
kenikmatan yang dalam dan nyata, sesuatu yang bukan dalam hal jasmaniah saja,
tapi lebih dari itu. Mr. Satterthwaite agak terenyak sedikit.
"Saya... tidak tahu," katanya kikuk.
"Tentu saja Anda tidak mengetahuinya. Dan ini bukanlah hal yang sesungguhnya.
Saya masih belum bahagia, tapi saya akan merasa bahagia." Ia mencondongkan badan
ke depan. "Tahukah Anda bagaimana rasanya berdiri di sebuah hutan - sebuah hutan
lebat dengan bayangan-bayangan gelap dan pohon-pohon yang tumbuh rapat di
sekitar Anda; sebuah hutan yang tak mungkin bisa Anda tinggalkan, dan kemudian,
tiba-tiba, tepat di depan Anda, Anda melihat sebuah negeri yang menjadi impian
Anda selama ini - berkilauan dan indah sekali. Anda cuma perlu melangkah dari
balik pohon-pohon itu, keluar dari kegelapan, dan sampailah Anda...."
"Banyak hal terlihat indah," kata Mr. Satterthwaite, "sebelum kita sampai
padanya. Sesungguhnya, banyak hal paling jelek di dunia ini kelihatannya indah
sekali." Terdengar bunyi langkah kaki. Mr. Satterthwaite memalingkan kepala. Seorang
laki-laki berpenampilan pucat, dengan wajah seperti kayu, berdiri di sana. Ia
orang yang nyaris tidak diperhatikan oleh Mr. Satterthwaite di meja makan tadi.
"Mereka sedang menunggumu, Mabelle," katanya.
Wanita itu berdiri, ekspresi itu telah hilang dari wajahnya, suaranya terdengar
datar dan tenang. "Aku akan segera ke sana, Gerard," katanya. "Aku tadi bercakap-cakap sebentar
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Mr. Satterthwaite."
Ia berjalan keluar dari ruangan itu. Mr. Satterthwaite membuntutinya sambil
menoleh ke belakang, dan melihat ekspresi pada wajah suaminya. Sebuah pandangan
putus asa dan penuh kerinduan.
"Pemikat," pikir Mr. Satterthwaite. "Begitulah yang dirasakannya. Laki-laki
malang - kasihan." Ruang duduk itu terang sekali. Madge dan Doris Coles berteriak senang melihat
kedatangan mereka. "Mabelle, kau memang nakal - lama sekali kau pergi tadi."
Wanita itu duduk di kursi bundar yang rendah, mencoba ukulelenya dan menyanyi.
Mereka semua menemaninya.
"Apa mungkin ada banyak lagu konyol yang bisa dikarang tentang My Baby," pikir
Mr. Satterthwaite. Tapi ia harus mengakui bahwa irama mendayu-dayu itu enak didengar. Meskipun
tentu saja tak bisa dibandingkan dengan irama lagu-lagu waltz kuno.
Udara terasa berasap sekali. Irama mendayu-dayu itu terus berlanjut.
"Tidak ada percakapan," pikir Mr. Satterthwaite. "Tidak ada musik bagus. Tidak
ada kedamaian." Ia sungguh-sungguh berharap dunia tidak sebising sekarang ini.
Tiba-tiba Mabelle Annesley berhenti, tersenyum padanya, dan mulai menyanyikan
sebuah lagu ciptaan Grieg.
"Burung undanku - burungku yang cantik..."
Lagu itu adalah favorit Mr. Satterthwaite. Ia menyukai nada akhirnya yang
memesona. "Hanya seekor burung undan" Burung undan?"
Akhirnya mereka semua bubar. Madge menawarkan minuman sementara ayahnya memungut
ukulele yang telah diletakkan itu dan mulai memetiknya dengan iseng. Semua orang
saling mengucapkan selamat malam dan beranjak menghampiri pintu. Semuanya
berbicara bersamaan. Gerard Annesley menyingkir diam-diam, meninggalkan yang
lainnya. Di luar pintu ruang duduk itu, Mr. Satterthwaite mengucapkan selamat malam pada
Mrs. Graham dengan sopan sekali. Ada dua tangga di rumah itu, yang satu di dekat
sana, sedangkan yang lainnya di ujung koridor. Mr. Satterthwaite menaiki tangga
yang di ujung itu menuju kamarnya. Mrs. Graham dan putranya menaiki tangga yang
dekat tadi, yang telah dinaiki oleh Gerard Annesley yang pendiam itu sebelumnya.
"Kau lebih baik menyimpan ukulelemu, Mabelle," kata Madge. "Kalau Udak, kau
pasti lupa besok pagi. Kau kan harus berangkat pagi-pagi sekali besok?"
"Ayolah, Mr. Satterthwaite," ajak Doris Coles sambil menggandeng lengan Mr.
Satterthwaite dengan kasar. "Tidur lebih awal - bla, bla, bla."
Madge menggandeng lengannya yang satu lagi dan mereka bertiga berjalan menyusuri
koridor dengan diiringi suara tawa Doris. Mereka berhenti sejenak di ujungnya
untuk menunggu David Keeley, yang membuntuti mereka dengan langkah lebih tenang,
sambil mematikan lampu-lampu dalam perjalanannya. Akhirnya mereka berempat
menaiki tangga bersama-sama.
*** Mr. Satterthwaite baru saja bersiap-siap turun menuju ruang makan untuk sarapan
pagi keesokan harinya, ketika terdengar bunyi ketokan ringan di pintunya dan
Madge Keeley masuk. Wajahnya pucat pasi dan ia juga gemetaran.
"Oh, Mr. Satterthwaite."
"Anakku, apa yang telah terjadi?" Ia memegang tangan Madge.
"Mabelle - Mabelle Annesley...."
"Ya?" Apa yang telah terjadi" Apa" Sesuatu yang buruk - ia tahu itu. Madge nyaris tak
bisa menceritakannya. "Dia... dia gantung diri kemarin malam. Di balik pintu kamarnya. Oh! Sungguh
mengerikan." Ia berhenti - menangis.
Gantung diri. Tak mungkin. Tidak masuk akal!
Mr. Satterthwaite membujuknya dengan kata-kata penghibur yang terdengar kuno,
lalu buru-buru turun ke bawah. Ia bertemu dengan David Keeley yang tampak
bingung dan kikuk. "Aku sudah menelepon polisi, Satterthwaite. Rasanya itu memang harus dilakukan.
Begitulah kata dokter itu tadi. Dia baru saja selesai memeriksa... memeriksa...
astaga, ini sungguh-sungguh mengerikan. Dia pasti betul-betul tidak bahagia,
sampai... sampai bertindak demikian. Aneh juga lagunya kemarin malam. Lagu
Burung Undan, eh" Dia sendiri kelihatannya seperti burung undan - burung undan
hitam." "Ya." "Lagu Burung Undan," ulang Mr. Keeley. "Mencerminkan apa yang ada di benaknya,
eh?" "Kelihatannya memang begitu - ya, tentu saja, kelihatannya begitu."
Mr. Satterthwaite ragu-ragu, kemudian bertanya apakah ia boleh melihat kalau
saja... Tuan rumahnya mengerti permintaan yang terbata-bata itu.
"Kalau Anda memang mau - saya lupa Anda punya mengamati tragedi manusia."
Ia memimpin jalan menaiki tangga lebar itu. Mr. Satterthwaite membuntutinya. Di
ujung tangga adalah kamar yang ditempati oleh Roger Graham dan di seberangnya,
di sisi lain, adalah kamar ibunya. Pintu kamar yang terakhir itu terbuka sedikit
dan samar-samar tercium bau asap yang melayang keluar.
Sejenak Mr. Satterthwaite merasa sedikit heran. Menurutnya Mrs. Graham bukanlah
wanita yang suka merokok pagi-pagi sekali. Sebenarnya malah ia beranggapan
wanita itu tidak merokok sama sekali.
Mereka kemudian berjalan di sepanjang gang, menuju pintu terujung. David Keeley
memasuki kamar itu dan Mr. Satterthwaite mengikutinya.
Kamar itu tidak terlalu besar dan menunjukkan tanda-tanda telah ditinggali oleh
seorang laki-laki. Sebuah pintu di dindingnya membuka jalan menuju ke kamar
kedua. Seutas kecil tali masih tergantung pada sebuah kait yang terpancang di
atas pintu. Di atas ranjang...
Mr. Satterthwaite berdiri sejenak memandang gundukan bergaun sifon itu. Ia
memperhatikan gaun itu masih berkerut dan berwiru seperti bulu-bulu burung.
Sedangkan wajahnya, setelah melirik sekilas, ia tidak melihatnya lagi.
Ia melihat dari pintu dengan tali masih tergantung pada pintu penghubung tempat
mereka masuk tadi. "Apakah pintu itu terbuka?"
"Ya, Paling tidak, begitulah kata si pelayan."
"Annesley tidur di sana" Apakah dia mendengar sesuatu?"
"Katanya dia tidak mendengar apa-apa."
"Tidak masuk akal," gumam Mr. Satterthwaite. Ia memandang kembali gundukan di
ranjang itu. "Di mana dia?" "Annesley" Dia di bawah, bersama dokter itu."
Mereka turun dan menemukan inspektur polisi sudah datang. Doris Coles tampak
ketakutan dan murung. Sekali-sekali ia mengusap matanya dengan sehelai
saputangan. Madge tampak diam dan waspada, emosinya sudah terkendali sekarang.
Mrs. Graham terlihat tenang, seperti biasa, wajahnya serius dan tidak
menunjukkan perasaan apa-apa. Tragedi itu tampaknya lebih mempengaruhi putranya
dibandingkan dengan orang lain. Ia jelas-jelas terlihat kacau pagi ini. David
Keeley, seperti biasa, telah mundur ke belakang.
Suami yang berduka itu duduk sendirian, sedikit terpisah dari orang-orang
lainnya. Ada pandangan linglung yang aneh pada wajahnya, seolah-olah ia tak bisa
mempercayai apa yang telah terjadi.
Mr. Satterthwaite dari luar terlihat tenang, tapi dalam hati gusar karena tak
sabar menanti pemeriksaan yang sebentar lagi dilaksanakan.
Inspektur Winkfield, diikuti Dr. Morris, muncul dan menutup pintu. Ia berdeham,
kemudian berbicara. "Saya tahu kejadian ini menyedihkan - sangat menyedihkan. Dalam keadaan seperti
ini, saya diwajibkan untuk menanyai setiap orang. Saya yakin Anda sekalian
takkan keberatan. Saya akan mulai dengan Mr. Annesley. Maafkan pertanyaan saya,
Sir, tapi apakah istri Anda pernah mengancam akan bunuh diri?"
Tanpa pikir panjang Mr. Satterthwaite membuka mulutnya hendak menyahut, tapi
kemudian menutupnya lagi. Masih ada banyak waktu nanti. Lebih baik tidak
berbicara dengan terburu-buru.
"Saya... tidak, saya rasa tidak."
Suaranya terdengar sangat ragu-ragu, aneh sekali, sehingga semua orang
menatapnya heran. "Anda tidak yakin, Sir?"
"Ya - saya... cukup yakin. Dia tak pernah mengancam seperti itu."
"Ah! Apakah Anda tahu kalau dia merasa tidak bahagia karena sesuatu hal?"
"Tidak. Saya... tidak tahu."
"Dia tidak mengatakan apa-apa pada Anda, tentang perasaannya yang tertekan,
misalnya?" "Saya... tidak, tidak ada."
Apa pun yang dipikir oleh inspektur itu, ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya
ia maju terus dengan pertanyaan berikutnya.
"Maukah Anda menggambarkan secara singkat pada saya kejadian kemarin malam?"
"Kami... semua pergi tidur. Saya segera tertidur lelap dan tidak mendengar apa-
apa. Jeritan pelayan itu yang membangunkan saya pagi ini. Saya segera masuk ke
kamar itu dan menemukan istri saya... dan menemukannya..."
Suaranya terhenti. Inspektur itu mengangguk.
"Ya, ya, itu benar. Kita tak perlu membahas hal itu. Kapan terakhir kali Anda
melihat istri Anda kemarin malam?"
"Saya... di bawah."
"Di bawah?" "Ya, kami semua meninggalkan ruang duduk bersama-sama. Saya langsung pergi ke
kamar, meninggalkan yang lainnya bercakap-cakap di bawah."
"Apakah Anda tidak melihat istri Anda lagi" Apakah dia tidak mengucapkan selamat
malam sebelum pergi tidur?"
"Saya sudah tertidur ketika dia masuk."
"Tapi. dia cuma beberapa menit saja di belakang Anda. Itu benar, bukan?" Ia
memandang David Keeley, yang mengangguk.
"Dia baru muncul kurang-lebih setengah jam kemudian."
Annesley menyahut dengan keras kepala. Mata inspektur itu beralih dengan lembut
pada Mrs. Graham. "Dia tidak mampir di kamar Anda untuk bercakap-cakap, Madam?"
Apakah itu cuma khayalan Mr. Satterthwaite, ataukah ada sedikit keraguan pada
diri Mrs. Graham sebelum menjawab dengan sikapnya yang tenang dan anggun"
"Tidak, saya langsung pergi ke kamar saya dan menutup pintunya. Saya tidak
mendengar apa-apa." "Dan menurut Anda, Sir" - inspektur itu telah mengalihkan perhatiannya kembali
pada Annesley - "Anda sudah tertidur dan tidak mendengar apa-apa. Pintu
penghubung itu terbuka, bukan?"
"Saya... saya rasa begitu. Tapi istri saya bisa saja memasuki kamarnya melalui
pintu lainnya dari koridor."
"Bahkan kalau demikian, Sir, pasti ada bunyi-bunyi tertentu - suara batuk, bunyi
langkah sepatunya." "Tidak." Itu suara Mr. Satterthwaite yang bicara dengan terburu-buru, tak tahan lagi
menutup mulutnya. Semua mata berpaling ke arahnya dengan kaget. Ia sendiri
menjadi gugup, terbata-bata, wajahnya memerah.
"Saya... maafkan saya, Inspektur. Tapi saya harus bicara. Anda berada pada jalur
yang salah - jalur yang salah sama sekali. Mrs. Annesley tidak bunuh diri - saya
yakin itu. Dia dibunuh."
Keadaan jadi sunyi senyap, kemudian Inspektur Winkfield berkata dengan tenang,
"Apa yang membuat Anda berpendapat demikian. Sir?"
"Saya... ini cuma perasaan. Perasaan yang sangat kuat."
"Tapi saya rasa, Sir, dalam hal ini haruslah ada sesuatu yang lebih kuat. Harus
ada alasan tertentu."
Yah, tentu saja ada alasan tertentu, yaitu pesan misterius dari Mr. Quin. Tapi
kita tak bisa mengatakannya pada seorang inspektur, bukan" Mr. Satterthwaite
memutar otaknya dengan putus asa, dan ia mendapatkan sesuatu.
"Kemarin malam, ketika kami bercakap-cakap, dia berkata merasa bahagia sekali.
Sangat bahagia - begitulah. Itu tidak seperti sikap seorang wanita yang bermaksud
bunuh diri, bukan?" Ia merasa menang. Ia menambahkan,
"Dia pergi ke ruang duduk lagi untuk mengambil ukulelenya, supaya tidak kelupaan
besok pagi. Itu juga tidak seperti bunuh diri."
"Memang tidak," inspektur itu mengakui. "Tidak, mungkin memang tidak." Ia
berpaling pada David Keeley. "Apakah dia membawa ukulele itu bersamanya sewaktu
naik ke loteng?" Ahli matematika itu mencoba mengingat.
"Saya kira... ya, dia membawanya. Dia naik ke loteng sambil membawa alat musik
itu di tangannya. Saya ingat melihat benda itu ketika dia berbelok di tangga
sebelum saya mematikan lampu di bawah."
"Oh!" teriak Madge. "Tapi ukulele itu ada di sini sekarang."
Ia menunjuk dengan dramatis pada tempat ukulele itu tergeletak di meja.
"Ini aneh," ujar inspektur itu. Ia melangkah dengan ringan melintasi ruangan dan
membunyikan bel. Dengan singkat inspektur itu memberikan perintah pada si kepala pelayan, yang
langsung memanggil pelayan yang memang bertugas membersihkan semua ruangan di
pagi hari. Pelayan itu akhirnya muncul, dan jawabannya cukup meyakinkan. Ukulele
itu telah ada di sana sebelum ia muncul untuk membersihkan debu.
Inspektur Winkfield menyuruhnya pergi, kemudian berkata tegas,
"Saya ingin bicara sendirian saja dengan Mr. Satterthwaite. Yang lainnya boleh
pergi. Tapi tak seorang pun boleh meninggalkan rumah ini."
Mr. Satterthwaite langsung nyerocos begitu pintu tertutup setelah orang terakhir
keluar. "Saya... saya yakin, Inspektur, bahwa Anda menangani kasus ini dengan tangkas.
Tangkas sekali. Saya cuma merasakan - seperti saya bilang tadi - suatu perasaan
kuat..." Inspektur itu mencegahnya terus berbicara dengan mengangkat tangannya.
"Anda benar, Mr. Satterthwaite. Wanita itu memang dibunuh."
"Jadi, Anda mengetahuinya?" Mr. Satterthwaite tampak bingung.
"Ada beberapa hal yang membingungkan Dr. Morris." Ia memandang ke seberang pada
dokter itu, yang tetap tinggal di sana, dan dokter itu mendukung pernyataannya
dengan sebuah anggukan kecil. "Kami sudah memeriksanya dengan cermat. Tali yang
melilit lehernya bukanlah tali yang mencekiknya - benda yang digunakan untuk itu
jauh lebih tipis, sesuatu yang seperti kabel. Dagingnya sampai teriris
karenanya. Bekas tali itu cuma menutupi di atasnya. Dia dicekik, kemudian baru
digantung di atas pintu, supaya terlihat seperti bunuh diri."
"Tapi siapa...?"
"Ya," kata inspektur itu. "Siapa" Itu masalahnya. Bagaimana dengan suami yang
tidur di kamar sebelah itu, yang tak pernah mengucapkan selamat tidur pada
istrinya dan tidak mendengar apa-apa" Saya rasa kita tak perlu jauh-jauh
mencari. Harus diperiksa bagaimana hubungan mereka berdua. Dalam hal ini Anda
bisa membantu kami, Mr. Satterthwaite. Anda ahlinya, dan Anda bisa mencari tahu
dengan cara-cara yang tidak dapat kami lakukan. Coba carilah keterangan tentang
hubungan suami-istri itu."
"Tapi saya nyaris tidak...," bantah Mr. Satterthwaite kaku.
"Ayolah, ini toh bukan pertama kalinya Anda menolong kami dalam kasus
pembunuhan. Saya ingat kasus Mrs. Strangeways itu. Anda punya bakat untuk hal-
hal begitu, Sir. Bakat yang luar biasa."
Ya, benar - ia memang punya bakat. Ia berkata dengan tenang,
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya, Inspektur."
Apakah Gerard Annesley telah membunuh istrinya" Apakah memang dia pelakunya" Mr.
Satterthwaite teringat pandangannya yang merana malam itu. Ia mencintai istrinya
- dan menderita karenanya Penderitaan memang bisa mendorong laki-laki untuk
melakukan sesuatu yang aneh.
Tapi ada hal lainnya - faktor lainnya. Mabelle bercerita bahwa dirinya seperti
telah keluar dari hutan lebat. Ia sedang mengharapkan datangnya kebahagiaan,
tapi kebahagiaan itu tidak masuk akal - suatu perasaan yang liar...
Kalau Gerard Annesley tidak berbohong, berarti Mabelle memang tidak masuk ke
kamarnya paling tidak sampai setengah jam sesudah suaminya masuk. Tapi David
Keeley telah melihatnya naik ke loteng. Di sana ada dua kamar lain yang
berpenghuni. Kamar Mrs. Graham dan kamar putranya.
Putranya. Tapi ia dan Madge...
Tentunya Madge akan menebak... Tapi Madge bukanlah orang yang suka menebak-
nebak. Bagaimanapun, tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Asap!
Ah! ia ingat Bau asap yang sekilas tercium dari dalam kamar Mrs. Graham.
Mr. Satterthwaite langsung bertindak. Ia naik ke loteng dan masuk ke kamar Mrs.
Graham. Ia menutup pintunya dan menguncinya.
Ia berjalan menghampiri perapian. Di sana ada setumpuk arang bekas pembakaran.
Dengan gamang ia mengorek-ngoreknya dengan jari. Ternyata ia beruntung. Tepat di
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah-tengah tumpukan itu ada potongan-potongan yang tidak sempat terbakar -
potongan-potongan surat. Potongan-potongan itu sudah tidak keruan, tapi memberikan petunjuk penting bagi
Mr. Satterthwaite. Hidup bisa terasa indah, Roger sayang. Aku tak pernah mengetahuinya... seluruh
hidupku seperti mimpi, sampai aku bertemu denganmu, Roger....
Gerard mengetahuinya, kurasa. Aku sedih, tapi apa yang bisa kulakukan" Tak ada
yang nyata lagi bagiku kecuali kau, Roger. Kita akan bersama, segera.
Apa yang akan kaukatakan padanya di Laidell, Roger" Suratmu aneh sekali - tapi aku
tak takut.... Dengan sangat hati-hati Mr. Satterthwaite menyimpan potongan-potongan itu dalam
amplop yang diambilnya dari meja tulis. Kemudian ia pergi ke pintu lagi, membuka
kuncinya, melangkah keluar, dan berhadap-hadapan dengan Mrs. Graham.
Saat itu terasa canggung sekali, dan sejenak Mr. Satterthwaite tidak tahu harus
berkata apa. Akhirnya ia memutuskan untuk berterus terang, yang dirasanya adalah
jalan terbaik. "Saya tadi menggeledah kamar Anda, Mrs. Graham. Saya menemukan sesuatu - setumpuk
surat yang terbakar dengan tidak sempurna."
Wajah wanita itu menampakkan kekagetan. Tapi cuma sekilas.
"Surat-surat dari Mrs. Annesley untuk putra Anda."
Ia ragu-ragu sejenak, kemudian berkata tenang, "Itu memang benar. Saya pikir
surat-surat itu lebih baik dibakar."
"Kenapa?" "Putra saya sudah bertunangan dan akan menikah. Surat-surat itu - kalau sampai
ketahuan gara-gara wanita malang itu bunuh diri - bisa menimbulkan banyak
kepedihan dan masalah."
"Putra Anda bisa membakar surat-suratnya sendiri."
Ia tidak mempunyai jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Mr. Satterthwaite
melancarkan serangannya lagi.
"Anda menemukan surat-surat itu di kamarnya, membawanya ke kamar Anda sendiri,
dan membakarnya. Kenapa" Karena Anda takut, Mrs. Graham."
"Bukan kebiasaan saya untuk merasa takut, Mr. Satterthwaite."
"Memang bukan, tapi ini kasus nekat."
"Nekat?" "Putra Anda mungkin bisa didakwa - karena membunuh."
"Membunuh!" Mr. Satterthwaite melihat wajah wanita itu menjadi pucat, dan ia segera
meneruskan, "Anda mendengar Mrs. Annesley masuk ke kamar putra Anda kemarin malam. Apakah
dia telah bercerita tentang pertunangannya" Tidak, saya rasa dia belum
menceritakannya. Saat itulah dia menceritakannya. Mereka bertengkar, dan dia..."
"Itu dusta." Mereka begitu serius dalam berbantahan, sehingga tidak mendengar bunyi langkah
kaki mendekat. Roger Graham muncul dari belakang tanpa sepengetahuan mereka.
"Tidak apa-apa, Ibu. Jangan cemas. Silakan masuk ke kamar saya, Mr.
Satterthwaite." Mr. Satterthwaite membuntutinya ke dalam kamar. Mrs. Graham telah berbalik dan
tidak berusaha mengikuti mereka Roger Graham menutup pintunya.
"Coba dengarkan, Mr. Satterthwaite, Anda mengira saya membunuh Mabelle. Anda
mengira saya mencekiknya - di sini - lalu membopongnya, kemudian menggantungnya di
atas pintu ketika semua orang sedang tertidur nyenyak?"
Mr. Satterthwaite menatapnya. Kemudian dengan tak disangka-sangka ia menyahut,
"Tidak, saya tidak mengira demikian."
"Puji Tuhan. Saya tak mungkin bisa membunuh Mabelle. Saya... saya
mencintainya... dulu. Atau tidak" Saya tidak tahu. Itu suatu keruwetan yang
tidak bisa saya jelaskan. Saya menyukai Madge - dari dulu. Dan dia betul-betul
hebat. Kami cocok satu sama lain. Tapi Mabelle lain. Dia... saya tak bisa
menjelaskannya... dia bagaikan pemikat. Saya rasa, saya akhirnya jadi... takut
padanya." Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Hubungan kami memang dahsyat - kenikmatan yang memabukkan. Tapi itu tak mungkin.
Tak mungkin berhasil. Hubungan seperti itu... takkan langgeng. Saya sekarang
tahu bagaimana rasanya tersihir."
"Ya, saya rasa memang seperti itu," ujar Mr. Satterthwaite serius.
"Saya... saya ingin mengakhiri hubungan itu. Saya bermaksud mengatakannya pada
Mabelle - kemarin malam."
"Tapi tidak jadi?"
"Tidak, tidak jadi," sahut Graham pelan. "Saya bersumpah pada Anda, Mr.
Satterthwaite, bahwa saya tak pernah melihatnya lagi setelah mengucapkan selamat
malam padanya di bawah."
"Saya percaya," kata Mr. Satterthwaite.
Ia berdiri. Bukan Roger Graham yang membunuh Mabelle Annesley. Pemuda itu
mungkin bisa melarikan diri dari wanita itu, tapi tak mungkin bisa membunuhnya.
Ia takut pada wanita itu, takut pada sifat magis yang ada pada dirinya. Ia tahu
arti keterpikatan - dan bermaksud melupakannya. Ia memutuskan kembali pada hal
yang aman dan masuk akal, yang sejak dulu telah diketahuinya "akan berhasil" dan
telah menghapuskan harapan tak nyata di benaknya, yang dirasanya bisa
mengacaukan hidupnya. Ia pemuda yang logis, tapi tidak menarik bagi Mr. Satterthwaite yang seniman dan
pengamat kehidupan. Ia meninggalkan Roger Graham di kamarnya dan turun ke bawah. Ruang duduk itu
sudah kosong. Ukulele Mabelle masih tergeletak di kursi di samping jendela. Ia
mengambilnya dan memetiknya sembarangan. Ia tidak tahu apa-apa tentang alat
musik itu, tapi telinganya mengatakan bahwa nada alat musik itu tidak keruan
sama sekali. Ia mencoba memutar kuncinya.
Doris Coles masuk ke dalam ruangan itu, memandangnya dengan pandangan mencela.
"Itu ukulele Mabelle," ujarnya.
Tuduhannya yang kentara itu membuat Mr. Satterthwaite jadi keras kepala.
"Tolong setelkan," pintanya, dan menambahkan, "kalau bisa."
"Tentu saja bisa," sahut Doris, tersinggung mendengar kata-kata Mr.
Satterthwaite yang seolah-olah merendahkan kemampuannya.
Ia mengambil alat itu dari tangan Mr. Satterthwaite, memetik sebuah senar,
memutar sebuah kunci dengan cepat - dan senar itu putus.
"Astaga. Oh! Ternyata... tapi aneh sekali! Ini senar yang salah - ukurannya lebih
besar senomor. Ini senar A. Tolol sekali memasangnya di sini. Tentu saja putus
kalau disetel. Orang-orang memang banyak yang tolol."
"Ya," sahut Mr. Satterthwaite. "Memang - bahkan kalau mereka berusaha menjadi
Bloon Cari Jodoh 7 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Anak Rajawali 19
dan mendengarkan siaran radio - tidak pergi ke mana-mana dengan Charlie. Saya
bilang, tentu saja saya bersedia, dan saya sangat tersentuh dan akan selalu
berterima kasih padanya serta mengenangnya dengan penuh kasih."
Mr. Satterthwaite mengangguk, tapi ia jadi bingung. Ia jarang sekali keliru
dalam menaksir karakter seseorang, dan menurutnya Philip Eastney bukanlah jenis
pemuda sentimental seperti itu. Pemuda itu pastilah jauh lebih berperasaan
ketimbang yang dikiranya. Gillian jelas-jelas menganggap usul tersebut sesuai
dengan pribadi kekasih yang telah ditolaknya itu. Mr. Satterthwaite jadi sedikit
- hanya sedikit - kecewa. Ia sendiri memang sentimental, dan ia mengetahuinya,
tapi ia mengharapkan orang lain tidak seperti itu. Lagi pula perasaan
sentimental itu cuma dimiliki oleh orang-orang seusianya. Sifat itu tak mungkin
ada dalam dunia modem. Ia meminta Gillian menyanyi dan gadis itu menyetujuinya. Mr. Satterthwaite
memuji suaranya yang merdu, tapi ia tahu betul berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya bahwa suara itu suara kelas dua. Kesuksesan yang mungkin akan
didapat Gillian dari pekerjaannya sebagai penyanyi pastilah dikarenakan oleh
wajahnya, bukan suaranya.
Ia tidak terlalu kepingin bertemu Burns lagi, maka ia berdiri untuk pamit. Pada
saat itulah perhatiannya terpaku pada sebuah hiasan di atas perapian, yang
berdiri di antara barang-barang kusam lainnya bagaikan batu permata di atas
setumpuk debu. Benda itu adalah sebuah wadah dari gelas hijau tipis berbentuk melengkung,
dengan gagang panjang dan anggun. Pada ujungnya terdapat suatu benda yang
kelihatannya seperti busa sabun yang besar sekali, sebuah bola dari gelas
berwarna-warni. Gillian memperhatikan pandangan Mr. Satterthwaite.
"Itu hadiah tambahan dari Phil. Lumayan cantik, bukan" Dia bekerja di pabrik
gelas." "Memang cantik," sahut Mr. Satterthwaite serius. "Para peniup gelas di Murano
pasti mengaguminya."
Ia pulang sambil terus memikirkan Philip Eastney dalam benaknya. Betul-betul
pemuda yang sangat menarik. Tapi gadis itu, dengan wajahnya yang cantik, lebih
menyukai Charlie Burns. Betapa aneh dan peliknya dunia ini!
Mendadak Mr. Satterthwaite teringat sesuatu yang menurutnya telah diabaikannya
selama ini, gara-gara kecantikan Gillian West yang luar biasa itu. Ia teringat
pertemuannya malam itu dengan Mr. Quin. Seperti yang sudah-sudah, setiap
pertemuan dengan orang misterius itu selalu menghasilkan kejadian aneh dan tak
disangka-sangka. Dengan harapan akan bertemu lagi dengan orang misterius itu,
Mr. Satterthwaite mengayunkan langkahnya menuju Restoran Arlecchino, di mana
dulu, di masa lalu, ia pernah bertemu dengan Mr. Quin. Lagi pula Mr. Quin
sendiri pernah berkata ia sering mampir ke tempat itu.
Mr. Satterthwaite melihat-lihat seluruh ruangan di Arlecchino, berharap bisa
menjumpai Mr. Quin, tapi di sana tidak ada tanda-tanda wajah Mr. Quin yang
berkulit gelap dan tersenyum itu. Di sana malah ada orang lain. Philip Eastney,
yang duduk sendirian di sebuah meja kecil.
Restoran itu penuh dan Mr. Satterthwaite mengambil tempat berhadap-hadapan
dengan pemuda itu. Tiba-tiba saja hatinya diliputi perasaan tegang yang aneh,
seolah-olah ia telah terjebak dan turut ambil bagian dalam serangkaian kejadian
yang berkilauan. Ia memang telah ambil bagian dalam hal ini - apa pun itu. Ia tahu
sekarang apa yang dimaksud Mr. Quin malam itu di Gedung Opera. Sebuah drama
sedang berlangsung, dan di dalamnya ada sebuah peran, peran penting bagi
dirinya. Ia tidak boleh gagal dalam memahami segala petunjuk yang ada dan harus
hati-hati membawakan perannya.
Ia duduk berhadap-hadapan dengan Philip Eastney; perasaannya mengatakan ia harus
melaksanakan sesuatu yang tak bisa dihindarinya. Tidak susah mengajak pemuda itu
bercakap-cakap. Eastney tampaknya ingin sekali berbicara. Mr. Satterthwaite,
seperti biasa, adalah pendengar yang penuh perhatian dan simpatik. Mereka
membicarakan perang, bahan peledak, dan gas-gas racun. Eastney punya banyak
pengetahuan tentang dua hal yang terakhir itu, karena selama perang dulu ia
bertugas dalam pembuatan benda-benda tersebut. Mr. Satterthwaite merasa pemuda
itu menarik sekali. Ada satu gas, kata Eastney, yang tak pernah diuji-coba. Gara-garanya, pengumuman
untuk melakukan gencatan senjata terlalu cepat disiarkan. Tapi gas itu
dikabarkan hebat sekali kemampuannya. Satu hirupan saja sudah cukup mematikan.
Sikapnya bersemangat sekali ketika menceritakan tentang gas itu.
Setelah dirasanya perkenalannya dengan pemuda itu cukup akrab, Mr. Satterthwaite
dengan lembut membelokkan pembicaraan mereka pada topik musik. Wajah kurus
Eastney menjadi berseri-seri. Ia berbicara dengan penuh perasaan serta
kekaguman, seperti seorang pencinta musik yang sesungguhnya. Mereka membahas
tentang Yoaschbim, dan pemuda itu betul-betul bersemangat. Ia dan Mr.
Satterthwaite setuju kalau tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa
menyaingi suara tenor yang hebat itu. Waktu kecil dulu, Eastney pernah
mendengarkan suara Caruso dan ia tak pernah melupakannya.
"Apakah Anda tahu bahwa suaranya bisa memecahkan gelas anggur?" tanyanya.
"Selama ini saya menganggap hal itu cuma gosip belaka," kata Mr. Satterthwaite
sambil tersenyum. "Tidak, itu benar. Hal itu memang masuk akal. Cuma masalah resonansi saja."
Ia kemudian menjelaskan teknisnya secara detail. Wajahnya menjadi merah dan
matanya berkilat-kilat. Topik itu tampaknya menarik sekali baginya, dan Mr.
Satterthwaite memperhatikan pemuda itu tampaknya punya pengetahuan cukup
mendalam mengenai hal tersebut. Mr. Satterthwaite sadar bahwa pemuda yang
diajaknya bicara itu mempunyai otak jenius. Cerdas, eksentrik, belum tahu hendak
diapakan kepandaiannya, tapi tak diragukan lagi sungguh-sungguh jenius.
Ia jadi memikirkan Charlie Burns dan heran pada pilihan Gillian West.
Ia kaget sekali ketika menyadari betapa malam telah larut, dan ia memanggil
pelayan, meminta bonnya. Eastney tampak sedikit tersipu-sipu.
"Saya jadi malu - bicara terus-terusan," katanya. "Tapi saya beruntung sekali bisa
kebetulan bertemu dengan Anda malam ini. Saya... saya memang butuh seseorang
untuk diajak bicara."
Ia mengakhiri kata-katanya dengan tawa kecil yang aneh. Matanya masih berkilat-
kilat penuh semangat. Tapi entah kenapa ada kesan tragis pada dirinya.
"Saya sendiri senang bisa bertemu dengan Anda," sahut Mr. Satterthwaite.
"Pembicaraan kita tadi betul-betul menarik dan menambah ilmu pengetahuan saya."
Ia kemudian membungkuk kecil dengan gayanya yang khas dan lucu, lalu keluar dari
restoran itu. Malam itu udara hangat dan ketika ia sedang pelan-pelan menyusuri
jalanan, sebuah bayangan yang sangat aneh muncul di benaknya. Ia punya perasaan
bahwa ia tidak sendirian - ada seseorang berjalan di sampingnya. Dengan sia-sia ia
berusaha mengusir bayangan itu dan menganggapnya sebagai ilusi. Ada orang
berjalan di sampingnya di jalanan gelap dan sepi itu, seseorang yang tak bisa
dilihatnya. Ia heran, apa yang membawa sosok Mr. Quin begitu jelas dalam
benaknya. Ia betul-betul merasa Mr. Quin-lah yang berjalan di sampingnya,
padahal jelas-jelas matanya tidak melihat siapa-siapa, dan ia memang cuma
sendirian. Tapi pikiran tentang Mr. Quin tetap melekat, dan kemudian muncul pikiran
lainnya: sebuah kebutuhan, desakan akan sesuatu, perkiraan akan timbulnya
bencana. Ada yang harus dilakukannya - dilakukan dengan cepat. Ada yang tidak
beres, dan hanya tangannyalah yang bisa meluruskannya.
Begitu kuatnya perasaan itu, sampai Mr. Satterthwaite berusaha menindasnya.
Sebaliknya ia malah memejamkan mata dan mencoba membayangkan sosok Mr. Quin
dengan lebih jelas. Kalau saja ia bisa bertanya pada Mr. Quin - tapi ketika
pikiran itu melintas di benaknya pun ia tahu bahwa itu salah. Tak ada gunanya
bertanya apa pun pada Mr. Quin. "Semua benang ada di tangan Anda" - begitulah
yang akan dikatakan Mr. Quin.
Benang" Benang apa" Ia menganalisis perasaan dan kesannya sendiri dengan hati-
hati. Perasaan akan timbulnya suatu bahaya. Nah, siapa yang akan terancam"
Dengan segera sebuah gambaran berkelebat di depan matanya, gambaran tentang
Gillian West yang duduk sendirian mendengarkan radio.
Mr. Satterthwaite melemparkan sekeping uang logam pada seorang anak penjaja
koran dan mengambil korannya. Ia segera mencari-cari program siaran Radio
London. Yoaschbim akan mengudara malam ini, bacanya dengan penuh minat. Ia akan
menyanyikan Salve Dimora ciptaan Fraust dan, sesudahnya, lagu-lagu rakyat
pilihan. Lagu Si Gembala, Ikan, Si Rusa Kecil, dan lain-lain.
Mr. Satterthwaite meremas-remas koran itu. Gambaran tentang Gillian yang sedang
mendengarkan radio jadi semakin jelas. Duduk sendirian...
Sungguh, permintaan yang aneh dari Philip Eastney. Ini sama sekali tidak sesuai
dengan pribadinya. Tak ada perasaan sentimental pada diri Eastney. Ia pemuda
dengan perasaan buas, seorang pemuda berbahaya. Mungkin...
Sekali lagi benak Mr. Satterthwaite tersentak. Seorang pemuda berbahaya - itu
pasti ada maknanya. "Semua benang ada di tangan Anda." Pertemuan dengan Philip
Eastney malam ini - agak aneh. Kebetulan, begitulah kata Eastney tadi. Apa memang
begitu" Ataukah itu bagian dari suatu rangkaian kejadian yang sekali-dua kali
telah disadari oleh Mr. Satterthwaite malam ini"
Ia memutar ingatannya kembali. Pasti ada sesuatu dalam percakapan Eastney tadi,
ada suatu petunjuk di dalamnya. Pasti ada, sebab kalau tidak, kenapa ia merasa
didesak-desak oleh sesuatu" Apa yang telah dibicarakannya tadi" Menyanyi,
pekerjaannya selama perang, Caruso.
Caruso - pikiran Mr. Satterthwaite dengan cepat berputar. Suara Yoaschbim boleh
dianggap nyaris menyamai suara Caruso. Gillian akan duduk mendengarkannya
sekarang, sementara suara itu berkumandang merdu dan kuat, menggema ke seluruh
ruangan, membuat gelas-gelas berdenting....
Napasnya tersentak. Gelas-gelas berdenting! Caruso menyanyi sampai bisa
memecahkan gelas anggur. Yoaschbim akan menyanyi di sebuah studio di London, dan
di sebuah ruangan kurang-lebih satu mil jauhnya akan terdengar bunyi gelas
berdenting dan pecah - bukan gelas anggur, melainkan sebuah wadah dan gelas hijau
tipis. Bola kristal seperti busa sabun itu jatuh, bola yang mungkin saja tidak
kosong.... Pada saat itulah Mr. Satterthwaite, dengan disaksikan oleh orang yang kebetulan
lewat di situ, tiba-tiba jadi seperti orang gila. Dengan kasar ia membuka koran
itu sekali lagi, membaca sekilas kolom siaran radio, kemudian berlari secepat
kilat menyusuri jalanan yang sepi. Di ujung jalan itu ia melihat sebuah taksi
sedang berjalan perlahan-lahan, dan ia segera melompat masuk ke dalamnya,
meneriakkan sebuah alamat pada sopirnya dan menambahkan bahwa ini adalah masalah
hidup atau mati, sehingga ia harus cepat-cepat mencapai tempat itu. Si sopir,
yang menganggapnya gila tapi kaya, berusaha sebisa-bisanya.
Mr. Satterthwaite menyandarkan tubuhnya. Di kepalanya berkecamuk berbagai macam
pikiran, ilmu pengetahuan yang pernah dipelajarinya di sekolah dulu, istilah-
istilah yang dipakai Eastney tadi malam. Resonansi - titik yang alami - bahwa titik
suatu kekuatan bertemu dengan titik alami itu - ada percakapan tentang sebuah
jembatan gantung, para tentara berbaris melaluinya dan ayunan langkah mereka
harus sama dengan titik alami jembatan itu. Eastney telah mempelajari hal itu.
Eastney tahu. Dan Eastney seorang jenius.
Yoaschbim akan mengudara pada pukul 22,45. Sekarang ini. Ya, tapi lagu ciptaan
Faust akan dinyanyikan pertama kali. Lagu Si Gembala dengan refrennya yang keras
sekali itulah yang akan... akan... akan apa"
Pikirannya berputar-putar lagi. Nada, nada tinggi, nada setengah. Ia tidak
terlalu tahu akan hal-hal itu - tapi Eastney tahu. Semoga ia datang tepat pada
waktunya! Taksi berhenti. Mr. Satterthwaite melompat keluar dan terburu-buru menaiki anak
tangga menuju lantai kedua, bagaikan seorang atlet muda. Pintu flat itu terbuka
sedikit. Ia mendorongnya sampai terpentang dan suara tenor yang hebat itu
menyambutnya. Kata-kata dalam Lagu Si Gembala terdengar tak asing lagi di
telinganya. Gembala, lihatlah surai kudamu yang melambai-lambai....
Ia datang tepat waktu. Ia membuka pintu ruang duduk itu. Gillian sedang duduk di
sana, di sebuah kursi bersandaran tinggi di samping perapian.
Putri Bayra Mischa akan menikah hari ini: Aku harus cepat-cepat menghadiri
pernikahan itu. Gillian pasti menganggapnya gila. Mr. Satterthwaite mencengkeramnya, meneriakkan
sesuatu yang tidak dimengertinya, dan setengah menarik setengah menyeretnya
keluar, sampai mereka tiba di anak tangga.
Aku harus cepat-cepat menghadiri pernikahan itu -
Ya-ha! Nada yang tinggi sekali, betul-betul melengking, membahana, berkumandang dengan
keras di tengah, sebuah nada yang bisa menjadi kebanggaan penyanyi mana pun. Dan
bersamaan dengan itu terdengar bunyi lain, bunyi gelas pecah samar-samar.
Seekor kucing liar berlari melewati mereka dan masuk ke dalam flat itu. Gillian
bergerak, tapi Mr. Satterthwaite memegangnya erat-erat, sambil berbicara dengan
kacau. "Jangan, jangan - itu mematikan: tidak berbau, tidak ada gejalanya. Cuma sekali
hirup saja, kita akan mati. Tak seorang pun tahu betapa berbahayanya itu. Tidak
seperti lainnya yang sudah pernah diuji-coba."
Ia sedang mengulangi kata-kata yang telah diucapkan Philip Eastney di meja waktu
makan malam tadi. Gillian menatapnya bingung.
III Philip Eastney mengeluarkan jam sakunya dan memandangnya. Sudah pukul 23.30.
Selama tiga perempat jam terakhir ini ia telah berjalan mondar-mandir di
sepanjang Embankment. Ia memandangi Sungai Thames, kemudian berpaling - dan
melihat wajah teman makannya tadi.
"Ini aneh," katanya sambil tertawa. "Kita tampaknya ditakdirkan untuk saling
bertemu malam ini." "Anda menyebutnya 'takdir'?" kata Mr. Satterthwaite.
Philip Eastney memandangnya dengan lebih cermat dan ekspresi wajahnya berubah.
"Ya?" katanya pelan.
Mr. Satterthwaite langsung berkata terus terang,
"Saya baru saja kembali dari flat Miss West."
"Ya?" Suara yang sama, dengan nada mematikan yang sama.
"Kami telah... mengeluarkan seekor kucing mati dari dalamnya."
Hening sejenak, kemudian Eastney berkata,
"Siapa Anda ini?"
Mr. Satterthwaite berbicara selama beberapa saat. Ia mengulangi seluruh kejadian
itu. "Jadi, Anda lihat, saya datang tepat pada waktunya," katanya mengakhiri. Ia
berhenti, kemudian menambahkan dengan lembut,
"Apakah Anda hendak mengatakan... sesuatu?"
Ia mengharapkan sesuatu, yang meledak, membantah dengan keras. Tapi tidak ada
yang muncul. "Tidak," kata Philip Eastney pelan, kemudian berpaling serta berjalan menjauh.
Mr. Satterthwaite memandangnya sampai sosoknya menghilang di balik kegelapan.
Meskipun demikian, Mr. Satterthwaite merasa dapat memahami perasaan Eastney,
perasaan seorang seniman terhadap seniman lainnya, seorang yang sentimental
terhadap seorang kekasih sejati, seorang laki-laki biasa terhadap seorang
jenius. Akhirnya ia tersadar dari lamunannya dan mulai berjalan ke arah yang sama dengan
yang ditempuh Eastney tadi. Kabut mulai turun. Di tengah jalan ia bertemu dengan
seorang polisi yang memandangnya penuh kecurigaan.
"Apakah Anda mendengar bunyi ceburan barusan ini?" tanya polisi itu.
"Tidak," jawab Mr. Satterthwaite.
Polisi itu menjulurkan kepalanya, melihat-lihat sungai.
"Saya rasa ada orang yang berusaha bunuh diri lagi," omelnya dengan sebal.
"Banyak yang melakukannya."
"Saya rasa orang-orang itu pasti punya alasan," kata Mr. Satterthwaite.
"Kebanyakan alasannya uang," kata polisi itu. "Kadang-kadang wanita," katanya
lagi seraya beranjak pergi. "Orang-orang itu tidak selalu salah, tapi memang ada
wanita tertentu yang bisa menimbulkan banyak masalah."
"Ya, wanita tertentu," sahut Mr. Satterthwaite lirih, menyetujui.
Ketika polisi itu telah pergi, ia duduk di sebuah bangku sementara kabut
menyelimuti dirinya, dan memikirkan tentang Helen dari Troy. Ia ingin tahu
apakah Helen seorang wanita yang baik, sederhana, diberkahi atau dikutuk dengan
wajah rupawan. Bab 9 HARLEQUIN YANG MATI MR. SATTERTHWAITE berjalan santai menyusuri Bond Street, menikmati sinar
matahari. Seperti biasa, ia mengenakan setelan indah dan necis, dan ia bermaksud
mengunjungi Harchester Galleries, tempat pameran lukisan karya Frank Bristow,
seniman baru yang belum banyak dikenal orang, yang akhir-akhir ini diberitakan
punya ciri khas. Mr. Satterthwaite adalah pencinta seni.
Ketika Mr. Satterthwaite memasuki Harchester Galleries, ia segera disambut oleh
senyuman yang mengenalinya.
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat pagi, Mr. Satterthwaite, saya tahu Anda pasti akan mengunjungi kami.
Anda tahu karya-karya Bristow" Bagus - bagus sekali. Betul-betul unik."
Mr. Satterthwaite membeli sebuah katalog dan berjalan memasuki ambang melengkung
menuju sebuah ruangan panjang tempat hasil karya sang seniman dipamerkan.
Lukisan-lukisan itu dibuat dengan cat air yang disapukan serta digoreskan dengan
teknik yang betul-betul luar biasa, sehingga menyerupai pahatan berwarna. Mr.
Satterthwaite berjalan perlahan-lahan mengitari dinding-dinding, mengamat-amati,
dan secara keseluruhan menyukai lukisan-lukisan itu. Menurutnya hasil karya
pemuda itu pantas dilihat. Lukisan-lukisannya mencerminkan keaslian, pikiran
jernih, teknik yang tajam, serta kerja keras. Tentu saja ada kesan-kesan kasar.
Itu sudah lumrah - tapi ada sesuatu yang bisa dianggap jenius. Mr. Satterthwaite
berhenti di depan sebuah karya masterpiece yang kecil, yang melukiskan
Westminster Bridge dengan bus-bus, kereta-kereta trem, serta orang-orang yang
berdesak-desakan. Sebuah karya mungil dan indah sekali. Lukisan itu, seperti
tertulis dalam katalog, berjudul Tumpukan Semut. Ia berjalan lagi dan tiba-tiba
napasnya tersentak, pandangannya terpaku dan tertumbuk pada sebuah lukisan lain.
Lukisan itu berjudul Harlequin yang Mati. Bagian depannya menggambarkan lantai
marmer kotak-kotak hitam-putih berselang-seling. Di tengah-tengah lantai itu
tergeletak Harlequin dengan tangan-tangan terentang. Ia mengenakan kostum hitam
dan merah. Di belakangnya tampak sebuah jendela dan di luar jendela itu, menatap
sosok yang tergeletak di lantai tersebut, adalah seorang laki-laki yang wajahnya
mirip dengan seseorang yang dikenalnya, dan ia berdiri membelakangi sinar merah
matahari terbenam. Lukisan itu membuat Mr. Satterthwaite bersemangat, karena dua alasan. Pertama,
karena ia mengenali, atau begitulah menurut perasaannya, wajah laki-laki pada
lukisan itu. Persis sekali dengan wajah Mr. Quin, teman yang pernah dijumpai Mr.
Satterthwaite beberapa kali dalam keadaan-keadaan misterius.
"Aku tak mungkin salah," gumamnya. "Kalau memang begitu... apa maksudnya?"
Sebab berdasarkan pengalaman Mr. Satterthwaite, setiap kemunculan Mr. Quin
selalu punya makna khusus.
Selain itu, seperti disebutkan sebelumnya, ada alasan kedua yang menarik
perhatian Mr. Satterthwaite. Ia mengenali pemandangan dalam lukisan itu.
"Ruang Beranda di Charnley," kata Mr. Satterthwaite. "Aneh - dan sangat menarik."
Ia mengamat-amati lukisan itu lagi dengan lebih saksama, ingin tahu apa tepatnya
yang ada dalam pikiran sang seniman. Satu Harlequin tergeletak mati di lantai,
sementara Harlequin lain sedang memandang dari balik jendela - ataukah itu
Harlequin yang sama" Ia berjalan pelan menyusuri dinding-dinding itu dengan
pikiran terpaku pada masalah tersebut. Ia merasa tegang. Kehidupan, yang rasanya
agak menjemukan pagi ini, tidaklah menjemukan lagi. Ia tahu pasti bahwa ia
sedang memasuki ambang peristiwa yang menarik dan menegangkan. Ia berjalan
melintasi ruangan, menuju meja Mr. Cobb, pejabat pengurus Harchester Galleries
yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun.
"Saya ingin membeli No. 39," katanya, "kalau memang belum laku."
Mr. Cobb membaca buku catatannya.
"Pilihan terbaik," gumamnya, "betul-betul indah, bukan" Tidak, lukisan itu belum
laku." Ia menyebutkan harganya. "Ini investasi yang bagus, Mr. Satterthwaite.
Anda harus membayar tiga kali lipat untuknya tahun depan."
"Begitulah yang selalu diucapkan dalam pameran-pameran seperti ini," kata Mr.
Satterthwaite sambil tersenyum.
"Yah, dan saya selalu benar, bukan?" tuntut Mr. Cobb. "Saya yakin kalau Anda mau
menjual koleksi Anda, Mr. Satterthwaite, Anda pasti akan memperoleh lebih dari
yang Anda bayarkan untuk membelinya dulu."
"Saya akan membeli lukisan ini," kata Mr. Satterthwaite. "Saya bisa memberikan
ceknya sekarang." "Anda pasti takkan menyesal. Kami menaruh kepercayaan pada Bristow."
"Dia masih muda?"
"Dua puluh tujuh atau delapan, menurut saya."
"Saya sebenarnya ingin bertemu dengannya," kata Mr. Satterthwaite. "Mungkin dia
bisa datang untuk makan malam dengan saya kapan-kapan?"
"Saya bisa memberikan alamatnya pada Anda. Saya yakin dia pasti gembira sekali
menerima undangan itu. Nama Anda sudah sangat dikenal dalam dunia seni."
"Anda cuma memuji saya," kata Mr. Satterthwaite, dan hendak berbalik pergi
ketika Mr. Cobb menyela, "Itu dia datang. Saya akan segera memperkenalkannya pada Anda."
Ia berdiri dan berjalan keluar dari balik meja. Mr. Satterthwaite menemaninya
berjalan ke arah seorang pemuda bertubuh besar dan kikuk yang sedang bersandar
pada dinding, mengamat-amati dunia sekelilingnya dengan dahi berkerut sengit.
Mr. Cobb mengenalkan mereka berdua, dan Mr. Satterthwaite menyampaikan sebuah
pidato kecil yang resmi dan indah.
"Saya baru saja mendapatkan kesempatan bagus untuk memiliki salah satu lukisan
Anda - Harlequin yang Mati."
"Oh! Yah, Anda takkan rugi," kata Mr. Bristow dengan sikap tidak ramah. "Menurut
saya, itu karya yang bagus sekali."
"Saya tahu itu," kata Mr. Satterthwaite. "Karya Anda sangat menarik hati saya,
Mr. Bristow. Betul-betul luar biasa matangnya untuk orang semuda Anda. Saya
ingin mengundang Anda makan malam. Bagaimana kalau malam ini" Apakah Anda sudah
punya acara?" "Saya tidak punya acara apa-apa malam ini," jawab Mr. Bristow, masih dengan
sikap tidak ramah seperti semula.
"Bagaimana kalau jam delapan?" tanya Mr. Satterthwaite. "Ini kartu nama saya
dengan alamatnya." "Oh, baiklah," kata Mr. Bristow. "Trims," tambahnya, seperti baru sadar.
"Pemuda dengan penilaian rendah atas dirinya sendiri, dan cemas kalau orang lain
juga akan bersikap begitu."
Demikianlah kesimpulan yang diperoleh Mr. Satterthwaite sementara ia berjalan
keluar menuju Bond Street yang diterangi sinar matahari. Padahal taksiran Mr.
Satterthwaite tentang pribadi orang lain nyaris tidak pernah meleset.
Frank Bristow tiba kira-kira pukul 20.05 dan menemukan tuan rumahnya dengan
seorang tamu ketiga. Tamu satunya itu diperkenalkan padanya sebagai Kolonel
Monckton. Mereka langsung makan malam. Ada tempat keempat yang dipersiapkan di
meja mahoni itu dan Mr. Satterthwaite menggumamkan kata-kata penjelasan.
"Saya setengah berharap teman saya, Mr. Quin, akan mampir malam ini," katanya.
"Apakah Anda pernah bertemu dengannya" Namanya Mr. Harley Quin."
"Saya tidak pernah bertemu siapa-siapa," gerutu Bristow.
Kolonel Monckton menatap seniman itu dengan pandangan acuh tak acuh, seolah-olah
spesies ubur-ubur yang baru. Mr. Satterthwaite berusaha membuat percakapan di
antara mereka berlangsung ramah.
"Saya menaruh perhatian khusus pada lukisan Anda karena rasanya saya mengenali
pemandangannya sebagai Ruang Beranda di Charnley. Apa betul?" Ketika seniman itu
mengangguk, ia melanjutkan. "Itu menarik sekali. Saya pernah menginap di
Charnley beberapa kali dulu. Mungkin Anda mengenal beberapa anggota keluarga
itu?" "Tidak, saya tidak mengenal mereka!" kata Bristow. "Keluarga seperti itu pasti
tidak mau mengenal saya. Saya ke sana naik karavan."
"Astaga," kata Kolonel Monckton, cuma untuk sekadar mengucapkan sesuatu. "Naik
karavan! Astaga." Frank Bristow memandangnya dengan dahi berkerut.
"Kenapa tidak?" tanyanya berang.
Kolonel Monckton yang malang jadi terkejut. Ia menatap sebal pada Mr.
Satterthwaite, seolah-olah hendak berkata, "Orang primitif ini mungkin menarik
untukmu sebagai seorang naturalis, tapi kenapa harus melibatkan saya juga?"
"Yah, karena karavan itu tidak enak sama sekali!" katanya, terpaksa menjawab.
"Membuat kita terlonjak-lonjak."
"Kalau Anda tidak bisa bepergian naik Rolls-Royce, Anda harus pergi naik
karavan," ujar Bristow getir.
Kolonel Monckton menatapnya. Mr. Satterthwaite berkata dalam hati, "Kalau aku
tidak bisa menenangkan pemuda ini, kami akan mengalami malam yang menegangkan."
"Charnley selalu membuat saya terpesona," katanya. "Saya cuma sekali datang ke
sana setelah tragedi itu. Rumah yang suram - juga ada hantunya."
"Itu betul," kata Bristow.
"Sebenarnya malah ada dua hantu," kata Monckton. "Orang bilang Charles I sering
berjalan mondar-mandir di beranda itu dengan kepala tertekuk di bawah lengannya -
saya lupa kenapa begitu. Selain itu ada hantu Wanita Menangis dengan Kendi
Perak-nya, yang sering kelihatan setelah salah seorang Charnley meninggal."
"Omong kosong," kata Bristow sengit.
"Mereka tampaknya keluarga dengan nasib buruk," kata Mr. Satterthwaite buru-
buru. "Empat orang pemegang gelar telah meninggal secara keji dan Lord Charnley
yang terakhir bunuh diri."
"Peristiwa yang menyeramkan," ujar Monckton serius. "Saya ada di sana ketika
peristiwa itu terjadi."
"Sebentar, itu pasti sudah empat belas tahun yang lalu, bukan?" kata Mr.
Satterthwaite. "Sejak saat itu rumah tersebut ditutup."
"Saya tidak heran," kata Monckton. "Peristiwa itu pasti berat sekali bagi
seorang wanita muda. Mereka baru sebulan menikah, baru saja pulang dari bulan
madu. Pesta dansa yang meriah diadakan untuk menyambut kepulangan mereka. Baru
saja tamu-tamu berdatangan ketika Charnley mengunci diri di Kamar Ek dan
menembak dirinya. Tidak masuk akal. Ya?"
Ia memalingkan kepala dengan tiba-tiba ke kiri, kemudian melihat ke seberang
pada Mr. Satterthwaite sambil tertawa malu.
"Saya pasti sudah mulai pikun, Satterthwaite. Tadi saya pikir saya melihat
seseorang duduk di kursi kosong itu dan mengatakan sesuatu pada saya."
"Ya," lanjutnya lagi beberapa saat kemudian, "betul-betul pukulan berat bagi
Alix Charnley. Dia wanita yang sangat cantik dan banyak orang menganggapnya
bunga kehidupan, tapi sekarang orang bilang dia jadi seperti hantu juga. Saya
sih sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu dengannya. Saya kira dia lebih
sering tinggal di luar negeri."
"Dan anak laki-lakinya?"
"Anak itu disekolahkan di Eton. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya kalau
dewasa nanti. Saya rasa dia takkan membuka kembali tempat itu."
"Pasti akan jadi Taman Hiburan Rakyat yang menyenangkan," ujar Bristow.
Kolonel Monckton menatapnya dengan pandangan mencemooh.
"Tidak, tak mungkin Anda sungguh-sungguh dengan kata-kata Anda," kata Mr.
Satterthwaite. "Kalau ya, tak mungkin Anda membuat lukisan itu. Tradisi dan
suasana adalah hal-hal tak berwujud. Butuh waktu berabad-abad untuk
menciptakannya. Kalau kita menghancurkannya, tak mungkin kita bisa membangunnya
kembali dalam waktu 24 jam."
Ia berdiri. "Mari kita pergi ke ruang merokok. Saya punya beberapa foto Charnley
yang ingin saya tunjukkan pada Anda."
Salah satu hobi Mr. Satterthwaite adalah fotografi amatir. Ia juga pengarang
buku yang berbangga hati. Buku itu berjudul Rumah Teman-temanku. Teman-teman
yang dimaksud hampir semuanya dari kalangan atas, sehingga buku itu sebenarnya
malah membuat Mr. Satterthwaite jadi kelihatan sok, ketimbang seorang pengarang
yang netral. "Ini ada sebuah foto Ruang Beranda yang saya ambil tahun lalu," katanya. Ia
mengulurkannya pada Bristow. "Anda lihat, saya mengambilnya kurang-lebih dari
sudut yang sama dengan yang terlukis pada karya Anda. Permadani itu sebenarnya
lumayan indah, bukan" Sayangnya foto ini hitam-putih."
"Saya ingat permadani itu," kata Bristow, "berwarna terang, indah sekali dan
menyala seperti api. Tapi rasanya kurang serasi ditempatkan di sana. Ukuran yang
salah untuk ruangan besar seperti itu dengan lantainya yang berkotak-kotak
hitam-putih. Tidak ada permadani lainnya di ruangan itu. Jadinya malah merusak
suasana - seperti noda darah raksasa."
"Mungkin itu yang memberi ide pada lukisan Anda?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Mungkin saja," sahut Bristow serius. "Siapa pun yang melihatnya, pasti dapat
membayangkan tragedi yang terjadi di ruang kecil berdinding papan yang terletak
di belakangnya." "Kamar Ek," kata Monckton. "Ya, itulah kamar berhantu itu. Kata orang, ada
lubang untuk bersembunyi di sana - di balik sebuah papan yang dapat digerakkan di
samping perapian. Menurut legenda, Charles I pernah disekap di sana dulu. Lalu
ada dua kematian karena pertarungan di kamar itu. Dan seperti saya katakan tadi,
Reggie Charnley juga menembak dirinya di kamar itu."
Ia mengambil foto itu dari tangan Bristow.
"Astaga, itu kan permadani Bokhara," katanya.
"Harganya sekitar dua ribu pound, saya rasa. Ketika saya di sana, permadani itu
masih terbentang di Kamar Ek - tempat yang serasi untuknya. Memang kelihatan
konyol kalau dipasang di ruangan besar dengan lantainya yang kotak-kotak itu."
Mr. Satterthwaite sedang merenungi kursi kosong yang telah ditariknya di samping
kursinya. Kemudian ia berkata dengan serius, "Saya ingin tahu, kapan permadani
itu dipindahkan?" "Pasti baru-baru ini. Yah, saya ingat pernah bercakap-cakap mengenainya pada
hari terjadinya tragedi itu. Charnley berkata permadani itu sebenarnya harus
disimpan di bawah tudung gelas."
Mr. Satterthwaite menggeleng-gelengkan kepala. "Rumah itu segera ditutup setelah
tragedi tersebut, dan segalanya ditinggalkan persis seperti sebelumnya."
Bristow menyelanya dengan sebuah pertanyaan. Ia telah mengesampingkan sikapnya
yang kasar. "Kenapa Lord Charnley menembak dirinya?" tanyanya.
Kolonel Monckton bergerak-gerak gelisah di kursinya.
"Tak seorang pun tahu," katanya lirih.
"Saya rasa dia memang bunuh diri," kata Mr. Satterthwaite pelan.
Kolonel itu menatapnya tercengang.
"Bunuh diri?" katanya. "Astaga, tentu saja dia bunuh diri. Temanku yang baik,
saya di sana waktu itu."
Mr. Satterthwaite memandang kursi kosong di sampingnya lagi, dan sambil
tersenyum sendiri, seolah-olah ia punya lelucon pribadi yang tak bisa dilihat
orang lain, menyahut pelan,
"Kadang-kadang kita melihat sesuatu dengan lebih jelas sepuluh tahun sesudahnya
ketimbang ketika kita melihatnya waktu itu."
"Omong kosong," sembur Monckton, "betul-betul tidak masuk akal! Bagaimana kita
bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas kalau semuanya sudah samar-samar dalam
otak kita, bukannya masih tajam dan terang?"
Tapi Mr. Satterthwaite tak bisa menjelaskan maksudnya, gara-gara Bristow
menyelanya. "Saya mengerti maksud Anda," kata seniman itu. "Menurut saya. Anda bisa jadi
benar. Itu cuma masalah proporsi, bukan" Dan mungkin lebih dari sekadar
proporsi. Relativitas dan sejenisnya."
"Kalau menurut saya," kata sang Kolonel, "semua urusan Einstein itu cuma omong
kosong belaka. Begitu juga dengan masalah spiritualisme dan cerita-cerita
takhayul itu!" Ia mendelik ke sekelilingnya dengan sebal.
"Tentu saja dia bunuh diri," lanjutnya. "Saya sendiri melihat kejadian itu
secara langsung." "Tolong ceritakan kejadian itu," pinta Mr. Satterthwaite, "supaya kami juga bisa
melihatnya dengan mata kami."
Sambil menggerutu jengkel, sang Kolonel mengatur duduknya agar lebih nyaman di
kursinya. "Seluruh kejadian itu memang sama sekali tidak disangka-sangka," katanya
memulai. "Sikap Charnley biasa-biasa saja. Banyak orang tinggal di rumah itu
untuk menghadiri pesta. Tak seorang pun mengira dia akan pergi dan menembak
dirinya sendiri tepat setelah tamu-tamu mulai berdatangan."
"Pasti lebih baik kalau dia mau menunggu sampai semua tamu sudah pulang," kata
Mr. Satterthwaite. "Tentu saja. Seleranya pasti jelek sekali - sampai bertindak seperti itu."
"Tidak cocok dengan pribadinya," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya," Monckton mengakui, "memang tidak seperti kelakuan Charnley."
"Tapi kejadian itu memang bunuh diri?"
"Tentu saja bunuh diri. Waktu itu ada tiga atau empat orang berdiri di puncak
tangga. Saya sendiri, gadis Ostrander itu, Algie Darcy - oh, dan satu atau dua
orang lainnya. Charnley berjalan melintasi gang di bawah dan masuk ke dalam
Kamar Ek. Gadis Ostrander itu berkata wajah Charnley tampak ketakutan dan
matanya membelalak, tapi tentu saja dia cuma membual - dia bahkan tak bisa melihat
wajah Charnley dari tempat kami berdiri, tapi Charnley memang berjalan agak
bungkuk, seolah-olah ada beban berat di pundaknya. Salah seorang gadis
memanggilnya - pengasuh anak tamu-tamu itu, saya kira, yang juga diundang ke pesta
oleh Lady Charnley karena kasihan. Gadis itu memang sedang mencari Charnley
karena hendak menyampaikan pesan. Dia memanggil, 'Lord Charnley, Lady Charnley
ingin tahu apakah...' Charnley tidak menyahut, langsung masuk ke dalam Kamar Ek
serta membanting pintunya, dan kami mendengar kuncinya diputar. Kemudian,
beberapa menit berikutnya, kami mendengar tembakan itu.
"Kami buru-buru turun ke bawah. Ada pintu lain dari Kamar Ek yang menuju Ruang
Beranda. Kami mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci juga. Akhirnya kami
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpaksa mendobrak pintu itu. Charnley tergeletak di lantai - mati - dengan pistol
di samping tangan kanannya. Nah, apa itu bukan bunuh diri namanya" Kecelakaan"
Mana bisa. Cuma ada satu kemungkinan lain - pembunuhan - tapi tak mungkin ada
pembunuhan kalau tidak ada pembunuhnya. Kalian harus mengakui itu."
"Pembunuhnya mungkin sudah melarikan diri," usul Mr. Satterthwaite.
"Tidak mungkin. Kalau kau punya kertas dan pensil, aku akan menggambarkan denah
tempat itu. Ada dua pintu yang menuju Kamar Ek, satu dari gang dan satu dari
Ruang Beranda. Kedua pintu itu terkunci dari dalam dan kunci-kuncinya masih
melekat di lubang kunci masing-masing pintu."
"Bagaimana dengan jendela?"
"Tertutup dan tergerendel."
Hening sejenak. "Jadi, begitulah keadaannya," kata Kolonel Monckton penuh kemenangan.
"Kelihatannya memang begitu," kata Mr. Satterthwaite sedih.
"Tapi," kata sang Kolonel, "meskipun saya tadi menertawakan spiritualisme, saya
tidak keberatan mengakui ada suasana menyeramkan di sana - terutama di kamar itu.
Ada beberapa lubang peluru di papan-papan pelapisnya, akibat pertarungan yang
terjadi di situ dulu, juga ada noda aneh yang muncul terus di lantainya,
meskipun lantai kayunya sudah diganti berulang kali. Saya rasa sekarang pasti
ada noda darah lainnya - darah Charnley yang malang."
"Waktu itu apakah banyak darah mengucur?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Sangat sedikit - aneh sekali - begitulah kata dokter yang memeriksanya."
"Di mana dia menembak dirinya sendiri" Di kepala?"
"Tidak, di jantungnya."
"Itu bukan cara yang gampang," kata Bristow. "Sebenarnya malah sulit sekali,
karena tidak gampang untuk mengetahui letak jantung dengan tepat. Saya takkan
pernah melakukannya dengan cara seperti itu."
Mr. Satterthwaite menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa tidak puas. Tadinya ia
berharap akan memperoleh sesuatu - meskipun ia tidak tahu apa itu. Kolonel
Monckton meneruskan. "Charnley memang tempat yang menyeramkan. Tapi, saya tidak melihat apa-apa."
"Anda tidak melihat hantu Wanita Menangis dengan Kendi Perak itu?"
"Tidak, saya tidak melihatnya," sahut sang Kolonel tegas. "Tapi semua pelayan di
rumah itu bersumpah pernah melihatnya."
"Takhayul adalah kutukan dari Abad Pertengahan," kata Bristow. "Masih ada
sisanya di sana-sini, tapi syukur pada Tuhan, kita sudah semakin bebas dari hal
itu." "Takhayul," gumam Mr. Satterthwaite, matanya beralih lagi pada kursi kosong itu.
"Kadang-kadang, menurut Anda, apakah hal itu bisa berguna?"
Bristow menatapnya. "Berguna" Itu kata yang aneh."
"Yah, kuharap kau percaya sekarang, Satterthwaite," kata Kolonel Monckton.
"Oh, lumayanlah," sahut Mr. Satterthwaite. "Secara keseluruhan, memang tampaknya
aneh - tidak ada gunanya bagi seorang laki-laki yang baru saja menikah, masih
muda, kaya, gembira dan sedang merayakan kepulangannya - tidak masuk akal, tapi
aku setuju bahwa kita tidak boleh menyingkir dari fakta-fakta itu." Ia
mengulangi dengan pelan, "Fakta-fakta," dan mengerutkan dahi.
"Kurasa yang menarik justru alasan itu, yang takkan pernah bisa kita ketahui,"
kata Monckton. "Cerita di balik kejadian itu. Tentu saja banyak kabar burung -
bermacam-macam jenisnya. Kau tahu bagaimana orang-orang sering mendakwa
seenaknya." "Tapi tak seorang pun mengetahui sesuatu," kata Mr. Satterthwaite serius.
"Ini toh bukan cerita misteri yang terlaris, bukan?" tanya Bristow. "Tidak ada
yang beruntung dengan kematian laki-laki itu."
"Tidak ada, kecuali anak yang belum lahir itu," kata Mr. Satterthwaite.
Monckton berdecak keras. "Pukulan berat bagi Hugo Charnley," katanya. "Segera
setelah ada kabar tentang anak yang masih dalam kandungan itu, dia jadi waswas
dan terus menebak-nebak apakah anak itu perempuan atau laki-laki. Para
krediturnya juga ikut-ikutan menunggu dengan waswas. Akhirnya yang lahir anak
laki-laki dan mereka semua jadi kecewa."
"Apakah jandanya sangat terpukul?" tanya Bristow.
"Gadis malang," kata Monckton, "saya takkan pernah melupakannya. Dia tidak
menangis ataupun pingsan. Dia seperti.... beku. Seperti kata saya tadi, dia
menutup rumah itu tak lama setelah kejadian tersebut, dan sepanjang yang saya
ketahui, dia tak pernah membukanya lagi."
"Jadi, kita tetap tidak mengetahui motifnya sampai sekarang," kata Bristow
sambil tertawa kecil. "Seorang laki-laki lain atau wanita lain, pasti salah satu
dari itu, bukan?" "Kelihatannya begitu," kata Mr. Satterthwaite.
"Dan taruhannya lebih pada seorang wanita lain," lanjut Bristow, "karena janda
cantik itu tidak pernah menikah lagi. Saya benci wanita," lanjutnya muak.
Mr. Satterthwaite tersenyum kecil. Frank Bristow melihat senyuman itu dan
melabraknya. "Anda boleh tersenyum," katanya, "tapi saya memang benci wanita. Mereka itu
mengacaukan segalanya. Mereka suka ikut campur Mereka adalah perintang antara
kita dan pekerjaan kita. Mereka... saya cuma sekali bertemu dengan seorang
wanita yang... yah, menyenangkan."
"Saya kira memang akan ada satu wanita seperti itu," kata Mr. Satterthwaite.
"Tidak seperti yang Anda bayangkan. Saya... saya cuma bertemu dengannya.
Sebenarnya kami bertemu di kereta api. Lagi pula," katanya sengit, "kenapa kita
tidak boleh bertemu dengan seseorang di kereta api?"
"Boleh, boleh saja," kata Mr. Satterthwaite menenangkannya, "kereta api adalah
tempat pertemuan yang baik, seperti tempat-tempat lainnya."
"Kereta api itu datang dari Utara. Kami cuma berdua dalam gerbong itu. Saya
tidak tahu kenapa, tapi kami mulai bercakap-cakap. Saya tidak mengetahui namanya
dan rasanya saya juga takkan pernah berjumpa lagi dengannya. Saya tidak tahu
bahwa saya bakal ingin berjumpa lagi dengannya. Mungkin karena... saya iba
padanya." Ia berhenti sejenak, berusaha mengemukakan perasaannya. "Anda tahu,
dia kelihatannya seperti di awang-awang. Abstrak. Seperti makhluk dari negeri
dongeng." Mr. Satterthwaite mengangguk pelan. Imajinasinya dengan gampang membayangkan
pertemuan itu. Bristow yang sangat positif dan realistis dengan wanita yang
tidak nyata dan di awang-awang - abstrak, begitulah kata Bristow.
"Saya rasa kalau dalam hidup ini kita pernah mengalami sesuatu yang sangat
mengenaskan dan nyaris tak tertahankan, kita mungkin bisa seperti itu. Kita akan
melarikan diri dari dunia nyata dan bersembunyi dalam dunia kita sendiri, dan
setelah beberapa saat, kita jadi tidak bisa kembali."
"Apa memang itu yang terjadi pada dirinya?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya tidak tahu," sahut Bristow. "Dia tidak bercerita apa-apa pada saya. Saya
cuma menebak-nebak. Kita memang harus menebak-nebak kalau ingin terus."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite pelan. "Kita memang harus menebak-nebak."
Ia mendongak ketika pintu terbuka; mendongak dengan cepat dan penuh harap, tapi
kata-kata kepala pelayannya ternyata mengecewakan.
"Seorang wanita, Sir, berharap dapat menemui Anda untuk masalah yang mendesak
sekali. Miss Aspasia Glen."
Mr. Satterthwaite berdiri dengan heran. Ia mengenal nama Aspasia Glen. Siapa di
London yang tidak mengenalnya" Mula-mula ia dikenal sebagai Wanita Bersyal,
karena mengadakan berbagai pertunjukan solo dan menyebabkan kegegeran di London.
Berkat bantuan syalnya, ia dengan cepat bisa membawakan berbagai macam karakter.
Secara bergiliran syal itu bisa menjadi kerudung seorang biarawati, penutup
kepala seorang pekerja penggilingan, penghias kepala seorang petani, dan ratusan
hal lainnya. Dan dalam setiap penampilannya Aspasia Glen tampak betul-betul dan
sama sekali berbeda. Sebagai seorang seniman, Mr. Satterthwaite memberikan
pujian tinggi untuknya. Tapi sampai saat ini, ia masih belum mengenal Aspasia
Glen secara pribadi. Kedatangannya pada malam-malam seperti ini membuat Mr.
Satterthwaite heran. Sambil menggumamkan kata-kata permisi, ia meninggalkan
tamu-tamunya, keluar dari ruangan itu dan menuju ruang tamu.
Miss Glen sedang duduk tepat di tengah-tengah sofa berlapis brokat emas yang
besar sekali. Keberadaannya di sana betul-betul terasa. Mr. Satterthwaite segera
menyimpulkan bahwa wanita itu memang bermaksud mendominasi situasi. Entah
kenapa, kesan pertamanya terhadap wanita itu adalah memuakkan. Ia memang
pengagum yang tulus atas kesenian yang dibawakan oleh Aspasia Glen.
Kepribadiannya, seperti telah dilihat oleh Mr. Satterthwaite di bawah sorot
lampu panggung, tampak memukau dan simpatik. Kesan yang ditampilkannya adalah
melankolis dan mengundang, bukannya menuntut. Tapi sekarang, setelah berhadap-
hadapan dengan wanita itu sendiri, ia merasakan kesan yang sama sekali berbeda.
Ada sesuatu yang berkesan keras - berani - mendesak pada dirinya. Ia bertubuh
jangkung dan berkulit gelap, mungkin berusia sekitar tiga puluh limaan. Wajahnya
memang cantik sekali dan ia jelas-jelas memanfaatkan kenyataan itu.
"Anda harus memaafkan kedatangan saya yang tiba-tiba ini, Mr. Satterthwaite,"
katanya. Suaranya terdengar mantap dan merayu.
"Terus terang sudah lama saya ingin berkenalan dengan Anda, dan saya senang bisa
mendapat kesempatan untuk itu. Kedatangan saya kemari malam ini adalah karena" -
ia tertawa - "yah, kalau saya sudah menginginkan sesuatu, saya tidak tahan untuk
menunggu. Kalau saya sudah menginginkan sesuatu, saya harus mendapatkannya."
"Setiap alasan yang membawa seorang tamu wanita secantik Anda ke rumah saya akan
selalu saya terima dengan tangan terbuka," sahut Mr. Satterthwaite dengan
gayanya yang sopan dan kuno. "Anda baik sekali pada saya," kata Aspasia Glen.
"Miss Glen," kata Mr. Satterthwaite, "izinkan saya mengucapkan terima kasih pada
Anda karena kesenangan yang telah beberapa kali Anda berikan - dari tempat duduk
saya di kursi penonton."
Aspasia Glen tersenyum ceria padanya.
"Saya akan langsung mengemukakan tujuan saya. Saya tadi melihat-lihat pameran di
Harchester Galleries. Saya melihat sebuah lukisan yang betul-betul membuat saya
tergila-gila. Saya ingin membelinya, tapi tak bisa, karena Anda telah
membelinya. Jadi" - ia berhenti - "saya sungguh-sungguh menginginkan lukisan itu,"
katanya melanjutkan. "Mr. Satterthwaite yang baik, saya harus mendapatkannya.
Saya membawa buku cek saya." Ia menatap penuh harap pada Mr. Satterthwaite.
"Semua orang berkata pada saya bahwa Anda orang yang sangat baik hati. Dan Anda
tahu, orang-orang memang suka berbaik hati pada saya. Saya tahu itu tidaklah
baik untuk saya, tapi... yah, begitulah kenyataannya."
Jadi, begitulah cara yang dipakai Aspasia Glen. Mr. Satterthwaite dalam hati
mengritik caranya yang menonjolkan kewanitaan dan kemanjaan bak anak kecil itu.
Mestinya cara itu bisa menyentuh hatinya, tapi kenyataannya tidak. Aspasia Glen
telah membuat kesalahan. Ia telah menganggap Mr. Satterthwaite sebagai bujangan
tua yang gampang luluh oleh wanita cantik. Tapi di balik sikapnya yang sopan,
Mr. Satterthwaite mempunyai pikiran tajam dan kritis. Ia dapat melihat orang-
orang sebagaimana adanya mereka, bukan sebagaimana yang hendak mereka tampilkan
padanya Jadi, yang dilihatnya pada diri Aspasia Glen sekarang bukanlah seorang
wanita cantik yang memohon sesuatu padanya, melainkan seorang wanita egois yang
keji, yang berusaha keras mendapatkan keinginannya untuk suatu alasan yang tidak
diketahui olehnya. Dan ia bertekad bahwa Aspasia Glen tidak akan bisa bertindak
seenaknya. Ia tidak akan menyerahkan lukisan Harlequin yang Mati itu begitu saja
padanya. Buru-buru ia memutar otak untuk mencari alasan terbaik, agar bisa
menolak permintaan wanita itu tanpa bersikap kasar.
"Saya yakin setiap orang memang cenderung meluluskan permintaan Anda semampu
mereka, dan mereka juga senang sekali melakukannya," katanya.
"Kalau begitu, Anda tidak keberatan memberikan lukisan itu pada saya?"
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepalanya dengan perlahan dan penuh penyesalan.
"Saya rasa saya tak mungkin bisa memberikannya pada Anda. Anda tahu - " ia
berhenti sejenak - "saya membeli lukisan itu untuk seorang teman wanita saya,
sebagai hadiah untuknya."
"Oh! Tapi tentunya - "
Tiba-tiba telepon di meja berdering. Sambil menggumamkan kata-kata maaf, Mr.
Satterthwaite mengangkat gagangnya. Sebuah suara lirih, dingin, dan terdengar
jauh sekali, berbicara padanya.
"Bisakah saya berbicara dengan Mr. Satterthwaite?"
"Saya sendiri yang berbicara."
"Saya Lady Charnley, Alix Charnley. Saya rasa Anda sudah tak ingat lagi pada
saya, Mr. Satterthwaite, karena sudah bertahun-tahun kita tidak bertemu."
"Alix tersayang. Tentu saja saya ingat padamu."
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada Anda. Saya tadi mampir ke Harchester
Galleries, dan ada lukisan berjudul Harlequin yang Mati di sana. Mungkin Anda
bisa mengenali bahwa... bahwa lukisan itu menggambarkan Ruang Beranda di
Charnley. Saya... saya menginginkan lukisan itu. Kata mereka, Anda telah
membelinya." Ia berhenti sejenak. "Mr. Satterthwaite, saya punya alasan pribadi
mengapa saya menginginkan lukisan itu. Maukah Anda menjualnya pada saya?"
Mr. Satterthwaite merenung sebentar. "Astaga, ini kebetulan sekali." Sambil
berbicara melalui gagang telepon, ia merasa gembira karena Aspasia Glen cuma
bisa mendengar satu sisi saja dari percakapannya dengan Lady Charnley. "Kalau
kau mau menerima hadiah saya, Alix yang baik, saya akan senang sekali." Ia
mendengar bunyi teriakan di belakangnya dan buru-buru melanjutkan, "Saya memang
membelinya untukmu. Sungguh. Tapi coba dengarkan, Alix, saya ingin kau melakukan
sesuatu untuk saya, kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja, Mr. Satterthwaite, saya sungguh sangat berterima kasih pada Anda."
Mr. Satterthwaite melanjutkan, "Saya ingin kau datang ke rumah saya sekarang
ini." Sejenak tidak terdengar jawaban apa-apa, kemudian Lady Charnley menyahut pelan,
"Saya akan segera datang."
Mr. Satterthwaite meletakkan gagang telepon itu dan berpaling pada Miss Glen.
Wanita itu berkata dengan cepat dan berang,
"Anda tadi membicarakan tentang lukisan itu, bukan?"
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Wanita yang akan saya hadiahi lukisan itu akan
datang kemari sebentar lagi."
Tiba-tiba wajah Aspasia Glen menampakkan senyuman lagi. "Anda mau memberikan
kesempatan pada saya untuk membujuk wanita itu supaya mau memberikan lukisan itu
pada saya?" "Betul, saya memberi kesempatan pada Anda untuk membujuknya."
Dalam hati, Mr. Satterthwaite senang sekali. Ia sekarang sedang berada di
tengah-tengah suatu drama yang semakin lama semakin nyata ujudnya. Ia, sebagai
pengamat, sedang memainkan peran seorang aktor. Ia berpaling pada Miss Glen.
"Maukah Anda mengikuti saya ke ruangan lain" Saya ingin memperkenalkan Anda pada
teman-teman saya." Ia membukakan pintu untuk wanita itu, dan kemudian membukakan pintu ruang
merokok untuknya. "Miss Glen," katanya, "mari saya perkenalkan Anda pada teman lama saya, Kolonel
Monckton. Dan Mr. Bristow, pelukis lukisan yang sangat Anda kagumi itu." Mr.
Satterthwaite kaget sekali ketika melihat ada sosok ketiga di kursi kosong yang
terletak di samping kursinya tadi.
"Saya rasa Anda mengharapkan kedatangan saya malam ini," kata Mr. Quin. "Selama
Anda pergi tadi, saya sudah memperkenalkan diri pada teman-teman Anda. Saya
senang sekali bisa mampir kemari."
"Teman yang baik," kata Mr. Satterthwaite, "saya... saya berusaha membawakannya
semampu saya, tapi..." Ia berhenti karena sekilas melihat pandangan sinis di
mata Mr. Quin yang hitam. "Mari saya kenalkan Anda. Mr. Harley Quin, Miss
Aspasia Glen." Apakah itu cuma khayalannya - ataukah Aspasia Glen jadi sedikit terkejut karena
perkenalan itu" Ada kesan aneh di wajahnya. Tiba-tiba Bristow menyela dengan
keras. "Saya tahu."
"Tahu apa?" "Tahu apa yang membingungkan saya tadi. Ada kemiripan yang amat sangat." Ia
sedang menatap heran pada Mr. Quin. "Anda melihatnya?" - ia berpaling pada Mr.
Satterthwaite - "tidakkah Anda melihat kemiripan yang jelas antara Harlequin di
lukisan saya - laki-laki yang melihat dari balik jendela?"
Sekarang hal itu bukan khayalan lagi. Ia jelas-jelas mendengar Miss Glen menahan
napas dengan tajam, bahkan melihatnya mundur selangkah.
"Saya tadi sudah berkata bahwa saya menanti seseorang," kata Mr. Satterthwaite.
Ia berbicara dengan sikap penuh kemenangan. "Teman saya, Mr. Quin, memang orang
yang betul-betul luar biasa. Dia bisa memecahkan misteri. Dia bisa membuat kita
melihat segalanya." "Apakah Anda seorang medium, Sir?" tanya Kolonel Monckton sambil menatap Mr.
Quin ragu-ragu. Mr. Quin cuma tersenyum dan menggelengkan kepala perlahan-lahan.
"Mr. Satterthwaite cuma melebih-lebihkan saja," katanya pelan. "Memang beberapa
kali ketika saya bersamanya, dia berhasil melakukan pekerjaan deduksi yang luar
biasa. Saya tidak mengerti kenapa dia justru memuji-muji saya. Cuma rendah hati
saja, saya kira." "Tidak, tidak," protes Mr. Satterthwaite tegang. "Tidak begitu. Anda membuat
saya melihat segalanya - segalanya yang semestinya dapat saya lihat dari dulu,
yang sebenarnya sudah saya lihat, tapi tidak mengetahui maknanya ketika
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihatnya." "Kedengarannya pelik sekali," komentar Kolonel Monckton.
"Sesungguhnya tidak," kata Mr. Quin. "Masalahnya adalah kita tidak puas dengan
cuma melihat-lihat saja. Kita cenderung punya kesan yang salah atas apa yang
telah kita lihat." Aspasia Glen berpaling pada Frank Bristow.
"Saya ingin tahu," katanya gugup, "dari mana Anda memperoleh ide untuk membuat
lukisan itu?" Bristow angkat bahu. "Saya tidak tahu," katanya mengaku. "Ada sesuatu tentang
tempat itu - tentang Charnley, maksud saya, yang menangkap imajinasi saya. Ruangan
besar yang kosong itu. Berandanya di luar, cerita tentang hantu-hantu yang
gentayangan. Saya baru saja mendengar cerita tentang Lord Charnley yang
terakhir, yang bunuh diri. Misalkan Anda sudah meninggal dan jiwa Anda terus
hidup" Pasti aneh rasanya. Anda mungkin akan berdiri di beranda luar itu sambil
melongok ke dalam jendela pada jenazah Anda sendiri, dan Anda akan melihat
segalanya." "Apa maksud Anda?" tanya Aspasia Glen. "Melihat segalanya?"
"Yah, Anda akan melihat apa yang telah terjadi. Anda akan melihat..."
Pintu terbuka dan si kepala pelayan mengumumkan kedatangan Lady Charnley.
Mr. Satterthwaite beranjak untuk menyambutnya. Ia tidak pernah melihat wanita
itu selama hampir tiga belas tahun. Ia masih mengingatnya seperti keadaannya
dulu, seorang gadis yang bersemangat dan ceria. Dan sekarang ia melihatnya -
seorang Wanita Beku. Sangat cantik, sangat pucat, yang rasanya lebih pantas
disebut melayang ketimbang berjalan, bagaikan butiran salju yang tertiup angin
beku. Ada sesuatu yang tidak nyata pada dirinya. Begitu dingin, begitu jauh.
"Kau baik sekali mau datang," kata Mr. Satterthwaite.
Ia membimbingnya maju. Kelihatannya ia merasa mengenal Miss Glen, tapi kemudian
tidak jadi karena Miss Glen tidak menampakkan reaksi.
"Maafkan saya," gumamnya, "apakah saya pernah bertemu dengan Anda di suatu
tempat?" "Mungkin di atas panggung," kata Mr. Satterthwaite. "Ini Miss Aspasia Glen, Lady
Charnley." "Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda, Lady Charnley," kata Aspasia Glen.
Suaranya tiba-tiba terdengar sedikit bernada trans-Atlantik. Mr. Satterthwaite
jadi teringat pada salah satu peranan panggungnya yang terakhir.
"Kau sudah kenal dengan Kolonel Monckton," lanjut Mr. Satterthwaite, "dan ini
Mr. Bristow." Ia melihat wajah Lady Charnley tiba-tiba memerah.
"Mr. Bristow dan saya sudah pernah bertemu," katanya sambil tersenyum kecil. "Di
kereta api." "Dan Mr. Harley Quin."
Ia mengamat-amati Mr. Quin dengan cermat, tapi kali ini tidak ada kesan
mengenali. Mr. Satterthwaite mengatur sebuah kursi untuknya. Kemudian, setelah
ia sendiri duduk, ia membersihkan kerongkongannya dan berbicara dengan agak
gugup. "Saya... ini adalah pertemuan kecil yang tidak seperti biasanya. Topiknya
adalah lukisan ini. Saya... saya kira kalau kita memang menginginkannya, kita
bisa... memecahkan masalah itu."
"Kau tidak akan mengadakan seance, bukan, Satterthwaite?" tanya Kolonel
Monckton. "Sikapmu aneh sekali malam ini."
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite, "tidak persis seperti seance. Tapi teman saya
ini, Mr. Quin, percaya, dan saya setuju dengannya, bahwa dengan melihat ke masa
lalu, kita bisa melihat lagi segalanya sebagaimana keadaannya waktu itu dan
bukan sebagaimana tampaknya."
"Masa lalu?" tanya Lady Charnley.
"Saya membicarakan peristiwa bunuh diri suamimu, Alix. Saya tahu ini akan
melukaimu." "Tidak," kata Alix Charnley, "saya tidak akan terluka. Tak ada yang bisa melukai
saya sekarang." Mr. Satterthwaite memikirkan kata-kata Frank Bristow. "Anda tahu, dia
kelihatannya seperti di awang-awang. Abstrak. Seperti makhluk dari negeri
dongeng." "Abstrak," begitulah ia menggambarkan Lady Charnley. Tepat sekali. Abstrak, di
awang-awang, bayangan sesuatu. Kalau begitu, di mana Alix yang sesungguhnya" Dan
dengan cepat otaknya menjawab, "Di masa lalu. Terpisah dari orang-orang lainnya
oleh waktu empat belas tahun."
"Sayangku," katanya, "kau membuatku khawatir. Kau seperti Wanita Menangis dengan
Kendi Perak itu." Prang! Cangkir kopi di meja di samping siku tangan Aspasia terjatuh dan pecah
berkeping-keping di lantai. Mr. Satterthwaite mengesampingkan permintaan
maafnya. Ia berpikir, "Kita sudah semakin dekat, kita sudah semakin dekat setiap
menitnya - tapi semakin dekat pada apa?"
"Mari kita putar kenangan kita pada malam empat belas tahun yang lalu itu,"
katanya. "Lord Charnley menembak dirinya sendiri. Apa alasannya" Tak seorang pun
tahu." Lady Charnley bergerak sedikit di kursinya.
"Lady Charnley tahu," kata Frank Bristow tiba-tiba.
"Tak mungkin," bantah Kolonel Monckton, kemudian berhenti sambil menatap Lady
Charnley dengan dahi berkerut.
Yang ditatap sedang memandang sang seniman. Tampaknya Frank Bristow berhasil
mengeluarkan kata-kata dari dirinya. Ia berbicara sambil menganggukkan kepalanya
perlahan. Suaranya seperti butiran salju, dingin dan lembut.
"Ya, Anda benar. Saya memang tahu. Itulah sebabnya selama masih hidup, saya
takkan pernah bisa kembali ke Charnley. Itu sebabnya ketika anak saya, Dick,
meminta saya membuka tempat itu lagi dan tinggal di sana, saya mengatakan
padanya bahwa hal itu mustahil."
"Maukah Anda mengatakan alasan Anda, Lady Charnley?" pinta Mr. Quin.
Lady Charnley memandangnya. Kemudian, seolah-olah terhipnotis, ia berbicara
dengan pelan dan wajar, seperti anak kecil.
"Saya akan mengatakannya kalau Anda memang ingin mendengarnya. Tak ada yang
berarti lagi sekarang. Saya menemukan sepucuk surat di antara kertas-kertas
suami saya dan saya menghancurkannya."
"Surat apa?" tanya Mr. Quin.
"Surat dari seorang gadis - dari anak malang itu. Dia pengasuh anak-anak Merriam.
Reggie - dia telah bercintaan dengannya - ya, padahal dia telah bertunangan dengan
saya waktu itu. Dan gadis itu - dia juga sedang mengandung. Dia menulisnya dalam
surat itu. Katanya dia akan menceritakan semuanya pada saya. Jadi, itu sebabnya
Reggie bunuh diri." Ia memandang berkeliling pada mereka semua dengan letih dan menerawang, seperti
anak kecil yang mengulangi pelajaran yang telah dihafalnya dengan baik sekali.
Kolonel Monckton membersihkan ingusnya.
"Astaga," katanya. "Jadi, begitulah alasannya. Ternyata penyebabnya adalah
ancaman itu." "O ya?" kata Mr. Satterthwaite. "Menurutku alasan itu tidak memecahkan masalah
kita, karena tidak menunjukkan kenapa Mr. Bristow membuat lukisan itu."
"Apa maksudmu?"
Mr. Satterthwaite memandang ke seberang, pada Mr. Quin, seolah-olah minta
dukungan, dan tampaknya ia memperolehnya, karena itu ia melanjutkan,
"Ya, saya tahu kedengarannya gila bagi Anda sekalian, tapi lukisan itu
memusatkan pada satu hal. Kita semua ada di sini malam ini karena lukisan itu.
Lukisan itu memang harus dilukis - itulah maksud saya."
"Maksudmu suasana Kamar Ek yang luar biasa itu?" tanya Kolonel Monckton.
"Bukan," kata Mr. Satterthwaite. "Bukan Kamar Ek itu. Ruang Beranda. Itu dia!
Jiwa orang mati itu berdiri di luar jendela, memandang ke dalam dan melihat
jenazahnya sendiri yang tergeletak, di lantai."
"Tapi itu tidak mungkin," kata Kolonel Monckton, "karena jenazahnya ditemukan di
Kamar Ek." "Misalkan tidak demikian?" kata Mr. Satterthwaite. "Misalkan jenazah itu ada di
tempat Mr. Bristow melihatnya, secara imajinatif. Maksud saya, di lantai
berkotak-kotak hitam-putih itu, di depan jendela."
"Bicaramu ngawur," kata Kolonel Monckton. "Kalau jenazahnya memang di sana, kita
tak mungkin menemukannya di Kamar Ek."
"Tidak, kecuali ada orang yang memindahkannya ke sana," kata Mr. Satterthwaite.
"Kalau begitu, bagaimana kita bisa melihat Charnley memasuki pintu itu menuju
Kamar Ek?" tanya Kolonel Monckton.
"Yah, kau tidak bisa melihat wajahnya, bukan?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Maksudku, kau cuma melihat seorang laki-laki masuk ke dalam Kamar Ek dengan
mengenakan kostum." "Baju dari brokat dan rambut palsu," kata Monckton.
"Nah, dan kau mengira orang itu Lord Charnley, karena gadis itu memanggilnya
Lord Charnley." "Dan karena ketika kami mendobrak masuk beberapa menit berikutnya, cuma ada
jenazah Lord Charnley di sana. Kau tidak bisa memungkiri kenyataan itu,
Satterthwaite." "Tidak," kata Mr. Satterthwaite, patah semangat. "Tidak - kecuali di sana ada
semacam tempat persembunyian."
"Bukankah Anda tadi bilang ada semacam tempat persembunyian di kamar itu?"
"Oh!" teriak Mr. Satterthwaite. "Misalkan...?" Ia mengangkat tangannya agar
semua orang diam dan menopang kepalanya dengan tangan satunya, kemudian
berbicara lagi dengan pelan dan ragu-ragu.
"Saya punya ide - mungkin cuma ide, tapi saya rasa cukup masuk akal. Misalkan
seseorang telah menembak Lord Charnley. Menembaknya di Ruang Beranda Kemudian
dia - dan seorang lagi - menyeret jenazah itu ke dalam Kamar Ek. Mereka
meletakkannya di sana dengan pistol itu di samping tangan kanannya. Sekarang
kita beranjak ke langkah berikutnya. Sudah jelas harus dibuat kesan bahwa Lord
Charnley meninggal karena bunuh diri. Saya rasa itu gampang sekali. Laki-laki
dengan baju brokat dan rambut palsu itu berjalan melintasi gang dan masuk ke
Kamar Ek melalui pintu, lalu orang satunya, agar tampak meyakinkan, memanggilnya
sebagai Lord Charnley dari puncak tangga. Dia masuk ke dalam kamar, mengunci
kedua pintu itu dari dalam, dan menembakkan sebuah peluru ke papan-papan pelapis
itu. Anda ingat di sana memang sudah banyak lubang peluru, jadi satu lubang lagi
takkan ada yang tahu. Kemudian dia bersembunyi di tempat rahasia itu. Pintu
didobrak dan orang-orang berhamburan masuk. Kelihatannya memang Lord Charnley
melakukan bunuh diri. Tak ada kecurigaan lain."
"Yah, menurutku itu omong kosong," kata Kolonel Monckton. "Kau lupa bahwa
Charnley punya motif yang tepat untuk bunuh diri."
"Sepucuk surat yang ditemukan sesudahnya," kata Mr. Satterthwaite. "Sepucuk
surat keji yang telah ditulis dengan cerdik sekali oleh seorang aktris kecil
yang jahat, yang berharap bisa menjadi Lady Charnley suatu hari nanti."
"Maksudmu?" "Maksudku gadis itu berkomplot dengan Hugo Charnley," kata Mr. Satterthwaite.
"Kau sendiri tahu, Monckton, juga setiap orang tahu, bahwa laki-laki itu memang
berhati busuk. Dia yakin akan mewarisi gelar itu." Ia berpaling dengan tajam
pada Lady Charnley. "Siapa nama gadis yang menulis surat itu?"
"Monica Ford," sahut Lady Charnley.
"Apakah Monica Ford yang memanggil Lord Charnley dari puncak tangga, Monckton?"
"Ya, kurasa begitu."
"Oh, itu tidak mungkin," kata Lady Charnley. "Saya... saya pergi menemuinya Dia
berkata bahwa itu memang benar. Saya cuma sekali melihatnya setelah itu, tapi
tentunya dia tak mungkin berpura-pura terus sepanjang waktu."
Mr. Satterthwaite memandang ke seberang pada Aspasia Glen.
"Saya rasa dia bisa melakukannya," katanya pelan. "Saya rasa dia punya bakat
untuk menjadi aktris yang hebat."
"Ada satu hal yang belum Anda jelaskan," kata Frank Bristow. "Akan ada noda
darah di lantai Ruang Beranda. Itu sudah pasti. Mereka tak mungkin bisa
membersihkannya secepat itu."
"Memang tidak," Mr. Satterthwaite mengakui, "tapi ada sesuatu yang bisa mereka
lakukan - sesuatu yang cuma butuh waktu beberapa detik. Mereka bisa menutupi noda
darah itu dengan permadani Bokhara. Tak seorang pun pernah melihat permadani
Bokhara itu di Ruang Beranda sebelum malam itu."
"Kurasa kau benar," kata Monckton, "tapi bagaimanapun noda darah itu toh harus
dibersihkan juga pada akhirnya?"
"Ya," kata Mr. Satterthwaite, "pada tengah malam. Seorang wanita sambil membawa
sebuah kendi kecil dan waskom akan menuruni tangga dan membersihkan noda-noda
darah itu dengan mudah."
"Tapi misalkan ada orang melihatnya?"
"Saya rasa itu tidak masalah," kata Mr. Satterthwaite. "Saya baru saja
mengatakan sesuatu sebagaimana keadaannya. Saya mengatakan seorang wanita dengan
kendi dan waskom. Tapi bagaimana kalau kukatakan Wanita Menangis dengan Kendi
Perak, karena begitulah kesan yang hendak ditimbulkan." Ia berdiri dan berjalan
menghampiri Aspasia Glen.
"Memang begitulah yang Anda lakukan, bukan?" tanyanya. "Mereka menyebut Anda
'Wanita Bersyal' sekarang, tapi pada malam itulah Anda membawakan peranan Anda
yang pertama, 'Wanita Menangis dengan Kendi Perak'. Itu sebabnya Anda sampai
menjatuhkan cangkir kopi itu tadi. Anda ketakutan ketika melihat lukisan itu.
Anda mengira ada orang yang tahu."
Lady Charnley mengulurkan tangannya yang putih, menunjuknya.
"Monica Ford," desisnya. "Aku mengenalimu sekarang."
Aspasia Glen melompat berdiri sambil menjerit. Ia mendorong Mr. Satterthwaite
yang kecil itu ke samping dan berdiri gemetaran di depan Mr. Quin.
"Jadi, saya benar. Memang ada orang yang tahu! Oh, saya tak bisa ditipu dengan
semua omong kosong ini. Pura-pura hendak menganalisis segalanya." Ia menunjuk
pada Mr. Quin. "Anda ada di sana waktu itu. Anda berdiri di luar jendela dan
melongok ke dalam. Anda melihat apa yang kami lakukan, Hugo dan saya. Saya tahu
ada seseorang melongok ke dalam, saya selalu merasakannya. Tapi ketika saya
mendongak, tidak ada siapa-siapa di sana. Saya tahu ada seseorang mengamat-amati
kami. Saya tadinya mengira telah melihat sekilas wajah di jendela itu. Selama
bertahun-tahun saya jadi ketakutan. Kemudian saya melihat lukisan yang
menggambarkan Anda berdiri di jendela itu dan saya mengenali wajah Anda. Anda
sudah mengetahuinya selama bertahun-tahun. Kenapa Anda buka mulut sekarang" Itu
yang ingin saya ketahui."
"Mungkin agar orang yang meninggal itu boleh beristirahat dengan tenang," sahut
Mr. Quin. Tiba-tiba Aspasia Glen berlari menuju pintu dan berdiri di sana sambil
mempertahankan diri dengan suara keras.
"Terserah apa yang akan Anda lakukan. Tuhan tahu banyak saksi yang mendengarkan
kata-kata saya tadi. Saya tidak peduli, saya tidak peduli. Saya mencintai Hugo
dulu dan saya membantunya dengan urusan yang menyeramkan itu, tapi kemudian dia
mencampakkan saya. Dia meninggal tahun lalu. Anda bisa melaporkan saya pada
polisi, tapi seperti yang dikatakan laki-laki tua di sana itu, saya memang
aktris yang hebat. Polisi pasti sulit menemukan saya." Ia membanting pintu itu,
dan sejenak kemudian mereka mendengarnya membanting pintu depan juga.
"Reggie," ratap Lady Charnley, "Reggie." Air mata mengalir membasahi wajahnya.
"Oh, sayangku, sayangku, aku bisa kembali ke Charnley sekarang. Aku bisa tinggal
di sana bersama Dickie. Aku bisa bercerita padanya tentang ayahnya, orang paling
baik dan hebat di dunia ini."
"Kita harus membahas apa yang mesti dilakukan sekarang," kata Kolonel Monckton.
"Alix sayang, kalau kau mengizinkan saya mengantarmu pulang, saya akan senang
sekali membahas semuanya ini denganmu."
Lady Charnley berdiri. Ia menghampiri Mr. Satterthwaite, memegang pundaknya
dengan kedua tangannya, dan menciumnya dengan lembut sekali.
"Rasanya senang sekali bisa hidup kembali setelah bertahun-tahun mati," katanya.
"Anda tahu, saya seperti mati dulu. Terima kasih, Mr. Satterthwaite." Ia keluar
dari ruangan itu dengan Kolonel Monckton. Mr. Satterthwaite memandang mereka
dari belakang. Sebuah gerutuan dari Frank Bristow, yang sudah dilupakannya
selama ini, membuatnya berpaling.
"Dia memang cantik," kata Bristow muram. "Tapi tidak semenarik dulu," katanya
murung. "Itu pendapat seorang seniman," kata Mr. Satterthwaite.
"Yah, tapi itu betul," kata Mr. Bristow. "Saya rasa saya pasti akan ditolak
kalau saya muncul begitu saja di Charnley. Saya tidak mau pergi ke tempat saya
tidak diinginkan." "Anak muda yang baik," kata Mr. Satterthwaite, "janganlah terlalu memikirkan
kesan apa yang akan Anda timbulkan pada diri orang lain, dengan begitu saya rasa
Anda akan lebih bijaksana dan bahagia. Anda juga bisa menghapuskan pikiran kuno
itu dari otak Anda. Pada zaman modem ini, asal-usul keturunan seseorang tidaklah
penting lagi. Anda pemuda dengan tubuh kekar, yang biasanya digandrungi wanita,
dan sudah jelas Anda juga jenius. Coba ulangi semua itu pada diri Anda sendiri
sepuluh kali sebelum Anda pergi tidur setiap malam, dan setelah tiga bulan
pergilah mengunjungi Lady Charnley di Charnley. Itulah nasihat saya pada Anda,
sebab saya sudah tua dan sudah cukup banyak mengenal asam garam kehidupan."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senyuman yang sangat cerah menghiasi wajah sang seniman.
"Anda baik sekali pada saya," katanya tiba-tiba. Ia memegang tangan Mr.
Satterthwaite dan menjabatnya dengan erat. "Saya amat bersyukur. Saya harus
pergi sekarang. Terima kasih banyak untuk malam yang luar biasa ini."
Ia memandang sekeliling, seolah-olah hendak mengucapkan selamat tinggal pada
orang satunya, tapi ia jadi kaget.
"Astaga, Sir, teman Anda sudah pulang rupanya. Saya tidak melihatnya pergi. Dia
itu agak aneh, bukan?"
"Dia memang suka datang dan pergi dengan tiba-tiba," kata Mr. Satterthwaite.
"Itu salah satu ciri khasnya. Kita tidak selalu bisa melihat kedatangan dan
kepergiannya." "Seperti Harlequin," komentar Frank Bristow. "Dia tidak tampak." Kemudian ia
tertawa riang pada leluconnya sendiri.
Bab 10 BURUNG DENGAN SAYAP PATAH
MR. SATTERTHWAITE memandang ke luar jendela. Hujan terus turun dengan derasnya.
Ia menggigil. Menurutnya, rumah-rumah di pedesaan cuma sedikit saja yang
mempunyai sistem pemanasan yang layak. Dalam hati ia senang karena beberapa jam
lagi ia sudah akan meluncur cepat menuju London. Bagi orang yang berusia enam
puluh, London jadi tempat yang menyenangkan.
Ia sedang merasa sedikit tua dan mengibakan. Kebanyakan para penghuni rumah itu
adalah anak-anak muda. Empat di antaranya telah pergi ke ruang perpustakaan
untuk bermain jailangkung. Mereka mengundangnya untuk ikut serta, tapi ia
menolak. Ia tak bisa merasakan senangnya menghitung-hitung huruf dan membaca
kata-kata tak keruan yang muncul kemudian.
Ya, London adalah tempat terbaik untuknya. Ia gembira telah menolak undangan
Madge Keeley lewat telepon untuk mampir ke Laidell setengah jam yang lalu. Gadis
itu memang memesona, tapi London tetaplah yang terbaik.
Mr. Satterthwaite menggigil lagi dan ingat bahwa perapian di ruang perpustakaan
itu biasanya hangat sekali. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan matanya
berkilat-kilat. Meja itu bergoyang dan salah seorang gadis itu menghitungnya.
"LAI - tidak mungkin - tidak masuk akal. Tidak ada kata yang dimulai dengan LAI."
"Teruskan," kata Mr. Satterthwaite, nada perintah dalam suaranya terdengar
begitu tajam, sampai gadis itu langsung menurutinya tanpa bertanya apa-apa.
"LAIDEL" dan L satu lagi - oh! kelihatannya cuma itu."
"Teruskan." "Tolong katakan lebih banyak."
Berhenti sejenak. "Kelihatannya tidak ada lagi. Meja ini sudah betul-betul tenang sekarang. Konyol
amat." "Udak," kata Satterthwaite serius. "Saya tidak menganggapnya konyol."
Ia berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Ia langsung menghampiri pesawat
telepon. Akhirnya ia mendapatkan sambungan.
"Bisakah saya bicara dengan Miss Keeley" Kaukah itu, Madge sayang" Aku berubah
pikiran, kalau boleh, dan menerima undanganmu yang ramah itu. Ternyata aku tidak
perlu buru-buru balik ke London. Ya, ya, aku akan datang tepat pada waktu makan
malam." Ia menaruh kembali gagang pesawat telepon itu.
Entah kenapa wajahnya yang keriput jadi kemerah-merahan. Mr. Quin - Mr. Harley Quin yang misterius itu. Mr. Satterthwaite menghitung dengan jari-
jarinya saat-saat ia bertemu dengan laki-laki misterius itu. Di mana ada Mr.
Quin, di sana selalu ada kejadian! Apakah yang telah terjadi atau akan terjadi
di Laidell" Apa pun itu, yang pasti di sana ada sesuatu yang harus dilakukan oleh Mr.
Satterthwaite. Entah bagaimana, ia akan membawakan suatu peranan aktif. Ia yakin
itu. Laidell adalah rumah yang besar. Pemiliknya, David Keeley, adalah laki-laki
pendiam dengan kepribadian tidak pasti, dan tampaknya lebih menyerupai salah
satu perabotan rumah itu. Tapi penampilannya yang pendiam tidak ada sangkut
pautnya dengan kemampuan otaknya. David Keeley adalah ahli matematika paling
pintar dan telah menulis buku yang betul-betul tak dapat dimengerti oleh 99
persen manusia. Dan seperti kebanyakan orang-orang pintar lainnya, ia tidak
memancarkan semangat atau daya pikat jasmaniah. Sudah jadi lelucon umum bahwa
David Keeley dianggap sebagai "manusia tembus pandang". Para pelayan melewatinya
begitu saja dengan nampan-nampan berisi makanan, dan para tamu sering lupa
mengucapkan apa kabar dan selamat tinggal padanya.
Putrinya, Madge, berbeda sekali. Seorang wanita muda dengan postur tubuh bagus
serta vitalitas hidup yang energik. Berpikiran matang, sehat, dan normal, serta
luar biasa cantik. Ia sendiri yang menyambut kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Anda baik sekali mau datang - akhirnya."
"Kau juga baik sekali mengizinkan aku mengubah pikiran. Madge sayang, kau
kelihatan sehat sekali."
"Oh! Aku memang selalu sehat."
"Ya, aku tahu. Tapi ini lebih dari itu. Kau tampak... yah, merekah, itulah kata
yang ada di otakku. Apakah ada sesuatu yang terjadi, Sayang" Sesuatu yang...
istimewa?" Ia tertawa - dan sedikit tersipu-sipu.
"Anda ini jeli sekali, Mr. Satterthwaite. Anda selalu bisa menebak sesuatu."
Mr. Satterthwaite memegang tangannya.
"Jadi, itu, ya" Sang Pangeran Tampan sudah muncul?"
Istilah yang dipakai Mr. Satterthwaite memang kuno, tapi Madge tidak keberatan.
Ia agak menyukai cara-cara Mr. Satterthwaite yang kuno itu.
"Kurasa begitu - ya. Tapi mestinya orang lain tidak boleh mengetahuinya dulu. Ini
rahasia. Tapi aku tidak keberatan Anda mengetahuinya, Mr. Satterthwaite. Anda
selalu baik dan simpatik."
Mr. Satterthwaite senang menikmati kisah cinta orang lain. Ia orang yang
sentimental dan kuno. "Jadi, aku tidak boleh bertanya siapa laki-laki yang beruntung itu" Yah, kalau
begitu aku cuma bisa berharap dia cukup layak menerima kehormatan yang
kauberikan padanya."
Mr. Satterthwaite tua ini lucu juga, pikir Madge.
"Oh! Menurutku kami akan serasi sekali," katanya. "Anda tahu, kami menyukai hal-
hal yang sama, dan itu sungguh-sungguh penting, bukan" Kami memang mempunyai
banyak kesamaan - dan kami juga telah saling mengenal dengan baik. Sebenarnya
sudah cukup lama kami berpacaran. Itu memberikan rasa aman, bukan?"
"Tak diragukan lagi," sahut Mr. Satterthwaite. "Tapi berdasarkan pengalamanku,
tak seorang pun bisa mengenali seseorang sedalam-dalamnya. Itulah salah satu
daya tarik dan keunikan hidup."
"Oh, aku tidak keberatan menanggung risiko itu," kata Madge, tertawa, ketika
mereka naik ke loteng untuk mengganti pakaian, bersiap-siap makan malam.
Mr. Satterthwaite muncul terlambat. Ia tidak mengajak pelayannya dan karena
barang-barangnya telah diatur oleh seseorang yang tidak dikenalnya, ia jadi agak
bingung. Ketika ia turun, dilihatnya semua orang sudah berkumpul dan dengan gaya
modem Madge cuma berkata, "Oh! ini dia Mr. Satterthwaite. Aku sudah kelaparan.
Mari kita pergi ke ruang makan sekarang."
Ia memimpin jalan bersama seorang wanita jangkung berambut kelabu - seorang wanita
dengan kepribadian sangat menonjol. Suaranya terdengar jernih dan tegas,
wajahnya tampak bersih dan cukup cantik.
"Apa kabar, Mr. Satterthwaite?" sapa Mr. Keeley.
Mr. Satterthwaite terlompat kaget.
"Baik-baik saja," sahutnya. "Maaf, saya tidak melihat Anda tadi."
"Tak seorang pun melihat saya," kata Mr. Keeley sedih.
Mereka masuk ke ruang makan. Meja itu rendah, terbuat dari kayu mahoni dan
berbentuk oval. Mr. Satterthwaite ditempatkan di antara nona rumahnya yang muda
dan seorang gadis pendek berkulit gelap - seorang gadis yang bersemangat dengan
suara keras dan gelak tawa berdering-dering, lebih mencerminkan kesan ceria yang
dibuat-buat daripada tawa yang bebas. Nama gadis itu kedengarannya seperti
Doris, dan ia tipe wanita muda yang sangat tidak disukai Mr. Satterthwaite.
Menurutnya, gadis itu tidak punya selera tinggi atas penampilannya.
Di samping Madge duduk seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluhan, yang
kemiripannya dengan wanita berambut kelabu tadi membuat semua orang tahu bahwa
mereka adalah ibu dan anak.
Di samping laki-laki itu...
Mr. Satterthwaite sampai menahan napas.
Ia tidak tahu kenapa ia sampai begitu. Pokoknya bukan karena kecantikan. Ada
sesuatu yang lain - sesuatu yang jauh lebih berkesan dan tidak nyata ketimbang
kecantikan. Wanita itu sedang mendengarkan pembicaraan Mr. Keeley yang agak kikuk, kepalanya
merunduk ke samping sedikit. Ia memang duduk di sana, begitulah yang tampak oleh
Mr. Satterthwaite - tapi rasanya ia tidak ada di sana! Entah bagaimana, ia
seperti kurang nyata dibandingkan dengan orang-orang lain yang duduk
mengelilingi meja itu. Tubuhnya yang duduk agak miring tampak indah - lebih dari
sekadar indah sebenarnya. Ia mendongak, matanya bertemu dengan mata Mr.
Satterthwaite selama beberapa saat di seberang meja, dan kata yang selama ini
dicari-cari oleh Mr. Satterthwaite tiba-tiba muncul di benaknya.
Pemikat - itu dia. Ia punya kemampuan untuk menjadi seorang pemikat. Ia mungkin
termasuk makhluk setengah manusia - salah seorang makhluk dari Negeri Antah
Berantah. Ia membuat orang-orang lain jadi kelihatan terlalu nyata.
Tapi pada waktu yang sama, dengan cara aneh, ia menimbulkan rasa iba pada diri
Mr. Satterthwaite. Seolah-olah bagian dirinya yang setengah manusia itu
membuatnya jadi tak berdaya. Mr. Satterthwaite mencari-cari istilah yang cocok,
dan ia menemukannya. "Seekor burung dengan sayap patah," kata Mr. Satterthwaite.
Setelah puas, ia memusatkan otaknya kembali pada masalah Pramuka Putri sambil
berharap gadis bernama Doris itu tidak memperhatikan lamunannya tadi. Ketika
akhirnya Doris beralih pada laki-laki di sampingnya - seorang laki-laki yang
nyaris tidak diperhatikan oleh Mr. Satterthwaite - ia sendiri beralih pada Madge.
"Siapa wanita yang duduk di samping ayahmu?" tanyanya dengan suara lirih.
"Mrs. Graham" Oh, tidak! Maksud Anda Mabelle. Apakah Anda tidak mengenalnya"
Mabelle Annesley. Dia dulu bernama Clydesley - salah seorang dari keluarga
Clydesley yang malang itu."
Mr. Satterthwaite jadi kaget. Keluarga Clydesley yang malang. Ia ingat. Seorang
saudara laki-laki mati bunuh diri, seorang saudara perempuan mati tenggelam, dan
saudara perempuan lainnya hilang ketika terjadi gempa bumi. Kelihatannya seperti
sebuah keluarga yang dikutuk. Gadis itu pasti yang termuda dari antara mereka.
Renungannya tiba-tiba buyar. Tangan Madge menyentuh tangannya di bawah meja.
Semua orang asyik berbicara. Madge menyorongkan kepalanya ke kiri sedikit,
memberi petunjuk. "Itu dia," gumamnya dengan maksud tidak jelas.
Mr. Satterthwaite segera mengangguk memahami. Jadi, pemuda Graham inilah yang
menjadi pilihan Madge. Yah, pilihannya tak mungkin bisa lebih baik lagi,
sepanjang yang diutamakan adalah penampilan - dan Mr. Satterthwaite adalah
pengamat yang jeli. Tampaknya pemuda itu punya sikap menyenangkan dan agak
terang-terangan. Mereka akan jadi pasangan serasi. Tidak ada kekonyolan pada
diri mereka berdua - pokoknya dua orang muda yang sehat dan ramah.
Tata cara di Laidell memang masih kuno. Para wanitalah yang mula-mula
meninggalkan ruang makan. Mr. Satterthwaite berjalan menghampiri Graham dan
mengajaknya bicara. Taksirannya atas diri pemuda itu ternyata betul, tapi ada
sesuatu yang menurut perasaannya tidaklah sesuai. Roger Graham tampak agak
linglung, pikirannya seolah-olah berada di suatu tempat jauh, tangannya gemetar
ketika meletakkan gelasnya di meja.
"Ada sesuatu yang dipikirkannya," pikir Mr. Satterthwaite jeli. "Udak sepenting
yang disangkanya, kurasa. Tapi bagaimanapun, aku ingin tahu apa itu."
Mr. Satterthwaite punya kebiasaan menelan dua butir pastiles untuk melancarkan
pencernaannya sesudah makan. Karena ia tadi lupa membawanya sewaktu turun, maka
ia naik lagi ke kamarnya untuk mengambilnya.
Dalam perjalanan kembali menuju ruang duduk, ia melewati sebuah koridor panjang
di lantai dasar. Kurang-lebih di tengah-tengah koridor itu terdapat sebuah
ruangan yang dikenal sebagai ruang beranda. Dan ketika Mr. Satterthwaite
melongok ke dalamnya melalui pintunya yang terbuka, ia jadi kaget sendiri.
Sinar rembulan menerangi ruangan itu. Kayu pelapis dindingnya yang bergaris-
garis jadi tampak lebih nyata. Seseorang sedang duduk di ambang jendela yang
rendah, agak melorot ke samping dan dengan lembut memetik senar sebuah ukulele -
bukan dalam irama jazz, melainkan irama yang jauh lebih kuno, irama langkah kaki
kuda peri yang sedang mendaki bukit.
Mr. Satterthwaite berdiri terpesona. Wanita itu mengenakan gaun sifon berwarna
biru gelap yang kusam, dikerut dan diwiru hingga menyerupai bulu-bulu burung. Ia
memeluk alat musiknya dan bersenandung mengiringinya.
Mr. Satterthwaite melangkah masuk - dengan pelan, selangkah demi selangkah. Ia
sudah dekat sekali, ketika wanita itu mendongak dan melihatnya.
Ia tidak kaget ataupun heran, begitulah yang diperhatikan oleh Mr.
Satterthwaite. "Saya harap saya tidak mengganggu," katanya.
"Silakan duduk."
Mr. Satterthwaite duduk di dekatnya, di sebuah kursi kayu mengilap. Ia
bersenandung lirih sekali.
"Ada banyak keajaiban malam ini," katanya. "Tidakkah Anda setuju?"
"Ya, memang." "Mereka menyuruh saya mengambil ukulele saya," katanya menjelaskan. "Dan ketika
lewat tadi, saya pikir pasti senang sekali bisa sendirian di sini - dalam
kegelapan dan ditemani bulan."
"Kalau begitu, saya..." Mr. Satterthwaite setengah berdiri, tapi wanita itu
mencegahnya. "Jangan pergi. Entah kenapa, Anda... Anda cocok dengan suasana ini. Memang aneh,
tapi begitulah." Mr. Satterthwaite duduk lagi.
"Tapi malam ini memang aneh," katanya. "Saya tadi berjalan-jalan di hutan, dan
saya bertemu dengan seorang laki-laki - betul-betul orang yang aneh - jangkung dan
gelap, sepertinya dia tersesat. Matahari hampir terbenam, dan sinarnya dari
balik pepohonan membuat orang itu seperti Harlequin."
"Ah!" Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan - ia jadi berminat sekali.
"Saya ingin berbicara dengannya. Dia... dia seperti seseorang yang saya kenal.
Tapi dia menghilang di balik pepohonan."
"Rasanya saya mengenalnya," kata Mr. Satterthwaite.
"O ya" Dia... dia menarik, bukan?"
"Ya, dia memang menarik."
Hening sejenak. Mr. Satterthwaite jadi bingung. Ia tahu ada sesuatu yang harus
dilakukannya - tapi tak tahu apa itu. Yang pasti, hal itu ada kaitannya dengan
wanita ini. Ia berkata dengan agak kikuk,
"Kadang-kadang, kalau sedang tidak bahagia, kita ingin menyendiri."
"Ya. Itu benar." Wanita itu tiba-tiba menyelanya. "Oh! Saya mengerti maksud
Anda. Tapi Anda salah. Sebaliknya malah. Saya ingin sendirian karena saya
bahagia." "Bahagia?" "Bahagia sekali."
Ia berbicara dengan tenang, tapi Mr. Satterthwaite tiba-tiba jadi terpukul. Apa
yang dimaksud dengan kebahagiaan oleh wanita ini tidaklah sama dengan yang
dimaksud oleh Madge Keeley. Kebahagiaan, bagi Mabelle Annesley, berarti suatu
kenikmatan yang dalam dan nyata, sesuatu yang bukan dalam hal jasmaniah saja,
tapi lebih dari itu. Mr. Satterthwaite agak terenyak sedikit.
"Saya... tidak tahu," katanya kikuk.
"Tentu saja Anda tidak mengetahuinya. Dan ini bukanlah hal yang sesungguhnya.
Saya masih belum bahagia, tapi saya akan merasa bahagia." Ia mencondongkan badan
ke depan. "Tahukah Anda bagaimana rasanya berdiri di sebuah hutan - sebuah hutan
lebat dengan bayangan-bayangan gelap dan pohon-pohon yang tumbuh rapat di
sekitar Anda; sebuah hutan yang tak mungkin bisa Anda tinggalkan, dan kemudian,
tiba-tiba, tepat di depan Anda, Anda melihat sebuah negeri yang menjadi impian
Anda selama ini - berkilauan dan indah sekali. Anda cuma perlu melangkah dari
balik pohon-pohon itu, keluar dari kegelapan, dan sampailah Anda...."
"Banyak hal terlihat indah," kata Mr. Satterthwaite, "sebelum kita sampai
padanya. Sesungguhnya, banyak hal paling jelek di dunia ini kelihatannya indah
sekali." Terdengar bunyi langkah kaki. Mr. Satterthwaite memalingkan kepala. Seorang
laki-laki berpenampilan pucat, dengan wajah seperti kayu, berdiri di sana. Ia
orang yang nyaris tidak diperhatikan oleh Mr. Satterthwaite di meja makan tadi.
"Mereka sedang menunggumu, Mabelle," katanya.
Wanita itu berdiri, ekspresi itu telah hilang dari wajahnya, suaranya terdengar
datar dan tenang. "Aku akan segera ke sana, Gerard," katanya. "Aku tadi bercakap-cakap sebentar
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Mr. Satterthwaite."
Ia berjalan keluar dari ruangan itu. Mr. Satterthwaite membuntutinya sambil
menoleh ke belakang, dan melihat ekspresi pada wajah suaminya. Sebuah pandangan
putus asa dan penuh kerinduan.
"Pemikat," pikir Mr. Satterthwaite. "Begitulah yang dirasakannya. Laki-laki
malang - kasihan." Ruang duduk itu terang sekali. Madge dan Doris Coles berteriak senang melihat
kedatangan mereka. "Mabelle, kau memang nakal - lama sekali kau pergi tadi."
Wanita itu duduk di kursi bundar yang rendah, mencoba ukulelenya dan menyanyi.
Mereka semua menemaninya.
"Apa mungkin ada banyak lagu konyol yang bisa dikarang tentang My Baby," pikir
Mr. Satterthwaite. Tapi ia harus mengakui bahwa irama mendayu-dayu itu enak didengar. Meskipun
tentu saja tak bisa dibandingkan dengan irama lagu-lagu waltz kuno.
Udara terasa berasap sekali. Irama mendayu-dayu itu terus berlanjut.
"Tidak ada percakapan," pikir Mr. Satterthwaite. "Tidak ada musik bagus. Tidak
ada kedamaian." Ia sungguh-sungguh berharap dunia tidak sebising sekarang ini.
Tiba-tiba Mabelle Annesley berhenti, tersenyum padanya, dan mulai menyanyikan
sebuah lagu ciptaan Grieg.
"Burung undanku - burungku yang cantik..."
Lagu itu adalah favorit Mr. Satterthwaite. Ia menyukai nada akhirnya yang
memesona. "Hanya seekor burung undan" Burung undan?"
Akhirnya mereka semua bubar. Madge menawarkan minuman sementara ayahnya memungut
ukulele yang telah diletakkan itu dan mulai memetiknya dengan iseng. Semua orang
saling mengucapkan selamat malam dan beranjak menghampiri pintu. Semuanya
berbicara bersamaan. Gerard Annesley menyingkir diam-diam, meninggalkan yang
lainnya. Di luar pintu ruang duduk itu, Mr. Satterthwaite mengucapkan selamat malam pada
Mrs. Graham dengan sopan sekali. Ada dua tangga di rumah itu, yang satu di dekat
sana, sedangkan yang lainnya di ujung koridor. Mr. Satterthwaite menaiki tangga
yang di ujung itu menuju kamarnya. Mrs. Graham dan putranya menaiki tangga yang
dekat tadi, yang telah dinaiki oleh Gerard Annesley yang pendiam itu sebelumnya.
"Kau lebih baik menyimpan ukulelemu, Mabelle," kata Madge. "Kalau Udak, kau
pasti lupa besok pagi. Kau kan harus berangkat pagi-pagi sekali besok?"
"Ayolah, Mr. Satterthwaite," ajak Doris Coles sambil menggandeng lengan Mr.
Satterthwaite dengan kasar. "Tidur lebih awal - bla, bla, bla."
Madge menggandeng lengannya yang satu lagi dan mereka bertiga berjalan menyusuri
koridor dengan diiringi suara tawa Doris. Mereka berhenti sejenak di ujungnya
untuk menunggu David Keeley, yang membuntuti mereka dengan langkah lebih tenang,
sambil mematikan lampu-lampu dalam perjalanannya. Akhirnya mereka berempat
menaiki tangga bersama-sama.
*** Mr. Satterthwaite baru saja bersiap-siap turun menuju ruang makan untuk sarapan
pagi keesokan harinya, ketika terdengar bunyi ketokan ringan di pintunya dan
Madge Keeley masuk. Wajahnya pucat pasi dan ia juga gemetaran.
"Oh, Mr. Satterthwaite."
"Anakku, apa yang telah terjadi?" Ia memegang tangan Madge.
"Mabelle - Mabelle Annesley...."
"Ya?" Apa yang telah terjadi" Apa" Sesuatu yang buruk - ia tahu itu. Madge nyaris tak
bisa menceritakannya. "Dia... dia gantung diri kemarin malam. Di balik pintu kamarnya. Oh! Sungguh
mengerikan." Ia berhenti - menangis.
Gantung diri. Tak mungkin. Tidak masuk akal!
Mr. Satterthwaite membujuknya dengan kata-kata penghibur yang terdengar kuno,
lalu buru-buru turun ke bawah. Ia bertemu dengan David Keeley yang tampak
bingung dan kikuk. "Aku sudah menelepon polisi, Satterthwaite. Rasanya itu memang harus dilakukan.
Begitulah kata dokter itu tadi. Dia baru saja selesai memeriksa... memeriksa...
astaga, ini sungguh-sungguh mengerikan. Dia pasti betul-betul tidak bahagia,
sampai... sampai bertindak demikian. Aneh juga lagunya kemarin malam. Lagu
Burung Undan, eh" Dia sendiri kelihatannya seperti burung undan - burung undan
hitam." "Ya." "Lagu Burung Undan," ulang Mr. Keeley. "Mencerminkan apa yang ada di benaknya,
eh?" "Kelihatannya memang begitu - ya, tentu saja, kelihatannya begitu."
Mr. Satterthwaite ragu-ragu, kemudian bertanya apakah ia boleh melihat kalau
saja... Tuan rumahnya mengerti permintaan yang terbata-bata itu.
"Kalau Anda memang mau - saya lupa Anda punya mengamati tragedi manusia."
Ia memimpin jalan menaiki tangga lebar itu. Mr. Satterthwaite membuntutinya. Di
ujung tangga adalah kamar yang ditempati oleh Roger Graham dan di seberangnya,
di sisi lain, adalah kamar ibunya. Pintu kamar yang terakhir itu terbuka sedikit
dan samar-samar tercium bau asap yang melayang keluar.
Sejenak Mr. Satterthwaite merasa sedikit heran. Menurutnya Mrs. Graham bukanlah
wanita yang suka merokok pagi-pagi sekali. Sebenarnya malah ia beranggapan
wanita itu tidak merokok sama sekali.
Mereka kemudian berjalan di sepanjang gang, menuju pintu terujung. David Keeley
memasuki kamar itu dan Mr. Satterthwaite mengikutinya.
Kamar itu tidak terlalu besar dan menunjukkan tanda-tanda telah ditinggali oleh
seorang laki-laki. Sebuah pintu di dindingnya membuka jalan menuju ke kamar
kedua. Seutas kecil tali masih tergantung pada sebuah kait yang terpancang di
atas pintu. Di atas ranjang...
Mr. Satterthwaite berdiri sejenak memandang gundukan bergaun sifon itu. Ia
memperhatikan gaun itu masih berkerut dan berwiru seperti bulu-bulu burung.
Sedangkan wajahnya, setelah melirik sekilas, ia tidak melihatnya lagi.
Ia melihat dari pintu dengan tali masih tergantung pada pintu penghubung tempat
mereka masuk tadi. "Apakah pintu itu terbuka?"
"Ya, Paling tidak, begitulah kata si pelayan."
"Annesley tidur di sana" Apakah dia mendengar sesuatu?"
"Katanya dia tidak mendengar apa-apa."
"Tidak masuk akal," gumam Mr. Satterthwaite. Ia memandang kembali gundukan di
ranjang itu. "Di mana dia?" "Annesley" Dia di bawah, bersama dokter itu."
Mereka turun dan menemukan inspektur polisi sudah datang. Doris Coles tampak
ketakutan dan murung. Sekali-sekali ia mengusap matanya dengan sehelai
saputangan. Madge tampak diam dan waspada, emosinya sudah terkendali sekarang.
Mrs. Graham terlihat tenang, seperti biasa, wajahnya serius dan tidak
menunjukkan perasaan apa-apa. Tragedi itu tampaknya lebih mempengaruhi putranya
dibandingkan dengan orang lain. Ia jelas-jelas terlihat kacau pagi ini. David
Keeley, seperti biasa, telah mundur ke belakang.
Suami yang berduka itu duduk sendirian, sedikit terpisah dari orang-orang
lainnya. Ada pandangan linglung yang aneh pada wajahnya, seolah-olah ia tak bisa
mempercayai apa yang telah terjadi.
Mr. Satterthwaite dari luar terlihat tenang, tapi dalam hati gusar karena tak
sabar menanti pemeriksaan yang sebentar lagi dilaksanakan.
Inspektur Winkfield, diikuti Dr. Morris, muncul dan menutup pintu. Ia berdeham,
kemudian berbicara. "Saya tahu kejadian ini menyedihkan - sangat menyedihkan. Dalam keadaan seperti
ini, saya diwajibkan untuk menanyai setiap orang. Saya yakin Anda sekalian
takkan keberatan. Saya akan mulai dengan Mr. Annesley. Maafkan pertanyaan saya,
Sir, tapi apakah istri Anda pernah mengancam akan bunuh diri?"
Tanpa pikir panjang Mr. Satterthwaite membuka mulutnya hendak menyahut, tapi
kemudian menutupnya lagi. Masih ada banyak waktu nanti. Lebih baik tidak
berbicara dengan terburu-buru.
"Saya... tidak, saya rasa tidak."
Suaranya terdengar sangat ragu-ragu, aneh sekali, sehingga semua orang
menatapnya heran. "Anda tidak yakin, Sir?"
"Ya - saya... cukup yakin. Dia tak pernah mengancam seperti itu."
"Ah! Apakah Anda tahu kalau dia merasa tidak bahagia karena sesuatu hal?"
"Tidak. Saya... tidak tahu."
"Dia tidak mengatakan apa-apa pada Anda, tentang perasaannya yang tertekan,
misalnya?" "Saya... tidak, tidak ada."
Apa pun yang dipikir oleh inspektur itu, ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya
ia maju terus dengan pertanyaan berikutnya.
"Maukah Anda menggambarkan secara singkat pada saya kejadian kemarin malam?"
"Kami... semua pergi tidur. Saya segera tertidur lelap dan tidak mendengar apa-
apa. Jeritan pelayan itu yang membangunkan saya pagi ini. Saya segera masuk ke
kamar itu dan menemukan istri saya... dan menemukannya..."
Suaranya terhenti. Inspektur itu mengangguk.
"Ya, ya, itu benar. Kita tak perlu membahas hal itu. Kapan terakhir kali Anda
melihat istri Anda kemarin malam?"
"Saya... di bawah."
"Di bawah?" "Ya, kami semua meninggalkan ruang duduk bersama-sama. Saya langsung pergi ke
kamar, meninggalkan yang lainnya bercakap-cakap di bawah."
"Apakah Anda tidak melihat istri Anda lagi" Apakah dia tidak mengucapkan selamat
malam sebelum pergi tidur?"
"Saya sudah tertidur ketika dia masuk."
"Tapi. dia cuma beberapa menit saja di belakang Anda. Itu benar, bukan?" Ia
memandang David Keeley, yang mengangguk.
"Dia baru muncul kurang-lebih setengah jam kemudian."
Annesley menyahut dengan keras kepala. Mata inspektur itu beralih dengan lembut
pada Mrs. Graham. "Dia tidak mampir di kamar Anda untuk bercakap-cakap, Madam?"
Apakah itu cuma khayalan Mr. Satterthwaite, ataukah ada sedikit keraguan pada
diri Mrs. Graham sebelum menjawab dengan sikapnya yang tenang dan anggun"
"Tidak, saya langsung pergi ke kamar saya dan menutup pintunya. Saya tidak
mendengar apa-apa." "Dan menurut Anda, Sir" - inspektur itu telah mengalihkan perhatiannya kembali
pada Annesley - "Anda sudah tertidur dan tidak mendengar apa-apa. Pintu
penghubung itu terbuka, bukan?"
"Saya... saya rasa begitu. Tapi istri saya bisa saja memasuki kamarnya melalui
pintu lainnya dari koridor."
"Bahkan kalau demikian, Sir, pasti ada bunyi-bunyi tertentu - suara batuk, bunyi
langkah sepatunya." "Tidak." Itu suara Mr. Satterthwaite yang bicara dengan terburu-buru, tak tahan lagi
menutup mulutnya. Semua mata berpaling ke arahnya dengan kaget. Ia sendiri
menjadi gugup, terbata-bata, wajahnya memerah.
"Saya... maafkan saya, Inspektur. Tapi saya harus bicara. Anda berada pada jalur
yang salah - jalur yang salah sama sekali. Mrs. Annesley tidak bunuh diri - saya
yakin itu. Dia dibunuh."
Keadaan jadi sunyi senyap, kemudian Inspektur Winkfield berkata dengan tenang,
"Apa yang membuat Anda berpendapat demikian. Sir?"
"Saya... ini cuma perasaan. Perasaan yang sangat kuat."
"Tapi saya rasa, Sir, dalam hal ini haruslah ada sesuatu yang lebih kuat. Harus
ada alasan tertentu."
Yah, tentu saja ada alasan tertentu, yaitu pesan misterius dari Mr. Quin. Tapi
kita tak bisa mengatakannya pada seorang inspektur, bukan" Mr. Satterthwaite
memutar otaknya dengan putus asa, dan ia mendapatkan sesuatu.
"Kemarin malam, ketika kami bercakap-cakap, dia berkata merasa bahagia sekali.
Sangat bahagia - begitulah. Itu tidak seperti sikap seorang wanita yang bermaksud
bunuh diri, bukan?" Ia merasa menang. Ia menambahkan,
"Dia pergi ke ruang duduk lagi untuk mengambil ukulelenya, supaya tidak kelupaan
besok pagi. Itu juga tidak seperti bunuh diri."
"Memang tidak," inspektur itu mengakui. "Tidak, mungkin memang tidak." Ia
berpaling pada David Keeley. "Apakah dia membawa ukulele itu bersamanya sewaktu
naik ke loteng?" Ahli matematika itu mencoba mengingat.
"Saya kira... ya, dia membawanya. Dia naik ke loteng sambil membawa alat musik
itu di tangannya. Saya ingat melihat benda itu ketika dia berbelok di tangga
sebelum saya mematikan lampu di bawah."
"Oh!" teriak Madge. "Tapi ukulele itu ada di sini sekarang."
Ia menunjuk dengan dramatis pada tempat ukulele itu tergeletak di meja.
"Ini aneh," ujar inspektur itu. Ia melangkah dengan ringan melintasi ruangan dan
membunyikan bel. Dengan singkat inspektur itu memberikan perintah pada si kepala pelayan, yang
langsung memanggil pelayan yang memang bertugas membersihkan semua ruangan di
pagi hari. Pelayan itu akhirnya muncul, dan jawabannya cukup meyakinkan. Ukulele
itu telah ada di sana sebelum ia muncul untuk membersihkan debu.
Inspektur Winkfield menyuruhnya pergi, kemudian berkata tegas,
"Saya ingin bicara sendirian saja dengan Mr. Satterthwaite. Yang lainnya boleh
pergi. Tapi tak seorang pun boleh meninggalkan rumah ini."
Mr. Satterthwaite langsung nyerocos begitu pintu tertutup setelah orang terakhir
keluar. "Saya... saya yakin, Inspektur, bahwa Anda menangani kasus ini dengan tangkas.
Tangkas sekali. Saya cuma merasakan - seperti saya bilang tadi - suatu perasaan
kuat..." Inspektur itu mencegahnya terus berbicara dengan mengangkat tangannya.
"Anda benar, Mr. Satterthwaite. Wanita itu memang dibunuh."
"Jadi, Anda mengetahuinya?" Mr. Satterthwaite tampak bingung.
"Ada beberapa hal yang membingungkan Dr. Morris." Ia memandang ke seberang pada
dokter itu, yang tetap tinggal di sana, dan dokter itu mendukung pernyataannya
dengan sebuah anggukan kecil. "Kami sudah memeriksanya dengan cermat. Tali yang
melilit lehernya bukanlah tali yang mencekiknya - benda yang digunakan untuk itu
jauh lebih tipis, sesuatu yang seperti kabel. Dagingnya sampai teriris
karenanya. Bekas tali itu cuma menutupi di atasnya. Dia dicekik, kemudian baru
digantung di atas pintu, supaya terlihat seperti bunuh diri."
"Tapi siapa...?"
"Ya," kata inspektur itu. "Siapa" Itu masalahnya. Bagaimana dengan suami yang
tidur di kamar sebelah itu, yang tak pernah mengucapkan selamat tidur pada
istrinya dan tidak mendengar apa-apa" Saya rasa kita tak perlu jauh-jauh
mencari. Harus diperiksa bagaimana hubungan mereka berdua. Dalam hal ini Anda
bisa membantu kami, Mr. Satterthwaite. Anda ahlinya, dan Anda bisa mencari tahu
dengan cara-cara yang tidak dapat kami lakukan. Coba carilah keterangan tentang
hubungan suami-istri itu."
"Tapi saya nyaris tidak...," bantah Mr. Satterthwaite kaku.
"Ayolah, ini toh bukan pertama kalinya Anda menolong kami dalam kasus
pembunuhan. Saya ingat kasus Mrs. Strangeways itu. Anda punya bakat untuk hal-
hal begitu, Sir. Bakat yang luar biasa."
Ya, benar - ia memang punya bakat. Ia berkata dengan tenang,
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya, Inspektur."
Apakah Gerard Annesley telah membunuh istrinya" Apakah memang dia pelakunya" Mr.
Satterthwaite teringat pandangannya yang merana malam itu. Ia mencintai istrinya
- dan menderita karenanya Penderitaan memang bisa mendorong laki-laki untuk
melakukan sesuatu yang aneh.
Tapi ada hal lainnya - faktor lainnya. Mabelle bercerita bahwa dirinya seperti
telah keluar dari hutan lebat. Ia sedang mengharapkan datangnya kebahagiaan,
tapi kebahagiaan itu tidak masuk akal - suatu perasaan yang liar...
Kalau Gerard Annesley tidak berbohong, berarti Mabelle memang tidak masuk ke
kamarnya paling tidak sampai setengah jam sesudah suaminya masuk. Tapi David
Keeley telah melihatnya naik ke loteng. Di sana ada dua kamar lain yang
berpenghuni. Kamar Mrs. Graham dan kamar putranya.
Putranya. Tapi ia dan Madge...
Tentunya Madge akan menebak... Tapi Madge bukanlah orang yang suka menebak-
nebak. Bagaimanapun, tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Asap!
Ah! ia ingat Bau asap yang sekilas tercium dari dalam kamar Mrs. Graham.
Mr. Satterthwaite langsung bertindak. Ia naik ke loteng dan masuk ke kamar Mrs.
Graham. Ia menutup pintunya dan menguncinya.
Ia berjalan menghampiri perapian. Di sana ada setumpuk arang bekas pembakaran.
Dengan gamang ia mengorek-ngoreknya dengan jari. Ternyata ia beruntung. Tepat di
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah-tengah tumpukan itu ada potongan-potongan yang tidak sempat terbakar -
potongan-potongan surat. Potongan-potongan itu sudah tidak keruan, tapi memberikan petunjuk penting bagi
Mr. Satterthwaite. Hidup bisa terasa indah, Roger sayang. Aku tak pernah mengetahuinya... seluruh
hidupku seperti mimpi, sampai aku bertemu denganmu, Roger....
Gerard mengetahuinya, kurasa. Aku sedih, tapi apa yang bisa kulakukan" Tak ada
yang nyata lagi bagiku kecuali kau, Roger. Kita akan bersama, segera.
Apa yang akan kaukatakan padanya di Laidell, Roger" Suratmu aneh sekali - tapi aku
tak takut.... Dengan sangat hati-hati Mr. Satterthwaite menyimpan potongan-potongan itu dalam
amplop yang diambilnya dari meja tulis. Kemudian ia pergi ke pintu lagi, membuka
kuncinya, melangkah keluar, dan berhadap-hadapan dengan Mrs. Graham.
Saat itu terasa canggung sekali, dan sejenak Mr. Satterthwaite tidak tahu harus
berkata apa. Akhirnya ia memutuskan untuk berterus terang, yang dirasanya adalah
jalan terbaik. "Saya tadi menggeledah kamar Anda, Mrs. Graham. Saya menemukan sesuatu - setumpuk
surat yang terbakar dengan tidak sempurna."
Wajah wanita itu menampakkan kekagetan. Tapi cuma sekilas.
"Surat-surat dari Mrs. Annesley untuk putra Anda."
Ia ragu-ragu sejenak, kemudian berkata tenang, "Itu memang benar. Saya pikir
surat-surat itu lebih baik dibakar."
"Kenapa?" "Putra saya sudah bertunangan dan akan menikah. Surat-surat itu - kalau sampai
ketahuan gara-gara wanita malang itu bunuh diri - bisa menimbulkan banyak
kepedihan dan masalah."
"Putra Anda bisa membakar surat-suratnya sendiri."
Ia tidak mempunyai jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Mr. Satterthwaite
melancarkan serangannya lagi.
"Anda menemukan surat-surat itu di kamarnya, membawanya ke kamar Anda sendiri,
dan membakarnya. Kenapa" Karena Anda takut, Mrs. Graham."
"Bukan kebiasaan saya untuk merasa takut, Mr. Satterthwaite."
"Memang bukan, tapi ini kasus nekat."
"Nekat?" "Putra Anda mungkin bisa didakwa - karena membunuh."
"Membunuh!" Mr. Satterthwaite melihat wajah wanita itu menjadi pucat, dan ia segera
meneruskan, "Anda mendengar Mrs. Annesley masuk ke kamar putra Anda kemarin malam. Apakah
dia telah bercerita tentang pertunangannya" Tidak, saya rasa dia belum
menceritakannya. Saat itulah dia menceritakannya. Mereka bertengkar, dan dia..."
"Itu dusta." Mereka begitu serius dalam berbantahan, sehingga tidak mendengar bunyi langkah
kaki mendekat. Roger Graham muncul dari belakang tanpa sepengetahuan mereka.
"Tidak apa-apa, Ibu. Jangan cemas. Silakan masuk ke kamar saya, Mr.
Satterthwaite." Mr. Satterthwaite membuntutinya ke dalam kamar. Mrs. Graham telah berbalik dan
tidak berusaha mengikuti mereka Roger Graham menutup pintunya.
"Coba dengarkan, Mr. Satterthwaite, Anda mengira saya membunuh Mabelle. Anda
mengira saya mencekiknya - di sini - lalu membopongnya, kemudian menggantungnya di
atas pintu ketika semua orang sedang tertidur nyenyak?"
Mr. Satterthwaite menatapnya. Kemudian dengan tak disangka-sangka ia menyahut,
"Tidak, saya tidak mengira demikian."
"Puji Tuhan. Saya tak mungkin bisa membunuh Mabelle. Saya... saya
mencintainya... dulu. Atau tidak" Saya tidak tahu. Itu suatu keruwetan yang
tidak bisa saya jelaskan. Saya menyukai Madge - dari dulu. Dan dia betul-betul
hebat. Kami cocok satu sama lain. Tapi Mabelle lain. Dia... saya tak bisa
menjelaskannya... dia bagaikan pemikat. Saya rasa, saya akhirnya jadi... takut
padanya." Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Hubungan kami memang dahsyat - kenikmatan yang memabukkan. Tapi itu tak mungkin.
Tak mungkin berhasil. Hubungan seperti itu... takkan langgeng. Saya sekarang
tahu bagaimana rasanya tersihir."
"Ya, saya rasa memang seperti itu," ujar Mr. Satterthwaite serius.
"Saya... saya ingin mengakhiri hubungan itu. Saya bermaksud mengatakannya pada
Mabelle - kemarin malam."
"Tapi tidak jadi?"
"Tidak, tidak jadi," sahut Graham pelan. "Saya bersumpah pada Anda, Mr.
Satterthwaite, bahwa saya tak pernah melihatnya lagi setelah mengucapkan selamat
malam padanya di bawah."
"Saya percaya," kata Mr. Satterthwaite.
Ia berdiri. Bukan Roger Graham yang membunuh Mabelle Annesley. Pemuda itu
mungkin bisa melarikan diri dari wanita itu, tapi tak mungkin bisa membunuhnya.
Ia takut pada wanita itu, takut pada sifat magis yang ada pada dirinya. Ia tahu
arti keterpikatan - dan bermaksud melupakannya. Ia memutuskan kembali pada hal
yang aman dan masuk akal, yang sejak dulu telah diketahuinya "akan berhasil" dan
telah menghapuskan harapan tak nyata di benaknya, yang dirasanya bisa
mengacaukan hidupnya. Ia pemuda yang logis, tapi tidak menarik bagi Mr. Satterthwaite yang seniman dan
pengamat kehidupan. Ia meninggalkan Roger Graham di kamarnya dan turun ke bawah. Ruang duduk itu
sudah kosong. Ukulele Mabelle masih tergeletak di kursi di samping jendela. Ia
mengambilnya dan memetiknya sembarangan. Ia tidak tahu apa-apa tentang alat
musik itu, tapi telinganya mengatakan bahwa nada alat musik itu tidak keruan
sama sekali. Ia mencoba memutar kuncinya.
Doris Coles masuk ke dalam ruangan itu, memandangnya dengan pandangan mencela.
"Itu ukulele Mabelle," ujarnya.
Tuduhannya yang kentara itu membuat Mr. Satterthwaite jadi keras kepala.
"Tolong setelkan," pintanya, dan menambahkan, "kalau bisa."
"Tentu saja bisa," sahut Doris, tersinggung mendengar kata-kata Mr.
Satterthwaite yang seolah-olah merendahkan kemampuannya.
Ia mengambil alat itu dari tangan Mr. Satterthwaite, memetik sebuah senar,
memutar sebuah kunci dengan cepat - dan senar itu putus.
"Astaga. Oh! Ternyata... tapi aneh sekali! Ini senar yang salah - ukurannya lebih
besar senomor. Ini senar A. Tolol sekali memasangnya di sini. Tentu saja putus
kalau disetel. Orang-orang memang banyak yang tolol."
"Ya," sahut Mr. Satterthwaite. "Memang - bahkan kalau mereka berusaha menjadi
Bloon Cari Jodoh 7 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Anak Rajawali 19