Pencarian

Pembunuhan Di Lorong 2

Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie Bagian 2


rencananya buyar. Tapi dia memang cerdik. Disadarinya bahwa untuk sesaat dia hampir gagal. Dia pun
melihat apa yang kita lihat. Jadi, dalam saat yang singkat itu dia melakukan apa
yang terbaik. Dia mencoba memusatkan perhatian kita pada benda yang salah.
Mengenai tas kantor itu dia berkata, 'Itu milik saya. Saya membawanya pagi ini.
Jadi, tak mungkin ada apa-apa di dalamnya.' Dan sebagaimana yang diharapkannya,
kau pun terjebak. Dengan alasan yang sama, keesokan harinya dia pergi untuk
membuang perangkat golf Barbara.
Dia terus memanfaatkan tas kantor itu sebagai... umpan...
begitulah." "Umpan" Apakah maksudmu tujuan yang sebenarnya adalah..."
"Pikirkan, teman. Di manakah tempat terbaik untuk membuang perangkat golf"
Perangkat itu tak bisa dibakar, tak bisa dibuang di keranjang sampah. Bila
ditinggalkan di suatu tempat, pasti akan dikembalikan pada pemiliknya. Maka Miss
Plenderleith membawanya ke lapangan golf. Ditinggalkannya di gedung klub,
sementara dia mengambil beberapa tongkat besi dari tasnya sendiri, lalu dia
pergi main tanpa caddy. Pasti sebentar-sebentar dia mematahkan tongkat-tongkat
itu, lalu melemparkannya ke bawah semak-semak lebat, dan akhirnya membuang
tasnya pula. Bila ada orang menemukan tongkat golf yang sudah patah di sana-
sini, itu tidak akan menimbulkan rasla
heran. Ada orang yang mematahkan semua tongkat golfnya karena kesal dalam
permainannya! Golf memang permainan semacam itu!
"Tapi karena menyadari bahwa tindakan-tindakannya masih bisa menarik perhatian,
dilemparkannya umpan yang berguna itu, yakni tas kantor itu, dengan cara agak
mencolok ke dalam danau. Dan itulah, temanku, persoalan yang sebenarnya mengenai
Misteri Tas Kantor itu."
Japp memandangi temannya beberapa saat tanpa berkata apa-apa. Lalu ia bangkit,
menepuk pundak sahabatnya itu, dan meledaklah tawanya.
"Cukup baik untuk anjing pelacak tua seperti kau! Sungguh, kau telah berhasil!
Mari kita keluar dan pergi makan siang."
"Dengan senang hati, temanku, tapi kita jangan makan kue.
Cukup makan omelet dengan jamur, Blanquette de Veau, dan makanan kecil ala
Prancis, disusul dengan... minuman Baba au Rhum."
"Atur sajalah," kata Japp.
PENCURIAN YANG ANEH BAB 1 SEMENTARA kepala pelayan berkeliling menghidangkan kue sus, Lord Mayfield dengan
akrab mendekatkan tubuhnya pada Lady Carrington yang duduk di sebelahnya. Lord
Mayfield, yang dikenal sebagai tuan rumah yang sempurna, berusaha untuk bersikap
sesuai dengan reputasinya itu. Meskipun tidak menikah, ia selalu manis pada kaum
wanita. Lady Julia Carrington berumur empat puluh tahun, jangkung, berambut hitam, dan
periang. Ia kurus sekali, tapi masih tetap cantik.
Terutama kaki dan tangannya luar biasa bagusnya. Sikapnya agak gugup dan resah,
sebagaimana layaknya wanita yang selalu tegang.
Kira-kira di seberangnya, di meja bulat itu, duduk suaminya, Marsekal Sir George
Carrington. Kariernya berawal di Angkatan Laut, dan sifat pembual serta
periangnya sebagai mantan anggota Angkatan Laut masih dipertahankannya. Kini ia
sedang berceloteh dan menggoda Mrs. Vanderlyn yang cantik, yang duduk di sisi
lain tuan rumahnya. Mrs. Vanderlyn adalah wanita berambut pirang yang sangat
cantik. Suaranya berlogat Amerika yang tidak berlebihan dan enak didengar.
Di sisi lain Sir George Carrington duduk Mrs. Macatta, anggota Parlemen. Mrs.
Macatta adalah tokoh terkemuka dalam badan Perumahan dan Kesejahteraan Bayi. Ia
bicara dengan kalimat-kalimat pendek yang dilontarkan dengan tajam, bukan
diucapkan, dan secara keseluruhan sosoknya agak mengerikan. Tidak heran jika
sang marsekal lebih senang berbicara pada orang yang duduk di sebelah kanannya.
Mrs. Macatta yang selalu berbicara tentang pekerjaannya di mana pun ia berada,
menyemburkan kalimat-kalimat singkat pada orang yang duduk di sebelah kirinya,
Reggie Carrington yang masih muda.
Reggie Carrington bertimur dua puluh satu tahun, dan sama sekali tidak berminat
pada Perumahan dan Kesejahteraan Bayi, apalagi soal politik. Sekali-sekali ia
berkata, "Menyedihkan sekali!" dan "Saya sependapat sekali dengan Anda," padahal
pikirannya jelas pada soal yang lain. Mr. Carlile, sekretaris pribadi Lord
Mayfield, duduk di antara Reggie dan ibunya. Ia seorang pemuda berkacamata tanpa
gagang, air mukanya cerdas dan sikapnya penuh harga diri. Ia tidak banyak
bicara, tapi selalu siap menggabungkan diri setiap ada kesempatan. Melihat
Reggie Carrington berjuang menahan kantuk, ia membungkuk ke depan dan dengan
tangkas bertanya pada Mrs.
Macatta tentang rencana "Kesehatan bagi Anak".
Kepala pelayan dan dua anak buahnya mengelilingi meja,
bergerak diam-diam dalam cahaya temaram, menawarkan
hidangan dan mengisi gelas-gelas yang kosong. Lord Mayfield
membayar mahal sekali pada juru masaknya, dan terkenal ahli dalam mencicipi
anggur. Meja itu bundar, tapi tak diragukan siapa tuan rumahnya. Tempat duduk Lord
Mayfield jelas merupakan kepala meja. Ia bertubuh besar, berdada bidang,
berambut lebat keemasan, berhidung besar dan lurus, dengan dagu agak mencolok.
Wajah yang mudah dijadikan bahan karikatur. Seperti halnya Sir Charles
McLaughlin, Lord Mayfield mengkombinasikan karir politik dengan menjadi pimpinan
perusahaan teknik. Gelar keningratannya ia peroleh setahun yang lalu, dan saat
itu ia sekaligus diangkat sebagai Menteri Persenjataan, sebuah kementerian yang
baru saja dibentuk. Makanan penutup telah diletakkan di meja. Anggur telah
diedarkan satu kali. Lady Julia bangkit sambil memandangi Mrs.
Vanderlyn. Ketiga wanita meninggalkan ruangan itu.
Anggur diedarkan sekali lagi, dan Lord Mayfield sekilas menyebut-nyebut soal
burung kuau. Percakapan itu berlanjut selama kira-kira lima menit.
Lalu Sir George berkata, "Kurasa, kau ingin bergabung dengan yang lain-lain di ruang duduk, Reggie
anakku. Lord Mayfield tidak akan keberatan."
Anak muda itu mengerti. "Terima kasih. Lord Mayfield, saya minta diri."
Mr. Carlile pun bergumam,
"Izinkan saya juga minta diri, Lord Mayfield. Saya harus menyelesaikan catatan-
catatan tertentu..."
Lord Mayfield mengangguk. Kedua anak muda itu meninggalkan ruangan. Para pelayan
telah berlalu beberapa waktu sebelumnya.
Tinggallah Menteri Persenjataan dan kepala Angkatan Udara berduaan.
Beberapa saat kemudian, Carrington berkata,
"Nah... bisa?" "Pasti! Tak ada yang bisa menyentuh pesawat pembom baru itu di negara mana pun
di Eropa." "Dikelilingi dengan cincin besi, ya" Begitulah kupikir."
"Keunggulan di udara," kata Lord Mayfield dengan yakin.
Sir George Carrington mendesah panjang.
"Sudah waktunya! Tahukah kau, Charles, sudah cukup lama kita melewati cobaan
yang menyakitkan. Banyak sekali orang
menggunakan mesiu di seluruh Eropa. Dan kita tidak siap, sialan! Kita nyaris
melewati lubang jarum. Dan kita belum melewati masa sulit, betapapun cepatnya
kita mengejar pembuatannya."
Lord Mayfield bergumam, "Tapi, George, ada beberapa keuntungan dalam memulai
terlambat dari yang lain. Banyak barang Eropa yang sudah usang, dan mereka
diancam kebangkrutan."
"Kurasa itu tidak berarti apa-apa," kata Sir George murung. "Kita selalu
mendengar tentang bangsa ini atau bangsa itu bangkrut!
Padahal mereka tetap saja berjalan. Tahukah kau soal keuangan itu merupakan
suatu misteri besar bagiku." Mata Lord Mayfield agak berbinar. Sir George
Carrington masih saja "seorang pelaut tua yang jujur dan bicara apa adanya".
Kata orang, itu merupakan sikap yang dengan sengaja diambilnya.
Carrington mengganti bahan pembicaraan dan berkata dengan sikap tak peduli yang
berlebihan, "Menarik sekali Mrs. Vanderlyn itu, ya?"
Kata Lord Mayfield, "Kau ingin tahu apa yang dilakukannya di sini?"
Matanya tampak lucu, Carrington tampak agak gugup.
"Sama sekali tidak; sama sekali tidak."
"Oh ya, pasti kau ingin tahu! Jangan berbohong, George. Kau ingin tahu, dengan
caramu yang agak menyedihkan, apakah aku ini korbannya yang terakhir!"
Lambat-lambat Carrington berkata,
"Harus kuakui bahwa rasanya memang agak aneh bahwa dia
berada di sini. Yah, khususnya pada akhir pekan ini."
Lord Mayfield mengangguk.
"Yah, di mana ada bangkai, di situlah berkumpul burung elang bangkai. Jelas kita
punya bangkai, dan Mrs. Vanderlyn bisa dilukiskan sebagai Burung Bangkai Nomor
1." Marsekal Udara langsung berkata,
"Kau tahu sesuatu tentang Mrs. Vanderlyn itu?"
Lord Mayfield membuang ujung sebatang ceratu, menyalakannya dengan hati-hati,
lalu sambil mendongakkan kepala, ia mengucapkan kata-katanya dengan bersungguh-
sungguh, "Apa yang kuketahui tentang Mrs. Vanderlyn" Aku tahu bahwa dia warga negara
Amerika. Aku tahu bahwa dia punya tiga mantan suami, satu orang Itali, satu
orang Jerman, dan satu orang Rusia.
Dan dia memanfaatkan "kontak-kontak" dengan ketiga negara itu.
Aku tahu bahwa dia mampu membeli pakaian yang mahal-mahal sekali, dan hidupnya
sangat mewah. Perlu diragukan dari mana penghasilan yang memungkinkannya berbuat
begitu." Sambil nyengir Sir GeOrge Carrington bergumam,
"Kulihat mata-matamu tidak lengah, Charles."
"Aku tahu," lanjut Lord Mayfield, "selain memiliki kecantikan yang memukau, Mrs.
Vanderlyn juga seorang pendengar yang baik, dan dia pandai sekali memperlihatkan
minatnya dalam 'bahan pembicaraan yang berhubungan dengan pekerjaan'. Maksudku, seseorang bisa
bercerita padanya tentang pekerjaannya dan akan merasa wanita ltu sangat
berminat padanya! Perwira-perwira, muda di Sundry telah melangkah terlalu jauh
dalam hal ini, dan akibatnya
karier mereka taruhannya. Mereka telah menceritakan pada Mrs.
Vanderlyn lebih daripada yang boleh mereka ceritakan. Hampir semua teman wanita
itu bertugas di Angkatan Bersenjata. Tapi pada musim salju yang lalu, dia
berburu di suatu daerah di dekat salah satu perusahaan persenjataan kami yang
terbesar, dan dia membina persahabatan yang sifatnya sama sekali tidak
berhubungan dengan olahraga. Singkatnya, Mrs. Vanderlyn adalah orang yang sangat
bermanfaat untuk..." Ia menggambarkan sebuah lingkaran di udara dengan cerutunya.
"Barangkali sebaiknya tidak kita katakan bagi siapa! Kita katakan saja bagi
suatu kekuatan di Eropa, dan mungkin bagi lebih dari satu kekuatan di Eropa."
Carrington menarik nafas panjang.
"Kau telah mengurangi banyak beban pikiranku, Charles."
"Kau pikir aku jatuh cinta pada si jelita itu" George yang baik.
Cara-cara Mrs. Vanderlyn sudah sangat jelas bagi seorang kakek tua seperti aku.
Apalagi dia sebenarnya tidak lagi semuda dulu. Para pemimpin skuadronmu yang
muda tidak akan bisa melihatnya. Tapi umurku sudah lima puluh enam, sahabatku.
Dan empat tahun lagi, aku mungkin akan menjadi seorang laki-laki tua yang
menjengkelkan, yang terus-menerus mengejar gadis-gadis remaja dalam pergaulan."
"Bodoh sekali aku," kata Carrington dengan nada meminta maaf,
"soalnya kelihatannya aneh..."
"Bagimu agaknya aneh dia berada di sini, di sebuah pesta keluarga yang agak
akrab, tepat pada saat aku dan kau akan mengadakan pembicaraan tak resmi tentang
sebuah penemuan yang mungkin akan merupakan suatu revolusi dalam seluruh masalah
pertahanan udara." Sir George Carrington mengangguk.
Sambil tersenyum Lord Mayfield berkata,
"Tepat sekali. Itulah umpannya."
"Umpannya"' "Begini, George, meminjam kata-kata dalam film, kita tak punya apa-apa untuk
bertindak terhadap perempuan itu. Padahal kita menginginkan sesuatu! Di masa
lalu, dia selalu lolos. Soalnya dia selalu berhati-hati, sangat berhati-hati.
Kami tahu apa yang ingin dilakukannya, tapi kami tak punya bukti yang jelas.
Kami harus mengumpannya dengan sesuatu yang besar."
"Sesuatu yang besar itu maksudmu hal-hal yang berhubungan dengan pesawat pembom
yang baru itu?" "Tepat. Harus merupakan sesuatu yang cukup besar, yang bisa mendorongnya untuk
mengambil risiko; untuk tampil. Lalu kita bisa menangkapnya!"
Sie George mengeram. "Oh ya," katanya. "Kurasa itu baik. Tapi sekiranya dia tak mau mengambil risiko
itu?" "Yah sayang sekali," kata Lord Mayfield. Lalu katanya lagi, "Tapi kurasa dia
akan mau." Ia bangkit. "Sebaiknya kita menggabungkan diri dengan wanita-wanita di ruang duduk. Jangan
sampai permainan bridge istrimu terhalang."
Sir George mengeram. "Julia terlalu suka main bridge. Dia tahan main sampai kartunya jadi lusuh. Dia
sebenarnya tak mampu main dengan taruhan tinggi yang sering dilakukannya. Itu
sudah sering kukatakankepadanya.
Tapi sulitnya, berjudiitu sudah mendarah daging bagi Julia."
Sambil mengitari meja mendatangi tuan rumahnya, ia berkata,
"Yah, mudah-mudahan rencanamu berhasil, Charles."
BAB 2 Di ruang duduk, percakapan telah terhenti lebih dari satu kali. Mrs.
Vanderlyn biasanya tak menguntungkan bila berada di tengah-tengah sesama wanita.
Sikapnya yang menarik, yang begitu dihargai oleh kaum laki-laki, entah mengapa
tidak begitu menarik bagi kaumnya sendiri. Lady Julia bisa bersikap baik sekali
atau buruk sekali. Pada kesempatan ita, ia tak suka pada Mrs. Vanderlyn, dan
bosan terhadap Mrs. Macatta, dan perasaannya itu tidak disembunyikannya.
Percakapan melemah, dan mungkin terhenti sama sekali, kalau saja tak ada Mrs.
Macatta. Mrs. Macatta adalah wanita yang gigih dalam mencapai tujuannya.
Mrs. Vanderlyn langsung diabaikannya dan dianggapnya tak berguna.
Ia berusaha menarik minat Lady Julia sehubungan dengan hiburan amal yang sedang
direncanakannya. Lady Julia menjawab asal-asalan, menahan diri untuk tidak
menguap, dan mulai merenung sendiri. Mengapa George dan Charles tidak datang"
Menjengkelkan sekali laki-laki. Jawaban-jawabannya jadi makin singkat karena ia
asyik dalam renungan dan rasa cemasnya sendiri.
Ketiga wanita itu sedang duduk berdiaman saat akhirnya kedua laki-laki memasuki
ruangan itu. Pikir Lord Mayfield, "Julia kelihatan sakit malam ini. Dasar perempuan yang penuh rasa cemas!"
Katanya, "Bagaimana kalau kita main dua atau tiga putaran bridge?"
Lady Julia langsung tampak ceria. Bridge merupakan napas kehidupannya.
Pada saat itu Reggie Carrington. masuk, dan terbentuklah suatu kelompok yang
terdiri atas empat orang. Lady Julia, Mrs. Vanderlyn, Sir George, dan Reggie
duduk di meja bridge. Lord Mayfield menjalankan tugasnya untuk bercakap-cakap
dengan Mrs. Macatta. Setelah memainkan dua putaran, Sir, George terang-terangan melihat jam yang ada
di rak perapian. "Rasanya tanggung untak memulai putaran baru," katanya.
Istrinya tampak kesal. "Baru jam sebelas kurang seperempat. Kita baru saja main."
"Kau tak pernah mau main sebentar, sayangku," kata Sir George dengan sabar.
"Soalnya, aku dan Charles harus mengerjakan sesuatu."
Mrs. Vanderlyn bergumam, "Kedengarannya penting sekali! Saya rasa, orang-orang pintar seperti kalian yang
berkedudukan di puncak, tak kenal istirahat."
"Kami tak mengenal istilah bekerja hanya empat puluh delapan jam dalam
seminggu," kata Sir George.
Mrs. Vanderlyn bergumam,

Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahukah Anda, saya merasa agak malu karena saya adalah seorang Amerika yang tak
berarti, tapi saya senang sekali kalau bisa bertemu dengan orang-orang yang
mengendalikan negara. Saya rasa itu merupakan pandangan yang mentah sekali bagi
Anda, ya, Sir George?"
"Mrs. Vanderlyn, yang baik, saya tak pernah beranggapan bahwa Anda 'tak berarti'
atau 'mentah'." Ia tersenyum pada wanita itu. Mungkin ada nada sinis dalam suaranya yang tak
luput dari wanita itu. Dengan tangkas wanita itu berpaling pada Reggie sambil
tersenyum padanya. "Sayang kita tidak melanjutkan kemitraan kita. Kau pandai sekali, sampai empat
kali kau mengadakan call tanpa memiliki kartu truf."
Dengan wajah memerah karena senang, Reggie bergumam,
"Aku cuma beruntung."
"Oh, tidak, kau mengambil langkah yang pandai. Kau berhenti menarik kartu tepat
pada waktunya, dan kau bermain sebagaimana mestinya. Kurasa itu hebat."
Lady Julia bangkit dengan mendadak.
"Perempuan ini licik seperti ular," pikirnya jijik.
Lalu matanya melembut waktu melihat putranya. Pemuda itu mempercayai semua kata-
kata perempuan itu. Ia kelihatan masih begitu muda dan senang sekali. Ia masih
sangat polos. Tak heran ia sering terjebak dalam kesulitan. Ia terlalu mudah
percaya. Ia memang punya sifat manis. George sama sekali tak memahaminya.
Laki-laki memang selalu tidak simpatik dalam menilai. Mereka lupa bahwa mereka
pun pernah muda. Sikap George terhadap Reggie terlalu keras.
Mrs. Macatta pun bangkit. Semuanya saling mengucapkan selamat malam.
Ketiga wanita itu keluar dari ruangan. Lord Mayfield mengambil minuman setelah
memberi segelas pada Sir George, lalu ia mendongak karena Mr. Carlile muncul di
pintu. "Tolong keluarkan catatan-catatan dan semua kertasnya, ya, Carlile" Termasuk
rencana-rencana dan cetakan-cetakannya.
Sebentar lagi Marsekal Udara dan aku akan menyertaimu. Kita akan berjalan-jalan
di luar sebentar, ya, George" Hujan sudah berhenti."
Mr. Carlile, yang berbalik akan pergi, mengumamkan ucapan meminta maaf, karena
ia bertabrakan dengan Mrs. Vanderlyn.
Wanita itu melenggang ke arah kedua pria tersebut sambil bergumam,
"Buku saya, saya membacanya sebelum makan tadi."
Reggie melompat maju sambil mengacungkan sebuah buku.
"Inikah" Di atas sofa?"
"Oh ya. Terima kasih banyak."
Ia tersenyum manis, mengucapkan selamat malam sekali lagi, lalu keluar dari
ruangan. Sir George telah membuka salah satu jendela panjang.
"Indah sekali malam ini," serunya. "Tepat sekali gagasamnu untuk berjalan-
jalan." Reggie berkata, "Kalau begitu, selamat malam, Sir. Saya akan pergi tidur."
"Selamat tidur, Nak," kata Lord Mayfield.
Reggie mengambil buku cerita detektif yang sudah mulai
dibacanya sebelum malam, lalu meninggalkan ruangan itu.
Lord Mayfield dan Sir George keluar ke teras.
Malam itu memang indah. Langit bersih, dihiasi bintang-bintang.
Sir George menghirup napas dalam-dalam.
"Uh, perempuan itu banyak sekali memakai parfum," katanya.
Lord Mayfield tertawa. "Yang jelas, itu bukan parfum murahan. Kurasa salah satu merek termahal di
pasaran." Sir George nyengir. "Kurasa kita, harus bersyukur."
"Memang. Kurasa seorang wanita yang memakai parfum murahan merupakan gangguan
besar sekali bagi kaum pria."
Sir George melihat ke langit.
"Luar biasa cerahnya. Aku mendengar suara hujan turun waktu kita sedang makan
tadi." Kedua pria itu berjalan perlahan-lahan di sepanjang teras.
Teras itu memanjang di sepanjang rumah. Di bawahnya, tanahnya melandai menurun,
sehingga kita bisa melihat pemandangan hutan Sussex yang indah.
Sir George menyalakan cerutu.
"Mengenai senjata logam itu," katanya memulai.
Dan pembicaraan pun jadi bersifat teknis.
Saat mereka tiba di ujung teras untuk kelima kalinya, Lord Mayfield berkata
sambil mendesah, "Sebaiknya kita mengerjakannya sekarang."
"Ya, cukup banyak yang harus kita selesaikan."
Kedua pria itu berbalik, dan Lord Mayfield terpekik terkejut.
"Hei! Kaulihatkah itu?"
"Lihat apa?" tanya Sir George.
"Kalau tak salah, aku melihat seseorang menyeberangi teras dari jendela kamar
kerjaku." "Omong kosong, teman. Aku tak melihat apa-apa."
"Aku melihatnya... atau kurasa aku melihatnya."
"Kau dipermainkan matamu. Aku memandang lurus ke teras, dan aku pasti melihat
kalau ada apa-apa di situ. Sedikit sekali yang tak bisa kulihat, meskipun kalau
membaca koran aku memang harus memegangnya sejauh lenganku."
Lord Mayfield tertawa kecil.
"Itu merupakan satu kelebihanku atas dirimu, George. Aku masih bisa membaca
tanpa kacamata." "Tapi kau tak selalu bisa membedakan orang-orang yang berada di sisi lain rumah.
Atau apakah kacamatamu itu hanya untuk menakut-nakuti saja?" Sambil tertawa,
kedua pria itu masuk ke ruang kerja Lord Mayfield yang jendela panjangnya
terbuka. Mr. Carlile sedang sibuk menyusun beberapa kertas di dalam tempat penyimpanannya
di dekat brankas. Ia mengangkat kepalanya waktu mereka masuk.
"Nah, Carlile, semuanya sudah siap?"
"Ya, Lord Mayfield, semua suratnya ada di meja kerja Anda."
Yang dimaksud dengan meja kerja adalah sebuah meja tulis besar yang tampak
penting, terbuat dari kayu mahoni dan terletak di sudut dekat jendela. Lord
Mayfield mendekati meja itu, lalu mulai memilah-milah di antara dokumen-dokumen
yang sudah disiapkan. "Malam yang indah," kata Sir George.
Mr. Carlile membenarkan. "Ya. Terang sekali jadinya setelah hujan berhenti."
Sambil meletakkan kumpulan surat-suratnya, Mr. Carlile bertanya,
"Apakah Anda akan memerlukan saya lagi malam ini, Lord
Mayfield?" "Kurasa tidak, Carlile. Akan kukembalikan sendiri semuanya ini.
Mungkin kami sampai larut malam nanti. Sebaiknya kau tidur saja."
"Terima, kasih. Selamat malam, Lord Mayfield. Selamat malam, Sir George."
"Selamat tidur, Carlile."
Baru saja si sekretaris akan keluar dari ruangan itu, Lord Mayfield berkata
dengan tajam, "Tunggu, Carlile. Kau melupakan yang paling penting dari ini semua."
"Apa maksud Anda, Lord Mayfield?"
"Rencana yang sebenarnya dari pesawat pembom itu."
Sekretaris itu terbelalak.
"Terletak paling atas, Sir."
"Sama sekali tak ada."
"Tapi saya baru saja meletakkannya di situ."
"Coba cari sendiri."
Dengan air muka bingung, anak muda itu maju dan mendekati Lord Mayfield di meja
kerjanya. Dengan agak tak sabar menteri itu menunjuk ke tumpukan surat.
Carlile mencari di tumpukan itu, air mukanya makin kebingungan.
"Tak ada, bukan?"
Sekretaris itu tergagap, "Tapi... tapi aneh sekali. Saya baru meletakkannya di sini, belum sampai tiga
menit yang lalu." Dengan nada bergurau Lord Mayfield berkata,
"Pasti kau keliru. Pasti masih ada dalam brankas."
"Saya tak mengerti mengapa bisa begitu. Saya yakin saya meletakkannya di situ!"
Lord Mayfield melewati anak muda itu, menuju brankas. Sir George ikut mencari.
Dalam beberapa menit sudah jelas bahwa dokumen-dokumen tentang pesawat pembom
itu tak ada. Dengan rasa bingung dan tak percaya, ketiga pria itu kembali ke meja kerja, dan
sekali lagi mencari-cari di tumpukan surat.
"Astaga!" kata Mayfield. "Surat-surat itu hilang."
Mr. Carlile berseru, "Tapi itu tak mungkin!"
"Siapa yang masuk ke ruangan ini?" bentak Menteri.
"Tak ada. Tak seorang pun."
"Dengar, Carlile, tak mungkin dokumen-dokumen itu menguap begitu saja. Pasti ada
orang yang mengambilnya. Apakah Mrs.
Vanderlyn tadi masuk ke sini?"
"Mrs. Vanderlyn" Ohl tidak, Sir."
"Menurutku juga tidak," kata Carrington. Ia mengghirup udara.
"Kalau dia masuk, pasti baunya masih tertinggal. Bau parfumnya itu."
"Tak ada orang yang masuk kemari," kata Carlile bersikeras. "Saya jadi tak
mengerti!" "Dengarkan, Carlile," kata Lord Mayfield. "Pusatkan ingatanmu.
Kita harus menyelidiki hal ini sampai tuntas. Yakin benarkah kau bahwa rencana-
rencana itu tersimpan dalam brankas?"
"Yakin sekali."
"Kau benar-benar melihatnya" Kau tidak hanya berkesimpulan bahwa dokumen-dokumen
itu ada di antara surat-surat yang lain."
"Tidak, tidak, Lord Mayfield. Saya melihatnya. Saya meletakkannya di atas surat-
surat yang lain, di meja kerja."
"Dan katamu sejak itu tak ada seorang pun masuk ke ruangan ini.
Apakah kau keluar dari ruangan ini?"
"Tidak. Oh, tapi... ya."
"Nah!" seru Sir George. "Sekarang kita sampai pada
persoalannya!" Dengan nada tajam Lord Mayfield berkata,
"Untuk apa..." Tapi Carlile menyela, "Dalam keadaan wajar, Lord Mayfield, saya tentu tidak bermimpi untuk
meninggalkan ruangan ini, sementara surat-surat penting berserakan, tapi karena
mendengar seorang wanita berteriak..."
"Seorang wanita berteriak?" tanya Lord Mayfield dengan suara terkejut.
"Ya, Lord Mayfield, bukan main terkejutnya saya. Saya baru saja meletakkan
surat-surat di meja kerja waktu saya mendengarnya, dan saya tentu berlari ke
luar, ke ruang depan."
"Siapa yang berteriak itu?"
"Pelayan Mrs. Vanderlyn yang orang Prancis itu. Dia berdiri di tengah-tengah
tangga. Dia pucat sekali, ketakutan dan gemetar.
Katanya dia melihat hantu."
"Melihat hantu?"
"Ya, seorang wanita jangkung berpakaian putih seluruhnya yang berjalan tanpa
suara dan mengambang di udara."
"Cerita yang tak masuk akal!"
"Ya, Lord Mayfield, itulah yang saya katakan padanya. Dia jadi kelihatan malu
sendiri. Dia pun naik ke lantai atas, dan saya kembali kemari."
"'Berapa lama yang lalu kejadian itu?"
"Hanya satu atau dua menit sebelum Anda dan Sir George
masuk." "Lalu berapa lama kau berada di luar?"
Sekretaris itu berpikir. "Dua menit. Paling lama tiga menit."
"Cukup lama," geram Lord Mayfield. Tiba-tiba dicengkeramnya lengan sahabatnya.
"George, bayangan yang kulihat itu pergi menjauh dari jendela ini.
Itulah dia! Segera setelah Carlile meninggalkan ruangan, dia menyelinap masuk,
menyambar dokumen-dokumen itu, lalu keluar."
"Pekerjaan kotor," kata Sir George.
Giliran ia mencengkeram lengan temannya.
"Dengar, Charles, urusan ini rumit sekali. Apa yang harus kita lakukan?"
BAB 3 "Bagaimanapun, cobalah, Charles."
Waktu itu setengah jam telah berlalu. Kedua pria itu masih berada di ruang kerja
Lord Mayfield, dan Sir George sedang mempengaruhi temannya untuk mengambil
tindakan. Lord Mayfield yang semula sangat enggan, perlahan-lahan mulai terbujuk juga.
Sir George berkata lagi, "Jangan begitu kera, kepala, Charies."
Lambat-lambat Lord Mayfield berkata,
"Mengapa kita harus melibatkan seorang asing yang tak bermutu, yang sama sekali
tidak kita ketahui asal-usulnya?"
"Tapi aku kebetulan banyak tahu tentang dia. Pria itu luar biasa."
"Huh." "Dengar, Charles. Ini suatu kesempatan! Urusan kita ini penuh rahasia. Bila itu
sampai bocor..." "Maksudmu ada kemungkinan bocor?"
"Tak perlu itu sampai terjadi. Pria bernama Hercule Poirot itu..."
"Akan datang kemari dan akan mengembalikan dokumen-
dokumen itu, layaknya seorang pesulap mengeluarkan kelinci dari topinya, begitu
kan?" "Dia bisa mencari kebenaran. Dan kebenaranlah yang kita inginkan. Dengar,
Charles, aku sendiri yang akan memikul semua tanggung jawabnya."
Perlahan-lahan Lord Mayfield berkata,
"Ya, sudahlah, lakukanlah, tapi aku masih belum mengerti, apa yang bisa
dilakukan laki-laki itu."
Sir George mengangkat telepon.
"Aku akan menghubunginya sekarang juga."
"Dia pasti sudah tidur."
"Dia bisa bangun. Demi Tuhan, Charles, kita tak bisa membiarkan perempuan itu
lolos." "Maksudmu Mrs. Vanderlyn?"
"Ya. Kau kan tidak ragu bahwa dia yang berdiri di belakang semuanya ini?"
"Tidak. Dia telah membalikkan keadaan dengan rasa dendam. Aku enggan mengakui,
George, bahwa seorang perempuan telah menipu kita. Rasanya tak masuk akal. Tapi
itu kenyataan. Kita tidak akan bisa membuktikan bahwa dia bersalah, padahal kita
berdua tahu bahwa dialah penggerak utama dalam urusan ini."
"Perempuan memang setan," kata Carrington dengan penuh
emosi. "Tapi tak ada yang bisa dihubungkan dengannya, sialan! Kita bisa beranggapan
bahwa gadis itu disuruhnya pura-pura berteriak, dan bahwa lakilaki yang
mengintai di luar adalah komplotannya, tapi sulitnya, kita tak bisa
membuktikannya." "Mungkin Hercule Poirot bisa."
Tiba-tiba Lord Mayfield tertawa.
"Ya ampun, George, kukira kau pencinta besar bangsa Inggris sendiri, hingga
tidak akan mau mempercayai orang Prancis, betapapun pintarnya dia."
"Dia bukan orang Prancis, dia orang Belgia," .kata Sir George dengan wajah agak
malu-malu. "Yah, suruhlah teman Belgia-mu itu datang. Suruh dia
membuktikan kepandaiannya dalam urusan ini. Aku berani bertaruh bahwa dia tidak
akan bisa menyelesaikannya dengan lebih baik daripada kita."
Tanpa menjawab, Sir George mengulurkan lengannya ke pesawat telepon.
BAB 4 Sambil mengedip-ngedip sedikit, Hercule Poirot memalingkan kepalanya pada kedua
pria itu bergantian. Dengan halus sekali ia menyembunyikan kantuknya.
Waktu itu jam setengah tiga subuh. Ia dibangunkan dari tidurnya dan dilarikan
dalam gelap dengan mobil Rolls Royce yang besar. Kini ia baru saja selesai


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar penjelasan dari kedua pria itu.
"Begitulah duduk persoalannya, M. Poirot," kata Lord Mayfield.
Lalu ia bersandar kembali di kursinya dan perlahan-lahan mengenakan monokelnya.
Melalui kacamata itu, mata Lord Mayfield yang biru muda dan tajam memandangi
Poirot dengan penuh perhatian. Kecuali tajam, mata itu juga mengandung rasa
kurang percaya. Poirot melemparkan pandangan cepat ke arah Sir George
Carrington. Pria itu membungkukkan tubuhnya ke depan dengan air muka kekanakan yang penuh
harapan. Perlahan-lahan Poirot berkata,
"Ya, saya sudah mendengar perkaranya. Pelayan berteriak, sekretaris keluar,
pengintai tanpa nama masuk, dokumen-dokumen itu ada di meja kerja, dia
menyambarnya, lalu pergi. Kenyataan-kenyataannya memang memberikan kemudahan."
Caranya mengucapkan bagian terakhir kalimatnya agaknya
menarik perhatian Lord Mayfield. Ia duduk lebih tegak, hingga monokelnya matanya
jatuh. Seolah ada sesuatu yang baru, yang menimbulkan kewaspadaannya.
"Maaf, M. Poirot?"
"Saya katakan, Lord Mayfield, bahwa kenyataan-kenyataan itu memudahkan... bagi
si pencuri. Omong-omong, yakinkah Anda bahwa yang Anda lihat itu seorang laki-
laki?" Lord Mayfield menggeleng.
"Saya tak bisa berkata begitu. Itu hanya... sebuah bayangan. Saya bahkan agak
ragu apakah saya melihat seseorang."
Poirot mengalihkan pandangannya pada Marsekal Udara.
"Bagaimana dengan Anda, Sir George" Bisakah Anda mengatakan, apakah itu seorang
laki-laki atau seorang wanita?"
"Saya sendiri tidak melihat siapa-siapa."
Poirot mengangguk sambil merenung. Lalu tiba-tiba ia bangkit dengan cepat dan
berjalan ke meja tulis. "Yakinlah, dokumen-dokumen itu sudah tak ada lagi di situ," kata Lord Mayfield.
"Sudah enam kali kami bertiga mengacak-acak surat-surat itu."
"Kalian bertiga" Maksud Anda, sekretaris Anda juga?"
"Ya, Carlile juga."
Tiba-tiba Poirot berbalik.
"Lord Mayfield, surat mana yang berada paling atas waktu Anda mendatangi meja
kerja ini?" Mayfield mengerutkan alisnya, berusaha untuk mengingat.
"Yang mana, ya" Oh ya, suatu catatan kasar tentang posisi-posisi pertahanan
udara kami." Dengan cekatan Poirot menarik sehelai kertas dan membawanya padanya.
"Yang inikah, Lord Mayfield?"
Lord Mayfield mengambilnya, lalu melihatnya sekilas.
"Ya, yang ini."
Poirot membawa kertas itu pada Carrington.
"Adakah Anda melihat kertas ini di meja kerja?"
Sir George mengambilnya, memegangnya dalam jarak jauh, lalu mengenakan
kacamatanya yang tanpa gagang.
"Ya, benar. Saya juga ikut melihatnya, bersama Carlile dan Mayfield. Yang ini
terletak paling atas."
Poirot mengangguk sambil merenung. Kertas itu dikembalikannya ke meja kerja.
Mayfield memandanginya dengan tak mengerti.
"Kalau masih ada pertanyaan-pertanyaan lain.... katanya.
"Tentu, tentu masih ada pertanyaan. Carlile. Carlile yang dipertanyakan!"
Wajah Lord Mayfield agak memerah.
"M. Poirot, Carlile itu tak perlu dicurigai! Sudah sembilan tahun dia menjadi
sekretaris pribadi saya. Dia selalu menyimpan rahasia saya.
Dialah yang menangani semua surat pribadi saya, dan bisa saya tegaskan bahwa
kalau dia mau, bisa saja dia membuat salinan rencana-rencana itu dan menjiplak
bagian-bagian khususnya, tanpa ketahuan siapa pun.
"Saya hargai pandangan Anda," kata Poirot.
"Seandainya dia bersalah, dia tak perlu merencanakan suatu perampokan tipuan."
"Bagaimanapun," kata Lord Mayfield, "saya yakin akan kejujuran Carlile. Saya
berani menjaminnya."
"Callile"' kata Carrington dengan serak, "orang yang baik."
Poirot merentangkan kedua belah tangannya.
"Sedangkan Mrs. Vanderlyn itu... dia sama sekali tidak baik?"
"Dia memang orang yang tidak baik", kata Sir George.
Dengan nada agak terkendali Lord Mayfield berkata,
"Saya rasa, M. Poirot, tak bisa diragukan lagi mengenai... yah, kegiatan-
kegiatan Mrs. Vanderlyn. Kantor Departemen Luar Negeri bisa memberikan data yang
lebih tepat mengenai hal itu."
"Dan Anda merasa pelayan itu terlibat dengan majikannya?"
"Tak diragukan lagi," kata Sir George.
"Menurut saya, dugaan itu bisa diterima," kata Lord Mayfield dengan lebih hati-
hati. Keadaan sepi sejenak. Poirot mendesah, dan sambil lalu
menyusun satu-dua barang di meja yang terletak di sebelah kanannya. Lalu ia
berkata, "Bolehkah saya menyimpulkan bahwa kertas-kertas itu berarti uang"
Maksud saya, surat-surat yang hilang itu pasti bernilai sejumlah uang tunai yang
besar sekali?" "Bila diserahkan pada suatu pihak tertentu... ya."
"Seperti?" Sir George menyebutkan dua buah nama kekuatan di Eropa.
Poirot mengangguk. "Saya rasa setiap orang tahu akan hal itu?"
"Mrs. Vanderlyn mungkin tahu."
"Maksud saya bagi setiap orang?"
"Ya, saya rasa begitu."
"Siapa saja, yang punya tingkat kecerdasan rendah sekalipun, tahu nilai dokumen-
dokumen itu?" "Ya, tapi, M. Poirot ..." Lord Mayfield kelihatan serba salah.
Poirot mengangkat tangannya.
"Saya harus melakukannya seperti yang Anda sebut, menyelidiki setiap jalur."
Tiba-tiba ia bangkit lagi. Dengan susah payah ia melangkah ke luar jendela, lalu
memeriksa tepi rumput di ujung teras dengan sebuah senter.
Kedua pria itu memandanginya saja.
Ia masuk lagi, duduk, dan berkata,
"Lord Mayfield, apakah penjabat itu, orang yang bersembunyi dalam bayang-bayang
itu, tidakkah Anda menyuruh orang
mengejarnya?" Lord Mayfield mengangkat bahunya.
"Dari ujung kebun dia bisa keluar ke jalan raya. Bila dia punya mobil yang
menunggunya, dia takkan bisa dikejar lagi."
"Tapi bukankah ada polisi... petugas jaga ......
Sir George menyela, "Anda lupa, M. Poirot. Kami tak ingin berita ini tersiar Kalau sampai tersiar
bahwa dokumen-dokumen itu dicuri, akibatnya akan sangat merugikan Partai."
"Oh ya," kata Poirot. "Kita harus mengingat politik. Kerahasiaan harus terjaga
benar. Dan sebagai gantinya, Anda menyuruh saya datang. Yah, mungkin itu lebih
sederhana." "Anda bisa mengungkap kasus ini, M. Poirot?" Lord Mayfield terdengar agak tak
percaya. Pria kecil itu mengangkat bahunya.
"Mengapa tidak" Kita harus berpikir, mempertimbangkan." .
Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Sekarang saya ingin berbicara dengan Mr. Carlile."
"Tentu." Lord Mayfield bangkit. "Sudah saya suruh dia menunggu panggilan. Dia
pasti ada di dekat-dekat sini."
Ia keluar dari ruangan itu.
Poirot melihat pada Sir George.
"Nah," katanya. "Bagaimana dengan orang yang ada di teras itu?"
"M. Poirot yang baik, jangan tanyakan pada saya! Saya tak melihatnya, jadi saya
tak bisa melukiskannya. Poirot membungkukkan tubuhnya.
"Itu sudah Anda katakan. Tapi agak lain keadaannya, bukan?"
"Apa maksud Anda?" tanya Sir George dengan tegas.
"Bagaimana saya harus mengatakannya, ya" Ketidakpercayaan Anda itu... lebih
mendalam." Sir George akan berbicara, tapi tak jadi.
"Ya, silakan," kata Poirot membesarkan hatinya. "Ceritakan saja pada saya. Anda
berdua ada di ujung teras. Lord Mayfield melihat suatu bayangan menyelinap
keluar dari jendela, lalu menyeberangi rumput. Mengapa Anda sampai tak melihat
bayangan itu?" Carrington memandanginya.
"Pertanyaan Anda mengena sekali, M. Poirot. Sejak tadi saya sudah
mencemaskannya. Soalnya, saya sudah bersumpah bahwa tak ada orang yang keluar
dari jendela ini. Saya pikir Mayfield hanya mengkhayalkannya. Mungkin itu dahan
pohon yang bergerak atau semacamnya. Lalu kami masuk kemari dan menemukan bahwa
telah terjadi perampokan. Tampaknya Mayfield-lah yang benar dan saya salah.
Tapi..." Poirot tersenyum. "Namun, jauh di lubuk hati Anda, Anda yakin akan penglihatan Anda sendiri, kan?"
"Denar, M. Poirot."
Poirot tiba-tiba tersenyum.
"Anda bijak sekali."
Dengan tajam Sir George berkata,
"Apakah tak ada jejak kaki di tepi rumput?"
Poirot mengangguk. "Tepat sekali. Lord Mayfield berkhayal melihat bayangan. Lalu terjadi perampokan
itu, dan dia pun jadi yakin-yakin sekali! Itu bukan lagi khayalannya. Dia benar-
benar telah melihat laki-laki itu. Tapi itu tidak benar. Saya sebenarnya kurang
memperhatikan soal jejak kaki dan sebagainya itu, tapi tak salah kalau saya
mengatakan bukti yang negatif. Tak ada jejak kaki di rumput. Semalam hujan
lebat. Bila ada orang menyeberangi teras dan terus ke rumput, pasti kelihatan
jejak kakinya." Sir George terbelalak, lalu berkata, "Jadi... jadi..."
"Jadi, kita harus kembali ke rumah. Pada orang-orang di dalam rumah."
Ia menghentikan kata-katanya karena pintu terbuka dan Lord Mayfield masuk
bersama Mr. Carlile. Meskipun masih tampak pucat dan cemas, sekretaris itu sudah bisa bersikap tenang
lagi. Sambil memperbaiki letak kacamatanya yang tanpa gagang, ia duduk dan
melihat pada Poirot dengan pandangan bertanya.
"Sudah berapa lama Anda berada dalam ruangan ini, waktu Anda mendengar teriakan
itu, Monsieur?" Carlile berpikir. "Saya rasa antara lima sampai sepuluh menit."
"Dan sebelum itu sama sekali tak ada gangguan apa-apa?"
"Tidak ada." "Saya dengar pertemuan semalain di rumah itu lebih banyak berlangsung dalam satu
ruangan?" "Ya, di ruang duduk."
Poirot membaca buku catatannya.
"Ada Sir George Carrington dan istrinya. Mrs. Macatta. Mrs.
Vanderlyn. Mr. Reggie Carrington. Lord Mayfield, dan Anda sendiri.
Benarkah itu?" "Saya sendiri tidak berada di ruang duduk. Saya lebih banyak berada di sini,
bekerja." Poirot berpaling pada Lord Mayfield.
"Siapa yang pertama-tama naik ke lantai atas untuk tidur?"
"Kalau tak salah, Lady Julia Carrington. Sebenarnya, ketiga wanita itu keluar
bersama-sama." "Lalu?" "Mr. Carlile masuk dan saya menyuruhnya mengeluarkan surat-surat, karena saya
dan Sir George akan segera masuk untuk bekerja."
"Apakah waktu itu Anda memutuskan untuk berjalan-jalan
sebentar di teras?" "Benar." "Apakah soal rencana Anda untuk bekerja di ruang kerja, terdengar oleh Mrs.
Vanderlyn?" "Ya, soal itu memang disebutkan."
"Tapi waktu Anda memerintahkan Mr. Carlile untuk mengeluarkan surat-surat, Mrs.
Vanderlyn tidak berada di ruangan itu?"
"Tak ada." "Maafkan saya, Lord Mayfield," kata, Carlile. "Tepat setelah Anda
mengucapkannya, saya bertabrakan dengannya di ambang pintu. Dia kembali akan
mengambil bukunya." "Jadi, menurut Anda, dia mendengar?"
"Ya, saya rasa itu mungkin."Dia kembali akan mengambil bukunya," kata Poirot. "Apakah Anda menemukan buku ?"itu untuknya, Lord Mayfield?"
"Ya, Reggie yang memberikannya padanya."
"Oh ya, itu yang disebut makanan basi... ah, bukan, akal-akalan lama. Kembali
untuk mengambil buku. Itu memang sering berguna."
"Menurut Anda itu disengaja?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Lalu setelah itu, Anda berdua keluar ke teras. Bagaimana dengan Mrs.
Vanderlyn?" "Dia pergi lagi membawa bukunya."
"Dan Reggie" Dia juga pergi tidur?"
"Ya." "Dan Mr. Carlile masuk kemari, dan antara lima sampai sepuluh menit kemudian,
dia mendengar teriakan. Lanjutkan, Mr. Carlile.
Anda mendengar teriakan dan Anda keluar ke lorong rumah. Ah, mungkin akan lebih
mudah kalau Anda praktekkan perbuatan Anda itu."
Mr. Carlile bangkit dengan agak kaku.
"Nih, saya berteriak," kata Poirot membantu. Ia membuka mulutnya, lalu
mengeluarkan bunyi mengembik melengking. Lord Mayfield memalingkan muka akan
menyembunyikan senyumnya, dan Mr. Carlile kelihatan sangat serba salah.
"Ayo! Mulailah!" seru Poirot. "Saya sudah memberikan
pembukaan." Dengan kaku Mr. Carlile berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu keluar. Poirot
mengikutinya. Kedua pria yang lain menyusul.
"Pintunya, apakah itu Anda tutup atau Anda biarkan terbuka?"
"Saya tak ingat. Kalau tak salah, saya biarkan terbuka."
"Tak apa-apa. Lanjutkan."
Tetap dengan amat kaku, Mr. Carlile berjalan ke arah tangga dan berdiri sambil
melihat ke atas. Kata Poirot, "Kata Anda pelayan itu ada di tangga. Kira-kira di mana?"
"Kira-kira di tengah-tengah."
"Dan dia tampak ketakutan?"
"Pasti." "Baiklah, biar saya yang menjadi pelayan itu." Poirot berlari menaiki tangga.
"Kira-kira di sini?"
"Kira-kita satu atau dua anak tangga lebih tinggi."
"Seperti ini?" Poirot bertindak. "Yah... eh... bukan begitu."
"Bagaimana?" "Tangannya memegang kepala."
"Oh, tangannya memegang kepalanya. Menarik sekali. Begini?"
Poirot mengangkat tangannya, meletakkannya di kepala, tepat di atas telinganya.
"Ya, begitu." "Oh! Coba katakan, Mr. Carlile, apakah gadis itu cantik?"
"Sungguh, saya tak melihat."
Carlile mengatakannya dengan bertekanan.
"Wah, Anda tak melihatnya" Padahal Anda orang muda. Bukankah biasanya orang muda
melihat kalau seorang gadis cantik?"
"Sungguh, M. Poirot, saya hanya bisa berkata bahwa saya tidak melihatnya."
Carlile melemparkan pandangan tersiksa pada majikannya. Sir George tiba-tiba
tertawa kecil. "Kelihatannya M. Poirot akan menyatakan bahwa kau anak muda yang tidak jantan,
Carlile," katanya.

Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soalnya saya selalu melihat kalau ada gadis cantik," kata Poirot sambil
menuruni tangga. Mr. Carlile tidak berkata apa-apa, dan suasana saat itu terasa mencekam. Poirot
berkata lagi, "Waktu itukah dia mengatakan bahwa dia melihat
hantu?" "Ya." "Percayakah Anda pada ceritanya itu?"
"Yah, boleh dikatakan tak percaya, M. Poirot!"
"Saya tidak menanyakan apakah Anda percaya hantu. Maksud saya, apakah Anda
percaya bahwa gadis itu mengira dia telah melihat sesuatu?"
"Oh, tentang itu saya,tak bisa berkata apa-apa. Dia memang terengah-engah dan
tampak ketakutan." "Anda tidak melihat atau mendengar sesuatu tentang
majikannya?" "Ya, sebenarnya ada. Dia keluar dari kamarnya di ruang atas dan memanggil,
'Leonie."' "Lalu?" "Gadis itu berlari mendatanginya dan saya kembali ke ruang kerja." ,
"Sementara Anda, berdirl di kaki tangga di sini, mungkinkah seseorang masuk ke
ruang kerja lewat pintu yang Anda biarkan terbuka?"
Carlile menggeleng. "Tak bisa tanpa melewati saya. Seperti Anda lihat, pintu itu terdapat di ujung
lorong ini." Poirot mengangguk sambil merenung. Dengan suara yang
terdengar hati-hati dan ringkas, Mr. Carlile berkata lagi,
"Saya bersyukur Lord Mayfield telah melihat pencuri itu keluar dari jendela.
Kalau tidak, pasti saya sendiri yang akan berada di tempat yang sangat tidak
menyenangkan." "Omong kosong, Carlile yang baik," sela Lord Mayfield tak sabar.
"Tidak akan ada kecurigaan yang dilemparkan pada dirimu."
"Anda baik sekali berkata begitu, Lord Mayfield, tapi fakta adalah fakta, dan
saya menyadari benar bahwa keadaannya tidak begitu baik bagi saya. Pokoknya saya
harap barang-barang saya dan saya sendiri digeledah."
"Omong kosong," kata, Mayfield.
Poirot bergumam, "Apakah Anda bersungguh-sungguh menginginkannya?"
"Saya benar-benar lebih menyukai cara itu."
Poirot memandanginya sambil merenung beberapa lama, lalu bergumam, "Saya
mengerti." Lalu ia bertanya, "Di sebelah mana ruang kerjakah letak kamar Mrs. Vanderlyn?"
"Tepat di atasnya."
"Ada jendelanya yang membuka ke arah teras?"
"Ya." Lagi-lagi poirot menganggguk. Lalu ia berkata,
"Mari kita pergi ke ruang duduk-"
Di situ ia berjalan berkeliling, memeriksa kunci dan selot jendela, melihat
catatan angka-angka di meja bridge dan akhirnya berkata pada Lord Mayfield,
"Urusan ini," katanya, "lebih rumit daripada kelihatannya. Tapi ada satu hal
yang pasti. Dokumen-dokumen yang dicuri itu belum dibawa pergi dari rumah ini."
Lord Mayfield melihat padanya dengan membelalak.
"Tapi, M. Poirot, laki-laki yang saya lihat keluar dari ruang kerja itu..."
"Tak ada orang."
"Tapi saya melihatnya, "Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Anda, Lord
Mayfield, Anda berkhayal melihatnya. Bayang-bayang dahan pohon telah Menipu
Anda. Kenyataan bahwa telah terjadi perampokan membuat Anda semakin yakin bahwa
apa yang Anda khayaikan itu benar."
"Sungguh, M. Poirot, mata saya sendiri yang menyaksikan..."
"Coba kita uji mataku dibandingkan dengan matamu teman," sela Sir George.
"lzinkanlah saya, Lord Mayfied, untuk memastikan satu hal. Tak ada seorang pun
yang telah meyeberangi teras ke arah rumput."
Dengan wajah amat pucat dan nada kaku Mr. Carlile berkata,
"Dalam hal itu, jika M. Poirot benar, maka otomatis kecurigaan tertuju pada diri
saya. Sayalah satu-satunya orang yang mungkin melakukan perampokan itu."
Lord Mayfield melompat bangkit.
"Omong kosong. Apa pun pikiran M. Poirot tentang hal itu, aku tidak sependapat.
Aku yakin kau tidak bersalah, Carlile. Aku bahkan berani menjamin."
Dengan halus Poirot bergumam,
"Tapi saya tidak mengatakan bahwa saya mencurigai M. Carlile."
Carlile menjawab, "Memang tidak, tapi Anda tekankan dengan jelas bahwa tak seorang pun punya
kesempatan untuk melakukan perampokan itu."
"Benar! Benar!"
"Tapi sudah saya katakan bahwa tak ada seorang pun yang melewati saya di lorong
rumah untuk memasuki pintu."
"Saya sependapat. Tapi mungkin ada seseorang yang masuk ke ruang kerja lewat
jendela." "Tapi justru itulah yang Anda katakan tidak terjadi."
"Saya katakan tak ada seorang pun yang bisa masuk dari luar dan keluar lagi
tanpa meninggalkan bekas di rumput. Tapi itu bisa dilakukan dari dalam rumah.
Mungkin ada seseorang yang keluar dari kamarnya lewat salah satu jendela ini,
menyelinap di sepanjang teras, masuk lewat jendela ruang kerja, lalu kembali
lagi." Mr. Carlile membantah, "Tapi Lord Mayfield dan Sir George Carrington berada di teras."
"Memang mereka berada di teras, tapi mereka sedang berjalan-jalan. Mata. Sir
George Carrington yang lebih bisa diandalkan..."
Poirot membungkukkan tubuhnya sedikit. "Tapi dia tidak memasang matanya itu di
bagian belakang kepalanya! Jendela ruang kerja terdapat di ujung sebelah kiri,
di sebelahnya ada jendela kamar ini, tapi teras memanjang terus melewati satu,
dua, tiga, mungkin empat kamar."
"Ruang makan, ruang biliar, ruang duduk-duduk, dan
perpustakaan," kata Lord Mayfield.
"Dan berapa kali Anda berjalan-jalan di teras?"
"Sekurang-kurangnya lima atau enam kali."
"Nah, kan cukup mudah, pencuri itu tinggal menunggu saat yang tepat!"
Perlahan-lahan Carlile berkata,
"Maksud Anda, saat saya berada di lorong rumah, berbicara dengan gadis Prancis
itu, pencuri itu menunggu di ruang tamu?"
"Begitulah bayangan saya. Tapi itu hanya bayangan."
"Menurut saya, kemungkinannya tidak terlalu besar," kata Lord Mayfield. "Terlalu
berbahaya." Marsekal Udara membantah. "Aku tidak sependapat denganmu, Charles.
Itu sangat mungkin. Mengapa aku tak sampai berpikir begitu, ya?"
"Jadi, Anda mengerti kan, mengapa saya yakin bahwa rencana-rencana itu masih ada
di rumah ini", kata Poirot, "Sekarang masalahnya adalah bagaimana menemukannya!"
Sir George mendengus. "Itu mudah sekali. Geledah saja semua orang."
Lord Mayfield melakukan suatu gerakan yang menunjukkan rasa tak setujunya, tapi
Poirot berkata mendahului,
"Tidak, tidak, tidak sesederhana itu. Orang yang telah mengambil rencana-rencana
itu sudah mengira bahwa akan diadakan
penggeledahan, dan dia tentu berusaha agar rencana-rencana itu tidak ditemukan
di antara barang-barangnya. Itu pasti disembunyikan di tempat yang tak mungkin
dicurigai." "Apakah itu berarti kita harus bermain petak umpet di rumah sebesar ini?"
Poirot tersenyum. "Tidak, tidak, kita tak perlu berbuat begitu kasar. Kita akan bisa menemukan
tempat persembunyiannya (atau mungkin menemukan orang yang bersalah) melalui
ingatan. Itu akan mempermudah persoalan. Kalau hari sudah pagi, saya ingin
mewawancarai semua orang di dalam rumah ini. Saya rasa tidak pantas kalau
wawancara itu dilakukan sekarang."
Lord Mayfield mengangguk. "Akan terlalu banyak keluhan bila kita menyeret semua
orang dari tempat tidur pada jam tiga subuh.
Bagaimanapun, Anda harus melakukannya secara terselubung, M.
Poirot. Persoalan ini harus tetap merupakan rajasia."
Poirot mengangkat tangannya. "Serahkan itu pada Hercule Poirot.
Kebohongan-kebohongan yang saya ciptakan selalu halus dan sangat meyakinkan.
Jadi, besok saya akan mengadakan penyelidikan. Tapi malam ini saya ingin mulai
dengan Anda, Sir George, dan Anda, Lord Mayfield."
Ia membungkuk pada mereka berdua.
"Maksud Anda... secara terpisah?"
"Begitulah maksud saya."
Lord Mayfield mengangkat matanya sedikit, lalu berkata, Baikiah. Saya tinggalkan
Anda dengan Sir George. Kalau Anda memerlukan saya, saya berada di ruang kerja
saya. Mari, Carlile."
Ia dan sekretarisnya keluar dari kamar, dan menutup pintu.
Sir George duduk, tangannya otomatis menjangkau rokok. Ia menoleh pada Poirot
dengan pandangan bertanya.
"Ketahuilah," katanya lambat-lambat. "Saya kurang mengerti."
"Itu mudah sekali dijelaskan," kata Poirot sambil tersenyum.
"Tepatnya hanya dengan , dua patah kata. Mrs. Vanderlyn!"
"Oh," kata Carrington. Saya rasa saya mengerti. Mrs. vanderlyn, ya?"
"Tepat. Soalnya, mungkin kurang pantas kalau saya ajukan pertanyaan ini pada
Lord Mayfield. Mengapa Mrs. Vanderlyn" Wanita itu dikenal sebagai tokoh yang
patut dicurigai. Lalu mengapa dia harus berada di sini" Saya katakan dalam hati,
ada tiga penjelasannya. Pertama, Lord Mayfield mungkin menaruh hati pada wanita
itu (sebab itulah saya ingin berbicara dengan Anda saja. Saya tak ingin
mempermalukan Lord Mayfield). Kedua, Mrs. Vanderlyn mungkin sahabat baik
seseorang lain di rumah ini?"
"Saya tidak termasuk dalam golongan itu!" kata Sir George sambil nyengir.
"Lalu, bila kedua kemungkinan itu tidak benar, maka kita bertanya dengan makin
bertekanan. Mengapa Mrs. Vanderlyn" Dan agaknya kita akan mendapatkan jawaban
yang samar. Tapi pasti ada alasannya. Kehadiran wanita itu dalam pertemuan
khusus ini pasti diinginkan oleh Lord Mayfield, dengan suatu alasan. Benarkah
kata-kata saya?" Sir George mengangguk. "Anda benar sekali." katanya. "Mayfield terlalu tua untuk terpikat pada
rayuannya. Dia menginginkan wanita itu di sini dengan suatu alasan lain.
Begini." Lalu diulanginya percakapan yang telah terjadi di meja makan.
Poirot mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah," katanya. "Sekarang saya mengerti. Tapi kelihatannya wanita itu telah
mempermainkan Anda berdua dengan halus sekali!"
Sir George mengumpat terang-terangan.,
Poirot memandanginya dengan agak geli, lalu berkata,
"Anda tidak ragu bahwa pencurian tersebut adalah perbuatan wanita itu - maksud
saya, dialah yang bertanggung jawab, entah dia turut ambil bagian dalam hal itu
ataupun tidak?" Sir George terbelalak. "Tentu saja itu tak bisa diragukan. Siapa lagi yang punya minat untuk mencuri
dokumen-dokumen itu?"
"Oh!" kata Hercule Poirot. Ia bersandar, lalu melihat ke plafon.
"Padahal, Sir George, belum seperempat jam yang lalu kita sependapat bahwa
kertas-kertas itu benar-benar berarti uang.
Mungkin saja tidak benar-benar dalam bentuk mata uang, atau emas, atau barang-
barang perhiasan, tapi tetap saja uang dalam jumlah besar. Kalaupun ada
seseorang di sini yang berada dalam kesulitan keuangan...
Teman bicaranya menyela dengan mendengus,
"Siapa sih yang ticlak berada dalam kesulitan keuangan sekarang ini" Saya rasa
saya bisa mengatakannya tanpa mengecualikan diri saya sendiri." Ia tersenyum dan
Poirot membalas senyumnya dengan sopan, lalu bergumam,
"Ya, Anda bisa berkata apa saja, karena Anda, Sir George, memiliki alibi yang
tak tergoyahkan dalam perkara ini."
"Tapi saya sendiri juga kesulitan uang."
Poirot menggeleng dengan sedih.
"Memang benar, seseorang yang berkedudukan seperti Anda, biaya hidupnya tinggi.
Lagi pula, Anda punya putra yang sedang menginjak usia seperti sekarang ini."
Sir George menggeram. "Pendidikan saja sudah cukup mahal, ditambah lagi dengan utang-utangnya. Tapi
perlu diingat bahwa anak muda itu tidak jahat."
Poirot mendengarkan dengan simpatik. Ia sering mendengar banyaknya kesedihan
yang harus dirasakan oleh marsekal udara itu.
Kurangnya keberanian dan semangat yang dimiliki generasi muda, ibu-ibu yang
terlalu memanjakan anak-anak mereka dan selalu memihak anak-anak itu, jahatnya
pengaruh judi bila sudah menguasai seorang wanita, kebodohan main dengan taruhan
makin lama makin tinggi, melebihi kemampuan. Hal itu digambarkan secara umum,
dan Sir George tidak menyebutkan secara langsung mengenai istrinya atau
putranya. Tapi caranya bercerita menjadikan ceritanya itu mudah sekali
dimengerti. Ia berhenti mendadak. "Maaf, saya tak boleh membuang-buang waktu Anda dengan
sesuatu yang di luar persoalan, apalagi pada malam hari begini...
atau tepatnya subuh."
Ia menahan untuk tidak menguap,
"Saya anjurkan, Sir Geoge, agar Anda pergi tidur. Anda sudah berbaik hati dan
sangat membantu." "Benar juga, sebaiknya saya pergi ticlur. Apakah Anda yakin akan bisa menemukan
kembali dokumen-dokumen itu?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Saya sudah bertekad untuk mencoba. Jadi, mengapa tidak?"
"Nah, saya pergi. Selamat malam."
Ia keluar dari kamar itu.
Poirot tetap duduk di kursinya, menatap plafon sambil merenung.
Lalu ia mengeluarkan- sebuah buku catatan kecil, membalik ke halaman bersih, dan
menulis: Mrs. Vanderlyn" Lady Julia Carr" Mrs. Macatta" Mr. Reggie Carrington"
Mr. Carlile" Di bawahnya, ia menulis: Mrs. Vanderlyn dan Mr. Reggie Carrington"
Mrs. Vanderlyn dan Lady Julia"
Mrs. Vanderlyn dan Mr. Carlile"
Ia menggeleng dengan sikap tak puas, sambil bergumam,
"Apa tak ada yang lebih sederhana?"
Lalu ditambahkannya beberapa kalimat pendek.
Apakah Lord Mayfield benar-benar melihat suatu "bayangan?"
Kalau tidak, mengapa dia mengatakan melihatnya" Apakah Sir George melihat
sesuatu" Dia yakin tidak melihat apa-apa SESUDAH
aku memeriksa bedeng bunga. Catatan: Lord Mayfield, menderita rabun jauh; dia
bisa membaca tanpa kacamata, tapi harus memasang monokelnya kalau ingin melihat
ke seberang ruangan. Sir George bisa melihat jauh. Oleh karenanya, dari ujung
terjauh teras, penglihatannya bisa lebih dipercaya daripada penglihatan Lord
Mayfield. Tapi Lord Mayfield yakin sekali bahwa dia BENAR-BENAR
melihat sesuatu, dan sama sekali tak tergoyahkan oleh bantahan sahabatnya.
Bisakah seseorang benar-benar bisa dibebaskan dari tuduhan, seperti Mr. Carlile
itu" Lord Mayfield sangat menekankan bahwa Mr.
Carlile tidak bersalah. Rasanya aneh. Mengapa" Karena diam-diam dia mencurigai
sekretarisnya itu, dan dia malu akan kecurigaannya"
Atau karena dia mencurigai orang lain" Artinya, orang lain YANG
BUKAN Mrs. Vanderlyn"
Disimpannya buku catatannya itu.
Lalu ia bangkit dan pergi ke ruang kerja.
BAB 5 Lord Mayfield sedang duduk di meja kerjanya waktu Poirot masuk.
Ia berbalik, meletakkan penanya, lalu mengangkat kepala dengan pandangan
bertanya. "Nah, M. Poirot, Anda sudah selesai mewawancarai Carrington?"


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot tersenyum, lalu duduk.
"Sudah Lord Mayfield. Dia menjelaskan satu hal yang tidak saya mengerti."
"Apa itu?" "Alasan mengapa Mrs. Vanderlyn hadir di sini. Harap Anda mengerti, saya pikir
mungkin..." Mayfield cepat menyadari, mengapa Poirot tampak agak serba salah.
"Anda pikir saya menaruh hati pada wanita itu" Sama sekali tidak.
Jauh sekali. Lucunya, Carrington juga mengira begitu."
"Ya, dia sudah menceritakan percakapan dengan Anda mengenai soal itu."
Lord Mayfield tampak agak murung.
"Rencana kecil saya tidak berjalan dengan baik. Menjengkelkan sekali, harus
mengakui babwa seorang wanita bisa mempermainkan kita."
"Ah, tapi dia belum mempermainkan Anda, Lord Mayfield."
"Anda pikir kita masih bisa menang" Saya senang mendengar Anda berkata begitu.
Saya ingin yakin bahwa itu benar."
Ia mendesah. "Saya merasa telah bertindak tolol, karena sudah merasa senang dengan strategi
saya untuk menjebak wanita itu."
Sambil menyalakan salah satu rokoknya yang kecil sekali, Poirot berkata,
"Apa sebenarnya strategi Anda itu, Lord Mayfield?"
"Yah," Lord Mayfleld ragu. "Saya belum sampai pada hal-hal yang sekecil-
kecilnya." "Anda tidak membahasnya dengan seseorang?"
"Tidak." "Bahkan tidak dengan Mr. Carlile?"
"Tidak." Poirot tersenyum. "Anda lebih suka menanganinya sendiri, Lord Mayfield?"
"Biasanya saya merasa itulah cara yang terbaik," kata lawan bicaranya dengan
agak serius. "Ya, Anda bijak. Jangan percayai siapa pun. Tapi Anda
mengatakan persoalan itu pada Sir George Carrington?"
"Hanya karena saya menyadari bahwa laki-laki yang baik itu sangat prihatin
tentang diri saya." Lord Mayfield tersenyum mengenangnya.
"Apakah dia teman lama Anda?"
"Ya. Sudah lebih dari dua puluh tahun saya mengenalnya."
"Istrinya juga?"
"Saya tentu juga mengenal istrinya."
"Tapi - maafkan kalau saya lancang - Anda tidak begitu akrab dengannya?"
"Saya benar-benar tak mengerti, apa kaitannya hubungan pribadi saya dengan
orang-orang, dengan persoalan kita ini, M. Poirot."
"Tapi saya rasa, Lord Mayfield, hal itu mungkin erat hubungannya dengan perkara
itu. Apakah Anda sependapat bahwa teori saya mengenai seseorang di ruang duduk
itu mungkin?" "Ya. Sebenarnya saya sependapat dengan Anda bahwa mungkin memang begitulah
kejadiannya." "Kita tak bisa mengatakan 'pasti' begitu kejadiannya. Itu namanya terlalu yakin.
Tapi bila teori saya itu benar, siapa pelakunya di antara mereka yang ada di
ruang duduk?" "Jelas Mrs. Vanderlyn. Dia masuk kembali ke ruang itu satu kali, untuk mengambil
buku. Bisa saja dia kembali lagi untuk mengambil buku lain, atau tas, atau
saputangannya yang jatuh. Diaturnya supaya pelayannya berteriak untuk mengumpan
Carlile keluar dari ruang keja. Lalu dia menyelinap masuk dan keluar lewat
jendela, seperti kata Anda."
"Anda lupa, mungkin dia bukan Mrs. Vanderlyn. Carlile mendengar dia memanggil
pelayannya dari lantai atas, waktu dia berbicara dengan pelayan itu."
Lord Mayfield menggigit bibirnya.
"Benar juga. Saya lupa itu." Ia kelihatan kesal sekali.
"Harap Anda mengerti," kata Poirot dengan halus. "Kita sudah maju. Pertama-tama,
kita sudah mendapatkan penjelasan sederhana bahwa ada seorang pencuri yang masuk
dari luar dan melarikan barang curiannya. Seperti saya katakan, teori itu
terlalu mudah, hingga sulit diterima. Maka teori itu kita singkirkan. Lalu kita
berteori tentang adanya seorang agen asing, yaitu Mrs. Vanderlyn, dan itu lagi-
lagi cocok dengan baik, sampai titik tertentu. Tapi sekarang kelihatannya itu
pun terlalu mudah, terlalu sederhana untuk diterima."
"Anda akan menghapuskan Mrs. Vanderlyn sama sekali dari peristiwa itu?"
"Bukan Mrs. Vanderlyn yang berada di ruang duduk. Mungkin sekutu Mrs. Vanderlyn
yang melakukan pencurian itu, tapi mungkin pula hal itu dilakukan oleh orang
yang sama sekali lain. Dengan demikian, kita harus memikirkan motifnya."
"Apakah itu tidak terlalu dicari-cari, M. Poirot?"
"Saya rasa tidak. Nah, apa kira-kira motifnya" Ada motif uang.
Mungkin surat-surat itu dicuri dengan tujuan untuk menukarnya dengan uang tunai.
Itulah motif yang paling mudah yang bisa dipertimbangkan. Tapi mungkin ada motif
yang lain sama sekali."
"Seperti?" Lambat-lambat Poirot berkata,
"Mungkin itu dilakukan dengan tekad untuk menghancurkan seseorang."
"Siapa?" "Mungkin Mr. Carlile. Dialah yang paling mungkin merupakan tersangka. Tapi
mungkin lebih dari itu. Orang-orang yang mengendalikan negara, Lord Mayfield,
sangat peka terhadap popularitas."
"Yang berarti bahwa pencurian itu bertujuan untuk
menghancurkan saya?"
Poirot mengangguk. "Saya rasa saya bisa mengatakan, Lord Mayfield, bahwa kira-kira lima tahun yang
lalu, Anda telah melampaui masa yang sulit. Anda dicurigai bersahabat baik
dengan suatu kekuatan Eropa yang saat itu amat sangat dibenci oleh kalangan atas
negeri ini." "Benar sekali, M. Poirot."
"Zaman sekarang ini, seorang negarawan punya tugas yang sangat berat. Dia harus
menjalankan politik yang dianggap
menguntungkan negaranya, padahal dia juga harus mengakui adanya dorongan
popularitas. Perasaan itu sering bersifat sentimental, membingungkan, dan amat
sangat tak sehat. Tapi tetap saja tak bisa diremehkan"'
"Tepat sekali gambaran Anda! Memang itulah kutukan dalam hidup seorang
politikus. Dia harus tunduk pada perasaan bernegara, meskipun dia tahu betapa
berbahaya dan gila-gilaannya itu."
"Saya rasa itulah dilema Anda. Ada desas-desus bahwa Anda telah mengadakan
perjanjian dengan negara bersangkutan. Dan negara ini serta surat-surat kabar
jadi marah besar. Untunglah Perdana Menteri langsung bisa membantah cerita itu,
dan Anda sendiri tak mau mengakuinya, meskipun Anda tetap tidak merahasiakan di
mana letak simpati Anda."
"Semuanya itu benar sekali, M. Poirot, tapi untuk apa kita harus mengorek
sejarah masa lalu?" "Karena saya pikir, seorang musuh yang kecewa dengan cara Anda mengatasi krisis
itu, mungkin berusaha untuk memperbesar dilema Anda. Anda langsung memperoleh
kembali kepercayaan rakyat. Keadaan khusus itu sudah berlalu. Kini Anda adalah
salah seorang yang pantas menjadi tokoh politik yang paling populer.
Masyarakat umum secara bebas membicarakan Anda sebagai
Perdana Menteri yang akan menggantikan Mr. Hunberly bila dia mundur."
"Apakah menurut Anda ini suatu usaha untuk menjatuhkan saya"
Omong kosong!" "Namun demikian, Lord Mayfield, masa depan Anda kelihatannya akan suram bila
diketahui bahwa dokumen-dokumen mengenai pesawat pembom Inggris yang baru telah
dicuri, pada suatu pertemuan akhir pekan, di mana seorang wanita yang sangat
menarik merupakan salah seorang tamu Anda. Sindiran-sindiran kecil mengenai
hubungan Anda dengan wanita itu akan menimbulkan perasaan tak percaya pada
Anda." "Hal semacam itu tak bisa ditanggapi dengan serius."
"Lord Mayfield yang baik, Anda tahu benar bahwa itu bisa! Kita tak bisa
meremehkan kepercayaan masyarakat pada seseorang."
"Ya, itu benar," kata Lord Mayfield. Tiba-tiba ia kelihatan cemas sekali.
"Astaga! Kenapa urusan ini jadi begini rumit! Apakah menurut Anda, benar-benar..
tapi tak mungkin... tak mungkin."
"Tidakkah Anda mengenal seseorang yang... iri pada Anda?"
"Tak masuk akal!"
"Pokoknya Anda harus mengakui bahwa pertanyaan-pertanyaan saya tentang hubungan
Anda dengan para tamu pertemuan pribadi ini benar-benar bisa diterima."
"Oh, mungkin... mungkin. Anda telah menanyai saya tentang Julia Carrington.
Sebenarnya tak banyak yang bisa saya katakan. Saya tak pernah terlalu suka
padanya, dan saya rasa dia pun tak suka pada saya. Dia seorang wanita yang
gelisah, penggugup, luar biasa borosnya, dan tergila-gila main kartu. Saya rasa
dia cukup kuno, dan membenci saya karena saya orang yang mampu membina diri
sendiri." Kata Poirot, "Saya sempat mencari dalam buku Apa Siapa sebelum saya
datang kemari. Anda adalah kepala dari sebuah perusahaan teknik yang terkenal,
dan Anda sendiri seorang ahli teknik terkemuka."
"Memang tak ada yang tidak saya ketahui tentang soal-soal praktisnya. Saya telah
bekerja dari bawah untuk mencapai kedudukan saya yang sekarang."
Cara bicara Lord Mayfield serius.
"Wah, wah!" seru Poirot. "Betapa bodohnya saya. Bodoh sekali!"
Lord Mayfield memandanginya..
"Ada apa, M. Poirot?"
"Ada bagian dari teka-teki ini yang sudah terungkap. Sesuatu yang selama ini tak
terlihat oleh saya. Tapi semuanya cocok. Ya, cocok dan tepat sekali."
Lord Mayfield melihat padanya dengan pandangan terkejut, bercampur ingin
bertanya. Tapi Poirot tersenyum kecil sambil menggeleng.
"Tidak, tidak, jangan sekarang. Saya harus mengatur gagasan dengan sedikit lebih
jelas." Ia bangkit. "Selamat malam, Lord Mayfield. Saya rasa saya sudah tahu di mana dokumen-dokumen
itu berada. Lord Mayfield berseru, "Anda tahu" Kalau begitu, mari kita tangkap segera pelakunya!"
Poirot menggeleng. "Jangan, jangan, tak baik begitu. Akan fatal bila kita terburu-buru.
Serahkan saja semuanya pada Hercule Poirot."
Ia keluar dari ruangan itu. Lord Mayfield mengangkat bahunya dengan kesal.
"Dasar besar mulut orang itu!" gumamnya. Lalu, setelah
menyimpan surat-suratnya dan mematikan lampu-lampu, ia pun pergi tidur.
BAB 6 "Kalau memang ada perampokan, mengapa Lord Mayfield tidak memanggil polisi?"
tanya Reggie Carrington. Ia mendorong kursinya ke belakang sedikit, dari meja sarapan.
Ia yang terakhir di meja itu. Tuan rumahnya, Mrs. Macatta, dan Sir George telah
selesai sarapan beberapa waktu yang lalu. Ibunya dan Mrs. Vanderlyn sarapan di
tempat tidur. Sir George, yang telah menceritakan peristiwa itu sesuai dengan kesepakatan
antara Lord Mayfield dan Hercule Poirot, merasa ia kurang berhasil dalam
menanganinya. "Menurut saya, aneh sekali kalau harus mendatangkan orang asing seperti itu,"
kata Reggie. "Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ayah?"
"Aku tidak tahu apa tepatnya, Nak."
Reggie bangkit. Pagi itu ia kelihatan agak gugup dan mudah tersinggung.
"Tak ada... yang penting" Tak ada... yang diberitakan dalam surat kabar atau
semacamnya?" "Terus terang, Reggie, aku tak bisa menceritakannya dengan tepat."
"Penuh rahasia, ya" Saya mengerti."
Reggie naik tangga dengan berlari, setengah jalan ia berhenti sebentar sambil
mengernyit, lalu melanjutkan naik dan mengetuk pintu kamar ibunya. Ibunya
menyuruhnya masuk. Lady Julia sedang duduk di tempat tidur, mencoret-coret angka-angka di bagian
belakang sebuah amplop. "Selamat pagi, Sayang." Ia mendongak, lalu berkata lagi dengan tajam,
"Reggie, ada apa?"
"Tidak penting, tapi agaknya semalam ada perampokan."
"Perampokan" Apa yang diambil?"
"Entahlah. Semuanya dirahasiakan. Di lantai bawah ada seorang detektif swasta
yang menanyai semua orang."
"Aneh sekali!" "Sangat tidak menyenangkan menginap di rumah orang, bila hal semacam itu
terjadi," kata Reggie perlahan-lahan.
"Apa sebenarnya yang terjadi"'
"Entahlah. Kejadiannya beberapa waktu setelah kita emua pergi tidur. Awas, ibu,
nampan itu hampir jatuh."
Ia menyelamatkan nampan sarapan itu, lalu meletakkannya ke sebuah meja di dekat
jendela. "Uangkah yang diambil?"
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu."
Perlahan-lahan Lady Julia berkata,
"Kurasa detektif itu menanyai semua orang, ya?"
"Kurasa begitu."
"Tentang di mana mereka berada semalam" Semacam itu, kan, pertanyaannya?"
"Mungkin. Yah, aku sih tidak akan bisa berkata banyak padanya.
Aku langsung masuk kamar, dan tertidur."
Lady Julia tidak menjawab.
"O ya, ibu, tak bisakah ibu memberiku uang sedikit" Sakuku kosong sama sekali."
"Tidak, tak bisa," sahut ibunya dengan tegas. Aku sendiri sudah mengeluarkan
uang jauh lebih benyak. Entah apa kata ayahmu kalau dia mendengarnya."
Terdengar ketukan di pintu, dan Sir George masuk.
"Oh, di sini rupanya kau, Reggie. Coba turun ke perpustakaan. M.
Poirot ingin bertemu denganmu."
Poirot baru saja selesai mewawancarai Mrs. Macatta yang memberikan jawaban-
jawaban meragukan. Beberapa pertanyaan singkat telah menjelaskan bahwa Mrs.
Macatta pergi tidur jam sebelas kurang sedikit, dan tidak mendengar atau melihat
apa-apa yang bisa membantu.
Dengan halus Poirot beralih dari soal perampokan itu pada soal-soal yang lebih
pribadi. Poirot sendiri sangat kagum pada Lord Mayfield. Menurut pendapatnya,
sebagai anggota masyarakat umum.
Lord Mayfield benar-benar orang besar. Tapi karena Mrs. Macatta lebih
mengenalnya, ia tentu bisa memberikan penilaian yang jauh lebih baik daripada
dirinya sendiri. "Lord Mayfield itu berotak tajam," kata Mrs. Macatta. "Dan dia telah mengukir
namanya sendiri dalam meniti kariernya. Dia sama sekali tidak menggantungkan
diri pada pengaruh keturunan. Mungkin dia kurang imajinasi. Dalam hal itu.
dengan sedih harus saya katakan bahwa semua laki-laki sama. Mereka tidak
memiliki daya khayal wanita yang luas. Sepuluh tahun lagi, wanitalah yang akan
punya kekuatan besar dalam pemerintahan, M. Poirot."
Poirot berkata bahwa ia yakin akan hal itu.
Ia lalu beralih pada persoalan Mrs. Vanderlyn
Apakah benar apa yang didesas-desuskan, bahwa wanita itu adalah teman dekat Lord
Mayfield" "Sama sekali tidak. Terus terang, saya heran sekali bertemu dengannya di sini.
Sungguh terkejut sekali."
Poirot mengorek pendapat Mrs. Macatta tentang Mrs. Vanderlyn, dan ia berhasil.
"Dia wanita yang benar-benar tak berguna, M. Poirot. Wanita yang membuat sesama
wanita putus asa! Dia adalah parasit, benar-benar parasit."
"Tapi laki-laki mengaguminya, ya?"
"Ah, laki-laki, Mrs. Macatta menyemburkan kata-kata itu dengan benci. "Laki-laki
selalu terpesona oleh kemolekan lahiriah. Seperti anak muda itu, Reggie
Carrington, wajahnya memerah setiap kali perempuan itu berbicara dengannya. Dia
benar-benar merasa bangga
mendapatkan perhatiannya. Dan perempuan dungu itu pun
membesarkan hatinya pula, dengan memuji Permainan bridge-nya, padahal anak muda
itu sama sekali tidak pintar."
"Apakah anak muda itu tidak pandai main?"


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semalam dia membuat banyak kesalahan."
"Lady Julia seorang pemain yang pandai, ya?"
"Menurut saya bahkan terIalu pandai," kata Mrs. Macatta. "Itu seolah-olah sudah
merupakan profesinya. Dia main pagi, siang, dan malam,"
"Dengan taruhan tonggi?"
"Memang, jauh lebih tinggi daripada yang ingin saya mainkan.
Saya pikir itu tidak bagus."
"Apakah dia menang banyak dalam permainan itu?"
Mrs. Macatta mendengus nyaring dan jelas.
"Dia memperhitungkan akan bisa membayar utang-utangnya
dengan cara itu. Tapi saya dengar, akhir-akhir ini dia bemasib sial.
Semalam kelihatannya dia memikirkan sesuatu. Kejahatan berjudi, M.
Poirot, hanya sedikit berada di bawah kejahatan yang disebabkan oleh minum-
minum. Kalau saja saya punya kekuasaan, saya ingin menyucikan negara ini."
Poirot terpaksa mendengar diskusi yang agak berkepanjangan mengenai pensucian
moral Inggris. Lalu dengan tangkas ditutupnya percakapan itu dan memanggil
Reggie Carrington. Ia menilai anak muda itu dengarl cermat, waktu Reggie memasuki ruangan. Mulutnya
lemah, di samarkan oleh senyuman yang cukup menarik, dagunya tidak kokoh, letak
matanya berjauhan, kepalanya agak sempit. Ia merasa mengenal benar tipe seperti
Reggie Carrington itu. "Mr. Reggie Carrington?"
"Benar. Ada yang bisa saya bantu?"
"Tolong ceritakan saja tentang semalam, sebisa Anda."
"Yah, coba saya ingat-ingat, kami main bridge di ruang duduk.
Setelah itu saya naik untuk tidur."
"Jam berapa itu?"
"Jam sebelas kurang sedikit. Saya rasa perampokannya terjadi setelah itu, ya?"
"Ya, setelah itu. Anda tidak mendengar atau melihat apa-apa?"
Reggie menggeleng dengan sikap menyesal.
Saya langsung pergi tidur dan saya tidur nyenyak."
"Apakah dari ruang duduk, Anda langsung pergi ke kamar tidur Anda dan tetap
tinggal di situ sampai pagi"
"Benar." "Aneh," kata Poirot.
Dengan tajam Reggie berkata,
"Apa maksud Anda, aneh?"
"Anda tidak mendengar teriakan, umpamanya?"
"Tidak." "Ah, aneh sekali."
"Dengar, saya tak mengerti maksud Anda."
"Mungkinkah Anda agak tuli?"
"Sama sekali tidak."
Bibir Poirot bergerak. Mungkin ia mengulangi kata aneh untuk ketiga kalinya.
Lalu ia berkata, "Yah, terima kasih, Mr. Carrington. Sekian saja." Reggie bangkit dan berdiri
dengan agak bimbang. "Oh, ya," katanya, "setelah Anda sebut, saya rasa saya
memang mendengar yang semacam itu."
"Oh, Anda mendengar sesuatu?"
"Ya, tapi saya sedang membaca buku-buku cerita detektif - dan saya... yah, saya
tidak memperhatikannya."
"Oh," kata Poirot, "penjelasan itu sangat memuaskan."
Wajahnya polos sekali. Reggie masih saja bimbang, lalu ia berbalik dan berjalan perlahan-lahan ke
pintu. Ia berhenti di situ dan bertanya,
"Omong-omong, apa yang dicuri?"
"Sesuatu yang sangat berharga, Mr. Carrington. Hanya itu yang bisa saya
katakan." "Oh," kata Reggie datar.
Ia keluar. Poirot mengangguk. "Cocok," gumamnya. "Cocok sekali."
Ia menekan sebuah bel dan bertanya dengan sopan, apakah Mrs.
Vanderlyn sudah bangun. BAB 7 Mrs. Vanderlyn melenggang masuk ke ruangan itu. Ia tampak cantik sekali. Ia
mengenakan setelan olah raga berwarna cokelat kemerahan yang menonjolkan warna
hangat rambutnya. Ia menghampiri sebuah kursi, lalu tersenyum menawan pada pria kecil di hadapannya.
Sesaat terbayang sesuatu di balik senyumnya itu. Mungkin rasa kemenangan,
mungkin pula ejekan. Kilasan itu langsung lenyap, tapi tadi ada. Poirot
menganggapnya menarik. "Maling" Semalam" Aduh, mengerikan sekali! Wah, tidak, saya tidak mendengar apa-
apa. Bagaimana dengan polisi" Apakah mereka tak bisa berbuat apa-apa?"
Lagi-lagi terbayang sorot mengejek di matanya.
Pikir Poirot, "Jelas sekali kau tidak takut pada polisi, Nyonya. Kau tahu benar bahwa mereka
tidak akan dipanggil."
"Lalu bagaimana kelanjutannya?"
Dengan tenang Poirot berkata,
"Harap Anda mengerti, Madame, bahwa peristiwa ini sangat rahasia sifatnya."
"Ya, tentu, M... Poirot, bukan" Saya tidak akan membuka mulut.
Saya pengagum besar Lord Mayfield, dan saya tidak akan mau melakukan sesuatu
yang bisa menyusahkannya."
Ia menyilangkan lututnya. Sandal mengilap dari kulit berwama cokelat terayun-
ayun di ujung kakinya. Ia tersenyum, sebuah senyum hangat dan menggoda yang
membayangkan kesehatan dan rasa puas diri.
"Katakan saja apa yang harus saya lakukan."
"Terima kasih, Madame. Anda main bridge di ruang duduk
semalam?" "Ya." "Saya dengar sesudah itu ibu-ibu naik untuk pergi tidur?"
"Benar." "Tapi seseorang kembali untuk mengambil buku. Orang itu Anda, bukan, Mrs.
Vanderlyn?" "Saya yang pertama-tama kembali - benar."
"Apa maksud Anda - yang pertama-tama?" tanya Poirot tajam.
"Saya langsung kembali," jelas Mrs. Vanderlyn. "Lalu saya naik dan membunyikan
bel, memanggil pelayan saya. Lama dia baru datang. Saya membunyikan bel lagi.
Lalu saya keluar ke puncak tangga. Saya mendengar suaranya dan saya panggil dia.
Setelah dia menyikat rambut saya, saya suruh dia pergi. Dia tampak gugup, hingga sikatnya
heberapa kali tersangkut pada rambut saya. Pada saat saya menyuruh dia pergi
itulah saya melihat Lady Julia menaiki tangga. Katanya dia turun lagi akan
mengambil buku juga. Aneh, bukan?"
Setelah selesai berbicara, Mrs. Vanderlyn tersenyum, senyum lebar, seperti
kucing. Mrs. Vanderlyn tidak menyukai Lady Julia Carrington, pikir Hercule
Poirot. "Memang, Madame. Adakah Anda mendengar pelayan Anda
berteriak?" "Oh ya, saya dengar."
"Apakah Anda tanyakan soal itu padanya?"
"Ya. Katanya dia merasa melihat suatu sosok putih mengambang.
Omong kosong besar!"
"Pakaian tidur warna apa yang dipakai Lady Julia malam itu?"
"Oh, Anda pikir barangkali... Ya, saya mengerti. Dia memang memakai baju putih.
Pasti itu penjelasannya. Pasti pelayan saya melihatnya dalam gelap, seperti
sosok putih saja. Gadis-gadis itu memang amat percaya takhayul."
"Sudah lamakah pelayan Anda bekerja pada Anda, Madame?"
"Oh, belum." Mrs. Vanderlyn membelalakkan matanya agak lebar.
"Baru kira-kira lima bulan.'
"Kalau Anda tidak keberatan, Madame, saya ingin bertemu dengannya nanti."
Mrs. Vanderlyn mengangkat alisnya.
"Oh, tentu saja," katanya dengan agak dingin.
"Harap Anda mengerti bahwa saya ingin menanyainya."
"Oh, ya." Lagi-lagi terkilas rasa senang.
Poirot bangkit, lalu membungkuk.
"Madame," katanya. "Saya kagum sekali pada Anda."
Baru sekali itulah Mrs. Vanderlyn tampak agak terkejut.
"Ah, M. Poirot, menyenangkan sekali, tapi mengapa?"
"Anda bisa menguasai diri Anda dengan baik sekali, Madame, begitu yakin akan
diri sendiri." Mrs. Vanderlyn tertawa agak gugup.
"Wah," katanya, "saya tidak yakin apakah itu boleh saya anggap sebagai pujian?"
"Mungkin. Itu suatu peringatan, supaya Anda tidak menjalani hidup dengan sikap
angkuh." Kini Mrs. Vanderlyn tertawa dengan lebih yakin. Ia bangkit, lalu mengulurkan
tangannya. "M. Poirot, saya benar-benar berharap Anda akan sukses. Terima kasih atas semua
kata-kata manis yang sudah Anda ucapkan pada saya."
Ia keluar. Poirot bergumam sendiri,
"Kau berharap agar aku sukses, ya" Padahal kau pasti yakin sekali bahwa aku
tidak akan berhasil! Ya, kau yakin sekali. Dan aku kesal sekali."
Dengan gusar ditariknya tali lonceng dan ia meminta agar Mademoiselle Leonie
disuruh datang menghadapnya.
Mata Poirot menelusuri gadis itu dengan pandangan menilai, waktu ia berdiri di
ambang pintu. Gadis itu tegak dengan serius, dalam pakaian hitamnya, rambutnya
yang ikal terbelah di tengah, dan kelopak matanya menekur dengan sopan. Poirot
mengangguk perlahan-lahan dengan sikap memuji.
"Silakan masuk, Mademoiselle Leonie," katanya.
"Jangan takut."
Gadis itu masuk, lalu berdiri dengan sopan di hadapan Poirot.
"Tahukah Anda," kata Poirot, nada suaranya tiba-tiba berubah,
"saya rasa Anda sangat enak dipandang."
Leonie langsung menanggapinya. Ia melirik lewat sudut matanya pada Poirot, lalu
bergumam dengan suara halus,
"Monsieur baik sekali."
"Coba bayangkan," kata Poirot. "Saya tanyakan pada Mr. Carlile apakah Anda
berwajah manis atau tidak, dan dia berkata bahwa dia tidak tahu!" Leonie
langsung mengangkat dagunya dengan benci.
"Si angkuh itu!"
"Penilaian mengenai dirinya itu tepat sekali."
"Saya rasa seumur hidupnya orang itu tak pernah melihat pada seorang gadis pun."
"Mungkin tidak. Sayang sekali. Dia banyak rugi kalau begitu. Tapi di rumah ini
ada orang-orang yang punya penilaian lain, bukan?"
"Saya sama sekali tak mengerti maksud Anda, Monsieur."
"Oh ya, Mademoiselle Leonie, Anda mengerti sekali. Bagus sekali kisah yang Anda
ceritakan semalam, mengenai hantu yang Anda lihat itu. Begitu saya mendengar
bahwa Anda berdiri di tangga itu sambil memegangi kepala, saya langsung tahu
bahwa sama sekali tak ada hantu. Bila seorang gadis ketakutan, dia mendekap
dadanya, atau mengangkat tangannya ke mulut, untuk menahan teriakannya, tapi
kalau dia memegangi rarnbutnya, itu berarti sesuatu yang sangat berbeda. Itu
berarti rambutnya telah diacak, dan dia cepat-cepat ingin merapikannya lagi!
Nah, Mademoiselle, mari kita menghadapi kebenarannya sekarang. Mengapa Anda
berteriak di tangga?"
"Tapi, Monsieur, kata-kata saya itu benar, Saya melihat suatu sosok tinggi yang
berpakaian putih seluruhnya."
"Mademoiselle, jangan menghina kecerdasan saya. Kisah itu mungkin bisa diterima
oleh Mr. Carlile, tapi tak masuk di akal Hercule Poirot. Yang benar adalah bahwa
Anda baru saja dicium, bukan" Dan
saya bisa menebak bahwa Mr. Reggie Carrington-lah yang mencium Anda."
Leonie mengedipkan matanya tanpa malu-malu pada Poirot.
"Ah," kata gadis itu, "apalah artinya suatu ciuman?"
"Ya, apa, ya?" tanya Poirot bersungguh-sungguh,
"Begini, pria muda itu mengejar saya, lalu merangkul pinggang saya, jadi
wajarlah kalau dia mengejutkan saya dan saya berteriak.
Seandainya saya tahu... yah, saya tentu tidak akan berteriak."
"Tentu," kata Poirot sependapat.
"Tapi dia menyerang saya seperti kucing. Lalu pintu ruang kerja terbuka, dan
keluarlah Bapak Sekretaris, dan pria muda itu pun menyelinap naik tangga.
Tinggallah saya seperti orang dungu.
Tentulah saya harus mengatakan sesuatu..." Ia terpaksa beralih ke bahasa Prancis
yang merupakan bahasa ibunya, "Saya harus mengatakan sesuatu yang pantas
diucapkan di antara sesama orang muda!"
"Jadi, Anda mengarang cerita tentang hantu itu?"
"Benar, Monsieur, hanya itulah yang terpikir oleh saya. Suatu sosok tinggi yang
berpakaian putih seluruhnya, dan mengambang.
Itu tak masuk akal, tapi apa lagi yang bisa saya lakukan?"
"Tak ada. Jadi, sekarang semuanya sudah jelas. Sudah sejak semula saya curiga."
Leonie melempar pandangan menantang padanya.
"Monsieur pandai sekali, juga sangat baik hati."
"Dan karena saya tidak akan mempermalukan Anda mengenai soal itu, maukah Anda
melakukan sesuatu untuk saya sebagai
balasannya?" "Saya bersedia sepenuhnya, Monsieur."
"Berapa banyak yang Anda ketahui tentang majikan Anda?"
Gadis itu mengangkat bahunya.
"Tidak terlalu banyak, Monsieur. Tapi saya menebak-nebak saja."
"Bagaimana tebakan Anda itu?"
"Yah, tak luput dari perhatian saya bahwa teman teman Madame selalu anggota
tentara, baik darat, laut, atau udara. Lalu ada pula teman-teman lain, pria-pria
asing yang kadang-kadang mengunjunginya dengan diam-diam. Madame memang cantik sekali, tapi saya rasa itu
tidak akan lama lagi. Pria-pria muda menganggapnya menarik sekali. Kadang-kadang
saya pikir mereka berlebihan. Tapi itu hanya perkiraan saya saja. Madame tak
pernah mengatakan apa-apa pada saya."
"Anda sebenarnya ingin mengatakan bahwa Madame selalu
bertindak sendiri, begitukah?"
"Benar, Monsieur."
"Dengan kata lain, Anda tak bisa membantu saya."
"Saya rasa begitu, Monsieur. Kalau bisa, saya mau saja."
"Apakah suasana hati majikan Anda hari ini sedang bagus?"
"Pasti, Monsieur."
"Apakah telah terjadi sesuatu yang menyenangkan hatinya?"
"Sejak datang kemari dia sudah senang sekali."
"Kau harus yakin, Leonie."
Gadis itu menjawab dengan yakin,
"Ya, Monsieur. Saya tak mungkin keliru dalam hal itu. Saya selalu tahu suasana
hati Madame. Dia sedang senang."
"Dia merasa menang?"
"Tepat sekali kata-kata itu, Monsieur."
Poirot mengangguk dengan murung.
"Saya agak sulit menerimanya. Tapi saya mengerti bahwa itu tak bisa lain. Terima
kasih, Mademoiselle, sekian saja."
Leonie melihat padanya dengan genit.
"Terima kasih, Monsieur. Kalau saya berpapasan dengan Monsieur di tangga,
yakinlah bahwa saya tidak akan berteriak."
"Anakku," kata Poirot dengan berwibawa. "Saya sudah tua. Apa urusan saya dengan
hal-hal semacam itu Sambil tertawa terkikik, Leonie berlalu.
Poirot berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu.
Wajahnya jadi serius dan penuh ingin tahu.
"Dan sekarang," katanya akhirnya, "giliran Lady Julia. Ingin aku tahu apa yang
akan dikatakannya." Lady Julia masuk ke dalam ruangan dengan sikap yakin yang tenang. Ia mengangguk
dengan anggun, duduk di kursi yang disodorkan Poirot, lalu berbicara dengan
suara rendah, layaknya orang yang berasal dari keluarga baik-baik.
"Kata Lord Mayfield, Anda ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada saya.


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Madame. Mengenai semalam."
"Tentang semalam" Ya, bagaimana?"
"Apa yang terjadi setelah Anda selesai main bridge?"
"Suami saya berpendapat bahwa hari sudah terlalu larut untuk memulai main lagi.
Jadi, saya naik untuk pergi tidur."
"Lalu?" "Lalu saya tidur."
"Hanya itu sajakah?"
"Ya, saya tak bisa menceritakan apa-apa lagi yang menarik.
Kapan... eh..." ia ragu, "Perampokan itu terjadi?"
"Segera setelah Anda naik ke lantai atas."
"Oh, begitu. Lalu apa sebenarnya yang diambil"'-
"Beberapa surat pribadi, Madame."
"Apakah surat-surat penting?"
"Penting sekali."
Ia mengemyi,t sedikit, lalu berkata,
"Juga... berharga?"
"Ya, Madame, surat-surat itu bernilai uang banyak sekali."
"Oh, begitu." Keadaan sepi sebentar, lalu Poirot berkata,
"Bagaimana dengan buku Anda, Madame?"
"Buku saya?" Ia mengangkat mata dengan kebingungan dan
melihat pada Poirot "Ya, Mrs. Vanderlyn mengatakan bahwa tak lama setelah kaum wanita pergi, Anda
turun lagi akan mengambil sebuah buku."
"Ya, memang. Itu benar."
"Jadi, sebenarnya Anda tidak langsung pergi tidur setelah Anda tiba di lantai
atas" Anda kembali ke ruang perpustakaan?"
"Ya, benar. Saya lupa."
"Waktu berada di ruang duduk, adakah Anda mendengar
seseorang berteriak?"
"Tidak. Ya... saya rasa tidak."
"O ya" Tak mungkin Anda tidak mendengarnya waktu Anda
berada di ruang duduk."
Lady Julia menegakkan kepalanya dan berkata dengan tegas,
"Saya tidak mendengar apa-apa."
Poirot mengangkat alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Keheningan itu jadi tidak menyenangkan. Lalu Lady Julia mendadak bertanya,
"Apa yang dilakukan?"
"Dilakukan" Saya tak mengerti, Madame."
"Maksud saya sehubungan dengan perampokan itu. Pasti polisi melakukan sesuatu."
Poirot menggeleng. "Kami tidak memanggil polisi. Saya yang bertugas."
Wanita itu memandanginya, wajahnya yang pucat dan resah menjadi tajam dan
tegang. Mata gelapnya yang terus mencari-cari, seolah-olah menghunjam ke sosok
Poirot yang tenang. Akhirnya pandangan keras itu melemah... kalah.
"Tak bisakah Anda mengatakan apa yang di lakukan?"
"Saya hanya bisa memastikan, Madame, bahwa saya akan
bekerja seteliti mungkin."
"Untuk menangkap pencurinya atau untuk menemukan kembali surat-surat itu?"
"Menemukan kembali surat-surat itulah yang utama, Madame."
Sikapnya berubah, jadi tampak bosan dan tak bersemangat.
"Ya," katanya dengan tak acuh. "Saya rasa begitu."
Keadaan sepi lagi. "Ada lagi yang lain, M. Poirot?"
"Tak ada, Madame. Saya tidak akan menahan Anda lebih lama lagi."
"Terima kasih."
Poirot membukakan pintu. Wanita itu melewatinya tanpa menoleh padanya.
Poirot kembali ke perapian dan dengan cermat menyusun kembali benda-benda yang
ada di atas rak perapian. Ia masih melakukan hal itu ketika Lord Mayfield masuk.
"Bagaimana?" tanya laki-laki itu.
"Saya rasa baik sekali. Peristiwa-peristiwa terbentuk sebagaimana yang
diharapkan." Sambil menatap Poirot, Lord Mayfield berkata,
"Anda kelihatan senang.
"Tidak, saya tak senang. Tapi saya puas."
"Sungguh, M. Poirot, saya tak mengerti."
"Saya bukan penjual obat seperti yang Anda pikir."
"Saya tak pernah berkata..."
"Memang tidak, tapi Anda berpikir begitu! Tapi sudahlah. Saya.
tidak tersinggung. Kadang-kadang saya perlu mengambil sikap."
Lord Mayfield melihat padanya dengan rasa tak percaya. Ia benar-benar tak bisa
memahami Hercule Poirot. Ia ingin membencinya, tapi kadang-kadang ada sesuatu
yang mengingatkannya bahwa laki-laki kecil yang aneh itu bukanlah orang tak
berguna, seperti kelihatannya.
Charles McLaughlin selalu bisa melihat orang yang punya kemampuan.
"Yah," katanya, "kami menyerahkan diri pada Anda. Petunjuk apa lagi yang Anda
berikan?" "Bisakah Anda menyuruh pergi tamu-tamu Anda?"
"Saya rasa itu bisa diatur. Saya bisa menjelaskan bahwa saya harus pergi ke
London sehubungan dengan peristiwa ini. Maka mereka mungkin ingin pulang dengan
sendirinya." "Bagus sekali. Cobalah mengaturnya begitu." Lord Mayfield ragu.
"Apakah menurut Anda tidak akan ... ?"
"Saya yakin sekali bahwa itu merupakan jalan terbaik yang bisa diambil."
Lord Mayfield mengangkat bahunya. "Baiklah, kalau begitu kata Anda." Ia keluar.
BAB 8 Para tamu berangkat setelah makan siang. Mrs. Vanderlyn dan Mrs. Macatta
berangkat naik kereta api, keluarga Carrington naik mobil mereka sendiri. Poirot
sedang berdiri di ruang depan waktu Mrs. Vanderlyn mengueapkan selamat tinggal
dengan ramah sekali pada tuan rumahnya.
"Saya ikut prihatin Anda harus mengalami gangguan dan kesulitan ini. Saya benar-
benar berharap semuanya akan selesai dengan baik.
Saya tidak akan buka mulut."
Ia meremas tangan tuan rumahnya, lalu keluar ke tempat mobil sudah menanti untuk
membawanya ke stasiun. Mrs. Macatta sudah ada di dalam mobil. Ucapan selamat
tinggalnya singkat dan tidak ramah. Tiba-tiba Leonie, yang sudah duduk di
samping pengemudi, kembali dengan berlari-lari , ke ruang depan.
"Koper pakaian Madame tak ada di dalam mobil," serunya.
Mereka cepat-cepat mencari. Akhirnya Lord Mayfield
menemukannya di tempatnya diletakkan, di dekat sebuah peti tua dari kayu ek.
Leonie berseru girang sambil mengambil koper hijau yang bagus itu, dan bergegas
membawanya keluar. Lalu Mrs. Vanderlyn menjulurkan tubuhnya ke luar mobil.
"Lord Mayfield, Lord Mayfield." Ia mengulurkan sepucuk surat pada pria itu.
"Bisakah Anda menolong memasukkan ini ke dalam kantong surat-surat Anda yang
akan dikirim ke kantor pos" Kalau saya yang menyimpannya untuk diposkan di kota,
saya pasti lupa. Surat-surat selalu tinggal berhari-hari di dalam tas saya."
Sir George Carrington sedang mengurus arlojinya dengan gugup, membuka dan
menutupnya. Ia orang yang sangat mementingkan ketepatan waktu.
"Lalai benar mereka itu," gurnamnya. "Lengah sekali. Bisa-bisa ketinggalan
kereta mereka." Istrinya berkata dengan kesal,
"Ah, jangan ribut, George. Bagaimanapun, mereka yang akan naik kereta api itu,
bukan kita!" Ia menoleh pada istrinya dengan pandangan menyalahkan. Mobil pun berangkat.
Reggie mengemudikan mobil Morris milik ketuarga Carrington, ke pintu depan.
"Siap, Ayah," katanya.
Para pelayan mulai membawa keluar bagasi keluarga Carrington.
Reggie mengawasi mereka memasukkannya ke tempat bagasi.
Poirot keluar dari pintu depan, memandangi kesibukan itu. Tiba-tiba ia merasa
sebuah tangan memegang lengannya. Lady Julia berkata dengan bisikan kacau,
"M. Poirot, saya harus berbicara dengan Anda, sekarang juga."
Poirot mengikuti kemauan wanita itu. Ditariknya Poirot ke dalam sebuah ruang
duduk kecil dan ditutupnya pintunya. Lalu ia mendekatkan diri pada Poirot.
"Benarkah apa yang Anda katakan, bahwa penemuan surat-surat itulah yang
terpenting bagi Lord Mayfield?"
Poirot memandanginya dengan rasa ingin tahu.
"Itu benar sekali, Madame."
"Bila... bila surat-surat itu dikembalikan pada Anda, apakah Anda akan
bertanggung jawab mengembalikannya pada Lord Mayfield, tanpa bertanya apa-apa?"
"Saya tak mengerti maksud Anda."
"Harus! Saya yakin Anda mengerti! Saya minta supaya... supaya pencuri itu tetap
tak disebut-sebut namanya bila surat-surat itu dikembalikan."
Poirot bertanya, "Akan makan waktu berapa lama itu, Madame?"
"Dalam waktu dua belas jam."
"Bisakah Anda menjanjikan hal itu?"
"Saya berjanji."
Karena Poirot tak menyahut, wanita itu mendesak
"Apakah Anda berani menjamin bahwa tidak akan ada
pemberitaan secara meluas?"
Lalu ia menjawab dengan serius sekali,
"Baiklah, Madame, saya jamin."
"Kalau begitu, semuanya bisa diatur."
Ia keluar dari kamar itu dengan mendadak. Sesaat kemudian, Poirot mendengar
mobil berangkat. Ia menyeberangi ruang depan, berjalan di sepanjang lorong rumah, menuju ruang
kerja. Lord Mayfield ada di situ. Ia mengangkat kepalanya waktu Poirot masuk.
"Bagaimana?" tanyanya.
Poirot merentangkan tangannya.
"Perkaranya sudah berakhir, Lord Mayfield."
"Apa?" Poirot mengulangi kata demi kata, apa yang terjadi antara dirinya dan Lady
Julia. Lord Mayfield memandanginya dengan air muka tak mengerti.
"Tapi apa artinya itu" Saya tak mengerti."
"Bukankah sudah jelas" Lady Julia tahu siapa yang mencuri dokumen-dokumen itu."
"Anda kan tidak bermaksud mengatakan bahwa dia sendiri yang telah mengambilnya?"
"Tentu tidak. Lady Julia memang seorang penjudi, tapi dia bukan pencuri. Tapi
bila dia menawarkan akan mengembalikan dokumen-dokumen itu, itu berarti dokumen-
dokumen itu telah dicuri oleh suaminya atau putranya. Nah, Sir George Carrington
berada di teras di luar bersama Anda.
Kini tinggal putra mereka. Saya rasa saya bisa menggambarkan kejadian-kejadian
semalam dengan tepat sekali. Lady Julia pergi ke kamar putranya dan menemukan
kamar itu kosong. Dia turun akan mencarinya, tapi tidak menemukannya. Tadi pagi
dia mendengar tentang pencurian itu, dan dia juga mendengar penjelasan putranya
bahwa dia langsung masuk ke kamarnya dan tak pernah
meninggalkannya lagi. Dia tahu bahwa itu tidak benar. Dan dia mengetahui sesuatu
pula tentang putranya. Dia tahu bahwa anaknya itu lemah, dan bahwa dia sangat
membutuhkan uang. Dia juga sudah mengamati bahwa putranya tergila-gila pada Mrs.
Vanderlyn. Jadi, jelaslah segalanya baginya. Mrs. Vanderlyn menyuruh Reggie
mencuri dokumen-dokumen itu. Tapi Lady Julia juga bertekad untuk memainkan
perannya. Dia akan menangani Reggie, mengambil kembali dokumen-dokumen itu, dan
mengembalikannya." "Tapi itu semua tak mungkin," seru Lord Mayfield.
"Ya, itu tak mungkin, tapi Lady Julia tak tahu itu. Dia tak tahu apa yang
diketahui Hercule Poirot, yaitu bahwa Reggie Carrington tidak mencuri dokumen-
dokumen itu semalam, melainkan mempermainkan pelayan Mrs. Vanderlyn yang gadis
Prancis itu." "Semuanya itu penjelasan yang tak berguna!"
"Tepat sekali."
"Dan perkara itu sama sekali belum selesai!"
"Perkara itu sudah selesai. Saya, Hercule Poirot, tahu keadaan yang sebenarnya.
Anda tak percaya pada saya" Kemarin pun Anda tak percaya pada saya waktu saya
katakan bahwa saya tahu di mana dokumen-dokumen itu berada. Padahal saya tahu.
Barang itu berada di tempat yang dekat."
"Di mana?" "Di dalam saku Anda, My Lord."
Keadaan hening sebentar, lalu Lord Mayfield berkata,
"Yakin benarkah Anda apa yang Anda katakan, M. Poirot?"
"Ya, saya yakin. Saya yakin bahwa saya berbicara dengan seseorang yang pandai
sekali. Sejak awal saya sudah cemas bahwa Anda, yang jelas-jelas rabun jauh,
begitu yakin bahwa Anda melihat sosok yang sedang keluar dari jendela. Anda
menginginkan penyelesaiannya-penyelesaian yang menguntungkan-yang bisa diterima.
Mengapa" Kemudian saya, menyingkirkan semua orang satu demi satu. Mrs. Vanderlyn
berada di lantai atas, Sir George berada bersama Anda di teras, Reggie
Carrington berada bersama gadis Prancis itu di tangga, Mrs. Macatta tak bisa
dipersalahkan, dia berada di kamar tidurnya. (Kamar itu bersebelahan dengan
kamar pembantu rumah tangga, dan Mrs. Macatta mendengkur!) Lady Julia jelas-
jelas yakin bahwa putranya bersalah. Jadi, tinggal dua kemungkinan. Pertama,
Carlile tidak meletakkan surat-surat itu di meja, melainkan di dalam sakunya
sendiri (dan itu bukannya tak masuk akal, karena, menurut Anda, - bisa saja dia
menjiplaknya), atau... atau dokumen-dokumen itu ada di meja kerja waktu Anda
mendatangi meja itu, dan satu-satunya tempat ke mana dokumen-dokumen itu
disimpan adalah ke dalam saku Anda sendiri. Dalam hal itu semuanya jelas.
Ketegasan Anda mengenai sosok yang Anda lihat, ketegasan Anda dalam mengatakan
bahwa Carlile, tak bersalah, ketidaksetujuan Anda untuk memanggil saya.
"Satu hal yang saya tak mengerti... apa motifnya" Saya yakin Anda orang yang
jujur dan dapat dipercaya. Hal itu terbukti dari tekad Anda supaya orang yang
tak bersalah tak boleh dicurigai. Jelas pula bahwa pencurian dokumen-dokumen itu
bisa dengan mudah memperburuk karier Anda. Jadi, mengapa harus melakukan
pencurian yang benar-benar tak masuk akal itu" Dan akhirnya terjawablah
pertanyaan itu. Krisis dalam karier Anda beberapa tahun yang lalu, kepastian
yang diberikan oleh Perdana Menteri kepada dunia bahwa Anda tak pernah
mengadakan negosiasi dengan kekuatan tersebut. Seandainya itu tidak seluruhnya
benar, bahwa masih ada suatu catatan - mungkin sepucuk surat yang
memperlihatkan bahwa Anda sebenarnya telah melakukan apa yang Anda bantah secara
umum. Bantahan itu diperlukan demi
kepentingan politik. Tapi masih diragukan apakah rakyat biasa berpikir begitu
pula. Itu bisa berarti babwa pada saat ini, saat kekuasaan tertinggi mungkin
diserahkan ke tangan Anda, gema masa lalu bisa membatalkan segala-galanya.
"Saya rasa surat tersebut berada di tangan pemerintahan tertentu, dan
pemerintahan itu telah menawarkan untuk mempertukarkannya dengan Anda. Surat itu
harus ditukarkan dengan dokumen-dokumen tentang pesawat pembom baru itu. Orang
lain mungkin akan menolak. Tapi Anda... tidak! Anda menyetujuinya. Mrs.
Vanderlyn adalah agen itu. Dia datang kemari berdasarkan perjanjian untuk
mengadakan pertukaran itu. Anda telah mengakui kesalahan Anda waktu Anda
mengatakan bahwa Anda tak punya siasat tertentu untuk menjebak wanita itu.
Pengakuan itu telah sangat melemahkan alasan Anda mengundangnya kemari.
"Anda yang mengatur perampokan itu. Anda berpura-pura melihat pencuri itu di
teras, supaya dengan demikian Carlile bebas dari kecurigaan. Meskipun dia
umpamanya tidak keluar dari ruang itu, meja kerja itu terletak demikian dekat
dengan jendela, hingga pencuri bisa saja mengambil dokumen-dokumen itu,
sedangkan Carlile sibuk di brankas, membelakangi meja itu. Anda berjalan ke meja
itu, Anda ambil dokumen-dokumen itu, dan Anda simpan sendiri sampai saatnya,
sesuai dengan rencana semula, lalu Anda selipkan ke dalam koper, pakaian Mrs.
Vanderlyn. Sebagai tukarannya dia menyerahkan pada Anda surat yang fatal itu,
yang disamarkan sebagai suratnya sendiri yang belum dimasukkan ke pos."
Poirot berhenti. Lord Mayfield berkata, "Pengetahuan Anda lengkap sekali, M. Poirot. Pasti Anda menganggap saya bajingan
besar." Poirot cepat-cepat membuat isyarat.
"Tidak, tidak, Lord Mayfield. Seperti sudah saya katakan, saya pikir Anda orang
yang pandai sekali. Hal itu tiba-tiba terpikir oleh saya saat kita berbincang-
bincang di sini semalam. Anda adalah ahli teknik yang handal. Saya rasa akan ada


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perubahan-perubahan kecil pada spesifikasi pesawat pembom itu, perubahan yang
dibuat dengan demikian terampilnya, hingga sulit dimengerti mengapa mesinnya
tidak berhasil seperti seharusnya. Suatu kekuatan asing tertentu akan menganggap
tipe itu gagal. Saya yakin pesawat itu akan sangat mengecewakan mereka."
Lagi-lagi keadaan sepi. Lalu Lord Mayfield berkata,
"Anda terlalu pandai, M. Poirot. Saya hanya meminta Anda mempercayai satu hal.
Saya percaya akan diri saya sendiri. Saya percaya bahwa sayalah orang yang bisa
memimpin Inggris dalam melewati masa krisis yang akan datang ini. Bila saya
tidak benar-benar yakin bahwa saya dibutuhkan untuk mengemudikan kapal negara,
saya tidak akan melakukan apa yang telah saya lakukan-memanfaatIkan yang terbaik
dari kedua dunia - dan menyelamatkan diri saya dari bencana dengan suatu tipu
muslihat yang pandai."
"My Lord," kata Poirot, "kalau Anda tak bisa memanfaatkan yang terbaik dari
kedua dunia, Anda tak bisa menjadi seorang politikus."
CERMIN MAYAT BAB 1 FLAT itu modern. Perabotannya pun modern. Kursi-kursinya dibuat segi empat,
bersandaran tinggi, dan nampak kaku. Sebuah meja tulis modern ditempatkan tepat
di depan jendela, dan di meja itu duduk seorang pria yang sudah tua. Kepalanya
adalah satu-satunya benda yang tidak berbentuk segi empat di dalam ruangan itu.
Kepala itu berbentuk telur.
M. Hercule Poirot sedang membaca surat:
Stasiun: Whimperley Hamborough Close, Alamat telegram: Hamborough St. Mary Hamborough St. John. Westshire , 24 September 1936 M. Hercule Poirot, Tuan yang terhormat, ada suatu peristiwa yang memerlukan penanganan yang sangat
cermat dan penuh kerahasiaan. Saya telah mendengar banyak cerita yang baik
tentang Anda, dan oleh karenanya saya putuskan untuk mempercayakan perkara itu
pada Anda. Saya berkeyakinan bahwa saya adalah korban dari suatu penipuan, tapi
dengan alasan kekeluargaan, saya tak ingin menghubungi polisi. Saya sedang
mengambil langkah-langkah sendiri dalam menangani urusan itu, tapi harap Anda
bersedia datang kemari segera setelah Anda menerima sepucuk telegram. Saya akan
berterima kasih kalau Anda tidak membalas surat ini.
Hormat saya, Gervase Chevenix-Gore Alis M. Hercule Poirot perlahan-lahan naik, hingga hampir menghilang di
rambutnya. "Lalu siapa Gervase Chevenix-Gore itu?" tanyanya pada angin.
Ia menyeberang ke lemari buku, lalu mengeluarkan sebuah buku besar yang tebal.
Dengan mudah ia menemukan apa yang dicarinya.
Chevenix-Gore, Sir Gervase Francis Xavier, 10th Bt. cr 1694; mantan kapten dalam
pasukan Lancer ke-17; lahir 18 Mei 1878; putra dari Sir Guy Chevenix-Gore, 9th
Bt., dan Lady Daudia Bretherton, putri kedua dari Earl of Wallingford ke 8,
1911; m. 1912, Vanda Elizabeth, putri sulung dari Kolonel Frederick Arbuthnot,
q.v.; pendidikan Eton. Bertugas di Perang Eropa, 1914-1918. Rekreasi, bepergian,
berburu binatang buas. Alamat: Hamborough St. Mary, Westshire, dan Lowndes
Square 218. S.W.I. Anggota klub: Cavalry.
Travellers. Poirot menggeleng kurang puas. Selama beberapa saat ia
tenggelam dalam renungan. Lalu ia pergi ke meja kerjanya, menarik sebuah laci
hingga terbuka, dan mengeluarkan setumpuk kartu undangan.
Wajahnya menjadi cerah. "A la bonne heure! Ini kesempatan yang tepat bagiku! Dia pasti ada di situ."
Seorang duchess menyambut Hercule Poirot dengan nada ceria,
"Rupanya mau juga Anda datang, M. Poirod! Menyenangkan
sekali." "Saya juga senang, Madame," gumam Poirot sambil membungkuk.
Ia memisahkan diri dari beberapa tokoh penting dan terkemuka -
seorang diplomat terkenal, seorang aktris yang juga terkenal, dan seorang tokoh
olahraga top - dan akhirnya ia menemukan orang yang memang dicarinya, tamu yang
selalu hadir pula, Mr. Satterthwaite. Mr. Satterthwaite berceloteh dengan ramah.
"Duchess yang baik ini... saya selalu senang menghadiri pesta-pestanya. Dia orang
yang punya kepribadian. Saya sering bertemu dengannya di Corsica beberapa tahun
yang lalu." Dalam bercakap-cakap, Mr. Satterthwaite cenderung senang menyebutkan kenalan-
kenalannya yang bergelar ningrat. Mungkin kadang-kadang ia bisa merasa senang
bergaul dengan orang-orang biasa, tapi nama-nama mereka tak pernah
disebutkannya. Tapi sungguh tak adil bila kita menyebutnya gila pangkat atau
gelar, tanpa penjelasan apa-apa. Ia adalah pengamat yang tajam terhadap sifat
manusia. Dan bila benar kata pepatah bahwa penonton tahu banyak tentang suatu
permainan, maka Mr. Satterthwaite memang tahu banyak sekali.
"Wah, sahabatku, rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu.
Aku selalu merasa mendapat kehormatan melihatmu bekerja di tempat-tempat yang
dekat dengan kalangan tinggi. Sejak itu aku merasa tahu. Omong-omong, minggu
lalu aku bertemu dengan Lady Mary. Sungguh makhluk yang menarik, dan seharum
bunga lavender!" Setelah dengan ringan menceritakan satu skandal yang baru terjadi - perbuatan
buruk putri seorang earl, dan perbuatan tercela seorang viscount - Poirot
berhasil menyebutkan nama Gervase Chevenix-Gore.
Mr. Satterhthwaite langsung menanggapi.
"Nah, itu yang namanya seorang tokoh! Barona Terakhir - itulah gelar yang
diberikan padanya." "Pardon, aku kurang mengerti."
Mr. Satterthwaite bisa memahami bahwa tangkap orang asing memang rendah.
"Itu hanya lelucon. Gurauan. Dia tentu sama sekali bukan baronet terakhir di
Inggris, tapi dia benar-benar mewakili akhir suatu zaman.
Barones Jahat yang Berani - baronet gila yang ceroboh begitu terkenal dalam
novel-novel abad lalu - laki-laki yang berani
memasang taruhan yang tak masuk akal dan memenangkannya pula."
Ia lalu menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan lebih
terperinci. Waktu masih muda, Gervase Chevenix-Gore pernah berlayar keliling
dunia dengan kapal berbentuk segi empat. Ia pernah mengadakan perjalanan
ekspedisi ke Kutub. Ia pernah menantang seorang jagoan pembalap untuk berduel.
Demi sebuah taruhan ia pernah menunggangi kuda kesayangannya menaiki tangga
rumah seorang bangsawan. Pernah ia melompat dari tempat duduk di balkon ke
panggung, lalu melarikan seorang aktris yang sedang memainkan perannya.
Banyak lelucon tentang dirinya.
"Dia berasal dari keluarga tua," lanjut Mr. Satterthwaite. "Sir Guy de Chevenix
ikut berperang dalam Perang Salib yang pertama.
Sayang sekarang kelihatannya garis keluarga itu akan berakhir. Si tua Gervase
Suling Pusaka Kumala 1 Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu Pedang Ular Mas 6
^