Pencarian

Pembunuhan Roger Ackroyd 3

Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Bagian 3


tetapi - sekarang saya sudah lupa apa yang akan saya katakan! Oh, ya, kami tidak
punya uang satu peser pun. Flora membenci keadaan yang demikian ini - ia amat
membencinya. Walaupun ia menyayangi pamannya, tentunya. Tetapi setiap gadis akan
membenci keadaan seperti ini. Memang saya harus mengatakan, pikiran-pikiran
Roger mengenai uang ganjil sekali. Ia bahkan tidak mau membeli lap-lap muka yang
bara, meskipun saya sudah mengatakan bahwa yang lama semua sudah rombeng. Lalu,"
Nyonya Ackroyd melanjutkan dan sesuai dengan caranya berbicara, ia beralih ke
persoalan lain, "mewariskan uang sejumlah itu - seribu pound! - kepada wanita
itu." "Wanita mana?" "Wanita yang bernama Russell itu. Saya selalu sudah mengatakan. Ada sesuatu yang
kurang beres dengan diri wanita itu. Tetapi Roger sama sekali tidak mau
mendengar sepatah kata pun yang jelek mengenai perempuan itu. Menurut Roger,
wanita itu mempunyai kepribadian yang kuat, dan ia mengagumi dan menghargainya.
Roger selalu berbicara mengenai kejujurannya dan kemampuannya untuk berdiri di
atas kaki sendiri, dan moralnya yang kuat. Saya pribadi merasa ada sesuatu yang
kurang beres mengenai diri wanita itu. Ia telah berusaha sedapat-dapatnya untuk
bisa menikah dengan Roger. Tetapi saya segera menghentikannya. Wanita itu selalu
sangat membenci saya. Dapat dimengerti. Karena saya tahu maksudnya."
Aku mulai mencari kesempatan untuk membendung dan bisa lolos dari pembicaraan
Nyonya Ackroyd yang tak henti-hentinya.
Tuan Hammond menyediakan kesempatan itu. Ia datang mendekati kami untuk
berpamitan. Aku mempergunakan kesempatan ini dan langsung ikut berdiri.
"Mengenai pemeriksaan itu," tanyaku. "Di mana Anda akan mengadakannya" Di sini
atau di Three Boars?"
Nyonya Ackroyd memandangku dengan mulut terbuka.
"Pemeriksaan?" tanyanya, dengan wajah yang membayangkan ketakutan. "Tetapi,
bukankah tidak perlu mengadakan suatu pemeriksaan?"
Tuan Hammond batuk-batuk kecil kemudian bergumam, "Tak dapat dielakkan. Melihat
keadaannya," jawabnya di antara batuknya.
"Tetapi saya yakin Dokter Sheppard bisa mengatur - "
"Kesanggupan saya ada batasnya," jawabku dengan kering.
"Tetapi jika kematiannya itu adalah karena suatu kecelakaan - "
"Roger dibunuh, Nyonya Ackroyd," tukasku dengan kasar.
Nyonya Ackroyd menjerit kecil.
"Teori bahwa Tuan Ackroyd meninggal karena suatu kecelakaan tidak akan dapat
diterima." Nyonya Ackroyd memandangku dengan sedih. Aku tidak mempunyai kesabaran
menghadapi ketakutannya yang tolol. Ketakutan akan terjadinya sesuatu yang
kurang menyenangkan. "Bilamana ada pemeriksaan, saya - saya tidak perlu menjawab pertanyaan-
pertanyaan dan lain sebagainya, bukan?" tanyanya.
"Saya tidak tahu apa yang diperlukan," jawabku. "Saya rasa Tuan Raymond akan
menjawab sebagian besar dari pertanyaan-pertanyaan itu. Ia mengetahui seluruh
seluk-beluk perkara ini. Dan ia dapat memberikan kesaksian secara resmi."
Si pengacara menyetujui ucapanku dan sambil membungkuk ia berkata, "Saya rasa,
tidak ada yang perlu ditakuti, Nyonya Ackroyd. Anda tidak akan dibiarkan
mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan. Tetapi bagaimana dengan soal uang.
Apakah Anda mempunyai cukup uang pada saat ini" Maksud saya," ia menambahkan
ketika Nyonya Ackroyd memandangnya seolah-olah bertanya, "uang tunai. Kalau Anda
membutuhkannya, saya dapat mengatur agar Anda memperoleh apa yang Anda
butuhkan." "Mengenai itu, sama sekali tidak ada kesulitan," ujar Raymond yang ikut
mendengarkan. "Kemarin, Tuan Ackroyd menguangkan sehelai cek sebesar seratus
pound." "Seratus pound?"
"Benar. Untuk membayar gaji dan lain-lain kebutuhan pada hari ini. Pada saat ini
uang itu masih utuh."
"Di mana Ackroyd menyimpannya" Di meja tulisnya?"
"Bukan, ia selalu menyimpan uang tunai di kamar tidurnya. Tepatnya, di dalam
sebuah kotak tua. Lucu sekali, bukan?"
"Saya kira, sebelum saya pergi, sebaiknya kita memeriksa apakah uang itu masih
ada di sana." "Tentu saja," sekretaris itu menyetujui. "Saya akan mengantar Anda ke atas....
Oh! Saya lupa. Pintunya dikunci."
Dari Parker kami mendengar bahwa Inspektur Raglan sedang menanyakan beberapa
keterangan tambahan di ruangan si pengatur rumah tangga. Beberapa menit kemudian
ia mendatangi kelompok carang yang menunggu di ruang muka dan membawa serta
kunci pintu yang menuju ke kamar tidur Ackroyd. Ia membuka pintunya dan kami
memasuki lobby, lalu menaiki tangga sempit yang menuju ke kamar Ackroyd. Sampai
di atas kami melihat pintu kamar tidur Ackroyd terbuka. Keadaan di dalam ruangan
yang gelap itu masih seperti kemarin malam. Gordennya tertutup, dan selimut
penutup ranjang dalam keadaan terlipat. Ranjang itu siap untuk ditiduri.
Inspektur Raglan membuka gorden agar cahaya matahari masuk. Geoffrey Raymond
melangkah ke laci sebelah atas sebuah meja tulis yang terbuat dari kayu bunga
mawar. "Jadi Tuan Ackroyd menyimpan uangnya begitu saja. Di dalam sebuah laci yang
tidak terkunci. Ganjil sekali," Inspektur Raglan berpendapat.
Wajah Geoffrey Raymond berubah merah sedikit.
"Tuan Ackroyd amat mempercayai kejujuran para pembantunya," jawabnya marah.
"Oh! begitu," Inspektur Raglan berkata dengan cepat.
Raymond membuka laci, lalu mengeluarkan sebuah kotak kulit dari bagian belakang
laci. Dibukanya kotak itu lalu dikeluarkannya sebuah dompet yang tebal.
"Inilah uangnya," ujarnya sambil mengeluarkan segulung tebal uang kertas. "Saya
kira Anda akan melihat sendiri bahwa uang itu masih utuh, karena Tuan Ackroyd
memasukkannya dalam kotak kulit itu di hadapan saya kemarin malam. Yaitu ketika
ia menukar pakaiannya dan bersiap-siap untuk makan malam. Dan tentu saja ia
tidak menyentuhnya lagi sejak itu,"
Tuan Hammond mengambil uang itu lalu menghitungnya. Dengan sekonyong-konyong ia
menengadah dan memandang Raymond.
"Seratus pound, Anda katakan. Tetapi di sini hanya ada enam puluh pound."
Raymond menatapnya dengan tidak percaya.
"Tidak mungkin," teriaknya sambil melompat maju. Diambilnya uang kertas itu dari
tangan Tuan Hammond dan dihitungnya dengan keras.
Ternyata Tuan Hammond benar. Jumlah uang yang ada hanyalah enam puluh pound.
"Tetapi - saya tidak mengerti," seru sekretaris itu dengan bingung.
Poirot mengajukan pertanyaan.
"Anda melihat Tuan Ackroyd menyimpan uang itu kemarin ketika ia sedang
berpakaian untuk makan malam. Yakinkah Anda bahwa uang itu masih utuh" Apakah
Ackroyd tidak membayar sesuatu sebelumnya?"
"Saya yakin sekali ia belum mempergunakan uang itu. Bahkan ia mengatakan, 'Aku
tidak mau makan malam dengan mengantongi uang sebanyak seratus pound. Terlalu
menonjol.'" "Kalau begitu, persoalannya menjadi sederhana sekali," Poirot berpendapat.
"Ackroyd telah membayar sesuatu seharga empat puluh pound kemarin malam, atau
mungkin juga uang itu dicuri orang."
"Memang demikianlah duduknya persoalan secara singkat," Inspektur Raglan
menyetujui, lalu berpaling kepada Nyonya Ackroyd. "Pembantu mana yang masuk ke
dalam ruangan ini, kemarin malam?"
"Saya kira pembantu yang tugasnya membersihkan kamarlah yang mempersiapkan
tempat tidur Ackroyd."
"Siapa dia" Apa yang Anda ketahui mengenai pembantu ini?"
"Ia belum terlalu lama bekerja di sini," jawab Nyonya Ackroyd. "Tetapi ia
seorang gadis desa biasa yang baik sekali."
"Menurut pendapat saya, kita harus mencari penjelasan mengenai soal ini,"
inspektur itu berpendapat. "Seandainya Tuan Ackroyd sendiri yang mempergunakan
uang itu, maka hal ini mungkin ada sangkut pautnya dengan pembunuhan yang
misterius ini. Dan sepengetahuan Anda, semuanya beres dengan para pembantu lain,
bukan?" "Oh, saya kira begitu."
"Tidak pernah kehilangan apa-apa sebelumnya?"
"Tidak pernah."
"Tidak adakah di antara mereka yang akan berhenti bekerja, atau hal-hal semacam
itu?" "Pembantu yang bertugas di kamar tamu, akan berhenti bekerja."
"Mulai kapan?" "Ia minta berhenti kemarin, kalau saya tidak salah."
"Kepada Anda?" "Oh, tidak. Saya tidak turut campur dengan persoalan pembantu. Nona Russell
mengurus semua persoalan rumah tangga."
Inspektur Raglan merenung satu dua menit. Kemudian ia mengangguk dan berkata,
"Sebaiknya saya berbicara sebentar dengan Nona Russell. Dan saya akan temui
gadis Dale itu sekalian."
Poirot dan aku menemaninya ke kamar Russell. Si pengatur rumah tangga,
sebagaimana biasa menerima kami dengan sikap yang dingin.
Elsie Dale sudah bekerja selama lima bulan di Fernly. Ia seorang gadis yang
sopan, rajin, dan berasal dari keluarga yang baik. Dan surat-surat keterangannya
memuaskan. Ia bukan seorang gadis yang suka mengambil barang orang lain.
"Dan bagaimana dengan pembantu yang bertugas di ruang tamu itu?"
"Gadis ini pun seorang yang cakap sekali. Sangat pendiam dan bertingkah laku
seperti seorang wanita yang terhormat. Seorang pegawai yang cakap sekali."
"Lalu, mengapa ia minta berhenti?" Inspektur Raglan bertanya.
Nona Russell mencibirkan bibirnya.
"Bukan karena saya. Saya mendengar bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan
terhadap Tuan Ackroyd kemarin sore. Tugas gadis ini adalah untuk membersihkan
kamar kerja Tuan Ackroyd. Dan kalau saya tidak salah, ia telah keliru
menempatkan beberapa surat di atas meja tulis. Ackroyd sangat jengkel mengenai
hal ini. Lalu gadis itu mengajukan permohonan berhenti. Setidak-tidaknya, itulah
yang dikatakan gadis itu kepada saya. Tetapi mungkin Anda mau menemuinya
sendiri?" Inspektur Raglan mengiakan. Aku sudah memperhatikan gadis itu sejak ia melayani
kami pada waktu makan siang. Seorang gadis yang berperawakan tinggi dengan
rambut coklat tebal yang disanggul di belakang kepalanya. Matanya yang berwarna
kelabu bersinar tegas. Gadis itu masuk atas panggilan Nona Russell dan berdiri
dengan tegak sekali sambil memandang kami dengan matanya yang kelabu itu.
"Andakah yang bernama Ursula Bourne?" tanya Inspektur Raglan.
"Betul, Tuan." "Saya mendengar bahwa Anda akan berhenti?"
"Betul, Tuan." "Karena alasan apa?"
"Saya telah salah menaruh beberapa surat di atas meja tulis Tuan Ackroyd. Ia
sangat marah karenanya. Lalu saya katakan, sebaiknya saya pergi saja dari sini.
Tuan Ackroyd menyuruh saya pergi secepat mungkin."
"Apakah Anda berada di kamar Tuan Ackroyd kemarin malam" Barangkali Anda
membereskan kamar atau yang semacam itu?"
"Tidak, Tuan. Itu pekerjaan Elsie. Saya tidak pernah pergi ke bagian sana."
"Sebaiknya kukatakan saja padamu, Anakku, bahwasanya sejumlah besar uang dalam
kamar Tuan Ackroyd, telah hilang."
Akhirnya kulihat gadis itu mulai marah. Wajahnya menjadi merah.
"Saya sama sekali tidak tahu-menahu mengenai persoalan uang itu. Kalau Anda
mengira bahwa sayalah yang mengambilnya, dan menyangka inilah alasannya Tuan
Ackroyd memberhentikan saya, maka keliru benar."
"Aku tidak menuduhmu mengambil uang itu, Anakku," jawab Inspektur Raglan.
"Jangan mudah tersinggung."
Gadis itu memandangnya dengan dingin.
"Anda dapat memeriksa barang-barang saya, kalau Anda mau," tantangnya dengan
menghina, "tetapi Anda tidak akan menemukan sesuatu pun."
Tiba-tiba Poirot menyela.
"Jadi, Tuan Ackroyd memberhentikan Anda - atau, Anda yang minta berhenti,
kemarin sore, bukan?" tanyanya.
Gadis itu mengangguk. "Berapa lamanya pembicaraan itu?"
"Pembicaraan?" "Betul, pembicaraan antara Anda dan Tuan Ackroyd di kamar kerjanya?"
"Saya - saya tidak tahu."
"Dua puluh menit" Setengah jam?"
"Ya, kira-kira begitu."
"Tidak lebih lama?"
"Saya yakin, tidak lebih dari setengah jam."
"Terima kasih, Nona."
Aku memandang Poirot dengan rasa ingin tahu. Ia sedang membetulkan letak
beberapa benda di atas meja dengan cermat sekali. Matanya bersinar.
"Anda boleh pergi," perintah Inspektur Raglan.
Ursula Bourne pergi meninggalkan ruangan. Inspektur Raglan berpaling kepada Nona
Russell. "Sudah berapa lama ia di sini" Adakah Anda mempunyai copy dari surat-surat
keterangan majikan dari gadis ini?"
Tanpa menjawab pertanyaan pertama, Nona Russell melangkah ke sebuah meja tulis
di sebelahnya. Ia membuka salah satu lacinya, kemudian mengeluarkan setumpuk
surat yang dijepit menjadi satu. Dipilihnya satu, lalu menyerahkannya kepada
Inspektur Raglan. "Hm," si inspektur menggumam. "Kelihatannya sih, beres. Nyonya Richard Folliott,
dari Marby Grange, Marby. Siapa wanita ini?"
"Ia orang yang baik," jawab Nona Russell.
"Oh," keluh inspektur itu sambil mengembalikan surat tersebut, "marilah kita
memeriksa gadis yang lain tadi, Elsie Dale."
Elsie Dale, adalah seorang gadis pirang yang bertubuh besar dan berwajah
menyenangkan, walaupun agak ketolol-tololan. Gadis itu menjawab pertanyaan-
pertanyaan kami dengan cukup lancar. Kelihatannya ia sedih dan bingung sekali
tatkala mendengar tentang uang yang hilang itu.
"Rasanya tidak ada sesuatu pun yang kurang beres dengan gadis itu," Inspektur
Raglan berpendapat, setelah menyuruh gadis itu pergi. "Bagaimana dengan Parker?"
Nona Russell mencibir tanpa menjawab.
"Perasaan saya mengatakan, ada sesuatu yang kurang beres dengan laki-laki itu,"
Inspektur Raglan melanjutkan. "Soalnya sekarang adalah, saya masih belum bisa
menebak kapan ia mempunyai kesempatan melakukan perbuatan itu. Segera setelah
makan malam ia pasti sibuk sekali dengan pekerjaannya. Dan alibinya tentang di
mana ia berada sepanjang malam itu, cukup meyakinkan. Saya mengetahuinya, karena
saya telah memperhatikannya secara khusus. Nah, terima kasih banyak, Nona
Russell. Untuk sementara kami akan membiarkan masalah ini seperti keadaannya
sekarang. Mungkin sekali, Tuan Ackroyd sendiri yang telah memakai uang itu."
Nona Russell mengucapkan selamat sore kepada kami dengan nada dingin. Kemudian
kami meninggalkannya. Aku pulang bersama-sama Poirot.
"Aku ingin tahu," ujarku memecah kesunyian, "kertas-kertas apa yang dikacaukan
gadis itu, sehingga Ackroyd demikian marahnya" Mungkinkah ada hubungannya dengan
misteri pembunuhan ini?"
"Menurut sekretaris itu tidak ada kertas-kertas penting di atas meja itu," sahut
Poirot tenang. "Benar, tetapi - " Aku terhenti.
"Dan kau menganggap Ackroyd telah bersikap ganjil, karena menjadi sedemikian
gusarnya mengenai sesuatu yang sepele."
"Benar, memang rasanya agak aneh."
"Tetapi, apakah hal yang membuatnya gusar itu memang benar-benar sepele?"
"Tentu saja, kau benar sekali," kuakui, "kita tidak tahu kertas-kertas apa yang
dikacaukan gadis itu. Tetapi Raymond telah memastikan - "
"Untuk sementara ini, janganlah kita membicarakan Tuan Raymond. Bagaimana
pendapatmu mengenai gadis itu?"
"Gadis yang mana" Pembantu yang bertugas di ruang tamu itu?"
"Benar. Ursula Bourne."
"Kelihatannya, ia seorang anak gadis yang baik," sahutku dengan bimbang.
Poirot mengulangi kata-kataku. Tetapi aku memberi tekanan pada kata yang
terakhir, sedangkan Poirot memberi tekanan pada kata yang pertama.
"Kelihatannya ia seorang anak gadis yang baik - memang."
Lalu, setelah berdiam diri sesaat, diambilnya sesuatu dari sakunya dan diberikannya kepadaku.
"Lihat, Kawanku. Akan kutunjukkan sesuatu padamu. Lihatlah ini."
Kertas yang diperlihatkannya padaku adalah kertas yang bertuliskan keterangan-
keterangan yang dikumpulkan oleh Inspektur Raglan, dan yang telah diberikannya
pada Poirot tadi pagi. Mataku mengikuti jari telunjuk Poirot yang berhenti pada


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama Ursula Bourne, yang telah diberi tanda silang di belakangnya.
"Mungkin kau tidak memperhatikannya, Kawanku, tetapi ada satu orang dalam daftar
ini yang alibinya kurang jelas. Yaitu Ursula Bourne."
"Kau toh tidak mengira - "
"Dokter Sheppard, aku berani menyangka segala macam hal. Mungkin sekali Ursula
Bourne telah membunuh Tuan Ackroyd. Tetapi kuakui, aku tidak melihat adanya satu
alasan pun, mengapa ia harus melakukannya. Apakah kau tahu alasannya?"
Poirot menatapku dengan tajam - sedemikian tajamnya sehingga aku menjadi salah
tingkah dibuatnya. "Tahukah kau alasannya?" ulangnya.
"Tidak ada alasan sama sekali," jawabku tegas.
Pandangannya berubah lunak. Ia mengernyitkan alisnya dan bergumam pada diri
sendiri. "Karena si pemeras itu seorang laki-laki, kesimpulannya adalah bahwa gadis itu
tidaklah mungkin pemerasnya, lalu - "
Aku mendehem. "Sejauh ini - " kumulai dengan ragu-ragu.
Dengan secepat kilat Poirot berputar dan memandangku.
"Apa" Apa yang hendak kaukatakan tadi?"
"Tidak apa-apa. Hanya, sebenarnya Nyonya Ferrars di dalam suratnya mengatakan
seseorang - ia tidak mengatakan kalau orang itu adalah seorang laki-laki. Tetapi
kami, Ackroyd dan aku, secara otomatis mengira bahwa ia seorang laki-laki."
"Kalau begitu, ini juga merupakan suatu kemungkinan - benar, memang ini benar-
benar suatu kemungkinan - tetapi - ah! Aku harus mengatur kembali pemikiran-
pemikiranku. Metodis dan sistematis. Belum pernah sebelumnya aku membutuhkannya
seperti sekarang ini. Segala-galanya harus cocok - dan pada tempatnya - kalau
tidak, hal ini berarti bahwa aku berada di jalan yang salah."
Poirot terhenti, dan dengan cepat berputar menghadapku lagi.
"Di mana letaknya Marby?"
"Di sebelah lain dari Cranchester."
"Berapa jauhnya dari sini?"
"Oh! Kira-kira empat belas mil."
"Dapatkah kau pergi ke sana" Besok, misalnya?"
"Besok" Biar aku pikirkan dahulu. Besok hari Minggu. Ya, aku bisa mengaturnya.
Apa yang harus kukerjakan untuk Anda di sana?"
"Temuilah Nyonya Folliott. Carilah keterangan sebanyak-banyaknya mengenai Ursula
Bourne." "Baik. Tetapi - aku tidak begitu menyukai tugas ini."
"Ini bukan waktunya untuk mengajukan keberatan. Nyawa seorang laki-laki
tergantung pada hal ini."
"Ralph yang malang," keluhku. "Tetapi kau percaya, ia tidak bersalah?"
Poirot memandangku dengan serius sekali.
"Inginkah kau mendengar hal yang sebenarnya?"
"Tentu saja." "Kalau begitu, kau akan mendengarnya. Kawanku, segala sesuatu menunjukkan bahwa
ia mungkin bersalah."
"Apa!" seruku. Poirot mengangguk. "Benar, inspektur tolol itu - ia memang tolol - mendapat keterangan yang semua
menunjuk kepada Ralph. Aku mencari kebenaran - dan kebenaran ini tiap kali
menuntun aku kepada Ralph Paton. Yaitu, alasan, kesempatan, uang. Tetapi aku
akan berbuat segala-galanya dalam kemampuanku. Aku telah menjanjikannya pada
Mademoiselle Flora. Dan gadis kecil ini yakin sekali bahwa Paton tidak bersalah.
Ia benar-benar yakin sekali."
Bab 11 POIROT DATANG BERKUNJUNG ESOK sorenya aku agak bingung ketika menekan bel di Marby Grange. Aku bertanya-
tanya dalam hati keterangan apa yang diharapkan Poirot dari kunjunganku ini. Ia
telah mempercayakan tugas ini kepadaku. Mengapa" Apakah karena seperti pada
waktu menanyai Mayor Blunt, ia ingin tetap berada di belakang layar" Keinginan
ini bijaksana sekali pada halnya Mayor Blunt. Tetapi di sini, sikap itu bagiku
tidak mempunyai arti apa-apa.
Lamunanku diputus dengan kedatangan seorang pembantu yang cantik sekali.
Ya, Nyonya Folliott ada di rumah. Aku diantarkan ke dalam sebuah ruang duduk
yang besar. Sambil menunggu Nyonya rumah muncul, kupandang sekelilingku dengan
rasa ingin tahu. Ruangan ini besar dan kosong, dan berisi beberapa barang pecah
belah yang bagus, beberapa lukisan yang indah dan kain penutup kursi, dan gorden
yang sudah tua. Semuanya menunjukkan bahwa ruangan ini adalah ruangan seorang
wanita. Aku berpaling dari memperhatikan sebuah lukisan Bartolozzi pada dinding, ketika
Nyonya Folliott memasuki ruangan. Ia seorang wanita yang bertubuh tinggi, dengan
rambut coklat yang kurang rapi dan senyum yang ramah.
"Dokter Sheppard," sapanya dengan ragu-ragu.
"Itu nama saya," jawabku. "Saya mohon maaf karena mengganggu Anda. Saya mencari
keterangan mengenai seorang pembantu yang dahulu bekerja pada Anda, yaitu Ursula
Bourne." Mendengar nama itu senyumnya menghilang dari wajahnya dan semua sikapnya yang
ramah hilang tidak berbekas. Ia tampak tidak tenang dan bingung.
"Ursula Bourne?" tanyanya dengan bimbang.
"Benar," jawabku. "Mungkin Anda sudah lupa nama itu?"
"Oh ya, tentu saja. Saya - saya ingat betul sekarang."
"Gadis itu meninggalkan Anda lebih dari satu tahun yang lalu, kalau tidak
salah?" "Benar. Ia berhenti kira-kira satu tahun yang lalu. Benar sekali."
"Dan Anda puas dengannya sewaktu ia masih bekerja untuk Anda" Berapa lama gadis
itu bekerja untuk Anda?"
"Oh! Setahun dua tahun - saya tidak ingat dengan pasti berapa lama ia bekerja
untuk saya. Ia - ia cakap sekali. Saya yakin Anda akan puas sekali dengan
pekerjaannya. Saya tidak tahu kalau ia akan meninggalkan Fernly. Saya sungguh
tidak menyangkanya?"
"Dapatkah Anda menceritakan sedikit mengenai gadis itu?" tanyaku.
"Segala sesuatu mengenai gadis itu?"
"Ya, dari mana asalnya, siapa keluarganya - hal yang semacam itu?"
Wajah Nyonya Folliott semakin membeku.
"Saya tidak tahu apa-apa sama sekali."
"Kepada siapa ia bekerja, sebelum ia ikut dengan Anda?"
"Menyesal sekali, tetapi saya sudah tidak ingat lagi."
Nada gusar dalam suaranya menandakan kebingungannya. Dikedikkannya kepalanya
dengan suatu gerakan yang samar-samar kukenali.
"Perlukah Anda menanyakan semua pertanyaan ini?"
"Sama sekali tidak," jawabku dengan heran dan menyesal. "Saya sama sekali tidak
menyangka Anda akan berkeberatan untuk menjawabnya. Saya sungguh menyesal."
Kemarahannya hilang dan ia menjadi bingung lagi.
"Oh! Saya tidak berkeberatan menjawabnya. Percayalah saya sama sekali tidak
berkeberatan. Mengapa saya harus berkeberatan" Hanya - hanya saja, kedengarannya
agak aneh. Cuma itu saja. Agak aneh sedikit."
Suatu keuntungan dari seorang dokter umum ialah, ia biasanya dapat menerka
bilamana orang membohonginya. Seharusnya aku sudah dapat menebak dari sikap
Nyonya Folliott bahwa ia segan menjawab pertanyaan-pertanyaanku - bahwa ia amat
segan menjawabnya. Ia sangat bingung dan gelisah. Jelas sekali ada sesuatu yang
disembunyikannya. Menurut penilaianku ia adalah seorang wanita yang tidak biasa
berdusta, sehingga ia menjadi gelisah sekali ketika terpaksa harus melakukannya.
Seorang anak kecil pun akan menyadari hal ini.
Tetapi sudah jelas pula bahwa ia tidak berniat memberikan keterangan lebih
lanjut kepadaku. Apa pun misteri yang menyelubungi Ursula Bourne, aku tidak akan
dapat mengungkapnya melalui Nyonya Folliott.
Karena merasa dikalahkan, aku sekali lagi menyatakan penyesalanku karena telah
mengganggunya. Kuambil topiku lalu pulang.
Aku mengunjungi beberapa pasienku dan tiba di rumah sekitar pukul enam sore.
Caroline sedang duduk di samping perabotan minum teh yang kotor. Air mukanya
menunjukkan kegembiraan meluap-luap yang tertahan, yang sering kulihat. Pada
Caroline hal ini menunjukkan bahwa ia telah memperoleh atau telah memberikan
informasi. Aku bertanya-tanya yang mana yang benar.
"Sore ini sungguh mengasyikkan," ujar Caroline ketika aku menjatuhkan diriku di
kursi empuk kesenanganku, dan menjulurkan kedua kaki ke arah api di tungku.
"Oh ya?" sahutku. "Apakah Nona Gannett datang untuk minum teh?"
Nona Gannett merupakan salah satu pemimpin penyebar berita di daerah kami.
"Coba tebak sekali lagi," ujar Caroline dengan rasa amat puas.
Aku menebak beberapa kali, sambil mengingat-ingat semua anggota intelijen
Caroline. Kakakku menjawab tiap tebakan dengan menggelengkan kepalanya dengan
rasa menang. Akhirnya ia memberitahukannya sendiri.
"Tuan Poirot," serunya. "Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?"
Bagaimana pendapatku mengenai hal ini, tidak berani kukatakan kepada Caroline.
"Apa maksud kedatangannya?" tanyaku.
"Untuk menemui aku tentu saja. Pikirnya, karena ia mengenal saudara laki-lakiku
demikian baiknya, maka tidak ada salahnya kalau ia belajar kenal dengan kakak
perempuannya yang menarik itu - maksudku kakakmu yang menarik itu. Pikiranku
jadi kacau - tetapi kau tentu mengerti apa yang kumaksudkan."
"Apa yang dibicarakannya?" tanyaku.
"Ia menceritakan banyak sekali mengenai dirinya sendiri dan perkara-perkara yang
pernah ditanganinya. Tahukah kau tentang Pangeran Paul dari Mauretania - yang
baru saja kawin dengan seorang penari?"
"Ya?" "Aku baru saja membaca sebuah artikel yang menarik mengenai isterinya dalam
Society Snippets kemarin. Artikel ini mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah
seorang Grand Duchess - salah seorang puteri Tzar yang berhasil lolos dari kaum
Bolsheviks. Nah, rupanya Tuan Poirot telah memecahkan sebuah misteri pembunuhan
yang mengancam melibatkan diri mereka berdua. Pangeran Paul berterima kasih
sekali padanya." "Apakah Pangeran Paul memberinya jepitan dasi dengan batu permata zamrud sebesar
telur burung bangau?" tanyaku dengan nada sinis.
"Ia tidak mengatakannya. Mengapa?"
"Tidak apa-apa," jawabku. "Aku sangka hal itu selalu dilakukan. Yaitu di dalam
cerita-cerita detektif. Seorang detektif yang super selalu mempunyai ruangan
yang penuh dengan batu-batu permata mirah, mutiara dan zamrud, yang diterimanya
dari para langganan bangsawan yang berterima kasih."
"Menarik sekali mendengar hal-hal seperti ini dari orang dalam," ujar kakakku
dengan puas. Memang, kejadian seperti ini menarik sekali bagi Caroline. Aku benar-benar
mengagumi kecerdikan Tuan Poirot. Ia telah memilih dengan tepat sekali, perkara
yang akan paling menarik perhatian seorang wanita tua yang tinggal di sebuah
desa kecil. "Adakah ia mengatakan padamu apakah penari itu benar-benar seorang Grand
Duchess?" tanyaku. "Ia tidak boleh mengungkapkannya," sahut Caroline dengan sungguh-sungguh.
Aku bertanya dalam hati, sejauh mana Poirot telah menyimpang dari kebenaran,
dalam percakapannya dengan Caroline - mungkin ia sama sekali tidak menyimpang
dari kebenaran. Ia hanya berkata secara tidak langsung dengan cara mengangkat
alis mata dan bahunya. "Dan sekarang, setelah kunjungannya ke mari," sindirku, "aku rasa kau tentu
sudah siap untuk melakukan segala keinginannya?"
"Jangan berbicara demikian kasarnya, James. Aku heran, dari mana kauperoleh
istilah-istilah jorok itu."
"Mungkin dari hubunganku satu-satunya dengan dunia luar - pasien-pasienku.
Tetapi sialnya praktekku tidak mencakup pangeran-pangeran dan emigr?s dari Rusia
yang menarik perhatian."
Caroline menaikkan kaca matanya dan menatapku.
"Kau tampaknya sangat marah, James. Mungkin hal ini disebabkan oleh hatimu.
Kukira sebaiknya kau menelan pil biru itu nanti malam."
Melihatku di rumahku sendiri, orang tidak akan menyangka sama sekali bahwa aku
adalah seorang dokter. Caroline yang menentukan obat apa yang harus diminum oleh
dirinya sendiri atau aku.
"Persetan dengan hatiku," sahutku dengan jengkel. "Apakah kalian juga
membicarakan soal pembunuhan itu?"
"Tentu saja, James. Apa lagi yang dapat dibicarakan di sini" Aku telah berhasil
memberikan keterangan mengenai beberapa persoalan. Ia sangat berterima kasih
kepadaku. Ia mengatakan, aku mempunyai bakat untuk menjadi seorang detektif -
dan pandangan yang tajam ke dalam jiwa seseorang."
Caroline bertingkah seperti seekor kucing yang kekenyangan minum susu. Ia
mendengkur kesenangan. "Poirot banyak sekali berbicara mengenai sel-sel otak yang kecil dan berwarna
kelabu. Kepunyaannya, katanya bermutu tinggi sekali."
"Tentu saja ia akan mengatakan demikian," sindirku dengan pahit. "Rendah hati
bukanlah merupakan salah satu sifatnya."
"James, aku ingin supaya kau jangan terlalu bertingkah laku seperti orang
Amerika. Menurut Tuan Poirot, Ralph harus ditemukan secepat mungkin. Ia perlu
dibujuk agar mau datang dan memberikan keterangan mengenai dirinya. Tuan Poirot
mengatakan, menghilangnya Ralph akan memberi kesan yang sangat buruk pada
pemeriksaan polisi nanti."
"Dan apa jawabanmu?"
"Aku setuju dengan pendapatnya," sahut Caroline dengan serius. "Dan
kuberitahukan padanya bahwa orang-orang sudah mulai membicarakan hal ini."
"Caroline," tegurku dengan tajam, "apakah kau menceritakan kepada Tuan Poirot,
apa yang kaudengar di hutan hari itu?"
"Aku menceritakannya," sahut Caroline dengan bangga.
Aku berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Kuharap kau menyadari apa yang telah kaulakukan," bentakku. "Kau seolah-olah
sudah melingkarkan rantai di leher Ralph Paton."
"Sama sekali tidak," jawab Caroline dengan tenang. "Aku heran bahwa kau belum
menceritakan hal itu padanya."
"Aku sengaja tidak mau menceritakannya," jawabku. "Aku menyukai anak muda itu."
"Demikian pula aku. Itulah sebabnya aku mengatakan, ucapanmu itu ngaco. Aku
tidak percaya kalau Ralph telah melakukan pembunuhan itu. Oleh sebab itu,
kebenaran, tidak akan merugikannya. Dan kita harus membantu Tuan Poirot sedapat-
dapatnya. Dan coba pikir, mungkin sekali, pada malam pembunuhan itu terjadi,
Ralph sedang bepergian dengan gadis yang sama itu. Dan kalau hal ini benar, maka
ia mempunyai alibi yang sempurna."
"Kalau ia memang mempunyai alibi yang sedemikian baiknya," balasku, "mengapa ia
tidak datang dan menjelaskannya."
"Ia takut gadis itu akan ikut mendapat kesulitan," jawab Caroline dengan
bijaksana. "Tetapi bilamana Tuan Poirot menemukan gadis itu dan dapat
membujuknya untuk melakukan kewajibannya, maka ia akan datang atas kemauannya
sendiri dan membersihkan nama Ralph."
"Rupanya kau telah mengarang sendiri sebuah dongeng yang romantis sekali,"
ejekku. "Kau terlalu banyak membaca cerita-cerita picisan, Caroline. Aku tiap
kali mengingatkanmu."
Sekali lagi aku menjatuhkan diri di kursi.
"Adakah Poirot menanyakan soal lain lagi?" selidikku.
"Hanya mengenai pasien-pasienmu yang datang pagi itu."
"Pasien-pasien?" tanyaku dengan nada tidak percaya.
"Benar, pasien-pasien yang datang memeriksakan diri pagi itu. Berapa banyak yang
datang dan siapa saja mereka itu?"
"Maksudmu, kau dapat memberikan keterangan padanya tentang hal ini?" tanyaku.
Caroline sungguh mengagumkan.
"Mengapa tidak?" tanya kakakku dengan nada penuh kemenangan. "Aku dapat melihat
jalan setapak yang menuju ke kamar praktek, dengan baik sekali, dari jendela
ini. Dan daya ingatku hebat sekali, James. Jauh lebih baik dari daya ingatmu,
menurut pendapatku."
"Aku yakin akan hal itu," gumamku dengan otomatis.
Saudaraku meneruskan menyebut, menghitung nama-nama pasienku dengan jari-jari
tangannya. "Yang datang sore itu, antara lain, Nyonya Bennett yang tua, dan anak laki yang
jarinya luka yang tinggal di peternakan itu. Dolly Grier datang untuk
mencabutkan jarum dari jari tangannya; kemudian datang awak kapal Amerika itu.
Coba lihat, sudah empat orang. Benar, kemudian ada lagi George Evans dengan
bisulnya. Dan yang terakhir - "
Dengan penuh arti Caroline berhenti.
"Ya?" Caroline mengatakan klimaks dari ucapannya itu dengan bangga sekali.
Didesiskannya nama yang penuh dengan huruf s itu dengan sebaik-baiknya.


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona Russell!"
Caroline bersandar ke belakang di kursinya dan memandangku dengan penuh arti.
Dan kalau Caroline memandang seseorang dengan cara demikian, maka orang tidak
dapat mengabaikannya. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan," jawabku membohong.
"Mengapa Nona Russell tidak boleh datang kepadaku untuk memeriksakan lututnya
yang sakit?" "Lutut yang sakit," sindir Caroline. "Omong kosong! Lututnya tidak lebih buruk
dari kepunyaanmu atau kepunyaanku. Dia sedang mencari-cari sesuatu."
"Yaitu?" tanyaku.
Dengan terpaksa Caroline harus mengakui bahwa ia tidak tahu.
"Tetapi percayalah, itulah keterangan yang sedang dicarinya - dicari oleh Tuan
Poirot, maksudku. Ada sesuatu yang kurang beres mengenai diri wanita itu. Dan
Tuan Poirot menyadarinya."
"Pernyataan yang sama dengan yang dikatakan oleh Nyonya Ackroyd kepadaku
kemarin," ujarku. "Bahwa ada sesuatu yang kurang beres mengenai Nona Russell."
"Ah!" seru Caroline dengan cemberut, "Nyonya Ackroyd! Juga seorang yang seperti
itu!" "Seperti itu, bagaimana?"
Caroline menolak menerangkan lebih lanjut. Ia hanya menganggukkan kepalanya
beberapa kali, lalu menggulung rajutannya, kemudian naik ke loteng ke kamarnya.
Dikenakannya blus suteranya yang berleher tinggi dan berwarna lembayung muda,
dan kalung emasnya lalu bersiap-siap untuk makan malam, menurut istilahnya.
Aku tetap tinggal di tempatku dan memandang ke perapian sambil memikirkan kata-
kata Caroline. Apakah kedatangan Tuan Poirot benar-benar untuk mencari
keterangan mengenai Nona Russell, ataukah ini hanya pikiran Caroline saja yang
berbelit-belit, yang menerangkan segala sesuatu menurut idenya sendiri"
Tidak ada sesuatu pun di dalam sikap Nona Russell yang mencurigakan, pagi itu.
Sekurang-kurangnya - Teringat aku akan pembicaraannya yang tak henti-hentinya mengenai pemakaian
narkotik - dan dari soal narkotik ia beralih ke racun dan peracunan. Tetapi soal
itu sama sekali tidak penting. Ackroyd tidak diracuni. Tetapi keadaan ini tetap
aneh.... Kudengar suara Caroline, bernada masam memanggil dari atas tangga.
"James, kau akan terlambat untuk makan malam."
Kutaruh beberapa potong arang di atas api, lalu naik ke atas dengan patuh.
Bagaimanapun juga sebaiknya ketentraman di dalam rumah tangga dipertahankan.
Bab 12 DUDUK MENGELILINGI MEJA SEBUAH pemeriksaan gabungan diadakan pada hari Senin.
Aku tidak bermaksud menceritakannya dengan panjang lebar. Melakukan hal ini
hanya akan berarti mengulangi dan mengulangi sekali lagi. Setelah diatur dengan
pihak kepolisian, hanya sedikit sekali berita yang diumumkan. Aku memberikan
keterangan mengenai sebab dan waktu kematian Ackroyd. Tidak hadirnya Ralph Paton
juga telah disinggung oleh petugas kepolisian yang memeriksa sebab musabab
kematian. Tetapi hal ini tidak diperbincangkan lebih lanjut.
Kemudian Poirot dan aku mengadakan pembicaraan dengan Inspektur Raglan yang
bersikap sangat serius. "Tampaknya keadaannya buruk sekali, Tuan Poirot," ujarnya. "Saya sedang berusaha
untuk menilai persoalan ini dengan jujur dan adil. Saya orang daerah ini. Dan
saya telah melihat Kapten Paton berulangkali di Cranchester. Saya tidak ingin ia
menjadi orang yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan ini - tetapi dari
jurusan mana pun Anda melihatnya, keadaan buruk sekali baginya. Kalau ia tidak
bersalah, mengapa ia tidak muncul" Kami mempunyai bukti yang menunjuk ke
arahnya, tetapi mungkin ia dapat menjelaskan dan dengan demikian menghapuskan
bukti itu. Lalu, mengapa ia tidak mau memberikan penjelasan?"
Banyak sekali yang tersembunyi di balik kata-kata inspektur itu, yang belum
kuketahui. Gambaran tentang Ralph Paton diteruskan ke setiap pelabuhan dan
stasiun kereta api di Inggris. Di mana-mana polisi berjaga-jaga. Kamarnya di
kota diawasi terus-menerus. Demikian pula rumah-rumah yang sering dikunjunginya.
Dengan penjagaan sedemikian rupa, rasanya tidak mungkin bagi Ralph untuk
mengelakkan polisi menemukan tempat persembunyiannya. Ia tidak membawa pakaian
dan sejauh pengetahuan orang, ia juga tidak mempunyai uang.
"Saya tidak dapat menemukan seorang pun yang telah melihatnya di stasiun kereta
api malam itu," inspektur itu melanjutkan. "Dan Ralph amat terkenal di sini.
Orang akan menduga, bahwa pasti seseorang telah melihatnya. Dan dari Liverpool
pun tidak ada berita apa-apa."
"Menurut Anda, ia telah pergi ke Liverpool?" tanya Poirot.
"Ya, itu menurut keterangan yang ada. Yaitu panggilan telepon hanya tiga menit
sebelum kereta api ekspres ke Liverpool berangkat - mestinya ada sangkut pautnya
dengan hal ini." "Kecuali hal ini sengaja dimaksudkan untuk mengarahkan pemeriksaan Anda ke
jurusan lain. Mungkin inilah maksud panggilan telepon itu."
"Itu suatu pikiran yang baik," puji inspektur itu dengan gairah. "Benarkah Anda
berpendapat bahwa itulah maksud panggilan telepon itu?"
"Kawan," keluh Poirot dengan sungguh-sungguh, "saya tidak tahu. Tetapi saya akan
mengatakan satu hal kepada Anda, saya yakin, bilamana kita sudah dapat
penjelasan tentang panggilan telepon itu, kita pun sudah akan dapat memecahkan
persoalan pembunuhan itu."
"Kau pernah mengatakannya sebelumnya, seingatku," aku berkata sambil
memandangnya dengan rasa ingin tahu.
Poirot mengangguk. "Aku selalu kembali lagi ke masalah itu," jawabnya serius.
"Menurut pendapatku, soal panggilan telepon itu, sama sekali tidak penting,"
ujarku. "Saya tidak berani mengatakan demikian," inspektur itu berkata dengan sopan.
"Tetapi saya harus mengakui, bahwa menurut saya, Tuan Poirot terlalu menekankan
hal ini. Kami mempunyai petunjuk-petunjuk lebih baik daripada itu. Misalnya,
sidik-sidik jari pada pisau belati."
Sekonyong-konyong sikap Poirot berubah menjadi lain sama sekali, seperti sering
terjadi bilamana ia sedang gembira tentang sesuatu.
"Tuan l'inspecteur," ujarnya, "ingatkah Anda akan jalan kecil - comment dire" -
Jalan kecil yang tidak ada ujung itu?"
Inspektur Raglan menatapnya, tetapi reaksiku lebih cepat.
"Maksudmu, jalan buntu?" tanyaku.
"Itu dia - jalan buntu yang tidak menuju ke mana-mana. Demikian juga mungkin
halnya dengan sidik-sidik jari itu - barangkali mereka pun tidak memberikan
keterangan apa-apa."
"Saya tidak mengerti, mengapa tidak," jawab petugas polisi itu. "Saya kira
maksud Anda adalah bahwa sidik-sidik jari itu palsu" Saya pernah membaca bahwa
mereka melakukan hal-hal seperti ini, walaupun saya tidak dapat mengatakan bahwa
saya pernah mengalaminya. Tetapi palsu atau tidak - sidik-sidik jari itu akan
menuntun kita ke suatu tempat."
Poirot hanya mengangkat bahunya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Inspektur itu memperlihatkan kami beberapa potret dari sidik-sidik jari yang
telah dibesarkan, dan mulai menerangkan dengan mempergunakan istilah-istilah
teknis seperti 'loops dan whorls'*. (* loops dan whorls adalah lingkaran-
lingkaran pada sidik jari.)
"Sudahlah," ujarnya pada akhirnya dengan jengkel atas sikap Poirot yang tidak
acuh, "Anda harus mengakui bahwa sidik-sidik jari tersebut dibuat oleh orang
yang berada di sana pada malam itu."
"Bien entendu," jawab Poirot sambil mengangguk.
"Nah, saya telah mengambil sidik jari dari setiap anggota keluarga dalam rumah
ini. Yaitu mulai dari nyonya tua itu sampai kepada pembantu dapur."
Aku rasa, Nyonya Ackroyd tidak akan senang dengan sebutan nyonya tua. Tampaknya
ia mengeluarkan banyak sekali uang untuk membeli alat-alat kosmetik.
"Sidik-sidik jari setiap orang," ulang inspektur itu lagi dengan cerewet.
"Termasuk saya," jawabku acuh tak acuh.
"Bagus. Tetapi tidak ada satu pun dari sidik-sidik jari itu yang cocok. Jadi
sekarang kita hanya mempunyai dua alternatif. Yaitu, Ralph Paton atau orang
asing misterius yang diceritakan tadi oleh Dokter. Kalau saja kita bisa
menemukan dua orang itu - "
"Pada saat itu kita sudah kehilangan banyak waktu," sela Poirot.
"Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan Poirot."
"Anda katakan, bahwa Anda telah mengambil sidik jari semua orang dalam rumah
ini," gumam Poirot. "Apakah yang Anda katakan itu benar, Tuan Inspektur?"
"Tentu saja." "Tanpa melupakan seorang pun?"
"Tanpa melupakan seorang pun."
"Yang hidup atau yang mati?"
Untuk sesaat Inspektur Raglan tampak bingung. Lalu dengan lambat ia memberikan
tanggapan. "Maksud Anda - ?"
"Yang mati, Tuan l'inspecteur."
Inspektur Raglan masih membutuhkan satu dua menit untuk memahami ucapan Poirot.
"Saya kira," kata Poirot dengan tenang, "sidik-sidik jari pada gagang pisau
belati itu adalah sidik jari Ackroyd sendiri. Hal ini mudah sekali dicocokkan.
Mayatnya masih ada di sini."
"Tetapi untuk apa" Apa gunanya. Anda toh tidak memperkirakan bahwa kejadian ini
adalah bunuh diri, Tuan Poirot?"
"Ah! Tidak. Teori saya adalah, si pembunuh memakai sarung tangan atau membungkus
tangannya dengan sesuatu. Sesudah menikam ia mengangkat tangan korbannya dan
menyelipkan pisau belati ke dalamnya."
"Tetapi, mengapa?"
Poirot mengangkat bahunya lagi.
"Untuk membuat perkara yang sudah rumit menjadi bertambah rumit lagi."
"Nah," sela Inspektur Raglan. "Saya akan memeriksanya. Apa yang membuat Anda
pertama-tama menyangka demikian?"
"Yaitu, ketika Anda dengan baik hati memperlihatkan pisau belati itu kepada
saya, dan menarik perhatian saya pada sidik-sidik jari itu. Saya sama sekali
tidak mengerti apa-apa mengenai loop dan whorls - Anda lihat, saya mengakui
ketidaktahuan saya dengan terus terang. Tetapi saya memperhatikan bahwa letak
sidik-sidik jari tersebut agak janggal. Saya tidak akan memegang pisau belati
dengan cara demikian kalau mau menikam orang. Sukar sekali tentu saja,
mengangkat tangan korban ke belakang melalui bahunya, dan mengusahakan supaya
tangan itu memegang pisau pada posisi yang benar."
Inspektur Raglan menatap laki-laki kecil itu. Poirot dengan sikap acuh tak acuh
mengibaskan setitik debu dari lengan jasnya.
"Yah," jawab Inspektur Raglan, "suatu pendapat yang baik. Saya akan
memeriksanya. Tetapi janganlah Anda kecewa bilamana hasilnya tidak memuaskan."
Ia mencoba membuat suaranya kedengaran ramah dan melindungi. Poirot mengawasinya
berlalu dari tempat itu. Kemudian ia berpaling kepadaku dengan mata bersinar.
"Lain kali," ia menyatakan, "aku harus lebih berhati-hati menghadapi amour
propre-nya. Dan sekarang, setelah kita ditinggalkan sendiri, bagaimana
pendapatmu, Kawanku yang baik, kalau kita mengadakan suatu reuni kecil dari
keluarga ini?" Reuni kecil istilah Poirot itu, berlangsung kira-kira setengah jam kemudian.
Kami duduk mengelilingi meja di kamar makan Fernly. Poirot duduk di kursi pada
ujung meja, dan bertindak seperti seorang ketua dari sebuah rapat pengurus yang
mengerikan. Para pembantu tidak hadir. Yang hadir hanyalah kami berenam. Nyonya
Ackroyd, Flora, Mayor Blunt, si anak muda Raymond, Poirot dan aku sendiri.
Tatkala semua sudah hadir, Poirot bangkit lalu membungkuk.
"Messieurs, mesdames, saya telah mengundang Anda sekalian ke mari untuk suatu
maksud tertentu." Poirot berhenti sejenak. "Sebagai permulaan, saya ingin
mengajukan permohonan yang khusus kepada mademoiselle."
"Kepada saya?" jawab Flora.
"Mademoiselle, Anda telah bertunangan dengan Kapten Ralph Paton. Kalau ada
seseorang yang dipercayainya, maka Andalah orangnya. Saya mohon dengan setulus
hati, bilamana Anda tahu tempat persembunyiannya, bujuklah dia supaya datang
menemui kami. Sebentar" - tatkala Flora mengangkat kepalanya mau menjawab -
"jangan mengatakan apa-apa sebelum Anda memikirkannya dengan baik. Mademoiselle,
posisi Kapten Paton makin hari makin berbahaya. Seandainya saja ia langsung
datang, tak perduli bagaimana buruknya keadaan, ia masih mempunyai kemungkinan
untuk menerangkan dan membebaskan dirinya. Tetapi berdiam diri seperti ini -
melarikan diri - apa artinya" Pasti hanya satu hal. Yaitu, ia mengetahui bahwa
dirinya bersalah. Mademoiselle, kalau Anda benar-benar yakin bahwa ia tidak
bersalah, bujuklah dia untuk keluar, sebelum terlambat."
Wajah Flora pucat pasi. "Terlambat!" ulangnya dengan perlahan sekali.
Poirot membungkuk ke depan dan memandangnya.
"Mademoiselle," bujuknya dengan lembut, "Papa Poirot-lah yang mohon ini padamu.
Papa Poirot yang sudah tua telah banyak makan garam dunia dan banyak
pengalamannya. Saya tidak bermaksud untuk menjebak Anda, mademoiselle. Tak
maukah Anda mempercayai saya - dan menceritakan di mana Ralph Paton
bersembunyi?" Gadis itu berdiri menghadapinya.
"Tuan Poirot," jawabnya dengan suara terang, "saya bersumpah di hadapan Anda -
benar-benar bersumpah - bahwa saya tidak tahu di mana Ralph bersembunyi. Dan
saya tidak melihatnya ataupun menerima kabar apa-apa darinya sejak hari-hari
pembunuhan itu sampai sekarang."
Gadis itu duduk kembali. Poirot memandangnya dengan diam selama satu dua menit,
kemudian mengetuk meja dengan tangannya.
"Bien. Begitulah," keluhnya. Air mukanya berubah menjadi keras. "Dari sekarang
saya ajukan permohonan ini kepada yang lain-lain yang duduk di sekeliling meja
ini; Nyonya Ackroyd, Mayor Blunt, Dokter Sheppard, Tuan Raymond. Anda semua
adalah teman dan kawan akrab dari orang yang hilang ini. Bila Anda tahu di mana
Ralph Paton bersembunyi, maka katakanlah."
Lama tak seorang pun yang menjawab. Poirot memandang mereka satu per satu.
"Saya mohon," bujuknya dengan suara rendah, "katakanlah."
Tetapi tetap tak ada yang menjawab, sampai Nyonya Ackroyd memecah kesunyian.
"Saya harus mengakui," katanya dengan suara sedih, "menghilangnya Ralph amat
mengherankan - sungguh-sungguh mengherankan. Belum juga mau keluar pada saat
seperti ini. Kelihatannya seperti ada udang di balik batu. Flora sayang, aku tak
dapat mengelakkan pikiran, bahwa untung sekali pertunanganmu belum diresmikan."
"Ibu," teriak Flora dengan marah.
"Yang Mahakuasa," Nyonya Ackroyd menyatakan. "Saya benar-benar percaya akan Yang
Mahakuasa - suatu kekuasaan yang menentukan jalan hidup kita, seperti yang
dikatakan Shakespeare dengan demikian bagusnya."
"Tetapi Anda toh tidak akan mengatakan, bahwa Tuhan secara langsung bertanggung
jawab atas pergelangan kaki yang besar, bukankah begitu Nyonya Ackroyd?" tanya
Geoffrey Raymond dengan tertawa nyaring.
Maksud Raymond kukira, adalah untuk menghilangkan suasana yang tegang. Tetapi
Nyonya Ackroyd memandangnya dengan pandangan mencela, lalu mengeluarkan sapu
tangannya. "Flora telah luput menjadi bahan omongan orang, dan dari banyak sekali hal-hal
yang kurang menyenangkan. Saya tidak pernah menyangka bahwa Ralph terlibat dalam
urusan kematian Roger yang malang itu. Saya sangka ia sama sekali tidak
terlibat. Tetapi saya memang seorang yang mudah percaya - saya memang selalu
demikian, sejak kecil. Saya paling benci menyangka sesuatu yang jelek mengenai
orang lain. Tetapi tentu saja, kita juga harus ingat bahwa Ralph telah ikut
serta dalam beberapa serangan udara, semasa mudanya. Akibatnya baru terlihat
lama sesudahnya, menurut omongan orang. Dan orang seperti Ralph sama sekali
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Mereka kehilangan kontrol
atas diri mereka di luar keinginannya."
"Ibu," teriak Flora, "Ibu toh tidak menyangka kalau Ralph yang melakukannya?"
"Sudahlah, Nyonya Ackroyd," bujuk Blunt.
"Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan," jawab Nyonya Ackroyd sambil
menangis. "Segala-galanya demikian membingungkan. Aku ingin tahu apa yang akan
terjadi dengan tanah milik ini jika Ralph ternyata bersalah?"
Dengan kasar Raymond mendorong kursinya menjauhi meja. Mayor Blunt tetap berdiam
diri sambil memandang Nyonya Ackroyd dengan penuh perhatian. "Semua ini bagaikan
penyakit syaraf yang disebabkan oleh letusan-letusan hebat dalam perang," Nyonya
Ackroyd mempertahankan dengan keras kepala. "Dan saya berani bertaruh bahwa
Roger memberinya uang sedikit sekali. Dengan maksud yang baik, tentu saja. Saya
menyadari, kalian tidak menyetujui pendapat saya. Tetapi saya sungguh
berpendapat, bahwa tidak munculnya Ralph ini aneh sekali. Dan saya harus
mengatakan, saya berterima kasih sekali bahwa pertunangan Ralph dan Flora belum
diumumkan dengan resmi."
"Akan diumumkan besok," seru Flora dengan suara lantang.
"Flora!" teriak ibunya dengan terkejut.


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Flora berpaling ke arah sekretaris Ackroyd.
"Maukah Anda mengirim pemberitahuan ini kepada harian Morning Post dan The
Times, Tuan Raymond?"
"Bilamana Anda memang yakin bahwa tindakan itu bijaksana, Nona Ackroyd," jawab
Raymond dengan serius. Flora tiba-tiba menoleh kepada Blunt.
"Kau tentu mengerti," ujarnya. "Apa yang dapat kulakukan" Melihat situasinya
sekarang, aku harus mendampingi Ralph. Kau mengerti, bukan, bahwa aku harus
melakukannya?" Flora menatap Blunt dengan tajam sekali. Setelah beberapa waktu, Blunt
sekonyong-konyong mengangguk.
Nyonya Ackroyd memprotes dengan suara tinggi. Flora tetap tidak tergoyahkan
pendiriannya. Lalu Raymond berkata,
"Saya menghargai alasan-alasan Anda, Nona Ackroyd. Tetapi apakah tindakan Anda
tidak terlalu tergesa-gesa" Tunggulah satu dua hari lagi."
"Besok," jawab Flora dengan suara lantang. "Sudahlah, Bu, tidak ada gunanya Ibu
bersikap seperti itu. Betapapun buruknya tingkah laku saya, tetapi saya selalu
setia kepada kawan-kawan saya."
"Tuan Poirot," pinta Nyonya Ackroyd sambil menangis. "Tidak adakah yang Anda
katakan?" "Tidak ada sesuatu pun yang perlu dikatakan," sela Blunt. "Flora bertindak
tepat. Saya menyokongnya, apa pun yang akan terjadi."
Flora mengulurkan tangannya kepada Blunt.
"Terima kasih, Mayor Blunt," ujarnya.
"Mademoiselle," ujar Poirot, "sudikah Anda membiarkan seorang tua memberi
selamat pada Anda atas keberanian dan kesetiaan Anda terhadap kawan" Dan saya
harap Anda tidak salah mengerti bila saya memohon kepada Anda - memohon kepada
Anda dengan sangat - supaya menunda pengumuman yang Anda katakan tadi, untuk
sedikit-dikitnya dua hari lagi?"
Flora agak ragu-ragu. "Saya minta ini, untuk kebaikan Ralph Paton dan juga untuk kebaikan Anda
sendiri, Nona. Anda merengut. Anda tidak mengerti bagaimana hal ini mungkin.
Tetapi saya yakinkan Anda, memang demikianlah keadaannya. Pas de blaques. Anda
menyerahkan perkara ini kepada saya - sekarang, Anda tidak boleh menghalangi
saya." Flora bimbang beberapa menit sebelum menjawab.
"Saya tidak menyukai hal ini," akhirnya ia menjawab. "Tetapi saya akan lakukan
apa yang Anda kehendaki."
Gadis itu duduk lagi menghadapi meja.
"Dan sekarang, messieurs et mesdames," kata Poirot dengan cepat, "saya akan
meneruskan apa yang hendak saya katakan tadi. Camkan ini, saya bermaksud untuk
mendapatkan kebenaran. Kebenaran betapapun jeleknya, selalu aneh dan indah bagi
mereka yang mencarinya. Saya sudah bertambah tua, tenaga saya sudah tidak lagi
seperti dahulu." Waktu mengucapkan ini, jelas sekali Poirot mengharapkan orang
membantahnya. "Kemungkinan besar, inilah perkara terakhir yang akan saya
selidiki. Tetapi Hercule Poirot tidak akan menutup perkara ini dengan suatu
kegagalan. Messieurs et mesdames, saya katakan pada Anda, saya bermaksud untuk
mencari kebenaran. Dan saya akan mengetahuinya - walaupun Anda semua
menentangnya." Poirot mengucapkan dan melemparkan kata-kata terakhir ini dengan menantang ke
hadapan kami. Aku kira, kami semua terkejut, kecuali Geoffrey Raymond, yang
tetap gembira dan tenang seperti biasa.
"Apa yang Anda maksudkan dengan - walaupun Anda semua menentangnya?" tanya
Raymond dengan alis agak terangkat.
"Tetapi - hanya itulah yang saya maksudkan, monsieur. Setiap orang di dalam
ruangan ini menyembunyikan sesuatu terhadap saya." Poirot mengangkat tangannya
tatkala terdengar suara-suara memprotes. "Ya, benar, saya tahu apa yang saya
katakan. Mungkin yang Anda sembunyikan itu tidak penting - perkara kecil - yang
Anda kira tidak akan mempengaruhi perkara ini. Tetapi demikianlah adanya. Semua
yang hadir di sini menyembunyikan sesuatu. Ayohlah, betul atau tidak pendapat
saya ini?" Pandangannya, menantang dan menuduh, menyapu keliling meja. Dan setiap pasang
mata menunduk di hadapannya. Demikian pula aku.
"Saya sudah memperoleh jawabannya," Poirot menyatakan dengan tertawa aneh. Ia
bangkit dari kursinya. "Saya mohon pertolongan Anda semua. Ceritakanlah yang
sebenarnya kepada saya - kebenaran secara keseluruhannya." Suasana menjadi sepi.
"Tidak adakah seorang pun yang mau bicara?"
Sekali lagi Poirot tertawa pendek.
"C'est dommage," ujarnya, lalu keluar.
Bab 13 PENA DARI BULU ANGSA MALAM itu, atas permintaan Poirot, aku pergi ke rumahnya setelah makan malam.
Dengan enggan Caroline membiarkanku pergi. Perasaanku mengatakan, ia ingin
sekali menemaniku. Poirot menerimaku dengan ramah. Ia telah menyediakan sebotol wiski dari Irlandia
(yang kubenci) dan air soda serta sebuah gelas di atas sebuah meja kecil. Ia
sendiri sedang sibuk membuat coklat panas. Belakangan baru kuketahui bahwa
itulah minuman yang disukainya.
Dengan sopan ia menanyakan keadaan kakakku, yang menurut pendapatnya adalah
seorang wanita yang menarik hati.
"Aku takut, kau telah membuat kepalanya bertambah besar," ujarku dengan nada
kering. "Bagaimana dengan Minggu sore?"
Poirot tertawa dan mengedipkan matanya.
"Aku selalu gemar mempergunakan tenaga ahli," diterangkannya dengan samar, dan
menolak untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Sedikit-dikitnya kau telah mendengar apa yang dipergunjingkan di daerah ini,"
ucapku. "Yang benar dan yang tidak benar."
"Dan banyak sekali informasi yang berharga," tambahnya dengan tenang.
"Seperti misalnya - "
Poirot menggelengkan kepalanya.
"Mengapa kau tidak menceritakan yang sebenarnya kepadaku?" tanggapnya. "Di
tempat seperti ini, semua tingkah laku Ralph akan segera diketahui. Kalau bukan
kakakmu, mungkin orang lain yang akan lewat melalui hutan pagi itu."
"Kukira, ucapanmu itu benar," aku mengakui. "Dan bagaimana mengenai perhatianmu
atas diri para pasienku?"
Ia berkedip lagi. "Hanya satu yang menarik perhatianku, Dokter. Hanya satu di antara mereka."
"Yang terakhir?" aku menebak.
"Mengamati Nona Russell adalah suatu hal yang menarik, menurut pendapatku," ia
mengelak. "Apakah Anda sependapat dengan kakakku dan Nyonya Ackroyd bahwa ada sesuatu yang
kurang beres mengenai dirinya?" tanyaku.
"Eh" Apa yang kaukatakan - tidak beres?"
Aku mencoba menerangkan sebaik mungkin.
"Mereka mengatakan semua ini mengenai Nona Russell?"
"Bukankah kakakku sudah meneruskannya kepadamu kemarin sore?"
"C'est possible."
"Tanpa suatu alasan pun," kutambahkan.
"Les femmes," Poirot menyamaratakan. "Mereka hebat sekali! Mereka menebak secara
sembarangan dan anehnya tebakan mereka sering kali benar. Sebenarnya sih bukan
apa-apa. Wanita secara tidak sadar memperhatikan seribu satu macam hal yang
kecil-kecil, tanpa menyadari bahwa mereka berbuat demikian. Dan tanpa sadar pula
mereka mengumpulkan data-data ini - dan hasilnya mereka sebut intuisi. Aku tahu
banyak sekali mengenai ilmu jiwa. Aku mengerti soal-soal demikian."
Poirot membusungkan dadanya. Rupanya demikian menggelikan, sehingga dengan susah
payah aku menahan tawaku. Kemudian ia meneguk sedikit coklat susunya dan
mengusap kumisnya dengan hati-hati.
"Seandainya kau mau menceritakan kepadaku," pintaku, "pendapatmu tentang
persoalan ini?" Poirot meletakkan cangkirnya.
"Kau ingin mendengarnya?"
"Benar." "Kau telah melihat, apa yang aku lihat. Bukankah karena itu pikiran kita pun
harus sama pula?" "Aku rasa kau menertawakanku," jawabku kaku. "Dan tentu saja, aku memang tidak
berpengalaman dalam hal-hal demikian."
Dengan sabar Poirot tersenyum padaku.
"Kau seperti seorang anak kecil, yang ingin mengetahui bagaimana caranya mesin
bekerja. Kau ingin melihat kejadian ini, tidak dari segi seorang dokter
keluarga, tetapi dengan mata seorang detektif yang tidak kenal dan tidak peduli
akan orang-orang yang bersangkutan - untuk siapa mereka semua merupakan orang
asing. Dan mereka semua mempunyai kemungkinan untuk dicurigai."
"Kau menjelaskannya dengan baik sekali," kuakui.
"Maka aku akan memberikanmu suatu pelajaran yang sederhana. Pertama-tama carilah
keterangan yang jelas tentang apa yang terjadi malam itu - dan ingatlah selalu
akan kemungkinan bahwa orang memberikan keterangan itu berdusta."
Kuangkat alisku. "Suatu sikap yang penuh curiga."
"Tetapi perlu - kukatakan padamu. Sikap yang demikian perlu sekali. Mula-mula -
Dokter Sheppard meninggalkan rumah pada pukul sembilan kurang sepuluh menit.
Bagaimana aku tahu kalau hal ini benar?"
"Karena aku yang mengatakannya padamu."
"Tetapi kau mungkin tidak mengatakan hal yang sebenarnya - atau mungkin arlojimu
kurang tepat. Tetapi Parker juga mengatakan bahwa kau pulang pada pukul sembilan
kurang sepuluh menit. Maka kita terima keterangan ini, lalu kita lanjutkan
penyelidikan kita. Pada pukul sembilan Anda berjumpa dengan seorang laki-laki -
nah, sekarang kita sampai pada bagian yang kita sebut, cerita mengenai orang
asing yang misterius itu. - Kau bertemu dengan dia tepat di luar pagar Fernly
Park. Bagaimana aku bisa tahu kalau hal ini benar?"
"Aku yang mengatakannya padamu," mulaiku lagi, tetapi Poirot memotongku dengan
suatu gerakan yang tidak sabar.
"Ah! Apakah mungkin kau agak goblok malam ini. Kawanku. Kau tahu bahwa hal itu
benar - tetapi bagaimana aku bisa tahu" Eh bien, kau tidak mengkhayal mengenai
orang asing yang misterius itu. Ini dapat kukatakan padamu. Karena pembantu Nona
Gannett bertemu dengan orang ini berapa menit sebelum kau. Dan kepada gadis ini
pun ia menanyakan jalan ke Fernly Park. Karena itu, kita bisa menerima kehadiran
orang itu. Dan kita juga tahu dua hal tentang orang ini - yaitu, ia seorang
asing di daerah ini, dan apa pun maksud kedatangannya di Fernly, hal ini tidak
dirahasiakan. Karena ia telah menanyakan jalan ke Fernly sebanyak dua kali."
"Ya," jawabku, "aku menyadari itu."
"Aku telah mengadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai orang itu. Kutahu bahwa
ia telah minum di Three Boars. Pelayan bar di sana mengatakan bahwa orang ini
berbicara dengan aksen Amerika. Dan orang asing itu juga telah mengatakan bahwa
ia baru saja datang dari Amerika. Apakah kau memperhatikan bahwa ia berbicara
dengan aksen Amerika?"
"Memang, rasanya demikian," jawabku setelah mengingat-ingat kembali satu dua
menit, "tetapi tidak begitu nyata."
"Precisement. Dan ada satu soal lagi. Kau ingat barang yang kujumput di pondok
kecil itu?" Poirot mengulurkan pena kecil dari bulu angsa itu padaku. Kuamati barang itu
dengan rasa ingin tahu. Lalu tiba-tiba aku ingat sesuatu.
Poirot yang sejak tadi mengawasiku, mengangguk.
"Benar, heroin, 'salju'. Morfinis-morfinis membawanya dengan cara demikian dan
menyedotnya dengan hidung."
"Diamorphine hydrochloride," gumamku tanpa sadar.
"Cara memakai morfin seperti ini lazim sekali di benua itu. Satu bukti lagi,
bilamana kita membutuhkannya, bahwa orang itu berasal dari Kanada atau Amerika
Serikat." "Apakah yang pertama-tama menarik perhatianmu pada pondok kecil itu?" tanyaku
ingin tahu. "Temanku, si inspektur itu menganggap jalan setapak itu hanya digunakan sebagai
jalan pendek ke rumah induk. Tetapi segera setelah aku melihat pondok kecil itu,
aku menyadari bahwa jalan itu akan digunakan oleh setiap orang yang memakai
pondok kecil itu sebagai tempat pertemuan. Sekarang, rasanya sudah pasti, orang
itu tidak menuju ke pintu muka maupun ke pintu belakang. Lalu, apakah seorang
dalam yang pergi menemuinya" Kalau memang demikian, tempat mana yang lebih baik
daripada pondok kecil itu" Aku telah memeriksa pondok itu dengan harapan akan
menemukan suatu petunjuk di sana. Aku menemukan dua, yaitu secarik kain dan pena
dari bulu angsa itu."
"Dan sobekan kain itu?" tanyaku ingin tahu. "Bagaimana pendapatmu mengenai soal
itu?" Poirot mengangkat alisnya.
"Kau tidak mempergunakan sel-sel kecil kelabu kepunyaanmu," Poirot mengingatkan
dengan nada kering. "Secarik kain yang dikanji itu seharusnya sudah merupakan
petunjuk yang cukup jelas."
"Kurang jelas bagiku." Kualihkan pokok pembicaraan. "Bagaimanapun juga," ujarku,
"laki-laki ini pergi ke pondok kecil itu untuk menjumpai seseorang. Siapa orang
itu?" "Pertanyaan yang tepat," jawab Poirot. "Ingat Nyonya Ackroyd dan puterinya
datang dari Kanada untuk menetap di sini."
"Itukah yang kaumaksudkan tadi, ketika kau menuduh mereka menyembunyikan
sesuatu?" "Mungkin. Sekarang soal lain. Apa pendapatmu mengenai cerita pembantu yang
bertugas di ruang tamu itu?"
"Cerita yang mana?"
"Cerita mengenai pemberhentiannya. Adakah seseorang memerlukan waktu setengah
jam untuk memberhentikan seorang pembantu" Apakah cerita mengenai surat-surat
penting itu masuk di akal" Dan ingat, walaupun ia mengatakan bahwa ia berada di
kamarnya dari pukul sembilan tiga puluh sampai pukul sepuluh, tetapi tidak ada
orang yang dapat menguatkan pernyataannya."
"Kau membuatku bingung," keluhku.
"Bagiku perkara ini bertambah terang. Tetapi ceritakanlah pendapat dan teorimu
sendiri." Kukeluarkan sepotong kertas dari kantongku.
"Aku baru saja menulis beberapa saran," sahutku.
"Bagus sekali - kau mempunyai cara pemikiran yang baik. Coba bacakan supaya aku
mendengarnya." Aku membacakannya dengan agak malu.
"Sebagai permulaan, seorang harus memandangnya secara logis - "
"Tepat seperti yang selalu dikatakan oleh Hastings yang malang," sela Poirot,
"tetapi sayang! Ia tidak pernah melakukannya."
"Faktor ke-1 - Tuan Ackroyd kedengaran sedang berbicara kepada seseorang pada
pukul setengah sepuluh. "Faktor ke-2 - Rupanya pada suatu saat tertentu Ralph Paton masuk melalui
jendela. Ini terbukti dari jejak sepatunya.
"Faktor ke-3 - Malam itu Tuan Ackroyd kurang tenang. Karena itu, ia hanya akan
menerima orang yang dikenalnya.
"Faktor ke-4 - Orang yang berada bersama Ackroyd pada pukul setengah sepuluh,
menuntut uang. Dan kita tahu kalau Ralph Paton sedang dalam kesulitan keuangan.
"Keempat faktor ini menunjukkan bahwa orang yang berada bersama Ackroyd pada
pukul setengah sepuluh, adalah Ralph Paton. Tetapi kita tahu bahwa Tuan Ackroyd
masih hidup pada pukul sepuluh kurang seperempat. Maka Ralph bukanlah
pembunuhnya. Ralph meninggalkan jendela dalam keadaan terbuka. Sesudah ia pergi
si pembunuh masuk melalui jendela itu."
"Dan siapakah pembunuhnya?" tanya Poirot.
"Orang asing dari Amerika itu. Ia mungkin telah bersekongkol dengan Parker. Dan
mungkin sekali, Parker-lah orang yang memeras Nyonya Ferrars. Kalau memang
demikian, mungkin setelah mendengar cukup banyak, Parker lalu menyadari kalau
perbuatannya sudah diketahui. Ia lalu memberitahukan hal ini pada kawannya. Dan
orang ini lalu melakukan pembunuhan itu dengan pisau belati yang diberikan
Parker padanya." "Memang teori yang baik," Poirot mengakui. "Tampaknya kau pun mempunyai sel-sel
kecil kelabu. Tetapi masih banyak yang belum jelas."
"Seperti, misalnya - ?"
"Panggilan telepon itu, kursi yang ditarik ke luar - "
"Apakah kau benar-benar menganggap hal yang terakhir itu penting?" potongku.
"Mungkin tidak," kawanku mengakui. "Mungkin kursi itu tertarik ke luar tidak
dengan sengaja. Lalu mungkin Raymond atau Blunt, tanpa sadar karena kebingungan,
telah mendorongnya masuk lagi. Lalu ada lagi soal empat puluh pound yang hilang
itu."

Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Diberikan Ackroyd kepada Ralph," saranku. "Mungkin ia mempertimbangkan kembali
penolakannya yang pertama."
"Lalu masih ada satu soal lagi yang belum jelas."
"Soal apa?" "Mengapa Blunt demikian yakin, bahwa Raymond-lah yang berada bersama Tuan
Ackroyd pada pukul setengah sepuluh malam?"
"Blunt telah menjelaskannya," sahutku.
"Kaukira begitu" Aku tidak akan membicarakan soal ini lebih lanjut. Tetapi
ceritakanlah, apa alasan Ralph Paton untuk menghilang seperti itu?"
"Ini lebih sukar dijelaskan," jawabku perlahan. "Aku harus menerangkannya
seperti seorang dokter. Mungkin syaraf Ralph sudah terlalu tegang! Tatkala ia
tiba-tiba mendengar bahwa pamannya telah dibunuh, hanya beberapa menit setelah
meninggalkannya - sesudah, mungkin suatu pembicaraan yang agak tegang - mungkin
sekali ia menjadi ketakutan lalu menghilang. Orang sering kali berbuat demikian
- bersikap seperti orang yang bersalah, walaupun mereka sebenarnya sama sekali
tidak tahu apa-apa."
"Ya, itu benar," Poirot menyetujui. "Tetapi kita tidak boleh melupakan satu
hal." "Aku tahu apa yang akan kaukatakan," ujarku, "yaitu, motifnya. Ralph Paton akan
mewarisi sejumlah harta yang besar setelah kematian pamannya."
"Itu memang salah satu alasan," Poirot mengakui.
"Satu?" "Mais oui. Adakah kau menyadari bahwa kita menghadapi tiga macam alasan yang
berlainan. Seseorang telah mencuri amplop biru dan isinya. Itu satu alasan.
Pemerasan! Ralph Paton mungkin pemeras Nyonya Ferrars. Ingat sejauh yang
diketahui Hammond, Ralph pada akhir-akhir ini tidak minta bantuan pada pamannya.
Dan dilihat dari segi ini, tampaknya seakan-akan ia mendapat uang dari sumber
lain. Lalu kenyataan bahwa ia sekarang sedang dalam - bagaimana kau menyebutnya
- krisis keuangan" - dan ia takut kalau berita ini sampai ke telinga pamannya.
Dan akhirnya, alasan yang kausebutkan barusan ini."
"Ya, Tuhan," seruku dengan agak terkejut. "Keadaan tampaknya buruk sekali
baginya." "Benarkah demikian?" tanya Poirot. "Di sinilah kita berbeda pendapat, kau dan
aku. Tiga macam alasan - rasanya terlalu banyak. Tetapi aku cenderung untuk
mempercayai kalau Ralph Paton sama sekali tidak bersalah."
Bab 14 NYONYA ACKROYD SETELAH mencatat percakapan pada sore hari itu, perkara ini menurut penilaianku
mulai memasuki suatu fase yang baru. Seluruh perkara ini dapat dibagi dalam dua
bagian. Yang satu berbeda jelas dengan yang lain. Bagian ke-I mulai dari matinya
Ackroyd pada hari Jum'at malam sampai ke Senin berikutnya. Yaitu catatan
mengenai peristiwa yang telah terjadi seperti yang telah diceritakan pada
Hercule Poirot. Aku berada di sisi Poirot sepanjang waktu. Apa yang telah
dilihatnya, telah kulihat juga. Dan aku berusaha sedapat-dapatnya membaca apa
yang dipikirkannya. Sekarang kutahu bahwa aku telah gagal dalam tugas ini.
Walaupun Poirot menunjukkan semua penemuannya kepadaku - seperti misalnya cincin
kawin emas itu - tetapi ia telah menyembunyikan impresi-impresi yang paling
penting dan juga paling logis yang telah dibentuknya. Belakangan baru kuketahui,
kerahasiaan ini memanglah salah satu sifatnya. Ia akan melemparkan petunjuk-
petunjuk dan saran-saran. Tetapi lebih dari itu tidak akan dilakukannya.
Seperti telah kukatakan, sampai Senin malam itu, ceritaku boleh dikatakan sama
dengan cerita Poirot. Aku memainkan peran Watson, sedangkan dia adalah Sherlock-
nya. Tetapi setelah Senin malam, jalan kami mulai berpisah. Poirot sibuk dengan
urusannya sendiri. Aku mendengar tentang segala tindak-tanduknya, karena di
King's Abbot seorang akan mendengar segala-galanya. Tetapi ia tidak
memberitahukanku terlebih dahulu. Dan aku pun mempunyai pekerjaanku sendiri.
Jika aku melihat kembali, hal yang paling mengesankan bagiku adalah keadaan
gotong-royong pada masa itu. Setiap orang turut memecahkan misteri itu. Perkara
ini menyerupai sebuah teka-teki bergambar. Setiap orang menyumbangkan sedikit
pengetahuan atau penemuan mereka. Tetapi tugas mereka hanya sampai di situ saja.
Hanya Poirot seoranglah yang memperoleh kesempatan untuk menjadi termasyhur
dengan jalan mencocokkan potongan gambar yang kecil-kecil itu pada tempatnya
yang benar. Beberapa kejadian pada saat itu tampaknya tidak penting dan tidak berarti.
Misalnya persoalan sepatu lars hitam itu. Tetapi masalah ini baru timbul
kemudian.... Bilamana kita menempatkan kejadian-kejadian ini menurut urutan
kronologis, maka aku harus mulai dengan panggilan yang kuterima dari Nyonya
Ackroyd. Ia memanggilku pada hari Selasa ketika hari masih pagi sekali. Dan karena
panggilan ini kelihatannya mendesak sekali, maka aku bergegas ke sana dengan
perkiraan bahwa aku akan menjumpainya dalam keadaan gawat.
Wanita itu terbaring di atas ranjang. Diulurkannya tangannya yang kurus kepadaku
dan menunjuk ke sebuah kursi di pinggir ranjang.
"Nah, Nyonya Ackroyd," sapaku, "ada apa dengan Anda?"
Aku berbicara dengan keramahtamahan yang dibuat-buat yang rupanya selalu
diharapkan dari para dokter.
"Saya tidak berdaya, saya letih sekali," keluh Nyonya Ackroyd lemah. "Benar-
benar tidak berdaya. Ini adalah akibat dari kematian Roger yang malang. Orang
mengatakan bahwa kita tidak merasakannya pada saat kejadian. Reaksinya baru
timbul sesudahnya." Sayang sekali, dokter-dokter karena profesinya, kadang-kadang tidak boleh
mengatakan perasaannya yang sebenarnya.
Aku ingin sekali dapat menjawab, "Omong kosong!"
Tetapi sebagai gantinya aku menyarankan untuk minum obat kuat. Nyonya Ackroyd
menerima obat kuat tersebut. Satu langkah dalam permainan sudah dilakukan. Tidak
sedikit pun aku beranggapan bahwa aku dipanggil karena shock yang disebabkan
oleh kematian Ackroyd. Tetapi Nyonya Ackroyd bukanlah orang yang dapat mengejar
tujuannya dengan langsung. Ia selalu mendekati tujuannya dengan cara yang
berbelit-belit. Aku sungguh bertanya-tanya dengan maksud apa ia memanggilku.
"Lalu keributan itu - kemarin," pasienku melanjutkan.
Ia berhenti sebentar seakan-akan mengharapkanku untuk meneruskannya.
"Keributan apa?"
"Dokter, masakan Anda tidak tahu" Apakah Anda lupa" Laki-laki kecil asal
Perancis itu - atau Belgia - atau entah dari mana dia. Menekan kami semua
seperti itu. Kejadian itu sangat membingungkan saya. Apalagi mengingat kematian
Roger." "Saya sungguh menyesal, Nyonya Ackroyd," ujarku.
"Saya tidak mengerti apa maksudnya - membentak kami seperti itu. Saya rasa, saya
tahu kewajiban saya. Dan saya tidak pernah bermimpi untuk menyembunyikan
sesuatu. Saya telah melakukan segala sesuatu untuk membantu polisi dalam batas-
batas kemampuan saya."
Nyonya Ackroyd tidak meneruskan kata-katanya dan aku menyahut. "Benar," Aku
mulai melihat inti persoalannya.
"Tidak seorang pun dapat mengatakan bahwa saya telah melalaikan tugas saya,"
Nyonya Ackroyd meneruskan. "Saya yakin Inspektur Raglan puas sekali. Lalu
mengapa laki-laki kecil yang baru muncul mi harus membuat gaduh" Belum lagi
mengingat rupanya yang menggelikan itu - persis seperti seorang badut Perancis
dalam suatu pertunjukan. Saya tidak mengerti mengapa Flora bersikeras
menyuruhnya menangani perkara ini. Ia tidak mengatakan apa pun pada saya
sebelumnya. Ia langsung pergi dan mencari orang itu. Flora seorang gadis yang
terlalu bebas. Saya seorang wanita yang berpengalaman, dan saya adalah ibunya.
Seharusnya ia datang menanyakan pendapat saya dahulu."
Kudengarkan semua ini sambil berdiam diri.
"Apa yang dipikir laki-laki kecil itu" Itulah yang saya ingin ketahui. Apakah ia
betul-betul mengira kalau saya menyembunyikan sesuatu" Ia - ia - telah menuduh
saya secara positif sekali, kemarin."
Aku mengangkat bahu. "Semua itu tidak penting, Nyonya Ackroyd," bujukku. "Apalagi karena Anda tidak
menyembunyikan apa-apa. Apa pun yang diucapkannya tidak berlaku bagi Anda."
Seperti biasa, Nyonya Ackroyd kemudian beralih kepada persoalan lain.
"Pembantu-pembantu juga menjengkelkan," keluhnya. "Mereka bergunjing dan
menceritakan yang bukan-bukan di antara mereka sendiri. Kemudian apa yang mereka
gunjingkan mulai beredar di luaran - sedangkan sebenarnya gunjingan mereka itu
mungkin tidak ada dasarnya sama sekali."
"Apakah para pembantu mengatakan sesuatu?" tanyaku. "Mengenai apa?"
Nyonya Ackroyd melirikku dengan licin. Lirikannya membuatku bingung.
"Saya yakin, Anda mengetahuinya, Dokter. Lebih dari orang lain. Anda bersama
Tuan Poirot terus-menerus, bukan?"
"Memang betul."
"Kalau begitu, pasti Anda mengetahuinya. Soal anak gadis itu, Ursula Bourne,
bukan" Sudah barang tentu - ia akan meninggalkan tempat ini. Ia akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk menimbulkan keributan. Mereka iri hati. Pembantu-pembantu
semua sama. Karena Anda bersama Poirot pada waktu itu, Anda tentu tahu apa yang
telah dikatakannya" Saya ingin sekali agar orang tidak mendapat kesan yang salah
mengenai persoalan ini. Lagipula orang toh tidak mengatakan hal-hal yang
sekecil-kecilnya kepada polisi, bukan" Kadang-kadang timbul persoalan keluarga -
tidak ada hubungannya dengan perkara pembunuhan ini. Tetapi jika gadis itu
mendendam, maka ia mungkin menceritakan yang tidak-tidak."
Aku cukup cerdas untuk menyadari bahwa di balik ucapan-ucapan ini semua
tersembunyi kekhawatiran yang sungguh-sungguh. Dasar pemikiran Poirot memang
tepat. Dari enam orang yang kemarin duduk mengelilingi meja, Nyonya Ackroyd
setidak-tidaknya ada menyembunyikan sesuatu. Dan aku harus mencari tahu apa yang
disembunyikannya itu. "Kalau saya menjadi Anda, Nyonya Ackroyd," ujarku pendek, "saya akan
menceritakan semuanya."
Nyonya Ackroyd menjerit tertahan.
"Oh! Dokter, bagaimana Anda bisa bersikap demikian kasarnya. Kedengarannya
seakan-akan - seakan-akan - Sedangkan saya dapat menerangkan semua ini dengan
demikian sederhananya."
"Mengapa Anda tidak melakukannya?" usulku.
Nyonya Ackroyd mengeluarkan sehelai sapu tangan berenda dan mulai menangis.
"Dokter, saya pikir, mungkin Anda dapat mengemukakannya kepada Tuan Poirot -
menjelaskan padanya - sukar bagi seorang asing untuk melihat persoalan ini dari
segi pandangan kita. Dan Anda tidak tahu - tidak seorang pun mengetahuinya - apa
yang harus kutanggung. Suatu siksaan - suatu siksaan yang lama sekali.
Demikianlah hidup saya selama ini. Saya tidak mau mengatakan yang buruk-buruk
mengenai orang yang sudah mati tetapi demikianlah adanya. Sekalipun sebuah
rekening yang paling kecil, harus diperiksa dahulu dengan teliti. Seolah-olah
penghasilan Roger hanyalah beberapa ratus pound saja, dan bukan (seperti yang
diceritakan Tuan Hammond kepada saya kemarin) salah seorang terkaya di daerah
ini." Nyonya Ackroyd berhenti dan menghapus air matanya dengan sapu tangan berenda
tadi. "Lalu," aku menganjurkannya. "Anda berbicara tentang rekening-rekening?"
"Tagihan-tagihan yang mengerikan itu. Bahkan beberapa di antaranya tidak berani
saya perlihatkan pada Roger. Yaitu pembelian barang-barang tertentu yang tidak
akan dimengerti oleh seorang pria. Seorang laki-laki akan mengatakan bahwa
barang-barang itu tidak perlu. Dan tentu saja rekening-rekening itu makin lama
makin bertumpuk. Dan mereka terus mengalir masuk - "
Nyonya Ackroyd menatapku dengan pandangan memohon, seolah-olah minta dikasihani
atas tindakannya yang ganjil ini.
"Memang hal ini merupakan suatu kebiasaan kaum pria," aku menyetujui.
Suaranya berubah nadanya - menjadi agak kasar. "Yakinlah, Dokter. Syaraf saya
benar-benar terganggu. Saya tidak dapat tidur pada malam hari. Dan jantung saya
berdebar terus. Lalu, kemudian saya menerima surat dari seorang pria Skotlandia
- sebenarnya bahkan dua surat - kedua-duanya dari pria Skotlandia. Yang satu
adalah Tuan Bruce Mac Pherson, sedangkan yang lainnya dari Colin Mac Donald.
Betul-betul suatu kebetulan."
"Saya kira tidak," jawabku dengan nada kering. "Biasanya memang orang Skotlandia
pelit-pelit. Tetapi saya rasa nenek moyang mereka orang Yahudi."
"Yang dalam bentuk surat hutang saja sudah mencapai jumlah sepuluh ribu pound
kurang sepuluh," gumam Nyonya Ackroyd sambil mengingat-ingat. "Saya menulis
surat kepada salah satu di antara mereka. Tetapi rupanya timbul kesulitan-
kesulitan." Ia terhenti. Aku menyadari bahwa kami mulai mendekati daerah yang peka. Aku belum pernah
menemukan orang yang demikian sukarnya mengutarakan maksudnya dengan langsung
dan terus terang. "Karena, Anda lihat," gumam Nyonya Ackroyd. "Ini semua merupakan soal
'mengharapkan sesuatu', bukan" Mengharapkan sesuatu dari warisan itu. Dan
meskipun saya yakin Roger akan menjamin hidup saya, tetapi saya tetap tidak tahu
dengan pasti. Dan saya pikir, andaikata saja saya dapat melihat salinan surat
wasiat itu - bukan dengan maksud buruk untuk memata-matai - tetapi saya
melakukannya supaya saya dapat membuat persiapan."
Nyonya Ackroyd mengerling kepadaku. Situasinya sekarang, benar-benar peka
sekali. Untung sekali ucapan-ucapannya yang diputarbalikkan sedemikian rupa
dapat menutupi keburukan fakta-fakta yang nyata.
"Saya hanya dapat mengatakan pada Anda, Dokter Sheppard," ujar Nyonya Ackroyd
dengan cepat. "Bahwa saya dapat mempercayai Anda untuk tidak salah menilai diri
saya. Dan saya juga mohon kepada Anda untuk mengemukakan hal ini menurut keadaan
yang sebenarnya kepada Tuan Poirot. Kejadian ini terjadi pada Jum'at sore - "
Nyonya Ackroyd terhenti dan menelan ludah dengan bimbang.
"Ya," desakku. "Pada hari Jum'at sore. Lalu?"
"Semua orang sedang pergi, demikianlah perkiraan saya. Saya memasuki kamar kerja
Roger - saya mempunyai alasan yang baik untuk pergi ke sana - maksud saya -
tidak ada sesuatu yang buruk mengenai hal ini. Ketika saya melihat surat-surat
bertumpuk di atas meja tulisnya, saya tiba-tiba berpikir: 'apakah Roger
menyimpan surat wasiat itu di dalam salah satu laci meja tulisnya.' Saya adalah
orang yang sejak kecil selalu menurutkan kata hatinya. Saya sering kali
bertindak tanpa dipikir terlebih dahulu. Roger meninggalkan kunci-kuncinya -
secara sembrono sekali - di lubang kunci laci paling atas."
"Saya mengerti," sahutku dengan nada ingin menolong. "Anda lalu menggeledah meja
tulisnya. Adakah Anda menemukan surat wasiatnya?"
Nyonya Ackroyd menjerit tertahan. Aku menyadari bahwa kata-kataku kurang
diplomatis. "Betapa mengerikan kedengarannya. Tetapi sebenarnya tidaklah seperti yang Anda
sangka." "Tentu saja tidak," jawabku segera. "Anda mesti memaafkan ucapan saya yang
kurang tepat." "Tentu, laki-laki memang makhluk yang aneh. Bila saya menjadi Roger, saya tidak
akan berkeberatan memberitahukan isi surat wasiat saya. Tetapi laki-laki selalu
bertindak penuh rahasia. Seorang harus menggunakan berbagai macam dalih untuk
melindungi diri sendiri."
"Dan hasil dari dalih-dalih tersebut?" tanyaku.
"Itulah yang sedang mau saya ceritakan pada Anda. Tatkala saya tiba di laci
paling bawah. Bourne masuk. Ganjil sekali. Tentu saja saya langsung menutup laci
dan berdiri. Lalu saya mengarahkan perhatiannya pada sedikit debu di atas
permukaan meja tulis. Tetapi saya tidak menyukai caranya memandang.... Cukup
sopan, tetapi dengan sinar mata yang jahat. Sinar mata yang hampir-hampir
menghina, kalau Anda mengerti maksud saya. Saya tidak pernah menyukai gadis itu.
Ia seorang pembantu yang baik dan selalu menyebut 'Nyonya'. Dan ia tidak
berkeberatan mengenakan topi dan celemek (saya berani mengatakan banyak sekali
pembantu berkeberatan untuk mengenakannya sekarang). Dan ia dapat mengatakan
'tidak ada di rumah' tanpa segan-segan, bilamana ia harus membukakan pintu,
menggantikan Parker. Dan ia tidak mengeluarkan suara berdeguk di tenggorokan
seperti pembantu-pembantu lain jika melayani kami pada waktu makan - oh ya,
sampai di mana saya tadi?"
"Anda mengatakan, Anda tidak pernah menyukai Bourne, kendatipun ia memiliki
beberapa sifat yang baik."
"Saya tidak menyukainya. Gadis itu aneh. Ia berbeda dari yang lain.
Pendidikannya terlalu tinggi, menurut pendapat saya. Jaman sekarang Anda tidak
dapat menebak, wanita mana dari keluarga baik-baik dan yang mana tidak."
"Dan apa yang terjadi kemudian?" tanyaku.
"Tidak apa-apa. Akhirnya Roger masuk. Sedangkan saya menyangka bahwa ia sedang
pergi berjalan-jalan. Dan ia berkata, 'ada apa di sini"' dan saya menjawab,
'tidak ada apa-apa. Aku baru saja masuk untuk mengambil Punch.' Saya mengangkat
Punch lalu keluar. Bourne tinggal di sana. Saya mendengarnya bertanya pada Roger
apakah ia boleh berbicara padanya sebentar. Saya langsung naik ke kamar saya
untuk merebahkan diri. Saya amat gelisah."
Nyonya Ackroyd berhenti berbicara.


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda akan menjelaskannya pada Tuan Poirot, bukan" Anda melihat sendiri sekarang
betapa sepelenya persoalan ini sebenarnya. Tetapi tatkala Tuan Poirot dengan
keras menuduh kami semua menyembunyikan sesuatu, maka tentu saja saya langsung
ingat akan kejadian ini. Mungkin Bourne telah menceritakan yang bukan-bukan.
Tetapi Anda akan menjelaskannya, bukan?"
"Apakah hanya itu saja?" tanyaku. "Apakah Anda sudah menceritakan semua kepada
saya?" "Ya - ya," jawab Nyonya Ackroyd. "Oh! Ya," tambahnya dengan tegas.
Tetapi aku telah mendengar keragu-raguannya selama sesaat tadi, dan aku tahu
masih ada sesuatu yang disembunyikannya. Suatu pikiran yang cerdik sekali timbul
dalam diriku dan mendorongku menanyakan,
"Nyonya Ackroyd," tanyaku, "Andakah yang meninggalkan meja perak itu dalam
keadaan terbuka?" Kuterima jawabanku berupa memerahnya wajahnya yang tidak dapat disembunyikan
oleh pemerah pipi maupun bedak.
"Bagaimana Anda bisa tahu?" bisiknya.
"Memang benar Anda, bukan?"
"Ya - saya - karena - ada satu dua potong barang perak kuno - amat menarik. Saya
telah mempelajari benda-benda itu. Dan ada uraian mengenai suatu benda kuno
kecil yang mencapai harga yang luar biasa besarnya di Christy. Dan rupanya sama
seperti yang ada di dalam meja perak itu. Saya bermaksud membawanya serta
bilamana saya pergi ke London - dan - menyuruh mereka menaksirnya. Dan bila
ternyata benda itu betul-betul berharga, bayangkan betapa hal ini akan merupakan
suatu surprise yang menyenangkan bagi Roger."
Aku tidak mengemukakan pendapatku, dan menerima cerita Nyonya Ackroyd
berdasarkan segi-segi baiknya saja. Aku bahkan tidak mau menanyakan padanya
mengapa ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
"Mengapa Anda membiarkan meja itu terbuka?" tanyaku. "Apakah Anda lupa?"
"Saya terkejut," jawab Nyonya Ackroyd. "Saya mendengar langkah-langkah kaki
mendatangi di teras luar. Saya bergegas ke luar ruangan dan baru saja menaiki
tangga, tatkala Parker membukakan pintu muka bagi Anda."
"Rupanya langkah-langkah kaki Nona Russell," kataku sambil termenung. Nyonya
Ackroyd telah memberitahukanku suatu fakta yang menarik. Apakah ia bermaksud
baik dengan barang-barang perak Ackroyd, aku tidak tahu, dan aku juga tidak
peduli. Yang menarik perhatianku adalah bahwa Nona Russell memasuki kamar tamu
melalui jendela. Dan aku tidak keliru menduga. Ia kehabisan napas karena
berlari. Dari mana saja dia" Aku teringat akan pondok kecil dan carikan kain
itu. "Saya ingin tahu apakah Nona Russell biasa menganji sapu tangannya!" seruku
tiba-tiba. Nyonya Ackroyd tersentak, dan membangunkanku dari lamunanku. Aku bangkit
berdiri. "Dapatkah Anda menjelaskannya kepada Tuan Poirot?" tanyaku dengan khawatir.
"Oh, tentu saja. Pasti."
Akhirnya aku dapat lolos, setelah terlebih dahulu dipaksa mendengarkan beberapa
alasan lagi atas perbuatannya itu.
Pembantu yang tugasnya di ruang tamu, sedang berada di gang, dan lalu menolongku
mengenakan jasku. Aku memperhatikannya dengan lebih teliti daripada yang pernah
kulakukan sebelumnya. Melihat wajahnya, ia baru saja habis menangis.
"Bagaimana kau dapat mengatakan kepada kami bahwa Tuan Ackroyd memanggilmu ke
ruang kerjanya pada hari Jum'at?" tanyaku. "Sekarang kudengar bahwa kaulah yang
minta berbicara padanya."
Untuk sesaat matanya tidak berani memandangku.
Lalu ia berbicara. "Saya toh bermaksud pergi dari sini," jawabnya dengan ragu.
Aku tidak berkata apa-apa lagi. Gadis itu membukakan pintu muka bagiku. Dan
tepat pada saat aku melangkah ke luar, tiba-tiba ia berkata dengan suara rendah,
"Maafkan, Tuan, adakah kabar mengenai Kapten Paton?"
Aku menggelengkan kepala dan memandangnya dengan penuh tanda tanya.
"Seharusnya ia kembali," ujarnya. "Ia seharusnya benar-benar datang kembali."
Gadis itu memandangku dengan sinar mata memohon.
"Tidak adakah yang tahu di mana dia sekarang?" tanyanya.
"Tahukah engkau?" tanyaku tajam.
Ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, saya tidak tahu apa-apa. Tetapi siapa pun yang mengaku menjadi temannya
harus mengatakan ini kepadanya: ia harus kembali."
Aku berlambat-lambat dan berpikir, mungkin gadis itu akan mengatakan lagi
sesuatu. Pertanyaannya yang berikutnya sungguh mengherankanku.
"Pukul berapakah pembunuhan itu terjadi" Sedikit sebelum pukul sepuluh malam?"
"Begitulah kira-kira," sahutku. "Antara pukul sepuluh kurang seperempat dan
pukul sepuluh." "Tidak lebih dahulu" Tidak sebelum pukul sepuluh kurang seperempat?"
Aku memandangnya dengan penuh perhatian. Ia demikian berhasrat mendengarkan
jawaban yang mengiakan. "Itu sama sekali tidak mungkin," jawabku. "Nona Ackroyd menjumpai pamannya dalam
keadaan hidup, pada pukul sepuluh kurang seperempat."
Gadis itu berbalik dengan tubuh yang seakan-akan layu dan berat.
"Gadis yang cantik," bisikku pada diri sendiri, sambil mengendarai mobilku
meninggalkan Fernly. "Seorang gadis yang cantik luar biasa."
Caroline sedang di rumah. Ia senang sekali dengan kunjungan Poirot, dan merasa
dirinya penting sekali. "Aku sedang membantunya dengan perkara ini," ia menerangkan.
Aku merasa kurang enak. Seperti keadaannya sekarang saja, Caroline sudah cukup
menjengkelkan. Bagaimana lagi sikapnya nanti jika naluri detektifnya dikobarkan"
"Apakah kau akan mencari teman wanita Ralph Paton yang misterius itu di sekitar
sini?" tanyaku. "Mungkin aku akan melakukannya atas perhitunganku sendiri," sahut Caroline.
"Tetapi, tidak, aku sekarang sedang mencari keterangan mengenai suatu hal khusus
untuk Tuan Poirot." "Tentang apa?" tanyaku.
"Ia ingin tahu, apakah sepatu Ralph Paton berwarna hitam atau coklat," sahut
Caroline dengan bersungguh-sungguh.
Aku menatapnya. Sekarang baru kusadari betapa bodohnya diriku tentang soal
sepatu itu. Aku sama sekali tidak mengerti maksudnya.
"Sepatu-sepatu itu berwarna coklat," jawabku. "Aku melihatnya."
"Bukan sepatu biasa, James, tetapi sepatu lars. Tuan Poirot ingin mengetahui
apakah sepatu lars yang dibawa Ralph ketika menginap di hotel berwarna coklat
atau hitam. Banyak sekali tergantung pada jawaban pertanyaan ini."
Katakanlah aku tolol kalau mau. Aku sungguh tidak mengerti persoalannya.
"Dan bagaimana kau akan mencari tahu tentang hal ini?" tanyaku.
Caroline mengatakan bahwa soal itu tidak sulit. Teman akrab pembantu kami,
Annie, adalah pembantu Nona Gannett yang bernama Clara. Dan Clara akan membawa
sepatu lars itu keluar dari Three Boars. Keseluruhannya demikian sederhananya.
Dan dengan pertolongan Nona Gannett, yang diberikan dengan senang hati, Clara
segera mendapatkan ijin untuk tidak masuk kerja. Dan rencana itu langsung
dilaksanakan dengan secepat kilat.
Waktu makan siang, Caroline mengungkapkan dengan sikap seakan-akan acuh tak
acuh, "Mengenai sepatu lars Ralph Paton itu."
"Ya," jawabku, "ada apa dengan sepatu lars itu?"
"Tuan Poirot menyangka sepatu itu berwarna coklat. Tetapi ia keliru. Sepatu lars
itu berwarna hitam."
Dan Caroline mengangguk beberapa kali. Tampaknya ia mengira bahwa ia sudah
menang satu angka atas Poirot.
Aku tidak menjawab. Aku sedang memikirkan apa hubungannya warna sepatu Ralph dengan
perkara ini. Bab 15 GEOFFREY RAYMOND HARI itu aku dapatkan bukti lebih lanjut dari berhasilnya taktik Poirot. Tuduhan
yang diajukannya terhadap kami merupakan sentuhan halus yang timbul karena
pengetahuannya akan sifat manusia. Campuran dari perasaan takut dan bersalah
telah berhasil mengorek keterangan yang sebenarnya dari Nyonya Ackroyd. Nyonya
inilah yang pertama-tama memberikan reaksi.
Sore itu, ketika aku kembali dari kunjungan ke pasien-pasienku, Caroline
memberitahukan bahwa Geoffrey Raymond baru saja pulang.
"Apakah ia ingin bertemu denganku?" tanyaku sambil menggantung jasku di gang.
Caroline tidak beranjak dari sisiku.
"Ia ingin bertemu dengan Tuan Poirot," sahutnya. "Ia baru saja datang dari The
Larches. Tuan Poirot sedang keluar dan Tuan Raymond mengira mungkin ia ada di
sini. Atau mungkin kau tahu di mana dia."
"Aku sama sekali tidak tahu."
"Aku mencoba untuk menahannya," kata Caroline, "tetapi Raymond mengatakan ia
akan kembali lagi ke The Larches dalam waktu setengah jam, lalu ia pergi ke
desa. Sayang sekali, karena Tuan Poirot datang belum ada satu menit setelah ia
pergi." "Datang ke sini?"
"Tidak, ke rumahnya sendiri."
"Bagaimana kau tahu?"
"Lewat jendela samping," jawab Caroline pendek.
Menurutku, kami sudah cukup lama mempercakapkan soal ini, tetapi Caroline
beranggapan sebaliknya. "Kau tidak mau ke sana?"
"Ke sana ke mana?"
"Ke The Larches, tentu saja."
"Caroline sayang," kataku, "untuk apa?"
"Tuan Poirot harus ditemuinya, sangat perlu," Caroline memberitahukan. "Kau
dapat mendengarkan apa saja yang dibicarakan."
Aku mengangkat alisku. "Rasa ingin tahu bukanlah dosa yang menimpaku," aku mengingatkan dengan dingin.
"Aku dapat hidup dengan tenang tanpa mengetahui dengan tepat apa yang sedang
dipikirkan atau dikerjakan oleh tetanggaku."
"Omong kosong, James," bantah kakakku. "Kau, seperti juga denganku, ingin sekali
tahu apa yang terjadi. Hanya saja, kau kurang jujur dan selalu pura-pura."
"Yang benar saja, Caroline," sahutku, lalu menghilang ke kamar praktekku.
Sepuluh menit kemudian pintu diketuk oleh Caroline, dan ia masuk dengan memegang
sebotol selai. "Kupikir-pikir, James," pancingnya, "apakah kau tidak keberatan mengantarkan
botol selai ini kepada Tuan Poirot" Aku telah menjanjikannya. Ia belum pernah
mencicipi selai buatan sendiri sebelumnya."
"Mengapa bukan Annie yang kausuruh?" tanyaku dengan nada dingin.
"Ia sedang menisik pakaian. Aku tidak bisa menyuruhnya."
Kami saling berpandangan.
"Baiklah," sahutku sambil bangkit berdiri. "Tetapi aku hanya akan menaruh
makanan brengsek ini di luar pintunya. Kau mengerti?"
Kakakku mengangkat alisnya.
"Tentu saja," sahutnya. "Siapa yang menyarankanmu untuk berbuat lain dari itu?"
Kemenangan berada di pihak Caroline.
"Kalau kebetulan kau ketemu Tuan Poirot," ujarnya ketika aku membuka pintu muka,
"kau boleh menceritakannya tentang sepatu lars itu."
Ucapannya betul-betul merupakan suatu tembakan yang tepat. Aku memang ingin
sekali mengetahui teka-teki mengenai sepatu lars itu. Tatkala wanita tua yang
bertopi Breton itu membukakan pintu bagiku, tanpa kusadari aku bertanya apakah
Tuan Poirot ada di rumah.
Poirot melompat bangun dan menemuiku, tampaknya dengan senang hati.
"Duduklah, Temanku yang baik," ujarnya. "Kursi yang besar" Atau yang kecil ini"
Ruangan ini tidak terlalu panas bagimu, bukan?"
Hawa yang panas dalam kamar itu terasa mencekik leher. Tetapi aku tidak
mengatakan apa-apa. Jendela-jendela ditutup, dan api besar sedang menyala di
tempat perapian. "Orang Inggris mempunyai kebutuhan yang berlebihan akan udara segar," Poirot
menyatakan. "Udara luas, baik saja kalau di luar. Memang itu tempatnya. Tetapi
mengapa kita harus membawanya ke dalam rumah" Tetapi janganlah kita membicarakan
soal-soal yang tidak penting. Kau membawakan sesuatu bagiku?"
"Dua buah," sahutku. "Pertama-tama - ini - dari kakakku."
Kuserahkan botol berisi selai itu.
"Nona Caroline yang baik hati sekali. Ia ingat janjinya. Dan hal kedua?"
"Semacam informasi."
Lalu kuceritakan padanya pembicaraanku dengan Nyonya Ackroyd. Poirot
mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi kurang bergairah.
"Keterangan Nyonya Ackroyd membuat perkara ini tambah jelas," ia merenungkan.
"Dan keterangan ini menguatkan penjelasan si pengatur rumah tangga. Ingatkah
kau, Nona Russell mengatakan bahwa ia menemukan meja perak itu dalam keadaan
terbuka" Dan ia menutupnya sambil lewat."
"Dan bagaimana dengan keterangannya yang menyatakan bahwa ia memasuki kamar
tamu, hanya untuk melihat apakah bunga-bunga masih segar?"
"Ah! Bukankah kita tidak terlalu menaruh arti pada penjelasannya itu, Kawan" Itu
hanya sebuah alasan yang dibuat dengan tergesa-gesa oleh seorang wanita yang
mengira bahwa kehadirannya di sana membutuhkan penjelasan - dan mungkin sekali
tidak akan pernah terpikir olehmu untuk menyelidikinya. Aku sangka, mungkin
kebingungannya itu disebabkan karena ia telah mengutik barang-barang di meja
perak itu. Tetapi sekarang, kukira kita harus mencari sebab lain."
"Benar," aku menyetujui, "Siapakah yang ditemuinya" Dan mengapa?"
"Apakah menurutmu ia menjumpai seseorang?"
"Benar." Poirot mengangguk. "Demikian pula aku," ia mengakui sambil berpikir.
Sejenak kami berdua berdiam diri.
"Omong-omong," kataku, "aku ada pesan untukmu dari kakakku. Sepatu lars Ralph
Paton berwarna hitam, dan bukan coklat."
Aku mengawasinya dengan seksama ketika aku meneruskan pesan ini. Kukira, untuk
sesaat kulihat Poirot menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Tetapi gejala itu
segera hilang lagi. "Apakah ia yakin benar, sepatu lars itu tidak berwarna coklat?"
"Yakin sekali."
"Ah!" keluh Poirot dengan menyesal. "Sayang sekali."
Ia tampak kecewa sekali. Poirot tidak memberikan penjelasan, tetapi langsung beralih ke soal lain.
"Nona Russell, si pengatur rumah tangga yang datang memeriksakan diri padamu
pada hari Jum'at pagi - apakah kurang sopan untuk bertanya, apa saja yang
dibicarakan saat itu - maksudku di samping soal-soal kesehatan?"
"Sama sekali tidak," jawabku. "Ketika kami selesai membicarakan kesehatannya,
kami lalu membicarakan soal racun untuk beberapa menit. Yaitu, soal mudah dan
sukarnya menemukan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh racun-racun tersebut. Dan
juga mengenai kebiasaan pemakaian narkotik dan para morfinis."
"Dan yang terutama dibicarakan adalah cocaine?" tanya Poirot.
"Bagaimana kau tahu?" kubalas bertanya dengan heran.
Sebagai jawaban, laki-laki kecil itu bangkit dan melintasi ruangan ke tempat di
mana koran-koran disimpan. Ia membawakan selembar koran Daily Budget, tertanggal
Jum'at 16 September, dan memperlihatkan sebuah artikel tentang penyelundupan
cocaine. Artikel ini ditulis dengan nada menakut-nakuti untuk menarik perhatian
orang. "Itulah yang membuatnya memikirkan cocaine, Kawan," ujar Poirot.
Sebenarnya aku ingin menanyakan lebih lanjut, karena belum mengerti apa yang
dimaksudkannya. Tetapi pada saat itu pintu terbuka, dan pembantu memberitahukan kedatangan
Geoffrey Raymond. Anak muda itu masuk dengan sikapnya yang segar dan ramah seperti biasa, dan
menyalami kami berdua. "Apa kabar, Dokter" Tuan Poirot, ini kedua kalinya saya ke mari pagi ini. Saya
ingin sekali berbicara dengan Anda."
"Mungkin sebaiknya aku pergi," usulku dengan canggung.
"Tidak perlu, Dokter. Saya hanya mau mengatakan ini saja," ia meneruskan sambil
duduk atas undangan Poirot. "Saya perlu mengakui sesuatu."
"En verite?" tanya Poirot sopan dan dengan penuh perhatian.
"Oh, sebenarnya hanya mengenai sesuatu yang tidak berarti. Tetapi batin saya
sejak kemarin sore mulai mengganggu. Anda menuduh kami semua menyembunyikan
sesuatu keterangan. Tuan Poirot, saya mengaku bersalah. Saya memang
menyembunyikan sesuatu."
"Dan apakah itu, Tuan Raymond?"
"Sudah saya katakan tadi. Sesuatu yang tidak berarti - hanya ini saja. Saya


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhutang - banyak sekali, dan warisan itu datang pada waktu yang tepat. Lima
ratus pound cukup untuk membayar hutang saya. Bahkan masih ada lebih sedikit."
Raymond tersenyum kepada kami dengan sikapnya yang terbuka, yang demikian
menarik. Yang membuatnya kelihatan seperti anak kecil yang manis.
"Anda tahu duduknya perkara. Polisi-polisi dengan wajah penuh curiga - tidak ada
yang mau mengakui kalau dirinya sedang butuh uang - hal ini di mata polisi
memberi kesan yang buruk sekali. Tetapi saya benar-benar goblok. Blunt dan saya
berada di ruang bilyar sejak pukul sepuluh kurang seperempat. Maka sebenarnya
saya mempunyai alibi yang tidak dapat diragukan, dan saya tidak perlu takut.
Tetapi toh, ketika Anda menggertak kami mengenai menyembunyikan sesuatu, saya
merasa kurang enak. Dan saya pikir, sebaiknya saya ceritakan pada Anda."
Raymond berdiri lagi dan memandang kami dengan tersenyum.
"Anda anak muda yang bijaksana sekali," puji Poirot sambil mengangguk kepadanya
dengan penuh penghargaan. "Karena bilamana saya tahu, seorang menyembunyikan
sesuatu terhadap saya, maka saya akan mengira, bahwa yang disembunyikannya itu
adalah sesuatu yang buruk sekali. Anda telah bertindak dengan tepat sekali."
"Saya girang, saya tidak dicurigai lagi," Raymond tertawa. "Saya harus pergi
sekarang." "Nah, begitulah," ujarku ketika pintu ditutup lagi di belakang sekretaris muda
itu. "Ya," Poirot menyetujui. "Hal yang sepele - tetapi andaikata ia tidak ada di
ruang bilyar - siapa yang tahu" Lagipula banyak sekali kejahatan disebabkan oleh
uang yang kurang dari lima ratus pound jumlahnya. Semua ini tergantung dari
jumlah uang yang dibutuhkan. Jadi, suatu hal yang relatif sekali, bukan" Apakah
kau sudah memikirkan, Kawan, bahwa banyak orang akan mendapat keuntungan dari
kematian Ackroyd ini" Yaitu Nyonya Ackroyd, Nona Flora, Tuan Raymond yang muda
itu, Nona Russell, si pengatur rumah tangga. Hanya satu saja yang tidak
mendapatkan keuntungan apa pun, Mayor Blunt."
Nada suaranya ketika mengucapkan nama itu kedengarannya demikian ganjilnya,
sehingga aku menengadah memandangnya dengan kurang mengerti.
"Aku kurang mengerti maksudmu," kataku.
"Dua dari mereka yang kutuduh telah memberitahukanku keadaan yang sebenarnya."
"Dan kaupikir Mayor Blunt juga menyembunyikan sesuatu?"
"Kalau itu," ujar Poirot acuh tak acuh, "bukankah pepatah mengatakan, bahwa
orang Inggris hanya menyembunyikan satu hal - yaitu cinta kasih mereka" Dan
Mayor Blunt menurutku bukanlah orang yang dapat menyembunyikan sesuatu."
"Kadang-kadang," ujarku, "aku berpikir, apakah kita tidak seenaknya saja menarik
suatu kesimpulan dari sesuatu hal."
"Misalnya?" "Kita menganggap pemeras Nyonya Ackroyd juga pembunuh dari Tuan Ackroyd. Apakah
kita tidak salah duga?"
Poirot mengangguk dengan penuh semangat,
"Bagus sekali. Benar-benar bagus sekali pendapatmu. Aku sudah bertanya-tanya
apakah pikiran itu akan timbul padamu. Tentu saja pendapatmu itu mungkin benar.
Tetapi kita harus ingat, surat itu hilang. Walaupun begitu, seperti apa yang
kaukatakan, hal ini tidak perlu berarti si pembunuh yang mengambilnya. Ketika
kau pertama kali menemukan tubuh si korban, mungkin sekali surat tersebut telah
diambil oleh Parker tanpa kauketahui."
"Parker?" "Betul. Parker. Aku selalu kembali lagi pada Parker - bukan sebagai seorang
pembunuh - tidak, bukan dia yang membunuh. Tetapi siapa yang lebih cocok
daripadanya untuk dituduh sebagai bajingan misterius yang menteror Nyonya
Ferrars" Mungkin ia memperoleh informasi tentang sebab musabab kematian Tuan
Ferrars dari salah satu pembantu di King's Paddock. Tetapi biarpun bagaimana,
kemungkinan besar dialah yang menemukannya daripada tamu-tamu lain, seperti
Blunt misalnya." "Mungkin memang Parker yang mengambil surat itu," kataku. "Baru belakangan
kuperhatikan bahwa surat itu sudah hilang."
"Berapa lama baru kauketahui" Setelah Raymond dan Blunt berada di ruangan, atau
sebelumnya?" "Aku tidak ingat lagi," jawabku lambat. "Aku rasa, sebelumnya - tidak,
sesudahnya. Ya, saya hampir yakin, baru sesudahnya."
"Kalau begitu, orang yang dicurigai menjadi tiga jumlahnya," ujar Poirot sambil
berpikir. "Tetapi, yang paling cocok adalah Parker. Aku bermaksud untuk mencoba
mengadakan eksperimen dengannya. Bagaimana, Kawanku, maukah kau menemaniku ke
Fernly?" Aku menyetujuinya, dan kami langsung berangkat. Poirot mengatakan ingin bertemu
dengan Nona Ackroyd, dan tak lama kemudian Flora masuk menemui kami.
"Mademoiselle Flora," kata Poirot, "saya harus memberitahukan Anda suatu rahasia
kecil. Saya belum yakin kalau Parker tidak bersalah. Oleh karena itu saya
bermaksud mengadakan suatu eksperimen dengan bantuan Anda. Saya ingin mengadakan
rekonstruksi dari beberapa tindakannya pada malam itu. Tetapi kita harus mencari
suatu akal yang tepat untuk mengemukakan hal ini padanya - ah saya tahu. Saya
ingin meyakinkan apakah suara di ruang tunggu yang kecil dapat terdengar di
teras luar. Sekarang, tolong panggilkan Parker."
Aku melakukannya, dan tak lama kemudian si kepala pelayan muncul dengan sikap
sopan seperti biasanya. "Anda memanggil, Tuan?"
"Benar Parker. Saya bermaksud mengadakan eksperimen kecil. Saya telah
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan Darah Di Bukit Serigala 2
^