Pencarian

Pembunuhan Roger Ackroyd 2

Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Bagian 2


Park, maka aku telah melampirkan suatu denah sayap kanan rumah itu. Tangga
sempit itu, seperti telah diterangkan oleh Parker, menuju ke sebuah kamar tidur
besar. Kamar besar tersebut dulunya merupakan dua kamar tidur kecil yang
bersebelahan dengan kamar mandi dan WC.
Inspektur itu memperhatikan letak kamar tersebut sepintas lalu. Kami menuju ke
gang yang luas itu, lalu inspektur itu mengunci pintu tersebut dan menyelipkan
kuncinya ke dalam sakunya. Kemudian dengan suara rendah ia memberi petunjuk-
petunjuk kepada pembantunya yang segera bersiap-siap untuk berangkat.
"Kita harus memeriksa jejak-jejak sepatu itu," inspektur itu menerangkan.
"Tetapi saya ingin berbicara dengan Nona Ackroyd terlebih dahulu. Ia yang
terakhir melihat pamannya dalam keadaan hidup. Apakah ia sudah diberitahu?"
Raymond menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu membangunkannya sekarang, kita dapat menundanya lima menit lagi. Ia
akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya lebih baik bila ia tidak bingung,
karena diberitahukan akan kematian pamannya. Katakan padanya kalau telah terjadi
pencurian, kemudian mintalah padanya untuk bertukar pakaian dan turun ke sini
untuk menjawab beberapa pertanyaan."
Raymond pergi untuk menjalankan perintah ini.
"Nona Ackroyd akan segera turun," katanya ketika ia kembali. "Saya katakan
padanya apa yang telah Anda sarankan tadi."
Kurang dari lima menit kemudian, kelihatan Flora menuruni tangga. Ia mengenakan
kimono sutera berwarna merah muda. Wajahnya tampak khawatir dan gelisah.
Si inspektur melangkah maju.
"Selamat malam, Nona Ackroyd," sapanya dengan sopan. "Kami khawatir, telah
terjadi percobaan pencurian, dan kami ingin supaya Anda bersedia membantu kami.
Ruangan apa ini - ruang bilyar" Silakan masuk ke mari dan duduklah."
Flora duduk dengan tenang di atas dipan lebar yang menutupi sepanjang dinding,
dan memandang inspektur itu.
"Saya tidak mengerti. Apa yang telah dicuri" Dan apa yang harus saya ceritakan
pada Anda?" "Hanya ini, Nona Ackroyd. Parker mengatakan bahwa Anda keluar dari kamar kerja
paman Anda pada pukul sepuluh kurang seperempat. Apakah benar demikian?"
"Benar sekali. Saya baru saja mengucapkan selamat malam padanya."
"Dan apakah waktunya benar?"
"Ya, memang ketika itu sekitar pukul sepuluh. Saya tidak dapat mengatakannya
dengan tepat. Mungkin juga lebih dari pukul sepuluh kurang seperempat."
"Apakah paman Anda sendirian, atau adakah orang lain bersamanya?"
"Ia seorang diri. Dokter Sheppard sudah pulang."
"Adakah Anda memperhatikan apakah jendelanya terbuka atau tertutup?"
Flora menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak dapat mengatakannya. Gordennya ditutup."
"Benar sekali. Dan apakah paman Anda kelihatannya biasa saja?"
"Saya kira begitu."
"Maukah Anda menceritakan apa yang kalian bicarakan?"
Flora berdiam diri sejenak, seakan-akan mengingat-ingat.
"Saya masuk dan mengatakan, 'Selamat malam, Paman, saya mau tidur sekarang. Saya
lelah malam ini.' Ia hanya menggerutu, dan - saya mendekat lalu menciumnya. Ia
mengatakan sesuatu mengenai betapa cantiknya saya dalam gaun yang saya kenakan.
Kemudian ia menyuruh saya pergi, karena ia sedang sibuk. Lalu saya pergi."
"Apakah ia menekankan supaya tidak diganggu?"
"Oh! Benar, saya lupa. Katanya, 'katakan pada Parker, aku tidak memerlukan apa-
apa lagi malam ini, dan ia jangan mengganggu aku.' Saya bertemu dengan Parker,
tepat di muka pintu, dan saya teruskan pesan Paman."
"Hanya itu saja," inspektur itu berkata.
"Maukah Anda menceritakan apa yang sebenarnya telah dicuri?"
"Kami belum - yakin benar," jawab inspektur itu dengan ragu-ragu.
Mata gadis itu membelalak ketakutan. Ia bergerak bangun.
"Apa yang terjadi" Anda menyembunyikan sesuatu terhadap saya?"
Blunt bergerak dengan caranya yang tidak menyolok mata, dan berdiri di antara
gadis itu dan si inspektur. Gadis itu setengah mengulurkan tangannya, dan.
Hector Blunt menyambut uluran tangannya sambil menepuk-nepuknya seakan-akan
gadis itu seorang anak kecil. Flora berpaling kepadanya seolah-olah sikap Blunt
yang pendiam dan pribadinya yang kuat memberikan pertolongan dan rasa aman.
"Kabar buruk, Flora," katanya dengan tenang. "Kabar buruk bagi kita semua.
Pamanmu Roger - " "Ya?" "Kabar ini akan mengejutkanmu. Roger yang malang sudah meninggal."
Flora menjauhkan diri dari Blunt. Matanya membelalak dengan ngeri.
"Kapan?" bisiknya. "Kapan?"
"Segera setelah kau meninggalkannya, aku rasa," jawab Blunt dengan sedih.
Flora mengangkat tangannya ke leher dan menjerit perlahan, lalu jatuh tidak
sadarkan diri. Dengan cepat aku menangkapnya. Blunt dan aku mengangkatnya ke
atas dan membaringkan gadis itu di atas ranjangnya. Lalu kusuruh Blunt
membangunkan Nyonya Ackroyd dan memberitahukannya apa yang telah terjadi. Flora
segera sadar kembali. Aku mengantarkan ibunya kepadanya dan menerangkan apa yang
harus dilakukannya bagi gadis itu. Kemudian aku bergegas turun lagi.
Bab 6 PISAU BELATI DARI TUNISIA
AKU bertemu dengan inspektur itu ketika ia baru saja masuk dari pintu yang
menuju ke dapur. "Bagaimana keadaan wanita muda itu, Dokter?"
"Ia sudah segar kembali. Ibunya ada bersamanya."
"Bagus sekali. Saya baru saja menanyai pembantu-pembantu. Mereka semua
mengatakan, tidak ada orang yang datang ke pintu belakang malam ini. Gambaran
Anda mengenai orang ini agak kabur. Tak dapatkah Anda memberikan kami keterangan
yang lebih jelas?" "Saya rasa tidak," jawabku dengan menyesal. "Tadi malam gelap sekali, dan laki-
laki itu menaikkan leher jasnya tinggi-tinggi sedangkan topinya ditarik sampai
menutupi matanya." "Hm," gumam inspektur itu. "Rupanya ia ingin menyembunyikan mukanya. Yakinkah
Anda bahwa ia bukanlah orang yang Anda kenal?"
Aku menjawab, tidak, dengan kurang meyakinkan. Kuingat kesan yang kudapat
mengenai suara orang asing itu. Suara yang rasa-rasanya pernah kudengar. Dengan
ragu-ragu kuterangkan hal ini kepada inspektur itu.
"Anda mengatakan kalau suara orang itu kasar dan tidak terpelajar?"
Aku membenarkan, tetapi lalu terpikir olehku bahwa suara yang kasar itu terlalu
dibuat-buat. Bilamana seperti dugaan inspektur itu, orang asing tersebut ingin
menyembunyikan mukanya, maka ia mungkin akan mencoba mengubah suaranya juga.
"Maukah Anda ikut saya kembali ke kamar kerja, Dokter" Ada satu dua hal yang
ingin saya tanyakan pada Anda,"
Aku menurut. Inspektur Davis mengeluarkan kunci dan membuka pintu ruang muka.
Kami masuk ke ruang kerja, lalu Inspektur Davis mengunci kembali pintu di
belakangnya. "Kita tidak mau diganggu," katanya dengan geram. "Dan kita juga tidak mau kalau
ada orang yang ikut mendengarkan. Lalu, apa yang Anda ketahui mengenai pemerasan
itu?" "Pemerasan!" seruku dengan kaget.
"Apakah ini khayalan Parker saja" Atau mungkinkah khayalannya itu berdasarkan
kebenaran?" "Kalau Parker mendengar sesuatu tentang pemerasan," kataku dengan lambat, "tentu
ia telah ikut mendengarkan pembicaraan dengan menempelkan telinganya pada lubang
kunci." Davis mengangguk. "Tidak ada yang lebih pasti dari itu. Tahukah Anda kalau saya telah mencari
keterangan tentang apa yang telah dilakukan Parker sepanjang malam ini. Terus
terang saja, saya tidak menyukai sikapnya. Orang itu mengetahui sesuatu. Ketika
saya mulai menanyainya, ia bersikap seakan-akan telah mendengar sesuatu, dan
mengarang sebuah cerita yang tidak masuk akal mengenai pemerasan."
Aku segera memutuskan, "Saya senang sekali Anda menimbulkan persoalan ini," kataku. "Saya sedang
mempertimbangkan apakah saya akan menceritakan segala-galanya atau tidak. Dan
boleh dikatakan, saya telah memutuskan untuk menceritakan segala yang saya
ketahui pada Anda. Tetapi saya menunggu kesempatan yang tepat untuk
melakukannya. Sebaiknya Anda mendengarnya sekarang."
Lalu segera kuceritakan semua kejadian pada sore dan malam itu, seperti yang
telah saya uraikan pada permulaan buku ini. Inspektur Davis mendengarkan dengan
seksama, dan kadang-kadang mengajukan pertanyaan.
"Cerita paling aneh yang pernah saya dengar," komentarnya, tatkala aku selesai.
"Dan Anda katakan bahwa surat itu hilang begitu saja" Kabar ini buruk sekali -
benar-benar buruk sekali. Kabar ini memberikan apa yang kita cari - yaitu motif
pembunuhan." Aku mengangguk. "Saya menyadari hal ini."
"Menurut Anda, Tuan Ackroyd menyinggung-nyinggung tentang kecurigaannya bahwa
salah seorang anggota rumah tangganya tersangkut dalam perkara ini" Anggota
rumah tangga, suatu istilah yang dapat dipakai dalam arti luas."
"Apakah menurut Anda, Parker-lah orang yang kita cari?" tanyaku.
"Kelihatannya memang demikian. Ia tampaknya sedang ikut mendengarkan pembicaraan
di luar pintu, ketika Anda keluar. Kemudian Nona Ackroyd menjumpainya ketika ia
bermaksud untuk masuk ke ruang kerja. Katakan saja, ia mencoba lagi ketika Nona
Ackroyd sudah pergi. Ia menikam Ackroyd, mengunci pintu dari dalam, kemudian
membuka dan keluar dari jendela. Dari situ ia menuju ke pintu samping yang
memang sudah dibuka sebelumnya. Bagaimana pendapat Anda?"
"Hanya satu hal yang tidak cocok," jawabku dengan lambat. "Kalau Ackroyd
meneruskan maksudnya untuk membaca surat itu segera setelah saya pergi, maka
menurut pendapat saya, ia tidak akan terus duduk dengan diam dan memikirkan hal
itu selama hampir satu jam. Ia akan segera memanggil Parker dan langsung
menuduhnya pada saat itu juga. Maka akan timbul keributan besar. Ingat, Ackroyd,
seorang yang cepat naik darah."
"Mungkin ia tidak sempat membaca surat itu," Inspektur Davis mengutarakan
pendapatnya. "Kita tahu seseorang ada bersamanya pada pukul setengah sepuluh.
Kalau tamu itu datang ketika Anda baru saja pergi, lalu setelah orang itu pergi,
Nona Ackroyd masuk untuk mengucapkan selamat malam - maka Tuan, Ackroyd baru
akan mempunyai waktu meneruskan membaca surat itu, pada hampir pukul sepuluh
malam." "Dan bagaimana mengenai panggilan melalui telepon itu?"
"Memang Parker-lah yang menelepon - bahkan mungkin sebelum ia memikirkan pintu
yang terkunci dan jendela yang terbuka. Lalu pikirannya berubah - atau menjadi
panik - dan memutuskan untuk menyangkal segala-galanya. Demikianlah duduk
perkaranya, percayalah."
"Y - ya," aku membenarkan dengan bimbang.
"Bagaimanapun juga, kita dapat mencari tahu tentang panggilan telepon itu
melalui kantor sentral telepon. Seandainya percakapan telepon itu dilakukan dari
sini, saya kira tidak ada orang lain yang melakukannya kecuali Parker.
Percayalah, dia orang yang kita cari. Tetapi jangan bocorkan hal ini - kita
belum boleh membuatnya curiga sekarang, sampai kita mendapatkan semua bukti.
Saya akan menjaga supaya ia tidak lolos. Bagi orang luar, sekarang kita pusatkan
perhatian pada orang asing Anda yang misterius itu."
Inspektur Davis bangkit dari kursi meja tulis di mana ia duduk tadi dengan
mengangkang, lalu melangkah ke tubuh yang duduk dengan tidak bergerak di kursi
tangan itu. "Seharusnya senjata yang dipakai untuk membunuh dapat memberikan kita petunjuk,"
ujarnya dengan menengadah. "Senjata itu mempunyai ciri yang khas sekali - dan
melihat bentuknya, saya kira senjata itu adalah sebuah barang antik."
Ia membungkuk dan mempelajari gagang pisau itu dengan seksama, dan mendengus
puas. Lalu dengan amat hati-hati kedua tangannya memegang belati di bawah
pangkalnya, dan menariknya keluar dari tubuh korban. Dengan hati-hati agar tidak
menyentuh gagangnya, ditaruhnya pisau belati itu dalam sebuah mangkuk porselen
besar yang menghias rak di atas perapian.
"Ya," Inspektur Davis menetapkan sambil mengangguk ke arah mangkuk porselen
berisi pisau belati. "Benar-benar sebuah barang antik. Benda semacam itu tidak
mungkin terdapat dalam jumlah yang banyak di dunia ini."
Pisau belati itu memang bagus sekali. Mata pisaunya tipis dan lancip. Sedangkan
gagangnya yang terbuat dari jalinan logam yang rumit sekali, merupakan suatu
pekerjaan tangan yang amat halus dan jarang terdapat. Inspektur Davis menyentuh
mata pisau itu dengan hati-hati untuk mengetahui ketajamannya. Lalu ia
menyeringai menunjukkan penghargaannya.
"Ya Tuhan! Lihat mata pisau ini," serunya. "Seorang anak kecil pun dapat
menusukkannya ke dalam tubuh seseorang - semudah memotong mentega. Benar-benar
sebuah mainan yang sangat berbahaya untuk disimpan."
"Bolehkah sekarang saya memeriksa tubuh korban sebagaimana mestinya?" tanyaku.
Inspektur Davis mengangguk.
"Silakan." Kuperiksa si korban dengan teliti.
"Bagaimana?" tanya inspektur itu setelah aku selesai.
"Saya tidak akan menggunakan istilah-istilah teknis," aku memberitahukan. "Kita
akan menyimpannya untuk pemeriksaan selanjutnya. Tikaman itu dilakukan dengan
tangan kanan oleh seorang yang berdiri di belakangnya. Korban tampaknya
meninggal seketika itu juga. Dilihat dari ekspresi wajahnya, saya dapat
mengatakan bahwa tikaman itu sama sekali tidak diduga sebelumnya. Mungkin ia
mati tanpa mengetahui siapa penyerangnya."
"Semua kepala pelayan sudah biasa merangkak tanpa suara seperti kucing," kata
Inspektur Davis. "Pembunuhan ini tidak terlalu sukar dipecahkan. Perhatikan
gagang pisau belati itu."
Aku memperhatikannya. "Mungkin bagi Anda, saya rasa, tidak begitu jelas kelihatan, tetapi saya dapat
melihatnya dengan jelas sekali," katanya dengan suara rendah. "Sidik-sidik
jari!" Inspektur Davis mundur beberapa langkah untuk melihat reaksi atas ucapannya itu.
"Ya," kubenarkan dengan halus. "Saya sudah menduganya."
Aku tidak mengerti mengapa ia harus menduga bahwa aku sama sekali tidak
mempunyai kecerdasan. Lagipula aku sering membaca cerita-cerita detektif dan
koran-koran. Dan kecerdasanku benar-benar biasa seperti orang lain. Apabila
sidik jari yang terdapat pada gagang pisau itu adalah sidik-sidik jari kaki,
maka itulah baru sesuatu yang aneh. Barulah aku akan memperlihatkan keheranan
dan kekaguman yang luar biasa.
Kukira inspektur itu agak jengkel terhadapku karena tidak memperlihatkan gairah
terhadap keterangannya. Ia mengangkat mangkuk porselen itu dan mengundangku
untuk menyertainya ke ruang bilyar.
"Saya ingin tahu apakah Tuan Raymond dapat menceritakan pada kita sesuatu
mengenai pisau belati ini," ia menerangkan.
Setelah mengunci pintu dari luar, kami menuju ke ruang bilyar di mana kami
menemukan Geoffrey Raymond. Inspektur Davis mengangkat dan memperlihatkan barang
buktinya. "Apakah Anda pernah melihat barang ini sebelumnya, Tuan Raymond?"
"Oh - saya rasa - saya hampir yakin bahwa barang tersebut adalah tanda mata dari
Mayor Blunt kepada Tuan Ackroyd. Asalnya dari Maroko - bukan, dari Tunisia.
Jadi, pembunuhan tersebut dilakukan dengan senjata itu" Aneh sekali. Rasanya
hampir-hampir tidak mungkin. Di lain pihak, rasanya tidak ada dua pisau belati
yang rupanya sama seperti itu. Bolehkah saya memanggil Mayor Blunt?"
Tanpa menunggu jawaban ia pergi dengan cepat.
"Orang muda yang baik sekali," komentar Inspektur Davis. "Pribadinya jujur dan
sederhana." Aku menyetujui. Ia telah bekerja selama dua tahun sebagai sekretaris Ackroyd,
tetapi aku belum pernah melihatnya bingung maupun gusar. Dan aku tahu, ia
seorang sekretaris yang cakap sekali.
Satu dua menit kemudian, Raymond kembali bersama Blunt.
"Ternyata saya benar," seru Raymond dengan gairah. "Memang senjata yang
digunakan adalah pisau belati dari Tunisia."
"Mayor Blunt belum melihatnya," Inspektur Davis mengemukakan keberatannya.
"Saya langsung melihatnya ketika masuk ke ruang kerja tadi," jawab laki-laki
pendiam itu. "Kalau demikian, Anda mengenalinya?"
Blunt mengangguk. "Anda sama sekali tidak mengatakan apa-apa mengenai hal ini," cela Inspektur
Davis dengan curiga. "Waktunya kurang tepat," jawab Blunt. "Mengemukakan sesuatu pada saat yang tidak
tepat sering kali menimbulkan banyak sekali kesulitan."
Mayor Blunt balas menatap Inspektur Davis dengan tenang.


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya inspektur itu memalingkan mukanya sambil menggerutu. Kemudian dibawanya
pisau belati tersebut pada Blunt.
"Yakin sekalikah Anda akan hal ini, Tuan" Anda mengenalinya dengan positif?"
"Yakin sekali. Tidak ada keragu-raguan sama sekali."
"Di manakah barang - eh - barang antik ini biasanya disimpan" Dapatkah Anda
memberitahukannya, Tuan?"
Si sekretaris menjawab. "Di dalam meja tempat menyimpan barang-barang perak, di ruang tamu."
"Apa?" seruku. Yang lain-lain memandangku.
"Ya, ada apa, Dokter?" desak Inspektur Davis. "Jangan bimbang," dorong inspektur
itu lagi. "Masalahnya remeh sekali," kuterangkan dengan menyesal. "Yaitu ketika saya tiba
di sini pada undangan makan malam kemarin, saya mendengar bunyi meja perak
ditutup di ruang tamu."
Kulihat sikap yang amat sinis dan penuh kecurigaan membayang di wajah inspektur
itu. "Bagaimana Anda tahu kalau bunyi yang Anda dengar itu disebabkan oleh tutup meja
perak?" Dengan segan aku terpaksa menerangkan dengan terperinci - suatu penjelasan yang
panjang lebar dan membosankan.
Inspektur Davis mendengarkan penjelasanku sampai selesai.
"Apakah pisau belati itu ada di tempatnya ketika Anda melihat-lihat isi meja
perak?" tanyanya. "Entahlah," jawabku. "Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya melihatnya, -
tetapi tentu saja, mungkin sekali barang itu ada di situ sepanjang waktu."
"Lebih baik kita tanyakan pada pengatur rumah tangga," inspektur itu
mengingatkan, lalu menarik bel.
Beberapa menit kemudian, setelah dipanggil oleh Parker, Nona Russell masuk ke
dalam ruangan. "Saya rasa, saya tidak mendekati meja perak sama sekali," jawabnya ketika
Inspektur Davis mengajukan pertanyaan. "Saya hanya memeriksa apakah bunga-bunga
masih segar. Oh! Ya sekarang saya ingat. Meja perak itu terbuka - yang
seharusnya tidak demikian, dan saya menutupnya sambil lalu."
Nona Russell memandang Inspektur Davis dengan agresif.
"Saya mengerti," jawab Inspektur Davis. "Dapatkah Anda mengatakan, apakah pisau
belati ini ada di tempatnya ketika itu?"
"Saya kurang yakin," jawab Nona Russell. "Saya tidak berhenti untuk
memperhatikannya, sebab saya tahu, Nyonya Ackroyd dan puterinya akan segera
turun. Dan saya ingin segera pergi."
"Terima kasih," jawab Inspektur Davis.
Suaranya bimbang, seolah-olah masih ingin bertanya lebih lanjut. Tetapi Nona
Russell menganggap ucapan terakhir Inspektur Davis sebagai tanda bahwa ia tidak
diperlukan lagi, lalu segera meninggalkan ruangan tanpa bersuara.
"Saya kira, ia seorang wanita yang berwatak keras, bukan?" inspektur itu
mengemukakan pendapatnya sambil memandangnya dari belakang. "Sekarang, biarkan
saya berpikir. Kalau saya tidak salah Anda tadi mengatakan bahwa meja perak ini
letaknya di depan salah satu jendela; bukankah begitu, Dokter?"
Raymond mewakiliku menjawab pertanyaan itu.
"Benar, di muka jendela yang sebelah kiri."
"Dan jendela itu terbuka?"
"Kedua jendela itu agak terbuka."
"Nah, menurut pendapatku, tidak perlu kita terlalu mendalami pertanyaan ini.
Seseorang - biarlah saya katakan, seseorang - dapat mengambil pisau belati itu
setiap saat. Dan, bilamana ia mengambil pisau tersebut, tidak menjadi soal sama
sekali. Saya akan kembali lagi besok pagi dengan kepala polisi, Tuan Raymond.
Dan saya akan menyimpan kunci pintu kamar kerja Tuan Ackroyd sampai saya
kembali. Saya ingin agar Kolonel Melrose melihat semuanya persis seperti
keadaannya sekarang. Kebetulan saya tahu bahwa ia diundang makan malam di bagian
lain dari desa ini. Dan saya kira ia akan bermalam di sana...."
Kami memperhatikan Inspektur Davis mengangkat mangkuk porselen tersebut.
"Saya harus membungkusnya dengan hati-hati," ujarnya. "Barang ini akan merupakan
salah satu bukti yang terpenting dalam beberapa hal."
Beberapa menit kemudian, aku keluar dari ruang bilyar bersama Raymond. yang
tertawa-tawa kecil karena geli.
Kurasakan tangannya menekan lenganku, lalu kuikuti arah pandangan matanya.
Tampaknya Inspektur Davis sedang meminta pendapat Parker mengenai sebuah buku
harian kecil. "Agak menyolok," gumam temanku. "Kalau begitu, Parker-lah orang yang dicurigai,
bukan" Apakah kita juga akan menyediakan satu set sidik jari kita untuk
Inspektur Davis?" Raymond mengambil dua helai kartu, menghapusnya dengan sapu tangan suteranya,
dan memberikan satu padaku. Satu helai lagi untuk dirinya sendiri. Sambil
menyeringai diserahkannya kartu-kartu itu kepada si inspektur polisi.
"Souvenir," ujarnya. "No. 1. Dokter Sheppard; no. 2. saya sendiri yang hina ini.
Satu lagi dan Mayor Blunt akan menyusul besok pagi."
Bagi orang muda, segala kejadian dianggap enteng. Bahkan pembunuhan kejam atas
diri teman dan majikannya, tidak dapat mengurangi semangatnya untuk waktu yang
lama. Mungkin memang demikianlah sebaiknya. Aku tidak tahu. Aku sendiri, sudah
lama kehilangan kegembiraanku.
Aku tiba di rumah sudah larut malam dan mudah-mudahan saja Caroline sudah pergi
tidur. Tetapi seharusnya aku sudah dapat menebak.
Caroline sudah siap dengan secangkir coklat panas untukku. Dan ketika aku
meminumnya, dikoreknya semua kejadian malam itu dari mulutku. Aku sama sekali
tidak menyebutkan soal pemerasan, tetapi memuaskan diriku dengan hanya
memberikan keterangan-keterangan mengenai pembunuhan itu.
"Polisi mencurigai Parker," aku memberitahukan sambil bangkit dari dudukku, dan
bersiap-siap naik ke kamar tidur. "Tampaknya, bukti-bukti memberatkannya."
"Parker!" seru kakakku. "Omong kosong. Inspektur itu pasti seorang yang goblok
sekali. Parker! Jangan mengajari aku."
Pernyataan yang kurang jelas artinya itu masih terngiang di telingaku, tatkala
kami pergi tidur. Bab 7 AKU MENGETAHUI PROFESI TETANGGAKU
KEESOKAN paginya, kunjunganku yang tergesa-gesa ke pasien-pasienku sungguh tak
dapat diampuni. Alasanku hanyalah tidak adanya pasien-pasien gawat yang harus
kutolong. Sampai di rumah, Caroline menyambutku di ruang muka.
"Flora Ackroyd ada di sini," bisiknya dengan gairah.
"Apa?" Kusembunyikan keherananku sebaik mungkin.
"Ia ingin sekali bertemu denganmu. Ia sudah menunggu setengah jam di sini."
Caroline mendahului menuju ke ruang tamu kami yang kecil. Aku mengikutinya.
Flora duduk di atas dipan di dekat jendela. Ia mengenakan pakaian hitam, dan
duduk dengan gelisah sambil mempermainkan kedua tangannya. Terkejut aku melihat
wajahnya yang pucat pasi. Tetapi ia berusaha sedapat mungkin untuk berbicara
dengan tenang dan tegas. "Dokter Sheppard, saya datang untuk memohon bantuan Anda."
"Tentu saja ia akan membantumu, Sayang," ujar Caroline.
Perasaanku mengatakan, Flora tidak menginginkan Caroline hadir dalam pembicaraan
ini. Aku yakin ia akan lebih senang seandainya dapat berbicara denganku di bawah
empat mata. Tetapi sebaliknya ia juga tidak mau membuang waktu, maka ia menerima
apa adanya. "Saya ingin Anda menemani saya ke The Larches."
"The Larches?" tanyaku dengan heran.
"Untuk menemui laki-laki kecil yang lucu itu?" seru Caroline.
"Benar. Anda tentu mengetahui siapa dia sebenarnya, bukan?"
"Kami menebak-nebak," jawabku, "mungkin ia seorang penata rambut yang sudah
pensiun." Kedua mata Flora yang biru terbelalak.
"Oh, dia Hercule Poirot! Anda tentu tahu siapa yang saya maksudkan - detektif
partikelir itu. Menurut orang-orang, ia telah banyak melakukan hal-hal yang
mengagumkan - persis seperti yang dilakukan detektif-detektif dalam buku.
Setahun yang lalu ia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan pindah ke sini.
Paman tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi Paman telah berjanji untuk tidak
mengatakannya pada siapa pun. Tuan Poirot ingin hidup menyendiri tanpa diganggu
orang." "Jadi, itulah pekerjaannya," gumamku dengan pelan.
"Tentu Anda pernah mendengar namanya?"
"Saya seorang pelupa, Caroline selalu berkata," jawabku. "Tetapi saya baru saja
mendengar tentang Poirot."
"Aneh sekali," seru Caroline.
Aku tak tahu apa yang dimaksudkannya - mungkin sekali mengenai kegagalannya
mendapatkan keterangan yang benar perihal tetangga kami itu.
"Anda ingin menjumpainya?" tanyaku dengan lambat. "Tetapi, untuk apa?"
"Memintanya menyelidiki pembunuhan itu, tentu saja," jawab Caroline dengan
tajam. "Jangan berlagak tolol, James!"
Bukan maksudku untuk bersikap tolol, tetapi Caroline tidak mau mengerti jalan
pikiranku. "Anda tidak yakin akan kecakapan Inspektur Davis?" lanjutku.
"Tentu saja tidak," jawab Caroline. "Aku pun demikian."
Setiap orang akan menyangka, paman Caroline-lah yang telah dibunuh.
"Dan bagaimana kau tahu bahwa ia bersedia menangani perkara ini?" tanyaku.
"Ingat ia telah berhenti dan tidak lagi bekerja dengan aktif."
"Itulah masalahnya," jawab Flora dengan sederhana. "Saya harus membujuknya."
"Yakinkah kau, bahwa tindakanmu ini tepat?" tanyaku dengan serius.
"Tentu saja ia yakin," jawab Caroline. "Aku akan menemaninya kalau ia mau."
"Saya harap Anda tidak merasa tersinggung, Nona Sheppard, tetapi saya lebih
senang kalau Dokter Sheppard yang menemani saya," ujar Flora.
Gadis ini tahu caranya untuk berterus terang pada saat-saat tertentu. Sindiran
apa pun tidak akan mempan terhadap Caroline.
"Karena Anda tentu mengerti," ia menerangkan dengan diplomatis, "sebagai seorang
dokter dan sebagai orang yang menemukan tubuh korban, Dokter Sheppard dapat
menerangkan segala-galanya secara terperinci pada Tuan Poirot."
"Ya," gerutu Caroline, "aku mengerti."
Aku berjalan mondar-mandir dalam ruangan itu.
"Flora," aku mengusulkan dengan sungguh-sungguh, "turutilah anjuranku. Aku
menasihatimu, janganlah melibatkan detektif ini dalam perkara pembunuhan
pamanmu." Flora melompat berdiri. Mukanya merah padam.
"Saya tahu mengapa Anda mengatakan itu," serunya. "Justru karena itu. saya ingin
menemuinya. Anda takut! Tetapi saya tidak. Saya mengenal Ralph lebih baik
daripada Anda." "Ralph," seru Caroline. "Ada hubungan apa dengan Ralph?"
Tidak satu pun di antara kami berdua menghiraukannya.
"Mungkin Ralph seorang yang berwatak lemah," lanjut Flora. "Mungkin juga ia
telah banyak berbuat kebodohan di masa yang lalu - bahkan barangkali perbuatan
jahat - tetapi ia tidak akan membunuh siapa pun."
"Bukan, bukan itu yang aku maksudkan," seruku. "Aku tidak pernah mencurigainya."
"Lalu, mengapa Anda pergi ke penginapan Three Boars kemarin malam?" tuntut
Flora, "ketika Anda dalam perjalanan pulang - setelah tubuh Paman ditemukan?"
Untuk sesaat aku tidak dapat berkata-kata. Aku berharap supaya kunjunganku ke
sana tidak diketahui orang.
"Bagaimana kau mengetahuinya?" balasku.
"Saya pergi ke sana pagi ini," Flora menerangkan. "Aku mendengar dari para
pembantu bahwa Ralph menginap di sana - "
Aku memotong ceritanya. "Apakah kau sama sekali tidak tahu kalau ia berada di King's Abbot?"
"Tidak. Saya heran sekali dan saya tidak dapat memahaminya. Saya pergi ke sana
dan menanyakannya. Menurut dugaan saya, mereka memberitahukan apa yang juga
mereka beritahukan pada Anda; yaitu, Ralph pergi sekitar pukul sembilan kemarin
malam - dan - tidak kembali lagi."
Pandangannya yang menantang bertemu dengan pandanganku. Lalu seolah-olah
menjawab sesuatu yang dibacanya dalam pandanganku, tiba-tiba ia berkata,
"Lagipula, mengapa ia tidak boleh pergi" Ia mungkin saja pergi - ke mana saja.
Bahkan mungkin sekali ia sudah kembali lagi ke London."
"Dan meninggalkan semua bagasinya?" tanyaku dengan lembut.
Flora menghentakkan kakinya.
"Saya tidak peduli. Pasti ada alasan yang sederhana untuk kepergiannya itu."
"Dan itulah sebabnya kau ingin pergi kepada Hercule Poirot" Apakah tidak lebih
baik Bila kaubiarkan saja keadaan seperti adanya sekarang" Ingat, polisi sama
sekali tidak mencurigai Ralph. Mereka sedang menyelidiki jejak yang lain sama
sekali." "Itulah soalnya," saru gadis itu. "Mereka mencurigainya. Seorang laki-laki dari
Cranchester datang tadi pagi - Inspektur Raglan, seorang laki-laki kecil
menakutkan, seperti seekor musang. Aku mendapat tahu bahwa ia pergi ke Three
Boars tadi pagi, sebelum saya. Semua orang menceritakan kedatangannya ke sana
dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Ia pasti menyangka kalau Ralph-lah
yang melakukannya." "Ini suatu pikiran yang berbeda dari kemarin malam, kalau begitu," aku
menanggapi dengan lambat. "Jadi, ia tidak percaya akan teori Davis bahwa Parker-
lah pelaku pembunuhan itu?"
"Parker," kakakku mendengus sambil mencibir.
Flora melangkah ke muka dan menaruh tangannya di atas lenganku.
"Oh! Dokter Sheppard, mari kita segera pergi ke Tuan Poirot ini. Ia akan
memecahkan perkara ini."
"Flora sayang," bujukku dengan lembut sambil memegang tangannya. "Yakin benarkah
engkau bahwa kebenaranlah yang kita inginkan?"
Gadis itu memandangku dan mengangguk dengan serius.
"Anda kurang yakin," tuduhnya. "Tetapi saya yakin sekali. Saya mengenal Ralph
lebih baik daripada Anda."
"Tentu saja bukan Ralph yang melakukannya," ujar Caroline. Dengan susah payah ia
berdiam diri. "Ralph mungkin amat boros, tetapi ia seorang laki-laki yang baik
dan bertingkah laku sopan."
Baru saja aku mau mengatakan kepada Caroline bahwa banyak sekali pembunuh
bertingkah laku sopan, tatkala kehadiran Flora mengingatkanku untuk tidak
berbuat demikian. Karena si gadis sudah bulat tekadnya, maka aku terpaksa
menuruti keinginannya. Kami segera berangkat, sebelum kakakku mendapatkan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, yang selalu dimulai dengan kata-kata
kesayangannya, "Tentu saja."
Seorang wanita tua bertopi Breton besar membukakan pintu rumah The Larches bagi
kami. Rupanya Tuan Poirot ada di rumah.
Kami diantarkan ke sebuah kamar tamu yang kecil, di mana perabotannya diatur
dengan seksama tetapi kaku sekali. Satu dua menit kemudian, teman yang baru
kukenal kemarin muncul menemui kami.
"Monsieur le docteur," sapanya sambil tersenyum. "Mademoiselle." Ia membungkuk
di depan Flora. "Barangkali," aku mulai, "Anda telah mendengar mengenai musibah yang terjadi
kemarin malam." Wajah Poirot berubah serius.
"Tentu saja saya telah mendengarnya. Kejadian yang mengerikan sekali. Saya turut
berduka cita. Apakah saya bisa membantu Anda?"
"Nona Ackroyd," kuterangkan, "ingin supaya Anda - "
"Menemukan pembunuhnya," sambung Flora.
"Oh begitu," jawab laki-laki kecil itu. "Tetapi polisi yang akan mengusutnya,
bukan?" "Mereka mungkin membuat kesalahan nanti," jawab Flora. "Saya rasa, sekarang pun
mereka mengambil tindakan-tindakan yang salah. Tolonglah, Tuan Poirot, tolonglah
kami. Kalau-kalau mengenai keuangannya - "
Poirot mengangkat tangannya.
"Jangan Anda sebut-sebut soal itu, Nona. Bukan karena saya tidak suka uang."
Matanya bersinar sesaat. "Uang selalu sangat berarti bagi saya, tetapi bukan itu
yang saya inginkan. Kalau saya yang akan menangani persoalan ini, maka Anda
harus mengerti satu hal dengan baik sekali. Yaitu, saya tidak akan berhenti
kalau perkara ini belum selesai. Ingat, seekor anjing yang baik tidak akan
meninggalkan jejak yang telah tercium olehnya! Mungkin pada akhirnya Anda akan
menyesal karena tidak menyerahkan perkara ini pada polisi setempat."
"Saya mencari kebenaran," Flora menegaskan sambil memandang Poirot lurus-lurus.
"Kebenaran secara keseluruhannya?"
"Secara keseluruhannya."
"Kalau begitu, saya menerima tugas ini," laki-laki kecil itu memutuskan dengan


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang. "Dan saya harap Anda tidak akan menyesali ucapan Anda itu. Sekarang,
ceritakanlah segala-galanya."
"Sebaiknya Dokter Sheppard yang menceritakannya pada Anda," jawab Flora. "Ia
lebih banyak mengetahui tentang pembunuhan ini daripada saya."
Diperintahkan demikian, aku mulai menerangkan dengan seksama dan menambahkan
semua fakta-fakta yang telah kusebutkan terlebih dahulu. Poirot mendengarkan
dengan baik dan mengajukan pertanyaan di sana-sini. Tetapi ia lebih banyak
mendengarkan dengan berdiam diri sambil memandangi langit-langit ruangan.
Cerita tersebut kuakhiri dengan keberangkatanku dan Inspektur Davis dari Fernly
Park malam yang lalu. "Dan sekarang," usul Flora setelah aku selesai berbicara, "ceritakanlah kepada
Tuan Poirot segalanya mengenai Ralph."
Aku agak bimbang, tetapi pandangannya yang angkuh mendorongku untuk melaksanakan
tantangannya. "Anda kemarin malam pergi ke penginapan ini - Three Boars - dalam perjalanan
pulang?" tanya Poirot ketika aku mengakhiri ceritaku. "Dan mengapa Anda
melakukannya?" Aku berdiam diri sebentar untuk memilih kata-kata dengan berhati-hati.
"Karena saya berpendapat bahwa seseorang harus memberitahukan orang muda ini
tentang kematian ayah tirinya. Setelah meninggalkan Fernly baru terpikir oleh
saya bahwa mungkin hanya Tuan Ackroyd dan saya saja yang mengetahui kalau Ralph
ada di desa ini." Poirot mengangguk. "Begitu. Jadi itu alasan Anda satu-satunya untuk pergi ke sana?"
"Hanya itu alasan saya," jawabku kaku.
"Jadi bukan untuk katakanlah - meyakinkan diri Anda sendiri mengenai ce jeune
homme?" "Meyakinkan diri saya sendiri?"
"Saya kira, Tuan le docteur, Anda tahu betul apa yang saya maksudkan, walaupun
Anda berpura-pura tidak mengerti. Saya rasa Anda akan merasa lega sekali
seandainya ternyata bahwa Ralph Paton ada di rumah sepanjang malam."
"Sama sekali tidak," jawabku tajam.
Detektif kecil itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandangku dengan
suram. "Anda tidak sepenuhnya mempercayai saya. Lain sekali dari Nona Flora," katanya.
"Tetapi tidak mengapa. Kita harus memusatkan perhatian pada satu hal - yaitu
menghilangnya Kapten Ralph Paton. Situasinya sekarang mengharuskan kita untuk
mencari sebabnya. Saya tidak akan menyembunyikan pendapat saya terhadap Anda.
Keadaannya sekarang tampak suram sekali. Tetapi mungkin alasannya sederhana
sekali." "Itulah yang selalu saya katakan," seru Flora dengan bernafsu sekali.
Poirot tidak lagi menyinggung soal Ralph, tetapi menyarankan untuk segera
mengunjungi polisi setempat. Kemudian ia mengatakan agar sebaiknya Flora pulang
saja. Poirot menginginkan supaya aku menemani dan memperkenalkannya pada petugas
yang menangani perkara ini.
Kami menjalankan rencananya, dan menemukan Inspektur Davis di luar kantor
polisi. Wajahnya suram sekali. Kolonel Melrose, si kepala polisi ada bersamanya
dan seorang laki-laki lain. Kami segera mengenali Inspektur Raglan dari
Cranchester, sesuai dengan gambaran Flora yang membandingkannya dengan seekor
musang. Aku mengenal Melrose cukup baik. Aku memperkenalkan Poirot kepadanya dan
kuterangkan juga duduk perkaranya. Kepala polisi tampak jengkel sekali dan wajah
Inspektur Raglan, suram karena marah. Davis sebaliknya kelihatan senang melihat
kejengkelan atasannya. "Perkara ini tampaknya mudah sekali diselesaikan," ujar Raglan. "Tidak ada
gunanya seorang amatir ikut campur tangan. Seorang goblok pun akan langsung
mengerti apa yang harus dilakukannya kemarin malam. Dan kita tidak akan
kehilangan waktu dua belas jam."
Ia melirik dengan dendam kepada Davis yang malang. Davis menerima omelan ini
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Sudah barang tentu keluarga Tuan Ackroyd harus melakukan apa yang menurut
pandangan mereka paling baik," Kolonel Melrose berpendapat. "Tetapi kami tidak
dapat membiarkan penyelidikan resmi dihalang-halangi sedikit pun. Tentu saja,
saya mengetahui reputasi Tuan Poirot yang istimewa," tambahnya dengan sopan.
"Sayangnya polisi tidak dapat mengiklankan diri sendiri," keluh Raglan.
Poirot menyelamatkan suasana.
"Memang benar, saya telah mengundurkan diri dari dunia luar," ia menerangkan.
"Saya tidak pernah bermaksud untuk mengusut suatu perkara lagi. Dan di atas
segala-galanya, yang paling saya benci adalah publisitas. Karena itu saya harap,
supaya nama saya tidak disebut, bilamana saya ternyata dapat membantu sedikit
memecahkan misteri ini."
Wajah Inspektur Raglan menjadi lebih cerah.
"Saya pernah mendengar tentang sukses-sukses Anda yang mengagumkan," kolonel itu
mengakui dengan lebih lunak.
"Saya mempunyai banyak pengalaman," jawab Poirot dengan tenang. "Tetapi
kebanyakan dari keberhasilan saya dicapai dengan bantuan dari pihak kepolisian.
Saya sangat mengagumi kepolisian Anda. Kalau Inspektur Raglan mengijinkan dan
mau menerima saya menjadi asistennya, saya akan menganggap hal ini sebagai suatu
kehormatan dan pujian."
Sikap Inspektur Raglan bertambah lunak.
Kolonel Melrose lalu mengajakku berbicara di bawah empat mata.
"Seperti yang telah kudengar, laki-laki kecil ini beberapa kali menyelesaikan
perkara-perkara kejahatan dengan mengagumkan sekali," bisiknya. "Sudah barang
tentu kami tidak ingin meminta bantuan Scotland Yard. Raglan kelihatannya yakin
benar akan dirinya sendiri. Tetapi saya belum yakin kalau saya menyetujui
pendapatnya. Karena, saya - em - mengenal orang-orang yang bersangkutan lebih
baik daripada dia. Tampaknya Tuan Poirot tidak menghendaki pujian, bukan" Ia
bersedia bekerja sama dengan kami secara tidak menyolok, bukan?"
"Supaya Inspektur Raglan bertambah bangga," tanggapku dengan sungguh-sungguh.
"Kalau begitu," ujar Inspektur Melrose dengan gembira dan berkata dengan suara
yang lebih keras, "kami harus memberitahukan Anda perkembangan-perkembangan yang
terakhir, Tuan Poirot."
"Terima kasih," jawab Poirot. "Teman saya Dokter Sheppard mengatakan bahwa
kepala pelayan merupakan orang yang dicurigai?"
"Semua itu omong kosong," sahut Raglan langsung. "Pembantu-pembantu tingkat
tinggi selalu mudah menjadi takut, sehingga mereka bersikap mencurigakan tanpa
suatu alasan pun." "Bagaimana dengan sidik-sidik jari?" sindirku.
"Sama sekali bukan sidik-sidik jari Parker," Inspektur Raglan tersenyum sedikit
lalu menambahkan, "dan juga bukan sidik-sidik jari Anda dan Tuan Raymond,
Dokter." "Bagaimana dengan sidik jari Kapten Ralph Paton?" tanya Poirot dengan tenang.
Diam-diam aku mengagumi caranya yang tanpa tedeng aling-aling. Kulihat rasa
penghargaan timbul dalam sinar mata Inspektur Raglan.
"Rupanya Anda tidak membiarkan perkara ini berlarut-larut, Tuan Poirot. Saya
yakin bekerja sama dengan Anda akan menyenangkan sekali. Kami akan mengambil
sidik jari anak muda itu segera setelah kami menemukannya."
"Aku tak dapat berbuat lain kecuali berpikir bahwa Anda salah menduga,
Inspektur," Kolonel Melrose berkata dengan nada hangat. "Aku mengenal Ralph
Paton sejak ia masih kanak-kanak. Ia tidak akan pernah membunuh seseorang."
"Mungkin tidak," jawab Inspektur Raglan dengan datar.
"Apa alasan Anda yang memberatkan Ralph?" tanyaku ingin tahu.
"Ia pergi sekitar pukul sembilan kemarin malam dan ia dilihat di sekitar Fernly
Park kira-kira pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Sejak itu ia tidak
kelihatan lagi. Orang menduga bahwa ia sedang dalam kesulitan besar mengenai
soal keuangan. Di sini ada sepasang sepatunya - sepatu yang bersol karet. Ia
mempunyai dua pasang yang hampir sama bentuknya. Aku mau ke sana sekarang, dan
membandingkannya dengan jejak-jejak kaki di situ. Polisi sedang berjaga di sana
supaya tidak ada seorang pun yang berusaha menghapus jejak-jejak itu."
"Kami akan segera berangkat," kata Kolonel Melrose. "Anda dan Tuan Poirot akan
menemani kami, bukan?"
Kami menyetujui dan bersama-sama pergi dengan mobil Kolonel Melrose.
Inspektur Raglan ingin segera meneliti jejak-jejak kaki itu dan minta supaya
diturunkan di rumah jaga. Sebelum sampai di rumah, di sebelah kanan jalan mobil
terdapat jalan kecil yang menuju dan melingkari teras dan jendela kamar kerja
Ackroyd. "Apakah Anda ingin menemani Inspektur, Tuan Poirot?" si kepala polisi bertanya,
"atau apakah Anda ingin menyelidiki kamar kerja Tuan Ackroyd saja?"
Poirot memilih yang terakhir. Parker membukakan pintu bagi kami. Sikapnya tenang
dan sopan. Tampaknya ia telah dapat mengatasi kebingungannya tadi malam.
Kolonel Melrose mengeluarkan kunci dari sakunya. Dibukanya pintu yang menuju ke
gang di muka kamar kerja lalu mengantarkan kami masuk ke dalam kamar kerja
Ackroyd. "Ruangan ini keadaannya tepat seperti kemarin malam. Kecuali memindahkan tubuh
korban, tak ada barang lain yang disentuh atau dipindahkan."
"Dan tubuh korban ditemukan - di mana?"
Kuterangkan setepat mungkin bagaimana posisi tubuh Ackroyd ketika aku
menemukannya. Kursi tangan itu masih tetap di muka perapian.
Poirot pergi dan duduk di kursi tersebut.
"Dan ketika Anda meninggalkan ruangan ini, di mana letak surat dalam amplop biru
yang Anda sebut tadi?"
"Tuan Ackroyd meletakkannya di atas meja kecil di sebelah kanannya."
Poirot mengangguk. "Selain itu, apakah barang-barang lain masih ada pada tempatnya?"
"Saya kira begitu."
"Kolonel Melrose, maukah Anda duduk di kursi ini sebentar" Terima kasih.
Sekarang Tuan le docteur, maukah Anda menunjukkan pada saya posisi pisau belati
itu dengan tepat?" Aku melakukannya. Laki-laki kecil itu berdiri di ambang pintu.
"Kalau demikian maka gagang pisau belati itu dapat dilihat dengan jelas dari
pintu. Apakah Anda dan Parker dapat melihatnya dengan segera?"
"Ya." Kemudian Poirot menuju ke jendela.
"Dan tentu saja lampu listrik sedang menyala ketika Anda menemukan tubuh
korban?" tanyanya sambil menoleh.
Aku membenarkan, lalu menemaninya memperhatikan jejak-jejak di pinggir jendela.
"Jejak-jejak sepatu karet ini motifnya sama dengan sepatu Kapten Paton," dengan
tenang ia mengemukakan pendapatnya.
Kemudian sekali lagi ia melangkah ke tengah-tengah ruangan. Matanya melihat ke
sekelilingnya, dan mempelajari setiap benda di dalam ruangan itu dengan
pandangan sekilas yang terlatih.
"Apakah Anda orang yang selalu memperhatikan segala-galanya, Dokter Sheppard?"
akhirnya ia bertanya. "Saya rasa begitu," jawabku dengan heran.
"Ketika itu ada api di perapian, rupanya. Ketika Anda mendobrak pintu dan
menemukan Tuan Ackroyd dalam keadaan tidak bernyawa, bagaimana nyala api" Apakah
apinya kecil?" Aku tertawa dengan kesal.
"Saya benar-benar tidak dapat mengatakannya. Saya tidak memperhatikan. Mungkin
Tuan Raymond atau Mayor Blunt - "
Laki-laki kecil di hadapanku menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sedikit.
"Seorang selalu bertindak menurut suatu metode tertentu. Saya telah salah
menafsirkan dengan menanyakan Anda pertanyaan ini. Uap orang mempunyai
keahliannya sendiri-sendiri. Anda dapat memberitahukan saya hal-hal terkecil
tentang keadaan korban - tidak akan ada yang lolos dari perhatian Anda dalam
bidang ini. Kalau saya membutuhkan keterangan mengenai berkas-berkas di atas
meja itu, tentu Tuan Raymond akan tahu kalau ada sesuatu yang perlu
diperhatikan. Dan untuk mencari tahu tentang api itu, saya harus menanyakannya
kepada orang yang pekerjaannya memperhatikan hal-hal semacam itu. Ijinkanlah
saya - " Dengan cepat ia melangkah ke perapian dan membunyikan bel.
Satu dua menit kemudian Parker muncul.
"Bel berbunyi, Tuan," ujarnya dengan bimbang.
"Masuklah, Parker," Kolonel Melrose berkata. "Tuan ini ingin menanyakanmu
sesuatu." Dengan sopan Parker mengalihkan perhatiannya kepada Poirot.
"Parker," laki-laki kecil itu memulai, "ketika kau mendobrak pintu itu bersama
Dokter Sheppard kemarin malam, dan menemukan majikanmu sudah tidak bernyawa
lagi, bagaimanakah keadaan api di perapian?"
Parker menjawab tanpa berpikir.
"Apinya kecil sekali, Tuan. Bahkan hampir padam."
"Ah!" seru Poirot. Seruannya terdengar penuh rasa kemenangan. Kemudian ia
melanjutkan, "Lihat sekelilingmu, Parker yang baik. Apakah keadaan dalam ruangan ini benar-
benar sama seperti pada kemarin malam?"
Si kepala pelayan melihat sekelilingnya, dan pandangannya berhenti pada jendela.
"Waktu itu gorden tertutup, Tuan, dan lampu listrik menyala."
Poirot mengangguk dengan senang.
"Ada yang lain lagi?"
"Ya, Tuan, dan kursi ini telah ditarik ke luar sedikit."
Ia menunjuk sebuah kursi besar yang terletak di sebelah kiri, di antara jendela
dan pintu. Kulampirkan di sini sebuah denah dari ruangan tersebut. Kursi yang
dimaksudkan telah kutandai dengan huruf X.
"Coba tunjukkan padaku," saran Poirot.
Si kepala pelayan menarik kursi itu ke luar dua atau tiga kaki dari dinding dan
memutarnya, sehingga tempat duduknya menghadap ke pintu.
"Voila ce qui est curieux," gumam Poirot. "Saya rasa tidak ada orang yang duduk
di kursi dengan posisi seperti itu. Saya ingin tahu siapa yang mendorongnya
kembali ke tempatnya semula" Kau yang melakukannya, Kawanku?"
"Tidak, Tuan," sangkal Parker. "Saya terlalu terkejut melihat keadaan majikan
saya." "Anda yang melakukannya, Dokter?"
Aku menggelengkan kepala.
"Kursi itu sudah ada di tempatnya lagi ketika saya kembali dengan polisi," sela
Parker. "Saya yakin sekali akan hal ini."
"Aneh sekali," ujar Poirot lagi.
"Mungkin Raymond atau Blunt yang mendorongnya kembali," aku berpendapat.
"Bukankah hal ini tidak penting?"
"Sama sekali tidak penting," sahut Poirot. "Itulah sebabnya mengapa hal ini
menjadi demikian menariknya," tambahnya dengan perlahan.
"Saya permisi sebentar," potong Kolonel Melrose. Bersama dengan Parker ia
meninggalkan ruangan itu.
"Apakah menurut Anda Parker mengatakan hal yang sebenarnya?" tanyaku.
"Mengenai kursi itu, memang. Selebihnya, saya tidak tahu. Kalau Anda banyak
berurusan dengan perkara-perkara seperti ini, Tuan le docteur. Anda akan
berkesimpulan bahwa tiap perkara menyerupai yang lain dalam satu hal."
"Dan apakah itu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.
"Setiap orang yang terlibat, menyembunyikan sesuatu."
"Saya juga?" tanyaku dengan tersenyum.
Poirot memandangku dengan penuh perhatian.
"Saya rasa, Anda memang menyembunyikan sesuatu," jawabnya dengan tenang.
"Tetapi - " "Adakah Anda menceritakan saya segala sesuatu mengenai orang muda Paton ini?"
Poirot tersenyum melihat wajahku menjadi merah. "Oh! Jangan takut. Saya tidak
akan menekan Anda. Nanti, saya toh akan mengetahuinya juga."
"Saya harap Anda mau menceritakan sesuatu mengenai cara yang Anda gunakan,"
potongku dengan cepat untuk menutupi kebingunganku. "Misalnya mengenai api itu?"
"Oh! sederhana sekali. Anda meninggalkan Tuan Ackroyd pada pukul sembilan kurang
sepuluh menit, bukan?"
"Ya, tepat sekali, saya kira."
"Jendela pada saat itu tertutup dan terkunci. Sedangkan pintu tidak dikunci.
Pada pukul sepuluh lewat seperempat, ketika korban ditemukan, pintu dalam
keadaan terkunci sedangkan jendela terbuka. Siapakah yang membukanya" Sudah
jelas, hanya Tuan Ackroyd sendirilah yang dapat melakukannya, berdasarkan salah
satu alasan. Yaitu karena hawa dalam ruangan itu menjadi panas luar biasa. Akan
tetapi melihat keadaan api yang hampir padam, sedangkan suhu udara turun sekali
tadi malam, maka tak mungkinlah ini alasannya. Atau kemungkinan lain adalah
bahwa ia telah memasukkan orang melalui jendela. Dan bilamana memang itu yang
telah dilakukannya, maka pastilah orang itu sudah dikenalnya dengan baik. Karena
sebelumnya ia telah mengutarakan kekhawatirannya tentang jendela yang terbuka


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu." "Kedengarannya sederhana sekali," jawabku.
"Segalanya sederhana bilamana bukti-bukti disusun secara metodis. Yang sekarang
harus kita pikirkan adalah pribadi orang yang bersama Ackroyd pada pukul
setengah sepuluh kemarin malam. Segalanya menunjukkan bahwa dialah orang yang
masuk melalui jendela. Dan walaupun Nona Flora setelah itu masih melihat Tuan
Ackroyd dalam keadaan hidup, kita tetap tidak dapat menemukan jalan keluar dari
misteri ini, sebelum kita mengetahui siapa pengunjungnya. Mungkin jendela itu
tidak ditutup setelah orang itu pergi. Dengan demikian si pembunuh dapat masuk
dengan mudah, atau mungkin orang yang sama kembali lagi untuk kedua kalinya. Ah!
Ini kolonelnya sudah kembali."
Kolonel Melrose masuk dengan sikap yang gembira.
"Akhirnya kami mengetahui dari mana panggilan telepon itu dilakukan," ia
menerangkan. "Bukan dari sini. Panggilan telepon kepada Dokter Sheppard pada
pukul 10.15 kemarin malam dilakukan dari sebuah telepon umum di stasiun kereta
api King's Abbot. Dan pada pukul 10.23 kereta api malam berangkat menuju
Liverpool." Bab 8 INSPEKTUR RAGLAN PENUH KEYAKINAN
KAMI saling berpandangan.
"Anda tentu telah mencari keterangan di stasiun?" tanyaku.
"Tentu saja, tetapi saya tidak begitu optimis mengenai hasilnya. Anda pasti tahu
bagaimana keadaan di stasiun."
Aku mengetahuinya. King's Abbot hanyalah sebuah desa. Tetapi stasiunnya
merupakan tempat pertemuan dua kereta api yang penting sekali. Hampir semua
kereta api ekspres yang penting berhenti di sana. Kereta api-kereta api
melangsir, diatur kembali dan dibersihkan. Stasiun ini mempunyai dua atau tiga
telepon umum. Malam hari, pada jam itu, tiga kereta api lokal masuk secara
berturut-turut, supaya penumpangnya masih sempat ikut dengan kereta api ekspres
yang menuju ke utara, yang masuk pada pukul 10.19 dan berangkat pada pukul
10.23. Seluruh stasiun penuh kesibukan. Dan kemungkinan adanya orang yang
memperhatikan seorang tertentu yang sedang menelepon, atau naik kereta api
ekspres, adalah kecil sekali.
"Tetapi mengapa ia harus menelepon?" tanya Melrose. "Itulah yang mengherankan
saya. Rasanya tanpa alasan sama sekali."
Dengan hati-hati Poirot membetulkan letak sebuah hiasan porselen di atas salah
satu rak buku. "Pasti ada sebabnya, yakinlah," sahutnya sambil menoleh.
"Tetapi apa alasannya?"
"Manakala kita sudah mengetahuinya, maka kita akan mengetahui segala-galanya.
Perkara ini sangat aneh dan amat menarik hati."
Sesuatu yang tak dapat dilukiskan terdengar dalam cara ia mengucapkan kata-kata
terakhir itu. Aku merasakan bahwa ia melihat perkara ini menurut pandangannya
sendiri yang aneh. Tak dapat aku menduga apa yang dilihatnya.
Ia melangkah ke jendela dan berdiri di sana sambil melihat ke luar.
"Anda katakan tadi, jam menunjukkan pukul sembilan ketika Anda bertemu dengan
orang asing di luar pagar, Dokter Sheppard?"
Poirot mengajukan pertanyaan ini tanpa memutar tubuhnya.
"Benar," jawabku. "Saya mendengar lonceng gereja berbunyi sembilan kali."
"Berapa lamakah waktu yang diperlukannya untuk mencapai rumah ini - untuk sampai
di jendela ini, misalnya?"
"Paling lama lima menit. Dan hanya dua atau tiga menit bila ia mengambil jalan
kecil di sebelah kanan jalan mobil dan langsung menuju ke sini."
"Tetapi untuk dapat melakukan hal ini, ia seharusnya mengetahui dengan baik
jalan yang menuju ke sini. Bagaimana saya harus menerangkannya" - Ini berarti,
ia pernah datang ke sini sebelumnya - bahwa ia mengenal daerah ini."
"Tepat sekali," jawab Kolonel Melrose.
"Kita pasti dapat mencari tahu, apakah Tuan Ackroyd pernah kedatangan tamu asing
dalam minggu terakhir ini."
"Raymond, si orang muda itu, dapat memberitahukan kita tentang hal ini,"
sahutku. "Atau Parker." usul Kolonel Melrose.
"Ous tous les deux," saran Poirot sambil tersenyum.
Kolonel Melrose pergi mencari Raymond, sedangkan aku sekali lagi membunyikan bel
memanggil Parker. Kolonel Melrose kembali dalam waktu yang singkat, dengan ditemani oleh si
sekretaris muda, yang lalu diperkenalkannya kepada Poirot. Sebagaimana biasa
Geoffrey Raymond tampak segar dan riang. Rupanya ia terheran-heran dan senang
sekali berkenalan dengan Poirot.
"Tidak disangka bahwa Anda tinggal di antara kami secara incognito, Tuan
Poirot," tegurnya. "Menyaksikan Anda bekerja akan merupakan suatu kesempatan
yang istimewa bagi kami - Hallo, ada apa nih?"
Poirot yang sejak tadi berdiri di sebelah kiri pintu, sekarang tiba-tiba
melangkah ke samping. Mungkin ketika aku membelakanginya tadi, dengan cepat ia
telah menarik ke luar kursi tangan itu, sehingga posisinya seperti yang
digambarkan oleh Parker. "Apakah Anda menginginkan saya duduk di kursi itu, sedangkan Anda mengambil
contoh darah saya?" gurau Raymond dengan jenaka. "Apa maksudnya semua ini?"
"Tuan Raymond, kursi ini telah ditarik ke luar - seperti ini - kemarin malam,
ketika Tuan Ackroyd ditemukan dalam keadaan terbunuh. Seseorang telah
mengembalikannya pada tempatnya semula. Apakah Anda yang melakukannya?"
Jawaban sekretaris itu diucapkan tanpa ragu-ragu.
"Sama sekali tidak. Bahkan saya tidak ingat sama sekali akan posisi kursi itu.
Tetapi kalau Anda yang mengatakannya, tentu demikianlah keadaannya. Bagaimanapun
juga seseorang telah mengembalikannya lagi ke tempat semula. Apakah hal tersebut
menghilangkan suatu petunjuk yang penting" Sayang sekali!"
"Hal ini tidak penting," jawab detektif itu. "Sama sekali tidak penting. Apa
yang hendak saya tanyakan hanyalah, 'Apakah Tuan Ackroyd dalam minggu terakhir
ini kedatangan tamu asing"'"
Selama beberapa menit si sekretaris mengingat-ingat sambil mengernyitkan
alisnya. Dan pada saat itu masuklah Parker atas panggilanku.
"Tidak," sahut Raymond akhirnya. "Saya tidak ingat ada orang mengunjungi Tuan
Ackroyd. Apakah kau ingat, Parker?"
"Maaf, Tuan, maksud Anda?"
"Apakah ada orang asing yang datang mengunjungi Tuan Ackroyd dalam minggu
terakhir ini?" Si kepala pelayan berpikir sejenak.
"Pada hari Rabu ada seorang anak muda datang, Tuan," jawabnya kemudian. "Dari
perusahaan Curtis and Troute, kalau tidak salah."
Raymond mengibaskan tangannya dengan tidak sabar.
"Ya, aku ingat, tetapi bukan orang asing semacam itu yang dimaksudkan tuan ini."
Ia berpaling kepada Poirot. "Tuan Ackroyd bermaksud membeli sebuah dictaphone,"
ia menjelaskan. "Alat ini akan membantu kami bekerja dengan lebih efisien dalam
waktu yang singkat. Perusahaan tersebut telah mengirim wakilnya, tetapi akhirnya
kami tidak jadi membelinya."
Poirot berpaling kepada Parker.
"Dapatkah kau menggambarkan rupa orang muda itu, Parker?"
"Ia berambut pirang, Tuan. Orangnya pendek dan ia berpakaian rapi sekali dengan
setelan biru dari bahan serge. Laki-laki muda yang tampan dan rapi, Tuan, bila
dilihat dari kedudukannya dalam masyarakat."
Poirot berpaling kepadaku.
"Dan laki-laki muda yang Anda jumpai di luar pagar, berbadan tinggi bukan,
Dokter?" "Ya," jawabku. "Tingginya sekitar seratus delapan puluh senti, menurut perkiraan
saya." "Kalau begitu bukan dia orangnya," kata orang Belgia itu. "Terima kasih,
Parker." Parker berbicara dengan Raymond.
"Tuan Hammond baru saja tiba, Tuan," ujarnya. "Ia ingin mengetahui apakah
tenaganya diperlukan. Dan ia ingin berbicara dengan Anda."
"Aku akan segera datang," laki-laki muda itu menjanjikan, lalu bergegas ke luar.
Poirot memandang si kepala polisi dengan pandangan yang penuh pertanyaan.
"Ia pengacara keluarga Ackroyd, Tuan Poirot," Kepala Polisi menerangkan.
"Saat ini merupakan waktu yang sibuk bagi pemuda Raymond itu," gumam Poirot.
"Ada suasana yang efisien pada dirinya."
"Saya yakin Tuan Ackroyd menganggapnya sebagai seorang sekretaris yang cakap
sekali." "Sudah berapa lama ia di sini?"
"Saya kira, baru dua tahun."
"Saya yakin ia menjalankan tugasnya dengan teliti sekali. Bagaimana ia menghibur
dirinya" Apakah ia berolahraga?"
"Sekretaris-sekretaris pribadi tidak punya banyak waktu untuk hal-hal semacam
itu," sahut Kolonel Melrose sambil tersenyum. "Raymond suka bermain golf, kalau
saya tidak salah. Dan dalam musim panas ia bermain tenis."
"Apakah ia tidak suka menonton perlombaan - katakanlah, balapan kuda?"
"Balapan kuda" Saya rasa, tidak, ia kurang tertarik."
Poirot mengangguk dan tampaknya mulai berkurang minatnya. Dengan lambat
diperhatikannya sekeliling ruangan kerja.
"Saya kira, saya sudah melihat semua yang dapat dilihat di sini."
Aku ikut memandang sekitarku.
"Andaikata dinding-dinding ini dapat berbicara," gumamku.
Poirot menggelengkan kepalanya.
"Lidah saja, tidak cukup," ujarnya. "Dinding-dinding itu seharusnya mempunyai
mata dan telinga. Tetapi janganlah terlalu yakin bahwa barang-barang mati ini,"
- sambil berbicara ia menyentuh bagian atas rak buku - "selalu bisu. Mereka
kadang-kadang berbicara kepadaku - kursi-kursi, meja - mereka semua masing-
masing memberikan pesannya."
Poirot berpaling ke pintu.
"Pesan apa?" seruku. "Apa yang mereka katakan pada Anda hari ini?"
Poirot menoleh dan mengangkat sebuah alisnya sambil memandangku dengan ganjil.
"Jendela yang terbuka," sahutnya. "Pintu yang terkunci rapat. Kursi yang seolah-
olah dapat bergerak sendiri. Saya bertanya pada ketiganya, 'mengapa'" tetapi
saya tidak mendapatkan jawabannya."
Ia menggelengkan kepalanya, lalu membusungkan dadanya dan memandang kami sambil
berkedip-kedip. Rupanya congkak sekali. Aku mulai ragu, apakah ia benar-benar
seorang detektif yang baik. Mungkinkah reputasinya yang gemilang dibangun karena
kebetulan nasibnya baik"
Melihat keningnya yang berkerut, aku rasa, pikiran yang sama juga timbul pada
diri Kolonel Melrose. "Adakah lagi yang ingin Anda lihat, Tuan Poirot?" bentaknya.
"Maukah Anda berbaik hati dan menunjukkan saya meja perak, dari mana senjata itu
telah diambil" Setelah itu, saya tidak akan menyalahgunakan kebaikan Anda lebih
lama lagi." Kami menuju ke ruang tamu. Di tengah jalan, petugas polisi yang datang bersama
Kolonel Melrose mencegatnya. Setelah berbicara berbisik-bisik, kolonel itu minta
diri, lalu keduanya meninggalkan kami sendiri. Aku mengantarkan Poirot ke meja
perak. Diangkatnya tutup meja perak satu dua kali, lalu dijatuhkannya kembali.
Kemudian ia membuka jendela dan melangkah ke luar ke teras. Aku mengikutinya.
Inspektur Raglan yang baru saja muncul di sudut rumah, segera mendatangi kami.
Wajahnya tampak suram tetapi puas.
"Nah, Anda juga sudah ada di sini, Tuan Poirot," sapanya. "Rupanya perkara ini
tidak terlalu sulit untuk dipecahkan. Saya juga merasa kasihan. Seorang pemuda
yang baik, tetapi sayang, ia telah salah bertindak."
Wajah Poirot berubah kecewa, lalu ia berkata dengan lembut.
"Kalau begitu saya khawatir saya tidak dapat membantu banyak dalam perkara ini,
bukan?" "Mungkin lain kali," bujuk Inspektur Raglan. "Sekalipun pembunuhan tidak terjadi
tiap hari di kota yang kecil dan sepi ini."
Pandangan Poirot berubah kagum.
"Anda telah mendapatkan hasil dengan cepat luar biasa," ujarnya. "Kalau saya
boleh tahu, bagaimana Anda mengusut perkara ini?"
"Oh, tentu saja," jawab Inspektur Raglan. "Untuk memulainya, harus digunakan -
metode. Ini yang selalu saya tekankan - metode!"
"Ah," seru Poirot. "Itu juga merupakan pegangan saya. Metode, urutan dan sel-sel
kecil berwarna kelabu."
"Sel-sel kecil?" tanya Inspektur Raglan sambil menatapnya dengan tajam.
"Sel-sel kecil kelabu dari otak kita," orang Belgia itu menerangkan.
"Oh, tentu saja; yah, kita semua menggunakannya, saya kira."
"Memang, cuma yang satu menggunakannya lebih banyak daripada yang lain," gumam
Poirot. "Dan juga, cara orang berpikir itu berlainan. Lagipula kejahatan itu
harus juga dilihat dari segi-segi psikologisnya. Segi ini harus dipelajari."
"Ah!" seru Inspektur Raglan, "kalau begitu, pikiran Anda penuh dengan analisa
psikologis ini" Tetapi saya, hanya orang biasa - "
"Saya yakin, Nyonya Raglan pasti tidak setuju dengan pendapat Anda," sahut
Poirot sambil membungkuk.
Inspektur Raglan agak terkejut, kemudian balas membungkuk.
"Anda kurang mengerti maksud saya," ia menerangkan sambil tertawa lebar. "Ya
Allah, betapa besar perbedaan yang ditimbulkan oleh dua bahasa yang berlainan.
Saya akan menceritakan pada Anda bagaimana cara kerja saya. Pertama-tama yang
harus diperhatikan adalah metode yang kita pakai. Tuan Ackroyd dilihat dalam
keadaan hidup untuk terakhir kalinya, oleh keponakannya. Yaitu, Nona Flora
Ackroyd. Ini adalah fakta yang pertama, bukan?"
"Demikianlah yang Anda katakan."
"Memang demikianlah keadaannya. Pada pukul setengah sebelas, dokter ini
mengatakan bahwa Tuan Ackroyd sudah meninggal paling sedikit selama setengah
jam. Apakah Anda tetap mempertahankan keterangan Anda ini, Dokter?"
"Tentu saja," jawabku. "Selama setengah jam, atau mungkin lebih."
"Baik sekali. Kalau begitu, pembunuhan itu tepatnya dilakukan dalam waktu
seperempat jam. Saya telah membuat daftar nama dari semua orang yang tinggal di
rumah ini. Dan saya juga telah mencatat di belakang nama masing-masing di mana
mereka berada ketika itu, dan apa yang mereka kerjakan di antara pukul 9.45 dan
10.00 malam." Inspektur Raglan menyerahkan sehelai kertas kepada Poirot. Aku ikut membaca
melalui bahunya. Catatan itu ditulis dengan rapi sekali dan bunyinya sebagai
berikut: Mayor Blunt - Sedang berada di ruang bilyar bersama Tuan Raymond. (Hal ini
dikuatkan oleh yang disebut belakangan.)
Tuan Raymond - Ruang bilyar. (Lihat atas.)
Nyonya Ackroyd - Pada pukul 9.45 menonton pertandingan bilyar. Pergi tidur pukul
9.55. (Raymond dan Blunt melihatnya menaiki tangga.)
Nona Ackroyd - Dari kamar kerja pamannya, ia langsung pergi ke kamarnya sendiri.
(Dikuatkan oleh Parker dan juga oleh pembantu Elsie Dale.)
Para pembantu: Parker - Langsung pergi ke dapur untuk kepala pelayan. (Dikuatkan oleh pengatur
rumah tangga, Nona Russell, yang turun ke bawah untuk menemuinya dan untuk
membicarakan sesuatu, pada pukul 9.47. Berada di sana paling sedikit selama
sepuluh menit.) Nona Russell - Sama seperti di atas. Pada pukul 9.45 berbicara dengan pembantu
Elsie Dale di tingkat atas.
Ursula Bourne (pembantu yang bertugas di ruang tamu) - Berada di kamarnya sampai
pukul 9.55. Setelah itu ia berada di ruangan pembantu.
Nyonya Cooper (koki) - Ada di ruangan pembantu.
Gladys Jones (pembantu) - Di ruangan pembantu.
Elsie Dale - Di dalam kamarnya di tingkat atas. Dilihat di sana oleh Nona
Russell dan Nona Flora Ackroyd.
Mary Thripp (pembantu koki) - Ruangan pembantu.
"Koki telah bekerja di sini selama tujuh tahun, pembantu yang bertugas di
ruangan tamu sudah tinggal di sini selama delapan belas bulan, sedangkan Parker
baru selama satu tahun lebih. Pembantu-pembantu yang lain semua orang baru.
Kecuali Parker yang agak mencurigakan, pembantu lain tampaknya baik-baik saja."
"Suatu daftar yang lengkap sekali," komentar Poirot, sambil mengembalikannya
kepada Inspektur Raglan. "Saya yakin sekali Parker bukanlah pembunuhnya,"
tambahnya dengan serius. "Demikian juga pendapat kakak perempuan saya," selaku. "Dan biasanya ia selalu
benar." Tetapi tidak seorang pun memperhatikan interpolasiku.
"Daftar ini menyelesaikan persoalan anggota rumah tangga ini dengan baik
sekali," Inspektur Raglan melanjutkan. "Sekarang kita sampai pada persoalan yang
penting sekali. Wanita yang tinggal di rumah jaga itu - Mary Black - kemarin
malam melihat Ralph Paton memasuki pintu pagar dan menuju ke rumah, ketika ia
sedang menutup gordennya."


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yakin benarkah ia?" tanyaku tajam.
"Yakin sekali. Nyonya itu sering melihatnya dan tahu benar siapa Ralph Paton.
Ralph berjalan cepat sekali dan membelok ke jalan kecil di sebelah kanan jalan,
yang merupakan jalan memotong ke teras."
"Dan pukul berapa waktu itu?" tanya Poirot yang sebelumnya duduk berdiam diri
dengan wajah yang tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Tepatnya pukul sembilan lewat dua puluh lima menit," jawab Inspektur Raglan
dengan suram. Untuk sejenak, suasana menjadi sepi. Lalu inspektur itu berbicara lagi.
"Semuanya sudah cukup jelas. Segala-galanya cocok tanpa cela. Pukul sembilan
lewat dua puluh lima menit, Kapten Paton kelihatan melintas di muka rumah jaga.
Dan sekitar pukul sembilan lewat tiga puluh menit, Tuan Geoffrey Raymond
mendengar seseorang di dalam ruangan ini menuntut sejumlah uang mendengar juga
Tuan Ackroyd menolaknya. Apa yang terjadi kemudian" Kapten Paton meninggalkan
rumah ini dengan cara yang sama - yaitu melalui jendela. Ia berjalan sepanjang
teras dalam keadaan marah dan bingung. Lalu ia sampai pada jendela ruang tamu
yang terbuka. Katakanlah waktu pada ketika itu menunjukkan pukul sepuluh kurang
seperempat. Nona Ackroyd sedang mengucapkan selamat tidur pada pamannya. Mayor
Blunt, Tuan Raymond dan Nyonya Ackroyd sedang berada di ruang bilyar. Kamar tamu
kosong, dan dengan perlahan Ralph masuk. Ia mengambil pisau belati dari meja
perak lalu kembali ke jendela kamar kerja Ackroyd. Ia melepaskan sepatunya,
memanjat masuk, dan - nah, tidak perlu saya menerangkannya secara terperinci.
Kemudian dengan perlahan ia keluar dan pergi. Ia tidak berani kembali ke tempat
penginapannya. Lalu ia pergi ke stasiun dan menelepon dari sana - "
"Untuk apa?" tanya Poirot dengan pelan.
Aku tersentak mendengar gangguan ini. Laki-laki kecil itu membungkuk ke muka,
matanya bersinar kehijau-hijauan.
Untuk sesaat Inspektur Raglan dibingungkan dengan pertanyaan itu.
"Sukar sekali untuk mengatakan dengan tepat, mengapa ia melakukan hal itu,"
akhirnya ia menerangkan. "Tetapi pembunuh-pembunuh suka melakukan hal-hal yang
lucu. Anda akan mengalaminya bila Anda seorang polisi. Pembunuh yang pintar
sekalipun kadang-kadang membuat kesalahan yang tolol. Tetapi, marilah ikut saya
dan melihat jejak-jejak kaki itu."
Kami mengikutinya mengelilingi sudut teras dan menuju ke jendela kamar kerja
Ackroyd. Atas perintah Inspektur Raglan, seorang polisi mengeluarkan sepatu yang
diambil dari tempat penginapan.
Inspektur Raglan meletakkannya di atas jejak-jejak kaki itu.
"Jejak-jejak itu serupa dengan jejak sepatu ini," katanya dengan yakin. "Maksud
saya, sebenarnya bukan sepatu ini yang membuat jejak-jejak itu. Sepatu yang
menimbulkan jejak itu sedang dikenakan pembunuh ketika ia berlalu. Sepasang
sepatu ini serupa dengan sepatu yang dipakainya. Bedanya hanya, sepatu ini lebih
tua - lihat saja solnya yang sudah aus."
"Tetapi, bukankah banyak orang memakai sepatu dengan sol karet semacam itu?"
tanya Poirot. "Tentu saja," jawab inspektur itu, "Saya tidak akan menekankan tentang
pentingnya jejak-jejak sepatu itu kalau tidak perlu benar."
"Pemuda yang tolol sekali Kapten Ralph Paton ini," komentar Poirot sambil
merenung. "Untuk meninggalkan demikian banyaknya bukti dari kehadirannya."
"Ah! Nah," Inspektur Raglan melanjutkan, "malam itu cuaca baik sekali, tidak
turun hujan. Ia tidak meninggalkan jejak di teras atau jalan yang berkerikil
itu. Tetapi sialnya, akhir-akhir ini timbul sebuah mata air di ujung jalan kecil
itu. Coba lihat ini."
Beberapa kaki dari sana, sebuah jalan berkerikil yang sempit menuju ke teras.
Dan pada suatu tempat yang hanya beberapa yard dari ujung jalan itu, tanahnya
basah dan berlumpur. Terlihat lagi jejak-jejak kaki melintasi tempat yang becek
ini. Di antaranya terdapat juga jejak sepatu karet.
Poirot mengikuti jalan setapak itu sebentar, dengan Inspektur Raglan di sisinya.
"Adakah Anda perhatikan juga jejak kaki wanita di tempat becek tadi?" tanyanya
sekonyong-konyong. Inspektur Raglan tertawa.
"Tentu saja. Tetapi beberapa wanita telah lewat di sini - dan laki-laki juga.
Anda lihat, jalan ini merupakan jalan pendek ke rumah yang banyak dipakai. Tidak
mungkin rasanya, untuk mencari keterangan mengenai semua jejak kaki itu.
Lagipula jejak-jejak pada pinggir jendela itulah yang penting."
Poirot mengangguk. "Tidak ada gunanya untuk berjalan lebih jauh," saran Inspektur Raglan, ketika
jalan mobil sudah terlihat di kejauhan. "Di sini jalan mulai keras sekali, dan
berkerikil lagi." Poirot mengangguk lagi, tetapi matanya memandang ke sebuah tempat kecil dengan
kebun di mukanya - semacam pondok kecil yang bagus sekali untuk digunakan dalam
musim panas. Letak pondok itu agak ke kiri dari jalan kecil di hadapan kami.
Sebuah jalan setapak berkerikil menuju ke rumah itu.
Poirot berlambat-lambat sampai Inspektur Raglan kembali lagi ke rumah. Lalu ia
memandangku. "Rupanya Anda dikirim oleh Tuhan Yang Mahabaik untuk menggantikan teman saya
Hastings," guraunya sambil main mata. "Saya memperhatikan bahwa Anda tidak mau
pergi dari sisi saya. Bagaimana pendapat Anda, Dokter Sheppard, apakah kita akan
memeriksa pondok itu" Pondok itu menarik perhatian saya."
Poirot menuju ke pintu pondok dan membukanya. Keadaan di dalam rumah itu agak
gelap. Ada satu dua kursi yang kasar buatannya, satu set alat olahraga croquet
dan beberapa kursi lipat.
Terkejut aku memandang temanku yang baru ini. Ia telah menjatuhkan dirinya di
atas tangan dan kakinya, dan merangkak di atas lantai ruangan itu. Sebentar-
sebentar digelengkannya kepalanya seolah-olah tidak puas. Akhirnya ia
berjongkok. "Tidak ada apa-apa," gumamnya. "Yah, mungkin kita tidak boleh terlalu
mengharapkannya. Tetapi andaikata ada, akan berarti banyak sekali - "
Tiba-tiba ia berhenti berbicara. Tubuhnya menegang. Kemudian ia mengulurkan
tangannya ke salah satu kursi kasar itu, dan melepaskan sesuatu dari sisinya.
"Apa itu?" seruku. "Apa yang Anda temukan?"
Poirot tersenyum dan membuka tangannya, sehingga aku dapat melihat benda yang
terletak di telapak tangannya. Secarik kain katun putih yang halus dan kaku
sekali. Aku menjumputnya dan memperhatikan dengan rasa ingin tahu, lalu mengembalikannya
lagi. "Apa pendapat Anda mengenai hal ini, eh, Kawan?" tanyanya, sambil menatapku
dengan tajam. "Secarik kain yang dirobek dari sehelai sapu tangan," tebakku sambil mengangkat
bahu. Sekali lagi ia mengulurkan tangannya dan mengambil sebuah pena kecil - tampaknya
sebuah pena yang terbuat dari bulu angsa.
"Dan ini?" serunya dengan rasa menang. "Apa pendapat Anda mengenai hal ini?"
Aku hanya menatapnya. Poirot menyelipkan pena itu ke dalam sakunya, lalu memandang robekan kain putih
itu lagi. "Bagian kecil dari sehelai sapu tangan?" renungnya. "Mungkin Anda benar. Tetapi
ingat - penatu yang baik tidak akan menganji sapu tangan."
Poirot mengangguk kepadaku dengan penuh rasa kemenangan. Lalu disimpannya
potongan kain itu dengan hati-hati di dalam dompetnya.
Bab 9 KOLAM IKAN MAS KAMI bersama-sama berjalan kembali ke rumah.
Inspektur Raglan tidak kelihatan mata hidungnya. Poirot berhenti di teras dan
berdiri membelakangi rumah, sambil memutar kepalanya dengan perlahan memandang
ke kiri dan kanannya. "Une belle propri?t?," akhirnya ia berkata penuh penghargaan. "Siapa yang
mewarisi semua ini?"
Tertegun aku mendengar kata-katanya. Aneh sekali, sampai pada saat ini persoalan
warisan tidak pernah timbul dalam pikiranku. Poirot memandangku dengan tajam.
"Tampaknya, pikiran ini baru bagi Anda," ia berkesimpulan. "Anda tidak pernah
memikirkannya sebelumnya - bukan?"
"Tidak pernah," jawabku dengan tulus. "Seandainya saja aku telah memikirkannya
sebelumnya." Poirot memandangku lagi dengan rasa ingin tahu.
"Saya ingin tahu apa yang Anda maksudkan dengan ucapan itu," ujarnya sambil
merenung "Oh! tidak," ketika aku baru saja mau mengatakan sesuatu. "Inutile!
Anda tidak akan mau mengatakan apa yang sebenarnya Anda pikirkan."
"Tiap orang menyembunyikan sesuatu," aku mengutip sambil tersenyum.
"Tepat sekali."
"Anda tetap menyangka demikian?"
"Lebih dari sebelumnya, Kawan. Tetapi tidaklah mudah menyembunyikan sesuatu
terhadap Hercule Poirot. Ia mempunyai cara-caranya sendiri untuk mencari tahu
hal-hal yang dirahasiakan itu."
Ia menuruni anak tangga kebun yang diatur secara Belanda itu sambil berbicara.
"Marilah kita berjalan-jalan sebentar," ajaknya sambil menoleh. "Hawanya enak
sekali hari ini." Aku mengikutinya. Poirot mengajakku ke sebuah jalan kecil di sebelah kiri pondok
kecil itu yang dikelilingi dengan pagar dari pohon-pohon cemara. Di tengah-
tengah terdapat jalan setapak yang kiri kanannya ditanami dengan bunga-bunga. Di
ujung jalan setapak itu terdapat tempat untuk beristirahat yang beraspal, dengan
sebuah bangku, dan kolam yang penuh dengan ikan mas. Sebaliknya dari mengikuti
jalan setapak itu sampai ujung, Poirot bahkan membelok ke jalan lain yang
melingkari sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon. Di satu tempat, pohon-
pohon itu sudah ditebangi, dan sebuah bangku ditaruh di situ. Orang yang duduk
di bangku itu, mempunyai pandangan yang indah atas satu sisi dari kota itu, dan
dapat juga langsung memandang ke tempat istirahat itu dengan kolam ikan masnya.
"Inggris memang bagus sekali," Poirot mengakui. Matanya mengagumi pemandangan di
bawahnya. Kemudian ia tersenyum. "Dan demikian pula gadis-gadisnya," pujinya
dengan pelan. "Ssst, Kawan, lihatlah gambaran yang indah di bawah sana."
Pada saat itu kulihat Flora berjalan di jalanan kecil yang baru saja kami lalui.
Gadis itu bernyanyi-nyanyi kecil. Langkahnya lebih menyerupai orang yang menari
daripada berjalan. Dan walaupun gaun yang dikenakannya berwarna hitam, sikapnya
menunjukkan kegembiraan yang besar. Tiba-tiba ia berputar-putar di atas ujung
kakinya, sehingga gaunnya mengembang. Pada saat yang sama ia menengadah dan
tertawa terbahak-bahak. Tepat pada saat itu seorang laki-laki keluar dari antara pohon-pohon. Laki-laki
itu adalah Hector Blunt. Gadis itu terkejut. Wajahnya agak berubah.
"Anda membuat saya kaget - Saya tidak melihat Anda."
Blunt tidak mengatakan apa-apa, tetapi memandang gadis itu selama satu dua
menit. "Apa yang saya senangi tentang diri Anda," ujar Flora dengan nada benci, "adalah
percakapan Anda yang riang gembira."
Kukira wajah Blunt menjadi merah karena malu mendengar ucapan gadis itu. Ketika
ia berbicara nada suaranya berubah - suaranya kedengaran agak aneh, penuh
kerendahan hati. "Saya bukanlah orang yang pandai berbicara, juga ketika saya masih muda."
"Masa itu sudah lewat lama sekali, saya kira," sindir Flora dengan nada suram.
Aku mendengar gadis itu menahan tawanya, tetapi kukira Blunt tidak
memperhatikannya. "Ya," jawabnya dengan sederhana. "Sudah lama sekali."
"Bagaimana rasanya menjadi Methusaleh?" tanya Flora.
Sekali ini nada tertawa dalam suaranya bertambah jelas. Tetapi Blunt sedang
berpikir menurut caranya sendiri.
"Ingatkah Anda akan laki-laki yang menjual jiwanya kepada setan" Sebagai
imbalannya ia menjadi muda kembali. Ada sebuah opera yang mementaskan cerita
ini." "Faust-kah yang Anda maksudkan?"
"Faust adalah si pengemis. Ceritera yang tidak masuk akal. Tetapi beberapa di
antara kita akan melakukannya, bilamana mungkin."
"Mendengarkan omongan Anda, orang akan mengira kalau sendi-sendi Anda sudah
berkeriat-keriut," seru Flora, dengan rasa jengkel dan juga geli.
Selama satu dua menit Blunt tidak berkata-kata. Kemudian ia berpaling dari Flora
dan memandang ke suatu tempat yang agak jauh. Lalu dikatakannya pada sebatang
pohon di sebelahnya, bahwa sudah waktunya ia kembali lagi ke Afrika.
"Apakah Anda akan melakukan ekspedisi lain lagi - berburu?"
"Saya kira begitu. Memang biasanya demikian - maksud saya, berburu binatang
buas." "Binatang yang kepalanya tergantung di ruang muka itu, Andalah yang menembaknya,
bukan?" Blunt mengangguk. Lalu tiba-tiba ia tersentak. Wajahnya agak memerah.
"Maukah Anda saya bawakan kulit binatang, kapan-kapan" Kalau Anda mau saya dapat
mengadakannya." "Oh! ingin sekali," seru Flora. "Benarkah Anda mau melakukannya" Anda tidak akan
lupa?" "Saya tidak akan lupa," janji Hector Blunt.
Karena secara tiba-tiba menjadi senang berbicara, ia lalu menambahkan,
"Sudah waktunya saya pergi. Hidup seperti ini tidak cocok bagi saya. Sikap saya
kurang sesuai untuk hidup semacam ini. Saya seorang yang kasar, dan tidak ada
gunanya di dalam masyarakat ini. Saya tidak pernah ingat apa yang harus
dikatakan di dalam pergaulan dengan orang banyak. Memang, sudah waktunya saya
pergi." "Tetapi, Anda toh tidak akan pergi dengan segera," seru Flora. "Tidak - tidak
selagi kita masih berada dalam kesulitan ini. Oh! Jangan pergi. Bila Anda pergi
- " Gadis itu berpaling sedikit.
"Anda ingin saya tetap di sini?" tanya Blunt.
Ia bertanya dengan lambat tetapi sederhana.
"Kami semua - "
"Anda pribadi, maksud saya," tanya Blunt tanpa tedeng aling-aling.
Flora berpaling lagi dan menatap Blunt.
"Saya ingin Anda tetap di sini," jawabnya, "yaitu jika permohonan saya ini dapat
mengubah keputusan Anda."
"Keputusanku sudah berubah," jawab Blunt.
Untuk sesaat tak seorang pun berbicara. Mereka duduk di bangku beton di tepi
kolam ikan mas. Rupanya tidak seorang pun di antara mereka tahu apa yang harus
dikatakan selanjutnya. "Pagi ini demikian indahnya," akhirnya Flora berkata. "Tahukah Anda, pagi ini
saya merasa bahagia sekali. Saya tidak dapat membendung rasa bahagia ini,
walaupun - walaupun musibah telah menimpa kami. Perasaan bahagia dalam suasana
seperti ini, salah sekali, saya rasa?"
"Perasaan yang wajar sekali," Blunt menenangkan. "Anda baru bertemu dengan paman
Anda dua tahun yang lalu, bukan" Orang tidak dapat mengharapkan supaya Anda
bersedih sekali. Sebaiknya Anda tidak berpura-pura mengenai hal ini."
"Pribadi Anda sangat menenangkan," ujar Flora. "Anda membuat segala sesuatu
tampak sangat sederhana."
"Memang biasanya segala hal mudah sekali dipecahkan," pemburu binatang buas itu
berkata. "Tidak selalu," jawab Flora.
Nada suaranya rendah. Kulihat Blunt mengalihkan pandangannya dari pantai Afrika
dan menoleh memandang gadis itu lagi. Agaknya ia mempunyai tafsiran sendiri
mengenai perubahan nada suara Flora, karena satu dua menit kemudian ia berkata
dengan pendek. "Menurut pendapat saya, Anda tidak perlu khawatir. Maksud saya, mengenai anak
muda itu. Inspektur Raglan adalah seorang yang goblok. Semua orang tahu -
sungguh gila untuk menyangka bahwa Ralph-lah pembunuhnya. Pelakunya adalah orang
luar. Seorang pencuri. Itulah kemungkinan satu-satunya."
Flora menoleh memandangnya.
"Benarkah demikian menurut pendapat Anda?"
"Bukankah Anda sendiri pun berpendapat demikian?" jawab Blunt dengan cepat.
"Saya - oh, ya, tentu saja."
Keduanya diam lagi, kemudian dengan tiba-tiba Flora menerangkan,
"Saya sedang - saya akan menceritakan pada Anda mengapa saya merasa begitu
bahagia pagi ini. Mungkin Anda akan mengatakan, bahwa saya tidak berperasaan.
Tetapi walaupun demikian saya akan menceritakannya juga. Sebabnya adalah karena
pengacara kami telah - Tuan Hammond. Ia menjelaskan kepada kami tentang isi
surat wasiat Paman. Paman Roger telah mewariskan uang sejumlah dua puluh ribu
pound kepada saya. Coba bayangkan - dua puluh ribu pound yang sangat berharga."
Blunt tampak keheran-heranan.
"Begitu besarkah arti uang itu bagi Anda?"


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besar artinya bagi saya" Oh, uang itu berarti segala-galanya bagi saya.
Kemerdekaan - hidup yang serba berkecukupan - tidak lagi membuat rencana-rencana
yang licik, dan tidak perlu lagi berhemat dan berdusta - "
"Berdusta?" potong Blunt dengan tajam.
Flora tampak tertegun sejenak.
"Anda tahu apa yang saya maksudkan," jawabnya dengan ragu. "Berpura-pura
berterima kasih untuk segala barang bekas yang diberikan kepada kami oleh
keluarga kami yang kaya. Mantel-mantel, rok-rok dan topi-topi."
"Saya kurang begitu tahu tentang pakaian wanita; dalam pandangan saya Anda
selalu berpakaian rapi sekali."
"Tetapi semua itu saya peroleh dengan susah payah," jawab Flora dengan suara
rendah. "Sebaiknya jangan kita bicarakan hal-hal yang kurang menyenangkan. Saya
merasa sangat bahagia. Saya bebas. Bebas untuk bertindak sesuka hati saya. Bebas
untuk tidak - " Tiba-tiba ia terhenti. "Untuk tidak, apa?" tanya Blunt dengan cepat.
"Saya sudah lupa sekarang. Bukan sesuatu yang penting."
Blunt memegang sepotong kayu, lalu menyodokkannya ke dalam kolam dan mencongkel
sesuatu di dasarnya. "Apa yang Anda kerjakan, Mayor Blunt?"
"Ada sesuatu yang berkilat di bawah sana. Saya hanya ingin tahu benda apakah itu
- kelihatannya seperti sebuah bros emas. Sekarang ternyata saya telah mengaduk
lumpurnya, sehingga barang itu sudah tidak tampak lagi."
"Mungkin benda itu adalah sebuah mahkota," Flora mengemukakan, "Seperti yang
dilihat Melisande di dalam air."
"Melisande," kata Blunt sambil mengingat-ingat - "ia seorang tokoh dalam opera,
bukan?" "Benar, tampaknya Anda mengetahui banyak sekali mengenai opera."
"Kadang-kadang saya diundang menonton opera," jawab Blunt dengan murung. "Cara
bersenang-senang yang lucu - lebih berisik daripada bunyi gendang penduduk asli
di Afrika." Flora tertawa. "Saya ingat Melisande," Blunt melanjutkan, "ia menikah dengan seorang laki-laki
yang cukup tua untuk menjadi ayahnya."
Blunt melemparkan sebuah batu kecil ke dalam kolam ikan mas, lalu dengan sikap
yang berubah ia memandang Flora.
"Nona Ackroyd, dapatkah saya berbuat sesuatu untuk Anda" Mengenai Paton, maksud
saya. Saya menyadari betapa khawatirnya Anda."
"Terima kasih," jawab Flora dengan dingin. "Tidak ada sesuatu pun yang perlu
dilakukan. Segalanya akan beres dengan Ralph. Saya mendapatkan bantuan seorang
detektif yang paling hebat di dunia. Ia akan menyelesaikan perkara ini dengan
baik." Selama beberapa saat aku telah merasa kurang enak dengan kedudukan kami. Kami
tidak menguping, karena kedua orang yang sedang berada di kebun di bawah sana,
hanya perlu mengangkat kepalanya saja untuk dapat melihat kami. Tetapi
sebenarnya aku sudah akan menarik perhatian mereka, dan memberitahukan kehadiran
kami. Tetapi Poirot memegang lenganku dan mencegah perbuatanku. Jelas sekali ia
menginginkan agar aku berdiam diri. Tetapi sekarang, ia bertindak dengan cepat.
Segera ia berdiri dan mendeham membersihkan kerongkongannya.
"Saya mohon maaf," serunya. "Saya tidak dapat membiarkan Nona memuji diri saya
secara berlebihan, tanpa menarik perhatian Anda akan kehadiran saya. Orang
mengatakan bahwa si pendengar tidak akan mendengar hal-hal yang baik tentang
dirinya sendiri. Tetapi sekali ini keadaannya lain. Dan untuk menghilangkan rasa
malu, saya harus mendatangi Anda untuk mohon maaf."
Dengan cepat ia bergerak di jalan kecil itu. Aku membuntutinya, dan mendatangi
kedua orang di dekat kolam ikan mas itu.
"Tuan ini adalah Hercule Poirot," Flora memperkenalkan. "Saya kira, Anda pernah
mendengar namanya." Poirot membungkuk. "Saya telah mengenal Mayor Blunt melalui reputasinya," jawab Poirot dengan
sopan. "Saya senang sekali bertemu dengan Anda, Tuan. Saya membutuhkan beberapa
keterangan dari Anda."
Blunt memandangnya dengan penuh pertanyaan.
"Bilamana Anda melihat Tuan Ackroyd dalam keadaan hidup untuk yang terakhir
kalinya?" "Waktu makan malam."
"Dan setelah itu, Anda tidak melihat atau mendengarnya lagi?"
"Saya tidak melihatnya lagi. Tetapi saya mendengar suaranya."
"Bagaimana mungkin?"
"Saya berjalan-jalan di teras - "
"Maafkan saya. Pukul berapakah saat itu?"
"Sekitar pukul setengah sepuluh. Saya sedang berjalan mondar-mandir sambil
merokok, di depan jendela kamar tamu. Saya mendengar Ackroyd berbicara di dalam
kamar kerjanya - " Poirot membungkuk dan menyingkirkan sehelai rumput yang kecil sekali.
"Tetapi mana mungkin Anda mendengar suara di kamar kerja Ackroyd, dari tempat
Anda di teras," gumamnya.
Poirot tidak memandang Blunt, tetapi aku memperhatikannya. Dengan terheran-heran
kulihat Blunt menjadi merah mukanya.
"Aku berjalan sampai ke pojok," dengan segan Blunt menerangkan.
"Ah! begitukah?" seru Poirot.
Dengan halus Poirot menunjukkan bahwa ia membutuhkan lebih banyak keterangan
lagi. "Pada saat itu, rasa-rasanya saya melihat - seorang wanita menghilang di balik
semak-semak. Sebuah bayangan putih berkelebat. Tetapi rupanya saya salah. Pada
saat saya sedang berdiri di ujung teras itulah, saya mendengar suara Ackroyd
berbicara kepada sekretarisnya."
"Berbicara kepada Tuan Geoffrey Raymond?"
"Ya - itulah yang saya kira mula-mula. Tetapi tampaknya pendapat saya salah."
"Tuan Ackroyd tidak menyebut namanya?"
"Oh, tidak." "Lalu, kalau saya boleh bertanya, mengapa Anda berpikir bahwa - ?"
Blunt menerangkan dengan susah payah.
"Saya hanya menganggap bahwa orang itu Raymond, karena ketika saya baru saja mau
keluar, Raymond mengatakan kalau ia mau mengantarkan beberapa surat kepada
Ackroyd. Tidak pernah terpikir oleh saya kalau teman Ackroyd berbicara itu
adalah orang lain." "Dapatkah Anda mengingat kembali kata-kata yang Anda dengar?"
"Menyesal sekali, tetapi saya tidak ingat lagi. Beliau berbicara mengenai
sesuatu yang biasa dan tidak penting. Saya hanya mendengar sebagian kecil saja.
Pada saat itu saya sedang memikirkan hal lain."
"Soal ini tidak penting sama sekali," gumam Poirot. "Tatkala korban ditemukan
dan Anda memasuki kamar kerja Ackroyd, apakah Anda mengembalikan kursi ke
tempatnya di pinggir tembok?"
"Kursi" Sama sekali tidak. Untuk apa saya harus melakukan itu?"
Poirot mengangkat bahunya tanpa menjawab, lalu berpaling kepada Flora.
"Ada sesuatu yang ingin saya ketahui dari Anda, Nona. Tatkala Anda sedang
memperhatikan benda-benda di dalam meja perak bersama Dokter Sheppard, apakah
pisau belati itu masih ada di tempatnya atau tidak?"
Flora mengangkat kepalanya.
"Inspektur Raglan juga menanyakan saya mengenai hal ini," jawabnya dengan marah.
"Saya telah mengatakan padanya, dan saya akan mengatakannya juga pada Anda. Saya
yakin sekali pisau belati itu tidak ada pada tempatnya. Inspektur Raglan
berpendapat bahwa pisau belati itu ada pada tempatnya. Ia menuduh Ralph
mencurinya kemudian. Ia tidak mempercayai omongan saya. Menurut pendapatnya,
saya tidak mau mengakui hal ini - untuk melindungi Ralph."
"Dan bukankah memang demikian halnya?" tanyaku dengan sungguh-sungguh.
Flora menghentakkan kakinya.
"Anda juga menyangka demikian, Dokter Sheppard! Oh! Betapa tololnya."
Dengan bijaksana Poirot mengalihkan pokok pembicaraan.
"Memang benar apa yang saya dengar Anda katakan tadi, Mayor Blunt. Ada sesuatu
yang berkilat di dasar kolam ini. Saya akan mencoba apakah saya bisa
mencapainya." Poirot berlutut di pinggir kolam sambil menggulung lengan bajunya sampai ke
siku. Lalu dengan perlahan dimasukkannya tangannya ke dalam air, supaya lumpur
di dalam kolam tidak terkacau. Tetapi biarpun ia telah berhati-hati, lumpurnya
bergerak juga sehingga airnya menjadi keruh. Poirot dengan terpaksa mengeluarkan
lengannya dari kolam dengan tangan kosong.
Dengan sedih Poirot memandang lumpur yang melekat pada lengannya. Kutawarkan
padanya sapu tanganku. Ia menerimanya dengan ucapan terima kasih yang bertubi-
tubi. Blunt memandang arlojinya.
"Sudah hampir waktu makan siang," ia mengingatkan.
"Maukah Anda makan siang bersama kami, Tuan Poirot?" undang Flora. "Saya ingin
Anda bertemu dengan Ibu. Beliau sangat menyayangi Ralph."
Laki-laki kecil itu membungkuk.
"Dengan segala senang hati, mademoiselle."
"Dan Dokter Sheppard, Anda juga akan tetap di sini, bukan?"
Aku agak bimbang sebentar.
"Oh, ayohlah, jangan pulang!"
Kuterima undangan Flora tanpa banyak bicara.
Kami berjalan menuju ke rumah dengan didahului oleh Flora dan Blunt.
"Betapa indahnya rambutnya," kata Poirot kepadaku dengan suara rendah, sambil
mengangguk ke arah Flora. "Seperti emas mumi. Gadis itu dan Kapten Paton yang
warna kulitnya agak gelap, akan merupakan pasangan yang cocok sekali. Bukankah
begitu?" Aku memandangnya dengan penuh pertanyaan. Tetapi Poirot mulai menyibukkan
dirinya dengan cipratan-cipratan air pada lengan jasnya. Laki-laki ini dalam
beberapa hal mengingatkanku akan seekor kucing, dengan matanya yang hijau dan
kebiasaannya yang rewel. "Dan semua jerih payah Anda tidak membawa hasil," ujarku menyatakan simpatiku.
"Saya sebetulnya ingin tahu benda apa yang terdapat di dasar kolam itu?"
"Maukah Anda melihatnya?" tanya Poirot.
Aku menatapnya. Poirot mengangguk.
"Temanku yang baik," katanya dengan lemah lembut dan dengan nada mencela.
"Hercule Poirot tidak pernah mengambil risiko mengotorkan pakaiannya, tanpa
keyakinan akan memperoleh apa yang diinginkannya. Melakukan sesuatu tanpa
perhitungan merupakan tindakan yang menggelikan dan gila-gilaan. Dan saya tidak
pernah menjadi bahan tertawaan orang."
"Tetapi tangan Anda kosong, ketika Anda mengeluarkannya dari kolam," bantahku.
"Kadang-kadang ada waktunya seseorang harus menyembunyikan sesuatu. Apakah Anda
memberitahukan segala sesuatu kepada pasien Anda, Dokter" Saya rasa tidak. Dan
demikian pula Anda tidak menceritakan segala-galanya kepada kakak perempuan Anda
yang hebat itu, bukan" Sebelum memperlihatkan tangan saya yang kosong, saya
telah terlebih dahulu memindahkan isinya ke tangan yang lain. Akan saya
perlihatkan benda itu pada Anda."
Diulurkannya tangan, kirinya yang terbuka. Di atas telapak tangannya terletak
sebentuk cincin emas. Cincin kawin seorang wanita.
Aku menjumputnya. "Lihatlah di sebelah dalamnya," perintah Poirot.
Kulakukan apa yang diperintahkannya. Di sebelah dalam cincin itu terdapat
tulisan halus: Dari R., 13 Maret.
Kupandang Poirot, tetapi ia sedang sibuk memperhatikan dirinya dalam sebuah
cermin kecil. Yang terutama diperhatikannya adalah kumisnya. Diriku, sama sekali
tidak diperhatikannya. Aku merasakan bahwa ia sama sekali tidak berniat
menceritakan sesuatu padaku.
Bab 10 PEMBANTU YANG BERTUGAS DI RUANG TAMU
KAMI menemukan Nyonya Ackroyd di ruang muka. Bersamanya ada seorang laki-laki
bertubuh kecil dan kurus. Bentuk dagunya yang agresif dan matanya yang berwarna
kelabu bersinar tajam. Dari penampilannya saja orang akan segera menebak, kalau
ia adalah seorang pengacara.
"Tuan Hammond akan ikut makan siang bersama kami," Nyonya Ackroyd
memberitahukan. "Anda kenal Mayor Blunt, Tuan Hammond" Dan juga Dokter Sheppard
kita yang baik - juga seorang kawan akrab Roger yang malang. Dan tuan ini - "
Nyonya Ackroyd terhenti dan memperhatikan Hercule Poirot dengan agak heran.
"Ini Tuan Poirot, Ibu," Flora memperkenalkan. "Aku telah menceritakan kepada Ibu
mengenai dia, tadi pagi."
"Oh ya," sahut Nyonya Ackroyd dengan tidak jelas. "Benar Sayang, benar. Ia harus
menemukan Ralph, bukan?"
"Ia harus mencari pembunuh Paman," jawab Flora.
"Oh! sayang," keluh ibunya. "Syarafku yang malang tegang sekali pagi ini. Aku
bingung dan gugup sekali. Kejadian ini demikian mengerikan. Aku hanya bisa
menduga bahwa kejadian ini merupakan suatu kecelakaan. Roger selalu amat senang
bermain dengan pisau belati yang aneh-aneh. Mungkin tangannya meleset, atau
entah bagaimana." Teori ini diterima dengan sopan sambil berdiam diri. Kulihat Poirot mendekati si
pengacara dan berbicara padanya secara rahasia. Mereka menuju ke samping jendela
di mana mereka dapat berbicara dengan agak tersembunyi. Aku menemani mereka
dengan bimbang. "Barangkali saya mengganggu," kataku.
"Sama sekali tidak," bantah Poirot dengan bersemangat. "Anda dan saya, Tuan le
docteur, kita menyelidiki perkara ini bersama-sama. Tanpa Anda, saya akan
kehilangan jejak. Saya hanya menginginkan sedikit keterangan dari Tuan Hammond
yang baik ini." "Anda bertindak atas nama Kapten Ralph Paton, kalau saya tidak salah," tanya
pengacara itu dengan hati-hati.
Poirot menggelengkan kepalanya.
"Tidak, saya bertindak atas nama keadilan. Nona Ackroyd telah minta kepada saya
untuk menyelidiki kematian pamannya."
Tuan Hammond kelihatan agak terkejut.
"Saya sungguh tidak dapat mempercayai bahwa Kapten Ralph Paton tersangkut dalam
perkara ini," ia mengemukakan, "walaupun fakta-fakta yang cukup memberatkan
menunjuk ke arahnya. Kenyataannya saja bahwa ia sangat membutuhkan uang - "
"Apakah ia sangat membutuhkan uang?" sela Poirot dengan cepat.
Si pengacara mengangkat bahunya.
"Keadaan demikian sudah biasa bagi Ralph Paton," jawabnya acuh tak acuh. "Di
dalam tangannya uang keluar bagaikan air. Ia selalu minta bantuan ayah tirinya."
"Apakah akhir-akhir ini ia minta bantuan lagi" Misalnya, dalam tahun terakhir
ini?" "Tidak dapat saya mengatakannya. Tuan Ackroyd tidak mengatakan apa-apa kepada
saya." "Saya mengerti. Tuan Hammond, saya kira Anda tahu apa isi surat wasiat Tuan
Ackroyd, bukan?" "Tentu saja. Itulah sebabnya saya ke sini hari ini."
"Kalau begitu, mengingat saya bertindak atas nama Nona Ackroyd, Anda tentu tidak
berkeberatan untuk memberitahukan saya isi surat wasiat itu?"
"Isinya sederhana sekali. Kita lewati saja istilah-istilah resminya. Setelah
membayarkan warisan-warisan dan beberapa sumbangan tertentu - "
"Seperti misalnya - ?" sela Poirot.
Tuan Hammond agak terheran-heran.
"Seribu pound untuk pengatur rumah tangganya, Nona Russell; lima puluh pound
untuk koki, Emma Cooper; dan lima ratus pound untuk sekretarisnya, Tuan Geoffrey
Raymond. Dan juga sumbangan kepada berbagai rumah sakit - "
Poirot mengangkat tangannya.
"Ah! Sumbangan-sumbangan untuk amal. Tidak menarik bagi saya."
"Memang. Penghasilan yang diperoleh dari saham-saham seharga sepuluh ribu pound
harus dibayarkan kepada Nyonya Ackroyd selama hidupnya. Nona Flora Ackroyd
mewarisi uang sejumlah dua puluh ribu pound secara langsung. Sisanya, - termasuk
juga rumah dan tanah ini dan semua saham dalam perusahaan Ackroyd and Son -
diwariskan kepada anak angkatnya, Ralph Paton."
"Apakah Tuan Ackroyd kaya sekali?"
"Benar. Kekayaannya besar sekali. Kapten Paton akan menjadi seorang pemuda yang
kaya sekali." Suasana sepi sebentar. Poirot dan pengacara itu saling memandang.
"Tuan Hammond," suara Nyonya Ackroyd yang sedih terdengar dari dekat perapian.
Si pengacara memenuhi panggilannya. Poirot memegang lenganku dan menarikku ke
jendela. "Pandanglah bunga-bunga Iris itu," dengan suara keras ia menganjurkan. "Bagus
sekali, bukan" Sungguh menyenangkan memandang bunga-bunga itu."
Pada saat yang sama, kurasakan tangannya menekan lenganku, dan ia menambahkan


Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara rendah, "Benarkah Anda ingin membantu saya" Ikut mengambil bagian dalam penyelidikan
ini?" "Benar sekali," jawabku dengan gairah. "Tidak ada yang lebih saya inginkan. Anda
tidak tahu betapa membosankan hidup saya ini. Tidak pernah terjadi sesuatu yang
luar biasa." "Baik, kita akan menjadi teman sejawat, kalau begitu. Satu dua menit lagi Mayor
Blunt akan menemani kita. Ia tidak menyukai si ibu yang baik itu. Sekarang, ada
beberapa hal yang ingin kuketahui - tetapi aku tidak mau memperlihatkan bahwa
aku ingin mengetahuinya. Kau mengerti" Jadi adalah tugasmu untuk menanyakan
pertanyaan-pertanyaan itu."
"Pertanyaan apa saja yang harus kutanyakan untukmu?" tanyaku dengan bimbang.
"Aku ingin agar kau menyebut nama Nyonya Ferrars."
"Ya?" "Bicaralah mengenai nyonya itu secara wajar sekali. Tanyakan pada Blunt apakah
ia berada di sini ketika suami Nyonya Ferrars meninggal. Kau tentu mengerti apa
yang kumaksudkan. Dan selagi ia menjawab, awasilah wajahnya tanpa menimbulkan
kecurigaannya. C'est compris?"
Tak ada waktu lagi untuk berbicara lebih lanjut, karena pada saat itu, seperti
telah diramalkan oleh Poirot, Blunt meninggalkan yang lain dengan sikap yang
agak kasar, dan mendatangi kami.
Kusarankan untuk berjalan-jalan di teras. Blunt menyetujui, sedangkan Poirot
tidak mau ikut. Aku berhenti dan memperhatikan sekuntum bunga mawar. "Betapa keadaan dapat
berubah hanya dalam satu dua hari saja," ujarku. "Aku ingat, hari Rabu yang lalu
aku juga sedang jalan mondar-mandir di teras ini. Ackroyd bersamaku - penuh
gairah. Dan sekarang - tiga hari kemudian - Ackroyd sudah mati, laki-laki yang
malang. Dan Nyonya Ferrars juga meninggal - kau mengenalnya bukan" Tetapi, tentu
saja kau mengenalnya."
Blunt mengangguk. "Apakah kau bertemu dengan nyonya ini pada kunjunganmu ke sini sekali ini?"
"Aku ikut Ackroyd berkunjung ke rumahnya. Kalau aku tidak keliru, hari Selasa
yang lalu. Nyonya Ferrars adalah seorang wanita yang mempesonakan - tetapi ada
sesuatu yang aneh pada dirinya. Sesuatu yang tidak dapat ditembus - orang tidak
bisa menduga apa yang akan dilakukannya."
Aku memandang matanya yang kelabu dan tegas itu. Mata Blunt tidak memperlihatkan
sesuatu yang mencurigakan. Aku melanjutkan,
"Aku rasa, kau pernah bertemu Nyonya Ferrars sebelumnya."
"Benar, pada kunjunganku yang terakhir ke mari - Nyonya Ferrars baru saja pindah
ke daerah ini." Blunt berhenti sejenak lalu menambahkan, "Heran sekali, nyonya
itu banyak sekali berubah dibandingkan dengan dahulu."
"Berubah - maksudmu?" tanyaku.
"Tampaknya bertambah tua sepuluh tahun."
"Apakah kau ada di sini, tatkala suaminya meninggal?" aku bertanya, dan berusaha
sedapat mungkin agar pertanyaanku kedengaran biasa saja.
"Tidak. Tetapi menurut pendengaranku, kematiannya itu merupakan suatu rahmat
bagi isterinya. Barangkali kedengarannya kurang baik, tetapi memang begitulah
kenyataannya." Aku menyetujui. "Ashley Ferrars sama sekali bukan seorang suami teladan," aku berkata dengan
hati-hati. "Menurut pendapatku, ia adalah seorang bajingan," Blunt berpendapat.
"Tidak," jawabku, "ia hanya seorang laki-laki yang mempunyai uang berlebihan.
Dan hal ini membawa akibat buruk bagi dirinya sendiri."
"Oh! Uang! Segala kesulitan dalam dunia ini asal mulanya disebabkan oleh soal
uang - atau kekurangan uang."
"Dan apakah kesulitanmu yang paling besar?" tanyaku.
"Aku mempunyai cukup uang untuk menutupi kebutuhanku. Aku termasuk salah seorang
yang beruntung." "Benar." "Dan sebetulnya saja, pada saat ini aku tidak terlalu membutuhkan uang. Setahun
yang lalu, aku menerima warisan. Aku sedemikian tolol untuk membiarkan diriku
dibujuk. Kupergunakan uang itu untuk sesuatu yang gila-gilaan."
Aku menyatakan rasa simpatiku dan menceritakan pengalamanku sendiri yang serupa.
Tidak lama kemudian gong berbunyi dan kami semua masuk ke kamar makan. Poirot
menarik diriku ke belakang sedikit.
"Eh! Bien?" "Ia tidak tersangkut," jawabku. "Aku yakin sekali akan hal ini."
"Tidak adakah sesuatu pun yang membingungkan?"
"Ia memperoleh warisan setahun yang lalu," jawabku. "Tetapi mengapa tidak"
Mengapa ia tidak boleh menerima warisan" Aku jamin, orang ini betul-betul jujur
dan tidak bersalah."
"Aku tidak meragukannya, sama sekali tidak," bujuk Poirot. "Janganlah gusar."
Ia seolah-olah berbicara kepada seorang anak kecil yang cengeng.
Kami semua memasuki ruang makan. Rasanya tak dapat dibayangkan bahwa belum ada
dua puluh empat jam yang lalu, aku masih duduk menghadapi meja makan itu.
Selesai makan, Nyonya Ackroyd mengajakku bercakap-cakap, dan kami berdua duduk
di atas sebuah dipan. "Bagaimanapun juga, saya merasa agak tersinggung," gumamnya sambil mengeluarkan
sehelai sapu tangan yang jelas, sama sekali tidak cocok untuk menghapus air
mata. "Saya merasa tersinggung karena Roger kurang mempercayai saya. Uang
sebanyak dua puluh ribu pound itu seharusnya diwariskan kepada saya - bukan
kepada Flora. Seorang ibu tentunya dapat dipercayakan untuk melindungi
kepentingan anaknya. Saya berpendapat, sikap Roger ini menunjukkan kurangnya
kepercayaan akan diri saya."
"Anda lupa, Nyonya Ackroyd," sahutku, "Flora adalah keponakan Ackroyd sendiri.
Di antara mereka ada hubungan darah. Lain halnya bilamana Anda adalah adiknya
dan bukan adik iparnya."
"Sebagai janda Cecil yang malang, saya rasa Ackroyd seharusnya mempertimbangkan
perasaanku juga," keluh nyonya itu, sambil dengan hati-hati menyentuh bulu
matanya dengan sapu tangannya. "Tetapi Roger memang selalu bersikap ganjil -
kalau tidak dapat dikatakan jahat - mengenai soal keuangan. Flora dan saya
selalu berada dalam posisi yang sulit sekali. Bahkan uang saku pun tidak
diberikannya kepada gadis yang malang itu. Dia yang membayar rekening-rekening
Flora. Dan itu pun dilakukannya dengan segan sekali. Ia selalu menanyakan untuk
apa Flora membeli segala tetek bengek itu - sikap khas seorang laki-laki -
Kitab Mudjidjad 18 Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang Bangau Putih Pendekar Sakti Im Yang 5
^