Pencarian

Mushasi 22

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 22


bergerak mengepung korbannya.
"Tunggu!" seru seorang di antaranya.
"Jangan bergerak, bajingan!"
Karena ketakutan, para pemikul joli menjatuhkan joli dan melarikan diri. Shinzo
merangkak keluar dari joli, tangannya memegang pedang. Sesudah berhasil berdiri, ia
memasang jurus dan berteriak, "Aku yang kalian suruh tunggu?"
Musashi melompat ke depannya dan berteriak, "Sebutkan urusan kalian!"
Para penjahat itu maju dengan hati-hati, selangkah demi selangkah, seakan-akan meraba
jalan di air yang dangkal.
"Kau tahu apa yang kami kehendaki!" kata seorang dari mereka, sambil meludah. "Serahkan
pengecut yang kau lindungi itu, dan jangan coba melakukan yang aneh-aneh. Kalau tidak,
kau akan mati juga."
Terdorong oleh sesumbar itu, kemarahan mereka semakin menggelegak dan bernada haus
darah, tapi tak seorang pun maju menyerang dengan pedang. Api dalam mata Musashi sudah
cukup membuat mereka mengambil sikap tetap bertahan. Mereka hanya menggonggong dan
memaki dari jarak yang aman.
Musashi dan Shinzo menatap dengan diam. Beberapa saat berlalu, kemudian tanpa disangkasangka Musashi berteriak kepada mereka, "Kalau Hangawara Yajibei ada di antara kalian,
suruh dia maju." "Majikan tak ada di sini. Tapi kalau ada yang mau kaukatakan, katakan padaku, Nembutsu
Tazaemon, dan aku akan sediakan waktu buat mendengarkan." Orang tua itu melangkah maju.
Ia mengenakan kimono resmi putih dan berkalung manik-manik tasbih Budha.
"Apa urusanmu dengan Hojo Shinzo?"
Sambil membidangkan dada, Tazaemon menjawab, "Dia membunuh dua orang kami."
"Menurut Shinzo, dua orang kalian sudah membantu Kojiro membunuh beberapa siswa Obata."
"Itu satu hal. Yang ini lain. Kalau kami tidak melakukan perhitungan dengan Shinzo,
kami akan ditertawakan orang di jalan."
"Begitulah barangkali kebiasaan di dunia kalian," kata Musashi dengan nada ber-damai.
"Tapi lain halnya di dunia samurai. Di antara kaum prajurit, kita tak bisa menyalahkan
orang yang berusaha dan kemudian melakukan balas dendam yang sudah semestinya. Seorang
samurai boleh membalas dendam demi keadilan, atau untuk mempertahankan kehormatannya,
tapi bukan untuk memuaskan dendam perorangan. Itu tidak jantan. Dan apa yang hendak
kalian lakukan sekarang ini tidak jantan."
"Tidak jantan" Kau menuduh kami tidak jantan?"
"Kalau Kojiro maju dan menantang kami atas namanya sendiri, itu tidak apa-apa. Tapi
kami tak mau terlibat dalam pertengkaran yang ditimbulkan oleh antek-antek Kojiro."
"Nah, kau berkhotbah seenakmu sendiri, seperti samurai lainnya. Bicaralah semaumu, tapi
kami mesti melindungi nama kami."
"Kalau samurai dan orang-orang di luar hukum bertengkar tentang peraturan siapa yang
berlaku, jalanan-jalanan akan penuh dengan darah. Satu-satunya tempat buat
menyelesaikan urusan adalah kantor hakim. Bagaimana, Nembutsu?"
"Omong kosong! Kalau soal ini dapat diselesaikan hakim, tak bakal kami ada di sini."
"Coba dengar, berapa umurmu?"
"Apa urusannya itu denganmu?"
"Menurutku, kau sudah cukup tua, hingga mestinya tahu, tak perlu memimpin gerombolan
anak muda menuju maut yang tak ada artinya."
"Ah, simpan saja itu buat dirimu sendiri. Aku belum terlalu tua buat berkelahi!"
Tazaemon menarik pedang, dan penjahat-penjahat lain bergerak maju, berdesak-desakan
sambil berteriak-teriak. Musashi mengelakkan tusukan Tazaemon dan mencekal belakang kepalanya yang sudah ubanan.
Dengan langkah lebar, ia bergegas ke parit yang jauhnya sekitar sepuluh langkah, dan
dengan cepat mendorong orang itu ke parit tersebut. Kemudian, ketika orang banyak itu
menyerbu, ia bergegas berbalik, mengangkat Shinzo pada bagian pinggangnya, dan
membawanya pergi. Ia lari melintas ladang, menuju bagian tengah sebuah bukit. Di bawah mereka, sebuah
sungai mengalir masuk parit, dan paya kebiruan tampak di dasar lerengnya. Sesudah
setengah jalan mendaki, Musashi berhenti dan melepaskan Shinzo. "Nah, sekarang marl
kita lari," katanya. Shinzo ragu-ragu, tapi Musashi mendesaknya supaya mulai lari.
Para penjahat, yang sudah sadar kembali dari keterkejutan mereka, melakukan pengejaran.
"Tangkap dia!" "Tak punya malu!"
"Itu namanya samurai?"
"Tak bisa dia begitu saja melempar Tazaemon ke parit, lalu lari!"
Tanpa menghiraukan celaan dan cercaan, Musashi berkata pada Shinzo, "Jangan sekalisekali terlibat dengan mereka. Lari! Ini satu-satunya cara dalam situasi macam ini."
Sambil menyeringai, tambahnya, "Berat juga menempuh medan macam ini, ya?" Mereka
melewati tempat yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushigafuchi dan Bukit Kudan,
tapi waktu itu tempat itu masih hutan lebat.
Begitu para pengejar tidak kelihatan lagi, wajah Shinzo sudah tampak pucat seperti
mayat. "Capek?" tanya Musashi dengan nada ingin membantu.
"Oh... oh, tidak terlalu."
"Saya kira, sebenarnya Anda tak suka membiarkan mereka menghina seperti itu tanpa
dilawan." "Yah..." "Ha, ha! Tapi pikirkanlah hal itu baik-baik dengan tenang, dan nanti Anda akan mengerti
kenapa demikian. Ada masanya kita merasa lebih baik lari. Di sana ada sungai:
Berkumurlah, nanti saya antar Anda ke rumah ayah Anda."
Dalam beberapa menit, hutan sekitar Tempat Suci Akagi Myojin sudah tampak. Rumah Yang
Dipertuan Hojo letaknya di bawah.
"Saya harap Anda mau masuk menjumpai ayah saya," kata Shinzo ketika mereka sampai di
tembok tanah yang melingkari rumah itu.
"Lain kali saja. Istirahatlah baik-baik, dan jaga diri Anda." Dengan kata-kata itu,
Musashi pun pergi. Sesudah peristiwa itu, nama Musashi sangat sering terdengar di jalanjalan Edo, jauh
lebih sering daripada yang diharapkannya. Orang menyebutnya "orang palsu", "paling
pengecut di antara semua pengecut", "tak kenal malu... aib buat golongan samurai. Kalau
orang gadungan macam itu yang mengalahkan Keluarga Yoshioka di Kyoto, mereka tentunya
sudah sangat lemah. Dia tentunya menantang mereka, karena tahu mereka sudah tak dapat
melindungi diri. Dan kemudian barangkali dia melarikan diri sebelum benar-benar
menghadapi bahaya. Yang ingin dilakukan orang lancung macam itu cuma menjual nama
kepada orang banyak yang tak kenal permainan pedang." Tak lama kemudian, tak mungkin
lagi menemukan orang yang bicara baik tentangnya.
Penghinaan tertinggi bagi Musashi adalah papan-papan pengumuman yang dipasang di
seluruh Edo, Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari. Janda
Hon'iden ingin membalas dendam. Kami juga ingin melihat wajahmu, bukan punggungmu.
Kalau engkau seorang samurai, keluarlah, dan berkelahilah. Persatuan Hangawara.
*** BUKU VI: MATAHARI DAN BULAN
*** 80. Percakapan dengan Pengikut
SEBELUM makan pagi, Yang Dipertuan Hosokawa Tadatoshi memulai acara hariannya dengan
mempelajari buku-buku klasik Kong Hu-Cu. Kewajiban-kewajiban resmi yang sering kali
menuntut kehadirannya di Benteng Edo menghabiskan sebagian besar waktunya, tetapi
manakala ia dapat memasukkannya dalam jadwal acaranya, ia berlatih seni bela diri.
Malam hari, manakala mungkin, ia habiskan bersama para samurai muda yang bekerja
padanya. Suasana di antara mereka agak seperti suasana keluarga yang harmonis, duduk melingkari
kepala keluarga. Tentu saja tidak sepenuhnya tidak resmi, karena memang tidak hendak
ditanamkan bahwa Yang Dipertuan sederajat dengan mereka. Namun tata krama yang biasanya
keras itu dikendurkan sedikit. Tadatoshi, yang bersantai mengenakan kimono dari kain
rami ringan, mengundang pertukaran pendapat, yang sering kali mencakup desas-desus
terakhir. "Okatani," kata Yang Dipertuan, khusus kepada salah seorang lelaki yang paling tegap.
"Ya, Pak." "Kudengar kau cukup mahir main lembing sekarang."
"Betul. Bahkan mahir sekali."
"Ha, ha. Jelas sekali kau bukan orang yang suka pura-pura rendah hati!"
"Kalau semua orang menyatakan demikian, kenapa mesti saya tolak?"
"Hari-hari ini aku akan lihat sendiri, sampai di mana kemajuan teknikmu sesungguhnya."
"Saya selalu menunggu kesempatan itu, tapi tak pernah datang rupanya."
"Kau beruntung kesempatan tidak datang."
"Kalau boleh tanya, apa Bapak pernah mendengar lagu yang sekarangdinyanyikan semua
orang?" "Apa itu?" "Bunyinya begini: Ada pemain lembing dan pemain lembing, Segala macam pemain lembing, Tapi yang paling
besar Adalah Okatani Goroji... "
Tadatoshi tertawa. "Tak bisa kau begitu saja mempermainkan aku. Itu kan lagu tentang
Nagoya Sanzo." Yang lain-lain ikut tertawa.
"Oh, jadi Bapak tahu?"
"Kau akan heran kalau melihat apa yang kuketahui." la sudah hampir memberikan bukti
lebih lanjut tentang itu, tapi kemudian dipertimbangkannya kembali. Ia suka
mendengarkan apa yang dipikirkan dan dibicarakan orang-orangnya, dan ia beranggapan
bahwa tahu keadaan adalah kewajiban, namun barangkali kurang cocok kalau ia
mengungkapkan berapa banyak yang sebenarnya ia ketahui. Maka sebaliknya ia bertanya,
"Berapa banyak di antara kalian mengkhususkan diri dalam lembing, dan berapa dalam
pedang?" Dari tujuh orang, ada lima yang belajar lembing, dan hanya dua yang belajar pedang.
"Kenapa begitu banyak yang lebih menyukai lembing?" tanya Tadatoshi. Para pemain
lembing sepakat bahwa lembing lebih efektif untuk pertempuran.
"Dan bagaimana pendapat pemain pedang?"
Salah satu dari kedua orang itu menjawab, "Pedang lebih baik. Keahlian bermain pedang
menyiapkan diri kita untuk keadaan damai maupun perang."
Ini memang soal yang selalu menjadi pembicaraan, dan perdebatan biasanya berlangsung
hidup. Salah seorang pemain lembing menyela, "Makin panjang lembing itu, makin baik, asalkan
tidak terlalu panjang untuk ditangani secara efisien. Lembing dapat dipakai untuk
memukul, menusuk, atau membabat, dan kalau mengalami kegagalan, kita dapat beralih pada
pedang. Kalau kita hanya menggunakan pedang dan pedang itu patah... nah!"
"Barangkali benar begitu," balas seorang wakil seni pedang, "tapi kerja seorang samurai
tidak terbatas pada medan tempur. Pedang adalah jiwanya. Melatih seni pedang berarti
menghaluskan dan mendisiplinkan semangat kita. Dalam arti seluas-luasnya, pedang adalah
dasar semua latihan militer, apa pun kekurangan pedang dalam pertempuran. Kalau kita
menguasai makna yang dalam dari Jalan Samurai, disiplin pedang itu dapat diterapkan
pada lembing, atau bahkan juga senapan. Kalau kita mengenal pedang, kita tidak akan
melakukan kesalahan-kesalahan yang bodoh atau kena serangan mendadak. Permainan pedang
adalah seni yang dapat diterapkan menyeluruh."
Perdebatan itu bisa berlangsung terus, tanpa batas, tapi Tadatoshi yang mendengarkan
tanpa berpihak itu berkata, "Mainosuke, apa yang baru kaukatakan itu kedengarannya
ucapan orang lain." Matsushita Mainosuke bertahan. "Tidak, Pak. Itu pendapat saya sendiri."
"Ayolah, jujur saja."
"Ya, terus terang, saya mendengar yang serupa itu ketika saya mengunjungi Kakubei barubaru mi. Sasaki Kojiro bicara soal itu juga. Tapi ucapan itu cocok sekali dengan
pikiran saya sendiri.... Saya tak mau menipu siapa-siapa. Cuma Sasaki dapat
menguraikannya dengan lebih baik daripada saya."
"Aku juga berpikir begitu," kata Tadatoshi disertai senyum maklum. Disebutkannya nama
Kojiro mengingatkan dirinya bahwa ia belum mengambil keputusan, apakah akan menerima
rekomendasi Kakubei. Kakubei menyarankan karena Kojiro belum begitu tua, kepadanya dapat ditawarkan sekitar
seribu gantang. Tapi ada yang jauh lebih penting daripada persoalan penghasilan.
Tadatoshi sudah berkali-kali diberitahu ayahnya bahwa yang paling penting pada waktu
mempekerjakan samurai, pertama-tama adalah melakukan penilaian yang baik, dan baru
memperlakukan mereka dengan baik. Sebelum menerima seorang calon, sangat ditekankan
untuk tidak hanya menaksir keterampilannya, melainkan juga wataknya. Betapapun orang
itu diinginkan, kalau ia tidak dapat bekerja sama dengan para abdi yang telah membentuk
suasana dalam Keluarga Hosokawa sekarang mi, orang itu tidak akan berguna.
Tanah perdikan itu seperti benteng yang dibangun dari banyak batu, demikian nasihat
Hosokawa tua. Batu yang tidak dapat dipotong agar sesuai dengan batu-batuan yang lain,
akan melemahkan hubungan keseluruhan, sekalipun batu itu sendiri ukuran dan mutunya
mengagumkan. Para daimyo zaman baru meninggalkan batu-batuan yang tidak cocok di
pegunungan dan ladang, karena jumlah batu-batuan macam itu melimpah. Tantangan paling
besar adalah bagaimana menemukan batu besar yang akan memberikan sumbangan menonjol
kepada tembok. Ditinjau dari pemikiran itu, Tadatoshi merasa bahwa umur muda Kojiro itu
cocok untuknya. Pemuda itu sedang dalam tahun-tahun pembentukan diri, sehingga masih
dapat menerima sejumlah pengaruh.
Tapi Tadatoshi juga teringat akan seorang ronin lain. Nagaoka Sado sudah menyebutkan
Musashi lebih dahulu dalam salah satu pertemuan malam seperti itu. Sado membiarkan
Musashi lolos dari tangannya, tapi Tadatoshi tidak melupakannya. Kalau keterangan Sado
memang tepat, Musashi adalah prajurit yang lebih baik daripada Kojiro, dan sekaligus
orang yang cukup luas wawasannya, dan itu diperlukan sekali dalam pemerintahan.
Kalau ia bandingkan kedua orang itu, ia mesti mengakui bahwa kebanyakan daimyo akan
lebih menyukai Kojiro. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah mempelajari Seni
Perang secara menyeluruh. Sekalipun masih muda, ia sudah mengembangkan gayanya sendiri
yang hebat, dan sudah memperoleh kemasyhuran sebagai petarung. Cerita tentang kekalahan
"gemilang" orang-orang Akademi Obata di tepi Sungai Sumida dan sekali lagi di tanggul
Sungai Kanda itu sudah dikenal orang.
Sementara itu, tak ada orang mendengar tentang Musashi. Kemenangannya di Ichijoji
memang menciptakan nama baik baginya. Tapi hal itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan
segera sesudahnya tersebar berita bahwa cerita itu cuma dibesar-besarkan. Bahwa Musashi
adalah pengejar kemasyhuran yang hanya membuat-buat perkelahian, kemudian melakukan
serangan kilat dan melarikan diri ke Gunung Hiei. Setiap kali Musashi melakukan sesuatu
yang patut dipuji, banjir desas-desus pun menyusul, mencemarkan watak dan kemampuannya.
Hal itu sudah mencapai puncaknya, hingga kalau nama Musashi diucapkan orang saja,
biasanya segera disambut dengan kecaman. Atau orang mengabaikannya sama sekali. Sebagai
anak prajurit yang tak dikenal di Pegunungan Mimasaka, garis keturunannya tidaklah
menonjol. Ada orang-orang lain yang sederhana asal-usulnya"yang paling menonjol di
antaranya, Toyotomi Hideyoshi dari Nakamura di Provinsi Owari"telah mencapai kemuliaan
belum lama ini, namun orang banyak itu secara keseluruhan bersikap sadar kelas, dan
tidak menghiraukan orang dengan latar belakang seperti Musashi.
Sementara Tadatoshi merenungkan persoalan itu, ia memandang ke sekitarnya dan bertanya,
"Apa ada di antara kalian yang kenal samurai bernama Miyamoto Musashi?"
"Musashi?" terdengar jawaban terkejut. "Mustahil kalau orang tidak mendengar tentang
dia. Namanya disebut-sebut orang di seluruh kota." Jelas kelihatan, mereka semua kenal
baik dengan nama itu. "Kenapa begitu?" Pandangan penuh harap tampak pada wajah Tadatoshi.
"Banyak papan pengumuman dipasang tentang dia," ujar seorang pemuda dengan nada agak
enggan. Seorang samurai lain bernama Mori menimpali, "Orang banyak menyalin papan pengumuman
itu, termasuk saya. Ada saya bawa sekarang. Boleh saya bacakan?"
"Ya, bacalah." "Oh, ini dia," kata Mori sambil membuka sobekan kertas yang sudah kusut.
"'Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari..."' Orang-orang
mengangkat alis dan mulai tersenyum, tapi wajah Tadatoshi murung. "Cuma itu?"
"Tidak." Mori membaca selebihnya, dan katanya, "Papan-papan itu dipasang gerombolan
dari daerah tukang kayu. Orang menganggap ini menarik sekali, karena soalnya bajingan
jalanan menjewer hidung seorang samurai."
Tadatoshi mengerutkan kening sedikit, dan merasa bahwa kata-kata yang memfitnah Musashi
itu menyebabkan penilaiannya sendiri perlu dipertanyakan kembali. Ini berbeda sekali
dengan gambarannya sendiri tentang Musashi. Namun ia tidak hendak menerima apa yang
didengarnya itu begitu saja. "Hmm," gumamnya. "Aku ingin tahu juga, apa Musashi betulbetul orang macam itu."
"Saya kira dia itu orang kampung yang tidak ada harganya," ujar Mori, dan pendapatnya
itu sama dengan pendapat yang lain-lain. "Atau paling sedikit, seorang pengecut. Kalau
tidak, kenapa dia membiarkan namanya terseret dalam lumpur?"
Jam berbunyi, dan orang-orang pergi, tetapi Tadatoshi masih terus duduk sambil
berpikir, "Ada yang menarik pada orang ini." Sebagai orang yang tak mau diombangambingkan oleh pendapat umum, ia ingin tahu cerita itu dari pihak Musashi.
Pagi harinya, sesudah mendengarkan kuliah tentang kesusastraan klasik Cina, ia keluar
dari kamar belajarnya, masuk beranda, dan melihat Sado di halaman.
"Selamat pagi, kawan tua," serunya.
Sado menoleh, dan dengan sopan membungkuk sebagai ucapan selamat pagi.
"Apa Anda masih mencari?" tanya Tadatoshi.
Heran mendapat pertayaan itu, Sado hanya menatap balik.
"Maksud saya, apa Anda masih juga mencari Miyamoto Musashi?"
"Betul, Pak." Sado menundukkan mata.
"Kalau Anda sudah menemukan dia, bawa dia kemari. Saya ingin lihat, orang macam apa
dia." Tak lama sesudah tengah hari, pada hari itu juga, Kakubei mendekati Tadatoshi di
lapangan memanah dan mendesakkan rekomendasinya tentang Kojiro.
Yang Dipertuan Muda memungut busur, dan katanya tenang, "Maaf, aku lupa. Bawa dia kapan
saja kemari. Aku ingin melihatnya. Entah dia akan diterima menjadi abdi atau tidak, itu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

soal lain. Kau kan tahu."
*** 81. Serangga-Serangga Mendengung
Kojiro duduk di kamar belakang rumah kecil yang dipinjamkan Kakubei. Ia mengamati Galah
Pengering. Sesudah peristiwa denganHojo Shinzo, ia minta Kakubei mendesak tukang gosok
pedang itu untuk mengembalikan senjatanya. Senjatanya kembali pagi itu.
"Pasti takkan digosok," pikir Kojiro, tapi ternyata pedang itu sudah digarap dengan
saksama dan penuh perhatian, melebihi harapannya yang paling tinggi. Dari logam biru
hitam, yang mengombak seperti aliran sungai dalam, sekarang muncul sinar putih
cemerlang, cahaya abad-abad yang lewat, noda-noda karat seperti cacat lepra sudah
hilang. Pola tempaan yang berombak antara mata pedang dan garis punggung pedang, yang
selama itu penuh noda darah, kini indah cemerlang seperti bulan berkabut mengambang di
langit. "Seperti melihatnya pertama kali," pikir Kojiro dengan kagum. Karena tak dapat
melepaskan pandang dari pedang itu, tidak didengarnya tamu berseru dari depan rumah,
"Kau di rumah"... Kojiro?"
Bagian bukit itu diberi nama Tsukinomisaki, karena indahnya pemandangan di sana waktu
bulan naik. Dari ruang duduknya, Kojiro dapat melihat hamparan teluk dari Shiba sampai
Shinagawa. Di seberang teluk, awan-awan berbusa muncul sampai setinggi matanya. Pada
waktu itu, warna putih pada perbukitan yang jauh dan warna biru kehijauan pada air
seperti berpadu dengan pedang.
"Kojiro! Apa tak ada orang di sini?" Kali ini suara itu datang dari pintu samping yang
dijalari rumput. Sadar dari lamunannya, Kojiro berteriak, "Siapa itu?" lalu memasukkan kembali pedang ke
dalam sarungnya. "Saya di belakang. Kalau mau ketemu saya, masuk saja ke beranda."
"Oh, di sini kau rupanya," kata Osugi, yang lalu berjalan memutar, ke tempat yang
memungkinkannya melihat ke dalam rumah.
"Wah, ini kejutan," kata Kojiro dengan hangat. "Apa yang mendorong Nenek keluar pada
hari sepanas ini?" "Tunggu sebentar. Aku mau membasuh kaki. Sesudah itu, kita bicara."
"Sumurnya di sana. Hati-hati, dalam sekali. Hei, Bung, kawani Nenek ini, dan jaga
jangan sampai terjerumus." Orang yang dipanggil "Bung" itu anggota rendahan gerombolan
Hangawara, yang dikirim untuk mengawal Osugi.
Sesudah membasuh wajahnya yang berkeringat dan mencuci kakinya, Osugi masuk rumah dan
bertukar salam sedikit. Melihat bahwa angin menyenangkan bertiup dari teluk, ia
memicingkan mata, dan katanya, "Rumah ini bagus dan sejuk. Apa kau tidak takut jadi
malas, tinggal di tempat menyenangkan macam ini?"
Kojiro tertawa. "Saya bukan macam Matahachi."
Perempuan itu mengedip-ngedipkan matanya dengan sedih, tapi mengabaikan saja ejekan
itu. "Maaf, aku tidak membawa hadiah yang pantas," katanya. "Sebagai gantinya, kuberi
kau sutra yang kusalin sendiri." Sambil menyerahkan pada Kojiro buku Sutra tentang
Cinta Agung Orangtua, ia menambahkan, "Silakan baca, kalau ada waktu."
Kojiro memandang acuh tak acuh hasil kerja tangan perempuan itu, lalu menoleh pada
pengantar Osugi, dan katanya, "Aku jadi teringat. Apa sudah kaupasang papan-papan yang
kutulisi itu?" "Yang minta Musashi keluar dari persembunyian?"
"Ya, itu." "Dua hari penuh kami habiskan. Sudah kami pasang satu di hampir tiap persimpangan
penting." Osugi berkata, "Kami melihat beberapa dalam perjalanan kemari tadi. Di mana-mana orang
berdiri berkerumun dan bergunjing. Aku senang mendengar omongan mereka tentang
Musashi." "Kalau dia tidak menjawab tantangan itu, habis riwayatnya sebagai samurai. Seluruh
negeri akan menertawakannya. Dan itu sudah cukup jadi balas dendam Nenek."
"Mana bisa. Ditertawakan orang tidak cukup buat dia. Dia orang yang tak tahu malu. Lagi
pula, aku tidak puas kalau dia cuma ditertawakan. Aku ingin dia dihukum tandas."
"Ha, ha," Kojiro tertawa, senang karena kegigihan perempuan itu. "Nenek semakin tua,
tapi tak pernah menyerah, ya" Omong-omong, apa ada hal khusus yang terjadi?"
Wanita tua itu membenahi dirinya, lalu menjelaskan bahwa sesudah lebih dari dua tahun
hidup dengan Hangawara, ia merasa mesti jalan terus. Tidak baik kalau ia hidup di atas
keramahtamahan Yajibei terus-menerus. Disamping itu, ia sudah lelah mengurus kaum
bajingan yang jumlahnya serumah itu. Ia sudah melihat satu tempat kecil yang enak untuk
disewa, di daerah Kapal Tambang Yoroi.
"Bagaimana pendapatmu?" Wajah Osugi tampak bersungguh-sungguh, mengandung tanda tanya.
"Rupanya aku takkan segera dapat menjumpai Musashi. Dan lagi, aku merasa bahwa
Matahachi ada di Edo ini. Kupikir aku mesti minta dikirimi uang dari rumah dan tinggal
di sini sebentar lagi. Tapi sendirian saja, seperti kukatakan tadi."
Karena tak ada alasan keberatan, Kojiro cepat menyetujui. Hubungannya sendiri dengan
pimpinan rumah tangga Hangawara memang semula menghibur dan bermanfaat, namun sekarang
sedikit memalukan. Hubungan itu sudah pasti bukan merupakan modal bagi seorang ronin
yang mencari majikan. Maka ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pelajaran-pelajaran
praktek itu. Kojiro memanggil salah seorang bawahan Kakubei, dan menyuruhnya mengambilkan semangka
dari petak tanah di belakang rumah. Mereka mengobrol sementara semangka itu dipotong
dan dihidangkan, tapi tak lama kemudian Kojiro mengantar tamunya ke luar. Tingkah
lakunya menunjukkan bahwa ia lebih suka kalau tamunya pulang sebelum matahari
tenggelam. Sesudah tamu-tamu pergi, Kojiro sendiri menyapu kamar-kamarnya dan menyirami halaman
dengan air sumur. Pokok bunga terompet dan ubi rambat yang tumbuh di pagar sudah
mencapai puncak pagar dan kemball turun ke tanah, mengancam menjerat kaki pasu air dari
batu di situ. Bunga-bunga yang putih warnanya itu melambai-lambai ditiup angin petang.
Sampai di kamar, ia kembali membaringkan diri, dan iseng bertanya pada diri sendiri,
apakah tuan rumah akan bertugas malam itu di rumah Hosokawa. Lampu yang toh akan mati
oleh tiupan angin tidak dinyalakan. Cahaya bulan yang naik di seberang teluk sudah
menerangi permukaannya. Di kaki bukit, seorang samurai muda menerobos pagar makam.
Kakubei hendak mengandangkan kuda yang biasa dinaikinya pulangpergi ke tempat semayam
Hosokawa, di toko bunga di kaki bukit Isarago.
Tapi petang itu aneh juga, tidak kelihatan tanda-tanda si tukang bunga, padahal
biasanya la segera datang mengurusi binatang itu. Karena tidak melihat tukang bunga itu
di dalam toko, Kakubei berjalan memutar ke belakang, dan menambatkan kudanya ke
sebatang pohon. Selagi ia melakukan itu, tukang bunga datang berlari dari belakang
kuil. Sambil terengah-engah, ia terima kendali dari tangan Kakubei, dan katanya, "Maaf, Pak.
Ada orang asing di makam, mau naik bukit. Saya teriaki, saya katakan tak ada jalan ke
sana. Dia menoleh dan memandang saya, marah kelihatannya, kemudian menghilang." Ia
berhenti sebentar, kemudian memandang ke arah pepohonan gelap, dan menambahkan dengan
sikap kuatir. "Apa menurut Bapak tak mungkin dia pencuri" Orang bilang, banyak rumah
daimyo dimasuki pencuri akhir-akhir ini."
Kakubei sudah mendengar desas-desus itu, tapi ia menjawab disertai tawa singkat, "Semua
itu cuma omongan, tak lebih dari itu. Kalau orang yang kaulihat itu pencuri, aku berani
mengatakan dia cuma pencuri kecil atau salah seorang ronin yang suka mencegat orang di
jalan-jalan." "Tapi kita ini ada di pintu masuk ke Tokaido, dan banyak musafir diserang orang-orang
yang sedang melarikan diri ke provinsi-provinsi lain. Saya jadi bingung, kalau melihat
orang-orang yang tampaknya mencurigakan pada malam hari."
"Kalau ada apa-apa, lari saja naik ke bukit dan ketuk gerbangku. Orang yang tinggal
denganku kesal juga dengan soal itu, dan selalu mengeluh karena tak pernah ada tindakan
di sekitar tempat ini."
"Maksud Bapak, Sasaki Kojiro" Dia sudah mendapat nama yang lumayan sebagai pemain
pedang di daerah ini."
Kata-kata itu sama sekali tidak mengganggu rasa harga diri Kakubei. la suka pada orang
muda, dan tahu benar bahwa menerima pemuda yang punya masa depan sebagai anak didik,
dianggap terpuji dan sekaligus bijaksana untuk samurai yang sudah mantap seperti
dirinya. Sekiranya terjadi bahaya, tidak ada bukti yang lebih meyakinkan mengenai
kesetiaannya daripada kemampuannya menyiapkan pesilat-pesilat hebat bagi tuannya. Dan
jika seorang dari mereka kemudian menjadi terkemuka, maka pujian sepantasnya akan
diberikan kepada abdi yang telah mengusulkannya. Salah satu keyakinan Kakubei adalah
bahwa kepentingan pribadi merupakan ciri yang tak disukai pada seorang pengikut. Namun
ia sendiri bersikap realistis. Dalam sebuah perdikan besar, hanya sedikit abdi yang
mengingkari kepentingan diri seluruhnya.
Sekalipun ia mendapat kedudukan karena keturunan, Kakubei setia kepada Yang Dipertuan
Tadatoshi, sama dengan abdi-abdi lain. Ia bukan macam orang yang akan mencoba
mengalahkan orang-orang lain dengan memamerkan kesetiaannya. Untuk pemerintahan rutin,
orang-orang semacam dirinya secara keseluruhan jauh lebih memuaskan daripada para
penghasut yang berusaha melakukan perbuatan-perbuatan menakjubkan.
"Aku kembali," serunya sewaktu memasuki gerbang rumahnya. Bukit itu sangat terjal, dan
ia selalu agak kehabisan napas ketika sampai di tempat itu. Karena ia tinggalkan
istrinya di desa, dan rumah itu kebanyakan hanya dihuni lelaki dan sedikit pembantu
perempuan, maka sentuhan kewanitaan cenderung tak ada di situ. Namun pada malam hari,
apabila tak ada tugas malam, ia merasa bahwa jalan batu dari gerbang merah ke pintu
masuk itu menarik hatinya, karena jalan itu telah dibasahi sebelum ia pulang. Tak
peduli betapapun larut ia pulang, selalu ada orang datang ke pintu depan untuk
menyambutnya. "Apa Kojiro ada?" tanyanya.
"Sepanjang hari ada di rumah, Tuan," jawab pembantu itu. "Sekarang sedang berbaring di
kamarnya, menikmati tiupan angin."
"Bagus. Siapkan sake, dan minta dia menemui aku."
Sementara dilakukan persiapan, Kakubei menanggalkan pakaiannya yang sudah berkeringat,
dan bersantai di bak mandi. Sesudah mengenakan kimono tipis, la masuk ruang duduk, di
mana Kojiro duduk memainkan kipasnya.
Sake datang, Kakubei menuangkan, katanya, "Kau kupanggil karena hari ini terjadi
sesuatu yang membesarkan hati, yang ingin kusampaikan padamu."
"Kabar baik?" "Sejak aku menyebut namamu di hadapan Yang Dipertuan Tadatoshi, rupanya dia sudah
mendengar tentangmu dari sumber-sumber lain juga. Hari ini dia minta aku membawamu
menghadap dia segera. Seperti kau tahu, tidak mudah menyiapkan soal ini. Ada berlusinlusin abdi yang ingin mengusulkan calonnya." Harapannya bahwa Kojiro akan senang sekali
mendengar hal itu, tampak jelas dalam nada bicara dan tingkahnya.
Kojiro melekatkan mangkuknya ke bibir dan minum. Ketika bicara, air mukanya tidak
berubah, dan ia hanya berkata, "Biar saya tuangkan untuk Anda."
Kakubei jauh dari merasa jengkel. Ia kagum pada pemuda itu, karena kemampuannya
menyembunyikan perasaannya. "Artinya aku sudah berhasil melaksanakan apa yang kauminta.
Kupikir hal itu perlu kita rayakan. Minum lagi."
Kojiro menekurkan kepalanya sedikit, bergumam, "Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan
Anda." "Ah, aku cuma menjalankan tugas," jawab Kakubei rendah hati. "Kalau ada orang yang
begitu berkemampuan dan berbakat seperti kau ini, aku wajib mendorong Yang Dipertuan
supaya mempertimbangkanmu."
"Saya harap Anda tidak melebih-lebihkan saya. Dan izinkan saya menekankan kembali satu
hal. Bukan penghasilan yang menjadi kepentingan saya. Saya hanya berpendapat bahwa
Keluarga Hosokawa adalah keluarga yang baik sekali untuk tempat mengabdi seorang
samurai. Di situ berturut-turut ada tiga orang terkemuka-Tadatoshi, ayahnya, dan
kakeknya, Sansai dan Yusai."
"Jangan kau mengira aku menonjol-nonjolkan dirimu sampai setinggi langit. Tak perlu aku
melakukan itu. Nama Sasaki Kojiro sudah dikenal di seluruh ibu kota."
"Bagaimana mungkin saya terkenal, kalau yang saya lakukan cuma menganggur di sini
sepanjang hari" Saya tidak merasa diri saya orang terkemuka. Cuma karena di sekitar
sini begitu banyak orang-orang palsu."
"Jadi, aku diberitahu dapat membawamu setiap waktu. Kapan kau mau pergi?"
"Kapan saja cocok buat saya."
"Bagaimana kalau besok?"
"Boleh." Wajahnya tidak memperlihatkan hasrat atau keinginan, hanya keyakinan diri yang
tenang. Kakubei lebih terkesan lagi oleh sikap dingin Kojiro, dan ia memilih saat itu untuk
bicara apa adanya, "Kau tentunya mengerti, Yang Dipertuan takkan dapat mengambil
keputusan akhir sebelum melihatmu. Tapi kau tak perlu kuatir soal itu. Ini cuma
prosedur. Aku tidak sangsi. Soalnya cuma kedudukan apa yang akan ditawarkan."
Kojiro meletakkan mangkuknya di meja dan menatap langsung wajah Kakubei. Kemudian,
dengan sikap sangat dingin dan menantang, katanya, "Saya sudah mengubah pikiran. Saya
minta maaf, sudah demikian banyak menyulitkan Anda." Darah seakan-akan hendak menyembur
dari cuping telinganya yang sudah merah terang oleh minuman.
"A-apa?" gagap Kakubei. "Maksudmu, kau melepaskan kesempatan mendapat kedudukan dalam
Keluarga Hosokawa?" "Saya harga lusin ratus tak suka," jawab tamunya singkat, dan tidak memberikan penjelasan lagi. Rasa
dirinya menyatakan tak ada alasan baginya untuk menjalani pemeriksaan. Berlusindaimyo lain akan cepat mengambilnya, tanpa melihatnya, dengan bayaran seribu lima
atau bahkan dua ribu lima ratus gantang.
Rasa kecewa penuh tanda tanya yang dialami
padanya. Dan tak menjadi soal pula baginya
tidak tahu terima kasih. Sama sekali tanpa
makannya tanpa kata-kata, kemudian kembali
Kakubei sama sekali tidak menimbulkan kesan
bahwa ia akan dianggap sebagai orang yang
tanda-tanda ragu atau sesal, ia selesaikan
ke kamarnya sendiri. Sinar bulan jatuh dengan lembutnya ke atas tatami. Sambil meregangkan badan penuh rasa
mabuk di lantai, dan sambil berbantalkan tangan, mulailah ia tertawa pelan-pelan pada
dirinya, "Orang jujur Kakubei itu. Oh, Kakubei yang baik, tua, dan jujur." Ia tahu tuan
rumah itu akan kehilangan akal untuk menjelaskan pada Tadatoshi tentang peralihan
sikapnya yang tiba-tiba itu, tapi ia tahu juga bahwa Kakubei takkan lama marah
kepadanya, bagaimanapun kasarnya ia bertindak.
Dengan sikap tegas ia telah mengingkari minat akan penghasilan yang ditawarkan, padahal
sesungguhnya ia penuh ambisi. Memang la menghendaki penghasilan, bahkan jauh lebih
banyak lagi dari itu"ia menginginkan segala kemasyhuran dan keberhasilan yang dapat
diraih. Kalau tidak demikian, apa gunanya bertahun-tahun ia bertekun dalam latihan yang
sulit. Perbedaan ambisi Kojiro dengan ambisi orang-orang lain adalah dalam hal besarnya. Ia
ingin dikenal di seluruh negeri sebagai orang besar dan berhasil, ingin membawa
kemuliaan pada kediamannya di Iwakuni, ingin menikmati setiap keuntungan yang dapat
diambilnya karena dilahirkan sebagai manusia. Jalan tercepat untuk menuju kemasyhuran
dan kekayaan adalah dengan unggul dalam seni bela diri. Ia beruntung memiliki bakat
alamiah dalam permainan pedang. Ia tahu itu, dan tidak sedikit ia menimba rasa puas
diri dari hal tersebut. Ia sudah merencanakan jalan hidupnya dengan cerdas, dan dengan
tinjauan hebat ke masa depan. Setiap tindakannya diperhitungkan untuk dapat lebih
mendekatkannya pada tujuan itu. Menurut jalan pikirannya, Kakubei orang yang naif dan
sedikit sentimental, sekalipun lebih senior daripadanya. Ia jatuh tertidur, dan
bermimpi tentang masa depannya yang gemilang.
Kemudian, ketika cahaya bulan bergeser satu kaki melintas tatami, suatu suara yang
tidak lebih keras dari angin yang berbisik melintasi bambu, mengatakan, "Sekarang!"
Satu sosok gelap yang merunduk dikerubuti nyamuk merangkak maju seperti kodok, menuju
ujung atap rumah yang tak berpenerangan itu.
Orang misterius yang sebelumnya terlihat di kaki bukit itu maju pelanpelan, diam-diam,
sampai mencapai beranda. Di situ ia berhenti dan mengintip ke dalam kamar. Dengan terus
merunduk dalam gelap, di luar cahaya bulan, sebetulnya kehadirannya tidak akan
diketahui orang sampai kapan pun, asalkan ia sendiri tidak membuat suara.
Kojiro terus mendengkur. Dengung serangga yang lembut, yang sejenak terganggu ketika
orang itu mengubah posisinya, terdengar kembali melintasi rumput yang tertutup embun.
Beberapa menit berlalu. Kemudian ketenangan itu dirusak oleh bunyi berdetak, ketika
orang itu mencabut pedangnya dan melompat naik ke beranda.
Ia meloncat ke arah Kojiro dan berteriak "Arrgh!", sesaat sebelum ia mengertakkan gigi
dan menghantam. Terdengar desing tajam ketika satu benda hitam panjang pada pergelangan tangannya
menghunjam berat; kekuatan asal pukulan itu sendiri memang hebat, namun pedang itu
bukan jatuh dari tangannya, melainkan menghunjam ke tatami tempat tubuh Kojiro tadi
terbaring. Seperti ikan yang mengelak menghindari galah yang memukul air, begitulah calon korban
itu melejit ke dinding. Dan sekarang ia berdiri menghadapi si penyerbu, satu tangannya
memegang Galah Pengering, dan satu lagi memegang sarungnya.
"Siapa kau?" Napas Kojiro terdengar tenang. Ia tak gentar, karena seperti biasa, ia
selalu waspada mendengarkan bunyi-bunyi alam, juga jatuhnya titik embun.
"I-ini aku!" "'Aku' itu tak ada artinya buatku. Aku tahu kau pengecut, menyerang orang yang sedang
tidur. Siapa namamu?"
"Aku Yogoro, anak tunggal Obata Kagenori. Kau ambil keuntungan dari ayahku, ketika
beliau sakit. Dan kausebarkan desas-desus tentang beliau di seluruh kota."
"Bukan aku yang menyebarkan desas-desus, tapi tukang-tukang sebar desas-desus-penduduk
Edo."

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi siapa yang memanas-manasi para murid supaya berkelahi, dan kemudian membunuh
mereka?" "Tak ada kesangsian soal itu, aku yang melakukannya. Namaku Sasaki Kojiro. Bagaimana
mungkin aku menghindar, kalau aku lebih baik dari mereka" Aku lebih kuat. Lebih berani.
Lebih berpengetahuan dalam Seni Perang."
"Beraninya kau mengatakan itu, padahal kau minta bantuan kepada hama-hama jalanan itu?"
Sambil menggeram dengan rasa muak, Kojiro maju selangkah. "Kalau kau ingin membenciku,
ayolah! Tapi orang yang menggunakan dendam pribadi untuk menguji kekuatannya dalam Seni
Perang, dia bahkan tak bisa disebut pengecut. Dia lebih jelek dari itu, lebih patut
dikasihani, lebih patut ditertawakan. Jadi, sekali lagi terpaksa aku mencabut nyawa
seorang Obata. Kau siap?"
Tak ada jawaban. "Kukatakan, apa kau siap menerima nasibmu?" Ia maju selangkah lagi. Sementara ia
berkata-kata, cahaya bulan yang terpantul dari lempeng pedang yang baru digosok itu
membutakan mata Yogoro. Kojiro menatap korbannya, seperti orang kelaparan menatap santapan besar.
*** 82. Elang Kakubei menyesal membiarkan dirinya dimanfaatkan secara begitu tak adil, dan ia
bersumpah takkan berurusan lagi dengan Kojiro. Namun jauh di dasar hatinya, ia suka
pada pemuda itu. Yang tak disukainya adalah terjerat antara majikan dan anak didik itu.
Dan ia mulai memikirkan kembali soal tersebut.
"Barangkali reaksi Kojiro menunjukkan bahwa dia memang orang yang luar biasa. Samurai
biasa akan melonjak gembira jika mendapat kesempatan menghadap." Semakin ia merenungkan
kekesalan yang melanda Kojiro, semakin jiwa merdeka ronin itu menggugah hatinya.
Tiga hari berikutnya, Kakubei bertugas malam. Ia tidak bertemu dengan Kojiro sampai
pagi hari keempat. Pada hari itu, ia pergi biasa saja ke kamar pemuda itu.
Sejenak mereka sama-sama terdiam kikuk, tapi kemudian Kakubei berkata, "Aku ingin
bicara denganmu sebentar, Kojiro. Kemarin, ketika aku mau pulang, Yang Dipertuan
Tadatoshi menanyakanmu. Dia bilang ingin ketemu kau. Bagaimana kalau kau datang ke
lapangan panahan dan melihat teknik Hosokawa?"
Kojiro menyeringai tanpa menjawab, dan Kakubei menambahkan, "Aku tak mengerti, kenapa
kau berkeras mengira hal itu merendahkan dirimu. Suatu hal biasa kalau kepada seseorang
diajukan pertanyaan-pertanyaan, sebelum kepadanya ditawarkan kedudukan resmi."
"Saya tahu, tapi kalau dia menolak saya, lalu bagaimana" Saya akan terbuang,kan" Saya
tidak begitu kekurangan uang, hingga mesti menjajakan diri kepada orang yang memberikan
tawaran tertinggi." "Kalau begitu, akulah yang salah. Aku keliru. Yang Dipertuan tidak pernah
mengisyaratkan hal seperti itu."
"Lalu jawaban apa yang Anda berikan kepadanya?"
"Aku belum menjawab. Tapi dia kelihatan kurang sabar."
"Ha, ha. Anda rupanya sangat bijaksana, dan sangat berkemauan membantu. Saya kira tidak
semestinya saya menyulitkan kedudukan Anda."
"Bagaimana kalau kau memikirkan hal itu sekali lagi, dan pergi menemuinya, sekali
saja?" "Baiklah, kalau itu ada artinya buat Anda," kata Kojiro dengan sikap merendahkan diri,
namun Kakubei sudah merasa senang.
"Bagaimana kalau hari lm?"
"Begitu lekas?"
"Ya." "Kapan?" "Bagaimana kalau sesudah tengah hari" Waktu itulah beliau berlatih panahan."
"Baiklah, saya akan ke sana."
Kojiro mulai melakukan persiapan teliti untuk pertemuan itu. Dipilihnya kimono dari
mutu yang sangat baik, dan hakama-nya terbuat dari kain impor. Di atas kimono ia
mengenakan semacam rompi resmi yang terbuat semata-mata dari sutra, tidak berlengan,
tapi dengan bahu melebar kaku. Untuk melengkapi dandanan itu, ada beberapa pelayan yang
membawakannya zori dan topi anyaman baru.
"Apa ada kuda yang bisa saya pakai?" tanyanya.
"Ya. Kuda cadangan Kakubei yang putih itu ada di toko di kaki bukit." Gagal menemukan
si tukang bunga, Kojiro memandang ke arah pekarangan kuil di seberang jalan. Sekelompok
orang bergerombol mengitari mayat yang tertutup anyaman buluh. Ia pergi ke sana untuk
melihat. Orang-orang itu sedang membicarakan rencana penguburan dengan pendeta setempat. Si
korban tidak punya tanda-tanda pengenal. Tak seorang pun tahu siapa dia. Hanya
diketahui bahwa ia masih muda, dan dari golongan samurai. Darah di sekitar luka dalam
yang memanjang dari ujung bahunya sampai pinggang sudah kering dan hitam.
"Saya pernah melihat dia sebelum ini. Sekitar empat hari lalu, malam hari," kata tukang
bunga. Ia pun terus berbicara dengan bersemangat, sampai akhirnya sebuah tangan
memegang bahunya. Ketika ia menoleh untuk melihat, Kojiro berkata, "Aku diberitahu, kuda Kakubei ada di
tempatmu. Coba tolong siapkan."
Sambil membungkuk tergesa-gesa, tanya tukang bunga asal saja, "Bapak mau pergi?" lalu
bergegas perg i. Tukang bunga menuntun kuda kelabu berbintik-bintik itu ke luar
kandang sambil menepuk-nepuknya. "Bagus sekali kuda ini," ujar Kojiro.
"Ya, betul. Binatang bagus."
Begitu Kojiro naik pelana, tukang bunga berseri-seri, katanya, "Cocok sekali!"
Kojiro mengambil uang dari kantung uang dan melemparkannya pada orang itu. "Buat bunga
dan setanggi." "Hah" Buat siapa?"
"Orang yang mati di sana tadi."
Di luar gerbang kuil, Kojiro mendeham lalu meludah, seakan-akan untuk membuang rasa
pahit karena memandang mayat itu. Tapi ia merasa seolah-olah pemuda yang telah
dirobohkannya dengan Galah Pengering itu menyingkapkan anyaman buluh dan mengikutinya.
"Tak ada alasan bagi dia untuk membenciku," katanya pada diri sendiri. Setelah itu ia
merasa lebih ringan. Ketika kuda dan pengendaranya sudah menyusuri jalan raya Takanawa di bawah matahari
terik, orang-orang kota dan para samurai menyingkir memberi jalan. Kepala-kepala
menoleh dengan perasaan kagum. Bahkan di jalan-jalan kota Edo itu Kojiro tampak
mengesankan, dan membuat orang bertanya-tanya, siapakah dia, dan dari mana datangnya.
Di tempat kediaman Hosokawa, ia serahkan kuda kepada seorang pelayan, lalu masuk rumah.
Kakubei bergegas menjumpainya. "Kuucapkan terima kasih atas kedatanganmu. Tepat pada
waktunya," katanya, seakan-akan Kojiro melakukan sesuatu yang sangat berarti buat
dirinya pribadi. "Silakan istirahat sebentar. Akan kusampaikan kepada Yang Dipertuan,
engkau ada di sini." Sebelum pergi, ia memerintahkan agar tamunya disajikan air dingin,
teh, dan baki tembakau. Ketika seorang abdi datang untuk mengantarnya ke lapangan panahan, Kojiro menyerahkan
Galah Pengering-nya yang tercinta, dan mengikuti abdi itu dengan hanya membawa pedang
pendeknya. Yang dipertuan Tadatoshi memutuskan untuk menembakkan seratus anak panah sehari, selama
bulan-bulan musim panas itu. Sejumlah abdi terdekat selalu ada di sana, memperhatikan
setiap tembakannya dengan napas ditahan, dan berusaha menunjukkan jasa dengan mengambil
kembali anak-anak panah itu.
"Kasih aku handuk," perintah Yang Dipertuan sambil menegakkan busurnya di sampingnya.
Sambil berlutut, Kakubei bertanya, "Boleh saya mengganggu, Pak?" "Ada apa?"
"Sasaki Kojiro ada di sini. Saya berterima kasih, kalau Bapak sudi menjumpainya."
"Sasaki" Oh, ya."
Ia pasangkan anak panah pada tali busur, lalu mengambil jurus terbuka, dan mengangkat
tangan yang akan menembak itu di atas kening. Ia, maupun yang lain-lain, tidak menoleh
ke arah Kojiro sebelum keseratus tembakan itu dilepaskan.
Sambil mendesah, Tadatoshi berkata, "Air. Aku minta air."
Seorang pesuruh membawa air dari sumur dan menuangkannya ke dalam bak kayu besar dekat
kaki Tadatoshi. Bagian atas kimononya dibiarkannya bergantung longgar, kemudian ia
menyeka dadanya dan mencuci kakinya. Orang-orang membantunya dengan memegang lengan
kimononya, berlari mengambil lebih banyak air, dan menyeka punggungnya. Dalam tingkah
laku mereka tidak kelihatan sifat resmi, tak ada yang menunjukkan pada orang luar bahwa
mereka itu daimyo dengan pengikutnya.
Kojiro semula menduga bahwa Tadatoshi yang penyair dan estetikus, putra Yang Dipertuan
Sansai dan cucu Yang Dipertuan Yusai itu, orang yang berpembawaan aristokrat dan halus,
sama dengan orang-orang istana yang anggun di Kyoto. Tetapi keheranannya itu tidak
tampak di matanya, sementara ia memperhatikan.
Sambil memasukkan kakinya yang masih basah ke dalam zori, Tadatoshi memandang Kakubei
yang menanti di pinggir. Dengan wajah orang yang tiba-tiba teringat akan janjinya,
katanya, "O ya, Kakubei, sekarang aku akan menemui orangmu." Sebuah bangku diambil dan
diletakkan di keteduhan bayangan sebuah tenda; Tadatoshi duduk di depan panji-panji
dengan lambang sebuah lingkaran yang dikitari delapan lingkaran yang lebih kecil,
menggambarkan matahari, bulan, dan tujuh planet.
Atas panggilan Kakubei, Kojiro maju dan berlutut di depan Yang Dipertuan Tadatoshi.
Sesudah salam resmi dilaksanakan, Tadatoshi mempersilakan Kojiro duduk di bangku,
dengan demikian menunjukkan bahwa ia tamu terhormat.
"Terima kasih," kata Kojiro, ketika ia bangkit dan mengambil tempat duduk menghadap
Tadatoshi. "Saya sudah mendengar tentang Anda dari Kakubei. Saya percaya, Anda kelahiran Iwakuni,
bukan?" "Betul, Tuan." "Yang Dipertuan Kikkawa Hiroie dari Iwakuni terkenal sebagai penguasa bijaksana dan
mulia. Apakah nenek moyang Anda abdi beliau?"
"Tidak, kami tidak pernah mengabdi pada Keluarga Kikkawa. Saya tahu bahwa kami ini
berasal dari Keluarga Sasaki dari Provinsi Omi. Sesudah jatuhnya Shogun Ashikaga yang
terakhir, ayah saya rupanya mengundurkan diri ke kampung ibu saya."
Sesudah melontarkan beberapa pertanyaan lagi mengenai keluarga dan garis keturunan,
Yang Dipertuan Tadatoshi bertanya, "Apakah ini pertama kalinya Anda akan mengabdi?"
"Saya belum tahu apakah saya akan mengabdi."
"Kakubei memberitahukan bahwa Anda ingin mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Apa alasanalasan Anda?"
"Saya percaya inilah keluarga yang tepat bagi saya, untuk hidup dan mati."
Tadatoshi kelihatan senang dengan jawaban ini. "Dan gaya perkelahian Anda?"
"Saya menamakannya Gaya Ganryu."
"Ganryu?" "Itu gaya yang saya temukan sendiri."
"Tentunya ada pendahulunya."
"Saya belajar Gaya Tomita, dan saya mendapat keuntungan dari pelajaranpelajaran Yang
Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki, yang pada hari tuanya mengundurkan diri ke
Iwakuni. Saya juga menguasai banyak teknik saya sendiri. Saya biasa berlatih menetak
burung layang-layang yang sedang terbang."
"Begitu. Saya kira nama Ganryu itu berasal dari nama sungai di dekat tempat kelahiran
Anda?" "Betul." "Saya ingin melihat demonstrasinya." Tadatoshi melayangkan pandang ke wajah para
samurainya. "Siapa di antara kalian mau melawan orang ini?"
Sejak tadi mereka memperhatikan tanya-jawab itu dengan diam. Menurut pikiran mereka,
Kojiro terlalu muda untuk memperoleh nama baik yang sudah dimilikinya itu. Mula-mula
semuanya saling pandang, kemudian memandang Kojiro. Sementara itu, pipi Kojiro yang
merah menyatakan bahwa ia bersedia menghadapi penantang mana pun.
"Bagaimana kalau kau saja, Okatani?"
"Baik, Pak." "Kau selalu mengatakan lembing lebih unggul daripada pedang. Sekarang kesempatanmu
untuk membuktikan." "Dengan senang hati, kalau Sasaki mau."
"Tentu," jawab Kojiro sigap. Dalam nada bicaranya yang sopan dan sangat dingin itu
terasa nada kejam. Samurai-samurai yang tadi menyapu pasir di lapangan panahan dan menyingkirkan
peralatan, kini berkumpul di belakang majikan mereka. Sekalipun mereka mengenal
persenjataan sebagaimana mereka mengenal sumpit, pengalaman mereka terutama adalah di
dojo. Kesempatan untuk menyaksikan pertarungan sebenarnya hanya sedikit dalam hidup
mereka, dan lebih sedikit lagi kesempatan untuk mengalaminya sendiri. Mereka sependapat
bahwa perkelahian satu lawan satu merupakan tantangan lebih besar dibandingkan dengan
pergi ke medan pertempuran, di mana kadang-kadang ada kemungkinan untuk beristirahat
dan mengambil napas, sementara teman-teman lain berkelahi terus. Dalam pertarungan satu
lawan satu, orang hanya dapat mengandalkan diri sendiri, hanya dapat mengandalkan
kewaspadaan dan kekuatan sendiri dari awal sampai akhir. la dapat menang, tapi juga
dapat terbunuh atau cacat.
Mereka memperhatikan Okatani Goroji dengan khidmat. Di antara para prajurit biasa yang
paling rendah pangkatnya pun hanya sedikit yang mahir bermain lembing. Goroji umumnya
diakui sebagai yang terbaik. Ia tidak hanya pernah ikut dalam pertempuran, melainkan
juga berlatih dengan rajin dan menemukan teknik-teknik sendiri.
"Saya mohon waktu beberapa menit," kata Goroji, membungkuk pada Tadatoshi dan Kojiro,
sebelum mengundurkan diri untuk melakukan persiapan. Ia merasa senang hari ini, seperti
juga pada hari-hari lain, karena ia mengenakan pakaian dalam yang tak bernoda, sebagai
tradisi samurai yang baik, yang memulai setiap hari baru dengan senyuman dan
ketidakpastian: mungkin pada petang hari ia sudah menjadi mayat.
Sesudah meminjam sebilah pedang kayu yang panjangnya satu meter, Kojiro memilih medan
untuk pertandingan itu. Tubuhnya kelihatan santai dan bebas, lebih-lebih karena ia
tidak menyingsingkan hakama-nya yang berlipat-lipat itu. Pemunculannya hebat. Musuhmusuhnya pun terpaksa mengakui hal itu. Dalam sosoknya terasa keberanian seekor burung
elang, dan raut mukanya yang tampan begitu penuh keyakinan.
Orang-orang menoleh dengan pandangan kuatir ke arah tirai. Di balik tirai itu, Goroji
sedang mencocokkan pakaian dan perlengkapannya.
"Kenapa dia begitu lama?" tanya seseorang.
Goroji dengan tenang sedang melilitkan secarik kain basah pada ujung lembingnya,
senjata yang telah dipergunakannya dalam pertempuran dengan hasil sangat bagus.
Batangnya tiga meter panjangnya, dan lempeng logamnya yang lonjong dan panjangnya 20-30
sentimeter itu sama dengan sebilah pedang pendek.
"Apa yang Anda lakukan?" seru Kojiro. "Kalau Anda kuatir akan melukai saya, hilangkan
kekuatiran itu." Sekali lagi, kata-kata itu cukup sopan, tapi secara tidak langsung
menyatakan kesombongan. "Tak apa-apa buat saya, kalaupun tidak dibungkus."
Sambil memandang tajam kepadanya, Goroji berkata, "Anda yakin?"
"Yakin sekali."
Yang Dipertuan Tadatoshi maupun orang-orangnya tidak mengatakan sesuatu, tetapi
pandangan mata mereka yang menghunjam itu sudah meminta kepada Goroji untuk lekas
bertindak. Kalau orang asing itu ada nyali untuk menantang, apa salahnya menerjangnya"
"Kalau begitu..." Goroji pun membuka pembungkus itu, dan maju memegang tengah gagang
lembing. "Saya senang mengikuti kemauan Anda, tapi kalau saya menggunakan lempeng
telanjang, saya minta Anda juga menggunakan pedang sungguhan."
"Tapi pedang kayu ini baik sekali."
"Tidak, saya tak setuju Anda pakai pedang itu."
"Anda tentunya tahu sendiri, saya sebagai orang luar tidak berani menggunakan pedang
sungguhan di hadapan Yang Dipertuan."
"Tapi..." Dengan nada tak sabar, Yang Dipertuan Tadatoshi berkata, "Mulai saja, Okatani. Tidak
ada yang akan menganggapmu pengecut kerena menuruti kehendak orang ini." Jelas terasa
bahwa sikap Kojiro sudah berpengaruh terhadapnya.
Kedua orang yang wajahnya sudah merah karena tekad itu bertukar salam dengan mata.
Goroji membuat gerakan pertama dengan melompat ke samping, tapi Kojiro, seperti seekor
burung yang menempel pada galah penangkap burung yang berperekat, menyelinap ke bawah
lembing dan menghantam langsung dadanya. Karena tak ada waktu untuk menusuk, pemain
lembing berpusing ke samping dan mencoba menotok belakang leher Kojiro dengan pangkal
senjatanya. Diiringi suara berderak, lembing itu terlempar ke udara, ketika pedang
Kojiro menggigit rusuk Goroji yang terbuka oleh kepesatan lembing yang menaik. Goroji
meluncur ke sisi, kemudian melompat menghindar, tapi serangan berlanjut terns tanpa
henti. Tanpa ada kesempatan menarik napas, ia melompat lagi ke samping, disusul dengan
lompatan lain dan lain lagi. Beberapa kali ia dapat mengelak dengan baik, tapi sesudah
itu ia seperti burung merpati yang mencoba menangkis serangan burung elang. Diburu oleh
pedang yang mengamuk itu, gagang lembing patah menjadi dua. Pada saat itu juga, Goroji
mengeluarkan teriakan, seolah jiwanya direnggutkan dari tubuhnya.
Pertempuran singkat itu berakhir. Kojiro berharap menghadapi empat atau lima orang,
tapi Tadatoshi mengatakan ia sudah cukup menyaksikan.
Ketika Kakubei pulang malam itu, Kojiro bertanya kepadanya, "Apa terlalu jauh tadi saya
melangkah" Maksud saya, di hadapan Yang Dipertuan itu."
"Tidak, itu demonstrasi yang baik sekali." Kakubei merasa kurang tenang. Sekarang,
sesudah dapat menilai kemampuan Kojiro sepenuhnya, ia merasa seperti orang yang
mendekap burung kecil di dadanya, tapi burung itu ternyata tumbuh menjadi seekor elang.
"Apa Yang Dipertuan Tadatoshi mengatakan sesuatu?"
"Tak ada yang khusus."
"Ayolah, tentunya dia mengatakan sesuatu."
"Tidak, dia meninggalkan lapangan panahan tanpa mengatakan sesuatu."
"Hmm." Kojiro tampak kecewa, tapi katanya, "Ah, tapi tak apalah. Saya mendapat kesan
bahwa dia ternyata lebih besar daripada umumnya orang sekelasnya. Terpikir oleh saya,
kalau saya mesti mengabdi pada seseorang, pada dialah saya akan mengabdi. Tapi tentu
saja saya tak bisa menentukan jalannya peristiwa." Ia tidak mengungkapkan, betapa hatihati sesungguhnya ia memikirkan situasinya. Sesudah tokoh-tokoh Date, Kuroda, Shimazu,


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Mori, Hosokawa-lah yang punya reputasi paling baik dan kokoh kedudukannya. Ia
merasa keadaannya akan terus demikian, selama Yang Dipertuan Sansai masih menguasai
perdikan Buzen. Dan cepat atau lambat, Edo dan Osaka akan bertumbukan untuk penghabisan
kali. Tak mungkin meramalkan kesudahannya. Seorang samurai yang keliru memilih majikan
bisa mudah sekali menjadi ronin kembali, dan seluruh hidupnya dikorbankan demi
penghasilan beberapa bulan.
Sehari sesudah pertarungan itu, terdengar kabar bahwa Goroji tetap hidup, sekalipun
pinggul atau tulang paha kirinya remuk. Kojiro menerima kabar itu dengan tenang, dan
menyatakan pada dirinya sendiri bahwa sekalipun tidak menerima kedudukan, ia sudah
tampil cukup baik. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba ia menyatakan akan menjenguk Goroji. Tanpa memberikan
penjelasan mengenai kebaikan hati yang mendadak diperlihatkannya itu, ia berangkat
berjalan kaki ke rumah Goroji di dekat Jembatan Tokiwa.
Tamu yang tak diduga-duga itu diterima dengan hangat oleh yang luka.
"Pertandingan adalah pertandingan," kata Goroji, tersenyum dengan mata basah. "Saya
hanya bisa menyesalkan kekurangterampilan saya. Yang pasti, saya tidak menyimpan
perasaan dendam terhadap Anda. Sungguh menyenangkan bahwa Anda datang menengok saya.
Terima kasih." Sesudah Kojiro pergi, Goroji menyatakan pada seorang teman, "Nah, itulah samurai yang
kukagumi. Tadinya kupikir dia anak anjing yang congkak, tapi ternyata sikapnya
bersahabat dan juga sopan."
Justru ini reaksi yang diharapkan Kojiro. Itu adalah bagian dari rencananya. Tamu-tamu
lain kini akan mendengar dirinya dipuji oleh orang yang dikalahkannya sendiri. Ia
datang ke rumah Goroji tiap dua-tiga hari sekali, dan berkunjung tiga kali lagi. Pada
suatu kali, ia memesankan ikan hidup dari pasar ikan, sebagai hadiah supaya lekas
sembuh. *** 83. Kesemek Muda PADA hari-hari terik di tengah musim panas berhujan itu, kepiting darat merangkakrangkak dengan lambannya di jalan kering, sementara papanpapan yang mengejek Musashi
supaya "keluar dan berkelahi" tidak kelihatan lagi. Sebagian dari papan-papan yang
tidak jatuh ke tanah yang lunak oleh hujan, atau dicuri orang untuk kayu bakar, sudah
tertutup rumput liar atau rumput tinggi.
"Mestinya ada yang berjualan," pikir Kojiro sambil mencari-cari tempat untuk makan. Tap
ini Edo, bukanKyoto. Warung-warung nasi dan teh murah yang demikian umum di kota lama
itu, belum muncul di sini. Satu-satunya tempat, yang agaknya mirip tempat itu, berdiri
di sebuah lapangan, ditabiri kerai dari buluh. Asap naik dengan malasnya dari balik
kerai, dan pada selembar panji-panji yang tegak letaknya tertulis Donjiki. Kata itu
segera mengingatkan Kojiro pada Donjiki, yang di masa lalu berarti gumpal nasi untuk
ransum militer. Ketika ia mendekat, terdengar olehnya suara lelaki meminta semangkuk teh. Di dalam, dua
samurai sedang melahap nasi dengan bernafsu, yang seorang dari mangkuk nasi biasa, yang
lain dari mangkuk sake. Kojiro mengambil tempat duduk di ujung bangku di seberang mereka, dan bertanya pada
tukang warung, "Apa yang ada di sini?"
"Nasi. Juga sake."
"Pada panji-panji itu tertulis Donjiki. Apa itu artinya?"
"Sebenarnya saya juga tidak tahu."
"Apa bukan Anda yang menulis itu"'
"Tidak. Nama itu ditulis oleh seorang bekas saudagar yang singgah di sini buat
beristirahat." "Begitu" Bagus juga tulisannya, menurut saya."
"Dia bilang, dia lagi melakukan ziarah keagamaan. Katanya dia sudah mendatangi Tempat
Suci Hirakawa Tenjin, Tempat Suci Hikawa, Kanda Myojin, dan segala macam tempat lain,
dan di mana-mana dia memberikan sumbangan besar. Kelihatannya sangat saleh dan
dermawan." "Apa Anda tahu namanya?"
"Dia bilang, Daizo dari Narai."
"Saya pernah mendengar nama itu."
"Donjiki"yah, saya tak mengerti itu. Tapi saya kira, kalau orang baikmacam dia yang
menulisnya, tulisan itu dapat membantu mengusir dewa kemiskinan." ia pun tertawa.
Kojiro melongok isi beberapa cembung porselen besar, kemudian mengambil nasi dan ikan.
Nasi dituanginya teh, seekor lalat dikibasnya dengan sumpitnya, dan ia mulai makan.
Salah seorang tamu berdiri dan mengintip lewat bilah yang patah dalam kerai. "Lihat ke
sana itu, Hamada," katanya kepada temannya. "Apa bukan itu penjual semangkanya?"
Orang yang satu lagi cepat pergi ke dekat kerai dan memandang ke luar. "Ya, memang
dia." Penjual yang memikul dua keranjang itu berjalan lesu melewati Donjiki. Kedua samurai
berlari ke luar warung dan menyusulnya. Mereka hunus pedang mereka, dan mereka putuskan
tali keranjangnya. Si penjual terhuyung ke depan bersama semangka-semangkanya.
Hamada merenggut tengkuknya. "Ke mana kaubawa perempuan itu?" tanyanya marah. "Jangan
bohong. Pasti kausembunyikan dia."
Samurai lain menempelkan ujung pedangnya ke bawah hidung tangkapan mereka.
"Cepat katakan! Di mana dia?"
Lempeng pedang diketuk-ketukkan ke pipi orang itu dengan penuh ancaman. "Mana mungkin
orang yang mukanya macam mukamu ini berani bawa perempuan orang lain?"
Si penjual, dengan pipi merah karena marah dan takut, menggelengkan kepala, kemudian
ketika melihat kesempatan, didorongnya salah seorang penangkapnya itu ke samping,
dipungutnya pikulan, dan diayunkannya ke samurai yang lain.
"Oh, jadi kau mau berkelahi ya" Hati-hati, Hamada, orang ini bukan penjual semangka
biasa." "Apa yang bisa dilakukan keledai ini?" cemooh Hamada sambil merebut pikulan dan memukul
penjual itu hingga jatuh ke tanah. Didudukinya orang itu, dan dengan tali diikatnya
orang itu pada pikulan. Tiba-tiba terdengar teriakan seperti babi ditusuk di belakangnya. Hamada menoleh ke
belakang, dan waktu itu juga ia tersemprot kabut merah yang halus. Dengan mulut
ternganga ia melompat, dan teriaknya, "Siapa kau" Apa..."
Lempeng pedang yang seperti ular berbisa itu langsung bergerak ke arahnya. Kojiro
tertawa, dan ketika Hamada mundur, Kojiro mengikutinya tanpa kenal ampun. Kedua orang
itu bergerak melingkar di rumput. Ketika Hamada melompat ke samping, Galah Pengering
mengikuti dan menuding terus calon korbannya.
Penjual semangka berteriak kaget, "Kojiro! Ini aku. Tolong aku!"
Hamada menjadi pucat pasi karena takut, gagapnya, "Oh, Ko-ji-ro." Kemudian ia memutar
badan dan mencoba lari. "Kau mau ke mana?" salak Kojiro. Galah Pengering mendesah menembus ketenangan yang
pengap, memutuskan telinga Hamada, dan selanjutnya bersarang ke dalam daging di bawah
bahu. Ia mati di tempat. Kojiro cepat memotong ikatan si penjual semangka. Orang itu mencoba mengatur dirinya
untuk dapat duduk normal, kemudian membungkuk terus, karena terlalu malu menunjukkan
wajahnya. Kojiro menyeka dan menyarungkan pedangnya. Pada bibirnya tersungging senyum senang,
katanya, "Apa yang terjadi denganmu, Matahachi" Jangan kelihatan sengsara begitu. Kau
masih hidup." "Ya, Pak." "Buang kata-kata 'Ya, Pak' itu. Pandang aku. Sudah lama waktu berlalu, ya?"
"Saya senang Anda dalam keadaan baik."
"Kenapa tidak" Tapi mesti kukatakan, daganganmu ini lain dari yang lain."
"Ah, tak usahlah membicarakan itu."
"Baik. Punguti semangkamu itu. Kemudian... oh, bagaimana kalau kautinggalkan saja di
Donjiki itu?" Dengan teriakan keras ia panggil tukang warung, yang kemudian membantu
mereka menimbun semangka-semangka itu di belakang kerai.
Kojiro mengeluarkan kuas dan tinta, dan menulis pada salah satu shoji warung, Kepada
siapa saja yang berkepentingan: menerangkan bahwa orang yang membunuh kedua orang yang
tergeletak di tempat kosong ini adalah saya sendiri, Sasaki Kojiro, ronin yang berdiam
di Tsukinomisaki. Kepada tukang warung ia berkata, "Ini buat menjamin agar tak seorang pun mengganggu
Anda sehubungan dengan pembunuhan ini."
"Terima kasih, Pak."
"Sudah. Kalau teman-teman atau sanak saudara orang-orang yang mati itu datang kemari,
sampaikan pesan ini atas nama saya. Katakan pada mereka, saya takkan lari. Kalau mereka
ingin bertemu saya, saya siap menyambut mereka kapan saja."
Kembali berada di luar, katanya pada Matahachi, "Ayo pergi."
Matahachi berjalan di sampingnya, tapi la tak juga melepaskan pandangannya dari tanah.
Semenjak datang ke Edo , ia belum mempunyai pekerjaan tetap. Apa pun yang menjadi
maksudnya-menjadi shugyosha atau pengusaha apabila menjumpai kesukaran, ia pun mengubah
pekerjaan. Dan sesudah Otsu melarikan diri darinya, makin lama ia makin kurang suka
bekerja. Ia tidur berpindah-pindah, kadang-kadang di tempat tidur yang dihuni para
penjahat. Dalam beberapa minggu terakhir itu, ia hidup sebagai penjaja bebas, berjalan dari satu
bagian dinding benteng ke bagian dinding benteng yang lain, menjajakan semangka.
Kojiro sebenarnya tidak begitu tertarik mengenai apa yang telah dilakukan Matahachi,
tapi ia sudah menulis pengumuman di Donjiki itu, dan ada kemungkinan nanti ia ditanyai
orang tentang peristiwa itu. "Kenapa kedua samurai itu membalas dendam padamu?"
tanyanya. "Terus terang, ada hubungannya dengan perempuan...."
Kojiro tersenyum, pikirnya, ke mana saja Matahachi pergi, selalu timbul kesulitan
sehubungan dengan perempuan. Barangkali ini memang karmanya.
"Mm," gumamnya. "Oh, jadi si pencinta besar beraksi lagi, ya?" Kemudian dengan suara
lebih keras, "Tapi siapa perempuan itu, dan apa yang sebenarnya terjadi?"
Setelah didesak, akhirnya Matahachi menyerah dan mau menyampaikan ceritanya, atau
sebagian dari ceritanya. Tidak jauh dari parit benteng itu terdapat berlusin-lusin
warung teh kecil yang melayani kaum buruh bangunan dan orang lewat. Di salah satu
warung tadinya ada seorang pelayan perempuan yang menarik perhatian semua orang, dan
mencoba memikat orang-orang lelaki yang tidak ingin minum teh untuk masuk dan minum,
dan orang-orang lelaki yang tidak cukup lapar, untuk memesan agar-agar manis. Salah
seorang langganan warung itu adalah Hamada; Matahachi pun kadang-kadang singgah.
Pada suatu hari, pelayan itu berbisik kepadanya bahwa la membutuhkan bantuannya. "Ronin
itu," kata si pelayan. "Saya tak suka padanya, tapi tiap malam, sesudah warung tutup,
pemilik warung menyuruh saya pulang bersama dia. Apa bisa saya sembunyi di rumahmu"
Saya takkan menjadi beban. Saya bisa masak buatmu dan menambal pakaianmu."
Karena permohonannya kedengaran masuk akal, Matahachi menyetujui. Cuma itu, demikian
ditekankannya. Tapi Kojiro tidak begitu percaya. "Kedengarannya mencurigakan."
"Kenapa begitu?" tanya Matahachi.
Kojiro tak dapat memastikan, apakah Matahachi hanya ingin membuat dirinya tampak tak
bersalah, ataukah ingin membualkan petualangan cintanya.
Tanpa tersenyum sama sekali, kata Kojiro, "Ya sudah. Panas di sini, kena matahari. Ayo
kita pergi ke rumahmu. Di sana kau bisa cerita lagi lebih terperinci."
Matahachi berhenti berjalan.
"Keberatan?" tanya Kojiro.
"Ah, tapi tempat saya itu... tidak pantas untuk menerimamu."
Melihat pandangan risau pada mata Matahachi, Kojiro pun berkata ringan, "Ya sudah. Tapi
hari-hari ini kau mesti datang menemui aku. Aku tinggal di rumah Iwama Kakubei, sekitar
setengah jalan naik Bukit Isarago."
"Dengan senang hati."
"Omong-omong, apa kau melihat papan-papan yang dipasang di seluruh kota baru-baru ini,
yang ditujukan pada Musashi?"
"Ya." "Orang bilang, ibumu mencari dia juga. Bagaimana kalau kau pergi menj umpainya?"
"Dalam keadaan saya seperti ini, tak mungkin."
"Goblok. Menghadapi ibumu sendiri tak perlu bermegah-megah. Memang tak mungkin
mengetahui, kapan dia akan menemui Musashi, tapi kalau kau tak ada di sana waktu itu,
kau akan kehilangan kesempatan selamanya. Kau akan menyesal nantinya."
"Ya, saya mesti segera berbuat sesuatu," kata Matahachi tanpa mengatakan pendapatnya.
Dengan perasaan benci, terpikir olehnya bahwa orang-orang lain itu tak mengerti
perasaan yang ada antara ibu dan anaknya, termasuk orang yang baru saja menyelamatkan
hidupnya ini. Mereka berpisah. Matahachi berjalan pelan mengikuti jalan berumput, sedangkan Kojiro
berpura-pura berangkat ke arah berlawanan, tapi tak lama kemudian balik kanan,
mengikuti Matahachi. Tak lama kemudian, Matahachi tiba di sebuah "rumah panjang", rumahrumah petak yang
masing-masing berisi tiga-empat petak kecil beratap tunggal. Karena kota Edo tumbuh
dengan cepat, dan tidak tiap orang dapat bersikap rewel dalam hal memilih rumah, maka
orang pun membuka tanah di mana saja, menurut kebutuhan. Jalan-jalan boleh muncul
belakangan. la berkembang wajar dari jalan setapak. Pembuangan air berjalan asal saja.
Air buangan itu mencari jalannya sendiri, menuju kali terdekat. Sekiranya tidak karena
gubuk-gubuk yang dibangun serampangan ini, masuknya orang-orang baru takkan mungkin
terserap seluruhnya. Sebagian besar penghuni tempat-tempat seperti itu tentu saja kaum
pekerja. Di dekat rumahnya, Matahachi disambut seorang tetangga bernama Umpei, majikan regu
penggali sumur. Umpei duduk bersilang kaki dalam bak kayu besar, hanya wajahnya yang
tampak di atas tirai hujan yang dipasang menyamping di dekat bak, agar tidak kelihatan
oleh orang lain. "Selamat malam," kata Matahachi. "Saya lihat Bapak sedang mandi."
"Saya sudah akan keluar," jawab si majikan dengan ramah. "Apa kau mau pakai sekarang?"
"Terima kasih, saya pikir Akemi sudah memanaskan air untuk saya."
"Kalian berdua sudah sama-sama suka, ya" Tak seorang pun di sini yang tahu, kalian
berdua ini bersaudara, atau suami-istri. Yang mana dari yang dua itu?"
Matahachi tertawa mengikik malu-malu. Munculnya Akemi menyelamatkannya, dan ia tak
perlu menjawab pertanyaan itu.
Akemi meletakkan sebuah bak di bawah pohon kesemek, kemudian menuangkan beberapa ember
air panas dari rumah ke dalamnya. Selesai melakukan itu, katanya, "Coba rasakan,
Matahachi, sudah cukup panas apa belum."
"Sedikit terlalu panas."
Terdengar bunyi menderit dari kerekan sumur, Matahachi membuka pakaian, sampai tinggal
cawat, dan menimba seember air dingin yang dituangkannya ke bak mandi, lalu ia masuk ke
dalam bak itu. "Ah-h-h," keluhnya puas. "Enak rasanya."
Umpei, yang mengenakan kimono katun musim panas, meletakkan bangku bambu di bawah
tanaman labu yang merambat, dan duduk. "Laku banyak semangkanya hari ini?"
"Tidak banyak. Tak pernah saya menjual banyak." Pada waktu itu, Matahachi melihat darah
kering di antara jari-jarinya, dan ia cepat-cepat menghapusnya.
"Saya pikir juga tak mungkin. Tapi saya pikir hidupmu akan lebih ringan kalau kau kerja
dalam rombongan penggali sumur."
"Bapak selalu mengatakan begitu. Jangan Bapak kira saya tidak berterima kasih, tapi
jika saya terima itu, mereka takkan mengizinkan saya meninggalkan pekarangan benteng,
kan" Itu sebabnya Akemi tak ingin saya menerima pekerjaan itu. Dia bilang, dia kesepian
tanpa saya." "Pasangan yang bahagia, ya" Ya, ya."
"Uh!" "Ada apa?" "Ada yang jatuh ke kepala saya." Sebuah kesemek muda jatuh ke tanah, tepat di belakang
Matahachi. "Ha, ha! Itu hukuman karena membualkan kesetiaan istrimu itu." Sambil terus tertawa,
Umpei mengetuk-ngetukkan kipas yang berlapis bahan penyamak ke lututnya.
Umpei sudah berumur lebih dari enam puluh tahun. Rambutnya putih kusut, menyerupai
rami. Ia orang yang dihormati para tetangga dan dikagumi para pemuda, karena para
pemuda itu dengan besar hati diperlakukannya sebagai anak-anak sendiri. Tiap pagi,
orang dapat mendengarnya menyanyikan Namu Myoho Rengekyo, doa suci Nichiren.
Ia berasal dari Ito di Provinsi Izu, dan di depan rumahnya terdapat papan bertuliskan
Idohori no umpei. Penggali sumur untuk Benteng Shogun. Untuk membuat banyak sumur yang
diperlukan benteng itu, diperlukan keterampilan teknik yang melebihi keterampilan buruh
biasa. Umpei dipekerjakan sebagai konsultan dan pengerah tenaga buruh karena
pengalamannya yang panjang di pertambangan emas Semenanjung Izu. Tak ada yang lebih
nikmat baginya daripada duduk di bawah rambatan labu yang dicintainya, sambil memintal
benang dan minum shochu yang murah namun kuat. Shochu adalah sake kaum miskin.
Sesudah Matahachi keluar dari bak mandi, Akemi memasang tirai hujan di sekeliling bak
itu, dan mandi. Kemudian usul Umpei muncul sekali lagi dalam pikirannya. Disamping
mesti tinggal di pekarangan benteng, kaum buruh diawasi dengan ketat, dan keluarga
mereka boleh dikatakan menjadi sandera para majikan di daerah tempat mereka bekerja.
Namun pekerjaan di situ lebih ringan daripada di luar, dan upahnya paling tidak dua
kali lipat. Matahachi menghadapi nampan berisi tahu dingin yang dihias daun kemangi segar semerbak,
dan katanya, "Aku tak ingin menjadi tawanan hanya untuk memperoleh uang sedikit lebih
banyak. Aku takkan menjual semangka seumur hidup, tapi sabarlah dulu hidup denganku,
Akemi." "Mmm," jawab Akemi di antara suapan bubur teh dan nasinya. "Kupikir kau lebih baik
mencoba sekali saja, melakukan sesuatu yang betul-betul ada artinya, sesuatu yang akan
membuat orang memperhatikan."
Akemi tak pernah berusaha membantah anggapan bahwa ia adalah istri sah Matahachi, tapi,
sesungguhnya, ia tidak akan mau kawin dengan orang yang tak bisa diandalkan seperti
Matahachi itu. Melarikan diri dari dunia malam di Sakaimachi dengan Matahachi adalah


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu ikhtiar. Matahachi hanyalah tempat bertengger. Dari situ, ia bermaksud terbang ke
langit bebas sekali lagi, begitu ada kesempatan pertama. Kalau Matahachi pergi bekerja
ke benteng, itu tidak sesuai dengan maksud-maksudnya. la merasa bahwa ditinggalkan
sendiri akan berbahaya baginya. Khususnya ia takut Hamada akan menemukannya dan
memaksanya hidup dengannya.
"Oh, aku lupa," kata Matahachi, ketika mereka selesai makan makanan sederhana itu.
Kemudian ia pun bercerita pada Akemi tentang pengalamannya hari itu, namun perinciannya
dibuat sedemikian rupa, agar dapat menyenangkan hati Akemi. Begitu ia selesai
bercerita, wajah Akemi pucat.
Sambil menarik napas panjang, katanya, "Kau ketemu Kojiro" Apa kau memberitahukan aku
ada di sini" Tidak, kan?" Matahachi memegang tangan Akemi dan meletakkannya di atas
lututnya. "Tentu saja tidak. Apa kaupikir akan kubiarkan bajingan itu mengetahui
tempatmu" Dia orang yang tak pernah menyerah. Dia pasti mengejarmu..."
Saar itu juga Matahachi berteriak dan menekankan satu tangan ke sisi wajahnya. Kesemek
muda yang jatuh kena pipinya pecah, memercikkan dagingnya yang keputihan ke wajah
Akemi. Di luar, dalam bayangan rumpun bambu yang diterangi sinar bulan, sesosok tubuh yang
bukan tak mirip dengan sosok Kojiro, berjalan acuh tak acuh ke arah kota.
*** 84. Mata "SENSEI!" panggil Iori, yang belum cukup tinggi untuk melihat lewat atas rumput tinggi
itu. Mereka berada di Dataran Musashino, yang kata orang meliputi sepuluh kabupaten.
"Aku di sini," jawab Musashi. "Kenapa kau begitu lama?"
"Saya pikir ada jalan, tapi saya tersesat terus. Berapa jauh lagi kita mesti jalan?"
"Sampai kita menemukan tempat yang baik untuk tinggal."
"Tinggal" Kita akan tinggal di sekitar sini?"
"Kenapa tidak?"
Iori menatap langit. Ia memikirkan keluasan dan kekosongan tanah di sekitarnya itu, dan
katanya, "Heran."
"Tapi coba bayangkan keadaannya waktu musim gugur. Langit jernih indah, embun segar di
rumput. Apa memikirkannya saja tidak membuatmu merasa lebih jernih?"
"Barangkali juga, tapi saya tidak antihidup dikota seperti Bapak."
"Sebetulnya aku tidak anti.. Dalam hat tertentu, sungguh senang hidup di antara orang
banyak, tapi biarpun dengan kulit tebal, tidak tahan aku tinggal di sana, kalau papanpapan itu dipasang. Kaulihat sendiri apa yang mereka katakan."
Iori menyeringai. "Memikirkannya saja saya jadi gila."
"Tapi kenapa pula kau marah?"
"Saya tidak tahan. Ke mana pun saya pergi, tak ada yang bicara baik tentang Bapak."
"Tak ada yang dapat kuperbuat dalam hat itu."
"Bapak dapat merobohkan orang-orang yang menyebarkan desas-desusitu. Bapak dapat
memasang papan-papan sendiri buat menantang mereka."
"Tak ada gunanya memulai perkelahian yang tak dapat kita menangkan."
"Bapak takkan kalah dari sampah masyarakat itu. Tak mungkin."
"Tidak, kau keliru. Aku akan kalah."
"Bagaimana mungkin?"
"Karena jumlah. Kalau kupukul sepuluh, akan datang seratus lagi. Kalau kukalahkan
seratus, akan datang seribu. Tak ada kemungkinan menang dalam keadaan macam itu."
"Berarti Bapak akan terus ditertawakan orang selama hidup?"
"Tentu saja tidak. Seperti semua orang lain, aku bertekad memiliki nama harum. Aku
berutang budi pada nenek moyangku. Dan aku bermaksud menjadi orang yang tak pernah
ditertawakan. Itulah yang mau kupelajari di stnt.
"Kita bisa saja berjalan terus, tapi saya kira kita takkan menemukan rumah. Bagaimana
kalau kita mencoba mencari kuil buat tinggal lagi?"
"Itu bukan gagasan jelek, tapi sebenarnya yang kuinginkan adalah menemukan tempat yang
banyak pohonnya, dan membangun rumah kita sendiri."
"Macam Hotengahara lagi, ya?"
"Tidak. Kali ini kita takkan bertani. Kupikir, barangkali aku akan melakukan semadi Zen
tiap hari. Kau bisa membaca buku-buku, dan aku memberikan pelajaran main pedang
padamu." Mereka memasuki dataran itu dari desa Kashiwagi, pintu masuk Koshu menuju Edo. Mereka
menuruni lereng panjang itu dari Junisho Gongen, kemudian menelusuri jalan sempit yang
berkali-kali seakan menghilang di antara rumput musim panas yang mengombak. Ketika
akhirnya mereka sampai di bukit kecil yang ditumbuhi pinus, Musashi melakukan
pengamatan cepat atas dataran itu, dan katanya, "Ini cocok sekali." Baginya, tempat
mana pun bisa menjadi rumahnya-bahkan lebih dari itu: di mana pun ia berada, itulah
alam semesta. Mereka meminjam peralatan dan menggaji seorang buruh dari rumah pertanian terdekat.
Cara Musashi membangun rumah sama sekali tidak canggih: sesungguhnya la masih dapat
belajar cukup banyak dengan mengamati burung-burung yang sedang membuat sarang.
Hasilnya, yang selesai beberapa hari kemudian, tampak aneh. Rumah itu kurang kokoh
dibandingkan rumah pertapa di gunung, tapi tidak sekasar gubuk. Tiang-tiangnya dari
balok yang masih berkulit, sedangkan sisanya dari gabungan kasar papan, kulit kayu,
bambu, dan miskantus. Musashi mundur untuk memperhatikan rumah itu balk-balk, kemudian ujarnya sambil
berpikir, "Rumah ini tentunya mirip rumah yang didiami orang banyak pada zaman dewadewa." Satu-satunya yang mengimbangi keprimitifan rumah itu adalah lembar-lembar kertas
yang ditata sedemikian rupa dengan penuh cinta, menjadi shoji kecil.
Hari-hari berikutnya, suara Iori sudah mengalun dari belakang kerai buluh. la
mengulang-ulang pelajarannya, suaranya menggema mengatasi bunyi jangkrik. Latihan yang
ditempuhnya dalam segala hal sangat keras.
Kepada Jotaro, Musashi tidak menekankan disiplin, karena menurut pendapatnya waktu itu,
yang terbaik adalah membiarkan anak-anak yang sedang tumbuh itu berkembang secara
alamiah. Tapi, sejalan dengan berlalunya waktu, ia melihat bahwa sifat-sifat jelek
cenderung berkembang dan sifat-sifat balk tertekan. Dan ia melihat bahwa pohon dan
tanaman yang hendak ditanaminya tak mau tumbuh, sementara rumput liar dan semaksemak
tumbuh pesat, tak peduli berapa sering ia menebasnya.
Selama beberapa ratus tahun sesudah Perang Onin, bangsa ini seperti massa tanaman rami
yang tumbuh liar dan kacau. Kemudian Nobunaga menebasi semuanya itu, Hideyoshi
mengikatnya, dan Ieyasu telah membuka serta melembutkan tanahnya untuk membangun dunia
baru. Musashi melihat bahwa kaum prajurit yang hanya menjunjung tinggi praktekpraktek
perang, kini tidak lagi merupakan unsur dominan dalam masyarakat. Ciri mereka yang
paling menonjol adalah ambisi yang tak terbatas. Tapi Sekigahara sudah mengakhiri semua
itu. Musashi sudah mendapat keyakinan, biarpun bangsa ini tetap berada di tangan Keluarga
Tokugawa, atau kembali kepada Keluarga Toyotomi, tapi rakyat pada umumnya sudah tahu,
ke arah mana mereka ingin bergerak: dari kemelut menuju ketertiban, dan dari kehancuran
menuju pembangunan. Kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu terlambat dilahirkan. Begitu kebesaran
Hideyoshi masuk ke daerah-daerah pedesaan terpencil dan menggugah hati anak-anak lelaki
seperti Musashi, maka kemungkinan untuk mengikuti langkah-langkah Hideyoshi sudah
menguap. Jadi, pengalaman sendirilah yang menuntun Musashi mengambil keputusan untuk menekankan
disiplin dalam pendidikan Iori. Kalau ia hendak menciptakan seorang samurai, ia mesti
menciptakannya untuk masa mendatang. Bukan untuk masa lalu.
"Iori." "Ya, Pak." Anak itu langsung saja berlutut di depan Musashi, sebelum kata-kata itu
selesai diucapkan. "Sudah hampir senja. Waktunya belajar. Ambil pedang-pedang itu."
"Baik, Pak." Ketika pedang-pedang sudah diletakkannya di hadapan Musashi, ia berlutut
dan secara resmi memohon pelajaran.
Pedang Musashi panjang, sedangkan pedang Iori pendek, tapi keduanya pedang latihan dari
kayu. Guru dan murid saling berhadapan, diam kaku, pedang dipegang setinggi mata.
Seberkas sisa sinar matahari mengambang di kaki langit. Rumpun pohon kriptomeria di
belakang pondok sudah terbenam dalam kegelapan, tapi kalau orang melihat ke arah bunyi
jangkrik, akan tampak sepotong bulan lewat rerantingan.
"Mata," kata Musashi.
Iori membuka matanya lebar-lebar. "Mataku. Lihat mataku."
Iori berusaha sebaik-baiknya, tapi pandangan matanya rupanya selalu mental sama sekali
dari mata Musashi. Bukannya menatap, tapi langsung kalah oleh mata lawannya. Ketika
mencoba lagi, ia bahkan merasa pusing.
Mulai terasa olehnya, kepala itu seakan-akan bukan lagi kepalanya sendiri. Tangannya,
kakinya, seluruh tubuhnya terasa goyah.
"Lihat mataku!" perintah Musashi dengan garang, segarang-garangnya. Tapi pandangan mata
Iori mengembara lagi. Kemudian, ketika ia dapat memusatkan perhatian ke mata gurunya,
ia lupa akan pedang di tangannya. Kayu melengkung yang pendek itu terasa seberat
batangan baja. "Mata, mata!" kata Musashi sambil maju sedikit.
Iori berusaha untuk tidak rebah ke belakang. Untuk itu, sampai berlusin-lusin kali ia
dicerca. Begitu ia berusaha mengikuti gerak lawannya dan bergerak maju, kakinya seperti
terpaku ke bumi. Tak dapat ia maju atau mundur, dan terasa olehnya suhu badannya naik.
"Apa yang terjadi dengan diriku?" Pikiran itu meledak seperti bunga api di dalam
dirinya. Merasakan terjadinya ledakan kekuatan mental ini, Musashi memekik, "Serang!" Pada saat
itu juga, ia merendahkan bahunya, mundur, dan mengelak dengan kecekatan seekor ikan.
Sambil terengah, Iori meloncat ke depan, memutar badan, tapi Musashi sudah berdiri di
tempat tadi ia berdiri. Konfrontasi pun dimulai, tepat seperti tadi, guru dan murid
diam tanpa suara. Tak lama kemudian, rumput basah oleh embun, dan alis bulan bergantung di atas pepohonan
kriptomeria. Setiap kali angin bertiup, serangga-serangga seketika berhenti bernyanyi.
Musim gugur tiba, sekalipun tidak menakjubkan di siang hari, bunga-bunga liar kini
berayun-ayun dengan anggunnya, seperti jubah bulu dewa yang sedang menari.
"Cukup," kata Musashi sambil menurunkan pedang.
Ia serahkan pedang itu kepada Iori, tapi waktu itu juga terdengar oleh mereka suara
dari arah rumpun pohon. "Siapa pula itu?" kata Musashi.
"Barangkali musafir tersesat yang ingin bermalam."
"Lari sana, lihat."
Iori berlari ke sisi rumah, dan Musashi mendudukkan diri di beranda bambu, memandang ke
arah dataran. Pohon-pohon elalia sudah tinggi, puncaknya berkembang halus. Rumput
bermandikan cahaya, menampilkan kemilau musim gugur yang khas.
Ketika Iori kembali, Musashi bertanya, "Musafir, ya?"
"Bukan, tamu." "Tamu" Di sini?"
"Hojo Shinzo. Dia sudah menambatkan kudanya, dan sekarang menunggu Bapak di belakang."
"Rumah ini tak ada depan atau belakangnya, tapi kupikir lebih baik kuterima dia di
sini." Iori berlari memutar lewat sisi pondok, dan teriaknya, "Silakan jalan lewat sini."
"Oh, menyenangkan sekali," kata Musashi. Matanya menyatakan kegembiraan ketika melihat
Shinzo sudah sembuh sama sekali.
"Maaf, begitu lama saya tidak menghubungi. Saya kira Anda tinggal di sini supaya jauh
dari orang banyak" Saya harap Anda memaafkan saya, karena saya singgah tanpa didugaduga macam ini."
Mereka bertukar salam, kemudian Musashi mengajak Shinzo ikut dengannya ke beranda.
"Bagaimana Anda bisa menemukan tempat saya" Tak seorang pun saya beritahu bahwa saya
ada di sini." "Zushino Kosuke. Dia bilang, Anda menyelesaikan Kannon yang Anda janjikan kepadanya,
dan menyuruh Iori mengirimkannya."
"Ha, ha. Kalau begitu, Iori yang membongkar rahasia itu. Tidak apalah. Saya belum cukup
tua untuk meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri. Tapi saya pikir, kalau saya
menghilang beberapa bulan lamanya, desasdesus jahat itu akan mereda. Dan akan berkurang
bahaya pembalasan terhadap Kosuke dan teman-teman saya yang lain."
Shinzo menundukkan kepala. "Saya mesti minta maaf pada Anda. Semua kesulitan ini,
sayalah penyebabnya."
"Tidak sepenuhnya begitu. Itu soal kecil. Akar sesungguhnya dari persoalan ini ada
kaitannya dengan urusan antara Kojiro dan saya."
"Apa Anda tahu dia sudah membunuh Obata Yogoro?"
"Tidak." "Ketika mendengar tentang diri saya, Yogoro memutuskan membalas dendam sendiri. Dia
bukan tandingan Kojiro."
"Saya sudah memperingatkan dia...." Bayangan Yogoro yang berdiri di pintu masuk rumah
ayahnya masih jelas dalam pikiran Musashi. "Sayang sekali," pikirnya.
"Saya bisa mengerti perasaannya," sambung Shinzo. "Semua murid sudah pergi, dan ayahnya
sudah meninggal. Dia tentunya berpikir, dialah satu-satunya yang dapat melakukan
pembalasan. Paling tidak, rupanya dia sudah pergi ke rumah Kojiro. Tapi tak seorang pun
melihat mereka bersama-sama, tak ada bukti yang nyata."
"Mm. Barangkali peringatan itu berakibat sebaliknya dari yang saya maksud-justru
menggugah rasa harga dirinya, hingga dia merasa mesti berkelahi. Sayang!"
"Memang. Yogoro satu-satunya orang sedarah dengan Sensei. Dengan kematiannya, Keluarga
Obata tak ada lagi. Namun ayah saya sudah membicarakan persoalan ini dengan Yang
Dipertuan Munenori, yang kemudian berhasil menempuh prosedur pemungutan anak. Saya akan
menjadi ahli waris dan pengganti Kagenori, dan menggunakan nama Obata.... Memang saya
belum yakin bahwa saya sudah cukup matang. Saya pun kuatir akan mengakhiri semua ini
dengan mendatangkan aib lebih lanjut kepada beliau. Bagaimanapun, beliau penganjur
terbesar tradisi militer Koshu."
"Ayah Anda adalah Yang Dipertuan dari Awa. Apakah tradisi militer Hojo tidak dianggap
sama dengan Perguruan Koshu" Dan ayah Anda guru yang sama besarnya dengan Kagenori?"
"Itu kata orang. Nenek moyang kami berasal dari Provinsi Totomi. Kakek saya mengabdi
pada Hojo Ujitsuna dan Ujiyasu dari Odawara, dan ayah saya dipilih oleh Ieyasu sendiri
untuk menggantikan mereka sebagai kepala keluarga."
"Sebagai orang yang berasal dari keluarga militer terkenal, apakah tidak luar biasa
bahwa Anda menjadi murid Kagenori?"
"Ayah saya mempunyai murid sendiri, dan dia memberikan kuliah pada shogun tentang ilmu
pengetahuan militer. Tapi dia bukannya mengajarkan sesuatu pada saya, sebaliknya dia
suruh saya pergi dan belajar dari orang lain. Carl jalan yang keras! Itulah ayah saya."
Musashi merasakan kesopanan, dan bahkan keagungan yang wajar, pada sikap Shinzo itu.
Dan itu barangkali memang sudah sewajarnya, pikirnya, karena ayah Shinzo, Ujikatsu,
adalah seorang jenderal terkemuka, dan ibunya, putri Hojo Ujiyasu.
"Saya takut sudah terlalu banyak bicara," kata Shinzo. "Sesungguhnya, ayah saya yang
menyuruh saya kemari. Tentu saja wajar sekali kalau beliau yang datang menyatakan
terima kasih pada Anda, tapi sekarang beliau sedang menerima tamu yang ingin sekali
bertemu dengan Anda. Ayah minta saya pulang bersama Anda. Maukah Anda datang?" Dan ia
memandang wajah Musashi penuh tanya.
"Tamu ayah Anda ingin bertemu dengan saya?"
"Betul." "Siapa dia" Saya hampir tak kenal siapa pun di Edo."
"Orang yang Anda kenal sejak kecil."
Musashi tak dapat membayangkan, siapa orangnya. Matahachi barangkali" Samurai dari
Benteng Takeyama" Seorang teman ayahnya"
Barangkali bahkan Otsu.... Tapi Shinzo menolak membuka rahasianya. "Saya dilarang
mengatakannya. Dan tamu itu mengatakan lebih baik memberikan kejutan pada Anda. Maukah
Anda datang?" Rasa ingin tahu Musashi pun bangkit. Ia mengatakan pada diri sendiri, tak mungkin itu
Otsu, tapi dalam hati ia berharap demikian.
"Mari," katanya sambil berdiri. "Iori, jangan tunggu aku."
Shinzo senang misinya berhasil, dan ia pergi ke belakang rumah, membawa kudanya. Pelana
dan sanggurdinya meneteskan air embun. Sambil memegang kekang, ia menawarkannya kepada
Musashi, yang tanpa banyak bicara langsung menaikinya.
Ketika mereka berangkat, kata Musashi pada Iori, "Jaga dirimu, aku mungkin tidak
kembali sampai besok." Tak lama kemudian, sosoknya sudah lenyap ditelan kabut malam.
Iori duduk tenang di beranda, tenggelam dalam lamunan.
"Mata," pikirnya. "Mata." Tak terhitung sudah berapa kali ia diperintahkan menatap ke
mata lawan, namun ia belum dapat memahami maksud perintah itu, maupun menghilangkannya
dari pikiran. la menatap kosong ke Sungai Surga.
Apa yang salah dengannya" Kenapa kalau Musashi menatapnya, ia tak dapat balas menatap"
Ia lebih jengkel akan kegagalannya itu daripada orang dewasa, dan ketika sedang
berusaha keras menemukan penjelasan tentang soal itu, tiba-tiba dilihatnya sepasang
mata. Mata itu tertuju kepadanya dari antara ranting-ranting tanaman anggur yang
membelit sebuah pohon di depan pondok.
"Apa itu?" pikirnya.
Mata yang bersinar cemerlang itu mengingatkannya pada mata Musashi selagi berlangsung
pelajaran praktek. "Tentunya seekor kuskus." Sudah beberapa kali ia melihat binatang itu sedang makan
anggur liar. Mata itu seperti barn akik, mata hantu ganas.
"Binatang!" teriak Iori. "Kaupikir aku tak punya keberanian" Kaupikir dapat menundukkan
aku dengan pandangan mata" Akan kutunjukkan padamu! Tak bakal aku kalah darimu."
Dengan tekad teguh ia ketatkan alisnya, dan ia menatap balik. Kuskus itu tak bergerak
untuk melarikan diri, mungkin karena keras kepala, mungkin juga karena rasa ingin tahu.
Matanya begitu cemerlang.
Iori begitu serius dengan usahanya itu, hingga ia lupa bernapas. la bersumpah untuk
tidak kalah. la tak mau kalah oleh binatang hina itu. Setelah beberapa waktu yang
terasa seperti beberapa jam, ia tiba-tiba sadar bahwa ia menang. Daun-daun anggur itu
bergoyang, dan kuskus pun lenyap.
"Nah, tahu rasa kau!" kata Iori girang. Badannya basah oleh keringat, tapi la merasa
lega dan segar kembali. Ia berharap dapat mengulangi perbuatannya itu, kalau nanti


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhadapan lagi dengan Musashi.
Ia turunkan kerai buluh di jendela dan ia matikan lampu, kemudian ia pergi tidur.
Cahaya putih kebiruan memantul dari rumput di luar. Ia tertidur, tapi di dalam
kepalanya la seolah melihat satu titik kecil yang bersinar seperti permata. Pada
waktunya, titik itu tumbuh menjadi bentuk samar wajah kuskus itu.
Dalam tidurnya ia berguling ke sana kemari dan mengeluh, dan tiba-tiba ia merasa yakin
bahwa di kaki kasurnya terdapat sepasang mata yang memandanginya. Dengan susah payah ia
bangun. "Bajingan!" teriaknya sambil menjangkau pedangnya. la ayunkan pedang itu
sehebat-hebatnya, tapi akibatnya la jadi jungkir-balik. Bayangan kuskus itu menjadi
titik yang bergerak di kerai. Ia tebas binatang itu dengan kejam, kemudian ia berlari
ke luar, dan ia tetak tanaman anggur dengan ganas. Matanya menengadah ke langit,
mencari mata kuskus. Dan pelan-pelan, tampak jelas olehnya dua bintang besar kebiruan.
*** 85. Empat Guru dengan Satu Lampu
"NAH, kita sudah sampai," kata Shinzo, ketika mereka sampai di kaki Bukit Akagi.
Dari suara suling yang terdengar seperti iringan tari suci di tempat suci, dan dari api
unggun yang tampak lewat kayu-kayuan, Musashi mengira sedang berlangsung pesta malam.
Perjalanan ke Ushigome itu makan waktu dua jam.
Di satu sisi terdapat pekarangan luas Kuil Akagi. Di seberang jalan melandai, berdiri
tembok tanah sebuah kediaman pribadi yang besar, dan sebuah pintu gerbang yang besar
sekali ukurannya. Sampai di pintu gerbang itu, Musashi turun dan menyerahkan kendali
pada Shinzo, sambil mengucapkan terima kasih.
Shinzo menuntun kuda itu ke dalam, dan menyerahkan kendalinya pada salah seorang
samurai yang sedang menanti di dekat pintu masuk, memegang lentera kertas. Mereka semua
maju ke depan, menyambut kedatangannya, dan mengantarnya lewat pepohonan, ke sebuah
tempat terbuka di depan pendopo yang mengesankan. Di dalam, para pembantu yang memegang
lentera berbaris di kiri-kanan ruang masuk.
Kepala pelayan menyambut mereka, katanya, "Silakan masuk. Yang Dipertuan sudah menanti
Bapak. Saya tunjukkan jalannya."
"Terima kasih," jawab Musashi. Ia mengikuti para pelayan itu menaiki sebuah tangga,
kemudian masuk kamar tunggu.
Pola rumah itu lain dari yang lain. Beberapa tangga berturut-turut membawa orang ke
serangkaian apartemen yang tampak saling menumpuk, mendaki Bukit Akagi. Begitu duduk,
Musashi melihat bahwa ruangan itu ada di atas lereng bukit. Di sebelah cekungan, di
ujung halaman, ia hanya dapat melihat bagian utara parit benteng dan hutan yang
melingkari tebing curam itu. Terpikir olehnya, pemandangan dari ruangan itu pada siang
hari tentunya mengesankan sekali.
Tanpa bunyi, pintu sebuah jalan keluar yang melengkung, terbuka. Seorang gadis pelayan
yang cantik masuk dengan anggunnya, meletakkan nampan berisi kue-kue, teh, dan tembakau
di depan Musashi. Kemudian ia menyelinap ke luar, tanpa suara, sama dengan sewaktu ia
masuk. Seakanakan kimono dan obi-nya yang beraneka warna itu muncul dan kemudian
mencair kembali ke dalam dinding itu. Sesudah kepergiannya, masih tercium lamat-lamat
semerbak harumnya, dan tiba-tiba Musashi jadi ingat akan adanya wanita.
Tak lama kemudian, tuan rumah muncul diiringi seorang samurai muda. Dengan menanggalkan
sikap resmi, katanya, "Baik sekali Anda datang." Dengan gaya prajurit yang baik, ia pun
duduk bersilang kaki di bantalan yang disediakan oleh pembantunya, dan katanya,
"Menurut yang saya dengar, anak saya telah banyak berutang budi pada Anda. Saya mohon
Anda memaafkan saya karena meminta Anda datang kemari, bukan sebaliknya saya
mengunjungi rumah Anda untuk menyatakan terima kasih saya." Dengan tangan bertumpu
ringan pada kipas di pangkuannya, ia sedikit menyorongkan dahinya yang menonjol.
"Saya merasa mendapat kehormatan diundang menjumpai Bapak," kata Musashi.
Tidak mudah menaksir umur Hojo Ujikatsu. Tiga gigi depannya sudah tak ada, tapi
kulitnya yang lembut mengilap memberikan bukti bahwa ia tak hendak menjadi tua.
Kumisnya yang hitam lebat dan hanya terhias beberapa rambut putih itu dibiarkan tumbuh
di kiri-kanan, untuk menyembunyikan kerut-merut akibat tiadanya ketiga gigi itu. Kesan
Musashi yang pertama adalah bahwa orang itu memiliki banyak anak dan baik sekali
hubungannya dengan orang-orang muda.
Merasa bahwa tuan rumah takkan keberatan, Musashi bicara langsung ke tujuan. "Putra
Bapak mengatakan pada saya bahwa Bapak punya tamu yang mengenal saya. Siapakah orang
itu?" "Bukan satu, tapi dua. Anda akan segera melihat mereka."
"Dua orang?" "Ya. Mereka kenal baik satu sama lain, dan mereka berdua sahabat saya. Saya kebetulan
bertemu dengan mereka di benteng hari ini. Mereka pulang bersama saya, dan ketika
Shinzo datang menyambut mereka, mulailah kami mengobrol tentang Anda. Seorang dari
mereka mengatakan sudah lama tidak bertemu dengan Anda, dan ingin bertemu. Yang lain,
yang mengenal Anda hanya dari nama baik Anda, menyatakan keinginan untuk
diperkenalkan." Sambil tersenyum lebar, Musashi berkata, "Saya tahu. Yang satuTakuan Soho, kan?"
"Betul," seru Yang Dipertuan Ujikatsu sambil menepuk lutut dengan terkej ut.
"Saya tidak pernah jumpa dengannya sejak pergi ke timur beberapa tahun lalu."
Sebelum Musashi sempat menduga siapa orang satunya, Yang Dipertuan sudah mengatakan,
"Mari ikut saya," dan keluar dari kamar, menuju gang.
Mereka mendaki tangga pendek dan berjalan sepanjang gang yang panjang dan gelap. Tirai
hujan terpasang di satu sisi. Tiba-tiba Musashi tak melihat lagi Yang Dipertuan
Ujikatsu. Ia berhenti dan mendengarkan.
Beberapa waktu kemudian, Ujikatsu memanggil, "Saya di sini!" Suaranya seperti datang
dari kamar terang yang terletak di seberang tempat terbuka di depan gang.
"Saya tahu," seru Musashi membalas. Tapi Musashi tidak langsung mendekati cahaya itu,
melainkan berdiri saja di tempatnya. Tempat terbuka di depan gang itu memikat sekali,
tapi terasa olehnya ada cahaya yang mengancam di tempat gelap itu.
"Apa yang Anda tunggu, Musashi" Kami di sini."
"Sebentar," jawab Musashi. Tak ada kemungkinan baginya memberikan jawaban lain, tapi
indra keenamnya mengingatkannya untuk waspada. Dengan diam-diam la berbalik, dan
berjalan kembali sekitar sepuluh langkah, menuju pintu kecil yang menuju halaman. Ia
pakai sandal di situ, dan kemudian berjalan mengitari halaman, menuju beranda kamar
Yang Dipertuan Ujikatsu. "Oh, Anda lewat sana , ya?" kata Yang Dipertuan, sambil menoleh dari ujung lain ruangan
itu. Suaranya menunjukkan kekecewaan.
"Takuan!" seru Musashi ketika ia masuk kamar, disertai senyuman cerah pada wajahnya.
Pendeta yang duduk di depan ceruk kamar itu berdiri menyambutnya. Bertemu kembali, dan
di bawah atap Yang Dipertuan Ujikatsu pula, rasanya hampir terlampau kebetulan. Susah
bagi Musashi meyakinkan dirinya bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi.
"Nah, kita mesti saling berkabar dulu," kata Takuan. "Boleh aku memulai?" Takuan
mengenakan jubah polos yang selalu dikenakannya. Tak ada tambahan apa pun, bahkan
tasbih pun tidak. Namun ia kelihatan lebih matang daripada sebelumnya. Bicaranya lebih
lunak. Sebagaimana pembawaan kasar Musashi telah hanyut akibat usaha kerasnya
mendisiplinkan diri, demikian pula Takuan rupanya telah dapat menghaluskan sifat-sifat
yang kasar dan telah lebih banyak diberkati kebijaksanaan Zen. Memang ia bukan lagi
seorang pemuda. Sebelas tahun lebih tua dari Musashi, umurnya sekarang mendekati empat
puluh. "Coba kita ingat-ingat, oh, di Kyoto waktu itu, ya" Ya, ya, aku ingat. Waktu itu tak
lama sesudah aku kembali ke Tajima. Sesudah meninggalkan ibuku, kuhabiskan waktu
setahun untuk berkabung. Kemudian aku mengadakan perjalanan sebentar, beberapa waktu
tinggal di Kuil Nansoji di Izumi, kemudian di Kuil Daitokuji. Belakangan aku sering
bertemu dengan Yang Dipertuan Karasumaru"mengarang sajak dengannya, mengadakan upacaraupacara teh, dan mencoba membuang urusan dunia ini. Tanpa kusadari, sudah tiga tahun
waktu kuhabiskan di Kyoto. Baru-baru ini aku bersahabat dengan Yang Dipertuan Koide
dari Benteng Kishiwada, dan bersama beliau datang kemari melihat Edo."
"Kalau demikian, Anda belum lama di sini?"
"Ya, sekalipun sudah dua kali aku bertemu dengan Hidetada di Kuil Daitokuji, dan banyak
kali aku diundang menghadap Ieyasu, tapi inilah pertama kalinya aku mengadakan
perjalanan ke Edo. Dan bagaimana denganmu?"
"Saya di sini sejak awal musim panas."
"Rupanya kau sudah mendapat nama juga di bagian negeri ini."
Musashi tidak mencoba membela diri. Ia menundukkan kepala, katanya, "Saya kira Anda
sudah mendengar sendiri tentang itu."
Takuan menatapnya beberapa saat, agaknya sedang membandingkan dengan Takezo yang lama.
"Kenapa pula mesti resah" Aneh rasanya, kalau orang seumurmu memiliki nama terlalu
baik. Selama kau tidak melakukan sesuatu yang sifatnya tidak setia, tercela, atau
memberontak, apa pula urusannya" Aku lebih berminat mendengarkan latihanmu."
Musashi menyampaikan uraian pendek tentang pengalamannya belum lama ini, dan
mengakhirinya, "Saya takut masih belum matang, kurang bijaksana... jauh dari
pencerahan. Semakin banyak saya mengadakan perjalanan, semakin panjang jalan itu. Saya
merasa sedang mendaki jalan gunung yang tak ada ujungnya."
"Memang demikian mestinya," kata Takuan, yang jelas merasa senang akan kejujuran dan
sikap rendah hati pemuda itu. "Kalau orang yang umurnya di bawah tiga puluh tahun
menyatakan sudah mengetahui sedikit saja mengenai Jalan, itu suatu tanda yang jelas
bahwa pertumbuhannya sudah berhenti. Aku sendiri masih bergidik malu, kalau ada orang
menyatakan bahwa pendeta kasar macam diriku ini tahu makna pokok Zen. Sungguh
membingungkan, kalau orang selalu minta aku menguraikan pada mereka tentang Hukum
Budha, atau menjelaskan ajaran-ajaran yang benar itu. Orang banyak itu mencoba
memandang seorang pendeta seperti memandang Budha yang hidup. Bersyukurlah bahwa orang
lain tidak terlalu tinggi memandangmu, dan bahwa engkau tak perlu memperhatikan
penampilan." Sementara kedua orang itu gembira memperbaharui persahabatan mereka, para pelayan
membawakan makanan dan minuman. Kemudian Takuan berkata, "Maafkan saya, Yang Dipertuan,
saya kuatir ada yang kita lupakan. Bagaimana kalau tamu Anda yang lain dibawa masuk?"
Musashi merasa pasti sekarang, bahwa ia tahu siapa orang keempat itu, tapi ia memilih
diam. Dengan sikap agak ragu-ragu, kata Ujikatsu, "Boleh saya panggil?" Kemudian kepada
Musashi, "Saya mesti mengakui, Anda sudah dapat menebak permainan kecil kami. Sebagai
yang merencanakannya, saya merasa agak malu."
Takuan tertawa. "Bagus! Saya senang melihat Bapak mau mengakui kekalahan. Kenapa tidak"
Bagaimanapun, ini cuma permainan untuk menghibur hati semua orang, kan" Pasti tak bisa
menjadi alasan bagi guru Gaya Hojo untuk kehilangan muka."
"Yah, tak sangsi lagi saya kalah," gerutu Ujikatsu dengan suara masih mengandung
keengganan. "Kenyataannya, biarpun saya sudah mendengar orang macam apa Anda ini, saya
belum tahu sampai seberapa jauh Anda terlatih dan terdisiplin. Maka saya putuskan untuk
menyaksikannya sendiri, dan tamu saya yang lain itu setuju untuk bekerja sama. Ketika
Anda berhenti di gang tadi itu, dia menanti untuk menyergap, siap menarik pedang." Yang
Dipertuan rupanya menyesal telah menguji Musashi. "Tapi Anda sadar sedang dijebak untuk
memasuki perangkap, lalu menyeberang halaman." Sambil menatap Musashi, tanyanya, "Boleh
saya bertanya, kenapa Anda berbuat demikian?"
Musashi hanya menyeringai.
Takuan angkat bicara. "Itulah beda antara seorang ahli strategi dan pemain pedang."
"Betul begitu?"
"Soalnya cuma tanggapan naluriah, yaitu tanggapan naluriah seorang sarjana militer yang
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip intelektual, melawan tanggapan orang yang
mengikuti Jalan Pedang, yang mendasarkan diri pada hatinya. Menurut jalan pikiran Anda,
kalau Anda mengantar Musashi, dia akan mengikuti. Namun, walau tak dapat melihat dengan
nyata atau menjamah sesuatu yang pasti, Musashi merasa ada bahaya, dan dia bergerak
melindungi diri. Reaksinya itu spontan, naluriah."
"Naluriah?" "Seperti wahyu Zen."
"Apakah Anda suka merasakan pertanda macam itu?"
"Rasanya tidak."
"Tapi setidaknya saya mendapat pelajaran. Pada waktu merasa ada bahaya, seorang samurai
lalu kehilangan akal, atau barangkali justru menggunakan perangkap itu sebagai alasan
untuk memamerkan kehebatannya dengan pedang. Ketika tadi saya melihat Musashi kembali,
mengenakan sandal dan melintas halaman, saya terkesan sekali."
Musashi terus diam. Wajahnya tidak mengungkapkan rasa senang mendengarkan kata-kata
pujian dari Yang Dipertuan Ujikatsu itu. Pikirannya tertuju kepada orang yang berdiri
dalam gelap di luar, yang kandas karena sang korban tidak masuk perangkap.
Kepada tuan rumah, ia berkata, "Boleh saya mohon agar Yang Dipertuan dari Tajima
mengambil tempat duduk di antara kita sekarang?"
"Oh, apa pula itu?" Ujikatsu kagum, juga Takuan. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
Sambil mundur memberikan tempat kehormatan bagi Yagyu Munenori, Musashi berkata,
"Walaupun gelap, saya dapat merasakan kehadiran pemain pedang yang tak ada taranya.
Menimbang wajah-wajah lain yang hadir di sini, rasanya saya bisa menebak siapa orang
satunya itu." "Sekali lagi Anda berhasil!" Ujikatsu berkata dengan kagum.
Mendapat anggukan darinya, Takuan pun berkata, "Yang Dipertuan dari Tajima. Benar
sekali!" Sambil menoleh ke pintu, la berseru, "Rahasia sudah terbongkar, Yang Dipertuan
Munenori! Silakan menggabungkan diri dengan kami."
Terdengar tawa keras, dan Munenori muncul di pintu. Ia bukannya mengambil tempat dengan
nyaman di depan ceruk kamar, melainkan berlutut di depan Musashi dan menyalaminya
sebagai orang yang setara dengannya, katanya, "Nama saya Mataemon Munenori. Saya harap
Anda ingat pada saya."
"Suatu kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan Bapak. Saya ronin dari Mimasaka,
Miyamato Musashi nama saya. Saya mohon petunjuk Bapak di masa mendatang."
"Kimura Sukekuro menyebut nama Anda beberapa bulan lalu, tapi waktu itu saya sedang
sibuk karena penyakit ayah saya."
"Bagaimana kabarnya Yang Dipertuan Sekishusai?"
"Yah, beliau sudah tua sekali. Tak bisa kita tahu..." Ia berhenti sebentar, kemudian
melanjutkan dengan sikap ramah penuh kehangatan, "Ayah saya membicarakan Anda dalam
sebuah suratnya, dan Takuan beberapa kali saya dengar bicara tentang Anda. Mesti saya
katakan, reaksi Anda beberapa menit yang lalu itu mengagumkan. Kalau Anda tidak
keberatan, rasanya kita mesti anggap pertarungan yang Anda usulkan itu sudah
berlangsung. Saya harap Anda tidak tersinggung bahwa saya melaksanakannya dengan cara
tidak lazim." Yang mengesankan Musashi adalah kecerdasannya dan kematangannya, dan itu sesuai sekali
dengan nama baik daimyo itu.
"Saya merasa malu karena Bapak begitu penuh perhatian," jawab Musashi sambil membungkuk
rendah sekali. Sikap hormat yang diperlihatkan itu wajar, karena status Yang Dipertuan
Munenori demikian jauh di atas status Musashi, sehingga bisa dikatakan beliau berada di
dunia lain. Sekalipun perdikan Yang Dipertuan Munenori hanya bernilai lima puluh ribu
gantang, tapi keluarganya terkenal sebagai hakim provinsi sejak abad sepuluh.
Kebanyakan orang akan merasa janggal mendapati salah seorang guru pribadi shogun berada
di ruangan yang sama dengan Musashi, apalagi bercakap-cakap dengannya dalam suasana
bersahabat, tidak resmi. Musashi merasa lega, karena baik Ujikatsu yang sarjana dan
Suramnya Bayang Bayang 15 Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Pedang Medali Naga 11
^