Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 15

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 15


pecah, maka Jipang akan memberikan bukan saja pengukuhan
atas kedudukanmu, tetapi juga hak-hak yang lebih luas dan
bahkan mungkin hadiah yang tidak pernah kau bayangkan
sebelumnya." Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa
dengan demikian Tanah Perdikan Sembojan akan mendapat hak-
hak yang lebih banyak dari Jipang yang letaknya lebih jauh dari
Pajang. Namun apakah ia akan sampai hati berdiri di atas
pengorbanan anak-anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini.
Karena betapapun besarnya keinginan Wiradana untuk mencapai
kedudukan yang setinggi-tingginya, namun pada saatnya
nuraninya pun telah terungkit untuk membuat pertimbangan-
pertimbangan yang lebih baik.
Dalam keadaan yang demikian, di luar sadarnya, terbayang
kembali usaha ayahnya untuk membentuk satu lingkungan yang
baik. Yang tenang dan tenteram. Yang memberikan perlindungan
kepada isinya dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi
anak-anak mudanya. Bukan justru mengorbankan anak-anak
mudanya untuk kepentingan kedudukan yang lebih baik bagi
dirinya sendiri. Dalam hal yang demikian, maka Ki Wiradana menjadi ragu-
ragu. Tetapi ia sadar, bahwa para perwira Jipang telah berada di
Tanah Perdikan itu. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri,
sebagian besar telah mendapat tempaan bukan saja lahiriahnya
tetapi juga batiniah, sehingga kebencian terhadap Pajang
perlahan-lahan sudah ditanamkan oleh para perwira itu.
Dengan demikian, maka para pengawal itu sendiri, tentu akan
menyambut dengan gembira, seandainya kepada mereka
diberitahukan bahwa mereka harus pergi ke Pajang untuk
bertempur. Apalagi setelah sekian lama mereka mengalami
32 SH. Mintardja latihan-latihan yang sangat berat, maka sebagian besar dari
mereka tentu akan berusaha untuk mencoba kemampuan mereka
benar-benar di medan perang.
Dalam pada itu, selagi Ki Wiradana termangu-mangu, maka
Warsi telah datang menghampirinya. Wajahnya nampak
menyorotkan sinar yang berbeda dengan kebiasaannya yang
luruh dan lembut. Dengan wajah tengadah Warsi berkata,
"Kakang Wiradana. Saatnya sudah tiba. Kita tidak boleh terlalu
pasrah kepada keadaan. Kita harus berani bergerak untuk
mengubah keadaan, karena sebenarnyalah kita sendirilah yang
akan menentukan keadaan kita."
Wiradana mengerutkan keningnya. Dipandanginya Warsi yang
baginya nampak agak lain dari biasanya. Warsi itu tidak
berbicara dengan wajah tunduk dan suara lembut kemanjaan.
Tetapi suaranya menjadi tegas dan wajahnya tengadah
memandanginya. "Warsi," desis Wiradana kemudian, "Jadi kau juga sependapat
jika kita mengirimkan pasukan ke Pajang?"
"Ya. Kita tidak perlu cemas tentang keadaan kita jika Pajang
telah hancur. Jika kita melewatkan kesempatan ini, dan Pajang
sempat menahan diri, maka kitalah yang akan digilas. Dan
dengan demikian maka korban akan jauh lebih banyak jatuh.
Bahkan mungkin orang-orang yang tidak bersalah sama sekali.
Jika Pajang yang datang ke Tanah Perdikan ini, maka Tanah
Perdikan ini akan menjadi ajang pembantaian yang tidak
terkendali. Sementara itu semua harta benda Tanah Perdikan ini
akan dijarah rayah dirampas oleh prajurit-prajurit Pajang yang
memasuki Tanah Perdikan ini."
Ki Wiradana benar-benar menjadi heran melihat sikap dan
cara Warsi menyatakan pendapatnya. Namun ia masih berusaha
untuk memaklumi karena Warsi ingin menekankan pendapat
kakeknya Ki Randukeling. 33 SH. Mintardja Agaknya Ki Wiradana tidak akan dapat lagi ingkar. Jika ia
menentang arus yang sudah terlanjur melanda Tanah Perdikan
itu, maka ia sendiri akan mengalami kesulitan.
Memang ada sepercik penyesalan di hati Ki Wiradana atas
kesediaannya untuk berbalik dari Pajang dan kemudian berkiblat
kepada Jipang. Tetapi ia sudah terlambat. Karena itu maka yang
dapat dilakukan kemudian adalah mengikuti arus yang melanda
Tanah Perdikannya. Ia harus menyiapkan pasukan yang akan
disusun bersama dengan para perwira Jipang itu untuk
menyerang Pajang bersama dengan pasukan Jipang pula.
Namun tanpa menghiraukan persoalan yang berkembang
antara Jipang dan Pajang, Gandar dan kedua saudara
seperguruan dari Guntur Geni itu mempunyai rencananya
tersendiri. Dengan caranya mereka berusaha agar orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan tidak melupakan Nyai Wiradana yang
telah hilang itu. Karena itu, maka yang mereka lakukan ternyata
kadang-kadang nampak aneh. Yang penting bagi keduanya
adalah, memberikan kesan tentang satu kemungkinan bahwa
Nyai Wiradana akan muncul kembali di Tanah Perdikan itu.
Pada satu kesempatan ketika orang itu telah berada di Tanah
Perdikan Sembojan di siang hari, Gandar yang sudah dikenal oleh
orang-orang Tanah Perdikan itu telah mengenakan pakaian yang
lain dari yang biasa dipergunakannya. Ia tidak mengenakan ikat
kepalanya di kepala, justru disangkutkannya saja di pundaknya.
Sementara tanpa memakai baju dan berjalan timpang sambil
membawa tongkat bersama kedua orang perguruan Guntur Geni
yang juga memakai pakaian yang lusuh, mereka menyusuri
sebuah bulak yang tidak begitu panjang.
Ketika mereka bertemu dengan dua orang petani yang baru
beristirahat duduk di tanggul sebuah parit maka Sambi Wulung
mendekatinya sambil bertanya dengan nada memelas, "Ki Sanak
apakah jalan menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini
masih jauh?" 34 SH. Mintardja Kedua orang petani itu memperhatikan ketiga orang itu.
Mereka pun kemudian bangkit berdiri sambil termangu-mangu.
Seorang di antara mereka pun bertanya, "Apakah Ki Sanak
mencari seseorang atau ingin bertemu dengan pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan ini?"
"Ya Ki Sanak," jawab Sambi Wulung. "Kami memang mencari
seseorang. Kami mempunyai sanak keluarga yang menurut
pendengaran kami berada di Tanah Perdikan ini."
"Siapa namanya," bertanya petani Itu.
"Namanya Iswari. Menurut keterangan yang kami dengar, ia
telah menjadi istri Kepala Tanah Perdikan Sembojan," jawab
Sambi Wulung. "O," kedua orang petani itu saling berpandangan. Seorang di
antara mereka kemudian bertanya, "Kenapa baru sekarang Ki
Sanak mencarinya?" "Aku baru baru saja mendengar tentang hal itu," jawab Sambi
Wulung. "Karena itu, maka kami memerlukan untuk datang
menengoknya. Kami merasa sangat berbangga hati, karena salah
seorang dari keluarga kami telah menjadi seorang istri Kepala
Tanah Perdikan." "Bukan Kepala Tanah Perdikan, tetapi pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan, karena masih belum mendapat
pengukuhan," jawab salah seorang dari petani-petani itu. "Tetapi
apakah kau belum bertemu dengan Kiai Badra, kakek perempuan
yang kau cari?" "Aku adalah saudara sepupu Kiai Badra," jawab Sambi
Wulung. "Aku mendengar dari seorang cantriknya yang kebetulan
bertemu ketika cantrik itu menengok keluarganya di tempat yang
jauh. "Kapan kau bertemu dengan cantrik itu?" bertanya petani itu
pula. 35 SH. Mintardja "Belum lama. Cantrik itu adalah anak padukuhan pula. Akulah
yang membawanya ke padepokan Kiai Badra," jawab Sambi
Wulung. "Ceriteramu aneh Ki Sanak. Seharusnya cantrik Kiai Badra itu
mengetahui apa yang sudah terjadi atas Iswari, cucu Kiai Badra
itu," jawab petani itu pula.
"Apa yang sudah terjadi?" bertanya Sambi Wulung.
"Iswari, istri pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan ini
sudah lama hilang. Sudah kurang lebih setahun yang lalu," jawab
petani itu. "Hilang bagaimana?" Sambi Wulung berpura-pura keheranan.
"Hilang, ya hilang. Tiba-tiba saja Iswari itu tidak ada di Tanah
Perdikan ini. Semua orang, terutama Ki Gede Sembojan sendiri
dimasa hidupnya, telah mencarinya kemana saja. Tetapi Iswari
tidak dapat diketemukan," jawab petani itu pula.
"Ah, mustahil. Apakah seseorang dapat hilang begitu saja?"
Sambi Wulung mendesak. "Aku tidak percaya."
"Kenapa kau tidak percaya?" bertanya petani yang seorang
lagi. "Iswari itu hilang. Jika kau tidak percaya baiklah. Silakan
pergi menemui suaminya yang sekarang sudah kawin dan
mempunyai seorang anak laki-laki."
"O," Sambi Wulung memegangi dahinya. "Bagaimana hal ini
mungkin terjadi. Cantrik itu berkata, bahwa Iswari masih berada
di Tanah Perdikan ini."
"Tidak Ki Sanak," jawab petani yang lain. "Kau dapat juga
bertanya kepada Kiai Badra. Ia dapat berceritera tentang
cucunya." Sambi wulung mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Kenapa anak itu hilang" Apakah ia tidak disenangi di Tanah
Perdikan ini, sehingga seseorang atau segolongan orang yang
tidak menyenanginya telah membunuhnya dan dengan diam-
36 SH. Mintardja diam menyembunyikan mayatnya sehingga tidak dapat
diketemukan lagi?" "Tidak. Sama sekali tidak. Orang-orang Tanah Perdikan ini
tidak pernah membencinya. Justru ia adalah seseorang yang
dianggap sangat memperhatikan keadaan Tanah Perdikan ini,"
jawab petani itu dengan serta merta.
"Tetapi kenapa ia tiba-tiba saja hilang?" bertanya Sambi
Wulung. "Itulah yang membingungkan kami," jawab petani itu.
"Sebenarnyalah kami mengharap Iswari itu muncul kembali.
Mungkin ini merupakan satu keajaiban yang tidak mungkin
terjadi. Tetapi kadang-kadang kami berharap mudah-mudahan
penari yang disebut mirip dengan Nyai Wiradana itu benar-benar
Nyai Wiradana." Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja
ia berkata, "Jadi, hilangnya Iswari bukan karena ia tidak
dikehendaki oleh orang-orang Tanah Perdikan ini?"
"Tentu bukan," jawab petani itu. "Kami sama sekali tidak
mengira bahwa hal itu terjadi. Dan kami, rakyat Tanah Perdikan
ini merasa sangat kehilangan."
"Tetapi bukankah seperti kau katakan, bahwa suaminya sudah
beristri lagi, dan bahkan sudah lahir anaknya laki-laki," bertanya
Sambi Wulung. "Ya," jawab petani itu. "Ki Wiradana memang sudah kawin lagi
dan mempunyai seorang anak laki- laki."
"Bagaimana dengan istrinya yang sekarang?" bertanya Sambi
Legi. "Istrinya yang sekarang adalah seorang perempuan yang
hanya tahu berhias sebagaimana kebiasaannya ketika ia masih
menjadi janggrung di sepanjang jalan," jawab petani itu.
"Jadi, jika kalian harus memilih, maka kalian akan memilih
Iswari dari istrinya yang sekarang?" bertanya Sambi Wulung.
37 SH. Mintardja "Sayang bahwa kami tidak berwenang memilih, karena yang
menentukan segala-galanya adalah Ki Wiradana," jawab petani
itu. Namun petani-petani itu menjadi heran ketika Sambi Wulung
kemudian berkata, "Tetapi sebagaimana aku yakin, maka
yakinilah, bahwa Iswari itu masih hidup. Cantrik itu berkata
sesungguhnya bahwa Iswari masih hidup."
"Tetapi ia tidak ada di sini," sahut petani itu.
"Mungkin. Mungkin ia tidak ada disini. Tetapi biarlah aku
berusaha mencarinya. Aku akan bertemu dengan Kiai Badra,"
berkata Sambi Wulung kemudian.
Para petani itu termangu-mangu. Ia melihat sesuatu yang
kurang wajar pada ketiga orang itu. Sikapnya, kata-katanya dan
terutama apa yang dikatakan. Tetapi keduanya tidak ingin
bertanya, apa yang sebenarnya dikehendaki.
Namun dalam pada itu, dari kejauhan mereka melihat debu
mengepul. Beberapa orang berkuda menyusuri jalan bulak itu
untuk mengamati keadaan yang berkembang di Tanah Perdikan
itu setelah Tanah Perdikan itu benar-benar mengadakan
persiapan untuk melibatkan diri ke dalam pertentangan antara
Jipang dan Pajang. "Siapa mereka?" bertanya Sambi Wulung.
"Para pengawal," jawab petani-petani itu.
"O," apakah mereka akan bertindak kasar?" bertanya Sambi
Wulung. "Hanya terhadap orang-rang yang dicurigai," jawab salah
seorang petani itu, lalu katanya. "Agaknya kalian bertiga memang
lebih baik duduk saja di belakang semak-semak itu. Meskipun
tidak selalu, tetapi orang-orang yang asing disini seperti kalian
bertiga akan mungkin sekali dicurigai."
"Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa?" bertanya
Sambi Wulung. 38 SH. Mintardja "Cepat," desak petani yang lain. "Debu itu menjadi semakin
jelas. Mereka menjadi semakin dekat."
Ketiga orang itu memandangi debu yang mengepul di jalan
bulak. Semakin lama memang menjadi semakin dekat. Namun
ketiga orang itu sama sekali tidak beringsut dari tempatnya.
Sebenarnyalah, bahwa Gandar, Sambi Wulung dan Jati
Wulung tidak ingin bersembunyi. Mereka justru ingin berbuat
sesuatu. Mereka ingin menyatakan sebagaimana pernah
dilakukan, bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu bukan
orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan,
apalagi untuk bertemu dengan para prajurit Pajang.
Karena itu, ketika para petani itu semakin mendesaknya, maka
Sambi Wulung pun berkata, "Kami tidak berbuat apa-apa. Jika


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ingin menangkap kami, maka merekalah yang bersalah."
"Tetapi mereka adalah para pengawal. Mereka dapat berbuat
apa saja. Bahkan terhadap orang-orang Tanah Perdikan ini
sendiri," berkata petani-petani itu.
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak beringsut dari
tempatnya, sehingga salah seorang dari kedua petani itu berkata,
"Terserahlah kepada kalian. Aku sudah memberitahukan apa
yang sebaiknya kalian lakukan."
Namun sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, "Terima
kasih. Jika terjadi sesuatu bukan salah kalian." Petani-petani itu
menjadi heran. Namun tiba-tiba mereka menjadi curiga. Ketika
orang itu sama sekali tidak menjadi cemas melihat sekelompok
orang-orang berkuda yang lewat di jalan bulak itu sebanyak lima
orang. "Siapakah sebenarnya mereka, dan apakah hubungannya
mereka sebenarnya dengan Nyai Wiradana yang hilang itu?"
bertanya para petani itu di dalam hati.
Sementara itu, orang-orang berkuda itu pun menjadi semakin
dekat. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari petani itu berdesis
dengan nada yang sangat cemas,
39 SH. Mintardja "Yang seorang itu bukan pengawal Tanah Perdikan."
"Siapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Salah seorang dari para pelatih yang membentuk pasukan
khusus itu menjadi pasukan yang luar biasa," jawab salah seorang
petani itu. "Orang Jipang?" bertanya Sambi Wulung.
Petani itu termangu-mangu. Para pengawal sendiri
nampaknya sudah tidak menganggap bahwa kehadiran orang-
orang Jipang itu masih menjadi rahasia, setelah semuanya
menjadi jelas. Bahkan setelah dipersiapkan pasukan untuk
mendekati Pajang. Namun percakapan itu terhenti ketika lima orang berkuda itu
menjadi semakin dekat. Yang paling depan dari kelima orang
berkuda itu memang salah seorang perwira Jipang yang berada di
Tanah Perdikan Sembojan. Seperti yang telah diduga oleh para petani, maka ketiga orang
itu telah menarik perhatian kelima orang berkuda itu. Karena itu
maka kelima orang berkuda itu telah menarik kekang kuda
mereka, sehingga kelimanya telah berhenti beberapa langkah dari
ketiga orang yang mereka anggap orang asing itu.
Kedua orang petani itupun bergeser beberapa langkah dengan
jantung yang berdegupan. Ketiga orang itu tentu akan ditangkap
dan dibawa menghadap Ki Wiradana. Jika demikian agaknya
masih untung bagi ketiganya. Tetapi jika persoalan mereka
ditangani langsung oleh para pengawal untuk memeras
keterangan mereka karena dianggap mencurigakan, maka nasib
mereka akan menjadi lebih buruk lagi.
"He, Siapakah orang-orang ini?" bertanya salah seorang
pengawal yang kemudian bergeser maju di samping perwira dari
Jipang yang berada di antara mereka, kepada para petani itu.
Salah seorang dari kedua petani itu menjawab, "Aku tidak
mengenal mereka. Bertanyalah sendiri." . Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun memandang
40 SH. Mintardja ketiga orang itu berganti-ganti. Pakaian yang lusuh. Sikap yang
agak memelas dan wajah-wajah yang kotor.
"Siapakah kalian?" bertanya pengawal itu.
Seperti semula, Sambi Wulung lah yang menjawab, "Kami
adalah orang-orang yang datang dari jauh."
"Untuk apa?" bertanya pengawal itu.
"Kami ingin menengok kemanakan kami. Iswari," jawab Sambi
Wulung. Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
bertanya, "Istri Ki Wiradana yang tua maksudmu?"
"Ya," jawab Sambi Wulung, "Menurut keterangan dari seorang
cantrik, ia adalah istri Kepala Tanah Perdikan ini."
"Iswari sudah tidak ada di Tanah Perdikan ini. Sudah lama
sekali," jawab pengawal itu.
"Aku tidak percaya," jawab sambi Wulung. "Agaknya kalian
ingin menghina kami. Kami menganggap bahwa karena ujud
kami dan pakaian kami, maka kalian menganggap bahwa kami
tidak pantas disebut sanak kadangnya Iswari. Tetapi ketahuilah,
bahwa aku adalah saudara sepupu Kiai Badra."
Para petani itu terkejut mendengar jawaban orang itu. Bahkan
para pengawal pun terkejut.
Namun dalam pada itu, ternyata Sambi Wulung pun tidak lagi
dapat mengendalikan perasaannya. Ia ingin cepat-cepat terjadi
sesuatu karena justru ada seorang perwira Jipang yang ada di
antara para pengawal itu. Dengan demikian, maka ia akan
berhasil menjajagi kemampuan para perwira itu. Bahkan
sebagaimana ia inginkan, bahwa Sambi Wulung ingin
mengatakan kepada para pengawal, bahwa para perwira Jipang
itu pun bukan orang-orang yang memiliki ilmu linuwih dan tidak
terkalahkan dalam dunia kanuragan. Meskipun mereka memiliki
keahlian dalam perang gelar.
41 SH. Mintardja Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun ketajaman
perasaannya cepat menghubungkan peristiwa yang dihadapi itu
dengan peristiwa yang terjadi atas kedua orang pengawal yang
lain, yang berjumpa dengan sekelompok orang yang kemudian
telah merampas kuda-kuda mereka, sebagaimana mereka
katakan dalam pengakuan mereka.
Karena itu, maka katanya langsung dengan nada keras,
"Ternyata kau sengaja memancing persoalan. He, apakah kau
merupakan sebagian dari sekelompok orang yang pernah
merampas kuda para pengawal?"
Sambi Wulung pun tidak lagi ingin berputar-putar. dengan
tegas ia menjawab, "Ya", namun kemudian ia pun bertanya, "He, kenapa
merupakan sebagian dari sekelompok orang" Kamilah yang
melakukannya. Tidak ada orang lain."
"Persetan," geram pengawal itu, sementara para pengawal
yang lain pun telah bersiap. Seorang di antara mereka
menggeram, "Satu kebetulan. Kami akan menangkap kalian dan
memeras keterangan kalian. Siapakah kawan-kawan kalian."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun ia sadar
agaknya pengawal yang kehilangan kudanya itu tidak
mengatakan sebagaimana adanya. Tetapi ia tidak peduli. Yang
dihadapinya adalah para pengawal dan kebetulan sekali seorang
di antara para perwira Jipang yang ada di Tanah Perdikan itu.
Karena itu maka katanya, "He, kenapa kalian akan menangkap
kami" Kenapa tidak kau tangkap saja penari janggrung yang
sekarang berada di rumah Ki Wiradana" He apakah kalian
sekarang sudah kehilangan nalar sehingga kalian tidak dapat
melihat apa yang sebenarnya berkembang di Tanah Perdikan ini"
Setelah Ki Wiradana kawin dengan penari jalanan itu serta
menyingkirkan istrinya, ternyata kemudian telah melakukan satu
kesalahan yang paling memuakkan. Ki Wiradana telah berpihak
kepada Jipang dengan mengorbankan kehidupan rakyatnya yang
42 SH. Mintardja harus diperas untuk membiayai pasukan yang dibentuk untuk
kepentingan Jipang. "Tutup mulutmu," perwira Jipang itu berusaha untuk tidak
mencampuri persoalan itu tiba-tiba saja membentak. Suaranya
menggelegar seperti suara guruh oleh kemarahan yang
menghentak-hentak di dadanya.
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Suaramu membuat aku terkejut. He, apakah kau salah seorang
dari para perwira Jipang itu?"
"Persetan," geram perwira itu. Lalu katanya, "Mulutmu
memang harus disumbat dengan tumit."
"Baiklah," berkata Sambi Wulung kemudian, "Aku akan
berterus terang. Aku ingin membuktikan bahwa apa yang kalian
lakukan sama sekali tidak memadai. Apakah artinya kepergian
para pengawal Tanah Perdikan ini ke Pajang" Tidak lebih dari
satu perbuatan bunuh diri yang bodoh.
Wajah perwira Jipang itu menjadi merah membara.
Sementara itu Sambi Wulung masih berkata lebih lanjut, "Karena
itu sebelum terlanjur, tinjau kembali rencana pengiriman
pasukan ke Pajang itu. Apalagi anak-anak muda di Sembojan ini
sebenarnya mempunyai tugas yang sangat berat bagi Tanah
Perdikannya sendiri. Kenapa kalian tidak berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan
kalian, justru melibatkan diri ke dalam pertentangan antara
Jipang dan Pajang" Sementara itu rakyat Tanah Perdikan ini
sendiri diperas habis-habisan untuk membiayai pasukan
pengawal khusus yang tidak lebih daripada alat untuk menakut-
nakuti rakyat itu sendiri dan yang kemudian sebagai batang-
batang kayu bakar yang diselusupkan ke dalam api, jika kalian
benar-benar pergi ke Pajang."
Perwira Jipang itu ternyata tidak dapat menahan diri lagi.
Dengan serta merta ia pun telah meloncat turun dari kudanya.
43 SH. Mintardja Para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah melakukan hal
yang sama. Mereka pun telah berloncatan turun dan mengikat
kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu.
Para petani yang melihat peristiwa Itu menjadi gemetar.
Mereka pun bergeser semakin lama semakin jauh. Namun rasa-
rasanya ada yang mengikat mereka untuk tetap berada di tempat
itu dan menyaksikan apa yang terjadi.
Kelima orang itu pun dengan wajah yang marah mendekati
ketiga orang yang telah dengan terbuka menantang mereka.
Karena itu maka tidak ada langkah lain yang mereka ambil
kecuali menangkap ketiga orang itu.
Tetapi ketiga orang itu pun sudah bersiap. Namun Sambi
Wulung masih berkata kepada para pengawal yang merupakan
kekuatan yang sebenarnya di Tanah Perdikan ini. "Kenapa selama
ini kalian telah kehilangan kiblat sehingga kalian tidak lebih dari
seekor kerbau yang dicocok hidungnya dan kemudian diterapkan
di depan wuluku dan dipekerjakan di sawah tanpa
mempersoalkan martabatnya" Bukankah kalian masih lengkap
dengan nalar dan perasaan kalian sebagai anak-anak muda di
Tanah Perdikan ini?"
Suara Sambi Wulung terputus. Perwira Jipang yang tidak
dapat menahan kemarahannya itu tidak berkata sepatahpun lagi.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Sambi Wulung
dengan tumitnya ke arah mulut sebagaimana dikatakannya.
"Uhu," Sambi Wulung dengan tangkasnya menghindari,
sehingga tumit perwira Jipang itu tidak benar-benar menyumbat
mulutnya. Tidak ada yang sempat berbicara lagi. Sejenak kemudian
orang-orang itu sudah terlibat di dalam perkelahian. Sambi
Wulung harus menghadapi perwira Jipang yang marah itu,
sementara Gandar dan Jati Wulung harus bertempur
menghadapi masing-masing dua orang pengawal.
44 SH. Mintardja Tidak ada masalah bagi Gandar dan Jati Wulung. Namun
Sambi Wulunglah yang harus berhati-hati. yang dihadapinya
adalah seorang perwira dari Jipang.
Yang kemudian bertempur dengan dahsyatnya adalah
memang Sambi Wulung. Ternyata perwira Jipang yang marah itu
telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Beberapa kali Sambi Wulung meloncat surut. Bukan karena ia
benar-benar terdesak, tetapi semata-mata untuk menempatkan
diri pada keadaan yang mantap untuk melawan seorang perwira
yang ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi.
Perwira Jipang itu berusaha untuk dengan cepat mengakhiri
perkelahian. Ia ingin menangkap orang itu dan menyerahkan ke
hadapan para pemimpin Tanah Perdikan.
Orang itu tentu bagian dari kelompok-kelompok yang selama
ini sengaja membuat kerusuhan di Tanah Perdikan ini. Jika
kemudian para pemimpin Tanah Perdikan ini dapat membongkar
kelompok ini, maka untuk seterusnya Tanah Perdikan Sembojan
akan menjadi tenang. Keberangkatan pasukan ke Pajang tidak
lagi tersendat-sendat karena adanya kekacauan yang selalu
mengganggu Tanah Perdikan ini. Karena menurut perhitungan
perwira Jipang itu, orang yang menjadi lawannya itu tentu
mempunyai hubungan dengan para perampok yang pernah
merampok saudagar emas dan berlian sebagaimana pernah
diceriterakannya kepadanya. Juga orang-orang yang pernah
merampok Ki Wiradana sendiri sekembalinya dari Pajang.
Bahkan tentu orang-orang inilah yang telah menghimpun
menjadi serombongan orang ngamen dengan seorang penari
yang mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu. Atau bahkan
jika orang itu memang Nyai Wiradana, maka segalanya akan
segera terbongkar. Namun agaknya perwira dari Jipang itu telah membentur
kekuatan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Ternyata bahwa
Sambi Wulung telah mengerahkan kemampuannya pula untuk
mengimbangi perwira Jipang yang marah itu. Sambi Wulung
45 SH. Mintardja mampu berloncatan secepat perwira Jipang itu meloncat. Dalam
benturan kekuatan yang terjadi, maka kekuatan Sambi Wulung
pun ternyata tidak berada di tataran yang lebih rendah dari
perwira Jipang itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama
menjadi semakin dahsyat, bahkan para petani yang menyaksikan
pertempuran itu seakan-akan justru mematung.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, Gandar yang timpang itu harus bertempur
melawan dua orang pengawal. Ia sama sekali tidak menemui
kesulitan. Bahkan ia masih tetap dalam kedaan timpang yang
dibuat-buatnya itu untuk menghilangkan ciri-ciri yang akan
dapat dikenali oleh orang yang pernah mengenalnya sebelumnya.
"Jika orang-orang itu menyebut lawannya timpang, maka
tidak ada seorang pun yang akan menduga bahwa lawannya itu
adalah Gandar yang pernah datang ke rumah Kepala Tanah
Perdikan Sembojan ini," berkata Gandar di dalam hatinya.
Dalam pada itu, dua orang pengawal yang bertempur melawan
Gandar itu menjadi heran. Orang yang timpang dan berpakaian
lusuh itu ternyata mampu melawan mereka berpasangan. Bahkan
nampaknya orang timpang itu sama sekali tidak perlu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kedua lawannya
yang telah sampai kepada puncak kemampuannya.
"Iblis timpang ini sangat menjengkelkan," berkata salah
seorang pengawal itu. Kawannya tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia telah
mencabut pedang pendeknya.
"Uah," desan Gandar. "Kalian bersungguh-sungguh?"
"Jika aku gagal menangkapmu, maka aku akan
membunuhmu," geram salah seorang dari kedua orang pengawal
itu. 46 SH. Mintardja "Kalian memaksa aku untuk melawan kalian dengan senjata
pula," berkata Gandar.
"Lakukan," geram para pengawal itu.
Tetapi Gandar tidak menjawab lagi, "Tetapi aku tidak
membawa senjata apapun."
Namun tiba-tiba Gandar berdesis, "He, aku tadi membawa
tongkat kayu justru karena aku timpang."
Tiba-tiba pula Gandar melenting dan dengan tangkasnya
menggapai sebuah tongkat kayu yang memang dipakainya untuk
menopang tubuhnya karena ia timpang, yang tersandar pada
sebatang pohon jarak. Tetapi tongkat kayu itu bukanlah senjata, dan sama sekali
tidak memadai untuk mengimbangi dua buah pedang pendek.
Sehingga karena itu, maka salah seorang pengawal itu
menggeram, "Kau sangka kami berdua tidak lebih dari
sekelompok itik yang dapat digembalakan dengan tongkat kayu
semacam itu." Gandar memperhatikan tongkatnya. Tidak lebih sepotong
kayu yang diambilnya pada sebatang ranting dipinggir jalan.
Hanya kecil, tetapi lebih panjang dari tombak pendek itu.
Karena itu, maka katanya, "Tongkatku memang terlalu lemah
untuk melawan pedang. Tetapi tongkatku lebih panjang dari pedang kalian sehingga
dengan demikian, aku akan dapat menggapai tubuh kalian lebih
dahulu sebelum pedang pendek kalian menyentuh tubuhku."
"Dan kau sangka tubuhku akan terkoyak oleh ujung tongkat
kayumu yang tidak lebih kuat dari sebatang lidi?" geram salah
seorang dari kedua pengawal itu.
"Aku menyadari. Tetapi dengan tongkat ini aku akan merasa
lebih baik daripada tidak membawa tongkat sama sekali."
Kedua pengawal itu benar-benar merasa terhina. Karena itu,
maka keduanya tidak mau bertanya lagi. Keduanya segera
47 SH. Mintardja mengacukan pedang pendeknya mengarah ke dada Gandar.
Bahkan seorang di antara mereka pun dengan serta merta telah
meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi yang terjadi benar-benar tidak terduga. Demikian orang
itu meloncat menyerang dengan pedang terjulur, maka tiba-tiba
saja ia berteriak mengumpat. Dengan serta merta ia telah
melenting surut sambil mengibaskan pedang pendeknya.
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian terdengar
orang timpang itu tertawa, "He, aku masih mempunyai belas
kasihan. Aku tidak mengenaimu tepat pada biji matamu."
Pengawal itu mengusap dahinya yang berdarah. Hanya
beberapa lapis di atas matanya.
Pengawal yang lain termangu-mangu. Tongkat yang kecil dan
nampaknya tidak berarti itu ternyata mampu melukai kawannya
didahinya. Namun luka itu justru membuat pengawal itu bertambah
marah. Sambil mengusap lukanya, maka pengawal itu telah
melangkah mendekat lagi sambil menjulurkan pedangnya.
"Kau memanfaatkan kelengahanku," berkata pengawal itu.
"Ya. Ternyata kelengahanmu adalah senjataku yang paling
baik, justru karena aku tidak mempunyai senjata yang memadai.
Untuk seterusnya aku akan mempergunakan senjata yang sama,"
jawab orang timpang itu. "Persetan," pengawal itu menggeram dengan marah sekali.
Namun ia menyadari, bahwa ia memang harus berhati-hati
menghadapi orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu
meskipun ia timpang. Dengan demikian kedua orang pengawal yang bertempur
melawan Gandar itu harus memperhatikan tongkatnya yang
semula dianggapnya tidak berarti sama sekali.
Namun sejenak kemudian, maka kedua pengawal itu harus
memeras tenaga mereka. 48 SH. Mintardja Gandar yang timpang itu bergerak semakin lama semakin
cepat. Tongkat kayunya berputar-putar dan bahkan berdesing-
desing ditelinganya. Sekali-sekali terasa tongkat kayu itu
menyentuh tubuh para pengawal yang bertempur berpasangan
itu. Bahkan kemudian tongkat kecil itu telah menimbulkan
perasaan sakit pada tubuh kedua orang pengawal itu.
"Tentu tidak dengan kemampuan sewajarnya," desis kedua
pengawal itu di dalam hatinya, setelah beberapa kali terasa
tongkat kecil itu membentur pedangnya dan sama sekali tidak
patah. Bahkan rasa-rasanya sentuhan tongkat ditubuh mereka
bagaikan sentuhan ujung tongkat baja yang kerasnya melampaui
besi. "Orang ini mampu menyalurkan kekuatan tenaga pedangnya
pada tongkat kayunya," gumam pengawal itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah kedua pengawal yang bersenjata pedang itu
tidak mampu mengatasi putaran tongkat kayu yang nampaknya
tidak lebih dari tongkat untuk menggembalakan itik di pinggir
parit. Beberapa kali tongkat itu telah mengenai mereka dan bahkan
menimbulkan luka-luka kecil, tetapi dari luka-luka kecil itu telah
mengalir darah. Bahkan darah yang mengalir meskipun tidak
banyak tetapi dari beberapa tempat itu telah menimbulkan kesan,
seolah-olah para pengawal itu telah menjadi luka arang krajang.
Pakaian para pengawal yang bernoda darah hampir disegala
tempat menumbuhkan kesan yang mengerikan, meskipun daya
tahan para pengawal itu dapat mengatasi rasa sakit dari luka-luka
kecil di beberapa bagian tubuhnya.
Namun yang sulit untuk mengatasi adalah justru sakit hati
para pengawal itu. Ujung tongkat kayu itu masih saja menyengat-nyengat dan
menimbulkan luka-luka. 49 SH. Mintardja Bahkan bukan saja di badan kedua pengawal itu, namun juga
dikening dan dahi. "Sebentar lagi, ujung tongkat kayu itu akan mengenai biji
matamu," berkata Gandar sambil tertawa.
"Persetan," geram salah seorang dari pengawal itu. Namun
mulutnya segera terkatub karena ujung tongkat itu terlepas
mengenai mulutnya dan dua buah giginya telah terlepas,
sehingga mulutnya telah berdarah.
Melihat darah meleleh dari sela-sela bibirnya, maka pengawal
yang lain dengan cemas bertanya, "Kau memuntahkan darah"
Apakah dadamu terluka?"
"Sama sekali tidak," pengawal itu hampir berteriak, "Gigiku
patah." Kawannya mengumpat, sedangkan Gandar tertawa
berkepanjangan. Sementara itu, Jati Wulung telah bertempur melawan dua
orang pengawal bersenjata. Namun ternyata Jati Wulung telah
membawa senjata yang khusus.
Senjata yang tidak begitu banyak dipergunakan. Senjata janget
yang dibelit rangkap tiga, dengan sebuah bandul timah
diujungnya. Ketika kedua lawannya menarik pedang pendeknya, sebagai
ciri senjata para pengawal Tanah Perdikan yang dipergunakan
dilingkungan Tanah Perdikannya, maka Jati Wulung telah
mengurai janget rangkap tiganya yang dibelitkan di lambungnya,
yang diberi bandul timah yang tidak begitu besar tidak lebih
besar dari buah kemiri. Namun ketika bandul itu telah berputar diujung janget, maka
suaranya berdesing bagaikan seribu gangsing yang berputar
bersama-sama. 50 SH. Mintardja Karena itu, maka kedua lawannya menjadi termangu-mangu.
Namun mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur
melawan bandul timah yang bagaikan selalu memburu mereka.
Meskipun bandul timah itu hanya sekecil buah kemiri, namun
sentuhannya telah membuat tulang bagaikan retak. Kulit dan
daging menjadi biru kehitam-hitaman.
Bahkan ketika bandul itu menyentuh kepala, maka kepala itu
pun telah tumbuh bengkak sebesar bandul itu pula. Bahkan
seandainya tidak dialasi dengan ikat kepala, maka tulang
kepalanyalah yang akan retak.
Dengan demikian, maka kedua orang pengawal yang
bertempur melawan Jati Wulung itu pun segera mengalami
kesulitan. Bandul itu bagaikan beterbangan mengelilingi kepala
kedua orang pengawal itu, bahkan seluruh tubuhnya. Sekali-kali
menyengat dan berdesing lagi semakin keras.
Sementara itu, dilingkaran pertempuran yang lain, Sambi
Wulung benar-benar telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Perwira Jipang itu pun berkemampuan tinggi.
Ia memiliki tenaga cadangan yang sangat besar, sehingga
kekuatannya pun sering mengejutkan Sambi Wulung.
Tetapi murid perguruan Guntur Geni itu ternyata memiliki
bekal yang lebih rangkap. Pada saat-saat yang paling
menentukan, Sambi Wulung telah menghentakkan tenaga
cadangannya. Tidak saja melandasi kekuatannya yang menjadi
bagaikan berlipat, tetapi tenaga cadangannya itu mampu
mendorong pula kecepatannya bergerak. Sehingga dengan
demikian, maka Sambi Wulung itu pun menjadi mampu bergerak
semakin cepat. Sementara kekuatannya pun mampu
mengimbangi kekuatan perwira Jipang yang telah mengerahkan
tenaga cadangannya pula. Benturan-benturan kekuatan pun kemudian terjadi. Tetapi
justru pada saat murid perguruan Guntur Geni itu
mengeterapkan puncak kemampuannya dengan tenaga
51 SH. Mintardja cadangannya, maka mulai nampak bahwa keseimbangan pun
mulai berubah. Gandar yang sambil bertempur memperhatikan Sambi
Wulung itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah cemas, bahwa
hanya melawan seorang di antara dua puluh perwira Jipang yang
berada di Tanah Perdikan Sembojan, Sambi Wulung akan
mengalami kesulitan. "Tetapi kemampuan puncak Sambi Wulung ada pada
pedangnya yang tidak dibawanya dalam kesempatan seperti ini,"
berkata Gandar yang tahu bagaimana dahsyatnya kekuatan
pedang yang bergabung dengan ilmu yang ada di dalam diri
Sambi Wulung itu. Pedang yang pernah membentur kemampuan
ilmu yang sulit dicari bandingnya yang ada di dalam diri Kiai
Badra. Dengan demikian, maka perlahan-lahan Sambi Wulung dapat
mendesak lawannya. Kecepatannya bergerak membuat lawannya menjadi bingung.
Justru pada saat kemampuan lawannya yang dikerahkan dengan
sepenuh tenaganya telah mulai surut.
Perlahan-lahan tetapi pasti Sambi Wulung telah mendesak
lawannya. Perwira yang terpilih dan dikirim oleh Jipang untuk
menyusun pasukan yang kuat di Tanah Perdikan itu tidak mampu
mengimbangi kecepatan gerak dan ketahanan kekuatan orang
yang dianggapnya orang kebanyakan saja.
Karena itulah, maka beberapa kali perwira dari Jipang itu
harus meloncat surut. Loncatan-loncatan panjang Sambi Wulung kadang-kadang
memang mengejutkannya, sehingga justru pada saat ia meloncat
surut, Sambi Wulung memotongnya sambil mengayunkan
tangannya mendatar. Tetapi perwira dari Jipang itu pun masih sempat pula
menangkisnya. Dengan menekuk tangannya pada sikunya untuk
melindungi wajahnya. 52 SH. Mintardja Tangan Sambi Wulung yang terayun mendatar ke arah wajah
perwira Jipang itu telah membentur tangan lawannya. Namun
ternyata bahwa perwira Jipang itu harus meloncat surut sambil
menyeringai menahan sakit.
Tetapi Sambi Wulung tidak melepaskannya. Ia pun meloncat
memburunya sambil menjulurkan kakinya ke arah lambung.
Perwira Jipang itu masih harus meloncat surut lagi. Namun
agaknya ia tidak lagi mempunyai kesempatan. Gerak Sambi
Wulung rasa-rasanya menjadi semakin cepat justru pada saat
geraknya sendiri mulai menjadi lamban.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi perwira Jipang itu.
Meskipun agak menyinggung harga diri namun perwira dari
Jipang itu telah menarik pedang pendek sebagaimana pedang
yang dibawa oleh para pengawal.
Sambi Wulung tertegun sejenak. Ia mengurungkan niatnya
untuk meloncat memburu. Seperti Gandar, maka ia tidak membawa senjata untuk
menghadapi pedang pendek perwira dari Jipang itu.
Karena itu, maka ia harus menghadapi pedang pendek itu
hanya dengan kemampuannya bergerak cepat.
Tetapi adalah tidak diduganya, bahwa tiba-tiba Jati Wulung
bertanya, "He, kakang. Apakah kau memerlukan pedang pendek
seperti yang dipakai oleh perwira Jipang itu?"
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun sebelum Sambi
Wulung menjawab, Jati Wulung telah bergerak lebih dahulu.
Dengan cepat ia mengayunkan jangetnya melampaui kesadaran
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang bertempur
melawannya. Karena itulah, maka jangetnya telah melilit
pergelangan tangan salah seorang di antara mereka. Satu
hentakan telah membuat pengawal itu terkejut sekali. Tangannya
yang terjerat itu terasa sakit sekali, sementara pedangnya
bagaikan dihentakkan dan terlepas dari tangannya.
53 SH. Mintardja

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cepat ia berusaha meloncat meraih pedangnya. Tetapi
adalah diluar kemampuannya untuk menghindar dan menangkis
ketika kaki Jati Wulung telah menghantamnya dan
melemparkannya beberapa langkah.
Pengawal yang lain pun berusaha untuk dengan cepat
memburunya. Namun Jati Wulung bergerak lebih cepat.
Jangetnya bergeletar dan tiba-tiba saja telah membelit kaki
pengawal itu. Satu hentakan telah membuat pengawal itu
terpelanting jatuh. Demikian kerasnya dan diluar dugaan, maka ternyata pedang
pengawal itu telah menggores tubuhnya sendiri.
Luka itu tidak begitu dalam, tetapi darah pun telah mengalir
pula dari luka itu. Pada saat yang demikian, perwira Jipang itulah yang dengan
tangkasnya telah menyerang Sambi Wulung.
Tetapi Sambi Wulung tidak lengah. Ia pun mampu
menghindar secepat datangnya
serangan. Pedang yang terjulur sama sekali tidak menyentuh
tubuhnya. Namun perwira dari Jipang itu tidak ingin memberi
kesempatan kepada lawannya.
Demikian serangannya gagal, maka dengan serta merta ia pun
memutar pedangnya menyamping menyambar dada Sambi Wulung.
Tetapi Sambi Wulung justru mempergunakan kesempatan itu
untuk melenting mengambil jarak. Ia tidak ingin mendesak tanpa
dapat mengambil ancang-ancang untuk memberikan perlawanan
atas lawannya yang bersenjata pedang.
Namun sementara itu terdengar suara Jati Wulung, "Jangan
terlalu memberikan hati kepadanya. Waktu kita tidak terlalu
banyak. Kita tidak ingin terlalu lama berada disini."
54 SH. Mintardja Sambi Wulung berpaling sejenak. Pada kesempatan itulah,
Jati Wulung telah melemparkan pedang yang berhasil
dirampasnya dari lawannya.
Dengan tangkas Sambi Wulung menangkap pedang itu. Tepat
pada saat serangan datang, sehingga ia masih sempat melenting
menghindar. Namun kemudian, ketika keduanya telah bersiap untuk
bertempur kembali, keduanya telah sama-sama menggenggam
pedang ditangan. Bagaimana pun juga perwira dari Jipang itu menjadi
berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang yang berpakaian lusuh itu
mempunyai kelebihan daripadanya. Karena itu, maka untuk
selanjutnya ia harus mengerahkan segenap tenaga dan
kemampuan. Namun perwira dari Jipang itu tidak akan undur selangkah
pun. Ia telah bertekad untuk menangkap orang itu. Apapun yang
terjadi ia harus bertempur terus sebagaimana diajarkan pada
jajaran prajurit Jipang. Tetapi ternyata bahwa Sambi Wulung pun tidak ingin
pertempuran itu menjadi berkepanjangan. Jika datang lagi
sekelompok pengawal yang lebih besar, atau satu di antara
mereka sempat membunyikan isyarat kentongan yang terdapat
disetiap gardu, maka akibatnya akan menjadi semakin sulit.
Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan kemampuannya
bermain pedang meskipun ia tidak mempergunakan pedangnya
sendiri. Pedang pendek yang merupakan ciri para pengawal di Tanah
Perdikan Sembojan itu pun telah dipergunakan dengan sebaik-
baiknya. Putarannya berdesing menyambar-nyambar. Semakin
lama semakin cepat, sehingga perwira dari Jipang yang
kemampuannya mulai susut itu menjadi semakin gelisah, karena
arah serangan Sambi Wulung yang semakin membingungkan.
Sementara Sambi Wulung berusaha untuk segera mengakhiri
pertempuran itu, maka Gandar dan Jati Wulung telah kehilangan
55 SH. Mintardja lawan-lawannya. Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu
sama sekali sudah tidak mampu melawan lagi. Ada di antara
mereka yang berusaha untuk mencapai kudanya agar dapat
memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, tetapi bandul
timah yang hanya sekecil buah kemiri itu telah mengenai mata
kakinya, sehingga rasa-rasanya kakinya telah menjadi lumpuh.
Keempat pengawal yang sudah tidak berdaya lagi itu hanya
dapat menyaksikan pertempuran antara perwira Jipang dengan
Sambi Wulung dengan jantung yang berdebar-debar. Mereka
mengharap bahwa perwira Jipang itu akan dapat memenangkan
pertempuran itu dan kemudian mampu mengalahkan kedua
orang pengembara yang lain.
Namun perwira Jipang itu pun tidak berpengharapan lagi
ketika tubuhnya mulai terluka. Meskipun darah yang menitik dari
tubuhnya itu menjadikannya semakin garang, tetapi kekuatannya
pun menjadi semakin cepat susut.
Sementara itu, Gandar yang berdiri di antara kedua lawannya
yang sudah tidak berdaya itu pun kemudian berkata, "Ada
keinginan untuk sekali-kali membunuh pengawal Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi jika aku melakukannya, agaknya sangat kurang
bijaksana. Karena itu, maka biarlah kalian tetap hidup untuk
menjadi saksi dari satu kenyataan, bahwa kalian bukan apa-apa.
Perwira dari Jipang itu pun bukan apa-apa."
Pengawal itu menggeram. Namun mereka benar-benar sudah
tidak berdaya. Tulang-tulangnya bagaikan terlepas sendi-sendinya,
sementara luka-lukanya yang kecil tetapi tersebar diseluruh
tubuhnya itu terasa menjadi sangat pedih terkena oleh keringat
mereka sendiri. Sementara itu, lawan Jati Wulung yang seorang telah menjadi
pingsan, sementara yang lain terbaring dengan kaki yang
bagaikan lumpuh. Pada saat-saat terakhir, maka pedang Sambi Wulung telah
beberapa mengoyak tubuh perwira Jipang itu. Darah pun
56 SH. Mintardja semakin banyak mengalir. Namun perwira itu sama sekali tidak
menghentikan perlawanannya.
"Gila," geram Sambi Wulung. Namun demikian sebenarnyalah
bahwa ia tidak ingin membunuh. Yang dilakukannya hanya
sekadar melukai lawannya untuk menghentikan perlawanannya.
Betapa garangnya perwira dari Jipang itu, namun ternyata
bahwa pada satu saat, batas kemampuannya itu pun telah
dilampauinya. Karena itu, maka tubuhnya semakin lama menjadi
semakin lemah. Selain karena perwira itu telah menitikkan
banyak darah, ia pun benar-benar telah mengerahkan segenap
tenaga dan kemampuannya sehingga pada saatnya telah terperas
habis. Dengan demikian, maka pada saatnya, orang Jipang itu
seakan-akan sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya.
Pada saat yang demikian, maka Sambi Wulung pun telah
melepaskan lawannya. Beberapa langkah ia mundur sambil memandangi perwira
Jipang yang terhuyung-huyung itu.
Namun dengan garangnya perwira Jipang itu menggeram,
"Akhir dari pertempuran adalah kematian. Aku masih hidup
sehingga aku masih akan sanggup melawan dan bahkan
membunuhmu." Tetapi Sambi Wulung menjawab, "Semua orang yang
menyaksikan perkelahian ini akan dapat mengatakan, siapa yang
kalah dan siapa yang menang. Kesombongan yang demikian
sama sekali tidak ada harganya. Tetapi jika kau ingin mati, kau
dapat membunuh dirimu sendiri, karena kau juga menggenggam
pedang. Kau dapat menusuk tenggorokanmu atau kau dapat
menusuk ke arah jantungmu."
"Gila," geram perwira dari Jipang itu. "Pengecut. Jika kau
prajurit, kau harus berani melihat darah dan melihat lawanmu
mati terkapar di tanah."
57 SH. Mintardja "Aku bukan prajurit. Aku mencari kemenakanku. Tidak lebih,"
berkata Sambi Wulung. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku
memang berbohong. Aku tidak sedang mencari Iswari, tetapi aku
ingin mengabarkan bahwa Iswari masih hidup."
"Aku tidak peduli. Aku tidak berkepentingan dengan
perempuan cengeng itu. Tetapi aku berkepentingan dengan
kekuatan yang tersimpan di Tanah Perdikan ini," teriak perwira
Jipang itu. "Tetapi kalian telah gagal untuk menempa mereka. Lihat
keempat pengawal itu tidak berarti sama sekali menghadapi
kawan-kawanku. Itukah hasil dari kerjamu disini" Dengan orang-
orang semacam itukah kalian akan pergi ke Pajang, menghadapi
prajuritnya Adipati Hadiwijaya" Sebutlah nama kakek nenekmu.
Kau hanya akan mengirimkan tubuh-tubuh yang akan menjadi
mayat di Pajang kelak. Sementara tenaga anak-anak muda ini
sangat dibutuhkan bagi tanah Perdikannya."
"Tutup mulutmu," teriak orang Jipang itu.
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi dipandanginya Gandar
sambil berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini."
Gandar mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kita sudah
terlalu lama berada di Tanah Perdikan Sembojan."
"He, apakah kalian orang Pajang?" berteriak orang Jipang itu
pula. "Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan Pajang,"
berkata Sambi Wulung. Lalu, "Maaf Ki Sanak. Kami terpaksa membawa kuda kalian.
Kami memerlukannya. Tetapi yang lebih penting, kami akan dapat meninggalkan
tempat ini dengan bebas tanpa diburu oleh isyarat yang akan
kalian bunyikan." "Tidak," teriak perwira dari Jipang itu. "Kalian tidak akan
dapat meninggalkan tempat ini."
58 SH. Mintardja Sambi Wulung berpaling ke arahnya. Tetapi perwira itu justru
terhuyung-huyung. Pandangannya mulai berkunang-kunang.
Tetapi perwira itu masih tetap bertahan. Sorot matanya yang
kabur itu masih tetap menyalakan kebencian.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Gandar dan adik seperguruannya, "Marilah. Kita
tinggalkan tempat ini."
Ketiga orang itu pun kemudian melangkah menuju ke kuda-
kuda yang tertambat. Sementara itu perwira dari Jipang itu berteriak kepada kedua
orang petani yang berdiri termangu-mangu. "Cegah mereka.
Cegah mereka. Cepat, pengecut."
Tetapi kedua orang petani yang menyaksikan perkelahian itu
dengan jantung yang berdegupan sama sekali tidak beringsut.
Dengan langkah-langkah yang tenang ketiga orang yang telah
melawan para pengawal dan seorang perwira Jipang itu pun
menuju dan kemudian meloncat ke punggung-punggung kuda.
Mereka memerlukan tiga ekor kuda. Tetapi dua ekor kuda yang
lain pun ternyata tidak mereka tinggalkan.
"Aku terpaksa membawanya pula," berkata Sambi Wulung.
Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun mulai bergerak.
Sementara perwira dari Jipang itu berteriak, "Tangkap mereka."
Tetapi suaranya hilang ditelan angin yang bertiup semakin
kencang di bulak itu. Yang kemudian terdengar adalah derap kaki-kaki kuda.
Sedangkan pandangan mata perwira Jipang yang terluka itu
menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya perwira itu telah jatuh
berlutut, dan bahkan kemudian jatuh terguling di tanah. Ternyata
ia pun telah menjadi pingsan.
Dalam pada itu, seorang pengawal yang kakinya bagaikan
lumpuh, namun masih memiliki kesadaran sepenuhnya itu pun
berteriak kepada para petani itu. "Cepat lari ke padukuhan
59 SH. Mintardja terdekat. Panggil para pengawal yang bertugas dan bunyikan
isyarat, agar semua pengawal bersiap. Perwira itu memerlukan
pertolongan dengan cepat. Demikian juga kawan-kawan yang
lain." Petani itu masih termangu-mangu. Namun pengawal itu sekali
lagi membentak, "Lakukan. Atau kalian harus dianggap
menentang para pengawal?"
Kedua orang petani itu menyadari, apa yang harus
dilakukannya. Karena itu, maka mereka pun segera berlari ke
padukuhan terdekat. Sejenak kemudian telah terdengar isyarat kentongan dalam
nada titir. Suaranya merambat dari satu padukuhan ke
padukuhan lain. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal
di semua padukuhan telah bersiap-siap karenanya menghadapi
segala kemungkinan. Namun mereka masih belum jelas, apakah
yang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
Namun sementara itu, ketiga orang yang telah berhasil
mengganggu para pengawal itu telah memacu kuda-kuda yang
berhasil mereka rampas menuju ke jalan keluar dari Tanah
Perdikan Sembojan. Namun mereka telah memilih jalan-jalan
sempit yang tidak mendapat pengawasan langsung dari para
pengawal Tanah Perdikan yang tentu telah bersiaga karena suara
kentongan yang telah bergema diseluruh Tanah Perdikan.
Karena itu, ketika sekelompok pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan dan beberapa orang perwira Jipang berderap melintasi
jalan-jalan bulak menuju ketempat kejadian, maka Sambi
Wulung dan kawannya telah meninggalkan Tanah Perdikan.
Yang terjadi kemudian adalah kesibukan yang luar biasa di
Tanah Perdikan itu. Dengan tergesa-gesa maka perwira Jipang yang terluka itu
telah dibawa ke banjar padukuhan terdekat untuk mendapat
perawatan yang lebih baik.
60 SH. Mintardja Sementara itu wajah Ki Rangga Gupita menjadi gelap. Ki
Randukeling pun merasa sangat terhina karena peristiwa yang
baru saja terjadi itu. Para pengawal Tanah Perdikan itu tidak dapat berbohong
tentang apa yang telah terjadi, karena ada dua orang petani yang
menyaksikan peristiwa itu. Sementara kedua orang petani itu
sudah memberikan keterangan lebih dahulu tentang peristiwa
yang sebenarnya terjadi. Bahkan perwira Jipang yang terluka
agak parah itu pun ternyata telah memberikan laporan yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya pula ketika ia telah menyadari tentang apa yang
terjadi atas dirinya. "Kita tidak perlu menyembunyikan kenyataan ini," berkata
perwira Jipang itu. "Aku kira orang-orang ini pulalah yang telah merampas kuda
dua orang pengawal sebelumnya. Tetapi sudah tentu mereka
tidak perlu datang dengan sekelompok orang. Ternyata seorang
di antara mereka mampu mengalahkan dua orang pengawal
tanpa mengalami kesulitan apapun juga dengan senjata yang
sangat sederhana." Keempat pengawal yang tidak berdaya menghadapi dua orang
di antara ketiga orang yang tidak dikenal itu hanya dapat
menundukkan kepala mereka. Perwira Jipang itu dengan
gamblang menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi,
sehingga keterangannya tidak berbeda dengan keterangan yang
telah diberikan oleh para petani yang menjadi saksi dari peristiwa
itu. "Jadi orang itu memiliki kemampuan melampaui kemampuan
para perwira dari Jipang?" bertanya Rangga Gupita.
"Ya," jawab perwira itu dengan jujur. "Bahkan agaknya orang
itu masih mampu meningkatkan kemampuannya."
"Apakah orang-orang itu para perwira dari Pajang?" bertanya
Rangga Gupita. 61 SH. Mintardja "Aku kira tidak. Aku mengenal para perwira Pajang. Ketiga
orang itu bertempur dengan cara mereka sendiri yang tidak mirip
dengan sikap dan tata gerak para perwira Pajang," jawab perwira
itu. "Mungkin mereka adalah petugas sandi dari Pajang yang
mempunyai cara sendiri dalam melaksanakan tugas mereka,
termasuk ciri-ciri mereka," berkata Rangga Gupita.
"Mungkin. Sebagaimana kau yang mungkin mempunyai gaya
yang jauh berbeda dengan prajurit Jipang pada umumnya,"
berkata perwira yang terluka parah itu.
Namun kemudian katanya, "Tetapi satu hal yang bagiku aneh.
Orang-orang itu tidak mau membunuh seorang pun di antara
kami. Dalam keadaan yang tidak berdaya, kami telah mereka
tinggalkan. Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh orang-orang
Pajang?" Rangga Gupita mengerutkan keningnya. Katanya, "Jika orang
itu orang Pajang, mungkin ia tidak akan membunuh para
pengawal. Tetapi kau yang dikenalnya sebagai seorang perwira
Jipang tentu tidak akan mendapat kesempatan untuk tetap
hidup. Bahkan mungkin dengan cara yang mengejutkan."
Perwira Jipang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia bergumam, "Aku sependapat. Jika orang itu orang
Pajang mungkin aku sudah dicincangnya," perwira itu terdiam
sejenak, lalu, "Ada segi yang lain yang harus mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh di Tanah Perdikan ini."
Rangga Gupita mengerutkan keningnya, "Apa itu?" ia
bertanya. Perwira Jipang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena tidak ada
orang lain yang berada di dekat Rangga Gupita yang
menungguinya, ia pun berkata perlahan-lahan, "Agaknya
persoalan keluarga Ki Wiradana telah mengundang pertentangan
di Tanah Perdikan ini. Ki Wiradana telah melakukan satu
kesalahan atas keluarganya, sehingga ada pihak yang merasa
tersisih dari lingkungan keluarga pemangku jabatan Kepala
62 SH. Mintardja Tanah Perdikan ini. Orang-orang itu telah menyebut-nyebut
nama Iswari. Istri Ki Wiradana yang tua. Sedang mereka telah
mengutuk Nyai Wiradana yang sekarang. Mereka menyebut-
nyebutnya sebagai penari janggrung."
Rangga Gupita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
justru tersenyum. Katanya, "Itu adalah persoalan Ki Wiradana. Tetapi istrinya
yang sekarang memang sangat cantik, meskipun barangkali ia
adalah bekas penari jalanan. Tetapi ia bukan penari sebagaimana
penari jalanan kebanyakan."
Perwira Jipang itu memandang Ki Rangga Guptita dengan
tajamnya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Bukan penari
jalanan kebanyakan yang bagaimana yang kau maksud?"
"Sudahlah, kita tidak usah membicarakan persoalan di
keluarga lain," potong Rangga Gupita.
"Aku tidak membicarakan urusan keluarga orang lain jika hal
ini tidak menyangkut tugas kita di Tanah Perdikan ini. He, kau
lihat salah satu akibatnya telah terjadi atasku dan barangkali
masih akan terjadi beberapa peristiwa yang lebih besar lagi.
Menilik sikap dan kemampuan mereka, maka mereka akan dapat
melakukan langkah-langkah yang lebih besar dari yang sudah
dilakukan sambil bergurau ini," jawab perwira itu.
"Jangan cemas. Persoalan keluarga itu akan segera teratasi.
Kau lihat disini ada Ki Randukeling. Apakah kau belum pernah
mendengar bahwa Ki Randukeling adalah orang yang sulit untuk
dicari duanya. Ia memiliki kemampuan sebagaimana Patih
Mantahun. Serahkan persoalan keluarga itu kepadanya dan
kepada saudagar emas berlian yang juga berada di sini."
"Saudagar yang pernah dirampok dan tidak mampu
mempertahankan miliknya itu" Kau kira bahwa perampok
itu tidak ada hubungannya dengan ketiga orang yang aku
jumpai itu" Juga yang telah merampas kedua ekor kuda
pengawal yang terdahulu" Bahkan aku mengira, bahwa
63 SH. Mintardja serombongan pengamen dengan penari yang mirip dengan
Nyai Wiradana itu bukan satu kebetulan. Dan bahwa penari
itu mungkin Nyai Wiradana itu sendiri," berkata perwira
itu. "He, kenapa kau telah memasuki persoalan keluarga Ki
Wiradana terlalu dalam" Sudahlah. Jangan kau pikirkan.
Aku tidak menyalahkan Ki Wiradana dan siapapun juga
dalam persoalan keluarga itu. Tetapi yang penting, kita
harus menyiapkan sepasukan pengawal yang kuat menuju
ke Pajang. Prajurit Jipang yang berangkat langsung ke
Pajang sudah ada di tempat yang ditentukan. Sementara
Pajang sekarang telah lemah karena sepasukan yang kuat
telah meninggalkan Pajang untuk ditempatkan disebelah
Barat Bengawan Sore berhadapan dengan pasukan Jipang
yang membayangi Demak," berkata Rangga Gupita.
Perwira Jipang yang terluka itu termangu-mangu. Tetapi
ia tidak sependapat, bahwa persoalan keluarga Ki Wiradana
diabaikan dari persoalan Tanah Perdikan itu dalam
keseluruhan. Karena ternyata bahwa persoalan keluarga itu
pada akhirnya akan menjadi sangat mengganggu.
Ki Rangga Gupita melihat keragu-raguan membayang di
wajah perwira yang terluka itu berkata hampir berbisik,
"Dengar. Kau tidak boleh terseret oleh arus perasaanmu.
Yang penting kita berhasil menyusun satu pasukan untuk
menyerang Pajang. Jangan hiraukan apa yang kemudian
terjadi di Tanah Perdikan ini. Itu bukan persoalanmu,
bahkan seandainya Tanah Perdikan ini akan hancur karena
persoalan keluarga Ki Wiradana itu, asal pasukan yang kita
perlukan sudah berangkat menuju Pajang. Satu langkah
yang harus cepat kita lakukan sebelum terlambat."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk kecil ia berkata, "Aku mengerti."
64 SH. Mintardja "Serahkan persoalan kecil itu kepada Ki Wiradana, Warsi
dan Ki Randukeling sendiri," desis Ki Rangga Gupita.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu lagi. Yang kemudian sibuk mempersoalkan ketiga orang yang
tidak dikenal itu adalah keempat pengawal yang telah
dikalahkan oleh dua orang di antara orang-orang yang tidak
dikenal itu. Mereka pun merasa heran, bahwa orang-orang
itu telah meninggalkan mereka justru ketika mereka sudah
tidak berdaya. Seperti yang pernah terjadi, orang-orang itu
sama sekali tidak membunuh. Demikian juga orang yang
telah merampas kuda para pengawal yang terdahulu.
Ketika dua orang pengawal yang lebih dahulu pernah
kehilangan kudanya itu mengunjungi keempat kawannya
yang terluka itu maka diluar sadar mereka telah berbincang
tentang perisitiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
"Apakah benar waktu kalian telah dirampok oleh
sekelompok orang yang terdiri dari banyak orang?"
bertanya salah seorang dari para pengawal yang terluka itu.
Kedua orang pengawal itu saling berpandangan. Namun
kemudian seorang di antara mereka berkata, "Tidak.
Sebenarnya hanya dua orang sajalah yang mencegat kami
dan merampas kuda-kuda kami. Waktu itu kami merasa
malu, bahwa kami, pengawal yang sudah terlatih secara
khusus masih dikalahkan oleh orang-orang tidak dikenal.
Tetapi setelah seorang di antara para perwira Jipang itu
juga dikalahkan, maka aku baru yakin, bahwa orang-orang
itu memang memiliki ilmu yang bukan tandingan kami."
Keempat orang yang terluka itu mengangguk-angguk.
Bahkan kemudian pembicaraan mereka pun telah
merembet pada pengertian-pengertian yang sengaja
65 SH. Mintardja dilontarkan oleh orang-orang yang selalu mengganggu
ketertiban di Tanah Perdikan itu.
"Aku semakin yakin, bahwa mereka mempunyai
hubungan dengan Nyai Wiradana yang hilang itu. Ada
semacam dendam yang tersirat di hati mereka kepada Nyai
Wiradana yang sekarang," tiba-tiba seorang di antara para
pengawal itu berdesis. "Aku sudah lama tertarik kepada persoalan ini," berkata
pengawal yang lain. "Jika sekali lagi aku bertemu dengan mereka, aku ingin
berbicara. Tidak berkelahi."
Para pengawal yang lain agaknya sependapat dengan
kawannya itu. Namun mereka tidak mengucapkannya.
Dalam pada itu, peristiwa yang telah terjadi dengan
seorang perwira Jipang dan empat orang pengawal itu
benar-benar telah menarik perhatian. Beberapa orang
pengawal mulai memikirkan sebagaimana dikatakan oleh
orang-orang yang tidak dikenal itu. Apakah cukup besar
manfaatnya jika mereka pergi ke Pajang bersama dengan
sepasukan pengawal yang kuat. Apakah kepergiannya itu
akan dapat memberikan arti bagi Tanah Perdikan
Sembojan. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang berani
mempertanyakannya, meskipun ada juga yang berani
membisikkan ketelinga kawan-kawannya terdekat.
Yang kemudian menjadi pusat perhatian tetangga-
tetangganya adalah kedua orang petani yang melihat sendiri
apa yang telah terjadi di bulak di siang hari itu.
Satu perkelahian yang membuat mereka menjadi pening.
66 SH. Mintardja "Tetapi ternyata orang-orang yang tidak dikenal itu
memenangkan perkelahian," berkata salah seorang dari
mereka. "Tetapi yang menarik adalah kata-kata mereka pada saat-
saat terakhir," berkata yang lain. "Menurut orang-orang itu,
maka mereka meyakini bahwa Nyai Wiradana itu masih
hidup." "Itu tentu benar," tiba-tiba seorang di antaranya
menyahut. "Penari itu tentu Nyai Wiradana."
"Kau sudah melihatnya?" bertanya petani yang
menyaksikan perkelahian di tengah bulak itu.
"Sudah. Kami, hampir seisi padukuhan ini pernah
melihat perempuan yang mirip Nyai Wiradana itu. Sebagai
seorang penari ia nampak sangat cantik. Lebih cantik dari
Warsi," berkata tetangganya itu. Bahkan ia pun bertanya,
"Apakah kau belum pernah melihatnya" Aku kira kau pun
pernah ikut berkerumun di pojok padukuhan itu ketika
rombongan itu kebar. Bahkan ketika rombongan itu diminta
untuk melakukan pertunjukan di rumah Ki Saenu, kau juga
ada disana." "Ya. Aku juga pernah melihatnya," jawab petani itu. "Dan
aku pun sependapat, bahwa penari itu adalah Nyai
Wiradana. Tidak lain. Seandainya ia tidak mengaku maka
itu tentu sekadar satu langkah yang kurang kita mengerti.
Tetapi bahwa ia berada di jalan-jalan sambil menari itu
tentu dengan satu maksud tertentu yang lebih jauh dari
sekadar menyindir." Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu
mengangguk-angguk. Agaknya orang-orang di padukuhan
itu dapat saling mendekatkan pendapat mereka tentang
penari yang mirip dengan Nyai Wiradana itu.
67 SH. Mintardja Adalah diluar kehendak mereka, bahwa telah terbersit di
dalam hati mereka, mengharapkan penari itu datang
kembali ke padukuhan itu.
"Tetapi jika rombongan itu berani mendekati padukuhan,
maka mereka tentu akan di tangkap?" orang-orang itu pun
merasakan kecemasan pula tentang rombongan itu.
Namun kedua petani yang melihat ketiga orang yang
tidak dikenal itu bertempur, maka mereka menduga, bahwa
ketiga orang itu merupakan sebagian dari para penabuh
gamelan yang mengiringi penari yang mirip dengan Nyai
Wiradana itu. "Tentu sulit untuk menangkap mereka," berkata petani
itu di dalam hatinya. Tetapi mereka pun sadar, jika dikerahkan duaratus orang
pengawal khusus dan duapuluh orang perwira dari Jipang,
maka mereka mungkin akan dapat ditangkap.
Namun dengan demikian, maka rasa-rasanya hubungan
perasaan Nyai Wiradana yang hilang itu tidak terputus lagi
karena mereka tidak begitu banyak berhubungan dengan
Nyai Wiradana yang sekarang, karena Nyai Wiradana jarang
sekali berada di antara rakyat Tanah Perdikan Sembojan
sebagaimana Ki Wiradana yang hanya berada di dalam
lingkungan tertentu saja. Yang nampak pada rakyatnya


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah bahwa Tanah Perdikan Sembojan kemudian menjadi
Tanah Perdikan yang kuat, yang mampunyai pasukan
pengawal yang terlatih baik, tidak ubahnya para prajurit
Pajang dan Jipang. Namun untuk membiayai pengawal
yang sekian banyaknya itu, rakyat Tanah Perdikan
Sembojan harus memeras keringat dan bekerja keras.
68 SH. Mintardja Tetapi sementara itu, peristiwa yang terjadi di bulak itu
bagi para perwira Jipang merupakan satu dorongan untuk
segera menentukan langkah-langkah yang cepat.
"Kita tidak perlu memikirkan keadaan Tanah Perdikan
ini," berkata Ki Rangga Gupita.
"Aku memang pernah berkata kepada Ki Wiradana agar
sebelum kita berangkat ke Pajang tanah ini harus
dibersihkan dahulu. Tetapi sudah tentu kita tidak akan
mengorbankan kepentingan Jipang. Jika keadaan Tanah
Perdikan ini justru menjadi semakin kalut, maka biarlah
kita menyerahkannya kepada Ki Wiradana sepeninggal kita.
Ki Randukeling tentu tidak akan berkeberatan, karena Ki
Randukeling juga lebih memperhatikan kepentingan Jipang
daripada Tanah Perdikan ini. Namun kita akan memberikan
beberapa pesan seolah-olah kita benar-benar memikirkan
keadaan Tanah Perdikan ini. Seolah-olah dengan prihatin
kita berangkat dan membagi perhatian kita untuk Pajang
dan untuk Tanah Perdikan ini."
Beberapa orang perwira yang tertua yang diajak
berbicara Ki Rangga itu mengangguk-angguk. Agaknya
mereka sependapat, bahwa mereka tidak boleh terlalu lama
membiarkan pasukan Jipang yang mendekati Pajang dari
arah yang lain menunggu dan tidak berbuat apa-apa. Dalam
kejemuan para prajurit yang sudah siap untuk bertempur
akan dapat berbuat hal-hal yang aneh-aneh di luar
perhitungan para pemimpin mereka.
Dengan demikian, maka Ki Rangga Gupita dan para
perwira tertua telah mempersiapkan pasukannya. Duaratus
orang pengawal khusus telah disiapkan hampir semuanya,
meskipun untuk mengelabuhi Ki Wiradana agar mereka
dianggap memperhatikan semua kepentingan, telah
diputuskan untuk ditinggalkan sebanyak duapuluh lima
69 SH. Mintardja orang yang akan memimpin para pengawal di padukuhan-
padukuhan. Di samping mereka akan diberangkatkan juga pengawal
yang dipilih dari para pengawal yang terdapat di
padukuhan-padukuhan. Justru dalam jumlah berlipat
ganda dari para pengawal khusus itu.
Namun para pengawal dari padukuhan-padukuhan itu
telah pernah mendapat latihan-latihan pula dari kawan-
kawan mereka yang termasuk para pengawal khusus,
sehingga mereka pun akan mampu menyesuaikan diri
dengan medan yang akan mereka hadapi, di samping
kesediaan para pemimpin pasukan Jipang untuk membaur
sekelompok pasukan mereka di antara para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan itu. Ki Wiradana sudah tidak dapat berbuat lain daripada
menyerahkan anak-anak muda terbaik Tanah Perdikan itu
kepada Jipang. Pada saat-saat ia ragu-ragu, maka Warsi
pun telah menekankan kepadanya, bahwa pasukan itu harus
berangkat ke Pajang. Mereka harus menghancurkan Pajang
di tempat mereka sendiri. Bukan Tanah Perdikan itulah
yang akan menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.
Namun dalam pada itu, sebelum pasukan yang disusun
itu berangkat meninggalkan Tanah Perdikan, maka Ki
Rangga menganggap perlu untuk meningkatkan kesiapan
jiwani dari pasukan, baik yang berangkat ke Pajang,
maupun yang akan tinggal di Tanah Perdikan.
"Satu pertanggungjawaban," berkata Ki Wiradana kepada
para pemimpin Tanah Perdikan. "Kami telah menggunakan
uang yang kami pungut dari rakyat, karena itu biarlah
mereka menyaksikan kekuatan yang dibangun dengan
mempergunakan uang mereka itu. Dengan demikian
70 SH. Mintardja mereka mengerti, bahwa pajak yang mereka bayar ternyata
tidak sia-sia." Demikianlah, pada hari yang ditentukan, disebuah arena
yang cukup luas di luar padukuhan induk Tanah Perdikan
telah diselenggarakan permainan yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Permainan yang hanya dilakukan di
alun-alun Pajang, Jipang dan Kadipaten-kadipaten lain dan
yang lebih besar lagi di Demak.
"Sodoran dan beberapa permainan ketangkasan dari
pada pengawal," berkata orang-orang Tanah Perdikan yang
menjadi ramai. Sejak matahari terbit di tempat yang sudah dipasang
gawar berkeliling itu, menjadi ramai dikunjungi oleh orang-
orang Tanah Perdikan. Laki-laki perempuan, tua muda,
bahkan hampir semua orang dari padukuhan induk dan
sebagian besar dari penghuni Tanah Perdikan itu.
Mereka berkumpul di ara-ara yang luas, yang biasanya
menjadi tempat anak-anak Tanah Perdikan itu
menggembala kambing, lembu dan kerbau, untuk
menyaksikan suatu pertunjukan yang belum pernah mereka
lihat. Bahkan kesempatan itu merupakan kesempatan yang
baik pula bagi orang-orang Tanah Perdikan itu yang
berjualan makanan. Jauh sebelum matahari terbit, mereka
sudah mencari tempat yang dianggap paling baik untuk
menjajakan jualannya, karena menurut pendengaran
mereka, permainan ketangkasan para pengawal itu akan
berlangsung sampai sore. Satu di antara pertunjukan yang akan menjadi paling
menarik adalah pertunjukan membunuh seekor harimau
71 SH. Mintardja yang dilakukan hanya oleh tiga orang pengawal bersenjata
pedang pendek. Seorang anak yang sedang mulai tumbuh berkata kepada
temannya, "Kenapa pengawal itu mesti bertiga" Apakah
tidak dapat diselenggarakan permainan yang lebih baik?"
Kawannya yang sebaya bertanya, "Lebih baik
bagaimana?" "Tidak tiga orang, tetapi satu orang," jawab anak itu.
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Itu
sangat berbahaya. Bagaimana jika yang mati bukan
harimaunya?" "He, apakah kau sudah melihat harimau yang dikurung
di banjar itu?" "Sudah," jawab kawannya.
"Tidak terlalu besar," berkata anak itu. "Aku pernah
melihat harimau yang lebih besar yang dibunuh beramai-
ramai oleh orang-orang padukuhan, ketika harimau itu
keluar dari hutan dan berusaha mencari kambing. Sudah
ada dua ekor kambing yang hilang, sehingga orang-orang
padukuhan bersiap-siap menjebaknya."
Kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia
tidak menjawab. Sementara itu, ketika matahari mulai naik, maka ara-ara
itu rasa-rasanya sudah tidak muat lagi orang-orang yang
berdatangan. Bahkan ada beberapa orang dari luar Tanah
Perdikan Sembojan yang ingin ikut menyaksikan
pertunjukan yang tentu sangat menarik itu.
Ketika panas matahari mulai terasa gatal dikulit, maka
persiapan-persiapan pun telah selesai dilakukan. Ara-ara itu
72 SH. Mintardja menjadi gemuruh ketika para pengawal mulai memasuki
lingkungan yang sudah ditentukan. Sekelompok pasukan
berkuda telah memasuki ara-ara itu lebih dahulu. Dengan
kuda-kuda yang tegar mereka berderap mengelilingi arena
yang sudah dipersiapkan dan dipagari dengan gawar lawe
dan di tandai dengan janur-janur yang berwarna kekuning-
kuningan. Perasaan kagum memang telah menyentuh hati orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan.
Mereka telah mengira, bahwa anak-anak mereka mampu
mempertunjukkan satu permainan berkuda yang
mengasyikkan. Berlari-lari berkeliling kemudian berderap
dengan langkah-langkah kecil, nyirik dan kemudian kembali
nyongklang dengan langkah-langkah panjang.
Anak-anak yang menyaksikan permainan itu dengan
tanpa mengingat persoalan-persoalan lain yang
menyangkut kehidupan para pengawal serta biaya yang
mendukungnya, telah dengan serta merta bertepuk tangan
sambil berteriak-teriak mengaguminya.
Namun orang-orang tua mereka ternyata disamping
kekagumannya, masih juga dibayangi oleh besarnya pajak
yang harus mereka pikul untuk membiayai pasukan
pengawal yang mengagumkan itu. Namun yang akhirnya,
Kadipaten Jipanglah yang akan mempergunakan mereka
justru untuk memerangi Pajang, Kadipaten yang seharusnya
menjadi kiblat pemerintahan Tanah Perdikan Sembojan.
Demikian pasukan berkuda itu selesai dengan permainan
mereka, ternyata sebagian dari mereka tidak keluar arena.
Mereka justru berpencar untuk mengamati dan menjaga
agar orang-orang yang menonton permainan ketangkasan
itu tidak memasuki arena.
73 SH. Mintardja Permainan berikutnya masih permainan kelompok-
kelompok pengawal. Mereka menunjukkan kemampuan
mereka untuk memasang gelar. Meskipun hanya oleh
beberapa puluh orang pengawal, tetapi orang-orang Tanah
Perdikan dapat melihat beberapa macam gelar yang
dipertunjukkan oleh pasukan itu. Dengan satu jenis gelar,
pasukan itu berarak dari Utara ke Selatan. Kemudian
kembali ke Utara dengan perubahan gelar yang lain. Dari
Garuda Nglayang yang berubah menjadi Supit Urang.
Kemudian berubah menjadi Dirada Meta dan kemudian
Cakra Byuha, Wulan Panunggal dan Gedong Minep. Mereka
juga memperagakan bagaimana mereka dapat menjebak
lawan mereka dengan gelar Jurang Grawah dan yang
kemudian melanda pasukan lawan dengan Gelar Samodra
Rob. Anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang menyaksikan
pertunjukan itu tidak henti-hentinya berteriak-teriak
kekaguman. Apalagi yang di dalam permainan itu ikut serta
kakak-kakak mereka. Maka rasa-rasanya tali suara mereka
dileher akan terputus karenanya.
Namun sementara itu, maka orang-orang yang
memanfaatkan peristiwa itu dengan berjualan makanan dan
minuman, ternyata telah menjadi sangat laku. Anak-anak
yang kelelahan berrteriak-teriak dan kepanasan oleh sinar
matahari yang naik semakin tinggi di langit telah
mengerumuni mereka dan membeli berbagai macam
makanan dan minuman. Ara-ara itu menjadi bagaikan meledak, ketika
pertunjukan di arena mulai berubah dengan permainan
kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang dimulai dengan
permainan yang mendebarkan. Tiga orang pengawal akan
74 SH. Mintardja membunuh seekor harimau yang garang yang akan dilepas
ditengah-tengah arena itu.
Untuk beberapa saat telah diadakan persiapan-
persiapan. Sebuah kerangkeng telah dibawa ke arena di atas
pedati. Lembu yang menarik pedati itu menjadi sangat
gelisah, karena setiap kali terdengar harimau itu
menggeram dengan penuh kemarahan.
Ketika harimau itu sudah berada ditengah-tengah arena,
maka sekelompok pengawal dengan senjata tombak telah
menebar memagari arena, sementara itu tiga orang
pengawal terpilih memasuki arena dengan pedang pendek
ditangan. Suara gemuruh bagaikan meruntuhkan langit.
Kebanggaan memang telah mencengkam orang-orang
Tanah Perdikan. Untuk beberapa saat mereka melupakan
beban mereka harus memeras keringat untuk membayar
pajak. Ketika para pengawal yang memagari arena dengan
tombak di tangan itu sudah siap dan ketiga orang pengawal
yang akan membunuh harimau itu dengan pedang
pendeknya juga sudah siap, maka seorang pemimpin
pengawal telah maju mendekati kerangkeng yang berada di
atas pedati, menghadap ke belakang. Dibantu oleh beberapa
orang pengawal, maka pemimpin pengawal itu telah
memberikan aba-aba dan kemudian dengan hati-hati
menarik pintu kerangkeng.
Sejenak kemudian harimau yang marah karena
kebebasannya yang dibatasi oleh kerangkeng yang sempit
itu tiba-tiba saja mengaum dengan dahsyatnya sambil
meloncat keluar dari kerangkengnya.
75 SH. Mintardja Ketegangan telah mencengkam bukan saja ketiga orang
pengawal yang harus membunuhnya dan para pengawal
yang memagari arena itu dengan jarak dua langkah dengan
tombak ditangan yang mulai merunduk, tetapi para
penonton pun menjadi tegang pula.
Di tempat yang sudah disiapkan sebelumnya, para
pemimpin Tanah Perdikan serta para pelatih yang datang
dari Jipang menyaksikan permainan itu dengan tegang
pula. Bagaimana pun juga, seekor harimau adalah seekor
binatang buas yang sulit diajak bermain-main. Apalagi
untuk dibunuh. Sementara kemarahan telah bergejolak
karena perlakuan yang tidak sewajarnya.
Beberapa saat kemudian, ketiga orang pengawal yang
berdiri berpencar di tengah-tengah arena itu mulai


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak. Dengan pedang teracu mereka setapak demi setapak
melangkah mendekati harimau yang berdiri dengan
garangnya memandang berkeliling arena.
Namun kemarahan pun menjadi semakin memuncak
ketika mereka melihat tiga orang yang datang mendekatinya
untuk mengusiknya. Karena itu, maka harimau itu pun
menggeram. Kemudian berputar setengah lingkaran.
Namun tiba-tiba ia mulai merunduk sambil mengawasi
salah seorang dari ketiga pengawal itu dengan matanya
yang bagaikan memancarkan cahaya kehijauan.
Pengawal yang menjadi sasaran itu berhenti. Dengan
jantung yang berdebar-debar ia menunggu harimau itu
menerkamnya dengan pedang teracu, sementara kedua
orang kawannya telah melangkah mendekat. Mereka harus
berbuat sesuatu untuk membantu kawannya yang menjadi
sasaran serangan harimau yang marah itu, serta membuat
harimau itu menjadi bingung.
76 SH. Mintardja Namun agaknya harimau yang marah itu tidak
menghiraukan mereka. Sejenak kemudian, maka terdengar
harimau itu mengaum sambil meloncat menerkam.
Demikian cepatnya, sehingga beberapa orang yang
menyaksikan telah terpekik tanpa disadari.
Pengawal yang menjadi sasaran serangan harimau itu
berusaha untuk menghindar.
Tetapi harimau itu mampu bergerak cepat pula. Seolah-
olah harimau itu telah menggeliat ketika sasarannya
bergerak. Tangannyalah yang kemudian menggapai dengan
cepatnya. Pengawal itu tangkas pula. Ia sempat bergeser. Namun
ternyata bahwa kuku-kuku harimau yang tajam itu sempat
menyentuhnya sehingga ujung kuku-kuku itu telah
mengoyak bukan saja pakaiannya, tetapi juga kulitnya.
Namun hampir berbareng dua orang pengawal yang lain
telah meloncat menerkam harimau itu dengan ujung
pedang mereka. Namun karena harimau itu pun kemudian
bergeser, maka ujung-ujung pedang itu tidak langsung
dapat menikam punggung dan lambung harimau itu, tetapi
sekadar menyentuh kulitnya meskipun berhasil melukainya.
Perasaan sakit itu membuat harimau yang marah itu
semakin marah. Dengan garangnya maka harimau itu pun
telah menerkam seorang di antara mereka tanpa merunduk
lebih dahulu. Namun pengawal itu pun berusaha untuk
menghindar pula, meskipun ternyata bahwa seperti
pengawal yang pertama, tubuhnya tidak luput dari goresan
kuku-kuku harimau yang tajam itu, sehingga darah pun
mulai mengalir. Tetapi dalam kesempatan itu, seorang pengawal yang lain
sempat menyerang harimau itu dan menikam pada
77 SH. Mintardja lehernya. Tetapi agaknya ujung pedangnya tidak tepat
mengenai sasarannya, karena harimau itu melenting sambil
menggapai dengan tangannya. Ujung pedang itu hanya
menggores punggung dan melukainya agak dalam.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 13. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
78 SH. Mintardja Jilid Ke tiga belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 79 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja PADA SAAT yang bersamaan dua orang pengawal
yang lain pun telah menyerang bersama-sama. Para
pengawal yang terlukapun menjadi marah. Karena itu maka
mereka pun menjadi lebih garang menghadapi kemarahan
harimau itu. Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi
semakin seru. Para pengawal yang memagari arena itu
justru telah berlutut pada sebelah kakinya, namun tetap
bersiaga denga tombaknya, untuk memberi kesempatan
kepada orang-orang yang berada di belakang mereka
menyaksikan perkelahian itu, serta para pengawal berkuda
yang jumlahnya telah berkurang itu pun berusaha untuk
selalu bergeser agar kesempatan melihat pun merata di
antara orang-orang yang berdiri di luar gawar.
Ketika perkelahian menjadi semakin menegangkan,
maka orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat
lagi menahan diri. Jika seorang pengawal berhasil
menusukkan pedangnya maka yang terdengar adalah sorak
yang membahana bagaikan meruntuhkan langit. Bukan
hanya anak-anak dan remaja. Tetapi orang-orang tua
bahkan perempuan-perempuan pun telah berteriak-teriak
pula sekuat-kuatnya. Hiruk pikuk itu ternyata telah membuat mereka yang
bertempur itu bagaikan kehilangan nalar. Mereka seolah-
olah menjadi mabuk dan bingung. Bukan saja harimau yang
telah menjadi merah oleh darahnya yang meleleh dari luka-
lukanya. Tetapi ketiga orang pengawal itu pun seakan-akan
menjadi wuru pula. Para pemimpin pengawal yang melihat perkelahian itu
menjadi berdebar-debar. Seorang di antara mereka telah
2 SH. Mintardja melangkah mendekati diikuti oleh beberapa orang
pengawal, sementara harimau yang terluka itu menjadi
seperti gila. Tetapi oleh darahnya yang semakin deras mengalir, maka
tubuh harimau itu pun menjadi semakin lemah.
Namun demikian tidak ada jalan untuk lari. Harimau itu
sama sekali bukannya bertempur karena harga dirinya
sehingga meskipun tubuhnya menjadi kesakitan dan
kehilangan tenaganya tetapi tidak mau meninggalkan arena.
Namun harimau itu memang tidak melihat jalan keluar dari
arena itu. Dia putar arena, para pengawal yang berlutut
pada sebelah kakinya, telah menyiapkan tombak masing-
masing sehingga jika harimau itu berniat untuk lari, maka
ujung-ujung tombak para pengawal yang akan
menyongsongnya. Untuk beberapa saat harimau itu masih bertempur. Kukunya masih juga sempat mengoyak pundak salah seorang lawannya, sehingga ketiga
orang pengawal yang berkelahi melawan harimau
itu semuanya telah terluka.
Namun ketiganya masih sanggup berdiri tegak dengan
pedang teracu. Ketika perasaan sakit tidak
lagi dapat ditahankannya maka harimau itu benar- 3 SH. Mintardja benar menjadi gila. Dengan marahnya ia menggeram.
Namun tiba-tiba saja harimau itu telah meloncat berlari
meninggalkan arena pertempuran.
Para pengawal yang melingkari arena itu terkejut. Di arah
harimau itu lari, maka para pengawal segera bangkit dan
mengacukan tombak mereka. Tetapi tiba-tiba saja harimau
yang berlumuran darah itu berbelok dan demikian cepatnya
meloncati para pengawal yang masih belum bersiap.
Tetapi para pengawal pun dengan sigapnya menyongsong
pula. Beberapa ujung tombak bersama-sama telah
menerima harimau itu, bagaikan memetiknya di udara
dengan ujung-ujung tombak. Tetapi harimau itu cukup
berat, dan dorongan loncatannya cukup keras sehingga
harimau itu bagaikan terlempar ke luar arena dengan
beberapa ujung tombak tertancap ditubuhnya.
Yang terdengar adalah suara auman yang dahsyat sekali.
Orang-orang yang berdiri di luar arena menjerit-jerit
ketakutan. Mereka menyangka bahwa harimau itu berhasil
lolos dari kepungan sehingga mereka telah berdesakan
berlari-lari meninggalkan tempatnya. Sambil memekik-
mekik mereka saling mendorong, saling mendesak dan
bahkan ada yang terjatuh dan terinjak-injak.
Tetapi kekacauan itu tidak berlangsung lama. Beberapa
orang kemudian sempat melihat harimau itu jatuh,
menggeliat sambil menggeram penuh kemarahan, tetapi
kekuatannya sudah surut sampai kebatas.
Meskipun demikian, ada beberapa orang yang terpaksa
dibawa menyingkir, karena terinjak-injak orang-orang yang
berjejal-jejal berusaha menjauh, karena mereka menyangka
bahwa harimau yang garang itu terlepas.
4 SH. Mintardja Dalam pada itu, para pengawal pun telah mengerumuni
harimau yang terbaring diam.
Harimau itu telah mati dibunuh oleh para pengawal
dengan luka arang keranjang. Luka yang menganga hampir
diseluruh tubuhnya. Tidak terdengar sorak yang bagaikan memecahkan langit
karena orang-orang yang menonton pertarungan itu masih
dicengkam oleh ketegangan. Namun setelah mereka
menjadi tenang kembali, maka mereka pun memandang
dengan penuh kekaguman. Bagaimanapun juga orang-orang
Tanah Perdikan itu berbangga karena anak-anak muda
mereka memiliki ketangkasan yang tinggi sebagaimana
ketangkasan seorang prajurit.
Namun seorang laki-laki tua justru telah meninggalkan
gelanggang itu berteduh dibawah sebatang pohon di pinggir
arena itu sambil terpekur.
Disebelahnya seorang penjual minuman bertanya,
"Sudah letih Wakne?"
Laki-laki tua itu berpaling. Dengan kerut di dahinya ia
justru menyapa, "Kau nDuk. Kau juga berjualan?"
"Mumpung ada keramaian Wakne," jawab perempuan
penjual minuman itu. Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
penjual minuman itu bertanya, "Bukankah kakang ikut
dalam permainan itu?"
"Ya. Kakangmu ikut. Ia menunjukkan ketangkasannya
melawan seekor harimau. Tiga orang pengawal mampu
memenangkan pertarungan melawan seekor harimau yang
sangat garang," jawab laki-laki tua itu.
"Wakne berbangga?" bertanya perempuan itu.
5 SH. Mintardja "Sebenarnya aku berbangga," jawab laki-laki tua itu.
"Kenapa, sebenarnya?" bertanya perempuan penjual
minuman itu pula. Laki-laki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ada
semacam penyesalan yang memancar di wajahnya. Dengan
nada datar ia pun kemudian berkata, "Aku berbangga
karena anakku memiliki kemampuan seorang prajurit.
Adalah sulit dipercaya bahwa anakku, hanya anak seorang
laki-laki dungu pada suatu saat memiliki kemampuan yang
tinggi." "Seharusnya Wakne bersyukur," desis perempuan itu.
"Aku memang bersyukur," jawab laki-laki itu. "Tetapi aku
tidak ikhlas jika anakku besok harus berangkat ke Pajang
untuk memusuhi Kadipaten itu. Selama ini Tanah Perdikan
Sembojan merupakan daerah perdikan yang berada
dibawah perlindungan Pajang. Bukan Jipang. Tiba-tiba kini
Ki Wiradana berpaling dan bahkan sekaligus ikut
memerangi Pajang." Perempuan itu mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu
mengerti persoalan yang dikatakan oleh laki-laki itu. Tetapi
ia mengerti bahwa laki-laki itu tidak mengikhlaskan
anaknya yang menjadi pengawal itu pergi ke Pajang sebagai
prajurit yang berpihak pada Jipang.
Namun karena itu, maka perempuan penjual minuman
itu tidak menjawab. Tetapi ia menuang semangkuk


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minuman dan memberikannya kepada laki-laki tua itu
sambil berkata, "Minumlah Wakne."
Laki-laki tua itu mengangkat wajahnya. Sambil
menerima minuman itu ia berkata, "Terima kasih nduk.
Berapa?" 6 SH. Mintardja "Ah, hanya minuman dingin. Tidak usah Wakne," jawab
perempuan itu. "Tetapi bukankah minuman ini kau jual?" bertanya laki-
laki itu. "Biar sajalah. Untuk Wakne aku tidak menjualnya,"
jawab perempuan itu. Laki-laki itu tidak menjawab.
Dipandanginya perempuan itu sejenak. Namun tiba-tiba ia
tertarik kepada sorak yang menggelegar. Tentu ada sesuatu
yang menarik orang-orang yang menyaksikan arena itu.
"Permainan apa lagi?" desis laki-laki tua itu.
"Permainan yang tentu sangat menarik," jawab
perempuan itu. "Wakne aku titip daganganku. Aku akan
melihat sebentar." Perempuan itu tidak menunggu jawaban laki-laki tua
yang masih memegangi mangkuk yang belum diminumnya
itu. Namun kemudian ia pun meneguknya sambil beringsut
mendekati dagangan yang ditinggalkan itu, karena
perempuan penjual minuman itu menitipkannya
kepadanya. Sorak yang riuh masih terdengar memenuhi ara-ara itu.
Bergelombang susul menyusul.
Beberapa orang pengawal akan menunjukkan
ketangkasan mereka mempergunakan busur dan anak
panah. Sasaran yang dibawa berlari di atas punggung kuda
harus mereka kenai. Sebuah jeruk bali yang ditancapkan di
atas ujung tombak. Sejenak kemudian beberapa orang pengawal dengan
busur dan anak panah telah bersiap di arena. Dengan tidak
sabar orang-orang yang menyaksikan permainan itu
menunggu. 7 SH. Mintardja Namun sejenak kemudian, beberapa orang berkuda telah
bersiap dengan sasaran yang harus dikenai oleh para
pengawal yang akan menunjukkan ketangkasan mereka
memanah. Ketika terdengar aba-aba , maka semuanya segera
bersiap. Penonton pun menjadi kehilangan kesabaran,
sehingga mereka telah berdesak-desakan.
Ketika terdengar suara bende maka lepaslah tiga ekor
kuda yang penunggangnya masing-masing membawa
sasaran. Ketiga ekor kuda itu berlari-lari berputar beberapa
saat. Baru kemudian mereka memasuki daerah sasaran
anak panah yang akan dilepaskan oleh para pengawal yang
memegang busur dan endong di punggung yang berisi anak
panah. Ketiga ekor kuda itu mengambil jarak. Sesaat kemudian
kuda yang pertamalah yang berlari melintasi sederet
pengawal yang telah siap menarik busurnya. Demikian kuda
itu lewat dengan penunggang yang membawa jeruk bali di
ujung tombaknya yang terangkat, maka beberapa anak
panah telah terlepas dari busurnya.
Sorak yang gemuruh telah terdengar lagi. Anak panah
yang terlepas dari busur-busur itu telah hinggap pada buah
jeruk bali yang dibawa berlari di atas punggung kuda itu.
Belum lagi sorak itu mereda, maka sasaran kedua pun
telah melintas. Dengan sigapnya para pengawal menarik
anak panah dari endongnya di punggung serta seakan-akan
tanpa membidik, maka anak panah itu pun telah mengejar
sasarannya. Sorak para penonton pun bagaikan meruntuhkan langit.
Anak panah yang terlepas itu telah menancap pada sasaran
kedua 8 SH. Mintardja Sekejap kemudian telah disusul dengan sasaran ketiga.
Lebih cepat, karena jarak kedua ekor kuda itu lebih pendek
dari yang terdahulu. Namun para pengawal cukup sikap
menyiapkan busur dan anak panahnya, sehingga ketika
kuda yang membawa sasaran itu berlari beberapa puluh
langkah dihadapan para penonton pun telah meledak pula.
Anak panah-anak panah yang meluncur itu mengejar
sasaran yang berlari kencang dan kemudian hinggap pada
buah jeruk di ujung tombak itu. Satu demi satu.
"Luar biasa," desis seorang laki-laki separo baya. "Jika
aku masih muda, aku ingin ikut pula menjadi pengawal
seperti itu" Namun diluar dugaan orang yang berdiri di sebelahnya
menyahut, "Dan kemudian dibawa ke Pajang untuk
bertempur melawan prajurit Pajang."
Laki-laki separo baya itu mengerutkan keningnya. Ketika
ia berpaling, maka dilihatnya seseorang berdiri tegak tanpa
berpaling kepadanya. Orang itu mengamati permainan para
pengawal dengan kerut didahinya. Tetapi orang itu belum
dikenalnya. "Apakah kau bukan orang Tanah Perdikan Sembojan,"
bertanya laki-laki separo baya itu.
Tanpa berpaling orang itu menjawab, "Bukan. Aku
berasal dari Kademangan Randusari."
Laki-laki separo baya itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak berbicara lebih lanjut. Orang yang mengaku
dari Kademangan Randusari itu nampaknya justru tidak
begitu senang melihat para pengawal Tanah Perdikan
menjadi trampil. 9 SH. Mintardja Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa seorang yang
bertubuh pendek yang berdiri dekat dengan kedua orang itu
pun menyahut, "Seorang di antara para pengawal yang
membawa busur itu adalah adikku. Aku juga menyesal atas
sikap Ki Wiradana yang telah mengijinkan anak-anak Tanah
Perdikan itu untuk dikirim ke Pajang dan bertempur
melawan Pajang. Apakah keuntungannya berpihak kepada
Jipang dalam keadaan seperti sekarang ini?"
Orang yang mengaku dari Randusari itu menyambung.
"Kau benar. Seperti Randusari, Tanah Perdikan ini
berpaling kepada Pajang seharusnya. Tidak kepada Jipang."
"Tidak," sahut laki-laki separo baya. "Jipang lebih berhak
atas tahta di Demak daripada Pajang. Para penasehat dan
tetua di Demak pun condong untuk mengembalikan tahta
pada jalur yang sebenarnya."
"Apa yang dimaksud dengan jalur yang sebenarnya?"
bertanya orang yang mengaku dari Kademangan Randusari
itu. "Jalur Sekar Seda Lepen. Bukan Jalur Trenggana," jawab
laki-laki separo baya itu.
"Omong kosong. Ceritera tentang pembunuhan Sekar
Seda Lepen oleh Sunan Prawata itu tidak lebih dari isapan
jempol. Nah, karena itu, maka pembunuh Sunan Prawata
baru-baru ini dan bahkan Pangeran Hadiri harus ditangkap
dan diadili," jawab orang yang mengaku dari Kademangan
Randusari. Lalu, "Padahal tidak terlalu sulit untuk
menunjuk hidungnya yang digantungi kumis yang tebal,
siapakah yang membunuh mereka atau memerintahkan
membunuh mereka." "Kau menuduh Arya Penangsang?" geram laki-laki
separo baya itu. 10 SH. Mintardja "Siapa yang mengatakan Arya Penangsang?" orang
Randusari itu justru bertanya.
"Kau sebut orang itu berkumis?" desak laki-laki separo
baya. "Apakah yang berkumis hanya Arya Penangsang" Aku
menduga orang yang memerintahkan membunuh itu
berkumis. Tetapi belum tentu Arya Penangsang. Memang
mungkin yang melakukan adalah Arya Penangsang," jawab
orang Randusari itu. "Kau memang menuduh," geram laki-laki separo baya itu
dengan wajah merah. Tetapi orang bertubuh pendek itu pun berkata, "Jangan
ribut. Kita disini berbangga mempunyai pengawal yang
kuat, tangkas dan trampil. Tetapi kita akan menyesal bahwa
kemampuan itu tidak dipergunakan bagi kepentingan
Tanah Perdikan ini sendiri. Apalagi jika kemampuan itu
akhirnya hanya akan digilas di peperangan oleh
kemampuan yang lebih baik dari Pajang. Adikku itu adalah
anak yang paling disayangi oleh seluruh keluarga. Kami
berbangga akan kemampuannya. Tetapi kami meratapi
kepergiannya ke Pajang."
"Bagaimana dengan sikap adikmu sendiri?" bertanya
laki-laki separo baya itu.
"Ia berbangga atas dirinya sendiri," jawab laki-laki
bertubuh pendek itu. "Nah, kenapa kalian ribut dengan persoalan yang tidak
genah. Anak muda itu sendiri berbangga akan dirinya dan
bersedia untuk berangkat," berkata laki-laki separo baya itu
Orang Randusari itu tidak menjawab. Orang bertubuh
pendek itu pun kemudian terdiam.
11 SH. Mintardja Namun agaknya laki-laki separo baya itu menjadi curiga,
bahwa orang yang mengaku dari Kademangan Randusari
itu justru petugas sandi dari Pajang. Karena itu, maka tiba-
tiba saja ia bermaksud melaporkan kepada para pengawal,
bahwa seseorang pantas dicurigai.
Sejenak ia menunggu, agar orang yang akan
dilaporkannya itu tidak justru mencurigainya lebih dahulu.
Baru kemudian ia beringsut
dari tempatnya. Namun ternyata laki-laki separo baya itu kecewa. Laki-
laki yang mengaku dari Kademangan Randusari itu sudah tidak ada di tempatnya. "Licik," ia berdesis.
Laki-laki yang bertubuh pendek itu berpaling ke arahnya. Dengan heran ia bertanya, "Siapa yang licik?"
"Laki-laki dari Randusari
itu," jawabnya. Orang bertubuh pendek itu tidak menyahut. Ia
menyaksikan pameran kemampuan mempergunakan anak
panah dalam berbagai keadaan dengan sasaran bergerak.
Kemudian justru pemanah-pemanahnyalah yang bergerak
dengan sasaran diam. Bahkan kemudian pemanah-
pemanah itu bergerak dengan sasaran bergerak pula.
Sorak yang gemuruh terdengar berkali-kali. Kebanggaan
telah menggelegak memenuhi rongga dada orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan. 12 SH. Mintardja Karena itulah, maka orang-orang Tanah Perdikan itu
tidak menyadari betapa mereka sudah terlalu lama berdiri
disepanjang arena. Mereka tidak menyadari bahwa
matahari telah condong ke Barat.
Namun masih ada yang akan sangat menarik untuk
ditonton. Anak-anak yang lapar dapat membeli makanan.
Yang haus dapat membeli minuman. Kemudian mereka
kembali lagi mengitari arena, berdesakan untuk
menyaksikan pameran kekuatan para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan. Ketika matahari menjadi semakin condong, maka
sampailah pameran itu pada acara yang paling
menegangkan. Para pengawal di perkenankan memasuki
gelanggang untuk bermain sodoran. Mereka memasuki
arena di atas punggung kuda dengan landean tombak
panjang yang ujungnya tidak dipasang mata tombaknya,
tetapi justru dibalut dengan lapisan batang pisang yang
sudah kering sehingga menjadi sebuah bulatan yang lunak,
diikat dengan tali rami yang kuat. Mereka saling menyerang
dengan senjata yang tumpul itu untuk saling menjatuhkan
dari punggung kuda. Siapa yang mampu bertahan sampai
permainan berakhir, maka ia adalah pemenangnya.
Setelah beristirahat sejenak, maka para pengawal itu pun
telah memasuki satu permainan yang sangat menarik.
Memang tidak semua pengawal ingin ikut dalam permainan
itu meskipun diperkenankan. Tetapi banyak juga di antara
mereka yang ingin ikut. Demikianlah maka arena itu telah terbagi menjadi
beberapa bagian. Permainan itu akan membujur dari
Selatan ke Utara, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan
karena silau oleh cahaya matahari yang masih condong.
13 SH. Mintardja Sejenak kemudian beberapa pasang penunggang kuda
dengan senjata panjang mereka telah bersiap. Mereka saling
berhadapan pada jarak dari ujung arena sampai ke ujung
yang lain. Ketika mereka mendengar suara bende yang pertama,
maka mereka telah berada di jalur masing-masing. Ketika
bende kedua berbunyi mereka pun segera mempersiapkan
diri dan mempersiapkan kuda-kuda mereka. Dan ketika
terdengar suara bende yang ketiga maka kuda-kuda itu pun
segera terpacu. Setiap pasang berhadapan di atas punggung
kuda yang berdiri ke arah yang berlawanan.
Sorak para penonton tidak terkirakan. Rasa-rasanya
langit memang akan runtuh. Matahari yang tergantung
dilangit seakan-akan telah bergetar karenanya dan awan
yang tipis telah terhalau ke arah laut.
Sejenak kemudian, maka hampir ditengah arena, kedua


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dalam pasangan permainan itu bertemu. Mereka
segera merundukkan tombak-tombak tumpul mereka,
sehingga sejenak kemudian telah terjadi benturan yang
sangat menegangkan. Separo dari para penunggang kuda itu telah berjatuhan
di tanah, sementara yang separo masih tetap di punggung
kuda sambil mengangkat tombak mereka tinggi-tinggi
sebagai pertanda kemenangan mereka.
Namun sejenak kemudian beberapa orang penunggang
kuda telah memasuki arena untuk melakukan permainan
yang sama. Mereka yang telah memenangkan permainan
pertama mendapat kesempatan untuk beristirahat. Pada
saatnya para pemenang akan bertemu satu sama lain
sehingga akhirnya di antara meraka akan terpilih seorang
yang paling baik dalam ketangkasan sodoran sambil
menunggang kuda. 14 SH. Mintardja Demikianlah permainan itu berlangsung dengan sangat
serunya. Para pengawal ternyata benar-benar mampu
menunjukkan, bahwa mereka adalah kekuatan yang terlatih
baik, sehingga mereka tidak akan terlalu mengecewakan
jika mereka diturunkan di arena pertempuran melawan
prajurit Pajang. Setiap kali beberapa orang telah tersisih dari arena
hingga akhirnya permainan itu telah sampai kepada empat
orang terbaik. Di antara mereka akan dipilih, siapakah yang
memiliki ketangkasan dan ketrampilan tertinggi dalam
permainan sodoran. Karena itu, empat orang itu akan bersama-sama
memasuki arena. Sepasang di antara mereka akan
bertanding disisi Barat, sementara yang lain disisi Timur.
Dua pemenang terakhir akan turun lagi ke gelanggang.
Pemenangnya adalah orang yang paling baik di antara para
pengawal dalam permainan sodoran yang menegangkan itu.
Namun dalam pada itu, ketika empat orang terbaik sudah
siap untuk mulai dengan permainan mereka, tiba-tiba saja
telah terdengar panah senderan yang bersuit di udara.
Semua orang terkejut mendengar suara itu. Tidak ada
seorang pun yang tahu, siapakah yang telah melontarkan
anak panah itu, karena perhatian semua orang terikat
kepada empat orang penunggang kuda yang telah berada di
arena. Selagi orang-orang yang berada di arena maupun di
sebelahnya menebak-nebak apa yang telah terjadi, maka
tiba-tiba saja mereka telah mendengar derap kuda berpacu.
Justru di luar arena. Orang-orang yang berada di luar arena itu menjadi
gelisah. Apalagi ketika disatu sisi para penonton permainan
15 SH. Mintardja itu melihat seorang di atas punggung kudanya berpacu
dengan membawa ladean tombak yang ujungnya terbalut
sebagaimana yang dipergunakan oleh para pengawal di
tengah-tengah arena. Dengan tergesa-gesa orang-orang itu telah menyibak.
Sementara itu penunggang kuda itu pun dengan serta merta
telah memasuki arena sambil menengadahkan dadanya.
Semua orang memandanginya dengan tegang. Namun
tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui,
siapakah penunggang kuda itu.
Sebenarnyalah penunggang kuda itu memang dengan
sengaja menyembunyikan kenyataan tentang dirinya.
Dengan sehelai kain orang itu menutup wajahnya, sehingga
hanya mata sajalah yang nampak.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan pun menjadi
berdebar-debar pula. Tetapi sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu, maka orang itu telah memberikan isyarat
kepada keempat penunggang kuda yang telah berada di
arena untuk bersiap menghadapinya.
Dengan kepala terangkat dan sikap yang penuh
keyakinan, orang itu mengacungkan jari telunjuknya.
Kemudian mengangkat empat jarinya pula.
Satu isyarat, bahwa orang itu telah menantang keempat
orang yang masih berada di arena itu. Justru empat orang
terbaik. Para pengawal itu benar-benar telah merasa direndahkan
oleh seorang yang tidak dikenalnya. Sejenak mereka
menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi penunggang kuda yang
menutup wajahnya dengan sehelai kain itu memberikan
isyarat. Mengangkat satu jarinya, kemudian empat jari.
16 SH. Mintardja Seorang di antara empat orang pengawal terbaik di
gelanggang sodoran itu ternyata tidak dapat menahan
perasaan lagi. Itulah yang pertama-tama memacu kudanya
ke arah orang yang menutup wajahnya itu. Penunggang
kuda yang memasuki gelanggang itu telah menyongsong
pula. Demikian mereka berpapasan, maka pengawal yang
menyerangnya itu pun telah menundukkan senjatanya
setinggi dada. Namun yang terjadi kemudian berbeda dengan yang
dibayangkan oleh para penonton. Keduanya sama sekali
tidak terjatuh dari kudanya. Penunggang kuda yang
menutup wajahnya itu tidak merundukkan senjatanya,
tetapi ia bergeser di atas punggung kudanya. Satu
permainan yang benar-benar mengagumkan. Namun ujung
senjata lawannya yang berbentuk bulatan kulit batang
pisang kering itu tidak mengenainya. Pengawal yang gagal
mengenai lawannya itulah yang justru hampir saja terjatuh
karena senjatanya tidak mengenai sasaran. Untunglah
bahwa ia sempat memperbaiki keseimbangannya sambil
mengendalikan kudanya. Kawan-kawannya justru termangu-mangu untuk sesaat.
Namun bagaikan terbangun dari mimpi, maka mereka pun
serentak telah bersiap. Sejenak kemudian telah terjadi satu permainan yang
tidak pernah direncanakan lebih dahulu. Penunggang kuda
itu telah bertanding melawan empat orang, pengawal
terbaik dalam permainan sodoran.
Para penonton untuk beberapa saat telah tercekam oleh
satu peristiwa yang mengejutkan, sehingga mereka justru
berdiri tegak mematung menyaksikan pertandingan yang
sangat menegangkan. Namun perlahan-lahan mereka mulai
menyadari, apa yang sedang mereka saksikan itu.
17 SH. Mintardja Ternyata orang yang memasuki arena itu mempunyai
ketangkasan yang sulit dibayangkan. Ia dapat menghindari
serangan dari dua orang pengawal sekaligus. Bahkan dua
pengawal yang lain yang menyilang arah lari kudanya pun
tidak berhasil menjatuhkannya.
Para penonton yang telah menyadari apa yang mereka
saksikan telah kembali dengan kegembiraan mereka.
Mereka mulai bersorak-sorak lagi. Bertepuk tangan dan
berteriak-teriak. Penunggang kuda yang melawan empat
orang itu benar-benar telah menunjukkan sesuatu yang luar
biasa. Yang tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan.
Beberapa orang perwira dari Jipang yang telah melatih
para pengawal pun merasa heran, bahwa seseorang telah
dengan tiba-tiba saja memasuki arena. Bahkan sekaligus
melawan empat orang pengawal diluar acara yang telah
ditentukan. Ketika beberapa orang perwira itu berdiri dan bergeser
dari tempatnya. Mereka pun melihat para pemimpin
pengawal yang mengatur permainan itu telah melangkah ke
arena pula. Namun agaknya mereka tidak segera bermaksud
menghentikan permainan itu. Agaknya mereka justru
tertarik untuk menyaksikan permainan yang tidak
direncanakan lebih dahulu itu.
Empat orang pengawal itu dengan tangkasnya berganti-
ganti memacu kuda mereka menyambar penunggang kuda
yang telah menantang mereka berempat. Keempat orang
pengawal itu berniat untuk menjatuhkan orang itu lebih
dahulu. Baru kemudian mereka akan saling
memperebutkan kedudukan sebagai pengawal terbaik
dalam permainan sodoran. 18 SH. Mintardja Tetapi ternyata menjatuhkan orang itu bukannya suatu
pekerjaan yang mudah. Beberapa saat mereka telah
bertanding. Namun orang berkuda itu masih saja
menguasai dirinya sepenuhnya. Ujung tombak tumpulpun
itu justru menjadi semakin berbahaya bagi keempat orang
lawannya bermain. Bahkan sejenak kemudian telah terjadi sesuatu yang
tidak terduga. Meskipun orang itu harus menghadapi empat
orang pengawal, namun pada suatu saat, justru seorang dari
para pengawal itu telah terdorong ujung tombak yang
tumpul itu sehingga ia benar-benar telah kehilangan
keseimbangannya dan jatuh berguling di tanah.
Orang itu mengumpat oleh kekecewaan yang
menghentak di dadanya. Tetapi sebagaimana ketentuan
dalam permainan itu, siapa yang telah jatuh dari punggung
kudanya, maka ia tidak lagi berhak untuk ikut serta dalam
permainan berikutnya. Karena itu, maka setelah berdiri tegak sambil
mengibaskan pakaiannya, pengawal yang seorang itu telah
menuntun kudanya menepi, sementara ketiga orang
kawannya masih melanjutkan permainan yang menjadi
semakin sengit itu. Tetapi justru karena itu para pengawal yang masih
berada di punggung kudanya mulai dijalari oleh hentakan-
hentakan perasaan. Seorang kawannya yang terjatuh dari
punggung kuda membuat jantung mereka menjadi panas
menghadapi orang yang tidak mereka kenal itu.
Ketiga ekor kuda para pengawal itu pun kemudian
menyambar-nyambar dengan garangnya. Mengitari ara-ara,
kemudian memotong menyilang menyerang penunggang
kuda yang tidak dikenal itu.
19 SH. Mintardja Rangga Gupita mengerutkan keningnya. Namun ia pun
mengangguk mengiakan. Dengan demikian maka Ki Wiradana lewat para
pemimpin pengawal telah memerintahkan para pengawal
mengepung arena agar orang berkuda itu tidak dapat
meloloskan diri dari arena, siapapun orang itu. Bahkan Ki
Wiradana menghubungkan kehadiran orang yang sombong
itu dengan orang-orang yang sering melakukan perampokan
di Tanah Perdikan, meskipun ia ragu-ragu apakah mereka
berani melakukan hal itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, beberapa orang
pengawal telah berlari-lari di pinggir gelanggang dan
menebar sebagaimana mereka lakukan pada saat tiga orang
pengawal berkelahi melawan seekor harimau. Ki Wiradana
pun telah menyiapkan pula beberapa orang pengawal
berkuda, tidak dengan tombak yang tumpul, tetapi benar-
benar dengan senjata yang berujung tajam.
Bahkan beberapa orang perwira Jipang telah
mempersiapkan diri. Seakan-akan penunggang kuda yang
tidak dikenal itu telah menantang mereka pula.
Sejenak kemudian pertandingan itu menjadi semakin
seru. Sorak para penonton pun rasa-rasanya menjadi
semakin gemuruh. Mereka menyaksikan sesuatu yang
selama hidup mereka belum pernah mereka lihat. Satu
permainan berkuda yang luar biasa. Seluruh gelanggang
rasa-rasanya telah dipenuhi oleh empat ekor kuda yang
terlibat dalam permainan itu.
Beberapa saat kemudian, bumi bagaikan terguncang oleh
sorak yang meledak tanpa disadari. Namun kemudian
penonton itu menjadi berdebar-debar, justru karena mereka
melihat bahwa seorang pengawal telah terlempar lagi dari
Pedang Berkarat Pena Beraksara 7 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Pahlawan Dan Kaisar 14
^