Pencarian

Mushasi 26

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 26


Memasuki Kamuro, mereka disambut oleh pemandangan berupa seorang laki-laki di atas kuda
yang juga dimuati ikatan-ikatan kayu bakar. Orang itu terikat demikian erat, hingga tak
dapat bergerak. Yang menuntun kuda adalah seorang pendeta berjubah putih. Ia memanggil
Daisuke dan berlari mendekati, tapi Daisuke pura-pura tidak mendengar.
"Ada orang memanggil Anda," kata Sado, lalu bertukar pandang dengan Nuinosuke.
Daisuke terpaksa memperhatikan pendeta itu, katanya, "Oh, Rinshobo. Maaf, aku tak
melihat tadi." "Saya datang langsung dari Celah Kiimi," kata si pendeta, dengan suara keras
bersemangat. "Orang dari Edo yang mesti kita amat-amati itu saya temui di Nara. Dia
memberikan perlawanan hebat, tapi kami tangkap dia hidup-hidup. Sekarang, kalau kita
bawa dia ke Gesso dan kita paksa dia bicara, kita akan menemukan..."
"Apa yang kaubicarakan ini?" sergah Daisuke.
"Orang di atas kuda itu. Dia mata-mata dari Edo."
"Apa tak bisa kau tutup mulut, tolol!" desis Daisuke. "Tak tahu kamu, siapa orang yang
bersamaku itu" Nagaoka Sado dari Keluarga Hosokawa! Kita jarang mendapat hak istimewa
melihat dia, dan aku tak ingin kau mengganggu kami dengan leluconmu yang konyol itu."
Mata Rinshobo yang melayang pada kedua musafir itu tampak terkejut. Sebelum dapat
menahan diri, sudah terluncur dari mulutnya, "Keluarga Hosokawa?"
Sado dan Nuinosuke mencoba bersikap tenang dan masa bodoh, tapi angin melecut mantel
hujan mereka, hingga mantel itu mengepak-ngepak seperti sayap burung bangau, dan agak
menggagalkan usaha mereka.
"Kenapa?" tanya Rinshobo dengan suara rendah.
Daisuke menariknya sedikit ke samping, dan bicara berbisik. Ketika ia kembali mendekati
para tamunya, kata Sado, "Bagaimana kalau Anda kembali saja sekarang" Saya tak ingin
merepotkan Anda lebih banyak lagi."
Setelah memperhatikan mereka sampai mereka tidak kelihatan lagi, kata Daisuke pada
pendeta itu, "Bagaimana mungkin kau begitu bodoh" Apa tak bisa kau membuka mata sebelum
membuka mulut" Ayahku takkan senang mendengar ini."
"Ya, Pak. Maaf. Saya tidak tahu tadi."
Walau mengenakan jubah, orang itu bukanlah pendeta. Ia adalah Toriumi Benzo, salah
seorang abdi terkemuka Yukimura.
*** 99. Pelabuhan "GONNOSUKE! ... Gonnosuke! ... Gonnosuke! ..."
Iori rupanya tak dapat berhenti memanggil. Ia menyebut nama itu terusmenerus, tak
henti-henti. Setelah menemukan sebagian barang milik Gonnosuke di tanah, ia yakin
Gonnosuke sudah mati. Sehari semalam telah berlalu. Selama itu ia hanya berjalan linglung, lupa akan
kelelahannya. Kaki, tangan, dan kepalanya terpercik darah, dan kimononya compangcamping.
Setiap kali terserang kejang, ia menatap langit dan teriaknya, "Aku siap." Atau ia
memandang tanah dan mengutuk.
"Apa aku sudah gila?" pikirnya, tiba-tiba merasa dingin. Melihat ke dalam genangan air,
ia mengenali wajahnya sendiri dan merasa lega. Tapi ia sendirian, tak ada orang yang
akan ditegurnya. Dan ia hanya setengah percaya bahwa dirinya masih hidup. Ketika tadi
terbangun di dasar jurang, ia tak dapat mengingat di mana ia berada beberapa hari
terakhir ini. Tak terpikir olehnya untuk mencoba kembali ke Kuil Kongoji atau Koyagyu.
Sebuah benda berkilau, dengan warna-warna pelangi, menarik perhatiannya"seekor ayam
pegar. Kemudian ia tersadar akan semerbak bau wisteria liar, dan ia duduk. Ia coba
memahami keadaannya, dan terpikir olehnya matahari itu ada di mana-mana"di balik awan,
di antara puncak-puncak gunung, maupun di dalam lembah. Ia berlutut, menangkupkan
tangan sambil memejamkan mata, dan mulai berdoa. Ketika ia membuka mata beberapa menit
kemudian, yang mula-mula ia lihat adalah samudra yang biru berkabut, di antara dua
gunung. "Anakku," terdengar suara keibuan. "Kau baik-baik saja?"
"Hah?" Dengan terkejut Iori menolehkan matanya yang cekung pada kedua perempuan yang
menatapnya dengan rasa ingin tahu itu.
"Menurut Ibu, apa yang terjadi dengan dia?" tanya perempuan yang muda, sambil memandang
Iori dengan sikap tak suka.
Sang ibu dengan heran berjalan mendekati Iori, dan ketika melihat darah pada pakaian
Iori, ia mengerutkan kening. "Apa luka-luka itu tidak sakit?" tanyanya. Iori
menggelengkan kepala. Perempuan itu menoleh pada anaknya, katanya, "Dia rupanya
mengerti kata-kata Ibu."
Mereka menanyakan nama Iori, dari mana ia datang, di mana ia dilahirkan, apa kerjanya
di sini, dan pada siapa ia berdoa. Sedikit demi sedikit, sambil mencari-cari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu, ingatan Iori kembali.
Perempuan yang lebih muda kini lebih simpatik sikapnya. Namanya Otsuru. Katanya, "Mari
kita bawa keSakai. Barangkali ada gunanya nanti di toko. Umurnya cocok."
"Oh, gagasan baik juga," kata ibunya, Osei. "Tapi apa dia mau?"
"Dia pasti mau... Betul, tidak?"
Iori mengangguk, katanya, "Yaa."
"Kalau begitu, ayolah, tapi kau mesti mengangkat barang kami."
"Uh." Iori membalas kata-kata mereka dengan gerutuan, namun ia tidak mengatakan apa-apa dalam
perjalanan turun gunung, menempuh jalan pedesaan, dan kemudian masuk Kishiwada. Tapi,
sesudah kembali berada di tengah orang lain, ia mau berbicara lagi.
"Di mana kalian tinggal?" tanyanya.
"Di Sakai." "Apa dekat sini?"
"Tidak, dekat Osaka."
"Di mana itu Osaka?"
"Kita akan naik kapal nanti, dari sini ke Sakai. Nanti kau akan tahu."
"Oh! Kapal?" Karena girang dengan kemungkinan mengadakan perjalanan, Iori berceloteh
beberapa menit lamanya, dan bercerita pada mereka bahwa sudah beberapa kali ia naik
kapal tambang, dalam perjalanan dari Edo ke Yamato, tapi biarpun samudra tidak jauh
dari tempat kelahirannya di Shimosa, ia tidak pernah naik kapal di laut.
"Kalau begitu, kau senang, ya?" tanya Otsuru. "Tapi kau jangan menyebut ibuku 'Bibi'.
Katakan 'Ibu' kalau kau bicara dengan beliau."
"Uh." "Dan jangan menjawab 'Uh'. Katakan 'Ya, Bu."'
"Ya, Bu." "Ha, itu lebih baik. Nah, kalau kau tinggal dengan kami dan kerja keras, akan kujadikan
kau pembantu toko." "Apa kerja keluargamu?"
"Ayahku pialang kapal."
"Apa itu?" "Dia pedagang. Dia punya banyak kapal, dan kapal-kapal itu berlayar ke seluruh Jepang
Barat." "Oh, cuma pedagang?" dengus Iori.
"Cuma pedagang" Lho...!" seru gadis itu. Sang ibu cenderung untuk mengabaikan saja
kekasaran Iori, tapi anaknya naik darah. Tapi kemudian ia bimbang, dan katanya, "Saya
rasa dia belum pernah melihat pedagang selain dari penjual gula-gula atau pedagang
pakaian." Maka kebanggaannya yang luar biasa sebagai salah seorang pedagang Kansai pun
bangkit, dan gadis itu menerangkan pada Iori bahwa ayahnya memiliki tiga gudang besarbesar di Sakai , dan beberapa puluh kapal. Ia mencoba menerangkan pada Iori bahwa ada
kantor-kantor cabang di Shimonoseki, Marukame, dan Shikama, dan bahkan pelayanan yang
mereka berikan pada Keluarga Hosokawa di Kokura demikian penting, hingga kapal-kapal
ayahnya memiliki status kapal negara.
"Dan," lanjutnya, "beliau diizinkan memiliki nama keluarga dan mengenakan dua bilah
pedang, seperti seorang samurai. Semua orang di Honshu barat dan Kyushu kenal dengan
nama Kobayashi Tarozaemon dari Shimonoseki. Di waktu perang, daimyo seperti Shimazu dan
Hosokawa tidak pernah cukup kapal, hingga ayahku jadi sama pentingnya dengan jenderal."
"Aku tadi tidak bermaksud membuatmu marah," kata Iori.
Kedua wanita itu tertawa.
"Kami bukan marah," kata Otsuru. "Tapi anak-anak macam kau ini, apa yang kauketahui
tentang dunia?" "Maaf." Di belokan, mereka disambut oleh bau tajam udara bergaram. Otsuru menunjuk kapal yang
tertambat di Dermaga Kishiwada. Kapal itu dapat membawa muatan lima ratus gantang, dan
sudah dimuati hasil bumi setempat.
"Itu kapal yang akan kita pakai pulang," kata gadis itu bangga.
Kapten kapal dan beberapa agen Kobayashi keluar dari warung teh pelabuhan, untuk
menyambut mereka. "Bagaimana" Senang Ibu berjalan-jalan?" tanya sang kapten. "Saya minta maaf. Muatan
begitu banyak, hingga tidak banyak ruang tersisa. Apa kita akan naik?"
Ia mengantar mereka ke buritan kapal, di mana telah disisihkan ruang bersekat tirai. Di
bawah telah dihamparkan permadani merah, dan alat-alat pernis gaya Momoyama yang elok
dipakai mewadahi sejumlah besar makanan dan sake. Iori merasa seperti sedang memasuki
ruang kecil yang teratur baik di rumah seorang daimyo.
Kapal itu sampai di Sakai petang hari, sesudah menempuh perjalanan ke Teluk Osaka,
tanpa halangan apa pun. Para musafir langsung menuju gedung Kobayashi yang menghadap
dermaga, dan di sana mereka disambut oleh manajer bernama Sahei, dan sejumlah besar
pembantu yang berkumpul di pintu masuk lebar.
Ketika Osei memasuki gedung, ia menoleh, katanya, "Sahei, saya minta anak itu diurus."
"Maksud Ibu, anak kecil kotor yang turun dari kapal itu?"
"Ya. Kelihatannya dia cerdas, jadi kau tentunya dapat mempekerjakan dia... Dan tolong
urus pakaiannya. Barangkali dia berkutu. Suruh dia mandi baik-baik, dan kasih dia
kimono baru. Sudah itu suruh dia tidur."
Iori tidak melihat nyonya rumah atau anak perempuannya lagi sampai beberapa hari
sesudahnya. Ada tirai yang panjangnya hanya separuh, memisahkan kantor dengan tempat
tinggal di belakang. Tirai itu seperti dinding. Tanpa izin khusus, Sahei pun tidak
berani melewatinya. Iori mendapat sebuah sudut dalam "toko", demikianlah kantor itu disebut. Di situ la
dapat tidur. Ia bersyukur sekali telah diselamatkan, namun tak lama kemudian ia merasa
tak puas dengan cara hidupnya yang baru itu.
Suasana kosmopolitan yang kini mengitarinya memberikan pesona tertentu kepadanya. Ia
ternganga melihat hal-hal baru yang berasal dari luar negeri di jalan-jalan, melihat
kapal-kapal di pelabuhan dan tanda-tanda kemakmuran yang tampak dari cara hidup orangorang. Tapi yang selalu didengarnya adalah, "Hei, Cung! Kerjakan ini ! ... Kerjakan
itu!" Dari pembantu terendah sampai manajer, semua menyuruhnya berlari ke sana kemari
seperti anjing, tapi sikap mereka sungguh berbeda saat berbicara dengan anggota
keluarga atau langganan. Dengan mereka, orang-orang itu berubah menjilat. Dan dari pagi
hingga malam, mereka hanya bicara tentang uang dan sekali lagi uang. Kalau tidak kerja,
dan sekali lagi kerja. "Dan mereka menganggap diri mereka manusia!" pikir Iori. Ia mendambakan langit biru dan
bau rumput hangat di bawah sinar matahari. Berkali-kali la memutuskan untuk melarikan
diri. Hasrat itu paling kuat apabila ia ingat akan Musashi yang pernah berbicara
tentang cara-cara menyegarkan semangat. Ia membayangkan pandangan mata Musashi, dan
wajah Gonnosuke yang sudah meninggal. Dan Otsu.
Keadaan menjadi gawat pada suatu hari, ketika Sahei berseru, "Io! Io, di mana kau?"
Karena tidak mendapat jawaban, Sahei berdiri, lalu mendekati ambang pintu kantor yang
berupa tiang keyaki berpernis hitam. "Oh, kau di situ, anak baru!" serunya. "Kenapa kau
tidak datang, padahal kau dipanggil?"
Iori waktu itu sedang menyapu jalan antara kantor dan gudang. Ia mengangkat wajah,
tanyanya, "Memanggil saya?"
"Memanggil saya, Pak!"
"Oh, begitu." "Oh, begitu, Pak!"
"Ya, Pak." "Apa kau tidak punya telinga" Kenapa tidak menjawab panggilanku?"
"Saya dengar Bapak menyebut 'Io'. Itu bukan saya. Nama saya Iori..., Pak."
"Io itu sudah cukup. Dan ada soal lain lagi. Sudah kubilang beberapa hari lalu, jangan
pakai pedang itu lagi."
"Ya, Pak." "Berikan padaku."
Sesaat Iori ragu-ragu, kemudian katanya, "Ini kenang-kenangan dari ayah saya! Saya tak
dapat melepaskannya."
"Anak kurang ajar! Berikan sini!"
"Bagaimanapun, saya kan tak ingin jadi pedagang."
"Oh, kalau bukan karena pedagang, orang tak dapat hidup," kata Sahei tegas. "Siapa yang
mendatangkan barang-barang dari luar negeri" Nobunaga dan Hideyoshi memang orang-orang
besar, tapi tak mungkin mereka membangun benteng-benteng itu"Azuchi, Jurakudai, Fushimi
"tanpa bantuan para pedagang. Coba perhatikan orang-orang di Sakai-Namban, Ruzon,
Fukien, Amoi. Mereka semua melakukan perdagangan besar-besaran."
"Saya tahu." "Bagaimana mungkin kau tahu?"
"Tiap orang bisa melihat rumah-rumah tenun besar di Ayamachi, Kinumachi, dan
Nishikimachi; dan di atas bukit itu gedung Ruzon'ya kelihatan seperti benteng. Ada
berderet-deret gudang dan rumah tinggal milik pedagang-pedagang kaya. Tempat ini, yah,
saya tahu Ibu dan Otsuru bangga dengan ini, tapi kalau dibanding-bandingkan, semua ini
tak ada artinya." "Oh, setan kecil kamu!"
Belum lagi Sahei keluar pintu, Iori sudah menjatuhkan sapu dan lari. Sahei memanggil
beberapa pekerja pelabuhan, dan memerintahkan mereka menangkapnya.
Ketika Iori sudah diseret balik, Sahei mengomel. "Enaknya diapakan anak macam ini"
Kerjanya membantah dan menertawakan kita semua. Hukum dia baik-baik hari ini." Sambil
kembali ke kantornya, katanya, "Ambil pedang itu!"
Mereka mengambil pedang Iori yang menjadi gara-gara itu, dan mengikat tangan Iori ke
belakang. Lalu mereka ikatkan talinya ke sebuah peti barang besar, hingga Iori tampak
seperti monyet yang dirantai.
"Tinggal di situ sebentar," kata salah seorang dari mereka, sambil tertawa mengejek.
"Biar orang-orang itu mempermainkanmu dulu." Yang lain-lain tertawa terbahak-bahak,
lalu kembali bekerja. Tak ada yang lebih dibenci Iori daripada ini. Sering sekali Musashi dan Gonnosuke
mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal yang mempermalukan dirinya sendiri.
Pertama-tama ia mencoba berdalih, kemudian berjanji akan memperbaiki tingkah lakunya.
Dan ketika semua itu terbukti tidak membawa hasil, ia beralih pada caci maki.
"Manajer tolol-kentut tua gila! Lepaskan aku, dan kembalikan pedangku! Aku tak mau
tinggal di rumah macam ini!"
Sahei keluar dan memekik, "Diam!" Kemudian ia mencoba menyumbat mulut Iori, tapi anak
itu menggigit jarinya, karena itu ia langsung menghentikan usahanya dan menyuruh buruhburuh pelabuhan melakukannya.
Iori menyentakkan ikatannya, menarik-nariknya ke sana kemari. Ia jadi tegang luar biasa
dijadikan tontonan umum itu. Ia mulai menangis ketika seekor kuda kencing di dekatnya,
dan cairan berbusa itu menetes-netes di kakinya.
Ketika akhirnya ia mulai tenang kembali, terlihat olehnya sesuatu yang hampir-hampir
membuatnya pingsan. Di sebelah seekor kuda, berdiri seorang perempuan muda bertopi lak
bertepi lebar, untuk melindunginya dari matahari yang menyengat. Kimononya yang terbuat
dari kain rami sudah terikat untuk perjalanan. Ia memegang tongkat bambu kecil.
Sia-sia Iori mencoba meneriakkan nama Otsu. Hampir ia tercekik karena menjulurkan
leher. Matanya kering, tapi bahunya bergetar karena sedusedan. Sungguh mengejutkan,
bahwa Otsu begitu dekat dengannya. Ke mana Otsu pergi" Kenapa ia meninggalkan Edo"
Sore itu, ketika kapal ditambatkan di dermaga, tempat itu jadi bertambah ramai lagi.
"Sahei, apa kerja anak ini di sini" Macam beruang tontonan saja! Kejam itu, membiarkan
dia begitu! Dan juga buruk buat usaha kita." Orang yang masuk kantor itu adalah saudara
sepupu Tarozaemon. Biasanya ia disebut Namban'ya, yaitu nama toko tempat ia bekerja.
Noda-noda bekas cacar hitam semakin menambah kesan seram pada wajahnya yang tampak
mudah marah itu. Tapi, walaupun ujud luarnya demikian, ia orang yang bersahabat dan
sering memberikan gula-gula pada Iori. "Aku tidak keberatan kau menghukum dia,"
lanjutnya, "tapi jangan dilakukan di jalan. Itu buruk buat nama Kobayashi. Lepaskan
dia." "Baik, Pak." Sahei segera mematuhi perintah itu, seraya menyampaikan pada Namban'ya
keterangan terperinci tentang kenakalan Iori.
"Kalau kau tidak tahu akan kauapakan anak itu," kata Namban'ya, "nanti kubawa dia
pulang. Hari ini juga akan kubicarakan hal ini dengan Osei."
Sahei takut akan akibat-akibatnya kalau nyonya rumah mendengar kejadian itu, karena itu
ia berusaha meredakan kemarahan Iori. Sebaliknya, Iori sudah tak mau lagi berurusan
dengan orang itu. Dalam perjalanan keluar malam itu, Namban'ya berhenti di sudut toko tempat Iori berada.
Sedikit mabuk, namun dengan semangat tinggi, katanya, "Kau memang tak akan ikut aku.
Kedua perempuan itu tidak mau terima. Ha!"
Namun percakapannya dengan Osei dan Otsuru ternyata mendatangkan akibat bermanfaat.
Hari berikutnya, Iori dapat masuk sekolah kuil, tidak jauh dari tempat itu. Ia
diizinkan mengenakan pedang ke sekolah, dan Sahei maupun yang lain-lain tidak lagi
mengganggunya. Namun Iori tak dapat menenangkan diri. Saat berada di dalam rumah, sering matanya
mengembara ke jalan. Setiap kali ada perempuan muda lewat, biarpun jauh dari gambaran
Otsu, rona mukanya berubah. Kadang-kadang ia berlari keluar, agar dapat melihat lebih
jelas. Pada suatu pagi, menjelang awal bulan sembilan, sejumlah besar muatan mulai datang
dengan kapal sungai dari Kyoto. Tengah hari, peti-peti dan keranjang-keranjang sudah
tertimbun tinggi di depan kantor. Label yang tertera di situ menunjukkan bahwa barangbarang itu milik samurai dari Keluarga Hosokawa. Mereka pergi ke Kyoto untuk urusan
yang serupa dengan urusan yang telah menyebabkan Sado pergi ke Gunung Koya,


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan urusan Hosokawa Yusai sesudah ia meninggal. Sekarang mereka duduk sambil
minum teh dan mengipas-ngipas diri, sebagian di dalam kantor, sebagian lagi di bawah
tepian atap di luar. Pulang dari sekolah, Iori pergi ke jalan. Di sana ia terhenti, wajahnya pucat.
Kojiro, yang duduk di atas sebuah keranjang besar, berkata pada Sahei, "Terlalu panas
di tempat ini. Apa kapal kami belum merapat?"
Sahei menengadah dari surat muatan yang dipegangnya, dan menunjuk ke dermaga. "Kapal
Bapak yang namanya Tatsumimaru, yang dl sana itu. Seperti Bapak lihat, orang belum
selesai mengatur muatan, jadi tempat Anda sekalian di kapal belum siap. Maaf."
"Saya lebih suka di kapal. Di sana lebih sejuk."
"Baik, Pak. Akan saya lihat bagaimana keadaannya." Sahei bergegas keluar, tanpa
menghapus keringat di keningnya, karena terlampau terburu-buru, dan di sana tampak
olehnya Iori. "Ngapain kau berdiri macam patung di situ" Sana ladeni penumpang. Ada teh, air dingin,
air panas-beri mereka yang mereka minta."
Iori pergi ke pondok di jalan dekat gudang, tempat ketel air dididihkan. Tapi di situ
ia bukan melakukan pekerjaannya, melainkan berdiri saja menatap Kojiro.
Kojiro biasa dipanggil Ganryu sekarang, nama yang kedengaran bernada perguruan agaknya
lebih tepat untuk umur dan statusnya sekarang. Tubuhnya lebih gemuk dan gempal.
Wajahnya penuh. Matanya yang dulu tajam menusuk, sekarang tenang dan tenteram. Ia tak
lagi sering menggunakan lidahnya yang setajam pedang, yang di masa lalu demikian banyak
mendatangkan masalah. Tapi, bagaimanapun, martabat pedangnya telah menjadi bagian dari
kepribadiannya. Salah satu hasilnya adalah bahwa berangsur-angsur ia akhirnya diterima oleh para
samurai yang sebaya dengannya. Mereka tidak hanya memujinya, tapi bahkan
menghormatinya. Sahei kembali dari kapal dengan keringat bercucuran. Sekali lagi minta maaf karena
telah memaksa orang lama menanti, ia berkata, "Tempat duduk di tengah kapal belum siap,
tapi yang di haluan sudah." Ini berarti prajurit biasa dan para samurai muda dapat naik
kapal. Mereka mulai mengumpulkan barang-barang dan meninggalkan tempat itu berombongan.
Tinggal Kojiro dan enam atau tujuh orang yang lebih tua, semuanya pejabat penting
perdikan. "Sado belum datang, ya?" tanya Kojiro.
"Belum, tapi mestinya tak lama lagi."
"Sebentar lagi matahari condong ke barat," kata Sahei pada Kojiro.
"Akan lebih sejuk kalau Bapak masuk."
"Lalatnya bukan main," keluh Kojiro. "Dan aku haus. Apa bisa minta teh lagi?"
"Tentu, Pak." Tanpa berdiri lagi, Sahei berseru ke arah pondok air
kerjamu" Bawa teh buat tamu-tamu kita." Dengan sibuknya ia kembali
muatan itu, tapi ketika disadarinya Iori tidak menjawab, ia ulangi
itu, ia lihat anak itu berjalan pelan membawa beberapa cangkir teh
panas, "lo, apa mengurus surat perintahnya. Sesudah dengan baki. Iori menawarkan teh pada setiap samurai, sambil setiap kali membungkuk sopan. Di depan
Kojiro, dengan dua cangkir terakhir, ia berkata, "Silakan minum teh."
Dengan kepala kosong, Kojiro mengulurkan tangan, tapi tiba-tiba menarik tangan itu
ketika matanya bertemu dengan mata Iori. Dengan terkejut, serunya, "Lho, ini kan..."
Sambil menyeringai, kata Iori, "Terakhir kali saya berjumpa dengan Bapak adalah di
Musashino." "Apa?" ujar Kojiro keras, dengan nada yang hampir tidak sesuai dengan statusnya yang
sekarang. Baru ia hendak mengatakan hal lain lagi, Iori sudah berseru, "Oh, jadi Bapak ingat
saya?" Lalu ia melemparkan baki itu ke wajah Kojiro.
"Oh!" teriak Kojiro sambil mencekal pergelangan Iori. Baki itu tidak mengenainya, tapi
teh panas menciprati mata kirinya. Sisa teh tumpah ke dada dan pangkuannya, sedangkan
baki menumbuk sebuah tiang di sudut.
"Kurang ajar!" teriak Kojiro. Ia lemparkan Iori ke lantai tanah, dan ia injakkan
sebelah kakinya di tubuh anak itu. "Manajer!" panggilnya marah. "Anak nakal ini
pegawaimu, kan" Coba sini, pegangi. Biar dia masih anak-anak, dia tak akan kubiarkan."
Sahei ketakutan setengah mati, dan bergegas melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Tapi entah bagaimana, Iori berhasil menarik pedangnya dan mengayunkannya ke lengan
Kojiro. Kojiro menendangnya ke tengah ruangan, dan melompat mundur selangkah.
Sahei menoleh, dan cepat kembali sambil menjerit sekuat paru-parunya. Ia sampai ke
tempat Iori tepat ketika anak itu sudah bangkit berdiri.
"Kau jangan ikut campur!" teriak Iori, kemudian sambil menatap wajah Kojiro, semburnya,
"Hukuman setimpal untukmu!" lalu berlari ke luar.
Kojiro mengambil sebuah pikulan yang kebetulan ada di dekatnya, dan melemparkannya pada
anak itu, tepat mengenai belakang lututnya. Iori jatuh tengkurap.
Atas perintah Sahei, beberapa orang menyerbu Iori dan menyeretnya kembali ke pondok air
panas. Di situ seorang pembantu sedang menggosok kimono dan hakama Kojiro.
"Maafkan perbuatan keterlaluan ini," motion Sahei.
"Tak tahu lagi kami, bagaimana mesti minta maaf," kata salah seorang pembantu.
Tanpa memandang mereka, Kojiro mengambil handuk basah dari pembantu dan menghapus
wajahnya. Iori sudah dijatuhkan ke tanah, tangannya dilipat ke belakang. "Lepaskan saya,"
pintanya dengan tubuh menggeliat kesakitan. "Saya takkan lari. Saya anak samurai. Saya
lakukan ini tadi dengan sengaja, dan saya mau menerima hukuman seperti lelaki."
Kojiro sudah selesai merapikan pakaian dan rambutnya. "Biarkan dia pergi," katanya
tenang. Tak tahu bagaimana menanggapi tenangnya wajah samurai itu, Sahei berkata tergagap,
"Betul... betul, Bapak tidak apa-apa?"
"Ya." Tapi perkataan itu terdengar seperti paku dihunjamkan ke papan "biarpun aku tidak
bermaksud terlibat dengan urusan anak kecil, kalau kalian merasa dia mesti dihukum, aku
dapat menyarankan caranya. Tuangkan seciduk air mendidih ke atas kepalanya. Itu takkan
membunuhnya." "Air mendidih!" Sahei mengerut mendengar saran itu.
"Ya. Tapi kalau kau mau melepaskannya, itu juga tidak apa-apa."
Sahei dan orang-orangnya saling pandang dan ragu-ragu.
"Kita tak bisa membiarkan hal macam ini lewat tanpa hukuman."
"Dia memang suka kurang ajar."
"Untung dia tidak terbunuh."
"Ambil tali." Ketika mereka mulai mengikatnya, Iori mencoba meronta dari tangan mereka. "Apa yang
kalian lakukan?" jeritnya. Sambil duduk di tanah, katanya, "Sudah saya katakan, saya
tidak akan lari, kan" Akan saya terima hukuman saya. Saya punya alasan, kenapa berbuat
begitu. Seorang saudagar boleh minta maaf, tapi saya tidak. Anak samurai tidak bakal
menangis karena sedikit air panas."
"Baik," kata Sahei. "Kau yang minta."
Ia menggulung lengan bajunya, menciduk air mendidih, dan berjalan pelan-pelan mendekati
Iori. "Tutup matamu, Iori. Kalau tidak, kau bisa buta." Suara itu datang dari seberang jalan.
Iori menutup matanya, tak berani melihat siapa yang mengucapkan katakata itu. Ia
teringat cerita yang pernah didengarnya dari Musashi, dulu di Musashino. Cerita itu
tentang Kaisen, seorang pendeta Zen yang sangat dipuja-puja oleh para prajurit Provinsi
Kai. Ketika Nobunaga dan Ieyasu menyerang Kuil Kaisen dan membakarnya, pendeta itu
duduk tenang di tingkat atas pintu gerbang. Dalam keadaan terbakar menjelang mati, ia
mengucapkan kata-kata ini, "Kalau hatimu sudah mendapat pencerahan, api pun terasa
sejuk." "Cuma seciduk air panas!" kata Iori pada diri sendiri. "Aku tak boleh berpikir macam
itu." Ia mencoba sekuat tenaga menjadikan dirinya kehampaan yang tanpa pribadi, bebas
dari khayal, dan tanpa dukacita. Cara pendeta itu hanya mungkin kalau la lebih muda,
atau jauh lebih tua... tapi pada umurnya sekarang, ia masih benar-benar menjadi bagian
dunia ini. Ah, kapan itu terjadi" Sekejap ia menyangka bahwa keringat yang menetes di dahinya
adalah air mendidih. Waktu semenit terasa satu tahun.
"Oh, itu Sado!" kata Kojiro.
Sahei dan semua orang lain menoleh dan memandang samurai tua itu. "Ada apa disini?"
tanya Sado sambil menyeberang jalan, didampingi Nuinosuke.
Kojiro tertawa, katanya riang, "Anda memergoki kami. Mereka sedang menghukum anak itu."
Sado memandang Iori baik-baik. "Menghukum dia" Ya, kalau dia sudah melakukan sesuatu
yang buruk, mesti dihukum. Teruskan saja. Saya menyaksikannya."
Sahei memandang Kojiro dari sudut matanya. Kojiro segera menilai keadaan itu, dan tahu
bahwa dialah yang akan dianggap bertanggung jawab atas kerasnya hukuman itu. "Cukup!"
katanya. Iori membuka mata. Agak sukar ia memusatkan tatapannya, tapi ketika akhirnya mengenali
Sado, ia berkata gembira, "Saya kenal Bapak, samurai yang pernah datang di Kuil
Tokuganji di Hotengahara."
"Kau ingat aku?"
"Ya, Pak." "Apa yang terjadi dengan gurumu, Musashi?"
Iori tersedu-sedu, dan menutup mata dengan kedua tangannya.
Kojiro kaget melihat Sado mengenal anak itu. Sesaat ia memikirkannya, dan menyimpulkan
bahwa tentunya hal itu ada hubungannya dengan usaha Sado mencari Musashi. Tapi tentu
saja ia tak ingin nama Musashi muncul dalam percakapan antara dirinya dengan abdi
senior itu. Ia tahu, tak lama lagi ia akan terpaksa berkelahi melawan Musashi, dan itu
takkan lagi merupakan urusan pribadi semata-mata.
Sesungguhnya, telah terjadi perpecahan, baik di dalam garis utama Keluarga Hosokawa
maupun di dalam percabangannya. Sebagian menghargai Musashi, sebagian lagi cenderung
berpihak kepada bekas ronin yang sekarang menjadi instruktur pedang utama klan itu.
Sebagian orang mengatakan bahwa yang menyebabkan tak terhindarkannya pertarungan adalah
persaingan di belakang layar antara Sado dan Kakubei.
Kojiro merasa lega ketika pada waktu itu mandor kapal Tatsumimaru datang, menyatakan
bahwa kapal sudah siap. Sado, yang belum ikut naik, berkata, "Tapi kapal belum akan berangkat sampai matahari
terbenam, kan?" "Betul," jawab Sahei, yang sementara itu berjalan mondar-mandir sekitar kantor, karena
kuatir akan akibat-akibat peristiwa hari itu.
"Kalau begitu, aku punya waktu buat istirahat?"
"Banyak waktu buat istirahat. Silakan minum teh."
Otsuru muncul di pintu dalam, dan memanggil manajer. Sahei mendengarkan pembicaraan
Otsuru beberapa menit lamanya, kemudian kembali mendekati Sado, dan katanya, "Kantor
ini bukan tempat yang tepat buat menerima Bapak. Rumah dekat sekali, melintasi kebun
itu. Saya persilakan Bapak masuk ke sana."
"Oh, terima kasih," jawab Sado. "Pada siapa saya berutang budi" Pada nyonya rumah?"
"Ya. Beliau ingin mengucapkan terima kasih pada Bapak."
"Untuk apa?" Sahei menggaruk kepalanya. "Saya pikir, karena Bapak sudah menolong Iori. Karena
sekarang tuan rumah tidak ada..."
"Bicara soal Iori, aku ingin bicara dengannya. Coba panggil dia."
Kebun itu tepat seperti harapan Sado mengenai kebun rumah seorang saudagar Sakai yang
kaya. Walaupun satu sisinya dibatasi gudang, kebun itu merupakan suatu dunia yang lain
sama sekali, dibanding kantor yang panas dan ribut itu. Batu-batuan dan tanam-tanaman
baru disiram, dan di sana ada sungai yang airnya mengalir.
Osei dan Otsuru berlutut dalam ruangan kecil anggun yang menghadap kebun. Di atas
tatami terhampar permadani wol, dengan baki-baki berisi kue dan tembakau. Sado mencium
hall dupa yang dicampuri rempah-rempah.
Sesudah duduk di ujung ruangan, katanya, "Saya takkan masuk. Kaki saya kotor."
Osei menghidangkan teh kepadanya, meminta maaf atas sikap para pegawainya, serta
mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan Iori.
Kata Sado, "Kebetulan saya pernah berjumpa anak itu beberapa waktu yang lalu. Saya
senang bertemu dia kembali. Bagaimana dia bisa tinggal di rumah Nyonya?"
Sesudah mendengarkan penjelasan nyonya rumah, Sado bercerita tentang usahanya yang
sudah berjalan lama untuk mencari Musashi. Mereka mengobrol dengan akrab beberapa waktu
lamanya, kemudian kata Sado, "Tadi saya memperhatikan Iori dari seberang jalan. Saya
kagum akan kemampuannya bersikap tenang. Sikap itu baik sekali. Terus terang, menurut
saya merupakan suatu kesalahan membesarkan anak yang demikian besar semangatnya di
lingkungan saudagar. Bagaimana kalau anak itu Nyonya serahkan pada saya" Di Kokura dia
dapat dibesarkan sebagai samurai."
Osei segera menyetujuinya, katanya, "Saya pikir itulah yang sebaik-baiknya buat dia."
Otsuru bangkit untuk mencari Iori, dan tepat pada waktu itu Iori muncul dari balik
potion tempat ia mendengarkan seluruh percakapan tersebut.
"Apa kau keberatan pergi denganku?" tanya Sado.
Dengan sukacita Iori mohon diajak ke Kokura.
Sementara Sado minum teh, Otsuru menyiapkan perlengkapan perjalanan Iori: kimono,
hakama, pembalut kaki, topi anyaman-semuanya baru. Itulah pertama kalinya Iori
mengenakan hakama. Petang itu, ketika Tatsumimaru mengembangkan sayap-sayap hitamnya dan berlayar di bawah
gumpalan awan yang menjadi keemasan oleh matahari yang sedang terbenam, Iori menoleh ke
belakang, ke arah lautan wajah"Otsuru dan ibunya, wajah Sahei, dan orang-orang yang
mengantar, juga wajah kota Sakai.
Dengan senyum lebar ia melepas topi anyamannya dan melambaikannya pada mereka.
*** 100. Guru Menulis PAPAN nama di pintu masuk jalan sempit, di daerah pedagang ikanOkazaki itu, berbunyi,
"Pencerahan Bagi Para Pemuuda. Pelajaran Membaca dan Menulis", dan tertulis di situ
nama Muka. Melihat segala sesuatunya, Muka tentunya salah seorang dari banyak ronin
yang telah jatuh miskin, namun tulus, dan mencari penghidupan dengan menularkan
pendidikan kelas prajurit kepada anak-anak orang kebanyakan.
Kaligrafi yang kelihatan amatiran itu membuat tersenyum orang-orang yang lewat, tapi
Muka mengatakan tidak malu karenanya. Kalau ada orang menyebutkan hal itu, ia selalu
menjawab dengan kata-kata yang sama, "Dalam hati, saya masih kanak-kanak. Dan saya
belajar bersama anak-anak."
Jalan itu berakhir pada sebuah rumpun bambu, dan di sebelah rumpun bambu terbentang
lapangan pacuan Keluarga Honda. Kalau cuaca terang, lapangan itu selalu diliputi awan
debu, karena tentara berkuda sering berlatih dari fajar sampai senja. Garis keturunan
yang mereka banggakan adalah garis keturunan prajurit-prajurit Mikawa yang terkenal,
suatu tradisi yang telah menghasilkan Tokugawa.
Muka terbangun dari tidur siang, lalu pergi ke sumur dan menimba air. Kimono warna
kelabu gelap yang tak berpinggir, dan topi kelabu yang dikenakannya, lebih cocok untuk
orang umur empat puluhan, padahal ia sendiri belum lagi tiga puluh tahun. Habis mencuci
muka, ia berjalan ke rumpun bambu, dan di situ ia menebang sebatang bambu besar dengan
satu tebasan pedang. Ia basuh bambu itu di sumur, lalu kembali masuk rumah. Kerai yang tergantung di satu
sisi berfungsi menolak debu dari lapangan pacuan, tapi karena cahaya datang dari arah
tersebut, ruangan itu jadi kelihatan lebih kecil dan lebih gelap dari yang sebenarnya.
Sebilah papan terletak mendatar di sebuah sudut. Di atasnya tergantung potret tanpa
nama dari seorang pendeta Zen. Muka menegakkan potongan bambunya di atas papan, dan
melontarkan bunga jalar ke dalam lubangnya.
"Boleh juga," pikirnya sambil mundur, memeriksa karyanya. Ia duduk di depan meja,
mengambil kuas, dan mulai berlatih. Sebagai model, dipergunakannya pedoman huruf-huruf
resmi berbentuk persegi dari Ch'u Sui-liang, dan sapuan kaligrafi dari pendeta Kobo
Daishi. Jelas kelihatan, ia memperoleh kemajuan mantap selama setahun tinggal di situ,
karena huruf-huruf yang ditulisnya sekarang jauh lebih unggul daripada huruf-huruf yang
tertulis di papan nama. "Boleh saya mengganggu?" tanya wanita dari sebelah rumah, istri orang yang biasa
menjual kuas tulis. "Silakan," kata Muka.
"Saya hanya sebentar. Saya heran.... Beberapa menit yang lalu, saya mendengar bunyi
keras. Kedengarannya seperti ada barang yang patah. Apa Anda mendengarnya?"
Muka tertawa. "Itu tadi saya memotong bambu."
"Oh. Saya begitu kuatir. Saya pikir ada yang terjadi dengan Anda. Suami saya mengatakan
samurai yang berkeliaran di sekitar sini mau membunuh Anda."
"Sekiranya betul begitu, tidak apa. Toh harga saya tidak sampai tiga keping uang
tembaga." "Lho, Anda tak boleh menyepelekan. Banyak orang terbunuh akibat hal-hal yang menurut
ingatan mereka tidak mereka lakukan. Coba Anda pikirkan, alangkah sedih semua gadis itu
kalau ada sesuatu menimpa Anda."
Wanita itu mengundurkan diri, tanpa mengajukan pertanyaan yang sering diajukannya,
"Kenapa tidak beristri" Bukan karena Anda tak suka perempuan, kan?" Muka tidak pernah
memberikan jawaban yang jelas, sekalipun secara sembrono ucapannya sempat menyiratkan
bahwa ia bisa dengan mudah mendapatkan jodoh yang baik. Para tetangga tahu bahwa ia
ronin dari Mimasaka, yang suka belajar dan pernah tinggal di Kyoto, di Edo, dan sekitar
Edo. Kata orang, ia ingin menetap di Okazaki dan membuka perguruan yang baik. Berhubung
ia masih muda, rajin, dan jujur, tidak mengherankan bahwa sejumlah gadis berminat kawin
dengannya, juga beberapa orang yang anak-anak gadisnya memenuhi syarat.
Lingkungan kecil itu memang memikat hati Muka. Penjual kuas dan istrinya
memperlakukannya dengan baik. Sang istri mengajarinya memasak, dan kadang-kadang
mencuci dan menjahit untuknya. Secara keseluruhan, Muka senang tinggal di lingkungan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Semua orang saling mengenal, dan semua orang berusaha membuat hidup mereka
menarik. Selalu ada peristiwa yang terjadi, kalau bukan pesta tari-tarian di jalan atau
perayaan keagamaan, tentu penguburan atau ada orang sakit yang mesti diurus.
Malam itu ia melewati rumah penjual kuas, ketika suami-istri itu sedang makan malam.
Sambil mendecap, sang istri berkata, "Ke mana dia pergi" Pagi hari dia mengajar anakanak, sore hari tidur atau belajar. Lalu malam hari pergi. Macam kelelawar saja."
Di jalan-jalan Okazaki, bunyi seruling bambu bercampur dengan dengung serangga
tangkapan yang dikurung dalam sangkar-sangkar kayu, dengan ratapan berirama dari para
penyanyi di jalan buntu, dengan teriakan para penjual semangka dan sushi. Di sini tak
ada hiruk-pikuk yang menjadi ciri di Edo. Lentera-lentera berkedap-kedip, dan orangorang bercengkerama di sana-sini, dengan mengenakan kimono musim panas. Dalam udara
musim panas itu, segala sesuatu kelihatan santai dan pada tempatnya.
Ketika Muka lewat, gadis-gadis berbisik.
"Nah, dia jalan lagi."
"Huh, dan selalu tidak memperhatikan siapa pun."
Sebagian gadis-gadis itu membungkuk kepadanya, kemudian menoleh pada sesama teman-teman
mereka, dan menduga-duga ke mana arah pergi Muka.
Muka berjalan lurus, melewati jalan-jalan samping di mana ia bisa membeli jasa para
pelacur Okazaki, yang oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu daya tank utama di
sepanjang jalan raya Tokaido itu. Di ujung barat kota ia berhenti dan meregangkan
badan, hingga panas badan keluar dari lengan bajunya. Di hadapannya menderas air Sungai
Yahagi dan membentang Jembatan Yahagi yang berelung 208, jembatan terpanjang di
Tokaido. Ia berjalan mendekati sosok kurus yang menantinya di tiang pertama.
"Musashi?" Musashi tersenyum pada Matahachi yang mengenakan jubah pendeta. "Apa Guru sudah
kembali?" tanyanya. "Belum." Mereka berjalan berdampingan, menyeberangi jembatan. Di atas bukit yang ditumbuhi pohon
pinus, di seberangnya berdiri kuil Zen tua. Karena bukit itu dikenal sebagai Hachijo,
kuil itu pun disebut Hachijoji. Mereka mendaki lereng yang gelap, di depan pintu
gerbang. "Apa kabar?" tanya Musashi. "Melaksanakan Zen mestinya sukar."
"Betul," jawab Matahachi kesal, sambil menundukkan kepalanya yang bercukur kebiruan.
"Aku sudah sering ingin melarikan diri. Kalau mesti mengalami siksaan mental untuk
menjadi manusia baik-baik, lebih baik aku menjerat leherku, habis perkara."
"Oh, jangan mundur karena itu. Kau baru mulai. Pendidikanmu yang sebenarnya belum
terjadi, sebelum kau dapat mengimbau Guru dan meyakinkannya untuk menerimamu sebagai
murid." "Itu memang tidak selamanya mustahil. Aku sudah belajar mendisiplinkan diriku sedikit.
Dan tiap kali aku kendur, aku ingat kau. Kalau kau dapat mengatasi kesulitankesulitanmu, aku pun dapat."
"Memang begitu mestinya. Apa pun yang dapat kulakukan, pasti kau juga bisa."
"Aku teringat Takuan. Kalau bukan karena dia, aku sudah dihukum mati."
"Kalau kau tahan menghadapi kesulitan, kau akan memperoleh kesenangan yang lebih besar
daripada derita," kata Musashi khidmat. "Siang dan malam, jam demi jam, orang
dipermainkan oleh ombak derita dan kesenangan berganti-ganti. Kalau mereka mencoba
untuk hanya menikmati kesenangan, berarti mereka tidak benar-benar hidup. Dan
kesenangan akan lenyap."
"Aku mulai mengerti."
"Ingat saja cara orang menguap. Kuap orang yang habis kerja, lain dengan kuap orang
malas. Banyak orang mati tanpa mengetahui nikmat yang diberikan oleh menguap."
"Ya. Aku mendengar pembicaraan seperti itu di kuil."
"Kuharap tak lama lagi aku bisa membawamu pada Guru. Aku sendiri ingin minta petunjuk
darinya. Aku perlu tahu lebih banyak tentang Jalan itu."
"Menurutmu, kapan dia datang?"
"Sukar dikatakan. Guru Zen kadang-kadang berkeliaran di seluruh negeri, seperti awan,
selama dua atau tiga tahun sekali jalan. Mumpung sudah dating di sini, kau mesti mau
menunggu dia, sampai empat-lima tahun, kalau perlu."
"Kau juga?" "Ya. Hidup di lorong belakang, di antara orang-orang miskin dan tulus itu, merupakan
latihan baik bagiku. Itu bagian dari pendidikanku. Waktu tidak terbuang sia-sia."
Musashi meninggalkan Edo, melewati Atsugi. Kemudian, dengan jiwa dilanda kesangsian
akan masa depannya, ia menghilang ke tengah Pegunungan Tanzawa, dan dua bulan kemudian
muncul kembali dalam keadaan lebih gelisah dan kuyu. Selesai memecahkan satu masalah,
ia tercebur ke dalam masalah lain. Kadang-kadang ia demikian tersiksa, hingga seolaholah pedangnya terarah kepada dirinya.
Di antara kemungkinan yang dipertimbangkannya adalah memilih jalan yang mudah.
Sekiranya ia dapat memaksa dirinya menempuh hidup enak dan biasa saja dengan Otsu,
hidupnya akan sederhana. Hampir setiap perdikan akan rela membayarnya dengan gaji cukup
untuk hidup, barangkali lima ratus sampai seribu gantang. Tapi kalau ia ajukan hal itu
pada dirinya dalam bentuk pertanyaan, jawabannya selamanya tidak. Hidup yang mudah itu
penuh dengan batasan. Ia tak dapat tunduk kepada batasan-batasan itu.
Pada waktu lain, ia merasa seolah tersesat dalam khayal pengecut, khayal hina, seperti
setan lapar dalam neraka; kemudian, untuk sesaat, pikirannya menjadi tenang, dan ia
mengumbar diri dalam kenikmatan hidup menyendiri yang penuh kebanggaan itu. Di dalam
hatinya terus berlangsung perjuangan antara terang dan gelap. Siang-malam ia terhuyunghuyung antara kegembiraan besar dan kesenduan. Ia memikirkan dirinya sebagai pemain
pedang, dan ia merasa kecewa. Kalau dipikirkan betapa panjang jalan yang dipelajarinya,
dan betapa jauh ia dari kematangan, hatinya pun pedih. Tapi, di lain waktu, hidup di
pegunungan itu menggembirakan hatinya, dan pikirannya melayang pada Otsu.
Turun dari gunung, ia pergi ke Yugyoji di Fujisawa untuk beberapa hari, kemudian ke
Kamakura. Di situlah ia berjumpa dengan Matahachi. Matahachi sudah memutuskan untuk
tidak kembali menjalani hidup malas, dan ia berada di Kamakura karena banyak kuil Zen
di tempat itu, namun ia menanggung rasa hancur yang lebih parah lagi daripada Musashi.
Musashi mencoba meyakinkannya, "Sekarang ini belum terlalu terlambat. Kalau kau belajar
berdisiplin, kau bisa mulai dari awal lagi. Sungguh fatal kalau kau mengatakan pada
dirimu bahwa semuanya sudah lewat, dan bahwa dirimu tak berguna."
Kemudian ia merasa perlu menambahkan, "Terus terang, aku sendiri berhadapan dengan
tembok. Ada masanya aku bertanya-tanya, apakah aku punya masa depan. Aku merasa sama
sekali kosong. Rasanya seperti terkurung dalam rumah kerang. Aku benci pada diriku.
Kukatakan pada diri sendiri, diriku ini sia-sia. Tapi dengan mendera diri sendiri, dan
memaksa diri untuk jalan terus, aku berhasil menerobos rumah kerang itu. Lalu jalan
baru terbuka di hadapanku.
"Percayalah, kali ini sedang berlangsung perjuangan yang sesungguhnya dalam diriku. Aku
menggelepar-gelepar di dalam rumah kerang, dan tak dapat melakukan sesuatu. Aku turun
dari pegunungan karena teringat orang yang menurutku dapat menolongku."
"Orang itu Pendeta Gudo. "
Kata Matahachi, "Dia yang menolongmu waktu engkau pertama kali mencari Jalan itu, kan"
Apa kau tak bisa mengenalkan aku, dan minta dia menerimaku sebagai murid?"
Semula Musashi sangsi tentang ketulusan hati Matahachi, tapi sesudah mendengar tentang
kesulitan di Edo, ia pun yakin bahwa Matahachi betul-betul bermaksud demikian. Kedua
orang itu kemudian mencari keterangan tentang Gudo di sejumlah kuil Zen, tapi hanya
sedikit yang dapat mereka ketahui. Musashi tahu bahwa pendeta itu tidak lagi berada di
Kuil Myoshinji, Kyoto. Beberapa tahun sebelumnya, ia pergi melakukan perjalanan selama
beberapa waktu lamanya di timur dan timur laut. Ia juga tahu bahwa pendeta itu orang
yang paling tak menentu tinggalnya. Satu hari ia bisa berada di Kyoto, memberikan
kuliah tentang Zen pada Kaisar, dan hari berikutnya mengembara di pedesaan. Gudo
diketahui beberapa kali berhenti di Kuil Hachijoji di Okazaki. Seorang pendeta
mengatakan mungkin di kuil itulah tempat terbaik untuk menantikannya.
Musashi dan Matahachi duduk di dalam pondok kecil tempat Matahachi biasa tidur. Musashi
sering mengunjunginya di sini, dan mereka bercakapcakap sampai jauh malam. Matahachi
tidak diizinkan tidur dalam asrama yang, seperti halnya bangunan-bangunan Kuil
Hachijoji lainnya, berupa bangunan kasar, beratap lalang, sebab ia belum resmi diterima
sebagai pendeta. "Oh, nyamuk-nyamuk ini!" kata Matahachi sambil menyebar-menyebarkan asap dari obat
penghalau serangga, kemudian menggosok matanya yang pedih. "Mari kita keluar." Mereka
berjalan ke ruang utama dan duduk di serambi. Pekarangan sepi, dan angin sejuk bertiup.
"Ini mengingatkan aku pada Kuil Shippoji," kata Matahachi dengan suara hampir tidak
kedengaran. "Ya, kukira begitu," kata Musashi.
Mereka terdiam. Mereka selalu berbuat demikian pada saat-saat seperti itu. Pikiran
tentang rumah selalu menimbulkan kenangan tentang Otsu dan Osugi, atau peristiwa-
peristiwa yang tak hendak mereka bicarakan, karena takut mengganggu hubungan mereka
sekarang. Tapi, beberapa menit kemudian, Matahachi berkata, "Bukit tempat berdirinya Shippoji itu
lebih tinggi, ya" Tapi di tempat ini tak ada pohon kriptomeria tua." Di situ ia
berhenti, memandang rant muka Musashi sejenak, kemudian katanya malu-malu. "Ada satu
permintaan yang sudah lama ingin kuajukan, tapi..."
"Permintaan apa itu?"
"Otsu...," Matahachi memulai, tapi seketika itu juga ia terharu, tak bisa berbicara
lagi. Ketika merasa sudah dapat mengatasi perasaannya, ia berkata, "Rasanya aku ingin
tahu, apa yang sedang dilakukan Otsu sekarang ini, dan apa yang terjadi dengannya. Aku
sering memikirkannya hari-hari ini dan dalam hati aku minta maaf atas segala yang
pernah kulakukan. Aku malu mesti mengakuinya, tapi di Edo aku memaksanya hidup
denganku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dia menolak kusentuh. Kukira, sesudah aku pergi
ke Sekigahara, Otsu tentunya seperti kembang yang jatuh. Sekarang dia menjadi bunga
yang berkembang di pohon lain, di tanah yang lain juga." Wajah Matahachi memperlihatkan
kesungguhan, dan suaranya serius.
"Takezo... ah, bukan... Musashi. Aku minta, kawinilah Otsu. Kau satu-satunya yang dapat
menyelamatkannya. Aku tak pernah dapat memaksa diri mengatakan hal ini, tapi sekarang,
sesudah aku mengambil keputusan menjadi murid Gudo, mesti kuakui kenyataan bahwa Otsu
bukan milikku. Biarpun begitu, aku menguatirkan dirinya. Tak inginkah engkau mencari
dia, dan memberinya kebahagiaan yang memang dia inginkan?"
Kira-kira pukul tiga pagi waktu itu, ketika Musashi mulai menuruni jalan glinting yang
gelap. Tangannya terlipat, kepalanya tertunduk. Katakata Matahachi terngiang di
telinganya. Kesedihan mendalam seakan menarik-narik kakinya. Ia dapat membayangkan,
betapa Matahachi tersiksa bermalam-malam lamanya, hanya untuk membangkitkan keberanian
berbicara seperti itu. Namun bagi Musashi, dilema yang dihadapinya sendiri lebih berat
dan menyakitkan. Menurut pendapatnya, Matahachi berharap dapat melarikan diri dari nyala panas masa
lalu, dan mencari keselamatan yang sejuk dalam pencerahan. Seperti bayi yang baru
dilahirkan, ia mencoba menemukan hidup bermakna dalam derita gaib kesedihan dan
kebahagiaan. Musashi tidak dapat mengatakan, "Tak dapat itu kulakukan." Lebih tak dapat lagi ia
mengatakan, "Tak ingin aku mengawini Otsu. Dia tunanganmu. Menyesallah, murnikan
hatimu, dan rebut kembali hatinya." Akhirnya ia tidak mengatakan apa pun, karena apa
pun yang akan dikatakannya, akan merupakan kebohongan.
Dan Matahachi memohon dengan sangat, "Hanya kalau aku yakin bahwa Otsu akan terurus,
ada gunanya bagiku menjadi murid. Kau yang mendesakku melatih dan mendisiplinkan diri.
Kalau kau memang temanku, selamatkan Otsu. Itulah satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diriku."
Musashi terheran-heran melihat Matahachi menangis tersedu-sedu. Tak diduganya bahwa
perasaan Matahachi bisa sedalam itu. Bahkan ketika ia sudah berdiri untuk berangkat,
Matahachi mencengkeram lengan bajunya, minta diberi jawaban. "Biar kupikirkan dulu,"
itulah satu-satunya yang dapat dikatakan Musashi. Sekarang ia mengutuk dirinya karena
bersikap pengecut, dan ia sesali ketidakmampuannya.
Dengan sedih terpikir oleh Musashi, bahwa orang yang tidak menanggung penyakit ini tak
mungkin mengenal nyerinya. Soalnya bukan semata-mata menyangkut sikap malas, tapi
menyangkut keinginan besar untuk melakukan sesuatu, namun tak bisa. Pikiran dan mata
Musashi kini seolah tumpul dan kosong. Sesudah menempuh jalan sejauh mungkin ke satu
arah saja, ia merasa dirinya tak berdaya untuk mundur atau mulai menempuh jalan yang
baru. Ia seperti terpenjara di suatu tempat yang tak ada jalan keluarnya. Kekecewaan
yang dialaminya menimbulkan rasa sangsi, menyalahkan diri, dan air mata.
Sia-sia ia marah pada diri sendiri, mengingat segala kesalahannya. Justru karena
menemukan gejala-gejala awal penyakit itulah, ia berpisah dengan Iori dan Gonnosuke,
serta memutuskan ikatan dengan teman-temannya di Edo. Tapi maksudnya untuk menerobos
rumah kerang selagi kulit kerang belum terbentuk dengan baik ternyata gagal. Kulit
kerang itu masih saja ada, membelenggu dirinya yang kosong, seperti selongsong kulit
jangkrik. Ia berjalan tanpa kemantapan. Keluasan Sungai Yahagi mulai tampak. dan angin yang
bertiup dari sungai terasa sejuk di wajahnya.
Tiba-tiba ia meloncat ke samping, karena mendengar bunyi desing tajam. Tembakan itu
melintas pada jarak dua meter dari dirinya, dan bunyi bedil berkumandang di seberang
sungai. Jarak antara peluru dan bunyi itu sejauh dua tarikan napas, dan Musashi
menyimpulkan bahwa senapan itu ditembakkan dari jarak jauh. Ia melompat ke bawah
jembatan dan bergayut ke tiang, seperti kelelawar.
Beberapa menit berlalu, kemudian tiga lelaki berlarian menuruni Bukit Hachijo, seperti
buah pohon pinus ditiup angin. Di dekat ujung jembatan, mereka berhenti dan mulai
mencari mayat. Karena yakin tembakannya mengena, si penembak membuang sumbunya.
Pakaiannya lebih gelap dibanding kedua orang yang lain, dan ia mengenakan topeng, hanya
matanya yang tampak. Langit menjadi cerah sedikit, dan hiasan kuningan pda gagang senapan memantulkan cahaya
lembut. Tak dapat Musashi membayangkan, siapa gerangan orang di Okazaki yang menghendaki
kematiannya. Memang tidak kurang musuhnya. Dalam pertempuran-pertempuran yang pernah
dialaminya, ia telah mengalahkan banyak orang, yang kemungkinan masih punya keinginan
menggelegak untuk membalas dendam. Dan banyak lagi orang yang telah dibunuhnya, hingga
keluarga atau kawan-kawan mereka barangkali berharap akan menuntut balas.
Siapa pun yang menempuh Jalan Pedang, selamanya berada dalam bahaya dibunuh. Kalau ia
lolos dari satu bencana maut, akan menyusul kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan
perbuatan itu, ia menciptakan musuh-musuh baru atau bencana baru. Bahaya merupakan batu
gerinda yang dipakai pemain pedang untuk mengasah semangatnya. Musuh adalah guru yang
menyamar. Belajar waspada terhadap bahaya, biarpun sedang tidur, belajar dari musuh sepanjang
waktu, menggunakan pedang sebagai alat untuk membiarkan orang lain hidup, menguasai
alam, mencapai pencerahan, berbagi kegembiraan hidup dengan orang lain-semua itu tak
terpisahkan dari Jalan Pedang.
Sementara meringkuk di bawah jembatan itu, situasi nyata memacu Musashi, dan
kelesuannya pun lenyap. Ia bernapas pendek-pendek sekali, tanpa bunyi, dan membiarkan
para penyerangnya mendekat. Gagal menemukan mayat, orang-orang itu memeriksa jalan yang
sunyi dan ruang di bawah ujung jembatan.
Mata Musashi terbuka lebar. Orang-orang itu mengenakan pakaian hitam seperti bandit,
tapi mereka membawa pedang samurai, dan bersepatu rapi. Samurai di daerah itu hanyalah
mereka yang mengabdi pada Keluarga Honda di Okazaki, dan Keluarga Tokugawa Owari di
Nagoya. Ia tidak merasa mempunyai musuh di kedua perdikan itu.
Satu orang menembus kegelapan dan mengambil kembali sumbu, kemudian menyalakan dan
melambaikannya. Musashi jadi menduga bahwa di seberang jembatan terdapat lebih banyak
orang. Ia tidak dapat bergerak, setidak-tidaknya sekarang. Kalau ia memperlihatkan
diri, kemungkinan akan mengundang lebih banyak tembakan. Sekalipun ia dapat mencapai
tepi seberang, bahaya yang menanti di sana barangkali lebih besar lagi. Tapi ia pun tak
dapat tinggal lebih lama di situ. Karena orang-orang itu tahu ia belum menyeberang
jembatan, mereka akan mengepungnya, dan barangkali akan berhasil menemukan tempat
persembunyiannya. Mendadak ia mendapat akal. Akal itu tidak didasarkan pada teori-teori Seni Perang yang
merupakan serabut intuisi seorang prajurit. Merancang cara menyerang merupakan proses
yang lambat, yang sering mengakibatkan kekalahan dalam situasi yang menuntut kecepatan.
Naluri seorang prajurit tidak boleh dikacaukan dengan naluri binatang. Seperti halnya
reaksi anggota tubuh bagian dalam, naluri itu datang dari gabungan kebijaksanaan dan
disiplin. Ia merupakan penalaran terakhir yang melebihi akal, ia adalah kemampuan untuk
melakukan gerakan yang benar dalam sekejap mata, tanpa mesti melewati proses berpikir
biasa. "Sia-sia kalian coba sembunyi!" pekiknya. "Kalau kalian mencariku, aku di sini!" Angin
agak kencang waktu itu; ia tak yakin suaranya terdengar atau tidak.
Pertanyaan itu dijawab oleh tembakan lain. Musashi tentu saja sudah tidak ada di sana
lagi. Ketika peluru masih berada di udara, ia sudah melompat tiga meter ke arah ujung
jembatan. Ia menyerbu ke tengah mereka. Mereka pun menyebar sedikit, dan menghadapinya dari tiga
jurusan, namun sama sekali tanpa koordinasi. Ia tebas orang yang ada di tengah dengan
pedang panjang, dan serentak dengan itu ia menyayat ke samping, dengan pedang pendek,
ke arah orang di sebelah kirinya. Orang ketiga melarikan diri ke seberang jembatan,
berlari, terjatuh, dan terlontar ke luar jembatan.
Musashi mengikuti dengan langkah biasa di satu sisi saja, sekali-sekali berhenti untuk
mendengarkan. Ketika tidak terjadi apa-apa lagi, ia pun pulang dan tidur.
Paginya dua samurai datang ke rumahnya. Melihat jalan masuk penuh dengan sandal anakanak, mereka menikung ke samping.
"Anda Sensei Muka?" tanya salah seorang. "Kami dari Keluarga Honda." Musashi menengadah
dari tulisannya, katanya "Ya, saya Muka."
"Apa nama Anda sebenarnya Miyamoto Musashi" Kalau benar demikian, jangan Anda
menyembunyikannya." "Saya Musashi."
"Saya percaya Anda kenal Watari Shima."
"Saya tidak merasa mengenalnya."
"Dia bilang pernah hadir dalan dua-tiga pesta haiku, di mana Anda hadir juga."
"Ya, sesudah Anda sebutkan itu, saya ingat dia sekarang. Kami bertemu di rumah teman
kami berdua." "Nah, dia bertanya apakah Anda mau datang dan bermalam di rumahnya."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau dia mencari orang yang akan diajaknya mengarang haiku, bukan saya orangnya.
Memang benar, beberapa kali saya diundang ke pesta seperti itu, tapi saya orang
sederhana yang hanya punya sedikit pengalaman dalam hal itu."
"Saya pikir dia ingin membicarakan seni bela diri dengan Anda." Musashi membelalak
gelisah ke arah kedua samurai itu. Beberapa waktu lamanya ia menatap mereka, kemudian
katanya, "Kalau demikian, dengan senang hati saya akan datang ke rumahnya. Kapan?"
"Apa Anda bisa datang malam ini?"
"Baik." "Dia akan mengirimkan joli untuk Anda."
"Bagus. Saya tunggu."
Setelah mereka pergi, Musashi kembali menghadapi murid-muridnya. "Ayo," katanya.
"Kalian tak boleh membiarkan diri kalian terlengah. Ayo kerja lagi. Lihat aku. Aku
berlatih juga. Kalian mesti belajar memusatkan perhatian sepenuhnya, sampai kalian
tidak mendengar orang berbicara atau jangkrik mengerik. Kalau kalian malas selagi muda,
kalian akan jadi orang macam aku, dart mesti berlatih sesudah kalian dewasa." Ia
tertawa dan menoleh ke sekeliling, ke arah wajah-wajah dan tangan-tangan yang
berlepotan tinta itu. Senja hari ia sudah mengenakan hakama dan siap pergi. Ketika ia sedang meyakinkan istri
penjual kuas yang hampir menangis, bahwa ia akan selamat tak kurang suatu apa, joli pun
tiba"bukan joli anyaman sederhana seperti yang biasa kelihatan di seluruh kota itu,
melainkan joli berpernis yang dikawal dua samurai dan tiga orang abdi.
Para tetangga terpesona melihatnya, berkerumun dan berbisik-bisik. Anak-anak memanggil
teman-temannya dan berceloteh dengan riuhnya.
"Cuma orang besar naik joli macam itu."
"Mestinya guru ini orang besar juga."
"Ke mana dia pergi?"
"Dia kembali atau tidak?"
Kedua samurai menutup pintu joli, menyingkirkan orang banyak dari jalanan, dan
berangkat. Musashi tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia menduga ada hubungan antara undangan
itu dengan peristiwa di Jembatan Yahagi. Mungkin Shima akan menegurnya karena telah
membunuh dua orang samurai Honda. Mungkin juga Shima orang yang berdiri di belakang
usaha memata-matai dan melakukan serangan mendadak, dan sekarang siap menghadapi
Musashi secara terbuka. Musashi tidak yakin pertemuan malam itu akan mendatangkan
kebaikan, dan ia bertekad untuk menghadapi keadaan sulit. Berspekulasi tidak akan
membawanya ke mana-mana. Seni Perang menuntutnya untuk menetapkan di mana ia berdiri,
dan bertindak sesuai dengan itu.
Joli berayun-ayun lembut, seperti perahu di laut. Mendengar angin yang mendesir di
antara pohon pinus, ia menduga mereka berada di hutan dekat dinding benteng sebelah
utara. Ia tidak kelihatan seperti orang yang sedang meneguhkan diri menghadapi serangan
tak terduga. Dengan mata setengah tertutup, ia tampak seperti sedang tertidur.
Sesudah gerbang benteng berkeriut membuka, langkah para pemikul menjadi lambat,
sedangkan suara para samurai lebih ditekan. Mereka melewati lentera-lentera yang
mengedip-ngedip, dan sampai di bangunan benteng. Musashi turun, dan para pembantu
mempersilakannya masuk ke sebuah paviliun terbuka dengan pelan, tapi sopan. Karena
kerai tergulung di keempat sisi ruangan, angin bertiup dalam gelombang yang
menyenangkan. Lampu-lampu memudar dan menyala liar. Malam itu tidak mirip malam musim
panas yang terik. "Saya Watari Shima," kata tuan rumah. Ia seorang samurai Mikawa yang khas"tegap, kuat,
waspada, tapi tidak berpura-pura, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda kelemahan.
"Saya Miyatomo Musashi." Jawaban yang sama sederhananya itu diiringi bungkukan badan.
Shima membalas bungkukan itu, katanya, "Anggaplah ini rumah sendiri," lalu langsung
menuju persoalan, tanpa basa-basi lagi. "Saya mendapat laporan, Anda membunuh dua
samurai kami tadi malam. Apa itu benar?"
"Ya, benar," Musashi menatap mata Shima.
"Saya mesti minta maaf," kata Shima murung. "Saya mendengar tentang peristiwa itu hari
ini, ketika kematian dilaporkan. Tentu saja dilakukan penyelidikan. Sudah lama saya
mengenal nama Anda, tapi baru sekarang saya tahu bahwa Anda tinggal di Okazaki.
"Tentang serangan itu, saya mendapat laporan bahwa Anda ditembak oleh sekelompok orang
kami, seorang di antaranya murid Miyake Gumbei, ahli bela diri Gaya Togun."
Karena tidak merasakan ada dalih, Musashi menerima kata-kata Shima itu begitu saja, dan
cerita pun berkembang selangkah demi selangkah. Murid Gumbei adalah salah seorang
samurai Honda yang belajar pada Perguruan Yoshioka. Beberapa penghasut yang ada di
tengah mereka sebelumnya telah berkumpul, dan memutuskan untuk membunuh orang yang
telah mengakhiri kebesaran Perguruan Yoshioka itu.
Musashi tahu, nama Yoshioka Kempo masih dipuja-puja di seluruh negeri. Di Jepang barat,
terutama, sukar kiranya menemukan perdikan yang tidak menyimpan samurai yang pernah
belajar di bawah pimpinannya. Musahi menyampaikan pada Shima bahwa ia dapat memahami
dendam mereka terhadapnya, tapi ia menganggap hal itu sebagai dendam perseorangan, dan
bukan sebagai alasan sah untuk melakukan balas dendam sesuai Seni Perang.
Shima rupanya sependapat. "Saya sudah memanggil orang-orang yang selamat, dan memarahi
mereka. Saya harap Anda memaafkan kami dan melupakan soal itu. Gumbei pun sangat tidak
senang. Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin memperkenalkannya pada Anda. Dia ingin
menyampaikan permintaan maaf."
"Ah, tak perlu. Apa yang telah terjadi itu adalah kejadian umum bagi siapa saja yang
menempuh jalan seni bela diri."
"Biar begitu..."
"Nah, baiklah kita buang kata-kata permintaan maaf itu. Tapi kalau dia ingin bicara
tentang Jalan, dengan senang hati saya akan menjumpainya. Nama itu saya kenal betul."
Satu orang dikirim untuk mengundang Gumbei, dan ketika kata-kata perkenalan sudah
lewat, pembicaraan pun beralih kepada pedang dan permainan pedang.
Kata Musashi, "Saya ingin mendengar tentang Gaya Togun. Anda menciptakan gaya itu?"
"Tidak," jawab Gumbei. "Saya mempelajarinya dari guru saya, Kawasaki Kaginosuke, dari
Provinsi Echizen. Menurut kitab pegangan yang beliau berikan pada saya, beliau
mengembangkannya semasa menjadi pertapa di Gunung Hakuun di Kozuke. Rupanya dia
mengambil banyak teknik dari biarawan Tendai bernama Togumbo.... Tapi coba Anda
ceritakan sedikit tentang diri Anda. Saya sudah mendengar nama Anda berkali-kali
disebutkan orang. Tadinya saya mendapatkan kesan bahwa Anda lebih tua. Dan karena Anda
ada di sini, saya ingin agar Anda sudi memberikan satu pelajaran pada saya." Nada katakata itu bersahabat, namun itu adalah ajakan bertarung.
"Lain kali saja," jawab Musashi ringan. "Saya mesti pergi sekarang. Saya pun belum tahu
jalan pulang." "Kalau Anda pulang nanti," kata Shima, "akan saya minta seseorang menemani Anda."
"Waktu saya mendengar dua orang roboh," Gumbei melanjutkan, "saya datang menjenguk.
Ternyata saya tak bisa memahami posisi tubuh dengan lukanya, karena itu saya tanya
orang yang berhasil lolos. Menurut kesannya, Anda menggunakan dua pedang sekaligus. Apa
itu benar?" Sambil tersenyum, Musashi mengatakan bahwa ia tidak pernah menggunakan cara itu secara
sadar. Ia beranggapan, apa yang diperbuatnya hanyalah berkelahi dengan satu tubuh dan
satu pedang. "Anda tak usah merendahkan diri," kata Gumbei. "Anda ceritakanlah tentang itu.
Bagaimana Anda berlatih" Bagimana kita mesti meletakkan tekanan, agar kita dapat
menggunakan dua pedang sekaligus dengan bebas?"
Karena melihat bahwa ia takkan dapat meninggalkan tempat itu sebelum memberikan
penjelasan, Musashi melayangkan pandang ke sekitar ruangan. Pandangan itu berhenti pada
dua pucuk bedil di dalam ceruk kamar, dan ia minta dipinjami. Shima setuju, lalu
Musashi pergi ke tengah ruangan, memegang kedua pucuk senjata itu pada larasnya,
masing-masing tangan memegang satu bedil.
Musashi mengangkat sebelah lututnya, dan katanya, "Dua pedang sama dengan satu pedang.
Satu pedang seperti dua pedang. Kedua tangan kita ini terpisah satu dari yang lain,
tapi keduanya milik tubuh yang sama. Dalam segala hal, penalaran terakhir bukan
bersifat ganda, tapi bersifat tunggal. Demikian pula pada semua gaya dan
percabangannya. Akan saya tunjukkan pada Anda."
Kata-kata itu keluar dengan spontan, dan ketika selesai diucapkan, ia mengangkat satu
tangan, katanya, "Maafkan." Kemudian ia mulai memutar kedua bedil itu. Kedua bedil
berpilin seperti gulungan, menimbulkan angin pusaran kecil. Orang-orang yang hadir
menjadi pucat. Musashi berhenti, dan menarik sikunya ke sisi. Ia berjalan ke ceruk kamar, dan
mengembalikan kedua bedil. Sambil tertawa kecil, katanya, "Barangkali itu tadi dapat
membantu Anda memahami." Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, ia membungkuk pada
tuan rumah dan pergi. Karena terheran-heran, Shima lupa sama sekali meminta seseorang
untuk menemaninya. Di luar gerbang, Musashi menoleh untuk terakhir kali, dan merasa lega telah lepas dart
cengkeraman Watari Shima. Ia masih belum tahu maksud-maksud sebenarnya orang itu, tapi
satu hal sudah jelas. Tidak hanya identitasnya sudah diketahui orang, tapi ia sudah
terlibat dalam satu kejadian. Maka yang paling bijaksana baginya adalah meninggalkan
Okazaki malam ini juga. Ia baru ingat akan janjinya kepada Matahachi untuk menantikan kembalinya Gudo, ketika
cahaya Okazaki mulai terlihat, dan satu suara terdengar memanggilnya dari tempat suci
kecil di pinggir jalan. "Musashi, ini aku, Matahachi. Kami kuatir dengan dirimu, karena itu kami pergi ke sini
menanti." "Kuatir?" tanya Musashi.
"Kami tadi pergi ke rumahmu. Perempuan tetanggamu bilang orang memata-mataimu belum
lama ini." "Kami, katamu?"
"Guru sudah kembali hari ini."
Gudo duduk di beranda tempat suci itu. Ia orang yang berwajah luar biasa, kulitnya
sehitam kulit jangkrik raksasa, dan matanya bersinar cemerlang di bawah alisnya yang
tinggi. Ia tampak seperti orang yang berumur antara empat puluh dan lima puluh tahun,
namun tak mungkin orang menebak orang seperti itu. Tubuhnya kurus kekar, dan suaranya
mendentum. Musashi mendekat, berlutut dan bersujud ke tanah. Gudo memandangnya tanpa berkata-kata
semenit-dua menit. "Lama sudah waktu berlalu," katanya.
Sambil mengangkat kepala, kata Musashi tenang, "Ya, lama sekali." Gudo atau Takuan"
Musashi sudah lama yakin bahwa hanya salah satu dari mereka dapat melepaskannya dari
kebuntuan sekarang. Sesudah menanti setahun penuh, akhirnya kini Gudo ada di
hadapannya. Ia pandang wajah pendeta itu, seolah memandang bulan di malam gelap.
Secara tiba-tiba dan dengan penuh tenaga, serunya "Sensei."
"Ada apa?" Gudo tak perlu lagi bertanya. Ia sudah tahu apa yang dikehendaki Musashi,
dan ia sudah menduganya, seperti seorang ibu meramalkan kebutuhan anak-anaknya.
Sambil bersujud ke tanah lagi, Musashi berkata, "Sudah hampir sepuluh tahun sejak saya
belajar pada Bapak."
"Apa sudah selama itu?"
"Ya. Tapi biarpun sudah belajar selama itu, saya sangsi apakah kemajuan saya menempuh
Jalan itu dapat diukur."
"Bicaramu masih seperti kanak-kanak, ya" Kalau begitu, tak mungkin jauh jalanmu."
"Banyak sekali yang saya sesali."
"Betul?" "Latihan dasar dan disiplin diri saya begitu sedikit terlaksana."
"Kau selalu bicara tentang hal-hal semacam itu. Selama kau masih berbuat begitu, itu
sia-sia." "Apa yang akan terjadi, kalau saya tinggalkan ini?"
"Kau akan terjerat simpul lain lagi. Kau akan menjadi sampah manusia yang lebih buruk
daripada sebelumnya, ketika kau masih bodoh, tidak tahu apa-apa,"
"Kalau saya tinggalkan Jalan ini, saya akan jatuh ke dalam jurang. Tapi, untuk mencoba
mengejarnya sampai ke puncak, saya tak sanggup menghadapi tugas itu. Saya jadi
berputar-putar dalam angin tanggung menuju ke atas. Saya tak ingin jadi pemain pedang
atau manusia." "Ya, agaknya begitulah kesimpulannya."
"Bapak tidak tahu, betapa putus asa saya selama ini. Apa yang mesti saya lakukan"
Bapak, katakanlah! Bagaimana saya dapat membebaskan diri dari kemandekan dan
kekacauan?" "Kenapa tanya padaku" Kau hanya dapat mengandalkan dirimu."
"Izinkan saya duduk di kaki Bapak. Saya dan Matahachi. Atau hantam saya dengan tongkat
Bapak itu, untuk membangunkan saya dari kekosongan gelap ini. Saya mohon, Sensei,
tolonglah saya." Musashi tidak mengangkat kepalanya. Ia tidak meneteskan air mata, tapi
suaranya tercekik. Tanpa tergerak oleh kata-kata Musashi sedikit pun, kata Gudo, "Ayo, Matahachi!"
Kemudian bersama-sama mereka pergi meninggalkan tempat suci itu.
Musashi berlari mengejar pendeta itu, mencengkeram lengan bajunya, meminta dan memohon.
Pendeta itu menggelengkan kepala, tidak mengatakan sesuatu. Ketika Musashi berkeras
juga, katanya, "Sama sekali tak ada!" Kemudian dengan marah, "Apa yang mesti kukatakan"
Apa lagi yang mesti kuberikan" Hanya tinggal menghantam kepala itu." Ia mengayunkan
tinjunya ke udara, tapi tidak memukul.
Musashi melepaskan lengan baju si pendeta, dan hendak mengatakan yang lain lagi, tapi
pendeta itu berjalan cepat menjauh, tanpa berhenti lagi untuk menoleh.
Matahachi yang berada di sampingnya berkata, "Waktu kujumpai beliau di kuil, dan
kusampaikan perasaan kita dan alasan kita ingin menjadi muridnya, beliau hampir tak
mendengarkan. Dan waktu aku selesai bicara, beliau berkata, 'Oh"' dan mengatakan aku
dapat mengikutinya dan melayaninya. Barangkali kalau kau mengikuti kami terus, nanti
kalau suasana hati beliau sedang baik, kau dapat minta apa yang kauinginkan."
Gudo menoleh dan memanggil Matahachi.
"Baik, Pak!" kata Matahachi. "Lakukan anjuranku ini," nasihatnya pada Musashi, sambil
berlari mengejar si pendeta.
Karena menurut pendapatnya membiarkan Gudo lenyap lagi dari pandangan akan fatal
baginya, Musashi memutuskan menuruti nasihat Matahachi. Di tengah aliran waktu alam
semesta, hidup manusia yang enam atau tujuh puluh tahun itu hanya merupakan kilat.
Kalau dalam jangka waktu singkat itu ia mendapat hak istimewa untuk menjumpai seorang
Gudo, sungguh bodoh melepaskan kesempatan itu.
"Ini kesempatan yang suci," pikir Musashi. Air mata panas mengambang di sudu't-sudut
matanya. Ia harus mengikuti Gudo, sampai ujung dunia kalau perlu, dan mengejarnya
sampai ia mendengar kata yang ingin didengarnya.
Gudo pergi meninggalkan Bukit Hachijo. Agaknya ia tidak lagi tertarik akan kuil di
sana. Hatinya sudah mulai mengalir bersama air dan awan. Sampai Tokaido, ia membelok ke
barat, ke arah Kyoto. *** 101. Lingkaran RENCANA perjalanan guru Zen itu eksentrik tak keruan. Suatu kali, di waktu hujan turun
sepanjang hari, ia tinggal di penginapan dan minta Matahachi memberikan kepadanya
pengobatan moxa. Di Provinsi Mino ia tinggal selama tujuh hari di Daisenji, kemudian
singgah beberapa hari di kuil Zen di Hikone. Jadi, perjalanan keKyoto itu ditempuh
lambat sekali. Musashi tidur di tempat apa saja yang dapat ditemukannya. Kalau Gudo tinggal di
penginapan, ia bermalam di luar, atau di penginapan lain. Kalau pendeta itu dan
Matahachi menginap di kuil, ia berteduh di bawah gerbang. Kemelaratan bukan apa-apa
baginya dibandingkan kebutuhannya akan perkataan Gudo.
Pada suatu malam, di luar sebuah kuil di tepi Danau Biwa, tiba-tiba ia tersadar akan
datangnya musim gugur. Ia pandangi dirinya, dan dilihatnya dirinya sudah mirip pemintaminta. Rambutnya sudah seperti sarang tikus, karena ia memang sudah berketetapan untuk
tidak bersisir sebelum pendeta itu melunak sikapnya. Berminggu-minggu ia tidak mandi
dan bercukur. Pakaiannya dengan cepat berubah menja
di rombengan, dan terasa seperti
kulit pohon pinus di kulitnya.
Bintang-bintang seperti akan jatuh dari langit. Ia pandangi tikar buluhnya, dan
pikirnya, "Sungguh bodoh aku!" Seketika sadarlah ia, betapa sinting sikapnya selama
itu. Ia tertawa pahit. Selama itu, dengan teguh dan diam ia berpegang pada tujuannya,
tapi apa yang ia harapkan dari guru Zen itu" Apa tak mungkin ia menjalani hidup tanpa
mesti menyiksa diri sedemikian rupa" Ia bahkan merasa kasihan pada kutu-kutu yang hidup
di tubuhnya. Gudo dengan tegas mengatakan bahwa ia tak punya "apa pun" untuk diberikan. Sungguh
tidak beralasan mendesaknya memberikan sesuatu yang tak dimilikinya. Salahkah
membencinya, sekalipun ia kurang menunjukkan perhatian dibanding perhatian yang
diberikannya pada seekor anjing sesat di jalan"
Musashi memandang ke langit, lewat rambut yang meneduhi matanya. Tak sangsi lagi-itulah
bulan musim gugur. Tapi nyamuk-nyamuk itu... Kulitnya yang sudah penuh bilur-bilur
merah tidak lagi peka terhadap gigitannya.
Ia sudah siap untuk mengaku pada dirinya sendiri, bahwa ada hal yang tidak ia mengerti,
tapi apakah itu" Kalau sekiranya ia dapat memahami apa gerangan hal itu, pedangnya akan
terbebas dari ikatannya, dan segala yang lain pun akan terpecahkan dalam sesaat. Namun,
begitu ia merasa akan dapat meraihnya, selalu saja hal itu lolos.
Kalau usahanya menempuh Jalan itu berakhir di sini, ia lebih suka mati, sebab untuk apa
lagi hidup ini" Selagi berbaring di bawah atap gerbang, dan kantuk tidak juga datang,
ia bertanya apa gerangan yang belum dipahaminya selama ini. Teknik pedangkah" Tidak,
lebih dari itu. Pemecahan masalah Otsu" Tidak, tak seorang lelaki pun dapat begini
sengsara hanya karena cinta kepada seorang perempuan. Jawaban yang dicarinya pasti
meliputi segalanya, namun dengan segala kebesarannya, jawaban itu bisa saja hanya
sesuatu yang kecil, yang tak lebih dari biji madat.
Ia terbungkus dalam tikar, seperti ulat. Terpikir olehnya, apakah Matahachi tidur enak.
Membandingkan dirinya dengan temannya, ia merasa iri. Masalah-masalah Matahachi agaknya
tidak melumpuhkan. Musashi kelihatan selalu mencari masalah-masalah baru, dan dengan
itu la menyiksa dirinya.

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya kini tertumpu pada sebuah piagam yang tergantung di tiang gerbang. Ia bangkit
dan mendekatinya, agar dapat melihat lebih dekat. Dalam cahaya bulan ia membaca:
Saya mohon, cobalah temukan sumber asasi.
Pai yun tergerak oleh jasa Pai-ch'ang,
Hu-ch'iu kecewa atas ajaran peninggalan Pai yun.
Seperti para pendahulu kita yang agung, janganlah hanya memetiki dedaunan,
Atau menyibukkan diri dengan rerantingan.
Agaknya tulisan itu cuplikan dari Wasiat Daito Kokushi, pendiri Daitokuji.
Musashi membaca kembali dua baris terakhir. Dedaunan dan rerantingan.... Berapa banyak
orang terlontar dari jalur hidupnya oleh hal-hal yang tak ada kaitannya" Apakah ia
sendiri bukan contoh hal itu" Pikiran itu serasa meringankan bebannya, namun
keraguannya tak juga hilang. Kenapa pedangnya tidak tunduk kepadanya" Kenapa matanya
berpaling dari tujuannya" Apakah yang mencegahnya mencapai ketenteraman"
Bagaimanapun, semua ini terasa demikian sia-sia. Ia tahu apabila orang telah menempuh
Jalan itu sejauh-jauhnya, maka ia mulai terombangambing dan terserang keresahandedaunan dan rerantingan. Bagaimana mungkin orang membebaskan diri dari lingkaran itu"
Bagaimana orang dapat sampai kepada intinya dan menghancurkannya"
Kutertawakan ziarahku yang sepuluh tahun ini
Jubah yang lusuh, topi yang rombeng, ketukan di pintu Zen.
Sesungguhnya Hukum Budha itu sederhana:
Makan nasimu, minum tehmu, kenakan pakaianmu.
Musashi terkenang kembali akan sajak tulisan Gudo ini, yang dipakainya untuk mengejek
diri sendiri. Gudo kira-kira sebaya Musashi ketika mengarang sajak itu.
Pada kunjungan Musashi yang pertama ke Kuil Myoshinji, pendeta itu hampir menendangnya
dari pintu. "Jalan pikiran aneh apa pula yang mendorongmu datang ke rumahku?" begitu
teriaknya. Tapi Musashi bersikeras, dan kemudian, sesudah ia memperoleh izin masuk,
Gudo menyuguhinya sajak ironis itu. Dan ia menertawakan Musashi, seraya mengucapkan
katakata yang telah diucapkannya beberapa minggu lalu, "Kau selalu bicara... Itu siasia!"
Dalam keadaan benar-benar putus asa, Musashi membuang sama sekali keinginan untuk
tidur, dan la berjalan mengitari pintu gerbang. Justru pada waktu itu ia melihat dua
orang muncul dari kuil. Gudo dan Matahachi berjalan dengan langkah cepat luar biasa. Barangkali panggilan
mendesak telah datang dari Kuil Myoshinji, kuil kepala sekte Gudo. Apa pun halnya, ia
melewati begitu saja para biarawan yang telah berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan
kepadanya, dan langsung menuju Jembatan Kara di Seta.
Musashi mengikutinya melewati kota Sakamoto yang tertidur, melintasi toko-toko cetak
kayu, toko-toko sayur dan buah, bahkan juga penginapanpenginapan ramai yang semuanya
sudah terkunci rapat. Satu-satunya yang hadir adalah bulan yang pucat.
Mereka meninggalkan kota itu, mendekati Gunung Hiei, melewati Miidera dan Sekiji yang
terselimut tirai kabut. Mereka hampir tak menjumpai siapa pun. Ketika mereka sampai di
celah, Gudo berhenti dan mengatakan sesuatu pada Matahachi. Di bawah mereka terletak
Kyoto, di arah lain keluasan Danau Biwa yang tenang. DI luar bulan, segala sesuatu
tampak seperti mika, lautan kabut lunak keperakan.
Ketika beberapa waktu kemudian mereka sampai di celah itu, terkejutlah Musashi bahwa
dirinya hanya beberapa kaki jaraknya dan sang guru. Dalam beberapa minggu ini, itulah
pertama kali mereka bertemu pandang. Gudo tak mengatakan apa pun. Musashi pun tak
mengatakan sesuatu. "Sekarang... inilah waktunya!" pikir Musashi. Kalau pendeta itu nanti sampai sejauh
Myoshinji, ia terpaksa menanti beberapa minggu sebelum sempat bertemu lagi dengannya.
"Saya mohon, Pak," katanya. Dadanya menggembung dan lehernya melipat. Suaranya seperti
suara seorang anak yang dengan ketakutan mencoba menyampaikan sesuatu yang tak hendak
dikatakannya. Ia beringsut maju dengan takut-takut.
Pendeta itu tidak berkenan menanyakan apa yang dikehendakinya. Wajahnya mirip wajah
patung berpernis kering. Hanya matanya yang menonjol putih, menatap marah pada Musashi.
"Saya mohon, Pak," katanya. Tanpa menghiraukan apa pun, kecuali hasrat menyala-nyala
yang mendesaknya maju, Musashi menjatuhkan diri berlutut dan menundukkan kepala.
"Sepatah kata kebijaksanaan! Satu patah kata saja...!"
Ia merasa seperti sudah berjam-jam menanti. Ketika akhirnya ia tak dapat lagi
mengendalikan diri, ia memperbarui permohonannya.
"Aku sudah dengar semuanya itu!" sela Gudo. "Matahachi bicara tentangmu tiap malam. Aku
sudah tahu semua yang perlu kuketahui, bahkan juga tentang perempuan itu."
Kata-kata itu seperti kerat es. Andaikata pun Musashi ingin mengangkat kepalanya, ia
tak dapat berbuat demikian.
"Matahachi, tongkat!"
Musashi menutup mata, menguatkan diri menanti pukulan. Namun Gudo bukannya memukul,
melainkan menggambar lingkaran di sekitar dirinya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia
lontarkan tongkat itu, dan katanya, "Ayo pergi, Matahachi!" Dan mereka pergi cepatcepat.
Musashi jadi naik pitam. Sesudah berminggu-minggu menderita aib yang kejam, dalam usaha
yang tulus untuk menerima ajaran, penolakan Gudo jauh lebih buruk daripada sekadar
tiadanya rasa iba. Penolakan itu kejam, brutal! Pendeta itu mempermainkan manusia!
"Pendeta babi!"
Musashi menatap garang ke arah dua orang yang melangkah pergi itu. Bibirnya mengatup
erat, membentuk berengut marah.
"Tak ada apa-apa." Mengenang kata-kata Gudo itu, ia menyimpulkan bahwa kata-kata itu
hanya dusta, seolah-olah hendak menyatakan bahwa orang itu punya sesuatu yang bisa
ditawarkan, padahal kenyataannya "tak ada apa-apa" dalam kepalanya yang tolol itu.
"Awas!" pikir Musashi. "Aku tidak butuh kau!" la takkan mengandalkan diri pada siapa
pun. Analisis terakhirnya menyatakan tak seorang pun dapat diandalkan, kecuali diri
sendiri. Ia seorang lelaki, seperti halnya Gudo dan guru-guru sebelumnya.
Ia berdiri, setengahnya digerakkan oleh kemarahan sendiri. Beberapa menit lamanya ia
menatap bulan, tapi ketika kemarahannya mendingin, terpandang olehnya lingkaran itu. la
masih berdiri di dalamnya, dan ia menoleh ke sekitar. Baru berbuat demikian, teringat
olehnya tongkat yang tidak jadi memukulnya.
"Lingkaran" Apa pula artinya?" Dan ia biarkan pikirannya berkembang. Satu garis penuh,
tanpa awal, tanpa akhir, tanpa penyimpangan. Kalau lingkaran itu diluaskan tanpa batas,
akan menjadi alam semesta. Kalau dikerutkan, akan sama dengan titik kecil tempat
jiwanya bersemayam. Jiwa itu bulat. Alam semesta ini bulat. Bukan dua. Satu! Satu ujuddirinya dan alam semesta.
Dengan bunyi berdetak ia cabut pedangnya, dan ia acungkan dengan arah diagonal.
Bayangan dirinya menyerupai lambang huruf "o". Lingkaran alam semesta ini tetap sama.
Dengan tanda yang sama itu, ia sendiri tidak berubah. Hanya bayangannya yang berubah.
"Hanya bayangan," pikirnya. "Bayangan itu bukan diriku yang sebenarnya." Dinding tempat
ia membenturkan kepalanya selama ini hanyalah bayangan, bayangan pikiran yang kacau.
Ia mengangkat kepalanya, dan pekik ganas pun meledak dari bibirnya.
Dengan tangan kiri ia acungkan pedang pendeknya. Bayangan itu berubah lagi, tapi citra
alam semesta secuil pun tidak. Kedua pedang itu hanyalah satu pedang. Dan keduanya
adalah bagian dari lingkaran itu.
Ia mengeluh dalam, matanya terbuka. Ketika ia memandang bulan lagi, terlihat olehnya
lingkaran besar yang dapat dianggap serupa dengan pedang, atau dengan jiwa orang yang
menginjak bumi. "Sensei!" pekiknya sambil berlari mengejar Gudo. Memang tak ada lagi yang diharapkannya
dari pendeta itu, tapi ia harus minta maaf karena telah demikian hebat membencinya.
Selusin langkah kemudian, ia berhenti. "Cuma dedaunan dan rerantingan," pikirnya.
*** 102. Biru Shikama "APA Otsu ada di sini?"
"Ya, saya di sini."
Sebuah wajah muncul di atas pagar.
"Bapak ini Mambei,kan" Pedagang rami?" tanya Otsu.
"Betul. Maaf saya mengganggu Anda selagi sibuk, tapi saya mendengar kabar yang
kemungkinan menarik minat Anda."
"Silakan masuk," Otsu mengisyaratkan untuk menuju pintu kayu di pagar itu.
Seperti kelihatan dari kain yang bergantungan pada cabang-cabang pohon dan tiang-tiang,
rumah itu milik salah seorang tukang celup pembuat kain kuat, yang dikenal di seluruh
negeri dengan nama "Biru Shikama". Pekerjaan itu terdiri atas mencelup kain dalam
celupan biru tua keunguan beberapa kali, dan menumbuknya dalam lumpang besar, setiap
kali habis dicelup. Dengan demikian, benangnya jadi sangat usang oleh celupan, hingga
lama sesudah benang usang, baru celupan itu luntur.
Otsu belum terbiasa menggunakan pemukul, tapi ia bekerja keras juga, dan jari-jarinya
biru-biru. Di Edo, sesudah diketahuinya Musashi telah pergi, ia singgah di kediaman
Hojo dan Yagyu, kemudian segera berangkat untuk mencari lagi. Musim panas lalu, dari
Sakai ia naik salah satu kapal Kobayashi Tarozaemon dan pergi ke Shikama, sebuah
kampung nelayan yang terletak di muara segi tiga, tempat terjunnya Sungai Shikama ke
Laut Pedalaman. Ingat bahwa pengasuhnya ketika bayi telah kawin dengan seorang pencelup dari Shikama,
Otsu mencarinya, dan kemudian tinggal bersamanya. Karena keluarga itu miskin, Otsu
merasa wajib membantu mencelup, dan memang itu pekerjaan gadis-gadis muda. Sering
mereka bekerja sambil menyanyi. Orang-orang kampung berkata, dari suara seorang gadis
mereka dapat menetapkan apakah ia sedang jatuh cinta pada salah seorang nelayan muda.
Otsu membasuh tangannya dan menghapus keringat dari dahinya, kemudian mempersilakan
Mambei duduk dan beristirahat di beranda.
Orang itu menolak dengan kibasan tangan, katanya, "Anda datang dari Kampung Miyamoto,
kan?" "Ya." "Saya kadang datang ke kampung itu, membeli rami. Belum lama ini saya mendengar desasdesus..."
"Ya?" "Tentang Anda."
"Tentang saya?"
"Saya juga mendengar tentang orang yang namanya Musashi."
"Musashi?" Hati Otsu serasa melompat kegirangan, dan pipinya memerah.
Mambei tertawa kecil. Waktu itu musim gugur, tapi matahari masih cukup panas. la
melipat saputangan, mengusapkannya ke dahi, kemudian berjongkok. "Apa Anda kenal dengan
wanita bernama Ogin?" tanyanya.
"Maksud Bapak, kakak perempuan Musashi?"
Mambei mengangguk kuat-kuat. "Saya jumpa dengan dia di Kampung Mikazuki di Sayo.
Kebetulan saya menyebutkan nama Anda, dan dia kelihatan terkejut sekali."
"Apa Bapak sebutkan padanya alamat saya?"
"Ya. Saya merasa tak ada jeleknya menyebutkan itu."
"Di mana dia tinggal sekarang?"
"Dia tinggal dengan samurai bernama Hirata"saya pikir salah seorang keluarganya. Dia
bilang ingin sekali ketemu Anda. Beberapa kali dia menyatakan merasa kehilangan Anda,
dan banyak sekali yang hendak diceritakannya pada Anda. Sebagiannya rahasia,
menurutnya. Saya rasa waktu itu dia sudah hampir menangis."
Mata Otsu memerah. "Di tengah jalan waktu itu tak ada tempat buat menulis surat, karena itu dia minta saya
menyampaikan pada Anda supaya datang ke Mikazuki. Dia bilang ingin datang Iceman, tapi
belum bisa sekarang." Mambei berhenti. "Tak banyak yang dia katakan, tapi menurutnya
dia sudah dengar kabar dari Musashi." Ia menambahkan bahwa ia akan pergi ke Mikazuki
hari berikutnya, dan menyarankan pada Otsu untuk pergi bersamanya.
Pikiran Otsu seketika itu juga sudah bulat, tapi ia merasa harus berbicara dahulu
dengan istri pencelup. "Petang ini saya akan memberi kabar," katanya.
"Bagus. Kalau nanti Anda putuskan pergi, kita mesti berangkat pagi-pagi." Walaupun di
latar belakang terdengar debur ombak laut, suara orang itu keras sekali, sedangkan
jawaban Otsu yang pelan terdengar agak gemetar.
Ketika Mambei keluar dari pintu gerbang, seorang samurai muda yang selama itu duduk di
pantai sambil menggosok-gosok segenggam pasir, berdiri dan memperhatikannya dengan
tajam, seakan-akan hendak membenarkan apa yang terkandung dalam pikirannya tentang
laki-laki itu. Samurai itu berpakaian bagus, dan mengenakan topi anyaman jerami yang
bentuknya seperti daun gingko, dan tampaknya berumur delapan belas atau sembilan belas
tahun. Ketika pedagang rami itu sudah lenyap dari pandangan, ia berbalik dan
memperhatikan rumah tukang celup.
Walaupun merasa sangat gembira mendengar kabar dari Mambei, Otsu mengambil juga palunya
dan melanjutkan pekerjaannya. Bunyi palu-palu lain yang diiringi nyanyian, mengambang
di udara. Tak ada suara keluar dari bibir Otsu ketika ia bekerja, tapi dalam hatinya ia
menyanyikan lagu cinta kepada Musashi. Kini diam-diam ia membisikkan sajak koleksi
kuno: Sejak pertemuan pertama kita,
Cintaku lebih dalam Dari cinta orang-orang lain,
Walau tak sebanding dengan warna-warna
Kain dari Shikama. Ia yakin bahwa kalau ia mengunjungi Ogin, ia akan tahu di mana Musashi tinggal. Dan
Ogin seorang wanita juga. Akan lebih mudah menyampaikan perasaannya.
Pukulan palunya makin lama makin lemah, sampai hampir menjarang jaraknya. Ia merasa
lebih bahagia sesudah sekian lama. Kini ia paham perasaan penyair itu. Sering laut
tampak sendu dan asing, tapi hari itu laut tampak memesona, dan ombak tampak
menyemburkan harapan, walaupun lemah.
Ia gantungkan kain itu pada tiang pengering yang tinggi, dengan hati masih menyanyi,
kemudian ia berjalan ke luar, lewat pintu gerbang yang tinggal terbuka. Dengan sudut
matanya ia dapat melihat samurai muda yang berjalan tenang di sepanjang tepi air. Ia
tidak tahu siapa samurai itu, namun samurai itu memikat perhatiannya. Di luar itu, ia
tidak melihat apa pun yang lain, tidak juga seekor burung yang melaju bersama angin
laut. Tujuan mereka tidak terlalu jauh; seorang perempuan dapat menempuhnya tanpa susah
payah, dengan satu kali singgah. Sekarang hampir tengah hari.
"Saya minta maaf telah menyusahkan Bapak," kata Otsu.
"Tidak susah. Kaki Anda rupanya kuat berjalan," kata Mambei.
"Saya biasa jalan."
"Saya dengar Anda telah pergi ke Edo. Untuk seorang wanita, itu tempat yang cukup jauh
juga, kalau ditempuh sendirian."
"Apa istri tukang celup mengatakannya pada Bapak?"
"Ya. Saya sudah dengar semuanya. Orang Miyamoto membicarakannya juga."
"Oh, mereka juga!" kata Otsu, sedikit mengerutkan kening. "Sungguh bikin malu."
"Anda tak perlu merasa malu. Kalau Anda begitu cinta pada seseorang, siapa yang bisa
bilang Anda mesti dikasihani atau diberi ucapan selamat" Tapi rupanya Musashi ini
sedikit dingin hatinya."
"Ah, tidak... sama sekali tidak."
"Anda tidak benci pada kelakuannya?"
"Sayalah yang mestinya disalahkan. Latihan dan disiplin, itu minatnya yang tunggal
dalam hidup ini, tapi saya ini tak juga mau mengerti."
"Oh, menurut saya tak ada salahnya sikap itu."
"Tapi rasanya sudah banyak saya menimbulkan kesulitan padanya."
"Hm. Istri saya mestinya mendengar ini. Begitu mestinya sikap wanita."
"Apa Ogin sudah kawin?" tanya Otsu.
"Ogin" Ah, saya kurang tahu," kata Mambei, kemudian mengubah pokok pembicaraan. "Oh,
itu ada warung teh. Mari kita istirahat sebentar."
Mereka masuk dan memesan teh untuk teman makan slang. Ketika mereka sedang
menyelesaikan makan siang, beberapa tukang kuda dan kuh menegur Mambei dengan nada
sudah kenal lama. "Hei, kenapa kau tidak singgah main di Handa hari ini" Semua orang mengeluh"seluruh
uang kami sudah kaubawa kemarin itu."
Di tengah suasana ribut itu, ia membalas dengan teriakan, seakan-akan tak mengerti
maksud mereka. "Aku tak perlu kudamu hari ini." Kemudian katanya cepat pada Otsu, "Kita
terus?" Ketika mereka meninggalkan warung itu dengan tergesa-gesa, salah seorang tukang kuda
berkata, "Tak heran dia menolak kita. Coba lihat gadis itu!"
"Kulaporkan istrimu, Mambei!"
Mereka mendengar lebih banyak lagi komentar senada, tapi mereka berjalan terus cepatcepat. Toko Asaya Mambei di Shikama tentulah tidak tergolong rumah usaha yang penting
di sana. Mambei membeli rami di kampung-kampung yang berdekatan, lalu mengirimkannya
kepada para istri dan anak gadis nelayan untuk membuat layar, jaring, dan barang-barang
lain. Tapi ia pemilik usahanya sendiri, karena itu hubungannya yang demikian akrab
dengan para kuli biasa sangat aneh bagi Otsu.
Seakan-akan untuk menghilangkan keraguan Otsu yang tak terucapkan itu, Mambei berkata,
"Apa yang dapat kita lakukan dengan orang-orang urakan macam itu" Hanya karena saya
menolong mereka dengan menyuruh mengangkut bahan dari gunung, lalu mereka bersikap
akrab macam itu!" Mereka menginap di Tatsuno, dan ketika berangkat lagi pagi berikutnya, Mambei tetap
bersikap baik dan siap menolong, seperti biasa. Sampai di Mikazuki, hari mulai gelap di
perbukitan kaki glinting.
"Mambei," tanya Otsu kuatir, "apa ini bukan Mikazuki" Kalau kita melintasi gunung ini,
kita akan sampai di Miyamoto." Otsu sudah mendengar bahwa Osugi sudah kembali ke
Miyamoto lagi. Mambei berhenti. "Ya, itu di seberang sana. Apa kau rindu pulang?"
Otsu mengangkat mata, memandang punggung pegunungan yang hitam berombak-ombak itu, juga
langit petang. Daerah itu terasa sangat sepi, seolah-olah orang-orang yang mestinya ada
di sana menghilang semua.
"Sedikit lagi," kata Mambei sambil berjalan terus. "Apa kau lelah?"
"Oh, tidak. Bapak?"
"Tidak. Saya terbiasa dengan jalan ini. Saya selalu lewat jalan sini."
"Lalu di mana rumah Ogin?"
"Di sana," jawab Mambei sambil menunjuk. "Dia pasti sedang menanti kita."
Mereka berjalan sedikit lebih cepat. Ketika mereka sampai di tempat yang semakin terjal


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lerengnya, tampak di situ bertebaran rumah-rumah. Itu daerah persinggahan di jalan raya
Tatsuno. Tempat itu boleh dikatakan cukup besar untuk dapat disebut kota, tapi di situ
ada sebuah tempat makan murah "satu baki" yang dibanggakan, tempat para tukang kuda
berkeluyuran, dan ada sejumlah penginapan murah berderet di kedua tepi jalan.
Begitu mereka meninggalkan kampung, Mambei berkata, "Kita mesti sedikit mendaki
sekarang." Ia membelok meninggalkan jalan, dan mulai mendaki tangga batu terjal, menuju
kuil setempat. Seperti seekor burung kecil yang mencicit karena tiba-tiba suhu udara turun tajam, Otsu
merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Apa Bapak yakin kita tidak salah jalan" Tak ada
rumah-rumah di sekitar sini," katanya.
"Jangan kuatir. Ini tempat sepi, tapi duduklah dan istirahatlah di serambi tempat suci.
Aku akan pergi memanggil Ogin."
"Kenapa begitu?"
"Apa kau lupa" Aku yakin sudah menyebutkannya. Ogin mengatakan kemungkinan ada tamutamu, hingga kurang enak kalau kau masuk. Rumahnya di sebelah rumpun ini. Aku akan
segera kembali." Mambei bergegas menyusuri jalan setapak yang sempit, melintasi rumpun
kriptomeria yang gelap. Ketika langit petang semakin gelap, Otsu mulai gelisah. Daun-daun kering yang
diruntuhkan angin berjatuhan ke pangkuannya. Ia iseng mengambil satu, dan menggulungnya
membungkus jari-jarinya. Entah ketololan, entah kemurnian yang menjadikannya gambaran
sempurna seorang gadis yang masih suci.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dari belakang kuil. Otsu melompat ke tanah.
"Jangan bergerak, Otsu!" perintah sebuah suara serak, menakutkan.
Otsu terengah-engah dan menutupkan tangan ke telinga.
Beberapa sosok bayangan muncul dari belakang kuil, mengepung tubuhnya yang menggeletar.
Walaupun matanya tertutup, dengan jelas ia dapat melihat satu di antaranya, yang lebih
mengerikan dan lebih besar dari yang lain, kuntilanak berambut putih yang sudah sering
dilihatnya dalam mimpi-mimpi buruknya.
"Terima kasih, Mambei," kata Osugi. "Sekarang sumbat mulutnya, sebelum dia mulai
menjerit, dan bawa dia ke Shimonosho. Cepat!" Bicaranya disertai wibawa menakutkan
seorang Raja Neraka yang sedang mengutuk seorang pendosa untuk masuk api neraka.
Empat-lima lelaki itu agaknya perusuh-perusuh kampung yang masih ada hubungan dengan
klan Osugi. Sambil berteriak setuju, mereka menghampiri Otsu seperti serigala
memperebutkan korban, dan mengikatnya hingga tinggal kakinya yang bebas.
"Potong kompas!"
"Jalan!" Osugi tinggal di belakang untuk mengatur segala sesuatunya bersama Mambei. Ia mengambil
uang dari dalam obi-nya, dan katanya, "Baguslah kau sudah membawa dia. Aku takut kau
tak bisa melakukannya." Kemudian tambahnya, "Jangan bilang apa-apa pada siapa pun."
Dengan pandangan puas, Mambei menyelipkan uang itu ke dalam lengan bajunya. "Ah, itu
tidak begitu sulit," katanya. "Rencana Ibu bagus sekali jalannya."
"Ah, bagus juga tadi itu kelihatannya. Dia ketakutan, ya?"
"Lari pun dia tak bisa. Cuma berdiri! Ha, ha. Tapi barangkali... sedikit kejam juga
kita." "Apanya yang kejam" Oh, kalau kau tahu apa yang sudah kualami..."
"Ya, ya, Ibu sudah menceritakannya."
"Nah, aku tak dapat membuang-buang waktu di sini. Aku mesti ketemu lagi denganmu harihari ini. Kunjungi kami di Shimonosho."
"Hati-hati, Bu, jalan itu tak mudah ditempuh," seru Mambei sambil menoleh, ketika la
mulai menuruni tangga yang panjang gelap itu. Mendengar bunyi terengah, Osugi memutar
tubuh, dan serunya, "Mambei! Kaukah itu" Ada apa?"
Tak ada jawaban. Osugi berlari sampai puncak tangga. Di situ ia memekik kecil, kemudian menahan napas
ketika melihat bayangan orang berdiri di samping tubuh yang sudah roboh, dengan pedang
terjulur ke bawah, bercucuran darah.
"Si... siapa di situ?"
Tak ada jawaban. "Siapa kau?" Suara Osugi kering dan tegang. Umur tua tidak menghapuskan kepongahan
penuh gertakan itu. Bahu orang itu bergetar sedikit karena tertawa. "Ini aku, kuntilanak tua!"
"Siapa kau?" "Kau tak kenal aku?"
"Belum pernah aku mendengar suaramu. Perampok, mestinya."
"Tak ada perampok yang mau mengurusi perempuan semiskin kau."
"Jadi, kau sudah mengawasi aku, ya?"
"Betul." "Aku?" "Kenapa tanya dua kali" Tidak bakal aku jauh-jauh datang ke Mikazuki, kalau cuma buat
membunuh Mambei. Aku datang buat memberimu pelajaran."
"Eh?" Tenggorokan Osugi seperti mau meletus. "Kau salah sasaran. Tapi siapa kau" Namaku
Osugi. Aku janda Keluarga Hon'iden."
"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Ini menghidupkan kembali semua dendamku. Tukang
sihir! Apa kau lupa pada Jotaro?"
"Jo-jo-taro?" "Dalam tiga tahun, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak umur tiga tahun. Kau
sekarang sudah menjadi sebatang potion tua, sedangkan aku pohon muda. Maaf kalau
kukatakan, kau tak bisa lagi memperlakukan aku macam anak ingusan."
"Betul-betul tak bisa dipercaya. Apa betul kau ini Jotaro?"
"Kau terpaksa membayar atas segala kesusahan yang sudah kautimpakan pada guruku
bertahun-tahun lamanya. Dia menghindarimu, cuma karena kau sudah tua, dan dia tak ingin
menyakitimu. Kau memanfaatkan hal itu dengan ngeluyur ke mana-mana, bahkan sampai ke
Edo, menyebarkan desas-desus jahat tentang dia, dan berbuat seolah kau punya alasan sah
membalas dendam kepadanya. Kau malahan bertindak begitu jauh, sampai menghalangi
pengangkatannya untuk kedudukan yang baik."
Osugi terdiam. "Tapi kejahatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau membikin sengsara Otsu dan mencoba
melukai dia. Kupikir kau sudah meninggalkan semua itu, dan menetap di Miyamoto. Tapi
ternyata kau masih juga sibuk, menggunakan Mambei buat melaksanakan rencana terhadap
Otsu." Osugi masih juga diam. "Apa kau tak pernah capek membenci" Oh, aku bisa dengan mudah sekali memotongmu jadi
dua, tapi untung aku bukan lagi anak samurai yang suka nyeleweng. Ayahku, Aoki
Tanzaemon, sudah kembali ke Himeji, dan sejak musim semi lalu mengabdi pada Keluarga
Ikeda. Supaya tidak bikin dia malu, aku menahan diri untuk membunuhmu."
Jotaro mendekat beberapa langkah. Karena tak tahu harus mempercayainya atau tidak,
Osugi mundur dan mencari-cari cara meloloskan diri.
Karena dikiranya ia dapat lolos, ia lari kencang ke jalan yang ditempuh orang-orang
tadi. Jotaro mengejarnya dengan satu lompatan saja, lalu mencekal lehernya.
Osugi membuka mulut lebar-lebar, berteriak, "Apa ini?" Ia memutar badan dan menarik
pedang dengan gerak memutar juga, lalu memukul Jotaro, tapi meleset.
Jotaro mengelak dan mendorongnya keras ke depan. Kepala Osugi membentur keras ke tanah.
"Ya, ya, jadi kau sudah mendapat sedikit ilmu ya?" rintihnya dengan wajah setengah
terbenam di rumput. Agaknya ia belum dapat mengubah pikirannya bahwa Jotaro masih anakanak.
Sambil menggeram, Jotaro menginjakkan satu kakinya ke punggung Osugi yang sangat rapuh
itu, dan tanpa kenal kasihan ia pilin satu tangan Osugi ke punggung.
Ia seret perempuan itu ke depan kuil, kemudian ia injak dengan satu kakinya, tapi ia
tak dapat memutuskan apa yang akan diperbuatnya.
Ia masih harus memikirkan Otsu. Di mana Otsu sekarang" Ia mengetahui Otsu ada di
Shikama secara kebetulan. Sekalipun mungkin itu karena karma mereka saling terkait.
Sejalan dengan penerimaan kembali ayahnya, Jotaro memperoleh juga kedudukan. Ketika ia
sedang melaksanakan suruhan, terlihat olehnya seorang perempuan mirip Otsu lewat celah
pagar. Dua hari lalu ia kembali ke pantai itu, untuk membuktikan kesannya.
Ia berterima kasih kepada dewa-dewa yang telah mempertemukannya dengan Otsu, tapi
sementara itu dendamnya terhadap Osugi yang sudah lama terpendam, tersulut kembali,
gara-gara cara Osugi mengejar-ngejar Otsu. Kalau perempuan tua itu tidak disingkirkan,
takkan mungkin Otsu bisa hidup tenang. Jotaro merasa tergoda untuk bertindak. Tapi
membunuh perempuan itu berarti melibatkan ayahnya dalam perselisihan dengan keluarga
samurai desa. Mereka itu orang-orang yang paling banyak membuat kesulitan. Kalau
tersinggung oleh pengikut langsung seorang daimyo, pasti mereka menimbulkan kesulitan.
Akhirnya ia putuskan bahwa yang terbaik adalah menghukum Osugi dengan cepat, kemudian
memfokuskan diri untuk menyelamatkan Otsu.
"Aku tahu tempat yang cocok buatmu," katanya. "Ayo ikut!"
Osugi bergayut sekuat-kuatnya ke tanah, biarpun Jotaro berusaha menyentakkannya. Jotaro
lalu menangkap pinggangnya, mengempitnya, dan membawanya ke belakang kuil. Sisi bukit
sudah digunduli orang waktu kuil itu dibangun, dan di sana terdapat gua kecil dengan
jalan masuk hanya cukup dirangkaki satu orang.
Otsu dapat melihat cahaya satu-satunya di kejauhan. Kalau tidak, segalanya pasti gelap
gulita-gunung-gunung, ladang-ladang, sungai-sungai, dan Celah Mikazuki yang baru saja
mereka seberangi lewat jalan karang setapak. Kedua orang yang ada di depan menuntunnya
dengan tali, seperti biasa dilakukan terhadap seorang penjahat.
Mendekati Sungai Sayo, orang yang di belakang berkata, "Berhenti sebentar. Apa yang
terjadi dengan perempuan tua itu" Dia bilang tadi segera menyusul."
"Ya, mestinya dia sudah sampai sini sekarang."
"Kita bisa saja berhenti di sini beberapa menit. Atau terus sampai Sayo dan menunggu di
warung teh. Orang-orang barangkali sudah tidur semua, tapi kita dapat membangunkan
mereka." "Mari kita menanti di sana. Kita bisa minum secangkir-dua cangkir sake."
Mereka mencari tempat dangkal di sepanjang sungai, dan mulai menyeberang, tapi tibatiba mereka mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Semenit-dua menit kemudian,
suara itu terdengar lagi dari tempat yang jauh lebih dekat.
"Apa perempuan tua itu, ya?"
"Tidak, kedengarannya suara lelaki."
"Tak mungkin dia ada hubungannya dengan kita."
Air sungai itu sama dinginnya dengan pedang, terutama bagi Otsu. Pada saat mereka
mendengar suara kaki berlari, si pengejar sudah sampai.
Disertai percikan air yang riuh, ia berhasil mendahului mereka sampai di seberang
sungai, dan langsung menghadang. "Otsu?" panggil Jotaro.
Menggigil karena percikan air yang mengenainya, ketiga orang itu merapat di sekeliling
Otsu dan berdiri di tempat.
"Jangan bergerak!" teriak Jotaro dengan tangan direntangkan.
"Siapa kau?" "Tak perlu tanya. Lepaskan Otsu!"
"Gila, ya" Apa kau tidak pakai otak" Kau bisa mati ikut-ikutan urusan orang lain."
"Osugi bilang, kalian mesti menyerahkan Otsu padaku."
"Enak saja bohong." Ketiga orang itu tertawa.
"Aku tidak bohong. Lihat ini!" Jotaro mengulurkan secarik kertas tisu berisi tulisan
Osugi. Isinya singkat, "Keadaan jadi rusak. Kalian tak bias berbuat apa-apa. Serahkan
pada Jotaro, lalu kembali jemput aku."
Dengan kening berkerut, orang-orang itu menatap Jotaro, lalu naik ke darat.
"Apa kalian tak bisa baca?" cela Jotaro.
"Tutup mulut! Kukira kau ini Jotaro."
"Betul. Namaku Aoki Jotaro."
Otsu menatap tajam-tajam ke arah Jotaro. Ia gemetar sedikit, karena takut dan sangsi.
Tapi karena bingung apa yang hendak diperbuatnya, ia menjerit, terengah-engah, dan
terhuyung-huyung. Orang yang terdekat dengan Jotaro berteriak, "Sumbatannya kendur! Betulkan!" Kemudian
katanya mengancam pada Jotaro, "Tak ragu lagi, ini tulisan perempuan tua itu. Tapi
kenapa dia" Apa maksudnya 'kembali jemput aku'?"
"Dia kusandera," kata Jotaro angkuh. "Berikan Otsu padaku, nanti kusebutkan di mana
dia." Ketiga orang itu saling pandang. "Oh, kau mencoba melucu, ya?" tanya seseorang. "Apa
kau tahu siapa kami ini" Setiap samurai di Himeji mesti kenal Keluarga Hon'iden di
Shimonosho, itu kalau kau memang datang dari Himeji."
"Ya atau tidak"jawab! Kalau Otsu tidak kalian serahkan, kutinggalkan perempuan tua itu
di tempatnya, sampai dia mati kelaparan!"
"Bajingan kecil!"
Satu orang mencengkeram Jotaro, yang lain menghunus pedangnya dan memasang jurus. Orang
yang pertama menggeram, "Kalau kau terus omong kosong macam itu, kupatahkan lehermu. Di
mana Osugi?" "Kalian berikan Otsu, tidak?"
"Tidak!" "Kalau begitu, kalian takkan temukan dia. Serahkan Otsu, supaya dapat kita akhiri semua
ini tanpa mesti ada yang terluka."
Orang yang mencengkeram lengan Jotaro menariknya ke depan dan mencoba menjegalnya.
Dengan menggunakan kekuatan lawan, Jotaro melontarkannya lewat bahunya. Tapi sesaat
kemudian ia terduduk sambil menggenggam paha kanannya. Orang itu berhasil melecutkan
pedangnya, dan memukul dengan gerak menyilang. Untunglah lukanya tidak dalam. Jotaro
melompat bangkit bersama penyerangnya. Dua orang lainnya ikut menyerang.
"Jangan bunuh dia. Mesti kita tangkap dia hidup-hidup, kalau kita mau mendapatkan Osugi
kembali." Segera kemudian, Jotaro tidak lagi ragu terlibat dalam pertumpahan darah. Dalam
perkelahian yang kemudian menyusul, ketiga orang itu berhasil menjatuhkannya. Jotaro
meraung, menggunakan taktik yang beberapa saat sebelumnya digunakan orang-orang itu
terhadapnya. Ia tarik pedang pendeknya, lalu menusuk langsung ke arah perut orang yang
akan menerkamnya. Separuh lengan Jotaro jadi merah, seakan habis dicelup dalam tong
cuka prem. Waktu itu yang terpikir olehnya hanyalah naluri untuk menjaga diri.
Ia berdiri lagi, memekik, dan menebas orang di hadapannya. Pedangnya mengenai tulang
bahu, dan belokannya menghasilkan seiris daging sebesar ikan. Orang itu menjerit dan
mencekal pedangnya, tapi terlambat.
"Bajingan! Bajingan!" Sambil memekik setiap memukulkan pedangnya, Jotaro mengusir kedua
orang yang lain, dan berhasil membuat luka besar pada seorang di antaranya.
Mereka menganggap sudah semestinya mereka lebih unggul daripada Jotaro, tapi sekarang
mereka kehilangan kendali diri, dan hanya bisa mengayun-ayunkan senjata secara
serampangan. Otsu hilang akal dan berlari berputar-putar, sambil dengan kalut mencoba melepaskan
ikatan tangannya. "Hei, tolong! Selamatkan dia!" Tapi kata-katanya segera lenyap,
tenggelam dalam bunyi sungai dan suara angin.
Tiba-tiba ia sadar bahwa seharusnya ia tidak berteriak minta tolong, melainkan
mengandalkan kekuatannya sendiri. Sambil memekik-mekik kecil berputus asa, ia
merebahkan diri ke tanah dan mulai menggosok-gosokkan tali itu ke sisi batu yang tajam.
Berhubung tali itu hanya tali jerami yang longgar pintalannya dan dipungut dari pinggir
jalan, segera kemudian ia dapat membebaskan diri.
Ia pungut sejumlah barn, lalu lari langsung ke tempat perkelahian. "Jotaro!"
panggilnya, ketika ia melemparkan sebuah batu ke wajah satu orang. "Aku di sini juga.
Pasti beres!" Satu batu lagi. "Tahan dulu!" Dan satu batu lagi. Tapi, seperti dua barn
Pedang Kiri Pedang Kanan 6 Pendekar Aneh Dari Andalas Karya Joko Pethuk Pusaka Jala Kawalerang 3
^