Pencarian

Mushasi 4

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 4


populer. Mereka menyanyikan lagulagu mesum dan tertawa-tawa antara sesamanya.
Nama tuan muda itu Yoshioka Seijuro. Kimono cokelat tua yang bagus potongannya menutup
tubuhnya yang jangkung. Begitu mereka memasuki daerah pelacuran, ia menoleh ke belakang
dan katanya kepada salah seorang dari kelompoknya, "Toji, belikan aku topi anyaman."
"Yang dapat menyembunyikan wajah Anda?"
"Ya." "Anda membutuhkannya bukan untuk di sini, bukan?" jawab Gion Toji.
"Aku takkan minta kalau tidak membutuhkannya di sini!" decap Seijuro tak sabar. "Aku
tak suka orang melihat anak Yoshioka Kempo berkeliaran di tempat seperti ini."
Toji tertawa. "Tapi itu justru menarik perhatian. Semua perempuan di sini tahu bahwa
kalau Anda menyembunyikan wajah dengan topi, tentunya Anda dari keluarga baik-baik, dan
barangkali dari keluarga kaya. Tentu saja ada alasan lain kenapa mereka suka pada Anda,
tapi itu salah satu di antaranya."
Toji, sebagaimana biasa, sedang menggoda dan sekaligus menjilat tuannya. Ia menoleh dan
memerintahkan salah seorang untuk mencari topi yang dimaksud, lalu ia berdiri menanti
orang yang disuruh itu pergi melewati lentera-lentera dan orang-orang yang sedang
bersuka ria. Ketika orang yang disuruh itu kembali, Seijuro mengenakan topi dan merasa
lebih santai. "Dengan topi itu," ucap Toji, "Anda lebih tampak seperti orang yang tahu mode." Sambil
menoleh kepada yang lain-lain, ia melanjutkan jilatannya secara tak langsung.
"Lihat, perempuan-perempuan itu semua melongok dari pintu, supaya dapat benar-benar
melihatnya." Tanpa jilatan Toji pun, Seijuro memang memiliki tubuh yang bagus. Dengan dua sarung
pedang bersemir mengilat yang tergantung di sisinya, ia memancarkan kemuliaan dan kelas
yang memang pantas bagi anak keluarga kaya. Maka tak ada topi jerami yang dapat
menghentikan perempuanperempuan itu menegurnya ketika ia lewat.
"Hei, tampan! Kenapa sembunyi di bawah topi jelek?"
"Ayolah kemari! Saya ingin lihat yang di bawahnya."
"Ayo, jangan malu-malu. Biar kami melihat."
Seijuro menanggapi ajakan-ajakan menggoda ini dengan berusaha kelihatan lebih tinggi
dan lebih mulia lagi. Sikap ini diambilnya belum lama setelah ia, untuk pertama
kalinya, berhasil dibujuk Toji untuk menginjakkan kaki di daerah itu, dan ia masih malu
dilihat orang di sana. Terlahir sebagai anak tertua pemain pedang terkenal, Yoshioka
Kempo, tak pernah ia kekurangan uang, tapi sampai waktu belum lama berselang ia tak
kenal dengan sisi buruk kehidupan ini. Perhatian yang ditunjukkan orang kepadanya
membuat detak darahnya berpacu. Masih ada rasa malu yang disembunyikannya. Sebagai anak
manja dari keluarga kaya, ia selalu suka pamer. Jilatan pengiringnya tak kalah ampuhnya
dengan cumbuan perempuan, menyokong kesombongannya seperti racun yang manis. "Oh, itu
tuan dari Jalan Shijo!" ujar salah seorang perempuan itu.
"Kenapa Anda menyembunyikan wajah" Anda tidak bisa mengecoh siapa pun."
"Bagaimana perempuan itu bisa tahu siapa aku?" geram Seijuro kepada Toji, pura-pura
tersinggung. "Mudah sekali," kata perempuan itu, sebelum Toji dapat membuka mulut. "Semua orang
tahu, orang dari Perguruan Yoshioka suka memakai warna cokelat tua. Namanya 'warna
Yoshioka'. Warna itu populer sekali di sini."
"Betul. Tapi seperti kaukatakan, banyak orang lain yang memakainya juga."
"Ya, tapi mereka tidak mengenakan hiasan tiga lingkaran pada kimononya."
Seijuro menunduk memandang lengan kimononya, "Aku mesti lebih hati-hati," katanya. Saat
itu juga sebuah tangan dari belakang kisi-kisi terulur dan menarik pakaian itu.
"Wah, wah," kata Toji. "Menyembunyikan wajah, tapi tidak menyembunyikan hiasannya.
Tentunya dia memang ingin dikenali. Jadi, saya kira, betul-betul tak mungkin sekarang
untuk tidak singgah."
"Semaumulah," kata Seijuro yang tampak tak enak, "tapi suruh perempuan ini melepaskan
lengan bajuku." "Lepaskan, perempuan!" raung Toji. "Beliau bilang, kami akan masuk!" Para siswa itu pun
berkerumun masuk ke bawah tirai warung. Kamar yang mereka masuki itu, hiasannya tanpa
selera sama sekali. Gambar-gambar kampungan dan bunga-bungaan disusun morat-marit,
hingga sukar bagi Seijuro untuk merasa senang. Namun yang lain-lain tidak memperhatikan
joroknya lingkungan. "Keluarkan sake!" perintah Toji, yang juga memesan beberapa penganan pilihan.
Sesudah makanan datang, Ueda Ryohei yang menjadi tandingan Toji dalam permainan pedang
berteriak, "Keluarkan perempuan!" Perintah itu diberikan dengan nada yang sama masamnya
dengan nada yang dipakai Toji untuk memesan makanan dan minuman.
"Hei, Ueda tua bilang, keluarkan perempuan!" kata yang lain-lain serentak menirukan
suara Ryohei. "Aku tak suka disebut tua," kata Ryohei, memberengutkan muka. "Memang aku lebih lama
dari yang lain-lain belajar di perguruan ini, tapi kalian takkan menemukan uban dalam
rambutku." "Kau menyemirnya barangkali."
"Siapa yang mengatakan itu, maju ke depan dan minum satu sloki sebagai hukuman!"
"Susah-susah amat. Lemparkan ke sini!" Sloki sake pun melayang di udara.
"Dan ini balasannya." Dan satu sloki lagi terbang. "He, siapa yang menari!"
Seijuro berseru, "Kau menari, Ryohei! Menarilah, dan tunjukkan kau masih muda."
"Boleh. Lihat!" Ryohei pergi ke sudut beranda. Di situ diikatkannya celemek merah milik
pelayan ke belakang kepalanya, ditusukkannya kembang prem ke dalam simpulnya, dan
diambilnya sapu. "Lihat! Dia mau menarikan tarian Perawan Hida! Mari kita dengarkan nyanyiannya juga,
Toji!" Ia mengajak mereka semua menggabungkan diri, dan mulailah mereka, mengetuk-ngetuk
piring secara berirama dengan sumpitnya, sedangkan satu orang mendentang-dentangkan
penjepit api ke pinggir anglo.
Di balik pagar bambu, pagar bambu, pagar bambu, Kulihat kimono berlengan panjang,
Kimono berlengan panjang di salju....
Tenggelam dalam tepuk tangan sesudah bait pertama, Toji pun membungkuk, dan perempuanperempuan melanjutkannya dengan iringan shamisen.
Gadis yang kulihat kemarin Tak ada lagi hari ini. Gadis yang kulihat hari ini
Takkan datang lagi esok hari.
Tak tahulah apa yang terjadi esok, Aku ingin mencumbunya hari ini
Di sebuah sudut, seorang siswa mengangkat mangkuk sake yang besar untuk rekannya.
Katanya, "Bagaimana kalau minum ini sekali teguk?"
"Tidak, terima kasih."
"Terima kasih" Katanya kau samurai, tapi tak bisa kau menghabiskan ini?"
"Tentu saja bisa. Tapi kalau aku minum, kau juga mesti!"
"Ya, itu adil!"
Pertandingan pun dimulai. Mereka minum seperti kuda di palungan, dan sake mengucur dart
sudut-sudut mulut mereka. Kira-kira sejam kemudian, beberapa orang di antaranya sudah
mulai muntah, sedang lain-lainnya tak bisa bergerak lagi dan hanya melotot kosong
dengan mata merah. Satu orang yang punya kebiasaan bicara keras, dan semakin lantang bicaranya kalau makin
banyak minumnya, menyatakan, "Apakah di negeri ini, di luar Tuan Muda, ada yang benarbenar mengerti teknik-teknik Delapan Gaya Kyoto" Kalau ada-hik-ingin aku ketemu
dengannya.... Hups!"
Seorang anggota perguruan yang duduk dekat Seijuro tertawa. Bicaranya tersendat-sendat,
cegukan, "Dia mengumbar jilatan karena Tuan Muda ada di sini. Ada perguruan lain di
samping delapan yang ada di Kyoto ini, dan Perguruan Yoshioka ini tidak lagi yang
terbesar. Di Kyoto saja ada Perguruan Toda Seigen di Kurotani, dan Ogasawara Genshinsai
di Kitano. Dan jangan lupa Ito Ittosai di Shirakawa, walaupun tidak menerima siswa."
"Apa istimewanya mereka itu?"
"Maksudku, kita tidak boleh merasa kita ini satu-satunya pemain pedang di dunia."
"Bajingan picik kamu!" seru seorang yang merasa tersinggung harga dirinya. "Maju!"
"Begini?" jawab si pengecam dengan tajam sambil bangkit.
"Kau anggota perguruan ini, tapi kau mengecilkan Gaya Yoshioka Kempo?"
"Aku tidak mengecilkannya! Sekarang ini tidak seperti dulu, ketika guru mengajar para
shogun dan dianggap pemain pedang terbesar. Sekarang jauh lebih banyak orang yang
mempraktekkan Jalan Pedang, tidak hanya di Kyoto, tapi juga di Edo, Hitachi, Echizen,
provinsi-provinsi dalam, provinsiprovinsi barat, Kyushu-di seluruh negeri ini.
Ketenaran Yoshioka Kempo tidak berarti Tuan Muda dan kita semua ini pemain-pemain
pedang terbesar masa kini. Itu sama sekali tidak benar, kenapa pula mesti membohongi
diri sendiri?" "Pengecut! Kau pura-pura jadi samurai, tapi kau takut pada perguruan lain!"
"Siapa yang takut" Aku cuma ingin kita menjaga diri dari rasa puas diri."
"Tapi siapa kau ini, berani-berani memberi peringatan?"
Murid yang tersinggung itu meninju dada lawannya hingga terjatuh.
"Kau ingin berkelahi?" geram orang yang jatuh.
"Ya. Ayo." Murid-murid senior, Gion Toji dan Ueda Ryohei, menengahi.
"Berhenti kalian!" Keduanya melompat, memisahkan yang berkelahi, dan mencoba meredakan
kemarahan mereka. "Tenang!"
"Kami semua mengerti perasaan kalian."
Beberapa sloki sake lagi dituangkan untuk mereka yang berkelahi, dan akhirnya keadaan
normal kembali. Si penghasut sekali lagi memuji-muji dirinya dan lain-lainnya, sedang
si pengecam, sambil menangis memeluk Ryohei, mempertahankan pendapatnya.
"Aku cuma mengemukakan pendapat untuk kebaikan perguruan ini," sedannya. "Kalau orang
terus menyemburkan jilatan, nama baik Yoshioka Kempo akhirnya akan runtuh. Percayalah,
runtuh!" Hanya Seijuro yang tetap paling tenang. Melihat ini, Toji berkata,
"Apakah Anda tidak menikmati pesta ini?"
"Ah. Apa mereka itu betul-betul menikmatinya" Rasanya tidak."
"Tentu. Inilah cara mereka bergembira."
"Aku tak percaya kalau kelakuan mereka seperti itu."
"Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang lebih tenang" Saya sendiri sudah bosan di
sini." Seijuro tampak sangat lega dan segera saja setuju. "Aku ingin pergi ke tempat kemarin
malam." "Maksud Anda Yomogi?"
"Ya." "Di sana memang jauh lebih baik. Tadinya saya kira Anda memang ingin pergi ke sana,
tapi di sana cuma buang-buang uang saja kalau membawa gerombolan orang bebal ini. Itu
sebabnya saya giring mereka kemari-murah."
"Mari kita pergi diam-diam. Biar Ryohei mengurus orang-orang ini."
"Anda pura-pura pergi ke belakang. Saya akan menyusul beberapa menit lagi." Seijuro
menghilang dengan lihainya. Tak seorang pun melihat.
Di luar rumah, tak jauh dari situ, seorang perempuan sedang berdiri berjinjit, mencoba
menggantungkan kembali lentera ke pakunya. Angin mengembus lilin lentera itu, dan ia
menurunkannya untuk menyalakannya kembali. Punggungnya tegak di bawah tepi atap, dan
rambutnya yang baru dikeramas tergerai di sekitar wajahnya. Untaian rambut dan cahaya
lentera menimbulkan bayang-bayang yang terus berubah-ubah di kedua tangannya yang
terulur. Semerbak kembang prem mengambang di angin petang.
"Oko! Biar kugantungkan lampunya."
"Oh, Tuan Muda," kata Oko kaget.
"Tunggu." Ketika orang itu mendekat ternyata bukan Seijuro, tapi Toji. "Cukup?" tanya
Toji. "Ya, bagus. Terima kasih."
Tetapi Toji melirik lentera itu, menganggapnya miring, dan menggantungkannya kembali.
Oko heran, kenapa sebagian lelaki bisa begitu suka menolong dan penuh perhatian bila
sedang mengunjungi tempat seperti mi, padahal di rumah sendiri mereka sama sekali
menolak mengulurkan tangan. Sering kali mereka membuka dan menutup jendela sendiri,
mengeluarkan bantal-bantal sendiri, dan melakukan selusin pekerjaan kecil lain yang tak
terbayang akan mereka lakukan di rumah sendiri.
Toji berpura-pura tidak mendengar, dan mempersilakan tuannya masuk. Begitu duduk,
Seijuro berkata, "Tenang sekali di sini."
"Saya buka pintu ke beranda," kata Toji.
Di bawah beranda sempit itu berdesir air Sungai Takase. Di sebelah selatan, di seberang
jembatan kecil di Jalan Sanjo, menghampar halaman luas Zuisenin, jajaran hitam
Teramachi atau "Kota Kumpulan Kuil", dan padang miskantus. Tempat ini berada dekat
Kayahara. Di sini pasukan Toyotomi Hideyoshi membantai istri, gundik-gundik, dan anakanak kemenakannya, regent Hidetsugu yang kejam. Suatu peristiwa yang masih segar
tersimpan dalam kenangan banyak orang.
Toji jadi gugup. "Masih terlalu sepi di sini.
Rupanya tak ada pelanggan lain malam ini." la
lama betul. Dia malahan tidak membawakan kita
berubah jadi kegelisahan, ia tidak dapat lagi
kenapa teh tidak dihidangkan.
Di mana saja perempuanperempuan sembunyi"
gelisah sedikit. "Saya heran, kenapa Oko
teh." Ketika akhirnya ketidaksabaran itu
duduk tenang. Ia berdiri mencari tahu,
Waktu melangkah ke beranda, hampir saja ia bertumbukan dengan
Akemi yang sedang membawa baki berpernis emas. Giring-giring kecil pada obi-nya
berdering ketika ia berseru, "Awas! Bisa tumpah teh ini!"
"Kenapa kau begitu lambat" Tuan Muda di sini. Kurasa kau suka dia."
"Lihat, tumpah sebagian. Ini salahmu. Ayo ambilkan lap."
"Ha! Lancang kamu, ya" Di mana Oko?"
"Berhias tentu saja."
"Jadi, dia belum selesai?"
"Ya, siang hari kami sibuk sekali."
"Siang" Siapa yang datang siang-siang?"
"Itu bukan urusanmu. Biarkan aku lewat."
Toji minggir, dan Akemi masuk kamar menyalami tamunya. "Selamat malam. Terima kasih
atas kedatangan Anda."
Seijuro berpura-pura acuh tak acuh, memandang ke samping, dan katanya,
"Oh, kamu, Akemi. Terima kasih atas yang semalam." Ia merasa jengah.
Dari baki itu Akemi menurunkan guci yang menyerupai pedupaan dan meletakkan di atasnya
sebuah pipa yang bagian pengisap dan kepalanya terbuat dari keramik.
"Anda ingin merokok?" tanyanya sopan.
"Rasanya tembakau baru-baru ini dilarang."
"Memang, tapi semua orang masih juga merokok."
"Baiklah, aku akan merokok."
"Saya nyalakan apinya."
Akemi mengambil sejumput tembakau dari sebuah kotak kecil dari kerang mutiara dan
memasukkannya ke dalam pipa dengan jari-jarinya yang mungil dan molek. Kemudian
diselipkannya pipa itu ke mulut Seijuro. Karena tidak terbiasa, Seijuro memegang pipa
itu dengan kaku. "Hmm, pahit, ya!" katanya.
Akemi mengikik. "Toji ke mana?"
"Barangkali di kamar Ibu."
"Rupanya dia suka Oko. Paling tidak, begitulah kelihatannya. Kukira dia sering datang
kemari tanpa aku. Betul?" Akemi tertawa, tapi tidak menjawabnya.
"Apanya yang lucu" Kupikir ibumu suka dia juga."
"Saya betul-betul tidak tahu."
"Tapi aku yakin! Betul-betul yakin! Pertemuan yang menyenangkan, ya" Dua pasangan
bahagia-ibumu dengan Toji, kau dengan aku."
Berusaha selugu mungkin, Seijuro meletakkan tangannya ke tangan Akemi yang terletak di
pangkuan. Akemi menyingkirkan tangan itu dengan santun, tetapi tindakan ini malah
membuat Seijuro menjadi lebih berani. Ketika Akemi berdiri, ia melingkarkan tangannya
ke pinggang ramping Akemi dan menariknya.
"Tak usah lari," katanya. "Aku tak akan menyakitimu."
"Lepaskan!" protes Akemi.
"Baik, asalkan kau duduk lagi."
"Sake.... Saya cuma mau ambil sake."
"Aku tak mau sake."
"Tapi kalau saya tidak ambil, Ibu marah."
"Ibu di kamar lain, sedang asyik ngobrol dengan Toji."
Seijuro mencoba menggosokkan pipinya ke wajah Akemi yang tertunduk, tapi Akemi mengelak
dan berteriak-teriak meminta tolong. "Ibu! Ibu!" Seijuro melepaskannya, dan Akemi lari
ke belakang rumah. Seijuro jadi gundah. Ia kesepian, tapi tak ingin memaksakan kehendaknya pada gadis itu.
Tak tahu apa yang hendak dilakukannya, ia menggerutu keras, "Aku pulang sekarang," dan
turun ke gang luar. Semakin jauh ia melangkah, semakin merah tua mukanya.
"Tuan Muda, mau ke mana" Tuan Muda belum mau pulang, kan?" Entah dari mana datangnya,
Oko muncul begitu saja di belakangnya, berlari lewat ruang depan. Ia memeluk pinggang
Tuan Muda, dan tampak rambut Oko sudah rapi dan riasannya sudah beres. Oko minta
pertolongan Toji, dan bersama-sama mereka membujuk Seijuro untuk kembali duduk.
Oko membawakan sake dan mencoba menggembirakan Seijuro, kemudian Toji mendatangkan
kembali Akemi ke kamar itu. Melihat betapa kecewanya Seijuro, gadis itu pun melontarkan
senyuman. "Akemi, tuang sedikit sake untuk Tuan Muda."
"Ya, Bu," kata Akemi patuh.
"Tuan lihat sendiri," kata Oko. "Tingkahnya seperti anak kecil saja."
"Itulah daya tariknya-dia masih muda," kata Toji sambil menggeser bantalnya ke dekat
meja.

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dia sudah dua puluh satu umurnya."
"Dua puluh satu" Tak kukira sudah setua itu. Dia begitu kecil. Kelihatannya baru
sekitar enam betas atau tujuh belas."
Akemi tiba-tiba jadi kembali hidup seperti ikan, dan katanya, "Betul" Oh, saya senang
sekali. Saya ingin tetap umur enam belas selamanya. Sesuatu yang indah terjadi, ketika
saya umur enam betas."
"Apa?" "Oh," katanya sambil menangkupkan tangannya ke dada. "Saya tak bisa menceritakan pada
siapa pun. Tapi betul. Waktu itu tahun pertempuran di Sekigahara."
Dengan pandangan mengancam, Oko berkata, "Tukang bual! Kau jangan bikin kami bosan di
sini. Pergi sana ambil shamisen-mu."
Sambil cemberut sedikit, Akemi berdiri dan pergi mengambil alat musiknya. Ketika
kembali, ia mulai bermain dan menyanyi, tapi kelihatannya ia lebih cenderung menghibur
diri sendiri daripada menyenangkan hati para tamu.
Malam ini, Kalau berawan, Biarlah ia berawan, Menyembunyikan bulan
Yang hanya terlihat lewat air mataku.
Ia berhenti menyanyi, dan tanyanya, "Anda paham, Toji?"
"Aku tak yakin. Teruskanlah."
Bahkan di malam yang tergelap pun Tak hilang jalanku. Tapi oh! Betapa kau memikatku!
"Yah, bagaimanapun dia memang sudah dua puluh satu tahun," kata Toji. Seijuro yang
selama ini duduk diam sambil menyandarkan dahi di tangan kini tergugah lagi, dan
katanya, "Akemi, ayo minum sake sama-sama."
Ia mengulurkan sloki pada Akemi dan mengisinya dari tempat pemanasannya. Akemi
mereguknya tanpa menolak-nolak lagi dan cepat menyerahkan kembali sloki itu pada
Seijuro. Seijuro agak heran, katanya, "Bisa juga kau minum, ya?"
Selesai meneguk bagiannya, Seijuro menawarkan lagi pada Akemi, yang diteguk lagi dengan
cekatan. Rupanya karena tak puas dengan ukuran sloki itu, ia mengambil sloki lain yang
lebih besar, dan selama setengah jam sesudah itu ia terus menandingi Seijuro, sloki
demi sloki. Seijuro kagum. Gadis yang tampaknya berumur enam belas tahun, dengan bibir yang tidak
pernah dicium dan mata yang memejam malu, ternyata dapat mereguk sake seperti lelaki.
Ke mana saja perginya sake itu dalam tubuh mungil itu"
"Anda sebaiknya berhenti saja," kata Oko pada Seijuro, "Entah kenapa, anak itu dapat
minum semalam suntuk tanpa mabuk. Sebaiknya biarkan dia main shamisen saja."
"Tapi ini benar-benar menyenangkan!" kata Seijuro yang kini betul-betul merasa senang.
Karena merasa suaranya sudah terdengar aneh, Toji bertanya, "Anda tak apa-apa" Tidak
kebanyakan minum?" "Tak apa-apa. Malam ini aku tidak pulang, Toji!"
"Bisa saja," jawab Toji. "Anda dapat tinggal di sini selama Anda maubetul kan, Akemi?"
Toji mengedip pada Oko, kemudian menuntun Oko ke kamar lain, di mana ia mulai berbisikbisik cepat. Ia mengatakan pada Oko bahwa kalau Tuan Muda sudah demikian bersemangat,
berarti ia ingin tidur dengan Akemi. Akan susah jadinya kalau Akemi menolak. Tapi tentu
saja perasaan seorang ibulah yang terpenting dalam hal-hal seperti itu-atau dengan kata
lain, berapa bayarannya"
"Nah?" desak Toji mendadak.
Oko menempelkan jarinya ke pipi yang berbedak tebal itu, berpikir.
"Ya, ya, pikirlah!" desak Toji. Sambil semakin mendekati Oko, katanya, "Bukan pasangan
yang jelek! Dia guru seni bela diri yang terkenal, dan keluarganya punya banyak uang.
Ayahnya punya murid yang jumlahnya lebih banyak daripada murid siapa pun di negeri ini.
Dan lagi, dia belum kawin. Dari segala segi, ini tawaran menarik."
"Nah, aku juga pikir begitu, tapi..."
"Tak ada tapi-tapian. Pokoknya jadi! Kami berdua akan menginap disini. "
Tak ada penerangan di kamar itu. Dengan seenaknya Toji meletakkan tangan ke bahu Oko.
Justru pada waktu itu terdengar suara keras di kamar sebelah, di belakang.
"Apa itu?" tanya Toji. "Ada langganan lain?"
Oko mengangguk, kemudian meletakkan bibirnya yang basah ke telinga Toji, bisiknya,
"Nanti." Keduanya lalu mencoba bersikap biasa saja dan kembali ke kamar Seijuro, dan
mendapati Seijuro seorang diri, tidur nyenyak.
Toji mengambil kamar sebelahnya, merebahkan diri di kasur jerami. Ia berbaring di sana
sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke tatami, menantikan Oko. Oko lama tidak juga
muncul. Akhirnya pelupuk mata Toji menjadi berat dan berlayarlah ia ke alam mimpi.
Sudah siang ketika ia bangun esok harinya, wajahnya masam.
Seijuro sudah bangun dan sedang minum di kamar yang menghadap sungai. Baik Oko maupun
Akemi tampak cerah dan gembira, seolah-olah mereka telah lupa malam sebelumnya. Mereka
sedang membujuk Seijuro agar mau berjanji.
"Jadi, Tuan akan ajak kami?"
"Baiklah, kita pergi. Siapkan beberapa kotak makan siang dan bawa juga sedikit sake."
Mereka bicara tentang Kabuki Okuni yang sedang mengadakan pertunjukan di tepi sungai di
Jalan Shijo. Kabuki adalah tarian jenis baru yang disertai kata-kata dan musik, yang
sedang digemari orang di ibu kota. Diciptakan oleh seorang biarawati bernama Okuni di
Kuil Izumo. Kepopulerannya menyebabkan banyak orang lain meniru. Di daerah ramai
sepanjang sungai itu berdiri panggung berderet-deret. Di sana kelompok-kelompok pemain
wanita berlomba-lomba memikat penonton. Masing-masing berusaha mencapai taraf
kepribadian sendiri dengan menambahkan tari-tarian dan lagu-lagu daerah yang istimewa
ke dalam repertoarnya. Para aktris itu sebagian besar mulai sebagai wanita malam. Namun
kini sesudah naik panggung, mereka biasa dipanggil untuk mengadakan pertunjukan di
rumahrumah orang paling kaya di ibu kota. Banyak di antara mereka menggunakan nama
pria, mengenakan pakaian pria, dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang menggetarkan
sebagai prajurit yang gagah berani.
Seijuro duduk memandang ke luar pintu. Di bawah jembatan kecil di Jalan Sanjo
perempuan-perempuan sedang mengelantang kain di sungai; pria-pria berkuda mondar-mandir
di jembatan. "Apa kedua orang itu belum juga siap?" tanyanya kesal. Sudah lewat tengah hari. Lebam
karena minum dan lelah karena menanti, sudah tak ingin lagi ia melihat Kabuki.
Toji, yang merasa jengkel karena pengalaman malam sebelumnya, tidak bersemangat seperti
biasanya. "Memang menarik membawa perempuan ke luar," gerutunya, "tapi kenapa justru
waktu kita sudah siap berangkat, tiba-tiba mereka mulai ribut soal apa rambutnya sudah
benar atau obi-nya sudah lurus" Brengsek betul!"
Pikiran Seijuro melayang ke perguruannya. Ia seakan mendengar bunyi pedang kayu dan
detak gagang-gagang lembing. Apa kata para siswanya tentang ketidakhadirannya" Tidak
sangsi lagi, pasti adiknya, Denshichiro, mendecap mengecamnya.
"Toji," katanya, "Aku tidak betul-betul ingin membawa mereka itu melihat Kabuki. Mari
kita pulang." "Sesudah Tuan berjanji?"
"Yaaa..." "Mereka sudah begitu gembira! Mereka akan marah besar kalau kita ingkar janji. Saya
akan menyuruh mereka buru-buru."
Dari gang rumah, Toji melayangkan pandang ke kamar tempat pakaian para wanita itu
berserakan. Alangkah herannya ia, karena kedua wanita itu tidak kelihatan.
"Ke mana pula mereka itu?" tanyanya tak habis pikir.
Di kamar sebelah pun mereka tak ada. Di sebelahnya lagi terdapat kamar kecil yang
suram, tidak tembus matahari dan berbau apak kain seprai. Toji membuka pintu, disambut
oleh raungan kemarahan, "Siapa itu?"
Melompat mundur, Toji menatap ke dalam kamar sempit yang gelap itu; kamar itu beralas
tikar rombeng, lain sekali dengan kamar-kamar depan yang menyenangkan, seperti malam
dengan siang bedanya. Seorang samurai jorok tergeletak di lantai, pedangnya terletak
sembarangan di atas perutnya; pakaian dan penampilannya tak bisa disangsikan lagi
menunjukkan bahwa ia salah seorang ronin yang sering kelihatan bergelandangan di jalanjalan. Telapak kakinya yang kotor menghadap muka Toji. Ia tidak berusaha bangun;
terbaring saja di situ setengah sadar.
Toji berkata, "Oh, maaf. Saya tidak tahu di sini ada tamu."
"Aku bukan tamu!" pekik orang itu ke langit-langit, memancarkan bau sake. Toji tidak
tahu siapa orang itu, dan juga tak ingin berurusan dengannya.
"Maaf, mengganggu," katanya cepat, dan membalik pergi.
"Tunggu!" kata orang itu dengan kasar sambil bangkit sedikit. "Tutup pintu!"
Kaget oleh kekasaran itu, Toji pun melakukan apa yang diminta, dan pergi.
Begitu Toji pergi, muncullah Oko. Dandanannya habis-habisan, jelas ingin kelihatan
sebagai nyonya besar. Seakan-akan sedang mengomeli anak kecil, ia berkata pada
Matahachi, "Nah, marah apa lagi sekarang?"
Akemi yang baru saja berdiri di belakang ibunya, bertanya, "Tak mau ikut kami?"
"Ke mana?" "Lihat Kabuki Okuni."
Mulut Matahachi mencibir muak. "Suami macam apa yang mau jalan bersama lelaki lain yang
sedang mengejar-ngejar istrinya?" tanyanya pahit.
Oko merasa wajahnya bagai disiram air dingin. Matanya menyala marah, dan katanya, "Ini
omongan apa" Apa maksudmu antara aku dan Toji ada apa-apa?"
"Siapa bilang ada apa-apa?"
"Kata-katamu itu yang bilang."
Matahachi tidak menjawab lagi.
"Katanya kamu lelaki!" Walaupun Oko melontarkan kata-kata itu dengan penuh kejijikan,
Matahachi tetap diam dengan muka cemberut. "Tapi kau membuatku muak!" desisnya. "Kau
selalu cemburu tanpa alasan! Ayo, Akemi. Kita jangan buang-buang waktu untuk orang gila
ini." Matahachi mengulurkan tangan, mencekal kimono Oko. "Siapa yang kausebut orang gila" Apa
maksudmu bicara begitu pada suamimu?"
Oko melepaskan diri darinya. "Kenapa tidak?" katanya kejam. "Kalau kau seorang suami,
kenapa tidak bertindak seperti suami" Siapa menurutmu yang memberimu makan, gelandangan
tak berguna?" "Heh!" "Kau hampir tidak menghasilkan apa-apa sejak kita meninggalkan Provinsi Omi. Kau cuma
menggantungkan diri padaku, minum sake dan malas-malasan. Mengeluh apa lagi?"
"Aku sudah bilang mau pergi dan kerja! Aku sudah bilang, menyeret batu pun aku mau buat
dinding puri. Tapi itu tak cukup baik buatmu. Kaubilang tak bisa makan ini, tak bisa
memakai itu, tak bisa tinggal di rumah kecil yang kotor-tak ada yang kausukai. Lalu
tidak kaubolehkan aku melakukan kerja yang jujur, dan kau mulai membuka kedai minum
yang busuk ini. Nah, tutup itu, ya, tutup itu!" pekiknya. Badannya pun mulai gemetar.
"Tutup apa?" "Tutup kedai minummu."
"Dan kalau kututup, mau makan apa besok?"
"Aku bisa dapat cukup uang untuk hidup kita, biar dengan menyeret batu karang. Cukup
untuk kita bertiga."
"Kalau ingin angkat batu atau potong kayu, kenapa tidak pergi saja" Sana, jadilah
buruh, atau yang lain, tapi kalau begitu, hidup sendiri saja! Susahnya, kau dilahirkan
sebagai orang goblok, dan selamanya kau akan jadi orang goblok. Mestinya kau tetap
tinggal di Mimasaka! Percayalah, aku tidak minta kau tinggal terus di sini. Kau bebas
pergi, kapan saja!" Selagi Matahachi berusaha menahan air mata kemarahan, Oko dan Akemi berpaling
meninggalkannya. Tapi lama sesudah mereka tidak kelihatan, ia masih juga menatap pintu.
Ketika Oko menyembunyikannya di rumahnya dekat Gunung Ibuki dulu itu, ia merasa
beruntung telah menemukan orang yang akan mencintai dan mengurusnya. Tapi sekarang
rasanya sama saja seperti ditangkap musuh. Mana yang lebih baik" Menjadi tawanan, atau
menjadi piaraan seorang janda jalang, dan tidak lagi menjadi lelaki sejati" Apakah
lebih buruk merana di dalam penjara daripada menderita di sini, dalam kegelapan, dan
selalu menjadi sasaran hinaan perempuan pemberang" Dulu ia pernah punya harapan besar
pada masa depan, namun telah dibiarkannya sundal berbedak dan bernafsu garang ini
menurunkan derajatnya hingga sama tingkatannya dengan dia.
"Sundal!" Matahachi menggigil karena berang. "Anjing betina busuk!"
Air mata meluap langsung dari dasar hatinya. Kenapa, oh, kenapakah ia dulu tidak
kembali ke Miyamoto" Kenapa ia tidak kembali kepada Otsu" Ibunya ada di Miyamoto.
Saudara perempuannya juga, iparnya juga, Paman Gon juga. Mereka semua begitu baik
padanya. Lonceng di Shippoji tentunya berdentang hari ini. Seperti dentangnya pada hari-hari
lain. Dan Sungai Aida menghilir menyusuri alurnya, sepertibiasa. Bunga-bunga berkembang
di tepi sungai dan burung-burung erkicau menyambut datangnya musim semi.
"Sungguh tolol aku ini! Sungguh aku si tolol gila, goblok!" Matahachi memukul-mukul
kepalanya dengan tinjunya.
Di luar, ibu dan anak perempuannya, disertai kedua tamu yang bermalam itu sudah
berjalan sambil mengobrol dengan riangnya.
"Kelihatannya sudah seperti musim semi!"
"Orang bilang shogun sebentar lagi akan datang ke ibu kota. Kalau dia datang nanti,
kalian berdua tentunya dapat uang banyak, ya?"
"Ah, tidak, saya yakin tidak."
"Kenapa" Apa samurai dari Edo tak suka main?"
"Mereka terlalu kurang ajar."
"Ibu, bukankah itu musik Kabuki" Aku mendengar suara giring-giring. Juga suling."
"Coba dengar anak ini! Dia selalu seperti itu. Dia pikir dia sudah di tempat
pertunjukan." "Tapi, Bu, aku sudah mendengarnya."
"Sudahlah. Bawakan topi Tuan Muda ini."
Langkah-langkah kaki dan suara-suara orang itu mengambang sampai Yomogi. Dengan mata
masih merah karena marah, Matahachi mencuri pandang dari jendela pada keempat orang
yang bahagia itu. Ia merasa pemandangan itu sangat menghinanya, karena itu ia sekali
lagi menjatuhkan diri di tatami di kamar yang gelap itu sambil mengutuki dirinya.
"Apa kerjamu di sini" Apa tak ada lagi harga dirimu" Bagaimana mungkin kau membiarkan
segalanya seperti itu" Idiot! Lakukanlah sesuatu!" Kata-kata itu ditujukan pada diri
sendiri, ia begitu marah pada kelemahannya sendiri yang seperti pengecut itu.
"Dia bilang pergi. Baiklah, aku pergi!" demikian kilahnya. "Buat apa duduk di sini
menggemerutukkan gigi. Umurmu baru dua puluh dua. Kau masih muda. Pergilah dan lakukan
sesuatu sendiri." Ia merasa tak bisa tinggal lebih lama lagi dalam rumah kosong dan lengang itu, tapi
entah kenapa, tak mau ia berangkat. Kepalanya sakit karena bingung. Ia sadar bahwa cara
hidupnya beberapa tahun belakangan ini telah membuatnya kehilangan kemampuan berpikir
dengan jelas. Bagaimana ia dapat menahan diri" Istrinya menghabiskan malam-malamnya
menghibur lelaki lain, menjual kepada mereka pesona yang dahulu dicurahkan kepadanya.
Malam ia tak dapat tidur, sedang di siang hari tak ada semangat untuk pergi. Tinggal
diam di dalam kamar gelap ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali minum.
Dan semua itu demi sundal tua itu! pikirnya. Ia pun muak dengan dirinya sendiri. Ia
tahu bahwa jalan satu-satunya untuk keluar dari hidup sekarat ini adalah meninggalkan
segalanya dan kembali kepada aspirasi masa mudanya. Ia harus menemukan jalannya yang
telah hilang. Namun... namun... Ada daya tarik ajaib yang mengikatnya. Jenis pesona jahat apakah yang mengikatnya di
sini" Apakah perempuan itu setan yang menyamar" Perempuan itu bisa memakinya,
menyuruhnya enyah, bersumpah bahwa ia cuma beban, tapi kemudian di tengah malam ia akan
meleleh seperti madu dan mengatakan bahwa semua itu cuma gurauan dan ia sama sekali
tidak bermaksud demikian. Lagi pula, sekalipun perempuan itu sudah hampir empat puluh
tahun, bibirnya itu, oh... bibir merah cemerlang yang sama merangsangnya dengan bibir
anaknya. Namun ini belum cerita seluruhnya. Pada dasarnya Matahachi tak punya nyali untuk
dilihat Oko dan Akemi bekerja sebagai buruh harian. Ia telah menjadi malas dan lembek;
pemuda berpakaian sutra yang dari rasa saja dapat membedakan sake Nada dari bikinan
setempat, berbeda sekali dengan Matahachi sederhana yang compang-camping, yang pernah
ikut pertempuran di Sekigahara. Yang paling parah adalah bahwa hidupnya yang aneh
dengan perempuan yang lebih tua itu telah merampas kebeliaannya. Dalam umur ia masih
muda, tapi dalam semangat ia cabul dan pendengki, malas dan penggerutu.
"Tapi akan kulakukan!" janjinya. "Aku akan pergi sekarang!" Sesudah menjatuhkan pukulan
kemarahan terakhir ke kepalanya, ia pun melompat bangkit, dan pekiknya, "Aku akan pergi
dari sini hari ini juga!"
Ia mendengar sendiri suaranya tertahan karena menyadari bahwa tak ada orang lain yang
akan menahannya pergi, dan tak ada sesungguhnya yang mengikatnya di rumah ini. Satusatunya barang yang sungguh-sungguh miliknya dan tidak dapat ia tinggalkan adalah
pedangnya, maka cepat-cepat ia selipkan pedang itu dalam obi-nya. Sambil menggigit
bibir, ia berkata dengan penuh kepastian. "Biar bagaimana, aku seorang lelaki."
Sebetulnya ia dapat menderap keluar lewat pintu depan, melambaikan pedang bagai seorang
jenderal yang menang perang, tapi karena kebiasaan, ia sorongkan kaki ke sandalnya yang
kotor dan keluar lewat pintu dapur.
Sejauh ini belum ada masalah. Ia sudah di luar rumah! Tapi mau apa sekarang" Kedua kaki
itu berhenti. Ia berdiri tak bergerak-gerak dalam angin musim semi yang menyegarkan.
Bukan cahaya menyilaukan yang menahannya. Persoalannya adalah, ke mana ia pergi"
Pada saat itulah terasa oleh Matahachi betapa dunia ini bagai lautan luas yang
bergejolak, tiada pegangan tempat bergayut. Di luar Kyoto, penga-lamannya hanya
meliputi kehidupan di kampung dan satu pertempuran. Selagi terombang-ambing oleh
situasi, suatu pikiran lain mendadak datang dan membuatnya bergegas sepeti anak anjing,
pulang kembali melalui pintu dapur.
"Aku butuh uang," katanya pada diri sendiri. "Aku pasti akan butuh uang."
Ia langsung menuju kamar Oko, digeledahnya kotak-kotak kosmetik, gagang cermin, peti
laci, dan apa saja yang terpikir olehnya. Ia obrak-abrik tempat itu, tapi tak ada uang
sama sekali. Tentu saja seharusnya ia sudah dapat mengira-ngira bahwa Oko bukanlah
jenis perempuan yang tidak bakal mengambil tindakan berjaga-jaga terhadap hal-hal
seperti ini. Dengan kecewa Matahachi menjatuhkan diri ke atas pakaian yang masih tersebar di lantai.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bau Oko mengambang seperti kabut tebal di sekitar pakaian dalamnya yang terbuat dari
sutra merah, di sekitar obi Nishijinnya, dan di sekitar kimononya yang celupan
Momoyama. Terbayang olehnya, kini Oko sedang berada di lapangan pertunjukan di tepi
sungai, menonton tari-tarian Kabuki di samping Toji. Ia pun membayangkan kulitnya yang
putih dan wajahnya yang kenes merangsang.
"Sundal iblis!" teriaknya. Pikiran-pikiran pahit dan kejam bangkit langsung dari isi
perutnya. Kemudian, tanpa diduga-duga, timbul padanya kenangan pedih akan Otsu. Sesudah lama
berpisah, barulah ia dapat memahami kemurnian dan bakti gadis ini, yang telah berjanji
akan menantikannya. Dengan senang hati ia akan bersedia berlutut dan mengangkat tangan
memohon di hadapannya jika kiranya gadis itu man memaafkannya. Tapi ia sudah putus
dengan Otsu, menelantarkannya demikian rupa, hingga mustahil baginya untuk menemui
gadis itu lagi. "Semuanya gara-gara perempuan ini," pikirnya sedih. Sekarang, ketika sudah terlambat,
segalanya menjadi jelas baginya; mestinya ia tidak memberitahukan apa-apa tentang Otsu
kepada Oko. Ketika Oko pertama kali mendengar tentang gadis itu, ia tersenyum kecil dan
berpura-pura tidak acuh sama sekali, padahal sebetulnya ia sangat cemburu. Kemudian,
apabila mereka bertengkar, ia selalu mengungkit soal itu dan mendesak agar Matahachi
menulis surat untuk memutuskan pertunangannya. Dan ketika akhirnya Matahachi menyetujui
dan melakukannya, perempuan itu secara tak tahu malu melampirkan satu surat dengan
tulisannya sendiri yang jelas bergaya perempuan, dan tanpa perasaan sama sekali
menyampaikan surat resmi itu melalui seorang pesuruh yang tidak dikenal.
"Lalu apa pikir Otsu tentang diriku?" rintih
Otsu yang masih polos itu tergambar di depan
lagi terbayang olehnya pegunungan dan sungai
sanak keluarganya. Mereka semua begitu baik.
menyenangkan. Matahachi dengan sedih. Bayangan wajah
matanyawajah yang penuh gugatan. Sekali
di Mimasaka. Ingin ia memanggil ibunya,
Tanah di sana pun kini agaknya hangat dan
"Tak akan bisa lagi aku pulang!" pikirnya. "Aku sudah membuang semua itu untuk...
untuk..." Kembali dilanda kemarahan, dikeluarkannya semua pakaian Oko dari peti-peti
pakaian, dirobek-robeknya, kemudian serpihanserpihan dan sobekan-sobekan itu
dihamburkannya di seluruh rumah.
Perlahan-lahan kemudian sadarlah ia bahwa ada orang memanggil dari pintu depan.
"Maafkan," kata suara itu. "Saya dari Perguruan Yoshioka. Apakah Tuan Muda dan Toji ada
di sini?" "Bagaimana aku tahu?" jawab Matahachi pedas.
"Mereka tentunya di sini! Saya tahu, memang tidak pantas mengganggu mereka selagi
sedang mencari kesenangan, tapi ada satu kejadian yang sangat penting. Ini menyangkut
nama baik Keluarga Yoshioka."
"Pergi sana! Jangan ganggu aku!"
"Tapi apa tak bisa setidak-tidaknya Anda menyampaikan berita
katakan bahwa seorang pemain pedang bernama Miyamoto Musashi
dan yah, tak seorang pun dari kami dapat mengunggulinya. Dia
dan"menolak pergi sebelum mendapat kesempatan menghadapinya.
mereka supaya lekas-lekas pulang!"
ini pada mereka" Tolonglah
sudah datang di perguruan,
menunggu Tuan Muda kembali
Tolonglah sampaikan pada "Miyamoto" Miyamoto?"
*** 10. Roda Keberuntungan HARI itu adalah hari aib yang tak terlupakan bagi Perguruan Yoshioka. Tak pernah
sebelumnya pusat seni bela diri yang bernama besar ini menderita penghinaan yang begitu
tandas. Murid-murid yang biasanya bersemangat kini duduk berkeliling dalam keputusasaan yang
mengenaskan; wajah mereka murung dan buku-buku jari mereka yang putih mencerminkan
penderitaan dan frustrasi. Sebagian besar dari mereka ada di kamar depan yang berlantai
kayu, sedangkan sebagian kecil di kamar samping. Hari sudah senja, biasanya mereka
sudah berangkat pulang atau pergi minum. Tak seorang pun beranjak pergi. Senyap bagai
kuburan. Suasana itu hanya dipecahkan oleh derit gerbang depan yang sesekali berbunyi.
"Diakah itu?" "Apa Tuan Muda sudah kembali?"
"Belum." Ini diucapkan oleh seorang lelaki yang sudah setengah sore itu bersandar putus
asa pada tiang pintu masuk.
Dan setiap kali pula orang-orang itu lebih dalam lagi terbenam dalam rawa kemuraman.
Lidah-lidah berdecap putus asa, dan pelupuk mereka melelehkan air mata pedih.
Dokter keluar dari kamar belakang dan berkata kepada orang yang bersandar di pintu
masuk, "Saya tahu Seijuro tak ada di sini. Tapi apa Anda tidak tahu di mana dia?"
"Sedang dicari. Barangkali sebentar lagi kembali." Dokter mendeham dan pergi.
Di depan perguruan itu, lilin altar pemujaan Hachiman dikitari lingkaran sinar yang
melantunkan bencana. Tak seorang pun akan membantah bahwa pendiri, dan guru pertama, Yoshioka Kempo, adalah
orang yang jauh lebih besar daripada Seijuro atau adik lelakinya. Kempo memulai hidup
hanya sebagai pedagang, seorang pencelup kain, tetapi dari tak henti-henti mengulang
irama dan gerak pencelupan anti luntur, akhirnya ia menemukan cara baru memainkan
pedang pendek. Sesudah mempelajari cara menggunakan tombak-kapak dari salah seorang
prajurit-pendeta yang cakap di Kurama dan kemudian mendalami Delapan Seni Pedang Gaya
Kyoto, ia pun menciptakangaya yang sepenuhnya orisinal. Teknik pedang pendeknya
kemudian dipergunakan oleh shogun-shogun Ashikaga yang mendatangkannya sebagai guru
resmi. Kempo adalah seorang ahli besar, orang yang kearifannya setara dengan
keterampilannya. Sekalipun kedua anaknya, Seijuro dan Denshichiro, menerima latihan sekeras ayahnya,
mereka telah mewarisi kekayaan yang besar dan kemasyhuran ayahnya, dan menurut pendapat
beberapa orang itulah sebab dari kelemahan mereka. Seijuro biasa dipanggil "Tuan Muda",
tapi sebenarnya ia belum benar-benar mencapai taraf keterampilan yang dapat memikat
banyak pengikut. Para siswa datang ke sekolah itu karena di bawah pimpinan Kempo, Gaya
Yoshioka telah menjadi demikian termasyhur, hingga bisa masuk sekolah itu saja sudah
berarti diakui oleh masyarakat sebagai prajurit terampil.
Sesudah runtuhnya ke-shogun-an Ashikaga tiga dasawarsa sebelum itu, Keluarga Yoshioka
tidak lagi memperoleh tunjangan resmi, tetapi pada masa hidup Kempo yang hemat,
keluarga itu sedikit demi sedikit telah berhasil memupuk kekayaan besar. Selain itu ia
memiliki bangunan besar di Jalan Shijo, dengan siswa yang jumlahnya lebih besar
daripada perguruan mana pun di Kyoto; Kyoto waktu itu adalah kota terbesar di negeri
ini. Tetapi sebenarnya sekolah yang menduduki taraf puncak di bidang seni pedang itu
tinggal namanya saja. Dunia dl luar dinding perguruan yang putih besar ini telah berubah lebih dari yang
disadari oleh kebanyakan orang di dalamnya. Bertahun-tahun mereka telah menepuk dada,
bermalas-malasan, dan hanya bermain-main, dan waktu pun melangkahi mereka. Hari ini
mata mereka terbuka oleh kekalahan yang memalukan, setelah bertanding dengan seorang
pemain pedang pedesaan yang tak dikenal.
Menjelang tengah hari, salah seorang pesuruh datang ke dojo untuk melaporkan bahwa
seorang yang menamakan dirinya Musashi berdiri di pintu, mohon diizinkan masuk. Ketika
ditanya macam apa orang itu, pesuruh menjawab bahwa orang itu seorang ronin, datang
dari Miyamoto di Mimasaka, umur dua puluh satu atau dua puluh dua, kira-kira 1,83 meter
tingginya, dan kelihatannya agak bodoh. Rambutnya yang tidak disisir setidak-tidaknya
satu tahun diikat sembarangan saja dengan kain gombal yang kemerah-merahan, sedangkan
pakaiannya begitu kotor, hingga susah ditentukan hitam atau cokelatkah warnanya,
poloskah atau berpola kembang. Pesuruh merasa mencium bau orang itu, tapi mengakui
bahwa mungkin juga ia keliru. Tamu itu menyandang kantong kulit beranyam yang biasa
disebut orang tas belajar prajurit; ini barangkali berarti ia seorang shugyosha, salah
seorang dari para samurai yang banyak jumlahnya waktu itu, yang kerjanya mengembara dan
menghabiskan waktu di luar tidurnya untuk mempelajari seni pedang. Namun demikian,
kesan umum yang didapat pesuruh itu adalah bahwa orang yang namanya Musashi itu jelas
janggal hadir di Perguruan Yoshioka tersebut.
Kalau orang itu hanya minta makan, tidak masalah. Tapi ketika orang-orang mendengar
bahwa pengganggu bulukan itu datang ke gerbang besar untuk menantang Yoshioka Seijuro
yang termasyhur itu bertanding, mereka pun terbahak-bahak. Beberapa orang berpendapat
lebih baik mengusirnya saja tanpa banyak ribut, sedang yang lain-lain mengatakan mereka
harus melihat dulu, gaya apa yang dipakainya dan siapa nama gurunya.
Pesuruh, yang sama merasa geli seperti yang lain-lain, pergi dan kembali lagi dengan
kabar bahwa tamu itu sewaktu masih kanak-kanak belajar menggunakan pentung dari
ayahnya, dan kemudian memungut pelajaran dari prajurit mana saja yang lewat di
kampungnya. Meninggalkan rumah ketika berumur tujuh belas, dan "karena alasan-alasan
pribadi" ia pun menenggelamkan diri dalam mempelajari ilmu pengetahuan pada umur
delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh. Sepanjang tahun sebelum itu, ia hanya
sendirian tinggal di pegunungan, melulu berguru pada pepohonan dan keheningan gunung.
Oleh karena itu, tidak dapat ia menyebutkan suatu aliran khusus atau nama seorang guru.
Tapi di masa depan ia berharap akan mempelajari ajaran-ajaran Kiichi Hogen, ahli
hakikat Delapan Gaya Kyoto, dan akan berusaha meniru Yoshioka Kempo yang agung dengan
menciptakan gayanya sendiri, yang menurut keputusannya akan dinamakannya Gaya Miyamoto.
Memang ia memiliki banyak kekurangan, tapi itulah tujuannya, dan untuk itulah ia
berhasrat bekerja dengan sepenuh hati dan jiwanya.
Pesuruh mengakui bahwa semua itu merupakan jawaban yang jujur dan tidak dibuat-buat,
tetapi orang itu beraksen kampung dan hampir tiap kata ia ucapkan dengan menggagap.
Pesuruh dengan senang hati menirukannya untuk para pendengarnya, dan mereka pun sekali
lagi terpingkal-pingkal. Orang itu tentunya sudah sinting. Menyatakan tujuannya menciptakan gaya sendiri benarbenar gila. Untuk memberikan sedikit ajaran kepada orang sombong itu, para siswa
menyuruh pesuruh keluar lagi, kali ini dengan pertanyaan apakah tamu itu sudah menunjuk
orang untuk mengambil mayatnya sesudah pertandingan nanti.
Musashi memberikan jawaban, "Kalau kebetulan saya terbunuh, tak ada bedanya, apakah
Anda membuang tubuh saya ke Gunung Toribe atau melemparkannya ke Sungai Kamo bersama
sampah. Baik untuk yang pertama maupun yang kedua, saya berjanji tak akan menuntut
balas." Menurut pesuruh, caranya menjawab kali ini sangat jelas, tidak mengandung kekakuan
seperti jawaban-jawaban sebelumnya.
Sesudah ragu-ragu sebentar, akhirnya satu orang berkata, "Suruh dia masuk!"
Itulah awal mulanya; para siswa menyangka mereka akan berhasil menyayat pendatang baru
itu sedikit, kemudian melemparkannya ke luar. Namun pada pertandingan pertama saja
juara perguruanlah yang keluar sebagai pihak yang kalah. Tangannya putus. Hanya sedikit
kulit yang masih menghubungkan pergelangan dengan tangan.
Satu demi satu yang lain-lain pun menerima tantangan orang asing itu, dan satu demi
satu pula mereka kalah secara memalukan. Beberapa orang luka parah, dan pedang kayo
Musashi bergelimang darah. Sesudah kekalahan kesekian kali, para siswa berubah jadi
ingin membunuh; kalaupun mereka semua harus terbunuh, tak akan mereka membiarkan orang
gila biadab ini pergi dalam keadaan hidup, membawa serta kehormatan Perguruan Yoshioka.
Musashi sendirilah yang mengakhiri pertumpahan darah itu. Sejak tantangannya diterima,
tak ada rasa kuatir padanya tentang jatuhnya korban, tapi ia menyatakan, "Tak ada
gunanya melanjutkan ini sebelum Seijuro kembali," dan ia menolak untuk bertempur lagi.
Karena tak ada pilihan lain, atas permintaannya sendiri ia dipersilakan masuk ke sebuah
kamar untuk menunggu. Baru pada waktu itulah satu orang tersadar dan memanggil dokter.
Tak lama sesudah dokter pergi, suara-suara yang memekikkan nama dua orang yang terluka
menyebabkan selusin orang masuk kamar belakang. Mereka mengerumuni kedua samurai itu
dengan sikap tak percaya bercampur takjub; wajah mereka kelabu dan napas mereka tidak
tetap. Kedua orang itu tewas.
Langkah-langkah kaki bergegas melintas dojo dan masuk ke kamar mati. Para siswa
memberikan jalan bagi Seijuro dan Toji. Keduanya pucat, seakan-akan baru saja keluar
dari air terjun yang dingin.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Toji. "Apa arti semua ini?" Nada bicaranya gusar
seperti biasa. Seorang samurai yang berlutut dengan wajah tercekam di camping bantal salah seorang
kawannya yang mati melontarkan pandangan penuh tuduhan kepada Toji, dan katanya, "Kau
yang mesti menjelaskan apa yang sedang terjadi. Kau yang membawa Tuan Muda minum-minum.
Nab, kali ini kau sudah bertindak terlalu jauh."
"Jaga lidahmu, atau kupotong nanti."
"Ketika Tuan Kempo masih hidup, tak ada hari lewat tanpa dia ada di dojo",
"Lantas mau apa" Tuan Muda ingin bersenang-senang sedikit, dan kami pergi ke Kabuki.
Apa maksudmu bicara demikian di depannya" Kaupikir siapa kau ini?"
"Apa untuk melihat Kabuki saja dia mesti tinggal di luar sepanjang malam" Bisa-bisa
Tuan Kempo bangkit dari kuburnya."
"Cukup!" teriak Toji sambil menyerang orang itu.
Ketika yang lain-lain campur tangan pula dan mencoba memisahkan serta menenangkan kedua
orang itu, satu suara berat karena beban sakit terdengar sedikit mengungguli suara
percekcokan itu. "Kalau Tuan Muda sudah kembali, sudah waktunya menghentikan
percekcokan. Terserah kepadanya untuk mengembalikan kehormatan perguruan. Ronin itu
tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."
Beberapa di antara yang luka menjerit dan memukul-mukul lantai. Tindakan itu merupakan
celaan yang seterang-terangnya terhadap mereka yang belum menghadapi pedang Musashi.
Bagi samurai zaman itu, yang terpenting di dunia ini adalah kehormatan. Sebagai
golongan, mereka benar-benar saling berlomba mencari jalan untuk mati lebih dulu dalam
mempertahankannya. Pemerintah sampai hari-hari terakhir terlampau sibuk dengan perang,
hingga tak ada waktu untuk menyusun sistem administrasi yang memadai bagi suatu negeri
yang damai, bahkan Kyoto pun hanya diatur dengan seperangkat peraturan yang longgar dan
bersifat tambal sulam. Toh pentingnya kehormatan pribadi bagi golongan prajurit itu
tetap dihargai, baik oleh kaum petani maupun orang-orang kota, dan ini besar artinya
dalam menjamin ketenteraman. Pendapat umum mengenai mana tindakan terhormat dan mana
yang tidak telah memungkinkan rakyat mengatur diri sendiri, sekalipun hanya dengan
undangundang yang tidak memadai.
Sekalipun tidak terpelajar, orang-orang dari Perguruan Yoshioka sama sekali bukan
orang-orang rendah yang tak kenal malu. Ketika mereka sadar kembali sesudah menderita
guncangan kekalahan itu, hal pertama yang terpikir oleh mereka adalah kehormatan, yaitu
kehormatan perguruan, kehormatan guru, kehormatan pribadi mereka sendiri.
Dengan menyingkirkan permusuhan perseorangan, sebagian besar dari mereka berkumpul di
sekitar Seijuro, memperbincangkan apa yang harus diperbuat. Sayang sekali, kebetulan
hari itu Seijuro sedang kehilangan semangat juangnya. Pada saat itu, ia yang seharusnya
berada dalam keadaan prima, justru loyo, lemah, dan kehabisan tenaga.
"Di mana orang itu?" tanyanya seraya mengikatkan lengan kimononya dengan tali kulit.
"Dia di kamar kecil di samping kamar terima tamu," kata seorang murid sambil menunjuk
ke seberang kebun. "Panggil dia!" perintah Seijuro. Mulutnya kering karena tegang. Ia pun duduk di tempat
guru, sebuah mimbar kecil, dan bersiap-siap menerima salam dari Musashi. Dipilihnya
salah satu pedang kayu yang disodorkan para muridnya, dan dipegangnya tegak di samping.
Tiga-empat orang menerima perintah dan mulai meninggalkan tempat, tetapi Toji dan
Ryohei menyuruh mereka menanti.
Menyusullah bisik-bisik lama, jauh dari pendengaran Seijuro. Konsultasi diam-diam itu
berpusat pada Toji dan murid-murid senior lain perguruan itu. Tak lama kemudian, para
anggota keluarga dan beberapa orang lain menggabungkan diri, begitu banyak yang hadir
di situ, hingga kerumunan itu terpecah dalam kelompok-kelompok. Meski berlangsung seru,
perdebatan dapat diselesaikan dalam waktu cukup singkat.
Sebagian besar tidak hanya memprihatinkan nasib perguruan, melainkan juga menyadari
benar kekurangan Seijuro sebagai seorang pejuang, dan mereka pun menyimpulkan bahwa
tidak bijaksana membiarkannya menghadapi Musashi satu lawan satu, waktu itu juga dan di
tempat itu juga. Dua orang sudah tewas dan beberapa orang terluka. Kalau Seijuro pun
menderita kekalahan, krisis yang mengancam perguruan akan berat luar biasa. Itu
tindakan yang terlampau riskan.
Kebanyakan orang itu berpendapat, walaupun tidak diucapkan, bahwa jika waktu itu
Denshichiro hadir, tidak banyak yang perlu dikuatirkan. Pada umumnya ada anggapan bahwa
ia lebih cocok untuk melanjutkan kerja ayahnya, tapi karena ia anak kedua dan tidak
mempunyai tanggung jawab serius, maka ia pun menjadi orang yang berwatak sangat santai.
Pagi itu ia sudah meninggalkan rumah dengan teman-temannya ke Ise, dan bahkan tidak
merasa perlu berpesan kapan akan pulang.
Toji mendekati Seijuro, dan katanya, "Kami sudah mencapai kesimpulan."
Mendengar laporan yang disampaikan dengan bisikan itu, Seijuro tampak semakin berang,
sampai akhirnya ia pun tersengal-sengal dan hampir tidak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. "Mengakali dia?"
Toji mencoba meredakan dengan gerakan mata, tapi Seijuro tidak dapat diredakan. "Aku
tak setuju dengan tindakan seperti itu! Itu pengecut. Bagaimana kalau sampai kedengaran
orang bahwa Perguruan Yoshioka takut pada seorang prajurit tak dikenal, dan
menyembunyikan diri, lalu menyergapnya?"
"Tenanglah," Toji memohon, tapi Seijuro terus juga membangkang. Maka Toji pun
mengungguli suaranya, dan katanya keras, "Serahkan pada kami. Kami yang akan mengurus."
Namun Seijuro tak juga bisa menerima. "Apa menurutmu aku, Yoshioka Seijuro, akan kalah
dengan si Musashi atau siapa pun namanya itu?"
"Oh, tidak, sama sekali tidak begitu," kata Toji berbohong. "Cuma kami tak percaya Anda
dapat memperoleh kehormatan dengan mengalahkan dia. Kedudukan Anda terlalu tinggi untuk
menghadapi gelandangan kurang ajar seperti itu. Lagi pula, tidak ada alasan kenapa
orang di luar rumah ini mesti tahu soal itu, bukan" Hanya satu yang penting, yaitu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak membiarkan dia pergi dalam keadaan hidup."
Belum selesai mereka berkurang lebih dari kebun, ke arah pintu kelihatan menghilang beradu pendapat, jumlah orang yang berada di dalam ruangan sudah
setengahnya. Diam-diam, seperti kucing, mereka menghilang ke
belakang dan ke kamar-kamar dalam, dan secara hampir tidak
ke kegelapan. "Tuan Muda, kita tak dapat menangguhkannya lagi," kata Toji tegas, lalu memadamkan
lampu. Ia pun melonggarkan pedang dalam sarungnya dan menaikkan lengan kimononya.
Seijuro tetap duduk. Sekalipun dalam batas-batas tertentu ia puas karena tidak harus
bertempur melawan orang asing itu, namun ia sama sekali tidak merasa senang. Menurut
pengertiannya, dengan mengambil langkah itu, berarti para muridnya menilai rendah
kemampuannya. Ia pun terkenang bagaimana ia telah mengabaikan latihan sejak
meninggalnya ayahnya, dan ini membuatnya sangat sedih.
Rumah itu semakin dingin dan senyap seperti dasar sumur. Karena tak dapat duduk tenang,
Seijuro pun bangkit dan berdiri dekat jendela. Lewat pintu-pintu kamar Musashi yang
tertutup kertas ia dapat melihat cahaya lampu yang berkelap-kelip lembut. Itulah satusatunya cahaya yang ada di sekitar tempat itu.
Banyak juga mata lain mengintip ke arah yang sama. Para penyerang meletakkan pedangnya
di tanah di hadapan mereka, menahan napas dan mendengarkan baik-baik setiap bunyi yang
dapat mengungkapkan kepada mereka sedang apakah Musashi.
Apa pun kekurangan Toji, ia telah memperoleh latihan sebagai seorang samurai. Matimatian sekarang ia mencoba membayang-bayangkan apa yang mungkin diperbuat Musashi. "Dia
sama sekali tak dikenal di ibu kota, tapi dia seorang pendekar hebat. Mungkinkah dia
sekadar duduk diam di kamar itu" Pengepungan kami cukup hati-hati, tapi dia tentunya
merasa bahwa orang banyak sedang mendesaknya sekarang. Setiap orang yang mencoba hidup
sebagai prajurit pasti mengetahuinya; kalau tidak, dia sudah mati sekarang.
"Mm, barangkali dia sudah tertidur. Agaknya itulah yang terjadi. Memang sudah lama juga
dia menanti. "Di pihak lain, dia sudah membuktikan dirinya cerdik. Kemungkinan dia sedang berdiri di
sana dalam keadaan siap tempur, membiarkan lampu menyala untuk membuat orang-orang ini
kehilangan kewaspadaan dan tinggal menanti serangan pertama.
"Mestinya begitu. Betul begitu!"
Orang-orang itu menanti dengan gelisah, karena orang yang menjadi sasaran nafsu
membunuh mereka juga sama inginnya membantai mereka. Mereka pun bertukar pandang, diamdiam saling menanyakan, siapa yang pertama-tama akan maju menyerbu dan mempertaruhkan
nyawanya. Akhirnya Toji yang licik dan persis berada di luar kamar Musashi, berseru, "Musashi!
Maaf membiarkanmu lama menunggu! Boleh aku bertemu sebentar?"
Karena tak ada jawaban, Toji menyimpulkan bahwa Musashi memang sudah siap menanti
serangan. Sambil bersumpah tak akan membiarkan Musashi meloloskan diri, Toji pun
memberikan isyarat ke kanan dan ke kiri, kemudian menerjang ke arah pintu. Bagian bawah
pintu bergeser sekitar dua kaki ke dalam kamar, terlepas dari lekuknya akibat hantaman
itu. Mendengar bunyi itu, orang-orang yang seharusnya menyerbu ke dalam kamar secara
tak sengaja mundur selangkah. Tapi dalam beberapa detik saja seseorang menyerukan
serang, dan semua pintu lain dalam kamar itu pun gemerantang terbuka.
"Dia tak ada!" "Kamar kosong!"
Suara-suara yang mencerminkan pulihnya keberanian pun terdengar menggerutu menyatakan
tak percaya. Musashi masih duduk di sana sejenak sebelum itu, ketika seseorang
membawakan lampu. Lampu masih menyala, bantalan yang tadi didudukinya masih di sana,
anglo masih menyala dengan baik, dan masih ada cangkir teh yang belum disentuh. Tapi
Musashi tak ada! Satu orang berlari ke beranda, memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi sudah
pergi. Dari. bawah beranda dan dari tempat-tempat gelap di kebun para murid dan pesuruh
pun berkumpul, mengentakkan kaki dengan marah dan memaki-maki orang yang menjaga kamar
yang kecil itu. Namun para penjaga tetap menyatakan bahwa Musashi tak mungkin pergi. Ia
memang pergi ke kamar kecil kurang dari sejam sebelum itu, tapi segera kembali ke
kamarnya lagi. Tak ada jalan baginya untuk pergi tanpa terlihat.
"Apa maksudmu dia tidak kelihatan, seperti angin?" satu orang bertanya dengan nada
mencemooh. Tepat waktu itu satu orang yang selama itu celingukan di kamar kecil berseru, "Dari
sini dia pergi! Lihat, papan-papan lantai ini sudah lepas."
"Belum lama lampu itu tadi dirapikan. Tak mungkin dia sudah pergi jauh!"
"Kejar dia!" Kalau Musashi memang melarikan diri, pasti dalam hatinya ia seorang pengecut! Jalan
pikiran ini mengobarkan kembali semangat para pengejarnya yang beberapa lama sebelumnya
sudah sangat kehilangan semangat. Baru saja mereka berduyun-duyun keluar dari gerbang
depan, belakang, dan samping, satu orang mem
ekik, "Itu dia!"
Dekat gerbang belakang, satu sosok melejit keluar dari bayangan, menyeberang jalan, dan
masuk lorong gelap di sisi lain. Sosok itu berlari seperti kelinci, melenceng ke satu
sisi ketika hampir mencapai dinding di ujung lorong. Dua-tiga orang murid berhasil
mengejarnya antara Kuyado dan puing-puing kebakaran Honnoji.
"Pengecut!" "Mau lari, ya?"
"Sesudah tindakanmu hari ini?"
Terdengar bunyi tonjokan dan tendangan keras, juga lolongan menantang. Orang yang
terkepung itu memperoleh kembali kekuatannya dan membalik menghadapi para penangkapnya.
Dalam sekejap ketiga orang yang menjambak tengkuknya terjerembap ke tanah. Pedang orang
itu sudah mau ditebaskan kepada mereka, ketika orang keempat datang berlari dan
berseru, "Tunggu! Salah! Ini bukan orang yang kita kejar."
Matahachi menurunkan pedangnya, dan orang-orang itu pun berdiri.
"Hei, kau benar! Bukan Musashi!"
Selagi mereka berdiri di sana dengan kebingungan, Toji sampai di tempat kejadian.
"Sudah kalian tangkap?" tanyanya.
"Uh, orang lain-bukan orang yang bikin ribut itu."
Toji memperhatikan tangkapan itu dengan lebih saksama, dan katanya heran, "Ini orang
yang kalian kejar?" "Ya. Kau kenal dia?"
"Baru tadi siang aku melihatnya di Warung Teh Yomogi."
Sementara mereka memandangnya dengan diam dan curiga, Matahachi tenang-tenang merapikan
rambutnya yang kusut clan meratakan kimononya. "Apa dia pemilik Yornogi?"
"Tidak, nyonya rumah mengatakan padaku bukan. Rupanya dia cuma semacam benalu."
"Kelihatannya memang mencurigakan. Apa kerjanya di dekat-dekat gerbang ini" Mematamatai?"
Tapi Toji sudah mulai bergerak. "Kalau kita menghabiskan waktu dengan dial kita akan
kehilangan Musashi. Sekarang kita berpencar saja dan jalan. Paling tidak, kita bisa
tahu di mana dia tinggal."
Terdengar suara-suara mengiakan, dan mereka pun berangkat.
Menghadapi parit Honnoji, Matahachi berdiri diam dengan kepala menunduk, sementara
orang-orang itu lewat berlarian. Ketika orang terakhir lewat, ia pun berseru kepadanya.
Orang itu berhenti. "Ada apa?" tanyanya.
Matahachi mendekatinya, dan tanyanya, "Berapa umur orang yang namanya Musashi itu?"
"Mana aku tahu?"
"Apa kira-kira seumurku?"
"Kira-kira begitu. Ya."
"Apa dia dari Desa Miyamoto di Provinsi Mimasaka?"
"Ya." "Kukira 'Musashi' itu cara lain untuk membaca dua huruf yang bisa dipakai menuliskan
'Takezo', kan?" "Kenapa kau menanyakan sernua itu" Apa dia temanmu?"
"Ah, tidak. Aku cuma heran."
"Nah, lain kali apa tidak lebih baik kau jauh-jauh saja dari tempat-tempat yang bukan
tempatmu" Kalau tidak, kau bisa mendapat kesulitan besar hari-hari ini." Sesudah
menyampaikan peringatan itu, orang itu pun lari.
Matahachi lalu berjalan pelan-pelan di samping parit gelap itu, dan sekali-sekali
berhenti untuk memandang bintang-bintang. Ia rupanya tidak mempunyai tujuan khusus.
"Pasti dialah itu!" demikian kesimpulannya. "Dia tentunya sudah mengubah namanya
menjadi Musashi dan menjadi pemain pedang. Boleh jadi dia lain sekali dengan dahulu."
Maka disurukkannya tangannya ke dalam obi, dan mulailah ia menendang-nendang sebuah
batu dengan jari sandalnya. Tiap kali menendang, ia pun merasa melihat wajah Takezo di
hadapannya. "Ini bukan waktu yang tepat," gumamnya. "Aku akan malu kepadanya kalau dia melihatku
dalam keadaan seperti ini. Aku cukup punya harga diri dan takkan membiarkan dia
memandang rendah kepadaku.... Tapi kalau gerombolan Yoshioka itu berhasil mengejarnya,
kemungkinan mereka akan membunuhnya. Di mana dia berada kira-kira" Paling tidak, ingin
aku memperingatkannya."
*** 11. Berhadapan dan Mundur
SEPANJANG jalan setapak berbatu yang menuju Kuil Kiyomizudera berdiri sederetan rumah
kumuh dengan atap papan yang tersusun seperti gigi rusak, demikian tuanya hingga lumut
sudah menumbuhi tepi-tepi atapnya. Di bawah sinar matahari siang yang panas, jalan itu
semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas arang.
Sebuah piring melayang keluar dari pintu salah satu gubuk bobrok itu dan pecah
berantakan di jalan. Seorang lelaki umur sekitar lima puluh tahun, yang agaknya seorang
pekerja tangan, menyusul terhuyung ke luar. Sekejap kemudian menyusul pula istrinya
yang bertelanjang kaki, rambutnya awut-awutan dan payudaranya tergantung-gantung
seperti tetek sapi. "Apa kaubilang, orang udik?" jeritnya serak. "Kau pergi meninggalkan istri dan anak
kelaparan, lalu datang lagi merangkak seperti cacing!"
Dari dalam rumah terdengar suara anak-anak menangis, dan tidak jauh dari situ seekor
anjing menggonggong. Perempuan itu akhirnya berhasil mengejar suaminya, menangkap
gelung rambutnya, dan mulai memukulinya.
"Sekarang mau pergi ke mana kamu, orang sinting tua?"
Para tetangga bergegas datang dan mencoba melerai.
Musashi tersenyum ironis dan membalikkan badan menuju toko barang tembikar. Beberapa
waktu sebelum pecahnya pertengkaran keluarga itu, ia sudah berdiri di luar, mengamati
para pembuat tembikar dengan kegairahan kanak-kanaknya. Dua lelaki yang ada di dalam
tidak menyadari kehadirannya. Karena mata mereka terpaku kepada pekerjaan, mereka
seakan-akan sudah menyatu dengan tanah liat itu. Konsentrasi mereka sungguh bulat.
Musashi sebetulnya ingin mencoba bekerja dengan tanah liat itu. Sejak kecil ia menyukai
pekerjaan tangan; menurut pendapatnya, paling tidak ia akan dapat membuat mangkuk teh
sederhana. Namun justru pada waktu itu salah seorang tukang tembikar yang umurnya
hampir enam puluh tahun mulai membuat mangkuk teh. Melihat betapa cekatan orang itu
menggerakkan jari-jarinya clan memainkan kape-nya, Musashi pun sadar bahwa ia terlalu
tinggi menilai kemampuannya sendiri. "Ternyata diperlukan banyak teknik untuk membuat
barang sederhana itu saja," demikian kagumnya.
Hari-hari itu sering kali ia merasa amat kagum pada kerja orang lain. Ia merasa
menghargai teknik, seni, bahkan kemampuan melakukan tugas yang sederhana dengan baik,
terutama jika itu adalah keterampilan yang tidak dikuasainya.
Di sebuah sudut toko itu, di sebuah meja panjang darurat yang terbuat dari papan pintu
tua, berderet-deret piring, sloki sake, clan kendi. Barangbarang itu dijual untuk tanda
mata dengan harga dua puluh atau tiga puluh sen saja kepada orang-orang yang pergi atau
datang dari kuil. Sesuatu yang bertentangan sekali dengan kesungguh-an para tukang
tembikar pada pekerjaan mereka adalah hina-dinanya pondok papan mereka. Terpikir oleh
Musashi, apakah mereka selalu dapat makan cukup. Hidup ini agaknya tidak semudah
kelihatannya. Memikirkan keterampilan, konsentrasi, dan kesetiaan yang dicurahkan untuk membuat
barang-barang semurah itu, Musashi pun merasa jalannya sendiri masih panjang, jika ia
ingat bagaimana ia mencapai taraf kesempurnaan dalam seni pedang yang diinginkannya
itu. Pikiran itu sungguh pikiran yang menyadarkan, karena dalam tiga minggu terakhir
itu ia telah mengunjungi pusat-pusat latihan terkenal lain di Kyoto disamping Perguruan
Yoshioka, dan sempat bertanya-tanya kepada dirinya apakah ia tidak terlampau kritis
terhadap diri sendiri semenjak dikurung di Himeji dulu. Keinginannya semula adalah
melihat Kyoto sebagai tempat penuh orang yang telah menguasai seni bela diri. Bukankah
kota itu ibu kota kekaisaran dan dahulu menjadi pusat ke-shogun-an Ashikaga, dan sudah
lama menjadi tempat berkumpulnya jenderal-jenderal ternama dan prajurit-prajurit
legendaris" Namun selama berada di sana, belum pernah ia menemukan satu pun pusat
latihan yang mengajarkan kepadanya sesuatu yang benar-benar pantas diberi ucapan terima
kasih. Sebaliknya, hanya kekecewaan yang diperolehnya di setiap perguruan itu.
Sekalipun selalu memenangkan pertandingan, tak dapat ia menetapkan apakah itu
disebabkan ia yang bagus atau lawan-lawannya yang jelek. Baik dalam hal yang pertama
maupun kedua, kalau para samurai yang dijumpainya itu memang gambaran dari samurai masa
kini, berarti negeri itu berada dalam keadaan memprihatinkan.
Tergugah oleh keberhasilannya, ia pun sampai kepada pemikiran untuk merasa bangga akan
keahliannya. Tetapi sekarang, ingat akan bahaya puas diri, ia pun merasa bersalah dan
patut dihukum. Dalam hati ia merasa sangat hormat kepada orang-orang tua bergelimang
tanah liat yang sedang bekerja pada rodanya itu, dan mulailah ia mendaki lereng terjal
Kiyomizudera. Belum lagi jauh, terdengar suara memanggilnya dari bawah. "Hei, tuan yang di sana!
Ronin!' "Maksud Anda... saya?" tanya Musashi sambil menoleh.
Melihat pakaian katunnya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat yang
dibawanya, orang itu adalah pemikul joli. Dari balik jenggotnya ia berkata, cukup sopan
untuk orang yang kedudukannya serendah itu, "Tuan, apa nama Tuan Miyamoto?"
"Ya." "Terima kasih." Orang itu pun membalik dan turun ke Bukit Chawan.
Musashi melihatnya memasuki rumah yang nampaknya warung teh. Sewaktu melewati daerah
itu tadi, ia memang melihat satu rombongan besar kuli dan pemikul joli sedang berdiri
di sana-sini di bawah sinar matahari. Tak dapat ia memperkirakan, siapa yang kini telah
menyuruh salah seorang dari mereka itu untuk menanyakan namanya, tapi ia mengira, siapa
pun yang telah menyuruh itu pasti akan segera datang menemuinya. Ia pun berdiri dulu di
sana sebentar, tapi karena tak seorang pun muncul, ia kembali mendaki.
Di sepanjang jalan itu ia berhenti menjenguk kuil-kuil terkenal, dan di tiap kuil ia
membungkukkan badan dan mengucapkan dua doa. Doa pertama: "Lindungilah kakak
perempuanku dari bahaya." Yang kedua: "Ujilah Musashi yang hina ini dengan kesulitan.
Jadikanlah dia pemain pedang terbesar di negeri ini, atau biarlah dia mati."
Sampai di tepi tebing karang ia jatuhkan topi anyaman yang dipakainya ke tanah dan
duduk. Dari situ ia dapat memandang seluruh kota Kyoto. Sementara ia duduk merangkul
lutut, bergejolaklah ambisi yang sederhana namun kuat dalam dadanya yang masih muda.
"Aku ingin menempuh hidup yang berarti. Aku mau menempuhnya, karena aku lahir sebagai
manusia." Ia pernah membaca bahwa pada abad sepuluh, dua pemberontak bernama Taira no Masakado
dan Fujiwara no Sumitomo yang sama-sama ambisius telah bergabung dan bersepakat, kalau
menang perang, mereka akan membagi Jepang di antara mereka berdua. Sukar memastikan
kebenaran cerita itu, tapi Musashi ingat, waktu itu ia berpendapat alangkah bodoh dan
tidak realistis sekiranya mereka percaya bisa melaksanakan rencana gila-gilaan semacam
itu. Namun sekarang ia merasa hal itu tidak lagi menggelikan. Impian yang dimilikinya
lain jenisnya, tapi ada beberapa persamaan. Kalau orang muda tidak dapat menggantungkan
cita-cita besar dalam jiwanya, siapa lagi yang dapat" Saat itu Musashi pun membayangkan
bagaimana ia dapat menciptakan tempatnya sendiri di dunia ini.
Ia berpikir tentang Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, tentang visi mereka untuk
mempersatukan Jepang dan tentang banyak pertempuran yang telah mereka lakukan untuk
mencapai tujuan itu. Tetapi jelas, jalan menuju kebesaran itu kini tidak lagi terletak
dalam memenangkan perang. Sekarang rakyat hanya menginginkan perdamaian yang telah
begitu lama mereka rindukan. Merenungkan perjuangan panjang yang harus ditempuh
Tokugawa Ieyasu dalam mengubah keinginan itu menjadi kenyataan, Musashi pun sadar
sekali lagi, betapa susahnya berpegang teguh pada cita-cita.
"Ini zaman baru," pikirnya. "Sisa hidupku masih ada di hadapanku. Memang terlambat aku
menempuh jalan yang dilalui Nobunaga atau Hideyoshi, tapi masih dapat aku memimpikan
dunia yang harus kutaklukkan sendiri. Tak seorang pun dapat menghentikanku melakukan
itu. Pemikul joli tadi pun mempunyai impiannya sendiri."
Sesaat ia singkirkan gagasan-gagasan itu dari pikirannya dan mencoba meninjau keadaan
dirinya secara objektif. Ia memiliki pedang, dan jalan Pedang adalah jalan yang telah
dipilihnya. Kiranya bagus juga menjadi seorang Hideyoshi atau Ieyasu, tetapi zaman
tidak lagi membutuhkan orang-orang dengan bakat seperti mereka. Ieyasu sudah mengatur
segala hal; tidak lagi ada keperluan akan perang-perang berdarah. Di Kyoto yang
terhampar di bawah sana kehidupan tidak lagi soal untung-untungan.
Bagi Musashi, yang penting sejak sekarang dan untuk seterusnya adalah pedangnya dan
masyarakat sekitarnya, juga seni pedang yang dikuasainya dalam hubungan kehadirannya
sebagai manusia. Pada saat memperoleh pemahaman mendalam itu, ia pun puas karena telah
menemukan hubungan antara seni bela diri dan visinya mengenai kebesaran.
Sementara ia duduk tenggelam dalam pemikiran itu, wajah pemikul joli muncul kembali di
bawah tebing karang. la menudingkan tongkat bambunya kepada Musashi, clan serunya, "Itu
dia di sana!" Musashi memandang ke bawah, ke arah kuli-kuli yang sedang bergerak ke sana kemari
sambil berteriak-teriak. Mereka mulai mendaki bukit menuju ke arahnya. Ia pun bangkit;
sambil mencoba mengabaikan mereka, ia berjalan terus mendaki bukit. Tetapi tak lama
kemudian ia melihat jalannya tercegat. Dengan bergandengan tangan dan mengacungacungkan tongkat, sejumlah besar orang telah mengepungnya dari jauh. Ketika ia menoleh,
tampak olehnya orang-orang di belakangnya itu berhenti. Seorang dari mereka menyeringai
memperlihatkan giginya dan memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi rupanya


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sedang memperhatikan tanda peringatan atau entah apa".
Musashi yang kini berada di depan tangga Hongando memang sedang menengadah
memperhatikan tanda peringatan yang sudah dimakan cuaca, yang tergantung pada blandar
pintu masuk kuil. Ia merasa gelisah dan bertanya-tanya dalam hati apakah ia sebaiknya
menakut-nakuti mereka dengan teriakan perang. Walaupun ia tahu dapat membereskan mereka
dengan cepat, tak ada gunanya ribut dengan gerombolan pekerja kasar itu. Lagi pula,
barangkali ada kekeliruan. Kalau demikian, lambat atau cepat mereka akan bubar. Ia pun
berdiri saja di sana dengan sabar, sambil membaca dan membaca sekali lagi kata-kata
pada tanda peringatan itu: "Kaul sejati".
"Ini dia datang!" salah seorang kuli berteriak.
Mereka pun mulai bicara antara sesamanya dengan suara tertahan-tahan. Kesan Musashi
adalah mereka sedang saling merangsang semangat. Pekarangan dalam gerbang barat kuil
itu dengan segera penuh orang, dan sekarang para pendeta, peziarah, dan tukang jualan
menajamkan mata untuk melihat apa yang sedang terjadi. Penuh rasa ingin tahu, mereka
membentuk kelompok-kelompok di luar lingkaran kuli-kuli yang mengepung Musashi.
Dari arah Bukit Sannen kedengaran nyanyian berirama pengatur langkah oleh orang-orang
yang membawa beban. Suara itu makin lama makin dekat, sampai akhirnya dua orang
memasuki pekarangan kuil dengan menggendong seorang perempuan tua dan seorang samurai
desa yang tampak agak lelah.
Dan punggung pengusungnya Osugi melambaikan tangan dengan gerakan cepat, dan katanya,
"Di sini saja." Si pengusung melipat kakinya dan Osugi pun melompat sigap ke tanah
sambil mengucapkan terima kasih. Sembari menoleh kepada Paman Gon, ia berkata, "Kali
ini kita takkan membiarkannya lepas, kan?" Pakaian dan sepatu kedua orang itu
mengesankan seolah-olah mereka hendak menghabiskan sisa hidupnya dalam perjalanan.
"Mana dia?" seru Osugi.
Salah seorang kuli pikul menjawab, "Itu di sana," dan menuding bangga ke arah kuil.
Paman Gon membasahi gagang pedangnya dengan ludah, dan kedua orang itu pun menerobos
lingkaran manusia tersebut.
"Tenang saja," salah seorang kuli pikul mengingatkan. "Orangnya tampak tangguh," kata
yang lain. "Pastikan dulu apa Anda sudah betul-betul siap," nasihat yang lain. Sementara para
pekerja memberikan dorongan dan dukungan bagi Osugi, para penonton merasa cemas.
"Apa perempuan tua ini betul-betul mau menantang duel ronin itu?" "Kelihatannya
begitu." "Tapi dia sudah begitu tua! Malah pengiringnya juga sudah goyah kakinya! Mestinya ada
alasan kuat, mengapa mereka mencoba menghadapi orang yang begitu jauh lebih muda."
"Tentulah sekitar permusuhan keluarga!"
"Lihat tuh! Dia memarahi lelaki tua itu. Ada memang nenek-nenek tua yang betul-betul
gagah berani." Seorang kuli berlari datang membawa segayung air untuk Osugi. Sesudah minum seteguk
besar, Osugi menyerahkan gayung itu kepada Paman Gon dan berkata tegas kepadanya,
"Sekarang jaga jangan sampai kau bingung, sebab tak ada yang perlu dibingungkan. Takezo
itu cuma manusia jerami. Bisa saja dia belajar sedikit cara memakai pedang, tapi tak
mungkin dia belajar banyak. Tenang saja kamu!"
Untuk memelopori, ia pun langsung menuju tangga depan Hongando dan duduk di tangga, tak
sampai sepuluh langkah dari Musashi. Tanpa memperhatikan Musashi atau orang banyak yang
memandangnya, ia mengeluarka tasbihnya dan memejamkan mata, lalu mulai menggerakgerakkan bibir. Diilhami oleh semangat keagamaannya, Paman Gon menangkupkan kedua
tangannya dan berbuat demikian pula.
Pemandangan itu ternyata agak terlampau melodramatis, dan salah seorang penonton mulai
tertawa terkekeh. Seketika itu juga salah seorang kuli memutar badan dan katanya
menantang, "Siapa menganggap ini lucu" Ini bukan bahan tertawaan, orang sinting! Jauhjauh perempuan tua ini datang dari Mimasaka untuk mencari manusia sampah yang melarikan
istri anaknya. Saban hari selalu dia berdoa di kuil ini selama hampir dua bulan, dan
akhirnya hari ini orang itu muncul."
"Orang-orang samurai ini lain dengan kita," kata kuli yang lain. "Pada umur seperti
itu, perempuan tua ini mestinya dapat hidup senang di rumah, bermain dengan cucucucunya; tapi tidak, dia malah di sini menggantikan anaknya menuntut balas atas
penghinaan terhadap keluarganya. Melulu karena itu saja patutlah dia kita hormati."
Orang ketiga mengatakan, "Kita bukan membantu dia karena dia memberi kita uang. Dia
punya semangat, sungguh! Sudah tua, tapi tidak takut berkelahi. Menurutku, kita mesti
membantunya sedapat-dapatnya. Membantu pihak yang lemah itu benar! Kalau nanti dia
kalah, mari kita hadapi sendiri ronin itu."
"Kau benar! Tapi mari kita lakukan sekarang saja! Tak dapat kita berdiri saja di sini
dan membiarkan dia terbunuh."
Ketika orang banyak mengetahui sebab-sebab Osugi berada di situ, kegairahan pun
meningkat. Beberapa penonton mulai mendorong kuli-kuli itu maju.
Osugi memasukkan tasbih ke dalam kimononya dan keheningan pun mencekam pekarangan kuil.
"Takezo!" seru Osugi keras, sambil meletakkan tangan kirinya ke pedang pendek di
pinggangnya. Selama itu Musashi hanya berdiri tak bergerak. Bahkan ketika Osugi memanggil namanya
pun ia berbuat seolah-olah tidak mendengarnya. Tak gentar oleh hal itu, Paman Gon yang
berdiri di samping Osugi memilih saat itu untuk mengambil sikap menyerang, clan sambil
mendongakkan kepala ke depan ia pun meneriakkan tantangan.
Sekali lagi Musahi tidak menjawab. Ia tak dapat menjawab. Betul-betul tak tahu ia
bagaimana akan menjawab. Ia ingat peringatan Takuan di Himeji bahwa ia kemungkinan akan
bertemu dengan Osugi. Sebetulnya ingin ia mengabaikan saja perempuan itu sama sekali,
tapi ia sangat tersinggung oleh pembicaraan para kuli yang tersebar di tengah orang
banyak itu. Lagi pula, sukarlah baginya mengekang kekesalan terhadap rasa benci yang
disimpan keluarga Hon'iden terhadapnya selama ini. Seluruh perkara itu tidak lebih dari
soal kecil Miyamoto, suatu salah paham yang dapat dengan mudah dijelaskan, jika saja
Matahachi ada. Namun demikian, ia sungguh bingung mengenai apa yang hendak diperbuat di sini, sekarang
ini. Bagaimana kita mesti menjawab tantangan seorang perempuan tua yang sudah reyot dan
seorang samurai yang sudah kisut wajahnya" Musashi tetap diam memandang, pikirannya
serba ragu. "Lihat bajingan itu! Dia takut!" seorang kuli berseru.
"Bersikaplah jantan! Beri kesempatan perempuan ini membunuhmu!" cemooh yang lain.
Tak satu orang pun tidak berada di pihak Osugi.
Perempuan itu mengedipkan mata dan menggelengkan kepala, kemudian memandang para
pemikul dan mendecap merah. "Diam kalian! Kalian cuma saksi. Kalau kami berdua nanti
terbunuh, kalian yang mengirim mayat kami kembali ke Miyamoto. Di luar itu aku tak
butuh omongan kalian, juga bantuan kalian!" Sambil menarik pedang pendeknya setengah
jalan dari sarungnya, ia pun bergerak beberapa langkah mendekati Musashi.
"Takezo!" katanya lagi. "Takezo itu selamanya namamu di kampung, jadi kenapa kamu tidak
menjawab" Kudengar kau sudah mengambil nama baru yang bagus-Miyamoto Musashi, betul"
Tapi bagiku tetap saja kamu Takezo! Ha, ha, ha!" Leher keriput itu menggetar selagi ia
tertawa. Agaknya ia mau membunuh Musashi dengan kata-kata, sebelum pedang dihunus.
"Apa kaukira dapat mencegahku mencari jejakmu, hanya karena kau mengubah nama" Bodoh
sekali! Dewa-dewa di langit sudah memimpinku menemukanmu, dan aku tahu dewa-dewa pasti
berbuat begitu. Ayo sekarang berkelahi! Akan kita lihat, apa kubawa kepalamu pulang,
atau kau berhasil lagi tetap hidup!"
Dengan suaranya yang sudah layu, Paman Gon pun mengeluarkan tantangannya sendiri,
"Sudah empat tahun kau selalu meloloskan diri, dan kami selalu mencarimu selama ini.
Sekarang doa kami di Kiyomizudera sudah memasukkanmu dalam genggaman kami. Memang aku
sudah tua, tapi tak bakal aku kalah dengan orang macam kamu! Siap-siap saja kau mati!"
Sambil menarik pedangnya ia pun berteriak kepada Osugi, "Minggir kau!"
Osugi menoleh kepadanya dengan marah, "Apa maksudmu, orang sinting tua" Kau sendiri
yang menggigil!" "Tidak apa! Bodisatwa kuil ini akan melindungi kita!"
"Betul, Paman Gon. Dan nenek moyang orang Hon'iden juga beserta kita! Tak ada yang
perlu ditakutkan." "Takezo! Maju dan ayo berkelahi!"
"Apa yang kau tunggu?"
Musashi tidak beranjak. Ia berdiri saja seperti orang bisu-tuli, memandang dua orang
tua itu dan pedang mereka yang sudah terhunus.
Osugi berteriak, "Ada apa, Takezo! Kau takut?"
Ia pun maju dengan badan dimiringkan dan siap menyerang, tapi tiba-tiba ia terantuk
batu dan jatuh ke depan, mendarat tengkurap hampir di kaki Musashi.
Orang banyak terkesiap, dan seseorang menjerit, "Bisa terbunuh dia!" "Cepat selamatkan
dia!" Tetapi Paman Gon hanya menatap muka Musashi, terlalu takjub, hingga tak dapat bergerak.
Kemudian perempuan tua itu mengejutkan semua orang, karena ia mencekal lagi pedangnya
dan berjalan kembali ke sisi Paman Gon, lalu kembali mengambil sikap menantang. "Kenapa
kamu, orang udik?" teriak Osugi. "Apa pedang di tanganmu itu cuma hiasan" Apa tak tahu
kamu menggunakannya?"
Wajah Musashi seperti topeng, tapi akhirnya ia pun berkata dengan suara mengguntur,
"Aku tak dapat melakukannya."
Mulailah ia berjalan ke arah mereka, dan Paman Gon dan Osugi pun seketika undur ke sisi
masing-masing. "Ke-ke mana kamu pergi, Takezo?"
"Tak bisa aku menggunakan pedangku."
"Berhenti! Kenapa tidak berhenti dan berkelahi?"
"Sudah kukatakan! Tak bisa aku!"
Ia berjalan terus ke depan, tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan. Ia langsung melintasi
orang banyak, tanpa sekali pun membelok.
Begitu tersadar kembali, Osugi pun berteriak, "Dia lari! Jangan biarkan dia lolos!"
Orang banyak pun sekarang bergerak mengepung Musashi, tapi ketika mereka kira telah
mengimpitnya, ternyata ia tidak lagi di sana. Bukan main bingungnya mereka. Mata mereka
menyala keheranan, tapi kemudian jadi tertegun.
Mereka pun memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dan terus juga hilir-mudik
sampai matahari tenggelam, mencari dengan kalutnya di bawah lantai-lantai bangunan kuil
dan di tengah hutan untuk menemukan mangsa mereka yang telah lenyap itu.
Kemudian, ketika orang pulang lewat lereng bukit-bukit Sannen dan Chawan yang gelap,
seseorang bersumpah telah melihat Musashi melompat, ringan bagai kucing ke atas dinding
setinggi hampir dua meter di gerbang barat dan menghilang.
Tak seorang pun percaya, terutama Osugi dan Paman Gon.
*** 12. Peri Air DI sebuah dusun sebelah barat lautKyoto, dentam-dentam berat alu penumbuk padi
menggetarkan bumi. Hujan salah musim menembus atap lalang. Tempat itu semacam tanah tak
bertuan yang terletak antara kota dan daerah pertanian. Kemiskinannya demikian sarat,
hingga waktu senja asap api dapur hanya mengepul dari beberapa rumah saja.
Sebuah topi anyaman tergantung di bawah tepian atap sebuah rumah kecil. Rumah itu
bertuliskan huruf-huruf tebal dan kasar, menyatakan rumah itu sebuah penginapan, walau
dari jenis yang termurah. Musafir yang berhenti di situ hanya orang-orang melarat yang
cuma menyewa lantai. Untuk sewa kasur jerami, mereka harus bayar lagi. Hanya sedikit
yang dapat membeli kemewahan itu.
Di dapur yang kotor lantainya, di samping pintu masuk, seorang anak lelaki melongok
dengan tangan bertumpu pada tatami kamar sebelah yang lebih tinggi letaknya. Di tengah
kamar itu terdapat perapian yang hampir man.
"Halo!... Selamat malam!... Ada orang di sini?" Ia anak suruhan toko minuman, sebuah
tempat kotor lain di jalan itu.
Melihat orangnya, suara anak itu terlalu keras kedengarannya. Umurnya. tak lebih dari
sepuluh atau sebelas tahun. Rambutnya yang basah oleh hujan dan menjurai menutupi
telinga membuat ia tampak tak lebih besar dari peri air dalam lukisan khayal.
Pakaiannya pun sesuai untuk peran itu: kimono yang hanya sampai paha dengan lengan
berbentuk tabung, dan seutas tali besar pengganti obi. Lumpur yang memercik tidak
mengotori punggung ketika ia berlari dengan bakiaknya.
"Kamu itu, Jo?" seru pak tua pemilik penginapan dari kamar belakang.
"Ya. Bapak mau menyuruh saya ambil sake?"
"Tidak hari ini. Tamuku belum kembali. Aku belum butuh."
"Kalau dia kembali, tentunya dia perlu sake. Akan saya bawakan nanti, sejumlah
biasanya." "Kalau dia kembali, nanti aku ambil sendiri."
Enggan pergi tanpa membawa pesanan, anak itu pun bertanya, "Apa yang Bapak kerjakan?"
"Aku lagi nulis surat; akan kukirimkan lewat kuda beban ke Kurama besok. Tapi ini
sedikit sukar. Dan punggungku pun sakit. Diamlah, jangan ganggu aku."
"Oh, lucu juga. Bapak sudah begitu tua, sampai sudah mulai bungkuk, tapi masih belum
bisa menulis!" "Cukup! Kalau sampai kudengar kamu lancang lagi, kuambilkan pentung kayu api."
"Mau saya tuliskan?"
"Sok bisa kamu!"
"Bisa," ucap anak itu sambil masuk kamar. la memandang surat itu dari atas bahu orang
tua itu, dan pecahlah tawanya. "Bapak mau nulis 'kentang', ya" Huruf yang Bapak tulis
itu artinya 'tongkat'."
"Diam!" "Saya akan diam, kalau Bapak suruh. Tapi tulisan Bapak itu salah. Bapak mau mengirim
kentang atau tongkat kepada teman-teman Bapak?"
"Kentang." Anak itu pun membaca sedikit lebih lama, kemudian katanya, "Ah, ini kurang baik. Tak
ada yang dapat menduga maksud surat ini, kecuali Bapak sendiri."
"Nah, kalau kamu memang pintar, coba kamu yang tulis."
"Baik. Sekarang katakan apa yang mau Bapak tuliskan." Jotaro duduk dan mengambil kuas.
"Keledai kikuk kamu!" ucap orang tua itu.
"Kenapa Bapak sebut saya kikuk" Bapak sendiri yang tak bisa menulis!"
"Hidungmu menetesi kertas."
"Oh, maaf. Tapi Bapak boleh berikan ini pada saya untuk bayarannya." Ia membuang
ingusnya dengan kertas yang sudah kotor itu. "Sekarang, apa yang mau Bapak katakan?"
Dengan pegangan kuas yang mantap, anak itu menulis dengan lancarnya apa-apa yang
didiktekan orang tua itu.
Baru saja surat itu selesai ditulis, tamu pulang, dan begitu saja melemparkan karung
arang yang baru diambilnya di suatu tempat dan tadi dibawa di atas kepalanya.
Musashi berhenti di pintu dan memeras air dari lengan bajunya, dan gerutunya, "Kukira
inilah akhir musim bunga prem." Lebih dari dua puluh hari Musashi berada di situ.
Penginapan itu telah terasa seperti rumahnya. Ia memandang ke luar, ke arah pohon di
dekat gerbang depan. Bunga-bunga mesh muda menyambutnya tiap pagi semenjak ia datang.
Daun bunga jatuh berserakan di lumpur.
Ketika masuk dapur, ia heran melihat anak toko sake itu duduk akrab dengan pemilik
penginapan. Karena ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, diam-diam ia berdiri di
belakang orang tua itu dan mengintip dari atas bahunya.
Jotaro menengadah ke wajah Musashi, kemudian buru-buru menyembunyikan kuas dan kertas
di belakangnya. "Tidak boleh memata-matai orang macam itu," keluhnya.
"Lihat, dong," kata Musashi mengganggu.
"Jangan," kata Jotaro menggeleng.
"Ayolah tunjukkan," kata Musashi.
"Asal Kakak mau beli sake."
"Oh, jadi itu yang kamu mainkan, ya" Baik, aku beli."
"Lima gelas"' "Tidak sebanyak itu yang kubutuhkan."
"Tiga gelas?" "Masih kebanyakan."
"Kalau begitu, berapa" Jangan kikir, ah!"
"Kikir" Kau tahu, aku cuma pemain pedang miskin. Kaukira aku banyak uang buat
dihamburkan?" "Baik. Saya yang menakarnya sendiri nanti. Saya beri seharga uangmu. Tapi janji, Kakak
mesti mendongengkan beberapa cerita."
Tawar-menawar berakhir. Jotaro berkecipak dengan riangnya menempuh hujan.
Musashi memungut surat itu dan membacanya. Sesaat-dua saat kemudian ia menoleh kepada
pemilik penginapan, dan tanyanya, "Betul-betul dia yang menulis ini?"
"Ya. Mengagumkan, ya" Kelihatannya pintar sekali anak itu."
Sementara Musashi pergi ke sumur, mandi air dingin dan mengenakan pakaian kering, orang
itu menggantungkan kuali di atas api dan mengeluarkan acar serta mangkuk nasi. Musashi
kembali dan duduk dekat perapian.
"Apa pula kerja bajingan kecil itu?" gerutu pemilik penginapan. "Lama sekali dia ambil
sake." "Berapa umur anak itu?"
"Sebelas, kalau tak salah. Pernah dikatakannya."
"Terlalu dewasa untuk anak seusianya, bukan?"
"Mm. Mungkin karena dia bekerja di toko sake ini sejak umur tujuh tahun. Di situ dia
bertemu dengan segala macam orang-kusir kereta, pembuat kertas di ujung jalan sana,
para musafir, dan siapa saja."
"Saya heran, bagaimana dia bisa menulis begitu baik."
"Apa memang baik betul?"
"Ya, tulisannya memang ada sifat kekanakannya, tapi ada juga-apa, ya, namanya-semacam
sifat terus terang yang menggugah. Sekiranya saya sedang memikirkan seorang pemain
pedang, bisa saya katakan tulisan itu memperlihatkan keluasan spiritual. Anak itu
nantinya bisa jadi orang."
"Maksud Anda?" "Maksud saya, menjadi manusia sejati."
"Oh?" Orang tua itu pun mengerutkan kening, mengangkat tutup kuali, dan meneruskan
gerutuannya. "Belum juga kembali. Saya berani bertaruh, dia lagi ngeluyur sekarang."
Baru saja ia hendak mengenakan sandal untuk pergi mengambil sake itu sendiri, Jotaro


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali. "Ke mana saja kamu?" tanyanya pada anak itu. "Kau bikin tamuku ini lama menunggu."
"Saya tak bisa apa-apa. Ada pembeli datang ke toko, mabuk sekali. Saya dipegangnya
erat-erat, dan ditanyai macam-macam."
"Pertanyaan apa?"
"Dia tanya tentang Miyamoto Musashi."
"Dan kamu mengoceh, kan?"
"Tak ada salahnya, kalaupun saya ngoceh. Semua orang di sini tahu apa yang terjadi di
Kiyomizudera hari itu. Perempuan sebelah rumah dan anak tukang pernis, keduanya ada di
kuil hari itu. Mereka lihat sendiri kejadiannya."
"Tak usah lagi kamu bicara itu!" kata Musashi, hampir-hampir dengan nada memohon.
Anak yang bermata tajam itu menaksir sikap Musashi, dan tanyanya,
"Boleh saya tinggal di sini sebentar dan bicara dengan Kakak?"
Dan mulailah ia membasuh kaki dan bersiap-siap masuk kamar perapian. "Aku sih boleh
saja, kalau majikanmu tidak keberatan."
"Oh, dia tidak butuh saya sekarang."
"Baiklah." "Akan saya panaskan sake Kakak. Saya mahir sekali soal itu." Ia memasukkan guci sake ke
dalam abu hangat di sekitar api, dan tak lama kemudian ia pun menyatakan sudah siap.
"Cepat, ya?" kata Musashi dengan nada menghargai.
"Kakak senang sake?"
"Ya." "Tapi karena miskin, saya kira Kakak tak banyak minum, ya?"
"Betul." "Tadinya saya mengira orang yang pintar dalam seni bela diri dapat mengabdi tuan-tuan
besar dengan gaji besar. Seorang pengunjung toko pernah bilang pada saya, Tsukahara
Bokuden selalu berkeliling dengan tujuh puluh atau delapan puluh pesuruh, dan mendapat
penggantian kuda dan burung elang juga."
"Itu betul." "Dan saya mendengar prajurit kenamaan, bernama Yagyu, yang mengabdi Keluarga Tokugawa,
mempunyai pendapatan lima puluh ribu gantang padi."
"Itu betul juga."
"Kalau begitu, kenapa Kakak begitu miskin?"
"Aku masih belajar."
"Mesti umur berapa dulu, sebelum Kakak punya banyak pengikut?"
"Tak tahu aku, apa akan punya pengikut."
"Kenapa" Apa Kakak kurang pandai?"
"Kamu sudah dengar apa yang dikatakan orang yang melihatku di kuil. Bagaimana juga kamu
menilainya, aku lari waktu itu."
"Itulah yang dikatakan semua orang; kata mereka, shugyosha di penginapan itu"yaitu
Kakak"orang lemah. Tapi sungguh jengkel saya mendengarkan mereka itu." Bibir Jotaro
mengatup menjadi garis lurus.
"Ha, ha! Kenapa pula kamu risau" Mereka tidak bicara tentang dirimu."
"Yah, tapi saya kasihan pada Kakak. Kakak tahu, anak pembuat kertas, anak tukang
kaleng, dan beberapa pemuda itu kadang-kadang berkumpul di belakang toko pernis buat
latihan main pedang. Kenapa Kakak tidak berkelahi dengan salah seorang dari mereka dan
mengalahkannya?" "Baiklah. Kalau itu yang kaukehendaki, akan kulakukan." Musashi merasa sukar menolak
apa saja yang diminta anak itu. Sebagian karena ia sendiri dalam banyak hal masih
kanak-kanak dalam hatinya, dan karena itu bersimpati kepada Jotaro. Selamanya ia
mencari, sebagian besar secara tak sadar, pengganti kasih sayang keluarga yang semenjak
kanak-kanak tak pernah dimilikinya.
"Mari kita bicara soal lain saja," katanya. "Di mana kamu lahir?"
"Di Himeji." "Oh, jadi kamu dari Harima."
"Ya, dan Kakak dari Mimasaka, ya" Ada orang mengatakan demikian."
"Betul. Apa kerja ayahmu?"
"Dia dulu samurai. Samurai yang betul-betul setia pada kebaikan!"
Semula Musashi tampak kaget, tapi baginya jawaban itu telah membikin jelas beberapa
persoalan, walaupun sama sekali bukan soal betapa baiknya anak itu menulis. Ia
menanyakan nama ayah anak itu.
"Namanya Aoki Tanzaemon. Dulu dia punya gaji dua ribu lima ratus gantang padi, tapi
ketika saya umur tujuh tahun, dia tinggalkan kerjanya dan pergi ke Kyoto sebagai ronin.
Sesudah semua uangnya habis, dia tinggalkan saya di toko sake itu dan pergi ke kuil
untuk menjadi biarawan. Tapi saya tak man tinggal di toko itu. Saya ingin menjadi
samurai seperti ayah saya, dan saya ingin belajar main pedang seperti Kakak. Apa bukan
jalan terbaik menjadi samurai?"
Anak itu berhenti, kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh. "Saya ingin menjadi
pengikut Kakak"keliling negeri, belajar dengan Kakak. Apa Kakak tak mau mengajak saya
jadi murid?" Selesai mengungkapkan maksudnya itu, Jotaro pun memperlihatkan wajah yang jelas-jelas
mencerminkan tekadnya untuk tidak mendapat jawaban tidak. Tentu saja ia tidak tahu
bahwa orang tempatnya memohon itu adalah orang yang telah menjadi sebab ayahnya
mendapat kesulitan bertubi-tubi. Adapun Musashi , ia tak dapat menolak permintaan itu
mentah-mentah. Namun yang benar-benar dipikirkannya bukan soal mengatakan ya atau
tidak, melainkan tentang Aoki Tanzaemon dan nasibnya yang tidak beruntung. Dalam hal
ini tak bisa tidak ia bersimpati pada orang itu. Jalan Samurai memang perjudian tanpa
henti, dan seorang samurai harus siap sepanjang waktu untuk membunuh atau dibunuh.
Memikirkan contoh perubahan hidup ini, Musashi menjadi sedih dan efek sake yang
diminumnya lenyap secara tiba-tiba. Ia merasa kesepian.
Jotaro mendesak terus. Ketika pemilik penginapan mencoba menyuruhnya meninggalkan
Musashi, ia menjawab secara kurang ajar, lalu melipatgandakan usahanya. Dipegangnya
pergelangan tangan Musashi erat-erat, kemudian dipeluknya, dan akhirnya ia berurai air
mata. Karena tak melihat jalan lain, Musashi pun berkata, "Baiklah, baiklah, cukup. Kau boleh
menjadi pengikutku, asal kau pergi dan bicara dulu dengan majikanmu."
Karena akhirnya terpenuhi keinginannya, Jotaro lari menderap ke toko sake.
Pagi berikutnya Musashi bangun pagi-pagi, berpakaian, dan berkata kepada pemilik
penginapan, "Tolong siapkan kotak makan siang untuk saya. Saya senang tinggal di sini
beberapa minggu ini, tapi saya pikir saya harus terus pergi ke Nara sekarang."
"Begitu cepat?" tanya pemilik penginapan yang tidak mengharapkan tamunya pergi begitu
mendadak. "Apa karena anak itu terus mendesak Anda?"
"Oh, tidak, bukan salah dia. Saya memang sudah lama bermaksud pergi ke Nara-bertemu
dengan pemain-pemain tombak terkenal di Hozoin. Saya harap dia tidak terlalu
menyulitkan Bapak, kalau dia tahu saya sudah pergi."
"Jangan kuatir. Dia masih anak-anak. Dia akan menjerit dan memekik sebentar, kemudian
akan melupakannya sama sekali."
"Dan lagi, tak mungkin rasanya tukang sake itu akan mengizinkannya pergi," kata Musashi
ketika sudah turun ke jalan.
Badai sudah lewat, seakan-akan tersapu bersih, dan angin sepoi-sepoi mengelus kulit
Musashi dengan lembut, berlainan sekali dengan angin ganas sehari sebelumnya.
Sungai Kamo naik, airnya berlumpur. Di salah satu ujung jembatan kayu di Jalan Sanjo,
samurai memeriksa orang-orang yang datang dan pergi. Ketika Musashi bertanya kenapa ada
inspeksi itu, ia mendapat jawaban, karena akan datang kunjungan shogun baru. Barisan
depan kaum feodal berpengaruh dan juga feodal-feodal kecil sudah datang. Langkahlangkah sedang diambil untuk menyingkirkan samurai tak bertuan dan berbahaya ke luar
kota. Musashi juga seorang ronin, tapi ia sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan, dan ia dibolehkan lewat.
Pengalaman memaksanya memikirkan statusnya sendiri sebagai prajurit tak bertuan yang
mengembara, tak terikat ikrar kepada Tokugawa ataupun para saingannya di Osaka. Ketika
berangkat ke Sekigahara dan berpihak pada pasukan Osaka melawan kaum Tokugawa, itu soal
warisan. Soalnya adalah kesetiaan ayahnya yang tidak pernah berubah semenjak ia
mengabdi pada Yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Toyotomi Hideyoshi sudah meninggal dua
tahun sebelum pertempuran. Para pendukungnya, yang setia kepada anaknya, membentuk
fraksi Osaka. Di Miyamoto, Hideyoshi dianggap pahlawan terbesar. Musashi ingat betapa
dahulu ia duduk di dekat perapian, mendengarkan cerita-cerita tentang kegagahan
prajurit besar itu semasa ia kanak-kanak. Gambaran ini semakin terbentuk di masa
remajanya dan terus merasuk dalam dirinya. Sekarang pun, apabila didesak untuk
mengatakan pihak mana yang dipilihnya, barangkali ia akan mengatakan Osaka.
Sejak itu Musashi mulai paham, dan sekarang ia menyadari bahwa tindakan-tindakannya
pada umur tujuh belas itu kurang pertimbangan dan tanpa hasil. Untuk orang yang hendak
mengabdi kepada tuannya dengan setia, tidaklah cukup hanya dengan melompat membabi-buta
ke tengah keributan dan mengacungkan lembing. Ia harus melewati jalan panjang menuju
maut. "Kalau seorang samurai mati sambil mengucapkan doa bagi kemenangan tuannya, berarti dia
telah melakukan sesuatu yang indah dan bermakna," demikian jalan pikiran Musashi
sekarang. Tetapi pada waktu itu ia maupun Matahachi tidak memiliki rasa setia. Yang
mereka hausi hanyalah kemasyhuran dan kemuliaan, atau lebih tepat lagi, usaha
memperoleh penghidupan tanpa pengorbanan.
Sungguh ganjil dulu mereka dapat berpikir seperti itu. Sesudah belajar dari Takuan
bahwa hidup adalah permata yang harus ditimang-timang, Musashi sadar bahwa waktu itu
mereka tidak hanya menyia-nyiakan, bahkan juga tanpa pikir panjang mengorbankan milik
mereka yang paling berharga. Secara harafiah mereka mempertaruhkan segala yang
dipunyai, dengan harapan akan memperoleh gaji tetap yang tak berarti sebagai samurai.
Merenungkan masa lalu itu ia heran, bagaimana mungkin ia bertindak demikian tolol.
Musashi melihat bahwa kini ia sudah mendekati Daigo, bagian selatan kota. Karena
keringatnya mengucur, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
Dari jauh didengarnya suara berseru-seru, "Tunggu! Tunggu!" Ketika menatap jalan gunung
yang curam itu, tampaklah olehnya sosok si peri air kecil Jotaro, yang sedang berlari
sekuat-kuatnya. Pandangan mata anak itu menghunjam marah ke mata Musashi.
"Kakak bohong!" seru Jotaro. "Kenapa Kakak lakukan itu!" Napasnya megap-megap karena
berlari dan wajahnya merah. Ia berbicara dengan sikap bermusuhan, meski kelihatan
hampir menangis. Musashi hampir tertawa melihat pakaiannya. Anak itu membuang pakaian kerja sehari
sebelumnya, dan menggantinya dengan kimono biasa. Tapi kimono itu dua kali lebih kecil
dari badannya, hingga roknya hampir tak sampai lututnya dan lengannya hanya sampai
siku. Pada pinggangnya tergantung pedang kayu yang lebih panjang dari tinggi badannya,
dan di punggungnya tergantung topi anyaman sebesar payung.
Selagi masih berseru-seru kepada Musashi karena sudah meninggalkannya, ia berurai air
mata. Maka Musashi mendekapnya dan berusaha menyenangkan hatinya, tapi anak itu terus
juga rnelolong. Agaknya karena merasa bahwa di pegunungan tak ada orang, ia dapat
melepaskan perasaannya. Akhirnya Musashi berkata, "Kau senang berlaku seperti bayi cengeng?"
"Saya tak peduli!" sedan Jotaro. "Kakak orang dewasa, tapi Kakak membohongi saya. Kakak
bilang mau menerima saya jadi pengikut, tapi Kakak meninggalkan saya. Apa orang dewasa
memang suka begitu?"
"Maafkan aku," kata Musashi.
Permintaan maaf yang sederhana ini mengubah tangis anak itu menjadi rengekan.
"Diam sekarang," kata Musashi. "Aku tidak bermaksud berbohong padamu, tapi kamu kan
masih ada ayah, dan kamu punya majikan" Aku tak bisa membawamu, kecuali kalau majikanmu
menyetujui. Kuminta kamu pergi bicara dengannya, bukan" Kurasa waktu itu dia tak akan
setuju." "Kenapa Kakak tidak tunggu sampai mendapat jawabannya, paling tidak?"
"Itu sebabnya aku minta maaf padamu sekarang. Apa betul kamu membicarakannya dengan
dia?" "Ya." Jotaro mengendalikan sedu-sedannya, kemudian ia tarik dua lembar daun dari sebuah
pohon. Dengan daun itu ia membuang ingusnya.
"Dan apa katanya?"
"Dia bilang saya boleh pergi."
"Lalu?" "Dia bilang, tak ada prajurit terhormat atau perguruan yang mau menerima anak seperti
saya. Tapi karena samurai di penginapan itu orang lemah, tentunya dia orang yang tepat
untuk saya. Katanya, barangkali saja Kakak dapat memakai saya untuk membawakan barang,
dan dia memberi saya pedang kayu ini sebagai hadiah perpisahan."
Musashi tersenyum mendengar jalan pikiran orang itu.
"Sudah itu," kata anak itu melanjutkan, "saya pergi ke penginapan. Orang tua itu tak
ada, jadi saya pinjam saja topinya dari sangkutannya di bawah pinggiran atap."
"Tapi itu kan papan nama tempat itu" Di situ tertulis 'Penginapan'."
"Ah, biar saja. Saya butuh topi, siapa tahu hujan."
Jelaslah dari sikap Jotaro bahwa segala janji dan sumpah yang diperlukan telah
dilaksanakan. Sekarang ia menjadi murid Musashi. Merasakan hal ini, Musashi terpaksa
menerima kenyataan bahwa ia kurang-lebih sudah terikat pada anak itu. Tapi terpikir
juga olehnya bahwa ini semua demi kebaikan. Memang, ketika ia merenungkan peranannya
sendiri dalam peristiwa hilangnya status Tanzaemon, ia menyimpulkan bahwa barangkali ia
mesti berterima kasih atas kesempatan yang diperolehnya untuk membentuk masa depan anak
ini. Itulah agaknya yang harus dilakukannya.
Sesudah tenang dan tenteram, Jotaro tiba-tiba ingat akan sesuatu dan merogoh kimononya.
"Saya hampir lupa. Ada sesuatu untuk Kakak. Ini dia." ia mengeluarkan sepucuk surat.
Memandang surat itu dengan rasa ingin tahu, Musashi bertanya, "Di mana kamu
mendapatkannya?"' "Kakak ingat, tadi malam saya bilang ada seorang ronin minum di toko, dan mengajukan
banyak pertanyaan." "Ya." "Waktu saya pulang, dia masih ada di sana. Dia terus juga bertanya tentang Kakak. Dia
tukang minum juga-satu botol penuh sake diminumnya sendiri! Kemudian dia menulis surat
ini dan minta saya memberikannya pada Kakak."
Musashi menelengkan kepala keheranan, lalu membuka meterai surat tersebut. Mula-mula ia
melihat bagian bawahnya, dan tahulah ia bahwa surat itu dari Matahachi yang memang
dalam keadaan mabuk. Huruf-hurufnya pun tampak agak mabuk. Membaca gulungan itu,
Musashi tercengkeram nostalgia dan kesedihan menjadi satu. Tidak saja karena tulisan
itu kalut, tapi juga karena pesan yang disampaikannya pun melantur dan tidak pasti.
Sejak meninggalkanmu di Gunung Ibuki, aku tak lupa desa kita. Dan tak lupa aku pada
teman lamaku. Kebetulan kudengar namamu di Perguruan Yoshioka. Waktu itu aku bingung
dan tak bisa memutuskan, apa aku harus menjumpaimu. Sekarang aku di toko sake. Aku
banyak minum. Sampai di situ maknanya cukup jelas, tapi mulai dari situ surat itu sukar diikuti
maksudnya. Semenjak berpisah denganmu, aku terkurung dalam sangkar nafsu, dan kemalasan memakan
tulangku. Lima tahun lamanya aku menghabiskan waktu dalam keadaan setengah sadar, tanpa
melakukan sesuatu. Di ibu kota, kau sekarang terkenal sebagai pemain pedang. Aku minum
untukmu! Beberapa orang mengatakan Musashi pengecut, bisanya cuma lari. Beberapa lagi
bilang kau pemain pedang yang tak ada tandingannya. Tak peduli aku mana yang benar. Aku
cuma senang bahwa pedangmu sudah bikin orang ibu kota bicara tentangmu. Kau cakap. Kau
mesti bisa menempuh jalanmu lewat pedang. Tapi kalau aku menoleh ke belakang, aku heran
dengan diriku, seperti sekarang ini. Aku memang orang sinting! Bagaimana mungkin orang
sial macam aku ini bertemu dengan teman bijaksana seperti kamu tanpa mati karena malu"
Tapi nanti dulu! Hidup ini panjang, dan terlalu dini sekarang untuk dikatakan apa yang
akan terjadi di masa depan. Aku tak ingin bertemu denganmu sekarang, tapi akan tiba
waktunya, aku mau bertemu.
Aku berdoa untuk kesehatanmu.
Kemudian menyusul tambahan yang ditulis cepat bagai cakar ayam, yang isinya panjanglebar, memberitakan kepadanya bahwa Perguruan Yoshioka memandang sangat serius kejadian
Heng Thian Siau To 2 Tempatku Di Sisi Mu Karya Gola Gong Cula Naga Pendekar Sakti 16
^