Menyelamatkan Kristal Android 1
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android Bagian 1
K.A. Applegate Menyelamatkan Kristal Android
(Animorphs # 10) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Marco. Anak-anak menyebutku Marco si Gagah Perkasa. Marco si Keren. Marco si Luar
Biasa.Dan tentu saja cewek-cewek menyebutku... kece.
Oke, memang sih aku belum pernah dengar orang menyebutku kece, tapi aku yakin
bahwa di suatu tempat, di suatu waktu, pasti ada yang pernah menyebutku kece.
Kalau tidak, ya apa boleh buat deh.
Tapi kalau imut, jelas. Aku sudah pernah dengar mereka menyebutku "imut" dengan
telingaku sendiri. Dan tak lama lagi aku akan lebih sering mendengarnya, sebab aku telah melakukan
perubahan besar. Aku sudah memotong rambutku. Tentu bukan aku sendiri yang
memotong, tapi Charise, tukang pangkas langgananku. Dan menurut Charise, nilai
keimutanku telah naik dari sembilan jadi sepuluh!
Eh, tadi aku sudah ngomong apa saja, ya" Oh ya. Aku memberitahumu bahwa namaku
Marco. Aku tak bisa bilang siapa nama belakangku. Aku sudah lupa.
Tidak juga deh. Aku bohong. Aku tahu siapa nama belakangku. Cuma aku takkan
bilang. Dan aku juga takkan bilang nama lengkap teman-temanku atau di mana aku
tinggal. Apa yang akan kuceritakan padamu ini benar. Semuanya, kecuali bagian awal
tadi... soal aku "gagah perkasa" dan "luar biasa".
Yang lain, semuanya benar.
Aku tahu kedengarannya semua ini aneh. Tapi itu memang kenyataan.
Ayo, kita mulai dengan alasan kenapa aku tak mau memberitahumu nama belakangku.
Sebab aku punya musuh. Kita semua memang punya musuh. Tapi musuh-musuhku ini
sangat berkuasa dan sangat berbahaya. Bukan seperti teman sekelasmu yang sering
mengataimu "si bloon".
Dan kalau mereka tahu aku ini siapa, aku akan langsung mati, begitu cepatnya
sampai aku tak sadar aku sudah mati.
Para Yeerk tidak bisa dibuat main-main. Para Yeerk sama sekali tak memikirkan
kebaikan. Mereka tak punya belas kasihan.
Mereka tidak peduli bahwa aku masih anak-anak. Para Yeerk punya rencana
memperbudak atau membinasakan seluruh umat manusia. Mereka sama sekali tidak
ragu-ragu untuk menggilas aku yang imut ini.
Tapi bangsa Yeerk ini bukan cuma musuhku, lho. Mereka musuh semua manusia.
Bahkan musuh Bumi sendiri. Dan mereka ada di mana-mana.
Mereka spesies parasit. Tahu cacing pita" Nah, seperti itulah mereka: cacing
pita yang cerdas. Mereka sebetulnya cuma ulat, yang panjangnya cuma beberapa senti. Mereka masuk
ke tubuh manusia lewat lubang telinga. Setelah berhasil menyusup, mereka lalu
melebarkan diri seperti kulit martabak, lalu membungkus otakmu. Mereka menyusupi
semua kerutan dan lipatan yang ada di otakmu dan mengontrol pikiranmu.
Mereka menguasaimu. Mereka membuatmu menjadi apa yang mereka sebut Pengendali.
Manusia mesin. Cuma tubuh, yang pikirannya sudah dilindas dan tak berdaya lagi.
Itulah yang mengerikan. Para Yeerk ini tidak cuma menguasai pikiran dan tubuhmu.
Kau tahu apa yang terjadi. Kau tetap sadar. Kau cuma bisa mengawasi si Yeerk
membuka ingatanmu, mengawasi si Yeerk menipu keluarga dan teman-temanmu,
mengawasi si Yeerk mengubah orang-orang yang kaucintai menjadi budak yang sama
seperti dirimu sendiri. Kau mencoba menggerakkan tanganmu, tapi tak bisa. Kau mencoba bicara, tapi tak
bisa. Kau bahkan tak bisa mengendalikan apa yang ingin dilihat matamu. Begitulah
rasanya jadi budak Yeerk.
Ibuku juga Pengendali. Semula kami mengira ia sudah meninggal. Setahuku Mom meninggal karena tenggelam.
Tapi belakangan aku tahu, ia masih hidup.
Yeerk yang sangat kuat telah menguasai tubuhnya. Aku bahkan tak tahu berapa lama
ia sudah menjadi Pengendali sebelum ia menghilang. Aku tak tahu berapa kali
ciuman selamat tidurnya adalah tindakan Yeerk yang menyamar jadi manusia.
Ibuku dikuasai Visser One. Visser itu pangkat bagi para Yeerk, kira-kira
setingkat panglima perang atau jenderal. Visser One-lah yang meluncurkan
serangan rahasia ke Bumi. Dan kini Visser Three yang mengambil alih.
Sekarang Visser One - dan juga ibuku - ada di suatu tempat... mungkin berjuta-juta
kilometer jauhnya dari sini.
Tak ada seorang pun yang tahu nasib ibuku selain aku dan sahabatku, Jake. Aku
tak mau yang lain tahu. Aku tak mau dikasihani mereka.
Yeerk sudah ada di sini. Di mana-mana. Bukan cuma ibuku, tapi mungkin ibumu
juga, mungkin sahabatmu, mungkin semua orang di sekitarmu. Kalau kau berkumpul
dengan keluarga dan teman-temanmu, mungkin kau satu-satunya yang bukan
Pengendali. Itulah sebabnya kami melawan mereka. Kami, Animorphs.
Aku lho yang menciptakan nama itu. Keren, kan. Tiba-tiba saja muncul di kepalaku
Animal morpher. Animorphs.
Tapi tidak semua alien di jagat raya ini Yeerk. Jagat raya punya pahlawan juga.
Pahlawannya adalah Andalite bernasib malang yang saat menjelang ajalnya memberi
kami kemampuan untuk menyerap DNA binatang, untuk kemudian berubah menjadi
binatang itu. Namanya Elfangor. Ia, dan banyak Andalite lain, tewas saat berjuang
mempertahankan Bumi kita dari penguasaan bangsa Yeerk.
Jadi, untuk dia-lah, dan untuk semua penduduk Bumi ini, kami berjuang, berharap
bisa menghambat bangsa Yeerk cukup lama, sehingga bangsa Andalite punya
kesempatan untuk datang lagi dan menyelamatkan kita semua.
Siapakah "kami?"
Yah, salah satunya aku, Marco si Gagah Perkasa. Kemudian Rachel - yang mengira
dirinya - Xena: Warrior Princess. Dan Tobias si cowok burung - Bird-boy. Dan
Cassie, si pemeluk pohon. Dan Ax, Andalite yang sudah jadi penduduk Bumi. Dan
tentu saja, pemimpin kami yang tak kenal takut, sohibku Jake.
Jake teman baikku yang kelewat serius.
Jake yang penuh tanggung jawab dan bersikap dewasa.
Jake, yang membuatku penasaran dan sebal karena selalu menolak kalau diajak
bersenang-senang. "Begini," kataku pada Jake, "ini kan bukan tindakan kriminal. Sama sekali tak
ada peraturan yang melarang anjing nonton konser terbuka. Habis, mereka tidak
menyediakan tiket untuk anjing sih."
"Kau tahu, kan, Marco, kita diberi kemampuan morph bukan untuk nonton konser,"
kata Jake. Kami sedang berjalan pulang setelah latihan basket. Jake mendribel bola sambil
berjalan. "Nine Inch Nails. Alanis. Offspring," kataku.
Ia berhenti dan menatapku. "Marco?"
"Yeah?" "Kenapa tuh rambutmu?"
"Kau baru lihat" Keren, kan?"
Jake cuma melongo. "Offspring?" katanya akhirnya. "Kau yakin Offspring akan
main?" Kulihat pertahanannya mulai melemah. Ia jadi lebih pelan mendribel bolanya.
"Kudengar kalau lagi pertunjukan, mereka hebat banget. Pakai menendang-nendang
segala. Mereka menguasai panggung. Semua musuh digilas. Mereka meledak-ledak.
Mereka..." "Marco, setelah menegur Rachel dan Cassie yang telah menggunakan morph untuk
alasan pribadi, aku tak bisa..."
"Memangnya aku akan bilang-bilang pada mereka?" bantahku.
Jari-jariku menyisir rambut baruku yang pendek. Keren deh. Aku tak peduli cara
Jake melongo menatap rambutku. Yang penting keren.
"Aku munafik dong," kata Jake.
Aku berpikir sesaat. "Kau tahu, Jake... sudah lama aku curiga bahwa Alanis
mungkin Pengendali. Dan, sebagai Pengendali, bayangkan saja pengaruh buruk yang
bisa ditebarkannya untuk mempengaruhi dan menyesatkan anak-anak polos yang mudah
dipengaruhi, seperti kita ini. Oh, memikirkannya saja aku ngeri! Kita punya
kewajiban, Jake. Kita punya kewajiban suci untuk menonton konser itu dan
memastikan kalau-kalau salah satu dari bintang-bintang ini Pengendali."
Jake mengembangkan senyum khasnya yang pelan. "Itu alasan paling lemah yang bisa
kaukemukakan." Aku tertawa. "Yang benar aja. Sudah banyak alasan lebih parah yang pernah
kuajukan." Kami hampir tiba di rumah Jake, maka kami berhenti. Kakak Jake, Tom, adalah
Pengendali. Kami tidak mau bicara di dalam rumah.
"Kau tahu," kata Jake, "kalau kau ngotot mau pergi nonton konser ini, aku
terpaksa pergi juga. Yah, apa boleh buat. Aku harus mengawasimu."
Jake memang bertanggung jawab, tapi ia toh bukan bapak-bapak berumur empat puluh
tahun. Aku nyengir. "Jake, aku tetap mau nonton konser ini, peduli amat kau setuju atau
tidak." "Kalau begitu sebaiknya aku pergi juga, untuk menjaga dan melindungimu," kata
Jake. "Cari cara untuk menutupi rambutmu itu."
Aku mengerutkan wajah. "Kau lucu deh."
"Memang," kata Jake, nyengir senang pada humornya sendiri.
"Aku akan jadi Homer, kurasa. Kau benar. Paling baik jadi anjing untuk nonton
konser itu. Tak akan ada yang peduli kalau ada anjing di sana, karena anjing
selalu berkeliaran kalau ada kegiatan di alam terbuka. Dan pendengaran anjing
tajam sekali. Kau harus menentukan jadi anjing apa."
"Sudah," kataku puas. "Irish setter. Cewek-cewek suka Irish setter. Heh, heh,
heh." Kuperdengarkan tawa "seram"ku dan aku mendelik pada Jake.
Ia ikut tertawa. Ada saat-saat dalam hidup yang semula kelihatannya biasa-biasa saja. Seperti
kejadian normal sehari-hari. Tapi kemudian, rasanya seperti melangkah dari
puncak bukit, menginjak udara kosong, dan mendadak saja kau jatuh terguling.
Tiba-tiba kausadari bahwa keputusanmu yang sederhana dan tak berbahaya itu sudah
meleset di luar kendali. Aku telah memutuskan untuk menyelundup nonton konser. Aku tidak memutuskan untuk
membongkar salah satu rahasia terbesar dalam sejarah umat manusia, atau untuk
menjadi orang yang akan menentukan nasib suatu bangsa.
Aku cuma mau mendengar musik.
Kan sama sekali tidak berbahaya.
Chapter 2 ADA beberapa masalah besar yang berkaitan dengan metamorfosis. Yang pertama,
batas waktu yang dua jam itu. Jika kau berada dalam morph lebih dari dua jam,
kau terperangkap selamanya.
Kedua, kenyataan bahwa semua naluri dasar binatang ikut kauterima bersamaan
dengan berubahnya wujudmu menjadi binatang itu. Kadang-kadang waktu kau meloncat
ke dalam otak binatang itu, rasanya seperti kesetrum listrik.
Yang terakhir, faktor kengerian. Maksudku, ngeri sekaliii, campuran ngeri
Stephen King dan Anne Rice. Kalian tahu, kan, keduanya pengarang top yang
dijuluki raja dan ratu horor, saking seramnya cerita-cerita karangan mereka.
Konser musik itu diadakan di arena terbuka yang luas, di salah satu ujung taman
kota. Kami perlu tempat sepi untuk bermetamorfosis, dan itu ternyata tidak
mudah. Di mana-mana ada orang. Beribu-ribu. Anak-anak yang memakai T-shirt
hitam. Remaja-remaja yang memakai kacamata cengdem. Pasangan-pasangan muda yang
menggendong bayi mereka dengan dandanan santai. Dan roker hardcore punk yang
ditindik di mana-mana. Maksudnya, bukan cuma di kuping saja.
Di seberang taman ada jalan kecil dengan deretan kafe, restoran, dan toko buku
yang khusus menjual buku ekologi. Ada gang-gang kecil di belakang restoran. Ke
situlah tujuan kami. Salah satu gang itu buntu, tumpukan sampah teronggok di
ujungnya. "Hebat," gumam Jake. "Kita berdua di tempat sampah. Asyik benar."
"Ayo, kita segera berubah," ajakku. Aku sudah tak sabar. Suara band yang
melakukan pemanasan sudah terdengar.
"Kau belum pernah berubah jadi anjing, kan?" tanya Jake.
"Belum." Ia tersenyum. "Jangan terlalu senang," sarannya.
Aku tak begitu mengacuhkannya. Aku memandang berkeliling dan melihat beberapa
cewek hipi lewat. Mereka tidak bisa melihat kami.
Kubuka baju luarku. Kini aku tinggal memakai seragam metamorfosisku. Kujejalkan
pakaian dan sepatuku ke dalam tas yang telah kami bawa dan kusembunyikan di
balik tumpukan sampah. Kupusatkan pikiran pada anjing yang telah kuserap DNA-nya. Segera kurasakan aku
mulai berubah. Aku sudah pernah menjelma menjadi binatang-binatang yang jauh lebih aneh
daripada anjing. Tetapi setiap metamorfosis punya keanehan tersendiri. Setiap
metamorfosis tak bisa diduga. Kau tak tahu apa yang akan terjadi.
Kukira yang akan muncul duluan bulunya. Ternyata bukan. Yang pertama tampak
malah ekornya. Kurasakan ekor itu begitu saja mencuat dari bagian bawah tulang
punggungku. Aku menoleh untuk melihatnya. "Ih, jijai!"
Ekor itu sudah muncul, tapi belum ada bulunya. Jadi tampilannya seperti cambuk
dari kulit ayam yang telah dicabuti bulunya. Warnanya keabu-abuan.
Aku menoleh lagi untuk memandang Jake. Wajahnya menggelembung seakan ada sesuatu
yang mencoba mendesak keluar dari mulutnya. Pada saat yang bersamaan moncongku
sendiri mulai tumbuh. Ada bunyi berkertak dari dalam kepalaku ketika tulang
rahangku mulai mencuat ke depan.
Mulutku terasa gatal ketika gigi-gigiku bertambah besar dan berubah susunannya.
Kulihat jari-jari tanganku memendek. Pada saat yang bersamaan, pada jari-jari
pendek itu muncul kuku kehitaman. Telapak tanganku jadi tebal dan kapalan.
Kurasakan tulang-tulang kaki dan lenganku meregang, berubah arah, dan tubuhku
menyusut jadi kecil. Tiba-tiba saja aku tak bisa lagi berdiri. Aku terjatuh,
disangga telapak tanganku yang kapalan.
Baru saat itulah buluku tumbuh. Bagus lah. Soalnya aku jelek banget tanpa bulu.
Bulu kemerahan itu tumbuh dengan cepat, seperti rumput paling cepat di dunia.
Menyembul begitu saja dari kulitku, panjang dan lembut.
kataku pada Jake dengan bahasa pikiran. di konser itu pasti ingin membelaiku.>
Ia balas mengatakan sesuatu padaku, tapi tepat saat itu naluri anjingku bekerja.
Aku sudah pernah jadi serigala, jadi aku sudah siap. Aku tahu pendengaranku akan
luar biasa. Aku tahu penciumanku akan hebat sekali.
Tapi yang tak kuduga-duga adalah pikiran si anjing. Sama sekali tidak seperti
pikiran serigala. Serigala adalah pembunuh yang tenang, kejam, dan cerdik.
Anjing ternyata bodoh. Kau ingat lagu lama Girls Just Wanna Have Fun" Cewek maunya cuma senang-senang,
katanya. Nah, lagu itu cocok sekali dijadikan lagu kebangsaan anjing. Anjing
maunya juga cuma senang-senang.
Itu yang membuatku terkecoh. Otak anjing Irish setter itu tidak terasa sebagai
otak binatang asing. Rasanya malah seperti otakku sendiri. Soalnya cocok sekali
dengan bagian otakku yang ingin senang-senang melulu.
Aku memandang Jake lewat mata anjingku yang agak buram. Ia telah menjelma
menjadi anjingnya, Homer. Kujulurkan lidahku dan aku terengah-engah. Jake/Homer
balas terengah-engah. "GUKK!" aku menggonggong, tanpa alasan. Aku juga menari-nari. Tarian anjing.
Seakan aku mau lari, tapi tiba-tiba aku berhenti dan mendekam dengan keempat
kaki dan nyengir bloon pada Jake.
Aku mengajaknya bermain-main.
Aku melesat lari meninggalkan gang.
Aku berlari sekencang-kencangnya, kukuku berbunyi tak-tuk tak-tuk kena aspal,
kupingku yang lebar melambai, ekorku teracung dan bergoyang-goyang.
Aku berlari sepanjang gang, sama sekali tidak mengacuhkan bau sampah busuk yang
sedap. Aku berbelok menuju taman dan menyeberang jalan. Jake ketinggalan, tertahan oleh
gerombolan orang. CIIIIIIEEETTT! Rem berdecit nyaring. Mobil itu berhenti hanya satu meter di depanku. Nyaris
saja! Maksudku, kalau sopirnya sepersekian detik terlambat menginjak rem, aku
sudah gepeng terlindas. Tapi reaksi otak anjingku terhadap kejadian yang nyaris
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merenggut nyawaku itu cuma, "Asyik! Aku membaui sesuatu!"
Aku serius nih. Fakta bahwa aku mencium kencing anjing lain di trotoar sepuluh
ribu kali lebih menarik bagi otak anjingku daripada decitan mendadak rem mobil.
Si sopir keluar dan berteriak-teriak. Aku nyengir padanya. Cengiran senang
anjing. Lalu berjalan santai pergi.
Tiba-tiba saja aku dikelilingi orang. Tapi mereka sama sekali berbeda daripada
orang-orang yang kulihat tadi waktu aku masih jadi manusia.
Aku tidak benar-benar melihat orang-orang ini. Aku mencium bau mereka. Bagaimana
tampang mereka tidak begitu penting. Yang penting bau mereka!
Aku mencium bau keringat, bau sampo, bau napas yang busuk.
Aku mencium apa yang tadi mereka makan, apa yang tadi mereka injak.
Aku mencium bau deterjen, bau siapa saja yang telah mereka sentuh atau dengan
siapa saja mereka telah bersalaman.
Dan aku bisa mencium bau binatang-binatang peliharaan mereka. Manusia-manusia
itu seakan memakai pengumuman besar dengan neon menyala yang berbunyi AKU PUNYA
ANJING atau AKU PUNYA KUCING.
Aku tidak hanya bisa membaui siapa yang punya anjing, aku bisa membaui apakah
anjing mereka jantan atau betina, muda atau tua, dikebiri atau tidak. Hanya
dengan mengendus orang-orang yang lewat, aku bisa tahu apakah anjing mereka
makan makanan kaleng berkuah atau makanan kering.
Maksudku, kalau kaubandingkan indra penciuman anjing dan manusia, rasanya seakan
seumur hidup kau menyumpalkan kapas dalam lubang hidungmu dan tiba-tiba saja
kini kau melepasnya dan wow! Wow! Kau mendapat pengalaman yang sama sekali baru.
Aku pernah jadi serigala di hutan. Sekarang ini rasanya seolah aku jadi serigala
di tengah kota. Informasi yang diterima hidungku begitu kompleks. Begitu penuh,
begitu beragam, begitu menyenangkan.
"Hei, ada anjing!." ada yang berteriak.
Cewek! Aku yakin ia cewek. Tapi cantikkah cewek itu"
Kucoba memfokuskan mata anjingku, tapi percuma saja. Kayaknya mataku tidak mau
kompromi dengan kemauanku. Aku bisa melihat cukup jelas, tapi otak anjingku
sudah terlalu sibuk membau-baui dan mendengarkan. Aku mencium bau minyak wangi
sih, makanya kutebak itu cewek.
Cewek itu mengulurkan tangan dan membelai kepalaku. Dalam sekejap perasaan
nyaman menerpa diriku. Kemudian dia menggaruk belakang telingaku.
Aaah. Enak sekali. Asyik banget. Mungkin ini perasaan paling asyik yang pernah
kurasakan sepanjang hidupku.
Maunya sih aku berdiri terus di situ dan membiarkannya menggaruk belakang
telingaku selamanya. Tapi kemudian datang cowok - kebetulan cowok yang punya
kucing - lalu cewek itu mulai menggaruk dadaku.
Aku rebah dan berguling. Garukan di dadaku itu serasa gelitikan. Aku bahagia
sekali. Aku lebih dari sekadar bahagia.
Soalnya, bahagianya anjing kan lain daripada bahagianya manusia. Kebahagiaan
manusia selalu ditingkahi suara kecil di dalam pikiran yang mengingatkan,
"Jangan terlalu bahagia. Waspadalah. Sesuatu yang buruk masih bisa terjadi."
Tetapi kebahagiaan anjing adalah murni. Jadi aku cuma menjulurkan lidahku yang
basah dan memukul-mukulkan ekorku ke tanah, dan kemudian terjadilah itu. Kakiku
bergerak sendiri. "Hah, aku suka melihat anjing begitu," kata si cowok. "Lucu sekali!"
Ceweknya terus menggaruk dadaku dan kaki belakangku bergerak di luar kendali,
dan aku serasa di surga deh. Saat itulah Jake menemukan aku.
kata Jake. menjilati diri sendiri">
"Oh, ada anjing lain," kata cewek itu. "Yang ini lebih lucu!" Ia membungkuk
untuk membelai Jake. Tindakannya itu membuatku sadar. Jake anjing yang lebih lucu daripada aku" No
way! kataku. panggung.> Kami pun pergi, dengan ekor bergoyang, meninggalkan pasangan hipi yang
menyenangkan itu. terlalu bahagia.> tanyaku prihatin.
Kemudian sesuatu yang luar biasa terjadi. Selama beberapa menit tadi tak
terdengar suara musik, lalu tiba-tiba saja, Offspring naik ke panggung dan mulai
beraksi. Mereka membawakan sebuah lagu dan aku sedikit gemetar ketakutan. Efeknya pada
telinga anjingku sungguh mengejutkan.
Bukan cuma karena musik itu terlalu keras. Tapi juga karena aku bisa mendengar
segalanya. Segalanya. kataku.
jawab Jake.
Kami mendekat, menuju kerumunan manusia. Baunya sungguh luar biasa.
Tiba-tiba saja aku melihatnya. Ia sedang membagikan brosur. Ia berjalan di
antara orang-orang sambil membagikan selebaran.
Angin menerbangkan selembar brosur, jatuh di depanku. Kupaksakan mata anjingku
melihatnya. Aku tak bisa membaca tulisan kecil-kecilnya, tapi aku bisa melihat
dua kata besar di bagian atas.
The Sharing. The Sharing. Organisasi terkemuka untuk para Pengendali.
kataku.
Rambut anak itu cokelat, cepak, sedikit di atas telinganya. Tingginya mungkin
satu setengah meter, tapi penampilannya lebih tinggi. Mirip Jake, tapi versi
yang lebih pendek, kuat, dan percaya diri.
yang lalu.> Erek semakin dekat, tersenyum sambil membagikan brosur kepada siapa saja yang
mau menerimanya. Ia jongkok dan tersenyum padaku. Tangannya terulur mau membelaiku, tapi aku
menarik diri. Erek mengangkat bahu dan berjalan pergi, meneruskan membagi
brosurnya.
katanya.
kataku.
Chapter 3 "DIA tidak berbau," kataku.
"Apa maksudmu, dia tidak berbau?" tuntut Rachel.
"Maksudku ya dia tidak berbau. Dia memang sudah ketempelan bau orang-orang lain,
bau dari tanah, bau anjing, apa saja deh, tapi dia sendiri tak berbau. Sama
sekali tidak. Seperti lubang hitam, begitu. Seolah-olah dia tidak ada."
Saat itu petang hari, hari yang sama. Jake dan aku meninggalkan konser tak lama
setelah kami bertemu Erek. Kami mengumpulkan anggota yang lain, dan sekarang
semuanya, kecuali Ax, ada di gudang jerami Cassie.
Gudang jerami Cassie sebetulnya adalah Klinik Perawatan Satwa Liar. Semacam
rumah sakit untuk binatang-binatang liar yang sakit. Kedua orangtua Cassie
dokter hewan. Ibunya bekerja di The Gardens, kombinasi kebun binatang dan taman
hiburan. Ayahnya (dengan banyak bantuan dari Cassie) merawat semua binatang liar yang
sakit atau terluka yang mereka temui. Di gudang itu berderet kandang-kandang
kawat berisi rakun, rubah, oposum, elang, kelinci, angsa, luak, burung gagak,
bajing... sebut binatang apa saja deh, pasti ada. Namanya juga pusat binatang.
"Mungkin kau tidak bisa menangkap baunya," usul Rachel.
"Rachel," kau pernah jadi serigala," kata Jake. "Kau tahu tajamnya penciumanmu,
kan" Nah, penciuman anjing hampir sama tajamnya."
Rachel menggeleng. Itu yang dilakukannya jika ia frustrasi. Ia berdiri di tengah
kandang, kelihatan rapi, seperti biasanya.
Rachel ini pantasnya jadi cover girl. Cantik, modis, jangkung banget, giginya
putih rapi, rambutnya pirang dan amat lebat. Tapi di balik semua pakaian modis
dan make-up yang rapi itu, tersembunyi pahlawan Amazon yang siap mengayunkan
pedangnya, tinggal menunggu saat yang tepat. Jadi, Rachel itu cantik sekaligus
berbahaya. Jake adalah sepupunya dan Cassie sahabatnya. Kalau Cassie sih mengalami emosi
normal manusiawi, seperti takut atau ragu-ragu.
Aku menghargai ini, sebab aku sendiri juga mengalami banyak ketakutan dan
keraguan. Sejak menjadi anggota Animorphs aku sudah mengalami lebih banyak
ketakutan dan keraguan dibanding yang dialami manusia biasa, walaupun ia hidup
sepuluh kali. Cassie belum pernah ketemu gaun yang disukainya. Ia tidak berlangganan majalah
cewek seperti Teen atau Gadis. Cewek kayak dia pasti lebih suka beli majalah
macam Binatang-binatang Berbau di Amerika, kalau ada. Itu tuh, majalah yang
memuat artikel seperti "Bagaimana Memberi Obat Pencahar pada Rakun", atau "Mari
Kita Selidiki Muntahan Burung Hantu!".
Kalau kau mau membayangkan Cassie, bayangkan saja cewek pendek, imut, dengan
rambut hitam sangat pendek, memakai overall dan sepatu bot berlumpur dan
kelihatannya mampu menyuntik tetanus seekor beruang yang sedang marah.
Cassie ahli binatang dan giat di bidang ekologi. Kalau tak tahu, aku akan bilang
ia lebih suka binatang daripada manusia. Tapi kebetulan aku tahu bahwa ia benar-
benar menyukai Jake. Maksudku suka yang itu tuh.
Sebetulnya, ia dan Jake saling menyukai, meskipun tentu saja keduanya tak ada
yang mau terang-terangan mengakui. Mereka memperlihatkan perasaan yang
sebenarnya hanya kalau kami sudah tinggal dua belas detik lagi menyerempet maut.
Nah, baru saat itulah mereka akan saling memandang dengan tatapan yang sarat
kesedihan. Kuno banget deh. Anggota orisinal kami yang terakhir sedang bertengger di palang di langit-langit
gudang. Cakar Tobias mencengkeram kayu palang kuat-kuat, supaya mantap
tenggerannya. Paruhnya yang bengkok menyisiri sayap kanannya agar rapi.
Tobias adalah elang ekor merah. Ia berubah jadi elang sejak terlalu lama berada
dalam morph elang itu. Sekarang kebanyakan ia hidup sebagai elang. Maksudku, ia
berburu dan makan seperti elang.
Yah, terpaksa, soalnya ia memang tidak punya banyak pilihan. Mana ada sih
sekolah yang tertarik punya murid seekor cowok burung.
Tobias tinggal di dalam hutan, bersama Ax. Ax itu Andalite, adik Elfangor, dan
satu-satunya Andalite yang bebas dalam jarak setriliun kilometer Bumi.
Ax tidak ikut pertemuan, seperti biasanya. Ia bisa morph jadi manusia sih, tapi
ia tidak mau terlalu sering melakukannya. Lagi pula, ia menganggap Jake
"pangerannya", dan ia akan melakukan apa saja yang diperintahkan sang pangeran
kepadanya. Jadi, itulah grup kecil kami. Rachel, berdiri di tengah ruangan, seakan ada yang
sedang mengarahkan lampu sorot kepadanya. Jake, berjalan mondar-mandir, wajahnya
kelewat tegang. Cassie, menggendong bebek sambil mengganti perbannya. Tobias,
merapikan bulunya dan memandang berkeliling dengan pandangan galak. Dan aku,
santai tiduran di atas gundukan jerami.
"Sttt," kata Jake tiba-tiba. "Rasanya aku mendengar sesuatu."
Tobias menenangkannya dengan bahasa pikiran.
"Kau yakin?" tanya Jake.
Tobias berhenti menyisir bulunya dan memandang Jake. Pandangan elangnya semakin
tajam.
Jake mengangguk, kelihatan agak malu. Elang bukan cuma punya penglihatan yang
tajam, pendengaran mereka juga lebih baik daripada manusia. Dan Tobias tahu
betul bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh binatang-binatang yang bisa jadi
mangsanya. Itu harus. Menanyai Tobias apakah ia mengenali bunyi bajing sama saja
seperti menanyai Einstein apakah ia tahu dua tambah dua berapa.
Kucoba mengembalikan pembicaraan ke topik semula. "Jadi, apa artinya kalau
seorang anak tidak berbau seperti manusia?"
"Dalam banyak kesempatan kau tidak berbau seperti manusia," kata Rachel
mencibir. "Tapi, mungkin itu karena kau memelihara monyet kecil di atas
kepalamu." Cassie mengeluarkan suara mendengus saat ia mencoba menahan tawa.
"Lain kali kalau mau potong rambut, bilang aku dulu," kata Rachel.
Kuabaikan keduanya. Ada urusan penting, mana mau aku merendahkan diri saling
ejek dengan Rachel. Lagi pula aku tak punya alasan untuk meledeknya.
"Dia tidak berbau, dan dia membagikan brosur The Sharing," kataku.
"Dia pasti punya hubungan dengan Yeerk," kata Rachel sambil mengangkat bahu.
"Tapi bagaimana?" tanya Cassie. Ia sedang mendorong si bebek masuk kandang lagi.
"Maksudku, Yeerk memang menguasai berbagai spesies - manusia, Hork-Bajir,
Taxxon. Tapi manusia yang kepalanya sudah ada Yeerknya sekalipun, seharusnya kan
masih berbau manusia. Iya, kan?"
"Mr. Chapman kan Pengendali. Dia masih bau manusia," kataku menimpali. "Ya,
ampun, bisa-bisanya aku ngomongin bau si wakil Kepsek."
Jake mengangkat bahu. "Kurasa kita perlu menyelidiki apa yang terjadi dengan
Erek." "Tapi, bagaimana kita bisa menemukan dia?" tanyaku. "Menyelundup dalam rapat The
Sharing?" kata Tobias.
"Atau mungkin kita bisa kembali ke tempat konser tadi dan mencari petunjuk,"
usul Rachel. Kemudian ia berjengit sendiri. "Wow, kedengarannya kayak Nancy
Drew." Nancy Drew itu tokoh detektif cilik cewek.
"Mungkin Ax bisa mencoba menyadap Internet dan menembus semua buffer pengamannya
serta menemukan dia," aku menyarankan.
Cassie mengangkat tangan, seperti kalau ia mau bertanya di kelas. "Semua itu
rencana bagus, tapi bagaimana kalau kita cari lewat buku telepon saja?"
Kami semua melongo memandangnya.
"Atau kita bisa mencarinya di buku telepon," kata Jake malu.
Cassie pergi mengambil buku telepon.
"Wah, ini sih bukan tindakan superhero," kataku pada Jake. "Memangnya Wolverine
mencari alamat di buku telepon" Juga Spiderman" Kukira tidak."
"Yeah, tapi kita kan kalah jauh dibandingkan Wolverine," kata Rachel pahit. "Dia
kan tokoh khayal." Kemudian Rachel menjentikkan jarinya. "Itu dia. Potongan rambutmu itu
mengingatkanku pada Wolverine. Dari tadi aku merasa ingat sesuatu."
"Oh, yeah?" bentakku. "Lalu bagaimana dengan... dengan..."
"Dengan apa?" tanya Rachel tenang, yakin benar bahwa dirinya selalu tampak
sempurna, tak bercela. "Dengan kejangkunganmu," kataku lemah. "Kau jangkung... kelewat jangkung."
Tapi balasanku yang brilian ini tidak membuat Rachel menangis.
Cassie muncul kembali, membawa buku telepon yang sudah terbuka di huruf K. "Ada
dua puluh King di sini. Tapi kau bilang dia pindah ke Truman, jadi mungkin cuma
ada enam King yang tinggal di daerah itu."
"Kita coba satu-satu," kataku. "Walaupun nomor teleponnya mungkin saja tidak
terdaftar." "Aku tak bisa lama-lama di sini malam ini," kata Jake. "Aku masih harus buat
karangan bahasa Inggris itu."
"Aku bisa pergi besok malam, mungkin," kata Rachel. "Tapi tidak malam ini.
Ayahku ada di sini malam ini. Dia mengajak aku dan adik-adikku ke Planet
Hollywood." Cassie menatapku. "Aku bebas," katanya.
Tobias menyediakan diri. Elang tak
banyak berguna di malam hari.
"Bagus. Aku, Cassie, dan Tobias sampai gelap nanti," kataku. "Masa sih susah.
Misi kita kan cuma menemukan cowok yang tidak berbau."
"Mungkin dia sering mandi," kata Rachel. "Sudah kaupikirkan kemungkinan itu?"
Chapter 4 AKU ketemu Jake keesokan harinya di kantin sekolah.
Aku sedang menghabiskan Menu Hari Ini, minum susu dengan rakus, sekaligus
mencoba menulis karangan bahasa Inggrisku dengan kecepatan gila. Soalnya aku
sebetulnya punya PR yang sama dengan Jake, tapi aku menghabiskan waktuku
semalaman dengan berputar-putar sebagai burung hantu, mencari-cari rumah Erek.
"Karangan bahasa Inggris?" tanya Jake sambil duduk di depanku.
"Yeah." Ia tertawa. "Bagus juga punya teman seperti kau, Marco. Dibanding dirimu, aku
sungguh bertanggung jawab. Topiknya apa?"
Aku menatap Jake dan menekankan jariku ke kertas. "Aku sudah menulis tiga
halaman. Apa maksudmu, topiknya apa?"
Tapi Jake kenal aku. "Jadi," kata Jake, "topiknya apa?"
"Topiknya... akan muncul sendiri. Aku akan menulis terus, sampai aku menemukan
topik. Topiknya akan nongol sendiri dari halaman-halaman ini. Pasti muncul. Aku
tinggal nulis saja terus."
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mengangguk dan mukanya mengerut memandang Menu Hari Ini di nampannya.
"Makanannya biru. Makanan kok biru. Hei, ini topik bagus buatmu... Penggunaan
kata-kata muluk dalam penulisan karangan berbahasa Inggris."
Aku nyengir. "Aku jago menulis kata-kata muluk. Sudah tiga halaman dan belum
satu kali pun aku menyinggung soal penggunaan kata-kata muluk."
"Gimana" Kalian berhasil menemukan teman kita?"
Aku melirik ke kanan, kemudian ke kiri. Tak ada yang duduk cukup dekat untuk
bisa mendengar pembicaraan kami. Lagi pula, kantin ini begitu bising dengan
suara teriakan, tawa, dentang-denting piring, dan deritan kursi, sehingga orang
tidak bisa mendengar banyak.
"Yeah. Kami sudah tahu di mana dia tinggal. Kami melihatnya melalui jendela.
Wah, sayang deh. Salah satu dari rumah keluarga King yang kami awasi ada
ceweknya yang cakep banget."
"Kau tidak mengintipnya, kan?"
Kulemparkan pandangan marah dan tersinggung pada Jake.
"Bisa-bisanya kau ngomong begitu. Kaupikir aku ini orang macam apa?"
Jake mengangguk. "Ah, paling-paling Cassie melarangmu?"
"Aku sedang mencoba nulis karangan nih," kataku.
"Topiknya...?" "Topiknya bagaimana menulis seribu kata tapi tidak berarti apa-apa. Zero. Nada.
Nihil." Jake menurunkan volume suaranya sampai Cuma berbisik. "Kita harus menyelidiki
Erek. Jelas ada yang tidak beres."
Kutaruh pensilku. "Maksudmu masuk ke rumahnya?"
Jake mengangkat bahu. "Belum. Minta Tobias mengawasinya kalau dia sedang keluar.
Tapi Tobias perlu bantuan."
Aku mengangkat bahu dan meneruskan menulis karanganku.
"Aku akan membantu. Aku punya banyak waktu. Mulai sore ini aku putus sekolah.
Sesudah Pak Guru puas menertawakan karanganku ini."
"Topik... penggunaan retorika untuk menyamarkan ketiadaan isi," kata Jake.
Aku tersentak. Menengadah menatapnya. "Luar biasa! Maksudnya kan sama dengan
'penggunaan kata-kata muluk'... tapi ini kedengarannya jauh lebih keren!"
"Habiskan tuh makananmu. Aku pergi dulu."
Ia pergi. Kulihat ia menuju tempat Cassie duduk.
Itu memang salah satu peraturan kami. Kami tak boleh kelihatan seperti satu
grup. Baik di sekolah maupun di tempat umum, kami selalu menjaga jarak. Kami
bersikap sama seperti sebelum kami menjadi anggota Animorphs.
Kebetulan aku melihat Mr. Chapman masuk ke kantin. Ia menarik seorang anak yang
sedang berlarian dan menyuruhnya pelan-pelan. Kemudian pandangannya mengitari
ruangan, mencari anak-anak yang suka membuat onar, seperti yang biasa dilakukan
wakil kepala sekolah yang normal.
Tapi Mr. Chapman tidak normal. Ia Pengendali. Yeerk dalam kepalanya punya
pangkat cukup tinggi, sehingga bisa bicara langsung dengan Visser Three.
Sedetik pandangan Mr. Chapman bentrok dengan pandanganku. Biasa saja sebetulnya.
Tapi aku merinding.. Mr. Chapman mengetuai The Sharing. Brosur yang dibagikan Erek di konser adalah
brosur tentang The Sharing.
Erek sebetulnya bukan teman akrabku. Kami cuma saling sapa kalau bertemu saja.
Tapi ia hadir di acara pemakaman ibuku. Pemakaman tanpa jenazah.
Beberapa anak lain dari sekolah juga hadir, jadi tadinya tidak begitu
kupikirkan. Tapi, bagaimanapun juga, Erek baik sekali mau datang. Dan sekarang
ia bekerja untuk The Sharing.
The Sharing adalah organisasi terkemuka untuk para Pengendali. Kelihatannya sih
seperti semacam klub biasa. Anak-anak jadi anggotanya dan mereka melakukan
kemping atau karya wisata.
Orang dewasa yang jadi anggotanya seakan saling melakukan transaksi bisnis dan
berakhir pekan di tempat main ski.
Dan mungkin sebagian besar anggota The Sharing sama sekali tak tahu apa yang
sedang terjadi. Tetapi para Pengendali yang menjadi pengurus The Sharing selalu
mencari orang-orang yang punya masalah.
Soalnya, para Yeerk ini tidak mencari pengikut cuma dengan memaksa orang. Banyak
orang menjadi Pengendali karena pilihannya sendiri. Mungkin karena mereka ingin
merasa hebat, ikut dalam misi rahasia. Atau mungkin kerahasiaannyalah yang
mereka anggap mengasyikkan. Aku tak tahu.
Yang aku tahu hanyalah, para Yeerk lebih suka induk semang sukarela. Mereka
lebih suka kau menyerahkan diri daripada memaksamu menjadi Pengendali.
Mereka mendidikmu pelan-pelan melalui tingkat-tingkat dalam The Sharing, sampai
mereka memutuskan kau sudah siap. Kemudian mereka membuat janji-janji dan
membohongimu, dan sebelum kau sadar, kau sudah jadi budak dalam pikiranmu
sendiri. Dan kau lebih mudah dikuasai karena kau sendiri yang mengizinkannya.
Kusingkirkan nampanku dan kuambil lagi pensilku. Kutatap kertasku.
Tapi yang kulihat misa arwah. Nyanyian. Karangan bunga. Pastor yang berkhotbah
betapa baiknya ibuku. Kenal ibuku pun ia tidak. Aku ingat dalam gereja itu aku
menoleh-noleh, ingin melihat siapa yang datang. Banyak orang datang. Banyak
wajah sedih. Banyak air mata. Sebagian besar orang berwajah sedih, karena
begitulah yang diharapkan jika kita menghadiri pemakaman.
Erek duduk di deret ketiga dari belakang. Ia memakai jas yang mungkin membuat
gatal dan tidak nyaman. Tapi ia tidak kelihatan sedih. Ia kelihatan marah. Dan
ia menggelengkan kepala pelan-pelan, ke kanan dan ke kiri, seakan tanpa sadar ia
tidak menyetujui semua yang diucapkan pastor.
Saat itu aku mengira ia marah karena harus memakai jas yang menyebalkan. Itu
bisa kumengerti. Dan sekarang Erek muncul lagi. Anak yang tidak berbau. Anak yang bekerja untuk
The Sharing. "Nah, Erek," gumamku pelan, "kita lihat nanti. Kita lihat kau ini sebenarnya
siapa." Chapter 5 DI dunia ini mungkin ada yang lebih mengasyikkan daripada terbang dengan sayapmu
sendiri, tapi apa ya" Aku tak bisa membayangkannya.
Naik rollerblade" Hah! Berselancar" Jauh. Terjun payung" Lebih dekat, tapi tak
ada separonya dibanding terbang beneran.
Tak ada yang bisa mengalahkan keasyikan terbang.
Saat itu sepulang sekolah pada hari yang sama. Aku menyelesaikan tugas karangan
bahasa Inggrisku tepat sembilan detik sebelum Pak Guru datang mengumpulkannya.
Kemudian ganti pelajaran sejarah dan aku mendapat tugas menulis karangan lagi.
Begitulah sekolah: tugas-tugas tak ada habisnya. Tetapi akhirnya bel pulang
berbunyi. Asyiiik! Bebaaas! Aku meninggalkan kelas dan mencari tempat sunyi untuk
bermetamorfosis. Aku ingin memata-matai Erek. Mengingat upacara pemakaman dan
lain-lainnya, rasanya menyelidiki Erek menjadi lebih penting, walaupun aku tak
yakin apa sebabnya. Aku memanjat ke atap ruang senam. Tentu saja sebetulnya kami tak boleh ke sana,
tapi kan aku punya alasan. Lalu aku bermetamorfosis menjadi elang laut.
Kubentangkan sayapku yang lebar dan kutinggalkan sekolah.
Pasti kau juga pernah duduk bosan di kelas, sementara gurumu terus saja ngoceh
tentang bagaimana "x" sama dengan "y", tapi hanya kalau kau mengalikannya dengan
"pi", dan kau berharap kau bisa terbang lewat jendela. Wuuus! Selamat tinggal!
Yah, aku memang tidak bisa terbang langsung dari dalam kelas, sebab jika aku
berubah wujud di kelas, pasti akan terjadi kegemparan dan semua anak histeris.
Tapi yang kulakukan ini kan nyaris sama.
Anak-anak sedang berebut naik ke bus sekolah saat aku bertemu angin sakal dan
memanfaatkannya untuk melesat naik. Aku melesat jauh tinggi di atas anak-anak
yang sedang masuk bus dan para guru yang menuju kendaraan mereka. Dari atas
mereka cuma tampak seperti lingkaran-lingkaran rambut cokelat, pirang, dan
merah. Begitulah manusia kalau dilihat dari jarak tiga ribu meter dari atas.
Bulatan rambut. Belum pernah aku merasa sehidup jika aku sedang jadi elang. Nasib Tobias
kayaknya tidak terlalu buruk. Banyak binatang lain yang lebih parah. Kalau
Tobias terperangkap jadi mereka kan gawat.
Kurasakan angin termal - udara panas - membubung, mendorong dari bawah sayapku.
Aku langsung bereaksi. Zoom!
Seperti naik lift ke tingkat paling atas! Naik, naik terus. Aliran udara panas
mengangkatku makin lama makin tinggi.
Sekarang lingkaran-lingkaran rambut hanya tinggal bintik-bintik, dan bus-bus
sekolah seperti mobil-mobilan berwarna kuning yang bergerak menjauhi sekolah.
Tetapi bahkan dari ketinggian 150 meter, setinggi gedung bertingkat 50, aku
masih bisa melihat wajah-wajah di balik jendela bus sekolah. Mata elang lautku
ini seperti mata manusia yang memakai teleskop.
Aku melayang-layang, sayapku terbentang lebar, ekorku mengembang untuk
memudahkan aku naik, cakarku tertarik ke bagian bawah tubuhku. Udara menderu
melewati ujung-ujung sayapku. Angin bertiup melewati kepalaku yang kuluruskan,
dan paruh bengkokku kuarahkan ke muka, untuk mempertahankan kepesatan.
Aku naik terus sebatas yang bisa kulakukan dengan bantuan angin termal itu. Aku
sudah belajar dari Tobias. Angin termal bisa mengangkatmu tanpa kau harus
mengeluarkan tenaga, dan kemudian kau bisa mengubah ketinggian itu menjadi
kecepatan. Rasanya seperti melesat ke puncak gunung, kemudian meluncur turun ke
arah mana pun yang kauinginkan.
Walaupun begitu, akhirnya aku perlu mengepakkan sayap kuat-kuat juga untuk bisa
mencapai daerah tempat tinggal Erek.
Aku melihat Tobias di kejauhan. Kalau bagi mata manusia sih ia tidak kelihatan.
Ia juga sedang menunggangi angin, seperti aku.
Yah, sedikit lebih gaya sih, soalnya ia kan lebih berpengalaman.
Waktu aku sudah cukup dekat untuk bisa menggunakan bahasa pikiran, kupanggil
dia.
mengawasimu.>
tiga, kau harus berbelok ke kiri dengan cepat dan tajam.>
Kuangkat sebelah sayapku, kurendahkan yang sebelah lagi, kumiringkan ekorku, dan
tiba-tiba saja aku berbelok tajam ke kiri.
FWOOOOM! Peluru mendesing melewatiku, kecepatannya rasanya seribu kilo per jam! Cuma
peluru itu tidak meluncur dari bawah ke atas, melainkan jatuh dari langit ke
bawah! Dan peluru ini berbulu abu-abu.
Terpaan angin saat ia lewat hampir membuatku kehilangan keseimbangan. Saat
peluru itu sudah berjarak sejauh setengah kilo, di bawahku, ke arah selatan,
barulah aku bisa berpikir tenang lagi.
Kulihat sayap abu-abu terbentang ke arah belakang dan ekor yang ketat. Luncuran
turunnya cepat sekali, sehingga serasa aku tidak bergerak.
teriakku.
kata Tobias. falcon alias alap-alap macan. Jake pernah morph jadi burung itu. Mereka biasanya
lebih suka merpati yang sedap atau, kadang-kadang juga bebek. Pasti tadi gara-
gara cara terbangmu. Mungkin dikiranya kau ini bebek tua yang kikuk.>
nasihat Tobias. itu. Dia tidak sehebat yang dikiranya. Dia pernah mau menyambarku. Pasti dia
kelaparan.> Tiba-tiba saja terbang tidak lagi begitu mengasyikkan. melupakan, itu gampang. Tapi rasanya aku masih akan gemetaran paling tidak
sampai satu jam lagi.>
kata Tobias hambar. mau lihat Erek, kan">
Aku mendekat ke Tobias. Dekat sekali. Angkasa ini dunianya. Ia tahu apa yang
harus dilakukan. kataku.
Tobias menasihati. datang dari atasmu. Nah... lihat itu. Erek. Dia baru pulang sekolah, jalan kaki.
Kau sudah lihat" Hampir sampai sudut jalan">
Kulihat lingkaran rambut di bawahku.
main sepak bola pas pelajaran olahraga...>
nih. Dan aku juga sudah bosan memandangi atas kepalanya.>
Aku melihat ada tiga cowok mendekati Erek dari arah belakang. Cara
mereka bergerak membuatku tertarik. Dari ketinggian ini, mereka seolah sedang
memburu Erek. kata Tobias.
Kami berdua melepas udara dari sayap kami dan menukik turun, ingin melihat lebih
jelas. Aku bisa melihat wajah salah satu cowok di belakang Erek. Ekspresinya
sudah pernah kulihat: nyengir konyol anak sok jagoan yang suka mengancam.
Tiba-tiba ketiga anak itu bergegas mendekat. Erek melihat mereka dan mulai
berlari. Mereka ada di jalan di tepi daerah yang sedang dibangun. Di sebelah kiri Erek
lalu lintas padat sekali, sedang di kanannya berdiri tembok batu. Kira-kira lima
puluh meter di depan, tembok itu terbuka menuju ke perumahan baru.
kataku. mungkin mereka bisa ngerjain dia, tapi belakangan nanti mereka akan menyesal.>
kata Tobias.
Tobias benci anak-anak sok jagoan. Dulu, waktu ia masih manusia, ia sering
sekali dikerjai. Jake ketemu Tobias waktu kepala Tobias sedang dibenamkan di
wastafel. Sudah tentu Jake menolongnya.
aku baru mulai bicara, tapi terlambat.
Tobias sudah menukik dan mengincar kepala cowok yang badannya paling gede.
Semuanya terjadi dalam sekejap. Kejadiannya begitu cepat.
Erek lari. Ia tersandung, terjungkal ke depan, ke jalanan. Dan BAMMM!
Bus yang sedang lewat menabraknya. Tubuhnya terempas. Bunyi benturannya
terdengar sampai ke atas.
Dan kemudian... Dan kemudian... selama sedetik, Erek tak ada. Ia lenyap. Di tempat ia tertabrak,
kini tampak sesuatu yang lain. Sesuatu yang seolah terbuat dari lempengan baja
dan plastik putih susu. Kemudian, detik berikutnya Erek tampak lagi. Anak laki-laki normal, terkapar di
sisi jalan. Cowok-cowok sok jagoan itu kabur. Sopir bus malah sama sekali tidak sadar dan
busnya melaju terus. Tobias merentangkan sayapnya dan nyaris berhenti di angkasa.
tanya Tobias.
jawabku.
Chapter 6 kataku pada Tobias. manusia. Jelas bukan manusia.>
kata Tobias. sekali.> Di bawah kami, Erek naik ke trotoar, mengibas-ngibas tubuhnya, seakan tidak
terjadi apa-apa, lalu melanjutkan berjalan pulang.
kata Tobias. Siapa atau apa pun si Erek itu, kurasa dia tidak berasal dari sini.>
Kami terbang pulang dengan cepat. Tobias pergi mencari Ax.
Aku menjelma kembali menjadi manusia dan pulang untuk bertemu ayahku, agar ia
tahu aku masih ada. Kemudian aku menelepon Jake. Tom yang mengangkat telepon.
"Hei, Tom. Jake ada?"
"Tahu deh. JAKE!" teriaknya. "Dia lagi ke sini."
"Trims." "Sudah lama kau tidak ke sini," kata Tom. "Sibuk?"
Aku sedikit ngeri. Aneh rasanya, ngomong dengan Pengendali, sementara kau tahu
ia Pengendali. Suaranya memang suara Tom, dan sikapnya juga sikap Tom, tapi ia
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan Tom. Tom sedang meringkuk tak berdaya di sudut pikirannya sendiri. Aku
sedang bicara dengan Yeerk.
"Yeah, sibuk," kataku.
"Ehm-ehm. Kami akan ke danau, mau berselancar."
"Kau dan Jake?"
"Yeah, betul. Eh, tidak, aku dan The Sharing. Tahu sendiri, kan, Jake tuh
anaknya kurang gaul. Kurang cocok kalau ikut," kata Tom sambil tertawa
mencemooh, persis seperti yang biasa dilakukan seorang kakak. "Kelewat banyak
cewek yang ikut, cowoknya kurang."
Bohong, tentunya. Kebohongan yang diharap bisa memikatku.
Kenapa tiba-tiba Tom mencoba membuatku tertarik pada The Sharing lagi" Segera ia
memberikan jawabannya. "Kudengar ayahmu sudah bekerja lagi. Syukur deh."
"Yah," kataku. Ayahku telah melewati saat-saat berat setelah ibuku "meninggal".
Sekarang ia sudah bekerja lagi. Ayahku insinyur, tapi ia jago komputer juga. Ia
bekerja di observatorium baru, mengembangkan software yang bisa membuat sasaran
teleskop lebih baik. Ia juga sedang menangani proyek rahasia. Kurasa proyek ini berhubungan dengan
militer. "Kau boleh mengajak ayahmu," kata Tom berusaha sewajar mungkin. "Maksudku, tidak
semua anak suka ayahnya ikut. Biasanya begitu, kan. Tapi ayahmu mungkin sudah
siap kembali ke masyarakat. The Sharing tempat yang baik untuk menjalin koneksi
bisnis, lho." "Yeah, akan kutanya dia," kataku.
"Ya, ajak dia. Ayahmu mungkin perlu waktu beristirahat, bersantai, ketemu orang-
orang." Rupanya mereka sekarang mengincar ayahku. Dadaku serasa terbakar, seakan aku
baru saja minum lava. Saat itu rasanya ingin sekali aku bisa menembus telepon
dan mengemplang makhluk jahat dalam kepala Tom dengan pemukul bisbol.
"Nih, Jake datang," kata Tom. Terdengar bunyi berkeresek saat ia menyerahkan
telepon pada Jake. Kemudian suara Jake. "Hai, Marco. Ada apa?"
Aku meledak. "Ada apa"! Ada apa" Kantong-kantong sampah itu mengincar ayahku,
tahu! Bagaimana kau bisa hidup dengannya" Bagaimana mungkin kau ketemu bangsat
itu setiap hari" Enak saja dia bilang, 'Ajak ayahmu ke The Sharing, lakukan
kegiatan yang bisa bikin kalian akrab, dan oh, apakah kau keberatan jika kami
menempelkan...'" "Diam," desis Jake.
Aku diam. Tapi tanganku mencengkeram gagang telepon begitu kuat. Aku heran
gagang itu tidak patah. Selama semenit Jake memberiku kesempatan menenangkan
diri. Ia beberapa kali bilang "uh-huh" di telepon, seakan sedang mendengarkan
aku bicara. Dua kali ia bahkan tertawa. Kurasa Tom berada tak jauh dari telepon.
Aku tahu Jake benar. Kami tidak membicarakan rahasia di telepon. Siapa tahu ada
yang menguping. "Baik, aku sudah oke," kataku. Sebetulnya sih belum oke, tapi aku sudah bisa
menguasai diri. "Aku sih tak keberatan," kata Jake, yang masih pura-pura sedang ngobrol
denganku. "Kita harus kumpul," kataku. "Cuaca cerah."
Itu sandi bahwa kami harus berkumpul di hutan.
"Baik, sampai nanti," kata Jake santai.
Ia menutup telepon. Kutarik napas dalam-dalam beberapa kali. Kuulangi lagi.
Bangsa Yeerk sudah mengambil ibuku. Jangan sampai mereka mengambil ayahku.
Sebelum itu terjadi, aku akan memberitahu Dad segalanya. Sebelum itu terjadi,
akan kuhajar Tom, peduli amat apa kata Jake.
Akan kuhajar Tom, kuhajar Mr. Chapman, kuhajar semua Pengendali yang kutahu
sebelum mereka merebut ayahku. Aku punya kekuatan. Binatang-binatang mematikan
hidup dalam tubuhku. DNA mereka berenang-renang dengan DNA-ku.
Bisa kurasakan kemarahan menggelegak dalam tubuhku, kemarahan membabi buta yang
akhirnya menjadi film-film kecil dalam kepalaku - film-film tentang balas dendam
dan penghancuran. Kubayangkan hal-hal yang akan kulakukan pada Tom... pada Mr. Chapman... suatu
hari nanti bahkan pada Visser Three. Aku akan melakukan hal-hal mengerikan pada
mereka. Hal-hal kejam dan mengerikan.
Itu perasaan yang tidak sehat. Aku tahu itu, tapi kuputar lagi gambar-gambar
dalam kepalaku itu, berulang-ulang.
Kemarahan itu membuatmu kecanduan, ternyata.Seperti obat.
Kemarahan dan kebencian membuatmu melambung. Membuatmu tinggi, tapi seperti
obat, setelah itu membuatmu merasa kosong, mencabik-cabikmu, dan memakanmu
hidup-hidup. Kurasa aku menyadari semua itu. Tapi yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa mereka
takkan kuizinkan mengambil ayahku.
Jadi kuputar lagi adegan mengerikan itu berkali-kali dalam kepalaku. Kubiarkan
luapan kemarahan itu menyala, sampai akhirnya padam sendiri dan membuatku merasa
kosong dan kalah. Chapter 7 AKU menjemput Jake dan kami bersepeda berdua ke rumah pertanian Cassie. Ia tidak
bilang apa-apa soal percakapanku dengan Tom. Jake tahu bagaimana perasaanku.
Kami semua pernah mengalaminya.
Dari rumah Cassie kami berjalan menyeberangi padang rumput ke tepi hutan. Di
sana ada tempat kami biasa bertemu, agak masuk dalam pepohonan, sehingga tak
akan ada yang melihat kami.
Rachel dan Cassie sudah di sana. Cassie berlutut di atas rontokan daun-daun
pinus, melongok ke dalam lubang. Aku tak tahu apa yang ada dalam lubang itu,
tapi ia kelihatan terpesona. Rachel duduk di atas pohon tumbang.
"Tobias sedang mencari Ax," kata Rachel ketika kami mendekat.
"Kurasa ada tiga," kata Cassie. Ia ngomong tentang yang ada dalam lubang.
"Jadi" Ngapain kita kumpul?" tanya Rachel.
Sebelum Jake atau aku sempat menjawab, kudengar ada yang menabrak semak. Ia
muncul, melompati batang yang diduduki Rachel. Aximili-Esgarrouth-Isthill.
"Hei, Ax," sapaku. "Pemunculan yang dramatis sekali."
Tentu saja pemunculan Ax kapan saja akan selalu dramatis. Ax adalah Andalite.
Satu-satunya Andalite yang hidup ketika pesawat Dome mereka dihancurkan para
Yeerk ketika sedang mengorbit. Ax itu alien.
Kau tahu kan, di film Star Trek, alien digambarkan sebagai manusia dengan hidung
bulat dan seragam jelek" Tapi secara keseluruhan penampilan mereka manusia,
demikian juga sikap mereka, dan mereka juga ngomong Inggris.
Nah, Ax tidak seperti itu. Sekali pandang kau langsung tahu Ax tidak berasal
dari dunia ini. Bayangkan sejenis rusa besar berwarna ungu kecokelatan. Hanya saja, alih-alih
kepala rusa, kau akan melihat dada separo-manusia dengan dua tangan lemah, dan
kepala yang luar biasa. Ax tak punya mulut, tapi punya empat mata. Dua matanya
berada di tempat biasa, tapi dua lainnya ada di ujung tanduk di atas kepalanya.
Mata tanduknya ini bisa memandang ke arah lain, tanpa ada hubungannya dengan
mata utamanya. Ax bisa memandangmu dengan sepasang mata utamanya, dan pada saat
bersamaan memandang ke arah belakangnya dengan satu mata tanduk dan ke kanan
dengan mata tanduk lainnya.
Bikin grogi deh, kalau kita belum biasa.
Tapi itu belum seberapa jika dibanding dengan ekornya. Ekornya membuatmu ingat
kalajengking. Ekor itu melengkung ke atas ke arah tubuhnya, sehingga ujungnya
yang setajam sabit biasanya berada di atas bahunya yang landai.
Ekor itu bisa bergerak cepat dan berbahaya. Sangat cepat dan sangat berbahaya.
Kalau mau, Ax bisa mencincang manusia jadi potongan kecil-kecil dalam waktu
hanya dua detik. Untungnya Ax ada di pihak kami.
Cassie bangkit. Kemudian, setelah berpikir sesaat, tangannya mengibas lututnya.
"Bayi oposum," katanya menjelaskan. "Sudah terlalu besar untuk kantong induknya,
tapi belum siap meninggalkan sarang."
"Jangan bilang Tobias," kataku. "Nanti dia makan, lagi."
kata Tobias.
Aku mendongak kaget. Ia bertengger di pohon di atasku. Aku tidak mendengarnya
datang. Cassie mengangkat bahu. "Tobias kan elang. Dia punya hak sebagai elang."
Kemudian ia menengadah menatap Tobias dan tersenyum. "Tapi bayi-bayi itu imut
sekali." keluh Tobias. sekarang"> "Kau baik sekali, Tobias," kata Cassie.
Tobias mengusulkan. perang-perangan, kira-kira tiga ratus meter arah ke barat. Sebaiknya kita jauh-
jauh dari mereka.> Kami mulai berjalan ke arah timur, dan Tobias melesat ke atas lagi untuk
memantau kalau-kalau ada bahaya lain.
"Oke, Marco," kata Jake setelah beberapa menit berlalu. "Ini acaramu. Apa yang
terjadi?" Kuceritakan semua yang telah kulihat bersama Tobias. Tobias kembali dan
menambahi beberapa keterangan. Kemudian aku memandang Ax.
"Nah, Ax, kau alien yang resmi. Menurutmu bagaimana?"
Ax menoleh menghadapku, memandangku dengan mata utamanya. berubah. Kurasa tambah pendek. Apa kau sedang menderita penyakit tertentu">
"Apaan sih!" raungku, ketika yang lain semua cekikikan. "Nanti kan tumbuh lagi,
tahu! Pasti tumbuh. Lagi pula, rambut pendek lebih mudah diurus. Gila apa! Cuma
potong rambut sedikit saja geger!"
tanya Ax bingung.
"Tidak," Jake meyakinkannya. "Sama sekali tidak. Marco cuma agak sensitif.
Teruskan, Ax. Bagaimana pendapatmu tentang si Erek ini?"
"Masa" Yang benar, kau kan ahli alien," protesku.
Kedengarannya ia malu deh. Tapi karena ia menggunakan bahasa pikiran, mungkin
"kedengaran" bukan kata yang tepat.
"Kau tidak mengenali deskripsi tadi?" tanya Jake.
"Kalau mendengar deskripsi kalian berdua, kedengarannya seperti robot atau
semacamnya," kata Rachel. "Tapi, bagaimana mungkin bisa persis seperti manusia?"
kata Ax. Lega ia bisa menambahkan sesuatu pada
dugaan kami. saja tiga dimensi.> "TV primitif" Hei, di rumahku ada kabel, tahu," kataku.
Ax tidak menangkap kelucuannya, tetapi Cassie tersenyum. Tobias terbang rendah
di atas kepala kami, lalu bertenggerberistirahat di atas dahan. Erek tertabrak bus, ia melepas hologramnya selama sedetik itu.>
usul Ax. pertanyaan pentingnya: Suplai tenaga apa" Perlu tenaga besar sekali untuk
mempertahankan hologram semacam itu, berjam-jam, bahkan berhari-hari.>
"Hei, mungkin Erek dihidupkan dengan tenaga nuklir," kataku.
Ax tertawa. Kemudian rupanya ia sadar aku tidak bergurau.
katanya, masih tampak kegelian, seakan aku
cowok paling bloon di dunia.
"Apakah ada cara untuk melihat menembus hologram ini?" tanya Cassie.
"Kita bisa menabraknya dengan sesuatu yang besar, seperti bus, misalnya," Rachel
mengusulkan. "Nah, itu baru usul khas Rachel," kataku tertawa. Aku merasa lebih baik setelah
berkumpul dengan teman-temanku ini.
"Marco kebetulan tahu The Sharing akan berselancar air di danau," kata Jake. Ia
menggigit bibir dan menambahkan, "Tom yang memberitahu dia. Erek anggota The
Sharing. Dia mungkin akan ikut ke danau. Kesempatan bagus buat kita untuk
menyelidikinya. Itu jawaban atas pertanyaan 'di mana'. Sekarang kita perlu tahu
'bagaimana'." Ax berpikir-pikir sementara kami masuk lebih dalam ke hutan.
mata manusia. Mata elang lebih tajam daripada mata manusia, tapi masih melihat
gelombang sinar yang mirip. Mungkin jenis penglihatan yang sama sekali berbeda
bisa menembus hologram ini.>
Hatiku mencelos. Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pasti morph
mengerikan. "Penglihatan yang luar biasa itu keahlian kami," kata Rachel sambil tertawa tak
acuh. Ia menepuk punggungku, seakan hidup ini sebuah petualangan besar.
"Asal jangan serangga saja. Oke?" kataku. "Cuma satu permintaanku, jangan lagi
jadi serangga. Apa itu permintaan yang keterlaluan?"
Chapter 8 TERNYATA itu permintaan yang keterlaluan. Seperti yang akhirnya kutahu beberapa
hari kemudian. "Apa maksudmu, kita mau narik undian?" tanyaku curiga.
"Untuk menentukan siapa yang akan melakukan morph baru kita ini," kata Rachel.
"Ax tak perlu. Soalnya dia harus ikut pergi, kita memerlukan keahliannya di
bidang alien. Salah satu dari kita harus pergi bersamanya."
"Morph jadi apa?" tanyaku curiga.
"Labah-labah," jawab Cassie.
Kami berada di gudang jerami Cassie. Saat itu hari Sabtu pagi. Hari Jumatnya
karangan bahasa Inggris kami dibagikan, dan ternyata aku dapat "B". Keren, kan.
Semalam aku nonton TV sampai malam dengan ayahku, jadi pagi ini aku kesiangan
dan terlambat datang ke pertemuan ini. Beginilah jadinya kalau aku tak ada.
Mereka mengambil keputusan gila-gilaan.
"Maaf" Pasti pendengaranku ini nggak bener." Kutempelkan telapak tanganku ke
sisi kepala. "Karena aku mendengar kau bilang 'labah-labah'. Dan aku ingat aku
sudah bilang 'jangan jadi serangga'."
Cassie mengulurkan tangannya padaku. Dan di atas tangannya ada labah-labah. "Ini
bukan serangga. Araknida punya delapan kaki dan dua segmen tubuh. Serangga punya
enam kaki dan tiga segmen tubuh."
Sumpah deh, begitu melihat labah-labah itu, aku mau pingsan rasanya.
"Karena aku tahu kita akan berubah hari ini, aku sudah baca-baca dulu. Ini
labah-labah serigala. Penglihatannya baik sekali. Soalnya, matanya ada delapan."
Cara ngomong Cassie seolah-olah punya delapan mata itu asyik banget. Seolah
delapan mata itu seharusnya diinginkan semua orang.
"Pergi jauh-jauh, Cassie. Pergi. Pergi, pergi. Aku tak bakalan mau menjelma jadi
labah-labah! Kau saja sendiri. Aku tak suka labah-labah."
Jake memandangku dengan pandangan mencela. "Marco, Cassie selalu kebagian
mencoba morph baru. Lagi pula, kau kan lebih berkepentingan dalam misi ini
dibanding yang lain."
"Apa" Kenapa?" tuntutku marah. "Kenapa aku lebih berkepentingan dibanding kau
atau Rachel?" Jake mengangkat bahu. "Erek kan temanmu."
"Temanku" Kapan aku pernah bilang dia temanku" Dia bukan temanku. Aku nyaris tak
kenal dia!" "Marco, kau kelewatan deh," kata Rachel.
"Hei, kau mau jadi labah-labah?"
Rachel agak bergidik. "Tentu." Ia bohong. Aku tahu. "Kalau aku yang menarik
jerami pendek, dengan senang hati aku akan jadi labah-labah."
Kemudian ia nyengir. Ketahuan kan, bohongnya.
"Begini, kalian tidak harus melakukannya," kata Jake. "Hanya saja kita akan
menyusup ke dalam pertemuan The Sharing. Kaum Yeerk sudah waspada dengan morph
binatang. Kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan danau. Morph apa pun
yang kita gunakan, harus cocok dengan tempat itu. Kita tak bisa muncul di sana
sebagai singa, harimau, atau beruang."
"Oh, sayang sekali," tukas Cassie.
"Kita perlu penglihatan yang baik, tapi bukan mata standar mamalia. Dan kita
tidak bisa masuk dengan wujud yang sama semua. Aku mau ada dua orang yang siap
di belakang sebagai pasukan penyelamat, siapa tahu kita gagal. Ax harus masuk
karena kita memerlukan dia untuk melihat dan menyimpulkan Erek itu sebetulnya
apa. Ax akan masuk sebagai labah-labah, dan kita perlu satu orang untuk
menemaninya." "Apa Ax sudah diberitahu?"
"Dia tadi di sini. Waktu kau masih tidur. Menurutnya tubuh labah-labah jauh
lebih menguntungkan daripada tubuh manusia," kata Cassie. "Tepatnya dia ngomong
begini, 'Ah, bagus. Dengan delapan kaki dia tidak akan jatuh seperti manusia.'"
"Kau harusnya gembira kami menunggumu," geram Rachel. "Ayo, cabut satu jerami."
Jake menggenggam lima batang jerami. Satu di antaranya pendek, tapi sama sekali
tak bisa ditebak yang mana.
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah. Aku tahu strateginya," kataku. "Kita hitung secara matematis. Kalau aku
duluan memilih, kemungkinanku satu banding lima. Pemilih berikutnya,
kemungkinannya satu banding empat, kemudian satu banding tiga, dan seterusnya.
Jadi, paling aman pilih lebih dulu."
Kutarik napas dalam-dalam, kuulurkan tangan dan kucabut satu jerami.
Sekali lagi kutarik napas dalam-dalam dan kupandang... potongan jerami yang
sangat pendek! "Buset, secara matematis kan tidak begini," kataku. Aku mau nangis rasanya.
Rachel memutar bola matanya. "Begini saja deh, kalau kau mau cengeng, biar aku
yang jadi labah-labah."
Seharusnya aku bilang saja "oke". Seharusnya begitu. Tapi yang kubilang malah
begini, "Jangan merendahkan diriku, oh, Xena yang perkasa. Jangan hanya karena
aku bukan idiot yang sembrono, maka aku dianggap pengecut. Belum pernah aku
menghindari morph apa pun. Dan jika Ax masuk, aku juga. Kau tinggal saja di
belakang jadi pasukan cadangan, Rachel. Aku akan masuk ke tempat aksi
berlangsung." Mendengar itu Rachel menjawab dengan sangat tenang, "Oke."
Sekarang kau paham kan, kenapa cowok dan cewek sebaiknya tidak bertempur sama-
sama. Soalnya kalau kepepet, susah bagi cowok untuk jadi pengecut kalau ada
cewek di situ. Apalagi kalau ceweknya cakep dan pemberani. Seandainya tadi cuma
ada Jake dan Tobias, aku pasti sudah nangis guling-guling di tanah.
Cassie mengulurkan labah-labahnya. "Tidak parah kok," katanya. "Kemarin aku
sudah coba, pingin tahu gimana rasanya. Charlotte's Web kan salah satu buku
favoritku." Charlotte's Web itu mengisahkan Charlotte si Labah-labah yang bertekad
menyelamatkan sahabatnya, Wilbur si Babi, dari acara penjagalan tahunan.
"Pantas saja," gumamku. Tapi ucapan Cassie itu membuatku tak bisa mundur. Rachel
siap menggantikanku, dan Cassie bahkan sudah mencobanya.
Kuulurkan jariku, menyentuh si labah-labah. Ternyata gemetar.
Jariku, bukan labah-labahnya.
Kusentuh punggung si labah-labah. Ia mencoba meloloskan diri, tapi Cassie
mengatupkan tangannya, menutupi si labah-labah dan jariku.
Si labah-labah seolah jadi beku ketika aku menyadap pola DNA-nya. Berkat
teknologi Andalite yang telah mengubahku, DNA labah-labah itu memasuki sistem
tubuhku. Mungkin bangsa Yeerk benar. Mungkin Andalite itu bangsa yang suka mencampuri
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka Kisah Para Penggetar Langit 5
K.A. Applegate Menyelamatkan Kristal Android
(Animorphs # 10) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Marco. Anak-anak menyebutku Marco si Gagah Perkasa. Marco si Keren. Marco si Luar
Biasa.Dan tentu saja cewek-cewek menyebutku... kece.
Oke, memang sih aku belum pernah dengar orang menyebutku kece, tapi aku yakin
bahwa di suatu tempat, di suatu waktu, pasti ada yang pernah menyebutku kece.
Kalau tidak, ya apa boleh buat deh.
Tapi kalau imut, jelas. Aku sudah pernah dengar mereka menyebutku "imut" dengan
telingaku sendiri. Dan tak lama lagi aku akan lebih sering mendengarnya, sebab aku telah melakukan
perubahan besar. Aku sudah memotong rambutku. Tentu bukan aku sendiri yang
memotong, tapi Charise, tukang pangkas langgananku. Dan menurut Charise, nilai
keimutanku telah naik dari sembilan jadi sepuluh!
Eh, tadi aku sudah ngomong apa saja, ya" Oh ya. Aku memberitahumu bahwa namaku
Marco. Aku tak bisa bilang siapa nama belakangku. Aku sudah lupa.
Tidak juga deh. Aku bohong. Aku tahu siapa nama belakangku. Cuma aku takkan
bilang. Dan aku juga takkan bilang nama lengkap teman-temanku atau di mana aku
tinggal. Apa yang akan kuceritakan padamu ini benar. Semuanya, kecuali bagian awal
tadi... soal aku "gagah perkasa" dan "luar biasa".
Yang lain, semuanya benar.
Aku tahu kedengarannya semua ini aneh. Tapi itu memang kenyataan.
Ayo, kita mulai dengan alasan kenapa aku tak mau memberitahumu nama belakangku.
Sebab aku punya musuh. Kita semua memang punya musuh. Tapi musuh-musuhku ini
sangat berkuasa dan sangat berbahaya. Bukan seperti teman sekelasmu yang sering
mengataimu "si bloon".
Dan kalau mereka tahu aku ini siapa, aku akan langsung mati, begitu cepatnya
sampai aku tak sadar aku sudah mati.
Para Yeerk tidak bisa dibuat main-main. Para Yeerk sama sekali tak memikirkan
kebaikan. Mereka tak punya belas kasihan.
Mereka tidak peduli bahwa aku masih anak-anak. Para Yeerk punya rencana
memperbudak atau membinasakan seluruh umat manusia. Mereka sama sekali tidak
ragu-ragu untuk menggilas aku yang imut ini.
Tapi bangsa Yeerk ini bukan cuma musuhku, lho. Mereka musuh semua manusia.
Bahkan musuh Bumi sendiri. Dan mereka ada di mana-mana.
Mereka spesies parasit. Tahu cacing pita" Nah, seperti itulah mereka: cacing
pita yang cerdas. Mereka sebetulnya cuma ulat, yang panjangnya cuma beberapa senti. Mereka masuk
ke tubuh manusia lewat lubang telinga. Setelah berhasil menyusup, mereka lalu
melebarkan diri seperti kulit martabak, lalu membungkus otakmu. Mereka menyusupi
semua kerutan dan lipatan yang ada di otakmu dan mengontrol pikiranmu.
Mereka menguasaimu. Mereka membuatmu menjadi apa yang mereka sebut Pengendali.
Manusia mesin. Cuma tubuh, yang pikirannya sudah dilindas dan tak berdaya lagi.
Itulah yang mengerikan. Para Yeerk ini tidak cuma menguasai pikiran dan tubuhmu.
Kau tahu apa yang terjadi. Kau tetap sadar. Kau cuma bisa mengawasi si Yeerk
membuka ingatanmu, mengawasi si Yeerk menipu keluarga dan teman-temanmu,
mengawasi si Yeerk mengubah orang-orang yang kaucintai menjadi budak yang sama
seperti dirimu sendiri. Kau mencoba menggerakkan tanganmu, tapi tak bisa. Kau mencoba bicara, tapi tak
bisa. Kau bahkan tak bisa mengendalikan apa yang ingin dilihat matamu. Begitulah
rasanya jadi budak Yeerk.
Ibuku juga Pengendali. Semula kami mengira ia sudah meninggal. Setahuku Mom meninggal karena tenggelam.
Tapi belakangan aku tahu, ia masih hidup.
Yeerk yang sangat kuat telah menguasai tubuhnya. Aku bahkan tak tahu berapa lama
ia sudah menjadi Pengendali sebelum ia menghilang. Aku tak tahu berapa kali
ciuman selamat tidurnya adalah tindakan Yeerk yang menyamar jadi manusia.
Ibuku dikuasai Visser One. Visser itu pangkat bagi para Yeerk, kira-kira
setingkat panglima perang atau jenderal. Visser One-lah yang meluncurkan
serangan rahasia ke Bumi. Dan kini Visser Three yang mengambil alih.
Sekarang Visser One - dan juga ibuku - ada di suatu tempat... mungkin berjuta-juta
kilometer jauhnya dari sini.
Tak ada seorang pun yang tahu nasib ibuku selain aku dan sahabatku, Jake. Aku
tak mau yang lain tahu. Aku tak mau dikasihani mereka.
Yeerk sudah ada di sini. Di mana-mana. Bukan cuma ibuku, tapi mungkin ibumu
juga, mungkin sahabatmu, mungkin semua orang di sekitarmu. Kalau kau berkumpul
dengan keluarga dan teman-temanmu, mungkin kau satu-satunya yang bukan
Pengendali. Itulah sebabnya kami melawan mereka. Kami, Animorphs.
Aku lho yang menciptakan nama itu. Keren, kan. Tiba-tiba saja muncul di kepalaku
Animal morpher. Animorphs.
Tapi tidak semua alien di jagat raya ini Yeerk. Jagat raya punya pahlawan juga.
Pahlawannya adalah Andalite bernasib malang yang saat menjelang ajalnya memberi
kami kemampuan untuk menyerap DNA binatang, untuk kemudian berubah menjadi
binatang itu. Namanya Elfangor. Ia, dan banyak Andalite lain, tewas saat berjuang
mempertahankan Bumi kita dari penguasaan bangsa Yeerk.
Jadi, untuk dia-lah, dan untuk semua penduduk Bumi ini, kami berjuang, berharap
bisa menghambat bangsa Yeerk cukup lama, sehingga bangsa Andalite punya
kesempatan untuk datang lagi dan menyelamatkan kita semua.
Siapakah "kami?"
Yah, salah satunya aku, Marco si Gagah Perkasa. Kemudian Rachel - yang mengira
dirinya - Xena: Warrior Princess. Dan Tobias si cowok burung - Bird-boy. Dan
Cassie, si pemeluk pohon. Dan Ax, Andalite yang sudah jadi penduduk Bumi. Dan
tentu saja, pemimpin kami yang tak kenal takut, sohibku Jake.
Jake teman baikku yang kelewat serius.
Jake yang penuh tanggung jawab dan bersikap dewasa.
Jake, yang membuatku penasaran dan sebal karena selalu menolak kalau diajak
bersenang-senang. "Begini," kataku pada Jake, "ini kan bukan tindakan kriminal. Sama sekali tak
ada peraturan yang melarang anjing nonton konser terbuka. Habis, mereka tidak
menyediakan tiket untuk anjing sih."
"Kau tahu, kan, Marco, kita diberi kemampuan morph bukan untuk nonton konser,"
kata Jake. Kami sedang berjalan pulang setelah latihan basket. Jake mendribel bola sambil
berjalan. "Nine Inch Nails. Alanis. Offspring," kataku.
Ia berhenti dan menatapku. "Marco?"
"Yeah?" "Kenapa tuh rambutmu?"
"Kau baru lihat" Keren, kan?"
Jake cuma melongo. "Offspring?" katanya akhirnya. "Kau yakin Offspring akan
main?" Kulihat pertahanannya mulai melemah. Ia jadi lebih pelan mendribel bolanya.
"Kudengar kalau lagi pertunjukan, mereka hebat banget. Pakai menendang-nendang
segala. Mereka menguasai panggung. Semua musuh digilas. Mereka meledak-ledak.
Mereka..." "Marco, setelah menegur Rachel dan Cassie yang telah menggunakan morph untuk
alasan pribadi, aku tak bisa..."
"Memangnya aku akan bilang-bilang pada mereka?" bantahku.
Jari-jariku menyisir rambut baruku yang pendek. Keren deh. Aku tak peduli cara
Jake melongo menatap rambutku. Yang penting keren.
"Aku munafik dong," kata Jake.
Aku berpikir sesaat. "Kau tahu, Jake... sudah lama aku curiga bahwa Alanis
mungkin Pengendali. Dan, sebagai Pengendali, bayangkan saja pengaruh buruk yang
bisa ditebarkannya untuk mempengaruhi dan menyesatkan anak-anak polos yang mudah
dipengaruhi, seperti kita ini. Oh, memikirkannya saja aku ngeri! Kita punya
kewajiban, Jake. Kita punya kewajiban suci untuk menonton konser itu dan
memastikan kalau-kalau salah satu dari bintang-bintang ini Pengendali."
Jake mengembangkan senyum khasnya yang pelan. "Itu alasan paling lemah yang bisa
kaukemukakan." Aku tertawa. "Yang benar aja. Sudah banyak alasan lebih parah yang pernah
kuajukan." Kami hampir tiba di rumah Jake, maka kami berhenti. Kakak Jake, Tom, adalah
Pengendali. Kami tidak mau bicara di dalam rumah.
"Kau tahu," kata Jake, "kalau kau ngotot mau pergi nonton konser ini, aku
terpaksa pergi juga. Yah, apa boleh buat. Aku harus mengawasimu."
Jake memang bertanggung jawab, tapi ia toh bukan bapak-bapak berumur empat puluh
tahun. Aku nyengir. "Jake, aku tetap mau nonton konser ini, peduli amat kau setuju atau
tidak." "Kalau begitu sebaiknya aku pergi juga, untuk menjaga dan melindungimu," kata
Jake. "Cari cara untuk menutupi rambutmu itu."
Aku mengerutkan wajah. "Kau lucu deh."
"Memang," kata Jake, nyengir senang pada humornya sendiri.
"Aku akan jadi Homer, kurasa. Kau benar. Paling baik jadi anjing untuk nonton
konser itu. Tak akan ada yang peduli kalau ada anjing di sana, karena anjing
selalu berkeliaran kalau ada kegiatan di alam terbuka. Dan pendengaran anjing
tajam sekali. Kau harus menentukan jadi anjing apa."
"Sudah," kataku puas. "Irish setter. Cewek-cewek suka Irish setter. Heh, heh,
heh." Kuperdengarkan tawa "seram"ku dan aku mendelik pada Jake.
Ia ikut tertawa. Ada saat-saat dalam hidup yang semula kelihatannya biasa-biasa saja. Seperti
kejadian normal sehari-hari. Tapi kemudian, rasanya seperti melangkah dari
puncak bukit, menginjak udara kosong, dan mendadak saja kau jatuh terguling.
Tiba-tiba kausadari bahwa keputusanmu yang sederhana dan tak berbahaya itu sudah
meleset di luar kendali. Aku telah memutuskan untuk menyelundup nonton konser. Aku tidak memutuskan untuk
membongkar salah satu rahasia terbesar dalam sejarah umat manusia, atau untuk
menjadi orang yang akan menentukan nasib suatu bangsa.
Aku cuma mau mendengar musik.
Kan sama sekali tidak berbahaya.
Chapter 2 ADA beberapa masalah besar yang berkaitan dengan metamorfosis. Yang pertama,
batas waktu yang dua jam itu. Jika kau berada dalam morph lebih dari dua jam,
kau terperangkap selamanya.
Kedua, kenyataan bahwa semua naluri dasar binatang ikut kauterima bersamaan
dengan berubahnya wujudmu menjadi binatang itu. Kadang-kadang waktu kau meloncat
ke dalam otak binatang itu, rasanya seperti kesetrum listrik.
Yang terakhir, faktor kengerian. Maksudku, ngeri sekaliii, campuran ngeri
Stephen King dan Anne Rice. Kalian tahu, kan, keduanya pengarang top yang
dijuluki raja dan ratu horor, saking seramnya cerita-cerita karangan mereka.
Konser musik itu diadakan di arena terbuka yang luas, di salah satu ujung taman
kota. Kami perlu tempat sepi untuk bermetamorfosis, dan itu ternyata tidak
mudah. Di mana-mana ada orang. Beribu-ribu. Anak-anak yang memakai T-shirt
hitam. Remaja-remaja yang memakai kacamata cengdem. Pasangan-pasangan muda yang
menggendong bayi mereka dengan dandanan santai. Dan roker hardcore punk yang
ditindik di mana-mana. Maksudnya, bukan cuma di kuping saja.
Di seberang taman ada jalan kecil dengan deretan kafe, restoran, dan toko buku
yang khusus menjual buku ekologi. Ada gang-gang kecil di belakang restoran. Ke
situlah tujuan kami. Salah satu gang itu buntu, tumpukan sampah teronggok di
ujungnya. "Hebat," gumam Jake. "Kita berdua di tempat sampah. Asyik benar."
"Ayo, kita segera berubah," ajakku. Aku sudah tak sabar. Suara band yang
melakukan pemanasan sudah terdengar.
"Kau belum pernah berubah jadi anjing, kan?" tanya Jake.
"Belum." Ia tersenyum. "Jangan terlalu senang," sarannya.
Aku tak begitu mengacuhkannya. Aku memandang berkeliling dan melihat beberapa
cewek hipi lewat. Mereka tidak bisa melihat kami.
Kubuka baju luarku. Kini aku tinggal memakai seragam metamorfosisku. Kujejalkan
pakaian dan sepatuku ke dalam tas yang telah kami bawa dan kusembunyikan di
balik tumpukan sampah. Kupusatkan pikiran pada anjing yang telah kuserap DNA-nya. Segera kurasakan aku
mulai berubah. Aku sudah pernah menjelma menjadi binatang-binatang yang jauh lebih aneh
daripada anjing. Tetapi setiap metamorfosis punya keanehan tersendiri. Setiap
metamorfosis tak bisa diduga. Kau tak tahu apa yang akan terjadi.
Kukira yang akan muncul duluan bulunya. Ternyata bukan. Yang pertama tampak
malah ekornya. Kurasakan ekor itu begitu saja mencuat dari bagian bawah tulang
punggungku. Aku menoleh untuk melihatnya. "Ih, jijai!"
Ekor itu sudah muncul, tapi belum ada bulunya. Jadi tampilannya seperti cambuk
dari kulit ayam yang telah dicabuti bulunya. Warnanya keabu-abuan.
Aku menoleh lagi untuk memandang Jake. Wajahnya menggelembung seakan ada sesuatu
yang mencoba mendesak keluar dari mulutnya. Pada saat yang bersamaan moncongku
sendiri mulai tumbuh. Ada bunyi berkertak dari dalam kepalaku ketika tulang
rahangku mulai mencuat ke depan.
Mulutku terasa gatal ketika gigi-gigiku bertambah besar dan berubah susunannya.
Kulihat jari-jari tanganku memendek. Pada saat yang bersamaan, pada jari-jari
pendek itu muncul kuku kehitaman. Telapak tanganku jadi tebal dan kapalan.
Kurasakan tulang-tulang kaki dan lenganku meregang, berubah arah, dan tubuhku
menyusut jadi kecil. Tiba-tiba saja aku tak bisa lagi berdiri. Aku terjatuh,
disangga telapak tanganku yang kapalan.
Baru saat itulah buluku tumbuh. Bagus lah. Soalnya aku jelek banget tanpa bulu.
Bulu kemerahan itu tumbuh dengan cepat, seperti rumput paling cepat di dunia.
Menyembul begitu saja dari kulitku, panjang dan lembut.
Ia balas mengatakan sesuatu padaku, tapi tepat saat itu naluri anjingku bekerja.
Aku sudah pernah jadi serigala, jadi aku sudah siap. Aku tahu pendengaranku akan
luar biasa. Aku tahu penciumanku akan hebat sekali.
Tapi yang tak kuduga-duga adalah pikiran si anjing. Sama sekali tidak seperti
pikiran serigala. Serigala adalah pembunuh yang tenang, kejam, dan cerdik.
Anjing ternyata bodoh. Kau ingat lagu lama Girls Just Wanna Have Fun" Cewek maunya cuma senang-senang,
katanya. Nah, lagu itu cocok sekali dijadikan lagu kebangsaan anjing. Anjing
maunya juga cuma senang-senang.
Itu yang membuatku terkecoh. Otak anjing Irish setter itu tidak terasa sebagai
otak binatang asing. Rasanya malah seperti otakku sendiri. Soalnya cocok sekali
dengan bagian otakku yang ingin senang-senang melulu.
Aku memandang Jake lewat mata anjingku yang agak buram. Ia telah menjelma
menjadi anjingnya, Homer. Kujulurkan lidahku dan aku terengah-engah. Jake/Homer
balas terengah-engah. "GUKK!" aku menggonggong, tanpa alasan. Aku juga menari-nari. Tarian anjing.
Seakan aku mau lari, tapi tiba-tiba aku berhenti dan mendekam dengan keempat
kaki dan nyengir bloon pada Jake.
Aku mengajaknya bermain-main.
Aku melesat lari meninggalkan gang.
Aku berlari sekencang-kencangnya, kukuku berbunyi tak-tuk tak-tuk kena aspal,
kupingku yang lebar melambai, ekorku teracung dan bergoyang-goyang.
Aku berlari sepanjang gang, sama sekali tidak mengacuhkan bau sampah busuk yang
sedap. Aku berbelok menuju taman dan menyeberang jalan. Jake ketinggalan, tertahan oleh
gerombolan orang. CIIIIIIEEETTT! Rem berdecit nyaring. Mobil itu berhenti hanya satu meter di depanku. Nyaris
saja! Maksudku, kalau sopirnya sepersekian detik terlambat menginjak rem, aku
sudah gepeng terlindas. Tapi reaksi otak anjingku terhadap kejadian yang nyaris
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merenggut nyawaku itu cuma, "Asyik! Aku membaui sesuatu!"
Aku serius nih. Fakta bahwa aku mencium kencing anjing lain di trotoar sepuluh
ribu kali lebih menarik bagi otak anjingku daripada decitan mendadak rem mobil.
Si sopir keluar dan berteriak-teriak. Aku nyengir padanya. Cengiran senang
anjing. Lalu berjalan santai pergi.
Tiba-tiba saja aku dikelilingi orang. Tapi mereka sama sekali berbeda daripada
orang-orang yang kulihat tadi waktu aku masih jadi manusia.
Aku tidak benar-benar melihat orang-orang ini. Aku mencium bau mereka. Bagaimana
tampang mereka tidak begitu penting. Yang penting bau mereka!
Aku mencium bau keringat, bau sampo, bau napas yang busuk.
Aku mencium apa yang tadi mereka makan, apa yang tadi mereka injak.
Aku mencium bau deterjen, bau siapa saja yang telah mereka sentuh atau dengan
siapa saja mereka telah bersalaman.
Dan aku bisa mencium bau binatang-binatang peliharaan mereka. Manusia-manusia
itu seakan memakai pengumuman besar dengan neon menyala yang berbunyi AKU PUNYA
ANJING atau AKU PUNYA KUCING.
Aku tidak hanya bisa membaui siapa yang punya anjing, aku bisa membaui apakah
anjing mereka jantan atau betina, muda atau tua, dikebiri atau tidak. Hanya
dengan mengendus orang-orang yang lewat, aku bisa tahu apakah anjing mereka
makan makanan kaleng berkuah atau makanan kering.
Maksudku, kalau kaubandingkan indra penciuman anjing dan manusia, rasanya seakan
seumur hidup kau menyumpalkan kapas dalam lubang hidungmu dan tiba-tiba saja
kini kau melepasnya dan wow! Wow! Kau mendapat pengalaman yang sama sekali baru.
Aku pernah jadi serigala di hutan. Sekarang ini rasanya seolah aku jadi serigala
di tengah kota. Informasi yang diterima hidungku begitu kompleks. Begitu penuh,
begitu beragam, begitu menyenangkan.
"Hei, ada anjing!." ada yang berteriak.
Cewek! Aku yakin ia cewek. Tapi cantikkah cewek itu"
Kucoba memfokuskan mata anjingku, tapi percuma saja. Kayaknya mataku tidak mau
kompromi dengan kemauanku. Aku bisa melihat cukup jelas, tapi otak anjingku
sudah terlalu sibuk membau-baui dan mendengarkan. Aku mencium bau minyak wangi
sih, makanya kutebak itu cewek.
Cewek itu mengulurkan tangan dan membelai kepalaku. Dalam sekejap perasaan
nyaman menerpa diriku. Kemudian dia menggaruk belakang telingaku.
Aaah. Enak sekali. Asyik banget. Mungkin ini perasaan paling asyik yang pernah
kurasakan sepanjang hidupku.
Maunya sih aku berdiri terus di situ dan membiarkannya menggaruk belakang
telingaku selamanya. Tapi kemudian datang cowok - kebetulan cowok yang punya
kucing - lalu cewek itu mulai menggaruk dadaku.
Aku rebah dan berguling. Garukan di dadaku itu serasa gelitikan. Aku bahagia
sekali. Aku lebih dari sekadar bahagia.
Soalnya, bahagianya anjing kan lain daripada bahagianya manusia. Kebahagiaan
manusia selalu ditingkahi suara kecil di dalam pikiran yang mengingatkan,
"Jangan terlalu bahagia. Waspadalah. Sesuatu yang buruk masih bisa terjadi."
Tetapi kebahagiaan anjing adalah murni. Jadi aku cuma menjulurkan lidahku yang
basah dan memukul-mukulkan ekorku ke tanah, dan kemudian terjadilah itu. Kakiku
bergerak sendiri. "Hah, aku suka melihat anjing begitu," kata si cowok. "Lucu sekali!"
Ceweknya terus menggaruk dadaku dan kaki belakangku bergerak di luar kendali,
dan aku serasa di surga deh. Saat itulah Jake menemukan aku.
"Oh, ada anjing lain," kata cewek itu. "Yang ini lebih lucu!" Ia membungkuk
untuk membelai Jake. Tindakannya itu membuatku sadar. Jake anjing yang lebih lucu daripada aku" No
way!
menyenangkan itu.
Kemudian sesuatu yang luar biasa terjadi. Selama beberapa menit tadi tak
terdengar suara musik, lalu tiba-tiba saja, Offspring naik ke panggung dan mulai
beraksi. Mereka membawakan sebuah lagu dan aku sedikit gemetar ketakutan. Efeknya pada
telinga anjingku sungguh mengejutkan.
Bukan cuma karena musik itu terlalu keras. Tapi juga karena aku bisa mendengar
segalanya. Segalanya.
Kami mendekat, menuju kerumunan manusia. Baunya sungguh luar biasa.
Tiba-tiba saja aku melihatnya. Ia sedang membagikan brosur. Ia berjalan di
antara orang-orang sambil membagikan selebaran.
Angin menerbangkan selembar brosur, jatuh di depanku. Kupaksakan mata anjingku
melihatnya. Aku tak bisa membaca tulisan kecil-kecilnya, tapi aku bisa melihat
dua kata besar di bagian atas.
The Sharing. The Sharing. Organisasi terkemuka untuk para Pengendali.
Rambut anak itu cokelat, cepak, sedikit di atas telinganya. Tingginya mungkin
satu setengah meter, tapi penampilannya lebih tinggi. Mirip Jake, tapi versi
yang lebih pendek, kuat, dan percaya diri.
mau menerimanya. Ia jongkok dan tersenyum padaku. Tangannya terulur mau membelaiku, tapi aku
menarik diri. Erek mengangkat bahu dan berjalan pergi, meneruskan membagi
brosurnya.
Chapter 3 "DIA tidak berbau," kataku.
"Apa maksudmu, dia tidak berbau?" tuntut Rachel.
"Maksudku ya dia tidak berbau. Dia memang sudah ketempelan bau orang-orang lain,
bau dari tanah, bau anjing, apa saja deh, tapi dia sendiri tak berbau. Sama
sekali tidak. Seperti lubang hitam, begitu. Seolah-olah dia tidak ada."
Saat itu petang hari, hari yang sama. Jake dan aku meninggalkan konser tak lama
setelah kami bertemu Erek. Kami mengumpulkan anggota yang lain, dan sekarang
semuanya, kecuali Ax, ada di gudang jerami Cassie.
Gudang jerami Cassie sebetulnya adalah Klinik Perawatan Satwa Liar. Semacam
rumah sakit untuk binatang-binatang liar yang sakit. Kedua orangtua Cassie
dokter hewan. Ibunya bekerja di The Gardens, kombinasi kebun binatang dan taman
hiburan. Ayahnya (dengan banyak bantuan dari Cassie) merawat semua binatang liar yang
sakit atau terluka yang mereka temui. Di gudang itu berderet kandang-kandang
kawat berisi rakun, rubah, oposum, elang, kelinci, angsa, luak, burung gagak,
bajing... sebut binatang apa saja deh, pasti ada. Namanya juga pusat binatang.
"Mungkin kau tidak bisa menangkap baunya," usul Rachel.
"Rachel," kau pernah jadi serigala," kata Jake. "Kau tahu tajamnya penciumanmu,
kan" Nah, penciuman anjing hampir sama tajamnya."
Rachel menggeleng. Itu yang dilakukannya jika ia frustrasi. Ia berdiri di tengah
kandang, kelihatan rapi, seperti biasanya.
Rachel ini pantasnya jadi cover girl. Cantik, modis, jangkung banget, giginya
putih rapi, rambutnya pirang dan amat lebat. Tapi di balik semua pakaian modis
dan make-up yang rapi itu, tersembunyi pahlawan Amazon yang siap mengayunkan
pedangnya, tinggal menunggu saat yang tepat. Jadi, Rachel itu cantik sekaligus
berbahaya. Jake adalah sepupunya dan Cassie sahabatnya. Kalau Cassie sih mengalami emosi
normal manusiawi, seperti takut atau ragu-ragu.
Aku menghargai ini, sebab aku sendiri juga mengalami banyak ketakutan dan
keraguan. Sejak menjadi anggota Animorphs aku sudah mengalami lebih banyak
ketakutan dan keraguan dibanding yang dialami manusia biasa, walaupun ia hidup
sepuluh kali. Cassie belum pernah ketemu gaun yang disukainya. Ia tidak berlangganan majalah
cewek seperti Teen atau Gadis. Cewek kayak dia pasti lebih suka beli majalah
macam Binatang-binatang Berbau di Amerika, kalau ada. Itu tuh, majalah yang
memuat artikel seperti "Bagaimana Memberi Obat Pencahar pada Rakun", atau "Mari
Kita Selidiki Muntahan Burung Hantu!".
Kalau kau mau membayangkan Cassie, bayangkan saja cewek pendek, imut, dengan
rambut hitam sangat pendek, memakai overall dan sepatu bot berlumpur dan
kelihatannya mampu menyuntik tetanus seekor beruang yang sedang marah.
Cassie ahli binatang dan giat di bidang ekologi. Kalau tak tahu, aku akan bilang
ia lebih suka binatang daripada manusia. Tapi kebetulan aku tahu bahwa ia benar-
benar menyukai Jake. Maksudku suka yang itu tuh.
Sebetulnya, ia dan Jake saling menyukai, meskipun tentu saja keduanya tak ada
yang mau terang-terangan mengakui. Mereka memperlihatkan perasaan yang
sebenarnya hanya kalau kami sudah tinggal dua belas detik lagi menyerempet maut.
Nah, baru saat itulah mereka akan saling memandang dengan tatapan yang sarat
kesedihan. Kuno banget deh. Anggota orisinal kami yang terakhir sedang bertengger di palang di langit-langit
gudang. Cakar Tobias mencengkeram kayu palang kuat-kuat, supaya mantap
tenggerannya. Paruhnya yang bengkok menyisiri sayap kanannya agar rapi.
Tobias adalah elang ekor merah. Ia berubah jadi elang sejak terlalu lama berada
dalam morph elang itu. Sekarang kebanyakan ia hidup sebagai elang. Maksudku, ia
berburu dan makan seperti elang.
Yah, terpaksa, soalnya ia memang tidak punya banyak pilihan. Mana ada sih
sekolah yang tertarik punya murid seekor cowok burung.
Tobias tinggal di dalam hutan, bersama Ax. Ax itu Andalite, adik Elfangor, dan
satu-satunya Andalite yang bebas dalam jarak setriliun kilometer Bumi.
Ax tidak ikut pertemuan, seperti biasanya. Ia bisa morph jadi manusia sih, tapi
ia tidak mau terlalu sering melakukannya. Lagi pula, ia menganggap Jake
"pangerannya", dan ia akan melakukan apa saja yang diperintahkan sang pangeran
kepadanya. Jadi, itulah grup kecil kami. Rachel, berdiri di tengah ruangan, seakan ada yang
sedang mengarahkan lampu sorot kepadanya. Jake, berjalan mondar-mandir, wajahnya
kelewat tegang. Cassie, menggendong bebek sambil mengganti perbannya. Tobias,
merapikan bulunya dan memandang berkeliling dengan pandangan galak. Dan aku,
santai tiduran di atas gundukan jerami.
"Sttt," kata Jake tiba-tiba. "Rasanya aku mendengar sesuatu."
"Kau yakin?" tanya Jake.
Tobias berhenti menyisir bulunya dan memandang Jake. Pandangan elangnya semakin
tajam.
Jake mengangguk, kelihatan agak malu. Elang bukan cuma punya penglihatan yang
tajam, pendengaran mereka juga lebih baik daripada manusia. Dan Tobias tahu
betul bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh binatang-binatang yang bisa jadi
mangsanya. Itu harus. Menanyai Tobias apakah ia mengenali bunyi bajing sama saja
seperti menanyai Einstein apakah ia tahu dua tambah dua berapa.
Kucoba mengembalikan pembicaraan ke topik semula. "Jadi, apa artinya kalau
seorang anak tidak berbau seperti manusia?"
"Dalam banyak kesempatan kau tidak berbau seperti manusia," kata Rachel
mencibir. "Tapi, mungkin itu karena kau memelihara monyet kecil di atas
kepalamu." Cassie mengeluarkan suara mendengus saat ia mencoba menahan tawa.
"Lain kali kalau mau potong rambut, bilang aku dulu," kata Rachel.
Kuabaikan keduanya. Ada urusan penting, mana mau aku merendahkan diri saling
ejek dengan Rachel. Lagi pula aku tak punya alasan untuk meledeknya.
"Dia tidak berbau, dan dia membagikan brosur The Sharing," kataku.
"Dia pasti punya hubungan dengan Yeerk," kata Rachel sambil mengangkat bahu.
"Tapi bagaimana?" tanya Cassie. Ia sedang mendorong si bebek masuk kandang lagi.
"Maksudku, Yeerk memang menguasai berbagai spesies - manusia, Hork-Bajir,
Taxxon. Tapi manusia yang kepalanya sudah ada Yeerknya sekalipun, seharusnya kan
masih berbau manusia. Iya, kan?"
"Mr. Chapman kan Pengendali. Dia masih bau manusia," kataku menimpali. "Ya,
ampun, bisa-bisanya aku ngomongin bau si wakil Kepsek."
Jake mengangkat bahu. "Kurasa kita perlu menyelidiki apa yang terjadi dengan
Erek." "Tapi, bagaimana kita bisa menemukan dia?" tanyaku. "Menyelundup dalam rapat The
Sharing?"
"Atau mungkin kita bisa kembali ke tempat konser tadi dan mencari petunjuk,"
usul Rachel. Kemudian ia berjengit sendiri. "Wow, kedengarannya kayak Nancy
Drew." Nancy Drew itu tokoh detektif cilik cewek.
"Mungkin Ax bisa mencoba menyadap Internet dan menembus semua buffer pengamannya
serta menemukan dia," aku menyarankan.
Cassie mengangkat tangan, seperti kalau ia mau bertanya di kelas. "Semua itu
rencana bagus, tapi bagaimana kalau kita cari lewat buku telepon saja?"
Kami semua melongo memandangnya.
"Atau kita bisa mencarinya di buku telepon," kata Jake malu.
Cassie pergi mengambil buku telepon.
"Wah, ini sih bukan tindakan superhero," kataku pada Jake. "Memangnya Wolverine
mencari alamat di buku telepon" Juga Spiderman" Kukira tidak."
"Yeah, tapi kita kan kalah jauh dibandingkan Wolverine," kata Rachel pahit. "Dia
kan tokoh khayal." Kemudian Rachel menjentikkan jarinya. "Itu dia. Potongan rambutmu itu
mengingatkanku pada Wolverine. Dari tadi aku merasa ingat sesuatu."
"Oh, yeah?" bentakku. "Lalu bagaimana dengan... dengan..."
"Dengan apa?" tanya Rachel tenang, yakin benar bahwa dirinya selalu tampak
sempurna, tak bercela. "Dengan kejangkunganmu," kataku lemah. "Kau jangkung... kelewat jangkung."
Tapi balasanku yang brilian ini tidak membuat Rachel menangis.
Cassie muncul kembali, membawa buku telepon yang sudah terbuka di huruf K. "Ada
dua puluh King di sini. Tapi kau bilang dia pindah ke Truman, jadi mungkin cuma
ada enam King yang tinggal di daerah itu."
"Kita coba satu-satu," kataku. "Walaupun nomor teleponnya mungkin saja tidak
terdaftar." "Aku tak bisa lama-lama di sini malam ini," kata Jake. "Aku masih harus buat
karangan bahasa Inggris itu."
"Aku bisa pergi besok malam, mungkin," kata Rachel. "Tapi tidak malam ini.
Ayahku ada di sini malam ini. Dia mengajak aku dan adik-adikku ke Planet
Hollywood." Cassie menatapku. "Aku bebas," katanya.
banyak berguna di malam hari.
"Bagus. Aku, Cassie, dan Tobias sampai gelap nanti," kataku. "Masa sih susah.
Misi kita kan cuma menemukan cowok yang tidak berbau."
"Mungkin dia sering mandi," kata Rachel. "Sudah kaupikirkan kemungkinan itu?"
Chapter 4 AKU ketemu Jake keesokan harinya di kantin sekolah.
Aku sedang menghabiskan Menu Hari Ini, minum susu dengan rakus, sekaligus
mencoba menulis karangan bahasa Inggrisku dengan kecepatan gila. Soalnya aku
sebetulnya punya PR yang sama dengan Jake, tapi aku menghabiskan waktuku
semalaman dengan berputar-putar sebagai burung hantu, mencari-cari rumah Erek.
"Karangan bahasa Inggris?" tanya Jake sambil duduk di depanku.
"Yeah." Ia tertawa. "Bagus juga punya teman seperti kau, Marco. Dibanding dirimu, aku
sungguh bertanggung jawab. Topiknya apa?"
Aku menatap Jake dan menekankan jariku ke kertas. "Aku sudah menulis tiga
halaman. Apa maksudmu, topiknya apa?"
Tapi Jake kenal aku. "Jadi," kata Jake, "topiknya apa?"
"Topiknya... akan muncul sendiri. Aku akan menulis terus, sampai aku menemukan
topik. Topiknya akan nongol sendiri dari halaman-halaman ini. Pasti muncul. Aku
tinggal nulis saja terus."
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mengangguk dan mukanya mengerut memandang Menu Hari Ini di nampannya.
"Makanannya biru. Makanan kok biru. Hei, ini topik bagus buatmu... Penggunaan
kata-kata muluk dalam penulisan karangan berbahasa Inggris."
Aku nyengir. "Aku jago menulis kata-kata muluk. Sudah tiga halaman dan belum
satu kali pun aku menyinggung soal penggunaan kata-kata muluk."
"Gimana" Kalian berhasil menemukan teman kita?"
Aku melirik ke kanan, kemudian ke kiri. Tak ada yang duduk cukup dekat untuk
bisa mendengar pembicaraan kami. Lagi pula, kantin ini begitu bising dengan
suara teriakan, tawa, dentang-denting piring, dan deritan kursi, sehingga orang
tidak bisa mendengar banyak.
"Yeah. Kami sudah tahu di mana dia tinggal. Kami melihatnya melalui jendela.
Wah, sayang deh. Salah satu dari rumah keluarga King yang kami awasi ada
ceweknya yang cakep banget."
"Kau tidak mengintipnya, kan?"
Kulemparkan pandangan marah dan tersinggung pada Jake.
"Bisa-bisanya kau ngomong begitu. Kaupikir aku ini orang macam apa?"
Jake mengangguk. "Ah, paling-paling Cassie melarangmu?"
"Aku sedang mencoba nulis karangan nih," kataku.
"Topiknya...?" "Topiknya bagaimana menulis seribu kata tapi tidak berarti apa-apa. Zero. Nada.
Nihil." Jake menurunkan volume suaranya sampai Cuma berbisik. "Kita harus menyelidiki
Erek. Jelas ada yang tidak beres."
Kutaruh pensilku. "Maksudmu masuk ke rumahnya?"
Jake mengangkat bahu. "Belum. Minta Tobias mengawasinya kalau dia sedang keluar.
Tapi Tobias perlu bantuan."
Aku mengangkat bahu dan meneruskan menulis karanganku.
"Aku akan membantu. Aku punya banyak waktu. Mulai sore ini aku putus sekolah.
Sesudah Pak Guru puas menertawakan karanganku ini."
"Topik... penggunaan retorika untuk menyamarkan ketiadaan isi," kata Jake.
Aku tersentak. Menengadah menatapnya. "Luar biasa! Maksudnya kan sama dengan
'penggunaan kata-kata muluk'... tapi ini kedengarannya jauh lebih keren!"
"Habiskan tuh makananmu. Aku pergi dulu."
Ia pergi. Kulihat ia menuju tempat Cassie duduk.
Itu memang salah satu peraturan kami. Kami tak boleh kelihatan seperti satu
grup. Baik di sekolah maupun di tempat umum, kami selalu menjaga jarak. Kami
bersikap sama seperti sebelum kami menjadi anggota Animorphs.
Kebetulan aku melihat Mr. Chapman masuk ke kantin. Ia menarik seorang anak yang
sedang berlarian dan menyuruhnya pelan-pelan. Kemudian pandangannya mengitari
ruangan, mencari anak-anak yang suka membuat onar, seperti yang biasa dilakukan
wakil kepala sekolah yang normal.
Tapi Mr. Chapman tidak normal. Ia Pengendali. Yeerk dalam kepalanya punya
pangkat cukup tinggi, sehingga bisa bicara langsung dengan Visser Three.
Sedetik pandangan Mr. Chapman bentrok dengan pandanganku. Biasa saja sebetulnya.
Tapi aku merinding.. Mr. Chapman mengetuai The Sharing. Brosur yang dibagikan Erek di konser adalah
brosur tentang The Sharing.
Erek sebetulnya bukan teman akrabku. Kami cuma saling sapa kalau bertemu saja.
Tapi ia hadir di acara pemakaman ibuku. Pemakaman tanpa jenazah.
Beberapa anak lain dari sekolah juga hadir, jadi tadinya tidak begitu
kupikirkan. Tapi, bagaimanapun juga, Erek baik sekali mau datang. Dan sekarang
ia bekerja untuk The Sharing.
The Sharing adalah organisasi terkemuka untuk para Pengendali. Kelihatannya sih
seperti semacam klub biasa. Anak-anak jadi anggotanya dan mereka melakukan
kemping atau karya wisata.
Orang dewasa yang jadi anggotanya seakan saling melakukan transaksi bisnis dan
berakhir pekan di tempat main ski.
Dan mungkin sebagian besar anggota The Sharing sama sekali tak tahu apa yang
sedang terjadi. Tetapi para Pengendali yang menjadi pengurus The Sharing selalu
mencari orang-orang yang punya masalah.
Soalnya, para Yeerk ini tidak mencari pengikut cuma dengan memaksa orang. Banyak
orang menjadi Pengendali karena pilihannya sendiri. Mungkin karena mereka ingin
merasa hebat, ikut dalam misi rahasia. Atau mungkin kerahasiaannyalah yang
mereka anggap mengasyikkan. Aku tak tahu.
Yang aku tahu hanyalah, para Yeerk lebih suka induk semang sukarela. Mereka
lebih suka kau menyerahkan diri daripada memaksamu menjadi Pengendali.
Mereka mendidikmu pelan-pelan melalui tingkat-tingkat dalam The Sharing, sampai
mereka memutuskan kau sudah siap. Kemudian mereka membuat janji-janji dan
membohongimu, dan sebelum kau sadar, kau sudah jadi budak dalam pikiranmu
sendiri. Dan kau lebih mudah dikuasai karena kau sendiri yang mengizinkannya.
Kusingkirkan nampanku dan kuambil lagi pensilku. Kutatap kertasku.
Tapi yang kulihat misa arwah. Nyanyian. Karangan bunga. Pastor yang berkhotbah
betapa baiknya ibuku. Kenal ibuku pun ia tidak. Aku ingat dalam gereja itu aku
menoleh-noleh, ingin melihat siapa yang datang. Banyak orang datang. Banyak
wajah sedih. Banyak air mata. Sebagian besar orang berwajah sedih, karena
begitulah yang diharapkan jika kita menghadiri pemakaman.
Erek duduk di deret ketiga dari belakang. Ia memakai jas yang mungkin membuat
gatal dan tidak nyaman. Tapi ia tidak kelihatan sedih. Ia kelihatan marah. Dan
ia menggelengkan kepala pelan-pelan, ke kanan dan ke kiri, seakan tanpa sadar ia
tidak menyetujui semua yang diucapkan pastor.
Saat itu aku mengira ia marah karena harus memakai jas yang menyebalkan. Itu
bisa kumengerti. Dan sekarang Erek muncul lagi. Anak yang tidak berbau. Anak yang bekerja untuk
The Sharing. "Nah, Erek," gumamku pelan, "kita lihat nanti. Kita lihat kau ini sebenarnya
siapa." Chapter 5 DI dunia ini mungkin ada yang lebih mengasyikkan daripada terbang dengan sayapmu
sendiri, tapi apa ya" Aku tak bisa membayangkannya.
Naik rollerblade" Hah! Berselancar" Jauh. Terjun payung" Lebih dekat, tapi tak
ada separonya dibanding terbang beneran.
Tak ada yang bisa mengalahkan keasyikan terbang.
Saat itu sepulang sekolah pada hari yang sama. Aku menyelesaikan tugas karangan
bahasa Inggrisku tepat sembilan detik sebelum Pak Guru datang mengumpulkannya.
Kemudian ganti pelajaran sejarah dan aku mendapat tugas menulis karangan lagi.
Begitulah sekolah: tugas-tugas tak ada habisnya. Tetapi akhirnya bel pulang
berbunyi. Asyiiik! Bebaaas! Aku meninggalkan kelas dan mencari tempat sunyi untuk
bermetamorfosis. Aku ingin memata-matai Erek. Mengingat upacara pemakaman dan
lain-lainnya, rasanya menyelidiki Erek menjadi lebih penting, walaupun aku tak
yakin apa sebabnya. Aku memanjat ke atap ruang senam. Tentu saja sebetulnya kami tak boleh ke sana,
tapi kan aku punya alasan. Lalu aku bermetamorfosis menjadi elang laut.
Kubentangkan sayapku yang lebar dan kutinggalkan sekolah.
Pasti kau juga pernah duduk bosan di kelas, sementara gurumu terus saja ngoceh
tentang bagaimana "x" sama dengan "y", tapi hanya kalau kau mengalikannya dengan
"pi", dan kau berharap kau bisa terbang lewat jendela. Wuuus! Selamat tinggal!
Yah, aku memang tidak bisa terbang langsung dari dalam kelas, sebab jika aku
berubah wujud di kelas, pasti akan terjadi kegemparan dan semua anak histeris.
Tapi yang kulakukan ini kan nyaris sama.
Anak-anak sedang berebut naik ke bus sekolah saat aku bertemu angin sakal dan
memanfaatkannya untuk melesat naik. Aku melesat jauh tinggi di atas anak-anak
yang sedang masuk bus dan para guru yang menuju kendaraan mereka. Dari atas
mereka cuma tampak seperti lingkaran-lingkaran rambut cokelat, pirang, dan
merah. Begitulah manusia kalau dilihat dari jarak tiga ribu meter dari atas.
Bulatan rambut. Belum pernah aku merasa sehidup jika aku sedang jadi elang. Nasib Tobias
kayaknya tidak terlalu buruk. Banyak binatang lain yang lebih parah. Kalau
Tobias terperangkap jadi mereka kan gawat.
Kurasakan angin termal - udara panas - membubung, mendorong dari bawah sayapku.
Aku langsung bereaksi. Zoom!
Seperti naik lift ke tingkat paling atas! Naik, naik terus. Aliran udara panas
mengangkatku makin lama makin tinggi.
sekolah seperti mobil-mobilan berwarna kuning yang bergerak menjauhi sekolah.
Tetapi bahkan dari ketinggian 150 meter, setinggi gedung bertingkat 50, aku
masih bisa melihat wajah-wajah di balik jendela bus sekolah. Mata elang lautku
ini seperti mata manusia yang memakai teleskop.
Aku melayang-layang, sayapku terbentang lebar, ekorku mengembang untuk
memudahkan aku naik, cakarku tertarik ke bagian bawah tubuhku. Udara menderu
melewati ujung-ujung sayapku. Angin bertiup melewati kepalaku yang kuluruskan,
dan paruh bengkokku kuarahkan ke muka, untuk mempertahankan kepesatan.
Aku naik terus sebatas yang bisa kulakukan dengan bantuan angin termal itu. Aku
sudah belajar dari Tobias. Angin termal bisa mengangkatmu tanpa kau harus
mengeluarkan tenaga, dan kemudian kau bisa mengubah ketinggian itu menjadi
kecepatan. Rasanya seperti melesat ke puncak gunung, kemudian meluncur turun ke
arah mana pun yang kauinginkan.
Walaupun begitu, akhirnya aku perlu mengepakkan sayap kuat-kuat juga untuk bisa
mencapai daerah tempat tinggal Erek.
Aku melihat Tobias di kejauhan. Kalau bagi mata manusia sih ia tidak kelihatan.
Ia juga sedang menunggangi angin, seperti aku.
Yah, sedikit lebih gaya sih, soalnya ia kan lebih berpengalaman.
Waktu aku sudah cukup dekat untuk bisa menggunakan bahasa pikiran, kupanggil
dia.
Kuangkat sebelah sayapku, kurendahkan yang sebelah lagi, kumiringkan ekorku, dan
tiba-tiba saja aku berbelok tajam ke kiri.
FWOOOOM!
peluru itu tidak meluncur dari bawah ke atas, melainkan jatuh dari langit ke
bawah! Dan peluru ini berbulu abu-abu.
Terpaan angin saat ia lewat hampir membuatku kehilangan keseimbangan. Saat
peluru itu sudah berjarak sejauh setengah kilo, di bawahku, ke arah selatan,
barulah aku bisa berpikir tenang lagi.
Kulihat sayap abu-abu terbentang ke arah belakang dan ekor yang ketat. Luncuran
turunnya cepat sekali, sehingga serasa aku tidak bergerak.
lebih suka merpati yang sedap atau, kadang-kadang juga bebek. Pasti tadi gara-
gara cara terbangmu. Mungkin dikiranya kau ini bebek tua yang kikuk.>
kelaparan.> Tiba-tiba saja terbang tidak lagi begitu mengasyikkan.
sampai satu jam lagi.>
Aku mendekat ke Tobias. Dekat sekali. Angkasa ini dunianya. Ia tahu apa yang
harus dilakukan.
Kau sudah lihat" Hampir sampai sudut jalan">
Kulihat lingkaran rambut di bawahku.
mereka bergerak membuatku tertarik. Dari ketinggian ini, mereka seolah sedang
memburu Erek.
Kami berdua melepas udara dari sayap kami dan menukik turun, ingin melihat lebih
jelas. Aku bisa melihat wajah salah satu cowok di belakang Erek. Ekspresinya
sudah pernah kulihat: nyengir konyol anak sok jagoan yang suka mengancam.
Tiba-tiba ketiga anak itu bergegas mendekat. Erek melihat mereka dan mulai
berlari. Mereka ada di jalan di tepi daerah yang sedang dibangun. Di sebelah kiri Erek
lalu lintas padat sekali, sedang di kanannya berdiri tembok batu. Kira-kira lima
puluh meter di depan, tembok itu terbuka menuju ke perumahan baru.
Tobias benci anak-anak sok jagoan. Dulu, waktu ia masih manusia, ia sering
sekali dikerjai. Jake ketemu Tobias waktu kepala Tobias sedang dibenamkan di
wastafel. Sudah tentu Jake menolongnya.
Tobias sudah menukik dan mengincar kepala cowok yang badannya paling gede.
Semuanya terjadi dalam sekejap. Kejadiannya begitu cepat.
Erek lari. Ia tersandung, terjungkal ke depan, ke jalanan. Dan BAMMM!
Bus yang sedang lewat menabraknya. Tubuhnya terempas. Bunyi benturannya
terdengar sampai ke atas.
Dan kemudian... Dan kemudian... selama sedetik, Erek tak ada. Ia lenyap. Di tempat ia tertabrak,
kini tampak sesuatu yang lain. Sesuatu yang seolah terbuat dari lempengan baja
dan plastik putih susu. Kemudian, detik berikutnya Erek tampak lagi. Anak laki-laki normal, terkapar di
sisi jalan. Cowok-cowok sok jagoan itu kabur. Sopir bus malah sama sekali tidak sadar dan
busnya melaju terus. Tobias merentangkan sayapnya dan nyaris berhenti di angkasa.
Chapter 6
terjadi apa-apa, lalu melanjutkan berjalan pulang.
Kami terbang pulang dengan cepat. Tobias pergi mencari Ax.
Aku menjelma kembali menjadi manusia dan pulang untuk bertemu ayahku, agar ia
tahu aku masih ada. Kemudian aku menelepon Jake. Tom yang mengangkat telepon.
"Hei, Tom. Jake ada?"
"Tahu deh. JAKE!" teriaknya. "Dia lagi ke sini."
"Trims." "Sudah lama kau tidak ke sini," kata Tom. "Sibuk?"
Aku sedikit ngeri. Aneh rasanya, ngomong dengan Pengendali, sementara kau tahu
ia Pengendali. Suaranya memang suara Tom, dan sikapnya juga sikap Tom, tapi ia
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan Tom. Tom sedang meringkuk tak berdaya di sudut pikirannya sendiri. Aku
sedang bicara dengan Yeerk.
"Yeah, sibuk," kataku.
"Ehm-ehm. Kami akan ke danau, mau berselancar."
"Kau dan Jake?"
"Yeah, betul. Eh, tidak, aku dan The Sharing. Tahu sendiri, kan, Jake tuh
anaknya kurang gaul. Kurang cocok kalau ikut," kata Tom sambil tertawa
mencemooh, persis seperti yang biasa dilakukan seorang kakak. "Kelewat banyak
cewek yang ikut, cowoknya kurang."
Bohong, tentunya. Kebohongan yang diharap bisa memikatku.
Kenapa tiba-tiba Tom mencoba membuatku tertarik pada The Sharing lagi" Segera ia
memberikan jawabannya. "Kudengar ayahmu sudah bekerja lagi. Syukur deh."
"Yah," kataku. Ayahku telah melewati saat-saat berat setelah ibuku "meninggal".
Sekarang ia sudah bekerja lagi. Ayahku insinyur, tapi ia jago komputer juga. Ia
bekerja di observatorium baru, mengembangkan software yang bisa membuat sasaran
teleskop lebih baik. Ia juga sedang menangani proyek rahasia. Kurasa proyek ini berhubungan dengan
militer. "Kau boleh mengajak ayahmu," kata Tom berusaha sewajar mungkin. "Maksudku, tidak
semua anak suka ayahnya ikut. Biasanya begitu, kan. Tapi ayahmu mungkin sudah
siap kembali ke masyarakat. The Sharing tempat yang baik untuk menjalin koneksi
bisnis, lho." "Yeah, akan kutanya dia," kataku.
"Ya, ajak dia. Ayahmu mungkin perlu waktu beristirahat, bersantai, ketemu orang-
orang." Rupanya mereka sekarang mengincar ayahku. Dadaku serasa terbakar, seakan aku
baru saja minum lava. Saat itu rasanya ingin sekali aku bisa menembus telepon
dan mengemplang makhluk jahat dalam kepala Tom dengan pemukul bisbol.
"Nih, Jake datang," kata Tom. Terdengar bunyi berkeresek saat ia menyerahkan
telepon pada Jake. Kemudian suara Jake. "Hai, Marco. Ada apa?"
Aku meledak. "Ada apa"! Ada apa" Kantong-kantong sampah itu mengincar ayahku,
tahu! Bagaimana kau bisa hidup dengannya" Bagaimana mungkin kau ketemu bangsat
itu setiap hari" Enak saja dia bilang, 'Ajak ayahmu ke The Sharing, lakukan
kegiatan yang bisa bikin kalian akrab, dan oh, apakah kau keberatan jika kami
menempelkan...'" "Diam," desis Jake.
Aku diam. Tapi tanganku mencengkeram gagang telepon begitu kuat. Aku heran
gagang itu tidak patah. Selama semenit Jake memberiku kesempatan menenangkan
diri. Ia beberapa kali bilang "uh-huh" di telepon, seakan sedang mendengarkan
aku bicara. Dua kali ia bahkan tertawa. Kurasa Tom berada tak jauh dari telepon.
Aku tahu Jake benar. Kami tidak membicarakan rahasia di telepon. Siapa tahu ada
yang menguping. "Baik, aku sudah oke," kataku. Sebetulnya sih belum oke, tapi aku sudah bisa
menguasai diri. "Aku sih tak keberatan," kata Jake, yang masih pura-pura sedang ngobrol
denganku. "Kita harus kumpul," kataku. "Cuaca cerah."
Itu sandi bahwa kami harus berkumpul di hutan.
"Baik, sampai nanti," kata Jake santai.
Ia menutup telepon. Kutarik napas dalam-dalam beberapa kali. Kuulangi lagi.
Bangsa Yeerk sudah mengambil ibuku. Jangan sampai mereka mengambil ayahku.
Sebelum itu terjadi, aku akan memberitahu Dad segalanya. Sebelum itu terjadi,
akan kuhajar Tom, peduli amat apa kata Jake.
Akan kuhajar Tom, kuhajar Mr. Chapman, kuhajar semua Pengendali yang kutahu
sebelum mereka merebut ayahku. Aku punya kekuatan. Binatang-binatang mematikan
hidup dalam tubuhku. DNA mereka berenang-renang dengan DNA-ku.
Bisa kurasakan kemarahan menggelegak dalam tubuhku, kemarahan membabi buta yang
akhirnya menjadi film-film kecil dalam kepalaku - film-film tentang balas dendam
dan penghancuran. Kubayangkan hal-hal yang akan kulakukan pada Tom... pada Mr. Chapman... suatu
hari nanti bahkan pada Visser Three. Aku akan melakukan hal-hal mengerikan pada
mereka. Hal-hal kejam dan mengerikan.
Itu perasaan yang tidak sehat. Aku tahu itu, tapi kuputar lagi gambar-gambar
dalam kepalaku itu, berulang-ulang.
Kemarahan itu membuatmu kecanduan, ternyata.Seperti obat.
Kemarahan dan kebencian membuatmu melambung. Membuatmu tinggi, tapi seperti
obat, setelah itu membuatmu merasa kosong, mencabik-cabikmu, dan memakanmu
hidup-hidup. Kurasa aku menyadari semua itu. Tapi yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa mereka
takkan kuizinkan mengambil ayahku.
Jadi kuputar lagi adegan mengerikan itu berkali-kali dalam kepalaku. Kubiarkan
luapan kemarahan itu menyala, sampai akhirnya padam sendiri dan membuatku merasa
kosong dan kalah. Chapter 7 AKU menjemput Jake dan kami bersepeda berdua ke rumah pertanian Cassie. Ia tidak
bilang apa-apa soal percakapanku dengan Tom. Jake tahu bagaimana perasaanku.
Kami semua pernah mengalaminya.
Dari rumah Cassie kami berjalan menyeberangi padang rumput ke tepi hutan. Di
sana ada tempat kami biasa bertemu, agak masuk dalam pepohonan, sehingga tak
akan ada yang melihat kami.
Rachel dan Cassie sudah di sana. Cassie berlutut di atas rontokan daun-daun
pinus, melongok ke dalam lubang. Aku tak tahu apa yang ada dalam lubang itu,
tapi ia kelihatan terpesona. Rachel duduk di atas pohon tumbang.
"Tobias sedang mencari Ax," kata Rachel ketika kami mendekat.
"Kurasa ada tiga," kata Cassie. Ia ngomong tentang yang ada dalam lubang.
"Jadi" Ngapain kita kumpul?" tanya Rachel.
Sebelum Jake atau aku sempat menjawab, kudengar ada yang menabrak semak. Ia
muncul, melompati batang yang diduduki Rachel. Aximili-Esgarrouth-Isthill.
"Hei, Ax," sapaku. "Pemunculan yang dramatis sekali."
Tentu saja pemunculan Ax kapan saja akan selalu dramatis. Ax adalah Andalite.
Satu-satunya Andalite yang hidup ketika pesawat Dome mereka dihancurkan para
Yeerk ketika sedang mengorbit. Ax itu alien.
Kau tahu kan, di film Star Trek, alien digambarkan sebagai manusia dengan hidung
bulat dan seragam jelek" Tapi secara keseluruhan penampilan mereka manusia,
demikian juga sikap mereka, dan mereka juga ngomong Inggris.
Nah, Ax tidak seperti itu. Sekali pandang kau langsung tahu Ax tidak berasal
dari dunia ini. Bayangkan sejenis rusa besar berwarna ungu kecokelatan. Hanya saja, alih-alih
kepala rusa, kau akan melihat dada separo-manusia dengan dua tangan lemah, dan
kepala yang luar biasa. Ax tak punya mulut, tapi punya empat mata. Dua matanya
berada di tempat biasa, tapi dua lainnya ada di ujung tanduk di atas kepalanya.
Mata tanduknya ini bisa memandang ke arah lain, tanpa ada hubungannya dengan
mata utamanya. Ax bisa memandangmu dengan sepasang mata utamanya, dan pada saat
bersamaan memandang ke arah belakangnya dengan satu mata tanduk dan ke kanan
dengan mata tanduk lainnya.
Bikin grogi deh, kalau kita belum biasa.
Tapi itu belum seberapa jika dibanding dengan ekornya. Ekornya membuatmu ingat
kalajengking. Ekor itu melengkung ke atas ke arah tubuhnya, sehingga ujungnya
yang setajam sabit biasanya berada di atas bahunya yang landai.
Ekor itu bisa bergerak cepat dan berbahaya. Sangat cepat dan sangat berbahaya.
Kalau mau, Ax bisa mencincang manusia jadi potongan kecil-kecil dalam waktu
hanya dua detik. Untungnya Ax ada di pihak kami.
Cassie bangkit. Kemudian, setelah berpikir sesaat, tangannya mengibas lututnya.
"Bayi oposum," katanya menjelaskan. "Sudah terlalu besar untuk kantong induknya,
tapi belum siap meninggalkan sarang."
"Jangan bilang Tobias," kataku. "Nanti dia makan, lagi."
Aku mendongak kaget. Ia bertengger di pohon di atasku. Aku tidak mendengarnya
datang. Cassie mengangkat bahu. "Tobias kan elang. Dia punya hak sebagai elang."
Kemudian ia menengadah menatap Tobias dan tersenyum. "Tapi bayi-bayi itu imut
sekali."
jauh dari mereka.> Kami mulai berjalan ke arah timur, dan Tobias melesat ke atas lagi untuk
memantau kalau-kalau ada bahaya lain.
"Oke, Marco," kata Jake setelah beberapa menit berlalu. "Ini acaramu. Apa yang
terjadi?" Kuceritakan semua yang telah kulihat bersama Tobias. Tobias kembali dan
menambahi beberapa keterangan. Kemudian aku memandang Ax.
"Nah, Ax, kau alien yang resmi. Menurutmu bagaimana?"
Ax menoleh menghadapku, memandangku dengan mata utamanya.
"Apaan sih!" raungku, ketika yang lain semua cekikikan. "Nanti kan tumbuh lagi,
tahu! Pasti tumbuh. Lagi pula, rambut pendek lebih mudah diurus. Gila apa! Cuma
potong rambut sedikit saja geger!"
"Tidak," Jake meyakinkannya. "Sama sekali tidak. Marco cuma agak sensitif.
Teruskan, Ax. Bagaimana pendapatmu tentang si Erek ini?"
"Masa" Yang benar, kau kan ahli alien," protesku.
Kedengarannya ia malu deh. Tapi karena ia menggunakan bahasa pikiran, mungkin
"kedengaran" bukan kata yang tepat.
"Kau tidak mengenali deskripsi tadi?" tanya Jake.
semacamnya," kata Rachel. "Tapi, bagaimana mungkin bisa persis seperti manusia?"
dugaan kami.
Ax tidak menangkap kelucuannya, tetapi Cassie tersenyum. Tobias terbang rendah
di atas kepala kami, lalu bertenggerberistirahat di atas dahan.
mempertahankan hologram semacam itu, berjam-jam, bahkan berhari-hari.>
"Hei, mungkin Erek dihidupkan dengan tenaga nuklir," kataku.
Ax tertawa. Kemudian rupanya ia sadar aku tidak bergurau.
cowok paling bloon di dunia.
"Apakah ada cara untuk melihat menembus hologram ini?" tanya Cassie.
"Kita bisa menabraknya dengan sesuatu yang besar, seperti bus, misalnya," Rachel
mengusulkan. "Nah, itu baru usul khas Rachel," kataku tertawa. Aku merasa lebih baik setelah
berkumpul dengan teman-temanku ini.
"Marco kebetulan tahu The Sharing akan berselancar air di danau," kata Jake. Ia
menggigit bibir dan menambahkan, "Tom yang memberitahu dia. Erek anggota The
Sharing. Dia mungkin akan ikut ke danau. Kesempatan bagus buat kita untuk
menyelidikinya. Itu jawaban atas pertanyaan 'di mana'. Sekarang kita perlu tahu
'bagaimana'." Ax berpikir-pikir sementara kami masuk lebih dalam ke hutan.
gelombang sinar yang mirip. Mungkin jenis penglihatan yang sama sekali berbeda
bisa menembus hologram ini.>
Hatiku mencelos. Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pasti morph
mengerikan. "Penglihatan yang luar biasa itu keahlian kami," kata Rachel sambil tertawa tak
acuh. Ia menepuk punggungku, seakan hidup ini sebuah petualangan besar.
"Asal jangan serangga saja. Oke?" kataku. "Cuma satu permintaanku, jangan lagi
jadi serangga. Apa itu permintaan yang keterlaluan?"
Chapter 8 TERNYATA itu permintaan yang keterlaluan. Seperti yang akhirnya kutahu beberapa
hari kemudian. "Apa maksudmu, kita mau narik undian?" tanyaku curiga.
"Untuk menentukan siapa yang akan melakukan morph baru kita ini," kata Rachel.
"Ax tak perlu. Soalnya dia harus ikut pergi, kita memerlukan keahliannya di
bidang alien. Salah satu dari kita harus pergi bersamanya."
"Morph jadi apa?" tanyaku curiga.
"Labah-labah," jawab Cassie.
Kami berada di gudang jerami Cassie. Saat itu hari Sabtu pagi. Hari Jumatnya
karangan bahasa Inggris kami dibagikan, dan ternyata aku dapat "B". Keren, kan.
Semalam aku nonton TV sampai malam dengan ayahku, jadi pagi ini aku kesiangan
dan terlambat datang ke pertemuan ini. Beginilah jadinya kalau aku tak ada.
Mereka mengambil keputusan gila-gilaan.
"Maaf" Pasti pendengaranku ini nggak bener." Kutempelkan telapak tanganku ke
sisi kepala. "Karena aku mendengar kau bilang 'labah-labah'. Dan aku ingat aku
sudah bilang 'jangan jadi serangga'."
Cassie mengulurkan tangannya padaku. Dan di atas tangannya ada labah-labah. "Ini
bukan serangga. Araknida punya delapan kaki dan dua segmen tubuh. Serangga punya
enam kaki dan tiga segmen tubuh."
Sumpah deh, begitu melihat labah-labah itu, aku mau pingsan rasanya.
"Karena aku tahu kita akan berubah hari ini, aku sudah baca-baca dulu. Ini
labah-labah serigala. Penglihatannya baik sekali. Soalnya, matanya ada delapan."
Cara ngomong Cassie seolah-olah punya delapan mata itu asyik banget. Seolah
delapan mata itu seharusnya diinginkan semua orang.
"Pergi jauh-jauh, Cassie. Pergi. Pergi, pergi. Aku tak bakalan mau menjelma jadi
labah-labah! Kau saja sendiri. Aku tak suka labah-labah."
Jake memandangku dengan pandangan mencela. "Marco, Cassie selalu kebagian
mencoba morph baru. Lagi pula, kau kan lebih berkepentingan dalam misi ini
dibanding yang lain."
"Apa" Kenapa?" tuntutku marah. "Kenapa aku lebih berkepentingan dibanding kau
atau Rachel?" Jake mengangkat bahu. "Erek kan temanmu."
"Temanku" Kapan aku pernah bilang dia temanku" Dia bukan temanku. Aku nyaris tak
kenal dia!" "Marco, kau kelewatan deh," kata Rachel.
"Hei, kau mau jadi labah-labah?"
Rachel agak bergidik. "Tentu." Ia bohong. Aku tahu. "Kalau aku yang menarik
jerami pendek, dengan senang hati aku akan jadi labah-labah."
Kemudian ia nyengir. Ketahuan kan, bohongnya.
"Begini, kalian tidak harus melakukannya," kata Jake. "Hanya saja kita akan
menyusup ke dalam pertemuan The Sharing. Kaum Yeerk sudah waspada dengan morph
binatang. Kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan danau. Morph apa pun
yang kita gunakan, harus cocok dengan tempat itu. Kita tak bisa muncul di sana
sebagai singa, harimau, atau beruang."
"Oh, sayang sekali," tukas Cassie.
"Kita perlu penglihatan yang baik, tapi bukan mata standar mamalia. Dan kita
tidak bisa masuk dengan wujud yang sama semua. Aku mau ada dua orang yang siap
di belakang sebagai pasukan penyelamat, siapa tahu kita gagal. Ax harus masuk
karena kita memerlukan dia untuk melihat dan menyimpulkan Erek itu sebetulnya
apa. Ax akan masuk sebagai labah-labah, dan kita perlu satu orang untuk
menemaninya." "Apa Ax sudah diberitahu?"
"Dia tadi di sini. Waktu kau masih tidur. Menurutnya tubuh labah-labah jauh
lebih menguntungkan daripada tubuh manusia," kata Cassie. "Tepatnya dia ngomong
begini, 'Ah, bagus. Dengan delapan kaki dia tidak akan jatuh seperti manusia.'"
"Kau harusnya gembira kami menunggumu," geram Rachel. "Ayo, cabut satu jerami."
Jake menggenggam lima batang jerami. Satu di antaranya pendek, tapi sama sekali
tak bisa ditebak yang mana.
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah. Aku tahu strateginya," kataku. "Kita hitung secara matematis. Kalau aku
duluan memilih, kemungkinanku satu banding lima. Pemilih berikutnya,
kemungkinannya satu banding empat, kemudian satu banding tiga, dan seterusnya.
Jadi, paling aman pilih lebih dulu."
Kutarik napas dalam-dalam, kuulurkan tangan dan kucabut satu jerami.
Sekali lagi kutarik napas dalam-dalam dan kupandang... potongan jerami yang
sangat pendek! "Buset, secara matematis kan tidak begini," kataku. Aku mau nangis rasanya.
Rachel memutar bola matanya. "Begini saja deh, kalau kau mau cengeng, biar aku
yang jadi labah-labah."
Seharusnya aku bilang saja "oke". Seharusnya begitu. Tapi yang kubilang malah
begini, "Jangan merendahkan diriku, oh, Xena yang perkasa. Jangan hanya karena
aku bukan idiot yang sembrono, maka aku dianggap pengecut. Belum pernah aku
menghindari morph apa pun. Dan jika Ax masuk, aku juga. Kau tinggal saja di
belakang jadi pasukan cadangan, Rachel. Aku akan masuk ke tempat aksi
berlangsung." Mendengar itu Rachel menjawab dengan sangat tenang, "Oke."
Sekarang kau paham kan, kenapa cowok dan cewek sebaiknya tidak bertempur sama-
sama. Soalnya kalau kepepet, susah bagi cowok untuk jadi pengecut kalau ada
cewek di situ. Apalagi kalau ceweknya cakep dan pemberani. Seandainya tadi cuma
ada Jake dan Tobias, aku pasti sudah nangis guling-guling di tanah.
Cassie mengulurkan labah-labahnya. "Tidak parah kok," katanya. "Kemarin aku
sudah coba, pingin tahu gimana rasanya. Charlotte's Web kan salah satu buku
favoritku." Charlotte's Web itu mengisahkan Charlotte si Labah-labah yang bertekad
menyelamatkan sahabatnya, Wilbur si Babi, dari acara penjagalan tahunan.
"Pantas saja," gumamku. Tapi ucapan Cassie itu membuatku tak bisa mundur. Rachel
siap menggantikanku, dan Cassie bahkan sudah mencobanya.
Kuulurkan jariku, menyentuh si labah-labah. Ternyata gemetar.
Jariku, bukan labah-labahnya.
Kusentuh punggung si labah-labah. Ia mencoba meloloskan diri, tapi Cassie
mengatupkan tangannya, menutupi si labah-labah dan jariku.
Si labah-labah seolah jadi beku ketika aku menyadap pola DNA-nya. Berkat
teknologi Andalite yang telah mengubahku, DNA labah-labah itu memasuki sistem
tubuhku. Mungkin bangsa Yeerk benar. Mungkin Andalite itu bangsa yang suka mencampuri
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17 Pendekar Hina Kelana 15 Badai Selat Malaka Kisah Para Penggetar Langit 5