Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 17
tertampak sebuah pohon yang besar, rupanya pohon
yangliu. Dalam gelap gulita, pohon itu tidak gampang
lantas dilihatnya. Di belakang pohon itu ada sebuah rumah.
"Itu tentu rumahnya Hwie Pek Sin," pikir Lee Hong,
yang terus merandek, "Ia ada seorang cerdik dan berakal, buktinya, ia dirikan rumah juga dengan bertetangga dengan kantor negara! Apa mustahil jika didalam rumahnya juga ia ada atur persiapan, untuk membela dirinya?"
Oleh karena ia memikir demikian, Lee Hong coba
kendalikan diri, akan tindih memukulnya jantungnya untuk mencegah mengalirnya gencetan darah yang hebat. Dengan
hati-hati ia bertindak maju, terus sampai di depan pintu. Di situ ia berlindung di pongkot pohon, hingga cabang-cabang halus dari yangliu melanggar mukanya. Ia mengawasi
kepintu itu yang ada tertutup. Di situ tidak ada orang jaga.
Sesudah berdiam sekian lama dengan tak lihat gerakan
suatu apa, nona Yo loloskan baju luarnya dan ia
sangkutkan itu pada satu cabang pohon, kemudian ia
bertindak ke pintu sekali. Ia hunus goloknya, lantas ia
loncat naik ke atas tembok, di mana ia menggemblok Ia
melongok ke dalam.
Pekarangan dalam ada gelap, karena dari dalam rumah
tidak ada sorot api keluar. Keadaan ada sunyi, kecuali suara kentongan terkadang-kadang yang asalnya dari dalam
rumah. Sekarang Lee Hong naik ke atas genteng di mana ia
mendekam pula. Ia berada dalam kesangsian.
"Apakah aku tidak keliru?" pikirnya. "Apakah ini bukan rumahnya Hwie Pek Sin" Kalau ini benar rumahnya,
mengapa penjagaan tak ada sama sekali" Toh katanya Pek
Sin tinggal dengan dilindungi oleh Ho Kiam Go dan Yu
Yong?" Itu waktu kelihatan si orang ronda mendatangi, ia dari
dalam hendak menjalankan kewajibannja di sebelah luar. Ia pun jalan dengan perlahan sekali, malah ketika ia bunyikan kentongan ia seperti lakukan itu karena ia tidak bertenaga.
Lee Hong ingin dapat kepastian, ia lantas siap. Ia
merayap kepayon. Di situ ia tunggu si orang ronda, dan
ketika orang ronda itu lewat di betulan ia, tiba-tiba ia loncat turun, ia terkam orang itu.
Karena kaget, itu orang ronda mencoba berteriak, tapi
Lee Hong pasang golok di leher nya tukang ronda itu
hingga ia bergidik, karena golok itu memberikan rasa dingin pada tenggorokannya, hingga hatinya jadi ciut.
"Jangan bersuara!" si nona mengancam.
Dalam ketakutannya, orang ronda itu berlutut.
"Apakah di sini ada keluarga Hwie?" tanya Lee Hong dengan perlahan.
"Bukan, looya kita ada Cukat Kho ... " sahut orang ronda itu dengan gemetaran.
"Ia tinggal di kamar yang mana?"
"Di kamar dalam, sebelah utara."
"Selain looya-mu, di sini ada tinggal siapa lagi?"
' Tidak banyak orang ... Ada Yu toaya serta Yu thaythay, juga Lui toaya, tetapi Lui toaya ada urusan, ia keluar dan belum kembali!"
Nyonya Bun Hiong ada sedikit terperanjat.
"Sekarang antar aku," ia kata, seraya ia cekal tangan orang. "Jalan perlahan-lahan. Jikalau kau berteriak, aku akan segera bunuh padamu!"
Orang ronda itu menurut malah ia terus berbangkit dan
jalan. Lee Hong memaksa di belakang, tangannya menyekal
leher. "Pukul kentongan seperti biasa,"ia kata. "Bawa aku sampai di depannya kamar dari Cukat Kho, nanti aku kasih ampun jiwamu!"
"Baik, nona," sahut si orang ronda, yang terus ketakutan.
Lee Hong perintah orang tetap memalu kentongan. Ia
kuatir, bila pertandaan ronda itu berhenti, Hwie Pek Sin bisa jadi curiga.
Si orang ronda jalan dengan perlahan, ia memukul
kentongan seperti biasa. Rumah ini sangat dalam, terdiri dan berbagai pedalaman. Ketika memasuki pedalaman
yang ketiga, kentongan dipukul empat kali, lantas berhenti.
Mereka sekarang sampai di ruangan keempat, di kiri dan
kanan itu, kamar-kamar ada gelap. Cuma dari kamar di
utara, dari kain jendela, kelihatan sinar api yang guram.
Orang ronda itu bergidik.
"Looya kita masih belum tidur, " ia kata, agaknya ia
takut. Lee Hong ayun goloknya atas mana orang ronda itu
berlutut. "Kau tunggu di sini!" ia kata, dengan perlahan tetapi
suaranya keren. "Jangan kau bergerak, jangan kau bersuara!
Atau aku akan bunuh padamu!"
Orang ronda itu manggut-manggut.
Lee Hong lantas bertindak ke jendela, dan pecahan
kertas jendela ia mengintip kedalam. Api ada guram. Di situ ada sebuah meja persegi dan satu pembaringan, yang
dipakaikan kasur dan selimut, di atas itu ada rebah seorang dengan berkerebong sampai ke kepalanya, di pinggiran
bantal ada nongol rambutnya ubanan.
"Oh, orang ini jadinya sudah tua sekali ... " Lee Hong berpikir, hatinya menjadi lemah. Ia tak tega akan bunuh
satu aki-aki yang sudah tak berdaya. "Tapi, jikalau dahulu ayah dan ibuku tidak di buat celaka oleh dia ini, mereka tentu masih hidup, aku niscaya tidak bersengsara dan
terlunta-lunta. Ayah ada satu wangwee, ibu tentu berumur tak lebih dari pada lima puluh tahun ... "
Dengan kemurkaannya muncul, hatinya Lee Hong
menjadi keras pula. Ia cabut tusuk kondenya, ia hampirkan pintu, yang ia terus korek. Dengan gampang, daun pintu
telah terbuka, sambil pentang itu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.
Dekat pembaringan ada meja, meja itu ada memakai
tohwie. Di depan pembaringan ada sepasang kasut.
Dipinggiran pembaringan, dekat bantal, ada sejilid buku.
Rupanya orang tua itu tidur sesudah ia membaca buku itu, saking ngantuk ia kepulasan, sampai ia lupa padamkan api.
Buat sesaat, Lee Hong bersangsi pula. Dengan satu
tabasan, ia bisa buat mampus orang tua itu. Tapi ia sangsi orang itu ada Hwie Pek Sin atau bukan. Ia tidak mau
kesalahan bunuh lain orang, yang tidak berdosa.
"Aku mesti tegur padanya, untuk mendapat kepastian ...
" ia pikir akhirnya.
Lalu, dengan sebelah tangan siap dengan goloknya, ia
bertindak mendekati pembaringan, tangan kirinya ia
lonjorkan, untuk meraba selimut orang, di saat ia menekan dengan tangannya itu, ia terkejut, hingga ia loncat
mencelat. Sebab ia telah menekan pembaringan kosong,
tidak ada orang. Tapi ia penasaran, ia menjambak dan
mengangkat, hingga ia angkat selimut yang menutupi
bantal, sedang di atas bantal kepala, ada bulu kuda, ialah bulu yang ia sangka rambut ubanan.
Selagi kaget, Lee Hong mengerti bahwa ia telah terjebak, maka untuk loloskan diri, ia loncat mundur. Akan tetapi
orang telah dului ia, selagi ia angkat kakinya, tohwie
tersingkap dan senjata gaetan menyambar, hingga tidak
tempo lagi kakinya kena tergaet.
Hampir berbareng dengan itu, dari kolong meja muncul
seorang perempuan umur kurang lebih tiga puluh tahun, di mukanya ada tai laler merah, tangannya memegang
sepasang golok, dengan apa ia terus mendesak.
Lee Hong coba egos diri sambil membarengi membacok,
tetapi itu orang perempuan tangkis bacokan itu.
Menyusul itu, dari kelong meja ada terdengar bentakan,
"Lepaskan golokmu. Kalau aku tarik gaetanku, kedua
kakimu akan patah!"
Lee Hong kuatir bukan main. Ia tidak mampu geraki
kedua kakinya, hingga tubuhnya pun jadi tidak leluasa.
Mukanya menjadi pucat, sebab merasa tidak berdaya, ia
terpaksa lemparkan goloknya.
Nyonya dengan muka tai laler ini tertawa adem. "Aku tahu kau siapa," ia berkata secara menghina. "Aku sudah
tahu bahwa kau akan dalang kemari. Kau punya nyali ada
besar, sayang kau kurang pengalaman! Kau diam dan
menyerah untuk aku ringkus, supaya besok, dengan dikasih naik atas kereta, aku bisa tontonkan kau di hadapan
khalayak ramai, supaya semua orang tahu Tek Siau Hong
ada punya nyonya mantu yang bagaimana cantik!"
Habis kata begitu, dengan sepasang goloknya ia
mengancam batang leher orang atas mana, gaetan di kaki
segera lolos, lalu dari kolong meja, keluar satu orang yang tubuhnya tidak jangkung tetapi gerak-gerakannya gesit,
sedang tangannya ada menyekal sepasang gaetan.
"Lekas! Lekas panggil orang polisi, suruh mereka bawa borgolan!" kata si nyonya pada si orang lelaki.
"Kau hati-hati jaga padanya!" sahut orang lelaki itu.
"Jangan kau kuatir. Jikalau ia lolos, aku yang tanggung jawab!" sahut perempuan itu.
Orang lelaki itu lantas berlalu dengan cepat.
Orang perempuan itu pandang nona Yo, ia tertawa.
"Kau mungkin tidak kenal aku!" ia kata. "Aku ada orang she Ho, namaku Kian Go. Kalau aku sebut Lie Mo-ong,
kau niscaya ketahui siapa adanya lo-cianpwee ini! Yang
tinggal di sini ada Cukat looya, dari siang-siang ia sudah tahu siapa adanya kau, akan tetapi ia berpesan, jikalau kaut datang untuk mengganggu ia, ia pun tidak ingin berurusan dengan kau. Kita telah ketahui apa yang terjadi tadi siang.
Lui Keng Cun sudah pergi pada Siu Lian dan kau, entah
apa yang kau damaikan. Maka itu kita sudah bersiap.
Sekarang kau berlaku tahu diri, menyerah saja, kita tidak akan celakai padamu, hanya sebentar kita akan kirim kau
pada pembesar negeri. Aku percaya perkaramu akan
diputus dalam dua kali pemeriksaan, kau niscaya tak akan dijatuhi hukuman mati ... "
Lee Hong berdiam, hatinya panas sekali, ia mendongkol
dan malu. "Daripada aku dibuat malu, lebih baik aku binasa?" pikir ia. Ia tentu tidak puas yang ia mesti dihadirkan di muka pengadilan, dengan begini, nama baiknya keluarga akan
menjadi tercemar. Karena ini, ia jadi nekat. Di saat ini hendak berontak, mendadakkan di luar rumah terdengar
suara senjata beradu keras, seperti golok dan pedang saling menggempur.
Kiam Go pun dengar itu, ia kaget hingga ia menoleh.
Ketika itu tidak disia-siakan oleh Lee Hong, ia sambar
lengan kiri orang.
Kiam Go pun kaget, dengan golok kanannya, ia
membacok. Nyonya Bun Hiong tidak takut, ia tidak lari, malah
sambil pegangi terus lengan orang yang dengan kedua
tanganya, ia loncat mutar, ke belakangnya Lie Mo-ong.
Dalam murka yang sangat, nyonya janda Thio Giok Kin
putar tubuhnya, kembali ia membacok. Tapi ia lakukan itu sambil menangis, karena tangan kirinya dipelintir, hingga goloknya pindah tangan.
"Manusia hina," membentak ini anaknya Ho Hua Liong almarhum, seraya ia membacok pula, Ia ada sangat
mendongkol dan gusar, ia membacok secara sengit sekali.
Di mana sekarang telah bersenjatakan golok, Lee Hong
tangkis itu serangan, akan tetapi sebab tak ingin berkelahi di dalam kamar, yang berbahaya, dan sekalian ingin ketahui
siapa yang bertempur di luar, ia loncat ke pintu, akan lari nerobos keluar.
Kiam Go loncat seperti terbang, goloknya melayang,
hingga satu suara keras terdengar, sebab bacokan itu
mengenai pintu, karena si nona Yo, yang diserang, sudah
keburu melewati pintu. Malah Lee Hong lari terus keluar.
Bukan main penasarannya Kiam Go, ia mengejar lebih
jauh. Sekarang di tempat terbuka, Lee Hong putar tubuhnya untuk melayani.
Di depan, suara beradunya senjata telah sirap dengan
lantas, sebagai gantinya, seorang lelaki lari ke dalam. Ia adalah lelaki yang bersenjata sepasang gaetan tadi.
"Hati-hati awas," lelaki itu berseru. "Jie Siu Lian datang!"
Lee Hong terperanjat. Untuk jadi bersemangat, hingga ia
jadi bisa tempur Kiam Go dengan hati tabah.
Dari luar ada memburu satu orang sepasang goloknya
berkelebatan laksana kilat.
Lee Hoag lihat itu orang, ia berseru: "Jie-kounio, aku di sini."
"Kau mundur," berseru nona yang baru datang itu, ialah Siu Lian. Dan ia maju buat serang anak perempuan janda
Ho Hoa Liong. Tetapi si orang lelaki, yang memegang gaetan, sudah
lantas maju merintangi, hingga mereka jadi bertempur, di situ terjadi dua rombongan pertarungan.
Kiam Go terus layani Lee Hong, ia ada sangat gusar
tetapi tak mampu cepat-cepat rubuhkan satru itu.
Si orang lelaki melayani sampai tiga atau lima jurus
kepada Siu Lian lantas ia perdengarkan kata-kata yang
berupa ucapan rahasia, maksudnya tidak lain, untuk
mengajak kawannya si orang perempuan, menyingkirkan
diri. Kiam Go sambut itu ajakan, ia serang Lee Hong, ketika
si nona berkelit, ia barengi lompat naik ke atas genteng.
Lelaki itu juga ingin kabur, akan susul Kiam Go, tetapi
apa celaka, di saat ia hendak menggunaai akal, goloknya
Siu Lian bikin ia menjerit dan rubuh sambil keluarkan
jeritan hebat dan mengerikan, sedang sepasang gaetannya
terus terlempar ke tanah. Kedua senjata itu terbanting
sambil menerbitkan suara nyaring.
Lee Hong kaget, hingga ia loncat mundur.
Itu waktu, dari atas genteng ada menyambar selembar
genteng, menuju pada nona Yo, syukur ia sempat melihat,
ia lekas-lekas berkelit, hingga ia luput dan serangan gelap itu.
Itu waktu, dari luar, ada terdengar suaranya kentongan
dan gembreng berulang-ulang, hingga sang malam jadi
berisik, rupanya ada sejumlah orang yang memburu ke
dalam. "Mari kita menyingkir dari belakang," kata nona Jie, dan ia membuka jalan, mengajak nona Yo.
Lee Hong loncat akan ikuti si nona yang gagah itu.
Tatkala mereka sampai di pintu samping, di situ mereka
dicegat oleh tiga atau empat orang, yang loncat turun dari atas genteng, dan mereka semua lantas membacok si nona
yang membuka jalan.
Siu Lian gunakan sepasang goloknya akan tempur ini
rombongan pencegat, dalam dua tiga jurus, ia bikin seorang rubuh.
Lee Hongpun tempur satu orang, akan tetapi dia ini tidak berani berkelahi dengan datang dekat, hanya ia main
mundur, sampai di sebuah pintu ke dalam mana ia ngelepot masuk, hingga si nona menjadi curiga.
"Apakah di dalam situ ada orang mengumpat" Apa Hwie Pek Sin sembunyi di sini" Ah, tidak salah lagi."
Setelah menduga demikian, nyonya Bun Hiong lantas
mendesak. Sekali ini, mau tak mau, musuh mesti melayani.
Di luar suara gembreng bertambah riuh, dari suaranya,
rupanya ada banyak memburu ke dalam.
Siu Lian terpukul mundur dua musuh yang coba
mengurung ia, ia lompat ke dalam, akan lihat Lee Hong,
ketika ia melihat nyonya mantunya Siau Hong sedang
bertempur, ia maju untuk membantu. Dengan gampang ia
hajar rubuh orang yang merintangi Lee Hong itu. Tapi
karena ia memukul dengan batang golok, orang itu bisa
merayap bangun dan terus kabur keluar.
Nyata di luar ada datang hamba-hamba polisi. Kalau Siu
Lian loncat naik ke atas genteng, Lee Hong telah terjang masuk kedalam pintu di dalam mana ia sangka Hwie Pek
Sin umpatkan diri, ia masuk dengan putar golok di depan
dadanya, hanya ketika ia sampai di dalam, ia dapatkan
sebuah kamar yang gelap, hingga ia terpaksa merandek,
tidak berani maju lebih jauh, ia takut ada musuh
bersembunyi. Di luar sekarang kelihatan api reang-terang orang-orang
polisi sudah masuk sampai di tempat pertempuran tadi. Di antara jendela, Lee Hong bisa melibat ke luar.
"Apa semuanya sudah kabur?" demikian suara pertanyaan, "Apa semua lari naik ke atas genteng" Coba
naik dan memeriksa ke atas. Tapi hati-hati untuk senjata rahasia."
Lantas terdengar suaranya Ho Kiam Go: "Jangan takut.
Maju saja! Tidak apa-apa! Yang bersenjata sepasang golok ada Jie Siu Lian, yang memegang sebatang golok ada
anaknya mantu dari Tek Siau Hong! Cukup asal bisa
tertangkap itu dua perempuan hina."
Lee Hong tutup pintu dan tapal itu. Ia tak pedulikan
bahwa ia berada dalam kamar yang gela p di mana bisa jadi ada bahaya mengancam ia. Dari sinar api di luar, yang
menyorot ke dalam dengan perantaraan jendela, sekarang ia bisa meneliti kamar itu. Di situ tidak ada Hwie Pek Sin, hanja rebah di jubin, dengan tubuh teringkus, adalah Lui Keng Cun. Tadinya ia mundur, ia tidak lantas kenali
sahabatnya Yo Pa itu, sesudah ia mengawasi, ia lekas maju menghampiri.
Lui Keng Cun mengawasi ia, dengan mata memain,
sebab mulutnya tersumpal.
"Lui toako!" ia menanya. "Kenapa kau teringkus di sini?"
Tapi sembari menanya, Lee Hong gunakan goloknya
akan putuskan semua tambang, hingga Keng Cun bisa
lompat bangun, sumpal di mulutnya ia cabut. Meski sudah
merdeka, ia agaknya berkuatir ia menunjuk ke luar.
"Kenapa siau naynay datang kemari?" ia tanya. "Ah, bagaimana kita bisa keluar dari sini" Ketika tadi siang aku keluar dari sini, orang telah kuntit aku, hingga mereka
ketahui aku telah buat penemuan dengan Jie kounio, hingga mereka curigai aku. Hwie Pek Sin sendiri telah mendapat
tahu bahwa siau-naynay adalah puterinya Yo Siau Cay
yang dipiara oleh Yo Kong Kiu, bahwa kau telah menjadi
nyonya mantu dari keluarga Tek, Lebih celaka lagi, ia pun tahu bahwa aku ada sahabatnya Yo Pa, maka ketika aku
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang, aku lantas kebentrok pada Yu Yong dan Ho Kiam
Go, aku lantas dibekuk, dikurung di dalam kamar ini di
mana ada dipasang orang untuk menjaga aku..."
Ketika Lui Keng Cun bicara sampai di situ, ia dengar
suara berisik di atas genteng, dan dari suaranya, nyata
orang banyak telah berkumpul di muka pintu, malah ada
yang gunakan golok, untuk mengetok daun pintu. Suara
mereka itu sangat berisik.
"Jie Siu Lian. Perempuan muda dari keluarga Tek! Ke mana kau hendak lari. Jikalau kau bernyali besar, hayolah keluar!" demikian Lee Hong dengar tantangan atau cacian.
Suara itu disusul dengan dampratan lain.
"Geledah saja," terdengar suaranya orang polisi. "Buat apa maki-maki saja?"
Suara itu disusul oleh gedoran pintu dengan toya.
Lee Hong maju, ia bersiap untuk menerjang apabila ada
orang menyerbu masuk.
"Jangan!" Keng Cun mencegah. "jangan...!"
Tapi itu waktu satu bacokan pada jendela membuat
jendela itu toblos.
"Sembunyi," kata Keng Cun pada si nyonya muda,
dengan ia mendahului mendekam disamping jendela.
Lee Hong menurut untuk mendekam bahna terpaksa.
"Rupanya mereka sembunyi di dalam kamar itu. Coba
periksa!" kembali terdengar suaranya orang polisi.
Tapi segera terdengar suarak eras dari Ho Kiam Go:
"Tidak usah geledah kamar itu! Di dalam kamar itu tidak
ada orangnya! Apakah perempuan hina itu ada begitu tolol hendak bersembunyi di situ?"
Dari suaranya, terang Ho Kiam Go takut orang polisi
masuk ke dalam kamar itu, ia kuatir polisi nanti ketemukan Lui Keng Cun.
Masih saja ada orang polisi yang gedor pintu.
"Kalau kamar ini kosong, kenapa pintunya terkunci dari dalam," kata seorang.
"Ya, heran, kamar kosong tapi toh terkunci."
Kembali suara gedoran, disusul dengan dupakan, hingga
daun pintu hampir dobol.
Lee Hong dan Keng Cun berkuatir bukan main, si
nyunya muda sampai berniat maju saja, akan terjang orang banyak itu. Ia pikir, dengan bertempur, barang kali ia bisa membuka jalan untuk lolos.
Kembali gedoran, sampai selembar daun pintu terlepas,
saking terpaksa, Keng Cun lantas berbangkit, menghampiri pintu, yang ia segera pentang, di depan pintu itu ia berdiri.
Tuan-tuan, harap tidak merusak pintu!" ia kata,
tangannya ia goyangkan. "Aku disini!"
Di muka pintu ada belasan orang, lima atau enam
lentera, di antaranya ada empat orang polisi, yang
selebihnya ada pahlawan-pahlawannya Hwie Pek Sin. Di
situ pun ada Ho Kiam Go dan orang yang menjaga kamar,
yang tadi kena dipukul rubuh, mereka semua sedang berdiri dengan golok di tangan. Tapi mereka ini terperanjat melihat ia bebas dari ringkusan dan telah membuka pintu.
Tiba-tiba Ho Kiam Go menuding dengan goloknya.
"Pasti si bangsat perempuan ada didalam kamar ini," ia berteriak. "Orang-orang perempuan dari keluarga Tek mesti ada di dalam sini! Lekas masuk, geledah!'
Tapi Keng Cun melintang di depan pintu, ia mengawasi
perempuan jahat itu dengan mata melotot.
"Jangan kau banyak tingkah!" ia berseru. Tidak usah kau masuk menggeledah kemari! Kau adalah si bangsat,
sebagaimana juga aku." Dan ia teruskan kata pada orang-
orang polisi itu. "Cuwie, bawalah aku, dia dan si orang she Yo, ke kantor polisi! Kita nanti kasih keterangan yang
berharga!"
Kiam Go kaget berbareng gusar, dengan goloknya ia
serang Lui Keng Cun. Keng Cun berkelit, tetapi rada ayal, maka golok mengenai kepalanya...
"Jangan!" berteriak si orang polisi, yang berkelit kesamping. Selagi begitu, sepotong genteng menyambar
dari atas ke bawah, karena datangnya secara mendadakan
kepalanya Kiam Go kena tertimpa, hingga ia rubuh dengan
pingsan. Semua orang kaget, ada yang berteriak bahwa di atas
genteng ada orang, akan tetapi waktu orang menoleh, di
atas genteng ada gelap, tidak kelihatan siapa juga.
Selagi semua orang berpaling ke atas genteng, Lee Hong
nerobos keluar dan terus ia loncat naik ke atas genteng, untuk menghilang di tempat gelap.
"Tangkap, tangkap!" beberapa orang menjerit, mereka coba ubar nyonya muda itu tapi tak keburu.
Menggunakan ketika baik itu, Keng Cun pun lari ke
depan, dari sana ia loncat naik ke genteng, akan turut
melenyapkan diri.
Lee Hong lari di atas genteng belum seberapa jauh, Siu
Lian papaki ia terus ajak ia menyingkir dari rumah itu, di mana orang masih saja buat banyak berisik. Ketika mereka sampai di belakang, mereka loncat turun ke bawah, buat
terus berlari-lari di tanah datar yang sunyi, tempo mereka sampai di ujung tembok barat-utara, itu waktu sudah jam
empat. Mereka jalan terus dengan cepat mengikuti tembok, menuju ke timur.
"Perbuatanmu ini tak seharusnya!" Siu Lian sesalkan si nyonya muda, begitu ia lihat mereka sudah berada di
tempat yang aman. "Kau harus ketahui bagaimana liciknya Hwie Pek Sin! Dan kau sendiri, pengalamanmu masih
sangat hijau! Apakah ini bukan berarti kau serahkan diri masuk ke dalam jaring" Lain dari itu, betapa agung adanya dirimu! Aku sudah loncat naik ke atas genteng, kenapa kau tidak ikut aku" Kenapa kau mesti masuk ke dalam kamar
itu" Orang-orang polisi keburu datang, terpaksa aku diam saja di atas genteng, sedang aku sebenarnya bingung betul.
Jikalau aku turun pula ke bawah, itulah hebat, aku tentu mesti lukai lagi beberapa orang" Bagaimana onarnya
apabila aku kesalahan kena lukai orang polisi" Tapi, kalau aku tidak turun, bagaimana andaikata sampai kau kena
tertangkap" Kau sudah lihat macamnya bencana, kau telah
buktikan bagaimana kau tak mampu berbuat apa-apa, maka
lain kali, jangan kau sembarangan keluar sendirian!..."
Siu Lian menghela napas, tetapi ia melanjutkan.
"Tadi aku pulang dengan niatan untuk tidur, apa mau,
hatiku tidak tenteram, ketika aku baru sampai di rumah,
lantas datang suamimu yang susul aku, dan ia kasih tahu
tentang kepergianmu untuk cari Hwie Pek Sin. Aku kaget
sekali, aku lantas berangkat menyusul kau. Suaramu ada
sangat sibuk, ia menyesal yang ia telah tidak mampu cegah kau ..."
Lee Hong agaknya merasa tidak puas.
"Tapi aku masuk ke dalam itu kamar dengan berhasil
menolong Lui Keng Cun, ' ia kasih tahu.
"Nah, kau lihat sendiri!" Siu Lian bilang. "Hwie Pek Sin nyata ketahui segala apa. Ia tak mempunyai kepalan keras, ia tak mempunyai kegagahan, akan tetapi ia ada berakal
muslihat lihay, dengan ada beberapa orang yang lindungi
padanya, ia tidak takut kita! Menurut pemandanganku,
orang semacam Hwie Pek Sin ada terlebih sukar untuk
dilawan daripada sembarang orang yang hanya mengerti
bugee!" Lee Hong tidak kata apa-apa, ia diam saja.
"Nah, pakailah itu," kata Siu Lian, seraya serahkan sepotong baju panjang.
Nyonya Bun Hiong sambuti baju itu dengan muka
merah dan panas rasanya, sebab itu adalah bajunya sendiri, yang ia sangkutkan di cabang pohon, siapa tahu, si nona Jie telah tolongi ia sambar bajunya itu. Ia lantas pakai itu untuk kerebong. Ia jalan terus dengan cepat, mengikuti nona itu.
Tidak lama sampailah mereka di rumahnya Lau Tay Po.
Itto Tianhoa sudah dua hari tak ada di rumahnya. Kemana
dulunya Kau Jie Chiu mendadakan datang mencari, lantas
mereka pergi sama-sama, entah ke mana, dan setahu urusan apa yang mereka hendak kerjakan. Maka itu, ketika Siu
Lian berdua sampai, melainkan ada Siang Moay yang
tatkala it masih belum tidur.
"Inilah Yo Lee Hong, nyonya mantu dari Tek ngoya,"
Siu Lian perkenalkan kawannya, sedang si nyonya, ia
perkenalkan pada nyonya rumah.
Siang Moay mengawasi, ia dapati satu nyonya muda
yang elok. Di lain pihak, ia lihat Siu Lian dandan mirip dengan satu nyonya. Ia lantas masak air untuk seduh teh.
Kemudian, bertiga mereka duduk bicara.
Lee Hong ada berduka, di sebelah sisa air matanya,
tampangnya ada guram. Terang ia ada mendongkol dan
masgul, oleh karena percobaannya gagal, sebab hampir-
hampir ia dapat susah. Orang pun telah hinakan ia, dan ia hampir mengalami kejadian yang sangat memalukan ia dan
keluarga suaminya.
Siu Lian ada sedikit masgul. Ia telah merasakan
sukarnya untuk bertindak, Hwie Pek Sin ada licik, di kota raja ia ada punya banyak kenalan pembesar negeri, hingga tidak bisa sembarang ia turun tangan. Di lain pihak, Lee Hong berniat keras akan bunuh juru pemikir itu, malah
nyonya muda ini ingin membunuh dengan tangan sendiri.
Sukarnya ialah mereka ada di kota raja di mana ia tak boleh bertindak secara sembrono. Sudah begini mendadakan Lie
Bou Pek menghilang entah ke mana perginya. Dan hampir
berbareng, Lo Siau Houpun lenyap setahu kemana
parannya. Lantas, Lau Tay Po dan Kau Jie Chiu pun tidak
ada di rumah, bersama mereka, lenyap juga Su Poancu si
Ular Gunung. Nona Jie merasa pusing akan memikirkan sepak
terjangnya Su Poancu dan Kau Jie Chiu. Jikalau ada urusan dan mereka dibutuhi, mereka tidak ada, dicarinya sukar,
sebaliknya di saat bantuan mereka tak perlu, sewaktu-waktu mereka pada muncul.
Lantas Coa Siang Moay majukan satu usul, ia kata:
"Apakah tidak baik untuk minta bantuannya Giok Kiau Liong" Ia boleh diundang, dengan jalan buat hatinya
menjadi panas biar ia yang bekerja! Ia bukannya seperti
kita, yang seumpama banyak larangannya. Ia tentu berani
melakukan kalau diperintah membinasakan Hwie Pek Sin
dan Ho Siong, tak peduli tempat ini di kota raja."
"Bagaimana pikirmu maka kau bisa mengusulkan
begini?" Siu Lian tanya. "Dalam beberapa hari ini, ibunya mendadak sakit dan nampaknya hebat, maka itu. Kiau
Liong mesti berdiam di rumahnya guna rawat ibunya itu.
Baru saja kita merasa tenteram, cara bagaimana sekarang
kita hendak buat ia keluar pula" Kalau ia yang bekerja,
urusan belum tentu bisa dibuat beres tetapi ia mestinya akan membuat kacau pula!" Ia lantas menoleh pada Lee Hong, yang ia teruskan tanya, "Selama itu, bagaimanakah
perlakuanku terhadap kau?"
Lee Hong seka matanya.
"Kau telah melepas banyak budi," ia menyahut.
"Ada budi atau tidak tak usah disebut-sebut, tetapi aku berani bilang, terhadap kau, apa yang aku lakukan rasanya tidak ada bedanya, maka itu sekarang kau mesti dengar
perkataanku. Urusan membalas sakit hati memang penting,
tetapi aku larang kau berbuat pula sebagai malam ini.
Dengan berbuat semacam ini, sepak terjangmu mirip
dengan sepak terjangnya Giok Kiau Liong. Kau ada orang-
orang terhormat, maka segala perbuatan dalam kalangan
kangou, juga pekerjaan membalas dendam, bukanlah
kewajibanmu untuk melakukannya, sebab dirimu bisa
merembet pada keluargamu. Kiau Liong dan aku tidak ada
sangkutannya yang berarti, tetapi kau ada lain. Lihatlah tadi, hampir saja orang bekuk padamu. Bagaimana kalau
kau kena ditangkap dan dihadapkan pada pembesar negeri"
Apa dengan begitu kau tidak akan buat malu suami dan
mertuamu berdua" Bila itu sampai terjadi, sungguh aku
malu terhadap keluarga Tek. Kau harus ketahui, bugee-mu
sebagian ada hasil buah pendidikanku. Maka sekarang
sebisa-bisa kau mesti sabar, kau mesti tunggu, tunggu
sampai sepuluh hari atau setengah bulan. Walau
bagaimana, aku nanti tolong kau membalas sakit hatimu!
Asal pembalasan dapat dilakukan, kenapa itu mesti, mesti dilakukan oleh tanganmu sendiri?"
Lee Hong menganggukkan kepala, tetapi ia tidak
menjawab. Demikian mereka bicara, sampai terang tanah. Dengan
bawa perutnya yang besar, Siang Moay pergi keluar akan
cari kereta sewaan.
Lee Hong naik atas itu kereta bersama-sama Siu Lian
menuju ke rumah keluarga Tek. Tempo mereka sampai,
Bun Hiong dan Tek toanaynay nampaknya sedang sibuk,
maka, begitu melihat si isteri atau nyonya mantu, baru hati mereka lega.
Siu Lian lantas tuturkan apa yang terjadi tadi malam, ia minta Tek toa-naynay legakan hati dan bersabar. Kemudian ia minta Bun Hiong kirim orang keluar untuk dengar-dengar apa yang menjadi pembicaraan khalayak ramai pagi
itu. Lalu karena satu malaman tidak tidur Siu Lian lantas
beristirahat di rumahnya Siau Hong, sampai siang baru ia bangun dari tidurnya.
Tidak lama sehabisnya santapan tengah hari, Yo Kian
Tong dan Sun Ceng Lee datang berkunjung. Mereka
disambut oleh Siau Hong dan Siu Lian. Mereka itu ada
sangat mendongkol, lebih-lebih Sun Ceng Lee, hing ga
mereka nyatakan bahwa mereka ingin segera buat mampus
pada Ho Siong dan Hwie Pek Sin, sesudah itu, mereka
ikhlas akan tutup piautiam mereka buat mereka pergi
merantau, akan hidup di kalangan Sungai Telaga.
"Tidak, itulah tindakan yang tak seharusnya kau ambil,"
Siau Hong mencegah.
Siu Lian tidak kata apa-apa, akan tetapi, walaupun dia
bungkam, air mukanya menandakan ia ada sangat
mendongol. Selagi mereka bicara, dengan tiada keputusannya, Lau
Tay Po muncul dengan mendadakan, dan ia muncul
berbareng dengan banyak warta beritanya. Pertama-tama ia dengar halnya nyonya Giok ceng tong ada dapat sakit keras, kedua yang Lou Kun Pwee mendapat sakit kemasukan
angin, hingga dikuatirkan jiwanya tak bakal tertolong lagi.
ketiga bahwa katanya ada orang-orang yang ketahui bahwa
tadi malam Tek siauw-naynay sudah buat huru-hara di
rumahnya Hwie Pek Sin, dan keempat bahwa Su Poan dan
Kau Jie Chiu sebenarnya tidak pernah berlalu dari Pakkhia, bahwa dengan bersama-sama mereka suka lakukan
pencurian, yang hasilnya mereka sebar di antara orang-
orang miskin. "Dan tadi pagi," Tay Po melanjutkan penuturannya, "Su Poancu lihat empat buah kereta serta beberapa penunggang kuda keluar dari Cianggie-mui, bahwa di dalam rombongan
itu ada kedapatan Ho Kiam Go, yang ia kenalkan dengan
baik, meskipun tadi nyonya itu bungkus kepalanya dengan
sapu tangan. Sedang di dalam sebuah kereta ada berduduk
dua orang tua, rupanya mereka itu ada Hwie Pek Sin dan
Ho Siong."
Baru saja mendengar namanya itu dua orang, Sun Ceng
Lee sudah loncat bangun.
"Sekarang juga aku pergi susul mereka!" ia kata dengan nyaring. "Aku nanti bunuh habis pada mereka itu!"
"Aku nanti ambil golokku, aku pun mau turut!" kata Siu Lian, yang turut jadi bernapsu.
"Su Poancu sudah perintah Kau Jie Chiu kuntit
rombongan kereta itu," Lau Tay Po kasih tahu lebih jauh,
"maka itu, aku percaya yang itu bocah tidak nanti mengasih lolos pada mereka itu. Cuma, waktu Su Poancu datang
mengasih kabar padaku, ia baru kira-kira jam sepuluh,
sedang sekarang ini sudah mendekati jam dua."
"Kalau begitu, kita mesti lekas mengejar," kata Siu Lian pada suhengnya. Ia lantas pesan Siau Hong, supaya hal itu dirahasiakan terhadap Yo Lee Hong, sedang Yo Kian Tong
diminta suka berdiam pada Siau Hong, Ceng Lee sudah
lantas berangkat.
Kemudkan selagi perintah orang siapkan kudanya, Siu
Lian pergi pada Tek toa naynay yang ia kisiki untuk
menjaga baik-baik nynya mantunya.
Dan kapan sebentar kemudian kuda sudah siap, nona Jie
pamitan, ia naik kudanya, akan lari pulang ke rumahnya
Tay Po, guna ambil sepasang goloknya, dari situ, ia keluar dan Anteng-mui. Dengan ikuti kali pelindung kota, ia
menuju ke barat-selatan. Kudanya bisa lari cepat, sebentar saja ia sudah kitari tembok kota dan sampai di jalan besar yang menuju keluar Sayu-mui. Dari sini, lari kearah barat belum seberapa jauh, ia lihat ditepi jalan, pada sebuah
warung teh kecil Sun Ceng Lee asyik duduk minum teh,
suatu tanda bahwa suheng itu telah dapat ketika akan
mengaso sebentar di situ.
Selagi melewati, ia beri tanda dengan mata, kudanya ia
kasih lari terus.
Selewatnya sumoy itu, Ceng Lee letaki cangkir teh dan
lemparkan uang harganya setelah sambar goloknya, yang ia letaki di pinggir meja, ia samperi kudanya, yang ia loloskan dari tambatannya, lalu dengan menyemplak binatang itu, ia lari kejurusannya si nona.
Sesudah lari sedikit jauh, Siu Lian kendorkan kudanya,
maka itu, lekas sekali, Ceng Lee telah bisa candak ia.
"Kalau sebentar kita dapat susul rombongan kereta itu,"
kata si nona pada itu saudara seperguruan yang adatnya
keras, "aku harap suheng bertindak dengan menuruti
petunjukku, tidak boleh di waktu siang seperti itu, kita menyerang dan membunuh orang! Kalau tidak, suheng
ketahui sendiri, selamanya kau akan tak mampu menjadi
piausu seperti biasa!"
"Sebenarnya aku sudah bosan menjadi piausu," Ceng
Lee jawab, "Segala apa ada di Pakkhia! Ada naga, ada
harimau, ada rase, ada kunyuk! Dan sekarang muncul
srigala bangkotan! Sungguh menyebalkan. Benar-benar, aku ingin sekali buat huru-hara. di sini, akan kemudian pergi merantau ke lain tempat!"
Siu Lian tidak ladeni orang ngoceh, ia malah cambuk
kudanya, akan kasih binatang itu lari dengan keras. Maka itu, sang suheng telah mesti susul ia. Hingga mereka berdua ada laksana orang yang asyik main kejar-kejaran.
Ini adalah jalanan umum yang mereka kenal baik, karena
di sini mereka biasa mundar-mandir, hingga mereka bisa
kaburkan kudanya dengan tak sangsi-sangsi lagi.
Beberapa puluh lie sudah dikasih lewat, hingga mereka
pun telah lewatkan sungai Engteng Hoo.Dijalanan sini ada tidak sedikit kereta dan kuda yang berlalu lintas, semua itu diperhatikan oleh Siu Lian dan Ceng Lee, sampai sebegitu jauh, mereka belum dapat kereta-kereta yang mereka cari, ialah rombongan kereta di antara siapa ada penumpangnya
dua tua bangka. Demikian mereka sampai di daerah Liang-
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hiang-koan. Disini, di tepi jalan, ada satu tempat dimana ada tumbuh beberapa pohon pek yang yang besar, di bawah mana orang
bisa meneduh atau benstirahat. Dan di sini, tiba-tiba ada suara panggilan: "Jie sukou! Jie sukou!"
Siu Lian menoleh dengan segera, menoleh ke belakang,
karena suara itu datangnya dari sebelah belakang ia. Ia
segera kenalkan Kau Jie Chiu, dengan dandanannya
sebagai toosu, dengan peti obat-obatannya tak ketinggalan menggemblok di punggungnya, dan dengan menunggang
keledai, si Monyet Kecil asyik menyusul ia. Ia lantas tahan keledainya menantikan.
Di lain pihak, di belakangnya Tam Hui, dari bawah
pohon pek yang ada berlari-lari satu penjual bebuahan,
sambil tangannya diulur dan mulutnya berkaok-kaok:
"Tooya, tooya, uang buahmu masih belum dibayar."
Tam Hoa tahan keledainya, ia rogoh sakunya akan
keluarkan uang, yang mana ia terus lemparkan kepada
tukang buah itu.
"Lekas sedikit!" kata Siu Lian.
Tapi Kau Jie Chiu menghampiri dengan ayal-ayalan.
"Sukou hendak pergi ke mana?" ia tanya.
"Dan kau buat apa di sini?" sang sukou balik menanya.
"Aku sedang menjalankan tugas yang diberikan oleh Su toasiok. Ia kasihkan keledai ini, untuk aku kuntit beberapa buah kereta ... "
"Di mana adanya beberapa kereta itu sekarang" Apakah
kau gagal menguntitnya?"
Kau Jie Chiu monyongkan mulutnya ke arah umur.
"Aku menunggang keledai dan mereka naik kereta keledai
juga, mustahil aku tak mampu susul mereka?" ia jawab.
"Ah, nyata sukou pandang aku sangat tidak punya guna!
Mereka itu..."
Dan ia buat main pula mulutnya.
Siu Lian berpaling ke arah timur. Di situ ada segundukan pohon pek yang. Di belakang pepohonan itu samar-samar
ada rumah-rumah orang. Itu ada suatu dusun. Ia lantas
unjuk roman heran, "Jadinya kereta mereka itu pergi ke sana?" ia menegasi.
Si Monyet Kecil mengangguk.
"Ya, semuanya sudah masuk ke dalam itu kampung," ia menjawab. "Di antaranya ada si orang perempuan yang kepalanya dibungkus sapu tangan dan mukanya bertai laler merah. Aku tak kenal keadaannya kampung itu, aku tidak
berani lancang masuk, maka aku singgah di bawah pohon
tadi, untuk sekalian mencari keterangan. Katanya itu ada kampung Thiokee-cun, disana ada satu penduduknya orang
she Thio yang anak perempuannya menikah dengan
seorang berpangkat di kota raja, hingga sering ada orang mewah yang naik kereta datang berkunjung ke kampung
itu." Siu Lian berpikir sebentar, lantas ia kata. "Nah, mari kita kembali ke pohon itu untuk beristirahat!"
Dengan tidak tunggu jawaban ia loncat turun dari
kudanya, akan bertindak ke tempat yang ditunjuk. Di
tempatriindang itu ada tukang bebuahan, yang antaranya
pun ada penjual semangka, dialah numprah di tanah ada
satu tukang tenung. Disitu ada tujuh atau delapan orang
lain, yang singgah buat berangin, di antaranya ada yang
rebahkan diri dengan kepala tersundang buntalannya.
Seorang perempuan sedang duduk sambil rneneteki
anaknya, dengan di sampingnya ada keledainya, sedang
suaminya, sedang duduk sambil makan semangka. Satu
bocah, yang lebih tua, lagi jongkok mengawasi serombongan semut.
Siu Lian datang ke situ dengan tak menarik perhatian
orang banyak. Ia dandan mirip dengan satu nona tukang
dangsu. Kau Jie Chiu pun ada satu toosu, jubahnya dan peti obat-obatan adalah alat untuk selimuti dirinya yang asli.
Adalah Ngojiau-eng Sun Ceng Lee yang menarik perhatian,
karena tubuhnya yang tinggi dan besar, romannya ada
keren sekali. Kau Jie Chiu tambat keledainya, dan ia tolong tambati
juga kudanya itu nona dan piausu, kemudian ia hampirkan
si khoa-mia sinshe, untuk ajak disitu koogkou.
Ceng Lee dudukdi dekat tukang semangka, dengan
tangan bajunya, ia sekai keringat di mukanya, kemudian ia makan buah untuk menghilangkan dahaga.
Nona Jie samperi si nyonya yang sedang meneteki anak,
untuk diajak bicara, Ia bersikap manis budi, dan si
nyonyapun ada seorang yang halus tingkah lakunya.
Kebetulan sekali, nyonya itu ada orang asal daerah itu.
Orang tuanya tinggal di sebelah timur, jauhnya kira-kira delapan belas lie. Karena hawa udara ada panas dan
anaknya haus, ia singgah di situ akan meneteki anaknya itu.
Ia sudah berumur hampir empat puluh tahun, ia ada
kelahiran tulen dari dusun itu, maka itu, di tempat
sekitarnya duapuluh lie, ia tahu benar dan hampir tak ada penduduk situ yang ia tidak kenal.
Sesudah bicara sekian lama, Siu Lian tanya, apa barusan
dusun Thio-kee-cun itu ada kedatangan serombongan
kereta. Selagi menjawab nyonya itu kelihatan ada kagum sekali.
"Aku ada punya satu encie, yang tinggal di dalam dusun itu," kata ia. "Di sana ada satu nyonya janda she Thio yang mewah hidupnya. Dia ada punya satu anak perempuan,
tadinya anak itu ingusan, setahun genap ia tak pernah cuci muka, tetapi kemudian anak itu dibawa ke kota raja,
katanya dinikahkan pada satu pembesar. Pada tahun yang
sudah, anak itu pulang kekampungnya dengan berpakaian
sutera, rambutnya ditabur barang-barang perhiasan emas,
hingga ia nampaknya jadi elok sekali. Hanya, kita dengar, dia menjadi gundik orang, bahwa sang suami dulunya
pernah jadi tiehu, bahwa kumis jenggotnya looya itu sudah ubanan, usianya ada beripat-lipat lebih tinggi dari padanya.
Tetapi looya itu ada hartawan. Hanya sekarang dia tak
kenal lagi sanak familinya yang miskin. Tetapi karena ia beruang, banyak yang baiki padanya. Begitulah ini hari, ia pulang ke kampungnya, maka penduduk kampung sana
tentu menjadi angot pula, tentu mereka pada bergerunyukan datang menonton, untuk mengambil-ambil
hati. Inilah tidak heran. Baru dua tahun, keluarga Thio itu lantas jadi hartawan secara mendadakan. Si nyonya janda
sekarang ada membuka sebuah rumah gadai di sebelah
utara sana."
Siu Lian anggap keterangan itu sudah cukup. Ia
menduga, tidak salah lagi, nyonya muda itu mesti ada
gundiknya Ho Siong. Ini rupanya ada tipu dari Hwie Pek
Sin, yang ajak atau anjurkan Ho Siong pulang ke rumah
mertuanya, untuk menyingkirkan diri, dengan Ho Kiam Go
beramai terap melindungi mereka.
Hampir nona Jie tidak sanggup kendalikan diri, hampir
saja ia lari ke kudanya buat menyerbu ke Thiokee-cuen buat binasakan Ho Siong, Hwie Pek Sin dan juga Ho Kiam Go.
Atau terlebih dahulu ia tempur Ho Kiam Go, baru ia
tamatkan lelakonnya itu bekas Tihu dan juru pemikir yang liehay. Syukur ia bisa kendalikan diri. Ia tahu, penyerbuan itu berarti perbuatan sebagai berandal saja, kalau ia lakukan
semacam perbuatan itu, ia dan Ceng Lee tentulah bakal
dicari polisi, hingga mereka mesti jadi pemburon.
Siu Lian juga ingat bahwa ia tidak boleh berdiam lama-
lama di itu tempat, Kiam Go atau Hwie Pek Sin bisa dapat lihat ia. Maka ia samperi Ceng Lee, buat diajak berdamai.
"Aku pikir baik kita pergi ke dusun utara sana sambil beristirahat, kita tunggu sang waktu, nanti malam baru kita satroni mereka," ia kata.
*** Ceng Lee geleng-geleng kepala melihat kekeliruan orang.
"Sumoay kau sudah tinggal beberapa tahun di
Kanglam," ia berkata, "dari Lie Bou Pek kau tidak menelad apa-apa, kenapa kau justru telah pelajari ktnriium, hingga kau jadi begitu berhati-hati" Aku pikir baiklah sumoay
jangan ikut urusan ini, tunggu sampai aku habis makan
semangka, lantas bersama-sama Kau Jie Chiu, aku nanti
menyerbu ke dalam dusun itu, akan bekuk itu beberapa
makhluk jahat!"
"Dan perbuatan semacam itu berarti menggeprak rumput untuk membuat ular kaget!" kata Siu Lian. "Di sana ada berdiri beberapa puluh rumah, ke rumah yang mana saja
mereka bisa pergi untuk sembunyikan diri, apa kau berniat serang kalang kabutan pada sesuatu rumah?"
Ceng Lee berbangkit, agaknya ia tak sabaran.
"Lebih baik sumoay jangan usil aku!" ia kata dengan uring-uringan.
Siu Lian pun berbangkit.
Hampir di itu waktu. Kau Jie Chiu yang kenakan alis
luncat bangun. "Lihat di sana!" katanya, seraya menunjuk ke arah utara.
"Di sana ada kawan-kawan kita!"
Dengan cepat Siu Lian berpaling ke jurusan yang
ditunjuk dan ia lantas berdiri dengan tercengang.
Di sana ada mendatangi tiga penunggang kuda, mereka
itu mendatangi semakin dekat hingga semua penunggangnya lantas kelihatan nyata. Di paling depan ada Su Poan cu dengan tubuhnya seperti buntalan. Yang
mengherankan adalah dua penunggang kuda yang lainnya,
ialah Yo Kian Tong bersama Yo Lu Hong!
"Eh, kenapa dia pun datang?" kata nona ini dalam
keheranannya. Kau Jie Chiu lantas lari, untuk memapaki, ia pun
memanggil-manggil, tetapi Siu Lian cegah ia dengan
bentakan. Dengan lekas, tiga penunggang kuda itu datang semakin
dekat. Lee Hong memakai baju celana hijau, rambutnya di
bungkus dengan saputangan. Nyata ia bisa menunggang
kuda dengan tetap. Bersama-sama Yo Kian Tong, ia ada
bekal tombak panjang.
Su Poancu ada memakai tudung rumput yang besar dan
lebar, bajunya terbuka sebatas dada. Ia sudah lantas lihat Siu Lian beramai, lantas saja ia bersenyum-senyum.
Kapan orang telah datang dekat, Siu Lian maju ke
depan. "Kenapa dia kut-ikutan?" ia tanya. Ia maksudkan Lee Hong.
Selagi orang heran, piausu tua itu tertawa.
"Begitu kau berangkat, aku lantas bicara pada Siau
Hong," ia menyahut. "Nyata Siau Hong setuju yang ia,
dengan diiring oleh aku menyusul kau. Begitu kua keluar
dari pintu kota, kita lantas ketemu itu si Su Tua. Kemudian Lui Keng Cun pun menyusul kita. Tapi Keng Cun tidak
punya kuda, maka ia menyusul belakangan, sekarang ini ia tentu baru melewati jembatan Loukau Kio. Pikiranku ada
begini: Urusan ada urusannya keluarga Yo, dan ini ada
sakit hati dari dua puluh tahun. Yang dalamnya laksana
lautan! Maka, kenapa kita tak mau antap Lee Hong sendiri yang turun tangan, guna membuat pembalasannya" Sejak
bertahun-tahun aku didik ia dalam ilmu tombak, buat
apakah itu" Dan itu, aku telah berdamai dengan Siau Hong dan Bun Hiong juga, aku bilang, tidak ada halangannya
kalau nyonya mantu atau isterinya keluar untuk beberapa
hari. Untuk itu aku telah berikan pertanggunganku, apabila padanya ada terjadi suatu apa, aku suka menggantinya
dengan jiwaku!"
Siu Lian tidak menjadi tidak senang kapan ia dengar
kata-katanya piausu itu, sebaliknya, ia jadi bersemangat.
"Kalau begitu, kita turun tangan sekarang juga," ia berseru. "Cuma aku pikir bukankah kita berdamai dahulu.
karena sekarang ada di bawahnya matahari yang terang
benderang."
Yo Kian Tong agaknya heran.
?Apa" Sekarang juga?" ia kata. "Apakah sudah diketahui di mana adanya kereta dan Hwie Pek Sin dan Ho Siong?"
"Ya, di sana!" Ceng Lee menggantikan menyahut, sambil tangan-nya menunjuk ke timur. "Di dalam kampung itu ada satu janda she Thio, ia adalah mertuanya Ho Siong."
Suaranya Ngo Jiau eng ada keras sekali tetapi baru ia
tutup mulutnya, atau Lee Hong sudah keprak kudanya
menuju ke arah yang ditunjuk itu.
Siu Lian segera loncat naik atas kudanya menyusul. Yo
Kian Tong pun segera susul nona Yo.
Ceng Lee lari pada kudanya ditelad oleh Kau Jie Chiu
siapa loncat naik atas keledainya.
Pasan-coa Su Kian, si Ular Gunung, ketinggalan seorang
diri, malah ia turun dari kudanya, yang ia tambat, ia sendiri hampirkan si tukang buah, akan jumput semangka yang ia
lantas makan sambil numprah di tanah.
"Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa yang menarik hati untuk dilihat!" ia kata sambil goyang-goyang tangan. Ia
bicara pada itu beberapa orang, yang agaknya terheran-
heran hingga mereka mengawasi ke rombonganya Ceng
Lee itu. "Mereka itu pergi ke kampung untuk sambangi famili mereka!"
Kendatipun ia berkata demikian, Su Poancu toh
mengawasi ke jurusannya nona Yo.
Nona itu larikan kudanya paling depan, di belakang ia
menyusul empat kuda lain. Di paling belakang ada
mengintil seekor keledai, yang larinya keras juga. Kudanya Ceng Lee mencoba menyusul Lee Hong, karena ia telah
umbar adatnya yang keras. hingga kudanya itu ia kasih
larat. Demikian, berdua mereka ini adalah yang paling dahulu
masuk ke dalam kampung.
Tujuh atau delapan ekor anjing, yang menjadi kaget,
lantas menggonggong dan mengurung. Lee Hong terpaksa
gunakan tombaknya buat mengemplang dan menusuk
hingga ada anjing yang terkuing-kuing.
Dari beberapa rumah ada orang-arang yang muncul,
akan melongok, karena mereka dengari uara berisik dari
anjing-anjing kampung itu. Inilah kebetulan Lee Hong jadi bisa samper satu di antaranya.
"Aku numpang tanya yang mana satu ada rumahnya
nyonya janda Thio?" demikian pertanyaannya.
Orang-orang kampung itu pada melengak, tetapi yang
ditanya toh menyahut juga:
"Itulah dia itu rumah yang kesatu di ujung tembok!" Ia bicara sambil menunjuk.
Lee Hong keprak kudanya, akan hampirkan rumah yang
ditunjuk itu. Benar saja, baru ia mengkol, ia sudah lihat dua buah kereta berhenti di depan satu rumah. Itu ada dua buah kereta keledai, tetapi di situ tidak ada satu kuda pun. Pintu pekarangan ada kecil dan juga ditutup, rupanya dikunci dari dalam. Di depan pintu ada dua kusir serta beberapa orang lain, yang asyik berjudi. Mereka itu kaget waktu melihat ada datang orang yang menunggang kuda dan sambil bawa
senjata. Kau Jie Chiu turut masuk kc dalam gang, untuk terus
menjadi kaget. "Heran," ia berseru. "Tadi aku lihat empat buah kereta
serta tiga ekor kuda, kenapa tinggal dua buah kereta?"
Lee Hong sudah loncat turun dari kudanya dan samperi
pintu, yang ia gedor.
"Sabar," kata Yo Kian Tong, yang susul nyonya muda
itu. "Jangan sembrono, kita mesti pakai aturan!"
Isterinya Bun Hiong menurut, ia lantas menggedor
terlebih perlahan, ia memang-manggil.
Kian Tong hampiri si tukang kereta.
"Apakah kau datang kemari mengikut Ho tiehu?"
demikian ia tanya.
"Kereta kita ada kereta sewaan dan dipakai sejak tadi pagi-pagi," sahut salah satu kusir. "Kita dijanjikan akan dari Pakkhia menarik muatan ke Pongsan dan mampir sebentar
disini buat tengok famili," katanya. "Semuanya ada empat buah kereta. Tetapi yang dua ada kepunyaan mereka
sendiri. Di antaranya ada Hwie looya dan dua thaythay
Rumah ini rupanya ada rumah dari Ho thaythay Hwie
looya dan Ho thaythay tidak berdiam lama di sini, lantas mereka naik pula kereta mereka sendiri dan berangkat
menuju ke selatan sana. Satu haythay yang menunggang
kuda, ikut mereka itu."
Sambil kata begitu, kusir itu menunjuk ke arah selatan.
Di sana, antara pepohonan pek yang, ada satu jalanan
kampung yang kecil. Di jalanan itu benar ada tapak roda.
"Berapa lama mereka sudah berangkat," tanya Kian
Tong, yang ada sibuk sendirinya.
"Mereka pergi sudah lama juga, sebab begitu sampai
disini, mereka lantas berangkat pula. Kita diwajibkan
menunggu di sini, katanya buat antar orang yang mau pergi ke Pongsan."
Yo Kian Tong bingung tetapi ia bisa lantas ambil
putusan.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lekas menyusul ke selatan!" ia kata pada Sun Ceng Lee.
Si Monyet pun ada bingung.
"Aku hanya lihat kereta masuk kesini, tidak lihat kereta keluar ... " ia kata.
"Dasar matamu buta," membentak Ceng Lee seraya
tampar muka orang. Kemudian ia loncat naik atas kudanya, buat menyusul ke selatan.
Siu Lian juga turut menjadi sibuk, hingga ia bantui Lee
Hong menggedor pintu pekarangan. Tapi sebab pintu tidak
dibuka, orang tidak ada yang muncul, terpaksa mereka
gempur ini. "Ada apa, ha" Mengapa menggedor pintu begini berisik?"
tanya seorang perempuan, yang muncul di pintu rumah.
Ia ada satu nyonya umur kira-kira empat puluh tahun,
pakaiannya serba hijau dan bersih, gelungnya memakai
tusuk konde perak.
Kau Jie Chiu duga ia itu adalah janda Thio, mertuanya
Ho Siong, "Aku cari Ho Siong dan Hwie Pek Sin!" Lee Hong menjawab dengan kaku dan bertindak maju.
Nyonya itu pentang kedua tangannya menghalau di
depan pintu. "Eh, eh, jangan sembarangan masuk!" ia kata dengan
nyaring, "Kau ada seorang perempuan dan bawa-bawa
tombak. Aku pun tidak kenal kau" Mau apa kau datang
kemari?" Siu Lian maju akan cekal lengan orang.
"Kau jangan takut," ia kata, suaranya perlahan tetapi berpengaruh. "Kita hendak cari Hwie Pek Sin dan Ho Siong untuk bicara sebentar! Ijinkanlah kita masuk, kita tak akan ganggu kau..."
Tetapi itu waktu Lee Hong sudah masuk, kawannya ikuti
ia. Janda Thio masih tidak mau mengerti, ia malah gusar.
"Eh, dua bangsat perempuan dari mana datang kemari?"
ia pentang bacotnya dengan nyaring, "Kenapa kau nerobos masuk ke dalam rumah orang" Lekas keluar, lekas! Tukang
kereta, tukang kereta, lekas masuk! Tukang kereta, mari
bantu aku usir ini dua perempuan bangsat!" Tetapi tukang kereta dan kawannya, yang sedang berjudi,
tidak berani datang menghampiri, mereka berdiri di
pinggiran, mengawasi saja. Janda Thio coba ubar Siu Lian, tapi Kau Jie Chiu dari belakang sambar ia. Ia dipeluk pada pinggangnya dan diangkat, hingga ia jadi ngamuk sambil
kekaokan, kaki tangannya berontak-rontak Tam Hui bawa
ia naik ke kereta keledai hingga di situ ia jadi bingung, karena ia sangsi akan turun, ia hanya bisa pentang terus bacotnya.
"Rampok, rampok! Tolong, tolong, ada rampok!"
demikian suaranya.
Kau Jie Chiu lantas melintang di depan pintu.
"Hati-hati, Kau Jie Chiu," Yo Kian Tong peringatkan,
"Jangan berlaku kasar."
Lee Hong dan Siu Lian sudah masuk kedalam, Siu Lian
berlaku tenang, tidak demikian dengan si nona Yo. Rumah
itu tidak terlalu kecil, perabotannya pun cukup baik, tetapi disitu tidak ada satu pun orang laki-lakinya, ada juga tiga orang perempuan tetangga, yang terkena famili.
Dua lagi ada bujang dan budak. Orang yang keenam
adalah si nyonya muda, yang tadi naik kereta, ialah nyonya Thio, gadisnya janda Thio, atau gundiknya Ho Siong.
Ie-thythy dan Ho Siong berumur belum dua puluh tahun,
ia tidak terlalu cantik, akan tetapi pakaiannya mewah,
dandanannya perlente. Ia pakai baju merah, celananya
sutera hijau. Perhiasan rambutnya semua terdiri dari emas.
Nyalinya pun kelihatannya besar. Kalau lain-lain orang
kaget, ia nampaknya tak takut. Malah ia bawa aksi sebagai thaythay.
"Kau benar liehay," demikian katanya. Terang ia sudah tahu dengan siapa berhadapan. "Kita pergi menyingkir ketempat begini jauh tetapi kau masih bisa mendapat tahu dan menyusuli. Sebenarnya ada permusuhan apa di antara
kau dan looya-ku itu" Dengan bawa-bawa senjata kau
beramai hendak berbuat apa" Apa benar-benar kau hendak
bunuh mati itu tua bangka yang sudah berumur enam atau
tujuh puluh tahun?"
"Sudah, kau jangan ngobrol saja," Siu Lian menegur. "Di mana sembunyinya Ho Siong dan Hwie Pek Sin" Di waktu
siang sepera itu, kita tidak nanti lantas binasakan mereka!"
Nyonya muda itu jebikan bibir.
"Di mana mereka itu sembunyi, aku pun tidak tahu!" ia menjawab dengan berani. "Menurut aku, aku lebih suka tidak pergi menyingkiri. Aku memang tahu, di antara kau
ada satu yang ada jadi siau-naynay dari Tek ngoya! Maka
bila kau membunuh orang, polisi tentu tidak berdiam saja, pasti akan menangkap si pembunuhnya!"
Lee Hong gusar, hingga ia maju dan hajar kepalanya
gundik bekas tiehu itu.
Nyonya muda itu menjerit terkena tombak, ia rubuh dan
terus bergulingan, hingga pakaiannya yang indah menjadi
kotor dan rusak, perhiasan di kepala pun terlepas,
rambutnya riap-riapan, dengan air mata keluar deras, ia
menangis dan mencaci kalang kabutan.
"Apa perlunya kau cari aku" Aku toh belum pernah
ganggu siapa juga" Di dalam rumahnya bukan aku seorang
saja yang menjadi gundiknya! Aku menikah Ho Siong
belum ada dua tahun, tadinya ia ada tiehu dan hidup
senang, ia tumpuk kedosaan, semua itu aku tidak tahu! Aku bukan gundik satu-satunya! Malah aku sial sudah menikah
padanya! Maka itu kenapa aku mesti wakilkan ia akan
terima kemplangan"..."
Janda Thio telah lari masuk. Entah bagaimana, ia toh
bisa turun dari kereta keledai. Ia menjadi nekat, dengan tunduki kepalai ia terjang goloknya Siu Lian.
"Apakah kau semua bukannya rampok?" ia berseru,
"Hayo gunakan golok dan tombakmu, barulah bunuh kita ibu dan anak!"
Siu Lian singkirkan goloknya.
"Kita tidak bermusuh denganmu," ia kata. "Kita datang hendak bicara dengan baik pada kau, siapa suruh kau
sambut kita secara ugal-ugalan" Asal kau kasih tahu di
mana sembunyinya Ho Siong dan Hwie Pek Sin, kita akan
lantas berlalu dari sini," ..
"Ya, kasih tahulah!" Lee Hong membentak.
Ie-thaythay dan Ho Siong berbangkit dengan napas
sengal-sengal. "Aku nanti kasih tahu di mana mereka itu sembunyi," ia kata. "Tetapi kau cuma boleh bunuh Hwie
Pek Sin, tidak boleh bunuh looya kita!"
"Kita pun tidak berniat membunuh mereka, kita cuma
hendak bekuk mereka untuk minta keterangan mereka!"
kata Siu lian. "Baiklah," kata nyonya itu. "Belum beberapa hari ini, Hwie Pek Sin terus-terusan ada takut-takuti looya kita. Ia bicara tentang satu nona she Yo yang telah menjadi nyonya mantunya keluarga Tek, bahwa nona itu pandai silat,
bahwa nona itu sedang cari alamat kita, rupanya untuk
membinasakan looya. Looya menjadi kaget dan ketakutan
bukan main. Hwie Pek Sin pun sering kali meminta uang
dari looya, mintanya secara memaksa, katanya untuk
mengundang piausu. Baru ini hari dikasih lima puluh tail
perak, di lain harinya ia minta pula, untuk piausu dan untuk orang-orang di kantor, katanya. Ia pun sebut-sebut tentang nona Jie entah apa Lian, tentang Giok Kiau Liong, katanya mereka itu semua ada sanaknya keluarga Tek, yang akan
bantu nyonya mantu she Tek itu membalas sakit hati.
Looya kita sayang uangnya, tapi ia pun takut. Sebenarnya ia sudah pikir lama buat berlalu dari Pakkhia, apa mau,
umurnya sudah tinggi, dan kakinya sudah kurang kuat
jalan, Lain dari itu. ia juga tak punya tempat akan
umpetkan diri. Maka itu, setiap hari ia ketakutan saja,
setiap malam ia tak dapat tidur nyenyak. Ia takut kau dan kawan-kawanmu nanti kutungi batang lehernya. Tadi pagi-pagi, Hwie Pek Sui datang secara mendadakan, dengan
roman ketakutan, ia ajak dengan paksa untuk looya lari. Ia kata bahwa tadi malam rumahnya sudah diserbu oleh
nyonya mantunya keluarga Tek, bahwa syukur ia sudah
bersiap hingga ia bisa lolos dari bahaya. Meski begitu, ia kata, urusan tidak bisa gampang-gampang menjadi beres,
bahwa sebentar malam, orang tentu akan satroni looya! Ia nyatakan juga, baik orang polisi maupun piausu, tak akan dapat menolong, dari itu, ia ajak looya menyingkir saja.
Karena ia sangat ketakutan, ia terpaksa turut Hwie Pek Sin.
Demikian ia buron dengan ajak aku. Kita tadinya berniat
berdiam di rumahku ini, baru saja tiba, belum sempat
minum teh, Hwie Pek Sin kata bahwa di sini pun tidak
aman, bahwa rumah kita ada terlalu dekat jalan besar dan mudah di carinya, ia ajak kita lari lebih jauh. Looya pun tidak bisa terpisah dari Hwie Pek Sin, oleh karenanya ia sudah turut pergi lebih jauh.
"Mereka pergi ke mana?" Lee Hong memotong.
"Pek Sin bilang bahwa di Pongsan ia ada punya sahabat baik, menyingkir kesana ada paling selamat, maka itu,
mereka sudah lantas berangkat, Lie Mo-ong Ho Kiam Go
yang antarkan. Mereka telah bawa juga semua bungkusanku. Aku diperintah berdiam di sini buat beberapa hari. Hwie Pek Sin kata, meski aku dapat disusul oleh kau, aku tak akan dapat bahaya. Tapi aku tak bisa berpisah dari looya itu! Bungkusan barang-barang berharga dan uang
semua berada di dalam keretanya Lie Toa, bagaimana kalau semua itu kena dirampas oleh Ho Kiam Go" Semua itu
berharga ribuan tail perak. Maka aku pun mesti
menyusulnya! Aku niat mengaso sebentar saja, aku akan
susul mereka ke Pongsan?"
Siu Lian percaya orang telah tidak mendusta.
'Marilah, '" ia ajak Lee Hong.
Nona Yo penasaran, ia masih coba menggeledah, setelah
tidak mendapatkan hasil, baru ia percaya.
"Menyesal kita sudah gerecoki kau,"ia kata pada janda
Thio. "Kau jangan takut, urusan kita ini tidak ada
sangkutannya dengan kau!"
Dengan bawa tombaknya ia ikut Siu Lian pergi keluar.
Di luar mereka naik atas kuda mereka yang segera dilarikan ke arah selatan.
Siu Lian kuatir Hwie Pek Sin dan Ho Siong sembunyi di
lain rumah dikampung itu, ia telah minta Yo Kwi Tong dan Kau Jie Chiu jangan pergi dulu, supaya mereka berdiam di situ buat pasang mata.
Jalanan kuda di selatan itu ada memberikan tanda-tanda
roda kereta, ada gampang akan mengikuti itu, tetapi tidak lama jalanan itu menembus ke jalan besar. Di sini, segala tanda sukar untuk dikenalkan lagi. Selagi Siu Lian dan Lee Hong larikan kudanya, dari belakang mereka disusul oleh si Ular Gunung. Ia larikan kudanya dari jurusan utara.
"Eh, kounio hendak pergi ke mana?" ia tanya dengan teriakannya. "Ho Siong dan Hwie Pek Sin lolos," sahut Siu Lian. "Mereka menyingkir ke Pongsan! Mereka naik kereta, larinya kereta tentulah tidak keras, kita tentu akan sanggup susul mereka!"
Su Poancu tertawa gelak-gelak.
"Sungguh Hwie Pek Sin yang licin!" ia kata. "Apakah ia bisa kabur dengan pinjam jalanan di dalam tanah" Sungguh ia ada Cukat Liang! Oh, tua bangka, lihat akulah yang mau mencoba kamu! Mari, kounio dan siau naynay ikut aku!
Pongsan adalah daerah yang aku kenal dengan baik sekali, di sana pun aku ada punya dua sahabat."
Su Poancu keprak kudanya, hingga sebentar kemudian
sudah dului dua kawannya, akan memimpin jalan.
Siu Lian dan Lee Hong ikuti ini orang kangou yang luar
biasa, yang muncul hanya di saat yang penting.
Tiga ekor kuda dilarikan keras, dari selatan mengkol ke
barat. Setelah melewati tidak ada lima puluh lie, mereka sudah sampai di distrik yang dituju. Di sepanjang jalan
mereka tidak ketemui kereta yang muat Ho Siong dan Hwie
Pek Sin. Tatkala itu sudah jam lima kira-kira. Dari tengah hari, Siu Lian dan Lee Hong belum dahar. Maka setibanya
di dalam kota, mereka lantas cari rumah makan untuk
beristirahat dan dahar. Kuda mereka pun di bawa
kesamping untuk dipiara. Sebaliknya dari pada dua orang
perempuan itu, Su Poancu dengan tidak mampir lagi sudah
lantas pergi buat buat penyelidikan. Siu Lian ada lapar, ia dahar dengan tidak pilih-pilih makanan lagi. Beda dari pada ia, pikirannya Lee Hoong kusut, ia sampai tak bisa kasih turun nasi ke dalam tenggorokannya.
Berselang tidak lama, Su Poancu datang pula bersama
satu sahabatnya, orang asal Capasay juga, tetapi ia bekerja
di Pongsan pada sebuah ijian-obong kecil. Ia biasa disebut Tee-Lie-kui atau Setan Setempat.
"Dua-dua si Ho dan Cukat Kho aku tidak kenal," ia kata, kelika si Ular Gunung minta ia berikan keterangan, hanya tadi ada orang yang datang dari barat sana yang cerita
bahwa di tengah jalan ia lihat satu piausu perempuan ada mengiringi dua buah kereta..."
Siu Lian lantas saja berbangkit.
"Itulah tentu Ho Kiam Go!" ia memotong. "Mereka menuju ke jurusan barat?"
"Ke barat itu, selewatnya Kie Ma Hoo, adalah Laysui dan Ekciu," menerangkan lebih jauh sahabatnya Pasan-coa.
"Dan menuju lebih jauh kebarat ada Seeleng. Kapan kita sudah lewati Seeleng kita akan sampai di Cie-keng-kwan.
Dari sini maju lebih jauh ke barat, adalah Ngociong Nia. Ini adalah satu daerah pegunungan, yang banyak orang
jahatnya."
Siu Lian melengak, sedang Su Poancu, hatinya gentar
sedikit. "Sekarang sudah tidak siang lagi," berkata si Ular
Gunung ini, "maka aku pikir baiklah kounio dari siaunaynay singgah dan bermalam di sini, aku sendiri mau pergi cari Sun toako. Di sini kita berkumpul, segala apa kita akan putusan besok. Kalau di gunung dibarat sana ada banyak
orang jahat, siapa tahu kalau-kalau Lie Mo-ong "-k itu dua tua bangka naik ke gunung untuk bersama-sama menjadi
berandal! Kita berjumlah sedikit, sekarang pun sudah sore, kita tak boleh sembarangan menerjang bahaya."
Lee Hong merogoh sakunya, akan keluarkan uang,
setelah bayar uang makanan, kemudian dengan tidak kata
apa-apa ia bertindak keluar.
Siu Lian mesti susul itu nyonya muda.
Su Kian bersangsi.
"Inilah berbahaya!" kata sahabatnya si Gemuk sambil goyang kepala.
Niatannya Lee Hong ada keras, ia tak gampang-
gampang menerimausul.
"Ha, sudahlah!" kata Su Kian kemudian. "Orang lain, orang-orang perempuan, tidak takut, mustahil aku mesti
jeri!" Lantas ia bertindak keluar akan menyusul, malah ia terus naik atas kudanya.
"Nah, sampai ketemu pula, sahabatku!" ia kata pada sahabatnya kepada siapa ia mengunjuk hormat.
Sahabat itu membalas hormat, tetapi ia mengawasi
dengan tercengang.
Lee Hong dan Siu Lian sudah ada di atas kuda mereka,
maka itu Su Poancu lantas mendahului, guna kembali
membuka jalan. Mereka meninggalkan Pongsan dengan
cuaca telah mulai menjadi guram, karena kalau tadinya
masih ada sinar matahari layung, sekarang sinar itu telah bersalin rupa, menjadi suram, sedang di kejauhan
pepohonan tertampak hitam pekat. Burung burung
perdengarkan suara berisik selagi mereka tebang ke
sarangnya masng-masing, sedang di jalanan, orang-orang
yang hilir-mudik semakin jarang.
Tiga ekor kuda dilarikan terus dengan keras tidak peduli cuaca telah mulai menjadi gelap. Angin malam pun sudah
mulai meniup-niup. Mereka sudah melalui jauh juga.
Sekarang mereka tidak lihat orang di tengah perjalanan.
Masih saja mereka kabur terus, sampai jauh di depan,
mereka lihat dua buah kereta sedang mendatangi.
Lee Hong lihat itu, ia kaburkan kudanya melewati Su
Poancu. "Sabar, siau naynay !" kata si Ular Gunung. "Kedua kendaraan itu mendatangi ke jurusan kita, ke timur. Pasti sekali Cukat Kho tak akan lakukan perjalanan balik?"
Meskipun Su Kian berkata demikian, Lee Hong toh maju
terus, hingga Siu Lian mesti susul ia, si gemuk pun terpaksa menyusul juga.
Kedua kereta di depan jalan ayal sekali, Lee Hong bisa
lekas mendekati, karena si nyonya muda kasih kudanya
kabur. "Tahan!" berteriak nona Yo, dengan suaranya yang nyaring tetapi bengis.
Kedua kereta lantas dikasih berhenti, kedua kusir
agaknya ketakutan. Keadaannya mereka ini pun adalah apa
yang dinamai keadaan longpwee. Muka mereka penuh
balan bekas cambukan, hidung mereka borboran darah,
kepala mereka pecah dan mengeluarkan darah juga, hingga
darah berlepotan ke pakaian mereka. Kereta yang di depan lenyap tendanya, tidak ada penumpangnya juga joknya.
Kereta yang di belakang, tendanya dikasih turun, dari
dalam kereta terdengar suara merintih yang perlahan dan
tak lancar. "Dan mana kau datang?" Siu Lian Lintas tanya. "Apakah kau habis dibegal?"
Dua kusir itu mengawasi dengan bengong, mereka tidak
menjawab atau tidak berani menjawab. Nyata mereka ada
ketakutan. "Jangan takut!" Siu Lian kata pula. "Kita bukannya orang jahat, bicaralah dengan sebenarnya..."
Lee Hong tidak tunggu si kusir bicara, ia hanya pergi ke kereta yang belakang, yang tertutup rapat, dari mana masih saja keluar rintihan... Dengantombaknya ia singkap tenda.
Hingga di dalamnya, dengan tubuh rebah, kelihatan
seorang tua dengan rambut dan kumis ubanan, seluruh
pakaiannya berlumuran darah.
"Ia ini Ho Siong atau bukan?" ia tanya kedua kusir
dengan suara dan roman bengis.
Dua kusir itu masih saja ketakutan, tetapi sekali ini
mereka mengangguk.
"Benar, nyonya," mereka menyahut, "Ia memang ada
Holooya." Lee Hong angkat tombaknya hendak menusuk.
"Tahan!" Siu Lian berseru dan mencegah, dengan
menolak lengan nona Yo.
Tombak itu, yang telah bekerja, mengenai jendela kereta.
"Sabar!" kata pula nona Jie. "Meski kau hendak membalas
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakit hati, kita perlu tanya dahulu keterangannya." Ia lantas menoleh pada kedua kusir.
"Sekarang kau mesti menutur biar terang, siapa yang lukai ini orang tua"'
Dua kusir itu bergemetaran tetapi mereka tidak takut lagi terhadap dua orang perempuan itu. Kusir yang kepalanya
borboran darah, dengan suara yang sengit menyatakan ia
ada penasaran. "Sebenarnya looya kita cari penyakit sendiri!" ia kata, kapan ia mulai dengan penuturannya. "Looya pernah jadi tiehu beberapa tahun lamanya, ia ada punya harta besar, ia
ada punya beberapa gundik dari usia belasan, apamau, ia
sudah tersesat bersahabat dengan Cukat Kho, yang disebut juga Hwie Pek Sin, satu tua bangka. Hampir setiap hari, tua bangka itu takut-takuti looya, yang ia gertak pulang pergi, katanya ada entah hehiap apa, yang kehendaki jiwanya.
Looya ada begitu ketakutan sampai ia menjadi was-was,
hingga ia turut saja apa katanya si tua bangka itu. Begitu ia sudah undang satu piasu perempuan, namanya Li Mo Ong.
Dengan ajak peksam-ie thaythay tadi pagi dari Pakkhia
looya kabur seantero hari. Mula-mula kita menuju ke
rumahnya siau thaythay tetapi di situ kita tidak sampai
singgah sebab si orang she Hwie segera mengajak
melanjutkan perjalanan kebarat. Looya menurut saja, ia
rupanya tak pernah pikir akan diperdaya. Barusan kita
sampai di depan sana, di tanah pegunungan yang sunyi, di situ tiba-tiba Lie Mo-ong perlihatkan dirinya yang sejati.
Nyata ia ada satu penjahat perempuan. Dengan goloknya,
ia telah bacok rubuh pada looya, buntalan siapa ia rampas semua."
"Dan Hwie Pek Sin?" Siu Lian tanya.
"Tua bangka itu berpura-pura ketakutan, ia meratap-
ratap memohon ampun, maka Le Mo ong tidak ganggu
padanya," si kusir cerita lebih jauh, "Kereta kita telah diganggu, kita lantas diusir, disuruh angkat kaki. Nyonya lihat sendiri, kita telah dipersakiti begini rupa dan looya terluka hebat sekali. Kita tidak berdaya, terpaksa kita
berlalu. Hwie Pek Sin tidak turut kita. Sesudah jalan sedikit jauh, kita menoleh. Apa yang dilihatnya Lie Mo-ong dan si tua bangka jalan sama-sama, sambil bicara dan tertawa-tawa. Teranglah sudah, bahwa semua ini ada akal
muslihatnya tua bangka itu yang perdayai looya, hingga
looya dibegal habis-habisan! Memang dari rumah, looya
telah perintah angkut uangnya dan semua barangnya yang
berharga, sedang sam-ie thaythay sengaja ditinggalkan di rumahnya supaya di tengah jalan, enak mereka kangkangi
harta besar itu. Lie Mo-ong telah digunakan sebagai
perkakas untuk perampasan ini. Sekarang mereka itu tentu sedang membagi rampasannya! Toh kabarnya, tua bangka
itu dan looya ada dari persahabatan puluhan tahun."
Di akhirnya keterangan, kusir itu menghela napas.
Su Poancu bersenyum ewa.
"Sungguh bukannya manusia!" kata ia dengan sengit.
Yo Lee Hong hampiri pula Ho Siong, dada siapa ia
ancam dengan ujung tombaknya.
"Kau ceritakan semua kejahatanmu," kata nona Yo. Ia ada sangat gusar tetapi air matanya terus bercucuran.
Lukanya Ho Siong ada berat sekali, ia merintih dan
mengeluh, napasnya empas-empis Beberapa kali ia bergidik.
"Inilah kedosaan, siksaan." kata ia dengan susah.
"Kedosaanku yang pertama adalah seumur hidupku, aku gemar akan paras elok. Disamping itu, aku temaha pada
uang. Dan Yo Siau Cay kasihan ia, ia telah menjadi korban
... Semua-semua adalah Hwie Pek Sin yang memikir, yang
merencanakannya. Aku tidak sangka bahwa di akhirnya,
urusan ada hebat sekali... Oh, aduh, ampuni aku ..."
Kepalanya tua bangka itu teklok, mengenai lantai kereta.
Ia sudah menahan sakit terlalu lama, ia bicara terlalu
banyak, tenaganya habis. Darah pun masih mengucur,
kendati dengan perlahan.
Lee Hong hendak menikam, apamau, tangannya
menjadi lemas sendirinya, hingga ia tak kuat mengangkat
tombaknya, sedang air matanya, bercucuran semakin deras.
Ia kertak gigi, toh sia-sia tetap ia tak mampu gerakkan
tombaknya. Siu Lian lantas menghampiri.
"Sudah, jangan," kata nona ini. "ia sudah terlalu tua, ia terluka begini hebat, ia tentu bakal mampus sendiri, maka baiklah kau kasih ia keampunan."
Lee Hong tarik tombaknya, ia menangis menggerung-
gerung. Nona Jie tarik tangannya Lee Hong.
"Mari kita cari Hwie Pek Sin! Ia barulah tak boleh dapat ampun!" ia kata dengan sengit. "Marilah!"
Siu Lian jalankan kudanya, di sebelah depan.
Lee Hong masih menangis, tetapi ia ikuti nona she Jie
itu. Su Poancu bungkam sejak semula, ia susul mereka
berdua, ia jalan di belakangnya nona Yo.
Mereka menuju terus ke barat.
Lee Hong tidak sampai menikam musuhnya, akan tetapi
setelah menangis sekian lama, hatinya menjadi lega. Ia
telah saksikan keadaannya Ho Siong, yang hanya
menunggu hembusnya napas yang penghabisan, disamping
nasehatnya Siu Lian, hatinya menjadi lemah. Orang pun
sudah akui semua kesalahannya dan telah memohon
ampun. "Ya, Hwie Pek Sin adalah musuhku yang sejati..." ia berpikir. "Ia tentu sembunyi tidak jauh dari sini, jiwanya tinggal menunggui siang atau malam, untuk ---nn habis."
Ketiga kuda jalan terus dalam cuaca yang gelap, di
tengah jalan tidak ada lain orang. Di kiri dan kanan jalanan,
pohon padi yang tertiup angin bersuara laksana gelombang.
Di situ pun tidak ada kampung atau rumah orang.
Di atas langit, mulai terlihat bintang-bintang berkelak-
kelik. "Baik kita jangan maju terus," kata Su Poancu akhirnya, seraya ia tahan lari kudanya. "Kemana kita mesti pergi untuk mencapai tujuan kita" Mana kita tahu Hwie Pek Sin
sekarang berada di gunung yang mana" Walau benar kita
mengetahuinya, dalam gelap seperti ini, cara bagaimana
kita bisa cari padanya" Maka lebih baik kita coba cari
rumah orang, untuk bersinggah."
Siu Lian akur dengan ini usul. Memang di waktu malam
mereka tak bisa pergi dengan tak bertujuan.
"Bagaimana pikiranmu?" ia tanya Lee Hong. "Baiklah kua cari tempat untuk bermalam. Besok pagi kita mulai
mencari pula. Ho Siong sudah dapat keampunan, kau dari
itu tak usah kesusu pula. Aku berani tanggung bahwa Hwie Pek Sin tak akan lolos dari tangan kita!"
Nyata Lee Hong pun setuju, hanya ketika ia menyahut,
suaranya ada lemah dan sedih.
Sekarang mereka jalan dengan perlahan-lahan. Su
Poancu jalan paling depan, matanya celingukan kekiri dan kanan.
Jagat ada sama gelapnya di empat penjuru. Tapi si nona
Jie, yang lerlebih berpengalaman, bisa juga membedakan ini dan itu, umpama ia tahu mana gunung, mana pepohonan
lebat, mana jalanan. Yang matanya paling liehay adalah si Ular Gunung, yang tetap jalan di muka. Dengan ikuti ia ini dua kawan itu tak kesasar.
Dengan sabar mereka jalan terus sampai di sebelah
depannya, mereka dengar anjing menggonggong.
"Kita sudah sampai di rumah orang hati-hati sedikit," Siu Lian pesan Lee Hong. "Kitapun tidak boleh bicara
sembarangan. Tempat ini begini sepi, siapa tahu kalau
penghuni rumah itu ada orang jahat?"
Bertiga mereka maju terus.
Seekor anjing sekonyong-konyong datang menyerang,
tetapi Su Poancu mengusir dengan bentakannya. Ia
bersuara keras dengan maksud supaya tuan atau nyonya
rumah dengar suaranya itu.
Benar saja, baru satu kali ia bersuara, ia lantas lihat
cahaya api, api dari satu lentera. Maka ia segera tahan
lajunya kuda. Gerak-gerakannya api itu ada sedikit aneh, mirip dengan
api memedi... Sebentar kemudian, api itu toh datang dekat. Baru
sekarang Su Poancu mengerti, mengapa api itu rendah
sekali. Nyata itu adalah api lentera yang dibawa oleh satu bocah. Dengan tidak merasa, ia tertawa sendirinya.
"Hai anak kecil, tempat ini apa namanya?" ia tanya bocah itu.
"Tempat kita dipanggil Kau-po," sahut anak itu.
Su Poancu tertawa pula.
"Satu nama tempat yang bagus!" ia kata. "Kau" berarti
"anjing".
"Kau di sini kerja apa" Apakah kau ada jongos hotel?"
Bocah itu menggeleng kepala.
"Bukan. Kita di sini tidak punya rumah penginapan. Aku ada orang ronda dari kampungku..."
"Satu bocah menjadi tukang ronda?" Su Kian menegasi.
"Ayahku ada menjadi kepala kampung di sini. Sudah
satu tahun lamanya aku menjadi peronda. Kampung kita
ada aman, sudah banyak tahun belum pernah ada perkara
pencurian. Aku jalan ronda, untuk jam pertama saja, untuk selanjutnya jam kedua ketiga dan seterusnya, aku tidak
keluar pun tidak menjadikan apa-apa."
Siu Lian dengar jawaban yang rapi itu dan ia
beranggapan mestinya ada dari buah pengajaran, maka itu
ia kutik lengannya Lee Hong.
"Ayahmu ada menjadi kepala kampung adalah bagus,"Su Poancu berkata pula. "Aku ada orang she Lau, hamba dari kantor pembesar di Thaygoan. Sekarang ini aku sedang antar kedua nyonyaku buat pergi ke tempat
jabatannya looya. Tadi kita sudah kesalahan lewati tempat penginapan, di siniu kita kemalaman dan kita tak punya
tempat untuk bermalam, dari itu pergjlah lekas suruh
ayahmu tolong carikan kamar untuk kita!"
"Ayahku ada di dalam," anak kecil ini menyahut, "Ia sakit kakinya, tidak bisa jalan, kau sendiri saja pergi
padanya." "Aku tidak tahu ayahmu tinggal di mana, antarlah aku ke rumahmu!"
Ia loncat turun dan kudanya.
Bocah itu menurut, ia lantas jalan di depan.
Siu Lian dan Lee Hong, dengan masih bercokol di atas
kuda, mengikuti mereka itu.
Kampungku banyak pepohonannya, pantas segala apa
jadi gelap luar biasa. Menurut perkiraan, di situ ada hanya belasan rumah. Di waktu begitu, semua rumah rapat
pintunya. Siu Lian menaruh perhatian istimewa. Ia dapat
kenyataan dari setiap rumah tidak terdapat cahaya api.
Dengan duduk di atas kuda, ia bisa melongok ke tembok,
kepekarangan dalam, yang gelap petang. Jadi di situ tidak ada lain orang kecuali ini bocah yang kelayapan sendirian laksana memedi dan anjingnya...
Suara yang tak sedap didengar datangnya dari luar
kampung, entah itu suara angin yang mendampar pohon
atau suara air selokan gunung.
Mereka tidak usah jalan jauh akan sampai di sebuah
rumah dengan tembokan tanah, rumah yang rendah, mirip
dengan gundukan kuburan yang tinggi. Dari rumah ini juga tidak tertampak cahaya api.
Begitu ia sampai di depan rumah, bocah itu dengan
pegang tetap lenteranya, menolak pintu.
"Ayah, ada tetamu!" ia terus saja memanggil, "Ada seorang lelaki dan dua orang perempuan! Mereka hendak
cari ayah!"
Panggilan itu mendapat jawaban tarikan napas laksana
seekor kerbau kerasnya, kemudian pintu dipentang, dari situ lalu muncul seorang lelaki, melihat roman siapa yang
tertampak disinarnya lentera, membuat Lee Hong terkejut.
Orang itu bertubuh besar, tingginya enam atau tujuh
kaki, kepalanya besar, rambutnya kusut, karena ia berdiri dekat si bocah, ia nampaknya jadi jauh terlebih besar dan jangkung. Dadanya yang lebar, ada telanjang dan tumbuh
bulu yang gompiok. Ia pakai baju dan celana pendek,
bajunya banyak pecahannya seperti celananya yang rubat-
rabit. Kakinya yang tak bersepatu ada besar bagaikan kaki patung Kim Kong. Dan ia berdiri dengan tidak berkata-kata, sepasang matanya yang tajam mengawasi Lee Hong,
Siu Lian dan Su Poancu bergantian.
"Bagaimana?" Su Kian lantas tanya nona Jie. "Kita singgah di sini atau cari lain tempat saja?"
Nona itu bersangsi, hingga ia tak lantas menyahut.
"Di lain tempat tidak ada kampung lagi," si bocah
campur bicara, "janganlah Samwie bersangsi, di kampung
kita ini, semua ada penduduk baik-baik."
Su Poancu tertawa pada bocah itu, yang pandai bicara.
"Anak yang baik, kau pandai omong?" ia kata. "Jikalau kau bilang kau menjadi besar di sini, belum pernah mengembara dan belum pernah merayap mendaki bukit, sungguh aku tak
percaya!" Lalu ia hadapi si ayah, ia kata: "Tuan kepala Kampung, kita telah sampai di sini dan telah ketemu
dengan kau, kita benar-benar ada kemalaman, maka itu,
aku harap sukalah kau berbuat baik untuk kita! Aku
numpang tanya, di kampungmu ini ada rumah dengan
kamar yang nganggur atau tidak. Asal ada sebuah kamar,
sudah cukup! Aku sendiri, boleh numpang tinggal sama-
sama kau disni."
"Disana, di rumahnya si orang she Nio, ada kamar
kosong," sahut si kepala kampung seraya tangannya
menunjuk. "Nanti aku tolong kau bicarakan, supaya kau bertiga bisa pakai kamarnya itu."
"Bagus, pergilah kau tolong bicarakan" kata Su Poancu.
"Cuma ..."
Sambil kata begitu, Pasan coa hunus goloknya dan
sodorkan itu kepada dada orang.
Orang itu terperanjat, ia berkelit mundur.
Su Poancu sambar lentera dari tangannya si bocah,
dengan itu ia suluhi tombaknya Lee Hong dan sepasang
goloknya Siu Lian.
"Kau lihat atau tidak?" ia kata, seraya ia tunjuk kedua senjata itu. "Maka sekarang kau tak usah tanya-tanya kita apa yang kita hendak kerjakan, sudah cukup asal kau
carikan kamar untuk kita. Apabila sang malam lewat
dengan tidak ada kejadian apa-apa, besok kita pasti akan mengasih persen uang kepadamu, tetapi bila sebaliknya,
kau harus tahu sendiri! Kau ada jadi kepala kampung, maka mungkin kua nanti tak pedulikan lagi padamu!"
Si bocah ketakutan, hingga mukanya menjadi pucat, ia
lari bersembunyi.
"Jikalau cara begini kau bicara, aku tak mau peduli lagi!"
kata kepala kampung itu, yang merasa tak puas, "Empat puluh lie jauhnya dari sini ada dusun yang ramai, kau ada mempunyai kuda, pergilah lekas-lekas ke sana! Di dalam
kampungku ini, aku berani tanggung tidak akan terjadi
apapun, hanya, apabila toh terjadi juga bencana, aku tak berani, aku tak sanggup mengganti jiwa!..."
Su Kian lantas tertawa, ia tepuk-tepuk bahu orang.
"Aku mesti bicara terus terang!" ia kau. "Aku dan
kawanku ini baru pernah datang kemari, kita juga baru
berkenalan, aku tak ketahui jelas tentang kau! Baik, kau jangan kuatir, pergi kau carikan kamar!"
Dan ia sodorkan lentera dan kasihkan itu pada kepala
kampung itu. "Silahkan turut aku." berkata tuan rumah itu yang tidak banyak bicara lagi.
Mereka pergi ke sebuah rumah di depan, sesampainya di
depan rumah, kepala kampung itu kasih dengar suaranya
yang nyaring. "Nio Jie! NioJie!"
Atas panggilan itu, dari dalam rumah terdengar suara
jawaban yang disusul oleh keluarnya satu orang sambil
mulutnya menggerutu. Kapan ia buka pintu pekarangannya
dan angkat kepalanya, ia terkejut melihat tamu-tamunya.
"Mereka ini adalah orang-orang yang tak dapat tempat penginapan dan dari itu ingin menumpang di rumahmu,"
berkata si kepala kampung yang memberi keterangan.
"Mereka hendak menumpang untuk satu malam saja."
Nio Jie masih saja bengong, ia awasi kepala kampung itu
dengan mendelong.
"Kau dengar atau tidak?" kepala kampung itu tegasi.
Akhirnya Nio Jie anggukkan kepala.
"Aku mengerti," ia menyahut. "Silahkan masuk! Tapi
kamarku cuma satu dan juga sempit, kalau itu dipakai oleh orang perempuan, tidak ada tempat lagi untuk orang
lelaki..."
"Tidak apa, aku boleh berdiam di luar, meronda," kata Su Poancu
Siu Lian dan Lee Hong telah turun dari kuda mereka, Su
Poancu sambuti itu, untuk di tambat bersama-sama
kudanya sendiri. Kebetulan di dalam pekarangan itu ada
rumput, Su Kian lantas pondong setumpuk guna pelihara
kuda mereka. Nio Jie pergi ke ruangan barat, di mana ada kamar
dengan tembok tanah, kapan sebentar pula ia kembali, ia
ada bawa satu pelita minyak yang nyalanya guram.
Siu Lian lantas tengok kamar itu, yang buruk, dan
temboknya di bagian belakang ada lubangnya, hingga sinar bintang-bintang bisa tertampak dari situ. Di pinggiran,
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nempel pada tembok ada sebuah pembaringan tanah, dan di
tengah-tengah, tanah ada legok, mirip dengan sumur.
Nio Jie seret bangku butut, buat diletaki di tanah legok itu, kemudian ia keluar dari kamar itu sambil berkata pada Siu Lian: "Silahkan tidur! Jangan cela pada kamar bobrok ini meski hujan, tak akan kebocoran, dan di pembaringan
tidak ada kutu busuknya! Umpama samwie pergi ke sebelah
barat sana dan menyewa kamar, tak akan mendapatkan
kamar yang terlebih baik dari pada ini!"
Suara orang ini sama sekali tak halus atau manis budi.
Lee Hong kerutkan alis kapan ia tengok kamar itu.
"Dari pada tinggal di dalam kamar ini, apa tidak lebih baik kita rebah di udara terbuka?" ia kata pada nona Jie.
Siu Lian hampirkan itu kawan, siapa ia awasi dengan
kicepi matanya, dari kudanya ia ambil goloknya, begitu pun tombaknya si nona Yo. Ia bertindak masuk kedalam kamar
yang diikuti oleh Lee Hong.
Nio Jie masih belum berlalu.
"Apakah perlu air?" ia tanya, dari luar. "Air dingim ada saja. Umpama perlu air panas, aku mesti memasaknya
dahulu!" "Tidak usah!" Siu Lian menyahut. Ia tidak puas dengan cara bicaranya itu.
Su Poancu, yang berdiri di depan pintu, lantas berkata:
"Kounio dan siau-naynay boleh tidur dengan nyenyak!
Aku akan berdiam di luar, aku tak akan tidur ... "
Siu Lian tidak menyahuti, ia hanya menghampiri ke
pintu, untuk kedipi mata sebagai tanda untuk si gemuk
berlaku waspada.
Su Kian bersenyum, ia buat main bibirnya, tanda bahwa
ia tak kuatir apa-apa. Setelah itu, ia tarik daun pintu, untuk dirapati.
Lee Hong lihat pintu tak ada kunci atau tapalannya,
terpaksa ia gunakan saputangan buat ikat itu.
"Tidak usah," Siu Lian mencegah. "Hanya sepotong saputangan, apa gunanya" Kau lihat ini!"
Sambil kata begitu, nona Jie menunjuk kepada tembok
yang berlubang.
Lee Hong menoleh mendeluh kapan ia lihat lubang itu.
Ia lantas celingukan buat cari suatu barang guna sumpal
lubang itu. Siu Lian dekati kawannya dan bicara bisik-bisik.
"Apakah kau masih belum tahu?" ia tanya "Ini kamar dan itu dua orang, berikut si bocah semua tak boleh
dipercaya! Kita datang kemari toh untuk ... Apakah kau
sudah mengerti" Lihat saja, tempat ada banyak gunungnya, daerahnya begini luas. Ke mana kita mesti pergi untuk cari Hwie Pek Sin dan Ho Kiam Go" Maka malam ini kita mesti
buat mereka yang menghampiri sendiri pada jaring! Kau
tidurlah, jangan kuatirkan apa-apa. Di sini ada aku! Asal kau tidur dengan terlebih getap, sudah cukup."
Lee Hong mengerti, hatinya tergerak, tetapi ia diam saja, karena Siu Lian pun berdiam, dalam kesunyian ia lantas
dengar suaranya Su Poancu yang sedang bicara pada Nio
Jie dan si kepala kampung, siapa masih belum berlalu. Si Ular Gunung bicara sambil tertawa-tawa, sebagai juga dua orang itu ada kenalan-kenalan lamanya!
Akhir-akhirnya nona Yo duduk atas pembaringan, akan
buka sepatunya tetapi matanya terus ada ditujukan kepada lubang di tembok itu, tombaknya ia letak di sampingnya.
Siu Lian telah buka juga sepatunya, akan tetapi segera
juga ia pakai pula dan ikat dengan kencang. Ikat
pinggangnyapun ia keraskan sedikit.
Melihat sikap kawannya, Lee Hongpun segera pakai pula
sepatunya. Siu Lian mengawasi nyonya muda itu, ia bersenyum.
Di luar tidaklah ada suara orang bicara, apa yang
terdengar adalah suaranya kuda sedang makan rumput dan
nyanyian muluk dan Su Poancoc dengan lagu suara
Shoasay, nyanyian itu terdengarnya semakin lama semakin
jauh, suatu tanda bahwa Su Kian telah bertindak keluar
pekarangan. Dari luar, angin menghembus-hembus ke dalam, nyeplos
dari lubang di tembok, hingga api hampir tertiup padam
sampai dua atau tiga kali. Daun pintu pun tertolak beberapa kali, hingga Siu Lian mesti bangun akan sering kali
rapatkan itu. Lee Hong ngantuk, berulang-ulang ia menguap.
"Kau tidurilah," Siu Lian anjurkan muridnya ini.
Nona Yo coba rebahkan dirinya, tetapi ia merasa sangat
tidak enak tidur di tempat keras seperti itu, berkali-kali ia pejamkan mata, akan kemudian melek kembali, hingga ia
tak bisa tidur tenang.
Siu Lian juga rebahkan diri, sepasang goloknya ia tindih dengan kepalanya, hingga senjata itu merupakan bantal.
Belum terlalu lama, lantas terdengar suaranya menggeros, yang perlahan.
Mendapat tahu orang tidur, Lee Hong jadi tidak berani
pejamkan matanya.
Malam itu ada malam dari musim panas akan tetapi sang
angin telah mendatangkan hawa yang dingin sekali.
Nyamuk pun sangat banyak di dalam itu kamar yang sering
kali terbang berputar-putar di mukanya kedua orang
perempuan itu. Di tanah ada terletak satu mangkok hitam, yang berisi
minyak, dan di dalam minyak itu ada linting kertas yang
menyala, maka itu, kesitu ada berkumpul banyak kutu
halus, yang beterbangan. Api itu ada guram dan kelak-kelik.
Banyak kutu yang mampus terkena api atau terbinasa sebab kecemplung kedalam minyak.
Sang waktu lewat dalam kesunyian, sampai dengan
mendadakan di luar terdengar satu suara nyaring, hingga
Lee Hong terperanjat, ia mencelat bangun, tangannya
meraba tombaknya. Kemudian, di luar jendela, terdengar
lagi suara keras, beberapa kali, hingga nona itu lantas bisa bedakan, suara gedrukannya kaki kuda berulang-ulang.
Suara berbengernya binatang itu pun segera menyusul.
Dari kejauhan, gonggongan anjing pun turut terdengar.
Lee Hong benar-benar menjadi tak bisa tidur. Ia duduk
di atas pembaringan, otaknya bekerja. Segera ia ingat
rumah tangganya di Pakkhia, Bun Hiong, suaminya yang
lemah lembut. "Aku mesti lekas binasakan Hwie Pek Sin, aku mesti
lekas pulang," demikian ia pikir.
Ia ambil ketetapan, selanjutnya ia harus hidup dengan
gembira, buat menjadi satu nyonya mantu yang kenal
kewajiban, akan menjadi isteri yang bijaksana.
Sebentar kemudian, segala apa ada sunyi diluar. Dan Su
Poancu tidak terdengar apa-apa, hingga tidak diketahui ia sudah kembali atau belum.
Dan Nio Jie"
Tiba-tiba Lee Hong ingat tuan rumah yang tak
menggembirakan itu. Mustahil ia itu tinggal sendirian saja di dalam rumahnya itu. Ke mana perginya tuan rumah ini"
Selama itu, kentongan juga tidak terdegar pula. Dan ini
ada mendatangkan kecurigaannya Lee Hong.
Dari lubang tembok, angin menghembus tak putusnya.
Dari situ pun ada tertampak molosnya cahaya bintang-
bintang di langit. Api di tanah sudah kering minyaknya,
hingga api itu tinggal sisanya saja.
Sekonyong-konyong, Siu Lian berbangkit dan terus
duduk hingga Lee Hong terkejut.
Sebagai orang yang masih ... Siu Lian berbangkit dengan
perlahan-lahan.
"Padamkan saja api itu," kata nona itu. "Adanya api itu, membuat kita mengundang nyamuk saja" Lihat, nyamuk
ada begini banyak, sampai aku tak bisa tidur anteng..."
Ia masih meram melek, suaranya pun tak tegas dan
lancar, mirip dengan orang yang kehabisan tenaga.
"Baiklah,"
sahut Lee Hong yang turun dari pembaringannya buat tiup padam api itu.
Sekonyong-konyong Siu Lian ulur sebelah tangannya
sambar tombaknya nona Yo itu, lalu dengan itu tombak,
dengan keras ia menusuk kejurusan lubang di tembok. Ia
bisa menusuk dengan jitu sekali, karena tombaknya tepat
masuk ke dalam lubang.
Berbareng dengan itu, di luar tembok terdengar jeritan
hebat. "Aduh! Aduh, mati aku!"
Lee Hong kaget, hingga ia batal meniup api. Ia loncat
bangun. "Lekas padamkan api!" Siu Lian perintahkan.
Lee Hong lantas dupak mangkok dan apinya ia
injakanjak. Semangatnya jadi terbangun.
Di luar tidak terdengar suara apa-apa.
Berbareng dengan padamnya api, Siu Lian tarik pulang
tombaknya, atas mana di luar terdengar suara badan rubuh, seperti tubuh mayat terguling jatuh.
Kemudian ia serahkan tombak pada Lee Hong, ia sendiri
lantas siapkan sepasang goloknya. Maka sekarang, berdua
mereka berdiri diam di dalam, sambil pasang kuping.
Adalah itu waktu, dari luar, ada terdengar suaranya si
orang Shoasay. "Ada datang banyak orang, beberapa puluh! Semua
datangnya dari atas gunung! Kampung ini seperti sudah
terkurung! Lekas keluar, kita mesti menunggang kuda akan nerobos keluar dari kepungan! Itu bocah cilik adalah yang pergi mengasih kabaran! Si kepala kampung yang tinggi
besar ada kawan penjahat juga! Lekas, lekas!"
Suaranya Su Kian ada memburu.
Siu Lian bertindak keluar, Lee Hong mengintil.
Su Kian putar tubuhnya, ia agaknya hendak siapkan
kuda. Tapi nona Jie mencegah.
"Jangan! Percuma kita menerjang keluar, kita justru bakal terjebak ke dalam tipu daya mereka! Pasti sekali
mereka sudah atur orang-orang bersembunyi, untuk gaet
dan ringkus kuda kita! ... "
"Bagaimana kalau mereka kurung kita dan timpuki kita dengan bahan api menyala?" tanya si Ular Gunung.
"Kita tak usah kuatirkan itu!" sahut Siu Lian, yang ada tabah sekali. Ia lantas suruh Lee Hong dan Pasan coa
mundur untuk bersiap, ia sendiri lalu sembunyi di belakang pintu pekarangan.
Semua mereka berdiam dalam kesunyian, meskipun
suasana ada sangat genting.
Orang tidak usah menunggu lama akan dengar tindakan
kaki dan suara orang bicara satu pada lain.
Siu Lian terus menunggu, dan ia menunggu hingga
orang sudah datang dekat sekali pada pintu, lalu dengan
mendadakan, dengan keras, ia tolak menjeblak kedua daun
pintu dengan ia sendiri membarengi loncat keluar, sepasang goloknya bergerak kekiri dan kekanan. Maka berbareng
dengan itu suara jeritan hebat segera terdengar dan dua
tubuh segera rubuh terbanting.
Nyata ada masih ada orang yang menjadi konco dari dua
korban itu, dan mereka ini, dengan berani lantas menyerang dengan golok mereka.
Siu Lian sambut serangan, tidak peduli musuh ada
berjumlah lebih banyak, ia terus balas menyerang.
Cuma dua atau tiga gebrakan, lantas dua musuh menjerit
dan rubuh. Dua penjahat sudah lantas putar tubuhnya hendak
menyingkir, tetapi mereka dirintangi oleh Su Poancu dan
Yo Lee Hong. Dengan satu tendangan, si gemuk buat
terjungkal satu penjahat. Penjahat yang lain nasibnya
buruk, tombaknya Lee Hong meminta jiwanya.
Lee Hong menjadi lebih bersemangat, terutama karena ia
percaya, Hwie Pek Sin mesti berada di tempat itu. Ia lari pada kudanya, ia loncat naik atas binatang tungggangan itu.
Siu Lian tidak lama ada satu restan musuh, atau lantas
datang kawan-kawan mereka, jumlahnya belasan, tetapi
dengan berani ia lawan mereka itu. Lagi-lagi ia buat rubuh beberapa antaranya.
Beberapa penjahat ada memegang obor, yang mereka
angkat tinggi-tinggi, tetapi atas desakan si nona, mereka mundur. Di antara cahayanya api tertampak nyata Siu Lian unjuk kegagahan, hingga musuh tak mampu rubuhkan
padanya. Diantara musuh, ada yang berteriak-teriak, ada yang
bersuit buat menganjurkan kawannya dan mengasih tanda.
Lee Hong telah rubuhkan lagi dua musuh, sampai
mendelukan ia rasai sengatan angin di belakangnya. Ia
lekas berpaling, seraya gerakkan tombaknya untuk
menangkis, dengan begitu ia luputkan dirinya dari satu
bacokan golok! Tapi sekarang ia hadapi satu musuh, yang
menunggang kuda sepertinya.
"Bukankah kau hendak cari Hwie Pek Sin" Nah, ikutlah aku!" kata musuh perempuan itu, yang suaranya ada suara dari kesengitan, sinar matanya sampai bercahaya. Sesudah itu, ia kaburkan kudanya menuju keluar kampung.
"Siapa takut kepadamu!" berseru Lee Hong, yang hatinya panas.
Dengan tak gentar sedikitpun, Lee Hong benar-benar
kejar musuh itu.
Su Poancu dan Siu Lian sedang lawan masing-masing
belasan musuh, mereka tidak dapat kesempatan untuk
cegah nona Yo. Lee Hong kabur belum jauh, ia telah kena tertipu oleh
musuh, yang benar-benar ada atur orang bersembunyi, yang menggunakan tambang. Kudanya sedang lari keras, waktu
ada tambang yang melintang. Binatang itu kaget dan
berjingkrak, maka tidak tempo lagi penunggangnya merosot jatuh dari punggungnya. Tapi kuda ini ada binal, ia kabur terus ke depan, meninggalkan penunggangnya yang rubuh.
Meskipun ia jatuh tetapi tubuhnya Lee Hong ada enteng
dan gerakannya sebat, ia bergulingan begitu lekas tubuhnya mengenai tanah, kemudian dengan sama sebatnya, ia loncat bangun.
Di kedua samping ada tiga penjahat, mereka milihat
orang rubuh, mereka lompat menubruk, tetapi Lee Hong
sambut mereka dengan ujung tombaknya, hingga satu
penjahat kena tertikam, menjerit dan badannya terbanting, hingga dua yang lain jadi merandek.
Lee Hong lari ke depan, untuk susul kudanya.
"Kejar padanya!" berteriak dua penjahat yang sudah
lantas lari menguber.
Sesudah lari belasan tindak, Lee Hong berhenti seraya
putar tubuhnya. Ia layani dua pengejarnya, belum sampai
lima atau enam jurus, ia sudah dapat menumbak rubuh lagi salah satu musuh, hingga yang satunya, dengan ketakutan
lantas kabur. Nona Yo tidak mau ubar musuh, sebaliknya, ia terus
susul kudanya. Ia telah lari beberapa puluh tindak, ketika ia tangkap suara tajam dari si orang perempuan tadi. Suara itu datangnya dari tempat sedikit jauh, terbawa oleh angin.
"Eh, mantunya keluarga Tek," demikian suara itu,
hinaan atau tantangan. "Kalau kau ada punya nyali, mari susul aku! Di depan sana, Cukat Kho Hwie Pek Sin sedang
menantikan kau!"
Tantangan itu disusul dengan cacian yang tak sedap
untuk didengar.
Lee Hong gusar, tetapi ia lari menyusul kudanya, yang ia ketemukan sesudah ia lari sedikit jauh. Kuda itu pun lari balik dan ia hampir saja kena ditabrak. Ia tahan itu binatang dengan lintangkan tombaknya.
Kuda itu kepunyaannya Yo Kian Tong yang sudah
dipelihara lama dan jinak sekali dan mengerti juga, kapan ia lihat jalannya terhalang tombak, ia lantas berhenti berlari.
Lee Hong sambar lesnya dan loncat naik.
Kembali terdengar suaranya si orang perempuan,
suaranya lebih dekat dan lebih nyata daripada tadi, rupanya ia menyampirkan. "Eh, mantunya keluarga Tek! Kalau kau
punya nyali, man susul aku! Di depan sana, Cukat Kho
Hwie Pek Sin sedang menantikan kau!"
Lee Hong sebenarnya bersangsi, tetapi ia panas bukan
main. Ia juga pikir, "Bila aku tidak masuk ke kedung
harimau, cara bagaimana aku bisa dapatkan anak macan?"
Itu ada pepatah yang ia dapat dengar dari suaminya, ketika di waktu
senggang suami itu
bercerita padanya, menceritakan tentang Pan Tiau yang gagah.
Demikian, dengan melupakan bahaya, ia kaburkan
kudanya. Kalau tadi ia menantang, sekarang perempuan itu
larikan kudanya, akan menyingkir dari pengejarnya. Ia
sengaja lari jauh sejarak lepasan panah, sia-sia saja Lee Hong coba menyandak, hingga nyonya Bun Hiong jadi
bertambah penasaran.
Dengan tidak merasa, sekarang mereka sudah terpisah
jauh dari kampung.
Lee Hong bersendirian saja, juga jalanan ada sukar,
karena malam ada gelap. Ia tak tampak Ho Kiam Go, kalau
ia bisa menyusul, itu disebabkan sering kali ia dengar
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suaranya tantangan dan cacian. Dalam keadaan sebagai itu, mau atau tidak, ia toh berlaku waspada. Kudanya pun ia
tak kasih lari keras lagi.
Sang waktu berjalan tanpa terasa. Akhir-akhirnya
kelihatan cuaca mulai berubah. Samar-samar mulai
tertampa cahaya terang dari sang fajar. Di kiri dan kanan sawah-sawah mulai tertampak. Dari atas bukit, kelihatan
uap atau halimun.
Lie Mo-ong Ho Kiam Go tidak kelihatan mata
hidungnya, tidak terdengar juga suaranya yang memanaskan hati.
Jalanan ada demak, bekas embun, hingga di situ ada
tertampak sedikit tapak.
Sudah tentu Lee Hong tidak tahu ia berada di mana. Di
sekitarnya itu tidak ada kampung atau rumah orang.
Jalanan pun ada sempit, semakin lama semakin menaik.
Lee Hong tahan larinya kuda, ia singkap rambut di
jidatnya. Ia mulai perbaiki jalan napasnya.
Tiba-tiba terdengar pula suara yang dikenal:
"Mantunya keluarga Tek. Si orang she Hwie ada di sini.
Jikalau kau berani, mari sini. Bukankah kau hendak buat
pembalasan?"
Suara itu datangnya dari sebelah atas. Karena mereka
ada di tanah pegunungan, suara itu pun berkumandang di
selat-selat. Lee Hong menoleh ke kiri, dongak ke atas. Ia dengar
suara datangnya dari jurusan itu. Di jalanan yang kecil, di sebelah atas ia, ia tampak seorang sedang berdiri. Ia masih belum bisa melihat nyata, tetapi ia duga orang itu mestinya
ada Ho Kiam Go. Dan orang itu asyik melambai-lambaikan
sapu tangannya yang putih.
Meluaplah amarahnya Lee Hong. Ia keprak kudanya
untuk menyusul naik.
"Kau turunlah!" ia menantang, selagi ia datang
mendekati. Tapi orang itu berlari-lari naik, setelah beberapa tindak, ia berhenti dan balik badanya. Ia perdengarkan tertawanya yang mengejek.
"Mari, mari naik ke sini! Aku tidak akan bunuh padamu!
Aku malah akan carikan kau satu suami lain, satu suami
yang ada jauh terlebih ganteng dari pada puteranya si orang she Tek!"
"Cis," Lee Hong berseru seraya ia keprak pula kudanya.
Ho Kiam Go tidak lari lagi, meskipun ia lihat orang
memburu ke jurusannya. Ia menantikan dengan siap sedia
dengan goloknya.
Lee Hong mendekati kira-kira dua puluh tindak dari
musuh itu, ia tahan kudanya alkan loncat turun, setelah itu ia maju menghampiri.
Kiam Go ulap-ulapkan saput angannya yang putih.
"Tahan dulu," ia berkata. Ia tertawa. "Jikalau aku
maukan jiwamu, dari siang-siang tentu aku telah gunakan
senjata rahasia. Sebenarnya aku sangat sayang padamu ...
Aku tahu, kau adalah adik perempuan dari Tantoo Yo siau-
thayswee. Maka dengan begitu, kau dengan sendirinya ada
orang kaum kangou juga. Mengapa kau kesudian berdiam
di rumahnya keluarga Tek buat jadi nyonya mantu yang
terpingit" Aku merasa tidak puas akan nasibmu itu! Baiklah kita angkat saudara menjadi encie dan adik, lantas kau ikut aku ... Di mana saja kita sampai, aku tanggung kau bakal
dapat makan dan pakaian cukup, bahkan ada orang lelaki
yang akan temani kau ..."
Kiam Go mesti berhenti mengoceh, karena tombaknya si
nona Yo telah menikam ia. Karena ia telah bersiap, ia bisa tangkis serangan itu.
Lee Hong tidak pedulikan kata-kata itu, ia menyerang
pula. Kiam Go masih saja tertawa dan bersenyum, waktu ia
menangkis berulang-ulang, tetapi selang beberapa jurus,
sikapnya lantas berubah.
Dalam sengitnya, Lee Hong telah unjuk permainan
tombaknya, yang menyambar-nyambar laksana ular
berbisa, hingga Kiam Go mesti melayani dengan sungguh-
sungguh. Nyonya Thio Giok Kin akhirnya insyaf bahwa
goloknya ada terlalu pendek guna dipakai melawan tombak.
Beberapa kali ia lolos dari tikaman berbahaya, satu kali hampir saja iganya kena ketumblas.
"Hei, budak celaka, budak hina!" akhir-akhirnya ia mendamprat. Ia kaget dan berbareng gusar.
Lee Hong ada sangait mendongkoli, tetapi ia masih bisa
kendalikan diri buat tidak membalas mencaci, hanya
dengan tetap dan sungguh-sungguh, ia menyerang dengan
tombaknya. Karena ada sukar untuk mengenai tubuh orang,
lantas ia gunakan "Hong-tiam-tau", atau "Burung hong
angguk-anggukkan kepala" untuk tusuk tangan musuh.
Ho Kiam Go menjadi repot sekali, jangankan akan
membacok musuh, untuk melindungi lengannya saja sudah
kewalahan. Kedua matanya hampir kabur sebab mesti
awasi dengan tajam pada ujung tombak musuh yang datang
berulang-ulang dan dengan gesit sekali. Tentu saja ia tak
mau menempuh bahaya, maka sebentar kemudian ia putar
tubuhnya dan lari, naik keatas.
Lee Hong tidak mau mengerti, sambil berlompat ia
mengejar. Ia bersenjata panjang, ia ada terlebih menang.
Maka ketika ia hampir menyandak, ujung tombaknya
menyambar kepala musuh.
Kiam Go kaget, sambil menjerit ia tunduk akan kelit
tusukan itu. Walaupun begitu, ia tidak mau menyerah
kalah, tidak leluasa menggunai goloknya yang pendek, ia
lantas menimpuk dengan sebatang piau.
Nyonya Bun Hiong lihat gerakan musuh, ketika piau
dekat menyambar dirinya, ia mengegos hingga senjata
rahasia itu lewat di sisinya, terus menghajar batu di
belakang ia. Terpaksa ia mundur untuk bersiap dari
serangan lebih jauh dari musuh itu.
Kiam Go gunakan ini ketika akan lari terus, sesampainya
di atas, ia berbalik dan menyerang pula. Ia melepas
beberapa batang piau dengan beruntun.
Syukur Lee Hong tidak mengejar dan telah bersiap.
Dengan putar tombaknya, ia bela diri. Dua batang piau ia sampok jatuh, tiga yang lain ia kasih lolos.
Setelah itu, Kiam Go lari pula. Kapan nona Yo
menyusul sampai di atas, ditempat barusan musuh melepas
piau, musuh itu sudah lenyap entah ke mana, bayangannya
pun tak tertampak lagi.
Lee Hong menoleh ke sekitarnya, segala apa ada sunyi.
Karena ia berada ditempat yang tinggi, sekarang ia lihat cahaya matahari, yang mulai muncul dari arah timur, ia
memandang ke segala penjuru sambil perbatiki napasnya
yang memburu. Kemudian, dengan perlahan-lahan ia
bertindak turun. Beruntung kudanya tidak ada yang ganggu
dan binatang itu pun tidak kabur. Ia tuntun kudanya, ia
jalan naik pula. Ia berlaku waspada, ia kuatir nanti kena di bokong dengan piau.
Kapan ia sampai di atas, ia bisa lihat tanah yang datar, yang ada pepohonannya disana-sini. Jauh di bawah, ia lihat sawah, yang padinya tertiup angin bergoyang-goyang
seperti gelombang laut.
Sekarang Lee Hong, naik pula atas kudanya. Ia baru
lewat satu tanjakan, lantas di depannya ia lihat Ho Kiam Go. Tapi perempuan itu terus lari. Ia larikan kudanya
mengejar tetap dengan hati curiga.
Jalanan menanjak, tidak lebar dan juga tidak rata,
sesudah melewati tanjakan yang kedua, jalanan itu lalu
mudun ke bawah. Di bawah adalah lembah yang rata.
Tiba-tiba kelihatan banyak burung berterbangan.
Lee Hong curiga, ia kasih kudanya jalan pelahan-lahan
sekali. Di lembah itu tidak ada orang, Ho Kiam Go pun
tidak tertampak, entah ke mana perginya.
Selagi nona Yo menduga-duga, dengan matanya melihat
ke sana-sini, tiba-tiba Ho Kiam Go muncul pula sedikit jauh di depan ia, di tempat yang tinggi. Di situ, si perempuan jahat kibar-kibarkan sapu tangannya yang putih. Ini
rupanya ada suatu tanda rahasia, karena dari lembah, dari satu pengkolan, lantas muncul belasan orang, semua
dengan dandanan ringkas dan menyekal golok dan toya.
Dan mereka itu berliari-lari naik.
"Lekas turun dari kuda, nona manis!" demikian suara mereka itu selagi mereka mendatangi dengan cepat.
Dan Kiam Go pun berpekik.
"Eh, nyonya mantu, apakah kau masih tidak mau
lepaskan tombakmu?"
Lee Hong gusar sekali, ia larikan kudanya menyerbu
rombongan orang jahat itu. Tiga di antaranya yang maju
paling depan sudah lantas menusuk dengan tombak mereka.
Hanya, nyata sekali, serangan mereka ada sangat teratur.
Lee Hong kalah tenaga tetapi permainan tombaknya baik
sekali, tidak heran, berselang belum ada sepuluh jurus ia sudah melukai dua musuh, hingga sisanya menjadi jeri.
Kiam Go rupanya lihat pihaknya keteter, sekarang ia lari turun menghampiri.
"Jangan takut, jangan takut!" ia berseru-seru untuk menganjurkan. "Adakah kau dapat disebut raja-raja dari gunung dan hoohan bila kau jeri terhadap seorang
perempuan" Mari maju!"
Karena anjuran ini, orang-orang jahat itu jadi
bersemangat pula. Dalam keadaan sebagai itu, Lee Hong
tidak kenal takut, orang boleh kurung ia tetapi ia tetap berniat dengan tenang tetapi hebat, ia tak ijinkan ada
senjata musuh yang mampir pada tubuhnya.
Tombak adalah senjata yang dinamai jagonya antara
alat-alat senjata sudah begitu, Lee Hong mainkan ilmu
tombak Lee-hoa-chio dari keluarga Yo menurut ajarannya
Yo Kian Tong, maka itu meskipun musuh ada berjumlah
jauh terlebih besar, ia tetap bisa tandingi mereka itu.
Di bawah anjurannya Ho Kiam Go, kawanan penyerang
itu merangsek dengan hati-hati, maka itu, sekarang tidak ada satu yang bisa ketikam atau lukai. Secara begitu, Lee Hong bertempur dengan seperti mensia-siakan tempo. Ini
ada berbahaya baginya. Ia tetap ada seorang perempuan
yang tenaganya kurang, keuletannya pun terbatas.
Begitulah, sesudah melalui dua puluh jurus, nona Yo
mulai lelah. Tapi ia keraskan hati dan mempertahankan
diri, perlawanannya tidak menjadi lebih kendor.
Selagi pertempuran berjalan seru, dari jalanan yang tadi sekarang ada muncul lagi beberapa orang, melihat siapa
Kiam Go lantas berteriak-teriak. "Lekas, lekas! Lekas membantu! Ini perempuan licin mesti dibekuk!"
Lee Hong lihat mereka itu, yang semua bekal senjata, ia
terkejut. Ia berkuatir juga, sebab jumlah musuh jadi
bertambah, ia sendirian dan ia sudah mulai lelah.
Mereka itu, kira-kira dua puluh orang, datang sambil
berlari-lari. Akan tetapi, sebelum mereka sampai, mereka telah perdengarkan suara mereka, ialah kata-kata rahasia yang Lee Hong tidak dapat mengertikan. Hanya sekarang ia bisa lihat, mereka semua ada mandi keringat, napasnya
sengal-sengal, dan ada juga yang kepalanya borboran darah.
Rupanya mereka ini mendatangi karena kabur.
Kata-kata yang Lee Hong bisa tangkap adalah "Jie Siu
Lian". Kata-kata ini ada memberi harapan kepadanya.
Mukanya Ho Kiam Go menjadi merah apabila ia dengar
itu, terang ia ada sangat gusar, karena segera terdengar suaranya yang hebat. Kawanan yang tak punya guna dan
bernyali kecil! Kecewa sekali kau telah menduduki Okgu
San bertahun-tahun. Apakah Ciau Toa Hou, itu makhluk
celaka, turut kabur juga" Mari lekas, mari bantu kita.
Apakah juga ini bocah perempuan kau tak mampu bekuk?"
Lee Hong ada sangat tidak puas akan dengar itu cacian,
tetapi disebutnya nama Jie Siu Lian ada satu obat mujarab bagi ia, semangatnya jadi terbangun dengan segera. Ia
segera buat perlawanan dengan sengit sekali, tak peduli
jumlahnya musuh telah bertambah. Sekarang ini, kecuah
membela diri, ia cari ketika juga untuk balas menyerang.
Sekarang tombaknya agaknya bagaikan naga di antara
rombongan ikan kecil.
Segera juga tiga orang kena dilukai dengan beruntun,
hingga mereka itu pada sipat kuping, menyusul mana, yang lain-lain kabur tunggang langgang. Mereka ini jeri
sendirinya, sedang namanya Jie Siu Lian buat hati mereka gentar sejak tadi. Mereka itu kabur ke jurusan barat.
Akan tetapi, tidak semua penjahat itu kabur. Masih ada
tiga yang terus buat perlawanan, satu antaranya ialah Kiam Go. Dan orang she Ho adalah yang paling sengit, goloknya menyerang berulang-ulang dengan hebat.
Lee Hong terus buat perlawanan, meski ia sekarang
menghadapi cuma tiga lawan, ia toh main mundur. Kecuali
mau berlaku hati-hati, ia pun merasa lelah.
Selagi perkelahian berjalan terus, dari tempat dari mana tadi serombongan penjahat muncul, sekarang kelihatan
munculnya satu orang dengan tubuh tinggi besar dan
tangannya bersenjatakan golok. Kapan Lee Hong dapat
lihat itu orang, ia berseru sekeras-kerasnya. "Sun toasiok, lekas! Lekas bantui aku."
Dan Ngo-jiau-eng Sun Ceng Lee, yang muncul secara
tiba-tiba, telah jawab teriakan itu. Dengan lekas ia sudah datang dekat, goloknya dibulang-balingkan.
Ho Kiam Go lihat musuh dapat bantuan, dengan tidak
buang tempo barang sedikitpun, ia tinggalkan Lee Hong
dan sipat kuping.
Kapan Ceng Lee sampai, celakalah itu dua musuh yang
bandel. Lee Hong seorang mereka belum bisa rubuhkan, apa
pula sekarang datang si Garuda Berkuku Lima, yang ganas.
Dan Ngojiaueng tidak mengulur tempo akan bacok rubuh
Panji Wulung 3 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 21
tertampak sebuah pohon yang besar, rupanya pohon
yangliu. Dalam gelap gulita, pohon itu tidak gampang
lantas dilihatnya. Di belakang pohon itu ada sebuah rumah.
"Itu tentu rumahnya Hwie Pek Sin," pikir Lee Hong,
yang terus merandek, "Ia ada seorang cerdik dan berakal, buktinya, ia dirikan rumah juga dengan bertetangga dengan kantor negara! Apa mustahil jika didalam rumahnya juga ia ada atur persiapan, untuk membela dirinya?"
Oleh karena ia memikir demikian, Lee Hong coba
kendalikan diri, akan tindih memukulnya jantungnya untuk mencegah mengalirnya gencetan darah yang hebat. Dengan
hati-hati ia bertindak maju, terus sampai di depan pintu. Di situ ia berlindung di pongkot pohon, hingga cabang-cabang halus dari yangliu melanggar mukanya. Ia mengawasi
kepintu itu yang ada tertutup. Di situ tidak ada orang jaga.
Sesudah berdiam sekian lama dengan tak lihat gerakan
suatu apa, nona Yo loloskan baju luarnya dan ia
sangkutkan itu pada satu cabang pohon, kemudian ia
bertindak ke pintu sekali. Ia hunus goloknya, lantas ia
loncat naik ke atas tembok, di mana ia menggemblok Ia
melongok ke dalam.
Pekarangan dalam ada gelap, karena dari dalam rumah
tidak ada sorot api keluar. Keadaan ada sunyi, kecuali suara kentongan terkadang-kadang yang asalnya dari dalam
rumah. Sekarang Lee Hong naik ke atas genteng di mana ia
mendekam pula. Ia berada dalam kesangsian.
"Apakah aku tidak keliru?" pikirnya. "Apakah ini bukan rumahnya Hwie Pek Sin" Kalau ini benar rumahnya,
mengapa penjagaan tak ada sama sekali" Toh katanya Pek
Sin tinggal dengan dilindungi oleh Ho Kiam Go dan Yu
Yong?" Itu waktu kelihatan si orang ronda mendatangi, ia dari
dalam hendak menjalankan kewajibannja di sebelah luar. Ia pun jalan dengan perlahan sekali, malah ketika ia bunyikan kentongan ia seperti lakukan itu karena ia tidak bertenaga.
Lee Hong ingin dapat kepastian, ia lantas siap. Ia
merayap kepayon. Di situ ia tunggu si orang ronda, dan
ketika orang ronda itu lewat di betulan ia, tiba-tiba ia loncat turun, ia terkam orang itu.
Karena kaget, itu orang ronda mencoba berteriak, tapi
Lee Hong pasang golok di leher nya tukang ronda itu
hingga ia bergidik, karena golok itu memberikan rasa dingin pada tenggorokannya, hingga hatinya jadi ciut.
"Jangan bersuara!" si nona mengancam.
Dalam ketakutannya, orang ronda itu berlutut.
"Apakah di sini ada keluarga Hwie?" tanya Lee Hong dengan perlahan.
"Bukan, looya kita ada Cukat Kho ... " sahut orang ronda itu dengan gemetaran.
"Ia tinggal di kamar yang mana?"
"Di kamar dalam, sebelah utara."
"Selain looya-mu, di sini ada tinggal siapa lagi?"
' Tidak banyak orang ... Ada Yu toaya serta Yu thaythay, juga Lui toaya, tetapi Lui toaya ada urusan, ia keluar dan belum kembali!"
Nyonya Bun Hiong ada sedikit terperanjat.
"Sekarang antar aku," ia kata, seraya ia cekal tangan orang. "Jalan perlahan-lahan. Jikalau kau berteriak, aku akan segera bunuh padamu!"
Orang ronda itu menurut malah ia terus berbangkit dan
jalan. Lee Hong memaksa di belakang, tangannya menyekal
leher. "Pukul kentongan seperti biasa,"ia kata. "Bawa aku sampai di depannya kamar dari Cukat Kho, nanti aku kasih ampun jiwamu!"
"Baik, nona," sahut si orang ronda, yang terus ketakutan.
Lee Hong perintah orang tetap memalu kentongan. Ia
kuatir, bila pertandaan ronda itu berhenti, Hwie Pek Sin bisa jadi curiga.
Si orang ronda jalan dengan perlahan, ia memukul
kentongan seperti biasa. Rumah ini sangat dalam, terdiri dan berbagai pedalaman. Ketika memasuki pedalaman
yang ketiga, kentongan dipukul empat kali, lantas berhenti.
Mereka sekarang sampai di ruangan keempat, di kiri dan
kanan itu, kamar-kamar ada gelap. Cuma dari kamar di
utara, dari kain jendela, kelihatan sinar api yang guram.
Orang ronda itu bergidik.
"Looya kita masih belum tidur, " ia kata, agaknya ia
takut. Lee Hong ayun goloknya atas mana orang ronda itu
berlutut. "Kau tunggu di sini!" ia kata, dengan perlahan tetapi
suaranya keren. "Jangan kau bergerak, jangan kau bersuara!
Atau aku akan bunuh padamu!"
Orang ronda itu manggut-manggut.
Lee Hong lantas bertindak ke jendela, dan pecahan
kertas jendela ia mengintip kedalam. Api ada guram. Di situ ada sebuah meja persegi dan satu pembaringan, yang
dipakaikan kasur dan selimut, di atas itu ada rebah seorang dengan berkerebong sampai ke kepalanya, di pinggiran
bantal ada nongol rambutnya ubanan.
"Oh, orang ini jadinya sudah tua sekali ... " Lee Hong berpikir, hatinya menjadi lemah. Ia tak tega akan bunuh
satu aki-aki yang sudah tak berdaya. "Tapi, jikalau dahulu ayah dan ibuku tidak di buat celaka oleh dia ini, mereka tentu masih hidup, aku niscaya tidak bersengsara dan
terlunta-lunta. Ayah ada satu wangwee, ibu tentu berumur tak lebih dari pada lima puluh tahun ... "
Dengan kemurkaannya muncul, hatinya Lee Hong
menjadi keras pula. Ia cabut tusuk kondenya, ia hampirkan pintu, yang ia terus korek. Dengan gampang, daun pintu
telah terbuka, sambil pentang itu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.
Dekat pembaringan ada meja, meja itu ada memakai
tohwie. Di depan pembaringan ada sepasang kasut.
Dipinggiran pembaringan, dekat bantal, ada sejilid buku.
Rupanya orang tua itu tidur sesudah ia membaca buku itu, saking ngantuk ia kepulasan, sampai ia lupa padamkan api.
Buat sesaat, Lee Hong bersangsi pula. Dengan satu
tabasan, ia bisa buat mampus orang tua itu. Tapi ia sangsi orang itu ada Hwie Pek Sin atau bukan. Ia tidak mau
kesalahan bunuh lain orang, yang tidak berdosa.
"Aku mesti tegur padanya, untuk mendapat kepastian ...
" ia pikir akhirnya.
Lalu, dengan sebelah tangan siap dengan goloknya, ia
bertindak mendekati pembaringan, tangan kirinya ia
lonjorkan, untuk meraba selimut orang, di saat ia menekan dengan tangannya itu, ia terkejut, hingga ia loncat
mencelat. Sebab ia telah menekan pembaringan kosong,
tidak ada orang. Tapi ia penasaran, ia menjambak dan
mengangkat, hingga ia angkat selimut yang menutupi
bantal, sedang di atas bantal kepala, ada bulu kuda, ialah bulu yang ia sangka rambut ubanan.
Selagi kaget, Lee Hong mengerti bahwa ia telah terjebak, maka untuk loloskan diri, ia loncat mundur. Akan tetapi
orang telah dului ia, selagi ia angkat kakinya, tohwie
tersingkap dan senjata gaetan menyambar, hingga tidak
tempo lagi kakinya kena tergaet.
Hampir berbareng dengan itu, dari kolong meja muncul
seorang perempuan umur kurang lebih tiga puluh tahun, di mukanya ada tai laler merah, tangannya memegang
sepasang golok, dengan apa ia terus mendesak.
Lee Hong coba egos diri sambil membarengi membacok,
tetapi itu orang perempuan tangkis bacokan itu.
Menyusul itu, dari kelong meja ada terdengar bentakan,
"Lepaskan golokmu. Kalau aku tarik gaetanku, kedua
kakimu akan patah!"
Lee Hong kuatir bukan main. Ia tidak mampu geraki
kedua kakinya, hingga tubuhnya pun jadi tidak leluasa.
Mukanya menjadi pucat, sebab merasa tidak berdaya, ia
terpaksa lemparkan goloknya.
Nyonya dengan muka tai laler ini tertawa adem. "Aku tahu kau siapa," ia berkata secara menghina. "Aku sudah
tahu bahwa kau akan dalang kemari. Kau punya nyali ada
besar, sayang kau kurang pengalaman! Kau diam dan
menyerah untuk aku ringkus, supaya besok, dengan dikasih naik atas kereta, aku bisa tontonkan kau di hadapan
khalayak ramai, supaya semua orang tahu Tek Siau Hong
ada punya nyonya mantu yang bagaimana cantik!"
Habis kata begitu, dengan sepasang goloknya ia
mengancam batang leher orang atas mana, gaetan di kaki
segera lolos, lalu dari kolong meja, keluar satu orang yang tubuhnya tidak jangkung tetapi gerak-gerakannya gesit,
sedang tangannya ada menyekal sepasang gaetan.
"Lekas! Lekas panggil orang polisi, suruh mereka bawa borgolan!" kata si nyonya pada si orang lelaki.
"Kau hati-hati jaga padanya!" sahut orang lelaki itu.
"Jangan kau kuatir. Jikalau ia lolos, aku yang tanggung jawab!" sahut perempuan itu.
Orang lelaki itu lantas berlalu dengan cepat.
Orang perempuan itu pandang nona Yo, ia tertawa.
"Kau mungkin tidak kenal aku!" ia kata. "Aku ada orang she Ho, namaku Kian Go. Kalau aku sebut Lie Mo-ong,
kau niscaya ketahui siapa adanya lo-cianpwee ini! Yang
tinggal di sini ada Cukat looya, dari siang-siang ia sudah tahu siapa adanya kau, akan tetapi ia berpesan, jikalau kaut datang untuk mengganggu ia, ia pun tidak ingin berurusan dengan kau. Kita telah ketahui apa yang terjadi tadi siang.
Lui Keng Cun sudah pergi pada Siu Lian dan kau, entah
apa yang kau damaikan. Maka itu kita sudah bersiap.
Sekarang kau berlaku tahu diri, menyerah saja, kita tidak akan celakai padamu, hanya sebentar kita akan kirim kau
pada pembesar negeri. Aku percaya perkaramu akan
diputus dalam dua kali pemeriksaan, kau niscaya tak akan dijatuhi hukuman mati ... "
Lee Hong berdiam, hatinya panas sekali, ia mendongkol
dan malu. "Daripada aku dibuat malu, lebih baik aku binasa?" pikir ia. Ia tentu tidak puas yang ia mesti dihadirkan di muka pengadilan, dengan begini, nama baiknya keluarga akan
menjadi tercemar. Karena ini, ia jadi nekat. Di saat ini hendak berontak, mendadakkan di luar rumah terdengar
suara senjata beradu keras, seperti golok dan pedang saling menggempur.
Kiam Go pun dengar itu, ia kaget hingga ia menoleh.
Ketika itu tidak disia-siakan oleh Lee Hong, ia sambar
lengan kiri orang.
Kiam Go pun kaget, dengan golok kanannya, ia
membacok. Nyonya Bun Hiong tidak takut, ia tidak lari, malah
sambil pegangi terus lengan orang yang dengan kedua
tanganya, ia loncat mutar, ke belakangnya Lie Mo-ong.
Dalam murka yang sangat, nyonya janda Thio Giok Kin
putar tubuhnya, kembali ia membacok. Tapi ia lakukan itu sambil menangis, karena tangan kirinya dipelintir, hingga goloknya pindah tangan.
"Manusia hina," membentak ini anaknya Ho Hua Liong almarhum, seraya ia membacok pula, Ia ada sangat
mendongkol dan gusar, ia membacok secara sengit sekali.
Di mana sekarang telah bersenjatakan golok, Lee Hong
tangkis itu serangan, akan tetapi sebab tak ingin berkelahi di dalam kamar, yang berbahaya, dan sekalian ingin ketahui
siapa yang bertempur di luar, ia loncat ke pintu, akan lari nerobos keluar.
Kiam Go loncat seperti terbang, goloknya melayang,
hingga satu suara keras terdengar, sebab bacokan itu
mengenai pintu, karena si nona Yo, yang diserang, sudah
keburu melewati pintu. Malah Lee Hong lari terus keluar.
Bukan main penasarannya Kiam Go, ia mengejar lebih
jauh. Sekarang di tempat terbuka, Lee Hong putar tubuhnya untuk melayani.
Di depan, suara beradunya senjata telah sirap dengan
lantas, sebagai gantinya, seorang lelaki lari ke dalam. Ia adalah lelaki yang bersenjata sepasang gaetan tadi.
"Hati-hati awas," lelaki itu berseru. "Jie Siu Lian datang!"
Lee Hong terperanjat. Untuk jadi bersemangat, hingga ia
jadi bisa tempur Kiam Go dengan hati tabah.
Dari luar ada memburu satu orang sepasang goloknya
berkelebatan laksana kilat.
Lee Hoag lihat itu orang, ia berseru: "Jie-kounio, aku di sini."
"Kau mundur," berseru nona yang baru datang itu, ialah Siu Lian. Dan ia maju buat serang anak perempuan janda
Ho Hoa Liong. Tetapi si orang lelaki, yang memegang gaetan, sudah
lantas maju merintangi, hingga mereka jadi bertempur, di situ terjadi dua rombongan pertarungan.
Kiam Go terus layani Lee Hong, ia ada sangat gusar
tetapi tak mampu cepat-cepat rubuhkan satru itu.
Si orang lelaki melayani sampai tiga atau lima jurus
kepada Siu Lian lantas ia perdengarkan kata-kata yang
berupa ucapan rahasia, maksudnya tidak lain, untuk
mengajak kawannya si orang perempuan, menyingkirkan
diri. Kiam Go sambut itu ajakan, ia serang Lee Hong, ketika
si nona berkelit, ia barengi lompat naik ke atas genteng.
Lelaki itu juga ingin kabur, akan susul Kiam Go, tetapi
apa celaka, di saat ia hendak menggunaai akal, goloknya
Siu Lian bikin ia menjerit dan rubuh sambil keluarkan
jeritan hebat dan mengerikan, sedang sepasang gaetannya
terus terlempar ke tanah. Kedua senjata itu terbanting
sambil menerbitkan suara nyaring.
Lee Hong kaget, hingga ia loncat mundur.
Itu waktu, dari atas genteng ada menyambar selembar
genteng, menuju pada nona Yo, syukur ia sempat melihat,
ia lekas-lekas berkelit, hingga ia luput dan serangan gelap itu.
Itu waktu, dari luar, ada terdengar suaranya kentongan
dan gembreng berulang-ulang, hingga sang malam jadi
berisik, rupanya ada sejumlah orang yang memburu ke
dalam. "Mari kita menyingkir dari belakang," kata nona Jie, dan ia membuka jalan, mengajak nona Yo.
Lee Hong loncat akan ikuti si nona yang gagah itu.
Tatkala mereka sampai di pintu samping, di situ mereka
dicegat oleh tiga atau empat orang, yang loncat turun dari atas genteng, dan mereka semua lantas membacok si nona
yang membuka jalan.
Siu Lian gunakan sepasang goloknya akan tempur ini
rombongan pencegat, dalam dua tiga jurus, ia bikin seorang rubuh.
Lee Hongpun tempur satu orang, akan tetapi dia ini tidak berani berkelahi dengan datang dekat, hanya ia main
mundur, sampai di sebuah pintu ke dalam mana ia ngelepot masuk, hingga si nona menjadi curiga.
"Apakah di dalam situ ada orang mengumpat" Apa Hwie Pek Sin sembunyi di sini" Ah, tidak salah lagi."
Setelah menduga demikian, nyonya Bun Hiong lantas
mendesak. Sekali ini, mau tak mau, musuh mesti melayani.
Di luar suara gembreng bertambah riuh, dari suaranya,
rupanya ada banyak memburu ke dalam.
Siu Lian terpukul mundur dua musuh yang coba
mengurung ia, ia lompat ke dalam, akan lihat Lee Hong,
ketika ia melihat nyonya mantunya Siau Hong sedang
bertempur, ia maju untuk membantu. Dengan gampang ia
hajar rubuh orang yang merintangi Lee Hong itu. Tapi
karena ia memukul dengan batang golok, orang itu bisa
merayap bangun dan terus kabur keluar.
Nyata di luar ada datang hamba-hamba polisi. Kalau Siu
Lian loncat naik ke atas genteng, Lee Hong telah terjang masuk kedalam pintu di dalam mana ia sangka Hwie Pek
Sin umpatkan diri, ia masuk dengan putar golok di depan
dadanya, hanya ketika ia sampai di dalam, ia dapatkan
sebuah kamar yang gelap, hingga ia terpaksa merandek,
tidak berani maju lebih jauh, ia takut ada musuh
bersembunyi. Di luar sekarang kelihatan api reang-terang orang-orang
polisi sudah masuk sampai di tempat pertempuran tadi. Di antara jendela, Lee Hong bisa melibat ke luar.
"Apa semuanya sudah kabur?" demikian suara pertanyaan, "Apa semua lari naik ke atas genteng" Coba
naik dan memeriksa ke atas. Tapi hati-hati untuk senjata rahasia."
Lantas terdengar suaranya Ho Kiam Go: "Jangan takut.
Maju saja! Tidak apa-apa! Yang bersenjata sepasang golok ada Jie Siu Lian, yang memegang sebatang golok ada
anaknya mantu dari Tek Siau Hong! Cukup asal bisa
tertangkap itu dua perempuan hina."
Lee Hong tutup pintu dan tapal itu. Ia tak pedulikan
bahwa ia berada dalam kamar yang gela p di mana bisa jadi ada bahaya mengancam ia. Dari sinar api di luar, yang
menyorot ke dalam dengan perantaraan jendela, sekarang ia bisa meneliti kamar itu. Di situ tidak ada Hwie Pek Sin, hanja rebah di jubin, dengan tubuh teringkus, adalah Lui Keng Cun. Tadinya ia mundur, ia tidak lantas kenali
sahabatnya Yo Pa itu, sesudah ia mengawasi, ia lekas maju menghampiri.
Lui Keng Cun mengawasi ia, dengan mata memain,
sebab mulutnya tersumpal.
"Lui toako!" ia menanya. "Kenapa kau teringkus di sini?"
Tapi sembari menanya, Lee Hong gunakan goloknya
akan putuskan semua tambang, hingga Keng Cun bisa
lompat bangun, sumpal di mulutnya ia cabut. Meski sudah
merdeka, ia agaknya berkuatir ia menunjuk ke luar.
"Kenapa siau naynay datang kemari?" ia tanya. "Ah, bagaimana kita bisa keluar dari sini" Ketika tadi siang aku keluar dari sini, orang telah kuntit aku, hingga mereka
ketahui aku telah buat penemuan dengan Jie kounio, hingga mereka curigai aku. Hwie Pek Sin sendiri telah mendapat
tahu bahwa siau-naynay adalah puterinya Yo Siau Cay
yang dipiara oleh Yo Kong Kiu, bahwa kau telah menjadi
nyonya mantu dari keluarga Tek, Lebih celaka lagi, ia pun tahu bahwa aku ada sahabatnya Yo Pa, maka ketika aku
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pulang, aku lantas kebentrok pada Yu Yong dan Ho Kiam
Go, aku lantas dibekuk, dikurung di dalam kamar ini di
mana ada dipasang orang untuk menjaga aku..."
Ketika Lui Keng Cun bicara sampai di situ, ia dengar
suara berisik di atas genteng, dan dari suaranya, nyata
orang banyak telah berkumpul di muka pintu, malah ada
yang gunakan golok, untuk mengetok daun pintu. Suara
mereka itu sangat berisik.
"Jie Siu Lian. Perempuan muda dari keluarga Tek! Ke mana kau hendak lari. Jikalau kau bernyali besar, hayolah keluar!" demikian Lee Hong dengar tantangan atau cacian.
Suara itu disusul dengan dampratan lain.
"Geledah saja," terdengar suaranya orang polisi. "Buat apa maki-maki saja?"
Suara itu disusul oleh gedoran pintu dengan toya.
Lee Hong maju, ia bersiap untuk menerjang apabila ada
orang menyerbu masuk.
"Jangan!" Keng Cun mencegah. "jangan...!"
Tapi itu waktu satu bacokan pada jendela membuat
jendela itu toblos.
"Sembunyi," kata Keng Cun pada si nyonya muda,
dengan ia mendahului mendekam disamping jendela.
Lee Hong menurut untuk mendekam bahna terpaksa.
"Rupanya mereka sembunyi di dalam kamar itu. Coba
periksa!" kembali terdengar suaranya orang polisi.
Tapi segera terdengar suarak eras dari Ho Kiam Go:
"Tidak usah geledah kamar itu! Di dalam kamar itu tidak
ada orangnya! Apakah perempuan hina itu ada begitu tolol hendak bersembunyi di situ?"
Dari suaranya, terang Ho Kiam Go takut orang polisi
masuk ke dalam kamar itu, ia kuatir polisi nanti ketemukan Lui Keng Cun.
Masih saja ada orang polisi yang gedor pintu.
"Kalau kamar ini kosong, kenapa pintunya terkunci dari dalam," kata seorang.
"Ya, heran, kamar kosong tapi toh terkunci."
Kembali suara gedoran, disusul dengan dupakan, hingga
daun pintu hampir dobol.
Lee Hong dan Keng Cun berkuatir bukan main, si
nyunya muda sampai berniat maju saja, akan terjang orang banyak itu. Ia pikir, dengan bertempur, barang kali ia bisa membuka jalan untuk lolos.
Kembali gedoran, sampai selembar daun pintu terlepas,
saking terpaksa, Keng Cun lantas berbangkit, menghampiri pintu, yang ia segera pentang, di depan pintu itu ia berdiri.
Tuan-tuan, harap tidak merusak pintu!" ia kata,
tangannya ia goyangkan. "Aku disini!"
Di muka pintu ada belasan orang, lima atau enam
lentera, di antaranya ada empat orang polisi, yang
selebihnya ada pahlawan-pahlawannya Hwie Pek Sin. Di
situ pun ada Ho Kiam Go dan orang yang menjaga kamar,
yang tadi kena dipukul rubuh, mereka semua sedang berdiri dengan golok di tangan. Tapi mereka ini terperanjat melihat ia bebas dari ringkusan dan telah membuka pintu.
Tiba-tiba Ho Kiam Go menuding dengan goloknya.
"Pasti si bangsat perempuan ada didalam kamar ini," ia berteriak. "Orang-orang perempuan dari keluarga Tek mesti ada di dalam sini! Lekas masuk, geledah!'
Tapi Keng Cun melintang di depan pintu, ia mengawasi
perempuan jahat itu dengan mata melotot.
"Jangan kau banyak tingkah!" ia berseru. Tidak usah kau masuk menggeledah kemari! Kau adalah si bangsat,
sebagaimana juga aku." Dan ia teruskan kata pada orang-
orang polisi itu. "Cuwie, bawalah aku, dia dan si orang she Yo, ke kantor polisi! Kita nanti kasih keterangan yang
berharga!"
Kiam Go kaget berbareng gusar, dengan goloknya ia
serang Lui Keng Cun. Keng Cun berkelit, tetapi rada ayal, maka golok mengenai kepalanya...
"Jangan!" berteriak si orang polisi, yang berkelit kesamping. Selagi begitu, sepotong genteng menyambar
dari atas ke bawah, karena datangnya secara mendadakan
kepalanya Kiam Go kena tertimpa, hingga ia rubuh dengan
pingsan. Semua orang kaget, ada yang berteriak bahwa di atas
genteng ada orang, akan tetapi waktu orang menoleh, di
atas genteng ada gelap, tidak kelihatan siapa juga.
Selagi semua orang berpaling ke atas genteng, Lee Hong
nerobos keluar dan terus ia loncat naik ke atas genteng, untuk menghilang di tempat gelap.
"Tangkap, tangkap!" beberapa orang menjerit, mereka coba ubar nyonya muda itu tapi tak keburu.
Menggunakan ketika baik itu, Keng Cun pun lari ke
depan, dari sana ia loncat naik ke genteng, akan turut
melenyapkan diri.
Lee Hong lari di atas genteng belum seberapa jauh, Siu
Lian papaki ia terus ajak ia menyingkir dari rumah itu, di mana orang masih saja buat banyak berisik. Ketika mereka sampai di belakang, mereka loncat turun ke bawah, buat
terus berlari-lari di tanah datar yang sunyi, tempo mereka sampai di ujung tembok barat-utara, itu waktu sudah jam
empat. Mereka jalan terus dengan cepat mengikuti tembok, menuju ke timur.
"Perbuatanmu ini tak seharusnya!" Siu Lian sesalkan si nyonya muda, begitu ia lihat mereka sudah berada di
tempat yang aman. "Kau harus ketahui bagaimana liciknya Hwie Pek Sin! Dan kau sendiri, pengalamanmu masih
sangat hijau! Apakah ini bukan berarti kau serahkan diri masuk ke dalam jaring" Lain dari itu, betapa agung adanya dirimu! Aku sudah loncat naik ke atas genteng, kenapa kau tidak ikut aku" Kenapa kau mesti masuk ke dalam kamar
itu" Orang-orang polisi keburu datang, terpaksa aku diam saja di atas genteng, sedang aku sebenarnya bingung betul.
Jikalau aku turun pula ke bawah, itulah hebat, aku tentu mesti lukai lagi beberapa orang" Bagaimana onarnya
apabila aku kesalahan kena lukai orang polisi" Tapi, kalau aku tidak turun, bagaimana andaikata sampai kau kena
tertangkap" Kau sudah lihat macamnya bencana, kau telah
buktikan bagaimana kau tak mampu berbuat apa-apa, maka
lain kali, jangan kau sembarangan keluar sendirian!..."
Siu Lian menghela napas, tetapi ia melanjutkan.
"Tadi aku pulang dengan niatan untuk tidur, apa mau,
hatiku tidak tenteram, ketika aku baru sampai di rumah,
lantas datang suamimu yang susul aku, dan ia kasih tahu
tentang kepergianmu untuk cari Hwie Pek Sin. Aku kaget
sekali, aku lantas berangkat menyusul kau. Suaramu ada
sangat sibuk, ia menyesal yang ia telah tidak mampu cegah kau ..."
Lee Hong agaknya merasa tidak puas.
"Tapi aku masuk ke dalam itu kamar dengan berhasil
menolong Lui Keng Cun, ' ia kasih tahu.
"Nah, kau lihat sendiri!" Siu Lian bilang. "Hwie Pek Sin nyata ketahui segala apa. Ia tak mempunyai kepalan keras, ia tak mempunyai kegagahan, akan tetapi ia ada berakal
muslihat lihay, dengan ada beberapa orang yang lindungi
padanya, ia tidak takut kita! Menurut pemandanganku,
orang semacam Hwie Pek Sin ada terlebih sukar untuk
dilawan daripada sembarang orang yang hanya mengerti
bugee!" Lee Hong tidak kata apa-apa, ia diam saja.
"Nah, pakailah itu," kata Siu Lian, seraya serahkan sepotong baju panjang.
Nyonya Bun Hiong sambuti baju itu dengan muka
merah dan panas rasanya, sebab itu adalah bajunya sendiri, yang ia sangkutkan di cabang pohon, siapa tahu, si nona Jie telah tolongi ia sambar bajunya itu. Ia lantas pakai itu untuk kerebong. Ia jalan terus dengan cepat, mengikuti nona itu.
Tidak lama sampailah mereka di rumahnya Lau Tay Po.
Itto Tianhoa sudah dua hari tak ada di rumahnya. Kemana
dulunya Kau Jie Chiu mendadakan datang mencari, lantas
mereka pergi sama-sama, entah ke mana, dan setahu urusan apa yang mereka hendak kerjakan. Maka itu, ketika Siu
Lian berdua sampai, melainkan ada Siang Moay yang
tatkala it masih belum tidur.
"Inilah Yo Lee Hong, nyonya mantu dari Tek ngoya,"
Siu Lian perkenalkan kawannya, sedang si nyonya, ia
perkenalkan pada nyonya rumah.
Siang Moay mengawasi, ia dapati satu nyonya muda
yang elok. Di lain pihak, ia lihat Siu Lian dandan mirip dengan satu nyonya. Ia lantas masak air untuk seduh teh.
Kemudian, bertiga mereka duduk bicara.
Lee Hong ada berduka, di sebelah sisa air matanya,
tampangnya ada guram. Terang ia ada mendongkol dan
masgul, oleh karena percobaannya gagal, sebab hampir-
hampir ia dapat susah. Orang pun telah hinakan ia, dan ia hampir mengalami kejadian yang sangat memalukan ia dan
keluarga suaminya.
Siu Lian ada sedikit masgul. Ia telah merasakan
sukarnya untuk bertindak, Hwie Pek Sin ada licik, di kota raja ia ada punya banyak kenalan pembesar negeri, hingga tidak bisa sembarang ia turun tangan. Di lain pihak, Lee Hong berniat keras akan bunuh juru pemikir itu, malah
nyonya muda ini ingin membunuh dengan tangan sendiri.
Sukarnya ialah mereka ada di kota raja di mana ia tak boleh bertindak secara sembrono. Sudah begini mendadakan Lie
Bou Pek menghilang entah ke mana perginya. Dan hampir
berbareng, Lo Siau Houpun lenyap setahu kemana
parannya. Lantas, Lau Tay Po dan Kau Jie Chiu pun tidak
ada di rumah, bersama mereka, lenyap juga Su Poancu si
Ular Gunung. Nona Jie merasa pusing akan memikirkan sepak
terjangnya Su Poancu dan Kau Jie Chiu. Jikalau ada urusan dan mereka dibutuhi, mereka tidak ada, dicarinya sukar,
sebaliknya di saat bantuan mereka tak perlu, sewaktu-waktu mereka pada muncul.
Lantas Coa Siang Moay majukan satu usul, ia kata:
"Apakah tidak baik untuk minta bantuannya Giok Kiau Liong" Ia boleh diundang, dengan jalan buat hatinya
menjadi panas biar ia yang bekerja! Ia bukannya seperti
kita, yang seumpama banyak larangannya. Ia tentu berani
melakukan kalau diperintah membinasakan Hwie Pek Sin
dan Ho Siong, tak peduli tempat ini di kota raja."
"Bagaimana pikirmu maka kau bisa mengusulkan
begini?" Siu Lian tanya. "Dalam beberapa hari ini, ibunya mendadak sakit dan nampaknya hebat, maka itu. Kiau
Liong mesti berdiam di rumahnya guna rawat ibunya itu.
Baru saja kita merasa tenteram, cara bagaimana sekarang
kita hendak buat ia keluar pula" Kalau ia yang bekerja,
urusan belum tentu bisa dibuat beres tetapi ia mestinya akan membuat kacau pula!" Ia lantas menoleh pada Lee Hong, yang ia teruskan tanya, "Selama itu, bagaimanakah
perlakuanku terhadap kau?"
Lee Hong seka matanya.
"Kau telah melepas banyak budi," ia menyahut.
"Ada budi atau tidak tak usah disebut-sebut, tetapi aku berani bilang, terhadap kau, apa yang aku lakukan rasanya tidak ada bedanya, maka itu sekarang kau mesti dengar
perkataanku. Urusan membalas sakit hati memang penting,
tetapi aku larang kau berbuat pula sebagai malam ini.
Dengan berbuat semacam ini, sepak terjangmu mirip
dengan sepak terjangnya Giok Kiau Liong. Kau ada orang-
orang terhormat, maka segala perbuatan dalam kalangan
kangou, juga pekerjaan membalas dendam, bukanlah
kewajibanmu untuk melakukannya, sebab dirimu bisa
merembet pada keluargamu. Kiau Liong dan aku tidak ada
sangkutannya yang berarti, tetapi kau ada lain. Lihatlah tadi, hampir saja orang bekuk padamu. Bagaimana kalau
kau kena ditangkap dan dihadapkan pada pembesar negeri"
Apa dengan begitu kau tidak akan buat malu suami dan
mertuamu berdua" Bila itu sampai terjadi, sungguh aku
malu terhadap keluarga Tek. Kau harus ketahui, bugee-mu
sebagian ada hasil buah pendidikanku. Maka sekarang
sebisa-bisa kau mesti sabar, kau mesti tunggu, tunggu
sampai sepuluh hari atau setengah bulan. Walau
bagaimana, aku nanti tolong kau membalas sakit hatimu!
Asal pembalasan dapat dilakukan, kenapa itu mesti, mesti dilakukan oleh tanganmu sendiri?"
Lee Hong menganggukkan kepala, tetapi ia tidak
menjawab. Demikian mereka bicara, sampai terang tanah. Dengan
bawa perutnya yang besar, Siang Moay pergi keluar akan
cari kereta sewaan.
Lee Hong naik atas itu kereta bersama-sama Siu Lian
menuju ke rumah keluarga Tek. Tempo mereka sampai,
Bun Hiong dan Tek toanaynay nampaknya sedang sibuk,
maka, begitu melihat si isteri atau nyonya mantu, baru hati mereka lega.
Siu Lian lantas tuturkan apa yang terjadi tadi malam, ia minta Tek toa-naynay legakan hati dan bersabar. Kemudian ia minta Bun Hiong kirim orang keluar untuk dengar-dengar apa yang menjadi pembicaraan khalayak ramai pagi
itu. Lalu karena satu malaman tidak tidur Siu Lian lantas
beristirahat di rumahnya Siau Hong, sampai siang baru ia bangun dari tidurnya.
Tidak lama sehabisnya santapan tengah hari, Yo Kian
Tong dan Sun Ceng Lee datang berkunjung. Mereka
disambut oleh Siau Hong dan Siu Lian. Mereka itu ada
sangat mendongkol, lebih-lebih Sun Ceng Lee, hing ga
mereka nyatakan bahwa mereka ingin segera buat mampus
pada Ho Siong dan Hwie Pek Sin, sesudah itu, mereka
ikhlas akan tutup piautiam mereka buat mereka pergi
merantau, akan hidup di kalangan Sungai Telaga.
"Tidak, itulah tindakan yang tak seharusnya kau ambil,"
Siau Hong mencegah.
Siu Lian tidak kata apa-apa, akan tetapi, walaupun dia
bungkam, air mukanya menandakan ia ada sangat
mendongol. Selagi mereka bicara, dengan tiada keputusannya, Lau
Tay Po muncul dengan mendadakan, dan ia muncul
berbareng dengan banyak warta beritanya. Pertama-tama ia dengar halnya nyonya Giok ceng tong ada dapat sakit keras, kedua yang Lou Kun Pwee mendapat sakit kemasukan
angin, hingga dikuatirkan jiwanya tak bakal tertolong lagi.
ketiga bahwa katanya ada orang-orang yang ketahui bahwa
tadi malam Tek siauw-naynay sudah buat huru-hara di
rumahnya Hwie Pek Sin, dan keempat bahwa Su Poan dan
Kau Jie Chiu sebenarnya tidak pernah berlalu dari Pakkhia, bahwa dengan bersama-sama mereka suka lakukan
pencurian, yang hasilnya mereka sebar di antara orang-
orang miskin. "Dan tadi pagi," Tay Po melanjutkan penuturannya, "Su Poancu lihat empat buah kereta serta beberapa penunggang kuda keluar dari Cianggie-mui, bahwa di dalam rombongan
itu ada kedapatan Ho Kiam Go, yang ia kenalkan dengan
baik, meskipun tadi nyonya itu bungkus kepalanya dengan
sapu tangan. Sedang di dalam sebuah kereta ada berduduk
dua orang tua, rupanya mereka itu ada Hwie Pek Sin dan
Ho Siong."
Baru saja mendengar namanya itu dua orang, Sun Ceng
Lee sudah loncat bangun.
"Sekarang juga aku pergi susul mereka!" ia kata dengan nyaring. "Aku nanti bunuh habis pada mereka itu!"
"Aku nanti ambil golokku, aku pun mau turut!" kata Siu Lian, yang turut jadi bernapsu.
"Su Poancu sudah perintah Kau Jie Chiu kuntit
rombongan kereta itu," Lau Tay Po kasih tahu lebih jauh,
"maka itu, aku percaya yang itu bocah tidak nanti mengasih lolos pada mereka itu. Cuma, waktu Su Poancu datang
mengasih kabar padaku, ia baru kira-kira jam sepuluh,
sedang sekarang ini sudah mendekati jam dua."
"Kalau begitu, kita mesti lekas mengejar," kata Siu Lian pada suhengnya. Ia lantas pesan Siau Hong, supaya hal itu dirahasiakan terhadap Yo Lee Hong, sedang Yo Kian Tong
diminta suka berdiam pada Siau Hong, Ceng Lee sudah
lantas berangkat.
Kemudkan selagi perintah orang siapkan kudanya, Siu
Lian pergi pada Tek toa naynay yang ia kisiki untuk
menjaga baik-baik nynya mantunya.
Dan kapan sebentar kemudian kuda sudah siap, nona Jie
pamitan, ia naik kudanya, akan lari pulang ke rumahnya
Tay Po, guna ambil sepasang goloknya, dari situ, ia keluar dan Anteng-mui. Dengan ikuti kali pelindung kota, ia
menuju ke barat-selatan. Kudanya bisa lari cepat, sebentar saja ia sudah kitari tembok kota dan sampai di jalan besar yang menuju keluar Sayu-mui. Dari sini, lari kearah barat belum seberapa jauh, ia lihat ditepi jalan, pada sebuah
warung teh kecil Sun Ceng Lee asyik duduk minum teh,
suatu tanda bahwa suheng itu telah dapat ketika akan
mengaso sebentar di situ.
Selagi melewati, ia beri tanda dengan mata, kudanya ia
kasih lari terus.
Selewatnya sumoy itu, Ceng Lee letaki cangkir teh dan
lemparkan uang harganya setelah sambar goloknya, yang ia letaki di pinggir meja, ia samperi kudanya, yang ia loloskan dari tambatannya, lalu dengan menyemplak binatang itu, ia lari kejurusannya si nona.
Sesudah lari sedikit jauh, Siu Lian kendorkan kudanya,
maka itu, lekas sekali, Ceng Lee telah bisa candak ia.
"Kalau sebentar kita dapat susul rombongan kereta itu,"
kata si nona pada itu saudara seperguruan yang adatnya
keras, "aku harap suheng bertindak dengan menuruti
petunjukku, tidak boleh di waktu siang seperti itu, kita menyerang dan membunuh orang! Kalau tidak, suheng
ketahui sendiri, selamanya kau akan tak mampu menjadi
piausu seperti biasa!"
"Sebenarnya aku sudah bosan menjadi piausu," Ceng
Lee jawab, "Segala apa ada di Pakkhia! Ada naga, ada
harimau, ada rase, ada kunyuk! Dan sekarang muncul
srigala bangkotan! Sungguh menyebalkan. Benar-benar, aku ingin sekali buat huru-hara. di sini, akan kemudian pergi merantau ke lain tempat!"
Siu Lian tidak ladeni orang ngoceh, ia malah cambuk
kudanya, akan kasih binatang itu lari dengan keras. Maka itu, sang suheng telah mesti susul ia. Hingga mereka berdua ada laksana orang yang asyik main kejar-kejaran.
Ini adalah jalanan umum yang mereka kenal baik, karena
di sini mereka biasa mundar-mandir, hingga mereka bisa
kaburkan kudanya dengan tak sangsi-sangsi lagi.
Beberapa puluh lie sudah dikasih lewat, hingga mereka
pun telah lewatkan sungai Engteng Hoo.Dijalanan sini ada tidak sedikit kereta dan kuda yang berlalu lintas, semua itu diperhatikan oleh Siu Lian dan Ceng Lee, sampai sebegitu jauh, mereka belum dapat kereta-kereta yang mereka cari, ialah rombongan kereta di antara siapa ada penumpangnya
dua tua bangka. Demikian mereka sampai di daerah Liang-
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hiang-koan. Disini, di tepi jalan, ada satu tempat dimana ada tumbuh beberapa pohon pek yang yang besar, di bawah mana orang
bisa meneduh atau benstirahat. Dan di sini, tiba-tiba ada suara panggilan: "Jie sukou! Jie sukou!"
Siu Lian menoleh dengan segera, menoleh ke belakang,
karena suara itu datangnya dari sebelah belakang ia. Ia
segera kenalkan Kau Jie Chiu, dengan dandanannya
sebagai toosu, dengan peti obat-obatannya tak ketinggalan menggemblok di punggungnya, dan dengan menunggang
keledai, si Monyet Kecil asyik menyusul ia. Ia lantas tahan keledainya menantikan.
Di lain pihak, di belakangnya Tam Hui, dari bawah
pohon pek yang ada berlari-lari satu penjual bebuahan,
sambil tangannya diulur dan mulutnya berkaok-kaok:
"Tooya, tooya, uang buahmu masih belum dibayar."
Tam Hoa tahan keledainya, ia rogoh sakunya akan
keluarkan uang, yang mana ia terus lemparkan kepada
tukang buah itu.
"Lekas sedikit!" kata Siu Lian.
Tapi Kau Jie Chiu menghampiri dengan ayal-ayalan.
"Sukou hendak pergi ke mana?" ia tanya.
"Dan kau buat apa di sini?" sang sukou balik menanya.
"Aku sedang menjalankan tugas yang diberikan oleh Su toasiok. Ia kasihkan keledai ini, untuk aku kuntit beberapa buah kereta ... "
"Di mana adanya beberapa kereta itu sekarang" Apakah
kau gagal menguntitnya?"
Kau Jie Chiu monyongkan mulutnya ke arah umur.
"Aku menunggang keledai dan mereka naik kereta keledai
juga, mustahil aku tak mampu susul mereka?" ia jawab.
"Ah, nyata sukou pandang aku sangat tidak punya guna!
Mereka itu..."
Dan ia buat main pula mulutnya.
Siu Lian berpaling ke arah timur. Di situ ada segundukan pohon pek yang. Di belakang pepohonan itu samar-samar
ada rumah-rumah orang. Itu ada suatu dusun. Ia lantas
unjuk roman heran, "Jadinya kereta mereka itu pergi ke sana?" ia menegasi.
Si Monyet Kecil mengangguk.
"Ya, semuanya sudah masuk ke dalam itu kampung," ia menjawab. "Di antaranya ada si orang perempuan yang kepalanya dibungkus sapu tangan dan mukanya bertai laler merah. Aku tak kenal keadaannya kampung itu, aku tidak
berani lancang masuk, maka aku singgah di bawah pohon
tadi, untuk sekalian mencari keterangan. Katanya itu ada kampung Thiokee-cun, disana ada satu penduduknya orang
she Thio yang anak perempuannya menikah dengan
seorang berpangkat di kota raja, hingga sering ada orang mewah yang naik kereta datang berkunjung ke kampung
itu." Siu Lian berpikir sebentar, lantas ia kata. "Nah, mari kita kembali ke pohon itu untuk beristirahat!"
Dengan tidak tunggu jawaban ia loncat turun dari
kudanya, akan bertindak ke tempat yang ditunjuk. Di
tempatriindang itu ada tukang bebuahan, yang antaranya
pun ada penjual semangka, dialah numprah di tanah ada
satu tukang tenung. Disitu ada tujuh atau delapan orang
lain, yang singgah buat berangin, di antaranya ada yang
rebahkan diri dengan kepala tersundang buntalannya.
Seorang perempuan sedang duduk sambil rneneteki
anaknya, dengan di sampingnya ada keledainya, sedang
suaminya, sedang duduk sambil makan semangka. Satu
bocah, yang lebih tua, lagi jongkok mengawasi serombongan semut.
Siu Lian datang ke situ dengan tak menarik perhatian
orang banyak. Ia dandan mirip dengan satu nona tukang
dangsu. Kau Jie Chiu pun ada satu toosu, jubahnya dan peti obat-obatan adalah alat untuk selimuti dirinya yang asli.
Adalah Ngojiau-eng Sun Ceng Lee yang menarik perhatian,
karena tubuhnya yang tinggi dan besar, romannya ada
keren sekali. Kau Jie Chiu tambat keledainya, dan ia tolong tambati
juga kudanya itu nona dan piausu, kemudian ia hampirkan
si khoa-mia sinshe, untuk ajak disitu koogkou.
Ceng Lee dudukdi dekat tukang semangka, dengan
tangan bajunya, ia sekai keringat di mukanya, kemudian ia makan buah untuk menghilangkan dahaga.
Nona Jie samperi si nyonya yang sedang meneteki anak,
untuk diajak bicara, Ia bersikap manis budi, dan si
nyonyapun ada seorang yang halus tingkah lakunya.
Kebetulan sekali, nyonya itu ada orang asal daerah itu.
Orang tuanya tinggal di sebelah timur, jauhnya kira-kira delapan belas lie. Karena hawa udara ada panas dan
anaknya haus, ia singgah di situ akan meneteki anaknya itu.
Ia sudah berumur hampir empat puluh tahun, ia ada
kelahiran tulen dari dusun itu, maka itu, di tempat
sekitarnya duapuluh lie, ia tahu benar dan hampir tak ada penduduk situ yang ia tidak kenal.
Sesudah bicara sekian lama, Siu Lian tanya, apa barusan
dusun Thio-kee-cun itu ada kedatangan serombongan
kereta. Selagi menjawab nyonya itu kelihatan ada kagum sekali.
"Aku ada punya satu encie, yang tinggal di dalam dusun itu," kata ia. "Di sana ada satu nyonya janda she Thio yang mewah hidupnya. Dia ada punya satu anak perempuan,
tadinya anak itu ingusan, setahun genap ia tak pernah cuci muka, tetapi kemudian anak itu dibawa ke kota raja,
katanya dinikahkan pada satu pembesar. Pada tahun yang
sudah, anak itu pulang kekampungnya dengan berpakaian
sutera, rambutnya ditabur barang-barang perhiasan emas,
hingga ia nampaknya jadi elok sekali. Hanya, kita dengar, dia menjadi gundik orang, bahwa sang suami dulunya
pernah jadi tiehu, bahwa kumis jenggotnya looya itu sudah ubanan, usianya ada beripat-lipat lebih tinggi dari padanya.
Tetapi looya itu ada hartawan. Hanya sekarang dia tak
kenal lagi sanak familinya yang miskin. Tetapi karena ia beruang, banyak yang baiki padanya. Begitulah ini hari, ia pulang ke kampungnya, maka penduduk kampung sana
tentu menjadi angot pula, tentu mereka pada bergerunyukan datang menonton, untuk mengambil-ambil
hati. Inilah tidak heran. Baru dua tahun, keluarga Thio itu lantas jadi hartawan secara mendadakan. Si nyonya janda
sekarang ada membuka sebuah rumah gadai di sebelah
utara sana."
Siu Lian anggap keterangan itu sudah cukup. Ia
menduga, tidak salah lagi, nyonya muda itu mesti ada
gundiknya Ho Siong. Ini rupanya ada tipu dari Hwie Pek
Sin, yang ajak atau anjurkan Ho Siong pulang ke rumah
mertuanya, untuk menyingkirkan diri, dengan Ho Kiam Go
beramai terap melindungi mereka.
Hampir nona Jie tidak sanggup kendalikan diri, hampir
saja ia lari ke kudanya buat menyerbu ke Thiokee-cuen buat binasakan Ho Siong, Hwie Pek Sin dan juga Ho Kiam Go.
Atau terlebih dahulu ia tempur Ho Kiam Go, baru ia
tamatkan lelakonnya itu bekas Tihu dan juru pemikir yang liehay. Syukur ia bisa kendalikan diri. Ia tahu, penyerbuan itu berarti perbuatan sebagai berandal saja, kalau ia lakukan
semacam perbuatan itu, ia dan Ceng Lee tentulah bakal
dicari polisi, hingga mereka mesti jadi pemburon.
Siu Lian juga ingat bahwa ia tidak boleh berdiam lama-
lama di itu tempat, Kiam Go atau Hwie Pek Sin bisa dapat lihat ia. Maka ia samperi Ceng Lee, buat diajak berdamai.
"Aku pikir baik kita pergi ke dusun utara sana sambil beristirahat, kita tunggu sang waktu, nanti malam baru kita satroni mereka," ia kata.
*** Ceng Lee geleng-geleng kepala melihat kekeliruan orang.
"Sumoay kau sudah tinggal beberapa tahun di
Kanglam," ia berkata, "dari Lie Bou Pek kau tidak menelad apa-apa, kenapa kau justru telah pelajari ktnriium, hingga kau jadi begitu berhati-hati" Aku pikir baiklah sumoay
jangan ikut urusan ini, tunggu sampai aku habis makan
semangka, lantas bersama-sama Kau Jie Chiu, aku nanti
menyerbu ke dalam dusun itu, akan bekuk itu beberapa
makhluk jahat!"
"Dan perbuatan semacam itu berarti menggeprak rumput untuk membuat ular kaget!" kata Siu Lian. "Di sana ada berdiri beberapa puluh rumah, ke rumah yang mana saja
mereka bisa pergi untuk sembunyikan diri, apa kau berniat serang kalang kabutan pada sesuatu rumah?"
Ceng Lee berbangkit, agaknya ia tak sabaran.
"Lebih baik sumoay jangan usil aku!" ia kata dengan uring-uringan.
Siu Lian pun berbangkit.
Hampir di itu waktu. Kau Jie Chiu yang kenakan alis
luncat bangun. "Lihat di sana!" katanya, seraya menunjuk ke arah utara.
"Di sana ada kawan-kawan kita!"
Dengan cepat Siu Lian berpaling ke jurusan yang
ditunjuk dan ia lantas berdiri dengan tercengang.
Di sana ada mendatangi tiga penunggang kuda, mereka
itu mendatangi semakin dekat hingga semua penunggangnya lantas kelihatan nyata. Di paling depan ada Su Poan cu dengan tubuhnya seperti buntalan. Yang
mengherankan adalah dua penunggang kuda yang lainnya,
ialah Yo Kian Tong bersama Yo Lu Hong!
"Eh, kenapa dia pun datang?" kata nona ini dalam
keheranannya. Kau Jie Chiu lantas lari, untuk memapaki, ia pun
memanggil-manggil, tetapi Siu Lian cegah ia dengan
bentakan. Dengan lekas, tiga penunggang kuda itu datang semakin
dekat. Lee Hong memakai baju celana hijau, rambutnya di
bungkus dengan saputangan. Nyata ia bisa menunggang
kuda dengan tetap. Bersama-sama Yo Kian Tong, ia ada
bekal tombak panjang.
Su Poancu ada memakai tudung rumput yang besar dan
lebar, bajunya terbuka sebatas dada. Ia sudah lantas lihat Siu Lian beramai, lantas saja ia bersenyum-senyum.
Kapan orang telah datang dekat, Siu Lian maju ke
depan. "Kenapa dia kut-ikutan?" ia tanya. Ia maksudkan Lee Hong.
Selagi orang heran, piausu tua itu tertawa.
"Begitu kau berangkat, aku lantas bicara pada Siau
Hong," ia menyahut. "Nyata Siau Hong setuju yang ia,
dengan diiring oleh aku menyusul kau. Begitu kua keluar
dari pintu kota, kita lantas ketemu itu si Su Tua. Kemudian Lui Keng Cun pun menyusul kita. Tapi Keng Cun tidak
punya kuda, maka ia menyusul belakangan, sekarang ini ia tentu baru melewati jembatan Loukau Kio. Pikiranku ada
begini: Urusan ada urusannya keluarga Yo, dan ini ada
sakit hati dari dua puluh tahun. Yang dalamnya laksana
lautan! Maka, kenapa kita tak mau antap Lee Hong sendiri yang turun tangan, guna membuat pembalasannya" Sejak
bertahun-tahun aku didik ia dalam ilmu tombak, buat
apakah itu" Dan itu, aku telah berdamai dengan Siau Hong dan Bun Hiong juga, aku bilang, tidak ada halangannya
kalau nyonya mantu atau isterinya keluar untuk beberapa
hari. Untuk itu aku telah berikan pertanggunganku, apabila padanya ada terjadi suatu apa, aku suka menggantinya
dengan jiwaku!"
Siu Lian tidak menjadi tidak senang kapan ia dengar
kata-katanya piausu itu, sebaliknya, ia jadi bersemangat.
"Kalau begitu, kita turun tangan sekarang juga," ia berseru. "Cuma aku pikir bukankah kita berdamai dahulu.
karena sekarang ada di bawahnya matahari yang terang
benderang."
Yo Kian Tong agaknya heran.
?Apa" Sekarang juga?" ia kata. "Apakah sudah diketahui di mana adanya kereta dan Hwie Pek Sin dan Ho Siong?"
"Ya, di sana!" Ceng Lee menggantikan menyahut, sambil tangan-nya menunjuk ke timur. "Di dalam kampung itu ada satu janda she Thio, ia adalah mertuanya Ho Siong."
Suaranya Ngo Jiau eng ada keras sekali tetapi baru ia
tutup mulutnya, atau Lee Hong sudah keprak kudanya
menuju ke arah yang ditunjuk itu.
Siu Lian segera loncat naik atas kudanya menyusul. Yo
Kian Tong pun segera susul nona Yo.
Ceng Lee lari pada kudanya ditelad oleh Kau Jie Chiu
siapa loncat naik atas keledainya.
Pasan-coa Su Kian, si Ular Gunung, ketinggalan seorang
diri, malah ia turun dari kudanya, yang ia tambat, ia sendiri hampirkan si tukang buah, akan jumput semangka yang ia
lantas makan sambil numprah di tanah.
"Tidak apa-apa, tidak ada apa-apa yang menarik hati untuk dilihat!" ia kata sambil goyang-goyang tangan. Ia
bicara pada itu beberapa orang, yang agaknya terheran-
heran hingga mereka mengawasi ke rombonganya Ceng
Lee itu. "Mereka itu pergi ke kampung untuk sambangi famili mereka!"
Kendatipun ia berkata demikian, Su Poancu toh
mengawasi ke jurusannya nona Yo.
Nona itu larikan kudanya paling depan, di belakang ia
menyusul empat kuda lain. Di paling belakang ada
mengintil seekor keledai, yang larinya keras juga. Kudanya Ceng Lee mencoba menyusul Lee Hong, karena ia telah
umbar adatnya yang keras. hingga kudanya itu ia kasih
larat. Demikian, berdua mereka ini adalah yang paling dahulu
masuk ke dalam kampung.
Tujuh atau delapan ekor anjing, yang menjadi kaget,
lantas menggonggong dan mengurung. Lee Hong terpaksa
gunakan tombaknya buat mengemplang dan menusuk
hingga ada anjing yang terkuing-kuing.
Dari beberapa rumah ada orang-arang yang muncul,
akan melongok, karena mereka dengari uara berisik dari
anjing-anjing kampung itu. Inilah kebetulan Lee Hong jadi bisa samper satu di antaranya.
"Aku numpang tanya yang mana satu ada rumahnya
nyonya janda Thio?" demikian pertanyaannya.
Orang-orang kampung itu pada melengak, tetapi yang
ditanya toh menyahut juga:
"Itulah dia itu rumah yang kesatu di ujung tembok!" Ia bicara sambil menunjuk.
Lee Hong keprak kudanya, akan hampirkan rumah yang
ditunjuk itu. Benar saja, baru ia mengkol, ia sudah lihat dua buah kereta berhenti di depan satu rumah. Itu ada dua buah kereta keledai, tetapi di situ tidak ada satu kuda pun. Pintu pekarangan ada kecil dan juga ditutup, rupanya dikunci dari dalam. Di depan pintu ada dua kusir serta beberapa orang lain, yang asyik berjudi. Mereka itu kaget waktu melihat ada datang orang yang menunggang kuda dan sambil bawa
senjata. Kau Jie Chiu turut masuk kc dalam gang, untuk terus
menjadi kaget. "Heran," ia berseru. "Tadi aku lihat empat buah kereta
serta tiga ekor kuda, kenapa tinggal dua buah kereta?"
Lee Hong sudah loncat turun dari kudanya dan samperi
pintu, yang ia gedor.
"Sabar," kata Yo Kian Tong, yang susul nyonya muda
itu. "Jangan sembrono, kita mesti pakai aturan!"
Isterinya Bun Hiong menurut, ia lantas menggedor
terlebih perlahan, ia memang-manggil.
Kian Tong hampiri si tukang kereta.
"Apakah kau datang kemari mengikut Ho tiehu?"
demikian ia tanya.
"Kereta kita ada kereta sewaan dan dipakai sejak tadi pagi-pagi," sahut salah satu kusir. "Kita dijanjikan akan dari Pakkhia menarik muatan ke Pongsan dan mampir sebentar
disini buat tengok famili," katanya. "Semuanya ada empat buah kereta. Tetapi yang dua ada kepunyaan mereka
sendiri. Di antaranya ada Hwie looya dan dua thaythay
Rumah ini rupanya ada rumah dari Ho thaythay Hwie
looya dan Ho thaythay tidak berdiam lama di sini, lantas mereka naik pula kereta mereka sendiri dan berangkat
menuju ke selatan sana. Satu haythay yang menunggang
kuda, ikut mereka itu."
Sambil kata begitu, kusir itu menunjuk ke arah selatan.
Di sana, antara pepohonan pek yang, ada satu jalanan
kampung yang kecil. Di jalanan itu benar ada tapak roda.
"Berapa lama mereka sudah berangkat," tanya Kian
Tong, yang ada sibuk sendirinya.
"Mereka pergi sudah lama juga, sebab begitu sampai
disini, mereka lantas berangkat pula. Kita diwajibkan
menunggu di sini, katanya buat antar orang yang mau pergi ke Pongsan."
Yo Kian Tong bingung tetapi ia bisa lantas ambil
putusan.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lekas menyusul ke selatan!" ia kata pada Sun Ceng Lee.
Si Monyet pun ada bingung.
"Aku hanya lihat kereta masuk kesini, tidak lihat kereta keluar ... " ia kata.
"Dasar matamu buta," membentak Ceng Lee seraya
tampar muka orang. Kemudian ia loncat naik atas kudanya, buat menyusul ke selatan.
Siu Lian juga turut menjadi sibuk, hingga ia bantui Lee
Hong menggedor pintu pekarangan. Tapi sebab pintu tidak
dibuka, orang tidak ada yang muncul, terpaksa mereka
gempur ini. "Ada apa, ha" Mengapa menggedor pintu begini berisik?"
tanya seorang perempuan, yang muncul di pintu rumah.
Ia ada satu nyonya umur kira-kira empat puluh tahun,
pakaiannya serba hijau dan bersih, gelungnya memakai
tusuk konde perak.
Kau Jie Chiu duga ia itu adalah janda Thio, mertuanya
Ho Siong, "Aku cari Ho Siong dan Hwie Pek Sin!" Lee Hong menjawab dengan kaku dan bertindak maju.
Nyonya itu pentang kedua tangannya menghalau di
depan pintu. "Eh, eh, jangan sembarangan masuk!" ia kata dengan
nyaring, "Kau ada seorang perempuan dan bawa-bawa
tombak. Aku pun tidak kenal kau" Mau apa kau datang
kemari?" Siu Lian maju akan cekal lengan orang.
"Kau jangan takut," ia kata, suaranya perlahan tetapi berpengaruh. "Kita hendak cari Hwie Pek Sin dan Ho Siong untuk bicara sebentar! Ijinkanlah kita masuk, kita tak akan ganggu kau..."
Tetapi itu waktu Lee Hong sudah masuk, kawannya ikuti
ia. Janda Thio masih tidak mau mengerti, ia malah gusar.
"Eh, dua bangsat perempuan dari mana datang kemari?"
ia pentang bacotnya dengan nyaring, "Kenapa kau nerobos masuk ke dalam rumah orang" Lekas keluar, lekas! Tukang
kereta, tukang kereta, lekas masuk! Tukang kereta, mari
bantu aku usir ini dua perempuan bangsat!" Tetapi tukang kereta dan kawannya, yang sedang berjudi,
tidak berani datang menghampiri, mereka berdiri di
pinggiran, mengawasi saja. Janda Thio coba ubar Siu Lian, tapi Kau Jie Chiu dari belakang sambar ia. Ia dipeluk pada pinggangnya dan diangkat, hingga ia jadi ngamuk sambil
kekaokan, kaki tangannya berontak-rontak Tam Hui bawa
ia naik ke kereta keledai hingga di situ ia jadi bingung, karena ia sangsi akan turun, ia hanya bisa pentang terus bacotnya.
"Rampok, rampok! Tolong, tolong, ada rampok!"
demikian suaranya.
Kau Jie Chiu lantas melintang di depan pintu.
"Hati-hati, Kau Jie Chiu," Yo Kian Tong peringatkan,
"Jangan berlaku kasar."
Lee Hong dan Siu Lian sudah masuk kedalam, Siu Lian
berlaku tenang, tidak demikian dengan si nona Yo. Rumah
itu tidak terlalu kecil, perabotannya pun cukup baik, tetapi disitu tidak ada satu pun orang laki-lakinya, ada juga tiga orang perempuan tetangga, yang terkena famili.
Dua lagi ada bujang dan budak. Orang yang keenam
adalah si nyonya muda, yang tadi naik kereta, ialah nyonya Thio, gadisnya janda Thio, atau gundiknya Ho Siong.
Ie-thythy dan Ho Siong berumur belum dua puluh tahun,
ia tidak terlalu cantik, akan tetapi pakaiannya mewah,
dandanannya perlente. Ia pakai baju merah, celananya
sutera hijau. Perhiasan rambutnya semua terdiri dari emas.
Nyalinya pun kelihatannya besar. Kalau lain-lain orang
kaget, ia nampaknya tak takut. Malah ia bawa aksi sebagai thaythay.
"Kau benar liehay," demikian katanya. Terang ia sudah tahu dengan siapa berhadapan. "Kita pergi menyingkir ketempat begini jauh tetapi kau masih bisa mendapat tahu dan menyusuli. Sebenarnya ada permusuhan apa di antara
kau dan looya-ku itu" Dengan bawa-bawa senjata kau
beramai hendak berbuat apa" Apa benar-benar kau hendak
bunuh mati itu tua bangka yang sudah berumur enam atau
tujuh puluh tahun?"
"Sudah, kau jangan ngobrol saja," Siu Lian menegur. "Di mana sembunyinya Ho Siong dan Hwie Pek Sin" Di waktu
siang sepera itu, kita tidak nanti lantas binasakan mereka!"
Nyonya muda itu jebikan bibir.
"Di mana mereka itu sembunyi, aku pun tidak tahu!" ia menjawab dengan berani. "Menurut aku, aku lebih suka tidak pergi menyingkiri. Aku memang tahu, di antara kau
ada satu yang ada jadi siau-naynay dari Tek ngoya! Maka
bila kau membunuh orang, polisi tentu tidak berdiam saja, pasti akan menangkap si pembunuhnya!"
Lee Hong gusar, hingga ia maju dan hajar kepalanya
gundik bekas tiehu itu.
Nyonya muda itu menjerit terkena tombak, ia rubuh dan
terus bergulingan, hingga pakaiannya yang indah menjadi
kotor dan rusak, perhiasan di kepala pun terlepas,
rambutnya riap-riapan, dengan air mata keluar deras, ia
menangis dan mencaci kalang kabutan.
"Apa perlunya kau cari aku" Aku toh belum pernah
ganggu siapa juga" Di dalam rumahnya bukan aku seorang
saja yang menjadi gundiknya! Aku menikah Ho Siong
belum ada dua tahun, tadinya ia ada tiehu dan hidup
senang, ia tumpuk kedosaan, semua itu aku tidak tahu! Aku bukan gundik satu-satunya! Malah aku sial sudah menikah
padanya! Maka itu kenapa aku mesti wakilkan ia akan
terima kemplangan"..."
Janda Thio telah lari masuk. Entah bagaimana, ia toh
bisa turun dari kereta keledai. Ia menjadi nekat, dengan tunduki kepalai ia terjang goloknya Siu Lian.
"Apakah kau semua bukannya rampok?" ia berseru,
"Hayo gunakan golok dan tombakmu, barulah bunuh kita ibu dan anak!"
Siu Lian singkirkan goloknya.
"Kita tidak bermusuh denganmu," ia kata. "Kita datang hendak bicara dengan baik pada kau, siapa suruh kau
sambut kita secara ugal-ugalan" Asal kau kasih tahu di
mana sembunyinya Ho Siong dan Hwie Pek Sin, kita akan
lantas berlalu dari sini," ..
"Ya, kasih tahulah!" Lee Hong membentak.
Ie-thaythay dan Ho Siong berbangkit dengan napas
sengal-sengal. "Aku nanti kasih tahu di mana mereka itu sembunyi," ia kata. "Tetapi kau cuma boleh bunuh Hwie
Pek Sin, tidak boleh bunuh looya kita!"
"Kita pun tidak berniat membunuh mereka, kita cuma
hendak bekuk mereka untuk minta keterangan mereka!"
kata Siu lian. "Baiklah," kata nyonya itu. "Belum beberapa hari ini, Hwie Pek Sin terus-terusan ada takut-takuti looya kita. Ia bicara tentang satu nona she Yo yang telah menjadi nyonya mantunya keluarga Tek, bahwa nona itu pandai silat,
bahwa nona itu sedang cari alamat kita, rupanya untuk
membinasakan looya. Looya menjadi kaget dan ketakutan
bukan main. Hwie Pek Sin pun sering kali meminta uang
dari looya, mintanya secara memaksa, katanya untuk
mengundang piausu. Baru ini hari dikasih lima puluh tail
perak, di lain harinya ia minta pula, untuk piausu dan untuk orang-orang di kantor, katanya. Ia pun sebut-sebut tentang nona Jie entah apa Lian, tentang Giok Kiau Liong, katanya mereka itu semua ada sanaknya keluarga Tek, yang akan
bantu nyonya mantu she Tek itu membalas sakit hati.
Looya kita sayang uangnya, tapi ia pun takut. Sebenarnya ia sudah pikir lama buat berlalu dari Pakkhia, apa mau,
umurnya sudah tinggi, dan kakinya sudah kurang kuat
jalan, Lain dari itu. ia juga tak punya tempat akan
umpetkan diri. Maka itu, setiap hari ia ketakutan saja,
setiap malam ia tak dapat tidur nyenyak. Ia takut kau dan kawan-kawanmu nanti kutungi batang lehernya. Tadi pagi-pagi, Hwie Pek Sui datang secara mendadakan, dengan
roman ketakutan, ia ajak dengan paksa untuk looya lari. Ia kata bahwa tadi malam rumahnya sudah diserbu oleh
nyonya mantunya keluarga Tek, bahwa syukur ia sudah
bersiap hingga ia bisa lolos dari bahaya. Meski begitu, ia kata, urusan tidak bisa gampang-gampang menjadi beres,
bahwa sebentar malam, orang tentu akan satroni looya! Ia nyatakan juga, baik orang polisi maupun piausu, tak akan dapat menolong, dari itu, ia ajak looya menyingkir saja.
Karena ia sangat ketakutan, ia terpaksa turut Hwie Pek Sin.
Demikian ia buron dengan ajak aku. Kita tadinya berniat
berdiam di rumahku ini, baru saja tiba, belum sempat
minum teh, Hwie Pek Sin kata bahwa di sini pun tidak
aman, bahwa rumah kita ada terlalu dekat jalan besar dan mudah di carinya, ia ajak kita lari lebih jauh. Looya pun tidak bisa terpisah dari Hwie Pek Sin, oleh karenanya ia sudah turut pergi lebih jauh.
"Mereka pergi ke mana?" Lee Hong memotong.
"Pek Sin bilang bahwa di Pongsan ia ada punya sahabat baik, menyingkir kesana ada paling selamat, maka itu,
mereka sudah lantas berangkat, Lie Mo-ong Ho Kiam Go
yang antarkan. Mereka telah bawa juga semua bungkusanku. Aku diperintah berdiam di sini buat beberapa hari. Hwie Pek Sin kata, meski aku dapat disusul oleh kau, aku tak akan dapat bahaya. Tapi aku tak bisa berpisah dari looya itu! Bungkusan barang-barang berharga dan uang
semua berada di dalam keretanya Lie Toa, bagaimana kalau semua itu kena dirampas oleh Ho Kiam Go" Semua itu
berharga ribuan tail perak. Maka aku pun mesti
menyusulnya! Aku niat mengaso sebentar saja, aku akan
susul mereka ke Pongsan?"
Siu Lian percaya orang telah tidak mendusta.
'Marilah, '" ia ajak Lee Hong.
Nona Yo penasaran, ia masih coba menggeledah, setelah
tidak mendapatkan hasil, baru ia percaya.
"Menyesal kita sudah gerecoki kau,"ia kata pada janda
Thio. "Kau jangan takut, urusan kita ini tidak ada
sangkutannya dengan kau!"
Dengan bawa tombaknya ia ikut Siu Lian pergi keluar.
Di luar mereka naik atas kuda mereka yang segera dilarikan ke arah selatan.
Siu Lian kuatir Hwie Pek Sin dan Ho Siong sembunyi di
lain rumah dikampung itu, ia telah minta Yo Kwi Tong dan Kau Jie Chiu jangan pergi dulu, supaya mereka berdiam di situ buat pasang mata.
Jalanan kuda di selatan itu ada memberikan tanda-tanda
roda kereta, ada gampang akan mengikuti itu, tetapi tidak lama jalanan itu menembus ke jalan besar. Di sini, segala tanda sukar untuk dikenalkan lagi. Selagi Siu Lian dan Lee Hong larikan kudanya, dari belakang mereka disusul oleh si Ular Gunung. Ia larikan kudanya dari jurusan utara.
"Eh, kounio hendak pergi ke mana?" ia tanya dengan teriakannya. "Ho Siong dan Hwie Pek Sin lolos," sahut Siu Lian. "Mereka menyingkir ke Pongsan! Mereka naik kereta, larinya kereta tentulah tidak keras, kita tentu akan sanggup susul mereka!"
Su Poancu tertawa gelak-gelak.
"Sungguh Hwie Pek Sin yang licin!" ia kata. "Apakah ia bisa kabur dengan pinjam jalanan di dalam tanah" Sungguh ia ada Cukat Liang! Oh, tua bangka, lihat akulah yang mau mencoba kamu! Mari, kounio dan siau naynay ikut aku!
Pongsan adalah daerah yang aku kenal dengan baik sekali, di sana pun aku ada punya dua sahabat."
Su Poancu keprak kudanya, hingga sebentar kemudian
sudah dului dua kawannya, akan memimpin jalan.
Siu Lian dan Lee Hong ikuti ini orang kangou yang luar
biasa, yang muncul hanya di saat yang penting.
Tiga ekor kuda dilarikan keras, dari selatan mengkol ke
barat. Setelah melewati tidak ada lima puluh lie, mereka sudah sampai di distrik yang dituju. Di sepanjang jalan
mereka tidak ketemui kereta yang muat Ho Siong dan Hwie
Pek Sin. Tatkala itu sudah jam lima kira-kira. Dari tengah hari, Siu Lian dan Lee Hong belum dahar. Maka setibanya
di dalam kota, mereka lantas cari rumah makan untuk
beristirahat dan dahar. Kuda mereka pun di bawa
kesamping untuk dipiara. Sebaliknya dari pada dua orang
perempuan itu, Su Poancu dengan tidak mampir lagi sudah
lantas pergi buat buat penyelidikan. Siu Lian ada lapar, ia dahar dengan tidak pilih-pilih makanan lagi. Beda dari pada ia, pikirannya Lee Hoong kusut, ia sampai tak bisa kasih turun nasi ke dalam tenggorokannya.
Berselang tidak lama, Su Poancu datang pula bersama
satu sahabatnya, orang asal Capasay juga, tetapi ia bekerja
di Pongsan pada sebuah ijian-obong kecil. Ia biasa disebut Tee-Lie-kui atau Setan Setempat.
"Dua-dua si Ho dan Cukat Kho aku tidak kenal," ia kata, kelika si Ular Gunung minta ia berikan keterangan, hanya tadi ada orang yang datang dari barat sana yang cerita
bahwa di tengah jalan ia lihat satu piausu perempuan ada mengiringi dua buah kereta..."
Siu Lian lantas saja berbangkit.
"Itulah tentu Ho Kiam Go!" ia memotong. "Mereka menuju ke jurusan barat?"
"Ke barat itu, selewatnya Kie Ma Hoo, adalah Laysui dan Ekciu," menerangkan lebih jauh sahabatnya Pasan-coa.
"Dan menuju lebih jauh kebarat ada Seeleng. Kapan kita sudah lewati Seeleng kita akan sampai di Cie-keng-kwan.
Dari sini maju lebih jauh ke barat, adalah Ngociong Nia. Ini adalah satu daerah pegunungan, yang banyak orang
jahatnya."
Siu Lian melengak, sedang Su Poancu, hatinya gentar
sedikit. "Sekarang sudah tidak siang lagi," berkata si Ular
Gunung ini, "maka aku pikir baiklah kounio dari siaunaynay singgah dan bermalam di sini, aku sendiri mau pergi cari Sun toako. Di sini kita berkumpul, segala apa kita akan putusan besok. Kalau di gunung dibarat sana ada banyak
orang jahat, siapa tahu kalau-kalau Lie Mo-ong "-k itu dua tua bangka naik ke gunung untuk bersama-sama menjadi
berandal! Kita berjumlah sedikit, sekarang pun sudah sore, kita tak boleh sembarangan menerjang bahaya."
Lee Hong merogoh sakunya, akan keluarkan uang,
setelah bayar uang makanan, kemudian dengan tidak kata
apa-apa ia bertindak keluar.
Siu Lian mesti susul itu nyonya muda.
Su Kian bersangsi.
"Inilah berbahaya!" kata sahabatnya si Gemuk sambil goyang kepala.
Niatannya Lee Hong ada keras, ia tak gampang-
gampang menerimausul.
"Ha, sudahlah!" kata Su Kian kemudian. "Orang lain, orang-orang perempuan, tidak takut, mustahil aku mesti
jeri!" Lantas ia bertindak keluar akan menyusul, malah ia terus naik atas kudanya.
"Nah, sampai ketemu pula, sahabatku!" ia kata pada sahabatnya kepada siapa ia mengunjuk hormat.
Sahabat itu membalas hormat, tetapi ia mengawasi
dengan tercengang.
Lee Hong dan Siu Lian sudah ada di atas kuda mereka,
maka itu Su Poancu lantas mendahului, guna kembali
membuka jalan. Mereka meninggalkan Pongsan dengan
cuaca telah mulai menjadi guram, karena kalau tadinya
masih ada sinar matahari layung, sekarang sinar itu telah bersalin rupa, menjadi suram, sedang di kejauhan
pepohonan tertampak hitam pekat. Burung burung
perdengarkan suara berisik selagi mereka tebang ke
sarangnya masng-masing, sedang di jalanan, orang-orang
yang hilir-mudik semakin jarang.
Tiga ekor kuda dilarikan terus dengan keras tidak peduli cuaca telah mulai menjadi gelap. Angin malam pun sudah
mulai meniup-niup. Mereka sudah melalui jauh juga.
Sekarang mereka tidak lihat orang di tengah perjalanan.
Masih saja mereka kabur terus, sampai jauh di depan,
mereka lihat dua buah kereta sedang mendatangi.
Lee Hong lihat itu, ia kaburkan kudanya melewati Su
Poancu. "Sabar, siau naynay !" kata si Ular Gunung. "Kedua kendaraan itu mendatangi ke jurusan kita, ke timur. Pasti sekali Cukat Kho tak akan lakukan perjalanan balik?"
Meskipun Su Kian berkata demikian, Lee Hong toh maju
terus, hingga Siu Lian mesti susul ia, si gemuk pun terpaksa menyusul juga.
Kedua kereta di depan jalan ayal sekali, Lee Hong bisa
lekas mendekati, karena si nyonya muda kasih kudanya
kabur. "Tahan!" berteriak nona Yo, dengan suaranya yang nyaring tetapi bengis.
Kedua kereta lantas dikasih berhenti, kedua kusir
agaknya ketakutan. Keadaannya mereka ini pun adalah apa
yang dinamai keadaan longpwee. Muka mereka penuh
balan bekas cambukan, hidung mereka borboran darah,
kepala mereka pecah dan mengeluarkan darah juga, hingga
darah berlepotan ke pakaian mereka. Kereta yang di depan lenyap tendanya, tidak ada penumpangnya juga joknya.
Kereta yang di belakang, tendanya dikasih turun, dari
dalam kereta terdengar suara merintih yang perlahan dan
tak lancar. "Dan mana kau datang?" Siu Lian Lintas tanya. "Apakah kau habis dibegal?"
Dua kusir itu mengawasi dengan bengong, mereka tidak
menjawab atau tidak berani menjawab. Nyata mereka ada
ketakutan. "Jangan takut!" Siu Lian kata pula. "Kita bukannya orang jahat, bicaralah dengan sebenarnya..."
Lee Hong tidak tunggu si kusir bicara, ia hanya pergi ke kereta yang belakang, yang tertutup rapat, dari mana masih saja keluar rintihan... Dengantombaknya ia singkap tenda.
Hingga di dalamnya, dengan tubuh rebah, kelihatan
seorang tua dengan rambut dan kumis ubanan, seluruh
pakaiannya berlumuran darah.
"Ia ini Ho Siong atau bukan?" ia tanya kedua kusir
dengan suara dan roman bengis.
Dua kusir itu masih saja ketakutan, tetapi sekali ini
mereka mengangguk.
"Benar, nyonya," mereka menyahut, "Ia memang ada
Holooya." Lee Hong angkat tombaknya hendak menusuk.
"Tahan!" Siu Lian berseru dan mencegah, dengan
menolak lengan nona Yo.
Tombak itu, yang telah bekerja, mengenai jendela kereta.
"Sabar!" kata pula nona Jie. "Meski kau hendak membalas
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakit hati, kita perlu tanya dahulu keterangannya." Ia lantas menoleh pada kedua kusir.
"Sekarang kau mesti menutur biar terang, siapa yang lukai ini orang tua"'
Dua kusir itu bergemetaran tetapi mereka tidak takut lagi terhadap dua orang perempuan itu. Kusir yang kepalanya
borboran darah, dengan suara yang sengit menyatakan ia
ada penasaran. "Sebenarnya looya kita cari penyakit sendiri!" ia kata, kapan ia mulai dengan penuturannya. "Looya pernah jadi tiehu beberapa tahun lamanya, ia ada punya harta besar, ia
ada punya beberapa gundik dari usia belasan, apamau, ia
sudah tersesat bersahabat dengan Cukat Kho, yang disebut juga Hwie Pek Sin, satu tua bangka. Hampir setiap hari, tua bangka itu takut-takuti looya, yang ia gertak pulang pergi, katanya ada entah hehiap apa, yang kehendaki jiwanya.
Looya ada begitu ketakutan sampai ia menjadi was-was,
hingga ia turut saja apa katanya si tua bangka itu. Begitu ia sudah undang satu piasu perempuan, namanya Li Mo Ong.
Dengan ajak peksam-ie thaythay tadi pagi dari Pakkhia
looya kabur seantero hari. Mula-mula kita menuju ke
rumahnya siau thaythay tetapi di situ kita tidak sampai
singgah sebab si orang she Hwie segera mengajak
melanjutkan perjalanan kebarat. Looya menurut saja, ia
rupanya tak pernah pikir akan diperdaya. Barusan kita
sampai di depan sana, di tanah pegunungan yang sunyi, di situ tiba-tiba Lie Mo-ong perlihatkan dirinya yang sejati.
Nyata ia ada satu penjahat perempuan. Dengan goloknya,
ia telah bacok rubuh pada looya, buntalan siapa ia rampas semua."
"Dan Hwie Pek Sin?" Siu Lian tanya.
"Tua bangka itu berpura-pura ketakutan, ia meratap-
ratap memohon ampun, maka Le Mo ong tidak ganggu
padanya," si kusir cerita lebih jauh, "Kereta kita telah diganggu, kita lantas diusir, disuruh angkat kaki. Nyonya lihat sendiri, kita telah dipersakiti begini rupa dan looya terluka hebat sekali. Kita tidak berdaya, terpaksa kita
berlalu. Hwie Pek Sin tidak turut kita. Sesudah jalan sedikit jauh, kita menoleh. Apa yang dilihatnya Lie Mo-ong dan si tua bangka jalan sama-sama, sambil bicara dan tertawa-tawa. Teranglah sudah, bahwa semua ini ada akal
muslihatnya tua bangka itu yang perdayai looya, hingga
looya dibegal habis-habisan! Memang dari rumah, looya
telah perintah angkut uangnya dan semua barangnya yang
berharga, sedang sam-ie thaythay sengaja ditinggalkan di rumahnya supaya di tengah jalan, enak mereka kangkangi
harta besar itu. Lie Mo-ong telah digunakan sebagai
perkakas untuk perampasan ini. Sekarang mereka itu tentu sedang membagi rampasannya! Toh kabarnya, tua bangka
itu dan looya ada dari persahabatan puluhan tahun."
Di akhirnya keterangan, kusir itu menghela napas.
Su Poancu bersenyum ewa.
"Sungguh bukannya manusia!" kata ia dengan sengit.
Yo Lee Hong hampiri pula Ho Siong, dada siapa ia
ancam dengan ujung tombaknya.
"Kau ceritakan semua kejahatanmu," kata nona Yo. Ia ada sangat gusar tetapi air matanya terus bercucuran.
Lukanya Ho Siong ada berat sekali, ia merintih dan
mengeluh, napasnya empas-empis Beberapa kali ia bergidik.
"Inilah kedosaan, siksaan." kata ia dengan susah.
"Kedosaanku yang pertama adalah seumur hidupku, aku gemar akan paras elok. Disamping itu, aku temaha pada
uang. Dan Yo Siau Cay kasihan ia, ia telah menjadi korban
... Semua-semua adalah Hwie Pek Sin yang memikir, yang
merencanakannya. Aku tidak sangka bahwa di akhirnya,
urusan ada hebat sekali... Oh, aduh, ampuni aku ..."
Kepalanya tua bangka itu teklok, mengenai lantai kereta.
Ia sudah menahan sakit terlalu lama, ia bicara terlalu
banyak, tenaganya habis. Darah pun masih mengucur,
kendati dengan perlahan.
Lee Hong hendak menikam, apamau, tangannya
menjadi lemas sendirinya, hingga ia tak kuat mengangkat
tombaknya, sedang air matanya, bercucuran semakin deras.
Ia kertak gigi, toh sia-sia tetap ia tak mampu gerakkan
tombaknya. Siu Lian lantas menghampiri.
"Sudah, jangan," kata nona ini. "ia sudah terlalu tua, ia terluka begini hebat, ia tentu bakal mampus sendiri, maka baiklah kau kasih ia keampunan."
Lee Hong tarik tombaknya, ia menangis menggerung-
gerung. Nona Jie tarik tangannya Lee Hong.
"Mari kita cari Hwie Pek Sin! Ia barulah tak boleh dapat ampun!" ia kata dengan sengit. "Marilah!"
Siu Lian jalankan kudanya, di sebelah depan.
Lee Hong masih menangis, tetapi ia ikuti nona she Jie
itu. Su Poancu bungkam sejak semula, ia susul mereka
berdua, ia jalan di belakangnya nona Yo.
Mereka menuju terus ke barat.
Lee Hong tidak sampai menikam musuhnya, akan tetapi
setelah menangis sekian lama, hatinya menjadi lega. Ia
telah saksikan keadaannya Ho Siong, yang hanya
menunggu hembusnya napas yang penghabisan, disamping
nasehatnya Siu Lian, hatinya menjadi lemah. Orang pun
sudah akui semua kesalahannya dan telah memohon
ampun. "Ya, Hwie Pek Sin adalah musuhku yang sejati..." ia berpikir. "Ia tentu sembunyi tidak jauh dari sini, jiwanya tinggal menunggui siang atau malam, untuk ---nn habis."
Ketiga kuda jalan terus dalam cuaca yang gelap, di
tengah jalan tidak ada lain orang. Di kiri dan kanan jalanan,
pohon padi yang tertiup angin bersuara laksana gelombang.
Di situ pun tidak ada kampung atau rumah orang.
Di atas langit, mulai terlihat bintang-bintang berkelak-
kelik. "Baik kita jangan maju terus," kata Su Poancu akhirnya, seraya ia tahan lari kudanya. "Kemana kita mesti pergi untuk mencapai tujuan kita" Mana kita tahu Hwie Pek Sin
sekarang berada di gunung yang mana" Walau benar kita
mengetahuinya, dalam gelap seperti ini, cara bagaimana
kita bisa cari padanya" Maka lebih baik kita coba cari
rumah orang, untuk bersinggah."
Siu Lian akur dengan ini usul. Memang di waktu malam
mereka tak bisa pergi dengan tak bertujuan.
"Bagaimana pikiranmu?" ia tanya Lee Hong. "Baiklah kua cari tempat untuk bermalam. Besok pagi kita mulai
mencari pula. Ho Siong sudah dapat keampunan, kau dari
itu tak usah kesusu pula. Aku berani tanggung bahwa Hwie Pek Sin tak akan lolos dari tangan kita!"
Nyata Lee Hong pun setuju, hanya ketika ia menyahut,
suaranya ada lemah dan sedih.
Sekarang mereka jalan dengan perlahan-lahan. Su
Poancu jalan paling depan, matanya celingukan kekiri dan kanan.
Jagat ada sama gelapnya di empat penjuru. Tapi si nona
Jie, yang lerlebih berpengalaman, bisa juga membedakan ini dan itu, umpama ia tahu mana gunung, mana pepohonan
lebat, mana jalanan. Yang matanya paling liehay adalah si Ular Gunung, yang tetap jalan di muka. Dengan ikuti ia ini dua kawan itu tak kesasar.
Dengan sabar mereka jalan terus sampai di sebelah
depannya, mereka dengar anjing menggonggong.
"Kita sudah sampai di rumah orang hati-hati sedikit," Siu Lian pesan Lee Hong. "Kitapun tidak boleh bicara
sembarangan. Tempat ini begini sepi, siapa tahu kalau
penghuni rumah itu ada orang jahat?"
Bertiga mereka maju terus.
Seekor anjing sekonyong-konyong datang menyerang,
tetapi Su Poancu mengusir dengan bentakannya. Ia
bersuara keras dengan maksud supaya tuan atau nyonya
rumah dengar suaranya itu.
Benar saja, baru satu kali ia bersuara, ia lantas lihat
cahaya api, api dari satu lentera. Maka ia segera tahan
lajunya kuda. Gerak-gerakannya api itu ada sedikit aneh, mirip dengan
api memedi... Sebentar kemudian, api itu toh datang dekat. Baru
sekarang Su Poancu mengerti, mengapa api itu rendah
sekali. Nyata itu adalah api lentera yang dibawa oleh satu bocah. Dengan tidak merasa, ia tertawa sendirinya.
"Hai anak kecil, tempat ini apa namanya?" ia tanya bocah itu.
"Tempat kita dipanggil Kau-po," sahut anak itu.
Su Poancu tertawa pula.
"Satu nama tempat yang bagus!" ia kata. "Kau" berarti
"anjing".
"Kau di sini kerja apa" Apakah kau ada jongos hotel?"
Bocah itu menggeleng kepala.
"Bukan. Kita di sini tidak punya rumah penginapan. Aku ada orang ronda dari kampungku..."
"Satu bocah menjadi tukang ronda?" Su Kian menegasi.
"Ayahku ada menjadi kepala kampung di sini. Sudah
satu tahun lamanya aku menjadi peronda. Kampung kita
ada aman, sudah banyak tahun belum pernah ada perkara
pencurian. Aku jalan ronda, untuk jam pertama saja, untuk selanjutnya jam kedua ketiga dan seterusnya, aku tidak
keluar pun tidak menjadikan apa-apa."
Siu Lian dengar jawaban yang rapi itu dan ia
beranggapan mestinya ada dari buah pengajaran, maka itu
ia kutik lengannya Lee Hong.
"Ayahmu ada menjadi kepala kampung adalah bagus,"Su Poancu berkata pula. "Aku ada orang she Lau, hamba dari kantor pembesar di Thaygoan. Sekarang ini aku sedang antar kedua nyonyaku buat pergi ke tempat
jabatannya looya. Tadi kita sudah kesalahan lewati tempat penginapan, di siniu kita kemalaman dan kita tak punya
tempat untuk bermalam, dari itu pergjlah lekas suruh
ayahmu tolong carikan kamar untuk kita!"
"Ayahku ada di dalam," anak kecil ini menyahut, "Ia sakit kakinya, tidak bisa jalan, kau sendiri saja pergi
padanya." "Aku tidak tahu ayahmu tinggal di mana, antarlah aku ke rumahmu!"
Ia loncat turun dan kudanya.
Bocah itu menurut, ia lantas jalan di depan.
Siu Lian dan Lee Hong, dengan masih bercokol di atas
kuda, mengikuti mereka itu.
Kampungku banyak pepohonannya, pantas segala apa
jadi gelap luar biasa. Menurut perkiraan, di situ ada hanya belasan rumah. Di waktu begitu, semua rumah rapat
pintunya. Siu Lian menaruh perhatian istimewa. Ia dapat
kenyataan dari setiap rumah tidak terdapat cahaya api.
Dengan duduk di atas kuda, ia bisa melongok ke tembok,
kepekarangan dalam, yang gelap petang. Jadi di situ tidak ada lain orang kecuali ini bocah yang kelayapan sendirian laksana memedi dan anjingnya...
Suara yang tak sedap didengar datangnya dari luar
kampung, entah itu suara angin yang mendampar pohon
atau suara air selokan gunung.
Mereka tidak usah jalan jauh akan sampai di sebuah
rumah dengan tembokan tanah, rumah yang rendah, mirip
dengan gundukan kuburan yang tinggi. Dari rumah ini juga tidak tertampak cahaya api.
Begitu ia sampai di depan rumah, bocah itu dengan
pegang tetap lenteranya, menolak pintu.
"Ayah, ada tetamu!" ia terus saja memanggil, "Ada seorang lelaki dan dua orang perempuan! Mereka hendak
cari ayah!"
Panggilan itu mendapat jawaban tarikan napas laksana
seekor kerbau kerasnya, kemudian pintu dipentang, dari situ lalu muncul seorang lelaki, melihat roman siapa yang
tertampak disinarnya lentera, membuat Lee Hong terkejut.
Orang itu bertubuh besar, tingginya enam atau tujuh
kaki, kepalanya besar, rambutnya kusut, karena ia berdiri dekat si bocah, ia nampaknya jadi jauh terlebih besar dan jangkung. Dadanya yang lebar, ada telanjang dan tumbuh
bulu yang gompiok. Ia pakai baju dan celana pendek,
bajunya banyak pecahannya seperti celananya yang rubat-
rabit. Kakinya yang tak bersepatu ada besar bagaikan kaki patung Kim Kong. Dan ia berdiri dengan tidak berkata-kata, sepasang matanya yang tajam mengawasi Lee Hong,
Siu Lian dan Su Poancu bergantian.
"Bagaimana?" Su Kian lantas tanya nona Jie. "Kita singgah di sini atau cari lain tempat saja?"
Nona itu bersangsi, hingga ia tak lantas menyahut.
"Di lain tempat tidak ada kampung lagi," si bocah
campur bicara, "janganlah Samwie bersangsi, di kampung
kita ini, semua ada penduduk baik-baik."
Su Poancu tertawa pada bocah itu, yang pandai bicara.
"Anak yang baik, kau pandai omong?" ia kata. "Jikalau kau bilang kau menjadi besar di sini, belum pernah mengembara dan belum pernah merayap mendaki bukit, sungguh aku tak
percaya!" Lalu ia hadapi si ayah, ia kata: "Tuan kepala Kampung, kita telah sampai di sini dan telah ketemu
dengan kau, kita benar-benar ada kemalaman, maka itu,
aku harap sukalah kau berbuat baik untuk kita! Aku
numpang tanya, di kampungmu ini ada rumah dengan
kamar yang nganggur atau tidak. Asal ada sebuah kamar,
sudah cukup! Aku sendiri, boleh numpang tinggal sama-
sama kau disni."
"Disana, di rumahnya si orang she Nio, ada kamar
kosong," sahut si kepala kampung seraya tangannya
menunjuk. "Nanti aku tolong kau bicarakan, supaya kau bertiga bisa pakai kamarnya itu."
"Bagus, pergilah kau tolong bicarakan" kata Su Poancu.
"Cuma ..."
Sambil kata begitu, Pasan coa hunus goloknya dan
sodorkan itu kepada dada orang.
Orang itu terperanjat, ia berkelit mundur.
Su Poancu sambar lentera dari tangannya si bocah,
dengan itu ia suluhi tombaknya Lee Hong dan sepasang
goloknya Siu Lian.
"Kau lihat atau tidak?" ia kata, seraya ia tunjuk kedua senjata itu. "Maka sekarang kau tak usah tanya-tanya kita apa yang kita hendak kerjakan, sudah cukup asal kau
carikan kamar untuk kita. Apabila sang malam lewat
dengan tidak ada kejadian apa-apa, besok kita pasti akan mengasih persen uang kepadamu, tetapi bila sebaliknya,
kau harus tahu sendiri! Kau ada jadi kepala kampung, maka mungkin kua nanti tak pedulikan lagi padamu!"
Si bocah ketakutan, hingga mukanya menjadi pucat, ia
lari bersembunyi.
"Jikalau cara begini kau bicara, aku tak mau peduli lagi!"
kata kepala kampung itu, yang merasa tak puas, "Empat puluh lie jauhnya dari sini ada dusun yang ramai, kau ada mempunyai kuda, pergilah lekas-lekas ke sana! Di dalam
kampungku ini, aku berani tanggung tidak akan terjadi
apapun, hanya, apabila toh terjadi juga bencana, aku tak berani, aku tak sanggup mengganti jiwa!..."
Su Kian lantas tertawa, ia tepuk-tepuk bahu orang.
"Aku mesti bicara terus terang!" ia kau. "Aku dan
kawanku ini baru pernah datang kemari, kita juga baru
berkenalan, aku tak ketahui jelas tentang kau! Baik, kau jangan kuatir, pergi kau carikan kamar!"
Dan ia sodorkan lentera dan kasihkan itu pada kepala
kampung itu. "Silahkan turut aku." berkata tuan rumah itu yang tidak banyak bicara lagi.
Mereka pergi ke sebuah rumah di depan, sesampainya di
depan rumah, kepala kampung itu kasih dengar suaranya
yang nyaring. "Nio Jie! NioJie!"
Atas panggilan itu, dari dalam rumah terdengar suara
jawaban yang disusul oleh keluarnya satu orang sambil
mulutnya menggerutu. Kapan ia buka pintu pekarangannya
dan angkat kepalanya, ia terkejut melihat tamu-tamunya.
"Mereka ini adalah orang-orang yang tak dapat tempat penginapan dan dari itu ingin menumpang di rumahmu,"
berkata si kepala kampung yang memberi keterangan.
"Mereka hendak menumpang untuk satu malam saja."
Nio Jie masih saja bengong, ia awasi kepala kampung itu
dengan mendelong.
"Kau dengar atau tidak?" kepala kampung itu tegasi.
Akhirnya Nio Jie anggukkan kepala.
"Aku mengerti," ia menyahut. "Silahkan masuk! Tapi
kamarku cuma satu dan juga sempit, kalau itu dipakai oleh orang perempuan, tidak ada tempat lagi untuk orang
lelaki..."
"Tidak apa, aku boleh berdiam di luar, meronda," kata Su Poancu
Siu Lian dan Lee Hong telah turun dari kuda mereka, Su
Poancu sambuti itu, untuk di tambat bersama-sama
kudanya sendiri. Kebetulan di dalam pekarangan itu ada
rumput, Su Kian lantas pondong setumpuk guna pelihara
kuda mereka. Nio Jie pergi ke ruangan barat, di mana ada kamar
dengan tembok tanah, kapan sebentar pula ia kembali, ia
ada bawa satu pelita minyak yang nyalanya guram.
Siu Lian lantas tengok kamar itu, yang buruk, dan
temboknya di bagian belakang ada lubangnya, hingga sinar bintang-bintang bisa tertampak dari situ. Di pinggiran,
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nempel pada tembok ada sebuah pembaringan tanah, dan di
tengah-tengah, tanah ada legok, mirip dengan sumur.
Nio Jie seret bangku butut, buat diletaki di tanah legok itu, kemudian ia keluar dari kamar itu sambil berkata pada Siu Lian: "Silahkan tidur! Jangan cela pada kamar bobrok ini meski hujan, tak akan kebocoran, dan di pembaringan
tidak ada kutu busuknya! Umpama samwie pergi ke sebelah
barat sana dan menyewa kamar, tak akan mendapatkan
kamar yang terlebih baik dari pada ini!"
Suara orang ini sama sekali tak halus atau manis budi.
Lee Hong kerutkan alis kapan ia tengok kamar itu.
"Dari pada tinggal di dalam kamar ini, apa tidak lebih baik kita rebah di udara terbuka?" ia kata pada nona Jie.
Siu Lian hampirkan itu kawan, siapa ia awasi dengan
kicepi matanya, dari kudanya ia ambil goloknya, begitu pun tombaknya si nona Yo. Ia bertindak masuk kedalam kamar
yang diikuti oleh Lee Hong.
Nio Jie masih belum berlalu.
"Apakah perlu air?" ia tanya, dari luar. "Air dingim ada saja. Umpama perlu air panas, aku mesti memasaknya
dahulu!" "Tidak usah!" Siu Lian menyahut. Ia tidak puas dengan cara bicaranya itu.
Su Poancu, yang berdiri di depan pintu, lantas berkata:
"Kounio dan siau-naynay boleh tidur dengan nyenyak!
Aku akan berdiam di luar, aku tak akan tidur ... "
Siu Lian tidak menyahuti, ia hanya menghampiri ke
pintu, untuk kedipi mata sebagai tanda untuk si gemuk
berlaku waspada.
Su Kian bersenyum, ia buat main bibirnya, tanda bahwa
ia tak kuatir apa-apa. Setelah itu, ia tarik daun pintu, untuk dirapati.
Lee Hong lihat pintu tak ada kunci atau tapalannya,
terpaksa ia gunakan saputangan buat ikat itu.
"Tidak usah," Siu Lian mencegah. "Hanya sepotong saputangan, apa gunanya" Kau lihat ini!"
Sambil kata begitu, nona Jie menunjuk kepada tembok
yang berlubang.
Lee Hong menoleh mendeluh kapan ia lihat lubang itu.
Ia lantas celingukan buat cari suatu barang guna sumpal
lubang itu. Siu Lian dekati kawannya dan bicara bisik-bisik.
"Apakah kau masih belum tahu?" ia tanya "Ini kamar dan itu dua orang, berikut si bocah semua tak boleh
dipercaya! Kita datang kemari toh untuk ... Apakah kau
sudah mengerti" Lihat saja, tempat ada banyak gunungnya, daerahnya begini luas. Ke mana kita mesti pergi untuk cari Hwie Pek Sin dan Ho Kiam Go" Maka malam ini kita mesti
buat mereka yang menghampiri sendiri pada jaring! Kau
tidurlah, jangan kuatirkan apa-apa. Di sini ada aku! Asal kau tidur dengan terlebih getap, sudah cukup."
Lee Hong mengerti, hatinya tergerak, tetapi ia diam saja, karena Siu Lian pun berdiam, dalam kesunyian ia lantas
dengar suaranya Su Poancu yang sedang bicara pada Nio
Jie dan si kepala kampung, siapa masih belum berlalu. Si Ular Gunung bicara sambil tertawa-tawa, sebagai juga dua orang itu ada kenalan-kenalan lamanya!
Akhir-akhirnya nona Yo duduk atas pembaringan, akan
buka sepatunya tetapi matanya terus ada ditujukan kepada lubang di tembok itu, tombaknya ia letak di sampingnya.
Siu Lian telah buka juga sepatunya, akan tetapi segera
juga ia pakai pula dan ikat dengan kencang. Ikat
pinggangnyapun ia keraskan sedikit.
Melihat sikap kawannya, Lee Hongpun segera pakai pula
sepatunya. Siu Lian mengawasi nyonya muda itu, ia bersenyum.
Di luar tidaklah ada suara orang bicara, apa yang
terdengar adalah suaranya kuda sedang makan rumput dan
nyanyian muluk dan Su Poancoc dengan lagu suara
Shoasay, nyanyian itu terdengarnya semakin lama semakin
jauh, suatu tanda bahwa Su Kian telah bertindak keluar
pekarangan. Dari luar, angin menghembus-hembus ke dalam, nyeplos
dari lubang di tembok, hingga api hampir tertiup padam
sampai dua atau tiga kali. Daun pintu pun tertolak beberapa kali, hingga Siu Lian mesti bangun akan sering kali
rapatkan itu. Lee Hong ngantuk, berulang-ulang ia menguap.
"Kau tidurilah," Siu Lian anjurkan muridnya ini.
Nona Yo coba rebahkan dirinya, tetapi ia merasa sangat
tidak enak tidur di tempat keras seperti itu, berkali-kali ia pejamkan mata, akan kemudian melek kembali, hingga ia
tak bisa tidur tenang.
Siu Lian juga rebahkan diri, sepasang goloknya ia tindih dengan kepalanya, hingga senjata itu merupakan bantal.
Belum terlalu lama, lantas terdengar suaranya menggeros, yang perlahan.
Mendapat tahu orang tidur, Lee Hong jadi tidak berani
pejamkan matanya.
Malam itu ada malam dari musim panas akan tetapi sang
angin telah mendatangkan hawa yang dingin sekali.
Nyamuk pun sangat banyak di dalam itu kamar yang sering
kali terbang berputar-putar di mukanya kedua orang
perempuan itu. Di tanah ada terletak satu mangkok hitam, yang berisi
minyak, dan di dalam minyak itu ada linting kertas yang
menyala, maka itu, kesitu ada berkumpul banyak kutu
halus, yang beterbangan. Api itu ada guram dan kelak-kelik.
Banyak kutu yang mampus terkena api atau terbinasa sebab kecemplung kedalam minyak.
Sang waktu lewat dalam kesunyian, sampai dengan
mendadakan di luar terdengar satu suara nyaring, hingga
Lee Hong terperanjat, ia mencelat bangun, tangannya
meraba tombaknya. Kemudian, di luar jendela, terdengar
lagi suara keras, beberapa kali, hingga nona itu lantas bisa bedakan, suara gedrukannya kaki kuda berulang-ulang.
Suara berbengernya binatang itu pun segera menyusul.
Dari kejauhan, gonggongan anjing pun turut terdengar.
Lee Hong benar-benar menjadi tak bisa tidur. Ia duduk
di atas pembaringan, otaknya bekerja. Segera ia ingat
rumah tangganya di Pakkhia, Bun Hiong, suaminya yang
lemah lembut. "Aku mesti lekas binasakan Hwie Pek Sin, aku mesti
lekas pulang," demikian ia pikir.
Ia ambil ketetapan, selanjutnya ia harus hidup dengan
gembira, buat menjadi satu nyonya mantu yang kenal
kewajiban, akan menjadi isteri yang bijaksana.
Sebentar kemudian, segala apa ada sunyi diluar. Dan Su
Poancu tidak terdengar apa-apa, hingga tidak diketahui ia sudah kembali atau belum.
Dan Nio Jie"
Tiba-tiba Lee Hong ingat tuan rumah yang tak
menggembirakan itu. Mustahil ia itu tinggal sendirian saja di dalam rumahnya itu. Ke mana perginya tuan rumah ini"
Selama itu, kentongan juga tidak terdegar pula. Dan ini
ada mendatangkan kecurigaannya Lee Hong.
Dari lubang tembok, angin menghembus tak putusnya.
Dari situ pun ada tertampak molosnya cahaya bintang-
bintang di langit. Api di tanah sudah kering minyaknya,
hingga api itu tinggal sisanya saja.
Sekonyong-konyong, Siu Lian berbangkit dan terus
duduk hingga Lee Hong terkejut.
Sebagai orang yang masih ... Siu Lian berbangkit dengan
perlahan-lahan.
"Padamkan saja api itu," kata nona itu. "Adanya api itu, membuat kita mengundang nyamuk saja" Lihat, nyamuk
ada begini banyak, sampai aku tak bisa tidur anteng..."
Ia masih meram melek, suaranya pun tak tegas dan
lancar, mirip dengan orang yang kehabisan tenaga.
"Baiklah,"
sahut Lee Hong yang turun dari pembaringannya buat tiup padam api itu.
Sekonyong-konyong Siu Lian ulur sebelah tangannya
sambar tombaknya nona Yo itu, lalu dengan itu tombak,
dengan keras ia menusuk kejurusan lubang di tembok. Ia
bisa menusuk dengan jitu sekali, karena tombaknya tepat
masuk ke dalam lubang.
Berbareng dengan itu, di luar tembok terdengar jeritan
hebat. "Aduh! Aduh, mati aku!"
Lee Hong kaget, hingga ia batal meniup api. Ia loncat
bangun. "Lekas padamkan api!" Siu Lian perintahkan.
Lee Hong lantas dupak mangkok dan apinya ia
injakanjak. Semangatnya jadi terbangun.
Di luar tidak terdengar suara apa-apa.
Berbareng dengan padamnya api, Siu Lian tarik pulang
tombaknya, atas mana di luar terdengar suara badan rubuh, seperti tubuh mayat terguling jatuh.
Kemudian ia serahkan tombak pada Lee Hong, ia sendiri
lantas siapkan sepasang goloknya. Maka sekarang, berdua
mereka berdiri diam di dalam, sambil pasang kuping.
Adalah itu waktu, dari luar, ada terdengar suaranya si
orang Shoasay. "Ada datang banyak orang, beberapa puluh! Semua
datangnya dari atas gunung! Kampung ini seperti sudah
terkurung! Lekas keluar, kita mesti menunggang kuda akan nerobos keluar dari kepungan! Itu bocah cilik adalah yang pergi mengasih kabaran! Si kepala kampung yang tinggi
besar ada kawan penjahat juga! Lekas, lekas!"
Suaranya Su Kian ada memburu.
Siu Lian bertindak keluar, Lee Hong mengintil.
Su Kian putar tubuhnya, ia agaknya hendak siapkan
kuda. Tapi nona Jie mencegah.
"Jangan! Percuma kita menerjang keluar, kita justru bakal terjebak ke dalam tipu daya mereka! Pasti sekali
mereka sudah atur orang-orang bersembunyi, untuk gaet
dan ringkus kuda kita! ... "
"Bagaimana kalau mereka kurung kita dan timpuki kita dengan bahan api menyala?" tanya si Ular Gunung.
"Kita tak usah kuatirkan itu!" sahut Siu Lian, yang ada tabah sekali. Ia lantas suruh Lee Hong dan Pasan coa
mundur untuk bersiap, ia sendiri lalu sembunyi di belakang pintu pekarangan.
Semua mereka berdiam dalam kesunyian, meskipun
suasana ada sangat genting.
Orang tidak usah menunggu lama akan dengar tindakan
kaki dan suara orang bicara satu pada lain.
Siu Lian terus menunggu, dan ia menunggu hingga
orang sudah datang dekat sekali pada pintu, lalu dengan
mendadakan, dengan keras, ia tolak menjeblak kedua daun
pintu dengan ia sendiri membarengi loncat keluar, sepasang goloknya bergerak kekiri dan kekanan. Maka berbareng
dengan itu suara jeritan hebat segera terdengar dan dua
tubuh segera rubuh terbanting.
Nyata ada masih ada orang yang menjadi konco dari dua
korban itu, dan mereka ini, dengan berani lantas menyerang dengan golok mereka.
Siu Lian sambut serangan, tidak peduli musuh ada
berjumlah lebih banyak, ia terus balas menyerang.
Cuma dua atau tiga gebrakan, lantas dua musuh menjerit
dan rubuh. Dua penjahat sudah lantas putar tubuhnya hendak
menyingkir, tetapi mereka dirintangi oleh Su Poancu dan
Yo Lee Hong. Dengan satu tendangan, si gemuk buat
terjungkal satu penjahat. Penjahat yang lain nasibnya
buruk, tombaknya Lee Hong meminta jiwanya.
Lee Hong menjadi lebih bersemangat, terutama karena ia
percaya, Hwie Pek Sin mesti berada di tempat itu. Ia lari pada kudanya, ia loncat naik atas binatang tungggangan itu.
Siu Lian tidak lama ada satu restan musuh, atau lantas
datang kawan-kawan mereka, jumlahnya belasan, tetapi
dengan berani ia lawan mereka itu. Lagi-lagi ia buat rubuh beberapa antaranya.
Beberapa penjahat ada memegang obor, yang mereka
angkat tinggi-tinggi, tetapi atas desakan si nona, mereka mundur. Di antara cahayanya api tertampak nyata Siu Lian unjuk kegagahan, hingga musuh tak mampu rubuhkan
padanya. Diantara musuh, ada yang berteriak-teriak, ada yang
bersuit buat menganjurkan kawannya dan mengasih tanda.
Lee Hong telah rubuhkan lagi dua musuh, sampai
mendelukan ia rasai sengatan angin di belakangnya. Ia
lekas berpaling, seraya gerakkan tombaknya untuk
menangkis, dengan begitu ia luputkan dirinya dari satu
bacokan golok! Tapi sekarang ia hadapi satu musuh, yang
menunggang kuda sepertinya.
"Bukankah kau hendak cari Hwie Pek Sin" Nah, ikutlah aku!" kata musuh perempuan itu, yang suaranya ada suara dari kesengitan, sinar matanya sampai bercahaya. Sesudah itu, ia kaburkan kudanya menuju keluar kampung.
"Siapa takut kepadamu!" berseru Lee Hong, yang hatinya panas.
Dengan tak gentar sedikitpun, Lee Hong benar-benar
kejar musuh itu.
Su Poancu dan Siu Lian sedang lawan masing-masing
belasan musuh, mereka tidak dapat kesempatan untuk
cegah nona Yo. Lee Hong kabur belum jauh, ia telah kena tertipu oleh
musuh, yang benar-benar ada atur orang bersembunyi, yang menggunakan tambang. Kudanya sedang lari keras, waktu
ada tambang yang melintang. Binatang itu kaget dan
berjingkrak, maka tidak tempo lagi penunggangnya merosot jatuh dari punggungnya. Tapi kuda ini ada binal, ia kabur terus ke depan, meninggalkan penunggangnya yang rubuh.
Meskipun ia jatuh tetapi tubuhnya Lee Hong ada enteng
dan gerakannya sebat, ia bergulingan begitu lekas tubuhnya mengenai tanah, kemudian dengan sama sebatnya, ia loncat bangun.
Di kedua samping ada tiga penjahat, mereka milihat
orang rubuh, mereka lompat menubruk, tetapi Lee Hong
sambut mereka dengan ujung tombaknya, hingga satu
penjahat kena tertikam, menjerit dan badannya terbanting, hingga dua yang lain jadi merandek.
Lee Hong lari ke depan, untuk susul kudanya.
"Kejar padanya!" berteriak dua penjahat yang sudah
lantas lari menguber.
Sesudah lari belasan tindak, Lee Hong berhenti seraya
putar tubuhnya. Ia layani dua pengejarnya, belum sampai
lima atau enam jurus, ia sudah dapat menumbak rubuh lagi salah satu musuh, hingga yang satunya, dengan ketakutan
lantas kabur. Nona Yo tidak mau ubar musuh, sebaliknya, ia terus
susul kudanya. Ia telah lari beberapa puluh tindak, ketika ia tangkap suara tajam dari si orang perempuan tadi. Suara itu datangnya dari tempat sedikit jauh, terbawa oleh angin.
"Eh, mantunya keluarga Tek," demikian suara itu,
hinaan atau tantangan. "Kalau kau ada punya nyali, mari susul aku! Di depan sana, Cukat Kho Hwie Pek Sin sedang
menantikan kau!"
Tantangan itu disusul dengan cacian yang tak sedap
untuk didengar.
Lee Hong gusar, tetapi ia lari menyusul kudanya, yang ia ketemukan sesudah ia lari sedikit jauh. Kuda itu pun lari balik dan ia hampir saja kena ditabrak. Ia tahan itu binatang dengan lintangkan tombaknya.
Kuda itu kepunyaannya Yo Kian Tong yang sudah
dipelihara lama dan jinak sekali dan mengerti juga, kapan ia lihat jalannya terhalang tombak, ia lantas berhenti berlari.
Lee Hong sambar lesnya dan loncat naik.
Kembali terdengar suaranya si orang perempuan,
suaranya lebih dekat dan lebih nyata daripada tadi, rupanya ia menyampirkan. "Eh, mantunya keluarga Tek! Kalau kau
punya nyali, man susul aku! Di depan sana, Cukat Kho
Hwie Pek Sin sedang menantikan kau!"
Lee Hong sebenarnya bersangsi, tetapi ia panas bukan
main. Ia juga pikir, "Bila aku tidak masuk ke kedung
harimau, cara bagaimana aku bisa dapatkan anak macan?"
Itu ada pepatah yang ia dapat dengar dari suaminya, ketika di waktu
senggang suami itu
bercerita padanya, menceritakan tentang Pan Tiau yang gagah.
Demikian, dengan melupakan bahaya, ia kaburkan
kudanya. Kalau tadi ia menantang, sekarang perempuan itu
larikan kudanya, akan menyingkir dari pengejarnya. Ia
sengaja lari jauh sejarak lepasan panah, sia-sia saja Lee Hong coba menyandak, hingga nyonya Bun Hiong jadi
bertambah penasaran.
Dengan tidak merasa, sekarang mereka sudah terpisah
jauh dari kampung.
Lee Hong bersendirian saja, juga jalanan ada sukar,
karena malam ada gelap. Ia tak tampak Ho Kiam Go, kalau
ia bisa menyusul, itu disebabkan sering kali ia dengar
Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suaranya tantangan dan cacian. Dalam keadaan sebagai itu, mau atau tidak, ia toh berlaku waspada. Kudanya pun ia
tak kasih lari keras lagi.
Sang waktu berjalan tanpa terasa. Akhir-akhirnya
kelihatan cuaca mulai berubah. Samar-samar mulai
tertampa cahaya terang dari sang fajar. Di kiri dan kanan sawah-sawah mulai tertampak. Dari atas bukit, kelihatan
uap atau halimun.
Lie Mo-ong Ho Kiam Go tidak kelihatan mata
hidungnya, tidak terdengar juga suaranya yang memanaskan hati.
Jalanan ada demak, bekas embun, hingga di situ ada
tertampak sedikit tapak.
Sudah tentu Lee Hong tidak tahu ia berada di mana. Di
sekitarnya itu tidak ada kampung atau rumah orang.
Jalanan pun ada sempit, semakin lama semakin menaik.
Lee Hong tahan larinya kuda, ia singkap rambut di
jidatnya. Ia mulai perbaiki jalan napasnya.
Tiba-tiba terdengar pula suara yang dikenal:
"Mantunya keluarga Tek. Si orang she Hwie ada di sini.
Jikalau kau berani, mari sini. Bukankah kau hendak buat
pembalasan?"
Suara itu datangnya dari sebelah atas. Karena mereka
ada di tanah pegunungan, suara itu pun berkumandang di
selat-selat. Lee Hong menoleh ke kiri, dongak ke atas. Ia dengar
suara datangnya dari jurusan itu. Di jalanan yang kecil, di sebelah atas ia, ia tampak seorang sedang berdiri. Ia masih belum bisa melihat nyata, tetapi ia duga orang itu mestinya
ada Ho Kiam Go. Dan orang itu asyik melambai-lambaikan
sapu tangannya yang putih.
Meluaplah amarahnya Lee Hong. Ia keprak kudanya
untuk menyusul naik.
"Kau turunlah!" ia menantang, selagi ia datang
mendekati. Tapi orang itu berlari-lari naik, setelah beberapa tindak, ia berhenti dan balik badanya. Ia perdengarkan tertawanya yang mengejek.
"Mari, mari naik ke sini! Aku tidak akan bunuh padamu!
Aku malah akan carikan kau satu suami lain, satu suami
yang ada jauh terlebih ganteng dari pada puteranya si orang she Tek!"
"Cis," Lee Hong berseru seraya ia keprak pula kudanya.
Ho Kiam Go tidak lari lagi, meskipun ia lihat orang
memburu ke jurusannya. Ia menantikan dengan siap sedia
dengan goloknya.
Lee Hong mendekati kira-kira dua puluh tindak dari
musuh itu, ia tahan kudanya alkan loncat turun, setelah itu ia maju menghampiri.
Kiam Go ulap-ulapkan saput angannya yang putih.
"Tahan dulu," ia berkata. Ia tertawa. "Jikalau aku
maukan jiwamu, dari siang-siang tentu aku telah gunakan
senjata rahasia. Sebenarnya aku sangat sayang padamu ...
Aku tahu, kau adalah adik perempuan dari Tantoo Yo siau-
thayswee. Maka dengan begitu, kau dengan sendirinya ada
orang kaum kangou juga. Mengapa kau kesudian berdiam
di rumahnya keluarga Tek buat jadi nyonya mantu yang
terpingit" Aku merasa tidak puas akan nasibmu itu! Baiklah kita angkat saudara menjadi encie dan adik, lantas kau ikut aku ... Di mana saja kita sampai, aku tanggung kau bakal
dapat makan dan pakaian cukup, bahkan ada orang lelaki
yang akan temani kau ..."
Kiam Go mesti berhenti mengoceh, karena tombaknya si
nona Yo telah menikam ia. Karena ia telah bersiap, ia bisa tangkis serangan itu.
Lee Hong tidak pedulikan kata-kata itu, ia menyerang
pula. Kiam Go masih saja tertawa dan bersenyum, waktu ia
menangkis berulang-ulang, tetapi selang beberapa jurus,
sikapnya lantas berubah.
Dalam sengitnya, Lee Hong telah unjuk permainan
tombaknya, yang menyambar-nyambar laksana ular
berbisa, hingga Kiam Go mesti melayani dengan sungguh-
sungguh. Nyonya Thio Giok Kin akhirnya insyaf bahwa
goloknya ada terlalu pendek guna dipakai melawan tombak.
Beberapa kali ia lolos dari tikaman berbahaya, satu kali hampir saja iganya kena ketumblas.
"Hei, budak celaka, budak hina!" akhir-akhirnya ia mendamprat. Ia kaget dan berbareng gusar.
Lee Hong ada sangait mendongkoli, tetapi ia masih bisa
kendalikan diri buat tidak membalas mencaci, hanya
dengan tetap dan sungguh-sungguh, ia menyerang dengan
tombaknya. Karena ada sukar untuk mengenai tubuh orang,
lantas ia gunakan "Hong-tiam-tau", atau "Burung hong
angguk-anggukkan kepala" untuk tusuk tangan musuh.
Ho Kiam Go menjadi repot sekali, jangankan akan
membacok musuh, untuk melindungi lengannya saja sudah
kewalahan. Kedua matanya hampir kabur sebab mesti
awasi dengan tajam pada ujung tombak musuh yang datang
berulang-ulang dan dengan gesit sekali. Tentu saja ia tak
mau menempuh bahaya, maka sebentar kemudian ia putar
tubuhnya dan lari, naik keatas.
Lee Hong tidak mau mengerti, sambil berlompat ia
mengejar. Ia bersenjata panjang, ia ada terlebih menang.
Maka ketika ia hampir menyandak, ujung tombaknya
menyambar kepala musuh.
Kiam Go kaget, sambil menjerit ia tunduk akan kelit
tusukan itu. Walaupun begitu, ia tidak mau menyerah
kalah, tidak leluasa menggunai goloknya yang pendek, ia
lantas menimpuk dengan sebatang piau.
Nyonya Bun Hiong lihat gerakan musuh, ketika piau
dekat menyambar dirinya, ia mengegos hingga senjata
rahasia itu lewat di sisinya, terus menghajar batu di
belakang ia. Terpaksa ia mundur untuk bersiap dari
serangan lebih jauh dari musuh itu.
Kiam Go gunakan ini ketika akan lari terus, sesampainya
di atas, ia berbalik dan menyerang pula. Ia melepas
beberapa batang piau dengan beruntun.
Syukur Lee Hong tidak mengejar dan telah bersiap.
Dengan putar tombaknya, ia bela diri. Dua batang piau ia sampok jatuh, tiga yang lain ia kasih lolos.
Setelah itu, Kiam Go lari pula. Kapan nona Yo
menyusul sampai di atas, ditempat barusan musuh melepas
piau, musuh itu sudah lenyap entah ke mana, bayangannya
pun tak tertampak lagi.
Lee Hong menoleh ke sekitarnya, segala apa ada sunyi.
Karena ia berada ditempat yang tinggi, sekarang ia lihat cahaya matahari, yang mulai muncul dari arah timur, ia
memandang ke segala penjuru sambil perbatiki napasnya
yang memburu. Kemudian, dengan perlahan-lahan ia
bertindak turun. Beruntung kudanya tidak ada yang ganggu
dan binatang itu pun tidak kabur. Ia tuntun kudanya, ia
jalan naik pula. Ia berlaku waspada, ia kuatir nanti kena di bokong dengan piau.
Kapan ia sampai di atas, ia bisa lihat tanah yang datar, yang ada pepohonannya disana-sini. Jauh di bawah, ia lihat sawah, yang padinya tertiup angin bergoyang-goyang
seperti gelombang laut.
Sekarang Lee Hong, naik pula atas kudanya. Ia baru
lewat satu tanjakan, lantas di depannya ia lihat Ho Kiam Go. Tapi perempuan itu terus lari. Ia larikan kudanya
mengejar tetap dengan hati curiga.
Jalanan menanjak, tidak lebar dan juga tidak rata,
sesudah melewati tanjakan yang kedua, jalanan itu lalu
mudun ke bawah. Di bawah adalah lembah yang rata.
Tiba-tiba kelihatan banyak burung berterbangan.
Lee Hong curiga, ia kasih kudanya jalan pelahan-lahan
sekali. Di lembah itu tidak ada orang, Ho Kiam Go pun
tidak tertampak, entah ke mana perginya.
Selagi nona Yo menduga-duga, dengan matanya melihat
ke sana-sini, tiba-tiba Ho Kiam Go muncul pula sedikit jauh di depan ia, di tempat yang tinggi. Di situ, si perempuan jahat kibar-kibarkan sapu tangannya yang putih. Ini
rupanya ada suatu tanda rahasia, karena dari lembah, dari satu pengkolan, lantas muncul belasan orang, semua
dengan dandanan ringkas dan menyekal golok dan toya.
Dan mereka itu berliari-lari naik.
"Lekas turun dari kuda, nona manis!" demikian suara mereka itu selagi mereka mendatangi dengan cepat.
Dan Kiam Go pun berpekik.
"Eh, nyonya mantu, apakah kau masih tidak mau
lepaskan tombakmu?"
Lee Hong gusar sekali, ia larikan kudanya menyerbu
rombongan orang jahat itu. Tiga di antaranya yang maju
paling depan sudah lantas menusuk dengan tombak mereka.
Hanya, nyata sekali, serangan mereka ada sangat teratur.
Lee Hong kalah tenaga tetapi permainan tombaknya baik
sekali, tidak heran, berselang belum ada sepuluh jurus ia sudah melukai dua musuh, hingga sisanya menjadi jeri.
Kiam Go rupanya lihat pihaknya keteter, sekarang ia lari turun menghampiri.
"Jangan takut, jangan takut!" ia berseru-seru untuk menganjurkan. "Adakah kau dapat disebut raja-raja dari gunung dan hoohan bila kau jeri terhadap seorang
perempuan" Mari maju!"
Karena anjuran ini, orang-orang jahat itu jadi
bersemangat pula. Dalam keadaan sebagai itu, Lee Hong
tidak kenal takut, orang boleh kurung ia tetapi ia tetap berniat dengan tenang tetapi hebat, ia tak ijinkan ada
senjata musuh yang mampir pada tubuhnya.
Tombak adalah senjata yang dinamai jagonya antara
alat-alat senjata sudah begitu, Lee Hong mainkan ilmu
tombak Lee-hoa-chio dari keluarga Yo menurut ajarannya
Yo Kian Tong, maka itu meskipun musuh ada berjumlah
jauh terlebih besar, ia tetap bisa tandingi mereka itu.
Di bawah anjurannya Ho Kiam Go, kawanan penyerang
itu merangsek dengan hati-hati, maka itu, sekarang tidak ada satu yang bisa ketikam atau lukai. Secara begitu, Lee Hong bertempur dengan seperti mensia-siakan tempo. Ini
ada berbahaya baginya. Ia tetap ada seorang perempuan
yang tenaganya kurang, keuletannya pun terbatas.
Begitulah, sesudah melalui dua puluh jurus, nona Yo
mulai lelah. Tapi ia keraskan hati dan mempertahankan
diri, perlawanannya tidak menjadi lebih kendor.
Selagi pertempuran berjalan seru, dari jalanan yang tadi sekarang ada muncul lagi beberapa orang, melihat siapa
Kiam Go lantas berteriak-teriak. "Lekas, lekas! Lekas membantu! Ini perempuan licin mesti dibekuk!"
Lee Hong lihat mereka itu, yang semua bekal senjata, ia
terkejut. Ia berkuatir juga, sebab jumlah musuh jadi
bertambah, ia sendirian dan ia sudah mulai lelah.
Mereka itu, kira-kira dua puluh orang, datang sambil
berlari-lari. Akan tetapi, sebelum mereka sampai, mereka telah perdengarkan suara mereka, ialah kata-kata rahasia yang Lee Hong tidak dapat mengertikan. Hanya sekarang ia bisa lihat, mereka semua ada mandi keringat, napasnya
sengal-sengal, dan ada juga yang kepalanya borboran darah.
Rupanya mereka ini mendatangi karena kabur.
Kata-kata yang Lee Hong bisa tangkap adalah "Jie Siu
Lian". Kata-kata ini ada memberi harapan kepadanya.
Mukanya Ho Kiam Go menjadi merah apabila ia dengar
itu, terang ia ada sangat gusar, karena segera terdengar suaranya yang hebat. Kawanan yang tak punya guna dan
bernyali kecil! Kecewa sekali kau telah menduduki Okgu
San bertahun-tahun. Apakah Ciau Toa Hou, itu makhluk
celaka, turut kabur juga" Mari lekas, mari bantu kita.
Apakah juga ini bocah perempuan kau tak mampu bekuk?"
Lee Hong ada sangat tidak puas akan dengar itu cacian,
tetapi disebutnya nama Jie Siu Lian ada satu obat mujarab bagi ia, semangatnya jadi terbangun dengan segera. Ia
segera buat perlawanan dengan sengit sekali, tak peduli
jumlahnya musuh telah bertambah. Sekarang ini, kecuah
membela diri, ia cari ketika juga untuk balas menyerang.
Sekarang tombaknya agaknya bagaikan naga di antara
rombongan ikan kecil.
Segera juga tiga orang kena dilukai dengan beruntun,
hingga mereka itu pada sipat kuping, menyusul mana, yang lain-lain kabur tunggang langgang. Mereka ini jeri
sendirinya, sedang namanya Jie Siu Lian buat hati mereka gentar sejak tadi. Mereka itu kabur ke jurusan barat.
Akan tetapi, tidak semua penjahat itu kabur. Masih ada
tiga yang terus buat perlawanan, satu antaranya ialah Kiam Go. Dan orang she Ho adalah yang paling sengit, goloknya menyerang berulang-ulang dengan hebat.
Lee Hong terus buat perlawanan, meski ia sekarang
menghadapi cuma tiga lawan, ia toh main mundur. Kecuali
mau berlaku hati-hati, ia pun merasa lelah.
Selagi perkelahian berjalan terus, dari tempat dari mana tadi serombongan penjahat muncul, sekarang kelihatan
munculnya satu orang dengan tubuh tinggi besar dan
tangannya bersenjatakan golok. Kapan Lee Hong dapat
lihat itu orang, ia berseru sekeras-kerasnya. "Sun toasiok, lekas! Lekas bantui aku."
Dan Ngo-jiau-eng Sun Ceng Lee, yang muncul secara
tiba-tiba, telah jawab teriakan itu. Dengan lekas ia sudah datang dekat, goloknya dibulang-balingkan.
Ho Kiam Go lihat musuh dapat bantuan, dengan tidak
buang tempo barang sedikitpun, ia tinggalkan Lee Hong
dan sipat kuping.
Kapan Ceng Lee sampai, celakalah itu dua musuh yang
bandel. Lee Hong seorang mereka belum bisa rubuhkan, apa
pula sekarang datang si Garuda Berkuku Lima, yang ganas.
Dan Ngojiaueng tidak mengulur tempo akan bacok rubuh
Panji Wulung 3 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 21