Pencarian

Serangan Nekat 2

Animorphs - 5 Serangan Nekat Bagian 2


pasti akan dihantui mimpi buruk selama sebulan penuh.
kataku. Aku mulai berubah.Tapi sekonyong-konyong aku kembali
merasakan tekanan pada cangkangku. Dan capitku mendadak bisa bergerak bebas.
Seseorang, atau sesuatu, telah melepaskan karet gelang dari capitku.
Dan kemudian aku merasakan kehangatan menyelubungiku dari segala arah.
Uap panas. < Oh, gawat.> Chapter 8 aku menjerit tanpa bersuara.
Aku tahu di mana aku berada! Aku berada di tangan seseorang yang hendak
mencemplungkan diriku ke dalam panci berisi air mendidih.
Dan mungkin karena aku begitu kalang kabut, atau mungkin juga hanya karena
kebetulan, mulut manusiaku termasuk yang pertama terbentuk kembali.
Bibir mungil yang terbuka, muncul sebagai pengganti mulut lobster.
Tapi berhubung paru-paru dan pita suaraku belum normal, aku tetap belum bisa
bersuara. Ternyata aku tidak perlu membuat suara apa pun. Bibir yang tiba-tiba muncul pada
seekor lobster, sudah cukup membuat wanita yang sedang memegangku kaget setengah
mati. Sekonyong-konyong aku dilepaskannya.
Aku jatuh. Capitku sempat tersangkut pada tepi panci. Aku bergelantungan pada
tepi panci sementara ekorku melengkung ke atas, hanya beberapa senti dari
permukaan air yang mendidih.
Aku tumbuh dengan cepat dan menjadi makhluk sebesar bayi. Setengah tubuhku
berupa daging, setengahnya lagi terbungkus kulit yang keras. Kedua antene
tertarik masuk ke keningku. Aku mendengar bunyi berderak ketika tulang
punggungku terbentuk kembali.
Dengan mengerahkan segenap tenaga, aku melontarkan diriku melewati tepi panci.
Aku mendarat di atas kompor, dengan perut menghadap ke atas.
Cepat-cepat aku berguling menjauhi hawa panas yang kurasakan.
Aku jatuh, tapi tidak terlalu jauh. Kini tubuhku sudah sebesar anak balita, dan
aku sudah lebih mirip manusia daripada lobster.
Namun penampilanku masih mengerikan, dengan delapan kaki menyembul dari bagian
dada dan perut. Indra pendengaranku yang tiba-tiba pulih membawa kejutan tersendiri untukku.
"Ahhhhhh! Ahhhhhhh! Ahhhhhhh! Ahhhhhh! Ahhhhhhhh!"
Seseorang menjerit tak terkendali.
Kakiku terbentuk lagi! Aku berdiri tegak. Aku memandang berkeliling dan melihat
seorang wanita. Sebenarnya lumayan cantik, hanya saja matanya terbelalak karena
ngeri. Dan ia juga terus menjerit-jerit, tanpa henti.
"Ahhhhhh! Ahhhhhhh! Ahhhhhh!"
Aku melirik ke samping dan melihat kantong plastik penuh es. Di dalam kantong
itulah kami - para lobster - dibawa dari supermarket. Kini kami berada di dapur
wanita itu. Jake sudah hampir berupa manusia utuh. Sebelah kakinya masih di dalam kantong
plastik. Lalu kedelapan kaki lobsternya masuk ke dalam dada. Disusul mata
manusianya. Sementara itu Ax merupakan persilangan Andalite dan lobster yang betul-betul
menjijikkan. Tapi di depan mataku, sisa-sisa tubuh lobsternya berangsur-angsur
lenyap. Sayangnya, perubahan ini tidak membantu menenangkan wanita yang menjerit-jerit
histeris itu. "Jangan kuatir, Bu," kataku. "Kami takkan menyakiti Ibu."
"Tenang saja, Bu," Jake menambahkan. "Tenang saja."
Pandangan wanita itu beralih dari aku ke Jake, lalu ke Ax. Ia masih terus
berteriak-teriak. "Ahhhhhh! Ahhhhhhh! Ahhhhhhh!"
"Ibu tidak perlu takut," ujarku. "Kami sudah mau pergi. Ibu tidak perlu takut."
"Ta... ta... tapi kalian lobster!" ia akhirnya berkata dengan susah payah.
"Yeah, ini memang agak aneh," kataku. "Tapi Ibu tidak perlu bingung. Ini cuma
mimpi kok." "M-m-mimpi?" "Ya, Bu. Hanya mimpi," Jake menegaskan.
Aku menoleh ke arah Ax. "Kau sudah bisa menjelma lagi menjadi manusia?"
"Aku bisa langsung berubah lagi," sahutnya. Dan itulah yang dilakukannya.
"Kami akan pergi sekarang," kata Jake. "Ibu boleh bangun nanti. Tapi sebaiknya
jangan beritahu siapa-siapa tentang mimpi ini."
Wanita itu menggelengkan kepala keras-keras.
"Sebab Ibu bisa mendapat kesulitan dengan... dengan orang-orang tertentu. Lagi
pula, bisa-bisa Ibu dianggap tidak waras."
Wanita itu mengangguk-angguk penuh keyakinan.
Wujud Ax sudah hampir seperti manusia. Kami semua mengenakan baju ketat.
Penampilan kami memang jadi agak konyol, tapi apa boleh buat.
Kami menuju ke pintu. Tiba-tiba aku melihat tiga ekor lobster yang masih di
dalam kantong plastik berisi es. Kelihatannya wanita itu bermaksud menyiapkan
makan malam untuk enam orang.
"Eh, Bu?" aku menyapanya. "Saya ingin minta bantuan Ibu. Tolong Ibu pergi ke
pantai dan lepaskan ketiga lobster itu. Oke?"
Chapter 9 JAKE dan aku bermain video game di mall. Kali ini ia kalah telak. Perhatiannya
terbagi karena ia sedang makan. Yang dimakannya adalah serangga besar berwarna
merah dengan sepasang capit raksasa.
Aku sudah berusaha mencegahnya. Aku bilang ia akan sakit perut kalau memakan
binatang itu. Tapi ia tidak menghiraukan saranku.
Lalu, tiba-tiba, perutnya meledak. Meledak begitu saja. Isi perutnya berhamburan
ke segala arah. Delapan kaki labah-labah besar muncul. Seolah-olah ada sesuatu
di dalam tubuh Jake yang hendak merangkak keluar.
Aku berusaha lari, tapi uap panas mengambang di mana-mana.
Aku terbakar! Aku mencoba lari, tapi kakiku lenyap, digantikan oleh ekor yang menyentak dan
mengejang. Aku menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya.
"Marco, Marco, bangun!"
Mataku mendadak terbuka. Gelap. Seseorang memegangku.
Aku bingung "Mom?" tanyaku.
Hening. Lalu terdengar suara, "Bukan."
Otakku kembali ke alam nyata. Aku sedang duduk di kamarku.
Di tempat tidurku sendiri. Ayahku duduk di tepi tempat tidur. Ia tampak cemas
dan sedih. "Ini Dad," katanya.
Aku bermandikan keringat dingin.
"Rupanya kau bermimpi buruk," ujar ayahku.
"Yeah," sahutku dengan suara gemetaran. "Sori kalau aku membangunkan Dad."
"Dad belum tidur."
Aku melirik weker di samping tempat tidur. Angkanya yang berwarna merah
menunjukkan pukul 03.18 dinihari. Aku tidak perlu bertanya kenapa ayahku belum
tidur. Ia biasa bangun sampai larut malam. Kadang-kadang ia menonton TV. Kadang-
kadang ia hanya duduk sambil termenung-menung.
Begitulah Dad sejak Mom meninggal.
Penampilan Dad berbeda dariku. Tubuhnya lumayan tinggi. Selain itu, kulitnya
juga lebih pucat, dan matanya berwarna cokelat muda. Ibuku keturunan Spanyol,
dengan rambut dan mata berwarna sangat gelap. Semua orang bilang aku mirip
ibuku. Aku tahu itu memang benar, sebab kadang-kadang kalau Dad sedang teringat
pada Mom, ia akan menoleh ke arahku dan menatapku seakan-akan aku tidak ada.
Seakan-akan aku cuma foto orang lain.
"Aku baik-baik saja," ujarku. "Cobalah tidur sedikit, Dad."
Ia mengangguk. "Yeah, oke. Ehm, Marco, kau tidak bermimpi tentang dia, bukan?"
"Bukan, Dad. Kenapa?"
"Sebab, begitu bangun kau memanggil, 'Mom.'"
"Mungkin karena aku masih bingung."
"Apakah kau pernah bermimpi tentang Mom?"
"Kadang-kadang," aku mengakui. "Tapi bukan mimpi buruk."
Dad berusaha tersenyum. "Tentu. Tentu bukan mimpi buruk."
Ia meraih foto ibuku yang kupajang di meja di samping tempat tidur. Kemudian
wajahnya menjadi berkerut-kerut penuh duka.
Roman muka inilah yang setiap hari kulihat selama dua tahun terakhir.
Sebagian dari diriku geram melihat Dad seperti itu. Sebagian dari diriku ingin
berkata, "Sudahlah, Dad. Relakanlah Mom. Mom sudah tidak ada. Dia pasti tidak
ingin kita sedih terus-menerus."
Tapi aku tak pernah sanggup berkata begitu. Setelah beberapa menit, Dad berdiri.
Ia masih berkomentar bahwa aku tidak perlu takut pada mimpi buruk, lalu keluar
dari kamarku. Aku tahu ia akan duduk seorang diri di depan TV, sampai akhirnya
tertidur di kursinya. Aku berbaring dalam gelap sambil berusaha melupakan mimpi tadi. Tapi bagaimana
caranya melupakan mimpi buruk yang benar-benar terjadi"
**** Ax memamerkan rangkaian komponen elektronis yang telah selesai
dipasangnya. Kelihatannya seperti remote control TV yang meledak, tapi ukurannya
lebih kecil. Satu hari telah berlalu. Kami berkumpul di bawah pohon besar di tengah hutan.
Jake dan Cassie membawakan berbagai peralatan untuk Ax - obeng, solder, bor
bertenaga baterai, palu, kunci Inggris, tang, dan tentu saja semua komponen
elektronis yang kami sembunyikan sebelum insiden lobster di supermarket.
Rachel membawa sandwich. Aku membawa enam kaleng Pepsi.
Cuaca hari itu cukup menyenangkan, hangat, dan cerah.
Aku memang butuh hari yang indah. Aku butuh sinar matahari. Semalam aku tidak
bisa tidur nyenyak. "Oke, Ax," ujarku. "Jadi, alat apa ini sebenarnya?"
kaum Yeerk,> ia berkata dengan bangga.
mengelabui mereka. Waktu itu kami mengirim instruksi palsu.>
"Dan sekarang kita cuma perlu transponder Z-space," Jake bergumam dengan lesu.
Kelihatannya Jake juga masih terpengaruh dengan peristiwa lobster itu. Ia agak
senewen dan uring-uringan. Tidak seperti Jake yang kukenal selama ini.
"Tapi karena kita tidak punya transponder Z-space, alat ini bisa dibilang tidak
berguna," komentar Rachel.

Rachel geleng-geleng kepala. "Jadi, untuk apa kita berkumpul di sini?"
Jake angkat bahu. Cassie menghampirinya dan menepuk bahunya pelan. Seketika
roman muka Jake yang semula tegang agak mengendur.
Tapi aku sendiri tetap belum terhibur. "Hmm, dua abad dari sekarang manusia
mungkin sudah menemukan zero space dan bisa membuat transponder. Tapi sementara
itu aku mau makan sandwich dulu."
Tobias meluncur di antara pohon-pohon, nyaris tanpa suara. Ia hinggap di salah
satu dahan yang rendah. ia melaporkan. tidak bagi kalian. Tapi kira-kira setengah kilometer dari sini, ada elang emas.
Untuk sementara aku mau bersembunyi sambil berharap elang itu segera pergi.>
Bukan untuk pertama kali aku menyadari betapa keras hidup yang dijalani Tobias.
Ia menanggung risiko sama seperti kami. Tapi, sebagai elang ekor merah, ia juga
harus menghadapi bahaya yang mengancam di dunia hewan. Misalnya, dimangsa oleh
elang emas yang lebih besar dan lebih cepat.
tanya Tobias.
"Kita punya pemancar sinyal darurat yang sama sekali tidak berguna," kata
Rachel. "Kita butuh transponder yang baru bisa diciptakan manusia dua abad
mendatang." tanya Tobias.
"Ada apa dengan Chapman?" aku balik bertanya. Chapman adalah wakil kepala
sekolah kami. Ia juga salah satu Pengendali yang memiliki kedudukan tinggi.
Semula aku membenci Chapman. Maksudku, setelah aku tahu bahwa ia seorang
Pengendali. Tapi kemudian kami tahu bahwa ia mengorbankan kebebasannya guna
menyelamatkan putrinya, Melissa.
Rasanya tidak mungkin kita membenci seseorang yang bermaksud melindungi anaknya.
Walaupun ia merupakan musuh yang mematikan. Inilah salah satu hal yang membuat
upaya perlawanan terhadap kaum Yeerk terasa begitu berat.
Musuh sesungguhnya adalah makhluk busuk yang bercokol di dalam kepala seseorang.
Orang yang dimasuki makhluk itu seringkali tidak tahu apa-apa.
ujar Tobias. bicara dengan Visser Three di kapal induk kaum Yeerk, atau di pesawat Blade.
Pokoknya di mana pun Visser Three berada. Berarti alat komunikasi rahasia
Chapman dilengkapi transponder Z-space, kan">
Ax langsung berseru. Yeerk, berarti dia punya transponder Z-space. Setiap pesawat Yeerk dilengkapi
selubung yang membuatnya tak tampak, tak bisa dideteksi. Teknologi selubung itu
membutuhkan pengalihan Z-space.>
Jake melirik ke arahku. "Kupikir juga begitu."
"Seberapa besar benda Z-space ini?" tanya Cassie.
Ax merapatkan dua jari untuk menandakan benda seukuran kacang. pemancar pasti ada beberapa unit cadangan. Kita bisa mengambil satu tanpa
ketahuan. Paling tidak untuk sementara.>
Rachel bangkit. "Kita tidak akan menyusup ke rumah Chapman lagi," katanya dengan
tegas. "Terakhir kali kita masuk ke sana, Melissa nyaris dijadikan Pengendali.
Lagi pula kita tidak bisa meniru kucingnya lagi. Chapman tentu berjaga-jaga.
Kali ini pasti sulit." Ia terdiam sejenak, lalu segera menambahkan, "Bukan
berarti penyusupan pertama kali itu mudah lho."
"Wah, ini kejadian bersejarah," aku berkomentar. "Rachel menolak tugas."
"Rachel benar," ujar Jake. "Kita tidak boleh melakukan apa pun yang bisa
membahayakan Melissa. Jadi kucingnya tidak bisa kita manfaatkan."
Beberapa saat semuanya membisu.
Akhirnya Ax angkat bicara tanpa suara. menanggung risiko. Kalian telah menyelamatkanku dari dasar samudra. Kalian telah
memberi tempat berteduh untukku. Dan karena kebodohanku, Pangeran Jake dan Marco
nyaris terbunuh kemarin.>
Aku agak terkejut mendengar ucapannya. Semula kusangka ia akan terus membujuk
kami agar mau membantunya.
"Bagaimana kalau...," Cassie mulai berkata.
Kami semua langsung menatapnya. "Ya?" tanya Jake. "Bagaimana kalau, ada jalan
untuk masuk ke ruang bawah tanah tempat Chapman menyimpan pemancarnya, tanpa
perlu melalui rumahnya" Dan boleh dibilang tanpa risiko kepergok?"
Perasaanku langsung tidak enak. "Boleh juga sih. Asal jangan menyuruhku jadi
makhluk tak bertulang."
Maksudku sebenarnya cuma bercanda. Tapi Cassie menatapku dengan serius.
"Apa?" tanyaku. "Aku harus jadi lobster lagi" Bagaimana mungkin lobster bisa..."
"Bukan," Cassie menyela. "Aku memikirkan sesuatu yang lebih kecil. Jauh lebih
kecil daripada lobster."
Chapter 10 SEMUT. Itulah ide cemerlang Cassie. Semut.
Menurut Cassie, semut bisa masuk ke ruang bawah tanah Chapman. Dan semut juga
sanggup menggotong transponder yang kami perlukan.
Semut. Begitulah hidupku sekarang. Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdebat
apakah kami harus menjelma sebagai semut merah atau hitam. Akhirnya aku pergi
karena kesal. Aku tidak berminat jadi semut - biar merah, hitam, hijau, atau
warna apa pun. Keesokan harinya aku bertemu Jake di sekolah. Aku baru selesai mengikuti
pelajaran sejarah. Sebalnya minta ampun, soalnya aku gagal menjawab pertanyaan
guru. Aku benar-benar kesal. Aku membuka locker sambil menggerutu soal Perang Meksiko-Amerika, dan apa
perbedaan antara perang itu dengan perang kemerdekaan Texas. Uh, siapa sih yang
tahu" Peristiwa itu kan sudah lama berlalu.
"Hai," Jake menyapaku. "Jawabannya adalah hitam. Sebagian besar semut di sekitar
rumah Chapman ternyata semut hitam. Tobias sudah memeriksanya."
Aku memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang bisa mendengar
pembicaraan kami. "Jake, aku tidak mau jadi serangga. Aku pernah jadi gorila, burung osprey,
lumba-lumba, burung camar, ikan salmon, bahkan lobster... dan entah apa lagi.


Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi gorila lumayan asyik. Lumba-lumba juga. Tapi semut" Nanti dulu deh!"
Jake angkat bahu. "Aku pernah jadi kutu. Dan buatku oke-oke saja." Ia nyengir,
seakan-akan baru saja menceritakan lelucon yang amat lucu. "Benar, aku baik-baik
saja kok. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku juga nyaris tidak bisa mendengar
apa-apa. Aku cuma bisa merasakan getaran. Aku cuma tahu bahwa aku suka tubuh
yang hangat. Dan setiap kali aku lapar, aku tinggal menggigit kulit yang
hangat." "Dan mengisap darah."
Ia tampak agak salah tingkah. "Ehm, darahnya Rachel. Maksudku, darah kucing,
tapi kucing yang ditiru oleh Rachel."
"Jake" Kau sadar tidak, sih" Omonganmu ngaco!"
"Aku berusaha bersikap masa bodoh," ia mengakui. "Tapi kita harus berusaha
supaya Ax bisa pulang. Semakin lama dia di sini, semakin besar bahaya yang
mengancam kita. Ada..." Ia memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang
menguping, lalu merendahkan suaranya. "Ada Andalite yang berkeliaran di sekitar
pertanian Cassie. Bagaimana kalau ada yang melihatnya" SetiapPengendali pasti
langsung mengenalinya. Dan mereka pasti heran kenapa dia ada di sana."
Aku mengangguk. "Yeah. Kau benar. Tapi waktu itu aku hampir mati. Hampir saja
aku direbus hidup-hidup. Hampir saja aku jadi lobster rebus. Aku tahu kau
berbakat jadi pahlawan, Jake, tapi aku tidak."
Aku mengambil buku dari locker, membanting pintu, lalu berjalan menyusuri
koridor. Jake ikut di sampingku.
"Kau tahu, hari Minggu besok ada apa?" aku tiba-tiba bertanya padanya.
Pertanyaan itu terlontar begitu saja, tanpa kurencanakan.
"Minggu besok" Entahlah. Aku tidak tahu."
"Tepat dua tahun. Dua tahun sejak ibuku meninggal. Dan aku tidak tahu harus
bagaimana. Aku tidak tahu apakah aku perlu membicarakannya dengan ayahku,
ataukah lebih baik kalau aku diam saja. Tapi satu hal sudah jelas - minggu ini
bukan waktu yang tepat untuk mati."
Aku terus berjalan. Jake tidak lagi mengikuti.
Dua tahun. Mom membawa perahu dari pangkalan perahu. Ia berlayar pada waktu cuaca sedang
buruk. Tak ada yang tahu kenapa. Ia tak pernah berbuat begitu sebelumnya.
Biasanya kami berlayar bersama-sama, aku, Mom, dan Dad.
Malam itu, setelah angin kencang reda, perahunya ditemukan karam karena menabrak
batu karang. Lambungnya hancur. Mom hilang tanpa jejak. Satu-satunya petunjuk
adalah tali pengaman yang putus.
Jenazah Mom tak pernah ditemukan. Menurut petugas penjaga pantai, ini bukan hal
aneh. Samudra sangat luas.
Sama seperti ruang angkasa, sebuah suara berkata dalam kepalaku.
Di suatu tempat yang sangat, sangat jauh, ada ayah dan ibu yang cemas memikirkan
anak-anak mereka. Untuk waktu lama aku mengarang cerita bahwa Mom ternyata selamat. Bahwa ia
terdampar di suatu pulau terpencil atau semacam itu. Tapi aku memang orang yang
realistis. Setelah beberapa waktu, aku mulai bisa menerima kenyataan.
Dan setelah beberapa waktu, orangtua Ax pun akan menerima kenyataan bahwa ia dan
kakaknya, Pangeran Elfangor, takkan pernah kembali. Mereka gugur di ruang
angkasa. Mereka gugur karena berusaha melindungi Bumi. Karena berusaha menolong umat
manusia. Menolong diriku.
Aku melihat Cassie di depan. Ia berjalan bersama beberapa temannya. Ia tersenyum
sejenak ketika melihatku. Kami sengaja berlagak tidak kenal kalau berpapasan di
sekolah, supaya tak ada yang tahu bahwa Jake, aku, Cassie, dan Rachel banyak
menghabiskan waktu bersama-sama.
Ketika kami berpapasan, aku bergumam, "Beritahu Jake bahwa aku ikut."
Kadang-kadang aku menyesal karena punya hati nurani.
Chapter 11 "KENAPA ya, keluarga ini sampai pindah?" tanya Cassie.
"Barangkali mereka tidak senang bertetangga dengan Pengendali yang terlibat
persekongkolan untuk menjajah Bumi," jawabku. "Atau mungkin juga mereka tidak
suka wakil kepala sekolah. Kalau itu sih, aku bisa mengerti."
Kami berdiri di pekarangan belakang rumah yang bersebelahan dengan rumah
Chapman. Rumah itu kosong. Di pekarangan depan terdapat tanda bertulisan
"DIJUAL." Aku jadi bertanya-tanya, kenapa penghuninya memutuskan untuk pindah. Setahuku
Chapman tidak pernah bertingkah aneh.
Justru itu masalahnya. Para Pengendali bersikap biasa saja - kita takkan pernah
tahu siapa mereka. "Untung rumah ini kosong," ujar Jake.
Malam telah tiba. Bulan purnama bersinar terang, sehingga kami bersembunyi di
bawah pohon. Di antara kami dan rumah Chapman berdiri pagar kayu yang tinggi.
Ax baru saja mengubah wujudnya dari manusia ke bentuknya yang asli.
Sebelum berangkat tadi, kami sudah mengumpulkan beberapa ekor semut di gudang
jerami Cassie. Kami sudah siap menjalankan rencana. Tapi aku merasa ngeri. Aku
takut setengah mati. Dan tampaknya teman-temanku juga merasakan hal yang sama. Mereka jadi cerewet,
seperti biasanya kalau seseorang gelisah. Cassie gemetaran, seakan-akan
kedinginan. "Tobias?" aku memanggil. Ia hinggap di dahan pohon yang rendah, hanya beberapa
jengkal di atas kepalaku. "Seberapa tajam matamu di malam hari?"
ia
menjawab. siang hari. Setelah gelap, kemampuan mataku tidak berbeda jauh dengan mata
kalian.> "Wah, ini baru hebat," kataku.
Jake melirik jam tangannya. "Sudah waktunya. Kita tahu Chapman menghadiri rapat
The Sharing sekarang ini."
The Sharing merupakan "kedok" bagi para Pengendali. Melalui organisasi itu
mereka bisa berkumpul tanpa menarik kecurigaan.
Mereka mengaku sebagai semacam perkumpulan pramuka. Tapi tujuan sebenarnya
adalah merekrut induk semang sukarela bagi para Pengendali.
Ya, percaya atau tidak, ternyata ada manusia yang rela dijajah kaum Yeerk.
Kami tidak perlu bertanya bagaimana Jake tahu The Sharing mengadakan rapat.
Kakak Jake, Tom, adalah salah satu dari mereka. Ia salah satu Pengendali yang
sangat bersemangat mengikuti kegiatan The Sharing.
"Kau siap, Ax?" tanya Jake.
Si Andalite harus kembali dulu ke wujud Andalite sebelum bisa berubah lagi. Sama
seperti kami, yang harus kembali ke wujud manusia dulu sebelum bisa meniru
makhluk lain. Cassie pernah mencoba berubah langsung dari satu wujud binatang ke
wujud binatang lainnya. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Padahal di antara kami,
Cassie-lah yang paling jago bermetamorfosis.
jawab Ax.
"Yang lain siap?" tanya Jake.
"Yap," sahut Rachel. Rachel pun tampak tegang.
Aku punya firasat buruk mengenai rencana ini.
"Oke," ujar Jake. "Begitu kita selesai berubah, kita akan melintasi rumput
sampai ke dinding. Lalu kita cari lubang atau celah, dan masuk ke ruang bawah
tanah." "Yeah. Itu sih keciiil," kataku.
Aku memusatkan perhatian pada semut yang pola DNA-nya telah kusadap. Tapi aku
agak sulit membayangkannya. Aku cuma melihat sebuah titik kecil ketika
memegangnya tadi. Proses metamorfosis berlangsung cepat.
"Hei!" Jatuh! Jatuh! Itulah kesan pertama yang kurasakan. Tubuhku mengerut dengan pesat. Tanah
semakin dekat. Kita serasa jatuh, tapi tidak pernah membentur tanah. Mirip mimpi
buruk. Tinggi badanku masih sekitar tiga puluh senti ketika kulitku menjadi garing,
seolah-olah terbakar. Kulitku menjadi keras. Lebih keras dari kuku, dan berwarna
hitam mengilap. Aku menoleh ke arah Cassie dan nyaris menjerit. Perubahannya sudah lebih jauh.
Seluruh tubuhnya telah diselubungi kulit keras berwarna hitam mengilap bagaikan
plastik. Kakinya telah mengecil. Lengannya juga mengecil, tapi sekaligus bertambah
panjang, sehingga sama panjang dengan kakinya.
Satu pasang kaki lagi tumbuh di dadanya.
Dan wajahnya.... Wajahnya tidak lagi wajah manusia. Bentuk kepalanya menyerupai butiran air mata.
Pada mulutnya muncul sepasang penjepit panjang melengkung - sepasang rahang yang
mematikan. Matanya berubah menjadi datar dan kosong, bagaikan dua titik hitam. Dua antene
menyembul dari keningnya.
Pinggang Cassie mengerut, sementara bagian bawah tubuhnya menggembung hingga
mirip semangka. Aku tidak sanggup menyaksikannya. Sebab aku tahu semua perubahan itu juga
terjadi pada diriku. Aku tahu itu. Tapi aku tidak ingin memikirkannya. Aku cuma
ingin urusan ini selesai secepat mungkin.
Sekonyong-konyong muncul tombak-tombak panjang di sekelilingku!
Batang-batang rumput! Kini aku benar-benar berukuran serangga. Tombak-tombak
tajam yang bermunculan di sekitarku ternyata cuma batang-batang rumput. Bukan
rumputnya yang menjadi besar, melainkan aku yang menjadi kecil.
Satu batang rumput muncul tepat di bawahku. Aku langsung terguling.
Dan kemudian penglihatanku lenyap. Mataku tak lagi berfungsi.
Aku buta! Dalam keadaan buta, aku jatuh, berguling, jungkir balik dari sebatang rumput.
Chapter 12 AKU berdiri tegak. Aku sudah tidak jatuh lagi.
Tapi aku buta. Memang bukan buta total. Keadaan di sekelilingku tidak gelap sepenuhnya. Tapi
mataku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku cuma melihat daerah yang terang dan
daerah yang gelap. Tapi semuanya serba kabur dan buram, dan sama sekali tidak
menarik bagi otak semutku.
Aku tak lagi mengandalkan mata untuk mengenali sekelilingku.
Tapi ada... ada sesuatu yang lain. Aku sadar bahwa aku menangkap sesuatu.
Suatu... kesan. Suatu perasaan.
Kemudian aku merasakan anteneku bergerak-gerak. Maju-mundur, mencari-cari.
Mencari-cari... eh bukan. Mencium-cium tepatnya.
Anteneku mencium-cium. Aku mencari beberapa bau tertentu. Bukan seperti
penciuman manusia. Bukan seperti penciuman anjing yang pernah digambarkan Jake
ketika ia menjelma menjadi anjingnya, Homer.
Ini lain. Aku mencari beberapa bau saja. Hanya beberapa.
Aku mencoba bersiap-siap. Aku sudah pernah mengalami kejadian seperti ini.
Biasanya ada tenggang waktu sebentar, beberapa detik saja, sebelum naluri seekor
binatang muncul menggebu-gebu diiringi rasa takut dan lapar.
Aku harus bersiap-siap. Semut binatang kecil dan lemah. Mereka pasti dicekam
rasa takut yang luar biasa. Aku harus...
Lalu, wow! Naluri si semut meledak di dalam kesadaranku!Tak ada rasa takut. Tak ada sama
sekali! Tak ada rasa lapar. Tak ada... tak ada kesadaran akan diri sendiri.
Tak ada aku. Tak ada aku. Tak ada... Anteneku bergoyang-goyang. Aneh. Aku tidak berada di sarangku. Ini bukan
wilayahku sendiri. Ini wilayah musuh. Ciumlah bau mereka. Ciumlah bau kotoran mereka. Ciumlah bau masam yang
menandakan batas wilayah mereka.

Aku mencium bau tak dikenal. Bau semut lain. Mereka akan datang. Wah, bakal ada
pembantaian nih. Pembantaian. Segera.
Aku harus pergi.
Aku mulai bergerak. Keenam kakiku berjalan dengan gesit. Aku telah menjelma
sebagai serangga yang nyaris buta di tengah hutan rumput raksasa.
Makanan. Bau makanan. Harus kucari. Harus kudapat. Lalu kembali ke sarang.
Berubah arah terus. Menuju bau bangkai kumbang. Ada yang lain. Kami. Bau mereka
benar. Mereka bukan musuh.

Aku bergerak lebih cepat. Kaki meraba setiap batang rumput.
Antene bergoyang-goyang. Mencari bau bangkai kumbang yang harus kami cari dan
bawa ke sarang. semut!> Sudah dekat. Bau makanan semakin santer.
Rahang penjepitku bergerak-gerak. Kami akan menemukan bangkai. Menaksir
besarnya. Kalau terlalu besar untuk digotong, harus dipotong-potong dulu sebelum
dibawa ke sarang.
Atau musuh akan datang. Dan membantai.
Bau musuh ada di mana-mana.
Nah, kami berhasil menemukan bangkai kumbang. Aku mencium-cium udara. Dengan
kakiku kuraba-raba bangkai itu untuk mengetahui ukurannya.
Aku" Kakiku" Bingung.
Semut-semut lain ikut bersamaku. Kubuka rahang penjepit lebar-lebar, lalu
bangkainya kugigit keras-keras. Menembus kulitnya yang keras, mengoyak-ngoyak
dagingnya.
Melawan" Tiba-tiba aku sadar bahwa memang ada sesuatu... sebuah suara.
Ya, bukan bau. Bukan bau. Bukan perasaan.
Lawanlah!> Ya, bukan bau atau perasaan. Suara itu ada di dalam kepalaku.
Kepalaku. Aku. Marco. Aku menjerit di dalam kepalaku sendiri. Belakangan Tobias bercerita
bahwa teriakanku itu membuatnya takut setengah mati. Ia pikir itu jeritan
kematianku. Padahal bukan. Aku justru merasa lahir kembali.
seru Tobias.
aku berkata. sempat hilang. Aku sempat tiada.>
Tobias mendesak.
Tapi kini aku mulai bisa mendengar yang lain. Satu per satu mereka muncul
kembali. Ax memekik. Suaranya bernada ngeri. Ngeri. punya kesadaran! Aku hampir hilang! Aku tidak punya tempat berpegangan. Mereka
tidak utuh. Mereka hanya bagian-bagian, seperti sel. Makhluk busuk apa ini">
kata Tobias. tidak benar.> ujar Cassie dengan suara gemetar. Mereka bagian dari suatu koloni. Seharusnya aku tahu. Ax benar. Masing-masing
dari kita cuma sebagian dari suatu keseluruhan: Seperti sebuah sel dalam tubuh
manusia.> kata Tobias.
tanya Jake.
senti dari cakar kananku.>
ujar Rachel. selesaikan saja.> tanya Jake.
Satu per satu kami menjawab ya. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Walaupun aku
telah berhasil mengendalikan naluri semut, naluri itu tetap ada. Kekuatannya
berbeda dari apa pun yang pernah kualami. Setiap semut hanyalah satu bagian dari


Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk yang jauh lebih besar - yaitu koloni semut.
"suara" Cassie terdengar di dalam kepalaku. ternyata bisa dipakai untuk membedakan gelap dan terang - tapi kalian harus
berkonsentrasi. Rasanya seperti menonton TV hitam-putih yang sangat buram. Dan
kita hanya bisa melihat apa yang tepat di hadapan kita. Tapi lumayanlah,
daripada buta sama sekali.>
Ia benar. Mata semutku memang berfungsi. Tapi penglihatan itu tidak banyak
membantu. Aku mengenali batang-batang rumput. Namun tembok panjang yang tampak
setinggi hampir dua meter tetap merupakan teka-teki.
ujar Tobias. Tembok itu ternyata cakar
Tobias. Tobias berkata. sampai di pagar.> Tapi aku tidak melihat apa-apa. Bagian bawah pagar itu berada jauh di atas,
sehingga tidak menarik perhatianku.
kata Tobias. kalau melihatku di situ. Pokoknya, tetaplah berjalan ke arah yang sama.>
Dan itulah yang kami lakukan. Kami menerobos hutan rumput. Lalu, tiba-tiba, kami
sudah berada di luar. Kami melewati daerah berbatu-batu, masing-masing sebesar
kepalaku. Alarm di dalam kepala semutku tetap berdering. Musuh! Musuh! Bau mereka ada di
mana-mana. Tapi bukan rasa takut yang dialami otak semut di dalam kepalaku. Otak itu tidak
mampu merasakan emosi, atau sesuatu yang mirip emosi. Otak itu hanya mencatat
bahwa ada musuh di dekatku.
Selain itu, yang diketahui otakku hanyalah membunuh atau dibunuh.
Chapter 13 KAMI sampai di dinding. Aku tahu dinding itu terbuat dari beton. Aku juga tahu
bahwa kira-kira setengah meter di atasku, dinding itu berubah menjadi dinding
kayu. Tapi aku tidak bisa melihat sejauh itu. Yang kulihat dan kurasakan dan "kucium"
adalah bahwa dunia datar mendadak berakhir. Aku telah sampai di suatu sudut.
Seluruh dunia, sejauh yang kuketahui, merupakan sudut antara pasir dan beton,
antara bidang datar dan bidang tegak. Betonnya penuh celah dan retakan yang
cukup lebar untuk dimasuki.
Jake mengingatkan kami.
Rachel melaporkan. Benar-benar busuk.> Ia benar. Aku juga menemukan terowongan itu. Terowongan itu milik mereka. Milik
musuh. kata Ax.
ujar Jake dengan geram. ada di sekitar sini.> Kami menuruni terowongan itu. Bau musuh terasa menyengat. Bau itu menyelubungi
kami. Kami adalah pasukan penyerbu. Kami menerobos jauh, jauh sekali ke wilayah
musuh. Terowongan itu sempit. Perutku terus membentur batu-batu besar. Beberapa batu
bergeser karena tertendang kakiku. Tapi ada juga yang harus dipindahkan.
Seharusnya aku merasa terkekang dan terkurung di tempat yang sempit itu. Tapi
naluri semutku justru betah di sini.
Aku bergerak turun. Aku tahu kepalaku menunjuk ke bawah, tapi gaya gravitasi
tidak terlalu berpengaruh.
Rachel memberitahu. Ia berada paling depan,
seperti biasa.



terowongan.> aku berkelakar
untuk menghalau rasa panik yang sempat menghinggapi kami.
sahut Jake.
Ax melaporkan. terowongan di depan.> kata Jake.
Dalam sekejap kami sudah berada di sebuah jurang yang sangat dalam, yang
ternyata sebuah retakan di tembok beton.
Kami melewati batu-batu yang menonjol dan terus mengikuti celah yang sempit.
Embusan anginnya semakin kencang.
Berikutnya kami keluar dari celah itu. Kami berada di suatu bidang tegak yang
datar. ujar Cassie. sekeliling kita. Ada udara. Dan keadaannya gelap.>

kataku. tembok, dan kita tidak tahu seberapa tinggi kita dari lantai.>

kataku. Aku sudah tidak sabar untuk bisa
keluar dari tubuh semut ini.
Pertama-tama aku bergerak menjauhi teman-temanku. Keadaannya gelap gulita,
sehingga aku tidak perlu melihat perubahan yang kualami. Tapi percayalah, cuma
merasakannya pun sudah cukup parah.
Begitu aku kembali berwujud manusia, aku mulai mencari lampu. Tapi tiba-tiba aku
berhenti. Teman-temanku bisa remuk terinjak kaki manusiaku yang besar kalau aku melangkah!
Karena itu aku tetap berdiri di tempat dan meraba-raba dinding.
Kosong. Kosong. Sebuah papan buletin. Meja tulis! Pesawat telepon. Sebuah mesin,
kemungkinan besar mesin fax. Ah! Sebuah lampu!
Cahaya yang mendadak menerangi ruangan terasa menyilaukan. Aku berkedip-kedip
dan melindungi mata dengan sebelah tangan. Begitu mataku sudah terbiasa, aku
langsung memandang berkeliling.
Aku berada di suatu ruangan kecil, semacam ruang kerja tanpa jendela. Aku
sendirian. Kemudian aku mengamati tubuhku. Lengan. Kaki. Ya, semuanya lengkap!
Aku telah menjadi manusia utuh lagi.
ujar Jake. pikiran sekarang. Jadi kalau keadaan aman, tolong beri tanda dengan menghidup-
matikan lampunya.> Sekarang aku bisa melihat mereka. Empat semut kecil, berdesak-desakan di sudut
ruangan. Astaga! Betulkah aku juga seperti itu tadi"
Aku menghidup-matikan lampu. Beberapa detik setelah itu, teman-temanku mulai
bermetamorfosis. Aku berpaling dan menyibukkan diri dengan memeriksa meja tulis.
"Uh, pengalaman ini betul-betul keterlaluan deh," ujar Cassie. Ia yang pertama
berubah menjadi manusia lagi.
"Yeah," aku membenarkan.
"Aku tidak mau mengulanginya," ujar Cassie. Suaranya bernada ngeri dan jijik.
Aku diam saja. Aku sendiri terlalu ngeri untuk membicarakan pengalaman kami.
Kalau aku membicarakannya, semuanya akan terbayang lagi. Karena itu lebih baik
aku diam saja. Lebih baik aku berusaha melupakannya.
"Inilah tempatnya," kata Rachel, setelah mata dan mulutnya kembali normal. "Aku
masih ingat. Ruang kerja Chapman. Aku memang berwujud kucing waktu aku kemari,
tapi aku yakin ini tempatnya."
"Ayo, kita selesaikan secepat mungkin," Jake berkata dengan gelisah. "Ax" Coba
cari transponder itu."
Ax, yang sudah sepenuhnya berwujud Andalite, segera melepaskan panel depan dari
benda yang kusangka mesin fax.
Aku terus memeriksa meja tulis Chapman. Tak banyak yang bisa dilihat. Tidak ada
kertas-kertas. Tidak ada catatan apa pun.
Ax menatapku dan tersenyum melalui matanya. Ia menyentuh kubus kecil yang kukira
cuma pemberat kertas. Kubus itu langsung menyala dan memproyeksikan sebuah
gambar ke udara di hadapanku.
"Keren," aku berkomentar. "Itu komputer, kan?"
Aku menuding udara dan menunjuk simbol berbentuk mirip map. Mapnya membuka. Di
dalamnya ada dokumen yang ditulis dengan abjad yang sama sekali asing bagiku.

"Tentu. Kenapa tidak" Yang ini memang beberapa ratus tahun lebih canggih dari
komputer kami, tapi..."
Ax tiba-tiba menyela.
"Kau bisa membaca ini?"
Ia memandang tanpa berkedip.

"Visser One" Jadi, bosnya Visser Three?"
Three lebih berkuasa daripada Visser Four. Seluruhnya ada empat puluh tujuh
Visser di kerajaan Yeerk. Setidaknya, begitulah dugaan kami. >
"Bagus," aku bergumam. "Empat puluh tujuh. Moga-moga tidak semuanya seperti
kawan kita, Visser Three."
Ax sudah kembali mengotak-atik mesin yang mirip mesin fax itu, untuk mengambil
transpondernya. ia menjawab. Hanya dia yang bisa berubah wujud. Visser One menempati tubuh manusia, kalau aku
tidak salah. Ah. Ini dia.>
Ia memperlihatkan piringan kecil mengilap. Kira-kira sebesar kacang.
"Oke, sekarang kita keluar dari sini," kata Jake. "Letakkan benda itu di dekat
celah, supaya kita tidak perlu menggotongnya terlalu jauh nanti. Ayo, sudah
waktunya berubah lagi. Makin cepat kita pergi, makin baik."
Inilah saat yang sebenarnya ingin kuhindari. Aku tidak ingin kembali berwujud
semut. Sekadar membayangkannya saja sudah membuatku mau menangis. Tapi tidak ada
cara lain. Kalau kami nekat keluar dari ruang bawah tanah ini melalui jalan
biasa, bisa-bisa kami tertangkap.
"Wah, menyebalkan banget deh," aku bergumam. Tapi secara bersamaan aku
memusatkan pikiran pada wujud semut. Dan di depan mataku, teman-temanku mulai
berubah. Setelah kami mengecil sampai seukuran semut, transponder tadi mendadak berkesan
besar sekali. Jauh lebih besar daripada kami.
Ketika aku meraba-raba dengan kaki dan anteneku, aku mendapat kesan benda
tersebut sebesar garasi untuk dua mobil.
ujar Cassie.

Rasanya memang tidak mungkin, tapi Cassie, Rachel, dan Ax berhasil mengangkat
beban yang luar biasa berat itu.
Aku jadi tercengang. Habis, ini sama saja dengan melihat tiga orang menyusuri
jalanan sambil menggotong bus kota. Dugaan orang mengenai semut ternyata benar.
Untuk ukuran mereka, makhluk-makhluk kecil itu memang kuat sekali.
Ketika kami sampai di dinding yang tegak, transponder itu harus didorong dan
digelindingkan ke atas, bagaikan donat raksasa yang terbuat dari baja.
Kami berhasil mencapai celah yang kami lewati tadi. Cassie, Rachel, dan Ax
mendorong transponder itu ke dalam celah. Jake dan aku memantau keadaan di
depan. Kami berlima harus bahu-membahu untuk mendorong benda raksasa itu melewati
tonjolan-tonjolan batu di retakan. Tapi akhirnya, kami berhasil sampai di mulut
terowongan. Transponder itu nyaris tidak muat. Ax, Rachel, dan Cassie mendorong
dari belakang, sementara Jake dan aku menyingkirkan rintangan berupa batu-batu
besar - yang sebenarnya cuma butir-butir pasir.
Dan mendadak terjadilah peristiwa itu.
Tak ada peringatan sebelumnya.
Terowongan di depanku, yang semula kosong, tiba-tiba sudah penuh sesak.
Penuh semut yang menyerbu ke arah kami.
Musuh, ujar otak semutku.
Dan aku pun sadar bahwa waktu pembantaian telah tiba.
Chapter 14 Rachel menjerit kalang kabut.
teriak Cassie.

Kecepatan serangan itu luar biasa. Kedahsyatannya tak bisa dijelaskan dengan
kata-kata. Jumlah mereka beratus-ratus. Di depan. Di belakang. Membanjir dari
cabang-cabang terowongan. Menerobos dinding.


Aku diserang tiga musuh. Mereka menarikku, berusaha membuatku bertekuk lutut,
sebelum mencabik-cabik tubuhku.
Mencabik-cabik! Musuh keempat memanjat kepalaku, menyerempet anteneku. Ia menggigit pinggangku
dengan rahang penjepitnya yang kokoh. Ia mau membuatku terbelah dua.
Tak ada perlawanan. Kami tidak mungkin menang. Dalam beberapa detik kami semua
akan menemui ajal. Mereka bagaikan mesin. Tak kenal takut. Tak bisa dihentikan.
teriakku. Satu kakiku ditarik
sampai putus dari pangkalnya.
Pinggangku bagaikan digergaji oleh rahang penjepit yang
tajam. Cairan menyengat disemburkan ke arahku. Racun. Aku digigit dari segala arah,
berulang-ulang. Manusia. Aku ingin menjadi manusia lagi. Moga-moga aku hidup cukup lama agar
sempat kembali ke wujudku yang asli!
Suara Jake. Lalu,
Pinggangku sudah nyaris putus. Cengkeraman rahang yang menggerogotinya tak
kunjung mengendur. Kemudian, tiba-tiba saja, tekanan di sekeliling pinggangku mereda. Kini aku
merasakan tekanan pasir di sekujur tubuhku.
Aku mulai membesar! Aku tidak bisa bernapas. Udara terhalang pasir. Sekonyong-konyong tanah di
sekitarku membelah. Sumpah, rasanya seperti bangkit dari kubur. Udara! Udara
malam yang segar! Aku muncul dari dalam pasir.
Jake berada di atasku. Ia terasa semakin berat ketika tubuhnya makin besar. Yang
lain juga mendesak-desak di dekatku. Aku berusaha menjauh, tapi gerakanku terasa
kaku. Wujudku baru setengah manusia.
Akhirnya aku tergeletak di tanah. Aku menatap bintang-bintang dengan kedua mata
manusiaku. Tobias bertanya.
"Cassie?" tanya Jake.
"Aku tidak apa-apa," jawab Cassie.
"Aku juga, Jake, terima kasih atas perhatianmu," Rachel menimpali.
Kami semua berhasil selamat. Empat manusia dan satu Andalite. Aku memandang ke
bawah dan melihat pasir yang berantakan di tempat kami muncul ke permukaan tadi.
Ribuan semut, yang nyaris tak terlihat saking kecilnya, tampak berkeliaran tak
terkendali. Transponder yang berhasil kami curi masih tergeletak di tanah.
Aku segera memungutnya. Rachel menginjak-injak pasir untuk meratakannya. Kami tidak ingin meninggalkan
jejak yang terlalu mencolok.
"Jake?" kataku. "Sebaiknya pengalaman seperti ini jangan sering-sering terjadi,
oke?" Ia mengangguk perlahan. "Hari ini aku jadi lobster. Setelah itu semut. Kalau mengikuti tangga evolusi,
berarti berikutnya aku mesti jadi virus atau sebangsanya. Dan asal tahu saja,
kalau begitu aku lebih baik mundur. Aku tidak mau jadi kuman, biarpun untuk
menyelamatkan dunia."
Aku tahu leluconku tidak lucu, tapi semuanya berusaha tertawa.
Rachel juga berhenti menginjak-injak semut - maksudku, pasir.
Ketika aku sampai di rumah malam itu, aku langsung mandi.
Aku menemukan kepala seekor semut. Rahangnya masih juga mencengkeram kulit
pinggangku. Banyak orang menyangka bahwa hanya manusia yang berperang. Bahwa hanya manusia
yang suka membunuh. Tapi percayalah - dibandingkan semut, manusia adalah makhluk


Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang penuh damai, kasih sayang, dan pengertian.
Kira-kira sebulan setelah pengalaman kami melawan pasukan semut, aku menemukan
buku tentang semut. Pengarangnya mengatakan, "Seandainya semut memiliki bom
nuklir, kemungkinan besar mereka akan menghancurkan dunia dalam waktu satu
minggu saja." Pendapatnya salah. Mereka tak perlu waktu selama itu.
Chapter 15 AKU baik-baik saja. Aku tidak terganggu. Aku bisa tidur nyenyak. Memang aku
bermimpi, tapi semuanya bisa kusingkirkan dari pikiranku.
Ketika aku bangun keesokan pagi, aku tidak menghiraukan mata ayahku yang
kelihatan merah, seakan-akan ia habis menangis.
Semakin dekat ke hari Minggu, keadaannya malah bertambah parah. Dan bukan
sebaliknya. Hari Minggu besok tepat dua tahun kematian ibuku.
Tapi itu pun kusingkirkan dari benakku. Ada banyak hal yang perlu kusingkirkan.
Tampaknya sudah mulai jadi kebiasaan.
Aku bertemu Jake di sekolah. Tapi aku berlagak tidak melihatnya.
Aku juga melihat Rachel. Di bawah matanya ada bayangan hitam, seolah-olah ia
kurang tidur. Seolah-olah ada sesuatu yang benar-benar tidak beres.
Bahkan Cassie pun tampak muram. Kami semua terpengaruh.
Tidak mudah untuk melupakan kengerian yang begitu hebat. Tidak mudah untuk
menghapus kenangan tentang bagaimana kaki kami ditarik sampai putus. Bagaimana
tubuh kami dicabik-cabik.
Suatu hari kelak, salah satu dari kami bisa gila, aku berkata dalam hati. Betul-
betul gila. Beban yang harus kami tanggung terlalu berat. Hidup remaja
seharusnya bukan seperti ini.
Suatu hari salah satu dari kami bakal hancur. Hal itu bisa menimpa siapa saja,
termasuk orang yang kuat. Aku tahu. Kejadian itu telah menimpa ayahku. Dulu
kupikir tidak ada yang bisa menaklukkannya. Tapi kemudian ibuku meninggal.
Semula ayahku insinyur. Atau bahkan bisa disebut ilmuwan. Ia cerdas sekali. Kami
memiliki rumah yang nyaman. Dan mobil yang bagus. Aku bertetangga dengan Jake.
Aku tahu itu semua tidak penting. Aku tahu hidup bukan soal harta yang kita
miliki. Tapi rasanya tetap sulit ketika ayahku mulai enggan berangkat kerja.
Jerry, atasan ayahku, sudah bersikap penuh pengertian. Dad diberi cuti beberapa
minggu untuk melupakan kematian Mom.
Tapi beberapa minggu ternyata tidak cukup. Sekarang ayahku bekerja sebagai
petugas kebersihan gedung kantor. Ia bekerja paruh waktu. Ia pindah dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lain. Semua pekerjaannya tidak ada yang tetap. Misalnya,
membongkar kardus di toko serba ada.
Tapi aku tidak peduli apa pekerjaannya. Itu tidak penting.
Bagiku, yang penting adalah bahwa aku juga kehilangan ayahku ketika ibuku
meninggal. Orang bisa patah semangat. Mereka bisa hancur. Aku tahu dari pengalaman.
Aku mengikuti semua jam pelajaran pagi. Tak ada kejadian istimewa.
Pada waktu makan siang, tanpa sengaja aku duduk semeja dengan Rachel. Tampaknya
ia tidak melihatku. Ia duduk membungkuk sambil makan tanpa selera.
Seorang anak cewek bernama Jessica lewat sambil membawa nampan. Ia menyenggol
Rachel, sehingga garpu Rachel terjatuh ke piringnya.
Aku tidak tahu apakah Jessica sengaja atau tidak. Tapi ia memang tipe cewek yang
menganggap dirinya paling hebat.
"Hei, hati-hati dong!" Rachel menghardik.
"Apa?" seru Jessica marah. "Kau membentakku" Jangan banyak mulut kalau tidak
ingin kutampar." Kemudian ia mendorong punggung Rachel.
Secepat kilat Rachel sudah berdiri. Ia berbalik. Ia meraih kerah baju Jessica
dan mendorongnya ke meja sebelah.
Jessica kira-kira dua puluh kilo lebih berat daripada Rachel. Tapi tak ada
artinya bagi Rachel. Ia telentang di meja, di antara piring-piring dan makanan
yang berserakan. Rachel lalu membungkuk di atas Jessica, dan dengan nada
sedingin es ia berkata, "Jangan senggol aku."
Aku melihat Jake di seberang ruangan. Jaraknya terlalu jauh.
Cassie duduk bersamanya. Mau tidak mau aku yang harus bertindak.
Cepat-cepat aku bangkit dan bergegas menghampiri Rachel dan Jessica. Aku menarik
napas dalam-dalam, lalu memisahkan keduanya.
"Jangan ikut campur, Marco," bentak Rachel.
"Singkirkan dia! Dia sinting!" Jessica berseru.
Aku mendorong Rachel untuk memaksanya menjauhi Jessica.
Tiba-tiba Jessica mengayunkan tangan. Agaknya ia bermaksud memukul Rachel.
Pukulannya meleset. "Aduh!" Aku memegang mata kiriku. "Kenapa aku yang kaupukul?"
Dan tepat pada saat itulah seorang guru muncul. Lima menit kemudian, Jessica,
Rachel, dan aku sudah berada di kantor wakil kepala sekolah.
Kantor Chapman. Jessica marah-marah, suaranya lantang.
Rachel memandang lurus ke depan.
Aku sendiri sibuk memikirkan apakah mataku akan semakin bengkak.
Chapman menatap kami sambil mendelik. "Apa maksud semuanya ini?" ia bertanya.
"Berkelahi di ruang makan" Dan bagaimana mungkin kau sampai terlibat, Rachel?"
"Lho, memangnya dia lebih baik daripada saya?" Jessica memprotes.
Chapman tidak menggubrisnya. Ia memusatkan perhatian pada Rachel. "Ada apa
sebenarnya" Mr. Halloram melaporkan bahwa kau yang mulai. Kau tidak apa-apa,
Rachel" Apakah kau sedang stres?"
Sepintas lalu aku sempat waswas. Mata Rachel berkilat-kilat.
Aku sudah ngeri bahwa ia akan berkata, "Yeah, Mr. Chapman. Saya memang agak
stres. Saya nyaris tewas waktu saya berubah jadi semut dan menyusup ke ruang
bawah tanah rumah Anda, untuk melawan Anda dan semua Yeerk brengsek itu."
Rachel yang kukenal tidak mungkin berkata begitu.
Tapi di pihak lain, Rachel yang kukenal juga tidak mungkin membuat onar di ruang
makan. "Ini semua salah saya, Mr. Chapman," aku angkat bicara.
"Salahmu?" Chapman memicingkan mata.
"Sir. Ehm, mereka bertengkar karena memperebutkan saya. Mereka sama-sama
mengincar saya. Keduanya tergila-gila pada saya, dan saya bisa mengerti apa
sebabnya. Anda juga, bukan?"
"Apa kau sudah gila, dasar kodok jelek"!" Jessica memekik.
Tapi ketika aku melirik ke arah Rachel, aku melihat sudut mulutnya berkedut-
kedut. Tampaknya ia menahan senyum.
Chapman memarahi kami selama beberapa menit, lalu menyuruh kami melapor pada
guru pembimbing masing-masing. Setelah itu ia membiarkan kami pergi.
Rachel berjalan bersamaku.
"Seandainya aku bisa bersikap seperti itu," katanya.
"Seperti apa?" "Beranggapan bahwa semuanya cuma lelucon. Itulah sebabnya kau begitu... ehm...
begitu tenang dan terkendali."
"Aku" Tenang dan terkendali?" Hal itu belum pernah terlintas dalam pikiranku.
Jadi Rachel beranggapan begitu" Keren juga, ya"
"Kemarin... ehm semalam... aku sempat putus asa," katanya sambil angkat bahu.
Kemudian ia menampilkan senyumnya yang menawan. Senyum ala supermodel. "Kadang-
kadang kau memang menyebalkan, Marco. Selalu bercanda. Tapi lebih baik kau terus
begitu. Kita butuh orang yang bisa bercanda."
"Bercanda" Kaupikir aku bercanda" Memangnya kau dan Jessica tidak tergila-gila
padaku?" "Jangan mimpi, Marco!"
Chapter 16 AX sibuk merakit pemancar sinyal darurat. Setelah memperoleh transponder Z-
space, ia hanya memerlukan satu hari lagi untuk merampungkan pekerjaannya.
Sekarang kami tinggal memikirkan di mana perangkap kami harus dipasang. Kami
harus menghindari semua tempat yang bisa dikaitkan dengan kami. Berarti bukan di
pertanian Cassie, atau di hutan di dekatnya. Juga bukan di kota.
Beberapa hari setelah pengalaman menjadi semut, kami kembali berkumpul di ladang
di pertanian Cassie. Ini tempat yang keamanannya harus tetap dijaga ketat. Ini
satu-satunya tempat bagi Ax, seandainya upaya kami untuk membantunya pulang
ternyata gagal. Tobias yang mendapatkan jawabannya.
jaraknya cuma sekitar satu jam terbang dari sini.>
"Kalau kita mau terbang, kita harus mencarikan burung dulu untuk ditiru oleh
Ax," kata Jake. Ia menatap Cassie.
"Ada beberapa pilihan di gudang jerami," ujar Cassie. Ia berpikir sambil
menggigit bibir. "Hmm, ada burung harrier yang dirawat karena keracunan.
Ukurannya kira-kira sebesar Tobias."
"Ax" Kau keberatan kalau harus menjelma menjadi burung?" tanya Jake.
hebat. Cakarnya yang tajam. Dan paruhnya. Jauh lebih baik daripada tubuh
manusia. Aku tidak bermaksud menyinggung. Hanya saja manusia tidak punya senjata
alami. Aku merasa kehilangan ekorku kalau aku sedang berwujud manusia.>
"Aku mengerti," ujarku. "Tapi kau keliru kalau menganggap manusia tidak memiliki
senjata alami. Coba diamkan kaki manusia di dalam sepatu kets selama beberapa
jam pada hari yang panas, dan kau akan mendapatkan senjata maut. Kaki bau yang
mematikan." "Oke. Soal itu sudah beres," sela Jake. "Sekarang kita perlu memikirkan semua
detail. Kalau kita hendak memanggil pesawat Bug, kita harus punya rencana.
Menurutku, waktu yang paling cocok adalah hari Sabtu."
"Terserah kau saja, asal tidak ada sangkut paut dengan semut," kataku. Aku
bermaksud melucu. Tapi tak ada yang tertawa.
"Tidak ada sangkut paut dengan semut kok," Jake menegaskan.
Aku menggelengkan kepala. "Sebenarnya aneh juga ya. Kita bermaksud melawan Hork-
Bajir dan Taxxon. Tadinya kupikir itulah makhluk-makhluk paling mengerikan di
dunia. Tapi sekarang aku malah paling takut pada semut."
Setelah pertemuan kami bubar, aku menunggu sampai Jake usai berpamitan pada
Cassie. Jake dan aku pulang bersama. Kami asyik mengobrol tentang hal-hal biasa yang
dulu selalu kami bicarakan. Sebelum hidup kami berubah. Sebelum kami berperang
dengan kaum Yeerk. Kami bicara tentang bola basket, dan kami sibuk berdebat tim
mana yang paling hebat di NBA. Lalu kami bicara soal musik. Jake dan aku sudah
lama tidak membeli CD. Kami bahkan membahas apakah Spiderman sanggup mengalahkan
Batman atau tidak. Hal-hal normal seperti itulah.
Aku sengaja mengulur-ulur waktu, sebab aku enggan menyampaikan keputusan yang
telah kuambil. Tapi Jake dan aku sudah lama bersahabat. Ia selalu tahu kalau ada sesuatu yang
mengganjal hatiku. "Ada apa sih, Marco?"
"Apa maksudmu?"
"Sejak tadi kau sama sekali belum memberi komentar konyol - tapi sengit -
seperti biasanya." Aku tertawa. Kemudian aku langsung buka kartu. "Ini terakhir kali," kataku.
"Maksudmu?" Sebenarnya ia tahu persis apa maksudku. "Kali ini aku ikut, tapi setelah itu aku
berhenti. Aku serius. Takkan ada yang bisa membujukku. Takkan ada yang bisa
membuatku berubah pikiran, dengan cara membuatku merasa bersalah. Semua yang
kulakukan sudah cukup."
Jake memikirkan ucapanku. "Kau benar. Yang kaulakukan memang sudah cukup. Sejuta
kali lebih dari cukup.'"
"Kita terlalu sering menyerempet bahaya."
"Yeah." "Suatu hari kita akan bernasib sial. Sepuluh detik lagi, tamatlah riwayat kita
karena serangan semut itu. Dan sebelumnya, aku nyaris masuk panci berisi air
mendidih. Sebelumnya lagi aku hampir dimangsa hiu. Aku kira itu sudah cukup."
"Kau benar," ujar Jake.
"Yeah." Aku heran ia langsung menerima keputusanku. Walaupun sebenarnya aku tidak perlu
merasa begitu. Kami menganggap Jake sebagai pemimpin, tapi ia tidak pernah
memaksakan kehendaknya. "Apa yang akan kaulakukan Minggu besok?" ia bertanya.
Sekali lagi aku heran. "Aku belum tahu. Kadang-kadang kami pergi ke makam ibuku
Puteri Es 2 Pendekar Rajawali Sakti 99 Pelangi Lembah Kambang Hamukti Palapa 7
^