Serangan Nekat 1
Animorphs - 5 Serangan Nekat Bagian 1
K.A. Applegate Serangan Nekat (Animorphs #5) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Marco. Sori, aku tidak bisa menyebutkan nama lengkapku, atau di mana aku tinggal.
Bukannya aku tidak mau lho. Sebenarnya aku akan senang sekali seandainya aku
bisa memperkenalkan diri sebagai Marco Jones, atau Marco Williams, atau Vasquez
atau Brown atau Anderson atau McCain. Marco McCain. Kedengarannya lumayan gagah,
ya" Tapi McCain bukan nama keluargaku yang sebenarnya. Aku bahkan tidak menjamin
bahwa Marco nama depanku yang asli.
Masalahnya, aku belum bosan hidup. Pokoknya aku takkan berbuat apa pun yang bisa
membantu kaum Yeerk menemukan diriku.
Aku hidup di dunia yang mengerikan. Dengan musuh-musuh berada di sekitarku,
mengelilingiku. Musuhku benar-benar menakutkan. Orang yang paling berani pun
akan gentar menghadapi mereka.
Jadi, aku sebenarnya justru ingin menceritakan nama lengkapku, alamat, serta
nomor teleponku sekalian. Sebab kalau aku bisa berbuat begitu, berarti aku tak
lagi punya musuh. Berarti hidupku telah kembali normal. Berarti aku tak perlu
lagi ikut campur urusan orang lain.
Sebetulnya aku tidak suka ikut campur urusan orang lain. Misalnya yang kualami
sewaktu pulang dari toko 7-Eleven. Kejadiannya konyol banget.
Waktu itu aku sedang berjalan kaki membawa susu bebas lemak, sepotong roti, dan
sekantong cokelat M&M. Sejak ibuku meninggal, memang aku yang biasa berbelanja
untuk aku dan ayahku. Toko 7-Eleven yang kudatangi terletak di daerah yang agak kumuh, dan karena itu
aku berjalan agak cepat. Aku pura-pura lupa bahwa sudah pukul sepuluh malam.
Tiba-tiba saja aku mendengarnya.
"Jangan sakiti aku, jangan sakiti aku."
Suara laki-laki. Kedengarannya seperti orang tua. Suara itu berasal dari sebuah
gang yang gelap. Aku menoleh. Lalu berhenti. Aku merapatkan punggung ke dinding bangunan yang
sedang kulewati, dan memasang telinga.
"Berikan uangmu, kakek tua! Jangan sampai aku memukulmu," ujar suara lain.
Kedengarannya ini suara anak muda - dan bernada mengancam.
"Tapi semuanya sudah kuberikan padamu!" seru si orang tua.
Kemudian si pemuda berandal mengucapkan kata-kata kasar yang tak pantas kuulangi
di sini. Pokoknya, ia bermaksud menghajar laki-laki tua itu. Aku juga mendengar
suara-suara lain. Ternyata ada tiga anak berandal. Si orang tua benar-benar
dalam bahaya. "Ini bukan urusanmu, Marco," aku berkata pada diriku sendiri. "Jangan ikut
campur. Jangan bertingkah konyol."
Tiga anak berandal. Tubuh mereka dua kali lebih besar daripada aku. Terus
terang, potonganku bukan seperti Arnold Schwarzenegger.
Aku termasuk pendek untuk usiaku, meskipun demikian - bukan menyombong - aku
punya wajah kece. Ditambah kepribadianku yang ramah. Dan otakku yang encer. Dan sifatku yang
rendah hati. Tapi aku berani bertaruh bahwa ketiga anak berandal di gang itu takkan terkesan
oleh wajah keceku. Untung saja aku masih memiliki kelebihan lain. Sudah agak lama aku tidak mencoba
morph - metamorfosis yang satu ini, tapi ketika aku memusatkan pikiran, semuanya
berjalan lancar. Aku menyelinap ke mulut gang dan bersembunyi di balik bak
sampah. Uh, baunya minta ampun.
Perubahan pertama adalah bulu-bulu yang mulai tumbuh. Bulu itu menyebar dari
lengan dan kaki ke seluruh badanku. Bulu tebal dan kasar berwarna hitam. Pada
bagian lengan, punggung, dan kepala, bulunya panjang-panjang. Sedangkan di semua
bagian tubuh lainnya, bulunya pendek-pendek.
Rahangku bergerak maju. Tulang rahangku berderak-derak ketika seluruh tubuhku
berubah akibat pengaruh DNA yang bukan berasal dari manusia.
Proses berubah wujud alias metamorfosis ini tidak menyakitkan. Kadang-kadang
kita memang terserang perasaan panik, tapi prosesnya tidak membuat kita merasa
sakit. Dan wujud yang kupilih kali ini kebetulan tidak terlalu aneh. Maksudku,
aku tetap memiliki lengan, kaki, dan sebagainya. Lain halnya kalau aku berubah
jadi burung osprey. Atau lumba-lumba. Bayangkan saja, waktu aku jadi lumba-
lumba, aku terpaksa menghirup udara lewat lubang pernapasan di tengkuk.
Dalam wujud yang kupilih kali ini, aku tetap memiliki sepasang lengan. Hanya
saja lenganku jadi lebih besar. Jauh lebih besar. Kakiku menekuk ke depan.
Pundakku jadi kokoh sekali. Rasanya seperti ada sepasang babi yang duduk di
punggungku. Perutku juga menggembung, dan dadaku terbungkus kulit hitam legam.
Wajahku bagaikan topeng hitam, dan mataku nyaris tak terlihat di bawah alisku
yang tebal. Aku telah berubah menjadi gorila.
Nah, ada satu hal yang perlu kauketahui tentang gorila. Mereka ini termasuk
makhluk hidup paling lembut yang ada di muka bumi. Kalau tidak diganggu, mereka
hanya duduk dan makan daun-daunan sepanjang hari.
Dan itulah yang hendak dikerjakan oleh gorila ini. Dalam benak si gorila, itulah
yang hendak dilakukannya saat ini - melahap daun-daunan, dan mungkin sepotong
buah segar. Tapi pikiranku yang asli juga ada di dalam benak itu, bersama dengan naluri si
gorila. Dan aku telah memutuskan untuk memberi pelajaran pada ketiga anak
berandal itu. Memangnya aku takut"
Bukankah aku sekarang berada dalam tubuh gorila seberat dua ratus kilo"
Dan aku kuat sekali. Seberapa kuat" Dibanding gorila, manusia seolah-olah terbuat dari tusuk gigi. Gorila mungkin
empat, lima, atau bahkan enam kali lebih kuat daripada manusia.
Sementara itu kesabaran para pemuda berandal di gang tadi sudah habis.
"Pukul saja," ujar salah satu dari mereka.
Saat itulah aku beraksi. Guna menarik perhatian mereka, kuangkat bak sampah yang
besar itu dan kulempar hingga membentur tembok.
CRASH! BOOM! "Apa itu?" "Hei! Coba lihat itu!"
"Wow! Itu kan semacam... semacam monyet!"
Monyet! aku berseru dalam hati. Enak saja! Aku dibilang Monyet" Rasakan nih!
Aku menerjang sebelum mereka sempat bereaksi. Tanpa pikir panjang aku bergegas
maju. Kalau saja ketiga pemuda berandal itu punya akal sehat, mereka pasti langsung
kabur. Tapi nyatanya mereka diam saja.
"Tangkap dia!" teriak salah satu dari mereka.
Aku mencengkeram lengannya dengan tanganku yang besar kokoh. Dengan mudah aku
mengangkatnya dan melemparnya ke belakang.
"Aaaaaahhhh!" GUBRAK! Ia terjerembap di belakangku. Kedua temannya langsung menyerang, satu dari kiri,
satu dari kanan. Aku melihat kilauan sebilah pisau. Lenganku tergores. Aku
hampir merasa sakit. "Hoo hoo hrrraaawwwrrr!" teriakku dalam bahasa gorila.
Dengan lenganku yang cedera, aku menghantam dada si berandal yang memegang
pisau. Ia terpental ke belakang. Benar-benar terpental. Ia menabrak dinding,
lalu tidak bergerak lagi.
Aku mengangkat pemuda berandal ketiga dengan mencengkeram kerah bajunya,
kemudian melemparkannya ke bak sampah.
"Jangan bunuh akuuu!" ia memekik sambil melayang di udara.
Aku tidak bermaksud membunuh siapa pun. Si pemegang pisau kumasukkan ke bak
sampah bersama temannya. Napasnya terengah engah, tapi kurasa ia takkan mati.
Hah, pikirku, siapa yang butuh Spiderman kalau ada Marco"
Aku masih asyik menyanjung diriku sendiri ketika terdengar bunyi klik. Dua kali
berturut-turut. Bunyi pistol otomatis sedang dikokang.
Aku langsung berbalik. DOR! DOR! Ternyata si anak berandal pertama, yang kulempar ke belakang tadi. Ia sudah
bangkit, dan sedang membidikkan pistol ke arahku.
Aku berbadan kekar. Aku kuat sekali. Tapi pistol adalah urusan lain. Dan
bisingnya minta ampun! Huh, keterlaluan deh. "Ayo, coba tangkap aku, monyet!"
Aku melompat ke balik bak sampah, lalu mendorongnya keras-keras dengan pundakku.
Bak itu langsung menggelincir ke arah si berandal.
"Ahhhhh!" GUBRAK! Sekian dan terima kasih. Aku segera memeriksa keadaan anak muda itu. Ia masih hidup. Tampangnya tidak
keruan, tapi ia masih hidup. Pistolnya tidak kelihatan.
Nah, Marco, aku berkata dalam hati, urusan ini lumayan lancar.
Sekarang kau harus cari tempat tenang, berubah wujud lagi, dan telepon polisi.
Setelah itu masih ada waktu untuk menonton film seri di TV.
Masalahnya, ada satu hal yang terlupakan olehku.
"E-e-e-enyah dari sini, kau... kau monster!"
Si orang tua. Orang tua yang telah kuselamatkan dengan mempertaruhkan nyawa. Ia
berdiri menghadapku. Seluruh tubuhnya gemetaran karena ngeri. Wajahnya merah
padam. Oh, pikirku. Pantas pistolnya tidak kelihatan tadi.
Orang tua itu membidikkan pistol ke arahku. "Mundur, kau setan! Jangan
mendekat." DOR! DOR! DOR! Aku lari dari gang itu sementara peluru berdesingan di sekelilingku.
Ini satu contoh kenapa kita sebaiknya jangan ikut campur urusan orang lain.
Chapter 2 "YEAH, terus aku jadi gorila, dan kuselamatkan orang tua itu. Aku jadi pahlawan.
Mestinya aku jadi Spiderman. Atau Wolverine. Atau Batman..."
"Pantasnya sih jadi Gorilla Boy," Rachel menyela.
Kami sedang melintasi hamparan rumput, sementara ia berjumpalitan ke depan.
Rachel memang jago senam. Tapi sebenarnya ia tidak perlu pamer seperti itu. Huh,
menyebalkan. Satu hari telah berlalu sejak aksi penyelamatanku. Kami berkumpul di salah satu
ladang di pertanian milik Cassie - aku, Jake, Cassie, dan Rachel. Tobias terbang
sekitar tiga puluh meter di atas kami, di langit yang dihiasi awan-awan putih
bersih. "Dan coba tebak, apa yang terjadi ketika aku sedang asyik bergaya seperti
Captain America?" tanyaku. "Aku malah diberondong peluru oleh si kakek. Susu dan
M&M yang kubawa langsung jatuh."
Jake menatapku sambil mengerutkan kening. "Marco, aku senang kau bisa
menyelamatkan orang tua itu. Tapi seharusnya kau jangan berubah jadi gorila."
Nah, waktu membaca ini, kau tentu berpikir, Ehm, Marco" Tunggu dulu deh. Rasanya
ada yang terlewat. Misalnya, bagaimana kau bisa berubah jadi gorila"
Pertanyaan bagus. Semuanya dimulai pada suatu malam, ketika kami baru pulang dari mall. Waktu itu
kami berlima. Pertama, aku sendiri. Lalu ada Jake. Ia sahabat karibku, tapi sayangnya kadang-kadang cukup
menyebalkan. Anaknya cenderung serius. Asal ada yang bicara soal "tanggung
jawab", Jake langsung siap siaga. Ia selalu tampil penuh wibawa dan keyakinan.
Rambutnya berwarna cokelat, dan sorot matanya membuat orang menaruh kepercayaan
padanya. Ia juga punya rasa humor dan sangat cerdas. Aku takkan ragu-ragu untuk
mempercayakan nyawaku padanya. Tapi soal yang satu ini, takkan pernah
kuberitahukan padanya. Kemudian ada Cassie. Pada awalnya aku tidak terlalu mengenalnya. Tapi tampaknya
ia punya hubungan khusus dengan Jake sekarang. Tentu saja tak boleh ada yang
tahu. Jadi, ssst! Tolong jaga rahasia mereka!
Cassie dan aku bisa dibilang bertolak belakang. Aku cenderung berperan sebagai
pelawak, sedangkan Cassie pantas jadi penyair. Ia punya bakat alam sebagai juru
damai. Ia selalu tahu kata-kata yang tepat untuk menghibur kita kalau kita lagi
kesal atau sedih atau kecewa. Ia benar-benar peduli. Perhatiannya tulus dan
memang muncul dari lubuk hatinya.
Cassie juga ahli soal binatang. Kedua orangtuanya dokter hewan. Sebagian besar
waktu luangnya dihabiskannya dengan membantu ayahnya di Klinik Perawatan Satwa
Liar. Pusat perawatan hewan itu menempati gudang jerami di pertanian mereka.
Mereka merawat segala jenis binatang yang cedera atau sakit.
Cassie tahu bagaimana caranya agar serigala yang terluka mau minum obat. (Dan
itu cukup sulit lho! Percayalah. Aku sempat menjelma menjadi serigala.)
Kalau kita masuk gudang jerami, kita akan melihat cewek kulit hitam bertubuh
kecil pendek, mengenakan baju overall dan sepatu bot. Sebelah tangannya masuk ke
moncong serigala, dan ia tersenyum seakan-akan apa yang dilakukannya biasa-biasa
saja. Sementara itu si serigala berdiri dengan tenang dan menuruti setiap
perintahnya. Selanjutnya ada Rachel. Ia cantik sekali. Penampilannya seperti supermodel,
dengan kakinya yang panjang dan rambutnya yang pirang. Penampilannya oke punya,
selalu rapi, dan trendy. Rachel sepupu Jake. Selain benar-benar kece, ia juga benar-benar sinting. Di
balik penampilannya yang serba sempurna, tersembunyi semangat panglima cewek
yang siap melabrak musuh.
Mau tahu tanggapan Rachel kalau kami merencanakan sesuatu, yang saking
berbahayanya bisa membuat jantung mau copot" Ia pasti bilang, "Aku ikut! Ayo,
tunggu apa lagi!" Seandainya mungkin, Rachel pasti memakai baju besi dan membawa pedang ke mana-
mana. Baju besinya pasti sesuai mode terbaru, dan penampilannya pasti keren
sekali. Nah, yang terakhir adalah Tobias. Aku belum begitu mengenalnya ketika kami
pulang dari mall dan melintasi tempat pembangunan gedung yang terbengkalai pada
malam itu. Yang kutahu ia berteman dengan Jake, karena Jake menyelamatkannya
ketika ia hendak dikeroyok sekelompok anak brengsek di sekolah.
Terus terang, aku sudah lupa seperti apa tampang Tobias waktu itu. Sekarang sih,
tampangnya seperti burung pemangsa yang galak dan garang.
Kemampuan metamorfosis yang kami miliki ternyata juga memiliki kelemahan, yaitu
batas waktu dua jam. Kalau kita menjelma lebih dari dua jam, kita tidak bisa
kembali ke wujud kita yang asli.
Itulah sebabnya Tobias melayang-layang di atas kami. Tobias seekor elang.
Tepatnya, elang ekor merah. Dan kelihatannya sampai kapan pun ia akan tetap
berwujud elang. Kadang-kadang aku menggoda Tobias.
Aku ngeri membayangkan apa yang terjadi dengannya.
Tapi kembali ke persoalan semula, pada malam itu kami melintasi tempat
pembangunan gedung yang terbengkalai. Seharusnya dibangun pusat perbelanjaan di
situ, tapi entah kenapa pembangunannya terhenti di tengah jalan.
Lalu mendadak muncul sebuah pesawat ruang angkasa. Pesawat itu membawa pangeran
Andalite yang sedang sekarat setelah bertempur melawan kaum Yeerk di orbit Bumi.
Atau di sekitar situlah. Andalite inilah yang memberitahu kami tentang adanya kaum Yeerk. Mereka bangsa
parasit. Mereka merampas tubuh makhluk hidup lain. Mereka mengambil alih dan
mengendalikan tubuh para manusia, yang selanjutnya disebut Pengendali. Kakak
Jake, Tom, sudah menjadi korban kaum Yeerk. Dan Melissa, teman Rachel - ayahnya
juga Pengendali. Bangsa Andalite berperang melawan kaum Yeerk. Mereka berusaha mencegah pasukan
Yeerk yang bermaksud menyerbu dan menguasai Bumi, tapi ternyata mereka kalah
telak. Sebelum tewas, si Andalite berjanji pada kami bahwa bala bantuan akan
datang. Suatu hari nanti. Sementara itu ia hanya bisa memberi kami sebuah
senjata, untuk melawan kaum Yeerk.
Senjata tersebut adalah morph - kemampuan metamorfosis, alias kemampuan berubah
wujud. Kami tinggal menyentuh seekor binatang untuk menyerap DNA-nya, setelah
itu kami bisa menjelma sebagai binatang tersebut.
Begitulah kisahnya. Kami berlima, lima Anak Baru Gede, diharapkan bertempur
melawan kaum Yeerk sampai bangsa Andalite tiba dan menyelamatkan kami.
Lima ABG melawan kaum Yeerk. Melawan musuh yang telah berhasil memperbudak
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangsa Hork-Bajir yang mengerikan. Musuh yang bersekutu dengan bangsa Taxxon
yang licik. Musuh yang telah menyusup ke dalam masyarakat manusia, dan telah
menempatkan Pengendali di kalangan polisi, guru, tentara, walikota, karyawan
televisi. Mereka ada di mana-mana. Siap menghancurkan semua orang yang
menghalangi mereka. Sedangkan kami cuma lima anak yang bisa berubah menjadi burung. Atau gorila.
"Kemampuan kita sebaiknya jangan dipakai untuk menangani kejahatan sehari-hari,"
Jake mengguruiku. "Masih ingat kejadian dengan Rachel dan Tobias di tempat mobil
bekas" Waktu itu justru kau yang menuduh mereka tidak waras!"
Sebenarnya aku mau membela diri, tapi Rachel keburu angkat bicara.
"Kupikir tindakan Marco sudah benar," katanya. "Memangnya dia harus bersikap
bagaimana" Pura-pura tidak tahu apa yang terjadi" Yang benar saja!"
"Oke, sekarang sudah jelas bahwa perbuatanku keliru," aku berkata. "Setiap kali
Rachel membela perbuatanku, itu berarti tindakanku salah. Tapi justru itu
masalahnya. Aku sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan si kakek, tapi
tak ada yang berterima kasih padaku."
"Aku juga tidak yakin apakah perbuatanmu benar," ujar Cassie. "Tapi niatmu
memang patut dipuji. Kau bertindak seperti pahlawan."
Hmm, aku harus bilang apa" Rasanya sulit berdebat dengan cewek yang baru saja
menyebut kita pahlawan. Jake akhirnya mengalihkan pembicaraan. Ternyata ada urusan yang lebih gawat
lagi. Ia pasang tampang serius.
Aku mengerang. Aku selalu langsung curiga kalau tampangnya sudah disetel seperti
itu. Soalnya itu berarti ada masalah besar.
"Jake" Sebenarnya untuk apa kita berjalan-jalan di tengah ladang ini" Cuacanya
memang nyaman, tapi pasti ada alasan lain, kan?"
"Kita akan menemui Ax," Jake menjelaskan. "Beberapa hari terakhir Cassie dan aku
sering bicara dengannya. Kalian tahu kan, apa yang mau dilakukannya?"
"Oh-oh," aku bergumam. "Pasti ada yang tidak beres."
"Ehm... kelihatannya begitu. Ax mau pulang," jawab Jake.
"Pulang?" Rachel mengulangi.
"Ke planet asal kaum Andalite," kata Cassie.
Ax, yang bernama lengkap Aximili-Esgarrouth-Isthil, adalah makhluk Andalite.
Aku langsung menghentikan langkah. Yang lain ikut berhenti. "Ehm, bukankah
planet asal kaum Andalite lumayan jauh dari sini?"
"Kata Ax, jaraknya sekitar delapan puluh dua tahun cahaya," Jake membenarkan.
"Cahaya merambat dengan kecepatan tiga ratus ribu kilometer per detik," aku
berkomentar. "Dikali enam puluh detik per menit. Dikali enam puluh menit per
jam. Di kali dua puluh empat jam per hari. Dikali tiga ratus enam puluh lima
hari per tahun. Itu satu tahun cahaya. Dikali delapan puluh dua."
Rachel tertawa. "Rupanya kali ini kau tidak ketiduran waktu pelajaran fisika,
Marco." "Kami sempat berusaha menghitungnya, tapi kalkulatornya tak ada yang sanggup,"
kata Jake. "Jake, bisa jadi aku keliru, tapi rasanya tidak ada perusahaan penerbangan yang
melayani rute ke planet asal kaum Andalite," ujarku.
"Memang," sahutnya sambil mengangguk. "Aku tahu. Karena itu kita harus mencuri
pesawat angkasa kaum Yeerk."
Chapter 3 "ITU dia," ujar Cassie.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Dan aku pun melihatnya, di tepi pepohonan
yang berbatasan dengan ladang.
Ax. Si Andalite. Dari jauh ia mirip kuda kecil atau rusa. Ia memiliki dua pasang kaki yang
sanggup bergerak cepat. Tubuh bagian atasnya tampak seperti leher dan kepala
kuda. Dari dekat baru kelihatan bahwa ia juga mempunyai sepasang lengan sebesar
lengan manusia. Kepalanya berbentuk segitiga, dengan dua mata besar bersudut runcing. Itu mata
utamanya. Lalu masih ada dua mata tambahan, masing-masing di ujung sebuah tanduk
yang menyembul di bagian atas kepala. Kedua tanduk itu bisa bergerak-gerak,
sehingga mata tambahannya dapat memandang ke segala arah.
Tapi yang paling membuat orang melotot adalah ekornya.
Cassie dan Rachel menganggap Ax lucu dan menggemaskan.
Entahlah, sebagai cowok aku sulit menilainya. Tapi yang jelas, begitu kita
melihat ekornya, kita langsung tahu bahwa Andalite bukan makhluk lemah lembut
seperti koala atau anak anjing.
Ekor Andalite mirip ekor kalajengking. Ekornya melengkung ke atas dan mempunyai
duri tajam di ujungnya. Ekor ini bisa menyambar lebih cepat daripada penglihatan
kita. Aku pernah melihat makhluk Andalite melakukan hal itu. Pada detik-detik sebelum
sang pangeran Andalite dibunuh makhluk bengis yang dikenal bernama Visser Three,
ia berulang-ulang mengayunkan ekornya.
Bayangan itu kembali muncul dalam benakku, ketika aku memperhatikan Ax berlari
ke arah kami dengan ekor terangkat tinggi-tinggi.
"Mudah-mudahan tidak ada orang lain," Jake berkomentar dengan waswas. Ia segera
memandang berkeliling. Daerah ini cukup terpencil. Rumah dan gudang jerami Cassie saja tidak kelihatan
dari sini. Rasanya tidak mungkin ada orang tersesat sampai kemari.
Aku menengadah dan melihat bulu ekor Tobias yang berwarna kemerahan. Aku
melambaikan tangan padanya.
Tobias berseru melalui bahasa pikiran. yang sedang piknik, tapi jaraknya jauh, beberapa kilometer dari sini.>
Ax berderap menghampiri kami. ia memanggil, juga dengan bahasa
pikiran. Jake menghela napas. Ax beranggapan bahwa Jake pemimpin kami, dan itu memang ada
benarnya. Dan bagi makhluk Andalite, setiap pemimpin pasti semacam pangeran.
Ax tidak punya mulut. Sampai sekarang belum ada yang bertanya bagaimana ia makan
tanpa mulut. Ia berkomunikasi melalui bahasa pikiran. Kami menggunakan cara yang sama seperti
kalau kami sedang bermetamorfosis. Bagi manusia, cara itu bisa dipakai hanya
kalau kita sedang berubah wujud. Bagi kaum Andalite, ini cara komunikasi yang
lazim. "Hai, Ax," sapa Jake ketika si Andalite berhenti di depan kami. "Apa kabar?"
"Aku juga oke," ujar Cassie.
Tobias menukik dari langit. Kemudian ia melebarkan sayap dan mendarat di rumput.
"Tadinya aku juga baik-baik saja, Ax," kataku. "Tapi kemudian seorang anak
mengatakan sesuatu yang konyol sekali."
Ax tampak ragu-ragu. Ia menggerakkan sebelah mata tambahannya ke depan supaya
bisa lebih jelas melihatku. "Ada yang bilang kita akan mencuri pesawat angkasa milik kaum Yeerk."
Ax menampilkan senyum Andalite. Senyum ini sulit digambarkan, tapi yang pasti
mata utamanya ikut bergerak.
"Berbahaya" Oh, yang namanya berbahaya adalah kalau kita melompat dari gedung
tingkat sepuluh. Atau kalau kita memasukkan lidah ke stop kontak listrik. Tapi
mencuri pesawat Yeerk lebih dari berbahaya."
ujar Ax.
Aku melirik ke arah Rachel. "Kurasa kita sudah menemukan pacar yang cocok
untukmu." "Berusaha merebut pesawat Yeerk memang usaha yang terhormat, Ax," kata Jake,
"tapi meraih kehormatan bukan tujuan kita yang paling penting."
Si Andalite tampak terkejut - menurut penglihatanku lho. Mata utamanya melebar,
sedangkan mata tambahannya menjulur ke atas. Kesannya seperti terkejut.
Jake angkat bahu. "Begini, kami berusaha sekuat tenaga untuk memusnahkan kaum
Yeerk. Tapi kami juga harus tetap selamat. Tak ada orang lain selain kami.
Maksudku, tak seorang pun tahu soal penyerbuan kaum Yeerk ke Bumi. Jadi, kalau
sampai terjadi sesuatu dengan kami..." Ia terdiam.
ujar Ax. benar. Kalian sendirian. Kalau kalian gagal, pupuslah segala harapan.>
"Jadi, masalahnya adalah apakah ini bisa kita lakukan, tanpa risiko terbunuh,"
kata Jake. "Yeah, terus terang kami keberatan kalau harus mati," aku menambahkan. "Jadi,
bagaimana cara kita merampas pesawat Yeerk" Semua pesawat mereka ada di orbit di
atas sana. Kita ada di bawah sini. Rasanya sih agak sulit untuk memanggil mereka
dan minta mereka turun."
ujar Ax.
"Apa?"
"Hah" Bagaimana caranya?"
menyelidiki sinyal itu.>
"Maksudnya seperti, 'Halo" Halo" Ini Visser Three" Tolong kirim pesawat untuk
menjemputku,'" aku berkata.
Semula kusangka semua temanku akan tertawa mendengar gagasan konyol itu.
Ternyata mereka diam saja.
"Ehm, halo, teman-teman?" aku mencoba sekali lagi. "Sampai saat ini aku sudah
cukup banyak berurusan dengan Visser Three. Dan terus terang aku tidak berminat
mengobrol lewat telepon dengannya."
sahut Ax.
Ini salah satu sifat Ax yang kusukai. Ia membenci Visser Three.
Ia mengingatkanku pada sang pangeran Andalite, yang kebetulan memang kakaknya.
Setiap kali salah satu dari mereka mengucapkan kata "Yeerk," apalagi "Visser
Three," udara terasa bergetar akibat kebencian mereka.
kata Ax. mengirim pesawat Bug Fighter untuk menyelidikinya.>
"Setiap pesawat Bug paling tidak membawa satu Hork-Bajir dan satu Taxxon,"
kataku mengingatkan. "Dan setiap urusan yang menyangkut Hork-Bajir tidak bisa
disebut sepele." tanya Ax. Ia menatapku dengan keempat matanya.
"Tentu saja aku takut."
Sikapnya terasa berlebihan. Aku tidak tahu banyak tentang bangsa Andalite, tapi
agaknya aku bisa memahami yang satu ini. Ax masih hidup, sedangkan semua
Andalite lain yang datang ke Bumi - termasuk kakaknya, sang pangeran - telah
gugur. Karena itu aku segera mendebatnya. Habis, aku kesal karena dituduh pengecut,
meskipun secara tidak langsung.
"Sudah berapa kali kau berhadapan dengan makhluk Hork-Bajir" Atau Pengendali
lain?" tanyaku. Kedua mata tambahannya merunduk. Ia mengais-ngais tanah dengan sebelah kaki.
ia mengakui.
Aku mengangguk. "Sudah kuduga. Asal tahu saja, Ax. Berhadapan dengan mereka
betul-betul mengerikan. Kadang-kadang kita sampai merasa lebih baik mati
daripada mengalami kengerian seperti itu."
Hmm, aku berkata dalam hati sambil mengamati teman-temanku, tamatlah sudah
suasana gembira ini. Tobias yang pertama bicara lagi. apakah kau bisa pulang ke planet asalmu">
Ax tersentak, tapi ia menjawab
segera kembali ke sini" Secepat mungkin">
mendengarkan saran-saranku. Aku tahu mereka pasti akan datang. Tentu saja dengan
catatan kalau aku bisa pulang dan memberitahu mereka betapa genting situasi
kalian...> Jake menarik napas dalam-dalam. "Oke, sudah waktunya untuk pemungutan suara."
Aku pun menghela napas panjang. Aku sudah tahu bagaimana hasilnya
Chapter 4 "OKE, siap?" tanyaku.
jawab Ax.
Hari itu hari Sabtu, beberapa hari setelah kami menyetujui rencana untuk
merampas pesawat Yeerk. Kami berkumpul di gudang jerami Cassie, di antara
kerangkeng-kerangkeng berisi binatang dan burung yang cedera. Ayah dan ibu
Cassie sedang pergi. Jake menatap jam tangannya. "Jam 10.10," ia mengumumkan.
"Ax mulai berubah wujud pukul 10.12. Prosesnya selesai pukul 10.15. Bus kota
datang pukul 10.25," ujarku. "Sampai di mall pukul 11.00. Saat itu metamorfosis
Ax sudah berlangsung empat puluh lima menit. Berarti tinggal satu seperempat jam
sampai batas waktu."
"Apakah cukup?" tanya Cassie. Ia menggigit-gigit bibir karena gelisah.
Aku angkat bahu. "Tiga puluh menit untuk sampai ke toko Radio Shack, mencari
barang-barang yang diperlukan Ax, membayar semuanya, lalu pulang naik bus pukul
11.30. Kita akan sampai di sini lagi pukul 12.05. Sisa waktunya sepuluh menit."
Wajah Jake tegang. Ia selalu begitu kalau ragu-ragu apakah suatu rencana akan
berhasil atau tidak. "Itu pun kalau semuanya lancar," ujarku.
"Aku tahu. Semuanya siap?" tanya Jake.
"Seharusnya aku ikut," Rachel berkata untuk kesepuluh kalinya pagi itu.
"Jangan. Jangan sampai kita semua tertangkap kalau terjadi masalah gawat,"
ujarku. "Dan aku jamin pasti akan ada masalah."
Ax bertanya dengan sengit.
Jake tersenyum. "Marco bukan tipe optimis."
Tobias meluncur masuk, nyaris tanpa suara. Margolis Avenue sekarang, sesuai jadwal.>
"Oke, Ax. Sudah waktunya berubah," ujar Jake.
"Dan, ehm, jangan lupa pakaiannya, oke?" aku mengingatkan.
Soal pakaian ini sepertinya agak sulit dipahami si Andalite. Kami telah
membelikan celana pendek balap sepeda dan T-shirt untuk digunakan pada waktu
metamorfosis, tapi sampai sekarang Ax tetap belum paham kenapa ia harus memakai
pakaian. Masalah pakaian memang bagian paling menyebalkan dari proses metamorfosis. Kami
sekarang sudah bisa berubah wujud dalam keadaan berpakaian, tapi bajunya harus
benar-benar ketat. Setiap kali kami mencobanya dengan jaket atau sweater,
semuanya pasti terkoyak-koyak. Dan sepatu" Wah, lebih baik jangan tanya deh.
Ax menyahut. kutiru.> "Mulai," ujar Jake sambil menatap jam tangannya.
Ax mulai berubah. Baru sekali aku menyaksikan Ax bermetamorfosis - tak lama setelah kami
menyelamatkannya dari kapal induk Andalite yang tenggelam ke dasar samudra.
Aku sudah biasa melihat manusia berubah wujud. Aku sendiri sudah sering
melakukannya. Bulu kudukku selalu berdiri kalau aku melihat teman-temanku
menjelma menjadi hewan. Tapi untuk Ax, prosesnya agak berbeda. Ia tidak berubah
menjadi binatang, ia justru mengambil wujud manusia.
Tanduk dengan mata tambahannya mengerut. Ekor kalajengkingnya yang mematikan
ikut mengecil dan seakan-akan tertarik masuk ke tubuhnya. Kaki depannya lenyap
sama sekali. "Hei, awas!" seru Jake. Ia menangkap si Andalite yang nyaris terjerembap akibat
kehilangan kaki depan.
Sebuah celah muncul di wajahnya, dan perlahan-lahan berubah menjadi bibir dan
gigi. Sebuah hidung muncul sebagai pengganti sejumlah celah vertikal. Matanya
menjadi kecil dan semakin menyerupai mata manusia.
Tapi yang paling aneh adalah Ax tidak menjelma menjadi sembarang manusia.
Wujudnya meniru orang tertentu.
Tepatnya, empat orang tertentu. Ax telah menyadap DNA Jake, Cassie, Rachel, dan
aku. Entah bagaimana caranya, ia bisa memadukan keempat pola DNA itu dalam wujud
satu orang saja. Hasil akhirnya benar-benar aneh.
Aku menatap Ax dan melihat sebagian dari diriku dan Jake, tapi juga sebagian
dari diri Rachel dan Cassie, padahal Ax jantan.
Aku mengamati Ax sambil berpikir, Hmm, rasanya aku kenal wajah itu.
Tampaknya seperti... hei, itu kan rambutku!
"Ax, kau bisa jadi anak cowok bertampang manis atau anak cewek bertampang jelek
minta ampun," aku berkomentar.
"Aku Andalite," ia menyahut. "Andalite. Lite. Lite."
"Oke, cepat kenakan baju tambahan ini," ujar Jake. "Kita harus berangkat.
Tobias?" Ia menoleh ke balok kayu di bawah atap.
Tobias berkata, lalu
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera terbang. "Ax" Jangan begitu," aku menegurnya.
"Apa" Aa aa aa. Pa."
"Nah, itu. Main bunyi-bunyian. Katakan saja apa yang perlu kausampaikan, lalu
diam." Seperti sudah kujelaskan tadi, makhluk Andalite tidak punya mulut. Mereka juga
tidak mengenal bahasa lisan. Tampaknya Ax menganggap mulut sebagai semacam
mainan. "Oke," ujar Ax. O. Ke."
"Dan satu hal lagi. Sepatu dipasang di kaki, bukan dimasukkan ke kantong."
"Ya. Aku tahu. Ta. Hu." Ia mengeluarkan sepatu ketsnya dari kantong dan menatap
keduanya sambil mengerutkan kening.
Rachel dan Cassie membantunya memasang sepatu dan mengikatkan tali.
"Dia pasti akan dianggap aneh nanti," ujar Rachel sambil menghela napas panjang.
"Untung saja sekarang hari Sabtu," sahutku. "Biasanya di mall penuh orang aneh
pada hari Sabtu." "Tapi tidak seaneh ini," balas Rachel. "Wah, bisa gawat nih."
"Kurasa sekarang sudah agak telat untuk mengakui bahwa aku benar ketika
mengatakan rencana ini tidak masuk akal, ya kan?" tanyaku. "Lagi pula, kau tidak
perlu kuatir. Aku akan ikut."
"Justru itu. Kalau kauikut, sudah bisa dipastikan akan ada bencana."
Kami tidak menemui kesulitan ketika naik bus. Sepanjang jalan Ax terus bersuara
aneh, tapi busnya kebetulan agak kosong.
Kami tiba di mall sesuai jadwal.
"Oke, sejauh ini semuanya lancar," ujar Jake ketika kami masuk.
Aku menggelengkan kepala. "Jake" Tolong jangan bilang 'sejauh ini semuanya
lancar.' Soalnya habis itu pasti terjadi apa-apa."
"Sejauh ini. Sejauh ini. Innm. Innnnni," Ax berkata sambil mencoba berbagai
kombinasi bunyi. "Sssssejauh ini se-se-semuanya lancar."
"Aduh," aku bergumam. "Gawat deh."
Chapter 5 SUASANA di dalam mall ternyata ramai sekali. Orang di mana-mana. Pasangan suami-
istri dengan kereta bayi. Anak-anak sekolah yang mondar-mandir sambil pasang
aksi. Satpam mall yang pasang tampang galak. Cewek-cewek kece yang membawa tas
berlogo The Limited. Yah, beginilah suasana mall pada hari Sabtu.
"Oke, toko Radio Shack ada di sebelah mana?" tanya Jake.
"Aku juga tidak tahu," jawabku. "Bukannya di lantai dua" Di dekat Sears?"
"Masa, sih" Itu Circuit City, kan?"
"Coba kuperiksa di denah gedung. Ax" Ayo, ikut...," Jake mendadak terdiam.
"Marco" Mana Ax"
Aku langsung berbalik. "Tadi ada di sini!"
Orang di mana-mana! Pria, wanita, anak cowok, anak cewek, anak bayi. Tapi tidak
ada makhluk asing. Paling tidak yang langsung terlihat. Kami kehilangan Ax!
Dalam waktu dua menit saja rencana kami sudah berantakan.
Kemudian, tiba-tiba, aku melihat raut wajah yang sangat kukenal.
"Itu dia! Di tangga berjalan!"
"Bagaimana dia bisa sampai di sana?" tanya Jake.
Kami segera berusaha mengejarnya, tapi saking penuhnya kami nyaris tidak bisa
bergerak. Jake mulai menerobos kerumunan orang. Aku cepat-cepat meraih lengannya.
"Jangan lari. Bisa-bisa kau disangka tukang copet oleh satpam. Lagi pula, kita
tidak boleh menarik perhatian. Para Pengendali juga suka belanja."
Jake mengangguk. "Kau benar. Di antara orang sebanyak ini pasti ada beberapa
Pengendali." Kami bergegas secara tidak mencolok.
Aku terus berkata "permisi, permisi," sambil berusaha menghindari orang-orang
yang kelihatannya akan marah kalau kutabrak.
Rasanya lama sekali baru kami sampai di tangga berjalan. Dan sewaktu kami tiba
di sana, Ax tentu saja sudah tak kelihatan.
"Sebenarnya tidak apa-apa dia jalan sendiri, asal dia jangan kembali ke wujudnya
yang asli," kata Jake. "Coba pikir, apa sih yang mungkin dilakukannya?"
"Jake, aku tidak berani membayangkan apa saja yang mungkin dilakukannya,"
kataku. "Itu dia!" "Mana?" "Di depan Starbucks. Tempat minum kopi itu."
Aku tidak sejangkung Jake, jadi aku agak sulit memandang berkeliling. Tapi
ketika kami mendekati Starbucks, aku pun melihatnya. Ia tampak tengah antre
dengan sabar. Kami masih sempat mendengar apa yang dikatakannya ketika tiba gilirannya
dilayani. "Saya minta... kopi susu juga. Ssssusu. Su. Su."
"Rupanya dia mendengar orang lain memesan kopi susu," aku berbisik kepada Jake.
"Dengan atau tanpa kafein?" tanya si pelayan.
Ax terbengong-bengong. "Kafein" Kaf kaf kaf?"
"Silakan. Dua dolar sembilan puluh lima."
Ax kembali melongo. "Li-ima."
Jake merogoh kantong dan mengeluarkan uang yang dibawanya untuk membeli barang-
barang di Radio Shack. "Nih," katanya sambil meletakkan tiga lembar uang satu
dolar di meja layan. Aku meraih lengan Ax dan menggiringnya ke tempat mengambil pesanan. "Ax, jangan
jalan sendirian, oke" Kami hampir saja kehilangan jejakmu."
"Hilang" Aku di sini. Si-nii."
"Yeah, tapi jangan jauh-jauh lagi, oke?" Aku melirik ke arah Jake. "Ini gara-
gara kaubilang 'sejauh ini semuanya lancar.'"
Pelayan Starbucks menyodorkan cangkir kertas kepada Ax.
Ax mengambilnya. Ia menengok ke kiri-kanan untuk melihat apa yang dilakukan
orang-orang lain. Sama seperti mereka, ia pun memasang tutup cangkir.
Lalu, masih sambil meniru orang lain, ia mencoba minum.
"Ehm, Ax?" ujarku. "Kau harus minum dari lubang kecil yang ada di tutupnya."
"Lubang. Di tutupnya! Tidak tumpah! Pah!"
Rupanya ini hal paling ajaib yang pernah dilihat Ax. Barangkali teknologi
cangkir kopi belum terlalu maju di planet asal bangsa Andalite. Mungkin karena
mereka tidak punya mulut, sehingga urusan minum tidak terlalu dipikirkan. Tapi
apa pun alasannya, Ax terus ribut soal itu.
"Begitu sederhana! Hana! Tapi begitu efektif!"
"Yeah, ini memang salah satu keajaiban teknologi manusia," aku berkomentar.
"Aku sudah lama ingin mencoba kegunaan lain mulut. Minum. Makan." Kemudian,
setelah terdiam sejenak, ia menambahkan, "Maaa-kan. Kan."
"Rapatkan lubang kecil itu ke mulutmu," aku memberi petunjuk padanya. "Ayo, kita
harus ke Radio Shack. Kita sudah kehilangan sepuluh menit."
Jake dan aku mengapit Ax dan menggiringnya ke arah Radio Shack.
Ax mencicipi kopinya. "Ahhh! Ohhh! Oh, oh, oh, apa" Apa" Apa itu?"
"Ada apa?" tanyaku waswas. Aku langsung menoleh ke kiri-kanan sambil mencari-
cari bahaya yang mengancam.
"Ada perasaan baru. Aku... tidak bisa kujelaskan. Asalnya... asalnya dari mulut
ini." Ia menunjuk mulutnya. "Karena aku minum cairan ini. Enak. Enak sekali."
Jake dan aku sempat bingung sebelum menyadari apa maksudnya.
"Oh. Rasa kopi!" ujar Jake. "Biasanya Ax tidak punya indra pengecap."
"Paling tidak dia tidak lagi bermain bunyi-bunyian," aku bergumam.
"Pengecap," ujar Ax seakan-akan hendak membantahku. "Ecap. Cap."
Sementara ia minum kopinya, kami menggiringnya ke Radio Shack. "Oke, begini, Ax,
waktu kita tinggal sedikit. Coba lihat, apakah barang-barang yang kauperlukan
ada di sini." Ax memang agak aneh untuk ukuran manusia, tapi soal teknologi ruang angkasa ia
paham sekali. Tanpa harus berpikir dua kali ia mengambil komponen demi
komponen."Ini kelihatannya seperti gairtmof primitif," katanya sambil mengamati
sebuah sakelar kecil. "Dan ini mungkin semacam fleer. Primitif sekali, tapi bisa
dipakai." Dalam waktu sepuluh menit ia telah mengumpulkan selusin komponen, mulai dari
kabel koaksial dan batu baterai, sampai benda-benda yang belum pernah kulihat.
"Oke," ia akhirnya berkata. "Sekarang tinggal mencari transponder Z-space.
Transponder. PONder."
"Mencari apa?" "Transponder Z-space. Untuk mengirim sinyal ke zero space."
Aku menatap Jake. "Zero space?"
Jake membalas tatapanku sambil angkat bahu. "Aku belum pernah dengar."
Ax mengerutkan kening. "Zero space," ia mengulangi. "Zeeero. Kebalikan dari
ruang nyata. Lawan dari kenyataan."
Dengan sabar ia mengamati Jake dan aku.
"Zero space, ruang kosong di mana kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya bisa
dicapai." "Oh," aku mencibir. "Zero space yang itu. Ehm, Ax" Sori kalau kami begitu
primitif, tapi kami belum pernah melebihi kecepatan cahaya. Dan kami belum
pernah dengar soal zero space."
"Oh." "Yeah. Oh." "Sudahlah, barang-barang ini kita bawa saja. Selebihnya bisa kita pikirkan
nanti," kata Jake dengan tenang. Tapi aku tahu bahwa kesabarannya mulai menipis.
"Oke, biar kubayar dulu."
Ax mereguk kopinya sampai habis. "Rasa," ujarnya. "Aku mau mencicipi rasa lain."
Ia memiringkan kepala. "Aku mencium bau. Aku pikir... pi-kiiir... ada hubungan antara rasa dan bau."
"Yeah, kau benar," kataku. "Kami belum sanggup melebihi kecepatan cahaya, tapi
kami bisa membuat roti manis yang berbau harum."
"Manis," Ax mengulangi. "Ini harus kubawa?" ia bertanya sambil mengangkat
cangkir kopi yang sudah kosong.
"Tidak, buang saja."
Rupanya aku salah memilih kata-kata. Serta-merta Ax melempar cangkir itu.
Lemparannya mengenai kepala salah satu penjaga kassa.
"Hei!" "Sori, dia tidak sengaja," aku memekik sambil bergegas menghampiri si kasir.
"Dia... dia sakit. Dia, ehm, punya kelainan. Maksudku, dia suka kejang-kejang."
Jake menambahkan, "Yeah, dia tidak bersalah. Dia menderita sejenis ayan!"
Si kasir mengusap-usap kepala. "Oke, lupakan saja. Lagi pula, dia toh sudah
keluar dari sini." "Apa?" Jake dan aku langsung berbalik. Tapi Ax sudah lenyap.
Jake meraih kantong berisi barang-barang, lalu mengejarku keluar toko.
Ax tidak kelihatan. Tapi kemudian aku memandang ke lantai bawah. Sekelompok orang tampak bergerak
terburu-buru ke arah yang sama. Seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana dan
mereka bergegas untuk melihatnya.
"Mereka menuju ke pusat jajan," ujar Jake.
"Oh, aku punya firasat yang sangat buruk," kataku. Kami berlari ke tangga
berjalan, lalu cepat-cepat turun sambil setiap saat berseru "permisi".
Dalam sekejap kami sudah sampai di pusat jajan. Kami menerobos kerumunan orang
yang tengah tertawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk.
Aku melihat Ax sendirian - sebab semua orang waras telah menyingkir.
Bagaikan orang gila ia bergegas dari satu meja ke meja berikut.
Ia menyambar semua sisa makanan dan segera memasukkannya ke dalam mulut.
Aku melihatnya meraih sepotong pizza yang sudah tinggal setengahnya.
"Rasa!" ia berseru sambil menggigit potongan itu. Sisanya ia lemparkan ke udara.
Lemparannya nyaris mengenai petugas satpam yang sedang menghampirinya.
Ax tidak peduli. Berikutnya ia menemukan sepotong roti manis.
"Ini baunya!" ia berseru. Tanpa pikir panjang ia melahap roti itu. "Ahhh! Ahhh!
Rasa! Rasa! Enak! Nak. Nak."
"Memang enak sih," aku bergumam kepada Jake.
"Kita harus membawanya pergi dari sini," bisik Jake.
"Terlambat. Lihat! Ada tiga satpam lagi."
Mereka berusaha menangkap Ax.
Ax memutuskan sudah waktunya membuang sisa roti manis yang dipegangnya. Roti itu
menerpa wajah petugas satpam yang paling dekat.
"Ax! Lari! Lari!" teriakku.
Agaknya Ax mendengarku, sebab ia langsung kabur. Sayangnya, ia tidak bisa lari
kencang dengan sepasang kaki manusianya. Jadi, sementara ia terhuyung-huyung
sambil dikejar-kejar petugas satpam, ia pun mulai berubah wujud.
Chapter 6 "BERHENTI!" seru salah satu petugas satpam. "Berhenti! Ini perintah!"
Tapi Ax tidak mau berhenti. Ia benar-benar panik.
Seorang wanita keluar dari toko Body Shop sambil membawa kantong belanja berisi
stoples beraneka warna. Ax menabrak wanita itu. Dan kantong belanjanya langsung
terbang. Tanduk di puncak kepala Ax mulai tumbuh. Kedua mata tambahannya pun muncul dan
memandang ke belakang untuk mengawasi orang-orang yang mengejarnya.
Jake dan aku termasuk di antara orang-orang itu. Kami berada di depan para
petugas satpam, tapi jaraknya hanya beberapa langkah saja. Untung saja mereka
menyangka kami dua anak tanggung yang cuma ikut-ikutan.
Salah satu satpam berseru melalui walkie talkie-nya, "Hadang dia di pintu
timur!" Aku melihat sepasang kaki muncul dari dada Ax. Kaki depannya yang asli, mula-
mula kecil, tapi membesar dengan cepat.
Kecepatannya berkurang ketika kaki manusianya mulai berubah. Lututnya berbalik
arah. Tulang punggungnya memanjang dan mulai menampakkan ekor. Saat itulah
orang-orang mulai menjerit.
"Ahhhh ahhhh!" "Apa itu" Apa itu?"
Para pengunjung mall berteriak, berlari, dan membiarkan kantong belanja masing-
masing jatuh ke lantai. Ax tampak seperti makhluk yang berasal dari mimpi buruk.
Setengah manusia, setengah Andalite. Sosoknya terus berubah.
Aku tidak bisa menyalahkan orang-orang itu. Aku sendiri rasanya ingin menjerit-
jerit. Kami sudah mendekati pintu keluar dan bergegas melewati toko reparasi sepatu.
Tiba-tiba Ax jatuh karena tersandung kakinya sendiri. Ia terjerembap di lantai
marmer yang mengilap. Sebagian besar orang tertinggal jauh di belakang, tapi para petugas satpam masih
terus mengejarnya. "Hei, minggir kalian!" salah satu dari mereka menghardik Jake dan aku. "Orang
ini berbahaya." Ax segera bangkit. Ia tampak lebih percaya diri karena telah kembali berkaki
empat. Proses metamorfosisnya sudah hampir rampung. Mulutnya sudah lenyap. Kedua
mata tambahannya sudah berada di tempat seharusnya. Dan kedua lengan serta
keempat kakinya pun sudah utuh.
Kemudian, pada akhir proses perubahan, ekornya muncul.
Seketika aku mendengar satpam terdekat berbisik ngeri, "Andalite!"
Aku segera menoleh dan menatapnya. Hanya para Pengendali yang bisa mengenali
makhluk Andalite. Satpam itu mencabut pistolnya.
"LARI!" aku berteriak kepada Ax.
Si Pengendali berdiri di antara Ax dan pintu keluar. Ia melakukan kesalahan
besar. Ekor si Andalite berkelebat, lebih cepat daripada yang bisa diikuti mata.
Pistol si satpam terpental jauh. Dan ia menggenggam tangannya yang berlumuran
darah. Cepat-cepat kami berlari keluar.
Menyusul terdengar raungan sirene!
"Gawat, itu polisi," kataku. "Bukan sekadar satpam!"
tanya Ax. Ia kembali berkomunikasi dengan bahasa pikiran.
"Hah, baru sekarang dia minta saran"!" Aku memandang berkeliling dengan kalang
kabut. Kami tidak mungkin naik bus. Para petugas satpam menghambur keluar dari mall.
Para petugas polisi melaju naik mobil patroli.
Satu-satunya kemungkinan adalah lari. Jadi itulah yang kami lakukan. Kami
berlari menyusuri deretan mobil yang sedang diparkir.
Dua remaja dan satu makhluk dari planet lain.
"Kita ke supermarket!" seru Jake.
"Apa?" aku terengah-engah. Aku mulai capek.
"Ke situ!" Ia menunjuk toko swalayan di seberang lapangan parkir. Satu-satunya
tempat yang bisa kami tuju.
Beberapa mobil patroli berhenti, diiringi bunyi ban berdecit. "Jangan bergerak!"
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enak saja!" ujarku.
Terburu-buru kami masuk melalui pintu kaca yang besar. Kami benar-benar panik.
Dalam hati aku sudah membayangkan peluru berdesingan di sekitar kami.
"Jake!" aku memekik. "Bantu aku dong!"
Aku mendapat ide untuk menghambat para pengejar. Aku meraih sederet kereta
belanja dan mendorong semuanya ke arah pintu. Jake ikut membantu.
Kemudian kami kembali berlari. Ax menggelincir di lantai yang licin dan menabrak
rak pajangan. Puluhan makanan kaleng berjatuhan di belakangnya.
Para pengunjung berteriak-teriak. Kereta dorong mereka saling tabrak.
"Ada monster! Mommy, ada monster!" terdengar seruan anak kecil.
"Itu cuma monster bohongan," sahut ibunya.
Yeah. Monster pura-pura. Kemudian aku melihat jalan untuk lari. Di ujung gang. Tapi aku butuh waktu.
Orang-orang harus menyingkir dulu. Tak boleh ada saksi mata.
"Ada bom!" teriakku sekeras mungkin. "Ada BOM!"
"Apa?" tanya Jake.
"Ada bom! Ada bom di sini! Lari! Lari! Semuanya keluar! Ada BOM!"
"Sedang apa kau"!" seru Jake.
"Kita sudah dikepung polisi. Hanya ada satu jalan keluar," balasku dengan
sengit. Kemudian aku menunjuk.
Aku menunjuk tangki air berisi lobster hidup di bagian penjualan makanan laut,
di ujung gang. "Oh, ya ampun," Jake mengerang.
"Ya ya ya," ujarku sambil nyengir.
Para pengunjung lari pontang-panting, entah karena takut bom atau karena ngeri
melihat Ax. Tapi keramaian itu sudah cukup untuk menghambat para petugas polisi
selama beberapa detik. Firasatku mengatakan bahwa para Pengendali-polisi berusaha mencegah polisi
sungguhan untuk menangkap kami. Mereka ingin menangkap kami tanpa ada saksi.
"Mari kita berenang," kataku.
Untung saja tangki airnya cukup besar. Cepat-cepat aku masuk.
Jake segera menyusul. Kami berdua masing-masing meraih seekor lobster, lalu
melemparkan seekor lagi kepada Ax.
Menyerap pola DNA lobster itu ternyata tidak mudah. Aku harus berkonsentrasi
penuh. Padahal perhatianku bercabang karena ada pasukan polisi di luar toko yang
sudah siap menyerbu. Dan semuanya pasti membawa senjata.
Lobster di tanganku menjadi lemas dan diam, seperti yang biasa dialami binatang
lainnya kalau kami sedang menyerap pola DNA mereka.
Aku mengembalikannya ke dalam air. Kami membuka baju luar serta sepatu dan
menjejalkan semuanya ke dalam tong sampah, berikut kantong belanja dari Radio
Shack. Ax sudah mengawali proses metamorfosis. Jake dan aku menunggu sampai ia sudah
agak mengecil. Kemudian kami menariknya ke dalam tangki air.
Tubuhnya sudah serbakeras, bagaikan baju besi, dan lengannya sudah retak dan
membengkak. Setelah itu aku mulai berubah wujud.
Aku sering dilanda perasaan ngeri sejak kami menjadi Animorphs. Aku tetap belum
terbiasa. Dan percayalah, saking ngerinya kali ini tulangku sampai bergemeletuk.
Setiap saat mereka bisa muncul.
Dan memergoki kami dalam keadaan setengah berubah.
Aku menoleh ke arah Jake. Matanya telah lenyap, digantikan oleh dua titik hitam.
"Ewww." Di depan mataku, delapan kaki kurus panjang berwarna biru muncul dari dadanya.
"Aaaaaahhh!" aku memekik kaget.
Wajah Jake seolah-olah terbelah. Kupikir aku bisa muntah melihatnya. Hanya saja
aku juga sudah tidak punya mulut.
Sekonyong-konyong aku merasakan sepasang antene menyembul dari keningku,
bagaikan dua tombak yang sangat panjang.
Tubuhku terus bertambah kecil. Permukaan air yang semula cuma selutut kini sudah
sampai di leherku. Perasaanku kacau-balau. Aku sadar bahwa semua tulangku terurai, dan tubuhku
mulai terbungkus lapisan keras.
Tubuh manusiaku seakan-akan meleleh.
Penglihatanku meredup. Aku tak lagi bisa melihat seperti manusia normal.
Tapi ada baiknya. Sebab aku benar-benar tidak berminat melihat perubahan yang
terjadi pada diriku. Chapter 7 RASANYA aku ingin menjerit, menjerit dan menjerit tanpa henti. Tapi mulutku
sudah lenyap. Begitu pula tenggorokan dan pita suaraku.
Kini aku punya empat pasang kaki, dan dua capit besar. Aku bisa melihat
keduanya, walaupun tidak jelas. Sisa tubuhku tidak kelihatan. Tapi aku bisa
melihat beberapa lobster lain dalam air.
Aku ngeri sekali. Makan. Makan. Bunuh dan makan. Otak lobsterku mendadak bekerja, bercampur Baur dengan kesadaranku sebagai
manusia. Sebagai lobster aku punya dua pikiran.
Makan. Makan. Bunuh dan makan. Aku menerima isyarat dari berbagai indra yang tidak kupahami.
Kedua antene-ku yang panjang bisa merasakan suhu air, arus air, dan getaran.
Tapi aku tidak tahu apa arti semua itu.
Mula-mula mataku nyaris tak berguna. Aku melihat bayangan yang terbelah-belah,
tanpa warna-warni yang kukenal selama ini.
Aku bisa melihat kedua capitku. Aku bisa melihat antene-ku.
Dan di belakangku aku bisa melihat permukaan melengkung berwarna biru
kecokelatan, penuh tonjolan.
Tubuhku! aku akhirnya sadar. Itu cangkangku. Kulitku yang keras.
Aku tidak bisa melihat ke bawah. Aku tidak bisa melihat perutku atau kedelapan
kakiku, tapi aku bisa merasakan semuanya ketika aku tiba-tiba melesat menyusuri
dasar tangki yang terbuat dari kaca.
aku memanggil.
sahutnya. Suaranya agak gemetaran. Tapi aku tidak heran,
sebab aku sendiri rasanya sudah mau menangis. Seandainya lobster bisa menangis.
aku membenarkan. Aku senang karena bisa bicara dengan Jake. Sebab
kalau tidak, bisa-bisa aku jadi gila.
Jake memanggil.
jawab Ax.
ujarku. makan. Menurutku lobster tidak termasuk golongan jenius.>
Ax berkata dengan nada heran.
aku berkomentar.
Ketakutan yang dirasakan si mangsa bisa membuat kita kewalahan,> kata Jake.
Aku melihat seekor lobster di dekatku. yang sebelah kiri.> Capit kirinya tidak bergerak. Baru kemudian aku melihat bahwa capit lobster itu
diikat dengan karet gelang. Kami tidak memakai karet gelang. Karet gelang bukan
bagian DNA lobster. Aku melihat lobster lain di sebelah kiri, tanpa karet gelang. Dan satu lagi di
belakang yang pertama. Selain kami bertiga, masih ada setengah lusin lobster
dengan capit terikat karet gelang.
kataku, tangki"> Jake melaporkan.
Ax menimpali.
kataku.
ujar Ax.
Aku melihat ia membuka dan menutup capit.
kata Jake. teliti" Sebaiknya kau mulai berhitung.>
jawab Ax.
Aku terkejut.
kata Jake.
dua jam,> ujarku. terlalu lama dalam wujud ini.>
Menurut Ax, satu jam telah berlalu ketika peristiwa itu terjadi.
Aku merasakan gangguan di dalam air. Bisa kurasakan sesuatu yang berukuran besar
berada di atasku. Sebelum aku sempat berpikir atau bertindak, cangkangku sudah digenggam erat-
erat. Dan tahu-tahu aku sudah diangkat.
Aku kaget sekali. Aku berada di luar air. Di tempat kering. Dan panas. Kedua antene-ku bergoyang-goyang sementara aku
berusaha memahami apa yang terjadi. Mataku tidak melihat apa pun selain cahaya
terang dan beberapa bayangan besar yang tampak samar-samar.
Sesuatu yang berukuran besar menutup capit kananku dengan paksa. Aku tidak bisa
membukanya. Lalu giliran capit kiriku.
Karet gelang! Aku tidak bisa melihat apa-apa di luar air. Aku nyaris buta. Tapi aku tahu apa
yang terjadi. Aku diangkat dari air dan capitku diikat dengan karet gelang.
Kemudian aku merosot jatuh dan menggelincir, menabrak benda-benda yang kurasakan
sebagai lobster lain.
apa-apa.>
Sesuatu yang sangat dingin menimpaku dan menyelip di sekeliling tubuhku. Es"
Aku merasakan diriku terayun-ayun, seperti sedang bermain ayunan.
sahutku. Pengendali. Aku tidak tahu.>
kata Jake. tahu kita bisa memecahkan teka-teki ini. Tapi kalau kita memang berada di tangan
para Pengendali, jangan kembali ke wujud kita yang asli.>
Es di sekeliling tubuhku membuatku mengantuk. Atau mungkin bukan mengantuk,
melainkan lamban. Rasanya aku sempat tidak sadar. Aku tidak tahu berapa lama.
Tapi tiba-tiba aku mendengar suara Ax di dalam kepalaku. tujuh menit!> ia melaporkan.
Aku langsung tersentak. Aku tidak berminat menghabiskan sisa hidupku sebagai
lobster. aku
berseru. kata Jake.
ujarku. Aku berusaha memandang
berkeliling, tapi antene-ku tidak menemukan apa pun selain udara. Dan mataku
hanya melihat sosok-sosok kelabu yang serba samar.
Aku memusatkan perhatian untuk kembali ke wujudku yang asli sebagai manusia.
Dalam hati aku bertanya, apakah aku sempat memejamkan mata manusiaku ketika Jake
mulai berubah wujud. Sebab aku tidak ingin melihat Jake dan Ax berubah. Sekali saja sudah cukup. Aku
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 3 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Kampung Setan 7
K.A. Applegate Serangan Nekat (Animorphs #5) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Marco. Sori, aku tidak bisa menyebutkan nama lengkapku, atau di mana aku tinggal.
Bukannya aku tidak mau lho. Sebenarnya aku akan senang sekali seandainya aku
bisa memperkenalkan diri sebagai Marco Jones, atau Marco Williams, atau Vasquez
atau Brown atau Anderson atau McCain. Marco McCain. Kedengarannya lumayan gagah,
ya" Tapi McCain bukan nama keluargaku yang sebenarnya. Aku bahkan tidak menjamin
bahwa Marco nama depanku yang asli.
Masalahnya, aku belum bosan hidup. Pokoknya aku takkan berbuat apa pun yang bisa
membantu kaum Yeerk menemukan diriku.
Aku hidup di dunia yang mengerikan. Dengan musuh-musuh berada di sekitarku,
mengelilingiku. Musuhku benar-benar menakutkan. Orang yang paling berani pun
akan gentar menghadapi mereka.
Jadi, aku sebenarnya justru ingin menceritakan nama lengkapku, alamat, serta
nomor teleponku sekalian. Sebab kalau aku bisa berbuat begitu, berarti aku tak
lagi punya musuh. Berarti hidupku telah kembali normal. Berarti aku tak perlu
lagi ikut campur urusan orang lain.
Sebetulnya aku tidak suka ikut campur urusan orang lain. Misalnya yang kualami
sewaktu pulang dari toko 7-Eleven. Kejadiannya konyol banget.
Waktu itu aku sedang berjalan kaki membawa susu bebas lemak, sepotong roti, dan
sekantong cokelat M&M. Sejak ibuku meninggal, memang aku yang biasa berbelanja
untuk aku dan ayahku. Toko 7-Eleven yang kudatangi terletak di daerah yang agak kumuh, dan karena itu
aku berjalan agak cepat. Aku pura-pura lupa bahwa sudah pukul sepuluh malam.
Tiba-tiba saja aku mendengarnya.
"Jangan sakiti aku, jangan sakiti aku."
Suara laki-laki. Kedengarannya seperti orang tua. Suara itu berasal dari sebuah
gang yang gelap. Aku menoleh. Lalu berhenti. Aku merapatkan punggung ke dinding bangunan yang
sedang kulewati, dan memasang telinga.
"Berikan uangmu, kakek tua! Jangan sampai aku memukulmu," ujar suara lain.
Kedengarannya ini suara anak muda - dan bernada mengancam.
"Tapi semuanya sudah kuberikan padamu!" seru si orang tua.
Kemudian si pemuda berandal mengucapkan kata-kata kasar yang tak pantas kuulangi
di sini. Pokoknya, ia bermaksud menghajar laki-laki tua itu. Aku juga mendengar
suara-suara lain. Ternyata ada tiga anak berandal. Si orang tua benar-benar
dalam bahaya. "Ini bukan urusanmu, Marco," aku berkata pada diriku sendiri. "Jangan ikut
campur. Jangan bertingkah konyol."
Tiga anak berandal. Tubuh mereka dua kali lebih besar daripada aku. Terus
terang, potonganku bukan seperti Arnold Schwarzenegger.
Aku termasuk pendek untuk usiaku, meskipun demikian - bukan menyombong - aku
punya wajah kece. Ditambah kepribadianku yang ramah. Dan otakku yang encer. Dan sifatku yang
rendah hati. Tapi aku berani bertaruh bahwa ketiga anak berandal di gang itu takkan terkesan
oleh wajah keceku. Untung saja aku masih memiliki kelebihan lain. Sudah agak lama aku tidak mencoba
morph - metamorfosis yang satu ini, tapi ketika aku memusatkan pikiran, semuanya
berjalan lancar. Aku menyelinap ke mulut gang dan bersembunyi di balik bak
sampah. Uh, baunya minta ampun.
Perubahan pertama adalah bulu-bulu yang mulai tumbuh. Bulu itu menyebar dari
lengan dan kaki ke seluruh badanku. Bulu tebal dan kasar berwarna hitam. Pada
bagian lengan, punggung, dan kepala, bulunya panjang-panjang. Sedangkan di semua
bagian tubuh lainnya, bulunya pendek-pendek.
Rahangku bergerak maju. Tulang rahangku berderak-derak ketika seluruh tubuhku
berubah akibat pengaruh DNA yang bukan berasal dari manusia.
Proses berubah wujud alias metamorfosis ini tidak menyakitkan. Kadang-kadang
kita memang terserang perasaan panik, tapi prosesnya tidak membuat kita merasa
sakit. Dan wujud yang kupilih kali ini kebetulan tidak terlalu aneh. Maksudku,
aku tetap memiliki lengan, kaki, dan sebagainya. Lain halnya kalau aku berubah
jadi burung osprey. Atau lumba-lumba. Bayangkan saja, waktu aku jadi lumba-
lumba, aku terpaksa menghirup udara lewat lubang pernapasan di tengkuk.
Dalam wujud yang kupilih kali ini, aku tetap memiliki sepasang lengan. Hanya
saja lenganku jadi lebih besar. Jauh lebih besar. Kakiku menekuk ke depan.
Pundakku jadi kokoh sekali. Rasanya seperti ada sepasang babi yang duduk di
punggungku. Perutku juga menggembung, dan dadaku terbungkus kulit hitam legam.
Wajahku bagaikan topeng hitam, dan mataku nyaris tak terlihat di bawah alisku
yang tebal. Aku telah berubah menjadi gorila.
Nah, ada satu hal yang perlu kauketahui tentang gorila. Mereka ini termasuk
makhluk hidup paling lembut yang ada di muka bumi. Kalau tidak diganggu, mereka
hanya duduk dan makan daun-daunan sepanjang hari.
Dan itulah yang hendak dikerjakan oleh gorila ini. Dalam benak si gorila, itulah
yang hendak dilakukannya saat ini - melahap daun-daunan, dan mungkin sepotong
buah segar. Tapi pikiranku yang asli juga ada di dalam benak itu, bersama dengan naluri si
gorila. Dan aku telah memutuskan untuk memberi pelajaran pada ketiga anak
berandal itu. Memangnya aku takut"
Bukankah aku sekarang berada dalam tubuh gorila seberat dua ratus kilo"
Dan aku kuat sekali. Seberapa kuat" Dibanding gorila, manusia seolah-olah terbuat dari tusuk gigi. Gorila mungkin
empat, lima, atau bahkan enam kali lebih kuat daripada manusia.
Sementara itu kesabaran para pemuda berandal di gang tadi sudah habis.
"Pukul saja," ujar salah satu dari mereka.
Saat itulah aku beraksi. Guna menarik perhatian mereka, kuangkat bak sampah yang
besar itu dan kulempar hingga membentur tembok.
CRASH! BOOM! "Apa itu?" "Hei! Coba lihat itu!"
"Wow! Itu kan semacam... semacam monyet!"
Monyet! aku berseru dalam hati. Enak saja! Aku dibilang Monyet" Rasakan nih!
Aku menerjang sebelum mereka sempat bereaksi. Tanpa pikir panjang aku bergegas
maju. Kalau saja ketiga pemuda berandal itu punya akal sehat, mereka pasti langsung
kabur. Tapi nyatanya mereka diam saja.
"Tangkap dia!" teriak salah satu dari mereka.
Aku mencengkeram lengannya dengan tanganku yang besar kokoh. Dengan mudah aku
mengangkatnya dan melemparnya ke belakang.
"Aaaaaahhhh!" GUBRAK! Ia terjerembap di belakangku. Kedua temannya langsung menyerang, satu dari kiri,
satu dari kanan. Aku melihat kilauan sebilah pisau. Lenganku tergores. Aku
hampir merasa sakit. "Hoo hoo hrrraaawwwrrr!" teriakku dalam bahasa gorila.
Dengan lenganku yang cedera, aku menghantam dada si berandal yang memegang
pisau. Ia terpental ke belakang. Benar-benar terpental. Ia menabrak dinding,
lalu tidak bergerak lagi.
Aku mengangkat pemuda berandal ketiga dengan mencengkeram kerah bajunya,
kemudian melemparkannya ke bak sampah.
"Jangan bunuh akuuu!" ia memekik sambil melayang di udara.
Aku tidak bermaksud membunuh siapa pun. Si pemegang pisau kumasukkan ke bak
sampah bersama temannya. Napasnya terengah engah, tapi kurasa ia takkan mati.
Hah, pikirku, siapa yang butuh Spiderman kalau ada Marco"
Aku masih asyik menyanjung diriku sendiri ketika terdengar bunyi klik. Dua kali
berturut-turut. Bunyi pistol otomatis sedang dikokang.
Aku langsung berbalik. DOR! DOR! Ternyata si anak berandal pertama, yang kulempar ke belakang tadi. Ia sudah
bangkit, dan sedang membidikkan pistol ke arahku.
Aku berbadan kekar. Aku kuat sekali. Tapi pistol adalah urusan lain. Dan
bisingnya minta ampun! Huh, keterlaluan deh. "Ayo, coba tangkap aku, monyet!"
Aku melompat ke balik bak sampah, lalu mendorongnya keras-keras dengan pundakku.
Bak itu langsung menggelincir ke arah si berandal.
"Ahhhhh!" GUBRAK! Sekian dan terima kasih. Aku segera memeriksa keadaan anak muda itu. Ia masih hidup. Tampangnya tidak
keruan, tapi ia masih hidup. Pistolnya tidak kelihatan.
Nah, Marco, aku berkata dalam hati, urusan ini lumayan lancar.
Sekarang kau harus cari tempat tenang, berubah wujud lagi, dan telepon polisi.
Setelah itu masih ada waktu untuk menonton film seri di TV.
Masalahnya, ada satu hal yang terlupakan olehku.
"E-e-e-enyah dari sini, kau... kau monster!"
Si orang tua. Orang tua yang telah kuselamatkan dengan mempertaruhkan nyawa. Ia
berdiri menghadapku. Seluruh tubuhnya gemetaran karena ngeri. Wajahnya merah
padam. Oh, pikirku. Pantas pistolnya tidak kelihatan tadi.
Orang tua itu membidikkan pistol ke arahku. "Mundur, kau setan! Jangan
mendekat." DOR! DOR! DOR! Aku lari dari gang itu sementara peluru berdesingan di sekelilingku.
Ini satu contoh kenapa kita sebaiknya jangan ikut campur urusan orang lain.
Chapter 2 "YEAH, terus aku jadi gorila, dan kuselamatkan orang tua itu. Aku jadi pahlawan.
Mestinya aku jadi Spiderman. Atau Wolverine. Atau Batman..."
"Pantasnya sih jadi Gorilla Boy," Rachel menyela.
Kami sedang melintasi hamparan rumput, sementara ia berjumpalitan ke depan.
Rachel memang jago senam. Tapi sebenarnya ia tidak perlu pamer seperti itu. Huh,
menyebalkan. Satu hari telah berlalu sejak aksi penyelamatanku. Kami berkumpul di salah satu
ladang di pertanian milik Cassie - aku, Jake, Cassie, dan Rachel. Tobias terbang
sekitar tiga puluh meter di atas kami, di langit yang dihiasi awan-awan putih
bersih. "Dan coba tebak, apa yang terjadi ketika aku sedang asyik bergaya seperti
Captain America?" tanyaku. "Aku malah diberondong peluru oleh si kakek. Susu dan
M&M yang kubawa langsung jatuh."
Jake menatapku sambil mengerutkan kening. "Marco, aku senang kau bisa
menyelamatkan orang tua itu. Tapi seharusnya kau jangan berubah jadi gorila."
Nah, waktu membaca ini, kau tentu berpikir, Ehm, Marco" Tunggu dulu deh. Rasanya
ada yang terlewat. Misalnya, bagaimana kau bisa berubah jadi gorila"
Pertanyaan bagus. Semuanya dimulai pada suatu malam, ketika kami baru pulang dari mall. Waktu itu
kami berlima. Pertama, aku sendiri. Lalu ada Jake. Ia sahabat karibku, tapi sayangnya kadang-kadang cukup
menyebalkan. Anaknya cenderung serius. Asal ada yang bicara soal "tanggung
jawab", Jake langsung siap siaga. Ia selalu tampil penuh wibawa dan keyakinan.
Rambutnya berwarna cokelat, dan sorot matanya membuat orang menaruh kepercayaan
padanya. Ia juga punya rasa humor dan sangat cerdas. Aku takkan ragu-ragu untuk
mempercayakan nyawaku padanya. Tapi soal yang satu ini, takkan pernah
kuberitahukan padanya. Kemudian ada Cassie. Pada awalnya aku tidak terlalu mengenalnya. Tapi tampaknya
ia punya hubungan khusus dengan Jake sekarang. Tentu saja tak boleh ada yang
tahu. Jadi, ssst! Tolong jaga rahasia mereka!
Cassie dan aku bisa dibilang bertolak belakang. Aku cenderung berperan sebagai
pelawak, sedangkan Cassie pantas jadi penyair. Ia punya bakat alam sebagai juru
damai. Ia selalu tahu kata-kata yang tepat untuk menghibur kita kalau kita lagi
kesal atau sedih atau kecewa. Ia benar-benar peduli. Perhatiannya tulus dan
memang muncul dari lubuk hatinya.
Cassie juga ahli soal binatang. Kedua orangtuanya dokter hewan. Sebagian besar
waktu luangnya dihabiskannya dengan membantu ayahnya di Klinik Perawatan Satwa
Liar. Pusat perawatan hewan itu menempati gudang jerami di pertanian mereka.
Mereka merawat segala jenis binatang yang cedera atau sakit.
Cassie tahu bagaimana caranya agar serigala yang terluka mau minum obat. (Dan
itu cukup sulit lho! Percayalah. Aku sempat menjelma menjadi serigala.)
Kalau kita masuk gudang jerami, kita akan melihat cewek kulit hitam bertubuh
kecil pendek, mengenakan baju overall dan sepatu bot. Sebelah tangannya masuk ke
moncong serigala, dan ia tersenyum seakan-akan apa yang dilakukannya biasa-biasa
saja. Sementara itu si serigala berdiri dengan tenang dan menuruti setiap
perintahnya. Selanjutnya ada Rachel. Ia cantik sekali. Penampilannya seperti supermodel,
dengan kakinya yang panjang dan rambutnya yang pirang. Penampilannya oke punya,
selalu rapi, dan trendy. Rachel sepupu Jake. Selain benar-benar kece, ia juga benar-benar sinting. Di
balik penampilannya yang serba sempurna, tersembunyi semangat panglima cewek
yang siap melabrak musuh.
Mau tahu tanggapan Rachel kalau kami merencanakan sesuatu, yang saking
berbahayanya bisa membuat jantung mau copot" Ia pasti bilang, "Aku ikut! Ayo,
tunggu apa lagi!" Seandainya mungkin, Rachel pasti memakai baju besi dan membawa pedang ke mana-
mana. Baju besinya pasti sesuai mode terbaru, dan penampilannya pasti keren
sekali. Nah, yang terakhir adalah Tobias. Aku belum begitu mengenalnya ketika kami
pulang dari mall dan melintasi tempat pembangunan gedung yang terbengkalai pada
malam itu. Yang kutahu ia berteman dengan Jake, karena Jake menyelamatkannya
ketika ia hendak dikeroyok sekelompok anak brengsek di sekolah.
Terus terang, aku sudah lupa seperti apa tampang Tobias waktu itu. Sekarang sih,
tampangnya seperti burung pemangsa yang galak dan garang.
Kemampuan metamorfosis yang kami miliki ternyata juga memiliki kelemahan, yaitu
batas waktu dua jam. Kalau kita menjelma lebih dari dua jam, kita tidak bisa
kembali ke wujud kita yang asli.
Itulah sebabnya Tobias melayang-layang di atas kami. Tobias seekor elang.
Tepatnya, elang ekor merah. Dan kelihatannya sampai kapan pun ia akan tetap
berwujud elang. Kadang-kadang aku menggoda Tobias.
Aku ngeri membayangkan apa yang terjadi dengannya.
Tapi kembali ke persoalan semula, pada malam itu kami melintasi tempat
pembangunan gedung yang terbengkalai. Seharusnya dibangun pusat perbelanjaan di
situ, tapi entah kenapa pembangunannya terhenti di tengah jalan.
Lalu mendadak muncul sebuah pesawat ruang angkasa. Pesawat itu membawa pangeran
Andalite yang sedang sekarat setelah bertempur melawan kaum Yeerk di orbit Bumi.
Atau di sekitar situlah. Andalite inilah yang memberitahu kami tentang adanya kaum Yeerk. Mereka bangsa
parasit. Mereka merampas tubuh makhluk hidup lain. Mereka mengambil alih dan
mengendalikan tubuh para manusia, yang selanjutnya disebut Pengendali. Kakak
Jake, Tom, sudah menjadi korban kaum Yeerk. Dan Melissa, teman Rachel - ayahnya
juga Pengendali. Bangsa Andalite berperang melawan kaum Yeerk. Mereka berusaha mencegah pasukan
Yeerk yang bermaksud menyerbu dan menguasai Bumi, tapi ternyata mereka kalah
telak. Sebelum tewas, si Andalite berjanji pada kami bahwa bala bantuan akan
datang. Suatu hari nanti. Sementara itu ia hanya bisa memberi kami sebuah
senjata, untuk melawan kaum Yeerk.
Senjata tersebut adalah morph - kemampuan metamorfosis, alias kemampuan berubah
wujud. Kami tinggal menyentuh seekor binatang untuk menyerap DNA-nya, setelah
itu kami bisa menjelma sebagai binatang tersebut.
Begitulah kisahnya. Kami berlima, lima Anak Baru Gede, diharapkan bertempur
melawan kaum Yeerk sampai bangsa Andalite tiba dan menyelamatkan kami.
Lima ABG melawan kaum Yeerk. Melawan musuh yang telah berhasil memperbudak
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangsa Hork-Bajir yang mengerikan. Musuh yang bersekutu dengan bangsa Taxxon
yang licik. Musuh yang telah menyusup ke dalam masyarakat manusia, dan telah
menempatkan Pengendali di kalangan polisi, guru, tentara, walikota, karyawan
televisi. Mereka ada di mana-mana. Siap menghancurkan semua orang yang
menghalangi mereka. Sedangkan kami cuma lima anak yang bisa berubah menjadi burung. Atau gorila.
"Kemampuan kita sebaiknya jangan dipakai untuk menangani kejahatan sehari-hari,"
Jake mengguruiku. "Masih ingat kejadian dengan Rachel dan Tobias di tempat mobil
bekas" Waktu itu justru kau yang menuduh mereka tidak waras!"
Sebenarnya aku mau membela diri, tapi Rachel keburu angkat bicara.
"Kupikir tindakan Marco sudah benar," katanya. "Memangnya dia harus bersikap
bagaimana" Pura-pura tidak tahu apa yang terjadi" Yang benar saja!"
"Oke, sekarang sudah jelas bahwa perbuatanku keliru," aku berkata. "Setiap kali
Rachel membela perbuatanku, itu berarti tindakanku salah. Tapi justru itu
masalahnya. Aku sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan si kakek, tapi
tak ada yang berterima kasih padaku."
"Aku juga tidak yakin apakah perbuatanmu benar," ujar Cassie. "Tapi niatmu
memang patut dipuji. Kau bertindak seperti pahlawan."
Hmm, aku harus bilang apa" Rasanya sulit berdebat dengan cewek yang baru saja
menyebut kita pahlawan. Jake akhirnya mengalihkan pembicaraan. Ternyata ada urusan yang lebih gawat
lagi. Ia pasang tampang serius.
Aku mengerang. Aku selalu langsung curiga kalau tampangnya sudah disetel seperti
itu. Soalnya itu berarti ada masalah besar.
"Jake" Sebenarnya untuk apa kita berjalan-jalan di tengah ladang ini" Cuacanya
memang nyaman, tapi pasti ada alasan lain, kan?"
"Kita akan menemui Ax," Jake menjelaskan. "Beberapa hari terakhir Cassie dan aku
sering bicara dengannya. Kalian tahu kan, apa yang mau dilakukannya?"
"Oh-oh," aku bergumam. "Pasti ada yang tidak beres."
"Ehm... kelihatannya begitu. Ax mau pulang," jawab Jake.
"Pulang?" Rachel mengulangi.
"Ke planet asal kaum Andalite," kata Cassie.
Ax, yang bernama lengkap Aximili-Esgarrouth-Isthil, adalah makhluk Andalite.
Aku langsung menghentikan langkah. Yang lain ikut berhenti. "Ehm, bukankah
planet asal kaum Andalite lumayan jauh dari sini?"
"Kata Ax, jaraknya sekitar delapan puluh dua tahun cahaya," Jake membenarkan.
"Cahaya merambat dengan kecepatan tiga ratus ribu kilometer per detik," aku
berkomentar. "Dikali enam puluh detik per menit. Dikali enam puluh menit per
jam. Di kali dua puluh empat jam per hari. Dikali tiga ratus enam puluh lima
hari per tahun. Itu satu tahun cahaya. Dikali delapan puluh dua."
Rachel tertawa. "Rupanya kali ini kau tidak ketiduran waktu pelajaran fisika,
Marco." "Kami sempat berusaha menghitungnya, tapi kalkulatornya tak ada yang sanggup,"
kata Jake. "Jake, bisa jadi aku keliru, tapi rasanya tidak ada perusahaan penerbangan yang
melayani rute ke planet asal kaum Andalite," ujarku.
"Memang," sahutnya sambil mengangguk. "Aku tahu. Karena itu kita harus mencuri
pesawat angkasa kaum Yeerk."
Chapter 3 "ITU dia," ujar Cassie.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Dan aku pun melihatnya, di tepi pepohonan
yang berbatasan dengan ladang.
Ax. Si Andalite. Dari jauh ia mirip kuda kecil atau rusa. Ia memiliki dua pasang kaki yang
sanggup bergerak cepat. Tubuh bagian atasnya tampak seperti leher dan kepala
kuda. Dari dekat baru kelihatan bahwa ia juga mempunyai sepasang lengan sebesar
lengan manusia. Kepalanya berbentuk segitiga, dengan dua mata besar bersudut runcing. Itu mata
utamanya. Lalu masih ada dua mata tambahan, masing-masing di ujung sebuah tanduk
yang menyembul di bagian atas kepala. Kedua tanduk itu bisa bergerak-gerak,
sehingga mata tambahannya dapat memandang ke segala arah.
Tapi yang paling membuat orang melotot adalah ekornya.
Cassie dan Rachel menganggap Ax lucu dan menggemaskan.
Entahlah, sebagai cowok aku sulit menilainya. Tapi yang jelas, begitu kita
melihat ekornya, kita langsung tahu bahwa Andalite bukan makhluk lemah lembut
seperti koala atau anak anjing.
Ekor Andalite mirip ekor kalajengking. Ekornya melengkung ke atas dan mempunyai
duri tajam di ujungnya. Ekor ini bisa menyambar lebih cepat daripada penglihatan
kita. Aku pernah melihat makhluk Andalite melakukan hal itu. Pada detik-detik sebelum
sang pangeran Andalite dibunuh makhluk bengis yang dikenal bernama Visser Three,
ia berulang-ulang mengayunkan ekornya.
Bayangan itu kembali muncul dalam benakku, ketika aku memperhatikan Ax berlari
ke arah kami dengan ekor terangkat tinggi-tinggi.
"Mudah-mudahan tidak ada orang lain," Jake berkomentar dengan waswas. Ia segera
memandang berkeliling. Daerah ini cukup terpencil. Rumah dan gudang jerami Cassie saja tidak kelihatan
dari sini. Rasanya tidak mungkin ada orang tersesat sampai kemari.
Aku menengadah dan melihat bulu ekor Tobias yang berwarna kemerahan. Aku
melambaikan tangan padanya.
Ax berderap menghampiri kami.
pikiran. Jake menghela napas. Ax beranggapan bahwa Jake pemimpin kami, dan itu memang ada
benarnya. Dan bagi makhluk Andalite, setiap pemimpin pasti semacam pangeran.
Ax tidak punya mulut. Sampai sekarang belum ada yang bertanya bagaimana ia makan
tanpa mulut. Ia berkomunikasi melalui bahasa pikiran. Kami menggunakan cara yang sama seperti
kalau kami sedang bermetamorfosis. Bagi manusia, cara itu bisa dipakai hanya
kalau kita sedang berubah wujud. Bagi kaum Andalite, ini cara komunikasi yang
lazim. "Hai, Ax," sapa Jake ketika si Andalite berhenti di depan kami. "Apa kabar?"
"Aku juga oke," ujar Cassie.
Tobias menukik dari langit. Kemudian ia melebarkan sayap dan mendarat di rumput.
"Tadinya aku juga baik-baik saja, Ax," kataku. "Tapi kemudian seorang anak
mengatakan sesuatu yang konyol sekali."
Ax tampak ragu-ragu. Ia menggerakkan sebelah mata tambahannya ke depan supaya
bisa lebih jelas melihatku.
Ax menampilkan senyum Andalite. Senyum ini sulit digambarkan, tapi yang pasti
mata utamanya ikut bergerak.
"Berbahaya" Oh, yang namanya berbahaya adalah kalau kita melompat dari gedung
tingkat sepuluh. Atau kalau kita memasukkan lidah ke stop kontak listrik. Tapi
mencuri pesawat Yeerk lebih dari berbahaya."
Aku melirik ke arah Rachel. "Kurasa kita sudah menemukan pacar yang cocok
untukmu." "Berusaha merebut pesawat Yeerk memang usaha yang terhormat, Ax," kata Jake,
"tapi meraih kehormatan bukan tujuan kita yang paling penting."
Si Andalite tampak terkejut - menurut penglihatanku lho. Mata utamanya melebar,
sedangkan mata tambahannya menjulur ke atas. Kesannya seperti terkejut.
Jake angkat bahu. "Begini, kami berusaha sekuat tenaga untuk memusnahkan kaum
Yeerk. Tapi kami juga harus tetap selamat. Tak ada orang lain selain kami.
Maksudku, tak seorang pun tahu soal penyerbuan kaum Yeerk ke Bumi. Jadi, kalau
sampai terjadi sesuatu dengan kami..." Ia terdiam.
"Jadi, masalahnya adalah apakah ini bisa kita lakukan, tanpa risiko terbunuh,"
kata Jake. "Yeah, terus terang kami keberatan kalau harus mati," aku menambahkan. "Jadi,
bagaimana cara kita merampas pesawat Yeerk" Semua pesawat mereka ada di orbit di
atas sana. Kita ada di bawah sini. Rasanya sih agak sulit untuk memanggil mereka
dan minta mereka turun."
"Apa?"
"Hah" Bagaimana caranya?"
"Maksudnya seperti, 'Halo" Halo" Ini Visser Three" Tolong kirim pesawat untuk
menjemputku,'" aku berkata.
Semula kusangka semua temanku akan tertawa mendengar gagasan konyol itu.
Ternyata mereka diam saja.
"Ehm, halo, teman-teman?" aku mencoba sekali lagi. "Sampai saat ini aku sudah
cukup banyak berurusan dengan Visser Three. Dan terus terang aku tidak berminat
mengobrol lewat telepon dengannya."
Ini salah satu sifat Ax yang kusukai. Ia membenci Visser Three.
Ia mengingatkanku pada sang pangeran Andalite, yang kebetulan memang kakaknya.
Setiap kali salah satu dari mereka mengucapkan kata "Yeerk," apalagi "Visser
Three," udara terasa bergetar akibat kebencian mereka.
"Setiap pesawat Bug paling tidak membawa satu Hork-Bajir dan satu Taxxon,"
kataku mengingatkan. "Dan setiap urusan yang menyangkut Hork-Bajir tidak bisa
disebut sepele."
"Tentu saja aku takut."
Sikapnya terasa berlebihan. Aku tidak tahu banyak tentang bangsa Andalite, tapi
agaknya aku bisa memahami yang satu ini. Ax masih hidup, sedangkan semua
Andalite lain yang datang ke Bumi - termasuk kakaknya, sang pangeran - telah
gugur. Karena itu aku segera mendebatnya. Habis, aku kesal karena dituduh pengecut,
meskipun secara tidak langsung.
"Sudah berapa kali kau berhadapan dengan makhluk Hork-Bajir" Atau Pengendali
lain?" tanyaku. Kedua mata tambahannya merunduk. Ia mengais-ngais tanah dengan sebelah kaki.
Aku mengangguk. "Sudah kuduga. Asal tahu saja, Ax. Berhadapan dengan mereka
betul-betul mengerikan. Kadang-kadang kita sampai merasa lebih baik mati
daripada mengalami kengerian seperti itu."
Hmm, aku berkata dalam hati sambil mengamati teman-temanku, tamatlah sudah
suasana gembira ini. Tobias yang pertama bicara lagi.
Ax tersentak, tapi ia menjawab
catatan kalau aku bisa pulang dan memberitahu mereka betapa genting situasi
kalian...> Jake menarik napas dalam-dalam. "Oke, sudah waktunya untuk pemungutan suara."
Aku pun menghela napas panjang. Aku sudah tahu bagaimana hasilnya
Chapter 4 "OKE, siap?" tanyaku.
Hari itu hari Sabtu, beberapa hari setelah kami menyetujui rencana untuk
merampas pesawat Yeerk. Kami berkumpul di gudang jerami Cassie, di antara
kerangkeng-kerangkeng berisi binatang dan burung yang cedera. Ayah dan ibu
Cassie sedang pergi. Jake menatap jam tangannya. "Jam 10.10," ia mengumumkan.
"Ax mulai berubah wujud pukul 10.12. Prosesnya selesai pukul 10.15. Bus kota
datang pukul 10.25," ujarku. "Sampai di mall pukul 11.00. Saat itu metamorfosis
Ax sudah berlangsung empat puluh lima menit. Berarti tinggal satu seperempat jam
sampai batas waktu."
"Apakah cukup?" tanya Cassie. Ia menggigit-gigit bibir karena gelisah.
Aku angkat bahu. "Tiga puluh menit untuk sampai ke toko Radio Shack, mencari
barang-barang yang diperlukan Ax, membayar semuanya, lalu pulang naik bus pukul
11.30. Kita akan sampai di sini lagi pukul 12.05. Sisa waktunya sepuluh menit."
Wajah Jake tegang. Ia selalu begitu kalau ragu-ragu apakah suatu rencana akan
berhasil atau tidak. "Itu pun kalau semuanya lancar," ujarku.
"Aku tahu. Semuanya siap?" tanya Jake.
"Seharusnya aku ikut," Rachel berkata untuk kesepuluh kalinya pagi itu.
"Jangan. Jangan sampai kita semua tertangkap kalau terjadi masalah gawat,"
ujarku. "Dan aku jamin pasti akan ada masalah."
Jake tersenyum. "Marco bukan tipe optimis."
Tobias meluncur masuk, nyaris tanpa suara.
"Oke, Ax. Sudah waktunya berubah," ujar Jake.
"Dan, ehm, jangan lupa pakaiannya, oke?" aku mengingatkan.
Soal pakaian ini sepertinya agak sulit dipahami si Andalite. Kami telah
membelikan celana pendek balap sepeda dan T-shirt untuk digunakan pada waktu
metamorfosis, tapi sampai sekarang Ax tetap belum paham kenapa ia harus memakai
pakaian. Masalah pakaian memang bagian paling menyebalkan dari proses metamorfosis. Kami
sekarang sudah bisa berubah wujud dalam keadaan berpakaian, tapi bajunya harus
benar-benar ketat. Setiap kali kami mencobanya dengan jaket atau sweater,
semuanya pasti terkoyak-koyak. Dan sepatu" Wah, lebih baik jangan tanya deh.
Ax mulai berubah. Baru sekali aku menyaksikan Ax bermetamorfosis - tak lama setelah kami
menyelamatkannya dari kapal induk Andalite yang tenggelam ke dasar samudra.
Aku sudah biasa melihat manusia berubah wujud. Aku sendiri sudah sering
melakukannya. Bulu kudukku selalu berdiri kalau aku melihat teman-temanku
menjelma menjadi hewan. Tapi untuk Ax, prosesnya agak berbeda. Ia tidak berubah
menjadi binatang, ia justru mengambil wujud manusia.
Tanduk dengan mata tambahannya mengerut. Ekor kalajengkingnya yang mematikan
ikut mengecil dan seakan-akan tertarik masuk ke tubuhnya. Kaki depannya lenyap
sama sekali. "Hei, awas!" seru Jake. Ia menangkap si Andalite yang nyaris terjerembap akibat
kehilangan kaki depan.
Sebuah celah muncul di wajahnya, dan perlahan-lahan berubah menjadi bibir dan
gigi. Sebuah hidung muncul sebagai pengganti sejumlah celah vertikal. Matanya
menjadi kecil dan semakin menyerupai mata manusia.
Tapi yang paling aneh adalah Ax tidak menjelma menjadi sembarang manusia.
Wujudnya meniru orang tertentu.
Tepatnya, empat orang tertentu. Ax telah menyadap DNA Jake, Cassie, Rachel, dan
aku. Entah bagaimana caranya, ia bisa memadukan keempat pola DNA itu dalam wujud
satu orang saja. Hasil akhirnya benar-benar aneh.
Aku menatap Ax dan melihat sebagian dari diriku dan Jake, tapi juga sebagian
dari diri Rachel dan Cassie, padahal Ax jantan.
Aku mengamati Ax sambil berpikir, Hmm, rasanya aku kenal wajah itu.
Tampaknya seperti... hei, itu kan rambutku!
"Ax, kau bisa jadi anak cowok bertampang manis atau anak cewek bertampang jelek
minta ampun," aku berkomentar.
"Aku Andalite," ia menyahut. "Andalite. Lite. Lite."
"Oke, cepat kenakan baju tambahan ini," ujar Jake. "Kita harus berangkat.
Tobias?" Ia menoleh ke balok kayu di bawah atap.
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera terbang.
"Apa" Aa aa aa. Pa."
"Nah, itu. Main bunyi-bunyian. Katakan saja apa yang perlu kausampaikan, lalu
diam." Seperti sudah kujelaskan tadi, makhluk Andalite tidak punya mulut. Mereka juga
tidak mengenal bahasa lisan. Tampaknya Ax menganggap mulut sebagai semacam
mainan. "Oke," ujar Ax. O. Ke."
"Dan satu hal lagi. Sepatu dipasang di kaki, bukan dimasukkan ke kantong."
"Ya. Aku tahu. Ta. Hu." Ia mengeluarkan sepatu ketsnya dari kantong dan menatap
keduanya sambil mengerutkan kening.
Rachel dan Cassie membantunya memasang sepatu dan mengikatkan tali.
"Dia pasti akan dianggap aneh nanti," ujar Rachel sambil menghela napas panjang.
"Untung saja sekarang hari Sabtu," sahutku. "Biasanya di mall penuh orang aneh
pada hari Sabtu." "Tapi tidak seaneh ini," balas Rachel. "Wah, bisa gawat nih."
"Kurasa sekarang sudah agak telat untuk mengakui bahwa aku benar ketika
mengatakan rencana ini tidak masuk akal, ya kan?" tanyaku. "Lagi pula, kau tidak
perlu kuatir. Aku akan ikut."
"Justru itu. Kalau kauikut, sudah bisa dipastikan akan ada bencana."
Kami tidak menemui kesulitan ketika naik bus. Sepanjang jalan Ax terus bersuara
aneh, tapi busnya kebetulan agak kosong.
Kami tiba di mall sesuai jadwal.
"Oke, sejauh ini semuanya lancar," ujar Jake ketika kami masuk.
Aku menggelengkan kepala. "Jake" Tolong jangan bilang 'sejauh ini semuanya
lancar.' Soalnya habis itu pasti terjadi apa-apa."
"Sejauh ini. Sejauh ini. Innm. Innnnni," Ax berkata sambil mencoba berbagai
kombinasi bunyi. "Sssssejauh ini se-se-semuanya lancar."
"Aduh," aku bergumam. "Gawat deh."
Chapter 5 SUASANA di dalam mall ternyata ramai sekali. Orang di mana-mana. Pasangan suami-
istri dengan kereta bayi. Anak-anak sekolah yang mondar-mandir sambil pasang
aksi. Satpam mall yang pasang tampang galak. Cewek-cewek kece yang membawa tas
berlogo The Limited. Yah, beginilah suasana mall pada hari Sabtu.
"Oke, toko Radio Shack ada di sebelah mana?" tanya Jake.
"Aku juga tidak tahu," jawabku. "Bukannya di lantai dua" Di dekat Sears?"
"Masa, sih" Itu Circuit City, kan?"
"Coba kuperiksa di denah gedung. Ax" Ayo, ikut...," Jake mendadak terdiam.
"Marco" Mana Ax"
Aku langsung berbalik. "Tadi ada di sini!"
Orang di mana-mana! Pria, wanita, anak cowok, anak cewek, anak bayi. Tapi tidak
ada makhluk asing. Paling tidak yang langsung terlihat. Kami kehilangan Ax!
Dalam waktu dua menit saja rencana kami sudah berantakan.
Kemudian, tiba-tiba, aku melihat raut wajah yang sangat kukenal.
"Itu dia! Di tangga berjalan!"
"Bagaimana dia bisa sampai di sana?" tanya Jake.
Kami segera berusaha mengejarnya, tapi saking penuhnya kami nyaris tidak bisa
bergerak. Jake mulai menerobos kerumunan orang. Aku cepat-cepat meraih lengannya.
"Jangan lari. Bisa-bisa kau disangka tukang copet oleh satpam. Lagi pula, kita
tidak boleh menarik perhatian. Para Pengendali juga suka belanja."
Jake mengangguk. "Kau benar. Di antara orang sebanyak ini pasti ada beberapa
Pengendali." Kami bergegas secara tidak mencolok.
Aku terus berkata "permisi, permisi," sambil berusaha menghindari orang-orang
yang kelihatannya akan marah kalau kutabrak.
Rasanya lama sekali baru kami sampai di tangga berjalan. Dan sewaktu kami tiba
di sana, Ax tentu saja sudah tak kelihatan.
"Sebenarnya tidak apa-apa dia jalan sendiri, asal dia jangan kembali ke wujudnya
yang asli," kata Jake. "Coba pikir, apa sih yang mungkin dilakukannya?"
"Jake, aku tidak berani membayangkan apa saja yang mungkin dilakukannya,"
kataku. "Itu dia!" "Mana?" "Di depan Starbucks. Tempat minum kopi itu."
Aku tidak sejangkung Jake, jadi aku agak sulit memandang berkeliling. Tapi
ketika kami mendekati Starbucks, aku pun melihatnya. Ia tampak tengah antre
dengan sabar. Kami masih sempat mendengar apa yang dikatakannya ketika tiba gilirannya
dilayani. "Saya minta... kopi susu juga. Ssssusu. Su. Su."
"Rupanya dia mendengar orang lain memesan kopi susu," aku berbisik kepada Jake.
"Dengan atau tanpa kafein?" tanya si pelayan.
Ax terbengong-bengong. "Kafein" Kaf kaf kaf?"
"Silakan. Dua dolar sembilan puluh lima."
Ax kembali melongo. "Li-ima."
Jake merogoh kantong dan mengeluarkan uang yang dibawanya untuk membeli barang-
barang di Radio Shack. "Nih," katanya sambil meletakkan tiga lembar uang satu
dolar di meja layan. Aku meraih lengan Ax dan menggiringnya ke tempat mengambil pesanan. "Ax, jangan
jalan sendirian, oke" Kami hampir saja kehilangan jejakmu."
"Hilang" Aku di sini. Si-nii."
"Yeah, tapi jangan jauh-jauh lagi, oke?" Aku melirik ke arah Jake. "Ini gara-
gara kaubilang 'sejauh ini semuanya lancar.'"
Pelayan Starbucks menyodorkan cangkir kertas kepada Ax.
Ax mengambilnya. Ia menengok ke kiri-kanan untuk melihat apa yang dilakukan
orang-orang lain. Sama seperti mereka, ia pun memasang tutup cangkir.
Lalu, masih sambil meniru orang lain, ia mencoba minum.
"Ehm, Ax?" ujarku. "Kau harus minum dari lubang kecil yang ada di tutupnya."
"Lubang. Di tutupnya! Tidak tumpah! Pah!"
Rupanya ini hal paling ajaib yang pernah dilihat Ax. Barangkali teknologi
cangkir kopi belum terlalu maju di planet asal bangsa Andalite. Mungkin karena
mereka tidak punya mulut, sehingga urusan minum tidak terlalu dipikirkan. Tapi
apa pun alasannya, Ax terus ribut soal itu.
"Begitu sederhana! Hana! Tapi begitu efektif!"
"Yeah, ini memang salah satu keajaiban teknologi manusia," aku berkomentar.
"Aku sudah lama ingin mencoba kegunaan lain mulut. Minum. Makan." Kemudian,
setelah terdiam sejenak, ia menambahkan, "Maaa-kan. Kan."
"Rapatkan lubang kecil itu ke mulutmu," aku memberi petunjuk padanya. "Ayo, kita
harus ke Radio Shack. Kita sudah kehilangan sepuluh menit."
Jake dan aku mengapit Ax dan menggiringnya ke arah Radio Shack.
Ax mencicipi kopinya. "Ahhh! Ohhh! Oh, oh, oh, apa" Apa" Apa itu?"
"Ada apa?" tanyaku waswas. Aku langsung menoleh ke kiri-kanan sambil mencari-
cari bahaya yang mengancam.
"Ada perasaan baru. Aku... tidak bisa kujelaskan. Asalnya... asalnya dari mulut
ini." Ia menunjuk mulutnya. "Karena aku minum cairan ini. Enak. Enak sekali."
Jake dan aku sempat bingung sebelum menyadari apa maksudnya.
"Oh. Rasa kopi!" ujar Jake. "Biasanya Ax tidak punya indra pengecap."
"Paling tidak dia tidak lagi bermain bunyi-bunyian," aku bergumam.
"Pengecap," ujar Ax seakan-akan hendak membantahku. "Ecap. Cap."
Sementara ia minum kopinya, kami menggiringnya ke Radio Shack. "Oke, begini, Ax,
waktu kita tinggal sedikit. Coba lihat, apakah barang-barang yang kauperlukan
ada di sini." Ax memang agak aneh untuk ukuran manusia, tapi soal teknologi ruang angkasa ia
paham sekali. Tanpa harus berpikir dua kali ia mengambil komponen demi
komponen."Ini kelihatannya seperti gairtmof primitif," katanya sambil mengamati
sebuah sakelar kecil. "Dan ini mungkin semacam fleer. Primitif sekali, tapi bisa
dipakai." Dalam waktu sepuluh menit ia telah mengumpulkan selusin komponen, mulai dari
kabel koaksial dan batu baterai, sampai benda-benda yang belum pernah kulihat.
"Oke," ia akhirnya berkata. "Sekarang tinggal mencari transponder Z-space.
Transponder. PONder."
"Mencari apa?" "Transponder Z-space. Untuk mengirim sinyal ke zero space."
Aku menatap Jake. "Zero space?"
Jake membalas tatapanku sambil angkat bahu. "Aku belum pernah dengar."
Ax mengerutkan kening. "Zero space," ia mengulangi. "Zeeero. Kebalikan dari
ruang nyata. Lawan dari kenyataan."
Dengan sabar ia mengamati Jake dan aku.
"Zero space, ruang kosong di mana kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya bisa
dicapai." "Oh," aku mencibir. "Zero space yang itu. Ehm, Ax" Sori kalau kami begitu
primitif, tapi kami belum pernah melebihi kecepatan cahaya. Dan kami belum
pernah dengar soal zero space."
"Oh." "Yeah. Oh." "Sudahlah, barang-barang ini kita bawa saja. Selebihnya bisa kita pikirkan
nanti," kata Jake dengan tenang. Tapi aku tahu bahwa kesabarannya mulai menipis.
"Oke, biar kubayar dulu."
Ax mereguk kopinya sampai habis. "Rasa," ujarnya. "Aku mau mencicipi rasa lain."
Ia memiringkan kepala. "Aku mencium bau. Aku pikir... pi-kiiir... ada hubungan antara rasa dan bau."
"Yeah, kau benar," kataku. "Kami belum sanggup melebihi kecepatan cahaya, tapi
kami bisa membuat roti manis yang berbau harum."
"Manis," Ax mengulangi. "Ini harus kubawa?" ia bertanya sambil mengangkat
cangkir kopi yang sudah kosong.
"Tidak, buang saja."
Rupanya aku salah memilih kata-kata. Serta-merta Ax melempar cangkir itu.
Lemparannya mengenai kepala salah satu penjaga kassa.
"Hei!" "Sori, dia tidak sengaja," aku memekik sambil bergegas menghampiri si kasir.
"Dia... dia sakit. Dia, ehm, punya kelainan. Maksudku, dia suka kejang-kejang."
Jake menambahkan, "Yeah, dia tidak bersalah. Dia menderita sejenis ayan!"
Si kasir mengusap-usap kepala. "Oke, lupakan saja. Lagi pula, dia toh sudah
keluar dari sini." "Apa?" Jake dan aku langsung berbalik. Tapi Ax sudah lenyap.
Jake meraih kantong berisi barang-barang, lalu mengejarku keluar toko.
Ax tidak kelihatan. Tapi kemudian aku memandang ke lantai bawah. Sekelompok orang tampak bergerak
terburu-buru ke arah yang sama. Seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana dan
mereka bergegas untuk melihatnya.
"Mereka menuju ke pusat jajan," ujar Jake.
"Oh, aku punya firasat yang sangat buruk," kataku. Kami berlari ke tangga
berjalan, lalu cepat-cepat turun sambil setiap saat berseru "permisi".
Dalam sekejap kami sudah sampai di pusat jajan. Kami menerobos kerumunan orang
yang tengah tertawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk.
Aku melihat Ax sendirian - sebab semua orang waras telah menyingkir.
Bagaikan orang gila ia bergegas dari satu meja ke meja berikut.
Ia menyambar semua sisa makanan dan segera memasukkannya ke dalam mulut.
Aku melihatnya meraih sepotong pizza yang sudah tinggal setengahnya.
"Rasa!" ia berseru sambil menggigit potongan itu. Sisanya ia lemparkan ke udara.
Lemparannya nyaris mengenai petugas satpam yang sedang menghampirinya.
Ax tidak peduli. Berikutnya ia menemukan sepotong roti manis.
"Ini baunya!" ia berseru. Tanpa pikir panjang ia melahap roti itu. "Ahhh! Ahhh!
Rasa! Rasa! Enak! Nak. Nak."
"Memang enak sih," aku bergumam kepada Jake.
"Kita harus membawanya pergi dari sini," bisik Jake.
"Terlambat. Lihat! Ada tiga satpam lagi."
Mereka berusaha menangkap Ax.
Ax memutuskan sudah waktunya membuang sisa roti manis yang dipegangnya. Roti itu
menerpa wajah petugas satpam yang paling dekat.
"Ax! Lari! Lari!" teriakku.
Agaknya Ax mendengarku, sebab ia langsung kabur. Sayangnya, ia tidak bisa lari
kencang dengan sepasang kaki manusianya. Jadi, sementara ia terhuyung-huyung
sambil dikejar-kejar petugas satpam, ia pun mulai berubah wujud.
Chapter 6 "BERHENTI!" seru salah satu petugas satpam. "Berhenti! Ini perintah!"
Tapi Ax tidak mau berhenti. Ia benar-benar panik.
Seorang wanita keluar dari toko Body Shop sambil membawa kantong belanja berisi
stoples beraneka warna. Ax menabrak wanita itu. Dan kantong belanjanya langsung
terbang. Tanduk di puncak kepala Ax mulai tumbuh. Kedua mata tambahannya pun muncul dan
memandang ke belakang untuk mengawasi orang-orang yang mengejarnya.
Jake dan aku termasuk di antara orang-orang itu. Kami berada di depan para
petugas satpam, tapi jaraknya hanya beberapa langkah saja. Untung saja mereka
menyangka kami dua anak tanggung yang cuma ikut-ikutan.
Salah satu satpam berseru melalui walkie talkie-nya, "Hadang dia di pintu
timur!" Aku melihat sepasang kaki muncul dari dada Ax. Kaki depannya yang asli, mula-
mula kecil, tapi membesar dengan cepat.
Kecepatannya berkurang ketika kaki manusianya mulai berubah. Lututnya berbalik
arah. Tulang punggungnya memanjang dan mulai menampakkan ekor. Saat itulah
orang-orang mulai menjerit.
"Ahhhh ahhhh!" "Apa itu" Apa itu?"
Para pengunjung mall berteriak, berlari, dan membiarkan kantong belanja masing-
masing jatuh ke lantai. Ax tampak seperti makhluk yang berasal dari mimpi buruk.
Setengah manusia, setengah Andalite. Sosoknya terus berubah.
Aku tidak bisa menyalahkan orang-orang itu. Aku sendiri rasanya ingin menjerit-
jerit. Kami sudah mendekati pintu keluar dan bergegas melewati toko reparasi sepatu.
Tiba-tiba Ax jatuh karena tersandung kakinya sendiri. Ia terjerembap di lantai
marmer yang mengilap. Sebagian besar orang tertinggal jauh di belakang, tapi para petugas satpam masih
terus mengejarnya. "Hei, minggir kalian!" salah satu dari mereka menghardik Jake dan aku. "Orang
ini berbahaya." Ax segera bangkit. Ia tampak lebih percaya diri karena telah kembali berkaki
empat. Proses metamorfosisnya sudah hampir rampung. Mulutnya sudah lenyap. Kedua
mata tambahannya sudah berada di tempat seharusnya. Dan kedua lengan serta
keempat kakinya pun sudah utuh.
Kemudian, pada akhir proses perubahan, ekornya muncul.
Seketika aku mendengar satpam terdekat berbisik ngeri, "Andalite!"
Aku segera menoleh dan menatapnya. Hanya para Pengendali yang bisa mengenali
makhluk Andalite. Satpam itu mencabut pistolnya.
"LARI!" aku berteriak kepada Ax.
Si Pengendali berdiri di antara Ax dan pintu keluar. Ia melakukan kesalahan
besar. Ekor si Andalite berkelebat, lebih cepat daripada yang bisa diikuti mata.
Pistol si satpam terpental jauh. Dan ia menggenggam tangannya yang berlumuran
darah. Cepat-cepat kami berlari keluar.
Menyusul terdengar raungan sirene!
"Gawat, itu polisi," kataku. "Bukan sekadar satpam!"
"Hah, baru sekarang dia minta saran"!" Aku memandang berkeliling dengan kalang
kabut. Kami tidak mungkin naik bus. Para petugas satpam menghambur keluar dari mall.
Para petugas polisi melaju naik mobil patroli.
Satu-satunya kemungkinan adalah lari. Jadi itulah yang kami lakukan. Kami
berlari menyusuri deretan mobil yang sedang diparkir.
Dua remaja dan satu makhluk dari planet lain.
"Kita ke supermarket!" seru Jake.
"Apa?" aku terengah-engah. Aku mulai capek.
"Ke situ!" Ia menunjuk toko swalayan di seberang lapangan parkir. Satu-satunya
tempat yang bisa kami tuju.
Beberapa mobil patroli berhenti, diiringi bunyi ban berdecit. "Jangan bergerak!"
Animorphs - 5 Serangan Nekat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enak saja!" ujarku.
Terburu-buru kami masuk melalui pintu kaca yang besar. Kami benar-benar panik.
Dalam hati aku sudah membayangkan peluru berdesingan di sekitar kami.
"Jake!" aku memekik. "Bantu aku dong!"
Aku mendapat ide untuk menghambat para pengejar. Aku meraih sederet kereta
belanja dan mendorong semuanya ke arah pintu. Jake ikut membantu.
Kemudian kami kembali berlari. Ax menggelincir di lantai yang licin dan menabrak
rak pajangan. Puluhan makanan kaleng berjatuhan di belakangnya.
Para pengunjung berteriak-teriak. Kereta dorong mereka saling tabrak.
"Ada monster! Mommy, ada monster!" terdengar seruan anak kecil.
"Itu cuma monster bohongan," sahut ibunya.
Yeah. Monster pura-pura. Kemudian aku melihat jalan untuk lari. Di ujung gang. Tapi aku butuh waktu.
Orang-orang harus menyingkir dulu. Tak boleh ada saksi mata.
"Ada bom!" teriakku sekeras mungkin. "Ada BOM!"
"Apa?" tanya Jake.
"Ada bom! Ada bom di sini! Lari! Lari! Semuanya keluar! Ada BOM!"
"Sedang apa kau"!" seru Jake.
"Kita sudah dikepung polisi. Hanya ada satu jalan keluar," balasku dengan
sengit. Kemudian aku menunjuk.
Aku menunjuk tangki air berisi lobster hidup di bagian penjualan makanan laut,
di ujung gang. "Oh, ya ampun," Jake mengerang.
"Ya ya ya," ujarku sambil nyengir.
Para pengunjung lari pontang-panting, entah karena takut bom atau karena ngeri
melihat Ax. Tapi keramaian itu sudah cukup untuk menghambat para petugas polisi
selama beberapa detik. Firasatku mengatakan bahwa para Pengendali-polisi berusaha mencegah polisi
sungguhan untuk menangkap kami. Mereka ingin menangkap kami tanpa ada saksi.
"Mari kita berenang," kataku.
Untung saja tangki airnya cukup besar. Cepat-cepat aku masuk.
Jake segera menyusul. Kami berdua masing-masing meraih seekor lobster, lalu
melemparkan seekor lagi kepada Ax.
Menyerap pola DNA lobster itu ternyata tidak mudah. Aku harus berkonsentrasi
penuh. Padahal perhatianku bercabang karena ada pasukan polisi di luar toko yang
sudah siap menyerbu. Dan semuanya pasti membawa senjata.
Lobster di tanganku menjadi lemas dan diam, seperti yang biasa dialami binatang
lainnya kalau kami sedang menyerap pola DNA mereka.
Aku mengembalikannya ke dalam air. Kami membuka baju luar serta sepatu dan
menjejalkan semuanya ke dalam tong sampah, berikut kantong belanja dari Radio
Shack. Ax sudah mengawali proses metamorfosis. Jake dan aku menunggu sampai ia sudah
agak mengecil. Kemudian kami menariknya ke dalam tangki air.
Tubuhnya sudah serbakeras, bagaikan baju besi, dan lengannya sudah retak dan
membengkak. Setelah itu aku mulai berubah wujud.
Aku sering dilanda perasaan ngeri sejak kami menjadi Animorphs. Aku tetap belum
terbiasa. Dan percayalah, saking ngerinya kali ini tulangku sampai bergemeletuk.
Setiap saat mereka bisa muncul.
Dan memergoki kami dalam keadaan setengah berubah.
Aku menoleh ke arah Jake. Matanya telah lenyap, digantikan oleh dua titik hitam.
"Ewww." Di depan mataku, delapan kaki kurus panjang berwarna biru muncul dari dadanya.
"Aaaaaahhh!" aku memekik kaget.
Wajah Jake seolah-olah terbelah. Kupikir aku bisa muntah melihatnya. Hanya saja
aku juga sudah tidak punya mulut.
Sekonyong-konyong aku merasakan sepasang antene menyembul dari keningku,
bagaikan dua tombak yang sangat panjang.
Tubuhku terus bertambah kecil. Permukaan air yang semula cuma selutut kini sudah
sampai di leherku. Perasaanku kacau-balau. Aku sadar bahwa semua tulangku terurai, dan tubuhku
mulai terbungkus lapisan keras.
Tubuh manusiaku seakan-akan meleleh.
Penglihatanku meredup. Aku tak lagi bisa melihat seperti manusia normal.
Tapi ada baiknya. Sebab aku benar-benar tidak berminat melihat perubahan yang
terjadi pada diriku. Chapter 7 RASANYA aku ingin menjerit, menjerit dan menjerit tanpa henti. Tapi mulutku
sudah lenyap. Begitu pula tenggorokan dan pita suaraku.
Kini aku punya empat pasang kaki, dan dua capit besar. Aku bisa melihat
keduanya, walaupun tidak jelas. Sisa tubuhku tidak kelihatan. Tapi aku bisa
melihat beberapa lobster lain dalam air.
Aku ngeri sekali. Makan. Makan. Bunuh dan makan. Otak lobsterku mendadak bekerja, bercampur Baur dengan kesadaranku sebagai
manusia. Sebagai lobster aku punya dua pikiran.
Makan. Makan. Bunuh dan makan. Aku menerima isyarat dari berbagai indra yang tidak kupahami.
Kedua antene-ku yang panjang bisa merasakan suhu air, arus air, dan getaran.
Tapi aku tidak tahu apa arti semua itu.
Mula-mula mataku nyaris tak berguna. Aku melihat bayangan yang terbelah-belah,
tanpa warna-warni yang kukenal selama ini.
Aku bisa melihat kedua capitku. Aku bisa melihat antene-ku.
Dan di belakangku aku bisa melihat permukaan melengkung berwarna biru
kecokelatan, penuh tonjolan.
Tubuhku! aku akhirnya sadar. Itu cangkangku. Kulitku yang keras.
Aku tidak bisa melihat ke bawah. Aku tidak bisa melihat perutku atau kedelapan
kakiku, tapi aku bisa merasakan semuanya ketika aku tiba-tiba melesat menyusuri
dasar tangki yang terbuat dari kaca.
sebab aku sendiri rasanya sudah mau menangis. Seandainya lobster bisa menangis.
kalau tidak, bisa-bisa aku jadi gila.
Aku melihat seekor lobster di dekatku.
diikat dengan karet gelang. Kami tidak memakai karet gelang. Karet gelang bukan
bagian DNA lobster. Aku melihat lobster lain di sebelah kiri, tanpa karet gelang. Dan satu lagi di
belakang yang pertama. Selain kami bertiga, masih ada setengah lusin lobster
dengan capit terikat karet gelang.
Aku melihat ia membuka dan menutup capit.
Menurut Ax, satu jam telah berlalu ketika peristiwa itu terjadi.
Aku merasakan gangguan di dalam air. Bisa kurasakan sesuatu yang berukuran besar
berada di atasku. Sebelum aku sempat berpikir atau bertindak, cangkangku sudah digenggam erat-
erat. Dan tahu-tahu aku sudah diangkat.
Aku kaget sekali. Aku berada di luar air. Di tempat kering. Dan panas. Kedua antene-ku bergoyang-goyang sementara aku
berusaha memahami apa yang terjadi. Mataku tidak melihat apa pun selain cahaya
terang dan beberapa bayangan besar yang tampak samar-samar.
Sesuatu yang berukuran besar menutup capit kananku dengan paksa. Aku tidak bisa
membukanya. Lalu giliran capit kiriku.
Karet gelang! Aku tidak bisa melihat apa-apa di luar air. Aku nyaris buta. Tapi aku tahu apa
yang terjadi. Aku diangkat dari air dan capitku diikat dengan karet gelang.
Kemudian aku merosot jatuh dan menggelincir, menabrak benda-benda yang kurasakan
sebagai lobster lain.
Sesuatu yang sangat dingin menimpaku dan menyelip di sekeliling tubuhku. Es"
Aku merasakan diriku terayun-ayun, seperti sedang bermain ayunan.
para Pengendali, jangan kembali ke wujud kita yang asli.>
Es di sekeliling tubuhku membuatku mengantuk. Atau mungkin bukan mengantuk,
melainkan lamban. Rasanya aku sempat tidak sadar. Aku tidak tahu berapa lama.
Tapi tiba-tiba aku mendengar suara Ax di dalam kepalaku.
Aku langsung tersentak. Aku tidak berminat menghabiskan sisa hidupku sebagai
lobster.
berseru.
berkeliling, tapi antene-ku tidak menemukan apa pun selain udara. Dan mataku
hanya melihat sosok-sosok kelabu yang serba samar.
Aku memusatkan perhatian untuk kembali ke wujudku yang asli sebagai manusia.
Dalam hati aku bertanya, apakah aku sempat memejamkan mata manusiaku ketika Jake
mulai berubah wujud. Sebab aku tidak ingin melihat Jake dan Ax berubah. Sekali saja sudah cukup. Aku
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 3 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Kampung Setan 7