Cassie Mengundurkan Diri 3
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri Bagian 3
tak bisa mengendalikan ingatanku sendiri. Yang tersisa bagiku
hanyalah emosiku. Dan itu pun... aku sama sekali tak bisa memahami emosiemosiku itu. Aku hanya
tahu bahwa aku telah mengkhianati semua
orang yang kusayangi. Jake. Rachel. Tobias. Ax. Marco.
Dan kemudian, kurasakan Aftran membuka ingatan yang satu
itu. Kurasakan dia membuat diriku memusatkan pikiran dan
berkonsentrasi. Dan ketika ia mengarahkan mataku, aku melihat pola-pola bulu
berwarna kelabu mulai muncul di atas kulitku, bagaikan gambargambar yang
perlahan-lahan menjadi hidup.
Yeerk itu mengembangkan sayapku. Dan terbang.
Chapter 19 KE atas kami terbang, meninggalkan permukaan tanah hutan
yang diselimuti jarum-jarum pohon cemara. Naik, naik, menerobos
pucuk-pucuk pepohonan. Naik menuju sinar matahari yang terang
benderang. Mata osprey memperhatikan seluruh horizon. Mulai dari
pegunungan di kejauhan, lalu ke lautan, dan kini, tak lebih dari satu
setengah kilometer jauhnya, ke peternakan, jalanan, pompa bensin,
dan Dairy Queens yang letaknya tak lebih dari tiga kilometer.
Pasti mudah sekali bagi Yeerk itu untuk terbang ke pompa
bensin terdekat, demorph, dan berteriak memanggil atasan-atasannya.
Dan segalanya langsung tamat.
Jake akan ditangkap, mungkin oleh Tom sendiri. Rachel akan
diciduk waktu ia jalan-jalan di pertokoan. Lalu Marco, Ax, dan
Tobias, satu per satu. Mereka masing-masing akan diseret, dipaksa,
menjerit-jerit, menangis, memohon-mohon, atau mungkin dengan
kehormatan apa pun yang bisa mereka dapat. Turun, masuk ke kolam
Yeerk. Dan di sana, dilumpuhkan agar mereka tak bisa morf, kepala
mereka akan ditekan dan dicelupkan ke dalam lumpur kolam Yeerk.
Dan pada saat itu juga kebebasan mereka akan lenyap. Dan
mungkin, harapan terakhir dan terbaik bagi ras manusia akan ikut
mati. Salahku. Semuanya salahku. Aku benar-benar tolol. Pengecut. Aku tak bersedia melakukan
hal yang kejam, brutal, dan perlu. Sebaliknya aku malah mengikuti...
apa" Keinginan" Insting" Harapan yang menyedihkan"
di dalam kepalaku si Yeerk berkata
seperti bermimpi. angkasa yang luas ini! Memiliki mata seperti ini. Aku bisa melihat apa
pun! Semuanya, sampai helai-helai rumput yang paling halus
sekalipun.> Aku menunggu sampai Aftran meluncur menuju permukiman
manusia. Tapi ia tak melakukannya. Ia terbang berputar. Tidak yakin.
Aku bisa mendengar dan merasakan keraguannya.
Tapi kemudian, di bawah sana, berjalan menerobos pepohonan,
tampak selusin pria berseragam polisi. Mereka bergerak menyusuri
sungai. Melirik ke kiri, mata si osprey melihat Karen, masih duduk
membungkuk di atas batu. Beberapa ribu meter hutan yang lebat memisahkan orang-orang
itu dengan Karen. pikirku. juga. Pasti kemudian dilakukan pencarian besar-besaran.>
Aftran setuju. penolong biasa. Mereka Pengendali. Aku kenal beberapa dari mereka.
Mereka tidak mencarimu, tapi aku. Mereka mengira aku ada di dalam
Karen. Kalau mereka menemukannya, mereka akan tahu aku telah
menjadikanmu induk semangku. Dan mereka akan bertanya kenapa.>
Benarkah Aftran gelisah" Takut" Kenapa"
Ia menggerakkan kepala si osprey dan menyapu horizon dengan
resah. Dan ketika itulah aku melihat burung-burung itu. Mereka masih
jauh, bahkan untuk penglihatan osprey sekalipun. Tapi satu, yang
paling besar, jelas adalah elang kepala botak. Dan burung-burung lain
yang terbang bersamanya sama sekali bukan elang.
Aku bisa menebak burung-burung apa itu: elang peregrine,
northem harrier, osprey, dan tentu saja, elang ekor merah.
Aku mencoba menyembunyikan hal itu dari Aftran, tapi
sayangnya ia langsung tahu begitu aku tahu.
menyelamatkanmu" Atau membunuhmu">
aku memberitahu si Yeerk. menahanku sampai kau kelaparan karena membutuhkan sinar
Kandrona.> Aku tahu Aftran shock mendengarnya. Kandrona! Tentu saja, aku melihatnya sekarang. Aku belum punya
waktu untuk mengupas seluruh ingatanmu.>
aku berkata.
membunuhnya, ya kan" Mereka takkan membiarkan dia pergi ke
mana-mana dan menceritakan semua yang diketahuinya. Mereka akan
membunuh gadis kecil itu.>
Aftran berkata.
Kandrona" Kau tahu penderitaan macam apa yang akan kurasakan">
ini!> teriakku. segera tiba. Mereka telah melihatku. Akan terjadi pertempuran.
Beberapa Pengendali di bawah sana akan mati! Beberapa temanku
juga bisa mati! Karen mungkin akan mati! Kau mungkin akan mati!
Untuk apa" Untuk apa">
Ia tertawa pahit. di antara manusia, Yeerk, dan Andalite" Jangan tolol.>
seluruh manusia, seluruh Yeerk, dan seluruh Andalite. Tapi aku dan
kau bisa berdamai. Seorang Yeerk dan seorang manusia.>
Aftran tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku bisa mendengar
gema-gema pikirannya. Kembali ke kolam Yeerk. Bersembunyi di
antara Yeerk-Yeerk lainnya. Mencoba hilang di lautan lumpur.
Meninggalkan induk semangnya dan tak pernah kembali.
Tak pernah melihat lagi. Tak pernah melihat biru, hijau, dan
merah. Tak pernah lagi melihat matahari. Matahari apa pun.
Kenapa" Hanya supaya seorang anak manusia kecil dengan
sepasang mata hijau bisa bebas"
sergah Aftran.
jawabku.
Aku ragu.
Tapi Aftran mengupas pikiranku lagi, membuka-buka halaman
demi halaman ingatanku, mendengarkan instingku, menyerap
keyakinan dan kepercayaanku.
menyelamatkan Karen,> Aftran berkata. Kau percaya kalau kau jadi aku, kau akan melakukan pengorbanan
itu.> aku berkata lagi.
ia berkata dingin. yang kaukira.> Aftran berbalik di udara pagi yang hangat dan mulai
mengepakkan sayapnya menuju Karen.
Dan ketika itulah gaung pikiran Aftran memenuhi kesadaranku
sendiri, dan aku pun merasakan kengerian yang membekukan hati.
Chapter 20 PERTAMA-TAMA kami terbang di atas kepala-kepala para
Pengendali. Para Pengendali-Manusia yang menyamar menjadi polisi.
Aftran Sembilan-Empat-Dua dari kolam Hett Simplat. Aku tahu kau
tidak bisa melihatku. Tapi dengarkan peringatanku: Lima burung
pemangsa sedang dalam perjalanan kemari. Mereka adalah para bandit
Andalite dalam morf!> Aku melihat para Pengendali-Manusia memandang
sekelilingnya, bingung karena telah mendengar bahasa-pikiran yang
muncul tiba-tiba itu, dan sekaligus tampak cemas. Mereka mulai
mengokang senjata. kataku pahit. Tapi
kemudian, aku tersadar: Tadi Aftran mengatakan "para bandit
Andalite". Aftran telah berbohong pada teman-teman Yeerk-nya.
Kami mendarat di sisi Karen. Ia telah berhasil berjalan
terpincang-pincang dan terseok-seok ke padang rumput. Ia tak
menyadarinya, tapi tindakannya itu membuatnya semakin jauh dari
para Pengendali yang mencarinya.
Sekarang mereka butuh waktu berjam-jam untuk
menemukannya. Dan bisa saja teman-temanku sendiri juga tak bisa
langsung menemukannya, karena mereka harus menghadapi para
Pengendali-Manusia yang mencoba menyerang mereka.
Pertempuran lagi. Kekerasan lagi. Kesia-siaan lagi. kilah
Aftran, membaca pikiranku seolah-olah itu pikirannya
sendiri. Osprey itu mendarat beberapa meter dari Karen. Karen telah
berhenti menangis. Kini ia melihat dengan heran dan bingung, saat
aku... Aftran... saat kami mulai demorph.
Bulu-bulu burung lenyap digantikan daging dan kulit.
Penglihatanku kembali menjadi penglihatan manusia normal.
Pendengaranku tak lagi setajam tadi. Sayapku berubah menjadi lengan
dan cakarku memanjang menjadi sepasang kaki manusia.
Wajah Karen tampak kalah. Ia sadar betul siapa diriku. Dan apa
yang ada di dalam kepalaku.
Karen mencoba berbalik, berusaha kabur. Tapi pergelangan
kakinya langsung menahannya dan ia pun tersungkur ke rumput.
Tangannya mencengkeram segenggam bunga liar berwarna biru.
sergahku. saja, jangan ganggu dia!>
Tapi tanpa daya aku menyaksikan di dalam tubuhku sendiri
bagaimana tanganku terulur dan menarik Karen dengan kasar.
Ia menjerit dan memukuliku dengan tinjunya yang kecil, tapi
tanganku menahannya. Tanganku merenggut kepalanya dan
kutempelkan telingaku ke telinganya.
Aku ingin menangis, tapi aku tidak mengendalikan air mataku
sendiri. Aku ingin menenangkannya, tapi suaraku bukan lagi milikku.
Aku menempelkan kepala Karen ke kepalaku dan
mencengkeramnya erat-erat, dan Yeerk bernama Aftran itu merayap
keluar dari telingaku dan masuk ke telinga Karen.
Butuh waktu beberapa menit. Perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit, aku merasakan diriku kembali mengendalikan tubuhku
sendiri. Aku bisa menggerakkan mataku. Aku bisa menggerakkan
kakiku. Tapi Aftran tetap memegang kontrol atas tanganku sampai ia
hampir sepenuhnya menyeberang dan menyusup ke dalam kepala
Karen. Tanganku! Akhirnya aku bisa mengendalikannya. Kudorong
Karen menjauh dariku. Aku melihat ujung tubuh si Yeerk. Ujung siput kelabu yang
merayap masuk ke dalam kepala Karen.
Aku terduduk, tiba-tiba saja merasa sangat kelelahan dan putus
asa untuk lari atau morf atau bahkan berpikir. Aku hanya ingin
menangis. Dan kurasa aku melakukannya. Entahlah.
Suara Karen berkata, "Temanmu atau temanku akan segera
menemukan kita, tapi tidak terlalu cepat, kurasa."
"Lalu kenapa memangnya?" tanyaku.
"Mereka tak boleh menemukan kita selama dua jam."
"Apa rencanamu sebenarnya?" tanyaku. Aku menengadah dan
tersadar bahwa mata Karen yang hijau bersimbah air mata. Air mata
Karen. Tapi air itu hanya mengalir karena Aftran, si Yeerk, tengah
menangis. "Kau saja yang memberitahuku apa yang harus kulakukan,"
Karen berkata parau. "Andalite dan manusia, kalian tak ada bedanya:
kalian sama-sama ras yang sombong, suka menghakimi moral orang,
dan sok. Kalian sama-sama hidup di dunia yang indah. Kalian punya
tangan, mata, dan kebebasan untuk bergerak ke mana saja kalian
inginkan. Dan kalian membenci kami hanya karena kami juga
menginginkan semua itu."
"Kami tak bisa mengubah wujud kami, sama seperti kalian pun
tak bisa mengubah bentuk kalian. Kami lahir dengan dilengkapi mata,
tangan, dan kaki. Sementara kalian terlahir seperti... itu."
"Siput!" sembur Karen. "Begitulah kalian menyebut kami, ya
kan" Siput! Seperti makhluk basah berlendir yang merayap di
sepanjang trotoar setelah turun hujan. Sesuatu yang kauinjak sambil
berkata, 'Ih, jijik!'"
"Kau adalah Yeerk. Aku tak bisa mengubahnya. Kau sendiri tak
bisa mengubahnya. Yang bisa kaulakukan hanya menjadikan makhluk
lain sebagai budak supaya kau bisa lebih bebas. Pembenaran apa yang
kaumiliki karena telah menjadikan Karen budakmu supaya kau bisa
bebas" Itu salah. Tak peduli apakah kau manusia atau Andalite atau
Yeerk, itu salah." Karen memandangku dan mengangguk. "Benar. Aku tahu." Ia
mengangkat bahu dan menunduk memandang tanah. Ia membungkuk
dan mengangkat selembar daun supaya aku bisa melihatnya. Seekor
ulat tampak menggelantung di bawah permukaan daun itu. Mungkin
panjangnya hanya satu setengah inci. Sambil menggelantung, ia sibuk
melepaskan kulit lamanya. Kulit lamanya teronggok di sekeliling
ujung tubuhnya seperti kaus yang merosot ke pergelangan kaki.
"Seperti inilah diriku," Karen berkata. "Siput. Ulat. Seperti
inilah yang akan kualami bila aku tidak menyusup ke tubuh makhluk
lain." "Aku... aku ikut sedih," kataku. Hanya itu yang terpikirkan
olehku. "Kau memintaku untuk menjadi ulat ini lagi. Yang kauminta itu
sangat besar, Cassie si Animorph. Katamu kita bisa berdamai di antara
kita, hanya kau, aku, dan Karen. Kau bilang kita bisa memulai sesuatu
yang baru. Dan kemudian kau memintaku mengorbankan semuanya,
sementara kau meneruskan hidupmu, hidup di antara keindahan dan
kemegahan." Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku bahkan tak tahu
apa artinya itu. Apakah aku menyangkal ucapannya" Tidak. Dia
benar. "Jadi, kutanyakan padamu, Cassie," Karen berkata dengan suara
lembut. "Apa yang akan kaukorbankan bila aku mengorbankan
segalanya?" "Aku... apa yang bisa ku..."
Dengan hati-hati dan lembut Karen meletakkan ulat yang baru
berbentuk setengah kepompong itu di tanganku. "Biarkan DNA-nya
terserap ke dalam dirimu, Cassie."
"Tidak," bisikku.
"Kau memintaku membayar harga yang mahal sekali untuk
membiarkan Karen bebas. Bersediakah kau membayar harga yang
sama" Bersediakah kau menjadi makhluk kecil ini" Bersediakah kau
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
morf menjadi ulat ini selama dua jam sementara aku berjaga?"
"Tapi... aku bisa terperangkap selamanya!" sergahku.
"Benar. Aku juga akan terperangkap selamanya."
Aku tak bisa bernapas. Jantungku berdebar kencang sekali, lalu
tiba-tiba seperti berhenti. Aku bahkan tak bisa melihat apa-apa -
kecuali wajah Karen dan ulat itu.
"Jauh lebih mudah mengatakan pada orang lain apa yang harus
mereka lakukan daripada melakukannya sendiri, bukan, Cassie?" ejek
Karen. "Kau hanya ingin menipuku," bisikku. "Kau akan menjebakku,
lalu kau tertawa dan pergi."
Karen menggelengkan kepala. "Kau tahu lebih baik. Kau bisa
morf. Sebagai induk semang hargamu sangat, tinggi. Visser Three
satu-satunya Yeerk yang bisa morf. Tubuhmu dan kawan-kawanmu"
Tentu saja amat sangat berharga. Aku akan jadi Yeerk yang berhasil
menyingkap rahasia Animorphs. Setidaknya mereka akan
menjadikanku asisten-visser. Aku akan memiliki segalanya: tugas
hebat, pilihan-pilihan induk semang yang akan kususupi. Apakah
pikirmu aku dengan sengaja akan menjebak tubuh yang mampu morf
hingga selamanya menjadi serangga jika aku tidak tulus" Aku akan
mengorbankan segalanya! Apakah kau tidak akan mengorbankan apa
pun juga?" Aku menunduk memandang ulat itu, yang menggeliat di atas
telapak tanganku yang gemetaran.
Aku mengangkat mataku dan menatap sekelilingku. Pepohonan.
Rerumputan. Langit. Bunga-bunga.
Seumur hidup aku menyayangi alam semesta. Dan masih saja
aku tidak memahami kebesarannya hingga saat itu.
Kehilangan orangtuaku. Teman-temanku. Kehilangan seluruh
dunia. Untuk menyelamatkan orangtuaku. Teman-temanku. Dan
mungkin bahkan seluruh dunia.
Kupejamkan mataku dan mulai berkonsentrasi. Dan DNA ulat
itu pun memenuhi seluruh aliran darahku.
Chapter 21 ULAT itu tak bergerak. Ia berhenti menggeliat. Hampir semua
binatang menjadi tenang dan diam ketika DNA-nya diserap.
"Sekarang lakukan," Karen berkata.
Aku ingin melawan. Aku ingin berkata, "Tidak mau!" Aku bisa
berubah menjadi serigala dan membunuhnya. Dengan begitu temantemanku akan
selamat. Aku akan selamat.
Tapi itu takkan membebaskan gadis kecil bernama Karen dari
Yeerk di kepalanya. Dan dengan begitu semuanya sama saja:
kekerasan, kebrutalan, dan korban tak bersalah lagi.
Aku memandang sekelilingku, memandang segala sesuatu yang
takkan kumiliki lagi. Dan kufokuskan pikiranku seperti yang sudah
seratus kali kulakukan. Perlahan-lahan perubahan itu terjadi. Biasanya
aku bisa morf dengan cepat. Bahkan Ax juga bilang begitu. Tapi
sekarang aku tidak terburu-buru. Aku ingin menikmati detik-detik
terakhir hidupku sebagai manusia. Namun tetap saja perubahan itu
terjadi. Kakiku mulai menyusut. Aku terjatuh ke tanah.
Wajah Karen, yang tadinya lebih rendah kini sejajar denganku,
lalu kemudian lebih tinggi.
Permukaan tanah meluncur cepat menyambutku, jarum-jarum
cemara membesar jadi seperti ranting, bilah-bilah rumput kini tampak
bagai pepohonan. Pergelangan kaki Karen yang bengkak kelihatan
sebesar pohon redwood. Tangan dan kakiku menyusut bersamaan. Kutatap saat
keempatnya mengecil, lalu mengerut dan melengkung seperti kertas
yang dilemparkan ke api. Jemarinya mengerut dan lenyap.
Tubuhku menebal, lalu memanjang. Batang tubuhku kini besar
sekali dibandingkan tangan dan kakiku. Dan kepalaku juga mengecil.
Medan pandangku berubah karena mataku bergerak saling mendekat.
Tiba-tiba, di sepanjang punggungku, pisau-pisau kecil yang
tajam bermunculan - duri-duri ulat itu.
Dan sepanjang bagian depan tubuhku, berpasang-pasang kaki
yang sangat kecil mulai tumbuh. Ini sih lebih dari sekadar ngeri. Aku
tampak seperti Taxxon! Tiga pasang kaki yang kecil dan tajam
tumbuh dari dadaku. Empat pasang kaki yang tampak berbeda, keluar
dari perutku. Kaki manusiaku sendiri melebur, dan tiba-tiba saja aku
sudah berwujud ulat. Ingin rasanya aku menjerit. Metamorfosis selalu mengerikan.
Apalagi pertama kali morf menjadi sesuatu yang baru. Tapi morf
menjadi binatang kecil menyeramkan dan tahu kau akan
menghabiskan sisa hidupmu dalam wujud itu... nah, itu baru seram!
Aku merasa seperti terikat, seolah-olah seseorang membelitkan
sabuk-sabuk di sekujur tubuhku lalu menariknya kencang-kencang.
Aku menunduk dan melihat tubuhku yang menggembung dan
berwarna kuning-hijau terbagi-bagi menjadi selusin segmen.
Kelihatannya seperti kotak-kotak plastik kecil yang suka dimainkan
bayi. Aku jatuh ke depan, tak berdaya. Rasanya jatuhnya jauh sekali,
tapi panjangku sekarang tak lebih dari enam inci dan masih terus
mengecil. Kulihat jarum-jarum cemara sebesar tiang telepon meluncur
menyambutku. Aku melihat seekor kumbang melewatiku, tubuhnya
sebesar anjing. Aku melihat kilatan warna - bunga-bungaan di
sekitarku, langit, dan mata Karen yang hijau. Dan setelah itu aku tidak
melihat apa-apa lagi. Aku mendarat dengan bunyi buk pelan.
Barisan kaki-kakiku menahan guncangan ringan itu. Tapi aku
masih bisa merasakan getarannya. Aku bisa merasakan bagian
mulutku bergerak. Aku tahu pikiran ulat yang sangat sederhana
bangkit melawan pikiranku sendiri. Pikiran itu memburu. Tergesagesa. Laparkah"
Bukan, sesuatu yang lain. Sesuatu yang harus
dilakukannya. Aku bisa melawan pikiran si ulat. Aku bisa bertahan hingga tak
terpengaruh. Tapi, apa gunanya"
Demorph! Demorph! seruku. Jangan lakukan itu! kubujuk
diriku. Tapi terlambat sekarang. Kalau aku demorph, Karen akan tahu
kesepakatan kami batal. Dan ia dengan mudah akan menyerangku,
karena ketika aku perlahan-lahan berubah menjadi manusia, kondisiku
sangat lemah. Aku berseru tanpa suara, memohon-mohon, meminta-minta,
menjerit. Tapi tak ada yang menjawab.
Aku sendirian. Lebih kesepian dari yang pernah dirasakan oleh
manusia mana pun. Aku menyerah pada ulat itu, dan binatang itu mulai merayap
memanjat tangkai bunga yang dilihatnya pun ia tak bisa.
Chapter 22 JAKE NAMAKU Jake. Aku sedang morf menjadi elang peregrine dan pergi mencari
Cassie ketika Marco melesat naik, mengepak-ngepakkan sayapnya
dengan kecepatan penuh. ia berkata. Tapi suara bahasapikirannya terdengar muram.
desakku.
kalau kita tak segera beraksi, habislah kita!>
Kutelan berita yang mengejutkan itu. Tak ada waktu untuk
mengkhawatirkan Cassie. Aku harus bergerak. Tapi aku
membutuhkan semua temanku, dan itu butuh waktu. Soalnya kami
terpencar di atas hutan yang luasnya lebih dari tiga puluh kilometer.
Orangtua Cassie sudah mulai khawatir ketika putri mereka tidak
pulang dari membersihkan palung air. Ibunya sudah mulai menelepon
semua temannya, yang pertama dihubunginya adalah Rachel.
Ayahnya telah pergi ke palung air itu dan menemukan kuda Cassie
mondar-mandir di luar pagar, tubuhnya tergores, basah, dan sadelnya
miring. Ayahnya tahu benar tentang binatang-binatang liar. Ia
menemukan jejak beruang. Ia mengikuti jejak kuda dan beruang itu
sampai akhirnya sudah terlalu gelap untuk bisa melihat.
Mereka menghubungi polisi dan pengawas hutan. Pencarian
dikerahkan. Tapi nyaris tak mungkin bagi manusia untuk menemukan
seseorang di dalam hutan yang luasnya seratus lima puluh kilometer.
Rachel menghubungiku. Aku menelepon yang lainnya. Marco
mengatakan sesuatu yang sebenarnya cuma asbun - alias asal bunyi -
tentang Cassie bukan anggota Animorphs lagi, hingga kami tak perlu
mengurusinya. Rachel langsung saja menendangnya.
Marco memang sahabatku, tapi kadang-kadang aku mengagumi
kespontanan Rachel. Malam itu kami habiskan dalam morf burung hantu, melayang
tanpa suara di atas hutan. Di mata burung hantu, malam yang paling
pekat sekalipun tampak seperti siang hari ketika langit mendung. Tapi
yang kami lihat hanyalah hewan-hewan hutan kecil dan kadangkadang gerombolan
pencari dan cahaya-cahaya senter mereka.
Marco-lah yang pertama menyadari bahwa kami keliru. Melihat
dengan mata bukanlah satu-satunya cara. Ia morf menjadi serigala dan
menggunakan penciumannya yang hebat untuk mengikuti bau kuda
betina Cassie ke tepi sungai. Kami menemukan cabikan kain
tersangkut di semak-semak buah beri.
Cassie telah terjun ke dalam sungai.
Kemudian kami mendengar pembicaraan beberapa pencari.
Rupanya bukan hanya Cassie yang hilang sekarang. Tapi juga seorang
gadis kecil bernama Karen.
Ketika matahari terbit kami morf lagi menjadi burung
pemangsa. Dan kami berkonsentrasi mengikuti aliran sungai. Dan
sejujurnya, kami nyaris hanya mencari tubuh yang mengapung di air.
Maksudku, tentu saja kami berharap ia masih hidup. Tapi kami tahu
Cassie bisa morf. Tentunya kalau ia masih hidup dan baik-baik saja, ia
akan morf dan terbang pulang.
Kami menyebar ke segala penjuru, mencari petunjuk apa pun.
Dan kurasa Marco akhirnya menemukannya.
Kini, setelah kami semuanya berkumpul, Marco menceritakan
semua yang diketahuinya. Ia mengatakan bagaimana Cassie
mengungkapkan bahwa dirinya bisa morf kepada si Pengendali,
Karen. Ia memberitahu bagaimana Cassie telah menyelamatkan Karen
dari serangan macan tutul dengan bantuan Marco yang saat itu belum
tahu duduk perkaranya. Dan ia menceritakan bagaimana Cassie telah
merelakan dirinya sendiri dijadikan Pengendali karena ingin
menyelamatkan anak kecil itu, Karen.
Marco mengakhiri dengan berang.
Semuanya!> Ax bertanya-tanya. Pengendali ini harus dihabisi.>
Rachel menimpali.
sahutku.
tantang Marco. dimilikinya sampai ia menyerahkan kita semua kepada para Yeerk
itu"> tanyaku. mengapa seseorang tidak ingin membunuh" Atau
bahkan tidak mau menyaksikan dan membiarkan orang lain
membunuh"> sergah Marco.
tandas Tobias. pada seseorang yang tak ingin membunuh. Aku tak bisa marah pada
seseorang yang menganggap hidup itu sakral. Pokoknya aku tak bisa.>
Aku terkejut mendengar Tobias membela Cassie seperti itu.
Tobias hidup sebagai pemangsa. Baginya membunuh adalah sesuatu
yang harus dilakukannya untuk sarapan.
Rachel berkata dingin. hidup kita. Kita berhak melakukan apa saja untuk menang.>
kataku. berakhir, sebaiknya kau berharap masih banyak orang seperti Cassie
di dunia ini. Kau sebaiknya berharap tidak semua orang memutuskan
bahwa boleh-boleh saja melakukan apa pun untuk menang.>
Sejenak kami semua terdiam dan terbang dengan cepat. Aneh
sekali rasanya, keheningan itu. Mestinya akulah yang jadi pemimpin,
meskipun dari hari ke hari aku semakin berharap bukan begitu
keadaannya. Tapi satu hal yang dilakukan seorang pemimpin adalah
mencoba memahami anak buahnya. Dan ya, aku memahami mereka.
Aku memahami sikap Ax yang lebih banyak diam. Ini urusan di
antara kami para manusia. Bukan urusannya.
Aku mengerti kemarahan Rachel. Ia merasa dirinya dituduh tak
bermoral, bila dibandingkan dengan Cassie.
Aku memahami Tobias, setelah memikirkannya selama satu
menit. Tobias adalah manusia yang hidup di dalam tubuh elang.
Berpegang teguh pada pikiran-pikiran dan kebijakan manusia sangat
penting baginya. Ia menghargai rasa iba dan kebaikan hati, karena ia
hidup di dunia tanpa belas kasihan.
Aku mengerti Marco. Marco adalah jenis orang yang langsung
menarik kesimpulan, tanpa banyak berpikir atau menimbang. Kau
boleh bilang ia pandai. Atau efisien. Atau bisa juga tegaan. Tapi ia
tidak jahat atau kejam. Ia hanya menyimpulkan segala sesuatunya
lebih cepat dari kebanyakan orang.
Cassie"> tanya Rachel beberapa saat kemudian.
sahutku. menemukannya lebih dulu.>
kata Rachel. saja menerobos keluar dari pepohonan. Itu dia.>
ujar Tobias.
Kami semua melihatnya. Dan tahu osprey itu juga melihat
kami. Chapter 23 JAKE KAMI terbang menuju osprey itu, tapi burung itu serta-merta
menukik ke balik pepohonan dan hilang dari pandangan. Jaraknya dari
kami cukup jauh, lagi pula waktu morf kami tinggal sedikit.
aku berkata.
sergah Marco.
terperangkap dalam wujud ini.>
Kami melayang turun, berputar-putar menembus angin termal
yang bergerak ke atas. Kami mendarat di atas permukaan tanah hutan
yang rimbun. Kami cepat-cepat demorph, semua kecuali Tobias, tentu
saja. Ia tetap mengangkasa, mengawasi sekitar kami.
Lalu, setelah istirahat selama beberapa menit, kami morf
kembali dan melesat ke angkasa sekali lagi. Kini kami punya waktu
dua jam penuh. Tapi itu berarti kami juga telah memberi Cassie, atau Yeerk di
dalam kepalanya, banyak waktu untuk bersembunyi atau kabur.
Kami terbang ke tempat kami terakhir melihatnya. Dari balik
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pepohonan kami melihat rombongan pencari di depan kami.
Tobias berkata.
itu sebelum mereka,> kataku. Tanpa berpikiran macam-macam, kami
terbang di atas para polisi yang jumlahnya kurang-lebih selusin.
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
DorDorDorDorDorDorDorDorDorDorDor!
Pistol, senapan, dan bahkan senjata otomatis diarahkan pada
kami. Zing! Zing! Zing! Peluru-peluru berdesing melewatiku, salah satunya begitu dekat
hingga angin yang menderu akibat desingannya menggetarkan bulubuluku.
teriak Rachel. mengingatkan mereka!> seruku. dalam beberapa...> Aku berpaling ke kiri dan melihat Rachel jatuh dari langit.
Dengan mata peregrine-ku aku bisa melihat darah menetes dari
ekornya. Dia tertembak. Dan lukanya terlalu parah hingga ia tak bisa
terbang lagi. Dia harus demorph dan morf lagi.
Tapi hutan di bawah kami penuh Pengendali.
Marco berkata. mereka perang.> tukasku. setidaknya itulah yang diinginkan Yeerk itu. Tobias! Terus terbang,
cari Cassie! Yang lain, ikut aku!>
Rachel meluncur turun ke arah pucuk-pucuk pepohonan. Aku
bisa mendengar para Pengendali-Manusia bersorak-sorak kesenangan.
Aku melesat turun seperti batu yang dijatuhkan dari langit. Tak
ada apa pun di Bumi ini yang sanggup meluncur lebih cepat dari elang
peregrine. Kuarahkan diriku tepat pada Rachel.
Udara menerjangku seolah-olah aku ada di tengah angin topan.
Semakin cepat dan cepat permukaan tanah naik seolah akan
menghantamku! Rachel hanya tinggal satu setengah meter dari
permukaan tanah. Dan di bawahnya, seorang Pengendali-Manusia menunggu,
menyeringai, di tangannya siap sepucuk senapan otomatis.
Kecepatan penuh! Kuayunkan cakarku ke depan. Swuuuuuup!
Kusambar Rachel dengan keras. Aku nyaris membunuhnya, tapi
untungnya kakiku ikut menahan sebagian guncangannya. Kupegangi
dia dan kulebarkan sayapku, berharap semoga aku bisa menyeretnya
dari situ. "Hei!" Pengendali itu terperangah.
Nah, biar kuceritakan dulu sebabnya. Rachel itu kan sedang
morf menjadi elang berkepala botak. Sedang aku elang peregrine.
Dua-duanya burung pemangsa. Tapi keduanya mirip, seperti anjing
spanil cocker mirip dengan Great Dane.
Elang itu besar. Kepala putihnya yang besar saja terlalu berat
bagiku. Kemungkinan aku sanggup terbang sambil mencengkeram
tubuhnya sama sekali nol. Yang bisa kulakukan hanya berharap
semoga aku bisa membawanya beberapa meter menjauhi Pengendali
itu. Tapi harapanku sia-sia. Kucengkeram elang yang tak sadarkan
diri itu dengan cakarku, kulebarkan sayapku dan mengepak-ngepak
seperti orang gila, tapi tetap saja aku meluncur seperti batu.
"Tseeeeeeeeer!"
Dari langit melesat misil berwarna kelabu dan putih. Ax
melebarkan sayap harrier-nya, menukik dengan anggun, dan
menyambar ekor Rachel yang terluka dengan kedua cakarnya.
Kami masih melesat turun, tapi setidaknya sekarang kami
terbang menjauhi Pengendali terdekat.
Ia berlari mengikuti kami. Kami buru-buru menyeret tubuh
Rachel yang tak sadarkan diri melewati ranting-ranting dan bebatuan
dan menerobos semak-semak. Tapi si Pengendali-Manusia cukup
cepat hingga bisa mengejar kami.
kataku.
Ax melepaskan cengkeramannya, terbang menjauh ke balik
pepohonan, dan mulai demorph.
Pengendali-Manusia itu melihatku tak berdaya menyeret
Rachel.
Apa sih kau ini" Badut, ya" pikirku.
Sekonyong-konyong sesuatu menyambar dan melukai wajah
pria itu. "Aaaaaarrrgggh!" jeritnya dan menutup matanya dengan
tangan. Marco terbang melewatiku. teriaknya. bertarung atau kabur dari sini.>
Aku berpaling dan melihat Ax masih setengah Andalite. Aku
dan Marco masih seratus persen burung. Rachel pingsan. Aku dan
Marco harus berubah jadi manusia dulu sebelum morf jadi sesuatu
yang berbahaya.
seruku.
Aku bisa mendengar suara-suara, biarpun Pengendali yang
terluka itu tak henti-hentinya berteriak dan memaki-maki. Terdengar
suara langkah-langkah kaki dan tubuh-tubuh berukuran besar
menerobos semak-semak. kataku. ia menjawab.
Belum seratus persen Andalite, Ax berlari menghampiri,
mengangkat Rachel dengan tangan Andalitenya yang lemah, lalu
berbalik dan berlari seperti rusa.
Kukepakkan sayapku, berdoa semoga ada arus angin, dan
meluncur melintasi permukaan tanah. Marco terbang tepat di
belakangku. Empat orang pria muncul! Kami terbang tepat ke arah mereka.
Mereka mengangkat senjata, kami mengepakkan sayap seperti
orang... eh, burung gila, dan melayang beberapa inci di atas kepala
mereka. Dor! Dor! Dor! Mereka melancarkan serangan.
Zing! Zing! Zing! Peluru-peluru berdesing melewati kami. Tapi
kemudian kami menemukan arus udara, mengisi sayap kami yang
seperti layar, dan naik, naik ke atas, meninggalkan pepohonan, dan
hilang dari pandangan. Chapter 24 JAKE KAMI bertemu kembali beberapa menit kemudian, jauh dari
rombongan Pengendali-Manusia itu. Ax dengan mudah meninggalkan
mereka, walaupun ia harus menggendong seekor elang besar.
Kesulitan timbul ketika Rachel tiba-tiba tersadar.
sana dan mencari orang yang menembakku dan...>
demorph!> kataku. Aku benar-benar panik. Kejadian tadi telah menyita waktu
kami. Terlalu banyak waktu, malah. Apalagi sekarang Rachel masih
harus demorph dan morf kembali. kau bisa membantunya. Cari Yeerk itu - di tubuh mana pun ia
berada.> kenal takut"> Aku tak peduli apakah ia ada di tubuh Cassie atau gadis kecil bernama
Karen itu. Pokoknya tak satu pun dari mereka boleh lolos. Apa pun
yang terjadi.> Sedetik Marco ragu.
kecil itu tak boleh lolos.>
Marco memaki. ia bertanya-tanya. Tapi
ia tetap terbang dengan kecepatan penuh.
Hatiku sakit. Benar, akulah yang mengambil keputusan itu. Dan
mungkin saja itu keputusan yang benar. Tapi, ya Tuhan, rasanya
seperti menelan pecahan kaca.
kubentak Rachel. Aku ingin memarahi seseorang dan
ia orang pertama yang kulihat.
Rachel lekas-lekas berubah jadi manusia. Karena morf elang itu
murni DNA, waktu ia kembali jadi elang lagi, luka tembaknya telah
lenyap. Ax memutuskan tetap di darat dan aku setuju. Kami sudah
cukup dekat hingga ia bisa mencapainya dengan berlari. Dan mungkin
saja kami memerlukan ekornya yang tajam. Aku dan Rachel kembali
terbang. Aku segera melihat Tobias terbang berputar di atas padang
rumput sempit hanya beberapa ratus meter dari kami. Kami meluncur
ke arahnya. Marco tidak kelihatan.
desak Rachel.
sahut Tobias parau. Kami sampai
dan menunduk, melihat pemandangan di bawah sana. Di sana, gadis
kecil itu, Karen, berjongkok di atas rumput, memperhatikan selembar
daun. Kufokuskan mata elangku dan melihat air mata mengalir
membasahi wajah gadis itu. Kemudian, aku melihat apa yang sedang
diperhatikannya. Seekor ulat. Binatang itu bergelantungan,
menggeliat-geliat di balik permukaan daun.
Aku tak tahu dari mana aku bisa tahu. Tapi pokoknya aku tahu.
Aku mendarat beberapa meter dari situ. Rachel mendarat di
sisiku. Karen memandang kami tanpa terkejut sama sekali.
"Terlambat," katanya.
desak Rachel.
"Dia melakukannya," sahut Karen. "Dia menyerahkan
hidupnya. Aku telah mengawasinya selama hampir dua jam. Aku terus
berharap dia akan berubah pikiran. Tapi tidak. Ia mengorbankan
hidupnya untuk gadis kecil manusia ini. Hanya karena dia mengira
bisa berdamai setidaknya dengan seorang musuh."
Aku dan Rachel menatap ngeri ulat itu. Binatang itu
bergelantung tegak lurus ke bawah. Ia melepaskan kulit luarnya,
mendorongnya ke ujung atas tubuhnya. Dan bahkan sekarang dengan
berhati-hati dan waswas ia keluar dari kulitnya yang lama.
"Tepat sebelum batas waktu dua jam itu lewat, aku
menyuruhnya berhenti. Kukatakan ia telah membuktikan maksudnya.
Aku memohon padanya untuk berhenti, untuk demorph." Karen
mengangkat matanya yang hijau ke arahku. "Tapi aku lupa. Kurasa
ulat tak bisa mendengar. Setidaknya tidak bahasa mulut. Dia tak tahu
aku telah cukup melihat. Dan sekarang..."
jeritku.
"Terlambat," Karen berkata lagi, dan perlahan-lahan bangkit
berdiri. teriak Rachel.
Terdengar gedebak-gedebuk dan Ax tiba sambil berlari. Karen
menoleh ke arahnya dan menyeringai. "Ah, tentu saja, si aristh
Andalite." bentak Ax. Ekornya
melengkung.
seru Rachel dengan kemarahan yang amat sangat.
Ia mulai demorph dengan kecepatan penuh, daging dan wajah
menyeruak dan bermunculan dari antara bulu-bulu dan paruh.
"Dasar tolol! Tidakkah kalian lihat?" jerit Karen. "Dia
mengorbankan hidupnya untuk menciptakan fragmen kecil
perdamaian. Kami membuat kesepakatan! Aku dan Cassie membuat
kesepakatan!" Ia memandang kami bergantian. Kurasa ia tidak menemukan
rasa belas kasihan atau pengertian di wajah-wajah manusia-elang
kami. Karen berbalik dan lari. Ia berlari secepat yang bisa dilakukan
seorang gadis kecil yang sebelah pergelangan kakinya bengkak dan
berdarah. tanya Ax tenang.
"Tidak," sahut Rachel. Ia sudah sepenuhnya manusia. "Biarkan
dia lari. Biar dia tahu bagaimana rasanya tak berdaya. Aku akan
segera menghabisinya."
Setelah berkata seperti itu Rachel mulai morf dari manusia
menjadi gajah Afrika yang DNA-nya telah menjadi bagian dari
dirinya. Karen terseok-seok, berlari, dan jatuh. Ia mencapai tepi padang
rumput dan merangkak ke antara pepohonan.
Ketika itulah kami melihat bayangan cokelat-hitam itu. Kucing
liar itu melompat diam-diam dari dahan pohon.
Dan menerpa tepat ke arah Karen.
Ia membuka rahangnya yang kuat, memamerkan barisan
giginya yang tajam, dan bersiap-siap menancapkan taring-taringnya ke
leher gadis kecil itu. "Aaaaahhhhh!" jerit Karen.
Aku terkesiap. Aku tengah demorph. Rachel baru setengah
gajah. Mungkin Ax bisa menyelamatkan gadis itu dari si macan tutul,
tapi ia takkan bergerak kecuali aku memerintahkannya.
Tapi aku hanya terpana. Apakah aku berpikir, Bagus, biar saja
macan tutul itu yang menghabisinya" Mungkin. Aku tak tahu apakah
pikiranku sama sekali jernih.
"Oh! Oh! Oh!" erang Karen saat macan tutul itu
melengkungkan tubuh di atasnya, bersiap-siap menancapkan
taringnya. Dan kemudian... Muncul tangan! Tangan yang besar, hitam, dan berbulu muncul
dari balik pohon. Jemari sebesar hotdog mencengkeram tengkuk si macan tutul.
Sepasang kaki menekuk, bahu yang bidang terangkat, dan macan tutul
itu sekonyong-konyong telah terayun di udara.
Marco berkata.
Ia berputar sembilan puluh derajat dan melemparkan macan
tutul itu sekitar enam meter jauhnya.
Chapter 25 JAKE BENAR-BENAR gerombolan aneh yang kami buat di pinggir
padang rumput itu. Andalite. Gajah. Gorila. Elang. Dan aku. Aku telah
kembali jadi manusia. Di tengah lingkaran yang kami buat ada Karen. Atau Aftran,
tergantung bagaimana kau ingin memandangnya.
"Apa yang akan kaulakukan padaku, Jake?" ia bertanya.
Aku terkesiap, mendengar ia mengucapkan namaku. Maksudku,
mestinya aku tak perlu terkejut, karena aku tahu ia pernah masuk ke
kepala Cassie. Tapi itu justru membuat segalanya jelas: Tak ada yang
berubah. Nyawa kami masih ada di tangan Pengendali ini.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan padamu," aku
mengaku. tukas Rachel dingin. menyelamatkannya untukku. Ya nggak, Marco">
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Marco tak menyahut. Ia malah demorph kembali jadi
manusia, tubuh gorilanya mulai menyusut.
Rachel menggerakkan kepalanya yang sebesar Miata dan
memandang Ax.
"Tentu saja dia di pihakmu," sergah Karen. "Manusia mungkin
bisa menginginkan perdamaian, tapi tidak Andalite yang mahakuasa.
Silakan, Andalite. Kau memiliki ekor tajammu itu. Silakan, gunakan
saja." Ax menatap Rachel dengan sepasang mata ekstranya yang
terletak di ujung tanduknya. Mata utamanya tetap menatap Karen.
Lalu ia berkata, Pangeran Jake.> Rasa terkejut memenuhi mata Karen saat ia kembali
memandangku untuk menantikan nasibnya.
"Katamu kau membuat kesepakatan dengan Cassie. Ceritakan
padaku apa itu." "Kalau dia bersedia menderita dan menjalani nasib sama seperti
yang harus kujalani nanti - hidup tanpa bisa melihat, tanpa rasa
senang, tanpa kebebasan - aku akan melakukan apa pun yang
diinginkannya," Karen berkata terus terang.
"Dan apa yang Cassie minta darimu?"
"Menciptakan perdamaian kecil yang bisa kuciptakan," Karen
berkata. "Membebaskan tubuh induk semangku ini. Dan tak pernah
menyusup dan menempati tubuh manusia lagi."
"Dan kau akan melakukannya?" tanyaku.
Karen mengangguk. "Ya."
Rachel mencemooh.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Kenapa kau mau
melakukannya" Kenapa?"
Karen tersenyum lemah. "Tak semua kami seperti Visser
Three," ia berkata. "Sebagian dari kami hanyalah Yeerk-Yeerk kecil
yang bukan siapa-siapa, yang terperangkap dalam peperangan ini.
Sebagian dari kami juga menginginkan perdamaian. Sebagian dari
kami ingin menemukan cara yang lebih baik. Tapi bagaimana kami
bisa mengorbankan segalanya dan menyerahkan alam semesta ini
pada..." Ia mengedik ke arah Ax. "Pada mereka" Mereka tak pernah
merasakan apa pun kecuali benci dan jijik terhadap kami. Cassie...
Cassie tidak membenci."
Dia akan mengatakan apa saja,> tukas Rachel. kalau perlu! Kau tak bisa melepaskan dia. Dia tak bisa dipercaya.>
Tobias berkata tenang.
teriak Rachel.
Dia benar. Apa yang dilakukan Cassie adalah sinting. Tapi
bukan salah. Dan aku terus berpikir, seidealis, senaif, atau bahkan
setolol apa pun tampaknya tindakan Cassie, apakah sekarang aku
ingin merusak semuanya" Apakah aku ingin menghancurkan arti
pengorbanan yang telah dilakukannya"
Cassie telah menyerahkan hidupnya, dan membuat taruhan yang
tak masuk akal dan penuh harapan demi perdamaian. Jika aku
mengeluarkan perintah yang satu itu... taruhan yang dilakukan Cassie
akan sia-sia saja. Dan jika aku memberikan perintah yang lain, kami
semuanya bisa mati. "Kurasa kadang-kadang kau harus memilih di antara harapan
yang pintar, waras, kejam, dengan yang sama sekali tolol dan tidak
masuk akal," kataku, benar-benar tak sadar telah mengucapkannya.
"Kau juga tak bisa memilih satu dan terus berpegang pada pilihanmu
itu. Setiap kali pilihan itu muncul, kita harus mencoba dan membuat
keputusan yang terbaik. Hampir setiap waktu, kurasa aku harus
memilih yang pintar dan waras. Namun aku tak ingin hidup di dunia
di mana orang-orangnya kadang-kadang tidak mencoba memilih
pilihan yang tolol, gila, dan penuh harapan."
Aku memandang Rachel, yang menjulang di atas kami semua.
"Rachel, aku takkan memberi perintah apa pun. Sekarang kita masingmasing harus
memutuskan bagi diri kita sendiri."
Aku kembali menoleh kepada Karen, dan kemudian berpaling.
Kuhampiri ulat itu. Kucabut tumbuhan tempatnya bergelantung, dan
dengan hati-hati membawanya memasuki hutan.
Tobias bergabung denganku beberapa menit kemudian. Sesudah
itu Ax. Lalu Marco. Beberapa saat lamanya Rachel tak muncul-muncul. Tapi
kemudian dia datang, sudah berwujud manusia lagi.
Kami menatapnya, bertanya-tanya.
"Cassie sahabatku," ujarnya, mengertakkan giginya untuk
menahan air mata. "Aku takkan menjadi orang yang menyebutnya
tolol." Rachel mengulurkan tangannya untuk mengambil kepompong
yang telah mengeras dan mengering itu. "Akan kubawa dia," katanya.
"Akan kujaga dia."
Chapter 26 CASSIE UNTUK waktu yang lama sekali, aku lenyap.
Tidur. Tak sadarkan diri. Ulat yang sedang hibernasi. Otak ulat yang sederhana bahkan
tidak berfungsi pada levelnya yang sangat terbatas.
Rasanya seolah-olah aku sudah mati, hanya saja masih ada
mimpi-mimpi samar yang terasa jauh. Kabut mimpi, hanya itu. Tak
satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Bayang-bayang samar orang-orang dan tempat-tempat. Hampir
seluruhnya orangtuaku. Tapi bukan berarti aku tahu apa arti wajahwajah yang
tampak kabur itu. Aku berubah, tapi tidak menyadari hal itu. Aku bahkan tak
menyadari bahwa diriku ada.
Aku ada di dalam cangkang yang mengeras. Bergelantungan di
bawah permukaan daun. Aku tengah menjadi salah satu mukjizat
alam. Aku hidup dan mengalami proses metamorfosis alam itu sendiri.
Pelan, amat pelan, aku tersadar. Aku bergeser dan bergerak, dan
gerakanku sendiri membangunkanku.
Kantong kulitku yang telah kering dan kaku mulai retak dan
pecah seperti telur. Cangkang kulit itu terbelah dan aku merasakan
sensasi yang baru dan aneh. Hal baru pertama yang kurasakan setelah
waktu yang lama sekali. Udara! Kini segalanya seolah-olah terjadi dengan sangat cepat. Aku
mendorong, menggeliat, mencoba keluar. Tidak sabar.
Kudorong dan sekonyong-konyong...
Aku bisa melihat! Dalam ledakan kesadaran aku tahu siapa diriku. Aku Cassie!
Dan aku bisa melihat lagi!
Warna-warna! Bagaikan seniman sinting yang menyemproti
segalanya dengan warna-warna mencolok yang berbeda-beda,
berpendaran, dan gila-gilaan.
Mata majemuk, aku memberitahu diriku sendiri. Dan kemudian
aku tertawa, sebab aku masih tahu istilah itu. Aku telah kembali. Aku
telah menjadi diriku kembali.
Tapi bukan aku yang manusia.
Mata majemuk. Dan sekarang, sungut yang membuka dari
kepompong yang lengket dan membaui semua aroma dunia yang
sedap. Kudorong kembali, lebih keras lagi. Dan sedikit demi sedikit,
aku muncul dari dalam kepompong. Kemudian, akhirnya, aku
mengembangkan sayapku. Pertama-tama rasanya kebas dan lembap, tapi kurentangkan
keduanya agar kering dan menguat.
Sayap-sayap itu terbuat dari jutaan sisik yang sangat kecil,
nyaris seperti kulit reptil. Tapi sisik-sisik ini gemerlap oleh warna.
Rasanya aneh, menurutku, karena aku melihat warna dengan
cara kupu-kupu melihatnya, yang sangat berbeda dari manusia. Bagi
mata majemukku yang terbagi-bagi, sepertinya diriku berwarna ungu
dan merah yang indah sekali. Namun bagi mata manusia, warnanya
akan berbeda sama sekali.
Di tempat mulutku seharusnya berada, terdapat gulungan belalai
yang sangat panjang. Hidupku adalah untuk terbang dari satu bunga
yang indah dan bercahaya ke bunga lainnya. Untuk membuka
gulungan belalaiku dan meminum nektar dari jantung bunga itu. Dan,
seolah-olah tanpa sengaja, membawa serta tepung sari ke bunga yang
lain. Tadinya aku adalah seekor ulat. Sekarang aku kupu-kupu. Aku
punya mata. Aku punya sayap. Aku takkan menghabiskan hidupku
sebagai siput. Apakah itu berarti aku telah menipu Aftran si Yeerk" Tahukah
Karen tentang ulat dan kupu-kupu" Mungkin tidak. Dengan begitu,
mungkin Aftran juga takkan tahu.
Rasanya aku nyaris bisa bahagia. Tapi sekarang, setelah sadar
dan bangun kembali, seluruh ingatan manusiaku kembali
menyerangku. Sudah berapa lama aku seperti ini" Penderitaan macam apakah
yang telah menyiksa orangtuaku" Dan teman-temanku, apakah mereka
tahu" Kujajal sayap-sayapku. Sinar matahari telah mengeringkannya.
Aku adalah diriku ini. Seekor kupu-kupu. Aku akan menjalani
hidupku yang singkat di dunia bunga-bungaan.
Ingin rasanya aku menangis, tapi insting kupu-kupu
mengatakan aku punya tugas yang harus dikerjakan. Bunga-bunga
penuh tepung sari menantikanku untuk membantu mereka terus hidup.
Chapter 27 JAKE AKU sedang duduk di kelas IPA, mendengarkan penjelasan
yang rumit dan membosankan tentang jamur. Tiba-tiba aku melihat
kilasan akrab berwarna cokelat dan oranye berkelebat melintasi
jendela. seru Tobias.
"Kusangka dia akan jadi kepompong setidaknya sepuluh hari!"
ujarku. Guru di depan memelototiku. Juga hampir seluruh kelas, yah,
setidaknya mereka yang tidak ketiduran.
"Maaf," kataku. "Saya... eh... tidak enak badan. Boleh minta
izin ke poliklinik?"
"Tunggu sampai pelajaran selesai."
"Tapi saya kepingin muntah!" teriakku, lalu lari ke pintu. Tak
ada yang bakal melarang kalau kau mengatakan ingin muntah. Mereka
malah buru-buru minggir dan memberimu jalan.
Beberapa detik kemudian Rachel ikut-ikutan sakit. Dia juga
kepingin muntah. Lalu Marco meninggalkan kelasnya. Marco,
namanya juga Marco, mengatakan pada gurunya bahwa ia harus
keluar dan menempelkan potongan-potongan Nicoderm. "Saya sedang
mencoba menghentikan kebiasaan merokok!" teriaknya. "Jangan
halangi saya!" Dua puluh menit kemudian, kami berkumpul di sekeliling
taman bunga kecil di belakang rumah Cassie. Di sanalah kami
meletakkan kepompong itu. Kepompong itu bergelantungan pada
tanamannya yang telah dipindahkan, di tengah bunga-bungaan,
ditunggui oleh Tobias siang dan malam, untuk menjaganya dari
binatang-binatang yang ingin memangsanya.
Orangtua Cassie tidak tahu-menahu mengenai masalah ini, tentu
saja. Tiga hari telah berlalu. Mereka masih berharap Cassie bisa
ditemukan. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada mereka. Atau
kapan aku akan menjelaskan hal ini pada mereka. Atau apakah
sebaiknya kubiarkan saja mereka terus berharap.
Kami berdiri mengerumuni kepompong itu, yang sudah
terbelah. Kupu-kupu itu muncul, sedikit demi sedikit. Kemudian,
akhirnya, ia merentangkan sayap-sayapnya yang indah.
"Mestinya perlu waktu dua minggu untuk keluar dari
kepompong itu," kataku.
komentar Tobias.
Rachel menangis, yang tentu saja tak enak dilihat, karena
Rachel tak biasa menangis. Kurasa aku juga menangis.
"Dia jadi kupu-kupu," Rachel berujar. "Dia berhasil. Setidaknya
sekarang dia akan..."
Tangisnya pecah. Memang bagus bahwa Cassie kini telah
menjelma menjadi kupu-kupu dan bukannya cuma ulat. Tapi itu pun
bukan sesuatu yang menggembirakan. Tidak bagi kami. Juga tidak
bagi orangtuanya. Ax tiba dalam morf manusia, berlari kaku dengan sepasang
kakinya. Ia membungkuk dan dari dekat memperhatikan kupu-kupu
yang sedang mencoba sayapnya. "Apa sih itu?"
"Itu Cassie," kataku. "Keluar dari kepompongnya."
Ax tampak bingung. "Tapi ini sama sekali bukan ulat."
"Tidak, tapi dia berubah jadi itu," Marco menjelaskan. "Ulat
berubah menjadi kupu-kupu."
Tiba-tiba kupu-kupu itu terbang. Ia mengepakkan sayapnya,
terbang ke atas bunga-bunga, seolah-olah sedang melihat-lihat mana
bunga yang tepat. "Metamorfosis alami?" tanya Ax bingung. "Kalian tidak pernah
bilang." "Yah, kurasa itu morf alami," kataku. "Dan kurasa lebih baik
hidup sebagai kupu-kupu daripada ulat."
"Apakah Cassie lebih memilih menjadi makhluk itu daripada
kembali menjadi manusia?" Ax bertanya. "Maaaakh-luk. Mak-heluk."
Rachel mendesah. "Tidak, Ax, tentu saja tidak. Kami hanya
ingin mengatakan bahwa ini lebih baik daripada pilihan. yang satu itu.
Lebih baik jadi kupu-kupu daripada ulat."
"Ah. Begitu," sahut Ax. "Tapi mungkin ia ingin demorph
sekarang." "Ya, aku yakin dia kepingin," sergah Marco geram.
"Yah, dia harus melakukannya kalau begitu," kata Ax.
Perlahan-lahan, satu per satu, kami semua mengalihkan
pandang dan menatap Ax. Rachel melakukan lebih dari sekadar
melihat. Ia melompat, menyambar kerah baju Ax, dan berkata, "Kau
ini mau menguji kesabaranku, atau kau punya maksud lain?"
Sebenarnya Ax tampak sedikit terkejut. Tapi ia berkata, "Oh,
begitu. Kau tidak tahu. Huh. Tah-huh. Kata yang asyik, 'tahu' itu. Dan
bunyi 'hu'-nya membuat mulut manusiaku menyemburkan angin."
"Ax! Apakah maksudmu Cassie bisa morf lagi?" desakku.
"Kurasa begitu," sahutnya. "Morf alami ini mestinya telah
menyetel kembali waktu morfnya dari awal. Jadi ia punya waktu dua
jam untuk demorph." "TANGKAP! KUPU-KUPU! ITU!" teriakku.
Chapter 28 CASSIE AKU terpaksa bohong pada orangtuaku. Aku mengungkapkan
kebenarannya sebisa mungkin. Maksudku, aku cerita bahwa aku jatuh
ke sungai. Tapi aku tak bercerita soal Karen. Kukatakan bahwa aku
bertahan hidup tiga hari dengan makan jamur.
Aku diberitakan di TV. Juga koran. Headline-nya berbunyi
"Gadis yang Selamat dari Maut Akibat Makan Jamur".
Judulnya lucu. Seolah-olah jamur itulah yang membuatku
nyaris mati. Aku banyak diwawancara. Dan aku banyak dipeluk. Selama dua
hari orangtuaku tak pernah melepaskanku. Bagiku sih semua itu okeoke saja.
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi akhirnya, hidupku mulai normal lagi. Normal, kecuali
fakta bahwa setiap hari aku bangun dari tidur dengan pikiran: Apakah
hari ini para Yeerk akan menangkapku" Apakah hari ini aku dan
teman-temanku akan dijadikan Pengendali"
Tapi hari demi hari berlalu dan sama sekali tak ada serangan
tiba-tiba. Di sekolah, Mr. Chapman, wakil kepala sekolah dan
Pengendali yang terbilang penting, tidak mengacuhkan aku, seperti
yang selalu dilakukannya. Kakak Jake, Tom, hanya membuat lelucon
tentang aku dan jamur, tapi cuma itu.
Tak ada penyerbuan. Dan kemudian, ayahku pulang sambil menjentikkan jarinya dan
tertawa. Ia mengangkat dan memutar diriku sambil menari-nari.
Mungkin tarian Frug atau Twist, atau entah apa.
"Kita selamat!" serunya.
"Asssyyyiiik," timpalku.
"Bukan, kita dapat dana! Kita dapat dana! Klinik Perawatan
Satwa Liar kembali dibuka, dan bahkan lebih baik daripada selama
ini." "Sungguh?" teriakku.
"Yeah. Aneh lho, tiba-tiba saja pria dari UniBank itu menelepon
dan mengatakan putrinya telah mendengar soal klinik kita. Dia
bercerita putrinya itu terus merengek memintanya menyumbangkan
cukup dana agar klinik kita bisa berjalan lagi. Pria itu malah bilang,
'Katakan saja apa yang Anda butuhkan, supaya gadis kecilku bahagia.'
Jadi kukatakan saja semua keperluan kita. Dan dia mengirimkan
ceknya." Dad tertawa. "Minggu yang indah, bukan?" Lalu ia memelukku
seperti yang selalu dilakukannya setiap delapan menit sejak aku
pulang. "Aku jadi kepingin tahu siapa gadis kecil itu. Kita berutang
banyak padanya lho."
Aku tahu nama gadis kecil itu, tentu saja. Karen.
Karen, yang telah dijadikan Pengendali, untuk mengawasi
ayahnya, presiden UniBank.
Tapi, aku juga ingin tahu siapa dia sebenarnya. Aku cuma tahu
dia tidak menyerahkan kami ke teman-teman Yeerk-nya.
Seminggu lagi lewat sebelum aku benar-benar yakin. Aku
sedang di mall - bersama Rachel, tentu saja. Sejak menjadi kupukupu, aku jadi
semakin tertarik pada warna. Menurut Rachel, ini
berarti aku harus membeli pakaian-pakaian baru. Jadi ia menyeretku
dari toko yang satu ke toko yang lain, mencoba membuatku mengerti
konsep beraksesoris. Dan ketika itulah aku melihatnya, berdiri sendirian, hanya
beberapa meter dari wanita yang pasti adalah ibunya.
Aku menghampirinya, meninggalkan Rachel di tengah-tengah
pajangan sweter. "Hai, Karen," sapaku.
"Hai, Cassie," sahutnya.
"Bagaimana kabarmu?"
Ia memandangku dengan mata hijaunya yang terasa akrab dan
berkata, "Aku bebas, Cassie. Ia memegang janjinya. Aku bebas."
Aku tak sanggup bicara. Kata-kataku tak mau keluar. Aku
hanya berlutut dan memeluk gadis kecil itu.
Kemenangan kecil. Seorang gadis kecil terbebas. Satu jalinan
hubungan tercipta dengan salah satu musuh kami.
Perdamaian yang sangat kecil.
"Dia pasti senang kalau tahu kau berhasil bebas," Karen
berkata. "Dia mencoba menghentikanmu pada detik-detik terakhir."
Aku mengangguk, masih tak sanggup bicara.
Ibunya datang menghampiri dan mengajaknya pergi. Karen
lenyap; gadis kecil yang menyimpan rahasia besar. Benaknya penuh
dengan hal-hal yang mestinya tak boleh diketahui oleh anak kecil.
Bisa dibilang mirip aku, aku tersadar. Mirip semua anggota
Animorphs. Apakah aku masih anggota Animorphs"
Ya. Itu artinya kadang-kadang aku harus bertempur. Tapi menjadi
anggota Animorphs juga memberiku kesempatan untuk menemukan
kemenangan-kemenangan kecil demi perdamaian. Di antara semua
konflik dan ketakutan dan kemarahan, aku masih bisa mencari musuh
yang mungkin bisa dijadikan teman.
Kuakui itu bukanlah jawaban yang sempurna, tapi itulah yang
terbaik yang bisa kulakukan.
"Jadi?" desak Rachel seraya mengangkat dua helai sweter.
"Yang mana yang kau suka" Hijau atau merah?"
Aku teringat pada Aftran, sang musuh. Kubayangkan dirinya
berenang tanpa bisa melihat di kolam Yeerk, hanya berbekal
ingatannya tentang dunia yang terang benderang. Ia pernah berkata
padaku bahwa manusia hidup di surga. Dan ia rela meninggalkan
surga hanya untuk menciptakan satu perdamaian kecil.
"Dua-duanya, Rachel. Dan aku suka yang biru. Juga yang
kuning. Dan warna norak di sana itu. Yang garis-garis juga. Kita
hidup di surga, Rachel, dan kita sama sekali tak menyadarinya. Dan
kita juga tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Kita pasti tolol kalau
tidak menikmatinya selagi bisa. Jadi, cabut kartu kreditmu, Sayang,
kita akan menambahkan beberapa warna!"END
Jurus Tanpa Bentuk 17 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Ratu Cendana Sutera 1
tak bisa mengendalikan ingatanku sendiri. Yang tersisa bagiku
hanyalah emosiku. Dan itu pun... aku sama sekali tak bisa memahami emosiemosiku itu. Aku hanya
tahu bahwa aku telah mengkhianati semua
orang yang kusayangi. Jake. Rachel. Tobias. Ax. Marco.
Dan kemudian, kurasakan Aftran membuka ingatan yang satu
itu. Kurasakan dia membuat diriku memusatkan pikiran dan
berkonsentrasi. Dan ketika ia mengarahkan mataku, aku melihat pola-pola bulu
berwarna kelabu mulai muncul di atas kulitku, bagaikan gambargambar yang
perlahan-lahan menjadi hidup.
Yeerk itu mengembangkan sayapku. Dan terbang.
Chapter 19 KE atas kami terbang, meninggalkan permukaan tanah hutan
yang diselimuti jarum-jarum pohon cemara. Naik, naik, menerobos
pucuk-pucuk pepohonan. Naik menuju sinar matahari yang terang
benderang. Mata osprey memperhatikan seluruh horizon. Mulai dari
pegunungan di kejauhan, lalu ke lautan, dan kini, tak lebih dari satu
setengah kilometer jauhnya, ke peternakan, jalanan, pompa bensin,
dan Dairy Queens yang letaknya tak lebih dari tiga kilometer.
Pasti mudah sekali bagi Yeerk itu untuk terbang ke pompa
bensin terdekat, demorph, dan berteriak memanggil atasan-atasannya.
Dan segalanya langsung tamat.
Jake akan ditangkap, mungkin oleh Tom sendiri. Rachel akan
diciduk waktu ia jalan-jalan di pertokoan. Lalu Marco, Ax, dan
Tobias, satu per satu. Mereka masing-masing akan diseret, dipaksa,
menjerit-jerit, menangis, memohon-mohon, atau mungkin dengan
kehormatan apa pun yang bisa mereka dapat. Turun, masuk ke kolam
Yeerk. Dan di sana, dilumpuhkan agar mereka tak bisa morf, kepala
mereka akan ditekan dan dicelupkan ke dalam lumpur kolam Yeerk.
Dan pada saat itu juga kebebasan mereka akan lenyap. Dan
mungkin, harapan terakhir dan terbaik bagi ras manusia akan ikut
mati. Salahku. Semuanya salahku. Aku benar-benar tolol. Pengecut. Aku tak bersedia melakukan
hal yang kejam, brutal, dan perlu. Sebaliknya aku malah mengikuti...
apa" Keinginan" Insting" Harapan yang menyedihkan"
seperti bermimpi.
pun! Semuanya, sampai helai-helai rumput yang paling halus
sekalipun.> Aku menunggu sampai Aftran meluncur menuju permukiman
manusia. Tapi ia tak melakukannya. Ia terbang berputar. Tidak yakin.
Aku bisa mendengar dan merasakan keraguannya.
Tapi kemudian, di bawah sana, berjalan menerobos pepohonan,
tampak selusin pria berseragam polisi. Mereka bergerak menyusuri
sungai. Melirik ke kiri, mata si osprey melihat Karen, masih duduk
membungkuk di atas batu. Beberapa ribu meter hutan yang lebat memisahkan orang-orang
itu dengan Karen.
Mereka tidak mencarimu, tapi aku. Mereka mengira aku ada di dalam
Karen. Kalau mereka menemukannya, mereka akan tahu aku telah
menjadikanmu induk semangku. Dan mereka akan bertanya kenapa.>
Benarkah Aftran gelisah" Takut" Kenapa"
Ia menggerakkan kepala si osprey dan menyapu horizon dengan
resah. Dan ketika itulah aku melihat burung-burung itu. Mereka masih
jauh, bahkan untuk penglihatan osprey sekalipun. Tapi satu, yang
paling besar, jelas adalah elang kepala botak. Dan burung-burung lain
yang terbang bersamanya sama sekali bukan elang.
Aku bisa menebak burung-burung apa itu: elang peregrine,
northem harrier, osprey, dan tentu saja, elang ekor merah.
Aku mencoba menyembunyikan hal itu dari Aftran, tapi
sayangnya ia langsung tahu begitu aku tahu.
Kandrona.> Aku tahu Aftran shock mendengarnya.
waktu untuk mengupas seluruh ingatanmu.>
mana-mana dan menceritakan semua yang diketahuinya. Mereka akan
membunuh gadis kecil itu.>
Beberapa Pengendali di bawah sana akan mati! Beberapa temanku
juga bisa mati! Karen mungkin akan mati! Kau mungkin akan mati!
Untuk apa" Untuk apa">
Ia tertawa pahit.
kau bisa berdamai. Seorang Yeerk dan seorang manusia.>
Aftran tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku bisa mendengar
gema-gema pikirannya. Kembali ke kolam Yeerk. Bersembunyi di
antara Yeerk-Yeerk lainnya. Mencoba hilang di lautan lumpur.
Meninggalkan induk semangnya dan tak pernah kembali.
Tak pernah melihat lagi. Tak pernah melihat biru, hijau, dan
merah. Tak pernah lagi melihat matahari. Matahari apa pun.
Kenapa" Hanya supaya seorang anak manusia kecil dengan
sepasang mata hijau bisa bebas"
Aku ragu.
Tapi Aftran mengupas pikiranku lagi, membuka-buka halaman
demi halaman ingatanku, mendengarkan instingku, menyerap
keyakinan dan kepercayaanku.
itu.>
mengepakkan sayapnya menuju Karen.
Dan ketika itulah gaung pikiran Aftran memenuhi kesadaranku
sendiri, dan aku pun merasakan kengerian yang membekukan hati.
Chapter 20 PERTAMA-TAMA kami terbang di atas kepala-kepala para
Pengendali. Para Pengendali-Manusia yang menyamar menjadi polisi.
tidak bisa melihatku. Tapi dengarkan peringatanku: Lima burung
pemangsa sedang dalam perjalanan kemari. Mereka adalah para bandit
Andalite dalam morf!> Aku melihat para Pengendali-Manusia memandang
sekelilingnya, bingung karena telah mendengar bahasa-pikiran yang
muncul tiba-tiba itu, dan sekaligus tampak cemas. Mereka mulai
mengokang senjata.
kemudian, aku tersadar: Tadi Aftran mengatakan "para bandit
Andalite". Aftran telah berbohong pada teman-teman Yeerk-nya.
Kami mendarat di sisi Karen. Ia telah berhasil berjalan
terpincang-pincang dan terseok-seok ke padang rumput. Ia tak
menyadarinya, tapi tindakannya itu membuatnya semakin jauh dari
para Pengendali yang mencarinya.
Sekarang mereka butuh waktu berjam-jam untuk
menemukannya. Dan bisa saja teman-temanku sendiri juga tak bisa
langsung menemukannya, karena mereka harus menghadapi para
Pengendali-Manusia yang mencoba menyerang mereka.
Pertempuran lagi. Kekerasan lagi. Kesia-siaan lagi.
Aftran, membaca pikiranku seolah-olah itu pikirannya
sendiri. Osprey itu mendarat beberapa meter dari Karen. Karen telah
berhenti menangis. Kini ia melihat dengan heran dan bingung, saat
aku... Aftran... saat kami mulai demorph.
Bulu-bulu burung lenyap digantikan daging dan kulit.
Penglihatanku kembali menjadi penglihatan manusia normal.
Pendengaranku tak lagi setajam tadi. Sayapku berubah menjadi lengan
dan cakarku memanjang menjadi sepasang kaki manusia.
Wajah Karen tampak kalah. Ia sadar betul siapa diriku. Dan apa
yang ada di dalam kepalaku.
Karen mencoba berbalik, berusaha kabur. Tapi pergelangan
kakinya langsung menahannya dan ia pun tersungkur ke rumput.
Tangannya mencengkeram segenggam bunga liar berwarna biru.
Tapi tanpa daya aku menyaksikan di dalam tubuhku sendiri
bagaimana tanganku terulur dan menarik Karen dengan kasar.
Ia menjerit dan memukuliku dengan tinjunya yang kecil, tapi
tanganku menahannya. Tanganku merenggut kepalanya dan
kutempelkan telingaku ke telinganya.
Aku ingin menangis, tapi aku tidak mengendalikan air mataku
sendiri. Aku ingin menenangkannya, tapi suaraku bukan lagi milikku.
Aku menempelkan kepala Karen ke kepalaku dan
mencengkeramnya erat-erat, dan Yeerk bernama Aftran itu merayap
keluar dari telingaku dan masuk ke telinga Karen.
Butuh waktu beberapa menit. Perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit, aku merasakan diriku kembali mengendalikan tubuhku
sendiri. Aku bisa menggerakkan mataku. Aku bisa menggerakkan
kakiku. Tapi Aftran tetap memegang kontrol atas tanganku sampai ia
hampir sepenuhnya menyeberang dan menyusup ke dalam kepala
Karen. Tanganku! Akhirnya aku bisa mengendalikannya. Kudorong
Karen menjauh dariku. Aku melihat ujung tubuh si Yeerk. Ujung siput kelabu yang
merayap masuk ke dalam kepala Karen.
Aku terduduk, tiba-tiba saja merasa sangat kelelahan dan putus
asa untuk lari atau morf atau bahkan berpikir. Aku hanya ingin
menangis. Dan kurasa aku melakukannya. Entahlah.
Suara Karen berkata, "Temanmu atau temanku akan segera
menemukan kita, tapi tidak terlalu cepat, kurasa."
"Lalu kenapa memangnya?" tanyaku.
"Mereka tak boleh menemukan kita selama dua jam."
"Apa rencanamu sebenarnya?" tanyaku. Aku menengadah dan
tersadar bahwa mata Karen yang hijau bersimbah air mata. Air mata
Karen. Tapi air itu hanya mengalir karena Aftran, si Yeerk, tengah
menangis. "Kau saja yang memberitahuku apa yang harus kulakukan,"
Karen berkata parau. "Andalite dan manusia, kalian tak ada bedanya:
kalian sama-sama ras yang sombong, suka menghakimi moral orang,
dan sok. Kalian sama-sama hidup di dunia yang indah. Kalian punya
tangan, mata, dan kebebasan untuk bergerak ke mana saja kalian
inginkan. Dan kalian membenci kami hanya karena kami juga
menginginkan semua itu."
"Kami tak bisa mengubah wujud kami, sama seperti kalian pun
tak bisa mengubah bentuk kalian. Kami lahir dengan dilengkapi mata,
tangan, dan kaki. Sementara kalian terlahir seperti... itu."
"Siput!" sembur Karen. "Begitulah kalian menyebut kami, ya
kan" Siput! Seperti makhluk basah berlendir yang merayap di
sepanjang trotoar setelah turun hujan. Sesuatu yang kauinjak sambil
berkata, 'Ih, jijik!'"
"Kau adalah Yeerk. Aku tak bisa mengubahnya. Kau sendiri tak
bisa mengubahnya. Yang bisa kaulakukan hanya menjadikan makhluk
lain sebagai budak supaya kau bisa lebih bebas. Pembenaran apa yang
kaumiliki karena telah menjadikan Karen budakmu supaya kau bisa
bebas" Itu salah. Tak peduli apakah kau manusia atau Andalite atau
Yeerk, itu salah." Karen memandangku dan mengangguk. "Benar. Aku tahu." Ia
mengangkat bahu dan menunduk memandang tanah. Ia membungkuk
dan mengangkat selembar daun supaya aku bisa melihatnya. Seekor
ulat tampak menggelantung di bawah permukaan daun itu. Mungkin
panjangnya hanya satu setengah inci. Sambil menggelantung, ia sibuk
melepaskan kulit lamanya. Kulit lamanya teronggok di sekeliling
ujung tubuhnya seperti kaus yang merosot ke pergelangan kaki.
"Seperti inilah diriku," Karen berkata. "Siput. Ulat. Seperti
inilah yang akan kualami bila aku tidak menyusup ke tubuh makhluk
lain." "Aku... aku ikut sedih," kataku. Hanya itu yang terpikirkan
olehku. "Kau memintaku untuk menjadi ulat ini lagi. Yang kauminta itu
sangat besar, Cassie si Animorph. Katamu kita bisa berdamai di antara
kita, hanya kau, aku, dan Karen. Kau bilang kita bisa memulai sesuatu
yang baru. Dan kemudian kau memintaku mengorbankan semuanya,
sementara kau meneruskan hidupmu, hidup di antara keindahan dan
kemegahan." Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku bahkan tak tahu
apa artinya itu. Apakah aku menyangkal ucapannya" Tidak. Dia
benar. "Jadi, kutanyakan padamu, Cassie," Karen berkata dengan suara
lembut. "Apa yang akan kaukorbankan bila aku mengorbankan
segalanya?" "Aku... apa yang bisa ku..."
Dengan hati-hati dan lembut Karen meletakkan ulat yang baru
berbentuk setengah kepompong itu di tanganku. "Biarkan DNA-nya
terserap ke dalam dirimu, Cassie."
"Tidak," bisikku.
"Kau memintaku membayar harga yang mahal sekali untuk
membiarkan Karen bebas. Bersediakah kau membayar harga yang
sama" Bersediakah kau menjadi makhluk kecil ini" Bersediakah kau
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
morf menjadi ulat ini selama dua jam sementara aku berjaga?"
"Tapi... aku bisa terperangkap selamanya!" sergahku.
"Benar. Aku juga akan terperangkap selamanya."
Aku tak bisa bernapas. Jantungku berdebar kencang sekali, lalu
tiba-tiba seperti berhenti. Aku bahkan tak bisa melihat apa-apa -
kecuali wajah Karen dan ulat itu.
"Jauh lebih mudah mengatakan pada orang lain apa yang harus
mereka lakukan daripada melakukannya sendiri, bukan, Cassie?" ejek
Karen. "Kau hanya ingin menipuku," bisikku. "Kau akan menjebakku,
lalu kau tertawa dan pergi."
Karen menggelengkan kepala. "Kau tahu lebih baik. Kau bisa
morf. Sebagai induk semang hargamu sangat, tinggi. Visser Three
satu-satunya Yeerk yang bisa morf. Tubuhmu dan kawan-kawanmu"
Tentu saja amat sangat berharga. Aku akan jadi Yeerk yang berhasil
menyingkap rahasia Animorphs. Setidaknya mereka akan
menjadikanku asisten-visser. Aku akan memiliki segalanya: tugas
hebat, pilihan-pilihan induk semang yang akan kususupi. Apakah
pikirmu aku dengan sengaja akan menjebak tubuh yang mampu morf
hingga selamanya menjadi serangga jika aku tidak tulus" Aku akan
mengorbankan segalanya! Apakah kau tidak akan mengorbankan apa
pun juga?" Aku menunduk memandang ulat itu, yang menggeliat di atas
telapak tanganku yang gemetaran.
Aku mengangkat mataku dan menatap sekelilingku. Pepohonan.
Rerumputan. Langit. Bunga-bunga.
Seumur hidup aku menyayangi alam semesta. Dan masih saja
aku tidak memahami kebesarannya hingga saat itu.
Kehilangan orangtuaku. Teman-temanku. Kehilangan seluruh
dunia. Untuk menyelamatkan orangtuaku. Teman-temanku. Dan
mungkin bahkan seluruh dunia.
Kupejamkan mataku dan mulai berkonsentrasi. Dan DNA ulat
itu pun memenuhi seluruh aliran darahku.
Chapter 21 ULAT itu tak bergerak. Ia berhenti menggeliat. Hampir semua
binatang menjadi tenang dan diam ketika DNA-nya diserap.
"Sekarang lakukan," Karen berkata.
Aku ingin melawan. Aku ingin berkata, "Tidak mau!" Aku bisa
berubah menjadi serigala dan membunuhnya. Dengan begitu temantemanku akan
selamat. Aku akan selamat.
Tapi itu takkan membebaskan gadis kecil bernama Karen dari
Yeerk di kepalanya. Dan dengan begitu semuanya sama saja:
kekerasan, kebrutalan, dan korban tak bersalah lagi.
Aku memandang sekelilingku, memandang segala sesuatu yang
takkan kumiliki lagi. Dan kufokuskan pikiranku seperti yang sudah
seratus kali kulakukan. Perlahan-lahan perubahan itu terjadi. Biasanya
aku bisa morf dengan cepat. Bahkan Ax juga bilang begitu. Tapi
sekarang aku tidak terburu-buru. Aku ingin menikmati detik-detik
terakhir hidupku sebagai manusia. Namun tetap saja perubahan itu
terjadi. Kakiku mulai menyusut. Aku terjatuh ke tanah.
Wajah Karen, yang tadinya lebih rendah kini sejajar denganku,
lalu kemudian lebih tinggi.
Permukaan tanah meluncur cepat menyambutku, jarum-jarum
cemara membesar jadi seperti ranting, bilah-bilah rumput kini tampak
bagai pepohonan. Pergelangan kaki Karen yang bengkak kelihatan
sebesar pohon redwood. Tangan dan kakiku menyusut bersamaan. Kutatap saat
keempatnya mengecil, lalu mengerut dan melengkung seperti kertas
yang dilemparkan ke api. Jemarinya mengerut dan lenyap.
Tubuhku menebal, lalu memanjang. Batang tubuhku kini besar
sekali dibandingkan tangan dan kakiku. Dan kepalaku juga mengecil.
Medan pandangku berubah karena mataku bergerak saling mendekat.
Tiba-tiba, di sepanjang punggungku, pisau-pisau kecil yang
tajam bermunculan - duri-duri ulat itu.
Dan sepanjang bagian depan tubuhku, berpasang-pasang kaki
yang sangat kecil mulai tumbuh. Ini sih lebih dari sekadar ngeri. Aku
tampak seperti Taxxon! Tiga pasang kaki yang kecil dan tajam
tumbuh dari dadaku. Empat pasang kaki yang tampak berbeda, keluar
dari perutku. Kaki manusiaku sendiri melebur, dan tiba-tiba saja aku
sudah berwujud ulat. Ingin rasanya aku menjerit. Metamorfosis selalu mengerikan.
Apalagi pertama kali morf menjadi sesuatu yang baru. Tapi morf
menjadi binatang kecil menyeramkan dan tahu kau akan
menghabiskan sisa hidupmu dalam wujud itu... nah, itu baru seram!
Aku merasa seperti terikat, seolah-olah seseorang membelitkan
sabuk-sabuk di sekujur tubuhku lalu menariknya kencang-kencang.
Aku menunduk dan melihat tubuhku yang menggembung dan
berwarna kuning-hijau terbagi-bagi menjadi selusin segmen.
Kelihatannya seperti kotak-kotak plastik kecil yang suka dimainkan
bayi. Aku jatuh ke depan, tak berdaya. Rasanya jatuhnya jauh sekali,
tapi panjangku sekarang tak lebih dari enam inci dan masih terus
mengecil. Kulihat jarum-jarum cemara sebesar tiang telepon meluncur
menyambutku. Aku melihat seekor kumbang melewatiku, tubuhnya
sebesar anjing. Aku melihat kilatan warna - bunga-bungaan di
sekitarku, langit, dan mata Karen yang hijau. Dan setelah itu aku tidak
melihat apa-apa lagi. Aku mendarat dengan bunyi buk pelan.
Barisan kaki-kakiku menahan guncangan ringan itu. Tapi aku
masih bisa merasakan getarannya. Aku bisa merasakan bagian
mulutku bergerak. Aku tahu pikiran ulat yang sangat sederhana
bangkit melawan pikiranku sendiri. Pikiran itu memburu. Tergesagesa. Laparkah"
Bukan, sesuatu yang lain. Sesuatu yang harus
dilakukannya. Aku bisa melawan pikiran si ulat. Aku bisa bertahan hingga tak
terpengaruh. Tapi, apa gunanya"
Demorph! Demorph! seruku. Jangan lakukan itu! kubujuk
diriku. Tapi terlambat sekarang. Kalau aku demorph, Karen akan tahu
kesepakatan kami batal. Dan ia dengan mudah akan menyerangku,
karena ketika aku perlahan-lahan berubah menjadi manusia, kondisiku
sangat lemah. Aku berseru tanpa suara, memohon-mohon, meminta-minta,
menjerit. Tapi tak ada yang menjawab.
Aku sendirian. Lebih kesepian dari yang pernah dirasakan oleh
manusia mana pun. Aku menyerah pada ulat itu, dan binatang itu mulai merayap
memanjat tangkai bunga yang dilihatnya pun ia tak bisa.
Chapter 22 JAKE NAMAKU Jake. Aku sedang morf menjadi elang peregrine dan pergi mencari
Cassie ketika Marco melesat naik, mengepak-ngepakkan sayapnya
dengan kecepatan penuh.
Kutelan berita yang mengejutkan itu. Tak ada waktu untuk
mengkhawatirkan Cassie. Aku harus bergerak. Tapi aku
membutuhkan semua temanku, dan itu butuh waktu. Soalnya kami
terpencar di atas hutan yang luasnya lebih dari tiga puluh kilometer.
Orangtua Cassie sudah mulai khawatir ketika putri mereka tidak
pulang dari membersihkan palung air. Ibunya sudah mulai menelepon
semua temannya, yang pertama dihubunginya adalah Rachel.
Ayahnya telah pergi ke palung air itu dan menemukan kuda Cassie
mondar-mandir di luar pagar, tubuhnya tergores, basah, dan sadelnya
miring. Ayahnya tahu benar tentang binatang-binatang liar. Ia
menemukan jejak beruang. Ia mengikuti jejak kuda dan beruang itu
sampai akhirnya sudah terlalu gelap untuk bisa melihat.
Mereka menghubungi polisi dan pengawas hutan. Pencarian
dikerahkan. Tapi nyaris tak mungkin bagi manusia untuk menemukan
seseorang di dalam hutan yang luasnya seratus lima puluh kilometer.
Rachel menghubungiku. Aku menelepon yang lainnya. Marco
mengatakan sesuatu yang sebenarnya cuma asbun - alias asal bunyi -
tentang Cassie bukan anggota Animorphs lagi, hingga kami tak perlu
mengurusinya. Rachel langsung saja menendangnya.
Marco memang sahabatku, tapi kadang-kadang aku mengagumi
kespontanan Rachel. Malam itu kami habiskan dalam morf burung hantu, melayang
tanpa suara di atas hutan. Di mata burung hantu, malam yang paling
pekat sekalipun tampak seperti siang hari ketika langit mendung. Tapi
yang kami lihat hanyalah hewan-hewan hutan kecil dan kadangkadang gerombolan
pencari dan cahaya-cahaya senter mereka.
Marco-lah yang pertama menyadari bahwa kami keliru. Melihat
dengan mata bukanlah satu-satunya cara. Ia morf menjadi serigala dan
menggunakan penciumannya yang hebat untuk mengikuti bau kuda
betina Cassie ke tepi sungai. Kami menemukan cabikan kain
tersangkut di semak-semak buah beri.
Cassie telah terjun ke dalam sungai.
Kemudian kami mendengar pembicaraan beberapa pencari.
Rupanya bukan hanya Cassie yang hilang sekarang. Tapi juga seorang
gadis kecil bernama Karen.
Ketika matahari terbit kami morf lagi menjadi burung
pemangsa. Dan kami berkonsentrasi mengikuti aliran sungai. Dan
sejujurnya, kami nyaris hanya mencari tubuh yang mengapung di air.
Maksudku, tentu saja kami berharap ia masih hidup. Tapi kami tahu
Cassie bisa morf. Tentunya kalau ia masih hidup dan baik-baik saja, ia
akan morf dan terbang pulang.
Kami menyebar ke segala penjuru, mencari petunjuk apa pun.
Dan kurasa Marco akhirnya menemukannya.
Kini, setelah kami semuanya berkumpul, Marco menceritakan
semua yang diketahuinya. Ia mengatakan bagaimana Cassie
mengungkapkan bahwa dirinya bisa morf kepada si Pengendali,
Karen. Ia memberitahu bagaimana Cassie telah menyelamatkan Karen
dari serangan macan tutul dengan bantuan Marco yang saat itu belum
tahu duduk perkaranya. Dan ia menceritakan bagaimana Cassie telah
merelakan dirinya sendiri dijadikan Pengendali karena ingin
menyelamatkan anak kecil itu, Karen.
itu">
bahkan tidak mau menyaksikan dan membiarkan orang lain
membunuh">
seseorang yang menganggap hidup itu sakral. Pokoknya aku tak bisa.>
Aku terkejut mendengar Tobias membela Cassie seperti itu.
Tobias hidup sebagai pemangsa. Baginya membunuh adalah sesuatu
yang harus dilakukannya untuk sarapan.
kataku.
di dunia ini. Kau sebaiknya berharap tidak semua orang memutuskan
bahwa boleh-boleh saja melakukan apa pun untuk menang.>
Sejenak kami semua terdiam dan terbang dengan cepat. Aneh
sekali rasanya, keheningan itu. Mestinya akulah yang jadi pemimpin,
meskipun dari hari ke hari aku semakin berharap bukan begitu
keadaannya. Tapi satu hal yang dilakukan seorang pemimpin adalah
mencoba memahami anak buahnya. Dan ya, aku memahami mereka.
Aku memahami sikap Ax yang lebih banyak diam. Ini urusan di
antara kami para manusia. Bukan urusannya.
Aku mengerti kemarahan Rachel. Ia merasa dirinya dituduh tak
bermoral, bila dibandingkan dengan Cassie.
Aku memahami Tobias, setelah memikirkannya selama satu
menit. Tobias adalah manusia yang hidup di dalam tubuh elang.
Berpegang teguh pada pikiran-pikiran dan kebijakan manusia sangat
penting baginya. Ia menghargai rasa iba dan kebaikan hati, karena ia
hidup di dunia tanpa belas kasihan.
Aku mengerti Marco. Marco adalah jenis orang yang langsung
menarik kesimpulan, tanpa banyak berpikir atau menimbang. Kau
boleh bilang ia pandai. Atau efisien. Atau bisa juga tegaan. Tapi ia
tidak jahat atau kejam. Ia hanya menyimpulkan segala sesuatunya
lebih cepat dari kebanyakan orang.
Kami semua melihatnya. Dan tahu osprey itu juga melihat
kami. Chapter 23 JAKE KAMI terbang menuju osprey itu, tapi burung itu serta-merta
menukik ke balik pepohonan dan hilang dari pandangan. Jaraknya dari
kami cukup jauh, lagi pula waktu morf kami tinggal sedikit.
Kami melayang turun, berputar-putar menembus angin termal
yang bergerak ke atas. Kami mendarat di atas permukaan tanah hutan
yang rimbun. Kami cepat-cepat demorph, semua kecuali Tobias, tentu
saja. Ia tetap mengangkasa, mengawasi sekitar kami.
Lalu, setelah istirahat selama beberapa menit, kami morf
kembali dan melesat ke angkasa sekali lagi. Kini kami punya waktu
dua jam penuh. Tapi itu berarti kami juga telah memberi Cassie, atau Yeerk di
dalam kepalanya, banyak waktu untuk bersembunyi atau kabur.
Kami terbang ke tempat kami terakhir melihatnya. Dari balik
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pepohonan kami melihat rombongan pencari di depan kami.
terbang di atas para polisi yang jumlahnya kurang-lebih selusin.
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
DorDorDorDorDorDorDorDorDorDorDor!
Pistol, senapan, dan bahkan senjata otomatis diarahkan pada
kami. Zing! Zing! Zing! Peluru-peluru berdesing melewatiku, salah satunya begitu dekat
hingga angin yang menderu akibat desingannya menggetarkan bulubuluku.
Dengan mata peregrine-ku aku bisa melihat darah menetes dari
ekornya. Dia tertembak. Dan lukanya terlalu parah hingga ia tak bisa
terbang lagi. Dia harus demorph dan morf lagi.
Tapi hutan di bawah kami penuh Pengendali.
cari Cassie! Yang lain, ikut aku!>
Rachel meluncur turun ke arah pucuk-pucuk pepohonan. Aku
bisa mendengar para Pengendali-Manusia bersorak-sorak kesenangan.
Aku melesat turun seperti batu yang dijatuhkan dari langit. Tak
ada apa pun di Bumi ini yang sanggup meluncur lebih cepat dari elang
peregrine. Kuarahkan diriku tepat pada Rachel.
Udara menerjangku seolah-olah aku ada di tengah angin topan.
Semakin cepat dan cepat permukaan tanah naik seolah akan
menghantamku! Rachel hanya tinggal satu setengah meter dari
permukaan tanah. Dan di bawahnya, seorang Pengendali-Manusia menunggu,
menyeringai, di tangannya siap sepucuk senapan otomatis.
Kecepatan penuh! Kuayunkan cakarku ke depan. Swuuuuuup!
Kusambar Rachel dengan keras. Aku nyaris membunuhnya, tapi
untungnya kakiku ikut menahan sebagian guncangannya. Kupegangi
dia dan kulebarkan sayapku, berharap semoga aku bisa menyeretnya
dari situ. "Hei!" Pengendali itu terperangah.
Nah, biar kuceritakan dulu sebabnya. Rachel itu kan sedang
morf menjadi elang berkepala botak. Sedang aku elang peregrine.
Dua-duanya burung pemangsa. Tapi keduanya mirip, seperti anjing
spanil cocker mirip dengan Great Dane.
Elang itu besar. Kepala putihnya yang besar saja terlalu berat
bagiku. Kemungkinan aku sanggup terbang sambil mencengkeram
tubuhnya sama sekali nol. Yang bisa kulakukan hanya berharap
semoga aku bisa membawanya beberapa meter menjauhi Pengendali
itu. Tapi harapanku sia-sia. Kucengkeram elang yang tak sadarkan
diri itu dengan cakarku, kulebarkan sayapku dan mengepak-ngepak
seperti orang gila, tapi tetap saja aku meluncur seperti batu.
"Tseeeeeeeeer!"
Dari langit melesat misil berwarna kelabu dan putih. Ax
melebarkan sayap harrier-nya, menukik dengan anggun, dan
menyambar ekor Rachel yang terluka dengan kedua cakarnya.
Kami masih melesat turun, tapi setidaknya sekarang kami
terbang menjauhi Pengendali terdekat.
Ia berlari mengikuti kami. Kami buru-buru menyeret tubuh
Rachel yang tak sadarkan diri melewati ranting-ranting dan bebatuan
dan menerobos semak-semak. Tapi si Pengendali-Manusia cukup
cepat hingga bisa mengejar kami.
Ax melepaskan cengkeramannya, terbang menjauh ke balik
pepohonan, dan mulai demorph.
Pengendali-Manusia itu melihatku tak berdaya menyeret
Rachel.
Apa sih kau ini" Badut, ya" pikirku.
Sekonyong-konyong sesuatu menyambar dan melukai wajah
pria itu. "Aaaaaarrrgggh!" jeritnya dan menutup matanya dengan
tangan. Marco terbang melewatiku.
Aku berpaling dan melihat Ax masih setengah Andalite. Aku
dan Marco masih seratus persen burung. Rachel pingsan. Aku dan
Marco harus berubah jadi manusia dulu sebelum morf jadi sesuatu
yang berbahaya.
seruku.
Aku bisa mendengar suara-suara, biarpun Pengendali yang
terluka itu tak henti-hentinya berteriak dan memaki-maki. Terdengar
suara langkah-langkah kaki dan tubuh-tubuh berukuran besar
menerobos semak-semak.
Belum seratus persen Andalite, Ax berlari menghampiri,
mengangkat Rachel dengan tangan Andalitenya yang lemah, lalu
berbalik dan berlari seperti rusa.
Kukepakkan sayapku, berdoa semoga ada arus angin, dan
meluncur melintasi permukaan tanah. Marco terbang tepat di
belakangku. Empat orang pria muncul! Kami terbang tepat ke arah mereka.
Mereka mengangkat senjata, kami mengepakkan sayap seperti
orang... eh, burung gila, dan melayang beberapa inci di atas kepala
mereka. Dor! Dor! Dor! Mereka melancarkan serangan.
Zing! Zing! Zing! Peluru-peluru berdesing melewati kami. Tapi
kemudian kami menemukan arus udara, mengisi sayap kami yang
seperti layar, dan naik, naik ke atas, meninggalkan pepohonan, dan
hilang dari pandangan. Chapter 24 JAKE KAMI bertemu kembali beberapa menit kemudian, jauh dari
rombongan Pengendali-Manusia itu. Ax dengan mudah meninggalkan
mereka, walaupun ia harus menggendong seekor elang besar.
Kesulitan timbul ketika Rachel tiba-tiba tersadar.
kami. Terlalu banyak waktu, malah. Apalagi sekarang Rachel masih
harus demorph dan morf kembali.
berada.>
Karen itu. Pokoknya tak satu pun dari mereka boleh lolos. Apa pun
yang terjadi.> Sedetik Marco ragu.
Marco memaki.
ia tetap terbang dengan kecepatan penuh.
Hatiku sakit. Benar, akulah yang mengambil keputusan itu. Dan
mungkin saja itu keputusan yang benar. Tapi, ya Tuhan, rasanya
seperti menelan pecahan kaca.
ia orang pertama yang kulihat.
Rachel lekas-lekas berubah jadi manusia. Karena morf elang itu
murni DNA, waktu ia kembali jadi elang lagi, luka tembaknya telah
lenyap. Ax memutuskan tetap di darat dan aku setuju. Kami sudah
cukup dekat hingga ia bisa mencapainya dengan berlari. Dan mungkin
saja kami memerlukan ekornya yang tajam. Aku dan Rachel kembali
terbang. Aku segera melihat Tobias terbang berputar di atas padang
rumput sempit hanya beberapa ratus meter dari kami. Kami meluncur
ke arahnya. Marco tidak kelihatan.
dan menunduk, melihat pemandangan di bawah sana. Di sana, gadis
kecil itu, Karen, berjongkok di atas rumput, memperhatikan selembar
daun. Kufokuskan mata elangku dan melihat air mata mengalir
membasahi wajah gadis itu. Kemudian, aku melihat apa yang sedang
diperhatikannya. Seekor ulat. Binatang itu bergelantungan,
menggeliat-geliat di balik permukaan daun.
Aku tak tahu dari mana aku bisa tahu. Tapi pokoknya aku tahu.
Aku mendarat beberapa meter dari situ. Rachel mendarat di
sisiku. Karen memandang kami tanpa terkejut sama sekali.
"Terlambat," katanya.
"Dia melakukannya," sahut Karen. "Dia menyerahkan
hidupnya. Aku telah mengawasinya selama hampir dua jam. Aku terus
berharap dia akan berubah pikiran. Tapi tidak. Ia mengorbankan
hidupnya untuk gadis kecil manusia ini. Hanya karena dia mengira
bisa berdamai setidaknya dengan seorang musuh."
Aku dan Rachel menatap ngeri ulat itu. Binatang itu
bergelantung tegak lurus ke bawah. Ia melepaskan kulit luarnya,
mendorongnya ke ujung atas tubuhnya. Dan bahkan sekarang dengan
berhati-hati dan waswas ia keluar dari kulitnya yang lama.
"Tepat sebelum batas waktu dua jam itu lewat, aku
menyuruhnya berhenti. Kukatakan ia telah membuktikan maksudnya.
Aku memohon padanya untuk berhenti, untuk demorph." Karen
mengangkat matanya yang hijau ke arahku. "Tapi aku lupa. Kurasa
ulat tak bisa mendengar. Setidaknya tidak bahasa mulut. Dia tak tahu
aku telah cukup melihat. Dan sekarang..."
"Terlambat," Karen berkata lagi, dan perlahan-lahan bangkit
berdiri.
Terdengar gedebak-gedebuk dan Ax tiba sambil berlari. Karen
menoleh ke arahnya dan menyeringai. "Ah, tentu saja, si aristh
Andalite."
melengkung.
Ia mulai demorph dengan kecepatan penuh, daging dan wajah
menyeruak dan bermunculan dari antara bulu-bulu dan paruh.
"Dasar tolol! Tidakkah kalian lihat?" jerit Karen. "Dia
mengorbankan hidupnya untuk menciptakan fragmen kecil
perdamaian. Kami membuat kesepakatan! Aku dan Cassie membuat
kesepakatan!" Ia memandang kami bergantian. Kurasa ia tidak menemukan
rasa belas kasihan atau pengertian di wajah-wajah manusia-elang
kami. Karen berbalik dan lari. Ia berlari secepat yang bisa dilakukan
seorang gadis kecil yang sebelah pergelangan kakinya bengkak dan
berdarah.
"Tidak," sahut Rachel. Ia sudah sepenuhnya manusia. "Biarkan
dia lari. Biar dia tahu bagaimana rasanya tak berdaya. Aku akan
segera menghabisinya."
Setelah berkata seperti itu Rachel mulai morf dari manusia
menjadi gajah Afrika yang DNA-nya telah menjadi bagian dari
dirinya. Karen terseok-seok, berlari, dan jatuh. Ia mencapai tepi padang
rumput dan merangkak ke antara pepohonan.
Ketika itulah kami melihat bayangan cokelat-hitam itu. Kucing
liar itu melompat diam-diam dari dahan pohon.
Dan menerpa tepat ke arah Karen.
Ia membuka rahangnya yang kuat, memamerkan barisan
giginya yang tajam, dan bersiap-siap menancapkan taring-taringnya ke
leher gadis kecil itu. "Aaaaahhhhh!" jerit Karen.
Aku terkesiap. Aku tengah demorph. Rachel baru setengah
gajah. Mungkin Ax bisa menyelamatkan gadis itu dari si macan tutul,
tapi ia takkan bergerak kecuali aku memerintahkannya.
Tapi aku hanya terpana. Apakah aku berpikir, Bagus, biar saja
macan tutul itu yang menghabisinya" Mungkin. Aku tak tahu apakah
pikiranku sama sekali jernih.
"Oh! Oh! Oh!" erang Karen saat macan tutul itu
melengkungkan tubuh di atasnya, bersiap-siap menancapkan
taringnya. Dan kemudian... Muncul tangan! Tangan yang besar, hitam, dan berbulu muncul
dari balik pohon. Jemari sebesar hotdog mencengkeram tengkuk si macan tutul.
Sepasang kaki menekuk, bahu yang bidang terangkat, dan macan tutul
itu sekonyong-konyong telah terayun di udara.
Ia berputar sembilan puluh derajat dan melemparkan macan
tutul itu sekitar enam meter jauhnya.
Chapter 25 JAKE BENAR-BENAR gerombolan aneh yang kami buat di pinggir
padang rumput itu. Andalite. Gajah. Gorila. Elang. Dan aku. Aku telah
kembali jadi manusia. Di tengah lingkaran yang kami buat ada Karen. Atau Aftran,
tergantung bagaimana kau ingin memandangnya.
"Apa yang akan kaulakukan padaku, Jake?" ia bertanya.
Aku terkesiap, mendengar ia mengucapkan namaku. Maksudku,
mestinya aku tak perlu terkejut, karena aku tahu ia pernah masuk ke
kepala Cassie. Tapi itu justru membuat segalanya jelas: Tak ada yang
berubah. Nyawa kami masih ada di tangan Pengendali ini.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan padamu," aku
mengaku.
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Marco tak menyahut. Ia malah demorph kembali jadi
manusia, tubuh gorilanya mulai menyusut.
Rachel menggerakkan kepalanya yang sebesar Miata dan
memandang Ax.
"Tentu saja dia di pihakmu," sergah Karen. "Manusia mungkin
bisa menginginkan perdamaian, tapi tidak Andalite yang mahakuasa.
Silakan, Andalite. Kau memiliki ekor tajammu itu. Silakan, gunakan
saja." Ax menatap Rachel dengan sepasang mata ekstranya yang
terletak di ujung tanduknya. Mata utamanya tetap menatap Karen.
Lalu ia berkata,
memandangku untuk menantikan nasibnya.
"Katamu kau membuat kesepakatan dengan Cassie. Ceritakan
padaku apa itu." "Kalau dia bersedia menderita dan menjalani nasib sama seperti
yang harus kujalani nanti - hidup tanpa bisa melihat, tanpa rasa
senang, tanpa kebebasan - aku akan melakukan apa pun yang
diinginkannya," Karen berkata terus terang.
"Dan apa yang Cassie minta darimu?"
"Menciptakan perdamaian kecil yang bisa kuciptakan," Karen
berkata. "Membebaskan tubuh induk semangku ini. Dan tak pernah
menyusup dan menempati tubuh manusia lagi."
"Dan kau akan melakukannya?" tanyaku.
Karen mengangguk. "Ya."
Aku menarik napas dalam-dalam. "Kenapa kau mau
melakukannya" Kenapa?"
Karen tersenyum lemah. "Tak semua kami seperti Visser
Three," ia berkata. "Sebagian dari kami hanyalah Yeerk-Yeerk kecil
yang bukan siapa-siapa, yang terperangkap dalam peperangan ini.
Sebagian dari kami juga menginginkan perdamaian. Sebagian dari
kami ingin menemukan cara yang lebih baik. Tapi bagaimana kami
bisa mengorbankan segalanya dan menyerahkan alam semesta ini
pada..." Ia mengedik ke arah Ax. "Pada mereka" Mereka tak pernah
merasakan apa pun kecuali benci dan jijik terhadap kami. Cassie...
Cassie tidak membenci."
Dia benar. Apa yang dilakukan Cassie adalah sinting. Tapi
bukan salah. Dan aku terus berpikir, seidealis, senaif, atau bahkan
setolol apa pun tampaknya tindakan Cassie, apakah sekarang aku
ingin merusak semuanya" Apakah aku ingin menghancurkan arti
pengorbanan yang telah dilakukannya"
Cassie telah menyerahkan hidupnya, dan membuat taruhan yang
tak masuk akal dan penuh harapan demi perdamaian. Jika aku
mengeluarkan perintah yang satu itu... taruhan yang dilakukan Cassie
akan sia-sia saja. Dan jika aku memberikan perintah yang lain, kami
semuanya bisa mati. "Kurasa kadang-kadang kau harus memilih di antara harapan
yang pintar, waras, kejam, dengan yang sama sekali tolol dan tidak
masuk akal," kataku, benar-benar tak sadar telah mengucapkannya.
"Kau juga tak bisa memilih satu dan terus berpegang pada pilihanmu
itu. Setiap kali pilihan itu muncul, kita harus mencoba dan membuat
keputusan yang terbaik. Hampir setiap waktu, kurasa aku harus
memilih yang pintar dan waras. Namun aku tak ingin hidup di dunia
di mana orang-orangnya kadang-kadang tidak mencoba memilih
pilihan yang tolol, gila, dan penuh harapan."
Aku memandang Rachel, yang menjulang di atas kami semua.
"Rachel, aku takkan memberi perintah apa pun. Sekarang kita masingmasing harus
memutuskan bagi diri kita sendiri."
Aku kembali menoleh kepada Karen, dan kemudian berpaling.
Kuhampiri ulat itu. Kucabut tumbuhan tempatnya bergelantung, dan
dengan hati-hati membawanya memasuki hutan.
Tobias bergabung denganku beberapa menit kemudian. Sesudah
itu Ax. Lalu Marco. Beberapa saat lamanya Rachel tak muncul-muncul. Tapi
kemudian dia datang, sudah berwujud manusia lagi.
Kami menatapnya, bertanya-tanya.
"Cassie sahabatku," ujarnya, mengertakkan giginya untuk
menahan air mata. "Aku takkan menjadi orang yang menyebutnya
tolol." Rachel mengulurkan tangannya untuk mengambil kepompong
yang telah mengeras dan mengering itu. "Akan kubawa dia," katanya.
"Akan kujaga dia."
Chapter 26 CASSIE UNTUK waktu yang lama sekali, aku lenyap.
Tidur. Tak sadarkan diri. Ulat yang sedang hibernasi. Otak ulat yang sederhana bahkan
tidak berfungsi pada levelnya yang sangat terbatas.
Rasanya seolah-olah aku sudah mati, hanya saja masih ada
mimpi-mimpi samar yang terasa jauh. Kabut mimpi, hanya itu. Tak
satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Bayang-bayang samar orang-orang dan tempat-tempat. Hampir
seluruhnya orangtuaku. Tapi bukan berarti aku tahu apa arti wajahwajah yang
tampak kabur itu. Aku berubah, tapi tidak menyadari hal itu. Aku bahkan tak
menyadari bahwa diriku ada.
Aku ada di dalam cangkang yang mengeras. Bergelantungan di
bawah permukaan daun. Aku tengah menjadi salah satu mukjizat
alam. Aku hidup dan mengalami proses metamorfosis alam itu sendiri.
Pelan, amat pelan, aku tersadar. Aku bergeser dan bergerak, dan
gerakanku sendiri membangunkanku.
Kantong kulitku yang telah kering dan kaku mulai retak dan
pecah seperti telur. Cangkang kulit itu terbelah dan aku merasakan
sensasi yang baru dan aneh. Hal baru pertama yang kurasakan setelah
waktu yang lama sekali. Udara! Kini segalanya seolah-olah terjadi dengan sangat cepat. Aku
mendorong, menggeliat, mencoba keluar. Tidak sabar.
Kudorong dan sekonyong-konyong...
Aku bisa melihat! Dalam ledakan kesadaran aku tahu siapa diriku. Aku Cassie!
Dan aku bisa melihat lagi!
Warna-warna! Bagaikan seniman sinting yang menyemproti
segalanya dengan warna-warna mencolok yang berbeda-beda,
berpendaran, dan gila-gilaan.
Mata majemuk, aku memberitahu diriku sendiri. Dan kemudian
aku tertawa, sebab aku masih tahu istilah itu. Aku telah kembali. Aku
telah menjadi diriku kembali.
Tapi bukan aku yang manusia.
Mata majemuk. Dan sekarang, sungut yang membuka dari
kepompong yang lengket dan membaui semua aroma dunia yang
sedap. Kudorong kembali, lebih keras lagi. Dan sedikit demi sedikit,
aku muncul dari dalam kepompong. Kemudian, akhirnya, aku
mengembangkan sayapku. Pertama-tama rasanya kebas dan lembap, tapi kurentangkan
keduanya agar kering dan menguat.
Sayap-sayap itu terbuat dari jutaan sisik yang sangat kecil,
nyaris seperti kulit reptil. Tapi sisik-sisik ini gemerlap oleh warna.
Rasanya aneh, menurutku, karena aku melihat warna dengan
cara kupu-kupu melihatnya, yang sangat berbeda dari manusia. Bagi
mata majemukku yang terbagi-bagi, sepertinya diriku berwarna ungu
dan merah yang indah sekali. Namun bagi mata manusia, warnanya
akan berbeda sama sekali.
Di tempat mulutku seharusnya berada, terdapat gulungan belalai
yang sangat panjang. Hidupku adalah untuk terbang dari satu bunga
yang indah dan bercahaya ke bunga lainnya. Untuk membuka
gulungan belalaiku dan meminum nektar dari jantung bunga itu. Dan,
seolah-olah tanpa sengaja, membawa serta tepung sari ke bunga yang
lain. Tadinya aku adalah seekor ulat. Sekarang aku kupu-kupu. Aku
punya mata. Aku punya sayap. Aku takkan menghabiskan hidupku
sebagai siput. Apakah itu berarti aku telah menipu Aftran si Yeerk" Tahukah
Karen tentang ulat dan kupu-kupu" Mungkin tidak. Dengan begitu,
mungkin Aftran juga takkan tahu.
Rasanya aku nyaris bisa bahagia. Tapi sekarang, setelah sadar
dan bangun kembali, seluruh ingatan manusiaku kembali
menyerangku. Sudah berapa lama aku seperti ini" Penderitaan macam apakah
yang telah menyiksa orangtuaku" Dan teman-temanku, apakah mereka
tahu" Kujajal sayap-sayapku. Sinar matahari telah mengeringkannya.
Aku adalah diriku ini. Seekor kupu-kupu. Aku akan menjalani
hidupku yang singkat di dunia bunga-bungaan.
Ingin rasanya aku menangis, tapi insting kupu-kupu
mengatakan aku punya tugas yang harus dikerjakan. Bunga-bunga
penuh tepung sari menantikanku untuk membantu mereka terus hidup.
Chapter 27 JAKE AKU sedang duduk di kelas IPA, mendengarkan penjelasan
yang rumit dan membosankan tentang jamur. Tiba-tiba aku melihat
kilasan akrab berwarna cokelat dan oranye berkelebat melintasi
jendela.
"Kusangka dia akan jadi kepompong setidaknya sepuluh hari!"
ujarku. Guru di depan memelototiku. Juga hampir seluruh kelas, yah,
setidaknya mereka yang tidak ketiduran.
"Maaf," kataku. "Saya... eh... tidak enak badan. Boleh minta
izin ke poliklinik?"
"Tunggu sampai pelajaran selesai."
"Tapi saya kepingin muntah!" teriakku, lalu lari ke pintu. Tak
ada yang bakal melarang kalau kau mengatakan ingin muntah. Mereka
malah buru-buru minggir dan memberimu jalan.
Beberapa detik kemudian Rachel ikut-ikutan sakit. Dia juga
kepingin muntah. Lalu Marco meninggalkan kelasnya. Marco,
namanya juga Marco, mengatakan pada gurunya bahwa ia harus
keluar dan menempelkan potongan-potongan Nicoderm. "Saya sedang
mencoba menghentikan kebiasaan merokok!" teriaknya. "Jangan
halangi saya!" Dua puluh menit kemudian, kami berkumpul di sekeliling
taman bunga kecil di belakang rumah Cassie. Di sanalah kami
meletakkan kepompong itu. Kepompong itu bergelantungan pada
tanamannya yang telah dipindahkan, di tengah bunga-bungaan,
ditunggui oleh Tobias siang dan malam, untuk menjaganya dari
binatang-binatang yang ingin memangsanya.
Orangtua Cassie tidak tahu-menahu mengenai masalah ini, tentu
saja. Tiga hari telah berlalu. Mereka masih berharap Cassie bisa
ditemukan. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada mereka. Atau
kapan aku akan menjelaskan hal ini pada mereka. Atau apakah
sebaiknya kubiarkan saja mereka terus berharap.
Kami berdiri mengerumuni kepompong itu, yang sudah
terbelah. Kupu-kupu itu muncul, sedikit demi sedikit. Kemudian,
akhirnya, ia merentangkan sayap-sayapnya yang indah.
"Mestinya perlu waktu dua minggu untuk keluar dari
kepompong itu," kataku.
Rachel menangis, yang tentu saja tak enak dilihat, karena
Rachel tak biasa menangis. Kurasa aku juga menangis.
"Dia jadi kupu-kupu," Rachel berujar. "Dia berhasil. Setidaknya
sekarang dia akan..."
Tangisnya pecah. Memang bagus bahwa Cassie kini telah
menjelma menjadi kupu-kupu dan bukannya cuma ulat. Tapi itu pun
bukan sesuatu yang menggembirakan. Tidak bagi kami. Juga tidak
bagi orangtuanya. Ax tiba dalam morf manusia, berlari kaku dengan sepasang
kakinya. Ia membungkuk dan dari dekat memperhatikan kupu-kupu
yang sedang mencoba sayapnya. "Apa sih itu?"
"Itu Cassie," kataku. "Keluar dari kepompongnya."
Ax tampak bingung. "Tapi ini sama sekali bukan ulat."
"Tidak, tapi dia berubah jadi itu," Marco menjelaskan. "Ulat
berubah menjadi kupu-kupu."
Tiba-tiba kupu-kupu itu terbang. Ia mengepakkan sayapnya,
terbang ke atas bunga-bunga, seolah-olah sedang melihat-lihat mana
bunga yang tepat. "Metamorfosis alami?" tanya Ax bingung. "Kalian tidak pernah
bilang." "Yah, kurasa itu morf alami," kataku. "Dan kurasa lebih baik
hidup sebagai kupu-kupu daripada ulat."
"Apakah Cassie lebih memilih menjadi makhluk itu daripada
kembali menjadi manusia?" Ax bertanya. "Maaaakh-luk. Mak-heluk."
Rachel mendesah. "Tidak, Ax, tentu saja tidak. Kami hanya
ingin mengatakan bahwa ini lebih baik daripada pilihan. yang satu itu.
Lebih baik jadi kupu-kupu daripada ulat."
"Ah. Begitu," sahut Ax. "Tapi mungkin ia ingin demorph
sekarang." "Ya, aku yakin dia kepingin," sergah Marco geram.
"Yah, dia harus melakukannya kalau begitu," kata Ax.
Perlahan-lahan, satu per satu, kami semua mengalihkan
pandang dan menatap Ax. Rachel melakukan lebih dari sekadar
melihat. Ia melompat, menyambar kerah baju Ax, dan berkata, "Kau
ini mau menguji kesabaranku, atau kau punya maksud lain?"
Sebenarnya Ax tampak sedikit terkejut. Tapi ia berkata, "Oh,
begitu. Kau tidak tahu. Huh. Tah-huh. Kata yang asyik, 'tahu' itu. Dan
bunyi 'hu'-nya membuat mulut manusiaku menyemburkan angin."
"Ax! Apakah maksudmu Cassie bisa morf lagi?" desakku.
"Kurasa begitu," sahutnya. "Morf alami ini mestinya telah
menyetel kembali waktu morfnya dari awal. Jadi ia punya waktu dua
jam untuk demorph." "TANGKAP! KUPU-KUPU! ITU!" teriakku.
Chapter 28 CASSIE AKU terpaksa bohong pada orangtuaku. Aku mengungkapkan
kebenarannya sebisa mungkin. Maksudku, aku cerita bahwa aku jatuh
ke sungai. Tapi aku tak bercerita soal Karen. Kukatakan bahwa aku
bertahan hidup tiga hari dengan makan jamur.
Aku diberitakan di TV. Juga koran. Headline-nya berbunyi
"Gadis yang Selamat dari Maut Akibat Makan Jamur".
Judulnya lucu. Seolah-olah jamur itulah yang membuatku
nyaris mati. Aku banyak diwawancara. Dan aku banyak dipeluk. Selama dua
hari orangtuaku tak pernah melepaskanku. Bagiku sih semua itu okeoke saja.
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi akhirnya, hidupku mulai normal lagi. Normal, kecuali
fakta bahwa setiap hari aku bangun dari tidur dengan pikiran: Apakah
hari ini para Yeerk akan menangkapku" Apakah hari ini aku dan
teman-temanku akan dijadikan Pengendali"
Tapi hari demi hari berlalu dan sama sekali tak ada serangan
tiba-tiba. Di sekolah, Mr. Chapman, wakil kepala sekolah dan
Pengendali yang terbilang penting, tidak mengacuhkan aku, seperti
yang selalu dilakukannya. Kakak Jake, Tom, hanya membuat lelucon
tentang aku dan jamur, tapi cuma itu.
Tak ada penyerbuan. Dan kemudian, ayahku pulang sambil menjentikkan jarinya dan
tertawa. Ia mengangkat dan memutar diriku sambil menari-nari.
Mungkin tarian Frug atau Twist, atau entah apa.
"Kita selamat!" serunya.
"Asssyyyiiik," timpalku.
"Bukan, kita dapat dana! Kita dapat dana! Klinik Perawatan
Satwa Liar kembali dibuka, dan bahkan lebih baik daripada selama
ini." "Sungguh?" teriakku.
"Yeah. Aneh lho, tiba-tiba saja pria dari UniBank itu menelepon
dan mengatakan putrinya telah mendengar soal klinik kita. Dia
bercerita putrinya itu terus merengek memintanya menyumbangkan
cukup dana agar klinik kita bisa berjalan lagi. Pria itu malah bilang,
'Katakan saja apa yang Anda butuhkan, supaya gadis kecilku bahagia.'
Jadi kukatakan saja semua keperluan kita. Dan dia mengirimkan
ceknya." Dad tertawa. "Minggu yang indah, bukan?" Lalu ia memelukku
seperti yang selalu dilakukannya setiap delapan menit sejak aku
pulang. "Aku jadi kepingin tahu siapa gadis kecil itu. Kita berutang
banyak padanya lho."
Aku tahu nama gadis kecil itu, tentu saja. Karen.
Karen, yang telah dijadikan Pengendali, untuk mengawasi
ayahnya, presiden UniBank.
Tapi, aku juga ingin tahu siapa dia sebenarnya. Aku cuma tahu
dia tidak menyerahkan kami ke teman-teman Yeerk-nya.
Seminggu lagi lewat sebelum aku benar-benar yakin. Aku
sedang di mall - bersama Rachel, tentu saja. Sejak menjadi kupukupu, aku jadi
semakin tertarik pada warna. Menurut Rachel, ini
berarti aku harus membeli pakaian-pakaian baru. Jadi ia menyeretku
dari toko yang satu ke toko yang lain, mencoba membuatku mengerti
konsep beraksesoris. Dan ketika itulah aku melihatnya, berdiri sendirian, hanya
beberapa meter dari wanita yang pasti adalah ibunya.
Aku menghampirinya, meninggalkan Rachel di tengah-tengah
pajangan sweter. "Hai, Karen," sapaku.
"Hai, Cassie," sahutnya.
"Bagaimana kabarmu?"
Ia memandangku dengan mata hijaunya yang terasa akrab dan
berkata, "Aku bebas, Cassie. Ia memegang janjinya. Aku bebas."
Aku tak sanggup bicara. Kata-kataku tak mau keluar. Aku
hanya berlutut dan memeluk gadis kecil itu.
Kemenangan kecil. Seorang gadis kecil terbebas. Satu jalinan
hubungan tercipta dengan salah satu musuh kami.
Perdamaian yang sangat kecil.
"Dia pasti senang kalau tahu kau berhasil bebas," Karen
berkata. "Dia mencoba menghentikanmu pada detik-detik terakhir."
Aku mengangguk, masih tak sanggup bicara.
Ibunya datang menghampiri dan mengajaknya pergi. Karen
lenyap; gadis kecil yang menyimpan rahasia besar. Benaknya penuh
dengan hal-hal yang mestinya tak boleh diketahui oleh anak kecil.
Bisa dibilang mirip aku, aku tersadar. Mirip semua anggota
Animorphs. Apakah aku masih anggota Animorphs"
Ya. Itu artinya kadang-kadang aku harus bertempur. Tapi menjadi
anggota Animorphs juga memberiku kesempatan untuk menemukan
kemenangan-kemenangan kecil demi perdamaian. Di antara semua
konflik dan ketakutan dan kemarahan, aku masih bisa mencari musuh
yang mungkin bisa dijadikan teman.
Kuakui itu bukanlah jawaban yang sempurna, tapi itulah yang
terbaik yang bisa kulakukan.
"Jadi?" desak Rachel seraya mengangkat dua helai sweter.
"Yang mana yang kau suka" Hijau atau merah?"
Aku teringat pada Aftran, sang musuh. Kubayangkan dirinya
berenang tanpa bisa melihat di kolam Yeerk, hanya berbekal
ingatannya tentang dunia yang terang benderang. Ia pernah berkata
padaku bahwa manusia hidup di surga. Dan ia rela meninggalkan
surga hanya untuk menciptakan satu perdamaian kecil.
"Dua-duanya, Rachel. Dan aku suka yang biru. Juga yang
kuning. Dan warna norak di sana itu. Yang garis-garis juga. Kita
hidup di surga, Rachel, dan kita sama sekali tak menyadarinya. Dan
kita juga tak tahu kapan semua ini akan berakhir. Kita pasti tolol kalau
tidak menikmatinya selagi bisa. Jadi, cabut kartu kreditmu, Sayang,
kita akan menambahkan beberapa warna!"END
Jurus Tanpa Bentuk 17 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Ratu Cendana Sutera 1