Pencarian

Jurus Tanpa Bentuk 17

Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira Bagian 17


yang diakibatkan perbedaan pengetahuan dan pengalaman,
yang telah mengakibatkan timbulnya seribusatu aliran
keigamaan, tempat yang satu akan selalu merasa lebih benar
dari yang lain" Namun orang yang bijak akan menerima
segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan,
karena keseragaman pikiran memang sungguh-sungguh akan
memiskinkan kemanusiaan. Hmm. Manusia di dalam dunia,
bagaimana ia dapat memandang dunia jika berada di
dalamnya" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka aku terperangah oleh kenyataan betapa mustahilnya
pengetahuan yang kami miliki, karena keberhinggaannya
kepada pengetahuan manusia di dalam dunia sahaja, tanpa
kemungkinan melihat dari luarnya.
"Bahkan setelah mati, jika kita masih bisa berpikir sebagai
pribadi kita sekarang, tetap saja pemikiran kita terduniakan
dalam pemikiran manusiawi. Kita tidak bisa keluar dari dunia
dan melihat kita sendiri berada di dalamnya," ujar Naga Laut
lagi. Apakah ia berpikir seperti itu karena selalu melihat
cakrawala sepanjang hidupnya" Cakrawala yang selalu ada,
tidak mungkin dilompati, karena setiap kali garis batas
terlampaui tetap terpandang cakrawala baru. Itulah yang
kupikirkan ketika memandang cakrawala itu sekarang: Batas
bisa dilampaui, tetapi keberhinggaan menunjukkan bahwa
suatu cakrawala akan selalu ada. Manusia tidak bisa dibatasi,
karena setiap batas dapat dilampauinya. Manusia tidak
terbatas melainkan berhingga, karena setiap kali me lewati
suatu batas pandangannya selalu terbentur cakrawala yang
belum dilewatinya. "Namun pikirkanlah sesuatu Anak..."
"Apakah itu Bapak?"
"Jika dikau berada di pantai dan memandang cakrawala,
maka bukankah kapal yang muncul dari balik cakrawala itu
selalu terlihat tiangnya terlebih dahulu?"
Aku mencoba berpikir. "Apakah itu berarti laut melengkung, Bapak?"
"Tidakkah mestinya begitu" Laut itu permukaannya
melengkung, melengkung, dan melengkung terus, di laut
mana pun yang telah dicapai kapal ini."
"Bapak pernah mencoba untuk terus menerus mengikutinya?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Itulah. Daku ragu apakah pertanyaan-pertanyaan itu
memerlukan jawaban, ketika semua orang yang disebut bijak
sudah punya jawabannya."
"Apakah jawaban mereka itu Bapak?"
Naga Laut tertawa. "Bahwa semesta ini berada di atas punggung kura-kura
raksasa! Huahahahahaha!"
Aku juga pernah mendengar cerita itu, terutama ketika
terjadi gempa bumi yang juga terasa di Celah Kledung.
Katanya kura-kura raksasa yang menjadi penyangga dunia ini
bergerak, sehingga terjadilah gempa.
"Benarkah itu Ibu?"
Ibuku pun menjawab, bahwa segala cerita tentang asal
usul segala sesuatu adalah usaha manusia untuk menjelaskan
dunia, dengan segala perbendaharaan bahasa dan pengertian
yang saat itu mereka miliki.
"Janganlah terlalu cepat menertawakan cerita orang-orang
tua anakku," kata ibuku lagi, "karena cerita yang manapun
akan berguna jika kita pandai menafsirkannya. Sudah jelas
anak kecil pun tahu dunia tidak berdiri di atas punggung kura-
kura." KEPADA Naga Laut aku pun berkata.
"Mungkinkah itu sekadar peringatan bahwa kemungkinan
gempa selalu ada, Bapak?"
"Tentu, tentu, kami semua juga menafsirkannya begitu.
Tapi orang-orang tua yang menceritakan itu sungguh lucu!
Huahahahahahaha!" Begitulah Naga Laut tertawa terbahak-bahak, dan suasana
kapal pun menjadi ceria sete lah hari-hari panjang yang diisi
kesunyian dan duka berlarat-larat. Kapal melaju dengan layar
terkembang megah. Aku memandang cakrawala, bagaikan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ingin menembus ke sebaliknya. Teringat cerita salah satu
awak kapal tentang negeri yang sedang kami datangi. Dia
sebutkan bahwa pada saat ini, kekuasaan Sriv ijaya atas negeri
itu sebetulnya terdesak oleh raja-raja wangsa Shailendra yang
mendirikan kerajaan Mataram di pedalaman, tetapi mampu
menyerang langsung pantai Champa pada tahun 774,
membakar tempat ibadat Po Nagar di Nha Trang, dan sekali
lagi pada 787, ketika membakar tempat pemujaan di Phan-
rang. Dari Yawabhumipala bagian tengah, pasukan dinasti
Shailendra ini juga telah mendarat di Tonkin pada 767, tetapi
serbuan ini tidak pernah terdengar dianggap sebagai
keberhasilan. Peranan wangsa Shailendra di tanah Champa memang
termasuk menjatuhkan raja terakhir kerajaan Tchen-la yang
sedang memudar, tetapi yang membuatnya seperti diterima
adalah gerakan budaya yang diperkenalkannya, yang meski
bersumber dari wangsa Pala di Jambhudvipa, tetapi
disebarkan dengan penafsiran baru di Javadvipa.
Bersamaan dengan dibangunnya Kamulan Bhumisambhara,
muncul pula arca gaya Srivijaya di Semenanjung Malayu
sebagai salah satu kebangkitan kembali seni patung
Mahayana, maupun dalam patung-patung gaya Prei Kmeng.
Pengaruh Shailendra takhanya di sana, karena sekitar
empatpuluh tahun yang lalu di Chaiya yang berada jauh di
utara Champa, telah dibangun dua patung Avalokitesvara yang
menurut awak kapal itu sungguh luar biasa bagusnya. Arca
Avalokitesvara yang juga disebut-sebut sebagai sangat indah,
dibuat juga di Perak, di Semenanjung Malayu, yang
menunjukkan pengaruh seni arca dari Javadvipa maupun Pala.
Pelaut itu bercerita tentang pengaruh wangsa Shailendra di
mana-mana. "Di Sungai Batu Pahat, Perak Utara, dibangun sebuah candi
kecil yang pada dasarnya diletakkan kotak-kotak batu berisi
lambang-lambang agama Siva dari emas, yang sangat mirip
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kotak-kotak benda keramat beruang sembilan di Javadvipa.
Jadi bukan kebudayaan Jambhudvipa yang terlihat pengaruhnya di kerajaan Angkor, tetapi juga tata upacara
kerajaan Shailendra, seperti gelar Raja Gunung, pemujaan
raja-raja yang telah meninggal, dan pemujaan kepada lingga
sebagai lambang kekuasaan. Bagi Tchen-la, wangsa
Shailendra menjadi contoh, lengkap dengan kesenian
taktertandingi dari suatu peradaban besar yang memberi
tumpuan kepada kekuasaan Raja," ujarnya.
Dhawa, demikian nama pelaut itu, ternyata sekitar enam
tahun lalu, yakni menjelang tahun 790, berada di kapal yang
sama dengan Jayawarman II, raja yang mempunyai hubungan
keluarga agak jauh dengan wangsa-wangsa Kamboja
terdahulu, yang pernah hidup di Javadvipa, entah sebagai
tahanan atau murid yang patuh, dan tinggal di istana wangsa
Shailendra. "Ia sangat dipengaruhi budaya yang dikenalnya di
Javadvipa dan tampaknya pulang dengan keinginan menirunya," ujar Dhawa, "dan perlu dikau ketahui, wahai
Pendekar Tanpa Nama, kepulangannya itu bertepatan dengan
saat melemahnya kekuasaan raja-raja Javadvipa, dan mungkin
merupakan sebabnya."
Disebutkan betapa raja baru itu mulai mempersatukan
wilayah Tchen-la yang terpecah-pecah. Tahapan penaklukkannya mengambil wujud sebanyak kotaraja yang
didirikannya. Mula-mula Indrapura, di sebelah timur Kompong
Cham, lalu menuju wilayah-wilayah sebelah utara danau-
danau, yang tidak ditinggalkannya lagi karena menjadi pusat
kekuasaannya. PERTAMA-TAMA ia bertempat tinggal di Kuti, di wilayah
Angkor sendiri, kemudian di Hariharalaya, di Amarendrapura,
dan ini bukanlah yang terakhir karena ia memang masih akan
memperluas wilayah kekuasaannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jayavarman II adalah pendiri kekuasaan Angkor, bukan
hanya dalam kekuasaan duniawi, tetapi juga pembangun
keigamaan," ujar Dhawa, "bukan saja ia membebaskan
negerinya dari kekuasaan Shailendra, yang agaknya demikian
mencekam, sehingga perlu diputuskan oleh suatu prasasti,
tetapi juga mendasari kekuasaannya atas dasar igama,
mensahkan peranan raja dengan meningkatkannya sebagai
utusan Dewa." Aku teringat berbagai cerita mereka yang ikut menyerbu ke
negeri itu. "Apakah tidak ada masalah jika kita menampakkan diri di
sana?" tanyaku kepada Dhawa.
Ia menepuk bahuku. "Para raja boleh bermusuhan," katanya, "atas nama igama
atau apapun yang menjadi kepentingan. Namun bagi para
pedagang, tiada sesuatu pun yang perlu menghalangi
hubungan yang saling menguntungkan bukan?"
Lantas ia pun beranjak, sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Aku beranjak ke haluan, memandang cakrawala di
kejauhan sambil bertanya-tanya, apalagikah kiranya yang
akan kualami dalam perjalanan hidupku.
(Oo-dwkz-oO) Episode 98: [Di Negeri Orang Khmer]
SEKITAR dua belas hari kemudian kapal ini memasuki
muara Sungai Mekong, hilir dari Sungai Siemreap. Nakhoda
membelokkan arah, karena bermaksud singgah di Fu-nan lebih
dahulu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Banyak sekali pesanan istrinya yang dari Champa itu," kata
seorang awak kapal. Peranan Fu-nan sebagai pusat perdagangan sebetulnya
sudah memudar, semenjak Sriv ijaya menguasai segenap lintas
dan titik penting dalam jalur perdagangan antara Negeri Atap
Langit dan Jambhudvipa. Namun itu tidak berarti Fu-nan
lantas menjadi kota mati. Dahulu tempat pertemuan berbagai
bangsa di dunia ini terletak pada sebuah delta di Sungai
Mekong, di tepian batas wilayah Kamboja, pada suatu titik
tempat Teluk Siam telah menyusut jadi semakin dekat ke
sungai. Fu-nan, dengan ibu kota bernama Vadyapura, adalah nama
yang diberikan para pedagang Negeri Atap Langit. Ke sanalah,
sejak ratusan tahun lalu, para pedagang dan pengembara dari
negeri-negeri utara datang mengambil sutera, ketika pada
saat yang bersamaan Fu-nan menjadi penting sebagai
pembentuk jalur kelautan antara Jambhudvipa dan Negeri
Atap Langit, melampaui wilayah di selatan yang kelak disebut
Suvarnadvipa. Dengan jalur ini, para pedagang dari
Jambhudvipa tidak perlu berlayar memutari Semenanjung
Malayu melalui Selat Melaka, melainkan cukup sampai Teluk
Benggala, tepatnya Tanah Genting Kra, yakni tanah tersempit
di semenanjung itu yang dapat ditempuh untuk menyeberang
ke Teluk Siam, dan mempersingkat pelayarannya.
Bahwa yang disebut Fu-nan terletak di pantai timur dari
Teluk Siam, dan bukan sebaliknya, yang dari sudut pandang
kelautan agak aneh, memang beralasan. Fu-nan adalah satu-
satunya tempat dari berbagai kota di pantai sekitar Teluk Siam
yang tanahnya bisa digarap dengan hasil bumi berkelimpahan.
Tanah antara pantai dan sisi barat Sungai Mekong dapat dan
telah digarap menjadi persawahan, yang pada awalnya tentu
saluran-saluran pengairannya belum seperti yang berada di
Javadvipa saat ini, melainkan memanfaatkan genangan alami
air dari sungai ke tanaman padi tersebut. Kelimpahan beras
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang tersedia ini sangat berguna bagi penambahan bekal para
pelaut, maupun untuk persediaan pangan para pelaut itu,
yang pada masa angin tidak bertiup dari arah benua, yakni
Negeri Atap Langit maupun Jambhudvipa, yang selalu
berlangsung sampai setengah tahun.
Jadi memang para pedagang memang datang pada saat
bersamaan, dan pergi juga bersamaan, ketika setengah tahun
yang lain angin bertiup masing-masing ke arah sebaliknya.
Begitu rupa tepatnya jadwal ini, sehingga penduduk setempat
menyebut orang-orang asing ini sebagai burung-burung
musim. Mereka bisa tinggal selama lima bulan ketika
menunggu angin ini, dan selama lima bulan ini tentu saja tidak
tinggal diam. Demikianlah campur aduknya para pendatang
dari berbagai penjuru bumi, artinya bukan hanya dari Negeri
Atap Langit dan Jambhudvipa, melainkan juga dari negeri-
negeri di balik negeri mereka jika dipandang dari selatan ini,
bertemu, bergaul, dan kadang juga tetap tinggal di sana,
karena menjadi perantara dalam jalur dagang, atau
penerjemah, yang kemudian juga tak jarang meleburkan diri
dalam perkawinan dengan penduduk setempat.
Tidak mengherankan jika Fu-nan yang berada di delta
Sungai Mekong itu menjadi tempat yang menarik, sebagai
tempat pertemuan dan pertukaran kebudayaan, yang hanya
menyurut kemudian, selain karena kapal-kapal Sriv ijaya
kemudian menguasai lautan dan menawarkan barang-barang
mereka sendiri secara langsung, sehingga peran Fu-nan


Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai perantara menjadi hilang; juga karena berbagai
wilayah di bagian selatan Negeri Atap Langit maupun
Jambhudvipa berhasil mengembangkan tanah menjadi
persawahan sebagai persediaan pangan, sehingga kegiatan di
lautan pun berkurang. Bukankah pernah kuceritakan
serbasedikit tentang ini"
KAPAL mengembangkan layar untuk melawan arus.
Meskipun dari lautan kami sudah memasuki sungai, tepi kiri
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan kanannya masih begitu jauh, nyaris tidak kelihatan. Hanya
samar-samar di tepian terlihat pucuk pohon-pohon kelapa.
Tiada beda jauh tampaknya dengan Javadvipa yang
kutinggalkan. Perahu-perahu para pencari ikan kadang
berpapasan di kejauhan. Kulihat bagaimana mereka
memperhatikan kami. Mereka pasti mengenali kapal ini datang
dari perairan yang jauh di selatan. Benarkah tiada dendam
sama sekali dari mereka kepada pihak yang mereka sebut
"orang-orang Yawa" dalam prasasti mereka"
Jantung kerajaan Champa semula letaknya di Thua-thien,
kemudian di daerah Quang-nam, tetapi pada pertengahan
abad ini terdapat pemindahan pusat ke selatan, yakni
Pandurangga yang juga disebut Phan-rang, dan ke Kauthara
yang bernama lain Nha-trang, tergantung mengacu kepada
bahasa Sansekerta atau bahasa yang dipengaruhi pembentukannya oleh Negeri Atap Langit. Dinasti baru ini
memiliki kebiasaan mengganti nama raja yang meninggal
dengan nama baru, sesuai nama dewa yang dirujuk di
kayangan sana. Raja pertama mereka, Prithiv indravarman,
setelah meninggal mendapat nama
Rudraloka. Nah, penggantinya yang bernama Satyavarman, anak saudara
perempuannya, yang harus menghadapi serangan dari
Javadvipa tahun 774. Dari Dhawa kudengar lagi cerita yang mereka tulis pada
prasasti perihal serangan itu:
Orang-orang yang lahir di negeri-negeri lain
Orang-orang yang hidup dari makanan
yang lebih menjijikkan dari bangkai
Orang-orang yang menakutkan
Sama sekali hitam lagi kurus
Mengerikan lagi jahat seperti maut
yang datangnya naik kapal
Mereka dikejar TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan kapal-kapal yang baik
dan dikalahkan di laut Kuingat cerita yang mirip dengan itu di sebuah kedai, yang
dari sana kuketahui Raja Pembantai dari Selatan terlibat dalam
penyerbuan tersebut. Raja Pembantai dari Selatan yang diberi
makanan bagi kejahatannya, agar tidak memakan rahayat
Mataram di bawah Rakai Panamkaran, yang membawa serta
Barisan Setan Iblis dengan kekejaman yang bagaikan tidak
mungkin dilakukan manusia. Jadi setelah cerita Pak Tua di
kedai di Javadvipa dahulu, aku telah mendengarnya lagi dari
Dhawa, rupanya peristiwa ini sering diceritakan kembali.
Maka demikianlah candi batu bata itu dibangun kembali
tahun 784, berarti sepuluh tahun kemudian, dan saat itulah
prasasti tersebut dituliskan. Namun tiga tahun kemudian,
ketika pemerintahan sudah diserahkan kepada adiknya,
Indravarman, serangan dari Javadvipa rupanya datang lagi,
kali ini merusak Candi Bhadradhipsaticvara yang terletak di
sebelah barat kotaraja Virapura.
"Tiga tahun lalu ia mengirim utusan ke Negeri Atap Langit,
tidak jelas untuk apa," ujar Naga Laut kemudian, "kudengar
Indravarman juga sangat ingin membangun kembali candi
yang dihancurkan orang-orang Shailendra itu."
Kupandang wajah Naga Laut, benarkah ia bermaksud
singgah di Fu-nan hanya untuk memenuhi pesanan istrinya
yang sangat cantik dan muda, yang berasal dari Champa itu"
Apakah yang masih tersisa dari sebuah kota bandar yang telah
memudar" Saat itu sungguh aku tidak menduga, betapa
bodohnya pertanyaanku itu.
Menjelang Fu-nan, sungai agak menyempit, meskipun
sebetulnya masih juga luas, dan kami makin sering
berpapasan dengan perahu-perahu setempat, tampaknya
penduduk yang pergi dan pulang ke ladang atau sawahnya.
Busana mereka, meski sederhana, tampak indah bagiku,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bukan sekadar karena cerita yang tergambarkan pada kain
yang mereka kenakan, tetapi juga cara melipat dan mengikat
kain-kain itu pada pinggangnya, yang memberikan suatu ciri
tersendiri. Tentu, bahwa di atas perahu kebanyakan dari
mereka akan duduk saja, tetapi mereka yang perahunya
berhenti karena harus menebar jala kadang berdiri dan kulihat
sosok-sosok mengesankan, dalam latar berbagai arca terindah
di tepi sungai. BENARKAH raja-raja Shailendra menyerbu karena merasa
berhak atas tanah Kamboja sebagai turunan raja-raja yang
pada masa lalu berkuasa di Fu-nan" Nanti akan kuketahui,
bahwa meskipun orang-orang Yawabhumipala yang datang
bersama serbuan Shailendra itu telah digambarkan sebagai
makhluk-makhluk menjijikkan, betapapun kebudayaan Shailendra memang telah memberi pengaruh yang tidak
sedikit kepada wilayah ini.
Meskipun sudah tidak menjadi pusat perdagangan, masih
banyak orang dari negeri-negeri yang jauh melintasi Fu-nan,
seperti kulihat dari berbagai jenis kapal yang tampak di sana.
Aku tidak sempat mengamati satu per satu, karena dalam
deretan kapal-kapal yang berlabuh di bandar itu suasana
serba cerah ceria. Mataku berbinar-binar. Naga Laut
tersenyum menatapku. "Beda nian dengan Javadvipa kan, Anak?"
"Apakah kotaraja kedatuan Sriv ijaya tidak seperti ini,
Bapak?" "Ya, tentu ramai juga, dikau harus sempatkan ke sana jika
kembali, Anak, tetapi lebih banyak yang dikau bisa lihat di s ini
Anak, jalan-jalanlah bersama Dhawa," ujar Naga Laut, sembari
mengingatkan, "jangan terlibat apa pun, Anak, kita masih
harus masuk ke pedalaman."
Di antara kapal-kapal yang berlabuh, kulihat juga beberapa
kapal Sriv ijaya, tetapi yang belum tentu berlayar demi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kepentingan Sriv ijaya, karena kapak-kapal itu tidak jarang
menjual jasa sebagai kapal angkutan lengkap dengan awak
kapalnya. Entah kenapa melihat kapal-kapal itu aku mendapat
firasat tertentu. Bahwa mungkin saja kapal itu telah
mengangkut seseorang dari Javadvipa. Permusuhan wangsa
Shailendra terhadap orang-orang Khmer yang kami sebut kmir
ini tidaklah harus berarti hubungan terputus sama sekali,
sebaliknya bentrok bisa terjadi justru dari pergulatan suatu
hubungan itu sendiri. Namun jika terdapat seseorang yang lain
dari Javadvipa di tanah orang-orang Khmer ini, apakah bagiku
yang seharusnya menjadi masalah"
Maka setelah membantu para awak kapal menaikkan
barang, karena Naga Laut memang menafkahi diri dan para
awak kapalnya sebagai pedagang maupun penyedia jasa
angkutan, dan tidak mengandalkan jarahan dari kapal-kapal
Srivijaya yang hanya dibagi-bagikannya saja, aku melenggang
keluar dari wilayah pelabuhan.
Hari sudah gelap, aku bermaksud menengok keramaian di
luar sana yang seperti menunggu malam tiba. Sebelum keluar
dari gerbang, kulewati kapal-kapal Sriv ijaya yang bentuknya
sama belaka dengan kapal kami. Terganggu oleh pemikiranku
sejak tadi, aku sengaja memasang ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Liang. Kapal itu kosong, tetapi beberapa orang terdengar
bercengkerama. Ternyata aku tidak mengenal bahasanya.
Bagiku hanya terdengar seperti suara burung, jadi mereka
bukan orang Sriv ijaya yang berbahasa Malayu maupun orang
Mataram yang bahasanya kukenal. Jadi mereka bukanlah
awak kapal, karena sebuah kapal tidak akan disewakan tanpa
awak kapalnya, mungkin mereka adalah penumpang, atau
bahkan penyewa kapal. Aku pun terus melangkah, tetapi
terpaksa harus menghentikannya lagi, ketika di antara bunyi
bahasa bersuara burung itu terdengar kata-kata seperti
"Shailendra" dan juga"Y ava". Memang ini bisa berarti apa saja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang tidak ada hubungannya dengan kedatangan kami, tetapi
tentu juga bisa berarti suatu perbincangan tentang kami.
Aku masih mendengarkan. Aku terkesiap, karena tiap
sebentar, di antara berbagai bunyi yang tidak kupahami,
terselip kata kresna-naga. Kata itu sangat kukenal, karena
diucapkan orang-orang di Yawabhumipala, yang tiada lain
artinya adalah Naga Hitam!
Apakah kiranya yang sedang dilakukan Naga Hitam
sekarang, jika namanya masih juga disebut-sebut orang di
tempat yang begitu jauh dari Y awabhumipala"
SEBEGITU luasnyakah jaringan Naga Hitam itu, sehingga
barangkali serbuan orang-orang Shailendra telah menggunakan jasanya pula" Suatu serbuan yang berhasil
hanya mungkin jika didukung oleh keterangan-keterangan
berharga tentang titik-titik kelemahan musuh, dan bilamana
perlu didukung berbagai tindak penyebaran ketakutan, yang
sangat bisa dilakukan gerombolan Naga Hitam. Namun
dengan siapakah ia bekerja di negeri jauh ini sekarang"
Aku masih berpikir, ketika Dhawa datang menyusulku dari
belakang. "Nakhoda mencari awak kapal baru," katanya, "jumlah kita
terlalu sedikit untuk terus berjuang."
Kuangkat tanganku agar dia diam. Namun rupanya suara
Dhawa itu justru terdengar oleh mereka, sehingga mendadak
saja dari balik dinding kapal itu muncul dua sosok yang segera
saling memandang dengan kami!
Melihat diriku, salah seorang di antara mereka berdua
langsung berteriak. "Pendekar Tanpa Nama!"
Ia pun menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya
membentuk lingkaran, lantas memasukkannya ke dalam
mulut. Terdengar suitan keras, dan entah darimana saja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
berlompatanlah sejumlah orang yang begitu datang langsung
mengepung kami berdua. Dalam kegelapan aku tidak bisa
segera mengenali para pengepung ini. Namun teriakan tadi
menggunakan bahasa yang berlaku di Javadvipa, jadi
kemungkinan besar ia berasal dari sana.
Terdapat deretan obor yang berlaku sebagai penerangan di
sepanjang pelabuhan, karena sampai malam kapal-kapal
masih datang dan pergi. Bukan hanya yang datang dan pergi
ke mancanegara, tetapi lebih banyak lagi yang datang dan
pergi ke pedalaman. Cahaya api itulah yang telah membuat
pisau belati lurus panjang mereka berkilat, berkeredapan
dalam malam. Cahaya juga memperlihatkan sosok-sosok
mereka yang ramping, terlalu ramping untuk ukuran tubuh
seorang pelaut yang tenaga besarnya dibutuhkan setiap saat.
Bukan hanya ramping tetapi juga sangat rapi, bagaikan siap
pergi ke sebuah pesta atau upacara. Mereka semua berkain
dengan tenunan membentuk gambar-gambar indah, kepala
berikat, telinga beranting, tangan bergelang, leher berkalung,
jauh nian dengan diriku dan Dhawa yang hanya berkancut dan
berselempang kain tanpa gambar sekadar menahan dingin
malam. Dhawa mencabut pisau, tetapi kutahan.
"Sarungkan kembali Dhawa, aku tak mau ada korban jiwa."
Aku membuka kain yang kuselempangkan, siap menyambut
serangan mereka. Orang yang mengenaliku tadi berbicara
dengan bahasa burung kepada para pengepung, yang tampak
menjadi semakin siap. "Pendekar Tanpa Nama," ujarnya pula kepadaku dalam
bahasa yang berlaku di Yawabhumipala, "Naga Hitam berkirim
salam kepadamu, sebelum kami semua mencabut nyawamu!"
Aku menghela napas. Rasanya sudah mengembara begini
jauh, tetapi masih juga Naga Hitam memburuku sampai ke Fu-
nan. Apakah ini tidak terlalu berlebihan" Mungkin memang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
salah aku meninggalkan Javadvipa tanpa menyelesaikan
urusanku lebih dahulu dengan Naga Hitam. Namun siapakah
yang harus disalahkan jika Naga Hitam tak pernah turun
tangan sendiri dan aku juga lebih tertarik untuk mengembara
daripada berurusan dengan satu orang tanpa tahu kapan
habisnya" Seperti yang pernah kukatakan, dengan terbunuhnya sejumlah murid, seharusnyalah Naga Hitam
sudah mencari dan membunuhku dengan tangannya sendiri.
Sebaliknya, cukup dengan satu kali tantangan terbuka kepada
Naga Hitam yang kusebarkan di sungai telaga dunia
persilatan, maka betapapun sibuknya ia dalam permainan
kekuasaan, demi nama dan kehormatannya ia harus
menghadapiku di tempat yang telah ditentukan.
Aku tidak habis pikir kenapa minatku berhadapan
dengannya hilang, sementara aku berkubang sepuluh tahun di
dalam gua untuk melipat gandakan ilmu silat hanya untuk
menghadapi ancamannya. Aku pernah berniat memburunya
demi menghapus rasa keterancaman darinya, tetapi aku juga
tahu Naga Hitam tak akan mudah dicari jika dirinya memang


Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ingin ditemukan. Namun aku tahu pasti betapa penting
baginya untuk memusnahkan aku sekarang, setelah jaringan
seluruh gerombolannya diobrak-abrik para pengawal rahasia
istana. Aku tanpa sengaja mungkin telah membuat banyak
rencananya berantakan. Meski begitu aku yakin betapa pertemuan ini hanya sebuah
kebetulan. Apalah artinya diriku seorang, bagi Naga Hitam
yang urusannya sudah berada di tingkat kerajaan" Bahkan
Pahoman Sembilan Naga pun, yang merupakan dewan
musyawarah tertinggi dalam dunia persilatan, bagaikan tidak
lagi digubrisnya. Mencapai kesempurnaan sebagai manusia
melalui jalan persilatan bagaikan sudah tidak lagi menjadi
tujuan seorang Naga Hitam. Suatu hal yang tidak
terbayangkan berlaku bagi seseorang yang telah mencapai
wibawa naga. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mengapa Naga Hitam begitu takut menghadapiku,
seseorang tak bernama yang hanya punya sepasang kaki
untuk berjalan melihat dunia?"
Ia tertawa terkekeh-kekeh. Dalam sekejap di tangannya
terlihat senjata rantai berbandul besi. Tangannya terangkat
memberi tanda agar sekitar dua puluh orang bersenjata pisau
panjang yang serba berkilatan itu menyerang!
(Oo-dwkz-oO) Episode 99: [Seorang Puteri di Atas Kudanya]
Dengan tenaga dalam hasil olah pernapasan selama
sepuluh tahun di dalam gua seribu lorong, dengan ilmu
meringankan tubuh yang bahkan bisa membuat tubuhku
begitu ringan sehingga lebih ringan dari udara, dengan Ilmu
Pedang Naga Kembar, Ilmu Pedang Cahaya Naga, Jurus
Penjerat Naga, Jurus Dua Pedang Menulis Kematian, jurus-
jurus yang sudah kuberi nama Jurus Bayangan Cermin tetapi
yang sebetulnya masih perlu dimatangkan lagi, dan sebuah
jurus yang sedang kuolah begitu rupa sehingga aku hanya
perlu menyerang pemikiran untuk melumpuhkan siapa pun dia
yang bernafsu membunuh tubuhku; dengan itu semua aku
pada dasarnya siap menghadapi lawan setiap saat. Apalagi
jika diingat, bahwa dalam diriku, meski tanpa pernah
kukehendaki, terdapat ribuan mantra sihir dan ilmu racun
yang terpindahkan berkat niat Raja Pembantai dari Selatan,
yang akan menolak setiap serangan sihir dan racun dengan
sendirinya, tanpa harus kuperintahkan sendiri.
Maka, sungguh aku sama sekali tidak menjadi gentar
apabila lebih dari duapuluh orang ini akan menyerangku
sekarang jugs. Aku hanya merasa sulit menempatkan diriku
jika harus bertarung, mengingat pesan Naga Laut agar aku
jangan terlibat apa pun. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dhawa telah meraba belati panjangnya yang melengkung
itu. Aku sangat khawatir karena te lah kulihat betapa mahirnya
Dhawa memainkan senjata itu, sehingga bahkan Kalamurti
maupun Kalarudra waktu itu tidak berhasil membunuhnya,
dan sebaliknya apabila telah dicabutnya belati panjang
melengkung tersebut, memang tidak akan tersarungkan
kembali sebelum meminum darah. Sedangkan apabila darah
ditumpahkan oleh seorang asing, di tanah ini dan dianggap
berasal dari Javadvipa pula, tidaklah akan menjadi terlalu jelas
bagaimana caranya aku menghindarkan diri lebih jauh lagi.
Kusentuh tangannya agar menahan diri, meski orang-orang
ini begitu siapnya menyerang dan menikam dari segala
penjuru. "Tahan!" Kudengar kata ini hanya sebagai suara seorang
perempuan, tetapi yang memang memberi perintah agar
serangan ditahan. Adalah Dhawa nanti yang menerjemahkan
semuanya kepadaku, sehingga aku dapat menceritakannya
kembali sekarang ini. Serangan itu memang bagaikan tertahan oleh suatu tenaga
gaib. Semuanya menoleh ke satu arah, dan tampaklah
perempuan yang anggun itu.
"Ah! Puteri!" Mendadak semua orang yang siap menyerang kami berdua
dengan tikaman dari segala arah yang mematikan itu
melepaskan senjatanya, yang segera jatuh berdentangan di
tanah, lantas menjatuhkan diri dengan setengah tengkurap
menggelesot, sebagai tanda tunduk, pasrah, mengaku hamba,
dan memang menghambakan diri dan hidupnya bagi puteri
bangsawan yang duduk di atas kuda tersebut.
Hanya aku yang tidak menggelesot. Aku tetap, berdiri. Para
pengawal putra bangsawan itu segera beterbangan dari atas
kudanya, siap membanting dan menyungsepkan wajahku ke
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tanah. Namun saat itulah seluruh ilmu silatku tanpa diminta
seolah menjawab serangan tersebut. Tidak seorang pun di
antara para pengawal itu berhasil menyentuh tubuhku.
Padahal aku seperti tidak bergerak. Sama sekali tidak. Padahal
tentu saja bergerak. Di sekitar tubuhku suara pedang, keris,
tombak, bahkan cambuk, berdesau-desau dan meledak ledak
tanpa pernah mengenaiku. Aku seperti tetap berdiri dan
senjata-senjata itu membabat bayangan diriku sahaja, tetapi
sebenarnya aku telah bergerak dengan begitu cepatnya tanpa
terlihat sama sekali sehingga tampak seperti tetap berdiri.
Aku tetap berdiri dan menatap, tajam ke arah puteri
bangsawan itu, yang juga menatapku dengan tajam.
"Dhawa, terjemahkanlah," kataku.
Maka Dhawa pun menyampaikan apa yang kuucapkan
sementara para pengawal puteri itu bagaikan s ibuk membacok
angin. "Siapakah kiranya puteri anggun yang duduk di punggung
kuda, yang tidak mengizinkan seorang pun untuk menatap
wajahnya yang cantik jelita, sehingga begitu perlu
mengizinkan para pengawalnya memusnahkan seseorang
yang takbernama?" Bahkan Dhawa, yang telah mengenali berbagai adat di
berbagai negeri pun menerjemahkan kata-kataku dengan
kepala tertunduk. Kulihat puteri yang duduk menyamping di atas kuda itu
tersenyum tipis, tetapi yang dalam kegelapan dan keremangan
cahaya obor terasa tajam dan penuh makna. la mengeluarkan
kata-kata yang suaranya bagiku terdengar memukau. Dhawa
pun langsung menerjemahkannya.
"Mungkinkah seseorang bisa takbernama jika kemampuannya secara kasat mata jelas luar biasa" Ataukah ia
sebenarnya bermaksud menghina, dengan berpura-pura
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
lemah takberdaya, dan begitu yakin semua orang yang
melihat dapat ditipunya?"
Namun Dhawa menambahkan kepadaku.
"Bicaralah dalam bahasa Sanskerta, atau bahasa Malayu,
dia pasti mengerti. Sulit menerjemahkan bahasa kalian berdua
ke dalam bahasa Khmer 458, sedang pertaruhan kita adalah
nyawa." Puteri di atas kuda itu menyela percakapan kami dengan
bentakan. Rupa"nya ia tidak mengerti bahasa Malayu yang
diucapkan Dhawa kepadaku.
"Sanskerta saja," Dhawa menukas, "dia tak mengerti
Malayu." Kulanjutkan dengan bahasa Sanskerta, yang meskipun
kupahami secara tertulis, belum pernah kuucapkan sama
sekali, dan hanya dapat kuraba karena bahasa itu
berpengaruh banyak kepada bahasa Jawa. Sebetulnya,
dengan mempertimbangkan pengaruh kebudayaan Wangsa
Syailendra yang hampir segalanya mereka pelajari, aku layak
mencoba bahasa yang paling kuketahui tersebut. Namun
mempertimbangkan bahwa puteri di atas kuda itu adalah
se"orang bangsawan, dan penguasaan bahasa Sanskerta
adalah salah satu pembeda bangsawan dan rakyat jelata,
maka dalam suasana tegang seperti ini kurasa masuk akal
menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Malayu memang
bahasa pengantar antarbangsa, dari Suvarnadvipa sampai ke
kawasan ini; pengaruh Wangsa Syailendra mestinya membuat
bahasa tanah asal mereka dikenal, tetapi aku mengucapkan
bahasa Sanskerta untuk pertama kalinya.
"Sahaya yang tiada bernama tidak bermaksud menghina
siapa pun jua, apalagi puteri bangsawan yang perkasa, yang
baginya tiada sesuatu yang kasat mata harus takterlihat oleh
mata. Hanya kesaktian nan mandraguna memberi tingkatan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
semacam itu, yang telah menggugah rasa hormat sahaya
tanpa harus menjadi hamba."
Aku tak sekadar menyanjung dengan kata-kata itu,
jawabannya tadi jelas menunjukkan bahwa ia dapat melihatku
yang bergerak dengan kecepatan kilat, dan jelas pula ia
menyatakan dengan caranya sendiri betapa ia jangan
disamakan dengan orang kebanyakan. Aku mengucapkan
kata-kata sanjungan itu dengan pertimbangan, bahwa jika aku
tidak menunjukkan betapa aku juga mengerti dirinya hebat,
aku takutkan puteri itu akan terdorong untuk menunjukkan
kehebatannya. Aku takdapat menduga dengan pasti seberapa
tinggi ilmu silat sang puteri yang semenjak tadi belum
bergerak itu, tetapi menlik caranya berkuda yang begitu nyaman meski duduk
miring spseri itu maupun kemampuan matanya mengikuti
kecepatanku, tentu ia memiliki ilmu meringankan tubuh dan
kecepatan bergerak yang tidak dapat dianggap enteng.
Meskipun aku tidak gentar sama sekali menghadapinya, meski
barangkali memiliki balatentara, dan berada di negerinya
sendiri pula, untuk sementara ini keributan dan pertentangan
bukanlah sesuatu yang kucari.
Sementara kami bertukar kata, serangan sama sekali tidak
berhenti. Hanya puteri itu melihat betapa aku selalu
menghindar dengan kecepatan kilat sehingga sepintas lalu
tampaknya hanya berdiri saja dan para pengawalnya
membacok bayangan. Ia mengibaskan tangan. serangan pun mendadak berhenti.
Ia melompat turun dari kuda dengan gerakan seringan bulu
yang jatuh melayang. Para pengawal mundur sembari
menundukkan kepala. Aku menatapnya seperti orang tersihir.
Tentu bukan karena payudaranya baru tampak nyata olehku
sekarang, dengan segala keindahan yang paling dimungkinkan
dalam penampakannya di bawah nyala kemerahan obor di
sekitarnya, wi, I betapa kain yang dikenakannya menerawang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
begitu rupa, sehingga saw., Samar terbayanglah segala
sesuatu di baliknya. Lompatannya ringan, gerakannya lembut,
tetapi kutahu itulah bayang-bayang maut yang bisa sampai
mengecoh. Harus kuakui betapa aku sangat terpesona kepada
perempuan ini. Api memang menebarkan cahaya kemerahan,
tetapi keputihan kulitnya yang langsat dari tubuh nan ramping
serta aroma mendebarkan yang meruap darinya tiada
terhindarkan. "Pendekar yang mengaku tidak punya nama," katanya pula,
"aku tiba di tempat ini karena bermaksud pulang naik kapal ke
Indrapura, begitu tiba kulihat sesuatu yang tidak kusuka,
bahwa seorang pelaut dari Javadvipa memiliki kekuasaan
memerintahkan orang-orang kami untuk mencabut nyawamu,
syukurlah dirinya menyembah, tetapi ia akan tetap diadili
meski pembunuhan itu belum dilakukannya. Negeri kami
mengenal hukum. Datang dari negcri di bagian selatan
manakah dirimu pendekar, yang dikuasai Wangsa Syailendra
di Javadvipa atau Kadatuan Srivijaya?"
Berat rasanya mataku menghindari lekuk liku tubuhnya
dalam goyangan bayang-bayang karena api yang tertiup
angin. Wajahku mungkin merah dan jengah, sekuat tenaga
kupusatkan pikiran kepada percakapan.
"Sahaya hanyalah seorang pengembara, wahai puteri
Khmer yang cantik lagi jelita, tiada menghamba kepada siapa
pun selain mereka yang lemah dan tiada berdaya, tidak bisa
kukatakan diriku anak negeri mana, meski kuakui Celah
Kledung asalku di Javadvipa."
Kutatap matanya yang bening lagi tajam, dan mata itu
mengerjap balas menantangku. Rambutnya lurus dan
penjang, jatuh lemas ke bahunya yang putih. Rambutnya
terjalin dengan tusuk konde kulit penyu, dengan mata intan
permata berkilatan dalam cahaya obor. Dijalin agak rumit
seperti patung Laksm i yang sempat kulihat di tepi sungai. Ikat
pinggangnya berkeredap mewah keemas-emasan, seperti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
imbangan bagi kepolosan segala sesuatu di balik kainnya yang
menerawang itu, kain termahal yang dibawa pedagangpedagang Negeri Parsi.
"Celah Kledung! Pernah kudengar nama itu dari para juru
cerita Wangsa Syailendra! Adakah sesuatu yang diketahui
pengembara takbernama ini tentang Sepasang Naga dari
Celah Kledung?" Bibirnya yang merah itu merekah berkilatan, baris giginya
sangat putih, dan kulit wajahnya terlihat begitu lembut,
takbisa kubayangkan betapa kecantikan semacam ini bisa
terdapat di dalam dunia. Sebagai pengembara di sungai telaga
persilatan tidak pernah ingin kumiliki segala sesuatu selain
ilmu-ilmu, tetapi pertemuanku dengan perempuan ini
membuatku untuk pertama kalinya mengenal perasaan ingin
memiliki sesuatu di luar ilmu. Bagaimana aku tidak menjadi
jujur dengan perasaan yang mengharu biru seperti itu"
"Sahaya taktahu bagaimana Sepasang Naga dari Celah
Kledung telah diceritakan kembali, tetapi merekalah yang telah
mengasuhku, duhai Puteri, semoga tiada sesuatu pun yang
menyalahi dari mereka yang telah menjadi orangtuaku
sendiri." Namun di tangannya segera terpegang sebilah pedang
lurus tajam keperakan yang terlihat sangat lentur. Ujungnya


Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak sudah menyentuh leherku.
"Telah kukatakan dirimu bukan yang kucari, wahai
Pendekar Tanpa Nama! Peradilan akan diberikan kepada yang
bersalah, tetapi kepadamu yang tidak sudi bahkan sekadar
untuk menundukkan kepala, mungkin karena mengira tiada
seorang pun mampu mengatasi kemampuannya, kuberi
kehormatan menghadapi diriku dalam pertarungan, wahai
Pendekar Tanpa Nama, karena hanya dirimulah, berdasarkan
semua cerita yang berhembus dari selatan, pantas kuhadapi
sebagai lawan. Bertarunglah!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia mengibaskan tangan kirinya yang tidak memegang
pedang. seorang pengawal meneriakkan sesuatu dalam
bahasa Khmer, dan semua orang yang bersujud dan
menggelesot itu mundur teratur membentuk sebuah lingkaran.
Jangan terlibat dengan sesuatu, kata Naga Laut.
Itu baru beberapa saat yang lalu ketika aku dipersilakannya
berjalan-jalan keliling kola. Namun baru beberapa langkah
saja. Bahkan aku belum keluar dari wilayah bandar
antarbangsa yang pernah sangat ternama ini, tag kuduga aku
sudah terlibat persoalan yang sungguh tidak bisa dianggap
kecil. Bukan sekadar karena nama Naga Hitam kembali
terbawa-bawa, dan bahwa puteri ini jelas seorang bangsawan
yang sangat ditakuti, melainkan jugs bahwa kurasakan diriku
dalam waktu s ingkat justru merasa sangat ingin terlibat dalam
hal dengan perempuan ini.
Puteri itu mundur beberapa langkah, menarik kaki kirinya
ke belakang dan menekuknya, sehingga seluruh tubuhnya
seperti doyong ke belakang, tetapi pedangnya yang lentur dan
selalu bergoyang karena sangat tipis itu terarah lurus
kepadaku. Aku tahu sejak tadi, dan dari betapa ringan
langkah-langkahnya, bahwa ilmu silat perempuan ini sangat
tinggi. Memandang lebih cermat, aku tidak habis pikir
bagaimana puteri bangsawan ini dapat mempelajari ilmu
silatnya tanpa terlihat bekas latihan tenaga dalam di tubuhnya
sama sekali. Kukenal Pendekar Melati, bekas latihan tenaga dalam itu
betapapun membekas di sekujur tubuhnya, yang meskipun
mulus tetap memperlihatkan, menonjol pada lengan dan
tangan, betis dan paha, karena sebelum mendapatkan
kesempurnaan seseorang yang sedang mempelajarinya
sebagai pemula tidak akan terlalu mengenal perbedaan antara
tenaga dalam dan tenaga Iuar sehingga akan sering juga
mempergunakan tenaga ototnya. Suatu hal juga terlihat pada
Campaka, sejumlah perempuan yang kukenal dari dunia
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
persilatan, maupun sejumlah lainnya yang kulihat sebagai
pengawal rahasia istana. Mereka tetap ramping, tetapi sangat
berisi, dengan tenaga pukulan tangan yang terjamin mampu
memecahkan batu. Puteri Khmer ini, sebaliknya sekilas pintas
bagaikan tidak pernah keluar dari istana. Bahkan, seperti yang
terbaca olehku pada tatapan matanya, yang harus kukatakan
tersirat sebagai jalang, seolah-olah tidak pernah turun dari
atas ranjang! Kejalangan yang tersamar di balik keanggunan. Tiada
pernah kusangka akan menyeretku ke suatu kisah asmara
panjang yang mendebarkan. Selintas pintas aku teringat
Harini, perempuan yang sepuluh tahun lebih tua dariku yang
menguji coba segenap ajaran Kama Sutra kepadaku. Ah!
Mungkinkali kutepati segala janjiku untuk kembali ke
Balingawan" Aku teringat segala kitab dalam kotak warisan
pasangan pendekar yang mengasuhku.
"Bertarunglah!"
Puteri itu menukas lamunanku meski takperlu. Kewaspadaan menghadapi serangan dalam keadaan seperti ini
dari waktu ke waktu semakin menyatu dengan napasku.
Jurus pembukaan itu tidak pernah kulihat, tetapi pernah
kubaca dalam kitab Riwayat Pendekar Satu Jurus, justru
sebagai jurus yang tidak pernah dipakainya. Aku berpikir
keras. Apakah dirinya bermaksud menggunakan Jurus
Penjerat Naga kepadaku" Dalam kitab Jurus Penjerat Naga
disebutkan bahwa Jurus Penjerat Naga, seperti yang
kemudian juga kupelajari, tidaklah seperti jurus sama sekali,
karena di sanalah terletak apa yang disebut jerat dalam Jurus
Penjerat Naga. Namun yang diperlihatkan puteri Khmer ini adalah sebuah
jurus, yang disebutkan tidak pernah digunakan oleh Pendekar
Satu Jurus, penulis kitab Jurus Penjerat Naga tersebut.
Bagaimanakah persoalan ini harus kupecahkan"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Api segenap obor yang berada di bandar itu telah padam
menjelang pagi. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain
menunggu seperti Pendekar Satu Jurus yang terdapat dalam
kitab itu. Aku berdiri mematung, puteri Khmer itu masih dalam
kuda-kuda yang sebetulnya disebut takpernah digunakan oleh
Pendekar Satu Jurus. Tentu saja ia tidak bodoh, jika ia
mengetahui keberadaan Sepasang Naga dari Celah Kledung,
dan bahwa telah diketahuinya diriku sebagai anak asuhan
mereka, maka ia harus menduga aku juga mengetahui isi
kitab Jurus Penjerat Naga maupun kitab Riwayat Pendekar
Satu Jurus. Aku pun menduga puteri Khmer itu sedang
mencoba membingungkan aku dengan penggunaan jurus
tersebut, karena betapapun Jurus Penjerat Naga hanya dapat
diberlangsungkan me lalui jurus-jurus yang sama sekali bukan
seperti jurus. Sehingga terdapat dua kemungkinan dalam sikapnya itu;
pertama, ia ingin menguji apakah aku menguasai jurus itu
atau tidak, melalui tanggapanku terhadap kuda-kuda
pembukaannya; kedua, jika aku tidak mengenalinya, maka
diandaikannya betapa aku juga akan segera menyerangnya,
yang membuat ia harus menunggu, meski tidak harus sampai
selama itu. NAMUN aku juga menduga bahwa dirinya mempertimbangkan kemungkinan ketiga, yakni jika aku
memang menguasai dan mengenal Jurus Penjerat Naga, dan
jika kemungkinan inilah yang terdapat padaku, baginya tiada
lebih dan tiada kurang inilah pertarungan yang sebenarnya,
karena siapa yang lebih dulu menyerang dipastikan akan kalah
dan binasa! Mereka yang menyaksikan di luar arena tentu sudah sangat
lelah. Kedudukan berdiri berhadapan ini telah berlangsung
semalaman tanpa gerak sama sekali. Aku berdiri seperti
patung tanpa kuda-kuda sama sekali, karena Jurus Penjerat
Naga memang tidak akan pernah tampak seperti suatu jurus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sama sekali. Namun putri itu sudah semalaman berdiri dengan
kuda-kudanya yang membuat tubuhnya doyong ke belakang
itu, dengan pedang terulur lurus ke arahku. Inilah yang
membuat aku bertanya-tanya dalam kewaspasdaan sepanjang
malam, mungkinkah terdapat kitab Jurus Penjerat Naga lain
yang terbawa dalam gelombang pengaruh kebudayaan
wangsa Shailendra ke tanah Khmer ini, dan kitab yang lain itu
mengajarkan bahwa jurus yang tidak pernah digunakan
Pendekar Satu Jurus ternyata bisa dipakai, ataukah putri
dengan kain menerawang melambai-lambai ini memang benar
sekadar berusaha mengacaukan pikiranku saja"
Lebih aman bagiku mempertimbangkan kemungkinan
terakhir itu, karena dasar Jurus Penjerat Naga hanya satu,
yakni siapa pun yang menyerang lebih dahulu maka dia akan
kalah dalam pertarungan. Maka pertarungan, apalagi antara
dua orang yang menguasai Jurus Penjerat Naga, justru sudah
berlangsung ketika keduanya berhadapan dan belum
menyerang sama sekali! Pertarungan dalam diam seperti ini jauh lebih berat dari
pertarungan bergerak yang mana pun. Fajar makin menjelang.
Dalam kitab Riwayat Pendekar Satu Jurus yang dulu dibacakan
Harini kepadaku, pertarungan terlama yang pernah dilakukan
Pendekar Satu Jurus adalah dari malam tiba sampai fajar
merekah, seperti ketika bertarung melawan Pendekar Lautan
Tombak. Namun itu tidak berarti bahwa pertarungan tanpa
gerak sepanjang malam itulah batas waktu bagi penantian
serangan lawan. Pendekar Satu Jurus mendapat namanya
karena selalu hanya memerlukan satu jurus
untuk mengalahkan lawan, karena pada masanya tiada seorang pun
dari lawan-lawannya mengenal terdapatnya Jurus Penjerat
Naga tersebut, sehingga pertarungannya selalu diselesaikan
dalam waktu singkat. Bahkan Pendekar Lautan Tombak, yang
dengannya Pendekar Satu Jurus berhadapan sepanjang
malam, tak juga menyerang hanya karena menunggu saat
kelengahan Pendekar Satu Jurus, yang ternyata tak pernah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
datang. Karena itu ketika akhirnya ia menyerang juga,
memang saat itulah terbuka kelengahannya dan Pendekar
Lautan Tombak menemui ajalnya.
Ini berarti bahwa pertarungan antara dua orang yang
menguasai Jurus Penjerat Naga adalah pertarungan untuk
saling menanti dengan kewaspadaan tinggi, yang berarti juga
tiada mempunyai batas waktu sama sekali!
Fajar merekah, langit semakin lama semakin terang. Ribuan
kelelawar di langit berkepak pulang ke sarangnya. Kudengar
kicau burung. Seekor burung gagak berkaok di puncak tiang
sebuah kapal. Sejak semalam kerumunan di luar arena
semakin lama semakin banyak. Kudengar bahasa percakapan
dalam bisik-bisik yang takkukenal. Tiada kusangka begitu
menginjak tanah di luar Suvarnadvipa untuk pertama kalinya,
aku langsung mendapat tantangan yang begini berat, dari
seorang perempuan pendekar yang keindahannya bagiku
ternyata akan sangat membakar...
(Oo-dwkz-oO) Episode 100: [ Kehormatan pada Pembaca] [TAMAT]
Pembaca yang Budiman, untuk kesekian kalinya aku mohon
maaf, izinkan orang tua berumur 100 tahun seperti aku yang
tak tahu diri berani menulis ini, mengambil waktu rehat
sebentar. Sudah berapa lama aku menulis" Entahlah. Di dalam
rumah sudah bertumpuk-tumpuk keropak yang memuat
riwayatku itu. Seperti diketahui, menulis di atas lembaran
lontar tidaklah bisa berlangsung terlalu cepat. Sudah bagus
jika aku dapat menyelesaikan tulisan di atas sepuluh lembar
keropak dalam sehari. Jika memaksakan diri, memang bisa
mencapai 20 lembar, tetapi tak jarang juga, apabila aku lebih
sering mengantuk dan tertidur, atau diganggu Nawa yang
selalu bertanya tentang ini dan itu dan tidak pernah mau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
berhenti jika tidak mendapat jawaban memuaskan, dalam
sehari hanya bisa kuselesaikan tulisan di atas lima lembar
keropak. DALAM setiap lembar keropak dapat termuat sekitar
delapan baris tulisan, empat baris berdampingan dengan
empat baris yang lain, dan setiap barisnya termuat lebih
kurang 40 huruf. Berarti dalam setiap keropak terdapat seti-
daknya 320 huruf, sehingga dalam sehari rata-rata kuguratkan
sekitar 3.200 huruf dalam aksara Jawa. Apabila setiap kata
dalam bahasa Jawa rata-rata terdiri empat huruf, dan setiap
bab dalam riwayatku mencapai 2.000 kata, artinya aku
membutuhkan 8.000 huruf untuk setiap bab yang baru dapat
kuselesaikan, dengan berbagai selingannya, dalam tiga hari.
Namun karena aku sedang bekerja sebagai pembuat lontar itu
sendiri, maka tentu saja aku tidak dapat terus menerus
menulis. Ada kalanya dalam sehari aku hanya mengurusi
daun-daun rontal yang dijadikan lontar itu saja. Jadi sebutlah
setiap bab kuselesa ikan dari guratan demi guratan selama
empat hari. Berarti, kini, memasuki bab 100, aku telah
menuliskan riwayatku itu selama lebih dari satu tahun.
Dengan begitu kita sudah memasuki tahun 872, kerajaan
Mataram masih berada di bawah pemerintahan Rakai
Kayuwangi, dan aku masih berada di Mantyasih, berlindung
dari keramaian sebuah kotaraja di balik tembok merah batu
bata, dengan sebuah gapura yang juga terbuat dari batu bata,
tempat orang berlalu lalang sebagai jalan pintas ke sebuah
perkampungan. Tanah di balik tembok ini adalah milik seorang
perwira kerajaan yang tampaknya selalu pergi, kalau tidak
untuk berperang menumpas pemberontakan besar maupun
kecil, setidaknya untuk mengawasi tetap berlangsungnya
kesatuan wilayah, dengan cara apa pun, keras maupun halus,
agar ketenteraman dan kesejahteraan rakyat tetap terjaga.
Mungkin karena merasa jarang menempati tanah miliknya
yang luas itu, ia membuatnya tetap terhuni dengan
menyewakannya. Salah seorang penyewa tanahnya adalah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pembuat lontar untuk istana, tempat aku bekerja kepadanya
sekarang ini, dan diizinkan menempati salah satu gubuk.
Dibanding pemerintahan raja-raja sebelumnya, masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi kemudian akan kuketahui
sebagai salah satu masa yang paling tenang, sehingga
mengherankan juga sebenarnya, permainan kekuasaan
macam apa yang membuat istana sampai mengeluarkan
selebaran untuk memburu dan membunuhku. Dalam
ketenangan, kebudayaan berkembang tanpa ketegangan,
yang di satu pihak dapat menimbulkan kebosanan dan
kejenuhan, tetapi di pihak lain memberikan peluang kepada
renungan mendalam. Aku hanyalah seorang pengembara di
sungai telaga persilatan, itu pun yang pengembaraannya
kemungkinan besar sudah hampir selesa i. Bukankah hanya itu
yang bisa dikatakan seseorang yang sudah berumur 100
tahun" Namun meski aku bukan seorang pemikir, apalagi
mahir dalam berfilsafat, terpikir juga perkara keberadaan
aksara yang dalam setahun ini lebih banyak kugauli daripada
ilmu s ilat tersebut. Ilmu silat barangkali memang merupakan penemuan


Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia yang hebat, terutama dalam menggali daya
kemampuan tubuhnya sendiri. Bukankah kemampuan para
pendekar untuk berkelebat secepat kilat, melenting di atas
pepohonan dan atap-atap rumah, menyatu ke dalam bayang-
bayang, menepuk batu menjadi abu, bertarung dengan mata
terpejam, bahkan berlari di atas air adalah sesuatu yang
dahsyat" Tentulah aku bersyukur telah mendalam i ilmu silat
begitu rupa sehingga kukenali diriku sendiri maupun orang-
orang lain dalam usaha mencapai kesempurnaan sebagai
manusia. Namun dalam setahun ini ibarat kata kudalami ilmu
surat, dan sungguh ilmu surat itu dibandingkan ilmu s ilat tiada
kalah memesona. Aku tinggal mengguratkan aksara, maka
terhamparlah padang-padang hijau dengan latar belakang
gunung nan ungu sementara mega-mega berarakan
melewatinya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Apabila terus kuguratkan pengutik pada lembar-lembar
lontar itu, maka padang-padang hijau akan disapu cahaya
matahari keemasan yang muncul dari celah dua gunung,
membuat embun pada rerumputan di padang-padang itu
mengertap berkilatan, sebelum akhirnya terinjak-injak kaki
kuda yang menggebu dari tepi yang satu ke tepi yang lain.
Siapakah lelaki yang berada di atas punggung kuda itu"
Rambutnya yang panjang terurai di atas bahunya yang
bidang, dengan pedang panjang tersoren di punggungnya,
menggebu dan menggebu, ternyata karena diburu oleh
serombongan pasukan berkuda sebanyak duabelas orang. Dua
orang dari pasukan itu melaju lebih cepat dari yang lain
dengan kemahiran berkuda begitu rupa sehingga keduanya
dapat melepaskan tali kekang sembari membidik dengan
panahnya di atas kuda yang melaju. Kedua kuda itu masih
berlari dengan kecepatan yang sama ketika kedua pengawal
rahasia istana itu secara bersamaan melepaskan anak
panahnya. Dua anak panah segera meluncur melebihi
kecepatan angin menuju sasarannya.
Lelaki berambut panjang yang melambai-lambai tertiup
angin pagi itu menoleh ke belakang dan mencabut pedangnya,
tetapi sudah terlambat. Kedua anak panah yang melesat itu
menancap di punggungnya, menancap begitu dalam sampai
menembus jantung dan paru-parunya. Lelaki berambut
panjang itu terpental dari atas kuda dan ketika menyentuh
rumput basah jiwanya sudah pergi. Para pengawal rahasia
istana yang berbusana serba putih, dengan pedang yang juga
serba putih berkilatan, segera berkerumun mengitarinya tanpa
turun dari kuda mereka sama sekali.
Aku memang pernah menyaksikan sendiri peristiwa yang
kutuliskan itu, ketika masih kecil aku berdiri pada suatu pagi di
tepi sebuah jurang di Celah Kledung. Saat itu ibuku
menggamit tanganku dan menghindarkan aku dari pemandangan lebih lanjut, sembari bergumam sendiri,
"Apakah tidak terlalu pagi darah tumpah hari ini?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam hatiku waktu itu aku bertanya-tanya, apakah itu
berarti darah sebaiknya tertumpah agak lebih siang" Namun
aku tidak ingat lagi apakah kemudian aku menanyakannya.
Bukan peristiwa itu sendiri yang sebetulnya ingin kuceritakan
di sini, me lainkan bahwa aku dapat menceritakannya
kepadamu, wahai Pembaca yang Budiman, melalui perantaraan aksara. Saat aku mulai menuliskan cerita ini aku berada di tahun
871, dan seperti telah kusebutkan tadi, Pembaca, berdasarkan
banyaknya tumpukan gulungan keropak yang telah kutulisi,
agaknya aku telah menulis lebih dari setahun dan kini
memasuki tahun 872. Aku belum tahu kapan penulisan riwayat
ini akan berakhir, sehingga belum tahu lagi kapan kiranya
dirimu suatu ketika akan membacanya. Kuingat bahwa aku
juga pernah membaca kitab-kitab yang ditulis oleh orang yang
sudah mati. Kitab-kitab seperti Arthasastra, Kamasutra,
maupun Manasara-Silpasastra ditulis lebih dari empat ratus
tahun sebelum aku membacanya dan ketika membacanya itu
sungguh aku merasa berada di dalam sebuah dunia seperti
yang telah diungkap melalui aksaranya.
Bagaimanakah kiranya manusia telah menemukan aksara,
yang bukan sekadar mewakili bunyi me lainkan juga
menyampaikan makna" Bahkan jurus silat takjarang mengacu
kepada aksara itu. Tidakkah manusia memiliki pilihan lain
selain aksara untuk menyampaikan gagasan-gagasannya"
Tentu aku juga te lah mengalami dan menyaksikan bagaimana
kami berbahasa dengan bendera, dengan asap, dengan
genderang, dengan siulan, dengan jari, dengan tubuh, bahkan
hanya dengan tatapan, tetapi aksara ini sungguh tiada
duanya, terutama ketika dalam kenyataannya merupakan
benda mati. Bukankah gulungan keropak dalam peti kayu
tidak ada artinya jika tetap tertumpuk di dalamnya tanpa
seorang pun membacanya"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Keropak bertulisan menjadi kitab yang bisa dibaca, yang
tentu tetap menjadi benda mati jika bukan saja aksaranya tak
dikenal tetapi juga maknanya tidak dapat dipahami" Dari
pengalamanku membaca berbagai macam kitab, meskipun itu
hanyalah kitab ilmu silat, justru tergantung kepada
pembacanyalah sebuah kitab menjadi berguna atau tidak
berguna, menjadi bermakna atau tidak bermakna, menjadi
berdaya atau tidak berdaya. Adalah pembaca yang memberi
makna kepada sebuah kitab, sesuai dengan perbendaharaan
makna yang mampu dikembangkan dalam penjelajahan
pikiran ketika membacanya.
Pelajaran pertama dalam pembermaknaan ini diberikan
oleh pasangan pendekar yang mengasuhku, ketika suatu hari
mereka bagaikan berganti-gantian membaca sebuah kitab,
menyampaikan suatu cerita kepadaku sebelum tidur. Esok
paginya, ketika aku terbangun, gulungan keropak itu masih
menumpuk rapi di dalam bilik. Karena seingatku ceritanya
sangat mengasyikkan, aku ingin membacanya sendiri
bagaimana cerita semacam itu telah dituliskan. Ternyata
waktu kubuka gulungannya lembaran lontar itu tidak ada
tulisannya sama sekali! Waktu kutanyakan kepada ibuku, ia
hanya menjawab dengan ringan.
"Ada atau tidak ada tulisannya sama saja, semua
tergantung kepada yang membaca dan kemampuannya
memberi makna." Kemudian aku menjadi semakin paham apa yang dimaksud
ibuku, ketika meskipun aku sudah mampu membaca aksara,
tetapi belum mampu membaca apa pun yang dituliskan pada
kitab-kitab di dalam peti kayu itu, karena peti kayu itu
memang tidak hanya berisi kitab ilmu silat, melainkan segala
macam ilmu yang kedua orangtua asuhku itu pun belum tentu
sudah membaca habis isinya. Kadang-kadang kulihat ayahku
tekun membaca sampai jauh ma lam, bahkan nyaris sampai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menjelang pagi, hanya untuk menutupnya sembari mendesah
dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Kitab ini berat sekali," katanya.
Padahal dunia pun adalah sebuah buku terbuka bukan"
Tapi bagaimana kalau tidak bisa membacanya"
Maka setelah menulis terus-menerus setahun ini, meskipun
bagi orang tua berumur seratus tahun seperti aku lumayan
melelahkan, aku tahu betapa aku sebetulnya tidak bekerja
sendirian. Kehormatan suatu bacaan tidak terletak di tangan
penulisnya, melainkan justru pada para pembacanya, karena
setiap pembaca menciptakan sebuah dunia berdasarkan
bacaannya menurut kemampuannya masing-masing. Semakin
kaya perbendaharaan seorang pembaca, semakin berdayalah
pembermaknaan yang diberlangsungkannya. Itulah sebabnya
kitab ilmu silat yang sama dapat menjadikan seseorang
menjadi pendekar takterkalahkan, bagi yang lain hanya
membuatnya jadi tukang pukul.
DENGAN demikian seorang pembaca sebetulnya bekerja
sama kerasnya dengan seorang penulis. Artinya ketika
membaca sebetulnya ia juga sedang menuliskannya kembali.
Menuliskan kembali bacaan itu untuk dirinya sendiri, menurut
kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Bukankah dalam
kepala setiap pembaca tidak akan terdapat padang rumput
yang sama, kuda berlari yang sama, ketajaman sisi pedang
lentur yang sama, karena pengalaman dan pengetahuan
setiap orang atas gambaran yang tersampaikan itu tidak
terlalu sama bukan" Bahkan perbedaannya pun bisa menjadi
sangat besar, tidak mustahil pula menjadi bertentangan. Ini
baru menyangkut penggambaran yang diandaikan kasat mata,
lantas bagaimana pula jika itu menyangkut gagasan yang
tidak terkasatkan sekadar oleh mata, seperti keadilan,
kebahagiaan, dan keindahan"
Pembaca yang terbiasa dan terlatih menjelajahi serta
menghayati gagasan-gagasan yang tak terkasatkan oleh mata
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tentu akan lebih berdaya dalam menikmati, memanfaatkan,
dan berarti menuliskannya kembali dalam kepalanya sendiri
daripada yang tidak. Menuliskan kembali dalam dan bagi
dirinya sendiri membuat segenap daya dalam seorang
pembaca bekerja. Pada dasarnya, demikianlah ujaran seorang
pandai, seorang penulis mati setelah tulisannya selesai.
Penulis tidak akan lagi menjadi sumber makna, karena
pembaca yang manapun akan membaca tulisan apapun
dengan penafsirannya sendiri. Sungguh nasib sebuah tulisan
memang mutlak berada di tangan pembaca. Adalah pembaca
yang bekerja menciptakan sebuah dunia dengan segenap
daya dalam dirinya. Semakin berdaya pembaca, semakin kaya
dunia yang diciptakannya; semakin kurang berdaya seorang
pembaca, semakin terbatas dunia yang dapat diciptakannya.
Namun keberdayaan setiap pembaca sebetulnya tidak
terbandingkan, karena setiap pembaca memiliki wacananya
masing-masing, demi dan untuk kebermaknaannya sendiri.
(Oo-dwkz-oO) AKU masih mengguratkan aksara demi aksara, ketika
sesosok bayangan berkelebat di balik pohon-pohon pisang.
Umurku memang 100 tahun, bahkan kurasa menjelang 101
tahun -bagaimana aku tahu kapan tepatnya aku dilahirkan,
jika pasangan pendekar yang mengasuhku itu menemukan
aku hanya sebagai bayi bersimbah darah di dalam gerobak
yang nyaris jatuh ke dalam jurang" Namun setua ini,
kepekaanku atas bahaya yang mengancam agaknya belum
berkurang sama sekali. Hari memang telah senja. Kesibukan menulis karena takut
usia mendadak berakhir membuat aku saat-saat belakangan
semakin kurang peduli kepada senja yang bagiku selalu penuh
dengan pesona. Kusadari keberadaan diriku sebagai senja itu
sendiri, bukan senja yang membuat langit semburat merah
keemas-emasan, melainkan senja yang telah menjadi sangat
gelap langitnya, tinggal segaris cahaya redup di sebelah barat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang nyaris tidak terlihat sama sekali. Memang, kenyataan
betapa diriku tiada berkurang daya sama sekali sete lah
mengundurkan diri dalam samadhi selama 25 tahun lamanya
di dalam gua, kecuali menjadi agak pelupa, telah membuatku
khawatir betapa diriku tidak akan kunjung mati. Kekhawatiran
yang mungkin agak berlebihan, karena manusia semestinyalah
akan mati. Namun kesegaran tubuh, kewaspadaan, dan daya
tempurku yang sama sekali tidak menurun, bahkan seperti
selalu meningkat, bagai mengesahkan kekhawatiranku.
Apakah itu berarti aku memang harus mati di ujung senjata
seorang lawan yang akan mengalahkan aku"
Selama mengembara di sungai telaga dunia persilatan aku
selalu siap untuk mati ditangan seorang pendekar yang lebih
tinggi ilmunya dariku, karena dengan begitu, seperti setiap
pendekar yang perlaya dalam pertarungan, kematianku akan
menjadi kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukan
saja hari itu tidak kunjung tiba, sebaliknya aku merasakan
suatu perasaan bersalah yang luar biasa, karena dengan
semakin banyaknya pendekar yang tewas ditanganku,
semakin leluasalah orang-orang golongan hitam merajalela
tanpa para pendekar yang akan membasminya. Suatu
perasaan yang memuncak setelah peristiwa Pembantaian
Seratus Pendekar limapuluh tahun yang lalu. Kemenangan
dalam dunia persilatan ternyata bukanlah sesuatu yang manis,
sebaliknya kenyataan betapa aku tidak pernah terkalahkan
sampai hari ini, telah membuatku hari-hariku lebih terasa
sebagai kepahitan, membuat kehidupan bagiku selalu terasa
sendu dan muram. Kutajamkan pandanganku ke arah gerumbul pohon-pohon
pisang. Sesosok bayangan yang tadi berkelebat menahan diri
untuk tidak bergerak di balik sebatang. Hmm. Ia memiliki
kemampuan menyatukan diri dengan bayang-bayang dan
kegelapan seperti yang sering kulakukan, tetapi bagiku tentu
saja tiada artinya. Bumi sudah semakin menggelap, tetapi
keberadaannya di gerumbul pohon pisang itu bagaikan begitu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
terang seperti siang. Ia menahan nafas, tetapi bahkan
kudengar detak jantungnya.
SIAPAKAH dia" Perempuan pengembara yang membawa
kain buntalan seperti diceritakan Nawa" Ataukah seseorang
lain yang mengenaliku, dan telah mengawasiku selama ini,
tetapi luput dari pengamatanku" Meskipun aku sangat percaya
diri dan tahu benar akan kemampuanku, dua dalil dalam dunia
persilatan tidak akan pernah kulupakan agar tetap rendah
hati: Di atas langit ada langit, yang maksudnya betapapun
tinggi ilmu s ilat seorang pendekar, t idaklah mustahil akan ada
pendekar lain yang lebih tinggi ilmu silatnya; dan gelombang
yang di depan ditelan gelombang yang di belakang.
Dalil pertama mungkin bisa kuingkari, atau tepatnya
kutafsirkan sesuai keinginanku, dengan berusaha keras agar


Jurus Tanpa Bentuk Naga Bumi I Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diriku itulah yang selalu akan menjadi langit di atas langit
yang lain; bahkan aku bisa menjadikannya dalil untuk
mengembangkan ilmu silatku sendiri, bahwa seberapa tinggi
pun ilmu silat yang sudah kucapai aku masih selalu mungkin
mencapai yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Namun dalil
kedua, gelombang yang di depan akan ditelan gelombang,
jelas merupakan hukum alam yang merupakan kepastian,
bahwa yang muda akan menggantikan yang tua, dan
begitulah seterusnya. Dalam dunia persilatan, itu berarti akan
tiba saatnya seorang pendekar muda mengalahkan seorang
pendekar tua yang sebelumnya tidak pernah kalah, sampai
seorang pendekar muda lain kelak mengalahkan dirinya.
Maka, meskipun sampai hari ini tidak seorang pun pernah
mengalahkan aku, meski mungkin nyaris membunuhku, aku
tetap merasa wajib menyadarinya untuk membuat diriku hati-
hati. "Tidak ilmu yang tidak punya kelemahan," kata ibuku,
seperti kuingat selalu ketika menghadapi pertarungan yang
berat. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Saat itulah sosok tersebut keluar dari gerumbul pohon
pisang, membawa sesuatu yang tampak meronta-ronta
dengan sebelah tangannya.
"Akhirnya kutemukan juga dirimu di sini, wahai Pendekar
Tanpa Nama," katanya pula.
Tangan kirinya mencekal tengkuk seorang anak kecil.
Astaga! Meskipun gelap, aku mengenalinya! Nawa! Sebilah
pedang menempel di lehernya!
Aku beranjak, melepaskan pengutik, dan melesat ke
hadapannya. Ia mundur selangkah.
"Kakek!" Nawa berujar dengan tersengal.
Orang itu mundur selangkah, tetapi aku tidak maju sama
sekali ketika kulihat mata pisau itu menekan leher Nawa.
Darahku naik, tetapi aku harus tenang: Siapakah mereka
yang tega menjadikan anak kecil ini sebagai sandera"
"Apa maumu?" tanyaku, sementara telingaku menangkap
langkah halus di belakangnya, jelas langkah seseorang berilmu
tinggi. "Serahkan semua lembaran lontar yang telah berisi tulisan
itu kepadaku," katanya, "atau leher anak ini akan
menggelinding sekarang juga!"
Malam serasa lebih pekat dari malam yang biasa.
Menjadikan anak kecil sebagai sandera sungguh perbuatan
yang nista! Aku berpikir keras, sangat keras, karena meski
tiada kupedulikan nyawaku sendiri, tidak berarti Nawa juga
akan selamat jika aku mati. Apapun akan kulakukan demi
masa depan anak kecil yang cerdas ini, yang sangat mencintai
ilmu pengetahuan dan tidak berminat kepada ilmu silat sama
sekali. "Serahkan! Sekarang juga!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam kegelapan kudengar sosok di belakangnya
berkelebat. BUKU I TAMAT (Oo-dwkz-oO) Pendekar Cacad 16 Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai Pendekar Bayangan Setan 14
^