Pencarian

Briliance Of Moon 1

Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 1


KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON SEHELAI bulu itu ada di telapak tanganku.
S Aku memegangnya dengan hati-hati, sadar
akan usia dan kerapuhannya. Warnanya yang
putih masih tembus cahaya, sedangkan ujung
bulunya yang berwarna merah tampak berkilau. "Itu bulu burung suci, houou," ujar
Matsuda Shingen, Kepala Biara Terayama.
"Burung itu muncul saat ayah angkatmu,
Shigeru, berumur lima belas tahun, lebih
muda dari kau saat ini. Dia pernah mengatakannya padamu, Takeo?"
Aku mengangguk. Matsuda dan aku sedang berdiri di ruangannya, di ujung salah satu
beranda yang dikelilingi halaman utama biara. Dari luar ruangan, sayup-sayup terdengar suara
yang biasa terdengar di biara, lantunan doa dan bunyi lonceng, kemudian terdengar suara
orang yang berlalu-lalang. Aku mendengar Kaede, istriku, sedang berbicara dengan Amano
Tenzo di luar gerbang. Mereka sedang membicarakan masalah persediaan makanan untuk
pasukan selama di perjalanan. Kami sedang bersiap-siap berangkat ke Maruyama untuk
menuntut hak Kaede sebagai pewaris sah juga untuk merebutnya bila terpaksa. Sejak akhir
musim dingin, para ksatria berdatangan ke Terayama untuk bergabung denganku dan kini
pasukanku berjumlah ribuan orang, menginap di biara dan di desa sekitar, belum termasuk
para petani dari wilayah sekitar yang mendukung perjuanganku.
Amano berasal dari Shirakawa, tanah leluhur istriku. Dia adalah pengawal yang paling
LIAN HEARN BUKU KETIGA 1 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Kaede percaya, penunggang kuda yang hebat dan ahli menjinakkan hewan. Beberapa hari
setelah kami menikah, Kaede dan pelayannya, Manami menunjukkan keahlian yang
mengagumkan dalam mengurus serta mendistribusikan makanan dan peralatan. Mereka
berdua mendiskusikan semuanya dengan Amano dan memintanya untuk menyampaikan
keputusan mereka pada seluruh pasukan. Pagi itu Amano sedang menghitung gerobak sapi
dan kuda beban yang dapat digunakan. Aku mencoba untuk berhenti mendengarkan,
berkonsentrasi pada apa yang sedang Matsuda katakan, tapi aku gelisah, ingin segera pergi
dari situ. "Bersabarlah," ujar Matsuda ringan. "Sebentar saja. Apa yang kau tahu tentang burung
houou?" Dengan enggan aku alihkan lagi perhatian pada bulu di telapak tanganku dan mencoba
mengingat-ingat apa yang guruku, Ichiro, pernah ajarkan saat aku masih di rumah Lord
Shigeru di Hagi. "Itu adalah burung suci yang akan muncul saat keadilan dan kedamaian
terwujud. Dan namanya ditulis dengan karakter huruf yang sama dengan tulisan nama klanku,
Otori." "Benar," kata Matsuda sambil tersenyum. "Burung itu jarang muncul karena kini keadilan
dan kedamaian sangat langka. Tapi Shigeru melihatnya dan aku percaya penampakan itu
membuatnya terinspirasi untuk mewujudkan nilai-nilai kebajikan ini. Kemudian aku katakan
padanya bahwa bulu itu sudah bernoda darah, dan ternyata memang darah serta kematiannya
yang masih menggerakkan kita, kau dan aku."
Kulihat bulu itu lebih dekat lagi. Bulu itu tergeletak melintang di atas bekas luka di
telapak tangan kananku. Bekas luka terbakar yang sudah lama sekali kudapat, yaitu di Mino,
desa tempat kelahiranku, saat Shigeru menyelamatkanku. Di telapak tanganku juga tergambar
garis lurus Kikuta, keluarga Tribe, suku asalku. Warisan, masa lalu dan masa depanku tampak
di sana, dalam genggaman tanganku.
"Mengapa kau perlihatkan padaku?"
"Kau akan segera pergi. Kau telah bersama kami selama musim dingin, belajar dan
berlatih untuk memenuhi amanat terakhir Shigeru. Aku ingin kau tahu apa yang Shigeru lihat
untuk mengingatkan bahwa tujuan Shigeru adalah keadilan, sehingga tujuanmu juga harus
sama." LIAN HEARN BUKU KETIGA 2 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Aku tidak akan melupakannya," aku berjanji. Aku membungkuk hormat pada bulu
burung itu, memegangnya hati-hati dengan dua tangan dan mengembalikannya ke tangan
Kepala Biara. Dia mengambilnya, memberi hormat lalu memasukkannya lagi ke dalam kotak
kecil tempat dia mengambilnya. Aku diam, aku mengingat-ingat semua yang telah Shigeru
lakukan untukku dan betapa banyak hal yang kubutuhkan untuk mewujudkan cita-citanya.
"Ichiro pernah mengatakan tentang burung houou saat dia mengajarkan cara menulis
namaku," akhirnya aku berkata. "Ketika bertemu dengannya di Hagi setahun lalu, dia
menyarankan agar aku menunggunya di sini, namun aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Kami harus ke Maruyama minggu ini juga." Aku mencemaskan guruku yang telah renta, aku
tahu kedua paman Shigeru sedang mencoba merebut rumah dan tanahku di Hagi, tapi Ichiro
terus bersikeras menolaknya.
Aku belum tahu kalau Ichiro sudah mati. Aku mendengar berita kematiannya pada
keesokan harinya. Saat aku sedang berbicara dengan Amano di halaman biara ketika aku
mendengar sesuatu dari kejauhan di bawah bukit: teriakan kemarahan, derap kuda berlarian.
Suara kuda-kuda mendaki lereng yang curam sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Belum
pernah ada yang ke biara ini dengan berkuda. Jika tidak berjalan kaki atau, jika tidak kuat atau
bagi orang yang sudah renta, mereka akan ditandu oleh kuli angkut barang berbadan kuat.
Saat Amano mendengar, aku sudah berlari ke gerbang biara sambil memanggil penjaga.
Dengan sigap mereka menutup gerbang dan memasang penghalang. Matsuda berjalan
dengan cepat melintasi halaman. Dia tidak memakai baju zirah, tapi pedang terselip di
pinggang. Belum sempat kami bicara, terdengar penjaga berteriak dari pos jaga.
"Siapa yang berani menunggang kuda kemari" Turun dari tungganganmu dan
mendekatlah dengan hormat!"
Itu suara Kubo Makoto yang kini sudah menjadi sahabat karibku. Aku berlari ke benteng
kayu dan memanjat tangga ke pos jaga. Makoto memberi isyarat ke lubang pengintai. Melalui
celah lubang kayu, dapat kulihat empat orang berkuda. Setelah memaksa kuda mendaki bukit;
sekarang mereka menyentak kuda tunggangannya untuk berhenti. Mereka bersenjata lengkap
dan hiasan bulu lambang Otori terlihat jelas di topi baja mereka. Sesaat aku mengira mereka
utusan Ichiro. Kemudian pandanganku tertuju pada keranjang anyam yang diikat di salah satu
pelana. Hatiku langsung membeku. Aku dapat menduga isi keranjang itu, hanya saja terlalu
LIAN HEARN BUKU KETIGA 3 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON mudah. Kuda-kuda mengangkat kaki depannya dan melompatlompat, bukan hanya karena
dipaksa berjalan cepat, tapi juga karena ketakutan. Dua kuda berdarah di bagian belakang.
Segerombolan orang yang marah dengan bersenjatakan cangkul dan arit berhamburan dari
jalan setapak yang sempit. Aku mengenali beberapa orang di antaranya sebagai petani dari
desa terdekat. Prajurit Otori yang paling belakang berusaha mengusir dengan cara mengayunayunkan pedang sehingga para petani agak mundur tapi tak berpencar, tetap mempertahankan
sikap mengancam dengan membentuk setengah lingkaran.
Pimpinan penunggang kuda memandang jijik pada para petani, lalu berteriak ke gerbang
dengan lantang. "Aku Fuwa Dosan dari Klan Otori, dari Hagi. Aku membawa pesan dari tuanku Shoichi
dan Masahiro untuk orang yang menyebut dirinya Otori Takeo."
Makoto menjawab, "Jika memang berniat baik, turunlah dari kuda dan tinggalkan pedang
kalian. Gerbang akan kami buka."
Aku tahu pesan apa yang mereka bawa. Amarahku memuncak.
"Tak perlu," jawab Fuwa sambil mencemooh. "Pesan kami tidak panjang. Katakan pada
orang yang dipanggil Takeo itu kalau Otori tidak mengakui tuntutannya dan inilah yang akan
mereka lakukan padanya dan pada siapa pun yang mengikutinya."
Laki-laki yang ada di sampingnya menaruh tali kekang di leher kuda dan membuka
keranjang tadi. Dari dalam keranjang dia mengambil sesuatu yang tidak ingin aku lihat.
Dengan memegang kuncir rambut paling atas, dia mengayunkan dan melempar kepala Ichiro
melewati tembok hingga masuk ke halaman biara.
Suara gedebuk terdengar bersamaan dengan jatuhnya benda itu di rumput yang ada di
taman. Aku menarik pedang, Jato, dari sabuk.
"Buka gerbang!" teriakku. "Akan kuhadapi mereka."
Aku lompat menuruni anak tangga, Makoto ada di belakangku.
Saat gerbang terbuka, para prajurit Otori memutar balik kudanya dan mengarahkan kuda
mereka ke arah kerumunan orang yang berdiri bagai benteng di sekeliling mereka. Para
prajurit Otori menghunus pedang dan menebas kesana-kemari. Aku menduga mereka
LIAN HEARN BUKU KETIGA 4 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON mengira para petani tidak akan berani menyerang. Aku pun menjadi heran dengan apa yang
terjadi. Alih-alih berpencar, mereka malah menghempaskan diri ke arah kuda-kuda itu. Dua
petani tewas seketika, terbelah oleh pedang prajurit, tapi kemudian kuda pertama terjatuh
bersama penunggangnya. Dan yang lainnya bernasib serupa. Mereka tidak sempat
menggunakan keahlian bertarung dengan pedang: mereka semua dipaksa turun dari kuda
untuk dipukuli sampai mati seperti anjing.
Aku dan Makoto berusaha mengendalikan kerumunan dan menghalau mereka dari mayat
para prajurit itu. Kami hanya bisa membuat para petani tenang dengan cara memenggal kepala
prajurit yang sudah mati dan mempertontonkannya di gerbang biara. Setelah pasukan yang
yang sukar dikendalikan ini mencaci-maki dan menghina ke arah kepala-kepala itu, mereka
lalu kembali menuruni bukti sambil berteriak dengan lantang bahwa jika ada yang berani
mendekati biara dan menghina Lord Otori Takeo, Malaikat Yamagata, maka orang-orang itu
akan diperlakukan dengan cara yang sama.
Makoto gemetar karena marah"dan luapan emosi lain yang ingin dia katakan padaku"
tapi saat itu aku tidak ingin membicarakannya. Aku kembali masuk ke dalam tembok biara.
Kaede sudah membawa kain putih dan air di mangkuk kayu. Dia sedang berlutut di tanah, di
bawah pohon ceri dan dengan tenang dia membersihkan kepala Ichiro. Kulitnya biru keabuabuan, matanya separuh terpejam, lehernya tidak ditebas satu kali, namun beberapa kali.
Kaede memegang kepala itu dengan hati-hati, dengan penuh kasih sayang, seakan sedang memegang benda yang sangat indah dan berharga.
Aku berlutut di sampingnya, menjulurkan tangan dan menyentuh rambut mendiang
guruku yang sudah mulai beruban. Wajahnya tak bernyawa terlihat lebih muda dibanding saat
terakhir aku melihatnya di Hagi. Saat itu wajahnya tampak penuh berduka, tapi masih tetap
menunjukkan kasih sayang kepadaku.
"Siapa dia?" tanya Kaede.
"Ichiro. Dia guruku, juga guru Shigeru."
Hatiku terlalu sedih untuk bicara lebih banyak. Aku berkedip agar air mataku tidak
menetes. Aku terkenang saat terakhir kali bertemu dengannya. Aku berharap bisa mengatakan
lebih banyak padanya, mengatakan betapa aku sangat berterima kasih dan sangat
menghormatinya. Aku ingin tahu bagaimana dia menemui ajal, apakah maut menjemputnya
LIAN HEARN BUKU KETIGA 5 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON dengan cara yang memalukan dan sangat menderita. Ingin sekali aku melihat matanya
terbuka, dan bibir pucatnya bicara. Betapa orang yang sudah mati tidak dapat kembali lagi,
juga betapa mereka benar-benar pergi meninggalkan kita! Bahkan ketika arwah mereka
kembali, mereka tidak mengatakan bagaimana mereka menemui ajal.
Aku lahir dan besar di lingkungan kaum Hidden yang memiliki keyakinan bahwa hanya
orang yang mematuhi perintah Tuhan Rahasia yang bisa bertemu lagi di kehidupan
selanjutnya. Sedangkan yang lainnya akan dilahap api neraka. Aku tak tahu apakah Shigeru
penganut kepercayaan ini. Dia tahu semua ajaran Hidden dan memanjatkan doa ajaran ini saat
ajal menjemputnya, bersamaan dengan menyebut Sang Pencerah. Ichiro, penasihat dan
pengurus rumahnya tidak pernah memperlihatkan sikap seperti itu"bahkan sikapnya
bertentangan dengan sikap Shigeru: Ichiro sejak awal curiga kalau Shigeru menyelamatkan aku
saat kaum Hidden dibantai oleh Iida Sadamu, dan dia mengawasiku seperti burung cormorant
mencari tahu segala sesuatu untuk dapat mengungkap rahasiaku. Aku tak lagi mengikuti
ajaran masa kecilku, dan aku tidak percaya kalau orang dengan integritas dan kesetiaan seperti
Ichiro akan masuk neraka. Hatiku sakit melihat ketidakadilan yang dialami Ichiro dan aku
sadar kalau kini ada satu kematian lagi yang harus aku balaskan dendamnya.
"Mereka harus membayarnya dengan nyawa," kata Kaede. "Mengapa harus membunuh
orang yang sudah renta lalu bersusah payah membawa kepalanya padamu?" Dia membersihkan
bercak darah yang terakhir dan membungkus kepala itu dengan sehelai kain putih.
"Kurasa pemimpin Otori ingin memancingku keluar," jawabku. "Mereka tidak ingin
menyerang Terayama karena mereka akan berhadapan dengan Arai. Mereka pasti ingin
memancingku keluar sampai ke perbatasan dan bertemu denganku di sana." Aku ingin sekali
bertemu mereka untuk memberi hukuman atas perlakuan mereka. Kematian prajurit Otori
untuk sementara ini agak meredakan amarahku, walau kemarahan masih membara di hatiku.
Meskipun begitu, aku harus bersabar; strategi pertamaku yaitu pergi ke Maruyama dan
membangun kekuatan di sana. Tidak ada yang dapat mengubah keputusanku itu.
Aku membungkuk sampai dahiku menyentuh rumput, memberi penghormatan yang
terakhir dan mengucapkan selamat tinggal pada guruku. Manami datang dari ruang tamu dan
berlutut agak jauh di belakang kami.
"Saya membawa kotaknya, lady," bisiknya.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 6 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Berikan padaku," jawab Kaede. Kotak kecil itu terbuat dari anyaman ranting pohon
willow dan helaian kulit hewan yang berwarna merah. Dia mengambil dan membuka kotak
itu. Aroma kayu gaharu keluar dari dalam kotak. Kaede menaruh bungkusan kain putih tadi ke
dalamnya dan mengatur gaharu di sekeliling bungkusan. Setelah menutup kotak itu, kami
bertiga lalu membungkuk untuk memberi hormat lagi.
Burung warbler menyenandungkan lagu musim semi dan burung tekukur membalasnya
dalam lebatnya hutan, inilah kicauan burung pertama yang kudengar tahun ini.
Kami mengadakan upacara pemakaman keesokan harinya dan menguburkan kepala Ichiro
di sisi makam Shigeru. Aku mengatur agar dibuatkan batu nisan. Aku benar-benar ingin tahu
apa yang terjadi pada Chiyo dan pengurus rumah lainnya di Hagi. Aku tersiksa saat
membayangkan rumah itu sudah tidak ada lagi, kalau rumah itu sudah habis terbakar: ruang
minum teh, ruang atas tempat kami sering duduk sambil memandang taman, nightingale floor
telah musnah, nyanyian lantai itu bungkam untuk selamanya. Ingin rasanya aku berlari ke
Hagi untuk menuntut warisanku sebelum semuanya diambil, tapi aku tahu itu yang diinginkan
para pemimpin Otori. Lima orang petani tewas dan dua lainnya tak tertolong karena terluka parah. Kami
makamkan mereka di pemakaman biara. Dua kuda terluka parah sehingga terpaksa dibunuh,
tapi dua lainnya tak terluka; aku menyukai salah satunya, kuda jantan hitam gagah yang
mengingatkanku pada kuda Shigeru, Kyu. Mungkin kuda ini berasal dari keturunan yang
sama. Atas desakan Makoto, kami juga memakamkan prajurit Otori dengan upacara lengkap,
berdoa agar arwah mereka yang marah karena mati secara tercela tidak akan gentayangan
menghantui kami. Malam itu Kepala Biara datang ke ruang tamu dan kami berbincang-bincang hingga larut
malam. Makoto dan Miyoshi Kahei, temanku sewaktu di Hagi, juga hadir di situ; adik lakilaki Kahei, Gemba telah diutus ke Maruyama untuk menyampaikan pesan pada kepala
pengawal, Sugita Haruki, tentang keberangkatan kami yang tak lama lagi. Pada musim dingin
lalu Sugita telah meyakinkan dukungannya pada Kaede. Kaede tidak hadir bersama kami"
untuk berbagai macam alasan, dia dan Makoto merasa tidak nyaman jika berada dalam satu
ruangan, dan sedapat mungkin Kaede berusaha menghindar"namun sebelumnya aku
meminta Kaede duduk di balik pintu agar dia dapat mendengar perbincangan kami. Aku ingin


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LIAN HEARN BUKU KETIGA 7 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON tahu pendapatnya. Setelah menikah, aku bisa bicara apa saja clengannya dan belum pernah aku
begitu leluasa berbicara dengan orang lain. Sudah cukup lama aku diam, sepertinya kini aku
dapat selalu bertukar pikiran dengannya. Aku mengandalkan penilaian dan kearifannya.
"Jadi sekarang kau sedang berperang," kata Kepala Biara, "dan pasukanmu baru saja
menyelesaikan pertempuran kecilnya yang pertama."
"Hampir seperti pasukan," ujar Makoto. "Segerombolan petani! Apa hukuman untuk
mereka?" "Apa maksudmu?" aku balik bertanya.
"Petani tidak seharusnya membunuh prajurit," jawab Makoto. "Bila orang lain yang dalam
posisimu sekarang, para petani itu akan dihukum. Mereka akan disalib, direbus atau dikuliti
hidup-hidup." "Mereka akan diperlakukan seperti itu bila tertangkap oleh prajurit Otori," mulut Kahei
komat-kamit sambil bersungut-sungut.
"Mereka bertarung demi diriku," jawabku. Menurutku sudah sepantasnya para prajurit itu
mati dengan cara yang memalukan, meskipun aku menyesal karena bukan aku yang
membunuh mereka. "Aku tidak akan hukum mereka. Aku lebih memikirkan cara untuk
melindungi mereka." "Kau telah melepaskan raksasa dari sarangnya," ujar Makoto. "Berharap saja kau bisa
mengendalikan mereka."
Kepala Biara tersenyum sambil mengangkat cawan sake. Selama musim dingin dia telah
mengajariku tentang keadilan dan strategi perang. Setelah mendengar rencanaku untuk
merebut Yamagata serta tindakan lainnya, dia mengerti perasaanku tentang para petani itu.
"Otori hendak memancingku keluar," kataku padanya, seperti yang kukatakan pada
Kaede. "Ya, jangan sampai kau terpancing," balasnya. "Memang insting pertamamu adalah balas
dendam, namun jika kau bisa mengalahkan pasukan mereka di perbatasan, mereka akan
mundur ke Hagi. Pengepungan yang lama bisa sangat berbahaya. Kota itu jelas tidak mudah
dikalahkan, dan cepat atau lambat kau akan menghadapi kekuatan Arai di belakangmu."
Aku telah membuat Arai Daiichi marah karena menghilang bersama kelompok Tribe
tahun lalu, dan kini pernikahanku dengan Kaede membuatnya lebih gusar lagi. Pasukannya
LIAN HEARN BUKU KETIGA 8 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON banyak, dan aku tak ingin menghadapinya sebelum aku memperkuat pasukanku.
"Berarti kita harus ke Maruyama lebih dulu, seperti rencana semula. Tapi jika aku
meninggalkan biara tanpa perlindungan, kau dan penduduk sekitar sini mungkin akan diserbu
Otori." "Kami bisa menampung banyak orang di balik tembok biara ini," kata Kepala Biara.
"Kami mempunyai cukup persenjataan dan persediaan makanan bila diserang Otori. Tapi
kurasa mereka tidak akan melakukannya. Arai dan sekutunya tidak akan melepas Yamagata
begitu saja dan banyak orang di kalangan Otori enggan menghancurkan tempat ini karena
dianggap suci. Lagipula, mereka lebih memikirkan cara untuk menangkapmu." Setelah
berhenti sebentar, dia meneruskan, "Kau tak dapat memulai perang tanpa berkorban. Banyak
orang akan mati dalam peperangan yang kau hadapi, dan jika kau kalah, banyak di antara
mereka, termasuk kau sendiri, dibunuh dengan cara yang sangat menyedihkan. Otori tidak
mengakui pengangkatanmu, mereka tidak tahu asal-usul leluhurmu; mereka hanya tahu kalau
kau adalah anak angkat, bukan asli dari golongan mereka. Kau tidak dapat menahan
tindakanmu karena nantinya bisa jatuh banyak korban. Para petani itu juga mengerti akan hal
ini. Tujuh orang dari mereka menemui ajal hari ini, namun mereka tidak bersedih. Mereka
justru merayakan kemenangan atas orang-orang yang telah menghinamu."
"Aku tahu itu," kataku seraya memandang sekilas pada Makoto. Aku dapat melihat
ketidaksetujuannya. Kemudian aku menyadari kelemahanku sebagai pemimpin. Aku takut
Makoto dan Kahei yang besar dalam tradisi ksatria akan memandang rendah diriku.
"Kami bergabung denganmu tanpa paksaan, Takeo," lanjut Kepala Biara, "semua itu kami
lakukan karena kesetiaan kami pada Shigeru dan juga karena kami yakin tujuanmu memang
benar." Aku mengangguk saat menerima sumpah Makoto bahwa dia tak akan pernah bicara
dengan nada seperti itu lagi padaku. "Kita akan ke Maruyama dua hari lagi."
"Makoto akan ikut denganmu," ujar Kepala Biara. "Kau tahu, dia telah memutuskan
untuk membantu perjuanganmu."
Bibir Makoto agak berkerut ketika dia mengangguk setuju.
Setelah itu, sekitar paruh kedua Waktu Tikus*, ketika hendak berbaring di samping Kaede,
aku mendengar ada suara-suara di luar, lalu terdengar Manami memanggil kami dengan pelan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 9 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON dan mengatakan ada pesan dari pos jaga.
"Kami menawan seseorang," kata biarawan muda yang bertugas jaga ketika aku
menemuinya. "Dia sedang mengendap-endap di luar gerbang. Ketika kami hendak
membunuhnya, dia menyebut namamu dan mengatakan kalau dia adalah pelayanmu."
"Aku akan bicara dengannya," kataku sambil mengambil Jato, meskipun aku menduga
orang itu mungkin saja Jo-An, si gelandangan. Aku sudah mengatakan kalau aku akan
memanggilnya di musim semi ini dan dia harus menunggu sampai ada kabar dariku. Tapi
tindakannya tidak bisa ditebak, dia biasa bertindak sesuai dengan apa yang dia sebut suara
Tuhan Rahasia. Malam itu udara terasa hangat, hawanya sudah membawa kelembaban musim panas. Dari
pohon cedar terdengar jeritan burung hantu. Jo-An berlutut di tanah bagian dalam gerbang
dengan tangan terikat ke belakang dan sekujur tubuhnya dililit tali. Wajahnya kotor dan berdarah, rambutnya kusut. Bibirnya bergerak-gerak, berdoa tanpa bersuara. Dua orang biarawan
mengawasi dari jarak yang dianggap aman, di wajah mereka terlukis rasa puas.
Ketika aku menyebut namanya, Jo-An pun membuka mata. Aku melihat kelegaan di
wajahnya. Saat mencoba bergerak masih dari posisi berlutut, dia terjerembab, tidak menahan
tubuh karena tangannya terikat. Wajahnya menyentuh kotoran.
"Lepaskan ikatannya," kataku.
Salah seorang biarawan berkata, "Dia gelandangan. Sebaiknya kita jangan menyentuhnya."
"Lalu siapa yang mengikatnya?"
"Saat itu kami belum tahu," ujar yang satunya.
"Kalian bisa membersihkan diri nanti. Orang ini telah mcnyelamatkan aku. Lepaskan
ikatannya." Dengan enggan mereka mendekati Jo-An, mengangkat, dan melonggarkan tali ikatannya.
Dia merangkak maju dan menyembah di kakiku.
"Bangunlah Jo-An," kataku. "Mengapa kau kemari" Sudah kukatakan kalau kau boleh
datang bila kupanggil. Beruntung kau tidak dibunuh, muncul tanpa memberitahu, tanpa ijin."
Terakhir kali bertemu dengannya, pakaianku hampir sama lusuhnya seperti pakaiannya,
menjadi buronan, lelah dan kelaparan. Kini aku sadar akan jubah yang kupakai, rambutku
LIAN HEARN BUKU KETIGA 10 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON yang bergaya ksatria, dan pedang di pinggang. Aku sadar kalau para biarawan kaget melihatku
berbicara dengan seorang gelandangan. Sebagian dari diriku tergoda untuk mengusirnya,
menyangkal kalau ada hubungan di antara kami, sekaligus membuangnya keluar dari hidupku.
Jika aku memberi perintah, penjaga akan langsung membunuhnya tanpa berpikir dua kali.
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Dia telah menolongku; juga karena ikatan yang ada di
antara kami yang lahir sebagai kaum Hidden. Aku harus memperlakukan dia sebagai manusia,
bukan sebagai gelandangan.
"Tidak ada yang bisa membunuhku sampai Tuhan Rahasia memanggilku," ujarnya sambil
berkomat-kamit, mengangkat pandangannya dan melihatku. "Sampai saat itu tiba, hidupku
adalah milikmu." Meskipun hanya ada sedikit penerangan di tempat kami berdiri, hanya lampu yang
dibawa biarawan dari pos jaga, tapi aku bisa melihat mata Jo-An yang membara. Aku
bertanya-tanya pada diriku, seperti yang sering kurasakan, jangan-jangan dia bukan manusia
tapi makhluk dari dunia lain.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Ada yang ingin kusampaikan. Sangat penting. Anda akan senang dengan kedatanganku
ini." Para biarawan telah menjauh agar tak terkena polusi, tapi masih cukup dekat untuk dapat
mendengar pembicaraan kami.
"Aku harus bicara dengan orang ini," kataku. "Di mana kami bisa bicara dengan tenang?"
Mereka saling memandang dengan raut wajah cemas, kemudian biarawan yang lebih tua
menyarankan, "Mungkin bisa di paviliun, di taman?"
"Kalian tidak perlu ikut."
"Kami harus menjagamu, Lord Otori," ujar biarawan yang lebih muda.
"Orang ini tidak berbahaya. Tinggalkan kami. Tapi suruh Manami membawakan air,
makanan dan teh." Mereka membungkuk hormat lalu pergi. Saat kami menyeberangi tanah lapang, mereka
mulai berbisik-bisik. Aku mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Aku menghela napas.
"Ikut denganku," kataku pada Jo-An. Dia berjalan terpincang-pincang di belakangku ke
arah paviliun yang ada di taman, tidak jauh dari kolam besar. Permukaan kolam memantulkan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 11 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON cahaya bintang dan sesekali ikan melompat, berkecipak mencipratkan air. Agak jauh dari
kolam, samar-samar terlihat batu nisan berwarna putih keabu-abuan. Suara burung hantu
terdengar lagi, kali ini terdengar lebih dekat.
"Tuhan menyuruhku datang kepadamu," ujarnya saat kami duduk di lantai kayu paviliun.
"Mestinya kau jangan terlalu terbuka jika bicara tentang Tuhan," aku mencelanya. "Kau
sedang berada di biara. Para biarawan tidak menyukai kaum Hidden."
"Kau ada di sini," gumamnya. "Kaulah harapan kami."
`Aku hanyalah satu orang. Aku tidak bisa melindungi kalian semua."
Setelah diam sejenak, dia berkata, "Tuhan Rahasia selalu mengingatmu, meskipun kau
telah melupakannya."
Aku tidak ingin mendengar pesan semacam ini.
"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanyaku tidak sabar.
"Ketika para pembakar arang mengembalikan dewa mereka ke gunung. Aku bertemu
mereka di jalan. Mereka mengatakan pasukan Otori telah keluar, mengawasi setiap jalan di
sekitar Terayama dan Yamagata. Aku kesana untuk membuktikan kebenarannya. Mereka akan
menyergap begitu kau keluar dari sini. Kalau ingin keluar, kau harus hadapi mereka sebelum
bisa lewat." Matanya terpaku ke arahku, memperhatikan reaksiku. Aku mengutuk diriku karena
berdiam terlalu lama di biara ini. Selama ini aku mengandalkan kecepatan dan kejutan.
Seharusnya aku sudah pergi beberapa hari lalu. Aku menunda perjalanan karena menunggu
Ichiro. Sebelum menikah, aku sering keluar malam untuk memeriksa situasi di sekitar biara.
Tapi sejak menikah, aku tak tahan berpisah dari Kaede. Aku terjebak dalam kebimbangan dan
menjadi kurang waspada. "Menurutmu, ada berapa jumlah pasukannya?"
"Lima atau enam ribu," jawabnya.
Pasukanku tidak sampai seribu.
"Jadi kau harus melewati gunung. Seperti yang kau lakukan saat musim dingin. Ada jalan
ke arah barat. Jalan itu tidak diawasi karena masih tertutup salju."
Otakku berpikir cepat. Aku tahu jalan yang dimaksud. Di jalan itulah aku bertemu
Makoto saat aku hendak ke biara ini. Aku memikirkan pasukan, kuda dan lembu yang aku
LIAN HEARN BUKU KETIGA 12 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON miliki: lembu tak akan bisa melewatinya, tapi pasukan dan kuda mungkin bisa. Aku harus
menyuruh mereka berangkat malam ini, bila mungkin, agar Otori berpikir kami masih di
biara.... Aku harus bergerak secepat mungkin, segera setelah berkonsultasi dengan Kepala
Biara. Pikiranku disela oleh kedatangan Manami dan seorang pelayan laki-laki. Pelayan laki-laki
itu membawa sebaskom air. Manami membawa nampan yang berisi semangkuk nasi, sayuran,
dan dua cangkir teh. Manami meletakkan nampan di lantai, menatap Jo-An dengan kaget dan
sangat tidak senang, seakan gelandangan ini orang jahat. Reaksi pelayan laki-laki itu pun
sama. Sejenak aku berpikir apakah berbahaya bagiku terlihat sedang berbicara dengan
gelandangan. Aku menyuruh mereka meninggalkan kami dan mereka pergi dengan cepat.
Setelah membasuh tangan dan wajahnya, Jo-An lalu menyatukan kedua tangan untuk
mengucapkan doa pertama kaum Hidden. Tanpa sadar aku mengikuti kata-kata yang tidak
asing lagi itu, perasaan terganggu menyelimuti diriku. Sekali lagi dia telah mempertaruhkan
nyawa demi membawa kabar penting ini padaku.
Ketika dia selesai makan, aku berkata, "Sebaiknya kau pergi. Tempat tinggalmu jauh dari
sini." Dia tidak menjawab, tetap duduk, kepalanya sedikit menoleh dengan posisi mendengarkan dan sekarang aku sudah terbiasa dengan gerakannya.
"Tidak," dia menjawab. "Aku harus ikut denganmu."
"Itu tidak mungkin. Aku tak ingin kau ikut denganku."
"Tuhan menginginkannya," ujarnya.
Tak ada yang dapat kukatakan padanya bila masalahnya sudah menyangkut Tuhan, jika
aku bunuh atau penjarakan dia, itu sama seperti air susu dibalas dengan air t uba.
"Baiklah," kataku, "Tapi kau tak bisa tinggal di biara."
"Tidak," jawabnya dengan patuh, "Aku harus menjemput yang lainnya."
"Yang lainnya siapa, Jo-An?"
"Kami semua. Mereka yang ikut denganku. Kau pernah bertemu sebagian dari mereka."
Aku pernah bertemu mereka di tempat penyamakan kulit di tepi sungai, dan aku tak akan
lupa tatapan mereka kepadaku. Aku tahu mereka mengharapkan keadilan dan perlindungan
dariku. Aku teringat pada bulu burung itu: keadilan yang Shigeru inginkan. Aku harus
LIAN HEARN BUKU KETIGA 13 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON mewujudkannya demi kenanganku padanya dan juga demi mereka yang masih hidup.
Jo-An mengatupkan kedua tangannya lagi dan mengucapkan doa rasa terima kasih atas
makanannya. Seekor ikan melompat dalam kesunyian.
"Berapa jumlah orangmu?" tanyaku.
"Sekitar tiga puluh orang. Kini mereka bersembunyi di gunung. Mereka sudah
menyeberangi perbatasan secara sendiri-sendiri atau berdua selama beberapa minggu terakhir."
"Bukankah perbatasan dijaga?"
"Terjadi bentrokan antara pasukan Otori dan Arai. Saat ini situasinya tak ada yang
menang. Semua perbatasan telah dibuka. Otori sudah memperjelas kalau mereka tidak akan
menyerang Arai maupun merebut Yamagata. Mereka hanya ingin menghancurkanmu."
Sepertinya itu menjadi misi semua orang.
"Apakah penduduk mendukung mereka?" tanyaku.
"Tentu saja tidak!" katanya dengan nada tidak sabar. "Kau tahu mereka mendukung siapa:
Malaikat Yamagata. Begitu pula kami. Untuk apa lagi kami di sini?"
Aku tak yakin kalau aku ingin dukungan mereka, tapi tak bisa disangkal kalau aku
terkesan dengan keberanian mereka.
"Terima kasih," jawabku.
Dia menyeringai, tampak giginya yang ompong, mengingatkanku pada siksaan yang dia
alami karena diriku. "Kita akan bertemu di balik gunung. Kau akan membutuhkan, lihat saja
nanti." Aku menyuruh penjaga membukakan gerbang, dan mengucapkan selamat tinggal
kepadanya. Aku memperhatikan badannya yang kurus dan bongkok saat dia berlari dengan
tergesa-gesa hingga akhirnya menghilang dalam kegelapan. Dari hutan terdengar jeritan rubah
betina, suaranya terdengar seperti hantu yang tersiksa. Aku merinding. Jo-An seperti
dibimbing dan dibantu kekuatan gaib. Meskipun aku tidak mempercayai hal semacam itu, aku
tetap merasa takut pada kekuatan itu seperti anak-anak yang percaya tahayul.
Aku kembali ke rumah tamu, kulitku terasa mengkerut. Meskipun malam sudah larut,
aku membuka baju dan menyuruh Manami membawanya untuk dicuci, kemudian aku ke
rumah mandi. Dia menggosok tubuhku dan aku berendam di air hangat. Setelah memakai
LIAN HEARN

Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BUKU KETIGA 14 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON baju bersih, aku menyuruh pelayan memanggil Kahei dan menemui Kepala Biara untuk
mengetahui apakah kami bisa bicara dengannya. Saat itu paruh pertama Waktu Lembu*.
Aku bertemu Kahei di gang, mengatakan padanya dengan singkat apa yang aku dengar
dari Jo-An lalu aku dan dia pergi ke ruang Kepala Biara. Aku menyuruh pelayan memanggil
Makoto dari biara tempat dia berjaga sepanjang malam. Kami memutuskan untuk
memberangkatkan pasukan secepat mungkin, kecualu sekelompok pasukan berkuda yang akan
tetap berada di Terayama selama satu hari. Mereka akan bertindak sebagai pasukan garda
belakang. Kahei dan Makoto segera pergi ke desa di kaki bukit untuk membangunkan Amano dan
pasukannya agar segera menyiapkan makanan dan peralatan. Kepala Biara memerintahkan
para pelayan untuk memberitahu para biarawan, karena enggan membunyikan genta pada
waktu yang sedemikian larut, khawatir justru akan memberikan peringatan pada mata-mata.
Aku pergi menemui Kaede. Dia sedang menungguku dengan pakaian tidur, rambutnya yang panjang tergerai di
punggung seperti lapisan kedua bajunya, rambutnya yang hitam kontras di gaunnya yang
berwarna gading dan kulitnya yang putih. Setiap
memandangnya, aku selalu kagum. Apa pun yang terjadi pada kami, aku tak akan
melupakan musim semi yang pernah kami lewati bersama. Hidupku sepertinya dipenuhi
berkah yang tak layak kudapat, dan Kaede adalah yang terbaik dari semuanya.
"Kata Manami ada gelandangan datang dan kau berbicara dengannya." Nada suaranya
sama kagetnya dengan suara Manami tadi.
"Ya, dia bernama Jo-An. Aku bertemu dengannya di Yamagata." Aku melepas pakaian,
menggantinya dengan baju tidur dan duduk berhadapan dengannya, lutut kami saling
berhadapan. Pandangan matanya mencari-cari di wajahku. "Kau nampak sangat lelah. Kemari dan
berbaringlah." "Ya, kita harus beristirahat dan tidur. Kita akan pergi tepat saat matahari terbit. Otori
sudah mengepung biara; kita akan pergi melintasi gunung."
"Gelandangan itu yang memberi kabar ini padamu?"
"Dia mempertaruhkan nyawa untuk melakukan itu."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 15 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Mengapa" Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Kau ingat ketika kita kemari dengan Lord Shigeru?" tanyaku.
Kaede tersenyum. "Aku tak akan lupa."
"Malam ketika aku memanjat masuk ke kastil dan mengakhiri penderitaan para tawanan
yang digantung di dinding. Mereka adalah kaum Hidden, kau pernah mendengar tentang
mereka?" Kaede mengangguk. "Shizuka pernah bercerita sedikit padaku. Noguchi juga menyiksa
mereka dengan cara yang sama."
"Salah seorang yang kubunuh adalah kakak Jo-An. Dia melihatku ketika aku keluar dari
parit yang mengelilingi hastil dan berpikir kalau aku seorang malaikat."
"Malaikat Yamagata," ujar Kaede pelan. "Malam itu, ketika kita kembali, seluruh kota
membicarakannya." "Setelah kejadian itu kami bertemu lagi; sepertinya takdir kami saling terkait. Tahun lalu
dia membantuku untuk bisa sampai ke sini. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mati di
tengah salju. Di perjalanan dia mengajakku menemui perempuan suci yang mengatakan beberapa hal tentang hidupku."
Belum pernah aku menceritakan isi ramalan itu pada siapa pun, bahkan pada Makoto,
tapi sekarang aku ingin mengatakannya pada Kaede. Aku berbisik padanya: kalau dalam
tubuhku mengalir tiga darah yang berbeda, aku dilahirkan di kalangan kaum Hidden namun
hidupku tidak lagi menjadi milikku sendiri, kalau aku ditakdirkan untuk berkuasa dalam
kedamaian dari laut ke laut, ketika Bumi memberikan apa yang diinginkan Surga. Aku
mengulang kata-kata ini terus menerus pada diriku sendiri, dan kadang aku percaya, tapi
kadang tidak. Aku katakan padanya kalau lima pertempuran akan membawa kami pada
kedamaian, empat kali kemenangan dan satu kali kalah, tapi aku tidak mengatakan ramalan
tentang anak laki-lakiku: kalau aku akan mati di tangannya. Kurasa itu akan menjadi beban
yang terlalu berat bagi Kaede, dan aku pun tak ingin mengatakan satu rahasia lagi: kalau putri
Muto Kenji, Yuki, sedang mengandung anakku.
"Kau lahir di kalangan kaum Hidden?" dia bertanya dengan hati-hati. "Tapi Tribe
mengakuimu karena aliran darah ayahmu. Shizuka pernah menjelaskan itu padaku."
"Muto Kenji yang memberitahu kalau ayahku adalah Kikuta, dari Tribe, ketika pertama
LIAN HEARN BUKU KETIGA 16 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON kali dia ke rumah Lord Shigeru. Dia tak tahu kalau ayahku juga separuh Otori."
Aku telah memperlihatkan catatan yang menguatkan hal ini pada Kaede. Ayah Shigeru,
Otori Shigemori, adalah kakekku.
"Dan ibumu?" Kaede bertanya pelan. "Bila kau mau mengatakannya...."
"Ibuku orang Hidden. Aku besar di tengah-tengah mereka. Keluargaku di desa Mino
dibantai oleh pasukan Iida dan aku juga pasti sudah mati bila tak diselamatkan Shigeru." Aku
berhenti sebentar, kemudian berkata, "Aku punya dua adik perempuan. Kurasa mereka juga
telah dibunuh. Saat itu usia mereka sembilan dan tujuh tahun."
"Mengerikan sekali," ujar Kaede. "Aku selalu mencemaskan adik-adikku. Kuharap kita
bisa memanggil mereka saat kita sampai di Maruyama. Kuharap saat ini mereka aman."
Aku terdiam, memikirkan rumahku di Mino, tempat kami semua merasa sangat aman.
"Sungguh aneh perjalanan hidupmu," lanjut Kaede. "Saat pertama kali bertemu
denganmu, aku merasa kau menyembunyikan segalanya. Aku seakan-akan melihatmu lari ke
tempat yang gelap. Aku ingin mengikutimu ke sana. Aku ingin tahu semua tentang dirimu."
"Nanti akan kukatakan semuanya padamu. Tapi sekarang berbaring dan istirahatlah."
Kaede menarik selimut dan kami berbaring di matras. Aku merangkulnya, melonggarkan
baju tidur kami agar dapat kurasakan kulitnya di kulitku. Dia menyuruh Manami mematikan
lampu. Bau asap dan minyak berkeliaran di dalam ruangan saat langkah kaki Manami
menjauh. Kini aku telah mengenal semua suara di biara pada malam hari: langkah kaki para
biarawan yang bangun di tengah kegelapan untuk pergi berdoa, lantunan doa, dan bunyi
lonceng yang tiba-tiba. Tapi malam ini irama yang teratur dan harmonis itu terganggu oleh
suara orang berlalu-lalang sepanjang malam. Aku gelisah, merasa seharusnya aku turut dalam
persiapan itu, tapi aku enggan meninggalkan Kaede.
Dia berbisik, "Kau orang Hidden?"
"Aku besar dalam beberapa keyakinan; tapi kebanyakan aku tidak mempercayainya lagi."
Saat mengatakan itu, tenggorokanku terasa gatal, seakan aku menghirup angin dingin.
Benarkah aku tak lagi mempercayai ajaran orangtuaku"ajaran yang mereka pertahankan
sampai mati" "Kabarnya Iida menghukum Lord Shigeru dan juga Lady Maruyama karena dia menuduh
LIAN HEARN BUKU KETIGA 17 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON mereka termasuk golongan Hidden," gumam Kaede.
"Shigeru tidak pernah mengatakannya padaku. Dia tahu doa mereka, dan mengucapkan
doa orang Hidden sebelum dia mati, namun kata-kata terakhirnya hanya menyebut Sang
Pencerah." Hingga kini aku berusaha melupakan peristiwa itu. Aku takut pada peristiwa yang penuh
dengan kengerian dan kesedihan itu. Hari ini aku memikirkannya dua kali dan tiba-tiba,
untuk pertama kalinya aku bisa menyatukan ucapan sang peramal dan Shigeru. "Semua adalah
satu," kata sang peramal. Jadi Shigeru juga mempercayainya. Aku bisa mendengar lagi tawa
menakjubkan sang peramal dan aku seperti dapat melihat Shigeru tersenyum padaku. Aku
merasakan sesuatu yang terpendam jauh di hatiku tiba-tiba keluar, sesuatu yang tidak dapat
kuungkapkan dengan kata-kata. Sesaat jantungku seperti berhenti berdetak karena heran.
Dalam pikiranku yang hening, beberapa gambaran muncul secara bersamaan: ketenangan
Shigeru saat menemui ajal, welas asih sang peramal, rasa ingin tahu dan kecemasan yang
kualami ketika pertama kali tiba di Terayama, serta bulu houou dengan tepi yang berwarna
merah di telapak tanganku. Aku melihat kebenaran yang ada di balik ajaran dan kepercayaan
itu, melihat bagaimana manusia berusaha memperkeruh kemurnian hidup, melihat betapa
menyedihkannya kita yang selalu diperbudak nafsu dan kematian, ksatria tidak ada bedanya
dengan gelandangan, biarawan, petani, dan bahkan kaisar. Sebutan apa yang dapat kuberikan
pada kemurnian itu" Surga" Tuhan" Takdir" Atau dengan banyak sebutan seperti nama-nama
arwah yang tidak terhingga banyaknya, yang dipercaya mendiami tanah ini" Mereka semua
adalah wajah yang tidak berwajah, ekspresi yang tidak terungkapkan, bagian dari kebenaran
namun tidak pernah menjadi kebenaran yang utuh.
"Dan Lady Maruyama?" tanya Kaede, kaget dengan lamanya aku diam.
"Kurasa dia sangat mempercayainya, tapi aku tidak pernah membicarakan itu dengannya.
Saat pertama kali bertemu dengannya, dia menggambar tanda Hidden di tanganku."
"Tunjukkan padaku," bisik Kaede. Kuraih tangannya lalu aku menggambarkan tanda itu
di telapak tangannya. "Apakah kaum Hidden berbahaya" Mengapa semua membenci mereka?"
"Mereka tak berbahaya. Mereka dilarang membunuh, jadi mereka tidak melawan. Mereka
percaya kalau semua orang itu sama di mata Tuhan mereka, dan bahwa Tuhan mereka itu
LIAN HEARN BUKU KETIGA 18 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON akan menghakimi semua orang setelah mati. Bangsawan seperti Iida membenci ajaran ini.
Kebanyakan kaum ksatria juga begitu. Jika semua orang sama dan Tuhan mengawasi
segalanya, tentunya salah bila memperlakukan orang dengan buruk. Dunia kita akan terbolakbalik jika semua orang berpikiran seperti kaum Hidden."
"Dan kau mempercayai ajaran itu?"
"Aku tidak percaya ada Tuhan seperti itu, tapi aku percaya semua orang harus
diperlakukan sama. Gelandangan, petani, kaum Hidden, semuanya harus dilindungi dari
kekejaman dan keserakahan kaum ksatria. Dan aku ingin memanfaatkan siapa pun yang siap
membantuku, tidak peduli apakah mereka petani atau gelandangan. Aku akan ajak mereka
bergabung dengan pasukanku."
Kaede tak menjawab; aku membayangkan kalau pemikiran seperti ini terdengar aneh dan
menjijikkan baginya. Mungkin aku tidak mempercayai lagi Tuhan kaum Hidden, tapi aku tak
bisa menyangkal kalau ajaran mereka telah membentuk diriku. Aku memikirkan tindakan para
petani yang melawan prajurit Otori di gerbang biara. Aku menyetujui tindakan mereka karena
aku memandang mereka sama denganku, namun Makoto kaget dan gusar. Apakah dia benar"
Apakah aku telah membebaskan raksasa yang tak akan dapat aku kendalikan"
Kaede berkata pelan, "Apakah kaum Hidden percaya kalau perempuan sama derajatnya
dengan laki-laki?" "Di mata Tuhan mereka, semua sama. Biasanya seorang rahib adalah laki-laki, tapi jika
tidak ada laki-laki dewasa, perempuan yang lebih tua pun boleh menjadi rahib."
"Kau mengijinkan aku berperang bersamamu?"
"Dengan kemampuan sepertimu dan jika kau orang lain, dengan senang hati aku akan
berperang di sisimu seperti yang pernah kita lakukan di Inuyama. Tapi kau pewaris
Maruyama. Kalau kau terbunuh, tujuan kita tak akan tercapai. Lagi pula, aku tak sanggup
hidup tanpa dirimu."
Aku tarik Kaede ke dekatku, memendamkan wajahku di rambutnya. Ada satu hal lagi
yang harus kukatakan padanya tentang ajaran Hidden yang sulit diterima klas ksatria: dilarang
bunuh diri. Aku berbisik, "Kita aman selama di sini. Begitu kita pergi, semuanya akan
berbeda. Kuharap kita bisa terus bersama, tapi akan tiba waktunya kita terpisah. Banyak orang
yang menginginkan kematianku, tapi itu tak akan terjadi sampai negeri kita yang damai
LIAN HEARN BUKU KETIGA 19 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON terbentang dari laut ke laut. Aku ingin kau berjanji, apa pun yang terjadi, apa pun yang
dikatakan padamu, jangan penlah percaya kalau aku sudah mati sampai kau melihat mayatku.
Berjanjilah bahwa kau tak akan bunuh diri sebelum kau melihat mayatku."
"Aku berjanji," jawabnya pelan. "Dan kau juga harus berjanji padaku."
Aku mengucapkan sumpah yang sama seperti yang dia ucapkan. Saat dia tidur, aku
berbaring sambil memikirkan apa yang telah diperlihatkan padaku. Apa pun yang
dianugerahkan padaku bukanlah demi kepentinganku, tapi demi apa yang akan kuraih: negeri
yang adil dan damai tempat burung houou tidak hanya terlihat, tapi juga membangun sarang
dan membesarkan anak-anaknya.*
LIAN HEARN BUKU KETIGA 20 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON KAMI tidur sebentar. Aku terbangun saat hari masih gelap karena mendengar derap langkah
kaki para prajurit dan kuda berbaris memenuhi jalan pegunungan. Aku memanggil Manami,
kemudian membangunkan Kaede dan menyuruhnya berpakaian. Aku akan menjemputnya bila
akan segera berangkat. Aku juga mempercayakan padanya kotak kayu yang berisikan catatan
Shigeru tentang Tribe. Aku merasa perlu untuk selalu menjaga catatan itu demi melindungi
diriku dari hukuman mati Tribe dan kemungkinan mendapatkan persekutuan Arai Daiichi,
orang paling berkuasa di Tiga Negara.
Biara disibukkan dengan berbagai kegiatan. Para biarawan bukan bersiap-siap untuk
berdoa pagi, melainkan untuk menyiapkan serangan balasan terhadap Otori dan kemungkinan
akan dikepung dalam waktu lama. Cahaya obor berkelap-kelip membayangi wajah tegar para
prajurit yang sedang bersiap-siap ke medan tempur. Aku mengenakan baju zirah yang
berhiaskan warna merah dan emas. Inilah pertama kali aku memakainya dengan tujuan yang
sebenarnya. Benda ini membuatku merasa lebih tua, dan ikut berharap ini dapat memberi rasa
percaya diri. Aku berjalan menuju pintu gerbang untuk melihat pasukanku berangkat saat fajar
menyingsing. Makoto dan Kahei telah pergi lebih dulu dengan pasukan baris depan. Nyanyian
burung camar dan burung pegar terdengar bersahutan dari langit. Embun bergelantungan di
bilah-bilah bambu dan jaring laba-laba faring yang segera akan terinjak-injak kaki pasukanku.
Ketika aku kembali, Kaede dan Manami telah berpakaian laki-laki untuk menunggang
kuda. Kaede memakai baju zirah yang dibuat khusus untuk pelayan muda dan aku yang
memilihkan untuknya. Aku memesan pedang yang ditempa khusus untuknya, dan dia
menggantungkannya di pinggang, di samping belati. Kami makan sedikit makanan yang telah
dingin lalu kembali ke tempat Amano telah menunggu dengan kuda-kuda.
Kepala Biara bersamanya, dengan topi baja dan perisai dada yang terbuat dari kulit dan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 21 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON pedang di pinggangnya. Aku berlutut di hadapannya untuk berterima kasih atas semua yang
telah dilakukannya untukku. Dia memelukku seperti seorang ayah memeluk anaknya yang
hendak ke medan perang. "Kirimlah kurir dari Maruyama," ujarnya dengan nada menghibur. "Kau akan tiba di sana
sebelum bulan baru."
Kepercayaannya menguatkan hatiku dan memberiku kekuatan.
Kaede menunggang Raku, kuda abu-abu dengan surai dan ekor hitam yang aku berikan
padanya, sedangkan aku menunggang kuda hitam yang kami ambil dari prajurit Otori. Amano
menamai kuda itu Aoi. Manami dan beberapa orang pelayan perempuan yang ikut dengan
pasukan kami dinaikkan ke kuda beban, Manami memastikan kotak berisi catatan tentang
Tribe terikat di punggungnya. Kami bergabung dengan sekumpulan orang saat mereka membuka jalan melalui hutan dan mendaki terjalnya jalan setapak di gunung yang aku dan Makoto
turuni tahun lalu saat salju pertama turun. Langit berwarna kemerahan, mentari mulai
menyentuh puncak gunung yang bersalju, sehingga salju terlihat berwarna merah muda dan
emas. Udara yang dingin membuat pipi dan jari kami mati rasa.
Aku menengok satu kali ke arah biara, atap miringnya yang muncul dari lautan dedaunan
yang baru tumbuh nampak seperti kapal besar. Biara terlihat penuh kedamaian di bawah
cahaya mentari pagi, dengan merpati-merpati yang mengepak-ngepakkan sayap di pinggiran
atap. Aku berdoa agar biara akan tetap bertahan seperti itu, agar biara tidak dibakar atau
dihancurkan dalam perperangan yang akan terjadi.
Langit pagi yang berwarna kemerahan benar-benar memancarkan keindahannya. Tidak
lama berselang, awan tebal kelabu bergerak dari arah barat, membawa rintik hujan, lalu hujan
deras pun turun. Ketika mendaki ke perbatasan, hujan berubah menjadi hujan es dan saIju.
Pasukan berkuda berjalan lebih mudah dibanding para pembawa barang yang memanggul


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keranjang besar; tapi ketika salju semakin tebal, kuda-kuda pun kesulitan melewatinya. Aku
membayangkan kalau pergi berperang adalah suatu hal yang heroik, bunyi genderang perang,
panji-panji yang berkibar. Aku tak membayangkan akan ada perjuangan yang berat selain
melawan musuh: melawan cuaca dan pegunungan, serta jalan mendaki yang melelahkan.
Akhirnya kuda-kuda berhenti dengan tiba-tiba, Amano dan aku turun untuk menuntun
mereka. Setelah melewati perbatasan, kami basah kuyup hingga pakaian menempel di kulit.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 22 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Tidak ada ruang di jalan yang sempit ini untuk mundur atau maju memeriksa pasukan. Saat
kami di puncak, bisa kulihat bentuk jalan yang meliuk-liuk laksana ular, terlihat berwarna
gelap kontras dengan salju yang baru turun, seperti makhluk besar berkaki banyak. Di balik
hwhatuan dan longsoran, tampak bentangan hutan yang lebat. Andai saja ada yang menunggu
kami di sana, kami benar-benar bertekuk lutut dalam kekuasaan mereka.
Namun tak seorang pun ada di dalam hutan. Pasukan Otori menanti kami di sisi lain
gunung itu. Segera setelah terlindungi oleh pepohonan, kami bertemu dengan Kahei di tempat
dia berhenti untuk membiarkan pasukan garis depan beristirahat. Sekarang kami melakukan
hal yang sama, membiarkan prajurit beristirahat agar mereka bisa melepaskan lelah dalam
kelompok-kelompok kecil dan kemudian makan. Udara yang lembab dipenuhi bau kencing
mereka. Kami telah berjalan hampir setengah hari, tapi aku senang melihat prajurit maupun
petani dapat hcrtahan dengan baik.
Selama berhenti, hujan semakin lebat. Aku mencemaskan kesehatan Kaede, tapi dia tidak
mengeluh walaupun dia terlihat kedinginan. Manami membisu dengan sikap datar,
memperhatikan Kaede dari dekat dan nampak gugup bila mendengar suara apa pun. Kami
bergerak secepat mungkin. Menurut perhitunganku, saat itu sudah lewat tengah hari, antara
Waktu Kambing* dan Waktu Monyet*. Kecuraman lereng berkurang dan setelah itu jalannya
lebih lebar, cukup lebar untuk bisa kulewati. Meninggalkan Kaede dengan Amano, aku
menuruni lereng ke barisan depan pasukan, tempat aku bertemu Makoto dan Kahei.
Makoto yang lebih mengenal daerah ini mengatakan ada satu kota kecil, Kibi, tidak jauh
di depan, di seberang sungai tempat kami mestinya berhenti untuk bermalam.
"Kota itu dijaga?"
"Kalaupun dijaga, pastilah hanya sepasukan kecil. Di sana tidak ada kastil, dan kotanya
pun hampir tidak dikelilingi benteng."
"Milik siapa wilayah itu?"
"Arai menempatkan penjaga keamanan di sana," ujar Kahei. "Penguasa yang lama dan
putranya berpihak pada Tohan. Mereka semua mati di sana. Beberapa pengawalnya telah
bergabung dengan Arai, sedangkan sisanya pergi ke pegunungan untuk menjadi perampok."
"Kirim orang ke sana untuk mengatakan kalau kita membutuhkan tempat untuk
menginap. Jelaskan pada mereka kalau kita tidak ingin berperang; hanya sekadar lewat. Kita
LIAN HEARN BUKU KETIGA 23 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON lihat bagaimana reaksinya."
Kahei mengangguk, memanggil tiga prajuritnya, dan menyuruh mereka berkuda lebih
cepat sementara kami meneruskan perjalanan dengan lebih lambat lagi. Tak lama kemudian
mereka sudah kembali. Panggul kuda terlihat menonjol, tertutup lumpur hingga ke leher,
lubang hidung kudanya memerah dan melebar.
"Sungainya banjir dan jembatannya terputus," si pimpinan melaporkan. "Kami
menyeberanginya dengan berenang, tapi arusnya terlalu deras. Bahkan seandainya kami
berhasil menyeberanginya, para prajurit yang berjalan kaki dan kuda beban tak akan bisa."
"Bagaimana dengan jalan di tepi sungai" Di mana jembatan yang terdekat?"
"Jalan ke utara melalui bukit menuju ke Yamagata, kembali ke wilayah Otori," jelas
Makoto. "Jalan ke selatan menjauh dari sungai, melewati perbatasan menuju ke Inuyama, tapi
perbatasannya tidak dibuka pada saat seperti ini."
Satu-satunya cara adalah menyeberangi sungai itu, jika tidak ingin terjebak di tempat ini.
"Ayo kita maju," kataku pada Makoto. "Mari kita lihat sendiri."
Aku menyuruh Kahei dan pasukannya meneruskan perjalanan, kecuali seratus prajurit
penjaga barisan belakang yang bertugas menyerang ke arah timur seandainya kami dikejar
melalui rute itu. Belum lagi aku dan Makoto berjalan jauh, aku mendengar erangan marah sungai yang
sedang banjir. Ditelan lelehan salju, musim yang tak dapat ditawar kedatangannya, sungai
musim semi menuangkan airnya yang kuning kehijauan ke daratan. Di saat kami berjalan
melalui hutan melewati bambu dan hamparan alang-alang, aku seperti melihat lautan. Air
membentang di hadapan kami sejauh mata memandang, diselimuti hujan, warnanya sama
seperti warna langit. Aku pasti menghela napas panjang karena Makoto berkata, "Tak seburuk
yang terlihat. Sebagian besar tanahnya adalah sawah."
Kemudian aku melihat pematang dan jalan setapak. Sawah yang mestinya basah dan
berlumpur, kini tergenang air meskipun tidak dalam; meskipun begitu air sungai mengalir di
tengahnya. Lebarnya sekitar seratus kaki, dan airnya sudah naik melampaui batas pematang,
mungkin dua belas kaki. Dapat kulihat sisa-sisa jembatan kayu: dua dermaga menyembulkan
bagian atasnya yang berwarna gelap. Kayu bekas dermaga itu terlihat sedih diombang-ambing
arus air sungai yang bercampur hujan, layaknya impian dan ambisi manusia yang tersapu oleh
LIAN HEARN BUKU KETIGA 24 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON alam dan waktu. Di saat aku mengira-ngira apakah kami dapat menyeberangi dan membangun jembatan,
aku mendengar suarasuara kegiatan manusia di tengah raungan arus air sungai. Setelah
memfokuskan perhatian, akhirnya aku mengenali suara-suara itu: denting kapak dan, tidak
salah lagi, suara pohon tumbang.
Di sebelah kananku, ke arah hulu, aliran sungai berbelok membentuk lengkungan, hutan
menjadi lebih dekat ke tepi sungai. Aku dapat melihat sisa-sisa, mungkin, sebuah dermaga,
agaknya tempat untuk mengangkut kayu dari hutan ke kota. Aku membelokkan kuda dan
langsung mulai berjalan melewati sawah menuju ke bagian sungai yang berbelok.
"Ada apa?" teriak Makoto sambil mengikuti.
"Ada orang di sana." Aku meraih surai Aoi ketika dia terpeleset dan hampir terjatuh.
"Kembali," teriaknya. "Itu berbahaya. Kau jangan ke sana sendirian."
Aku mendengar Makoto menarik busur dan memasang anak panah di tali busur. Langkah
kuda mencipratkan air. Beberapa kenangan terangkai di benakku, tentang sungai lain, sungai
yang tak mungkin diseberangi karena alasan yang berbeda. Aku tahu apa"siapa"yang akan
kutemui. Jo-An ada di sana, separuh telanjang, basah kuyup, bersama tiga puluhan atau lebih
gelandangan lainnya. Mereka mengambil potongan kayu dari dermaga hanyut akibat banjir,
dan menebang beberapa pohon lagi serta memotong bambu secukupnya untuk membuat
jembatan terapung. Mereka berhenti bekerja lalu berlutut di lumpur ketika melihatku. Aku pernah bertemu
beberapa orang itu di tempat penyamakan kulit. Mereka kurus dan compang-camping, dan di
mata mereka terpancar rasa lapar yang seperti dulu. Mereka telah berkorban dengan keluar
diam-diam dari daerah mereka dan melanggar aturan karena menebang pohon sembarangan
demi keyakinan yang belum tentu dapat aku penuhi: keadilan dan kedamaian. Aku tidak ingin
memikirkan penderitaan yang akan mereka alami jika aku tidak dapat memenuhi harapan
mereka. "Jo-An!" aku memanggil, dan dia datang ke samping kudaku. Aoi mendengus padanya
dan mencoba bergerak mundur, tapi dia meraih tali kekang dan menenangkannya. "Suruh
mereka meneruskan pekerjaan," kataku seraya mcnambahkan, "Semakin banyak hutangku
LIAN HEARN BUKU KETIGA 25 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON padamu." "Kau tidak berhutang padaku," jawabnya. "Kau berhutang pada Tuhan."
Makoto muncul di sampingku, dan kuharap dia tidak mendengar perkataan Jo-An. Kuda
kami saling bersentuhan hidung dan kuda hitam mendengus lalu mencoba menggigit
kawannya. Pandangan Makoto jatuh pada Jo-An. "Gelandangan?" ujarnya tidak percaya. "Apa yang
mereka lakukan di sini?"
"Menyelamatkan kita. Mereka membangun jembatan apung."
Dia menghela kudanya mundur beberapa langkah. Di bawah topi bajanya dapat kulihat
bibirnya yang cemberut. "Tidak akan ada yang mau menggunakan?" Saat dia hendak
melanjutkan, aku langsung menyela.
"Mereka melakukan itu atas perintahku. Ini satu-satunya cara agar kita bisa ke seberang."
"Kita bisa kembali ke jembatan di Yamagata."
"Dan kehilangan semua keuntungan kita karena telah bergerak cepat" Lagipula, jumlah
kita kalah banyak, lima berbanding satu. Dan kita tidak bisa kembali. Aku tak ingin
melakukannya. Kita akan menyeberangi sungai melalui jembatan itu. Kembali ke pasukan dan
perintahkan mereka untuk membantu para gelandangan. Biarkan sisanya menyiapkan diri
untuk penyeberangan."
"Tak akan ada yang mau menyeberang lewat jembatan yang dibuat para gelandangan,"
ujarnya, dan nada bicaranya yang seolah-olah sedang berbicara pada anak kecil membuatku
naik pitam. Perasaan yang sama pernah aku rasakan ketika penjaga Shigeru membiarkan Kenji
masuk ke taman di Hagi. Aku dapat melindungi orang-orangku bila mereka patuh. Aku lupa
kalau Makoto lebih tua, lebih bijaksana dan lebih berpengalaman dariku. Kubiarkan kemarahan menyelimuti diriku.
"Lakukan apa yang kuperintahkan. Kau harus bisa membujuk mereka, atau kau akan
menanggung akibatnya. Biarkan para prajurit berjaga-jaga sementara kuda beban dan prajurit
pejalan kaki menyeberang. Perintahkan para pemanah melindungi jembatan. Kita akan
menyeberang sebelum malam."
"Lord Otori." Dia menunduk dan kudanya melangkah dengan mencipratkan air dari
sawah dan mendaki lereng di atasnya. Aku memperhatikan sampai dia menghilang di antara
LIAN HEARN BUKU KETIGA 26 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON rumpun bambu, kemudian mengalihkan perhatianku pada pekerjaan para gelandangan.
Mereka sedang mengikat batang pohon yang telah ditebang menjadi rakit, setiap batang
pohon disangga dengan gumpalan alang-alang yang diikat dengan tali dari kulit kayu dan
rami. Mereka lalu mengapungkan setiap rakit yang telah selesai dan mengikatnya menjadi satu
dengan rakit yang telah ditambatkan. Tapi kekuatan arus membuat rakit terdorong ke tepi
sungai. "Jembatan perlu diberi jangkar di seberang sungai," kataku pada Jo-An.
"Seseorang akan berenang ke seberang," sahutnya.
Salah seorang gelandangan yang lebih muda mengtimbil segulung tali, mengikatkannya di
pinggang dan terjun ke sungai. Tapi ternyata arus terlalu kuat baginya. Kami melihat
tangannya melambai-lambai di permukaan sungai, lalu menghilang di balik kuningnya air
sungai. Dia ditarik ke tepi sungai dengan setengah tenggelam.
"Berikan talinya padaku," kataku.
Jo-An melihat dengan cemas ke tepi sungai. "Jangan, tuan, tunggu," dia memohon. "Saat
pasukan tiba, salah satu dari mereka bisa berenang menyeberang."
"Jembatannya sudah harus jadi saat pasukan datang," jawabku. "Berikan talinya padaku."
Jo-An melepas ikatan tali dari anak muda yang kini terduduk sambil muntah-muntah,
lalu dia berikan kepadaku. Dengan cepat aku melingkarkan tali di pinggang dan mendorong
kudaku ke depan. Tali melilit di pangkal paha kuda sehingga dia melompat; tanpa sadar dia
sudah berada di dalam air.
Aku berteriak untuk memberinya semangat, dan dia mendengarkan
dengan menggerakkan salah satu telinganya. Pada beberapa langkah awal, kakinya masih berpijak di
dasar sungai. Kemudian air mencapai punggung dan dia mulai berenang. Aku berusaha
menghadapkan kepala ke tepi yang kutuju, namun sebesar apa pun kekuatan dan keinginan
kuda itu, arusnya masih tetap lebih kuat, dan kami terbawa arus hingga ke hilir, ke arah sisasisa jembatan tua.
Sekilas aku melihat ke arah jembatan itu dan tidak senang dengan apa yang kulihat. Arus
telah menghempaskan ranting dan puing jembatan, dan jika kuda terperangkap di antara
benda-benda itu, dia akan panik dan bisa membuat kami tenggelam. Dapat kurasakan
kekuatan sungai. Dia juga merasakan hal yang sama. Kedua telinganya melekat ke kepala.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 27 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Untung saja rasa takut semakin membuat dia lebih kuat. Dia berjuang untuk terus maju
dengan mengerahkan seluruh tenaga. Aku menyingkirkan tumpukan puing dengan dua
tangan, dan tiba-tiba arusnya melemah. Kami sudah melewati tengah sungai. Beberapa saat
kemudian kuda menemukan pijakan dan mulai melangkah lebar-lebar sehingga menyibakkan
air dan badan kuda terlihat timbul-tenggelam. Dia berusaha berpijak pada tanah keras lalu
berdiri, kepalanya tertunduk, perutnya kempang kempis, semangatnya yang semula begitu
menggebu-gebu benar-benar sudah lenyap. Aku merosot turun lalu menepuk-nepuk lehernya,
mengatakan padanya bahwa dia pasti keturunan roh air karena dia berenang demikian sangat
baik. Kami berdua basah kuyup, lebih mirip ikan atau katak ketimbang makhluk darat.
Dapat kurasakan tali yang terikat di pinggang menarikku kembali masuk ke air. Aku
separuh merangkak, separuh meraup semak kecil yang tergenang air di tepi sungai. Semaksemak itu tumbuh di sekitar kuil dewa rubah, terlihat dari arca-arca putihnya. Air memukulmukul kaki arca-arca itu, membuat arca rubah terlihat seakan terapung. Aku melingkarkan tali
ke pohon terdekat, sebatang pohon maple kecil, lalu mulai menarik talinya. Begitu kuat aku
menarik sehingga tunas itu tenggelam dalam genangan air. Setelah menarik talinya cukup
panjang, aku lalu mengikatkannya dengan kuat ke pohon lain yang jauh lebih besar. Aku sadar
kalau kuil itu mungkin kotor oleh ulahku, tapi saat itu aku tak peduli pada dewa, arwah, atau
pun setan yang merasa terganggu asalkan aku bisa menyeberangkan pasukanku dengan
selamat. Sedari tadi aku mendengarkan dengan seksama. Aku tak percaya tempat ini terbengkalai
seperti ini; karena jembatan itu menunjukkan kalau ada jalan yang biasa dilalui. Selain desis
hujan dan raungan sungai, yang terdengar hanyalah nyanyian ratusan katak yang bergembira
karena turun hujan, serta kicau burung gagak memanggil dari dalam hutan. Tapi di mana
orang-orangnya" Setelah tali sudah terikat kuat, sekitar sepuluh gelandangan menyeberangi sungai dengan
berpegangan pada tali itu. Jauh lebih trampil dibanding aku, mereka mengulang semua simpul
taliku dan membuat satu sistem kerek dengan menggunakan ranting-ranting kecil pohon
maple tadi. Perlahan-lahan mereka mengangkat jembatan itu, dada mereka naik-turun, otototot mereka mencuat seperti utasan tali. Sungai seperti hendak mengoyak-ngoyak jembatan
apung itu, seakan menolak gangguan di wilayahnya, tapi para gelandangan tetap berusaha agar
LIAN HEARN BUKU KETIGA 28 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON jembatan tetap terapung, dan seinci demi seinci jembatan itu pun makin dekat.
Untunglah satu sisi jembatan tertahan oleh puing-puing sehingga kami tidak dikalahkan
oleh sungai. Jembatannya hampir selesai, tapi tak ada tanda-tanda Makoto dan pasukan.
Awan terlalu rendah dan gelap sehingga aku tak dapat melihat posisi matahari. Apakah
Makoto tidak bisa membujuk mereka" Apakah mereka kembali ke Yamagata seperti yang dia
usulkan" Teman dekat atau bukan, akan kucari dan kubunuh dia bila tidak datang. Aku memasang telingaku baik-baik tapi hanya bisa mendengar bunyi air sungai, hujan, dan nyanyian
katak. Tidak jauh di belakang kuil terlihat ada jalan. Di kejauhan terlihat gunung, kabut putih
mirip lilitan ular di lerengnya. Kudaku gemetar kedinginan. Kupikir aku harus paksa dia
berjalan agar hangat karena aku tak tahu bagaimana membuat badannya kering. Aku
menungganginya menyusuri jalan dengan pertimbangan mungkin ada pandangan yang lebih
baik di seberang sungai dari tanah yang lebih tinggi.
Tidak seberapa jauh, berdiri pondok yang terbuat dari kayu dan tanah liat yang
beratapkan jerami. Sebatang palang kayu ada di tengah jalan di sisi pondok itu. Aku ingin tahu
palang apa itu; palang itu tidak mirip pos perbatasan dan tidak nampak seorang pun penjaga di
sana. Saat mendekat, aku melihat beberapa kepala manusia diikatkan pada palang kayu itu,
beberapa di antaranya baru saja dibunuh, yang lainnya tak lebih dari tengkorak. Sebelum
sempat aku bereaksi, mendadak dari belakangku terdengar suara yang kunanti, derap langkah
kuda dan kaki manusia dari seberang sungai. Ketika aku menoleh, di antara rintik hujan
terlihat barisan depan pasukan muncul dari dalam hutan. Aku mengenali Kahei dari topi
bajanya. Dia memimpin di depan, dan Makoto di sampingnya.


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dadaku terasa ringan karena lega. Aku memutar balik Aoi; melihat teman-temannya di
kejauhan, dia meringkik kencang. Ringkikan ini diikuti oleh teriakan dahsyat dari dalam
pondok. Tanah bergetar saat pintunya terlempar keluar dan laki-laki paling besar yang pernah
kulihat, bahkan lebih besar dari raksasa pembakar batu arang.
Awalnya kupikir dia adalah raksasa atau setan. Tingginya hampir dua rentang lengan dan
tubuhnya selebar lembu, tapi kepalanya jauh lebih besar, seakan tengkorak kepalanya tak
pernah berhenti tumbuh. Rambutnya panjang dan kusut, kumis dan jenggotnya tebal dan liat,
LIAN HEARN BUKU KETIGA 29 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON matanya tidak seperti mata manusia, tapi bulat seperti mata binatang buas. Dia hanya punya
satu telinga, sangat besar dan menjuntai. Tempat telinga yang satunya lagi tampak bekas luka
biru keabu-abuan menyembul di antara rambutnya. Teriakannya mirip suara manusia.
"Hei!" dia berteriak dengan kencang. "Apa yang kau lakukan di jalanku ini?"
"Aku Otori Takeo," balasku. "Aku dan pasukanku hendak lewat. Singkirkan palang
kayunya!" Dia tertawa; tertawanya terdengar seperti bunyi batu menimpa sisi gunung. "Tidak
seorang pun boleh lewat di sini tanpa seijin Jin-emon. Kembali dan katakan itu pada
pasukanmu!" Hujan turun lebih deras; hari begitu cepat berganti gelap. Aku lelah, lapar, basah dan
kedinginan. "Minggirlah," aku berteriak tidak sabar. "Kami akan lewat."
Dia maju ke arahku tanpa menjawab. Dia memegang senjata di balik punggung sehingga
tidak dapat aku lihat dengan jelas. Aku mendengar bunyi senjatanya sebelum melihat
tangannya bergerak; bunyinya semacam denting benda logam. Dengan satu tangan aku
mengayunkan kepala kuda, dengan tangan yang satunya lagi aku menarik Jato. Aoi juga
mendengar teriakan, dan melihat tangan raksasa itu menyerang ke arah kami. Dia bergerak ke
samping, tongkat dan rantai raksasa itu melewati telingaku, melolong laksana serigala.
Di ujung rantainya ada pemberat dan ujung lainnya ada tongkat yang mirip arit. Aku
belum pernah melihat senjata semacam itu, dan tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Rantainya berayun lagi, menyerang tepat di pangkal paha kuda. Aoi berteriak kesakitan dan
ketakutan serta menyepakkan kakinya. Aku memindahkan kaki dari sanggurdi, meluncur ke
arah yang berlawanan dari serangan si raksasa, dan berpaling agar dapat berhadapan
dengannya. Aku seperti bertarung melawan makhluk gila yang akan membunuhku jika aku
tidak membunuhnya lebih dulu.
Dia menyeringai. Baginya aku pasti terlihat tidak lebih dari bocah atau tokoh kerdil
lainnya dalam dongeng. Saat melihat gerakan ototnya, aku membelah sosokku menjadi dua,
bergerak ke samping. Rantainya melewati sosok keduaku. Jato melompat ke udara di antara
kami dan membenamkan mata pedangnya ke bagian bawah lengan raksasa itu, sedikit di atas
pergelangan tangan. Biasanya sekali tebas bisa membuat tangan langsung putus, tapi tulang
lawanku ini seperti batu. Aku merasakan getaran Jato terasa hingga ke bahuku, dan sejenak
LIAN HEARN BUKU KETIGA 30 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON aku takut Jato akan tersangkut di lengannya seperti kapak tersangkut di batang pohon.
Jin-Emon meraung, lalu dia memindahkan tongkatnya ke tangan kiri. Darah keluar dari
tangan kanannya, darah yang berwarna merah kehitaman. Aku menghilangkan diri sejenak
saat rantainya melolong, aku berpikir untuk kembali ke sungai. Aku ingin tahu kenapa
pasukanku tidak muncul saat dibutuhkan. Ketika melihat ada bagian tubuh raksasa itu yang
tak terlindungi, aku lalu tikam Jato tepat ke arah situ. Luka tikaman pedangku sangat lebar,
tapi sekali lagi dia tak berdarah. Gelombang ketakutan menyelimutiku. Aku pasti sedang
bertarung melawan makhluk gaib. Mampukah aku mengalahkannya"
Pada ayunan berikutnya, rantainya berhasil menjerat Jato. Sambil berteriak kemenangan,
Jin-emon menyentak Jato dari tanganku. Jato melayang kemudian mendarat tidak jauh dariku.
Si raksasa mendekat, menyapu dengan gerakan tangannya, kini dia sudah mengetahui
tipuanku. Aku diam terpaku. Ada belati di sabukku, tapi aku tidak ingin mencabutnya, takut dia
menyerang dengan rantainya saat aku mencabutnya dan mengakhiri hidupku. Aku ingin
monster ini menatapku. Dia menghampiri, meraih bahuku, lalu menarikku ke atas. Aku tidak
tahu apa yang akan dia lakukan"mungkin dia hendak merobek tenggorokanku dengan
giginya yang besar lalu meminum darahku. Aku berpikir, dia bukan putraku, aku tak akan
mati di tangan raksasa ini, lalu kutatap matanya. Ekspresi matanya tak lebih dari ekspresi mata
binatang buas, dan saat kami beradu tatapan, dapat kulihat kedengkian dan sifat kejamnya.
Aku menyadari kekuatan yang ada dalam diriku dan membiarkannya mengalir keluar.
Matanya meredup. Dia mengerang pelan dan genggamannya mengendur kemudian dia roboh
seperti pohon besar yang turnbang karena ditebang. Aku hempaskan diriku ke samping karena
tak ingin tertindih, lalu aku berguling untuk meraih Jato yang tergeletak, membuat Aoi yang
sejak tadi berjalan dengan gugup mengelilingi kami. Dengan Jato di tangan, aku berlari
kembali ke tempat Jin-emon; dia tidur mendengkur akibat tatapan Kikuta. Aku berusaha
mengangkat kepalanya yang besar untuk kutebas, tapi terlalu berat, dan aku juga tak ingin
mengambil resiko Jato rusak. Aku memutuskan untuk menikam tenggorokannya dan
menyayat nadinya. Di bagian ini pun darah mengalir lambat. Tumitnya menendang,
punggungnya melengkung, tapi dia tidak bangun. Akhirnya napasnya pun berhenti.
Aku mengira dia hanya sendiri, tapi kemudian suara datang dari dalam pondok. Saat
LIAN HEARN BUKU KETIGA 31 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON berpaling, aku melihat seorang laki-laki yang jauh lebih kecil berlari tergesa-gesa dari pintu.
Dia meneriakkan sesuatu yang tak kupahami, melompat menyeberangi pematang di balik
pondok, lalu menghilang ke dalam hutan.
Aku geser palang kayu, memperhatikan tengkorak dan bertanya-tanya milik siapakah
semua kepala itu. Dua tengkorak tua terjatuh saat aku menggerakkan kayu, dan serangga
berhamburan keluar dari lubang matanya. Aku letakkan tengkorak-tengkorak itu di rumput
dan kembali ke kudaku, kedinginan dan mual. Kaki Aoi memar dan berdarah bekas sabetan
rantai meskipun tidak patah. Dia berjalan pincang. Aku menuntunnya kembali ke sungai.
Pertarungan tadi terasa seperti mimpi buruk, tapi sewaktu aku merenungkannya, semakin
aku merasa lebih baik. Jin-emon mestinya sudah membunuhku"penggalan kepalaku
seharusnya sudah berada di palang kayu bersama tengkorak lainnya"tapi kekuatan Tribe telah
menolongku. Kejadian ini tampak memperkuat bunyi ramalan itu. Kalau raksasa seperti itu
saja tidak bisa membunuhku, lalu siapa yang bisa" Sewaktu tiba kembali ke sungai, energi baru
mengalir dalam diriku. Tapi apa yang kulihat di sana membuat aku marah.
Jembatannya sudah jadi, tapi hanya para gelandangan yang menyeberang. Pasukanku
masih berada di seberang sungai. Para gelandangan berkerumun dan kemarahan mereka
terlihat dalam kebisuan yang mulai aku mengerti sebagai reaksi mereka atas hinaan yang selalu
mereka terima. Jo-An sedang berjongkok menatap pusaran air dengan sendu. Dia berdiri saat melihat aku
datang. "Mereka tidak mau menyeberang, tuan. Kau harus menyeberang dan memerintahkan
mereka." "Aku akan melakukannya," ujarku, kemarahanku memuncak. "Ambil kuda ini, basuh
lukanya dan ajak berjalan-jalan agar dia tidak kedinginan."
Jo-An mengambil tali kekangnya. "Apa yang terjadi?"
"Aku baru saja bertarung dengan setan," jawabku sambil melangkah ke jembatan.
Pasukan yang menunggu di seberang sungai berteriak saat mereka melihatku, namun tak
seorang pun di antara mereka mau menyeberang melalui jembatan. Jembatannya tidak mudah
dilewati-selalu bergoyang-goyang, sesekali sebagian tenggelam, tertarik dan terguncang oleh
arus sungai. Aku setengah berlari, menganggap sama seperti yang kulakukan ketika berlari
LIAN HEARN BUKU KETIGA 32 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON ringan di atas nightingale floor yang ada di Hagi. Aku berdoa agar roh Shigeru bersamaku.
Di seberang sungai Makoto turun dari kuda dan merenggut lenganku. "Kau darimana
saja" Kami mengira kau sudah mati."
"Aku hampir saja mati," kataku dengan marah. "Ke mana saja kau?" Belum sempat dia
menjawab, Kahei mendekat dengan menunggang kuda.
"Kenapa terlambat?" tanyaku. "Suruh pasukan bergerak."
Kahei ragu-ragu. "Mereka takut pada polusi dari para gelandangan."
"Turun," ujarku, dan saat dia merosot turun dari kuda, aku membiarkan mereka tahu
kemarahanku. "Karena kebodohan kalian sehingga aku hampir mati. Jika aku memberi
pcrintah, kalian harus patuh. Bila tidak mau mematuhi perintahku, kalian boleh pulang ke
Hagi, ke biara atau ke mana saja." Aku berkata pelan, tak ingin seluruh pasukan
mendengarnya, tapi kulihat betapa perkataanku membuat mereka malu. "Sekarang
perintahkan pasukan berusaha menyeberangi sungai. Tuntun kuda beban ke jembatan saat
pasukan barisan belakang berjaga-jaga, kemudian pasukan pejalan kaki menyeberang, tapi
jangan lebih dari tiga puluh orang menyeberang sekaligus."
"Lord Otori," ujar Kahei. Dia melompat kembali ke pelana lalu memacu kudanya.
"Maaf, Takeo," ujar Makoto pelan.
"Bila terjadi lagi, akan kubunuh kau," kataku. "Berikan kudamu padaku."
Aku berkuda menyusuri barisan pasukan yang sedang menunggu, seraya mengulangi
perintahku. "Jangan takut pada polusinya," kataku pada mereka. "Aku telah menyeberangi
jembatannya. Kalau memang ada polusi, biarlah aku yang menanggungnya." Aku sedang
berada dalam kondisi yang penuh percaya diri. Aku merasa seakan tak ada satu pun di bumi
maupun di surga yang dapat mengalahkanku.
Dengan teriakan keras, prajurit pertama masuk ke sungai dan yang lainnya mengikuti di
belakangnya. Kuda beban dituntun ke jembatan, dan aku lega jembatannya mampu menahan
beban mereka. Tidak lama kemudian penyeberangan pun dilakukan. Aku berkuda kembali ke
belakang barisan sambil memberi perintah dan meyakinkan pasukan pejalan kaki hingga aku
sampai di tempat Kaede menunggu bersama Manami dan pelayan perempuan lainnya.
Manami membawa payung dan mereka berkerumun di bawahnya. Amano memegangi kuda di
samping mereka. Wajah Kaede terangkat saat melihatku. Rambutnya berkilauan oleh air
LIAN HEARN BUKU KETIGA 33 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON hujan, dan tetesan air menggantung di bulu matanya.
Aku turun dari kuda dan menyerahkan tali kekang kepada Amano.
"Mana Aoi?" tanyanya, mengenali kuda tungganganku adalah kuda milik Makoto.
"Aoi terluka, aku tak tahu seberapa parah dan dia ada di seberang sungai. Aku sudah
menyeberangi sungai." Aku ingin mengatakan kepada Amano betapa pemberaninya kuda itu,
namun kurasa sekarang waktunya kurang tepat.
"Kita akan menyeberangi sungai," kataku kepada para pelayan perempuan. "Para
gelandangan yang membangun jembatannya."
Kaede tidak berkata sepatah kata pun, tapi Manami membuka mulut hendak protes.
Aku mengangkat tangan untuk menyuruhnya diam. "Tidak ada jalan lain. Kalian harus
lakukan apa yang aku perintahkan." Aku mengulangi apa yang telah kukatakan pada
pasukanku: kalau polusinya hanya akan terkena pada diriku.
"Lord Otori," gumamnya, menunduk sambil melihat sekilas dengan sudut matanya. Aku
menahan diriku untuk menyerangnya dengan kata-kata, meskipun kurasa dia pantas
mendapatkannya. "Apakah aku harus menunggang kuda?" tanya Kaede.
"Tidak, sangat tidak stabil. Lebih baik berjalan saja. Akan kuseberangkan kudamu."
Amano pasti mendengar. "Ada banyak pelayan laki-laki yang bisa melakukannya,"
ujarnya, melihat perisai dadaku yang basah dan berlumpur.
"Suruh seorang dari mereka ikut denganku," kataku. "Dia bisa mengambil Raku dan
membawa satu kuda lagi untukku. Aku harus kembali ke seberang sungai." Aku belum
melupakan teman si raksasa yang lari terbirit-birit. Jika dia memanggil teman-temannya, maka
aku ingin ada di sana untuk menghadapinya.
"Bawakan Shun untuk Lord Otori," teriak Amano pada seorang pelayan laki-laki yang
kemudian datang membawa kuda kecil dan mengambil tali kekang Raku. Aku mengucapkan
selamat tinggal pada Kaede, memintanya untuk memastikan kalau kuda beban yang membawa
kotak berisi catatan Lord Shigeru bisa sampai di seberang dengan aman. Aku ke kuda Makoto
lalu kembali menyusul barisan pasukan yang kini bergerak agak cepat ke arah jembatan. Kirakira dua ratus orang telah menyeberangi sungai, dan Kahei mengatur mereka menjadi
beberapa kelompok kecil, setiap kelompok ada pimpinannya.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 34 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Makoto sedang menunggu di tepi sungai. Aku kembalikan kudanya, lalu aku memegang
Raku sementara dia dan pelayan bergerak ke sungai. Aku mengamati kuda cokelat kemerahan,
Shun. Tanpa takut dia masuk ke air, berenang dengan kuat dan tenang seolah-olah itu
kegiatan yang biasa dilakukannya. Si pelayan laki-laki menyeberangi jembatan kembali dan
mengambil Raku dariku. Saat mereka menyeberang, aku bergabung dengan pasukanku di
jembatan terapung. Mereka berhamburan menyeberang seperti tikus-tikus di pelabuhan Hagi, menghabiskan
waktu sesedikit mungkin di jembatan yang basah. Kurasa hanya sedikit dari mereka yang bisa
berenang. Beberapa di antaranya memberi salam padaku, dan satu atau dua menyentuh
bahuku seakan aku bisa menangkal setan dan membawa keberuntungan. Kuberi mereka
semangat, bercanda tentang mandi air panas dan makanan lezat yang akan kami dapatkan di
Maruyama. Mereka tampak bersemangat, meskipun kami semua tahu kalau Maruyama masih
sangat jauh. Di seberang sungai aku menyuruh si pelayan laki-laki dan Raku menunggu Kaede. Aku
menunggangi Shun, kuda yang kecil dan kurang bagus, tapi ada sesuatu yang aku suka darinya.
Seraya memerintahkan para prajurit untuk mengikuti, aku berjalan di depan bersama Makoto.
Aku ingin, terutama para pemanah, ikut bersama kami, dan dua kelompok terdiri dari tiga
puluh orang sudah siap. Aku perintahkan mereka bersembunyi di balik tanggul dan menunggu
aba-aba dariku. Tubuh Jin-emon masih terbaring di sisi palang kayu, dan tempat itu sangat sunyi, seperti
tidak ada yang mengurusnya.
"Apakah ini ada hubungannya denganmu?" tanya Makoto dengan raut wajah jijik pada
tubuh raksasa dan deretan tengkorak.
"Nanti akan aku ceritakan. Temannya lari. Aku curiga dia akan kembali membawa
teman-temannya. Kahei bilang daerah ini penuh dengan bandit. Raksasa yang mati itu pasti
sudah memaksa orang membayar bila ingin menyeberangi jembatannya; jika menolak, dia
langsung penggal kepala mereka."
Makoto turun dari kuda dan melihat lebih dekat.
"Beberapa korbannya adalah ksatria," ujarnya, "Kita harus penggal kepala raksasa ini
sebagai balasannya." Dia mencabut pedang.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 35 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Jangan," aku memperingatkan. "Tulangnya sekeras batu granit Pedangmu bisa rusak."
Makoto melihatku dengan tatapan tidak percaya dan tanpa berkata dia mengayunan
pedang untuk menebas leher si raksasa. Pedangnya berdenting kencang, mirip jeritan manusia.
Rasa heran dan ketakutan nampak di wajah para prajurit yang ada di sekeliling kami. Dengan
kaget Makoto menatap pedangnya yang patah, kemudian melihatku dengan wajah malu.
"Maaf," katanya lagi. "Seharusnya aku mendengarkan kata-katamu."
Kemarahanku membara. Kutarik pedang, pandanganku berubah merah seperti yang biasa
terjadi. Bagaimana aku bisa melindungi pasukan jika mereka tidak patuh padaku" Makoto
tidak mengindahkan saranku di hadapan prajurit. Untuk itu dia pantas mati. Aku hampir
kehilangan kendali dan memenggal kepalanya tepat di tempatnya berdiri, tapi saat itu aku
mendengar derap kaki kuda di kejauhan, mengingatkan kalau masih ada musuh, musuh yang
sebenarnya. "Itu setan, bukan manusia," kataku pada Makoto. "Kini kau harus bertarung
menggunakan panah." Aku memberi isyarat pada para prajurit untuk diam. Mereka berdiri terpaku seakan-akan
berubah menjadi batu; bahkan kuda pun tak bergerak. Kini hujan mulai reda, hanya gerimis.
Dalam kabut tipis, kami terlihat seperti pasukan hantu.
Aku mendengar para bandit mendekat, mencipratkan air di tanah yang basah, kemudian
muncul dari tengah kabut, lebih dari tiga puluh laki-laki berkuda dan berjalan kaki. Mereka
gabungan dari segerombolan orang yang berpakaian compang-camping, beberapa di antaranya
jelas para prajurit tak bertuan dengan kuda yang bagus serta baju zirah yang sebelumnya pasti
bagus, sementara yang lainnya adalah para gembel yang tersisa dari peperangan sepuluh tahun


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silam: pelarian dari tuan tanah atau tambang perak yang kejam, pencuri, orang gila dan
pembunuh. Aku mengenali laki-laki yang tadi kabur dari pondok; dia memimpin dengan
kudanya. Ketika gerombolan itu berhenti, melontarkan lumpur dan memercikkan air, dia
menunjuk ke arahku dan berteriak dalam bahasa yang tidak kumengerti.
Seorang penunggang kuda berteriak lantang, "Siapa yang membunuh teman kami, Jinemon?"
Aku jawab, "Aku Otori Takeo. Aku membawa pasukan ke Maruyama. Jin-emon
menyerangku tanpa alasan. Dia telah membayarnya. Biarkan kami lewat atau kalian akan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 36 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON bernasib sama seperti Jin-emon."
"Kembalilah ke tempat asalmu," dia berteriak dengan geram. "Kami membenci Otori."
Orang-orang di sekitarnya mencemooh. Dia meludah ke tanah dan mengayunkan pedang
di atas kepalanya. Aku mengangkat tangan untuk memberi isyarat kepada para pemanah.
Segera bunyi anak panah yang beterbangan memenuhi udara; suara yang menakutkan,
desisan dan keletak anak panah, bunyi tikamannya ketika mengenai daging, jeritan dari
manusia yang terluka. Tapi saat itu aku tidak sempat memikirkannya, karena pimpinannya
mendesak kuda maju ke arahku dengan pedang terbentang di atas kepalanya.
Kuda tunggangannya lebih besar daripada Shun, dan jangkauannya pun lebih panjang.
Telinga Shun maju ke depan, matanya nampak tenang. Tepat sebelum bandit itu menyerang,
Shun melompat ke samping dan berbelok hampir melayang di udara sehingga aku bisa
menyerang dari belakang, menikam leher dan bahunya saat dengan sia-sia dia berusaha
menyerangku di tempat tadi aku berdiri.
Dia bukan setan atau raksasa, dia hanyalah manusia. Darahnya yang merah menyembur.
Kudanya berlarian sementara tubuhnya terayun-ayun di pelana, kemudian dia pun terjatuh
menyamping ke tanah. Dengan tenang Shun berputar kembali untuk mendekati penyerang berikutnya. Orang
yang satu ini tidak memakai topi baja sehingga Jato dapat dengan mudah mcmbelah
kepalanya. Darahnya menyembur bersama otak dan tulang. Bau anyir darah mengelilingi
kami, bercampur air hujan dan lumpur. Bersamaan dengan semakin banyaknya prajuritku yang
datang bergabung dalam kerusuhan itu, para bandit kewalahan. Mereka yang masih hidup
berusaha kabur, tapi kami berhasil mengejar dan membunuh mereka. Kemarahanku kian
memuncak dan dipicu oleh ketidakpatuhan Makoto kini dapat pelampiasannya. Aku sangat
geram dengan keterlambatan yang disebabkan oleh para pelanggar hukum yang bodoh ini, dan
aku sangat puas karena mereka semua telah membayarnya. Meskipun tidak bisa dibilang
perang sungguhan, tapi ini membuat kami dapat merasakan kemenangan.
Tiga prajurit tewas sedangkan dua orang lagi terluka. Kemudian aku mendapat laporan
kalau empat orang prajurit tewas tenggelam. Salah satu yang tewas adalah sahabat Kahei,
Shibata, yang berasal dari Otori, yang tahu tentang pengobatan dan bisa membersihkan dan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 37 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON merawat luka. Kahei berkuda memimpin di depan menuju kota untuk melihat kemungkinan
mendapatkan tempat berlindung, setidaknya untuk para perempuan. Aku dan Makoto
mengatur sisa pasukan agar berjalan lebih pelan. Makoto mengambil alih komando sementara
aku kembali ke sungai tempat beberapa prajurit terakhir sedang menyeberangi jembatan.
Jo-An dan kawan-kawannya masih berkerumun di tepi sungai. Jo-An berdiri dan
menghampiriku. Sejenak hatiku terdorong untuk turun dari kuda dan memeluknya, tapi aku
tidak menuruti keinginan hatiku.
Aku berkata, "Aku berterima kasih padamu dan juga pada anak buahmu. Kalian telah
menolong kami dari bencana."
"Tak seorang pun dari mereka yang berterima kasih pada kami," tegurnya, memberi
isyarat ke arah pasukan yang sedang berbaris melewatinya. "Untung saja kami bekerja untuk
Tuhan, bukan untuk mereka."
"Kau akan ikut dengan kami, Jo-An?" tanyaku. Aku tidak ingin mereka menyeberang
kembali karena sadar hukuman bagi para penyeberang perbatasan, menebang pohon serta
membantu buronan. Dia mengangguk. Dia tampak lelah, dan aku dipenuhi penyesalan. Aku tidak ingin para
gelandangan ikut kami"aku takut reaksi pasukanku dan tahu apa yang akan ditimbulkan oleh
perselisihan dan gerutuanmereka"tapi aku tidak bisa menelantarkan para gelandangan ini.
"Kita harus hancurkan jembatannya," ujarku, "agar Otori tidak dapat menggunakannya
untuk mengejar kita."
Dia mengangguk dan memanggil teman-temannya. Dengan letih mereka bangkit dan
mulai membongkar tali-tali yang mengencangkan rakit. Aku menghentikan beberapa orang
prajurit yang berjalan kaki, petani yang punya arit dan golok, serta memerintahkan mereka
untuk membantu para gelandangan. Sekali talinya ditebas, rakit-rakit itu pun terlepas. Arus
langsung menyapu rakit-rakit itu ke tengah sungai, tempat di mana sungai benar-benar menghancurkannya.
Sejenak aku memperhatikan air berlumpur itu, berterima kasih lagi kepada para
gelandangan, dan menyuruh mereka menyusul para prajurit. Kemudian aku berjalan ke tempat
Kaede. Dia sudah menunggang Raku, di bawah naungan pepohonan di sekitar kuil rubah. Sekilas
LIAN HEARN BUKU KETIGA 38 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON aku melihat Manami yang bertengger di atas kuda beban dengan kotak berisi catatan terlilit di
punggungnya, setelah itu mataku hanya tertuju pada Kaede. Wajahnya pucat, namun dia
duduk tegap di atas kuda abu-abunya, memperhatikan pasukan berbaris dengan senyum tipis
di bibirnya. Dalam keadaan sesulit ini, dia masih terlihat tenang dan bahagia.
Begitu melihatnya, aku dicekam hasrat yang dahsyat untuk memeluknya. Rasanya aku
bisa mati bila tak segera memeluknya. Aku tak mengharapkan ini dan malu dengan pikiranku
itu. Seharusnya aku lebih memikirkan keselamatannya; lebih dari itu, aku adalah pemimpin
pasukan; ada ribuan orang yang harus dipikirkan. Hasrat yang tak terbendung pada istriku
membuatku malu. Dia melihatku dan mengarahkan kudanya ke arahku. Kuda kami saling meringkik. Lutut
kami bersentuhan. Saat kepala kami saling mendekat, aku mencium wangi melati dari
tubuhnya. "Sekarang jalannya sudah bisa dilewati," ujarku. "Kita dapat meneruskan perjalanan."
"Siapa mereka?"
"Kurasa bandit." Aku hanya bicara sedikit, tak ingin mengatakan tentang pertumpahan
darah dan kematian yang terjadi. "Kahei sudah pergi mencari tempat menginap untuk kalian
malam ini." "Aku mau tidur di luar asalkan aku bisa berbaring di sisimu," katanya pelan. "Aku belum
pernah merasakan kebebasan, tapi selama perjalanan ini, dalam hujan dan semua kesulitannya,
aku merasa bebas." Sesaat tangan kami bersentuhan, kemudian aku mendekati Amano, berbicara tentang
kudanya, Shun. Mataku terasa panas dan aku ingin menyembunyikan perasaanku.
"Belum pernah aku menunggang kuda seperti ini. Seakan dia tahu apa yang kupikirkan."
Mata Amano menyipit saat tertawa. "Sebenarnya aku tahu apakah Anda menyukainya.
Seseorang membawanya kepadaku beberapa minggu lalu; dugaanku, dia dicuri atau diambil
setelah pemiliknya tewas. Aku tak bisa membayangkan ada orang yang sengaja membuang
kuda sebagus ini. Dia adalah kuda terpandai yang pernah aku temui. Kuda hitam memang
menyolok"memberi kesan baik"tapi aku tahu kuda mana yang akan aku tunggangi dalam
peperangan." Dia menyeringai padaku. "Lord Otori beruntung dengan kuda. Ada beberapa
orang memang begitu. Itu seperti anugerah; binatang yang bagus datang kepadamu."
LIAN HEARN BUKU KETIGA 39 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON "Kuharap ini akan memberi harapan baik bagi masa depan," jawabku.
Kami melewati gubuk. Orang-orang yang tewas digeletakkan berderet di sepanjang
pematang. Aku sedang memikirkan apakah akan menyuruh orang membakar atau
menguburkan mereka ketika ada gangguan di depan. Seorang anak buah Kahei datang dengan
menunggang kuda sambil berteriak pada prajurit untuk minggir agar dia bisa lewat. Dia
memanggil-manggil namaku.
"Lord Otori!" katanya, mengekang kudanya tepat di depan kami. "Anda dibutuhkan di
depan. Beberapa petani ingin bertemu Anda."
Sejak menyeberangi sungai, aku sudah bertanya-tanya di manakah penduduk setempat.
Meskipun sawah tergenang air, tapi tak ada yang mengurusi. Rumput liar telah menyumbat
saluran irigasi, dan meskipun di kejauhan terlihat atap gubuk yang terbuat dari jerami, tapi tak
ada asap yang membumbung dari sana dan tak ada tanda atau suara kegiatan manusia. Tanah
ini tampak seperti dikutuk dan kosong. Aku menduga Jin-emon dan gerombolannya telah
mengintimidasi, mengusir atau membunuh petani dan penduduk desa. Sepertinya kabar
kematiannya tersebar cepat dan beberapa penduduk desa keluar dari persembunyiannya.
Kuda tungganganku melangkah dengan gagah melewati barisan pasukan. Anak buahku
memanggil-manggil namaku, nampak ceria; beberapa di antaranya bahkan bernyanyi. Tampak
jelas mereka tidak cemas hendak tidur di mana, mereka mempercayai kemampuanku untuk
mendapatkan makanan dan penginapan bagi mereka.
Pasukan Makoto yang berada di barisan depan telah berhenti. Sekelompok petani berlutut
dengan tumit yang terendam lumpur. Ketika aku sampai ke tempat mereka dan turun dari
kuda, mereka merangsek maju.
Makoto berkata, "Mereka ingin berterima kasih pada kita. Bandit-bandit itu telah
meneror daerah ini selama hampir setahun. Mereka tidak bisa menanam padi pada musim
semi ini karena takut. Raksasa itu telah membunuh banyak putra dan saudara laki-laki mereka,
dan banyak perempuan yang diculik."
"Bangunlah," kataku pada mereka. "Aku Otori Takeo."
Mereka bangun, tapi begitu aku menyebutkan nama, mereka lalu membungkuk lagi.
"Bangunlah," ulangku. "Jin-emon sudah mati." Mereka berjongkok lagi. "Kalian boleh
melakukan apa saja pada mayatnya. Ambil mayat kerabat kalian lalu makamkan dengan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 40 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON terhormat." Aku berhenti sejenak. Aku ingin meminta makanan, tapi takut mereka
hanya punya sedikit, dan itu sama seperti hukuman mati karena mereka akan kelaparan saat
kami pergi. Petani paling tua di antara mereka, jelas sekali dialah pemimpin mereka, berkata dengan
ragu. "Lord, apa yang dapat kami lakukan untukmu" Kami ingin memberi makan pasukanmu,
tapi jumlah mereka sangat banyak...."
"Makamkan orang yang sudah mati dan kalian tidak berhutang apa pun pada kami,"
jawabku. "Tapi kami perlu tempat menginap. Adakah di antara kalian yang tahu di mana kota
terdekat?" Mereka akan menyambut kalian di sana," ujarnya. "Kota Kibi tidak jauh dari sini. Kami
mempunyai pemimpin baru, anak buah Lord Arai. Beliau sering mengirimkan prajurit untuk
melawan para bandit sepanjang tahun ini, tapi mereka selalu kalah. Terakhir kali dua putra
pemimpin itu mati di tangan Jin-emon, sama seperti yang terjadi pada putra sulungku. Ini
adiknya, Jiro. Bawalah dia bersama Anda, Lord Otori."
Jiro beberapa tahun lebih muda dariku, kurus kering namun nampak cerdas di balik
wajahnya yang kotor. "Kemari Jiro," ujarku, dan dia bangkit, lalu berdiri di hisi kepala kuda. Kudaku
mengendusnya, seakan sedang memeriksanya. "Kau suka kuda?"
Dia mengangguk, terlalu gembira karena aku bicara langsung padanya.
"Jika ayahmu mengijinkan, kau boleh ikut bersama kami." Kurasa dia bisa bergabung
dengan Amano. "Kita harus bergegas sekarang," kata Makoto sambil menyentuh sikutku.
"Kami membawa apa yang bisa kami bawa," ujar si petani, dan memberi isyarat pada anak
buahnya. Mereka menurunkan karung dan keranjang dari bahu mereka dan mengeluarkan
sedikit makanan: kue mochi, tunas pakis dan sayuran yang dipetik dari gunung, sedikit asinan
buah pium, dan beberapa buah chestnut. Aku hendak menolak, tapi takut mereka tersinggung.
Aku menyuruh dua orang prajurit mengumpulkan hadiah-hadiah itu dan membawa
karungnya. "Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu," kataku pada Jiro, dan melihat wajah laki-laki tua
itu berusaha menahan tangis. Aku menyesali tawaranku untuk mengajak anak itu, bukan
LIAN HEARN BUKU KETIGA 41 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON hanya bertambah satu nyawa lagi dalam tanggunganku tapi juga karena aku merenggut satu
tenaga lagi bagi ayahnya untuk memperbaiki sawahnya yang terbengkalai.
"Aku akan menyuruhnya pulang setelah kami sampai di kota."
"Jangan!" seru ayah dan anak, keduanya berseru bersamaan, wajah anak itu memerah.
"Biarkan dia ikut dengan Anda," ayahnya memohon. "Keluarga kami dulunya adalah
ksatria. Kakek nenekku lebih memilih untuk bertani karena takut kelaparan. Jika Jiro melayani
Anda, mungkin dia bisa menjadi ksatria lagi dan mengangkat nama keluarga kami."
"Akan lebih baik bila dia tetap di sini untuk memperbaiki tanah ini," sahutku. "Tapi jika
kau benar-benar menginginkannya, dia boleh ikut bersama kami."
Kusuruh dia memilih kuda yang kami ambil dari para bandit, dan menyuruhnya kembali
padaku jika dia telah mendapatkan kuda tunggangan. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada
Aoi yang tidak terlihat lagi sejak aku meninggalkannya dengan Jo-An; rasanya seperti sudah
berhari-hari yang lalu. Aku dan Makoto berjalan berdampingan di depan pasukan yang letih
namun gembira. "Hari ini hari yang baik, awal yang bagus," ujarnya. "Kau melakukannya dengan sangat
baik, meskipun aku melakukan hal yang bodoh."
Aku teringat kemarahanku padanya. Kemarahan itu telah menguap.
"Lupakan masalah itu. Apakah kau menganggap tadi sebagai perang?"
"Bagi prajurit yang terlatih itu adalah peperangan," jawabnya. "Dan kemenangan. Karena
kau telah menang, kau boleh menganggapnya sesukamu."
Masih ada tiga kemenangan, satu kali kalah, pikirku dan langsung bertanya-tanya apa
begitu cara kerja sebuah ramalan. Bisakah aku menganggapnya sesuka hatiku" Aku mulai
melihat betapa kuat dan berbahayanya ramalan itu: bagaimana ramalan itu telah
mempengaruhi hidupku terlepas apakah aku mempercayainya atau tidak. Ramalan ini telah
disampaikan, aku sudah mendengarnya dan tak bisa kuhapus dari ingatanku. Aku juga tak bisa
menahan diriku untuk tidak mempercayainya.
Jiro datang dengan menunggang kuda coklat kemerahan milik Amano, Ki. "Menurut
Lord Amano, Anda mesti mengganti kuda, dan mengirim kuda ini untukmu. Menurutnya
kuda hitam Anda tidak dapat diselamatkan. Kuda itu perlu mengistirahatkan kakinya, dan tak
akan mampu ikut serta. Dan tak seorang pun di sini mampu mengurus kuda yang tidak bisa
LIAN HEARN BUKU KETIGA 42 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON berjalan." Aku kasihan pada kuda yang pemberani dan tampan itu. Kutepuk leher Shun. "Aku
senang pada kuda ini."
Jiro meluncur dari punggung kuda coklat kemerahan itu dan mengambil tali kekang
Shun. "Ki lebih tampan," ujarnya.
"Kau harus memberi kesan yang baik," ujar Makoto dengan acuh tak acuh kepadaku.
Kami bertukar kuda, kuda itu mendengus dan kelihatan segar seperti baru datang dari
padang rumput. Jiro mengayunkan tubuhnya menunggangi Shun, tapi begitu menyentuh
pelana, Shun menundukkan kepala dan meronta, melempar Jiro terbang ke udara. Shun
memperhatikan anak itu berada dalam lumpur di dekat kakinya dengan terkejut, seperti
sedang berpikir, Apa yang dia lakukan di bawah sana"
Aku dan Makoto merasa itu sangat lucu sehingga kami tertawa terbahak-bahak.
"Rasakan, itulah akibatnya bila bersikap kasar padanya," kata Makoto.
Jiro menertawai dirinya sendiri. Dia bangkit dan meminta maaf pada Shun yang
kemudian mau ditunggangi tanpa protes.
Setelah kejadian itu, Jiro sudah tidak malu-malu lagi dan mulai menjelaskan tentang
daerah penting selama di perjalanan, gunung tempat tinggal para goblin, kuil yang airnya bisa
menyembuhkan luka apa pun, mata air di pinggir jalan yang tak pernah kering selama ribuan
tahun. Aku membayangkan kalau dia juga sepertiku yang menghabiskan sebagian besar masa
kecil dengan berlarian di gunung.
"Kau bisa membaca dan menulis, Jiro?" tanyaku.
"Sedikit," sahutnya.


Briliance Of The Moon Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus giat belajar untuk bisa menjadi ksatria," kata Makoto sambil tersenyum.
"Bukankah aku hanya harus belajar cara bertarung" Aku sudah berlatih dengan tongkat
kayu dan panah." "Kau juga harus mendapatkan pendidikan, bila ingin menjadi lebih baik dari para bandit."
"Apakah Anda ksatria yang hebat, tuan?" tanya Jiro pada Makoto.
"Sama sekali bukan! Aku seorang biarawan."
Wajah Jiro tampak keheranan. "Maaf atas perkataanku tadi, tapi Anda tidak mirip
biarawan!" LIAN HEARN BUKU KETIGA 43 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Makoto menjatuhkan tali kekang di leher kudanya dan melepas topi baja, memamerkan
kepalanya yang botak. Dia mengusap kulit kepalanya dan menggantung tutup kepala itu di tali
pelananya. "Aku mengandalkan Lord Otori untuk menghindari pertempuran apa pun hari ini!"
Tidak lama kemudian kami sampai di kota terdekat. Rumah-rumah ada penghuninya dan
sawah nampak lebih terpelihara, pematang telah diperbaiki dan padi mulai tumbuh. Di satu
atau dua rumah yang lebih besar, lampu-lampu telah dinyalakan, memancarkan sinar jingga di
kasa jendela yang sobek. Di rumah yang lainnya terlihat api di dapur yang berlantaikan tanah;
aroma makanan yang berhembus dari dapur membuat perut kami bernyanyi riang.
Benteng di sekeliling kota telah dibangun kembali, tapi bekas-bekas pertempuran
meninggalkan dinding yang rusak di banyak tempat, pintu gerbang dan menara pengintai
hangus terbakar. Kabut tipis memperlembut bentuk kerusakan. Sungai yang telah kami
seberangi mengalir di sepanjang sisi kota; tak terlihat ada jembatan, tapi jelas terlihat kalau
sebelumnya ada pasar terapung, meskipun sekarang lebih banyak kapal yang rusak. Jembatan
tempat Jin-emon menarik pajak semulah menjadi garis hidup kota ini dan makhluk itu nyaris
mematikannya. Kahei sedang menunggu kami di reruntuhan pintu gerbang utama. Aku menyuruhnya
dan pasukan menunggu, sementara aku melanjutkan perjalanan ke dalam kota bersama
Makoto dan Jiro serta beberapa pengawal.
Kahei nampak khawatir. "Lebih baik aku saja yang pergi, untuk berjaga-jaga kalau ada
jebakan," sarannya, tapi aku tidak menganggap kota yang setengah hancur ini dapat
membahayakan, dan merasa lebih bijaksana bila aku yang mendatangi pemimpin yang Arai
tempatkan di sini jika aku mengharapkan persahabatan dan kerjasamanya. Dia akan sungkan
menolak bila aku yang memintanya secara langsung.
Seperti yang Kahei katakan, di kota ini tak ada kastil. Di tengah kota, di atas bukit yang
landai, terdapat rumah dengan dinding dan pintu kayunya seperti baru diperbaiki. Rumahnya
rusak, tapi tidak parah. Ketika kami mendekat, gerbangnya terbuka dan seorang laki-laki
setengah baya keluar, diikuti oleh sekelompok kecil laki-laki bersenjata.
Aku langsung mengenali orang itu. Sebelumnya dia berpihak pada Arai saat pasukan
Seishuu ke Inuyama, dan mendampingi Arai ke Terayama. Dia berada di ruangan tempat aku
LIAN HEARN BUKU KETIGA 44 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON terakhir kali bertemu Arai. Seingatku orang itu bernama Niwa. Apakah putranya yang
dibunuh Jinemon" Wajahnya tampak menua dan menyimpan garis-garis kesedihan yang
masih tampak jelas. Aku menghentikan kuda dan berkata dengan lantang.
"Aku Otori Takeo, putra Shigeru, cucu Shigemori. Aku tak bermaksud menyerang kota
ini. Aku dan istriku, Shirakawa Kaede, beserta pasukan hendak ke Maruyama, dan aku
meminta bantuanmu untuk menyediakan makanan dan tempat menginap bagi kami malam
ini." "Aku ingat kau dengan baik," ujarnya. "Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita bertemu.
Aku Niwa Junkei. Aku berkuasa di wilayah ini atas perintah Lord Arai. Apakah kau hendak
bersekutu dengannya?"
"Itu merupakan kehormatan bagiku," kataku. "Segera setelah mengamankan daerah
istriku, aku akan ke Inuyama untuk menanti kesediaan beliau."
"Tampaknya kau banyak berubah," sahutnya. "Aku berhutang budi padamu; kabar angin
mengatakan kau sudah membunuh Jin-emon dan bandit-banditnya."
"Memang benar Jin-emon dan semua anak buahnya sudah mati," kataku. "Kami
membawa kepala para ksatria untuk dimakamkan dengan layak. Kuharap bisa datang lebih
awal agar kau terhindar dari kesedihan."
Dia mengangguk, bibirnya mengatup membentuk satu garis sangat tipis hingga terlihat
berwarna hitam. "Kau menjadi tamuku," katanya, mencoba memompa energi dalam suaranya.
"Kau disambut baik di sini. Aula kami terbuka untuk pasukanmu: agak rusak tapi atapnya
masih tegak berdiri. Sisanya bisa memasang tenda di luar kota. Sedapat mungkin kami akan
menyediakan makanan yang kau perlukan. Ajaklah istrimu ke dalam rumah, pelayan
perempuan akan mengurusnya. Kau dan juga pengawalmu boleh tinggal bersamaku." Dia
diam sebentar, kemudian berkata dengan nada getir, mengabaikan perkataan formal dalam
kesopansantunan, "Aku sadar kalau aku telah menawarkan hal yang tidak seharusnya kau
dapatkan. Lord Arai memberi perintah untuk menahanmu. Tapi karena aku tak mampu
melindungi wilayahku ini melawan gerombolan bandit, harapan apa yang kumiliki melawan
begitu banyak pasukanmu?"
"Aku sangat berterima kasih padamu." Aku memutuskan untuk mengabaikan nada
LIAN HEARN BUKU KETIGA 45 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON bicaranya, menganggap itu bagian dari kesedihannya. Tapi aku ingin tahu apakah kekurangan
makanan sehingga membuat sebagian orang menjadi bandit. Arai nyaris tak mampu
mempertahankan negara ini; tugas menaklukkan sisa-sisa klan Tohan pasti menguras habis
semua sumber dayanya. Niwa memberikan berkarung-karung gabah dan beras, ikan kering serta kecap, ini semua
dibagikan pada pasukan bersama makanan yang diberikan para petani sebelumnya. Sebagai
ucapan terima kasih, penduduk kota menyambut pasukan kami semampu mereka,
memberikan makanan dan tempat menginap. Tenda-tenda didirikan, api unggun dinyalakan,
kuda diberi rumput dan minum. Aku berkuda melihat-lihat tenda prajurit bersama Makoto,
Amano dan Jiro. Dengan semua kekurangan yang ada, pasukanku bisa beristirahat di malam
pertama perjalanan. Aku berbicara pada penjaga yang Kahei pilih, lalu pada Jo-An dan para
gelandangan yang berkemah di dekat pasukan. Tampaknya telah tumbuh ikatan yang janggal
di antara mereka. Aku ingin berjaga-jaga sepanjang malam"aku bisa mendengar dari jauh bila ada pasukan
yang mendekattapi Makoto membujukku untuk beristirahat. Jiro menuntun Shun dan kuda
coklat kemerahan ke istal milik Niwa, dan kami terus berjalan ke kediaman Niwa.
Kaede telah diantar ke sana dan disediakan kamar bersama istri Niwa serta pelayan
perempuan di rumah itu. Aku ingin sekali berduaan dengannya, tapi aku sadar kalau
kemungkinannya kecil sekali keinginanku bisa dicapai. Dia akan tidur di kamar tidur
perempuan, dan aku akan sekamar bersama Makoto, Kahei, dan beberapa pengawal; mungkin
kamar kami akan bersebelahan dengan kamar Niwa dan para pengawalnya.
Seorang perempuan tua yang mengaku sebagai ibu sepersusuan istri Niwa, memandu
kami ke kamar tamu. Kamarnya luas, tapi alas tidurnya sudah tua dan banyak noda serta
bercak jamur di dinding. Kasa jendela masih terbuka: angin malam menghembuskan aroma
bunga yang merekah dan segar, sedangkan taman kelihatan tidak terawat.
"Air mandinya sudah siap, tuan," ujar perempuan tua itu lalu mengantarku ke rumah
mandi yang terbuat dari kayu di ujung beranda. Aku minta Makoto berjaga-jaga di luar,
kemudian menyuruh perempuan tua itu meninggalkanku. Tak ada orang yang kelihatan lebih
tak berdaya darinya, tapi aku tidak mau ambil resiko apa pun. Aku takut dia adalah orang
Tribe yang menyamar untuk dapat membunuhku.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 46 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Perempuan tua itu meminta maaf karena airnya tidak terlalu panas, dan menggerutu
tentang kurangnya kayu bakar serta makanan. Sebenarnya airnya tidak hangat, tapi sudah
cukup menyenangkan karena aku dapat membersihkan lumpur dan darah di badanku. Aku
berendam ke dalam bak mandi, memeriksa luka yang kudapat hari ini.
Aku tidak terluka, tapi ada memar yang tidak kusadari. Bagian atas lenganku tampak
lebam bekas cengkraman tangan besi Jin-emon"aku ingat itu dengan jelas"tapi ada juga
lebam di pahaku yang kini menghitam; aku tidak tahu apa yang menyebabkan lebam itu.
Pergelangan tangan yang pernah dipelintir Akio sewaktu di Inuyama, yang kupikir sudah
pulih, mulai terasa sakit lagi, mungkin karena beradu dengan tulang keras Jin-emon. Aku
berpikir untuk melilitkan pembalut kulit esok. Aku membiarkan diriku tercenung selama
beberapa saat dan hampir tertidur saat aku mendengar langkah kaki perempuan di luar; pintu
bergeser terbuka dan Kaede melangkah masuk.
Aku tahu itu Kaede dari caranya berjalan, dari aroma tubuhnya. Dia berkata, "Aku
membawakan lampu. Pelayan itu mengatakan kalau kau mengusirnya karena dia jelek. Dia lalu
membujukku untuk kemari."
Cahaya di rumah mandi langsung berubah setelah dia menaruh lenteranya di lantai.
Kemudian tangannya berada di punggung leherku, memijatnya untuk menghilangkan rasa
pegal. "Aku meminta maaf padanya atas kekasaranmu, tapi dia mengatakan kalau di tempatnya
dibesarkan, seorang istri selalu merawat suaminya ketika mandi, dan aku harus melakukan hal
yang sama padamu." "Tradisi yang sangat bagus," kataku sambil berusaha tak mengerang keras. Tangannya
bergerak memijit bahuku. Hasrat tak terbendung yang sempat kurasakan kini kembali
mengalir. Sejenak tangannya meninggalkan tubuhku dan aku mendengar desau kain sutra saat
dia melepaskan pakaiannya jatuh ke lantai. Dia bersandar ke depan, jarinya menelusuri
pelipisku lalu menyentuh tengkukku.
Aku melompat dari bak mandi dan merengkuhnya ke dalam pelukanku. Dia sama
berhasrat sepertiku. Tubuh kami terikat menjelma menjadi satu, mengikuti gerakan hati kami.
Setelah itu akhirnya kami berbaring, meskipun lantainya basah dan kasar, saling merapatkan
tubuh selama beberapa lama.
LIAN HEARN BUKU KETIGA 47 KISAH KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
BRRILIANCE OF THE MOON Ketika angkat bicara, aku meminta maaf padanya. Sekali lagi aku malu atas kuatnya
hasratku. Dia istriku; aku memperlakukan dia seperti pelacur. "Maaf," kataku. "Maafkan aku."
"Aku sangat menginginkannya," kata Kaede pelan. "Tadinya aku takut kita tidak bisa
bersama malam ini. Aku yang mestinya meminta maaf padamu. Aku seperti tidak punya rasa
malu." Aku menariknya ke dekatku, memendamkan wajahku di rambutnya. Aku terpesona
padanya. Aku takut pada kekuatannya, tapi aku tak bisa menahannya dan perasaan itu
membuatku bahagia lebih dari apa pun.
"Rasanya seperti sihir," kata Kaede, sepertinya dia bisa membaca pikiranku. "Terasa
sangat kuat hingga aku belum mampu melawannya. Apakah cinta selalu seperti ini?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mencintai orang lain selain kau."
"Aku juga." Ketika berdiri, kimononya basah. Kaede menciduk air dari bak mandi dan
membasuhi tubuhnya. "Manami terpaksa harus mencarikan kimono kering untukku." Dia
Pendekar Pedang Sakti 9 Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Golok Bintang Tudjuh 1
^