Pencarian

Taiko 20

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 20


"Sepuluh ribu. Kalau ditambah dengan para pemikul dan pembawa barang, jumlahnya pasti lebih
dari tiga belas ribu orang."
Mitsuhide mengangguk dan berkata setelah terdiam sejenak. "Suruh para komandan kompi ke sini."
Setelah komandan-komandan itu berkumpul di depan kuda Mitsuhide, ia mundur sebentar dan
tempatnya digantikan oleh sepupunya, Mitsutada, yang diapit oleh jendral-jendral di kedua sisinya.
"Surat dari Mori Ranmaru ini tiba semalam. Dia kini berada di Kyoto. Aku akan membacakan
suratnya agar diketahui oleh kalian semua."
Ia membuka surat itu dan membacakannya, "Atas perintah Yang Mulia Nobunaga, kalian harus
datang ke ibu kota, agar Yang Mulia dapat memeriksa pasukan sebelum kalian bertolak ke wilayah
Barat." "Kita akan berangkat pada jam Ayam jantan. Sampai saat itu, suruh prajurit-prajurit kalian
mempersiapkan perbekalan, memberi makan kuda-kuda, dan beristirahat."
Ketiga belas ribu prajurit yang mempersiapkan ransum masing-masing merupakan pemandangan
yang menyenangkan. Sementara itu, para koman-dan korps yang sudah sempat disuruh
menghadap dipanggil sekali lagi - kali ini ke hutan yang menge-lilingi tempat persembahan
Hachiman. Di sana, diperkuat oleh bayang-bayang dan suara jangkrik, udara sejuk terasa hampir
seperti air. Sesaat sebelumnya, bunyi tepuk tangan terdengar dari tempat persembahan. Rupanya Mitsu-hide
dan para jendralnya telah memanjatkan doa kepada dewa-dewa. Mitsuhide berhasil meyakinkan diri
bahwa tindakannya bukan akibat rasa permusuhannya terhadap Nobunaga semata-mata.
Kekhawatiran bahwa ia akan mengalami nasib seperti Araki dan Sakuma memberikan peluang
padanya untuk percaya bahwa tindakannya sekadar untuk mempertahankan diri; ia bagaikan
binatang terpojok yang terpaksa menyerang lebih dulu agar tetap hidup.
Jarak dari tempat persembahan itu ke Kuil Honno, tempat musuhnya menginap tanpa pengawalan
9 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ketat, hanya sekitar lima belas mil. Kesempatan seperti ini takkan terulang lagi. Sadar bahwa
pengkhianatannya berkesan oportunis, Mitsuhide tak sanggup memusatkan pikiran pada doanya.
Namun ia tidak mengalami kesulitan untuk membenarkan tindakannya. Satu per satu ia
menyebutkan kejahatan Nobunaga selama dua puluh tahun terakhir. Dan akhirnya, walaupun ia
telah bertahun-tahun mengabdi pada Nobunaga, Mitsuhide merindukan keshogunan lama, dengan
segala kemandekannya. Para komandan menunggu sambil berkerumun. Kursi Mitsuhide belum juga ditempati.
Pelayan-pelayannya mengatakan bahwa ia masih berdoa di tempat persembahan dan akan segera
kembali. Tak lama setelah itu, tirai terbuka. Sambil menyapa orang-orang yang telah berkumpul,
para pembantu dekat Mitsuhide masuk satu demi satu. Mitsuhide, Toshimitsu, Mitsuharu, Mitsutada,
dan Mitsuaki muncul terakhir.
"Para komandan korps sudah datang semua?" Mitsuhide bertanya.
Dengan kecepatan mengejutkan, daerah sekitar sudah dikepung prajurit.
Kewaspadaan terbaca pada roman muka Mitsu-hide, dan mata para jendral memancarkan
peringatan bisu. Mitsuhide berkata. "Kalian mungkin mengang-
gap aku berhati dingin karena berjaga-jaga seperti ini pada waktu hendak bicara dengan para
peng-ikutku, terutama dengan para pengikut yang menjadi andalanku. Kalian jangan salah terima;
ini karena aku akan membeberkan sebuah peristiwa besar yang telah lama ditunggu-tunggu pada
kalian - sebuah peristiwa yang akan mempengaruhi seluruh negeri dan akan membawa kejayaan
atau kehancuran bagi kita."
Dengan demikian, ia mulai menjelaskan ren-cananya. Satu demi satu Mitsuhide menyebutkan
keluhannya terhadap Nobunaga - penghinaan di Suwa dan Azuchi, dan yang terakhir, perintah
untuk bergabung dengan operasi militer di wilayah Barat, yang menyiratkan bahwa ia berada di
bawah Hideyoshi. Ia lalu menyebutkan nama orang-orang yang selama bertahun-tahun mengabdi
pada Nobu-naga dan kemudian dipaksa menuju kehancuran. Nobunaga-lah musuh kebenaran;
orang yang merusak budaya dan berkomplot untuk menjatuh-kan lembaga-lembaga dan membawa
kekacauan ke seluruh negeri. Mitsuhide mengakhiri pidatonya dengan membaca sajak yang
digubahnya sendiri. Biarkan mereka yang tak paham Berkata sekehendak hati; Kedudukan maupun kemasyhuran
Takkan kusesalkan. Sewaktu membacakan sajaknya. Mitsuhide mulai merasakan kesedihan atas situasinya sendiri, dan
air mata mulai mengalir di pipinya. Para pengikut senior pun mulai menangis. Beberapa di antara
mereka bahkan menggigit lengan baju tempur atau jatuh bertiarap di tanah. Hanya satu orang yang
tidak menangis - Saito Toshimitsu, sang veteran.
Untuk menyatukan tangis mereka dalam suatu ikatan darah, Toshimitsu angkat bicara. "Kukira
Yang Mulia berkenan membuka hatinya karena beliau menganggap kita sebagai orang yang dapat
dipercaya, jika kening seorang pemimpin tercoreng arang, para pengikutnya akan mati. Apakah
hanya junjungan kita yang menderira" Tulang-belulangku sudah tua dan waktuku tak banyak lagi,
tapi jika aku dapat menyaksikan kejatuhan Yang Mulia Nobunaga dan sempat melihat junjunganku
10 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menjadi penguasa seluruh negeri, aku bisa mati tanpa penyesalan."
Kemudian giliran Mitsuharu. "Masing-masing dari kita tentu menganggap dirinya sebagai tangan
kanan Yang Mulia, jadi sekali beliau bicara, hanya ada satu jalan untuk ditempuh, tanpa bimbang
dan ragu. Kita jangan sampai terlambat menyam-but ajal."
Para komandan korps menjawab serempak. Kilau emosi di setiap mata dan mulut yang terbuka
seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka tak mengenal kata lain selain ya. Ketika Mitsuhide
bangkit, orang-orang itu gemetar akibat gejolak perasaan dalam batin masing-masing. Mereka
mengelu-elukannya, sesuai tradisi pada waktu bertolak ke garis depan.
Yomoda Masataka menengadahkan kepala, memandang langit, lalu mendesak semuanya agar
mempersiapkan mental, "Jam Ayam jantan tidak lama lagi. Jarak ke ibu kota sekitar lima belas mil.
Kalau kita ambil jalan pintas, pada waktu fajar Kuil Honno sudah bisa kita kepung. Jika kita dapat
merebut Kuil Honno sebelum jam Naga, lalu menghancurkan Istana Nijo, semuanya akan selesai
sebelum waktu makan pagi."
Ia telah berpaling menghadap Mitsuhide dan Mitsuharu, dan berbicara dengan penuh ke-yakinan.
Pidato ini tentu saja bukan saran maupun usul, melainkan bertujuan agar para komandan
menyadari bahwa seluruh negeri sudah berada di tangan mereka. Masataka sengaja ingin
membakar semangat mereka.
Jam Ayam jantan sudah memasuki pertengahan kedua. Jalan sudah gelap, diselubungi bayangan
gunung. Orang-orang berbaju tempur itu memben-
tuk barisan panjang melewati Desa Oji, dan akhirnya mencapai bukit di Oinosaka. Langit malam
penuh bintang, dan ibu kota di bawahnya tampak tak berubah.
Lima Puluh Tahun di Bawah Langit
CAHAYA kemerahan matahari yang celah con-dong ke barat menerpa selokan kering yang
mengelilingi Kuil Honno. Hari ini hari pertama di Bulan Keenam. Sepanjang hari matahari bersinar
terik di atas ibu kota, dan kini lumpur di dasar selokan, yang sebenarnya cukup dalam, mulai retak
di sana-sini. Tembok bergenteng membentang lebih dari seratus meter ke timur dan barat, dan sekitar dua ratus
meter dari utara ke selatan. Selokannya selebar lebih dari empat meter dan lebih dalam daripada
selokan kuil pada umumnya. Orang-orang yang berlalu-lalang dapat melihat atap kuil utama dan
atap-atap kesepuluh bangunan biara, tapi selain itu tak banyak yang tampak dari luar. Hanya
sebatang pohon besar di salah satu pojok pekarangan yang kelihatan dari jauh. Pohon tersebut
begitu besar, sehingga kerap dijuluki Hutan Honno.
Pohon itu merupakan patokan yang tak kalah tersohor dari pagoda di Kuil Timur. Ketika mata-hari
sore menerpa puncaknya, kawanan burung gagak mulai berkaok-kaok serentak. Para warga Kyoto
berusaha keras agar kelihatan anggun dan terhormat, tapi ada tiga hal yang tak dapat mereka
11 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
cegah: anjing-anjing berkcliaran di malam hari, kotoran sapi di jalanan pada pagi hari, dan
burung-burung gagak pada sore hari.
Di dalam pekarangan kuil terdapat sejumlah tempat yang masih kosong. Masih banyak yang harus
dilakukan untuk membangun kembali sekitar dua puluh bangunan yang dimangsa api ketika perang
sipil berkecamuk di ibu kota, jika seorang pengunjung berjalan ke arah jalan Keempat dari gerbang
utama kuil, ia akan melihat kediaman Gubernur Kyoto, pemukiman para samurai, serta jalan-jalan
sebuah kota yang tertua dengan baik. Tapi di bagian utara kota, kantongkantong perkampungan
kumuh bertahan seperti pulau, tak berbeda dari zaman keshogunan, dan satu gang sempit tetap
pantas menyandang namanya yang lama, Jalan Got.
Anak-anak di daerah itu berhamburan dari gang-gang sempit di bawah lis-lis atap yang mencong.
Dengan borok, ruam, dan hidung berair, mereka menyusun jalanan seperti serangga bersayap
berukuran raksasa. "Para padri datang!" mereka bersorak-sorai.
"Para pendeta dari Kuil Namban membawa kandang burung yang indah!"
Ketiga padri tertawa ketika mendengar suara anak-anak itu, dan memperlambat langkah,
seakan-akan menunggu teman lama.
Kuil Namban, nama yang lebih populer untuk Gereja Kebangkitan Yesus Kristus, terletak di Jalan
Keempat. Di pagi hari, nyanyian keagamaan dari Kuil Honno terdengar di perkampungan kumuh,
sedangkan pada malam hari, suara lonceng gereja bergema di gang-gang sempit. Gerbang Kuil
Honno sungguh mengesankan, dan para biksu yang tinggal di sana selalu lewat dengan sikap
angkuh, tapi para padri selalu bersikap rendah hati dan ramah terhadap penduduk-penduduk
setem-pat. Jika melihat anak kecil dengan bisul di wajahnya, mereka akan menepuk-nepuk
kepalanya dan mengajarkan cara mengobati bisulnya; jika mereka mendengar bahwa seseorang
jatuh sakit, mereka akan mengunjungi orang tersebut. Konon orang sebaiknya tidak ikut campur
dalam pertengkaran antara suami-istri, namun jika para padri kebetulan menemui situasi seperti itu,
mereka akan mampir dan berusaha menengahinya. Karenanya, mereka kemudian dikenal baik hati
dan penuh pengertian. "Mereka benar-benar mengabdi demi kepentingan masyarakat," orang-orang
berkomentar. "Barangkali mereka utusan para dewa."
Penduduk-penduduk perkampungan kumuh itu sudah lama mengagumi para padri. Amal bakti
mereka mencakup kaum papa, orang-orang sakit, serta orang-orang yang tak memiliki tempat
bernaung. Pihak gereja bahkan mempunyai semacam rumah sakit amal dan tempat penampungan
untuk kaum lanjut usia. Dan seakan-akan itu belum cukup, para padri juga menyukai anak-anak.
Tapi jika para padri yang sama berpapasan dengan biksu-biksu Buddha di jalan, mereka tidak
menunjukkan keramahan yang mereka perlihatkan terhadap anak-anak. Mereka memandang para
biksu seperti musuh bebuyutan. Karena itu. mereka lebih suka menempuh jalan memutar lewat
Jalan Got, sebisa mungkin menghindari Kuil Honno. Namun pada hari ini dan hari sebelumnya,
mereka melakukan kunjungan ke kuil, berhubung kuil tersebut telah menjadi markas besar Yang
Mulia Nobunaga. Ini berarti orang paling berkuasa di seluruh Jepang kini bertetangga de-ngan
mereka. Sambil membawa burung kecil dari daerah tropis dalam kandang bersepuh emas dan sejumlah kue
buatan juru masak yang mereka datangkan dari negeri sendiri, ketiga padri tampaknya sedang
12 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dalam perjalanan untuk mempersembahkan hadiah-hadiah itu pada Yang Mulia Nobunaga.
"Tuan Padri! Hei, Tuan Padri!" "Burung apa ini?"
"Apa isi kotak ini?"
"Kalau isinya kue, kami minta beberapa!"
"Ya, Tuan Padri, berikan beberapa untuk kami!" Anak-anak Jalan Goi berdatangan dan
menghalangi jalan. Namun ketiga padri tidak kelihatan kesal. Sambil tersenyum dan terus berjalan,
mereka menegur anak-anak itu dalam bahasa Jepang patah-patah.
"Ini semua untuk Yang Mulia Nobunaga. Jangan nakal. Kalian semua akan mendapat kue kalau
kalian datang ke gereja bersama ibu kalian," salah satu pastor berkata.
Mereka dibuntuti dan didahului anak-anak. Pada waktu para pastor terkepung seperti itu, salah satu
anak berlari ke tepi selokan dan tercebur, mengeluarkan bunyi seperti katak. Selokannya tak berair,
sehingga anak itu tidak terancam bahaya tenggelam, tapi dasarnya bagaikan rawa. Bocah itu
menggeliat-geliat seperti ikan di lumpur. Bagian pinggir selokan terbuat dari batu, sehingga orang
dewasa pun akan menemui kesulitan jika hendak memanjat keluar. Sesekali, pada malam hari, ada
pemabuk malang yang jatuh ke dalamnya dan tenggelam pada saat selokan terisi air hujan sampai
meluap. Seseorang segera menghubungi keluarga bocah itu. Para penghuni Jalan Got berhamburan keluar
seperti air mendidih yang bercipratan dari panci, dan tak lama kemudian kedua orangtua datang
berlari dengan bertelanjang kaki. Kejadian tersebut merupakan bencana bagi mereka. Pada waktu
mereka tiba, bocah cilik itu sudah berhasil diselamatkan. Ia tampak seperti akar kembang lotus yang
tercabut dari lumpur, dan menangis tersedu-sedu.
Baik ia maupun dua dari ketiga padri berlepotan lumpur pada baju dan tangan. Padri ketiga telah
melompat ke dalam selokan, dan ia sepenuhnya terbungkus lumpur.
Ketika anak-anak melihat para padri, mereka berlari-lari dengan riang, bersorak-sorak, bertepuk
tangan, dan berseru. "Tuan Padri jadi ikan lele! Janggut merahnya penuh lumpur."
Tapi orangtua bocah tadi mengucapkan terima kasih dan memuji-muji Tuhan para padri, walau-pun
mereka sendiri bukan penganut ajaran Nasrani. Mereka bersujud di depan kaki para padri dan
mencucurkan air mata sambil merapalkan tangan untuk berdoa. Di tengah kerumunan yang
terbentuk di belakang mereka, kata-kata pujian untuk para padri diteruskan dari mulut ke mulut.
Para padri tampaknya tidak menyesal karena harus kembali setelah sampai ke depan kuil, sambil
membawa hadiah-hadiah yang kini sudah tak berguna. Di mata mereka, Nobunaga dan bocah dari
perkampungan kumuh sama saja. Kecuali itu, peristiwa tersebut telah menjadi buah bibir yang akan
disampaikan dari rumah ke rumah, dan para padri sadar bahwa ini bisa sangat menguntungkan
bagi mereka. "Sotan, kaulihat itu?"
"Ya, aku terkesan."
13 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Agama itu sungguh menakutkan."
"Ya. Keyakinan mereka membuat kita berpikir-
pikir." Satu dari kedua orang itu merupakan laki-laki berusia tiga puluhan, sementara yang satu lagi jauh
lebih tua. Mereka kelihatan seperti ayah dan anak. Ada sesuatu pada diri mereka yang
membedakan mereka dari saudagar-saudagar kaya dari Sakai - sebagian pembawaan mereka,
mungkin menunjukkan wawasan luas dan didikan mendalam. Meski demikian, melihat mereka
orang akan segera tahu bahwa mereka pun saudagar.
Setelah didiami oleh Nobunaga, Kuil Honno bukan lagi kuil biasa. Sejak malam hari kedua puluh
sembilan, gerbang utama kuil itu diramaikan oleh gerobak-gerobak dan tandu-tandu yang datang
dan pergi, serta oleh hiruk-pikuk orang-orang yang keluar-masuk. Kesempatan menghadap yang
kini diberikan oleh Nobunaga dianggap teramat berharga oleh seluruh negeri. Jadi, seseorang
mungkin saja menarik diri setelah memperoleh sepatah kata atau sebuah senyum dari Nobunaga,
dan pulang ke rumahnya dengan perasaan telah mendapatkan sesuatu yang seratus atau seribu
kali lebih bernilai daripada barang-barang langka, makanan atau minuman lezat, atau
hadiah-hadiah lain yang dipersembahkannya.
"Kita tunggu sebentar di sini. Agaknya ada orang istana yang sedang melewati gerbang."
"Dan itu tentu sang gubernur. Orang-orang itu sepertinya para pembantunya."
Gubemur Kyoto, Murai Nagato, dan para pembantunya telah berhenti di gerbang utama. Sepertinya
mereka sedang menunggu, sementara tandu seorang bangsawan diusung keluar. Be-berapa saat
kemudian, sejumlah samurai menun-tun dua atau tiga ekor kuda, menyusul iring-iringan tandu dan
usungan. Ketika para samurai itu mengenali Nagato, mereka membungkuk sam-bil berjalan dan
menggenggam tali kekang dengan satu tangan.
Begitu mereka pergi, Nagato memasuki gerbang. Dan setelah kedua saudagar tadi meyakinkan diri
bahwa ia telah berada di dalam, mereka mengayunkan langkah ke arah yang sama.
Tentu saja penjagaan di gerbang depan teramat ketat. Orang-orang yang keluar-masuk tidak
terbiasa melihat kilau perang yang terpancar dari mata tombak, dan bahkan dari mata para prajurit
yang ditemparkan di sana. Semua penjaga menge-nakan baju tempur, dan jika seseorang tampak
mencurigakan, mereka segera menghentikan orang itu dengan seruan lantang.
"Tunggu dulu! Kalian hendak ke mana?" se-orang penjaga bertanya pada kedua saudagar itu.
"Aku Soshitsu dari Hakata," orang yang lebih tua menjawab sopan. Ketika ia menganggukkan
kepala, rekannya yang lebih muda melakukan hal yang sama.
"Aku Sotan, juga dari Hakata."
Nama-nama itu rupanya tak berarti apa-apa bagi para penjaga gerbang, tapi atasan mereka yang
berdiri di muka pos jaga di dalam, tersenyum dan memberi isyarat agar kedua orang itu dibiarkan
lewat. 14 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mari, silakan masuk."
Bangsal Omotemido merupakan bangunan utama di dalam pekarangan kuil, tapi pusat
sesungguhnya adalah bangunan tempat Nobunaga menginap. Di luar ruangan dari mana suara
Nobunaga terdengar, sebuah sungai kecil bergemeritik dari mata air di pekarangan, dan dari
bangunan-bangunan yang terletak agak jauh sesekali terdengar tawa perempuan bernada riang
yang terbawa angin. Nobunaga sedang berbicara dengan kurir putra ketiganya, Nobutaka, dan Niwa Nagahide. "Itu akan
meringankan tugas Goroza. Pastikan dia diberitahu bahwa semuanya telah diamankan. Dalam
beberapa hari aku akan menyusul ke sana, jadi tak lama lagi kami akan bertemu di wilayah Barat."
Menurut rencana, pasukan Nobutaka dan Niwa akan berlayar ke Awa keesokan paginya. Kurir tadi
melaporkan hal tersebut, sekaligus menyampaikan berita bahwa Tokugawa Ieyasu telah menempuh
perjalanan dari Osaka ke Sakai.
Nobunaga memandang warna langit, seakan-akan baru menyadarinya, lalu berkata pada seorang
pelayan. "Matahari sudah terbenam. Naikkan kerai-kerai di sisi barat." Kemudian ia bertanya pada
Nobutada. "Tempatmu menginap juga se-panas ini?"
Nobutada tiba di ibu kota beberapa waktu sebelum ayahnya, dan menginap di Kuil Myokaku yang
berdekatan. Ia ditempatkan di sana pada malam ayahnya memasuki ibu kota, yaitu kemarin, juga
hari ini, dan ia tampak agak lelah. Sesungguhnya ia hanya hendak berpamitan, tapi ayahnya
berkata. "Bagaimana kalau kita minum teh nanti malam" Selama dua malam terakhir, kita sudah
menerima tamu, dan aku merasa sedih kalau tak ada waktu senggang. Aku akan mengundang
se-jumlah orang menarik untukmu." Nobunaga ingin membuat acara untuk putranya, dan ia takkan
suka kalau undangannya ditolak.
Seandainya diperkenankan berkata apa adanya. Nobutada mungkin akan berdalih bahwa usianya
baru dua puluh lima, dan bahwa ia tidak memahami seni minum teh seperti ayahnya. Ia sangat tidak
menyukai para ahli seni teh yang menghambur-hamburkan waktu luang di masa perang. Jika ia


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya, ia tidak menghendaki
kehadiran ahli seni teh. Sebenarnya ia ingin segera bertolak ke medan perang. Ia tak mau tertinggal
di belakang adiknya, Nobutaka, biarpun hanya satu jam.
Rupanya Nobunaga juga mengundang Murai Nagato, bukan sebagai gubernur Kyoto, melainkan
sebagai teman. Namun Nagato tak dapat menge-sampingkan kekakuan yang lazim antara
junjungan dan pengikut, sehingga suasana tetap terasa kikuk. Kerikuhan merupakan salah satu hal
yang dibenci Nobunaga. Dengan kejadian-kejadian sehari-hari, tekanan akibat menjalankan
pemerin-tahan, tamu-tamu yang datang dan pergi, ditambah waktu tidur yang kurang, jika
memperoleh kesempatan melepaskan kewajiban-kewajibannya untuk sejenak, ia tak tahan kalau
harus berhadapan dengan ke-kakuan seperti itu. Situasi-situasi semacam ini selalu membuatnya
terkenang akan Hideyoshi.
"Nagato?" ujar Nobunaga. "Ya, tuanku."
"Bukankah putramu ada di sini?"
"Dia datang bersama hamba, tapi dia agak bebal, jadi hamba menyuruhnya menunggu di luar."
15 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sikap seperti ini sungguh menjemukan," Nobu-naga bergumam. Ketika minta agar orang itu
mengajak putranya, ia jelas-jelas bermaksud mengobrol dengan santai, bukan mengadakan
pembicaraan resmi antara junjungan dan pengikut. Namun akhirnya ia juga tidak memerintahkan
Nagato untuk memanggil putranya.
"Hmm, bagaimana kabarnya tamu-tamu kita dari Hakata?" ujar Nobunaga. Ia berdiri dan ber-
jalan ke dalam kuil, meninggalkan Nobutada dan Nagato begitu saja.
Suara Bomaru terdengar dari kamar para pelayan. Rupanya ia sedang dimarahi kakaknya,
Ranmaru, karena suatu hal. Semua anak Mori Yoshinari kini telah dewasa. Dan belakangan
terdengar selentingan bahwa Ranmaru berharap akan menerima keempat distrik di Sakamoto, yang
sekarang berada di tangan marga Akechi, padahal semula termasuk wilayah kekuasaan ayahnya.
Kabar angin ini telah beredar luas, dan Nobunaga pun marah sekali ketika mendengarnya. Jadi,
untuk meredakan desas-desus tersebut, ia mere-nungkan kembali keputusannya untuk
mempertahankan Ranmaru sebagai pelayan yang terus-menerus berada di sisinya. Memperbaiki
keadaan ini juga akan membawa manfaat bagi dirinya sendiri.
"Tuanku hendak pergi ke pekarangan?" tanya Ranmaru.
Nobunaga berdiri di serambi, dan Ranmaru cepat-cepat berlari dari kamar para pelayan untuk
meletakkan sandal di depan kaki majikannya. Betapa menyenangkan dilayani seseorang yang
begitu tanggap dan sopan, pikir Nobunaga; ia telah terbiasa dengan perhatian seperti itu selama
sekitar sepuluh tahun. "Tidak, aku tidak bermaksud pergi ke pe-karangan. Panasnya luar biasa tadi, ya?"
"Memang, sepanjang hari matahari benar-benar terik."
"Apakah kuda-kuda di kandang sehat-sehat saja?"
"Mereka kelihatan agak lesu."
Nobunaga menengadah dan memandang bin-tang kejora, barangkali karena tiba-tiba teringat pada
provinsi-provinsi Barat. Ranmaru menatap profilnya sambil melamun. Nobutada pun telah masuk
dan berdiri di belakang kedua orang itu, tapi sikap Ranmaru menunjukkan bahwa ia tidak menyadari
kehadiran putra Nobunaga itu. Ia seakan-akan memandang majikannya untuk terakhir kali.
Seandainya ia lebih memperhatikan perasaannya, ia mungkin lebih menyadari bisikan nalurinya
saat itu serta kulitnya yang merinding. Kira-kira pada waktu itulah Akechi Mitsuhide tiba di Oinosaka.
Asap dan dapur besar mulai menyelubungi bagian dalam kuil. Bukan saja di tungku-tungku, di
tempat pemandian pun api dinyalakan. Hal yang sama juga teriadi di luar Kuil Honno; di mana-mana
asap dari tungku membubung ke langit malam.
Nobunaga mengguyur tubuhnya dengan air di tempat pemandian. Sekuntum bunga putih dari
tanaman rambat menyembul lewat kisi-kisi bambu, pada jendela di bagian atas dinding. Setelah
rambutnya dirapikan dan mengenakan pakaian bersih, Nobunaga kembali melalui selasar.
Ranmaru menghampirinya dan memberitahukan bahwa Sotan dan Soshitsu dari Hakata telah
menunggu di ruang minum teh.
16 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mereka datang sebelum hari gelap, dan keduanya tetap menyapu jalan setapak dari ruang minum
teh ke jalanan, serta membersihkan serambi. Kemudian Tuan Soshitsu menyiram jalanan dan
menata kembang, sementara Tuan Sotan pergi ke dapur dan memberi petunjuk euntuk mnyiapkan
hidangan yang akan mereka sajikan pada tuanku."
"Kenapa aku tidak diberitahu lebih cepat?"
"Ehm, mereka berpesan agar kami menunggu sampai semuanya siap, karena merekalah yang
hendak menjamu tuanku."
"Rupanya mereka punya rencana tertentu. Apakah Nobutada sudah diberitahu" Dan Nagato?"
"Hamba akan segera menyampaikan undangan." Setelah Ranmaru pergi, Nobunaga segera mem-
belokkan langkahnya ke arah ruang minum teh.
Penampilan bangunan itu tidak menyerupai ruang minum teh. Tempat itu semula dimaksudkan
sebagai kamar tamu, dan ruangan lebih kecil untuk upacara minum teh dibentuk dengan
menggunakan penyekat yang bisa dilipat.
Para tamu adalah Nobunaga, Nobutada, Nagato, dan putranya. Lentera-lentera menciptakan
suasana menyegarkan. Seusai upacara minum teh, kedua tuan rumah dan para tamu mereka
pindah ke ruangan yang lebih besar, tempat mereka berbincang-bincang sampai larut malam.
Nobunaga masih lapar sekali. Ia melahap hidangan-hidangan yang disajikan padanya, mereguk
anggur - yang seolah-olah terbuat dari batu delima cair - dan sesekali mengambil sepotong kue
Eropa, semuanya tanpa berhenti bercakap-cakap.
"Aku ingin bertamasya ke Negeri Selatan, dengan kau dan Sotan sebagai pemandu. Tentunya
kalian sudah sering mengunjungi tempat-tempat itu."
"Hamba terus memikirkannya, tapi belum sempat pergi." jawab Soshitsu. "Sotan, kau masih muda
dan sehat. Sudahkah kau berkunjung ke sana?"
"Belum, Yang Mulia."
"Kalian berdua belum pernah mengunjungi Negeri Selatan?"
"Belum, walaupun para pegawai kami selalu mondar-mandir."
"Hmm, menurutku ini kurang menguntungkan bagi usaha kalian. Kalaupun orang seperti aku
menyimpan angan-angan serupa, tetap saja tak ada kesempatan yang baik untuk meninggalkan
Jepang, jadi apa boleh buat. Tapi kalian memiliki kapal-kapal dan perwakilan-perwakilan, dan kalian
bebas bepergian kapan saja. Mengapa kalian belum pergi juga?"
"Beban kerja Yang Mulia dalam mengurus negeri ini sungguh berbeda dengan keadaan kami,
namun entah kenapa kami pun selalu terhalang oleh urusan rumah tangga. Dan selama tahun
depan, kami tetap belum ada waktu. Meski demikian, begitu Yang Mulia merampungkan segala
urusan yang harus ditangani, hamba ingin pergi bersama Yang Mulia dan Sotan, dan mengantar
Yang Mulia berkeliling-keliling."
17 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ya, aku suka itu! Sudah dari dulu aku ingin melakukannya. Tapi, Soshitsu, apa kau yakin akan
hidup selama itu?" Sementara para pelayan menuangkan anggur. Nobunaga bergurau dengan orang tua itu, tapi
Soshitsu tak mau kalah. "Hmm, daripada memikirkan hal itu, dapatkah Yang Mulia menjamin bahwa segala urusan dapat
diselesaikan sebelum hamba mati" Jika Yang Mulia terlalu lamban, hamba mungkin tak dapat
menunggu." "Mestinya tidak terlalu lama lagi," ujar Nobu-naga sambil tersenyum menanggapi senda gurau orang
tua itu. Soshitsu berbicara dengan cara yang mustahil bagi para jendral Nobunaga. Sesekali selama
percakapan Nobutada dan Nagato merasa rikuh dan bertanya-tanya, apakah pantas kedua
saudagar itu berbicara demikian terus terang. Mereka juga heran mengapa saudagar-saudagar itu
disukai oleh Nobunaga. Rasanya tak masuk akal bahwa Nobu-naga menerima mereka sebagai
teman hanya karena mereka ahli seni minum teh.
Percakapan itu membosankan bagi Nobutada. Ia baru mulai tertarik ketika pembicaraan beralih ke
Negeri Selatan. Hal-hal tersebut masih baru bagi telinganya, dan menimbulkan impian dan ambisi
darah muda dalam dirinya.
Tanpa memandang apakah pengetahuan mereka mengenai Negeri Selatan dalam atau tidak, kaum
cerdik pandai pada masa itu mempunyai minat untuk mempelajarinya. Intisari kebudayaan Jepang
diguncangkan oleh gelombang pembaruan dari seberang lautan, dan yang paling menonjol di
antaranya adalah senjata air.
Sebagian besar pengetahuan mengenai Negeri Selatan dibawa oleh kaum padri dari Spanyol dan
Portugal, tapi orang-orang seperti Soshitsu dan Sotan telah merintis jalur perdagangan tanpa
menunggu para padri. Kapal-kapal mereka menye-berang ke Korea dan berdagang ke Negeri Cina.
Amoy, dan Kamboja. Orang yang menyampaikan berita mengenai kekayaan di negeri-negeri jauh
pada mereka bukanlah para padri, melainkan perompak-perompak jepang yang bersarang di dekat
Hakata di Kyushu. Sotan mewarisi usahanya dari ayahnya, dan telah mendirikan perwakilan-perwakilan di Luzon,
Siam, dan Kamboja. Konon Sotan yang meng-
impor buah pohon lilin dari bagian selatan Negeri Cina dan mengembangkan cara pembuatan lilin,
dan dengan demikian menyediakan bahan bakar yang menyebabkan malam-malam di Jepang
menjadi jauh lebih terang. Ia pun memperbaiki teknik pengerjaan logam yang dibawa dari negeri
seberang, dan dianggap berjasa atas penyem-purnaan peleburan besi.
Soshitsu juga berkecimpung dalam perdagangan antarbangsa dan bersaudara dengan Sotan. Tak
ada pembesar di Pubu Kyushu yang tidak memin-jam uang darinya. Ia memiliki sepuluh atau lebih
kapal besar yang sanggup mengarungi lautan bebas, dan sekirar seratus kapal berukuran lebih
kecil. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Nobunaga memperoleh seluruh pengetahuannya mengenai
18 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dunia di luar Jepang pada saat minum teh bersama kedua orang ini. Bahkan sekarang pun
Nobunaga larut dalam percakapan dan terus-menerus mengambil kue Eropa. Soshitsu
memperhatikan betapa banyak kue dimakannya, dan berkomentar. "Kue-kue ini dibuat dengan
bahan yang dinamakan gula, jadi Yang Mulia sebaiknya jangan makan tcrlalu banyak sebelum tidur.
"Beracunkah gula itu?" tanya Nobunaga.
"Kalau pun bukan racun, yang jelas gula kurang baik bagi kesehatan." Soshitsu menjawab.
"Makanan dari negeri asal para barbar cenderung mengenyangkan dan membuat orang jadi gemuk,
sedangkan makanan Jepang lebih ringan. Kuc-kue ini jauh lebih manis daripada kue beras. Kalau
Yang Mulia sudah terbiasa dengan gula, Yang Mulia takkan puas dengan kue-kue kita sendiri."
"Sudah banyakkah gula yang diimpor ke Kyushu?"
"Tidak juga. Nilai gula setara dengan emas, jadi keuntungan bagi kami tidak seberapa. Hamba
sedang mempertimbangkan untuk membawa se-jumlah tanaman gula dan mencoba memindahkan
tanaman-tanaman itu ke daerah hangat, tapi, sama halnya seperti tembakau, hamba ragu apakah
gula perlu diperkenalkan di Jepang."
"Tidak biasanya kau bersikap begini." Nobunaga tertawa. "Jangan berpandangan picik. Tak ada
bedanya apakah gula dan tembakau baik atau tidak. Kumpulkan saja semuanya dan bawa ke sini.
Pasti akan ada manfaatnya bagi budaya kita. Kini segala macam barang dibawa dari laut Barat dan
Selatan. Penetrasi ke wilayah Timur takkan dapat dicegah."
"Hamba menghargai kebesaran jiwa Yang Mulia, dan cara berpikir seperti itu tentu menun-jang
usaha kami, tapi hamba ragu apakah keadaan itu bisa dibiarkan."
"Tentu saja bisa. Bawalah segala sesuatu yang baru secepat mungkin."
"Baiklah." "Atau, kalau itu gagal, kunyahlah semuanya dengan baik, lalu ludahkan!"
"Ludahkan lagi?"
"Kunyahlah semuanya dengan baik, seraplah segala sesuatu yang baik di dalam perut, lalu
ludahkan ampasnya. Jika para prajurit, petani, pengrajin, dan saudagar di Jepang memahami
prinsip ini, takkan ada masalah apa pun yang dibawa ke sini."
"Tidak, itu tidak baik." Soshitsu melambaikan tangan dengan tegas. Ia menentang gagasan itu, dan
tak segan-segan mengemukakan pendapatnya mengenai arah pemerintahan. "Sebagai penguasa
seluruh negeri, Yang Mulia mungkin berpikiran demikian, tapi akhir-akhir ini hamba melihat
tanda-tanda mencemaskan, dan karenanya hamba tak dapat menyetujui pandangan Yang Mulia."
"Apa maksudmu?" "Penyebaran ajaran sesat."
"Maksudmu kaum padri" Rupanya orang-orang Buddha juga sudah menyampaikan tuntutan
mereka padamu, Soshitsu?"
"Yang Mulia terlalu meremehkan urusan ini, padahal masalahnya menyusahkan seluruh negeri."
19 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Soshitsu lalu bercerita mengenai bocah yang tercebur ke selokan beberapa jam sebelumnya, dan
tentang pengorbanan para padri yang membuat orang-orang terkesan.
"Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, ribuan orang telah berpaling dari tempat
persembahan leluhur mereka dan berpindah ke ajaran Nasrani. Hal ini bukan saja terjadi di Omura
dan Nagasaki, tapi juga di seluruh Kyushu, di daerah-daerah terpencil di Shikoku, bahkan di Osaka,
Kyoto, dan Sakai. Yang Mulia baru saja berkata bahwa tak ada yang perlu dicemaskan jika segala
sesuatu yang kami bawa ke Jepang dikunyah baik-baik lalu diludahkan kembali, tapi agama
merupakan hal yang berbeda dan mungkin tak dapat ditangani dengan cara itu. Mau tak mau hati
nurani orang-orang akan tersedot ke dalam ajaran ini, dan mereka takkan bersedia melepaskannya
lagi, biarpun mereka disalib atau dipancung."
Nobunaga terdiam. Roman mukanya mengisyaratkan bahwa ini masalah serius yang tak dapat
dibahas dengan beberapa patah kaia saja. Ia telah membumihanguskan Gunung Hiei, dan dengan
menggunakan kekejaman melebihi para penguasa sebelumnya, memaksa para penganut ajaran
Buddha bertekuk lutut. Ia menghadapi para biksu dengan hujan api dan pedang, tapi ia lebih
menyadari dari siapa pun bahwa ke mana pun ia pergi, kemarahan terhadap dirinya takkan mereda.
Di pihak lain, ia telah mengizinkan para padri membangun gereja, dan dari waktu ke waktu bahkan
mengundang mereka menghadiri jamuan makan. Para biksu Buddha protes keras dan
mempertanyakan siapa yang dianggap orang asing oleh Nobunaga - orang-orang Nasrani atau
mereka sendiri. Nobunaga membenci penjelasan. Ia benci mendengar sesuatu diuraikan, tapi ia menghargai intuisi
langsung antara dua orang. Hal itu membuatnya teramat gembira.
"Sotan." Ia kini berpaling untuk berbincang dengan orang yang satu lagi. "Bagaimana pendapatmu
mengenai urusan ini" Kau masih muda, jadi kurasa kau punya pandangan berbeda dari Soshitsu."
Sejenak Sotan menatap lentera dengan was-pada, tapi kemudian menjawab tegas.
"Hamba sependapat dengan Yang Mulia. Agama asing ini sebaiknya dikunyah baik-baik. lalu
diludahkan kembali."
Nobunaga menoleh dan menatap Soshitsu seperti orang yang baru saja memperoleh pene-gasan
atas pendapatnya. "Jangan khawatir. Kau harus melihat masalah ini secara lebih luas. Be-berapa
abad silam, Yang Mulia Michizane menya-rankan agar jiwa Jepang digabungkan dengan ilmu
pengetahuan Cina. Apakah kita membawa adat kebiasaan Cina atau benda-benda seni dari Barat,
warna-warni musim gugur dan kembang ceri di musim semi takkan berubah. Justru kalau hujan
jatuh ke kolam, airnya diperbarui. Kau melakukan kesalahan dengan menilai samudra berdasarkan
selokan di sekitar Kuil Tenno. Bukan begitu, Soshitsu?"
"Benar, Yang Mulia, selokan harus dinilai dengan ukuran selokan."
"Sama halnya dengan budaya-budaya asing." "Setelah tua, hamba pun menyerupai katak di dasar
sumur," ujar Soshitsu.
"Kurasa kau lebih pantas disebut paus." "Memang." Soshitsu menyetujui, "tapi paus dengan
pandangan sempit." 20 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hei, coba bawa air ke sini." Nobunaga memberi perintah pada pelayan yang tidur di belakangnya.
Ia belum hendak mengakhiri malam itu. Walaupun mereka tidak makan maupun minum selama
beberapa waktu, percakapan terus berlanjut dengan seru.
"Ayah," ujar Nobutada, beringsut-ingsut menghampiri Nobunaga. "Malam sudah larut. Aku mohon
diri." "Nanti saja," balas Nobunaga. "Kau menginap di Nijo, bukan" Meski sudah malam, kau bisa
dibilang tinggal di sebelah. Nagato tinggal tepat di depan gerbang, dan tamu-tamu kita dari Hakata
tentu takkan kembali ke sana malam ini."
"Tidak, hanya hamba..." Soshitsu tampak seolah-olah hendak berpamitan. "Hamba telah berjanji
untuk menemui seseorang besok pagi."
"Kalau begitu, hanya Sotan yang menginap di sini?"
"Hamba akan bertugas malam. Masih ada peker-jaan untuk hamba, merapikan ruang minum teh."
"Bukan demi kepentinganku kau harus tinggal di sini. Kau membawa perlengkapan minum teh yang
mahal, dan karena itulah kau harus menginap."
"Hamba takkan menentang kehendak Yang Mulia."
"Bicaralah terus terang." Nobunaga tertawa. Tiba-tiba ia menoleh ke belakang dan menatap lukisan
yang tergantung di dinding. "Mu Ch'i terampil sekali. Keterampilan seperti itu sudah jarang
sekarang. Kabarnya Sotan memiliki lukisan karya Mu Ch'i yang berjudul Kapal-Kapal Kembali dari
Pelabuhan Nan Jauh. Aku tidak tahu, adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti itu?"
Sotan mendadak tertawa keras-keras, seolah-olah Nobunaga tidak ada.
"Apa yang kautertawakan, Sotan?"
Sotan memandang orang-orang di sekitarnya. "Yang Mulia Nobunaga ingin menguasai lukisan Mu
Ch'i milikku dengan muslihatnya yang lihai: Adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti itu"
Ini sama saja dengan mengirim gerombolan penghasut ke provinsi musuh. Sebaiknya Yang Mulia
menjaga kotak teh Yang Mulia yang terkenal itu." Dan ia tak kuasa menghentikan tawanya.
Ucapan itu tepat pada sasaran. Sudah beberapa lama Nobunaga mengejar-ngejar lukisan milik
Sotan. Tapi baik kotak teh maupun lukisan itu merupakan pusaka keluarga, sehingga Nobunaga
pun tidak dapat memaksakan kehendaknya.
Namun kini pemilik lukisan tersebut telah menyinggung persoalannya, dan Nobunaga berang-gapan
itu sama saja dengan menjanjikan lukisan yang diminatinya. Tentunya, setelah menertawakannya
dengan begitu berani seperti tadi, Sotan takkan sampai hati menolak permintaannya.
Jadi, Nobunaga pun ikut tertawa. "Hmm, kau sungguh jeli. Sotan. Kalau orang sudah seusiaku, dia
bisa menyelami seni minum teh dengan sepenuh hati."
Nobunaga mengungkapkan kebenaran itu se-cara berkelakar.
21 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Soshitsu menimpali. "Dalam beberapa hari, hamba akan bertemu dengan Tuan Sokyu dari Sakai.
Mari kita rundingkan bersama, di mana tempat lukisan itu. Sebenarnya lebih baik lagi kalau kita
menanyakan langsung pada Mu Ch'i."
Nobunaga semakin riang. Dan walaupun para pembantunya berulang kali muncul untuk
memangkas sumbu lentera-lentera, ia hanya menghirup air dan terus berbincang-bincang, tanpa


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memedulikan waktu. Pada malam musim panas seperti ini, semua pintu dan daun penutup jendela di kuil terbuka lebar.
Mungkin karena inilah lentera-lentera terus berkelip-kelip dan diselubungi lingkaran cahaya yang
disebabkan oleh kabut malam.
Seandainya ada orang yang dapat membaca masa depan dari cahaya lentera pada malam itu,
orang itu mungkin akan menemukan pertanda buruk dalam lingkaran-lingkaran cahaya.
Seseorang mengetuk gerbang depan kuil. Setelah beberapa saat, seorang pembantu
menyam-paikan bahwa berita dari wilayah Barat telah tiba. Nobutada memanfaatkan kesempatan
itu untuk berdiri, dan Soshitsu pun mohon diri. Lalu Nobu-naga juga bangkit untuk mengantar
mereka sampai ke selasar.
"Selamat tidur," ujar Nobutada sambil berbalik sekali lagi dan menatap tosok ayahnya dari selasar.
Nagato dan putranya berdiri di samping Nobu-tada, memegang lilin. Selasar-selasar di Kuil Honno
diliputi kegelapan sepekat tinta. Malam telah memasuki pertengahan kedua Jam Tikus.
*** Mitsuhide berada di sebuah persimpangan; jika membelok ke kanan, ia akan menuju ke Barat; jika
membelok ke kiri, ia akan melewati Desa Kutsu-kake, menyeberangi Sungai Katsura, dan kemudian
sampai di ibu kota. Ia telah mencapai puncak bukit yang didakinya sepanjang hidup. Kedua jalan di
hadapannya merupakan titik balik dan titik akhir. Tapi pemandangan di hadapannya tidak
mendorongnya untuk merenung. Justru sebaliknya, langit luas dengan bintang-bintang berkelap-
kelip seakan-akan menjanjikan perubahan besar di dunia, sebuah perubahan yang akan dimulai
seiring fajar menyingsing.
Tak ada yang memberikan perintah istirahat. tapi kuda Mitsuhide telah berhenti. Ia duduk di
pelanan, siluetnya tampak jelas di hadapan langit yang penuh bintang. Menyadari bahwa untuk
sementara ia takkan bergerak, para jendral di sekitarnya - semuanya dengan baju tempur
berkilauan - serta barisan panjang prajurit, panji-panji, dan kuda-kuda di belakangnya menunggu
dengan gelisah dalam kegelapan.
"Di sebelah sana ada mata air. Sepertinya aku mendengar gemercik air."
"Di sana! Air!"
Ketika mencari-cari dalam semak-semak di tebing yang berbatasan dengan jalan, salah seorang
akhirnya menemukan kali kecil di antara batu-batu. Satu per satu para prajurit mendesak maju
untuk mengisi tempat air masing-masing dengan air jernih.
22 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ini cukup sampai tiba di Tenjin." "Barangkali kiu bisa makan di Yamazaki."
"Tidak, malamnya terlalu singkat. Hari mung-kin sudah terang pada waktu kita tiba di Kuil Kaiin."
"Kuda-kuda cepat lelah kalau kita bergerak di siang hari, jadi Yang Mulia tentu merasa bahwa kita
harus berjalan sejauh mungkin selama malam dan pagi."'
"Itu yang terbaik, sampai kita tiba di wilayah Barat," Para prajurit tingkat bawahan, bahkan para
samurai di atas mereka - kecuali para komandan - masih belum tahu apa-apa. Bisik-bisik dan
gelak tawa yang tak sampai di telinga para komandan mencerminkan anggapan bahwa medan
tempur masih jauh. Barisan mulai bergerak. Sejak saat itu para komandan membawa tombak dan
berjalan di samping anak buah masing-masing. Mereka mengawasi keadaan sekitar dengan
saksama dan mempercepat langkah.
Ke kiri! Ke kiri! Mereka mulai menuruni bukit-bukit di Oinosaka ke arah timur. Tak satu prajurit pun
membelok ke jalan yang menuju ke Barat. Kesangsian mulai timbul. Tapi mereka yang curiga pun
tetap bergegas maju. Orang-orang itu hanya menatap panji-panji yang berkibar di depan; tak pelak
lagi, inilah jalan yang dilewati panji-panji mereka. Suara langkah kuda terdengar di lereng-lereng
curam. Dari waktu ke waktu, bunyi batu longsor hampir memekakkan telinga. Pasukan itu
menyerupai air terjun yang menyapu segala peng-halang.
Baik orang maupun hewan bermandikan keringat, dan semuanya megap-megap menarik napas.
Sambil meliuk-liuk di lembah-lembah yang dalam, mereka kembali bergerak turun. Setelah
berpaling ke sungai pegunungan yang deras, mereka mendesak maju sampai ke lereng Gunung
Matsuo. "Istirahat!" "Bagikan ransum!"
"Jangan nyalakan api!"
Perintah demi perintah diturunkan, satu demi satu. Mereka baru sampai di Kutsukake, sebuah desa
di sisi gunung yang hanya terdiri atas sekitar sepuluh pondok penebang pohon. Meski demiki-an,
peringatan dari komando pusat bernada keras, dan dengan segera dibentuk patroli-patroli di jalan
yang menuju bukit-bukit di kaki gunung.
"Mau ke mana kau?" "Ke lembah, ambil air."
"Kau tak boleh keluar barisan. Minta saja sedikit dari orang lain."
Para prajurit membuka ransum masing-masing dan mulai makan sambil membisu. Suara bisik-bisik
terdengar ketika mereka mengunyah makanan. Beberapa orang bertanya-tanya, mengapa mereka
disuruh makan pada waktu yang kurang menguntungkan ini, di tengah lereng gunung. Padahal
mereka sudah makan sebelum bertolak dari tempat persembahan Hachiman malam itu.
Kenapa mereka tidak disuruh makan pada waktu matahari terbit saja, di Yamazaki atau Hashimoto,
di tempat mereka dapat mengikat kuda masing-masing" Walau terheran-heran. mereka tetap
menyangka bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju provinsi-provinsi Barat. Jalan di Bitchu
bukan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan mereka. Jika membelok ke kanan di Kutsukakce,
mereka bisa melewati Oharano dan menuju Yamazaki dan Takatsuki.
Tapi ketika mereka berangkat lagi, seluruh pasukan langsung turun ke Tsukahara tanpa berpaling
ke kiri maupun kanan, lalu maju sampai ke Desa Kawashima. Pada waktu giliran jaga keempat,
23 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sebagian besar pasukan telah menghadapi peman-dangan tak terduga: Sungai Katsura di bawah
langit malam. Para prajurit mulai resah. Begitu hawa sejuk dari sungai terasa, seluruh pasukan mendadak
berhenti karena ngeri. "Tenangkan diri kalian!" para perwira memerin-tahkan. "Jangan berisik! Dan jangan bicara kalau tak
perlu!" Air sungai yang jernih berkelip redup, dan kesembilan panji dengan lambang kembang lonceng
berkibar-kibar oleh embusan angin dari arah sungai.
Amano Genemon, yang membawahi kompi di ujung sayap kanan pasukan, disuruh menghadap
Mitsuhide. Ia segera melompat dari kuda dan bergegas menghampiri komandannya.
Mitsuhide berdiri di dasar sungai yang kering. Semua jendral mengalihkan pandangan ke arah
Genemon. Ada Saito Toshimitsu, dengan wajah dikelilingi rambut putih seperti bunga es, dan
Mitsuharu, yang tampak seakan-akan mengenakan topeng. Selain kedua orang itu, para anggota
staf lapangan yang lain mengelilingi Mitsuhide bagaikan lingkaran besi.
"Gengo," kata Mitsuhide. "sebentar lagi hari terang. Kau dan anak buahmu yang pertama-tama
menyeberangi sungai. Dalam perjalanan, kau harus menyingkirkan siapa saja yang berhasil
menerobos barisan kita untuk memperingatkan musuh. Kecuali itu, mungkin ada
saudagar-saudagar atau orang lain yang melewati ibu kota di pagi buta ini. Mereka pun harus
kautangani. Ini sangat penting."
"Hamba mengerti."
"Tunggu!" Mitsuhide menyuruhnya kembali. "Untuk berjaga-jaga, aku telah mengirim beberapa
orang untuk mengawasi jalan yang melintasi pegunungan dari Hozu, jalan dari bagian utara Saga,
dan Jalan Raya Nishijin dari Jizoin. Jangan keliru menyerang orang kita-kita sendiri." Nada suara
Mitsuhide setajam pisau; jelas-jelas kelihatan bahwa otaknya sedang bekerja keras dan urat-urat
darahnya begitu tegang, sehingga nyaris pecah.
Ketika memperhatikan anak buah Genemon melintasi sungai, prajurit-prajurit yang lain sema-kin
gelisah. Mitsuhide kembali menaiki kuda; satu per satu para bawahannya mengikuti contohnya.
"Berikan perintahnya. Pastikan semuanya tahu." Salah satu komandan di sisi Mitsuhide meliuk-
kan tangan di depan mulut dan berseru, "Lepaskan sepatu kuda dan buang semuanya!" Perintah
melengking dari barisan depan itu terdengar jelas. "Para prajurit infanteri harus memakai sandal
baru, jangan gunakan sandal yang talinya sudah kendur karena dipakai waktu menuruni gunung.
Kalau memang sudah kendur, ikatlah tali dengan kencang, agar tidak membuat kaki lecet pada
waktu basah. Para penembak, potonglah sumbu-sumbu sepanjang tiga puluh senti dan ikatlah
semuanya menjadi lima-lima. Hal-hal yang tidak perlu, seperti pembungkus ransum dan
barang-barang pribadi, atau apa saja yang bakal menghambat keleluasaan kaki dan tangan,
sebaiknya dibuang ke dalam sungai. Jangan bawa apa-apa selain senjata kalian."
Seluruh pasukan terheran-heran. Pada saat yang sama, sebuah gelombang timbul di antara
orang-orang. Gelombang itu tidak berhubungan dengan suara maupun gerakan yang tampak. Para
24 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
prajurit menoleh kiri-kanan, tapi karena dilarang berbicara, gelombang itu diteruskan dari wajah ke
wajah - sebuah suara tanpa suara. Meski demikian, hampir seketika kesibukan terlihat ke mana
pun mata memandang. Segala sesuatu berlangsung begitu cepat, sehingga - paling tidak di
permukaan - tak ada tanda-tanda keraguan, kegelisahan, maupun kecemasan.
Setelah semuanya siap dan para prajurit kembali membentuk barisan, sang veteran, Saito
Toshimit-su, mengangkat suara yang sudah ditempa dalam seratus pertempuran, dan ia berbicara
di hadapan pasukan itu seakan-akan sedang membaca.
"Bersukacitalah! Hari ini junjungan kita, Yang Mulia Mitsuhide, akan menjadi penguasa seluruh
negeri. Singkirkanlah segenap keraguan dari hati kalian."
Suaranya mencapai telinga prajurit infanteri dan pembawa sandal yang berdiri paling jauh. Semua
orang termegap-megap, seolah-olah mena-rik napas terakhir. Namun tak ada yang menyam-but
pemberitahuan itu dengan gembira. Orang-orang justru merinding. Toshimitsu memejamkan mata
dan meninggikan suara, seakan-akan hendak memarahi para prajurit. Mungkinkah ia pun sedang
berusaha membesarkan hati sendiri"
"Takkan ada hari lain yang bersinar secemerlang hari ini. Kita terutama mengandalkan para samurai
untuk mencapai hasil gemilang. Kalaupun kalian gugur dalam pertempuran hari ini, sanak keluarga
kalian akan menerima imbalan yang sesuai dengan sepak terjang kalian," Suara Toshi-mitsu tidak
berubah banyak sampai ia selesai berbicara. Ia telah diberitahu oleh Mitsuhide apa yang harus
dikatakannya, dan mungkin itu tidak sejalan dengan pandangannya sendiri. "Mari kita seberangi
sungai ini!" Langit masih gelap. Arus Sungai Katsura sempat mengejutkan para pejuang kawakan ketika
mereka hendak menyeberang. Ombak berbuih putih tam-pak bergulung-gulung. Seluruh pasukan
gemetar ketika dasar sungai diaduk-aduk oleh sandal jerami. Meskipun mereka sendiri basah
kuyup, tak satu penembak pun membiarkan sumbunya terkena air. Air yang bening melewati lutut
mereka, dan dinginnya melebihi dingin es. Sudah barang tentu setiap prajurit dan perwira
disibukkan oleh pikirannya sendiri ketika mEliniasi sungai. Semuanya merenungkan ucapan
komandan kesatuan dan pengikut senior sebelum mulai menyeberang.
"Hmm, kita pasti akan menyerang Yang Mulia Ieyasu. Selain Tokugawa Ieyasu, tak ada yang cukup
dekat untuk diserang. Tapi apa maksud Toshimitsu ketika mengatakan bahwa mulai hari ini
junjungan kita akan menjadi penguasa seluruh negeri"
Hanya sejauh itulah jangkauan pikiran para prajurit. Mereka orang-orang yang menjunjung tinggi
keadaban dan keadilan, dan kemungkinan bahwa mereka akan bertempur melawan Nobu-naga
belum jelas terlintas dalam benak mereka. Jiwa Akechi yang sungguh-sungguh dan keras kepala
serta bertumpu pada rasa keadilan telah diturunkan dari para komandan kompi sampai ke prajurit
paling rendah dan para pembawa sandal.
"Hei, hari mulai terang." "Sebentar lagi sudah fajar."
Mereka berada di daerah antara Nyoigadake dan barisan gunung yang membatasi tepi timur Kyoto.
Puncak gumpalan awan berkerlip merah terang.
Jika memaksakan mata, mereka dapat melihat kota Kyoto, samar-samar, diselubungi kegelapan
fajar. Tapi di belakang mereka, ke arah Oinosaka atau ke arah perbatasan Provinsi Tamba,
25 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bintang-bintang bersinar begitu terang, sehingga bisa dihitung dengan mata telanjang.
"Ada mayat!" "Di sini ada satu lagi!" "Dan di sebelah sana!"
Jalanan kini telah mendekati pintu masuk ke pinggiran timur kota Kyoto. Selain rumpun-rumpun
pohon dan pondok-pondok beratap jerami, hanya ada tanah pertanian yang terselu-bung embun
sampai ke pagoda Kuil Timur.
Mayat-mayat bergelimpangan di kaki pohon-pohon cemara di sepanjang tepi jalan, di tengah jalan,
dan hampir di mana pun para prajurit memandang. Mayat-mayat itu tampaknya para petani
setempat. Tertelungkup, seakan-akan se-dang tidur di tengah ladang terong, seorang gadis
tergeletak tak bergerak, masih menggenggam keranjang, tewas ditebas pedang.
Darahnya jelas-jelas masih mengalir, karena lebih segar dari embun pagi. Tak pelak lagi, anak buah
Amano Genemon yang mendului pasukan utama memergoki para petani yang telah bangun pada
dini hari di ladang masing-masing, membu-nuh mereka, dan membunuh semuanya. Para prajurit
mungkin merasa iba, tapi mereka telah diperintahkan untuk tidak mempertaruhkan keberhasilan
tindakan lebih besar yang akan menyusul.
Ketika menatap darah segar di tanah dan awan merah di langit. Mitsuhide berdiri di sanggurdi,
mendadak mengacungkan cemeti dan berseru.
"Ke Kuil Honno! Serbu kuil itu! Mu
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:25:57
suh-musuh-ku ada di Kuil Honno! Cepat! Cepat! Aku sendiri akan menghabisi siapa saja yang
berlambat-lambat!" Waktu untuk pertempuran telah tiba. Kesem-bilan panji dengan lambang kembang lonceng biru
terpecah menjadi tiga kompi, masing-masing de-ngan tiga panji. Setelah maju ke jalan masuk
menuju Jalan Ketujuh, mereka menerobos gerbang demi gerbang, serempak membanjiri ibu kota.
Pasukan Akechi tumpah ruah dari gerbang ke Jalan Kelima, Keempat, dan Ketiga, dan
berham-buran memasuki kota.
Kabut masih tebal, tapi mega-mega merah telah tampak di atas pegunungan, dan seperti biasa,
gerbang-gerbang kecil sudah dibuka agar orang-orang dapat berlalu-lalang.
Para penyerang berdesak-desakan di muka ger-bang, tombak-tombak dan senapan-senapan saling
beradu dalam suasana kacau-balau. Hanya panji-
panji yang ditundukkan pada saat melewati gerbang.
"Jangan dorong! jangan bingung! Barisan be-lakang tunggu di luar gerbang dulu!"
Menyadari kekacauan yang terjadi, salah satu komandan berusaha sekuat tenaga untuk mengatur
para pujurit. Ia melepaskan palang dari ger-bang besar dan membukakannya lebar-lebar.
"Masuk semuanya!" ia berseru, mendorong mereka untuk maju.
Sebenarnya para prajurit sudah menerima perintah untuk bergerak tanpa suara, tanpa memekikkan
teriakan perang, untuk menundukkan panji-panji, dan bahkan untuk mencegah kuda-kuda
meringkik, tapi begitu mereka menero-bos lewat gerbang-gerbang dan menyerbu kota, luapan
semangat pasukan Akechi tak tertahankan lagi.
"Ke Kuil Honno!"
Di tengah hiruk-pikuk, bunyi pintu membuka terdengar dari rumah-rumah di sana-sini, tapi begitu
mengintip ke luar, para penghuni segera masuk lagi dan cepat-cepat membanting pintu.
Di antara sekian banyak kesatuan yang berlomba-lomba menuju Kuil Honno, dua kesatuan
bergerak paling cepat, masing-masing di bawah pimpinan Akechi Mitsuharu dan Saito Toshimitsu
yang terlihat di barisan terdepan.
"Jalan-jalan sempit yang terselubung kabut ini sungguh merepotkan. Awas, jangan sampai tersesat
karena berusaha mendului yang lain. Gunakan pohon besar di pekarangan Kuil Honno sebagai
patokan! Ah, itu dia! Pohon besar yang tersohor itu!"
Sambil memacu kudanya serta melambai-lambaikan tangan memberi petunjuk, Toshimitsu
berseru-seru, seakan-akan inilah saat terpenting dalam hidupnya sebagai prajurit.
Pasukan kedua, dipimpin oleh Akechi Mitsu-tada, juga bergerak cepat. Mereka membanjiri daerah
sekitar Jalan Ketiga, melewatinya seperti asap, dan melancarkan serbuan untuk mengepung Kuil
Myokaku di Nijo. Tindakan ini tentu saja dikoordinasikan dengan pasukan yang menyerang Kuil
1 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Honno, dan ditujukan untuk menghabisi putra Nobunaga, Nobutada.
Jarak dari tempat ini ke Kuil Honno hanya selemparan batu. Kedua pasukan dipisahkan oleh
kegelapan menjelang fajar, tapi sekarang pun sudah terdengar kebisingan luar biasa dari arah Kuil
Honno. Bunyi sangkakala, gong, dan gen-derang terdengar bersamaan. Tak berlebihan jika
dikatakan bahwa bunyi tersebut mengguncangkan bumi dan langit serta tidak menyerupai apa pun
yang biasa terdengar di dunia ini. Pagi itu tak ada seorang pun di ibu kota yang tidak melompat
kaget atau meloncat dari tempat tidur karena jeritan keluarganya.
Kebisingan itu segera menjalar, bahkan ke daerah pemukiman para bangsawan di sekeliling istana
Kekaisaran yang biasanya selalu tenteram. Dengan segala hiruk-pikuk dan gema langkah kuda,
sepertinya langit di atas Kyoto berdering.
Namun kebingungan yang melanda para warga kota hanya bertahan sesaat. Begitu para
bangsawan dan orang kebanyakan memahami situasinya, rumah-rumah mereka kembali sehening
semula. Mereka tidur dengan nyenyak. Tak satu orang pun keluar di jalanan.
Keadaan masih demikian gelap, sehingga para prajurit tak dapat memastikan wajah siapa yang
berada di hadapan mereka, dan ketika menuju Kuil Myokaku, pasukan kedua keliru menyangka
sejumlah rekan mereka sendiri, yang mengambil rute memutar melalui gang sempit lainnya, sebagai
musuh. Meskipun komandan mereka telah memberi peringatan keras agar tidak melepaskan
tembakan sebelum perintah untuk itu diberikan, ketika mereka tiba di persimpangan jalan, para
prajurit yang sudah amat bernafsu itu tiba-tiba mulai menembak tanpa melihat apa-apa di tengah
kabut. Pada waktu mencium asap mesiu, nafsu mereka semakin berkobar-kobar, tanpa dapat dicegah.
Bahkan para prajurit yang sudah pernah terjun ke dalam kancah pertempuran pun mungkin
mengalami situasi seperti ini, sebelum mampu mengen-dalikan diri sepenuhnya.
"Hei! Di sebelah sana terdengar sangkakala dan gong. Pertempuran di Kuil Honno sudah dimulai."
"Mereka bertempur!" "Serangan sudah di mulai!'
Mereka tak tahu lagi apakah kaki mereka masih menginjak tanah atau tidak. Ketika berlari maju,
mereka tetap tak dapat menentukan suara siapa yang mereka dengar, meski mereka tidak
menemui perlawanan. Pori-pori di sekujur tubuh mereka mengembang, dan mereka bahkan tidak
merasakan hawa dingin yang menerpa wajah dan tangan masing-masing. Mereka gemetar terbawa
luapan perasaan, sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan adalah berteriak.
Karena itu mereka memekikkan teriakan perang, bahkan sebelum melihat tembok bergen-teng yang
mengclilingi Kuil Myokaku. Tanpa diduga, teriakan serupa terdengar dari depan kesatu-an itu, dan
gong serta genderang pun mulai berbunyi tak sabar.
Mitsuhide ikut bersama pasukan ketiga. Tak salah jika dikatakan bahwa markas besarnya berlokasi
di mana pun ia berada, dan kali ini markas besarnya berhenti di Horikawa. Ia dikelilingi oleh para
anggota marganya, dan sebuah kursi ditaruh di hadapannya, tapi ia tidak duduk, walau hanya
sekejap. Segenap jiwa-raganya berfokus pada suara awan-awan dan jeritan kabut, dan tanpa
berhenti ia memandang langit, ke arah Nijo. Dari waktu ke waktu pemandangannya dipenuhi


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merahnya awan pagi, namun belum juga terlihat lidah api atau asap yang membubung tinggi.
2 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Nobunaga mendadak terbangun, tapi bukan karena alasan tertentu. Setelah tidur semalaman, ia
biasa terjaga sendiri di pagi hari. Sejak masa mudanya ia selalu bangun saat rajar, tak peduli
seberapa larut malam ia naik ke peraduan. Ia bangun, atau tepatnya - karena belum sepenuhnya
sadar dan kepalanya masih berada di bantal - ia mengalami fenomena khas. Fenomena tersebut
berupa peralihan dari dunia mimpi ke dunia nyata dan hanya berlangsung sepersekian detik, tapi
dalam waktu yang teramat singkat itu, sejumlah pikiran melintas di benaknya secepat kilat.
Pikiran itu berupa kenangan akan peristiwa-peristiwa yang dialaminya antara masa muda dan
sekarang, atau renungan mengenai kehidupannya saat ini, atau tujuan-tujuan yang hendak
dicapainya di masa mendatang. Bagaimanapun, pikiran-pikiran tersebut melintas di benaknya pada
waktu ia berada antara mimpi dan kenyataan.
Fenomena ini mungkin bukan suatu kebiasaan, tapi lebih menjurus ke arah kemampuan yang
dibawa sejak lahir. Ketika masih kanak-kanak pun ia sudah merupakan tukang mimpi. Namun onak
duri dunia nyata tak memberi peluang untuk hidup di dunia mimpi, terutama mengingat asal-
usul serta didikannya. Dunia nyata telah menum-puk kesulitan di atas kesulitan, dan telah
mengajarkan kenikmatan yang dapat ditemui dalam mengatasi semuanya.
Dalam masa pertumbuhan ini, ketika ia diuji dan pulang dengan membawa kemenangan, lalu diuji
kembali, ia akhirnya menyadari bahwa ia tak puas dengan kesulitan-kesulitan yang diberikan
padanya. Kenikmatan terbesar dalam hidup, ia menyimpulkan, terletak dalam mencari kesulitan,
terjun untuk mengatasinya, dan menoleh ke belakang untuk melihat bahwa kesulitan tersebut telah
berhasil dilewati. Keyakinannya diperkuat oleh rasa percaya diri yang diperolehnya dari
pengalaman-pengalaman seperti itu, dan telah menimbulkan cara berpikir yang sangat berbeda dari
akal sehat orang biasa. Setelah Azuchi, istilah tak mungkin tak ada lagi dalam dunianya. Ini karena
semua yang telah dijangkaunya sampai saat itu tidak dicapai dengan mengikuti jalan pikiran orang
biasa, melainkan dengan membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.
Dan pagi itu, di perbatasan antara dunia mimpi dan tubuhnya yang fana, ketika kemabukan
se-malam mungkin masih mengalir dalam urat darahnya, berbagai bayangan timbul dalam
benaknya - iring-iringan kapal besar yang berlayar ke pulau-pulau Selatan, ke pesisir Korea, bahkan
ke Negeri Ming, ia sendiri berdiri di menara salah satu kapal bersama Sotan dan Soshitsu. Ada satu
orang lagi yang harus menyertainya, ia berkata dalam hati - Hideyoshi. Ia merasa bahwa hari
keti-ka impian itu bisa menjadi kenyataan tidak jauh lagi.
Dalam pikirannya, prestasi kecil seperti penak-lukan provinsi-provinsi Barat serta Kyushu tak cukup
untuk mengisi seluruh hidupnya.
Fajar sudah tiba, gumamnya. Ia bangkit dan keluar dari kamar tidur.
Pintu berat yang membuka ke selasar dibuat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara yang
seakan-akan memanggil pada waktu dibuka atau diturup. Ketika para pclayan mendengar suara ini,
mereka segera bangun. Cahaya lampion yang berkelap-kelip memantul pada pilar-pilar dan lantai
serambi yang berkilauan bagai dipoles minyak.
Sadar bahwa majikan mereka terbangun, para pelayan langsung bergegas ke pemandian di
sam-ping dapur. Namun ketika menuju ke sana, mereka mendengar suara dari arah selasar utara.
Bunyinya seperti daun penutup jendela yang dibuka tergesa-gesa.
3 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Karena menyangka bahwa itu mungkin Nobu-naga, mereka menghentiikan langkah dan
memandang ke arah selasar yang buntu. Tapi satu-satunya orang yang kelihatan adalah
perempuan berkimono berpola besar-besar dan mantel luar bermotif pohon cemara dan kembang
ceri. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai.
Karena daun penutup jendela telah terbuka, langit pagi yang biru bagaikan bunga lonceng tampak
seperti dibingkai. Angin yang masuk membelai-belai rambut perempuan tadi, dan membawa
keharuman kayu cendana sampai ke tempat para pelayan berdiri.
"Ah, di sebelah sana." Para pelayan mendengar suara air mengalir dan berlari ke arah dapur. Para
biksu penghuni kuil belum meninggalkan kamar masing-masing, jadi jendela-jendela dan gerbang
utama yang besar belum dibuka. Di dapur berlantai tanah dan di pelataran kayu, dengung nyamuk
dan kegelapan malam masih tertahan, tapi kepengapan musim panas sudah mulai terasa.
Nobunaga tidak menyukai saat di pagi hari itu. Pada waktu para pelayan menyadari bahwa ia telah
meninggalkan kamar tidurnya, ia sudah berkumur-kumur dan mencuci tangan. Sambil menghampiri
kendi besar yang menampung air dari pipa bambu, ia lalu meraih ember kecil dan mencedok air dari
bak. Air bercipraian ke segala arah ketika ia mencuci muka dengan terburu-buru.
"Ah, lengan baju tuanku jadi basah." "Perkenankan hamba mengganti airnya."
Para pelayan ketakutan. Dengan waswas salah satu dari mereka melipat lengan baju Nobunaga
dari belakang, sementara satu orang lagi mengambil air bersih. Orang lain lagi menyodorkan
handuk sambil berlutut di kaki Nobunaga. Pada waktu yang sama, orang-orang di daerah
kamar-kamar para samurai meninggalkan ruang jaga malam dan mulai membuka pintu-pintu yang
menuju pekarangan. Saat itulah mereka mende-ngar kebisingan yang berasal dari kuil utama di
luar, lalu gema langkah kaki yang berlari ke arah pekarangan dalam.
Nobunaga berbalik, masih dengan rambut basah kuyup, dan berkata dengan nada tak sabar. "Coba
lihat ada apa, Bomaru." Setelah itu ia kembali mengeringkan dan menggosok-gosok muka.
Salah satu pelayan berkata. "Barangkali para penjaga di kuil luar bertengkar karena sesuatu."
Nobunaga tidak menanggapi komentar itu. Sejenak matanya menyerupai air di laut yang sangat
dalam, berbinar-binar seakan mencari sesua-tu, bukan di dunia luar, melainkan di dalam dirinya
sendiri. Tapi hanya sejenak. Bukan kuil utama di luar saja yang dilanda hiruk-pikuk. Di sini pun, di rumah
tamu, dan dari pilar ke pilar di kesepuluh bangunan biara, sesuatu yang sekuat gempa
mengguncangkan seluruh kulit bumi, dipancarkan oleh kebisingan dan arus energi yang
menakutkan. Semua orang, sekuat apa pun, tentu akan merasa bingung pada saat seperti itu. Wajah Nobunaga
pun menjadi pucat, dan para pelayan yang mengelilinginya membelalakkan mata dengan ngeri.
Namun hanya selama beberapa tarikan napas saja mereka berdiri seperti patung. Hampir seketika
seseorang berlari menyusuri selasar.
Seorang laki-laki berseru. "Tuanku! Tuanku!" Para pelayan memanggil serempak, "Tuan Ranmaru!
4 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tuan Ranmaru! Di sebelah sini." Nobunaga sendiri melangkah keluar dan me-
manggil orang itu. "Ranmaru! Mau ke mana kau?"
"Ah, tuanku ada di sini," ujar Ranmaru. Ia nyaris terjatuh ketika berlutut. Dalam sekejap Nobunaga
menyadari bahwa apa yang sedang terjadi bukan sekadar perikaian antarsamurai, atau
pertengkaran di antara orang-orang di kandang.
"Ada apa, Ranmaru" Apa arti hiruk-pikuk ini?" ia langsung bertanya, dan Ranmaru tak kalah cepat
memberikan jawaban. "Orang-orang Akechi telah melakukan kebia-daban. Di luar ada prajurit-prajurit, berbuat rusuh dan
mengibarkan panji-panji yang menampilkan lambang Akechi."
"Apa"! Orang-orang Akechi?" Kata-kata itu bernada heran. Reaksi Nobunaga menunjukkan bahwa
ia tak pernah menyangka - bahkan tak pernah bermimpi - bahwa ini mungkin terjadi. Tapi rasa
kaget dan gejolak emosi berhenti di bibirnya. Diucapkan hampir setenang biasa, kata-katanya yang
berikut menyerupai geraman.
"Orang-orang Akechi... mestinya sudah kuduga." Nobunaga cepat-cepat berpaling dan bergegas
kembali ke kamarnya. Ranmaru mengikutinya, tapi setelah lima atau enam langkah, ia berbalik dan
memarahi para pelayan yang gemetaran. "Mulailah bekerja. Aku sudah menyuruh Bomaru
memberitahu orang-orang agar semua gerbang dan jendela ditutup rapat. Halangi semua pintu dan
jangan biarkan musuh mendekati Yang Mulia." Sebelum ia sempat mengakhtri ucapannya, pintu
dapur dan jendela-jendela yang berdekatan sudah mulai dihujani peluru dan panah. Ujung
anak-anak panah yang tak terhitung jumlahnya menem-bus pintu-pintu kayu. Mata panah baja yang
berkilau-kilau mengumumkan perang pada orang-
orang di dalam. Dari selatan Rokkaku, utara Nishikikoji, barat Toin, dan timur Aburakoji, keempat sisi Kuil Honno
terkepung oleh baju perang pasukan Akechi serta teriakan perang mereka. Namun karena
terlindung selokan, tembok-tembok beratap genteng memang dapat dilihat, tapi tak mudah dipanjati.
Hutan tombak, panji, dan senapan hanya bergerak maju-mundur seperti gelombang.
Beberapa orang nekat melompat ke kaki tembok; ada pula yang tak sanggup meloncat sejauh itu.
Banyak dari mereka yang mencoba akhirnya tercebur ke dasar selokan. Dan akibat baju tempur
yang berat. mereka yang jatuh segera terperosok sampai ke pinggang di dalam air berlumpur dan
berbau busuk yang menyerupai tinta hitam. Kalaupun mereka sanggup bangun dan memanggil,
rekan-rekan mereka di atas tak pernah menoleh ke bawah.
Pasukan Akechi di Nishikikoji memorak-porandakan pemukiman penduduk daerah itu, sementara
perempuan-perempuan dengan bayi dalam gendongan, orang-orang tua, serta anak-anak
melarikan diri dari kehancuran. Dengan cara ini, para prajurit menimbun selokan dengan pintu-pintu
dan papan-papan atap, Seketika semuanya berebut melewati tembok. Para penembak
membidikkan senapan, dan sambil membidik dari puncak tembok ke pekarangan di bawah,
melepaskan berondongan pertama.
5 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Saat itu gedung-gedung biara di pekarangan kuil tampak sunyi. Semua pintu kuil utama di depan
tertutup rapat, sehingga sukar untuk memastikan apakah ada musuh di dalam yang dapat ditembak.
Panas dari api di bawah rumah-rumah yang hancur mulai membara, dan segera menyulut
bangunan-bangunan berikut. Tak lama kemudian segenap warga miskin menyerbu keluar dari
perkampungan mereka, seakan-akan hendak saling menginjak-injak. Sambil menangis dan
menjerit, mereka tumpah ruah ke dasar Sungai Kamo yang kering serta ke pusat kota, tanpa
membawa apa pun, Dilihat dari gerbang utama di sisi berlawanan dari kuil, orang mendapat kesan
bahwa gerom-bolan yang telah menerobos masuk lewat gerbang belakang sudah mulai membakar
dapur. Pasukan utama yang berkerumun di depan gerbang utama tak sudi dikalahkan oleh
rekan-rekan mereka. Dengan geram para prajurit bawahan berteriak-tcriak, mendesak-desak sekelompok perwira yang
sepertinya hanya membuang-buang waktu di seki-tar jembatan tarik.
"Dobrak saja!" "Ayo. maju! Tunggu apa lagi?"
Salah seorang perwira menghadapi penjaga di dalam gerbang .
"Kami pasukan Akechi, dan kami sedang dalam perjalanan ke wilayah Barat. Kami datang dalam
keadaan siap tempur untuk memberi hormat pada Yang Mulia Oda Nobunaga."
Dengan cara ini ia hendak mempengaruhi para penjaga agar membuka gerbang, namun siasatnya
terlalu mudah dibaca. Si penjaga tentu saja merasa curiga, dan ia tak mau membuka gerbang tanpa
menanyakan perinrah Nobunaga.
Ia menyuruh mereka menunggu. Keheningan di balik gerbang mengisyaratkan bahwa kedatangan
pasukan tersebut sedang dilaporkan ke kuil utama, dan bahwa kcadaan darurat akan segera
diberlakukan. Para prajurit yang berdesak-desakan di belakang mulai tak sabar karena atasan mereka merasa
perlu menggunakan siasat untuk melintasi selokan se-kecil itu. Mereka mendorong-dorong barisan
di depan. "Serbu! Serbu! Tunggu apa lagi?" "Terjang tembok-tembok!"
Sambil berlomba-lomba merebut gerbang, mereka mendorong orang-orang yang tampak ragu-ragu
ke samping, dan bahkan mengempaskan rekan-rekan mereka itu.
Beberapa orang yang berada di depan terpero-sok ke dalam selokan, dan teriakan-teriakan perang
dilepaskan oleh mereka yang berada di atas mau-pun oleh mereka yang jatuh. Kemudian,
seakan-akan dengan sengaja, kelompok-kelompok yang lebih belakang lagi mulai mendesak maju.
Lebih banyak orang berjatuhan. Dalam sekejap satu bagian selokan penuh prajurit-prajurit yang
berlepotan lumpur. Satu prajurit muda melangkahi orang-orang itu dan melompat ke kaki tembok bergenteng. Prajurit
lain mengikuti contohnya.
6 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Maju!" Sambil bersorak-sorai dan mengacung-acungkan tombak, para prajurit menyeberang dan segera
bergelantungan di puncak tcmbok. Orang-orang di dalam selokan saling dorong, dan ketika sandal
jerami mereka menginjak punggung, bahu, dan kepala rekan-rekan mereka sendiri, nyawa demi
nyawa melayang, dikorbankan dalam serbuan yang mengerikan. Tapi berkat pengorbanan itu, tak
lama kemudian tiga suara berseru dengan bangga dari atas tembok yang mengelilingi Kuil Honno.
"Aku yang pertama."
Yang lain begitu cepat mencapai tembok. Se-hingga sukar untuk memastikan siapa yang pertama
dan siapa yang kedua. Di balik tembok-tembok, para samurai Oda yang sudah bergegas dari pos jaga di gerbang dan dari
daerah sekitar kandang menyambar senjata apa pun yang mereka temui, dan berusaha
membendung serangan yang bagaikan terjangan air bah itu. Tapi usaha mereka tak ubahnya
menahan tanggul yang bobol dengan tangan semata-mata. Tanpa memedulikan pedang dan
tombak pasukan yang bertahan, barisan depan Akechi segera mene-robos, melangkahi
mayat-mayat yang bermandikan darah musuh.
Seakan-akan hendak membukiikan bahwa mereka hanya ingin mengunjungi tempat menginap
Yang Mulia Nobunaga, mereka langsung berlari ke arah kuil utama dan rumah tamu. Namun
mereka disambui oleh panah-panah yang menderu-deru bagaikan angin ribut dari serambi kuil
utama yang lebar dan dari teras rumah tamu. Walau jaraknya menguntungkan, banyak panah tidak
mengenai sasaran dan hanya menancap di tanah. Banyak pula yang menggelincir di tanah, atau
membentur tembok-rembok yang jauh.
Di antara pasukan bertahan ada beberapa orang gagah berani yang hanya dengan baju tidur,
setengah telanjang, atau bahkan tak bersenjata, bergumul dengan musuh yang berpakaian tempur.
Para penjaga yang telah selesai bertugas sudah scmpat tidur. Kini, mungkin karena malu bahwa
mereka terlambat terjun ke dalam pertempuran, mereka menghambur keluar untuk menghalau
serbuan para prajurit Akechi - biarpun hanya sejenak - hanya bermodalkan kegarangan dan
ke-nekatan. Tapi amukan gelombang baju tempur tak dapat dihadang dan telah berkecamuk di bawah
ping-giran atap kuil. Melesat kembali ke kamarnya, Nobunaga mengenakan celana di atas baju
sutra putih dan mengikat talinya sambil mengenakkan gigi.
"Busur! Bawakan busur untukku!" serunya. Setelah ia meneriakkan perintah ini dua-tiga kali,
seseorang akhirnya berlutut dan meletakkan sebuah busur di hadapannya. Ia langsung
menyambarnya, berlari keluar pintu. dan berseru ke belakang, "Biarkan kaum perempuan
meloloskan diri. Tak ada salahnya mereka lari. Asal mereka jangan sampai menghalang-halangi
kita." Bunyi pintu dan penyekat ditendang terdengar dari segala arah, dan jeritan perempuan menam-bah
kekisruhan di bawah genteng-genteng yang bergetar. Para perempuan berlari dari ruang ke ruang,
bingung, menyusun selasar-selasar, melom-pati pagar. Baju mereka melambai-lambai, membelah
kegelapan bagaikan lidah api berwarna putih, merah, dan ungu. Tapi peluru dan panah menerjang
apa saja - daun-daun penutup jendela, pilar-pilar, dan pagar-pagar. Nobunaga sudah berdiri di
pojok serambi dan melepaskan anak panah ke arah musuh. Anak-anak panah yang ditujukan pada
7 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dirinya menancap di sekitarnya.
Ketika melihatnya bertempur dengan garang, bahkan para perempuan yang telah kehilangan
kendali diri pun tak sanggup meninggalkan sisi nya. Mereka hanya dapat menjerit-jerit.
Lima puluh tahun umur manusia di bawah langit. Itulah salah satu bait dari sandiwara yang begitu
digandrungi Nobunaga, sebuah syair yang mencer-minkan pandangan hidupnya di masa muda.
Peristiwa yang kini dialaminya tidak dianggap sebagai peristiwa yang mengguncangkan dunia. Dan
ia sama sekali tak gentar oleh pikiran bahwa ajalnya mungkin sudah dekat.
Ia justru berjuang dengan semangat membara, tak sudi menyerah dan mati begitu saja. Cita-cita
yang disimpannya dalam dada sebagai karya agungnya bahkan belum tercapai setengahnya.
Sungguh mmalukan seandainya ia terpaksa berhenti di tengah jalan. Terlalu banyak yang harus
disesalkan jika ia mati pada pagi ini. Karena itu ia meraih sebatang anak panah dan memasangnya
pada tali busur. Berulang kali ia mendengarkan dengungan tali busur, dan dengan setiap tembakan,
ke-marahannya seakan-akan berkurang. Akhirnya tali busur itu berjumbai dan busurnya sendiri
hampir patah. "Panah! Aku kehabisan panah! Ambilkan panah untukku!"
Sambil terus berseru-seru ke belakang, ia bahkan memungut dan menembakkan panah-panah
musuh yang luput dari sasaran dan jatuh ke lantai selasar. Tiba-tiba seorang perempuan dengan
ikat kepala berwarna merah dan lengan kimono terlipat membawakan sejumlah anak panah dan
memberikan satu pada Nobunaga. Nobunaga menatap perempuan iiu.
"Ano" Kau sudah cukup berjasa di sini. Sekarang larilah." ia menyuruh wanita itu pergi dengan
gerakan dagu, tapi Ano terus menyerahkan anak panah pada Nobunaga dan tak mau beranjak, tak
peduli betapa ia dimarahi.
Cara Nobunaga melepaskan anak panah lebih didasarkan atas keanggunan sikap daripada
ke-terampilan, dan lebih mengandalkan semangat dibandingkan tenaga. Dengungan anak-anak
panahnya seakan-akan berkata bahwa orang-orang hina itu tak pantas menerima panah tersebut,
bahwa mata panah-panah itu merupakan anugerah dari orang yang akan mcmimpin seluruh negeri.
Namun panah-panah yang dibawa Ano pun habis dengan cepat.
Di sana-sini terlihat musuh yang tewas oleh panahnya. Tapi, sambil menantang tembakan yang
dilepaskannya, sejumlah prajurit berbaju tempur berteriak lantang dan terus mendesak maju,
sampai akhirnya berhasil memanjat ke selasar.
"Yang Mulia Nobunaga sudah di depan mata! Yang Mulia tak bisa lolos! Serahkan kepala Yang
Mulia dengan jantan!"
Jumlah musuh tak kalah dari jumlah burung gagak yang memenuhi pohon besar yang tersohor di
pagi dan sore hari. Para pembantu pribadi serta pelayan muncul dari selasar belakang dan
samping, dan mengambil tempat di sekeliling Nobunaga. Pedaang-pedang mereka tampak berkilau,
meman-carkan api yang lahir dari kenekatan. Mereka takkan membiarkan musuh mendekat.
Kakak-beradik Mori tampak di antara mereka. Beberapa dari orang-orang ini, yang menolak
meninggalkan junjungan mereka dan bertempur untuk melin-dunginya, kini menindih lawan
masing-masing, sama-sama tewas oleh tangan yang lainnya.
8 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Korps penjaga di kuil luar telah memilih kuil utama sebagai medan laga, dan kini terlibat
pertempuran sengit dan berdarah guna mencegah musuh mendekati pekarangan dalam. Tapi
karena ujung selasar sudah hampir berada dalam geng-gaman musuh, seluruh korps penjaga yang


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ber- jumlah kurang dari dua puluh orang segera bersatu dan bersama-sama bergegas ke bagian dalam.
Dengan demikian, para prajurit Akechi yang telah memanjat ke selasar dijepit dari dua sisi. Tertusuk
dan tertebas, mereka berguguran dan jatuh tumpang tindih. Ketika orang-orang dari kuil luar melihat
Nobunaga masih selamat, mereka bersorak gembira. "Sekarang waktunya! Sekarang! Mundur
secepat mungkin!" "Bodoh!" Nobunaga menghardik sambil mencampakkan busurnya yang patah. Ia pun kehabisan
panah. "Ini bukan waktu untuk mundur! Kemarikan tombakmu!"
Sambil memarahi mereka, ia merebur senjata salah seorang pengikut dan berlari bagaikan singa,
menyusuri selasar. Ketika menemui musuh yang hendak memanjat lewat pagar, ia segera
menghunjamkan tombak. Saat itulah seorang prajurit Akechi menarik busurnya dari bayang-bayang pohon cemara hitam dari
Cina. Panah yang dilepaskannya menancap di siku Nobunaga. Terhuyung-huyung ke belakang,
Nobunaga bersandar pada daun penutup jendela di belakangnya.
Pada saat yang sama, terjadi kericuhan kecil di luar tcmbok barat. Sekelompok pengikut dan prajurit
di bawah komando Murai Nagato dan putranya telah keluar dari kediaman Gubernur Kyoto, yang
terletak berdekaran dengan Kuil Honno. Sambil menyerang pasukan Akechi dari belakang, mereka
mencoba memasuki pekarangan kuil melalui gerbang utama.
Malam sebelumnya, Murai dan putranya sempat berbincang-bincang dengan Nobunaga dan
Nobu-tada sampai larut malam. Ia kembali ke ke-diamannya sekitar giliran jaga ketiga. Itulah
sebabnya Murai tidur begitu nyenyak, sehingga tak menyadari bahaya yang mengancam. Sebagai
gubernur ibu kota, mestinya ia mengetahui kedatangan pasukan Akechi sejak mereka menginjak
wilayah kekuasaannya. Dan kemudian ia seharusnya segera mengirim peringatan ke Kuil Honno,
biarpun peringatan itu tiba hanya sesaat sebelum pasukan musuh tiba.
Kelalaiannya berakibat fatal. Namun sesungguhnya kesalahan tidak terletak pada Murai
semata-mata. Kelalaian bisa dituduhkan pada semua orang yang tinggal di ibu kota atau
mempunyai rumah di sana. "Rupanya ada keriburan di luar," Nagato diberi-tahu pada waktu ia terbangun. Ia sama sekali tidak
memiliki bayangan mengenai apa yang tengah terjadi.
"Barangkali ada perkelahian atau semacamnya. Coba kauperiksa." ia menyuruh bawahannya.
Kemudian, ketika ia dengan santai turun dari tempat tidur, ia mendengar anak buahnya berteriak
dari atas gerbang . "Ada asap di Nishikikoji!"
Murai berdecak dan bergumam. "Pasti ke-bakaran di Jalan Got."
9 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Namun ia keliru menyangka dunia diliputi kedamaian, dan ia sama sekali lupa bahwa perang sipil
belum berakhir. "Apa"! Pasukan Akechi?" Rasa kagetnya hanya bertahan sekejap. "Keparat!" Kemudian ia melesat
keluar, hanya dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Begitu melihat kerumunan penunggang
kuda berbaju tempur di tengah kabut pagi, lengkap dengan pedang dan tombak, ia kembali ke
dalam, membongkar lemari berisi baju tempur, menge-nakannya, dan meraih pedang.
Disertai hanya sekitar tiga puluh sampai empat puluh orang, ia bergegas untuk bertempur di sisi
Nobunaga. Bcrbagai kesatuan Akechi telah menye-bar di jalan-jalan besar dan kecil di sekitar Kuil
Honno dan telah menutup semuanya. Bentrokan dengan pasukan Murai bermula di salah satu
pojok pada tembok barat pekarangan kuil, dan berkembang menjadi pertarungan satu lawan satu
yang sengit. Setelah mengatasi patroli musuh yang relatif kecil itu, Murai beserta rombongannya
berhasil mendekati gerbang utama; tapi ketika satu detasemen pasukan Akechi mengetahui
pergerakan ini, mereka segera menyiapkan tombak dan menyerang. Murai dan rombongannya
bukan tandingan mereka, dan ia maupun putranya meng-
alami luka-luka. Dengan kekuatan tinggal setengahnya, ia terpaksa berpaling ke arah lain.
"Usahakan mencapai Kuil Myokaku! Kita akan bergabung dengan Yang Mulia Nobutada!"
Di atas atap Kuil Honno yang besar, asap hitam pekat mulai membubung ke angkasa. Siapa yang
menyulut kebakaran di dalam biara" Pasukan Akechi, pengikut-pengikut Nobunaga, atau bahkan
Nobunaga sendiri" Situasinya begitu kacau-balau. sehingga tak seorang pun dapat
memastikannya. Asap mulai mengepul dari kuil luar, dari sebuah ruangan di pekarangan dalam, dan dari dapur.
semua nya pada wakru hampir bersamaan.
Seorang pelayan dan dua laki-laki muda bertempur bagaikan kerasukan di dapur. Sepertinya para
biksu pengurus kuil telah bangun pada dini hari - walau tak seorang pun dari mereka
ke-lihatan - sebab kayu bakar di bawah kuali-kuali raksasa telah dinyalakan.
Si pelayan berdiri di ambang pintu dapur dan menikam paling tidak dua prajurit Akechi yang berhasil
menyusup. Ketika tombaknya akhirnya direbut oleh musuh yang semakin banyak, ia lalu melompat
ke pelataran kayu dan menghalau mereka dengan melemparkan peralatan dapur dan apa saja yang
berada dalam jangkauan tangannya.
Seorang ahli seni teh dan seorang pelayan lainnya juga mengacungkan pedang dan bertempur
dengan gagah di sisi pelayan pertama. Dan walau-
pun musuh-musuh mereka memandang rendah pada orang-orang yang bersenjata ringan, muda.
dan lemah ini, karena merekalah sejumlah prajurit berbaju tempur lengkap tak dapat naik ke
pe-lataran kayu. "Kenapa begitu lama?"
Seorang prajurit yang tampaknya komandan para penyerang meraih sepotong kayu terbakar dari
dalam tungku, lalu melemparkannya ke wajah ketiga orang tadi. Kemudian ia melemparkan puntung
10 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berapi ke gudang dan ke arah langit-langit.
"Di dalam!" "Dia pasti di dalam!"
Sasaran mereka adalah Nobunaga.
Seketika mereka mendesak maju, menendang-nendang kayu bakar yang menyala dengan sandal
jerami mereka, sambil menyebar di dalam bangunan. Dengan cepat lidah api menjilat pintu-pintu
dan pilar-pilar, menjalar bagaikan tumbuhan rambat berdaun merah. Pelayan dan ahli seni teh tak
bergerak ketika mereka pun mulai terselubung api.
Keadaan di kandang ingar-bingar. Sepuluh atau lebih kuda dilanda panik dan menendang-nendang
dinding kandang. Dua kuda akhirnya mematahkan palang dan berlari keluar sambil
melompar-lompat tak terkendali. Keduanya menerjang barisan Akechi, sementara kuda-kuda
lainnya meringkik semakin keras, karena melihat api yang berkobar-kobar. Para samurai yang
bertugas di kandang telah meninggalkan pos masing-masing dan bergabung untuk
mempertahankan tangga di pe-karangan dalam, tempat Nobunaga terakhir kali terlihat. Mereka
berjuang sampai titik darah peng-habisan, dan akhirnya gugur bersama-sama.
Para petugas kandang pun, yang seharusnya dapat melarikan diri, tak beranjak dari tempat dan
bertempur sampai mati. Orang-orang ini biasanya tak pernah disebut-sebut, tapi hari ini mereka
membuktikan dengan mengorbankan nyawa bahwa mereka tak kalah dari orang-orang berpangkat.
Sambil membawa tombaknya yang berlumuran darah, seorang prajurit Akechi berlari dari ruangan
ke ruangan. Ia berhenti ketika melihat salah satu rekannya di tengah kepulan asap.
"Minoura?" "Hei!"
"Kau sudah berhasil?" "Bclum."
Bersama-sama mereka lalu mencari Nobunaga - atau tepatnya mereka berlomba-lomba untuk
lebih dulu menemukannya. Tak lama kcmudian mereka berpencar lagi, mencari jalan sendiri-sendiri,
menembus asap. Api rupanya telah menyebar di bawah atap, dan bagian dalam kuil mulai meretih. Bahkan lapisan
kulit serta bagian-bagian logam baju tempur para prajurit pun terasa panas ketika dipegang. Dalam
sekejap bangunan itu mulai berisi mayat dan para prajurit Akechi. tapi orang-orang Akechi pun
berlari keluar ketika api merambat ke atap.
Mereka yang masih bertahan di dalam terbatuk-batuk karena asap atau terselubung abu.
Pintu-pintu dan dinding-dinding geser di bangsal telah diporak-porandakan, dan kini
potongan-potongan kain brokat emas yang terbakar serta serpihan-serpihan kayu menyala tampak
beterbangan, memancarkan cahaya terang benderang. Tapi keadaan di dalam ruang-ruang kecil
tetap gelap. Semua selasar dipenuhi asap tebal yang mengaburkan pandangan.
Ranmaru bersandar pada pintu rahasia yang menuju ruangan yang tengah dijaganya. kemudian
pelan-pelan menegakkan badan. Dengan tombak berlumuran darah di tangan, ia memandang ke
kiri, lalu ke kanan. Mendengar suara langkah, ia segera menyiagakan tombaknya.
11 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sambil memusatkan seluruh perhatian pada indra pendengarannya, ia berusaha menangkap
suara-suara dari ruangan di belakangnya. Sosok putih yang baru saja melangkah ke dalam adalah
sang Jendral Kebenaran, Nobunaga. Ia bertempur sampai melihat bahwa kuil diselubungi api, dan
bahwa orang-orang di sekitarnya telah tewas. Ia terlibat pertarungan jarak dekat dengan prajurit-
prajurit bawahan, seakan-akan ia setingkat dengan mereka. Namun masalahnya bukan sekadar
menjaga nama dan menyesal karena harus menyerahkan kepala pada orang yang tak berarti. Ajal
manusia telah ditentukan, jadi ia pun tidak menyesal kalau harus kehilangan nyawa. Yang
disesalinya hanya bahwa ia akan kehilangan karya agungnya.
Kuil Myokaku terletak berdekatan. Kediaman Gubernur Kyoto juga tidak jauh. Kecuali itu juga ada
samurai yang tinggal di dalam kota. Kalau ada yang dapat menghubungi dunia luar. Kemung-kinan
lolos belum tertutup, pikir Nobunaga. Di pihak lain, komplotan ini tentu didalangi oleh si Kepala
Jeruk, Mitsuhide. Mitsuhide demikian cermat, sehingga jika mengambil tindakan seperti ini, ia akan
memastikan bahwa air pun tak dapat merembes keluar. Baiklah, kalau begitu sudah waktunya
bersiap-siap. Kedua pikiran tersebut berkecamuk dalam benak Nobunaga.
Dengan iba ia menatap para pembantunya yang kini terbujur kaku, tewas dalam pertempuran, dan
ia menyadari bahwa akhir hayatnya telah dekat. Setelah menarik diri dari pertempuran, ia masuk ke
sebuah ruangan dan menempatkan Ranmaru sebagai penjaga pintu. "Kalau kau mendengar
suaraku di dalam." katanya. "itu berarti aku telah melakukan bunuh diri. Letakkan tubuhku di bawah
beberapa panel dinding dan bakarlah semuanya. Sampai saat ini, jangan biarkan musuh
menerobos masuk." Nobunaga memberikan petunjuk-petunjuk ini sambil menatap mata Ran-maru.
Pintu kayunya cukup kokoh. Sejenak Nobunaga memandang lukisan-lukisan berwarna emas yang
belum tersentuh api pada keempat dinding. Asap tipis mulai terlihat, namun sepertinya masih ada
waktu sebelum api merambat ke dalam.
Ini saat kcberangkatan. Aku tak perlu terburu-buru.
Ia merasa seolah-olah ada orang yang berbicara padanya. Ketika masuk ke ruangan itu, ia
terserang rasa haus yang seakan-akan membakar kerong-kongannya, bahkan mengalahkan hawa
panas yang mengepungnya dari keempat sisi. Ia nyaris ambruk ketika hendak duduk di
tengah-tengah ruangan, namun segera berubah pikiran dan pindah ke se-buah pelataran.
Bagaimanapun, lantai di bawahnya biasa ditempati oleh para pengikutnya. Ia membayangkan
secawan air membasahi kerong-kongannya, dan berupaya agar segenap jiwanya berpusat tepat di
bawah pusar. Untuk ini ia berlutut dengan gaya resmi, dengan kedua kaki terlipat di bawahnya, lalu
menegakkan badan dan merapikan pakaiannya, dan mencoba bersikap se-akan-akan para
pengikutnya sedang duduk di hadapannya.
Sesaat berlalu sebelum napasnya yang tersengal-sengal menjadi tenang.
Inikah ajal" Ia merasa begitu damai, sehingga ia menyangsikannya. Ia bahkan merasa ingin tertawa.
Ternyata aku pun salah sangka.
12 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bahkan ketika membayangkan kepala Mitsu-hide yang botak mengilap, ia sama sekali tidak
merasakan kemarahan. Mitsuhide pun hanya manusia biasa, dan ia melakukan ini karena jengkel,
Nobu-naga menduga-duga. Kelalaiannya sendiri merupakan kesalahan terbesar yang pernah ia
lakukan, dan ia menyesal bahwa kedongkolan Mitsuhide hanya menghasilkan kekerasan konyol ini.
Ah, Mitsuhide, bukankah kau akan menyusulku dalam beberapa hari" tanyanya.
Tangan kirinya telah menggenggam sarung pedang pendeknya. Tangan kanannya menghunus
senjata itu. Tak perlu terburu-buru.
Demikian Nobunaga memperingatkan diri sen-diri. Api belum merambat ke ruangannya. Ia
memejamkan mata. Segala sesuatu yang diingatnya dari masa muda sampai sekarang melintas
dalam benaknya, seakan-akan ia sedang menunggangi kuda yang berlari kencang. Ketika ia
membuka mata, sepuhan emas dan lukisan-lukisan pada keempat dinding tampak merah membara.
Lukisan peoni pada langit-langit berpola kotak-kotak bertunas api. Ia hanya memerlukan waktu
setarikan napas untuk mati.
"Tak ada sesal!" Nobunaga berkata keras-keras. Ranmaru mendengar seruan Nobunaga dan ber-
gegas masuk. Majikannya. dengan kimono sutra berwarna putih, sudah tertelungkup di lantai,
memeluk aliran darah segar. Ranmaru melepaskan pintu-pintu geser dari sebuah lemari kecil dan
mengatur semuanya di atas jenazah Nobunaga. seakan-akan hendak membuat peti mati. Setelah
menutup pintu dengan tenang, ia berdiri agak jauh dari pelataran. Ia meraih pedang pendek yang
akan digunakannya untuk melakukan seppuku, namun pandangan matanya yang bersinar-sinar
melekat pada jenazah Nobunaga, sampai seluruh ruangan dimangsa api.
*** Selama tiga hari pertama Bulan Keenam, langit di atas Kyoto tampak cerah dan matahari bersinar
terik. Namun cuaca di provinsi-provinsi Barat yang bergunung-gunung berganti-ganti cerah dan
mendung. Hujan deras terus turun sampai akhir Bulan Kelima. Kemudian, selama dua atau tiga hari
pada awal Bulan Keenam, angin tenggara meniup awan-awan dari selatan ke utara, dan langit
berganti-ganti cerah dan berawan.
Sebagian besar orang yang bosan dengan hujan dan kelembapan berharap musim hujan segera
berakhir, tapi pasukan Hideyoshi, yang masih meneruskan pengepungan Benteng Takamatsu,
memanjatkan doa pada Delapan Raja Naga untuk mengirim hujan dan lebih banyak hujan - senjata
utama mereka di medan tempur. Benteng itu masih terputus dari dunia luar akibat danau berawa
yang mengelilinginya. Di sana-sini, puncak pohon-pohon yang terendam tampak menyembul dari
permukaan air, seperti rambut orang yang menderita penyakit kulit kepala.
Di kota benteng, tinggal atap rumah-rumah orang kebanyakan yang masih berada di atas air
rumah-rumah para petani di daerah-daerah rendah sudah lenyap. Tak terhitung jumlah potongan
kayu busuk yang terbawa arus berlumpur, atau terapung-apung di tepi danau.
Sepintas lalu, riak pada pcrmukaan air yang berwarna kuning lumpur seakan-akan tak bergerak.
Namun ketika para prajurit memperhatikan tepi danau, mereka melihat bahwa permukaan air terus
naik, inci demi inci, "Nah, itu ada tontonan menarik! Lihat ke sebelah sana. Mereka sama saja
seperti kalian!" 13 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hideyoshi duduk di atas kuda. Kata-katanya ditujukan kepada para pelayan yang berada di
belakangnya." "Di mana?" Penuh rasa ingin tahu para pelayan menoleh ke arah yang ditunjuk majikan mereka. Ternyata
sekawanan burung bangau putih sedang hinggap di atas kayu yang terapung. Para pelayan, yang
semuanya masih remaja, mengangkat bahu dan tertawa-tawa kecil. Sambil mendengarkan obrolan
mereka yang kekanak-kan akan, Hideyoshi memutar kudanya dan kembali ke perkemahan.
Itu terjadi pada malam hari ketiga di Bulan Keenam. Berita mengenai peristiwa di Kyoto tak mungkin
sudah sampai ke telinga Hideyoshi.
Hampir setiap hari Hideyoshi memeriksa perkemahan, disertai sekitar lima puluh sampai seratus
orang. Kadang-kadang para pelayan pun ikut dalam rombongan. Mereka membawa payung besar
bergagang panjang dan berbaris sambil mengibarkan panji komandan yang berwarna cerah. Para
prajurit yang melihat "iring-iringan agung" tersebut menengadahkan kepala dan berpikir. "Itu
pemimpin kami. Pada hari-hari saat mereka tidak melihatnya, mereka merasa ada sesuatu yang
kurang." Sambil berkuda. Hideyoshi menatap para prajurit di kiri-kanannya, orang-orang berkeringat dan
berlumuran darah yang menikmati makanan yang nyaris tak dapat di makan, para prajurit yang
selalu gembira dan hampir tak mengenal rasa jemu.
Hideyoshi merindukan hari-hari saat ia sendiri menjadi bagian dari kelompok anak muda yang riang
gembira. Lima tahun lalu ia diberi komando operasi ini. Pertempuran sengit yang terjadi di Benteng
Kozuki, Benteng Miki, dan tempat-tempat lain sangat menguras tenaga. Tapi di samping
kesengsaraan akibat perang, sebagai jendral ia pun acap kali menemui krisis mental.
Nobunaga laki-laki yang sukar dipuaskan, dan menunjukkan pengabdian dari jauh tanpa mengu-sik
ketenangan pikirannya tidaklah mudah. Selain itu, jendral-jendral di sekitar Nobunaga kurang
berkenan melihat karier Hideyoshi melesat. Meski demikian, Hideyoshi tetap merasa bersyukur, dan
di pagi hari, pada waktu memanjatkan doa kepada Dewi Matahari, ia tak pernah lalai mengucapkan
terima kasih atas segala cobaan yang ditimpakan padanya selama lima tahun itu.
Takkan ada orang yang dengan sengaja mencari kesulitan seperti itu. Hideyoshi merasa bahwa
para dewa, apa pun rencana yang mereka simpan untuk dirinya, tak henti-hentinya memberi
kesulitan demi kesulitan. Adakalanya ia bersyukur atas segala penderitaan dan kemalangan di
masa mudanya, sebab hanya karena itu ia dapat mengatasi kelemahan jasmaninya dan tetap
bertahan hidup. Saat ini strategi serangan air terhadap Benteng Takamatsu telah dilaksanakan, dan Hideyoshi
tinggal menunggu kedatangan Nobunaga dari Timur. Di Gunung Hizashi, pasukan Mori berkekuatan
tiga puluh ribu orang di bawah komando Kikkawa dan Kobayakawa menunggu untuk me-
nyelamatkan benteng sekutu mereka, jika cuaca sedang cerah, payung dan panji komandan
Hide-yoshi terlihat jelas oleh pihak musuh.
Tepat pada waktu Hideyoshi kembali ke perkemahan seorang kurir tiba melalui Jalan Raya
Okayama dan segera dikepung oleh para pengawal. Jalan tersebut menuju perkemahan Hideyoshi
14 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di Bukit Ishii, tapi lewat jalan yang sama kurir itu juga dapat melintasi Hibata, lalu meneruskan
perjalanan ke perkemahan Kobayakawa Takakage di Gunung Hizashi. Dengan sendirinya jalan itu
dijaga ketat. Kurir itu telah memacu kudanya sepanjang jalan, sejak ia berangkat pada hari sebelumnya, tanpa
berhenti untuk makan maupun minum. Pada waktu para pengawal membawanya ke perkemahan, ia
sudah jatuh pingsan. Waktu itu Jam Babi. Hideyoshi masih bangun. Ketika Hikoemon kembali, ia, Hideyoshi, dan Hori
Kyutaro pergi ke bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal Hideyoshi. Di sana ketiga orang
itu duduk bersama untuk waktu lama.
Pertemuan itu bersifat sangat rahasia, sehingga para pelayan pun disuruh pergi. Hanya Yuko sang
penyair yang diperkenankan hadir, dan ia duduk di balik pintu kertas, mengaduk teh.
Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekati bangunan itu. Para palayan, yang diberi tugas
mengamankan daerah sekitarnya, segera meng-
hadang orang yang baru datang.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara para pelayan terdengar amat genting, sementara orang yang mereka hadang rupanya
berdarah panas. "Yuko, ada apa itu?" Hideyoshi bertanya.
"Hamba tidak pasti. Barangkali ada pelayan dan penjaga yang bertengkar."
"Coba periksa." "Tentu."
Yuko bangkit dan melangkah keluar, membiarkan perlengkapan minum teh tergeletak di tempat.
Ketika melihat ke luar, ia menemukan bahwa Asano Nagamasa-lah yang dihadang oleh para
pelayan. Namun para pelayan muda telah diperintahkan untuk menghalau setiap orang, dan mereka
bertekad melaksanakan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya, tanpa memandang siapa yang
mereka hadapi. Asano menanggapi sikap mereka dengan mengancam bahwa ia akan memaksa
masuk jika tidak diberi jalan. Para pelayan lalu mempersilakan Asano mencobanya. Mereka
memang tak lebih dari pelayan, tapi mereka pun telah diberi tugas, dan mereka hendak
membuktikan bahwa mereka bukan hiasan belaka.
Yuko mula-mula menenangkan para penjaga yang berusia muda, kemudian bertanya, "Tuan Asano,
ada apa sebenarnya?"
Asano menunjukkan kotak surat yang digeng-
gamnya, lalu memberitahukan kedatangan kurir dari Kyoto. Ia sudah tahu bahwa Hideyoshi se-dang
mengadakan pertemuan tertutup, tapi karena beranggapan bahwa berita yang dibawa tentu tidak
menyangkut soal sepele, ia hendak ber-bicara se-bentar dengan junjungannya.
15 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Harap tunggu sejenak," Yuko kembali ke dalam, tapi segera kembali dan mengajak Asano masuk.
Asano mengikutinya sambil mengintip ke ruang sebelah. Para pelayan di dalam bungkam. Mereka
membuang muka dan sama sekali tak mengacuhkannya.
Sambil menggeser sebuah lentera, Hideyoshi berpaling pada Asano yang baru muncul di pintu.
"Hamba mohon maaf, karena mengganggu pertemuan ini."
"Tidak apa-apa. Rupanya ada berita. Siapa pengirimnya?"
"Hamba diberitahu bahwa beritanya berasal dari Hasegawa Sojin, Yang Mulia."
Asano menyodorkan kotak surat. Lapisan berkilap pada kulitnya memantulkan cahaya lentera.
"Berita dari Sojin?" tanya Hideyoshi sambil meraih kotak itu.
Hasegawa Sojin merupakan teman minum teh Nobunaga. Ia tak seberapa akrab dengan
Hide-yoshi, jadi aneh rasanya kalau ahli seni minum teh ini tiba-tiba mengirim berita penting ke per-
kemahan Hideyoshi. Kecuali itu, menurut Naga-masa, si kurir meninggalkan Kyoto pada siang
sebelumnya dan baru tiba pada jam Babi.
Itu berarti ia menempuh perjalanan sejauh sekitar dua ratus mil dari ibu kota ke perkemahan
Hideyoshi dalam waktu satu hari dan setengah malam. Itu bukan perjalanan santai, untuk ukuran
kurir sekalipun. Tak pelak lagi bahwa ia tidak makan maupun minum, dan bahwa ia berkuda
sepanjang malam. "Hikoemon, geser lenteranya ke sini."
Hideyoshi membungkuk dan membuka surat Sojin. Suratnya pendek dan rupanya ditulis dengan
terburu-buru. Tapi ketika membacanya. bulu kuduk Hideyoshi langsung berdiri tcgak.
Ketiga orang lainnya duduk di belakang Hideyoshi, agak jauh, namun ketika melihat bahwa warna
kulitnya mendadak berubah dari tengkuk sampai ke telinga, tanpa sadar Kyutaro, Asano, dan
Hikoemon mencondongkan badan ke depan.
Asano bertanya, "Yang Mulia... ada apa?"
Begitu mendengar suara Asano, Hideyoshi segera sadar kembali. Seakan menyangsikan kata-kata
yang tercantum dalam surat itu, ia memaksakan diri membaca semuanya sekali lagi. Kemudian air
matanya mulai membasahi surat yang isinya tak perlu diragukan lagi.
"Yang Mulia, mengapa Yang Mulia menangis?"
tanya Hikoemon. "Tidak biasanya Yang Mulia bersikap seperti ini."
"Kabar burukkah yang disampaikan pada tuan-ku?"
16 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketiga-tiganya menyangka surat itu berhu-bungan dengan ibu Hideyoshi yang ditinggalkannya di
Nagahama. Selama perang, mereka jarang membicarakan kehidupan pribadi masing-masing, tapi jika mereka
menyinggungnya, Hideyoshi selalu berbicara ten-tang ibunya, jadi kini mereka membayangkan
ibunya sakit keras atau telah meninggal.
Hideyoshi akhirnya menghapus air mata dan duduk lebih tegak. Roman mukanya jadi teramat
serius, dan dukanya yang mendalam seolah-olah diwarnai kemarahan. Kemarahan yang tidak lazim
dirasakan bila salah satu orangtua meninggal.
"Aku tak sanggup menyampaikannya pada kalian. Kalian bertiga majulah dan lihat ini." Ia
menyerahkan surat Sojin dan menoleh ke arah lain, sambil menyembunyikan air mata dengan
lengan kimono. Ketika membaca surat itu, Asano, Kyutaro. dan Hikoemon tampak seperti disambar petir.
Nobu-naga dan Nobutada telah tiada. Betulkah itu" Semisterius inikah dunia" Kyutaro, khususnya,
sempat bertemu Nobunaga sebelum bertolak ke Bukit Ishii. Ia bahkan datang atas perintah
Nobunaga, dan kini ia berulang kali mengamati surat di hadapannya, tak kuasa mempercayai isinya.
Baik Kyutaro maupun Hikoemon mencucurkan air mata, dan lentera di meja bisa saja dipadamkan
oleh air mata mereka. Hideyoshi duduk dengan gelisah. Ia sudah dapat menguasai diri, mulutnya
terkatup rapat-rapat. "Hci! Coba ke sini!" ia berseru ke arah ruang para pelayan. Seruannya menggetarkan langit-langit,
dan baik Hikoemon maupun Asano - yang sama-sama terkenal gagah berani - begitu kaget,
sehingga terlompat dari bantal masing-masing. Betapa tidak, sesaat sebelumnya Hideyoshi masih
berlinang air mata, seakan-akan hatinya remuk redam.
"Ya, tuanku!" seorang pelayan membalas, jawaban itu diiringi suara langkah penuh semangat.
Mendengar bunyi langkah dan suara Hideyoshi, duka Kyutaro dan Hikoemon tiba-tiba menguap.
"Tuanku?" "Siapa itu?" Hideyoshi bertanya. "Ishida Sakichi, tuanku."
Sakichi yang berbadan pendek muncul dari bayang-bayang pintu geser ke ruang sebelah. Ia maju
sampai ke tengah-tengah tatami, lalu berpaling ke arah lentera di ruang rapat dan membungkuk
sambil menempelkan kedua tangan ke lantai.
"Sakichi, pergilah ke perkemahan Kanbei. Beritahu dia bahwa aku perlu segera bicara dengannya.
Cepat!" Kalau saja situasi mengizinkan, Hideyoshi akan menangis tersedu-sedu. Ia telah mengabdi pada
Nobunaga sejak berusia tujuh belas tahun. Kepalanya pernah ditepuk-tepuk oleh tangan Nobunaga,
dan dengan tangannya sendiri ia membawa sandal junjungannya itu. Dan kini junjungannya tidak
lagi bersama mereka. Hubungan antara Nobunaga dan dirinya bukan hubungan biasa. Mereka
se-darah, sekeyakinan, sehidup, dan semati. Tanpa disangka-sangka, sang junjungan mendahului
dirinya, dan Hideyoshi menyadari bahwa mulai saat ini, ia sendiri yang menentukan arah
kehidupannya. 17 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tak seorang pun mengenalku seperti beliau, pikir Hideyoshi. Di saat-saat terakhir, di tengah
kobaran api yang melanda Kuil Honno, beliau tentu memanggil-manggil namaku dalam hati, dan
mengembankan kepercayaan padaku. Walau tak berarti, aku takkan berpaling dari junjunganku dan
mengkhianati kepercayaan yang telah diberikannya. Itulah janji Hideyoshi. Dan ia
bersungguh-sungguh. Pemikirannya sederhana saja: Sesaat sebelum mengembuskan napas
penghabisan, Nobunaga sempat meninggalkan perintah terakhir untuk Hideyoshi.
Hideyoshi memahami betapa besar kekesalan junjungannya. Berdasarkan sikap Nobunaga,
Hide-yoshi dapat membayangkan penyesalan dalam dada junjungannya karena terpaksa
meninggalkan dunia ini pada saat kerjanya baru rampung setengahnya. Ketika memikirkan
masalahnya dari segi ini. Hideyoshi tak sanggup lagi menyimpan duka dalam hati, juga tak ada
waktu guna menyusun rencana-rencana untuk masa depan. Raganya berada di Barat, tapi jiwanya
sudah menghadapi musuh, Akechi Mitsuhide.
Darah Di Bukit Serigala 2 Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga Sumpah Palapa 4
^