Pencarian

Taiko 21

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 21


Namun masih ada perranyaan: bagaimana menangani musuh yang berada di depan hidungnya, di
Benteng Takamatsu. Dan bagaimana ia harus menangani pasukan Mori yang berkekuatan tiga
puluh ribu orang" Adakah strategi jitu agar ia segera dapat meninggalkan wilayah Barat dan pindah
ke Kyoto" Bagaimana menghancurkan Mitsuhide; masalah-masalah yang dihadapinya
membentang bagaikan barisan pegunungan.
Sepertinya ia telah mengambil keputusan. Peluangnya satu berbanding seribu, dan tekadnya untuk
mempertaruhkan nyawa pada kemungkinan ini tercermin dari roman mukanya yang berkerut-kerut.
"Di mana kurir itu sekarang?" Hideyoshi bertanya pada Asano, segera setelah si pelayan pergi.
"Hamba memerintahkan para samurai untuk mcnyuruhnya menunggu di dekat kuil utama." jawab
Asano. Hideyoshi memberi isyarai pada Hikoemon. "Bawa dia ke dapur dan berikan makanan padanya.
Tapi setelah itu kurung dia di salah satu ruangan dan jangan biarkan satu orang pun bicara
dengannya." ia memerintahkan.
Ketika Hikoemon berdiri sambil mengangguk, Asano bertanya, apakah ia sebaiknya juga pergi.
Hideyoshi menggelengkan kepala. "Jangan, aku ada perintah lain untukmu, jadi tunggulah
se-bentar lagi. Asano, kuminta kau memilih beberapa samurai yang mempunyai telinga tajam dan
kaki lincah. Tempatkan mereka di semua jalan dari Kyoto ke wilayah kekuasaan Mori, jangan
sampai hal ini bocor. Tangkap semua orang yang kelihatan mencurigakan. Kalaupun mereka tidak
mencurigakan, periksa identitas mereka, dan geledah barang-barang yang mereka bawa. Ini sangat
penting. Laksanakan perintah ini dengan segera, dan berhati-hatilah."
Asano langsung pergi. Kini tinggal Kyutaro dan Yuko.
"Jam berapa sekarang, Yuko?" "Pertengahan kedua Jam Babi."
"Sekarang hari ketiga di bulan ini, bukan?" "Benar."
"Besok hari keempat." Hideyoshi bergumam. "Hari keempat, lalu hari kelima." Dengan mata
setengah terpejam, ia menggerak-gerakkan jari pada lutut, seakan-akan sedang berhttung.
18 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sukar rasanya bagi hamba untuk duduk berpangku tangan di sini. Sudikah Yang Mulia
memberikan tugas pada hamba?" Kyutaro bertanya.
"Tidak, aku ingin menunggu sedikit lebih lama di sini," ujar Hideyoshi, berusaha menyabarkannya.
"Sebentar lagi Kanbei akan datang. Aku tahu Hikoemon sudah mengurus kurir itu, tapi mumpung
ada waktu, mengapa kau tidak memeriksanya sekali lagi?"
Kyutaro segera berdiri dan pergi ke dapur kuil. Si kurir berada di sebuah ruangan kecil di sebelah
dapur, sedang melahap makanan yang diberikan padanya. Orang itu belum makan maupun minum
sejak siang hari sebelumnya, dan ketika ia akhirnya selesai makan, ia duduk sambil menyandarkan
punggung. Perutnya tampak membuncit.
Hikoemon memanggilnya dengan isyarat tangan dan mengantamya ke sebuah ruangan, di daerah
kamar-kamar para biksu, ruang penyimpanan naskah-naskah suci. Sambil mengucapkan selamat
tidur. Hikoemon mempersilakan orang itu masuk, lalu mengunci pintunya dari luar. Saat itulah
Kyutaro menghampiri Hikoemon dan berbisik di telinganya.
"Yang Mulia khawatir berita mengenai peristiwa di Kyoto terdengar oleh para prajurit."
Sorot mata Kyutaro mencerminkan niatnya untuk membunuh si kurir, tapi Hikoemon
menggelengkan kepala. Setelah berjalan beberapa lang-
kah, Hikoemon berkata, "Kemungkinan dia akan mati di ruangan itu karena makan terlalu banyak.
Biarlah dia mati dengan tenang."
Sambil mengarahkan pandangannya ke ruangan tadi. Hikoemon menegakkan telapak tangan di
depan dada dan berdoa. BUKU DELAPAN TAHUN TENSHO KESEPULUH 1582 MUSIM PANAS TOKOH dan TEMPAT HORI KYUTARO, pengikut senior marga Oda
ODA NOBUTAKA, putra ketiga Nobunaga
ODA NOBUO, putra kedua Nobunaga
19 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
NIWA NAGAHIDE, pengikut senior marga Oda
TSUTSUI JUNKEI, pengikut senior marga Oda
MATSUDA TAROZAEMON, pengikut senior marga Akechi
ISHIDA SAKICHI, pengikut Hideyoshi
SAMBOSHI, cucu dan pewaris Nobunaga
TAKIGAWA KAZUMASA, pengikut senior marga Oda
MAEDA GENI, pengikut senior marga Oda
SAKUMA GENBA, keponakan Shibata Kaisuie
SHIBATA KATSUTOYO, putra angkat Kaisuie
Kurir Bernasib Buruk HIDEYOSHI belum bergerak. Debu halus berjatuhan di sekitar kaki lentera - kemungkinan sisa-sisa
surat Hasegawa. Kanbei masuk terpincang-pincang, dan Hide-yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala.
Kanbei menekuk kakinya yang cacat dan duduk di lantai. Pada waktu ditawan di Benteng Itami, ia
terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung sembuh, dan ketika ia duduk berdekatan dengan
lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus pandang.
"Hamba telah menerima perintah untuk menghadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian
mendesak di tengah malam ini," tanyanya.
Hideyoshi menjawab. "Hikoemon akan menjelaskannya." Kemudian ia melipat tangan dan
menundukkan kepala sambil mendesah panjang.
"Tuan Kanbei tentu akan merasa sangat terpukul." Hikoemon mulai berkata.
Kanbei tersohor akan ketabahannya, tapi ketika mendengar penjelasan Hikoemon, wajahnya
menjadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun mendesah, melipat tangan, dan menatap Hideyoshi.
Kyutaro kini maju beringsut-ingsut dan berkata, "Ini bukan saatnya memikirkan yang telah berlalu.
Angin pembawa perubahan berembus di dunia, angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat
untuk menaikkan layar dan berangkat."
Kanbei menepuk lutut dan berkata, "Tepat sekali! Langit dan bumi memang abadi, tapi roda
20 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kehidupan berputar hanya karena segala sesuatu berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang
lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan."
Pendapat kedua orang itu membuat Hideyoshi tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan
dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak dapat memperlihaykan perasaannya di depan
umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang pengikut, kematian junjungannya merupakan
tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan setimpal.
"Kanbei, Kyutaro, kalian berdua telah membesarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat kita
lakukan sekarang," ujar Hideyoshi dengan yakin. "Berdamai dengan pihak Mori secepat mungkin,
tanpa diketahui orang banyak."
Ekei, si biksu, telah mendatangi perkemahan sebagai utusan marga Mori untuk merundingkan
perjanjian damai. Mula-mula Ekei menghubungi Hikoemon, karena keduanya sudah cukup lama
saling mengenal; kemudian ia bertemu dengan Kanbei. Sampai saat ini, Hideyoshi menolak
berunding dengan pihak Mori, tanpa memandang apa yang mereka tawarkan. Pertemuan antara
Ekei dan Hikoemon hari itu berakhir tanpa kesepa-katan.
Sambil berpaling pada Hikoemon, Hideyoshi berkata, "Kau bertemu Ekei hari ini. Apa rencana
orang-orang Mori?" "Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita menyetujui syarat-syarat mereka," balas
Hikoemon. "Tidak!" ujar Hideyoshi dengan tegas, "Syarat-syarai yang mereka ajukan tak mungkin
kuterima. Dan apa yang ditawarkan Ekei padamu, Kanbei?" "Lima provinsi, yaitu Bitchu, Bingo, Mimasaka,
Inaba, dan Hoki, jika kita mengakhiri penge-pungan Benteng Takamatsu dan membiarkan Jendral
Muncharu dan anak buahnya tetap hidup."
"Sepintas lalu lawaran mereka cukup menarik. Tapi, kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang
ditawarkan marga Mori sudah tidak berada dalam kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima
tawaran itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka," Hideyoshi menanggapi. Tapi jika pihak Mori
mengetahui apa yang telah terjadi di Kyoto, mereka takkan mau berdamai. Moga-moga mereka
belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan waktu beberapa jam padaku, tapi kita harus
buru-buru." "Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita meminta perundingan damai resmi, pertemuannya dapat
diselenggarakan dalam dua atau tiga hari,"
Hikoemon mengusulkan. "Tidak, itu terlalu lama." balas Hideyoshi. "Kita harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa
menunggu sampai fajar. Hikoemon, usahakan agar Ekei datang lagi ke sini."
"Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?" tanya Hikoemon.
"Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan kurir di tengah malam buta tentu akan membuatnya
curiga. Kita harus memikirkan masak-masak, apa yang akan kita sampaikan padanya."
Sesuai perintah Hideyoshi, anak buah Asano Yahei melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua
21 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar tengah malam, para penjaga menghentikan orang
buta yang berjalan dengan membawa tongkat bambu dan menanyakan tujuannya.
Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu bertumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun-jungi
rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata dengan sangai sopan.
"Kalau hendak ke Niwase, mengapa kau ada di jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira
yang memegang komando. "Aku tidak mendapat tempat menginap, jadi aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil
menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat
menunjuk- kan sebuah desa dengan penginapan."
Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia hanya pura-pura! Ikat dia."
"Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal. "Aku pemusik buta yang terdaftar di Kyoto. Aku tinggal
bertahun-tahun di sana. Tapi sekarang bibiku di Niwase sedang menjelang ajalnya." Ia merapatkan
tangan dengan gaya memohon.
"Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu memang terpejam, tapi aku sangsi apakah kau memerlukan
ini!" Tanpa peringatan, perwira itu merebut tongkat si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah
surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah.
Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api. Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit di
sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. Tapi dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang,
musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera diringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat bergerak,
lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti sepotong barang.
Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum-pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulutnya
dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda, para prajurit segera menuju perkemahan Hide-yoshi
dengan membawa tawanan mereka.
Pada malam yang sama, seorang pertapa dihadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang yang
mengaku sebagai pemusik buta, orang ini bersikap angkuh.
"Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak. "Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang malam
tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku" Orang
dengan tubuh seperti awan yang beterbangan dan sungai yang mengalir tidak memerlukan tujuan."
Selama beberapa waktu, si pertapa terus mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha kabur.
Tapi seorang prajurit berhasil menjegal kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas sambil
berteriak. Pada waktu menggeledahnya, para prajurit menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa. Ia
biksu-prajurit Honganji yang membawa laporan rahasia mengenai peristiwa di Kuil Honno, untuk
disampaikan pada orang-orang Mori. Ia pun segera dikirim ke perkemahan Hideyoshi seperti
22 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
se-potong barang. Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang-kap, namun seandainya salah satu dari mereka
sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil menjalankan misinya, keesokan paginya kematian
Nobunaga bukan rahasia lagi bagi pihak Mori.
Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh Mitsuhide, tapi orang yang berlagak sebagai pemusik buta
ternyata samurai Akechi yang mem-
bawa surat dari Mitsuhide untuk Mori Terumoro. Ia bertolak dari Kyoto pada pagi hari kedua.
Mitsuhide juga mengirim kurir lain pada pagi yang sama - lewat laut dari Osaka - tapi karena
kapalnya dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai perkemahan marga Mori.
"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar Ekei setelah menyapa Hikoemon , "tapi surat Tuan
berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi aku langsung berangkat."
"Aku mohon maaf karena mengganggu istirahat Tuan Ekei." Hikoemon membalas tanpa ambil
pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang kurang
cermat, Tuan terpaksa mengorbankan waktu tidur."
Kanbei membawa Ekei ke suatu tempat yang lazim disebut Hidung Karak, dan dari sana mereka
menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka mengadakan pertemuan sebelumnya.
Hikoemon duduk tepat di hadapan Ekei, dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir-pikir,
kita berdua sepertinya terikat oleh satu karma."
Ekei mengangguk. Kedua-duanya lalu menge-nang pertemuan mereka di Hachisuka, sekitar dua
puluh tahun silam, ketika Hikoemon masih men-
jadi pimpinan segerombolan ronin, dan dikenal dengan nama Koroku. Ketika menginap di
ke-diaman Hikoemon, Ekei untuk pertama kali mendengar mengenai samurai muda bernama
Kinoshita Tokichiro yang belum lama mengabdi pada Nobunaga di Benteng Kiyosu. Di tahun-tahun
awal itu, ketika kedudukan Hideyoshi masih jauh di bawah jendral-jendral Nobunaga, Ekei menulis
pada Kikkawa Motoharu: Kekuasaan Nobunaga masih akan bertahan lama. Sesudah ia jatuh kelak,
Kinoihita Tokichiro-lah orang berikut yang perlu diperhatikan.
Ramalan Ekei kemudian terbukti luar biasa jitu. Dua puluh tahun yang lalu ia telah melihat
kemampuan yang tersimpan dalam diri Hideyoshi; sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran
Nobunaga. Namun pada malam itu, ia sendiri tak mungkin menyadari betapa tepat ramalannya.
Ekei bukan biksu biasa. Ketika ia masih pembantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji, Motonari,
kepala marga Mori yang terdahulu. memerintahkan Ekei masuk ke dalam jajaran pengikutnya.
Selama masa hidup Motonari, si Biksu Kecil - demikian julukan yang diberikan Motonari pada
Ekei - menyertai junjungannya dalam semua operasi militer.
Setelah kematian Motonari, Ekei meninggalkan marga Mori dan mengembara ke setiap pelosok
Jepang. Ketika kembali, ia diangkat sebagai kepala biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat
kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga Mori yang baru.
Sepanjang perang melawan Hideyoshi, Ekei tak henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia
23 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengenal Hideyoshi dengan baik, dan merasa bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal
serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya adalah persahabatannya dengan Hikoemon yang
telah terjalin lama. Sebelumnya, Ekei dan Hikoemon sudah be-berapa kali bertemu, tapi setiap kali mereka terbentur
pada masalah yang sama: nasib Muneharu. Maka Hikoemon pun berkata pada Ekei, "Ketika aku
berbicara dengan Yang Mulia Kanbei sebelum ini, beliau mengatakan bahwa Yang Mulia Hideyoshi
sesungguhnya jauh lebih murah hati daripada yang disangka orang-orang. Beliau mengisyaratkan
bahwa seandainya pihak Mori bersedia memberikan satu kelonggaran lagi, perdamaian tentu akan
tercapai. Menurut beliau, jika kami mengakhiri pengepungan dan membiarkan Jendral Muneharu
tetap hidup, akan timbul kesan bahwa pasukan Oda terpaksa mene-rima kesepakatan untuk
berdamai. Yang Mulia Hideyoshi tak dapat menyampaikan syarat-syarat tersebut pada Yang Mulia
Nobunaga. Satu-satunya persyaratan kami adalah kepala Muneharu. Tentunya Tuan takkan
menemui kesulitan untuk mengakhiri masalah ini."
Persyaratan yang diungkapkan Hikoemon belum berubah, tapi ia sendiri tampak berbeda sejak
pertemuan mereka yang terakhir.
"Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi-ku," balas Ekei. "Jika marga Mori harus
menyerahkan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa Muneharu tidak terselamatkan, berarti
mereka gagal mengikuti Jalan Samurai."
"Meski demikian, apakah Tuan sempat memas-tikan sikap mereka setelah pertemuan terakhir kita?"
"Tak ada perlunya. Pihak Mori takkan pernah menyetujui kematian Muneharu. Mereka menghargai
kesetiaan lebih tinggi daripada apa pun, dan tak seorang pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto
sampai pengikutnya yang paling rendah, akan menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka
terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat."
Langit mulai terang; di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar di hari
keempat bulan itu. Ekei tidak mau menerima persyaratan Hiko-emon; sebaliknya, Hikoemon pun tidak bersedia
mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan buntu.
"Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu dikatakan." Ekei menyimpulkan dengan lesu.
"Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe-mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik
temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan minta Yang Mulia Kanbei untuk menggantikan
tempatku." "Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab Ekei.
Hikoemon menyuruh putranya menghubungi Kanbei, yang tak lama kemudian tiba di atas tandunya.
Kanbei turun, dan dengan susah payah ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya.
"Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe-mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan
terakhir," ujar Kanbei. "Jadi, bagaimana hasilnya" Begitu sukarkah mencapai kata sepakat"
Pembicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah malam."
24 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keterusterangan Kanbei membangkitkan sema-ngat mereka. Wajah Ekei bertambah cerah dalam
cahaya pagi. "Kami telah berusaha," ia berkata sambil tertawa. Dengan alasan harus
mempersiapkan penyambutan Nobunaga, Hikoemon mengundurkan diri.
"Yang Mulia Nobunaga akan berkunjung selama dua atau tiga hari," kau Kanbei. "Setelah ini, sukar
rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan perundingan damai."
Gaya diplomasi Kanbei sederhana dan lurus, juga amat angkuh. Jika pihak Mori hendak berdebat
mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar selain perang.
"Jika Tuan dapat membantu pasukan Oda hari ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin."


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berganti lawan bicara, hilanglah ke-fasihan lidah Ekei. Namun wajahnya tampak lebih
bersemangat dibandingkan ketika ia menghadapi Hikoemon.
"Jika dapat dipastikan bahwa Muneharu akan melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah
penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia. dan aku yakin beliau bersedia mencari jalan
tengah. Tapi bagaimanapun sudikah Tuan menyampaikan tawaran kami kepada Jendral Kikkawa
dan Jendral Kobayakawa pagi ini" Aku punya firasat ini merupakan penentuan damai dan perang."
Mendengar uraian Kanbei, Ekei merasa terdorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkawa di
Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil. Perkemahan Kobayakawa di Gunung Hizashi
berjarak kurang dari enam mil. Tak lama kemudian, Ekei terlihat memacu kudanya.
Setelah mengantar biksu itu, Kanbei mendatangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar Hideyoshi dan
menemukannya sedang tidur. Lentera di meja telah padam, minyaknya habis terbakar. Kanbei
membangunkan Hideyoshi dan berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang.
"Fajar?" tanya Hideyoshi sambil terkantukkantuk. Kanbei segera melaporkan pertemuannya dengan
Ekei. Hideyoshi merengut, tapi segera bangkit.
Para pelayan sudah menunggu di ambang pintu pemandian, siap dengan air, agar Hideyoshi dapat
menyegarkan diri. "Begitu selesai makan, aku akan meninjau seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti biasa,
dan suruh pembantu-pembantuku bersiap-siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan wajah.
Hideyoshi berkuda di bawah payung besar. didahului oleh panji komandan. Sambil terayun-ayun di
pelana, ia lewat di bawah pohon-pohon ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari gerbang
kuil ke kaki gunung, Setiap hari Hideyoshi meninjau perkemahan. Waktunya tidak tentu, tapi jarang
pada pagi hari. Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia bersenda gurau dengan para
pembantunya, seakan-akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda-tanda bahwa kabar
mengenai kejadian di Kyoto telah bocor, meski hanya ke anak buahnya sendiri. Setelah
memastikannya, dengan santai Hideyoshi kembali ke markas besarnya.
Kanbei telah menunggunya di muka gerbang kuil. Pandangannya memberitahu Hideyoshi bahwa
misi Ekei berakhir dengan kegagalan. Biksu itu kembali dari perkemahan Mori beberapa saat
sebelum Hideyoshi selesai melakukan pemeriksa-
an, tapi jawaban yang dibawanya belum berubah:
25 Pendekar Bodoh . Pusaka Pedang Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jika kami membiarkan Muneharu mati, artinya kami tidak menaati Jalan Samurai. Kami takkan
menerima perdamaian yang memaksa Muneharu mengorbankan nyawa.
"Panggil Ekei ke sini." Hideyoshi memerintahkan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin lama ia
justru tampak semakin optimis.
Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan yang terang dan membuatnya merasa nyaman.
Setelah berbincang-bincang mengenai masa lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota,
Hideyoshi membelokkan percakapan. Ia mulai menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatannya
perundingan damai terhenti karena kedua belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat tentang
nasib Muneharu. Tidak dapatkah Tuan Ekei menemui Yang Mulia Muneharu secara pribadi,
menjelaskan duduk perkaranya padanya, lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri"
Orang-orang Mori tak akan memerintahkan pengikut setia melakukan seppuku, tapi jika Tuan
menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune-haru dengan senang hati akan memberikan
nyawanya. Bagaimanapun, kematiannya akan menyelamatkan nyawa orang-orang di dalam
benteng dan menghindarkan marga Mori dari kehancuran." Setelah mengemukakan pandangan-
nya, Hideyoshi mendadak berdiri dan pergi.
Di dalam Benteng Takamatsu, nasib lebih dari lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya.
Para jendral Hideyoshi telah membawa tiga kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe-gunungan,
dan telah mulai menembaki benteng. Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat
penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera. Ditambah lagi masih musim hujan, dan semakin
banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun membusuk dalam udara lembap.
Pasukan bertahan telah mengumpulkan pintu-pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa
perahu untuk menyerang kapal-kapal perang Hideyoshi. Dua atau tiga perahu berhasil
diteng-gelamkan, tapi mereka yang selamat segera berenang ke benteng dan melancarkan
serangan kedua. Ketika pasukan Mori tiba, dan umbul-umbul serta panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar,
orang-orang di dalam benteng menyangka mereka sudah selamat. Namun tak lama kemudian
mereka pun menyadari situasi sesungguhnya. Jarak antara pasukan penyelamat dan mereka
sendiri, s (http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:26:03
erta kesulitan operasional yang timbul karena itu, tak memungkinkan tindakan penyelamatan. Tapi,
meski kecewa, mereka tidak kehilangan semangat juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad
untuk mati. Ketika sebuah pesan rahasia dari pihak Mori mengizinkan Muneharu menyerah guna
menye-lamatkan orang-orang di dalam benteng, ia membalas dengan geram, "Kami belum pernah
belajar menyerah. Pada saat seperti ini, kami semua siap menghadapi ajal."
Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para penjaga di tembok benteng melihat sebuah perahu
kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang dikuasai musuh. Seorang samurai memegang
dayung, dan satu-satunya penumpang adalah seorang biksu.
Ekei datang untuk meminta Muneharu melakukan seppuku. Muneharu mendengarkan penjelasan si
biksu tanpa berkata apa-apa. Baru setelah Ekei selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh.
Muneharu angkat bicara, "Hmm, ini memang hari keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah
Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari kepalsuan."
Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak. Pikiran Muneharu telah jauh melampaui
persetujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama Yang Mulia Kobayakawa dan Yang Mulia
Kikkawa mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku bahkan disarankan agar menyerah.
Sekarang, jika kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga Mori telah terjamin, dan
orang-orang di dalam benteng pun akan selamat. Kalau memang begitu, tak ada alasan bagiku
untuk menolak. Malah sebaliknya, ini merupakan kegembiraan besar bagiku. Kegembiraan besar!"
ia mengulangi dengan sungguh-sungguh.
Ekei gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan demikian mudah, bahwa Muneharu akan demiki-an
gembira menyambut maut. Namun di balik itu, ia pun merasa malu. Ia biksu, tapi apakah ia memiliki
keberanian untuk menghadapi kematian seperti itu jika saatnya telah tiba"
"Kalau begitu, Yang Mulia setuju?" "Ya."
Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?"
"Nanti saja kusampaikan keputusanku pada mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita
bersamaku." "Dan - wah, ini sungguh sukar untuk dibicarakan, tapi masalahnya cukup mendesak - kabarnya tak
lama lagi Yang Mulia Nobunaga akan tiba di sini."
"Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan mengakhiri urusan ini?"
"Hari ini. Yang Mulia Hideyoshi memberi batas waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari
sekarang." "Kalau selama itu," ujar Muneharu, "aku takkan mengalami kesulitan dalam mempersiapkan
kematianku." *** 1 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pertama-tama Ekei melaporkan tanggapan Mune-haru pada Hideyoshi, kemudian ia memacu
kudanya ke perkemahan Mori di Gunung Iwasaki.
Baik Kikkawa maupun Kobayakawa dibuat cemas oleh kedatangan Ekei yang mendadak.
"Apakah mereka memutuskan perundingan?" tanya Kobayakawa.
"Tidak." jawab Ekei. "Sudah ada tanda-tanda keberhasilan."
"Hmm, kalau begitu, Hideyoshi bersedia mengalah?" Kobayakawa kembali bertanya. Ia tampak
agak kaget. Namun Ekei menggelengkan kepala.
"Orang yang paling mendambakan penyelesaian damai telah menawarkan untuk mengorbankan diri
demi perdamaian." "Siapa yang kaumaksud?"
"Yang Mulia Muneharu. Beliau berpesan bahwa dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia
Terumoto selama ini dengan nyawanya."
"Ekei, apakah kau bicara dengannya atas permintaan Hideyoshi?"
"Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin mendatangi benteng tanpa izin beliau."
"Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada Muneharu, dan dia menawarkan diri untuk
melakukan seppuku atas kemauannya sendiri"-
"Ya. Beliau akan menyerahkan nyawanya pada Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh
kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian damai mulai berlaku, nyawa orang-orang di dalam
benteng akan terselamatkan, dan keamanan marga Mori akan terjamin untuk selama-lamanya."
Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakawa bertanya, "Bagaimana tanggapan Hideyoshi ?"
"Perasaan Yang Mulia Hideyoshi pun tergugah ketika beliau mendengar tawaran Jendral
Mune-haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati batu yang akan menutup mata terhadap
kesetiaan tanpa tandingan itu. Karena itu, walaupun Yang Mulia telah berjanji untuk menyerahkan
lima provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai
peng-hargaan atas pengorbanan Muneharu. Jika tidak ada keberatan, beliau akan mengirim
perjanjian tertulis segera sesudah menyaksikan seppuku Muneharu."
Tak lama setelah Ekei pergi, Muneharu mengumumkan keputusannya. Satu per satu para samurai
Benteng Takamatsu menghadap jun-jungan mereka dan memohon agar diperkenankan mengikuti
jejaknya. Muneharu berdebat, membujuk, dan memarahi mereka, tapi para samurai tak mundur
sedikit juga. Ia kehabisan akal, tapi akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu orang pun.
Ia memberikan perintah pada seorang pembantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis
memenuhi benteng. Setelah permohonan para pengikutnya ditolak dan Muneharu tampak agak
lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya untuk mengajaknya bicara.
2 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar Gessho. "Tapi tak ada alasan bagimu untuk
menyerahkan nyawa. Biarkan aku menggantikan tempatmu.'
"Kakak, kau biksu, sedangkan aku jendral. Kuhargai tawaranmu, tapi aku tak mungkin membiarkan
orang lain menggantikan tempatku."
"Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang membawa nama keluarga. Tapi aku meninggalkan
kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawabku terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu
kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi-ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari
hidupku sendiri." "Apa pun yang kaukatakan," balas Muneharu, "aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun
melakukan seppuku demi aku."
Muneharu menolak tawaran Gessho, tapi mengizinkannya ikut dalam perahu. Muneharu merasa
tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan menyuruhnya menyiapkan kimono kebesaran
berwarna biru muda untuk menyambut kematian.
"Bawakan juga kuas dan tinta untukku," ia memerintahkan ketika teringat untuk menulis surat
kepada istri dan putranya.
Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama setiap tetes air minum dianggap menentukan bagi
nyawa orang-orang di dalam benteng, tapi sekarang ia minta diambilkan seember air untuk
membersihkan semua kotoran yang melekat pada badannya selama pengepungan berlangsung.
Betapa damai suasana di sela pertempuran ini, Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin
sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi benteng tetap sekeruh biasanya.
Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat tembok benteng berkilauan dalam cahaya mata-hari,
dan dari waktu ke waktu teriakan bangau putih memecah keheningan.
Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaikkan ke Hidung Katak di tepi seberang, menandakan
waktunya telah tiba. Muneharu berdiri dengan tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa
mengendalikan perasaan. Muneharu cepat-cepat menuju tembok benteng, seakan-akan mendadak
tuli. Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi lima
penumpang: Muneharu, Gessho, dan tiga pengikut. Semua laki-laki, perempuan, dan anak-anak di
dalam benteng berkerumun di atas tembok. Mereka tidak meratap ketika menyaksikan kepergian
Muneharu, melainkan hanya merapatkan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata.
Perahu itu meluncur pelan pada permukaan danau. Ketika ia menoleh, Gessho melihat Benteng
Takamatsu sudah jauh di belakang, dan bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah antara
benteng dan Hidung Katak.
"Cukup sampai di sini." Muneharu berkata kepada orang yang memegang dayung.
Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat dayungnya dari air. Mereka tak perlu menunggu
lama-lama. 3 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika perahu mereka berangkat dari benteng, perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu itu
membawa saksi dari pihak Hideyoshi, Horio Mosuke. Sebuah bendera merah berukuran kecil
terpasang pada haluan perahu, dan karpet berwarna merah digelar di dasarnya.
Perahu Muneharu berayun pelan, mengikuti irama gelombang ketika menunggu sampai perahu
Mosuke merapat. Danau diliputi suasana damai. Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai.
Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara kayuhan dari perahu yang tengah mendekat.
Muneharu menghadap ke arah perkemahan Mori di Gunung Iwasaki, dan membungkuk. Dalam hati
ia mengucapkan terima kasih atas perlindungan yang diterimanya selama bertahun-tahun. Ketika
melihat panji-panji junjungannya, matanya berkaca-kaca.
"Apakah perahu ini membawa jendral pembela Benteng Takamatsu, Shimizu Muneharu?" Mosuke
bertanya. "Tuan benar." Muneharu menjawab sopan. "Akulah Shimizu Muneharu. Aku datang untuk
melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian damai."
"Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi tunggulah sejenak." ujar Mosuke. "Rapatkan perahu," ia
lalu berkata pada pengikut Muneharu yang memegang dayung.
Pinggiran kedua perahu saling mendekat. sampai akhirnya bergesekan.
Mosuke lalu berkata penuh wibawa. "Aku membawa pesan dari Yang Mulia Hideyoshi. Perdamai-an
takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu
melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia Hideyoshi berharap Tuan sudi menerima persembahan ini
sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika matahari semakin tinggi di langit.
Selesaikanlah perpisahan ini sesuka hati Tuan."
Segentong kecil sake terbaik dan berbagai hidangan lezat dipindahkan dari perahu ke perahu.
Wajah Muneharu berseri-seri. "Ini sungguh tak terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia Hideyoshi,
dengan senang hati aku akan mencicipi semua-
nya." Muneharu juga menuangkan sake untuk rekan-rekannya. "Mungkin karena sudah lama aku
tak pernah mereguk sake sebaik ini, aku merasa agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang
janggal ini, jendral Horio, tapi aku ingin menari untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada
rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa rebana, tapi bersediakah kalian menembang dan
bertepuk tangan untuk mengatur irama"
Muneharu berdiri di perahu kecil itu dan membuka kipas berwarna putih. Ketika ia bergerak seirama
tepuk tangan, perahunya terayun-ayun. menimbulkan gelombang kecil pada permukaan danau.
Mosuke menundukkan kepala, tak sanggup menyaksikan adegan itu.
Begitu tembangnya berakhir, Muneharu sekali lagi angkat bicara dengan tegas, "Jendral Mosuke,
harap perhatikan ini baik-baik."
Mosuke mengangkat wajah dan melihat bahwa Muneharu telah berlutut dan membelah perut
dengan pedangnya. Bagian dalam perahu menjadi merah karena darah yang menyembur.
4 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho berseru, lalu menyayat perutnya.
Setelah para pengikut Muneharu menyerahkan kotak berisi kepala junjungan mereka pada Mosuke
dan kembali ke benteng, mereka pun mengikuti langkahnya.
Pada waktu Mosuke tiba di Kuil Jihoin, ia melaporkan seppuku Muneharu dan meletakkan
kepalanya di hadapan kursi Hideyoshi .
"Sayang sekali," Hideyoshi berkeluh. "Muneharu samurai yang sangat baik." Belum pernah ia
kelihatan demikian terharu. Tapi tak lama kemudian ia menyuruh Ekei menghadap. Ketika si biksu
tiba, Hideyoshi segera memperlihatkan sebuah dokumen.
"Kini kita tinggal saling menukar surat perjanjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan mengirim
utusan untuk mengambil surat perjanji-an dari pihak Mori."
Ekei mempelajarinya, kemudian mengembalikannya pada Hideyoshi dengan penuh hormat.
Hideyoshi minta diambilkan kuas dan membubuhkan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan
menempelkan segel darah di sebelah tanda tangannya. Perjanjian damai telah resmi berlaku.
Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda perkemahan Mori bagaikan angin puyuh, akibat
laporan mengenai kematian Nobunaga. Di markas Terumoto, orang-orang yang sejak semula
menen-tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan geram. Mereka menuntut agar pasukan
Mori segera melancarkan serangan terhadap Hideyoshi.
"Kita ditipu!" "Bajingan itu memperdaya kita!"
"Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!"
"Kita tidak dikelabui," Kobayakawa berkata dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai
pe-rundingan damai, bukan Hideyoshi. Dan dia pun tak mungkin meramalkan bencana di Kyoto."
Kikkawa, mewakili mereka yang hendak meneruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian
Nobunaga pasti membawa perpecahan dalam pasukan Oda; mereka takkan sanggup menandingi
kita sekarang. Hideyoshi-lah yang paling berpeluang menggantikan Nobunaga. Kita takkan
mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita menyerang sekarang dan di sini, terutama
mengingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara itu, kita akan menjadi penguasa seluruh
negeri." "Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar Kobayakawa. "Hanya Hideyoshi yang dapat mengembalikan
perdamaian dan ketertiban. Selain itu, pepatah lama di kalangan samurai mewanti-wanti agar
jangan menyerang musuh yang tengah berduka. Seandainya kita merobek-robek perjanjian itu dan
menyerang Hideyoshi, kalau sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk menuntut balas."
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini," Kikkawa berkeras.
Sebagai upaya terakhir, Kobayakawa menying-gung pesan terakhir bekas junjungan mereka,
"Marga harus mempertahankan batas-batasnya sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya
kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah melampaui provinsi-provinsi Barat."
5 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tiba waktunya bagi pemimpin marga Mori untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen-dapat
dengan pamanku, Kobayakawa. Kita tidak akan melanggar perjanjian perdamaian dan menjadikan


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hideyoshi musuh untuk kedua kalinya."
Pertemuan rahasia mereka berakhir pada malam hari keempat di bulan iiu. Ketika kedua jendral
berjalan kembali ke perkemahan mereka, mereka berjumpa dengan serombongan pengintai.
Perwira yang memegang komando menunjuk ke kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai
menarik pasukan." Kikkawa mendengarkan laporan itu dan berdecak. Kesempatan mereka telah berlalu. Kobaya-kawa
membaca pikiran kakaknya. "Kau masih diliputi penyesalan?"
"Tentu saja." "Hmm, andai kata kita memang berhasil mengambil alih kekuasaan atas seluruh negeri,"
Kobaya-kawa melanjutkan, "kaupikir kau yang akan memegang tampuk pemerintahan?" Hening
sejenak. "Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsikannya. Jika negeri ini dipimpin oleh
seseorang yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan, kekacauanlah akibatnya. Dan
kekacauan itu takkan berhenti dengan kehancuran marga Mori."
"Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham," ujar Kikkawa sambil memalingkan wajah. Dengan
sedih ia memandang langit malam di atas provinsi-provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung
air mata yang bergulir di pipinya.
Upacara Berdarah PASUKAN Oda harus segera mundur - itulah alasan di balik perjanjian perdamaian, dan malam itu
juga sekutu Hideyoshi, orang-orang Ukita, mulai menarik pasukan. Tapi tak satu prajurit pun ditarik
dari perkemahan utama Hideyoshi. Pada pagi hari kelima, Hideyoshi belum juga bergerak.
Walaupun pikirannya sudah melayang ke ibu kota, ia tidak memperlihatkan gelagat hendak
membongkar perkemahannya.
"Hikoemon, seberapa jauh air sudah surut?" "Sekirar satu meter."
"Jangan biarkan surut terlalu cepat."
Hideyoshi keluar ke pekarangan kuil. Meski tanggul telah dijebol dan permukaan danau mulai turun
sedikit demi sedikit. Benteng Takamatsu masih terkepung hamparan air. Malam sebelumnya salah
satu bawahan telah mendatangi benteng itu untuk menerima pernyataan menyerah. Dan kini
pasukan bertahan tengah diungsikan.
Ketika malam tiba, Hideyoshi mengutus se-seorang untuk memata-matai pasukan Mori. Kemudian
ia berunding dengan Kanbei dan para jendral lain, lalu segera mengadakan persiapan untuk
membongkar perkemahan. "Suruh orang-orang segera menjebol tanggul." ia memerintahkan pada
6 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kanbei. Tanggul itu kini dijebol di sepuluh tempat. Hampir seketika air mulai bergolak. Pusaran air yang tak
terhitung jumlahnya muncul ketika air danau menerjang keluar bagai gelombang pasang.
Mana yang lebih cepat, air danau atau Hide-yoshi, yang kini memacu kudanya ke arah timur"
Tempat-tempat tinggi di sekitar benteng dengan cepat berubah menjadi dataran kering, sementara
tempai-tempat rendah dilintasi oleh sejumlah sungai; jadi, biarpun pasukan Mori hendak mengejar,
mereka belum dapat menyeberang selama dua-tiga hari lagi.
Pada hari ketujuh, Hideyoshi tiba di tempat penyeberangan Sungai Fukuoka, dan menemukan
sungai itu tengah banjir. Para prajurit membuat bantalan pelindung untuk kuda-kuda mereka
dengan mengikatkan barang-barang bawaan, lalu menyeberang, membentuk rantai manusia
dengan bergandengan tangan atau dengan menggenggam gagang tombak yang dibawa oleh orang
di depan. Hideyoshi yang pertama melintasi sungai itu. dan ia duduk di kursinya di tepi seberang. "Jangan
panik! Jangan terburu-buru!" ia berseru. Sepertinya ia sama sekali tak terganggu oleh angin dan
hujan. "Kalau satu orang tenggelam, musuh akan menga-takan kita kehilangan lima ratus; kalau
kalian kehilangan sepotong barang, mereka akan bilang seratus, jangan sia-siakan nyawa atau
senjata di sini." Barisan belakang kini bergabung dengan pasukan utama, dan dengan kesatuan demi kesatuan
saling menyusul, kedua tepi sungai dipenuhi prajurit. Komandan barisan belakang menghadap
Hideyoshi dan melaporkan keadaan di Takamatsu. Penarikan pasukan telah rampung, dan tetap
tidak ada tanda-tanda dari pihak Mori. Kelegaan yang dirasakan Hideyoshi terbaca jelas di
wajahnya. Sepertinya baru sekarang ia merasa benar-benar aman; kini ia dapat menyalurkan
segenap tenaganya ke satu arah.
Pada pagi hari kedelapan, pasukan itu kembali ke Himeji. Berlumuran lumpur, lalu diterpa hujan
badai, para prajurit menempuh sekitar enam puluh mil dalam satu hari.
"Yang pertama-tama ingin kulakukan," Hide-yoshi berkata pada pembantunya, "adalah mandi."
Komandan benteng bersujud di hadapan Hideyoshi. Setelah mengucapkan selamat datang, ia
memberitahukan bahwa dua kurir telah tiba. salah satunya dari Nagahama dengan berita penting.
"Aku akan menemui mereka sehabis mandi. Aku minta air panas yang banyak. Baju tempur dan
pakaian dalamku sampai basah kuyup karena hujan."
Hideyoshi berendam dalam bak berisi air panas. Matahari pagi tampak indah, seakan-akan dibing-
kai oleh jendela pemandian; cahayanya menembus lewat kisi-kisi dan menerpa wajahnya,
terapung-apung dalam uap air.
Hideyoshi meloncat keluar dari bak menimbulkan suara bagaikan air terjun. "Hei, tolong gosok
punggungku!" serunya.
Kedua pelayan yang menunggu di luar bergegas masuk. Dengan mengerahkan seluruh tenaga,
mereka menggosok-gosok tubuhnya, mulai dari tengkuk sampai ke ujung jari.
7 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tiba-tiba Hideyoshi tertawa dan berkata. "Wah. lihat kotorannya! Ketika menatap dasar sekitar
kakinya, ia melihat kotoran yang terlepas dari badannya menyerupai kotoran burung.
Bagaimana mungkin orang itu memiliki penam-pilan demikian berwibawa di medan perang"
Tubuhnya yang telanjang tampak kurus mengibakan hati. Memang benar, tenaganya terkuras habis
selama operasi di wilayah Barat yang berlangsung lima tahun, tapi pada dasarnya tubuhnya yang
berusia empat puluh enam tahun memang kurang berisi. Sekarang pun bayang-bayang bocah
petani dari Nakamura, yang miskin dan kurus, masih terlihat. Tubuhnya bagaikan pohon cemara
yang merana di celah-celah bebatuan, atau seperti pohon prem kerdil yang digerogoti angin dan
salju - kuat, namun menunjukkan tanda-tanda ketuaan.
Tapi tidaklah adil membandingkan usia dan perawakannya dengan orang biasa. Kulit maupun
tubuhnya penuh vitalitas. Bahkan adakalanya ia tampak seperti orang muda jika sedang gembira
atau marah. Ketika mengeringkan ludah sehabis mandi. Hideyoshi memanggil seorang pelayan dan berkata, "Ini
harus segera diumumkan: Pada tiupan sangkakala pertama, seluruh pasukan harus makan; pada
tiupan kedua, korps perbekalan harus berangkat, pada tiupan ketiga, seluruh pasukan harus
berkumpul di muka benteng."
Hideyoshi lalu memanggil Hikoemon serta orang-orang yang bertanggung jawab atas keuangan
dan perbekalan. "Berapa isi kas kita?" tanya Hideyoshi.
"Sekitar tujuh ratus lima puluh satuan perak, dan lebih dari delapan ratus keping emas," seorang
petugas menjawab. Hideyoshi berpaling pada Hikoemon dan memerintahkan. "Ambil semuanya dan bagi-bagikan
kepada para prajurit, sesuai upah masing-masing." Kemudian ia menanyakan berapa banyak beras
yang tersimpan dalam gudang-gudang, sambil berkomentar. "Kita tidak menghadapi penge-pungan
di sini, jadi kita tak perlu menimbun beras banyak-banyak. Bagikan beras sebanyak lima kali jatah
biasa kepada para pengikut."
Ia meninggalkan pemandian dan langsung menuju tempat kurir dari Nagahama menunggu. Ibu dan
istrinya berada di Nagahama, dan ia terus dihantui kecemasan mengenai mereka.
Begitu Hideyoshi melihat kurir itu bersujud di hadapannya, ia bertanya. "Mereka baik-baik saja,
bukan" Apakah terjadi sesuatu?"
"Ibunda maupun istri Yang Mulia dalam keadaan sehat."
"Benarkah" Kalau begitu, apakah benteng di Nagahama berada di bawah serangan?"
"Hamba diutus dari Nagahama pada pagi hari keempat, ketika segerombolan musuh mulai
menyerang." "Orang-orang Akechi?"
"Bukan, mereka ronin Asai yang bersekutu dengan marga Akechi. Tapi menurut desas-desus yang
hamba dengar dalam perjalanan, pasukan Akechi berkekuatan besar sedang menuju Naga-hama."
8 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bagaimana rencana orang-orang di Nagahama?" "Kekuatan mereka tidak memadai untuk
menghadapi pengepungan, jadi dalam keadaan darurat, mereka berencana mengungsikan keluarga
Yang Mulia ke sebuah tempat persembunyian di pe-
gunungan." Si kurir meletakkan sepucuk surat di hadapan Hideyoshi. Surat itu dari Nene. Sebagai istri sang
Penguasa Benteng, ia berkewajiban mengurus segala sesuatu sementara suaminya pergi.
Walau-pun surat itu tentu ditulis di tengah badai kebingungan dan kebimbangan, coretan kuasnya
tampak rapi. Namun isi suratnya jelas-jelas mengisyaratkan bahwa surat tersebut mungkin yang
terakhir. Jika keadaan bertambah buruk, hamba menjamin bahwa istri Tuanku takkan berbuat apa pun yang
dapat menodai nama tuanku. Satu-satunya kepentingan ibunda tuanku serta hamba adalah bahwa
tuanku dapat mengatasi segala kesulitan dalam masa rawan ini.
Tiupan sangkakala pertama terdengar nyaring di benteng dan di kota.
Hideyoshi memberikan wejangan terakhir pada para pengikutnya di Benteng Himeji. "Kemena-ngan
atau kekalahan ditentukan oleh takdir, tapi seandainya aku gugur di tangan Mitsuhide, bakarlah
benteng ini sehingga tak ada yang tersisa. Kita harus bersikap gagah, mengikuti contoh yang
diberikan orang-orang yang menemui ajal di Kuil Honno."
Tiupan kedua berkumandang dan iring-iringan perbekalan pun mulai bergerak. Pada waktu
matahari hendak terbenam di barat. Hideyoshi memerintahkan agar kursinya dipindahkan ke luar
benteng, dan menyuruh seorang prajurit meniup sangkakala untuk ketiga kalinya. Kegelapan malam
mulai menyelubungi belang-belang luas serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret di sepan-jang
jalan pesisir. Dari senja sampai lewat tengah malam, tanah terasa bergetar ketika sepuluh ribu
prajurit bergabung dengan divisi masing-masing di luar Benteng Himeji.
Fajar menyingsing, dan satu per satu siluet pohon-pohon pinus di jalan pesisir mulai tampak. Di
timur, matahari merah muncul di cakrawala di atas lain Harima, menguak awan, seakan hendak
memacu semangat para prajurit.
"Lihat!" Hideyoshi berseru. "Kita diberi angin baik. Panji-panji dan pataka kita berkibar ke arah timur.
Aku tahu bahwa nasib manusia tak dapat dipastikan. Kita tidak tahu apakah kita akan hidup sampai
fajar berikut, tapi para dewa menunjukkan jalan ke depan. Mari kita kumandangkan teriakan perang
yang nyaring, agar para dewa mengetahui keberangkatan kita."
Dalam sepuluh hari sejak kematian Nobunaga, situasi nasional berubah dramatis. Di Kyoto,
orang-orang resah sejak peristiwa Kuil Honno. Kedua jendral senior Nobunaga, Shibata Katsuie,
dan Takigawa Kazumasu, berada di tempat jauh; Tokugawa Ieyasu telah kembali ke provinsi
asalnya: pendirian Hosokawa Fujitaka dan Tsutsui Junkei tidak jelas, dan Niwa Nagahide berada di
Osaka. Desas-desus bahwa pasukan Hideyoshi telah tiba di Amagasaki, di dekat Kyoto, menyebar bagai-
kan angin pada pagi hari kesebelas. Banyak yang tidak mempercayainya. Kabar selentingan yang
beredar memang tidak sedikit - bahwa Yang Mulia Ieyasu menuju ke Barat; bahwa Nobuo, yang
tertua di antara putra-putra Nobunaga yang masih hidup, sedang menyiapkan serangan balasan;
9 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bahwa pasukan Akechi terlibat pertempuran di sini atau di sana. Desas-desus yang paling dapat
dipercaya adalah bahwa pasukan Hideyoshi ditahan di Taka-matsu oleh pihak Mori. Hanya mereka
yang mengenal Hideyoshi dengan baik luput dari ang-gapan keliru ini.
Kecakapan yang diperlihatkan Hideyoshi dalam penyerbuan ke wilayah Barat selama lima tahun
terakhir telah menyadarkan sejumlah jendral Nobunaga akan kemampuan yang dimilikinya. Di
antara orang-orang ini terdapat Niwa Nagahide, Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda
Shonyu. Mereka memandang keteguhan Hide-yoshi di bawah kesengsaraan berkepanjangan
se-bagai bukti kesetiaan tak tergoyahkan terhadap bekas junjungan mereka. Ketika mendengar
bahwa Hideyoshi telah berdamai dengan marga Mori dan sedang menuju ibu kota, mereka gembira
bahwa harapan-harapan mereka tidak dikecewakan. Pada waktu Hideyoshi menempuh perjalanan
ke arah timur, mereka mengirim pesan-pesan penting kepadanya, mendesaknya agar bergerak
secepat mungkin, dan terus melaporkan pergerakan ter-
akhir pasukan Akechi. Saat Hideyoshi mencapai Amagasaki, Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon membawa sebagian
pasukan masing-masing dan berkunjung ke perkemahan Hideyoshi.
Ketika kedua jendral itu tiba, samurai yang bertugas jaga tidak kelihatan terlalu gembira karena
kehadiran mereka, dan ia pun tidak bergegas mengumumkan kedatangan keduanya. "Yang Mulia
sedang beristirahat sekarang," katanya pada mereka.
Baik Sebei maupun Ukon tercengang. Mereka sangat sadar akan nilai mereka sebagai sekutu.
Kekuaran militer orang yang memperoleh du-kungan mereka akan berlipat ganda. Selain itu,
benteng-benteng mereka menguasai jalan masuk ke Kyoto. Dengan mengamankan kedua benteng
kunci tersebut, yang terletak hampir di tengah-tengah wilayah musuh. Hideyoshi akan memperoleh
keuntungan strategis dan logistik yang luar biasa.
Jadi, ketika mendatangi perkemahan Hideyoshi. mereka menganggap sudah sewajarnya kalau
Hide-yoshi sendiri yang keluar untuk menyambut mereka. Kedua jendral itu tak dapat berbuat
apa-apa selain menunggu. Selama itu, mereka mengamati orang-orang yang terlambat tiba.
Kurir-kurir pun datang dan pergi ke segala arah. Di antara mereka ada satu orang yang dikenali
oleh Nakagawa Sebei. "Bukankah itu samurai Hosokawa?" gumamnya. Bukan rahasia lagi bahwa Mitsuhide dan
Hosokawa Fujitaka teramat dekat. Kedua orang itu berteman akrab selama bertahun-tahun, dan
kedua keluarga mereka dihubungkan oleh ikatan perkawinan.
Kenapa kurir marga Hosokawa ada di sini" Sebei bertanya dalam hati. Urusan tersebut tidak
menyangkut kedua jendral yang tengah menunggu Hideyoshi saja, melainkan seluruh bangsa.
"Penjaga tadi mengaku Yang Mulia Hideyoshi sedang tidur, tapi aku yakin dia bohong. Apa pun
yang sedang dilakukannya, sikap Hideyoshi tak dapat diterima," Ukon menggerutu.
Mereka sudah hendak pergi ketika salah satu pelayan pribadi Hideyoshi bergegas menghampiri
mereka, dan mengundang keduanya ke kuil yang dijadikan markas oleh Hideyoshi. Hideyoshi tidak
berada di dalam ruangan yang mereka masuki, tapi bisa dipastikan bahwa ia telah bangun agak
lama. Tawa berderai terdengar dari ruang Kepala Biara. Bukan seperti ini sambutan yang
diharapkan oleh kedua jendral. Mereka telah datang untuk bersekutu dengan Hideyoshi dan
10 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menghukum Mitsuhide. Ukon tampak dongkol, kegetiran yang dirasakannya dalam hati terbaca
pada wajahnya; Sebei merengut.
Hawa panas yang menyesakkan napas semakin memperkuat ketidakpuasan mereka. Musim hujan
seharusnya sudah berakhir, tapi udara masih saja lembap. Di langit, awan-awan bergerak tanpa
aturan, seolah-olah mencerminkan keadaan yang melanda seluruh negeri. Dari waktu ke waktu
sinar matahari menembus lapisan awan.
"Panas sekali, Sebei," Ukon berkomentar. "Ya, dan tidak ada angin sama sekali."
Kedua orang itu tentu saja mengenakan baju tempur lengkap. Baju tempur kini memang sudah lebih
ringan dan lentur, namun tak pelak lagi bahwa di bawah pelindung dada mereka, keringat mengalir
seperti sungai. Sebei membuka kipas dan mengayun-ayunkannya. Lalu, untuk menunjukkan bahwa kedudukan
mereka tidak di bawah Hideyoshi, Sebei dan Ukon sengaja menduduki kursi yang disediakan bagi
orang-orang dengan pangkat tertinggi.
Saat itulah seseorang menyapa mereka dengan riang, Hideyoshi. Begitu duduk di hadapan mereka,
ia segera mohon maaf sedalam-dalamnya. "Aku sungguh menyesal telah bersikap kasar. Ketika
bangun tadi, aku langsung pergi ke kuil utama, dan sementara kepalaku dicukur, seorang kurir dari
Hosokawa Fujitaka tiba dengan pesan penting. Jadi aku lebih dulu berbicara dengannya, sehingga
Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia berkata sambil menepuk-nepuk kepalanya yang kini tanpa
rambut. Ia duduk dengan gayanya yang biasa, tanpa memedulikan pangkat. Kedua tamunya terkesima, dan
pandangan mereka melekat pada kepala Hideyoshi yang gundul, yang memantulkan kehijauan
pepohonan di kebun yang berdekatan.
"Paling milik, sekarang kepalaku terasa sejuk," Hideyoshi menambahkan sambil menangis.
"Mencukur rambut sampai habis memang sangat menyegarkan."
Ia tampak agak salah tingkah, dan terus menggosok-gosok kepalanya. Ketika Sebei dan Ukon
mengetahui bahwa Hideyoshi sampai mencukur kepala demi Nobunaga, mereka segera
menying-kirkan segala ketidaksenangan, dan justru merasa malu atas kepicikan mereka.
Masalahnya, setiap kali menatap Hideyoshi, mereka seakan-akan dipaksa tertawa. Walaupun tak
ada lagi yang secara terang-terangan memanggilnya Monyet, julukan lama serta penampilannya
kini memancing rasa geli.
"Kecepatanmu mengejutkan kami." Sebei membuka percakapan. "Kau tentu tidak tidur antara sini
dan Takamatsu. Kami lega melihatmu dalam keadaan sehat," ia melanjutkan sambil berjuang
menahan tawa. Hideyoshi berkata dengan manis, "Aku sungguh menghargai laporan-laporan yang kalian kirimkan
padaku. Berkat laporan-laporan itulah aku dapat mengetahui pergerakan pasukan Akechi, dan yang
lebih penting, mengetahui bahwa kalian merupakan sekutuku."
Tapi baik Sebei maupun Ukon tidak sebegitu bodoh, hingga termakan oleh sanjungan seperti itu.
Hampir tanpa menanggapi komentar Hide-yoshi, mereka segera mulai memberikan saran-saran
11 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
padanya. "Kapan kau akan bertolak ke Osaka" Yang Mulia Nobutaka ada di sini bersama Niwa." "Sekarang
ini aku tidak ada waktu untuk pergi ke Osaka; bukan di sini tempat musuh bercokol. Tadi pagi aku
sudah mengirim sebuah pesan ke Osaka."
"Yang Mulia Nobutaka merupakan putra ketiga Yang Mulia Nobunaga. Bukankah kau sebaiknya
berjumpa dulu dengan beliau?"
"Aku tidak mengundang beliau ke sini. Aku mengundang beliau untuk turut ambil bagian dalam
pertempuran mendatang, yang akan merupakan upacara bagi Yang Mulia Nobunaga. Beliau
bersama Niwa, jadi kupikir tak perlu bersikap terlalu resmi. Besok beliau akan bergabung dengan
kita." "Bagaimana dengan Ikeda Shonyu"
"Kita juga akan bertemu dengannya. Aku belum berjumpa dengannya, tapi dia menjanjikan
dukungan melalui kurir yang diutusnya.
Hideyoshi merasa yakin mengenai para sekutunya. Bahkan Hosokawa Fujitaka pun menolak ajakan
Mitsuhide. Ia hanya mengirim pengikutnya ke perkemahan Hideyoshi untuk menyampaikan bahwa
ia tak sudi bergabung dengan seorang pemberontak. Hideyoshi lalu menjelaskan pada kedua
tamunya bahwa kesetiaan ini bukan hanya suatu kecenderungan alami, melainkan merupakan


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prinsip moral golongan samurai.
Akhirnya, setelah membahas berbagai topik, Sebei dan Ukon secara resmi menyerahkan
sandera-sandera yang mereka bawa sebagai bukti iktikad baik mereka.
Hideyoshi menolak sambil tertawa. "Itu tidak perlu. Aku mengenal Tuan-Tuan dengan baik.
Kembalikanlah anak-anak ini ke rumah masing-masing."
Pada hari yang sama, Ikeda Shonyu, yang mengenal Hideyoshi sejak mereka sama-sama di
Benteng Kiyosu, bergabung dengan pasukan Hideyoshi. Beberapa waktu sebelum berangkat pagi
itu. Shonyu pun telah mencukur kepalanya sampai licin.
"Wah! Kau juga mencukur kepalamu?" ujar Hideyoshi ketika melihat sahabatnya.
"Secara kebetulan kita melakukan hal yang sama."
"Jalan pikiran kita serupa."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Shonyu kini menambahkan keempat ribu prajuritnya ke dalam
barisan prajurit Hideyoshi. Mula-mula Hideyoshi membawahi sekitar sepuluh ribu orang, tapi dengan
tambahan kedua ribu prajurit Ukon. kedua ribu lima ratus prajurit Sebei, keseribu prajurit Hachiya,
dan keempat ribu prajurit Ikeda, ia kini memimpin pasukan berkekuatan lebih dari dua puluh ribu
orang. Di luar dugaan, Sebei dan Ukon mulai saling mendebat ketika mengikuti rapat perang pertama, dan
keduanya tidak bersedia mundur sedikit pun dari pendirian masing-masing.
12 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sejak dulu telah menjadi kebiasaan di kalangan samurai bahwa penguasa benteng yang terdekat
dengan posisi musuh berhak memimpin barisan depan." ujar Ukon. "jadi, sama sekali tak ada
alasan mengapa prajurit-prajurit harus mengikuti pasukan Sebei."
Sebei tak mau mengalah. "Pembedaan antara barisan belakang dan depan seharusnya tak ada
sangkut-paut dengan jarak antara medan tempur dan benteng seseorang. Kemampuan pasukan
dan komandan bersangkutanlah yang menentukan."
"Maksud Tuan, aku tak pantas memimpin barisan depan dalam serangan terhadap musuh?"
"Entahlah. Tapi aku yakin aku takkan mengalah pada siapa pun. Dan hasratku untuk memimpin
barisan depan dalam pertempuran ini tak tergoyahkan. Aku, Nakagawa Sebei, yang paling pantas
untuk itu." Sebei mendesak Hideyoshi agar diberi kehor-
matan ini, namun Ukon pun membungkuk dan menatap Hideyoshi, dengan harapan menerima
tongkat komando. Hideyoshi mengambil ke-putusan sesuai dengan kedudukannya sebagai
panglima tertinggi. "Kalian berdua sama-sama pantas, jadi masuk akal kalau Sebei memimpin satu unit baris dalam
gugus tempur pertama, dan Ukon membawahi yang satu lagi. Aku berharap kalian memperlihaikan
tindakan yang sepadan dengan ucapan kalian."
Selama rapat berlangsung, pengintai-pengintai terus berdatangan untuk memberikan laporan.
"Mitsuhide telah menarik pasukannya dari Horagamine dan memusatkan kekuatannya di daerah
sekitar Yamazaki dan Enmyoji. Semula dia seakan-akan hendak mundur ke Benteng Saka-moto,
tapi pagi ini dia mendadak menunjukkan sikap ofensif. Kini satu divisi pasukannya sedang menuju
ke arah Benteng Shoryuji."
Ketika mendengar laporan tersebut, para jendral tiba-tiba kelihatan tegang. Jarak antara
perkemahan mereka di Amagasaki dan Yamazaki kurang dari sesambaran petir. Mereka sudah bisa
merasakan kehadiran musuh di daerah itu.
Sebei dan Ukon sama-sama diberi tanggung jawab memimpin barisan depan, dan mereka berdiri
dan bertanya, "Tidakkah kita harus segera menuju Yamazaki?"
Hideyoshi, yang tak terpengaruh oleh ke-bingungan saat itu, menjawab dengan amat tenang.
"Kupikir kita sebaiknya menunggu satu hari lagi, sampai Yang Mulia Nobutaka tiba di sini. Memang,
selama kita menunggu, kesempatan baik ini akan berlalu sedikit demi sedikit, namun aku ingin salah
satu putra bekas junjungan kita turut serta dalam pertempuran ini. Aku tak mau menempatkan Yang
Mulia Nobutaka ke dalam situasi yang akan disesalinya sepanjang hidupnya."
"Tapi bagaimana kalau sementara itu musuh berhasil mencapai lokasi menguntungkan?"
"Hmm, tentu saja harus ada batas waktu. Apa pun yang terjadi, besok kita sudah harus bertolak ke
Yamazaki. Setelah seluruh pasukan berkumpul di Yamazaki, kita akan berhubungan lagi, jadi
sebaiknya kalian berdua segera berangkat se-karang."
13 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sebei dan Ukon keluar dari ruang rapat. Urut-urutan keberangkaun barisan depan ditetapkan
sebagai berikut: Pertama-tama, korps Takayama; kedua, korps Nakagawa: dan ketiga, korps Ikeda.
Begitu meninggalkan Tonda, kedua ribu prajurit Takayama mengayunkan langkah, seolah-olah
musuh sudah berada di depan mata. Ketika mengamati debu yang diterbangkan oleh kuda-kuda
mereka, Sebei dan semua orang dalam korps kedua bertanya-tanya, apakah pasukan Akechi belum
sampai di Yamazaki. "Untuk itu pun mereka bergerak terlalu cepat." seseorang berkomentar curiga.
Segera sesudah memasuki Desa Yamazaki, anak buah Ukon menutup semua gerbang di
jalan-jalan yang menuju kota, bahkan menghadang orang-orang yang melewati jalan-jalan kecil di
kawasan itu. Pasukan Nakagawa yang menyusul kemudian tentu saja menemui rintangan-rintangan ini, dan
mendadak paham mengapa Ukon demikian terburu-buru; ia tak sudi didului orang lain. Sebei
meninggalkan posisi strategis ini dan langsung menuju sebuah bukit bernama Tennozan.
Akhirnya Hideyoshi berkemah di Tonda malam itu, tapi keesokan harinya ia menerima laporan
bahwa Nobutaka dan Niwa telah tiba di tepi Sungai Yodo.
Begitu mendengar kabar itu, Hideyoshi melom-pat gembira, nyaris membalikkan kursinya "Bawakan
kuda! Bawakan kuda untukku!" ia memerin-tahkan.
Sambil menaiki kuda, ia berpaling kepada para penjaga gerbang dan berseru. "Aku akan pergi
menyambut Yang Mulia Nobutaka!" Lalu ia memacu kudanya ke arah Sungai Yodo.
Sungai lebar itu hampir meluap. Di tepinya pasukan Nobutaka terbagi menjadi dua korps,
masing-masing berkekuatan empat ribu dan tiga ribu prajurit.
"Di manakah Yang Mulia Nobutaka?" Hideyoshi berseru ketika turun di tengah-tengah kerumunan
prajurit yang bermandikan keringat. Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa ia Hideyoshi.
"Ini aku, Hideyoshi," ia menyebutkan namanya. Para prajurit terbengong-bengong.
Hideyoshi tidak menunggu sambutan resmi. Sambil menerobos kerumunan orang, ia menuju pohon
tempat Nobutaka memasang panjinya.
Dikelilingi para perwira, Nobutaka menduduki kursi lipat tanpa sandaran, melindungi matanya dari
pantulan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba ia berbalik dan melihat Hideyoshi berlari ke arahnya,
memanggil-manggil. Begitu melihat Hideyoshi, Nobutaka dikuasai rasa terima kasih. Inilah pengikut
yang dididik selama bertahun-tahun oleh ayahnya, dan apa yang kini dilakukan orang itu jauh
melampaui ikatan yang biasa terdapat antara junjungan dan pengikut. Sorot matanya menun-jukkan
bahwa ia tengah diliputi emosi yang biasanya hanya dirasakan jika ia berhadapan dengan sanak
saudara. "Hideyoshi!" Nobutaka berseru.
Tanpa menunggu uluran tangan Nobutaka, Hideyoshi menghampiri dan menggenggam tangannya
14 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan erat. "Yang Mulia Nobutaka!" Hanya itu yang diucapkan Hideyoshi. Kedua laki-laki itu tidak berkata
apa-apa lagi, tapi mata mereka berbicara panjang-lebar. Air mata bergulir di pipi masing-masing.
Melalui air matalah Nobutaka dapat mengungkapkan perasaan terhadap mendiang ayahnya kepada
seorang pengikut marganya. Dan Hideyoshi pun memahami isi hati pemuda itu. Ia akhirnya
melepaskan tangan yang digenggamnya demikian erat dan segera berlutut di tanah.
"Kedatangan Yang Mulia sungguh membahagiakan hati. Tak ada waktu untuk mengatakan apa-apa
lagi, dan sebenarnya memang tak ada lagi yang dapat hamba katakan, Hamba hanya bersyukur
bahwa hamba dapat berada di sini bersama Yang Mulia, dan hamba yakin arwah ayah Yang Mulia
pun merasa senang. Akhirnya hamba memperoleh kesempatan untuk menyampaikan
belasungkawa dan memenuhi kewajiban hamba sebagai pengikut. Untuk pertama kali sejak
Benteng Takamatsu, hamba merasa gembira."
Belakangan pada hari itu, Hideyoshi mengun-dang Nobutaka untuk menemaninya ke
perkemahannya di Tonda, dan bersama-sama mereka berpaling ke Yamazaki.
Mereka tiba di Yamazaki pada jam Monyet. Kesepuluh ribu prajurit pasukan cadangan bergabung
dengan kedelapan ribu lima ratus prajurit dari ketiga korps gugus tempur pertama. Ke mana pun
mata memandang hanya terlihat kuda dan prajurit.
"Kami baru terima laporan bahwa pasukan Akechi menyerang korps Nakagawa di perbukitan
sebelah timur Tennozan."
Sekaranglah waktu untuk bertindak. Hideyoshi memberikan perintah menyerang pada seluruh
pasukan. Pada pagi hari kesembilan, ketika Hideyoshi bertolak dari Himeji, Mitsuhide kembali ke Kyoto.
Kurang dari seminggu telah berlalu sejak pembunuhan Nobunaga.
Pada Jam Kambing di hari kedua, sementara reruntuhan Kuil Honno masih berasap, Mitsuhide telah
meninggalkan Kyoto untuk menyerang Azuchi. Tapi baru saja keluar dari ibu kota, ia telah menemui
rintangan di tempat penyeberangan sungai di Seta. Pada pagi itu ia telah mengirim surat yang
menuntut agar Benteng Seta segera menyerah, tapi komandan benteng itu membunuh kurir yang
mengantarkan surat tersebut, lalu membakar bentengnya dan Jembatan Seta.
Dengan demikian, pasukan Akechi tak dapat menyeberangi sungai. Kedua mata Mitsuhide
menyala-nyala karena marah. Jembatan yang dimusnahkan api itu seakan-akan menertawakannya.
Dunia memandang kita tidak seperti kita memandang dunia, ia menyadari.
Setelah terpaksa kembali ke Benteng Sakamoto, Mitsuhide melewatkan dua atau tiga hari tanpa
hasil, menunggu jembatan itu diperbaiki. Namun setelah akhirnya ia berhasil memasuki Azuchi, ia
menemukan kota itu telah dikosongkan. Bentengnya yang besar pun diserahkan kepada angin. Di
kotanya sendiri tak ada barang atau papan nama toko yang tersisa. Keluarga Nobunaga telah
melarikan diri, tapi karena terburu-buru, mereka terpaksa meninggalkan seluruh emas dan perak
milik Nobu-naga, serta koleksi seninya.
Barang-barang itu dipamerkan pada Mitsuhide setelah pasukannya mengamankan benteng, tapi ia
tidak merasa lebih kaya karenanya. Entah kenapa, ia justru merasa lebih miskin.
15 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bukan ini yang kucari, ia berkata dalam hati, dan sungguh menyedihkan bahwa orang-orang
menyangka inilah tujuanku.
Seluruh emas dan perak yang mereka temukan dibagi-bagikan kepada pasukannya. Prajurit-prajurit
biasa menerima beberapa ratus keping emas, sementara para jendral tersohor memperoleh antara
tiga ribu sampai lima ribu keping emas.
Apa yang kauinginkan" Berkali-kali Mitsuhide mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya.
Memimpin negeri! Terngiang-ngiang di telinganya, tapi bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa
mengakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan sedemikian tinggi, karena tidak memiliki ambisi
maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia hanya mempunyai satu tujuan: membunuh
Nobu-naga. Keinginan Mitsuhide telah terpuaskan oleh kobaran api di Kuil Honno, dan yang tersisa
kini hanyalah nafsu tanpa keyakinan.
Menurut selentingan yang beredar saat ini, Mitsuhide mencoba melakukan bunuh diri ketika
mendengar Nobunaga sudah wafat. Para pengikut harus mencegahnya secara paksa. Begitu
Nobunaga berubah menjadi abu, kebencian yang membekukan hati Mitsuhide pun larut seperti salju
mencair. Namun kesepuluh ribu prajurit yang mengabdi pada Mitsuhide berbeda pendapat dengan
junjungan mereka. Mereka justru beranggapan bahwa imbalan sesungguhnya masih akan diraih.
"Mulai hari ini, Yang Mulia Mitsuhide merupakan penguasa seluruh negeri," para jendral Akechi
berkata dengan keyakinan yang tak dimiliki Mitsuhide.
Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung telah berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan
watak - bahkan dalam kecerdasan.
Mirsuhide berdiam di Azuchi dari hari kelima sampai pagi hari kedelapan, dan selama itu ia merebut
benteng Hideyoshi di Nagahama serta benteng Niwa Nagahide di Sawayama. Begitu seluruh
Provinsi Omi berada dalam genggamannya, Mitsuhide kembali memperlengkapi pasukannya dan
sekali lagi bertolak menuju ibu kota.
Saat itulah Mitsuhide menerima kabar bahwa marga Hosokawa menolak bergabung dengannya.
Semula ia sangat yakin bahwa Hosokawa Tadaoki, menantunya, akan segera mengikuti jejaknya
setelah Nobunaga digulingkan. Tapi jawaban dari marga Hosokawa ternyata berupa penolakan
mentah-mentah. Sejauh ini Mitsuhide disibukkan oleh pertanyaan siapa yang akan menjadi
sekutunya; ia nyaris tak memikirkan siapa yang bakal menjadi lawannya yang paling tangguh.
Baru sekarang Mitsuhide teringat pada Hide-yoshi, dan dadanya serasa ditonjok keras. Ia bukannya
menutup mata terhadap kemampuan dan ke-kuatan militer Hideyoshi di wilayah Barat. Justru
sebaliknya, ia sadar sepenuhnya bahwa Hideyoshi merupakan ancaman besar. Yang agak
menen-teramkan pikiran Mitsuhide adalah keyakinannya bahwa Hideyoshi masih ditahan oleh
marga Mori dan takkan sanggup kembali dengan cepat. Paling tidak, satu dari kedua kurir yang
diutusnya ke orang-orang Mori berhasil menjalankan tugasnya. Dan jawaban dari pihak Mori tentu
akan segera tiba, memberitahunya bahwa mereka telah menye-rang dan menghancurkan
Hideyoshi. Namun orang-orang Mori tak kunjung memberi kabar, sama halnya dengan Nakagawa
Sebei. Ikeda Shonyu, dan Takayama Ukon. Berita yang sampai ke telinga Mitsuhide setiap paginya
justru terdengar seperti hukuman dari para dewa.
Bagi Mitsuhide, Benteng Sakamoto menyimpan kenangan buruk mengenai peristiwa-peristiwa yang
16 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
belum lama ini terjadi: penghinaan yang diterimanya dari Nobunaga; pengusirannya dari Azuchi;
kunjungan ke Sakamoto, ketika ia menghadapi persimpangan yang penuh kebimbangan. Kini
segala keraguan dan kemarahannya telah terhapus. Dan pada waktu yang sama ia juga kehilangan
kemampuan bermawas diri. Kecerdasannya yang mengagumkan telah ia tukar dengan gelar
penguasa negeri yang tanpa makna.
Pada malam hari kesembilan, Mitsuhide masih belum mempunyai bayangan di mana Hideyoshi
berada, tapi sikap para pembesar setempat menim-bulkan rasa gelisah dalam dirinya. Keesokan
paginya ia meninggalkan perkemahan di Shimo Toba dan mendaki ke Horagamine Pass di
Yamashiro, tempat ia telah mengatur pertemuan dengan pasukan Tsutsui Junkei.
"Apakah Tsutsui Junkei sudah kelihatan?" secara berkala Mitsuhide bertanya kepada para
pengintai. Berhubung Mitsuhide bekerja sama dengan Tsutsui Junkei sebelum serangan ke Kuil Honno, ia tak
pernah meragukan kesetiaan sekutunya itu - sampai sekarang. Ketika malam tiba, belum juga ada
tanda-tanda mengenai kedatangan pasukan Tsutsui. Bukan itu saja, ketiga pengikut Oda yang
hendak ia tarik ke pihaknya - Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyu - tidak
menanggapi surat panggilannya, walaupun mereka biasanya berada di bawah komandonya.
Kegelisahan Mitsuhide bukan tanpa alasan. Ia berunding dengan Saito Toshimitsu, "Kaupikir ada
yang tidak beres, Toshimitsu?"
Mitsuhide ingin percaya bahwa terjadi sesuatu dengan para kurir yang dikirimnya, atau bahwa
Junkei dan yang lain hanya terlambat, namun Saito Toshimitsu telah menerima kenyataan.
"Tidak, tuanku." orang tua itu menjawab. "Hamba kira Yang Mulia Tsutsui memang tak berniat
datang kemari. Rasanya tak mungkin dia memerlukan waktu selama ini untuk menyusuri jalanan
datar dari Koriyama."
"Tidak, pasti ada alasan lain," Mitsuhide berkeras. Ia memanggil Fujita Dengo, cepat-cepat menulis
surat, dan mengutusnya ke Koriyama. "Ambil kuda-kuda terbaik. Kalau kau menempuh perjalanan
dengan kecepatan penuh, menjelang pagi kau seharusnya sudah berada di sini lagi."
"Jika Yang Mulia Tsutsui berkenan menemui hamba, hamba akan kembali saat fajar," ujar Dengo.
"Kenapa dia mesti tidak bersedia bicara denganmu" Dapatkan jawaban darinya, walaupun di
tengah malam buta." "Baik, tuanku."
Dengo segera berangkat ke Koriyama. Tapi sebelum ia kembali, beberapa pengintai membawa
berita bahwa pasukan Hideyoshi sedang menuju ke Timur, dan bahwa barisan depan mereka
sudah memasuki provinsi tetangga, Hyogo.
"Tak mungkin! Kalian pasti keliru!" Mitsuhide meledak ketika mendengar laporan itu. Ia tak dapat
percaya bahwa Hideyoshi bisa berdamai dengan pihak Mori, dan kalaupun bisa, bahwa Hideyoshi
mampu menggerakkan pasukannya yang besar sedemikian cepat.
"Hamba kira ini bukan laporan palsu, tuanku." ujar Toshimitsu, sekali lagi mengungkapkan
17 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ke-benaran. "Bagaimanapun, menurut hamba, kita se-baiknya segera menyiapkan strategi
balasan." Menyadari kebimbangan Mitsuhide, Toshimitsu langsung menyampaikan rencana konkret.
"Se-andainya hamba menunggu Yang Mulia Tsutsui di sini, tuanku dapat bergegas untuk mencegah
Hideyoshi memasuki ibu kota."
"Kedatangan Tsutsui tak bisa diharapkan lagi, bukan?" Mitsuhide akhirnya mengakui.
"Menurut hamba, peluang bahwa dia akan bergabung dengan tuanku hanya satu atau dua
berbanding sepuluh."
"Strategi apa yang bisa kita pakai untuk menghentikan Hideyoshi?"
"Rasanya sudah dapat dipastikan bahwa Ukon, Sebei, dan Shonyu berada di pihak Hideyoshi, jika
pasukan Tsutsui Junkei pun bergabung dengannya, kekuatan militer kita tidak memadai untuk
mengambil inisiatif dan menyerang. Namun berdasar-
kan perkiraan hamba, Hideyoshi memerlukan lima atau enam hari lagi untuk menggerakkan seluruh
pasukannya ke sini. Selama itu, jika kita memperkuat kedua benteng di Yodo dan Shoryuji,
mendirikan kubu pertahanan di sepanjang jalan utara-selatan ke Kyoto, serta mengerahkan seluruh
kekuatan di Omo dan daerah-daerah lain, kita mungkin mampu menghalaunya untuk sementara
waktu." "Apa" Semua itu hanya akan menghalaunya untuk sementara saja?"
"Sesudah itu kita memerlukan strategi yang jauh lebih menyeluruh - bukan sekadar pertempuran
kecil. Tapi sekarang ini kita berada dalam posisi kritis. Sebaiknya tuanku segera berangkat."
Toshimitsu menunggu sampai Fujita Dengo kembali dari tugasnya di Koriyama.
Dengo muncul dengan wajah berkerut-kerut karena marah. "Percuma saja," ia melaporkan pada
Toshimitsu. "Junkei keparat itu mengkhianati kita. Dia mencari-cari alasan karena tidak datang ke
sini, tapi dalam perjalanan pulang, hamba mengetahui bahwa dia telah mengadakan hubungan
dengan Hideyoshi. Rasanya tak terbayangkan bahwa orang yang begitu dekat dengan marga
Akechi tega berbuat seperti ini!"
Caci maki Dengo tak ada habisnya, tapi gurat wajah Toshimitsu tidak memperlihatkan emosi sama
sekali. Mitsuhide berangkat sekitar siang, tanpa meraih apa-apa. Ia tiba di Shimo Toba kira-kira pada
waktu yang sama saat Hideyoshi menikmati tidur siang singkatnya di Amagasaki. Baik kuil Zen di
Amagasaki maupun perkemahan di Shimo Toba sama-sama dilanda hawa panas. Begitu Mitsuhide
sampai di perkemahannya, ia memanggil para jendralnya ke markas dan membahas strategi
pertempuran. Ia belum juga menyadari bahwa Hide-yoshi sudah berada di Amagasaki. Walaupun


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barisan depan Hideyoshi sudah mulai mengambil posisi, Mitsuhide menyangka masih ada waktu
beberapa hari sebelum Hideyoshi sendiri tiba. Rasanya tak adil untuk menghubungkan kesalahan
ini dengan kecerdasannya. Ia hanya membuat penilaian berdasarkan akal sehat, dengan
menggunakan kecerdasannya yang luar biasa. Kecuali itu, penilaian tersebut sejalan dengan apa
yang dianggap logis oleh orang-orang lain.
18 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Rapat itu diakhiri tanpa ada waktu terbuang, dan Akechi Shigetomo-lah yang berangkat pertama. Ia
segera menuju Yodo guna memulai kegiatan pembangunan untuk memperkuat benteng di sana.
Jalan gunung sempit yang menuju ibu kota tentu akan merupakan salah satu sasaran serangan
musuh. Benteng Yodo terletak di sebelah kanannya, benteng Shoryuji di sebelah kirinya.
Mitsuhide memberikan perintah pada divisi-divisi yang ditempatkan di sepanjang tepi Sungai Yodo.
"Mundur ke Shoryuji dan ambil posisi bertahan. Bersiap-siaplah menghadapi serangan musuh."
Mitsuhide melakukan berbagai persiapan, tapi ketika menaksir kekuatan musuh, ia tak sanggup
menutup-nutupi kelemahannya sendiri. Banyak prajurit dari ibu kota dan daerah sekitarnya
berkumpul di sini dan menempatkan diri di bawah komandonya, tapi semuanya samurai berpangkat
rendah atau ronin - tak berbeda dengan tentara sewaan yang mencari jalan pintas untuk mencari
nama. Tak seorang pun dari mereka mempunyai kecakapan militer maupun kemampuan
memim-pin. "Berapa jumlah keseluruhan orang kita?" Mitsu-hide bertanya kepada para jendralnya.
Dengan menghitung prajurit-prajurit di Azuchi, Sakamoto, Shoryuji, Horagamine, dan Yodo,
pasukan Mitsuhide berkekuatan sekitar enam belas ribu orang.
"Kalau saja Hosokawa dan Tsutsui mau bergabung denganku," gumam Mitsuhide, "takkan ada
yang sanggup mengusirku dari ibu kota." Setelah menentukan strategi pun ia tetap bingung akibat
perbedaan besar dalam kekuatan. Otak Mitsuhide bekerja berdasarkan angka-angka, dan kini tak
ada secercah harapan pun bahwa ia memegang keuntungan. Itu saja dapat menentukan kalah atau
menang. Ia mulai tertelan gelombang yang dicipta-
kannya sendiri. Mitsuhide berdiri di sebuah bukit di luar perkemahan, memandang awan-awan.
"Sepertinya bakal turun hujan," katanya pada diri sendiri, sambil menghadapi angin yang tidak
membawa tanda-tanda hujan. Memperhatikan cuaca sangat penting bagi jendral yang hendak
terjun ke medan pertempuran. Lama Mitsuhide berdiri mencemaskan pergerakan awan dan arah
angin. Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke Sungai Yodo. Lentera-lentera kecil yang berayun-ayun
tertiup angin tentu lentera-lentera dari perahu-perahu patrolinya sendiri. Sungai besar itu tampak
putih, sementara gunung-gunung di belakangnya kelihatan hitam pekat.
Langit luas membentang di atas sungai, sampai ke muara yang jauh di Amagasaki. Mitsuhide
memandang ke arah itu, matanya seakan-akan menyorotkan cahaya, dan ia bertanya pada diri
sendiri. "Apa yang dapat dilakukan Hideyoshi?" Kemudian ia berseru dengan nada keras yang
jarang digunakannya. "Sakuza" Sakuza" Di mana Sakuzaemon?"
Ia cepat-cepat berbalik, dan dengan langkah panjang kembali ke perkemahan. Angin kencang
mengguncang barak-barak, bagaikan gelombang raksasa.
"Ya tuanku" Yojiro di sini!" seorang pembantu menjawab, lalu bergegas keluar menghampirinya.
"Yojiro, berikan aba-aba. Kita berangkat sekarang juga."
19 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sementara pasukannya membongkar perkemahan. Mitsuhide mengirimkan pesan penting pada
semua komandannya, termasuk pada sepupunya, Mitsuharu, di Benteng Sakamoto,
membertahukan keputusannya pada mereka. Ia takkan mundur dan menjalankan strategi detensif.
Ia telah bertekad menyerang Hideyoshi dengan segenap kekuatannya.
Giliran jaga malam telah berganti satu kali. Tak satu bintang pun tampak di langit. Sebuah kesatuan
tempur menuruni bukit; kesatuan itu ditugaskan berjaga di hagian hilir dan hulu Sungai Katsura. Unit
perbekalan, kesatuan-kesatuan utama, serta barisan belakang menyusul kemudian. Tiba-tiba hujan
mulai turun. Pada waktu seluruh pasukan berada di tengah sungai, mereka diterpa hujan deras.
Angin pun mulai bertiup - angin dingin dari arah umur laut. Para prajurit bergumam-gumam ketika
memandang permukaan sungai yang gelap.
"Sungai dan angin ini datang dari gunung-gunung di Tamba."
Seandainya hari masih terang, mereka mungkin bisa melihat. Oinosaka tidak jauh dari tempat
mereka berada, dan baru sepuluh hari berlalu sejak mereka melewati Oinosaka dan meninggalkan
pangkalan Akechi di Benteng Tamba. Namun bagi para prajurit rasanya itu sudah terjadi beberapa
tahun silam. "Jangan jatuh! Jangan sampai sumbu-sumbu kalian basah!" para perwira berseru-seru. Kekuatan
arus Sungai Katsura jauh lebih dahsyat daripada biasanya, kemungkinan akibat hujan deras di
pegunungan. Pasukan tombak menyeberang, masing-masing prajurit berpegangan pada lombak orang di
depannya, diikuti pasukan senapan yang saling menggenggam laras dan moncong senapan. Para
pe-nunggang kuda di sekitar Mitsuhide berpacu ke tepi seberang, meninggalkan buih dan
gelembung pada permukaan sungai. Sesekali terdengar letusan senapan dari suatu tempat di
depan mereka, sementara di kejauhan bunga api tampak beterbangan, kemungkinan dari
rumah-rumah petani yang terbakar. Namun begitu suara tembakan terhenti, api pun padam dan
segala sesuatu kembali diserap kegelapan.
Tak lama kemudian seorang prajurit berlari membawa laporan. "Orang-orang kita telah memukul
mundur regu pengintai musuh. Mereka sempat membakar beberapa rumah petani ketika melarikan
diri." Tanpa mengindahkan laporan ini, Mitsuhide bergerak maju melalui Kuga Nawate, melewati Benteng
Shoryuji, yang kini berada di tangan anak buahnya, dan sengaja mendirikan perkemahan di
Onbozuka, sekitar lima ratus sampai enam ratus meter lebih ke tenggara. Hujan yang telah
merepotkan mereka selama dua-tiga hari kini mereka, dan bintang-bintang mulai berkilauan di langit
yang sebelum nya hanya menampilkan bcrbagai corak hitam dan kelabu.
Musuh juga diam saja. pikir Mitsuhide ketika berdiri di Onbozuka. menatap kegelapan ke arah
Yamazaki. Pcrasaannya bergolak. dan ia pun merasa tegang ketika membayangkan akan
mcnghadapi pasukan Hideyoshi pada jarak kurang dari dua mil. Dengan mcmusatkan kekuatan di
Onbozuka dan memanfaatkan Benteng Shoryuji sebagai pangkalan perbekalan. la menyebar
pasukannya dalam satu garis, dari Sungai Yodo di tenggara ke Sungai Enmyoji. seakan-akan
membuka kipas. Saat semua kesatuan barisan depan telah menempati posisi masing-masing. fajar
telah menyingsing dan Sungai Yodo yang panjang sudah mulai kelihatan.
20 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tiba-tiba gema tembakan gencar terdengar dari arah Tennozan. Matahari belum terbit dan
awan-awan tampak gelap karena kabut tebal. Hari itu hari ketiga belas di Bulan Keenam, dan masih
begitu pagi, sehingga belum ada satu kuda pun yang terdengar meringkik di jalan menuju
Yamazaki. Ketika memandang dari perkemahan utama Mitsuhide di Onbozuka, para prajurit melihat Tennozan
berjarak kira-kira setengah mil ke arah tenggara. Sisi kirinya diapit oleh jalan menuju Yamazaki dan
sebuah sungai besar - Sungai Yodo.
Tennozan berlereng terjal, dan ketinggiannya mencapai tiga ratus meter. Pada hari sebelumnya,
ketika pasukan Hideyoshi maju sampai Tonda, semua perwiranya menatap lurus ke depan dan
mengamati bukit itu. Beberapa dari mereka be-tanya pada pemandu setempat, "Bukit apakah itu?"
"Apakah itu Yamazaki di perbukitan sebelah timur?"
"Musuh berada di Shoryuji. Di sebelah mana Tennozan-kah itu?"
Setiap kesatuan disertai oleh seseorang yang mengenal medan di tempat itu. Setiap orang yang
memahami strategi menyadari bahwa penguasaan tempat tinggilah yang merupakan kunci
kemenangan. Dan semua jendral pun menyadari bahwa orang pertama yang menancapkan panjinya di punggung
Tennozan akan lebih disanjung daripada orang yang merebut kepala pertama di daratan. Setiap
jendral telah berikrar bahwa ia sendiri yang akan melakukannya. Pada malam hari ketiga belas.
beberapa jendral Hideyoshi memohon supaya rencana penyerangan mereka disetujui, dengan
harapan mereka segera diberi perintah menyerbu bukit ini.
"Pertempuran besok akan menentukan segala-galanya." ujar Hideyoshi. "Yodo, Yamazaki, dan
Tennozan bakal menjadi medan tempur utama. Bukitkan bahwa kalian pantas disebut laki-laki.
Jangan saling bersaing, jangan hanya pikirkan kejayaan masing-masing. Ingatlah bahwa Yang
Mulia Nobunaga dan sang Dewa Perang akan mengawasi setiap langkah kalian."
Namun begitu memperoleh restu dari Hide-yoshi, dengan semangat menyala-nyala para penembak
berlomba-lomba menuju Tennozan, menimbulkan kekacauan di tengah malam buta. Tempat
strategis yang telah menarik perhatian para jendral Hideyoshi itu juga tak luput dari pandangan
Mitsuhide. Ia telah memerintahkan pasukannya agar bergerak cepat, melintasi Sungai Katsura, dan
segera menuju Onbozuka untuk merebut Tennozan.
Mitsuhide mengenai medan di daerah itu sama baiknya dengan kedua jendral barisan depan
musuh, Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon. Dan walaupun mereka memandang gunung-gunung
dan sungai-sungai di daerah yang sama, pikiran Mitsuhide tentu saja melampaui pikiran
orang-orang lain. Setelah melintasi Sungai Katsura dan melewati Kuga Nawaie, ia memisahkan satu divisi dari
pasukannya, dan memberi perintah agar mereka menempuh jalan lain. "Daki Tennozan dari sisi
utara dan rebutlah puncaknya. Jika musuh menyerang, hadapi mereka dan jangan lepaskan titik
strategis itu." Perlu dikatakan bahwa ia memang gesit. Perintah dan tindakan Mitsuhide selalu tepat waktu; ia tak
pernah menyia-nyiakan kesempatan menyerang. Meski demikian, pada saat ini pasukan Hideyoshi,
21 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang sudah mencapai Hirose di lereng selatan, juga berada di atas bukit.
Keadaan gelap gulita, dan banyak prajurit sama sekali tidak mengenal medan yang mereka lalui.
"Di sini ada jalan setapak yang menanjak." "Tunggu, kita tidak bisa lewat jalan itu." "Siapa bilang
begitu" Tentu saja bisa."
"Itu jalan yang salah. Di atas sana ada tebing terjal."
Sambil berputar-putar di kaki bukit, mereka berusaha menemukan jalan ke puncaknya.
Jalan setapak itu amat terjal, dan hari masih gelap. Karena tahu bahwa mereka berada di tengah
sekutu, para prajurit berbaris tanpa memedulikan unit atau korps mana yang mereka ikuti. Mereka
bergegas dengan napas terengah-engah, menuju puncak. Kemudian, ketika hampir sampai di atas,
mereka disambut berondongan peluru.
Serangan itu dilancarkan oleh pasukan penem-bak Akechi di bawah komando Matsuda
Taro-zaemon. Belakangan diketahui bahwa ketujuh ratus orang dalam korps Matsuda telah dibagi
menjadi dua unit. Para prajurit Horio Mosuke, Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, dan Ikeda Shonyu
saling berlomba menjadi orang pertama yang berhasil mendaki Tennozan, tapi hanya Hori Kyutaro
yang memerintahkan pasukannya mengambil jalan ke sisi utara bukit. Setelah menyusuri kaki bukit,
mereka mencoba tindakan yang lain sama sekali - memotong jalan mundur musuh.
Seperti dapat diduga, serangan dari samping ini mengejutkan korps Matsuda dan menempatkan
jendral mereka, Matsuda Tarozaemon, tepat di depan mata. Bentrokan ini jauh lebih ganas
dibandingkan bentrokan di puncak Tennozan. Pertempuran jarak dekat pecah di antara
pohon-pohon pinus dan bongkahan-bongkahan batu yang tersebar di lereng bukit. Senjata api
terlalu merepotkan, jadi para prajurit lebih banyak menggunakan tombak dan pedang panjang.
Sejumlah orang jatuh dari tebing sambil bergulat dengan musuh. Beberapa orang yang sedang
mengimpit prajurit musuh ditikam dari belakang. Korps pemanah pun hadir, dan dengung panah
serta letusan senapan seakan tak putus-putusnya. Tapi yang lebih keras lagi adalah teriakan
perang kelima ratus atau enam ratus prajurit. Teriakan-teriakan itu tidak keluar dari tenggorokan
semata-mata, melainkan terpancar dari seluruh jiwa raga, bahkan dari rambut dan pori-pori.
Para prajurit maju dan didesak mundur, dan akhirnya matahari terbit. Langit biru dan awan putih
tampak untuk pertama kali sejak lama. Sinar matahari yang langka ini rupanya membungkam
jangkrik-jangkrik. Sebagai gantinya, teriakan-teriakan perang para prajurit mengguncang bumi.
Dalam sekejap mayat-mayat berlumuran darah bergelimpangan di lereng bukit, saling tumpang
tindih. Ada yang tergeletak sendiri di suatu tempat, sementara di tempat lain dua atau tiga mayat
tampak menumpuk. Para prajurit dipacu oleh pemandangan ini, dan mereka yang melangkahi
mayat rekan-rekan mereka sendiri memasuki ruang yang melampaui hidup dan mati. Ini berlaku
bagi para prajurit korps Hori maupun bagi orang-orang Akechi.
Situasi di puncak bukit kurang jelas. namun di sini pun kemenangan mungkin saja segera disusul
dengan kekalahan. Di tengah-tengah pertempuran. teriakan-teriakan korps Matsuda tiba-tiba tak
lagi terdengar garang, dan malah menyerupai suara anak kecil yang sedang terisak-isak. Keyakinan
mereka telah berubah menjadi perasaan putus asa.
"Ada apa?" 22 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kenapa kita mundur" Jangan mundur!"
Sambil mempertanyakan kebingungan rekan-rekan mereka, beberapa anggota korps Matsuda
berseru-seru dengan geram. Namun orang-orang ini pun segera berlari ke arah kaki bukit, seolah-
olah terbawa tanah longsor. Jendral mereka, Matsuda Tarozaemon, rupanya terkena tembakan dan
kini sedang digotong oleh para pembantunya di depan mata pasukannya.
"Serang! Bantai mereka!"
Sebagian besar korps Hori sudah mulai melakukan pengejaran, tapi Kyutaro berteriak sekuat
tenaga, berusaha mencegah anak buahnya. "Jangan kejar mereka!"
Namun dalam suasana saat itu, perintahnya tidak berpengaruh apa-apa. Seperti bisa diduga,
barisan depan korps Matsuda kini menerjang menuruni bukit, bagaikan sungai lumpur. Bala
bantuan tak kunjung tiba, dan jendral mereka telah tertembak. Mereka tak punya pilihan selain
melarikan diri. Dari segi jumlah, korps Hori tidak sebanding dengan orang-orang Akechi. Kini, tanpa pertempuran
dan penghalang, mereka terdesak ke bawah dan diinjak-injak oleh musuh yang berlari menuruni
lereng bukit terjal. Bagian korps Hori yang pertama-tama mengejar musuh kini terperangkap dalam
suatu gerakan penjepit, persis seperti yang dikhawatirkan Kyutaro. Pertemuan yang mengerikan
pun terjadi. Saat itulah gabungan korps Horio, Nakagawa. Takayama, dan Ikeda mencapai puncak bukit.
"Kita menang!" "Tennozan di tangan kita!"
Teriakan kemenangan berkumandang untuk pertama kali. Hideyoshi menanti kedatangan Nobutaka
di Sungai Yodo, sehingga ia belum tiba di garis depan. Hari telah sore, sekitar Jam Kambing, ketika
Hideyoshi menambahkan pasukan Nobutaka dan Niwa Nagahide pada pasukannya sendiri dan
menuju perkemahan utama. Hujan pagi telah mengering di bawah terik mata-hari, para prajurit
maupun kuda-kuda mereka diselubungi keringat bercampur debu, dan baju tempur serta mantel
mereka yang berwarna-warni telah berubah putih. Satu-satunya benda yang tampak cemerlang di
hari yang panas ini adalah panji Hideyoshi dengan lambang labu emas.
Sementara gema letusan tembakan masih terdengar di Tennozan, setiap rumah di desa kelihatan
kosong. Namun ketika pasukan Akechi mundur dan pasukan yang baru membanjiri jalan-jalan,
ember-ember penuh air, tumpukan semang-ka, dan teko-teko berisi teh tiba-tiba muncul di semua
ambang pintu. Pada waktu pasukan Hideyoshi memenuhi jalanan, kaum perempuan pun terlihat di
tengah kerumunan warga desa, dan menyampaikan ucapan selamat.
"Tak satu prajurit musuhkah yang tersisa di sini?"
Hideyoshi tidak turun dari kudanya, melainkan memandang panji-panji para prajuritnya, yang kini
tampak di atas bukit yang berdekaran.
23 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tak satu pun," balas Hikoemon. Ia telah menyusun laporan-laporan dari semua korps, mempelajari
situasinya, dan kini melapor pada Hideyoshi.
"Korps Matsuda kehilangan komandan pada awal pertempuran. Beberapa anak buahnya melarikan
diri ke perbukitan di sebelah utara, sementara yang lain bergabung dengan sekutu-sekutu mereka
di sekitar Tomooka."
"Kenapa orang seperti Mitsuhide demikian cepat melepaskan tempat strategis ini?"
"Kemungkinan dia tak menyangka kita datang demikian cepat. Dia keliru menaksir waktu."
"Bagaimana dengan pasukan utamanya?" "Sepertinya mereka berkemah di daerah antara Sungai
Yodo dan Shimoueno, dengan Shoryuji di belakang dan Sungai Enmyoji di depan mereka."
Tiba-tiba terdengar teriakan perang dan letusan senapan dari arah Sungai Enmyoji. Ketika itu Jam
Monyet. Sungai Enmyoji, di sebelah timur Desa Yamazaki, merupakan anak Sungai Yodo. Kedua sungai itu
bertemu di daerah paya-paya yang penuh ilalang. Daerah tersebut biasanya diramaikan oleh
kicauan burung, tapi hari ini tak satu burung pun bernyanyi.
Sepanjang pagi, kedua pasukan yang bertikai - sayap kiri pasukan Mitsuhide dan sayap kanan
Hideyoshi - berbaris di kedua tepi sungai. Sesekali ilalang berdesir dibelai angin. Sementara
ujung-ujung tongkat bendera tampak, tak satu orang maupun kuda kelihatan di kiri-kanan sungai.
Namun di tepi utara, kelima ribu orang di bawah komando Saito Toshimitsu, Abe Sadaaki, dan
Akechi Shigetomo telah siap bergerak. Di tepi selatan, kedelapan ribu lima ratus prajurit di bawah
komando Takayama Ukon, Nakagawa Sebei, dan Ikeda Shonyu tersusun dalam barisan
berlapis-lapis. Sambil bersimbah peluh di tempat panas dan lembap itu, mereka menanti aba-aba
untuk menyerang. Mereka menunggu sampai Hideyoshi tiba dan memberikan perintah.
"Ke mana saja pasukan utama?"
Mereka mencaci maki pasukan Hideyoshi karena terlambat datang, tapi selain itu mereka hanya
dapat mengertakkan gigi. Akechi Mitsuhide, yang masih berada di perkemahan utamanya di Onbozuka, telah menerima
laporan bahwa Matsuda Tarozaemon gugur di Tennozan, dan bahwa pasukannya digulung musuh.
Ia menyalahkan diri sendiri karena keliru memperhitungkan waktu. Ia sadar sepenuhnya bahwa
secara strategis terdapat perbedaan besar antara bertempur dengan Tennozan di tangan anak
buahnya dan menghadapi pertempuran menentukan setelah menyerahkan tempat itu kepada
musuh. Sebelum maju ke Tennozan, perhatian Mitsu-hide memang terpceah pada tiga hal: peng-khianatan
Tsutsui Junkei; perintahnya untuk memperkuat Benteng Yodo - akibat meremehkan kecepatan
Hideyoshi; serta kekurangan pada wataknya - ia sukar mengambil keputusan. Haruskah ia
menyerang atau bertahan" Sampai bergerak ke Onbozuke pun ia belum menentukan pilihannya.
Pertempuran pecah secara hampir kebetulan. Kedua pasukan melewatkan pagi hari di tengah
24 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ilalang, disiksa oleh ngengat dan nyamuk. Selama itu mereka saling berhadapan dan menunggu
perintah jendral masing-masing. Tapi tiba-tiba seekor kuda dengan pelana indah meloncat dari sisi
Hideyoshi dan berlari ke tepi Sungai Enmyoji, barangkali karena terdorong rasa haus.
Empat atau lima prajurit - kemungkinan peng-ikut pemilik kuda itu - segera mengejarnya.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Se-konyong-konyong tembakan senapan meletus dari tepi seberang, diikuti oleh berondongan demi
berondongan. Sebagai balasan, pasukan Hideyoshi pun melepaskan tembakan ke tepi utara, untuk membantu
rekan-rekan mereka yang berlindung di tengah ilalang. Kini tak ada waktu untuk menunggu
perintah. "Serbu!" Perintah Hideyoshi untuk melancarkan serangan umum baru terdengar setelah tembak-menembak
tadi. Pasukan Akechi tentu saja tidak tinggal diam, dan mereka pun mulai melangkah memasuki
sungai. Tempat Sungai Enmyoji bertemu dengan Sungai Yodo cukup lebar, tapi tidak jauh dari sana,
Sungai Enmyoji tak lebih dari kali kecil.
Namun arusnya deras akibat hujan yang turun selama beberapa hari berturut-turut. Sementara
korps penembak Akechi muncul dari ilalang di tepi utara dan memberondong barisan Hideyoshi
yang berdiri di tepi selatan, para prajurit korps tombak - korps pilihan marga Akechi - bergegas
menyeberangi sungai, menimbulkan buih dan percikan air.
"Kerahkan pasukan tombak!" perwira korps Takayama berseru.
Karena sungainya sempit, pasukan penembak tak banyak berguna. Pada waktu barisan belakang
maju agar barisan depan dapat mengisi senjata, mereka terancam bahaya bahwa musuh
melancarkan serangan mendadak dan menerjang ke tengah-tengah para penembak.
"Pasukan penembak segera menyingkir! Jangan halangi orang-orang di barisan depan!"
Korps Nakagawa telah siap siaga dengan tombak masing-masing. Sebagian besar dari mereka kini
mengacungkan tombak dan menusuk ke bawah dari tepi sungai, ke dalam air.
Mereka tentu saja membidik musuh, tapi dari-pada berulang kali menarik dan menusukkan tombak,
mereka lebih suka menebas-nebaskan tombak masing-masing untuk mencegah musuh naik ke tepi.
Pertempuran sengit meletus di tengah-tengah sungai, tombak melawan tombak, tombak melawan
pedang panjang, bahkan tombak melawan gagang tombak. Prajurit-prajurit terlihat menikam musuh,
dan tak lama kemudian mengalami nasib serupa.
Mereka memekik-mekik dan saling bergulat. Tubuh-tubuh yang telah kehilangan nyawa jatuh ke
dalam sungai, memercikkan air. Arus berlumpur terus berputar-putar. Darah kental mengambang di
permukaan sungai, lalu hanyut terbawa arus.
Saat itu korps pertama di bawah Nakagawa Sebei telah menyerahkan tugas tempur di bagian
depan kepada para prajurit di bawah komando Takayama Ukon. Bagaikan barisan pemuda yang
mengusung tandu kebesaran dalam suatu peraya-an, mereka mendesak maju ke garis depan
25 Pendekar Bodoh . Sengketa Ahli Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sambil bersorak serempak.
Setelah melawan ilalang di tepi timur sungai, dengan ganas mereka menerjang ke tengah-tengah
musuh. Matahari mulai terbenam. Awan merah yang menandakan datangnya senja tercermin dalam
kerumunan orang yang berteriak-teriak di bawah langit yang muram.
Sam jam lagi berlalu, dan pertempuran itu masih berlangsung sengit. Keuletan korps Saito di luar
dugaan. Setiap kali kehancuran mulai membayang, mereka kembali menggalang kekuatan dan
melawan dengan gigih. Sambil bertahan di paya-paya, mereka menghalau serangan demi
serangan. Dan bukan mereka saja, hampir segenap pasukan Akechi memperlihatkan tekad
membaja, pekikan-pekikan mereka memancarkan kegetiran yang tentunya juga dirasakan Mitsuhide
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:26:09
dalam dadanya. "Mundur sebelum mereka mengepung kita!
Mundur! Mundur!" Seruan mengibakan ini terdengar berulang kali, dan berita buruk tersebut menyebar bagaikan angin
ke dua korps Akechi yang lain.
Inti pasukan utama, yang bertindak sebagai pasukan cadangan, terdiri atas kelima ribu orang yang
di Onbozuka berada langsung di bawah komando Mitsuhide. Di sebelah kanan mereka terdapat
empat ribu orang lagi, termasuk dua ribu prajurit di bawah komando Fujita Dengo.
Dengo memerintahkan agar genderang besar dibunyikan, dan para prajurit segera berpencar untuk
membentuk susunan tempur. Secara serempak para anggota korps pemanah melepaskan anak
panah, dan seketika pihak musuh membalas dengan hujan peluru.
Atas perintah Dengo, barisan pemanah menyingkir dan digantikan oleh korps penembak.
Tanpa menunggu sampai awan mesiu menipis, prajurit-prajurit dengan tombak besi muncul di
hadapan musuh dan mulai menerobos barisan mereka. Akhirnya Dengo dan pasukan pilihannya
berhasil memukul korps Hachiya.
Sambil menggantikan tempat korps tersebut. para prajurit di bawah Nakagawa kembali menyer-bu
dan menyerang pasukan Akechi. Tapi mereka pun digulung oleh Dengo. Saat itu anak buah Dengo
seakan-akan tidak mempunyai lawan sepadan.
Genderang korps Fujita berdentam nyaring. Bunyinya seolah-olah memancarkan kebanggaan
marga tersebut yang tanpa tandingan, dan mengan-cam para samurai berkuda yang mengelilingi
Nobutaka, sehingga mereka berdesak-desak bingung.
Sekonyong-konyong sebuah kesatuan berke-kuatan lima ratus orang menyerang korps Fujita dari
samping, meneriakkan pekikan perang bagaikan pasukan besar.
Merahnya senja masih membayang di awan-awan, tapi keadaan di bawah sudah gelap. Dengo
menyadari bahwa ia melangkah terlalu jauh, dan segera mengubah taktiknya.
"Bergeser ke kanan!" ia memerintahkan. "Berputarlah! Berputarlah sejauh mungkin ke arah kanan."
ia ingin seluruh korpsnya mengambil jalan melingkar untuk bergabung kembali dengan pasukan
utama, lalu meneruskan pertempuran.
Namun secara tiba-tiba sebuah unit di bawah komando Hori Kyutaro menyerang dari sisi kiri. Di
mata Dengo, prajurit-prajurit musuh ini seakan-akan muncul dari dalam tanah.
Tak ada waktu untuk mundur. Dengo segera menyadari, tapi ia pun tak punya waktu untuk meralat
perintahnya. Secepat angin pasukan Hori memotong jalan anak buah Dengo, dan mulai
mengepung. Panji-panji Nobutaka terlihat semakin mendekati Dengo.
1 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pada saat itulah gerombolan yang terdiri atas sekitar lima ratus orang, termasuk putra dan adik
Dengo, memacu kuda masing-masing. Tanpa takut mereka menerjang barisan musuh. Kegelapan
malam telah menyelubungi medan laga. Angin membawa pekikan-pekikan dari pergumulan
hidup-mati ini, memenuhi langit dengan bau darah.
Korps Nobutaka dipandang sebagai yang terkuat dalam divisi Hideyoshi, dan kini korps tersebut
diperkuat oleh ketiga ribu orang di bawah komando Niwa Nagahide. Dengo dan anak buahnya
memang gagah perkasa, tapi mereka pun tak sanggup menembus barisan musuh.
Dengo terluka di enam tempat. Akhirnya, setelah sedemikian lama bertempur dan berputar-putar di
aras kudanya, ia mulai kehilangan kesadaran. Tiba-tiba sebuah suara memanggil dari kegelapan di
belakangnya. Karena menyangka suara itu suara putranya, ia mengangkat kepala dari leher kudanya. Saat itulah
sesuatu membentur kepalanya di atas mata kanan. Rasanya seperti bintang yang jatuh dari langit
dan menghantam keningnya.
"Jangan turun dari pelana! Berpeganglah pada pelana, kau terserempet anak panah dan mengalami
luka ringan di dahi,"
"Siapa ini" Siapa yang menahanku?" "Ini aku, Tozo."
"Ah, saudaraku. Bagaimana keadaan Ise Yosa-buro?"
"Dia telah gugur dalam pertempuran."
"Bagaimana dengan Suwa?"
"Suwa pun mengalami nasib sama." "Dan Denbei?"
"Dia masih dikepung musuh. Biarkan aku menemanimu. Bersandarlah ke pegangan pelanamu."
Tanpa membahas nasib Denbei lebih lanjut, Tozo meraih moncong kuda kakaknya dan lang-sung
melarikan diri, menerobos kekacauan di sekeliling mereka.
Dua Gerbang ANGIN sunyi berembus di antara pohon-pohon pinus yang tumbuh di sekitar perkemahan
Mitsu-hide di Onbozuka. Tirai markasnya yang mengem-bang tampak bagaikan makhluk raksasa
berwarna putih. Tak henti-hentinya tirai itu mengepak-ngepak tertiup angin, melantunkan nyanyian
kematian yang menyeramkan.
"Yoji! Yoji!" Mitsuhide memanggil. "Ya, tuanku!"
"Kurirkah yang baru datang itu?" "Ya, tuanku."
2 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kenapa dia tidak melapor langsung padaku?" "Kebenaran laporannya belum dipastikan." "Adakah
peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh sampai ke telingaku?" Mitsuhide bertanya
kesal. "Hamba mohon ampun, tuanku."
"Teguhkan hatimu! Kau mulai gelisah karena adanya pertanda buruk?"
"Tidak, tuanku. Tapi hamba telah siap menghadapi kematian."
"Begitukah?" Mitsuhide tiba-tiba menyadari nadanya yang melengking, dan segera merendahkan suara.
Kemudian ia mengingatkan diri bahwa mungkin ia sendiri yang perlu mendengarkan kata-kata yang
baru saja dipergunakannya untuk menegur Yojiro. Angin terdengar jauh lebih sedih dibandingkan
pada siang hari. Kebun-kebun sayur dan ladang-ladang berada di belakang lereng yang landai. Di
sebelah timur terletak Kuga Nawate; di sebelah utara, gunung-gunung; di sebelah barat. Sungai
Enmyoji. Tapi dalam kegelapan malam hanya bintang-bintang yang berkelap-kelip redup yang
menerangi medan laga. Baru tiga jam berlalu antara Jam Monyet dan pertengahan kedua Jam Ayam Jantan. Ketika itu
panji-panji Mitsuhide memenuhi semua ladang. Di manakah panji-panji itu sekarang" Semuanya
telah dicampakkan ke tanah. Ia telah mendengarkan daftar nama orang yang gugur, sampai ia tak
sanggup lagi meneruskan hitungannya.
Semuanya hanya memakan waktu tiga jam. Tak pelak lagi bahwa Yojiro baru saja kembali
Api Di Bukit Menoreh 18 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Rahasia Perkawinan Wiro 2
^