Pencarian

The Heike Story 4

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 4


Hari ini, Gunung Hiei menuntut agar adik ipar Tuan Aki, Tokitada, dan pelayannya Heiroku diserahkan kepada mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, para biksu sekali lagi menekankan kepemilikan mereka atas tanah Kagashirayama, namun Mantan Kaisar menolak tuntutan mereka.
Gelombang kegembiraan melanda para samurai. Mereka bersorak sorai, "Inilah dia Tuan Aki, Heike Kiyomori!"
Para pengawal menyambut hangat Kiyomori ketika dia muncul dengan sikap santai yang sudah biasa ditunjukkannya. Tersenyum lebar ke segala arah sembari menunggang kudanya menembus kerumunan para prajurit, Kiyomori merasakan semangat yang seketika bergejolak di sekelilingnya. Keringat membasahi wajahnya, dan telinga caplangnya gemetar. Di belakangnya, Tokitada dan Heiroku menyusul dengan wajah muram, berlawanan dengan sosok gagah di atas punggung kuda.
Para juru tulis, pegawai, dan pejabat Istana berjejalan dengan wajah muram di depan singgasana, tempat Kaisar Kloister menunggu Kiyomori.
Kiyomori berlutut. "Yang Mulia, walaupun tuntutan utama Gunung Hiei adalah tanah Kagashirayama, pelayan sayalah yang memancing para biksu itu kemari. Saya sendirilah yang bertanggung jawab atas semua ini. Oleh karena itu, izinkanlah saya menghadapi Gunung Hiei dengan cara saya."
Kaisar Kloister setuju; tidak ada protes dari para pejabat istana yang ketakutan, tidak ada pertanyaan mengenai bagaimana Kiyomori akan berhasil membujuk para biksu itu untuk kembali ke Gunung Hiei. Kiyomori membungkuk dan mohon diri.
Para prajuritnya mengawasinya dari kejauhan, saling berkasak-kusuk. "Kita tidak bisa mengharapkan apa pun dari para pejabat istana berlutut lemah itu, tapi Tuan Aki pasti punya rencana."
Hingga saat ini, seluruh gerakan Kiyomori diamati lekat-lekat oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya, dan ada banyak spekulasi mengenai langkah apa yang akan diambilnya selanjutnya. Penolakannya untuk menyerahkan Tokitada dan Heiroku kepada para biksu disambut hangat oleh para prajuritnya, yang semakin menghormatinya.
Kiyomori adalah jenis pemimpin yang bisa diajak berbicara empat mata oleh setiap anak buahnya. Tidak ada yang membedakan Kiyomori dengan para samurai lainnya dalam hal keberanian atau keahlian bersenjata, namun simpatinya kepada kaum papa dan kaum tertindas, juga kesigapannya dalam membela mereka menjadikannya populer di kalangan anak buahnya; itu, dan keceriaan yang selalu ditularkannya. Ke mana pun dia melangkah, wajahnya yang mencolok ... alis yang mirip ulat, mata sipit, hidung besar, bibir penuh, pipi merona dan dagu bulat seperti bocah, serta hidung caplang yang bergetar setiap kali dia tertawa ... menyebarkan kegembiraan.
Pemilik wajah itu keluar dari gerbang dalam dan berjalan melintasi halaman Istana. Para samurai langsung mengerumuninya dan mendesaknya dengan pertanyaan,
"Heik6 Kiyomori, apa hasil pembicaraan tadi?"
"Apakah dekrit kekaisaran akan dikeluarkan?"
"Apa yang terjadi dan apa kata Yang Mulia"
Pertanyaan demi pertanyaan dengan cepat ditujukan kepadanya, Mengusap keningnya berpeluh, Kiyomori menarik hekn yang tergantung di pumpmgnyt.
memasangnya di kepala, dan mengikat tali di bawah dagunya.
"Tidak ?da yeng perlu dikhaw atirkan lagi sekarang. Aku akan langsung berangkat ke Gion untuk mencegah mereka membawa Altar kemari."
"Mencegah mereka?"
"Diamlah, biarkan saja Tua Aki menjalankan rencananya!"
Tepi. tidak ada yang ditakuti oleh pera biksu itu; mereka Ueflfmnap kita aeme remehn) a dengan debu yang mereka injak, dan tadi malam mereka sudah menunjukkan bahwa mereka haus darah. Seandainya Tuan Aki pergi ke sana.
entah apa yang akan mereka lakukan
"Itu benar, tapi aku membawa Tokitada dan Hewoku bersamaku Walaupun menyesalinya, aku tetap harus menyerahkan mereka berdua dan berusaha membuat kesepakatan dengan para biksu."
"Eh" jadi, akhirnya kau akan menyerahkan mereka kepada para biksu?"
"Aku tidak punya pilihan."
"Sungguh berat tugas yang kauemban! Jadi. Yang Mulia berharap kaum samurai mau menangung semuanya"
"Sudahlah, hentikanlah debat kusir ini. Tapi. ingatlah bahwa aku sendiri yang menawarkan penyelesaian ini., bukan Yang Mulia. Sekerang, biarkan aku menghentikan langkah mereka sebelum merake meninggalkan Gion. Jika aku pulang dengan selamat, akan ada cerita untuk kailan dengarkan. Sekarang, kembalilah ke pos kalian masing masing."
Diikuti oleh Tokitada dan Heiroku, Kiyomori menunggang kuda menentang sinar matahari yang menyilaukan pucat kepanasan Setiap helai daun dan rumput merunduk di bawah matahari yang terik. Para pengawal memandang tanpa sanggup berkata kata ke arah ketiga orang Itu, seolah-olah mereka adalah hantu yang muncul di siang bolong.
Dari ruas tangga batu di salah satu kuil di Gion, ketiga pemimpm biksu yang baru saja tiba dari Istana Kloister berpidato di hadapan dua ribu orang biksu yang dipanggil untuk mendengar tentang haril perundingan mereka.
?" Kami tidak melihat ketulusan Yang Mulia. Kedua tuntutan kita ditolak mentah-mentah. Jangan harap masalah tanah Kagashirayama itu akan diselesaikan. Tidak ada yang tersisa bagi fifi kecuali menyerbu Istana Kloister dengan membawa Altar Sakral agar Yang Mulia tersadarkan.**
Para biksu menyambutnya dengan gegap gempita, "Ke Istana Kloister! Hukum mereka!" Dan diiringi sorak sorai itu, mereka mulai menghimpun senjata dan menghambur ke ruang pemujaan, tempat Altar Sakral diletakkan di antara lilin-lilin yang nyalinya k menyerupai gugusan bintang dan asap dupa yang menyerupai gumpalan awan.
Diiringi oleh rapalan ayat-ayat suci. dentuman gon? dan gebukan genderang yang menggetarkan layaknya peringatan perang, pasukan besar itu berangkat, dan udara pun berdenyut-denyut seolah-olah tersengat oleh pengaruh iblis. Akhirnya dipanggul oleh para pendeta berjubah putih, dengan lapisan emas yang berkilau menyilaukan. Altar Sakral periahan-khan dibawa menuruni bukit menuju jalan raya. terayun-ayun perlahan.
Sesosok samurai tiba-tiba melompat ke hadapan barisan pengangkut altar dan mengacungkan tangan. "Tunggu, pera pendeta bejat!" Di kepalanya, dia mengenakan helm besi hitam tanpa lambang apa pun; dia mengenakan baju zirah hitam, sandal jerami, dan mengacungkan sebilah pedang pantang. Tidak jauh di belakangnya, berdirilah Tokitada dan Heiroku. tanpa senjata, wajah mereka kaku bagaikan topeng
"Aku. Tuan Aki, Heiki Kiyomori, menuntut agar kaitan
?nendenprkan fienjelaiinku Di antara kalian semua para pendata bejat tentunya ada setidaknya satu orang yang memiliki akal sehat"
Di mata musuhnya. Kiyomori terlihat seperti Asura.
sang Dewa Parang terbalut pakaian perang hitam legam, dengan rahang ternganga yang mengeluarkan badai suara.
Terpens melihat kelancangan dan kata-katanya, pera biksu berseru saru."Huu! " Kiyomori!" Kemudian, sebuah suara lantang terdengar. "Cacah-cacah saja tubuhnya untuk festival darah!"
Para pemimpin biksu yang berjalan di depan tidak tampak terkejut. Mereka menghentikan barisan dan meneriakkan perintah. "Biarkan dia bicara. Jangan ada yang menyentuh dia. Mari kita dengar terlebih dahulu apa yang hendak dikatakannya."
Para pemanggul akar mendorong) rekan-rekan mereka yang marah, berteriak. "Tidak ada yang boleh mendekati Akar dan mencamarkannya! Berhati-hatilah pada emblem suci!"
Kiyomori berdiri tegak, tetap berseru dengan suara parau. "Aku akan memenuhi tuntutan kalian, im adalah Tokitada dan Heiroku terimalah mereka! Tetapi, ingatlah bahwa mereka masih hidup!"
Tatapan waspada di wajah para pemimpin biksu tergantikan oleh senyum mengejek ketika mereka mendengar kata-kaae Kiyomori Kiyomori menarik napas dalam dan melanjutkan. "Masalah di Gion berujung pada hari ini. tandanglah aku. wahai para dewa! Den kau.
Buddha, jangan sumbat telingamu! Dengarlah apa yang Hendak kukatakan. Kedua pihak dalam pertikaian itu bersalah, karena bidankah keduanya mabuk" Tidakkah selalu dikatakan bahwa kedua mm yang bertikai sama-sama bersalah" Aku. Kiyomori. karenanya, menyerahkan dua orang yang kucintai ini kepada Gunung Hiei. dan sebagai balasannya, aku menuntut untuk mendengar suara benda sakral itu, simbol dewa kalian!"
Gemuruh tawa seketika menyambut perkataan Kiyomori, "Lihatlah dia, Kiyomori.Tuan Aki! Dia meracau! Dia gila!
Tubuh Kiyomori gemetar dalam upayanya memancing para Mau agar mau mendengarnya. Keringat mengalir di pipi dan dagunya, juga dari balik telinganya, seperti genangan air yang mendidih di atas besi panas
"Gila atau waras, dengarlah lebih jauh perkataanku.
Biarkanlah dewa kalian turut mendengarku! Entah dia dewa atau sang Buddha sendiri, dia adalah sebuah kutukan.
Musi. dan sumber penderitaan bagi manusia! Dia hanyalah
obyek sesembahan! Bukankah dia ?alah menipu manusia selama berabad-abad dan kemudian mengabaikan mereka begitu saja, api kebencian dari Gunung Hiei ini", Tetapi.
Kiyomori tidak tertipu. Dengarlah aku. wahai dewa terkutuk, dan waspadalah kepadaku!"
Para biksu gusar ketika Kiyomori memasang sebuah anak perah ke busurnya; senar busurnya berderit ketika dia menariknya hingga menyerupai bulan purnama; kemudian, dia membidik langsung ke arah Altar.
Salah seorang pemimpin biksu maju dan memekik.
"Astaga! Terkutuklah engkau, penghina agama! Kau akan muntah darah hingga mati!"
"Mati" Aku rela mati."
Senar busur melenting, anak panah berdesis dan melesat tepat ke bagian tengah Akar. Dari dua ribu tenggorokan, geraman marah keluar. Para pendeta berjubah putih serentak maju, berteriak-teriak satu sama lain, dan udara seketika dipenuhi oleh pekikan, lengking ganas, teriakan putus asa, jeritan manusia setengah gila. erangan, dan lolongan yang mirip binatang.
Baru kali Ini Altar dihina sedemikian rupa! Tidak pernah ada seorang pun yang berani mengangkat tangan di hadapannya, karena orang yang melakukannya akan serta merta mati, mengeluarkan darah dari mulutnya. Namun, Kiyomori tetap berdiri tegak, tanpa sedikit pun darah mengalir dari mulutnya. Kehampaan mitos itu ditelanjangi pada siang hari bolong, dan para pendeta seolah-olah kehilangan pegangan. Para pemimpin biksu yang murka segera membelokkan kebingungan anak-anak buahnya menjadi keberingasan dengan mendorong mereka untuk mengamuk.
"jangan biarkan orang gila itu melarikan diri!"
Amukan para biksu pun pecah. Kiyomori menghilang di tengah kekacauan yang terdiri dari tebasan tombak, gumpalan debu, dan ayunan tongkat Tidak terlalu jauh darinya, Tokitada dan Heiroku segera tergulung gelombang amukan dan hilang dari pandangan.
Senar busur Kiyomori melenting; dia menghantamkan busurnya ke sana kemari, menjatuhkan tiga atau empat orang lawannya, dan terus menggila seolah-olah kerasukan.
Tetapi, keadaan tidak mendukungnya, karena dia kekurangan senjata.
"Jangan bunuh dia! Tangkap dia hidup-hidup!" Para biksu memburunya seolah-olah dia babi hutan yang terdesak. Ketiga pemimpin biksu menjerit-jerit parau.
"Tangkap dia! Hajar dia! Kita akan menyeretnya hidup-hidup ke Gunung Hiei!"
"Tangkap dia hidup-hidup!" seru mereka. Mereka bisa menjadikannya jaminan masa depan mereka dengan Istana Kloister, atau menghukum pemberontak ini untuk menunjukkan wewenang Gunung Hiei kepada semua orang.
Para biksu bergerak dengan canggung, dan dalam pertempuran satu-lawan-satu, Kiyomori berhasil merebut sebuah tombak dari salah seorang lawannya. Dengan tombak itu, dia menghantami lengan dan kaki lawan-lawannya hingga darah mereka bercucuran, dan melihat enam atau tujuh orang tergeletak cedera atau mati di tanah.
Dia melihat Tokitada dan Heiroku yang berada tidak jauh darinya, mengelak dari serangan dalam upaya mereka menghampirinya. Potongan-potongan pekikan cemas mereka hinggap di telinganya, dan dia menjawab, "Jangan mundur! Jaga keberanian kalian! Matahari yang sama menyinari kita semua!"
Semua itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat.
Sementara itu, pekikan perang dan kegaduhan yang terjadi menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu. Dalam sesaat, kerumunan orang telah berkumpul di sana. Salah seorang dari mereka memungut sebongkah batu dan berseru, "Jangan biarkan serigala-serigala Gunung Hiei memangsamu!" Teriakan lain terdengar, "Dasar tentara bayaran bangsat!" "Dasar biksu terkutuk!" Sambutan dari masyarakat menggemuruh,
"Habisi saja pendeta-pendeta jahat dan serakah itu!"
sementara mereka memunguti batu-batu dan segera melemparkannya kembali kepada para biksu. Mereka melolong marah dan terus melemparkan batu. Tepat ketika itu, asap hitam membubung dari tengah-tengah pepohonan Gion. Satu lagi, lalu satu lagi, dan satu lagi. Melihat tanda ini, para biksu gentar dan mulai menarik diri dengan bingung. Memperingatkan rekan-rekan mereka bahwa mereka telah tertipu, para biksu liar itu mundur sepenuhnya. Di tengah kepanikan, mereka melupakan ketentuan untuk senantiasa menghormati Altar. Simbol keimanan yang mereka panggul itu nyaris terjungkal di tengah kekacauan, turut hanyut dalam gelombang biksu yang berlari tunggang langgang menuju Gion.
Kiyomori berdiri di atas sebuah gundukan tanah di Perbukitan Timur dan memandang ke kejauhan, tertawa terbahak-bahak. "Mereka semua pergi! Menggelikan!" Baju zirah hitamnya tergeletak di tanah, dan dia berdiri bertelanjang dada sambil menyeka keringat dari tubuhnya.
Konyol! Sekali lagi, tawanya meledak. Bukan dia, melainkan kedua ribu orang pendeta itu yang mundur terlebih dahulu! Dia berencana untuk kabur begitu anak panahnya mengenai Altar dan telah memberikan perintah tegas kepada Tokitada dan Heiroku untuk melakukan hal yang sama, walaupun mereka tergoda untuk bertempur
hingga titik darah terakhir. ("Kalian berdua tidak boleh mati secara sia-sia. Jangan pedulikan aku, pergi saja.") Mereka sepakat untuk bertemu di bukit di belakang Kuil Kiyomizu.
Kiyomori kebingungan melihat para biksu itu mundur.
Tidak diragukan lagi, hujan batu mengejutkan mereka, namun asap yang membubunglah yang tentunya telah mendorong mereka untuk kabur. Dia memandang asap yang menjadikan matahari tampak semerah darah, dan sedang memikirkan penyebab kebakaran itu. ketika dilihatnya Tokitada seorang diri mendaki bukit
"Ah, kau selamat!"
"Nah, kau sudah sampai di sini, Tokitada, tapi di manakah Heiroku?"
"Heiroku juga berhasil meloloskan diri dari para biksu haus darah itu."
"Apakah dia akan bergabung dengan kita di sini nanti?"
"Aku bertemu dengannya di Jembatan Todoroki.
Melihat asap yang membubung dari hutan di Gion, dia mengatakan bahwa dia yakin ayahnyalah yang melakukan pembakaran. Dia langsung berlari ke Gion. Dia pasti akan datang nanti."
"Jadi, ternyata begitu. Rupanya Mokunosuke tidak sedang duduk santai di Rokuhara. Si Tua Bangka sudah merencanakan sesuatu ... membakar pantat para biksu itu!"
Tebakan Kiyomori benar. Mokunosuke, sebagai seorang pelayan senior yang diminta untuk menjaga rumah di Rokuhara bersama dua puluh orang pelayan muda, tidak sanggup memikirkan kemungkinan Kiyomori akan mempertaruhkan nyawa demi Heiroku, sehingga pada pagi buta, setelah yakin bahwa nyonya rumah dan dayang-
dayangnya telah bersembunyi di tempat yang aman, dia diam-diam menyusun rencana sendiri dan mengirim para pelayan yang tersisa di rumah untuk bersembunyi di kaki Perbukitan Timur. Dia tidak menyangka bahwa Kiyomori akan mengambil langkah seberani itu. Rencana Mokunosuke adalah membakar kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan di Gion begitu para biksu berangkat ke Istana atau menyerbu Rokuhara. Serangkaian peristiwa menguntungkan ternyata mendukung rencananya.
Mokunosuke dan Heiroku akhirnya mendaki bukit untuk mencari Kiyomori; bertemu kembali dalam keadaan selamat, rasa syukur membuncah di dalam hati mereka.
Mereka mengangkat tangan ke arah matahari yang merah untuk berdoa, dan air mata membasahi pipi Kiyomori.
Kepada dirinya sendiri, Kiyomori berbisik, "Sesungguhnya langit dan bumi ada di sini bersamaku, dan arwah para leluhurku menjaga dan melindungi diriku yang lemah ini."
Masih bertelanjang dada, Kiyomori duduk di atas sebongkah batu besar dan dengan ceria berkata, "Sekarang, kalian semua, masalah kita untuk hari ini telah berakhir; setelah ini, esok hari akan datang, lusa. dan hari-hari yang menyusul sesudahnya ... kemudian, datanglah hari penebusan"
"Yang pasti akan datang," jawab Mokunosukg, mengerutkan kening, "dan tidak akan ada yang bisa kita tertawakan lagi ketika hari itu tiba."
"Ho, biarkan saja seratus hari seperti itu tiba, dan aku akan tetap menang, karena aku punya dua sekutu."
"Apa maksud Anda?" tanya Mokunosuki.
"Yang pertama adalah ayahku di Imadegawa, yang kedua adalah mukjizat dari langit ... hujan batu. Tentu saja.
Tua Bangka, kau melihatnya ... orang-orang yang muncul
entah dari mana dan menghujani para biksu itu dengan batu?"
Suara orang-orang yang mendekat menyela Kiyomori.
Tokitada cepat-cepat mengintip dari balik sebongkah batu ke jalan setapak di bawah mereka. Yang lain menyambar baju zirah dan senjata mereka. Mengisyaratkan agar semua orang diam, Mokunosuk6 meyakinkan Kiyomori bahwa orang-orang yang datang mendekat itu adalah para pelayan lain yang datang untuk menemui mereka. Para pelayan Kiyomori segera tampak, dan dari mereka, Kiyomori mendengar cerita tentang bagaimana mereka telah mengendap-endap ke Gion dan mengejutkan lawan dengan membakar pondok-pondok dan bangunan-bangunan kecil di sana. Lega karena mendengar bahwa mereka menyisakan kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan, Kiyomori memuji Mokunosuk6 untuk tindakan cerdasnya.
"Tua Bangka, kau tidak hanya tua tetapi juga bijaksana.
Seandainya aku menjadi dirimu, aku pasti juga akan membumihanguskan seluruh kuil dan tempat pemujaan di Gion." Mendengar pujian tuannya, si pelayan menggeleng.
"Tidak, tidak. Ini saya pelajari dari tuan saya, Tadamori, yang pada suatu malam perjamuan, ketika para pejabat istana menantikan kesempatan untuk membunuh beliau, datang membawa dan memamerkan sebuah pedang bambu untuk membodohi musuh-musuhnya. Hari ini, yang saya lakukan hanyalah upaya untuk meniru ayah Anda."
Kata-kata rendah hati si Tua Bangka mendatangkan si Mata Piclng ke benak Kiyomori. Sejenak, dia duduk diam dan menurunkan pandangan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu; kemudian, mendongak, Kiyomori berkata, "Tua Bangka, mari kita turun ke Rokuhara sekarang dan menantikan perintah dari Istana di sana. Aku telah menyelesaikan tugasku. Hatiku terasa ringan
sekarang, dan aku sama sekali tidak menyesal. Sekarang, aku akan pasrah menantikan keputusan Istana. Bagaimana menurutmu. Tokitada?"
Kiyomori berdiri dan mengenakan kembali baju zirah kulitnya, dan bersama para pelayannya mengikuti aliran air menuju Rokuhara.
*d*w* "Jadi, putra si Mata Picing, Kiyomori. yang melakukan itu, ya" Betul-betul sebuah tindakan berani!"
Pembangkangan Kiyomori kepada Gunung Hiei menjadi buah bibir seluruh ibu kota, dan rasa puas sesaat berhasil menyembunyikan kecemasan umum. Para pejabat istana sekalipun kehabisan akal untuk meremehkan tindakan Kiyomori, sementara biara-biara saingan mengolok-olok Gunung Hiei. Ketika rasa syok telah mereda dan ketakutan akan pembalasan dendam dari para biksu telah lenyap, orang-orang mulai menduga-duga tentang bagaimana pihak yang berwenang akan menangani Kiyomori.
Kaisar Kloister, Toba, menerima ancaman beruntun dari Gunung Hiei, dan Perdana Menteri bersama para menteri bertemu setiap hari untuk membahas tuntutan para pendeta.
Toba, pemegang kendali kekuasaan yang sesungguhnya, tidak memberikan tanda-tanda bahwa dirinya pernah memuji ataupun menentang tindakan Kiyomori, dan mendengarkan baik-baik semua pendapat yang beredar. Oi sepanjang pembahasan tersebut, Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, bersikeras agar Kiyomori dihukum mati, berdasarkan pendapat bahwa tindakan Kiyomori telah mencerabut rasa hormat masyarakat kepada para dewa dan melecehkan wewenang Gunung Hiei.
Dengan penampilan terhormat beserta berbagai kelebihan sebagai seorang pejabat istana, Yorinaga tidak
hanya seorang cendekiawan yang mendalami karya sastra Cina klasik dan Buddha, tetapi juga seorang pembicara yang fasih, yang pendapatnya sulit disangkal.
Bagaimanapun, ketika amarahnya meledak, sikap beringas dan arogannya menjadikan semua orang, termasuk rekan-rekan sejawatnya, takut kepadanya, karena dia tidak akan memedulikan lagi pangkat dan jabatan lawan bicaranya.
"Memang benar," kata Yorinaga, "bahwa ini bukan pertama kalinya Gunung Hiei melakukan unjuk rasa bersenjata, namun tindakan Tuan Aki tidak bisa dibenarkan begitu saja. Yang dilakukannya adalah pelecehan terhadap agama. Dia telah menghina para dewa dan berdosa kepada Buddha. Mengabaikan tindakannya sama saja dengan merestui perilaku kriminal dan mendukung perlawanan kepada pihak yang berwenang. Saya yakin bahwa para pendeta tidak akan menganggap ringan masalah ini. Tidak ada seorang pun yang mau diremehkan, dan tindakan Tuan Aki itu akan menimbulkan keresahan masyarakat. Maka, demi kebaikan bersama, saya menolak untuk mendengarkan setiap permbelaan kepada Kiyomori."
Gumaman sanggahan terdengar dari beberapa orang menteri, namun Yorinaga dengan sigap membungkam mereka. "Adakah yang menentang pendapat saya" Silakan sampaikan pendapat kalian. Mari kita mendiskusikannya di sini."
Sorot mata Kaisar Kloister, yang dengan cermat mengamati wajah setiap pejabat istana, menunjukkan kecemasan. Yang Mulia sekalipun tidak berani menyanggah Yorinaga. Bagaimanapun, ada seorang pejabat istana yang menyampaikan keberatan: Shinzei, seorang bangsawan tinggi, keturunan seorang menteri Fujiwara yang berpengaruh kuat dan anggota cabang selatan klan tersebut Walaupun berdarah Fujiwara, dia tidak populer di kalangan
kerabatnya di Istana dan selama bertahun-tahun menduduki jabatan yang kurang berarti. Baru setelah usianya menginjak enam puluhan dia berhasil mendapatkan jabatan penting di Istana Kloister, dan ini, menurut desas-desus yang beredar di Istana, disebabkan oleh istrinya. Nyonya Kii, salah seorang pengiring Nyonya Bifukumon. Sebagai seorang penasihat negara, tugas Shinzei mencakup menulis rancangan dan mengumumkan dekrit kekaisaran.
Keahliannya tidak bisa dipandang rendah karena dia memiliki reputasi sebagai seorang cendekiawan, dan Yorinaga sendiri pernah menjadi muridnya.
Pada akhir musyawarah kekaisaran itu, Shinzei berkata kepada Yorinaga, "Sungguh meyakinkan sekali pendapat Anda itu! Tidakkah Anda sadar, Tuan, bahwa Anda sedang membela Gunung Hiei" Tiga orang pemimpin ...
Shirakawa, Horikawa, dan Toba ... menyadari pentingnya meredam keganasan para pendeta Gunung Hiei, namun tidak seorang pun dari mereka berhasil. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Kiyomori berhasil. Tetapi, dia telah membuka jalan untuk mengembalikan akal sehat mereka.
Bukankah dia telah menunjukkan kepada para pendeta bahwa Istana tidak bisa diintimidasi oleh arogansi dan pameran kekuatan mereka?"
Shinzei berbicara dengan keyakinan seseorang yang mengenal baik jalan pikiran Kaisar Kloister; dia juga menyadari bahwa baik pihak penguasa maupun rakyat jelata sesungguhnya tidak bersimpati kepada para biksu dan mendukung Kiyomori. Kemudian, dia menyampaikan pembelaan, "Tindakan Kiyomori memang sepertinya tidak terampuni, namun kita harus mengingat bahwa Yang Mulia dan para pejabat istana telah memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada Kiyomori untuk menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri, jika Kiyomori
melanggar batasan yang diberikan oleh pihak yang berwenang dan harus dihukum, maka siapa pun yang menyetujui permintaannya juga harus berbagi kesalahan dengannya.
Memang benar bahwa Kiyomori telah melecehkan Altar Sakral, namun apakah altar serapuh itu benar-benar emblem sejati para dewa dan Buddha" Lebih tepat jika dikatakan bahwa tindakan Kiyomori telah meniup awan dusta dan menolong kita semua untuk memperbaharui keimanan kita kepada hal-hal surgawi. Apakah serangan pada emblem sakral itu telah menjatuhkan para dewa dan Buddha ke bumi atau mendatangkan kegelapan ke seluruh dunia?"
Tawa lirih menyambut kata-kata Shinzei. Yorinaga tersenyum pahit dan mengatupkan bibirnya ketika melihat tatapan setuju sang Kaisar Kloister. Berakhirlah perundingan tertutup ini. Sebuah proklamasi telah dibuat, memerintahkan Kiyomori untuk membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dan kabar mengenai hukuman ringan Kiyomori menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota.
Rakyat jelata dan para tentara bayaran menyambut gembira kabar itu bersama seluruh anggota klan Heik6. Para samurai Genji mendengar kabar ini dengan gusar.
Kekesalan dan kekaguman menggerakkan para pemimpin Gunung Hiei untuk secara diam-diam mengakui bahwa mereka telah mendapatkan lawan yang sepadan.
Mendapatkan ancaman dari dalam berupa perpecahan di tubuh biara mereka sendiri dan dari luar berupa serangan dari biara sekte-sekte lain, para biksu Gunung Hiei melayangkan beberapa ancaman terselubung kepada pemerintah, dan kemarahan mereka mereda ketika pemerintah menyerahkan tanah Kagashirayama kepada mereka.
Genji Tameyoshi adalah samurai kesayangan Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, yang leluhurnya selalu berpihak kepada klan Genji. Yorinaga mengundang Tameyoshi untuk bercakap-cakap di rumahnya pada suatu malam.
"Tameyoshi, minumlah yang banyak," kata Yorinaga.
"Kita harus mengakui bahwa Penasihat Negara Shinzei lebih unggul kali ini. Waktulah yang akan meniupkan angin segar ke arah lata. Ini adalah kemunduran yang tidak terhindarkan bagimu. Ini juga membuktikan bahwa Yang Mulia memang selalu memihak kepada Kiyomori."
Yorinaga telah mabuk berat dan mulai kehilangan harapan. "Yang Mulia, sang Kaisar Kloister, terlalu berpihak kepada Tadamori dan Herk6 Kiyomori.
Dibandingkan dengan mereka, kau tidak terlalu berhasil, namun tunggu dulu, dalam waktu dekat ini, aku akan melihat klan Genji bangkit kembali."
Yorinaga telah selama beberapa tahun meneguhkan janji ini kepada Tameyoshi, dan dengan mendorong agar Heik6
Kiyomori dihukum, dia berharap bisa menyingkirkannya dari peta kekuatan untuk selama-lamanya.
"Tuan," kata Tameyoshi, "mari kita lupakan semua ini.
Saya akan dengan ikhlas menerima penugasan di provinsi yang jauh secepatnya, karena saya sudah tidak memiliki ambisi lagi."
Ini bukan pertama kalinya Tameyoshi menolak tawaran dukungan dari Yorinaga, karena selalu ada kerugian yang terkandung di dalam pertolongan dari sang menteri.
Tameyoshi, di sisi lain, berharap untuk ditugaskan di wilayah utara Jepang, tempat sebagian besar anggota klan Genji menetap pada masa kejayaan kakeknya, namun permohonannya terus-menerus ditolak oleh para bangsawan Fujiwara, yang tidak menginginkan Tameyoshi
berada jauh dari ibu kota dan senantiasa membujuknya agar tetap tinggal di Tokyo, tempat mereka bisa selalu mengawasinya.
0)--=dw=--(0 Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN
SEBUAH KECAPI Waktu menggantung berat di tangan Kiyomori. Setelah membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dia dibebastugaskan selama setahun. Dalam masa istirahatnya, sensasi yang diciptakannya telah padam. Pelanggarannya, mau tidak mau juga memengaruhi orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya: ayah Kiyomori dibebastugaskan selama seratus hari; sebagai anggota keluarga Fujiwara, Tokinobu, ayah mertua Kiyomori, hingga waktu yang tidak ditentukan dilarang menggunakan nama dan mendapatkan perlindungan dari Fujiwara.
Kemarahan Kiyomori kerap kali meledak kepada adik iparnya, "Ini lebih baik. Kau dan ayahmu yang baik lebih pantas menjadi anggota keluarga Heike. Fujiwara bukanlah satu-satunya keluarga di negeri ini."
Walaupun bisa memberikan komentar yang jauh lebih pedas, Kiyomori masih akan memiliki alasan untuk mengeluh karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh para bangsawan Fujiwara sepertinya terlalu berlebihan.
"Mereka telah menunjukkan betapa pengecutnya mereka dalam upaya melindungi diri sendiri. Mereka terlalu penakut; mereka was-was bahwa seseorang yang menyandang nama Fujiwara dan berhubungan dengan orang sekasar aku akan membawa kemalangan bagi mereka. Tetapi, mereka diam-diam mendukung
perbuatanku. Ini adalah penghinaan yang lebih menyakitkan daripada hukuman yang mereka berikan kepadaku. Tokitada, jangan pernah lupakan ini."
Keceriaan Tokitada mencerahkan kemuraman kehidupan sunyi Kiyomori; pemuda itu selalu siap sedia mendengarkan berbagai keluh kesah Kiyomori; berbeda dengan Kiyomori, dia juga gemar membaca; bermodalkan ingatannya yang tajam, hasil pengamatan Tokitada sering membuat Kiyomori tidak sanggup berkata-kata.
Kiyomori sedang berjalan santai menuju istal untuk melihat kuda-kudanya ketika mendengar lentingan busur.
Dia langsung membelokkan langkah ke arena panahan.
Dengan sentakan tajam, sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di tengah sasaran.
"Hebat!" seru Kiyomori. Dua orang di depannya berputar dan tersenyum ketik? melihatnya: Shigemori, putranya yang berumur sepuluh tahun, dan Tokitada, yang sedang mengajarinya memanah.
"Bagaimana menurutmu kemampuan memanah
Shigemori?" tanya Kiyomori.
"Seperti yang kaulihat sendiri, dia sangat ahli, tapi ... dia sepertinya tidak bisa memanah dengan lurus, atau belum punya cukup kekuatan. Masalah temperamen, mungkin"
"Dia masih muda, Tokitada, dan busurnya kecil."
"Itu tidak bisa disangkal. Watak seorang pria, bagaimanapun, terlihat dari caranya memanah. Apa kau pernah mendengar tentang putra bungsu Tameyoshi?"
"Kurasa pernah"
"Tameyoshi menganggap anak itu terlalu keras kepala ...
aku melihatnya di sebuah pertandingan memanah waktu
dia berumur sebelas tahun. Dia sudah memakai busur yang kuat ketika itu, dan dia menembakkan anak panahnya begitu dalam di sebuah gundukan tanah sehingga dua orang pria dewasa sekalipun tidak
bisa menariknya. Memang benar, dia akhirnya menjadi anak yang tidak bisa diatur dan memberikan banyak masalah kepada ayahnya."
Kiyomori tergelak. "Tokitada, kau pasti tengah membicarakan dirimu sendiri."
"Aku" Tidak, tidak, aku sudah berhenti menyabung ayam, dan aku tidak pernah terlibat perkelahian lagi sejak peristiwa G ion itu. Aku bisa mengambil pelajaran."
"Jangan menyerah secepat itu. Tokitada. Kudengar biara-biara di Nara kembali membuat keributan, meskipun Gunung Hlai sudah tidak pernah menyusahkan Idta lagi.
Aku khawatir bahwa satu anak panah tidaklah cukup untuk menyembuhkan hasrat berperang mereka,"
"Dan itu mengingatkanku bahwa pada akhir Agustus silam, Gcnji Tameyoshi membawa para prajuritnya kc Uji dan berhaul mencegah kedatangan beberapa ribu orang biksu bersenjata ke Ibu kota. Sejak saat itu, kudengar, dia menjadi jauh lebih populer di Istana Kekaisaran."
Tatapan Iri Kiyomori mendorong Tokitada untuk berbicara semakin banyak. "Aku juga mendengar bahwa Menteri Yortnags mendukung Genji dan berencana untuk menunjuk Tameyoshi sebagai kepala Kesatuan Pengawal sementara kau dan ayahmu masih bebas tugas hingga masa hukuman kalian selesai."
Kerutan di kening Kiyomori sama sekali tidak menunjukkan perasaannya, namun ketenangan hari-harinya telah terganggu. Tepat ketika itu, Heiroku si pelayan
muncul untuk mengumumkan kedatangan Oshimaro si perajin baju zirah, yang hendak menemui tuan rumah.
Kiyomori, yang menyambut gembira kedatangan setiap tamu yang bisa mengusir kebosanannya, segera kembali ke rumah.
"Saya datang, Tuan, untuk membahas tentang baju zirah yang Anda pesan," kata perajin baju zirah yang berusia uzur dan berpunggung bungkuk itu dengan suara paraunya.
Tidak ada yang bisa menandingi baju zirah buatannya.
Setiap jahitan dan pemasangan lapisan logam diselesaikan dengan keahlian tanpa tara. Kiyomori.
yang sudah tahu bahwa pria tua pemarah itu meminta harga yang terlampau tinggi dan gemar merepotkan para pelanggannya, memesan sebuah baju zirah dengan hiasan bunga sakura. Pesanannya tersebut sudah hampir selesai dibuat.
"Kulitnya telah diwarnai sesuai dengan permintaan Anda, Tuan, lapisan logamnya telah selesai dipasang ... tali-talinya, pelindung lengan, dan pelindung kaki ... semuanya telah siap, kecuali kulit rubah yang Anda janjikan kepada saya. Sekarang, apa yang harus saya lakukan. Tuan?"
Pria tua itu menggunakan kulit rubah yang baru saja dibunuh untuk memperkuat bagian-bagian vital baju zirahnya; Kiyomori, ketika mengajukan pesanan, telah menjanjikan untuk memberikan kulit dua ekor rubah kapan pun si perajin memintanya. Bulu rubah akan digunakan untuk melapisi pelindung bahu, sambungan antara pelindung dada dan punggung, dan pelindung ketiak. Ada rahasia dalam merebus lem yang akan digunakan untuk menempelkan lapisan kulit ke baju zirah; lem yang terbuat dari batu ambar harus dilelehkan secara perlahan-lahan selama lebih dari dua hari dan sesudahnya langsung
dioleskan ke kulit. Yang artinya, jika kulit rubah belum tersedia, maka lem tersebut akan terbuang dengan sia-sia.
"Saya tidak tahu berapa hari saya harus menunggu kedatangan Anda, atau berapa kali saya harus membuang lem," omel pria tua itu dengan nada menuduh, "jika Anda mau memakai kulit biasa, tentu itu akan memudahkan pekerjaan saya. Jika baju zirah biasa seperti itu sudah memuaskan Anda, ada banyak perajin yang bisa Anda pakai, dan Anda lebih baik memesan baju zirah Anda di tempat lain."
"Tidak, tidak! Maafkan saya. jangan marah ... saya mohon, jarjgan marah," Kiyomori membujuknya. "Saya sudah beberapa kali mengirim anak-anak buah saya untuk berburu rubah, dan mereka selaki datang membawa musang dan kelinci, tanpa pernah membawa rubah. Kali ini. saya sendirilah yang akan pergi berburu. Sekarang ... man kita lihat, bukankah kita lebih baik menetapkan hari r"
"Pan membiarkan saya sekali lagi menanti dengan sia-sia?"
"Hmm ... tidak, kali ini tidak."
"Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi Anda harus mengerti bahwa saya tidak bisa menyerahkan pekerjaan merebus lem kepada murid ataupun istri saya.
Ada rahasia untuk menjaga nyala api, mengaduk lem, dan mengawasi lem saat mendidih di dalam kuali, dan saya harus menghabiskan dua hari dan dua malam untuk menyelesaikan pekerjaan itu, mengawasi kuali. Lalu ...
tidak ada kulit! Lem pun mengental dan harus dibuang.
Anda tentu mengerti mengapa saya marah."
"Tidak, kali ini tidak akan ada kesalahan lagi.
Bagaimana dengan lusa" lepat ketika matahari tenggelam
dan lentera-lentera dinyalakan, saya akan datang sendiri ke rumah Anda untuk mengantarkan kulit rubah itu."
"Maksud Anda, Anda sendiri yang akan
melakukannya?" "Saya tidak akan menyuruh orang lain melakukannya."
"Bagaimana jika Anda tidak menepati janji Anda ini?"
"Saya akan membayar denda dengan uang tembaga atau apa pun yang Anda minta. Pak Tua."
Pria tua itu menggeleng-geleng sambil tertawa dan menepuk pahanya. "Bagus! Lagi pula. Anda adalah Tuan Aki yang memanah Altar. Saya memegang kata-kata Anda.
Saya akan pulang dan langsung merebus lem, dan saya akan menunggu Anda lusa, ketika matahari tenggelam"
Keesokan harinya, Kiyomori mengeluarkan busur kesayangannya dari dalam kotaknya, memasang talinya, lalu keluar dari rumah untuk mencari istrinya. Seorang pelayan mengatakan bahwa sang nyonya rumah sedang sibuk di rumah-tenun dan menawarkan kepada Kiyomori untuk menjemputnya, namun Kiyomori menolaknya, "jika dia sedang berada di rumah-tenun, jangan panggil dia.
Keluarkan saja pakaian berburuku."
Mengenakan celana berburu kulitnya, dengan sarung anak panah tersandang di punggung dan busur di tangan, Kiyomori singgah di rumah-tenun yang dibangun atas permintaan istrinya. DI tempat itu
terdapat dua alat tenun, tempat untuk menyimpan bejana-bejana berisi pewarna, dan sebuah meja bordir Tokiko duduk di balik alat tenunnya sementara anak-anaknya bermain dengan gembira di sekelilingnya. Dia membanggakan hasil karyanya dan menikmati proses
membuat kain dengan desain unik untuk keluarganya.
Tokiko kerap mendapatkan pujian untuk keahliannya ini.
"Mengapa ... mengapa mendadak sekali?" tanyanya, meninggalkan alat tenunnya. "Siapa yang akan pergi menyertaimu?"
"Aku akan pergi sendirian. Untuk saat ini, lebih sepi lebih baik"
"Tentunya kau akan mengajak setidaknya seorang pelayan."
"Tidak, aku tidak akan berkeliaran ke wilayah perbukitan, dan , aku akan pulang saat matahari tenggelam.
Bagaimana dengan kain I yang akan kauhadiahkan kepada istri Shinzei?"
"Aku sudah mewarnainya, dan bordirannya pun telah kuselesaikan. Apa kau mau melihatnya?"
"Tidak usah, itu tidak perlu, karena aku tidak berbakat dalam menilai kain," jawab Kiyomori sebelum melangkah ke gerbang belakang.
Kiyomori telah mendengar secara tidak langsung bahwa Shinzei membelanya di hadapan Kaisar Kloister dan para pejabat istana. Sejak saat itu, dia menganggap Shinzei sebagai seorang sekutu dan keakraban pun terjalin di antara mereka. Ketika Tokiko menyarankan untuk
menghadiahkan salah satu kain terbaiknya kepada istri Shinzei, Nyonya Kii, Kiyomori langsung menyetujuinya.
Kiyomori sering mendengar bahwa rubah pernah terlihat di dalam ibu kota begitu pula di luar gerbang kota, namun ketika dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, yang ada hanyalah bulu-bulu keperakan dari ilalang tinggi yang tumbuh di ladang-ladang di tengah musim gugur. Dia menghabiskan sepanjang hari untuk berkeliaran di ladang,
dan pulang pada malam harinya dengan kaki pegal dan tangan hampa.
Gerimis turun keesokan harinya, namun langit kembali cerah saat siang tiba. Tokitada, yang sudah mendengar tentang kegagalan Kiyomori, mendesak kakak iparnya itu untuk tetap tinggal di rumah dan bersiap-siap untuk pergi bersama Heiroku.
Tetapi, Kiyomori memprotes, "Oh tidak, waktu aku melihatmu dan Shigemori berlatih memanah kemarin, aku mendadak merindukan busurku- ... karena aku sudah terlalu lama mendiamkannya, kurasa."
Segera setelah Tokitada dan Heiroku pergi, Kiyomori pun berangkat. Kali ini, dia berburu di luar gerbang utara ibu kota hingga matahari tenggelam. Dia berjalan menembus padang ilalang yang basah sehingga celananya basah kuyup dan kimononya lembap. Dia berkeliaran di tanah yang becek, menerjang liang-liang yang penuh berisi air, dan menembus bukit yang dipenuhi kuncup bunga hagi, hingga kabut pucat mulai turun dan mengaburkan pandangan. Matahari masih mengintip di ufuk barat, dan sebersit bulan sabit menggantung di atas kepalanya.
"Tidak seekor rubah pun terlihat ... hanya burung-burung yang pulang ke sarang mereka ... dan orang-orang mengatakan bahwa salakan rubah bisa didengar pada malam-malam musim gugur," gumam Kiyomori.
Di kejauhan, dia melihat kilatan cahaya dari sebuah pondok penjaga ladang. Dia membayangkan lem yang mendidih di rumah si perajin baju zirah, dan pikiran akan kembali mengecewakan Oshimaro membuatnya agak putus asa. Dia menyesal karena tanpa berpikir panjang telah berjanji untuk membawa dua ekor rubah hidup ke rumah si perajin saat matahari tenggelam.
Ladang di sekelilingnya sekarang bermandikan nuansa biru tua. Ketika berbalik untuk pulang, Kiyomori merasakan sesuatu berkelebat di dekat kakinya di tengah rumpun ilalang lebat; sesuatu melintasi jalannya dengan cepat, lalu lenyap begitu saja. Kiyomori langsung memasang anak panah ke busurnya ketika satu lagi bayangan berkelebat di antara kedua kakinya dan menghilang dengan bunyi gemerisik. Dia sontak mengejar sebentuk ekor yang lenyap di depan matanya; mengikutinya dari satu rumpun rumput ke rumpun yang lain, hingga dia tiba-tiba berhadapan dengan seekor rubah yang sedang berdiri diam di depan liangnya; kedua mata binatang itu terpaku dengan heran pada anak panah Kiyomori. Dia menarik tali busurnya. Geraman bernada rendah terdengar, dan bau busuk memasuki lubang hidung Kiyomori. Dia menajamkan mata dan melihat lebih dari seekor rubah; dua ekor binatang berbulu berdesakan di dalam liang. Sepasang mata tajam sekarang tertuju kepadanya. Seekor rubah tua dengan ekor kecokelatan menggeram kepadanya. Rubah betina itu, setengah tertutupi oleh tubuh pasangannya, memamerkan cakarnya, menggeram menyaksikan tangan yang memegang busur dengan tatapan ngeri. Binatang itu lebih kurus daripada rubah kebanyakan, lebih menyerupai serigala; tulang-tulang bahunya menonjol, bulunya kusam, dan perutnya bergelambir. Kiyomori kembali menajamkan pandangan dan melihat bagaimana binatang itu melindungi anaknya di bawahnya. Mereka mungkin sudah berhasil meloloskan diri jika bukan gara-gara rubah mungil itu, pikir Kiyomori. Tiga ekor rubah ... sungguh beruntung dirinya!
Sejenak, dia mempertimbangkan rubah yang mana yang akan dipanahnya terlebih dahulu. Busurnya berderak.
Pendar terang seolah-olah memancar dari pasangan rubah yang telah terdesak itu, dan mereka mengeluarkan erangan aneh. Si jantan menggeramkan ancaman, dengan
keberanian seekor binatang putus asa, sementara si betina melengkungkan tubuhnya dan memeluk bayinya semakin erat.
Lengan Kiyomori mendadak terasa kaku. "Ah, kasihan sekali kafcan, kasihan sekali! Keluarga yang cantik" jauh lebih terhormat danpada manusia yang bodoh ?" had Kiyomori pedih.Apakah yang diakukannya di uni dengan anak panahnya" Menyudutkan binatang-binatang mm" Baju zirah baju zirah untuk dipamer-pamerkan! Menyelamatkan harga dirinya di hadapan si perajin baju zirah hanya demi sebuah janji" Bodoh " bodoh! Tidak masalah jika pria tua itu mengejeknya; baju zirah biasa sudah cukup baginya!
Baju zirah tidak mencerminkan kejantanan, apalagi menambah keperkasaan.
"Walaupun hanya binatang bodoh, kalian sungguh menawan! Kesedihan, kasih sayang ... wujud kasih sayang orangtua! Seandainya aku menjadi rubah tua itu ...
bagaimana jika Tokiko dan Shigemori tersudut seperti ini"
Binatang sekalipun bisa bersikap begitu terhormat ...
bisakah aku melakukannya?"
Kiyomori menaikkan busurnya dan membiarkan anak panahnya melesat ke arah satu-satunya bintang yang bersinar di langit yang mulai gelap.
Sebuah gerakan yang menyerupai embusan angin menggerakkan rerumputan di dekat kakinya, disusul oleh kesunyian. Kiyomori menunduk; ketiga rubah itu telah pergi.
Sebelum pulang, Kiyomori berhenti di luar pagar rumah si perajin baju zirah. Dia berseru memanggil sosok bungkuk yang berjalan melintasi pekarangan diterangi oleh cahaya suram sebuah lentera kecil. "Pak Tua, Pak Tua, aku tidak memerlukan kulit rubah untuk baju zirahku! Gunakanlah
apa pun yang kau mau. Aku akan menjelaskannya di lain waktu. Datanglah besok, dan aku akan membayar denda dengan apa pun yang kauminta."
Bau tajam lem mendidih menguar di udara ketika sosok bungkuk itu muncul di beranda dengan membawa sebuah kuali yang mengepul-ngepul. "Apa! Anda tidak menginginkan baju zirah Anda" Bukankah Anda sudah berjanji" Saya sudah mengatakan bahwa saya akan bergadang selama dua hari dan dua malam seperti seorang pandir untuk mendidihkan lem ini! jadi. Anda memanah Altar hanya untuk bercanda, ya" jadi. saya salah sangka tentang Tuan Aid! Apa menurut Anda saya mau membuat baju zirah untuk seseorang yang telah menipu saya" Saya menolak ... saya tidak mau lagi melakukan pekerjaan apa pun untuk Anda! ... Ini. dasar anjing liar, kemari dan makanlah lem tol!"
Kuali berisi lem panas itu tiba-tiba melayang di udara dan jatuh di dekat kaki Kiyomori. Tercekik oleh asap dan bau tajam lem, Kiyomori membalikkan badan dan pulang dengan bermuram durja.
November segera tiba, dan masa hukuman Kiyomori selesai. Dia pun kembali menjalankan tugasnya di Istana.
Beberapa hari sebelum peristiwa ini terjadi, bagaimanapun, seorang tamu tiba di gerbang pelayan di rumahnya, memohon dengan air mata berlinangan untuk dipertemukan dengan sang tuan rumah.
"Aku tidak punya hak untuk meminta dipertemukan dengan Tuan Aki, tapi ?"
Tamu itu adalah Oshimaru, si perajin baju zirah.
Punggung bungkuknya tampak semakin bungkuk, dan dia menolak untuk mengangkat pandangan. "Tuan, saya memohon agar Anda memaafkan kata-kata kasar saya
tempo hari ... itu hanyalah ocehan seorang perajin tua dan bodoh ... " Butiran-butiran keringat membasahi kening keriput pria tua itu.
"Apa masalahmu kali ini, Pak Tua?" Kiyomori tertawa, meminta penjelasan untuk kunjungan Oshimaru.
"Karena terbakar amarah, saya melempar sekuali lem kepada Anda, Tuan, dan memaki-maki Anda, namun saya mendengar salah seorang pelayan Anda bercerita tentang kegagalan perburuan Anda hari itu, dan saya malu ketika mengetahui bahwa Anda memiliki belas kasihan untuk binatang biasa. Sebagai seorang pakar baju zirah, saya memohon agar Anda mengizinkan saya untuk membuat baju zirah baru bagi Anda. Seorang samurai tidak hanya harus ahli menggunakan busurnya, tetapi juga harus memiliki hati yang penuh belas kasihan kepada semua makhluk hidup, seperti Anda. Siapa pun yang membuat baju zirah untuk samurai semacam itu mau tidak mau akan mencurahkan seluruh jiwa dan raganya ke dalam pekerjaannya. ... Sejujurnya, Tuan, saya membawa baju zirah pesanan
Anda hari ini. Maukah Anda melihatnya dan mengizinkan saya menghadiahkannya kepada Anda?"
Tidak ada jejak kesombongan dalam sikap Oshimaro sekarang; tidak ada kata-kata pujian untuk hasil karyanya sendiri. Ekspresi puas di wajah Kiyomori sepertinya sudah menjadi penghargaan yang cukup baginya, dan dia pun segera berpamitan.
Kiyomori menikmati kembalinya kemerdekaannya. Pada suatu malam, setibanya di rumah, dia memasuki kamar istrinya dan menemukan sebuah kecapi yang belum pernah dilihatnya. Tokiko menjelaskan bahwa kecapi itu adalah hadiah dari Nyonya Kii, yang mengutus seorang pendeta
untuk mengirimnya siang itu. Tokiko menceritakan kepada suaminya bahwa si pendeta singgah selama beberapa waktu untuk bercakap-cakap dan berulang kali menyelamatinya karena memiliki seorang suami yang hebat Tokiko menyanggah dengan senyuman, namun rasa penasaran mendorongnya untuk menanyakan alasan pendeta itu menyanjung-nyanjung Tuan Ala. Dia berhasil mendesak kurir Nyonya Ki untuk berbicara lebih banyak dan mengetahui bahwa Oshimaro, si perajin baju zirah, telah bercerita kepada semua orang tentang kisah Kiyomori dan sekeluarga rubah. Kisah itu akhirnya didengar oleh Shinzei; tergerak oleh kelembutan hati Kiyomori, Shinzei mengeluarkan kecapi warisan ibunya dan meminta tolong kepada kawan pendetanya untuk menyerahkannya kepada Kiyomori sebagai tanda kehormatan darinya. Si pendeta kemudian memberi tahu Tokiko bahwa rubah adalah kurir Dewi Belas Kasfan dan Oma. dan dengan melepaskan rubah-rubah buruannya, maka Kiyomori layak mendapatkan tanda jasa. Shinzei. tambah si pendeta, juga menyampaikan keyakinannya tentang kebaikan hati Tuan Aki. Setebh berbicara panjang lebar, si pendeta berpamitan dengan memberkati sang nyonya rumah dan suaminya.
Kiyomori mengambil kecapi tersebut, membolak-baliknya beberapa kali di atas pangkuannya untuk memeriksanya.
"Kecapi yang sangat bagus," akhirnya dia berkomentar.
Toklko menjawab. "Pasti ada namanya di suatu tempat,"
"Di sini ... " "Namanya "Angin Ladang"."
Kecapi itu berhias motif bunga-bunga liar bernuansa keemasan, dan sebuah puisi karya Shinzei yang ditujukan kepada mendiang ibunya diselipkan dengan tulisan indah.
"Tokiko. bisakah kau memainkan alat musik ini?"
"Aku yakin bahwa Tokitada lebih pandai bermain musik daripada aku."


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, aku baru tahu bahwa Tokitada berbakat di bidang musik. Kalau begitu, biarkan aku memainkan sesuatu untukmu. Penampilanku yang kusam mungkin tidak akan membuatmu percaya, tapi saat berumur delapan tahun, aku harus menyanyi dan menari dalam pementasan drama sakral di Gion. Ibuku, sang Perempuan Gion, menggemari pertunjukan semacam itu."
Ketika mengatakan itu, Kiyomori merasakan hatinya tersengat Di manakah dia sekarang ... ibunya, si wanita rubah, seseorang yang tidak sebandmg dengan rubah betina bijaksana itu" Apakah da masih hidup dan sehat" Dia tentu sudah tidak cantik lagi ... usianya saat ini pasti sudah empat puluhan. Di manakah da sekarang" Apakah seorang pria telah melukai hatinya dan meninggalkannya begitu saja di salah satu sudut dunia" " Kiyomori kehabisan kata-kata untuk menetaskan tentang emosi yang membuncah dari kedalaman yang tidak dikenalnya dan membanjiri seluruh dirinya. Hatinya pedih. Seolah-olah untuk meredakan rasa sakitnya, dia memangku kecapi jas dan bersenandung dengan lembut, melarikan jarinya di keempat senar yang berdenting bening.
"Nah, lagu apa itu?" Tokiko tergelak.
"Oh. kau mungkin tidak pernah mendengarnya.
Judulnya "Nyanyian Seorang Manusia dari drama berjudul Manyoshu candanya dengan tenang, walaupun matanya basah.
0)--=dw=--(0 Bab XII -SABDA ALMARHUM Fujiwara Tsunemune, seorang pejabat istana dari Golongan Ketiga, adalah seorang pria muda berprestasi.
Kendati dirinya seorang bangsawan, dia tidak sombong, karena dia bukan hanya menjadi anggota kelompok politik melainkan juga pusat kehidupan intelektual pada masanya, dan di kalangan pejabat muda. dia sepertinya berkonsentrasi pada cara-cara untuk tampil sebagai seorang bangsawan yang baik. Terobsesi pada detail dan anggun dalam penampilan, seperti halnya dalam bersikap dan berbicara, Tsunemune memiliki selera seorang terpelajar dan banyak membaca karya-karya klasik; sebagai seorang penulis puoi berbakat, pakar permainan sepak bola bangsawan, dan pemain musik ulung, dia memiliki pemahaman menyeluruh terhadap naik turunnya arus kehidupan di istana.
Pada hari ketika Tsunemune menerima undangan kenegaraan untuk menghadiri pertandingan sepak bola. juru tulis Perdana Menteri Tadamichi tiba di salah satu paviliun kekaisaran dan secara diam-diam memberi tahu Tsunemune bahwa sang perdana menteri ingin berbicara dengannya. Tsunemune mengikuti si juru tulis ke sebuah rumah-taman yang terletak di sebuah pulau buatan dan dipenuhi oleh bunga teratai.
Ketika itu musim panas ... Juni 1149. Kaisar Kecil Konoye akan segera merayakan ulang tahunnya yang kesebelas, dan para penasihatnya sedang mempersiapkan pelantikannya. Pertanyaan tentang permaisuri bagi dirinya amat mendesak karena sudah sepanasnya seorang penguasa muda menghadiri Pesat Syukuran Besar pada hari pelantikannya bersama seorang calon permaisuri Kaisar Kloister Toba tetah selama beberapa waktu memikirkan semua secara serius; desas-desus telah menyebar tentang
kemana Toba akan menjatuhkan pilihan dan setiap cabang klan Fujiwara yang memiliki putri terhanyut oleh harapan bahwa sang penguasa tertinggi akan mendatangi mereka.
Pifihan harus dombil secara diam-diam dan dengan mempertimbangkan pengaruh terhadap keseimbangan politik yang rentan. Sejarah telah menunjukkan bahwa pifihan yang salah dapat menjerumuskan istana ke dalam persekongkolan dan bahkan memecahkan perang.
Tugas Perdana Menteri tidak pernah seberat ini. Selama berbulan-bulan, sang perdana menteri telah memikirkan masalah ini secara mendalam dan akhirnya berhasil mengambil keputusan. Setelah mempertimbangkan segala aspek yang ada, pilihannya yang jatuh kepada Tadako, putri Menteri Golongan Kiri, sepertinya tidak terbantahkan; walaupun baru berumur sebelas tahun ... masih kanak-kanak ... sang perdana menteri meyakini bahwa bakat alami dan kejelitaan sang putrilah yang mengarahkan takdirnya ke kedudukan tinggi yang sedang dipersiapkan untuknya saat ini. Satu-satunya kendala, bagaimanapun, adalah cara untuk menyampaikan pilihan ini kepada ayah Tadako.
Tadako adalah putri angkat Yorinaga, adik sang perdana menteri. Kedua saudara ini masih saling menyayangi kendati memiliki watak yang bertolak belakang, dan Tadamichi, tidak sanggup menelan harga dirinya, enggan mengabarkan kepada Yorinaga mengenai pilihan yang telah disetujui oleh Kaisar Kloister. Dia resah memikirkan reaksi ganas Yorinaga saat menerima kabar yang telah lama dinanti-nantikan Ini, dan di tengah kebingungannya, terpikir olehnya untuk mengirim Tsunemune sebagai utusannya. Kepandaian bertutur kata dan kesabaran sang bangsawan mudi bea dperaya untuk memuluskan setiap kecanggungan yang mungkin muncul. Pertandingan sepak bola, oleh karenanya, memberikan kesempattan kepada
Tadamichi untuk menemui Tsunemune dan menjelaskan rencananya.
Tsunemune mendengarkan penjelasan Perdana Hantari dangm perasaan melambung. Tingkat kepentingan tugas ini membuatnya senang. Tugas m juga penang untuk kemajuan kariernya di Istana. Maka, setelah memasukan kapan dia akan kembal dengan membawa jawaban Yorinaga.
Tsunemune pun berangkat Pertemuan antara Tsunemune dan Yorinaga dimulai dengan kaku. Sang mencen tidak memberikan komentar apa pun kecuali "jadi. Tadako diminta untuk menjadi permaisuri"** yang diikuti oleh senyuman sinis. Setelah beberapa waktu berbicara tanpa tujuan. Tsunemun^
memohon jawaban dari Yorinaga.
Akhirnya. Yorinaga bertanya. "Apakah urusan ini sedemikian mendesaknya" Apakah saya harus menjawabnya sekarang juga?"
Setelah diyakinkan bahwa ini adalah kehendak Kaisar Kloister, Yorinaga mendesak Tsunemun6 untuk menjelaskan alasan yang mencegah sang perdana menteri datang sendiri untuk menyampaikan kabar ini. Penjelasan mengenai urusan kenegaraan yang menahan Tadamichi di Istana tidak memuaskan Yorinaga, namun dia akhirnya mengatakan, "Saya tidak keberatan jika Tadako dijadikan permaisuri, namun saya menuntut janji bahwa dia akan ditetapkan sebagai permaisuri ketika Kaisar dilantik; saya tidak akan mengizinkannya menjadi selir biasa di Istana.
Jika itu yang terjadi, saya harus menolak tawaran ini. Harus ada jaminan resmi bahwa Tadako akan dijadikan permaisuri."
Tsunemun6 menyampaikan tuntutan Yorinaga kepada Kaisar Kloister dan Perdana Menteri, dan keduanya
menyanggupinya. Hanya dalam waktu singkat, Tadako telah diterima di Istana. Baru
beberapa bulan kemudian, bagaimanapun. Perdana Menteri kecewa ketika Kaisar Kloister memeri
ntahkannya untuk mengganti Tadako dengan gadis lain, Shimeko yang berumur sembilan belas tahun, dayang kesayangan Nyonya Bifukumon. Setelah selama beberapa tahun mengawasi pendidikan dan pertumbuhan gadis ini. Nyonya Bifukumon menyusun rencana agar dia, yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, menjadi permaisuri Konoyt, putranya.
Ketika mengetahui bahwa Tadako telah dipilih tanpa sepengetahuannya. Nyonya Bifukumon dengan gusar memprotes suaminya. Kaisar Kloister, dan menuntutnya untuk membatalkan keputusan tersebut
Tidak terlukiskan lagi betapa Yorinaga geram dan malu ketika mendengar kabar ini. Dia melihat kesempatannya untuk mendapatkan kekuasaan dan kehormatan berlalu begitu saja. Bertekad untuk tidak tunduk kepada Kaisar Kloister sekalipun, Yorinaga meminta dukungan kepada ayahnya.
Fujiwara Tadazane, ayah Yorinaga, berusia tujuh puluh dua tahun dan selama beberapa tahun telah menghabiskan masa pensiun di rumah peristirahatannya di wilayah Byodo-in di Uji. Sebagai bangsawan Fujiwara yang berusia paling tua, dia masih memegang pengaruh yang tidak boleh diremehkan, karena selain memiliki hubungan dengan Istana dari pihak ibunya, salah seorang putrinya fugi pernah menjadi permaisuri pertama Kaisar Kloister. Perjalanan kariernya sungguh gemilang. Dia pernah mengabdi kepada dua orang kaisar secara berturut-turut dan menduduki jabatan-jabatan terpenting dalam pemerintahan. Bahkan di masa pensiunnya, dia kerap sering menggelar berbagai upacara sepera layaknya seorang bangsawan besar, dan
para pejabat dari ibu kota tak henti hentinya mengunjunginya dirumah peristirahatannya.
Walaupun Tadazane memiliki semua sifat yan dibutuhkan untuk menjadi seorang pejabat istana yang sukses, ada sebuah kelemahan yang berlawanan dengan seluruh kebaikannya; dia sangat menyayangi putra bungsunya, Yorinaga, walau apapun yang terjadi dan untuk alasan yang tidak diketahui oleh orang lain, selalu bersikap jahat kepada putra sulungnya, Tadamichi, sang perdana menteri.
Kedatangan mendadak Yorinaga di rumah
peristirahatannya di Uji menyebabkan kelopak mata tipis Tadazan& berkedut di bawah alis putihnya. Dia mendengarkan penjelasan putranya tanpa berkata-kata.
Tetapi, penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh putranya mendorongnya untuk menegakkan tubuh kurusnya, seolah-olah dengan mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih tersisa, dan akhirnya berkata,
"Ayolah, jangan sampai masalah ini terlalu mengusikmu.
Aku belum terlalu tua untuk mewakilimu menyelesaikan masalah ini dengan Yang Mulia. Aku akan pergi menemui beliau dan meluruskan semuanya. Hari ini, aku akan membuat perkecualian untuk masa pensiunku dan ikut bersamamu ke ibu kota."
Masalah itu ternyata tidak sesepele yang disangka oleh Tadazane. Dalam berbagai kesempatan, permohonannya untuk menemui Kaisar Kloister ditolak; surat-suratnya dikembalikan tanpa dijawab; dua minggu telah berlalu, dan tidak ada sedikit pun kemajuan. Akhirnya, atas desakan Tsunemune, Tadazane setuju untuk bertemu dengan Perdana Menteri asalkan Tsunemunt berjanji untuk turut hadir dalam pertemuan itu. tetap saja, sebulan berlalu tanpa adanya tanda-tanda pertemuan yang telah dijanjikan;
hingga akhirnya, letih dan sakit hati Tadazane kembali ke Uji,
Musim dingin datang. Akhir tahun telah hampir tiba Hanya beberapa hari sebelun seluruh Istana mempersiapkan perayaan untuk menyambut pergantian tahun. Yorinaga sekali lagi kembali ke Ujii dalam keadaan gundah gulana.
Shimeko telah secara resm diterima di Istana dan kesempatan terakhir untuk merebut hak Tadako katanya telah melayang.
Tadazane membangunkan pelayanan nya pada pagi buta. Napas sapi menggantung bagaikan asap putih ditengah udara pagi ketika kereta Tadazane berderak melewati jalan beku menuju Kyoto. Baru pada malam hari dia tiba dihalaman Istana. Satu-satunya cahaya yang menerangi tempat itu adalah api unggun para pengawal.
Perdkan air hujan memancar ke atas dari teritis yang lebar; karai-karai digulung ke atas dan pintu-pintu dibuka untuk menyambut TadazanA. Dia dipersilakan memasuki sebuah ruang tunggu, dan di sana dia menanti hingga rasa putus asa tercermin di setiap kerutan wajahnya. Dia datang ke Istana dengan tekad untuk menunggu hingga kematian menjemputnya. Waktu berjalan begitu lambat dalam persaingan pahit antara berbagai latar belakang tindakannya: harga diri, cinta, kesombongan, kegilaan sesaat. Akhirnya. Yang Mulia Kaisar Kloister mengalah dan menemuinya. Takluk oleh air mata dan desakan Tadazant yang uzur, sang penguasa terpaksa mengalah.
Dalam perayaan Tahun Baru, Tadako diumumkan sebagai Permaisuri terpilih, dan pada bulan Maret dia berdiri mendampingi Kaisar-kecil.
Perdana Menteri, yang tidak sanggup menahan panas bulan Juli, mengungsi ke rumah peristirahatannya di luar Kyoto dan jarang terlihat di Istana. Yorinaga,
bagaimanapun, tanpa kenal lelah menyalurkan energinya untuk mengurus hal-hal kecil di tempat kerjanya.
Kemunculan mendadaknya di berbagai bagian pemerintahan mengembuskan teror ke hati para pejabat kecil dan menjadikan para pejabat tinggi kelelahan dan lebih sibuk daripada biasanya. Sebagai kerabat dekat sang permaisuri muda, Yorinaga menyadari betul posisinya saat ini, dan dia memanfaatkannya dengan sebaik mungkin, meyakini sepenuhnya buah yang akan dikumpulkannya sebagai hasil kerja kerasnya. Sebagai penasihat Kaisar-kecil, dia telah menggantikan, meskipun tanpa mendapatkan gelar, posisi kakaknya sebagai perdana menteri, dan sebuah faksi terbentuk mengikuti langkahnya. Keberpihakannya kepada Genji di Istana juga terlihat jelas. Baru-baru ini, alih-alih menugaskan Kiyomori, dia memberangkatkan Tameyoshi untuk membuat kesepakatan dengan para biksu pemberontak di Nara ketika mereka mengancam untuk menyerbu Ibu kota dongan pasukan bersenjiitii marak?
yang berkekuatan ribuan orang
Tadazane, yang telah lama pensiun, sekail lagi aktif di litani Dia sekarang menjabat sebagal seorang menteri kehormatan, mengarahkan seluruh tenaganya untuk memberikan dukungan kepada Yorinaga. Diam-diam bertekad untuk tidak menyisakan matalah sedikit pun, Tadazan* membisikkan kepada Kaisar Kloister bahwa Tadamichi tidak memiliki kesehatan dan kemampuan yang cukup untuk mengemban tugas sebagai perdana menteri.
Tetapi, ketika mendengar bahwa Tadamichi tidak mau mengundurkan diri karena khawatir Yorinaga akan menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, Tadazan6
yang marah mendatangi bagian arsip di Akademi Kekaisaran, tempat catatan keluarga dan segel keluarga Fujlwara disimpan. Di sana, dia memindah namakan seluruh kepemilikannya kepada Yorinaga untuk
menandakan bahwa dia tidak mengakui lagi putra sulungnya, Tadamichi, sebagai keturunannya, dan menunjuk Yorinaga sebagai satu-satunya pewaris dan penerus namanya.
0)--=dw=--(0 Pada 1151, Kaisar-kecil Konoye berulang tahun ketiga belas. Pada saat ini, dia mulai bermasalah dengan matanya, yang selalu ditutupinya dengan selembar sutra merah.
Perdana Menteri Tadamichi, yang sangat disukai oleh penguasa muda itu, menemukan seorang tabib berbakat yang baru saja kembali dari Cina dan menugaskannya untuk merawat Kaisar. Tadamichi tersentuh oleh penderitaan sang kaisar yang seolah-olah tak pernah berujung. Dia kerap mengunjungi Konoy6 dan memberikan kata-kata penghiburan kepadanya. Penglihatan bocah ringkih itu, yang sejak lahir telah terkurung di kamar-kamar istana yang gelap, terpenjara oleh jabatannya, menjadi korban dan biduk bagi persaingan ganas yang melingkupinya, mendatangkan belas kasihan mendalam di hati Tadamichi. Mau tidak mau. dia memikirkan bagaimana kehidupan penguasa muda ini jauh dari kebahagiaan. Terkekang oleh ritual-ritual istana, apakah yang diketahuinya tentang kebebasan dan kenikmatan masa muda" Kapankah dia pernah bermain-main dengan salju di tengah musim dingin; bersiul-siul di tengah musim semi, ketika kuncup-kuncup bunga bermunculan di pepohonan; berbasah-basah di sungai seperti peri air di tengah musim panas; atau mendaki bukit di tengah musim gugur dan menjerit-jerit dari puncaknya hingga paru-parunya menggembung dan nyaris meledak"
Tetapi, Tadamichi sendiri barangkali tidak pernah
menyadari bahwa dia sendiri turut berperan dalam menciptakan lambang kekuasaan yang rapuh ini.
Pada 24 Juli 1155, Kaisar Konoya wafat dalam usia tujuh belas tahun. Masa kekuasaannya berlangsung selama kurang dari lima tahun. Rakyat pun berduka. Ayahnya, Kaisar Kloister, larut dalam kesedihan, dan tidak ada yang bisa menenangkan Nyonya Bifukumon.
Segera setelah wafatnya Kaisar-kecil, Nyonya Bifukumon mendengar cerita aneh dari salah seorang pengiringnya. Nyonya Kii, istri Penasihat Shinzei. Nyonya Kii mendengar cerita mengerikan ini dari salah seorang dayangnya, yang mendengarnya dari seorang biksu pengembara. Kaisar Konoy6 telah meninggal secara tidak wajar. Beberapa orang telah mengirim teluh kematian kepadanya sehingga dia meninggal sebelum waktunya.
Sekitar setahun silam, kata si biksu, dia pernah menyaksikan sendiri ritual-ritual jahat di sebuah tempat pemujaan terpencil di Gunung Atago. Cerita Nyonya Kii tersebut membuat Nyonya Bifukumon ketakutan dan risau.
Dia pun memerintahkan agar seorang cenayang ... Yasura dari Tempat Pemujaan Shin-kumano ... segera dipanggil.
Si cenayang tiba dan untuk waktu yang lama bermeditasi dengan khusuk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetar hebat; wanita itu menarik sanggulnya hingga rambutnya terurai ketika arwah mendiang Kaisar merasukinya dan berbicara melalui mulutnya, ?" Teluh telah dikirimkan kepadaku. Paku-paku telah ditancapkan ke gambar Iblis Tengu di Tempat Pemujaan Gunung Atago. Aku buta karenanya. Merekalah yang menyebabkan kematianku. Ah " malangnya diriku!"
Sesudah mengatakan itu, Yasura roboh ke lantai dan tergeletak pingsan. Nyonya Bifukumon menjerit-jerit ngeri dan mengamuk seraya menariki kimononya. Dayang-dayangnya yang ketakutan dengan panik menyediakan air
dan obat penenang, secepatnya mengangkut majikan mereka ke kamar tidurnya.
Sementara itu, si cenayang telah siuman dan bangkit seolah-olah tidak mengalami sesuatu pun yang luar biasa, memeluk erat-erat buntalan kain tempatnya menyimpan pelbagai keperluan penunjang pekerjaannya dan beberapa hadiah yang diberikan oleh Nyonya Kii kepadanya. Setelah keluar dari ulah satu gerbang belakang, Yasura berhenti untuk mengintip isi buntalannya dan dengan gembira mengeluarkan sepotong daging yang menguarkan aroma bebek panggang; dia sedang berjalan pulang sembari menyantap makanan itu dengan lahap, mengunyah dengan penuh selera, ketika melihat beberapa ekor anjing membuntutinya. Dia berhenti untuk memungut segenggam kerikil dan melemparkannya pada binatang-binatang itu.
Salah satu kerikilnya menghantam roda sebuah gerobak; buruh muda yang menarik gerobak itu berhenti dan menyapa Yasura dengan akrab.
"Wah, Yasura. apakah kau hendak pulang?"
Si cenayang menghampiri pemuda itu dengan ceria dan berhenti sejenak untuk bercakap-cakap dengan nada rendah dan membagikan sedikit isi buntaiannya. Setelah selesai makan, si pemuda menolong Yasura untuk menaiki gerobaknya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke arah Tempat Pemujaan Shin-kumano.
*d*z* Dua tahun sebelumnya, pada Januari 1153 ayah Kiyomori. Tadamori, meninggal secara mendadak setelah menderita sakit selama beberapa minggu. Tadamori berusia lima puluh delapan ketika mengembuskan napas terakhir.
Selama tahun-tahun terakhir kehidupannya, tidak banyak prestasi yang dibukukan oleh Tadamori,
karena tahun-tahun itu juga menandai kebangkitan kekuasaan Yorinaga dan keberpihakannya kepada Genji Tameyoshi dan putra-putranya. Setiap anggota klan Heike tidak akan lupa bahwa Yorinaga pernah menuntut hukuman mati untuk Kiyomori dalam pengadilan setelah peristiwa pelecehan terhadap Altar Sakral, dan atas alasan itulah dia tidak akan memberikan jabatan apa pun kepada anggota klan Heik6. Kendati begitu, Kiyomori tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan atas keberpihakan Yorinaga kepada klan Genji. Di tengah rasa kesepian yang melandanya, Kiyomori yang sedang berduka merasa bahwa salah satu pilah kehidupannya telah ambruk. Dan, sebelum sempat memulihkan diri dari duka, Kiyomori telah larut dalam kesibukan baru. Dia tidak hanya harus memikirkan anak-anaknya, tetapi juga harus menjadi wali bagi adik-adik kandung dan tirinya. Sebagai seorang kepala keluarga muda, banyak yang harus dipelajarinya, karena masa depan keluarga Helki ada di tangannya.
Tidak lama setelah kematian Kaisar-kedl, Penasihat Shinzei memanggil Kiyomori. Sepeninggal Tadamorl, Kiyomori menjadikan Shlnzoi, yang berusia lebih tua dan berkedudukan lebih tinggi darinya, sebagai kawan dan tempat berpaling. Kiyomori tidak hanya menganggap Shlnzoi sebagal patron karena utang nyawanya, tetapi juga sebagal iatu-?&tunya pelindung di tengah pertikaian klan HeikA dan Yorinaga, sang Menteri Golongan Kiri.
Kiyomori yakin bahwa Yorinaga. yang Uap melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya, bukanlah tandingan sang penasihat yang bijaksana, karena Shinzei sangat tepi dan tidak membiarkan orang lain mengacaukan jalan pikirannya Shinzei memiliki kedalaman yang tidak bisa diselami oleh orang lain; selama bertahun-tahun, dia selalu menjalankan tugas-tugasnya ... yang tidak bisa dianggap mudah oleh
sebagian besar orang ...dengan baik tanpa menuntut perhatian.
Di balik perlindungan kantor Shinzei, Kiyomori mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan sebuah misi rahasia dan luar biasa.
"Isu-isu sensitif terkait dalam misi ini. Ini penting.
Sedikit saja salah langkah, kau akan membangkitkan kecurigaan Yorinaga dan
Genji Tameyoshi terhadap perbuatanmu. Tunggulah hingga matahari tenggelam, lalu keluarkan anak buahmu seorang demi seorang," kata Shinzei, mengulangi peringatannya.
Malam itu, sebuah pasukan beranggotakan lima puluh orang samurai berangkat dari ibu kota menuju perbukitan di bagian barat laut Kyoto, jarak yang cukup jauh dari gerbang kota. Mereka dengan cepat mendaki Gunung Atago, lalu berhenti di salah satu tebing untuk membahas langkah yang akan mereka ambil selanjutnya. Sejenak kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari Jomyo, kepala pendeta Gunung Atago. Setibanya di depan gerbang rumah Jomyo, mereka mengetuk gerbang dan memanggil namanya dengan nyaring.
"Kami datang dari Istana Kloister, prajurit Heike Kiyomori, Tuan Aki. Kami mendapatkan laporan bahwa seseorang telah bersekutu dengan Iblis Tengu di tempat pemujaan utama di sini untuk mengirim teluh maut kepada mendiang Kaisar. Kaisar Kloister memerintahkan Tuan Aki untuk melakukan pencarian dan mengumpulkan barang bukti. Antarkan kami ke tempat pemujaan Itu. Jika kau menolak, kau akan dianggap bersalah karena menolak perintah Kaisar!"
Keributan terdengr dari dalam rumah kemudian, Jomyo sendiri keluar dan berbicara denpn Kiyomori. "Jika Anda datang kemari untuk keperluan Yang Mulia, Anda tentu membawa surat perintah resminya. Izinkan saya melihatnya."
"Ho, kau yang di sana, berlututlah!"
Setelah Jomyo berlutut Kiyomori menyodorkan surat perintah resmi kepadanya.
"Tidak ada masalah dengan surat Ini" ...saya tidak bisa menolak. Pintu-pintu tempat pemujaan akan segera dibuka, Lewa Ini Tuan" Memerintahkan anak buahnya untuk menyalakan lebih banyak obor, Jomyo menunjukkan jalan menuju tempat pemujaan, Bayangannya tampak menjulang tinggi di pintu-pintu tempat pemujaan itu, Sebuah kunci diputar dengan kasar di dalam lubangnya Lidah-lidah api seolah-olah saling menjilat dengan ganas di dinding-dinding tempat pemujaan, dan di depan matanya, Kiyomori melihat gambar Iblis Tengu menjulang tinggi, sebatang paku tertancap di masing-masing matanya.
"Astaga ... paku!" Kiyomori terkesiap, begitu pula Jomyo dan yang lainnya, yang melihat dari balik bahunya.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kiyomori telah melihat sendiri penyebab penugasannya kemari.
Pemandangan itu menyeramkan dan membuatnya merinding. Dia selalu mencibir setiap kali mendengar cerita-cerita tentang ilmu hitam, namun ini ... ! Hawa dingin merambati tulang belakangnya.
"Bagus. Ini harus dilaporkan sekarang juga." Kiyomori membalikkan badan, terguncang oleh apa yang dilihatnya.
Pintu-pintu kembali dikunci, dan Kiyomori memasang segelnya di sana. Setelah memberikan perintah kepada sebagian besar prajuritnya untuk menjaga tempat itu,
Kiyomori kembali ke Kyoto dan menemui Shinzei pada malam itu juga.
Sejenak, kedua bola mata Shinzei seolah-olah hendak keluar dari rongganya ketika dia mendengar laporan Kiyomori mengenai apa yang telah dilihatnya; kemudian kembali ke pembawaannya yang santai dan berkata,
"Seperti yang sudah kuduga "."
Nyonya Bifukumon telah mendesak Kaisar Kloister untuk mengirim Kiyomori dan para prajuritnya ke Gunung Atago. Dia jugalah yang telah dengan hati-hati menyampaikan keyakinannya bahwa Yorinaga dan ayahnya telah menggunakan ilmu hitam untuk menyebabkan kematian Kaisar. Nyonya Bifukomon memperingatkan Kaisar Kloister untuk berhati-hati kepada kedua orang tersebut, yang diyakininya sedang mengincar tahta kekaisaran. Dua orang pertapa kemudian dipanggil ke Istana untuk menjadi saksi, dan keduanya menggambarkan tentang ritual jahat yang dilakukan oleh beberapa biksu pengembara. Tidak ada yang mengetahui ke mana para biksu pengembara itu pergi karena mereka lenyap begitu saja
bagaikan awan musim panas, kata mereka. Dan tidak lama kemudian, Yorinaga dan ayahnya dilarang memasuki Istana Kloister.
Sementara itu, pertanyaan mengenai pemilihan kaisar baru semakin mendesak, dan Yorinaga beserta ayahnya kebingungan ketika mendapati bahwa diri mereka dilarang mengikuti musyawarah dewan kekaisaran. Mereka segera mengetahui alasan kejatuhan mereka. Mereka berusaha untuk membela diri dengan pernyataan tidak bersalah melalui surat yang dituju lean kepada Kaisar Kloister, namun permohonan mereka dikembalikan tanpa jawaban
melalui kantor Penasihat Shinzei. Apa pun yang mereka lakukan sepertinya tidak akan bisa melunakkan hati Toba.
Melalui sela-sela jeruji salah satu jendela Istana, seorang pejabat memerhatikan ayah dan anak itu memasuki kereta mereka dan bertolak dan Istana untuk terakhir kalinya.
Shinzei tersenyum sinis; seandainya mereka tahu, mereka tentu akan mengambil langkah dengan lebih hati-hati; Yorinaga tidak pernah menyangka bahwa sosok pendiam ini, yang selama bertahun-tahun bekerja dengan tekun di mejanya, adalah musuh terberatnya. Sang menteri juga tidak tahu bahwa istri pria itu. Nyonya Kii, adalah orang kepercayaan Nyonya Bifukumon.
Shinzei tertawa tanpa suara. "Lihatlah, iblis-iblisku yang baik ... sakit, bukan" Sebatang paku di mata kanan dan sebatang lagi di mata kiri" Siapa yang tahu bahwa akulah, Shinzei, pelakunya?"
0)--=dw=--(0 Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU
Selama hampir empat belas tahun, keberadaan seorang pria nyaris terlupakan. Dia adalah Mantan Kaisar Sutoku.
Yang, setelah dipaksa turun tahta saat berusia dua puluh tiga tahun, menyepi di Istana Mata Air Dedalu hanya bersama sejumlah kecil pengiring. Tahun-tahun itu dijalaninya dengan mendalami berbagai macam praktik peribadatan di ruang ibadah pribadinya, membaca, dan menulis puisi. Dia juga sudah terbiasa untuk berjalan-jalan seorang diri di taman Istana dan beristirahat di bawah sebatang pohon dedalu raksasa yang tumbuh di dekat sebuah mata air. Sejarah mengatakan bahwa mata air ini, yang terkenal karena kemanisan dan kemurnian airnya,
telah ada bahkan sebelum Kyoto didirikan, dan pada waktu yang telah lama terlupakan, sebatang pohon dedalu tumbuh di sampingnya. Air dari Mata Air Dedalu, begitulah namanya, hanya disajikan di meja Mantan Kaisar, dan seorang juru kunci tinggal di sebuah pondok kecil di dekatnya.
Pada suatu hari, ketika berdiri di bawah pohon dedalu raksasa, Sutoku memanggil juru kund mata air, "Aku haus
... ambilkan air untukku."
Si juru kunci dengan sigap menjalankan perintah, membawa sebuah mangkuk tembikar yang baru saja dibakar dan mengisinya dengan air yang jernih.
"Manis sekali ... seperti embun dari surga," kata Mantan Kaisar, mengembalikan wadah yang telah kosong dan duduk di atas sebongkah batu yang dinaungi bayangan pohon dedalu. Si juru kund mengeluarkan sehelai tikar alang-alang yang baru saja dianyam dan menggelarnya untuk tamunya.
Kemudian, Sutoku berkata, "Hidupmu sepertinya makmur, Juru Kunci. Sudah berapa lamakah kau tinggal di sini?"
"Saya sudah menjaga mata air ini selama empat belas tahun, Yang Mulia, karena saya ikut dalam rombongan Anda ketika Anda pindah kemari."
"Empat belas tahun! Dan apakah pekerjaanmu sebelumnya?"
"Ayah saya adalah seorang pemain musik istana, dan sejak kecil, saya telah diajari bermain seruling dan bangsi; saat berusia sepuluh tahun, saya disekolahkan di Akademi Musik Istana, dan saat berusia empat belas tahun, saya untuk pertama kalinya tampil di hadapan Anda, Yang
Mulia. Itu adalah kehormatan yang tidak akan pernah saya lupakan. Kemudian, Yang Mulia turun tahta pada akhir tahun Itu."
"Berarti, kau dan ayahmu bukan rakyat jelata, karena hanya ada empat keluarga di ibu kota yang sesuai dengan penjelasanmu itu."
"Ayah saya adalah AM Torihiko. Pemain musik dari Golongan Keenam."
"Dan namamu?" "Saya ... " si juru kunci membungkuk dalam-dalam ...
"saya bernama Asatori."
Sutoku dengan penasaran menatap sosok yang membungkuk di hadapannya "Apa yang menyebabkanmu meninggalkan pekerjaanmu ... dan ayahmu ... untuk menjadi juru kund biasa bagi mata air ini?"
Asatori menyangkal ucapan Sutoku dengan gelengan.
"Tidak, ini bukan tugas biasa. Tuan, karena air adalah sumber kehidupan.
Dan menjaga mata air yang menghapus dahaga Yang Mulia bukanlah pekerjaan biasa. Lama berselang, ayah saya pernah mengajari Yang Mulia memainkan berbagai macam alat musik dan menjadi pemain musik kesayangan Nyonya Bifukumon. Walaupun pintar bermain musik, kami hidup dalam kekurangan, sehingga ketika tiba waktunya untuk merayakan kedewasaan saya, Anda memberikan beberapa kimono bekas Anda sebagai hadiah untuk saya; saya mengenakannya dalam upacara dan tampil seperti seorang pria terhormat. Saya akan mengingat peristiwa itu seumur hidup saya!"
"Oh, apakah peristiwa seperti itu pernah terjadi?"
"Yang Mulia mungkin sudah melupakan bantuan untuk hambanya yang papa, namun ayah saya tidak pernah melupakannya. Saya senantiasa teringat akan ucapan beliau ketika Anda turun tahta: "Asatori, mustahil bagiku untuk ikut bersama Yang Mulia, namun kau hanyalah seorang siswa di akademi dan karenanya bisa pergi ke mana pun kau mau. Ikutlah bersama Yang Mulia dan mengabdilah dengan setia kepada beliau, sesuai dengan suri tau ladan ku.
Aku masih memiliki anak-anak lelaki lain untuk mewarisi nama dan pekerjaan kita." Beliau kemudian memberikan serulingnya kepada saya sebagai hadiah perpisahan, dan saya ikut bersama Anda kemari dan menjaga mata air ini sejak saat itu."
Sutoku, yang selama ini mendengarkan baik-baik dengan kepala tertunduk dan mata terpejam, mendongak dan tersenyum tipis ketika Asatori mengakhiri ceritanya.
"Serulingmu ... apakah kau membawanya sekarang?"
"Saya menyimpannya dengan baik di dalam sebuah wadah yang terbuat dari salah satu lapisan kimono pemberian Yang Muka. Benda itu adalah warisan dari ayah sayaT
"Warisan" Tetapi,, ayahmu pasti masih hidup."
"Tidak, seruling ini menjadi kenang-kenangan sekarang.
Ayah saya sudah tidak ada di dunia ini dan karena keinginan terakhr ayah adalah agar saya mengabdi kepada Anda. Maka saya akan tetap tinggal disini hingga air ini mengering."
"Ah ... " Sutoku mendesah panjang seraya berdiri.
"Ibunya, Nyonya Taikenmon, juga telah wafat. Betapa fananya manusia dan segala sesuatu di dunia ini, renungnya. "Suatu saat nanti, saat bulan purnama, kau harus memainkan serulingmu untukku. Sungguh sejuk
udara di sini! Asatori, aku akan mengunjungimu lagi di lain waktu."
Mata Asatori mengikuti Sutoku ketika mantan kaisar itu menghilang di balik pepohonan. Kesempatan untuk bisa bertemu dan bercakap-cakap dengan seseorang yang tidak akan berani didekatinya pada waktu yang lain membuatnya bahagia. Sepanjang malam musim panas, Asatori menantikan kedatangan bulan purnama, mengingat janji Sutoku untuk mendengarkan permainan serulingnya.
Pada selatar waktu ini, orang-orang yang melewati Mata Air Dedalu mulai memerhatikan dengan penasaran banyaknya tandu dan kereta yang mendatangi istana yang telah lama terabaikan itu. Kabar burung mengatakan bahwa Kaisar Konoyt sedang meregang nyawa, dan putra Mantan Kaisar Sutoku, Pangeran Shigebito, cucu Kaisar Kloister Toba, akan menduduki tahta kekaisaran. Di antara sejumlah besar tamu yang mengunjungi Mantan Kaisar terdapat Yorinaga dan ayahnya, Tadazant, yang baru sekarang memedulikan keberadaan Sutoku. Mereka berulang kali meyakinkan Sutoku bahwa ada banyak kebaikan yang menantinya, dan bahwa putranya sudah pasti akan diangkat menjadi kaisar. Prospek kembalinya kejayaan dan kebangkitan harapan ini menyebabkan Sutoku melupakan janjinya kepada juru kunci Mata Air Dedalu.
Asatori menatap dengan penuh damba pada bulan purnama dan menantikan sang mantan kaisar, yang tidak pernah datang. Dia melilai kedatangan dan kepergjan tandu-tandu dan kereta-kereta, dan semakin gelisah, karena Mata Air Dedalu telah kehiangan kemilaunya dan bertambah kerai ... sebuah pertanda adanya pergolakan alam atau ramalan akan sampainya bencana.
Masyarakat umum kecewa ketika pada bulan Oktober, putra keempat Kaisar Kloister. Adk Sutoku, iBmrii whag?
Kaisar dan mendapatkan gelar Gmhrafcawa. Sutoku terpdoi Putranya yang berada di tempat teratas dalam daftar pewaris tahta, diabaikan begitu saja. Nyonya Bifukumon, dia yakin, memainkan peranan besar dalam memengaruhi pilihan Kaisar Kloister, dan dirinya, Sutoku, tersisih akibat kejahatan wanita itu. Bagaimanapun, dia mendapatkan sedikit ketenangan dalam kata-kata Yorinaga, "Sabar ... dan teruslah bersabar Waktu Anda akan tiba."
Masa pemerintahan yang baru dimulai pada April 1156.
Pada musim panas tahun yang sama, masa kekuasaan Pemerintahan Kloister, yang telah berlangsung tanpa terputus selama dua puluh tujuh tahun, berakhir. Toba wafat di Istana Peristirahatan di Kuil Anrakuju-in pada malam tanggal 2 Juli. Kabar mengenai keadaannya yang semakin buruk terdengar di ibu kota pada siang harinya, menyebabkan terjadinya gelombang besar tandu dan kereta ke arah Takeda, tempat kuil tersebut berdiri. Di tengah keriuhan yang terdiri dari binatang-binatang yang saling berdesakan dan orang-orang berkeringat yang saling membentak, sebuah kereta menembus keramaian dan melaju dengan cepat. Di balik kerai jendela keretanya, Sutoku menutupi wajah berdukanya.
Kereta-kereta diparkir di dalam maupun luar gerbang Istana. Tidak ada ruang yang tersisa di pelataran luas di depan Istana sekalipun, karena tempat itu dijejali oleh pelayan bersenjata, kusir, dan tandu. Keheningan menyelimuti segalanya seperti kain penutup peti mati.
Tidak ada pengawal yang menyambut kereta Sutoku, sehingga pelayannya harus berteriak sangat nyaring untuk mengumumkan kedatangannya. Sutoku dengan geram menaikkan kerai dan membentak pelayannya, "Biarkan aku turun, biarkan aku turun, kataku!"
Ketika kereta Sutoku memasuki gerbang, dentangan khidmat loncong-lonceng kuil dan pagoda sudah tidak terdengar lagi. Yang didengarnya adalah napas-napas yang tercekat dan gumaman, "Mata Yang Mulia sudah terpejam
... " Sutoku melihat orang-orang serentak berlutut, mengangkat kedua tangan mereka untuk berdoa, dan rasa duka serta merta menderanya. Bukan seorang penguasa yang meninggal melainkan ayahnya sendiri! Tahun-tahun panjang kegetiran itu ... ketika Toba tidak mau mengakuinya lagi sebagai putranya ... satu kali pertemuan terakhir akan cukup untuk menghapuskan semuanya.
"Biarkan aku turun, kataku! Jangan bebal begitu! Buka pintunya cepat!"
Mendengar perintah yang disampaikan dengan nada panik ini, para pelayan cepat-cepat memutar kereta dan memaksakannya mendesak kendaraan-kendaraan lainnya.
Setibanya kereta di depan beranda, salah satu rodanya menabrak sebuah tandu yang diletakkan di sana. Lalu menggilasnya dengan bunyi nyaring. Mendengar keributan ini, Genji Akanori dan beberapa orang samurai lainnya yang bertugas menjaga pintu langsung maju dan memaki-maki si kusir kereta.
Sutoku yang murka balas membentak mereka,
"Minggirlah, orang-orang dungu! Tidakkah kalian tahu siapa aku" Berani-beraninya kalian melarangku!"
Akanori menghadapinya dengan sikap mengancam.
"Sekarang, setelah mengetahui siapa Anda, saya punya lebih banyak alasan untuk melarang Anda masuk. Saya mendapatkan perintah untuk tidak menerima Anda.
Mundur! Mundur!" Terbakar amarah, Sutoku mengeluarkan badannya dari kereta. "Petugas bedebah! Aku kemari untuk menemui
Yang Mulia, ayahku, namun tidak ada seorang pun yang keluar untuk menyambutku, dan mereka dengan lancangnya mengirim prajurit untuk menjalankan perintah mereka!"
"Saya menjalankan perintah dari Korekata. Panglima Golongan Kanan, yang mengabdi kepada Yang Mula.
Seorang samurai harus menjalankan tugasnya. Anda tidak boleh melangkah lebih jauh!"
"Aku tidak sudi berurusan dengan kalian, orang-orang rendahan "Gemetar oleh amarah. Sutoku bersiap-siap untuk turun dari keretanya. Para pengawal serempak mengepung keretanya dan mendorongnya mundur; para pelayan Sutoku menubruk dan berusaha melawan para prajurit; akibatnya, kereta terdorong mundur dan Sutoku.
Kendati telah mencengkeram kerai erat-erat torjerembap kc tanah. Kerai yang digenggamnya ketika ter|atuh dengan kerat menggores pipi Akanori, menyebabkan darah tiba-tiba mengalir di wa|ah samurai Itu.
Orang-orang di dalam Istana segera mendengar kabar bahwa Mantan Kaisar Sutoku baru saja mengamuk dan melukai salah seorang pengawal, dan saat Ini tengah menuju biliknya. Korekata, Panglima Golongan Kanan, yang sedang duduk di samping Penasihat Shlnael ketika kabar Itu disampaikan, bangkit dari kursinya dengan kaget Jeritan ngeri salah seorang dayang mendorongnya untuk segara berlari menyusuri koridor yang pajang Ketika mendekati pintu masuk Istana, seberkas cahaya dari salah satu ruang tunggu menerangi sebuah pilar di ruang depan, dan di sanalah dia berhadapan langsung dongan Sutoku.
Wajah sang mantan kaisar pucat pasi; matanya nyalang; lengan kimononya tercerabik. Dan rambutnya acak-acakan di keningnya.
Sang panglima mengulurkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan larangan. "Tuan ... Anda dilarang masuk,"
serunya, menghalangi jalan. "Anda tidak boleh terlihat dalam keadaan seperti Ini. Saya mohon kepada Anda untuk pergi dengan tenang."
Sutoku sepertinya tidak mengerti. Dia menepiskan tangan Koretaka dongan kasar. "Minggir! Aku harus menemui beliau sekarang ... saat ini juga!"
"Tuan, tidakkah Anda mengerti bahwa Anda dilarang menemui beliau?"
"Aku ... aku tidak mengerti ... Koretaka! Apa salahnya jika aku ingin menemui ayahku yang sedang meregang nyawa" Kau tidak berhak melarangku! Minggir ... jangan halangi aku!"
Koretaka menaikkan nada suaranya kepada Sutoku yang kalap. "Anda sudah gila! Apa pun alasan Anda, Anda dilarang menemui beliau!"
Amukan Sutoku sekonyong-konyong meledak dalam isak tangis hebat ketika dia memberontak dari pegangan Koretaka. Tanpa membuang-buang waktu, Koretaka memerintah beberapa orang anak buahnya untuk menyeret Sutoku, yang menangis dan meronta-ronta, dan menaikkannya kembali tecara pakta ke keretanya.
Bagian dalam Kuil. Yang biasanya berkilauan Indah, kuil Ini tenggelam oleh kepulan asap dupa; gong-gong dipukul secara serempak dan khidmat; seribu orang pendeta menunduk nunduk sementara arwah Toba beranjak pergi dari dunia Ini.
Sebelum malam musim panaa yang pendek itu berakhir, sebuah desas desus telah menerpa seluruh Istana di Takeda bagaikan gelombang pasang. Bisikan menyebar dari telinga
ke telinga: Mantan Kaisar sedang membentuk sebuah persekongkolan. " Mengagetkan" Tanda-tandanya telah terlihat sejak lama ... sebuah laporan dari Kesatuan Pengowal menegaskannya, Rumah Peristirahatan Tanaka, yang dipisahkan oleh sebuah sungai dari Istana Peristirahatan, tempat Sutoku menginap, dicurigai menjadi tempat dibentuknya persekongkolon tersebut. Sejak Jam Babi Hutan (pukul sepuluh), sebuah pertemuan sepertinya dilangsungkan di sana. Dari salah seorang sumber lainnya di ibu kota, terdengar laporan bahwa pada siang sebelumnya, kuda-kuda dan kereta-kereta yang mengangkut persenjataan terlihat memasuki Istana Mata Air Dedalu.
Para saksi mata melaporkan telah melihat kelompok-kelompok wanita dan anak-anak yang ketakutan, mengangkut berbagai keperluan rumah tangga, bergegas berangkat menuju Perbukitan Utara dan Timur pada siang hari bolong. Jalanan ibu kota sunyi senyap seperti di sebuah kota mati pada tengah malam buta ".
Menghilangnya Yorinaga dari tengah-tengah ruang duka semakin menegaskan kecurigaan. Bukan hanya dia yang menghilang melainkan juga Tsunemun6, Tadazant, dan tokoh-tokoh lainnya yang diketahui bersimpati kepada Sutoku. Jelas sudah bahwa sebuah rencana sedang digodok oleh mereka.
Hingga hari ketujuh masa perkabungan utama berakhir, gerbang-gerbang Istana Peristirahatan dan Rumah Peristirahatan Tanaka tertutup bagi semua pendatang, dan tidak seorang pun tampak keluar dari sana. Ketika malam tiba. Bagaimanapun, sosok-sosok dengan berbagai macam penyamaran menyelinap keluar dari kedua tempat tersebut.
Pada hari kedua masa perkabungan utama, Yorinaga meninggalkan para pejabat istana yang tengah berkumpul di sekeliling keranda dengan dalih untuk menyelesaikan
urusan mendesak di Uji. Sambil berjalan ke keretanya, dia menggerutu kesal, "Mereka hanya duduk-duduk di sana, menyebarkan fitnah tentang persekongkolan, menyeka air mata sambil saling menatap curiga, menyembunyikan kelicikan mereka dibalik nyanyian khidmat para pendeta!
Siapa yang tahan hanyut di tengah lautan air mata palsu kuT
Terlindung oleh kegelapan malam, kereta Yorinaga bergerak dari Istana Peristirahatan menuju Rumah Peristirahatan Tanaka, tempatnya secara dom-dtam menemui Mantan Kaisar Sutoku.
"Baru kali ini saya mendengarnya ... seorang anak dilarang menemui ayahnya yang sedang sekarat! Saya memahami betul penderitaan Anda, Saya melihat sendiri bagaimana Kaisar baru senantiasa dikelilingi oleh Nyonya Bifukumon dan orang-orang jahat itu. Baru kali inilah singgasana menjadi mangsa bagi para penasihat durjana,"
kata Yorinaga, menatap mata Sutoku.
Mendengar kata-kata Yorinaga, sesuatu seketika tergugah di mata sembap Sutoku. "Yorinaga ... Yorinaga, kaulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya!" isak sang mantan kaisar. Dia membiarkan air mata membasahi pipinya.
"Aku ... putraku ... adalah pewaris tahta yang sesungguhnya, namun kami diusir dengan semena-mena ...
dikubur hidup-hidup. Orang-orang mengharapkan aku naik tahta kembali " Yorinaga, bukankah itu benar?"
Yorinaga memejamkan mata, seolah-olah tengah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat.
Sesungguhnya, dia telah menyiapkan sebuah jawaban. Dia telah menyimpannya cukup lama di dalam hatinya. Lagi pula. Siapakah yang akan memberi tahu Sutoku bahwa
kata-kata yang segera meluncur dari bibir Yorinaga adalah sari pati dari ambisi pria itu"
Mendesah panjang, Yorinaga akhirnya berbicara. "Ini hanyalah masalah waktu. Pada saat Yang Mulia memutuskan bahwa waktunya telah tiba, para dewa pun akan memberikan dukungan. Menolak dukungan para dewa sama saja dengan memancing amarah mereka. Ada banyak mantan kaisar yang pernah merebut kembali tahta mereka, jadi, adakah alasan untuk tetap ragu-ragu?"
Yorinaga sangat yakin akan tindakannya. Dia tidak hanya telah menghafal seluruh isi Kitab Siasat Perang, tetapi juga percaya bahwa Genji Tameyoshi telah aman dalam genggamannya.
Malam itu. Yorinaga memaparkan rencananya bagi Sutoku untuk merebut kembali tahtanya. Dari Istana di seberang sungai, para pejabat istana dan petugas yang telah mendapatkan instruksi dari Yorinaga segera berdatangan.
Persekongkolan itu digodok sepincang malam itu hingga keesokan harinya. Rencana pertempuran telah disusun, dan untuk menghindari kecurigaan akibat pembentukan pasukan di tempat yang sama, Yonnaga segera bertolak ke Uji untuk mempersiapkan langkah selanjutnya dalam rencananya.
Bersama terbitnya matahari, lonceng-lonceng besar di kuil berdentang. Tujuh hari perkabungan utama telah berakhir. Sejak pagi hingga matahari terbenam, lonceng-lonceng terus dibunyikan, dan seolah tanpa akhir, rapalan ayat-ayat suci dari para pendeta terdengar berbaur dengan ringkikan kuda. Gerbang-gerbang di Rumah Peristirahatan Tanaka, bagaimanapun, tetap tertutup rapat Sutoku bahkan tidak keluar ketika matahari tenggelam untuk mengikuti ritual yang menandai berakhirnya masa perkabungan utama, dan Penasihat Norinaga semakin gencar mendengar
bisikan-bisikan yang menyerang Sutoku. Mengkhawatirkan kemungkinan kebenaran desas-desus tersebut. Norinaga memacu kudanya untuk menemui kakaknya yang sedang sakit-sakitan, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi, untuk memohon saran.
Dengan susah payah mengerahkan tenaganya, kakak Norinaga berkata, "Seperti yang bisa kaulihat sendiri, kondisiku tidak memungkinkanku untuk menemui Mantan Kaisar dan membujuk beliau. Aku ragu bahwa kalaupun aku mampu, aku akan berhasil mencegah beliau. Sekarang mungkin sudah terlambat, namun aku menasihatimu untuk segera kembali dan mendesak Yang Mulia untuk langsung menjalani upacara penahbisan menjadi biksu; itu setidaknya akan menjamin keselamatan nyawa beliau. Kita sendiri tidak akan bisa melarikan diri dari bencana ini."
Setibanya kembali di Rumah Peristirahatan Tanaka.
Norinaga waspada ketika mendapati Sutoku dan para pengikutnya sedang dengan tergesa-gesa bersiap-siap untuk berangkat ke Istana Shirakawa yang terletak dekat dari ibu kota Saat Itu juga, dia berusaha untuk membujuk sang mantan kaisar.
"Yang Mulia, tidak selayaknya Anda pergi sebelum keempat puluh sembilan hari masa perkabungan berakhir Terlebih lagi, ada desas-desus yang mengatakan bahwa Anda sedang bersekongkol untuk menggulingkan tahta Kaisar, sehingga kepergian Anda sekarang hanya akan membenarkan pergunjingan orang-orang .
Namun Sutoku hanya tersenyum dan menepiskan bujukan Norinaga, mengatakan bahwa dia telah mendapatkan peringatan rahasia mengenai ancaman bagi keselamatannya. Sementara dia berbicara, sepasukan samurai bersenjata aba untuk mengawalnya, dan Norinaga diperintahkan untuk ikut bersama mereka. Pada tami
malam tak berbintang tanggal 9 Juli itu, dimulailah pergerakan nnoar menuju Shirakawa. Tidak ada satu pun obor yang dinyalakan untuk menerangi derit dan derak roda kereta, juga dentangan senjata di tengah kegelapan pekat itu Segera setelah Mantan Kaisar meninggalkan Istana Mata Air Dedalu, sepasukan samurai bersenjata tiba dan menduduki tempat itu. Asatori, sijuru kunci, mengamati mereka dengan gundah.
Tapak-tapak kuda mereka telah menodai hamparan pasir putih di halaman, dan para prajurit itu bertingkah seenaknya di dalam Istana, menggeledahi ruangan-ruangannya dan menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, bahkan menerobos keputrian sehingga jeritan-jeritan ngeri para penghuninya terdengar.
Tetapi, ketika para prajurit itu dengan gaduh mencopot kimono mereka untuk mandi di Mata Air Dedalu dan meminum airnya langsung dari ember, Asatori tidak sanggup lagi menahan diri.
"Tuan-tuan ... saya mohon, jangan gunakan mata air ini."
"Apa-apaan ini" Apa maksudmu melarang kami, Bangsat?" balas para samurai itu, menganggap Asatori tidak lebih dari sekadar sebuah orang-orangan sawah.
"Siapa dirimu yang telah dengan lancang memerintah kami?"
"Saya juru kunci Mata Air Dedalu."
"Juru kunci" Oh, jadi kau bertugas menjaga mata air ini?"
"Tugas saya adalah merawat mata air ini dan menjaga agar airnya tetap jernih. Saya menjaga mata air ini dengan nyawa saya."
Para prajurit tertawa terbahak-bahak ketika mendengar jawaban Asatori.
"Omong kosong. Jika hujan cukup sering turun di Ibu kota, mata airmu akan penuh dengan sendirinya. Aku berani bertaruh bahwa Yang Mulia tidak minum sebanyak Naga Raksasa sehingga mata air Ini terancam kekeringan!"
"Kalian sungguh kasar. Siapakah kalian dan siapakah yang mengizinkan kalian membuat kekacauan di sini?"
"Kekacauan" Siapa yang menimbulkan kekacauan"
Kami dikirim kemari untuk menjaga tempat ini. Menteri Golongan Kanan yang memberikan perintah kepada kami Semua, tanyakan sendiri kepada Menteri,"
"Apakah Yorinaga yang Anda maksud, sang Menteri?"
"Yorinaga atau siapa pun namanya, disana atau di sini, bukan urusan kami. Lagi pula, jika perang sudah pecah tidak akan ada lagi Istana atau Mata Air Dedalu.
Sekaranglah kesempatan bagi kami untuk memindahkan isi gudang ke perut kami!"
Kendati enggan. Asatori memilih untuk mundur. Sinar matahari yang terpantul dari tombak-tombak dan pedang-pedang mereka membuatnya gemetar. Ini bukan saat yang tepat untuk membantah para prajurit garang ini, yang tidak akan segan-segan menghabisinya. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengawasi mereka dari jauh. Sejenak kemudian, dia melihat salah seorang prajurit memanjat pohon dan mengangkat tangan untuk melindungi matanya, menatap lekat-lekat halaman Istana Takamatsu, yang berjarak cukup dekat dari sana. Sesuatu yang dilihatnya menyebabkan si prajurit terburu-buru turun dan tiga orang prajurit lain memacu kuda mereka.
Asatori menyandarkan punggungnya ke batang pohon dedalu raksasa, dengan cemas memikirkan nasib majikannya, sang mantan kaisar. Seandainya perang benar-benar pecah, bukankah dirinya, Asatori, si juru kunci, harus siap membuktikan kesetiaannya ... mengorbankan nyawanya" Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali tetap tinggal di Istana dan menjaga Mata Air Dedalu.
Angin musim panas bertiup sepoi-sepoi di antara sulur-sulur panjang pohon dedalu; seutas sulur hijau berayun-ayun lembut, membelai pipi Asatori.
O0odwkzo0o "Kita tidak punya cukup prajurit untuk melindungi Yang Mulia," Penasihat Shinzei menegaskan kepada Perdana Menteri.
Baru semalam sebelumnya, keributan besar terjadi ketika dayang-dayang Nyonya Bifukumon melihat sosok yang mirip burung hantu bertengger di atas sebatang pohon hazel di luar jendela kamar mereka. Para pengawal bergegas menghampiri sumber jeritan dan menembakkan panah mereka kepada seorang bajingan malang ... seorang pendeta muda yang mengaku tengah mengintip dayang-dayang di kamar tidur mereka.
"Kita harus mengambil tindakan," kata Shinzei. "Di saat seperti inilah para samurai biasanya menggodok persekongkolan. Bukankah sudah tiba waktunya bagi kita untuk menempatkan para panglima yang direkomendasikan oleh mendiang Yang Mulia di sini, demi keamanan kita sendiri?"
Perdana Menteri tidak serta merta menjawab. "Itu mungkin diperlukan ?" Dia tampak enggan karena Yorinaga adiknya dikenal luas sebagai salah seorang pendukung Sutoku, dan dia tahu bahwa dia sendiri harus
segera menentukan ke mana dia akan berpihak Kemudian, Perdana Menteri melanjutkan, "Penasihat Shinzei, panglima yang manakah yang Anda sarankan harus ditugaskan untuk melindungi Kaisar?"
"Itu ... itu sudah diputuskan sendiri oleh mendiang ftng Mulia tidak lama sebelum beliau wafat. Sebuah daftar telah disusun, dan beliau menyetujuinya."
"Saya tidak tahu bahwa daftar seperti itu telah dibuat"
"Daftar itu ada."
"Kapan daftar itu dibuat" Siapakah yang memegangnya sekarang?"
"DI masa hidupnya, Yang Mulia menyerahkannya kepada Panglima Pengawal Golongan Kiri dan Fujiwara Mitsunaga. Setelah beliau wafat, dokumen tersebut diserahkan kepada Koretaka, Panglima Golongan Kanan, untuk disimpan. Saya berniat untuk menunjukkannya kepada Nyonya Bifukumon setelah masa perkabungan selesai. Kehendak Yang Mulia harus dilaksanakan.
Haruskah saya menyarankan pertemuan dengan Kaisar?"
Tadamichl tidak keberatan. "Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tidak memiliki keberatan apa pun."
"Panglima Koretaka akan segera diberi tahu, begitu pula Nyonya Bifukumon."
Pada hari kelima setelah Kaisar Kloister wafat. Nyonya Bifukumon dan para penasihat Kaisar bertemu untuk membahas isi surat wasiat. Kendati begitu, pertemuan ini dalam kenyataannya
adatats Nfeiofc ptnWniM perang. Menunaikan kemungkinan para ww* memberontak setelah kemaoannya.
Toba mengambil tongkah pencegahan dengan menyusun sebuah daftar berisi nama "epuluh orang panglima Genji dan Heik? yang ditugaskan untuk mengawal Kaisar baru dan Nyonya Bifukumon. Genji Yoshitomo. Putra Tameyoshi, akan diangkat untuk menjadi pemimpin dari kesepuluh panglima tersebut.
Satu nama, bagaimanapun, secara mencurigakan tidak ditemukan di daftar itu.
"Mengapa Tuan Aki, Heik6 Kiyomori, tidak ada di dalam daftar ini?" akhirnya Shinzei bertanya, menuntut penjelasan dari Nyonya Bifukumon. "Almarhum Heik?
Tadamori adalah tokoh penting di Istana, jandanya, ibu tiri Kiyomori, Nyonya Harima Ariko, saya dengar pernah menjadi ibu susuan Putra Mahkota. Mendiang Yang Mulia, saya yakin, tidak melupakan itu."
Kiyomori tidak sepenuhnya asmg bagi Nyonya Bifukumon, yang telah sering mendengar Nyonya Kii membicarakannya. Nyonya Bifukumon cepat-cepat menjawab. "Memang benar, aku mendampingi Yang Mulia ketika beliau menyusun daftar ini. Beliau juga pernah membahas masalah ini denganku di kesempatan yang bin, dan Yang Mulia sepertinya merasa bahwa Kiyomori bisa dipercaya, namun beliau juga mengkhawatirkan kemungkinan ibu tiri Kiyomori akan menarik simpatinya atas nama Pangeran Shigebito. Karena itulah nama Kiyomori disingkirkan. Yang mulia juga mengatakan, bagaimanapun, bahwa jika tidak ada tugas lain yang mengikat Kiyomori, dia akan dipanggil jika keadaan membutuhkannya. Yfc ... sekarang aku ingat dengan jelas bahwa itulah tepatnya yang diucapkan oleh beliau"
Shinzei mencoba menarik kesimpulan berdasarkan penjelasan Nyonya Bifukumon, "Kita tidak punya alasan untuk meyakini bahwa kfyomon terikat oleh tugas lain. Kita
juga harus mengingat bahwa setelah pecmma Gmw Yorinaga menjadikan Kiyomori sebagai musuh bebuj ucuwf i. Ada pub berbagai fitnah yang peda suatu masa pernah mendorong Yang Muka untuk merdukan Kiyomori. Sungguh sayang jika sekarang kita sepenuhnya mengabaikan Kiyomori. Dan Anda, Tuan?" tanya Shinzei, mengangguk kepada Tadamichi. "Bagaimana pendapat Anda?"
"Untuk saat ini, saya tidak memiliki keberatan apa pun terhadap Tuan Aki. Saya tidak menghendaki keburukan terjadi padanya, dan saya juga tidak ingin dia diabaikan."
"Jika begitu, haruskah kita memasukkannya ... Kiyomori
... ke dalam daftar ini?"
"Sepertinya itu bijaksana."
Satu nama lagi ditambahkan ke dalam daftar pengawal pribadi Kaisar Goshirakawa. Kesebelas panglima tersebut adalah kepala keluarga-keluarga berpengaruh yang berhak menarik pajak dari tanah kekuasaan mereka. Keesokan paginya, pada 8 Juli, pasukan-pasukan mulai berdatangan dalam jumlah besar di Kuil Anrakuju-in sehingga tempat itu dijejali oleh prajurit Yang pertama tiba di sana adalah Genji Yoshitomo beserta pasukannya, disusul oleh panglima-panglima lainnya beserta pasukan mereka masing-masing.
Yang terakhir tiba adalah seorang samurai muda yang menunggang kuda beserta pasukannya yang terdiri dari dua ratus orang penunggang kuda. Ketika mendaftarkan pasukannya, dia memperkenalkan diri dengan suara jernih dan nyaring:
"Inilah saya ... putra kedua Tuan Aki, Heik6 Kiyomori
... Aki Motomori, samurai dari Golongan Keempat, tujuh belas tahun. Setelah mendapatkan panggilan dari Istana, ayah saya segera menghimpun pasukan dari seluruh


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati Budha Tangan Berbisa 11 Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 19
^