Pencarian

The Heike Story 5

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 5


wilayah kami dan dari siapa pun yang memiliki ikatan dengan keluarga kami. Beliau akan datang nanti beserta pasukannya. Saya datang terlebih dahulu atas perintah beliau."
Semua orang yang menoleh ke arahnya melhat seorang pemuda bermata tajam dalam balutan baju arah kulit berwarna biru tua dan berhias pola bunga kunyit Pemuda itu menyandang sewadah penuh anak panah berbulu hitam dan mengenakan penanda golongannya: sebuah helm tersampir di punggungnya.
Pekikan terkejut terdengar dari beberapa orang samurai uzur, "Oh! Benarkah anak Kiyomori sudah sebesar itu?"
Perawakan Motomori mengingatkan mereka bukan hanya kepada Kiyomori sendiri, melainkan juga kepada sang kakek. Tadamori, dan tahun-tahun yang berlalu dengan sangat cepat.
o0odwkzo0o Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE
Rokuhara, tempat tinggal Kiyomori sejak bertahun-tahun silam, bukan lagi sebuah wilayah terpencil di pinggiran Kyoto, melainkan telah menjadi sebuah kota kecil yang dihuni oleh begitu banyak anggota klan Heike. Putra sulung Kiyomori, Shigemori, yang tinggal di sana sejak masih bocah, sekarang telah berusia delapan belas tahun. Lahan kosong dan rawa-rawa di seberang tempat yang dahulu sesekali digunakan untuk upacara pemakaman dan dilewati oleh para pendeta dalam perjalanan menuju Toribeno dan Kuil Kiyomizu, telah mengalami perubahan besar sejak Jembatan Gojo didirikan. Rawa-rawa telah dikeringkan, dan jalan sempit yang berkelok-kelok telah digantikan oleh
seruas jalan lurus yang diapit oleh deretan pepohonan.
Pagar-pagar anyaman ranting berdiri mengelilingi rumah-rumah tinggal berukuran besar dengan atap-atap lengkungnya; gerbang-gerbang besar terlihat di antara rumah-rumah mungil yang jumlahnya semakin bertambah seiring waktu. Bangunan-bangunan yang berukuran besar, percabangan dari kediaman Kiyomori, dihuni oleh anggota-anggota keluarga Kiyomori beserta para pelayan mereka.
Sebuah gerbang bertingkat dua untuk menerima penunggang kuda berada di depan kediaman baru Kiyomori yang lebih luas, dengan tanahnya yang melandai menuju Sungai Kam Bubungan-bubungan bertonjolan dari atap utama hingga bangunan pusat tenggelam dalam labirin atap.
Selama dua hari berturut-turut, para samurai data menunggang kuda dari wilayah-wilayah kekuasaan Kiyomori dan memenuhi kediamannya. Mereka yang baru saja datang terpaksa ditampung di tempat terbuka, yaitu di bawah pepohonan di sepanjang sungai, padahal pasukan-pasukan lain masih terus berdatangan bagaikan gelombang.
Banyak di antara mereka yang telah berbaris atau mengendarai kuda sepanjang siang dan malam Dari Rokuhara, Motomori dan pasukannya terlihat mengikuti aliran sungai ke arah selatan: sorak sorai terdengar, sementara panji- panji merah Heike berkibar di atasnya dan para penunggang kuda yang perlahan-lahan menghilang dari pandangan.
"Apa itu ... keributan itu?" Kiyomori bertanya kepada orang- orang di dekatnya.
"Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri seberang sungai dalam perjalanan ke Uji."
"Oh, begitu," jawab Kiyomori singkat. Tujuh orang menyertainya: Tokitada, adik iparnya, yang sekarang menjadi juru tulis di Istana; adiknya, Tsunemori; pelayan tuanya, Mokunosuke, dan salah seorang putranya; dan tiga orang anggota keluarga Heike dari Ise.
?" Seluruhnya enam ratus orang." Tokitada baru saja selesai membaca daftar samurai yang telah tiba. "Kurasa akan ada lebih banyak lagi yang datang selambat-lambatnya besok pagi, tapi sejauh ini, yang telah terdaftar adalah enam ratus delapan puluh delapan orang."
Kiyomori meminta Tokitada untuk membaca daftar sukarelawan itu sekali lagi. Ruangan besar tempat mereka duduk memiliki koridor-koridor yang saling memotong di keempat sisinya. Salah seorang gadis pelayan Tokiko masuk dan tampak kikuk ketika melihat orang-orang yang ada di dalamnya.
"Tuan," akhirnya dia berkata, "Nyonya menyuruh saya kemari secepatnya ... "
"Apa maunya?" tanya Kiyomori tanpa sabar.
"Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri tepi sungai sekarang, dan Nyonya memohon kepada Anda untuk mengawasi beliau."
"Apa-apaan ini?"
"Nyonya berharap Anda mengawasi beliau
menyelesaikan misi pertamanya."
"Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu. Katakan kepada nyonyamu bahwa Motomori tidak sedang berjalan-jalan untuk melihat-lihat bunga sakura."
"Baiklah, Tuan." " ...
"Katakan kepada nyonyamu bahwa dia harus bersiap-siap menangis dan meratap ketika mereka mengirimkan kepalanya ke rumah."
Gadis pelayan itu berlari keluar seolah-olah baru saja dimarahi, menahan tangisnya.
Kiyomori menatap gadis itu hingga menghilang dari pandangannya dan berkomentar dengan nada datar,
"Mereka, para wanita itu, tidak tahu betapa kejinya perang.
Mereka tidak pernah melihatnya. Pertempuran pecah sepanjang waktu di wilayah barat dan timur, namun tidak pernah terjadi di sini sejak berabad-abad silam. Tidak seorang pun dari kalian mengetahui seperti apa perang yang sesungguhnya. Kalian baru akan mencicipinya untuk pertama kalinya, dan ini tidak akan mudah bagi siapa pun yang ada di sini."
Keheningan mencekam mengikuti ucapan Kiyomori, karena semua orang diam-diam sedang memikirkan semangat membara yang mereka rasakan dalam menyambut perang yang akan segera pecah, namun kata-kata Kiyomori mendadak mengingatkan mereka pada kesuraman perang ... dentangan senjata, pertempuran, pembakaran, keserakahan dalam memburu kemenangan.
Apakah makna semua itu kecuali impian hampa orang-orang tolol" Akan lebih baik jika mereka memikirkan kembali istri mereka, anak-anak mereka, dan penyesalan sia-sia yang akan menghantui mereka.
Seorang bocah pelayan duduk di samping Kiyomori, menggerakkan sebuah kipas besar dengan lembut. Kiyomori duduk bersila di atas sebuah bantal duduk. Udara yang panas mengesalkannya. Dia telah mencopot baju zirahnya dan menggeletakkannya di hadapannya. Dia duduk dalam balutan kimono dalam putihnya; bagian dadanya terbuka,
dan dari waktu ke waktu, dia mendekatkan dadanya yang telanjang ke kipas yang menyejukkan.
Walaupun ada sebagian orang yang menganggap kekasaran dan kegarangan Kiyomori sebagai wujud kejantanannya, sebagian orang yang lain menganggapnya menyebalkan ... dan Tokiko adalah salah seorang di antaranya. Kiyomori nyaris bisa mendengar istrinya berkata, "Sungguh, itulah yang menyebabkan para pejabat istana salah memahamimu. Itu pula yang menyebabkan Genji Tameyoshi dan Yoshitomo menganggapmu lancang.
Karena semua putra kita bekerja di Istana sekarang, sudah saatnya kau berhenti bersikap seperti Heita dari Is6 yang berkeliaran di pasar!" Hanya istri dan ibu tirinyalah yang berani memprotesnya, dan Kiyomori, yang biasanya memperlakukan mereka dengan sabar dan lemah lembut, akan mendengarkan keluhan Tokiko dan berjanji untuk memperbaiki sikapnya. Tetapi, patut diragukan bahwa Kiyomori bersungguh- sungguh dengan janjinya, karena segera setelah Tokiko menghilang dari pandangannya, dia akan langsung melupakan janjinya, dan dia punya alasan untuk melakukannya.
Kiyomori kini berusia tiga puluh sembilan tahun dan sedang berada pada masa kejayaannya ... seorang samurai tangguh dan berpengalaman ... sementara masa depan masih terbentang luas di hadapannya. Apa yang menantinya, dia tidak bisa menebaknya. Peran apa yang akan dimainkannya pun belum jelas baginya. Yang membakar semangatnya saat ini adalah hasrat membara untuk bertindak. Samurai geram ini siap mempertaruhkan segalanya demi satu-satunya kesempatan ini. Dia tahu betul apa artinya ... kehidupan, istri, anak-anak, dan rumahnya.
Dan dia enggan bertindak gegabah hanya untuk memenuhi panggilan Istana. Dia telah menanggapi perintah itu dengan
mengirim Motomori beserta dua ratus orang prajurit, namun tetap tidak menunjukkan tanda bahwa dirinya sendiri telah siap berangkat. Sekarang 10 Juli, dan dia menyaksikan matahari perlahan-lahan tenggelam.
Bagi banyak orang, pertanyaan mengenai mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa atau untuk mendukung Sutoku menimbulkan sebuah dilema, namun bagi Kiyomori, masalah itu jelas adanya. Dia tidak pernah berniat untuk berdiri di pihak Sutoku. Sejak awal, dia telah melihat bahwa gerakan untuk mendukung Mantan Kaisar tidak lebih daripada sebuah persekongkolan yang didalangi oleh Yorinaga. Seperti halnya Yorinaga yang tidak mengharapkan bantuan darinya, Kiyomori juga tidak bisa mengharapkan apa pun dengan berpihak kepada Yorinaga.
Mereka adalah musuh bebuyutan. Kiyomori juga mendengar bahwa pamannya Tadamasa termasuk di antara orang-orang yang sejak awal terlibat dalam persekongkolan ini, namun keadaan ini tidak mendorong Kiyomori untuk begitu saja berpihak kepada Kaisar. Dengan menyatakan bahwa dirinya mendukung Goshirakawa, Kiyomori tahu bahwa dia tidak hanya akan mempertaruhkan nyawa keluarganya di Rokuhara tetapi juga semua Heik6 di negerinya. Satu kali salah langkah pada saat ini akan membahayakan nyawa entah berapa banyak wanita, anak-anak, dan orang berusia lanjut Hal inilah yang membuat Kiyomori berhati-hati. Dengan mengirim Motomori, dia bisa dikatakan telah menjalankan perintah dan tinggal menunggu saat yang tepat. Tetapi, suara hatinya dengan dahsyat mendesak bahwa momen yang dinantikannya telah tiba dan menggodanya untuk menepiskan seluruh kekhawatirannya. Dia yakin bahwa kesempatan seperti ini tidak akan mendatanginya kembali. Kesempatan ini adalah kunci bagi masa depannya.
Sementara keraguan menyelimutinya, kenangan tentang sebuah kejadian aneh terus-menerus mendatangi Kiyomori.
Peristiwa itu terjadi setahun setelah ayahnya meninggal, ketika Kiyomori sedang berada dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano. Dalam perjalanan air dari Is6
ke Kishu, seekor ikan besar melompat ke geladak, dan para awak kapal berseru-seru riang, mengatakan bahwa ikan tersebut adalah pertanda peruntungan baik bagi klan Heikd.
Mereka mengatakan kepada Kiyomori bahwa dewa yang menjaga Tempat Pemujaan Kumano mengirimkan pertanda untuk menghargai keimanannya. Kiyomori, kendati selalu mencibir pada tahayul semacam itu, tidak rela untuk menyanggah perkataan orang- orang kepadanya.
Dia senang saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan untuk mengirim doa kepada ayahnya, walaupun kejadian selanjutnya sama sekali tidak membuktikan pertanda itu, karena Yorinaga segera merebut kekuasaan kembali.
Tetapi, Kiyomori sekarang mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang apakah panggilan dari Kaisar adalah kesempatan yang dimaksud oleh dewa penjaga Tempat Pemujaan Kumano. Jelas baginya bahwa konflik antara Kaisar dan Sutoku tidak lebih dari pertikaian antara persekongkolan faksi-faksi, perbenturan antara ambisi yang terlalu berlebihan, dan pada intinya adalah perebutan kekuasaan. Siapakah dirinya sehingga rela mengesampingkan keluarganya untuk menjadi bagian dari perjuangan menegakkan angkara murka ini" Ambisi yang dimilikinya, sebuah tujuan hidup, sebuah mimpi. Sebagai kepala klan Heike, dia harus melihat bahwa keluarganya telah semakin besar dan kaya, dan bahwa kaum samurai telah mengakhiri dominasi para bangsawan Fujiwara.
Jelang senja, Tokitada mendapatkan pesan bahwa Yorimori, adik tiri Kiyomori, telah tiba bersama enam puluh orang prajurit Dia bergegas menyampaikan kabar ini kepada Kiyomori, yang diketahuinya telah dengan gelisah menantikan kabar ini sejak sehari sebelumnya. Kiyomori sedang mulai makan malam, namun dia cepat- cepat menyelesaikannya sembari meminta Tokitada menghadap n Kiyomori kepadanya. Kiyomori ragu bahwa ibu tirinya, Nyonya Ariko, akan mengirimkan putranya untuk memperkuat pasukan Kiyomori, karena Yorimori masih berusia dua puluh tahun dan belum terikat kewajiban untuk memberikan bantuan kepada Kiyomori. Seandainya Nyonya Ariko mendesak Yorimori untuk mendukung Mantan Kaisar Sutoku, Kiyomori harus menganggapnya dan adik tirinya sebagai musuh, dan pikiran itu menyakiti hatinya.
"Oh, kau hadir, Yorimori!" Kerutan di kening Kiyomori seketika lenyap; wajahnya berseri-seri karena kelegaan dan kegembiraan yang tidak ditutup-tutupinya.
Yorimori, yang sepertinya khawatir telah memicu kemarahan Kiyomori akibat keterlambatannya, buru-buru memberikan penjelasan. "Walaupun aku tiba jauh lebih lambat daripada yang lainnya, kumohon kau tidak menganggapku pengecut."
"Omong kosong! Seperti yang bisa kaulihat sendiri, aku juga belum berangkat". Mengesampingkan perasaan ibu kita yang mulia, aku dengan gelisah menantikan kehadiranmu. Katakanlah pesan beliau kepadamu."
"Beliau tidak memberikan perintah apa pun, hanya mengatakan bahwa aku harus mematuhimu."
"Apakah beliau menyampaikan pendapatnya tentang pihak yang akan menang?"
"Beliau menangis dan mengatakan keyakinannya bahwa Mantan Kaisar tidak menghendaki masalah ini berujung kemari."
"Bagus!" Seketika itu, Kiyomori mengambil keputusan.
Ibu tirinya, yang pernah menjadi bagian dari rumah tangga Mantan Kaisar, meyakini bahwa ada sekelumit harapan bagi Sutoku. Kiyomori berniat mengandalkan pendapat ibu tirinya.
"Tokitada, pastikan agar prajuritmu cukup makan dan tidur. Kita akan berangkat besok pagi sekitar pukul dua atau tiga."
Kiyomori segera tidur, namun menjelang tengah malam dia terbangun dan memanggil ketiga adik dan putranya, Shigemori, untuk mengikuti upacara minum sake yang dipersiapkan oleh Tokiko. Tokiko memakaikan baju zirah Kiyomori. Pedang warisan dari Tadamori tergantung di samping tubuhnya. Yorimori memegang pedang warisan keluarga Heik6 yang lain.
o0odwkzo0o Cerita pun kembali bergulir ke kematian Tadamori, pada 15 Januari 1153, tiga tahun sebelumnya. Tadamori, berusia lima puluh delapan tahun ketika itu, meninggalkan enam orang putra ... Kiyomori, Tsunemori, Norimori, dan lyemori dari istri pertamanya, sang Perempuan Gion, dan Yorimori dan Tadashigg dari istri keduanya, Ariko. Dia menjabat sebagai Kepala Departemen Kehakiman ketika itu dan menikmati kekayaan yang baru dimilikinya. Bertahun-tahun membesarkan anak-anaknya dalam kemiskinan telah mengajarkannya untuk mengamankan harta keluarganya, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Tadamori memperoleh kekayaan besar melalui perdagangan dengan para bajak laut dan penyelundup yang membawa barang-
barang berharga dari Cina ke pelabuhan Bingo, salah satu wilayah kekuasaannya di bagian selatan.
Ketika penyakit masuk angin biasa Tadamori berubah menjadi sesuatu yang serius dan harapan bagi kesembuhannya semakin menipis, Tsunemori mendatangi Kiyomori dengan air mata berlinang, memohon kepadanya,
"Izinkanlah aku membawa Ibu kemari agar beliau bisa menemui Ayah untuk terakhir kalinya."
"Ibu" Apa maksudmu dengan "Ibu?""
Kiyomori berlagak pilon. Ariko, ibu tiri mereka, senantiasa mendampingi dan merawat Tadamori selama ini. Bukan Ariko yang dimaksud oleh Tsunemori melainkan sang Perempuan Gion. Tsunemori, pikir Kiyomori dengan gusar, tetap berhati lembut seperti pada masa mudanya walaupun telah menjadi seorang pegawai di istana, telah menikah dan memiliki anak. Mengingat ibunya memancing kemarahan Kiyomori.
"Kalaupun itu tindakan yang benar, kita tidak mengetahui perasaan Ayah. Lupakanlah dia, lupakanlah wanita itu, Tsunemori!"
Air mata membasahi pipi Tsunemori. "Aku tidak bisa
".Ayah tidak pernah melupakan beliau. Ketika ibu tiri kita tidak ada di sampingnya, Ayah beberapa kali menanyakan kabar Ibu."
"Benarkah ini, Tsunemori?"
"Itu bisa dipahami, karena bagaimanapun, beliau adalah ibu dari empat orang putra Ayah."
"Mengikuti kehendak Ayah akan menyebabkan kecanggungan dengan ibu tiri kita."
"Beliau keluar setiap pagi buta untuk pergi ke kuil dan berdoa bagi kesembuhan Ayah. Kita bisa membawa Ibu kemari ketika itu."
"Tahukah kamu di mana beliau dan apa yang dilakukannya sekarang" Aku sudah tidak pernah mendengar kabarnya sejak beliau meninggalkan kita ...
apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal."
"Jika kau mau berjanji untuk tidak memarahiku, aku akan membawa beliau kemari dengan diam-diam besok pagi, sebelum matahari terbit,"
"Jadi, kau tahu di mana beliau tinggal, dan kau sering menemui beliau?"
Tsunemori diam saja. "Hei, mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku"
Tahukah kau apakah beliau tinggal dekat atau jauh dari sini?"
Kiyomori membentak adiknya. Pikiran bahwa Tsunemori terkadang menemui ibu yang sudah tidak diakuinya lagi memberinya sengatan cemburu. Dia tergoda untuk menghantam wajah
Tsunemori dengan tinjunya.
Tsunemori, menegakkan badannya, membalas, "Aku tidak akan
meminta apa pun lagi darimu!"
Kiyomori menyemburnya, "Lakukanlah saja sesukamu!
Aku tidak punya urusan dengan ini. Semua ini tergantung pada Ayah."
Semenjak kesehatan Tadamori memburuk, Ariko setiap hari berangkat menggunakan tandu ke Kuil Kiyomizu sebelum matahari terbit, tanpa memedulikan salju maupun hujan. Pagi itu. Tsunemoni melihat tandu Ariko di jalan yang bersalju, dan setelah ibu tiri itu menghilang dari pandangannya, dia mengangkat tangan ke seseorang yang berdiri di balik bayangan salah satu pintu mengantarkannya ke kamar ayahnya. Kiyomori, yang tidur dikamar sebelah, terbangun oleh suara-suara percakapan dan suara teredam.
n ?" Aku bahagia karena bisa bertemu kembali denganmu Kau pun sudah mengalami banyak kesedihan. Putra-putra kita telah dewasa. Aku tidak mencemaskan mereka, namun aku risau memikirkanmu. Aku tidak memenuhi janjiku kepada mendiang Yang Mulia jika aku mengabaikanmu begitu saja. Inilah yang meresahkanku selama bertahun-tahun ini. Seandainya aku bisa teryakinkan bahwa kau akan hidup bahagia di masa yang akan datang ?"
Kiyomori, yang mendengar potongan-potongan perkataan ayahnya, geram. Dia juga merasa tersakiti dan terabaikan. Kendati tidak meragukan ketulusan ayahnya yang sedang sekarat, dia memikirkan kebenaran bahwa ayahnya telah selama bertahun- tahun bersedih karena ibunya ... wanita sombong dan berhati batu yang tidak pernah memberikan apa pun kepada Kiyomori kecuali masalah, dan yang telah meninggalkan anak-anaknya.
Tidak lama kemudian, tibalah waktu kepulangan Ariko, dan Tsunemori, merangkul bahu ibunya, mengantarkan Perempuan Gion yang menangis terisak-isak ke gerbang belakang. Begitu mendengar ibunya pergi, Kiyomori langsung bangkit dari kasurnya. Dia berlari ke luar untuk mengintip ibunya dari balik semak-semak, dan air matanya seketika merebak. Ibunya yang dahulu cantik jelita sekarang
terlihat bagaikan bunga yang telah tersentuh es. Wajahnya terpoles bedak tebal, namun Kiyomori dapat melihat pipinya yang bergelambir dan rambutnya yang telah kehilangan kemilaunya. Kiyomori menghitung dengan cepat ... lima puluh. Ibunya telah berumur lima puluh tahun! Seorang wanita berusia lima puluh tahun ... dan entah apa mata pencahariannya. Mengingat kembali kata-kata ayahnya, Kiyomori mendadak mensyukuri kasih sayang Tsunemori kepada ibu mereka.
"Ayo, pakailah mantel Ibu. Ibu tidak boleh bersedih seperti ini, karena ini akan membuat Ibu sakit. Aku akan mengantar Ibu sampai gerbang. Pakailah mantel Ibu, dan tutupilah wajah Ibu agar orang- orang tidak mengenali kita."
Ketika keduanya telah pergi, Kiyomori memasuki kamar ayahnya dan duduk di samping ranjangnya. Selama beberapa waktu, dia mengamati wajah ayahnya, lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, berbisik,
"Ayah, sudahkah Ayah puas sekarang?"
Keheningan menyusul, kemudian kelopak mata Tadamori perlahan-lahan terbuka. "Kau, Kiyomori?"
Tadamori kembali terdiam. "Kotak itu ... di sana ?"
akhirnya dia berkata. Dia menggapai kotak itu dengan jemarinya dan berhasil mengeluarkan sebuah kipas, yang diserahkannya kepada Kiyomori tanpa perkataan apa pun.
Setelah beberapa waktu, dia kembali berbicara, "Yakinlah.
Kau adalah putra mendiang Kaisar. Beliau memberikan kipas ini kepadaku dalam perjalanan terakhir yang kuikuti.
Kau berhak mewarisinya."
Hari itu, Tadamori, yang merasakan bahwa akhir hidupnya telah tiba, memanggil putra-putranya dan mewariskan sesuatu kepada masing-masing dari mereka.
Untuk Kiyomori, dia mewariskan baju zirah kulitnya ...
sebuah warisan turun-temurun ... dan salah satu pedang termahsyur milik klan Heike. Untuk Yorimori, putra sulungnya dari Ariko, dia juga mewariskan salah satu pedang termahsyur klan Heike. Ini dilakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Ariko.
Beberapa saat setelah kematian Tadamori, seorang diri, Kiyomori membuka kipas warisan ayahnya dan menemukan sebuah puisi tertulis di sana. Baris pembukanya ditulis oleh ayahnya, namun baris penutupnya dibuat oleh tulisan tangan yang tidak dikenal namun Mokunosuke kemudian meyakinkannya bahwa " adalah tulisan tangan Kaisar Shirakawa. Baris itu berbunyi.
Tadamor, harus merawatnya hingga ia tumbuh menjadi pohon besar yang memberikan naungan. Maknanya jelas bagi Kiyomori. Dia adalah putra Kaisar Shirakawa yang diserahkan untuk diasuh oleh Tadamori. Teka-teki kelahirannya telah terjawab? namun tidak ada yang dirasakan oleh Kiyomori kecuali penyesalan yang mendalam karena dirinya bukan anak kandung Tadamori.
Tidak pernah lagi dilihatnya kipas itu, yang tersimpan rapat-rapat di dalam kotaknya dan terlupakan.
o0odwkzo0o Pada 11 Juli, Kiyomori dan pasukannya berangkat dari Rokuhara menuju Istana Takamatsu pada dini hari dan tiba di sana ketika matahari terbit. Setelah mendaftarkan diri, mereka menempati beberapa pos. Kiyomori, mencermati deretan nama yang telah terdaftar, mendapati bahwa Genji Yoshitomo juga telah datang.
Panji-panji merah Heike kini berkibar di samping panji-panji putih Genji, dan saat malam tiba, kobaran api perang mencapai ibu kota.
o0odwkzo0o Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI
Setiap manusia sepertinya ditakdirkan untuk menghadapi setidaknya satu atau dua kemalangan besar sepanjang masa hidupnya. Setidaknya, itulah pemahaman Genji Tameyoshi, yang selama beberapa hari terakhir tidak melakukan apa pun kecuali menghela napas panjang.
Matanya nyalang dan rambutnya tampak memutih. Dia telah berumur enam puluh tahun dan dihadapkan pada sebuah keputusan yang lebih menentukan daripada apa pun yang pernah ditemuinya. Yorinaga, seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan kepada Tameyoshi, telah mengirim sebuah pesan yang berisi perintah bagi Tameyoshi untuk segera memberikan dukungan kepada Kaisar Sutoku. Pesan serupa juga datang dari Tadazan6, ayah Yorinaga. Tameyoshi tahu bahwa pemicu utama upaya gegabah Yorinaga untuk merebut kembali tahta Sutoku adalah kepercayaannya kepada klan Genji.
Yorinaga menggantungkan harapan kepada pasukan Tameyoshi sebagai kekuatan utama, dibantu oleh para biksu bersenjata dari Nara dan para petani bersenjata dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Ketika pesan dari Yorinaga tiba, Tameyoshi juga telah mendapatkan panggilan dari Kaisar, yang memerintahkan kepadanya agar segera melaporkan diri bersama putranya Yoshitomo untuk menghentikan pemberontakan.
Baru kali ini melihat ayah mereka segundah itu, keenam putra Tameyoshi yang lain memohon kepadanya untuk memercayai dirinya sendiri, bersumpah bahwa mereka akan berdiri bersamanya untuk mendukung keputusan apa pun yang diambilnya. Kesal kepada Yoshitomo, yang tidak
membahas keputusannya dengan seorang pun dari mereka, mereka mengeluh dengan nada pahit:
"Dia tidak mencintai darah dagingnya sendiri, apalagi memedulikan klannya. Dia haus kekuasaan, siap melakukan apa pun untuk melindungi jabatannya sebagai kepala pengawal kekaisaran. Apakah dia peduli jika kita bergabung dengannya atau tidak?"
Ketegangan di antara Yoshitomo dan saudara-saudaranya bukanlah sesuatu yang aneh. Selain kedudukannya di keluarga mereka yang hanya saudara tiri, pada usianya yang kedua puluh tiga, Yoshitomo telah pergi dari Kyoto ke wilayah timur Jepang untuk hidup bersama para Genji di Kamakura. Pada saat itulah dia menyatakan diri sebagai samurai dan seorang diri menegakkan reputasinya sebagai panglima perang. Kedengkian melandasi tuduhan saudara-saudaranya bahwa dia kurang mengabdi kepada keluarganya. Kendati berutang budi kepada Yorinaga atas pengangkatannya sebagai Kepala Pengawal untuk menggantikan Kiyomori, dia tanpa ragu-r
agu memenuhi panggilan Kaisar.
"Apakah keputusan Ayah?"
"Kita tidak bisa menunda-nunda lebih lama lagi."
"Selama dua hari terakhir, prajurit kita telah berdatangan dari seluruh penjuru negeri. Mereka memadati jalan dari sini hingga Horikawa. Tidak ada cukup kamar di sini untuk menampung mereka, padahal mereka terus berdatangan.
Mereka tidak sabar lagi menantikan keputusan Ayah, dan ada desas-desus bahwa mereka akan mengambil keputusan dan tindakan sendiri."
Mendapatkan tekanan dari putra-putranya, Tameyoshi terpaksa menjawab, "Bersabarlah, sebentar lagi saja.
Sejujurnya, gagasan untuk berdiri di pihak Mantan Kaisar
Sutoku tidak menarik minatku Aku pun tidak berminat untuk memenuhi panggilan dari Istana. Itulah perasaanku yang sesungguhnya saat ini. Tidak ada jalan yang terang di mataku. Walaupun begitu, ingatlah ini: kita harus melindungi para wanita dan anak-anak. Sampaikanlah ini kepada para prajurit kita. Jika ada di antara mereka yang ingin bertempur, biarkanlah mereka memilih sendiri pihak mana yang akan mereka bela."
Ledakan amarah menyambut petuah Tameyoshi.
Apakah klan Genji hanya akan menjadi penonton dan bahan tertawaan dalam perang ini. tanya putra-putranya.
Berkata lebih mudah daripada bertindak. Apakah anggota klan Genji di seluruh negeri akan puas hanya dengan bersikap netral" Mudah bagi Tameyoshi untuk mengatakan bahwa dia tidak bersedia berpihak kepada siapa pun, namun bagaimana mungkin dia berharap bisa meloloskan diri dari jerat perang" Bisakah dia menjamin bahwa dia dan hartanya akan selamat dari pembumihangusan" Akankah para prajurit haus darah dari kedua pihak menghormati posisi netral mereka" Bukankah kebencian terhadap sikap pengecutnya justru akan menjadikannya sasaran empuk bagi kedua belah pihak, dan bukankah para prajuritnya sendiri akan menjadi korban perang"
Tameyoshi mendengarkan pendapat anak-anaknya, merasa bahwa apa yang mereka sampaikan ada benarnya.
Matanya tidak terbutakan dari dampak tragis keputusannya, dan kegundahan memperdalam kerutan-kerutan di kening dan pipinya. "Tepat seperti yang kalian katakan. Kita harus mempertimbangkan, bagaimanapun ... jika kita berpihak kepada Mantan Kaisar, maka Yoshitomo. putraku, akan menjadi musuh kita. Jika kita mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa, maka aku bersalah karena tidak tahu berterima kasih kepada pelindung kita, Yorinaga. Pilihan
apa pun tidak akan menyelamatkan kita dari neraka itu ...
perang. Aku, Tameyoshi, yang menyandang kehormatan klan Genji, terpaksa meletakkan senjataku. Selagi mungkin, aku akan menjalani penahbisan dan bersembunyi ".
Mari, mari kita menunggu hingga besok malam. Berilah aku waktu semalam untuk mengambil keputusan."
Anak-anak Tameyoshi kecewa, namun mereka tidak mendesak sang ayah karena jelas terlihat bahwa pria tua itu tersiksa.
Ketika seorang lagi kurir Yorinaga tiba, Tameyoshi menyampaikan balasan yang mengatakan bahwa dirinya sedang sakit sehingga tidak mungkin hadir; sedangkan kepada kurir yang mengantarkan surat dari putranya Yoshitomo, dia dengan tegas mengatakan bahwa putranya tidak perlu mengharapkan balasan. Ketika membaca kembali surat dari putranya, bagaimanapun, mata Tameyoshi berkaca-kaca.
Yoshitomo menulis, "Mustahil sebuah negara dipegang oleh dua orang penguasa. Apa pun pernyataan Mantan Kaisar, tugasku adalah melindungi Kaisar. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menjaga kesetiaan kepada beliau.
Aku memohon kepadamu, Ayah, dan kepada saudara-saudaraku, untuk mengangkat senjata demi Kaisar dan hadir di sini secepatnya. Aku memahami perasaan Ayah.
Aku tahu bahwa ada begitu banyak pertimbangan yang menyulitkan Ayah untuk mengambil keputusan, namun tidak ada pilihan lagi kecuali mendukung pihak kami.
Hatiku pedih ketika memikirkan bahwa kita, yang berasal dari klan yang sama, terikat oleh darah, akan saling mengangkat senjata. Seandainya pasukan Mantan Kaisar datang untuk menghalangi kepergian Ayah, aku sendiri akan menjemput dan mengawal Ayah. Anakmu yang tidak tahu berterima kasih ini sangat mencemaskanmu, ayahku
yang telah berumur. Seberat apa pun, ambillah keputusan ini sekarang, dan mari kita saksikan derajat Ayah meningkat di samping mereka yang bertempur untuk Kaisar. Putra-putra Ayah yang lain akan siap bersatu padu untuk menolong Ayah melewati kesulitan ini."
Kebanggaan membuncah di dalam hati Tameyoshi.
Tidak diragukan lagi, putranyalah yang telah berbicara.
Keraguan kembali menderanya ketika Penasihat Norinaga hadir lagi dengan membawa penawaran terakhir dari Yorinaga. Tameyoshi menolaknya dengan halus,
"Katakanlah kepada beliau bahwa Tameyoshi sudah tua dan sakit-sakitan."
Tetapi, Norinaga bersikeras dan menolak untuk menerima jawaban ini. "Saya memahami betul perasaan Anda. Mungkinkah, bagaimanapun, Genji Tameyoshi, yang berutang budi sangat besar kepada Menteri, ternyata tidak tahu berterima kasih" Apakah Genji Tameyoshi menolak dan menyambut gembira kekalahan Mantan Kaisar?"
Sekali lagi, Tameyoshi memprotes, "Walaupun mereka mendesak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya sudah terlalu renta untuk berperang."
"Cukup bagi kami jika Anda menegaskan dukungan Anda kepada kami. Pembahasan strategi perang tidak akan dilakukan sebelum Anda datang. Mereka bersedia menunggu kehadiran Anda."
Tameyoshi yang letih terdiam, menatap hampa kepada Norinaga. Dia akhirnya berkata, "Semalam, saya bermimpi
... mimpi buruk. Saya melihat delapan pasang baju zirah Genji di dalam mimpi itu. Angin topan hebat tiba-tiba muncul dan mencabik-cabiknya, dan saya terjaga. Sekarang saya mengerti bahwa perang ini tidak akan berdampak baik
bagi klan kami. Bencana sedang menggelayuti klan Genji"." : v. I
"Sungguh mengherankan saya bahwa seorang samurai seperti Anda memercayai mimpi. Bagaimana mungkin saya menyampaikan jawaban Anda ini" Saya tidak akan pergi sebelum Anda memberikan jawaban yang pasti. Anda menempatkan saya di dalam sebuah posisi yang sangat sulit; saya akan menunggu di sini hingga matahari terbit kembali."
Tameyoshi baru menyadari bahwa mereka berbicara dalam kegelapan; seseorang terdengar mengatakan, "Aku membawa lilin, Ayah. Bolehkah aku masuk?" Seorang pemuda bertubuh jangkung dan kekar, berusia sekitar delapan belas tahun, masuk membawa lilin-lilin yang telah dinyalakan dan menatanya di tempat lilin. Ketika dia hendak keluar, Tameyoshi menghentikannya. "Sebentar, Tametomo, tunggu!" Menoleh kepada Norinaga, Tameyoshi berkata, "Anda mungkin pernah mendengar tentang putra saya yang terkenal dengan keganasannya bahkan ketika masih kanak-kanak. Dia adalah yang termuda dari kedelapan putra saya, dan satu-satunya petarung hebat. Anak-anak saya yang lain terlihat seperti prajurit kikuk jika dibandingkan dengan dirinya, namun Tametomo bisa mewakili saya jika diperbolehkan ... dan jika dia setuju ... saya akan mengirimnya atas nama saya.
Apakah kau bersedia, Tametomo?"
Pemuda itu dengan penuh semangat menjawab, "Aku akan pergi, jika Ayah menghendakinya."
o0odwkzo0o Walaupun dayang kesayangan Nyonya Bifukumon, Shimeko, tidak diangkat menjadi permaisuri, dia tetap tinggal di Istana untuk merawat Kaisar-kecil Konoy6. Dia
masih menghuni Istana setelah Konoy* wafat, kendati jumlah pelayan yang dipekerjakan untuknya banyak berkurang. Termasuk di antara orang-orang yang dengan teguh dipertahankannya adalah seorang dayang muda, Tokiwa. Tokiwa terpilih ketika berusia lima belas tahun dari ratusan gadis cantik yang menjadi calon dayang-dayang Shimeko. Dia belum lama tinggal di Istana ketika Genji Yoshitomo, terpikat oleh kemanisannya, secara diam-diam menjadikannya gundik. Maka, pada usianya yang kedua puluh. Tokiwa telah memiliki dua orang putra dari Yoshitomo. Atas dasar kasih sayang mendalam kepada Tokiwa, Shimeko memaafkan hubungan gelap dayangnya, sesuatu yang tentunya akan dikecam oleh Nyonya Bifukumon. Dan, karena mustahil untuk memisahkan Tokiwa dari anak-anaknya, Shimeko pun menawarkan kepadanya dan ibunya yang renta untuk menempati sebuah rumah kecil di dalam lingkungan Istana. Kendati begitu, Nyonya Shimeko tahu bahwa akan tiba waktunya ketika rahasia Tokiwa tidak bisa disembunyikan lagi, dan Tokiwa harus memilih antara melepaskan Gen|i Yoshitomo, samurai kesayangan Yorinaga, atau meninggalkan Istana.
Ketika hubungan antara Istana Kekaisaran dan Mantan Kaisar meruncing dan perang sepertinya tidak terhindarkan lagi, Yoshitomo tidak berani lagi mengunjungi Tokiwa.
Dalam salah satu kunjungan diam-diamnya, dia berpesan,
"Hapuslah air matamu, Sayangku. Jangan khawatir, aku masih akan mengenjungimu kalaupun perang pecah. Apa kau mengira bahwa aku akan membiarkan kedua buah hati kita menjadi musuhku?" Tertawa lembut, Yoshitomo membelai helaian rambut yang jatuh ke pipi basah Tokiwa dan menyelipkannya ke balik telinga mungil wanita itu, lalu berbisik, "Jangan katakan hal ini kepada siapa pun, namun jika perang pecah, aku dan pasukanku tidak akan ragu-ragu untuk membela Kaisar. Utang budiku kepada Menteri,
Yorinaga, tidak akan berarti jika Yang Mulia memanggilku.
Aku bukan boneka Menteri. Tidak peduli pihak mana pun yang akan dipilih oleh ayah dan saudara-saudaraku, aku akan tetap mendampingi Yang Mulia. Jangan mengkhawatirkan kemarahan Nyonya Bifukumon kepadamu gara-gara aku, karena mulai saat ini, kau bisa dengan bangga mengatakan bahwa Yoshitomo, kekasihmu, adalah salah seorang pendukung setia Kaisar."
Yoshitomo menangkupkan tangannya ke wajah Tokiwa, merengkuh tubuh kekasihnya itu, dan mencium bibirnya, yang merekah dalam sebuah senyuman. Tanpa memedulikan bayi yang tertidur dalam pelukan Tokiwa, Yoshitomo memeluknya erat-erat, membaurkan air mata mereka.
Kepanikan melanda ibu kota ketika gembar-gembor tentang perang tersebar. Para penduduk yang ketakutan, mengangkut kerabat mereka yang sakit, mengungsi keluar dari kota menuju perbukitan, membawa harta benda apa pun yang bisa mereka bawa. Ketakutan dan kecemasan Tokiwa, bagaimanapun, tampak sepele di samping kabar bahwa Yoshitomo adalah orang pertama yang bergabung dengan pasukan Kaisar. Hati Tokiwa melambung ketika mengetahui bahwa kekasihnya bersungguh-sungguh, bahwa panji-panji yang dibawa oleh Yoshitomo juga menjadi pernyataan cinta mereka. Sekarang, dia bisa dengan bangga mengumumkan kepada dunia bahwa dia adalah kekasih Yoshitomo. Tidak sabar untuk menyampaikan kabar ini kepada ibunya, Tokiwa bergegas menyelesaikan tugas malamnya; kemudian, dia menyembunyikan wajahnya di balik mantel musim panas, lalu menyelinap keluar. Dia tanpa sengaja mempercepat langkah menuju gerbang rumah karena merasa mendengar anak-anaknya menangis.
Kemudian ketika tangannya menyentuh gerbang, seseorang tiba-tiba mengagetkan "Apakah kamu Tokiwa?"
Siapakah Anda?" Tokiwa menjawab dengan waspada da menoleh dengan cemas kepada seorang pria berbaju zirah.
"Genji Yoshitomo mengirimku kemari"
"Aku membawa pesan untukmu. Pertempuran akan pecah di ibu kota besok pagi. Kau harus segera meninggalkan tempat ini"
"Ya, saya pulang untuk membicarakan soal itu dengan ibu saya"
"Bagaimana kabar anak-anakmu?"
"Mereka berdua baik-baik saja."
"Yang sulung tiga tahun; bayi saya baru berumur beberapa bulan"
"Kalau begitu ?" Pria itu bergumam. "Nama mereka?"
"Imawaka, dan bayi saya ... " Tokiwa, mendadak curiga, menatap lekat-lekat pria itu, yang tiba-tiba berlari kencang meninggalkannya. Sebelum pria itu menghilang dari pandangannya, sepuluh orang pelayan Yoshitomo muncul, mengatakan bahwa mereka dikirim untuk mengawal Tokiwa, dan tanpa berbasa-basi memasuki rumah dan mengemasi barang-barangnya. Dari mereka, Tokiwa tidak berhasil mendapatkan keterangan apa pun mengenai identitas pria asing yang baru saja menanyainya.
Menjelang tengah malam, pelayan Tameyoshi, Magoroku, kembali untuk melaporkan bahwa Tokiwa meninggalkan ibu kota pada malam itu juga bersama kedua anaknya.
"Apakah Anda juga hendak mengungsi, Tuan" Segera setelah Anda menetapkan pikiran ... "
Kegetiran menggelayuti wajah Tameyoshi dan lenyap di balik kerutan dalam yang segera terwujud dalam senyuman.
"Aku sudah menetapkan pikiran. Aku tidak boleh terus-menerus seperti ini, karena kaum muda tidak akan mau mendengarkan alasan. Tidak ada yang benar maupun salah bagi mereka karen mereka merasa harus menggerakkan badan, dan aku menyuruh mereka melakukan apa pun sesuka mereka." Tawa Tameyoshi tiba-tiba meledak.
"Apakah mereka sendiri akan berpihak kepada Mantan Kaisar?" "Apakah yang mungkin kulakukan sendiri di sini dengan tubuh rentaku ini" Apa kau percaya bahwa aku bisa menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya" Ini adalah takdirku nasib seorang samurai. Kita tidak boleh menunda-nunda lagi"untuk menjawab panggilannya, dan aku sudah siap berangkat. Yoshitomo sudah mengambil keputusan. Dia telah memercayakan nasibnya kepada Kaisar, dan dia tidak bisa mengubah pikirannya lagi."
"Sepertinya begitu."
"Begitulah. Dia telah memilih jalan yang akan diikutinya
". Ambilkan baju zirahku, Magoroku."
Hari-hari keheningan dan kebimbangan telah berakhir.
Tameyoshi mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian terberat dalam masa tuanya. Kepada Penasihat Norinaga, yang masih menantinya, Tameyoshi akan memberikan jawaban.
Delapan pasang baju zirah, harta warisan turun-temurun klan Genji sejak bergenerasi-generasi silam, dibawa masuk.
Tameyoshi memberikan sepasang kepada masing-masing putranya dan memerintahkan agar sepasang baju zirah dikirimkan pada malam itu juga kepada Yoshitomo.
Pada pagi hari ketika Tameyoshi berangkat ke istana di Shirakawa bersama putra-putra dan pasukannya untuk bergabung dengan pihak Sutoku, Kiyomori melaporkan diri ke Istana Kekaisaran.
Baru seminggu berlalu sejak Kaisar Kloister wafat.
Banyak di antara pejabat dan pegawai istana yang angkat tangan, menolak untuk ambil bagian dalam pertikaian yang semakin meruncing dan memilih untuk mengurung diri di kediaman mereka masing-masing. Penasihat Norinaga, setelah menyampaikan jawaban Tameyoshi kepada Mantan Kaisar, bertolak dari Shirakawa menuju salah satu biara di luar Kyoto dan memotong rambutnya. Fujiwara Tsunemone yang menemani Yorinaga ke Uji, menghilang tidak lama dan masih banyak pejabat istana lainnya yang menolak menjawab panggilan dari Istana.
o0odwkzo0o Motomori, Putera Kiyomori yang berangkat dari Kyoto pada pagi hari tanggal 10 menempati posisinya di Jalan Raya Oji pada siang hari.. Kegarangan para prajuritnya dan kesan berkuasa" dalam suara mereka menunjukkan bahwa mereka mengetahui betapa pentingnya peran baru mereka.
Orang-orang yang hendak memasuki Kyoto dari luar kota, yang belum mengetahui perkembangan yang terjadi di ibu kota, diperintahkan untuk kembali. Para pejabat dan pegawai istana yang berusaha melarikan diri dipaksa untuk mengurungkan niat mereka.
"Ya, ya! Siapa yang baru saja tiba?" Seorang bangsawan
... mengendarai kereta." Berhati-hatilah, dia membawa banyak rombongan bersamanya."
Sebuah kereta berdinding anyaman ranting mendekat, diikuti oleh sebuah kereta berhias ukiran logam. Sekitar dua puluh orang prajurit bersenjata memberikan kawalan.
"Berhentilah kalian!" seru para prajurit Motomori, menghalangi jalan. Mereka telah mendengar bahwa Yorinaga mungkin akan kembali ke Kyoto melewati rute yang mereka jaga dan yakin bahwa ini adalah rombongannya. Tetapi, penumpang kereta itu ternyata terbukti sebagai dua orang pejabat istana yang membawa dokumen yang mengesahkan bahwa mereka bepergian ke Uji untuk menyelesaikan urusan pribadi. Yorinaga, sementara itu, berhasil memasuki ibu kota menggunakan sebuah tandu melewati rute lain dan telah tiba dengan selamat di markas utamanya di Shirakawa.
Motomori dan pasukannya kecewa karena tidak berhasil menangkap Menteri Yorinaga. Saat matahari telah tenggelam; ketika mereka sedang mempersiapkan makan malam; sepuluh orang dan menahan sisanya. Tetapi, Chikaharu melawan sampai titik akhir, hingga tusukan sebuah tombak berkait menjatuhkannya dari kudanya.
Kemudian. Motomori segera menggiring para tahanannya ke ibu kota.
Ketika sedang bersiap-siap untuk kembali ke Jalan Raya Uji dari Istana, Motomori tertahan oleh sebuah upacara singkat, di mana para samurai dari golongan yang lebih tinggi memberinya berbagai pertanyaan.
Keesokan paginya, saat Kiyomori akhirnya tiba di Istana, dia disambut dengan ucapan selamat untuk kesuksesan Motomori dalam menangkap Genji Chikaharu hidup-hidup. Sambil tersenyum bangga, Kiyomori menyapa rekan-rekannya sesama panglima untuk mengumumkan kehadirannya dan meminta maaf atas keterlambatannya.
Orang yang terakhir disapanya adalah Yoshitomo.
"Ah. Heik6 Kiyomori!"
"Dan kau, Genji Yoshitomo!"
Tatapan mereka bertemu. Keheningan menyusul ketika masing- masing mengingat pertemuan pertama mereka, di pemakaman Toba Sojo, pada suatu siang musim gugur bertahun-tahun silam. Yoshikiyo Sato yang memperkenalkan mereka. Beberapa waktu kemudian, Yoshikiyo kabur dari rumahnya, menjalani penahbisan, dan mengubah namanya menjadi Saigyo, biksu penyair yang berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Enam belas tahun telah berlalu, walaupun peristiwa itu rasanya baru terjadi kemarin. Banyak perubahan telah terjadi di ibu kota sejak saat itu. Sebagian dari teman-teman masa muda mereka telah meninggal atau pergi dari Kyoto. Keduanya tidak pernah mengira akan bertemu kembali dalam keadaan seperti ini-menjadi rekan sejawat dalam membela Kaisar.
Mereka juga bersaing-Genji dan Heik6-namun sebuah tujuan bersama
mengikat mereka menjadi saudara seperjuangan.
"Aku cemas memikirkanmu," kata Yoshitomo, banyak desas-desus mengenai dirimu. Aku benar-benar lega eti akhirnya kau datang dan bergabung bersama kami di sini.
"Aku mengirim putraku beserta sebagian pasukanku terlebih dahulu agar bisa mengerahkan lebih banyak kekuatan. Aku minta maaf atas keterlambatanku."
"Tapi, kau pasti senang ketika mengetahui bahwa putramu telah berhasil membuat dirinya dikenal."
Kiyomori tertawa. "Dan ternyata kemampuan para pemuda itu melampaui para pendahulunya ... mencuri kemenangan kita!"
"Aku iri kepadamu," kata Yoshitomo, "karena keluargamu tidak terpecah belah dan harus saling melawan seperti keluargaku."
Senyum Kiyomori seketika lenyap. Di tengah buncahan kebanggaannya kepada Motomori, tidak pernah terpikir olehnya apa makna perang saudara ini bagi Yoshitomo.
Beban baju zirahnya semakin membuatnya gelisah; dia mengorek-ngorek pikirannya untuk mencari ungkapan simpati yang entah mengapa menolak untuk hadir, menatap kikuk ke depan, lalu dengan salam perpisahan yang buru-buru diucapkan, membalikkan badan dan meninggalkan Yoshitomo.
Yoshitomo mengernyitkan kening ketika Kiyomori mendadak menghadapkan punggung kokohnya kepadanya.
Pada hari yang sama, pihak Kaisar memindahkan Istana Kekaisaran ke bagian utara pusat kota, tempat markas utama pasukan Kaisar berada. Berdasarkan saran Yoshitomo, diputuskan bahwa serangan pertama ke istana di Shirakawa akan dilakukan secara mendadak pada malam itu juga, karena pasukan Yorinaga diperkirakan baru akan tiba keesokan harinya. Gerakan ini, Yoshitomo menegaskan, akan mencegah terjadinya serangan tiga lapis ke Istana Kekaisaran.
Sementara itu. Tameyoshi dan putra-putranya, beserta pasukan berkuda dan berjalan kaki mereka, tiba di Shirakawa, tempat mereka menemukan Mantan Kaisar dan para penasihatnya menanti dengan penuh kecemasan.
Kabar mengenai penangkapan Chikaharu pada malam sebelumnya menambah keresahan mereka akibat pasukan Yorinaga dari provinsi-provinsi yang lain juga gagal datang.
Yonnaga mengharapkan tiga ribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki akan tiba tepat waktu untuk melakukan serangan besar-besaran ke ibu kota, namun hanya sekitar seribu enam ratus atau seribu tujuh ratus orang yang telah melaporkan diri. Para biksu bersenjeta dari Nara dan Yoshino, yang telah menjanjikan bantuan, juga baru akan
datang keesokan harinya. Kerisauan semakin memuncak malam itu ketika Yorinaga memandang ke seberang Sungai Kamo dan melihat semburat matahari di ufuk barat tertutup oleh gumpalan asap tebal. Beberapa saat kemudian, datanglah kurir-kurir yang mengabarkan bahwa Istana Mata Air Dedalu, yang dijadikan pangkalan oleh sebagian pasukan Yorinaga, telah terbakar. Walaupun Yorinaga memerintahkan agar bantuan dikirim ke sana, Genji Tameyoshi dan Tadamasa (paman Kiyomori) berpendapat lain, menekankan pentingnya memperkuat pertahanan di Istana Shirakawa.
Tadamasa beserta ketiga ratus prajurit berkuda dan berjalan kakinya, dibantu oleh seratus orang prajurit Yorinaga, berjaga- jaga di gerbang timur Istana, menghadap ke kaki Gunung Hiei. Di sisi lain Istana, di gerbang barat yang menghadap ke Sungai Kamo, Tameyoshi berjaga-jaga bersama pasukan terpilihnya. Putra bungsunya, Tametomo, beserta pasukan berkekuatan seratus orang prajurit berkuda dan berjalan kaki, menjaga gerbang yang lebih kecil di sisi yang sama.
Yorinaga, ketika memeriksa pertahanan Istana, tidak sanggup menyembunyikan kekecewaan akibat lemahnya pertahanan mereka, meskipun bantuan dari Tameyoshi bisa dikatakan hampir setara dengan penambahan sepuluh ribu orang prajurit, namun semangat Yorinaga melambung ketika dia melihat Tametomo dan dua puluh orang prajurit berkudanya. Mereka telah menjalani pendidikan seni perang di Kyushu, tempat popularitas Tametomo sebagai seorang petarung melegenda. Yorinaga mengamati pemuda itu dengan penasaran. Tametomo menjulang lebih jangkung sekepala daripada orang-orang terjangkung di sekelilingnya.
Dia mengenakan baju zirah berat bertali-temali putih di atas kimono biru tua dan membawa sebilah pedang panjang
bersarung kulit beruang. Salah seorang prajuritnya membawakan helm besinya. Inilah Tametomo si beringas, pemuda liar dan keras kepala yang telah memberikan banyak masalah kepada ayahnya, dan akhirnya dikirim ke Kyushu untuk diasuh oleh kerabatnya ketika berusia tiga belas tahun. Di Kyushu, pada usia tujuh belas tahun, Tametomo telah dikenal sebagai seorang samurai beringas dan diangkat menjadi salah seorang panglima perang di daerahnya.
Yorinaga menghampiri Tametomo untuk menanyakan tentang pendapat pemuda itu mengenai strategi perang mereka, dan mendapatkan jawaban, "Kita tidak akan bisa menang kecuali jika melakukan serangan pada malam hari.
Semestinya, malam inilah kesempatan kita. Saya agak terkejut melihat keengganan orang-orang untuk melakukannya."
"Sebuah taktik yang akan terpikir oleh prajurit yang paling tidak berpengalaman sekalipun" ... Yorinaga tersenyum ... "dan kita sudah mempersiapkan diri untuk itu."
"Jika begitu," lanjut Tametomo, "kita harus melumpuhkan musuh di ibu kota dari kedua bagian samping dan bagian belakang dengan api, lalu mengerahkan pasukan kita untuk menyerbu dari depan.
Dengan begitu, kita bisa memerangkap musuh kita, sekaligus mengambil manfaat sebesar mungkin dari jumlah pasukan kita yang kecil."
"Bagaimana jika kakakmu Yoshitomo menyerang lebih dahulu?"
"Saya akan menembakkan anak panah menembus helmnya dan memaksanya memindahkan dukungan."
"Heik? Kiyomori, kudengar, juga ada di sana."
"Tidak ada yang lebih membanggakan daripada menghabisi pasukannya, lalu menyerbu ke Istana dan menahan Kaisar. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang. Sekarang ... sebelum matahari terbit."
"Sebuah siasat menantang, menurutku," Yorinaga tersenyum penuh arti, "dan cukup bagus, kurasa, jika ini adalah pertempuran kecil-kecilan yang melibatkan sepuluh atau dua puluh orang prajurit berkudamu di Kyushu ...
tempat namamu cukup tersohor. Tapi kau harus menyadari bahwa operasi kita di sini berskala jauh lebih besar.
Menurutku, Tametomo, pendapatmu tidak terlalu berarti bagi kami di sini."
Dengan wajah kecut, Tametomo kembali ke posisinya dan meletakkan tameng besarnya, lalu tidur hingga pagi tiba.
o0odwkzo0o "Musuh telah menyerang!" "Musuh telah menyeberangi sungai!"
Teriakan dan pekikan perang terdengar sebelum fajar menyingsing pada tanggal 12. Kepanikan melanda Istana, diwarnai oleh dentangan senjata dan ringkikan kuda. Para pemanah, yang berbaris di sepanjang tembok Istana Shirakawa, telah membidikkan anak panah mereka ke musuh yang mendekat.
Yoshitomo, yang memimpin lebih dari seribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki. tiba di tepi Sungai Kamo di seberang Istana Shirakawa, dan bersiap-siap untuk menyerang ketika melihat fajar telah menyingsing di bahu Gunung Hiei. Menyadari bahwa melakukan penyerangan di bawah sinar matahari yang terang benderang tidak akan menguntungkan bagi mereka, Yoshitomo menggiring pasukannya perlahan-lahan ke utara hingga tiba di suatu
tempat yang mustahil dijangkau oleh anak panah lawan mereka.
Genji Tameyoshi memerintahkan agar gerbang selatan dan barat dibuka, dan hendak memimpin barisan ketika Tametomo tiba-tiba memacu kudanya ke arahnya dan berseru. "Izinkan aku melakukan serangan pertama!" Dia segera disusul oleh Yorikata, kakaknya, yang memprotes haknya untuk memimpin serangan pertama. Tametomo mengabaikan kakaknya, dengan garang meneriakkan bahwa dia tidak
peduli, dan melaju ke gerbang barat di tepi sungai.
Dalam temaram fajar, Yorikata memacu kudanya ke arah daerah kekuasaan musuh dan menyerukan tantangan,
"Siapa yang ada disana, Genji atau Heik6" Aku Yorikata, putra keempat Genji Tameyoshi Genji!"
Salah seorang prajurit Yoshitomo menjawab tantangan itu, memberikan nama dan kedudukannya sebagai pelayan Yoshitomo. Tuan Shimotsuk6. Menuntut jawaban dari sang panglima sendiri, Yorikata secara berturut-turut menembakkan dua buah anak panah ke dekat tempat Yoshitomo menunggangi kudanya. Dia melihat dua orang penunggang kuda roboh terkena anak panahnya, lalu membalikkan badan, ketika sebuah anak panah mendadak menyerempet helmnya. Tanpa menghiraukannya, Yorikata memacu kembali kudanya ke arah rekan-rekannya yang bersorak sorai menyambutnya.
Murka melihat dua orang prajuritnya terluka, Yoshitomo mengejar Yorikata, bersumpah akan membalas saudaranya itu atas kebengisannya, namun para prajuritnya dengan susah payah menahannya.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiyomori, sementara itu, berkuda di sepanjang sisi kiri sungai bersama lebih dari delapan ratus orang prajurit
berkuda menuju sebuah titik di sebelah utara Istana Shirakawa dan menantikan Yoshitomo membuka serangan.
Ketika matahari terbit dan kabut tebal yang menyelimuti sungai menipis, Kiyomori melihat bahwa pasukan Yoshitomo telah siap siaga. Walaupun mereka berdua sama- sama belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, jantung Kiyomori mulai berdegup kencang. Pekikan-pekikan perang semakin gencar terdengar dari kedua belah pihak Dari balik kabut yang mulai lenyap, dia melihat betapa jarak di antara pihak yang bermusuhan semakin tipis. Tiba-tiba, lima puluh orang penunggang kuda memisahkan diri dari pasukan Kiyomori dan menghampiri tepi sungai di seberang gerbang yang dijaga oleh Tametomo. Tiga orang samurai berkuda maju dan menuntut nama panglima yang bertanggung jawab atas gerbang itu, setelah sebelumnya memperkenalkan diri sebagai pelayan Heike Kiyomori.
Sebuah suara nyaring terdengar melampaui gemuruh arus sungai.
"Aku Tametomo, putra Tameyoshi. Anak panahku tidak pantas disia-siakan untuk prajurit rendahan seperti kalian.
Pemimpin kalian sekalipun, Heike Kiyomori, bukan lawan yang sepadan untukku Kembalilah ke pasukanmu dan katakan kepadanya untuk datang sendiri kemari."
Tiga buah anak panah seketika melesat ke arah Tametomo Pemuda itu dengan sigap menghindar sembari menembakkan anak panahnya, yang berdesing nyaring dan menembus dada salah seorang prajurit Kiyomori, lalu menancap di pelindung bahu prajurit lainnya. Kuda yang telah kehilangan penunggangnya berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan meringkik liar; para penunggang kuda di seberang sungai serempak maju, membidikkan anak panah untuk melindungi kedua rekan mereka dan tunggangan
mereka yang menggila, sementara hujan anak panah datang dari pihak musuh.
Tanah seolah-olah bergetar dan bergemuruh di bawah kaki Kiyomori; kudanya, dengan lubang hidung kembang kempis, mendadak bergerak-gerak gelisah dan mengibas-ngibaskan surainya. "Ada apa?" tanyanya dengan tegas.
Para prajurit berkuda di sekeliling Kiyomori sedang mencegahnya menghela tali kekang kudanya, ketika seorang samurai berkuda menghampirinya dan berseru:
"Itoroku telah tumbang! Tamemoto memanahnya. Tuan, Anda akan menjadi sasaran selanjutnya jika tidak menjauh dari jarak tembak anak panahnya."
"Apa, Itoroku telah tumbang" Mengapa kita harus takut kepada anak bungsu Tameyoshi?"
"Tuan, lihatlah sendiri ... anak panah ini!"
Dari pelindung bahunya, prajurit itu menarik sebatang anak panah besar dan menyerahkannya kepada Kiyomori.
Anak panah itu terbuat dari bambu berumur tiga tahun yang terpoles mulus, dengan ujung besi tajam di ujungnya dan ekor burung kuau.
"Aku mengerti ... anak panah yang jahat, cocok untuk menumbangkan iblis. Pantas jika semua orang takut kepadanya.
Kiyomon memeriksa anak panah itu dengan cermat lalu tiba-tiba mengatakan. Tidak ada alasan bagi kita untuk menyeran*
gerbang ini. Aku tidak mendapatkan perintah khusus dan hanya
memilihnya secara acak. jika yang baru saja terjadi di sini
menceluskan hati kita, sebaiknya kita mencoba Gerbang Utara. Ke Gerbang Utara!"
Mendengar perintah sang panglima, pasukan Kiyomori segera bergerak ke utara, namun putra sulung Kiyomori.
Shigemori, yang juga mendengar perintah itu, berseru:
"Sungguh konyol! Benar-benar konyol, memilih Gerbang Utara hanya gara-gara anak panah Tametomo. Sungguh memalukan bagi kita yang membela nama Kaisar!"
Mengajak serta sekitar tiga puluh orang prajurit berkuda yang ada di dekatnya, Shigemori serta merta menyongsong musuhnya.
"Hentikan dia! Bawa dia kemari!" Kiyomori memerintah orang-orang di sekelilingnya, "hanya orang gila yang cukup gegabah menghadapi anak panah itu dan mempertaruhkan nyawanya!"
Dari jarak jauh sekalipun Shigemori bisa menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuhnya, karena dia mengenakan kimono merah di bawah baju zirahnya dan menyandang sarung gemuk berisi dua puluh empat batang anak panah di punggungnya. Para prajurit dengan susah payah menahannya, karena Shigemori, yang memprotes sikap pengecut ayahnya dengan lantang dan gusar, terus berusaha untuk melepaskan diri, hingga salah seorang anak buahnya berkata, "Biarkanlah saya maju mewakili Anda dan menghadapi Tametomo sendiri." Prajurit itu, Koreyuki, telah melesat pergi sebelum teman-temannya bisa melarangnya, diiringi oleh teriakan- teriakan "Kembalilah, kembalilah!" Koreyuki menoleh dan menjawab, "jangan menyertaiku, apalagi menyusulku. Perhatikan saja!"
Ditemani oleh dua orang prajurit berjalan kaki, Koreyuki menyusuri sungai. Tametomo keluar untuk menemuinya, tetapi, melihat bahwa prajurit itu ragu-ragu, dia memasuki gerbang dan menutupnya. Setelah memasuki jarak tembak dari gerbang. Koreyuki meneriakkan tantangannya kepada Tametomo, yang akhi memacu kudanya keluar dan menjawab dengan nada meremehkan "Selamat datang, prajurit kurang ajar! Aku Tametomo. Kau boleh menembakkan anak panahmu lebih dahulu kepadaku.
Selanjutn adalah giliranku."
Bahkan sebelum Tametomo selesai berbicara, anak panah Koreyuki telah menancap di pelindung paha kirinya.
Sementara Koreyuki terburu-buru memasang sebatang lagi anak panah ke busurnya, Tametomo menembakkan anak panahnya, yang langsung menembus paha Koreyuki dan menancap di pelananya dalam sekejap mata memakunya.
Para prajurit Koreyuki dengan sigap menangkapnya ketika dia limbung dan terjatuh dari kudanya Keduanya memanggul Koreyuki dan kembali ke pasukan mereka secepat kaki mereka bisa berlari.
Kuda yang telah kehilangan penunggangnya, bersimbah darah, berlari liar di sepanjang tepi sungai ke arah hilir, tempat pasukan Yoshitomo bersiaga. Beberapa orang prajurit Yoshitomo berlari menyongsong si kuda gila karena khawatir binatang itu akan mengamuk di tengah-tengah pasukan mereka. Terdengar teriakan- teriakan "Tangkap kuda itu, tangkap kuda itu, tarik tali kekangnya!" hingga mereka akhirnya bisa menangkapnya; kemudian, mereka menemukan sebuah pijakan kaki yang lengket oleh darah dan sebuah mata panah besar yang tertancap di pelana.
"Lihat, bukankah ini sebuah mata panah" Siapakah pemilik panah sedahsyat ini?"
"Tentunya itu milik Genji Tametomo."
Salah seorang pelayan Yoshitomo membawa kuda itu kepadanya dan berkata, "Tuan, lihatlah ini! Saya sudah pernah mendengar tentang anak panah semacam ini, namun tidak pernah percaya akan melihatnya."
Yoshitomo, bagaimanapun, tidak tampak terkesan. Dia tersenyum tipis, seolah-olah mengasihani Masakiyo atas keluguannya. "Ayolah, Tametomo masih remaja dan tidak akan sanggup menarik busur
sekuat itu. Menurutku, ini adalah tipuan licik untuk menakut-nakuti kita. Masakiyo, aku akan membagi pasukan kita menjadi dua bagian dan salah satunya bertugas menyerang gerbang Tametomo"
Masakiyo, beserta dua ratus orang prajurit berjalan kaki menuju sebuah gerbang di tembok barat Mengerahkan seluruh keberaniannya untuk menantang Tametomo, yang langsung meladeni panggilannya.
"Ternyata kau Masakiyo, pelayan Tuan Yoshitomo. Apa kau datang untuk menawarkan diri menjadi sasaran anak panahku?"
Sesaat, Masakiyo tampak gentar, namun dia berhasil menghimpun ketenangan dan menjawab dengan gagah,
"Saya adalah salah satu pengikut setia Kaisar. Tugas saya adalah membunuh pengkhianat!" Bersama kata-kata itu, dia menembakkan anak panahnya, lalu cepat-cepat kembali ke pasukannya. Anak panah itu menancap di pelindung leher di helm Tametomo. Pemuda itu mencabutnya dan membantingnya ke tanah, lalu berseru lantang, "Jadi, kau berani menghinaku, Masakiyo" Aku akan menangkapmu dengan tangan kosong agar bisa memandang wajahmu dan melihat siapa dirimu yang sesungguhnya."
Tametomo mengejar Masakiyo, yang memacu kudanya sambil memekik-mekik ngeri. Tametomo, mengempit
busurnya dengan satu lengan dan melambai dengan lengannya yang lain, terus memacu kudanya untuk mengejar Masakiyo hingga teriakan panik para prajuritnya mendorongnya untuk segera kembali ke posisinya.
Yoshitomo, yang mengamati kejadian itu dari kejauhan, melihat adiknya mundur. Dia segera memerintahkan lima orang anak buah terbaiknya untuk berkuda bersamanya ke pos Tametomo, dengan mengatakan, "Busur Tametomo bagus untuk pertempuran di laut, namun kemampuan berkudanya lebih lemah daripada kita."
Matahari telah tinggi di langit, dan nyanyian jangkrik terdengar dari sela-sela pepohonan musim panas.
Tametomo berputar ketika mendengar seseorang berseru di belakangnya dan menyongsong para penunggang kuda yang menghampirinya. Seorang samurai yang menunggang kuda hita dengan penampilan yang menunjukkan kedudukannya sebagai panglima perang, menghadangnya.
Panglima itu mengenakan helm bertanduk dan baju zirah klan Genji.
"Aku Genji Yoshitomo, hadir atas nama Kaisar.
Siapakah dirimu yang telah berani mengangkat pedang kepada penguasa yang sah" Jika kau berasal dari klan yang sama denganku, turunkanlah senjatamu dan bubarkanlah pasukanmu. Aku memperingatkanmu demi kepentinganmu sendiri."
Tametomo menatap lekat-lekat wajah kakaknya dan berseru "Ketahuilah siapa diriku. Aku adalah putra Genji Tameyoshi, yang siap sedia memenuhi panggilan pengayomnya, dan aku tetap setia mengawal ayahku dalam keadaan hidup dan mati. Aku bukan anak yang tak tahu diuntung karena melupakan ayahnya demi kecintaan pada ketenaran. Aku bukan bajingan, dan aku, Tametomo, akan
melawan setiap anjing atau siapa pun yang menyebut dirinya musuhku."
Kau berani mengatakan itu kepadaku, Tametomo?" "Ya.
Mulutku telah berhari-hari gatal karena ingin mengatakan itu kepadamu."
"Apakah kau, adikku, berani melawanku" Apakah kau menolak untuk mengakui kepemimpinan sah Kaisar" Jika kau menghormati beliau dan menghargai jalan kebajikan, turunkanlah busurmu dan bersujudlah di hadapanku."
"Aku mungkin bersalah karena melawan kakakku sendiri,
namun apakah sikapmu yang melawan ayahmu sendiri itu bisa dibenarkan?"
o0odwkzo0o Jalan berlajur tiga di sepanjang tembok barat dan utara Kuil Hoshogon-in di antara Shirakawa dan Kamo menjadi medan sebuah pertempuran paling berdarah hari itu. Di seberang jalan, seruas sungai berkelok-kelok melewati sebentang tanah datar,
hanya dipotong oleh sebuah hutan kecil yang melingkari atap- atap dan menara-menara Kuil Shichikatsu-ji, dengan latar belakang kaki Gunung Hiei. Di sana, kedua belah pihak bertempur hingo titik darah penghabisan, dan pertempuran terus berlangsung bahkan hingga matahari tenggelam. Di antara gumpalan debu yang mengaburkan pandangan, Tametomo sesekali bisa melihat kakaknya, Yoshitomo, yang tampak mencolok dalam balutan baju zirah Genjinya, dan kerap tergoda untuk menembakkan anak panahnya ke sosok tangguh itu. Walaupun kedengarannya tidak masuk akal, Tametomo ingin memercayai bahwa sebuah kesepakatan rahasia telah dibuat
oleh ayahnya dan Yoshitomo, dan siapa pun yang menang akan mengampuni pihak yang kalah. Tametomo tidak menggunakan busurnya kecuali jika ditantang, dan dia menyadari bahwa kakaknya pun begitu. Tetapi, tidak gentar pada panah mematikan Tametomo, para prajurit Yoshitomo menyerang dengan membabi buta tanpa memedulikan kawan maupun lawan.
Walaupun dua puluh tiga orang penunggang kuda terbaik di pasukan Tametomo telah terbunuh dan sisanya terluka, lima puluh tiga orang prajurit terbaik Yoshitomo tewas dan sekitar delapan puluh orang lainnya terluka.
Mayat-mayat bersimbah darah bergelimpangan di medan perang sementara pertempuran terus berlangsung. Yakin bahwa nasib baik sedang menaunginya, Tametomo memanggil anak buahnya:
"Aku akan menggertak panglima mereka dengan anak panahku, dan setelah mereka mulai mundur, kita akan menyerbu dan mengobrak-abrik pasukan mereka."
Tametomo mengunci jemarinya di busur beratnya dan menarik talinya.
"Ah, apakah ini aman, Tuan" Bagaimana jika ... "
"Cukup mudah, lenganku masih ingat pada keahliannya."
Tametomo membidikkan anak panahnya ke bintang di helm Yoshitomo. Gumpalan debu dan senjata-senjata yang beradu mengaburkan pandangannya, namun dia tetap menarik napas dalam-dalam dan melepaskan anak panahnya. Dia menyaksikan a panah itu melesat ke sebuah titik di helm Yoshitomo, menyerempe sasarannya, dan terus melesat hingga menancap di salah satu pil^ di gerbang kuil.
Menanggapi tindakan adiknya, Yoshitomo menyair^ tali kekang dan memacu kudanya dengan murka, berteriak lantan kepada Tametomo, "Benar-benar tembakan parah
dari seseorang yang tidak tertandingi keahliannya di Kyushu!"
"Tidak, tidak, kau mungkin musuhku, namun hatiku mengatakan bahwa kau adalah kakaku, dan aku hanya membidik bintang di helmmu. Namun jika kau menghendakinya, aku bisa melakukan yang lebih baik,"
jawab Tametomo. Terbakar amarah, Tametomo kembali memasang sebatang anak panah ke busurnya, ketika salah seorang pelayan Yoshitomo, yang mengkhawatirkan keselamatan majikannya, tiba-tiba menghambur seraya mengacungkan lembing ke kaki kudanya. Pekikan memilukan terdengar; darah dan debu bercampur ketika prajurit itu roboh dengan leher terkoyak oleh anak panah Tametomo.
Kedua belah pihak telah melebur dalam sebuah pertempuran satu lawan satu hingga titik darah penghabisan. Perwira Tametomo telah tumbang, dan hanya ada beberapa orang prajurit yang dibawanya dari Kyushu yang masih bertahan, karena keahlian Tametomo menggunakan busurnya tidak terlalu berarti jika dibandingkan dengan pasukan Yoshitomo yang berkekuatan jauh lebih besar. Hari dengan cepat menjadi gelap meskipun malam baru akan turun beberapa jam lagi, dan di balik asap hitam yang menyelimuti mereka, matahari dapat terlihat di langit barat bagaikan
sebuah cakram perunggu. Beberapa saat sebelumnya, Yoshitomo telah mengirim kurir ke Istana Kekaisaran dengan pesan, "Melihat keadaan saat ini, kita telah berada di atas angin. Saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi jika bantuan kekuatan di pihak musuh tiba malam mi; pertempuran mungkin akan meluas hingga ibu kota. Kita hanya a bisa menang dengan
membumihanguskan Istana Shirakawa. Kendati tidak menghendaki pembakaran terhadap bangunan-bangunan suci yang berada di dekat tempat ini dan menyaksikannya hancur lebur menjadi abu, untuk menyelamatkan penduduk ibu kota dari nasib serupa, saya menantikan perintah untuk melanjutkan tindakan. Jika diperintahkan untuk melanjutkan pertempuran, maka itulah yang akan kami laksanakan."
Jawaban yang diterima oleh Yoshitomo menyatakan bahwa dia harus mengambil tindakan terbaik menurutnya.
Maka, para prajuritnya memilih sebuah bangunan di dekat Istana Shirakawa dan membakarnya. Hujan tidak turun selama beberapa hari sehingga semuanya sekering kayu bakar; angin barat yang bertiup kencang menyebarkan api ke istal dan ruang pelayan di bagian selatan Istana, dan dalam sekejap, bagian utara Istana juga telah berselimut asap.
"Mereka telah melakukannya! Pembakaran lebih menakutkanku daripada pasukan Yoshitomo. Dia tahu betul cara memperoleh kemenangan." Tametomo berdiri terpaku di medan laga tempat para prajuritnya bergelimpangan di sekelilingnya dan memandang api yang menjangkau langit, tertawa putus asa. "Dia memang tidak mengenal rasa takut, namun aku mengkhawatirkan ayahku yang renta. Kita harus mencari cara untuk mundur dengan selamat"
Mengumpulkan para prajuritnya yang masih bertahan, Tametomo memacu kudanya meninggalkan medan laga di tengah-tengah hujan anak panah.
Tameyoshi dan kelima putranya yang lain berhasil mempertahankan tembok barat dan selatan Istana sepanjang hari itu, namun Tadamasa, yang menjaga tembok timur, harus meminta bantuan beberapa kali ketika
musuh berhasil mendobrak masuk. Dia telah kehilangan hasrat untuk bertempur karena kekalahan sepertinya sudah tidak terhindarkan lagi. Api melalap tembok Istana dan menyebar tanpa kenal ampun dari pohon ke pohon, mendekat dan melalapkan asap hitamnya ke Istana.
o0odwkzo0o Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH
Pekikan-pekikan perang para prajurit dan desingan panah menghampiri gerbang-gerbang Istana Shirakawa bagaikan badai. Jeritan putus asa terdengar dari sejumlah ruangan di dalam Istana, dan langkah-langkah kaki yang sigap bergema di sepanjang lorong- lorongnya.
"Selamatkan nyawamu ... selamatkan nyawamu ...
sekarang!" "Yang Mulia! Beliau harus dilarikan."
"Musuh telah tiba di gerbang! Jangan sampai kita kehilangan waktu! Sekarang waktunya meloloskan diri, atau kita akan terbakar hidup-hidup di sini!"
lyehiro dan putranya menghambur memasuki deretan ruangan tempat Mantan Kaisar Sutoku dan para pengiringnya yang kebingungan duduk ketakutan.
"Ke gerbang kecil di utara ... kita bisa keluar dari sana.
Sekarang juga" Yorinaga, tersadar dari keterpakuannya, memohon,
"lyehiro, lyehiro, selamatkan kami!"
Ujung sebuah langkan, yang melingkari bagian Istana itu, tiba- tiba terlalap api. Sesaat kemudian, asap tebal yang menyesakkan napas menggulung ke bawah, menelan bulat-
bulat semua orang dan kuda yang dilewatinya. Mantan Kaisar Sutoku, yang bergegas menaiki kudanya, berpegangan erat-erat ke pelananya, tidak berdaya dalam menenangkan tunggangannya yang panik, hingga seorang juru tulis muncul di belakangnya dan mendorong kudanya menuju salah satu gerbang. Yorinaga menyusul bersama seorang pejabat istana yang membonceng di belakangnya.
Api menggemuruh dan melalap labirin bangunan di bagian utara Istana; menghanguskan pepohonan dan menimbulkan hujan bara. Panas yang tidak tertahankan mendatangkan angin puyuh yang melontar-lontarkan manusia dan kuda ke sana kemari.
Ketika memacu kudanya melewati salah satu gerbang kecil, Yorinaga mendadak mengeluarkan jeritan memilukan dan terjatuh dari pelananya, menyeret kawan seperjalanannya bersamanya. Para penunggang kuda lainnya berhenti untuk melihat apa yang terjadi dan mendapati Yorinaga berkelojotan kesakitan, sebatang anak panah menancap di lehernya; darah memancar dari lukanya, dengan cepat membasahi seluruh kimono berburu biru mudanya.
"Cepat ... cabut anak panahnya!" para pejabat istana saling menyuruh, namun tidak seorang pun bertindak hingga seorang ajudan menghampiri mereka.
"Kita tidak punya banyak waktu! Jika musuh menemukan kita, semuanya tamat," serunya. Kemudian, pria itu berlutut dan mencabut anak panah yang menancap di leher Yorinaga, menyumbat lukanya, dan memerintahkan dua orang pegawai istana untuk memindahkan sang menteri ke sebuah gubuk petani di dekat Istana dan meninggalkannya di sana.
Mantan Kaisar Sutoku, sementara itu, telah tiba di kaki Perbukitan Timur, tempatnya meninggalkan kudanya dan, ditemani oleh Genji Tameyoshi, Tadamasa, dan beberapa orang pejabat istana, dengan susah payah berjalan kaki menembus semak belukar. Letih dan pegal, Sutoku mengeluh kehausan. Para pengikutnya yang masih dirundung kepanikan, bagaimanapun, tidak berhasil mendapatkan air di bagian bukit itu karena musim kemarau panjang telah mengeringkan mata air yang ada di sana.
Tetapi, mereka tiba" tiba mendengar sebuah suara dari belakang mereka.
"Ini, ini air untuk Yang Mulia. Saya membawakan air untuk Y Mulia."
Para pengiring Sutoku terkejut melihat seorang pria dengan susah payah menembus semak belukar tebal dan menghampiri mereka. Dia adalah Asatori, juru kunci Mata Air Dedalu, yang segera bersujud di hadapan Sutoku.
"Ini adalah air dari Mata Air Dedalu, Yang Mulia," kata Asatori mengulurkan sebuah bumbung bambu hijau dengan tangan gemetar
Sutoku menatap Asatori dengan takjub. "Juru kunci Mata Air Dedalu!"
Asatori membungkuk dalam-dalam.
?" Asatori!" "Yang Mulia, bumbung bambu ini mungkin mengubah rasanya, namun air ini saya ambil dari mata air yang telah menjadi sumber air minum Yang Mulia sejak empat belas tahun terakhir ini"
"Tetapi, bagaimana ... apa alasanmu melakukan perjalanan sejauh ini demi membawakan air untukku?"
"Semua ini terasa bagaikan mimpi sekarang, namun baru kemarin lusa pasukan Kaisar menduduki Istana Mata Air Dedalu, dan pertempuran pecah di sana. Kendati bertekad untuk tetap tinggal di sana dan menjaga mata air, api mengusir saya."
Asatori berbicara dengan terburu-buru karena melihat para pengiring Mantan Kaisar sudah tidak sabar ingin melanjutkan perjalanan.
"Asatori, aku akan meminum air yang kaubawa dalam kebaikan hatimu ini ?" Mendekatkan bumbung bambu itu ke bibirnya, Mantan Kaisar minum dengan nikmat "Air ini sungguh menyegarkan. Semanis embun surga!" katanya, mengembalikan bumbung yang belum sepenuhnya kosong kepada Asatori. "Simpanlah sisanya, karena air ini terlalu berharga untuk dibuang."
Malam tiba, namun tidak ada waktu beristirahat bagi buronan karena pasukan Kaisar telah menyebar di perbukitan untuk mencari mereka. Terlalu lelah untuk memedulkan apa yang tenjadi, Sutoku memohon kepada para pengiringnya untuk menanggalkannya menyuruh mereka menyelamatkan diri mereka masmg-masmg.
Namun Tameyoshi, dengan mata berkaca-kaca menenangkannya "Kami tidak bisa meninggalkan Anda sendiri Yang Mulia. Anda harus berusaha bertahan hingga beberan han ke depan. Sungguh pedih hati saya melihat Yang Mulia har^ mengalami kesusahan seperti ini. Saya yakin bahwa kita akan sesera menemukan jalan raya menuju Omi. Setibanya di sana, kita bisa memutuskan apa yang akan kita lakukan untuk menebus kekalahan Sebelum mereka terdesak dan terpaksa mundur, Tameyoshi telah membahas sebuah rencana bersama Yorinaga. namun ketika itu, sang menten dengan yakin menyanggahnya. Tameyoshi berencana untuk, seandainya
upaya kudeta mereka gagal, mencapai sisi timur Gunung H,e. dan menyeberangi Danau Biwa menuju Omi, yang terletak d. sisi lain danau. Di sana, Tameyoshi yakin bahwa mereka akan mendapatkan perlindungan dari klan Genji.
Dia yakin bahwa mereka akan mendapatkan tambahan kekuatan yang cukup untuk melakukan serangan balasan.
Jika rencana ini gagal, Tameyoshi berpikir untuk pergi lebih jauh ke timur, ke Dataran Kanto di wilayah Sagami, daerah yang dihuni oleh begitu banyak cabang klan Genji. Di sana, dia akan menghimpun sebuah pasukan yang akhirnya akan mengembalikan Sutoku ke singgasananya. Tameyoshi menyampaikan seluruh rencana tersebut kepada Mantan Kaisar, namun Sutoku mengaku bahwa dirinya telah putus asa dan hanya berharap untuk ditinggalkan bersama dua orang pengiring, sementara yang lain boleh melarikan diri demi keselamatan mereka masing-masing.
Sepuluh orang pengiring Sutoku dalam pelariannya menerima pembebasan tugas mereka. Dua orang pengiring yang paling akhir meninggalkan Sutoku adalah Tameyoshi dan Tadamasa, yang bertolak secara terpisah menuju Gunung Hiei sebelum fajar merekah
Oleh kedua orang pegawai istana yang menemaninya.
Sutoku d,desak untuk mengejar keselamatannya dengan masuk lebih dalam ke hutan, namun Mantan Kaisar yang kelelahan menolak sara mereka. Bunyi gemerisik yang mendadak terdengar dari semak belukar di dekat mereka mengagetkan ketiganya. Sebuah suL terdengar:
"Yang Mulia, izinkanlah saya menggendong Anda di punggung saya dan menolong Anda dalam pelarian ini, karena jalan di depan kita sangat gelap dan curam."
"Asatori! Apa yang membawamu datang kemari lagi"
Mengapa kau tidak pergi menyelamatkan diri bersama yang lain?"
"Saya juga harus mencari tempat persembunyian, namun izinkanlah saya untuk menyertai Yang Mulia hingga beberapa hari ke depan."
Asatori membungkuk dan menawarkan kepada Sutoku agar naik ke punggungnya.
Kabut tebal menggelayuti puncak-puncak bukit, namun di kejauhan, langit di atas Kota Kedamaian dan Ketenteraman masih memendarkan cahaya merah dari api yang melalap sebagian ibu kota. Menjelang fajar, ketika Sutoku masih terlelap, Asatori menyelinap pergi. Dia kembali beberapa waktu kemudian dengan membawa bahan makanan yang didapatkannya dari seorang pertapa yang tinggal di dekat tempat itu.
lyehiro, yang telah melakukan penjagaan sepanjang malam, mengatakan, "Mustahil untuk memasak sesuatu di sini karena asapnya akan terlihat oleh musuh kita. Baru beberapa saat yang lalu, kurasa aku mendengar suara-suara prajurit di dekat kita. Yang Mulia rupanya berharap untuk menjalani upacara penahbisan, namun tidak ada seorang pun yang bisa membimbing beliau di sini. Bisakah kau mencari sebuah tandu untuk membawa beliau hingga kita menemukan seorang pendeta?"
Bersama Mitsuhiro, Asatori pergi ke sebuah dusun dan segera kembali membawa sebuah tandu reyot lyehiro dan Mitsuhiro melepas baju zirah dan berbagai atribut mereka, menggulung lengan dan mengangkat ujung kimono mereka agar sebisa mungkin terlihat seperti pelayan. Hari itu juga, mereka memanggul tandu Sutoku menuruni bukit menuju ibu kota. Kabar bahwa pertempuran telah berakhir mengundang para pengungsi untuk berduyun-duyun pulang dari perbukitan dan dusun-dusun di sekitar ibu kota, dan tandu Sutoku menyaru di tengah-tengah masyarakat tua dan muda yang kembali ke ibu kota.
lyehiro dan Mitsuhiro, yang tidak terbiasa memanggul tandu, tersaruk-saruk di jalan yang berdebu, tubuh mereka basah kuyup oleh keringat untuk mencari kediaman Nyonya Awa. Setibanya di kediaman bangsawan itu, mereka mendapati gerbangnya terkunci rapat dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan menuju kediaman Penasihat Norinaga dan mendapati bahwa bangunan itu terbengkalai, karena Norinaga, kata seorang pejalan kaki yang berpapasan dengan mereka, telah menjalani upacara penahbisan sebelum perang pecah dan pergi ke tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Kemudian, mereka mengetuk gerbang seorang wanita baik hati yang pernah mengabdi kepada Sutoku, namun tidak seorang pun keluar untuk menyambut mereka; yang terlihat oleh mereka hanyalah seekor anak kucing yang tidur meringkuk di bawah serumpun semak Dari timur ke barat mereka menyusuri ibu kota, mencari tempat mengungsi, namun sia-sia saja. Berkali-kali, mereka melewati rumah-rumah besar tempat sorak sorai kemenangan terdengar. Senja telah tiba ketika lyehiro teringat pada sebuah kuil kecil yang mungkin akan menerima mereka; sekali lagi, mereka memanggul beban mereka dan meneruskan perjalanan. Mereka menemui seorang pendeta tua, kerabat dari salah seorang pelayan lyehiro, yang menyajikan semangkuk bubur gandum kepada Sutoku dan kemudian mencukur kepalanya di bawah temaram cahaya lentera.
Keesokan harinya, lyehiro dan Mitsuhiro membawa Sutoku ke Kuil Ninna-ji, tempat adiknya menjadi kepala biara. Sang kepala biara sedang pergi, dan para pelayannya menolak untuk menerima mereka namun, atas desakan Sutoku, mengizinkan mereka untuk berteduh di salah satu pondok. Di sini, kedua pengiring Sutok akhirnya meninggalkannya dan masing-masing bertolak ke tujuan
yang tidak mereka ketahui di sebuah provinsi yang berjarak jauh dari ibu kota.
o0odwkzo0o Pembumi hangusan Istana Shirakawa disusul oleh pembakaran terhadap kediaman para bangsawan yang berpihak kepada Mantan Kaisar. Selama empat hari dan empat malam, udara di ibu kota sesak oleh asap. Tetapi, gerimis turun pada malam kedua dan hujan deras melanda ibu kota pada hari ketiga. Malam itu, sebuah perahu yang penuh dengan muatan kayu bakar terlihat menyusuri Sungai Katsura dan berhenti di mulut sungai untuk menanti hujan dan angin mereda. Beberapa sosok gemetar, duduk berselimut tikar di dasar perahu, berkerumun dalam keadaan basah kuyup dan merana, dan sesekali terdengar erangan dari seseorang yang terbaring telentang di atas palang-palang perahu.
"Apakah kita sudah sampai di Uji" " Berapa lama lagikah perjalanan ini?" Yorinaga hanya sanggup membisikkan pertanyaannya.
Harapan terakhir Yorinaga yang sedang sekarat adalah menemui ayahnya di Uji.
Tidak ada yang mengganggu perjalanan lambat menuju Uji itu selain tatapan tajam burung-burung pemakan ikan di sepanjang sungai. Dari waktu ke waktu, Yorinaga mengerang ketika seseorang memeganginya dan menempelkan kayu obat membara pada luka di lehernya.
Sejauh ini, perawatan itu telah menghentikan perdarahannya dan mencegah belatung berkembang biak di luka terbuka yang terpapar udara musim panas itu. Asap dupa dan kayu
obat mengepul-ngepul di udara, sementara Yorinaga, yang teria? dari tidurnya, merintih-rintih kesakitan. ,aga
Ketika mereka akhirnya tiba di Uji, Tadazan* ternyata telah melarikan diri ke Nara. Maka, Yorinaga pun memulai perjalanan lambat dengan tandu kayu ke Kuil Kofukuji di Nara, dan tiba di sana pada malam hari tanggal 14. Kabut menyelimuti hutan kecil di sekeliling Tempat Pemujaan Kasuga dan Kolam Sarusawa. Tidak seberkas cahaya pun terlihat dari biara-biara di sekelilingnya.
Dua orang pejabat istana yang menyertai Yorinaga mengetuk gerbang Kuil Kofukuji. Jawaban terdengar dari dalam, dan beberapa orang samurai dan seorang pendeta, yang bersenjata lengkap keluar. Setelah membisikkan penjelasan. Toshinari dipersilakan masuk seorang diri.
Ayah Yorinaga masih terjaga dan segera keluar.
Toshinari segera menceritakan kepadanya tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana mereka membawa Yorinaga kemari. Tetapi, laporan mengenai kekalahan memalukan Yorinaga telah didengar oleh Tadazang.
Kecuali getaran singkat dagu berjanggut putihnya, tidak ada emosi yang terlihat di wajahnya, tidak ada tanda-tanda bahwa dia menyambut hangat kedatangan putra yang dicintainya dengan begitu buta.
Akhirnya, dia berkata, "Astaga, Toshinari, aku tak henti-hentinya memikirkan mengapa majikanmu bisa berakhir seperti ini! Tidak ada gunanya bertemu dalam keadaan semenyedihkan ini. Toshimaru, aku berpesan kepadamu untuk membawa Yorinaga ke suatu tempat di mana orang lain tidak bisa melihat atau mendengarnya."
Setelah selesai berbicara, tubuh kurus Tadazane terguncang- guncang dalam isakan. Dengan melindungi putranya, dia akan menyeret istri, anak-anak, dan kerabat Yorinaga ke dalam penahanan yang berujung pada hukuman mati.
Toshinari keluar dengan kekecewaan mendalam. Tandu masih berdiri berselimut kabut di tempat dia meninggalkannya. Dia membungkuk di atas Yorinaga yang sedang merintih kesakitan dan perlahan-lahan menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Tadazane.
"Apa! ... ayahku?"
Tandu bergoyang ketika Yorinaga berjuang untuk duduk.
Beberapa patah kata diucapkannya dengan terbata-bata, diakhiri oleh bunyi tercekik dari tenggorokannya. Tandu kembali bergoyang, disusul oleh keheningan yang mencekam. Toshinari dan kawannya memanggil- manggil Yorinaga, namun tidak ada jawaban yang terdengar. Ketika mereka memeriksanya, Yorinaga ternyata telah tewas. Dia menggigit lidahnya sendiri hingga putus. Khawatir pihak yang berwenang akan menangkap mereka, keduanya memanggul tandu menuruni Bukit Nara selagi hari masih gelap dan berhenti di sebuah tanah lapang. Di sana, mereka menggali sebuah lubang dan menurunkan tandu beserta Yorinaga di dalamnya ke sana. Sebelum menimbun kuburan tersebut, Toshinari memotong ikatan rambutnya dan melemparkannya ke mayat Yorinaga untuk menandakan bahwa dia telah meninggalkan dunia.
Beberapa orang kawannya mengikuti tindakannya, sebelum saling berpamitan dan bertolak ke arah yang berlainan.
o0odwkzo0o Suasana ibu kota dengan cepat kembali normal, walaupun perburuan besar-besaran terhadap para pengkhianat terus berlanjut. Begitu masuk melalui salah satu dari tujuh jalan utama menuju Kyoto, setiap pelancong, yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa yang baru saja terjadi, waswas melihat batas kota yang dipenuhi oleh petugas dan banyak peraturan baru diterapkan di kota.
Segera setelah terdengar kabar mengenai Sutoku yang telah
menjalani upacara penahbisan dan Yorinaga yang tewas karena lukanya, rumor tertentu mulai menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota. Desas-desus tersebut mengatakan bahwa siapa pun yang langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang akan dianggap sebagai korban pemaksaan dan diampuni kesalahannya; bahwa para pemimpin kudeta yang lain akan mendapatkan hukuman ringan, Janji-janji yang tidak tidak diketahui sumbunya daa tidak ditegaskan dengan pernytaan resmi itu ternyata berhasil menggiring para bangsawan dan pejabat istana untuk keluar dari tempat persembunyian mereka. Sejumlah besar prajurit, bersama pengikut Yorinata yang lain, menyerahkan diri setiap hari dan dijebloskan ke penjara tempat jeritan para tahanan yang disiksa menggunakan api dan air terdengar dari tembok tingginya.
Korekata, Panglima Pengawal Golongan Kanan, ditunjuk meniadi hakim kepala dan bertugas memimpin pengadilan, tempat, catatan kejahatan telah menumpuk.
Wajah para pejabat dan pegawai istana seketika pucat pas, ketika bukti yang ditunjukkan di pengadilan tidak hanya menegaskan tentang pemberontakan tetapi juga secara tidak langsung menggiring kecurigaan kepada orang-orang yang bersekongkol untuk mengakibatkan kematian Konoy6, sang Kaisar- kecil.
Sekarang telah jelas terlihat bahwa dalang yang dengan lihai menggerakkan dan menjalankan berbagai urusan kenegaraan adalah Penasihat Shinzei; pejabat pendiam dan bijaksana yang telah bertahun-tahun menenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya dan lolos dari pengamatan Yorinaga. Sekarang, Shinzei, akhirnya melejit ke posisi yang begitu dekat dengan singgasana. Dialah yang memerintahkan perburuan besar-besaran terhadap para pengkhianat; jika diusut secara cermat, dia pulalah yang
mulai menyebarkan desas-desus tentang pengampunan; dan ketika tiba waktu untuk memberikan penghormatan kepada orang-orang yang berperan dalam menumpas pemberontakan, Shinzei pulalah yang menyusun daftar penerimanya.
Kepada Yoshitomo dianugrahkan, kata banyak orang, hadiah yang terbesar, yaitu jabatan sebagai Juru Kunci Istal Kekaisaran ... sebuah jabatan yang belum pernah terdengar di kalangan samurai. Bagaimanapun, sebagian orang percaya bahwa Kiyomorilah yang menerima hadiah terbesar: jabatan gubernur di Provinsi Harima dan gelar Tuan Harima, karena wilayah yang berhadapan dengan Laut Dalam itu pernah dipimpin oleh ayahnya dan dihuni oleh banyak anggota klan Heike. Bahwa sebuah kesepakatan telah dibuat diam-diam oleh Shinzei dan Kiyomori terpikir oleh beberapa orang yang mengetahui kedekatan hubungan mereka. Mereka tahu Shinzei mengandalkan kekuatan samurai sedangkan Kiyomori terus memegang teguh teman yang memiliki kekuasaan di Istana demi klan Heik6. a
o0odwkzo0o Sebelum sempat melepas baju zirahnya dan tidur dengan nyenyak malam itu, Kiyomori telah mendapatkan perintah untuk membawa tiga ratus orang prajurit melintasi Gunung Hiei menuju Otsu dan Sakamoto yang terletak di dekat Danau Biwa guna mencari dan menahan Tameyoshi beserta anak-anaknya. Para mata-mata melaporkan bahwa Tameyoshi bersembunyi di sebuah kuil di sisi lain Gunung Hiei dan sedang menantikan saat yang tepat untuk menyeberangi danau agar bisa melarikan diri ke timur melewati jalan raya Tokaido. Tetapi, penyisiran di Kuil Mii-dera dan lingkungan sekitarnya tidak membuahkan hasil apa pun; jejak para buronan juga tidak bisa ditemukan
di Otsu ataupun kampung-kampung nelayan di antara Otsu dan Sakamoto, sehingga Kiyomori memindahkan pencarian ke Persimpangan Izumi, daerah milik salah satu biara di dekat situ. Desa kecil itu, yang kedai-kedai tehnya sering dijadikan sebagai tempat bersantai oleh para biksu, adalah tempat pendaratan kapal-kapal yang lalu lalang di danau.
Para penghuni rumah- rumah bordil di sana menyambut gembira kedatangan Kiyomori dan pasukannya yang hendak melakukan pencarian dari rumah ke rumah.
Kiyomori memanggil dan menanyai para kepala keluarga dan pemilik rumah bordil. Kemudian, seorang wanita tua cerewet
muncul, menawarkan informasi.
"Nah, saya tidak tahu apakah Tameyoshi ada di antara mereka atau tidak, tapi seorang nelayan memberi tahu saya bahwa pada pagi buta tadi, enam atau tujuh orang samurai berbaju zirah mahal menyeberangi danau menuju Omi."
Sementara Kiyomori menanyai wanita itu. sebuah gong peringatan mula. dibunyikan, dan teriakan-teriakan liar terdengar memasuki kampung. Kabar mengenai kedatangan Kiyomori telah terdengar di biara, dan para biksu telah menyandang senjata mereka dan berduyun-duyun menuruni gunung untuk mengusir para pelaku pelanggaran.
Ketika tiba di tempat kejadian. Kiyomori mendapati para prajuritnya terlibat dalam pertempuran sengit melawan para biksu. Anak-anak panah berdesingan di udara sementara para biksu menyerang pasukan Kiyomori dengan tombak mematikan mereka. Kiyomori segera menarik busurnya dan membidik seorang biksu bertubuh kekar, ketika sasarannya tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dan berseru:
"Ya! Kaukah itu, Heik6 Kiyomori" Tunggu. Tuan Harima! Jika itu memang benar dirimu, aku tidak mau melawanmu di sini!"
"Apa, kau menolak melawanku" Sepengecut itukah dirimu?"
"Aku Kepala Biara Jisso dari biara di dekat sini."
"Apa?" "Sudah lupakah dirimu bahwa kita pernah bertemu delapan atau sembilan musim panas yang lalu ... pada bulan Juni ... di kaki Bukit Gion ketika kami berbaris membawa Altar Sakral ke ibu kota" Hanya ada seorang samurai yang berani melawan kami dan memanah emblem sakral.
Tentunya kau belum melupakan hari itu!"
"Itu memang aku, Heike Kiyomori"
"Sebatang anak panahmu telah berhasil menggiring kami mundur. Kami bersumpah bahwa pada suatu hari nanti, akan tiba kesempatan untuk membalas dendam. Ada pula para biksu yang secara diam- diam mengagumimu, dan aku adalah salah seorang di antaranya."
"Lalu?" - "Aku bersumpah bahwa aku akan berusaha
menemuimu, yakin bahwa kau akan menjadi lawan bicara yang menarik"
"Di mana pun kau mau. Kapan pun yang bisa menyenangkanmu."
"Ya, tapi apa alasanmu membuat keributan di sini?"
Kam, tidak bermaksud membuat keributan Aku mendapat perintah untuk menangkap Tameyoshi. Situasi ini tak terhindarkan lagi."
"Tarik pasukanmu sekarang juga, kita akan bertemu suatu hari nanyi."
"Terserah apa katamu. Aku malu mengakui, namu memang bersalah."
Kesal akibat gagal menangkap Tameyoshi dan harus menghadapi- amukan para biksu pasukan Kiyomori baru mundur setelah membakar gubuk-gubuk di kampung.h Setelah dua puluh hari berlalu, semua buronan telah ditangkap dan dipenjarakan, kecuali dua orang-Genji Tameyoshi dan Heiki Tadamasa, paman Kiyomori.
Dalam perjalanan menuju Rokuhara, Kiyomori menghibur diri dengan angan-angan untuk melepas baju zirahnya dan mandi air hangat, dan setelah itu tidur nyenyak. Dia baru saja melewati Jembatan Gojo ketika seorang pendeta berjubah compang- camping dengan wajah nyaris tertutup sepenuhnya oleh kain dan topi peziarah lebar mendadak melompat ke arahnya dari balik pepohonan.
"Ah, Tuan Harima, tunggu! Tunggu!"
Pria itu melempar tongkatnya saat menubruk Kiyomori dan memegangi pijakan kakinya. "Aku ... ini aku, Tuan Harima, pamanmu!"
"Apa?" Kiyomori memekik kaget dan cepat-cepat memerintahkan kepada para prajuritnya untuk bersiaga.
Dia menghentikan kudanya dan menatap bingung kepada sosok mengenaskan itu, nyaris tidak memercayai pendengarannya. "Tinggalkan aku di sini. Pergilah ke bawah pepohonan di sana dan tunggu aku," perintah Kiyomori kepada para prajuritnya.
Si pendeta berlutut sambil memegangi pijakan kaki Kiyomori, menangis terisak-isak, "Oh, keponakanku, ini pamanmu, Tadamasa. Selamatkan aku! " Aku memohon kepadamu, darah dagingku sendiri, untuk mengampuniku.
Aku mendatangimu, harapan terakhirku Tuan Harima, keponakanku sendiri, selamatkan aku! Oh, selamatkan aku."
"Lepaskan aku! Kiyomori tidak memiliki paman. Kau tidak punya alasan untuk menyebutku keponakanmu."
"Apa maksudmu" Bukankah aku saudara kandung ayahmu?"
"Bukankah Heik6 Tadamasa, pada musim panas sembilan tahun yang lalu, ketika aku berangkat untuk menghadapi para biksu dari Gunung Hiei,
mengkhawatirkan keselamatannya sendiri dan memutuskan seluruh ikatan darah dengan keluarga Heike?"
"Ah, tapi itu kejadian bertahun-tahun yang lalu ?"
"Kau tidak punya harga diri ketika itu, dan sekarang pun sama saja."
"Aku telah salah langkah ".Aku membuat kesalahan terbesar di dalam hidupku ketika membiarkan Menteri Yorinaga menyeretku ke dalam persekongkolan yang didalanginya. Aku menarik kembali ucapanku yang telah memutuskan seluruh ikatanku dengan keluarga
"Sesal kemudian tidak ada gunanya. Aku tidak menerima alasan apa pun. Kau adalah seorang penjahat biasa ... seorang pengkhianat"
"Apa kau tega melihatku ditangkap dan dihukum mati?"
"Mengapa kau tidak menyerahkan diri saja" Aku tidak punya urusan denganmu. Perintah yang kudapatkan adalah menangkap semua pemberontak Tugasku adalah menyerahkanmu kepada pihak yang berwenang."
"Kau berhati batu! " Ah ... "
"Menjauhlah dari pandanganku! Pergilah ke mana pun kau mau! Pergilah, atau aku akan menahanmu."
"Tidak, tidak! Aku sudah berhari-hari bersembunyi di perbukitan tanpa memiliki sedikit pun makanan, dan aku telah bersusah payah meloloskan diri dari para penjaga di persimpangan untuk menunggumu di sini. Jika aku pergi ke tempat lain, pasukan lain pasti akan menangkapku ".Ya, kau, Tuan Harima, seharusnya menghukumku dengan memenggal kepalaku!"
"Mengapa kau memilihku untuk menjadi algojomu"
Men kau tidak menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang saja"^ itu terlalu memalukanmu, lebih baik cabut sendiri saja nyawam seperti seorang samurai sejati."
"Aku tidak akan melakukan keduanya. Aku datang kemari untuk memohon ampunan dari keponakanku sendiri. Jika dia menolakk maka tidak akan ada hukum di langit maupun bumi yang bisa" menyelamatkanku. Aku memilih untuk dipenggal oleh keponakank Itulah permintaan terakhirku. Mari, Tuan Harima, tebaskan pedangmu! Penggallah kepalaku!"
Pamanku yang ini memang menyusahkan, pikir Kiyomori. Namun Tadamasa mengetahui betul watak Kiyomori. Dia telah mengenal Kiyomori sejak masih bocah ingusan, dan kemudian tumbuh menjadi pemuda melarat.
Dia juga tahu tentang betapa mudahnya keponakannya tergerak oleh rasa iba, dan Tadamasa telah siap mengambil keuntungan dari sifat itu. Dia yakin bahwa Kiyomori tidak akan tega menjatuhkannya. Tadamasa yakin bahwa air mata akan dengan mudah meloloskannya. Dan, tepat seperti yang telah diperkirakan oleh Tadamasa, Kiyomori merasa sepenuhnya tidak berdaya, seolah-olah dirinyalah yang menjadi korban, bukan pamannya.
Malam itu, dia menyembunyikan Tadamasa di salah satu bilik di Rokuhara. Malam berikutnya, dia secara diam-diam menemui Shinzei. Kiyomori, yang biasanya tetap ceria di
hari-hari terberat setelah perang sekalipun, kali ini tampak letih dan resah. Sesuatu membebani benaknya, dan dia menatap kosong pada lentera di ruang tamu Shinzei, menunggu kehadiran sang penasihat.
o0odwkzo0o Bab XVII-SUNGAI BERDARAH Heike Kiyomori maupun tuan rumahnya sudah cukup mabuk gara-gara sake yang dituangkan oleh Nyonya Kii.
Setelah mereka menenggak beberapa cangkir untuk merayakan kemenangan, Nyonya Kii, yang bisa menebak arah percakapan di antara keduanya, menyuruh para pelayan pergi dan melayani mereka seorang diri.
"Kau seharusnya memenggal dia. Tidak ada lagi yang bisa kaulakukan kecuali memenggal dia. Kau tidak akan bisa menjadi pria sejati jika hatimu tetap lunak," ulang Shinzei, mengolok-olok Kiyomori yang sedang dirundung kebimbangan. "Kau resah karena Tadamasa adalah pamanmu, tapi bukankah dia sudah memutuskan ikatan darah denganmu?"
"Ya, waktu itu dia mengkhawatirkan dampak dari peristiwa Altar Sakral, dan langsung memutuskan hubungan keluarga denganku."
"Kalau begitu, dia tidak memiliki urusan apa pun denganmu."
"Tapi, ada ... "
Shinzei menatap tajam kepada Kiyomori dengan mata merahnya, lalu melanjutkan, "Ikatan darah ... tapi kupikir Kaisar Shirakawalah ayah kandungmu, bukan Heike Tadamori"
"Ya, aku mendengar tentang hal itu dari ayahku sebelum beliau peninggal Walaupun aku barangkali adalah putra Kaisar Shirakawa, pakah yang pernah beliau lakukan padaku" Tadamori adalah iyahku. Bagaimana mungkin aku melupakan beliau" Tadamasa adalah saudaranya, dan aku tidak tega menahannya, apalagi memenggal ikepalanya."
Shinzel tergelak. "Kau memang baik hati." Menoleh kepada istrinya, dia berkata, "Adakah orang lain yang resah gara-gara hal tidak masuk akal semacam itu?"
Nyonya Kii menjawab, "Sepertinya aku kurang mengerti. Apakah yang sebegitu memberatkannya?"
"Baiklah, dengarkan penjelasanku. Kiyomori datang kemari untuk meratap kepadaku, dan ketika aku menanyakan apa yang meresahkannya, dia mengatakan bahwa dirinya siap menanggalkan gelar barunya dan menyerahkan tanahnya demi kebebasan Heik6 Tadamasa."
"Astaga, jadi Heik6 Tadamasa mendatangimu karena kau keponakannya?"
"Kiyomori menyembunyikan Tadamasa, lalu setelah berpikir panjang lebar mendatangiku, memohon kepadaku agar membersihkan nama Tadamasa. Aku menyebutnya bodoh. Nah, apa pendapatmu tentang hal ini?"
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa ... "
"Dirimu sekalipun, seorang wanita, yang pernah melaksanakan banyak tugas rahasia yang kaubenci demi memenuhi keinginan Nyonya Bifukumon dan mendiang Kaisar, semestinya tersenyum melihat betapa cengengnya kepala klan Heik6 ... si Tuan Harima ini."
"Ini berlebihan, Shinzei ... menjadikanku bahan olok-olokan mu seperti itu. Seperti yang baru saja kukatakan, aku telah menetapkan pikiran."
"Aku masih bisa melihat jejak keresahan dan keraguan pada dirimu. Kau kelihatan cukup tenang, tapi aku bisa melihat tanda-tanda bahwa kau masih gundah."
"Tidak ada apa-apa ... ini hanyalah keraguan yang wajar dihadapi oleh seseorang yang berusia lebih muda. Aku kesulitan meneguhkan hatiku untuk menyelesaikan masalah ini ?"
"Masalahnya berbeda dalam kasusmu. Tadamasa adalah seorang pemberon
tak, dan kau hanya menjalankan perintah dari Kaisar. Dia tidak punya hak lagi untuk mengatur-ngaturmu. Tidak ada lagi ikatan darah di antara kalian"
"Aku tahu itu. Perintah ini harus segera dijalankan. Aku tidak akan ragu-ragu lagi."
"Mengampuninya adalah tindakan bodoh; kau hanya akan membawa kemalangan kepada dirimu sendiri. Siapa yang bisa menjamin bahwa jika dia bebas, dia tidak akan menghimpun pasukan dari klan Heik6 di wilayah-wilayah lain negeri ini untuk melawanmu?"
"Benar. Aku tidak akan menjadi pengecut. Jika Kaisar menghendakinya, maka aku akan melakukannya besok."
"Lebih cepat lebih baik, karena jika orang lain mengetahui bahwa kau menyembunyikan dia, entah apa yang akan terjadi padamu dan seluruh klan Heik6."
"Benar sekali."
Setelah keraguannya menguap, Kiyomori meninggalkan kediaman Shinzei. Angin sejuk bertiup ke pipinya, namun sakit kepala yang memualkan sekonyong-konyong menderanya, menyebabkannya bersempoyongan di atas pelananya. Kerisauan akibat tindakan yang harus diambilnya membuatnya ngeri. Seluruh dirinya seakan-akan menciut gara-gara pikiran akan memenggal kepala
pamannya sendiri. Kesedihan mendalam menderanya, dan Kiyomori menggeleng-geleng dan memukuli keningnya sendiri dengan tangan terkepal untuk melampiaskan rasa putus asanya. Dia memang terlahir sebagai seorang pengecut ". Sebenci-bencinya dia kepada Tadamasa, ini bukanlah jalan keluar yang bisa diambilnya.
Tadamasa terlambat bangun keesokan paginya; sinar temaram matahari pagi telah menerangi bilik pelayan yang hanya dilengkapi dengan sedikit perabot. Dia mencuci mukanya dengan larutan obat yang sudah dipersiapkan untuknya pada saat kedatangannya, lalu menyantap bubur sisa makan malamnya; yakin bahwa dirinya telah selamat, Tadamasa tidur dengan nyenyak malam itu. Dia melahap sarapannya dengan nikmat, dan pikirannya melayang kepada putra-putranya, yang tercerai berai gara-gara perang.
Di manakah mereka sekarang" Apakah mereka telah tertangkap atau terbunuh, pikirnya.
"Apakah Heike Tadamasa ada di sini?"
Tergugah dari lamunannya, Tadamasa menatap heran kepada seorang samurai ramah berusia awal tiga puluhan yang memasuki biliknya. Ada kesan akrab di dalam dirinya, namun Tadamasa tidak melihat kemiripan dengan Kiyomori.
Suara Tadamasa terdengar melengking ketika dia menjawab, "Aku sendiri. Siapakah dirimu?"
"Tokitada, ajudan juru tulis di Istana."
"Ah, adik Nyonya Harima. Berlawanan dengan perkiraanku, Tuan Harima telah dengan murah hati memberiku tempat berteduh. Aku benar-benar tidak menyangka, Tuan."
"Saya mengerti. Seorang samurai harus menjunjung tinggi-tinggi namanya hingga titik darah yang penghabisan.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika Anda hendak bercukur atau menyisir rambut Anda, saya bersedia menunggu"
"Menunggu" Apakah aku akan dibawa ke tempat lain?"
"Pukul empat sore nanti. Saya dikirim kemari untuk mengikat Anda."
"Eh" Mengikatku" Siapakah yang memberi perintah kepadamu?"
"Tuan Harima sendiri."
"Mustahil! Panggil Tuan Harima kemari! Katakan kepadanya bahwa aku harus berbicara dengannya."
"Tidak akan ada gunanya. Kami menerima surat penahanan dari Istana pagi ini dan mendapatkan perintah untuk menghukum mati Anda pada pukul empat sore ini."
"Eh ... !" Tadamasa berdiri dengan goyah, berusaha memprotes. "O-o-omong kosong! Mustahil!" Tokitada menubruknya dan keduanya roboh ke lantai, saling melawan. Beberapa orang samurai yang menunggu di luar cepat-cepat masuk membawa seutas tali ke bilik itu dan mengikat Tadamasa.
"Panggil keponakanku! Bawa dia kemari ... Tuan Harima! Apa maksudnya menipu pria tua tak berdaya ini?"
lolong Tadamasa, namun pintu biliknya dipaku dari luar dan dijaga oleh seorang petugas, sementara Tokitada bergegas pergi.
Kiyomori menghabiskan pagi itu seorang diri di biliknya; kata-kata Shinzei terus terngiang-ngiang di telinganya*
namun hatinya tetap berat.
"Kakak, aku sudah melaksanakan tugasku."
"Ah, kaukah itu, Tokitada" Apa yang dikatakannya?"
"Dia mengumpat-umpat dengan dahsyat Seorang pria tua yang beringas, walaupun akhir hidupnya sudah dekat"
"Seandainya aku tahu bahwa inilah yang akan terjadi, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan kepadanya dan menahannya saat itu juga. Dia mungkin akan mendapatkan pengampunan."
"Tidak juga. Kau harus mengingat bahwa dia adalah Heik6 Tadamasa. Kesalahannya sudah tidak diragukan lagi."
"Sudahkah kau membaca isi surat penahanan dari Istana?"
"Ya, aku sudah membacanya. Pemenggalan akan dilaksanakan pada pukul empat sore nanti, di tepi sungai, tidak jauh dari Jembatan Gojo."
"Aku sudah semalaman tersiksa gara-gara memikirkan Tadamasa, dan sekarang aku diperintahkan untuk tidak hanya memenggalnya tetapi juga ketiga anaknya! Itu adalah keinginan Shinzei."
"Itu tidak lebih buruk daripada yang kita lakukan di dalam medan pertempuran, ketika sandal kita basah bersimbah darah."
"Itu berbeda. Sangat berbeda."
"Ini juga perang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa arena hukuman mati bukanlah medan perang?"
Ucapan gamblang Tokitada lebih meneguhkan hati daripada penjelasan panjang lebar Shinzei, dan keraguan Kiyomori kepada dirinya sendiri pun reda.
"Aku akan tidur sejenak, kalau begitu. Masih ada beberapa jam sebelum pukul empat tiba. Tokitada, ambilkan kotak yang ada di sana itu."
Kiyomori berbaring menatap langit musim panas; dari bawah pinggiran atap rumahnya, dia melihat gumpalan-gumpalan awan berarak melintasi matahari, sejenak mendatangkan keteduhan di dunia sebelum cahaya menyilaukan menyorot kembali.
Tangan Berbisa 17 Boma Gendeng Triping Playboy Dari Nanking 2
^