Dibawah Kaki Pak Dirman 3
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin Bagian 3
memperhatikan air mata dan seluruh tubuhnya, perasaan
ibanya menjadi-jadi. Orangyang cekung dan kurus begini berani
menantang si pemuda yang tegap dan sehat di dalam sana?"
"Kir," kata Marjo. "Aku tak enak badan."
Badannya menggigil, matanya panas dan membakar.
Tentu penyakit malariamu lagi," Sukir memastikan.
"Kita pulang saja?"
Sukir merangkul bahu Marjo yang begitu kurus, merangkul
dengan iba. Dan tiba"tiba saja hidungnya ditusuk bau parfum
yang sudah dikenalnya. Ia menoleh. Si gadis lewat di sisinya
meng"gandeng tangan si pemuda. Mereka sudah mau
pulang. ",, ___... 1119 "Sudah tidak hujan lagi Mas," terdengarsuara sigadis. Begitu
manis, begitu gembira. Jalanan hitam dan sepi, hanya bayang-
bayangan lentera jalanan yang bermainmain di kebasahar
hujan di aspal. "Mereka pulang Kir! Uruslah olehmu," kata Marjo menggigil
sambil mengelimukkan badannya ke sudut yang agak panas.
Sukir mendekati si pemuda dan si gadis itu. Si pemuda
sudah mulai menghidupkan mesin. Si gadis berdiri ketawa sambil
membetulkan lehergaun, dan membetulkan letak rambutnya.
"Skuter bersih dan berkilat, ah bagusnya lagi," kata si gadis
gembira. Ia membungkuk dan menyinggahkan telunjuknya ke
sayap yang lecet, bekas kena srempet. Katanya, "Peot sayap ini
mengganggu pikiranku dari tadi."
Si pemuda tertawa, "Besok kita jual saja. Kita beli beler
Suara mesin lembut dan hangat kedengaran. Si gadis naik ke
boncengan, dan merapatkan dadanya ke punggung si pemuda.
"Sudah !" tanya si pemuda.
"Tuan !" tegur Sukir dengan lembut.
Skutersudah akan bergerak, kopeling satu telah dimasukkan
dan gas hampir ditekan. Si pemuda menoleh, juga si gadis. Memandang Sukir
dengan rasa tak senang bercampur kejijikan. Dan mata si gadis
cepat melihat ke arah yang lain.
Keramahan, kemesraan, dan segala kelembutan hapus dari
wajah yang cantik itu. Yang kelihatan kini, sebuah bentuk abstrak
paduan rasa kaku, dingin, jijik, tidak mau tahu penuh kemualan.
Si pemuda meragah kantongnya dan mengulurkan selembar
rupiah yang kumal. Dengan cepat skuter dipacunya.
Tanpa menoleh lagi, tanpa keramahan.
Dua anak gelandangan berdirisebagaipatungmemandangi,
Sukir dan Marjo. |" 110 .:: 153- Cerita Belum Bernama SI PELAYAN melihat aku dengan pandangan yang aneh.
Terasa di matanya satu kecengangan, tapiseloki diisinyajuga.
Warna anggur merah pekat seperti darah encer. Ini selokiku
yang ketujuh. Orang tidak bisa mabuk karena anggurbeberapa
seloki! Dari tadi aku kesal memperhatikan gerak kerjanya yang
lamban. Dan kini ia senyum pula, senyum lamban tak berarti.
Seloki dipenuhinya setengah inci dari bibirgelas. Lalu kuteguk
sekali habis. Kuisyaratkan kepadanya untuk memenuhi
lagi gelas yang kosong itu. Ia tersenyum pula, seperti kuda
menyeringaikan gigi. Kataku tak senang, "Kenapa kau ketawa?"
"Tidak, Pak, saya tidak ketawa."
Ia berdiri saja di depan mejaku. Mungkin ketagihan
melihat aku sekali teguk menelan anggur ke kerongkongan,
tapi ia otomatis bersedia mengisi lagi bila kuisyaratkan. Kali
ini ia kukecewakan. Tapi lampu neon begitu cemerlang
memenuhi ruang restoran, tapi kini nampaknya mulai kabur
dan remang- remang. Hidup seolah-olah mengalir dan redup
tiba-tiba. Kataku pelan, "Yesterday this day's madness did prepare;
tomorrow's silence, triumph, or dispair. Drink! for you know
not where you cam e, nor why. Drink! for you know not why
you go, norwhere." "Apa, Pak?" tanya si pelayan.
Aku terpandang tampangku di kaca tembok restoran.
Rambutku sudah putih oleh uban, dan wajah yang menatap
aku begitu tua, walaupun kesuburan dan kelincahan hidup
menjentikjentik di setiap liku dan lekuk. Begitu tua aku
sekarang sudah" Atau anggur yang kureguk telah menipu
mataku" Tidak! Hatikulah yang tua. Orang yang berbahagia, Umar
Khayam, si penyair itu! Dia tak tahu ke mana nanti akan
pergi, tapi ia tahu di mana ia akan dikuburkan bila ia pergi!
"Tempat akhirku," katanya, di sebuah tempat di mana angin
utara me"naburi bunga selalu. Dan ia terbaring di Naishapur
di sebelah sebuah taman pepohonan yang menjurai melalui
tembok taman merunduki kuburnya, dan merinaikan bunga
hingga padam kuburnya tersembunyi di bawah rimbun bunga
menggugur! Si pelukis Perancis yang malang, Paul Gauguin
yang lari dari dunia beradab, ingin menemukan sesuatu yang
murni di pulau Lautan Teduh, Tahiti, merasa sia"sia mencari.
Ia terbentuk kembali kepada kekejaman"kekejaman manusia
beradab di pulau-pulau terpencil, dan tentunya di malam-
malam magis dan misterius, ia bertanya-tanya juga: dari mana
kita datang" Untuk apa kita datang" Ke mana kita akan pergi"
Dan dengan berbagaiwarna dan garis, pertanyaan-pertanyaan
ini dilontarkannya ke luar. Dia tidak mati seindah Khayam,
tapi mati sunyi sendiri hancur ditelan oleh iklim khatulistiwa,
penuh borok dan patek! Lalu manusia menakjupi lukisan-
lukisannya, lukisan-lukisan pe lukis Gaugin, tentang gadis-gadis
Tahiti, alam Tahiti yang eksotis dan kadang"kadang diselaputi
suasana magis. "Kau tau?" tanyaku tiba"tiba kepada si pelayan. "Setiap
orang bagiamana pun merdekanya, tetap terpenjara dalam
dinding petak-petak hatinya yang sunyi. Tapi penjara yang
merdekatanpa diputuskan oleh hakim atau hukum, selain oleh
hati dan kemauan sendiri, membuat manusia bisa merenung
lebih be ning dan menghasilkan yang agung!"
Kuteliti muka si pelayan. Ia tak berkerut seriak pun! Tentu
dia tak mengerti! Dan kutanya lagi, "Kenapa tiba-tiba rambutku putih
begini" Sudah amat tuakah aku?"
Ia mengangguk, katanya, "Ya, Bapaksudahtua,tapi masih
kuat minum." "Amattua" Betultua?"
"Lihatlah di kaca sana."
Ya, wajah yang memandang aku dari setelempak cermin
malam itu, memang tampangku telah putih tua. "Isi lagi,"
112 .:: 153- kuisyaratkan kepada si pelayan sambil mengangguk ke arah
selokiku. "Ini yang penghabisan," sambungku. "Dan janganlah
dekat" dekat lagi ke sini!"
Ia pergi, membawa serta botol anggurdan menaruhnya di
bupet dengan hati-hati. Laluia dudukdiam disebuahkursidisudut.Seperti patung,
tapi siap melompat bila kuisyaratkan dengan tangan untuk
mengisi lagi selokiku. Tidak, tak ada indahnya menyelusuri
kembali jalan"jalan hidup yang sudah dilalui kemarin! Detik"
detikjam merangkak lamban dengan pasti; memang keajaiban
ahli hitung tak pernah keliru! While you live, Drink! for ance
dead, you nevershall return. Otomatis kureguk seloki habis"
habis. Tentu si pelayan mendapat keinginannya kini, melihati
aku mereguk! Hingga jatuh gelap; senja tadi aku menyelusuri
Umar Khayam, bait demi bait. Keinginanku bangkit tiba"tiba
ingin minum anggur! Sekarang, inilah aku! Begitu dungu,
cuma dengan keinginan mereguk anggur, dan menggumami
baris"baris sajaknya tentang minum! Seperti laku orang yang
tak mengerti sajak, yang cuma bisa menafsirkan apa yang
tersth saja! Lalu tiba"tiba aku tertengadah kepada senyumnya!
Senyumnya yang diam gemerlap, yang beriak di mata,
yang lembut kemilau. "Aku boleh duduk di mejamu?" tanyanya.
"Duduklah," kataku biasa.
Ia duduk, selintas matanya singgah di seloki kosong,
kemudian gemerlap senyum matanya ditujukan kembali
kepadaku. Matanya tak berkata apa-apa, tapi di hatinya yang
tersembunyi, tentu ia menyesali aku. Rambutnya juga telah
mulai memutih. Ia kelihatan lebih langsing dan lebih sigap
dari masa gadisnya. Aku terpesona seketika. Sekali aku pernah
melihatnya memakai batik dan kebaya. Ayu dan luwes, kini
dalam usia begini, ia kelihatan lebih ayu dan luwes dan lebih
dewasa. Tapi kelembutan dan kesederhanaannya masih tetap
dimilikinya! ?",," ___... 113
"Apa kabarmu sekarang?" tanyanya.
"Baik-baik, macam dulu."
"Ya," katanya lirih. "Kita sudah tua bangka. Kau masih
sendirian?" "Tidak," kataku senyum. Bertiga diriku, pikirku dan Aku
mengangguk ke seloki yang kosong, lalu terdiam tiba-tiba.
"Dan Khayam!" katanya. Lalu ia menggamit si pelayan,
minta diisi satu seloki untuknya dan minta selokiku dituangi
lagi. Katanya, "Mari kita minum. Untuk kesehatanmu dan
kesehatanku! Nyaris halus suara denting seloki kami beradu. Sehabis
mereguk ia terbatuk"batuk, tapi ia berusaha menutup muka.
"Bahagiakah kau?" tanyaku.
Ia tak menjawab. Senyumnya hilang tiba"tiba, matanya
keras dan tersentuh. Menunduk begitulah dulu, entah
berpuluh tahun yang lalu, hatinya disembunyikannya, ketika
aku menanyakan kepadanya, apakah dia senang kepadaku
dan apakah dia rela kuminta! Ia tak pernah menjawab
pertanyaanku yang pertama, tapi ia berkata pelan,
"Maafkanlah aku. Aku tak bisa." Aku pernah diperguraukan
kawan"kawan bahwa dia sudah hampir berpunya, tapi
aku tak ingin mendengarnya dari orang lain, cuma dari dia
sendiri! Setiap pertanyaanku ingin mengetahui hatinya,
dibekukannya dengan pandangan matanya yang tiba"tiba
keras dan hilang kelembutannya. Aku seperti orang asing
dibantingi pintu tertutup! Ia bersembunyi di balik pintu
hatinya, tak membukanya lagi. Hanya katanya, "Aku dan
dia sudah lama berkenalan. Tuh! Hanya peresmiannya yang
belum". Hatiku di dalam meresa sunyi tercampak. Dan
dengan matanya yang masih keras, ia berkata, "Aku tidak
pernah hilang kepadanya, kepada siapa pun belum. Aku
takut nanti kau akan sedih!" Penolakannya memang sudah
kusangka dari mula. Dia orang yang bersih dan bening, teliti
dan teratur. Dan aku, dengan kekasaran tampang dan hatiku,
dengan kesemberonoanku hidup luntang"lantung, begitu
114 .:: 153- kontras dengan prinsip hidupnya! Sebelum aku memutuskan
memintanya, aku sadar bahwa aku akan ditolak. Tapi biarpun
kesadaran ini ada, karena penolakan ke luar dari bibirnya,
aku sebagai terlontar ke jurang. Hancur berkepingan"
"Kau masih terus berkawan dengan Khayam?" tanyanya
tiba-tiba. Matanya yang keras tadi, kini lembut berkilauan
lagi. "Tak baik dia dijadikan kawan. Tih!" sambungnya
menyesal. Matanya singgah lama ke seloki kosong.
"Hm, kita sudah tua dan dewasa untuk mengerti dia,"
kataku. "Ya," katanya. "Tapi aku selalu merasa bahwa dalam
dirinya ada setan. Entahlah, barangkali aku tak mengerti
sajak." "Juga dalam diriku ada setan," kataku pelan. Lalu
gumamku lagi, "And by and by my Soul returned to me, And
answer'd, | Myself am Heaven and Hell."
"Oh, dia lagi," sesalnya.
"Kau masih senang kepadaku?" tanyaku pelan.
"Jangan seperti bocah remaja," katanya, "kita sudah tua
bangka." Aku terasa compang"camping. Sesudah melewati masa"
masa puluhan tahun begini ini, ia masih tak mau memberi
jawaban dan mengaturkan terus pintu hatinya!
Kataku tertawa, "Ada satu cerita tentang seorang wanita
yang senang dan cinta kepadaseni mosaik. Ia ingin mengenal
si pembikin mosaik yang dipujanya. Tapi ia terdiam dan
kecewa, ketika ia bertemu dengan si seniman di sanggarnya.
Si seniman yang kurus, bungkuk dan jelek karena terus tekun
di pekerjaannya!" "Oh kau ini, kau iniTih" sesalnya."ltu sudah lampau. Tak
baik membongkar"bongkar masa silam."
Matanya keras lagi. Aku tertutup di luar hatinya. Sambil
menunduk katanya, "Aku senantiasa mendoakan, agar kau
sehat"sehat dan bisa menemui apa yang kau senangi dan kau
cita"citakan. Cuma itu bisaku."
"Ya," katanya sunyi. "Dan kita tetap teman baik."
"L,," ___... 115
Senyum di mata dan bibirnya gemerlapan kembali.
Tanyanya, "Kau belum menemukan teman lain yang baik?"
Akumenggeleng.Kukeluarkandompet.Kataku,"Temanku
satu"satunya yang baik selalu ada dalam dompetku!"
"Kau masih tetap edan," katanya. Dipandanginya foto
masa gadis, yang kini telah kuning dan mulai mengabur, dan
tak pernah berpisah dari ke hadiranku.
"Pada detik-detik aku ingin mereguk hidup habis-
habisan, dia selalu menyesali dengan kelembutannya,"
kataku. Biarpun aku sadar ini hanya merupakan mimpi
belaka, tapi dia telah menahan aku bertahan untuk hidup!
Sekilas matanya digenangi air mata, tapi ia
menyembunyikan hati lagi. Senyum yang dimekarkannya,
terasa kosong menekuri foto yang lama itu.
"Serupa ini dia sekarang?" katanya.
"Siapa?" "Susi anak bungsuku."
"Berapa anakmu sudah?"
"Tiga. Dua putra, satu putri. Yang sulung sudah hampir
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
M.A. di luar negeri."
"Kau orang yang bahagia. Waktu dulu kau menolak aku,
pilihanmu benar!" Ia diam saja. Kugamit si pelayan, meminta dipenuhi lagi
seloki, tapi ketika kepadanya kutawarkan, ia menggeleng.
Tertuduk katanya, "Tih, janganlah membenci aku karena
masa lampau." "Oh, kau tak salah apa-apa. Akulah yang salah. Aku
senang kau bahagia."
"Aku seorang perempuan, Tih!" katanya pelan masih
menunduk. "Sebagaiseorang perempuan aku membutuhkan
kasih sayang dan perlindungan," sambungnya pelan. "Yang
pertama berupa suami, rumah dan kesetiaan. Hidup teratur.
Hatiku ingin bebas dan berbuat seperti kau, laki"laki! Tapi
118 .:: 153- aku sadar akan kedudukanku sebagai perempuan dan akan
tugasku sebagai seorang ibu."
Dilihati nya dengan diam aku pelan-pelan mereguk seloki.
Kemudian sambungnya, "Aku kagum melihatmu, tapi aku
tidak bisa mengikuti kau. Aku tidak bisa menjadi temanmu
dalam angin ribut hidupmu, aku cuma bisa mendoakan
semoga kau mencapai cita"citamu! Cuma teman setia dalam
impian dan mendoakan yang baik buatmu!"
"Itulah yang kusenangi padamu," kataku pelan.
"Tapi akupun sadar akan keburukan dan kekasaranku,
terutama compang-campingku."
Mataku mulai keras dan kaku lagi. Katanya, "Aku tahu
bagaimana perasaanmu. Tapi aku tak ingin kau merobah
hidupmu, menjaditenang,te raturdan statis. Ada keinginanku
menuruti kau, minum mereguk habis-habisan bersama
Khayam, tapi sifat perempuanku yang halus menolak!"
"Sudahlah," kataku pelan. "Tak berguna me mbolak"balik
lembaran-lembaran yang berdebu. Aku merasa senang,
bahwa kau bahagia dan dikelilingi oleh ketenteraman dan
kesetiaan." Lama ia terdiam, kemudian katanya, "Tidak!
Ketenteraman dan kesetiaan tidak bisa dipagut lama-lama.
Aku telah mendapat pelajaran. Ia hanya bisa kita biarkan
singgah di telapaktangan, dan bila kita hendak mengepalnya,
segalanya lalu hilang di antarajari! Tapi, aku kini mempunyai
pekerjaan untuk hidupku bersama anak"anakku!"
"Kau hanya sendirian kini?" tanyaku.
"Tidak," katanya mengelak. "Aku mempunyai anak"anak!
Aku membantu mereka supaya menjadi orang kelak."
Ia senyum, tapi matanya tak ikut tersenyum. Hatinya
yang dikatupkannya begitu kukenal betul sejak puluhan
tahun yang lalu. Aku melarikan pandang ke arah yang lain.
Lalu katanya lagi dengan suara pelan, "Sudah berapa
lamakah itu Tih?" 11" "Seabad yang lalu."
"Kau keliru Tih! Baru seperempat abad yang lalu. Kau
tetap seperti dulu, tak berobah. Yang berobah hanya usiamu
dan putih rambutmu!"
"Ya," kataku tertawa. "Salahku seabad yang lalu, ialah
karena aku tidak mengambilmu! Kau lalu mengajar aku,
bahwa sesuatu harus diambil. Sejak penolakanmu itu aku
mengambil tanpa meminta atau"kulonuwun!" Begitu hidup
menghendaki." "Apa yang kau genggam sekarang?"tanyanya ingin tahu.
Kukembangkan jari-jariku. Kataku ketawa, "Tidak ada
apa"apa! Mungkin sekelumit cerita dan seberkas sajak atau
beberapa garis dan warna yang kucorengkan di tembok!
Atau kesepian hati yang terpenjara oleh kebebasan. Tapi
aku sadar kini, bahwa penjara yang kita pilih dengan rela
dan sadar, lebih berharga daripada penjara yang harus kita
masuki karena dipaksakan oleh orang lain! Yang penting
kita bisa hidup, dan berbuat. Ya, hidup amat sederhana
sebetulnya: kita datang, kita hadir, dan kita pergi!"
Lama kami berdiam diri; si pelayan sudah gelisah di
kursinya. "Seharusnya dia sudah datang,"
sendiri. "Siapa?" "Susi! Tadi ia pamit sebentar, tak mau diajak masuk ke
restoran. Ia tentu lupa dirisekarang ditoko buku. Sering dia
be rjam"jam asyik kalau sudah masuk toko buku."
"Aku senang kita bertemu setelah sekian lama," kataku.
"Ya," katanya. "Menggembirakan, tapi juga menyedihkan
sekaligus!" Kupegang jari-jarinya. Masih halus seperti masa lalu;
ia membiarkannya, lalu aku berkata, "Tahu kau" Sejak kita
berpisah, biarpun aku mengambil setiap yang kutemukan
dalam hidupku, tanpa kulonuwun, tapi aku tidak bisa berbuat
begitu terhadapmu! Sekarang pun tidak! Kelembutan hatimu
membuat setan yang paling kasar menjadi cair lembut."
katanya kepada diri 118 .:: 153- "Oh," katanya dengan muka yang merah. "Kau masih
edan seperti dulu!" Ditariknya tangannya pelan"pelan, yang kubiarkan
meluncur halus seperti sutera lepas.
"Kau masih senang kepadaku?" tanyaku.
"Tidak!" jawabnya, tapi matanya tersenyum gemeriap.
"Kita sudah tua bangka," sambungnya. "Tak ada waktu lagi
untuk bermain-main di ujung senja!"
"Terima kasih," kataku lega.
Lalu Susitelah ada disampingnya, la mengangguk kepada
aku, situa bangka yang masih tersenyum baik dan lega.
"Bu," katanya. "Tak ada bukunya di semua toko buku.
Dilarang dijual." "Mm, keranjingan benar kau ingin membaca buku
romannya!" Kupandangi saja Susi seperti terpana; anak gadis yang
telah dewasa dan cerdas itu.
"Dia seperti kau dua puluh lima tahun yang lalu!" kataku
pelan. "Samasemua! Bicaranya,suaranya, se nyum nya, matanya
dan rambutnya!" Lalu tiba"tiba Susi lama memandang aku. Tanda heran
dan ragu melayaniwajahnya. Kemudian ia ketawa diam.
"Bu," katanya tertahan. "Saya kenal dia! Foto"fotonya
memenuhi koran dalam bulan"bulan yang lalu. Dia penulis
roman- roman yang "immoril". Susi terdiam tiba-tiba.
"Penulis immoril, Susi!" kataku tertawa. "Kau belum
boleh menjamah buku itu."
"Saya sudah dewasa!" katanya tersinggung. Dan
kemudian dengan suara pelan, katanya, "Heran, aku tak
percaya bahwa dia seorang immoril, Bu!"
"Hm! Kamu ini," kata ibunya. "Yang immoril ialah pikiran
yang membacanya!" Lalu, kemudian! Mereka pamit. Aku menggamit si
pelayan dan membayar. "L,," ___... 119
Pengawal Malam Sejak tadi pagi hujan gerimis tipis"tipis. Matahari tak
diberi kesempatan menjenguk dari kemendungan awan.
Juga ketika matahari pergi beradu di pucuk"pucuk langit
barat, ia berselimut dengan warnanya suram. Dan malam
harinya, bintang-bintang pun segan berkelingan.
Hawa sejuk, hanya hujan yang tidak turun lagi. Tentu,
semua masih lembab: aspal licin di sepanjang Malioboro,
trotoar, pohon-pohon asam, rumput dan segala yang ada di
dalam terbuka. Lembab se bagai air mata yang kering se ndiri
di pipi. Sebelum pintu kukunci aku menengadah ke langit.
Hitam pekat. Tanpa bintang, tanpa cahaya! Hanya sebentar
mengilas keriingan beberapa bintang dari sela-sela awan
mendung, lalu menghilang pula. Aku tahu, sepanjang malam
nanti hujan akan diusir oleh kegenitan bintang"bintang di
langit. Lentera jalan menarikgaris panjang dari selatan ke utara,
membelah tengah"tengah Malioboro. Manusia sudah segan
berkeliaran dalam hawa sejuk begitu. Jalanan sepi, seperti
jantung yang sudah lemah detaknya.
Dan dekat"dekat pukul dua belas malam ia kutemui.
Duduk menunduk ditrotoar.Ditrotoarsebelah timur Gedung
Presi- denan, menghadap ke barat. Lentera jalan tepat
tergantung di atas kepalanya, membentuk bayang"bayang
yang mengelapi wajahnya. Duduknya bersila amat tenang
seperti Budha yang sedang samadi. Di sampingnya terdapat
sebungkus rokok dan korek api. Sebuah asbak aluminium
sudah penuh dengan puntung abu rokok. "Bocah ini sudah
gila," pikirku. Aku berdiri di belakangnya diam"diam, menunggui
sampai dia mengetahui kehadiranku. Tapi dia seperti tak
tahu. Dua tokoh kami yang sunyi dalam kelembaban udara
malam, dia dan aku, seperti sebuah lukisan surrealis saja.
120 .:: 153- Keinginanku hendak merokok tak bisa kubendung.
Sekali gapai, terkaut olehku rokok serta koreknya se kali yang
tergeletak di sampingnya. Rokok kupasang, tapi iatidakjuga
bergerak. Juga ketika rokok dan korek kujatuhkan kembali
ke tempatnya di tegel trotoar dia membisu batu. Lalu masih
berdiam diri aku duduk di sisinya, memagut lutut. Nikmat
sendirian mengisap rokok"cap minta" dalam"dalam.
Ketika debu rokokku kujentik dan terpelanting dekat
ujung kakinya, dengan pelan ia mengambil debu itu, dan
dengan hati" hati sekali memindahkannya ke dalam asbak.
"Maaf," kataku menyesal.
Masih dia tak menjawab. "Bocah ini betul-betul sudah
miring," pikirku,"!ama"lama nanti aku ikut menjadi miring
dekat- dekat dia! Aku tak mau memikirkan dia lagi." Mataku
tertancap ke arah beranda Istana Presidenan. Terang
benderang disitu. Kereitelah dilabuhkan.
Tapi masih kelihatan deretan peti-peti mati berlingkupan
Bendera Merah Putih. Di halaman ada seorang tentara
berjalan perlahan"lahan. Dalam kesamaran tabir kerei aku
mencoba menghitung peti-peti yang berselimutkan Sang
Saka itu. Tapi selalu keliru dan keliru lagi hitunganku. "Berapa
petikah semuanya?" pikirku kesal dan kecewa.
"Tujuh puluh tiga buah," terdengar pelan suaranya,
seolah"olah ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Oh," kataku seraya menoleh kepadanya, dengan nada
dan gerak heran. "Kau rupanya, Dalom!"
"Namaku Mangkuto Abdi dalem," katanya menerangkan
tanpa bergerak atau menoleh. Dan dengan nada datar
ia meneruskan, "orang jaman sekarang tidak bisa lagi
menghargai orang lain. Rokok disampingku ini ada yang punya. Enak saja datang
orang lain, dan mengambilnya tanpa kulonuwun, tanpa
terima kasih. Juga tidak pula menjaga kebersihan."
Abdidalem berkata demikian sambil menunduk terus;
suaranya sungguh"sungguh.
Kataku, "Persahabatan kita dulu dimulai dengan
121 sebatang rokok, masa kini karena rokok sebatang, persahabatan
itu akan putus?" "Soalnya bukan rokoknya.Tapi ini soal menghargai orang
lain. Hentikan siulmu itu," bentaknya tertahan, ketika aku
bersiul acuh tak acuh. "Kau masih tidak sadar apa yang sedang
kulakukan ini?" " Dudu k"duduk di trotoar," jawabku.
"Aku bukan sembarang duduk. Aku sedang bersemadi
dan memanjatkan doa untuk arwaharwah tujuh puluh tiga
pahlawan di beranda Istana Presidenan itu. itulah yang sedang
kulakukan, ketika kau datang mengganggu. Aku yang duduk
samadi ini tak perlu betul kau hargai, tapi kenangkanlah tulang-
tulang para pahlawan yang sudah putih di sana itu!"
Dia tidak main-main kali ini! Suaranya dalam dan berat, juga
wajahnya amat bersungguh"sungguh, senyum yang hendak
mekar di wajahku menegang dan terhenti.
Katanya melanjutkan, "Besok tulang belulang itu akan dike-
bumikan kembali di Makam Pahlawan Semaki. Tulang-tulang
putih yang berserakan. Tapi setiap orang yang lewat di sini
hanya lewat melongo bodoh saja. Sudah lampaukah jamannya
orang menghargai Pahlawan Tanah Airnya" Atau sudah terlalu
banyakkah orang yang tewas sebagai Pahlawan sekarang ini"
Mereka yang tujuhpuluh tiga di sana itu mati muda dalam
pertempuran" pertempuran di Yogya ini. Jaman Revolusi yang
lewat, empat belas tahun yang lalu! Apa kau sendiri tidak
terharu mengenangkan mereka mati muda, sedang kita masih
bisa melanjutkan hidup?"
Aku tak kuasa menjawab. Rokok kuisap pelan"pelan.
Dijentikkannya rokokku itu keras-keras, sehingga terpelanting ke
aspal sejauh beberapa metec Memencar bunga"bunga api kecil,
lalu asap halus lurus ke atas. Dengan sengit kupandangi dia.
Katanya tenang, "Kau keras kepala. Kau sama seperti
manusia"manusia yang lewat di jalanan itu. Tidakterham melihat
tulang"belulang Pahlawan"pahlawan. Sejak tadi kuperhatikan,
tidak ada yang berdiri sebentar ataupun menoleh khidmad ke
arah serambi Istana Presiden. Orang"orang hanya melongos
122 .:: 153- pandang sedikit, lalu meneruskan tawa atau cakapnya dan
terus berjalan. Juga pengawal tidak ada menjaga dengan gagah
di tangga"tangga serambi itu. Dan aku sekarang mengawal
mereka, di trotoar ini. Akan kukawal mereka sampai fajar besok
menyingsing!" Ia diamsebentar. Keinginankutak tertahan untuk mengambil
rokoknya sebatang lagi. Uang sesen pun aku tak punya malam
itu. Tapi aku tak berani mengungkapkan keinginanku, sebab
kalau dia sudah serius demikian, ia sanggup menahan banjir
atau memindahkan gunung! Sambungnya kemudian, "Kau senang akan sajak" Orang
yang tak senang kepada sajak, termasukorangyangtak berkultur,
tapi lambat laun tentu manusia akan senang juga kepada sajak,
walaupun karena ikut-ikutan! Pikiriah, sekarang, pada setiap
bulan November sewaktu memperingati Hari Pahlawan, orang
membisikkan baris sajak Chairil Anwar biarpun dalam hatinya:
"Kerawang Bekasi". Walaupun hanya satu dua bait yang ter-
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hapalkan, seperti: "Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi
adalah kepunyaanmu, Kaulah yang tentukan nilai tulang"tulang
berserakan...." Ia diam pula. Dipandanginya mukaku, lalu katanya,
"Pikiranmu itu sekarang hanya pada rokok yang kujentik tadi.
Tidak pada tulang-tulang yang berserakan! Mana harumu"
Mana sikap"mu menghargai Pahlawan?"
"Akusedang memikirkan "Kerawang Bekasi', kataku."Apakah
Chairil menulis sajak itu hanya untuk pahlawan- pahlawan
pemuda Kerawang Bekasi. Apakah ia cuma mengenal hanya
Kerawang Bekasi sebagai daerah pertempuran" Aku dulu juga
ikut bertempur. Tidak di Kerawang, tidak di Bekasi. Sekiranya aku
dulu ikut,tewas, tentu aku tidak termasuk dalam tulang"tulang
berserakan Kerawang Bekasi yang dinyanyikan oleh Chairil?"
"Kau terikat pada tempat dan nama," katanya sebal. "Tapi
sekarang aku tidak mempersoalkan sajak!"
"Aku mempersoalkannya sekarang," kataku. "Tahu kau"
Aku lebih senang kepada "The Young Dead Soldiers?"nya
Archibald Mac Leish. Setiap prajurit yang tewas di pihak
123 manapun berdiri termasuk di dalamnya adalah Pahlawan.
Gema harapan setiap manusia yang hidup, setiap manusia
yang mati. Perang, maut, perdamaian dan kehidupan!"
"Jangan persoalkan sajak sekarang," katanya dengan nada
terganggu. Matanya keras memandang padaku. Lanjutnya,
"Yang penting pada detik-detik ini ialah rasa penghargaan
hatimu kepada pahlawan"pahlawan yang di beranda sana.
Besok kita persoalkan tentang sajak."
"Kau mau duduk di sini sampai pagi?" tanyaku.
"Ya," katanya. "Aku menjaga mereka sekarang. Kalau kau
mau ikut, kau harus diam dan mengheningkan cipta." Aku
mengheningkan cipta dan mengenangkan Pahlawan dengan
caraku sendiri. Dalam hati," kataku. "Jauh dalam relung hatiku
yang mumi, di situ tempat aku mengenangkan mereka.Aku
tak bisa menemani kau duduk dalam hawa dingin seperti ini
disini." Ia menggerakkan tangan seperti mengusir. Aku sudah
hendak berdiri. Tapi rokoknya harus kuambil dulu sebatang
lagi! "Semoga kau tak berkeberatan," kataku pelan dengan
nada takzim. Ia diam saja, melirikpun tidak. Rokok kupasang sebatang.
Tiba-tiba ia menghapus mukanya dengan kedua belah
tangan, seperti laku orang yang selesai berdoa. Lalu senyum
lembut kepadaku, seolah"olah mau berkata, "Aku beristirahat
sekarang, juga ingin me rokok."
Dia pun juga memasang rokoksebatang dan mengisapnya
beberapa kali dengan nikmat.
"Aku pergi sekarang," kataku. "Aku mau minum kopi di
warung si Irah sana."
Baru saja aku hendak berdiri, aku merasa ada orang di
belakangku. Tentu kamisudahterialu lama. Kusikut rusukAbdi
dalem, tapi ia tak mengerti.
Katanya, seperti melamun, "Irah cinta kepadaku."
Diisapnya rokoknya penuh nikmat.
"Tapi aku iseng saja. Kami berkirim"kirim surat cinta.
124 .:: 153- Selalu dia memulai suratnya dengan perkataan "masku sayang".
Dia sendiri buta huruf. Surat-suratnya disuruhnya ditulis oleh
orang lain, dan suratsuratku orang lain pula yang membacakan
kepadanya dan membalasnya. Tadi baru aku membalassuratnya,
kuberikan kepada orang yang membacakan untuknya. Tentu
sebentar lagi dia akan membalasnya."
"Cintacintaan kok pakai kirim surat segala," kataku.
Terasa tanganku dicuil oleh Irah dengan pelan dari belakang.
Waktu aku menoleh, kulihat ia memegang sebuah amplop. Ia
tersenyum tak kentara. "Kukira ada pos buatmu," kataku kepada Abdidalem. Tiba-
tiba ia menoleh. Tepat ke arah Irah. Wajahnya berubah, kelihatan
agak kurang senang hatinya.
Katanya, "Sudah saya bilang tadi, jangan datang dekat
kepada saya malam ini!"
Irah takmenjawab. Ia ikutduduksaja disampingAbdidalem.
Dompetnya dihempaskannya ke tegel trotoac Surat yang
beramplop tadi, tak tahu aku di mana disembunyikannya. Air
mukanya tenang tapisuram. Abdidalem seperti dingin dan kaku,
rokok digigit"gigitnya. Mereka tidak mau saling memandang,
kelihatan masing-masing bermengkal hati.
"Banyak duitmu, Rah?" kataku bercanda.
Dompetnya kubuka dengan pelan. Ia melihat saja dengan
lesu. Hanya ada uang puluhan selembar, uang rupiahan tiga,
dan mata uang setali sebiji. Selebihnya adalah surat"surat gadai,
surat-surat cukai pasar, dan surat-surat Abdidalem. Aku merasa
iba. Dompetnya kututup kembali.
"Mas," kata Irah lembut.
Tapi hati Abdidalem sedang membatu. Irah memegang
lengannya, tapi dengan pemberontakan yang ditahan,
Abdidalem menempiskan tangan Irah.
"Kau cuma berjanji"janji saja, Mas," kata Irah melanjutkan.
"Kau bersumpah tresno kepadaku, tapi kau selalu lari kalau
kudekati." 125 "Pulanglah Rah," kata Abdidalem pelan.
"Tidak! Aku tidak mau pulang kalau tidak bersama dengan
Mas!" "Aku tidak pulang satu malam ini. Aku menjaga tulang-
tulang Pahlawan." "Peti"peti berisi tulang"tulang ini tak perlu dijaga, Mas.
Besok akan dikebumikan dengan upacara kehormatan.
Tapi jagalah aku, Mas. Jagalah aku, kalau Mas betul sayang
kepadaku." Abdidalem melemparkan puntung rokoknya. Puntung itu
tergeletak dekat puntung rokokku yang tadi dijentikkannya.
Lupa ia akan kebersihan, lupa untuk mematikannya ke asbak,
karena geram hatinya. Asbak itu kini di tangan Irah, dibolak-
baliknya di antara jari"jarinya seperti tak sadar. Abu dan
puntung rokok mengotori haribaan kainnya. Sebuah beca
meluncur dengan pelan dan di antara kilasan cahaya lampu,
perempuanyang duduk di dalamnya melemparsenyum manis
ke arah kami. Aku berciut, beca meluncur terus, lalu berhenti
di tengah bundaran depan kantor pos. Dengan tertawa leking
perempuan tadi menuju tukang wedang ronde di trotoar.
Lalu ribut bersambut pula suara"suara teman perempuan
sepetualangan malam di sana, menyambut kedatangannya.
"Mari, Mas. Pulang."
"Pulanglah sendiri," geram terdengar suara Abdidalem
menyentak. Irah begitu sedih kelihatan. Asbak aluminium berdenting
jatuhketegel.Danjari"jarinyameremas"remasdan merenggut"
renggut saputangan yang lusuh.
"Aku yang mengantarkan pulang, Rah," kataku ramah.
Irah menggeleng dan menarik nafas.
Katanya, "Aku tidak mau seperti perempuan yang tadi,
gelandangan dari becak ke becak, rebah dari amben ke amben,
digulati oleh setiap lakilaki. Mas?"
Tapi Abdidalem melongospun tidak.
Sambung Irah, "Aku ingin mempunyai suami yang bisa
kupuja, ingin mempunyai rumah, mempunyai anak, Mas."
128 .:: 153- katanya dengan nada lemah lembut memohon, "jangan aku
biarkan menjadi perempuan seperti yang di sana itu. Kalau
betul Mas tresno kepadaku ..."
"Sudah, pulang saja sendiri Rah," kata Abdi dalem
bertambah gemas. Rasa malu menghambur pada wajahnya. Di bawah
cahaya lentera ini orang lain dapat menyangka bahwa
ia duduk bermesra-mesraan dengan Irah! Irah terdiam.
Matanya terpaku keserambi Istana Presidenan, dengantujuh
puluh tiga peti mati yang masing"masing diselimuti dengan
Sang Saka. Entah tak berapa lamanya, tak seorang pun di antara
kami yang bersuara. Aku mulai tak sedap melihat drama satu
babak mereka. Bila mereka telah berbuatsesuatu, biarkanlah
mereka se ndiri menyelesaikannya!
"Aku harus hidup!" kata Irah kemudian dengan suara
datar. Matanya masih nanap memandang ke arah peti-peti
itu. "Aku tahu, Mas. Kau merenungi peti-peti yang berisi
tulang"tulang Pahlawan itu. Tapi tahukah kau Mas, apa yang
kupikirkan?" Abdidalem tak bergerak sekutik pun. Irah menarik nafas,
sebuah senyum hampa bergetar di bibimya.
Sambungnya, "Mungkin dalam salah satu peti itu,
terkumpul serakan tulang"tulang suamiku. Dan mungkin
sekarang arwahnya ada dekat"dekat sini. Melihat semua
yang kuperbuat di bawah lentera Malioboro ini, aku hanya
bisa berdoa untuk arwahnya sambil meminta maaf karena
aku menjadi begini. Kurasa ia mengerti dan memaafkan aku.
Tapi aku tak perlu memikirkan itu, Mas. Kehidupan yang
ganas tidak membiarkan aku menjadi orang, tak memberi
waktu untuk memikirkan seperti itu!"
Irah diam. Kupandangi dia. Matanya kelihatan tergenang,
tapi ia berusaha sekuatnya menahan ledakan"ledakan
perasaannya. "Suamimu gugur, Rah" Tentu dia Pahlawan," kataku
pelan. 12" "Siapa yang bisa memastikan bahwa dia Pahlawan, atau
tidak pahlawan" Jaman pendudukan Belanda di Yogya dia
kena tembak. Saya baru sebulan dikawininya, dan ia tidak
mau saya larang ikut"ikutan bertempur dengan pasukan
gerilya. Saya tidak ingin dia mati, tapi yah, dia mati juga.
Tidak pernah kutemukan mayat atau kuburnya! Kalau dia
tidak mati, saya rasa aku tidak menjadi begini. Mungkin di
antara sebanyak tulang-tulang putih di peti sana itu, ada
tulang"tulang bekas suamiku"!"
Ia terdiam pula, memandang kepada Abdidalem yang
melihat ke arah lain, seperti tak peduli.
Sambung Irah, "Sejak dia tidak ada, se muanyajadi putus.
Aku harus bekeja buat hidup. Bekerja berat dan kotor, tapi
duitnya cuma sedikit. Aku bertahan tidak menjadi kupu"kupu
malam, tapi aku tak bisa! Tidak bisa! Mas, aku sudah bosan
hidup hina begitu. Kalau memang Mas tresno kepadaku,
tolonglah aku. Aku menjadi istri yang setia dan berbakti!
Oalah, Mas! Tidak bosan kepadaku" Tidak bosan?"
Ia menggoncang-goncang lengan Abdidalem. Abdidalem
yang tetap diam bisu. Karena sikap Abdidalem yang pasti dan menolak
demikian, keseluruhan tubuh Irah seperti lunglai dan beku.
Dipandanginya pemuda ituseperti he ndak mengajak dengan
pandangan dari hati yang sayu dan perih. Kesadarantimbul di
hatinya, bahwa tresno Abdi dalem hanya permainan belaka.
Lalu dengantawakkalkatanya,"Sudahlah, Mas. Kita putus
saja sampai di sini hubungan cinta kita. Aku tak percaya sama
surat"surat, atau kata"kata kosong lagi. Kusangka bahwa Mas
Pahlawanku yang sejati selama ini. Aku tidak akan menangis
karena tertipu." Dan Irah tersenyum. Senyum yang robek dan compang-
camping. Ia membetulkan letak kebayanya dan meluruskan lipatan
kainnya. Geraknya tidak menggetar lagi, tapi dengan penuh
kapastian dan ketetapan hati sekarang. Dan ia tertawa.
128 .:: 153- Katanya, "Tidak! Aku tak berhak meminta keberanianmu
Mas, untuk menjadi Pahlawanku. Sudahlah, tidak usah
pikir tentang aku, atau tentang cinta. Aku harap, Mas, kau
tidak benci dan jijik kepadaku. Janganlah benci melihat aku,
warungku tetap terbuka menunggumu. Mampiriah selalu,
dan juga kau, Mas," katanya kepadaku.
Lengan Abdidalem dipegangnya kembali, penuh mesra
dan damba yang tersisih. Suranya basah menggumam, "Mas ...."
Sebuah truk lari kencang dari utara. Tiba"tiba berhenti
di bunderan depan Kantorpos, di muka penjual rokok dan
penjual wedang ronda. Masih berkibar bendera kecil dari
kesatuan polisi dekat hidung mobil.
Dua orang polisi turun, menuju ke perempu"an-
perempuan malam yang sedang bersenda gurau terkikih,
dalam becak, di trotoar, dan dekat tukang wedang ronda,
suara riuhmerekatiba-tibaterhenti.Adasatu dua perempuan
malam menyelinap. Dan tiba"tiba bagaikan hujan turun,
mereka bubar menyelamatkan diri.
"Garakan!" desis Abdidalem. "Rah lari Rah. Lari!"
Irah hanya mencibirkan bibirnya. Tetap duduk se enaknya,
seperti menertawakan aku yang sudah berdiri di balik tiang
listrik, seolah"olah mau berlindung di situ.
Ia tertawa saja melihat Abdidalem yang gelisah berdiri,
menggenggam rokok, korek apiserta asbaknya.
Kata Irah, "Orang tak bersalah tak perlu minggat, Mas !"
"Polisi itu ke sini," kata Abdidalem pelan kecemasan.
Irah tak beranjak dari duduknya di trotoar. Malah
menekur acuh tak acuh. Tidak ada kelihatan orang lalu lalang
di aspalyang licin hitam, ataupun ditrotoar, hanya kelap"kelip
lampu beca yang ketiduran dan lampu tukang we dang ronda
yang terkantuk"kantuk. Suara"suara perempuan malam yang
tadi riuh sudah hilang lenyap. Suara langkah polisi berdetak"
detak keras di aspal. 129 "Bikin apa di sini!" katanya dengan nada berwibawa.
Ia berdiri di hadapan Irah, besar dan tinggi dalam pakaian
dinasnya; matanya menyelusuri Abdidalem, menyelusuri
aku. Kami berdiam diri. Sebuah senyum melebari wajahnya, ketika menandai
Irah yang menengadah kepadanya.
Lembut sapanya, "Lho, sampeyan to, Mbak Irah. Belum
kukut" Siapa yang menjaga warung Mbak?"
"Si Embok, Pak."
"Sudah Mbak! Jangan berhenti atau duduk lama-lama di
depan Presidenan. Pahlawan-pahlawan sedang istirahat di
beranda. Dan ada garakan lho, Mbak!"
Tapi matanya memerintah keras melihat kepada
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Abdidalem dan aku. Kami tak bergerak. Tentu polisi itu
mengenal Irah, atau sudah sering juga minum di warungnya.
"Sudah, pulang saja," perintahnya kepada kami.
"Pak," kataku. "Irah menduga, bahwa mungkin di antara
tulang-tulang Pahlawan di Presidenan itu, ada tulang-tulang
bekas suaminya." Polisi menjadi lembut. Ia memandang ke arah serambi
Presidenan, menekan perasaan terharunya. Kemudian
sejenak lamanya ia menekuri Irah.
"Mudah"mudahan Mbak," katanya dengan suara takzim
dan hormat. Semoga dia ada di sana, di antara ketujuh puluh
tiga peti itu. Maka akan selamat dan damailah arwahnya di
pindahkan ke Makam Pahlawan besok."
Irah berdiri, tersenyum, dan matanya basah.
Katanya, "Aku mau ke warung sekarang." Dan seperti
kepada diri sendiri pelan ia berkata, "Kenang, kenangkanlah
kami ...." "Apa Mbak?" tanya polisi itu tak mengerti.
Irah tak menjawab, dan mata polisi itu bertanya kepada
kami. "Permisi Pak," kata Irah.
Dan kepada kami ia mengangguk ramah dan berkata,
"Jangan bosan mampir di warungku, Mas."
130 .:: 153- Ia melencermenuju warungnya, ke arah utara.
Polisi itu masih memandanginya. Katanya, tak mengerti,
"Apa sih, maksud Mbak Irah?"
"Dia senang kepada sajak, Pak," kataku menerangkan.
"Itu tadi sebagian dari baris sajak Chairil, Kerawang Bekasi,
yang selalu dideklamasikan pada Hari Pahlawan. Kawan saya
ini selalu membaca sajak di warungnya. Irah senang kepada
sajak." "Ya, saya ingat," kata polisi itu dengan wajah cerah.
"Kamu orang"orang muda cuma tahu bersajak dan ngeloyor
malam. Sekarang pulanglah lekas."
Kami pulang, menuju arah selatan. Di belakang kami truk
polisi menderu kembali ke arah utara. Perempuan malam di
bunderan dan si tukang jual wedang ronda ramai kembali,
menderaikan kicau dan tawa memenuhi kelembaban malam.
"Oalah," kicau si Sun, "Kupikirgarakan! Tau"tau Pak Polisi
cuma membeli rokok."
Tertawanya dari beca terpingkal-pingkal, ditingkahiyang
lain. Kami melangkah turun, mata terasa amat berat.
Abdidalem lupa meneruskan pengalamannya di depan
Kepresidenan. Dia berdiam diri saja. Tapi kehidupan malam
tidak diam, terus berlangsung menunggu fajar menyingsing.
Sepasang Hari Sebelum Lebaran
Dihampirinya Yati, si bungsunya yang tenang di katil.
Sangkanya mulanya bahwa anak itu sudah tertidur. Jam
dinding berdentang tujuh kali. Dua hari lagi, lebaran!
Dan di malam"malam dekat lebaran begini, dia yang telah
mempunyai istri, dan anak dua, masih juga merasakan
kegembiraan harapan-harapan yang pernah dialaminya
semasa jaman kanak"kanaknya. Di luar, anak" anak ramai
ben'nain, dan langit berdesingan oleh mercon bunga api. Dan
si bungsunya ini kenapa pula jatuh sakit di hari"hari begini!
"Pak," terdengar suara Yati.
Ia terkejut, lalu senyum, "Hidung anak iniseperti hidung
ibunyajuga alisnya!" pikimya.
Dalam tingkah laku si Yati, ia mengenal kembali jiwanya
sendiri: perenung, dan bila menangis, selalu sembunyi-
sembunyi! "Papa pikir kau tidur," katanya.
Dibelainya kening anaknya yang keringatan itu, masih
agak panas sedikit. "Aku tidak sakit kok, Pa," suara Yati.
Sambil duduk lincah, ingin dibelai. Meringkuk
dirangkulan" nya. Dia membenamkan hidungnya ke rambut
anak yang terbuai itu dengan mesra. Sejenak melembut
keseluruhan tubuh anaknya, tapi tiba-tiba terasa ada
ketegangan, dan senyum gadis cilik itu hilang. Matanya
kehilangan manik-maniknya yang berkaca-kaca, perasaan
perih menjalari hati si Bapak. Belakangan ini terasa
olehnya ada kerenggangan di antara keluarganya. Si Yuno,
si sulungnya, seolah"olah mengelakkan dia. Makin sering
pergi menginap di rumah mbahnya. Bila ia bertemu dengan
kedua anaknya itu, ia seolah"olah terpencil, tak segembira
biasa. Biasanya bila ia membaca koran, kedua-duanya selalu
ingin tahu, dan banyak bertanya. Kapal terbang jatuh Pak" Di
mana" Kebakaran di Jakarta" Bagaimana sih kebakaran itu" Dan
132 ;, "P ia bemsaha menerangkan apa yang diketahuinya, sepanjang
dapat ditangkap oleh pikiran bocah-bocah. Kedua-duanya sama-
sama ingin tahu berita kejadian"kejadian di koran dan sering
didapatinya adik" kakak itu bersama"sama menelaah koran. Yuno
yang berumur 10 dan Yati setahun lebih muda. Beberapa tahun
lagi mereka tentu sudah di SMP kemudian di SMA, kemudian,
kemudian mereka tiba"tiba akan sudah dewasa!
"Ke mana kedua anak kecil yang di Malioboro itu, Pak?"
tiba"tiba Yati bertanya.
"Hm, yang mana?"
"Aku ingat saja kepada mereka, Pak. Apakah mereka
mempunyai bapak dan ibujuga?"
"Oh," pikirnya, gadis cilik ini sentimentil! Ia ingat kepada dua
orang anak kecil yang dimaksud oleh si bungsu. Entah beberapa
minggu yang lalu, ia membawa kedua anaknya itu pada malam
hari berbelanja ke Malioboro. Dua bocah kecil, gadis"gadis
gelandangan, sebaya Yuno dan Yati, mendekati mereka.
"Pak," rengeknya,"kulo belum makan Pak!"
Dan ia mencoba tak mengacuhkan pengemis-pengemis itu,
tapi ketika mereka memegang lengannya dengan berani dan
paksa, ia marah. Sudah bosan ia sering"sering memberi duit kepada kedua
gadis cilik gelandangan itu, sehingga mereka terlalu berani
akhirnya! Tapi ketika dilihatnya Yuno dan Yati tercengang melihat
kemarahan tiba-tiba itu, ia sadar. Lalu dengan cepat-cepat ia
memberikan uang seperak"seperak kepada kedua pengemis
kecil itu. "Tentu," katanya dengan gembira kepada Yati. "Mereka juga
mempunyai Mak dan Bapak."
Tapi mata Yati nyalang saja memandang, tak percaya.
Katanya, "Mesake Pak!"
"Hm, kamu ini !" ia berkata dengan ketawa sambil merangkul
si bungsunya erat"e rat.
Sambungnya, "Tidurlah, Bapakmu akan menjemput
masmu, si Yuno!" L,"," ___... 133
Yati cuma tersenyum menurut, tak membantah ketika
dibaring- kannya dan dibetulkan letak bantalnya.
Dia berkata lagi dengan gembira. "Lebaran besok kita
semua pergi ke rumah mbah, ya?"
Yati tiba-tiba tertawa, katanya. "Aku besok sudah
sembuh!" Dirangkulnya lengan Bapaknya, dan ditekankannya
ke pipinya. "Bapak tidak marah?" tanyanya.
Hati si Bapak bertanya"tanya, tapi dengan ketawa ia
melekatkan cium ke pipi si bocah. Pipi kirisekali, yang kanan
sekali. Di hidung yang seperti hidung ibunya itu, sekali.
Mereka berdua amat gembira. Begitulah ia didapati
istrinya yang tiba"tiba telah berdiri di ambang pintu, dan
menanyakan, kenapa ia belum pergi.
"Sudah malam, Mas!" katanya pelan. "Jangan diganggu
juga Yati!" Di sudut ruang tengah ia tiba-tiba mendekap istrinya.
"Hah hah! Edan lagi kau Mas!" elak istrinya. Tapi ia makin
mendekap erat, dan menggigit hidung istrinya dengan
bibirnya. "Kau tidak akan meninggalkan aku besok?" tanyanya.
"Hah, hah, edan!" kata istrinya dengan senang.
Dan kemudian ia pergi, ditatapi istri di pintu.
"Yuno sudah pulang," kata ibu mertuanya.
Lalu sebentar kemudian mereka bercakap"cakap
mengenai hal-hal yang tak ada artinya. Tapi tiba-tiba ia
merasa sering diperhatikan oleh ibu mertuanya.
Lalu tanya orang tua itu terloncat, "Akan selamanya
kamu begini?" "Begini bagaimana, Bu?"
"Kau senang melihat tanah tamanmu ditumbuhi
kembang. Tapi kau belum, menjadi seorang penjaga taman
yang baik. Jari"jarimu terlalu keras menyentuhi tanaman!"
Ibu mertuanya tertawa, selalu kesukaannya berbicara
sebagaiteka"teki. "Ada lagi kekuranganku?"tanyanya sambil berpikir"pikir.
134 .:: 153- "Di samping mencintai tanah, orang juga harus cinta
kepada tanamannya." Perempuan tua, ibu istrinya itu, cuma tersenyum"
senyum saja, ketika ia mendesak meminta penjelasan.
Ia hanya menambahkan, "Nanti kau sendiri akan tahu
juga!" Ia merasa selama ini bahwa di rumah tidak kurang apa"
apa. Hidup mereka suami istri penuh romantika, mereka
sayang kepada anak"anak. Hanya sekali"sekali tentu ada
kekeringan uang belanja, sudah biasa pada jaman se karang!
Dalam perjalanan pulang, ketika menyelusuri Malioboro
ingin membeli oleh-oleh, kata-kata ibu mertuanya itu
dirasanya terlampau mengada"ada. Keramaian silang"siur
manusia mengalihkan perhatiannya. Tapi ia tiba-tiba teringat
kembali kepada si bungsunya. Yati dengan pertanyaannya,
"Ke mana anak kecil yang di Malioboro itu Pak?"
Serentak dengan ingatan itu, tiba-tiba ia terlanda si
gadis bocah dekat Kepatihan. Ia tertegun memandanginya;
dan si bocah yang mengenalinya, menjauh takut. Ingat akan
pengalamannya yang lalu waktu meminta-minta kepada
orang itu! Dia tersandar ke tepi tembok. Bocah itu berdiri
lalu lari takut"takut sejauh satu tiang listrik. "Kenapa bocah
gelandangan ini sendirian sekarang?" tanyanya dalam hati.
"Biasanya mereka berdua, dengan tempumng dikepit, dan
bergandengan dan gesit meminta"minta." Hanya itu yang
terpikir olehnya tentang mereka!
Bocah"bocah gelandangan selamanya tak menyedapkan
hati. Seperti lalar, dihalau, datang hinggap lagi. Suara Yati
berdengung kembali di telinganya, "Mesake Pak!" Lalu tiba-
tiba saja, ia merasakan apa yang dirasakan si bungsunya,
yang dianggapnya hanya kesentimentilan kanak"kanak. Dan
di wajah gadis peminta-minta itu, terbayang wajah Yati. Ia
terkejut, "Tidak,"jerit hatinya. "Yati tidak akan menjadi anak
gelandangan seperti ini! Cepat pula pertanyaan terlintas
di hatinya: bila esok aku mati, istriku mati, bila mereka tak
beribu"bapak pula"! Yuno dan Yati gelandangan dengan kaleng
L,"," ___... 135
kecil dan merengek: "Pak nyuwun Pak, kulo dereng nedo."
Walaupun dirasanya pikiran ini mengada-ada saja, ia tak bisa
melepaskannya. Didekatinya gadis cilik itu seolah"olah acuh
tak acuh. Ia bertanya seramah mungkir"Temanmu yang dulu
mana?" Si bocah diam dengan rasa curiga.
Lama baru ia menjawab dengan kaku, "Mati, Pak! Tiga
hari yang lalu." Ia terkejut, temannya yang satu itulah yang
dulu benar-benar dimarahinya, karena terlalu merongrong!
Sesal tak habis"habis menekannya, karena tentu dalam
menghadapi maut, anak kecil itu masih mengandung
dendam dan sakit hati! Ia lirih bertanya, "Kamu sudah
makan?" Si bocah kumal comeng itu masih curiga, dan
akhirnya menggeleng. Digenggamnya selembar uang duapuluh limaan ke
telapak bocah itu. "Ini! Pergilah membeli makanan yang
enak!" "Matur nuwun Pak!" kata si bocah tertahan, lalu pergi
dengan girang berlari, menyelinap di antara orang lalu lalang
di trotoar. "Mati!" pikirnya, "kenapa aku dulu tak bisa berbuat
ramah kepadanya" Kini dia mati dengan rasa sakit hati
terhadap aku. Duit duapuluh lima yang kuberikan kepada
temannya itu, sebagai sogokan terasa seolah-olah untuk
menyuap meminta maaf kepada temannya yang sudah
mati itu." Ia bergegas pulang, kangen kepada Yuno dan Yati!
"Mesake Pak!" te rdengung lagi suara Yati!
Malam sudah larut. Yuno telah tertidur, juga Yati.
"Apa yang kau pikirkan, Mas?" tanya istrinya. Ia tersentak,
senyum tak menentu dan memasang rokok. Lama mereka
be r-diam diri, duduk di beranda. Ketika rokok yang terjepit di
antara jari-jarinya, hampirhabistanpa diisap, istrinya dengan
pelan mengambilnya. Kedua"duanya hanya tersenyum. Lalu
istrinya memasangkan se batang rokok lagi.Adasaja romantik
antara mereka berdua, walaupun romantik kecil!
"Yuno dan Yati sudah menjelang dewasa," kata istrinya.
138 .:: 153- "Ya," katanya. "Tadi waktu mencium Yati, tiba"tiba aku
merasa bahwa dia bukan anak-anak lagi!"
Dan Yuno tiba-tiba telah seperti orang dewasa. Aku merasa
sebagai kakek"kakek!
Diperhatikannya istrinya lalu, katanya, "Dulu sebelum
kawin, aku berjanji kepadamu akan sanggup memindahkan
gunung. Tapi hidup kita hanya tinggal sederhana saja, selalu
kurang belanja, kurang ini itu. Kau masih ingin menagih janjiku
yang dulu, akan membelikan beler. "
"Kayak kakek"kakek saja kau mas!" kata istrinya. "Rokokmu
kau biarkan lagi habis di jari-jarimu. Aku sudah senang begini,
mempunyai anak"anak yang manis dan cerdas. Yati giat betul
membaca, aku takut nanti matanya lekas rusak. Yunobegitujuga!
Kita hams sudah mulai memikirkan kacamata untuk mereka!"
"Kau tidak memikirkan aku juga?"
"Edan dan cemburu lagi! Itu saja rupanya yang kau pikirkan
tadi?" Lama baru ia menjawab! "Dia sudah mati!"
"Siapa?" "Gadis cilik peminta-peminta di Malioboro itu. Yang pernah
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kubentak itu!" Istrinya mengangguk termangu, juga ingat ketika suaminya
membentak bocah gelandangan itu. Lama mereka diam pula,
dan dia menyambung, "Tadi aku bertemu dengan si bocah yang
satunya lagi. Jangan sampai Yati tahu. Anak itu bisa sentimentil
dan ikut menyesali aku!"
"Kau menyesali diri?"
"Ya. Tapi tak apa. Kawannya itu kuberi duapuluh lima tadi.
Hm, berkurang besok beca kita."
Istrinya mengangguk saja, terharu diam. Sambungnya, "Tadi
Ibumu bilang kepadaku kau belum jadi seorang penjaga taman
yang baik. Apa maksudnya sih?"
L,"," ___... 133
Tapi istrinya tak menjawab, sebagai terpana. Lalu kemudian
tanpa disadarinya, matanya telah tergenang dan air mata
melelehi pipinya. Katanya tersendat"sendat, "Kita telah menyiksa mereka.
Aku tak mau meneruskan permainanmu yang keras ini."
"Mengapa pula air mata itu! Siapa yang disiksa?"
"Mereka sudah tahu. Yati dan Yuno. Celengan ayamayaman
itu mas! Dua, tiga hariyang lalu aku menemukan pecahan bekas
kepala celengan ayam-ayaman itu di bawah kasur Yati. Maksud
kau dan aku baik, berbuat begitu. Meminta kesadaran anakanak
tapi terlalu berat buat hati mereka yang masih kecil!"
Di kamar, Yuno tak bisa tidur. Gelisah saja, dan bantalnya
jatuh ke lantai! "Aku nanti yang akan menyatakan kepada Ibu dan Bapak,
Yun!" bisik Yati. "Kenapa celengan kita ditukardenganyang ba?""
"Kau ceritakan kepada mbah" Apa katanya?"
Mbah memeluk aku. Suaranya menggeletar, matanya
basah. Katanya, "Yun! Kamu dan Yati mesti mengatakan terus
terang kepada Ibu dan Bapak, jangan diam"diam. Kamu harus
berani mengatakannya. Dan aku dilarang oleh mbah datang ke
rumahnya kalau aku belum mengatakannya kepada ibu dan
bapak." "Aku yang mengajak kau Yun. Mengajak membuka
celenganku." Yuno diam saja. Yati bangun. Katanya, "Kau tinggal di sini ya;
aku sekarang mau memberitahukannya kepada Ibu dan Bapak.
Berjingkat"jingkat ia meninggalkan kamar, seperti kucing tak
bersuara, Yuno membenamkan muka ke bantal. Tapi sebentar
kemudian Yati kembali pula tak bersuara.
Bisiknya, "Ibu menangis, Yun! Bapak diam saja, aku belum
berani sekarang." Dia diam, teringat kembali akan kata-kata Ibu mertuanya,
"Kau belum menjadi seorang penjaga taman yang baik. Jari"
jarimu terlalu keras menyentuh tanaman". Kini baru ia mulai
samar-samarmengerti teka-teki si perempuan tua itu!
138 .:: 153- Peristiwa ini terjadi seminggu yang lalu, Yuno dan Yati
dibawa mBaknya ke desa. Pagi-pagi benar waktu ia hendak
berangkat ke kantor dan mencari pulpen dilaci bupet dengan
tergesa"gesa, sikunya tersentuh celengan ayam"ayaman tanah
liatyang terietak di atas bupet. Benda itu pecah di lantai. Kosong!
yang jatuh itu kepunyaan Yati. Darahnya tersirap. Disambamya
celengan Yuno yang terletak di sebelah kepunyaan Yati. Juga
bolong bawahnya: kosong! "Bu, Bune," jeritnya panik.
Istrinya seperti melompat dari dapur. Temganga melihat
pecahan tanah liat di lantai dan yang sebuah lagi bolong di
tangan suaminya. "Lihat" katanya. "Anak"anak begitu berani diamdiam
berbuat tak baik, Yati dan Yuno! Kau tahu soal ini?"
Istrinya menggeleng sedih, tak bisa berkata. Penuh kecewa.
"Sudah,nantikalaumereka pulang, akan kita perbincangkan."
Tiba-tiba, ketika ia sudah di halaman, ia teringat sesuatu dan
kembali masuk. "Aku terpikir sebentar ini," katanya kepada istrinya. "Jangan
kita singgung soal celengan kosong ini, kalau Yati dan Yuno
pulang. Kita hams memberinya didikan agar berani tanggung
jawab atas perbuatan mereka."
"Habis, mau diapakan Mas" Toh uang itu mereka yang
punya, mereka yang menabung."
"Betul! Tapitak baik mereka berbuat diamdiam. Sekarang
begini, Bune! Pergilah ke pasar beli dua buah celengan yang
sama dengan yang bolong"bolong ini. Sama wamanya, sama
besarnya, sama bentuknya. Dan kita letakkan yang baru itu
menggantikan yang lama, seolah-olah tak ada terjadi apa-apa."
Istrinya terdiam sebentar. Dia tersenyum katanya, "Yati dan
Yuno, bukan anakanak bodoh, mereka cerdas. Tapi kita tak apa"
apa sekali-sekali berkeras. Kau ingat ketika kita membelikan
celengan ini untuk mereka" Aku kumpulan mereka, ya kita
berempat, bukan" Dan kubilang kepada mereka! Yati, Yun! Menabung cara ini
tak baik sebetulnya. Bapak lebih senang, kalau Yati dan Yuno
L,"," ___... 139
belajar menabung di kantor tabungan. Tapi dengan menabung
di rumah dengan celengan ayam-ayaman ini, bapak bermaksud
agar Yati dan Yuno menjadi orang yang kuat menahan hati.
Celengan tanah liat ini gampang dipecahkan, tapi Yati dan Yuno
harus belajar menahan hati dan keinginan! Bila telah tamat dari
SD, Yati dan Yuno boleh menabung di kantor tabungan."
*** Kata istrinya sambil menghapus habis"habis ain'natanya,
"Sudah cukup mereka kita hukum."
Dia bertanya, "Untuk apa uang celengan itu mereka
pergunakan" Apakah kau lihat Yati dan Yuno membeli apa-
apa" Dulu pernah Yuno ingin membeli pisau pandu. Apakah dia
belikan pisau pandu?"
"Merekatidakmembeliapa"apa, Mas. Kalau mereka hendak
membeli apa"apa, mereka tentu mengatakannya."
"Nanti mereka harus datang sendiri mengaku."
"Aku tidak tahan. Mas; Yati nanti makin sakit. Yuno hilang-
hilang saja sejak mereka menemukan bekas pecahan tabungan
itu. Mereka sudah tahu, bahwa tabungan ayam-ayaman itu kita
ganti dengan yang baru."
"Pipaku di mana?" tanyanya tiba"tiba. Keinginannya
merokok mendesak. Ia ingin menghilangkan kegelisahannya.
Istrinya sudah akan bangkit hendak mencarinya.Tapi ditahannya
sambil tertawa. "Biar aku yang mencarinya. Dan kalau Yati dan Yuno masih
bangun, kita buka saja pengadilan malam ini ya?"
Istrinya mengangguk. Si suami pelan"pelan menuju kamar
Yati dan Yuno. Dari kuakan kain pintu, teriihat olehnya kedua
anak itu sudah nyenyak tiduc Dengan rasa terham ia mendekat.
Pelan-pelan diciumnya kening Yati, lalu kening Yuno. Menciumi
bocah-bocah yang telah melakukan dosa-dosa kecilnya! Dengan
tersenyum sendirian ia keluar. Teringat akan pipanya, ia mencari"
cari di atas bupet, di antara bendabenda yang ada di situ.
Celengan ayam"ayaman tanah liat yang baru itu,seperti melihati
dia saja. Pipa tak ada di situ. Mungkin di laci bupet. Pelanpelan
140 .:: 153- ditariknya laci. Isi laci itu beraburan. Tentu perbutan Yuno lagi!
Buku-buku, potlot, dan kertas-kertas tak menentu. Biasanya
Yati yang rajin membenahinya dengan rapi, tetapi kemudian
Yuno yang mengaduk"aduknya lagi. Bocah"bocah! Disusunnya
buku- buku itu pelan-pelan sambil selintas-selintas membaca
apa-apa yang terlihatnya sekilas. Sekarang buku-buku Yati dan
Yuno campur aduk jadi satu, selama libur ini benda"benda itu
tak dipegang-pegang. Tapi Yati lebih halus perasaannya, ini selalu
dirasakannya bila melihat buku gambar Yati. Lukisaniukisan
bebasnya, menggambarkan adik dengan kakak, anak dengan
ibu, anak dengan kucing, atau benda-benda yang memancarkan
kemesraan dan keintiman. Kini bukugambarYati ditariknya, ingin
melihatnya sebentar. Sehelai demi sehelai dibaliknya sekilas, tapi
tiba-tiba buku itu teriuncur dari peganganjarinya. Jatuh ke lantai,
selembar halaman terlepas, dan bersamaan dengan itu. Secarik
kertas yang agak kecil. ",Aku capek dan mengantuk kalau begini,"
pikirnya sambil memungut buku dan kertas-kertas itu. Tiba-tiba
ia memanggilseparuh berteriak, "Bu! Bune."
Istrinya tercengang saja melihat dia menunjukkan selembar
kwitansi. "Kau yang memasukkan ini?" tanyanya berbisik.
Istrinya membaca kwintansi itu, dan menggeleng.
"Tapi ini atas namamu, Nyonya anu-anu-anu!"
"Sungguh bukan saya, Mas."
"Hm!" katanya, "tak percaya. Tentu kau. Dulu, waktu aku
tanya apa kita masih mempunyai uang lebih, kau mengeluh, dan
mengatakan, tidak ada sisa sesenpun."
"Sungguh mati, Mas! Saya tidak pernah mengetahui adanya
kwitansi ini!" "Pipaku! Pipa celaka itu belum kutemukan," katanya
menggerutu. Ia mengaduk"aduk di laci lain. Terasa hatinya tak
senang, entah kesal kepada siapa.
Kata istrinya dengan suara tak senang, "Mas! Aku tak pernah
bohong, aku tidaksenang karena prasangkamu ini."
Dia tertawa masam, "Tapi di situ tertulis namamu. Sudahlah
itu tak menjadi soal."
L,"," ___... 141
Terasa ada ketegangan kecil di antara mereka. Kecurigaan
kecil yang tak berarti, tapi selalu tak mengenakkan hati, seperti
pasir yang menyelinap di antara gigi!
"Pipaku! Pipa celaka?"
Si istri tertunduk diam, kwintansi itu dilihatnya saja dengan
diam. "Kau tak percaya kepadaku," katanya.
"Hm! Sudah, apa yang dipikirkan lagi !"
Dia terus mengaduk"aduk mencari pipanya, "Mana pipa
itu!"geramnya. Yati sudah berdiri saja di pintu kamarnya. Memandangi
dengan diam-diam bapaknya yang bingung, dan ibunya diam
tertunduk. "Kenapa belum tidur, Ti?" tanya Ibunya.
Yati masih diam saja. Memandang bapaknya yang kini
terhenti mencari pipanya dan memandang ibunya yang senyum
dipaksa, seraya menyambung, "N anti kau masuk angin, Ti,
tidurlah!" "Bu," kata Yati terbata"bata, Itu aku yang bikin."
"Apa" Bikin apa?" tanya ibunya, mendekatinya. Ia hendak
merangkul Yati dan membawanya kembali ke katil. Tapi anak itu
mengelak. "Aku dan Yuno, Bu!" katanya Yati ingin menerangkan.
"Pak, Pakne, dia mengigau, tentu panasnya naik!" kata si Ibu
dengan cemas. Dirangkulnya gadis cilik itu, tapi Yati berontak.
Katanya, "Aku dan Yuno yang memasukkan itu, atas nama
Ibu! Tabungan ayam"ayaman Yati dan yuno, kami bolongi dari
bawah. Uangnya kami serahkan atas nama Ibu! Duapuluh dua
setengah rupiah! Akulah yang salah, Bu! Aku Pak, Yuno tidak
bersalah." Menggeletar lembar kwintansi itu di jari si Ibu.
Tiba-tiba suara Yuno di samping Yati, "Tidak Bu, pak! Aku
juga salah! Bukan Yati, saja! Kami berdua bersamasama yang
pergi memasukkan uang itu."
"Tidak," kata Yati separoh menjerit. "Aku yang memaksa
Yuno membolongi celengannya. Aku yang memaksanya!"
142 ;, "P "Aku tidak dipaksa."
"Tidak. Jangan bohong, Yun! Kau menangis waktu
membolongi ayammu!" Mata si Ibu basah melintasi kwintansi yang bertuliskan:
sudah terima dari Nyonya anu-anu-anu, duapuluh dua setengah
rupiah untuk Dompet banjir dan seterusnya.
"Kalian! Huh kalian!" tiba"tiba si Ibu merangkuli Yati dan
Yuno, "kenapa tidak kalian beritahukan kepada kami?"
Diciuminya kedua bocah itu penuh haru.
"Kenapa tidak katakan kepada Ibu, kepada Bapak?"
"Takut," jawab Yati pelan. "Ibu katakan dulu, kepada Bapak,
tidak mempunyai duit sisa buat korban banjir, jadi jadi ...."
"Kalian! Kalian ini !" kata si Ibu tertawa dengan linangan
air mata, dan menciumi Yati dan Yuno. "Ijhatlah Pakne, anak-
anakmu, anak"anak kita!" sambungnya dengan bangga.
"Bapak tidak marah?" hampirserentak suara Yati dan Yuno
bertanya. Si Bapak yang dari tadi diam saja menyembunyikan harunya,
mengangguk, lalu katanya, "Bapak marah! Marah sekali! Sini
dekat ke sini, Yati! Yuno."
Dengan raguragu kedua anak itu mendekat, dan mata Ibu
seperti bertanya. Si Bapak telah duduk di kursi. Yati berdiri di kirinya dan Yuno
di kanannya. "Aku terima salah, Pak," kata Yati pelan. "Tapi Yuno tidak, dia
ikut-ikutan saja." 'iAkujuga salah, Pak," bantah Yuno.
Si Bapak memandangi mereka ganti"berganti dengan
pandang merenung kemudian mengangguk.
"Ya, Bapak marah sekali!" katanya, "uang tabungan itu
adalah uang Yati dan uang Yuno, kenapa tidak disumbangkan
atas nama Yuno dan Yati" Kenapa atas nama Ibu?"
Yuno memandang adiknya bertanya. Sejenak menggeletar
bibir Yati, lalu menunduk katanya, "Ingat Ibu, yang ingin
menyumbang tapi kehabisan uang. Mesake Ibu, mesake orang"
orang kebanjiran, Pak."
L,"," ___... 143
Si Bapak tak bisa menahan hamnya lagi, lalu katanya dengan
gemas, "Ini buat Yati! Ini buat Yuno dan ganti-berganti menciumi
bocahbocahnya, yang dirangkulnya tiba"tiba.
"Lain kali katakan dulu kepada Ibu, dan kepada Bapak ya?"
*** "Kau belum tidur, Mas?" tanya si istri, yang tidur di
sampingnya. Malamtelahlarut. "Aku mendapat pelajaran malam ini," jawabnya. "Dari Yati
dan Yuno." "Ya," sahut si istrinya. "Yati dan Yuno mengajar kita untuk
ikut merasakan penderitaan orang."
"Kupikir mula-mula, tingkah laku Yati dan Yuno hanya
sentimen kanak-kanak saja. Tapi mereka menyadarkan aku
kembali, bahwa mereka sudah berpikir dewasa, ikut merasakan
penderitaan bocah pengemis yang kecil itu. Orang-orang yang
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderita bencana, yang selama ini hanya merupakan berita"
berita dan statistik saja buatku!
Sebutir air mata istrinya terasa memanas di lengannya.
Suara istrinya pelan, "Di mana dan bagaimana mereka akan
merayakan lebaran" Tak beratap, tak punya apa"apa, selain diri
dan belas kasihan?" "Aku bangga mempunyai anak seperti Yati dan Yuno, Kau
tidak?" "Ya, bocah-bocah semberono!" jawab istrinya. Lalu dengan
rasa kesal meneruskan, "Mas, waktu dulu kau menegurku,
menyumbang sedikit-sedikit untuk orang-orang yang ditimpa
bencana, aku mulai menyisihkan uang sisa sedikit-sedikit. Tapi
aku menunda"nunda saja, akhirnya lalu lupa"lupa saja mampir
ke kantor KR walaupun setiap pagi berbelanja aku sering lewat
dari sana. Setiap teringat, kudiamkan hatiku dengan berkata,
"Oh, besok sajalah dan begitu seterusnya dari besok ke besok!
Perasaankulah yang sudah tumpul, Mas. Itulah kekuranganku,
juga kekurangan kau, Mas!"
144 .:: 153- "Tidak payah sebetulnya menjadi orang pengasih dan
penyayang. Tapi hidup kita yang memang sulit di mana-mana
dari detik ke detik, tidak memberikan waktu atau kesempatan
untuk melakukan kebaikan itu."
Lama mereka berdiam diri. Si suami melihat istrinya yang
terbaring memejamkan mata, tapi tidak tertidur, lalu bertanya,
"Apa yang kau pikirkan?"
Jawab istrinya, "Mas, aku menyesal, Mas. U ang yang kusisih-
kan dan kusediakan untuk dompet banjir dari sisa belanja,
kemarin sudah habis kupakai untuk menambah uang dapur kita.
Padahal cuma 35 perak, Mas! Oh, anak-anak sembrono! Mereka
masih memikirkan ibunya yang sembrono, menyumbangkan
atas nama ibunya! Padahal uang itu uang tabungan mereka
berdua. Aku ingin memasukkannya atas nama Yati dan Yuno
tapi sudah kubelanjakan. Kalau kuserahkan sebagian duit yang
ada sekarang, besok lebaran kita tak mempunyai apa"apa untuk
berbagai keperiuan."
Suaminya diam. Dia kiniyang memejamkan mata.
"Mas kau tidur?"
Si suami tak menjawab. Lama sekali. Tapi tiba-tiba ia
melompat dari ranjang. Dipasangnya lampu dengan gairah
disiapkan kertas dan menghadapi mesin tik.
"Mengapa malam-malam begini, Mas?" tanya istrinya
dengan cemas. "Kalau tak keberatan, bikinkan aku kopi. Aku mau mengetik
cerita lebaran. Dan kalau masih sempat dimuat, uangnya akan
diserahkan oleh redaksi koran untuk dompet banjir, atas nama
Yati dan Yono!" L,"," ___... 145
u Tape AYU" Tadi di luar kulihat bintang berkelipkelip jauh satu dua di
antara kepekatan malam. Percakapan kami terhenti tiba"tiba.
Di cahaya lampu empat puluh watt kupandangi mukanya yang
berwarna sawo matang dan sudah bertegas"tegas garisnya.
Dia kelihatan lebih tua dari usianya!
Di kamarnya yang seluas dan tinggi itu hanya kami berdua
duduk termenung. Telinga berdenging hingga bersipongang
ke lubuk"lubuk hati.
"Lalat tak tahu adat!" tiba-tiba suaranya menggumam
geram. Seekor lalat hijau yang sesat malam, hinggap sekilas di
leher bajuku, ribut sendiri be rdengung"dengung. Jari"jariAmin
siap mencekamnya, tapi lalat itu terbang pula dan hinggap
di atas rambutnya. Nafsu menghancurkan mengeruhkan air
mukanya! Membuat matanya jadi galak. Hatiku tertawa di
dalam. "Ada seorang penyair mau membunuh lalat," pikirku.
Sore tadi aku baru sampai di Solo, langsung ke rumahnya. Di
kota Gudeg akhir"akhirini hatiku tak betah, sebagai pemburu
yang gelisah karena tak menemukan binatang buruan.
Ataukah karena aku sudah kelamaan tinggal dalam suasana
ayem di kota Klasik itu" Dengan menumti kata hati, aku
melompat ke bis penghabisan Yogya"Solo. Dalam perjalanan
aku memperinci sebab-sebab kegelisahan yang mengamuk.
Akhimya konklusiku, "Ini disebabkan aku masih berseorang
diri. Seharusnya sudah masanya aku mencari istri dan kawin,
supaya bisa tenteram hidup."
Lalu percakapan si penyair dengan aku pada sore itu,
terus menerus saja menyinggung soal kawin. Dia pun masih
bujangan, dan selalu menyebut dirinya "lajang terbuang".
Bersama"sama kami menghitung dan memperinci sebab
musabab, kenapa kami belum mempunyai teman hidup.
Dan dalam menganalisa, kami membohongi hati masing-
masing dengan alasan"alasan seperti: gadis"gadis tidak ada
148 .:: 153- yang cocok, gadis"gadis sekarang banyak tingkah, cuma pinter
berdandan dan plesir, tidak ada yang ideal untuk menjadi istri
seorangseniman! Tapi pada dasarnya, dalam hati kami tahu, bahwa sebab"
sebab yang utama ialah: tampang kami jelek dan seram, kami
selalu banyak berkeliaran luntang lantung, dan kami tidak
mempunyai kemampuan untuk membiayai hidup kami sendiri!
Bagaimana akan memberi makan anak orang kalau kawin" Dan
bila pemmusan ini diperpendek, tentu akan berbunyi: "takut
kawin!" Tapi kami bertahan dengan gigih pada prinsip pertama:
Kawin gampang! Tapi istri seniman harus sanggup dan berani
berkorban, memberi semangat untuk mencapai cita"cita lakinya.
Harus dapat menjadi kekasih dan ibu sekaligus! Walaupun kami
sadar, bahwa itu hanya dalih yang tak realistis.
"Satu di antara dua," kataku menyela. "Kalau begitu kita
harus mencari istri di Bali atau di Jepang!"
Aku teringat kepada cerita-cerita tentang kesetiaan dan
bukti wanita"wanita Jepang kepada suami. Aku teringat kepada
kesetiaan dan bakti istri kepada suami di Bali, ketika aku dulu
pernah bermukim disana beberapa waktu.
"Betul itu!" Amin menegaskan. Sambungnya cepat, "Tapi
tak usah kita jauh-jauh sampai ke Jepang atau ke Bali. Di samping
dua syarat utama tadi, di sini kita juga bisa menjumpai calon istri
seperti yang kita gambarkan itu. Kurasa yang memiliki sifatsifat
yang cocok dengan cita-cita kita, ialah seorang ibu guru, atau
seorang jururawat! Itulah yang cocok buat istri seniman. Yang
mengerti dan senang pada seni tentu!"
Aku menyokong pendapatnya dengan sepenuh hati, dan
menambah, "Atau seorang gadis desa yang masih asli murni,
yang memiliki sedikit kecerdasan berpikir. Juga yang manis dan
lembut tentunya. Dan yang bisa kita didik dan pimpin menjadi
kawan hidup 'nyeni' yang setia."
Aku teringat kepada pelukis-pelukis bangsa Italia yang
tinggal di Bali, kawin dengan gadis Bali di desa, dan bagaimana
kemudian anak gadis desa yang mulanya bodoh, akhimya
14" mengenal kehidupan, seni dan kebudayaan. Juga Polok di Sanur
yang begitu simpatik dan bisa berbahasa Perancis, dulunya
adalah bekas model sejak gadis cilik, lalu dikawini sehingga
menjadi seperti yang sekarang.
"Betul itu," katanya bernafsu. "Jangan ambil gadis sama
tanggung, kita bisa hancur total dibuatnya. Kita butuh istri yang
bisa menghilangkan cara hidup kita yang liar dan memberikan
semangat dan ketenangan !"
Dan tepat pada percakapan ini tiba"tiba kami berhenti.
Sebab seorang pun aku tak ada yang saya kenal: ibu guru,
jururawat, ataupun anak gadis desa asli! Pernah dulu aku
berkenalan dengan seorang ibu guru sekolah luar biasa, tapi
dia tidak menunjukkan tanda"tanda membalas jeritan hatiku.
Manis dan ramah dia, sederhana dan menarik. Sekiranya dari
dia ada sesuatu tanda, biar sebutir pasir sekalipun, tentu sudah
kurambah jalan ke hatinya. Kami tetap sebagai kawan saja, dan
aku makin yakin akan kejelekan tampangku, dan sadar akan
cara hidupku yang tak teratur; segala keliaranku membuat dia
mundur dan menutup daundaun pintu hatinya.
"Kena !" katanya tiba-tiba separuh berteriak.
Pandangku jatuh ke jari"jarinya yang menelempap di atas
meja; ada lalat hijau di bawahnya. Jari"jari itu penuh kerut merut
sudah.Telah melampuizamanmontoknya.Kukembangkanjariku
sendiri, menekurinya sambil membandingbandingkan.Juga aku
sudah mempunyai kerut-merut, tapi karena warna kulitku tak
sehitam kulitnya, garis-garis kerutku tidak berapa jelas kelihatan.
Dengan pelan kubilang, "Aku akan pergi sekarang juga
mencari calon istri!"
la temganga, lalu akhimya tersenyum. Katanya, "Ha, jadi,
kau sudah mempunyai pacar di Solo" Pantaslah, kau selalu
berulang"ulang turun ke sini."
"Aku belum tahu siapa bakal pacarku, atau bakal istriku,"
kataku hampar. "Lantas mau cari di mana" Kayak cari kerikil saja."
"Sudah lama ini kurencanakan," kataku. "Makanya aku tiba"
tiba muncul ke tempatmu."
148 .:: 153- "Siapa?" tanyanya.
"Kukira tentunya anak desa."
Ia tak mengerti; mata dan mulutnya melongo besar.
Sambungku, "Aku mau cari di pasar Legi!"
"Hah, di sana kan cuma perempuan malam yang ada!?"
Aku diam saja. Sebuah koyakan koran kusodorkan
kepadanya. Sobekan koran yang berisisebuah reportase tentang
Pasar Legi di waktu malam, dan tentang seorang penjual tape
yang dinamakansi reporter: "Tape ayu."
"Bila ia senang kepadaku, aku akan melamarnya," kataku.
Matanya masih melongo besar, dan katanya, "Sudah
kaukenal dia" Hah, kau ini macam orang kalap saja. Sudah
pernah mengenalnya?"
"Dulu, entah kapan itu, aku rasanya pernah membeli tape,
malammalam di Pasar Legi. Yang jualan amat manis, tentu
dialah Tape ayu itu. Lagi pula, kalau bertemu muka aku masih
ingat betul wajahnya."
"Ya" katanya sebagai mengingat-ingat. "Aku juga pernah
mendengar berita tentang Tape ayu. Tapi entahlah, aku sendiri
tak tahu. Kalau begitu, kita berangkat sama"sama ke Pasar Legi!"
Selama di becak aku berdiam diri saja, walaupun Amin
bemsaha mengadakan percakapan. Sudah pukul setengah
sebelas malam ketika itu. Tapi kota Solo tidak pemah tidur.
Kehidupan dimulai dari pagi, dan kehidupan malam baru dimulai
pada waktu dekat tengah malam, kehidupan yang penuh dengan
api romantik dan amor. "Kenapa kau cenderung memilih anak desa, penjual tape pula
lagi?" tanya Amin. "He," kataku, "Kan tadi kita sudah memperinci bahwa yang
pantas menjadi istri orang"orang macam kita ini hanya, atau
jururawat, atau bu gum, atau anak desa"! Kan boleh aku coba- coba
memilih anak desa?" "Kalau kau mau, besokkukenalkan denganjumrawat-jum-rawat
manis ci rumah sakit Kadipolo, atau dergan bu guru kenalanku."
;," .ij. 149 Aku tertawa saja. Sudah bosan mendengarhiburannya yang
penuh denganjanji. Pemah aku mengikutinya, mau bertandang
ke rumah gadis kenalannya, katanya. Tapi sesampai di rumah
yang dituju, diperkenalkannya pun aku tidak! Hingga aku jadi
orang ketiga yang tidak diperlukan kehadirannya.
Langit malam mulai cerah dan bintang"bintang gemerlapan
amat sayup danjauh. Disepanjang jalan yang disebut Pasar Legi,
berkelipan juga seribu lampu, seribu gemerlapan. Lampu"lampu
bakul wedang, bakul buah bakul sayur, lampu-lampu becak
dan lampu listrik di jalanan. Pasar itu penuh dengan manusia
berbelanja dan jajan malam, penuh dengan gemerlapan
perempuan"perempuan malam, penuh dengan oto luar daerah,
penuh dengan sepeda dan skuter, penuh dengan laki"laki yang
haus dan gersang dirangsang romantik dan cinta.
Tapi malam itu nasibku memang sial. Tidak ada Tape ayu
berjualan di deretan bakul-bakul tape. Bakul-bakul tape yang
ada hanya pangkat embah, atau pangkat bibi, dan tak menarik
pula. Letih dan kecewa aku akhirnya menghenyak di emper
sebuah toko. Aminjuga lunglai letih disebelahku.
Pertanyaannya kedengaran pula, makin mengesalkan
hatiku. Tanyanya, "Sudah kau kenal dia?"
"Sudah," kataku menyombong. Setahun yang lalu, ketika
aku membaca reportase di koran itu, aku pergi sendirian ke sini
menemui Tape ayu. Maksudku ingin mengetahui kebenaran
cerita si reportec Aku membeli tapenya, dan dia memang betul"
betul ayu, sederhana, lembut dan ramah-tamah. Sehingga uang
sisa tak mau aku dikembalikan olehnya!
Sesudah itu kami membisu, melihat manusia lalu lalang,
dan mengisap rokok kami sambung menyambung. Walaupun
aku tahu, akan sia-sia menunggu dan mengharapkan pertemuan
dengan Tape ayu malam itu, tapi mataku tak mau beranjak dari
tempat bakul-bakul tape yang berderet-deret. Tajam meneliti,
mana tahu dia agakterlambat datang malam itu!"
Akhirnya aku menjadi apatis.
150 .:: 153- Terdengar di sebelahku suara Amin bercakap"cakap dengan
seseorang, seperti suara yang jauh bergumam. Ketika sekali aku
menoleh dan memperhatikan kawan Amin berbicara, kuketahui
bahwa dia adalah seorang pengayuh becak. Masih muda dan
ganteng dia. Ia hanya berpakaian celana pendek dan baju kaus.
Rambutnya tebal berkilat oleh pomade yang menusuki hidung,
tapi badannya yang biarpun kurus kecil itu penuh otot"otot,
penuh enersi dan sikap menantang.
"Sudah Pak," katanya tertawa kepada Amin. "Mari plesir"
plesirsaja naik becak. Atau Bapak mau cari teman untuk malam
ini" Saya bisa urus, Pak, tau beres. Mau yang atasan" Mau yang
ningrat, yang menengah yang begini, yang begitu ..., dan ia
terus menyebutkan puluhan deretan nama wanita atau istri
orang." Perhatianku terbangun nyalang. Di antara nama"nama yang
disebutnya, ia menderetkan nama orang yang kukenal di kota
Solo. "Ah, jangan terialu banyak bohong," kataku kepadanya.
Ia memandangi aku dengan mata yang tajam seperti pisau.
Menusuk"nusuk sombong.
"Bapak Amin ini tahu, bahwa saya tidak pernah bohong,
Pak," katanya.
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menoleh kepada Amin. Ia mengangguk mengiakan.
"Ya, betul itu," katanya. "Si Slamet tidak pernah bohong.
Tapi begitulah hidup ini!"
"Kalau Bapak tidak percaya," sambung si Slamet sipengayuh
becak, "mari saya bawa bapak. Sebutkan saja salah satu dari
nama-nama yang saya sebut tadi. Akan saya urus dan saya
bereskan." Aku menggeleng. Biarpun aku tak percaya atau raguragu
tentang kebenarannya, tapi aku lebih takut kepada kenyataan
untuk mengetahui dan menyaksikan sendiri kebenaran yang
ditentangkan oleh Slamet.
Slamet berkata lagi, "Kalau begitu bapak belum mengenal
Solo!" "Ya, saya belum mengenal kota Solo," kataku mengiakan.
?",," ___... 151
Dan sebagai hendak menguji dia kulanjutkan bertanya,
"Saya periu bertemu dengan Tape ayu. Kau kenalkah dia?"
Lama ia memandangi aku, sebagai hendak mengajuk hatiku.
Akhirnya katanya, "Masak Bapak senang sama Tape ayu !"
dan dilanjutkan dengan nada tak acuh, "sementara waktu dia
tidak jualan lagi. Memang, dia perempuan yang setia dan baik."
Mata Slamet yang terus menatapi aku, amat mengganggu
perasaanku.Dan ketika sebuah senyum yang agak sinis mekar di
antara mulutnya, hatiku menjadi panas.
"Bapak dari mana?" terdengar olehku tanyanya.
"Yang terang saya bukan dari Jawa," kataku gondok.
"Dia bukan perempuan sembarangan, Pak," katanya seperti
kepada diri sendiri. Saya rasanya lebih menghargai dia daripada
ibuibu yang menjadi langganan becak saya. Banyak orang
ingin memiliki Tape ayu, tapi setahu saya semua ditolaknya.
Dia tidak segampang perempuan yang berkeliaran malam atau
berkeliaran diamdiam, Pak. Dulu pernah seorang Bapak dari
Sumatra, naik mobil beler mengkilap, mau sama dia, tapi dia
menolak. Si Bapak itu menyuruh saya menghubunginya, dengan
menyodorkan uang seribu rupiah kontan,tapi Tape ayu menolak
dengan senyum. Dan saya dimarahinya kemudian sambil
menangis." "Saya bukanmaumembelinya,tapisayamaumengawininya,"
kataku dengan tak sadac Kembali pandangan mata Slamet mengganggu hatiku.
Dengan nada pasti kusambung, "Kalau dia saya temukan
malam ini, akan saya lamar."
"Betul itu," kata Amin meyakinkan Slamet, "Bapak ini mau
cari istri yang baik dan setia."
Kutentang benar mata si Slamet. Tapi akhirnya aku kalah,
Matanya itu kini seperti tak melihat aku, walaupun tertuju
kepadaku. Seperti benda mati dan dingin. Acuh tak acuh
pandang kualihkan ke arah yang lain, keseberang jalan ke tempat
kelompok"kelompok bakul"bakultape.
152 .:: 153- Irikah si Slamet ini, ataukah ia memakai taktik usang
tukang becak malam, untuk bisa mencapai detik-detik dimana
dia bisa menawarkan perempuan dan cinta dengan harga yang
setinggi" tingginya" Apalagi dilihatnya pakaian wol, sepatu
berkilat, seperti tampang orang-orang berduit, pendatang-
pendatang dari luar kota! Hatiku mengutuknya habis-habisan.
Suaranya terdengartems berbicara dengan Am in disebelahku.
Lalu, tiba-tiba jantungku seperti mau terlontar dari dada.
Dia diseberang sana! Tape ayu! Sekelibat-sekelibat dia nampak di antara orang banyak,
tengah menawar duku. Ditangan kirinya tergantung kranjang
rotan. Tak mungkin mataku keliru! Memang terialu sulit bagi
orang baru di Pasar Legi untuk mengetahui mana orang baik-
baik dan mana perempuan malam, bila sedang sama"sama
berbelanja lewat tengah malam.
Dengan pelan-pelan seperti terpesona aku bangkit, dan
menuju ke seberang jalan. Masih terdengar suara Slam et dan
suara Amin menyerukan namaku, tapi tak kuhiraukan.
Betul, dia Tape ayu! Wajahnya yang bening, manis dan lembut kutandai
kembali. Sederhana dan biasa seperti tahun yang lalu dia
kulihat. Kurasa, aku sebagai laki-laki adalah orang yang paling
dungu dan tolol ketika itu. Berdiri demikian dihadapannya,
seperti terpakau karena ular!
Dan dalam keadaan pakau yang demikian, hatiku jadi
kecil ciut. Ia hanya melintaskan pandang tak berarti ke arahku.
Lalu tak menghiraukan aku sama sekali. Betul"betul hatiku di
dalam menjeritkan protes atas kesombongan sikapnya. Tidak
ingatkah dia lagi kepadaku, yang pernah membeli tapenya
setahun yang lalu" Dan aku tak berdaya, tak tahu bagaimana
akan menegurnya. Namanya aku tak tahu. Tak mungkin aku
memanggilnya dengan nama: Tape ayu saja!
Akhirnya keluarjuga dengan pelan suaraku menegur.
"Yu ...!?" Heran ia memandangi aku, matanya tertanya"tanya.
___, 153 Tidak ada tanda bahwa ia mengenalku!
Tapi senyuman di bibirnya tak hilang. Barulah aku sadar,
bahwa biarpun aku pernah membeli tapenya, belum tentu dia
mengenal aku di antara sekian banyak pembeli laki"laki setiap
malam. "Mur!" terdengar tiba-tiba suara disampingku.
Slamet berdiri di hadapannya, aku tersisih dan tertinggal.
Wajah Tape ayu yang heran tegang diarahkannya kepadaku
tadi, kini lembut gemerlapan.
Mereka bercakap"cakap dalam bahasa Jawa. Biarpun
aku sudah lama di Yogya, kemalasan mempelajari bahasa
inilah yang menjadi celakaku! Tapi apa yang sedang mereka
perkatakan, masih bisa, aku mengerti mendengar kepingan"
kepingan kata yang kuingat.
"Sudah lama kau tak ke rumah, Mas?" kuterjemahkan
kira" kira tanya Tape ayu kepada Slamet.
Slamet tertawa nakal, jawabnya, "Maklum ta dik" Cari
duit, nyupir beca. Dan aku sudah berjanji kepada Masmu toh"
Aku tidak akan muncul-muncul lagi ke sana"!"
Dari kedua sikap dan gerak mereka, aku tahu bahwa
dulunya merekatentupemahsenang"menyenangi."Persetan,"
kataku dalam hati. Menghadapi si Slamet tukang becak saja
aku sudah tersisih dan terpelanting! "Persetan," kutuk hatiku
makin keras. Aku berbalik hendak meninggalkan mereka. Tapi aku
tertumbuk dengan keras pada seorang laki-laki di belakangku.
"Maaf," kataku gugup dan malu.
Laki"laki itu memandang dengan mata mengejek tajam,
lalu cepat pula mata itu meluncur kepadaTape ayu dan Slamet
yang tengah be rcakap"cakap.
Serentak tiba"tiba Tape ayu dan Slamet menjadi diam,
berpaling penuh berhadapan dengan laki-laki itu. Suasana jadi
tegang melingkupi udara selingkungan kami, di antara orang"
orang yang berdesakan berkeliaran.
"Sudah berkali"kali saya bilang, kamu jangan ganggu
Mbakyumu!" suara laki"laki itu mendesit pelan tapi tajam.
154 .:: 153- "Siapa bilang saya menggodal?" sembur Slamet. "Saya
cuma bercakap-cakap biasa."
"Apa kamu mau macam dulu lagi?"
Laki"laki itu mendekati Slamet. Tapi pengayuh beca itu tak
beranjak. Hanya matanya yang tajam terus menantang si laki-
laki itu. "Mau saya bunuh, ha?" pekik laki"laki itu, yang sudah
memun-vcak cemburunya. Orang mulai berkerumun. Pertengkaran dan perkelahian
karena perempuan memang kejadian biasa lewat tengah
malam di Pasar Legi. Tape ayu berdiri memandang di antara dua laki-laki itu. Ia
tenang tak kehilangan akal.
"Mas," katanya pelan, "Jangan sampeyan bikin ribut,
Mas." Matanya meminta kepada lakilaki itu, dan kepada Slamet
katanya, "Mas, sudahlah, pergi kesana!"
Sejenak Slamet memandang Tape ayu. Sikapnya agak reda
dari ketegangan demi melihat wajahyang bening itu, tapi pan"
dang yang dilontarkannya kepada laki-laki itu, amat tajam
mengiris penuh ejekan. Akhirnya ia meninggalkan mereka
dengan sikap sabar, tapi.penuh tantangan seorang jantan.
Dan aku yang menyaksikan peristiwa itu, peristiwa yang hanya
menunggu detikdetik ledakannya, tiba"tiba terdorong dan
buyar dilanda orang"orang yang bubar dengan tawa iseng.
Masih sempat kulihat Tape ayu dan laki-laki itu naik becak,
dan menghilang di tengah keramaian lalu lintas. Juga Slamet
masih memandangi becak itu dengan geram tertahan.
"Met, Met!" kata Amin, "Sampeyan ini kok doyan benar
berkelahi." "Saya bukan bangsa jagoan, Pak," kata Slamet tertawa
sompel. "Tapi saya tidak mau dihina, biarpun saya cuma
tukang becak. Kalau tidak memikirkan Tape ayu, lakinya itu
saya pukul. Betul"betul orang cemburuan dan 'njelehi!"
Kini aku tahu, bahwa Tape ayu sudah kawin, dan laki"laki
tadilah suaminya. Aku mesem sompel sendirian.
155 Kata Slamet meneruskan,"Saya bukan orang sombong, Pak.
Biarsaya ini orangjelek, tapiTape ayu senang kepada saya. Nasib
saya yang sial maka saya menjadi tukang becak. Dia dikawinkan
oleh keluarganya dengan laki"laki itu, kawin paksa. Tape ayu
tidak cinta kepada lakinya."
Kami bertiga menghenyak kembali di emper tokoyang tadi.
Biarpun tidak sebagai suatu beban yang berat, tapi hatiku makin
hampar dan kosong didalam.
"Sudah dua kali lakinya mengancam mau membunuh saya.
Tapi saya tidak takut."
Slamet melirik kepadaku. Aku membuang pandang ke arah
orang yang lewat. Aku seorang yang sudah kalah terpukul K.O.
oleh Slamet! Sambungnya, "Dulu hampir saja mati dikeroyok oleh
lakinya dengan kawanlrawannya. Tapi sebelum itu saya
sudah mendengar kabar, bahwa saya mau dibikin celaka. Saya
sudah siap dan sedia dengan rantai besi. Dan memang betul,
dekat-dekat subuh waktu saya pulang menarik becak, saya
dicegat. Mereka pakai pentung, golok dan pisau. Untung saya
menyediakan rantai besar itu, dan saya jadi nekat. Saya putar-
putar rantai itu dengan galak, mereka tak berani menyerang,
dan untung orang sudah banyak pergi ke pasac Lalu lakinya itu
saya datangi ke rumahnya. Saya datangi dia bersama dengan
sepupu saya, seorang sersan ALRI. Laki"laki itu meminta maaf.
Di hadapan Pak Lurah dan orang"orang kam"-pung lainnya,
saya berkata, "Biarpun saya jelek begini, saya bukan tukang
mengganggu istri orang! Dan dengan tegas saya katakan kepada
laki"laki itu, "saya cukup ksatria. Tape ayu sudah istri Mas, dan
saya tidak pernah mengganggu dia sebagai istri Mas, bukan"
Saya tidak akan datang"datang lagi ke sini !"
"Kenapa kau tidak kawinsaja sama Tape ayu dulunya, kalau
kau dan dia senang sama senang?" tanya Amin ingin tahu.
"Itu kan umsan orang tua, Pak. Lakinya sekarang menjadi
tani. Tapi Tape ayu lebih senang kepada saya, Pak. Setengah
tahun yang lalu dia keguguran. Dia kepingin bertemu dengan
saya waktu itu, tapi saya sudah tidak mau tahu. Memang saya
158 .:: 153- sedang kemasukan setan, Pak. Setan judi! Siang malam, sampai
tiga hari tiga malam berturut-turut pekerjaan saya ditinggalkan
karena judi. Tidak bangkit"bangkit, juga tidak kencinglrencing.
Betul Pak, kalau bocah"bocah tukang becak Pasar Legi ini
mau hidup hemat, tentu bisa menjadi orang yang berpunya:
mempunyai arioji, gubuk, atau becak sendiri biarpun yang jelek.
Waktu itu Tape ayu datang ke rumah saya, sore"sore gelap.
Saya dengar dari teman saya bahwa dia menunggusaya sampai
jauh malam. Dia menangis dan menangis. Tapi saya tak pulang"
pulang, sedang asyik main judi. Tengah malam karena tidak
pulang-pulang, dia putus asa dan kembali ke rumahnya dalam
hujan gerimis. Beberapa hari kemudian saya dengar bahwa dia
keguguran. Waktu dia pulang malam itu ia tergelincir di jalanan yang
licin becek. Slamet diam. Dan seperti kepada diri sendiri, sambungnya,
"Anak dalam kandungannya, adalah anak saya, Pak."
Ia melihati aku. Pandangnya agak suram, tapitidak menusuk
seperti tadi. Tanyanya, "Bapak orang koran?"
Aku menggeleng. Katanya, "Orang surat kabar suka bohong. Tentang Tape
ayu pernah ditulis bahwa ia sudah dibunuh oleh suaminya yang
cemburu. Tidak ada bakul tape Pasar Legi mati terbunuh, Pak!
Tapi memang lakinya orang yang cemburu."
Ia memandang aku kembali. Lalu tertawa kecil.
Katanya malu, "Maaf, Pak. Saya tadi terlalu kasar."
Aku menggangguk, mengerti.
Kepada Amin, Slamet berkata, sambil tertawa, "Bagaimana,
Pak" Tidak plesir naik becak?"
"Lain kali saja Met," jawab Amin. "Kantong sedang kosong,
je!!! Slamet pergi, dan mengayuh becaknya memasuki kehidupan
malam. Amin tertawa kepadaku, tanyanya, "Bagaimana" Masih
keranjingan dan mau melamarTape ayu lagi?"
___, 153 "Orang wes due bojo, kok dilamar," kataku tertawa pula.
Perasaanku lapang jadinya. Rasanya terhina yang
menyobek hati karena sikap Slamet telah hilang.
Kataku, menghibur hati sendiri, "Besok bawalah aku ke
rumah sakit Kadipolo. Aku mau mencari calon istri seorang
jururawat saja, Bawalah aku ke sana dan kenalkan aku
dengan yang manis ayu."
"Betul itu!" letup Amin.
Hatiku menjentik"jentik gembira kembali. Kulirik Amin.
"Tapi," kataku genit, "jururawat yang senang sajak,
senang drama dan senang sama se nim an."
"Betul itu?" ulang Amin.
Di dingin embun dini hari yang menyayat, mata sekat
oleh kantuk, kami berjalan kaki kembali ke kamarAmin yang
besar, luas dan tinggi, tapi suram itu.
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi itu aku tertidur pulas sampai pukul tiga siang.
Ketinggalan kereta api lagi untuk pulang ke Yogya.
Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka (Persero)
6 Jalan Bunga Noli"BA.
Matraman, Jakarta Timu r 1 3140
V TeirFaita. 162.211 858 3369
Website: http:!nlmwbalaipustakaeoid
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 26 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Tinju Penggetar Bumi 3
memperhatikan air mata dan seluruh tubuhnya, perasaan
ibanya menjadi-jadi. Orangyang cekung dan kurus begini berani
menantang si pemuda yang tegap dan sehat di dalam sana?"
"Kir," kata Marjo. "Aku tak enak badan."
Badannya menggigil, matanya panas dan membakar.
Tentu penyakit malariamu lagi," Sukir memastikan.
"Kita pulang saja?"
Sukir merangkul bahu Marjo yang begitu kurus, merangkul
dengan iba. Dan tiba"tiba saja hidungnya ditusuk bau parfum
yang sudah dikenalnya. Ia menoleh. Si gadis lewat di sisinya
meng"gandeng tangan si pemuda. Mereka sudah mau
pulang. ",, ___... 1119 "Sudah tidak hujan lagi Mas," terdengarsuara sigadis. Begitu
manis, begitu gembira. Jalanan hitam dan sepi, hanya bayang-
bayangan lentera jalanan yang bermainmain di kebasahar
hujan di aspal. "Mereka pulang Kir! Uruslah olehmu," kata Marjo menggigil
sambil mengelimukkan badannya ke sudut yang agak panas.
Sukir mendekati si pemuda dan si gadis itu. Si pemuda
sudah mulai menghidupkan mesin. Si gadis berdiri ketawa sambil
membetulkan lehergaun, dan membetulkan letak rambutnya.
"Skuter bersih dan berkilat, ah bagusnya lagi," kata si gadis
gembira. Ia membungkuk dan menyinggahkan telunjuknya ke
sayap yang lecet, bekas kena srempet. Katanya, "Peot sayap ini
mengganggu pikiranku dari tadi."
Si pemuda tertawa, "Besok kita jual saja. Kita beli beler
Suara mesin lembut dan hangat kedengaran. Si gadis naik ke
boncengan, dan merapatkan dadanya ke punggung si pemuda.
"Sudah !" tanya si pemuda.
"Tuan !" tegur Sukir dengan lembut.
Skutersudah akan bergerak, kopeling satu telah dimasukkan
dan gas hampir ditekan. Si pemuda menoleh, juga si gadis. Memandang Sukir
dengan rasa tak senang bercampur kejijikan. Dan mata si gadis
cepat melihat ke arah yang lain.
Keramahan, kemesraan, dan segala kelembutan hapus dari
wajah yang cantik itu. Yang kelihatan kini, sebuah bentuk abstrak
paduan rasa kaku, dingin, jijik, tidak mau tahu penuh kemualan.
Si pemuda meragah kantongnya dan mengulurkan selembar
rupiah yang kumal. Dengan cepat skuter dipacunya.
Tanpa menoleh lagi, tanpa keramahan.
Dua anak gelandangan berdirisebagaipatungmemandangi,
Sukir dan Marjo. |" 110 .:: 153- Cerita Belum Bernama SI PELAYAN melihat aku dengan pandangan yang aneh.
Terasa di matanya satu kecengangan, tapiseloki diisinyajuga.
Warna anggur merah pekat seperti darah encer. Ini selokiku
yang ketujuh. Orang tidak bisa mabuk karena anggurbeberapa
seloki! Dari tadi aku kesal memperhatikan gerak kerjanya yang
lamban. Dan kini ia senyum pula, senyum lamban tak berarti.
Seloki dipenuhinya setengah inci dari bibirgelas. Lalu kuteguk
sekali habis. Kuisyaratkan kepadanya untuk memenuhi
lagi gelas yang kosong itu. Ia tersenyum pula, seperti kuda
menyeringaikan gigi. Kataku tak senang, "Kenapa kau ketawa?"
"Tidak, Pak, saya tidak ketawa."
Ia berdiri saja di depan mejaku. Mungkin ketagihan
melihat aku sekali teguk menelan anggur ke kerongkongan,
tapi ia otomatis bersedia mengisi lagi bila kuisyaratkan. Kali
ini ia kukecewakan. Tapi lampu neon begitu cemerlang
memenuhi ruang restoran, tapi kini nampaknya mulai kabur
dan remang- remang. Hidup seolah-olah mengalir dan redup
tiba-tiba. Kataku pelan, "Yesterday this day's madness did prepare;
tomorrow's silence, triumph, or dispair. Drink! for you know
not where you cam e, nor why. Drink! for you know not why
you go, norwhere." "Apa, Pak?" tanya si pelayan.
Aku terpandang tampangku di kaca tembok restoran.
Rambutku sudah putih oleh uban, dan wajah yang menatap
aku begitu tua, walaupun kesuburan dan kelincahan hidup
menjentikjentik di setiap liku dan lekuk. Begitu tua aku
sekarang sudah" Atau anggur yang kureguk telah menipu
mataku" Tidak! Hatikulah yang tua. Orang yang berbahagia, Umar
Khayam, si penyair itu! Dia tak tahu ke mana nanti akan
pergi, tapi ia tahu di mana ia akan dikuburkan bila ia pergi!
"Tempat akhirku," katanya, di sebuah tempat di mana angin
utara me"naburi bunga selalu. Dan ia terbaring di Naishapur
di sebelah sebuah taman pepohonan yang menjurai melalui
tembok taman merunduki kuburnya, dan merinaikan bunga
hingga padam kuburnya tersembunyi di bawah rimbun bunga
menggugur! Si pelukis Perancis yang malang, Paul Gauguin
yang lari dari dunia beradab, ingin menemukan sesuatu yang
murni di pulau Lautan Teduh, Tahiti, merasa sia"sia mencari.
Ia terbentuk kembali kepada kekejaman"kekejaman manusia
beradab di pulau-pulau terpencil, dan tentunya di malam-
malam magis dan misterius, ia bertanya-tanya juga: dari mana
kita datang" Untuk apa kita datang" Ke mana kita akan pergi"
Dan dengan berbagaiwarna dan garis, pertanyaan-pertanyaan
ini dilontarkannya ke luar. Dia tidak mati seindah Khayam,
tapi mati sunyi sendiri hancur ditelan oleh iklim khatulistiwa,
penuh borok dan patek! Lalu manusia menakjupi lukisan-
lukisannya, lukisan-lukisan pe lukis Gaugin, tentang gadis-gadis
Tahiti, alam Tahiti yang eksotis dan kadang"kadang diselaputi
suasana magis. "Kau tau?" tanyaku tiba"tiba kepada si pelayan. "Setiap
orang bagiamana pun merdekanya, tetap terpenjara dalam
dinding petak-petak hatinya yang sunyi. Tapi penjara yang
merdekatanpa diputuskan oleh hakim atau hukum, selain oleh
hati dan kemauan sendiri, membuat manusia bisa merenung
lebih be ning dan menghasilkan yang agung!"
Kuteliti muka si pelayan. Ia tak berkerut seriak pun! Tentu
dia tak mengerti! Dan kutanya lagi, "Kenapa tiba-tiba rambutku putih
begini" Sudah amat tuakah aku?"
Ia mengangguk, katanya, "Ya, Bapaksudahtua,tapi masih
kuat minum." "Amattua" Betultua?"
"Lihatlah di kaca sana."
Ya, wajah yang memandang aku dari setelempak cermin
malam itu, memang tampangku telah putih tua. "Isi lagi,"
112 .:: 153- kuisyaratkan kepada si pelayan sambil mengangguk ke arah
selokiku. "Ini yang penghabisan," sambungku. "Dan janganlah
dekat" dekat lagi ke sini!"
Ia pergi, membawa serta botol anggurdan menaruhnya di
bupet dengan hati-hati. Laluia dudukdiam disebuahkursidisudut.Seperti patung,
tapi siap melompat bila kuisyaratkan dengan tangan untuk
mengisi lagi selokiku. Tidak, tak ada indahnya menyelusuri
kembali jalan"jalan hidup yang sudah dilalui kemarin! Detik"
detikjam merangkak lamban dengan pasti; memang keajaiban
ahli hitung tak pernah keliru! While you live, Drink! for ance
dead, you nevershall return. Otomatis kureguk seloki habis"
habis. Tentu si pelayan mendapat keinginannya kini, melihati
aku mereguk! Hingga jatuh gelap; senja tadi aku menyelusuri
Umar Khayam, bait demi bait. Keinginanku bangkit tiba"tiba
ingin minum anggur! Sekarang, inilah aku! Begitu dungu,
cuma dengan keinginan mereguk anggur, dan menggumami
baris"baris sajaknya tentang minum! Seperti laku orang yang
tak mengerti sajak, yang cuma bisa menafsirkan apa yang
tersth saja! Lalu tiba"tiba aku tertengadah kepada senyumnya!
Senyumnya yang diam gemerlap, yang beriak di mata,
yang lembut kemilau. "Aku boleh duduk di mejamu?" tanyanya.
"Duduklah," kataku biasa.
Ia duduk, selintas matanya singgah di seloki kosong,
kemudian gemerlap senyum matanya ditujukan kembali
kepadaku. Matanya tak berkata apa-apa, tapi di hatinya yang
tersembunyi, tentu ia menyesali aku. Rambutnya juga telah
mulai memutih. Ia kelihatan lebih langsing dan lebih sigap
dari masa gadisnya. Aku terpesona seketika. Sekali aku pernah
melihatnya memakai batik dan kebaya. Ayu dan luwes, kini
dalam usia begini, ia kelihatan lebih ayu dan luwes dan lebih
dewasa. Tapi kelembutan dan kesederhanaannya masih tetap
dimilikinya! ?",," ___... 113
"Apa kabarmu sekarang?" tanyanya.
"Baik-baik, macam dulu."
"Ya," katanya lirih. "Kita sudah tua bangka. Kau masih
sendirian?" "Tidak," kataku senyum. Bertiga diriku, pikirku dan Aku
mengangguk ke seloki yang kosong, lalu terdiam tiba-tiba.
"Dan Khayam!" katanya. Lalu ia menggamit si pelayan,
minta diisi satu seloki untuknya dan minta selokiku dituangi
lagi. Katanya, "Mari kita minum. Untuk kesehatanmu dan
kesehatanku! Nyaris halus suara denting seloki kami beradu. Sehabis
mereguk ia terbatuk"batuk, tapi ia berusaha menutup muka.
"Bahagiakah kau?" tanyaku.
Ia tak menjawab. Senyumnya hilang tiba"tiba, matanya
keras dan tersentuh. Menunduk begitulah dulu, entah
berpuluh tahun yang lalu, hatinya disembunyikannya, ketika
aku menanyakan kepadanya, apakah dia senang kepadaku
dan apakah dia rela kuminta! Ia tak pernah menjawab
pertanyaanku yang pertama, tapi ia berkata pelan,
"Maafkanlah aku. Aku tak bisa." Aku pernah diperguraukan
kawan"kawan bahwa dia sudah hampir berpunya, tapi
aku tak ingin mendengarnya dari orang lain, cuma dari dia
sendiri! Setiap pertanyaanku ingin mengetahui hatinya,
dibekukannya dengan pandangan matanya yang tiba"tiba
keras dan hilang kelembutannya. Aku seperti orang asing
dibantingi pintu tertutup! Ia bersembunyi di balik pintu
hatinya, tak membukanya lagi. Hanya katanya, "Aku dan
dia sudah lama berkenalan. Tuh! Hanya peresmiannya yang
belum". Hatiku di dalam meresa sunyi tercampak. Dan
dengan matanya yang masih keras, ia berkata, "Aku tidak
pernah hilang kepadanya, kepada siapa pun belum. Aku
takut nanti kau akan sedih!" Penolakannya memang sudah
kusangka dari mula. Dia orang yang bersih dan bening, teliti
dan teratur. Dan aku, dengan kekasaran tampang dan hatiku,
dengan kesemberonoanku hidup luntang"lantung, begitu
114 .:: 153- kontras dengan prinsip hidupnya! Sebelum aku memutuskan
memintanya, aku sadar bahwa aku akan ditolak. Tapi biarpun
kesadaran ini ada, karena penolakan ke luar dari bibirnya,
aku sebagai terlontar ke jurang. Hancur berkepingan"
"Kau masih terus berkawan dengan Khayam?" tanyanya
tiba-tiba. Matanya yang keras tadi, kini lembut berkilauan
lagi. "Tak baik dia dijadikan kawan. Tih!" sambungnya
menyesal. Matanya singgah lama ke seloki kosong.
"Hm, kita sudah tua dan dewasa untuk mengerti dia,"
kataku. "Ya," katanya. "Tapi aku selalu merasa bahwa dalam
dirinya ada setan. Entahlah, barangkali aku tak mengerti
sajak." "Juga dalam diriku ada setan," kataku pelan. Lalu
gumamku lagi, "And by and by my Soul returned to me, And
answer'd, | Myself am Heaven and Hell."
"Oh, dia lagi," sesalnya.
"Kau masih senang kepadaku?" tanyaku pelan.
"Jangan seperti bocah remaja," katanya, "kita sudah tua
bangka." Aku terasa compang"camping. Sesudah melewati masa"
masa puluhan tahun begini ini, ia masih tak mau memberi
jawaban dan mengaturkan terus pintu hatinya!
Kataku tertawa, "Ada satu cerita tentang seorang wanita
yang senang dan cinta kepadaseni mosaik. Ia ingin mengenal
si pembikin mosaik yang dipujanya. Tapi ia terdiam dan
kecewa, ketika ia bertemu dengan si seniman di sanggarnya.
Si seniman yang kurus, bungkuk dan jelek karena terus tekun
di pekerjaannya!" "Oh kau ini, kau iniTih" sesalnya."ltu sudah lampau. Tak
baik membongkar"bongkar masa silam."
Matanya keras lagi. Aku tertutup di luar hatinya. Sambil
menunduk katanya, "Aku senantiasa mendoakan, agar kau
sehat"sehat dan bisa menemui apa yang kau senangi dan kau
cita"citakan. Cuma itu bisaku."
"Ya," katanya sunyi. "Dan kita tetap teman baik."
"L,," ___... 115
Senyum di mata dan bibirnya gemerlapan kembali.
Tanyanya, "Kau belum menemukan teman lain yang baik?"
Akumenggeleng.Kukeluarkandompet.Kataku,"Temanku
satu"satunya yang baik selalu ada dalam dompetku!"
"Kau masih tetap edan," katanya. Dipandanginya foto
masa gadis, yang kini telah kuning dan mulai mengabur, dan
tak pernah berpisah dari ke hadiranku.
"Pada detik-detik aku ingin mereguk hidup habis-
habisan, dia selalu menyesali dengan kelembutannya,"
kataku. Biarpun aku sadar ini hanya merupakan mimpi
belaka, tapi dia telah menahan aku bertahan untuk hidup!
Sekilas matanya digenangi air mata, tapi ia
menyembunyikan hati lagi. Senyum yang dimekarkannya,
terasa kosong menekuri foto yang lama itu.
"Serupa ini dia sekarang?" katanya.
"Siapa?" "Susi anak bungsuku."
"Berapa anakmu sudah?"
"Tiga. Dua putra, satu putri. Yang sulung sudah hampir
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
M.A. di luar negeri."
"Kau orang yang bahagia. Waktu dulu kau menolak aku,
pilihanmu benar!" Ia diam saja. Kugamit si pelayan, meminta dipenuhi lagi
seloki, tapi ketika kepadanya kutawarkan, ia menggeleng.
Tertuduk katanya, "Tih, janganlah membenci aku karena
masa lampau." "Oh, kau tak salah apa-apa. Akulah yang salah. Aku
senang kau bahagia."
"Aku seorang perempuan, Tih!" katanya pelan masih
menunduk. "Sebagaiseorang perempuan aku membutuhkan
kasih sayang dan perlindungan," sambungnya pelan. "Yang
pertama berupa suami, rumah dan kesetiaan. Hidup teratur.
Hatiku ingin bebas dan berbuat seperti kau, laki"laki! Tapi
118 .:: 153- aku sadar akan kedudukanku sebagai perempuan dan akan
tugasku sebagai seorang ibu."
Dilihati nya dengan diam aku pelan-pelan mereguk seloki.
Kemudian sambungnya, "Aku kagum melihatmu, tapi aku
tidak bisa mengikuti kau. Aku tidak bisa menjadi temanmu
dalam angin ribut hidupmu, aku cuma bisa mendoakan
semoga kau mencapai cita"citamu! Cuma teman setia dalam
impian dan mendoakan yang baik buatmu!"
"Itulah yang kusenangi padamu," kataku pelan.
"Tapi akupun sadar akan keburukan dan kekasaranku,
terutama compang-campingku."
Mataku mulai keras dan kaku lagi. Katanya, "Aku tahu
bagaimana perasaanmu. Tapi aku tak ingin kau merobah
hidupmu, menjaditenang,te raturdan statis. Ada keinginanku
menuruti kau, minum mereguk habis-habisan bersama
Khayam, tapi sifat perempuanku yang halus menolak!"
"Sudahlah," kataku pelan. "Tak berguna me mbolak"balik
lembaran-lembaran yang berdebu. Aku merasa senang,
bahwa kau bahagia dan dikelilingi oleh ketenteraman dan
kesetiaan." Lama ia terdiam, kemudian katanya, "Tidak!
Ketenteraman dan kesetiaan tidak bisa dipagut lama-lama.
Aku telah mendapat pelajaran. Ia hanya bisa kita biarkan
singgah di telapaktangan, dan bila kita hendak mengepalnya,
segalanya lalu hilang di antarajari! Tapi, aku kini mempunyai
pekerjaan untuk hidupku bersama anak"anakku!"
"Kau hanya sendirian kini?" tanyaku.
"Tidak," katanya mengelak. "Aku mempunyai anak"anak!
Aku membantu mereka supaya menjadi orang kelak."
Ia senyum, tapi matanya tak ikut tersenyum. Hatinya
yang dikatupkannya begitu kukenal betul sejak puluhan
tahun yang lalu. Aku melarikan pandang ke arah yang lain.
Lalu katanya lagi dengan suara pelan, "Sudah berapa
lamakah itu Tih?" 11" "Seabad yang lalu."
"Kau keliru Tih! Baru seperempat abad yang lalu. Kau
tetap seperti dulu, tak berobah. Yang berobah hanya usiamu
dan putih rambutmu!"
"Ya," kataku tertawa. "Salahku seabad yang lalu, ialah
karena aku tidak mengambilmu! Kau lalu mengajar aku,
bahwa sesuatu harus diambil. Sejak penolakanmu itu aku
mengambil tanpa meminta atau"kulonuwun!" Begitu hidup
menghendaki." "Apa yang kau genggam sekarang?"tanyanya ingin tahu.
Kukembangkan jari-jariku. Kataku ketawa, "Tidak ada
apa"apa! Mungkin sekelumit cerita dan seberkas sajak atau
beberapa garis dan warna yang kucorengkan di tembok!
Atau kesepian hati yang terpenjara oleh kebebasan. Tapi
aku sadar kini, bahwa penjara yang kita pilih dengan rela
dan sadar, lebih berharga daripada penjara yang harus kita
masuki karena dipaksakan oleh orang lain! Yang penting
kita bisa hidup, dan berbuat. Ya, hidup amat sederhana
sebetulnya: kita datang, kita hadir, dan kita pergi!"
Lama kami berdiam diri; si pelayan sudah gelisah di
kursinya. "Seharusnya dia sudah datang,"
sendiri. "Siapa?" "Susi! Tadi ia pamit sebentar, tak mau diajak masuk ke
restoran. Ia tentu lupa dirisekarang ditoko buku. Sering dia
be rjam"jam asyik kalau sudah masuk toko buku."
"Aku senang kita bertemu setelah sekian lama," kataku.
"Ya," katanya. "Menggembirakan, tapi juga menyedihkan
sekaligus!" Kupegang jari-jarinya. Masih halus seperti masa lalu;
ia membiarkannya, lalu aku berkata, "Tahu kau" Sejak kita
berpisah, biarpun aku mengambil setiap yang kutemukan
dalam hidupku, tanpa kulonuwun, tapi aku tidak bisa berbuat
begitu terhadapmu! Sekarang pun tidak! Kelembutan hatimu
membuat setan yang paling kasar menjadi cair lembut."
katanya kepada diri 118 .:: 153- "Oh," katanya dengan muka yang merah. "Kau masih
edan seperti dulu!" Ditariknya tangannya pelan"pelan, yang kubiarkan
meluncur halus seperti sutera lepas.
"Kau masih senang kepadaku?" tanyaku.
"Tidak!" jawabnya, tapi matanya tersenyum gemeriap.
"Kita sudah tua bangka," sambungnya. "Tak ada waktu lagi
untuk bermain-main di ujung senja!"
"Terima kasih," kataku lega.
Lalu Susitelah ada disampingnya, la mengangguk kepada
aku, situa bangka yang masih tersenyum baik dan lega.
"Bu," katanya. "Tak ada bukunya di semua toko buku.
Dilarang dijual." "Mm, keranjingan benar kau ingin membaca buku
romannya!" Kupandangi saja Susi seperti terpana; anak gadis yang
telah dewasa dan cerdas itu.
"Dia seperti kau dua puluh lima tahun yang lalu!" kataku
pelan. "Samasemua! Bicaranya,suaranya, se nyum nya, matanya
dan rambutnya!" Lalu tiba"tiba Susi lama memandang aku. Tanda heran
dan ragu melayaniwajahnya. Kemudian ia ketawa diam.
"Bu," katanya tertahan. "Saya kenal dia! Foto"fotonya
memenuhi koran dalam bulan"bulan yang lalu. Dia penulis
roman- roman yang "immoril". Susi terdiam tiba-tiba.
"Penulis immoril, Susi!" kataku tertawa. "Kau belum
boleh menjamah buku itu."
"Saya sudah dewasa!" katanya tersinggung. Dan
kemudian dengan suara pelan, katanya, "Heran, aku tak
percaya bahwa dia seorang immoril, Bu!"
"Hm! Kamu ini," kata ibunya. "Yang immoril ialah pikiran
yang membacanya!" Lalu, kemudian! Mereka pamit. Aku menggamit si
pelayan dan membayar. "L,," ___... 119
Pengawal Malam Sejak tadi pagi hujan gerimis tipis"tipis. Matahari tak
diberi kesempatan menjenguk dari kemendungan awan.
Juga ketika matahari pergi beradu di pucuk"pucuk langit
barat, ia berselimut dengan warnanya suram. Dan malam
harinya, bintang-bintang pun segan berkelingan.
Hawa sejuk, hanya hujan yang tidak turun lagi. Tentu,
semua masih lembab: aspal licin di sepanjang Malioboro,
trotoar, pohon-pohon asam, rumput dan segala yang ada di
dalam terbuka. Lembab se bagai air mata yang kering se ndiri
di pipi. Sebelum pintu kukunci aku menengadah ke langit.
Hitam pekat. Tanpa bintang, tanpa cahaya! Hanya sebentar
mengilas keriingan beberapa bintang dari sela-sela awan
mendung, lalu menghilang pula. Aku tahu, sepanjang malam
nanti hujan akan diusir oleh kegenitan bintang"bintang di
langit. Lentera jalan menarikgaris panjang dari selatan ke utara,
membelah tengah"tengah Malioboro. Manusia sudah segan
berkeliaran dalam hawa sejuk begitu. Jalanan sepi, seperti
jantung yang sudah lemah detaknya.
Dan dekat"dekat pukul dua belas malam ia kutemui.
Duduk menunduk ditrotoar.Ditrotoarsebelah timur Gedung
Presi- denan, menghadap ke barat. Lentera jalan tepat
tergantung di atas kepalanya, membentuk bayang"bayang
yang mengelapi wajahnya. Duduknya bersila amat tenang
seperti Budha yang sedang samadi. Di sampingnya terdapat
sebungkus rokok dan korek api. Sebuah asbak aluminium
sudah penuh dengan puntung abu rokok. "Bocah ini sudah
gila," pikirku. Aku berdiri di belakangnya diam"diam, menunggui
sampai dia mengetahui kehadiranku. Tapi dia seperti tak
tahu. Dua tokoh kami yang sunyi dalam kelembaban udara
malam, dia dan aku, seperti sebuah lukisan surrealis saja.
120 .:: 153- Keinginanku hendak merokok tak bisa kubendung.
Sekali gapai, terkaut olehku rokok serta koreknya se kali yang
tergeletak di sampingnya. Rokok kupasang, tapi iatidakjuga
bergerak. Juga ketika rokok dan korek kujatuhkan kembali
ke tempatnya di tegel trotoar dia membisu batu. Lalu masih
berdiam diri aku duduk di sisinya, memagut lutut. Nikmat
sendirian mengisap rokok"cap minta" dalam"dalam.
Ketika debu rokokku kujentik dan terpelanting dekat
ujung kakinya, dengan pelan ia mengambil debu itu, dan
dengan hati" hati sekali memindahkannya ke dalam asbak.
"Maaf," kataku menyesal.
Masih dia tak menjawab. "Bocah ini betul-betul sudah
miring," pikirku,"!ama"lama nanti aku ikut menjadi miring
dekat- dekat dia! Aku tak mau memikirkan dia lagi." Mataku
tertancap ke arah beranda Istana Presidenan. Terang
benderang disitu. Kereitelah dilabuhkan.
Tapi masih kelihatan deretan peti-peti mati berlingkupan
Bendera Merah Putih. Di halaman ada seorang tentara
berjalan perlahan"lahan. Dalam kesamaran tabir kerei aku
mencoba menghitung peti-peti yang berselimutkan Sang
Saka itu. Tapi selalu keliru dan keliru lagi hitunganku. "Berapa
petikah semuanya?" pikirku kesal dan kecewa.
"Tujuh puluh tiga buah," terdengar pelan suaranya,
seolah"olah ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Oh," kataku seraya menoleh kepadanya, dengan nada
dan gerak heran. "Kau rupanya, Dalom!"
"Namaku Mangkuto Abdi dalem," katanya menerangkan
tanpa bergerak atau menoleh. Dan dengan nada datar
ia meneruskan, "orang jaman sekarang tidak bisa lagi
menghargai orang lain. Rokok disampingku ini ada yang punya. Enak saja datang
orang lain, dan mengambilnya tanpa kulonuwun, tanpa
terima kasih. Juga tidak pula menjaga kebersihan."
Abdidalem berkata demikian sambil menunduk terus;
suaranya sungguh"sungguh.
Kataku, "Persahabatan kita dulu dimulai dengan
121 sebatang rokok, masa kini karena rokok sebatang, persahabatan
itu akan putus?" "Soalnya bukan rokoknya.Tapi ini soal menghargai orang
lain. Hentikan siulmu itu," bentaknya tertahan, ketika aku
bersiul acuh tak acuh. "Kau masih tidak sadar apa yang sedang
kulakukan ini?" " Dudu k"duduk di trotoar," jawabku.
"Aku bukan sembarang duduk. Aku sedang bersemadi
dan memanjatkan doa untuk arwaharwah tujuh puluh tiga
pahlawan di beranda Istana Presidenan itu. itulah yang sedang
kulakukan, ketika kau datang mengganggu. Aku yang duduk
samadi ini tak perlu betul kau hargai, tapi kenangkanlah tulang-
tulang para pahlawan yang sudah putih di sana itu!"
Dia tidak main-main kali ini! Suaranya dalam dan berat, juga
wajahnya amat bersungguh"sungguh, senyum yang hendak
mekar di wajahku menegang dan terhenti.
Katanya melanjutkan, "Besok tulang belulang itu akan dike-
bumikan kembali di Makam Pahlawan Semaki. Tulang-tulang
putih yang berserakan. Tapi setiap orang yang lewat di sini
hanya lewat melongo bodoh saja. Sudah lampaukah jamannya
orang menghargai Pahlawan Tanah Airnya" Atau sudah terlalu
banyakkah orang yang tewas sebagai Pahlawan sekarang ini"
Mereka yang tujuhpuluh tiga di sana itu mati muda dalam
pertempuran" pertempuran di Yogya ini. Jaman Revolusi yang
lewat, empat belas tahun yang lalu! Apa kau sendiri tidak
terharu mengenangkan mereka mati muda, sedang kita masih
bisa melanjutkan hidup?"
Aku tak kuasa menjawab. Rokok kuisap pelan"pelan.
Dijentikkannya rokokku itu keras-keras, sehingga terpelanting ke
aspal sejauh beberapa metec Memencar bunga"bunga api kecil,
lalu asap halus lurus ke atas. Dengan sengit kupandangi dia.
Katanya tenang, "Kau keras kepala. Kau sama seperti
manusia"manusia yang lewat di jalanan itu. Tidakterham melihat
tulang"belulang Pahlawan"pahlawan. Sejak tadi kuperhatikan,
tidak ada yang berdiri sebentar ataupun menoleh khidmad ke
arah serambi Istana Presiden. Orang"orang hanya melongos
122 .:: 153- pandang sedikit, lalu meneruskan tawa atau cakapnya dan
terus berjalan. Juga pengawal tidak ada menjaga dengan gagah
di tangga"tangga serambi itu. Dan aku sekarang mengawal
mereka, di trotoar ini. Akan kukawal mereka sampai fajar besok
menyingsing!" Ia diamsebentar. Keinginankutak tertahan untuk mengambil
rokoknya sebatang lagi. Uang sesen pun aku tak punya malam
itu. Tapi aku tak berani mengungkapkan keinginanku, sebab
kalau dia sudah serius demikian, ia sanggup menahan banjir
atau memindahkan gunung! Sambungnya kemudian, "Kau senang akan sajak" Orang
yang tak senang kepada sajak, termasukorangyangtak berkultur,
tapi lambat laun tentu manusia akan senang juga kepada sajak,
walaupun karena ikut-ikutan! Pikiriah, sekarang, pada setiap
bulan November sewaktu memperingati Hari Pahlawan, orang
membisikkan baris sajak Chairil Anwar biarpun dalam hatinya:
"Kerawang Bekasi". Walaupun hanya satu dua bait yang ter-
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hapalkan, seperti: "Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi
adalah kepunyaanmu, Kaulah yang tentukan nilai tulang"tulang
berserakan...." Ia diam pula. Dipandanginya mukaku, lalu katanya,
"Pikiranmu itu sekarang hanya pada rokok yang kujentik tadi.
Tidak pada tulang-tulang yang berserakan! Mana harumu"
Mana sikap"mu menghargai Pahlawan?"
"Akusedang memikirkan "Kerawang Bekasi', kataku."Apakah
Chairil menulis sajak itu hanya untuk pahlawan- pahlawan
pemuda Kerawang Bekasi. Apakah ia cuma mengenal hanya
Kerawang Bekasi sebagai daerah pertempuran" Aku dulu juga
ikut bertempur. Tidak di Kerawang, tidak di Bekasi. Sekiranya aku
dulu ikut,tewas, tentu aku tidak termasuk dalam tulang"tulang
berserakan Kerawang Bekasi yang dinyanyikan oleh Chairil?"
"Kau terikat pada tempat dan nama," katanya sebal. "Tapi
sekarang aku tidak mempersoalkan sajak!"
"Aku mempersoalkannya sekarang," kataku. "Tahu kau"
Aku lebih senang kepada "The Young Dead Soldiers?"nya
Archibald Mac Leish. Setiap prajurit yang tewas di pihak
123 manapun berdiri termasuk di dalamnya adalah Pahlawan.
Gema harapan setiap manusia yang hidup, setiap manusia
yang mati. Perang, maut, perdamaian dan kehidupan!"
"Jangan persoalkan sajak sekarang," katanya dengan nada
terganggu. Matanya keras memandang padaku. Lanjutnya,
"Yang penting pada detik-detik ini ialah rasa penghargaan
hatimu kepada pahlawan"pahlawan yang di beranda sana.
Besok kita persoalkan tentang sajak."
"Kau mau duduk di sini sampai pagi?" tanyaku.
"Ya," katanya. "Aku menjaga mereka sekarang. Kalau kau
mau ikut, kau harus diam dan mengheningkan cipta." Aku
mengheningkan cipta dan mengenangkan Pahlawan dengan
caraku sendiri. Dalam hati," kataku. "Jauh dalam relung hatiku
yang mumi, di situ tempat aku mengenangkan mereka.Aku
tak bisa menemani kau duduk dalam hawa dingin seperti ini
disini." Ia menggerakkan tangan seperti mengusir. Aku sudah
hendak berdiri. Tapi rokoknya harus kuambil dulu sebatang
lagi! "Semoga kau tak berkeberatan," kataku pelan dengan
nada takzim. Ia diam saja, melirikpun tidak. Rokok kupasang sebatang.
Tiba-tiba ia menghapus mukanya dengan kedua belah
tangan, seperti laku orang yang selesai berdoa. Lalu senyum
lembut kepadaku, seolah"olah mau berkata, "Aku beristirahat
sekarang, juga ingin me rokok."
Dia pun juga memasang rokoksebatang dan mengisapnya
beberapa kali dengan nikmat.
"Aku pergi sekarang," kataku. "Aku mau minum kopi di
warung si Irah sana."
Baru saja aku hendak berdiri, aku merasa ada orang di
belakangku. Tentu kamisudahterialu lama. Kusikut rusukAbdi
dalem, tapi ia tak mengerti.
Katanya, seperti melamun, "Irah cinta kepadaku."
Diisapnya rokoknya penuh nikmat.
"Tapi aku iseng saja. Kami berkirim"kirim surat cinta.
124 .:: 153- Selalu dia memulai suratnya dengan perkataan "masku sayang".
Dia sendiri buta huruf. Surat-suratnya disuruhnya ditulis oleh
orang lain, dan suratsuratku orang lain pula yang membacakan
kepadanya dan membalasnya. Tadi baru aku membalassuratnya,
kuberikan kepada orang yang membacakan untuknya. Tentu
sebentar lagi dia akan membalasnya."
"Cintacintaan kok pakai kirim surat segala," kataku.
Terasa tanganku dicuil oleh Irah dengan pelan dari belakang.
Waktu aku menoleh, kulihat ia memegang sebuah amplop. Ia
tersenyum tak kentara. "Kukira ada pos buatmu," kataku kepada Abdidalem. Tiba-
tiba ia menoleh. Tepat ke arah Irah. Wajahnya berubah, kelihatan
agak kurang senang hatinya.
Katanya, "Sudah saya bilang tadi, jangan datang dekat
kepada saya malam ini!"
Irah takmenjawab. Ia ikutduduksaja disampingAbdidalem.
Dompetnya dihempaskannya ke tegel trotoac Surat yang
beramplop tadi, tak tahu aku di mana disembunyikannya. Air
mukanya tenang tapisuram. Abdidalem seperti dingin dan kaku,
rokok digigit"gigitnya. Mereka tidak mau saling memandang,
kelihatan masing-masing bermengkal hati.
"Banyak duitmu, Rah?" kataku bercanda.
Dompetnya kubuka dengan pelan. Ia melihat saja dengan
lesu. Hanya ada uang puluhan selembar, uang rupiahan tiga,
dan mata uang setali sebiji. Selebihnya adalah surat"surat gadai,
surat-surat cukai pasar, dan surat-surat Abdidalem. Aku merasa
iba. Dompetnya kututup kembali.
"Mas," kata Irah lembut.
Tapi hati Abdidalem sedang membatu. Irah memegang
lengannya, tapi dengan pemberontakan yang ditahan,
Abdidalem menempiskan tangan Irah.
"Kau cuma berjanji"janji saja, Mas," kata Irah melanjutkan.
"Kau bersumpah tresno kepadaku, tapi kau selalu lari kalau
kudekati." 125 "Pulanglah Rah," kata Abdidalem pelan.
"Tidak! Aku tidak mau pulang kalau tidak bersama dengan
Mas!" "Aku tidak pulang satu malam ini. Aku menjaga tulang-
tulang Pahlawan." "Peti"peti berisi tulang"tulang ini tak perlu dijaga, Mas.
Besok akan dikebumikan dengan upacara kehormatan.
Tapi jagalah aku, Mas. Jagalah aku, kalau Mas betul sayang
kepadaku." Abdidalem melemparkan puntung rokoknya. Puntung itu
tergeletak dekat puntung rokokku yang tadi dijentikkannya.
Lupa ia akan kebersihan, lupa untuk mematikannya ke asbak,
karena geram hatinya. Asbak itu kini di tangan Irah, dibolak-
baliknya di antara jari"jarinya seperti tak sadar. Abu dan
puntung rokok mengotori haribaan kainnya. Sebuah beca
meluncur dengan pelan dan di antara kilasan cahaya lampu,
perempuanyang duduk di dalamnya melemparsenyum manis
ke arah kami. Aku berciut, beca meluncur terus, lalu berhenti
di tengah bundaran depan kantor pos. Dengan tertawa leking
perempuan tadi menuju tukang wedang ronde di trotoar.
Lalu ribut bersambut pula suara"suara teman perempuan
sepetualangan malam di sana, menyambut kedatangannya.
"Mari, Mas. Pulang."
"Pulanglah sendiri," geram terdengar suara Abdidalem
menyentak. Irah begitu sedih kelihatan. Asbak aluminium berdenting
jatuhketegel.Danjari"jarinyameremas"remasdan merenggut"
renggut saputangan yang lusuh.
"Aku yang mengantarkan pulang, Rah," kataku ramah.
Irah menggeleng dan menarik nafas.
Katanya, "Aku tidak mau seperti perempuan yang tadi,
gelandangan dari becak ke becak, rebah dari amben ke amben,
digulati oleh setiap lakilaki. Mas?"
Tapi Abdidalem melongospun tidak.
Sambung Irah, "Aku ingin mempunyai suami yang bisa
kupuja, ingin mempunyai rumah, mempunyai anak, Mas."
128 .:: 153- katanya dengan nada lemah lembut memohon, "jangan aku
biarkan menjadi perempuan seperti yang di sana itu. Kalau
betul Mas tresno kepadaku ..."
"Sudah, pulang saja sendiri Rah," kata Abdi dalem
bertambah gemas. Rasa malu menghambur pada wajahnya. Di bawah
cahaya lentera ini orang lain dapat menyangka bahwa
ia duduk bermesra-mesraan dengan Irah! Irah terdiam.
Matanya terpaku keserambi Istana Presidenan, dengantujuh
puluh tiga peti mati yang masing"masing diselimuti dengan
Sang Saka. Entah tak berapa lamanya, tak seorang pun di antara
kami yang bersuara. Aku mulai tak sedap melihat drama satu
babak mereka. Bila mereka telah berbuatsesuatu, biarkanlah
mereka se ndiri menyelesaikannya!
"Aku harus hidup!" kata Irah kemudian dengan suara
datar. Matanya masih nanap memandang ke arah peti-peti
itu. "Aku tahu, Mas. Kau merenungi peti-peti yang berisi
tulang"tulang Pahlawan itu. Tapi tahukah kau Mas, apa yang
kupikirkan?" Abdidalem tak bergerak sekutik pun. Irah menarik nafas,
sebuah senyum hampa bergetar di bibimya.
Sambungnya, "Mungkin dalam salah satu peti itu,
terkumpul serakan tulang"tulang suamiku. Dan mungkin
sekarang arwahnya ada dekat"dekat sini. Melihat semua
yang kuperbuat di bawah lentera Malioboro ini, aku hanya
bisa berdoa untuk arwahnya sambil meminta maaf karena
aku menjadi begini. Kurasa ia mengerti dan memaafkan aku.
Tapi aku tak perlu memikirkan itu, Mas. Kehidupan yang
ganas tidak membiarkan aku menjadi orang, tak memberi
waktu untuk memikirkan seperti itu!"
Irah diam. Kupandangi dia. Matanya kelihatan tergenang,
tapi ia berusaha sekuatnya menahan ledakan"ledakan
perasaannya. "Suamimu gugur, Rah" Tentu dia Pahlawan," kataku
pelan. 12" "Siapa yang bisa memastikan bahwa dia Pahlawan, atau
tidak pahlawan" Jaman pendudukan Belanda di Yogya dia
kena tembak. Saya baru sebulan dikawininya, dan ia tidak
mau saya larang ikut"ikutan bertempur dengan pasukan
gerilya. Saya tidak ingin dia mati, tapi yah, dia mati juga.
Tidak pernah kutemukan mayat atau kuburnya! Kalau dia
tidak mati, saya rasa aku tidak menjadi begini. Mungkin di
antara sebanyak tulang-tulang putih di peti sana itu, ada
tulang"tulang bekas suamiku"!"
Ia terdiam pula, memandang kepada Abdidalem yang
melihat ke arah lain, seperti tak peduli.
Sambung Irah, "Sejak dia tidak ada, se muanyajadi putus.
Aku harus bekeja buat hidup. Bekerja berat dan kotor, tapi
duitnya cuma sedikit. Aku bertahan tidak menjadi kupu"kupu
malam, tapi aku tak bisa! Tidak bisa! Mas, aku sudah bosan
hidup hina begitu. Kalau memang Mas tresno kepadaku,
tolonglah aku. Aku menjadi istri yang setia dan berbakti!
Oalah, Mas! Tidak bosan kepadaku" Tidak bosan?"
Ia menggoncang-goncang lengan Abdidalem. Abdidalem
yang tetap diam bisu. Karena sikap Abdidalem yang pasti dan menolak
demikian, keseluruhan tubuh Irah seperti lunglai dan beku.
Dipandanginya pemuda ituseperti he ndak mengajak dengan
pandangan dari hati yang sayu dan perih. Kesadarantimbul di
hatinya, bahwa tresno Abdi dalem hanya permainan belaka.
Lalu dengantawakkalkatanya,"Sudahlah, Mas. Kita putus
saja sampai di sini hubungan cinta kita. Aku tak percaya sama
surat"surat, atau kata"kata kosong lagi. Kusangka bahwa Mas
Pahlawanku yang sejati selama ini. Aku tidak akan menangis
karena tertipu." Dan Irah tersenyum. Senyum yang robek dan compang-
camping. Ia membetulkan letak kebayanya dan meluruskan lipatan
kainnya. Geraknya tidak menggetar lagi, tapi dengan penuh
kapastian dan ketetapan hati sekarang. Dan ia tertawa.
128 .:: 153- Katanya, "Tidak! Aku tak berhak meminta keberanianmu
Mas, untuk menjadi Pahlawanku. Sudahlah, tidak usah
pikir tentang aku, atau tentang cinta. Aku harap, Mas, kau
tidak benci dan jijik kepadaku. Janganlah benci melihat aku,
warungku tetap terbuka menunggumu. Mampiriah selalu,
dan juga kau, Mas," katanya kepadaku.
Lengan Abdidalem dipegangnya kembali, penuh mesra
dan damba yang tersisih. Suranya basah menggumam, "Mas ...."
Sebuah truk lari kencang dari utara. Tiba"tiba berhenti
di bunderan depan Kantorpos, di muka penjual rokok dan
penjual wedang ronda. Masih berkibar bendera kecil dari
kesatuan polisi dekat hidung mobil.
Dua orang polisi turun, menuju ke perempu"an-
perempuan malam yang sedang bersenda gurau terkikih,
dalam becak, di trotoar, dan dekat tukang wedang ronda,
suara riuhmerekatiba-tibaterhenti.Adasatu dua perempuan
malam menyelinap. Dan tiba"tiba bagaikan hujan turun,
mereka bubar menyelamatkan diri.
"Garakan!" desis Abdidalem. "Rah lari Rah. Lari!"
Irah hanya mencibirkan bibirnya. Tetap duduk se enaknya,
seperti menertawakan aku yang sudah berdiri di balik tiang
listrik, seolah"olah mau berlindung di situ.
Ia tertawa saja melihat Abdidalem yang gelisah berdiri,
menggenggam rokok, korek apiserta asbaknya.
Kata Irah, "Orang tak bersalah tak perlu minggat, Mas !"
"Polisi itu ke sini," kata Abdidalem pelan kecemasan.
Irah tak beranjak dari duduknya di trotoar. Malah
menekur acuh tak acuh. Tidak ada kelihatan orang lalu lalang
di aspalyang licin hitam, ataupun ditrotoar, hanya kelap"kelip
lampu beca yang ketiduran dan lampu tukang we dang ronda
yang terkantuk"kantuk. Suara"suara perempuan malam yang
tadi riuh sudah hilang lenyap. Suara langkah polisi berdetak"
detak keras di aspal. 129 "Bikin apa di sini!" katanya dengan nada berwibawa.
Ia berdiri di hadapan Irah, besar dan tinggi dalam pakaian
dinasnya; matanya menyelusuri Abdidalem, menyelusuri
aku. Kami berdiam diri. Sebuah senyum melebari wajahnya, ketika menandai
Irah yang menengadah kepadanya.
Lembut sapanya, "Lho, sampeyan to, Mbak Irah. Belum
kukut" Siapa yang menjaga warung Mbak?"
"Si Embok, Pak."
"Sudah Mbak! Jangan berhenti atau duduk lama-lama di
depan Presidenan. Pahlawan-pahlawan sedang istirahat di
beranda. Dan ada garakan lho, Mbak!"
Tapi matanya memerintah keras melihat kepada
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Abdidalem dan aku. Kami tak bergerak. Tentu polisi itu
mengenal Irah, atau sudah sering juga minum di warungnya.
"Sudah, pulang saja," perintahnya kepada kami.
"Pak," kataku. "Irah menduga, bahwa mungkin di antara
tulang-tulang Pahlawan di Presidenan itu, ada tulang-tulang
bekas suaminya." Polisi menjadi lembut. Ia memandang ke arah serambi
Presidenan, menekan perasaan terharunya. Kemudian
sejenak lamanya ia menekuri Irah.
"Mudah"mudahan Mbak," katanya dengan suara takzim
dan hormat. Semoga dia ada di sana, di antara ketujuh puluh
tiga peti itu. Maka akan selamat dan damailah arwahnya di
pindahkan ke Makam Pahlawan besok."
Irah berdiri, tersenyum, dan matanya basah.
Katanya, "Aku mau ke warung sekarang." Dan seperti
kepada diri sendiri pelan ia berkata, "Kenang, kenangkanlah
kami ...." "Apa Mbak?" tanya polisi itu tak mengerti.
Irah tak menjawab, dan mata polisi itu bertanya kepada
kami. "Permisi Pak," kata Irah.
Dan kepada kami ia mengangguk ramah dan berkata,
"Jangan bosan mampir di warungku, Mas."
130 .:: 153- Ia melencermenuju warungnya, ke arah utara.
Polisi itu masih memandanginya. Katanya, tak mengerti,
"Apa sih, maksud Mbak Irah?"
"Dia senang kepada sajak, Pak," kataku menerangkan.
"Itu tadi sebagian dari baris sajak Chairil, Kerawang Bekasi,
yang selalu dideklamasikan pada Hari Pahlawan. Kawan saya
ini selalu membaca sajak di warungnya. Irah senang kepada
sajak." "Ya, saya ingat," kata polisi itu dengan wajah cerah.
"Kamu orang"orang muda cuma tahu bersajak dan ngeloyor
malam. Sekarang pulanglah lekas."
Kami pulang, menuju arah selatan. Di belakang kami truk
polisi menderu kembali ke arah utara. Perempuan malam di
bunderan dan si tukang jual wedang ronda ramai kembali,
menderaikan kicau dan tawa memenuhi kelembaban malam.
"Oalah," kicau si Sun, "Kupikirgarakan! Tau"tau Pak Polisi
cuma membeli rokok."
Tertawanya dari beca terpingkal-pingkal, ditingkahiyang
lain. Kami melangkah turun, mata terasa amat berat.
Abdidalem lupa meneruskan pengalamannya di depan
Kepresidenan. Dia berdiam diri saja. Tapi kehidupan malam
tidak diam, terus berlangsung menunggu fajar menyingsing.
Sepasang Hari Sebelum Lebaran
Dihampirinya Yati, si bungsunya yang tenang di katil.
Sangkanya mulanya bahwa anak itu sudah tertidur. Jam
dinding berdentang tujuh kali. Dua hari lagi, lebaran!
Dan di malam"malam dekat lebaran begini, dia yang telah
mempunyai istri, dan anak dua, masih juga merasakan
kegembiraan harapan-harapan yang pernah dialaminya
semasa jaman kanak"kanaknya. Di luar, anak" anak ramai
ben'nain, dan langit berdesingan oleh mercon bunga api. Dan
si bungsunya ini kenapa pula jatuh sakit di hari"hari begini!
"Pak," terdengar suara Yati.
Ia terkejut, lalu senyum, "Hidung anak iniseperti hidung
ibunyajuga alisnya!" pikimya.
Dalam tingkah laku si Yati, ia mengenal kembali jiwanya
sendiri: perenung, dan bila menangis, selalu sembunyi-
sembunyi! "Papa pikir kau tidur," katanya.
Dibelainya kening anaknya yang keringatan itu, masih
agak panas sedikit. "Aku tidak sakit kok, Pa," suara Yati.
Sambil duduk lincah, ingin dibelai. Meringkuk
dirangkulan" nya. Dia membenamkan hidungnya ke rambut
anak yang terbuai itu dengan mesra. Sejenak melembut
keseluruhan tubuh anaknya, tapi tiba-tiba terasa ada
ketegangan, dan senyum gadis cilik itu hilang. Matanya
kehilangan manik-maniknya yang berkaca-kaca, perasaan
perih menjalari hati si Bapak. Belakangan ini terasa
olehnya ada kerenggangan di antara keluarganya. Si Yuno,
si sulungnya, seolah"olah mengelakkan dia. Makin sering
pergi menginap di rumah mbahnya. Bila ia bertemu dengan
kedua anaknya itu, ia seolah"olah terpencil, tak segembira
biasa. Biasanya bila ia membaca koran, kedua-duanya selalu
ingin tahu, dan banyak bertanya. Kapal terbang jatuh Pak" Di
mana" Kebakaran di Jakarta" Bagaimana sih kebakaran itu" Dan
132 ;, "P ia bemsaha menerangkan apa yang diketahuinya, sepanjang
dapat ditangkap oleh pikiran bocah-bocah. Kedua-duanya sama-
sama ingin tahu berita kejadian"kejadian di koran dan sering
didapatinya adik" kakak itu bersama"sama menelaah koran. Yuno
yang berumur 10 dan Yati setahun lebih muda. Beberapa tahun
lagi mereka tentu sudah di SMP kemudian di SMA, kemudian,
kemudian mereka tiba"tiba akan sudah dewasa!
"Ke mana kedua anak kecil yang di Malioboro itu, Pak?"
tiba"tiba Yati bertanya.
"Hm, yang mana?"
"Aku ingat saja kepada mereka, Pak. Apakah mereka
mempunyai bapak dan ibujuga?"
"Oh," pikirnya, gadis cilik ini sentimentil! Ia ingat kepada dua
orang anak kecil yang dimaksud oleh si bungsu. Entah beberapa
minggu yang lalu, ia membawa kedua anaknya itu pada malam
hari berbelanja ke Malioboro. Dua bocah kecil, gadis"gadis
gelandangan, sebaya Yuno dan Yati, mendekati mereka.
"Pak," rengeknya,"kulo belum makan Pak!"
Dan ia mencoba tak mengacuhkan pengemis-pengemis itu,
tapi ketika mereka memegang lengannya dengan berani dan
paksa, ia marah. Sudah bosan ia sering"sering memberi duit kepada kedua
gadis cilik gelandangan itu, sehingga mereka terlalu berani
akhirnya! Tapi ketika dilihatnya Yuno dan Yati tercengang melihat
kemarahan tiba-tiba itu, ia sadar. Lalu dengan cepat-cepat ia
memberikan uang seperak"seperak kepada kedua pengemis
kecil itu. "Tentu," katanya dengan gembira kepada Yati. "Mereka juga
mempunyai Mak dan Bapak."
Tapi mata Yati nyalang saja memandang, tak percaya.
Katanya, "Mesake Pak!"
"Hm, kamu ini !" ia berkata dengan ketawa sambil merangkul
si bungsunya erat"e rat.
Sambungnya, "Tidurlah, Bapakmu akan menjemput
masmu, si Yuno!" L,"," ___... 133
Yati cuma tersenyum menurut, tak membantah ketika
dibaring- kannya dan dibetulkan letak bantalnya.
Dia berkata lagi dengan gembira. "Lebaran besok kita
semua pergi ke rumah mbah, ya?"
Yati tiba-tiba tertawa, katanya. "Aku besok sudah
sembuh!" Dirangkulnya lengan Bapaknya, dan ditekankannya
ke pipinya. "Bapak tidak marah?" tanyanya.
Hati si Bapak bertanya"tanya, tapi dengan ketawa ia
melekatkan cium ke pipi si bocah. Pipi kirisekali, yang kanan
sekali. Di hidung yang seperti hidung ibunya itu, sekali.
Mereka berdua amat gembira. Begitulah ia didapati
istrinya yang tiba"tiba telah berdiri di ambang pintu, dan
menanyakan, kenapa ia belum pergi.
"Sudah malam, Mas!" katanya pelan. "Jangan diganggu
juga Yati!" Di sudut ruang tengah ia tiba-tiba mendekap istrinya.
"Hah hah! Edan lagi kau Mas!" elak istrinya. Tapi ia makin
mendekap erat, dan menggigit hidung istrinya dengan
bibirnya. "Kau tidak akan meninggalkan aku besok?" tanyanya.
"Hah, hah, edan!" kata istrinya dengan senang.
Dan kemudian ia pergi, ditatapi istri di pintu.
"Yuno sudah pulang," kata ibu mertuanya.
Lalu sebentar kemudian mereka bercakap"cakap
mengenai hal-hal yang tak ada artinya. Tapi tiba-tiba ia
merasa sering diperhatikan oleh ibu mertuanya.
Lalu tanya orang tua itu terloncat, "Akan selamanya
kamu begini?" "Begini bagaimana, Bu?"
"Kau senang melihat tanah tamanmu ditumbuhi
kembang. Tapi kau belum, menjadi seorang penjaga taman
yang baik. Jari"jarimu terlalu keras menyentuhi tanaman!"
Ibu mertuanya tertawa, selalu kesukaannya berbicara
sebagaiteka"teki. "Ada lagi kekuranganku?"tanyanya sambil berpikir"pikir.
134 .:: 153- "Di samping mencintai tanah, orang juga harus cinta
kepada tanamannya." Perempuan tua, ibu istrinya itu, cuma tersenyum"
senyum saja, ketika ia mendesak meminta penjelasan.
Ia hanya menambahkan, "Nanti kau sendiri akan tahu
juga!" Ia merasa selama ini bahwa di rumah tidak kurang apa"
apa. Hidup mereka suami istri penuh romantika, mereka
sayang kepada anak"anak. Hanya sekali"sekali tentu ada
kekeringan uang belanja, sudah biasa pada jaman se karang!
Dalam perjalanan pulang, ketika menyelusuri Malioboro
ingin membeli oleh-oleh, kata-kata ibu mertuanya itu
dirasanya terlampau mengada"ada. Keramaian silang"siur
manusia mengalihkan perhatiannya. Tapi ia tiba-tiba teringat
kembali kepada si bungsunya. Yati dengan pertanyaannya,
"Ke mana anak kecil yang di Malioboro itu Pak?"
Serentak dengan ingatan itu, tiba-tiba ia terlanda si
gadis bocah dekat Kepatihan. Ia tertegun memandanginya;
dan si bocah yang mengenalinya, menjauh takut. Ingat akan
pengalamannya yang lalu waktu meminta-minta kepada
orang itu! Dia tersandar ke tepi tembok. Bocah itu berdiri
lalu lari takut"takut sejauh satu tiang listrik. "Kenapa bocah
gelandangan ini sendirian sekarang?" tanyanya dalam hati.
"Biasanya mereka berdua, dengan tempumng dikepit, dan
bergandengan dan gesit meminta"minta." Hanya itu yang
terpikir olehnya tentang mereka!
Bocah"bocah gelandangan selamanya tak menyedapkan
hati. Seperti lalar, dihalau, datang hinggap lagi. Suara Yati
berdengung kembali di telinganya, "Mesake Pak!" Lalu tiba-
tiba saja, ia merasakan apa yang dirasakan si bungsunya,
yang dianggapnya hanya kesentimentilan kanak"kanak. Dan
di wajah gadis peminta-minta itu, terbayang wajah Yati. Ia
terkejut, "Tidak,"jerit hatinya. "Yati tidak akan menjadi anak
gelandangan seperti ini! Cepat pula pertanyaan terlintas
di hatinya: bila esok aku mati, istriku mati, bila mereka tak
beribu"bapak pula"! Yuno dan Yati gelandangan dengan kaleng
L,"," ___... 135
kecil dan merengek: "Pak nyuwun Pak, kulo dereng nedo."
Walaupun dirasanya pikiran ini mengada-ada saja, ia tak bisa
melepaskannya. Didekatinya gadis cilik itu seolah"olah acuh
tak acuh. Ia bertanya seramah mungkir"Temanmu yang dulu
mana?" Si bocah diam dengan rasa curiga.
Lama baru ia menjawab dengan kaku, "Mati, Pak! Tiga
hari yang lalu." Ia terkejut, temannya yang satu itulah yang
dulu benar-benar dimarahinya, karena terlalu merongrong!
Sesal tak habis"habis menekannya, karena tentu dalam
menghadapi maut, anak kecil itu masih mengandung
dendam dan sakit hati! Ia lirih bertanya, "Kamu sudah
makan?" Si bocah kumal comeng itu masih curiga, dan
akhirnya menggeleng. Digenggamnya selembar uang duapuluh limaan ke
telapak bocah itu. "Ini! Pergilah membeli makanan yang
enak!" "Matur nuwun Pak!" kata si bocah tertahan, lalu pergi
dengan girang berlari, menyelinap di antara orang lalu lalang
di trotoar. "Mati!" pikirnya, "kenapa aku dulu tak bisa berbuat
ramah kepadanya" Kini dia mati dengan rasa sakit hati
terhadap aku. Duit duapuluh lima yang kuberikan kepada
temannya itu, sebagai sogokan terasa seolah-olah untuk
menyuap meminta maaf kepada temannya yang sudah
mati itu." Ia bergegas pulang, kangen kepada Yuno dan Yati!
"Mesake Pak!" te rdengung lagi suara Yati!
Malam sudah larut. Yuno telah tertidur, juga Yati.
"Apa yang kau pikirkan, Mas?" tanya istrinya. Ia tersentak,
senyum tak menentu dan memasang rokok. Lama mereka
be r-diam diri, duduk di beranda. Ketika rokok yang terjepit di
antara jari-jarinya, hampirhabistanpa diisap, istrinya dengan
pelan mengambilnya. Kedua"duanya hanya tersenyum. Lalu
istrinya memasangkan se batang rokok lagi.Adasaja romantik
antara mereka berdua, walaupun romantik kecil!
"Yuno dan Yati sudah menjelang dewasa," kata istrinya.
138 .:: 153- "Ya," katanya. "Tadi waktu mencium Yati, tiba"tiba aku
merasa bahwa dia bukan anak-anak lagi!"
Dan Yuno tiba-tiba telah seperti orang dewasa. Aku merasa
sebagai kakek"kakek!
Diperhatikannya istrinya lalu, katanya, "Dulu sebelum
kawin, aku berjanji kepadamu akan sanggup memindahkan
gunung. Tapi hidup kita hanya tinggal sederhana saja, selalu
kurang belanja, kurang ini itu. Kau masih ingin menagih janjiku
yang dulu, akan membelikan beler. "
"Kayak kakek"kakek saja kau mas!" kata istrinya. "Rokokmu
kau biarkan lagi habis di jari-jarimu. Aku sudah senang begini,
mempunyai anak"anak yang manis dan cerdas. Yati giat betul
membaca, aku takut nanti matanya lekas rusak. Yunobegitujuga!
Kita hams sudah mulai memikirkan kacamata untuk mereka!"
"Kau tidak memikirkan aku juga?"
"Edan dan cemburu lagi! Itu saja rupanya yang kau pikirkan
tadi?" Lama baru ia menjawab! "Dia sudah mati!"
"Siapa?" "Gadis cilik peminta-peminta di Malioboro itu. Yang pernah
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kubentak itu!" Istrinya mengangguk termangu, juga ingat ketika suaminya
membentak bocah gelandangan itu. Lama mereka diam pula,
dan dia menyambung, "Tadi aku bertemu dengan si bocah yang
satunya lagi. Jangan sampai Yati tahu. Anak itu bisa sentimentil
dan ikut menyesali aku!"
"Kau menyesali diri?"
"Ya. Tapi tak apa. Kawannya itu kuberi duapuluh lima tadi.
Hm, berkurang besok beca kita."
Istrinya mengangguk saja, terharu diam. Sambungnya, "Tadi
Ibumu bilang kepadaku kau belum jadi seorang penjaga taman
yang baik. Apa maksudnya sih?"
L,"," ___... 133
Tapi istrinya tak menjawab, sebagai terpana. Lalu kemudian
tanpa disadarinya, matanya telah tergenang dan air mata
melelehi pipinya. Katanya tersendat"sendat, "Kita telah menyiksa mereka.
Aku tak mau meneruskan permainanmu yang keras ini."
"Mengapa pula air mata itu! Siapa yang disiksa?"
"Mereka sudah tahu. Yati dan Yuno. Celengan ayamayaman
itu mas! Dua, tiga hariyang lalu aku menemukan pecahan bekas
kepala celengan ayam-ayaman itu di bawah kasur Yati. Maksud
kau dan aku baik, berbuat begitu. Meminta kesadaran anakanak
tapi terlalu berat buat hati mereka yang masih kecil!"
Di kamar, Yuno tak bisa tidur. Gelisah saja, dan bantalnya
jatuh ke lantai! "Aku nanti yang akan menyatakan kepada Ibu dan Bapak,
Yun!" bisik Yati. "Kenapa celengan kita ditukardenganyang ba?""
"Kau ceritakan kepada mbah" Apa katanya?"
Mbah memeluk aku. Suaranya menggeletar, matanya
basah. Katanya, "Yun! Kamu dan Yati mesti mengatakan terus
terang kepada Ibu dan Bapak, jangan diam"diam. Kamu harus
berani mengatakannya. Dan aku dilarang oleh mbah datang ke
rumahnya kalau aku belum mengatakannya kepada ibu dan
bapak." "Aku yang mengajak kau Yun. Mengajak membuka
celenganku." Yuno diam saja. Yati bangun. Katanya, "Kau tinggal di sini ya;
aku sekarang mau memberitahukannya kepada Ibu dan Bapak.
Berjingkat"jingkat ia meninggalkan kamar, seperti kucing tak
bersuara, Yuno membenamkan muka ke bantal. Tapi sebentar
kemudian Yati kembali pula tak bersuara.
Bisiknya, "Ibu menangis, Yun! Bapak diam saja, aku belum
berani sekarang." Dia diam, teringat kembali akan kata-kata Ibu mertuanya,
"Kau belum menjadi seorang penjaga taman yang baik. Jari"
jarimu terlalu keras menyentuh tanaman". Kini baru ia mulai
samar-samarmengerti teka-teki si perempuan tua itu!
138 .:: 153- Peristiwa ini terjadi seminggu yang lalu, Yuno dan Yati
dibawa mBaknya ke desa. Pagi-pagi benar waktu ia hendak
berangkat ke kantor dan mencari pulpen dilaci bupet dengan
tergesa"gesa, sikunya tersentuh celengan ayam"ayaman tanah
liatyang terietak di atas bupet. Benda itu pecah di lantai. Kosong!
yang jatuh itu kepunyaan Yati. Darahnya tersirap. Disambamya
celengan Yuno yang terletak di sebelah kepunyaan Yati. Juga
bolong bawahnya: kosong! "Bu, Bune," jeritnya panik.
Istrinya seperti melompat dari dapur. Temganga melihat
pecahan tanah liat di lantai dan yang sebuah lagi bolong di
tangan suaminya. "Lihat" katanya. "Anak"anak begitu berani diamdiam
berbuat tak baik, Yati dan Yuno! Kau tahu soal ini?"
Istrinya menggeleng sedih, tak bisa berkata. Penuh kecewa.
"Sudah,nantikalaumereka pulang, akan kita perbincangkan."
Tiba-tiba, ketika ia sudah di halaman, ia teringat sesuatu dan
kembali masuk. "Aku terpikir sebentar ini," katanya kepada istrinya. "Jangan
kita singgung soal celengan kosong ini, kalau Yati dan Yuno
pulang. Kita hams memberinya didikan agar berani tanggung
jawab atas perbuatan mereka."
"Habis, mau diapakan Mas" Toh uang itu mereka yang
punya, mereka yang menabung."
"Betul! Tapitak baik mereka berbuat diamdiam. Sekarang
begini, Bune! Pergilah ke pasar beli dua buah celengan yang
sama dengan yang bolong"bolong ini. Sama wamanya, sama
besarnya, sama bentuknya. Dan kita letakkan yang baru itu
menggantikan yang lama, seolah-olah tak ada terjadi apa-apa."
Istrinya terdiam sebentar. Dia tersenyum katanya, "Yati dan
Yuno, bukan anakanak bodoh, mereka cerdas. Tapi kita tak apa"
apa sekali-sekali berkeras. Kau ingat ketika kita membelikan
celengan ini untuk mereka" Aku kumpulan mereka, ya kita
berempat, bukan" Dan kubilang kepada mereka! Yati, Yun! Menabung cara ini
tak baik sebetulnya. Bapak lebih senang, kalau Yati dan Yuno
L,"," ___... 139
belajar menabung di kantor tabungan. Tapi dengan menabung
di rumah dengan celengan ayam-ayaman ini, bapak bermaksud
agar Yati dan Yuno menjadi orang yang kuat menahan hati.
Celengan tanah liat ini gampang dipecahkan, tapi Yati dan Yuno
harus belajar menahan hati dan keinginan! Bila telah tamat dari
SD, Yati dan Yuno boleh menabung di kantor tabungan."
*** Kata istrinya sambil menghapus habis"habis ain'natanya,
"Sudah cukup mereka kita hukum."
Dia bertanya, "Untuk apa uang celengan itu mereka
pergunakan" Apakah kau lihat Yati dan Yuno membeli apa-
apa" Dulu pernah Yuno ingin membeli pisau pandu. Apakah dia
belikan pisau pandu?"
"Merekatidakmembeliapa"apa, Mas. Kalau mereka hendak
membeli apa"apa, mereka tentu mengatakannya."
"Nanti mereka harus datang sendiri mengaku."
"Aku tidak tahan. Mas; Yati nanti makin sakit. Yuno hilang-
hilang saja sejak mereka menemukan bekas pecahan tabungan
itu. Mereka sudah tahu, bahwa tabungan ayam-ayaman itu kita
ganti dengan yang baru."
"Pipaku di mana?" tanyanya tiba"tiba. Keinginannya
merokok mendesak. Ia ingin menghilangkan kegelisahannya.
Istrinya sudah akan bangkit hendak mencarinya.Tapi ditahannya
sambil tertawa. "Biar aku yang mencarinya. Dan kalau Yati dan Yuno masih
bangun, kita buka saja pengadilan malam ini ya?"
Istrinya mengangguk. Si suami pelan"pelan menuju kamar
Yati dan Yuno. Dari kuakan kain pintu, teriihat olehnya kedua
anak itu sudah nyenyak tiduc Dengan rasa terham ia mendekat.
Pelan-pelan diciumnya kening Yati, lalu kening Yuno. Menciumi
bocah-bocah yang telah melakukan dosa-dosa kecilnya! Dengan
tersenyum sendirian ia keluar. Teringat akan pipanya, ia mencari"
cari di atas bupet, di antara bendabenda yang ada di situ.
Celengan ayam"ayaman tanah liat yang baru itu,seperti melihati
dia saja. Pipa tak ada di situ. Mungkin di laci bupet. Pelanpelan
140 .:: 153- ditariknya laci. Isi laci itu beraburan. Tentu perbutan Yuno lagi!
Buku-buku, potlot, dan kertas-kertas tak menentu. Biasanya
Yati yang rajin membenahinya dengan rapi, tetapi kemudian
Yuno yang mengaduk"aduknya lagi. Bocah"bocah! Disusunnya
buku- buku itu pelan-pelan sambil selintas-selintas membaca
apa-apa yang terlihatnya sekilas. Sekarang buku-buku Yati dan
Yuno campur aduk jadi satu, selama libur ini benda"benda itu
tak dipegang-pegang. Tapi Yati lebih halus perasaannya, ini selalu
dirasakannya bila melihat buku gambar Yati. Lukisaniukisan
bebasnya, menggambarkan adik dengan kakak, anak dengan
ibu, anak dengan kucing, atau benda-benda yang memancarkan
kemesraan dan keintiman. Kini bukugambarYati ditariknya, ingin
melihatnya sebentar. Sehelai demi sehelai dibaliknya sekilas, tapi
tiba-tiba buku itu teriuncur dari peganganjarinya. Jatuh ke lantai,
selembar halaman terlepas, dan bersamaan dengan itu. Secarik
kertas yang agak kecil. ",Aku capek dan mengantuk kalau begini,"
pikirnya sambil memungut buku dan kertas-kertas itu. Tiba-tiba
ia memanggilseparuh berteriak, "Bu! Bune."
Istrinya tercengang saja melihat dia menunjukkan selembar
kwitansi. "Kau yang memasukkan ini?" tanyanya berbisik.
Istrinya membaca kwintansi itu, dan menggeleng.
"Tapi ini atas namamu, Nyonya anu-anu-anu!"
"Sungguh bukan saya, Mas."
"Hm!" katanya, "tak percaya. Tentu kau. Dulu, waktu aku
tanya apa kita masih mempunyai uang lebih, kau mengeluh, dan
mengatakan, tidak ada sisa sesenpun."
"Sungguh mati, Mas! Saya tidak pernah mengetahui adanya
kwitansi ini!" "Pipaku! Pipa celaka itu belum kutemukan," katanya
menggerutu. Ia mengaduk"aduk di laci lain. Terasa hatinya tak
senang, entah kesal kepada siapa.
Kata istrinya dengan suara tak senang, "Mas! Aku tak pernah
bohong, aku tidaksenang karena prasangkamu ini."
Dia tertawa masam, "Tapi di situ tertulis namamu. Sudahlah
itu tak menjadi soal."
L,"," ___... 141
Terasa ada ketegangan kecil di antara mereka. Kecurigaan
kecil yang tak berarti, tapi selalu tak mengenakkan hati, seperti
pasir yang menyelinap di antara gigi!
"Pipaku! Pipa celaka?"
Si istri tertunduk diam, kwintansi itu dilihatnya saja dengan
diam. "Kau tak percaya kepadaku," katanya.
"Hm! Sudah, apa yang dipikirkan lagi !"
Dia terus mengaduk"aduk mencari pipanya, "Mana pipa
itu!"geramnya. Yati sudah berdiri saja di pintu kamarnya. Memandangi
dengan diam-diam bapaknya yang bingung, dan ibunya diam
tertunduk. "Kenapa belum tidur, Ti?" tanya Ibunya.
Yati masih diam saja. Memandang bapaknya yang kini
terhenti mencari pipanya dan memandang ibunya yang senyum
dipaksa, seraya menyambung, "N anti kau masuk angin, Ti,
tidurlah!" "Bu," kata Yati terbata"bata, Itu aku yang bikin."
"Apa" Bikin apa?" tanya ibunya, mendekatinya. Ia hendak
merangkul Yati dan membawanya kembali ke katil. Tapi anak itu
mengelak. "Aku dan Yuno, Bu!" katanya Yati ingin menerangkan.
"Pak, Pakne, dia mengigau, tentu panasnya naik!" kata si Ibu
dengan cemas. Dirangkulnya gadis cilik itu, tapi Yati berontak.
Katanya, "Aku dan Yuno yang memasukkan itu, atas nama
Ibu! Tabungan ayam"ayaman Yati dan yuno, kami bolongi dari
bawah. Uangnya kami serahkan atas nama Ibu! Duapuluh dua
setengah rupiah! Akulah yang salah, Bu! Aku Pak, Yuno tidak
bersalah." Menggeletar lembar kwintansi itu di jari si Ibu.
Tiba-tiba suara Yuno di samping Yati, "Tidak Bu, pak! Aku
juga salah! Bukan Yati, saja! Kami berdua bersamasama yang
pergi memasukkan uang itu."
"Tidak," kata Yati separoh menjerit. "Aku yang memaksa
Yuno membolongi celengannya. Aku yang memaksanya!"
142 ;, "P "Aku tidak dipaksa."
"Tidak. Jangan bohong, Yun! Kau menangis waktu
membolongi ayammu!" Mata si Ibu basah melintasi kwintansi yang bertuliskan:
sudah terima dari Nyonya anu-anu-anu, duapuluh dua setengah
rupiah untuk Dompet banjir dan seterusnya.
"Kalian! Huh kalian!" tiba"tiba si Ibu merangkuli Yati dan
Yuno, "kenapa tidak kalian beritahukan kepada kami?"
Diciuminya kedua bocah itu penuh haru.
"Kenapa tidak katakan kepada Ibu, kepada Bapak?"
"Takut," jawab Yati pelan. "Ibu katakan dulu, kepada Bapak,
tidak mempunyai duit sisa buat korban banjir, jadi jadi ...."
"Kalian! Kalian ini !" kata si Ibu tertawa dengan linangan
air mata, dan menciumi Yati dan Yuno. "Ijhatlah Pakne, anak-
anakmu, anak"anak kita!" sambungnya dengan bangga.
"Bapak tidak marah?" hampirserentak suara Yati dan Yuno
bertanya. Si Bapak yang dari tadi diam saja menyembunyikan harunya,
mengangguk, lalu katanya, "Bapak marah! Marah sekali! Sini
dekat ke sini, Yati! Yuno."
Dengan raguragu kedua anak itu mendekat, dan mata Ibu
seperti bertanya. Si Bapak telah duduk di kursi. Yati berdiri di kirinya dan Yuno
di kanannya. "Aku terima salah, Pak," kata Yati pelan. "Tapi Yuno tidak, dia
ikut-ikutan saja." 'iAkujuga salah, Pak," bantah Yuno.
Si Bapak memandangi mereka ganti"berganti dengan
pandang merenung kemudian mengangguk.
"Ya, Bapak marah sekali!" katanya, "uang tabungan itu
adalah uang Yati dan uang Yuno, kenapa tidak disumbangkan
atas nama Yuno dan Yati" Kenapa atas nama Ibu?"
Yuno memandang adiknya bertanya. Sejenak menggeletar
bibir Yati, lalu menunduk katanya, "Ingat Ibu, yang ingin
menyumbang tapi kehabisan uang. Mesake Ibu, mesake orang"
orang kebanjiran, Pak."
L,"," ___... 143
Si Bapak tak bisa menahan hamnya lagi, lalu katanya dengan
gemas, "Ini buat Yati! Ini buat Yuno dan ganti-berganti menciumi
bocahbocahnya, yang dirangkulnya tiba"tiba.
"Lain kali katakan dulu kepada Ibu, dan kepada Bapak ya?"
*** "Kau belum tidur, Mas?" tanya si istri, yang tidur di
sampingnya. Malamtelahlarut. "Aku mendapat pelajaran malam ini," jawabnya. "Dari Yati
dan Yuno." "Ya," sahut si istrinya. "Yati dan Yuno mengajar kita untuk
ikut merasakan penderitaan orang."
"Kupikir mula-mula, tingkah laku Yati dan Yuno hanya
sentimen kanak-kanak saja. Tapi mereka menyadarkan aku
kembali, bahwa mereka sudah berpikir dewasa, ikut merasakan
penderitaan bocah pengemis yang kecil itu. Orang-orang yang
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menderita bencana, yang selama ini hanya merupakan berita"
berita dan statistik saja buatku!
Sebutir air mata istrinya terasa memanas di lengannya.
Suara istrinya pelan, "Di mana dan bagaimana mereka akan
merayakan lebaran" Tak beratap, tak punya apa"apa, selain diri
dan belas kasihan?" "Aku bangga mempunyai anak seperti Yati dan Yuno, Kau
tidak?" "Ya, bocah-bocah semberono!" jawab istrinya. Lalu dengan
rasa kesal meneruskan, "Mas, waktu dulu kau menegurku,
menyumbang sedikit-sedikit untuk orang-orang yang ditimpa
bencana, aku mulai menyisihkan uang sisa sedikit-sedikit. Tapi
aku menunda"nunda saja, akhirnya lalu lupa"lupa saja mampir
ke kantor KR walaupun setiap pagi berbelanja aku sering lewat
dari sana. Setiap teringat, kudiamkan hatiku dengan berkata,
"Oh, besok sajalah dan begitu seterusnya dari besok ke besok!
Perasaankulah yang sudah tumpul, Mas. Itulah kekuranganku,
juga kekurangan kau, Mas!"
144 .:: 153- "Tidak payah sebetulnya menjadi orang pengasih dan
penyayang. Tapi hidup kita yang memang sulit di mana-mana
dari detik ke detik, tidak memberikan waktu atau kesempatan
untuk melakukan kebaikan itu."
Lama mereka berdiam diri. Si suami melihat istrinya yang
terbaring memejamkan mata, tapi tidak tertidur, lalu bertanya,
"Apa yang kau pikirkan?"
Jawab istrinya, "Mas, aku menyesal, Mas. U ang yang kusisih-
kan dan kusediakan untuk dompet banjir dari sisa belanja,
kemarin sudah habis kupakai untuk menambah uang dapur kita.
Padahal cuma 35 perak, Mas! Oh, anak-anak sembrono! Mereka
masih memikirkan ibunya yang sembrono, menyumbangkan
atas nama ibunya! Padahal uang itu uang tabungan mereka
berdua. Aku ingin memasukkannya atas nama Yati dan Yuno
tapi sudah kubelanjakan. Kalau kuserahkan sebagian duit yang
ada sekarang, besok lebaran kita tak mempunyai apa"apa untuk
berbagai keperiuan."
Suaminya diam. Dia kiniyang memejamkan mata.
"Mas kau tidur?"
Si suami tak menjawab. Lama sekali. Tapi tiba-tiba ia
melompat dari ranjang. Dipasangnya lampu dengan gairah
disiapkan kertas dan menghadapi mesin tik.
"Mengapa malam-malam begini, Mas?" tanya istrinya
dengan cemas. "Kalau tak keberatan, bikinkan aku kopi. Aku mau mengetik
cerita lebaran. Dan kalau masih sempat dimuat, uangnya akan
diserahkan oleh redaksi koran untuk dompet banjir, atas nama
Yati dan Yono!" L,"," ___... 145
u Tape AYU" Tadi di luar kulihat bintang berkelipkelip jauh satu dua di
antara kepekatan malam. Percakapan kami terhenti tiba"tiba.
Di cahaya lampu empat puluh watt kupandangi mukanya yang
berwarna sawo matang dan sudah bertegas"tegas garisnya.
Dia kelihatan lebih tua dari usianya!
Di kamarnya yang seluas dan tinggi itu hanya kami berdua
duduk termenung. Telinga berdenging hingga bersipongang
ke lubuk"lubuk hati.
"Lalat tak tahu adat!" tiba-tiba suaranya menggumam
geram. Seekor lalat hijau yang sesat malam, hinggap sekilas di
leher bajuku, ribut sendiri be rdengung"dengung. Jari"jariAmin
siap mencekamnya, tapi lalat itu terbang pula dan hinggap
di atas rambutnya. Nafsu menghancurkan mengeruhkan air
mukanya! Membuat matanya jadi galak. Hatiku tertawa di
dalam. "Ada seorang penyair mau membunuh lalat," pikirku.
Sore tadi aku baru sampai di Solo, langsung ke rumahnya. Di
kota Gudeg akhir"akhirini hatiku tak betah, sebagai pemburu
yang gelisah karena tak menemukan binatang buruan.
Ataukah karena aku sudah kelamaan tinggal dalam suasana
ayem di kota Klasik itu" Dengan menumti kata hati, aku
melompat ke bis penghabisan Yogya"Solo. Dalam perjalanan
aku memperinci sebab-sebab kegelisahan yang mengamuk.
Akhimya konklusiku, "Ini disebabkan aku masih berseorang
diri. Seharusnya sudah masanya aku mencari istri dan kawin,
supaya bisa tenteram hidup."
Lalu percakapan si penyair dengan aku pada sore itu,
terus menerus saja menyinggung soal kawin. Dia pun masih
bujangan, dan selalu menyebut dirinya "lajang terbuang".
Bersama"sama kami menghitung dan memperinci sebab
musabab, kenapa kami belum mempunyai teman hidup.
Dan dalam menganalisa, kami membohongi hati masing-
masing dengan alasan"alasan seperti: gadis"gadis tidak ada
148 .:: 153- yang cocok, gadis"gadis sekarang banyak tingkah, cuma pinter
berdandan dan plesir, tidak ada yang ideal untuk menjadi istri
seorangseniman! Tapi pada dasarnya, dalam hati kami tahu, bahwa sebab"
sebab yang utama ialah: tampang kami jelek dan seram, kami
selalu banyak berkeliaran luntang lantung, dan kami tidak
mempunyai kemampuan untuk membiayai hidup kami sendiri!
Bagaimana akan memberi makan anak orang kalau kawin" Dan
bila pemmusan ini diperpendek, tentu akan berbunyi: "takut
kawin!" Tapi kami bertahan dengan gigih pada prinsip pertama:
Kawin gampang! Tapi istri seniman harus sanggup dan berani
berkorban, memberi semangat untuk mencapai cita"cita lakinya.
Harus dapat menjadi kekasih dan ibu sekaligus! Walaupun kami
sadar, bahwa itu hanya dalih yang tak realistis.
"Satu di antara dua," kataku menyela. "Kalau begitu kita
harus mencari istri di Bali atau di Jepang!"
Aku teringat kepada cerita-cerita tentang kesetiaan dan
bukti wanita"wanita Jepang kepada suami. Aku teringat kepada
kesetiaan dan bakti istri kepada suami di Bali, ketika aku dulu
pernah bermukim disana beberapa waktu.
"Betul itu!" Amin menegaskan. Sambungnya cepat, "Tapi
tak usah kita jauh-jauh sampai ke Jepang atau ke Bali. Di samping
dua syarat utama tadi, di sini kita juga bisa menjumpai calon istri
seperti yang kita gambarkan itu. Kurasa yang memiliki sifatsifat
yang cocok dengan cita-cita kita, ialah seorang ibu guru, atau
seorang jururawat! Itulah yang cocok buat istri seniman. Yang
mengerti dan senang pada seni tentu!"
Aku menyokong pendapatnya dengan sepenuh hati, dan
menambah, "Atau seorang gadis desa yang masih asli murni,
yang memiliki sedikit kecerdasan berpikir. Juga yang manis dan
lembut tentunya. Dan yang bisa kita didik dan pimpin menjadi
kawan hidup 'nyeni' yang setia."
Aku teringat kepada pelukis-pelukis bangsa Italia yang
tinggal di Bali, kawin dengan gadis Bali di desa, dan bagaimana
kemudian anak gadis desa yang mulanya bodoh, akhimya
14" mengenal kehidupan, seni dan kebudayaan. Juga Polok di Sanur
yang begitu simpatik dan bisa berbahasa Perancis, dulunya
adalah bekas model sejak gadis cilik, lalu dikawini sehingga
menjadi seperti yang sekarang.
"Betul itu," katanya bernafsu. "Jangan ambil gadis sama
tanggung, kita bisa hancur total dibuatnya. Kita butuh istri yang
bisa menghilangkan cara hidup kita yang liar dan memberikan
semangat dan ketenangan !"
Dan tepat pada percakapan ini tiba"tiba kami berhenti.
Sebab seorang pun aku tak ada yang saya kenal: ibu guru,
jururawat, ataupun anak gadis desa asli! Pernah dulu aku
berkenalan dengan seorang ibu guru sekolah luar biasa, tapi
dia tidak menunjukkan tanda"tanda membalas jeritan hatiku.
Manis dan ramah dia, sederhana dan menarik. Sekiranya dari
dia ada sesuatu tanda, biar sebutir pasir sekalipun, tentu sudah
kurambah jalan ke hatinya. Kami tetap sebagai kawan saja, dan
aku makin yakin akan kejelekan tampangku, dan sadar akan
cara hidupku yang tak teratur; segala keliaranku membuat dia
mundur dan menutup daundaun pintu hatinya.
"Kena !" katanya tiba-tiba separuh berteriak.
Pandangku jatuh ke jari"jarinya yang menelempap di atas
meja; ada lalat hijau di bawahnya. Jari"jari itu penuh kerut merut
sudah.Telah melampuizamanmontoknya.Kukembangkanjariku
sendiri, menekurinya sambil membandingbandingkan.Juga aku
sudah mempunyai kerut-merut, tapi karena warna kulitku tak
sehitam kulitnya, garis-garis kerutku tidak berapa jelas kelihatan.
Dengan pelan kubilang, "Aku akan pergi sekarang juga
mencari calon istri!"
la temganga, lalu akhimya tersenyum. Katanya, "Ha, jadi,
kau sudah mempunyai pacar di Solo" Pantaslah, kau selalu
berulang"ulang turun ke sini."
"Aku belum tahu siapa bakal pacarku, atau bakal istriku,"
kataku hampar. "Lantas mau cari di mana" Kayak cari kerikil saja."
"Sudah lama ini kurencanakan," kataku. "Makanya aku tiba"
tiba muncul ke tempatmu."
148 .:: 153- "Siapa?" tanyanya.
"Kukira tentunya anak desa."
Ia tak mengerti; mata dan mulutnya melongo besar.
Sambungku, "Aku mau cari di pasar Legi!"
"Hah, di sana kan cuma perempuan malam yang ada!?"
Aku diam saja. Sebuah koyakan koran kusodorkan
kepadanya. Sobekan koran yang berisisebuah reportase tentang
Pasar Legi di waktu malam, dan tentang seorang penjual tape
yang dinamakansi reporter: "Tape ayu."
"Bila ia senang kepadaku, aku akan melamarnya," kataku.
Matanya masih melongo besar, dan katanya, "Sudah
kaukenal dia" Hah, kau ini macam orang kalap saja. Sudah
pernah mengenalnya?"
"Dulu, entah kapan itu, aku rasanya pernah membeli tape,
malammalam di Pasar Legi. Yang jualan amat manis, tentu
dialah Tape ayu itu. Lagi pula, kalau bertemu muka aku masih
ingat betul wajahnya."
"Ya" katanya sebagai mengingat-ingat. "Aku juga pernah
mendengar berita tentang Tape ayu. Tapi entahlah, aku sendiri
tak tahu. Kalau begitu, kita berangkat sama"sama ke Pasar Legi!"
Selama di becak aku berdiam diri saja, walaupun Amin
bemsaha mengadakan percakapan. Sudah pukul setengah
sebelas malam ketika itu. Tapi kota Solo tidak pemah tidur.
Kehidupan dimulai dari pagi, dan kehidupan malam baru dimulai
pada waktu dekat tengah malam, kehidupan yang penuh dengan
api romantik dan amor. "Kenapa kau cenderung memilih anak desa, penjual tape pula
lagi?" tanya Amin. "He," kataku, "Kan tadi kita sudah memperinci bahwa yang
pantas menjadi istri orang"orang macam kita ini hanya, atau
jururawat, atau bu gum, atau anak desa"! Kan boleh aku coba- coba
memilih anak desa?" "Kalau kau mau, besokkukenalkan denganjumrawat-jum-rawat
manis ci rumah sakit Kadipolo, atau dergan bu guru kenalanku."
;," .ij. 149 Aku tertawa saja. Sudah bosan mendengarhiburannya yang
penuh denganjanji. Pemah aku mengikutinya, mau bertandang
ke rumah gadis kenalannya, katanya. Tapi sesampai di rumah
yang dituju, diperkenalkannya pun aku tidak! Hingga aku jadi
orang ketiga yang tidak diperlukan kehadirannya.
Langit malam mulai cerah dan bintang"bintang gemerlapan
amat sayup danjauh. Disepanjang jalan yang disebut Pasar Legi,
berkelipan juga seribu lampu, seribu gemerlapan. Lampu"lampu
bakul wedang, bakul buah bakul sayur, lampu-lampu becak
dan lampu listrik di jalanan. Pasar itu penuh dengan manusia
berbelanja dan jajan malam, penuh dengan gemerlapan
perempuan"perempuan malam, penuh dengan oto luar daerah,
penuh dengan sepeda dan skuter, penuh dengan laki"laki yang
haus dan gersang dirangsang romantik dan cinta.
Tapi malam itu nasibku memang sial. Tidak ada Tape ayu
berjualan di deretan bakul-bakul tape. Bakul-bakul tape yang
ada hanya pangkat embah, atau pangkat bibi, dan tak menarik
pula. Letih dan kecewa aku akhirnya menghenyak di emper
sebuah toko. Aminjuga lunglai letih disebelahku.
Pertanyaannya kedengaran pula, makin mengesalkan
hatiku. Tanyanya, "Sudah kau kenal dia?"
"Sudah," kataku menyombong. Setahun yang lalu, ketika
aku membaca reportase di koran itu, aku pergi sendirian ke sini
menemui Tape ayu. Maksudku ingin mengetahui kebenaran
cerita si reportec Aku membeli tapenya, dan dia memang betul"
betul ayu, sederhana, lembut dan ramah-tamah. Sehingga uang
sisa tak mau aku dikembalikan olehnya!
Sesudah itu kami membisu, melihat manusia lalu lalang,
dan mengisap rokok kami sambung menyambung. Walaupun
aku tahu, akan sia-sia menunggu dan mengharapkan pertemuan
dengan Tape ayu malam itu, tapi mataku tak mau beranjak dari
tempat bakul-bakul tape yang berderet-deret. Tajam meneliti,
mana tahu dia agakterlambat datang malam itu!"
Akhirnya aku menjadi apatis.
150 .:: 153- Terdengar di sebelahku suara Amin bercakap"cakap dengan
seseorang, seperti suara yang jauh bergumam. Ketika sekali aku
menoleh dan memperhatikan kawan Amin berbicara, kuketahui
bahwa dia adalah seorang pengayuh becak. Masih muda dan
ganteng dia. Ia hanya berpakaian celana pendek dan baju kaus.
Rambutnya tebal berkilat oleh pomade yang menusuki hidung,
tapi badannya yang biarpun kurus kecil itu penuh otot"otot,
penuh enersi dan sikap menantang.
"Sudah Pak," katanya tertawa kepada Amin. "Mari plesir"
plesirsaja naik becak. Atau Bapak mau cari teman untuk malam
ini" Saya bisa urus, Pak, tau beres. Mau yang atasan" Mau yang
ningrat, yang menengah yang begini, yang begitu ..., dan ia
terus menyebutkan puluhan deretan nama wanita atau istri
orang." Perhatianku terbangun nyalang. Di antara nama"nama yang
disebutnya, ia menderetkan nama orang yang kukenal di kota
Solo. "Ah, jangan terialu banyak bohong," kataku kepadanya.
Ia memandangi aku dengan mata yang tajam seperti pisau.
Menusuk"nusuk sombong.
"Bapak Amin ini tahu, bahwa saya tidak pernah bohong,
Pak," katanya.
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menoleh kepada Amin. Ia mengangguk mengiakan.
"Ya, betul itu," katanya. "Si Slamet tidak pernah bohong.
Tapi begitulah hidup ini!"
"Kalau Bapak tidak percaya," sambung si Slamet sipengayuh
becak, "mari saya bawa bapak. Sebutkan saja salah satu dari
nama-nama yang saya sebut tadi. Akan saya urus dan saya
bereskan." Aku menggeleng. Biarpun aku tak percaya atau raguragu
tentang kebenarannya, tapi aku lebih takut kepada kenyataan
untuk mengetahui dan menyaksikan sendiri kebenaran yang
ditentangkan oleh Slamet.
Slamet berkata lagi, "Kalau begitu bapak belum mengenal
Solo!" "Ya, saya belum mengenal kota Solo," kataku mengiakan.
?",," ___... 151
Dan sebagai hendak menguji dia kulanjutkan bertanya,
"Saya periu bertemu dengan Tape ayu. Kau kenalkah dia?"
Lama ia memandangi aku, sebagai hendak mengajuk hatiku.
Akhirnya katanya, "Masak Bapak senang sama Tape ayu !"
dan dilanjutkan dengan nada tak acuh, "sementara waktu dia
tidak jualan lagi. Memang, dia perempuan yang setia dan baik."
Mata Slamet yang terus menatapi aku, amat mengganggu
perasaanku.Dan ketika sebuah senyum yang agak sinis mekar di
antara mulutnya, hatiku menjadi panas.
"Bapak dari mana?" terdengar olehku tanyanya.
"Yang terang saya bukan dari Jawa," kataku gondok.
"Dia bukan perempuan sembarangan, Pak," katanya seperti
kepada diri sendiri. Saya rasanya lebih menghargai dia daripada
ibuibu yang menjadi langganan becak saya. Banyak orang
ingin memiliki Tape ayu, tapi setahu saya semua ditolaknya.
Dia tidak segampang perempuan yang berkeliaran malam atau
berkeliaran diamdiam, Pak. Dulu pernah seorang Bapak dari
Sumatra, naik mobil beler mengkilap, mau sama dia, tapi dia
menolak. Si Bapak itu menyuruh saya menghubunginya, dengan
menyodorkan uang seribu rupiah kontan,tapi Tape ayu menolak
dengan senyum. Dan saya dimarahinya kemudian sambil
menangis." "Saya bukanmaumembelinya,tapisayamaumengawininya,"
kataku dengan tak sadac Kembali pandangan mata Slamet mengganggu hatiku.
Dengan nada pasti kusambung, "Kalau dia saya temukan
malam ini, akan saya lamar."
"Betul itu," kata Amin meyakinkan Slamet, "Bapak ini mau
cari istri yang baik dan setia."
Kutentang benar mata si Slamet. Tapi akhirnya aku kalah,
Matanya itu kini seperti tak melihat aku, walaupun tertuju
kepadaku. Seperti benda mati dan dingin. Acuh tak acuh
pandang kualihkan ke arah yang lain, keseberang jalan ke tempat
kelompok"kelompok bakul"bakultape.
152 .:: 153- Irikah si Slamet ini, ataukah ia memakai taktik usang
tukang becak malam, untuk bisa mencapai detik-detik dimana
dia bisa menawarkan perempuan dan cinta dengan harga yang
setinggi" tingginya" Apalagi dilihatnya pakaian wol, sepatu
berkilat, seperti tampang orang-orang berduit, pendatang-
pendatang dari luar kota! Hatiku mengutuknya habis-habisan.
Suaranya terdengartems berbicara dengan Am in disebelahku.
Lalu, tiba-tiba jantungku seperti mau terlontar dari dada.
Dia diseberang sana! Tape ayu! Sekelibat-sekelibat dia nampak di antara orang banyak,
tengah menawar duku. Ditangan kirinya tergantung kranjang
rotan. Tak mungkin mataku keliru! Memang terialu sulit bagi
orang baru di Pasar Legi untuk mengetahui mana orang baik-
baik dan mana perempuan malam, bila sedang sama"sama
berbelanja lewat tengah malam.
Dengan pelan-pelan seperti terpesona aku bangkit, dan
menuju ke seberang jalan. Masih terdengar suara Slam et dan
suara Amin menyerukan namaku, tapi tak kuhiraukan.
Betul, dia Tape ayu! Wajahnya yang bening, manis dan lembut kutandai
kembali. Sederhana dan biasa seperti tahun yang lalu dia
kulihat. Kurasa, aku sebagai laki-laki adalah orang yang paling
dungu dan tolol ketika itu. Berdiri demikian dihadapannya,
seperti terpakau karena ular!
Dan dalam keadaan pakau yang demikian, hatiku jadi
kecil ciut. Ia hanya melintaskan pandang tak berarti ke arahku.
Lalu tak menghiraukan aku sama sekali. Betul"betul hatiku di
dalam menjeritkan protes atas kesombongan sikapnya. Tidak
ingatkah dia lagi kepadaku, yang pernah membeli tapenya
setahun yang lalu" Dan aku tak berdaya, tak tahu bagaimana
akan menegurnya. Namanya aku tak tahu. Tak mungkin aku
memanggilnya dengan nama: Tape ayu saja!
Akhirnya keluarjuga dengan pelan suaraku menegur.
"Yu ...!?" Heran ia memandangi aku, matanya tertanya"tanya.
___, 153 Tidak ada tanda bahwa ia mengenalku!
Tapi senyuman di bibirnya tak hilang. Barulah aku sadar,
bahwa biarpun aku pernah membeli tapenya, belum tentu dia
mengenal aku di antara sekian banyak pembeli laki"laki setiap
malam. "Mur!" terdengar tiba-tiba suara disampingku.
Slamet berdiri di hadapannya, aku tersisih dan tertinggal.
Wajah Tape ayu yang heran tegang diarahkannya kepadaku
tadi, kini lembut gemerlapan.
Mereka bercakap"cakap dalam bahasa Jawa. Biarpun
aku sudah lama di Yogya, kemalasan mempelajari bahasa
inilah yang menjadi celakaku! Tapi apa yang sedang mereka
perkatakan, masih bisa, aku mengerti mendengar kepingan"
kepingan kata yang kuingat.
"Sudah lama kau tak ke rumah, Mas?" kuterjemahkan
kira" kira tanya Tape ayu kepada Slamet.
Slamet tertawa nakal, jawabnya, "Maklum ta dik" Cari
duit, nyupir beca. Dan aku sudah berjanji kepada Masmu toh"
Aku tidak akan muncul-muncul lagi ke sana"!"
Dari kedua sikap dan gerak mereka, aku tahu bahwa
dulunya merekatentupemahsenang"menyenangi."Persetan,"
kataku dalam hati. Menghadapi si Slamet tukang becak saja
aku sudah tersisih dan terpelanting! "Persetan," kutuk hatiku
makin keras. Aku berbalik hendak meninggalkan mereka. Tapi aku
tertumbuk dengan keras pada seorang laki-laki di belakangku.
"Maaf," kataku gugup dan malu.
Laki"laki itu memandang dengan mata mengejek tajam,
lalu cepat pula mata itu meluncur kepadaTape ayu dan Slamet
yang tengah be rcakap"cakap.
Serentak tiba"tiba Tape ayu dan Slamet menjadi diam,
berpaling penuh berhadapan dengan laki-laki itu. Suasana jadi
tegang melingkupi udara selingkungan kami, di antara orang"
orang yang berdesakan berkeliaran.
"Sudah berkali"kali saya bilang, kamu jangan ganggu
Mbakyumu!" suara laki"laki itu mendesit pelan tapi tajam.
154 .:: 153- "Siapa bilang saya menggodal?" sembur Slamet. "Saya
cuma bercakap-cakap biasa."
"Apa kamu mau macam dulu lagi?"
Laki"laki itu mendekati Slamet. Tapi pengayuh beca itu tak
beranjak. Hanya matanya yang tajam terus menantang si laki-
laki itu. "Mau saya bunuh, ha?" pekik laki"laki itu, yang sudah
memun-vcak cemburunya. Orang mulai berkerumun. Pertengkaran dan perkelahian
karena perempuan memang kejadian biasa lewat tengah
malam di Pasar Legi. Tape ayu berdiri memandang di antara dua laki-laki itu. Ia
tenang tak kehilangan akal.
"Mas," katanya pelan, "Jangan sampeyan bikin ribut,
Mas." Matanya meminta kepada lakilaki itu, dan kepada Slamet
katanya, "Mas, sudahlah, pergi kesana!"
Sejenak Slamet memandang Tape ayu. Sikapnya agak reda
dari ketegangan demi melihat wajahyang bening itu, tapi pan"
dang yang dilontarkannya kepada laki-laki itu, amat tajam
mengiris penuh ejekan. Akhirnya ia meninggalkan mereka
dengan sikap sabar, tapi.penuh tantangan seorang jantan.
Dan aku yang menyaksikan peristiwa itu, peristiwa yang hanya
menunggu detikdetik ledakannya, tiba"tiba terdorong dan
buyar dilanda orang"orang yang bubar dengan tawa iseng.
Masih sempat kulihat Tape ayu dan laki-laki itu naik becak,
dan menghilang di tengah keramaian lalu lintas. Juga Slamet
masih memandangi becak itu dengan geram tertahan.
"Met, Met!" kata Amin, "Sampeyan ini kok doyan benar
berkelahi." "Saya bukan bangsa jagoan, Pak," kata Slamet tertawa
sompel. "Tapi saya tidak mau dihina, biarpun saya cuma
tukang becak. Kalau tidak memikirkan Tape ayu, lakinya itu
saya pukul. Betul"betul orang cemburuan dan 'njelehi!"
Kini aku tahu, bahwa Tape ayu sudah kawin, dan laki"laki
tadilah suaminya. Aku mesem sompel sendirian.
155 Kata Slamet meneruskan,"Saya bukan orang sombong, Pak.
Biarsaya ini orangjelek, tapiTape ayu senang kepada saya. Nasib
saya yang sial maka saya menjadi tukang becak. Dia dikawinkan
oleh keluarganya dengan laki"laki itu, kawin paksa. Tape ayu
tidak cinta kepada lakinya."
Kami bertiga menghenyak kembali di emper tokoyang tadi.
Biarpun tidak sebagai suatu beban yang berat, tapi hatiku makin
hampar dan kosong didalam.
"Sudah dua kali lakinya mengancam mau membunuh saya.
Tapi saya tidak takut."
Slamet melirik kepadaku. Aku membuang pandang ke arah
orang yang lewat. Aku seorang yang sudah kalah terpukul K.O.
oleh Slamet! Sambungnya, "Dulu hampir saja mati dikeroyok oleh
lakinya dengan kawanlrawannya. Tapi sebelum itu saya
sudah mendengar kabar, bahwa saya mau dibikin celaka. Saya
sudah siap dan sedia dengan rantai besi. Dan memang betul,
dekat-dekat subuh waktu saya pulang menarik becak, saya
dicegat. Mereka pakai pentung, golok dan pisau. Untung saya
menyediakan rantai besar itu, dan saya jadi nekat. Saya putar-
putar rantai itu dengan galak, mereka tak berani menyerang,
dan untung orang sudah banyak pergi ke pasac Lalu lakinya itu
saya datangi ke rumahnya. Saya datangi dia bersama dengan
sepupu saya, seorang sersan ALRI. Laki"laki itu meminta maaf.
Di hadapan Pak Lurah dan orang"orang kam"-pung lainnya,
saya berkata, "Biarpun saya jelek begini, saya bukan tukang
mengganggu istri orang! Dan dengan tegas saya katakan kepada
laki"laki itu, "saya cukup ksatria. Tape ayu sudah istri Mas, dan
saya tidak pernah mengganggu dia sebagai istri Mas, bukan"
Saya tidak akan datang"datang lagi ke sini !"
"Kenapa kau tidak kawinsaja sama Tape ayu dulunya, kalau
kau dan dia senang sama senang?" tanya Amin ingin tahu.
"Itu kan umsan orang tua, Pak. Lakinya sekarang menjadi
tani. Tapi Tape ayu lebih senang kepada saya, Pak. Setengah
tahun yang lalu dia keguguran. Dia kepingin bertemu dengan
saya waktu itu, tapi saya sudah tidak mau tahu. Memang saya
158 .:: 153- sedang kemasukan setan, Pak. Setan judi! Siang malam, sampai
tiga hari tiga malam berturut-turut pekerjaan saya ditinggalkan
karena judi. Tidak bangkit"bangkit, juga tidak kencinglrencing.
Betul Pak, kalau bocah"bocah tukang becak Pasar Legi ini
mau hidup hemat, tentu bisa menjadi orang yang berpunya:
mempunyai arioji, gubuk, atau becak sendiri biarpun yang jelek.
Waktu itu Tape ayu datang ke rumah saya, sore"sore gelap.
Saya dengar dari teman saya bahwa dia menunggusaya sampai
jauh malam. Dia menangis dan menangis. Tapi saya tak pulang"
pulang, sedang asyik main judi. Tengah malam karena tidak
pulang-pulang, dia putus asa dan kembali ke rumahnya dalam
hujan gerimis. Beberapa hari kemudian saya dengar bahwa dia
keguguran. Waktu dia pulang malam itu ia tergelincir di jalanan yang
licin becek. Slamet diam. Dan seperti kepada diri sendiri, sambungnya,
"Anak dalam kandungannya, adalah anak saya, Pak."
Ia melihati aku. Pandangnya agak suram, tapitidak menusuk
seperti tadi. Tanyanya, "Bapak orang koran?"
Aku menggeleng. Katanya, "Orang surat kabar suka bohong. Tentang Tape
ayu pernah ditulis bahwa ia sudah dibunuh oleh suaminya yang
cemburu. Tidak ada bakul tape Pasar Legi mati terbunuh, Pak!
Tapi memang lakinya orang yang cemburu."
Ia memandang aku kembali. Lalu tertawa kecil.
Katanya malu, "Maaf, Pak. Saya tadi terlalu kasar."
Aku menggangguk, mengerti.
Kepada Amin, Slamet berkata, sambil tertawa, "Bagaimana,
Pak" Tidak plesir naik becak?"
"Lain kali saja Met," jawab Amin. "Kantong sedang kosong,
je!!! Slamet pergi, dan mengayuh becaknya memasuki kehidupan
malam. Amin tertawa kepadaku, tanyanya, "Bagaimana" Masih
keranjingan dan mau melamarTape ayu lagi?"
___, 153 "Orang wes due bojo, kok dilamar," kataku tertawa pula.
Perasaanku lapang jadinya. Rasanya terhina yang
menyobek hati karena sikap Slamet telah hilang.
Kataku, menghibur hati sendiri, "Besok bawalah aku ke
rumah sakit Kadipolo. Aku mau mencari calon istri seorang
jururawat saja, Bawalah aku ke sana dan kenalkan aku
dengan yang manis ayu."
"Betul itu!" letup Amin.
Hatiku menjentik"jentik gembira kembali. Kulirik Amin.
"Tapi," kataku genit, "jururawat yang senang sajak,
senang drama dan senang sama se nim an."
"Betul itu?" ulang Amin.
Di dingin embun dini hari yang menyayat, mata sekat
oleh kantuk, kami berjalan kaki kembali ke kamarAmin yang
besar, luas dan tinggi, tapi suram itu.
Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi itu aku tertidur pulas sampai pukul tiga siang.
Ketinggalan kereta api lagi untuk pulang ke Yogya.
Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka (Persero)
6 Jalan Bunga Noli"BA.
Matraman, Jakarta Timu r 1 3140
V TeirFaita. 162.211 858 3369
Website: http:!nlmwbalaipustakaeoid
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 26 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Tinju Penggetar Bumi 3