Pencarian

Tinju Penggetar Bumi 3

Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi Bagian 3


Tanpa diberi tahu, gadis berpakaian putih ini mengerti kalau Arya hendak
mengobati luka dalamnya. Maka
dibiarkannya saja Dewa Arak yang kini
bersikap semadi. Melati tahu, tanpa bantuannya pun Arya mampu mengobati luka
dalamnya sendiri. Maka Melati memutuskan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada
bahaya yang datang mengancam.
Pandangan Melati beredar ke
sekeliling, mengawasi dengan mata curiga. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya
menegang setiap kali melihat ilalang yang bergoyang-goyang.
Sementara Arya sudah tenggelam
dalam semadinya. Suara helaan napasnya terdengar halus, berirama tetap. Dewa
Arak tengah berusaha mengobati luka dalamnya yang cukup parah.
"Uuuh...!"
Melati menoleh, melihat Palageni
mulai sadar dari pingsannya. Sepasang mata pemuda berbaju kuning itu
mengerjap-ngerjap pelan sebelum
akhirnya terbuka.
Sesaat Palageni memperhatikan
keadaan sekelilingnya dengan raut wajah bingung. Kemudian pandangannya tertumbuk
pada Melati. Beberapa saat lamanya dahi pemuda itu berkernyit dalam, berusaha
mengingat-ingat
kejadian yang dialami tadi.
Sekejap kemudian, murid Dewa
Angin Puyuh ini sudah teringat akan semua kejadian yang dialaminya.
Perlahan tubuhnya bangkit berdiri.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Palageni. Sepasang
matanya menatap wajah Melati penuh kagum. Wajah gadis berpakaian putih itu
memang cantik bukan main. "Aku Palageni. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu,
Nisanak" Dan mengapa kau
menolongku?"
"Aku melati," jawab gadis berpakaian putih, tawar. "Aku hanya kebetulan lewat,
lalu melihat kau bertarung. Dan kulihat, lawan-lawanmu adalah orang-orang yang
curang. Aku paling benci melihat kecurangan. Maka itu aku segera turun tangan
menolongmu."
Palageni menganggukkan kepalanya.
"Lalu, siapakah orang itu,
Nisanak" Sepertinya dia teriuka...,"
pemuda berbaju kuning itu menudingkan telunjuknya pada Arya yang tengah
bersemadi. "Dia kawanku. Julukannya Dewa Arak. Kalau dia tidak datang menolong, mungkin
kita berdua sudah tewas."
"Dewa Arak"!" terbelalak sepasang mata Palageni. "Maksudmu..., tokoh yang
julukannya menggemparkan dunia persilatan itu...?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Ahhh...! Sungguh tidak kusangka kalau bisa bertemu tokoh digdaya
seperti dia," Palageni seperti tak percaya. "Dan orangnya masih begini muda...."
Melati hanya tersenyum hambar.
Dia memang tengah tidak berminat untuk berbicara panjang lebar. Dan rupanya,
Palageni tahu gelagat. Terbukti,
pembicaraannya tidak disambung lagi.
Meskipun pemuda itu ingin sekali
berbincang-bincang lagi. Banyak yang ingin ditanyakannya, di samping memang
ingin sekali bercakap-cakap dengan Melati. Rasanya tak jemu memandang wajah
gadis itu, tapi terpaksa
sepasang matanya dialihkan ke arah lain. Dan hanya sesekali dia
mengerling wajah gadis itu.
Melati dan Palageni tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Terutama sekali Palageni. Dalam benaknya,
berkecamuk berbagai macam pikiran yang memusingkan kepala. Benarkah orang yang
dilihatnya bersama Gendruwo Pulau Setan itu adalah Dewa Rambut Merah"
Mengapa kakek itu seperti tidak
mengenali dirinya" Padahal, dirinya adalah murid Dewa Angin Puyuh yang juga
kawan Dewa Rambut Merah" Benarkah pula kakek berambut merah itu yang telah
membunuh ayah dan pengawal-pengawalnya" Lalu, apa hubungannya Dewa Arak dengan
Melati" Tapi, sampai pusing memikirkan tak juga ditemukan jawaban semua
pertanyaan itu!
Tak lama kemudian Dewa Arak pun
mengakhiri semadinya. Sepasang matanya
telah terbuka, dan Melati langsung menghampirinya.
"Bagaimana luka-lukamu, Kang?"
tanya gadis berpakaian putih itu
pelan. "Sudah mendingan, Melati," Arya tersenyum lebar. "Dengan sekali lagi bersemadi,
mungkin lukaku akan sembuh sama sekali."
"Syukurlah...," sahut Melati dengan suara riang.
"O, ya. Bagaimana kabar ibu dan saudaramu, Melati" Dan bagaimana kau bisa
terlibat keributan dengan orang tadi?"
"Mereka baik-baik saja, Kang,"
sahut gadis berpakaian putih itu. "Aku tinggal bersama mereka selama dua pekan.
Biarpun hanya sekadarnya,
kuwariskan sedikit ilmu yang kumiliki pada Mawar. Yahhh..., setidak-tidaknya
untuk jaga diri."
Melati menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas dan mencari kata-kata selanjutnya.
"Setelah itu, aku lalu mencari jejakmu. Dari berita yang kudapat, kau berada di
daerah ini. Sama sekali tidak kusangka akan bertemu lawan yang begitu tangguh."
Kemudian Melati pun menceritakan
semua kejadian yang dialaminya tadi.
Sementara Arya mendengarkan penuh
perhatian. Sama sekali tidak diselak cerita tunangannya.
"Aku sendiri tidak tahu, siapa orang itu, Kang," desah Melati menutup ceritanya.
"Kalau saja tidak mendengar
lengkingan yang keluar dari mulutmu, mungkin aku tidak pernah tahu kalau kau
tengah terlibat pertarungan.
Bukankah lengkingan itu adalah jurus
'Raungan Naga Merah', Melati?"
Melati menganggukkan kepala
sambil tersenyum manis. Sedangkan Arya balas tersenyum, kemudian menoleh ke arah
Palageni. "Siapakah kau, Kisanak. Dan
mengapa terlibat keributan dengan orang-orang itu?"
"Aku Palageni. Guruku berjuluk Dewa Angin Puyuh. Aku sendiri tidak tahu apa-apa.
Tapi, aku tahu siapa kedua orang itu. Laki-laki tinggi besar itu berjuluk
Gendruwo Pulau Setan. Sedangkan kakek yang berambut merah berjuluk Dewa Rambut
Merah." Seketika Arya terdiam. Hatinya
terkejut bukan kepalang. Dari cerita yang didengar, pemuda berambut putih
keperakan ini tahu, siapa Gendruwo Pulau Setan itu. Dia seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian tak terukur dan memiliki kekejaman yang mendirikan bulu
roma. "Tahukah kau, mengapa mereka ingin membunuhmu?" tanya Melati ketika Arya tampak
termenung. Sepasang mata gadis ini menatap
tajam wajah pemuda berpakaian kuning.
Raut wajah, nada suara, dan tatapan Melati menyiratkan keingintahuan.
Palageni kemudian menceritakan
kejadian yang menimpa rombongan
ayahnya. Melati dan Arya mendengarkan penuh perhatian.
"Hanya saja menurut seorang
pengawal ayahku yang selamat,
pelakunya adalah Dewa Rambut Merah,"
murid Dewa Angin Puyuh itu mengakhiri cerita yang didengarnya dari mulut Ganda,
prajurit yang tersisa. Juga diceritakan kalau Palageni juga telah berkunjung ke
rumah Dewa Rambut Merah.
"Ada keanehan yang tersembunyi di sini," pelan pemuda berambut putih keperakan
itu berkata. Dahinya nampak berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah
dipikirkannya. "Maksudmu, Kang?" tanya Melati ingin tahu. Palageni pun ikut menoleh.
Dia ingin tahu, keanehan yang
dimaksudkan Dewa Arak.
"Kalau tidak salah dengar, gurumu yang berjuluk Dewa Angin Puyuh dan Dewa Rambut
Merah adalah dua di antara pentolan golongan putih. Benar begitu, Palageni?"
Arya menatap wajah pemuda berbaju kuning itu lekat-lekat.
"Benar. Guruku sendiri yang
mengatakannya," sahut Palageni cepat.
"Bersama-sama dengan Dewa Obat Tangan Delapan, mereka mendapat julukan Tiga Dewa
Sungai Naga."
"Itulah yang membuatku heran, Palageni."
"Maksudmu bagaimana, Dewa Arak?"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, tapi sebaliknya
menatap wajah Palageni, tepat pada kedua bola matanya.
"Sekarang aku bertanya padamu, Palageni," ucap Dewa Arak beberapa saat kemudian.
"Tanyalah, Dewa Arak. Bila aku tahu, pasti akan kujawab," sahut Palageni. Tegas
dan mantap nada
suaranya. Arya tersenyum lebar.
"Menurutmu, mungkinkah orang seperti Dewa Rambut Merah melakukan perbuatan
begitu keji" Mungkinkah seorang pentolan tokoh golongan putih membantai begitu
banyaknya orang?"
"Aku... aku..., nggg... aku tidak tahu, Dewa Arak. Aku bingung," jawab Palageni
gugup. Pertanyaan yang
diajukan Arya memang di luar
dugaannya. "Katakan saja, Palageni. Apa yang ada dalam hatimu, keluarkan." Dengan suara
halus dan lembut, Arya memberi saran.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku
bingung. Masalahnya, guruku yakin sekali kalau pelaku semua itu bukan Dewa
Rambut Merah. Tapi orang lain.
Jadi, aku berpendapat juga demikian.
Atau paling tidak, itu adalah Dewa Rambut Merah palsu."
"Namun, pengawal ayahmu berani bersumpah kalau pelaku semua kejadian itu adalah
Dewa Rambut Merah, bukan?"
selak Arya. Palageni mengangguk membenarkan.
"Cakar Pengejar Sukma juga
mengenal Dewa Rambut Merah, tapi hanya mendengar saja."
"Itu betul. Tapi bukankah menurut cerita yang kudengar darimu, begitu gurumu
meminta Ganda menyebutkan ciri-ciri pelaku pembantaian, semuanya menunjuk pada
diri Dewa Rambut
Merah"!" desak Dewa Arak.
Palageni menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku tidak tahu. Aku bingung memikirkannya.
Dengan mataku sendiri, telah kulihat kalau Dewa Rambut Merah ternyata
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Gendruwo Pulau Setan. Aku
benar-benar pusing, Dewa Arak."
"Hhh...!" Arya menghela napas
panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Masalah ini memang cukup memusingkan,
Palageni. Kalau menurut
akal sehat, rasanya tidak mungkin kalau pelaku pembantaian itu adalah Dewa
Rambut Merah. Mengapa" Karena dia seorang tokoh besar persilatan
golongan putih. Tak mungkin dia akan berubah sekejam itu. Tapi, entah juga bila
ada sebab-sebab yang memaksanya bertindak begitu."
"Jadi menurutmu bagaimana, Dewa Arak?" tanya Palageni ingin tahu tanggapan Arya.
"Aku tidak mau mengambil
keputusan tergesa-gesa,
Palageni,"
Arya menggelengkan kepala. "Aku akan menyelidikinya nanti."
Suasana hening sejenak ketika
Arya menghentikan ucapannya. Kini ketiga orang muda itu terlibat dalam lamunan
masing-masing. "Aku merasa heran dengan Gendruwo Pulau Setan itu, Kang," kata Melati tiba-tiba,
membuat Arya terpaksa
menghentikan lamunannya.
"Apa yang membuatmu heran,
Melati?" pelan Dewa Arak bertanya.
''Tenaga dalamnya."
Arya mengernyitkan keningnya.
"Jadi, kau juga merasakan adanya keanehan itu, Melati" Kukira hanya aku saja.
Aku sendiri sejak tadi tak habis pikir, mengapa kekuatan tenaga
dalamnya jadi berlipat ganda saat menggunakan jurus andalan."
"Maksudmu, sewaktu dia
mengeluarkan ilmu pukulan yang
digerakkan secara lambat itu, Kang?"
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala.
"Kau kurang jeli menduga, Kang,"
ralat Melati. "Maksudmu?" Arya menatap tunangannya tepat pada bola matanya.
Melati tidak langsung menjawab.
Sepasang mata gadis itu malah balas menatap Arya. Sesaat lamanya mereka berdua
hanya saling tatap. Dan tak lama kemudian saling tersenyum. Entah apa yang
disenyumkan. Hanya kedua orang itu saja yang tahu.
"Dugaanmu tidak seluruhnya benar, Kang," sambung Melati lagl. "Memang benar
tenaga dalam Gendruwo Pulau Setan berlipat ganda sewaktu menggunakan ilmu
pukulan yang digerakkan secara lambat itu. Tapi, tidak
seluruhnya serangan yang dilakukan dengan ilmu itu mengandung tenaga dalam
berlipat ganda."
"Jadi..., maksudmu tenaga dalam berlipat ganda itu muncul sekali-sekali saja?"
Arya meminta kete-gasan.
"Begitulah menurut yang kualami, Kang. Aku cukup lama bertarung ketika ilmu itu
digunakan."
"Teruskan, Melati," pinta Arya.
"Aku sendiri sulit mengambil kesimpulan, karena hanya bertarung sege-
brakan saja ketika ilmu itu
digunakan."
"Tenaga dalamnya bedipat ganda
jika kakinya dihentakkan ke tanah, sebelum memulai penyerangan, Kang,"
jelas Melati. Arya mengernyitkan dahinya.
Memang diakui, apa yang dikatakan Melati itu benar. Gendruwo Pulau Setan sebelum
menyerangnya, tedebih dahulu menghentakkan kakinya ke tanah.
"Jadi, kalau tidak menghentakkan kaki ke tanah, tenaga dalamnya tidak sedahsyat
itu?" tanya Arya setengah percaya.
"Begitulah menurut pengamatanku, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.
"Kalau benar apa yang kau katakan itu, Melati," kata Arya setelah termenung
beberapa saat lamanya.
"Dalam hentakan kaki itulah kunci rahasianya."
"Aku juga mengambil kesimpulan seperti itu, Kang," Melati mendukung dugaan
kekasihnya. Arya tercenung. Dahinya
berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Menurut penuturan guruku,
Gendruwo Pulau Setan mempunyai ilmu dahsyat Kalau aku tidak salah dengar bernama
ilmu 'Tinju Penggetar Bumi',"
Palageni tidak tahan berdiam diri
saja. Dan begitu melihat adanya
kesempatan, dia segera ikut bicara.
"Tinju Penggetar Bumi...?" gumam Arya pelan mengulang.


Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak terasa Dewa Arak teringat
kepada dirinya sendiri. Dia juga
mempunyai tenaga dalam yang berhawa panas menyengat, bernama 'Tenaga Dalam Inti
Matahari', yang didapatkan dengan perantaraan penekanan alam bawah sadar (Untuk
jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode perdana "Pedang Bintang").
Mungkinkah Gendruwo Pulau Setan
juga mempunyai tenaga dalam aneh yang juga didapatkan lewat perantaraan alam
bawah sadar dengan memusatkan pikiran terhadap satu tujuan" Sebenarnya hal ini
tidak terlalu aneh jika mengingat tokoh yang menggiriskan itu memiliki ilmu
'Tinju Penggetar Bumi'.
Semakin Arya berpikir dan
menimbang-nimbang, semakin diyakini akan kebenaran dugaannya. Kemungkinan besar,
hentakan kaki iblis itu adalah satu cara mengambil kekuatan dari dalam bumi. Dan
bila hal itu benar, berarti tokoh yang menggiriskan ini sulit dikalahkan.
Gendruwo Pulau Setan tidak akan pernah merasa lelah. Setiap kali lelah, bisa
mendapatkan bantuan tenaga tambahan dengan menjejakkan kaki ke tanah. Bantuan
tenaga yang sukar diukur kedahsyatannya.
Palageni dan Melati hanya bisa
memperhatikan saja tanpa berani
mengganggu Arya yang tengah tercenung dengan dahi berkerut dalam.
"Ada kesimpulan yang bisa kau tarik, Kang?" akhirnya kesabaran Melati lenyap.
Tak tahan juga perasaan ingin tahunya disimpan lama-lama.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Bukan kesimpulan, Melati. Tapi hanya satu dugaan," desah Arya.
"Apa itu, Kang?" tanya Melati tak peduli jawaban kekasihnya. Dia ingin tahu, apa
yang dipikirkan pemuda
berambut putih keperakan itu.
"Gendruwo Pulau Setan mengambil kekuatan dahsyat dari bumi melalui hentakan
kakinya." "Ah...!"
Hampir berbareng Palageni dan
Melati berseru kaget.
"Jadi... Maksudmu, Kang...?" agak tersendat suara gadis berpakaian putih itu.
"Ya," Arya yang sudah tahu akan kelanjutan ucapan tunangannya
menganggukkan kepala. "Dia mempunyai ilmu 'Tenaga Dalam Inti Bumi'."
Suasana kembali hening begitu
Arya menghentikan ucapannya. Mereka semua tenggelam dalam lamunan masing-masing.
"Dewa Arak...," Palageni memecah-kan keheningan di antara mereka. Arya menoleh.
"Aku mohon diri dulu," ucap pemuda berpakabn kuning itu, seraya melempar pandang
sekilas ke arah
Melati. Gadis berpakaian putih itu tentu saja melihat, tapi berpura-pura tidak
tahu. "Mengapa, Palageni?" Arya mengernyitkan keningnya. Meskipun dia memang lebih
suka berdua saja dengan Melati, tapi tidak ingin Palageni pergi karena merasa
tidak enak padanya.
"Aku ingin menemui guruku, Arya.
Ingin memberitahukan hal ini padanya.
Barangkali saja beliau bisa memberi petunjuk padaku."
"Silakan, Palageni O, ya.
Sampaikan salamku pada gurumu," sahut Arya dengan hati lega mendengar alasan
yang dikemukakan pemuda berpakaian kuning itu.
Setelah melempar senyum sekilas
ke arah Melati, Palageni segera
melesat dari situ. Cepat juga
gerakannya. Sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
rerimbunan semak-semak.
Arya dan Melati memandangi hingga tubuh pemuda berpakaian kuning itu tidak
kelihatan lagi.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?"
Arya mengangkat bahunya.
"Persoalan ini masih terlatu gelap, Melati. Kita tidak bisa
bertindak sembrono."
"Hm..., jadi?"
"Kita lihat keadaannya dulu."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. 7 Melati dan Dewa Arak melangkah
perlahan keluar dari rerimbunan
hamparan ilalang itu. Tapi, langkah mereka langsung terhenti begitu
sekitar tujuh tombak di hadapan mereka berdiri tiga sosok tubuh.
Arya dan Melati menyipitkan
sepasang mata dalam upaya memperjelas pandangan. Suasana malam itu memang
remang-remang karena bulan hanya
sepotong yang nampak di langit karena tertutup awan tebal dan hitam.
Tapi meskipun demikian, cukup
jelas bagi Arya untuk mengenali salah seorang dari mereka. Orang itu tak lain
adalah Dewa Rambut Merah.
Sedangkan dua orang lainnya, tidak dikenal. Seorang kakek berbaju abu-abu.
Rambut, kumis, dan alisnya telah memutih semua. Tapi anehnya kulit wajahnya
masih kencang seperti
layaknya anak muda. Orang ini tak lain dari Dewa Obat Tangan Delapan.
Sementara yang seorang lagi
adalah kakek bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya berwarna
putih. Seperti juga warna alisnya. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat
berwarna hitam mengkilat terbuat dari kayu jati. Inilah Dewa Angin Puyuh, guru
Palageni. Dewa Arak dan Melati bersikap
waspada. Sepasang muda-muda ini
melihat gelagat kurang baik dari
ketiga sosok tubuh yang berdiri
menghadang jalan itu. Tambahan lagi, baik Arya maupun Melati telah mengetahui
kalau kakek berambut merah itu kawan Gendruwo Pulau Setan. Maka, keduanya
menduga kalau kedua orang kakek yang berdiri di sebelah Dewa Rambut Merah adalah
tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.
Meskipun sudah menduga demikian,
Arya tidak mau bertindak ceroboh.
Sikapnya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Dengan langkah
tenang, pemuda berambut putih
keperakan ini melanjutkan lang-kahnya Dan dengan sendirinya, Melati pun
mengikuti. Baru setelah jarak di antara
mereka tinggal sekitar tiga tombak, dan ketiga orang kakek itu tetap tidak mau
menyingkir memberi jalan, Arya terpaksa menghentikan langkahnya.
"Maaf, kami ingin lewat. Harap kakek bertiga memberi kami jalan,"
pinta Dewa Arak. Pelan dan lembut suaranya.
"Kalian boleh meneruskan
perjalanan, apabila bersedia memenuhi permintaan kami," kata Dewa Angin Puyuh,
datar dan dingin suaranya.
"Apa itu, Kek?" tanya Arya masih dengan nada sopan.
"Nyawa kalian berdua!" tandas kakek beralis putih keras dan kasar.
"Keparat!"
Melati yang berwatak keras
langsung bangkit amarahnya. Seluruh urat syaraf di tubuh gadis berpakaian putih
ini menegang waspada. Bahkan kedua tangannya yang terkepal nampak menggigil.
Pertanda tenaga dalam telah mengalir deras di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak menyentuh
lengannya, dan langsung mengembangkan senyum ketika Melati menoleh.
"Tenanglah, Melati," ujar Arya lembut.
"Tapi, ucapan mereka, benar-benar keterlaluan, Kang," bantah Melati.
Jelas nada suaranya terdengar tidak puas.
"Sabarlah dulu. Kita belum tahu masalahnya," hibur Arya menenangkan.
Melati menarik napas dalam-dalam
dan menghem-buskannya kuat-kuat
Dicobanya untuk meredakan kemarahan
yang bergejolak dalam dada. Dan
memang, amarah yang bergolak perlahan-lahan mereda kembali
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!" kembali terdengar bentakan keras dari
mulut Dewa Angin Puyuh.
Suara yang sarat dengan kemarahan.
"Apa maksudmu, Kek?" Arya mengernyitkan alisnya. "Aku benar-benar tidak
mengerti"!"
"Sungguh tidak kusangka, Dewa Arak yang menggemparkan dunia
persilatan itu ternyata seorang pengecut! Tidak berani mengakui
perbuatan sendiri!"
Keras dan tajam sekali ucapan
yang keluar dari mulut Dewa Angin Puyuh. Selebar muka Arya merah padam seketika.
Kemarahan seketika menjalari hatinya. Sebagai orang yang menjunjung tinggi
kegagahan, pemuda berambut putih keperakan ini paling benci kalau disebut
pengecut "Jelaskan maksud ucapanmu, Kek.
Kalau tidak, jangan dianggap kurang ajar, bila aku sebagai orang muda bersikap
tidak pantas padamu," agak bergetar suara yang keluar dari mulut Dewa Arak.
Memang, pemuda berambut putih keperakan ini tengah dilanda kemarahan yang
menggelora. Terdengar suara gemerutuk dari
mulut kakek beralis putih itu.
"Dewa Arak...!" sentak Dewa Angin Puyuh. "Aku datang untuk membalaskan kematian
muridku!" "Muridmu..." Siapa muridmu"!"
tanya Arya dengan kemarahan mulai mereda.
Entah, tokoh mana yang menjadi
murid kakek beralis putih ini. Sudah terlalu banyak tokoh sesat yang tewas di
tangannya. Tapi tentu saja ada alasan kuat yang membuat Arya terpaksa membunuh.
Tokoh-tokoh aliran hitam yang ditewaskannya adalah yang
kejahatannya telah melewati takaran.
"Palageni...," lambat-lambat dan penuh tekanan Dewa Angjn Puyuh
mengucapkannya, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Arya dan Melati sampai terlompat
ke belakang bagai disengat
kalajengking. Berita yang didengar memang terlalu mengejutkan hati. Jadi kakek
beralis putih ini adalah guru Palageni" Tapi mengapa kakek itu malah menuduh
mereka membunuh pemuda berbaju kuning itu" Tuduhan gila macam apa ini" Bukankah
mereka berdua yang malah menyelamatkan pemuda itu dari ancaman maut Gendruwo
Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah"
"Kalau begitu, kau salah paham, Kek. Justru aku dan kawanku inilah yang telah
menyelamatkannya dari
tangan Gendruwo Pulau Setan."
Arya sama sekali tidak
menyinggung-nyinggung tentang kebera-daan Dewa Rambut Merah bersama tokoh sesat
yang menggiriskan itu. Dia belum yakin kalau orang yang berada bersama Gendruwo
Pulau Setan adalah Dewa
Rambut Merah. Dan Arya tidak ingin memperuncing keadaan.
"Kau tidak bisa mungkir lagi, Dewa Arak! Dewa Rambut Merah telah menyaksikan
semua kekejianmu. Kau telah membunuh muridku dan
melemparkannya ke dalam jurang!" keras dan berapi-api ucapan yang keluar dari
mulut Dewa Arak.
"Fitnah!" bantah Arya keras.
"Hanya karena rasa cemburu yang membabi buta, kau telah membunuh
Palageni yang tengah bercakap-cakap dengan kawan wanitamu! Bersiaplah, Dewa
Arak! Aku, Dewa Angin Puyuh
bersedia mengadu nyawa untuk
membalaskan kematian muridku"
Setelah berkata demikian, kakek
beralis putih ini segera menerjang.
Tahu akan kelihaian lawannya, tanpa ragu-ragu lagi segera digunakannya ilmu
andalan yang telah membuatnya memperoleh gelaran Dewa Angin Puyuh,
'Ilmu Angin Puyuh'!
Kakek beralis putih ini melompat.
Dan dari atas, tangan kanannya yang berbentuk cakar meluncur ke arah ubun-
ubun Dewa Arak. Sementara tangan
kirinya di pinggang.
Hebat akibatnya! Angin menderu
keras, seolah-olah di tempat itu
terjadi badai. Batu batu besar kecil beterbangan tak tentu arah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Arya tidak berani bersikap main-
main. Dari suara mengaung keras yang terdengar sebelum serangan itu sendiri
tiba, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan lawan. Jangankan kepala
manusia. Batu karang yang paling keras pun akan hancur lebur apabila terkena
hantaman itu Buru-buru Dewa Arak mendoyongkan
tubuh ke belakang sambil menarik
kepala. Sederhana saja gerakan yang dilakukan, sehingga hebatnya serangan itu
hanya lewat di atas kepalanya.
Seluruh rambut dan pakaian Arya
berkibar keras begitu serangan cakar itu lewat
Tapi serangan Dewa Angin Puyuh
tidak hanya sampai di situ saja.
Begitu serangan cakarnya lolos, kaki kanannya menyambar cepat ke arah dada.
Wuttt...! Tidak ada pilihan lain bagi Dewa
Arak kecuali melempar tubuh ke
belakang, dan berputaran di udara beberapa kali.
Tapi Dewa Angin Puyuh yang tengah dilanda amarah tidak mau memberi
kesempatan pada Dewa Arak. Begitu tendangannya berhasil dielakkan dan kedua
kakinya mendarat di tanah,
segera kedua kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka lurus menotok ke arah ulu hati dan dada. Setiap
serangan kakek ini menimbulkan dem angin keras laksana terjadi badai.
Sebuah pertarungan aneh pun
terjadi. Dewa Angin Puyuh yang terus-menerus memburu dengan serangan-
serangan maut Sementara Dewa Arak yang tak henti-hentinya bersalto ke
belakang untuk menyelamatkan diri.
Semula Dewa Arak tidak mau balas
menyerang dan hanya mengelak saja.
Karena, dia yakin kalau Dewa Angin Puyuh salah paham. Pasti ada orang yang
sengaja melempar fitnah
kepadanya. Makanya, sejak tadi dia tidak mengadakan perlawanan, dan hanya
mengelak dan mengelak.
Tapi begitu menyadari betapa
dahsyatnya serangan-serangan yang dilancarkan Dewa Angin Puyuh, Dewa Arak sadar.
Jika terus-terusan
mengalah, bukan tidak mungkin dirinya akan celaka di tangan lawan. Dia harus
balas menyerang. Atau paling tidak, menangkis serangan lawannya. Tidak hanya
mengelak terus-menerus.
"Haaat...!"
Arya melempar tubuh ke belakang
lalu bersalto beberapa kali di udara.
Dan begitu kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam guci arak.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
Arya menuangkan isi guci itu ke
mulutnya. Pedahan hawa hangat merayap di perutnya dan kemudian naik ke atas
kepala. Begitu kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, serangan-serangan Dewa Angin Puyuh kembali bertubi-tubi


Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambarnya. Serangan yang mengancam bagian tubuh mematikan.
Tapi kali ini, Arya tidak tinggal diam seperti tadi. Dia mulai menangkis dan
balas menyerang. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun terjadi.
*** Melati, Dewa Rambut Merah, dan
Dewa Obat Tangan Delapan,
memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Mereka adalah ahli
silat tingkat tinggi. Tidak ada kegemaran yang disukai selain
bertarung dan melihat orang mengadu kepandaian. Semakin sakti orang-orang yang
bertarung, semakin gembira dan suka hati mereka.
Pertarungan antara Dewa Arak dan
Dewa Angin Puyuh berlangsung cepat.
Hal ini tidak aneh, karena memang kedua orang itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa.
Sepasang alis Dewa Rambut Merah
dan Dewa Obat Tangan Delapan bertaut, begitu melihat pertarungan itu.
Sementara Melati tampak tersenyum simpul. Kepandaian ketiga orang itu memang
sudah tinggi, sehingga tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti setiap gerakan
dua orang yang tengah bertarung.
Tampak jelas oleh mereka kalau
Dewa Angin Puyuh bukan tandingan Dewa Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan
tubuh dan tenaga dalam, kakek beralis putih ini berada di bawah lawannya yang
masih muda. Dewa Rambut Merah menggertakkan
gigi. Mendadak kakek berambut merah ini berkelebat menuju kancah
pertarungan. Melati terperanjat
melihat hal ini.
"Manusia pengecut! Akulah
lawanmu...!" teriak Melati keras.
Berbareng dengan suara
teriakannya, tubuh gadis itu melesat cepat menghadang di hadapan Dewa
Rambut Merah. Kakek ini terpaksa
mengurungkan niat, karena di
hadapannya telah berdiri Melati.
"Kita ketemu lagi, Dewa Rambut Merah," kata Melati. Terdengar pelan dan lembut
suaranya, tapi di dalamnya tersirat sindiran. Dewa Rambut Merah ternyata
merasakan. Terbukti, selebar wajah kakek itu memerah.
"Permainan apa lagi yang kau tunjukkan, Nisanak" Rupanya kau sudah tidak waras
lagi. Kapan aku pernah bertemu denganmu" Kita baru bertemu kali ini!"
"Orang lain bisa kau kelabui.
Tapi jangan harap muslihatmu itu
berhasil menipuku!" tandas Melati tegas.
"Omonganmu semakin ngacau, Wanita Liar! Terpaksa mulutmu kubungkam!"
Setelah berkata demikian, kakek
berambut merah ini menerjang Melati.
Tahu kalau gadis berbaju putih itu memiliki kepandaian tinggi, seluruh kemampuan
yang dimiliki segera
dikerahkannya. Dewa Rambut Merah membuka
serangan dengan sebuah sambaran cakar tangan kanannya ke arah leher.
Gerakannya cepat bukan main, tak kalah dengan Dewa Angin Puyuh.
Suara berdecit nyaring, seperti
ada tikus terjepit terdengar
mengiringi tibanya serangan cakar itu.
Sebuah bukti nyata kalau dalam
serangan itu terkandung tenaga dalam tinggi.
Tanpa menggeser kaki, Melati
segera mendoyongkan tubuh ke belakang seraya menarik kepala. Pada saat yang
sama, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis dengan arah gerakan dari dalam
ke luar. Melati yang sudah bisa memper-
kirakan kelihaian lawan, segera
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam tangkisan itu
Plakkk...! Suara berderak keras seperti
beradunya dua ba-tang logam keras langsung terdengar. Baik Dewa Rambut Merah
maupun Melati sama-sama
terhuyung satu langkah ke belakang dengan kedua tangan bergetar hebat.
Nampak jelas kalau dalam adu tenaga ini kedua belah pihak memiliki tenaga dalam
seimbang. Dewa Rambut Merah menggerung
keras. Sungguh di luar dugaan ada seorang gadis muda mampu menangkis
serangannya. Ada rasa tidak percaya dalam hatinya. Penasaran, malu, dan marah
bercampur-baur dalam dadanya.
Tapi dari sekian banyak perasaan
yang berkecamuk itu, yang menonjol keluar adalah perasaan marah. Dewa Rambut
Merah adalah seorang datuk yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Kini berbenturan tangan dengan seorang gadis muda saja, tangannya sudah
tergetar hebat. Kalau ada orang
persilatan yang mendengar, bukankah akan menjadi bahan tertawaan"
Dan, hal inilah yang mendorong
Dewa Rambut Merah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Melati pun
bertindak serupa. Akibatnya, pertarungan sengit pun terjadi. Maka kini di tempat
itu terjadi dua kancah
pertempuran. Dua pertarungan tingkat tinggi
yang terjadi di tempat itu hanya
disaksikan seorang penonton saja. Dewa Obat Tangan Delapan. Kakek yang
wajahnya masih segar itu menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati
berdebar. Terutama sekali ketika
melihat pertarungan Dewa Angin Puyuh menghadapi Dewa Arak.
Semula pertarungan antara Arya
menghadapi kakek beralis putih itu berjalan imbang. Tapi menginjak jurus ke lima
puluh, nampak jelas keunggulan Dewa Arak. Dan memang, sebenarnya tingkat
kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini masih lebih unggul ketimbang
lawannya, baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh.
Akhirnya, Dewa Obat Tangan
Delapan tidak kuat lagi menahan diri.
Karena tampak, keadaan Dewa Angin Puyuh semakin mengkhawatirkan. Kakek beralis
putih itu tampak terdesak dan terhimpit. Beberapa kali tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan di antara
mereka. "Haaat..!"
Dewa Obat Tangan Delapan
berteriak nyaring, seraya melompat menerjang. Tahu akan ketangguhan Dewa Arak,
tanpa ragu-ragu lagi ilmu
andalannya segera dikeluarkan. 'Ilmu Tangan Delapan Naga'!
Begitu menerjunkan
diri dalam kancah pertarungan, Dewa Obat Tangan Delapan langsung melancarkan serangan
bertubi-tubi pada Arya.
Dewa Arak terkejut bukan main
melihat serangan Dewa Obat Tangan Delapan. Kedua tangan lawan seperti berjumlah
delapan buah, dan menyerang dari delapan penjuru! Bukan itu saja.
Ada angin kuat yang menggencet sekujur tubuh Arya dari delapan arah, sehingga
membuat dada pemuda berambut putih keperakan itu terasa sesak.
Dewa Arak tidak berani bertindak
ceroboh. Desakannya segera dibatalkan pada Dewa Angin Puyuh. Lalu tubuhnya
dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Indah dan manis sekali
gerakan Arya. Kedua
kakinya mendarat ringan tanpa suara dalam jarak sekitar tujuh tombak dari kedua
lawannya. Baik Dewa Angin Puyuh maupun Dewa Obat Tangan Delapan sama sekali tidak
mengejar. Dua orang kakek itu adalah datuk golongan putih. Pantang bagi mereka
melakukan serangan pada lawan yang belum bersiap. Apalagi kini
mereka sudah menghadapi lawan bersama-sama. Seorang lawan yang masih sangat
muda! "Kau hebat, Dewa Arak," puji Dewa Obat Tangan Delapan, jujur. "Tapi sayang, kau
telah tersesat. Kau telah menjadi kejam karena perasaan cemburu buta."
"Tidak usah banyak basa-basi,
Dewa Obat!" sergah Dewa Angin Puyuh keras. "Mari kita lenyapkan pemuda berbahaya
ini!" Setelah berkata demikian, kakek
beralis putih ini langsung menyerang Dewa Arak. Kembali 'Ilmu Angin
Puyuh'nya dikeluarkan, sehingga seketika itu juga angin keras menderu.
Seolah-olah, di tempat itu tengah terjadi badai. Batu-batu besar kecil
berpentalan tak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Belum lagi serangan itu tiba,
Dewa Obat Tangan Delapan pun turut menyerang. Kedua tangannya bergerak cepat
bukan main! Sehingga, kelihatannya tangan kakek itu tidak berjumlah dua,
melainkan delapan! Pantas dia berjuluk Tangan Delapan, di samping berjuluk Dewa
Obat. Meskipun akibat yang ditimbulkan
serangan Dewa Obat Tangan Delapan tidak terlalu menggiriskan, tapi yang
dirasakan Arya tidak demikian halnya.
Ada kekuatan tak nampak yang menekan dari delapan penjuru, sehingga membuat
dadanya terasa sesak bukan main. Buru-buru pemuda berambut putih keperakan itu
mengerahkan tenaga dalamnya,
sehingga rasa sesak pada dadanya
segera sirna. Kini kekuatan tak nampak yang menghimpitnya tak lagi terasa.
Sekarang Arya tidak ragu-ragu
lagi untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Lawan yang
dihadapinya adalah pentolan golongan putih. Bertarung setengah hati,
taruhannya adalah nyawa! Sesaat
kemudian, pertarungan sengit kembali terjadi.
8 Di arena lain, Melati tengah
berjuang keras menghadapi Dewa Rambut Merah! Berbeda dengan Arya yang masih
meragukan kesalahan kakek berambut merah ini, Melati yakin sekali kalau pelaku
pembantaian di kaki Gunung Campa adalah Dewa Rambut Merah.
Makanya gadis berpakaian putih itu kini mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Namun demikian,
tampaknya Melati tetap saja tidak
mampu mendesak kakek berambut merah itu. Sampai puluhan jurus, pertarungan masih
berjalan seimbang.
Bukan hanya Melati saja yang
berusaha keras mengalahkan lawan. Dewa Rambut Merah pun demikian pula. Bahkan
bila dibandingkan, kakek itu memiliki keingjnan untuk merobohkan yang lebih
besar. Keinginan itu didorong oleh rasa malunya!
Sementara itu di arena lain,
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Dewa
Angin Puyuh membabatkan tongkatnya ke arah lutut Dewa Arak. Suara mengaung keras
terdengar mengiringi tibanya serangan itu
Arya menjejakkan kakinya, lalu
seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas. Akibatnya, tongkat itu meluncur
lewat di bawah kakinya. Tubuhnya kemudian bersalto ke depan, dan dan udara
tangan kanannya meluncur ke arah bahu kanan kakek beralis putih itu.
Plakkk..! Periahan saja kelihatannya,
tangan Dewa Arak menghantam bahu Dewa Angin Puyuh. Hebatnya, tubuh kakek beralis
putih itu terhuyung ke depan seperti diseruduk banteng. Seketika ada cairan
merah kental menyembur dari mulutnya. Kakek ini langsung jatuh terduduk di
tanah. Baru saja kedua kaki Arya
mendarat di tanah, serangan Dewa Obat Tangan Delapan telah menyambar tiba.
Kedua tangan yang seperti berjumlah delapan buah itu menyerang bertubi-tubi ke
arah ulu hati, dada, dan
leher. Tidak ada jalan lagi bagi Dewa
Arak, kecuali menangkis serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras seperti
beradunya dua logam keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan
berbenturan. Akibatnya, tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang. Dewa Arak
memang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Bahkan sewaktu menangkis
pun, seluruh tenaga yang dimilikinya tidak sempat dikerahkan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa
mengguntur, sehingga membuat isi dada berguncang. Nampaknya,
tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum lagi gema suara tawa itu
lenyap, sesosok bayangan berkelebat setelah terlebih dahulu menjejakkan kaki
kanan ke tanah hingga membuat bumi bergetar. Gerakannya cepat bukan main, dan
langsung menerjang masuk kancah pertarungan antara Dewa Arak melawan Dewa Obat
Tangan Delapan.
Karuan saja hal ini membuat dua
orang itu terkejut bukan main.
Apalagi, begitu mengetahui kalau sosok bayangan itu langsung melancarkan
serangan-serangan berbahaya ke arah mereka. Deru angin yang luar biasa keras
mengiringi tibanya serangan.
Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan yang sedang bertempur menjadi sangat
terkejut, ketika tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh tinggi besar ke arah mereka
dan langsung melancarkan serangan-serangan berbahaya! Deru angin yang luar biasa keras mengi-
ringi tibanya serangan orang tinggi besar itu.
Mendapat serangan yang tidak
disangka-sangka, Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan langsung
terperanjat. Apalagi serangan itu datangnya amat mendadak. Sebisa-bisanya, kedua
orang itu menangkis.
Plak, plak...! Seruan keterkejutan terdengar
dari mulut Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan. Tubuh kedua orang ini
langsung terpental ke belakang.
Sementara sosok bayangan yang
menyerang, sama sekali tidak
terpengaruh apa-apa.
Baik tubuh Dewa Angin Puyuh
maupun tubuh Dewa Obat Tangan Delapan melayang jauh, kemudian jatuh
bergulingan di tanah.
"Huakkk...!"
Dewa Obat Tangan Delapan
memuntahkan darah segar ketika mencoba bangkit.
Melati dan Dewa Angin Puyuh
terkejut bukan kepalang begitu melihat perkembangan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Melati langsung
melesat meninggalkan lawan, memburum ke tempat Dewa Arak terjatuh.
Sementara Dewa Angin Puyuh segera memburu tubuh Dewa Obat Tangan Delapan.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa mengguntur kembali
terdengar. Semua pandangan mata kini tertuju ke arah sosok yang tengah tertawa-
tawa itu. "Gendruwo Pulau Setan...," desis Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan.
Pandangan mata maupun suara mereka menyiratkan ketidakpercayaan akan
apa yang terlihat di depan
mereka. Berbeda dengan kedua orang kakek
itu, Melati dan Dewa Arak sama sekali tidak terkejut melihat tokoh sesat yang
menggiriskan itu. Mereka telah melihat, dan bahkan telah bertanding dengan tokoh


Dewa Arak 15 Tinju Penggetar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu beberapa saat yang lalu.
Keterkejutan Dewa Obat Tangan
Delapan dan Dewa Angin Puyuh semakin menjadi-jadi. Ternyata rekan mereka, Dewa
Rambut Merah malah menghampiri
Gendruwo Pulau Setan. Dan bahkan
berdiri di sebelahnya.
"Dewa Rambut Merah..., kau...
kau...!?" desis Dewa Angin Puyuh kaget Hanya senyum dan pandangan mata
penuh ejekan dari Dewa Rambut Merah yang menyambut ucapan terbata-bata kakek
beralis putih itu
"Kenapa" Kaget"!" tanya kakek berambut merah itu Nada suaranya
terdengar menyakitkan hati.
Wajah Dewa Angin Puyuh dan Dewa
Obat Tangan Delapan yang sudah pucat, jadi semakin pucat mendengar tanggapan
kasar itu. Kedua tokoh Tiga Dewa
Sungai Naga ini tidak mampu berkata-kata lagi. Perasaan kaget yang melanda
demikian kuat menghajar hati mereka.
Sehingga keduanya hanya mampu
memandang dengan sepasang kelopak mata terbelalak lebar.
"Perlu kalian ketahui semua,"
kata Dewa Rambut Merah sambil
mengedarkan pandangan mata ke
sekeliling, merayapi wajah orang-orang di hadapannya satu persatu. "Akulah yang
membantai rombongan Adipati
Kalingga."
"Hahhh..."!"
Dewa Obat Tangan Delapan dan Dewa Angin Puyuh terlonjak kaget. Andaikan ada
petir menyambar, kekagetan yang dialami tidak akan seperti ketika mendengar
berita ini Dewa Rambut Merah
salah satu tokoh Tiga Dewa Sungai Naga melakukan
perbuatan keji! Sungguh
sukar dipercaya!
"Kaget, Dewa Angin Puyuh" Dewa Obat?" Kembali nada penuh ejekan terdengar dari
mulut Dewa Rambut
Merah. Sementara Gendruwo Pulau Setan hanya tersenyum lebar.
"Mengapa kau berbuat sekeji itu, Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Obat Tangan
Delapan. Suaranya pelan, lebih mirip desahan.
"Bukan hanya adipati keparat itu saja yang kubunuh. Tapi juga kalian semua!
Tidak terkecuali kau, Dewa Arak!" tandas kakek berambut merah itu, seraya
menatap wajah Arya.
"Semula kau tidak termasuk dalam rencanaku, karena sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya. Tapi karena kau telah berlaku lancang, dengan
mencampuri urusanku, kau pun tak
mungkin dapat lolos dari tanganku.
Bukan itu saja. Semua orang yang
termasuk dalam golongan putih akan kubinasakan!"
"Mengapa, Dewa Rambut Merah?"
tanya Dewa Angin Puyuh penasaran
"Kau bertanya mengapa, Dewa Angin Puyuh"!" sambut kakek berambut merah, kasar.
"Padahal, baik padamu maupun pada Dewa Obat Tangan Delapan telah kuceritakan,
kalau puluhan tahun yang lalu istriku telah diperkosa dan
dibunuh oleh seorang laki-laki. Aku tidak tahu namanya. Tapi, dari berita yang
kudapat, aku tahu ciri-cirinya.
Dan bahkan telah kuceritakan pada kalian."
Dewa Rambut Merah menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas, di samping mencari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Puluhan tahun aku mencari tanpa hasil. Dapat kalian bayangkan, betapa kesalnya
hatiku. Apalagi setelah
kutahu, kalau orang yang kucari itu adalah temanmu, Dewa Obat! Dan kau sengaja
melindunginya dengan tidak memberitahukannya padaku. Kau yang mengaku sebagai
pentolan golongan putih telah bertindak begitu
menjijikkan. Melindungi orang yang bermoral bejat!"
Merah wajah Dewa Obat Tangan
Delapan mendengar makian Dewa Rambut Merah. Maka kepalanya periahan-lahan
tertunduk. "Aku masih mencoba bersabar.
Meskipun saat itu sudah merasa muak dengan gelar pentolan golongan putih, tapi
ketika akhirnya dapat berita baru, aku tidak bisa bersabar lagi!
Bukan hanya kau saja yang menjadi teman orang bejat. Tapi kau juga, Dewa Angin
Puyuh! Maka aku tidak bisa sabar lagi, begitu kulihat keparat itu
bepergian. Mereka pun kubantai habis.
Tapi, sayang sekali ada yang sempat lolos dari maut dan memberi tahu
kalian." Kepala dua kakek Tiga Dewa Sungai Ular tertunduk. Sama sekali semua yang
dikatakan Dewa Rambut Merah tidak dibantah.
"Kebencianku bertambah ketika kutahu kau mengangkat putra keparat Kalingga
menjadi muridmu, Dewa Angin Puyuh. Sejak saat itu, aku muak dan benci terhadap
orang-orang golongan putih. Maka kuputuskan untuk membasmi kalian. Dan untuk
itulah Gendruwo Pulau Setan, adik tiriku, tiba di sini."
Suasana jadi hening begitu Dewa
Rambut Merah menghentikan ucapannya.
"Sekarang, terimalah kematian kalian...!" tegas kakek berambut merah lambat-
lambat tapi penuh tekanan.
Kemudian kakinya melangkah menghampiri tubuh dua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga.
Mendadak langkah Dewa Rambut
Merah terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki
mendekati. Bukan hanya kakek berambut merah itu saja yang menoleh. Gendruwo
Pulau Setan pun menoleh pula.
"Guru...!"
Seorang pemuda berpakaian kuning
melesat cepat ke arah Dewa Angin
Puyuh. Siapa lagi kalau bukan
Palageni! Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan terperanjat melihat kedatangan Palageni. Bukankah,
muridnya itu telah tewas di tangan Dewa Arak. Jadi, benar apa yang
dikatakan Arya. Semua itu hanya
fitnah! Dewa Rambut Merah menggeram
keras. Cepat laksana kilat tubuhnya melesat ke arah Palageni. Kedua
tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh pemuda
berpakaian kuning itu.
Dewa Angin Puyuh, Dewa Obat
Tangan Delapan, Melati, dan Dewa Arak sangat terperanjat. Pemuda berambut putih
keperakan ini sebenarnya sama sekali tidak terluka. Tadi, ketika menangkis
serangan Gendruwo Pulau Setan, Dewa Arak tidak menggunakan tenaga keras. Jadi,
dia hanya menggunakan tenaga lembut. Dan dengan meminjam tenaga benturan itu, tubuhnya
dibiarkan terlontar ke belakang, dan berpura-pura terluka agar lawan
lengah. Dan ternyata, siasatnya
berhasil! Kini melihat Palageni terancam
maut, pemuda berambut putih keperakan ini cepat menghentakkan kedua tangan ke
arah tubuh Dewa Rambut Merah yang tengah berada di udara. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar cepat ke arah Dewa Rambut Merah. Karuan saja kakek ini
terkejut bukan main. Serangan Dewa Arak sama sekali tidak diduga. Dia berpikir
kalau pemuda itu tengah
terluka. Tapi pada kenyataannya"
Wajah Dewa Rambut Merah pucat
seketika. Tubuhnya yang tengah berada di udara, tidak mungkin bisa mengelak.
Apalagi tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan pijakan. Meskipun demikian,
dengan sebisa-bisanya, selembar
nyawanya berusaha diselamatkan. Dewa Rambut Merah menggeliatkan tubuhnya.
Tapi.... Bresss! "Aaakh...!"
Tubuh kakek berambut merah
terpental jauh ke belakang. Seketika itu juga nyawa kakek ini melayang
meninggalkan raganya sebelum jatuh ke tanah.
Gendruwo Pulau Setan meraung
keras laksana seekor binatang buas terluka melihat kematian kakak
tirinya. Dengan sinar mata penuh
ancaman, tokoh sesat yang menggiriskan ini menatap Dewa Arak. Perlahan-lahan
kakinya melangkah menghampiri pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi langkah laki-laki tinggi
besar ini terhenti ketika entah dari mana datangnya, di tempat itu telah
berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih. Sekujur tubuhnya, terutama sekali
wajahnya, nampak bercahaya. Hal ini membuat orang itu tidak kuat untuk berlama-
lama memandangnya. Alis,
jenggot, dan kumisnya telah memutih semua. Rambutnya yang juga berwarna putih
digelung ke atas. Di tangan kakek itu tergenggam seuntai tasbih.
Begitu melihat kakek ini, wajah
Gendruwo Pulau Setan memucat.
Kegentaran yang amat sangat tampak di wajahnya. Cepat tubuhnya berbalik, lalu
disambarnya tubuh Dewa Rambut Merah. Kemudian dia berlari
meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh kakek berambut merah.
Kakek berpakaian putih bersih
yang tak lain dari Ki Gering Langit itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Pandangannya tetap tertuju pada Dewa Arak.
"Guru...," Arya cepat memberi hormat pada kakek itu.
Melati, Dewa Angin Puyuh, dan
Dewa Obat Tangan Delapan nampak
terkesima melihat kakek ini. Hanya Palageni seorang yang tidak terlihat
terkejut. Ki Gering Langit tersenyum lebar.
"Arya...," ucap kakek berpakaian putih bersih itu. Suaranya terdengar lembut dan
berwibawa. "Aku sengaja datang menjumpaimu untuk mengambil
kembali Pedang Bintang. Bukankah
pedang itu sekarang tidak kau perlukan lagi?"
Dewa Arak mengangkat kepalanya,
menatap wajah Ki Gering Langit. Hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian
kepalanya kembali ditundukkan.
"Maafkan aku, Guru," sahut Arya pelan "Sebenarnya sudah lama aku hendak
mengembalikan pedang ini. Tapi, dalam perjalanan aku selalu bertemu hambatan,
sehingga niatku tertunda."
"Aku mengerti, Arya," ucap Ki Gering Langit bijaksana, seraya
tersenyum lebar. "Itulah sebabnya aku kemari menjumpaimu."
Lega hati Arya mendengar jawaban
gurunya. Bergegas dia mengambil Pedang Bintang yang selama ini tergantung di
pinggangnya, kemudian menyerahkan pada gurunya.
Ki Gering Langit mengulurkan
tangan menerima. Dan secepat pedang itu telah berada di genggamannya, secepat
itu pula tubuhnya lenyap dari situ.
Melati, Dewa Obat Tangan Delapan, dan Dewa Angin Puyuh memandang penuh takjub
akan semua yang terjadi.
Apalagi ketika mendadak tubuh Ki
Gering Langit lenyap begitu saja dari situ. Wajah dan sorot mata mereka
menampakkan kebingungan yang amat sangat
"Itulah orang yang menolongku dari tangan Gendruwo Pulau Setan, Guru," jelas
Palageni memberi tahu Dewa Angin Puyuh. Kemudian, pemuda berbaju kuning ini
menceritakan semua kejadian yang dialaminya.
"Ketika aku telah cukup jauh meninggalkan Dewa Arak dan Melati, tiba-tiba
Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah menghadang. Kalau saja tidak ada
kakek itu, mungkin aku sudah tewas, Guru. Hebat! Kakek itu mengalahkan keroyokan
Dewa Rambut Merah dan Gendruwo Pulau Setan secara mudah. Hanya dalam segebrakan,
dan tanpa menggeser kaki sedikit pun!"
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan menggelengkan kepala penuh kagum.
"Bagaimana Guru bisa berada di sini?" tanya Palageni lagi.
"Di perjalanan pulang, aku
khawatir akan keselamatanmu. Lalu, aku kembali lagi. Di tengah jalan aku bertemu
Dewa Obat Tangan Delapan. Kami memutuskan mencarimu bersama-sama,"
kakek beralis putih ini menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Belum jauh berjalan, kami
bertemu Dewa Rambut Merah. Katanya, kau telah dibunuh Dewa Arak. Akibatnya kami
mencari pemuda itu. Pertarungan pun tidak bisa dihindari lagi. Dan
ketika kami sama-sama lelah, Gendruwo Pulau Setan datang. Kejadian
selanjutnya, telah kau saksikan
sendiri." Sehabis berkata demikian, Dewa
Angin Puyuh menoleh ke arah tempat Arya dan Melati. Tapi seketika itu pula
hatinya terperanjat
"Hehhh..."! Ke mana mereka?" Dewa Obat Tangan Delapan dan Palageni ikut menoleh.
Tapi tetap saja tidak melihat seorang pun di situ. Walaupun mereka telah
mengedarkan pandangan ke
sekeliling, Dewa Arak maupun Melati tak juga ditemukan.
Sementara itu, orang yang
dipercakapkan telah berada cukup jauh dan tempat itu. Dewa Arak dan Melati
melangkah bersisian, menembus kere-mangan malam. Menempuh perjalanan hidup yang
masih panjang. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Golok Bulan Sabit 1 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Mayat Kesurupan Roh 3
^