Pencarian

Drama Dari Krakatau 1

Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok Bagian 1


Drama dari Krakatau ( an Indonesia Diterbitkan pertamakali oleh Drukkerij Hon Sinng In Kiok. Batavia, 1929
I Pada masa 11.000 taon yang lalu. Sabentar ia keliatan seperti tidur pules hingga beratusan taon lamanya, sabentar lagi ia jadi begitu rajin dan gumbira aken kasi denger suara nyanyiannya yang lebih heibat dari bunyinya meriam, dengen diberikutken lompatnya api dan lumpur panas yang dimuntahken dari dalem perutnya, yang membikin bumi di saputernya jadi bergerak dan langit tertutup oleh asep item dan tebel sedeng aer di lautan jadi mendidih.
Saban kalih itu gunung api bekerja, sifatnya pulo Krakatau lantes jadi berobah. Satu tempo ia terangkat naek dari muka lautan hingga beribuan kaki tingginya, laen waktu ia gugur kombali dan ancur jadi bebrapa potong. Begitu ini keadaan berjalan terus sampe orang Europa dateng di pulo Jawa.
Perletusan dari Krakatau di jeman dulu yang pernah dicatet adalah terjadi di taon 1680, pada waktu mana ia telah timbulken gempah bumi besar yang dirasaken ampir di seluruh Indonesia. Sajumblah besar lahar (lumpur panas) dan abu ia telah muntahken, tapi lantaran cepetnya tanem-taneman tumbuh kombali di itu pulo, maka bekas-bekasnya itu perletusan lantes tertutup oleh utan yang lebat hingga tida kentara, kacuali oleh orang-orang yang ahli dalem ilmu bumi yang lakuken pepreksaan dengen terliti.2
Pada waktu orang Olanda bikin perpreksaan keadaannya itu pulo-pulo di Selat Sunda, ternyata Krakatau ada satu pulo kosong, tida mempunyai penduduk, dan tingginya 2623 kaki dari muka lautan. Maskipun sudah ternyata itu pulo ada satu gunung api, tapi tida saorang pun yang anggep penting dan berharga aken diperhatiken. Di pulo Jawa sendiri ada gunung-gunung Gedeh, Salak, Tangkuban Prahu, Guntur, Papandayan, Galunggung, Slamet, Sindoro, Merapi, Klut, Bromo, Semeru, Lamongan, Raung dan laen-laen lagi yang letaknya di tenga negri yang banyak penduduknya, yang saban-saban mengancem aken datengkan bahaya dan kebinasaan. Maka siapakah yang nanti mau ambil perduli pada itu gunung api di satu pulo kosong yang letaknya di tenga lautan yang disangka sudah padem apinya"
Dua ratus taon blakangan sedari terjadi itu perletusan di taon 1680, yaitu di taon 1877, Krakatau mulai kasi liat tanda-tanda yang ia sudah tersedar kombali dari pulesnya yang begitu lama. Sabentar-bentar di Selat Sunda ada dirasaken tanah-goyang, yang orang tida bisa duga dari mana dateng-nya. Ini keadaan tinggal berjalan terus di taon-taon yang berikut. Sampe di taon 1883, pada waktu
Hari yang Menakutken Di jeman kuno sekali pada beribuan taon yang lalu hingga tida ada catetannya dalem hikayat, pulo-pulo Jawa dan Sumatra ada menjadi satu dengen darat besar dari Azia." Di taon 9564 di muka Nabi Isa, di banyak bagian dari muka bumi telah terjadi perobahan besar lantaran adanya itu perletusan dan tanah goyang heibat yang membikin musna benua Poseidonis, yang ampir sama besarnya dengen benua Australie sekarang ini dan terletak di tenga-tenga lautan Atlantis, hingga jadi karem seanteronya, dan cumah ketinggalan saja puncak paling tinggi dari bebrapa gunung yang sekarang terkenal sebagi pulo-pulo Azoren. Itu Poseidonis yang terkenal juga dengen nama "Atlantis" yang perna diceritaken oleh Plato, ada satu benua yang makmur dan banyak penduduknya, di mana ada berdiri bebrapa kerajaan besar yang jadi pusat dari kasopanan kuno dan memegang prenta atas sabagian dari Europa, Afrika dan Amerika.
Binasanya satu benua begitu besar yang karem ka dalem laut telah timbulken perobahan atas banyak bagian dari ini muka bumi. Itu lautan Sahara di Afrika Utara telah jadi kering sama sekali hingga pulo-pulo Algerien menjadi satu dengen Afrika Tenga, samentara Brittannie dan Ierland,1 yang itu kutika masih jadi satu dengen benua Europa, telah terpisa dan menjadi pulo-pulo sendiri.
Di benua Azia Timur dan Selatan Timur(Asia tenggara) pun telah terjadi juga bebrapa perobahan. Itu jazirat yang menghubungken Bima, pulo-pulo Sunda Kecil, Java dan Sumatra menjadi satu dengen darat-besar Azia, pun telah terpeca jadi bebrapa potong. Satu perletusan yang heibat telah cereiken Jawa dan Sumatra dengen satu selat yang sekarang terkenal dengen nama Selat Sunda. Di tenga-tenga itu Selat Sunda ada muncul puncak dari gunung api yang berupa pulo yang sifatnya saban-saban jadi berobah menurut tenaga dan pakerjaannya iapunya kawah.
Itu keadaan tinggal tetep begitu, dengan terjadi cumah sedikit saja perobahan yang tida sebrapa penting, sampe orang Hindu datang di Jawa aken siarken di ini pulo marika punya kapercayaan agama dan kasopanan. Itu gunung api di Selat Sunda, yang sekarang terkenal dengen nama Rakata atawa Krakatau, tinggal berdiri terus aken cega persatuan kombali antara pulo Jawa dan Sumatra yang ia suda cereiken
mana orang baru dapet tau dengen nyata, itu tanah-goyang di Selat Sunda ada berasal dari kerjanya gunung api di bawah lautan di saputernya Krakatau, yang di bulan Mei dari itu taon mulai kasi liat kaheibatannya dengen muntahken lumpur panas dan abu, dengen diberikutken suara perletusan heibat dan gempah
bumi. Maski begitu masih juga orang tida perduli. Tida saorang pun yang mau ambil pusing atawa taro kuatir pada itu abu dan lumpur panas yang dimuntahken oleh itu gunung api di satu pulo kosong yang letaknya di tenga lautan. Begitulah ini keaadan telah berjalan terus sampe di tanggal 24 Augustus 1883.
Di itu pagi udara ada mendung, hingga sinar matahari yang di bulan Augustus biasa menojol5 dengen keras, tida kasi liat keheibatannya di pasisir dari Bantam Kidul. Orang-orang desa bekerja terus di tanah ladangnya seperti biasa. Di kampung-kampung kadengeren suara lesung dari orang-orang prampuan yang menumbuk padi, sedeng di mana-mana tegalan dan sawah-sawah yang sudah jadi kering aernya, kerna itu waktu ada musim kemarau, keliatan ada memaen banyak anak-anak yang lagi mengangon'3 kambing dan kerbonya, dan ada juga yang maen layangan dengen rupa girang.
Tapi sedeng penduduk dari desa-desa di pasisir Bantam Kidul tinggal bekerja dengen tetep dan girang seperti biasa, Raden Tjakra Amidjaja, Wedana district Waringin yang pernanya di pasisir Bantam Kidul, lagi berduduk di pendopo dari Kawadanan dengen rupa duka dan bingung. Iapunya istri, Raden Ayu Sadijah, ada berduduk di sampingnya dengen rupa sedih, sedeng biji matanya yang berwarna merah dan sedikit membenggul ada menunjukkan bahua ia abis menangis.
"Sudahlah, 'Den, apa guna kau bikin jengkel hati dan kusut pikiran buat perkara yang blon tentu. Bahaya dan kesusahan tida nanti jadi linyap dengen disedihin dan ditangisin. Lebih baek kita srahken saja kita-orang punya nasib kepada Tuhan yang bersifat Murah dan Adil, yang tau begimana musti lindungken pada sekalian umatnya," berkata Raden Tjakra Amidjaja dengen suara lemah lembut pada istrinya itu.
"Itu semua ada betul sekali, suamiku," berkata Raden Ayu Sadijah, "dan aku tida sedikit menaro kuatir pada itu bahaya yang sudah terbayang begitu teges dalem impianku yang dateng berulang-ulang dalem ini bebrapa minggu,
jikalu kita-orang cumah idup berdua saja dalem ini dunia. Aku sendiri tida ambil perduli pada itu bahaya, cumah yang dikuatirken yalah nasibnya kita punya dua putra, Muhamad dan Soeryati. Apakah aken jadi kalu ini district dan Seantero pasisir tersapu oleh ombak yang lebih tinggi dari puhun klapa, dengen disertaken ujan api dan lumpur panas yang membinasaken segala mahluk yang idup?"
"Apakah terus saban malem kau terganggu oleh ini macem impian?"
"Betul, dan sifatnya sudah bukan lagi seperti impian, hanya seperti bayangan yang lantes keliatan waktu baru saja aku tidur layap-layap,17 sablonnya pules betul. Malah di kupingku sringkali kadengeran juga suara tangisnya penduduk yang kelanggar oleh itu bahaya."
"Kapan begitu, aku rasa tida boleh dibiarken saja. Sabentar sore aku nanti suru panggil Kiayie Haji Anwar buat sampein, dan nanti abis bulan kau musti turut bersama aku aken pergi ka Serang buat mengadep pada Doktor Blanda aken minta obat, sebab aku rasa kau dapet penyakit zenuwl8 yang keras sedari abis diserang demem yang paling blakang."
"Aku sedia aken iringin kahendakmu buat minta pertolongan dukun atawa doktor aken sembuhken ini penyakit,kalu kau anggep apa yang aku alamken dalem ini bebrapa minggu ada satu penyakit. Cumah aku sendiri rasa itu bayangan atawa impian bukan penyakit, hanya ada alamat dari bahaya yang bakal dateng. Sedari sering rasaken tanah goyang dan itu pulo Krakatau di tenga laut mengaluarken asep dan bersuara seperti guntur atawa meriam, aku lantes dapet itu firasat yang menunjukken kita-orang di sini bakal diserang bahaya heibat. Aku kuatir sanget, itu gunung di tenga laut nanti datengken bincana."
Raden Tjakra Amidjaja berbangkit, lalu berjalan mundar-mandir dengen rupa memikir keras. Akirnya ia berkata:
"Sedari bulan Mei ini taon tukang-tukang penangkep ikan membawa kabar dari bekerjanya itu gunung di pulo Krakatau, sabentar heibat, sabentar sirep20 kombali. Tapi sampe sebagitu jau blon perna mendatengken bincana apa-apa pada manusia, kerna itu pulo tida mempunyai penduduk. Tapi sekalipun betul itu gunung api meletus dengen sacara heibat, letaknya yang begitu jau di tenga laut nanti membikin kita-orang disini terluput dari bahaya. Laen perkara kalu yang meletus ada Gunung Karang atawa Gunung Walirang,aku mau percaya banyak kota dan desa aken
menjadi rusak. Tapi buat satu pulo kecil seperti Krakatau yang terletak begitu jau dengen diputeri oleh lautan lebar, tida nanti bisa terbitken bahaya apa-apa, itulah aku boleh pastiken! Maka itu Den, janganlah turutken pengrasaan hatimu yang murung dan sedih dengen zonder alesan, hanya berlakulah biar gaga dan tetep hati seperti satu prampuan turunan bangsawan yang bakal jadi Raden Ayu Bupati. Liatlah itu rahayat21 negri yang ada di saputer ini tempat. Bukankah iaorang semua ada dalem kasenangan dan kegirangan serta bekerja seperti biasa" Malah di pasisir satiap hari ada rame, banyak orang berkumpul aken menonton asep yang mulei kaluar dari puncaknya Krakatau iaorang sama sekali tida unjuk takut dan kakuatiran kerna tida ada lantaran buat kita musti takut."
"Oh, kalu itu orang-orang dapet liat itu bayangan yang aku sering liat dan impiken dengen begitu teges!"
"Peganglah resia dari ini perkara, jangan omongken pada satu orang, kerna nanti menimbulken kekalutan dengen percumah. Kalu hatimu merasa takut dan kuatir, baeklah besok pagi kau dengen Moehamad dan Soeryati brangkat ka Rangkas-gombong,22 di mana ayahku ada jadi Bupati, dan diam di sana sampe semua bahaya sudah liwat dan sekalian aken berobat buat sembuhken kau punya penyakit. Abis bulan, kira-kira tanggal ampat atawa lima, aku nanti menyusul aken ajak kau pergi ka Serang buat minta dipreksa oleh doktor. Kalu perlu, aku nanti bawa kau ka Betawi buat berobat pada doktor-doktor yang pande di sana."
"Suamiku, aku tida tega tinggalken kau sendirian di ini tempat aken hadepken itu bahaya..."
"Itu bahaya cumah ada dalem pikiranmu sendiri. Laen orang tida ada pikir bahaya apa-apa yang musti di kuatirken."
"Aku pun harep-harep itu bayangan dan impian yang aku dapet semua palsu adanya. Tapi aku minta, tinggal dulu di sini sampe hari Senen tanggal 27, kalu di itu hari semua slamet, tida ada bahaya apa-apa, aku nanti brangkat ka Rangkas-gombong."
Raden Tjakra Amidjaja lalu berpamitan dengen istrinya, berjalan saorang diri menuju ka pasisir yang diteduhi oleh puhun-puhun klapa, yang bergoyang manggut-manggutan
Bincana = bencana. Sirep = reda. Rahayat = rakyat.
ditiup oleh angin laut yang amat adem dan segar. Itu aer laut yang berwarna biru dari Selat Sunda bergerak dengen perlahan memukul pada pasisir, sedeng di udara ada beterbangan bebrapa burung bango laut dan ulung-ulung yang sabentar-bentar turun ka muka aer dengen amat cepet seperti kilap aken menyamber ikan. Bebrapa prau dengen layarnya melembung tertiup angin, ada belayar di sepanjang pasisir. Di kejauhan di tepi langit ada mengebul asep dari sebua kapal api yang sedeng belayar menuju ka Sumatra Barat.
Tapi itu kepala district tida perduliken pada ini semua pemandangan indah yang ia suda biasa liat satiap hari. Matanya menuju ka jurusan pulo Krakatau, yang terletak kira 15 mijl dari pasisir, yang puncaknya dalem ini bebrapa hari selalu diliputi oleh asep item dan tebel yang beruntun kaluar dari iapunya kawah. Sabentar-bentar keliatan seperi ada apa-apa yang lompat kaluar dari puncaknya itu bukit, seperti asep dari semprong4 kapal api atawa locomotief yang berjalan keras. Tida berselang lama lalu kadengeran suara gelegeran seperti bunyinya gluduk dari kejauan.
Bebrapa orang desa, antara mana ada satu Lurah yang tinggal di deket pasisir, tatkala meliat itu kepala district, lalu menghamperi dan berdiri sedikit jau, Raden Tjakra Amidjaja lalu gapein5 itu kepala desa yang lantes dateng deket dan berjongkok di hadepannya.
"Begimana kau rasa, Lurah," kata itu Wedana, "apakah bekerjanya itu gunung api dari pulo Krakatau sekarang semingkin heibat atawa kurangan dari bebrapa hari yang lalu?"
"Wah, juragan, semingkin keras! Di waktu malem keliatan seperti ada api menyalah berkobar-kobar, sedeng suaranya yang bergemuruh jadi semingkin sering dan bertambah nyaring. Tukang-tukang tangkep ikan sekarang tida brani belayar mendekati itu pulo, kerna katanya aer laut di saputer itu tempat ada panas dan mendidih."
"Kapan begitu, Lurah, aku minta kau atur penjagaan di pasisir sini buat awasin keadaannya itu pulo siang dan malem. Kasi giliran pada mandoor-mandoor dengen dibantu oleh orang-orang kumpenian buat menjaga, dan kalu ada kejadian apa-apa yang kurang baek atawa mengua-tirken, lekas kasi rapport padaku, biarpun tenga malem kau musti lantes bangunin aku."
"Baeklah, juragan, tapi hamba sendiri rasa tiada ada apa-apa yang berbahaya, sebab itu gunung ada jau dari sini."
"Aku pun rasa juga begitu. Tapi menjaga dan berlaku hati-hati tida ada jahatnya."
Sasudahnya briken ini prenta, Raden Tjakra Amidjaja brangkat ka Kawadanan dengen kepala tunduk sambil berpikir. Apakah boleh jadi itu alamat jelek yang didapet oleh istrinya ada dengen sasunggunya" Sasudahnya Raden Ayu Sadijah dapet penyakit demam di otak pada satu taon yang lalu, peringetannya tida begitu baek seperti dulu, hanya selalu murung dan sedih dan sering gugup atawa zenuwachtig. Kalu kejadian apa-apa yang mengagetken, upama denger orang bertreak, anak kecil menangis atawa anjing mengong-gong lantes badannya gumeter dan hatinya memukul keras. Doktor Blanda di Serang yang perna preksa kewarasannya itu Raden Ayu ada bri advies buat kasi ia mengaso di tempat sunyi di mana ia terbebas dari segala hal yang menjengkelken dan menganggu pikiran. Tapi itu nyonya sendiri tida mau ladenin ini nasehat, kerna merasa dirinya tida sakit apa-apa. Ia terlalu cinta pada suaminya buat idup dengen terpisahhingga kalu ia berada di laen tempat itu kekwatiran bagi suaminya ada lebih menganggu pikirannya dari pada tinggal terus dalem Kawadanan Waringin.
Itu tabeat murung dan suka bersedih, yang sudah berjalan ampir satu taon dalem tempo paling blakang telah jadi bertambah dengen kapercayaan bahua satu bahaya heibat ada mengancem bukan saja pada ia sendiri dan suaminya, tapi juga pada seantero penduduk dari district Waringin dan laen-laen tempat di sapanjang pasisir Bantam. Itu kutika blon ada tanda apa-apa yang menunjukken itu gunung api di pulo Krakatau bakal bekerja kombali. Raden Ayu bilang ia dapet itu alamat dari bunyinya burung gaok dari suaranya iapunya tikukur dan dari mengulunnya6 anjing-anjing di waktu malem. Iapunya suami berdaya segala rupa aken bikin itu firasat jelek berlalu dari pikiran istrinya, tapi semua sia-sia, dan malah kapercayaannya pada itu bahaya yang nanti dateng jadi semingkin keras lantaran munculnya satu serie impian atawa bayangan heibat yang berupa turun ujan api, dunia jadi peteng, aer laut naek ka darat rendem antero pasisir dan laen-laen kejadian yang heibat.
Bagi saorang terplajar seperti Raden Tjakra Amidjaja, kaluaran dari Opleiding School di Bandung, ini semua alamat dan firasat jelek dari istrinya sudah tentu ia boleh trausah perduli atawa lempar saja ka samping, dan anggep itu semua sudah dateng dari saorang yang otaknya terganggu atawa pikirannya kurang beres. Tapi selama istrinya dapet itu penyakit, ia telah buktiken bebrapa kejadian yang menunjukken ramalan istrinya ada betul. Bebrapa bulan yang lalu, di satu malem waktu lagi tidur pules, ia dibangunin oleh istrinya yang bertreak minta tolong kerna katanya ada satu prau telah kelebu2 6 kepukul ombak di pasisir hingga banyak orangnya dapet kematian. Itu waktu jam 12 malem, sedeng turun ujan dan angin ribut, lautan pun bergoncang keras, hingga gemuruhnya ombak yang mendampar ka pasisir kadengeran dengen amat tegas. Tatkala ditanya dari mana ia dapet tau itu kecilakaan, Raden Ayu sendiri menjadi bingung kerna... ia mengimpi!
Tapi itu impian lantes berbukti dengen contant.27 Pagi-pagi ia dibangunin oleh satu orang suruan dari kepala desa Sukarame yang bawa kabar bahua di pasisir dari Tanjung Ketapang yang pernanya di Telok Carita, semalem waktu ujan ribut dan ombak besar, satu prau sampan yang muat coprah28 dari Labuan aken belayar ka Anyer Kidul telah jadi karem dan terdampar di pasisir, sedeng dari sapulu anak buahnya, ada anem yang ilang di laut. Jadi apa yang Raden Ayu impiken ada hal yang kejadian dengen sasunggunya!
Di laen harinya pula, Raden Ayu mengimpi dapet liat iapunya Nene di Cilegon sedeng rebah dengen dibungkus oleh kaen putih. Besoknya dateng surat yang mewartaken, itu orang tua telah meninggal dunia!
Ini hal ajaib, ditambah pula dengen bebrapa kejadian laen yang mengheranken, ada menunjukken Raden Ayu Sadijah sasudahnya sembuh dari itu penyakit demem di otak yang berbahaya, telah dihinggapi satu keadaan yang dalem ilmu roh manusia atawa juga dalem occultisme ada dinama-ken clairvoyance, yaitu bisa meliat segala hal yang bakal terjadi, atawa yang telah kejadian di tempat jauh. Tapi Raden Tjakra Amidjaja tida mengarti keadaan dari istrinya itu yang firasatnya, maskipun dalem bebrapa hal telah terbukti nyata, ia masih separo percaya separo tida, yang ia paling jengkelken dan buat pikiran bukan pada itu bahaya yang aken menimpali pada district Waringin, yang dianggep ada terlalu tida masuk di akal buat dipercaya
hanya terutama begimana musti berdaya aken bikin sembuh penyakit dari istrinya, yang kewarasannya semingkin lama jadi bertambah rusak lantaran dalem ini satu minggu yang paling blakang ampir satiap sore Raden Ayu Sadijah diganggu oleh impian dan pengliatan dari itu bahaya yang menakutken, yang tida bisa disangkal lagi ada tanda-tanda dari permulaan penyakit gila.
Tapi seperti di atas sudah dibilang, bebrapa bukti dari kabenerannya firasat dari istrinya membikin ia jadi satenga percaya pada itu bahaya. Tentang bekerjanya Gunung Krakatau ia telah briken rapport pada Assistant Resident di Rangkas-gombong, tapi dari itu kepala negri ia tida dapet titah apa-apa aken ambil aturan buat menolak itu bahaya. Satu kalih, tatkala ia ceritaken pada ayahnya, Bupati dari Rangkas-gombong yang perletusannya Krakatau bisa terliat dari pasisir itu ayah bilang ia sudah berjanji dengen Assitent Resident aken satu waktu mau pergi jalan-jalan ka Waringin buat menonton itu perletusan!
Jadi dari fihak Bestuur,29 sebagi juga dari fihak rahayat, tida ada dikuatirken satu apa tentang itu bahaya yang bisa terbit dari bekerjanya itu gunung api di tenga lautan. Maka jikalu kiranya iapunya Raden Ayu tida begitu jengkel dan ketakutan lantaran adanya itu alamat-alamat heibat, tida satu apa yang bisa menganggu bagi iapunya kasenangan di itu waktu.
Raden Ayu Sadijah membri pikiran aken suaminya masuk rekest7 aken minta dipindain ka district yang jau dari pasisir atawa verlof8 saja buat tiga bulan supaya bisa menyingkir dengen sakalian anak-anaknya ka laen tempat sampe itu bahaya sudah liwat. Tapi ia tida setuju dengen ini pikiran, kerna kewarasannya sendiri tida terganggu hingga tida ada alesan buat minta verlof. Laen dari itu, ia naek pangkat jadi wedana baru satu taon, hingga tida ada sebab buat minta dipindah ka laen tempat. Dari itu, sasudahnya berpikir bulak-balik ia pulang ka Kawedanan dengen ambil putusan tetep aken singkirken istri dan anak-anaknya ka Rangkas-gombong, sedeng ia sendiri tinggal tetep di Waringin dengen srahken nasibnya pada Tuhan Yang Maha Kuasa kalu sampe firasat dari istrinya jadi berbukti.
II Telat Pada hari Minggu malem Senen tanggal 26 jalan 27 Augustus 1883, antero penduduk di pasisir Bantam tida ada yang bisa tidur pules. Itu gunung api Krakatau di Selat Sunda telah bekerja dengen begitu heibat, hingga suaranya yang bergemuruh seperti juga bebrapa ratus meriam di-bunyiken dengen berbareng membikin tulinya kuping. Di seantero hari matahari tida unjuk rupanya, kerna udara tertutup oleh asep tebel yang dimuntahken oleh itu gunung. Dengen diberikut-ken abu alus yang turun seperti ujan grimis, hingga genteng dan atep rumah, begitu pun daon-daon puhun dan rumput di tegalan, jadi berwarna putih semu abu seperti terpalut salju. Semua rumah-rumah musti ditutup pintu dan jendelanya aken mencega masuknya itu abu, sedeng orang-orang yang jalan di straat32 terpaksa tutup idungnya dengen saputangan atawa kekaenan yang jarang supaya tida kena sedot itu abu yang terbang kian-kemari.
Saben kalih kadengeran suara perletusan heibat, yang membikin daon pintu dan kaca-kaca jendela jadi bergumeter dan beradu satu pada laen, bumi pun keliatan telah turut bergerak, hingga barang-barang perhiasan tembok lompat jato di tanah dan lampu-lampu yang tergantung berayun-ayun. Aer laut berombak keras hingga tida satu prau brani belayar ka tengah, sedeng prau-prau kecil yang ada di pasisir semua telah ditarik naek ka darat supaya terluput dari damparannya ombak.
Di itu malem di pendopo dari Kawedanan Waringin ada dipasangin lampu terang-terang, kerna disitu ada berkumpul puluan orang, oppas-oppas dan politie desa aken denger dan jalanken prenta-prenta dari Wedana. Penghulu desa, Kiajie-kiajie, Santri-santri, Imam, Chatib dan Haji-haji, semua berkumpul rame-rame di massigit33 dan langgar-langgar (tempat sembahyang) aken berdowa memuji pada Tuhan buat minta berkah slamet. Semua orang merasa bingung dan ketakutan, tapi tida tau apa musti bikin, Raden Tjakra Amidjaja sendiri tiada tau aturan apa musti diambil aken lawan itu bahaya dari natuur. Ia cumah bisa kirim satu kopral (mandoor oppas) aken pergi ka Rangkas-gombong dengen berkuda membawa satu rapport dari heibatnya keadaan, kerna itu waktu belon ada telefoon dan sekalian
minta Assistent Resident kasi instructie begimana harus berbuat aken melindungken rahayat kalu sampe timbul kejadian yang lebih heibat.
Selama mengatur ini-itu, tida satu saat pun ia lupaken pada itu ramalan dari istrinya yang sekarang keliatannya mulai berbukti. Kalu keadaan tinggal tida berobah, besok pagi ia mau kasi prenta supaya antero penduduk yang ada di pasisir pergi menyingkir ka tempat-tempat yang tinggi di pagunungan di mana dirasa aer laut tida bisa sampe. Pada bebrapa toko dan warung Tionghoa ia telah minta catetan dari banyaknya persediaan beras, garem, ikan dan laen-laen barang makanan yang bakal diangkut aken guna pen-duduk yang hendak disuru menyingkir ka Menes atawa ka desa-desa di kaki gunung Aseupan yang pernanya tinggi. Iapunya anak dan istri besok pagi bakal dikirim ka Rangkas-gombong dengen naek dokar.
Selama ini keributan, Raden Ayu Sadijah, yang biasa begitu zenuwachtig, sekarang keliatan kalem dan sabar. Duluan ia sanget jengkel dan susa hati kerna nasehatnya tida diperduliken. Sekarang sasudanya iapunya impian dan bayangan ampir kejadian hingga semua orang jadi men-dusin34 atas adanya itu bahaya, iapunya hati merasa senang, kerna tau betul antero penduduk tentu turut prenta dari suaminya aken menyingkir ka tempat yang jau dari pasisir, hingga terluput dari itu bahaya heibat. Ia cumah kuatir itu bahaya nanti dateng sablonnya rahayat keburu menyingkir, maka tiada putusnya ia berdowa pada Tuhan aken minta pertulungan dan perlindungannya pada rahayat se kalian.
Maskipun Raden Ajeng Sadijah ada turunan dari Bumi-putera Bangsawan, kerna ia ada keponakan dari Bupati Karang-Antu, ia tida perna trima plajaran seperti anak-anak prampuan sekarang. Pada 45 taon lalu pun orang belon dapet pikiran aken membri didikan yang sempurna bagi anak-anak prampuan. Apa yang ia dapet cumah pla-jaran model kuno,
Mendusin = sadar, terbangun dari tidur.
yaitu mengaji, membaca dan menulis dalem huruf Arab. Dalem waktu yang suker seperti sekarang ini sedikit plajaran ada menulung juga aken besarken hatinya. Ia pimpin sekalian orang prampuan, istri-istri dan jurutulis, mantri lumbung,
mantri irrigatie,9 mantri garem dan laen-laen ambtenaar kecil yang dipanggil berkumpul di Kawedanan aken berdowa pada Tuhan buat minta berkah slamet. Merdu sekali kadengerannya itu suara yang diucapken dengen lemah lembut oleh itu orang-orang prampuan yang berdowa pada Tuhan dalem bahasa Arab.
"Allahuma inna nastainuka, wa nastachfiruka, wa numinu nika, wa natawakkalo alaika, wa nusni alaikal khaira, wa nash kuruka, wa lanakforoka, wa nak lao wa natroko man tafdjoroka. Allahumma ijjaka, nabodu wa laka, nussali wa nasjodo, wa alaika nasa wa nahfido, wa narju rahmataka, wa naksha azabaka inna izabaka bilkuffari mulhik."
(Oh, Allah, kita-orang muhun kau punya pertulungan, minta perlindunganmu dan taro percaya kapadamu, dan pasrahken diri pada Kau dengen sagenep hati, kita bersukur pada Kau, dan kita tida bisa lupaken kamurahanmu, dan kita singkirken dan tinggalken orang yang brani langgar titahmu. Oh Tuhan! Kita singkirken dan tinggalken orang yang brani langgar titahmu, Oh Tuhan! Kita-orang bersedia aken jalanken titahmu, pada Kau kita berdowa dan unjuk hormat, dan pada Kau kita berlari kalu ada bahaya, dan kita nanti cari Kau dengen lekas, kita harep Kau punya kesian dan kita takut pada Kau punya hukuman sebab pasti sekali itu hukuman nanti menimpah pada siapa yang tida taro percaya padamu)
Saban kalih abis berdowa, marika rame-rame menyebut. "Amin" yang kemudian diberikutken dengen jikiran: "Ash-hadoan Ia Ilaha illallah! Ash-hadoanna Mohammad-ar-Rasul Allah!" Kamudian dilanjutken pula laen dowa terus sampe pagi, dengen tida saorang yang dapet ingetan buat tidur, kerna itu suara gemuruh yang seperti bunyi meriam membikin tida saorang pun bisa pules dengen senang.
Di itu hari yang sanget ngeri dari tanggal 27 Augustus 1883, matahari tida unjuk rupanya. Beduk di massigiet sudah dibunyiken aken memberi inget pada sekalian kaum Muslimin aken sembahyang Salat-ul Fajar, tapi di atas langit tida ada sedikit pun cahya terang yang keliatan, baek dari sinar matahari pagi, atawa pun dari bintang-bintang. Antero langit ada gelap seperti tertutup oleh kaen item. Cahaya terang satu-satunya cumah kaliatan di Selat Sunda, di jurusan di mana ada letaknya gunung Krakatau, yang sabentar-sabentar berkebur cahya api yang dimuntahken dari perut gunung, dengen disertaken juga
14 13 berkredepnya36 kilap yang tida bren-tinya samber menyamber.
Jam 6 pagi keadaan masih tinggal tak berobah. Ayam-ayam berkruyuk seperti biasa, kambing dan domba yang ada di dalem kandang mulai berbunyi aken minta dilepasken buat pergi mencari rumput di tegalan. Tapi dari lantaran gelap, tiada saorang pun yang mau ambil perduli, sedeng rumah-rumah masih terus dipasangin lampu.
Jam 7 pagi barulah keliatan cahya remeng-remeng dari sinarnya matahari yang coba tembusin itu asep tebel yang melayang di udara. Tapi perobahannya itu Betara Suria aken pencarken sinarnya ka dunia telah jadi gagal, kerna dari Gunung Krakatau tida brentinya dimuntahken asep bergulung-gulung yang sabentar-bentar menutupi antero langit. Dengen rupa lelah lantaran malem tida tidur, Raden
Berkredep = mengkilap. Tjakra Amidjaja duduk di pendopo, dihadiri oleh kepala-kepala desa dan orang-orang politie aken trima prentanya yang pengabisan. Sasudahnya irup satu cangkir kopi, ia membri tau putusannya supaya antero penduduk yang tinggal di deket pasisir lari menyingkir ka sebla ulu dengen membawa harta banda sakedar yang bisa diangkut. Bebrapa grobak dan cikar sudah dibikin sedia aken angkut beras dan laen-laen barang makanan. Ia minta supaya ini kabar disiar-ken pada sekalian penduduk, yang lantes musti bersiap supaya bisa menyingkir rame-rame sablonnya hari jadi sore.
Tatkala itu kepala-kepala desa sudah bubaran aken jalan-ken itu prenta, raden Ayu Sadijah sudah beresken segala barang berharga yang musti diangkut, dateng membri inget pada suaminya yang sekarang sudah sampe temponya aken brangkat.
"Kang Raka," kata itu Raden Ayu, "Paling baek kita brangkat sekarang, kerna jikalu tida, saya kuatir nanti jadi kasep."10
"Aku tida bisa brangkat sekarang, Den," saut itu Wedana sambil tersenyum; "Aku tida bisa berlalu dari sini sablonnya ini tempat jadi kosong betul-betul. Laen dari itu aku punya jabatan sebagi kepala district mewajibken padaku aken menjaga harta dan miliknya antero rahayat, supaya barang-barang yang tida keburu diangkut, yang
15 ditinggalken dalem rumah-rumah yang sudah kosong, tida diganggu oleh pencuri dan penjahat." "Kalu begitu kapankah kita aken brangkat?"
"Kau sendiri boleh brangkat sekarang juga bersama anak-anak, dan aku nanti menyusul dari blakang kalu dirasa pakerjaan di sini sudah slese."
Raden Ayu Sadijah bengong dengen rupa sedih. Akhirnya ia manggutken kepala dengen berkata:
"Itu pikiran ada betul sekali, Kang Raka. Satu pembesar musti menjaga keslametannya rahayat maski diri sendiri musti binasa. Memang kurang pantes kalu kau berlalu sedeng persediaan dari rahayat aken menyingkir masih blon slese. Kalu begitu, biarlah aku tinggal juga bersama-sama kau di sini, sebab krang pantes satu istri cari keslametan buat dirinya sendiri, sedeng suaminya ada dalem bahaya. Biarlah kita-orang idup dan mati bersama-sama ! "
"Jangan pikir begitu, Den! Kau musti berlalu dari sini buat anter kita punya anak-anak ka tempat yang slamet. Tentang nasib diriku jangan kau kwatirken, sebab aku ada punya satu kuda tunggang yang sudah sedia buat dipake sembarang waktu, hingga dengen lekas aku bisa menyingkir kalu sampe betul-betul ada bahaya."
"Tida, aku tida bisa biarken kau, suamiku yang tercinta, hadepken bahaya dengen sendirian saja. Sebagi satu istri aku wajib bantu dan rawat padamu, serta turut pikul segala bahaya dan kesusahan, sampe di saat yang paling pengabisan."
Raden Tjakra pelok dan cium istrinya dengen penu rasa kagum dan kecintaan. Iapunya hati merasa sanget terharu meliat sikep yang gaga dan setia dari Raden Ayu Sadijah.
"Kapan kau pikir begitu, baeklah!" ia berkata dengen pelahan. "Biarlah Hasan dan Soeriati brangkat lebi dulu dengen dianter oleh mandoor Koernain dan babu Satimah. Aku punya hati menjadi lebih besar dan gumbirah aken lakuken ini pakerjaan yang suker kalu kau ada berdiri di sampingku. Ini bahaya yang mengancem, keliatan telah membikin kau sembuh dari itu penyakit zenuw, kerna sekarang aku liat kau tida lagi penakut dan pengagetan seperti bebrapa hari yang lalu."
Satu dokar dan satu grobak yang suda sedia lalu disuru masuk ka dalem pekarangan Kawedanan. Bebrapa bujang mulai angkutin barang-barang berharga yang hendak di-singkirken. Itu kutika sudah ampir jam 11 pagi, tapi cahya terang cumah remeng-remeng saja seperti magrib. Suara gemuruh dari Krakatau semingkin heibat, sedeng abu yang jato jadi bertambah tebel.
Hasan, anak lelaki dari wedana yang baru berusia delapan taon, dan Soeriati, satu anak prampuan yang berusia lima taon, yang dislimutin dengen mantel tebel dan pake tutup kepala, lalu dituntun kaluar oleh ayah dan ibunya aken dikasih naek di itu dokar, yang kuda-kudanya sabentar-bentar terpranjat saban kali mendenger suara gemuruh dari Krakatau. Raden Tjakra sudah tulis juga dua surat, satu buat Wedana Menes, di mana itu anak musti mampir dalem perjalanan ka Rangkas-gombong, dan satu lagi buat iapunya ayah, Bupati dari Rangkas-gombong. Mandoor Koernain duduk di seblahnya kutsier,38 sedeng babu satimah duduk di blakang bersama itu dua anak.
Tatkala itu dokar ampir brangkat, Raden Ajeng Sadijah suru itu dua anak turun kombali, dan lalu buka iapunya sepasang gelang yang terbikin dari uwang emas Turkye39 yang disambung seperti rante, lalu dipakein pada Hasan dan Soeryati, saorang satu, di mana tangan kanannya.
"Ini gelang," ia berkata pada anak-anaknya itu sambil mengembeng aer mata: "ada barang pusaka tetinggalannya ibu punya nene yang dapet persen dari aki waktu kombali dari Mekkah. Pakelah ini barang seperti peringetan kalu sampe kau tida bisa bertemu lagi pada ibu. Koernain!" ia berkata pada itu mandoor, "jaga baek ini gelang jangan sampe ilang di perjalanan."
Raden Tjakra, yang meliat sikep istrinya, sekarang merasa juga dapet firasat yang ia tida nanti bisa bertemu lagi dengen dua anaknya itu. Maka tatkala itu dokar mulai dijalanken, ia lalu tahan, suru tunggu sabentaran, dan ia lantes lari ka dalem kamarnya. Bebrapa minuut kamudian ia kaluar kombali dengen memegang di tangan dua rante leher yang masing-masing digantungin satu kongkorong40 atawa medaille dari perak, yang di kadua mukanya ada diukir dengen huruf Arab, lalu digantung di lehernya itu dua anak, dengen dipesan pada Koernain dan babu Satimah, buat jaga itu barang jangan sampe ilang, kerna ini medaille ada barang pusaka turun temurun yang berasal dari Sultan Haji di Bantam, dan dipandang seperti jimat, bisa menolak segala bahaya. Kamudian, sasudahnya ia dan istrinya mencium lagi sekali pada kadua anaknya itu, itu dokar lalu dikasi berjalan dan tida antara lama lantes tida keliatan lagi lantaran gelap dan terliput oleh abu yang turun berhamburan seperti asep.
Dengen sanget hati-hati kutsier dari itu dokar kasi jalan kandaraannya yang dilariken dengen pelahan lantaran semingkin lama udara jadi bertambah gelap. Liwat satenga jam barulah itu dokar sampe di desa Cidangur yang jaunya dua paal dari Waringin, di mana ada dua jalan cagak, yang ka Kidul Wetan terus ka Menes, dan yang ka jurusan Lor-Wetan menerus ka Mendalawangi yang pernanya di kaki gunung Karang yang 1775 meter tingginya. Baru saja itu dokar liwatin desa Cidangur bebrapa minuut lamanya, mendadak ka-dengeran suara perletusan beruntun-runtun yang begitu luar biasa heibatnya hingga membikin tulinya kuping, seperti suara saribu gledek menyamber dengen berbareng di atasan kepalanya, hingga itu dua kuda yang tarik itu dokar brontak kabur tida bisa ditahan lagi, dan Satimah yang lagi pangku Soeriati jato terlempar bersama itu anak, sedeng Hasan yang
Kutsier = kusir, sais . "Turkye = maksudnya Turki. Kongkorong = kalung.
kabetulan pegangin tiang dokar, bersama Koernain, dibawa mabur terus di sepanjang jalan di mana kedapetan banyak penduduk berlarian kalang kabut sambil bertreak dan menangis lantaran ketakutan. Liwat setenga paal jaunya itu dokar kena tubruk satu puhun hingga itu kandaran terbalik dan ancur sama sekali, kutsiernya dapet luka keras, sedang Hasan dapat bebrapa luka besot dan benjol di kepala yang kaluarken banyak darah lantaran terbentur batu, tapi Koernain tinggal slamet. Di itu waktu barulah itu mandoor dapet tau Satimah dan Soeriati sudah linyap. Tapi ia tida bisa berpikir lama dan tida ada tempo aken pergi cari. Ia ripuh musti rawat dan bikin sedar pada Hasan yang ternyata sudah jadi pangsan. Suara perletusan begitu heibat yang berbunyi terus-menerus, antero bumi yang sudah jadi gelap petang hingga jari tangan di depan mata tida bisa keliaran, dan suara ratap dan tangisnya orang-orang desa yang bertreak minta tulung, membikin itu mandoor jadi seperti ilang sum-anget kerna tida tau apa musti berbuat. Akhirnya ia ambil putusan aken pondong Hasan buat melariken diri ka jurusan Wetan dengen jalan kaki, kerna pikirannya hendak coba cari laen kandaraan buat menumpang, dan nanti kalu suda sampe di Cening atawa Menes, di mana ia hendak titipken Hasan di tempat yang santosa, barulah ia kombali aken cari tau di mana adanya Satimah dan Soeriati.
Sasudanya berjalan terus di dalem kagelapan bebrapa jam lamanya. Koernain bisa sampe di Cening dan titipken Hasan di rumahnya kepala desa. Sasudahnya mengaso sa-bentaran, ia lalu bertindak balik ka jurusan Kulon aken cari Satimah dan Soeriati. Tapi baru saja ia berjalan satu paal jaunya, dari sebla depan ia denger suara gemuruh yang amat heibat seperti suaranya aer sungai yang sedeng banjir. Dari terangnya cahya kilap yang sabentar-bentar berkredep di udara ia dapet liat satu pemandangan yang membikin ilang iapunya sumanget. Semua desa-desa, sawah, tegalan dan puhun-puhun telah linjap karendam oleh aer yang bergulung-gulung seperti ombak di lautan dan tida ketahuan dari mana datengnya. Dengen lekas Koernain balik kombali ka Cening sambil berlari sekuat-kuatnya, lalu pondong pada Hasan yang terus dibawa mabur ka jurusan Menes, dan ia tida brenti berjalan sablonnya ia sampe di rumahnya Wedana di itu tempat.
Begitulah di itu hari yang heibat dari tanggal 27 Augustus 1883 jam 11 pagi, itu gunung api Krakatau di Selat Sunda telah meletus yang membikin gemper di seluruh dunia. Itu perletusan ada begitu heibat suaranya kadengeran dengen teges di Bangkok (Siam) yang jaunya 1413 mijl Inggris; di pulo-pulo Philippiynen42 yang jaunya 1450 mijl; di Ceylon (2508 mijl) di Australie (2550 mijl) dan di pulo Rodriguez deket Madagascar yang 3000 mijl Inggris jaunya. Itu lumpur, batu dan abu yang dilemparken dari itu gunung punya kawah telah terbang ka atas udara sampe 14 mijl tingginya, dan begitu tebel hingga di Batavia, Bandung dan laen-laen tempat di Jawa Kulon dan Sumatra Selatan menjadi gelap sama sekali, hingga di waktu tengahari orang musti pasang lampu. Itu ombak, yang sudah rendam antero pasisir Bantam dan Sumatra Selatan hingga 35.000 manusia jadi binasa, telah membikin timbulnya aer pasang di mana-mana lautan di antero dunia, yang kasi liat tenaganya sampe di pasisir Kaap Horn yang jaunya 7818 mijl dan di Kanaal Inggris yang jaunya 11.040 mijl, sasudahnya lebih dulu melintasi lautan Atlantis. Di lautan Pacific itu ombak sudah unjuk pengarunya sampe di pasisir Californie, sedeng itu abu alus yang
Sumanget = semangat. Philippiynen = Filipina. bergantung di udara berbulan-bulan, telah jato di ANTERO DUNIA.
Apakah sudah jadi dengen Wedana Waringin, Raden Tjakra Amidjaja dan istrinya" Itu tempat sudah tersapu bersih sama sekali hingga tida ada satu rumah atawa puhun yang tinggal berdiri. Apa yang ketinggalan sudah teruruk oleh lumpur dan abu bebrapa meter tebelnya, dan tatkala satu minggu kemudian orang dateng di itu tempat, tida ada mahluk idup yang kedapetan sedeng mait-mait manusia dan binatang yang tida terseret ka lautan oleh itu ombak, sudah jadi busuk semua dan tida bisa dikenalin.
Tentang Satimah dan Soeriati pun tida ada kabarnya lagi, maskipun Bupati Rangkas-gombong suru orang cari ka kuliling tempat. Orang cumah dapetken reruntuk dari itu dokar di pinggir jalanan bersama mait dari kuda-kuda dan kuetsirnya yang separo terbenem di lumpur. Begitulah Bupati Rangkas-gombong musti tanggung kadukaan bukan saja buat putra dan mantunya, tapi juga buat iapunya cucu prampuan!
Ill Saorang Pertapaan yang Aneh
dengen ditaro barisan soldadu43 dan veld-politie44 di tempat-tempat yang penting, tapi juga sudah dipilih ambtenaar-ambtenaar45 yang cakep dan raj in buat pegang prenta di daerah yang kurang aman, banyak pegawe Bumiputera yang keliatan kurang cakep waktu peca pembrontakan, telah dilepas atawa dipindahken ka laen tempat, dan aken gantinya telah dipilih orang-orang muda yang pande dan gaga serta dapet plajaran sampurna aken pegang tegu kakwasaan pamerentah dan buat tindes pengarunya pemimpin-pemimpin Merah46 yang mengasut pada rahayat.
Di antara ambtenaar-ambtenaar muda yang telah unjuk kecakepannya di waktu timbul pembrontakan, ada teritung juga Mantri Politie Raden Moelia, salah satu putranya Bupati dari Rangkas-gombong yang lantaran jasanya itu telah diangkat jadi Assitent Wedana dan ditempatken di Sindanglaut, satu desa deket pasisir, dalem bilangan district Waringin, afdeeling Bantam Kidul. Dalem tempo satu taon sedari ditempatken di Sindanglaut, ia sudah bisa bikin itu bilangan yang dulu terkenal sebagi sarang Communist, menjadi tentrem dan aman, orang-orang jahat dan tukang mengasut semua sudah terpaksa menyingkir atawa dijeblosken dalem penjara, hingga keadaan di itu daerah jadi santosa kombali seperti dulu.
Pada suatu pagi dari bulan Desember 1927, waktu baru saja terang tanah, itu priyaie muda sudah berduduk dalem kantoornya dengan saorang diri, kerna jurustulis dan laen-laen pegawe belon masuk kerja. Di satu bangku di luar kantoor ada duduk saorang oppas sambil melenggut dan pelok tangan lantaran kedinginan. Di sampingnya itu oppas
Sajek peca pembrontakan Communist di Jawa Kulon di akhirnya taon 1926 pada waktu mana Bantam ada jadi pusat perlawanan yang paling nekat, Pamerentah Blanda telah adaken aturan keras aken menjaga pri keamanan, bukan saja
Soldadu = serdadu. Veld-politie = brigade mobil. Ambtenaar = pejabat/pegawai.
Merah di sini maksudnya kaum komunis atau kiri.
ada saorang lelaki tua dan berambut puti, yang duduk bengong mengisep roko dengen tida bicara apa-apa.
Itu Assistent Wedana baru buka bebrapa surat dienstll yang dateng semalem, yang sasudanya dibaca lalu ditandain dengen potlood,12 kamudian ia duduk mengadepin masin tulisnya, dan mulai typl3 dengen cepet sampe penuh bebrapa lembar kertas. Sasudanya beres, ia kasi tanda pada itu orang tua yang lalu masuk di kantoran dan disilahken duduk di krosi di hadepannya.
"Begimana, bapa Noerhali, apakah kau sudah bertemu pada itu Kiayie?" ia menanya.
"Sudah, baru semalem saya balik di rumah, sasudanya tinggal di sana dua hari lamanya," saut itu tetamu dengan hormat.
"Begimana Bapa, kau punya pendapetan, apakah itu kiayie tida berbahaya" Dan apakah ia sudah bikin di itu gunung ?"
"Sebagitu jau yang saya sudah selidiki dengen saksiken sendiri pakerjaannya dan denger juga ketrangan dari orang-orang kampung di deket situ, ia bukan ada saorang yang berbahaya, kerna ia belon perna bicara dari hal politiek atawa agama, dan kerjanya tida laen cumah berdowa dan bersembahyang serta saban hari Jumahat ia trima orang-orang yang dateng minta obat padanya, buat mana ia tida mau trima upahan satu apa."
"Apakah tida ada banyak orang desa yang jadi muridnya?"
"Sama sekali tida ada, kerna ia tida menjunjung agama Islam, kerna tatkala saya ajak berunding suai agama dan sebut ujar-ujar dari al-Koran, ia keliatan tida mengarti, sedeng menurut orang yang tau dan sering berhubung rapet padanya, kalu ia menjampe atawa berdowa, ia sering ucap-ken nama dari dewa-dewa yang ada dalam cerita wayang, seperti Betara Guru, Betara Wisynu, Betara Ciwa, Sang Yang Brahma, Prabu Siliwangi dan laen-laen sebaginya, dengen tercampur juga omongan bahasa Kawi dan Sanskrit dan laen-laen bahasa yang orang tida mengarti. Namanya Kanjeng Nabi Mohammad belon perna kadengeran ia sebutken dalem dowa atawa bicaranya."
"Kalu begitu ia bukan teritung satu Kiayie atawa Santri?"
"Bukan sama sekali, maski juga ia tida bikin kebratan orang panggil, ia "kiayie" atawa apa saja orang suka. Penduduk desa biasa panggil ia "emban" sedeng ia sendiri namaken dirinya Pandita Noesa Brahma, dan iapunya ayah, yang sekarang sudah meninggal, biasa disebut Pandita Asheka . "
"Apakah kau kenal iapunya ayah?"
"Tida, tapi dari orang tua-tua saya dapet kabar, sajek bebrapa pulu taon lalu ia sering dateng di itu tempat bersama-sama ayahnya, yang oleh orang kampung terkenal dengen nama Embah Asheka."
"Ini nama-nama menunjukken ia ada saorang yang menjunjung agama dulu, yaitu Hindu atawa Buddha, yang dipuja di pulo Jawa pada sablonnya dateng agama Islam."
"Betul, dan ia ada bilang juga, yang ia masih terus pegang tetep itu agama kuno yang sekarang masih dianut oleh orang Baduy."
"Kalu begitu ia sendiri ada saorang Baduy!"
"Inilah tida bisa salah lagi, cumah bedanya ia keliatan ada pinter, sopan, manis budi bahasa, dan terplajar, berbeda jau dengen itu orang-orang Baduy di pegunungan Kendeng yang tabeatnya aneh, pengidupannya mesum, sanget dusun dan tida mau campur pada orang yang bukan kaumnya."
"Apakah betul orang tida dapet tau ia dateng dari mana?" tanya Raden Moelia.
"Tida saorang bisa bilang, dan kalu ditanya di mana iapunya tempat tinggal, dengen tertawa ia menyaut, "oh, jau, jau sekali dari ini tempat," tapi ia belon pernah sebut itu tempat di mana adanya. Salah satu penduduk perna cerita, ia telah ketemu satu kalih pada itu Embah di deket Malingping, pada tepi lautan Kidul, hingga amat boleh jadi ia ada berasal dari tempatnya orang Baduy, yang tinggal tersiar di antara gunung-gunung di sebla Wetan dari Malingping."
"Kalu betul tempat tinggalnya ada begitu jau, perlu apakah ia dateng di sini" Toch tida boleh jadi cumah melulu buat obatin orang-orang yang sakit dengen zonder dapet upahan satu apa."
"Justru inilah yang membikin semua orang merasa heran dan buat pikiran tida abisnya. Iapunya dateng ada begitu tetep saban taon satiap bulan Desember, dan tinggal di puncak gunung Ciwalirang sampe satu bulan lamanya, kamudian lantes brangkat kombali dengen diam-diam, dengen tida satu orang yang dapet badel4 dari mana ia dateng, ka mana ia pergi, dan apa yang ia kerjaken di itu puncak gunung yang begitu sunyi, dengen tinggal di satu gubug kecil seperti orang pertapaan."
"Apakah kalu ia dateng, ia tida perna membawa kawan-kawan?"
"Dulu ia biasa dateng berdua dengan ayahnya, itu Embah Asheka yang katanya sekarang telah meninggal. Blakangan ia dateng dengen teranter oleh satu bujang lelaki, tapi sekarang buat pertama kalih, selaennya satu bujang atawa pengiring. Ia ada bawa juga istri dan anak prampuannya."
"Kalu begitu ia ada mempunyai anak dan istri?" "Ya, dan justru inilah yang membikin sekalian orang merasa heran, kerna itu anak prampuan, yang berusia kira 20 taon, ada amat cantik parasnya, seperti juga satu menak, berbeda jau dengen orang yang tinggal di pedusunan, maski juga tingka laku dan bicaranya menunjukken ia ada satu anak dusun betul-betul."
"Ini sunggu-sunggu aneh. Semingkin mendenger hikayatnya ini Pandita, hatiku jadi semingkin tertarik aken kunjungin dan denger sendiri ketrangannya. Apakah baru pertama kalih ini ia dateng dengen anak dan istrinya?"
"Betul. Ia bilang pada taon yang lalu ia terpaksa batalken niatnya aken dateng di Gunung Ciwalirang lantaran ada rusu Communist hingga segala jalanan dipegat oleh soldadu dan orang-orang politic Maka itu sekarang ia bawa anak dan istrinya supaya orang tida curiga dan sangka ia ada mengandung maksud jelek."
"Tapi apakah kau tida coba tanya apa maksudnya maka ia begitu perluken dateng saban taon di ini gunung?"
"Sudah banyak orang yang tanya, dan selalu dapet pe-nyautan, iapunya maksud tida laen cumah buat jalanken kewajiban dari iapunya agama."
"Kewajiban apakah itu" Apakah buat tulung orang sakit?" "Inilah yang masih tinggal gelap. Dulu-dulu, waktu pandita yang tua masih idup, ia belon perna membri obat pada orang sakit, cumah blakangan, dalem ini bebrapa taon, ia sudah tulung bebrapa orang, hingga kepandeannya tersiar kulilingan, dan begitu lekas terkabar ia sudah dateng, dari segala tempat banyak orang sakit yang cari padanya aken minta diobatin."
"Cara begimanakah ia obatin orang?" "Dengen jampe, pake aer yang sudah didowain, atawa daon-daonan yang begitu manjur hingga ampir tida bisa dipercaya, seperti orang buta ia bikin sampe jadi bisa meliat, orang lumpuh bisa jalan, yang tuli bisa mendenger, yang bisu
bisa bicara, dan laen-laen lagi. Saya sendiri sudah buktiken kemanjurannya iapunya jampe tatkala minta tulung obatin saya punya gigi yang sakit, yang lantes sembuh sasudanya dikemukenl5 aer yang ia jampeken."16
"Betul aneh. Aku ingin usut lebih jau tentang halnya ini pandita. Apakah bapa bisa tulung aken anter padaku buat bertemu padanya?"
"Dengen segala senang hati. Kapankah juragan hendak brangkat?"
"Besok pagi. Apakah orang bisa sampeken ka tempat tinggalnya dengen naek kuda?"
"Orang boleh berkandaran sampe di Sukarame. Dari itu kampung kita musti jalan kaki mengikuti kali Citanjur. Pada tempat di mana sumber dari Citanjur kaluar dari batu-batu karang, di situlah ada terdapat pondok-pondok dari orang yang dateng minta obat, yang diberdiriken dengen mendadak oleh itu orang-orang sendiri, kerna itu tempat ada sunyi, jau dari kampung. Di situ ada juga warung kopi dan tempat orang jual makanan buat melayanin orang yang dateng. Pondoknya itu pandita ada di atas sekali, di deket puncak dari Gunung Ciwalirang, dari mana orang bisa memandang pada lautan dan Selat Sunda dengen sekalian pulo-pulo yang ada di seputernya, dan juga pasisir dari Sumatra."
"Baeklah, bapa, besok pagi jam anem aku harep bapa dateng di sini supaya kita bisa brangkat sama-sama, kerna kabetulan besok ada hari Minggu."
Bapa Noerhali lantes berbangkit dan menyembah, terus berlalu tinggalken itu Assistent Wedana berduduk bengong sendirian, memikirken halnya itu orang pertapaan dari kaum Baduy yang besok ia aken kunjungken. Dari ketrangannya itu orang tua yang jadi iapunya spion,17 Raden Moelia dapet kenyataan, bahua di saputernya pengidupen dan kabiasaan dari itu Pandita, ada tersembuni banyak resia-resia yang suker dibade dan dimengarti, hingga napsunya jadi semingkin keras buat pergi preksa dan cari tau sendiri.
Helaas! Itu prijaie muda tida sekali sangka bahua itu resia yang ia hendak usut bakal jadi begitu penting, dalem mana ada menyangkut keslametannya sabagian besar dari penduduk Bantam, teritung juga kabruntungan buat ia sendiri dan iapunya ayah. Bupati dari Rangkas-gombong!
IV Satu Pandita dari Orang Baduy
Tatkala Assistent Wedana Raden Moelia, yang dianter oleh Bapa Noerhali, sampe di deket puncak dari gunung
Ciwalirang di mana sumber dari kali Citanjur ada kaluar dari batu-batu karang, ia dapetken di situ ada terletak ampat-lima pondok dari atep dan alang-alang yang, seperti Bapa Noerhali terangken, telah dibikin oleh orang desa yang dateng di itu tempat sunyi aken minta pertolongan obat dari itu Kiayie atawa Pandita. Di salah satu pondok ada kedapetan orang jual makanan, seperti ketupat, nasi, kopi, buwa dan kuwe-kuwe, lantaran pada saban hari Jumahat, waktu itu Kiayie trima orang-orang yang sakit, di situ ada dateng banyak orang dari tempat deket dan jau. Tapi di itu hari, lantaran ada hari Minggu, hingga masih musti menunggulima hari lagi aken mendapet obat, di itu pondok-pondok cumah ada sedikit orang saja, yang kebanyakan ada dari tempat jau, yang terpaksa menunggu di situ lantaran terlalu berabe kalu musti pulang dan pergi, atawa orang-orang yang sakitnya berat, yang kakinya lumpuh atawa buta, yang terpaksa musti berdiam sampe jadi sembuh atawa sampe itu Kiayie bilang ia tida sanggup obatin hingga lebih baek pulang saja.
Lantaran sabagi satu ambtenaar bestuur itu Assistent Wedana musti serepinl8 keadaannya itu Kiayie, maka ia sengaja berdiam di itu pondokan aken pasang omong pada orang-orang desa yang ada di situ. Ia tida pake-pakean dienst yang bisa membikin orang dapet tau iapunya pangkat, dan juga tida membawa oppas. Pada bebrapa orang yang kenal padanya, ia minta supaya jangan siarken ia ada satu Assistent Wedana, supaya ia biasa pasang omong pada orang-orang dengen leluasa.
Pada itu waktu di itu pondok-pondok cumah ada bebrapa bias orang saja, sedeng biasanya pada saban hari Jumahat, orang yang dateng sampe ampir seratus. Antara orang-orang sakit yang ada di itu pondok, ada juga bebrapa orang Palembang yang membawa satu kawannya yang matanya dibungkus oleh kaen putih. Ini orang yang sakit, nama Abdoel Sintir, ada satu orang hartawan, sudagar kulit uler dan mempunyai juga kebon karet yang luas. Sudah satu taon ia dapet sakit mata yang membikin ia ampir tida bisa meliat lagi. Ia sudah pergi berobat di rumah sakit mata di Bandung, tapi tida berhasil, sampe akhirnya iapunya satu sobat di Labuan membri tau adanya ini Kiayie yang manjur sekali jampenya buat obatin orang sakit mata, maka ia telah dateng di itu tempat pada bebrapa hari yang lalu, dan oleh itu Kiayie telah dikasi aer penawar yang dituturin di matanya satiap pagi dan sore, dan dalem tempo tiga hari ia sudah mulai bisa meliat samar-samar, dan diharep dalem satu minggu matanya bisa meliat dengen terang seperti dulu, dan itu penyakit, yang berasal dari kena racunnya ular, bisa jadi sembuh sama sekali.
Menurut ketrangannya si tukang warung, itu Kiayie dateng di Gunung Ciwalirang sudah dua minggu lamanya, dan ia aken berdiam cumah buat satu bulan saja. Di bulan Januari ia aken pulang ka tempatnya yang tida saorang dapet tau di mana. Tentang iapunya kepandean mengobatin, ada banyak kejadian yang mengheranken. Bebrapa orang lumpuh lantes bisa berjalan seperti biasa sesudah kakinya diusap bebrapa kalih. Tapi orang yang dari masih kecil kakinya pengkor, ia tida bisa bikin lempang kombali, begitu pun orang yang dari masih kecil sudah buta, bisu atawa tuli, yaitu yang bukan baru diserang oleh penyakit, ia bilang terus terang yang ia tida sanggup sembuhken. Tentang upahan uwang ia sama sekali tida mau trima. Ia cumah ambil saja sedikit pembrian beras buat dimakan satiap hari aken bekel di jalan. Ayam, daging, telor dan laen-laen makanan yang berasal dari barang berjiwa ia tida perna dahar, malah di itu warung ia larang jual makanan yang berasal dari barang berjiwa. Yang didahar oleh itu Kiayie dan familienya cumah sayur dan buah-buahan.
Kalu bukan hari Jumahat ia tida perna tulung orang sakit, biarpun begimana sanget orang meminta-minta. Juga di laen-laen hari itu Kiayie jarang sekali keliatan, tapi tida saorang tau ia pergi ka mana, kerna ia jarang turun dari puncak gunung. Itu tukang warung sendiri sering dateng di pondoknya itu Kiayie aken anterken makanan, tapi j arang
Dituturin = diteteskan. sekali ia ketemuken, cumah ada istri, anak dan bujangnya saja. Familie dari itu Kiayie belon perna bergaul atawa pasang omong pada orang, maski juga satiap pagi dan sore kalu tida turun ujan, iaorang liwat di deket itu pondok aken mandi dan ambil aer di pancuran. Itu Kiayie ditaksir berusia 60 taon, istrinya kira 10 taon lebih muda, sedeng iapunya anak prampuan, yang berusia 20 lebih, ada begitu eilok dan cantik hingga membikin sasuatu orang yang liat jadi merasa kagum. Di bilangan Bantam jarang ada satu anak gadis yang begitu eilok seperti Retna Sari, yaitu nama dari itu anak prampuan dari Pandita Noesa Brama.
"Kalu begitu," kata Raden Moelia, "apakah aku tida bisa ketemuken pada itu Kiayie sekarang?"
"Inilah hamba tida bisa bilang juragan," saut si tukang warung. "Hamba rasa kalu juragan suka terangken yang juragan ada Assistent Wedana yang dateng di sini sengaja hendak cari padanya buat urusan dienst, tentu sekali dia musti trima."
"Kalu begitu, baeklah, kau boleh terangken aku punya nama dan pangkat pada itu Kiayie."
Si tukang warung lalu brangkat naek ka atas. Tida antara lama ia kombali dengen membawa kabar, lagi satu jam Pandita Noesa Brama sedia aken trima kunjungannya. Ia tida bertemu pada itu pandita sendiri. Cumah dapet ini kabar dari istrinya.
Berselang satu jam itu Kiayie punya bujang lelaki nama Koesdi yang berusia kira 50 taon, rupanya pendiam dan banyak berpikir, dateng dari atas aken membri tau. Tuan Pandita sudah bersedia aken trima kedatengannya itu priayi. Raden Moelia dengen teranter oleh Noerhali lantes turut padanya.
Perjalanan aken naek ka atas puncak dari gunung Ciwalirang ternyata tida terlalu senang, kerna orang musti liwat di jalanan kecil antara batu-batu karang di mana ada tumbu banyak gombolan dan rumput alang-alang serta menanjak terus. Matahari itu kutika ada menojo dengen keras, tapi itu cahaya panas dibikin punah oleh angin laut yang adem yang meniup dengen keras dari Selat Sunda. Sabentar-bentar Raden Moelia dengen kawannya musti merandek,19 bukan saja aken membuang capenya, tapi juga buat mengawaskan kaindahan natuur yang terbeber di bawah kakinya, yang keliatan seperti satu pigura.
Di sebla Kulon, di tenga-tenga lautan yang biru, ada kaliatan sekumpulan pulo-pulo yang satu antaranya telah terkenal di seluruh dunia dan membikin banyak orang di Bantam dan Sumatra Selatan inget namanya dengen rasa mengkirik,20 kerna itu pulo yang paling besar sendiri dari itu kumpulan bukan laen dari pulo Rakata atawa Krakatau dengen gunungnya yang sekarang, sasudanya terjadi per-letupan di taon 1883 mempunyai puncak tingginya 816 meter dari muka laut. Kawahnya yang ada di tempo dulu sudah somplak21 dan karem ka dalem laut, hingga apa yang masih katinggalan menonjol di atas muka lautan, tida laen dari pada gunung biasa yang tida ada apinya dan tertutup oleh utan lebet. Jauh sedikit di sablah utara ada terletak pulo Rakata Kecil atawa yang dinamaken juga Lang Eiland (Pulo Panjang sebab bangunnya panjang) yang bagiannya yang paling tinggi ada 140 meter dari muka laut. Sedikit lebih jau di Kulon ada kaliatan pulo Sertung atawa yang dinamaken juga Verlateneiland. Ini tiga ada jadi itu grup atawa kumpulan dari pulo-pulo yang terkenal seperti pulo-pulo Krakatau.
Lebih jau ka sablah Utara ada tertampak pulo-pulo Sebesi dan Sebuku, yang pernanya tida jau dari pasisir
Sumatra. Tanjung Tua atawa Varkenshoek, yaitu bagian dari Sumatra yang paling deket dengen pulo Jawa, ada kaliatan dengen tegas sekali, sedeng lebih jau ka Utara-Barat ada tertampak lapat-lapat itu pulo-pulo dari Lampongs Baai, di mana ada mengebul asepnya kapal-kapal api yang masuk atawa kaluar dari Kalianda, Oosthaven dan Telokbetong, kota-kota pelabuan lada yang paling besar di Indonesia, yang berhubung dengen harganya yang amat tinggi, membikin Sumatra Selatan mengalamin masa yang amat jaya dan beruntung.
Sedikit jau ka Selatan-barat ada tertampak Telok Semangka atawa Keizers Baai dengen Tanjung Cina atawa Vlakkehuk, yaitu ujung paling Selatan dari pulo Sumatra, sedeng di jurusan Selatan ada tertampak Prinsen Eiland yang sebagian besar ada dari rawa melulu, yang terpisah dari pulo Jawa dengen satu selat kecil yang dinamaken Prinsenstraat22 atawa Behhouden-passage.23 Lebih deket lagi ada kaliatan Peper-Baai24 di mana ada terletak desa Citeureup dengen Tanjung Lesung yang terkenal juga dengen nama Java's Derde Punt,25 sedeng kota Labuan yang sejek rusaknya Caringin di taon 1883 ada jadi kota dagang paling rame di pasisir Bantam Kidul bisa kaliatan nyata rumah-rumah dan sekalian prau yang sedeng berlabu di pasisirnya.
Betul di bawah kakinya Gunung Ciwalirang ada terletak itu desa Sukarame, Sukanegara dan Bengros, dengen Tanjung Bangkuang Jang jadi wates antara Bantam Lor dan Bantam Kidul. Pemandangan ka jurusan Selatan ada terhalang oleh puncak-puncaknya dari Gunung Malang (640 meter) Gunung Pangajaran (500 meter) Gunung Aseupan (1160 meter) dan Gunung Pulasari (1345 meter).
Di jurusan Wetan ada berdiri dengen angker itu Gunung Karang, satu gunung api yang puncaknya, yang tingginya
1775 meter dari muka laut, ada jadi wates antara Bantam Lor dan Bantam Kidul (Banten Selatan).
Ialah ada gunung yang paling tinggi sendiri di dalem bilangan Bantam yang bisa keliatan tegas dari kuliling tempat.
Pemandangan ka jurusan Lor ada bagus sekali, kerna tida ada gunung atawa bukit menghalangken pemandangan. Dengen tegas matanya Raden Moelia mengikuti itu jalan yang menyusur sapanjang pasisir mulai dari Tanjung Bangkuang sampe di Tanjung Cikoneng atawa yang terkenal juga dengen nama Java's Veerde Punt, di mana ada kaliatan itu mercu api dari pasisir Anyer Kidul. Desa-desa Cinangka, Padarincang dan laen-laen yang terletak antara pasisir dengen Rawa Danau ada terpeta satu per satu, sedeng di sablah lor ada Rawa Danau, telaga yang paling besar sendiri di bilangan Bantam, ada kaliatan Gunung-gunung Sariung, Gede, Tukung dan Merak yang membikin Cilegon dan Anyer Lor terhalang dari pemandangan. Di tenga laut dari selat Sunda, betul di tenga-tenga antara Java dan Sumatra, ada kaliatan itu Pulo Sangiang yang dinamaken juga Dwars in den Weg.
Raden Moelia bengong memandang ini semua kaindahan sambil duduk bersidakep di atas salah satu batu karang di deket itu puncak Gunung Ciwalirang, sampe ia terpranjat mendapet tegoran dari satu suara yang alus, tapi nyaring dan merdu serta bersifat agung, yang berkata dalam bahasa Sunda begini:
"Slamat datang, Juragan, saya girang sekali yang kau sudah sudi kunjungi saya punya tempat yang hina di ini pagunungan yang sunyi."
Itu priyaie berpaling dan dapet liat di seblahnya ada berdiri saorang tua yang berjembros panjang yang sudah banyak bercampur uban, kepalanya ditutup oleh semacem kopia dari kaen biru yang macemnya seperti kokojong, yaitu diseblah blakangnya panjang menutupi puncak dan kadua kupingnya, sedeng bajunya terbikin dari kaen poleng warna abu-abu yang macemnya seperti jubah, panjangnya sampe liwatin lutut dengan dipakein kancing dari kulit kiong. Celananya dari kaen item, dan kakinya pake terumpah kulit. Badannya itu orang tua ada sedikit kurus, tapi tinggi, lebih tinggi dari laen-laen orang Bumiputera yang kabanyakan; parasnya agung dan angker seperti saorang Bumiputera turunan bangsawan, jidatnya lebar, matanya bersorot terang, idungnya mancung dan sedikit panjang,
30 29 alisnya tebel, janggutnya tirus, sedeng di bawah dari kumisnya yang gompiok ada kaliatan sebaris gigi yang putih.
Raden Moelia lantes turun dari atas batu karang di mana ia berdiri, lalu bersalaman pada itu orang tua sambil berkata:
"Apakah saya berhadepan dengan tuan Pandita Noesa Brama?"
"Betul, juragan," saut itu orang tua.
"Saya punya dateng di sini perlunya aken blajar kenal pada tuan Pandita yang sudah termashur pande dalem hal mengobatin orang-orang sakit, hingga saya denger ada banyak orang kampung dari kuliling tempat yang dateng minta obat saban kali Tuan Pandita ada di sini."
"Itu betul, tapi saya punya pakerjaan sabetulnya bukan buat menjadi dukun, maka pada saban minggu saya cumah sediaken tempo buat menulung orang sakit satu hari saja, yaitu saban Jumahat. Dari hal kemanjurannya saya punya obat atawa jampe, sabetulnya bukan terbit dari saya punya kepandean. Saya cumah mintaken saja pertulungan pada yang Maha Kwasa. Kalu Tuhan kasian pada si sakit, tentulah ia dibri kasembuhan, tapi kalu sudah sampe takdirnya itu orang musti binasa, tida ada satu kekwasaan di dalem dunia yang bisa tulung padanya."
"Itu betul, tuan Pandita, kau punya bicara itu ada masuk di akal. Saya girang sekali mendenger kau punya katerangan ini, yang ada berbeda jau dari dukun-dukun yang kabanyakan, yang suka sekali banggain iapunya kepinteran dan kamanjuran, seperti juga ia ada lebih berkwasa dari pada Allah dalem hal memegang umur manusia. Sabetulnya tida ada dukun, tabib atawa doktor yang bisa merobah nasib dari manusia yang sudah musti sampe ajalnya. Tapi toch maski begitu, dari banyak fihak saya dapet ketrangan, kau bisa sembuhken penyakit-penyakit berat dengen secara yang sanget mengheranken. "
"Juragan, dalem dunia tida ada barang heran, kalu saja orang tau resianya. Apa yang saya sudah berbuat, banyak laen-laen orang pun bisa berbuat juga, kalu tau jalannya. Tapi, oh, dalem dunia ini ada terlalu banyak manusia yang masih bodo, yang gampang ditipu oleh segala dukun-dukun dan tabib yang dikira pinter dan sakti, hingga membikin gemuk pada itu segala penipu yang lantes bikin padet sakunya sendiri kalu orang yang terlalu percaya padanya sudah jato di bawah pengaruhnya."
"Tuwan Pandita! Bicaramu ini menunjukkan kau ada saorang alim dan arif bijaksana hingga saya merasa girang sekali bisa ajar kenal padamu. Saya sampe tau kau menulung orang-orang yang sakit dengen hati jujur, bukan buat cari keuntungan guna diri sendiri, kerna kau blon perna trima upahan uwang atawa barang berharga, maski juga kau bukan saorang mampuh."
"Juragan, kalu orang cumah tida mau trima upahan, itu blon boleh dipuji, kerna ada banyak dukun atawa doktor yang menulung orang dengan tida trima upah berupa uwangatawa barang, tapi iaorang ingin dapet laen rupa ganjaran, yaitu rasa sukur dan pujian dari fihak yang ditulung supaya namanya termashur. Buat satu dukun, tabib atawa doktor yang mampu, yang bisa idup pantes dengen tida kakurangan satu apa, iapunya penampikan aken trima upah dari orang-orang miskin yang ditulung, bukan satu kebaekan yang terlalu besar, kerna itu ada kewajibannya buat gunaken itu kepandean yang Tuhan telah kasih padanya aken entengken kasusahannya laen-laen orang. Tapi biasanya, lantaran tida mau trima upahan uwang ada banyak dukun dan tabib yang merasa wajib aken minta dari itu orang-orang yang perna ditulung buat inget betul-betul iapunya budi, musti taro harga dan junjung tinggi padanya, pandang dirinya seperti satu dewa atawa orang suci yang musti dipuja, didenger dan diturut segala prentahnya, hingga orang yang ditulung selalu musti merangkang26 di bawah kakinya dan jato di bawah pengaruhnya. Inilah ada permintaan upah yang lebih berat dari pada upahan uwang atawa barang berharga . "
"Oh inilah yang menjadi sebab tuan Pandita tida mau terangken di mana tempat tinggalnya yang betul, hingga tida saorang yang tau, supaya tida bisa orang membales itu budi yang ia trima lantaran penyakitnya disembuhken."
"Betul begitu, tapi inilah bukan sebab yang satu-satunya. Masih ada lagi laen hal penting yang saya tida boleh terangken maski pada siapa juga, yang membikin saya tida bisa tuturkan di mana adanya saya punya tempat tinggal, kerna saya ini ada saorang perjalanan, yang tida berdiam tetep di satu tempat, hanya selalu mengider ka tempat-tempat yang jau. Ini nama Noesa Brama saja cumah pake di sini saja. Di laen tempat saya ada punya laen nama lagi, kerna itu ada berhubung dengen saya punya agama. Tapi marilah, juragan, angin meniup keras, hingga kita tida bisa beromong-omong dengen leluasa."
32 31 Raden Moelia diikuti oleh kawannya, lalu berjalan bersama itu Pandita aken pergi di itu rumah pondok yang letaknya cumah kira-kira 30 meter dari itu tempat, tapi barusan tida kaliatan kerna teraling oleh puhun-puhun yang merambat.
Itu pondok ada saderhana sekali, terbikin dari bambu dikepang, atepnya dari alang-alang, tingginya di bagian depan tiga meter, lebarnya anem meter. Bebrapa panjangnya itu pondok, waktu masih ada di luar tida bisa ditaksir, kerna berdirinya menempel di antara batu-batu karang yang kira-kira 15 meter tingginya, sedeng di kanan dan kirinya pun ada bukit kecil yang membikin itu pondok terluput dari tiupannya angin yang keras. Harus dibilang, tempat yang dipilih oleh itu pandita ada bagus sekali, kerna di depannya ada lapangan kecil di mana ada tumbuh bebrapa puhun kembang utan, sedeng dari satu bangku kayu gunung yang ditaro di tempat teduh di bawah satu puhun duren, orang bisa memandang segala kaindahan alam yang terletak di bawahnya gunung Ciwalirang, yang barusan disaksiken oleh Raden Moelia dengen merasa kagum.
Tatkala iaorang masuk ka dalem itu priyaie dapet cium baunya dupa, maski juga tempat pendupaan tida kaliatan. Itu pondok ada teraling oleh bambu dikepang yang memisahken bagian luar dengen dalem. Prabotannya itu pertengahan bagian luar ada amat saderhana. Di situ cumah ada satu bale-bale dari bambu yang tertutup tiker bersih, di mana ada ditaro tempat sirih, gendi aer, tekoan thee dengen bebrapa cangkirnya, satu sisir pisang dan bebrapa juring duren muda. Di satu pojok ada terletak satu peti bekas minyak tanah di mana ada kadapetan bebrapa potong pakean punyanya Koesdi, pengiringnya itu Pandita yang rupanya saban malem tidur di itu pertengaan. Di pinggir bilik ada tersender satu pacul dan satu sesapu lidi, sedeng di bebrapa paku yang tertancep menonjol di sapanjang bambu pengeret ada tergantung bebrapa potong pakean, satu payung kertas, satu almanak Jawa, dan satu golok.
Brapa panjangnya itu pondok ka bagian dalem, itulah tida bisa dibilang, kerna pintu buat masuk ka dalem ada tertutup. Tapi Raden Moelia taksir sedikitnya musti ada anem tujuh meter lagi, yaitu dengen mengimbangi dari suaranya orang prampuan yang kadengeran bicara di situ. Inilah membikin itu priyaie jadi sedikit heran, kerna kalu
33 diliat dari luar, itu pondok yang berdiri begitu rapet dengen itu bukit karang, tida bisa ada begitu panjang.
"Ini pondok ada enak sekali," kata Raden Moelia sasuda-nya berduduk di bale-bale bersama itu pandita. "Saya merasa betah aken berdiam disini. Sunggu tuan pandita pande sekali memilih tempat tinggal yang enak."
"Ini tempat bukan saya yang pilih, hanya sudah ada sedia dari jeman dulu, waktu saya punya bapa dan aki masih idup, selalu kita berdiam di sini saban kalih dateng di ini tempat, dengen berdiriken pondok baru."
"Kalu begitu, sudah turun temurun tuan pandita punya bapa dan aki biasa dateng di sini?"
"Betul, malah lebi dulu dari saya punya aki, yaitu akinya saya punya aki, dan orang-orang tua yang lebih jau lagi, selalu dateng kunjungin ini tempat, yang kita-orang sudah hargaken tinggi dan pandang suci pada sablonnya orang Putih dateng di Jawa, ya malah, pada sablonnya agama Islam dipuja oleh penduduk di ini pulo."
"Tuan pandita, apakah saya boleh dapet tau apa sebabnya ini tempat begitu dihargaken oleh tuan punya kake moyang terus turun temurun sampe pada tuan sekarang" Apakah yang membikin ini tempat dianggep suci" Turut saya punya pengliatan,27 ini gunung Ciwalirang tida ber-beda dengen laen-laen gunung yang ada di Bantam, malah ada banyak laen gunung yang lebih tinggi dan macemnya lebih angker, dan di mana ada banyak kuburan suci atawa kramat, yang sering dipuja oleh penduduk yang masih tahayul."
"Juragan, buat terangken sebabnya satu per satu itulah saya tida bisa, cumah saya boleh bilang, kita-orang sakedar mengikuti kapercayaan dari kita punya agama. Juragan pun tau, saban taon ada ratusan ribu orang Islam dari kuliling dunia sudah perluken dateng di Mekah, buat cium itu batu item yang ada di Kaabah, maski juga di laen-laen negri ada banyak batu yang lebih indah dan mulia dari pada itu batu di Mekah. Begitu pun kita-orang, yang masih wajib satiap taon dateng di sini buat satu bulan lamanya, sakedar aken jalan-ken titah dan kawajiban dari kita punya agama."
"Tapi kalu begitu adanya tuan punya maksud, mengapakah cumah tuan punya kake moyang dan familie saja yang turun temurun dateng di sini" Mengapakah laen-laen orang yang menyembah agama kuno tida turut dateng juga bersama-sama?"
"Itulah ada dari sebab ini kawajiban melaenken jato di pundak kita-orang yang jadi kepala atawa pandita dari kita
34 punya agama. Laen dari itu juragan pun tau sendiri, orang-orang Bantam yang beragama Islam seringkah membenci dan musuhken yang memuja pada laen agama, malah dalem perusuhan di Cilegon dalem bulan Juli 1888 ada bebrapa priyaie-priyaie beragama Islam sudah dibunuh mati kerna iaorang dipandang kafir sebab bekerja pada orang Blanda. Lantaran di bilangan Bantam sini ada banyak orang yang sanget fanatiek, maka kita tida boleh gegabah aken kasih kentara yang kita ada memuja pada laen macem agama."
"Tapi sekarang pemerentah ada pegang aturan keras, hingga tida nanti biarken penganut agama yang satu memusuhi pada orang yang bersujut laen agama."
"Itu betul. Tapi itulah kabencian yang diunjuk di tempo dulu membikin kaum yang menyembah agama Hindu tiada brani unjuk dirinya lagi, hingga kita-orang yang tida mau masuk Islam terpaksa lari menyingkir ka dalem utan rimba yang tida bisa didatengken orang. Saya punya kaum, itu orang-orang Baduy yang masih ada katinggalan di utan-utan dalem bilangan sablah selatan dari Lebak, terpaksa mengumpet terus menerus, dan itu kabiasaan asingken diri dari pergaulan laen-laen manusia sudah memakan begitu keras dan masuk betul dalam tabeat dan darah dagingnya, hingga maskipun keadaan sekarang adalah lebih santosa, iaorang masih tinggal kukuh dengen kabiasaan di tempo dulu waktu orang yang bukan Islam ada dalem bahaya, dan dengen begitu kaum Baduy yang dulu begitu besar kakwasaannya di Jawa Kulon waktu masih berdiri kerajaan Pajajaran, menjadi satu golongan kaum Bumiputera yang paling mundur dan kablakang sendiri di seluruh Bantam dan Preangan, ya, brangkali juga di seluruh pulo Jawa."
"Kau punya keterangan ini, tuan Pandita, ada menjadi tanda yang kau ada saorang arif bijaksana, hingga saya merasa kagum di antara kaum Baduy ada terdapet saorang yang begitu luas pemandangan dan pengatahuannya seperti kau. Tapi berbareng dengan itu, maafkenlah Tuan Pandita, kalu saya tida bisa umpatken saya punya pengrasaan heran, yaitu: sedeng kau sendiri ada begitu pande, mempunyai pengatahuan begitu luas dan dalem, bagaimana bisa biarken dan tida perduliken kau punya kaum, itu orang-orang Baduy yang masih katinggalan di dalem rimba-rimba di Selatan dari bilangan Lebak, idup dalem kaadaan begitu jelek, hingga katinggalan jau oleh laen-laen orang Bumiputera di ini Pulo
35 Jawa, dengen kau tida mau coba aken perbaeki nasibnya, supaya iaorang bisa mengikuti kemajuaan jeman yang sudah berobah jau."
Pandita Noesa Brahma memanggut-manggut sambil tersenyum. Sasudahnya irup sacangkir kopi, ia lalu berkata:
"Kau punya pertanyaan tida sekali membikin saya jadi heran, kerna sasuatu orang yang cumah meliat keadaan dari sablah luar niscaya ada pikir juga begitu. Sabagi juga satu kembang, ada waktunya megar dan ada waktunya ia jadi layu dan gugur ka tanah, begitu pun satu golongan bangsa atawa kaum agama, berganti-ganti dateng gilirannya aken ia naek ka puncak kamuliaan, lalu merosot turun, rubuh ka tanah dan jadi musna. Sudah ditakdirken oleh yang Kwasa kita-orang punya kaum bakal merosot turun hingga tida ada kapandean manusia yang bisa perbaeki itu seperti juga tida ada orang yang mampu bikin seger kombali bunga yang sudah kering dan layu."
"Tapi, kau punya anggepan itu cumah bisa dibenerken kalu semua percobaan sudah jadi gagal. Apakah tuan Pandita sudah perna coba?"
"Coba dalem perkara apa, juragan?"
"Coba buat bikin iaorang jadi lebih pinter, dengen adaken sekola-sekola, kasih kenal kasopanan, pimpin supaya iaorang mengarti lebih baek kafaedahannya pergaulan idup, suru iaorang blajar berniaga, bertukang atawa berkuli, luasken pengatahuannya dalam ilmu pertaniaan, pertukangan dan karajinan, seperti yang sedang diihtiarken oleh sekalian pemimpin-pemimpin bangsa sekarang ini, yang sedeng bekerja keras buat bikin kabangsaan jadi maju dan bruntung."
"Itu semua kita blon coba, sebab saya sudah tau bakal sia-sia, dan malah membikin saya punya kaum jadi lebih cilaka dari sekarang ini."
"Lebih cilaka" Inilah sunggu saya tida mengarti."
"Itulah ada dari kalangan juragan cumah memandang dari luar saja, tida tau selak-seluknya dari sablah dalem. Selama ini tiga abad yang iaorang idup sendirian di utan lebat dengen terpisah dari pergaulan laen-laen bangsa, kaum Baduy punya kaadaan sudah mundur begitu jau, hingga dalem perkara kasopanan, karajinan dan agama, iaorang sudah katinggalan dengen tida ada harepan buat bisa menyusul kombali, maskipun saya ada jadi iaorang punya pandita, saya sudah tida dapet marika punya antero
36 kapercayaan, hingga tida ada punya cukup pengaruh yang membikin saya punya bicara bisa diturut, kita-orang punya agama sudah disia-sia, kita punya dewa-dewa dan tempat-tempat pemujaan yang suci sudah tida dirawat dan diperhatiken lagi lantaran iaorang punya kapercayaan sudah tercampur dan teraduk begitu rupa hingga apa yang sekarang masih katinggalan sudah tida karuan bangunnya, dan ampir tida bisa dikenalin lagi. Agama yang sekarang saya puja, yaitu agama yang bersih seperti diturunkan oleh saya punya kake moyang di jeman dulu, buat kabanyakan orang Baduy ada sama juga asingnya sebagi agama Islam atawa Kristen. Maka buat saya, aken pimpin kaum Baduy ada sama juga sukernya seperti buat tuan sendiri!"
Raden Moelia tercenggang mendenger itu omongan. Kamudian ia berkata:
"Kalu begitu tuan Pandita tida tinggal di antara orang-orang Baduy?"
"Saya tida tinggal tetep antara iaorang," saut Pandita Noesa Brama sambil goyang kepala, "saya punya tempat ada deket dengen kadiamannya orang Baduy tapi bukan dalem kampungnya. Kalu saya tinggal di sini tentulah saya punya anggepan dan pikiran tinggal cepet seperti iaorang dan sekalipun sekarang saya mau idup dalem itu golongan, iaorang tentu nolak, kerna plajaran agama jeman dulu yang masih bersih yang saya ada puja, iaorang sudah tida kenalin lagi."
"Kalu begitu, tuan Pandita bukan teritung orang Baduy lagi?"
"Saya sendiri tetep ada saorang Baduy, pandita dari kaum Baduy, maskipun saya punya kaum kabanyakan tida perduliken. Ini pangkat atawa gelaran ada saya punya hak turunan yang tida bisa direbut atawa diilangken oleh siapa juga. Saya selalu ada perhatiken kabaekan dan kaslametan-nya saya punya kaum, dan masih ada punya perhubungan dengan banyak tetuanya yang saya sering kunjungin aken membri nasehat, pertulungan dan obat-obat. Saya sudah preksa kaadaan saya punya kaum itu dengen sanget terliti, dan pengabisannya saya ambil putusan, kalu mau bikin iaorang jadi senang dan bruntung, tida ada laen daya dari pada biarken iaorang idup dalem kaadaan seperti sekarang ini, jangan coba aken campur dan bikin maju padanya."
"Jadi tegasnya, tuan punya anggepan ada lebih baek aken kasih tinggal iaorang dalem kabodoan dan kagelapan?"
37 "Betul. Sebab dengen begitu kita-orang tida bikin rusak marika punya kasenangan dan kabruntungan."
"Apakah tuan mau bilang orang-orang yang bodo bisa idup lebih bruntung dari orang yang pinter dan terplajar?"
"Buat satu bangsa atawa kaum yang musti idup dengen bergaul pada segala bangsa dan golongan, kabodoan nanti mendatengken bahaya dan kacilakaan, kerna membikin orang pandang dan perlakuken padanya seperti budak. Tapi buat satu golongan yang sudah tiga ratus taon idup sendiri di tempat sunyi dengen terpisah dari laen-laen bagian dunia dan tida bergaul pada orang yang ada di luar dari kaumnya, itu kapinteran nanti melinyapken iaorang punya kasenangan."
"Saya kurang mengarti dengen tuan Pandita punya omongan."
"Baeklah saya nanti cerita lebih terang lagi. Juragan tentu sudah denger juga, saya punya kaum, itu orang-orang Baduy, maskipun mempunyai banyak adat kabiasaan yang bodo dan tercela, ada punya juga sifat-sifat yang baek, upama: tida suka dusta, menipu, mencuri, bergadoh atawa setori satu sama laen, hanya selalu idup dami pada sasama bangsa, hingga tida perlu ada pengadilan dan politie lagi. Laen dari itu pengidupannya ada amat saderhana, tida suka pada kareboan, tida kenal pada kakayaan, kabagusan dan karo-yalan, hingga tabeatnya tida temaha dan tida berdengki satu sama laen. Inilah yang paling bersih. Betul iaorang idup susah, miskin, jorok, mesum dan semua sanget bodo, taha-yul, dan pemaluan, tapi iaorang idup dengen aman dan dami, tida mengenal persaingan dan perguletan idup yang membikin bangsa-bangsa yang sudah "maju" dan "sopan" jadi tida jiji aken berbuat segala macem kajahatan dan pembunuhan. Percayalah, juragan, yang ini kaadaan nanti lantes berobah, begitu lekas iaorang sudah masuk sekola, membaca buku-buku dan surat kabar, dan bergaul dengen segala bangsa, hingga mengarti makanan yang sedep, pakean yang necis, rumah tangga yang enak serta kenal harganya uwang, pangkat, kakayaan, dan kehormatan, dan kasudahannya apakah nanti jadi" Kaum Baduy nanti linyap, kerna itu kajujuran, kaamanan dan kasenangan pikiran semua bakal musna, dan aken gantinya ini pulo Jawa yang sekarang sudah padet penduduknya nanti dapet tambah bebrapa ribu rahayat yang cumah pikir bagimana musti cari uwang, tida perduli dengen jalan menipu, mencuri, merampok atawa membunu, aken sampeken hawa nafsu serakah yang dibikin timbul dalem hatinya oleh "pelajaran dan kamajuan" yang sekarang dengen
38 rata-rata sedeng dikejer oleh Bumiputera di ini pulo yang hendak cari kamerdikaan dan angkat derajat bangsa, hingga baru ini telah timbul perusuhan Communist yang membikin banyak jiwa binasa dan ribuan orang dapet susah."
Raden Moelia tercengang mendenger ini keterangan yang mengutarakan satu filosofie yang tinggi dan peman-dangan amat luas. Saumur idup ia blon perna denger orang bicara begitu tegas dan nyata aken unjuk bahua apa yang dinamaken plajaran dan kamajuan tida slamanya men-datengken berkah.
Sekarang itu priyaie mengarti yang ia bukan berhadepan pada saorang biasa, seperti pada guru-guru agama, kiayie atawa santri sembarangan yang omongannya sabagian besar diambil dari kitab-kitab agama, yang seringkah artinya bisa diputer pergi dateng menurut maunya orang yang ucapken itu. Ia sekarang sedeng berhadepan pada satu Filosoof atawa Pujonggo yang pangatahuannya tida lebih bawah dari guru-guru di Bestuurschool.
V Panahnya Amor Samentara Raden Moelia bengong berpikir, Pandita Noesa Brama turun dari bale dan minta permisie ka blakang sabentaran, kamudian ia kaluar kombali dan lalu menanya:
"Sekarang sudah tengahari. Tentu juragan dari pagi blon dahar. Apakah tida kabratan aken dahar disini" Tapi saya mau kasih tau lebih dulu, kita-orang tida punya apa-apa aken disuguhken, cumah nasi merah dengen lalap dan sambel."
"Oh, dengen segala suka hati, tuan Pandita," berkata Raden Mulia dengen kaget seperti orang baru tersedar dari pulesnya. "saya merasa girang kalu bisa dahar bersama kau di sini, saya sendiri suka sekali dengen lalap-lalapan, sebab saya sudah biasa dahar di pagunungan." "Bawa kaluar, Retna!" bertreak Pandita menuju ka dalem.
Tida antara lama lalu kaluar satu prampuan tua yang aer mukanya manis dan terang, yang dikasih kenal oleh Pandita seperti iapunya istri, dengen membawa satu bakul berisi nasi merah yang masih mengebul asep, dan lalu ditaro di bale-bale, Raden Moelia lalu berbangkit aken bersalaman, sambil berkata: "Banyak trima kasih ibu, saya bikin kau banyak susah dengen menumpang makan di sini."
39 "Saya harep Juragan tida celah buat ini barang makanan yang tida ada sabagimana mustinya," berkata itu istri Pandita dengen bahasa Sunda alus yang merdu.
Samentara itu dari dalem telah dateng satu anak prampuan yang membawa satu nenampan berisi rupa-rupa lalap dan sambel yang ditaro di atas daon pisang, dan sasudahnya atur itu barang makanan di atas bale, lantes mulai singkirken itu bua-bua yang tadi dipake buat temen kopi.
Raden Moelia yang baru bicara dengen istri Pandita, lebih dulu tida taro perhatian pada itu gadis. Maka tatkala ia menengok, bukan kepalang iapunya terkejut, kerna meliat di hadepannya satu... bidadari!


Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu gadis berkulit putih kuning, badannya langsing dan sedikit tinggi, mukanya tirus, matanya item dan bersorot terang dengen dituwangin oleh sapasang alis yang seperti disipat, di atas mana ada jidat yang lebar, sedeng idungnya ada sedikit mancung. Yang paling menarik ada iapunya mulut yang diapit oleh bibir berwarna dadu, yang macemnya seperti orang tersenyum, sedeng janggutnya yang kembar ada berbanding betul dengen pipinya yang montok dan bersujen, yang membikin itu muka jadi bercahaya saban kalih ia tersenyum dan kasih liat dua baris gigi yang putih seperti mutiara. Rambutnya yang item jengat tida disisir, dan kondenya pun sembarangan, di mana ada terselip satu dua kembang cempaka, sedeng lehernya yang junjung ada terhias dengen satu rante merjan dan satu rante perak yang di ujungnya tergantung satu macem uwang ringgitan dari negri asing yang juga dari perak. Bajunya ada dari cita murah yang pake kembang-kembang warna ijo, yang sabagian sudah luntur, sedeng sarungnya ada batikan Tanahabang, yang berharga murah, pun sudah tua dan gurem.
Tapi maskipun berdandan sembarangan Raden Moelia dapet liat nyata itu gadis punya kaeilokan. Ia awasin dengan penuh perhatian waktu itu gadis punya tangan yang montok, yang diriasin dengen gelang emas dan merjan, lagi angkatin itu cangkir-cangkir kopi aken disingkirken ka satu poj okan.
"Lekasan sedikit, Retna," kata istri Pandita, tatkala meliat itu gadis berlaku ayal seperti orang yang gugup lantaran diawasin oleh itu priyaie muda. "Apakah ini ibu punya anak?" tanya Raden Moelia.
"Betul juragan, iapunya nama Retna Sari dan ada saya punya anak yang satu-satunya".
40 Sasudahnya beres atur barang makanan di itu bale-bale, Retna Sari dan ibunya masuk ka dalem, sedeng Raden Moelia bersama itu Pandita dan Bapa Nurhali lalu bersantap dengen senang.
Sapanjang bersantap Raden Moelia tida brentinya berpikir. Dalem parasnya Retna Sari dan iapunya ibu, itu istri pandita , ia dapet liat apa-apa yang menarik sanget hatinya. Ia merasa seperti sudah pernah dapet liat itu dua paras, tapi ia tida dapet inget di mana, hanya samar-samar seperti juga orang yang baru abis mengimpi. Kalu Pandita dan Bapa Noerhali bicara apa-apa padanya, ia menyaut saja dengen pendek dan melantur, kerna pikirannya sedeng be kerj a keras.
Sekarang ia musti akuh kabenarannya cerita yang tersiar bahua anak prampuan dari itu pandita ada luar biasa eiloknya. Sasunggunya juga ia blon perna menampak gadis Bumiputera yang begitu cantik, meskipun waktu masih sekolah di Bandung ia mempunyai banyak kenalan antara anak-anak prampuan dari priyaie-priyaie yang ada jadi upama kembangnya itu ibukota dari Preanger. Akhir-akhir ia bisa tetepkan hatinya, dan mulai berkata-kata:
"Tuan Pandita punya anak prampuan sudah besar, hingga saya kira tida lama lagi tuan bisa mendapet mantu."
"Itu tida begitu gampang, juragan," saut Noesa Brama sambil tersenyum, "sebab kita-orang bukan Islam, hingga tida gampang aken Retna mendapet jodo, sedeng di antara saya punya kaum, orang-orang Baduy, tida ada yang saya liat sampe surup buat jadi pasangannya saya punya anak."
"Apakah Pandita tidak mempunyai laen sanak atawa familie lelaki?"
"Tida ada, kerna dalem saya punya familie, cumah tinggal saya sendiri saja yang jadi turunan yang pengabisan, maski dulunya saya mempunyai kulawarga29 besar. Kalu saya meninggal, ini pangkat Pandita yang sudah beratus taon turun temurun, bakalan musna, kerna saya tida mempunyai anak lagi salaennya Retna Sari, dan pakerjaan Pandita tida boleh dilakuken oleh anak prampuan."
"Bagimana bisa jadi, kalu tuan punya familie dulu ada besar jumblahnya, sekarang bisa abis sama sekali hingga cumah katinggalan tuan saorang. Kalu cari dengen betul brangkali bisa kadapetan familie yang jau, yang tinggal di laen-laen tempat."
"Saya bilang dengen sabetulnya, saya punya antero familie sudah musna, lantaran dulu saya punya kake moyang
pegang keras aturan aken tida boleh menikah kalu bukan pada kaum sendiri hingga banyak yang musti kawin pada familie deket, yang berasal dari satu darah, hingga badannya jadi lemah, umurnya pendek, dan gampang sekali tiwas kalu katerjang penyakit. Kita punya turunan sudah putus bebrapa pulu taon lalu tatkala saya punya ibu meninggal, hingga saya punya ayah terpaksa cariken saya istri saorang prampuan dari luar, yang bukan berasal dari kaum sendiri, tapi ada memuja kita punya agama, lantaran sudah dikukut sadari masih kecil."
"Kalu begitu, mengapakah tuan pandita tida mau turut tuladan dari tuan punya ayah, aken pungut satu anak lelaki yang dididik dari kecil aken jadi tuan punya mantu" Dengen begitu tuan punya turunan tida menjadi putus, kerna kalu tuan bisa dapet cucu lelaki, ia boleh lanjutken tuan punya pakerjaan sebagi pandita dari kaum Baduy."
Panji Sakti 5 Dara Getting Married Karya Citra Rizcha Maya Pendekar Pemabuk 4
^