Kompilasi Tiga Kehilangan 3
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia Bagian 3
mesti menarik bass-ku dari pegangannya.
"Ah, acaranya sudah selesai?" Dia tiba-tiba terbangun. "Maaf, maaf," ujarnya sambil bangkit dari
kursi dan membungkuk-bungkuk.
Aku tersenyum, "Ya, begitulah. Pulang sendiri?"
Dia menggaruk-garuk rambut cepaknya dan memasang senyum jahil. "Enggak, sebentar lagi saya
dijemput pangeran berkuda." Jawaban itu dibarenginya dengan tawa. "Bercanda. Saya biasa jalan
kaki, kok." "Kalau kamu mau, kamu bisa pulang bareng saya..." tawarku, lagipula teman-temanku sudah
pulang lebih awal. Dia menggeleng, "Ah, trims. Tak usah. Rumah saya dekat sini, kok."
19 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Wah, bagus..." Aku tidak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa... setidaknya itu bagus
karena aku tahu kalau dia tinggal di kompleks seputar sini.
Dia menaikkan alisnya. "Eh" Err..."
"To err is human," cetusku.
Dia tertawa. "Eh" To err is human, to forgive, Divine. Tapi tidak ada dari kita yang melakukan
kesalahan. Ya sudah, aku pergi dulu."
"Tasya..." Dia membalikkan badan seraya menepuk dahi, "Uh! Aku lupa namamu!" ujarnya.
"Nando, panggil Ando juga bisa."
"Ya, Ando! Selamat malam!"
"Err.. bukan itu. Err.." Aku tiba-tiba merasa bodoh karena tidak bisa melanjutkan kalimatku.
"To err is human," sahutnya balik sambil bersiul. Siulannya sama merdunya seperti suaranya.
Memang dasar gadis berbakat.
"Aku cuma mau bilang... sampai jumpa?"
Dan dia tertawa. Dan demi Tuhan, itu malam ter-absurd yang pernah kulalui.
---- Waktu bertahun-tahun telah berlalu setelah pentas pertamanya, setelah dia dinyatakan menjadi
pemenang pertama dari lomba yang mempertemukan kami kala itu. Dia memang berkuliah di
universitas yang sama denganku, tetapi masalahnya... entah mengapa tak pernah sekalipun aku
berhasil bertemu dengannya.
Aku punya banyak teman di fakultasnya. Setelah hari itu,aku lumayan sering mengunjungi
teman-temanku itu. Tetapi tak sekalipun aku pernah bertemu dengannya. Hingga cukup lama aku
benar-benar melupakannya.
Seandainya saja temanku tidak bercerita tentangnya di depanku.
Saat itu, sementara aku sedang menyelesaikan maket beserta menggarisi dan mengarsir sketsa
bangunan untuk tugas akhirku, temanku masih melanjutkan bercerita tentang gadis yang sedang
ditaksirnya. Awalnya dia sudah menyebutkan segala ciri fisik dari gadis itu, tetapi aku sama sekali
tak berniat mengasosiasikannya dengan gadis yang kutemui bertahun-tahun lalu di sebuah pentas
seni di masa-masa awal kuliahku.
Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Tasya.
20 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan ketika temanku itu mengakhiri ceritanya, ketahuanlah bahwa benar Tasya yang dibicarakannya
sedari tadi. Dalam pikiranku tiba-tiba terbayang kejadian bertahun-tahun lalu. Perkenalan yang
lumayan singkat dan rasanya seperti bukan apa-apa.
"Tapi dia sudah jadi punya orang."
Ah, bagiku itu konklusi yang fatal. "Man, itu gila! Jadi kamu jatuh cinta pada pacar orang lain?"
Temanku menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Bukan cewek orang, Do. Tapi 'calon istri' orang."
"Ah iya, lupa, tapi itu lebih parah, Man!" sahutku, "Jadi kapan mereka menikah?" Aku heran
mengapa aku bisa-bisanya bertanya sesantai ini.
"Belum pasti juga. Tapi mereka pasti menikah."
"Sejak kapan kamu merangkap kerja menjadi asistennya Tuhan?" tanyaku dengan nada bercanda.
"Habisnya, si Tasya kayaknya serius."
"Begitu, ya..." sahutku. "Terus kenapa masih membicarakan soal dia kalau sudah tidak ada
harapan?" "Dalam rangka patah hati."
Sementara aku tertawa terbahak-bahak mendengar respon darinya, jauh di lubuk hatiku sesuatu
sedang bergejolak. Apa aku perlu menemui Tasya sebelum dia menikah"
---- Aku tak merencanakan apapun saat pergi ke perpustakaan universitas... namun aku tiba-tiba
bertemu dengan Tasya di sana. Rambutnya tidak cepak lagi, tubuhnya agak berisi ketimbang tiga
tahunan lalu, lumayan manusiawi kalau kubilang dia nampak lebih... matang. Mungkin dia tidak
mengenaliku lagi. Tetapi kenapa bisa-bisanya baru sekarang aku dipertemukan lagi dengannya"
Takdir memang bekerja secara unik.
Saat itu kupikir mungkin lebih baik aku tidak menyapanya, maka aku pun dengan tergesa membawa
buku-buku yang kupinjam untuk didata.
"Hei!" Semoga sapaan itu bukan untukku, batinku.
"Hei, kamu, kamu! Aku lupa namamu."
Saat itu Tasya sudah berdiri di hadapanku.
"Masih saja lupa, ya?" pancingku.
"Oh, Nando Wisarta!" cetusnya sembari melirik namaku yang terpampang di layar data peminjaman
21 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
buku. "Masih nge-band?"
Kugelengkan kepalaku. "Masih ngeseriosa?"
Dia tertawa, "Sebenarnya kalau bukan untuk lomba, aku lebih suka menyanyikan lagu-lagu j-pop."
"Wah. Coba nyanyikan satu lagu j-pop..."
"Tolol. Ini perpus, tahu!" ujarnya sambil menjitak kepalaku dengan buku di tangannya.
"Tempat lain?" tawarku.
Alisnya sedikit naik, "Nah, sambil makan di kafetaria saja?"
"Di mana?" celetukku.
"Ada, di belakang perpus. Tapi kalau kamu tak biasa jalan kaki mungkin jadi lumayan capek."
"Kamu seperti bicara ke cewek manja," jawabku. "Lagipula, aku laki-laki."
Dia tertawa, "Ya maaf, deh. Habisnya, setiap melihatmu, aku selalu merasa kau itu adikku. Ya,
walaupun kayaknya memang kau yang lebih tua, sih. Berapa umurmu?"
"Dua empat. Oktober. Kamu?"
"Andai kita bertemu lebih cepat."
"Ah?" Dia tertawa, "Lupakan. Uh, aku dua tiga. Lebih muda sepuluh bulan, kayaknya," jawabnya kilat, "Ah!
Aku lupa!Dulu waktu pertama kenal sepertinya kita masih bicara dengan kaku, ya?"
Aku tertawa, "Ya, ya. Kamu masih ingat! Dulu kita pakai saya-kamu, ya?"
"Ssshhh!" petugas perpustakaan mulai memperingati.
"Uh, kutunggu di luar," ujarnya.
"Oke." Aku merasa deja vu, "Tasya..."
"Ya?" "Dulu juga waktu pertama bertemu kamu, sepertiya kita mengobrol di tengah keramaian."
"Ah, aye. Kamu juga masih ingat! Kutunggu di luar, ya."
---- Dan hari itu dia tidak berada di luar perpustakaan. Kendatipun aku mencari-carinya di seluruh
penjuru perpustakaan, sekalipun aku memaksakan diri hingga kehujanan untuk mencari sosoknya
22 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di belakang perpustakaan dan di kafetaria, dia kembali lenyap tak berbekas. Hingga aku kembali tak
memedulikannya. Mungkin takdir memang bekerja dengan cara seperti itu atas pertemuanku
dengannya. Hingga beberapa hari setelahnya, saat aku bertemu dengan temanku, aku tiba-tiba tersadarkan
akan sesuatu. "Minggu lalu aku bertemu dengan Tasya-mu..."
"Hus. Yang sopan, bilang almarhumah."
Aku spontan melotot. Dan entah kenapa aku percaya. "Hah" Serius" Kapan?"
"Sebulan yang lalu.Gantung diri."
... ... ... "Karena dijodohkan." [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Persona Aku tahu kau akan ada di pesta kali ini. Dan membacaku seperti sebelumnya.
Persona, kita berdua selalu senang berada di pesta topeng. Pada tiap malam-malam yang tidak
pernah berakhir. Pada percakapan-percakapan dan tarian yang tak kunjung usai.
Jadi pada pesta topeng kali ini, akan kuawali dengan mengatakan, rasanya aku begitu menyukai
kebersamaan kita. Bahkan meski aku tahu kita sedang menggunakan topeng masing-masing dan
tak mampu melihat keaslian wajah satu sama lain.
Mungkin saja itu karena aku adalah tipe gadis pesta yang tidak begitu banyak peduli. Berpesta dan
tidak peduli pada apa-apa lagi selain bisa sering-sering berada bersama dengan orang-orang
sepertimu. Tapi maksudku, selalu berada bersama denganmu saja sudah cukup.
Kebersamaan dengan seseorang di balik topeng itu yang kuyakin akan selalu menyimpan
senyumnya yang manis untukku meski aku tak pernah melihatnya. Seseorang yang selalu ada di
kerumunan pesta setiap waktunya dan bisa selalu kutemukan akan berdiri di sudut ruang dansa
pada akhirnya. Setelahnya kita selalu akan berdansa dan berpegangan tangan satu sama lain
sambil menceritakan harapan-harapan rahasia yang telah pernah kita tebarkan di udara. Apa lagi
yang lebih indah daripada malam-malam seperti itu"
23 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kalaupun memang ada seseorang dengan wajah nyatanya di balik topeng itu, kalau adalah kau
yang bersembunyi di balik topeng itu, aku masih demikian menyukai kebersamaan kita. Aku masih
ingin sering-sering bertemu denganmu, kembali seperti dulu lagi sewaktu kita mengobrolkan hal-hal
yang aneh dan di luar kebiasaan obrolan orang-orang pada umumnya, kita nampak seperti tidak
akan pernah kehabisan topik pembicaraan. Aku tidak peduli kau sedang bersembunyi di balik
kepalsuan topeng itu atau tidak.
Tahun ini aku jatuh cinta pada seorang pria di balik topeng itu. Mengapa aku terlalu terlambat
menyadari semua tanda-tanda yang kau berikan" Itu sebabnya julukan yang belakangan selalu
mampir kepadaku adalah 'idiot', 'tolol', 'dodol', 'otak dengkul', 'otak bebal', ya" Aku kelihatan lama
sekali memiliki pengertian tentang sesuatu, ya"
Tahun lalu aku mulai menyukaimu. Mungkin saat itu kau bahkan belum mengenaliku dengan baik.
Waktu itu tepatnya di sebuah pesta topeng yang tidak begitu meriah. Rasanya semua masih
samar-samar saat kucoba mengingat masa-masa itu lagi. Masih serba abu-abu dan hitam pekat.
Aku tidak ingat setelah itu apa yang menyebabkanku dengan mudahnya bisa menemukanmu di
setiap pesta dan tidak salah mengenalimu di balik topengmu.
Aku tidak ingat hal apakah yang mengantarku pada pesta topeng yang malam itu mempertemukan
kita. Aku tidak ingat mengapa kita bisa tiba-tiba berkenalan dan secara aneh bisa dekat satu sama
lain. Dekat" Mari tertawa seperti biasanya.
Ketika suatu saat aku tanya pada diriku sendiri, berarti aku picik sekali, ya, karena menyukai
seseorang tanpa peduli siapa dia yang berada di balik topeng itu. Apakah aku hanya menyukai
topengmu" Namun kemudian kau datang dan bilang bahwa topeng yang kau kenakan memang
awalnya kau gunakan untuk menarik gadis bertopeng lain di pesta topeng sebelumnya. Lalu apa
lagi yang lebih lucu daripada itu, sebenarnya"
Mungkin hanya tersisa satu hal yang cukup mengganjal buatku selama pesta-pesta kemarin
berlangsung. Aku rasa aku benci sekali ketika menyadari sepertinya aku sudah membagikan segala
ceritaku padamu di tiap pesta, pada seseorang yang sedang melakukan persembunyian di balik
topeng itu. Apa pada malam-malam itu aku selalu mabuk"
Tapi aku kemudian justru bertanya-tanya apakah benar ada seseorang yang sedang bersembunyi
di balik topeng itu" Apakah itu kamu" Memang banyak pertanda yang kau berikan, tapi kau selama
ini tidak pernah mengaku juga, kan" Siapa kau di balik topeng itu, aku tak pernah tahu. Semuanya
kurasa serba dirangkai oleh banyak kebetulan. Kedekatan kita aneh sekali, ya"
Lebih aneh lagi karena aku sudah terlanjur sayang dengan topengmu yang ini. Jauh lebih sayang
dengan topengmu ini daripada dengan dirimu yang sebenarnya. Bodoh sekali.
Tapi kalau semua pertanda ini memang berarti sebuah persembunyian, ini juga berarti bahwa kau
adalah penyembunyi identitas yang luar biasa hebat. Tak peduli apapun artinya itu.
Setelah semua ini, rasanya aku cuma bisa memikirkan satu hal. Kalau benar takdir kehidupan ini
memiliki alurnya yang mesti kita lalui, aku sangat percaya suatu saat pasti ada alurnya untuk kita
akan bertemu lagi, Persona. Kita akan hidup selamanya untuk pesta-pesta itu, kan"
Jadi aku percaya sekali. Bahwa kalau kita memang memiliki takdir itu, kelak suatu saat di masa
depan kita pasti akan kembali dan mewujudkan harapan-harapan rahasia yang telah kita bangun
24 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
selama ini. Meski malam ini aku memutuskan untuk melakukan tindakan bodoh, kita akan bertemu
lagi, kan" Malam ini kulepas topengku. Aku menyerah kalah. Kau bilang aku tak pernah mau kalah" Kali ini
kau salah. Kutinggalkan topengku di kakimu.
Aku menyayangimu, Persona. Aku yang terlihat tidak peduli ini. Menyayangi kau yang ada di balik
topeng itu. Namun akan sedih jika harus memaksamu membuka topengmu. Maka meski di pesta
topeng ini aku tidak mengenakan topengku lagi, jika kau masih tak ingin membuka topengmu di
pesta ini, kita masih bisa berdansa tanpa topeng, kan, di pesta yang lain"
Sampai ketemu di pesta lain, Persona. Karena kita adalah wujud-wujud wajah yang imortal.
Selamanya hidup di dunia dan hadir di pesta-pesta. Tapi kalau di pesta lain kita bertemu lagi tanpa
topeng-topeng kita, jangan sampai lupa mengenaliku yang pernah jatuh cinta padamu. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Bocah Adopsi Paman dan Bibi
Belakangan ini, setiap orang bertanya kepadaku.
Sebenarnya aku tak begitu mengenal mereka. Namun ketika mereka melewati pagar rumahku yang
pendek dan melihatku sedang menyirami kebun, mereka lantas berhenti dan menyapa. Kemudian
terjadilah percakapan yang senada.
Apa kau ingat gadis yang diadopsi tiga puluh tahun lalu itu" / Yang mana, ya" / Itu, yang diadopsi
karena keluarga itu tidak bisa memiliki keturunan. / Oh, maksudmu yang kemudian keluarga itu
mengadopsi dua orang anak" / Iya, anak perempuan dan laki-laki. Jadi kau masih ingat, kan" /
Barangkali. Tapi memangnya ada apa dengan mereka"
Maka kemudian mereka akan menceritakan hal yang serupa.
Awal kisah ini telah lama lewat begitu saja. Waktu itu aku masih belia, masih menjadi seorang gadis
remaja yang mengikuti masa tenarnya rambut dikeriting. Paman dan bibi yang menanam mangga di
depan rumahnya dan sering aku panjati bersama teman-temanku ketika muda kudengar memang
sudah lama ingin memiliki keturunan.
Waktu itu kami suka mampir ke rumah mereka dan duduk di teras rumah sambil makan rujak
mangga bersama dengan bibi. Aku lupa nama bibi itu, tapi memang kami selalu memanggilnya Bibi
saja, tanpa embel-embel lain lagi. Mungkin karena dia begitu menginginkan memiliki seorang anak
maka dia selalu menerima kami dengan tangan terbuka. Pagar rumahnya tidak pernah dikunci.
Sepulang sekolah, aku seringkali lebih dulu singgah ke rumah bibi dan paman daripada pulang ke
rumahku sendiri. Aku pun tak heran saat teman-teman seusiaku melakukan hal yang sama. Tas-tas
plastik berisi buku sekolah yang kami bawa akan kami taruh pada meja bundar di teras, lalu kami
25 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berlomba-lomba memanjat pohon mangga.
Salah seorang temanku yang perawakannya mungil dan gerakannya selincah kera adalah yang
biasanya mengumpulkan mangga paling banyak. Aku dan bibi biasanya membuat bumbu untuk
rujak. Saat itu, kata bibi, paman sedang bekerja di kantor. Paman bekerja di kantor penyiaran berita.
Setiap hari selalu seperti itu. Tidak pernah ada pertengkaran terjadi di rumah paman dan bibi
pemilik pohon mangga besar itu. Mereka hidup rukun bahkan sampai aku pindah dan tidak lagi
menjadi tetangga mereka. Waktu itu mereka sudah akan hampir menikah selama lima belas tahun saat aku telah lulus sekolah
menengah dan berkemas akan pindah melanjutkan kuliah ke luar negeri. Mereka menikah muda
namun setelah lima belas tahun berumah tangga, mereka masih belum juga dikaruniai keturunan.
Mereka tidak memutuskan untuk berpisah, aku begitu kagum akan keputusan ini.
Aku tak heran. Paras bibi begitu ayu dan bercahaya layaknya bulan purnama bahkan di hari-hari
saat wajah orang-orang lain nampak begitu muram. Paman pasti tidak akan sanggup melepas bibi.
Bibi juga tidak akan sanggup melepas paman. Kurasa tidak akan ada lagi laki-laki sesabar paman
yang bisa bibi temukan di luaran sana.
Maka karena itu, kabarnya, setelah aku pindah mereka kemudian mengadopsi dua bayi dari rumah
sakit. Bayi laki-laki dan perempuan. Aku bersyukur dan membayangkan betapa bahagianya paman
dan bibi ketika itu. Ketika itu, aku tak menyangka ternyata ada kutukan yang dibawa oleh si bayi perempuan. Aku baru
memikirkannya akhir-akhir ini.
Sudah tiga puluh tahun berlalu setelah saat itu. Aku tentu sudah tidak bisa melihat paman dan bibi
duduk bersama-sama di teras lagi. Terakhir kali aku berkunjung ke rumah mereka saat aku pertama
kali kembali ke kota kelahiranku ini, bibi sedang duduk di kursi roda dan ketika itu dia tidak bisa
menggerakkan sejengkal pun dari bagian tubuhnya lagi. Lain halnya dengan paman. Prostatnya
membengkak sehingga tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Aku sedih ketika melihat putri yang paman adopsi. Sebelum menjenguk paman dan bibi di
rumahnya, aku sudah mendengar banyak desas-desus yang tidak begitu menyenangkan tentang
gadis itu. Jadi secara singkat, sebelum berkunjung ke sana, tetangga-tetanggaku sudah menceritakan kisah
tiga puluh tahun yang menjadi bagian hidup dari paman dan bibi. Kisah yang tentu saja tidak
kuketahui sebelumnya. Dan setelah mengetahui kisah itu, kusimpulkan bahwa gadis yang diadopsi oleh paman dan bibi
bukanlah manusia. Banyak orang berpendapat sama denganku.
Tiga puluh tahun lalu, paman dan bibi mengadopsi gadis itu dari rumah sakit. Namanya sederhana,
orang-orang memanggil gadis itu Alya.
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di saat Alya berusia lima belas tahun, dia berhenti sekolah. Ketika itu dia hamil. Lantas beberapa
saat kemudian dia melahirkan tanpa seorang suami yang mengaku sebagai ayah dari putrinya.
Setahun kemudian, dia melahirkan lagi. Begitu seterusnya hingga dia memiliki lima orang anak.
26 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Anaknya yang pertama, namanya Ayu, lima belas tahun kemudian, meniru jejak yang sama. Ayu
hamil dan telah memiliki seorang anak di usia lima belas.
Warga sekampung geger ketika mengetahui Alya menjual anaknya yang paling bungsu. Konon
kabarnya bayi itu dijual seharga tiga juta rupiah. Bayi itu dijual untuk membiayai persalinan Ayu dan
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Aku antara menganggap kisah ini sebagai lelucon dan ingin muntah ketika mendengarnya. Ketika
kisah tiga puluh tahun itu berhasil diselesaikan intisarinya, aku bertanya-tanya siapa pria yang
menghamili Alya hingga bahkan ketika dia memiliki lima orang anak pun dia masih belum bersuami.
Warga di kampungku awalnya mempertanyakan hal itu jua, namun mereka dibuat bosan dengan
rasa penasaran mereka sendiri.
Aku ingin menduga bahwa kisah ini hanya dongeng tetangga sinis yang diceritakan turun temurun,
tetapi setiap kali melihat Alya dan Ayu menggendong anak-anak mereka berjalan-jalan dan melintas
di depan rumahku, rasa mual yang sama tetap kurasakan.
Bahkan ketika aku pagi ini sedang mengobrol dengan tetanggaku, Alya berjalan bersisian dengan
Ayu, dia menggendong cucunya dengan tali gendong. Alya menuntun adik-adiknya di sisinya.
Tinggi Alya dan Ayu sepantaran dan Alya, kulihat, sejujurnya masih mirip bocah berusia lima belas
tahun yang tidak tumbuh besar.
Sampai sekarang aku masih ketakutan melihat dua bocah itu. Entahlah mereka sadar atau tidak
bahwa mereka telah menjadi bahan pergunjingan warga sekampung siang-malam. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rahasia Kematian, Dua Puluh Tahun Lalu
21 April 1978. Begitu tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di pemakaman pagi itu. Dengan
cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang
yang berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Menyusuri sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku mengingat bagaimana aku dibawa pergi
oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal.
Aku ingat, tengah malam sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah - satu-satunya
tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargaku - mengantarkan beberapa orang asing ke
rumahku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orangtuaku, aku mendengar
percakapan mereka, tetapi tidak kuteruskan.
Pagi ketika para tetangga sudah memandikan dan memindahkan kembali tulang tengkorak kedua
orangtuaku ke dalam peti mati, mencium aroma dupa dan teringat bahwa aku belum menyalakan
dupa lagi selama empat jam terakhir, aku beranjak dari bale dan mengambil wadah dupa dari atas
meja. Tepat ketika itu, orang-orang asing itu menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai
27 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kerabat dari pihak ayah. Atau, sebagai tempat di mana aku boleh tinggal setelah segala prosesi
pemakaman orangtuaku berakhir.
Sejujurnya saat itu aku sungguh takut. Meski tak takut lagi, hingga kini pun, melihat segala jejak
yang tertinggal di rumah ini, aku selalu merasa seolah bermimpi. Aku tidak tahu bagaimana caraku
tertidur hingga tak sadarkan diri selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin saja aku tertidur di hutan. Tetapi tiada lagi hutan di sana, yang tersisa hanyalah jalan
beraspal. Padahal masih kuingat betul semuanya. Saat itu, sepulang dari berburu kelinci ke tengah hutan
bersama teman-teman sebayaku, ketika untuk pertama kalinya kudengar berita itu, aku berlari
menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa
menyelamatkan kedua orangtuaku. Tetapi api telah melahap gudang tempat ayahku biasa bekerja.
Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Para tetangga, dengan baskom-baskom kayu berisi
air, berusaha memadamkan api, beberapa dari mereka mengatakan ibuku juga terperangkap di
dalam sana. Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan oleh tetanggaku. Mereka
berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku untuk menerobos api. Mereka
menghentikan segala teriakanku dan mendekapku semakin erat. Hingga beberapa saat kemudian
api padam, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa
daging dan kulit yang terbakar, saling memunggungi terikat di sebuah tiang besi yang sebelumnya
tak pernah kulihat. Di usia sebelia itu, aku bahkan tak berprasangka buruk pada siapapun. Pastilah Tuhan tidak
dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orangtuaku di gudang itu.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa
yang dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu.
Memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal
dulu di sana aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan
orang-orang yang tak kukenali siapa.
"Kami akan mengajakmu kembali." Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan
kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku, "Di sana kakek
dan nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu."
Tentu aku sedikit kaget karena aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu
sebelumnya tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalu mereka, selama belasan tahun di
awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah mereka benar terlahir dari batu.
"Saya adik ayahmu... dan semua yang hadir di sini, juga." Ujar pria itu, lantas ia menyebutkan nama
mereka semua. "Saya tidak percaya." Keberanian datang dari dalam diriku dengan begitu tiba-tiba.
"Kami tahu kami perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan dirinya kemari segera setelah
ayahmu menamatkan kuliahnya di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal
28 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tentangnya." Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan
dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di
hadapanku. Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan
kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku.
Masih kuingat bagaimana responku saat itu.
Aku terkesima. Akhirnya kudapati, ayahku bukan orang biasa.
Sejak kecil aku sudah sangat yakin bahwa kami bukan penduduk lokal; bagaimanapun roman wajah
ayah dan ibu memancarkan aura yang berbeda dari kebanyakan orang yang kukenal di desa itu.
Meski sejak lahir hingga berusia sebelas tahun aku tumbuh besar bersama anak-anak di sana, aku
selalu merasa ada ketimpangan yang sangat jauh antara apa yang ada di kepalaku dengan apa
yang ada di kepala mereka. Walau disekolahkan di tempat yang sama, pendidikan yang kudapat
dari kedua orangtuaku membuatku lebih banyak tahu. Dan orangtuaku tak mungkin
mendapatkannya dari tempat yang sama dengan para orangtua dari teman-temanku.
Dan benar saja, dari dokumen-dokumen itu, ketika itu kutemukan, Ayahku mendapatkan
pendidikannya dari Belanda. Dan ibu, dari Jakarta.
Saat itu, kali pertama aku mengenal sejarah ibu pertiwi. Kurasa ketika itu orangtuaku mati-matian
menyembunyikannya dariku.
Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku,
aku membaca pemberitaan mengenai orangtuaku. Hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah
kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa
gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku bisa mengerti, mulai
bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dikerjakan ayah" Ibu seperti apa yang melahirkanku
dari rahimnya" Mereka melakukan... Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Dan... segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata, "Kami rasa kamu tidak
akan punya pilihan lain, selain ikut bersama kami."
---- Mulailah aku didandani seperti anak perempuan. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan
kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung dan kubentuk sedemikian rupa selayaknya
laki-laki lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah
akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan
ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol
berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua
orangtuaku. Baru kutahu, kedua orangtuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga
berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, aku tetap tak menunjukkan
bakat apapun. Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para
29 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di
mana peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku - aku tak lagi asing terhadap mereka, patut
pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat
dan mataku sipit, sesuatu yang baru kusadari setelah aku tinggal di sana.
---- 21 April 1981. Tahun demi tahun berlalu. Melewati tiga tahun masa bersekolah di MULO, di AMS
kini, 'Apalah yang dapat kita lakukan atas negara ini' adalah retorika yang selalu kudengar dari
anak-anak seusiaku. Kendati mereka - ataupun keturunan Belanda, ataupun Cina - tumbuh besar
di Indonesia, mereka lebih mencintai negara ketimbang kaum pribumi. Banyak hal kami bicarakan di
kelas-kelas. Tentang tulisan-tulisan perjuangan, revolusi yang terjadi di negara-negara barat, hingga
aufklarung, hingga okultisme, hingga semesta alam. Bagaimanapun bentuknya, mereka selalu
memperjuangkan sesuatu. Selama tiga tahun selanjutnya, kami belajar begitu keras untuk tes masuk universitas. Aku
bercita-cita pergi sekolah ke Belanda, mengikuti jejak ayah.
Bertahun-tahun lamanya aku masih mengabadikan kepingan-kepingan masa laluku ke dalam jurnal
harian, apapun yang dikatakan dan dilakukan ayah dan ibu sebelum kejadian itu. Mengapa mereka
diikat di besi, dari mana asal besi itu, dan apa yang sebenarnya mereka perjuangkan sehingga
mengasingkan diri ke sana.
Tetapi sekian waktu berlalu, semuanya jauh berubah. Aku tak lagi mengenali siapa diriku. Aku
melebur bersama orang-orang baru yang kukenali. Kalaupun aku bertujuan pergi sekolah ke tempat
dulu ayah bersekolah, tujuanku bukanlah apapun yang berkaitan dengan masa laluku, tetapi
sesuatu yang lebih kucita-citakan; negara ideal.
Apa yang kami harapkan" Bukankah semuanya baik-baik saja" Ketika itu aku masih belum
mengerti, tetapi aku mengikuti arus.
---- Setelah memaksa keluargaku agar aku diperbolehkan membakar tulang tengkorak kedua
orangtuaku dan membawa abunya ke Belanda bersamaku, akhirnya dengan berbekal itu dan
meletakkannya di apartemen, setiap pulang kuliah aku selalu duduk di Sneltrein membawa
serangkai tulip, aku melakukannya sepanjang bulan April selama lima tahun aku menetap di sana.
Di Belanda aku seringkali mengunjungi rumah bibiku, yang adalah adik ayah, di wilayah Groningen,
dari merekalah aku selalu mendapatkan bekal yang cukup untuk hidup. Dan meski segalanya
terjamin, aku tetap mendaftar ke kedutaan untuk bekerja paruh waktu, di sana aku bertemu
seseorang yang kelak menghancurkan hatiku.
"Sekalipun kau patah hati karenaku, tolong jangan pulang ke Indonesia. Jadilah warga Belanda."
Dan itulah yang pria itu katakan. Setelah meniduriku bermalam-malam, setelah mencekokiku
dengan segala pengetahuannya tentang kepalsuan dunia.
Sekian minggu selanjutnya, aku hancur di apartemen sewaanku; mendengar kabar pria itu telah
menikah dengan wanita yang dihamilinya.
30 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kekasihku selanjutnya adalah seorang seniman. Karena itu, di kota yang sama, setelah aku
menamatkan kuliahku di Utrecht, aku menetap dan berkarir sebagai pelukis; terkadang aku menulis.
Aku samasekali tidak meneruskan praktik sains yang kupelajari selama empat tahun di sana. Aku
lebih terbiasa bertualang di kanal-kanal, berdiskusi tentang teologi ataupun tokoh-tokoh filsafat,
ketimbang berdiam diri di laboratorium dan menganalisa molekul.
Tapi takdir berlalu tanpa kendaliku, seorang profesor yang melihat bakatku dan membimbing tesisku
selama paruh akhir masa kuliahku memaksaku ikut bekerja di laboratoriumnya. Sambil melukis,
sambil mempelajari kebudayaan Eropa lainnya, sambil menikmati hidup di usia 20-an, aku
menyetujui menjadi asistennya dalam beberapa penelitian rumit yang bekerja sama dengan
beberapa negara lain di wilayah Indo-European.
Beberapa orang yang kutemui selama penelitian itu, yang memaksaku berpindah-pindah dari satu
tempat ke (http://cerita-silat.mywapblog.com)
31SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
tempat lainnya, yang juga membuatku berpisah dari kekasihku yang seniman, ternyata mengenal
ayah dan ibuku. Tetapi ketika kutanyai lebih jauh, mereka hanya bilang mereka tahu sebatas nama.
Dan segera setelah kejadian itu, aku diberhentikan bekerja mendampingi profesorku.
Seminggu kemudian, aku kembali ke Utrecht, mendapati kekasihku telah menikah dengan laki-laki
lain. Aku dibuat terkaget-kaget oleh orientasi seksualnya yang berganti hanya dalam waktu
beberapa bulan. Setelah memaki-maki sekian jam dan melemparkan barang pecah-belah ke segala
sudut ruangan, aku mengemasi barangku, dan memutuskan pergi untuk selamanya dari negara itu.
Aku pindah ke negara tujuan lain, yang bahasanya selama sekian tahun kupelajari secara otodidak.
---- Zurich memanglah kota beraura magis. Bahasa Prancis dan Jerman yang kupelajari mulai
kupraktikkan di hari pertama, dan sempurna, kurasa aku memang memiliki bakat menjadi poliglot.
Segalanya berangsur membaik, termasuk kondisi batinku. Beberapa minggu kemudian, kudapati
kabar tentang kematian keluarga paman-bibiku di Groningen, pembunuhan berantai. Selama
seminggu aku kembali ke sana untuk melayat dan mengemasi barang-barang bibi yang diwasiatkan
padaku. Cukup mengerikan melihat sepupu-sepupuku yang masih balita menjadi yatim-piatu
seketika itu juga. Tetapi apa daya, tak ada yang bisa kulakukan ketika kemudian mereka justru
diajak ke Indonesia oleh paman-bibiku. Aku pun turut dipaksa pulang, tetapi aku menolak dan justru
memutuskan untuk kembali ke Zurich.
Berniat mengasingkan diri sepenuhnya akibat guncangan yang berasal dari dalam diriku, setelah
kembali ke apartemenku di Zurich, aku mulai mendonasikan semua barangku ke beberapa
yayasan, dengan tabunganku dan sedikit bekal lainnya, aku memutuskan untuk bertualang
mengelilingi dunia. Dulu di bangku kuliah, aku cukup menggemari paham transendental dan,
meskipun tidak begitu menarik, aku juga menamatkan jurnal Thoreau.
---- 21 April 1998. Usiaku 31 tahun, telah mengelilingi seluruh dunia, namun setelah kembali ke tanah
kelahiran, aku terpaksa ikut menjadi otak penggagas reformasi. Aku melakukannya bersama
segenap teman-temanku dulu yang selalu mencita-citakan negara ideal yang sama.
Sementara itu, segenap keluargaku pindah ke Belanda, mengajak juga sepupu-sepupu Belandaku
kembali ke tanah kelahiran mereka.
Ketika itu, aku merasa dikhianati. Aku masih belum tahu mengapa ayah dan ibuku terlalap api dua
puluh tahun lalu. Apakah hal yang sama, yang memaksa mereka mengasingkan diri ke tengah
hutan" Namun mengapa hanya mereka berdua"
Orang-orang di sekitarku merasa hebat dengan dirinya. Dan sementara aku terus mengikuti
gerakan mereka, aku masih merasa aku telah mengacaukan hidupku.
Selama dua puluh tahun, aku merasa bermimpi. Panjang dan naas.
1 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan pada Mei di tahun itu, aku melihat hasil dari apa yang kami cita-citakan sebelumnya di tahun
70'an. Hanya saja, orang-orang itu kini bukanlah teman-teman sekolah yang dua puluh tahun lalu
kupuja pemikirannya. Manusia berubah.
Tuntas berpesta dan berbahagia atas kejatuhan musuh, selama sekian bulan berikutnya aku
seorang diri menempati rumah kosong keluargaku di bilangan Jakarta. Semua anggota keluargaku,
entah dengan cara apa, telah mengganti kewarganegaraan dan sepakat tidak akan kembali ke
Indonesia, apapun yang terjadi.
Aku merasa dikhianati oleh takdir, oleh waktu, oleh orang-orang yang pernah kukenal. Dengan
demikian, mungkin hanya orang-orang yang punya waktu untuk berpikir tentang dirinya sendiri,
yang sama merasa sepertiku bahwa kami telah menghidupi mimpi yang demikian panjang. Tempat
di mana aku berada sekarang, bukanlah tempat yang puluhan tahun lalu aku harapkan.
Meneguk habis segelas kecil tequila yang tersisa, sambil masih sedikit-sedikit mengingat
bagaimana tanganku mengarsir tipis lukisanku tentang seorang gadis sombreto ketika di Meksiko,
aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya berawal. Kurasa sebaiknya, sebelum
mati, aku harus mengetahui sebab kematian orangtuaku. Bisa saja, dulu, bukan mereka yang mati.
Bisa saja akulah yang mati, dan pergi ke tempat berbeda, dan bertemu dengan orang-orang yang
sepenuhnya berlainan, dan menghidupi kematianku selama dua puluh tahun.
"Gue mau pesen tiket pesawat. from: CKG, to: UPG."
Send. Klik. [*] Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rindu Lara Malam itu di musim penghujan, ia kembali mengetuk pintu. Aku menghampirinya seperti biasa,
membukakan pintu, menyambutnya dengan senyuman. Ia seperti biasa terjatuh di lantai, muntah.
Pria yang kukencani malam itu memanggilku dari arah atas. Kutinggal ia terlentang di muka pintu.
Kemudian aku berlari menyusuri anak tangga, menuju ke kamar tempat di mana aku dan seorang
pria telah sebelumnya bermesraan.
"Jim, tolong pergi," kataku pada pria itu sembari melempar celana bahannya ke pangkuannya.
Pria yang sedang bertelanjang dada itu melotot, sedikit mengangkat tubuh. Pantulan sinar dari
kalung salib di dadanya menyentuh retinaku.
"Suamiku pulang," lanjutku sambil membantu mengancingkan kemejanya.
"Lima ratus ribu." Ia menyelipkan uang dengan nominal yang disebutnya itu ke sela payudaraku.
2 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tolong, Jim. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku membeku di bawah."
"Kau tidak mungkin menyuruhku pulang, hujan lebat begini!" tukasnya sambil meraih pinggangku
dan mendekapku lebih erat, ciuman bertubi-tubi mendarat di leherku.
"Kau membawa mobil," bisikku lirih.
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suamimu juga sudah di dalam rumah, ia tidak mungkin kehujanan." Ia balas berbisik. Tangannya
memainkan rambut ikalku, meremas-remas leherku.
"Ia mabuk, Jim," jawabku keras, lantas kudorong tubuhnya hingga terjungkal kembali ke atas kasur.
"Oh, Lara... aku juga mabuk!" tiba-tiba seluruh wajahnya merah padam. Ada sesuatu yang
meradang di matanya, barangkali api kemarahan.
"Aku istrinya," tandasku, mencoba bersikap tenang.
"Fine!" Ia beranjak dari ranjang dengan kilat, dikenakannya kembali celana bahan, sabuk, dan kaos
kakinya. Lalu ia berjalan melewatiku. "Lain kali jangan suruh aku datang kalau pulangnya harus
dengan cara kau usir seperti ini," ujarnya di telingaku, masih seraya sedikit memaksa mengecup
bibirku, sebelum akhirnya kudorong ia ke arah pintu.
Ia menuruni tangga, aku mengikutinya dari arah belakang.
Diludahinya suamiku yang sedang terkapar di lantai tak sadarkan diri. "Oh, Jim!" teriakku. Ia pergi,
tak peduli. Setelah kepergiannya, kututup pintu rumahku.
Lalu kutatapi ia. Seseorang yang tidur di lantai itu, pria yang sepuluh tahun lalu kunikahi. Ia yang tak
kuketahui kapan bisa hadir menemaniku. Jikapun ia ada di rumah, lebih sering tak ada sepatah kata
yang mampu keluar dari bibirku. Lebih sering kami terdiam. Atau aku terdiam, menatapinya
merokok, minum-minum. Tubuhnya begitu berat. Susah untuk kupindahkan. Maka seperti biasanya, kuambil selimut di
kamar, kubiarkan ia tertidur di depan pintu. Aku duduk menemaninya di tangga. Menontoninya tidur
pulas, seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil.
---- Aku duduk menontoninya sampai pagi. Sampai cahaya matahari masuk lewat ventilasi. Terdengar
suara koran pagi membentur pintu rumahku, namun tak mungkin kubuka pintu untuk mengambil
koran karena suamiku masih tertidur di sana.
Ia masih persis seperti dulu saat aku melihatnya tertidur pulas di hadapanku untuk pertama kali.
Maksudku, bibirnya yang sedikit terbuka ketika ia tidur dan raut wajahnya yang masih seperti raut
wajah remaja tujuh belas tahun... seandainya saja tidak ada kerut-kerut ataupun bekas luka di sana.
Beberapa saat kemudian, ia tiba-tiba terbatuk, mencoba bangkit dari lantai, dan kembali muntah.
Aku kemudian menuntunnya ke arah dapur. Di sana lalu ia duduk dengan polosnya seperti seorang
3 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bocah yang menanti sarapan omelet dari ibunya.
"Siapa pria tadi malam?"
Aku menoleh ketika ia mengucapkan kalimat itu. Di sana ia sudah mengambil roti tawar dan
mengunyahnya dengan rakus. "Itu Jim. Langgananku," jawabku.
"Berapa ia membayarmu?"
"Uang darinya kupakai untuk langganan koran, juga membayar tagihan listrik, air, dan telepon."
Dengan santainya ia menambahkan, "Lalu uang untuk roti tawar dan selai ini..." Ia mengangkat
selai blueberrydi tangannya tinggi-tinggi, "kau dapat dari mana?"
Entahlah. Seolah baginya istrinya bekerja sebagai pelacur adalah sebuah lelucon. Tidak
berkeinginan menjawab pertanyaannya, kuletakkan nasi goreng pedas beserta telur dadar gulung
kesukaannya di atas meja. "Bagaimana denganmu, kau minggu lalu ke mana saja?"
Aku mengambil nasi goreng untuk diriku sendiri, lantas duduk di hadapannya. Ketika ia mulai
menyuap sendok demi sendok nasi goreng yang baru saja kumasak, aku memerhatikan telinganya
yang bergerak-gerak. Aku tersenyum dalam hati, telinga itu selalu menjadi pertanda bahwa ada
sesuatu yang sedang disembunyikannya.
"Sampai kapan kau akan biarkan aku tidur dengan pria lain, Jo?"
Tawanya membahana hingga ia perlu menepuk-nepuk perut, aku menarik napas lagi, "Kau sudah
mulai ketagihan tidur dengan banyak pria, ya?" responnya seraya menyuap sendoknya lagi.
Sungguh suamiku sudah sinting.
Ia lalu bangkit dan mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas.
"Kapan kau akan mulai bekerja lagi, Jo?"
"Selesaikan dulu nasi gorengmu, baru kita mulai makan yang lain. Sudah kubilang berulang kali,
nasi goreng tidak pernah cocok dicampuradukkan dengan masalah pekerjaan," jawabnya,
bersendawa. Rasanya selera makanku tiba-tiba hilang mendengar itu. Aku bangkit dan menumpahkan nasi
gorengku ke dalam keranjang sampah, lantas mengambil bekas piring Jo di meja dan kemudian
merapikan dapur. Ketika aku menuju ruang tamu, Jo sedang menyetel siaran berita di televisi. Aku melewatinya begitu
saja untuk mengambil koran di luar. Setelahnya aku kembali untuk menemaninya di ruang tamu.
Kali ini ia sedang menonton program anak-anak, kartun-kartun yang biasanya ditayangkan setiap
hari Minggu. "Seharusnya ibu rumah tangga sepertimu tidak perlu membaca koran." Ia berkomentar, tak juga
kunjung terbiasa mendapatiku menghindari tatapannya dengan menghalangi seluruh wajahku di
balik koran. 4 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika kuturunkan koran dari wajahku, di hadapanku ia tepat sedang menatapku. Lekat. "Koran hari
Minggu isinya tidak begitu berat untuk dibaca, Jo," kujawab santai, "Aku suka membaca
cerpen-cerpen yang disuguhkan. Rasanya seperti ada sesuatu yang bisa kunikmati dari tulisan
orang-orang yang tidak pernah kukenal."
Ia menaikkan alisnya lalu kembali menatap ke arah televisi, "Seorang pelacur biasanya tidak akan
pernah punya ide untuk menjawab seperti itu.
Tetapi, kupikir lagi, barangkali memang akan pernah ada seseorang menuliskan kisah kita menjadi
cerita pendek. Dan kelak mungkin kau akan ditakdirkan membaca cerita itu." Ia menjawab sendiri
retorikanya. Aku tersenyum kecil. "Menurutmu kelak kalau kita sudah tua, siapa yang akan paling direpotkan?" Ia mulai bertanya lagi.
Kuturunkan lagi koranku dan di sana ia menatapku. Lekat, seperti sebelumnya.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wujudku sebagai nenek-nenek, Jo. Aku tidak akan
memiliki pelanggan lagi dan aku tidak tahu kita akan bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup
dari mana." "Begitu, ya?" Ia terlihat merenung sebentar, namun lantas mengalihkan perhatiannya kembali ke
televisi. Kulanjutkan membaca koran. Cerita pendek kali ini tidak begitu menarik. Entahlah, rasanya
belakangan ini proses penyaringan cerita untuk layak dibaca semakin menurun saja kualitasnya.
Atau memang karena cerita-cerita kehidupan di dunia sudah semuanya pernah tertulis" Rasanya
tidak pernah ada cerita yang baru.
"Kau sedang baca cerita apa?"
Kali ini aku menjawab dengan tidak memandang ke arahnya, "Hm, entahlah. Tentang kisah cinta
beda agama, pertentangan dari keluarga mereka, dan cinta yang berakhir tragis. Kedua-duanya
bunuh diri." "Kau suka kisah-kisah begitu?"
"Aku berharap akan ada seseorang yang menuliskan kisahku. Kurasa kisah hidup kita lebih menarik
untuk ditulis." Ia kontan tertawa, "Kau sejak kecil memang naif sekali ya, Lara." Entahlah itu pujian atau bukan.
Aku sudah tidak bisa membedakan apa maksud dari kalimat-kalimatnya.
Selalu saja begitu akhirnya. Aku tidak peduli lagi yang mana hinaan, ledekan, ejekan, candaan,
pujian, atau entah apapun. Selama kalimat itu keluar dari mulutnya, rasanya tetap sama saja. Sama
pahitnya. Karena bagaimanapun aku tetap tidak akan pernah tahu siapa ia sebenarnya.
"Bagaimana ceritanya kau bisa menemukanku enam belas tahun lalu, Jo?" kulipat koranku dan
kuletakkan di atas meja. Kami kemudian saling berhadapan dan dengan lugunya ia mengorek upil
5 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di hidungnya dan pergi menuju dapur.
Sambil masih menuangkan botol air dingin pada gelasnya, ia menjawab pertanyaanku tadi. "Jadi
ceritanya Jo si pria tiga puluh tahun menemukan seorang gadis kecil terlantar di jalan. Gadis itu
tidur di atas kursi taman.
Kurasa kau masih ingat pagi itu. Saat itu aku kelaparan, betul-betul kelaparan. Tidak ada yang bisa
kumakan. Maka aku mengamen saja di sekitar taman. Setelah uangku cukup, kubelikan sebungkus
nasi goreng dan telur dadar. Lalu kutemukan kau tidur di sana. Lara yang baru berusia enam tahun,
menatap kelaparan ke arahku. Dan seharusnya aku yang tanya, karena sampai sekarang aku tidak
tahu dari mana asalmu."
Aku mengangkat kakiku dan melipatnya di atas kursi, tanganku kusandarkan di pahaku dan daguku
tertopang di atasnya, "Tolol. Sudah pernah kuceritakan. Masak bisa kau lupa" Aku pagi itu baru
saja kabur dari panti asuhan. Hidup yang tidak nyaman. Bayangkan kau dijadikan pembantu dan
kau dipaksa berpura-pura bahagia di depan para pengunjung panti."
Jo menatapku lekat, "Kau tidak pernah cerita sebelumnya."
"Aku pernah." jawabku, agak melotot.
"Sepertinya aku pun telah melupakan usiaku," jawabnya sambil tertawa.
"Kau memang sudah setua itu. Kau lebih pantas menjadi ayahku. Ketika itu aku tidak pernah
bertemu orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku. Sampai akhirnya aku
menemukanmu dan mengenalimu sebagai ayahku."
"Sampai lalu kita menikah enam tahun kemudian di usiamu yang kedua belas dan aku memaksamu
melacurkan diri, kau masih menganggapku sebagai ayahmu?"
"Sampai akhirnya kita duduk berdua di sini, bernostalgia, dan mengobrolkan hal-hal aneh. Apa yang
terjadi padamu selama seminggu ini, Jo?"
"Serahkan tanganmu padaku, Lara." Pintanya, entah oleh sebab apa.
Ia mengulurkan kedua telapak tangannya dan kuletakkan telapak tanganku di atasnya.
"Beberapa hari lalu saat aku berlibur dengan istri dan anakku, seorang peramal yang kutemui di
taman hiburan mengatakan hanya akan ada satu gadis yang mencintaiku selamanya, seumur
hidupnya," ujarnya sambil membalikkan telapak tanganku dan menyusuri garis tanganku dengan
jemari tangannya yang kasar, "Ciri-ciri gadis itu persis sekali denganmu, Lara."
"Ah, dan lalu bagaimana reaksi istrimu?"
"Kupikir dia tidak begitu peduli dengan ramalan itu,
Dia bertambah cantik saja setiap hari dan aku seolah bermetamorfosa menjadi monster dari hari ke
hari. Aku malu setiap kali berkencan berdua dengannya. Tapi untung ada anak-anak kami yang
selalu membuatku nyaman. Istriku akan selalu bersama anak-anakku dan entah bagaimana, aku
selalu bisa memisahkan diriku dari mereka di tengah keramaian. Berjalan sendirian seperti Beast si
6 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
buruk rupa." Jo menumpahkan perasaannya padaku.
Kugenggam tangannya erat, "Kau pasti akan pergi lagi malam ini. Lalu kapan kau akan pulang ke
sini lagi?" "Setelah mengetahui ramalan itu, aku seperti ingin tinggal selamanya denganmu di sini, Lara."
Entahlah, tatapannya memang agak berbeda kali ini. "Ketika kau akhirnya tahu siapa yang akan
mencintaimu untuk selamanya dan berada di sisimu sampai kapanpun juga, apa hatimu tidak akan
tergerak untuk menghabiskan sisa hidupmu dengan orang itu sampai ajal menjemputmu?"
"Kau masih butuh istrimu, Jo. Kau sudah tidak bekerja, kan?"
"Dan istriku kaya raya. Yah, begitulah Lara!" Ia lantas melepaskan genggaman tangan kami,
"Kupikir aku memang tidak harus memercayai ramalan."
"Kau mau ke mana, Jo?" tanyaku ketika ia beranjak dari kursinya dan naik menyusuri tangga,
barangkali ke arah kamarnya.
"Mengambil barang-barangku dan pulang ke tempat istriku," sahutnya.
Kubiarkan ia membereskan barang-barangnya di atas. Kudengar banyak barang-barang yang
dibanting olehnya. "Lalu kapan kau akan kembali?" Kuhadang langkahnya ketika ia berjalan ke arah pintu rumah kami.
Ia berdiri di hadapanku dan menggendong ransel besar.
"Mungkin kau harus mencari ayah yang lain untukmu, Lara. Kau sudah besar sekarang." Ia
memegang hidungku dan menciumnya. Dahiku persis menempel dengan dahinya, "Aku akan
merindukanmu, putri kecilku."
"Bukankah aku istrimu, Jo?" tukasku.
Ia lalu memelukku, "Istri yang tidak pernah kusentuh. Iya, kau istri yang akan selalu memiliki tempat
di hatiku, Lara. Jaga dirimu baik-baik. Pilihlah laki-laki yang baik."
"Jo ..." "Dan ingat gunakan pengaman."
Ada air mata di pelupuk mataku dan aku hanya bisa tertawa kecil, ia membalas tawaku dan
mengecup dahiku lembut. "Jo ..." ia menatap ke arahku ketika kupanggil namanya.
"Aku suka membaca apapun. Aku sangat suka membaca ... karena kaulah yang mengajariku
membaca. Karena saat aku membaca sesuatu, aku selalu ingat bagaimana tanganmu memegang
tanganku dan menunjukkan huruf-huruf latin itu satu-satu. Bagaimana kau mengajariku menulis..."
Ia tersenyum, "Itulah sebabnya aku tidak pernah berani menyentuhmu, Princess. Seorang ayah
tidak akan pernah punya nyali melukai putrinya. Ah, sudahlah."
7 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia lalu pergi. Dan tidak pernah ada kabar lagi darinya setelah itu meski aku selalu menunggu
ketukannya di pintuku. Selama itu, berkali-kali pria lain telah mengetuk mencariku. Kutemukan, tidak
ada seorang pun yang akan muntah sepertinya ketika pintu kubuka. Dan mungkin tidak akan ada
seorang pun yang akan menyerupainya. Seumur hidupku. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Balada Seekor Semut Aliana berjalan di tengah keramaian, kegaduhan terjadi di seluruh penjuru ruangan. Dentum musik
pameran yang dihadirinya kala itu mengacaukan pikirannya. Berkali-kali dia berusaha menyelinap di
antara kerumunan, menerobos lalu-lalang, bertekad keluar entah dari pintu manapun. Dia harus
pergi dari tempat itu. Tak peduli lagi akan janji temu yang dia buat dengan
seseorang-yang-tak-benar-benar-dia-kenal. Sudah satu jam dia di sana dan keterlambatan lelaki itu
sudah tak dapat dia toleransi.
Sambil berusaha mencari jalan keluar, pemandangan di sekitar pameran menusuk-nusuk indra
penglihatannya hingga dia memaki dalam hati. Dia terus memperhatikan orang-orang yang melintas
di sekelilingnya, yang ke sana kemari membawa gadget terbaru. Aliana pikir bisa saja separuh dari
orang-orang itu hanyalah manusia-manusia labil yang ingin ikut-ikut memiliki gadget mahal. Sekilas
Aliana tersenyum miris. Mungkin agak culas, tetapi baginya mereka hanyalah korban pembodohan
yang tertipu untuk menghabiskan uangnya, karena belum tentu mereka memerlukan semua fasilitas
itu. Napasnya sesak dan kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk. Maka saat itu dia pikir dia harus
melakukan sesuatu atas hal-hal yang mengganggunya di sana.
Makara sudah tiba di pintu gerbang ketika tiba-tiba letusan demi letusan terjadi. Semua lampu
padam. Ia menyadari ia memang telah terlambat selama satu jam, namun bukan berarti itu dapat
dijadikan alasan oleh gadis pembunuh misterius itu untuk kembali melakukan satu kasus
pembunuhan lagi di keramaian seperti hari itu.
Para pengunjung berteriak ketika satu persatu orang yang berdiri di sebelah mereka roboh.
Kepanikan memenuhi udara.
Makara tahu benar siapa yang hadir di sana. Ia dapat memprediksikan ketika gadis itu berlari ke
arahnya dengan menghunuskan pisau dipegang di tangan kanan. Tangan kiri gadis itu masih
memegang pistol dan mengarahkannya secara acak, menembak sembarangan.
Alangkah bengis, pikir Makara, ketika menangkap tangan kecil gadis itu. Baginya tangan gadis
inilah yang dinamakan bertangan dingin.
"Salam kenal?" ujar Makara ketika menangkap sorot mata tajam gadis itu sekilas lalu.
8 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tanpa menjawab, seketika itu juga gadis itu menghilang dari pandangan.
Dan pertemuan itu berakhir dengan kesia-siaan bagi Makara. Pembunuhan massal yang
menewaskan puluhan pengunjung pameran malam itu diberitakan oleh sepenjuru media massa di
Indonesia, tanpa seorang pun tahu siapa pelakunya.
---- "Aliana... ini pasti kau, kan?"
Aliana mengusap mata, dia masih mengantuk dan ingin meneruskan tidurnya.
"Apa pria itu begitu penting sampai kau hampir membongkar identitasmu tadi malam?" tanya
ayahnya kepada Aliana ketika dia masih menikmati waktu senggangnya berayunan di kasur
gantungnya. "Aku membaca tulisannya di suratkabar, dan aku tertarik," jawab Aliana sambil bersalto terjun dari
ketinggian sepuluh meter, berdiri dengan mantap di hadapan ayahnya.
Ayahnya hanya melotot, masih menahan amarah.
Aliana tertawa. "Ya, ya, ya, aku mungkin bisa meminta Laras menuliskan seribu berita seperti yang
pria itu tulis, dia mungkin dapat menyelesaikannya dalam waktu sekejap, tapi aku hanya
penasaran." "Aku senang kau masih ingat adikmu berkali-kali lipat lebih mahir daripada wartawan manapun di
dunia ini." "Ya, mempertimbangkan keahliannya memegang alat tulis dengan seribu tangannya ..." ujar Aliana
sambil mengarahkan tatapan kepada adiknya yang duduk dengan kalem di sebelah ibu mereka,
masih dengan dua tangan merajut sesuatu di sana.
"Jadi kau ingin membongkar identitas kita?"
"Ayolah, Ayah. Sampai kapanpun tidak akan ada yang tahu kalau aku dapat berubah menjadi...
semut, Laras... kaki seribu, ayah... beruang, atau ibu... serigala. Hal ini terlalu gila untuk mereka
percayai." "Mengapa kau selalu mencari masalah" Mengapa kau membunuh manusia-manusia yang tidak
bersalah?" Aliana tertawa. "Aku hanya bosan dengan keteraturan. Dan berhubung tidak ada satu pun hukum
buatan manusia dapat mengikatku, kenapa tidak?"
"Di mana kau dapatkan pistol itu?"
"Aku dapat berubah menjadi semut kapanpun aku mau, aku dapat mencurinya di mana saja."
"Aliana, kutukan ini tidak seharusnya kau pergunakan untuk kejahatan."
9 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ayah, ini tidak jahat. Aku hanya sedikit mengubah keteraturan dunia. Sekali ini saja, ini yang
terakhir." "Tidak ada satu pun leluhur kita yang menyalahgunakan kemampuannya, Aliana."
"Ayah, aku khilaf."
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah menyalahgunakannya berkali-kali. Dan hanya pria ini, penulis berita ini yang dapat
menangkap semua perilaku jahatmu. MTS, itu identitasnya?"
"Ya, Makara Tirta Samudra. Kupikir ia lumayan peka."
"Apa sebenarnya maumu, Aliana?"
"Ayah, kalau kita punya kemampuan, kenapa kita tidak membuat bumi ini menjadi lebih baik?"
"Ini namanya main hakim sendiri!" hardik ayahnya.
"Ibu dan Laras pun tidak mempermasalahkannya!"
"Berjanjilah ini kejahatan yang terakhir."
"Sial, ini bukan kejahatan, Ayah!"
Dan ayahnya menamparnya. "Sudahlah, ayah tidak akan mengerti. Ayah tidak pernah mau mendengar!" sentak Aliana, sekejap
kemudian menghilang dari pandangan mata.
----- Bagi Aliana yang telah hidup selama 19 tahun dan telah membaur dalam kehidupan manusia
selama itu, kehidupan di zamannya telah sedemikian kacau. Dia kadang tidak mengerti apa yang
harus dia lakukan jikapun ayahnya selalu menyuruhnya untuk berperilaku seperti manusia.
Dia sama sekali bukan seperti manusia kebanyakan. Dia mungkin seekor semut yang manusia,
atau seorang manusia yang semut: tanpa identitas yang jelas. Dengan dia mengalienasikan dirinya
sendiri, akhirnya tak ada seorang pun mengenalnya. Dia sudah bersekolah seperti manusia
kebanyakan, dididik dengan aturan A hingga Z untuk pada akhirnya dijadikan budak dengan rok
pendek dan berias wajah, dia sudah ikut tes ujian masuk negara dan berkuliah. Dia sudah menuruti
segala kehendak ayahnya. Sampai dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dari hidup di dunia yang seperti itu.
Segalanya penuh dengan rutinitas. Mengapa dia tak bisa berkoloni saja bersama semut-semut yang
lain dan pergi selama-lamanya dari keluarganya" Tetapi dia samasekali tidak bisa bahasa semut!
Dia telah dididik sebagai semut yang manusia.
Tetapi ketika berbaur dengan manusia ... dia merasa kecil, terabaikan, bukan apa-apa, persis
seperti kodratnya sebagai semut.
10 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hari itu dia benar-benar berpikiran untuk mati. Tetapi tidak tahu apakah sebagai manusia, ataukah
semut. Sepanjang siang dia berjalan melintasi pertokoan buku bekas, berpikir bahwa untuk mati
ditimpa buku mungkin menyenangkan.
"Kau gadis itu, kan?" sampai seseorang memegang bahunya.
" ... (mts) ..." Ddemikian terlintas di benak Aliana. Pria itu, jurnalis yang selalu 'melihat'-nya.
"Yang kemarin kutemui dan menghilang?"
Matanya bertatapan dengan pria itu. Jantungnya berdebar cukup kencang, dan itu adalah kali
pertama. "Siapa sebenarnya kau?" Pria itu mendesak.
Sesuatu di dada Aliana mencelos, beruntung dia bisa menyunggingkan senyum.
Dan pria itu tiba-tiba tertawa begitu hebatnya sampai menekan-nekan lutut. "Akhirnyaaaaa!!
Akhirnya kutemukan juga gadis misterius ini!" dan pria itu dengan refleks memeluknya.
Aliana mengedip-ngedipkan matanya, baru kali itu dia menghadapi situasi yang amat manusiawi
semacam itu. Ibu dan ayahnya tidak pernah memeluknya atau memperlakukannya seperti manusia
pada umumnya. "Aliana. Namaku Aliana."
Pria itu tersenyum teramat lebar, mengelus-ngelus rambut Aliana. "Aku tahu kita pasti akan
bertemu. Senang mengenalmu, Aliana!"
Aliana menelan ludah. Spontan terlintas di benaknya, mengapa respon pria ini sangat jauh berbeda
dengan ayahnya" "Kau senang mengenal orang jahat?" tanyanya.
"Ya! Karena dengan begitu kita dapat bekerja sama!" ujar si pria dengan ambisius. "Setelah
kemunculanmu dan dengan berita-berita yang kutulis, semuanya mendapatkan respon yang positif
dari atasanku. Aku akan dipromosikan seandainya semua beritaku sebaik ini!"
Aliana tidak begitu pasti mengenai apa maksudnya. Tetapi dia tetap tersenyum karena tangan pria
itu masih mengacak-ngacak rambut Aliana dengan gemas. "Bagimu itu bukan kejahatan?"
"Tidak! Karena dengan hal-hal yang kau lakukan selama ini, kehidupan jadi lebih teratur, memang
seperti itulah seharusnya hukum. Hukum mati bagi pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat. Dan
caramu membunuh selalu luarbiasa! Aku kagum."
Hening beberapa saat, hingga Aliana melanjutkan, "Apa aku boleh tinggal denganmu?"
"Mengapa tidak?"
Aliana terbengong-bengong. Bahkan pria di hadapannya itu tidak peduli dia siapa, tidak peduli
11 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengapa dia memiliki kemampuan menghilang, atau dia dari mana, atau mengapa dia memutuskan
tinggal dengan si pria... Tetapi, entah mengapa dia senang pria itu dapat menerima kehadirannya
tanpa banyak bertanya. "Ah ya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Makara."
---- Selama seminggu Aliana tinggal di apartemen pria itu, selama itu dia diperkenalkan pada kecintaan
sang pria pada dunia tulis-menulis, tentang kebenaran fungsional di masyarakat, tentang idealisme
avant-garde. Selama itu, dia diperkenalkan pada citarasa seni yang tinggi dan penghargaan atas
segala sesuatu dalam kehidupan.
Sampai suatu ketika, semuanya menjelma ilusi bagi Aliana. Setelah selusin pembunuhan telah dia
lakukan untuk kepentingan pemberitaan Makara.
"Expectations don't always go along with reality," begitulah pria itu mulai menceritakan rahasia
hidupnya pada Aliana. "Aku harus berputar-putar dulu sebelum akhirnya menjadi jurnalis dan
menemukanmu." Aliana memeluk lututnya duduk pada sofa di apartemen Makara, melihat pria itu
menumpuk-numpuk buku baru yang ia beli, seperti sebelum-sebelumnya.
Bagi Aliana selama ini ... Buku-buku pada zamannya banyak yang teronggokan tidak terbaca,
Banyak aktivis buku menggaung-gaungkan agar semua orang bisa menulis, hingga pada akhirnya
mereka menyalurkan pikiran yang sama sejenis, dan kemudian mereka membuatnya menjadi
buku-bukuan secara massal, lantas dijual dipromosikan dengan angin-anginan.
Buku-buku tanpa jiwa. Tetapi melihat kecintaan Makara akan buku-bukunya ...
"Ayahku selalu ingin agar aku menjadi dokter. Ah ya, aku suka mendengar musik kalau sedang
bercerita dengan kawan-kawanku," tutur Makara lagi sambil bangkit dan memutar kepingan hitam
pada kotak musik di meja dekat akuarium. Lagu-lagu seriosa. "Semoga kau suka laguku."
Bagi Aliana selama ini ... Musik-musik yang tercipta hanyalah dongeng picisan tentang cinta yang
diulang-ulang, atau patah hati yang meradang-radang, atau tentang kisah sepi kehidupan para
kaum jalang. Lagu dangdut dengan keindahan cengkoknya dihancurkan citranya oleh tarian goyang
pinggul yang hilang seni, tak seirama, bisa saja lemuh gemulai tetapi mati pada penjiwaan.
Semua musik selama ini hanya tinggal polusi udara.
Tetapi dengan Makara ... semuanya menjadi jauh berbeda. Dia lebih menikmati musik, dia menjadi
tertarik dengan buku-buku. Dia benar-benar jatuh cinta dengan pria di hadapannya itu.
"Aku menurutinya. Dan aku menamatkan kuliahku. Ayahku hampir gila sewaktu melihatku
menggratiskan pengobatanku pada tetangga-tetanggaku. Dan akhirnya menyerah untuk
menyuruhku melanjutkan kuliah spesialis."
12 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku kuliah Musik," ujar Aliana.
Makara tersenyum, "Samasekali tidak kusangka kau lembut juga ..."
Aliana menggeleng, "Aku suka musik metal. Kau tau, suara tritone. Dan aku kuliah musik, um,
hanya karena sepertinya itu yang paling mudah buat kuselesaikan."
"Kupikir kau lumayan kritis ... cerdas, berwawasan, setidaknya, caramu membunuh itu keren dan ...
sadis." Aliana menarik napas. Dia tidak mungkin bilang bahwa dia samasekali tidak tertarik dengan segala
aspek kehidupan manusia. Dia tidak mungkin mengakui dirinya adalah seekor semut.
"Ah, aku lupa mematikan televisi."
Aliana melihat sekilas apa yang sedang ditayangkan di layar kaca. Televisi penuh dengan para
selebriti saling maki saling hina saling dengki. Yang Aliana lihat, semua penyaksi dari pesta hiburan
itu entah kenapa mau-maunya dibodohi untuk menonton kejahatan minor semacam itu. Dia pikir,
mungkin itu konspirasi para petinggi negara untuk mendegradasi moral masyarakat secara
perlahan. Pria di hadapannya tidak pernah sebelumnya seperti itu. Tetapi hari itu pria itu menyalakan
rokoknya dan duduk di sebelah Aliana, menawarinya segelas kecil tequila.
Aliana tersenyum dan menolak. Seperti ada yang menjepit ulu hatinya. "Sebenarnya hal apa yang
menggembirakan dari hidup di zaman semacam ini?" tanyanya kepada Makara.
Di sisi lain dunia, berseberangan dengan kehidupan gemerlap yang menggeliat, para aktivis
meledak dan berkoar-koar di jalanan, mereka berwacana tentang keadilan, dan di tempat lain di
gang-gang sempit dunia, manusia-manusia kelaparan mati tiap detiknya, melata mengharap
keajaiban. Rakyat tidur selama bertahun-tahun dan para wakilnya juga tidur di kursi-kursi tertinggi tempat
mereka bertahta. Itulah dunia baginya.
Tetapi apa yang bisa dia jelaskan kepada Makara" Kepada pria yang ternyata sama saja"
Tulisan dan perkataan berasal dari pemikiran. Tindakan juga berasal dari pemikiran. Tetapi
mengapa kenyataannya bisa jauh berbeda"
"Kau menikmati hidup yang seperti ini?" tanya Aliana.
"Inilah yang belum kuceritakan padamu," jawab Makara sambil meniupkan asap rokoknya ke arah
Aliana. Dan Aliana sadari itu bukan asap rokok, itu asap ganja.
Aliana menjauh, berjalan mendekati jendela dan membukanya, lantas keluar menuju beranda. Di
sana dia duduk menyendiri.
"Kau bermasalah dengan kelakuanku, padahal aku tak pernah bilang membunuh adalah hal yang
jahat." 13 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Aliana melamunkan dunia ideal di dalam kepalanya. Di mana tidak ada kejahatan dan semua orang
hidup saling menolong satu sama lain. Hidup seperti semut, saling menghargai, saling menjaga.
Selama ini dia hanya membunuh orang-orang yang menurutnya jahat.
"Apa artinya kau menggunakan ganja atau tidak" Kau minum alkohol atau air mineral, apa
bedanya?" tuntut Makara.
"Kau mabuk." "Justru pada saat mabuk orang bisa menyuarakan kebenaran. Kau harus mabuk untuk bisa
mengakui rahasia-rahasiamu!" Makara membentak. Wajah pria itu merah padam. Tangannya yang
panas memegang erat lengan Aliana dengan penuh emosi.
Aliana tertawa. "Sudahlah. Kau juga tidak akan mengerti."
Dini hari itu, tanpa alasan yang pasti, Aliana terjun dari lantai enam apartemen. Sebelum jatuh, dia
kembali menjadi semut. Dan ketika dia terbangun, dia telah berkumpul bersama sekoloni semut
lainnya, tidak memiliki setitik ingatan pun tentang masa lalunya. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Setangkai Arum Manis Bidadari kecilku memegang setangkai panjang jajanan arum manis di genggamannya. Sambil
menangis, kutempelkan dahiku di dahinya. Sore itu di hari Minggu, kami duduk berdua di alun-alun
kota. Gadis kecilku itu tidak akan bertanya mengapa aku menangis. Dia hanya akan selalu menyodorkan
arum manis di tangannya ke permukaan bibirku, kubalas dengan mengusapkan pipiku di pipinya
dan menggigit sebagian kecil arum manisnya, dada kami lantas menempel. Kupeluk dia seerat
mungkin hingga detak jantungnya bersatu dengan detakku dan detak-detak kami kemudian akan
mengalahkan sunyinya irama angin.
Aku tidak menyangka hidupku telah berjalan dengan begitu cepat. Dan aku telah melewati banyak
jalur-jalur perhentian. Dalam tiap perhentian, aku menanti dan cemas. Namun di saat aku kembali
melanjutkan perjalanan setapakku, kadang kupikir aku hanya tinggal menjalani saja kehidupanku di
depan karena semuanya seolah sudah tertera di langit.
Konstelasi bintang yang saling berpegangan tangan satu sama lain barangkali adalah representasi
nyata dari takdir-takdir pertemuan manusia di muka bumi.
Tangan kecil Naya mengusap bekas arum manis di bibirku. Pancaran matanya sangat kusuka.
Teduh. Seolah tidak ada sesuatu pun yang akan dia cemaskan dalam hidupnya. Sekarang ataupun
14 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kelak. Kelak, kelak jauh di masa depan bahkan kendati nyawaku telah mesti kembali ke surga, jalan hidup
Naya tidak akan diubah oleh apapun. Aku yakin dia pasti akan tumbuh menjadi gadis pemikat hati
banyak pria kelak suatu saat. Aku hanya yakin sekali, tidak tahu kenapa.
Kami masih duduk di taman kota sampai bulan tiba dan menyapa dari atas. Di sana aku mengajari
Naya menunjuk-nunjuk bintang dan menghitungnya satu per satu. Aku mengenalkan nama-nama
para bintang kepadanya. Aku tidak berharap dia akan mengingatnya sebaik aku menyimpannya
dalam kenanganku. Aku hanya ingin memperkenalkan Naya pada bintang-bintang itu, para sahabat
yang sudah kukenal sejak lama.
Aku suka sekali menghitung bintang.
Meskipun aku tahu aku mungkin bisa saja salah menghitung bintang yang sama berkali-kali. Tapi
aku tetap teramat suka menghitung mereka.
Meskipun para ilmuwan telah memastikan bahwa aku hanya bisa menghitung keberadaan enam
ribu bintang saja di tiap langit malam yang kujumpai setiap harinya. Dalam enam belas tahun, jika
aku telaten mendapati satu bintang baru setiap harinya, aku telah akan menghitung semua bintang
di langit malam. Tapi aku tetap menghitung mereka bahkan sampai sekarang. Sampai aku memiliki
gadis kecilku sendiri yang bisa kulatih menghitung bintang bersama-sama setiap malamnya.
Karenanya kupikir, mungkin hal ini akan menjadi siklus turun temurun.
Aku sendiri sudah melakukannya sejak kecil. Dulu, ibu selalu mengajakku memanjati genteng
rumah kami yang curam. Dengan bobot tubuh ibu yang begitu ringan dan bentuk tubuh masa
kecilku yang begitu mungil, aku tak heran kalau ketika itu bahkan kami bisa bersama-sama
merebahkan tubuh di permukaan genteng sembari menunjuk-nunjuk bintang di langit.
Rumah kami berdiri dengan bentuk yang sama seperti rumah-rumah sederhana di Indonesia pada
umumnya. Satu kamar utama untuk ayah dan ibu, dua kamar tidur, kamar tamu, ruang tamu, dan
dapur. Tidak ada kamar mandi di tiap ruangan. Kamar mandi terletak terpisah dari rumah, di
belakang rumah. Sebuah sumur ada di dekatnya. Rumah kami dibangun di wilayah pegunungan.
Tidak ada begitu banyak tetangga. Lampu-lampu hanya kadang-kadang saja dinyalakan.
Maka karena ayah dan ibu tidak pernah suka menyalakan lampu, di tiap ruangan hanya dinyalakan
obor berpendar jingga. Dan karena nihilnya iluminasi dari lampu-lampu buatan manusia, di saat aku
dan ibu merebahkan tubuh berduaan di atas permukaan genteng, iluminasi bintang akan
menggantikan ketiadaan cahaya-cahaya lampu itu.
Saking banyaknya bintang yang muncul, mungkin karena didesak imajinasinya, ibu sempat bilang
sesuatu semacam... bahwa dari sejuta bayi makhluk hidup yang lahir di muka bumi ini dalam satu
hari, satu bintang turut lahir bersama mereka. Sejuta bayi itu memiliki bintang yang sama.
Ah, aku ingat sekali semua kenangan itu dengan setiap detailnya. Jika aku harus dengan detil
menyebutkan perasaan seperti apa yang muncul di diriku ketika harus kehilangan masa-masa itu,
aku tak bisa lebih banyak lagi berkata-kata selain memeluk Naya yang kupangku bersamaku
dengan lebih erat dan semakin mencoba tertawa tergelak-gelak bersamanya bahkan sekalipun aku
tak tahu apa yang membuatku harus begitu bahagia.
15 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tidakkah ini menyenangkan" Aku telah melewati jalan hidupku sejauh ini, telah berputri, aku bisa
berjalan berkeliling dengan darah dagingku sendiri. Tidakkah tidak ada satu hal pun yang perlu
kukhawatirkan lagi" Karena ketika pun aku harus mati, aku telah menjalankan kewajiban manusia
yang paling utama. Kepala Naya mendesak-desak di dadaku. Matanya terpejam dan permukaan bibirnya sedikit
bergerak-gerak. Dia barangkali sedang bermimpi. Setangkai arum manis yang masih terbungkus
terlepas dari sebelah tangannya, jatuh di kursi. Kuambil arum manis itu dan kuhadapkan ke
wajahku. "Kau tercipta menjadi sesuatu yang manis dan kau disukai oleh anak-anak, apakah pernah kau
meratapi hidupmu yang hanya sebentar kalau dalam hidupmu itu kau bahkan telah berarti banyak
dengan hanya digigit dan dikulum?"
Kubuka plastiknya dan kugigit awan-awan berwarna merah jambu itu sedikit demi sedikit. Selama
menikmatinya, aku tetap mengajak arum manis itu mengobrolkan tentang pertanyaan-pertanyaan
hidup yang selalu muncul di benakku setiap saat. Sampai habis. Sampai yang tersisa hanya tinggal
setangkai lidi arum manis dan setangkai pertanyaan tentang kehidupan setelah kematian yang tak
akan terjawab sebelum aku nanti mati.
---- Gerimis turun perlahan. Kubangunkan Naya meskipun dia masih terlelap, kuikatkan dia dengan kain
gendong dan kugendong dia di dadaku. Dan tanpa isyarat apapun, kepalanya yang mungil merebah
kepadaku dan dia kembali tidur. Napasnya terasa hangat. Kukecup ubun-ubunnya sambil aku
membuka payung. Kukeluarkan sandal jepit dari dalam tas dan kumasukkan sepatuku dalam kantong platik. Tas ransel
untuk perlengkapan kami kugendong di punggungku. Hujan melebat. Dan entah hal apa yang ada
di kepalaku ketika aku melewati mobilku yang kuparkirkan di parkiran. Aku seolah tidak kasihan
pada Naya yang daya tahan tubuhnya masih lemah.
Sebut saja kalau adalah hal yang wajar untuk menemukan banyak orang jahat berkeliaran di
sekitar. Maka aku sedang menjelma menjadi salah satu sosok ibu yang jahat untuk malam ini. Jadi
kalaupun ada seseorang yang melintas di depanku, maka jahatku adalah jahat yang wajar di mata
orang itu. Jahat yang sehari-hari dia lihat, jahat yang ibu lain juga lakukan kepada anak-anaknya.
Malam ini ada sesuatu di kepalaku, yang tidak kuketahui apa tepatnya, membawaku ke taman ini
dan menentukan setiap gerak langkahku. Biasanya aku tidak terlalu suka berjalan kaki seperti ini.
Apalagi berjalan kaki dengan perjalanan tanpa arah tujuan seperti ini.
Di pertokoan-pertokoan sekitar jalan Malioboro, aku melewati orang-orang yang saling
menghangatkan tubuh dengan bercakap-cakap satu sama lain. Penjual jagung dan kacang rebus
menemani orang-orang itu. Suasana kota yang biasanya selalu ada orang-orang ribut menawar
harga, di malam itu, berubah menjadi suasana kota yang lebih hangat dengan senyum-senyum
mereka yang masih terjaga.
Beberapa orang lainnya ada yang tertidur di pelataran di depan pertokoan. Mengalasi tubuh mereka
hanya dengan surat kabar bekas. Kupikir, benarlah bahwa setiap orang memang dapat memilih
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu-pintu berbeda untuk mengunjungi negeri mimpi.
16 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Perlahan, dari kejauhan, aku melihat kantor tempatku bekerja. Semakin aku mendekat, kantor itu
berubah menjadi abu. Api masih menjalar di beberapa bagian, kendati hujan masih dengan
kewalahan membantu memadamkan api.
Di jalan di depan kantorku, orang-orang telah berkerumun. Padahal hujan. Mereka memegang
payung di tangan masing-masing. Yang tidak memegang payung, telah mengenakan jas hujan dan
sepatu bot. Mobil polisi dan pemadam kebakaran berjajar bersamaan. Di atap-atap bangunan, para
petugas pemadam memegang selang air.
Mobil ambulans, menyuarkan lampu merahnya, datang dari kejauhan. Ketika aku tak sengaja
melihat tubuh-tubuh yang diangkat, aku melihat tubuhku sendiri di sana. Tubuhku yang lebih tua
bersama dengan tubuh-tubuh teman kerjaku. Wujud mereka terlihat puluhan tahun lebih tua
daripada yang kulihat terakhir kalinya pada Sabtu kemarin.
Ketika kudekati orang-orang itu, mereka tiba-tiba menghilang. Dan kusadari mereka hanya
bayang-bayang. Namun tiba-tiba mereka muncul kembali. Senyum mereka mengembang lebar.
Namun senyum mereka terlampau mengerikan untuk kubalas dengan senyumku. Hingga
karenanya, aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalaku dan memejamkan mata. Naya
menangis dan berteriak-teriak di pelukanku.
Akan tetapi, ketika sekejap kemudian kubuka mataku, suasana berubah menjadi begitu sunyi.
Hujan telah berhenti. Naya masih dengan anteng menapaskan mimpinya lewat hembusan di bibinya
yang mungil. Di jalan di sekitarku, tidak ada sesiapa. Lampu-lampu padam dan langit menjadi begitu
terang, berpendar hijau toska. Aurora. Sesuatu yang seharusnya kudapati di kutub-kutub bumi.
Tiba-tiba di dadaku ada gejolak yang tak kukenali. Aku seolah hidup sendiri. Seolah mendapati
mimpi di alam nyata. Seolah dengan seketika bisa mempercayai segala hal gaib nan ajaib dalam
dongeng dan mitos. Saat ini, aku merasa tidak punya keterikatan apapun pada manusia-manusia di muka bumi, selain
Naya. Tiba-tiba muncul sesuatu di benakku, bagaimana kalau aku sebenarnya adalah utusan
organisasi rahasia di luar bumi dan aku bisa kapan saja meloncat ke langit dan keluar dari bumi,
lagipula jarak langit kelihatannya hanya sejengkal.
Atau bagaimana kalau misalnya bumi ini adalah sebuah bola percobaan artifisial yang diciptakan
oleh sesuatu yang entah apa.
Aku telah terbangun dari percobaan itu. Dengan manusia-manusia lainnya yang mungkin telah
terbangun terlebih dahulu.
Sejak kecil aku sering berkhayal kalau-kalau aku adalah tokoh rekaan dalam cerita yang tidak akan
pernah bisa bertemu dengan pengarangku. Ah, tidak, tidak persis seperti itu. Aku lebih sering
membayangkan kalau-kalau aku dan manusia-manusia lainnya adalah seperti tikus got yang
digunakan sebagai percobaan di laboratorium.
Bumi seperti halnya sebuah bola kristal yang berusia miliaran tahun. Warga bumi dalam tiap
peradaban selalu takut bola itu akan retak dan pecah berkeping-keping. Beragam bentuk
peradaban telah pernah ada dan sepanjang hidupnya, mereka khawatir kalau-kalau bumi akan
pecah. Namun seiring berjalannya waktu, sentuhan kehidupan selalu membuat manusia melupakan
17 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
betapa lemahnya bola kristal yang mereka tempati.[/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Tiga Puluh Lima Kartu Pos dari Anna
Sudah lama aku tidak menerima kabar darinya. Pagi ini seikat kartu pos kutemukan dalam kotak
posku. Semuanya tanpa cap pos. Aku ingat apa yang dulu pernah dibilang oleh pengirim seikat
kartu pos ini. Suatu saat dia akan kembali lagi ke kotaku. Suatu saat dia akan menaruh banyak
surat di kotak posku. Pagi ini dia kembali. Aku duduk di sofaku sambil mendengarkan siaran radio pagi. Satu persatu kubaca tulisan
tangannya pada berpuluh-puluh kartu pos itu.
Seperti dirinya, semua kartu pos itu berwarna cerah. Gambar-gambar yang akan membuat dadamu
bergejolak. Dari semua itu, kusimpulkan dia memang telah mengunjungi banyak tempat.
Negara-negara dari seluruh belahan dunia. Gambarnya demikian indah, jadi bukan nama-nama
tempat yang tertulis di sana yang membuatnya istimewa.
Dia menulis pada tiga puluh lima kartu pos berbeda. Tiga puluh lima tahun juga dia telah pergi dari
hidupku. Pada kartu pos ketiga puluh lima, aku yakin itulah kartu pos yang akan paling berkesan.
Gambar seorang gadis dari arah belakang yang mengenakan topi sombreto berhiaskan bunga tulip
dan merentangkan tangan. Di depan gadis itu terdapat taman dan pegunungan beserta hamparan
bunga beraneka warna. Di baliknya hanya terdapat empat kalimat dengan tulisan halus: Aku selama
ini selalu menginginkan hidup yang bebas. Dengan akhir yang cerah. Tanpamu atau denganmu.
Tapi melihat kenyataannya sekarang, sepertinya aku telah berakhir tanpamu, ya"
Kupikir aku masih menyimpan suratnya tiga puluh lima tahun lalu. Surat yang membuatku yakin dia
akan kembali setelah waktu itu dia sempat berbulan-bulan sepenuhnya menghilang dari duniaku.
Benar. Surat darinya berpuluh-puluh tahun lalu kemudian kutemukan di dalam laci.
Wino sahabatku. Wino, kau tahu sekarang aku di mana" Aku menulis ini dari tempat yang jauh
sekali. Kalau dulu kita pikir kita akan mengelilingi dunia bersama setelah kita menikah, sekarang
aku telah ada di sini di ujung dunia. Tetapi kalau kau menerima surat ini dengan cap pos dan
perangko dari negara lain, barangkali nanti aku telah berpindah ke tempat lain lagi untuk
mengirimkan surat kepadamu. Aku tidak akan menetap di satu tempat.
Jadi Wino, bagaimana dunia kita tanpaku" Aku selalu berpikir bahwa dunia akan selalu baik-baik
saja tanpaku. Bagaimana kabar istrimu" Kalau kau pikir aku pergi meninggalkanmu dan dunia yang
kita bangun selama ini karena tidak bisa menerima kenyataan kau menikah dengan gadis lain, iya
Wino percayalah kalau aku demikian mencintaimu sampai tidak bisa melihatmu dimiliki oleh orang
18 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
lain. Tapi saat kemudian kau tidak menemukanku di manapun dan kau kehilanganku selama
berbulan-bulan, tanpa seorang pun tahu kabarku, percayalah itu karena pilihanku sendiri. Aku selalu
mengangan-angankan untuk bisa mengelilingi dunia denganmu. Tapi kini, tanpamu pun ternyata
aku pikir aku akan bisa melakukan itu.
Wino, aku berjanji aku akan kembali suatu saat nanti dan menceritakan segalanya. Aku tahu ini
adalah permainan takdir. Dan kita berdua yang pemberani ini, yang kuat dan selalu yakin bahwa
kita bisa mengubah dunia bersama, ternyata adalah semut-semut kecil yang tak bisa melakukan
apapun dan mati terinjak begitu saja. Kau meninggalkanku dan tidak dapat selamanya berada di
sisiku. Tetapi, kalau suatu saat nanti aku kembali, percayalah itu artinya saat itu aku masih akan
mencintaimu seperti cintaku sekarang. Sahabat kecilmu, Anna. [/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Saudade Kita bertemu di galeri itu. Ketika aku dan kau dari arah berlawanan saling teliti memperhatikan tiap
judul lukisan-lukisan di sana. Yang kuingat, langkah kita kemudian tiba-tiba bersisian saat aku
memperhatikan lukisan abstrak berjudul 'Pertemuan'. Ketika itu aku langsung spontan ingin melihat
lukisan yang sedang kau lihat. Mungkinkah judulnya berkaitan"
Ketika kita dengan perlahan saling bertukar posisi, aku melihat judul di sana, judul lukisan yang
sebelumnya kau perhatikan. Seperti memiliki pikiran yang sama, kau nampak buru-buru melihat
judul lukisan yang tadi kuperhatikan. Kuyakin, waktu itu kau merasakan hal yang sama.
Kita kemudian saling bertatapan. Aku tersenyum, kau tersenyum. Saat itu semuanya bermula tanpa
adanya perkenalan. Dan kita berjalan berlawanan arah, pulang ke rumah masing-masing.
---- Kini pun tak ada yang mengikat kita. Aku tak pernah tahu namamu. Aku hanya tahu bahwa nama
samaranmu di dunia Seni Rupa adalah Adnan Anantara. Maka kucari tahu semua hal tentangmu di
mesin pencari, barangkali nama itu tidak hanya kau pergunakan di satu dunia, barangkali kau juga
menggunakannya di dunia maya yang kian hari kian ramai, dunia maya tempatku biasa tinggal dan
juga membuat banyak nama samaran.
Kuduga, pasti mudah mendekatimu setelahnya, dan benar saja ketika itu kita lalu saling berkenalan
dengan nama samaran kita masing-masing di banyak jejaring sosial. Kita menjadi leluasa untuk tiap
hari saling membagi rahasia. Kita berdialog di jendela maya hampir tiap pagi, siang, malam, sore,
kapanpun kita butuh bertemu. Kita berbagi gestur tubuh melalui simbol-simbol dan kata-kata pada
beranda kita di situs masing-masing.
Kau membagi gambar-gambar lukisanmu hampir tiap hari ke surelku, terkadang kau selingi juga
19 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan beberapa puisi atau rekaman suara. Aku dengan tak tahu malu hanya bisa bercerita
tentang botol-botol, cawan, cairan ungu, dan kertas warna-warni, juga rajutan. Aku sangat suka
membuat prakarya dan melakukan eksperimen untuk itu di waktu-waktu senggangku.
Kau pernah bilang, kirimlah semua itu sekali waktu ke alamatmu. Dan sekalian, kau bilang,
bagaimana kalau kita bertemu di suatu kesempatan"
---- Kesempatan bertemu. Bukankah mempertanyakan sebuah pertemuan adalah hal yang lucu" Bila
ternyata, sekalipun kita seringkali bertemu, kau tak pernah menyadari keberadaanku"
Kita tiap hari bertemu, tanpa kau sadari. Ketika kita melakukan amal membelah Jakarta dengan
metromini, menemukan anak-anak yang terlantar di gang-gang sempit dan mengajari mereka untuk
membentuk komunitasnya dan sesekali mengajak mereka mampir ke sanggarmu. Juga, tiap saat
ketika kita dengan komunitas-pecinta-senimu berdiskusi di belakang Pasar Senen, atau ketika kita
hanya berdua selalu iseng-iseng masuk ke toko buku di Taman Ismail Marzuki atau berjalan-jalan
menikmati berbagai panorama negara di Grand Indonesia dan selalu kembali terdampar di
Kinokuniya atau Gramedia.
Kita juga pernah melempar koin di sungai-sungai, memanjatkan doa. Kita juga pernah duduk di atap
kamar kosmu, hanya berdua, menatap langit malam Jakarta yang mendung dari sana.
Kau tak pernah menyadarinya. Tak pernah ada cinta yang terjadi di antara kita. Kupikir kau telah
jatuh cinta dengan aku di dunia maya, seperti halnya aku telah jatuh cinta dengan kamu di dunia
maya. Sehingga kita tidak perlu lagi untuk saling jatuh cinta di dunia nyata.
Kau malam itu berdiri di hadapanku. "Ada apa, Anne?" Saat itu kau bertanya, saat aku berdiri
diguyur hujan di depan sanggarmu.
Ketika itu kau mencoba memegang bahuku, mengajakku masuk. Aku tetap berdiri di sana, menatap
matamu. Kau raih tanganku, menariknya. Aku mengencangkan peganganmu dan mengajakmu ikut
terus berdiri di sana. Matamu membelalak, seolah kaget.
"Kenapa kau diam di sini" Anne, masuklah.. Aku tak mengerti apa maksudmu. Hujan, Anne."
Kini tatapanmu seolah mengalahkan tatapanku, tanganmu menggenggam erat tanganku.
"Kita bicara di sini saja." Kudengarsendiri getar di suaraku, entah karena gigil diguyur hujan entah
karena gigil keberanian. Kau terdiam, lalu akhirnya berkata, "Bilang kenapa, Anne..."
Kau dan aku dipertemukan oleh lukisan. Kau dan aku juga kemudian dipisahkan oleh lukisan, yang
tiap hari kau pamerkan pada gadismu di dunia maya, pada tiruanku. Kalau kau mau tahu,
sejujurnya aku cemburu pada diriku sendiri. "Aku akan pergi," ujarku. Kubayangkan apakah kau
pernah sadar bahwa kau telah kutipu mentah-mentah selama ini.
"Kenapa pergi?" tanyamu. Nada suaramu datar, aku tahu kau tak akan merasa kehilangan.
20 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Karena aku bosan di kota ini," jawabku.
"Ke mana kau akan pergi?"
"Kehendakku, ke manapun aku ingin."
"Kalau begitu, ajak aku bersamamu," jawabmu kala itu. Kupikir kau menyimpan rasa untukku.
Terkejut, aku menatap dalam ke matamu. Di sana tak ada aku, di sana tak ada siapapun.
Kau bukan cerminku. "Aku tak bisa mengajakmu. Maaf," ucapku, melepaskan pegangan tanganmu
dan berlari menembus hujan.
Kekasih yang saling tercipta untuk satu sama lain seharusnya menemukan cermin pada diri
masing-masing. Tak pernah sekalipun aku menemukan diriku padamu. Bertahun-tahun kuhabiskan
denganmu hanya untuk menyadari bahwa tidak setiap pertemuan akan memilki arti.
"Kawan yang hadir di hidup kita hanyalah figuran." Dulu kau pernah berkata. "Pada dasarnya, orang
terpenting dalam hidup kita adalah mereka yang akan menemani kita sepanjang usia."
Kadang dunia tak sebundar yang kau bayangkan. Aku dapat saja menunggumu sepanjang usiaku,
tetapi apakah kau bersedia menghabiskan waktu tanpa tahu apa yang kau sedang lakukan
denganku" Kita selama ini mungkin hanya berpura-pura saling mencintai. Mungkin, kau tidak hanya
menggodaku di dunia maya. Mungkin kau bahkan menggoda sejuta gadis lainnya. [/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Dosen dengan Dunia Utopia
Sejak pagi, warung nasi rames tempat Tito makan nampak penuh oleh pengunjung. Ada saja
pengunjung baru yang masuk, bahkan meskipun orang-orang yang awalnya duduk di sekitar Tito
telah silih berganti membayar makanan mereka dan pergi dari warung tersebut. Dalam waktu
selama 1:48 (satu jam empat puluh delapan menit) - berdasarkan arloji digital yang Tito kenakan,
Tito sendiri belum juga menghabiskan makanannya.
Kata ibu Tito, dulu cara makan Tito tidak seperti itu. Sangka ibunya, ia mulai begitu semenjak
mengenal Matematika. Ia pikir ibunya pasti meledeknya. Karena sebenarnya Tito rasa, ia tidak
pernah menghitung biji nasi yang ia makan; atau berapa kalori yang akan masuk ke dalam
tubuhnya; atau selayaknya orang-orang yang tanpa kerjaan menghitung sampai tiga puluh kali
kunyahan mereka sebelum mendorong makanannya ke tenggorokan; Tito tidak sekurang kerjaan
itu. Saat berlama-lama mengunyah makanan, ia bisa memikirkan segalanya, mulai dari hal-hal kecil
yang paling tidak penting hingga hal yang paling kompleks - dan bagi sebagian orang sama tidak
pentingnya. Waktu lainnya, ia habiskan untuk menyelesaikan mengoreksi pekerjaan mahasiswanya.
Atau mengerjakan soal-soal hitungan dari mana saja. Atau soal olimpiade sains. Asalkan hitungan.
21 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia tidak pernah membiarkan pikirannya melantur ke hal-hal selain hitungan.
Tito melirik gelas dan piringnya. Es tehnya masih separuh. Nasinya mengisi tiga perempat piring. Ia
juga memperhatikan dengan saksama gerak-gerik orang-orang di sekitarnya. Ada yang jelas-jelas
terlihat belum mandi; masuk ke warung sambil menggosok mata, ada yang sudah segar dengan
riasan wajah penuh, ada yang mengenakan pakaian biasa, ada yang mengenakan jaket kampus.
Bertas ransel, bertas jinjing, hanya membawa dompet, atau tidak membawa apa-apa kecuali
selembaran rupiah lima ribuan. Bersandal, bersepatu kets, berhak tinggi; disimpulkannya tidak ada
yang pergi cari makan dengan telanjang kaki di zaman ini.
Tito memperhatikan orang-orang itu dengan begitu hati-hati. Sambil pura-pura membaca koran
yang dipegangnya di tangan kiri, ia selalu sedikit-sedikit mengintip tukang masak di dapur. Sudah
ribuan kali ia melihat para pelayan di warung itu. Ia tidak pernah makan di tempat lain. (bahkan tidak
tahu akan makan di mana seandainya warung itu ditutup - mungkin kalau itu terjadi, ia harus
buru-buru mencari istri yang bisa memasak).
Meski sudah ribuan atau ratusan ribu kali ia melihat mereka, ia tak juga-juga bosan. Para pelayan
yang bekerja di sana berusia muda, seperti lulusan SMA yang baru tiga atau empat tahun lalu lulus.
Tito tidak jatuh hati pada salah satunya. Hanya saja, Tito suka melihat ketekunan mereka.
Orang-orang yang memasak, memindahkan makanan ke piring, memecahkan es batu dan
membuatkan minuman untuk para pembeli, mencuci piring dan gelas, mengambil piring kotor,
dengan senyum dan cara mereka berinteraksi pada para pembeli, Tito sering terbayang-bayangi.
Padahal Tito pikir, gadis-gadis itu bisa saja lanjut berkuliah seperti mahasiswi-mahasiswinya di
kampus. Baginya, mereka semua terlihat sangat cekatan dalam berhitung. Meski itu hanya mereka
tunjukkan melalui menghitung jumlah bayaran dari berapa ribu sampai berapa puluh ribu, tetapi Tito
pikir, kalau saja dilatih mereka pastilah dapat menghitung bahkan yang seharusnya tak dihitung
manual. Mungkin gadis-gadis itu tidak pernah memikirkan sesuatu selain menyediakan makanan kepada
pelanggan. Tito yakin sekali mereka tidak punya waktu untuk bahkan sekadar memikirkan proses
ketika mereka menyendok gula, atau menaruh es ke dalam gelas, atau memasukkan sendok garam
ke dalam kocokan telur. Semuanya telah menjadi rutinitas. Mereka wajib melakukan rutinitas seperti
itu untuk bisa bertahan hidup.
Akhirnya gelas es tehnya habis juga. Tapi setengah piring nasinya masih tersisa. Saat itu tepat
sudah 2:12 (dua jam dua belas menit) berlalu. Seusai makan, ia memutuskan pergi karena lima
belas menit berikutnya ia sudah mesti pergi mengajar. Separuh nasinya masih tersisa. Hari itu, Tito
membayar dengan uang pas.
---- Di jalan menuju kampus, ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri.
"Memangnya, apa mereka juga pernah mengamatimu?" Pagi itu begitulah suara di kepala Tito
memulai pembicaraan dengan Tito.
"Mungkin," jawab Tito enggan.
Dalam perjalanan dari warung tempat makan menuju fakultas tempatnya mengajar, percakapan
22 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
internal antara ia dan dirinya kembali terjadi. Seperti hari-hari kemarin. Kali ini suara di kepalanya
terdengar lebih kritis kepadanya.
"Apa mereka memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti yang kamu sering lakukan?"
"Tapi mereka semua mungkin amnesia. Mereka mungkin lupa hari-hari kemarin. Karenanya mereka
masih dapat menerima hari yang sama terjadi lagi di hidup mereka,"
"Tapi apa kamu pernah berpikir sebenarnya tak ada rutinitas yang benar-benar serupa?"
"Memang tak benar-benar sama. Tapi aku merasa kasihan karena mereka tak pernah merasa
bosan." "Mereka sudah dewasa,"
"Kamu tahu, kan, kalau yang seringkali bersikap naif dan pembosan itu hanya anak-anak?"
"Jadi maksudmu, kamu masih menjadi seperti anak-anak itu?"
"Kenapa kamu tak ikut saja menjadi dewasa?"
"Karena mereka berhenti merasa penasaran pada apa yang ada di hadapan mereka. Mereka
keluar, pergi makan, menyelesaikan masalah mereka dari hari ke hari... emosi mereka datar, kaku,
dan dingin." "Apa menurutmu mereka bahagia seperti itu?"
Tito menganggukkan kepalanya. Padahal jelas-jelas ia sadar ia tidak berbicara pada siapapun
kecuali kepada dirinya sendiri.
"Apa kamu bahagia dengan terus mempertanyakan apa-apa yang ada di hidupmu" Bukankah
makin lama kamu justru bisa menjadi semakin depresi" Kamu tak takut kehilangan dirimu sendiri?"
Kali ini Tito tertawa sendiri. "Memang kapan aku pernah bahagia?"
"Jadi kamu juga tak bahagia?"
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tito tertawa lagi. "Kata Buddha, hidup itu penuh samsara. Kesengsaraan. Bagaimana bisa kamu
mengharapkan kebahagiaan?"
"Tapi kamu tidak pernah bahagia?"
"Bagaimana caranya membedakan kebahagiaan yang sesungguhnya dengan kebahagiaan yang
sifatnya semu belaka?" Tito berujar sembari diikuti tawanya yang lantang."Ah, sudahlah. Bicarakan
besok lagi saja," perintah Tito pada dirinya sendiri.
Semua orang di jalanan memperhatikan Tito yang bergumam-gumam sendiri dan tertawa sendiri.
Itulah rutinitas orang-orang itu. Mereka senang melihat Tito yang setiap pagi selalu bertingkah
demikian. Biasanya sembari menggeleng-gelengkan kepala dengan raut mengasihani Tito atau
menunjuk-nunjuk, mereka akan selalu membisik-bisikkan sesuatu tentang Tito.
23 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Berdasarkan gosip yang para pedagang asongan itu dengar dari mahasiswa-mahasiswa di
universitas tempat Tito mengajar, kelakuan Tito itu menyebabkan ia diberhentikan kerja lima tahun
silam. Namun Tito tetap selalu pergi ke universitasnya. Entah mengapa, ia selalu masuk ke ruangan
kosong dan menulis di sana. Berbicara di depan kelas, atau terkadang ia duduk di selasar kampus.
Atau lebih sering, ia menyendiri di perpustakaan fakultas.
Para mahasiswa yang pernah diajarnya, yang saat itu berkumpul di sebelah pedagang asongan
dekat kampus, membatin mempertanyakan kebijakan kampus. Penampilan dosen mereka itu selalu
rapi. Samasekali tidak kelihatan bahwa ia gila. Hitungan-hitungan yang Tito kerjakan, yang
seringkali ditinggalkannya di meja perpustakaan atau pada tempat-tempat tertentu, selalu akurat.
Dulu sewaktu dosen mereka itu mengajar mereka, penampilan dosen kurus berkulit sawo matang
itu selalu nampak brilian. Bagi banyak mahasiswanya, ialah jeniusnya Indonesia - yang
sebenar-benarnya. Sambil masih tertawa-tawa dan berbicara dengan dirinya sendiri, dengan sama sekali tidak
memedulikan kehadiran orang-orang di sekitarnya, Tito masuk ke dalam ruang kelas. Yang
sebenarnya kosong. Tetapi di kelas itu, dalam penglihatan Tito, di sanalah duduk para mahasiswa
terpilih. Loper koran yang ditemuinya pagi tadi, bapak-bapak yang masih ketiduran di becaknya pada
perjalanan Tito menuju warung nasi rames, para pelayan di warung, dan orang-orang tidak
beruntung lainnya - yang tidak punya kesempatan untuk belajar di universitas. Mereka semua telah
duduk rapi pada bangku-bangku di hadapan Tito - siap menerima pelajaran Kalkulus.
Kalau suara dari kepalanya bisa kembali bertanya kepadanya saat itu, Tito akan menjawab bahwa
itulah kebahagiaannya yang diperolehnya sejak lima tahun lalu. Untuk melihat dunia yang nampak
lebih adil dengan seperti itu. Dengan memberikan kesempatan kepada orang-orang kecil agar
mereka dapat memahami dunia. Untuk membuat orang-orang kecil itu berani menghadapi
kenyataan dan berjuang melakukan sesuatu atas hidupnya. Untuk mengusir rasa takut menciptakan
keadilan versinya - jika keadilan memang benar hanyalah utopia di kehidupan nyata.
Di sanalah Tito memutuskan kodrat yang bertentangan dengan hati nuraninya. Di kelas itu ia
menciptakan kebijakan sendiri. Keadilannya sendiri. Dunia sempurnanya sendiri.
Di dunianya sendiri itulah ia menghadapi ketakutannya atas dunia nyata yang semakin kacau hari
ke hari. Ia berhenti berbicara dengan dirinya sendiri. Tangannya begitu cekatan menulis
angka-angka dan formula di papan. Mulutnya begitu lancar mengucapkan apa yang ia tulis. (Dan
sementara Tito mengajar kelas kosong itu, orang-orang telah berdiri di luar kelas untuk juga
Memperebutkan Batu Kalimaya 2 Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara Legenda Kelelawar 4
mesti menarik bass-ku dari pegangannya.
"Ah, acaranya sudah selesai?" Dia tiba-tiba terbangun. "Maaf, maaf," ujarnya sambil bangkit dari
kursi dan membungkuk-bungkuk.
Aku tersenyum, "Ya, begitulah. Pulang sendiri?"
Dia menggaruk-garuk rambut cepaknya dan memasang senyum jahil. "Enggak, sebentar lagi saya
dijemput pangeran berkuda." Jawaban itu dibarenginya dengan tawa. "Bercanda. Saya biasa jalan
kaki, kok." "Kalau kamu mau, kamu bisa pulang bareng saya..." tawarku, lagipula teman-temanku sudah
pulang lebih awal. Dia menggeleng, "Ah, trims. Tak usah. Rumah saya dekat sini, kok."
19 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Wah, bagus..." Aku tidak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa... setidaknya itu bagus
karena aku tahu kalau dia tinggal di kompleks seputar sini.
Dia menaikkan alisnya. "Eh" Err..."
"To err is human," cetusku.
Dia tertawa. "Eh" To err is human, to forgive, Divine. Tapi tidak ada dari kita yang melakukan
kesalahan. Ya sudah, aku pergi dulu."
"Tasya..." Dia membalikkan badan seraya menepuk dahi, "Uh! Aku lupa namamu!" ujarnya.
"Nando, panggil Ando juga bisa."
"Ya, Ando! Selamat malam!"
"Err.. bukan itu. Err.." Aku tiba-tiba merasa bodoh karena tidak bisa melanjutkan kalimatku.
"To err is human," sahutnya balik sambil bersiul. Siulannya sama merdunya seperti suaranya.
Memang dasar gadis berbakat.
"Aku cuma mau bilang... sampai jumpa?"
Dan dia tertawa. Dan demi Tuhan, itu malam ter-absurd yang pernah kulalui.
---- Waktu bertahun-tahun telah berlalu setelah pentas pertamanya, setelah dia dinyatakan menjadi
pemenang pertama dari lomba yang mempertemukan kami kala itu. Dia memang berkuliah di
universitas yang sama denganku, tetapi masalahnya... entah mengapa tak pernah sekalipun aku
berhasil bertemu dengannya.
Aku punya banyak teman di fakultasnya. Setelah hari itu,aku lumayan sering mengunjungi
teman-temanku itu. Tetapi tak sekalipun aku pernah bertemu dengannya. Hingga cukup lama aku
benar-benar melupakannya.
Seandainya saja temanku tidak bercerita tentangnya di depanku.
Saat itu, sementara aku sedang menyelesaikan maket beserta menggarisi dan mengarsir sketsa
bangunan untuk tugas akhirku, temanku masih melanjutkan bercerita tentang gadis yang sedang
ditaksirnya. Awalnya dia sudah menyebutkan segala ciri fisik dari gadis itu, tetapi aku sama sekali
tak berniat mengasosiasikannya dengan gadis yang kutemui bertahun-tahun lalu di sebuah pentas
seni di masa-masa awal kuliahku.
Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Tasya.
20 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan ketika temanku itu mengakhiri ceritanya, ketahuanlah bahwa benar Tasya yang dibicarakannya
sedari tadi. Dalam pikiranku tiba-tiba terbayang kejadian bertahun-tahun lalu. Perkenalan yang
lumayan singkat dan rasanya seperti bukan apa-apa.
"Tapi dia sudah jadi punya orang."
Ah, bagiku itu konklusi yang fatal. "Man, itu gila! Jadi kamu jatuh cinta pada pacar orang lain?"
Temanku menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Bukan cewek orang, Do. Tapi 'calon istri' orang."
"Ah iya, lupa, tapi itu lebih parah, Man!" sahutku, "Jadi kapan mereka menikah?" Aku heran
mengapa aku bisa-bisanya bertanya sesantai ini.
"Belum pasti juga. Tapi mereka pasti menikah."
"Sejak kapan kamu merangkap kerja menjadi asistennya Tuhan?" tanyaku dengan nada bercanda.
"Habisnya, si Tasya kayaknya serius."
"Begitu, ya..." sahutku. "Terus kenapa masih membicarakan soal dia kalau sudah tidak ada
harapan?" "Dalam rangka patah hati."
Sementara aku tertawa terbahak-bahak mendengar respon darinya, jauh di lubuk hatiku sesuatu
sedang bergejolak. Apa aku perlu menemui Tasya sebelum dia menikah"
---- Aku tak merencanakan apapun saat pergi ke perpustakaan universitas... namun aku tiba-tiba
bertemu dengan Tasya di sana. Rambutnya tidak cepak lagi, tubuhnya agak berisi ketimbang tiga
tahunan lalu, lumayan manusiawi kalau kubilang dia nampak lebih... matang. Mungkin dia tidak
mengenaliku lagi. Tetapi kenapa bisa-bisanya baru sekarang aku dipertemukan lagi dengannya"
Takdir memang bekerja secara unik.
Saat itu kupikir mungkin lebih baik aku tidak menyapanya, maka aku pun dengan tergesa membawa
buku-buku yang kupinjam untuk didata.
"Hei!" Semoga sapaan itu bukan untukku, batinku.
"Hei, kamu, kamu! Aku lupa namamu."
Saat itu Tasya sudah berdiri di hadapanku.
"Masih saja lupa, ya?" pancingku.
"Oh, Nando Wisarta!" cetusnya sembari melirik namaku yang terpampang di layar data peminjaman
21 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
buku. "Masih nge-band?"
Kugelengkan kepalaku. "Masih ngeseriosa?"
Dia tertawa, "Sebenarnya kalau bukan untuk lomba, aku lebih suka menyanyikan lagu-lagu j-pop."
"Wah. Coba nyanyikan satu lagu j-pop..."
"Tolol. Ini perpus, tahu!" ujarnya sambil menjitak kepalaku dengan buku di tangannya.
"Tempat lain?" tawarku.
Alisnya sedikit naik, "Nah, sambil makan di kafetaria saja?"
"Di mana?" celetukku.
"Ada, di belakang perpus. Tapi kalau kamu tak biasa jalan kaki mungkin jadi lumayan capek."
"Kamu seperti bicara ke cewek manja," jawabku. "Lagipula, aku laki-laki."
Dia tertawa, "Ya maaf, deh. Habisnya, setiap melihatmu, aku selalu merasa kau itu adikku. Ya,
walaupun kayaknya memang kau yang lebih tua, sih. Berapa umurmu?"
"Dua empat. Oktober. Kamu?"
"Andai kita bertemu lebih cepat."
"Ah?" Dia tertawa, "Lupakan. Uh, aku dua tiga. Lebih muda sepuluh bulan, kayaknya," jawabnya kilat, "Ah!
Aku lupa!Dulu waktu pertama kenal sepertinya kita masih bicara dengan kaku, ya?"
Aku tertawa, "Ya, ya. Kamu masih ingat! Dulu kita pakai saya-kamu, ya?"
"Ssshhh!" petugas perpustakaan mulai memperingati.
"Uh, kutunggu di luar," ujarnya.
"Oke." Aku merasa deja vu, "Tasya..."
"Ya?" "Dulu juga waktu pertama bertemu kamu, sepertiya kita mengobrol di tengah keramaian."
"Ah, aye. Kamu juga masih ingat! Kutunggu di luar, ya."
---- Dan hari itu dia tidak berada di luar perpustakaan. Kendatipun aku mencari-carinya di seluruh
penjuru perpustakaan, sekalipun aku memaksakan diri hingga kehujanan untuk mencari sosoknya
22 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di belakang perpustakaan dan di kafetaria, dia kembali lenyap tak berbekas. Hingga aku kembali tak
memedulikannya. Mungkin takdir memang bekerja dengan cara seperti itu atas pertemuanku
dengannya. Hingga beberapa hari setelahnya, saat aku bertemu dengan temanku, aku tiba-tiba tersadarkan
akan sesuatu. "Minggu lalu aku bertemu dengan Tasya-mu..."
"Hus. Yang sopan, bilang almarhumah."
Aku spontan melotot. Dan entah kenapa aku percaya. "Hah" Serius" Kapan?"
"Sebulan yang lalu.Gantung diri."
... ... ... "Karena dijodohkan." [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Persona Aku tahu kau akan ada di pesta kali ini. Dan membacaku seperti sebelumnya.
Persona, kita berdua selalu senang berada di pesta topeng. Pada tiap malam-malam yang tidak
pernah berakhir. Pada percakapan-percakapan dan tarian yang tak kunjung usai.
Jadi pada pesta topeng kali ini, akan kuawali dengan mengatakan, rasanya aku begitu menyukai
kebersamaan kita. Bahkan meski aku tahu kita sedang menggunakan topeng masing-masing dan
tak mampu melihat keaslian wajah satu sama lain.
Mungkin saja itu karena aku adalah tipe gadis pesta yang tidak begitu banyak peduli. Berpesta dan
tidak peduli pada apa-apa lagi selain bisa sering-sering berada bersama dengan orang-orang
sepertimu. Tapi maksudku, selalu berada bersama denganmu saja sudah cukup.
Kebersamaan dengan seseorang di balik topeng itu yang kuyakin akan selalu menyimpan
senyumnya yang manis untukku meski aku tak pernah melihatnya. Seseorang yang selalu ada di
kerumunan pesta setiap waktunya dan bisa selalu kutemukan akan berdiri di sudut ruang dansa
pada akhirnya. Setelahnya kita selalu akan berdansa dan berpegangan tangan satu sama lain
sambil menceritakan harapan-harapan rahasia yang telah pernah kita tebarkan di udara. Apa lagi
yang lebih indah daripada malam-malam seperti itu"
23 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kalaupun memang ada seseorang dengan wajah nyatanya di balik topeng itu, kalau adalah kau
yang bersembunyi di balik topeng itu, aku masih demikian menyukai kebersamaan kita. Aku masih
ingin sering-sering bertemu denganmu, kembali seperti dulu lagi sewaktu kita mengobrolkan hal-hal
yang aneh dan di luar kebiasaan obrolan orang-orang pada umumnya, kita nampak seperti tidak
akan pernah kehabisan topik pembicaraan. Aku tidak peduli kau sedang bersembunyi di balik
kepalsuan topeng itu atau tidak.
Tahun ini aku jatuh cinta pada seorang pria di balik topeng itu. Mengapa aku terlalu terlambat
menyadari semua tanda-tanda yang kau berikan" Itu sebabnya julukan yang belakangan selalu
mampir kepadaku adalah 'idiot', 'tolol', 'dodol', 'otak dengkul', 'otak bebal', ya" Aku kelihatan lama
sekali memiliki pengertian tentang sesuatu, ya"
Tahun lalu aku mulai menyukaimu. Mungkin saat itu kau bahkan belum mengenaliku dengan baik.
Waktu itu tepatnya di sebuah pesta topeng yang tidak begitu meriah. Rasanya semua masih
samar-samar saat kucoba mengingat masa-masa itu lagi. Masih serba abu-abu dan hitam pekat.
Aku tidak ingat setelah itu apa yang menyebabkanku dengan mudahnya bisa menemukanmu di
setiap pesta dan tidak salah mengenalimu di balik topengmu.
Aku tidak ingat hal apakah yang mengantarku pada pesta topeng yang malam itu mempertemukan
kita. Aku tidak ingat mengapa kita bisa tiba-tiba berkenalan dan secara aneh bisa dekat satu sama
lain. Dekat" Mari tertawa seperti biasanya.
Ketika suatu saat aku tanya pada diriku sendiri, berarti aku picik sekali, ya, karena menyukai
seseorang tanpa peduli siapa dia yang berada di balik topeng itu. Apakah aku hanya menyukai
topengmu" Namun kemudian kau datang dan bilang bahwa topeng yang kau kenakan memang
awalnya kau gunakan untuk menarik gadis bertopeng lain di pesta topeng sebelumnya. Lalu apa
lagi yang lebih lucu daripada itu, sebenarnya"
Mungkin hanya tersisa satu hal yang cukup mengganjal buatku selama pesta-pesta kemarin
berlangsung. Aku rasa aku benci sekali ketika menyadari sepertinya aku sudah membagikan segala
ceritaku padamu di tiap pesta, pada seseorang yang sedang melakukan persembunyian di balik
topeng itu. Apa pada malam-malam itu aku selalu mabuk"
Tapi aku kemudian justru bertanya-tanya apakah benar ada seseorang yang sedang bersembunyi
di balik topeng itu" Apakah itu kamu" Memang banyak pertanda yang kau berikan, tapi kau selama
ini tidak pernah mengaku juga, kan" Siapa kau di balik topeng itu, aku tak pernah tahu. Semuanya
kurasa serba dirangkai oleh banyak kebetulan. Kedekatan kita aneh sekali, ya"
Lebih aneh lagi karena aku sudah terlanjur sayang dengan topengmu yang ini. Jauh lebih sayang
dengan topengmu ini daripada dengan dirimu yang sebenarnya. Bodoh sekali.
Tapi kalau semua pertanda ini memang berarti sebuah persembunyian, ini juga berarti bahwa kau
adalah penyembunyi identitas yang luar biasa hebat. Tak peduli apapun artinya itu.
Setelah semua ini, rasanya aku cuma bisa memikirkan satu hal. Kalau benar takdir kehidupan ini
memiliki alurnya yang mesti kita lalui, aku sangat percaya suatu saat pasti ada alurnya untuk kita
akan bertemu lagi, Persona. Kita akan hidup selamanya untuk pesta-pesta itu, kan"
Jadi aku percaya sekali. Bahwa kalau kita memang memiliki takdir itu, kelak suatu saat di masa
depan kita pasti akan kembali dan mewujudkan harapan-harapan rahasia yang telah kita bangun
24 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
selama ini. Meski malam ini aku memutuskan untuk melakukan tindakan bodoh, kita akan bertemu
lagi, kan" Malam ini kulepas topengku. Aku menyerah kalah. Kau bilang aku tak pernah mau kalah" Kali ini
kau salah. Kutinggalkan topengku di kakimu.
Aku menyayangimu, Persona. Aku yang terlihat tidak peduli ini. Menyayangi kau yang ada di balik
topeng itu. Namun akan sedih jika harus memaksamu membuka topengmu. Maka meski di pesta
topeng ini aku tidak mengenakan topengku lagi, jika kau masih tak ingin membuka topengmu di
pesta ini, kita masih bisa berdansa tanpa topeng, kan, di pesta yang lain"
Sampai ketemu di pesta lain, Persona. Karena kita adalah wujud-wujud wajah yang imortal.
Selamanya hidup di dunia dan hadir di pesta-pesta. Tapi kalau di pesta lain kita bertemu lagi tanpa
topeng-topeng kita, jangan sampai lupa mengenaliku yang pernah jatuh cinta padamu. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Bocah Adopsi Paman dan Bibi
Belakangan ini, setiap orang bertanya kepadaku.
Sebenarnya aku tak begitu mengenal mereka. Namun ketika mereka melewati pagar rumahku yang
pendek dan melihatku sedang menyirami kebun, mereka lantas berhenti dan menyapa. Kemudian
terjadilah percakapan yang senada.
Apa kau ingat gadis yang diadopsi tiga puluh tahun lalu itu" / Yang mana, ya" / Itu, yang diadopsi
karena keluarga itu tidak bisa memiliki keturunan. / Oh, maksudmu yang kemudian keluarga itu
mengadopsi dua orang anak" / Iya, anak perempuan dan laki-laki. Jadi kau masih ingat, kan" /
Barangkali. Tapi memangnya ada apa dengan mereka"
Maka kemudian mereka akan menceritakan hal yang serupa.
Awal kisah ini telah lama lewat begitu saja. Waktu itu aku masih belia, masih menjadi seorang gadis
remaja yang mengikuti masa tenarnya rambut dikeriting. Paman dan bibi yang menanam mangga di
depan rumahnya dan sering aku panjati bersama teman-temanku ketika muda kudengar memang
sudah lama ingin memiliki keturunan.
Waktu itu kami suka mampir ke rumah mereka dan duduk di teras rumah sambil makan rujak
mangga bersama dengan bibi. Aku lupa nama bibi itu, tapi memang kami selalu memanggilnya Bibi
saja, tanpa embel-embel lain lagi. Mungkin karena dia begitu menginginkan memiliki seorang anak
maka dia selalu menerima kami dengan tangan terbuka. Pagar rumahnya tidak pernah dikunci.
Sepulang sekolah, aku seringkali lebih dulu singgah ke rumah bibi dan paman daripada pulang ke
rumahku sendiri. Aku pun tak heran saat teman-teman seusiaku melakukan hal yang sama. Tas-tas
plastik berisi buku sekolah yang kami bawa akan kami taruh pada meja bundar di teras, lalu kami
25 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berlomba-lomba memanjat pohon mangga.
Salah seorang temanku yang perawakannya mungil dan gerakannya selincah kera adalah yang
biasanya mengumpulkan mangga paling banyak. Aku dan bibi biasanya membuat bumbu untuk
rujak. Saat itu, kata bibi, paman sedang bekerja di kantor. Paman bekerja di kantor penyiaran berita.
Setiap hari selalu seperti itu. Tidak pernah ada pertengkaran terjadi di rumah paman dan bibi
pemilik pohon mangga besar itu. Mereka hidup rukun bahkan sampai aku pindah dan tidak lagi
menjadi tetangga mereka. Waktu itu mereka sudah akan hampir menikah selama lima belas tahun saat aku telah lulus sekolah
menengah dan berkemas akan pindah melanjutkan kuliah ke luar negeri. Mereka menikah muda
namun setelah lima belas tahun berumah tangga, mereka masih belum juga dikaruniai keturunan.
Mereka tidak memutuskan untuk berpisah, aku begitu kagum akan keputusan ini.
Aku tak heran. Paras bibi begitu ayu dan bercahaya layaknya bulan purnama bahkan di hari-hari
saat wajah orang-orang lain nampak begitu muram. Paman pasti tidak akan sanggup melepas bibi.
Bibi juga tidak akan sanggup melepas paman. Kurasa tidak akan ada lagi laki-laki sesabar paman
yang bisa bibi temukan di luaran sana.
Maka karena itu, kabarnya, setelah aku pindah mereka kemudian mengadopsi dua bayi dari rumah
sakit. Bayi laki-laki dan perempuan. Aku bersyukur dan membayangkan betapa bahagianya paman
dan bibi ketika itu. Ketika itu, aku tak menyangka ternyata ada kutukan yang dibawa oleh si bayi perempuan. Aku baru
memikirkannya akhir-akhir ini.
Sudah tiga puluh tahun berlalu setelah saat itu. Aku tentu sudah tidak bisa melihat paman dan bibi
duduk bersama-sama di teras lagi. Terakhir kali aku berkunjung ke rumah mereka saat aku pertama
kali kembali ke kota kelahiranku ini, bibi sedang duduk di kursi roda dan ketika itu dia tidak bisa
menggerakkan sejengkal pun dari bagian tubuhnya lagi. Lain halnya dengan paman. Prostatnya
membengkak sehingga tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Aku sedih ketika melihat putri yang paman adopsi. Sebelum menjenguk paman dan bibi di
rumahnya, aku sudah mendengar banyak desas-desus yang tidak begitu menyenangkan tentang
gadis itu. Jadi secara singkat, sebelum berkunjung ke sana, tetangga-tetanggaku sudah menceritakan kisah
tiga puluh tahun yang menjadi bagian hidup dari paman dan bibi. Kisah yang tentu saja tidak
kuketahui sebelumnya. Dan setelah mengetahui kisah itu, kusimpulkan bahwa gadis yang diadopsi oleh paman dan bibi
bukanlah manusia. Banyak orang berpendapat sama denganku.
Tiga puluh tahun lalu, paman dan bibi mengadopsi gadis itu dari rumah sakit. Namanya sederhana,
orang-orang memanggil gadis itu Alya.
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di saat Alya berusia lima belas tahun, dia berhenti sekolah. Ketika itu dia hamil. Lantas beberapa
saat kemudian dia melahirkan tanpa seorang suami yang mengaku sebagai ayah dari putrinya.
Setahun kemudian, dia melahirkan lagi. Begitu seterusnya hingga dia memiliki lima orang anak.
26 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Anaknya yang pertama, namanya Ayu, lima belas tahun kemudian, meniru jejak yang sama. Ayu
hamil dan telah memiliki seorang anak di usia lima belas.
Warga sekampung geger ketika mengetahui Alya menjual anaknya yang paling bungsu. Konon
kabarnya bayi itu dijual seharga tiga juta rupiah. Bayi itu dijual untuk membiayai persalinan Ayu dan
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Aku antara menganggap kisah ini sebagai lelucon dan ingin muntah ketika mendengarnya. Ketika
kisah tiga puluh tahun itu berhasil diselesaikan intisarinya, aku bertanya-tanya siapa pria yang
menghamili Alya hingga bahkan ketika dia memiliki lima orang anak pun dia masih belum bersuami.
Warga di kampungku awalnya mempertanyakan hal itu jua, namun mereka dibuat bosan dengan
rasa penasaran mereka sendiri.
Aku ingin menduga bahwa kisah ini hanya dongeng tetangga sinis yang diceritakan turun temurun,
tetapi setiap kali melihat Alya dan Ayu menggendong anak-anak mereka berjalan-jalan dan melintas
di depan rumahku, rasa mual yang sama tetap kurasakan.
Bahkan ketika aku pagi ini sedang mengobrol dengan tetanggaku, Alya berjalan bersisian dengan
Ayu, dia menggendong cucunya dengan tali gendong. Alya menuntun adik-adiknya di sisinya.
Tinggi Alya dan Ayu sepantaran dan Alya, kulihat, sejujurnya masih mirip bocah berusia lima belas
tahun yang tidak tumbuh besar.
Sampai sekarang aku masih ketakutan melihat dua bocah itu. Entahlah mereka sadar atau tidak
bahwa mereka telah menjadi bahan pergunjingan warga sekampung siang-malam. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rahasia Kematian, Dua Puluh Tahun Lalu
21 April 1978. Begitu tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di pemakaman pagi itu. Dengan
cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang
yang berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Menyusuri sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku mengingat bagaimana aku dibawa pergi
oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal.
Aku ingat, tengah malam sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah - satu-satunya
tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargaku - mengantarkan beberapa orang asing ke
rumahku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orangtuaku, aku mendengar
percakapan mereka, tetapi tidak kuteruskan.
Pagi ketika para tetangga sudah memandikan dan memindahkan kembali tulang tengkorak kedua
orangtuaku ke dalam peti mati, mencium aroma dupa dan teringat bahwa aku belum menyalakan
dupa lagi selama empat jam terakhir, aku beranjak dari bale dan mengambil wadah dupa dari atas
meja. Tepat ketika itu, orang-orang asing itu menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai
27 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kerabat dari pihak ayah. Atau, sebagai tempat di mana aku boleh tinggal setelah segala prosesi
pemakaman orangtuaku berakhir.
Sejujurnya saat itu aku sungguh takut. Meski tak takut lagi, hingga kini pun, melihat segala jejak
yang tertinggal di rumah ini, aku selalu merasa seolah bermimpi. Aku tidak tahu bagaimana caraku
tertidur hingga tak sadarkan diri selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin saja aku tertidur di hutan. Tetapi tiada lagi hutan di sana, yang tersisa hanyalah jalan
beraspal. Padahal masih kuingat betul semuanya. Saat itu, sepulang dari berburu kelinci ke tengah hutan
bersama teman-teman sebayaku, ketika untuk pertama kalinya kudengar berita itu, aku berlari
menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa
menyelamatkan kedua orangtuaku. Tetapi api telah melahap gudang tempat ayahku biasa bekerja.
Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Para tetangga, dengan baskom-baskom kayu berisi
air, berusaha memadamkan api, beberapa dari mereka mengatakan ibuku juga terperangkap di
dalam sana. Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan oleh tetanggaku. Mereka
berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku untuk menerobos api. Mereka
menghentikan segala teriakanku dan mendekapku semakin erat. Hingga beberapa saat kemudian
api padam, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa
daging dan kulit yang terbakar, saling memunggungi terikat di sebuah tiang besi yang sebelumnya
tak pernah kulihat. Di usia sebelia itu, aku bahkan tak berprasangka buruk pada siapapun. Pastilah Tuhan tidak
dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orangtuaku di gudang itu.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa
yang dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu.
Memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal
dulu di sana aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan
orang-orang yang tak kukenali siapa.
"Kami akan mengajakmu kembali." Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan
kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku, "Di sana kakek
dan nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu."
Tentu aku sedikit kaget karena aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu
sebelumnya tidak pernah menceritakan apapun tentang masa lalu mereka, selama belasan tahun di
awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah mereka benar terlahir dari batu.
"Saya adik ayahmu... dan semua yang hadir di sini, juga." Ujar pria itu, lantas ia menyebutkan nama
mereka semua. "Saya tidak percaya." Keberanian datang dari dalam diriku dengan begitu tiba-tiba.
"Kami tahu kami perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan dirinya kemari segera setelah
ayahmu menamatkan kuliahnya di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal
28 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tentangnya." Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan
dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di
hadapanku. Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan
kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku.
Masih kuingat bagaimana responku saat itu.
Aku terkesima. Akhirnya kudapati, ayahku bukan orang biasa.
Sejak kecil aku sudah sangat yakin bahwa kami bukan penduduk lokal; bagaimanapun roman wajah
ayah dan ibu memancarkan aura yang berbeda dari kebanyakan orang yang kukenal di desa itu.
Meski sejak lahir hingga berusia sebelas tahun aku tumbuh besar bersama anak-anak di sana, aku
selalu merasa ada ketimpangan yang sangat jauh antara apa yang ada di kepalaku dengan apa
yang ada di kepala mereka. Walau disekolahkan di tempat yang sama, pendidikan yang kudapat
dari kedua orangtuaku membuatku lebih banyak tahu. Dan orangtuaku tak mungkin
mendapatkannya dari tempat yang sama dengan para orangtua dari teman-temanku.
Dan benar saja, dari dokumen-dokumen itu, ketika itu kutemukan, Ayahku mendapatkan
pendidikannya dari Belanda. Dan ibu, dari Jakarta.
Saat itu, kali pertama aku mengenal sejarah ibu pertiwi. Kurasa ketika itu orangtuaku mati-matian
menyembunyikannya dariku.
Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku,
aku membaca pemberitaan mengenai orangtuaku. Hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah
kemerdekaan. Mereka. Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa
gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku bisa mengerti, mulai
bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dikerjakan ayah" Ibu seperti apa yang melahirkanku
dari rahimnya" Mereka melakukan... Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Dan... segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata, "Kami rasa kamu tidak
akan punya pilihan lain, selain ikut bersama kami."
---- Mulailah aku didandani seperti anak perempuan. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan
kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung dan kubentuk sedemikian rupa selayaknya
laki-laki lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah
akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan
ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol
berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua
orangtuaku. Baru kutahu, kedua orangtuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga
berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, aku tetap tak menunjukkan
bakat apapun. Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para
29 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di
mana peranakan Cina sepertiku, menurut keluargaku - aku tak lagi asing terhadap mereka, patut
pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat
dan mataku sipit, sesuatu yang baru kusadari setelah aku tinggal di sana.
---- 21 April 1981. Tahun demi tahun berlalu. Melewati tiga tahun masa bersekolah di MULO, di AMS
kini, 'Apalah yang dapat kita lakukan atas negara ini' adalah retorika yang selalu kudengar dari
anak-anak seusiaku. Kendati mereka - ataupun keturunan Belanda, ataupun Cina - tumbuh besar
di Indonesia, mereka lebih mencintai negara ketimbang kaum pribumi. Banyak hal kami bicarakan di
kelas-kelas. Tentang tulisan-tulisan perjuangan, revolusi yang terjadi di negara-negara barat, hingga
aufklarung, hingga okultisme, hingga semesta alam. Bagaimanapun bentuknya, mereka selalu
memperjuangkan sesuatu. Selama tiga tahun selanjutnya, kami belajar begitu keras untuk tes masuk universitas. Aku
bercita-cita pergi sekolah ke Belanda, mengikuti jejak ayah.
Bertahun-tahun lamanya aku masih mengabadikan kepingan-kepingan masa laluku ke dalam jurnal
harian, apapun yang dikatakan dan dilakukan ayah dan ibu sebelum kejadian itu. Mengapa mereka
diikat di besi, dari mana asal besi itu, dan apa yang sebenarnya mereka perjuangkan sehingga
mengasingkan diri ke sana.
Tetapi sekian waktu berlalu, semuanya jauh berubah. Aku tak lagi mengenali siapa diriku. Aku
melebur bersama orang-orang baru yang kukenali. Kalaupun aku bertujuan pergi sekolah ke tempat
dulu ayah bersekolah, tujuanku bukanlah apapun yang berkaitan dengan masa laluku, tetapi
sesuatu yang lebih kucita-citakan; negara ideal.
Apa yang kami harapkan" Bukankah semuanya baik-baik saja" Ketika itu aku masih belum
mengerti, tetapi aku mengikuti arus.
---- Setelah memaksa keluargaku agar aku diperbolehkan membakar tulang tengkorak kedua
orangtuaku dan membawa abunya ke Belanda bersamaku, akhirnya dengan berbekal itu dan
meletakkannya di apartemen, setiap pulang kuliah aku selalu duduk di Sneltrein membawa
serangkai tulip, aku melakukannya sepanjang bulan April selama lima tahun aku menetap di sana.
Di Belanda aku seringkali mengunjungi rumah bibiku, yang adalah adik ayah, di wilayah Groningen,
dari merekalah aku selalu mendapatkan bekal yang cukup untuk hidup. Dan meski segalanya
terjamin, aku tetap mendaftar ke kedutaan untuk bekerja paruh waktu, di sana aku bertemu
seseorang yang kelak menghancurkan hatiku.
"Sekalipun kau patah hati karenaku, tolong jangan pulang ke Indonesia. Jadilah warga Belanda."
Dan itulah yang pria itu katakan. Setelah meniduriku bermalam-malam, setelah mencekokiku
dengan segala pengetahuannya tentang kepalsuan dunia.
Sekian minggu selanjutnya, aku hancur di apartemen sewaanku; mendengar kabar pria itu telah
menikah dengan wanita yang dihamilinya.
30 Suami Pilihan Suamiku - Mira W. m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kekasihku selanjutnya adalah seorang seniman. Karena itu, di kota yang sama, setelah aku
menamatkan kuliahku di Utrecht, aku menetap dan berkarir sebagai pelukis; terkadang aku menulis.
Aku samasekali tidak meneruskan praktik sains yang kupelajari selama empat tahun di sana. Aku
lebih terbiasa bertualang di kanal-kanal, berdiskusi tentang teologi ataupun tokoh-tokoh filsafat,
ketimbang berdiam diri di laboratorium dan menganalisa molekul.
Tapi takdir berlalu tanpa kendaliku, seorang profesor yang melihat bakatku dan membimbing tesisku
selama paruh akhir masa kuliahku memaksaku ikut bekerja di laboratoriumnya. Sambil melukis,
sambil mempelajari kebudayaan Eropa lainnya, sambil menikmati hidup di usia 20-an, aku
menyetujui menjadi asistennya dalam beberapa penelitian rumit yang bekerja sama dengan
beberapa negara lain di wilayah Indo-European.
Beberapa orang yang kutemui selama penelitian itu, yang memaksaku berpindah-pindah dari satu
tempat ke (http://cerita-silat.mywapblog.com)
31SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
tempat lainnya, yang juga membuatku berpisah dari kekasihku yang seniman, ternyata mengenal
ayah dan ibuku. Tetapi ketika kutanyai lebih jauh, mereka hanya bilang mereka tahu sebatas nama.
Dan segera setelah kejadian itu, aku diberhentikan bekerja mendampingi profesorku.
Seminggu kemudian, aku kembali ke Utrecht, mendapati kekasihku telah menikah dengan laki-laki
lain. Aku dibuat terkaget-kaget oleh orientasi seksualnya yang berganti hanya dalam waktu
beberapa bulan. Setelah memaki-maki sekian jam dan melemparkan barang pecah-belah ke segala
sudut ruangan, aku mengemasi barangku, dan memutuskan pergi untuk selamanya dari negara itu.
Aku pindah ke negara tujuan lain, yang bahasanya selama sekian tahun kupelajari secara otodidak.
---- Zurich memanglah kota beraura magis. Bahasa Prancis dan Jerman yang kupelajari mulai
kupraktikkan di hari pertama, dan sempurna, kurasa aku memang memiliki bakat menjadi poliglot.
Segalanya berangsur membaik, termasuk kondisi batinku. Beberapa minggu kemudian, kudapati
kabar tentang kematian keluarga paman-bibiku di Groningen, pembunuhan berantai. Selama
seminggu aku kembali ke sana untuk melayat dan mengemasi barang-barang bibi yang diwasiatkan
padaku. Cukup mengerikan melihat sepupu-sepupuku yang masih balita menjadi yatim-piatu
seketika itu juga. Tetapi apa daya, tak ada yang bisa kulakukan ketika kemudian mereka justru
diajak ke Indonesia oleh paman-bibiku. Aku pun turut dipaksa pulang, tetapi aku menolak dan justru
memutuskan untuk kembali ke Zurich.
Berniat mengasingkan diri sepenuhnya akibat guncangan yang berasal dari dalam diriku, setelah
kembali ke apartemenku di Zurich, aku mulai mendonasikan semua barangku ke beberapa
yayasan, dengan tabunganku dan sedikit bekal lainnya, aku memutuskan untuk bertualang
mengelilingi dunia. Dulu di bangku kuliah, aku cukup menggemari paham transendental dan,
meskipun tidak begitu menarik, aku juga menamatkan jurnal Thoreau.
---- 21 April 1998. Usiaku 31 tahun, telah mengelilingi seluruh dunia, namun setelah kembali ke tanah
kelahiran, aku terpaksa ikut menjadi otak penggagas reformasi. Aku melakukannya bersama
segenap teman-temanku dulu yang selalu mencita-citakan negara ideal yang sama.
Sementara itu, segenap keluargaku pindah ke Belanda, mengajak juga sepupu-sepupu Belandaku
kembali ke tanah kelahiran mereka.
Ketika itu, aku merasa dikhianati. Aku masih belum tahu mengapa ayah dan ibuku terlalap api dua
puluh tahun lalu. Apakah hal yang sama, yang memaksa mereka mengasingkan diri ke tengah
hutan" Namun mengapa hanya mereka berdua"
Orang-orang di sekitarku merasa hebat dengan dirinya. Dan sementara aku terus mengikuti
gerakan mereka, aku masih merasa aku telah mengacaukan hidupku.
Selama dua puluh tahun, aku merasa bermimpi. Panjang dan naas.
1 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan pada Mei di tahun itu, aku melihat hasil dari apa yang kami cita-citakan sebelumnya di tahun
70'an. Hanya saja, orang-orang itu kini bukanlah teman-teman sekolah yang dua puluh tahun lalu
kupuja pemikirannya. Manusia berubah.
Tuntas berpesta dan berbahagia atas kejatuhan musuh, selama sekian bulan berikutnya aku
seorang diri menempati rumah kosong keluargaku di bilangan Jakarta. Semua anggota keluargaku,
entah dengan cara apa, telah mengganti kewarganegaraan dan sepakat tidak akan kembali ke
Indonesia, apapun yang terjadi.
Aku merasa dikhianati oleh takdir, oleh waktu, oleh orang-orang yang pernah kukenal. Dengan
demikian, mungkin hanya orang-orang yang punya waktu untuk berpikir tentang dirinya sendiri,
yang sama merasa sepertiku bahwa kami telah menghidupi mimpi yang demikian panjang. Tempat
di mana aku berada sekarang, bukanlah tempat yang puluhan tahun lalu aku harapkan.
Meneguk habis segelas kecil tequila yang tersisa, sambil masih sedikit-sedikit mengingat
bagaimana tanganku mengarsir tipis lukisanku tentang seorang gadis sombreto ketika di Meksiko,
aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya berawal. Kurasa sebaiknya, sebelum
mati, aku harus mengetahui sebab kematian orangtuaku. Bisa saja, dulu, bukan mereka yang mati.
Bisa saja akulah yang mati, dan pergi ke tempat berbeda, dan bertemu dengan orang-orang yang
sepenuhnya berlainan, dan menghidupi kematianku selama dua puluh tahun.
"Gue mau pesen tiket pesawat. from: CKG, to: UPG."
Send. Klik. [*] Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Rindu Lara Malam itu di musim penghujan, ia kembali mengetuk pintu. Aku menghampirinya seperti biasa,
membukakan pintu, menyambutnya dengan senyuman. Ia seperti biasa terjatuh di lantai, muntah.
Pria yang kukencani malam itu memanggilku dari arah atas. Kutinggal ia terlentang di muka pintu.
Kemudian aku berlari menyusuri anak tangga, menuju ke kamar tempat di mana aku dan seorang
pria telah sebelumnya bermesraan.
"Jim, tolong pergi," kataku pada pria itu sembari melempar celana bahannya ke pangkuannya.
Pria yang sedang bertelanjang dada itu melotot, sedikit mengangkat tubuh. Pantulan sinar dari
kalung salib di dadanya menyentuh retinaku.
"Suamiku pulang," lanjutku sambil membantu mengancingkan kemejanya.
"Lima ratus ribu." Ia menyelipkan uang dengan nominal yang disebutnya itu ke sela payudaraku.
2 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tolong, Jim. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku membeku di bawah."
"Kau tidak mungkin menyuruhku pulang, hujan lebat begini!" tukasnya sambil meraih pinggangku
dan mendekapku lebih erat, ciuman bertubi-tubi mendarat di leherku.
"Kau membawa mobil," bisikku lirih.
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suamimu juga sudah di dalam rumah, ia tidak mungkin kehujanan." Ia balas berbisik. Tangannya
memainkan rambut ikalku, meremas-remas leherku.
"Ia mabuk, Jim," jawabku keras, lantas kudorong tubuhnya hingga terjungkal kembali ke atas kasur.
"Oh, Lara... aku juga mabuk!" tiba-tiba seluruh wajahnya merah padam. Ada sesuatu yang
meradang di matanya, barangkali api kemarahan.
"Aku istrinya," tandasku, mencoba bersikap tenang.
"Fine!" Ia beranjak dari ranjang dengan kilat, dikenakannya kembali celana bahan, sabuk, dan kaos
kakinya. Lalu ia berjalan melewatiku. "Lain kali jangan suruh aku datang kalau pulangnya harus
dengan cara kau usir seperti ini," ujarnya di telingaku, masih seraya sedikit memaksa mengecup
bibirku, sebelum akhirnya kudorong ia ke arah pintu.
Ia menuruni tangga, aku mengikutinya dari arah belakang.
Diludahinya suamiku yang sedang terkapar di lantai tak sadarkan diri. "Oh, Jim!" teriakku. Ia pergi,
tak peduli. Setelah kepergiannya, kututup pintu rumahku.
Lalu kutatapi ia. Seseorang yang tidur di lantai itu, pria yang sepuluh tahun lalu kunikahi. Ia yang tak
kuketahui kapan bisa hadir menemaniku. Jikapun ia ada di rumah, lebih sering tak ada sepatah kata
yang mampu keluar dari bibirku. Lebih sering kami terdiam. Atau aku terdiam, menatapinya
merokok, minum-minum. Tubuhnya begitu berat. Susah untuk kupindahkan. Maka seperti biasanya, kuambil selimut di
kamar, kubiarkan ia tertidur di depan pintu. Aku duduk menemaninya di tangga. Menontoninya tidur
pulas, seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil.
---- Aku duduk menontoninya sampai pagi. Sampai cahaya matahari masuk lewat ventilasi. Terdengar
suara koran pagi membentur pintu rumahku, namun tak mungkin kubuka pintu untuk mengambil
koran karena suamiku masih tertidur di sana.
Ia masih persis seperti dulu saat aku melihatnya tertidur pulas di hadapanku untuk pertama kali.
Maksudku, bibirnya yang sedikit terbuka ketika ia tidur dan raut wajahnya yang masih seperti raut
wajah remaja tujuh belas tahun... seandainya saja tidak ada kerut-kerut ataupun bekas luka di sana.
Beberapa saat kemudian, ia tiba-tiba terbatuk, mencoba bangkit dari lantai, dan kembali muntah.
Aku kemudian menuntunnya ke arah dapur. Di sana lalu ia duduk dengan polosnya seperti seorang
3 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bocah yang menanti sarapan omelet dari ibunya.
"Siapa pria tadi malam?"
Aku menoleh ketika ia mengucapkan kalimat itu. Di sana ia sudah mengambil roti tawar dan
mengunyahnya dengan rakus. "Itu Jim. Langgananku," jawabku.
"Berapa ia membayarmu?"
"Uang darinya kupakai untuk langganan koran, juga membayar tagihan listrik, air, dan telepon."
Dengan santainya ia menambahkan, "Lalu uang untuk roti tawar dan selai ini..." Ia mengangkat
selai blueberrydi tangannya tinggi-tinggi, "kau dapat dari mana?"
Entahlah. Seolah baginya istrinya bekerja sebagai pelacur adalah sebuah lelucon. Tidak
berkeinginan menjawab pertanyaannya, kuletakkan nasi goreng pedas beserta telur dadar gulung
kesukaannya di atas meja. "Bagaimana denganmu, kau minggu lalu ke mana saja?"
Aku mengambil nasi goreng untuk diriku sendiri, lantas duduk di hadapannya. Ketika ia mulai
menyuap sendok demi sendok nasi goreng yang baru saja kumasak, aku memerhatikan telinganya
yang bergerak-gerak. Aku tersenyum dalam hati, telinga itu selalu menjadi pertanda bahwa ada
sesuatu yang sedang disembunyikannya.
"Sampai kapan kau akan biarkan aku tidur dengan pria lain, Jo?"
Tawanya membahana hingga ia perlu menepuk-nepuk perut, aku menarik napas lagi, "Kau sudah
mulai ketagihan tidur dengan banyak pria, ya?" responnya seraya menyuap sendoknya lagi.
Sungguh suamiku sudah sinting.
Ia lalu bangkit dan mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas.
"Kapan kau akan mulai bekerja lagi, Jo?"
"Selesaikan dulu nasi gorengmu, baru kita mulai makan yang lain. Sudah kubilang berulang kali,
nasi goreng tidak pernah cocok dicampuradukkan dengan masalah pekerjaan," jawabnya,
bersendawa. Rasanya selera makanku tiba-tiba hilang mendengar itu. Aku bangkit dan menumpahkan nasi
gorengku ke dalam keranjang sampah, lantas mengambil bekas piring Jo di meja dan kemudian
merapikan dapur. Ketika aku menuju ruang tamu, Jo sedang menyetel siaran berita di televisi. Aku melewatinya begitu
saja untuk mengambil koran di luar. Setelahnya aku kembali untuk menemaninya di ruang tamu.
Kali ini ia sedang menonton program anak-anak, kartun-kartun yang biasanya ditayangkan setiap
hari Minggu. "Seharusnya ibu rumah tangga sepertimu tidak perlu membaca koran." Ia berkomentar, tak juga
kunjung terbiasa mendapatiku menghindari tatapannya dengan menghalangi seluruh wajahku di
balik koran. 4 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika kuturunkan koran dari wajahku, di hadapanku ia tepat sedang menatapku. Lekat. "Koran hari
Minggu isinya tidak begitu berat untuk dibaca, Jo," kujawab santai, "Aku suka membaca
cerpen-cerpen yang disuguhkan. Rasanya seperti ada sesuatu yang bisa kunikmati dari tulisan
orang-orang yang tidak pernah kukenal."
Ia menaikkan alisnya lalu kembali menatap ke arah televisi, "Seorang pelacur biasanya tidak akan
pernah punya ide untuk menjawab seperti itu.
Tetapi, kupikir lagi, barangkali memang akan pernah ada seseorang menuliskan kisah kita menjadi
cerita pendek. Dan kelak mungkin kau akan ditakdirkan membaca cerita itu." Ia menjawab sendiri
retorikanya. Aku tersenyum kecil. "Menurutmu kelak kalau kita sudah tua, siapa yang akan paling direpotkan?" Ia mulai bertanya lagi.
Kuturunkan lagi koranku dan di sana ia menatapku. Lekat, seperti sebelumnya.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wujudku sebagai nenek-nenek, Jo. Aku tidak akan
memiliki pelanggan lagi dan aku tidak tahu kita akan bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup
dari mana." "Begitu, ya?" Ia terlihat merenung sebentar, namun lantas mengalihkan perhatiannya kembali ke
televisi. Kulanjutkan membaca koran. Cerita pendek kali ini tidak begitu menarik. Entahlah, rasanya
belakangan ini proses penyaringan cerita untuk layak dibaca semakin menurun saja kualitasnya.
Atau memang karena cerita-cerita kehidupan di dunia sudah semuanya pernah tertulis" Rasanya
tidak pernah ada cerita yang baru.
"Kau sedang baca cerita apa?"
Kali ini aku menjawab dengan tidak memandang ke arahnya, "Hm, entahlah. Tentang kisah cinta
beda agama, pertentangan dari keluarga mereka, dan cinta yang berakhir tragis. Kedua-duanya
bunuh diri." "Kau suka kisah-kisah begitu?"
"Aku berharap akan ada seseorang yang menuliskan kisahku. Kurasa kisah hidup kita lebih menarik
untuk ditulis." Ia kontan tertawa, "Kau sejak kecil memang naif sekali ya, Lara." Entahlah itu pujian atau bukan.
Aku sudah tidak bisa membedakan apa maksud dari kalimat-kalimatnya.
Selalu saja begitu akhirnya. Aku tidak peduli lagi yang mana hinaan, ledekan, ejekan, candaan,
pujian, atau entah apapun. Selama kalimat itu keluar dari mulutnya, rasanya tetap sama saja. Sama
pahitnya. Karena bagaimanapun aku tetap tidak akan pernah tahu siapa ia sebenarnya.
"Bagaimana ceritanya kau bisa menemukanku enam belas tahun lalu, Jo?" kulipat koranku dan
kuletakkan di atas meja. Kami kemudian saling berhadapan dan dengan lugunya ia mengorek upil
5 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di hidungnya dan pergi menuju dapur.
Sambil masih menuangkan botol air dingin pada gelasnya, ia menjawab pertanyaanku tadi. "Jadi
ceritanya Jo si pria tiga puluh tahun menemukan seorang gadis kecil terlantar di jalan. Gadis itu
tidur di atas kursi taman.
Kurasa kau masih ingat pagi itu. Saat itu aku kelaparan, betul-betul kelaparan. Tidak ada yang bisa
kumakan. Maka aku mengamen saja di sekitar taman. Setelah uangku cukup, kubelikan sebungkus
nasi goreng dan telur dadar. Lalu kutemukan kau tidur di sana. Lara yang baru berusia enam tahun,
menatap kelaparan ke arahku. Dan seharusnya aku yang tanya, karena sampai sekarang aku tidak
tahu dari mana asalmu."
Aku mengangkat kakiku dan melipatnya di atas kursi, tanganku kusandarkan di pahaku dan daguku
tertopang di atasnya, "Tolol. Sudah pernah kuceritakan. Masak bisa kau lupa" Aku pagi itu baru
saja kabur dari panti asuhan. Hidup yang tidak nyaman. Bayangkan kau dijadikan pembantu dan
kau dipaksa berpura-pura bahagia di depan para pengunjung panti."
Jo menatapku lekat, "Kau tidak pernah cerita sebelumnya."
"Aku pernah." jawabku, agak melotot.
"Sepertinya aku pun telah melupakan usiaku," jawabnya sambil tertawa.
"Kau memang sudah setua itu. Kau lebih pantas menjadi ayahku. Ketika itu aku tidak pernah
bertemu orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku. Sampai akhirnya aku
menemukanmu dan mengenalimu sebagai ayahku."
"Sampai lalu kita menikah enam tahun kemudian di usiamu yang kedua belas dan aku memaksamu
melacurkan diri, kau masih menganggapku sebagai ayahmu?"
"Sampai akhirnya kita duduk berdua di sini, bernostalgia, dan mengobrolkan hal-hal aneh. Apa yang
terjadi padamu selama seminggu ini, Jo?"
"Serahkan tanganmu padaku, Lara." Pintanya, entah oleh sebab apa.
Ia mengulurkan kedua telapak tangannya dan kuletakkan telapak tanganku di atasnya.
"Beberapa hari lalu saat aku berlibur dengan istri dan anakku, seorang peramal yang kutemui di
taman hiburan mengatakan hanya akan ada satu gadis yang mencintaiku selamanya, seumur
hidupnya," ujarnya sambil membalikkan telapak tanganku dan menyusuri garis tanganku dengan
jemari tangannya yang kasar, "Ciri-ciri gadis itu persis sekali denganmu, Lara."
"Ah, dan lalu bagaimana reaksi istrimu?"
"Kupikir dia tidak begitu peduli dengan ramalan itu,
Dia bertambah cantik saja setiap hari dan aku seolah bermetamorfosa menjadi monster dari hari ke
hari. Aku malu setiap kali berkencan berdua dengannya. Tapi untung ada anak-anak kami yang
selalu membuatku nyaman. Istriku akan selalu bersama anak-anakku dan entah bagaimana, aku
selalu bisa memisahkan diriku dari mereka di tengah keramaian. Berjalan sendirian seperti Beast si
6 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
buruk rupa." Jo menumpahkan perasaannya padaku.
Kugenggam tangannya erat, "Kau pasti akan pergi lagi malam ini. Lalu kapan kau akan pulang ke
sini lagi?" "Setelah mengetahui ramalan itu, aku seperti ingin tinggal selamanya denganmu di sini, Lara."
Entahlah, tatapannya memang agak berbeda kali ini. "Ketika kau akhirnya tahu siapa yang akan
mencintaimu untuk selamanya dan berada di sisimu sampai kapanpun juga, apa hatimu tidak akan
tergerak untuk menghabiskan sisa hidupmu dengan orang itu sampai ajal menjemputmu?"
"Kau masih butuh istrimu, Jo. Kau sudah tidak bekerja, kan?"
"Dan istriku kaya raya. Yah, begitulah Lara!" Ia lantas melepaskan genggaman tangan kami,
"Kupikir aku memang tidak harus memercayai ramalan."
"Kau mau ke mana, Jo?" tanyaku ketika ia beranjak dari kursinya dan naik menyusuri tangga,
barangkali ke arah kamarnya.
"Mengambil barang-barangku dan pulang ke tempat istriku," sahutnya.
Kubiarkan ia membereskan barang-barangnya di atas. Kudengar banyak barang-barang yang
dibanting olehnya. "Lalu kapan kau akan kembali?" Kuhadang langkahnya ketika ia berjalan ke arah pintu rumah kami.
Ia berdiri di hadapanku dan menggendong ransel besar.
"Mungkin kau harus mencari ayah yang lain untukmu, Lara. Kau sudah besar sekarang." Ia
memegang hidungku dan menciumnya. Dahiku persis menempel dengan dahinya, "Aku akan
merindukanmu, putri kecilku."
"Bukankah aku istrimu, Jo?" tukasku.
Ia lalu memelukku, "Istri yang tidak pernah kusentuh. Iya, kau istri yang akan selalu memiliki tempat
di hatiku, Lara. Jaga dirimu baik-baik. Pilihlah laki-laki yang baik."
"Jo ..." "Dan ingat gunakan pengaman."
Ada air mata di pelupuk mataku dan aku hanya bisa tertawa kecil, ia membalas tawaku dan
mengecup dahiku lembut. "Jo ..." ia menatap ke arahku ketika kupanggil namanya.
"Aku suka membaca apapun. Aku sangat suka membaca ... karena kaulah yang mengajariku
membaca. Karena saat aku membaca sesuatu, aku selalu ingat bagaimana tanganmu memegang
tanganku dan menunjukkan huruf-huruf latin itu satu-satu. Bagaimana kau mengajariku menulis..."
Ia tersenyum, "Itulah sebabnya aku tidak pernah berani menyentuhmu, Princess. Seorang ayah
tidak akan pernah punya nyali melukai putrinya. Ah, sudahlah."
7 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia lalu pergi. Dan tidak pernah ada kabar lagi darinya setelah itu meski aku selalu menunggu
ketukannya di pintuku. Selama itu, berkali-kali pria lain telah mengetuk mencariku. Kutemukan, tidak
ada seorang pun yang akan muntah sepertinya ketika pintu kubuka. Dan mungkin tidak akan ada
seorang pun yang akan menyerupainya. Seumur hidupku. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Balada Seekor Semut Aliana berjalan di tengah keramaian, kegaduhan terjadi di seluruh penjuru ruangan. Dentum musik
pameran yang dihadirinya kala itu mengacaukan pikirannya. Berkali-kali dia berusaha menyelinap di
antara kerumunan, menerobos lalu-lalang, bertekad keluar entah dari pintu manapun. Dia harus
pergi dari tempat itu. Tak peduli lagi akan janji temu yang dia buat dengan
seseorang-yang-tak-benar-benar-dia-kenal. Sudah satu jam dia di sana dan keterlambatan lelaki itu
sudah tak dapat dia toleransi.
Sambil berusaha mencari jalan keluar, pemandangan di sekitar pameran menusuk-nusuk indra
penglihatannya hingga dia memaki dalam hati. Dia terus memperhatikan orang-orang yang melintas
di sekelilingnya, yang ke sana kemari membawa gadget terbaru. Aliana pikir bisa saja separuh dari
orang-orang itu hanyalah manusia-manusia labil yang ingin ikut-ikut memiliki gadget mahal. Sekilas
Aliana tersenyum miris. Mungkin agak culas, tetapi baginya mereka hanyalah korban pembodohan
yang tertipu untuk menghabiskan uangnya, karena belum tentu mereka memerlukan semua fasilitas
itu. Napasnya sesak dan kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk. Maka saat itu dia pikir dia harus
melakukan sesuatu atas hal-hal yang mengganggunya di sana.
Makara sudah tiba di pintu gerbang ketika tiba-tiba letusan demi letusan terjadi. Semua lampu
padam. Ia menyadari ia memang telah terlambat selama satu jam, namun bukan berarti itu dapat
dijadikan alasan oleh gadis pembunuh misterius itu untuk kembali melakukan satu kasus
pembunuhan lagi di keramaian seperti hari itu.
Para pengunjung berteriak ketika satu persatu orang yang berdiri di sebelah mereka roboh.
Kepanikan memenuhi udara.
Makara tahu benar siapa yang hadir di sana. Ia dapat memprediksikan ketika gadis itu berlari ke
arahnya dengan menghunuskan pisau dipegang di tangan kanan. Tangan kiri gadis itu masih
memegang pistol dan mengarahkannya secara acak, menembak sembarangan.
Alangkah bengis, pikir Makara, ketika menangkap tangan kecil gadis itu. Baginya tangan gadis
inilah yang dinamakan bertangan dingin.
"Salam kenal?" ujar Makara ketika menangkap sorot mata tajam gadis itu sekilas lalu.
8 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tanpa menjawab, seketika itu juga gadis itu menghilang dari pandangan.
Dan pertemuan itu berakhir dengan kesia-siaan bagi Makara. Pembunuhan massal yang
menewaskan puluhan pengunjung pameran malam itu diberitakan oleh sepenjuru media massa di
Indonesia, tanpa seorang pun tahu siapa pelakunya.
---- "Aliana... ini pasti kau, kan?"
Aliana mengusap mata, dia masih mengantuk dan ingin meneruskan tidurnya.
"Apa pria itu begitu penting sampai kau hampir membongkar identitasmu tadi malam?" tanya
ayahnya kepada Aliana ketika dia masih menikmati waktu senggangnya berayunan di kasur
gantungnya. "Aku membaca tulisannya di suratkabar, dan aku tertarik," jawab Aliana sambil bersalto terjun dari
ketinggian sepuluh meter, berdiri dengan mantap di hadapan ayahnya.
Ayahnya hanya melotot, masih menahan amarah.
Aliana tertawa. "Ya, ya, ya, aku mungkin bisa meminta Laras menuliskan seribu berita seperti yang
pria itu tulis, dia mungkin dapat menyelesaikannya dalam waktu sekejap, tapi aku hanya
penasaran." "Aku senang kau masih ingat adikmu berkali-kali lipat lebih mahir daripada wartawan manapun di
dunia ini." "Ya, mempertimbangkan keahliannya memegang alat tulis dengan seribu tangannya ..." ujar Aliana
sambil mengarahkan tatapan kepada adiknya yang duduk dengan kalem di sebelah ibu mereka,
masih dengan dua tangan merajut sesuatu di sana.
"Jadi kau ingin membongkar identitas kita?"
"Ayolah, Ayah. Sampai kapanpun tidak akan ada yang tahu kalau aku dapat berubah menjadi...
semut, Laras... kaki seribu, ayah... beruang, atau ibu... serigala. Hal ini terlalu gila untuk mereka
percayai." "Mengapa kau selalu mencari masalah" Mengapa kau membunuh manusia-manusia yang tidak
bersalah?" Aliana tertawa. "Aku hanya bosan dengan keteraturan. Dan berhubung tidak ada satu pun hukum
buatan manusia dapat mengikatku, kenapa tidak?"
"Di mana kau dapatkan pistol itu?"
"Aku dapat berubah menjadi semut kapanpun aku mau, aku dapat mencurinya di mana saja."
"Aliana, kutukan ini tidak seharusnya kau pergunakan untuk kejahatan."
9 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ayah, ini tidak jahat. Aku hanya sedikit mengubah keteraturan dunia. Sekali ini saja, ini yang
terakhir." "Tidak ada satu pun leluhur kita yang menyalahgunakan kemampuannya, Aliana."
"Ayah, aku khilaf."
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah menyalahgunakannya berkali-kali. Dan hanya pria ini, penulis berita ini yang dapat
menangkap semua perilaku jahatmu. MTS, itu identitasnya?"
"Ya, Makara Tirta Samudra. Kupikir ia lumayan peka."
"Apa sebenarnya maumu, Aliana?"
"Ayah, kalau kita punya kemampuan, kenapa kita tidak membuat bumi ini menjadi lebih baik?"
"Ini namanya main hakim sendiri!" hardik ayahnya.
"Ibu dan Laras pun tidak mempermasalahkannya!"
"Berjanjilah ini kejahatan yang terakhir."
"Sial, ini bukan kejahatan, Ayah!"
Dan ayahnya menamparnya. "Sudahlah, ayah tidak akan mengerti. Ayah tidak pernah mau mendengar!" sentak Aliana, sekejap
kemudian menghilang dari pandangan mata.
----- Bagi Aliana yang telah hidup selama 19 tahun dan telah membaur dalam kehidupan manusia
selama itu, kehidupan di zamannya telah sedemikian kacau. Dia kadang tidak mengerti apa yang
harus dia lakukan jikapun ayahnya selalu menyuruhnya untuk berperilaku seperti manusia.
Dia sama sekali bukan seperti manusia kebanyakan. Dia mungkin seekor semut yang manusia,
atau seorang manusia yang semut: tanpa identitas yang jelas. Dengan dia mengalienasikan dirinya
sendiri, akhirnya tak ada seorang pun mengenalnya. Dia sudah bersekolah seperti manusia
kebanyakan, dididik dengan aturan A hingga Z untuk pada akhirnya dijadikan budak dengan rok
pendek dan berias wajah, dia sudah ikut tes ujian masuk negara dan berkuliah. Dia sudah menuruti
segala kehendak ayahnya. Sampai dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dari hidup di dunia yang seperti itu.
Segalanya penuh dengan rutinitas. Mengapa dia tak bisa berkoloni saja bersama semut-semut yang
lain dan pergi selama-lamanya dari keluarganya" Tetapi dia samasekali tidak bisa bahasa semut!
Dia telah dididik sebagai semut yang manusia.
Tetapi ketika berbaur dengan manusia ... dia merasa kecil, terabaikan, bukan apa-apa, persis
seperti kodratnya sebagai semut.
10 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hari itu dia benar-benar berpikiran untuk mati. Tetapi tidak tahu apakah sebagai manusia, ataukah
semut. Sepanjang siang dia berjalan melintasi pertokoan buku bekas, berpikir bahwa untuk mati
ditimpa buku mungkin menyenangkan.
"Kau gadis itu, kan?" sampai seseorang memegang bahunya.
" ... (mts) ..." Ddemikian terlintas di benak Aliana. Pria itu, jurnalis yang selalu 'melihat'-nya.
"Yang kemarin kutemui dan menghilang?"
Matanya bertatapan dengan pria itu. Jantungnya berdebar cukup kencang, dan itu adalah kali
pertama. "Siapa sebenarnya kau?" Pria itu mendesak.
Sesuatu di dada Aliana mencelos, beruntung dia bisa menyunggingkan senyum.
Dan pria itu tiba-tiba tertawa begitu hebatnya sampai menekan-nekan lutut. "Akhirnyaaaaa!!
Akhirnya kutemukan juga gadis misterius ini!" dan pria itu dengan refleks memeluknya.
Aliana mengedip-ngedipkan matanya, baru kali itu dia menghadapi situasi yang amat manusiawi
semacam itu. Ibu dan ayahnya tidak pernah memeluknya atau memperlakukannya seperti manusia
pada umumnya. "Aliana. Namaku Aliana."
Pria itu tersenyum teramat lebar, mengelus-ngelus rambut Aliana. "Aku tahu kita pasti akan
bertemu. Senang mengenalmu, Aliana!"
Aliana menelan ludah. Spontan terlintas di benaknya, mengapa respon pria ini sangat jauh berbeda
dengan ayahnya" "Kau senang mengenal orang jahat?" tanyanya.
"Ya! Karena dengan begitu kita dapat bekerja sama!" ujar si pria dengan ambisius. "Setelah
kemunculanmu dan dengan berita-berita yang kutulis, semuanya mendapatkan respon yang positif
dari atasanku. Aku akan dipromosikan seandainya semua beritaku sebaik ini!"
Aliana tidak begitu pasti mengenai apa maksudnya. Tetapi dia tetap tersenyum karena tangan pria
itu masih mengacak-ngacak rambut Aliana dengan gemas. "Bagimu itu bukan kejahatan?"
"Tidak! Karena dengan hal-hal yang kau lakukan selama ini, kehidupan jadi lebih teratur, memang
seperti itulah seharusnya hukum. Hukum mati bagi pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat. Dan
caramu membunuh selalu luarbiasa! Aku kagum."
Hening beberapa saat, hingga Aliana melanjutkan, "Apa aku boleh tinggal denganmu?"
"Mengapa tidak?"
Aliana terbengong-bengong. Bahkan pria di hadapannya itu tidak peduli dia siapa, tidak peduli
11 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengapa dia memiliki kemampuan menghilang, atau dia dari mana, atau mengapa dia memutuskan
tinggal dengan si pria... Tetapi, entah mengapa dia senang pria itu dapat menerima kehadirannya
tanpa banyak bertanya. "Ah ya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Makara."
---- Selama seminggu Aliana tinggal di apartemen pria itu, selama itu dia diperkenalkan pada kecintaan
sang pria pada dunia tulis-menulis, tentang kebenaran fungsional di masyarakat, tentang idealisme
avant-garde. Selama itu, dia diperkenalkan pada citarasa seni yang tinggi dan penghargaan atas
segala sesuatu dalam kehidupan.
Sampai suatu ketika, semuanya menjelma ilusi bagi Aliana. Setelah selusin pembunuhan telah dia
lakukan untuk kepentingan pemberitaan Makara.
"Expectations don't always go along with reality," begitulah pria itu mulai menceritakan rahasia
hidupnya pada Aliana. "Aku harus berputar-putar dulu sebelum akhirnya menjadi jurnalis dan
menemukanmu." Aliana memeluk lututnya duduk pada sofa di apartemen Makara, melihat pria itu
menumpuk-numpuk buku baru yang ia beli, seperti sebelum-sebelumnya.
Bagi Aliana selama ini ... Buku-buku pada zamannya banyak yang teronggokan tidak terbaca,
Banyak aktivis buku menggaung-gaungkan agar semua orang bisa menulis, hingga pada akhirnya
mereka menyalurkan pikiran yang sama sejenis, dan kemudian mereka membuatnya menjadi
buku-bukuan secara massal, lantas dijual dipromosikan dengan angin-anginan.
Buku-buku tanpa jiwa. Tetapi melihat kecintaan Makara akan buku-bukunya ...
"Ayahku selalu ingin agar aku menjadi dokter. Ah ya, aku suka mendengar musik kalau sedang
bercerita dengan kawan-kawanku," tutur Makara lagi sambil bangkit dan memutar kepingan hitam
pada kotak musik di meja dekat akuarium. Lagu-lagu seriosa. "Semoga kau suka laguku."
Bagi Aliana selama ini ... Musik-musik yang tercipta hanyalah dongeng picisan tentang cinta yang
diulang-ulang, atau patah hati yang meradang-radang, atau tentang kisah sepi kehidupan para
kaum jalang. Lagu dangdut dengan keindahan cengkoknya dihancurkan citranya oleh tarian goyang
pinggul yang hilang seni, tak seirama, bisa saja lemuh gemulai tetapi mati pada penjiwaan.
Semua musik selama ini hanya tinggal polusi udara.
Tetapi dengan Makara ... semuanya menjadi jauh berbeda. Dia lebih menikmati musik, dia menjadi
tertarik dengan buku-buku. Dia benar-benar jatuh cinta dengan pria di hadapannya itu.
"Aku menurutinya. Dan aku menamatkan kuliahku. Ayahku hampir gila sewaktu melihatku
menggratiskan pengobatanku pada tetangga-tetanggaku. Dan akhirnya menyerah untuk
menyuruhku melanjutkan kuliah spesialis."
12 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku kuliah Musik," ujar Aliana.
Makara tersenyum, "Samasekali tidak kusangka kau lembut juga ..."
Aliana menggeleng, "Aku suka musik metal. Kau tau, suara tritone. Dan aku kuliah musik, um,
hanya karena sepertinya itu yang paling mudah buat kuselesaikan."
"Kupikir kau lumayan kritis ... cerdas, berwawasan, setidaknya, caramu membunuh itu keren dan ...
sadis." Aliana menarik napas. Dia tidak mungkin bilang bahwa dia samasekali tidak tertarik dengan segala
aspek kehidupan manusia. Dia tidak mungkin mengakui dirinya adalah seekor semut.
"Ah, aku lupa mematikan televisi."
Aliana melihat sekilas apa yang sedang ditayangkan di layar kaca. Televisi penuh dengan para
selebriti saling maki saling hina saling dengki. Yang Aliana lihat, semua penyaksi dari pesta hiburan
itu entah kenapa mau-maunya dibodohi untuk menonton kejahatan minor semacam itu. Dia pikir,
mungkin itu konspirasi para petinggi negara untuk mendegradasi moral masyarakat secara
perlahan. Pria di hadapannya tidak pernah sebelumnya seperti itu. Tetapi hari itu pria itu menyalakan
rokoknya dan duduk di sebelah Aliana, menawarinya segelas kecil tequila.
Aliana tersenyum dan menolak. Seperti ada yang menjepit ulu hatinya. "Sebenarnya hal apa yang
menggembirakan dari hidup di zaman semacam ini?" tanyanya kepada Makara.
Di sisi lain dunia, berseberangan dengan kehidupan gemerlap yang menggeliat, para aktivis
meledak dan berkoar-koar di jalanan, mereka berwacana tentang keadilan, dan di tempat lain di
gang-gang sempit dunia, manusia-manusia kelaparan mati tiap detiknya, melata mengharap
keajaiban. Rakyat tidur selama bertahun-tahun dan para wakilnya juga tidur di kursi-kursi tertinggi tempat
mereka bertahta. Itulah dunia baginya.
Tetapi apa yang bisa dia jelaskan kepada Makara" Kepada pria yang ternyata sama saja"
Tulisan dan perkataan berasal dari pemikiran. Tindakan juga berasal dari pemikiran. Tetapi
mengapa kenyataannya bisa jauh berbeda"
"Kau menikmati hidup yang seperti ini?" tanya Aliana.
"Inilah yang belum kuceritakan padamu," jawab Makara sambil meniupkan asap rokoknya ke arah
Aliana. Dan Aliana sadari itu bukan asap rokok, itu asap ganja.
Aliana menjauh, berjalan mendekati jendela dan membukanya, lantas keluar menuju beranda. Di
sana dia duduk menyendiri.
"Kau bermasalah dengan kelakuanku, padahal aku tak pernah bilang membunuh adalah hal yang
jahat." 13 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Aliana melamunkan dunia ideal di dalam kepalanya. Di mana tidak ada kejahatan dan semua orang
hidup saling menolong satu sama lain. Hidup seperti semut, saling menghargai, saling menjaga.
Selama ini dia hanya membunuh orang-orang yang menurutnya jahat.
"Apa artinya kau menggunakan ganja atau tidak" Kau minum alkohol atau air mineral, apa
bedanya?" tuntut Makara.
"Kau mabuk." "Justru pada saat mabuk orang bisa menyuarakan kebenaran. Kau harus mabuk untuk bisa
mengakui rahasia-rahasiamu!" Makara membentak. Wajah pria itu merah padam. Tangannya yang
panas memegang erat lengan Aliana dengan penuh emosi.
Aliana tertawa. "Sudahlah. Kau juga tidak akan mengerti."
Dini hari itu, tanpa alasan yang pasti, Aliana terjun dari lantai enam apartemen. Sebelum jatuh, dia
kembali menjadi semut. Dan ketika dia terbangun, dia telah berkumpul bersama sekoloni semut
lainnya, tidak memiliki setitik ingatan pun tentang masa lalunya. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Setangkai Arum Manis Bidadari kecilku memegang setangkai panjang jajanan arum manis di genggamannya. Sambil
menangis, kutempelkan dahiku di dahinya. Sore itu di hari Minggu, kami duduk berdua di alun-alun
kota. Gadis kecilku itu tidak akan bertanya mengapa aku menangis. Dia hanya akan selalu menyodorkan
arum manis di tangannya ke permukaan bibirku, kubalas dengan mengusapkan pipiku di pipinya
dan menggigit sebagian kecil arum manisnya, dada kami lantas menempel. Kupeluk dia seerat
mungkin hingga detak jantungnya bersatu dengan detakku dan detak-detak kami kemudian akan
mengalahkan sunyinya irama angin.
Aku tidak menyangka hidupku telah berjalan dengan begitu cepat. Dan aku telah melewati banyak
jalur-jalur perhentian. Dalam tiap perhentian, aku menanti dan cemas. Namun di saat aku kembali
melanjutkan perjalanan setapakku, kadang kupikir aku hanya tinggal menjalani saja kehidupanku di
depan karena semuanya seolah sudah tertera di langit.
Konstelasi bintang yang saling berpegangan tangan satu sama lain barangkali adalah representasi
nyata dari takdir-takdir pertemuan manusia di muka bumi.
Tangan kecil Naya mengusap bekas arum manis di bibirku. Pancaran matanya sangat kusuka.
Teduh. Seolah tidak ada sesuatu pun yang akan dia cemaskan dalam hidupnya. Sekarang ataupun
14 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kelak. Kelak, kelak jauh di masa depan bahkan kendati nyawaku telah mesti kembali ke surga, jalan hidup
Naya tidak akan diubah oleh apapun. Aku yakin dia pasti akan tumbuh menjadi gadis pemikat hati
banyak pria kelak suatu saat. Aku hanya yakin sekali, tidak tahu kenapa.
Kami masih duduk di taman kota sampai bulan tiba dan menyapa dari atas. Di sana aku mengajari
Naya menunjuk-nunjuk bintang dan menghitungnya satu per satu. Aku mengenalkan nama-nama
para bintang kepadanya. Aku tidak berharap dia akan mengingatnya sebaik aku menyimpannya
dalam kenanganku. Aku hanya ingin memperkenalkan Naya pada bintang-bintang itu, para sahabat
yang sudah kukenal sejak lama.
Aku suka sekali menghitung bintang.
Meskipun aku tahu aku mungkin bisa saja salah menghitung bintang yang sama berkali-kali. Tapi
aku tetap teramat suka menghitung mereka.
Meskipun para ilmuwan telah memastikan bahwa aku hanya bisa menghitung keberadaan enam
ribu bintang saja di tiap langit malam yang kujumpai setiap harinya. Dalam enam belas tahun, jika
aku telaten mendapati satu bintang baru setiap harinya, aku telah akan menghitung semua bintang
di langit malam. Tapi aku tetap menghitung mereka bahkan sampai sekarang. Sampai aku memiliki
gadis kecilku sendiri yang bisa kulatih menghitung bintang bersama-sama setiap malamnya.
Karenanya kupikir, mungkin hal ini akan menjadi siklus turun temurun.
Aku sendiri sudah melakukannya sejak kecil. Dulu, ibu selalu mengajakku memanjati genteng
rumah kami yang curam. Dengan bobot tubuh ibu yang begitu ringan dan bentuk tubuh masa
kecilku yang begitu mungil, aku tak heran kalau ketika itu bahkan kami bisa bersama-sama
merebahkan tubuh di permukaan genteng sembari menunjuk-nunjuk bintang di langit.
Rumah kami berdiri dengan bentuk yang sama seperti rumah-rumah sederhana di Indonesia pada
umumnya. Satu kamar utama untuk ayah dan ibu, dua kamar tidur, kamar tamu, ruang tamu, dan
dapur. Tidak ada kamar mandi di tiap ruangan. Kamar mandi terletak terpisah dari rumah, di
belakang rumah. Sebuah sumur ada di dekatnya. Rumah kami dibangun di wilayah pegunungan.
Tidak ada begitu banyak tetangga. Lampu-lampu hanya kadang-kadang saja dinyalakan.
Maka karena ayah dan ibu tidak pernah suka menyalakan lampu, di tiap ruangan hanya dinyalakan
obor berpendar jingga. Dan karena nihilnya iluminasi dari lampu-lampu buatan manusia, di saat aku
dan ibu merebahkan tubuh berduaan di atas permukaan genteng, iluminasi bintang akan
menggantikan ketiadaan cahaya-cahaya lampu itu.
Saking banyaknya bintang yang muncul, mungkin karena didesak imajinasinya, ibu sempat bilang
sesuatu semacam... bahwa dari sejuta bayi makhluk hidup yang lahir di muka bumi ini dalam satu
hari, satu bintang turut lahir bersama mereka. Sejuta bayi itu memiliki bintang yang sama.
Ah, aku ingat sekali semua kenangan itu dengan setiap detailnya. Jika aku harus dengan detil
menyebutkan perasaan seperti apa yang muncul di diriku ketika harus kehilangan masa-masa itu,
aku tak bisa lebih banyak lagi berkata-kata selain memeluk Naya yang kupangku bersamaku
dengan lebih erat dan semakin mencoba tertawa tergelak-gelak bersamanya bahkan sekalipun aku
tak tahu apa yang membuatku harus begitu bahagia.
15 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tidakkah ini menyenangkan" Aku telah melewati jalan hidupku sejauh ini, telah berputri, aku bisa
berjalan berkeliling dengan darah dagingku sendiri. Tidakkah tidak ada satu hal pun yang perlu
kukhawatirkan lagi" Karena ketika pun aku harus mati, aku telah menjalankan kewajiban manusia
yang paling utama. Kepala Naya mendesak-desak di dadaku. Matanya terpejam dan permukaan bibirnya sedikit
bergerak-gerak. Dia barangkali sedang bermimpi. Setangkai arum manis yang masih terbungkus
terlepas dari sebelah tangannya, jatuh di kursi. Kuambil arum manis itu dan kuhadapkan ke
wajahku. "Kau tercipta menjadi sesuatu yang manis dan kau disukai oleh anak-anak, apakah pernah kau
meratapi hidupmu yang hanya sebentar kalau dalam hidupmu itu kau bahkan telah berarti banyak
dengan hanya digigit dan dikulum?"
Kubuka plastiknya dan kugigit awan-awan berwarna merah jambu itu sedikit demi sedikit. Selama
menikmatinya, aku tetap mengajak arum manis itu mengobrolkan tentang pertanyaan-pertanyaan
hidup yang selalu muncul di benakku setiap saat. Sampai habis. Sampai yang tersisa hanya tinggal
setangkai lidi arum manis dan setangkai pertanyaan tentang kehidupan setelah kematian yang tak
akan terjawab sebelum aku nanti mati.
---- Gerimis turun perlahan. Kubangunkan Naya meskipun dia masih terlelap, kuikatkan dia dengan kain
gendong dan kugendong dia di dadaku. Dan tanpa isyarat apapun, kepalanya yang mungil merebah
kepadaku dan dia kembali tidur. Napasnya terasa hangat. Kukecup ubun-ubunnya sambil aku
membuka payung. Kukeluarkan sandal jepit dari dalam tas dan kumasukkan sepatuku dalam kantong platik. Tas ransel
untuk perlengkapan kami kugendong di punggungku. Hujan melebat. Dan entah hal apa yang ada
di kepalaku ketika aku melewati mobilku yang kuparkirkan di parkiran. Aku seolah tidak kasihan
pada Naya yang daya tahan tubuhnya masih lemah.
Sebut saja kalau adalah hal yang wajar untuk menemukan banyak orang jahat berkeliaran di
sekitar. Maka aku sedang menjelma menjadi salah satu sosok ibu yang jahat untuk malam ini. Jadi
kalaupun ada seseorang yang melintas di depanku, maka jahatku adalah jahat yang wajar di mata
orang itu. Jahat yang sehari-hari dia lihat, jahat yang ibu lain juga lakukan kepada anak-anaknya.
Malam ini ada sesuatu di kepalaku, yang tidak kuketahui apa tepatnya, membawaku ke taman ini
dan menentukan setiap gerak langkahku. Biasanya aku tidak terlalu suka berjalan kaki seperti ini.
Apalagi berjalan kaki dengan perjalanan tanpa arah tujuan seperti ini.
Di pertokoan-pertokoan sekitar jalan Malioboro, aku melewati orang-orang yang saling
menghangatkan tubuh dengan bercakap-cakap satu sama lain. Penjual jagung dan kacang rebus
menemani orang-orang itu. Suasana kota yang biasanya selalu ada orang-orang ribut menawar
harga, di malam itu, berubah menjadi suasana kota yang lebih hangat dengan senyum-senyum
mereka yang masih terjaga.
Beberapa orang lainnya ada yang tertidur di pelataran di depan pertokoan. Mengalasi tubuh mereka
hanya dengan surat kabar bekas. Kupikir, benarlah bahwa setiap orang memang dapat memilih
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu-pintu berbeda untuk mengunjungi negeri mimpi.
16 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Perlahan, dari kejauhan, aku melihat kantor tempatku bekerja. Semakin aku mendekat, kantor itu
berubah menjadi abu. Api masih menjalar di beberapa bagian, kendati hujan masih dengan
kewalahan membantu memadamkan api.
Di jalan di depan kantorku, orang-orang telah berkerumun. Padahal hujan. Mereka memegang
payung di tangan masing-masing. Yang tidak memegang payung, telah mengenakan jas hujan dan
sepatu bot. Mobil polisi dan pemadam kebakaran berjajar bersamaan. Di atap-atap bangunan, para
petugas pemadam memegang selang air.
Mobil ambulans, menyuarkan lampu merahnya, datang dari kejauhan. Ketika aku tak sengaja
melihat tubuh-tubuh yang diangkat, aku melihat tubuhku sendiri di sana. Tubuhku yang lebih tua
bersama dengan tubuh-tubuh teman kerjaku. Wujud mereka terlihat puluhan tahun lebih tua
daripada yang kulihat terakhir kalinya pada Sabtu kemarin.
Ketika kudekati orang-orang itu, mereka tiba-tiba menghilang. Dan kusadari mereka hanya
bayang-bayang. Namun tiba-tiba mereka muncul kembali. Senyum mereka mengembang lebar.
Namun senyum mereka terlampau mengerikan untuk kubalas dengan senyumku. Hingga
karenanya, aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalaku dan memejamkan mata. Naya
menangis dan berteriak-teriak di pelukanku.
Akan tetapi, ketika sekejap kemudian kubuka mataku, suasana berubah menjadi begitu sunyi.
Hujan telah berhenti. Naya masih dengan anteng menapaskan mimpinya lewat hembusan di bibinya
yang mungil. Di jalan di sekitarku, tidak ada sesiapa. Lampu-lampu padam dan langit menjadi begitu
terang, berpendar hijau toska. Aurora. Sesuatu yang seharusnya kudapati di kutub-kutub bumi.
Tiba-tiba di dadaku ada gejolak yang tak kukenali. Aku seolah hidup sendiri. Seolah mendapati
mimpi di alam nyata. Seolah dengan seketika bisa mempercayai segala hal gaib nan ajaib dalam
dongeng dan mitos. Saat ini, aku merasa tidak punya keterikatan apapun pada manusia-manusia di muka bumi, selain
Naya. Tiba-tiba muncul sesuatu di benakku, bagaimana kalau aku sebenarnya adalah utusan
organisasi rahasia di luar bumi dan aku bisa kapan saja meloncat ke langit dan keluar dari bumi,
lagipula jarak langit kelihatannya hanya sejengkal.
Atau bagaimana kalau misalnya bumi ini adalah sebuah bola percobaan artifisial yang diciptakan
oleh sesuatu yang entah apa.
Aku telah terbangun dari percobaan itu. Dengan manusia-manusia lainnya yang mungkin telah
terbangun terlebih dahulu.
Sejak kecil aku sering berkhayal kalau-kalau aku adalah tokoh rekaan dalam cerita yang tidak akan
pernah bisa bertemu dengan pengarangku. Ah, tidak, tidak persis seperti itu. Aku lebih sering
membayangkan kalau-kalau aku dan manusia-manusia lainnya adalah seperti tikus got yang
digunakan sebagai percobaan di laboratorium.
Bumi seperti halnya sebuah bola kristal yang berusia miliaran tahun. Warga bumi dalam tiap
peradaban selalu takut bola itu akan retak dan pecah berkeping-keping. Beragam bentuk
peradaban telah pernah ada dan sepanjang hidupnya, mereka khawatir kalau-kalau bumi akan
pecah. Namun seiring berjalannya waktu, sentuhan kehidupan selalu membuat manusia melupakan
17 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
betapa lemahnya bola kristal yang mereka tempati.[/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Tiga Puluh Lima Kartu Pos dari Anna
Sudah lama aku tidak menerima kabar darinya. Pagi ini seikat kartu pos kutemukan dalam kotak
posku. Semuanya tanpa cap pos. Aku ingat apa yang dulu pernah dibilang oleh pengirim seikat
kartu pos ini. Suatu saat dia akan kembali lagi ke kotaku. Suatu saat dia akan menaruh banyak
surat di kotak posku. Pagi ini dia kembali. Aku duduk di sofaku sambil mendengarkan siaran radio pagi. Satu persatu kubaca tulisan
tangannya pada berpuluh-puluh kartu pos itu.
Seperti dirinya, semua kartu pos itu berwarna cerah. Gambar-gambar yang akan membuat dadamu
bergejolak. Dari semua itu, kusimpulkan dia memang telah mengunjungi banyak tempat.
Negara-negara dari seluruh belahan dunia. Gambarnya demikian indah, jadi bukan nama-nama
tempat yang tertulis di sana yang membuatnya istimewa.
Dia menulis pada tiga puluh lima kartu pos berbeda. Tiga puluh lima tahun juga dia telah pergi dari
hidupku. Pada kartu pos ketiga puluh lima, aku yakin itulah kartu pos yang akan paling berkesan.
Gambar seorang gadis dari arah belakang yang mengenakan topi sombreto berhiaskan bunga tulip
dan merentangkan tangan. Di depan gadis itu terdapat taman dan pegunungan beserta hamparan
bunga beraneka warna. Di baliknya hanya terdapat empat kalimat dengan tulisan halus: Aku selama
ini selalu menginginkan hidup yang bebas. Dengan akhir yang cerah. Tanpamu atau denganmu.
Tapi melihat kenyataannya sekarang, sepertinya aku telah berakhir tanpamu, ya"
Kupikir aku masih menyimpan suratnya tiga puluh lima tahun lalu. Surat yang membuatku yakin dia
akan kembali setelah waktu itu dia sempat berbulan-bulan sepenuhnya menghilang dari duniaku.
Benar. Surat darinya berpuluh-puluh tahun lalu kemudian kutemukan di dalam laci.
Wino sahabatku. Wino, kau tahu sekarang aku di mana" Aku menulis ini dari tempat yang jauh
sekali. Kalau dulu kita pikir kita akan mengelilingi dunia bersama setelah kita menikah, sekarang
aku telah ada di sini di ujung dunia. Tetapi kalau kau menerima surat ini dengan cap pos dan
perangko dari negara lain, barangkali nanti aku telah berpindah ke tempat lain lagi untuk
mengirimkan surat kepadamu. Aku tidak akan menetap di satu tempat.
Jadi Wino, bagaimana dunia kita tanpaku" Aku selalu berpikir bahwa dunia akan selalu baik-baik
saja tanpaku. Bagaimana kabar istrimu" Kalau kau pikir aku pergi meninggalkanmu dan dunia yang
kita bangun selama ini karena tidak bisa menerima kenyataan kau menikah dengan gadis lain, iya
Wino percayalah kalau aku demikian mencintaimu sampai tidak bisa melihatmu dimiliki oleh orang
18 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
lain. Tapi saat kemudian kau tidak menemukanku di manapun dan kau kehilanganku selama
berbulan-bulan, tanpa seorang pun tahu kabarku, percayalah itu karena pilihanku sendiri. Aku selalu
mengangan-angankan untuk bisa mengelilingi dunia denganmu. Tapi kini, tanpamu pun ternyata
aku pikir aku akan bisa melakukan itu.
Wino, aku berjanji aku akan kembali suatu saat nanti dan menceritakan segalanya. Aku tahu ini
adalah permainan takdir. Dan kita berdua yang pemberani ini, yang kuat dan selalu yakin bahwa
kita bisa mengubah dunia bersama, ternyata adalah semut-semut kecil yang tak bisa melakukan
apapun dan mati terinjak begitu saja. Kau meninggalkanku dan tidak dapat selamanya berada di
sisiku. Tetapi, kalau suatu saat nanti aku kembali, percayalah itu artinya saat itu aku masih akan
mencintaimu seperti cintaku sekarang. Sahabat kecilmu, Anna. [/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Saudade Kita bertemu di galeri itu. Ketika aku dan kau dari arah berlawanan saling teliti memperhatikan tiap
judul lukisan-lukisan di sana. Yang kuingat, langkah kita kemudian tiba-tiba bersisian saat aku
memperhatikan lukisan abstrak berjudul 'Pertemuan'. Ketika itu aku langsung spontan ingin melihat
lukisan yang sedang kau lihat. Mungkinkah judulnya berkaitan"
Ketika kita dengan perlahan saling bertukar posisi, aku melihat judul di sana, judul lukisan yang
sebelumnya kau perhatikan. Seperti memiliki pikiran yang sama, kau nampak buru-buru melihat
judul lukisan yang tadi kuperhatikan. Kuyakin, waktu itu kau merasakan hal yang sama.
Kita kemudian saling bertatapan. Aku tersenyum, kau tersenyum. Saat itu semuanya bermula tanpa
adanya perkenalan. Dan kita berjalan berlawanan arah, pulang ke rumah masing-masing.
---- Kini pun tak ada yang mengikat kita. Aku tak pernah tahu namamu. Aku hanya tahu bahwa nama
samaranmu di dunia Seni Rupa adalah Adnan Anantara. Maka kucari tahu semua hal tentangmu di
mesin pencari, barangkali nama itu tidak hanya kau pergunakan di satu dunia, barangkali kau juga
menggunakannya di dunia maya yang kian hari kian ramai, dunia maya tempatku biasa tinggal dan
juga membuat banyak nama samaran.
Kuduga, pasti mudah mendekatimu setelahnya, dan benar saja ketika itu kita lalu saling berkenalan
dengan nama samaran kita masing-masing di banyak jejaring sosial. Kita menjadi leluasa untuk tiap
hari saling membagi rahasia. Kita berdialog di jendela maya hampir tiap pagi, siang, malam, sore,
kapanpun kita butuh bertemu. Kita berbagi gestur tubuh melalui simbol-simbol dan kata-kata pada
beranda kita di situs masing-masing.
Kau membagi gambar-gambar lukisanmu hampir tiap hari ke surelku, terkadang kau selingi juga
19 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan beberapa puisi atau rekaman suara. Aku dengan tak tahu malu hanya bisa bercerita
tentang botol-botol, cawan, cairan ungu, dan kertas warna-warni, juga rajutan. Aku sangat suka
membuat prakarya dan melakukan eksperimen untuk itu di waktu-waktu senggangku.
Kau pernah bilang, kirimlah semua itu sekali waktu ke alamatmu. Dan sekalian, kau bilang,
bagaimana kalau kita bertemu di suatu kesempatan"
---- Kesempatan bertemu. Bukankah mempertanyakan sebuah pertemuan adalah hal yang lucu" Bila
ternyata, sekalipun kita seringkali bertemu, kau tak pernah menyadari keberadaanku"
Kita tiap hari bertemu, tanpa kau sadari. Ketika kita melakukan amal membelah Jakarta dengan
metromini, menemukan anak-anak yang terlantar di gang-gang sempit dan mengajari mereka untuk
membentuk komunitasnya dan sesekali mengajak mereka mampir ke sanggarmu. Juga, tiap saat
ketika kita dengan komunitas-pecinta-senimu berdiskusi di belakang Pasar Senen, atau ketika kita
hanya berdua selalu iseng-iseng masuk ke toko buku di Taman Ismail Marzuki atau berjalan-jalan
menikmati berbagai panorama negara di Grand Indonesia dan selalu kembali terdampar di
Kinokuniya atau Gramedia.
Kita juga pernah melempar koin di sungai-sungai, memanjatkan doa. Kita juga pernah duduk di atap
kamar kosmu, hanya berdua, menatap langit malam Jakarta yang mendung dari sana.
Kau tak pernah menyadarinya. Tak pernah ada cinta yang terjadi di antara kita. Kupikir kau telah
jatuh cinta dengan aku di dunia maya, seperti halnya aku telah jatuh cinta dengan kamu di dunia
maya. Sehingga kita tidak perlu lagi untuk saling jatuh cinta di dunia nyata.
Kau malam itu berdiri di hadapanku. "Ada apa, Anne?" Saat itu kau bertanya, saat aku berdiri
diguyur hujan di depan sanggarmu.
Ketika itu kau mencoba memegang bahuku, mengajakku masuk. Aku tetap berdiri di sana, menatap
matamu. Kau raih tanganku, menariknya. Aku mengencangkan peganganmu dan mengajakmu ikut
terus berdiri di sana. Matamu membelalak, seolah kaget.
"Kenapa kau diam di sini" Anne, masuklah.. Aku tak mengerti apa maksudmu. Hujan, Anne."
Kini tatapanmu seolah mengalahkan tatapanku, tanganmu menggenggam erat tanganku.
"Kita bicara di sini saja." Kudengarsendiri getar di suaraku, entah karena gigil diguyur hujan entah
karena gigil keberanian. Kau terdiam, lalu akhirnya berkata, "Bilang kenapa, Anne..."
Kau dan aku dipertemukan oleh lukisan. Kau dan aku juga kemudian dipisahkan oleh lukisan, yang
tiap hari kau pamerkan pada gadismu di dunia maya, pada tiruanku. Kalau kau mau tahu,
sejujurnya aku cemburu pada diriku sendiri. "Aku akan pergi," ujarku. Kubayangkan apakah kau
pernah sadar bahwa kau telah kutipu mentah-mentah selama ini.
"Kenapa pergi?" tanyamu. Nada suaramu datar, aku tahu kau tak akan merasa kehilangan.
20 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Karena aku bosan di kota ini," jawabku.
"Ke mana kau akan pergi?"
"Kehendakku, ke manapun aku ingin."
"Kalau begitu, ajak aku bersamamu," jawabmu kala itu. Kupikir kau menyimpan rasa untukku.
Terkejut, aku menatap dalam ke matamu. Di sana tak ada aku, di sana tak ada siapapun.
Kau bukan cerminku. "Aku tak bisa mengajakmu. Maaf," ucapku, melepaskan pegangan tanganmu
dan berlari menembus hujan.
Kekasih yang saling tercipta untuk satu sama lain seharusnya menemukan cermin pada diri
masing-masing. Tak pernah sekalipun aku menemukan diriku padamu. Bertahun-tahun kuhabiskan
denganmu hanya untuk menyadari bahwa tidak setiap pertemuan akan memilki arti.
"Kawan yang hadir di hidup kita hanyalah figuran." Dulu kau pernah berkata. "Pada dasarnya, orang
terpenting dalam hidup kita adalah mereka yang akan menemani kita sepanjang usia."
Kadang dunia tak sebundar yang kau bayangkan. Aku dapat saja menunggumu sepanjang usiaku,
tetapi apakah kau bersedia menghabiskan waktu tanpa tahu apa yang kau sedang lakukan
denganku" Kita selama ini mungkin hanya berpura-pura saling mencintai. Mungkin, kau tidak hanya
menggodaku di dunia maya. Mungkin kau bahkan menggoda sejuta gadis lainnya. [/*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Dosen dengan Dunia Utopia
Sejak pagi, warung nasi rames tempat Tito makan nampak penuh oleh pengunjung. Ada saja
pengunjung baru yang masuk, bahkan meskipun orang-orang yang awalnya duduk di sekitar Tito
telah silih berganti membayar makanan mereka dan pergi dari warung tersebut. Dalam waktu
selama 1:48 (satu jam empat puluh delapan menit) - berdasarkan arloji digital yang Tito kenakan,
Tito sendiri belum juga menghabiskan makanannya.
Kata ibu Tito, dulu cara makan Tito tidak seperti itu. Sangka ibunya, ia mulai begitu semenjak
mengenal Matematika. Ia pikir ibunya pasti meledeknya. Karena sebenarnya Tito rasa, ia tidak
pernah menghitung biji nasi yang ia makan; atau berapa kalori yang akan masuk ke dalam
tubuhnya; atau selayaknya orang-orang yang tanpa kerjaan menghitung sampai tiga puluh kali
kunyahan mereka sebelum mendorong makanannya ke tenggorokan; Tito tidak sekurang kerjaan
itu. Saat berlama-lama mengunyah makanan, ia bisa memikirkan segalanya, mulai dari hal-hal kecil
yang paling tidak penting hingga hal yang paling kompleks - dan bagi sebagian orang sama tidak
pentingnya. Waktu lainnya, ia habiskan untuk menyelesaikan mengoreksi pekerjaan mahasiswanya.
Atau mengerjakan soal-soal hitungan dari mana saja. Atau soal olimpiade sains. Asalkan hitungan.
21 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia tidak pernah membiarkan pikirannya melantur ke hal-hal selain hitungan.
Tito melirik gelas dan piringnya. Es tehnya masih separuh. Nasinya mengisi tiga perempat piring. Ia
juga memperhatikan dengan saksama gerak-gerik orang-orang di sekitarnya. Ada yang jelas-jelas
terlihat belum mandi; masuk ke warung sambil menggosok mata, ada yang sudah segar dengan
riasan wajah penuh, ada yang mengenakan pakaian biasa, ada yang mengenakan jaket kampus.
Bertas ransel, bertas jinjing, hanya membawa dompet, atau tidak membawa apa-apa kecuali
selembaran rupiah lima ribuan. Bersandal, bersepatu kets, berhak tinggi; disimpulkannya tidak ada
yang pergi cari makan dengan telanjang kaki di zaman ini.
Tito memperhatikan orang-orang itu dengan begitu hati-hati. Sambil pura-pura membaca koran
yang dipegangnya di tangan kiri, ia selalu sedikit-sedikit mengintip tukang masak di dapur. Sudah
ribuan kali ia melihat para pelayan di warung itu. Ia tidak pernah makan di tempat lain. (bahkan tidak
tahu akan makan di mana seandainya warung itu ditutup - mungkin kalau itu terjadi, ia harus
buru-buru mencari istri yang bisa memasak).
Meski sudah ribuan atau ratusan ribu kali ia melihat mereka, ia tak juga-juga bosan. Para pelayan
yang bekerja di sana berusia muda, seperti lulusan SMA yang baru tiga atau empat tahun lalu lulus.
Tito tidak jatuh hati pada salah satunya. Hanya saja, Tito suka melihat ketekunan mereka.
Orang-orang yang memasak, memindahkan makanan ke piring, memecahkan es batu dan
membuatkan minuman untuk para pembeli, mencuci piring dan gelas, mengambil piring kotor,
dengan senyum dan cara mereka berinteraksi pada para pembeli, Tito sering terbayang-bayangi.
Padahal Tito pikir, gadis-gadis itu bisa saja lanjut berkuliah seperti mahasiswi-mahasiswinya di
kampus. Baginya, mereka semua terlihat sangat cekatan dalam berhitung. Meski itu hanya mereka
tunjukkan melalui menghitung jumlah bayaran dari berapa ribu sampai berapa puluh ribu, tetapi Tito
pikir, kalau saja dilatih mereka pastilah dapat menghitung bahkan yang seharusnya tak dihitung
manual. Mungkin gadis-gadis itu tidak pernah memikirkan sesuatu selain menyediakan makanan kepada
pelanggan. Tito yakin sekali mereka tidak punya waktu untuk bahkan sekadar memikirkan proses
ketika mereka menyendok gula, atau menaruh es ke dalam gelas, atau memasukkan sendok garam
ke dalam kocokan telur. Semuanya telah menjadi rutinitas. Mereka wajib melakukan rutinitas seperti
itu untuk bisa bertahan hidup.
Akhirnya gelas es tehnya habis juga. Tapi setengah piring nasinya masih tersisa. Saat itu tepat
sudah 2:12 (dua jam dua belas menit) berlalu. Seusai makan, ia memutuskan pergi karena lima
belas menit berikutnya ia sudah mesti pergi mengajar. Separuh nasinya masih tersisa. Hari itu, Tito
membayar dengan uang pas.
---- Di jalan menuju kampus, ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri.
"Memangnya, apa mereka juga pernah mengamatimu?" Pagi itu begitulah suara di kepala Tito
memulai pembicaraan dengan Tito.
"Mungkin," jawab Tito enggan.
Dalam perjalanan dari warung tempat makan menuju fakultas tempatnya mengajar, percakapan
22 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
internal antara ia dan dirinya kembali terjadi. Seperti hari-hari kemarin. Kali ini suara di kepalanya
terdengar lebih kritis kepadanya.
"Apa mereka memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti yang kamu sering lakukan?"
"Tapi mereka semua mungkin amnesia. Mereka mungkin lupa hari-hari kemarin. Karenanya mereka
masih dapat menerima hari yang sama terjadi lagi di hidup mereka,"
"Tapi apa kamu pernah berpikir sebenarnya tak ada rutinitas yang benar-benar serupa?"
"Memang tak benar-benar sama. Tapi aku merasa kasihan karena mereka tak pernah merasa
bosan." "Mereka sudah dewasa,"
"Kamu tahu, kan, kalau yang seringkali bersikap naif dan pembosan itu hanya anak-anak?"
"Jadi maksudmu, kamu masih menjadi seperti anak-anak itu?"
"Kenapa kamu tak ikut saja menjadi dewasa?"
"Karena mereka berhenti merasa penasaran pada apa yang ada di hadapan mereka. Mereka
keluar, pergi makan, menyelesaikan masalah mereka dari hari ke hari... emosi mereka datar, kaku,
dan dingin." "Apa menurutmu mereka bahagia seperti itu?"
Tito menganggukkan kepalanya. Padahal jelas-jelas ia sadar ia tidak berbicara pada siapapun
kecuali kepada dirinya sendiri.
"Apa kamu bahagia dengan terus mempertanyakan apa-apa yang ada di hidupmu" Bukankah
makin lama kamu justru bisa menjadi semakin depresi" Kamu tak takut kehilangan dirimu sendiri?"
Kali ini Tito tertawa sendiri. "Memang kapan aku pernah bahagia?"
"Jadi kamu juga tak bahagia?"
Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tito tertawa lagi. "Kata Buddha, hidup itu penuh samsara. Kesengsaraan. Bagaimana bisa kamu
mengharapkan kebahagiaan?"
"Tapi kamu tidak pernah bahagia?"
"Bagaimana caranya membedakan kebahagiaan yang sesungguhnya dengan kebahagiaan yang
sifatnya semu belaka?" Tito berujar sembari diikuti tawanya yang lantang."Ah, sudahlah. Bicarakan
besok lagi saja," perintah Tito pada dirinya sendiri.
Semua orang di jalanan memperhatikan Tito yang bergumam-gumam sendiri dan tertawa sendiri.
Itulah rutinitas orang-orang itu. Mereka senang melihat Tito yang setiap pagi selalu bertingkah
demikian. Biasanya sembari menggeleng-gelengkan kepala dengan raut mengasihani Tito atau
menunjuk-nunjuk, mereka akan selalu membisik-bisikkan sesuatu tentang Tito.
23 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Berdasarkan gosip yang para pedagang asongan itu dengar dari mahasiswa-mahasiswa di
universitas tempat Tito mengajar, kelakuan Tito itu menyebabkan ia diberhentikan kerja lima tahun
silam. Namun Tito tetap selalu pergi ke universitasnya. Entah mengapa, ia selalu masuk ke ruangan
kosong dan menulis di sana. Berbicara di depan kelas, atau terkadang ia duduk di selasar kampus.
Atau lebih sering, ia menyendiri di perpustakaan fakultas.
Para mahasiswa yang pernah diajarnya, yang saat itu berkumpul di sebelah pedagang asongan
dekat kampus, membatin mempertanyakan kebijakan kampus. Penampilan dosen mereka itu selalu
rapi. Samasekali tidak kelihatan bahwa ia gila. Hitungan-hitungan yang Tito kerjakan, yang
seringkali ditinggalkannya di meja perpustakaan atau pada tempat-tempat tertentu, selalu akurat.
Dulu sewaktu dosen mereka itu mengajar mereka, penampilan dosen kurus berkulit sawo matang
itu selalu nampak brilian. Bagi banyak mahasiswanya, ialah jeniusnya Indonesia - yang
sebenar-benarnya. Sambil masih tertawa-tawa dan berbicara dengan dirinya sendiri, dengan sama sekali tidak
memedulikan kehadiran orang-orang di sekitarnya, Tito masuk ke dalam ruang kelas. Yang
sebenarnya kosong. Tetapi di kelas itu, dalam penglihatan Tito, di sanalah duduk para mahasiswa
terpilih. Loper koran yang ditemuinya pagi tadi, bapak-bapak yang masih ketiduran di becaknya pada
perjalanan Tito menuju warung nasi rames, para pelayan di warung, dan orang-orang tidak
beruntung lainnya - yang tidak punya kesempatan untuk belajar di universitas. Mereka semua telah
duduk rapi pada bangku-bangku di hadapan Tito - siap menerima pelajaran Kalkulus.
Kalau suara dari kepalanya bisa kembali bertanya kepadanya saat itu, Tito akan menjawab bahwa
itulah kebahagiaannya yang diperolehnya sejak lima tahun lalu. Untuk melihat dunia yang nampak
lebih adil dengan seperti itu. Dengan memberikan kesempatan kepada orang-orang kecil agar
mereka dapat memahami dunia. Untuk membuat orang-orang kecil itu berani menghadapi
kenyataan dan berjuang melakukan sesuatu atas hidupnya. Untuk mengusir rasa takut menciptakan
keadilan versinya - jika keadilan memang benar hanyalah utopia di kehidupan nyata.
Di sanalah Tito memutuskan kodrat yang bertentangan dengan hati nuraninya. Di kelas itu ia
menciptakan kebijakan sendiri. Keadilannya sendiri. Dunia sempurnanya sendiri.
Di dunianya sendiri itulah ia menghadapi ketakutannya atas dunia nyata yang semakin kacau hari
ke hari. Ia berhenti berbicara dengan dirinya sendiri. Tangannya begitu cekatan menulis
angka-angka dan formula di papan. Mulutnya begitu lancar mengucapkan apa yang ia tulis. (Dan
sementara Tito mengajar kelas kosong itu, orang-orang telah berdiri di luar kelas untuk juga
Memperebutkan Batu Kalimaya 2 Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara Legenda Kelelawar 4