Pencarian

Pulau Rahasia 2

Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island Bagian 2


pasti besar gunanya, apabila hawa malam hari dingin.
"Cahaya apa itu, yang nampak menerangi langit di sebelah sana itu" Aneh
kelihatannya!" kata Nora dengan tiba-tiba, sambil menuding ke arah timur.
"Ah - bagaimana sih, kau ini" Itu kan fajar yang menyingsing," kata Jack.
"Sebentar lagi sudah pagi! Yuk - kita harus tidur sekarang. Kita sudah sibuk
semalaman!" Saat itu terdengar suara Daisy melenguh di kandang ayam. Anak-anak tertawa.
"Daisy juga berpendapat begitu, Jack!" kata peggy.
8. SAAT BERSANTAI - DENGAN AKHIR YANG MENGAGETKAN
Keesokan harinya anak-anak bangun agak siang. Matahari sudah sepenggalah
tingginya. Anak-anak takkan terbangun, kalau saja Daisy tidak merasa bahwa sudah waktunya
ia diperah. Sapi betina itu berdiri di tengah kandang ayam sambil melenguh-
lenguh. Jack terbangun, lalu cepat-cepat duduk. Jantungnya berdebar keras. Bunyi apakah
itu" ia bingung sesaat. Tapi kemudian teringat kembali. Ah - tentu saja, itu kan
suara Daisy! Sapi betina itu minta diperah susunya!
"He, Anak-anak - bangun!" seru Jack. "Hari sudah siang! Kurasa sudah pukul
sembilan sekarang! Lihatlah, matahari sudah tinggi di langit. Dan Daisy minta
diperah susunya!" Mike mendengus, lalu membuka matanya, ia masih mengantuk. Peggy dan Nora
terbangun pula. Mereka duduk sambil mengusap-usap mata. Daisy melenguh lagi,
ditimpali suara ayam-ayam betina yang berkotek-kotek.
"Ternak kita minta sarapan pagi," kata Jack sambil nyengir. "Ayo, bantu aku.
Anak-anak pemalas! Kita harus mengurus mereka dulu, sebelum kita sendiri makan!"
Anak-anak bergegas bangkit Tapi mereka masih sangat mengantuk Karenanya mereka
harus membenamkan kepala dulu dalam air danau. Setelah itu barulah mereka merasa
agak segar, sehingga mampu bekerja.
Setelah itu mereka mendatangi sapi mereka. Daisy nampak cantik, dengan bulunya
yang belang coklat dan putih! Matanya yang coklat menatap lembut. Anak-anak
merasa senang, karena kini sudah memiliki sapi!
"Wah - bukan main, nyaring sekali suaranya," kata Jack, ketika sapi itu melenguh
lagi. "Aku harus memerahnya."
"Tapi kita tidak punya ember untuk tempat susu," kata Mike. Anak-anak
berpandang-pandangan. Benar juga - mereka tidak memiliki ember.
"Yah - kalau begitu kita pakai saja panci," kata Jack tegas. "Kita semua pasti
kepingin minum susu barang semangkuk, untuk menambah tenaga. Aku akan memakai
panci kita yang paling besar. Nanti kalau sudah penuh, susunya akan kutuangkan
ke dalam basi-basi yang kita miliki - dan juga ketel air. Tapi kita perlu
memiliki ember. Sayang tadi malam aku tidak ingat!"
Susu hasil perahan ternyata sangat banyak. Semua tempat yang ada di situ belum
mencukupi. Anak-anak minum susu bermangkuk-mangkuk Enak rasanya minum susu,
setelah sekian lama hanya minum teh dan coklat yang dibuat dengan air melulu.
Anak-anak minum seperti tidak kenal kenyang!
"Aduh, ada telur pecah terinjak Daisy," kata Mora sambil memandang ke kandang
ayam. "Sayang!" "Tidak apa," kata Jack, "ia cuma sehari ini saja kita tempatkan di situ. Nanti
akan kita pindahkan ke balik pulau, di mana ada rumput segar. Coba kauberi makan
ayam-ayam itu, Nora! Mereka ribut berkotek-kotek. Pasti karena lapar!"
Nora menaburkan jagung ke tanah. Setelah itu anak-anak sarapan telur rebus,
sambil minum susu segar. Daisy memandang mereka, lalu melenguh pelan. Rupanya
sapi betina itu juga lapar.
Selesai makan, Jack dan Mike menuntunnya ke balik pulau. Daisy senang sekali
melihat rumput hijau di situ. Dengan segera sapi itu merumput di lapangan.
"Kita tidak perlu memagari tempat ini, karena Daisy takkan bisa meninggalkan
pulau," kata Jack. "Kita harus memerah dua kali sehari, Mike. untuk itu kita perlu
mengusahakan ember."
"Dalam lumbung di rumah Bibi Harriet ada sebuah ember tua, yang dulu biasa
dipakai sebagai tempat untuk menampung susu perahan," kata Peggy. "Aku pernah
melihatnya tergantung di sana."
"Tapi dasarnya berlubang atau tidak?" kata Jack. "Kalau berlubang, tidak ada
gunanya bagi kita. Susu perahan kita nanti akan kita biarkan sepanjang hari
dalam ember. Jadi kalau bocor, bisa habis semuanya karena tumpah."
"Tidak, ember itu tidak bocor," kata Peggy. "Aku pernah mengisinya dengan air,
untuk minuman ayam. Ember itu cuma tidak dipakai lagi, karena sudah tua."
"Kalau begitu akan kuambil malam ini," kata Mike.
"Jangan! Biar aku saja," kata Jack. "Kalau kau yang mengambil, nanti
tertangkap." "Kau juga bisa tertangkap," bantah Mike. "Kita bersama-sama saja pergi."
"Kami boleh ikut?" tanya Peggy dan Nora.
"Jangan!" kata Jack dengan cepat "Tidak ada gunanya kita semua berangkat -
karena kalau nanti dilihat orang, bagaimana" Kan sulit melarikan diri!"
"Bagaimana caranya supaya susu kita bisa tetap segar dan dingin, ya?" kata
Peggy. "Hawa di sini panas sekali."
"Nantilah, kubuatkan lubang untuk tempat menaruh ember, dekat salah satu mata
air," kata Jack dengan segera. "Karena air dari sumber itu mengalir mengelilingi ember
sepanjang hari, susu bisa tetap segar dan dingin."
"Kau sangat pintar, Jack!" kata Nora kagum.
"Bukan pintar," kata Jack. "Aku cuma memakai akal sehatku. Setiap orang juga
bisa melakukannya." "Aku capek sekali hari ini," kata Mike sambil merentangkan kedua lengannya.
"Badanku pegal sekali. Repot juga kemarin malam, menarik-narik Daisy yang tidak
mau berjalan!" "Kita bersantai-santai saja dulu hari ini," kata Jack. Ia juga merasa capek.
"Boleh juga kan, sekali-sekali tidak berbuat apa-apa. Kita berbaring-baring
sambil mengobrol dan membaca-baca."
Anak-anak menikmati saat beristirahat hari itu. Tiga kali mereka mandi-mandi di
danau, karena hawa saat itu sangat panas. Nora mencuci kedua lembar handuk besar
yang dibawa Jack di danau. Ketika sudah bersih, dijemurnya di tempat yang
disinari cahaya matahari.
Handuk yang satu untuk Jack dan Mike, sedang yang lainnya untuk Peggy dan Nora.
"Kita makan ikan siang ini," kata Jack, sekembalinya dari memeriksa pancing.
"Ditambah dengan puding," kata Nora, yang sibuk mengaduk-aduk telur dengan susu
dalam panci di atas api. "Laparku saat ini seperti habis bekerja keras membangun pondok sepanjang pagi,"
kata Mike. Siang itu berlalu dengan santai. Mike dan Jack tidur. Nora membaca buku, sedang
Peggy menambal pakaian usang yang dibawa oleh Jack malam sebelumnya. Peggy
merasa bahwa pakaian itu nanti pasti ada gunanya, apabila hawa mulai dingin, ia
ingin bisa mengambil pakaiannya pula, bersama Nora dan Mike.
Ayam-ayam betina berkotek-kotek dalam kandang mereka. Daisy terdengar melenguh
sekali-sekali. Sapi itu rupanya agak merasa kesepian. Tapi walau begitu
kelihatannya sudah bisa menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru di pulau
itu. "Mudah-mudahan saja ia tidak terlalu sering melenguh," kata Peggy dalam hati
sambil sibuk menjahit. "Soalnya kita bisa ketahuan, jika kebetulan ada orang
lewat dengan perahu. Tapi untung saja tempat ini tidak pernah didatangi orang!"
Setelah beristirahat, anak-anak merasa segar kembali. Mereka memutuskan untuk
berjalan-jalan mengelilingi pulau. Sebelumnya ayam-ayam diberi makan dulu.
Setelah itu mereka berangkat
Pulau rahasia mereka itu kecil, namun indah. Pepohonan tumbuh lebat di
sekelilingnya, sampai ke tepi air. Bukit terjal yang terdapat di tengah-tengah
merupakan tempat yang terang dan hangat disinari cahaya matahari. Di situ banyak
sekali liang kelinci. Padang rumput yang terdapat di balik bukit penuh ditumbuhi
bunga liar. Burung-burung berkicau merdu di semak belukar yang ada di mana-mana.
Keempat anak yang berjalan-jalan itu menjengukkan kepala ke dalam gua-gua gelap
yang terdapat di kaki bukit. Tapi mereka tidak sampai masuk ke dalam, karena
saat itu mereka tidak membawa lilin.
"Sekarang kutunjukkan tempat di mana banyak terdapat semak frambus," kata Jack.
Diajaknya teman-temannya ke sisi barat pulau. Di situ nampak belukar tanaman
frambus yang sarat dengan buah, diterangi pancaran sinar matahari yang panas.
"Wah, Jack - buahnya ada yang ranum!" seru Mora dengan gembira. Ia menuding
bercak-bercak merah yang nampak bergelantungan pada semak-semak frambus itu.
Anak-anak menerobos semak menuju tempat itu, lalu mulai memetik buah frambus.
Enak sekali rasanya, manis dan banyak airnya!
"Kita bisa makan buah ini setiap hari, dengan krim," kata Peggy. "Nantilah - aku
akan menyendok krim dari susu sapi kita, dan kita akan makan frambus dengan krim
malam ini. Asyik!" "Hmm!" kata anak-anak yang lain dengan mulut penuh.
"Apakah di pulau ini juga tumbuh arbei liar?" tanya Nora.
"Ada," jawab Jack, "tapi sekarang belum waktunya. Nanti, sekitar bulan Agustus
atau September." "Pulau ini benar-benar menyenangkan," kata Peggy, ia sangat berbahagia. "Kita
punya pondok milik kita sendiri, serta beberapa ekor ayam betina, seekor sapi
perah, buah-buahan liar tumbuh di mana-mana - dan air segar berlimpah-ruah!"
"Sekarang memang nyaman, karena cuaca cerah," kata Jack. "Apabila angin dingin
sudah mulai bertiup, keadaannya takkan begitu menyenangkan lagi! Tapi musim
dingin masih lama." Anak-anak mendaki sisi barat bukit yang sangat berbatu-batu. Mereka sampai di
sebuah batu besar yang terdapat di puncak, lalu duduk di situ. Permukaan batu
itu sangat panas kena sinar matahari. Anak-anak sampai kepanasan. Jauh di bawah
nampak asap biru mengepul. Itu asap api unggun mereka.
"Kita bermain yuk!" ajak Jack. "Kita main..."
Anak-anak yang lain tidak sempat tahu permainan apa yang hendak diusulkan Jack,
karena tiba-tiba anak itu tertegun. Ia meluruskan sikap duduknya, sambil menatap
ke bawah - ke arah. danau yang airnya nampak biru berkilauan. Anak-anak yang
lain ikut memandang ke arah yang sama. Apa yang mereka lihat menyebabkan mereka
sangat terkejut. "Ada perahu dengan beberapa orang!" kata Jack. "Kalian lihat tidak" Itu - di
sana!" "Ya, betul," kata Mike. Mukanya pucat. "Mungkinkah mereka mencari kita?"
"Kurasa tidak," kata Jack beberapa saat kemudian. "Aku rasanya seperti mendengar
bunyi musik - dan orang yang mencari kita takkan melakukannya sambil mendengar
musik. Kemungkinannya mereka pelancong, dari desa di seberang danau."
"Mungkinkah mereka akan mendatangi pulau ini?" tanya Peggy.
"Entah," kata Jack. "Kemungkinan itu ada saja - tapi barangkali hanya akan
sebentar saja mampir. Mereka takkan tahu apa-apa tentang kita, jika kita bisa
menyembunyikan segala jejak bahwa kita ada di sini."
"Kalau begitu kita cepat-cepat saja melakukannya," kata Mike, sambil merosot
turun dari atas batu. "Sebentar lagi mereka akan sudah sampai di sini."
Anak-anak bergegas turun ke pantai. Sesampai di situ dengan segera Jack dan Mike
memadamkan api unggun. Kayu kering yang sudah angus mereka sembunyikan dalam
belukar. Setelah itu mereka menaburkan pasir di atas bekas-bekas api unggun. Segala
barang mereka yang ada di situ disembunyikan.
"Menurutku, Pondok Willow takkan ketahuan," kata Jack. "Pepohonan di sekitarnya
sangat rapat, sehingga pelancong biasa takkan mau repot-repot menerobos ke
dalam." "Tapi bagaimana dengan ayam-ayam kita?" kata Peggy.
"Kita tangkapi, lalu kita masukkan untuk sementara waktu dalam karung," kata
Jack. "Kandang mereka tidak perlu dibongkar. Kurasa takkan ketahuan, karena tempatnya
cukup tersembunyi. Tapi ayam-ayam betina itu tidak boleh sampai berkotek-kotek!"
"Lalu Daisy kita apakan?" tanya Peggy, ia nampak cemas.
"Kita perhatikan dulu, di mana para pelancong itu nanti mendarat," kata Jack.
"Sepanjang pengetahuanku, di pulau ini cuma ada satu tempat pendaratan, yaitu di
pantai kita. Sedang Daisy kita taruh di balik pulau. Jadi kemungkinannya mereka
takkan melihat sapi betina kita itu - kecuali jika mereka nanti keluyuran
melihat-lihat Mudah-mudahan saja itu tidak mereka lakukan!"
"Dan kita sendiri - di manakah kita bersembunyi?" kata Nora.
"Kita nanti mengawasi dari atas bukit, sambil bersembunyi dalam semak pakis,"
kata Jack. "Jika para pelancong itu nanti keluyuran, kita harus berusaha
menghindari mereka dengan jalan menyelinap-nyelinap dalam semak. Kalau kita
bernasib baik, orang-orang itu takkan melihat kita. Satu hal sudah jelas - jika
mereka memang pelancong, mereka takkan mencari kita. Mereka malah sama sekali
tak mengira bahwa di pulau terpencil ini ada orang!"
"Bagaimana jika mereka menemukan barang-barang kita yang disimpan dalam rongga
di tengah akar pohon?" kata Nora, sambil ikut membantu menangkapi ayam-ayam yang
ribut berkotek-kotek. "Peggy! Tolong kumpulkan rumput semak dan daun pakis, lalu sumpal mulut rongga
kita itu," kata Jack. Dengan segera Peggy lari mengambil rumput dan pakis,
sementara Jack memasukkan ayam-ayam betina ke dalam karung, yang kemudian
dibawanya lari mendaki bukit ia menuju ke balik bukit, mendatangi salah satu gua
yang ada di situ. ia mengenal tempat itu.
"Nora!" seru Jack pada Nora yang mengikutinya. "Ayam-ayam kita akan kulepaskan
dalam gua ini. Tolong jagakan, jangan sampai ada yang keluar!"
Ayam-ayam betina itu bertemperasan ke luar, masuk ke dalam gua. Mereka ribut
berkotek karena ketakutan dan bingung. Nora duduk di ambang gua, sambil
menyembunyikan diri di balik semak pakis yang tumbuh di situ. Tidak ada ayam
yang bisa keluar selama anak perempuan itu merintangi jalan.
"Perahu itu mengitar," bisik Jack, ia menyibakkan semak pakis yang tumbuh di
puncak bukit, lalu memandang ke arah danau. "Mereka tidak bisa menemukan tempat
yang baik untuk menepi, dan sekarang menuju ke pantai kita! Nah - kalau begitu
Daisy takkan ketahuan, asal mereka tidak keluyuran saja nanti. Mudah-mudahan
saja sapi itu tidak melenguh!"
9. PELANCONG MENDARAT DI PULAU
Nora merunduk di depan mulut gua kecil. Didengarnya suara keenam ayam betina
yang terkurung di dalam. unggas-unggas itu berkotek-kotek pelan sambil mengais-
ngais tanah. Jack berlutut di dekat Nora, sambil mengintip dari sela daun-daun pakis, ia
berusaha melihat, apa yang sedang dilakukan orang-orang yang datang dengan
perahu. "Mike sudah membawa perahu kita ke tempat di mana ada tumbuhan perdu yang
ranting-rantingnya merunduk sampai menyentuh air, lalu menyurukkan perahu kita
itu di bawahnya," kata Jack dengan suara lirih. "Aku tidak tahu di mana ia
sekarang berada, karena aku tidak bisa melihatnya dari sini."
"Mana Peggy?" bisik Nora.
"Di sini," terdengar jawaban pelan. Kepala Peggy tersembul dari tengah semak
pakis yang tumbuh agak di bawah bukit. "He - seram ya, keadaan begini" Mudah-
mudahan saja orang-orang itu cepat pergi lagi dari sini."
Saat itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Datangnya dari arah danau.
"Ini ada tempat yang baik untuk mendarat," kata seseorang.
"Mereka sudah menemukan pantai kita," bisik Jack.
"Tarik perahu ke darat," kata seorang wanita. "Tempat ini indah! Di sini saja
kita makan!" Terdengar bunyi perahu ditarik di atas pasir pantai.
"Kau yang menurunkan bekal makanan kita, Eddie," kata seseorang. "Biar aku yang
membawa radio." "Menurutmu, mungkinkah sudah pernah ada orang datang ke pulau kecil ini?" tanya
seorang laki-laki. "Kurasa belum," kata seseorang lagi. "Daerah sekitar sini sangat terpencil -
jadi menurutku, takkan ada orang pernah kemari."
Ketiga anak yang berada di atas bukit mendengarkan percakapan itu dari tempat
persembunyian mereka di tengah belukar. Para pelancong yang di pantai
mengeluarkan bekal makanan mereka. Saat itu seekor ayam betina mulai berkotek-
kotek. Bunyinya nyaring. Pasti karena bertelur, kata Nora dalam hati.
"Kalian dengar bunyi itu?" tanya salah seorang pelancong. "Bunyinya seperti ayam
betina berkotek!" "Kau ini macam-macam saja, Eddie," kata seorang wanita dengan nada mencemooh.
"Mana mungkin di pulau terpencil begini ada ayam! Pasti itu tadi suara burung."
Jack terkekeh. Ia merasa geli. Masa, bunyi ayam berkotek dikira kicauan burung


Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang merdu! "Tolong kemarikan tempat garam itu," kata salah seorang pelancong. "Terima
kasih! Wah - pulau kecil ini bagus, ya" Misterius, seakan-akan menyimpan rahasia. Bagaimana
kalau kita nanti sehabis makan berjalan-jalan sebentar, untuk melihat-lihat?"
"Setuju!" kata orang yang bernama Eddie.
Anak-anak yang bersembunyi di atas bukit berpandang-pandangan dengan perasaan
kecut. Justru itulah yang dari tadi mereka harapkan tidak akan dilakukan para pelancong
itu! "Mana Mike?" kata Peggy dengan suara lirih. "Mungkinkah ia bersembunyi di dalam
perahu kita?" "Kurasa begitu," bisik Jack. "Kau tidak perlu khawatir tentang dia. Mike bisa
menjaga dirinya sendiri."
"Aduh - sekarang Daisy pula yang melenguh," keluh Peggy, ketika mendengar bunyi
lenguhan sapi betina itu. "ia tahu bahwa sudah saatnya ia diperah."
"Aku kepingin sekali minum susu barang secangkir," kata Jack, ia merasa haus.
Dari arah pantai terdengar salah seorang pelancong berbicara lagi. Kedengarannya
ia heran. "Kalian juga mendengar suara sapi melenguh?"
"Kurasa itu sapi yang ada di salah satu padang rumput, di darat," kata temannya
dengan nada malas. "Kau kan tak mengira ada sapi berkeliaran di pulau kecil ini,
Eddie?" "Entah ya," kata Eddie. Orang itu bingung. "Coba lihat ini! Bukankah yang di
pasir ini kelihatannya seperti jejak kaki?"
Anak-anak menahan napas. Aduh - jangan-jangan memang ada bekas kaki mereka di
pasir. "Dan ini lagi," kata pelancong yang bernama Eddie. "Aku menemukan potongan tali
ini di pantai. Tali kan tidak bisa berjalan sendiri kemari. Dan juga tidak
tumbuh, karena bukan tumbuh-tumbuhan!"
"Ah, kau ini - soal begitu saja kaujadikan seolah-olah misteri besar," kata
temannya. "Itu artinya ada pelancong lain kemari sebelum kita."
"Itu mungkin saja," kata Eddie. "Tapi walau begitu, sehabis makan aku akan
memeriksa pulau ini!"
"Lebih baik kauhidupkan saja radio, Eddie," kata salah seorang temannya. "Aku
sudah bosan mendengarmu mengoceh terus."
Saat berikutnya terdengar bunyi musik yang nyaring. Anak-anak yang bersembunyi
di atas bukit merasa lega. Bunyi musik itu pasti mengalahkan suara kotekan ayam
atau lenguhan Daisy. Jack, Peggy, dan Nora duduk di tengah semak pakis. Mereka takut Perasaan mereka
tidak enak. Mereka tidak menghendaki ada orang lain di pulau rahasia mereka itu.
Dan apakah yang akan terjadi jika para pelancong itu nanti benar-benar
menjelajahi pulau, lalu memergoki mereka" Mora menangis tanpa suara. Air matanya
bercucuran membasahi tangannya. Jack memandang ke arahnya, lalu mendekati.
Dirangkulnya anak yang menangis itu.
"Jangan menangis, Mora," katanya dengan lembut. "Siapa tahu, bisa saja mereka
nanti tidak jadi memeriksa pulau, karena tidak ada waktu lagi. Lihatlah, hari
sudah mulai gelap. Kaulihat awan hitam tebal yang bergerak kemari" Barangkali
saja para pelancong itu mengira hujan sebentar lagi turun, lalu cepat-cepat
pergi dari sini." Mora mengeringkan air matanya, ia mendongak, memperhatikan langit. Memang benar,
ada awan gelap datang. "Nampaknya akan ada badai," kata Peggy, ia merangkak, mendekati Jack dan Nora.
"Aduh, lihatlah! Ada orang mendaki bukit!" kata Nora dengan tiba-tiba. Nyaris
saja ia terpekik karena kaget. "Itu - nampak semak pakis bergerak-gerak! Rupanya
ada salah seorang pelancong naik, hendak mencari kita!"
Wajah ketiga anak itu pucat pasi. Semua memandang ke arah yang dituding Nora.
Benarlah! Mereka melihat semak pakis bergerak-gerak, makin lama makin tinggi. Rupanya ada
orang merayap ke atas bukit. Orang itu tidak nampak, karena terlindung semak
pakis yang lebat. "Jangan bersuara," kata Jack pada Nora, yang memegangnya erat-erat karena
ketakutan. "Tak mungkin ada yang tahu bahwa kita di sini. Tenang, Nora. Nanti kita
menyelinap masuk ke dalam gua, jika orang itu sudah terlalu dekat."
Tanpa berbicara, mereka mengamati semak pakis yang bergerak-gerak karena
dilewati orang yang merayap di situ. Saat itu benar-benar menegangkan perasaan.
Apakah orang itu hendak menyergap mereka"
"Cepat - kalian masuk ke dalam gua," bisik Jack pada Peggy dan Nora. "Kurasa
kalian akan aman di situ. Aku sendiri akan menyelinap turun lewat balik bukit,
lalu naik lagi di belakang orang yang tak kelihatan itu."
Peggy dan Nora menyelinap masuk ke dalam gua. Mereka menyibakkan pakis yang
tumbuh menutupi lubang masuk, karena ingin melihat apakah yang akan dilakukan
oleh Jack. Anak itu sudah mulai bergerak, hendak turun lewat balik bukit. Tapi
saat itu orang yang datang berhenti merangkak. Daun-daun pakis tidak nampak
bergerak-gerak lagi. Aduh! Itu malah lebih menyeramkan, daripada ketika melihat
tumbuh-tumbuhan di lereng bergerak-gerak.
Tahu-tahu ada kepala tersembul dari tengah semak. Nora terpekik.
"Mike!" serunya. "Mike!"
"Ssst! Jangan berteriak, Konyol!" desis Peggy sambil mengguncang-guncang
adiknya. "Nanti didengar para pelancong!"
Untungnya radio para pelancong disetel keras-keras. Karenanya pekikan Nora tidak
terdengar di bawah. Anak-anak memandang Mike dengan gembira. Jadi rupanya ia
yang tadi merayap ke atas, di tengah semak pakis! Benar-benar melegakan. Mike
memandang mereka sambil nyengir, lalu merunduk kembali. Semak pakis kembali
nampak bergerak-gerak, tanda bahwa anak itu sudah merangkak lagi ke atas, menuju
ke gua. "Aduh, Mike - kau ini mengejutkan kami saja," kata Nora. "Kami tadi menyangka
kau salah seorang pelancong, yang datang mengejar kami!"
"Aku tadi sempat melihat mereka dengan jelas," kata Mike, ia duduk di samping
anak-anak yang lain. "Mereka berlima, tiga orang laki-laki dan dua wanita.
Mereka asyik makan-makan di bawah. Banyak sekali makan mereka!"
"Menurutmu, mungkinkah mereka nanti akan memeriksa pulau, seperti yang mereka
katakan tadi?" tanya Peggy cemas.
"Kurasa tidak jadi, karena akan ada badai," kata Mike, ia mendongak,
memperhatikan langit gelap. "Wah - kelelawar sampai sudah mulai muncul sebelum
malam. Lihatlah!" Di langit nampak beratus-ratus kelelawar, beterbangan sambil menyambar-nyambar.
Petang hari yang mendung dan panas itu menyebabkan banyak serangga beterbangan.
Kelelawar yang beratus-ratus itu berpesta pora, memangsa lalat dan kumbang.
Dan kelelawar yang banyak itulah yang menyebabkan para pelancong pergi. Salah
seorang wanita di antara mereka melihat beberapa ekor kelelawar berseliweran di
bawah pepohonan. Wanita itu menjerit.
"Iih - ada kelelawar! Iiih! Aku tak tahan melihat binatang-binatang itu! Aku
takut! Yuk, kita cepat-cepat pergi dari sini!"
"Aku juga tidak suka pada kelelawar!" pekik wanita yang satu lagi. "Binatang
jelek!" "Mereka kan tidak mengapa-apakan kalian," kata seorang laki-laki. "Jangan suka
macam-macam, ah!" "Tapi aku tetap saja takut terhadap binatang-binatang itu," kata salah seorang
wanita. "Aku pergi sekarang juga!"
"Tapi aku masih ingin melihat-lihat pulau ini," kata laki-laki yang bernama
Eddie. "Lain hari sajalah," kata wanita tadi. "Coba lihat langit itu - kelihatannya
sebentar lagi akan ada badai."
"Ya deh - ya deh," kata Eddie dengan sebal. "Kita pergi! Macam-macam saja-masa
kelelawar saja ditakuti!"
Anak-anak yang berada di atas bukit berpandang-pandangan dengan gembira. Para
pelancong itu benar-benar akan pergi. Mereka tidak ketahuan. Bagus!
"Untung ada kawanan kelelawar muncul," bisik Jack. "Bisakah kaubayangkan, ada
orang takut pada binatang-binatang sekecil itu, Nora?"
"Bibi Harriet takut pada mereka," kata Nora. "Aku tidak tahu apa sebabnya. Kalau
menurutku kelelawar malah binatang kecil yang manis, dengan sayap mereka yang
aneh. Pokoknya, mulai sekarang aku senang pada mereka. Mereka menyelamatkan kita,
sehingga tidak jadi ketahuan."
Saat itu terdengar suara Daisy melenguh. Suaranya nyaring.
"Coba kita tadi sudah memerahnya, sebelum para pelancong itu datang!" kata Jack
sambil mengerutkan kening.
"Kalian dengar itu?" kata salah seorang pelancong yang masih ada di pantai. "Itu
bunyi guruh di kejauhan!"
Anak-anak yang mendengarnya cekikikan. Nora menyumpal mulutnya dengan tangan,
untuk mencegah jangan sampai tawanya kedengaran.
"Hebat, Daisy!" kata Mike berbisik-bisik. "Sapi kita itu sekarang pura-pura
menjadi badai, untuk menakut-nakuti orang-orang yang di bawah itu!"
Gelak Nora tersembur ke luar. Jack menumbuknya.
"Jangan ribut," desis anak itu. "Kau ingin kita ketahuan, ya - sementara keadaan
sudah hampir aman?" Kelima pelancong di pantai bergegas masuk ke perahu mereka, yang cepat-cepat
didorong ke air. Anak-anak mendengar bunyi air tersibak direngkuh dayung. Mereka
mengintip dengan hati-hati. Jauh di bawah nampak perahu itu didayung ke tengah
danau. Sementara itu angin sudah mulai bertiup dengan kencang. Permukaan air
danau bergerak-gerak dibuatnya, menyebabkan perahu para pelancong terombang-
ambing. "Cepat!" seru salah seorang wanita dalam perahu itu. "Nanti kita terjebak di
tengah badai. Aduh - ada kelelawar lagi! Aku tidak mau lagi datang ke pulau
jelek ini!" "Syukurlah, kalau begitu!" kata Jack, sambil melambaikan tangan, pura-pura
mengucapkan selamat jalan pada para pelancong.
Anak-anak memperhatikan perahu yang didayung semakin menjauhi pulau. Suara para
pelancong makin lama makin samar dibawa angin. Bunyi terakhir yang mereka dengar
ialah musik dari radio. Akhirnya mereka tidak melihat maupun mendengar apa-apa
lagi di danau. Para pelancong itu sudah pergi.
"Yuk," kata Jack, ia berdiri sambil menggeliat. "Kita tadi nyaris saja ketahuan.
Untung saja mereka tidak melihat barang-barang kita yang ada di bawah."
"Betul, kecuali jejak kaki serta potongan tali tadi," kata Mike.
"Ya," kata Jack dengan serius. "Mudah-mudahan saja laki-laki yang bernama Eddie
tidak membaca berita tentang empat anak yang melarikan diri! Kalau itu terjadi,
bisa gawat kita - karena ada kemungkinan bahwa ia kemudian menarik kesimpulan
bahwa kita ada di sini, berdasarkan pada apa yang didengar dan dilihat olehnya
tadi. Jadi kita harus waspada terhadap kemungkinan itu. Kita harus mengatur
rencana untuk menghindari kemungkinan ditemukan, apabila ada orang datang
mencari kita kemari."
Bunyi guruh terdengar kembali di kejauhan. Jack berpaling, menatap ketiga
kawannya. "Sekali ini, itu bukan suara Daisy melenguh!" katanya sambil nyengir. "Yuk,
sebentar lagi akan ada badai. Banyak yang harus kita lakukan. Aku akan menjemput
Daisy, untuk memerah susunya. Mike, kau dan Nora pergi menangkap ayam-ayam kita,
lalu bawa kembali ke kandang mereka. Mike, tolong buatkan tempat bernaung untuk
mereka, ya. Ambil beberapa karung, lalu kaujadikan semacam atap dengan beberapa
ranting yang kaucocokkan ke tanah. Peggy, coba kaunyalakan api, sebelum hujan
turun!" "Siap, Kapten!" seru ketiga anak itu dengan gembira. Mereka merasa senang,
karena hanya mereka berempat saja yang kini berada di pulau mereka!
Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net 10. MALAM BADAI DI PONDOK WILLOW
Sebentar lagi memang akan ada badai besar. Langit sangat gelap, sehingga saat
itu seakan-akan sudah malam. Nora dan Mike menangkapi ayam-ayam betina yang
ditaruh dalam gua kecil. Keenam ternak unggas itu mereka masukkan dengan
berhati-hati ke dalam karung, lalu dibawa sambil lari ke kandang. Mike
menancapkan beberapa ranting pohon willow ke tanah pada salah satu sisi kandang
itu, lalu membentangkan karung di atasnya.
"Nah - kalian sekarang sudah punya tempat bernaung, ayam-ayam!" kata Nora.
Saat itu hujan mulai turun. Tetesannya yang besar-besar mengejutkan keenam ayam
betina itu, sehingga mereka berkotek-kotek ketakutan. Dengan segera mereka lari
bersembunyi di bawah naungan atap karung lalu berbaring diam-diam di situ,
sambil sekali-sekali saling menotok.
"Nah, urusan ayam sudah selesai," kata Mike. "Aku ingin tahu, bagaimana Peggy
dengan usahanya menyalakan api."
Peggy mengalami kesulitan dengannya, karena hujan yang kini sudah turun dengan
lebat menyebabkan ia tidak bisa menyalakan api. Jack yang datang sambil menuntun
Daisy, berseru padanya, "Sudahlah, jangan kauteruskan! Hujan begini lebat, takkan mungkin kau masih bisa
menyalakannya! Ayo, semua masuk ke Pondok Willow, sebelum basah kuyup!"
"Biar anak-anak perempuan saja yang masuk," kata Mike sambil menyongsong Jack
untuk membantunya. "Aku akan mengambil tempat-tempat untuk menampung susu yang
kauperah nanti. - Wah, susu perahan tadi pagi belum habis kita minum!"
"Tuangkan saja ke basi, lalu taruh di kandang ayam," kata Jack. "Mungkin ayam-
ayam kita mau meminumnya!"
Di tengah hujan lebat, Jack memerah Daisy. Dengan cepat semua panci, ketel dan
basi sudah penuh dengan susu. Repot rasanya kalau harus terus memerah dengan
cara begini, kata Jack dalam hati. ia bertekad akan mengambil ember susu yang
tak dipakai lagi, yang menurut Peggy dan Nora ada di pertanian bibi mereka.
Selesai memerah, Jack membawa Daisy kembali ke padang rumput di balik pulau.
Sedang Mike masuk ke Pondok Willow, di mana kedua saudaranya sudah berada. Dalam
pondok itu gelap gulita. Bunyi air hujan yang menetes dari pepohonan memberi
kesan murung. Mike duduk bersama Peggy dan Nora di bagian depan pondok. Mereka menunggu Jack
di situ. Tubuh Mike basah kuyup. Ia menggigil kedinginan.
"Kasihan Jack, ia pasti juga basah kuyup," katanya. "Coba raba tempat susu ini.
Hangat, ya" Yuk, kita minum sedikit, supaya badan kita menjadi hangat. Kita
tidak bisa memasaknya, karena tidak ada api."
Tidak lama kemudian Jack datang. Pakaiannya basah sama sekali. Tapi ia tetap
nyengir, seperti biasanya. Nampaknya tidak pernah ada sesuatu yang bisa
mengurangi keriangan perasaannya.
"Halo, halo!" sapanya. "Badanku basah, seperti ikan! He, Peggy - di mana
kautaruh pakaianku yang kemarin malam kubawa kemari?"
"O ya!" seru Peggy dengan gembira. "Tentu saja! Kau dan Mike bisa menukar
pakaian kalian yang basah dengan yang itu!"
"Tapi Jack kan cuma membawa tiga rompi tua, beberapa kemeja serta sebuah mantel
panjang," kata Mike sangsi.
"Begini sajalah," kata Jack. "Kita masing-masing memakai selembar rompi dan
kemeja, lalu aku mengenakan mantel dan kau membungkus tubuhmu dengan selimut
usang yang kubawa itu, Jack!"
Kedua anak laki-laki itu menanggalkan pakaian mereka yang basah, lalu buru-buru
mengenakan pakaian kering.
"Nanti begitu hujan sudah berhenti, akan kugantung pakaian kalian di luar supaya
kering," kata Peggy, ia memeras pakaian Jack dan Mike yang basah kuyup.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa di sini," kata Mike dalam gelap. Kancing kemeja
yang dipakainya keliru dipasang olehnya.
"Nyalakan lentera dong, Konyol," kata Jack. "Menurutmu, untuk apa kita berbekal
lilin" Cari lentera kita, Nora, lalu nyalakan. Mungkin lilin di dalamnya perlu diganti.
Kau kan masih ingat di mana kau menaruh bekal lilin kita" Itu - di pojok sebelah
sana!" Nora mencari-cari dalam gelap. Tidak lama kemudian lentera berhasil ditemukan
olehnya. Lilin di dalamnya memang sudah perlu diganti dengan yang baru. Nora menemukan
sekotak korek api. Dengan sebatang korek api dinyalakannya lilin. Mike
menggantungkan lentera itu pada sebatang paku yang dipakukannya ke atap. Lentera
itu terayun-ayun di atas kepala anak-anak. Cahayanya remang-remang, tapi memberi
suasana gembira bagi anak-anak yang ada dalam pondok itu.
"Sekarang rasanya benar-benar seperti di rumah," kata Nora dengan senang. "Aku


Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senang, karena di sini nyaman. Tidak ada air hujan masuk menembus atap atau
dinding." "Angin juga tidak masuk," kata Jack. "Itu bukti bahwa kita cukup rapi menyumpal
dinding dengan rumput dan pakis. Dengarlah, bunyi angin bertiup di luar. Aku
tidak kepingin berada di luar saat ini! Gntung kita punya Pondok Willow! Tempat
tidur kita yang di luar pasti tidak akan nyaman ditiduri malam ini!"
Badai mengamuk di atas kepala. Guntur terdengar bertalu-talu. Kedengarannya
seolah-olah ada yang sedang sibuk menggeser-geser perabot berat di langit.
"Wah! Ada yang menjatuhkan lemari rupanya!" kata Jack, ketika ada guntur
mendentum dengan keras sekali.
"Dan itu piano besar yang jatuh berguling-guling di tangga!" kata Mike,
menyambut bunyi gemuruh. Anak-anak tertawa. Gemuruh bunyi badai yang sedang
mengamuk memang kedengaran seperti ada yang sedang melempar-lemparkan perabotan
raksasa di langit. Kilat sambar-menyambar, menerangi ruangan sebelah dalam Pondok Willow. Nora
tidak begitu suka melihat nyala, terang yang selalu muncul secara mengejut itu.
Ia merapatkan diri pada Mike.
"Aku agak ngeri," katanya.
"Jangan konyol, ah!" kata Mike. "Kau ini sama saja seperti kedua wanita
pelancong tadi sore, dengan ketakutan mereka terhadap kelelawar! Apa sih, yang
kautakuti" Badai kan hebat! Kita di sini aman."
"Badai kan cuma cuaca berisik!" kata Jack sambil tertawa. "Sudahlah, jangan
takut, Nora! Kita tidak akan apa-apa di sini. Kau boleh mengucap syukur bahwa
kau bukan Daisy. Kita tahu bahwa yang berisik ini cuma badai, tapi sapi betina kita itu tidak
tahu." Anak-anak berkelakar tentang bunyi guntur dan kilat yang menyambar bertalu-talu.
Setiap dentuman mereka katakan perabot berat yang berpelan-tingan di langit. Dan
setiap kali ada kilat menyambar, Jack selalu berkata, "Terima kasih! Langit
tidak henti-hentinya menyalakan korek api, tapi nyalanya selalu dipadamkan
hembusan angin!" Bahkan Nora pun ikut tertawa mendengar lelucon itu. Dengan segera ia sudah
melupakan rasa takutnya tadi. Hujan turun menderu-deru. Satu-satunya yang
dikhawatirkan oleh Jack adalah kemungkinan air hujan akan mengalir masuk ke
pondok dan membasahi tanah tempat mereka duduk. Tapi kekhawatirannya tidak
beralasan. Air hujan sama sekali tidak masuk ke dalam.
Lambat laun badai reda kembali. Hanya bunyi tetesan air hujan yang jatuh dari
pepohonan saja yang masih terdengar. Bunyinya seperti lagu. Lagu yang basah!
Bunyi guntur kian menjauh. Kilat menyambar untuk terakhir kalinya. Badai sudah
berlalu. "Sekarang kita makan sedikit serta minum susu secangkir, lalu sesudah itu
tidur," kata Jack. "Sudah cukup keasyikan kita untuk hari ini! Aku serta Mike
kemarin malam begitu larut baru bisa tidur. Aku yakin, ia sudah mengantuk sekali
sekarang. Kalau aku sendiri, sudah pasti!"
Peggy menyiapkan makanan sekedarnya untuk mereka semua. Keempat anak itu minum
susu segar yang baru diperah tadi. Setelah itu Peggy dan Nora masuk ke bagian
belakang pondok, lalu merebahkan diri di atas rumput padang empuk yang terhampar
di situ. Sedang Jack dan Mike merebahkan diri di ruang depan. Setengah menit
kemudian semuanya sudah tidur lelap!
Keesokan paginya mereka dibangunkan kembali oleh suara lenguhan Daisy. Aneh
rasanya bangun tidur dalam Pondok Willow, dan bukan di tempat tidur mereka yang
di luar, di tengah semak belukar dan beratapkan langit terbuka. Anak-anak
mengejap-ngejapkan mata, memandang langit-langit ruangan yang hijau, karena
dedaunan sementara itu sudah bermunculan pada ranting-ranting yang dijalinkan
membentuk langit-langit di atas kepala. Ruangan dalam pondok remang-remang.
Pintu saat itu tertutup, sedang jendela sama sekali tidak ada. Menurut Jack,
membuat jendela akan terlalu sukar bagi mereka.
Kecuali itu jika ada jendela, nanti terlalu banyak angin dan hujan masuk ke
dalam. Karena itu pondok mereka agak gelap dan pengap apabila pintu ditutup. Tapi tidak
ada yang meributkan soal itu. Anak-anak malah beranggapan bahwa itu semakin
menambah keasyikan! Anak-anak berlarian ke luar pondok lalu memandang berkeliling. Kecuali Nora!
Anak itu tetap berbaring dengan malas sambil memandang langit-langit yang hijau,
ia menikmati keempukan rumput yang menjadi alas tempatnya berbaring. Alangkah
enaknya bau Pondok Willow, katanya dalam hati. ia memang selalu paling lambat
bangun. "Nora! Kalau kau tidak keluar sekarang, nanti tidak punya waktu lagi untuk mandi
di danau sebelum sarapan," seru Peggy. Dengan segera Nora bergegas lari ke luar.
Alangkah indahnya pagi itu! Cuaca badai sudah menyingkir, meninggalkan
lingkungan yang bersih, seperti baru dicuci. Bahkan langit yang biru cerah pun
nampak seperti habis dicuci.
Air danau biru sekali nampaknya, sebiru langit. Air masih bertetesan dari
pepohonan, sisa hujan lebat malam sebelumnya. Rumput dan semak rendah terasa
lembab dipijak. "Dunia kelihatannya seperti baru," kata Mike. "Seakan-akan baru pagi ini
diciptakan! Yuk- kita mandi-mandi!"
Keempat anak itu terjun ke dalam danau. Mike dan Jack bisa berenang. Jack bahkan
sangat pandai. Geraknya dalam air sangat gesit. Peggy bisa sedikit-sedikit, tapi
Nora belum bisa. Jack berusaha mengajarinya. Tapi Nora anak yang penakut, ia
tidak mau masuk ke tempat yang lebih dalam.
Peggy yang paling dulu keluar dari air, karena hendak menyiapkan sarapan. Tapi
ketika sampai di pantai, ia hanya dapat memandang berkeliling dengan jengkel.
"Coba lihat ini!" serunya. "Para pelancong yang kemarin itu mengotori pantai
kita!" Anak-anak yang lain bergegas keluar dari dalam danau yang dingin airnya. Sambil
mengeringkan tubuh dengan handuk mereka memandang berkeliling di pantai mereka
yang kecil, yang selama itu selalu bersih dengan pasirnya yang putih kemilau.
Tapi kini keadaannya berubah sama sekali! Di mana-mana nampak kulit jeruk
berserakan. Kulit pisang yang coklat karena sudah layu dan basah kena hujan nampak tercampak
sembarangan. Sebuah kaleng bekas tempat buah pir, dan dua kardus tempat krim
yang sudah kosong tergeletak di atas pasir. Koran yang tercabik-cabik oleh angin
nampak melayang-layang. Sebuah kotak rokok melengkapi sampah yang berserakan.
Anak-anak sangat marah. Pantai mungil itu kepunyaan mereka, dan mereka sayangi.
Mereka selalu berhati-hati agar jangan sampai mengotori tempat itu. Sisa makanan
selalu mereka singkirkan baik-baik. Tapi kini sekawanan pelancong sembrono yang
hanya sekali saja mampir di situ untuk berpiknik, menyebabkan pantai rapi itu
berubah rupa - menjadi tempat sampah yang jorok!
"Padahal mereka sudah dewasa!" kata Jack dengan sebal. "Mereka seharusnya kan
tahu aturan. Kenapa tidak mereka bawa pergi sampah mereka?"
"Orang yang suka meninggalkan sampah di tempat-tempat indah seperti ini adalah
orang yang jorok!" kata Peggy sengit, ia nyaris menangis karena jengkel. "Orang
baik-baik takkan berbuat begini. Kepingin rasanya memasukkan orang-orang seperti
itu ke dalam tong sampah, lalu menimbun mereka dengan segala sampah kotor mereka
- lalu tutup tong kuhenyakkan keras-keras di atas kepala mereka!"
Anak-anak yang lain tertawa, karena ucapan Peggy itu kocak sekali kedengarannya.
Tapi semua merasa marah, melihat pantai mereka dikotori.
"Kubereskan saja segala sampah ini, lalu kubakar," kata Mike.
"Tunggu dulu!" kata Jack. "Mungkin di antaranya ada sesuatu yang berguna bagi
kita." "Apa" Kulit pisang dan jeruk yang sudah keriput?" seru Mike. "Kau kan tidak
berniat membuat puding dengan sampah itu, Jack!"
"Bukan begitu," kata Jack sambil nyengir, "tapi jika kaleng, karton, dan kotak
rokok itu kita simpan di dalam lemari gua kita, nanti kalau ada orang lain
datang barang-barang itu kita letakkan di pantai. Jadi apabila orang yang datang
itu menemukan bekas-bekas api unggun kita, atau mungkin juga sepotong tali atau
benda lain seperti itu - nah, mereka lantas takkan berniat mencari kita, karena menyangka bahwa sampah
itu ditinggalkan oleh pelancong lain!"
"Itu ide yang bagus, Jack!" seru anak-anak yang lain.
"Kau memang pandai memikirkan gagasan cerdik," kata Peggy, yang sementara itu
sudah sibuk menyalakan api. Derak-derik nyalanya enak didengar, karena semua
sudah lapar. Peggy menuangkan susu untuk dimasak, ia hendak membuat minuman coklat dengannya.
Mike memungut kotak rokok, kaleng bekas buah, serta salah satu kardus bekas
tempat susu. Kardus dan kaleng dicucinya di danau, lalu ketiga benda itu
disimpan dalam rongga di bawah akar. Siapa tahu, mungkin kapan-kapan ada
gunanya! Nora datang dengan lima butir telur untuk sarapan. Peggy menggorengnya dengan
ikan danau yang dipancing oleh Jack. Bau gorengan itu sedap sekali.
"Wah - nyaris saja aku lupa. Daisy masih harus diperah susunya!" kata Jack, ia
makan cepat-cepat. Tiba-tiba Nora terpekik. Ia menuding ke belakang Jack. Jack berpaling, ia
tercengang, karena melihat Daisy berjalan mendatanginya!
"Kau tidak datang pada waktunya untuk memerah, jadi ia saja yang datang kemari!"
kata Peggy geli. "Hebat, Daisy! Bayangkan, ia tahu jalan!"
11. NORA MENGALAMI KESULITAN
Nampaknya selalu saja banyak pekerjaan yang harus dilakukan setiap hari di pulau
itu. Daisy harus diperah. Ayam-ayam petelur harus diurus. Pancing-pancing harus
dipasangi umpan dan diperiksa beberapa kali sehari. Nyala api harus dijaga,
jangan sampai padam. Hidangan makanan harus disiapkan, lalu piring dan mangkuk kotor harus dicuci.
Pondok Willow harus dibersihkan setiap hari. Aneh, cepat sekali, tempat itu akan
nampak acak-acakan, walau keempat anak itu hanya satu jam saja berada di
dalamnya. "Aku akan memerah Daisy setiap pagi, sedang Mike melakukannya setiap sore," kata
Jack saat sarapan pada suatu pagi. "Nora, kau yang mengurus ayam-ayam kita.
Tugasmu bukan saja memberi makan dan minum serta mengumpulkan telur, tapi kau
juga harus memperhatikan keadaan pagar kandang. Jangan sampai ayam-ayam mematuk
ke luar rumput yang kita sumpalkan pada lubang-lubang yang ada di situ. Jangan
sampai kita kehilangan ayam!"
"Lalu apa tugas Peggy?" tanya Nora.
"ia melakukan tugas yang selebihnya," kata Jack. "Mengawasi api, menyiapkan
hidangan, serta membereskan setelah kita selesai makan. Aku yang mengurus
pancing-pancingku. Dan ada baiknya jika sekali-sekali seorang dari kita naik ke
atas bukit, untuk melihat apakah ada pelancong datang. Rencana kita waktu itu
berjalan baik-tapi kita beruntung, masih sempat melihat perahu itu datang. Coba
kita tidak melihatnya - pasti akan sudah ketahuan!"
"Bagaimana jika kukeluarkan saja perahu dari tempat di mana aku waktu itu
menyembunyikannya?" kata Mike sambil meneguk habis minuman coklatnya.
"Jangan," kata Jack melarang. "Lebih baik perahu itu selalu kita sembunyikan,
kecuali saat kita memerlukannya. Sekarang aku akan memerah Daisy!"
Jack pergi. Tidak lama kemudian anak-anak yang lain mendengar bunyi yang
menyenangkan. Bunyi susu segar memancar ke dalam panci. Mereka masih belum punya ember susu.
Mike dan Jack berniat pergi mengambil malam itu juga! Memerah susu dengan panci
dan ketel sebagai tempat menampung, rasanya merepotkan!
Peggy membereskan bekas sarapan, lalu pergi mencuci piring. Nora hendak
membantunya, tapi kata Peggy lebih baik adiknya itu memberi makan ayam.
Karenanya Nora lantas pergi sambil mengeluarkan suara kotekan yang sudah dikenal
ayam-ayam betina itu. Mereka lari menyongsongnya, begitu anak itu melangkahi
pagar kandang mereka. Nora menebarkan biji jagung. Ayam-ayam itu makan berebut-rebut sambil mengais-
ngais tanah. Nora juga menuangkan air untuk minuman mereka. Setelah itu
diperhatikannya keadaan pagar. Nampaknya beres!
Tapi Nora hanya melihat sambil lalu saja, karena ia ingin pergi mendatangi semak
frambus di lereng bukit, untuk melihat apakah sudah ada buahnya yang ranum. Coba
ia memperhatikan keadaan pagar dengan lebih teliti seperti yang seharusnya
dilakukan olehnya, ia pasti melihat lubang yang lumayan besarnya di situ, karena
rumput dan pakis yang semula menyumpal sudah habis dipatuk ayam. Tapi Nora tidak
melihat lubang itu. Diraihnya keranjang yang dibuat Peggy dari ranting-ranting halus, lalu pergi.
"Kau hendak mencari frambus, Nora?" seru Peggy.
"Ya!" jawab Nora.
"Kalau begitu petik sebanyak mungkin - nanti kita jadikan hidangan makan siang,
dengan krim!" seru Peggy lagi. "Jangan kauhabiskan semua!"
"Bantu aku dong!" teriak Nora. Ia tidak begitu senang, disuruh memetik frambus
untuk mereka berempat. "Aku masih harus mengambil air di sumber," balas Peggy sambil berseru, "dan
setelah itu aku ingin menambal pakaian."
Jadi Nora pergi sendiri ke lereng bukit, ia menemukan semak frambus yang kemarin
tidak dilihatnya. Banyak sekali buahnya yang sudah ranum. Gadis cilik itu makan
dulu sekenyang-kenyangnya. Setelah itu barulah ia mengisi keranjangnya dengan
buah-buahan hutan yang manis dan banyak airnya itu. ia mendengar Jack membawa
Daisy kembali ke padang rumput di balik pulau, ia mendengar Mike bersiul-siul
sambil memotong ranting-ranting pohon willow, supaya ada persediaan tonggak
apabila diperlukan. Semua sibuk bekerja dengan riang.
Nora duduk di tempat yang terang, ia menyandarkan punggung ke sebuah batu yang
mencuat di lereng bukit. Batu itu terasa hangat kena sinar matahari. Nora merasa
sangat berbahagia. Danau yang terbentang di bawah nampak sangat biru airnya.
Nora bersantai-santai menikmati sinar matahari yang hangat, sampai didengarnya
suara Mike memanggil-manggil,
"Nora! Nora! Di mana kau" Lama sekali kau pergi!"
"Aku datang!" seru Nora, ia berjalan menembus semak frambus, mengitari sisi
bukit, merintis belukar, menuju pantai kecil di mana anak-anak yang lain berada.
Api unggun sudah dinyalakan oleh Peggy, yang saat itu sedang memasak kelinci
hasil tangkapan Jack. "Mana frambusnya?" tanya Jack. "Wah, sekeranjang penuh! Bagus! Sekarang coba
kausendok krim dari susu yang ada dalam basi yang di sana itu, Nora. Masukkan
dalam botol, lalu bawa kemari. Kurasa krim itu akan cukup banyak untuk kita
semua." Tidak lama kemudian mereka sudah menikmati hidangan makan siang. Peggy memang
pandai memasak. Tapi yang paling sedap adalah hidangan buah frambus manis yang
dituangi krim kental berwarna kuning segar! Anak-anak melahap hidangan itu
dengan nikmat! "Tenang sekali ayam-ayam kita hari ini," kata Jack sambil menyendok sisa
krimnya. "Sejak mulai makan tadi aku sama sekali tidak mendengar suara mereka berkotek!"
"Mereka tidak apa-apa, 'kan?" kata Peggy was-was.
"Kulihat saja sebentar," kata Mike, ia meletakkan piringnya ke tanah, lalu pergi
ke kandang ayam. Sesampainya di situ ia celingukan. Diangkatnya karung yang
terbentang pada beberapa tonggak di salah satu sudut untuk tempat bernaung ayam-
ayam itu. Tapi sama sekali tidak ada seekor ayam pun di situ!
"Mereka baik-baik saja?" seru Jack dari pantai.
Mike berpaling dengan kecut.
"Tidak!" balasnya berseru. "Mereka tidak ada di sini. Ayam-ayam kita lenyap!"
"Lenyap"!" teriak Jack kaget, ia cepat-cepat berdiri. "Mana mungkin"! Mereka
mesti ada di situ!" "Tidak! Mereka hilang!" kata Mike. "Kotekannya pun tidak ada lagi!"
Anak-anak yang lain bergegas lari ke kandang ayam. Semua memandang dengan heran
bercampur takut, melihat kandang yang kosong.
"Mungkinkah tadi ada orang kemari, lalu mengambil mereka?" kata Peggy.
"Tidak!" tukas Jack. "Coba lihat ini! ini alasannya, kenapa ayam-ayam kita
menghilang!" Ditudingnya sebuah lubang yang terdapat pada pagar kandang itu.
"Lihatlah lubang itu! Mereka minggat lewat situ - dan sekarang entah di mana
mereka berada!" "Aku tidak mendengar mereka pergi tadi," kata Peggy. "Tadi kan cuma aku sendiri
yang ada di sini. Mestinya mereka keluar ketika aku pergi mengambil air!"
"Kalau begitu lubang itu mestinya sudah ada ketika Nora memberi makan pada
mereka tadi pagi," kata Jack. "Kau ini bagaimana, Nora" Kenapa kau begitu
ceroboh" Bukankah tadi kukatakan bahwa kau harus memeriksa pagar ini dengan
seksama setiap kali kau memberi makan ayam, untuk meyakinkan bahwa semuanya
masih beres" Dan ini, baru saja sekali kau melakukan tugas itu, sudah kaubiarkan
ayam-ayam kita lari! Kau memang keterlaluan!"
"Padahal ayam-ayam itu berharga sekali untuk kita," keluh Peggy.
Nora menangis. Tapi anak-anak yang lain tidak merasa kasihan padanya. Mereka


Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat kecewa karena kehilangan ternak petelur itu. Mereka mulai mencari di
sekitar situ, karena siapa tahu, mungkin saja ayam-ayam itu bersembunyi tidak
jauh dari kandang mereka.
Mora menangis semakin keras. Akhirnya Jack hilang kesabarannya.
"Hentikan kecengenganmu itu! Seperti bayi saja, merengek-rengek!" tukasnya.
"Tidak bisakah kau ikut mencari?"
"Kau tidak boleh bicara begitu padaku!" kata Mora sambil menangis.
"Aku bicara padamu semau hatiku," balas Jack. "Aku kapten di sini, dan kau harus
mematuhi perintah. Jika seorang dari kita berbuat ceroboh, semuanya akan
menderita karenanya - dan aku tidak suka hal itu terjadi! Ayo, berhenti menangis
dan bantu kami mencari ayam-ayam itu!"
Kini Mora ikut mencari. Tapi tangisnya tidak berhenti, ia merasa sedih dan malu.
Tidak enak rasanya apabila semua marah padanya, dan tidak mau berbicara
dengannya. Air mata Mora bercucuran, sehingga sukar baginya untuk melihat.
"Yah, mereka tidak ada di sekitar sini," kata Jack kemudian. "Sebaiknya sekarang
kita memencar, berusaha menemukan mereka. Mungkin mereka berkeliaran di balik
pulau. Kita mencari di tempat yang berlain-lainan. Kau ke sana, Peggy, sedang
aku akan mencari di tempat Daisy."
Keempat anak itu memencar. Masing-masing pergi mencari ke arah yang berbeda,
sambil berseru-seru memanggil ayam-ayam dengan suara lantang. Mora mencari ke
arah yang ditentukan oleh Jack. Ia juga berjalan sambil memanggil-manggil. Tapi
tidak ada ayam yang datang. Di manakah ternak itu"
Sibuk sekali mereka siang itu, mencari ayam-ayam yang hilang! Benar-benar aneh -
kenapa tidak seekor pun bisa ditemukan. Jack bingung karenanya. Keenam unggas
itu tidak ada di bukit. Mereka juga tidak ada di dalam gua kecil tempat mereka
disembunyikan oleh Jack sehari sebelumnya. Anak itu memeriksa ke sana, tapi
ayam-ayam itu ternyata tidak ada di tempat itu. Mereka juga tidak ada di dalam
semak frambus. Mereka tidak ada di lapangan tempat Daisy merumput. Di bawah
belukar juga tidak ada. Keenam ayam itu seakan-akan menghilang dengan begitu
saja! Semakin sore, perasaan Nora semakin bertambah gundah, ia merasa tak mampu
menghadapi anak-anak yang lain, apabila ayam-ayam itu tidak ditemukan. Nora
membuat lubang persembunyian di tengah semak pakis yang lebat lalu meringkuk di
situ, sambil memperhatikan yang lain-lain kembali ke perkemahan untuk makan
malam. Mereka sudah lapar sekali, karena tidak sempat makan sore. Mereka juga
sangat haus, karena tidak minum selama mencari. Nora juga haus dan lapar - tapi
ia tidak berani menggabungkan diri dengan yang lain-lain saat itu. Tidak - lebih
baik ia tetap tinggal di tempatnya seorang diri, daripada duduk bersama Mike,
Jack, dan Peggy yang pasti masih marah.
"Yah - ayam-ayam kita lenyap!" kata Mike ketika menggabungkan diri kembali
dengan Jack, menuruni bukit menuju pantai.
"Aneh!" kata Jack. "Mustahil mereka terbang dari pulau ini."
"Kejadian ini benar-benar tidak enak," kata Peggy. "Kita memerlukan telur mereka
sebagai pelengkap makanan kita."
Mora duduk seorang diri di tengah semak pakis, ia bermaksud akan tidur di situ
malam itu. Perasaannya sedih. Rasanya tak mungkin bisa bahagia lagi.
Anak-anak yang lain duduk mengelilingi api, sementara Peggy menyiapkan minuman
coklat susu serta membagi-bagikan puding yang dibuatnya dari beras. Mereka
bertiga agak bingung, karena Mora tidak muncul-muncul.
"Sebentar lagi pasti kembali," kata Peggy menduga.
Ketiga anak itu makan tanpa banyak berbicara. Tidak lama kemudian mereka
mendengar bunyi yang sangat menyenangkan. Ya - mereka mendengar suara berkotek-
kotek! Suara itu sesaat kemudian disusul oleh keenam ekor ayam betina, yang
berjalan dengan tenang ke pantai! Ketiga anak yang ada di situ hanya bisa
memandang sambil melongo!
"Ke mana saja kalian tadi, ayam-ayam bandel?" seru Jack. "Kami sampai setengah
mati mencari!" "Kokkokkokpetok," jawab seekor ayam dengan bahasanya sendiri. Berkotek-kotek!
"Ya, ya - kalian tahu sekarang sudah waktunya kalian mendapat makan, dan karena
itu kalian datang," kata Jack, ia menoleh ke arah Mike dan Peggy. "He, bagaimana
jika mereka ini setiap hari kita lepaskan dari kandang - ah, lebih baik jangan!
Itu tidak bisa, karena nanti mereka bertelur di sembarang tempat!"
"Kuberi makan saja mereka sekarang," kata Peggy, ia menaburkan biji jagung.
Ayam-ayam itu mematuk-matuk makanan mereka itu dengan lahap. Mereka diam saja
ketika setelah itu Mike dan Jack memasukkan mereka ke dalam kandang yang sudah
dibetulkan pagarnya. Keenam ayam betina itu bertengger dengan perasaan puas di
tenggeran yang dibuatkan di satu sudut.
"Kita harus memberi tahu Nora bahwa ayam-ayam sudah kembali," kata Jack. Ketiga
anak itu naik ke lereng bukit sambil memanggil-manggil.
"Nora! Nora! Di mana kau?"
Tapi Nora tidak mau menjawab! Anak itu semakin meringkuk di tengah pakis. Mudah-
mudahan saja aku tidak mereka temukan, harapnya dalam hati. Tapi tahu-tahu Jack
melihatnya meringkuk di situ.
"Ah - di situ kau rupanya!" seru Jack dengan gembira. "Ayam-ayam kita sudah
kembali semua, Nora! Rupanya mereka tahu bahwa sekarang sudah saatnya mereka
diberi makan! Yuk - kau masih harus makan. Kami sengaja menyisakan untukmu."
Mora mengikuti Jack, kembali ke pantai. Peggy mencium adiknya sambil berkata,
"Kau tidak perlu lagi cemas. Urusannya sudah beres. Ayam-ayam kita sudah kembali
dengan selamat." "Bagaimana jika aku saja yang mengurus mereka setiap hari, menggantikan Mora?"
tanya Mike pada Jack. Tapi yang ditanya menggeleng.
"Jangan," kata Jack. "Itu tugas Mora - dan lihat saja nanti, mulai sekarang ia
pasti akan melakukannya dengan baik sekali. Ya kan, Mora?"
"Ya, aku berjanji, Jack," kata Mora sambil makan puding. Perasaannya kini sudah
jauh lebih enak. "Aku menyesal, kenapa tadi begitu ceroboh."
"Sudahlah, jangan kaujadikan pikiran," kata anak-anak yang lain serempak. Mereka
mengatakannya dengan tulus, karena ketiga-tiganya baik hati dan saling suka-
menyukai. "Tapi aku ingin tahu," kata Peggy, ketika ia sedang mencuci tempat makanan yang
kotor bersama Mora, "di manakah ayam-ayam tadi bersembunyi, sampai kita tidak
bisa menemukan mereka?"
Pertanyaan itu tidak lama kemudian sudah terjawab, karena ketika Mike masuk ke
Pondok Willow untuk mengambil sesuatu, ia melihat tiga butir telur di tengah
rumput kering yang terhampar di situ. Dipungutnya telur-telur itu, lalu
dibawanya lari ke tempat anak-anak yang lain.
"Ayam-ayam cerdik itu tadi rupanya bersembunyi di dalam pondok kita!" serunya
sambil mengangkat ketiga butir telur itu tinggi-tinggi.
"Wah!" kata Jack, ia tercengang. "Bayangkan, kita repot mencari ke mana-mana -
padahal ayam-ayam bandel itu ada di dekat sini!
12. GUA-GUA DI LERENG BUKIT
Hari demi hari berlalu. Anak-anak sudah terbiasa dengan hidup mereka yang
leluasa dan menyenangkan di pulau mereka. Pada suatu malam Jack dan Mike pergi
ke darat dengan perahu. Mereka mengambil ember susu yang sudah tidak dipakai
lagi di pertanian Bibi Harriet, serta sayur-mayur dari dalam kebun. Buah prem
juga sudah banyak yang ranum.
Keduanya memetik buah-buahan itu sampai seember penuh. Peggy dan Nora pasti
senang jika melihat mereka kembali dengannya!
Sekarang akan lebih mudah memerah Daisy, karena sudah ada ember untuk menampung
susu. Peggy membersihkan tempat itu sebelum dipakai, karena kotor sekali. Ember yang
penuh dengan susu perahan ditaruh di tengah mata air yang menyembur dari lereng
bukit dan mengalir ke danau. Air yang sedingin es itu mendinginkan susu sehingga
tidak menjadi masam, walau hari sedang sangat panas.
Jack mengambil kotak-kotak berisi benih yang dibawanya dari pertanian kakeknya.
Kotak-kotak itu ditunjukkannya pada anak-anak yang lain.
"Lihatlah," katanya, "ini benih selada - dan ini benih lobak, mosterd dan
seledri - dan ini benih kacang polong! Saat ini sebenarnya sudah terlambat untuk
menanam kacang, tapi kalau melihat kesuburan tanah di pulau ini, kurasa benihnya
akan cepat sekali tumbuh sehingga tahun ini juga kita masih bisa memetik
buahnya!" "Sedang benih-benih lainnya akan cepat sekali tumbuh," kata Peggy. "Asyik! Dalam
hawa sepanas sekarang ini selada pun akan cepat sekali tumbuh - asal kita rajin
menyirami." "Di mana kita menanamnya?" tanya Mike.
"Sebaiknya di petak-petak kecil, di berbagai tempat," kata Jack. "Soalnya jika
kita membuat petak yang besar sehingga merupakan kebun sayuran, nanti jika ada
orang kemari mencari kita, begitu melihat kebun kita mereka pasti akan tahu
bahwa di sini ada orang! Tapi jika kita menanam sedikit-sedikit secara terpencar, dengan mudah kita bisa
menutupi tanaman kita itu dengan rumput padang, jika ada orang datang kemari!"
"Jack selalu ada saja akalnya," kata Nora. "Aku akan membantu menggali dan
menanam, Jack." "Kita semua bekerja bersama-sama," kata Jack. Anak-anak lantas berangkat mencari
tempat-tempat yang baik untuk ditanami, lalu menggali tanah di situ untuk
menanamkan benih-benih mereka yang berharga. Peggy yang diserahi tugas menyirami
tanaman itu setiap hari. ia juga harus mengawasi, jangan sampai benih yang
tumbuh terdesak oleh tumbuhan liar.
"Kehidupan kita semakin- maju," kata Nora dengan puas. "Setiap hari menikmati
susu serta krim, telur juga setiap hari, buah frambus kapan saja kita mau, lalu
selada, mosterd, seledri, dan lobak yang sebentar lagi sudah bisa dipetik!"
Jack menanam benih kacang polong di bidang-bidang tanah terbuka di kaki suatu
semak berduri yang tumbuh seperti pagar. Katanya sulur-sulur tanaman kacang
nanti akan bisa merambati semak itu, sehingga orang yang datang mungkin takkan
memperhatikannya. Benih yang sudah disemaikan dirawat dengan seksama sampai
tumbuhannya sudah cukup kuat dan.
tinggi, dan sulur-sulurnya mulai melilit batang-batang semak yang ada di dekat
situ. Setelah itu Peggy membiarkan tanaman itu tumbuh sendiri. Hanya sekali-sekali
saja ia menyirami, jika dianggapnya perlu.
Anak-anak mulai sulit mengingat hari, walau Jack berusaha mencatatnya. Kadang-
kadang mereka mendengar bunyi lonceng gereja berdentang, apabila angin sedang
bertiup dari darat ke pulau. Dengan begitu mereka mengetahui bahwa itu hari
Minggu. "Kita harus mengusahakan agar hari Minggu merupakan saat istirahat yang tenang,"
kata Mike. "Di sini kita tidak bisa ke gereja - tapi kita masih bisa
mengusahakan agar hari Minggu merupakan hari baik. Kalian mengerti kan,
maksudku?" Karenanya mereka berusaha tenang setiap hari Minggu. Saat itu suasana di pulau
benar-benar tentram. Tapi hari-hari lainnya berlalu tanpa diketahui dengan
pasti. Anak-anak tidak bisa membedakan apakah suatu hari adalah hari Selasa,
Kamis, atau Rabu! Tapi Jack selalu memberi tahu apabila hari Minggu tiba. Itu
satu-satunya hari yang mereka ketahui dengan pasti. Menurut Nora hari itu lain
rasanya. Pulau mereka seakan-akan tahu kapan hari Minggu, karena saat itu
suasana berubah, menjadi lebih tenang dan damai.
Suatu hari Jack mengatakan bahwa mereka perlu menjelajahi gua-gua yang terdapat
di lereng bukit. "Jika kapan-kapan ada orang kemari mencari kita - dan kemungkinan itu selalu ada
- kita harus tahu di mana bisa bersembunyi," katanya. "Kita harus menyusun
rencana dengan rapi! Mereka yang mencari kita pasti takkan duduk-duduk saja di
pantai seperti yang dilakukan para pelancong waktu itu. Mereka tentu akan
mencari-cari ke segala penjuru pulau ini."
"Kalau begitu hari ini saja kita melakukan penjelajahan ke gua-gua," kata Mike.
"Sebentar - kuambil dulu lentera kita."
Sambil memegang lentera, Jack mendului masuk ke dalam gua. ia mengantungi korek
api, untuk menyalakan lentera apabila sudah perlu nanti. Anak-anak menemukan
tiga mulut gua di lereng bukit. Satu di antaranya kecil, yaitu tempat mereka
menyembunyikan ayam-ayam betina ketika para pelancong datang. Gua kedua agak
besar. Sedang yang ketiga mulutnya sangat sempit. Mereka nyaris tidak bisa
memasukinya. "Kita masuk lewat mulut gua yang paling besar," kata Jack, ia masuk, setelah
lentera dinyalakan. Aneh rasanya masuk ke dalam gua yang dingin dan lembab,
karena udara di luar hangat kena sinar matahari musim panas. Nora agak
menggigil, ia merasa aneh, berada di dalam gua gelap. Tapi ia tidak mengatakan
apa-apa. Hanya jalannya saja yang merapat pada Mike.
Jack mengangkat lentera tinggi-tinggi, untuk menerangi segala penjuru gua.
Rongga dalam bukit itu lapang. Tapi tak berguna sebagai tempat persembunyian,
karena segala sudutnya dapat dilihat dengan mudah. Di sana-sini nampak sarang
labah-labah. Tercium bau pengap.
Itu bau kelelawar yang bersarang di situ.
Mike menyusuri dinding gua sambil meneliti dengan seksama. Di bagian paling
belakang dari rongga itu ia menemukan sesuatu yang aneh. Dinding gua di situ
retak. Retakan itu membujur ke bawah, mulai dari ketinggian sekitar dua meter
sampai ke alas gua. Lebarnya sekitar setengah meter. Dilihat sepintas lalu
retakan itu nampaknya seperti dangkal.
Tapi ketika diamati lebih teliti, ternyata di belakangnya ada lorongt sempit
yang berkelok-kelok. Lorong itu tidak nampak dari luar, karena terletak di balik
batu padas yang mencuat. "Coba lihat ini!" seru Mike bersemangat "Di sini ada lorong, di tengah batu
padas bukit Ayo, Jack, bawa lentera itu kemari. Aku ingin tahu, berapa dalam
lorong ini." Jack mengangkat lentera yang dipegangnya. Anak-anak melihat lorong yang agak
tersembunyi, yang jalan masuknya merupakan retakan di dinding gua. Jack menyusup
masuk ke dalam retakan itu, lalu berjalan beberapa langkah ke dalam lorong.
"Ayo!" serunya mengajak. "Tidak berbahaya, karena udara di sini segar baunya!
Lorong ini nampaknya menuju ke suatu tempat!"
Anak-anak yang lain menyusul masuk sambil bergegas-gegas. Wah - petualangan ini
mengasyikkan! Lorong yang mereka lewati berkelok-kelok. Anak-anak kadang-kadang harus
melangkahi batu-batu serta tumpukan tanah longsor. Di beberapa tempat ada akar-
akar pohon terjulur di atas kepala mereka. Lorong itu kadang-kadang sangat
sempit Tapi masih bisa dilewati.
Akhirnya mereka sampai di ujungnya. Jack yang berjalan di depan melihat bahwa
lorong itu berakhir di sebuah gua yang lebih besar lagi. Letaknya pasti di
tengah perut bukit! Jack menjunjung lenteranya, lalu memandang berkeliling. Gdara di situ berbau
segar. Kenapa bisa begitu" "Lihatlah!" seru Nora, ia menuding ke atas. "Aku melihat cahaya!"
Benarlah! Jauh di atas kepala mereka nampak sinar terang menembus ke dalam
rongga gua yang gelap. "Kurasa itu liang kelinci. Kelinci itu menggali di atas, dan tahu-tahu sampai di
gua ini," katanya menebak. "Yah - pokoknya ada udara segar masuk kemari."
Dari rongga besar itu ada lagi lorong rendah yang menuju ke gua lain, di sebelah
kanan. Lorong itu sangat rendah. Anak-anak terpaksa merang-kak-rangkak ketika
melewatinya. Mereka tercengang ketika melihat bahwa gua itu ternyata rongga yang mulutnya
sangat sempit di lereng bukit.
"Lumayan juga hasil penjelajahan kita," kata Jack. "Kita sudah mengetahui bahwa
gua besar yang pertama dihubungkan oleh sebuah lorong dengan gua lain yang lebih
besar di perut bukit - dan dari gua yang lebih besar itu kita bisa sampai ke gua
kecil ini, yang mulutnya terdapat di sisi bukit. Dan mulut gua ini sangat
sempit, sehingga orang dewasa takkan mungkin bisa menyusup masuk ke dalam."
"Bagaimana dengan gua, di mana kita waktu itu menyembunyikan ayam-ayam kita?"
tanya Nora. "Rupanya gua itu terpisah - tidak berhubungan dengan kedua gua yang lain," kata
Jack. "Tapi sebaiknya kita periksa saja, untuk memastikannya."
Keempat anak itu keluar dengan susah payah lewat mulut gua yang sangat sempit,
lalu menuju ke gua ayam. Ternyata gua itu rongga biasa saja yang tidak tinggi.
Bau kelelawar sangat keras di situ.
Anak-anak keluar lagi. Mereka duduk di lereng bukit, di tempat yang terang. Enak
rasanya duduk sambil menikmati kehangatan sinar matahari, setelah berada di
dalam gua yang gelap dan dingin.
"Coba dengar sebentar," kata Jack serius. "Gua-gua itu akan sangat berguna bagi
kita apabila ada orang datang mencari. Misalnya saja, Daisy bisa kita
sembunyikan di dalam gua besar yang ada di sebelah dalam bukit."
"Mana mungkin sapi itu mau disuruh melewati lorong sempit berkelok-kelok itu,
Jack,"

Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bantah Peggy. "ia pasti mau," kata Jack yakin, "ia pasti mau ikut denganku. Daisy akan mulai
berlatih bolak-balik melewati lorong itu, sehingga nanti tidak apa-apa lagi
apabila tiba saatnya ia benar-benar harus bersembunyi selama beberapa jam di
dalam. Tak ada gunanya menyembunyikannya di dalam gua sebelah dalam, apabila ia
nanti melenguh keras-keras di situ!"
"Betul," kata Mike sambil mengangguk. "Daisy perlu berlatih dulu. Kurasa ayam-
ayam kita juga bisa dimasukkan ke sana, 'kan?"
"Tentu saja," kata Jack. "Dan kita juga!"
"Hanya perahu dan pondok kita saja yang tidak bisa kita bawa ke dalam," kata
Mike. "Perahu kita takkan bisa ditemukan di bawah ranting-ranting yang terjulur sampai
ke air," kata Jack. "Dan kurasa takkan ada orang lain yang bisa menemukan Pondok
Willow, karena kita membangunnya di tengah-tengah hutan yang begitu lebat.
sehingga kalau kita hendak masuk ke situ pun harus dengan susah payah! Orang
dewasa takkan mungkin bisa menembusnya. Kita sendiri sebentar lagi mungkin akan
terpaksa memanjat pohon dulu lalu meloncat dari atas ke dalam pondok, apabila
belukar dan pepohonan di sekitarnya tumbuh lebih lebat lagi dari sekarang!"
"Kepingin rasanya ada orang datang!" kata Peggy bergairah. "Kan asyik,
menyembunyikan diri nanti!"
"Tapi jangan lupa, banyak yang harus dikerjakan begitu kita melihat ada orang
datang!" "Apakah tidak sebaiknya kita menyusun rencana dari sekarang?" kata Mike
mengusulkan. "Dengan begitu apabila tiba saatnya, semua sudah tahu apa yang harus
dikerjakan." "Betul," kata Jack. "Nah, urusan dengan Daisy biar aku saja yang melakukannya.
Kujemput saja sapi itu sekarang. Mike, kau yang mengurus ayam-ayam. Masukkan
mereka ke dalam karung, lalu kauangkut langsung ke dalam gua sebelah dalam.
Peggy, kau memadamkan api kita, lalu tebarkan ranting-ranting yang angus. Kau
juga harus menyerakkan kotak rokok, kaleng bekas buah, serta kotak karton kosong
bekas tempat susu, supaya nampak kesan seolah-olah ada pelancong yang pernah
datang kemari. Jadi jika para pencari menemukan bekas-bekas api unggun atau
salah satu benda lain, mereka takkan merasa curiga."
"Lalu aku - apa tugasku?" tanya Nora.
"Kau ke mata air, Nora," kata Jack. "Ambil ember berisi susu yang kita dinginkan
di situ, lalu kaubawa ke gua. Sebelum itu serakkan rumput padang menutupi benih
sayuran kita yang sudah mulai tumbuh. Dan kau, Peggy, usahakan agar tempat
penyimpanan kita yang di bawah akar pohon tidak kelihatan dari luar. Tutupi
dengan pakis atau barang lain."
"Siap, Kapten!" kata Peggy. "Kini kita masing-masing sudah mendapat tugas - tapi
tugasmu yang paling berat, Jack! Aku tidak ingin harus menyembunyikan Daisy ke
dalam gua, melewati lorong sempit itu! Bagaimana jika di tengah jalan ia tidak
bisa terus?" "Itu tidak mungkin," kata Jack. "Daisy tidak segemuk itu! O ya, sebaiknya kita
menaruh beberapa mangkuk dalam gua serta sedikit rumput padang, untuk berjaga-
jaga kalau kita terpaksa sampai berjam-jam bersembunyi di situ. Dengan begitu
kita nanti bisa minum susu, serta ada alas empuk tempat merebahkan diri."
"Sebaiknya kita taruh beberapa batang lilin di mulut gua," kata Peggy. "Tidak
enak rasanya berada di dalam ruang yang gelap gulita."
"Begini sajalah," kata Jack setelah berpikir sebentar. "Kita jangan keluar-masuk
ke gua besar di dalam lewat lorong sempit dari gua besar yang di sebelah depan.
Tidak! Kita keluar-masuk lewat gua sempit yang begitu sulit dimasuki. Jika kita
selalu masuk lewat gua yang lebih besar, pasti nanti ada bekas-bekas kita di
situ, sehingga bisa ketahuan!
Kalau Daisy, apa boleh buat - aku harus menuntunnya lewat situ."
"Gua-gua itu pasti nyaman ditinggali saat musim dingin nanti," kata Peggy. "Kita
tinggal di gua sebelah luar, sedang barang-barang kita disimpan di gua sebelah
dalam. Dengan begitu kita aman dari gangguan cuaca buruk."
"Kita ini benar-benar mujur," kata Nora. "Punya rumah bagus terbuat dari
pepohonan untuk tempat tinggal musim panas - sedang untuk musim dingin ada rumah
gua!" "Musim dingin masih jauh," kata Jack. "Eh - ngomong-ngomong, perutku sudah
lapar! Bagaimana jika kau menggorengkan telur untuk kita semua, Peggy, sementara Mike
pergi memetik buah frambus?"
"Yuk!" seru Peggy, lalu berlari menuruni bukit, ia merasa lega, meninggalkan
gua-gua yang gelap dan suram di lereng.
13. SUASANA MUSIM PANAS Tidak ada yang datang mengganggu keasyikan anak-anak itu. Mereka hidup tentram
di pulau terpencil itu - bermain-main, bekerja, makan dan minum, mandi-mandi.
Mereka bisa berbuat semau mereka, tapi tanpa melupakan tugas-tugas yang perlu
dikerjakan agar segala-galanya berjalan beres.
Kadang-kadang Jack dan Mike pergi malam-malam naik perahu untuk mengambil
berbagai hal yang mereka perlukan dari pertanian kakek Jack, atau dari tempat
Bibi Harriet. Suatu malam Mike berhasil menyusup masuk ke dalam rumah bibinya,
mengambil beberapa potong pakaian untuknya sendiri dan untuk kedua saudaranya.
Beberapa gaun untuk Peggy dan Nora, sedang untuknya sendiri selembar mantel dan
celana pendek. Urusan pakaian agak merepotkan anak-anak yang hidup di pulau
terpencil itu, karena yang dikenakan sudah sangat kotor dan robek-robek. Peggy
dan Nora selama itu tidak bisa mencuci atau menambal pakaian mereka, karena
tidak punya ganti. Jack memetik buah-buahan dari pertanian kakeknya, yang rupanya masih juga belum
berhasil dijual. Kecuali itu ia juga mengambil kentang dan lobak dalam jumlah
yang lumayan banyaknya. Mereka di pulau tidak kekurangan makanan, karena ada
telur, kelinci dan ikan, sedang susu tersedia lebih dari mencukupi setiap hari.
Benih yang disemaikan tumbuh dengan cepat Anak-anak sangat bangga ketika suatu
hari Peggy sudah bisa memetik tanaman mosterd, seledri, dan selada yang
merupakan panen pertama, lalu meramunya menjadi hidangan sayur segar yang
dimakan dengan telur rebus!
Lobak hasil tanaman mereka juga sangat enak. Rasanya begitu pedas, sehingga air
mata Jack sampai keluar ketika memakannya! Segala-galanya tumbuh begitu cepat
dan subur di pulau kecil itu.
Tanaman kacang polong sementara itu sudah mencapai puncak belukar tempat
rambatannya. Jack memotong ujung-ujungnya yang teratas, supaya bagian sebelah bawahnya tumbuh
subur. "Ini supaya kita tidak memerlukan tangga apabila hendak memetik kacangnya
nanti," katanya. "Wah-coba lihat bunga-bunganya. Pasti banyak kacang kita nanti!"
"Baunya harum," kata Nora sambil mengendus bau bunga tanaman kacang itu.
"Kacangnya sendiri akan lebih enak rasanya!" kata Jack.
Cuaca benar-benar cerah, karena musim panas saat itu sangat indah. Anak-anak
tidur di luar, di 'kamar tidur hijau' mereka yang tersembunyi letaknya di balik
lindungan semak belukar lebat, Hamparan rumput padang dan pakis harus diganti
setiap minggu, karena sudah pipih tertindih anak-anak itu, sehingga tidak enak
lagi berbaring di atasnya.
Tapi pekerjaan itu sangat menyenangkan. Anak-anak suka melakukannya.
"Wah - warna kulit kita sudah coklat sekali sekarang," kata Mike pada suatu
hari, ketika mereka sedang duduk-duduk mengitari api unggun di pantai sambil
makan lobak dengan kentang yang direbus dengan kulitnya. Keempat anak itu saling
tengok-menengok. "Kita sudah secoklat buah ceri," kata Nora.
"Ceri apa?" kata Mike. "Aku belum pernah melihat ceri berwarna coklat Semuanya
merah!" "Kalau begitu kita secoklat buah pohon ek," kata Nora. Kenyataannya memang
begitu. Tungkai, lengan, muka, leher, lutut mereka - seluruhnya sudah sangat coklat
Mereka juga sudah gemuk, karena walau hidangan yang dimakan setiap hari agak
aneh, tapi mereka banyak menikmati krim susu yang bergizi tinggi.
Kehidupan di pulau kecil itu tenang. Tapi ada juga keasyikan di situ. Setiap
minggu Jack menuntun Daisy ke gua. Disuruhnya sapi betina yang malang itu masuk
ke gua sebelah dalam, melewati lorong sempit yang berkelok-kelok. Mulanya Daisy
tidak mau. ia mengeluh dan menguak, meronta, bahkan menendang-nendang. Tapi Jack
bersikap teguh. Dengan ramah dituntunnya sapi itu ke dalam. Ketika sudah tiba di
gua dalam perut bukit, Daisy diberinya makan lobak segar yang dipetik malam
sebelumnya di pertanian kakeknya. Daisy senang diberi makanan lobak, ia
mengunyahnya dengan lahap. Kemudian ia tidak meronta-ronta lagi, apabila
dituntun ke luar gua lewat lorong yang sama.
Ketika ia dituntun kembali ke dalam untuk kedua kalinya, ia masih meronta
sedikit. Tapi kini tanpa menendang-nendang. Lenguhannya juga tidak senyaring
kali yang pertama. Dan ketika untuk ketiga kalinya dituntun, ia malah dengan
segera menurut, karena tahu bahwa ada lobak menunggunya di dalam gua. Saat
keempat kalinya ia sudah mau masuk sendiri.
"Jika Daisy masih bertambah gemuk lagi, ada kemungkinan ia tidak bisa lagi
melalui lorong sempit ini, Jack," kata Mike yang mengikuti dari belakang.
"Untuk apa kita memikirkan kesulitan yang belum tentu timbul," kata Jack dengan
sikap riang. "Pokoknya, yang penting Daisy sekarang sudah mau masuk sendiri ke
dalam gua. ia takkan ribut-ribut apabila tiba saatnya ia harus cepat-cepat
dimasukkan ke situ."
Bulan Juli sudah lewat. Kini bulan Agustus. Hawa semakin panas. Beberapa kali
turun hujan lebat disertai badai kilat. Selama beberapa malam anak-anak tidur di
Pondok Willow. Jack sebetulnya mengusulkan agar lebih baik tidur di gua saja.
Tapi semua kemudian berpendapat bahwa hawa di situ pasti pengap dan panas.
Dengan demikian mereka memilih tidur di pondok. Mereka merasa aman di situ,
karena dinaungi atap hijau yang tebal, serta dinding kokoh yang lubang-lubangnya
disumbat dengan rumput padang.
Buah frambus banyak sekali yang sudah ranum, sampai ratusan. Buah arbei liar pun
mulai bermunculan di tempat-tempat teduh. Buah itu tidak kecil-kecil seperti
sering ditemukan anak-anak di sekitar pertanian, tapi besar-besar, manis dan
banyak airnya. Buah arbei liar itu bahkan lebih enak daripada yang dipelihara di
dalam kebun. Rasanya nikmat sekali jika dimakan dengan krim. Buah bram di semak-
semak yang terdapat di mana-mana mulai bermatangan. Mulut anak-anak selalu
berlumur air, karena sambil melakukan berbagai pekerjaan, mereka selalu asyik
memetik. Jack memetik buah bram dalam perjalanan ke balik pulau untuk memerah Daisy.
Begitu pula halnya dengan Mike. Peggy memetik buah itu sambil pergi mengambil
air. Sedang Nora melakukannya sambil pergi ke kandang ayam.
Buah-buahan liar berkulit keras pun mulai masak. Tapi belum bisa dipetik. Jack
sudah ingin cepat-cepat memetik. Ia pergi memeriksa tanaman kacang polong.
Ternyata sudah bisa dipanen! Sulur-sulur tanaman yang meliliti semak belukar
penuh dengan kacang, dan nampak menghijau di sela-sela bunga semak arbei dan
bram. "Kita makan kacang polong hari ini!" seru Jack dengan gembira. Diambilnya salah
satu keranjang yang dibuat oleh Peggy dari ranting-ranting pohon willow. Dengan
segera keranjang itu sudah penuh diisinya dengan kacang.
Pada suatu hari Jack teringat bahwa di lapangan sebelah ujung pertanian kakeknya
tumbuh jamur yang bisa dimakan. Dan pada suatu pagi saat akhir bulan Agustus ia
pergi naik perahu bersama Mike, untuk mencari jamur di tempat itu.
Pagi itu sangat indah. Mike ingin Peggy dan Nora bisa ikut. Tapi di pihak lain,
jika mereka beramai-ramai pergi, jangan-jangan nanti dilihat orang.
Saat itu matahari baru saja terbit di timur. Kubah langit berwarna keemasan.
Burung-burung memperdengarkan kicauan mereka yang riang. Embun tebal
menyelubungi rerumputan. Mike dan Jack tidak memakai sepatu. Kaki mereka basah kena embun. Tapi keduanya
tak peduli. Sinar matahari pagi terasa hangat. Alam sekeliling mereka nampak
hijau, sementara langit yang biru diselaputi warna keemasan.
"Jamur!" kata Jack dengan gembira, sambil menunjuk ke suatu tempat di mana
nampak beberapa tumbuhan jamur. "Lihatlah - masih segar, baru tadi malam tumbuh.
Yuk - kita isi karung kita dengannya!"
Di padang itu cukup banyak tumbuh jamur. Jack memetik yang kecil-kecil, ia tahu,
jamur yang besar tidak begitu enak rasanya, dan mungkin bahkan sudah berulat.
Dalam waktu setengah jam saja karung kecil yang mereka bawa sudah penuh. Kedua
anak laki-laki itu menyelinap lewat padang-padang yang cerah disinari matahari,
menuju tempat perahu mereka ditambatkan.
"Akan sedap sarapan kita pagi ini!" kata Jack sambil nyengir puas. Dan hidangan
sarapan ternyata memang nikmat. Telur goreng dengan jamur, disambung dengan
arbei liar yang diguyur krim! Peggy dan Nora pergi memetik buah arbei saat kedua
anak laki-laki itu berangkat mencari jamur.
Sementara itu Nora sudah cukup pandai berenang, ia berlatih setiap hari bersama
Peggy di danau, sampai Jack menilai bahwa mereka sudah sama pandai berenang
seperti dirinya sendiri serta Mike. Kedua anak perempuan itu dengan segera sudah
merasa biasa berada di dalam air. Setiap hari mereka mandi-mandi di danau,
sambil bermain-main dengan gembira.
Meriah sekali suasananya, penuh dengan teriakan dan pekik jerit gembira. Jack
sangat mahir berenang di bawah air. Berulang kali ia tiba-tiba menyelam, dan
tahu-tahu muncul di sisi salah seorang teman, sambil memegang kaki anak itu.
Bukan main asyiknya! Kemudian datang cuaca buruk selama beberapa hari berturut-turut Pulau itu nampak
berubah ketika matahari tidak nampak dan hujan gerimis membasahi permukaannya.
Air danau saat itu sangat dingin - hampir sedingin air es.
Nora tidak menyukai cuaca seperti itu. ia tidak suka pergi memberi makan ayam di
tengah hujan yang turun. Dimintanya Peggy pergi menggantikannya. Tapi Jack
mendengar permintaannya itu. ia marah-marah.
"Kau tidak boleh bersikap pemilih," katanya pada Nora. "Memang gampang saja
bekerja dengan gembira apabila matahari bersinar cerah - tapi kau harus tetap
melakukan tugas sambil tersenyum apabila cuaca kebetulan sedang buruk!"
"Siap, Kapten!" kata Nora. Ia sudah belajar untuk tidak lagi bersikap cengeng.
Setelah itu ia berangkat dengan gembira untuk memberi makan ayam, walau tetesan
air hujan membasahi tengkuk dan mengalir dingin di sepanjang punggungnya.
Keempat anak itu merasa bosan apabila harus terus mengurung diri di dalam Pondok
Willow saat hujan turun. Semua buku dan surat kabar yang mereka bawa sudah
mereka baca semua. Melakukan berbagai permainan memang mengasyikkan, tapi kalau terus-menerus
sepanjang hari rasanya lama-kelamaan membosankan juga. Hanya Peggy saja yang
tidak begitu mempedulikan cuaca buruk - karena selalu banyak jahitan yang harus
dikerjakan olehnya. Anak-anak yang lain diajarinya cara menganyam keranjang dari ranting-ranting
willow. Keranjang-keranjang itu tidak tahan lama, jadi selalu saja diperlukan yang baru.
Mike, Jack, dan juga Nora senang menganyam berbagai jenis keranjang. Tidak lama
kemudian mereka sudah banyak keranjang, siap untuk dipakai apabila cuaca sudah
cerah lagi. Kemudian matahari muncul kembali. Anak-anak berbaring di rumput, menikmati
sinarnya yang hangat. Ayam-ayam betina melebarkan sayapnya yang lembab sambil
berkotek-kotek dengan riang. Daisy muncul dari bawah pohon tempatnya berteduh.
Sapi betina itu melenguh-lenguh kesenangan. Alam nampak ceria kembali. Anak-anak
bersorak-sorai dengan gembira.
Hujan selama beberapa hari itu menyebabkan sayur-mayur tumbuh menjadi besar.
Jack dan Mike sibuk memetik. Semua sependapat bahwa mereka belum pernah
merasakan makanan senikmat daun selada yang gemuk karena penuh dengan air hujan.
Berbagai hal terjadi kemudian. Lubang di lunas perahu bertambah besar. Suatu
hari ketika Mike hendak mengambilnya di tempat penyembunyiannya, tahu-tahu
perahu itu sudah tidak ada lagi. Ternyata tenggelam! Jack dan Mike memeras otak
dan tenaga mereka untuk mengangkatnya lagi dari dalam air lalu menambal
lunasnya, agar air tidak begitu banyak masuk.
Jagung makanan ayam habis. Jack terpaksa pergi ke darat untuk mencari tambahan.
Di pertanian kakeknya tidak ada lagi. Karena itu ia pergi ke pertanian paman dan
bibi Mike. Di situ ia menemukan sedikit jagung di dalam lumbung. Tapi Jack
nyaris saja luka digigit seekor anjing yang sengaja dibeli Bibi Harriet untuk
dijadikan penjaga di pertaniannya. Peggy terpaksa sibuk sepagi penuh, menambal
celana Jack yang robek kena gigitan anjing itu.
Pada suatu hari anak-anak sempat panik, yaitu ketika Nora mengatakan bahwa ia
mendengar bunyi dayung berkecipak di air. Jack bergegas menyembunyikan Daisy,
sedang Mike buru-buru memasukkan ayam-ayam ke dalam karung. Tapi setelah bunyi
dayung yang menurut Nora didengar olehnya, tidak ada lagi kejadian apa-apa.
Karenanya Peggy lari ke atas bukit, lalu memandang ke danau.
Sama sekali tidak ada perahu di situ. Peggy hanya melihat empat ekor angsa putih
yang besar sedang ramai bertengkar, memukul-mukul air dengan sayap dan kaki


Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka! "Aman, Jack! Mike!" seru Peggy dari atas bukit. "Itu bukan perahu, melainkan
beberapa ekor angsa!"
Daisy tidak jadi disuruh masuk ke dalam gua, sedang ayam-ayam betina dilepaskan
kembali. Nora diganggu habis-habisan oleh anak-anak yang lain. Dalam hati ia
bertekad lain kali sebelum memberi tanda bahaya, ia akan meyakinkan dulu bahwa
yang datang memang perahu!
Pada suatu hari kaki Jack terkilir karena terpeleset ketika sedang memetik buah
frambus di lereng bukit, ia terpaksa dipapah pulang ke pantai. Muka Jack pucat
kesakitan. Peggy bergegas merendam beberapa lembar kain bersih ke dalam sumber air yang
dingin. Pergelangan kaki Jack yang terkilir dibalutnya dengan kain-kain itu.
"Untuk sementara kau jangan berjalan dulu dengan kakimu ini," kata Peggy. "Kau
perlu mengistirahatkannya selama beberapa waktu. Biar Mike saja yang melakukan
tugas-tugasmu." Jack terpaksa berbaring diam-diam selama satu-dua hari. ia merasa tidak enak.
Tapi ia juga tahu bahwa itu cara yang paling baik agar pergelangan kakinya cepat
sembuh. Tidak lama kemudian ia sudah mampu berjalan lagi, dengan bantuan
sebatang tongkat penyangga yang dibuatkan oleh Mike. Sekitar satu minggu
kemudian Jack sudah seperti biasa lagi.
Saat yang lain Peggy kehilangan keseimbangan, sehingga terjungkir ke kaki bukit.
Jatuhnya tepat menimpa semak berduri. Tubuhnya tergores-gores, tapi ia tidak
menangis, ia pergi ke tepi danau untuk membersihkan bekas-bekas jatuhnya.
Setelah itu ia menyiapkan hidangan makanan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Jack mengatakan bahwa ia sangat bangga melihat ketabahan Peggy.
"Anak lain pasti sudah terpekik jerit karenanya," kata Jack sambil memandang
muka dan kaki Peggy yang penuh goresan duri tajam.
"Ah - ini kan bukan apa-apa," kata Peggy sambil memasak susu. "Aku masih untung
tadi, tidak patah kaki atau tangan!"
Musim panas berlalu, diiringi segala kejadian kecil itu, dengan suka-dukanya.
Selama itu tidak ada yang datang ke pulau, dan lambat laun anak-anak melupakan
rasa takut akan ketahuan. Mereka tidak memikirkan hal itu lagi.
14. JACK PERGI BERBELANJA
Musim panas sudah berlalu. Siang hari semakin bertambah singkat. Anak-anak mulai
sering merasa bahwa tubuh mereka tidak cukup menjadi hangat apabila malam-malam
duduk di depan api unggun. Karenanya mereka pindah ke Pondok Willow, di mana
mereka bisa menyalakan lentera dan melakukan berbagai permainan yang asyik.
Pondok Willow selalu nyaman.
Dinding pondok harus mereka sumpal lagi dengan daun pakis dan rumput padang.
Tonggak-tonggak dari dahan willow yang dipergunakan untuk kerangka dinding
sementara itu sudah berakar, dan di sana-sini sudah nampak daun-daun hijau yang
mulai tumbuh. Anak-anak senang melihatnya. Asyik, tinggal di dalam pondok yang
dinding dan atapnya tumbuh!
Suatu hari Mike pergi mengambil lilin untuk lentera, ia terkejut ketika melihat
bahwa persediaan lilin tinggal sebatang! Korek api juga tinggal sedikit. Walau
anak-anak sangat menghemat korek api dan hanya menggunakannya apabila api unggun
padam, tapi persediaan lama-kelamaan habis juga.
"He, Jack-lilin kita tinggal sebatang," katanya.
"Kalau begitu kita harus menambah perbekalan lagi," kata Jack.
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Mike. "Lilin kan tidak tumbuh di pohon!"
"Maksud Jack, ia akan pergi mengambilnya dari salah satu tempat," kata Peggy,
yang saat itu sedang menambal kemeja Jack yang robek. Ia bersyukur karena
sewaktu berangkat ke pulau kecil itu ia tidak lupa membawa keranjang jahitannya,
ia selalu memperhatikan pakaian anak-anak. Begitu ada yang robek, langsung
ditambal olehnya. Dengan begitu pakaian mereka bisa lama utuh.
"Tapi di manakah lilin bisa diperoleh, kalau bukan di toko?" kata Mike.
"Aku sudah berpikir-pikir," kata Jack dengan serius. "Musim gugur sudah
menjelang, saat mana kita pada waktu petang akan memerlukan cahaya yang lebih
baik. Kita juga memerlukan selimut tambahan. Di samping itu masih banyak lagi
yang kita perlukan."
"Aku memerlukan tambahan benang wol dan benang biasa berwarna hitam," kata
Peggy. "Kemarin aku terpaksa menambal celana kelabumu dengan benang biru, Jack."
"Dan aku sebentar lagi memerlukan tambahan jagung untuk makanan ayam," kata
Nora. "Dan kalau bisa, aku juga menginginkan tepung terigu," kata Peggy. "Jika ada
tepung, aku bisa sekali-sekali membuatkan roti untuk kita semua. Aku sudah
kepingin sekali makan roti!"
"Ya - enak juga sekali-sekali makan roti lagi," kata Jack. "Bagaimana pendapat
kalian jika aku pergi dengan perahu ke desa yang terletak di seberang danau,
untuk membeli barang-barang yang sangat kita perlukan?"
Anak-anak yang lain berseru kaget
"Nanti kau ditangkap!"
"Kita kan tidak punya uang!"
"Aduh, Jack - jangan pergi!"
"Aku takkan tertangkap," kata Jack menenangkan. "Aku akan sangat berhati-hati.
Tidak ada yang mengenal diriku di desa itu. Tapi jika kalian khawatir, aku bisa
saja pergi ke desa berikutnya. Jaraknya cuma lima mil, dan aku pasti capek
nanti, mengangkuti segala barang yang kita perlukan."
"Tapi bagaimana dengan uang untuk membeli barang-barang itu, Jack?" kata Peggy.
"Soal itu pun sudah kupikirkan," kata Jack. "Jika Mike mau membantuku memetik
jamur pagi-pagi, nanti kita bisa mengaturnya dalam keranjang-keranjang dari
ranting-ranting willow yang kita buat, lalu kubawa ke desa untuk dijual di sana.
Dengan uang hasil penjualan itu akan kubeli barang-barang yang kita perlukan."
"Aku menginginkan beberapa buah buku," kata Peggy.
"Dan aku ingin pensil," kata Nora. "Aku ingin menggambar."
"Kita juga memerlukan ketel baru," kata Peggy lagi. "Ketel kita sudah mulai
bocor dasarnya." "Dan jangan lupa paku," kata Mike.
"Dan tepung terigu serta benang wol dan benang biasa yang berwarna hitam," kata
Peggy. Keempat anak itu sibuk menyebutkan barang-barang yang mereka inginkan. Jack
mengulanginya agar jangan sampai lupa.
"Besok pagi aku akan pergi bersama Mike ke padang yang terletak di seberang
danau, untuk memetik jamur yang tumbuh di sana," katanya.
"He, Jack - bagaimana jika kau juga mencoba menjual buah arbei?" kata Nora
bersemangat. "Aku tahu tempat di mana buah itu banyak terdapat. Aku menemukannya kemarin.
Buahnya besar-besar, dan sangat manis rasanya!"
"Itu ide yang bagus," kata Jack. "Begini sajalah - hari ini kita membuat
keranjang kecil sebanyak mungkin. Lalu besok kita atur jamur dan buah arbei
hasil petikan kita ke dalam keranjang-keranjang itu, lalu kubawa ke darat dengan
perahu untuk kemudian kujual di sana. Pasti akan banyak uang yang kita peroleh!"
Anak-anak sangat bergairah. Mike pergi mengambil ranting-ranting pohon willow
yang halus, sedang Peggy bergegas mengambil batang-batang kercut. ia pernah
membuat keranjang-keranjang mungil dengan batang rumput panjang itu. Keranjang
dari batang kercut pasti manis untuk dijadikan tempat buah arbei yang akan
dijual, katanya dalam hati.
Tidak lama kemudian keempat anak itu sudah sibuk menganyam keranjang, sambil
duduk di lereng bukit yang disinari matahari cerah. Jack dan Mike sudah semahir
kedua anak perempuan dalam menganyam keranjang. Ketika matahari terbenam, sudah
banyak keranjang mungil yang mereka buat. Peggy menghitung jumlahnya. Semuanya
ada dua puluh tujuh! "Wah! Jika keranjang-keranjang ini kita isi dengan jamur dan buah arbei, lalu
kau berhasil menjual semuanya, uang yang ada padamu nanti pasti cukup untuk
membeli segala keperluan kita, Jack," kata Mike.
Malam itu anak-anak cepat tidur, karena tahu bahwa keesokan harinya mereka harus
bangun pagi-pagi sekali. Mereka tidak punya jam. Jadi satu-satunya cara untuk
memastikan bisa bangun pagi ialah dengan jalan cepat tidur! Cuaca malam itu
tidak dingin. Karenanya mereka tidur di luar, diapit semak belukar. Mereka
berbaring di atas hamparan rumput empuk. Tidak ada lagi yang bisa membangunkan
mereka saat tengah malam, seperti yang dialami sewaktu belum lama berada di
pulau itu. Biar ada landak berjalan di atas kaki Jack, ia tetap tidak bangun.
Mike tidak bergerak saat ada kelelawar melintas di depan hidungnya.
Seekor labah-labah kecil membuat jaring dari ujung hidung Peggy ke bahunya.
Ketika Nora bangun, ia melihat sarang labah-labah itu lalu memanggil Jack dan
Mike. Ketiga anak itu tertawa melihat pemandangan kocak itu. Mereka membangunkan
Peggy. Tapi anak itu tetap tenang.
"Labah-labah merupakan tanda nasib baik!" katanya. "Hari ini aku pasti mujur!"
Dan benarlah - ia menemukan kembali guntingnya yang sudah seminggu hilang!
Anak-anak bangun saat fajar menyingsing. Seekor burung yang hinggap di pohon
dekat mereka mulai berkicau begitu mereka terjaga. Burung itu sama sekali tidak
takut pada mereka, karena anak-anak sering memberikan remah-remah makanan mereka
pada burung-burung. Burung yang berkicau itu sangat jinak, ia sering bertengger
di bahu Peggy, sementara anak itu sedang menyiapkan hidangan. Peggy sangat
senang apabila burung itu datang.
Anak-anak bangun, lalu pergi mandi di danau. Saat itu Peggy teringat, apa lagi
yang masih diperlukan. Sabun! Sabun mereka sudah habis, dan agak sulit
menghilangkan kotoran yang melekat ke tubuh dengan pasir seperti yang terpaksa
mereka lakukan sekarang. Jack mengingat-ingat pesanan tambahan itu. Dengan
demikian barang-barang yang harus dibelinya berjumlah dua puluh satu jenis. Wah
- banyaknya! "Kami berdua takkan lama pergi," kata Jack ketika ia mendorong perahu ke air,
untuk memetik jamur di darat bersama Mike. "Sementara itu kau memetik buah arbei
dengan Nora, Peggy. Dan masak air, supaya kita bisa menghirup minuman panas
apabila sudah kembali kemari lagi nanti. Hawa pagi ini agak dingin."
Anak-anak sibuk dengan tugas mereka, sementara matahari mulai mendaki kaki
langit. Mike dan Jack memetik jamur sebanyak mungkin di lapangan tempat jamur
itu tumbuh. Mereka memasukkannya ke dalam karung besar yang mereka bawa. Sedang
Nora dan Peggy memetik buah arbei liar di pulau. Semak yang ditemukan Nora
memang banyak sekali buahnya.
Merah-merah, di sela dedaunan yang indah. Di antaranya ada yang sebesar buah
arbei yang ditanam di dalam kebun.
"Bagus ya kelihatannya, ditaruh di dalam keranjang kita?" kata Peggy dengan
senang. Kedua anak perempuan itu membawa beberapa keranjang kecil. Keranjang-keranjang
itu mula-mula dilapisi dasarnya dengan daun-daun arbei. Setelah itu baru
dimasukkan buah arbei yang merah ranum, diatur secara rapi di dalam keranjang.
"Kurasa masing-masing keranjang ini pasti bisa dijual Jack dengan harga enam
penny," kata Peggy. "Buah arbeinya ranum-ranum semua!"
Kedua anak perempuan itu mengisi selusin keranjang yang dibuat dari batang
kercut dengan buah arbei. Setelah itu mereka kembali ke pantai, untuk menyalakan
api unggun. Dengan segera api sudah berkobar. Peggy menggantungkan ketel berisi air di atas
api. Sementara itu Nora pergi memberi makan ayam.
"Lebih baik aku pergi memerah Daisy saja sekarang," kata Peggy. "Sudah waktunya
sapi kita itu diperah, sedang Jack tidak sempat melakukannya pagi ini. Tolong
awasi api, Nora. Angkat ketel, jika air sudah mendidih."
Tidak lama kemudian Jack dan Mike sudah kembali. Dengan bangga keduanya
memperlihatkan jamur hasil petikan mereka pada Peggy dan Nora. Peggy sudah
selesai memerah Daisy. Dengan segera ia menghidangkan minuman teh panas untuk semuanya. Bubuk coklat
yang di dalam kaleng sudah lama habis. Bahan minuman itu juga ditambahkan dalam
daftar pesanan yang harus dibeli Jack.
Sementara Jack dan Mike sarapan telur goreng dengan jamur yang disusul hidangan
buah arbei yang dituangi krim susu segar, kedua anak perempuan sibuk mengatur
jamur ke dalam keranjang-keranjang yang terbuat dari ranting-ranting willow.
Keranjang-keranjang itu lebih besar dan kokoh daripada yang terbuat dari batang-
batang kercut. Jamur yang dipetik banyak sekali, melebihi jumlah keranjang yang
tersedia. Peggy dan Nora mengangkut keranjang-keranjang yang sudah penuh ke perahu.
Keranjang-keranjang itu diletakkan dengan hati-hati di haluan, lalu ditutupi
dengan daun-daun willow supaya tidak bisa dihinggapi lalat.
Kemudian Jack berangkat dengan perahu, bersama Mike. Menurut rencana mereka akan
menuju ke ujung seberang danau. Tapi hanya Jack yang kemudian naik ke darat
untuk menjual arbei dan jamur hasil panen mereka, lalu setelah itu berbelanja.
Kalau seorang saja yang pergi, takkan begitu menarik perhatian. Mike harus
menunggu di perahu yang disembunyikan di salah satu tempat di tepi danau, sampai
Jack kembali. Mike berbekal ikan rebus yang sudah dingin serta susu, karena
mungkin Jack baru berjam-jam kemudian baru kembali.
"Ini tempat yang baik untuk menyembunyikan perahu kita," kata Jack, ketika desa
yang di ujung seberang danau sudah nampak di kejauhan. Sebatang pohon dengan
ranting-ranting terjurai ke bawah tumbuh di pinggir air. Mike mengarahkan perahu
ke bawah pohon itu. ia menyurukkannya ke bawah ranting-ranting yang tergantung
sampai mencecah air. Dengan cepat Jack melompat ke darat.
"Dari sini dengan mudah bisa kutemukan jalan menuju desa," katanya. "Selekas
mungkin aku akan kembali, Mike."
Jack membawa dua tongkat panjang. Pegangan keranjang-keranjang berisi jamur dan
buah arbei disisipkannya pada kedua tongkat itu. Dengan begitu ia bisa memanggul
semuanya dengan mudah, tanpa ada yang tercecer.
Jack berjalan merintis hutan sambil memikul keranjang-keranjang. Sedang Mike
duduk dalam perahu, ia hendak bersantai-santai di situ, sambil menunggu Jack
kembali. Jack tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan jalan yang menuju ke desa. ia
sangat gembira ketika melihat bahwa di desa itu kebetulan sedang ada pasar!
Setiap hari Rabu di desa itu ada pasar kecil. Dan hari itu kebetulan hari Rabu!
"Bagus!" kata Jack dalam hati. "Aku takkan menyolok di tengah orang banyak - dan
jualanku ini tentunya akan bisa habis dengan segera!"
Anak itu menuju ke lapangan tempat pasar diadakan, sambil berseru-seru
menawarkan dagangannya dengan suara lantang.
"Jamur segar! Arbei ranum!"
Orang-orang yang dilewatinya berhenti karena tertarik melihat keranjang-
keranjang apik berisi jamur dan arbei yang dipikul oleh Jack. Hasil panen itu
memang bagus-bagus. Dengan cepat uang mulai masuk ke dalam kantung Jack. Anak itu senang. Wah -
pasti banyak yang bisa dibelinya nanti dengan uang itu!
Akhirnya tidak ada lagi keranjang yang tergantung pada kedua tongkat yang
dipikulnya. Orang-orang memuji kesegaran jamur dan arbei yang dijualnya, begitu pula
keapikan keranjang-keranjang mungil yang dijadikan tempat barang-barang jualan
itu. Banyak yang mengatakan padanya agar datang lagi dengan hasil petikan yang
baru. Jack menyanggupi permintaan itu. Mencari uang dengan cara begitu
dirasakannya menyenangkan, dan ia akan bisa membeli semua yang diperlukan.
Setelah itu Jack pergi berbelanja, ia membeli tepung terigu sekarung besar, ia
membeli benang wol dan benang biasa untuk Peggy. Ia membeli sebuah ketel air
serta dua basi email. Peggy sering mengatakan bahwa mereka kekurangan basi. ia
membeli beberapa buku cerita, dua batang pensil serta karet penghapus. Setelah
itu menyusul sebuah buku gambar, beberapa batang coklat, kemudian paku, sabun,
mentega, dan beberapa kaleng bubuk coklat, teh, beras - tidak sedikit yang harus
diangkut olehnya ke perahu nanti!
Akhirnya ia kembali ke tepi danau, ketika uangnya sudah habis. Jalannya
terhuyung-huyung. Barang-barang yang dipikulnya berat sekali. Tapi ia berjalan
dengan perasaan gembira. Dibayangkannya kegembiraan anak-anak malam itu, saat ia
membuka bungkusan barang-barang beliannya!
Mike menunggunya di perahu dengan perasaan tidak sabar, ia senang sekali ketika
melihat Jack kembali. Dibantunya anak itu memasukkan segala barang ke dalam
perahu. Setelah itu mereka berdayung pulang, ke Pulau Rahasia.
15. JACK NYARIS TERTANGKAP
Suasana petang itu sangat meriah, ketika anak-anak memeriksa segala yang dibeli
Jack! Mike membantunya membawa semuanya dari perahu ke pantai, sementara Nora dan
Peggy berjingkrak-jingkrak karena gembira.
"Tepung terigu! Bukan main banyaknya! Sekarang aku bisa membuatkan roti bundar,
untuk dimakan dengan ikan dan telur!" seru Peggy kesenangan. "Dan ini benang
wolku - serta benang katun!"
"Dan dua batang pensil untukku - serta karet penghapus - dan sebuah buku
gambar!" seru Nora.

Empat Serangkai - Pulau Rahasia The Secret Island di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan ini coklat - wah, kau juga membeli coklat rupanya!" pekik Mike. "Aku sampai
sudah lupa, bagaimana rasa coklat!"
"Kau benar-benar pintar, Jack," kata Peggy memuji. "Kau berhasil menjual semua
jamur dan arbei kita?"
"Semua keranjang berhasil kujual," kata Jack. "Dan bukan itu saja - orang-orang
tadi meminta padaku agar datang lagi minggu depan dengan hasil petikan baru!
Hancurnya Samurai Cabul 3 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Aneh Naga Langit 33
^