Rahasia Kaum Falasha 2
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana Bagian 2
"Heri used to talk about you... a lot," ujar Syaikh Rashed mengawali pembicaraan, "Ia sangat bangga padamu. Menurutnya, kau adalah orang terpandai yang pernah ia kenal. Kau adalah salah satu Doktor termuda di Indonesia, betulkah itu?"
Esa tersenyum sambil menatap sisa-sisa sup harira' yang dihidangkan Ummi Alifa untuknya. Ia mengangguk perlahan dengan wajah memerah.
"Wah. Sungguh sebuah kehormatan bagiku!" ujar Syaikh penuh minat.
"Tidak, Syaikh!" tukas Esa cepat, "Sayalah yang merasa terhormat karena dapat bertemu dengan orang yang paling dihormati oleh sahabat saya."
"Sahabatmu itu. kau tahu betapa aku sangat kehilangan dia. Masya Allah! Makhluk macam apa yang tega membunuh seorang saleh seperti Heri." ujar Syaikh seolah berbicara pada dirinya sendiri. Raut kesedihan yang tak dibuat-buat terpancar kuat dari wajahnya. Esa diam menyimak.
"Keperluan apa yang membuatmu berkunjung ke negeri ini, anakku?" tanya sang Syaikh tiba-tiba.
"Monash University akan memberikan penghargaan pada Heri sebagai ganjaran atas upaya dan prestasinya, Syaikh," jawab Esa, "Nah, saya datang untuk mewakili keluarga Heri guna menerima penghargaan itu."
Mereka kembali terdiam. Kemudian Syaikh Rashed dan istrinya lebih tertarik untuk bercakap-cakap tentang Esa. Esa akhirnya banyak bercerita tentang dirinya, asalusulnya, serta perjalanan hidupnya -termasuk pengalamannya saat bersekolah di Amerika Serikat. Syaikh Rashed, Ummi Alifa, dan kedua murid Syaikh Rashed nampak sangat tertarik menyimak cerita-cerita Esa. Tanpa terasa, malam pun tiba dan memaksa mereka segera beranjak menyongsong lelap. Syaikh Rashed mempersilakan Esa untuk tidur di sebuah kamar yang menang biasa digunakan tamu-tamu yang menginap di rumahnya. Menurut Younnes, biasanya tamu-tanu Syaikh datang dari Timur Tengah. Mereka umumnya ialah mahasiswa atau ulama yang kebetulan sedang melawat ke Australia. Aktivitas Syaikh Rashed sebagai Imam di salah satu masjid di kota itu dan seringnya menerimatamu-tamu dari Timur Tengah membuat dirinya sering berurusan dengan polisi Australia. Seringkali mereka mengira Syaikh Rashed merupakan salah satu bagian dari mata rantai organisasi teroris yang ada di Australia, akibat stigmatisasi etnis Arab sebagai teroris. Saat membenahi kamar yang hendak digunakan Esa, Younnes kemudian bercerita pada Esa bahwa umat Islam di Australia hidup dalam tekanan. Stigma teroris, terutama untuk mereka yang berasal dari Timur Tengah, melekat kuat.
Kamar tempat Esa bermalam berukuran sekira tiga kali empat meter. Dalam kamar itu hanya ada sebuah ranjang ukuran sedang dan rak buku yang berisi beberapa buku bertulisan Arab. Esa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Pandangannya kemudian tertumbuk pada rak buku dan isinya. Lalu ia beringsut mendekati rak buku itu. Esa diam dan memerhatikan buku-buku yang tersusun rapi di rak. Namun tak ada satu pun yang menarik Minatnya. Ia pun memilih berbenah dan berbaring Untuk beberapa saat, Esa mencoba memejamkan matanya namun lelap tak kunjung tiba. Kemudian ia meraih pena dan kertas dari tasnya. Ia membaca kembali beberapa hal yang ditulisnya seputar peristiwa kematian Heri dan juga seputar makna segitiga sebagai simbol. Benaknya bekerja keras hingga lelap pun menyergap dirinya yang masih berkubang dalam rasa penasaran.
*** Nisa tiba di stasiun Bandung dan segera melangkah turun dari Kereta Parahyangan yang membawanya dari Gambir. Kemudian ia bergegas ke arah utara, melintasi peron dan loket yang berderet hingga tiba di tepi jalan Kebon Kawung. Setibanya di tepi jalan, ia menghentikan taksi dan beranjak naik dengan agak tergesa. Kurang dari empat puluh lima menit, taksi itu telah membawanya ke depan rumahnya di kawasan Dago. Setelah membayar pada sopir taksi, ia bergegas masuk ke rumah.
Rumah Nisa nyaris mirip seperti rumah Esa, kecil dan efisien. Nisa berjalan cepat melewati ruang tamu yang dibatasi dinding tanpa pintu hingga ia tiba di ruang tengah, tempat ibunya duduk termenung menatap foto ayahnya yang terpasang di dinding. Nisa menatap ibunya. Sebentar lagi, kerinduannya pada Ayah akan terobati, pikirnya. Begitulah ibunya menghabiskan waktu setelah keluar lari Rumah Sakit Jiwa. Nisa harus mengakui bahwa ibunya belum sembuh seratus persen akibat depresi mental hebat setelah Ayahnya menghilang. Sehari-hari, ia hanya duduk termenung sambil menatap foto ayahnya. terkadang ibunya berbicara pada foto yang sedang ditatapnya, seolah-olah sedang berdialog. Makan dan minum pun ibunya harus diingatkan terkadang Nisa malah harus menyuapinya. Nisa lalu beranjak ke kamar adiknya di sudut ruang tengah dan mengetuk pintunya perlahan. "Din. Dino. Assalamualaikum," ujar Nisa sambil mengetuk pintu kamar adiknya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," adiknya menjawab sambil membuka pintu kamar. "Baru pulang, Kak?" tanya Dino.
Nisa mengangguk cepat. "Ibu sudah makan?" tanya Nisa.
Dino mengangguk. Nisa menghela napas pertanda lega. Lalu ia beranjak membuka pintu kamarnya di sebelah kamar Dino. Sesampainya di dalam kamar, Nisa membuka lemari pakaiannya di sudut kamar dan mengeluarkan seluruh tumpukan pakaiannya. Ia lantas membereskan seluruh pakaiannya ke dalam tas travel ukuran besar. Setelah usai membenahi pakaian dan barang-barangnya, ia masih sempat melakukan beberapa hal hingga azan maghrib berkumandang dan mengajaknya memenuhi kewajiban pada Penciptanya. Seusai shalat Maghrib, Nisa berdiri di beranda rumahnya. Petang itu gerimis turun perlahan namun pasti mengguyur kawasan Dago. Jam telah menunjuk pada angka enam lebih tiga puluh menit. Di seberang rumahnya, dari balik jendela rumah yang pada bagian depannya terpampang tulisan "DIJUAL pada karton besar, seorang lelaki berbadan tegap memerhatikannya sambil memegang secangkir kopi. Telepon genggam lelaki itu bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Ia lantas menekan tombol terima dan menempelkan ponsel tersebut pada pipi kanannya.
"Beny, masih kau awasi mereka?" suara Avram Meir setengah berteriak dan memekakkan telinga.
"Tentu. Aku sedang berdiri memerhatikannya." jawab Beny sang pengintai.
"Bagus. Kau perhatikan saja dia. Jangan mengambil tindakan apa pun. Laporkan padaku jika ada perkembangan. Jangan mengambil tindakan apa pun sebelum kusuruh, okay?"
Klik! Sambungan terputus dari seberang. Beny Sang Pengintai bergumam perlahan. Tak jelas apa yang ia gumamkan.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di muka rumah Nisa. Beny memicingkan matanya karena pandangannya terhalang mobil itu. Namun ia lega setelah membaca tulisan di badan mobil itu: 'Pizza Hut'. Huh Rupanya ia memesan Pizza, pikirnya. Tak berapa lama kemudian, mobil itu melaju meninggalkan rumah itu, nampak bahwa di beranda rumah Nisa kini tak ada siapa pun. "Rupanya ia hendak menikmati pizza bersama keluarganya. Baguslah, aku bisa santai," batin Beny. Namun ada sesuatu yang tak ia ketahui.
Mobil Pizza Hut itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan jalanan di depan rumah Nisa.
"Mas, Terima kasih, ya, tumpangannya," ujar Nisa yang duduk di belakang pada sopir mobil dan kawannya yang duduk di depan.
"Sama-sama, Mbak," jawab sang sopir, "Cuma saya heran, lho. Soalnya jarang ada yang pesan Pizza dan minta diantar dengan mobil, bukan dengan motor. Lalu tiba-tiba setelah mobilnya datang, ngotot ingin numpang, hehe."
Sang sopir tertawa geli. Nisa hanya tersenyum sambil mendekap ibunya yang melamun, Sementara di sampingnya, adiknya menerawang ke luar mobil melalui jendela.
"Sabarlah Ibu, Dino, sebentar lagi kita akan berjumpa dengan orang yang paling kita rindukan," ujar Nisa dalam hatinya.
Dari kawasan Dago, mobil itu terus meluncur ke selatan, menuju Jalan Merdeka. Saat tiba di tikungan Jalan Riau, Nisa meminta sopir agar meminggirkan mobilnya di tempat gelap yang sepi. Mereka bertiga lalu turun. Nisa memberikan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada sang sopir. Sang sopir nampak senang bukan kepalang mendapat hadiah uang. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasihnya pada Nisa sebelum kembali melarikan mobilnya ditengah gerimis yang masih belum berhenti mengguyur.
Nisa menyetop sebuah taksi dan mereka pun naik.
"Ke Bandara Husein Sastranegara, Pak," pinta Nisa pada sopir dengan mantap.
Beruntung bahwa Nisa, ibu, dan adiknya masih memiliki visa menetap di Singapura dan paspor yang belum kadaluarsa. Namun ia hampir takut keberuntungannya lenyap begitu saja saat ia tiba di Bandara Husein Sastranegara dan ingat bahwa tak ada penerbangan langsung dari bandara itu menuju Singapura. Keberuntungan itu kembali mengembang saat seorang petugas Bandara memberitahunya bahwa pesawat Air India yang menuju Kuala Lumpur akan transit di Singapura untuk mengganti suku cadang. Pesawat itu pun menjadi pilihannya. Sebelum tengah malam berlalu, Nisa, adik, dan ibunya telah berada di dalam pesawat Air India yang akan menurunkan mereka di Changi Airport, Singapura. Mereka bertiga duduk bersisian dengan tenang.
"Dino," ujar Nisa mengawali percakapan dengan adiknya, "Dengarkan aku..., setibanya di Singapura nanti, kau kerjakan apa yang kusuruh, okay?"
Dino mengangguk perlahan. Sejak ibunya masuk Rumah Sakit Jiwa, ia selalu percaya bahwa kakaknya yang luar biasa itu selalu memiliki rencana-rencana terbaik untuknya dan ibunya. Karena itu, ia tak pernah membantah keputusan yang dibuat kakaknya. Dino merasa tak pantas memimpin keluarga, walau sesungguhnya ia lebih berhak karena ia anak lelaki.
"Dengar," lanjut Nisa, "Setiba di Singapura nanti, aku harus pergi untuk suatu urusan. Kau bawalah ibu ke Elizabeth Mount Hospital untuk check-up. Saat ibu checkup, kau pergilah ke Kedubes Saudi Arabia untuk minta visa, mengerti?"
"Apa" Saudi Arabia" Memangnya kita mau umrah" Apa maksud Kakak sebenarnya?" Dino kaget mendengar gagasan kakaknya.
"Hey! Tak biasanya kau menanyakan keputusan yang kubuat." Nisa heran,
"Percayalah. Lakukan apa yang kusuruh. Hubungi kawanku yang bekerja di Kedubes Saudi, namanya Rabiah Hakim. Katakan padanya bahwa kau adikku dan minta bantuannya. Insya Allah kau tak akan kesulitan mendapat visa dengan bantuannya. Orang Saudi umumnya sangat bersahabat pada orang Indonesia. Katakan alasan yang sama dengan alasan Ibu di Singapura, untuk berobat! Mengerti?"
Dino mengangguk tak yakin. Nisa mengusap kepala adiknya itu dengan lembut dan penuh harap.
"Setelah dapat visa, ambil semua uangmu di Bank dan bawalah ibu ke Mekkah. Di sana, cari rumah sakit dan hotel yang bagus. Ambil ini," lanjut Nisa sambil menyerahkan kartu American Express.
Dino menerimanya dengan takjub.
"Dari mana Mbak bisa punya American Express?" tanya Dino.
Nisa hanya tersenyum sambil menatap adik kesayangannya itu.
*** "BUK!" Sebuah pukulan telak bersarang di perut Avram Meir.
"You stupid! idiot!" teriak Moses Goldstein sang pemberi pukulan, "Kau tidak memerhatikan bahwa barang yang kau terima palsu?"
PAK Meir membalas pukulan Goldstein dengan sebuah tamparan yang mendarat telak di pipi kawannya itu.
"Dengar, bodoh! Jangan pernah memukulku lagi! Dan dengar juga. Semua ini tak akan terjadi jika kau tidak gegabah sewaktu di Ethiopia!"
Mereka lalu terdiam dengan napas memburu. Kemudian, setelah keadaan di antara mereka agak tenang,
"Perempuan itu. telah ... membohongiku!" gumam Avram Meir penuh amarah.
"Hey! Dengar! aku curiga jika ia ...maksudku mereka, perempuan itu dan dosen muda itu bersekongkol. Bagaimana menurutmu?"
"Kupikir juga begitu. pasti. pasti begitu. Seharusnya aku sudah curiga dari awal. Mereka berteman sejak lama. pantas jika mereka bersekongkol dan membodohi kita!" ujar Meir dengan napas penuh amarah.
"Okay. okay. Begini. suruh kawan-kawan kita membatalkan misi mereka. Untuk sementara, suruh saja mereka mengikuti mangsa-mangsa kita. terus kuntit tanpa henti. Jangan berhenti. Lambat laun, mereka akan membawa kita pada benda yang kita cari. Kita harus agak bersabar dalam menghadapi mereka," ujar Goldstein.
Ia mencoba mengatur napas dan menenangkan dirinya. Meir lalu mengambil ponselnya.
"Aku belum dapat menghubungi Joseph. Ia masih berada di pesawat menuju Australia. Ponselnya tentu tak aktif," ujar Meir seolah berbicara sendiri.
Sementara Goldstein menatapnya tak acuh. Meir lantas menekan nomor-nomor pada ponsel.
"Halo, Beny" Dengar. batalkan misi. Kau dengar" Batalkan misi. Kita telah ditipu perempuan itu. Untuk sementara, kau cari tahu saja di mana ia berada. Jangan ulang kesalahanmu, okay?"
*** Hari kedua esa di australia ,syeikh Rashed mengajak Esa shalat subuh berjamaah bersama Younnes dan Hashem. Salah satu ruangan di rumah sang Syaikh memang khusus digunakan sebagai mushala. Setelah shalat, Syaikh meminta Ummi Alifa agar menyiapkan sarapan untuk mereka. Pagi itu, mereka menyantap roti panggang dengan mentega dan segelas susu kambing. Setelah menikmati sarapan, Esa kembali bercakap-cakap dengan Syaikh Rashed. Esa bertanya tentang kehidupan keluarga Muslim di tengah masyarakat Australia yang bergaya hidup sekular. Syaikh Rashed malah bersemangat menceritakan pengalamannya ketika menghadapi interogasi polisi Australia beberapa bulan sebelumnya.
"Kau tahu. karena aku masuk dalam line-up teroris, rumah ini selalu diawasi oleh polisi. Kau pun mungkin akan dikuntit polisi ketika keluar dari rumah ini," ujar Syaikh, "Karena itu, biasakanlah keadaan itu selama kau berada di negeri ini," lanjutnya sambil tertawa.
Nampak bahwa Syaikh Rashed tidak menganggap serius kecurigaan polisi Australia pada dirinya sebagai salah satu mata rantai teroris. Menurutnya, itu adalah urusan mereka, bukan urusannya.
Sikap tenang yang luar biasa dan bijak, pikir Esa.
Ketika mereka sedang berbincang-bincang dengan santai namun serius, Syaikh meminta Younnes dan Hashem untuk merapikan dan membersihkan kamar yang ditempati Esa. Sebelumnya Esa menolak dengan alasan bahwa ia bisa merapikan kamar yang ia tempati sendiri. Namun Syaikh dan kedua muridnya bersikeras dengan alasan bahwa mereka ingin dan harus menghormati setiap tamu yang berkunjung ke rumah mereka. Walaupun Esa bersikeras bahwa ia tak ingin dianggap sebagai tamu, Syaikh tetap memaksa tak kalah hebatnya. Esa pun tak punya pilihan lain.
Saat perbincangan Esa dengan Syaikh Rashed sedang berlangsung, Younnes dan Hashem telah selesai membereskan kamarnya. Mereka kemudian bergabung dalam obrolan sang guru dan tamunya. Ketika mereka duduk, sehelai kertas dari tangan Younnes jatuh ke atas meja.
"Maaf," ujar Younnes pada Esa, "aku hendak menanyakan apakah catatan ini penting bagimu karena aku menemukannya di lantai. Aku tak berani membuangnya karena takut ini catatan penting."
Esa mengambilnya. Itu catatan tentang simbol segitiga yang dibuatnya. Ia bersikap biasa. Namun tibatiba saja Syaikh Rashed bertanya padanya,
"Hei, apakah kau sedang meneliti simbol-simbol Kabbalah?"
Esa mendongak, "Kabbalah?" "Ya! Kabbalah. catatanmu itu penuh dengan analisa tentang segitiga," jawab Sang Syaikh tanpa ekspresi.
Catatan Esa menang dibuatnya dalam bahasa Inggris, sehingga Syaikh Rashed yang membaca sekilas pun dapat mengerti.
"Maksud Anda, Syaikh?"tanya Esa tak mengerti.
"Ah, tidak. Aku hanya menebak saja. Segitiga ialah lambang khas kaum Kabbalah," tukas Syaikh cepat.
"Tidak. tidak...maksud saya..., dapatkah Anda memberi penjelasan tentang Qabala" Saya sangat ingin mendengarnya," jelas Esa.
Sang Syaikh menghela napas sejenak. Kemudian ia memberi penjelasan,
"Qabala' atau kadang ditulis Kabbala berasal dari kata bahasa Ibrani 'qibil yang artinya 'menerima'. Dalam definisi para pengikut ajaran ini, Qabala berarti 'menerima ajaran okultisme rahasia". Bangsa Yahudi telah menganut kepercayaan ini sejak terjadinya peristiwa penyembahan patung anak sapi yang dipimpin oleh Samiriy saat Musa sedang menghadap Allah di Gunung Tursina di Sinai"."
"Lalu... apa inti ajaran Qabala itu, Syaikh?"tanya Esa.
"Kaum Qabalis meyakini bahwa manusia bisa mengalahkan Allah. Dalam doktrin mereka, iblis adalah pihak yang telah diperlakukan secara tidak adil dansewenang-wenang oleh Allah dalam peristiwa pengusiran iblis dari surga'. Menurut mereka, persekutuan dengan iblis akan menempatkan manusia setara dengan Allah. Karena ajaran mereka berpusat pada power manusia, mereka menyebut ajaran mereka sebagai humanisme". Lalu. karena iblis menjadi sesembahan mereka, maka api pun menjadi media penyembahan mereka sebab iblis diciptakan dari api."
"Menyembah iblis" Mereka benar-benar menyembah iblis?"tanya Esa heran.
"Kaum Qabala menyebut iblis dengan sebutan "Lucifer yang berarti 'pembawa sinar cahaya". Iblis berasal dari kata bahasa Arab, 'ablasa' yang berarti 'putus asa'. Ia juga sering disebut "Setan", sebuah kata yang berasal dari kata bahasa Semit tua satan yang berarti "pemberontak'. Kedua kata tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap sesembahan mereka. Mereka tentu saja. tidak mengakui secara terbuka bahwa mereka menyembah iblis. Mereka menyamarkan kegiatan penyembahan mereka dengan menginfiltrasi ajaran-ajaran agama yang ada di dunia ini."
"Menginfiltrasi ajaran-ajaran agama" Maksudnya?"
"Mereka membuat bid'ah bid'ah dalam ajaran agama-agama di dunia ini, terutama agama kaum Yahudi, yakni Yudaisme dan termasuk pula agama Islam. Semua mereka lakukan demi pencapaian tujuan mereka... untuk memusnahkan semua agama di dunia ini."
"Apa" Mengapa mereka ingin memusnahkan semua agama di dunia ini?"
"Tentu saja. mereka ialah penyembah iblis. Keberadaan agama-agama yang banyak mengatur akhlak dan tata kehidupan manusia ialah tantangan terbesar bagi mereka dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran satanisme yang menekankan pada kehidupan hedonis."
"Lantas..., apa hubungan mereka dengan simbol segitiga?" Esa kembali memberikan pertanyaan.
"Segitiga merupakan simbol yang penting dalam ajaran Qabala karena melambangkan hierarki kekuasaan mereka. Para elit Qabalis duduk di puncak segitiga di mana massa yang mendukungnya menopang mereka dari bawah. Simbol segitiga juga merepresentasikan konsep 'humanisme Qabala yang menjunjung tinggi kebebasan seks. Seperti diketahui, seks melibatkan lingga dan yoni yang disimbolkan melalui dua segitiga yang saling bertumpu,"
Syaikh Rashed lalu beranjak mengambil pena dan kertas,
"Perhatikan ini," ujarnya sambil membuat Coretan di kertas yang dibawanya.
"Bintang David?" tanya Esa tak yakin.
Syaikh mengangguk cepat. "Dengar," lanjut Syaikh Rashed, "Orang-orang Qabala telah sukses menginfiltrasi ajaran agama Yahudi yang sejati. Bahkan, mereka juga sukses mengubah maknamakna pada berbagai simbol-simbol dan inti-inti ajaran agama Yahudi yang sesungguhnya. saling bertumpu mereka dis-informasikan sebagai lambang Nabi Daud Alaihissalaam."
Esa terdiam dengan kening berkerut, pertanda bahwa ia sedang menggunakan otaknya untuk bekerja.
"Simbol segitiga sangat lekat dengan Yahudi." lanjut Syaikh Rashed sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan menerawang ke langit-langit, seolah sedang berbicara sendiri.
"Tidak juga," tukas Ummi Alifa yang sebelumnya hanya diam dan menyimak perbincangan di antara Esa dan Syaikh Rashed.
"Benarkah," Syaikh Rashed berpaling pada istrinya, "kau sudah memperlajari sesuatu tentang itu, Alifa?"
"Ya. begini..," ujar Ummi Alifa hendak memulai penjelasannya,
"sebenarnya segitiga merupakan simbol yang usianya sangat tua sekali, bahkan dapat dikatakan setua peradaban manusia di muka bumi. Buktinya, simbol-simbol segitiga dapat ditemukan pada artefak artefak yang ditinggalkan manusia purba sejak puluhan ribu tahun yanglampau. Para ahli pra-sejarah tak pernah bisa menebak makna dari simbol segitiga yang dicoretkan di gua-gua tempat peradaban manusia purba. Namun. kukira ini berkaitan erat dengan fakta sejarah bahwa salah satu makna segitiga justru menunjuk pada proses penyembahan. Terlepas dari fakta bahwa simbol itu kemudian banyak digunakan oleh orang-orang Qabala atau Satanis."
"Hmmm,... maksud Ummi . bahwa makna segitiga justru menunjuk pada proses penyembahan?" tanya Esa.
"Okay. sebelumnya aku ingin bertanya...apa yang paling kau tahu tentang segitiga sebagai simbol" Maksudku apa saja yang dapat dilambangkan oleh segitiga" Sebagai seorang dosen sastra, kau pasti cukup memahami semiologi dan semiotik," Ummi Alifa balik bertanya.
Esa berpikir sejenak. Ia melihat catatannya sekilas, lalu membaca beberapa hal yang sempat dicatatnya,
"Piramida..., kuburan dalam hieroglyph Mesir kuno., Delta -aksara Yunani kuno yang juga melanbangkan diferensiasi dalam simbol matematika. Apalagi ya?"
"Bagaimana dengan gunung?" Syaikh Rashed menimpali.
"Oh ya! Gunung Tentu saja...aku lupa...ya, gunung"
Esa lalu menambahkan kata itu pada catatan yang sedang dipegangnya.
"Kau benar, suamiku," ujar Ummi Alifa sambil mengerling ke arah Syaikh Rashed,
"jadi begini, dalam huruf-huruf Funisia kuno yang kemudian dikembangkan oleh orang Yunani menjadi aksara latin, gunung disimbolkan dengan bentuk segitiga. Nah...sejak lama, dalam berbagai peradaban tertua di dunia, gunung merupakan simbol ketuhanan. Misalnya, orang Yunani meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka bersemayam di Gunung Olympus. Lalu, orang-orang Hindu meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka bersemayam di puncak Mahameru. Bahkan, orang-orang Yahudi meyakini bahwa Tuhan berada di Bukit Tursina karena Musa pernah berdialog langsung dengan Tuhan di puncak bukit itu."
"Hmmm, pengetahuanmu selalu bertambah, istriku," ujar Syaikh Rashed sambil menatap istrinya.
Terdengar nada bangga dalam suaranya. Sementara, Esa menganguk-anggukkan kepala. Ia baru memahami semua yang telah dijelaskan Ummi Alifa. Ia bahkan tak menyangka jika Ummi Alifa memiliki wawasan yang luas. Sejak hari sebelumnya, ia belum pernah mendengar istri Syaikh Rashed itu berbicara panjang lebar. Hari itu, saat pertama kalinya Ummi Alifa bicara panjang, ia dapat langsung memberikan tambahan wawasan pada Esa.
"Wah...saya tak menyangka jika pengetahuan Ummi begitu luas. Terima kasih atas informasinya, Ummi ," ujar Esa.
Umni Alifa mengangguk. Sementara Esa membuat beberapa catatan baru pada kertas catatannya.
"Sebenarnya...," ujar Syaikh Rashed tiba-tiba, "untuk apa kau membuat catatan tentang segitiga, anakku?"
Esa diam sejenak. Lalu, "Ya, saya hanya ingin menambah pengetahuan saya tentang simbol, Syaikh. Siapa tahu akan berguna dalam kuliah-kuliah Semiotika yang saya gelar di kelas."
Syaikh Rashed mengangguk angguk. Tangan kanannya mengelus janggut putihnya yang panjang.
"Syaikh," ujar Esa tiba-tiba, "Boleh saya bertanya satu hal?"
"Ya?" tanya Syaikh Rashed.
"Apakah Anda mengenal Indra Hernawan?"
Syaikh Rashed menghela napas.
"Ya, anakku," jawabnya, "aku mengenalnya. Akulah yang memperkenalkan Heri padanya. Aku mengenalnya di Kedutaan Besar Indonesia saat diundang untuk mengisi pengajian di sana. Kami cepat akrab karena ia lalu banyak bertanya masalah agama padaku. Ia sering berkunjung kemari khusus hanya untuk bertanya masalah-masalah agama. Yang kutahu, pekerjaan Indra adalah pedagang barang antik...,"
Syaikh Rashed berhenti sejenak, wajahnya terlihat sibuk mengingat-ingat sesuatu.
"Pedagang barang antik ya?" ujar Esa bergumam, seolah sedang bicara sendiri.
"Sebetulnya aku kurang yakin Jika Indra-lah yang membunuh Heri. Dugaan itu agak janggal buatku. Pertama, Indra adalah seorang muslim yang hanif, seperti halnya Heri. Ia tak pernah meninggalkan shalat. Ia juga sangat paham agamanya. Kedua, mereka sangat akrab dan nampak seperti saudara. Heri sering sekali berkunjung dan bermalam di rumah Indra. Aku sama sekali tak yakin bahwa Indra-lah yang membunuh Heri. Dugaan itu. agak janggal bagiku."
"Kami pun berpikir begitu," tukas Younnes.
"Ya," ujar Hashem menimpali Younnes, "kami bukan hanya tak yakin akan hal itu, bahkan tak percaya sama sekali."
"Kalian cukup mengenal Indra?"tanya Esa.
Mereka mengangguk. "Heri beberapa kali mengajak kami ke rumah Indra di perbatasan Melbourne dan Clayton," ujar Hashem.
"Aah...jadi kalian tahu rumahnya" Himm...bisa tidak kalian mengantarku ke sana setelah acara di Monash besok?" tanya Esa.
Younnes dan Hashem berpandangan.
"Tentu," ujar Younnes, "tapi, untuk apa kau ke sana, Esa?"
Esa mengangkat bahu, "Aku hanya ingin. bersilaturahmi dengan keluarga nya," ujar Esa tak yakin.
Younnes mengangguk. Setelah beberapa saat melewatkan waktu dengan pembicaraan yang menarik, mereka kemudian berhenti. Hari kedua Esa berada di Australia diawalinya dengan pembicaraan menarik bersama Syaikh Rashed. Beberapa pokok pembicaraannya pagi itu dirasakannya cukup berguna untuk menambah catatannya. Namun Esa kembali diselimuti kebimbangan. Di kamar yang ditempatinya, ia termenung. Untuk apa sebenarnya ia membuat catatan-catatan itu" Kemudian untuk mengusir penat, ia memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan Melbourne. Setelah pamit pada Syaikh Rashed dan Ummi Alifa, Esa beranjak meninggalkan rumah itu. Ia menimbang-nimbang hendak ke mana ia pergi. Ada beberapa objek wisata yang cukup terkenal di Melbourne seperti Melbourne Cricket Ground, yang terkenal dengan sebutan MCG, lalu ada Albert Park, tempat biasa dilangsungkannya kejuaraan FI, dan Rialto Towers, gedung ini adalah salah satu gedung tertinggi di belahan bumi selatan. Beberapa tempat lainnya seperti Federation Square, State Library of Victoria, Victorian Parlement Building, dan Melbourne Aquarium juga cukup menarik untuk dikunjungi.
Esa lalu melihat-lihat brosur pariwisata di Flinders Station. Ia tertarik melihat gambar-gambar London Arch. London Arch ialah sebuah objek wisata yang dulu dikenal dengan nama London Bridge. Tempat itu ialah sebuah bebatuan yang dulu membentuk jembatan dengan sebuahpenopang alami di tengah namun bagian yang dekat dengan pantai sudah runtuh karena erosi.
Esa menyetop taksi dan meminta sopir agar membawanya melintasi Great Ocean Road. Great Ocean Road adalah sebuah jalan yang mengikuti jalur pantai di bagian timur Geelong. Bila berkendara di jalan ini, orang dapat melihat London Arch dari jauh.
Sang sopir menjalankan mobilnya dengan sigap. Namun Esa tak tahu bahwa sopir itu tak membawanya menuju Geelong. Antara Melbourne dan Geelong terdapat sebuah bandara yang dinamakan Avalon Airport. Avalon Airport ialah sebuah bandara yang lebih kecil dari Melbourne International Airport, bandara utama kota Melbourne. Sopir taksi itu malah membawanya mendekati kawasan Avalon. Esa yang tak memahami seluk beluk Melbourne tak menaruh curiga sedikit pun pada sang sopir taksi. Hingga tiba-tiba saja sang sopir membelokkan mobilnya ke sebuah jalanan sepi. Kemudian ia berbalik dan menodongkan pistol ke kepala Esa.
*** lama setelah berada di singapura, nisa mendapatkan tiket kelas bisnis pesawat Airbus 20 milik Fly Emirates. Pada kolom tujuan di tiket tersebut tertera jelas nama tempat yang dituju Nisa. Abu Dhabi. Tak sedetik pun Nisa berkeinginan untuk keluar dari Changi Airport. Ia bahkan hanya mengantar Dino dan ibunya dengan tatapan mata. Ia sangat percaya bahwa Dino dapat mengerjakan semua pesannya. Dalam hatinya, ia bersyukur bahwa tak sulit baginya untuk meminta visa Ummi Emirat Arab dan Yaman. Beberapa hari sebelumnya, ia telah mengurus semuanya dengan baik berkat bantuan Alimuddin, teman seangkatannya di UPI yang bekerja di kedutaan Perancis. Kebetulan kawannya itu memiliki teman-teman yang bekerja di kedutaan besar Ummi Emirat Arab dan Yaman.
Perjalanan hampir tiga belas jam dari Singapura dirasakannya begitu lambat. Namun waktu memang selalu memiliki akhir. Sebelum senja menjelang, Airbus yang ditumpanginya telah mendarat di Abu Dhabi. Tanpa membuang waktu, ia mencari penerbangan menuju Aden. Namun Nisa kurang beruntung Tak satu pun pesawat akan berangkat menuju Aden. Seorang front officer salah satu maskapai malah menyarankannya agar datang lagi tiga hari kemudian.
"Tiga hari" Aku tak punya banyak waktu," keluh Nisa dalam hatinya.
Dalam kebimbangannya, Nisa beranjak ke luar bandara. Suhu sangat panas hingga ia dapat merasakan tubuhnya basah seperti mandi karena keringat yang terus menetes. Ia lantas mencari minuman. Perlu sedikit kemampuan memberikan isyarat dengan tangan di tempat itu karena tak ada satu pun orang yang dijumpainya dapat berbicara bahasa Inggris atau Perancis. Dalam kebimbangannya ia duduk di sebuah gerai makanan cepat saji tak jauh dari bandara. Sosok seseorang terus menghias ingatannya. Bukan ayahnya, namun wajah Esa. Ia khawatir sekali pada kemungkinan terjadinya sesuatu pada diri Esa, sebuah kemungkinan besar.
"Ya Allah, apa yang telah kulakukan" Aku akan mencelakakan seseorang", batinnya.
Nisa segera menghapus kalimat itu dari ingatannya dan mencoba berpikir tentang cara paling cepat untuk menemukan ayahnya. Tak jauh dari gerai tersebut, sebuah masjid mengumandangkan azan isya dengan keras. Nisa teringat bahwa ia telah melewatkan maghrib di perjalanan. Maka, dicarinya asal suara panggilan Allah itu demi menunaikan kewajibannya.
Berbeda dengan di Indonesia, masjid yang dimasuki Nisa terisi banyak jamaah shalat isya. Walau begitu, nyaris tak ada jamaah perempuan. Ini dapat dimengerti karena budaya Arab memegang teguh kredo bahwa tempat beribadah untuk perempuan ialah rumah. Semula, Nisa mengira bahwa dirinya akan menjadi satu-satunya perempuan yang mengikuti shalat isya berjamaah di situ. Namun kemudian dua sosok perempuan yang mengenakan abaya panjang nan lebar datang dan berdiri di sebelahnya ketika shalat memasuki rakat kedua. Ketika shalat isya berakhir, Nisa kembali berdiri untuk shalat maghribnya yang tertunda. Sementara dua perempuan di sebelahnya masih mengerjakan rakaat terakhir isya yang tersisa karena nasbua". Karena Nisa mengerjakan shalat maghribnya dengan cepat, ia selesai hampir bersamaan dengan dua perempuan di sampingnya. Setelah itu, masing-masing larut dalam zikir dan doa. Seusai berdoa,
"Assalaamualaikum," ujar kedua orang perempuan itu sambil menyodorkan tangannya masing-masing.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," Nisa menjawab sambil menyambut jabat tangan keduanya.
"Are you Malaysian?" tanya salah seorang dari mereka.
"You speak English?" pekik Nisa antuasias sehingga lupa menjawab pertanyaan yang diberikan padanya.
Akhirnya ada juga yang bisa diajaknya berkomunikasi.
"Of Course," ujar perempuan itu, "Anda jelas bukan orang sini. Makanya saya bertanya dengan bahasa Inggris karena Anda memiliki wajah seperti orang Malaysia."
"Oh, ya. maaf. Saya orang Indonesia," jawab Nisa."Indonesia?"tanya perempuan yang satu lagi dengan raut wajah heran.
Ia kemudian menatap Nisa dari kepala ke bawah, seperti sedang menaksir barang yang hendak dibeli. Cukup dapat dipahami jika mereka mengira Nisa ialah orang Malaysia. Di negeri itu, perempuan Indonesia umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Wajah dan dandanan Nisa tentu saja tidak menunjukkan image orang Indonesia dalam benak orang Emirat Arab. Mereka kemudian berkenalan. Kedua perempuan itu adalah kakak beradik. Maryam, sang kakak, bertubuh tinggi besar dengan wajah mirip Emilia Contessa' berkerudung. Sang adik bernama Jameela, bertubuh sepantaran Nisa dengan wajah yang lebih manis dari kakaknya.
"Are you traveling?" tanya Jameela setelah mereka selesai berkenalan.
Nisa kemudian menjelaskan bahwa ia terbang dari Singapura hendak menuju Yaman. Namun karena tak ada penerbangan langsung ke Aden dari Singapura, ia terpaksa terbang menuju Abu Dhabi dan hendak melanjutkan penerbangan ke Aden, namun ia kehabisan tiket pesawat menuju Aden. Baru saja Nisa bercerita tentang perjalanannya, wajah kedua kakak-beradik itu tiba-tiba sumringah dan cerah.
"Nisa," ujar Maryam, "kita memang bukan aktris yang sedang bermain film di bawah arahan sutradara. Namun kita harus percaya bahwa Allah memang Sutradara Terbaik yang sangat menyayangi hambahamba-Nya. Sebenarnya kami pun hendak terbang menuju Aden bersama salah seorang sepupu kami untuk mengunjungi paman kami yang hendak menikahkan putrinya di Aden. Namun sepupu kami itu mendadak membatalkan keberangkatannya karena ia mendadak sakit. Saat ini kami masih memiliki tiket jatahnya dan jika kau bersedia, kami akan memberikannya padamu!"
Batin Nisa membuncah. Seketika itu ia bersujud mengucap syukur pada Allah.
"Allah...kau begitu baik padaku", ujarnya dalam hati, "walau aku telah berlaku zalim pada hamba-Mu yang lain."
Dalam beberapa saat, mereka telah menghambur keluar dari masjid dan bergegas menuju bandara. Semua tak terasa berlalu begitu cepat. Hingga tanpa terasa, mereka telah berada dalam pesawat yang melayang menuju Aden. Nisa tak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah. Bahkan ketika berada dalam pesawat, ia terus berbicara pada Tuhannya untuk menyatakan rasa terima kasih dan syukurnya. Kedua perempuan bersaudara yang telah berbaik hati padanya tak banyak bicara saat dalam pesawat karena mereka lelap dalam mimpinya masing-masing.
Nisa baru tiba di Bandara Internasional Aden menjelang dinihari. Kota yang merupakan pelabuhan alami itu cukup indah, terbentuk dari semenanjung gunung berapi. Kerajaan Awsan ialah yang pertama membangun kota itu antara abad ke-5 SM dan ke-7 SM.
Kedua kakak-beradik yang telah berbaik hati pada Nisa menolak menerima uang untuk mengganti tiket yang mereka berikan padanya. Entah mengapa, walau Nisa telah memaksa untuk mengganti tiket itu, mereka bersikeras tak mau. Mereka mungkin iba pada Nisa karena ia orang Indonesia. Mudah dipahami bahwa orang-orang Emirat umumnya ialah orang kaya dan orang Indonesia umumnya miskin. bangsa yang dikenal sebagai bangsa pembantu". Nisa telah bercerita pada kedua bersaudara itu bahwa ia hendak pergi ke Aden untuk mencari ayahnya. Ia hanya menceritakan bahwa ayahnya pergi saat ia berusia enam belas tahun, tanpa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sekalian pula ia menanyakan apakah kakak-beradik itu mengetahui alamat yang ada padanya. Kakak-beradik itu rupanya sering mengunjungi Aden. Sekali melihat alamat tersebut, mereka langsung tahu tempat yang dimaksud dalam alamat tersebut, sebuah kebun anggur di pinggiran kota. Nisa lalu berandai-andai, apakah ayahnya bekerja di perkebunan" Kedua kakak-beradik itu memaksa Nisa agar ikut bersama mereka ke rumah paman mereka yang datang menjemput. Mereka bersikeras walau Nisa menolak halus. Mereka khawatir terjadi sesuatu pada Nisa. Menurut mereka Aden bukan tempat yang aman bagi perempuan asing yang bepergian sendiri tanpa bisa berbahasa Arab. Aden merupakan ibu kota negeri Arab dengan tingkat kriminalitas tertinggi dibandingkan ibukota negara-negara Arab lainnya.
Tanpa sungkan, Jameela dan Maryam memperkenalkan Nisa pada paman mereka sebagai sahabat mereka dari Indonesia. Paman Jameela dan Maryam bernama Amen. Ia sangat ramah dan bersahabat. Ia memiliki rumah berbentuk kubus tak jauh dari Bandara Internasional Aden. Di rumah itu, ia tinggal bersama istrinya, Aisha, dan putri mereka, Hafsa, yang akan segera menikah.
Setelah shalat subuh dan sarapan di rumah Paman Amen, Nisa bersikeras pamit untuk segera mencari alamat ayahnya. Karena keinginan Nisa yang begitu kuat dan juga didorong oleh simpati mereka, Paman Amen, lamela dan Maryam kemudian mengantar Nisa mencari alamat yang dimilikinya. Nisa pun tak dapat menolak niat baik keluarga itu. ia sudah terlanjur banyak merepotkan mereka.
Aden terdiri atas beberapa kota kecil: kota pelabuhan, kota tua Aden, kota industri, yang biasa disebut "Little Aden" dengan kilang minyak besarnya yang terkenal, dan Madinat ash-Sha'b, kota pusat pemerintahan Khormaksar dan Sheikh Othman merupakan dua kota satelit yang terletak di utara kota tua. Bandara Internasional tempat Nisa menjejakkan kaki pertama kalinya di Yaman terletak di antara kedua kota satelit Aden tersebut. Alamat yang dimiliki Nisa ternyata berada di wilayah perbatasan antara kota tua dengan Khorimaksar. Paman Anen mengemudikan mobilnya menuju tempat tersebut dengan hati-hati. Jameela duduk di sebelahnya, sementara Nisa ditemani oleh Maryan duduk manis di belakang mereka. Jalanan menuju Khormaksar cukup bagus dan lengang. Nampak jelas bahwa hanya sedikit orang Aden yang beruntung bisa memiliki mobil atau motor. Sepanjang perjalanan dari rumah Paman Amen di dekat Madinat ash-Sha'b, Nisa melihat banyaknya orang mengendarai keledai atau bughal Degree . Sekitar empat puluh lima menit berada di dalam mobil, mereka pun mendekati alamat yang dituju.
Tempat itu ialah sebuah kebun anggur dengan luas kurang dari satu hektar. Dari kejauhan, nampak hijau dan teduh. Sekeliling tempat itu tertutup oleh pagar kawat setinggi kurang-lebih tiga meter. Sebuah bangunan tegak berdiri tepat ditengah-tengah perkebunan tersebut. Nisa dapat merasakan bahwa kakinya bergetar ketika ia turun dari mobil Paman Amen. Gerbang perkebunan dari kawat menjulang, membuatnya takut. Ia lalu menghela napas dalam usahanya mengusir rasa gugup. Paman Amen, Jameela, dan Maryan tiba-tiba ikut turun dari mobil.
"Nisa, are you okay?" tanya Maryam.
Nisa mengangguk, "I little bit nervous," ujar Nisa sambil kembali menghela napas.
"Kamu mau kami temani?" tanya Maryam.
Nisa menggeleng. "Hey, you'll be alright," ujar Paman Amen mencoba meyakinkannya, "masuklah dan temui dia. Dengar. kami akan berjalan-jalan sebentar ke Khormaksar sambil mencari buah-buahan. Kau nikmatilah pertemuannu dengan ayahmu. Jadikan ini sebagai reUmmi keluarga yang hangat. Jika terjadi sesuatu atau kau tiba-tiba ingin pergi, teleponlah kami. Kami akan segera menjemputmu. Rumah kami selalu terbuka untukmu."
Paman Amen tiba-tiba memberikan salah satu ponselnya pada Nisa. Nisa lalu tak dapat membendung tangis haru.
"Kenapa kalian semua begitu baik padaku?" tanya Nisa.
"Hey, jangan begitu," sergah Jameela sambil beranjak memeluk Nisa.
"kau dan aku sama-sama seorang muslimah. Ingat, semua orang Islam bersaudara. Kau adalah saudaraku. Sudah sepantasnya aku dan keluargaku membantumu, Nisa."
Nisa mengangguk pelan. "Sudahlah biarkan dia," ujar Paman Amen pada Jameela, "bila begini, nanti dia tak akan pernah masuk ke sana."
Nisa tersenyum. Kemudian dengan perlahan, ia mencoba membuka pagar kawat setinggi tiga meter itu. Ternyata pagar itu tak dikunci. Nisa lalu bergerak masuk, diiringi tatapan mata Paman Amen sekeluarga. Langkah-langkahnya terasa berat tatkala ia semakin mendekati bangunan di tengah kebun itu, sulur-sulur anggur yang menjulur ditopang oleh tiang-tiang kayu menaunginya dari sengatan matahari pagi. Namun, ia merasakan batinnya bergejolak hebat. Ketika kakinya telah berada di ambang pintu bangunan itu, Nisa nyaris tak tahan lagi. Ia hampir ambruk terjatuh karena beratnya beban rasa yang menggelayuti pikirannya. Namun sebelum itu terjadi, ia sempat memegang daun pintu di hadapannya. Apa pun yang terjadi, ia harus melanjutkan pertaruhan besar atas keputusannya. Lalu diketuknya pintu itu dengan keras.
"Assalaamualaikum!" seru Nisa.
"Waalaikumsalam!" terdengar jawaban dari dalam bangunan itu.
Suara itu... *** "Mt ke Kalev' Stupid Idiot!" teriak Avram Meir A Beny Abrahamovic.
Tak jauh dari mereka, Moses Goldstein berdiri sambil memegangi kepalanya. "Kapan kau bisa melakukan suatu pekerjaan dengan seratus persen benar"!" lanjut Meir dengan napas memburu. Sementara, Goldstein bersikap dingin dan nampak enggan bicara. Tangannya kemudian merogoh sepucuk pistol Colt dari balik jaket kulit yang dikenakannya. Dengan tenang, ia lalu memasang peredam suara pada pistol itu. tanpa banyak bicara, ia lalu mengarahkan pistol itu ke kening Beny dan... KLIK! Seketika Beny meregang nyawa.
"Ia pantas mati," ujar Goldstein pada Meir dengan nada dingin.
"Kau benar." jawab Meir, "He's a disgrace for The Knights of Zion"
Mereka lalu duduk. Bersamaan dengan itu, terdengar dering ponsel milik Meir berbunyi. Ia kemudian mengangkatnya.
"Apa?" tanya Meir Tak lama, ia langsung mematikan sambungan ponsel.
"Moses," ujar Meir pada Goldsetein, "Joseph sudah mendapatkan dosen itu. Kita tinggal mencari ke mana pelacur berkerudung itu pergi. Hubungi kontak kita di Departemen Luar Negeri Indonesia dan cari data keberangkatannya. Jika nihil, berarti ia masih berada di Indonesia."
Goldstein mengangguk kemudian beranjak mengambil ponselnya. Sementara Meir memanggil seseorang dari ruangan lain untuk mengurusi mayat Beny.
Setelah melewatkan waktu sejenak di kamar kecil, Meir kembali memasuki ruangan di mana Goldstein sedang tersenyum sambil menimang-nimang ponselnya.
"Avram, aku tak tahu apakah kau akan suka atau tidak dengan berita ini. Pelacur berkerudung itu sedang berada di Abu Dhabi," ujar Goldstein datar.
"Bagaimana dengan ibu dan adiknya" Bisa kita culik mereka untuk memancing anjing betina itu?"
Goldstein menggeleng. "Agak sulit," jawabnya, "Saat ini mereka sedang berada di pesawat menuju Mekkah. Kau sendiri tahu, tak sembarangan orang bisa keluar masuk Mekkah, apalagi Yahudi-Yahudi tampan seperti kita," lanjut Goldsetin sambil tersenyum,
"Lebih baik kita fokuskan diri pada si kurus di Melbourne itu." "Aku jadi heran," sambung Meir, "Apa sebenarnya yang direncanakan perempuan itu?"
Mereka lalu diam dan merenung.
*** Dalam sebuah hanggar kosong DI Airport, Esa dapat merasakan dinginnya ujung belati yang menempel di keningnya. Deru pesawat di luar terdengar keras menekakkan telinga. Seorang perempuan bertubuh tinggi-besar menegang belati dan tersenyum licik sambil memandang lekat wajah Esa.
"Jadi..., bisakah kau katakan sekarang?" tanya Joseph dengan perlahan.
"Aku tak mengerti apa maksudmu," jawab Esa tegas.
Ia tak menyangka jika hari itu ia akan mengalami sebuah pengalaman yang jelas tak mengenakkan. Supir taksi yang seharusnya membawanya ke Geelong ternyata memiliki niat tidak baik padanya. Supir taksi itu berdiri tak jauh dari tempat ia terikat di kursi kayu sambil ditempeli belati di keningnya oleh perempuan bertubuh tinggi-besar itu. Ia duduk dengan tegang. Tangannya terikat ke belakang, sementara kedua kakinya dililit tali, terikat ke kaki-kaki kursi. Dengan perawakan hampir setinggi dua meter dan wajah sangar, perempuan itu mirip dengan perempuan pegulat profesional dalam WWF Smackdown'. Beberapa kali, Esa mendengar kawannya, si supir taksi gadungan yang menjebaknya ke tempat itu memanggilnya Joseph. Cukup pantas bila kawan kawannya memanggilnya Joseph, sebuah panggilan maskulin untuk perempuan yang tak feminim.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Esa dingin. Tak ada nada gentar dalan suaranya.
Joseph tersenyum. "Okay, namaku Joseph. Josephine Goldstein. Well, kini kau sudah tahu namaku. Kini cepat jawab pertanyaanku. Di mana kau simpan segitiga itu?"
Esa diam. Lalu. "BUK.." Sebuah hantaman keras menghantam kepala Esa. Seketika ia merasa pening.
"Jawab, bodoh!" teriak Joseph dekat sekali dengan telinga Esa.
Esa pun merasakan telinganya berdengung. Esa tetap diam.
"Dengar,... Kau bisa menghabiskan kesabaranku...aku bisa melakukan saja padamu saat ini!" lanjut Joseph berteriak ditingkahi suara deru pesawat di luar hanggar.
Seseorang mendekati mereka. Dia adalah supir taksi yang menjebak Esa hingga sampai di tempat itu. Joseph lalu mendekati lelaki itu. Lelaki itu lalu menyerahkan sebuah ponsel pada Joseph. Joseph menerimanya dan berbicara melalui ponsel sambil beranjak menjauh. Sementara si sopir taksi bergerak mendekati Esa. Esa gentar berhadapan dengan lelaki itu. Tubuh lelaki itu yang kekar, tinggi dan besar sangat pas dengan wajahnya yang sangar.
"Jadi, kau belum juga mau bicara," tanya si lelaki itu pada Esa.
"Okay...," jawab Esa, "sekarang giliranmu rupanya. Siapa namamu?" tanya Esa tak acuh.
Sebuah hantaman bersarang di dada kiri Esa. Ia merasakan sakit luar biasa menerima hantaman itu. Esa kembali diam. Ia tak pernah berniat untuk mengatakan pada siapa pun bahwa ia telah memberikan segitiga itu pada Nisa. Lalu. "BUK! BUK!" Dua pukulan beruntun berturut-turut mendarat di wajah dan perut Esa. Ia semakin merasa pusing dan mual. Hampir saja ia kehilangan kesadarannya. Tak beberapa lama kemudian, Joseph kembali ke hadapan Esa.
"Bagus!" Keluh Esa dalam hatinya. Kini mereka berdua hendak menyiksanya bersama-sama.
"Esa," ujar Joseph sambil kembali mengeluarkan belati militer miliknya,
"kami bisa menjadikanmu salah satu orang terkaya di Indonesia, jika kau mau bekerja sama dengan kami. Sederhana saja...kau tinggal mengatakan di mana segitiga itu. Namun. kau ingatlah bahwa kami juga bisa mengirimmu bertemu dengan Penciptamu!"
Esa menghela napas. Ia mencoba mengusir pusing dan mual akibat pukulan bertubi-tubi si badan besar.
"Kau pintar," lanjut Joseph, "aku yakin kau bisa mengambil sikap yang lebih pintar dari teman perempuanmu."
Esa tercekat. Teman perempuan" Jangan-jangan.
"Maksudmu?" tanya Esa tertahan.
"Zahra KhairUmmi sa," ujar Joseph tegas, "temanmu itu sebelumnya membuat kesepakatan untuk menyerahkan segitiga itu setelah mengambilnya darimu. Namun ia mengkhianati kami karena bersekongkol denganmu"
Esa terhenyak. Antara sadar dan tidak karena pusing, ia tak menyangka jika Nisa telah membohonginya.
"Jadi,"Joseph melanjutkan, "kita buat saja perjanjian. Kami akan memberikan imbalan yang pantas untuk segitiga itu dan informasi di mana teman perempuannu itu berada. Kau tinggal menikmati imbalan dari kami dan melupakan teman perempuanmu itu, biarkan kami yang mengurusnya."
Esa lagi-lagi diam dalam lamunan. Orang-orang itu menyangka Nisa berkomplot dengannya untuk membohongi mereka. Namun ia sendiri tak tahu. Ia tak tahu apa yang diinginkan dan direncanakan Nisa. Mengapa ia tega..."
Esa tak tahu jenis-jenis pesawat terbang. Namun di hanggar itu ia dapat melihat sebuah pesawat kecil terparkir tepat di hadapannya yang sedang terikat di kursi kayu. Pemandangan itu sesekali terhalang oleh tubuh dua makhluk yang tak henti-hentinya memukulinya hingga ia merasa pusing dan bila menatap ke depan, seakan-akan pesawat itu bergerak maju hendak menabraknya. Joseph terus memaksanya mengatakan di mana benda pemberian Heri berada. Sementara, sopir taksi gadungan yang menjebaknya ikut-ikutan sibuk memberinya beberapa pukulan yang membuatnya tubuhnya terasa remuk-redam. Entah harus berapa kali Esa mengatakan pada mereka bahwa ia tak tahu di mana benda itu berada, namun mereka tetap bersikeras menyuruhnya bicara dan mengatakan hal yang tak diketahuinya.
Dalam kondisi-kondisi tertentu saat seorang manusia berada di ujung tanduk, biasanya ia akan mengharapkan kehadiran seorang juru selamat yang akan menolongnya. Esa pun merasakan hal tersebut. Juru selamatnya ialah Allah. Batinnya menjerit meminta pertolongan pada Allah untuk segera menolongnya keluar dari situasi sulit itu. Situasi sebaliknya tentu dialami oleh Joseph dan mitranya. Mereka semakin bersemangat untuk memaksa Esa mengatakan di mana benda yang mereka cari. Entah sudah berapa kali mereka mengunakan tangan dan kaki mereka untuk menghantam tubuh Esa. Namun Esa tetap bungkam dan tak bicara sepatah kata pun. Mereka nampak semakin kesetanan. Joseph lalu kembali mengeluarkan mainannya, sebilah belati militer yang sebelumnya sudah ia gunakan untuk menakut-nakuti Esa.
"Kau membuat kesabaranku semakin menipis, kurus." bentaknya sambil nenempelkan belati itu pada kening Esa.
"Cepat katakan di mana benda itu atau kubuat kau bisa melihat jantungmu sendiri dengan pisau ini!" lanjut Joseph. Esa tetap diam. Sementara hatinya terus menjerit meminta pertolongan pada Allah.
Joseph tiba-tiba menggoreskan belati itu, memanjang dari arah dahi ke pipi Esa. Darah segar menetes mengikuti goresan belati dan Esa semakin berada jauh dari muka bumi. Hati Esa semakin melemah dan ia mulai pasrah.
"Allah...andai usiaku sampai di sini, ampunilah aku..Aku tahu bahwa aku bukan hanba-Mu yang baik, namun aku pun tahu bahwa tiada tuhan selain Engkau dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul-Mu."
"Ivan!" teriak Joseph pada partnernya. Rupanya si sopir taksi gadungan itu bernama Ivan. Beberapa pukulan beruntun dari Ivan lalu membuat Esa merasa melayang Setelah salah satu pukulan mendarat di kepalanya, Esa mulai berhalusinasi dan merasa melihat sesuatu. Ia merasa melihat Heri berdiri di depannya. Tangannya terulur pada Esa. Sementara di belakang Heri, kedua orangtuanya berdiri bersama sambil tersenyum padanya.
"Ya Allah. Jika saat ini ialah akhir hidupku di dunia. terima kasih karena telah menjemputku dengan orang-orang yang kucintai."
Sebuah pukulan kembali bersarang di dadanya dan pukulan itu malah kembali menyadarkan dan mengembalikannya ke dunia nyata. Ia pun kembali harus melihat wajah-wajah Joseph dan Ivan.
"Bagaimana" Kau sudah mau bicara sekarang"!"
Joseph berteriak tepat di dekat telinga Esa. Esa merasa telinganya berdenging dan itu menambah rasa pusing di kepalanya yang sakit. Maka ia pun hanya bisa terkulai seperti ayam sayur baru dipotong.
"Baik. baik..," ujar Esa.
Sesaat ia berusaha keras memulihkan kesadarannya,
"setidaknya. kalian bisa bercerita. siapakah kalian?"
"Untuk apa"!" bentak Joseph, "aku hanya meminta kau memilih...mengatakan di mana segitiga itu... atau kehilangan nyawamu!"
"Setidaknya...," jawab Esa lemah, "ketika aku mati...aku tahu siapa yang telah membunuhku. agar aku bisa menuntut kalian di Pengadilan Akhirat kelak."
"BUG!" Kata-kata Esa dijawab oleh pukulan keras Ivan kepelipis kirinya yang mengucurkan darah sisa goresan belati milik Joseph.
Seseorang muncul di ruang besar itu. Dalam pusing dan setengah sadar, Esa dapat melihat orang itu berkulit hitam.
"Bagaimana?" tanya si hitam pada Ivan dan Joseph.
Joseph menggeleng perlahan. Ivan mengangkat bahu sambil menatap orang itu.
"Aku sudah jengah dengan orang itu," ujar Joseph sambil menunjuk ke arah Esa, "Kau tunggulah di sini dan awasi dia. Aku hendak pergi sebentar mencari makanan untuk kita."
"Aku ikut," ujar Ivan tiba-tiba, "aku juga bosan melihat tampangnya."
Si hitam itu mengangguk. Beberapa saat kemudian Ivan dan Joseph berlalu dari ruang itu. Esa kembali berjuang mengumpulkan kesadarannya. Kini, hanya ada ia dan orang berkulit hitam yang baru saja datang. Benaknya mulai bekerja dan bertanya-tanya, apa yang hendak dilakukan orang itu padanya" Samakah dengan apa yang dilakukan Joseph dan Ivan" Orang itu memandang lekat pada Esa. Ia lalu bertanya,
"Kau tak apa-apa?" tanyanya pada Esa.
"Pertanyaan macam apa itu?" keluh Esa dalam hatinya.
Apa orang itu tak melihat wajahnya sudah babak-belur bersimbah darah. Tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Lelaki hitam itu melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya!
"Dengar..," ujar lelaki itu, "beberapa saat lagi akan ada petugas bandara yang memeriksa hanggar ini. Kau bisa meminta tolong padanya."
Dia lalu berdiri dan hendak beranjak pergi.
"Hey! Tunggu!" seru Esa, "apa maksudmu" Apa maksud semua ini?"
"Anggap saja...," jawab lelaki hitam itu, "aku berbaik hati padamu dan membiarkanmu pergi!"
"Tapi...kenapa" Apa maksudmu" Siapa kau sebenarnya" lalu.siapa kedua temanmu tadi" Joseph dan Ivan?"
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki hitam itu hanya mengangkat bahu. Ia lalu berkata,
"Kau akan tahu nanti,. mungkin," ujar lelaki hitam itu tak acuh.
Ia lalu berlalu dari ruangan itu. Sementara, Esa berjuang mengumpulkan tenaga dan kesadarannya yang tersisa. Tiba-tiba...terdengar gedoran keras dari gerbang hanggar di belakang Esa.
"Hello" Anybody there?"
Seseorang berteriak-teriak sambil mengetuk-ngetuk gerbang hanggar. Si hitam nampak terkejut. Sementara, Esa tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia lalu berteriak,
"Help! Help me! I was tortured and made hostage!"
Dengan sekuat tenaganya yang tersisa, Esa mencoba melangkah menuju sumber suara. Sementara orang di luar rupanya mendengar teriakan Esa.
"hey! What's going on there" Open the gate!" ia lalu menggedor-gedor gerbang hanggar dengan keras dan nampak mencoba membukanya dengan paksa.
"Hey! Open it!" orang di luar itu terus berteriak sambil menggedor-gedor gerbang hanggar. Esa terus bergerak perlahan menggapai gerbang yang digedor keras dari luar. Esa seperti mendapat tenaga ekstra setelah mendengar ada orang di luar yang kemungkinan dapat menolongnya. Ia terus berteriak meminta tolong. Orang di luar nampaknya meminta bantuan karena sempat hening sejenak di luar sebelum beberapa saat kemudian terdengan suara ramai-ramai orang mencoba mendobrak gerbang hangar.
*** Saat lelaki paruh baya itu membuka pintu, ia sedang memegang cangkir berisi teh. Lelaki itu berdiri tercekat di ambang pintu. Wajahnya nampak terpana melihat sosok perempuan muda di hadapannya. Cangkir yang dipegangnya tibatiba terlepas dan jatuh. Air teh hangat yang masih mengepul menggenang di sekitarnya.
"Apa kabar, Ayah?" tanya Nisa dengan suara tertahan, nampak bahwa ia mencoba menguatkan diri dalam menghadapi situasi itu. Lelaki itu diam. Bibirnya nampak bergetar.
"Saya...," ujarnya terbata-bata," mau. mas... suk dan duduk?"
Nisa bergerak mengikuti lelaki itu. Bagian muka bangunan kecil itu ialah sebuah ruang lapang tanpa ada satu furnitur pun. Tepat di tengah-tengah ruangan, terhampar sebuahpermadani tebal buatan Iran. Sebuah teko alumunium dan beberapa cangkir di sekitarnya berada di tengahtengah karpet. Nisa lalu duduk di atas permadani. Ayahnya menuang teh pada dua cangkir dengan tangan bergetar. Nisa sendiri sebenarnya tergetar dan gugup. Namun dengan sekuat tenaganya, ia mencoba menguasai diri. Ayahnya lalu menyodorkan teh ke arah Nisa, masih dengan tangan yang nampak bergetar.
"Aku...," ujar ayahnya, kembali dengan suara tertahan-tahan. Nisa melihat ke arahnya. Kemudian untuk mengusir gugup, ia meraih cangkin teh dan menghirupnya. Rasanya nikmat sekali, wangi khas teh Maroko.
"Maafkan aku, Nisa," ujar Ayahnya kemudian.
Matanya nampak berkaca kaca menatap perempuan muda di hadapannya yang sedang memegang cangkir teh. Nisa terdiam. Kemudian ia tiba-tiba mengangguk.
"Saya selalu yakin bahwa setiap manusia memiliki alasan untuk apa yang telah dilakukannya," ujar Nisa lancar dan mengalir. Ekspresinya lebih tenang, "... dan itu yang ingin saya dengar sekarang," lanjutnya.
Ayahnya menghirup napas dalam-dalam. Nampak bahwa ia belum bisa mengusir keterkejutannya, seperti halnya putrinya.
"Saya... Aku...," suara ayahnya kembali tertahan oleh ekspresi gugup.
Nisa memandang ke arahnya, menunggu ia bicara. Ayahnya kembali menghirup napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan keras."Aku sangat sayang pada kalian," ujarnya kemudian mengalir. Seiring itu, nampak pula sesuatu mengalir dari pelupuk matanya.
"Karena itu...," lanjutnya, "Sejak dulu aku mau melakukan apa saja untuk membuat kalian bahagia."
Nisa mengangguk. "Lalu?" tanyanya meminta ayahnya segera melanjutkan pembicaraan.
"Lalu suatu hari, ayahnya melanjutkan, "saat aku hendak membawa pesawat dengan rute menuju Medan dari Jakarta, seseorang datang padaku dengan membawa sebuah bungkusan. Ia meminta aku membawa bungkusan itu dalam kargoku. Aku tidak bersedia dan menanyakan isi bungkusan itu. Namun orang itu tiba-tiba menyuruhku agar tidak banyak bertanya. ia mengancam akan menghabisi seluruh keluargaku jika aku tak mau mengikuti keinginannya."
Ia lalu diam sejenak. Matanya yang sembab menatap ke arah Nisa. Nisa dapat melihat ada kilatan rindu dalam sinar mata itu. Lalu ia melanjutkan;
"Orang itu menodongkan pistol ke arahku. Aku sendiri tak ingin mempertaruhkan keselamatan keluargaku. Lalu aku mengikuti keinginannya untuk mengantarkan benda itu pada salah seorang penghubung di Medan. Kukira ia hanya akan meminta bantuanku satu kali itu saja..."
Ia kembali diam, lalu menatap Nisa. Kali itu, Nisa dapat melihat perasaan bersalah terpancar dari sorot matanya.
"Ternyata, orang itu terus menyuruhku membawa sesuatu hampir pada setiap penerbangan yang kulakukan. Setiap usai mengantarkan barang yang di titipkannya, dia selalu memberiku uang dalam jumlah banyak. Itu membuatku lupa diri. Aku malah menikmati pekerjaan sampingan itu...dan aku pun tak pernah menanyakan isi bungkusan-bungkusan yang selalu dititipkannya padaku."
Kemudian hening sejenak meliputi pertemuan mereka. Ayahnya melanjutkan;
"Lalu tiba-tiba, dua hari menjelang penerbanganku ke Ambon, aku menerima surat panggilan dari Polisi. Mereka hendak meminta keterangan dari ku berkenaan dengan kecurigaan mereka pada aktivitasku sebagai pilot yang selalu membawa banyak kargo dalam setiap penerbanganku. Orang itu lalu kembali menemuku. Ia mengatakan padaku bahwa polisi telah mengetahui kegiatan yang kami lakukan. Ketika itulah aku tahu bahwa barang-barang yang biasa kubawa dalam setiap penerbanganku ternyata adalah narkotika."
"Siapa dia?" uja Nisa tiba-tiba, memotong pembicaraan ayahnya.
"Orang itu?" tanya ayahnya.
Nisa mengangguk. "Aku biasa memanggilnya Jack."
"Dia bukan orang Indonesia?"
Ayahnya menggeleng. "Dia orang Indonesia asli. dari Medan."
"Lalu apa yang terjadi kemudian?" tanya Nisa.
"Aku marah padanya. pada Jack. Aku merasa ditipu dan dibohongi. Aku merasa bersalah pada keluargaku, termasuk padamu. Ketika itu, aku dan Jack bertengkar hebat hingga tiba-tiba ia mencabut pistol dari balik pinggangnya. Tapi aku berhasil merebut pistol itu dan."
"Ayah membunuhnya?" tanya Nisa dengan ekspresi dingin. Kali itu, nampak ia memiliki ketenangan yang luar biasa. Ayahnya mengangguk.
"Aku mengira tak akan ada yang mengetahui perbuatanku. Lalu tiba-tiba dua orang datang menemuiku. Salah satu dari mereka seorang Amerika bernama Meyer, Abraham Meyer. Yang lainnya ialah seorang jaksa. Dari mereka, aku tahu bahwa Jack, orang yang kubunuh, ialah orang penting dalam jaringan
perdagangan narkotika di Asia Tenggara. Mereka berdua pun adalah...bagian dari jaringan itu."
Nisa mengernyitkan dahinya. Ayahnya kembali bercerita,
"Mereka kemudian berkata bahwa mereka akan mengampUmmi kesalahanku. Tapi,. mereka kembali memberikan pilihan sulit. Aku disuruh memilih, dibunuh atau menghilang dan diam selamanya agar sindikat itu tetap tak terlacak oleh siapa pun."
Tiba-tiba, pelupuk mata ayahnya kembali basah. Nisa menghela napas dan memandangnya lekat.
"Aku," lanjut ayahnya, "tentu saja...sulit membuat pilihan. Hingga hari penerbanganku ke Ambon, sebenarnya aku masih belum membuat pilihan. Karena pikiranku kalut dan kacau, konsentrasiku buyar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menjatuhkan pesawat yang ku kemudikan."
"Jadi pesawat itu jatuh?"tanya Nisa.
Ayahnya mengangguk. "Di perairan Nusa Tenggara," lanjutnya, "Saat itu malam hari. Dengan cuaca buruk dan konsentrasiku yang juga buruk, aku salah membaca sistem navigasi. Kru pesawat tak sempat menyelamatkan penumpang maupun diri mereka. Ketika pesawat terhempas ke air, aku dan kopilot sempat berhasil memecah kaca di hadapan kami dengan tabung yamato yang ada di luar kokpit. Kami meloncat keluar. Hujan deras dan kegelapan malam membuat kami kesulitan melihat di mana pesawat berada sebelum kami menyadari bahwa pesawat telah tenggelam ditelan air. Kopilot dan aku lalu terpisah. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berenang di tengah ombak dan badai. Aku terus bergerak hingga tak sadarkan diri."
"Lalu?" Nisa mulai gelisah dan ingin mendengar kelanjutan cerita ayahnya.
"Saat aku bangun, aku berada di sebuah kapal penangkap ikan berbendera Australia. Rupanya aku terseret gelombang sampai ke perairan internasional. Kapal itu lalu menurunkan aku di Darwin' karena mereka tak mau memasuki perairan Indonesia. Lalu aku menghubungi Meyer dan menceritakan apa yang baru saja kualami. Keesokan harinya, Meyer datang dan menjemputku. Ia lalu memberiku paspor Australia. Entah bagaimana, namun paspor itu asli. Ada foto dan sidik jariku pada paspor itu, namun namaku digantinya. Meyer lalu memberiku seribu dolar dan tiket penerbangan ke Aden. Ia menyuruhku datang ke Aden untuk menemui seorang Yahudi-Arab bernama Saul Assyam'un. Dialah pemilik perkebunan anggur ini."
"Lalu ayah bekerja di sini?" tanya Nisa.
Ayahnya mengangguk. Kali itu wajahnya tanpa ekspresi.
"Okay. Abraham Meyer ya" Nama orang itu Abraham Meyer?"
Ayahnya mengangguk. "Dia American?"
Ayahnya kembali mengangguk.
"Ayah, apakah dia seorang Yahudi?"
"Maksudmu. Abraham Meyer itu?"
Kali itu, Nisa yang mengangguk membenarkan.
"Ya. dia Yahudi. Saul Assyam 'un yang memiliki perkebunan anggur ini juga seorang Yahudi. bukan Arab."
Nisa mengernyitkan dahi. "Apakah Abraham Meyer itu seorang pria seusia ayah dengan wajah keras dan bertubuh tinggi besar sekitar dua meter?"
Ayahnya mengangguk. Ia lalu mengernyitkan dahi sambil menatap Nisa dengan heran. "Apa wajahnya mirip dengan Jean Claude Van Dane star ?"
Ayahnya kembali mengangguk. Nisa pun mengangguk perlahan namun wajahnya menunjukkan seolah ia baru memahami sesuatu. Nisa sudah menduga sebelumnya. Abraham Meyer ialah nama dalam dialek Inggris untuk Avram Meir nama dalam bahasa Ibrani. Ia lalu mencatat nama Saul Assyam'un pada notes kecil yang ia keluarkan dari tasnya.
Klakson mobil paman Amen tiba-tiba berbunyi di luar. Rupanya mereka telah usai berbelanja.
"Dengar, Ayah," ujar Nisa seraya menghela napas, "Saya tak punya banyak waktu. Ada sesuatu yang harus saya kerjakan."
Ayahnya menatapnya. Tiba-tiba Nisa mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah amplop, lalu memberikannya pada ayahnya. Ayahnya menerimanya dengan heran. "Di dalamnya ada uang lima belas ribu dolar dan tiket pesawat ke Jeddah.".
Ayahnya semakin terheran-heran.
"Saya tak bisa berkata apa-apa sekarang. Hanya. kalau saya tidak salah, sudah lama saya tidak meminta sesuatu dari Ayah. Sekarang saya hendak meminta sesuatu. Saya minta ayah pergi ke Mekkah, lalu pesanlah sebuah kamar di Hotel Sheratton. Tunggulah selama satu pekan di sana. Saya akan menyusul ayah dan berbicara lagi dengan Ayah. Satu lagi, jangan pamit pada pemilik perkebunan ini," ujar Nisa.
Ia lalu beranjak berdiri.
"Tapi aku...," ujar ayahnya.
Nisa memotongnya dengan cepat,
"Pilihan berada di tangan ayah, jika ayah tak mau, saya tidak memaksa," ujar Nisa sambil bergerak ke luar. "Wassalamualaikum," ujar Nisa dengan cepat.
Ayahnya bergegas menuju ambang pintu. Dilihatnya Nisa sudah berada di antara gerbang perkebunan dengan bangunan itu.
"Nisa," ujarnya tertahan.
Nisa menoleh. Dilihatnya ayahnya berdiri di ambang pintu sambil memegang amplop yang baru saja ia berikan.
"Setidaknya...," ujar ayahnya, "biarkan aku mengatakan bahwa aku rindu padamu, ibumu, dan Dino."
Saat itu Nisa pun tak dapat menahan lagi perasaannya. Ia lalu berbalik kembali ke bangunan itu setengah berlari. Dengan mata berurai air, ia memeluk ayahnya erat-erat. Begitupun ayahnya. Ia mendekap Nisa erat, seolah tak ingin lagi kehilangan putrinya itu.
*** "Demi Bukit Zion, tak adakah di antara kita yang bisa berbuat benar?" keluh Avram Meir sambil menepuk meja di hadapannya dengan keras.
Di hadapannya, Moses Goldstein sibuk menghirup Marlboro dengan kaki terangkat ke meja yang baru saja ditepuk Meir.
"Bagaimana jika kita pergi ke Australia untuk mengurusi mereka langsung?" ujar Goldstein dingin sambil menghisap Marlboro-nya dalam dalam.
Meir mengangguk. Namun tampak bahwa ia tak yakin.
"Memang lebih baik kita ambil alih semua urusan ini," ujar Meir.
Tangannya bergerak mengambil bungkus rokok di meja dan mengambil sebatang dari dalamnya.
"Bagaimana dengan pelacur itu?" tanya Goldstein tiba-tiba.
"Orang-orang kita di Abu Dhabi tak berhasil melacaknya," jawab Meir.
"Ibu dan adiknya sudah berada di Mekkah. Bagaimana dengan ayahnya" Bukankah kemungkinan besar ia pergi ke Yaman dari Abu Dhabi?"
"Beberapa saat lalu aku menelpon Saul di Aden. Ia bilang Pilot sial itu sudah menghilang dari kandangnya di kebun anggur milik Saul," Meir kembali menjawab sambil menghela napas.
"Berarti kita harus langsung melacak perempuan itu," ujar Goldstein.
Meir mengangguk. "Aku akan menyuruh orang lain untuk menguntit si kurus di Australia. Kau urusi pencarian pelacur temannya," ujar Meir.
"Tunggu dulu.," ujar Goldstein seperti baru menemukan sesuatu. Ia menurunkan kakinya dari meja.
"Begini..," lanjut Goldstein, "jika dugaan kita benar bahwa si kurus dan perempuan sundal itu berkomplot membodohi kita..., maka, kemungkinan terbesar ialah. perempuan itu berada di..."
"Australia!" potong Meir cepat,
"tentu saja." "Ya. itu berarti bahwa kita memang harus ke sana...ke Australia," ujar Goldstein dingin.
"Baik," ujar Meir, "kita kerahkan semua potensi yang kita miliki. Kehormatan dan cita-cita bangsa kita sebagai bangsa pilihan Tuhan berada di pundak kita, saat ini."
*** Esa sangat berterima kasih pada scoott, jika tak ada pemuda pegawai bandar Avalon itu, ia mungkin sudah berada di alam barzah. Scott menerima tugas untuk membersihkan Hanggar bandara Avalon ketika ia menyadari bahwa seluruh pintu masuk ke hanggar itu terkunci dari dalam. Maka ia menggedor hanggar itu karena mengira ada orang di dalam. Dugaannya tidak salah walau pada akhirnya, ia menemukan sesuatu yang tak terduga.
Esa dan Scott berada di Melbourne Hospital. Scott khawatir melihat wajah Esa yang bersimbah darah dengan tubuh lebam lebam, sehingga ia membawa Esa ke tempat itu.
"Esa, kau harus lapor polisi," ujar Scott.
Esa mengangkat tangannya. Ia tak ingin berurusan dengan polisi Australia. Lagipula, apa yang akan mereka duga jika mereka tahu ia menginap di rumah Syaikh Rashed"
"Aku tak punya banyak waktu di negeri ini," jawab Esa, "Besok aku harus ke Clayton untuk menghadiri sebuah acara di Monash University. Lalu aku harus segera terbang ke Mesir."
"Siapa mereka, Esa?" tanya Scott.
Esa tertegun. Ia lalu menjawab,
"Mereka hanya bandit-bandit biasa yang hendak merampokku karena mengira aku turis kaya," jawab Esa berbohong.
Dokter menjahit luka di wajah Esa dan memberinya antibiotik serta obat penghilang rasa sakit. Esa lalu bersikeras pada dokter untuk dapat keluar dari rumah sakit malam itu juga. Ia memberikan alasan yang sama yang diberikannya pada Scott bahwa ia harus pergi ke sebuah acara penting di Clayton keesokan harinya. Ia dan dokter sempat beradu mulut sebelum dokter itu akhirnya menyerah. Namun Esa tak dapat menolak kebaikan Scott yang memaksa untuk mengantarnya pulang ke rumah Syaikh Rashed. Scott memiliki sebuah Land Rover tua. Esa duduk di samping Scott yag memacu Land Rover itu dengan kecepatan sedang menuju Flinders.
"Apa pekerjaanmu di Indonesia?" tanya Scott memulai percakapan.
"Aku seorang dosen. Bagaimana denganmu" Apa tugasmu di Avalon Airport?"
"Cleaning service," jawab Scott pendek, "well, kita memiliki jenis pekerjaan yang berbeda jauh, rupanya. By the way, kau dosen apa?"
"English Literature. Aku mengajar sastra dan sedikit linguistik."
"Ada acara apa di Clayton?" tanya Scott kemudian.
Esa lalu menjelaskan bahwa ia diundang untuk menghadiri sebuah acara tanpa menjelaskan acara tersebut. Tak lama kemudian, Land Rover itu tiba di kawasan Flinders. Esa meminta agar ia diturunkan di Stasiun Flinders. Ia tak ingin Scott tahu jika dirinya tinggal di rumah seorang Arab-Libanon yang pernah menjadi tersangka teroris. Esa ingin menjaga agar Scott tetap berpasangka baik padanya. Setelah beberapa kali berterima kasih banyak pada Scott, Esa lalu menyaksikan Land Rover milik Scott menghilang ditelan keramaian kendaraan .Jam menunjukkan pukul delapan malam lebih sedikit. Namun Esa tak merasa khawatir berjalan di Flinders malam itu. Orang-orang masih ramai lalu lalang beraktivitas.
Syaikh Rashed sangat kaget ketika Esa datang di rumahnya. Dengan wajah sebelah kanan lebam dan pipi sebelah kiri tertutup plester putih, Esa tak dapat mengelak untuk tidak bercerita bahwa ia baru saja mengalami suatu peristiwa. Namun Esa mengelak. Ia hanya berkata pada Syaikh, istrinya, dan kedua muridnya bahwa ia baru saja mengalami musibah dan ingin beristirahat karena harus pergi ke Clayton keesokan harinya untuk acara pemberian penghargaan bagi heri di Monash University. Para penghUmmi rumah mencoba memaklumi dan membiarkan Esa berbaring di kamarnya.
Esa berbaring tenang setelah menunaikan shalat isya dan maghribnya yang tertunda. Kepalanya masih terasa pusing. Sementara bekas sayatan pisau yang memanjang dari kening ke pipi sebelah kiri wajahnya terasa ngilu. Ia memikirkan pengalamannya hari itu. Esa bertanya-tanya dalam batinnya. Siapakah orang-orang itu" Mengapa mereka menginginkan segitiga pemberian heri" Benda apakah itu sebenarnya" Apakah Heri dibunuh karena benda itu" Ragam pertanyaan dalam batinnya hanya membuatnya semakin pusing dan letih. Ia pun jatuh tertidur. Dan baru bangun saat subuh menjelang.
Setelah shalat subuh, Esa bersiap-siap untuk acara hari itu. Ia mengenakan setelan jas terbaik yang dimilikinya. Sejak subuh pula Syaikh Rashed terus memancingnya untuk bercerita tentang apa yang terjadi hari sebelumnya. Namun Esa tetap enggan, dan Syaikh Rashed pun tak bisa berbuat apa-apa. Kurang lebih pukul delapan pagi, Esa berpamitan pada Syaikh Rashed. Sang Syaikh yang nampak mengkhawatirkan Esa lalu menyuruh Younnes dan Hashen untuk mengantar Esa ke kampus Monash di Clayton. Kebetulan hari itu mereka berdua juga hendak pergi ke perpustakaan kampus. Syaikh Rashed bahkan menyuruh Younnes dan Hashem untuk menggunakan mobil miliknya. Syaikh dan istrinya menghantar mereka bertiga hingga ambang pintu rumahnya.
Esa duduk di belakang Younnes dan Hashem yang memegang kemudi. Dari kawasan Flinders, mereka pun meluncur menuju Clayton. Setiba di Kampus Monash yang megah, Esa dan kedua murid Syaikh Rashed menyempatkan diri berjalan-jalan mengitari area kampus. Kampus Monash di Claytonmemiliki luas 1,1 Km dan merupakan Kampus Monash terbesar. Selain di Clayton, Monash masih memiliki tujuh kampus lain. Lima di antaranya berada di Negara Bagian Victoria. Senentara, dua kampus lain berada di luar negeri. Satu di Runway, Malaysia, dan satu lagi di Ruinsig, Afrika Selatan. Mereka juga memiliki dua centre di Prato, Italia, dan London, Inggris. Esa menjelajahi kampus yang memiliki moto "Ancora Imparo" itu dengan perasaan kagum. Walau baru berdiri pada 1958, Monash ialah Universitas terbesar di Australia dengan jumlah nahasiswa mencapai 55.000 orang. Universitas yang mengambil nama seorang Jenderal Australia itu", memiliki gedung-gedung bagus yang juga dinamai dengan nama-nama orang terkenal dari Australia.
Tak lama kemudian, mereka bertiga telah berada di School of Languages, Cultures and Linguistics, Monash. Vice Chancellor Monash, Professor Jerry Larkins, menyambut kedatangan mereka di lobi aula School of Languages, Cultures and linguistics. Setelah berbasa-basi sejenak, Professor Larkins mengajaknya memasuki ruang utama aula.
Acara itu berlangsung cepat. Pertama hanya berisi sambutan dari Chancellor Monash dan pembimbing tesis serta promotor Heri. Setelah itu, penghargaan segera diberikan. Penghargaan itu berbentuk medali yang terbuat dari emas dan sejumlah uang yang harus segera Esa serahkan pada keluarga Heri setibanya di Indonesia. Esa menerima penghargaan itu mewakili keluarga Heri dan memberikan sepatah-dua kata di depan forum. Setelah itu acara pun usai.
Ketika acara telah usai, tiba-tiba seseorang datang menghampiri Esa. "Excuse ne, Mr. Wiradika?" ujar bule itu.
"Yes?" tanya Esa.
"Someone's looking for you She is waiting at the gate," lanjutnya.
"Okay. Thank you," jawab Esa.
"She" Siapa dia?"
Esa beranjak ke gerbang aula. Ia kaget walau, entah mengapa, dalam hatinya ada sedikit perasaan senang. Dilihatnya Nisa sedang bersandar ke pintu aula sambil menatap ke arahnya. Esa mengangkat tangan kanannya, memberikan isyarat pada Nisa untuk menunggu. Kemudian Esa beranjak kembali ke dalam. Ia berpamitan pada beberapa petinggi universitas yang masih berada di dalam aula dengan alasan bahwa ia memiliki beberapa agenda penting lain yang harus dikerjakan. Nisa masih bersandar di tempat yang sama ketika Esa kembali. Tangannya terlipat di dada. Ia mengenakan gamis kelabu panjang dengan jaket parasit hitam yang panjangnya hampir mencapai lutut. Kerudung berwarna senada dengan pakaian membungkus kepalanya. Sementara sebuah tas selempang berwarna hitam tersampir ke pundak kirinya.
"Assalaamualaikum, Esa," ujar Nisa seperti biasa.
Ia nampak sedikit terkejut melihat luka-luka di wajah Esa.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Esa.
Ia lalu menundukkan kepalanya setelah menyadari bahwa Nisa sedang menatap lekat wajahnya.
"Hey, ada apa dengan wajahmu?" ujar Nisa.
"Hey, bisa kauceritakan ada apa denganmu" Apa yang membuatmu datang ke sini" Dan apa hubunganmu dengan bule-bule aneh yang membuat hiasan di wajahku?" balas Esa dengan nada tanya yang sama seraya mengangkat wajahnya.
Kali itu, Nisa yang tertunduk menghadapi tatapan Esa.
"Jalan-jalan, yuk?" ajak Nisa tiba-tiba.
Esa menghela napas. Namun akhirnya ia mengikuti Nisa yang bergerak menjauhi tempat itu.
"Kita menghadapi masalah besar," ujar Nisa mengawali pembicaraan.
Esa terdiam mendengarkan.
"Aku pernah bercerita padamu tentang ayahku, kan?" lanjut Nisa kemudian.
Esa mengangguk dingin. "Sebulan yang lalu, saat aku berada di Singapura, seseorang datang padaku. Ia seorang Yahudi dan memperkenalkan dirinya. Namanya Avram Meir. Ia menunjukkan foto-foto ayahku padaku. Ayahku masih hidup, Esa!"
Esa terbelalak kaget. Namun Nisa bersikap biasa, lalu melanjutkan ceritanya,
"Si Meir itu lalu bercerita bahwa dulu, ayahku terpaksa 'menghilangkan diri karena suatu hal yang nyaris tak kupercaya. Ayahku terlibat penyelundupan obat-obat terlarang. Karena ayahku pilot, kargo pilot biasanya tak terlalu dicurigai oleh petugas-petugas bandara. Nah,. beberapa saat sebelum ayahku hilang", aktivitasnya tercium aparat keamanan. Ia lalu lari ke Yaman dan tinggal di sana dengan identitas palsu."
"Lalu"' tanya Esa, mulai tertarik.
"Meir berjanji untuk mempertemukan aku dengan ayah...dengan syarat..."
"Apa syaratnya?" desak Esa.
Nisa diam sejenak lalu berhenti melangkah. Kerongkongannya terasa tercekat. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke gedung-gedung di kampus itu.
"Maafkan aku sebelumnya. syaratnya. aku membantunya mencari tahu keberadaan sebuah benda. benda yang kau terima dari Heri." ujar Nisa.
Setelah itu ia merasa baru nelepaskan beban berat dari pundaknya. Namun tak urung matanya mulai berkaca-kaca.
"Bagus." jawab Esa dingin, "dan kau baru mengatakan semua ini setelah aku hampir dibunuh orang kemarin."
"Sekali lagi maafkan aku, Esa," Nisa memohon lirih.
Air yang berada di pelupuk matanya mulai turun, mengalir ke pipinya yang halus.
"Siapa mereka?" tanya Esa.
"Maksudmu?" Nisa tak mengerti.
"Orang-orang Yahudi itu?" Esa memperjelas. Nada suaranya masih dingin.
Nisa menghapus air dari pipi dan matanya, lalu menghirup napas dalam.
"Aku tak tahu. yang kutahu mereka memiliki banyak orang yang tersebar di banyak negara."
"Kau sudah menemui ayahmu?"
Nisa lalu menceritakan semua yang ia alami. Mulai dari saat meninggalkan rumahnya dengan menumpang mobil Pizza Hut hingga ia bisa berada di tempat itu.
"Kau masih menyimpan benda itu?" tanya Esa setelah Nisa usai bercerita.
Nisa mengangguk cepat. "Kenapa mereka begitu menginginkan benda itu ya" Apakah orang-orang itu juga yang membunuh Heri" Apa kita harus lapor pada polisi?" tanya Esa sambil termenung. Ia nampak seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Esa," ujar Nisa, "ada beberapa alasan yang membuat kita tak Mungkin menceritakan masalah ini pada orang lain. Pertama, masalah pembunuhan Heri ialah sebuah masalah internasional. Coba kamu pikir, seorang mahasiswa Universitas Australia asal Indonesia dibunuh di Ethiopia. Pada polisi mana kita harus melapor" Lagipula apa yang hendak kita laporkan" Masalah kedua, kita tak tahu dengan siapa kita berurusan. Entah mengapa, setiap aku memikirkan kemungkinan melaporkan apa yang kita ketahui pada polisi, perasaanku selalu menolak. Yang ketiga, kita tak tahu benda apa yang kita miliki dan apa yang membuat orang-orang misterius itu begitu menginginkan benda tersebut."
Esa mengangguk perlahan satu kali. Entah mengapa, perasaannya pun selalu menolak setiap kali ia memikirkan kemungkinan melaporkan apa yang ia alami dan ketahui pada polisi.
"Kau ada ide tentang benda apa yang sebenarnya diberikan Heri padaku?" tanya Esa.
Nisa mengangkat bahu. "Yang tahu masalah itu tentu saja hanya Heri dan orang-orang itu. Oh, ya, juga orang yang bernama Indra Hermawan itu."
Indra" Esa langsung termenung. "Punya hipotesis"' tanya Esa tiba-tiba.
Nisa mengangguk. "Begini, " ujar Nisa, "Heri dibunuh karena suatu hal. Kita kesampingkan dulu apa hal itu, yang jelas dia dibunuh karena suatu hal .Indra yang berada bersama Heri di Addis Ababa mengetahui atau bahkan menyaksikan pembunuhan itu. Malah, mungkin dia juga menjadi target pembunuhan. Namun dia berhasil lari dan." Uraian Nisa terpotong.
"Dan datang ke Indonesia untuk mengantarkan paket itu kepadaku" Itu tak masuk akal, Nis!"
"Ya, masuk akal ...," sergah Nisa, "Dia sengaja masuk ke Indonesia secara ilegal karena dia tahu bahwa dia sudah dijadikan tersangka dalam suatu kejahatan yang tidak dilakukannya."
"Justru itu, Nis. Terlalu berisiko baginya untuk pergi ke Jakarta dari Addis Ababa secara ilegal hanya demi mengantarkan sebuah gantungan kunci berbentuk segitiga padaku," tukas Esa.
Nisa terdiam. "Esa benar," pikirnya.
"Sudahlah, Sa. Mungkin kelak kita bisa mengetahui ada apa sebenarnya dengan semua ini," ujar Nisa.
Esa dan Nisa kembali terdiam. Dalam diam, mereka mencoba menyusun pikiran dan mereka-reka tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Hemm. Indra Hernawan itulah kuncinya," ujar Esa tiba-tiba.
Nisa mengangguk. "Ya. benar.dialah yang paling memahami masalah ini. Andai saja kita bisa bertatap muka dengannya."
*** Esa memperkenalkan Nisa pada younnes dan Hashem. Mereka berdua sengaja menunggu Esa di tempat parkir School of Languages, Cultures and Linguistics. Setelah menyaksikan Nisa berbasa-basi dengan kedua murid Syaikh tersebut, Esa bertanya pada mereka.
"Younnes, Hashem, bisakah kalian ceritakan padaku tentang Indra Hermawan" Apa pun yang kalian tahu tentangnya."
"Hah" Bukankah Syaikh Rashed sudah bercerita tentang dia padamu?" Younnes balik bertanya.
"Maksudku, hal-hal lainnya. misalnya tempat tinggalnya, terus keluarganya bagaimana, apa dia sudah menikah,... yaaa... lain-lainnya, begitu."
"Well, tak banyak yang kami tahu," ujar Hashem.
Mereka lalu diam sejenak. Younnes lalu bercerita;
"Orangtuanya berasal dari Padang namun mereka sudah menetap selama dua puluh tahun di Australia. Terus, aku maupun Hashem beberapa kali sempat diajak oleh Heri ke rumah orang itu. Dia agaknya seorang eksentrik yang gemar mengumpulkan benda-benda aneh. Di rumahnya juga banyak barang-barang aneh. Pekerjaannya menjual barang-barang seperti koin dari Zaman Dinasti Ming, tembikar khas Aborigin, lukisan-lukisan klasik, ya. seperti itulah."
Esa terdian sambil mengernyitkan dahinya.
"Sejak kemarin, kuperhatikan bahwa kau sangat ingin tahu tentang Indra Hermawan" Apa ada sesuatu?" lanjut Hashem.
"Ah, tidak ada apa-apa. aku hanya tertarik waktu tahu dia itu pedagang barang antik. Hei, kira-kira, Heri pernah mendapat barangantik tidak dari orang itu?"
"Kami tak tahu," jawab Younnes, "tapi beberapa kali aku sempat melihat Heri mendapat manuskrip-manuskrip tua dari orang itu. Yaa, kau tentu tahu bahwa Heri mendalami bidang filologi dalam penelitian untuk disertasinya."
"hmm, berarti memang Heri punya alasan untuk berteman dengan orang itu."gumam Esa.
"Tentu saja. Kau pasti tahu kalau Heri sangat tergilagila pada filologi...jadi, dia sangat tertarik membaca manuskrip-manuskrip tua," Hashem menimpali.
"Kalian tahu alamatnya di Australia, kan?"tanya Esa tiba-tiba.
"Ya," jawab Younnes dan Hashem hampir bersamaan.
"Kami sempat beberapa kali diajak Heri mengunjungi rumah Indra Hernawan di sebuah kawasan antara Melbourne dan Clayton," lanjut Hashem.
"Apakah masih ada keluarganya yang tinggal di rumah itu?" tanya Esa.
"Kalau aku tak salah, ia tinggal dengan ibunya di rumah tersebut," jawab Younnes.
"Bisakah kalian mengantar kami ke sana?"
"Tentu saja, jawab Hashem, "kemarin kau sudah menanyakannya dan kami sudah menyanggupinya, kan" Lagipula, kami sudah berjanji pada Syaikh Rashed untuk mengantar dan menjagamu. Tapi, aku ingin bertanya sekali lagi. aku penasaran. sebenarnya, untuk apa kau ke sana?"
"Ah, tidak...," jawab Esa, "kami hanya ingin bersilaturahmi dengan keluarga dari kawan dekat Heri. Kawan Heri adalah kawanku, berarti dia pun adalah kawanku juga."
*** Esa dan Nisa sepakat untuk mendatangi rumah Indra Hernawan. Mereka berharap ada sesuatu yang bisa diketahui dari orang yang mungkin masih berada di rumah itu. Dalam beberapa saat, mobil milik Syaikh Rashed telah menyusuri jalanan yang menghubungkan Clayton dan Melbourne. Dengan santai, Hashem mengemudikan mobil hati-hati. Esa menatap ke luar melalui jendela. Mobil-mobil hilir mudik di jalanan dengan cepat tanpa terhambat kemacetan. Benar-benar negeri yang mengagumkan. Sesuai rencana, mereka lalu tiba di rumah tujuan. Rumah itu tak terlalu besar, namun terlihat cukup nyaman dan memiliki pekarangan yang nampak asri dengan bunga-bunga bermekaran. Seperti umumnya rumah di Australia, tak ada pagar di muka rumah. Kondisi rumah itu menunjukkan bahwa cukup terpelihara dengan baik, pertanda ada orang yang merawatnya. Younnes dan Hashem kemudian menurunkan Esa dan Nisa di depan rumah itu. Mereka berkata pada Esa bahwa Syaikh Rashed meminta dibelikan beberapa buah buku di Clayton, jadi mereka tak dapat menyertai Esa dan Nisa mengunjungi rumah Indra tersebut, namun akan kembali untuk menjemput setelah selesai membeli buku. Setelah turun dari mobil, Esa kemudian berjalan menyusuri carport di muka rumah bagian samping hingga tiba di depan pintu. Nisa mengikutinya di belakang. Saat berada di muka pintu, Nisa melihat ada bel di pojok kiri atas dekat pintu. Tangan Nisa lalu meraih bel itu dan menekannya. Terdengar suara bel berdentang di dalam rumah. Namun mereka tak mendengar ada suara orang di rumah itu. Nisa lalu mencoba menekan bel untuk yang kedua kalinya. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah orang mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka sedikit dan nampak raut wajah khas Indonesia, seorang perempuan paruh baya berkerudung. Ia terheran-heran melihat mereka, seorang lelaki dan seorang perempuan berwajah Indonesia.
"Can I help you?" ia bertanya dengan bahasa Inggris.
"Yes, ma'am. We're from Indonesia." belum usai Esa berkata, sang tuan rumah telah memotong dengan cepat,"Ah. Tentu saja, wajah kalian wajah Indonesia. Kalian wartawan?"
"Bukan, Bu," jawab Nisa, "Kami..," ia kebingungan melanjutkan kalimatnya.
"Saya tak punya waktu untuk bicara dengan wartawan, maaf." ujar perempuan itu.
Ia kemudian bergerak hendak menutup pintu, namun Esa refleks menahan pintu dan berkata,
"Kami bukan wartawan, Bu. Kami adalah kerabat Heriansyah yang beberapa waktu lalu pergi bersama Indra ke Ethiopia."
Sejenak perempuan itu diam. Kemudian ia memandang ke arah Esa dan Nisa bergantian. "Siapa kalian?" tanya perempuan itu..
"Kami..." ucapan Nisa kembali tertahan. "Maaf," uja Esa sambil mengukir senyum, "sebelumnya, perkenankan kami memperkenalkan diri, Bu. Nama saya Maheswara Wiradika dan ini adik saya, Zahra KhairUmmi sa. Kami mengetahui alamat rumah Ibu ini dari murid-muridnya Syaikh Rashed."
"Syaikh Rashed!" potong ibunya Indra.
"Ya, Syaikh Rashed. Ibu kenal beliau?" "Ah. Tentu saja," jawab perempuan itu, "Ah, saya ingat sekarang. beberapa murid Syaikh Rashed pernah berkunjung ke sini bersama Heri, sekali atau beberapa kali," ujarnya mulai ramah. "Saya Rini, ibunya Indra," ujar perempuan itu.
Ia lalu menggerakkan tangannya dan mempersilakan mereka masuk. Rumah itu tak besar, namun memiliki dua lantai. Di lantai pertama, ada beberapa ruang yang pintunya dapatterlihat ketika Esa dan Nisa masuk. Sebuah tangga menunju lantai kedua berada di antara ruang depan dan tengah rumah. Esa dapat melihat bahwa di dinding rumah itu banyak terdapat lukisan-lukisan dan pajangan-pajangan lain yang antik, persis seperti yang diceritakan Younnes dan Hashem. Bu Rini mengajak mereka melewati ruang yang dipenuhi pajangan hingga ke pojok dan tiba di ambang pintu sebuah ruangan. Setelah membuka pintu ruangan itu, ia mengajak keduanya masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan itu nampaknya sebuah perpustakaan. Rak buku dengan buku buku yang berderet berada pada keempat dinding ruangan tersebut. Sebuah meja panjang berada di tengah ruangan dengan beberapa kursi berderet di sepanjang sisi meja. Bu Rini lalu mempersilakan mereka duduk di kursi-kursi yang berderet itu, lalu keluar dari ruangan itu dan meminta mereka menunggu sejenak. Nisa memilih kursi di bagian tengah meja, dan duduk dengan tenang. Esa tidak duduk. Ia berjalan mengitari ruangan itu dan melihat buku-buku yang terpajang di rak rak. Esa merasa takjub. Ia belum pernah menemukan rumah yang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak itu. Tak lama kemudian, Bu Rini tiba di ruangan itu sambil membawa baki yang memuat sebuah teko berukuran sedang dan empat buah Cangkir. Ia menyimpan baki itu di ujung meja, lalu menarik salah satu kursi dan duduk menghadapi Nisa. Esa segera duduk, tak lama setelah Bu Rini memasuki ruangan itu.
"Okay, Let's have a talk," ujar Bu Rini sambil menghela napas.
"Kami hanya ingin bersilaturahmi dan bertanya beberapa hal tentang Indra." ujar Esa, "kalau boleh, ia melanjutkan dengan nada tak yakin. "Kebetulan kami sedang ada acara di Monash University, jadi sekalian saja kami mampir. Kami mohon maaf bila kedatangan kami mengganggu kenyamanan Ibu, namun kami benar-benar memiliki maksud baik," Nisa melanjutkan.
"Saya percaya," jawabnya sambil tersenyum ramah.
"Ya, Bu. Kami hanya ingin bersilaturahmi dengan keluarga Indra. Ketika di Indonesia, Heri ialah sahabat saya dan sahabat Heri ialah sahabat saya juga Berarti, Indra pun ialah sahabat saya."
Bu Rini menganguk. "Saya sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa Heri di Ethiopia. Namun, terus terang, saya tak yakin bila Indra yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut."
"Kami dapat memahaminya, Bu," Nisa menimpali, "Kami juga tak yakin bahwa Heri dibunuh oleh Indra."
Sejenak mereka terdiam. Kemudian, Bu Rini kembali membuka percakapan, "Saya ingat bahwa Heri dan Indra sangat akrab sekali. Makanya, saya tak percaya pada berita yang ditulis di koran-koran bahwa Indra adalah penyebab kematian Heri. Bukan bermaksud membela anak sendiri, ya... tapi saya sangat mengenal perilaku Indra. Jangankan membunuh, disuruh menyembelih ayam pun ia tak mau. Yaa. Dia tak jauh berbeda dengan adiknya."
"Jadi, Indra punya adik ya, Bu?" tanya Esa.
"Ya. Indra lahir kembar. Saudaranya namanya Bayu."
"Kembar?" tanya Esa seolah meyakinkan.
"Ya," jawab Bu Rini, "Wah, jika Nak Esa bertemu dengan mereka berdua, pasti sulit membedakan mereka."
Esa dan Nisa mengernyitkan dahi. Sementara Bu Rini menghela napas dan menatap ke dinding. Foto Indra terpajang di sana.
"Ohya, Bu," ujar Nisa tiba-tiba, "Bayu tinggal disini juga ya?"
"Oh. Iya. Ia bekerja disebuah biro perjalanan wisata yang memandu turis-turis. Tapi sekarang ia sedang pergi keluar."
"Oh ya?" tanya Esa.
"Bayu pergi sejak pagi tadi."
"Ke mana Bayu pergi, Bu?" tanya Esa.
"Dia bilang ia hendak menjual sesuatu pada kliennya. Oh ya, Bayu melanjutkan usaha Indra dalam jual-beli benda-benda kuno dan antik."
"Benarkah?" tanya Esa.
"Ya." Mereka diam sejenak. Pembicaraan itu kemudian berlanjut. Bu Rini menjadi lebih berinisiatif dan terbuka dalam bercerita.
"hmmm. Kapan kira-kira Bayu pulang, Bu?" tanya Esa tiba-tiba.
"Mungkin sore nanti. Memang kenapa?" tanya Bu Rini.
"Ah, tidak. Mendengar ibu banyak bercerita tentang Indra dan Bayu tadi, saya jadi ingin bertemu dengan Bayu," jawab Esa.
Dering telepon dari ruang tengah rumah itu tiba-tiba terdengar nyaring.
"Sebentar ya" Ibu mau terima telepon dulu. Nak Esa dan Nak Nisa, silakan diminum tehnya," ujar Bu Rini sambil berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan tersebut.
Tak lama kemudian, Bu Rini kembali memasuki ruangan itu. Ia masih tersenyum pada Esa dan Nisa.
"Maaf, ya, agak lama. Kebetulan tadi Bayu menelpon. Rupanya ia juga ingin bertemu dengan kalian berdua," ujar Bu Rini.
Mereka menatap Bu Rini. "Benar, Bu?" tanya Esa.
Bu Rini mengangguk. "Kalau kalian tak keberatan, Bayu meminta kalian menunggunya. Ia sedang berada di perjalanan. Sekitar dua puluh menit lagi ia sampai," jawab Bu Rini.
Mereka lalu mengangguk pertanda setuju. Setelah itu, perbincangan dengan Bu Rini kembali berlanjut. Topik mereka tetap berkisar pada keluarga Bu Rini. Sesekali, perbincangan beralih pada kenangan tentang Heri .
Deru mobil di luar rumah terdengar keras, sehingga menghentikan pembicaraan Esa, Nisa an Bu Rini. Karena suara mobil begitu dekat, Esa tahu jika mobil itu berada di Cart port depan rumah. Bu Rini beranjak ke depan dan meminta Esa untuk menunggu bersama Nisa.
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia datang," bisik Nisa.
Esa mengangguk. Tak lama kemudian, Bu Rini memasuki ruangan bersama seseorang. Tubuhnya tinggi dan kurus. Sorot mata yang tajam tersembunyi dibalik kacamata minus yang dipakainya. Rambut lelaki itu panjang dan diikat seperti ekor kuda. Jaket hijau-militer menutup kameja putih yang dipakainya.
"Assalaamualaikum," ujar lelaki itu mengucap salam.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Nisa dan Esa hampir bersamaan seraya berdiri menyambut kedatangannya.
"Silakan duduk. silakan," ujar lelaki itu sambil menarik kursi di hadapan Esa dan Nisa.
Bu Rini menempati kursi tempatnya semula, di samping lelaki itu.
"Anda Bayu?" tanya Esa dengan nada ragu.
"Ya," jawabnya singkat. "Dan ini." ujar Bayu sambil menunjuk ke arah Nisa.
"Saya Nisa, Zahra KhairUmmi sa. Saya kakaknya Esa," tukas Nisa.
Bayu mengangguk .Sementara Bu Rini terheran-heran.
"Kakaknya" Tadi, Nak Esa hilang nak Nisa ini adiknya. Bagaimana ini?"
Nisa menunduk sambil tersenyum simpul. Sementara Esa menarik napas panjang. Inilah kebiasaan Nisa, tak mau mengalah hanya karena ia lebih tua dua tahun dari Esa. Esa mengeluh dalam hati.
"Ya. yang jelas, kami memang bersaudara, Bu," jawab Esa sambil tersenyum.
"Oh...saudara dadakan ya?" tanya Bayu sambil tersenyum pula.
Esa mengangguk sambil tetap tersenyum.
"Sengaja berkunjung ke Australia?" tanya Bayu.
"Iya. Kebetulan saya diundang untuk menghadiri sebuah acara di Monash University Selain itu, saya juga diminta oleh Ibunya Heri untuk membereskan beberapa barang Heri di apartemennya."
Bayu kembali mengangguk. "Oh ya, omong-omong, Esa menginap di mana?" lanjut Bayu..
"Saya menginap di rumahnya Syaikh Rashed, guru mengajinya Heri, dekat Flinders."
"Hmmm, yah. Heri memang orang baik. Saya sempat beberapa kali bertemu dengannya," ujar Bayu. Ia lalu menoleh pada ibunya.
"Ya. Sayangnya, orang baik tak selalu bernasib baik," ujar Esa tanpa ekspresi.
"Begini,kami pikir peristiwa kematian Heri tak ada hubungannya dengan Indra. Bagi saya, Indra sama sekali tak memiliki motif untuk membunuh Heri," lanjut Bayu.
"Dugaan kami pun begitu," tukas Esa.
"Ya. Memang ada sesuatu yang janggal dengan kematian Heri. Namun, saya berani memastikan bahwa Indra bukan pelakunya," timpal Bu Rini.
"Peristiwa ini memang aneh," ujar Esa.
"Polisi menduga bahwa Indra kini berada di Indonesia. Nah, kebetulan Esa sebagai sahabat Heri sedang berada di sini. Saya jadi ingin bertanya, apakah kalian menemukan tanda-tanda keberadaan Indra di Indonesia?" tanya Bayu.
Esa mengangkat bahu. Benaknya berpikir keras. Perlukah ia menceritakan pada Bayu bahwa ia menerima paket dari seseorang yang mengaku sebagai Indra"
"Tidak...," jawab Esa dengan nada tak yakin, "Lagipula, kenapa kamu berpikir bahwa saya mungkin sempat melakukan kontak dengan Indra?"
"Setahu saya tak banyak kenalan Indra di Indonesia," jawab Bayu, "Jadi, ya. siapa tahu."
Mereka lalu diam. "Hmmm. sebaiknya besok aku ikut denganmu ke apartemen Heri. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk di sana," ujar Bayu memecah kebisuan.
"Baiklah. Besok aku ke sini sebelum ke Clayton lagi," ujar Esa.
"Jam berapa?" tanya Bayu.
"Agak pagi mungkin."
Tiba-tiba, bel berdentang. Esa menghela napas.
"Pasti Younnes dan Hashem yang datang."
Benar dugaannya. Tak lama kemudian Bu Rini masuk ke ruangan itu dan memberitahukan kedatangan dua pemuda Arab yang hendak menjemput Esa dan Nisa. Esa pamit pada Bu Rini dan Bayu. Mereka lalu mengantar ke ambang pintu.
"Sampai jumpa besok," uja Bayu sambil menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.
Esa mengangguk dan menyambut uluran tangan Bayu. Tak lama kemudian, ia dan Nisa telah berada di jok belakang mobil. Younes, seperti biasa, duduk di samping Hashem yang menegang kemudi. Mobil itu pun melaju menuju Flinders.
Ketika tiba di Rumah Syaikh Rashed, Esa memperkenalkan Nisa sebagai sepupunya pada Syaikh Rashed dan Ummi Alifa. Ummi Alifa senang karena akhirnya ia bisa melihat seorang perempuan berkerudung menginap di rumahnya. Menurutnya, ia bosan harus bersembunyi bila ada tamu yang menginap karena tamu Syaikh Rashed umumnya lelaki. Seperti halnya Esa, ketika ia pertama berkunjung ke rumah itu, Nisa pun tak dapat menolak kebaikan tuan rumah yang memaksanya menginap di rumah itu. Apalagi, ia tak tahu harus di mana tinggal selama di Australia. Ia melewatkan waktunya dengan baik bersama istri Syaikh Rashed itu. Beberapa saat setelah shalat maghrib berjamaah, ia membantu Ummi Alifa menyiapkan makan malam di dapur. Sementara, Syaikh Rashed bersama kedua muridnya mendaras Qur'an di mushala. Esa kembali merasa pening dan ingin berbaring sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya yang masih terasa remuk setelah peristiwa hari sebelumnya.
"Nisa," ujar Ummi Alifa tiba-tiba saat Nisa sedang memotong bawang. "apa kau benar-benar sepupunya Esa?"
Nisa mendadak terdiam. Tangannya masih memegang pisau dan bawang.
"Sebetulnya bukan, Ummi ," jawab Nisa, "tapi kami memang seperti saudara, sangat dekat."
Nisa lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Kau harus berhati-hati. Tak baik jika seorang perempuan terlalu dekat pada seorang lelaki yang bukan muhrimnya."
"Ya, Ummi . Terima kasih atas nasihatnya."
"Apa kau punya perasaan tertentu padanya?"
"Maksud Umi?" tanya Nisa tak mengerti.
"Ya...perasaan. Maksudku, apa kau jatuh cinta padanya?"
Nisa mendadak tertawa pelan mendengar pertanyaan Ummi Alifa. Umni Alifa tersenyum.
"Kamu ini malah tertawa. Memang kenapa" Pertanyaanku salah?"
Nisa masih tertawa. "Saya jatuh cinta pada Esa, Ummi " Yang benar saja."
Nisa lalu membayangkan ia bersanding dengan Esa sebagai pengantin dan lagi-lagi tak dapat menahan tawanya. Dengan Esa" Esa yang kurus, berkacamata, dan tampangnya selalu dingin pada siapa pun"
"Hey, sudahlah. Aku kan hanya bertanya. Kau inimalah tak berhenti tertawa," ujar Ummi Alifa sambil tersenyum.
Nisa masih menahan tawa ketika memberikan bawang yang telah dipotong pada Ummi Alifa. Sesekali, tawanya yang ia tahan masih dapat meluncur keluar. Lalu Nisa melamun. "Menikah dengan Esa?" Batinnya.
Sementara, Esa berada di kamar yang telah menjadi kamarnya selama empat hari terakhir. Ia lalu berbaring sambil kembali memikirkan beberapa kemungkinan. Banyak berpikir membuat kepalanya pusing. Apalagi badannya masih terasa sakit dan ngilu sejak peristiwa dua hari sebelumnya. Namun, baru beberapa saat ia berbaring, Younnes telah memanggilnya keluar karena makan malam telah siap. Tak lama berselang, Esa telah duduk mengitari meja makan bersama Syaikh Rashed, Younnes, dan Hashem. Umni Alifa dan Nisa makan di tempat terpisah, dapur. Selama makan, mereka tak saling bicara dan menikmati makanan dengan tenang .
Tanpa banyak bicara, Nisa mengikuti kata Esa untuk tinggal di rumah Syaikh Rashed hari itu. Ia yakin bahwa Esa memiliki alasan untuk menyuruhnya tinggal. Di samping untuk menjaga pandangan Syaikh Rashed dan Ummi Alifa pada mereka yang bepergian bersama, padahal bukan muhrim, Nisa juga merasa lelah setelah menjelajahi lebih dari seperempat planet ini selama empat hari terakhir. Selain itu, Ummi Alifa juga menyiapkan acara yang akan membuat Nisa senang-memasak.
Syaikh Rashed kembali meminta Hashem untuk mengantar Esa. Esa lalu meminta agar Hashem hanya mengantar dan menjemputnya saja seperti hari sebelumnya. Hashem setuju karena ia pun kebetulan memiliki acara di Clayton, Syaikh Rashed memintanya agar meminjamkan beberapa buku dari perpustakaan untuknya. Sementara, Younnes tinggal di rumah bersama Syaikh karena ia diminta Syaikh membersihkan beberapa kitab klasik yang mulai dihinggapi debu tebal.
Sebelum matahari lepas sepenggalan, Esa dan Hashem telah berada di muka rumah Bayu. Setelah menurunkan Esa, Hashem berlalu. Sementara Esa berjalan menyusuri carport hingga akhirnya memijit bel di pintu rumah Bayu. Bu Rini yang membukakan pintu, lalu mempersilakan Esa untuk masuk dan menunggu di ruang yang sama dengan hari sebelumnya saat ia berkunjung ke rumah itu. Beliau mempersilakan Esa meminum teh dari teko yang telah teronggok di meja perpustakaan sebelum berlalu keluar ruangan. Tak berapa lama setelah Esa duduk menanti, Bayu memasuki ruangan itu. Namun berbeda dengan hari sebelumnya, ia menutup pintu yang menghubungkan ruang perpustakaan itu dengan ruang tengah. Lalu ia duduk dengan tenang di hadapan Esa. Esa menatap ke arah Bayu. Ia menyilangkan dua tangannya di dada. Sementara Bayu menatap ke arah lain dengan tangan kanan bertumpu pada meja dan memegang dagu. Sejenak ia menghela napas.
"Ada hal yang perlu kubicarakan denganmu," ujar Bayu tiba-tiba.
Esa mengangkat bahu tak acuh. Bayu tiba-tiba menyodorkan Melbourne Tibune edisi hari itu. Esa dapat melihat judul headline surat kabar itu: "TERSANGKA PEMBUNUH HERIANSYAH SETIAWAN TERTANGKAP DI DARWIN." Esa mengernyitkan dahi. Kemudian Bayu tersenyum sebentar. Ia lalu menatap mata Esa dalam-dalam.
"Esa. sejak kemarin...aku sudah merasa bahwa Indra berada di Australia. Maksudku, kami memiliki ikatan batin yang kuat. Kita memiliki kepentingan yang sama dalam hal ini. Kau ingin meminta penjelasan pada Indra...begitu pun aku."
"Ya sudah, bagaimana kalau kita menemuinya di tahanan?" ujar Esa.
"Justru itu masalahnya," jawab Bayu, kemarin aku mendatangi Kepolisian Negara Bagian Victoria dan menurut mereka, Indra tak dapat dijenguk untuk saat ini."
"Aneh," ujar Esa.
"Ya, bahkan ia belum bisa didampingi pengacara."
Esa mengangguk pelan. "Jadi apa rencanamu?" tanya Esa.
Bayu menghela napas lalu mereka diam. Masing-masing berpikir keras tentang berbagai kemungkinan.
"Bagaimana jika kita mencoba menemui Indra secara ilegal?"
"Well...," ujar Esa tertahan, "aku tak suka melanggar hukum. Tapi dalam hal ini, rencanamu itu tak akan merugikan siapa pun. dan insya Allah rencanamu itu bertujuan baik."
Bayu menghela napas. Dia kemudian beringsut dan menepuk pundak Esa.
"Senang sekali bahwa akhirnya aku memiliki kawan dalam menghadapi masalah ini," ucap Bayu.
Esa mengangguk, "Aku juga," timpalnya.
"Begini..," ujar Bayu melanjutkan, "menurut jadwal. Indra akan tiba pukul satu siang nanti. Untuk sementara, kita bisa ke apartemen Heri. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju," jawab Esa singkat.
Percakapan itu terpaksa terhenti karena pintu perpustakaan terbuka oleh Bu Rini yang masuk.
"Lho, masih di sini" Bukankah kalian hendak pergi ke apartemennya Heri?" tanya Bu Rini.
Bayu memberikan isyarat dengan gerakan kepala. Mereka lalu pamit pada Bu Rini. Beriringan, mereka berjalan menuju mobil milik Bayu yang terparkir di car port depan rumah.
Mobil milik Bayu ialah sebuah Toyota Crown keluaran terbaru. Jelas jauh lebih nyaman daripada Chevrolet tua milik Esa Yang ada di bandung. Ia dapat merasakan suasana nyaman saat duduk di samping Bayu yang memegang kemudi. Bayu mengarahkan kendaraannya ke Clayton. Apartemen Heri berada tak jauh dari kampus Monash di kawasan itu.
Manusia Rambut Merah 1 Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Senopati Pamungkas 21
"Heri used to talk about you... a lot," ujar Syaikh Rashed mengawali pembicaraan, "Ia sangat bangga padamu. Menurutnya, kau adalah orang terpandai yang pernah ia kenal. Kau adalah salah satu Doktor termuda di Indonesia, betulkah itu?"
Esa tersenyum sambil menatap sisa-sisa sup harira' yang dihidangkan Ummi Alifa untuknya. Ia mengangguk perlahan dengan wajah memerah.
"Wah. Sungguh sebuah kehormatan bagiku!" ujar Syaikh penuh minat.
"Tidak, Syaikh!" tukas Esa cepat, "Sayalah yang merasa terhormat karena dapat bertemu dengan orang yang paling dihormati oleh sahabat saya."
"Sahabatmu itu. kau tahu betapa aku sangat kehilangan dia. Masya Allah! Makhluk macam apa yang tega membunuh seorang saleh seperti Heri." ujar Syaikh seolah berbicara pada dirinya sendiri. Raut kesedihan yang tak dibuat-buat terpancar kuat dari wajahnya. Esa diam menyimak.
"Keperluan apa yang membuatmu berkunjung ke negeri ini, anakku?" tanya sang Syaikh tiba-tiba.
"Monash University akan memberikan penghargaan pada Heri sebagai ganjaran atas upaya dan prestasinya, Syaikh," jawab Esa, "Nah, saya datang untuk mewakili keluarga Heri guna menerima penghargaan itu."
Mereka kembali terdiam. Kemudian Syaikh Rashed dan istrinya lebih tertarik untuk bercakap-cakap tentang Esa. Esa akhirnya banyak bercerita tentang dirinya, asalusulnya, serta perjalanan hidupnya -termasuk pengalamannya saat bersekolah di Amerika Serikat. Syaikh Rashed, Ummi Alifa, dan kedua murid Syaikh Rashed nampak sangat tertarik menyimak cerita-cerita Esa. Tanpa terasa, malam pun tiba dan memaksa mereka segera beranjak menyongsong lelap. Syaikh Rashed mempersilakan Esa untuk tidur di sebuah kamar yang menang biasa digunakan tamu-tamu yang menginap di rumahnya. Menurut Younnes, biasanya tamu-tanu Syaikh datang dari Timur Tengah. Mereka umumnya ialah mahasiswa atau ulama yang kebetulan sedang melawat ke Australia. Aktivitas Syaikh Rashed sebagai Imam di salah satu masjid di kota itu dan seringnya menerimatamu-tamu dari Timur Tengah membuat dirinya sering berurusan dengan polisi Australia. Seringkali mereka mengira Syaikh Rashed merupakan salah satu bagian dari mata rantai organisasi teroris yang ada di Australia, akibat stigmatisasi etnis Arab sebagai teroris. Saat membenahi kamar yang hendak digunakan Esa, Younnes kemudian bercerita pada Esa bahwa umat Islam di Australia hidup dalam tekanan. Stigma teroris, terutama untuk mereka yang berasal dari Timur Tengah, melekat kuat.
Kamar tempat Esa bermalam berukuran sekira tiga kali empat meter. Dalam kamar itu hanya ada sebuah ranjang ukuran sedang dan rak buku yang berisi beberapa buku bertulisan Arab. Esa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Pandangannya kemudian tertumbuk pada rak buku dan isinya. Lalu ia beringsut mendekati rak buku itu. Esa diam dan memerhatikan buku-buku yang tersusun rapi di rak. Namun tak ada satu pun yang menarik Minatnya. Ia pun memilih berbenah dan berbaring Untuk beberapa saat, Esa mencoba memejamkan matanya namun lelap tak kunjung tiba. Kemudian ia meraih pena dan kertas dari tasnya. Ia membaca kembali beberapa hal yang ditulisnya seputar peristiwa kematian Heri dan juga seputar makna segitiga sebagai simbol. Benaknya bekerja keras hingga lelap pun menyergap dirinya yang masih berkubang dalam rasa penasaran.
*** Nisa tiba di stasiun Bandung dan segera melangkah turun dari Kereta Parahyangan yang membawanya dari Gambir. Kemudian ia bergegas ke arah utara, melintasi peron dan loket yang berderet hingga tiba di tepi jalan Kebon Kawung. Setibanya di tepi jalan, ia menghentikan taksi dan beranjak naik dengan agak tergesa. Kurang dari empat puluh lima menit, taksi itu telah membawanya ke depan rumahnya di kawasan Dago. Setelah membayar pada sopir taksi, ia bergegas masuk ke rumah.
Rumah Nisa nyaris mirip seperti rumah Esa, kecil dan efisien. Nisa berjalan cepat melewati ruang tamu yang dibatasi dinding tanpa pintu hingga ia tiba di ruang tengah, tempat ibunya duduk termenung menatap foto ayahnya yang terpasang di dinding. Nisa menatap ibunya. Sebentar lagi, kerinduannya pada Ayah akan terobati, pikirnya. Begitulah ibunya menghabiskan waktu setelah keluar lari Rumah Sakit Jiwa. Nisa harus mengakui bahwa ibunya belum sembuh seratus persen akibat depresi mental hebat setelah Ayahnya menghilang. Sehari-hari, ia hanya duduk termenung sambil menatap foto ayahnya. terkadang ibunya berbicara pada foto yang sedang ditatapnya, seolah-olah sedang berdialog. Makan dan minum pun ibunya harus diingatkan terkadang Nisa malah harus menyuapinya. Nisa lalu beranjak ke kamar adiknya di sudut ruang tengah dan mengetuk pintunya perlahan. "Din. Dino. Assalamualaikum," ujar Nisa sambil mengetuk pintu kamar adiknya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," adiknya menjawab sambil membuka pintu kamar. "Baru pulang, Kak?" tanya Dino.
Nisa mengangguk cepat. "Ibu sudah makan?" tanya Nisa.
Dino mengangguk. Nisa menghela napas pertanda lega. Lalu ia beranjak membuka pintu kamarnya di sebelah kamar Dino. Sesampainya di dalam kamar, Nisa membuka lemari pakaiannya di sudut kamar dan mengeluarkan seluruh tumpukan pakaiannya. Ia lantas membereskan seluruh pakaiannya ke dalam tas travel ukuran besar. Setelah usai membenahi pakaian dan barang-barangnya, ia masih sempat melakukan beberapa hal hingga azan maghrib berkumandang dan mengajaknya memenuhi kewajiban pada Penciptanya. Seusai shalat Maghrib, Nisa berdiri di beranda rumahnya. Petang itu gerimis turun perlahan namun pasti mengguyur kawasan Dago. Jam telah menunjuk pada angka enam lebih tiga puluh menit. Di seberang rumahnya, dari balik jendela rumah yang pada bagian depannya terpampang tulisan "DIJUAL pada karton besar, seorang lelaki berbadan tegap memerhatikannya sambil memegang secangkir kopi. Telepon genggam lelaki itu bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Ia lantas menekan tombol terima dan menempelkan ponsel tersebut pada pipi kanannya.
"Beny, masih kau awasi mereka?" suara Avram Meir setengah berteriak dan memekakkan telinga.
"Tentu. Aku sedang berdiri memerhatikannya." jawab Beny sang pengintai.
"Bagus. Kau perhatikan saja dia. Jangan mengambil tindakan apa pun. Laporkan padaku jika ada perkembangan. Jangan mengambil tindakan apa pun sebelum kusuruh, okay?"
Klik! Sambungan terputus dari seberang. Beny Sang Pengintai bergumam perlahan. Tak jelas apa yang ia gumamkan.
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di muka rumah Nisa. Beny memicingkan matanya karena pandangannya terhalang mobil itu. Namun ia lega setelah membaca tulisan di badan mobil itu: 'Pizza Hut'. Huh Rupanya ia memesan Pizza, pikirnya. Tak berapa lama kemudian, mobil itu melaju meninggalkan rumah itu, nampak bahwa di beranda rumah Nisa kini tak ada siapa pun. "Rupanya ia hendak menikmati pizza bersama keluarganya. Baguslah, aku bisa santai," batin Beny. Namun ada sesuatu yang tak ia ketahui.
Mobil Pizza Hut itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan jalanan di depan rumah Nisa.
"Mas, Terima kasih, ya, tumpangannya," ujar Nisa yang duduk di belakang pada sopir mobil dan kawannya yang duduk di depan.
"Sama-sama, Mbak," jawab sang sopir, "Cuma saya heran, lho. Soalnya jarang ada yang pesan Pizza dan minta diantar dengan mobil, bukan dengan motor. Lalu tiba-tiba setelah mobilnya datang, ngotot ingin numpang, hehe."
Sang sopir tertawa geli. Nisa hanya tersenyum sambil mendekap ibunya yang melamun, Sementara di sampingnya, adiknya menerawang ke luar mobil melalui jendela.
"Sabarlah Ibu, Dino, sebentar lagi kita akan berjumpa dengan orang yang paling kita rindukan," ujar Nisa dalam hatinya.
Dari kawasan Dago, mobil itu terus meluncur ke selatan, menuju Jalan Merdeka. Saat tiba di tikungan Jalan Riau, Nisa meminta sopir agar meminggirkan mobilnya di tempat gelap yang sepi. Mereka bertiga lalu turun. Nisa memberikan beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih pada sang sopir. Sang sopir nampak senang bukan kepalang mendapat hadiah uang. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasihnya pada Nisa sebelum kembali melarikan mobilnya ditengah gerimis yang masih belum berhenti mengguyur.
Nisa menyetop sebuah taksi dan mereka pun naik.
"Ke Bandara Husein Sastranegara, Pak," pinta Nisa pada sopir dengan mantap.
Beruntung bahwa Nisa, ibu, dan adiknya masih memiliki visa menetap di Singapura dan paspor yang belum kadaluarsa. Namun ia hampir takut keberuntungannya lenyap begitu saja saat ia tiba di Bandara Husein Sastranegara dan ingat bahwa tak ada penerbangan langsung dari bandara itu menuju Singapura. Keberuntungan itu kembali mengembang saat seorang petugas Bandara memberitahunya bahwa pesawat Air India yang menuju Kuala Lumpur akan transit di Singapura untuk mengganti suku cadang. Pesawat itu pun menjadi pilihannya. Sebelum tengah malam berlalu, Nisa, adik, dan ibunya telah berada di dalam pesawat Air India yang akan menurunkan mereka di Changi Airport, Singapura. Mereka bertiga duduk bersisian dengan tenang.
"Dino," ujar Nisa mengawali percakapan dengan adiknya, "Dengarkan aku..., setibanya di Singapura nanti, kau kerjakan apa yang kusuruh, okay?"
Dino mengangguk perlahan. Sejak ibunya masuk Rumah Sakit Jiwa, ia selalu percaya bahwa kakaknya yang luar biasa itu selalu memiliki rencana-rencana terbaik untuknya dan ibunya. Karena itu, ia tak pernah membantah keputusan yang dibuat kakaknya. Dino merasa tak pantas memimpin keluarga, walau sesungguhnya ia lebih berhak karena ia anak lelaki.
"Dengar," lanjut Nisa, "Setiba di Singapura nanti, aku harus pergi untuk suatu urusan. Kau bawalah ibu ke Elizabeth Mount Hospital untuk check-up. Saat ibu checkup, kau pergilah ke Kedubes Saudi Arabia untuk minta visa, mengerti?"
"Apa" Saudi Arabia" Memangnya kita mau umrah" Apa maksud Kakak sebenarnya?" Dino kaget mendengar gagasan kakaknya.
"Hey! Tak biasanya kau menanyakan keputusan yang kubuat." Nisa heran,
"Percayalah. Lakukan apa yang kusuruh. Hubungi kawanku yang bekerja di Kedubes Saudi, namanya Rabiah Hakim. Katakan padanya bahwa kau adikku dan minta bantuannya. Insya Allah kau tak akan kesulitan mendapat visa dengan bantuannya. Orang Saudi umumnya sangat bersahabat pada orang Indonesia. Katakan alasan yang sama dengan alasan Ibu di Singapura, untuk berobat! Mengerti?"
Dino mengangguk tak yakin. Nisa mengusap kepala adiknya itu dengan lembut dan penuh harap.
"Setelah dapat visa, ambil semua uangmu di Bank dan bawalah ibu ke Mekkah. Di sana, cari rumah sakit dan hotel yang bagus. Ambil ini," lanjut Nisa sambil menyerahkan kartu American Express.
Dino menerimanya dengan takjub.
"Dari mana Mbak bisa punya American Express?" tanya Dino.
Nisa hanya tersenyum sambil menatap adik kesayangannya itu.
*** "BUK!" Sebuah pukulan telak bersarang di perut Avram Meir.
"You stupid! idiot!" teriak Moses Goldstein sang pemberi pukulan, "Kau tidak memerhatikan bahwa barang yang kau terima palsu?"
PAK Meir membalas pukulan Goldstein dengan sebuah tamparan yang mendarat telak di pipi kawannya itu.
"Dengar, bodoh! Jangan pernah memukulku lagi! Dan dengar juga. Semua ini tak akan terjadi jika kau tidak gegabah sewaktu di Ethiopia!"
Mereka lalu terdiam dengan napas memburu. Kemudian, setelah keadaan di antara mereka agak tenang,
"Perempuan itu. telah ... membohongiku!" gumam Avram Meir penuh amarah.
"Hey! Dengar! aku curiga jika ia ...maksudku mereka, perempuan itu dan dosen muda itu bersekongkol. Bagaimana menurutmu?"
"Kupikir juga begitu. pasti. pasti begitu. Seharusnya aku sudah curiga dari awal. Mereka berteman sejak lama. pantas jika mereka bersekongkol dan membodohi kita!" ujar Meir dengan napas penuh amarah.
"Okay. okay. Begini. suruh kawan-kawan kita membatalkan misi mereka. Untuk sementara, suruh saja mereka mengikuti mangsa-mangsa kita. terus kuntit tanpa henti. Jangan berhenti. Lambat laun, mereka akan membawa kita pada benda yang kita cari. Kita harus agak bersabar dalam menghadapi mereka," ujar Goldstein.
Ia mencoba mengatur napas dan menenangkan dirinya. Meir lalu mengambil ponselnya.
"Aku belum dapat menghubungi Joseph. Ia masih berada di pesawat menuju Australia. Ponselnya tentu tak aktif," ujar Meir seolah berbicara sendiri.
Sementara Goldstein menatapnya tak acuh. Meir lantas menekan nomor-nomor pada ponsel.
"Halo, Beny" Dengar. batalkan misi. Kau dengar" Batalkan misi. Kita telah ditipu perempuan itu. Untuk sementara, kau cari tahu saja di mana ia berada. Jangan ulang kesalahanmu, okay?"
*** Hari kedua esa di australia ,syeikh Rashed mengajak Esa shalat subuh berjamaah bersama Younnes dan Hashem. Salah satu ruangan di rumah sang Syaikh memang khusus digunakan sebagai mushala. Setelah shalat, Syaikh meminta Ummi Alifa agar menyiapkan sarapan untuk mereka. Pagi itu, mereka menyantap roti panggang dengan mentega dan segelas susu kambing. Setelah menikmati sarapan, Esa kembali bercakap-cakap dengan Syaikh Rashed. Esa bertanya tentang kehidupan keluarga Muslim di tengah masyarakat Australia yang bergaya hidup sekular. Syaikh Rashed malah bersemangat menceritakan pengalamannya ketika menghadapi interogasi polisi Australia beberapa bulan sebelumnya.
"Kau tahu. karena aku masuk dalam line-up teroris, rumah ini selalu diawasi oleh polisi. Kau pun mungkin akan dikuntit polisi ketika keluar dari rumah ini," ujar Syaikh, "Karena itu, biasakanlah keadaan itu selama kau berada di negeri ini," lanjutnya sambil tertawa.
Nampak bahwa Syaikh Rashed tidak menganggap serius kecurigaan polisi Australia pada dirinya sebagai salah satu mata rantai teroris. Menurutnya, itu adalah urusan mereka, bukan urusannya.
Sikap tenang yang luar biasa dan bijak, pikir Esa.
Ketika mereka sedang berbincang-bincang dengan santai namun serius, Syaikh meminta Younnes dan Hashem untuk merapikan dan membersihkan kamar yang ditempati Esa. Sebelumnya Esa menolak dengan alasan bahwa ia bisa merapikan kamar yang ia tempati sendiri. Namun Syaikh dan kedua muridnya bersikeras dengan alasan bahwa mereka ingin dan harus menghormati setiap tamu yang berkunjung ke rumah mereka. Walaupun Esa bersikeras bahwa ia tak ingin dianggap sebagai tamu, Syaikh tetap memaksa tak kalah hebatnya. Esa pun tak punya pilihan lain.
Saat perbincangan Esa dengan Syaikh Rashed sedang berlangsung, Younnes dan Hashem telah selesai membereskan kamarnya. Mereka kemudian bergabung dalam obrolan sang guru dan tamunya. Ketika mereka duduk, sehelai kertas dari tangan Younnes jatuh ke atas meja.
"Maaf," ujar Younnes pada Esa, "aku hendak menanyakan apakah catatan ini penting bagimu karena aku menemukannya di lantai. Aku tak berani membuangnya karena takut ini catatan penting."
Esa mengambilnya. Itu catatan tentang simbol segitiga yang dibuatnya. Ia bersikap biasa. Namun tibatiba saja Syaikh Rashed bertanya padanya,
"Hei, apakah kau sedang meneliti simbol-simbol Kabbalah?"
Esa mendongak, "Kabbalah?" "Ya! Kabbalah. catatanmu itu penuh dengan analisa tentang segitiga," jawab Sang Syaikh tanpa ekspresi.
Catatan Esa menang dibuatnya dalam bahasa Inggris, sehingga Syaikh Rashed yang membaca sekilas pun dapat mengerti.
"Maksud Anda, Syaikh?"tanya Esa tak mengerti.
"Ah, tidak. Aku hanya menebak saja. Segitiga ialah lambang khas kaum Kabbalah," tukas Syaikh cepat.
"Tidak. tidak...maksud saya..., dapatkah Anda memberi penjelasan tentang Qabala" Saya sangat ingin mendengarnya," jelas Esa.
Sang Syaikh menghela napas sejenak. Kemudian ia memberi penjelasan,
"Qabala' atau kadang ditulis Kabbala berasal dari kata bahasa Ibrani 'qibil yang artinya 'menerima'. Dalam definisi para pengikut ajaran ini, Qabala berarti 'menerima ajaran okultisme rahasia". Bangsa Yahudi telah menganut kepercayaan ini sejak terjadinya peristiwa penyembahan patung anak sapi yang dipimpin oleh Samiriy saat Musa sedang menghadap Allah di Gunung Tursina di Sinai"."
"Lalu... apa inti ajaran Qabala itu, Syaikh?"tanya Esa.
"Kaum Qabalis meyakini bahwa manusia bisa mengalahkan Allah. Dalam doktrin mereka, iblis adalah pihak yang telah diperlakukan secara tidak adil dansewenang-wenang oleh Allah dalam peristiwa pengusiran iblis dari surga'. Menurut mereka, persekutuan dengan iblis akan menempatkan manusia setara dengan Allah. Karena ajaran mereka berpusat pada power manusia, mereka menyebut ajaran mereka sebagai humanisme". Lalu. karena iblis menjadi sesembahan mereka, maka api pun menjadi media penyembahan mereka sebab iblis diciptakan dari api."
"Menyembah iblis" Mereka benar-benar menyembah iblis?"tanya Esa heran.
"Kaum Qabala menyebut iblis dengan sebutan "Lucifer yang berarti 'pembawa sinar cahaya". Iblis berasal dari kata bahasa Arab, 'ablasa' yang berarti 'putus asa'. Ia juga sering disebut "Setan", sebuah kata yang berasal dari kata bahasa Semit tua satan yang berarti "pemberontak'. Kedua kata tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap sesembahan mereka. Mereka tentu saja. tidak mengakui secara terbuka bahwa mereka menyembah iblis. Mereka menyamarkan kegiatan penyembahan mereka dengan menginfiltrasi ajaran-ajaran agama yang ada di dunia ini."
"Menginfiltrasi ajaran-ajaran agama" Maksudnya?"
"Mereka membuat bid'ah bid'ah dalam ajaran agama-agama di dunia ini, terutama agama kaum Yahudi, yakni Yudaisme dan termasuk pula agama Islam. Semua mereka lakukan demi pencapaian tujuan mereka... untuk memusnahkan semua agama di dunia ini."
"Apa" Mengapa mereka ingin memusnahkan semua agama di dunia ini?"
"Tentu saja. mereka ialah penyembah iblis. Keberadaan agama-agama yang banyak mengatur akhlak dan tata kehidupan manusia ialah tantangan terbesar bagi mereka dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran satanisme yang menekankan pada kehidupan hedonis."
"Lantas..., apa hubungan mereka dengan simbol segitiga?" Esa kembali memberikan pertanyaan.
"Segitiga merupakan simbol yang penting dalam ajaran Qabala karena melambangkan hierarki kekuasaan mereka. Para elit Qabalis duduk di puncak segitiga di mana massa yang mendukungnya menopang mereka dari bawah. Simbol segitiga juga merepresentasikan konsep 'humanisme Qabala yang menjunjung tinggi kebebasan seks. Seperti diketahui, seks melibatkan lingga dan yoni yang disimbolkan melalui dua segitiga yang saling bertumpu,"
Syaikh Rashed lalu beranjak mengambil pena dan kertas,
"Perhatikan ini," ujarnya sambil membuat Coretan di kertas yang dibawanya.
"Bintang David?" tanya Esa tak yakin.
Syaikh mengangguk cepat. "Dengar," lanjut Syaikh Rashed, "Orang-orang Qabala telah sukses menginfiltrasi ajaran agama Yahudi yang sejati. Bahkan, mereka juga sukses mengubah maknamakna pada berbagai simbol-simbol dan inti-inti ajaran agama Yahudi yang sesungguhnya. saling bertumpu mereka dis-informasikan sebagai lambang Nabi Daud Alaihissalaam."
Esa terdiam dengan kening berkerut, pertanda bahwa ia sedang menggunakan otaknya untuk bekerja.
"Simbol segitiga sangat lekat dengan Yahudi." lanjut Syaikh Rashed sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan menerawang ke langit-langit, seolah sedang berbicara sendiri.
"Tidak juga," tukas Ummi Alifa yang sebelumnya hanya diam dan menyimak perbincangan di antara Esa dan Syaikh Rashed.
"Benarkah," Syaikh Rashed berpaling pada istrinya, "kau sudah memperlajari sesuatu tentang itu, Alifa?"
"Ya. begini..," ujar Ummi Alifa hendak memulai penjelasannya,
"sebenarnya segitiga merupakan simbol yang usianya sangat tua sekali, bahkan dapat dikatakan setua peradaban manusia di muka bumi. Buktinya, simbol-simbol segitiga dapat ditemukan pada artefak artefak yang ditinggalkan manusia purba sejak puluhan ribu tahun yanglampau. Para ahli pra-sejarah tak pernah bisa menebak makna dari simbol segitiga yang dicoretkan di gua-gua tempat peradaban manusia purba. Namun. kukira ini berkaitan erat dengan fakta sejarah bahwa salah satu makna segitiga justru menunjuk pada proses penyembahan. Terlepas dari fakta bahwa simbol itu kemudian banyak digunakan oleh orang-orang Qabala atau Satanis."
"Hmmm,... maksud Ummi . bahwa makna segitiga justru menunjuk pada proses penyembahan?" tanya Esa.
"Okay. sebelumnya aku ingin bertanya...apa yang paling kau tahu tentang segitiga sebagai simbol" Maksudku apa saja yang dapat dilambangkan oleh segitiga" Sebagai seorang dosen sastra, kau pasti cukup memahami semiologi dan semiotik," Ummi Alifa balik bertanya.
Esa berpikir sejenak. Ia melihat catatannya sekilas, lalu membaca beberapa hal yang sempat dicatatnya,
"Piramida..., kuburan dalam hieroglyph Mesir kuno., Delta -aksara Yunani kuno yang juga melanbangkan diferensiasi dalam simbol matematika. Apalagi ya?"
"Bagaimana dengan gunung?" Syaikh Rashed menimpali.
"Oh ya! Gunung Tentu saja...aku lupa...ya, gunung"
Esa lalu menambahkan kata itu pada catatan yang sedang dipegangnya.
"Kau benar, suamiku," ujar Ummi Alifa sambil mengerling ke arah Syaikh Rashed,
"jadi begini, dalam huruf-huruf Funisia kuno yang kemudian dikembangkan oleh orang Yunani menjadi aksara latin, gunung disimbolkan dengan bentuk segitiga. Nah...sejak lama, dalam berbagai peradaban tertua di dunia, gunung merupakan simbol ketuhanan. Misalnya, orang Yunani meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka bersemayam di Gunung Olympus. Lalu, orang-orang Hindu meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka bersemayam di puncak Mahameru. Bahkan, orang-orang Yahudi meyakini bahwa Tuhan berada di Bukit Tursina karena Musa pernah berdialog langsung dengan Tuhan di puncak bukit itu."
"Hmmm, pengetahuanmu selalu bertambah, istriku," ujar Syaikh Rashed sambil menatap istrinya.
Terdengar nada bangga dalam suaranya. Sementara, Esa menganguk-anggukkan kepala. Ia baru memahami semua yang telah dijelaskan Ummi Alifa. Ia bahkan tak menyangka jika Ummi Alifa memiliki wawasan yang luas. Sejak hari sebelumnya, ia belum pernah mendengar istri Syaikh Rashed itu berbicara panjang lebar. Hari itu, saat pertama kalinya Ummi Alifa bicara panjang, ia dapat langsung memberikan tambahan wawasan pada Esa.
"Wah...saya tak menyangka jika pengetahuan Ummi begitu luas. Terima kasih atas informasinya, Ummi ," ujar Esa.
Umni Alifa mengangguk. Sementara Esa membuat beberapa catatan baru pada kertas catatannya.
"Sebenarnya...," ujar Syaikh Rashed tiba-tiba, "untuk apa kau membuat catatan tentang segitiga, anakku?"
Esa diam sejenak. Lalu, "Ya, saya hanya ingin menambah pengetahuan saya tentang simbol, Syaikh. Siapa tahu akan berguna dalam kuliah-kuliah Semiotika yang saya gelar di kelas."
Syaikh Rashed mengangguk angguk. Tangan kanannya mengelus janggut putihnya yang panjang.
"Syaikh," ujar Esa tiba-tiba, "Boleh saya bertanya satu hal?"
"Ya?" tanya Syaikh Rashed.
"Apakah Anda mengenal Indra Hernawan?"
Syaikh Rashed menghela napas.
"Ya, anakku," jawabnya, "aku mengenalnya. Akulah yang memperkenalkan Heri padanya. Aku mengenalnya di Kedutaan Besar Indonesia saat diundang untuk mengisi pengajian di sana. Kami cepat akrab karena ia lalu banyak bertanya masalah agama padaku. Ia sering berkunjung kemari khusus hanya untuk bertanya masalah-masalah agama. Yang kutahu, pekerjaan Indra adalah pedagang barang antik...,"
Syaikh Rashed berhenti sejenak, wajahnya terlihat sibuk mengingat-ingat sesuatu.
"Pedagang barang antik ya?" ujar Esa bergumam, seolah sedang bicara sendiri.
"Sebetulnya aku kurang yakin Jika Indra-lah yang membunuh Heri. Dugaan itu agak janggal buatku. Pertama, Indra adalah seorang muslim yang hanif, seperti halnya Heri. Ia tak pernah meninggalkan shalat. Ia juga sangat paham agamanya. Kedua, mereka sangat akrab dan nampak seperti saudara. Heri sering sekali berkunjung dan bermalam di rumah Indra. Aku sama sekali tak yakin bahwa Indra-lah yang membunuh Heri. Dugaan itu. agak janggal bagiku."
"Kami pun berpikir begitu," tukas Younnes.
"Ya," ujar Hashem menimpali Younnes, "kami bukan hanya tak yakin akan hal itu, bahkan tak percaya sama sekali."
"Kalian cukup mengenal Indra?"tanya Esa.
Mereka mengangguk. "Heri beberapa kali mengajak kami ke rumah Indra di perbatasan Melbourne dan Clayton," ujar Hashem.
"Aah...jadi kalian tahu rumahnya" Himm...bisa tidak kalian mengantarku ke sana setelah acara di Monash besok?" tanya Esa.
Younnes dan Hashem berpandangan.
"Tentu," ujar Younnes, "tapi, untuk apa kau ke sana, Esa?"
Esa mengangkat bahu, "Aku hanya ingin. bersilaturahmi dengan keluarga nya," ujar Esa tak yakin.
Younnes mengangguk. Setelah beberapa saat melewatkan waktu dengan pembicaraan yang menarik, mereka kemudian berhenti. Hari kedua Esa berada di Australia diawalinya dengan pembicaraan menarik bersama Syaikh Rashed. Beberapa pokok pembicaraannya pagi itu dirasakannya cukup berguna untuk menambah catatannya. Namun Esa kembali diselimuti kebimbangan. Di kamar yang ditempatinya, ia termenung. Untuk apa sebenarnya ia membuat catatan-catatan itu" Kemudian untuk mengusir penat, ia memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan Melbourne. Setelah pamit pada Syaikh Rashed dan Ummi Alifa, Esa beranjak meninggalkan rumah itu. Ia menimbang-nimbang hendak ke mana ia pergi. Ada beberapa objek wisata yang cukup terkenal di Melbourne seperti Melbourne Cricket Ground, yang terkenal dengan sebutan MCG, lalu ada Albert Park, tempat biasa dilangsungkannya kejuaraan FI, dan Rialto Towers, gedung ini adalah salah satu gedung tertinggi di belahan bumi selatan. Beberapa tempat lainnya seperti Federation Square, State Library of Victoria, Victorian Parlement Building, dan Melbourne Aquarium juga cukup menarik untuk dikunjungi.
Esa lalu melihat-lihat brosur pariwisata di Flinders Station. Ia tertarik melihat gambar-gambar London Arch. London Arch ialah sebuah objek wisata yang dulu dikenal dengan nama London Bridge. Tempat itu ialah sebuah bebatuan yang dulu membentuk jembatan dengan sebuahpenopang alami di tengah namun bagian yang dekat dengan pantai sudah runtuh karena erosi.
Esa menyetop taksi dan meminta sopir agar membawanya melintasi Great Ocean Road. Great Ocean Road adalah sebuah jalan yang mengikuti jalur pantai di bagian timur Geelong. Bila berkendara di jalan ini, orang dapat melihat London Arch dari jauh.
Sang sopir menjalankan mobilnya dengan sigap. Namun Esa tak tahu bahwa sopir itu tak membawanya menuju Geelong. Antara Melbourne dan Geelong terdapat sebuah bandara yang dinamakan Avalon Airport. Avalon Airport ialah sebuah bandara yang lebih kecil dari Melbourne International Airport, bandara utama kota Melbourne. Sopir taksi itu malah membawanya mendekati kawasan Avalon. Esa yang tak memahami seluk beluk Melbourne tak menaruh curiga sedikit pun pada sang sopir taksi. Hingga tiba-tiba saja sang sopir membelokkan mobilnya ke sebuah jalanan sepi. Kemudian ia berbalik dan menodongkan pistol ke kepala Esa.
*** lama setelah berada di singapura, nisa mendapatkan tiket kelas bisnis pesawat Airbus 20 milik Fly Emirates. Pada kolom tujuan di tiket tersebut tertera jelas nama tempat yang dituju Nisa. Abu Dhabi. Tak sedetik pun Nisa berkeinginan untuk keluar dari Changi Airport. Ia bahkan hanya mengantar Dino dan ibunya dengan tatapan mata. Ia sangat percaya bahwa Dino dapat mengerjakan semua pesannya. Dalam hatinya, ia bersyukur bahwa tak sulit baginya untuk meminta visa Ummi Emirat Arab dan Yaman. Beberapa hari sebelumnya, ia telah mengurus semuanya dengan baik berkat bantuan Alimuddin, teman seangkatannya di UPI yang bekerja di kedutaan Perancis. Kebetulan kawannya itu memiliki teman-teman yang bekerja di kedutaan besar Ummi Emirat Arab dan Yaman.
Perjalanan hampir tiga belas jam dari Singapura dirasakannya begitu lambat. Namun waktu memang selalu memiliki akhir. Sebelum senja menjelang, Airbus yang ditumpanginya telah mendarat di Abu Dhabi. Tanpa membuang waktu, ia mencari penerbangan menuju Aden. Namun Nisa kurang beruntung Tak satu pun pesawat akan berangkat menuju Aden. Seorang front officer salah satu maskapai malah menyarankannya agar datang lagi tiga hari kemudian.
"Tiga hari" Aku tak punya banyak waktu," keluh Nisa dalam hatinya.
Dalam kebimbangannya, Nisa beranjak ke luar bandara. Suhu sangat panas hingga ia dapat merasakan tubuhnya basah seperti mandi karena keringat yang terus menetes. Ia lantas mencari minuman. Perlu sedikit kemampuan memberikan isyarat dengan tangan di tempat itu karena tak ada satu pun orang yang dijumpainya dapat berbicara bahasa Inggris atau Perancis. Dalam kebimbangannya ia duduk di sebuah gerai makanan cepat saji tak jauh dari bandara. Sosok seseorang terus menghias ingatannya. Bukan ayahnya, namun wajah Esa. Ia khawatir sekali pada kemungkinan terjadinya sesuatu pada diri Esa, sebuah kemungkinan besar.
"Ya Allah, apa yang telah kulakukan" Aku akan mencelakakan seseorang", batinnya.
Nisa segera menghapus kalimat itu dari ingatannya dan mencoba berpikir tentang cara paling cepat untuk menemukan ayahnya. Tak jauh dari gerai tersebut, sebuah masjid mengumandangkan azan isya dengan keras. Nisa teringat bahwa ia telah melewatkan maghrib di perjalanan. Maka, dicarinya asal suara panggilan Allah itu demi menunaikan kewajibannya.
Berbeda dengan di Indonesia, masjid yang dimasuki Nisa terisi banyak jamaah shalat isya. Walau begitu, nyaris tak ada jamaah perempuan. Ini dapat dimengerti karena budaya Arab memegang teguh kredo bahwa tempat beribadah untuk perempuan ialah rumah. Semula, Nisa mengira bahwa dirinya akan menjadi satu-satunya perempuan yang mengikuti shalat isya berjamaah di situ. Namun kemudian dua sosok perempuan yang mengenakan abaya panjang nan lebar datang dan berdiri di sebelahnya ketika shalat memasuki rakat kedua. Ketika shalat isya berakhir, Nisa kembali berdiri untuk shalat maghribnya yang tertunda. Sementara dua perempuan di sebelahnya masih mengerjakan rakaat terakhir isya yang tersisa karena nasbua". Karena Nisa mengerjakan shalat maghribnya dengan cepat, ia selesai hampir bersamaan dengan dua perempuan di sampingnya. Setelah itu, masing-masing larut dalam zikir dan doa. Seusai berdoa,
"Assalaamualaikum," ujar kedua orang perempuan itu sambil menyodorkan tangannya masing-masing.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," Nisa menjawab sambil menyambut jabat tangan keduanya.
"Are you Malaysian?" tanya salah seorang dari mereka.
"You speak English?" pekik Nisa antuasias sehingga lupa menjawab pertanyaan yang diberikan padanya.
Akhirnya ada juga yang bisa diajaknya berkomunikasi.
"Of Course," ujar perempuan itu, "Anda jelas bukan orang sini. Makanya saya bertanya dengan bahasa Inggris karena Anda memiliki wajah seperti orang Malaysia."
"Oh, ya. maaf. Saya orang Indonesia," jawab Nisa."Indonesia?"tanya perempuan yang satu lagi dengan raut wajah heran.
Ia kemudian menatap Nisa dari kepala ke bawah, seperti sedang menaksir barang yang hendak dibeli. Cukup dapat dipahami jika mereka mengira Nisa ialah orang Malaysia. Di negeri itu, perempuan Indonesia umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Wajah dan dandanan Nisa tentu saja tidak menunjukkan image orang Indonesia dalam benak orang Emirat Arab. Mereka kemudian berkenalan. Kedua perempuan itu adalah kakak beradik. Maryam, sang kakak, bertubuh tinggi besar dengan wajah mirip Emilia Contessa' berkerudung. Sang adik bernama Jameela, bertubuh sepantaran Nisa dengan wajah yang lebih manis dari kakaknya.
"Are you traveling?" tanya Jameela setelah mereka selesai berkenalan.
Nisa kemudian menjelaskan bahwa ia terbang dari Singapura hendak menuju Yaman. Namun karena tak ada penerbangan langsung ke Aden dari Singapura, ia terpaksa terbang menuju Abu Dhabi dan hendak melanjutkan penerbangan ke Aden, namun ia kehabisan tiket pesawat menuju Aden. Baru saja Nisa bercerita tentang perjalanannya, wajah kedua kakak-beradik itu tiba-tiba sumringah dan cerah.
"Nisa," ujar Maryam, "kita memang bukan aktris yang sedang bermain film di bawah arahan sutradara. Namun kita harus percaya bahwa Allah memang Sutradara Terbaik yang sangat menyayangi hambahamba-Nya. Sebenarnya kami pun hendak terbang menuju Aden bersama salah seorang sepupu kami untuk mengunjungi paman kami yang hendak menikahkan putrinya di Aden. Namun sepupu kami itu mendadak membatalkan keberangkatannya karena ia mendadak sakit. Saat ini kami masih memiliki tiket jatahnya dan jika kau bersedia, kami akan memberikannya padamu!"
Batin Nisa membuncah. Seketika itu ia bersujud mengucap syukur pada Allah.
"Allah...kau begitu baik padaku", ujarnya dalam hati, "walau aku telah berlaku zalim pada hamba-Mu yang lain."
Dalam beberapa saat, mereka telah menghambur keluar dari masjid dan bergegas menuju bandara. Semua tak terasa berlalu begitu cepat. Hingga tanpa terasa, mereka telah berada dalam pesawat yang melayang menuju Aden. Nisa tak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah. Bahkan ketika berada dalam pesawat, ia terus berbicara pada Tuhannya untuk menyatakan rasa terima kasih dan syukurnya. Kedua perempuan bersaudara yang telah berbaik hati padanya tak banyak bicara saat dalam pesawat karena mereka lelap dalam mimpinya masing-masing.
Nisa baru tiba di Bandara Internasional Aden menjelang dinihari. Kota yang merupakan pelabuhan alami itu cukup indah, terbentuk dari semenanjung gunung berapi. Kerajaan Awsan ialah yang pertama membangun kota itu antara abad ke-5 SM dan ke-7 SM.
Kedua kakak-beradik yang telah berbaik hati pada Nisa menolak menerima uang untuk mengganti tiket yang mereka berikan padanya. Entah mengapa, walau Nisa telah memaksa untuk mengganti tiket itu, mereka bersikeras tak mau. Mereka mungkin iba pada Nisa karena ia orang Indonesia. Mudah dipahami bahwa orang-orang Emirat umumnya ialah orang kaya dan orang Indonesia umumnya miskin. bangsa yang dikenal sebagai bangsa pembantu". Nisa telah bercerita pada kedua bersaudara itu bahwa ia hendak pergi ke Aden untuk mencari ayahnya. Ia hanya menceritakan bahwa ayahnya pergi saat ia berusia enam belas tahun, tanpa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sekalian pula ia menanyakan apakah kakak-beradik itu mengetahui alamat yang ada padanya. Kakak-beradik itu rupanya sering mengunjungi Aden. Sekali melihat alamat tersebut, mereka langsung tahu tempat yang dimaksud dalam alamat tersebut, sebuah kebun anggur di pinggiran kota. Nisa lalu berandai-andai, apakah ayahnya bekerja di perkebunan" Kedua kakak-beradik itu memaksa Nisa agar ikut bersama mereka ke rumah paman mereka yang datang menjemput. Mereka bersikeras walau Nisa menolak halus. Mereka khawatir terjadi sesuatu pada Nisa. Menurut mereka Aden bukan tempat yang aman bagi perempuan asing yang bepergian sendiri tanpa bisa berbahasa Arab. Aden merupakan ibu kota negeri Arab dengan tingkat kriminalitas tertinggi dibandingkan ibukota negara-negara Arab lainnya.
Tanpa sungkan, Jameela dan Maryam memperkenalkan Nisa pada paman mereka sebagai sahabat mereka dari Indonesia. Paman Jameela dan Maryam bernama Amen. Ia sangat ramah dan bersahabat. Ia memiliki rumah berbentuk kubus tak jauh dari Bandara Internasional Aden. Di rumah itu, ia tinggal bersama istrinya, Aisha, dan putri mereka, Hafsa, yang akan segera menikah.
Setelah shalat subuh dan sarapan di rumah Paman Amen, Nisa bersikeras pamit untuk segera mencari alamat ayahnya. Karena keinginan Nisa yang begitu kuat dan juga didorong oleh simpati mereka, Paman Amen, lamela dan Maryam kemudian mengantar Nisa mencari alamat yang dimilikinya. Nisa pun tak dapat menolak niat baik keluarga itu. ia sudah terlanjur banyak merepotkan mereka.
Aden terdiri atas beberapa kota kecil: kota pelabuhan, kota tua Aden, kota industri, yang biasa disebut "Little Aden" dengan kilang minyak besarnya yang terkenal, dan Madinat ash-Sha'b, kota pusat pemerintahan Khormaksar dan Sheikh Othman merupakan dua kota satelit yang terletak di utara kota tua. Bandara Internasional tempat Nisa menjejakkan kaki pertama kalinya di Yaman terletak di antara kedua kota satelit Aden tersebut. Alamat yang dimiliki Nisa ternyata berada di wilayah perbatasan antara kota tua dengan Khorimaksar. Paman Anen mengemudikan mobilnya menuju tempat tersebut dengan hati-hati. Jameela duduk di sebelahnya, sementara Nisa ditemani oleh Maryan duduk manis di belakang mereka. Jalanan menuju Khormaksar cukup bagus dan lengang. Nampak jelas bahwa hanya sedikit orang Aden yang beruntung bisa memiliki mobil atau motor. Sepanjang perjalanan dari rumah Paman Amen di dekat Madinat ash-Sha'b, Nisa melihat banyaknya orang mengendarai keledai atau bughal Degree . Sekitar empat puluh lima menit berada di dalam mobil, mereka pun mendekati alamat yang dituju.
Tempat itu ialah sebuah kebun anggur dengan luas kurang dari satu hektar. Dari kejauhan, nampak hijau dan teduh. Sekeliling tempat itu tertutup oleh pagar kawat setinggi kurang-lebih tiga meter. Sebuah bangunan tegak berdiri tepat ditengah-tengah perkebunan tersebut. Nisa dapat merasakan bahwa kakinya bergetar ketika ia turun dari mobil Paman Amen. Gerbang perkebunan dari kawat menjulang, membuatnya takut. Ia lalu menghela napas dalam usahanya mengusir rasa gugup. Paman Amen, Jameela, dan Maryan tiba-tiba ikut turun dari mobil.
"Nisa, are you okay?" tanya Maryam.
Nisa mengangguk, "I little bit nervous," ujar Nisa sambil kembali menghela napas.
"Kamu mau kami temani?" tanya Maryam.
Nisa menggeleng. "Hey, you'll be alright," ujar Paman Amen mencoba meyakinkannya, "masuklah dan temui dia. Dengar. kami akan berjalan-jalan sebentar ke Khormaksar sambil mencari buah-buahan. Kau nikmatilah pertemuannu dengan ayahmu. Jadikan ini sebagai reUmmi keluarga yang hangat. Jika terjadi sesuatu atau kau tiba-tiba ingin pergi, teleponlah kami. Kami akan segera menjemputmu. Rumah kami selalu terbuka untukmu."
Paman Amen tiba-tiba memberikan salah satu ponselnya pada Nisa. Nisa lalu tak dapat membendung tangis haru.
"Kenapa kalian semua begitu baik padaku?" tanya Nisa.
"Hey, jangan begitu," sergah Jameela sambil beranjak memeluk Nisa.
"kau dan aku sama-sama seorang muslimah. Ingat, semua orang Islam bersaudara. Kau adalah saudaraku. Sudah sepantasnya aku dan keluargaku membantumu, Nisa."
Nisa mengangguk pelan. "Sudahlah biarkan dia," ujar Paman Amen pada Jameela, "bila begini, nanti dia tak akan pernah masuk ke sana."
Nisa tersenyum. Kemudian dengan perlahan, ia mencoba membuka pagar kawat setinggi tiga meter itu. Ternyata pagar itu tak dikunci. Nisa lalu bergerak masuk, diiringi tatapan mata Paman Amen sekeluarga. Langkah-langkahnya terasa berat tatkala ia semakin mendekati bangunan di tengah kebun itu, sulur-sulur anggur yang menjulur ditopang oleh tiang-tiang kayu menaunginya dari sengatan matahari pagi. Namun, ia merasakan batinnya bergejolak hebat. Ketika kakinya telah berada di ambang pintu bangunan itu, Nisa nyaris tak tahan lagi. Ia hampir ambruk terjatuh karena beratnya beban rasa yang menggelayuti pikirannya. Namun sebelum itu terjadi, ia sempat memegang daun pintu di hadapannya. Apa pun yang terjadi, ia harus melanjutkan pertaruhan besar atas keputusannya. Lalu diketuknya pintu itu dengan keras.
"Assalaamualaikum!" seru Nisa.
"Waalaikumsalam!" terdengar jawaban dari dalam bangunan itu.
Suara itu... *** "Mt ke Kalev' Stupid Idiot!" teriak Avram Meir A Beny Abrahamovic.
Tak jauh dari mereka, Moses Goldstein berdiri sambil memegangi kepalanya. "Kapan kau bisa melakukan suatu pekerjaan dengan seratus persen benar"!" lanjut Meir dengan napas memburu. Sementara, Goldstein bersikap dingin dan nampak enggan bicara. Tangannya kemudian merogoh sepucuk pistol Colt dari balik jaket kulit yang dikenakannya. Dengan tenang, ia lalu memasang peredam suara pada pistol itu. tanpa banyak bicara, ia lalu mengarahkan pistol itu ke kening Beny dan... KLIK! Seketika Beny meregang nyawa.
"Ia pantas mati," ujar Goldstein pada Meir dengan nada dingin.
"Kau benar." jawab Meir, "He's a disgrace for The Knights of Zion"
Mereka lalu duduk. Bersamaan dengan itu, terdengar dering ponsel milik Meir berbunyi. Ia kemudian mengangkatnya.
"Apa?" tanya Meir Tak lama, ia langsung mematikan sambungan ponsel.
"Moses," ujar Meir pada Goldsetein, "Joseph sudah mendapatkan dosen itu. Kita tinggal mencari ke mana pelacur berkerudung itu pergi. Hubungi kontak kita di Departemen Luar Negeri Indonesia dan cari data keberangkatannya. Jika nihil, berarti ia masih berada di Indonesia."
Goldstein mengangguk kemudian beranjak mengambil ponselnya. Sementara Meir memanggil seseorang dari ruangan lain untuk mengurusi mayat Beny.
Setelah melewatkan waktu sejenak di kamar kecil, Meir kembali memasuki ruangan di mana Goldstein sedang tersenyum sambil menimang-nimang ponselnya.
"Avram, aku tak tahu apakah kau akan suka atau tidak dengan berita ini. Pelacur berkerudung itu sedang berada di Abu Dhabi," ujar Goldstein datar.
"Bagaimana dengan ibu dan adiknya" Bisa kita culik mereka untuk memancing anjing betina itu?"
Goldstein menggeleng. "Agak sulit," jawabnya, "Saat ini mereka sedang berada di pesawat menuju Mekkah. Kau sendiri tahu, tak sembarangan orang bisa keluar masuk Mekkah, apalagi Yahudi-Yahudi tampan seperti kita," lanjut Goldsetin sambil tersenyum,
"Lebih baik kita fokuskan diri pada si kurus di Melbourne itu." "Aku jadi heran," sambung Meir, "Apa sebenarnya yang direncanakan perempuan itu?"
Mereka lalu diam dan merenung.
*** Dalam sebuah hanggar kosong DI Airport, Esa dapat merasakan dinginnya ujung belati yang menempel di keningnya. Deru pesawat di luar terdengar keras menekakkan telinga. Seorang perempuan bertubuh tinggi-besar menegang belati dan tersenyum licik sambil memandang lekat wajah Esa.
"Jadi..., bisakah kau katakan sekarang?" tanya Joseph dengan perlahan.
"Aku tak mengerti apa maksudmu," jawab Esa tegas.
Ia tak menyangka jika hari itu ia akan mengalami sebuah pengalaman yang jelas tak mengenakkan. Supir taksi yang seharusnya membawanya ke Geelong ternyata memiliki niat tidak baik padanya. Supir taksi itu berdiri tak jauh dari tempat ia terikat di kursi kayu sambil ditempeli belati di keningnya oleh perempuan bertubuh tinggi-besar itu. Ia duduk dengan tegang. Tangannya terikat ke belakang, sementara kedua kakinya dililit tali, terikat ke kaki-kaki kursi. Dengan perawakan hampir setinggi dua meter dan wajah sangar, perempuan itu mirip dengan perempuan pegulat profesional dalam WWF Smackdown'. Beberapa kali, Esa mendengar kawannya, si supir taksi gadungan yang menjebaknya ke tempat itu memanggilnya Joseph. Cukup pantas bila kawan kawannya memanggilnya Joseph, sebuah panggilan maskulin untuk perempuan yang tak feminim.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Esa dingin. Tak ada nada gentar dalan suaranya.
Joseph tersenyum. "Okay, namaku Joseph. Josephine Goldstein. Well, kini kau sudah tahu namaku. Kini cepat jawab pertanyaanku. Di mana kau simpan segitiga itu?"
Esa diam. Lalu. "BUK.." Sebuah hantaman keras menghantam kepala Esa. Seketika ia merasa pening.
"Jawab, bodoh!" teriak Joseph dekat sekali dengan telinga Esa.
Esa pun merasakan telinganya berdengung. Esa tetap diam.
"Dengar,... Kau bisa menghabiskan kesabaranku...aku bisa melakukan saja padamu saat ini!" lanjut Joseph berteriak ditingkahi suara deru pesawat di luar hanggar.
Seseorang mendekati mereka. Dia adalah supir taksi yang menjebak Esa hingga sampai di tempat itu. Joseph lalu mendekati lelaki itu. Lelaki itu lalu menyerahkan sebuah ponsel pada Joseph. Joseph menerimanya dan berbicara melalui ponsel sambil beranjak menjauh. Sementara si sopir taksi bergerak mendekati Esa. Esa gentar berhadapan dengan lelaki itu. Tubuh lelaki itu yang kekar, tinggi dan besar sangat pas dengan wajahnya yang sangar.
"Jadi, kau belum juga mau bicara," tanya si lelaki itu pada Esa.
"Okay...," jawab Esa, "sekarang giliranmu rupanya. Siapa namamu?" tanya Esa tak acuh.
Sebuah hantaman bersarang di dada kiri Esa. Ia merasakan sakit luar biasa menerima hantaman itu. Esa kembali diam. Ia tak pernah berniat untuk mengatakan pada siapa pun bahwa ia telah memberikan segitiga itu pada Nisa. Lalu. "BUK! BUK!" Dua pukulan beruntun berturut-turut mendarat di wajah dan perut Esa. Ia semakin merasa pusing dan mual. Hampir saja ia kehilangan kesadarannya. Tak beberapa lama kemudian, Joseph kembali ke hadapan Esa.
"Bagus!" Keluh Esa dalam hatinya. Kini mereka berdua hendak menyiksanya bersama-sama.
"Esa," ujar Joseph sambil kembali mengeluarkan belati militer miliknya,
"kami bisa menjadikanmu salah satu orang terkaya di Indonesia, jika kau mau bekerja sama dengan kami. Sederhana saja...kau tinggal mengatakan di mana segitiga itu. Namun. kau ingatlah bahwa kami juga bisa mengirimmu bertemu dengan Penciptamu!"
Esa menghela napas. Ia mencoba mengusir pusing dan mual akibat pukulan bertubi-tubi si badan besar.
"Kau pintar," lanjut Joseph, "aku yakin kau bisa mengambil sikap yang lebih pintar dari teman perempuanmu."
Esa tercekat. Teman perempuan" Jangan-jangan.
"Maksudmu?" tanya Esa tertahan.
"Zahra KhairUmmi sa," ujar Joseph tegas, "temanmu itu sebelumnya membuat kesepakatan untuk menyerahkan segitiga itu setelah mengambilnya darimu. Namun ia mengkhianati kami karena bersekongkol denganmu"
Esa terhenyak. Antara sadar dan tidak karena pusing, ia tak menyangka jika Nisa telah membohonginya.
"Jadi,"Joseph melanjutkan, "kita buat saja perjanjian. Kami akan memberikan imbalan yang pantas untuk segitiga itu dan informasi di mana teman perempuannu itu berada. Kau tinggal menikmati imbalan dari kami dan melupakan teman perempuanmu itu, biarkan kami yang mengurusnya."
Esa lagi-lagi diam dalam lamunan. Orang-orang itu menyangka Nisa berkomplot dengannya untuk membohongi mereka. Namun ia sendiri tak tahu. Ia tak tahu apa yang diinginkan dan direncanakan Nisa. Mengapa ia tega..."
Esa tak tahu jenis-jenis pesawat terbang. Namun di hanggar itu ia dapat melihat sebuah pesawat kecil terparkir tepat di hadapannya yang sedang terikat di kursi kayu. Pemandangan itu sesekali terhalang oleh tubuh dua makhluk yang tak henti-hentinya memukulinya hingga ia merasa pusing dan bila menatap ke depan, seakan-akan pesawat itu bergerak maju hendak menabraknya. Joseph terus memaksanya mengatakan di mana benda pemberian Heri berada. Sementara, sopir taksi gadungan yang menjebaknya ikut-ikutan sibuk memberinya beberapa pukulan yang membuatnya tubuhnya terasa remuk-redam. Entah harus berapa kali Esa mengatakan pada mereka bahwa ia tak tahu di mana benda itu berada, namun mereka tetap bersikeras menyuruhnya bicara dan mengatakan hal yang tak diketahuinya.
Dalam kondisi-kondisi tertentu saat seorang manusia berada di ujung tanduk, biasanya ia akan mengharapkan kehadiran seorang juru selamat yang akan menolongnya. Esa pun merasakan hal tersebut. Juru selamatnya ialah Allah. Batinnya menjerit meminta pertolongan pada Allah untuk segera menolongnya keluar dari situasi sulit itu. Situasi sebaliknya tentu dialami oleh Joseph dan mitranya. Mereka semakin bersemangat untuk memaksa Esa mengatakan di mana benda yang mereka cari. Entah sudah berapa kali mereka mengunakan tangan dan kaki mereka untuk menghantam tubuh Esa. Namun Esa tetap bungkam dan tak bicara sepatah kata pun. Mereka nampak semakin kesetanan. Joseph lalu kembali mengeluarkan mainannya, sebilah belati militer yang sebelumnya sudah ia gunakan untuk menakut-nakuti Esa.
"Kau membuat kesabaranku semakin menipis, kurus." bentaknya sambil nenempelkan belati itu pada kening Esa.
"Cepat katakan di mana benda itu atau kubuat kau bisa melihat jantungmu sendiri dengan pisau ini!" lanjut Joseph. Esa tetap diam. Sementara hatinya terus menjerit meminta pertolongan pada Allah.
Joseph tiba-tiba menggoreskan belati itu, memanjang dari arah dahi ke pipi Esa. Darah segar menetes mengikuti goresan belati dan Esa semakin berada jauh dari muka bumi. Hati Esa semakin melemah dan ia mulai pasrah.
"Allah...andai usiaku sampai di sini, ampunilah aku..Aku tahu bahwa aku bukan hanba-Mu yang baik, namun aku pun tahu bahwa tiada tuhan selain Engkau dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul-Mu."
"Ivan!" teriak Joseph pada partnernya. Rupanya si sopir taksi gadungan itu bernama Ivan. Beberapa pukulan beruntun dari Ivan lalu membuat Esa merasa melayang Setelah salah satu pukulan mendarat di kepalanya, Esa mulai berhalusinasi dan merasa melihat sesuatu. Ia merasa melihat Heri berdiri di depannya. Tangannya terulur pada Esa. Sementara di belakang Heri, kedua orangtuanya berdiri bersama sambil tersenyum padanya.
"Ya Allah. Jika saat ini ialah akhir hidupku di dunia. terima kasih karena telah menjemputku dengan orang-orang yang kucintai."
Sebuah pukulan kembali bersarang di dadanya dan pukulan itu malah kembali menyadarkan dan mengembalikannya ke dunia nyata. Ia pun kembali harus melihat wajah-wajah Joseph dan Ivan.
"Bagaimana" Kau sudah mau bicara sekarang"!"
Joseph berteriak tepat di dekat telinga Esa. Esa merasa telinganya berdenging dan itu menambah rasa pusing di kepalanya yang sakit. Maka ia pun hanya bisa terkulai seperti ayam sayur baru dipotong.
"Baik. baik..," ujar Esa.
Sesaat ia berusaha keras memulihkan kesadarannya,
"setidaknya. kalian bisa bercerita. siapakah kalian?"
"Untuk apa"!" bentak Joseph, "aku hanya meminta kau memilih...mengatakan di mana segitiga itu... atau kehilangan nyawamu!"
"Setidaknya...," jawab Esa lemah, "ketika aku mati...aku tahu siapa yang telah membunuhku. agar aku bisa menuntut kalian di Pengadilan Akhirat kelak."
"BUG!" Kata-kata Esa dijawab oleh pukulan keras Ivan kepelipis kirinya yang mengucurkan darah sisa goresan belati milik Joseph.
Seseorang muncul di ruang besar itu. Dalam pusing dan setengah sadar, Esa dapat melihat orang itu berkulit hitam.
"Bagaimana?" tanya si hitam pada Ivan dan Joseph.
Joseph menggeleng perlahan. Ivan mengangkat bahu sambil menatap orang itu.
"Aku sudah jengah dengan orang itu," ujar Joseph sambil menunjuk ke arah Esa, "Kau tunggulah di sini dan awasi dia. Aku hendak pergi sebentar mencari makanan untuk kita."
"Aku ikut," ujar Ivan tiba-tiba, "aku juga bosan melihat tampangnya."
Si hitam itu mengangguk. Beberapa saat kemudian Ivan dan Joseph berlalu dari ruang itu. Esa kembali berjuang mengumpulkan kesadarannya. Kini, hanya ada ia dan orang berkulit hitam yang baru saja datang. Benaknya mulai bekerja dan bertanya-tanya, apa yang hendak dilakukan orang itu padanya" Samakah dengan apa yang dilakukan Joseph dan Ivan" Orang itu memandang lekat pada Esa. Ia lalu bertanya,
"Kau tak apa-apa?" tanyanya pada Esa.
"Pertanyaan macam apa itu?" keluh Esa dalam hatinya.
Apa orang itu tak melihat wajahnya sudah babak-belur bersimbah darah. Tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Lelaki hitam itu melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya!
"Dengar..," ujar lelaki itu, "beberapa saat lagi akan ada petugas bandara yang memeriksa hanggar ini. Kau bisa meminta tolong padanya."
Dia lalu berdiri dan hendak beranjak pergi.
"Hey! Tunggu!" seru Esa, "apa maksudmu" Apa maksud semua ini?"
"Anggap saja...," jawab lelaki hitam itu, "aku berbaik hati padamu dan membiarkanmu pergi!"
"Tapi...kenapa" Apa maksudmu" Siapa kau sebenarnya" lalu.siapa kedua temanmu tadi" Joseph dan Ivan?"
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki hitam itu hanya mengangkat bahu. Ia lalu berkata,
"Kau akan tahu nanti,. mungkin," ujar lelaki hitam itu tak acuh.
Ia lalu berlalu dari ruangan itu. Sementara, Esa berjuang mengumpulkan tenaga dan kesadarannya yang tersisa. Tiba-tiba...terdengar gedoran keras dari gerbang hanggar di belakang Esa.
"Hello" Anybody there?"
Seseorang berteriak-teriak sambil mengetuk-ngetuk gerbang hanggar. Si hitam nampak terkejut. Sementara, Esa tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia lalu berteriak,
"Help! Help me! I was tortured and made hostage!"
Dengan sekuat tenaganya yang tersisa, Esa mencoba melangkah menuju sumber suara. Sementara orang di luar rupanya mendengar teriakan Esa.
"hey! What's going on there" Open the gate!" ia lalu menggedor-gedor gerbang hanggar dengan keras dan nampak mencoba membukanya dengan paksa.
"Hey! Open it!" orang di luar itu terus berteriak sambil menggedor-gedor gerbang hanggar. Esa terus bergerak perlahan menggapai gerbang yang digedor keras dari luar. Esa seperti mendapat tenaga ekstra setelah mendengar ada orang di luar yang kemungkinan dapat menolongnya. Ia terus berteriak meminta tolong. Orang di luar nampaknya meminta bantuan karena sempat hening sejenak di luar sebelum beberapa saat kemudian terdengan suara ramai-ramai orang mencoba mendobrak gerbang hangar.
*** Saat lelaki paruh baya itu membuka pintu, ia sedang memegang cangkir berisi teh. Lelaki itu berdiri tercekat di ambang pintu. Wajahnya nampak terpana melihat sosok perempuan muda di hadapannya. Cangkir yang dipegangnya tibatiba terlepas dan jatuh. Air teh hangat yang masih mengepul menggenang di sekitarnya.
"Apa kabar, Ayah?" tanya Nisa dengan suara tertahan, nampak bahwa ia mencoba menguatkan diri dalam menghadapi situasi itu. Lelaki itu diam. Bibirnya nampak bergetar.
"Saya...," ujarnya terbata-bata," mau. mas... suk dan duduk?"
Nisa bergerak mengikuti lelaki itu. Bagian muka bangunan kecil itu ialah sebuah ruang lapang tanpa ada satu furnitur pun. Tepat di tengah-tengah ruangan, terhampar sebuahpermadani tebal buatan Iran. Sebuah teko alumunium dan beberapa cangkir di sekitarnya berada di tengahtengah karpet. Nisa lalu duduk di atas permadani. Ayahnya menuang teh pada dua cangkir dengan tangan bergetar. Nisa sendiri sebenarnya tergetar dan gugup. Namun dengan sekuat tenaganya, ia mencoba menguasai diri. Ayahnya lalu menyodorkan teh ke arah Nisa, masih dengan tangan yang nampak bergetar.
"Aku...," ujar ayahnya, kembali dengan suara tertahan-tahan. Nisa melihat ke arahnya. Kemudian untuk mengusir gugup, ia meraih cangkin teh dan menghirupnya. Rasanya nikmat sekali, wangi khas teh Maroko.
"Maafkan aku, Nisa," ujar Ayahnya kemudian.
Matanya nampak berkaca kaca menatap perempuan muda di hadapannya yang sedang memegang cangkir teh. Nisa terdiam. Kemudian ia tiba-tiba mengangguk.
"Saya selalu yakin bahwa setiap manusia memiliki alasan untuk apa yang telah dilakukannya," ujar Nisa lancar dan mengalir. Ekspresinya lebih tenang, "... dan itu yang ingin saya dengar sekarang," lanjutnya.
Ayahnya menghirup napas dalam-dalam. Nampak bahwa ia belum bisa mengusir keterkejutannya, seperti halnya putrinya.
"Saya... Aku...," suara ayahnya kembali tertahan oleh ekspresi gugup.
Nisa memandang ke arahnya, menunggu ia bicara. Ayahnya kembali menghirup napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan keras."Aku sangat sayang pada kalian," ujarnya kemudian mengalir. Seiring itu, nampak pula sesuatu mengalir dari pelupuk matanya.
"Karena itu...," lanjutnya, "Sejak dulu aku mau melakukan apa saja untuk membuat kalian bahagia."
Nisa mengangguk. "Lalu?" tanyanya meminta ayahnya segera melanjutkan pembicaraan.
"Lalu suatu hari, ayahnya melanjutkan, "saat aku hendak membawa pesawat dengan rute menuju Medan dari Jakarta, seseorang datang padaku dengan membawa sebuah bungkusan. Ia meminta aku membawa bungkusan itu dalam kargoku. Aku tidak bersedia dan menanyakan isi bungkusan itu. Namun orang itu tiba-tiba menyuruhku agar tidak banyak bertanya. ia mengancam akan menghabisi seluruh keluargaku jika aku tak mau mengikuti keinginannya."
Ia lalu diam sejenak. Matanya yang sembab menatap ke arah Nisa. Nisa dapat melihat ada kilatan rindu dalam sinar mata itu. Lalu ia melanjutkan;
"Orang itu menodongkan pistol ke arahku. Aku sendiri tak ingin mempertaruhkan keselamatan keluargaku. Lalu aku mengikuti keinginannya untuk mengantarkan benda itu pada salah seorang penghubung di Medan. Kukira ia hanya akan meminta bantuanku satu kali itu saja..."
Ia kembali diam, lalu menatap Nisa. Kali itu, Nisa dapat melihat perasaan bersalah terpancar dari sorot matanya.
"Ternyata, orang itu terus menyuruhku membawa sesuatu hampir pada setiap penerbangan yang kulakukan. Setiap usai mengantarkan barang yang di titipkannya, dia selalu memberiku uang dalam jumlah banyak. Itu membuatku lupa diri. Aku malah menikmati pekerjaan sampingan itu...dan aku pun tak pernah menanyakan isi bungkusan-bungkusan yang selalu dititipkannya padaku."
Kemudian hening sejenak meliputi pertemuan mereka. Ayahnya melanjutkan;
"Lalu tiba-tiba, dua hari menjelang penerbanganku ke Ambon, aku menerima surat panggilan dari Polisi. Mereka hendak meminta keterangan dari ku berkenaan dengan kecurigaan mereka pada aktivitasku sebagai pilot yang selalu membawa banyak kargo dalam setiap penerbanganku. Orang itu lalu kembali menemuku. Ia mengatakan padaku bahwa polisi telah mengetahui kegiatan yang kami lakukan. Ketika itulah aku tahu bahwa barang-barang yang biasa kubawa dalam setiap penerbanganku ternyata adalah narkotika."
"Siapa dia?" uja Nisa tiba-tiba, memotong pembicaraan ayahnya.
"Orang itu?" tanya ayahnya.
Nisa mengangguk. "Aku biasa memanggilnya Jack."
"Dia bukan orang Indonesia?"
Ayahnya menggeleng. "Dia orang Indonesia asli. dari Medan."
"Lalu apa yang terjadi kemudian?" tanya Nisa.
"Aku marah padanya. pada Jack. Aku merasa ditipu dan dibohongi. Aku merasa bersalah pada keluargaku, termasuk padamu. Ketika itu, aku dan Jack bertengkar hebat hingga tiba-tiba ia mencabut pistol dari balik pinggangnya. Tapi aku berhasil merebut pistol itu dan."
"Ayah membunuhnya?" tanya Nisa dengan ekspresi dingin. Kali itu, nampak ia memiliki ketenangan yang luar biasa. Ayahnya mengangguk.
"Aku mengira tak akan ada yang mengetahui perbuatanku. Lalu tiba-tiba dua orang datang menemuiku. Salah satu dari mereka seorang Amerika bernama Meyer, Abraham Meyer. Yang lainnya ialah seorang jaksa. Dari mereka, aku tahu bahwa Jack, orang yang kubunuh, ialah orang penting dalam jaringan
perdagangan narkotika di Asia Tenggara. Mereka berdua pun adalah...bagian dari jaringan itu."
Nisa mengernyitkan dahinya. Ayahnya kembali bercerita,
"Mereka kemudian berkata bahwa mereka akan mengampUmmi kesalahanku. Tapi,. mereka kembali memberikan pilihan sulit. Aku disuruh memilih, dibunuh atau menghilang dan diam selamanya agar sindikat itu tetap tak terlacak oleh siapa pun."
Tiba-tiba, pelupuk mata ayahnya kembali basah. Nisa menghela napas dan memandangnya lekat.
"Aku," lanjut ayahnya, "tentu saja...sulit membuat pilihan. Hingga hari penerbanganku ke Ambon, sebenarnya aku masih belum membuat pilihan. Karena pikiranku kalut dan kacau, konsentrasiku buyar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menjatuhkan pesawat yang ku kemudikan."
"Jadi pesawat itu jatuh?"tanya Nisa.
Ayahnya mengangguk. "Di perairan Nusa Tenggara," lanjutnya, "Saat itu malam hari. Dengan cuaca buruk dan konsentrasiku yang juga buruk, aku salah membaca sistem navigasi. Kru pesawat tak sempat menyelamatkan penumpang maupun diri mereka. Ketika pesawat terhempas ke air, aku dan kopilot sempat berhasil memecah kaca di hadapan kami dengan tabung yamato yang ada di luar kokpit. Kami meloncat keluar. Hujan deras dan kegelapan malam membuat kami kesulitan melihat di mana pesawat berada sebelum kami menyadari bahwa pesawat telah tenggelam ditelan air. Kopilot dan aku lalu terpisah. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berenang di tengah ombak dan badai. Aku terus bergerak hingga tak sadarkan diri."
"Lalu?" Nisa mulai gelisah dan ingin mendengar kelanjutan cerita ayahnya.
"Saat aku bangun, aku berada di sebuah kapal penangkap ikan berbendera Australia. Rupanya aku terseret gelombang sampai ke perairan internasional. Kapal itu lalu menurunkan aku di Darwin' karena mereka tak mau memasuki perairan Indonesia. Lalu aku menghubungi Meyer dan menceritakan apa yang baru saja kualami. Keesokan harinya, Meyer datang dan menjemputku. Ia lalu memberiku paspor Australia. Entah bagaimana, namun paspor itu asli. Ada foto dan sidik jariku pada paspor itu, namun namaku digantinya. Meyer lalu memberiku seribu dolar dan tiket penerbangan ke Aden. Ia menyuruhku datang ke Aden untuk menemui seorang Yahudi-Arab bernama Saul Assyam'un. Dialah pemilik perkebunan anggur ini."
"Lalu ayah bekerja di sini?" tanya Nisa.
Ayahnya mengangguk. Kali itu wajahnya tanpa ekspresi.
"Okay. Abraham Meyer ya" Nama orang itu Abraham Meyer?"
Ayahnya mengangguk. "Dia American?"
Ayahnya kembali mengangguk.
"Ayah, apakah dia seorang Yahudi?"
"Maksudmu. Abraham Meyer itu?"
Kali itu, Nisa yang mengangguk membenarkan.
"Ya. dia Yahudi. Saul Assyam 'un yang memiliki perkebunan anggur ini juga seorang Yahudi. bukan Arab."
Nisa mengernyitkan dahi. "Apakah Abraham Meyer itu seorang pria seusia ayah dengan wajah keras dan bertubuh tinggi besar sekitar dua meter?"
Ayahnya mengangguk. Ia lalu mengernyitkan dahi sambil menatap Nisa dengan heran. "Apa wajahnya mirip dengan Jean Claude Van Dane star ?"
Ayahnya kembali mengangguk. Nisa pun mengangguk perlahan namun wajahnya menunjukkan seolah ia baru memahami sesuatu. Nisa sudah menduga sebelumnya. Abraham Meyer ialah nama dalam dialek Inggris untuk Avram Meir nama dalam bahasa Ibrani. Ia lalu mencatat nama Saul Assyam'un pada notes kecil yang ia keluarkan dari tasnya.
Klakson mobil paman Amen tiba-tiba berbunyi di luar. Rupanya mereka telah usai berbelanja.
"Dengar, Ayah," ujar Nisa seraya menghela napas, "Saya tak punya banyak waktu. Ada sesuatu yang harus saya kerjakan."
Ayahnya menatapnya. Tiba-tiba Nisa mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah amplop, lalu memberikannya pada ayahnya. Ayahnya menerimanya dengan heran. "Di dalamnya ada uang lima belas ribu dolar dan tiket pesawat ke Jeddah.".
Ayahnya semakin terheran-heran.
"Saya tak bisa berkata apa-apa sekarang. Hanya. kalau saya tidak salah, sudah lama saya tidak meminta sesuatu dari Ayah. Sekarang saya hendak meminta sesuatu. Saya minta ayah pergi ke Mekkah, lalu pesanlah sebuah kamar di Hotel Sheratton. Tunggulah selama satu pekan di sana. Saya akan menyusul ayah dan berbicara lagi dengan Ayah. Satu lagi, jangan pamit pada pemilik perkebunan ini," ujar Nisa.
Ia lalu beranjak berdiri.
"Tapi aku...," ujar ayahnya.
Nisa memotongnya dengan cepat,
"Pilihan berada di tangan ayah, jika ayah tak mau, saya tidak memaksa," ujar Nisa sambil bergerak ke luar. "Wassalamualaikum," ujar Nisa dengan cepat.
Ayahnya bergegas menuju ambang pintu. Dilihatnya Nisa sudah berada di antara gerbang perkebunan dengan bangunan itu.
"Nisa," ujarnya tertahan.
Nisa menoleh. Dilihatnya ayahnya berdiri di ambang pintu sambil memegang amplop yang baru saja ia berikan.
"Setidaknya...," ujar ayahnya, "biarkan aku mengatakan bahwa aku rindu padamu, ibumu, dan Dino."
Saat itu Nisa pun tak dapat menahan lagi perasaannya. Ia lalu berbalik kembali ke bangunan itu setengah berlari. Dengan mata berurai air, ia memeluk ayahnya erat-erat. Begitupun ayahnya. Ia mendekap Nisa erat, seolah tak ingin lagi kehilangan putrinya itu.
*** "Demi Bukit Zion, tak adakah di antara kita yang bisa berbuat benar?" keluh Avram Meir sambil menepuk meja di hadapannya dengan keras.
Di hadapannya, Moses Goldstein sibuk menghirup Marlboro dengan kaki terangkat ke meja yang baru saja ditepuk Meir.
"Bagaimana jika kita pergi ke Australia untuk mengurusi mereka langsung?" ujar Goldstein dingin sambil menghisap Marlboro-nya dalam dalam.
Meir mengangguk. Namun tampak bahwa ia tak yakin.
"Memang lebih baik kita ambil alih semua urusan ini," ujar Meir.
Tangannya bergerak mengambil bungkus rokok di meja dan mengambil sebatang dari dalamnya.
"Bagaimana dengan pelacur itu?" tanya Goldstein tiba-tiba.
"Orang-orang kita di Abu Dhabi tak berhasil melacaknya," jawab Meir.
"Ibu dan adiknya sudah berada di Mekkah. Bagaimana dengan ayahnya" Bukankah kemungkinan besar ia pergi ke Yaman dari Abu Dhabi?"
"Beberapa saat lalu aku menelpon Saul di Aden. Ia bilang Pilot sial itu sudah menghilang dari kandangnya di kebun anggur milik Saul," Meir kembali menjawab sambil menghela napas.
"Berarti kita harus langsung melacak perempuan itu," ujar Goldstein.
Meir mengangguk. "Aku akan menyuruh orang lain untuk menguntit si kurus di Australia. Kau urusi pencarian pelacur temannya," ujar Meir.
"Tunggu dulu.," ujar Goldstein seperti baru menemukan sesuatu. Ia menurunkan kakinya dari meja.
"Begini..," lanjut Goldstein, "jika dugaan kita benar bahwa si kurus dan perempuan sundal itu berkomplot membodohi kita..., maka, kemungkinan terbesar ialah. perempuan itu berada di..."
"Australia!" potong Meir cepat,
"tentu saja." "Ya. itu berarti bahwa kita memang harus ke sana...ke Australia," ujar Goldstein dingin.
"Baik," ujar Meir, "kita kerahkan semua potensi yang kita miliki. Kehormatan dan cita-cita bangsa kita sebagai bangsa pilihan Tuhan berada di pundak kita, saat ini."
*** Esa sangat berterima kasih pada scoott, jika tak ada pemuda pegawai bandar Avalon itu, ia mungkin sudah berada di alam barzah. Scott menerima tugas untuk membersihkan Hanggar bandara Avalon ketika ia menyadari bahwa seluruh pintu masuk ke hanggar itu terkunci dari dalam. Maka ia menggedor hanggar itu karena mengira ada orang di dalam. Dugaannya tidak salah walau pada akhirnya, ia menemukan sesuatu yang tak terduga.
Esa dan Scott berada di Melbourne Hospital. Scott khawatir melihat wajah Esa yang bersimbah darah dengan tubuh lebam lebam, sehingga ia membawa Esa ke tempat itu.
"Esa, kau harus lapor polisi," ujar Scott.
Esa mengangkat tangannya. Ia tak ingin berurusan dengan polisi Australia. Lagipula, apa yang akan mereka duga jika mereka tahu ia menginap di rumah Syaikh Rashed"
"Aku tak punya banyak waktu di negeri ini," jawab Esa, "Besok aku harus ke Clayton untuk menghadiri sebuah acara di Monash University. Lalu aku harus segera terbang ke Mesir."
"Siapa mereka, Esa?" tanya Scott.
Esa tertegun. Ia lalu menjawab,
"Mereka hanya bandit-bandit biasa yang hendak merampokku karena mengira aku turis kaya," jawab Esa berbohong.
Dokter menjahit luka di wajah Esa dan memberinya antibiotik serta obat penghilang rasa sakit. Esa lalu bersikeras pada dokter untuk dapat keluar dari rumah sakit malam itu juga. Ia memberikan alasan yang sama yang diberikannya pada Scott bahwa ia harus pergi ke sebuah acara penting di Clayton keesokan harinya. Ia dan dokter sempat beradu mulut sebelum dokter itu akhirnya menyerah. Namun Esa tak dapat menolak kebaikan Scott yang memaksa untuk mengantarnya pulang ke rumah Syaikh Rashed. Scott memiliki sebuah Land Rover tua. Esa duduk di samping Scott yag memacu Land Rover itu dengan kecepatan sedang menuju Flinders.
"Apa pekerjaanmu di Indonesia?" tanya Scott memulai percakapan.
"Aku seorang dosen. Bagaimana denganmu" Apa tugasmu di Avalon Airport?"
"Cleaning service," jawab Scott pendek, "well, kita memiliki jenis pekerjaan yang berbeda jauh, rupanya. By the way, kau dosen apa?"
"English Literature. Aku mengajar sastra dan sedikit linguistik."
"Ada acara apa di Clayton?" tanya Scott kemudian.
Esa lalu menjelaskan bahwa ia diundang untuk menghadiri sebuah acara tanpa menjelaskan acara tersebut. Tak lama kemudian, Land Rover itu tiba di kawasan Flinders. Esa meminta agar ia diturunkan di Stasiun Flinders. Ia tak ingin Scott tahu jika dirinya tinggal di rumah seorang Arab-Libanon yang pernah menjadi tersangka teroris. Esa ingin menjaga agar Scott tetap berpasangka baik padanya. Setelah beberapa kali berterima kasih banyak pada Scott, Esa lalu menyaksikan Land Rover milik Scott menghilang ditelan keramaian kendaraan .Jam menunjukkan pukul delapan malam lebih sedikit. Namun Esa tak merasa khawatir berjalan di Flinders malam itu. Orang-orang masih ramai lalu lalang beraktivitas.
Syaikh Rashed sangat kaget ketika Esa datang di rumahnya. Dengan wajah sebelah kanan lebam dan pipi sebelah kiri tertutup plester putih, Esa tak dapat mengelak untuk tidak bercerita bahwa ia baru saja mengalami suatu peristiwa. Namun Esa mengelak. Ia hanya berkata pada Syaikh, istrinya, dan kedua muridnya bahwa ia baru saja mengalami musibah dan ingin beristirahat karena harus pergi ke Clayton keesokan harinya untuk acara pemberian penghargaan bagi heri di Monash University. Para penghUmmi rumah mencoba memaklumi dan membiarkan Esa berbaring di kamarnya.
Esa berbaring tenang setelah menunaikan shalat isya dan maghribnya yang tertunda. Kepalanya masih terasa pusing. Sementara bekas sayatan pisau yang memanjang dari kening ke pipi sebelah kiri wajahnya terasa ngilu. Ia memikirkan pengalamannya hari itu. Esa bertanya-tanya dalam batinnya. Siapakah orang-orang itu" Mengapa mereka menginginkan segitiga pemberian heri" Benda apakah itu sebenarnya" Apakah Heri dibunuh karena benda itu" Ragam pertanyaan dalam batinnya hanya membuatnya semakin pusing dan letih. Ia pun jatuh tertidur. Dan baru bangun saat subuh menjelang.
Setelah shalat subuh, Esa bersiap-siap untuk acara hari itu. Ia mengenakan setelan jas terbaik yang dimilikinya. Sejak subuh pula Syaikh Rashed terus memancingnya untuk bercerita tentang apa yang terjadi hari sebelumnya. Namun Esa tetap enggan, dan Syaikh Rashed pun tak bisa berbuat apa-apa. Kurang lebih pukul delapan pagi, Esa berpamitan pada Syaikh Rashed. Sang Syaikh yang nampak mengkhawatirkan Esa lalu menyuruh Younnes dan Hashen untuk mengantar Esa ke kampus Monash di Clayton. Kebetulan hari itu mereka berdua juga hendak pergi ke perpustakaan kampus. Syaikh Rashed bahkan menyuruh Younnes dan Hashem untuk menggunakan mobil miliknya. Syaikh dan istrinya menghantar mereka bertiga hingga ambang pintu rumahnya.
Esa duduk di belakang Younnes dan Hashem yang memegang kemudi. Dari kawasan Flinders, mereka pun meluncur menuju Clayton. Setiba di Kampus Monash yang megah, Esa dan kedua murid Syaikh Rashed menyempatkan diri berjalan-jalan mengitari area kampus. Kampus Monash di Claytonmemiliki luas 1,1 Km dan merupakan Kampus Monash terbesar. Selain di Clayton, Monash masih memiliki tujuh kampus lain. Lima di antaranya berada di Negara Bagian Victoria. Senentara, dua kampus lain berada di luar negeri. Satu di Runway, Malaysia, dan satu lagi di Ruinsig, Afrika Selatan. Mereka juga memiliki dua centre di Prato, Italia, dan London, Inggris. Esa menjelajahi kampus yang memiliki moto "Ancora Imparo" itu dengan perasaan kagum. Walau baru berdiri pada 1958, Monash ialah Universitas terbesar di Australia dengan jumlah nahasiswa mencapai 55.000 orang. Universitas yang mengambil nama seorang Jenderal Australia itu", memiliki gedung-gedung bagus yang juga dinamai dengan nama-nama orang terkenal dari Australia.
Tak lama kemudian, mereka bertiga telah berada di School of Languages, Cultures and Linguistics, Monash. Vice Chancellor Monash, Professor Jerry Larkins, menyambut kedatangan mereka di lobi aula School of Languages, Cultures and linguistics. Setelah berbasa-basi sejenak, Professor Larkins mengajaknya memasuki ruang utama aula.
Acara itu berlangsung cepat. Pertama hanya berisi sambutan dari Chancellor Monash dan pembimbing tesis serta promotor Heri. Setelah itu, penghargaan segera diberikan. Penghargaan itu berbentuk medali yang terbuat dari emas dan sejumlah uang yang harus segera Esa serahkan pada keluarga Heri setibanya di Indonesia. Esa menerima penghargaan itu mewakili keluarga Heri dan memberikan sepatah-dua kata di depan forum. Setelah itu acara pun usai.
Ketika acara telah usai, tiba-tiba seseorang datang menghampiri Esa. "Excuse ne, Mr. Wiradika?" ujar bule itu.
"Yes?" tanya Esa.
"Someone's looking for you She is waiting at the gate," lanjutnya.
"Okay. Thank you," jawab Esa.
"She" Siapa dia?"
Esa beranjak ke gerbang aula. Ia kaget walau, entah mengapa, dalam hatinya ada sedikit perasaan senang. Dilihatnya Nisa sedang bersandar ke pintu aula sambil menatap ke arahnya. Esa mengangkat tangan kanannya, memberikan isyarat pada Nisa untuk menunggu. Kemudian Esa beranjak kembali ke dalam. Ia berpamitan pada beberapa petinggi universitas yang masih berada di dalam aula dengan alasan bahwa ia memiliki beberapa agenda penting lain yang harus dikerjakan. Nisa masih bersandar di tempat yang sama ketika Esa kembali. Tangannya terlipat di dada. Ia mengenakan gamis kelabu panjang dengan jaket parasit hitam yang panjangnya hampir mencapai lutut. Kerudung berwarna senada dengan pakaian membungkus kepalanya. Sementara sebuah tas selempang berwarna hitam tersampir ke pundak kirinya.
"Assalaamualaikum, Esa," ujar Nisa seperti biasa.
Ia nampak sedikit terkejut melihat luka-luka di wajah Esa.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Esa.
Ia lalu menundukkan kepalanya setelah menyadari bahwa Nisa sedang menatap lekat wajahnya.
"Hey, ada apa dengan wajahmu?" ujar Nisa.
"Hey, bisa kauceritakan ada apa denganmu" Apa yang membuatmu datang ke sini" Dan apa hubunganmu dengan bule-bule aneh yang membuat hiasan di wajahku?" balas Esa dengan nada tanya yang sama seraya mengangkat wajahnya.
Kali itu, Nisa yang tertunduk menghadapi tatapan Esa.
"Jalan-jalan, yuk?" ajak Nisa tiba-tiba.
Esa menghela napas. Namun akhirnya ia mengikuti Nisa yang bergerak menjauhi tempat itu.
"Kita menghadapi masalah besar," ujar Nisa mengawali pembicaraan.
Esa terdiam mendengarkan.
"Aku pernah bercerita padamu tentang ayahku, kan?" lanjut Nisa kemudian.
Esa mengangguk dingin. "Sebulan yang lalu, saat aku berada di Singapura, seseorang datang padaku. Ia seorang Yahudi dan memperkenalkan dirinya. Namanya Avram Meir. Ia menunjukkan foto-foto ayahku padaku. Ayahku masih hidup, Esa!"
Esa terbelalak kaget. Namun Nisa bersikap biasa, lalu melanjutkan ceritanya,
"Si Meir itu lalu bercerita bahwa dulu, ayahku terpaksa 'menghilangkan diri karena suatu hal yang nyaris tak kupercaya. Ayahku terlibat penyelundupan obat-obat terlarang. Karena ayahku pilot, kargo pilot biasanya tak terlalu dicurigai oleh petugas-petugas bandara. Nah,. beberapa saat sebelum ayahku hilang", aktivitasnya tercium aparat keamanan. Ia lalu lari ke Yaman dan tinggal di sana dengan identitas palsu."
"Lalu"' tanya Esa, mulai tertarik.
"Meir berjanji untuk mempertemukan aku dengan ayah...dengan syarat..."
"Apa syaratnya?" desak Esa.
Nisa diam sejenak lalu berhenti melangkah. Kerongkongannya terasa tercekat. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke gedung-gedung di kampus itu.
"Maafkan aku sebelumnya. syaratnya. aku membantunya mencari tahu keberadaan sebuah benda. benda yang kau terima dari Heri." ujar Nisa.
Setelah itu ia merasa baru nelepaskan beban berat dari pundaknya. Namun tak urung matanya mulai berkaca-kaca.
"Bagus." jawab Esa dingin, "dan kau baru mengatakan semua ini setelah aku hampir dibunuh orang kemarin."
"Sekali lagi maafkan aku, Esa," Nisa memohon lirih.
Air yang berada di pelupuk matanya mulai turun, mengalir ke pipinya yang halus.
"Siapa mereka?" tanya Esa.
"Maksudmu?" Nisa tak mengerti.
"Orang-orang Yahudi itu?" Esa memperjelas. Nada suaranya masih dingin.
Nisa menghapus air dari pipi dan matanya, lalu menghirup napas dalam.
"Aku tak tahu. yang kutahu mereka memiliki banyak orang yang tersebar di banyak negara."
"Kau sudah menemui ayahmu?"
Nisa lalu menceritakan semua yang ia alami. Mulai dari saat meninggalkan rumahnya dengan menumpang mobil Pizza Hut hingga ia bisa berada di tempat itu.
"Kau masih menyimpan benda itu?" tanya Esa setelah Nisa usai bercerita.
Nisa mengangguk cepat. "Kenapa mereka begitu menginginkan benda itu ya" Apakah orang-orang itu juga yang membunuh Heri" Apa kita harus lapor pada polisi?" tanya Esa sambil termenung. Ia nampak seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Esa," ujar Nisa, "ada beberapa alasan yang membuat kita tak Mungkin menceritakan masalah ini pada orang lain. Pertama, masalah pembunuhan Heri ialah sebuah masalah internasional. Coba kamu pikir, seorang mahasiswa Universitas Australia asal Indonesia dibunuh di Ethiopia. Pada polisi mana kita harus melapor" Lagipula apa yang hendak kita laporkan" Masalah kedua, kita tak tahu dengan siapa kita berurusan. Entah mengapa, setiap aku memikirkan kemungkinan melaporkan apa yang kita ketahui pada polisi, perasaanku selalu menolak. Yang ketiga, kita tak tahu benda apa yang kita miliki dan apa yang membuat orang-orang misterius itu begitu menginginkan benda tersebut."
Esa mengangguk perlahan satu kali. Entah mengapa, perasaannya pun selalu menolak setiap kali ia memikirkan kemungkinan melaporkan apa yang ia alami dan ketahui pada polisi.
"Kau ada ide tentang benda apa yang sebenarnya diberikan Heri padaku?" tanya Esa.
Nisa mengangkat bahu. "Yang tahu masalah itu tentu saja hanya Heri dan orang-orang itu. Oh, ya, juga orang yang bernama Indra Hermawan itu."
Indra" Esa langsung termenung. "Punya hipotesis"' tanya Esa tiba-tiba.
Nisa mengangguk. "Begini, " ujar Nisa, "Heri dibunuh karena suatu hal. Kita kesampingkan dulu apa hal itu, yang jelas dia dibunuh karena suatu hal .Indra yang berada bersama Heri di Addis Ababa mengetahui atau bahkan menyaksikan pembunuhan itu. Malah, mungkin dia juga menjadi target pembunuhan. Namun dia berhasil lari dan." Uraian Nisa terpotong.
"Dan datang ke Indonesia untuk mengantarkan paket itu kepadaku" Itu tak masuk akal, Nis!"
"Ya, masuk akal ...," sergah Nisa, "Dia sengaja masuk ke Indonesia secara ilegal karena dia tahu bahwa dia sudah dijadikan tersangka dalam suatu kejahatan yang tidak dilakukannya."
"Justru itu, Nis. Terlalu berisiko baginya untuk pergi ke Jakarta dari Addis Ababa secara ilegal hanya demi mengantarkan sebuah gantungan kunci berbentuk segitiga padaku," tukas Esa.
Nisa terdiam. "Esa benar," pikirnya.
"Sudahlah, Sa. Mungkin kelak kita bisa mengetahui ada apa sebenarnya dengan semua ini," ujar Nisa.
Esa dan Nisa kembali terdiam. Dalam diam, mereka mencoba menyusun pikiran dan mereka-reka tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Hemm. Indra Hernawan itulah kuncinya," ujar Esa tiba-tiba.
Nisa mengangguk. "Ya. benar.dialah yang paling memahami masalah ini. Andai saja kita bisa bertatap muka dengannya."
*** Esa memperkenalkan Nisa pada younnes dan Hashem. Mereka berdua sengaja menunggu Esa di tempat parkir School of Languages, Cultures and Linguistics. Setelah menyaksikan Nisa berbasa-basi dengan kedua murid Syaikh tersebut, Esa bertanya pada mereka.
"Younnes, Hashem, bisakah kalian ceritakan padaku tentang Indra Hermawan" Apa pun yang kalian tahu tentangnya."
"Hah" Bukankah Syaikh Rashed sudah bercerita tentang dia padamu?" Younnes balik bertanya.
"Maksudku, hal-hal lainnya. misalnya tempat tinggalnya, terus keluarganya bagaimana, apa dia sudah menikah,... yaaa... lain-lainnya, begitu."
"Well, tak banyak yang kami tahu," ujar Hashem.
Mereka lalu diam sejenak. Younnes lalu bercerita;
"Orangtuanya berasal dari Padang namun mereka sudah menetap selama dua puluh tahun di Australia. Terus, aku maupun Hashem beberapa kali sempat diajak oleh Heri ke rumah orang itu. Dia agaknya seorang eksentrik yang gemar mengumpulkan benda-benda aneh. Di rumahnya juga banyak barang-barang aneh. Pekerjaannya menjual barang-barang seperti koin dari Zaman Dinasti Ming, tembikar khas Aborigin, lukisan-lukisan klasik, ya. seperti itulah."
Esa terdian sambil mengernyitkan dahinya.
"Sejak kemarin, kuperhatikan bahwa kau sangat ingin tahu tentang Indra Hermawan" Apa ada sesuatu?" lanjut Hashem.
"Ah, tidak ada apa-apa. aku hanya tertarik waktu tahu dia itu pedagang barang antik. Hei, kira-kira, Heri pernah mendapat barangantik tidak dari orang itu?"
"Kami tak tahu," jawab Younnes, "tapi beberapa kali aku sempat melihat Heri mendapat manuskrip-manuskrip tua dari orang itu. Yaa, kau tentu tahu bahwa Heri mendalami bidang filologi dalam penelitian untuk disertasinya."
"hmm, berarti memang Heri punya alasan untuk berteman dengan orang itu."gumam Esa.
"Tentu saja. Kau pasti tahu kalau Heri sangat tergilagila pada filologi...jadi, dia sangat tertarik membaca manuskrip-manuskrip tua," Hashem menimpali.
"Kalian tahu alamatnya di Australia, kan?"tanya Esa tiba-tiba.
"Ya," jawab Younnes dan Hashem hampir bersamaan.
"Kami sempat beberapa kali diajak Heri mengunjungi rumah Indra Hernawan di sebuah kawasan antara Melbourne dan Clayton," lanjut Hashem.
"Apakah masih ada keluarganya yang tinggal di rumah itu?" tanya Esa.
"Kalau aku tak salah, ia tinggal dengan ibunya di rumah tersebut," jawab Younnes.
"Bisakah kalian mengantar kami ke sana?"
"Tentu saja, jawab Hashem, "kemarin kau sudah menanyakannya dan kami sudah menyanggupinya, kan" Lagipula, kami sudah berjanji pada Syaikh Rashed untuk mengantar dan menjagamu. Tapi, aku ingin bertanya sekali lagi. aku penasaran. sebenarnya, untuk apa kau ke sana?"
"Ah, tidak...," jawab Esa, "kami hanya ingin bersilaturahmi dengan keluarga dari kawan dekat Heri. Kawan Heri adalah kawanku, berarti dia pun adalah kawanku juga."
*** Esa dan Nisa sepakat untuk mendatangi rumah Indra Hernawan. Mereka berharap ada sesuatu yang bisa diketahui dari orang yang mungkin masih berada di rumah itu. Dalam beberapa saat, mobil milik Syaikh Rashed telah menyusuri jalanan yang menghubungkan Clayton dan Melbourne. Dengan santai, Hashem mengemudikan mobil hati-hati. Esa menatap ke luar melalui jendela. Mobil-mobil hilir mudik di jalanan dengan cepat tanpa terhambat kemacetan. Benar-benar negeri yang mengagumkan. Sesuai rencana, mereka lalu tiba di rumah tujuan. Rumah itu tak terlalu besar, namun terlihat cukup nyaman dan memiliki pekarangan yang nampak asri dengan bunga-bunga bermekaran. Seperti umumnya rumah di Australia, tak ada pagar di muka rumah. Kondisi rumah itu menunjukkan bahwa cukup terpelihara dengan baik, pertanda ada orang yang merawatnya. Younnes dan Hashem kemudian menurunkan Esa dan Nisa di depan rumah itu. Mereka berkata pada Esa bahwa Syaikh Rashed meminta dibelikan beberapa buah buku di Clayton, jadi mereka tak dapat menyertai Esa dan Nisa mengunjungi rumah Indra tersebut, namun akan kembali untuk menjemput setelah selesai membeli buku. Setelah turun dari mobil, Esa kemudian berjalan menyusuri carport di muka rumah bagian samping hingga tiba di depan pintu. Nisa mengikutinya di belakang. Saat berada di muka pintu, Nisa melihat ada bel di pojok kiri atas dekat pintu. Tangan Nisa lalu meraih bel itu dan menekannya. Terdengar suara bel berdentang di dalam rumah. Namun mereka tak mendengar ada suara orang di rumah itu. Nisa lalu mencoba menekan bel untuk yang kedua kalinya. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah orang mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka sedikit dan nampak raut wajah khas Indonesia, seorang perempuan paruh baya berkerudung. Ia terheran-heran melihat mereka, seorang lelaki dan seorang perempuan berwajah Indonesia.
"Can I help you?" ia bertanya dengan bahasa Inggris.
"Yes, ma'am. We're from Indonesia." belum usai Esa berkata, sang tuan rumah telah memotong dengan cepat,"Ah. Tentu saja, wajah kalian wajah Indonesia. Kalian wartawan?"
"Bukan, Bu," jawab Nisa, "Kami..," ia kebingungan melanjutkan kalimatnya.
"Saya tak punya waktu untuk bicara dengan wartawan, maaf." ujar perempuan itu.
Ia kemudian bergerak hendak menutup pintu, namun Esa refleks menahan pintu dan berkata,
"Kami bukan wartawan, Bu. Kami adalah kerabat Heriansyah yang beberapa waktu lalu pergi bersama Indra ke Ethiopia."
Sejenak perempuan itu diam. Kemudian ia memandang ke arah Esa dan Nisa bergantian. "Siapa kalian?" tanya perempuan itu..
"Kami..." ucapan Nisa kembali tertahan. "Maaf," uja Esa sambil mengukir senyum, "sebelumnya, perkenankan kami memperkenalkan diri, Bu. Nama saya Maheswara Wiradika dan ini adik saya, Zahra KhairUmmi sa. Kami mengetahui alamat rumah Ibu ini dari murid-muridnya Syaikh Rashed."
"Syaikh Rashed!" potong ibunya Indra.
"Ya, Syaikh Rashed. Ibu kenal beliau?" "Ah. Tentu saja," jawab perempuan itu, "Ah, saya ingat sekarang. beberapa murid Syaikh Rashed pernah berkunjung ke sini bersama Heri, sekali atau beberapa kali," ujarnya mulai ramah. "Saya Rini, ibunya Indra," ujar perempuan itu.
Ia lalu menggerakkan tangannya dan mempersilakan mereka masuk. Rumah itu tak besar, namun memiliki dua lantai. Di lantai pertama, ada beberapa ruang yang pintunya dapatterlihat ketika Esa dan Nisa masuk. Sebuah tangga menunju lantai kedua berada di antara ruang depan dan tengah rumah. Esa dapat melihat bahwa di dinding rumah itu banyak terdapat lukisan-lukisan dan pajangan-pajangan lain yang antik, persis seperti yang diceritakan Younnes dan Hashem. Bu Rini mengajak mereka melewati ruang yang dipenuhi pajangan hingga ke pojok dan tiba di ambang pintu sebuah ruangan. Setelah membuka pintu ruangan itu, ia mengajak keduanya masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan itu nampaknya sebuah perpustakaan. Rak buku dengan buku buku yang berderet berada pada keempat dinding ruangan tersebut. Sebuah meja panjang berada di tengah ruangan dengan beberapa kursi berderet di sepanjang sisi meja. Bu Rini lalu mempersilakan mereka duduk di kursi-kursi yang berderet itu, lalu keluar dari ruangan itu dan meminta mereka menunggu sejenak. Nisa memilih kursi di bagian tengah meja, dan duduk dengan tenang. Esa tidak duduk. Ia berjalan mengitari ruangan itu dan melihat buku-buku yang terpajang di rak rak. Esa merasa takjub. Ia belum pernah menemukan rumah yang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak itu. Tak lama kemudian, Bu Rini tiba di ruangan itu sambil membawa baki yang memuat sebuah teko berukuran sedang dan empat buah Cangkir. Ia menyimpan baki itu di ujung meja, lalu menarik salah satu kursi dan duduk menghadapi Nisa. Esa segera duduk, tak lama setelah Bu Rini memasuki ruangan itu.
"Okay, Let's have a talk," ujar Bu Rini sambil menghela napas.
"Kami hanya ingin bersilaturahmi dan bertanya beberapa hal tentang Indra." ujar Esa, "kalau boleh, ia melanjutkan dengan nada tak yakin. "Kebetulan kami sedang ada acara di Monash University, jadi sekalian saja kami mampir. Kami mohon maaf bila kedatangan kami mengganggu kenyamanan Ibu, namun kami benar-benar memiliki maksud baik," Nisa melanjutkan.
"Saya percaya," jawabnya sambil tersenyum ramah.
"Ya, Bu. Kami hanya ingin bersilaturahmi dengan keluarga Indra. Ketika di Indonesia, Heri ialah sahabat saya dan sahabat Heri ialah sahabat saya juga Berarti, Indra pun ialah sahabat saya."
Bu Rini menganguk. "Saya sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa Heri di Ethiopia. Namun, terus terang, saya tak yakin bila Indra yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut."
"Kami dapat memahaminya, Bu," Nisa menimpali, "Kami juga tak yakin bahwa Heri dibunuh oleh Indra."
Sejenak mereka terdiam. Kemudian, Bu Rini kembali membuka percakapan, "Saya ingat bahwa Heri dan Indra sangat akrab sekali. Makanya, saya tak percaya pada berita yang ditulis di koran-koran bahwa Indra adalah penyebab kematian Heri. Bukan bermaksud membela anak sendiri, ya... tapi saya sangat mengenal perilaku Indra. Jangankan membunuh, disuruh menyembelih ayam pun ia tak mau. Yaa. Dia tak jauh berbeda dengan adiknya."
"Jadi, Indra punya adik ya, Bu?" tanya Esa.
"Ya. Indra lahir kembar. Saudaranya namanya Bayu."
"Kembar?" tanya Esa seolah meyakinkan.
"Ya," jawab Bu Rini, "Wah, jika Nak Esa bertemu dengan mereka berdua, pasti sulit membedakan mereka."
Esa dan Nisa mengernyitkan dahi. Sementara Bu Rini menghela napas dan menatap ke dinding. Foto Indra terpajang di sana.
"Ohya, Bu," ujar Nisa tiba-tiba, "Bayu tinggal disini juga ya?"
"Oh. Iya. Ia bekerja disebuah biro perjalanan wisata yang memandu turis-turis. Tapi sekarang ia sedang pergi keluar."
"Oh ya?" tanya Esa.
"Bayu pergi sejak pagi tadi."
"Ke mana Bayu pergi, Bu?" tanya Esa.
"Dia bilang ia hendak menjual sesuatu pada kliennya. Oh ya, Bayu melanjutkan usaha Indra dalam jual-beli benda-benda kuno dan antik."
"Benarkah?" tanya Esa.
"Ya." Mereka diam sejenak. Pembicaraan itu kemudian berlanjut. Bu Rini menjadi lebih berinisiatif dan terbuka dalam bercerita.
"hmmm. Kapan kira-kira Bayu pulang, Bu?" tanya Esa tiba-tiba.
"Mungkin sore nanti. Memang kenapa?" tanya Bu Rini.
"Ah, tidak. Mendengar ibu banyak bercerita tentang Indra dan Bayu tadi, saya jadi ingin bertemu dengan Bayu," jawab Esa.
Dering telepon dari ruang tengah rumah itu tiba-tiba terdengar nyaring.
"Sebentar ya" Ibu mau terima telepon dulu. Nak Esa dan Nak Nisa, silakan diminum tehnya," ujar Bu Rini sambil berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan tersebut.
Tak lama kemudian, Bu Rini kembali memasuki ruangan itu. Ia masih tersenyum pada Esa dan Nisa.
"Maaf, ya, agak lama. Kebetulan tadi Bayu menelpon. Rupanya ia juga ingin bertemu dengan kalian berdua," ujar Bu Rini.
Mereka menatap Bu Rini. "Benar, Bu?" tanya Esa.
Bu Rini mengangguk. "Kalau kalian tak keberatan, Bayu meminta kalian menunggunya. Ia sedang berada di perjalanan. Sekitar dua puluh menit lagi ia sampai," jawab Bu Rini.
Mereka lalu mengangguk pertanda setuju. Setelah itu, perbincangan dengan Bu Rini kembali berlanjut. Topik mereka tetap berkisar pada keluarga Bu Rini. Sesekali, perbincangan beralih pada kenangan tentang Heri .
Deru mobil di luar rumah terdengar keras, sehingga menghentikan pembicaraan Esa, Nisa an Bu Rini. Karena suara mobil begitu dekat, Esa tahu jika mobil itu berada di Cart port depan rumah. Bu Rini beranjak ke depan dan meminta Esa untuk menunggu bersama Nisa.
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia datang," bisik Nisa.
Esa mengangguk. Tak lama kemudian, Bu Rini memasuki ruangan bersama seseorang. Tubuhnya tinggi dan kurus. Sorot mata yang tajam tersembunyi dibalik kacamata minus yang dipakainya. Rambut lelaki itu panjang dan diikat seperti ekor kuda. Jaket hijau-militer menutup kameja putih yang dipakainya.
"Assalaamualaikum," ujar lelaki itu mengucap salam.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Nisa dan Esa hampir bersamaan seraya berdiri menyambut kedatangannya.
"Silakan duduk. silakan," ujar lelaki itu sambil menarik kursi di hadapan Esa dan Nisa.
Bu Rini menempati kursi tempatnya semula, di samping lelaki itu.
"Anda Bayu?" tanya Esa dengan nada ragu.
"Ya," jawabnya singkat. "Dan ini." ujar Bayu sambil menunjuk ke arah Nisa.
"Saya Nisa, Zahra KhairUmmi sa. Saya kakaknya Esa," tukas Nisa.
Bayu mengangguk .Sementara Bu Rini terheran-heran.
"Kakaknya" Tadi, Nak Esa hilang nak Nisa ini adiknya. Bagaimana ini?"
Nisa menunduk sambil tersenyum simpul. Sementara Esa menarik napas panjang. Inilah kebiasaan Nisa, tak mau mengalah hanya karena ia lebih tua dua tahun dari Esa. Esa mengeluh dalam hati.
"Ya. yang jelas, kami memang bersaudara, Bu," jawab Esa sambil tersenyum.
"Oh...saudara dadakan ya?" tanya Bayu sambil tersenyum pula.
Esa mengangguk sambil tetap tersenyum.
"Sengaja berkunjung ke Australia?" tanya Bayu.
"Iya. Kebetulan saya diundang untuk menghadiri sebuah acara di Monash University Selain itu, saya juga diminta oleh Ibunya Heri untuk membereskan beberapa barang Heri di apartemennya."
Bayu kembali mengangguk. "Oh ya, omong-omong, Esa menginap di mana?" lanjut Bayu..
"Saya menginap di rumahnya Syaikh Rashed, guru mengajinya Heri, dekat Flinders."
"Hmmm, yah. Heri memang orang baik. Saya sempat beberapa kali bertemu dengannya," ujar Bayu. Ia lalu menoleh pada ibunya.
"Ya. Sayangnya, orang baik tak selalu bernasib baik," ujar Esa tanpa ekspresi.
"Begini,kami pikir peristiwa kematian Heri tak ada hubungannya dengan Indra. Bagi saya, Indra sama sekali tak memiliki motif untuk membunuh Heri," lanjut Bayu.
"Dugaan kami pun begitu," tukas Esa.
"Ya. Memang ada sesuatu yang janggal dengan kematian Heri. Namun, saya berani memastikan bahwa Indra bukan pelakunya," timpal Bu Rini.
"Peristiwa ini memang aneh," ujar Esa.
"Polisi menduga bahwa Indra kini berada di Indonesia. Nah, kebetulan Esa sebagai sahabat Heri sedang berada di sini. Saya jadi ingin bertanya, apakah kalian menemukan tanda-tanda keberadaan Indra di Indonesia?" tanya Bayu.
Esa mengangkat bahu. Benaknya berpikir keras. Perlukah ia menceritakan pada Bayu bahwa ia menerima paket dari seseorang yang mengaku sebagai Indra"
"Tidak...," jawab Esa dengan nada tak yakin, "Lagipula, kenapa kamu berpikir bahwa saya mungkin sempat melakukan kontak dengan Indra?"
"Setahu saya tak banyak kenalan Indra di Indonesia," jawab Bayu, "Jadi, ya. siapa tahu."
Mereka lalu diam. "Hmmm. sebaiknya besok aku ikut denganmu ke apartemen Heri. Siapa tahu ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk di sana," ujar Bayu memecah kebisuan.
"Baiklah. Besok aku ke sini sebelum ke Clayton lagi," ujar Esa.
"Jam berapa?" tanya Bayu.
"Agak pagi mungkin."
Tiba-tiba, bel berdentang. Esa menghela napas.
"Pasti Younnes dan Hashem yang datang."
Benar dugaannya. Tak lama kemudian Bu Rini masuk ke ruangan itu dan memberitahukan kedatangan dua pemuda Arab yang hendak menjemput Esa dan Nisa. Esa pamit pada Bu Rini dan Bayu. Mereka lalu mengantar ke ambang pintu.
"Sampai jumpa besok," uja Bayu sambil menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.
Esa mengangguk dan menyambut uluran tangan Bayu. Tak lama kemudian, ia dan Nisa telah berada di jok belakang mobil. Younes, seperti biasa, duduk di samping Hashem yang menegang kemudi. Mobil itu pun melaju menuju Flinders.
Ketika tiba di Rumah Syaikh Rashed, Esa memperkenalkan Nisa sebagai sepupunya pada Syaikh Rashed dan Ummi Alifa. Ummi Alifa senang karena akhirnya ia bisa melihat seorang perempuan berkerudung menginap di rumahnya. Menurutnya, ia bosan harus bersembunyi bila ada tamu yang menginap karena tamu Syaikh Rashed umumnya lelaki. Seperti halnya Esa, ketika ia pertama berkunjung ke rumah itu, Nisa pun tak dapat menolak kebaikan tuan rumah yang memaksanya menginap di rumah itu. Apalagi, ia tak tahu harus di mana tinggal selama di Australia. Ia melewatkan waktunya dengan baik bersama istri Syaikh Rashed itu. Beberapa saat setelah shalat maghrib berjamaah, ia membantu Ummi Alifa menyiapkan makan malam di dapur. Sementara, Syaikh Rashed bersama kedua muridnya mendaras Qur'an di mushala. Esa kembali merasa pening dan ingin berbaring sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya yang masih terasa remuk setelah peristiwa hari sebelumnya.
"Nisa," ujar Ummi Alifa tiba-tiba saat Nisa sedang memotong bawang. "apa kau benar-benar sepupunya Esa?"
Nisa mendadak terdiam. Tangannya masih memegang pisau dan bawang.
"Sebetulnya bukan, Ummi ," jawab Nisa, "tapi kami memang seperti saudara, sangat dekat."
Nisa lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Kau harus berhati-hati. Tak baik jika seorang perempuan terlalu dekat pada seorang lelaki yang bukan muhrimnya."
"Ya, Ummi . Terima kasih atas nasihatnya."
"Apa kau punya perasaan tertentu padanya?"
"Maksud Umi?" tanya Nisa tak mengerti.
"Ya...perasaan. Maksudku, apa kau jatuh cinta padanya?"
Nisa mendadak tertawa pelan mendengar pertanyaan Ummi Alifa. Umni Alifa tersenyum.
"Kamu ini malah tertawa. Memang kenapa" Pertanyaanku salah?"
Nisa masih tertawa. "Saya jatuh cinta pada Esa, Ummi " Yang benar saja."
Nisa lalu membayangkan ia bersanding dengan Esa sebagai pengantin dan lagi-lagi tak dapat menahan tawanya. Dengan Esa" Esa yang kurus, berkacamata, dan tampangnya selalu dingin pada siapa pun"
"Hey, sudahlah. Aku kan hanya bertanya. Kau inimalah tak berhenti tertawa," ujar Ummi Alifa sambil tersenyum.
Nisa masih menahan tawa ketika memberikan bawang yang telah dipotong pada Ummi Alifa. Sesekali, tawanya yang ia tahan masih dapat meluncur keluar. Lalu Nisa melamun. "Menikah dengan Esa?" Batinnya.
Sementara, Esa berada di kamar yang telah menjadi kamarnya selama empat hari terakhir. Ia lalu berbaring sambil kembali memikirkan beberapa kemungkinan. Banyak berpikir membuat kepalanya pusing. Apalagi badannya masih terasa sakit dan ngilu sejak peristiwa dua hari sebelumnya. Namun, baru beberapa saat ia berbaring, Younnes telah memanggilnya keluar karena makan malam telah siap. Tak lama berselang, Esa telah duduk mengitari meja makan bersama Syaikh Rashed, Younnes, dan Hashem. Umni Alifa dan Nisa makan di tempat terpisah, dapur. Selama makan, mereka tak saling bicara dan menikmati makanan dengan tenang .
Tanpa banyak bicara, Nisa mengikuti kata Esa untuk tinggal di rumah Syaikh Rashed hari itu. Ia yakin bahwa Esa memiliki alasan untuk menyuruhnya tinggal. Di samping untuk menjaga pandangan Syaikh Rashed dan Ummi Alifa pada mereka yang bepergian bersama, padahal bukan muhrim, Nisa juga merasa lelah setelah menjelajahi lebih dari seperempat planet ini selama empat hari terakhir. Selain itu, Ummi Alifa juga menyiapkan acara yang akan membuat Nisa senang-memasak.
Syaikh Rashed kembali meminta Hashem untuk mengantar Esa. Esa lalu meminta agar Hashem hanya mengantar dan menjemputnya saja seperti hari sebelumnya. Hashem setuju karena ia pun kebetulan memiliki acara di Clayton, Syaikh Rashed memintanya agar meminjamkan beberapa buku dari perpustakaan untuknya. Sementara, Younnes tinggal di rumah bersama Syaikh karena ia diminta Syaikh membersihkan beberapa kitab klasik yang mulai dihinggapi debu tebal.
Sebelum matahari lepas sepenggalan, Esa dan Hashem telah berada di muka rumah Bayu. Setelah menurunkan Esa, Hashem berlalu. Sementara Esa berjalan menyusuri carport hingga akhirnya memijit bel di pintu rumah Bayu. Bu Rini yang membukakan pintu, lalu mempersilakan Esa untuk masuk dan menunggu di ruang yang sama dengan hari sebelumnya saat ia berkunjung ke rumah itu. Beliau mempersilakan Esa meminum teh dari teko yang telah teronggok di meja perpustakaan sebelum berlalu keluar ruangan. Tak berapa lama setelah Esa duduk menanti, Bayu memasuki ruangan itu. Namun berbeda dengan hari sebelumnya, ia menutup pintu yang menghubungkan ruang perpustakaan itu dengan ruang tengah. Lalu ia duduk dengan tenang di hadapan Esa. Esa menatap ke arah Bayu. Ia menyilangkan dua tangannya di dada. Sementara Bayu menatap ke arah lain dengan tangan kanan bertumpu pada meja dan memegang dagu. Sejenak ia menghela napas.
"Ada hal yang perlu kubicarakan denganmu," ujar Bayu tiba-tiba.
Esa mengangkat bahu tak acuh. Bayu tiba-tiba menyodorkan Melbourne Tibune edisi hari itu. Esa dapat melihat judul headline surat kabar itu: "TERSANGKA PEMBUNUH HERIANSYAH SETIAWAN TERTANGKAP DI DARWIN." Esa mengernyitkan dahi. Kemudian Bayu tersenyum sebentar. Ia lalu menatap mata Esa dalam-dalam.
"Esa. sejak kemarin...aku sudah merasa bahwa Indra berada di Australia. Maksudku, kami memiliki ikatan batin yang kuat. Kita memiliki kepentingan yang sama dalam hal ini. Kau ingin meminta penjelasan pada Indra...begitu pun aku."
"Ya sudah, bagaimana kalau kita menemuinya di tahanan?" ujar Esa.
"Justru itu masalahnya," jawab Bayu, kemarin aku mendatangi Kepolisian Negara Bagian Victoria dan menurut mereka, Indra tak dapat dijenguk untuk saat ini."
"Aneh," ujar Esa.
"Ya, bahkan ia belum bisa didampingi pengacara."
Esa mengangguk pelan. "Jadi apa rencanamu?" tanya Esa.
Bayu menghela napas lalu mereka diam. Masing-masing berpikir keras tentang berbagai kemungkinan.
"Bagaimana jika kita mencoba menemui Indra secara ilegal?"
"Well...," ujar Esa tertahan, "aku tak suka melanggar hukum. Tapi dalam hal ini, rencanamu itu tak akan merugikan siapa pun. dan insya Allah rencanamu itu bertujuan baik."
Bayu menghela napas. Dia kemudian beringsut dan menepuk pundak Esa.
"Senang sekali bahwa akhirnya aku memiliki kawan dalam menghadapi masalah ini," ucap Bayu.
Esa mengangguk, "Aku juga," timpalnya.
"Begini..," ujar Bayu melanjutkan, "menurut jadwal. Indra akan tiba pukul satu siang nanti. Untuk sementara, kita bisa ke apartemen Heri. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju," jawab Esa singkat.
Percakapan itu terpaksa terhenti karena pintu perpustakaan terbuka oleh Bu Rini yang masuk.
"Lho, masih di sini" Bukankah kalian hendak pergi ke apartemennya Heri?" tanya Bu Rini.
Bayu memberikan isyarat dengan gerakan kepala. Mereka lalu pamit pada Bu Rini. Beriringan, mereka berjalan menuju mobil milik Bayu yang terparkir di car port depan rumah.
Mobil milik Bayu ialah sebuah Toyota Crown keluaran terbaru. Jelas jauh lebih nyaman daripada Chevrolet tua milik Esa Yang ada di bandung. Ia dapat merasakan suasana nyaman saat duduk di samping Bayu yang memegang kemudi. Bayu mengarahkan kendaraannya ke Clayton. Apartemen Heri berada tak jauh dari kampus Monash di kawasan itu.
Manusia Rambut Merah 1 Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah Senopati Pamungkas 21