Pencarian

Manusia Rambut Merah 1

Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah Bagian 1


MANUSIA BERAMBUT MERAH Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Ada satu pepatah kuno yang mengatakan,
satu musuh itu terlalu banyak. Lantas" Mengapa
dunia persilatan selalu diwarnai permusuhan" Itu tidak lain karena ulah mereka
yang mengaku sebagai golongan hitam. Mereka terlalu mengobral
nafsu dan keserakahan. Nafsu membunuh, nafsu
menguasai dunia persilatan, ataupun nafsu men-
gincar harta dan pangkat.
Sebaliknya, kaum pendekar selalu dibekali
kekuatan batin. Suatu kehendak suci yang mulia,
yakni menegakkan kebenaran. Dan jika mereka
berurusan dengan para tokoh golongan sesat. Itu
didasari hanya untuk membela yang lemah, serta
menegakkan kebenaran. Sedikit pun tak ada ha-
srat untuk menguasai dunia persilatan.
Dan apa yang dialami Prameswara memang
sungguh memprihatinkan. Ia bukan saja berkein-
ginan membunuh ataupun menguasai dunia per-
silatan, bahkan juga berkeinginan mendapatkan
apa saja. Termasuk, harta dan pangkat. Setelah
dikalahkan Soma, nafsu amarah pemuda berpa-
kaian rapi murid Mahesa itu makin berkobar saja.
Rupanya apa yang didapat dari guru sebelumnya
maupun guru yang sekarang yang dikenal sebagai
Manusia Rambut Merah, belum cukup. Jangan-
kan untuk menguasai dunia persilatan. Untuk
membunuh Soma saja belum sanggup (Baca :
"Misteri Bayi Ular"}.
Di tepi barat Hutan Sawo Kembar, Pra-
meswara berlari cepat seperti berpacu dengan
senja yang mulai merayap. Kegelapan sebentar la-
gi akan menguasai alam mayapada. Beberapa bu-
rung jalak ramai berkicau menuju ke sarang di
ranting-ranting pohon besar yang menjulang ting-
gi. Meski senja belum terlelap dalam pera-
duannya, namun suasana dalam hutan itu sudah
mulai gelap. Cahaya sinar matahari yang merah
tembaga di ufuk sebelah barat sana, hampir tidak mampu menerobos masuk ke dalam
rimbunnya Hutan Sawo Kembar.
Tanpa peduli semak belukar yang mengha-
dang, pemuda berpakaian seperti seorang terpela-
jar zamannya itu terus berlari kencang menuju
dalam hutan. Ilmu meringankan tubuhnya me-
mang sudah mencapai tingkat tinggi. Rambutnya
yang gondrong dan dikuncir sebagian ke belakang
berkibaran diterpa angin. Wajahnya yang berben-
tuk bulat telah dipenuhi peluh. Sorot matanya
yang lembut terus memperhatikan jalan di de-
pannya. Begitu tiba di depan sebuah pohon randu
besar, Prameswara menghentikan larinya. Ia ber-
diri mematung, seperti sedang mengawasi pohon
itu. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya yang agak ke-
biru-biruan menahan luka dalam berkemik-
kemik. "Guru...!" desis pemuda itu bergetar. Nada suaranya terdengar menghiba.
Tidak ada sahutan. Hanya dirasakannya
tanah yang dipijak bergetar. Prameswara yakin,
gurunya mendengar panggilan. Dan kenyataan-
nya memang demikian. Tanah yang semula berge-
tar-getar, tiba-tiba saja membuncah tinggi ke
udara. Bersamaan dengan itu, menyembul satu
sosok bayangan serba merah ke permukaan ta-
nah. Kini tampak jelas kalau sosok bayangan itu adalah seorang laki-laki tua
bertubuh tinggi besar, terbungkus pakaian serba merah. Rambut-
nya berwarna merah menyala. Demikian pula alis
mata, kumis tebal, dan jenggotnya. Hidungnya
besar. Juga bibirnya. Dan laki-laki tua itu nam-
pak masih duduk khusuk dalam semedinya. Ke-
dua matanya yang terpejam perlahan-lahan ter-
buka. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Manusia
Rambut Merah, guru baru Prameswara!
"Guru...!" desis pemuda itu lagi masih tetap dalam sikap berdiri!
Dari sikapnya jelas membuktikan kalau
Prameswara memiliki watak tinggi hati. Tak mau
dia direndahkan oleh siapa pun. Meski oleh gu-
runya sendiri sekalipun. Kalaupun ia mau bersi-
kap menghormat pada Mahesa guru pertamanya,
itu karena merasa sungkan saja. Bagaimanapun
juga Mahesa adalah orang yang merawat dan
mendidiknya hingga menjadi seorang pemuda.
Tapi setelah gurunya meninggal, sekarang tidak
ada lagi orang yang pantas dihormatinya di dunia ini!
Manusia Rambut Merah menggeram. Bu-
kannya kesal melihat muridnya tidak berlaku so-
pan padanya. Melainkan kesal melihat Prameswa-
ra tidak membawa calon korban untuknya, seper-
ti biasanya. "Mengapa kau tidak menjalankan perin-
tahku, Bocah"! Mana gadis terakhir yang akan
kau jadikan korban"!" tuntut Manusia Rambut Merah. Matanya yang memerah itu
terus menatap tajam muridnya. Kemudian keningnya berkerut
melihat keadaan muridnya yang memelaskan.
"Kali ini tidak ada korban terakhir untuk-
mu, Guru!" jawab Prameswara tegas. Suaranya memang lembut. Namun, sangat
menyinggung perasaan Manusia Rambut Merah.
"Apa maksudmu bicara begitu, Bocah"!
Apa kau lupa siapa aku"!" desis laki-laki tua berpakaian serba merah, merasa
gusar sekali. "Tidak. Kau adalah guruku," sahut Pra-
meswara, kalem.
"Nah...," Manusia Rambut Merah men-
gangkat alisnya.
"Jangan potong pembicaraanku dulu,
Guru!" sergah Prameswara. "Kau memang guruku. Tapi, aku pikir percuma berguru
padamu. Un- tuk itu, aku tidak sudi mencarikan gadis calon
korban untukmu!"
"Keparat!" Manusia Rambut Merah cepat
mengangkat tangan kanannya, siap mengirimkan
pukulan maut 'Kelabang Geni' ke tubuh Prames-
wara. "Tunggu dulu, Guru!" tahan pemuda ini.
"Kau jangan marah dulu! Kau harus tahu, ternyata apa yang diajarkan padaku
selama ini hanya-
lah ilmu picisan! Percuma aku belajar padamu,
Guru!" Bukan main geramnya Manusia Rambut
Merah mendengar penuturan muridnya yang san-
gat merendahkan harkatnya sebagai tokoh sesat
berkesaktian tinggi. Tangan kanannya yang su-
dah terangkat tinggi-tinggi langsung digerakkan
ke depan. Maka seketika seleret sinar merah dari telapak tangan manusia Rambut
Merah meluruk ke tubuh Prameswara.
"Uts!"
Derrr...! Prameswara meloncat ke samping kiri. Aki-
batnya, pukulan 'Kelabang Geni' gurunya meng-
hantam pohon besar di belakangnya hingga lang-
sung berderak roboh.
Sementara bagian yang terkena pukulan
hangus terbakar.
"Jangan cepat naik darah, Guru! Pukulan
'Kelabang Geni'-mu memang hebat. Tapi, bagiku
tetap sama saja. Tidak ada artinya sama sekali
kalau ternyata aku tidak sanggup merobohkan
musuhku!" cibir Prameswara, melecehkan.
"Jadi" Kau..., kau dikalahkan seseorang?"
tanya Manusia Rambut Merah, sekaligus terkejut.
"Malah orang yang mengalahkan aku ma-
sih muda. Sebaya denganku," tambah Prameswa-ra lagi memanas-manasi. "Apa itu
tidak membuk- tikan ilmumu picisan, Guru"!"
"Tidak mungkin!" sentak laki-laki bertubuh tinggi besar itu. "Kau jangan
sembarangan ngomong, Bocah! Tokoh silat mana pun tidak mung-
kin mampu menerima pukulan 'Kelabang Geni'ku.
Apalagi kalau digabung dengan ilmu 'Amblas Bu-
mi'-ku. Tak mungkin! Sulit dipercaya kau dika-
lahkan oleh siapa pun! Hayo! Sekarang, katakan
siapa orang yang telah mengalahkanmu Bocah"!"
Prameswara tersenyum kecut. "Jangan ter-
lalu bayak bermimpi, Guru! Kau pasti mudah da-
pat dikalahkannya. Kepandaian silatnya tinggi
sekali. Sulit diukur."
"Bedebah! Aku tidak menanyakan itu!"
bentak Manusia Rambut Merah, seperti kebaka-
ran jenggot. "Cepat katakan! Siapa nama orang yang telah mengalahkanmu!"
"Aku tidak tahu namanya, Guru. Yang je-
las, ia seorang pemuda. Waktu itu ia menyamar
sebagai seorang gadis. Dan satu lagi, Guru. Pe-
muda itu dapat menjelma menjadi Siluman Ular
Putih!" "Apa"! Siluman Ular Putih"!" mata Manusia Rambut Merah kontan terbelalak
liar. "Benar, Guru. Apa kau takut menghada-
pinya?" Prameswara memanas-manasi. Dan ini
semakin membuat kemarahan Manusia Rambut
Merah berkobar-kobar.
"Jahanam! Aku tidak takut menghada-
pinya, tahu"!"
Manusia Rambut Merah seketika meloncat
bangun dari tempat duduknya saking gusarnya.
Gerakan kedua kakinya ringan sekali, sehingga
hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Padahal daun-daun kering di bawahnya yang te-
rinjak seharusnya hancur. Tapi tubuh tinggi be-
sar itu seperti tidak berbobot saja kala kedua kakinya menginjak daun-daun
kering. "Kau sendirilah yang bodoh, Bocah! Men-
gapa tidak ditarik dari dalam tanah"!" tuding laki-laki berpakaian serba merah
ini. "Percuma! Tetap saja ilmu Guru tidak ada
artinya dibanding kepandaiannya. Aku akan te-
was di tangannya, Guru!"
"Setan! Kau terlalu merendahkan ilmuku,
Bocah"! Apa kau sudah bosan hidup"!" bentak Manusia Rambut Merah, saking
gusarnya. Kedua
telapak tangannya yang berwarna merah hingga
ke lengan siap melontarkan pukulan maut
'Kelabang Geni' ke tubuh Prameswara.
"Aku tidak bermaksud demikian, Guru.
Tapi kalau kenyataannya ilmu Guru masih ren-
dah, apa aku harus membesar-besarkan" Tidak!
Aku tidak sudi membesar-besarkan ilmu picisan
seperti itu. Bahkan mulai saat ini juga, aku me-
mutuskan hubungan kita. Kau bukan lagi guru-
ku!" Kali ini kemarahan Manusia Rambut Me-
rah benar-benar bagai bisul yang siap meletus.
Wajahnya menegang. Rahangnya yang keras
menggemelutuk. Dan kedua telapak tangannya
yang berwarna merah menyala tidak dapat dita-
han lagi. "Setan! Kau terlalu merendahkanku, Bo-
cah! Kau layak modar di tanganku!" bentak laki-laki tua itu sambil mengibaskan
tangannya. Wesss...! Dua leret sinar merah menyala melesat
saat kedua telapak tangan Manusia Rambut Me-
rah siap menghantam Prameswara.
Pemuda ini terkejut bukan main. Meski se-
jak tadi sudah bersiap-siap, namun melihat se-
rangan gurunya yang demikian hebatnya, tak
urung juga langsung berkeringat dingin. Apalagi
serangan laki-laki tua itu dilancarkan dalam jarak demikian dekatnya. Tak ada
pilihan lain, pukulan
'Kelabang Geni' dipapaknya.
Werrr! Bunyi bergemuruh langsung memenuhi
tempat itu, begitu Prameswara menghentak kedua
tangannya melepaskan pukulan 'Cahaya Kilat Bi-
ru'. Dari kedua telapak tangannya yang berwarna
biru berpendar-pendar melesat sinar biru. Lalu....
Blarrr...! Sungguh dahsyat akibat pertemuan dua
tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Tanah ber-
getar-getar. Pohon-pohon dalam jarak sepuluh
tombak seperti tersengat petir dan langsung men-
jadi layu. Manusia Rambut Merah sendiri sampai
tergetar hebat. Tubuhnya yang tinggi besar ber-
goyang-goyang. Kedua kakinya melesak beberapa
jari ke dalam tanah.
Sedang Prameswara langsung terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya
pucat pasi. Jantungnya seperti akan rontok aki-
bat benturan tenaga dalam tadi. Dan saking tidak tahannya....
"Hoeeekh...!"
Prameswara pun muntahkan darah segar.
"Ha ha ha...! Itu baru pukulan 'Kelabang


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Geni'ku, Bocah! Apa kau akan sanggup bertahan
kalau aku mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis'"!"
ejek Manusia Rambut Merah penuh kemenangan.
"Jangan bangga dulu, Guru! Ilmu
'Wejangan Iblis' memang hebat. Tapi, apa kau lu-
pa kalau aku sedang terluka dalam yang parah"
Hmm.... Kalau aku tidak sedang terluka, belum
tentu kau dapat mengalahkanku demikian mu-
dahnya! Belum lagi kalau kau menghadapi orang
yang telah mengalahkanku. Apa kau sanggup ber-
tahan dalam tiga jurus"!" ejek Prameswara, makin keterlaluan.
"Bajingaaannn...! Kau tidak tahu diuntung,
Bocah! Belum puas aku kalau belum menghirup
darahmu!" Sungguh tak dapat dibayangkan kemara-
han dalam dada laki-laki tua guru Prameswara.
Kedua tangannya yang berwarna merah semakin
menyala, disertai uap hitam terus menyelimuti.
Memang belum sempurna ilmu 'Wejangan
Iblis'-nya, karena belum genap mendapatkan em-
pat puluh darah perawan suci sebagai korban.
Kendati demikian, Prameswara tidak mau gega-
bah. Apalagi masih dalam keadaan terluka parah.
Maka tanpa banyak pikir lagi, kedua kakinya
langsung menjejak tanah, dan berkelebat mening-
galkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuhnya
telah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo
Kembar. Manusia Rambut Merah menyumpah sera-
pah. Cepat ilmu meringankan tubuhnya dikerah-
kan untuk mengejar muridnya. Dalam beberapa
kali hentakan kaki ke tanah, tokoh sesat itu da-
pat menyusul Prameswara. Namun baru saja
menjejakkan kakinya di tanah mendadak serang-
kum angin dingin telah meluruk ke arah Manusia
Rambut Merah. Laki-laki tua itu cepat mengerahkan puku-
lan 'Kelabang Geni'. Kedua telapak tangannya
yang telah berubah merah darah cepat dorongkan
ke depan. Seketika itu juga, seleret sinar merah dari kedua telapak tangannya
keluar untuk menyambut seleret sinar biru di depannya!
Blarrr...! Terdengar gelegar hebat ketika pukulan
'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut Merah
bentrok dengan pukulan 'Cahaya Kilat Biru' milik Prameswara. Bunga api kontan
berpijar. Pohon-pohon di sekitarnya pun layu! Dan saat itu juga
terdengar pula satu pekik tertahan di depan sana.
Tubuh tegap murid murtad Pendekar Pedang Kilat
Buana terhuyung-huyung sebentar, lalu cepat
menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika diting-
galkannya tempat itu.
Manusia Rambut Merah menggeram. Sua-
ranya yang lantang menggetar-getarkan tanah di
sekitarnya. Sedang tubuhnya yang tinggi besar
sedikit bergetar akibat bentrokkan tadi. Namun....
Kali ini ia tidak lagi bernafsu mengejar
Prameswara. Hanya saja hatinya masih penasa-
ran pada orang yang telah mengalahkan bekas
muridnya. Teringat itu, Manusia Rambut Merah
kembali menjejakkan kedua kakinya ke tanah.
Dan dalam sekejap saja, bayangan merahnya te-
lah menghilang di antara kegelapan Hutan Sawo
Kembar. *** Malam mulai merambah Desa Wonodadi.
Sentir-sentir (lampu minyak) di sepanjang jalan desa mulai dinyalakan. Beberapa
orang penduduk nampak masih asyik membicarakan tentang ke-
hebatan Siluman Ular Putih di serambi pendopo
kelurahan. Sedang di dalam rumahnya, Ki Lurah Suro-
loyo sedang menjamu kedua orang tamunya. So-
ma dan Ratih. Wajah Ki Lurah Suroloyo yang ba-
ru saja disembuhkan Soma alias Siluman Ular
Putih nampak masih pucat pasi. Namun, ia tetap
memaksakan diri untuk menemani bersama anak
dan istrinya. Soma yang saat itu masih berpakaian me-
rah milik Ratih bingung sekali memperhatikan
kecantikan dua orang gadis di hadapannya. Ma-
tanya yang tajam seperti mata rajawali, sesekali
melirik putrid tunggal Ki Lurah Suroloyo penuh
kagum. Ki Lurah Suroloyo hanya tersenyum saja.
Penampilan Soma kali ini benar-benar menggeli-
kan. Rambutnya yang gondrong dikuncir dua ke
belakang. Bibirnya diberi gincu warna merah me-
nyala. Demikian pula kedua pipinya. Sedang wa-
jahnya yang putih dipupuri bedak putih. Cuma
sayangnya bedaknya tidak rata menyapu wajah-
nya. Malah berkesan clemongan.
"Adik manis, siapa namamu?" tanya Soma pada putri tunggal Ki Lurah Suroloyo.
"Kustini, Tu..., Tuan," jawab putri Ki Lurah Suroloyo malu-malu. Wajahnya yang
cantik kembali menunduk setelah tadi menengadah sebentar
menjawab pertanyaan Soma.
"Ah...! Jangan panggil aku Tuan, dong! Kan
tak enak didengar. Panggil saja aku mbakyu! Kan
lebih enak kedengarannya," sergah Soma genit.
Suaranya sengaja dibuatnya kecil mirip perem-
puan. Sembari berkata begitu kedua bibirnya pun
diplenceng-plencengkan ke sana kemari.
Kustini tertawa cekikikan.
"Jangan cekikikan begitu dong! Ayo, pang-
gil aku mbakyu!" goda Soma semakin menjadi-
jadi. "I..., iya, Mbak.... Mbakyu," jawab Kustini malu-malu.
Soma tertawa geli dalam hati. Dengan
panggilan 'mbakyu' pada dirinya malah semakin
membuat tingkahnya berlebihan. Bibirnya terus
dimencong-mencongkan ke sana kemari.
"Aih...! Mengapa malu-malu, Adik Manis"
Kita kan sesama wanita" Ayo, dong! Bersikaplah
yang santai!" kata Soma lagi.
"Sudah, sudah! Muak aku mendengar oce-
hanmu, Pemuda Sinting!" bentak Ratih. Gadis ini tak berani memaki pemuda itu
dengan makian 'bocah edan' lagi. Takut malah dirinya yang akan dikerjai Soma.
"Aih...! Mengapa Mbakyu Ratih jadi uring-
uringan begini"! Apa Mbakyu Ratih cemburu"
Jangan begitu, dong! Kita kan sesama wanita.
Bukan begitu, Dik Kustini?"
"Tak lucu!" semprot Ratih sewot.
"Aduuuh...! Aku tidak sedang melucu,
Mbakyu Ratih! Aku sedang bertanya pada Dik
Kustini, kok?" jawab Soma makin menyebalkan hati Ratih.
"Jangan cerewet! Kau pikir ini lucu" Ayo,
cepat lepas pakaianku!" bentak Ratih kesal.
"Aduuuh...! Mbakyu Ratih kok jadi pelit
amat sih" Aku pinjam dulu dong?" goda Soma.
Ratih mendelik gusar. Ujung pedangnya
tahu-tahu menyambar kepala Soma.
Tak! "Aduuhh...! Mbak Ratih, kok jadi galak
amat sih"!" Soma alias Siluman Ular Putih cengar-cengir memegangi kepalanya yang
cenat- cenut digetok ujung gagang pedang.
"Cepat lepaskan pakaianku! Atau kuhan-
curkan kepalamu dengan pedang ini"!" ancam Ra-
tih seraya mengacung-acungkan pedangnya.
"Ja..., jangan!" Soma menyingkir ngeri.
Ki Lurah Suroloyo beserta anak istrinya
hanya tersenyum saja melihat sikap Soma yang
nakal. Sedang Soma yang sudah menjauh dari
ruang tamu mulai menanggalkan pakaian merah
milik Ratih. "Awas! Kau jangan mengintipku, Ratih!
Nanti kau bisa naksir beneran sama aku, lho!" celoteh Soma.
Ratih tidak mempedulikan ocehan pemuda
itu lagi. Namun diam-diam dalam hatinya mulai
timbul rasa suka pada Soma.
"Sekarang tindakan apa yang harus kami
lakukan, Nak Ratih" Meskipun si Pembuat Onar
di kampung kami sudah pergi, namun kami tetap
merasa cemas kalau-kalau dia muncul lagi ke de-
sa ini," ungkap Ki Lurah Suroloyo membuka percakapan.
"Aku mengerti kekhawatiran Ki Lurah.
Hanya aku sendiri belum tahu bagaimana harus
bertindak, Ki," sahut Ratih, terus-terang.
"Mengapa kalian jadi bingung begini"! Apa
ada ayam kalian yang dicuri maling?" sela Soma.
Kali ini si pemuda sudah mengenakan pa-
kaian kebesarannya. Rompi dan celana bersisik
putih keperakan. Dan dari rompinya yang terbu-
ka, tampak rajahan bergambar ular putih di dada
kanan. Sedang tangan kanannya memegang baju
merah milik Ratih.
"Nih, kukembalikan pakaianmu! Tapi jan-
gan ditagih uang sewanya, ya! Aku tak punya
duit," kata pemuda yang dijuluki Siluman Ular Putih ini seraya melemparkan baju
merah di tangan kanan pada pemiliknya.
Ratih cepat menangkapnya.
"Jangan dicium! Nanti kau bisa tidak dapat
tidur selama tujuh malam kalau mencium bau
keringatku!" goda Soma.
"Jangan bercanda! Kami sedang bersung-
guh-sungguh, tahu"!" hardik Ratih jengkel.
"Oh...! Jadi ceritanya sedang seru, nih"!"
Siluman Ular Putih mengolok-olok.
Ratih mendelik gusar. Tangan kanannya
kembali mencabut gagang pedangnya siap meng-
getok kepala pemuda itu.
"Jangan mendelik begitu, ah! Nanti mata-
mu bisa loncat keluar. Kalau sudah begitu, siapa yang sudi mencintai gadis buta"
Iya, kan?" celoteh Soma semakin ngelantur tak karuan juntrun-
gannya. "Pemuda sinting! Apa aku tidak tahu kami
sedang bersungguh-sungguh"!" hardik Ratih, saking gusarnya.
"Oh..., maaf! Kalau begitu, aku tinggal saja, ya. Sel...."
"Tunggu!" teriak Ratih, menghentikan
langkah Siluman Ular Putih.
"Apa lagi?" kata pemuda itu, menjengkelkan. "Kau benar-benar memuakkan, Soma!
Apa kau tidak tahu, utusan Manusia Rambut Merah
sebentar lagi akan kemari" Malah mungkin ber-
sama Manusia Rambut Merah sendiri?"
"Ah...! Sok tahu, kau! Mana mungkin Ma-
nusia Rambut Merah berani kemari" Apa kuping-
nya ingin ku jewer sampai menjerit-jerit minta
ampun?" tukas Soma seenak perut. Padahal di-am-diam omongan Ratih diakui
kebenarannya. Tapi, mana mungkin ia mau mengakuinya begitu
saja. Malah lebih senang menurutkan kehendak
hatinya. "Tapi...," kata Ki Lurah Suroloyo.
"Sudahlah, Ki!" potong pemuda itu. "Tak usah dicemaskan Manusia Rambut Merah dan
urusannya! Aku yakin, mereka tidak akan kemari.
Malah aku sendiri yang akan ke sana untuk men-
carinya. Aku masih mempunyai sedikit urusan
dengan mereka. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-
kap lagi Siluman Ular Putih langsung keluar dari rumah Ki Lurah Suroloyo. Dan
tubuhnya cepat berkelebat pergi dari tempat ini.
"Tunggu, Nak Soma!" teriak Ki Lurah Suroloyo kecewa.
"Jangan khawatir, Ki! Kunyuk-kunyuk itu
tidak bakal kembali ke kampung mu. Percayalah!
Oh, ya tolong sampaikan salam manisku pada
Kustini, Ki!"
Tiba-tiba terdengar suara menggema me-
menuhi ruang tamu rumah Ki Lurah Suroloyo.
Sedang si empunya suara entah sudah sampai di
mana. Sementara Ratih kecewa sekali. Sebenar-
nya ia ingin sekali melakukan perjalanan bersama pemuda sinting itu. Namun
sayangnya Soma sudah meninggalkannya. Dan ketika bermaksud
berpamitan pada Ki Lurah Suroloyo, tiba-tiba sa-
ja.... "Kau jangan cemburu, Ratih! Aku memang menyukai putri Ki Lurah Suroloyo.
Tapi, terus terang aku lebih menyukaimu. Percayalah!"
Terdengar bisikan lembut yang hanya bisa
ditangkap telinga gadis itu sendiri
"Pemuda sinting...!" desis Ratih, diam-diam mengakui kehebatan Soma dalam
mengirimkan suara jarak jauhnya.
"Ada apa, Nak Ratih" Kok, Nak Ratih ma-
rah-marah sendiri...?" tanya Ki Lurah Suroloyo heran. Ratih jadi tersipu malu.
Pipinya yang berwarna keputihan langsung memerah.
"Ah.... Tidak ada apa-apa kok, Ki. Izinkan
aku menyusul kepergian Soma. Tadi aku lupa
menanyakan sesuatu padanya," kilah gadis itu beralasan.
Ki Lurah Suroloyo maklum. Pandangan
mata gadis di hadapannya tak dapat lagi didustai nya. Laki-laki ini tahu, apa
yang sebenarnya sedang berkecamuk dalam hati tamunya.
"Aku mengerti, Nak Ratih. Kalau memang
kau masih mempunyai urusan dengan Soma, si-
lakan meneruskan perjalanan. Tapi, bukan berar-
ti ini pengusiran, lho?" kata Ki Lurah Suroloyo di antara senyumnya.
"Terima kasih, Ki. Selamat tinggal semua-
nya!" Tanpa banyak cakap lagi Ratih segera meninggalkan rumah Ki Lurah Suroloyo.
Dan dalam beberapa saat saja, bayangan tubuhnya pun su-
dah menghilang di antara kegelapan malam.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Lurah Suroloyo menggeleng-gelengkan
kepala penuh kagum. Kemudian digandeng nya
anak dan istrinya masuk ke dalam kamar. Namun
anehnya, kali ini Kustini tidak menuruti ajakan
ayahnya. Matanya yang indah terus memperhati-
kan ke arah Soma tadi menghilang dengan sorot
aneh. Sekali lagi Ki Lurah Suroloyo menggeleng-
gelengkan kepala heran. Bukannya heran melihat
kehebatan Ratih dan Soma, melainkan heran me-
lihat perubahan sikap putri tunggalnya.
2 Menuju Hutan Sawo Kembar bukan satu
perjalanan gampang. Bagi mereka yang tidak
memiliki ilmu meringankan tubuh jangan harap
bisa selamat sampai tujuan. Di samping tempat-
nya susah untuk dilewati, di hutan itu juga masih banyak berkeliaran kawanan
perampok yang berkepandaian tinggi. Namun hal itu bukanlah men-
jadi halangan bagi Soma. Ilmu meringankan tu-
buh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah
mencapai taraf tinggi. Demikian juga kepandaian
silatnya. Hanya saja, Siluman Ular Putih belum
tahu seluk-beluk Hutan Sawo Kembar. Ditambah
lagi malam yang pekat tanpa sinar rembulan. Hal
ini cukup membuat Soma kebingungan untuk
menentukan letak persembunyian Manusia Ram-
but Merah. Sebenarnya ada keinginan untuk menunda
perjalanannya besok hari. Namun si pemuda te-
tap memaksakan diri menemui musuh besarnya
itu malam ini juga. Akibatnya hampir semalaman
Soma hanya bisa mondar-mandir di seputar hu-
tan itu. Dan karena belum juga menemukan tem-
pat persembunyian Manusia Rambut Merah, ak-
hirnya diputuskan pencariannya dilanjutkan esok
hari. Kebetulan sekali saat itu ada sebatang pohon randu yang cukup nyaman untuk
beristira- hat sementara. Maka tanpa banyak pikir lagi,
Soma pun segera meloncat ke ranting pohon.
Mungkin karena saking lelah setelah hampir se-
harian menempuh perjalanan panjang, akhirnya
si pemuda tertidur juga.
Pagi menjelang. Burung berkicau ramai di
ranting-ranting pohon, menyambut indahnya pagi
ini. Cahaya sinar matahari hanya membentuk ri-
buan titik berkilau bak permata, tak mampu me-
nembus kerimbunan Hutan Sawo Kembar. Se-
mentara itu, angin yang bertiup semilir semakin
membuat Soma terbuai dalam mimpi. Mulutnya
menyeringai kegelian seperti membayangkan be-
laian jari-jari tangan para bidadari. Namun entah mengapa, sesuatu yang tadinya
menggerayangi tubuhnya, kini mulai berani menggigit dan nyeri
sekali! Soma membuka mata. Dan betapa terke-
jutnya hatinya ketika dilihatnya puluhan semut
merah tengah berpesta pora menikmati kulit tu-
buhnya. Seketika itu juga ia berteriak kalang kabut. Bagian-bagian yang digigit
semut beracun pedih bukan main. Soma tidak tahan lagi. Ia ber-
jingkrak ke sana kemari tanpa disadari kalau di-
rinya masih berada di ranting pohon. Dan akibat-
nya.... Bukkk! "Aduuuhh...!"
Si pemuda terjatuh berdebam ke tanah.
Kebetulan sekali bagian tubuh yang membentur
tanah itu tepat pada tulang ekornya.
"Emak, tolooong...!" teriak murid Eyang Begawan Kamasetyo alias Siluman Ular
Putih itu ka- lang kabut. Bagian tulang ekor yang membentur
tanah terasa nyeri bukan kepalang. Perutnya te-
rasa mulas seperti orang telat buang hajat. Belum lagi sekujur tubuhnya yang
digigit puluhan semut merah. Dan lebih menyebalkan lagi ada satu-dua
ekor semut merah yang nakal menggigit
'perkutut'nya. Bukan main kalang kabutnya si pemuda.
Saking tidak tahannya menerima gigit-gigitan se-
mut merah akhirnya semua pakaian yang menu-
tupi tubuhnya dilepaskan. Dan satu persatu se-
mut merah yang menempel di sekujur tubuhnya
disapu dengan tangannya.
"Sekarang sudah beres. Tak ada satu se-
mut sialan itu di tubuhku lagi. Aman...," desah Soma sambil celingukan ke sana
kemari, khawatir
kalau ada orang lain yang melihat.
"Hik hik hik.... Untungnya tidak ada orang
yang melihat. Kalau ada, wah! Bisa berabe! Sial
sekali nasibku hari ini. Aku kira seorang bidadari cantik yang sedang membelai-
belai tubuhku. Eh,
nggak tahunya malah semut keparat itu. Sial! Si-
al!" Selesai mengomel, buru-buru Siluman Ular
Putih mengenakan kembali pakaiannya.
Lega sudah sekarang hati Soma. Sejenak
diperhatikannya tempat itu seksama.
"Semua ini gara-gara Manusia Rambut Me-
rah! Awas kalau ketemu nanti! Aku pasti akan
menjejalinya dengan semut merah! Biar tahu rasa
dia!" omel pemuda itu lagi belum puas.
Tiba-tiba pandangan mata Soma tertum-
buk pada sebatang pohon randu yang tumbang.
Sedang keadaan di sekitar tempat itu terlihat porak-poranda, seperti ratusan
gajah ngamuk. Si
pemuda berjalan mendekati pohon randu yang
tumbang. Semakin dekat jidatnya berkernyit ma-
kin dalam. "Jelas pohon randu ini tumbang dengan
cara tidak wajar. Pasti ada seseorang yang mero-
bohkannya dengan pukulan maut. Ya, ya, ya....
Buktinya saja, bagian yang terkena pukulan ini
hangus terbakar. Demikian juga daun-daunnya
yang layu," gumam Soma dalam hati. "Lantas, siapa yang melakukan ini semua?"
Soma semakin tajam menautkan kedua
alisnya. "Menilik bagian yang terkena pukulan, pas-
ti kejadiannya belum lama. Mungkin kemarin
sore. Atau, tadi malam sebelum aku datang. Dan
mengenai siapa yang melakukannya, harus dis-
elidiki dulu!"
Siluman Ular Putih terus meneliti keadaan
sekitarnya. Dan tak jauh dari pohon randu yang
tumbang itu, ditemukannya muntahan darah ker-
ing. Langsung ditelitinya dengan seksama.
"Hm.... Jelas.... Rupanya tadi malam telah
terjadi pertarungan. Mungkin Manusia Rambut
Merah dengan orang lain. Atau bisa jadi dengan
utusan nya sendiri yang telah gagal menjalankan
perintahnya!"
Soma mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pandangan matanya kembali terus mengamati
tempat itu. Tidak menemukan apa-apa, selain ta-
nah di sekitar tempat itu yang berantakan. Na-
mun, tiba-tiba saja....
Trang! Trang! "Heh"!"
Pendengaran si pemuda yang tajam men-
dadak mendengar dentingan suara senjata tajam
beradu yang datangnya dari sebelah barat Hutan
Sawo Kembar. Dia tersentak sejenak, sebelum
akhirnya menjejakkan kakinya meninggalkan
tempat itu. Tubuhnya cepat berkelebat di antara
pohon-pohon di dalam hutan ini.
* * * Begitu tiba, Soma malah duduk ongkang-
ongkang kaki di sebatang ranting pohon. Matanya
yang tajam terus memperhatikan pertempuran di
bawahnya. Mulutnya yang ceriwis terus saja ber-
celoteh meramaikan jalannya pertarungan. Pa-
dahal ia tahu gadis cantik berbaju merah-merah
yang sedang dikeroyok sekawanan begal berpa-
kaian hitam-hitam itu tidak lain dari Ratih, yang baru saja dikenalnya di Desa
Wonodadi. "Wah, wah, wah...! Pagi-pagi saja sudah
pada tawuran. Apa sih, yang kalian ributkan" Se-
perti anak kecil yang belum dikasih makan saja"
celoteh Soma seenak perut.
Lima orang perampok Hutan Sawo Kembar
seketika itu juga menghentikan serangan. Demi-
kian pula Ratih. Dan gadis cantik berbaju merah-
merah itu menggeram marah, melihat Soma ten-
gah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di atas
ranting pohon randu, tak jauh dari tempat perta-
rungan. Penampilan nya cukup norak, masih se-
perti kemarin sore. Rambutnya yang gondrong di-
kuncir dua ke belakang. Kedua bibirnya masih
berwarna kemerahan. Hanya bedanya sekarang,
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu ti-
dak lagi berpakaian merah-merah milik Ratih, ta-
pi memakai baju rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan. Dan rompinya yang terbuka
tanpa kancing terlihat sebuah rajahan bergambar
ular putih di dada kanan.
"Pemuda sinting...!" geram Ratih jengkel.
Hatinya jengkel bukan main melihat kelakuan
pemuda itu. Bukannya membantu melihat dirinya
dikeroyok sekawanan perampok, malah ngeledek.
"Ayo, teman-teman! Kita serang gadis som-
bong ini! Biar aku dan Bergodo yang melindungi
kalian," teriak salah seorang, yang agaknya menjadi kepala rampok itu garang.
Sedikit pun Ratih tidak gentar menghadapi
keroyokan itu. Dan begitu ketiga orang perampok
mulai menyerang kedua kakinya, pedangnya ce-
pat berputar menangkis. Sementara kepala ram-
pok dan seorang anak buahnya menyerang tubuh
bagian atas gadis itu.
"Wah, wah, wah...! Benar-benar satu ton-
tonan menarik. Lumayanlah buat mengganjal pe-
rutku yang keroncongan," celoteh Soma lagi.
Ratih geram bukan main. Untuk sementa-
ra, serangan-serangan para pengeroyoknya masih
dapat dibendungnya. Tapi, lama kelamaan, bukan
mustahil dirinya akhirnya roboh juga.
"Hik hik hik...! Rasain sekarang, Gadis
Sombong! Terus desak gadis itu!" teriak Soma kegirangan.
"Pemuda sinting...! Mengapa ongkang-
ongkang kaki saja, he"! Cepat bantu aku!" bentak Ratih penuh kemarahan.
Sambaran-sambaran pedang gadis berpa-
kaian merah-merah itu makin ganas saja. Sedang
tangan kirinya yang berwarna putih berkali-kali
menghentak, melontarkan pukulan maut.
"Ha ha ha...! Baik, baik! Satu permintaan
yang bagus sekali! Aku akan segera turun. Seka-
lian melihat, bagaimana caranya kunyuk-kunyuk
bodoh ini menghajarmu, ya"!" celoteh Soma seraya meloncat turun dari ranting
pohon itu. Gerakannya ringan sekali. Sama sekali ti-
dak menimbulkan suara kala kedua kakinya
menginjak tanah berdebu.
Ratih memberengut. Matanya yang indah
sempat membelalak lebar ke arah Soma.
"Sudah, sudah! Jangan cemberut saja!
Awas, lihat serangan! Jaga kepalamu baik-baik!
Ah...! Bukan begitu cara menangkisnya. Tapi, be-
gini nih...."
Soma mengambil ranting kering di bawah
kakinya. Dan tiba-tiba tubuhnya meluruk ke da-
lam kancah pertarungan. Kebetulan sekali salah
seorang dari pengeroyok sedang menggerakkan
pedangnya, membabat Ratih dari atas ke bawah.
Tanpa banyak cakap lagi, Siluman Ular Putih me-
nangkis serangan dengan ranting di tangannya.
Prakkk! Aneh sekali! Ranting kecil di tangan Soma
sama sekali tidak patah terbabat pedang di tan-
gan salah seorang pengeroyok Ratih. Malah, si
pengeroyok yang meringis kesakitan.
"Nah, nah...! Kalau sudah begitu, baru kita balas serangannya. Begini nih
caranya menye- rang," ujar Soma sok tahu sembari menggerakkan ranting di tangan kanannya
menotok tubuh orang
yang meringis kesakitan itu.
Tuk! "Aaah...!"
Ujung ranting di tangan Soma tepat meno-
tok punggung. Dan tanpa ampun lagi, orang itu
langsung roboh tak dapat bergerak lagi. Matanya
yang tajam membelalak liar memandangi Soma.
"Ha ha ha...! Salah sendiri mengapa tidak
mau menangkis seranganku. Sekarang rasain
akibatnya," celoteh Soma.
Laki-laki berkumis tebal yang menjadi
pimpinan perampok itu membelalakkan matanya.
Ia tak percaya kalau pemuda aneh yang tadi
memberi semangat kepada mereka kini malah
berbalik membela mangsanya. Bahkan meroboh-
kan pula salah seorang kawannya. Melihat itu, ia menggeram marah, karena merasa
telah diper-mainkan. Maka dengan garangnya pedangnya di-
gerakkan membabat tubuh Soma.
Soma alias Siluman Ular Putih yang hen-
dak keluar dari arena pertempuran terperanjat
kaget. "Eh..., eh! Kok, malah menyerang aku" Itu, tuh, musuhmu!"
Sambil menunjuk Ratih yang sedang sibuk


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi para pengeroyoknya, si pemuda
menggeser tubuhnya ke kanan, menghindari se-
rangan pedang. "Ah! Kau bandel rupanya! Apa kau ingin ku
jewer hingga telingamu panjang sebelah?" ejek Soma yang tak membalas serangan
pimpinan perampok itu.
Si pemuda bermaksud meloncat keluar
kancah pertarungan. Namun sambaran pedang di
tangan pimpinan perampok itu kembali mengan-
cam tubuhnya. "Baik baik! Kau memang bandel sekali. Aku
bukan saja ingin menjewer kuping mu, tapi juga
ingin mencabuti kumismu sampai rontok, tahu"!"
Dengan gerakan cepat Soma bergerak ke
samping kiri. Dan ketika pedang di tangan pimpi-
nan perampok terus mengejar ke kiri, Siluman
Ular Putih cepat meloncat tinggi ke udara. Sambil berputaran, tangan kirinya
segera menjewer telinga, sedang tangan kanannya siap meraih kumis
tebal pimpinan perampok itu.
Rrrtt...! "Aaau...!"
Pimpinan perampok itu memekik, begitu
kedua tangan nakal Siluman Ular Putih tepat
mengenai sasaran. Kupingnya terasa panas bu-
kan main. Sementara kumisnya rontok sebagian
dengan darah segar keluar dari lukanya. Bahkan
tubuhnya langsung tersuruk di tanah, akibat
kuatnya tarikan yang dilakukan Siluman Ular Pu-
tih. "Ha ha ha...! Lucu, lucu sekali! Kau tak ubahnya seperti anak kecil yang
menunggu giliran di jamban, Orang Tua!" teriak Siluman Ular Putih kegirangan
begitu mendarat di tanah. Ke-
dua tangannya mendekap ke perut, saking tidak
tahannya melihat tingkah pimpinan perampok
itu. Laki-laki berkumis itu meraung-raung ke-
sakitan. Sebagian wajahnya yang garang berlepotan
darah dari kumisnya yang rontok sebagian.
Dan bersamaan dengan jatuhnya laki-laki
berkumis lebat itu, Ratih pun berhasil meroboh-
kan salah seorang dari tiga pengeroyoknya. Meli-
hat hal ini, kepala perampok itu gusar bukan
main. Kini baru disadari, siapa lawan yang se-
dang dihadapi. Maka dengan satu isyarat mata
kepada kawan-kawannya, dia segera bangkit dan
berlari tunggang langgang meninggalkan tempat
itu. Gerakannya diikuti teman-temannya, setelah
membawa dua orang yang terluka.
"Nah, nah, nah...! Begitu juga lebih baik.
Aku takut kawanku yang cantik ini bisa tambah
murka kalau kalian tidak cepat-cepat enyah dari
hadapannya," celoteh Soma.
Ratih bersungut-sungut. Hatinya masih
kesal dengan kelakuan Siluman Ular Putih tadi.
Bukannya tadi membantu dirinya, malah mem-
bantu kawanan rampok itu.
"Nah! Sekarang, apa lagi yang harus aku
perbuat" Kawanan begal itu sudah enyah dari
hadapan kita. Apa kau ingin meneruskan perjala-
nan" Atau...."
Soma menggaruk-garuk kepala tanpa me-
lanjutkan bicara. Entah mengapa tiba-tiba saja
kepalanya ingin digaruk-garuk Padahal, rambut-
nya tidak gatal. Sementara matanya yang cerdik
bergerak-gerak nakal.
"Oh, ya" Ngomong-ngomong, kau masih
penasaran padaku, ya" Lantas, kau menyusulku
kemari?" baru Soma melanjutkan bicaranya
"Memangnya, kau sendiri yang punya uru-
san dengan Manusia Rambut Merah"! Huh! Dasar
pemuda edan!" sungut Ratih sinis.
"Oh...! Jadi, kau punya urusan dengan
Manusia Rambut Merah, ya" Aku kira kau masih
penasaran padaku" Ya, sudah! Kalau begitu, se-
lamat tinggal!"
Soma alias Siluman Ular Putih sempat
menghadiahi gadis itu dengan seulas senyum
manis sebelum akhirnya berkelebat pergi. Gera-
kan kedua kakinya cepat sekali.
Sebentar saja, bayangan tubuhnya lenyap
di antara kerimbunan pohon randu.
Ratih sebenarnya ingin sekali mencegah
kepergian pemuda itu. Akan tetapi entah menga-
pa, ia hanya membanting-bantingkan kaki ka-
nannya dengan kesal. Pandangan matanya masih
tertuju ke arah lenyapnya bayangan pemuda yang
diam-diam mulai mencuri sekeping hatinya.
3 Siang terik. Matahari tepat pada titik ten-
gahnya, seperti hendak memanggang siapa saja
yang ada di bawahnya. Debu-debu di sepanjang
jalan diluar Hutan Sawo Kembar beterbangan ka-
la dua ekor kuda jantan tak begitu kencang me-
nelusuri jalanan itu. Penunggangnya adalah dua
orang wanita. Melihat dari pakaian ringkas dan cara me-
nunggang kuda yang lincah, kedua orang itu pasti bukanlah wanita sembarangan.
Yang sebelah kanan adalah seorang wanita berpakaian biru tua,
dengan cadar penutup wajah berwarna biru.
Usianya belum terlalu tua. Paling baru berumur
empat puluh lima tahunan. Namun menilik tu-
buhnya yang padat dan sintal, mungkin orang
akan mengira wanita itu baru berumur tiga pulu-
han tahun. Orang ini dijuluki Perempuan Berca-
dar Biru. Sedang di sebelah Perempuan Bercadar Bi-
ru adalah seorang gadis cantik yang juga berpa-
kaian biru tua. Usianya kira-kira delapan belas
tahun. Wajahnya yang cantik tampak kemerah-
merahan tertimpa panasnya sinar matahari. Se-
dang rambutnya yang hitam panjang sebatas ba-
hu dikuncir dua ke belakang. Dan sambil terus
memacu kudanya kencang, ia terus saja ber-
nyanyi riang. Kepalanya digoyang-goyangkan ke
kanan-kiri seirama lagu yang sedang dinyanyi-
kan. "Tutup mulutmu, Ayuni! Tuli aku mendengar suaramu," hardik Perempuan
Bercadar Biru pada gadis bernama Ayuni.
"Ah..., Guru! Mengapa sih, Guru selalu
mengusik kesenanganku"!" tukas Ayuni.
"Diam! Kalau aku bilang tutup mulut, kau
harus tutup mulut, mengerti"!" hardik Perempuan Bercadar Biru lagi galak.
Ayuni mengedumel. Kedua bibirnya yang
indah memberengut.
"Apa enaknya sih, melakukan perjalanan
jauh dengan berdiam diri begini?" sahut gadis berbaju biru itu masih saja
membantah. Perempuan Bercadar Biru mendelik gusar.
Kedua bibirnya berkemik-kemik, siap melontar-
kan makian. Namun belum sempat bibirnya ter-
buka, tiba-tiba saja
"Benar! Benar sekali apa yang dikatakan
muridmu itu, Perempuan Bercadar Biru! Mengapa
sih kamu usil amat"!"
Kedua orang wanita cantik itu dikejutkan
oleh suara sumbang yang datangnya entah dari
mana, menyahuti ucapan Ayuni. Suaranya meng-
gemuruh, menggetarkan tanah di sekitarnya.
Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni saling
berpandangan. Tanpa melihat sosoknya pun, me-
reka tahu kalau ada seorang tokoh berkepandaian
tinggi sedang menghadang perjalanan. Ayuni
mengedarkan pandangan ke segenap penjuru,
namun tetap saja tidak menemukan siapa-siapa.
"Apa yang kau cari, Anak Muda" Aku di si-
ni!" Suara sumbang itu kembali terdengar
menggemuruh dari tanah yang bergetar di seki-
tarnya. Beberapa saat lamanya kemudian, tanah
yang bergetar ini tiba-tiba saja membuncah tinggi ke udara. Bersamaan dengan
itu, sesosok bayangan merah menyala keluar dari tanah.
Seketika itu juga, dua ekor kuda jantan
tunggangan Perempuan Bercadar Biru dan Ayuni
meringkik ketakutan. Kedua kakinya terangkat
tinggi-tinggi ke atas. Untungnya mereka tangkas
sekali, sehingga tidak terlempar dari punggung
kuda. "Siapa kau"! Mengapa menghadang perjalanan kami"!" bentak Perempuan
Bercadar Biru pada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang terbungkus
pakaian merah-merah yang keluar
dan dalam tanah.
Laki-laki berpakaian merah-merah itu ter-
senyum sinis. Rambutnya yang juga berwarna
merah menyala dibiarkan riap-riapan menutupi
sebagian wajahnya yang garang. Matanya bulat
memerah dengan hidung besar. Sementara alis
mata, kumis, dan jenggot berwarna merah menya-
la. Usia sebenarnya sudah sangat tua. Namun
anehnya tubuhnya masih nampak kekar seperti
orang baru berumur setengah baya.
"Kau..., kaukah Manusia Rambut Merah
dari Hutan Sawo Kembar?" tebak Perempuan Bercadar Biru setelah mengenali ciri-
ciri orang yang menghadang itu. Dan hatinya kaget bukan main
melihat siapa sebenarnya tokoh sesat ini.
"Ha ha ha...! Syukur kalau kau masih in-
gat, Perempuan Bercadar Biru. Berhubung aku
tidak berurusan denganmu, sebaiknya kau me-
nyingkir saja! Aku ada sedikit urusan dengan mu-
ridmu yang cantik ini," ujar Manusia Rambut Merah angkuh sambil mengerling ke
arah Ayuni dengan matanya yang nakal.
Ayuni bergidik melihat pandangan mata
Manusia Rambut Merah. Biarpun belum berpen-
galaman di dunia persilatan, namun naluri kewa-
nitaannya menangkap kalau orang di hadapannya
punya niat tidak baik.
"Siapa peduli"! Aku tidak pernah punya
urusan denganmu, Badut Merah!" bentak Ayuni ketus. "Aku memang tidak pernah
punya urusan denganmu, Cah Ayu. Tapi aku sendiri yang akan
mengurusmu. Ha ha ha...!"
Perempuan Bercadar Biru menggeretakkan
gerahamnya pertanda amarah yang tengah bergo-
lak. Ia memang belum pernah berurusan dengan
Manusia Rambut Merah yang menjadi momok
dunia persilatan beberapa puluh tahun lalu. Na-
mun melihat muridnya hendak diganggu, pe-
dangnya pun cepat diloloskan. Walaupun, sebe-
narnya diam-diam sempat terkejut juga menden-
gar nama besar Manusia Rambut Merah!
"Kunyuk Merah besar kepala! Apa kau be-
lum pernah merasakan tajamnya pedangku, he"!
Nih, rasakan kalau kau ingin menjilat tajamnya
pedangku!" bentak Ayuni sambil mencabut pe-
dangnya. Seketika tubuhnya melompat ringan,
langsung menyerang Manusia Rambut Merah.
"Aku paling senang berurusan dengan ga-
dis galak sepertimu, Cah Ayu. Cuma aku sangsi,
apa kau juga bisa galak di atas ranjang"!" leceh Manusia Rambut Merah seraya
berkelit ke samping menghindari serangan.
"Bajingaaan...! Kau terlalu merendahkan-
ku, Kunyuk Merah!" teriak Ayuni kalap. Sambaran-sambaran pedangnya semakin
dipercepat, mengurung Manusia Rambut Merah.
Laki-laki berpakaian merah-merah tokoh
sesat dunia persilatan ini tersenyum dingin. Serangan-serangan Ayuni dilayani
hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Malah begitu ada ke-
sempatan, tubuhnya menerobos pertahanan Ayu-
ni, dengan tangan siap menotok Lalu....
Tukkk! "Aaakh...!"
Ayuni memekik kecil begitu jari-jari tangan
Manusia Rambut Merah mendarat di punggung-
nya. Dan seketika itu juga, tubuhnya yang ramp-
ing jatuh berdebam ke tanah tanpa dapat dige-
rakkan lagi. Perempuan Bercadar Biru kaget bukan
main. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau
muridnya akan sedemikian mudahnya diroboh-
kan. Ia sendiri belum tentu mampu merobohkan
dalam waktu sesingkat itu! Tapi Manusia Rambut
Merah" "Bedebah! Kalau kau mengganggu murid-
ku, demi Tuhan aku akan mengadu nyawa den-
ganmu!" teriak Perempuan Bercadar Biru kalap.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, aku tidak
punya urusan denganmu. Aku hanya mempunyai
urusan dengan muridmu yang cantik ini. Sekali-
gus, untuk menyempurnakan ilmu 'Wejangan Ib-
lis'-ku!" ujar Manusia Rambut Merah seraya berkelebat, mendekati tubuh Ayuni.
Namun sayang- nya, Perempuan Bercadar Biru telah terlebih da-
hulu mendekatinya.
Manusia Rambut Merah geram bukan
main. Dan sebelum gadis itu dibebaskan dari to-
tokan, Manusia Rambut Merah cepat lancarkan
pukulan 'Kelabang Geni' dengan tangan menghen-
tak. Wessss! Seketika seleret sinar merah dari kedua te-
lapak tangan Manusia Rambut Merah menyambar
ganas ke tubuh Perempuan Bercadar Biru.
Perempuan Bercadar Biru mengurungkan
niatnya. Tak mungkin niatnya diteruskan kalau


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih ingin berumur panjang. Dan begitu melihat
seleret sinar merah dari kedua telapak tangan
Manusia Rambut Merah, tubuhnya langsung ber-
kelit ke samping kiri sambil menghentakkan ke-
dua tangannya, memapaki pukulan 'Kelabang
Geni'. Wesss! Blarrr...! Bukan main hebatnya akibat pertemuan
dua tenaga dalam tingkat tinggi itu. Tanah di sekitar kancah pertarungan
bergetar hebat. Pohon-
pohon dalam jarak sepuluh tombak bergoyang-
goyang terkena sambaran angin yang keluar dari
benturan tadi. Sementara itu tubuh Perempuan
Bercadar Biru terhuyung-huyung beberapa lang-
kah ke belakang. Cadar biru penutup wajahnya
sudah diremasi cairan berwarna merah darah. Je-
las, tokoh sakti dari Pulau Karimunjawa itu terlu-ka dalam.
Namun tidak demikian halnya Manusia
Rambut Merah. Tokoh sesat dari Hutan Sawo
Kembar itu hanya sedikit bergetar, namun sama
sekali tidak membahayakan bagi keselamatan ji-
wanya. "Huh! Untung saja aku tidak menghendaki nyawamu, Perempuan Bercadar Biru!
Kalau saja aku mau, apa kau masih bisa menghirup napas
seperti ini" Tapi berhubung kau telah lancang berani mencampuri urusanku,
terpaksa sekali aku
harus menghukummu. Biarlah kau jadi mangsa
binatang-binatang buas hutan ini," ejek Manusia Rambut Merah, dingin
menggetarkan. Perempuan Bercadar Biru memasang ku-
da-kudanya kuat-kuat, menunggu jurus apa lagi
yang akan dikeluarkan Manusia Rambut Merah.
Sementara, Manusia Rambut Merah kini
menyilangkan kedua tangannya ke depan dada.
Kedua kakinya dirapatkan dalam-dalam. Kemu-
dian tiba-tiba saja tubuhnya berputar cepat seka-li, seperti putaran gasing. Dan
ketika tanah membuncah tinggi ke udara, tubuh Manusia Rambut
Merah pun amblas ke dalam tanah!
Perempuan Bercadar Biru semakin me-
ningkatkan kewaspadaan. Ia tidak ingin bertindak
ceroboh seperti tadi. Ia lebih senang menunggu,
apa yang akan dilakukan musuhnya. Dan dalam
beberapa kejap kemudian...
"Auuww...!"
Tiba-tiba saja Perempuan Bercadar Biru
memekik kaget. Kedua kakinya mendadak terasa
seperti sedang dibetot seseorang dari dalam ta-
nah. Perempuan Bercadar Biru jadi kebingun-
gan. Perlahan-lahan tubuhnya semakin melesak
ke dalam tanah. Cepat tenaga dalamnya dikerah-
kan untuk melepaskan betotan. Namun, rupanya
sia-sia saja. Bukan saja ia tak mampu mele-
paskan diri dari betotan, tapi juga merasakan
tangan Manusia Rambut Merah telah menotoknya
dari dalam tanah!
"Ah...!" pekik Perempuan Bercadar Biru kaget bukan alang kepalang. Tiba-tiba
saja sekujur tubuhnya lemas tak dapat; digerakkan sama sekali! "Ha ha ha...!
Sekarang rasakan hukumanku, Perempuan Usil!" leceh Manusia Rambut Merah masih
dari dalam tanah. Suaranya mengge-
ma, menggetarkan tanah di sekitarnya.
Tidak lama kemudian, Manusia Rambut
Merah pun kembali keluar dari dalam tanah yang
tiba-tiba membuncah tinggi ke udara. Setelah
berputaran beberapa kali, kakinya mendarat ma-
nis di dekat tubuh Ayuni.
"Bajingan...! Jangan ganggu muridku!" teriak Perempuan Bercadar Biru yang
terpendam hingga sebatas leher, tanpa bisa bergerak.
"Jangan banyak bacot! Urus saja dirimu
baik-baik!" dengus Manusia Rambut Merah sambil mengangkat tubuh Ayuni ke dalam
pondon- gannya. "Demi Tuhan, aku akan mengejarmu sam-
pai ke ujung akhirat pun kalau kau berani me-
nyentuh muridku!" geram Perempuan Bercadar
Biru garang. "Lakukanlah! Lakukanlah, kalau kau me-
mang bisa!" tantang Manusia Rambut Merah me-nyakitkan.
Dalam pondongan tokoh sesat itu, Ayuni
pun menjerit-jerit kalap. Namun hanya sebentar
saja, karena Manusia Rambut Merah buru-buru
menotok lehernya. Sehingga, gadis itu tidak dapat berteriak-teriak lagi.
"Silakan menikmati hukumanku, Perem-
puan Bercadar Biru! Selamat tinggal!"
Manusia Rambut Merah cepat berkelebat
meninggalkan tempat itu. Gerakan kedua kakinya
ringan sekali. Dan dalam sekejap saja, bayangan-
nya lenyap di antara rimbunnya hutan di depan
sana. Sementara itu Perempuan Bercadar Biru
itu terus menyumpah-nyumpah penuh kemara-
han. Hampir sekujur tubuhnya yang tertotok di-
pendam dalam tanah, hingga sampai ke pangkal
leher. *** Manusia Rambut Merah terus berlari ke
arah utara. Gerakannya ringan sekali seperti ka-
pas, meski tengah memondong tubuh Ayuni. Na-
mun anehnya kali ini, gadis itu tidak dilarikan ke tempat persembunyiannya di
Hutan Sawo Kembar, melainkan ke sebuah gua tersembunyi di
pantai utara. Jarak yang ditempuh sebenarnya cukup
jauh. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Manusia
Rambut Merah dapat menempuh perjalanan
hanya dalam waktu setengah malam saja. Kini
mulut gua itu sudah terlihat oleh matanya, ter-
samar dari tepi pantai. Letaknya di atas lereng
sebelah barat batu karang raksasa berbentuk se-
perti pedang. Agaknya sulit sekali bagi manusia
biasa mendaki lereng bukit batu karang itu. Di
samping letaknya yang condong ke utara, batu
karang itu juga licin sekali.
Sejenak Manusia Rambut Merah berdiri
mematung di bawah batu karang itu. Pandangan
matanya tajam mengamati keadaan sekeliling, se-
perti takut kelihatan orang lain. Setelah dirasanya aman, baru tokoh sesat dari
Hutan Sawo Kembar
itu meloncat ke batu karang.
"Hup!"
Sekali sentak saja, Manusia Rambut Merah
dapat mencapai dinding sebelah barat batu ka-
rang. Dan sekarang, nampaklah mulut gua. Tidak
terlalu besar memang. Hanya pas untuk satu
orang saja. Itu saja sempit sekali bagi Manusia
Rambut Merah yang memiliki badan tinggi besar.
"Guru...! Aku datang memenuhi panggi-
lanmu, Guru. Ini adalah perawan suci yang
keempat puluh untukmu...," desis Manusia Rambut Merah.
Tak ada sahutan. Hanya dinding-dinding
batu karang itu bergetar-getar dan dalam, lalu
perlahan-lahan terbuka lebar.
"Kau mendengar suaraku, Guru" Terima
kasih," lanjut Manusia Rambut Merah lagi, masih dengan desisan.
Aneh memang bila kedua kaki tokoh sesat
ini gemetar kala masuk ke dalam gua. Entah,
mengapa. Mula-mula jalan masuk gua datar saja.
Tapi dua tombak kemudian, jalan telah menukik
tajam ke bawah. Manusia Rambut Merah melon-
gokkan kepalanya ke bawah. Tampak jalanan gua
itu berkelok-kelok ke bawah. Dan langkahnya
pun kembali diteruskan. Dan, sampailah ia di sa-
tu tempat datar yang cukup luas. Dinding-dinding batu gua itu bukan lagi terbuat
dari batu karang, tapi dari tanah merah biasa. Maka bisa disimpul-kan kalau gua
itu berhubungan dengan daratan.
Keadaan di sekitar gua cukup menyeram-
kan. Tak ada penerangan sama sekali, sehingga
suasana tampak gelap. Manusia Rambut Merah
memandang ke satu tempat dengan sinar mata
aneh. Entah siapa yang sedang ditunggu tokoh
sesat itu. Orang yang tadi dipanggil guru pun tidak menampakkan batang
hidungnya. Drrr...! Brolll...! Namun tiba-tiba saja tanah di dalam gua
itu bergetar hebat. Bersamaan dengan itu, me-
nyembul satu sosok berpakaian putih-putih dari
permukaan tanah.
Begitu menginjakkan kakinya di tanah,
tampak jelas kalau sosok itu adalah seorang laki-laki sangat tua. Usianya sulit
sekali ditafsirkan.
Rambutnya yang panjang berwarna putih telah
rontok di sana sini di makan usia. Wajahnya
mengerikan sekali. Kedua matanya melesak ke
dalam tanpa hidung. Kedua bibirnya tipis sekali, hampir tidak kelihatan.
Tubuhnya pun kurus,
hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Pada zamannya, tokoh tua ini sangat dita-
kuti dalam rimba persilatan. Julukannya pun
sangat mengerikan. Jerangkong Hidup! Dan kini,
laki-laki bertubuh kurus kering itu membuka ma-
tanya yang melesak ke dalam perlahan-lahan. Ta-
jam sekali pandangannya, menandakan tenaga
dalamnya sudah mencapai tingkat yang sangat
tinggi. "Kau tahu, mengapa aku menyuruhmu
membawa korbanku kemari, Jarkasi?" tanya Jerangkong Hidup langsung memanggil
nama asli Manusia Rambut Merah. Suaranya menggema,
seperti suara dari dalam alam gaib. Dan anehnya
lagi, kedua bibirnya yang tipis sama sekali tidak bergerak-gerak saat berbicara.
"Belum, Guru," sahut Manusia Rambut
Merah alias Jarkasi.
"Bodoh! Apa kau lupa, malam apa sekarang
ini?" bentak Jerangkong Hidup kasar.
"Ma..., malam Jumat Kliwon, Guru," jawab Manusia Rambut Merah, gugup.
"Kalau sudah tahu, mengapa kau tidak ce-
pat membawa korbanmu itu kemari"!"
"Ba.., baik, Guru."
Manusia Rambut Merah cepat menurun-
kan tubuh Ayuni dari pondongannya. Dan dile-
takkan tubuh gadis yang tertotok itu di atas batu pipih tak jauh dan Jerangkong
Hidup. Ayuni hanya bergidik ngeri tanpa bisa ber-
teriak, apalagi bergerak. Sekujur tubuhnya diba-
sahi keringat dingin. Ia tidak tahu, nasib apa
yang akan dialaminya nanti. Semuanya serba
menakutkan, serba menegangkan. Tidak tahu la-
gi, apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya bisa
menunggu datangnya waktu.
"Cepat lakukan upacara!" perintah Jerangkong Hidup, tegas.
"Baik, Guru," sahut Jarkasi, patuh.
Manusia Rambut Merah duduk bersila di
hadapan gurunya yang juga segera bersila. Kedua
matanya terpejam. Bibirnya berkemik-kemik me-
lantunkan sebaris mantra.
Sementara Jerangkong Hidup memperhati-
kan muridnya seksama, Kedua bibirnya juga ber-
kemik-kemik, membacakan mantra. Entah dari
mana, perlahan-lahan asap hitam tebal mulai
bergulung-gulung di hadapan Jerangkong Hidup
dan muridnya. Beberapa kejap kemudian, asap
hitam tebal itu pun mulai membentuk sesosok te-
ramat mengerikan! Sepasang matanya berwarna
merah saga. Hidungnya lancip memanjang. Kedua
bibirnya berwarna merah menyala. Giginya tam-
pak putih berkilau dengan kedua taring panjang.
Tak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang kurus
dan perut buncit. Makhluk itu adalah jelmaan da-
ri alam kegelapan yang menjadi pujaan Jerang-
kong Hidup dan muridnya.
Ayuni bergidik ngeri dan memekik dalam
hati. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat
nyali gadis itu menciut. Untungnya ia masih ta-
bah. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak liar mencari jalan keluar.
"Ia ingin meminjam jazadmu, Jarkasi. Ber-
siap-siaplah menerima kehadirannya! Nanti kau
akan mendapatkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang kau
idam-idamkan itu," jelas Jerangkong Hidup kembali membuka suaranya.
Kali ini matanya tidak lagi dipejamkan.
Namun kedua bibirnya yang tipis itu terus saja
berkemik-kemik.
"Baik, Guru. Aku sudah siap."
Manusia Rambut Merah tetap diam dalam
duduk semedinya. Kedua matanya pun tetap ter-
tutup rapat-rapat, menunggu makhluk yang men-
jadi pujaannya masuk ke dalam raganya.
Slep! Bayangan makhluk hitam itu cepat sekali
masuk ke dalam raga Manusia Rambut Merah.
Seketika itu juga, tubuh tokoh sesat ini bergetar hebat. Kedua matanya yang
terpejam kontan terbelalak liar memandang tubuh Ayuni. Kalau saja
gadis itu tidak dalam keadaan tertotok, sudah
pasti akan menjerit ngeri. Wajahnya pucat bagai mayat. Bibirnya bergetar-getar
membayangkan kengerian luar biasa!
Perlahan Manusia Rambut Merah yang su-
dah menyatu dengan jasad makhluk hitam yang
sangat mengerikan itu, mulai berjalan mendekati
Ayuni. Tak terasa gadis itu mulai meneteskan air mata saking tidak kuatnya
melihat bahaya maut
yang akan datang menjemput.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini suasana tegang dalam gua benar-
benar sudah mencapai puncaknya. Ayuni tak ta-
han lagi. Ia langsung tak sadarkan diri saat Ma-
nusia Rambut Merah mulai bergerak menyentuh
tubuhnya. Menanggalkan pakaiannya, dan...
Tak ada satu orang pun yang dapat menye-
lamatkan Ayuni dari cengkeraman kedua manu-
sia pemuja iblis itu.
Korban terakhir telah terlaksana. Suara
tawa sumbang Jerangkong Hidup dan muridnya
terdengar susul-menyusul, seperti nyanyian pu-
luhan iblis yang sedang asyik berpesta pora di dalam kegelapan!
*** Malam baru saja berlalu. Kini alam maya-
pada sepenuhnya dikuasai kegelapan. Rindang-
nya pepohonan dan cahaya bulan yang tersuruk-
suruk di ufuk barat, tak mampu menerangi jagat
raya ini. Sementara dari arah timur ujung jalan di
luar Hutan Sawo Kembar, terlihat seorang pemu-
da berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan tengah berlari kencang ke arah
selatan. Kini rambut pemuda itu tidak lagi dikuncir dua ke belakang, melainkan
dibiarkan tergerai di bahu. Tubuhnya yang tinggi tegap bergerak
ringan sekali, menyusuri jalanan. Siapa lagi pe-
muda tampan itu kalau bukan murid tunggal
Eyang Begawan Kamasetyo. Soma yang dijuluki
orang Siluman Ular Putih.
Saat Siluman Ular Putih tengah asyik me-
lenggang di tengah jalan, tiba-tiba saja....
Tak! "Aahh...!"
Soma memekik kaget, ketika kakinya me-
nendang sesuatu. Hampir saja pemuda itu ter-
sungkur, kalau saja tidak cepat meloncat tinggi
ke udara, lalu mendarat manis di tanah. Namun
belum sempat hilang rasa kagetnya....
"Keparat! Siapa lagi yang usil mengganggu-
ku, he"!"
Tiba-tiba pemuda itu kembali dikejutkan
oleh bentakan seseorang.
"Eh, eh...! Siapa lagi ini" Kok, kedengarannya seperti sedang marah-marah
padaku?" Soma celingukan ke sana kemari, namun tidak menemukan siapa-siapa.
"Anjing kurap budukan! Matamu ditaruh di
mana, he"! Apa kau tidak lihat"!" bentak suara itu lagi kalap.
Jelas, suara bentakan barusan di sekitar
sini. Soma mengedarkan pandangannya ke seki-
tarnya sambil garuk-garuk kepala. Dan tiba-tiba
saja pandangan matanya tertumbuk pada kepala
seseorang yang tertutup kain cadar biru, seperti tergolek di tengah jalan.
"Ha"! Apa itu" Kau.... Kau...! Set..., se-
taaaann...!" pekik Soma kaget bukan alang kepalang. Seketika itu juga sambil
sesekali menoleh ke belakang si pemuda langsung lari tunggang-langgang
meninggalkan tempat itu. Mulutnya tak
henti-hentinya berteriak-teriak, persis orang ke-surupan. Watak kependekarannya
lenyap, entah ke mana. Yang jelas ia betul-betul terkejut.
"Bocah edan! Mengapa kau lari"! Aku bu-
kan setan," teriak kepala yang tergolek kebingungan sendiri melihat orang yang
menendangnya tadi kabur. Mendengar teriakan itu, Soma menghenti-
kan larinya. Hatinya jadi bimbang. Dan dengan
hati berdebar, kepalanya dipaksakan untuk me-
noleh. "Bocah edan! Aku manusia sepertimu. To-longlah aku, Anak Muda!" pinta
orang itu. Dia khawatir, kalau Soma benar-benar akan men-ganggapnya hantu dan
akan meninggalkannya.
"Aku ini manusia biasa sepertimu. Seseorang te-
lah menguburku macam begini, tahu?"
"Jadi..., jadi" Kau..., kau manusia" Bukan
setan?" "Bukan!"
"Ba..., baik! Kalau begitu aku akan meno-
longmu...," kali ini Soma tidak berlagak bodoh la-gi. Dia kasihan juga pada
orang yang dipendam
itu. "Apa yang harus kulakukan untukmu,
Mbakyu. Eh..."! Bagaimana ya, aku harus me-
manggilmu?"
"Jangan cerewet! Cepat gali tanah ini!" bentak orang yang ternyata terpendam itu
kesal. "Aduuuh...!" Soma garuk-garuk kepala.
"Jangan garuk-garuk kepala saja! Ayo, le-
kas gali tanah ini!" bentak orang terpendam, tak sabar. "Tapi, nanti kau harus
buka cadarmu, ya!
Aku ingin lihat, kau pantas mendampingiku atau
tidak?" kata Soma mulai kambuh penyakit usil-nya. Orang yang ternyata seorang
wanita itu mengedumel, tak menyahuti ocehan Soma. Hanya
matanya saja yang membelalak lebar.
Soma tahu, wanita itu malas meladeni oce-
hannya. Namun ia tidak peduli. Mulutnya terus
saja nyerocos seperti nenek-nenek kehilangan si-
rih. "Cuma begini saja kau tak bisa mengata-sinya. Lantas, buat apa bawa-bawa
pedang sega- la" Oh, ya" Kulihat tadi ada dua bilah pedang tergeletak di sana. Kau pasti
seorang pendekar. Tapi,
mengapa kau tak bisa keluar dari tempat ini"
Hm.... Jangan-jangan kau sedang bertelur di da-
lam tanah" Lihat nih, jurus apa yang akan kuke-
luarkan!" Siluman Ular Putih tiba-tiba menggerakkan
kedua tangannya, seperti hendak meraup. Gera-
kan kedua tangannya kelihatan seperti orang
main-main. Namun anehnya, begitu kedua tan-
gannya menyentuh tanah, seketika itu juga tanah
langsung berhamburan ke udara.
"Augh...!"
Dan bersamaan tanah yang berhamburan
ke udara, tampak sesosok tubuh ramping berpa-
kaian biru tua ikut terbawa keluar. Orang itu
memekik lirih kala tubuhnya membentur tanah.
Soma tidak mempedulikannya. Pemuda ini
tengah asyik mengebut-ngebutkan kedua tangan-
nya dari kotoran tanah. Sedang matanya mem-
perhatikan kubangan tanah, tempat wanita ber-
pakaian biru tua itu tadi terkubur. Senyumnya
tampak terkembang di bibir. Dan setelah ditung-
gu beberapa saat lamanya, Siluman Ular Putih
jadi mengernyitkan dahinya karena tidak men-
dengar suara apa pun dari orang yang baru dito-
longnya. "Dasar manusia tak tahu diri! Setelah dito-
long langsung kabur! Huh!" rutuk Soma.
"Aku tidak kabur, tahu"!"
"Hei, kau dimana..." Ya, ampun! Kenapa
kau tiduran di situ?" teriak Soma menghardik.
"Aku tertotok, tahu!" kata wanita itu kesal.
"Oh oh oh...!" Soma melenguh mirip tikus kena cuka. "Maaf..., maaf! Aku tidak
mengira kalau kau tertotok. Pantas saja kau hanya tiduran
saja." "Jangan banyak bacot! Ayo, cepat lepaskan totokanku!" hardik wanita ini
tak sabar. "Enak saja! Memangnya aku budakmu.
Buka dulu cadarmu. Baru aku melepaskan toto-
kanmu," goda Soma.
"Bocah edan! Bagaimana aku bisa melepas
kain penutup wajahku, kalau aku masih dalam
keadaan tertotok begini!"
"Oh iya, ya" Hampir saja aku lupa!"Soma cengar-cengir mirip orang sinting.
Namun, toh akhirnya mau juga membukakan totokan wanita
itu. "Sudah sekarang cepat buka cadarmu! Aku ingin lihat, cantikkah wajah yang
ditutup cadar itu!" Perempuan Bercadar Biru tidak mempedulikan ocehan Soma. Ia hanya
menggerak- gerakkan tangan dan kakinya setelah hampir se-
tengah hari tubuhnya tak dapat digerakkan di da-
lam tanah. "Lambat amat sih! Seperti pesinden saja!
Ayo, cepat buka cadarmu!" desak Soma, tak sabar. Perempuan Bercadar Biru kesal
sekali. Dan mendadak tangan kanannya berkelebat cepat,
menampar pipi pemuda nyinyir di hadapannya.
Plak! Plak! Dua kali pipi Soma terkena tamparan tan-
gan mungil Perempuan Bercadar Biru, membuat-
nya memaki tak karuan. Ia tadi menyangka Pe-
rempuan Bercadar Biru itu akan menuruti kein-
ginannya membuka cadar. Akan tetapi, yang di-
dapat malah tamparan keras pada pipinya.
"Huh! Orang macam apa ini! Sudah dito-
long, pakai main tampar lagi!" gerutu Soma.
"Diam kau!"
"Kau yang diam, perempuan tak tahu diri!"
balas Soma kesal. "Kenapa kau tampar pipiku"!"
"Kau menyebalkan sekali, Anak Muda!"
"Baik, baik! Mungkin kau benar. Aku me-
mang menyebalkan. Tapi, aku mau tanya, sung-
guh-sungguh. Mengapa kau berendam di dalam
tanah tadi" Apa kau sedang mencari ilmu sakti?"
tanya Soma ingin tahu.
"Kau cerewet sekali! Aku tak sudi meladeni
omonganmu. Sekarang juga, aku akan menyela-
matkan muridku. Selamat tinggal, dan terima ka-
sih!" "Hei, tunggu dulu!" tahan Soma, cepat memegang lengan wanita itu sebelum
sempat berkelebat pergi.
"Apalagi"!"
"Jangan begitu, ah! Kau kan belum menja-
wab pertanyaanku. Pertama, kau belum menceri-
takan mengapa tadi terkubur seperti itu" Kedua,
mengapa kau tidak mengatakan padaku, siapa
orang yang telah menculik muridku" Ketiga, kau
belum mau membuka cadarmu" Keempat, kau
belum me...."
"Sudah, sudah! Pusing aku mendengar
ocehanmu!" penggal Perempuan Bercadar Biru
memberontak dari cengkeraman tangan Soma ka-
sar. "Ah! Kau tidak sabaran amat, sih"!" goda Soma. "Apa kau takut pada aku?"
Perempuan Bercadar Biru mendengus kes-
al. "Kau mau dengar ceritaku apa tidak"!"
"Oh...! Ya, ya...! Cepat katakan, siapa yang telah mencelakakanmu dan muridmu
itu!" Perempuan Bercadar Biru tidak langsung
menjawab pertanyaan Soma. Ia sebenarnya kesal
sekali melihat tingkah pemuda ini. Namun toh
akhirnya mulutnya tersenyum juga melihat ting-
kah pemuda yang ugal-ugalan ini.
"Manusia Rambut Merah...," desis Perempuan Bercadar Biru penuh kemarahan.
"Manusia Rambut Merah"!" ulang Soma.
Matanya kontan terbeliak lebar.
"Ya. Dialah yang telah mencelakakanku
dan menculik muridku!"
"Hm...!"
Soma menggeram penuh kemarahan. Gi-
ginya gemeletukan. Rahangnya bertonjolan me-
nahan amarah menggelegak.
"Sudah, ya! Selamat tinggal! Dan, terima
kasih atas bantuanmu tadi!"
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak ca-
kap lagi Perempuan Bercadar Biru langsung
menggenjot kedua kakinya meninggalkan tempat
ini. Soma sendiri masih asyik dengan pikiran-
nya sampai lupa kalau wanita itu telah jauh me-
ninggalkan dirinya.
"Eh..., tunggu dulu! Kau belum membuka
cadarmu...!" teriak Soma, begitu teringat Perempuan Bercadar Biru lagi. Namun
sayangnya wani-
ta itu sudah lenyap dari pandangan matanya.
Soma memaki panjang pendek. Lalu den-
gan satu tekad mantap Siluman Ular Putih pun
cepat mengikuti Perempuan Bercadar Biru. Kare-
na, yakin kalau orang itu pasti akan mencari Ma-
nusia Rambut Merah di sarangnya, di Hutan Sa-
wo Kembar. Dengan sekali hentak saja, si pemuda telah
jauh melesat ke depan. Ia terus berlari, menyusu-ri hutan yang cukup lebat itu.
*** Soma menggeram marah. Di Hutan Sawo
Kembat ternyata tidak ditemukan siapa-siapa, ke-
cuali tanah di sekitar hutan itu yang hancur be-
rantakan. Siluman Ular Putih terus memutar
otaknya. Mungkinkah Manusia Rambut Merah ti-
dak membawa calon korbannya kemari"
"Ah, keparat! Bisa juga tikus merah itu ti-
dak membawa calon korbannya kemari" Lantas,
ke manakah calon korbannya dibawa?" Soma garuk-garuk kepala, coba berpikir
keras. Si pemuda penasaran sekali. Tanah di seki-
tar hutan itu berantakan. Bisa jadi Manusia
Rambut Merah membawa calon korbannya ke da-
lam tanah. Bukankah ia dapat amblas bumi"
Soma cengar-cengir mirip tikus kena cuka.
Otaknya yang cerdik segera bekerja. Namun be-
lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba saja
pendengarannya yang tajam mendengar gemere-
sek daun-daun kering terinjak kaki seseorang.
Dengan gerakan cepat, tubuhnya menyelinap ke
balik sebuah pohon.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah..., ternyata dia!" gumam Soma dalam hati. Di hadapan Siluman Ular Putih saat
itu terlihat seorang perempuan berpakaian biru tua
dengan wajah tertutup cadar warna biru tua pula.
Kakinya melangkah hati-hati dengan sebilah pe-
dang di tangan.
Soma cengar-cengir di tempat persembu-
nyiannya. Dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh 'Menjangan Kencana', pemuda ini tadi
dapat mendahului Perempuan Bercadar Biru.
"Huaaa ha ha...! Apa yang kau cari, Tikus
Pemalu" Mengapa kau tidak membuka cadarmu"
Ayo, cepat buka cadarmu! Kau masih hutang pa-
daku!" teriak Soma lantang di tempat persembunyiannya. Suaranya membahana
memenuhi Hu- tan Sawo Kembar.
Perempuan Bercadar Biru celingukan. Ia
seperti mengenal suara pemuda ceriwis itu.
"Ah..., tak mungkin! Mana mungkin pemu-
da sinting itu dapat mendahului ke tempat ini?"
gumam Perempuan Bercadar Biru, yakin. Meski
sudah mengenal suara itu, namun sikapnya tetap
waspada kalau-kalau si empunya suara adalah
orang yang menculik muridnya.
"Huaaa ha ha,..! Baru kali ini kulihat orang setolol kau, Perempuan Bercadar
Biru" Apa kau
ingin buang hajat di tempat ini?" teriak Soma lagi lantang.
Perempuan Bercadar Biru mengedarkan
pandangan ke segenap penjuru. Gagang pedang-
nya tergenggam erat-erat, siap melindungi diri da-ri serangan musuh
"Anjing kurap! Lekas tampakkan hidung-
mu!" bentak Perempuan Bercadar Biru penuh
kemarahan. "Ah... Kau ingin melihat hidungku" Tidak,
ah! Aku malu. Aku harus pinjam cadarmu dulu.
Bukankah kau masih hutang padaku" Ya ya ya...!
Kau masih hutang padaku. Sekarang juga, aku
ingin kau membayarnya kontan. Tapi, sayangnya
aku bukan lintah darat. Aku tak ingin menagih-
mu berikut bunganya."
Perempuan Bercadar Biru gemas bukan
main. Kini si empunya suara mulai dikenali, jelas suara itu tidak lain milik
pemuda nyinyir yang
menolongnya tadi. Namun belum sempat bertin-
dak lebih lanjut, tiba-tiba saja pendengarannya
yang sangat terlatih mendengar angin berkesiur
menyambar cadar penutup wajahnya. Dan belum
sempat berkelit menghindar, tahu-tahu cadar bi-
ru penutup wajahnya telah tergenggam, di tangan
pemuda penolongnya.
"Ah...! Ternyata kau sudah tua, Perem-
puan! Tapi tak apa-apa. Wajahmu masih lumayan
kok, masih cantik. Ha ha ha...!"
Bukan main kagetnya Perempuan Bercadar
Biru. Sungguh tidak disangka gerakan pemuda
penolongnya begitu cepat, melebihi kecepatannya.
Buktinya, dalam satu gebrakan saja ia telah kehilangan cadar penutup wajahnya.
Kalau saja pe- muda itu bermaksud jahat, bukan mustahil nya-
wanyalah yang melayang.
Tapi, Perempuan Bercadar Biru tak meng-
hiraukan itu semua. Kemarahan telah membuat
tokoh dari Pulau Karimunjawa itu gusar bukan
main. Wajahnya yang cantik seperti wajah seo-
rang gadis berusia tiga puluh tahun nampak ke-
merah-merahan saking gusarnya. Sementara bi-
birnya bergetar-getar.
"Kau.... Kau...! Jahanam! Kau harus mem-
bayar mahal atas kekurangajaranmu ini, Bocah!"
bentak Perempuan Bercadar Biru penuh kemara-
han. Seketika tubuhnya berkelebat. Pedang di
tangan kanannya cepat menyambar-nyambar ga-
nas menyerang Soma.
"Pengibul! Kau..., kau tukang ngibul! Kau
sendiri sudah berjanji akan melepaskan cadarmu
kalau aku melepaskan totokanku tadi. Tapi, men-
gapa kau tak mengakuinya" Ah, dasar pengibul!"
teriak Soma lantang sembari berloncatan ke sana
kemari menghindari sambaran-sambaran pedang.
Gerakan kedua kakinya asal-asalan saja, seperti
bukan gerakan seorang ahli silat. Namun aneh-
nya, sambaran-sambaran pedang Perempuan
Bercadar Biru itu hanya menemui tempat kosong.
"Cepat kembalikan cadarku! Atau kupeng-
gal batang lehermu, Bocah!" bentak Perempuan Bercadar Biru, berapi-api.
"Ah, dasar pengibul! Curang! Curang!" teriak Soma, terus menghindari.
Perempuan Bercadar Biru tak mempeduli-
kan ocehan Soma. Pemuda penolongnya terus sa-
ja didesak dengan serangan ganas. Namun aneh-
nya serangan-serangannya selalu dapat dihindari
dengan mudah. Padahal jurus-jurus andalannya
sudah dikeluarkan.
"Wah wah wah...! Mengapa urusannya jadi
begini"! Apa salahku, he"! Dasar, Perempuan Tu-
kang Kibul!" oceh Soma seenak perut.
"Pemuda sinting tak tahu adat! Cepat kem-
balikan cadarku! Kalau tidak aku akan mengadu
nyawa denganmu!" teriak Perempuan Bercadar
Biru. "Sabar dikit kenapa, sih" Orang sabar itu disayang Tuhan lho?" ledek Soma.
Perempuan Bercadar Biru menggeram ma-
rah. Nampak kesabarannya sudah habis. Dan pe-
dang di tangan kanannya siap kembali menyerang
Soma dengan jurus-jurus andalan.
"Heit! Tunggu! Daripada jadi biang penyakit sawan, lebih baik kukembalikan saja.
Nih! Terimalah cadar jelekmu ini!"
Soma melemparkan cadar itu asal-asalan
saja sembari menjejakkan kaki kanannya me-
Lambang Naga Panji Naga Sakti 12 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Pedang Kayu Cendana 5
^