Pencarian

Cewek Kaya 2

Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl Bagian 2


tanah yang berlumpur. Chapter 16 SYDNEY menatap Jason di seberang jalan setapak yang basah
oleh hujan. Bangun! benaknya menjerit pada Jason. Bangun!
Jason tidak bergerak. Sambil mengerang, Emma melemparkan sekop itu. Ia jatuh
berlutut di atas lumpur, di samping Jason.
Pergilah ke sana! kata Sydney kepada dirinya sendiri. Jason
mungkin berdarah. Ia butuh pertolongan!
Tapi Sydney tidak bergerak.
Kakinya terasa kaku di tempatnya.
"Emma?" ia memanggil dengan suara serak.
Emma mengangkat kepalanya pelan-pelan. Rambutnya yang
pirang tergerai kusut dan basah menutupi wajahnya. Matanya yang
ketakutan mengintip di antara helai-helai rambutnya.
"Dia... dia mati!" Emma mengeluh.
Hutan itu tampak miring dan bahkan menjadi lebih gelap. Perut
Sydney mual melilit-lilit.
Ia menutupkan kedua tangannya di mulutnya. Tubuhnya
sempoyongan, seakan-akan baru saja dihantam.
Tidak! Ia tak boleh mati! pikirnya panik. Tolong! Tolong! Ia tak
boleh mati! Ia memejamkan matanya dan menghirup napas dalam-dalam
dengan ngeri. Kemudian ia menghirup napas lagi.
Ketika ia membuka matanya, Jason masih terbaring
tertelungkup di atas lumpur.
Emma masih menatapnya. Ekspresinya ketakutan.
Ini benar, kata Sydney kepada dirinya sendiri. Jason mati.
"Kenapa kalian berkelahi?" Ia tercekik, masih tidak bergerak dari jalan setapak
itu. "Apa yang terjadi?"
"Dia menginginkan semua uang itu," sahut Emma. "Begitu kami menemukan tas itu,
dia menyambarnya. Dia akan membawanya
lari, Syd! Membawa tas itu dan melarikan semua uang kita!"
Sydney menelan udara lagi.
Jason yang serakah, pikirnya. Emma benar. Emma benar selama
ini. "Kucoba bicara dengannya," Emma melanjutkan. "Kukatakan padanya, dia bisa
mendapatkan bagian lebih dari sepertiga. Kukatakan dia bisa mendapat separuhnya.
Bahwa kau dan aku akan mengambil
separuh sisanya." "Dan dia mengatakan tidak?" gumam Sydney.
"Dia menertawakan aku!" ujar Emma. Ia menyibakkan
rambutnya dari mata. Corengan lumpur membekas di keningnya. "Dia menginginkan
semua uang itu! Dia benar-benar menginginkan uang
itu." "Lalu apa yang terjadi?" tanya Sydney. Ia harus
menanyakannya. Ia harus tahu.
"Aku mengangkat tas itu. Dan kemudian... dia mengayunkan
sekop itu kepadaku!" teriak Emma. "Dia hampir memukul aku, Sydney! Dia akan
membunuh aku!" Emma berhenti, napasnya terengah-engah. "Lantas?"
Emma menelan ludahnya keras-keras. "Aku merebut sekop itu
dan... kukira kau menyaksikan akhirnya."
Sydney mengangguk. Perutnya seperti teraduk-aduk lagi. Ia harus menelan ludahnya
sebelum bisa bicara. "Sekarang kita tak punya pilihan," akhirnya ia berbisik.
"Apa maksudmu?"
"Kita harus menelepon polisi," ujar Sydney.
"Jangan!" Emma melompat berdiri dan menghambur ke arah
Sydney. "Kita tak boleh melakukannya! Kita tak boleh membiarkan Jason
menghancurkan kehidupan kita berdua!"
"Tapi, Emma, kita tidak hanya mengambil satu tas uang,"
Sydney mendebat. "Sekarang... kita adalah pembunuh!"
Pembunuh! Kata yang mengerikan itu bergaung di telinganya.
Pembunuh... pembunuh... "Tidak. Hanya aku," kata Emma. "Akulah yang pembunuh. Aku berkelahi melawan dia,
Sydney. Aku memukul dia. Aku yang
membunuh dia... bukan kau."
"Emma, dengarkan aku," Sydney bersikeras. "Kita harus menelepon po..."
Emma mencengkeram lengan Sydney. "Aku akan mengurus
semuanya, Syd. Kau tidak harus melakukan apa-apa. Sungguh."
"Aku tak mengerti!" teriak Sydney. "Apa yang dapat
kaulakukan" Kita tak bisa meninggalkan dia terbaring di sini begitu
saja!" "Aku tahu." Emma menggigit bibir dan melihat ke
sekelilingnya sekilas. "Danau!" katanya. "Aku akan membenamkan tubuhnya di Fear
Lake. Tubuhnya tak akan bisa diketemukan selama
berbulan-bulan." Bayangan tubuh Jason tenggelam di bawah air Fear Lake yang
gelap dan dingin melintas di benak Sydney.
Pembunuh... pembunuh... Ia memeluk dirinya sendiri yang gemetar hebat dengan
lengannya. "Syd, aku akan mengurus segalanya," Emma mengulangi
sambil menekan lengan Sydney. "Kau kalut dan terguncang.
Tinggallah saja di sini, oke?"
Sydney mengangguk, giginya gemeletuk.
Emma bergegas kembali ke pohon willow. Bekerja dengan
kalut. Ia menutup lubang itu dengan lumpur lagi dan melemparkan
sekop itu ke jalan setapak.
Sydney tak bisa menghentikan tubuhnya yang gemetar. Sambil
memeluk dirinya kuat-kuat, ia berjalan sempoyongan ke sebuah pohon
terdekat. Disandarkannya tubuhnya di dahan yang dingin.
Ia mengawasi dengan ketakutan ketika Emma menelentangkan
tubuh Jason dan memegang bagian bawah lengannya.
Emma melenguh dan merenggut.
Jason meluncur beberapa kaki. Lengannya tertarik di lumpur
dan kepalanya jatuh ke belakang.
Emma menarik lagi. Kaki Jason menimbulkan suara keras
ketika Emma menarik tubuhnya melewati akar-akar pohon.
Sydney memejamkan matanya rapat-rapat. Kalau saja aku bisa
menghalangi suara mengerikan itu masuk ke telingaku, pikirnya
ketika ia mendengar napas letih Emma dan suara gedebuk kaki Jason
lagi. Kalau saja aku bisa mencegahnya sepanjang malam ini!
Semak-semak gemeresik dan ranting-ranting patah.
Sydney membuka matanya sedikit. Ia melihat Emma sedang
menarik Jason masuk ke hutan. Dalam beberapa detik, mereka tidak
terlihat lagi. Pembunuh... pembunuh... Hujan sudah berhenti. Sydney mendengar tetes demi tetes air
dari dedaunan. Dan alun yang tenang dari Fear Lake ketika angin
berembus menyeberanginya.
Kemudian ia mendengar suara lagi.
Sebuah cipratan keras yang memualkan. Emma mendorong
Jason ke dalam danau, pikirnya dengan gemetar hebat lagi.
Sydney merasa muak sampai ke perutnya. Ia bersandar ke
pohon, berusaha mengusir gambaran mengerikan itu dari benaknya.
Sudah selesai, ia tetap mengatakan pada dirinya sendiri. Sudah
selesai. Tak seorang pun akan tahu, pelakunya adalah kami.
Ia menunggu Emma kembali dengan tegang dan gemetar.
Emma akan memberitahukan kalau ia sudah selesai, pikir
Sydney. Ia akan memberitahukan bahwa segala-galanya akan beres.
"Sydney!" teriak Emma.
Sydney tahu ada sesuatu yang tidak beres. Tidak beres yang
mengerikan. Karena suara Emma yang ketakutan. "Tolong!" teriaknya.
"Sydney, tolong aku!"
Chapter 17 "SYDNEY!" Emma berteriak lagi. Suaranya lebih dekat
sekarang. Sydney bisa mendengar napasnya yang tidak teratur.
"Sydney! Tolong!"
Sydney mendorong dirinya dari pohon itu, mencoba bergerak.
Tapi kepalanya berputar dan lututnya masih gemetar. Ia bersandar ke
pohon lagi ketika Emma menghambur keluar dari hutan.
"Apa?" teriak Sydney. "Apa yang terjadi?"
Emma membungkuk ke depan dengan memegang lututnya.
"Dia..." Emma menahan napasnya. "Dia tidak mau tenggelam!" Ia meluruskan
punggungnya dan menyibakkan rambutnya yang kusut ke
belakang. "Aku harus mengikatkan sesuatu pada tubuhnya untuk
membuatnya tenggelam."
Gelombang rasa muak lain menerpa Sydney. Ia menekan rasa
muak itu dan menyandarkan keningnya ke kulit dahan pohon yang
kasar. "Aku tak bisa melakukan apa-apa," bisiknya dengan suara serak. "Ini
membuatku muak, Emma!"
"Aku tahu. Sudah kukatakan aku yang akan menanganinya, dan
aku akan menanganinya," Emma meyakinkannya. "Aku hanya
memikirkan cara untuk membuatnya tenggelam."
Berhentilah membicarakan itu, pikir Sydney ketika perutnya
bergolak dan melilit. Hentikan bicara tentang membenamkan dia!
"Aku bisa mengikatkan batu besar ke tubuhnya," kata Emma.
"Tapi aku tak punya tali atau sesuatu yang lainnya. Boleh aku
memakai itu?" Sydney mengedipkan matanya. Pelan-pelan ia mengangkat
kepalanya. "Apa?"
"Boleh kupakai sabukmu?" tanya Emma sambil menunjuk.
Sydney menunduk, melihat sabuk merah tipis yang melingkar
di jeans-nya sekilas. Gerakan kepalanya membuatnya merasa lebih
muak daripada sebelumnya.
"Boleh aku memakainya?" Emma mengulangi.
"Tentu," gumam Sydney. Ia meraba-raba gespernya. Apa pun,
pikirnya. Apa pun untuk menyudahi semua ini!
Jari-jarinya gemetar hebat, tapi akhirnya ia berhasil melepaskan
gesper itu dan menarik sabuk itu lewat lingkarannya. "Ambil ini,"
gumamnya sambil menyerahkan sabuk itu. "Maafkan aku, Emma. Sori aku tak bisa
membantu. Aku muak sekali, hingga tak bisa berpikir!"
"Tak apa-apa," sahut Emma sambil mengambil sabuk itu.
"Diamlah di sini, Syd. Aku akan kembali secepat mungkin, setelah itu kita
pulang." Emma lari ke dalam hutan. Sydney bersandar ke pohon lagi.
Begitu memejamkan matanya, bumi miring lagi dan perutnya
bergolak hebat. Sambil menjatuhkan diri berlutut, ia membungkuk di atas jalan
setapak yang berlumpur itu dan muntah-muntah sampai otot-otot
perutnya sakit. Air mata membanjir di matanya.
Ketika semuanya selesai, ia bangkit dengan gontai dan
menggapai dahan pohon. Dahan itu terasa lembap di keningnya.
Lembap dan dingin. Ia menyandarkan pipinya yang panas ke dahan itu
dan mendengar sesuatu. Suara. Paling tidak dua suara.
Jantung Sydney mulai berpacu. Ada orang lain di hutan ini, ia
sadar. Emma dan aku - kami tidak sendirian!
Chapter 18 SUARA-SUARA itu begitu jauh dari Sydney, sehingga ia tak
bisa mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.
Namun cukup keras untuk mengetahui bahwa mereka semakin
dekat. Keluar dari sini! Ia memerintahkan dirinya sendiri. Jantungnya
berpacu kencang. Lari dari sini sebelum mereka melihatmu.
Ia maju dua langkah, lalu diam membeku lagi.
Emma! Ia tak boleh meninggalkan Emma di sini!
Ketika Sydney berdiri dalam keadaan panik, tiba-tiba ia sadar
bahwa suara-suara itu telah lenyap.
Ke mana mereka pergi" Ia bertanya-tanya. Mereka datang dari
arah sini! Mereka tidak dapat lenyap begitu saja seperti itu!
Gemeresik dedaunan dan cabang-cabang yang mendadak,
membuatnya terlompat. Ia berputar dan melihat Emma berjalan
terseok-seok keluar dari hutan lebat itu.
"Emma! Terima kasih, Tuhan, kau di sini!" teriak Sydney. "Apa kau mendengar
seseorang sedang bicara?"
"Tidak." Emma terhuyung-huyung dengan kaki diseret ke
tempat terbuka. Lumpur menutupi jeans-nya. Gumpalan lumpur itu
bergantung di tangan, wajah, dan rambutnya. "Tak ada. Aku tidak mendengar apa-
apa." Sydney melihat sekelilingnya. Tak ada yang bergerak kecuali
dahan-dahan yang bergoyang tertiup angin. "Aku takut sekali. Pasti pikiranku
yang memperdaya aku."
"Mungkin." Emma melihat ke sekelilingnya dengan gugup.
"Tapi ayo kita keluar dari sini."
"Oke, tapi..." Sydney ragu. "Apakah kau..." Apakah Jason...?"
Emma mengangguk, wajahnya muram. "Dia telah pergi."
*****************************
Dua puluh menit kemudian, Sydney memarkir mobilnya di
depan rumah Emma. Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh
malam. Sydney hampir tak bisa mempercayainya. Hanya beberapa jam
yang lalu ia mengendarai mobilnya dari sini, berpikir ia akan pergi ke mal.
"Kukira..." Tenggorokan Sydney terasa kering dan ia menelan ludah. Baik ia
maupun Emma tidak bicara sejak mereka meninggalkan
hutan itu. "Kukira aku lebih baik pulang."
Emma masih tidak bicara. Sydney menatap Emma. Dalam cahaya lampu dasbor yang
suram, ia melihat air mata berkilauan di pipi sahabatnya. "Emma?"
tanyanya. "Kau tidak apa-apa"'
Emma menggelengkan kepala. "Hanya..." Ia berhenti, tersedu-sedu. "Aku
melakukannya, Syd. Aku membunuh dia!"
Ketika Emma menangis, Sydney meraih Emma dan meletakkan
tangan kanannya di bahu temannya itu.
"Aku baru saja merasakannya," Emma tersedu. "Sebelumnya aku mati rasa. Itulah
sebabnya aku bisa melakukan apa yang telah
kulakukan, kukira. Tapi sekarang aku baru merasakannya."
Sydney mengangguk, tenggorokannya kaku.
Emma berbalik di jok mobil, matanya penuh ketakutan. "Aku
telah membunuh seseorang! Dan besok pagi kita harus sekolah!
Bagaimana kita bisa ke sekolah seakan-akan tidak terjadi apa-apa?"
Sydney menekan bahu Emma. "Tak seorang pun di sekolah
akan pernah mencurigai kita, Emma," gumamnya. "Di samping itu, kita tidak punya
pilihan. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah bersikap biasa-biasa saja
sampai mereka menemukan tubuhnya."
Dengarkan dirimu sendiri, pikir Sydney. Kau baru saja
membicarakan tubuh Jason seperti kau membicarakan sepatu tua atau
sesuatu! "Kukira kau benar." Emma mengusap wajahnya lagi dan
melihat ke arah rumahnya. "Lebih baik aku masuk sekarang dan
membersihkan diri sebelum Mom pulang."
"Oke." Sydney menghela napas. "Cobalah untuk tidak cemas, Emma. Semuanya akan
beres." Tapi bagaimana itu terjadi" Sydney bertanya dalam hati ketika
ia menjalankan mobilnya dari rumah kecil itu. Kami mengambil uang


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dan menyembunyikannya. Sekarang Jason mati.
Pembunuhan. Bagaimana mungkin segalanya jadi beres"
**********************************
Sydney masuk dengan diam-diam ke dalam rumahnya. Ia
berjinjit menyeberangi serambi berlantai marmer, lalu melewati gang
yang lebar, masuk ke sayap rumahnya sebelah barat.
Suara orangtuanya yang sedang mengobrol pelan, terbawa
angin dari pintu yang terbuka sebagian dari ruang baca.
Aku tak boleh membiarkan mereka melihatku seperti ini, pikir
Sydney. Meskipun sekujur tubuhku tidak kotor, hanya dengan melihat
wajahku sekali saja, mereka akan menanyakan bermiliar-miliar
pertanyaan. Tapi ia harus membiarkan mereka tahu bahwa ia ada di
sini. Dengan cepat ia berjinjit ke tempat tangga yang
menghubungkan ke kamar tidurnya. Di pertengahan jalan, ia berhenti.
"Aku pulang!" teriaknya, suaranya dibuat bernada gembira.
"Hai, Sayang," ayahnya balas berseru. "Kau agak kemalaman, ya?"
"Ya, kurasa begitulah." Sydney mencoba memikirkan sebuah
alasan, tapi pikirannya kosong. "Maaf."
"Apa ada yang terjadi di mal?" tanya ibunya.
"Tidak banyak. Aku akan mandi dan belajar lagi. Sampai jumpa
esok pagi." Sebelum orang-tuanya memutuskan untuk keluar dan
menemuinya, Sydney bergegas naik tangga dan masuk ke kamar
tidurnya. Begitu ia menutup pintu, badannya mulai gemetar lagi.
Bayangan dan suara cipratan air melintas di benaknya - tetesan air
hujan, gemeresiknya dedaunan. Suara klang yang menakutkan ketika
sekop itu menghantam kepala Jason. Mata Jason yang terbalik ke atas
tepat sebelum ia terjungkal ke lumpur.
Sydney buru-buru masuk ke kamar mandinya dan membuka
pakaiannya yang penuh lumpur dengan tubuh masih gemetar. Ia
mengisi bak mandinya dengan air panas, menambahkan minyak
mandi beraroma mawar, lalu masuk ke dalam bak itu.
Mandi bisa menenangkan rasa gugupnya. Ia berendam berlama-
lama. Pikirkan yang lainnya, ia memerintahkan dirinya sendiri. Ia
membersihkan ranjangnya dan menyusupkan tubuhnya di bawah
selimut. Pikirkan tentang ulangan sejarah. Mungkin dengan begitu kau akan bisa
tidur. Sambil memejamkan mata, Sydney mencoba mengingat sesuatu
yang telah dipelajarinya tentang Perang Sipil dan Rekonstruksi.
Ketika bangun, yang pertama-tama dilihatnya adalah jam di
sampingnya. Jam setengah empat pagi.
Dengan menghela napas, ia berguling telentang.
Seseorang berdiri di kaki tempat tidurnya. "Mom?" tanya
Sydney, suaranya gugup dan setengah sadar. "Mom-kah itu?"
Tak ada jawaban. Sosok tubuh itu bergerak dengan ringan. Ketika ia bergerak,
seberkas sinar bulan menimpa wajahnya.
Jason! Tak mungkin! pikirnya. Tak mungkin!
Tapi itu Jason. Jason berdiri di kaki tempat tidurnya, sedang
menatapnya. Lumpur dan sampah menutupi bajunya. Sulur-sulur ganggang
yang berlumpur tergantung di rambutnya dan menutupi lehernya.
Darah yang hitam melekat di belakang kepala dan bahunya.
"Kau... kau sudah mati!" Sydney terengah-engah.
Tapi ketika Jason menunduk menatapnya, matanya hidup.
Dan menyalahkannya. Chapter 19 "TIDAK!" Sydney menjerit lagi. "Kau sudah mati! Kau sudah mati!"
Dengan terisak ketakutan, ia melemparkan tangannya untuk
menyalakan lampu di samping tempat tidurnya.
Tangannya menghantam tirai. Lampu itu bergoyang dan jatuh.
"Tidak!" Sydney turun dari ranjang. Disambarnya lampu itu
sebelum menghantam lantai.
Sydney menyalakan lampu dengan terengah-engah.
Ia mundur ke dinding sambil mengangkat lampu itu tinggi-
tinggi. "Jason?" Tak ada seorang pun di sana.
Tak ada seorang pun. "Sydney?" Ayahnya memanggil dari gang. Ia mengetuk pintu
dengan pelan. "Aku mendengar kau berteriak. Apa kau baik-baik
saja?" "Aku... aku baik-baik saja," Sydney berteriak balik dengan suara gemetar. "Aku
mimpi buruk." Tampak begitu nyata, ia berkata pada dirinya sendiri. Tapi itu
hanyalah mimpi buruk. "Sydney, apa kau yakin tidak apa-apa?" tanya ayahnya.
Tidak, pikir Sydney. Belum. Mungkin tak pernah.
"Tentu," jawabnya. "Sori aku membangunkan Dad. Selamat malam."
"Malam, Sayang."
Sydney berdiri, jantungnya masih berdegup kencang.
Tangannya gemetar ketika ia meletakkan kembali lampu itu ke atas
meja. Emma, pikirnya. Kuharap aku bisa menelepon dia.
Menceritakan apa yang kulihat kepadanya.
Sydney melihat jam. Ia sadar masih terlalu malam untuk
menelepon. Di samping itu, ini hanyalah mimpi buruk. Pasti hanya mimpi
buruk. Jason telah mati, jauh di bawah permukaan Fear Lake.
Ketika ia naik ke ranjangnya lagi, lampu dibiarkan menyala.
Sydney bertanya-tanya apakah Emma mimpi buruk juga.
*****************************
Suara dering memenuhi telinga Sydney. Dering yang
mengganggu tanpa henti. Tanpa membuka matanya, ia melemparkan tangannya dan
memencet tombol di jam alarmnya.
Aku capek sekali, pikirnya sambil menyusupkan kepalanya
dalam-dalam ke bantal. Amat capek.
Kemudian ia duduk tegak, mendadak ingat semua yang telah
terjadi. Jason! Emma membunuh Jason tadi malam. Ia mati di bawah pohon
willow. Emma mengikatkan sebuah batu di tubuhnya dan
membenamkan dia di Fear Lake. Kemudian aku mengalami mimpi
buruk yang mengerikan itu.
Dengan pelan-pelan, Sydney menatap ke kaki ranjangnya.
Jason berdiri tepat di sana, pikirnya. Berdarah dan ditutupi
lumpur. Menatap aku. Menyalahkan aku.
Matanya penuh kebencian. Cahaya matahari menyerbu masuk melalui jendela-jendela,
menghangatkan kamar tidur itu. Tapi Sydney merasa tubuhnya
menggigil. Ia menarik selimut dari kapas yang tebal menutupi
bahunya dan merapatkan lengannya, memeluk lutut.
Jason sudah mati, katanya pada diri sendiri. Ia benar-benar
sudah mati. Dengan tubuh masih menggigil, ia menyandarkan kepala ke
lututnya dan menghirup napas dengan gemetar. Apakah ia akan
bermimpi tentang Jason setiap malam"
Dering lain berbunyi di telinganya. Sydney melompat, lalu
mematikan alarm itu. Kalau ia tidak beranjak, ia akan terlambat ke
sekolah. Sekolah adalah tempat terakhir yang ingin ditujunya. Tapi ia
tahu, ia harus bersikap biasa-biasa saja.
Pura-pura semuanya baik-baik saja. Pura-pura tidak melihat
Jason mati. Tidak melihat cowok itu tertelungkup dengan wajah
mencium lumpur di bawah pohon willow.
Hentikan itu! kata Sydney kepada dirinya sendiri. Jangan
pikirkan soal itu lagi! Dilemparkannya penutup ranjangnya, lalu ia bergegas ke kamar
mandi untuk bersiap-siap. Pakaian yang dikenakannya kemarin masih
teronggok di tumpukan berlumpur di atas keramik kamar mandi.
Dengan bergidik ia menjejalkan pakaian itu ke dalam keranjang.
Setelah mandi dengan cepat, Sydney membungkus tubuhnya
dengan mantel baju mandi putih yang tebal. Ia berdiri di depan
cermin. Tampak lingkaran hitam di bawah matanya. Tangannya
gemetar ketika ia menyisir rambutnya yang basah. Kamar mandi itu
beruap, tapi ia masih menggigil.
Kau benar-benar kacau, tapi kau harus ke sekolah. Ia terus
menyemangati dirinya sendiri. Kau harus bersikap seolah-olah
semuanya berjalan normal.
Sisir itu tersangkut di rambutnya. Ia membuang sisir itu dan
bergegas keluar dari kamar mandi.
Sydney mengamati deretan panjang pakaiannya di dalam
lemari. Ia mencoba memutuskan apa yang harus dipakainya. Jeans"
Rok" Sesuatu yang berwarna-warni" Atau yang berwarna hitam"
Apa yang harus kaupakai pada hari setelah kau membantu
membunuh pacarmu" Hentikan itu! perintahnya pada dirinya lagi. Ambil saja sesuatu
dan pergilah ke sekolah. Sydney menyambar jeans dan blus berwarna kayu manis.
Ketika berjalan ke ranjang, ia berhenti.
Tidak! pikirnya. Tidak! Kupingnya berbunyi dan denyut nadinya berpacu. Sambil
menggoyang-goyangkan kepalanya, ia melangkah dua langkah lagi.
Dan menatap karpet di kaki ranjangnya.
Dilihatnya dua buah jejak kaki yang tembus ke dalam karpet
warna gading itu. Dua buah jejak kaki berlumpur.
Jejak kaki Jason. Chapter 20 "PASTI hanya mimpi, Sydney." Emma membanting lokernya
dan menguncinya. Sydney memelintir sehelai rambutnya di jari telunjuknya
dengan tegang. "Tapi bagaimana dengan jejak kaki itu, Emma?" tanyanya,
suaranya melengking. "Jejak kaki itu tidak lenyap seperti Jason. Jejak itu masih
ada di sana pagi ini, lumpur yang menetes di atas karpet!"
"Ssh!" desis Emma sambil menyentuh lengan Sydney. "Kau ingin seseorang
mendengarmu?" Sydney melihat sekeliling gang itu sekilas. Anak-anak sedang
buru-buru ke pelajaran pertama hari itu.
"Tentu tidak," bisiknya. "Tapi jejak-jejak kaki itu benar-benar membuatku
senewen, Emma. Aku tidak mimpi tentang jejak kaki itu.
Jejak itu benar-benar nyata!"
"Oke. Jejak itu ada," Emma setuju. "Aku baru sadar bagaimana jejak itu ada di
sana." "Bagaimana?" "Mudah untuk menjelaskannya. Kita berdua keluar dari hutan
yang berlumpur, kan?" Emma mengutarakan pendapatnya. "Jadi...
jejak kaki itu adalah jejakmu!"
Sydney menatap Emma. "Menurutmu begitu"
"Tentu!" Emma menekankan. "Sekujur badanku tertutup
lumpur dan segala macam kotoran ketika aku pulang tadi malam.
Pakaianku tidak keruan dan begitu juga sepatuku. Punyamu juga,
kan?" Sydney mengangguk pelan. "Tambahan lagi, kau benar-benar senewen," Emma
mengingatkan dengan lembut. "Kau tidak memperhatikan ke mana
kau berjalan atau berdiri. Kau hanya ingin melepaskan pakaian kotor
dan basah itu, kan?"
"Benar. Aku praktis histeris," Sydney mengakui. "Aku tak ingin banyak, kecuali
mandi." Ia menghela napas dengan gemetar. "Kukira kau benar. Jejak itu bisa jadi
jejak kakiku." "Jejak itu adalah jejakmu," Emma mengoreksi ucapannya. "Aku tahu itu adalah
mimpi buruk, Syd. Tapi ayolah... kita berdua tahu
mimpi itu tidak meninggalkan jejak kaki."
Emma pasti benar, pikir Sydney, ketika ia mengawasi
sahabatnya bergegas ke pelajaran pertamanya. Seharusnya ia benar....
************************ "Hei, Sydney." Tori Johnson tersenyum ketika mereka berjalan bersama-sama dari
pelajaran bahasa Inggris. "Di mana Jason?"
"Dia..." Jantung Sydney berpacu. Ia merasa wajahnya panas.
"Aku tak tahu pasti."
Tori mengangkat alisnya dengan ragu. "Kalian berdua selalu
bersama-sama. Bagaimana mungkin kau tidak tahu dia berada di
mana?" Ditatapnya Sydney seakan-akan mencari-cari jawaban di
matanya. Lalu ia tersentak sendiri. "Jangan katakan kau putus dengan Jason!"
Tidak. Aku hanya membantu membunuh dia, pikir Sydney.
Bayangan Jason sedang berdiri di ranjangnya berkelebat lagi di
benaknya. Ia mengusirnya dan memaksa tersenyum.
"Tidak, kami tidak putus," ujarnya. "Aku hanya tidak melihat dia hari ini, itu
saja. Dia pasti sedang sakit."
Tori menggangguk dan mempercepat langkahnya di gang itu.
Sydney menghela napas dan pergi ke arah yang berlawanan,
menuju lokernya. Tory bukan satu-satunya yang bertanya padanya soal Jason hari
ini. Nampaknya seolah seluruh sekolah ini ingin tahu ke mana Jason
dan kenapa mereka tidak bersama-sama.
Setiap ada yang bertanya, jantung Sydney berpacu semakin
cepat dan wajahnya merah. Ia pembohong yang payah. Ajaib jika ada
yang percaya pada kata-kata yang diucapkannya.
Seseorang menepuk bahunya. Sydney berputar kaget.
Kurt Walters, cowok sekelas di pelajaran sejarah, sedang berdiri
sambil tersenyum padanya. "Sori. Apa aku membuatmu takut?"
"Agak, sih." Sambil tertawa gugup, Sydney mulai berjalan lagi.
Kurt berjalan mengiringinya. "Ulangan sejarah tadi benar-benar
susah, ya" Bagaimana menurutmu?"
"Barangkali aku gagal," gumam Sydney.
Paling tidak, itu bukan kebohongan. Semua yang diketahuinya
tentang Perang Sipil telah lenyap dari benaknya.
"Yeah, sama dong denganku," kata Kurt. "Hei, di mana Jason?"
Jangan lagi! pikir Sydney. Kenapa aku ke sini hari ini"
Seharusnya aku tahu orang-orang akan heran kenapa Jason dan aku
tidak bersama-sama. Kurt menatapnya. "Jadi, apakah dia di sini?"
"Tidak." Sydney menggigit bibirnya dan membuang
pandangannya. Ia bertanya-tanya apakah Kurt bisa mendengar
jantungnya sedang memukul-mukul di dadanya. "Aku tidak melihat
dia. Bagaimana denganmu?"
"Kalau aku melihat dia, aku tidak akan bertanya padamu."
"Oh. Baik." Sydney memaksa tertawa. "Kupikir dia pasti sakit."
"Yeah. Kukira." Kurt menghunjamkan pandangan ingin tahu
lagi, lalu ia mengangkat bahu. "Yah, sampai nanti."
"Tentu." Ia tahu aku sedang berbohong, pikir Sydney ketika Kurt berlalu. Kurt
bisa menangkapnya!

Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sydney menghela napas. Ia sendiri yang memberitahu Emma
agar mereka bersikap normal hari ini. Tapi ia praktis kaget sekali
begitu seseorang menanyakan tentang Jason.
Akhirnya hari ini berlalu, pikirnya ketika ia sampai di lokernya.
Ia bisa pulang. Mandi yang lama lagi.
Dan berusaha melupakan Jason.
Ketika Sydney membuka lokernya, sesuatu tergelincir dari rak,
jatuh ke lantai. Ia melihat ke bawah.
Di kakinya tergeletak sebuah amplop kecil, terlipat setengah.
Hah" Ia tidak meletakkan sebuah amplop pun di sana. Mungkin
itu pamflet atau pesta diskon atau sesuatu yang lain.
Dengan perasaan ingin tahu, Sydney membungkuk mengambil
amplop itu. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang basah. Lumpur. Corengan
lumpur yang basah menutupi bagian depan amplop itu.
Sydney menggigil, ingat jejak kaki berlumpur di karpetnya.
Ambillah, katanya pada dirinya sendiri. Pagi ini hujan lagi.
Semuanya berlumpur. Sydney membalik amplop itu. Sesuatu yang berat meluncur ke
salah satu sudutnya. Ia menelusurkan jarinya di atas tonjolan itu. Yang pasti bukan
sehelai pamflet. Cepat-cepat ia menyobek amplop itu dan mengintip ke
dalamnya. Sesuatu yang keemasan berkilat-kilat ke arahnya.
Tangannya gemetar ketika ia meluncurkan benda itu ke telapak
tangannya dan menatapnya.
Sebuah cincin. Sebuah cincin Shadyside High School dengan
inisial pemiliknya terukir di bagian dalamnya.
Jason Phillips. Cincin Jason, Sydney sadar.
Aku melihatnya di tangan Jason tadi malam.
Chapter 21 RAUNGAN keras itu memenuhi telinga Sydney.
Pandangannya kabur. Gang itu mulai berputar.
Tangannya gemetar hebat sekali. Ia harus menggenggam cincin
itu erat-erat agar tidak jatuh.
Jason memakai cincin ini tadi malam! benaknya menjerit. Aku
melihat cincin ini di jarinya. Aku melihat cincin itu berkilauan ketika ia
sedang menyekop tanah di bawah pohon itu!
Bagaimana cincin ini bisa berada di sini"
Sydney membuka jari-jarinya dengan pelan.
Cincin Jason berkilauan di telapak tangannya.
"Tidak," bisiknya sambil menggoyangkan kepalanya kuat-kuat.
"Tidak!" "Sydney, ada apa?"
Sydney kaget dan berbalik dengan cepat, bahunya menabrak
pinggiran pintu lokernya yang tajam.
Emma sedang menatapnya, raut wajahnya penuh perhatian.
"Emma," Sydney berbisik dengan suara parau. "Kau tidak akan mempercayai ini."
"Percaya apa?" tanya Emma sambil mengernyitkan dahi.
"Kenapa kau, Syd" Aku melihatmu menggelengkan kepalamu dan
mengomel sendirian."
"Lihat!" Sydney membuka jari-jarinya dan menyodorkan cincin itu. "Ini cincin
sekolah Jason." Mata Emma terbelalak. "Aku menemukannya di lokerku, di dalam amp lop itu." Sydney menunjuk amplop
berlumpur yang telah jatuh ke lantai. "Lihat lumpur itu" Masih basah."
"Syd..." "Bagaimana cincin Jason ada di lokerku?" desak Sydney
dengan suara melengking. "Dia memakainya ketika dia... tadi malam!
Aku melihatnya, Emma! Aku melihatnya di tangannya, aku tahu aku
benar. Jadi, bagaimana cincin ini bisa ada di sini?"
"Sydney, tenang, biarkan aku berpikir!" Emma mengulangi
dengan tidak sabar. "Aku tak ingat melihatnya tadi malam, Syd. Apa kau yakin dia
memakainya?" "Ya, aku yakin. Yah... hampir yakin."
"Mungkin kau hanya berpikir bahwa kau melihatnya," Emma
memberi pendapat. "Lagi pula, Jason bisa saja meninggalkan cincin itu di sini
kemarin. Dia biasa memakai lokermu sebelumnya, kan?"
"Benar, tapi..."
"Dan ruang olahraga itu dekat gang ini," Emma melanjutkan.
"Mungkin dia meletakkannya di sini sebelum pelajaran olahraga. Kau tahu, jadi
dia tidak akan kehilangan cincin itu."
"Tapi, Emma, aku pergi ke lokerku dua kali hari ini," Sydney mendebat. "Dan
amplop itu tidak ada di sana!"
"Apa kau yakin?"
Sydney memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat. Ia
pergi ke lokernya tadi pagi, menggantungkan jaketnya, mengeluarkan
beberapa buku catatan. Lalu setelah makan siang, ia meletakkan buku-
buku catatan pagi itu dan mengambil buku-buku yang dibutuhkannya
untuk pelajaran siang hari.
"Bagaimana?" tanya Emma.
"Aku agak yakin cincin itu tidak di sana," kata Sydney
kepadanya. Ia menghela napas. "Tapi... tapi... aku tidak yakin apa pun lagi!"
"Jadi, aku bertaruh cincin itu ada di lokermu selama ini," Emma memutuskan.
"Cincin itu mungkin tersangkut di buku atau sesuatu."
"Apakah kau berpikir begitu?"
"Ayolah. Cincin itu harusnya ada di sana!" Emma menekankan.
"Tak ada penjelasan lain."
Sydney menatapnya, masih gemetar. "Pertama jejak kaki
berlumpur," gumamnya. "Sekarang ini. Kupikir..."
"Hentikan memikirkan soal itu." Emma menekan lengannya.
"Kau sedang senewen, Sydney. Kau harus menguasai diri!"
"Aku sedang mencoba!" teriak Sydney. "Tapi setiap orang tetap menanyai aku
tentang..." Ia melihat ke sekelilingnya dan memelankan suaranya. "...Tentang
Jason. Di mana dia" Kenapa dia tidak
bersamaku" Itu membuatku gila! Dan sekarang aku menemukan
cincin sekolahnya ada di lokerku!"
"Aku tahu. Tapi cincin itu pasti sudah ada di sana dan kau tidak melihatnya."
Emma menekan lengan Sydney lagi. "Itulah yang terjadi, Syd. Kumohon jangan
berantakan begitu! "
Sydney memaksa dirinya menghirup napas dalam-dalam.
Emma barangkali benar tentang cincin itu, pikirnya. Ia benar sekali
soal senewen itu. Kau harus bisa menguasai diri, Sydney memerintahkan pada
dirinya sendiri. Kau harus menguasai diri!
Sydney memasukkan cincin Jason ke dalam saku celananya.
Lalu ia menggarukkan jari-jarinya di rambutnya dan memaksakan diri
untuk tersenyum. "Aku lebih baik sekarang," gumamnya. "Aku akan baik-baik saja."
"Bagus." Emma balas tersenyum. "Ayolah. Kita keluar dari sini.
Hari ini hari yang paling buruk. Keadaan akan lebih baik setelah ini."
Kuharap begitu, pikir Sydney. Aku tak bisa menjalani lebih
banyak hari lagi seperti ini.
Sydney menyambar jaketnya. "Apa kau ingin aku mengantarmu
ke Cineplex?" tanyanya ketika mereka berjalan di gang itu.
"Tidak. Tapi kau bisa memberi aku tumpangan pulang," sahut Emma.
"Apa kau tidak bekerja?"
"Aku menelepon dan mengatakan kepalaku masih sakit." Emma
menyentuh kepalanya dan mengedipkan matanya. "Tidak bohong
juga, sih. Kepalaku berdenyut-denyut setiap saat. Aku akan berbaring begitu tiba
di rumah." Aku juga, pikir Sydney sambil membuka pintu yang menuju
lapangan parkir untuk murid. Aku akan mandi air panas, setelah itu
aku akan tidur siang. Aku hanya berharap bahwa aku tidak mimpi tentang Jason.
Awan menutupi langit di luar, tapi hujan telah berhenti. Sydney
dan Emma melompati genangan air, bergegas menuju lapangan parkir.
Emma membuka pintu mobil dan melemparkan tas
punggungnya ke dalam. "Oh, tidak!" ia megap-megap.
"Apa" Apa yang tidak beres?" teriak Sydney. Wajah Emma
pucat. Jari-jarinya gemetar ketika ia menunjuk. "Lihat!"
Sydney menatap mobilnya. Dan merasakan gelombang dingin rasa takut berdesir di
punggungnya. Sebuah sekop berlumuran lumpur tergeletak di jok itu.
Tapi bukan hanya lumpur, Sydney sadar. Percikan darah.
Darah merah tua, masih bersinar dan basah, berlumuran di
sekop itu dan menetes ke bantal jok mobilnya yang berwarna beige
pucat. Chapter 22 SYDNEY menatap Emma dengan tidak percaya. "Tapi... tapi...
bagaimana sekop itu ada di sini?" katanya dengan terbata-bata.
"Kenapa sekop itu ada di mobilku?"
"Aku tidak tahu.." Emma meratap. "Aku... aku tidak
meletakkannya di sana tadi malam!"
"Apa maksudmu?" Sydney mendesak. "Kauapakan sekop itu tadi malam" Apa kau tidak
menyembunyikannya?" "Biar kuingat-ingat!"
Emma memejamkan matanya. "Setelah memukul Jason, aku
melemparkan sekop itu," katanya pelan. "Aku... aku lupa semua tentang itu. Aku
tak pernah kembali dan mengambilnya lagi."
"Jadi, bagaimana sekop itu bisa ada di mobilku?" Sydney
menuntut. "Sudah kukatakan, aku tidak tahu!" teriak Emma. Ia menoleh memandang sekop itu
sebentar, kemudian terengah-engah. "Sydney, seseorang pasti telah melihat kita!"
Desiran rasa takut yang lain menghantam punggung Sydney.
"Kau mendengar suara-suara, kan?" tanya Emma. "Ketika aku kembali dari mengubur
Jason di dalam danau itu, kau memberitahu
aku bahwa kau mendengar orang sedang bicara, ingat?"
"Aku ingat." Sydney merapatkan rahangnya, mencegah agar
giginya tidak gemeletuk. "Kupikir kau cuma senewen," Emma melanjutkan. "Tapi aku keliru. Kau benar, Syd.
Pasti ada orang lain di hutan itu."
Seseorang sedang mengawasi kita, Sydney berpikir dengan
perasaan ngeri. Sedang bersembunyi dan mengawasi.
"Siapa pun yang menemukan sekop itu, Syd!" teriak Emma,
"mereka meletakkannya ke dalam mobilmu untuk menakut-nakuti
kita!" "Menakuti-nakuti kita" Kenapa?" Sydney berbisik dengan suara serak. "Maksudku,
apa kaupikir mereka melihat apa yang terjadi
dengan Jason" Atau apa mereka hanya menemukan sekop itu setelah
mereka melihat kita melarikan diri" Kenapa mereka meletakkannya di
dalam mobilku" Apa yang mereka inginkan?" Ia tak bisa
menyembunyikan rasa paniknya. Suaranya nyaring dan melengking.
"Kita harus menunggu dan mencari tahu, kukira," jawab Emma dengan ngeri. "Aku
ketakutan, Syd." Aku juga, pikir Sydney. Tapi aku tidak hanya ketakutan. Aku
ngeri sekali. Ia melihat ke dalam mobilnya lagi.
Sekop itu masih tergeletak di sana, mencorengkan lumpur dan
darah ke bantal jok. Sambil berteriak ia menyambar sekop itu. Ditariknya sekop itu
keluar dari mobil, lalu dilemparkanrtya ke dalam bagasi.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?" tanyanya tanpa bernapas sambil duduk
di jok pengemudi "Aku tak yakin," sahut Emma. Ia mengelap lumpur itu dari jok dan masuk ke mobil.
"Tapi kita berdua begitu ketakutan, sehingga tak bisa berpikir
jernih sekarang. Mungkin kita bakal melakukan sesuatu yang tolol.
Ayo ke rumahmu saja untuk menenangkan diri. Lalu kita bicarakan
apa yang harus kita lakukan."
"Oke." Tangan Sydney gemetar hebat ketika memasukkan
kunci ke starter. Akhirnya ia berhasil setelah tiga kali menstrater. Mesin
menderum hidup. Ketika menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir, ia
menginjak gas kuat-kuat, sehingga kepalanya membentur atap mobil.
"Pelan, dong!" Emma memperingatkan. "Jangan sampai kau ditilang karena kecepatan
yang melampaui batas!"
Ia benar, Sydney tahu. Kalau aku berhenti sekarang, aku akan
berantakan sekali. Diliriknya Emma sambil mengurangi gas. "Apa sebaiknya kita
mengambil sekop itu dan menyembunyikannya ke suatu tempat?"
tanyanya. "Mungkin sebaiknya kita kuburkan saja" Atau
membersihkan darahnya, kemudian membawanya ke rumahku lagi?"
Emma menggelengkan kepala. "Seseorang mungkin sedang
mengawasi kita, ingat?"
Perut Sydney melilit. Jantungnya memukul-mukul. Ia
mengangkat matanya ke kaca spion.
Mobil biru itu menguntit di belakangnya. Apakah mobil itu
sudah ada di sana selama ini"
Mata Sydney terpaku di cermin. Ia mengemudikan mobilnya ke
arah utara, menuju Park Drive.
Mobil biru itu tetap mengikutinya.
Keringat muncul di keningnya. Ia mencengkeram setir dan
memaksa dirinya agar tidak menginjak pedal gas sampai ke lantai.
Satu blok. Dua blok. Mobil biru itu menguntitnya.
Sydney membelok ke North Hills, wilayah Shadyside juga.
Mobil biru itu mengikuti.
Siapa dia" ia bertanya dalam hati. Seseorang yang melihat kami
di hutan" "Emma?" akhirnya ia bergumam. "Perhatikan mobil biru di belakang
kita." Emma berbalik di joknya dengan cepat. "Mobil biru yang
mana?" Sdyney melihat ke cermin.
Di belakangnya terhampar jalanan yang kosong.
"Mobil itu di sana!" Sydney bersikeras.
"Aku percaya padamu," ujar Emma. "Apakah mobil itu
membuntuti kau atau ada maksud lain?"
"Tidak. Aku hanya berpikir mobil itu sedang mengikuti kita.
Aku... kukira aku merasa gila total." Sambil menghela napas lega, Sydney
menyetir dengan hati-hati menuju North Hills.
Sepuluh menit kemudian, ia memarkir mobilnya ke dalam
garasi. Ia dan Emma masuk ke rumahnya.
Orangtuanya belum pulang, terima kasih, Tuhan.
Surat-surat hari itu tergeletak di meja serambi. Surat-surat itu
terbagi dalam tiga buah tumpukan - milik Sydney, ibunya, dan
ayahnya. Sydney mengambil tumpukan miliknya, kemudian mengajak
Emma masuk ke dapur. Diambilnya dua kaleng soda dari kulkas.
"Ayo. Kita ke kamarku sebelum orang lain pulang. Aku tidak ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keadaanku hari
ini dan bagaimana ulangan sejarahku!"
Di dalam kamar tidurnya, Sydney melemparkan tas ransel dan
surat-suratnya. Surat-surat itu bertebaran di permadani. Sebuah
majalah. Tagihan untuk asuransi mobilnya. Dan sebuah amplop putih
polos yang tidak ada alamat pengirimnya.
Dengan rasa ingin tahu, diambilnya amplop itu. Ia meletakkan
kaleng sodanya di meja kecil dekat tempat tidur, kemudian duduk di
ranjang dan menyobek amplop itu.


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalamnya ada sehelai kertas putih dilipat jadi dua.
Ketika Sydney membukanya dan membaca kata-kata yang
diketik, gelombang rasa pusing membasuhnya.
"Ada apa?" tanya Emma. "Wajahmu jadi putih sekali."
Masih pusing, Sydney menjilat bibirnya dan menggenggam
surat itu erat-erat. "Syd" Ada apa?" Emma mengulangi. "Apa isinya?"
Sydney membersihkan tenggorokannya. "Aku melihatmu di
hutan," ia membaca dengan suara gemetar. "Aku tahu namamu.
Namamu adalah Pembunuh."
Chapter 23 SYDNEY mendengar desingan di telinganya, seakan-akan ia
berada di dalam sebuah terowongan angin. Dibiarkannya catatan itu
jatuh dari tangannya. Ia menatap Emma yang ada di seberang kamar.
Emma balas menatap. Matanya yang biru terbelalak ketakutan.
Untuk sementara tak seorang pun di antara mereka yang bicara.
Akhirnya Sydney berbisik, "Ini bukan mimpi buruk. Dan aku
tidak gila. Ini benar-benar terjadi!"
Emma mengambil catatan itu dan membacanya sendiri.
Sydney menarik tungkainya ke atas ranjang. Dipeluknya
lututnya dengan lengannya.
"Apa yang akan kita lakukan?" teriaknya dengan suara parau.
"Seseorang tahu apa yang terjadi, Emma! Seseorang tahu bahwa kita telah membunuh
Jason!" Emma menggarukkan jari-jarinya menyusuri rambut pirangnya
yang panjang. "Tak seorang pun bisa membuktikan kita membunuh
dia," ujarnya. "Maksudku, Jason bahkan belum diketemukan. Dan bila dia
diketemukan, kita masing-masing mengatur alibi."
"Tapi, Emma," teriak Sydney. "Kalau seseorang sedang
mengawasi kita, mereka pasti tahu di mana kau meletakkan tubuh
Jason!" Emma tidak bereaksi, tapi wajahnya berubah pucat. Ia meremas
catatan itu dan melemparkannya ke dalam keranjang sampah.
Sydney tidak bisa duduk diam. Ia turun dari ranjang dan mulai
berjalan mondar-mandir di kamar itu sambil memelintir sehelai
rambut di jarinya. "Sydney, duduklah," Emma memohon. "Kau membuat aku
tambah gugup!" "Aku tidak tahan." Sydney mondar-mandir lagi, lalu berhenti mendadak. "Sabukku!"
Ia terengah-engah sambil berputar menghadap Emma.
"Hah" Kenapa sabuk itu?"
"Kau memakainya untuk mengikat batu di tubuh Jason. Emma,
kita harus kembali mengambil sabukku sebelum orang lain
menemukannya!" "Tidak!" teriak Emma. "Kita tidak akan kembali ke danau itu.
Kuberitahu kau, Syd, siapa pun yang mengirim surat itu tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Mereka hanya menggertak saja!"
"Apa yang membuatmu begitu yakin?" desak Sydney.
"Aku... yah," Emma akhirnya menggelengkan kepalanya.
"Kukira aku tak bisa positif," ia mengakui.
"Jadi, kita harus kembali!" Sydney mengulangi. "Kita harus mengambil sabukku.
Lalu kita harus menyembunyikan tubuh itu ke
tempat lain!" *****************************
Setengah jam kemudian, Sydney mengikuti Emma melewati
rumput-rumput yang rimbun dan semak-semak, menuju Fear Lake.
Aku tak pernah begini ketakutan selama hidupku, pikirnya.
Ketakutan untuk menggerakkan Jason. Menyentuh mayatnya.
Ketakutan tertangkap. Sesuatu menyentuh wajahnya. Ia melompat ke belakang sambil
berteriak. Emma melihat lewat bahunya. "Hanya dahan pohon, Syd. Ayo.
Kita hampir sampai."
Sydney memaksa diri untuk melanjutkan perjalanannya. Aku
tak percaya bahwa aku melakukan ini, pikirnya. Aku tak percaya, aku
menempatkan diriku sendiri dalam kekacauan ini karena uang yang
konyol itu! Di depan, Emma mendaki sebuah kayu tumbang, kemudian
menghilang ke dalam semak-semak tebal.
Sydney bergegas mengejarnya. Ia melompati kayu itu, lalu
menerobos semak-semak rimbun, muncul di sisi Emma.
Sepuluh kaki di depan mereka terhampar Fear Lake.
Angin sepoi-sepoi meniup air itu, membentuk gelombang-
gelombang kecil yang mengalun ke garis pantai.
Hari sudah sore. Awan memenuhi langit. Air Fear Lake
memukul-mukul lembut, gelap dan dingin.
Sydney menatap air itu. Jantungnya berdebar-debar.
"Apa kau yakin ini tempat yang benar?" bisiknya.
Emma mengangguk. "Aku ingat kayu di belakang sana. Aku
harus menarik tubuh Jason memutarinya. Apa tidak kaulihat
bagaimana rumput-rumput itu menjadi rata?"
"Tidak." Sydney merinding dan memeluk dirinya sendiri. "Aku tidak
memperhatikannya dengan sungguh-sungguh."
"Oke. Ayo menuntaskan pekerjaan kita." Emma menghela
napas dalam-dalam, lalu melangkah ke pinggir danau.
Sydney mengikuti, lututnya terasa seperti agar-agar. "Berapa
jauh kaubawa dia?" tanyanya.
"Tidak jauh sih," sahut Emma. "Ada sebuah jalan kecil yang menurun. Kau merasa
seperti sedang menuruni sebuah bukit. Tapi
sebenarnya hanya beberapa kaki ke bawah, semacam birai di bawah
air. Aku menggelindingkan dia ke bawah ke birai itu. Ayo."
Mereka melepaskan sepatu dan kaus kaki di pantai,
menggulung jeans, lalu menceburkan diri ke air yang dingin sekali.
Sydney menggigil lagi ketika pergelangan kakinya dililit
benang-benang ganggang. Apakah Jason tertutup ganggang" ia bertanya-tanya.
Apakah ikan-ikan telah menemukannya" Apakah ia akan
menggembung dan digigit, seperti mayat-mayat di film"
Jangan pikirkan soal itu, katanya pada dirinya sendiri. Kau akan
gila kalau memikirkan soal itu.
Ia menyingkirkan sampah yang berlumpur itu dan berjalan maju
dengan terseok-seok. Ketika air hampir mencapai lututnya. Emma berhenti. "Di sini
tempatnya," ia memberitahu Sydney.
Ia menunjuk ke sebuah gudang kayu tua yang tidak jauh dari
tempat mereka berdiri. "Aku ingat melihat dermaga itu ketika aku keluar dari
sini. Kita berada di tempat yang persis sama sekarang."
"Oke. Ayo kita kerjakan."
Sydney menggulung lengan bajunya ke atas, lalu memasukkan
tangannya ke dalam air. Jari-jarinya mencengkeram tumpukan
sampah, lembut dan berlendir.
Ia memasukkan kedua lengannya lebih dalam lagi. Batu karang,
Pasir. Lebih banyak sampah lagi.
Tak ada Jason. Ia mendongak memandang Emma. "Apa kau menemukan dia?"
"Belum." Rambut Emma yang panjang menyebar ke air ketika ia
membungkuk. Ia memasukkan kedua lengannya ke tempat yang lebih
dalam. Setelah beberapa saat, ia meluruskan punggungnya. Air
menetes-netes dari rambutnya. Tangannya tidak memegang apa-apa
kecuali ganggang. "Seharusnya dia berada tepat di sini!" teriaknya. "Di tempat inilah aku
meletakkannya." Sydney mencebur lebih dalam, sampai air mencapai setengah
pahanya. Kita harus mendapatkan sabukku lagi sebelum tubuhnya
diketemukan! pikirnya. "Dia tak mungkin berada lebih jauh lagi!" Emma terengah-
engah sambil berjalan dengan susah payah melewati air setinggi
bagian atas pinggangnya. "Tak ada pasang atau apa-apa."
"Aku tahu. Kita akan menemukan dia," ujar Sydney, giginya
gemeletuk. "Kita harus menemukan dia!"
Langit semakin gelap. Kaki Sydney terasa seperti balok es.
Tangan dan lengannya menjadi kebas.
"Aku tidak mendapatkannya," Emma menghela napas. "Aku tidak mengerti, kenapa
kita tidak dapat menemukan dia!"
Sekujur tubuh Sydney gemetar kedinginan. Ia menatap ke air
yang kelam itu. Tak ada gunanya meneruskan pencarian, ia sadar.
Jason tidak di sini. Tubuhnya lenyap! Chapter 24 "ADA yang memindahkan tubuhnya," kata Emma ketika
Sydney menyetir menjauhi Fear Lake. "Itu satu-satunya penjelasan."
Sydney menyalakan pemanas dan mencengkeram setir erat-erat.
Emma benar, pikirnya. Seseorang menemukan tubuh Jason dan
membawanya keluar dari danau.
Tapi siapa" Dan mengapa"
"Bukan polisi yang melakukan," kata Emma, seakan ia bisa
membaca pikiran Sydney. "Kenapa tidak?"
"Karena polisi pasti telah memberitahu orangtuanya. Semua
orang akan tahu bahwa Jason mati. Mereka akan mengajukan macam-
macam pertanyaan ke semua tempat," jawab Emma. "Siapa yang terakhir melihat dia"
Siapa yang bersama dia" Mereka sudah mencari
kita." Sydney meninggikan suhu pemanas. Udara panas menyembur,
tapi ia masih tak bisa menghentikan tubuhnya yang menggigil.
"Kalau begitu, pasti siapa saja yang melihat kita tadi malam,"
ia bergumam lewat giginya yang dirapatkan.
"Yeah." Emma merosot di jok penumpang, diletakkannya
tangannya di depan vent pemanas. "Apa kaupikir ada seseorang yang mengejar uang
itu?" tanyanya. "Tak seorang pun tahu uang itu ada di sana, kecuali kita,"
Sydney mengingatkan dia. "Siapa pun yang ada di hutan tidak
melihatnya." "Mungkin Jason memberitahu seseorang tentang uang itu,"
Emma memberi pendapat. "Kau memberitahu Jason, ingat" Bisa saja dia memberitahu
orang lain. Aku bertaruh dia melakukannya," ia
menambahkan dengan tertawa pahit. "Aku bertaruh dia membual
tentang uang itu kepada seseorang! Bagaimana menurutmu, Syd?"
"Aku tidak tahu," jawab Sydney pelan. "Aku tak punya ide apa yang terjadi!"
Satu-satunya hal yang aku tahu pasti, yaitu semuanya telah
berjalan keliru, pikirnya. Salah besar.
**************************
Setelah menurunkan Emma di rumahnya, Sydney menyetir
mobilnya pulang dengan linglung. Begitu ia memarkir mobilnya di
garasi, semangatnya hilang.
Mobil orangtuanya sudah ada di sana.
Aku tak bisa menghadapi Mom dan Dad sekarang, pikirnya.
Aku tak bisa. Aku sama sekali tidak bisa mengarang alasan karena
basah kuyup dan tertutup lumpur danau!
Dengan melambatkan mobilnya masuk ke garasi, Sydney
mematikan mesin, lalu keluar.
Ia membiarkan pintu garasi terbuka, jadi suaranya tidak akan
terdengar orangtuanya. Kemudian ia berjalan ke belakang garasi,
memutari kolam, menuju ke sayap barat rumahnya.
Sambil berdiri di rumput yang basah, ia melihat ke atas ke
balkon kayu yang menonjol dari kamar tidurnya.
Ada tangga menuju balkon itu, dan pintu kaca sorong
menembus ke kamarnya. Tolong jangan biarkan pintu itu terkunci! ia memohon dengan
diam-diam. Sambil menjinjing sepatunya, Sydney berjinjit dengan cepat
menaiki tangga menuju balkon.
Telepon berdering di dalam rumah.
Jantung Sydney berpacu ketika ia mendengar langkah kaki.
Kemudian suara ibunya terbawa dari jendela yang terbuka.
Ia sedang bicara dengan nenekku, Sydney sadar. Mereka akan
menelepon paling tidak setengah jam. Dad barangkali akan main catur
sendiri di komputer, seperti yang biasa dilakukannya sebelum makan
malam. Sydney lari menyeberangi balkon dan membuka pintu sorong
dengan pelan-pelan. Pintu itu meluncur terbuka tanpa bersuara di relnya. Sambil
menghela napas lega, Sydney melangkah masuk ke kamar tidurnya.
Tanpa menyalakan lampu lebih dulu, ia bergegas masuk ke
kamar mandinya. Ia mandi dengan air paling panas yang bisa ditahan
tubuhnya. Akhirnya ia merasa hangat. Ia mengeringkan tubuhnya dan
mengenakan baju mandi putih yang tebal.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, seseorang mengetuk
pintunya dengan pelan. "Sydney?" panggil ibunya. "Kau ada di sana?"
"Ya, aku baru selesai mandi." Sydney berjalan ke pintu, lalu berhenti.
Ia tidak basah lagi. Tapi ia tahu wajahnya akan memperlihatkan
ada yang tidak beres. "Aku masuk lewat balkonku karena sepatuku berlumpur."
"Baik. Ayahmu dan aku akan menghadiri makan malam untuk
pengumpulan dana kira-kira satu jam," kata ibunya. "Kau harus menyiapkan makan
malammu sendiri." "Oke." Sydney merasakan gelombang rasa mual jika
memikirkan makanan. "Bagaimana ulanganmu?"
Benak Sydney menjadi kosong. Tes apa" "Aku yakin hasilmu
bagus," ibunya berteriak. "Sejarah adalah mata pelajaranmu yang terbaik."
Betul. Sejarah. "Agak susah, sih," sahut Sydney. "Omong-omong, Mom, aku capek. Kupikir aku akan
istirahat sebentar."
"Baiklah. Aku akan memberitahumu kalau kami pergi."
Terima kasih, Tuhan. Ibuku bukan tipe yang suka menyerobot
masuk, pikir Sydney. Tapi ia tahu ia tak bisa mengasingkan diri di
dalam kamarnya selamanya.
Jangan cemaskan soal itu sekarang, ia berkata pada dirinya
sendiri. Kau tak perlu cemas soal itu.
Sydney cepat-cepat beranjak ke ranjangnya dan menyalakan
lampunya. Cahaya lembut memancar ke atas selimut kapas tebal berwarna
hijau dan binatang-binatang mainan yang ditumpuk di atas bantal-
bantal. Sydney meraih Goldy - sebuah boneka beruang cokelat yang
gemuk, miliknya sejak ia masih berumur tiga tahun.
Ketika Sydney mengangkat beruang itu dari ranjangnya, ada
benda lain yang ikut terangkat.
Sesuatu yang panjang dan merah, diikat di seputar kaki Goldy.
Sydney sesak napas ketika menatap benda itu.
Sabukku! ia sadar. Sabuk merahku! Sabuk yang dipakai Emma untuk mengikat batu ke tubuh Jason.
Siapa yang meletakkannya di sini" Siapa yang mengikatnya di
kaki Goldy dan meletakkannya di dalam kamarku"
Dengan berteriak, Sydney merenggut sabuk itu. Ketika ia
melakukannya, sesuatu berwarna putih melayang jatuh dan mendarat


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di ranjangnya. Secarik kertas putih lain, dilipat jadi dua. Mulut Sydney
menjadi kering. Jantungnya mulai memukul-mukul.
Ia mengambil kertas itu dan membukanya. Di dalamnya ada
pesan sepatah kata : PEMBUNUH.
Tapi pesan ini ditulis dengan tangan. Denyut nadi Sydney
terdengar seperti geledek di telinganya ketika ia menatapnya. Ia
mengenali tulisan itu. Ia tahu siapa yang menulis catatan itu. Jason...
Chapter 25 JERITAN ketakutan naik ke tenggorokan Sydney. Tubuhnya
limbung. Pesan itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke ranjangnya.
Mendarat di sebelah sabuk merah itu.
Sydney membenamkan diri ke ranjang, muak dan ketakutan.
Ketika ia menjatuhkan diri di bantalnya, tangannya memukul-mukul
dan menghantam telepon. Emma! pikirnya sambil meloncat berdiri. Aku harus
memberitahu dia! Ia mencengkeram telepon itu dan menariknya dari meja.
Nomor-nomor di situ tampak kabur di depan matanya.
Akhirnya ia menekan nomor Emma. "Halo?" suara Emma
terdengar hati-hati. "Emma, ini aku!" teriak Sydney, suaranya gemetar.
"Syd, aku senang sekali kau..."
"Emma, aku tahu apa yang terjadi!" Sydney menyela. "Aku tahu siapa yang
mengirimkan pesan itu dan cincin di dalam lokerku!
Aku...." "Syd, tenang, dong!" Emma mendesak. "Kau terlalu cepat. Aku tak bisa mengerti
maksudmu." Sydney menahan isaknya. Ia memaksa dirinya menghela napas
dalam-dalam. Akhirnya ia bisa bicara lagi.
"Ingat sabuk merahku?" tanyanya. "Sabuk yang kaupakai untuk mengikat batu ke
tubuh Jason?" "Ya. Tentu saja."
"Sabuk itu ada di sini, di dalam kamarku!" teriak Sydney. "Aku baru saja
menemukannya. Seseorang mengikatkannya di kaki Goldy."
"Kaki siapa?" "Goldy, bonekaku yang lama... Oh, apa bedanya" Sabuk itu ada
di sini!" teriak Sydney. "Dan ada sebuah pesan juga. Katanya
'Pembunuh.'" Emma terengah-engah. "Seseorang meletakkan sabuk dan pesan itu di kamarku... aku
tahu siapa yang melakukannya!" ujar Sydney.
"Siapa?" Emma mendesak ingin tahu.
"Jason." Emma terengah-engah lagi. "Stop! Sydney..."
"Dengarkan aku!" Sydney melompat berdiri. Ia mulai berjalan mondar-mandir di
dekat ranjangnya. "Pesan itu adalah tulisan tangan Jason, Emma! Aku mengenalinya
di suatu tempat!" Emma tetap diam. "Apa kau tidak mengerti?" Sydney melanjutkan. "Ini bukan perbuatan seseorang
yang melihat kita di dalam hutan. Ini Jason
sendiri." Suaranya meninggi. "Dia sudah mati, benar, kan" Emma" Kau
yakin dia sudah mati?"
"Ya. Dia sudah mati," Emma menjawab dengan berbisik.
Sdyney diam sejenak. "Apa kau percaya pada hantu?" tanyanya dengan suara kecil.
"Aku tidak tahu."
"Syd, aku hampir meneleponmu," Emma menyela. "Aku juga menerima pesan. Dengan
kata yang sama - 'pembunuh.'"
"Kaulihat?" teriak Sydney. "Itu dia. Itu Jason! Siapa lagi yang bisa
melakukannya?" "Seseorang dari sekolah," jawab Emma. "Seseorang yang diajak bicara oleh Jason.
Itulah yang terpikir olehku begitu aku melihat pesan ini."
"Bagaimana dengan tulisan tangan itu?"
"Seseorang menirunya," Emma menjelaskan. "Sekarang dengar, Syd. Kita harus
mengungkapkan ini. Seseorang ingin menakut-nakuti
kita habis-habisan. Kita tak boleh histeris. Kita harus berpikir."
"Aku tak bisa!" teriak Sydney, suaranya bahkan lebih tinggi.
"Aku hampir tak bisa bernapas! Aku hampir pingsan ketika kulihat pesan itu,
Emma! Aku takut sekali, dan aku tak tahu apa yang harus
kulakukan!" "Aku akan ke sana," kata Emma. "Aku akan meminjam mobil tetanggaku. Tunggu aku
di sana!" Setelah Emma menutup teleponnya, Sydney memegang
pesawat telepon itu sampai bunyi bip mengagetkannya. Ia meletakkan
telepon itu dan mulai berjalan mondar-mandir di kamar itu lagi.
Setiap ia menoleh, dilihatnya sabuk merah dan kertas putih
kecil yang tergeletak di ranjang di sebelah Goldy.
Aku harus keluar dari sini! pikirnya. Aku tak tahan di dalam
kamar ini. Masih mengenakan mantel mandi, Sydney menarik pintu
sorong itu, lari ke tangga balkon dan memutari rumah itu, menuju
garasi, untuk menunggu Emma.
Cepat, Emma! pikirnya sambil berjalan mondar-mandir dengan
kaki telanjang di batu-batuan bulat yang kasar. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku
akan menjerit selama beberapa detik!
Akhirnya lampu besar melingkari pojokan rumah itu. Sebuah
mobil cokelat gelap berhenti. Emma keluar. Sydney lari dan memeluk
sahabatnya. "Syukurlah kau di sini!" teriaknya sambil memeluk Emma erat-erat. "Aku begitu
ketakutan!" "Ssh," Emma bergumam. Ia memeluk Sydney dengan
lengannya. "Syd, apa yang kaulakukan di luar seperti ini" Rambutmu basah dan kau
bertelanjang kaki." "Menunggu. Aku tak bisa menunggu di dalam," sahut Sydney.
"Aku mandi. Itulah sebabnya rambutku basah. Lalu aku keluar dari kamar mandi,
dan saat itulah aku menemukan... sabuk dan..." Ia
berhenti. Emma menekan lengannya. "Syd, tolong. Usahakan untuk
bertahan." "Aku sedang mencoba," Sydney sesak napas. "Tapi aku begitu ketakutan. Kau tidak,
ya" Pertama cincin sekolah Jason. Dan sekarang sabuk itu - bagaimana sabuk itu
sampai di sini?" Ia bergidik. " Apakah kau percaya pada hantu, Emma" Aku tak pernah
percaya. Tapi sekarang..."
Emma memegang kedua lengan Sydney lagi. "Kau harus tegar,
Syd," ujarnya. Matanya yang biru nampak cemas. "Kau benar-benar putus asa. Kau
kelihatan kacau. Dan kau tidak masuk akal."
"Aku tidak tahan!"
"Kau harus bertahan!" Emma menguncangkan Sydney dengan
pelan, lalu merangkul bahunya. "Ayo ke kamarmu, oke" Tunjukkan
sabuk dan pesan itu."
Sydney menghela napas dalam-dalam dan mengangguk. "Oke.
Tapi kita harus lewat balkonku. Aku tak ingin orangtuaku tahu."
"Tentu saja tidak," Emma mengiyakan. Ia memegang lengan
Sydney dan menuntunnya naik tangga ke balkon.
Emma mendorong pintu sorong itu lebar-lebar. Kemudian ia
menarik lengan baju Sydney dengan lembut. "Ayolah, Syd. Tunjukkan sabuk itu."
Sydney melangkah dengan ragu lewat pintu. Matanya langsung
tertuju ke ranjang. "Oh, tidak! Aku tak percaya!" teriaknya.
Chapter 26 "BARANG-BARANG itu hilang!"
Sydney menghambur ke ranjangnya. "Sabuk itu. Catatan itu.
Keduanya lenyap, Emma!"
"Kau... kau meninggalkannya di ranjang?" Emma gemetar.
Sydney mengangguk. Ia meneliti karpet. Kosong.
Ia lari ke sisi ranjang yang lain, berlutut, dan mencari-cari di
bawahnya. Tak ada catatan. Tak ada sabuk.
"Persis ada di sini!" Sydney menekankan sambil
menghantamkan kepalan tangannya di atas kasur. "Emma, barang-
barang itu benar-benar ada di sini sepuluh menit yang lalu."
Emma berjalan ke ranjang dan mengambil boneka beruang yang
ada di situ. "Itu Goldy," kata Sydney kepadanya. "Sabuk itu diikatkan di kakinya. Lihat
lumpur itu" Sebagian lumpur melekat di bulunya. Apa
kau melihatnya?" Emma mengecek kaki dan tangan beruang itu. Lalu ia menoleh
kepada Sydney. "Aku tidak melihat lumpur di tubuhnya."
Sydney menarik beruang itu dari tangan Emma dan memeriksa
masing-masing kakinya dengan teliti.
Tak ada lumpur. Ia melemparkan beruang itu ke seberang kamar. Beruang itu
mendarat dengan pelan di dekat pintu.
"Tidak masuk akal," ia terengah-engah. "Aku yakin apa yang kulihat. Mereka tak
bisa hilang begitu saja."
Sydney mencari catatan dan sabuk itu dengan kalut. Diraupnya
binatang-binatang mainan yang diisi kapuk itu, lalu dilemparkannya
ke lantai. Ia mendorong bantal-bantal ke bawah dan menarik selimut
kapas itu. "Sydney, hentikan," cegah Emma. "Barang-barang itu tak akan ada di bawah seprai
itu." "Mereka harus di sini." Sydney menggulung selimut itu menjadi bola besar dan
melemparkannya ke samping. "Mereka harus ada di
sini, di suatu tempat."
Ia merenggut seprai hingga lepas. Ditatapnya kasur yang
telanjang itu sambil terengah-engah dan frustrasi.
"Sydney, tak ada apa-apa di sini!" teriak Emma.
"Oke. Jadi, mereka tak ada di ranjang." Sydney menceburkan dirinya di tumpukan
binatang-binatang mainan itu. Ia menyeberangi
kamar sampai ke klosetnya. Ia membuka pintu kloset dan melangkah
masuk. "Sdyney, ayolah!" teriak Emma. "Mereka tak ada di dalam kloset!"
"Benar!" Sydney mundur keluar. Kepalanya seperti hamp ir
meledak. "Mereka tak bisa melompat turun dari ranjang dan
menggantung diri sendiri ke atas, kan?"
Ia mengernyitkan dahi ketika melihat ke sekitar kamar itu.
"Tapi mereka ada di sini sebelumnya. Jadi, mereka seharusnya ada di sini
sekarang." Ketika Sydney berjalan balik ke ranjang itu, Emma menarik
lengannya. "Sydney, lupakanlah!"
"Apa maksudmu?"
"Sabuk dan catatan itu tidak ada di sini," Emma memberi
pernyataan. "Lupakanlah mencari-cari mereka."
"Tapi mereka ada di sini," Sdyney menekankan. "Kaupikir aku mengarang?"
"Tidak, tapi..." Emma berhenti.
"Tapi apa?" Sdyney menarik lengannya. "Kaupikir aku gila?"
"Tentu saja tidak! Tapi, Syd, kau tidak sedang berpikir jernih,"
jawab Emma. "Kau tidak tidur dan makan. Kau mengalami mimpi
buruk. Lihat ke sekelilingmu. Lihat apa yang barusan kaulakukan
dengan kamarmu." Sydney menatap ke sekeliling kamarnya. Binatang-binatang
mainan bertebaran ke segala penjuru. Seprai tertarik ke lantai, selimut
tersampir ke kursi. "Berantakan sekali," kata Emma pelan. "Kalau aku tidak menghentikanmu, kau akan
membalik seisi rumah ini ke bawah untuk
mencari sabuk dan catatan itu."
"Mereka ada di sini," bisik Sydney. "Mereka ada di sini."
"Kau harus bisa menguasi diri, Syd. Ayolah." Emma menekan
lengannya. "Aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan bantuanmu.
Kupikir kau seharusnya tidur. Semuanya akan lebih baik besok pagi.
Aku tahu itu." "Aku mau tidur," Sydney menghela napas. "Tapi aku takut akan mengalami mimpi
buruk lagi." "Kupikir kau tidak akan mimpi buruk," kata Emma kepadanya.
"Kau capek. Kau barangkali akan tidur selama dua puluh jam dan
tidak akan mimpi apa pun."
Tidur tanpa mimpi, pikir Sydney. Itu akan menyenangkan.
Emma mengambil seprai yang kusut itu. "Aku akan
membantumu memasang seprai, oke?"
Sydney mengangguk. Ia melompat ketika seseorang mengetuk
pintu. "Sydney, apa kau sedang menelepon?" panggil ibunya. "Aku mendengar suara."
"Aku tak ingin Mom melihatku!" bisik Sydney. "Dia akan tahu ada sesuatu yang
tidak beres." "Ini aku, Mrs. Shue," jawab Emma dengan cepat. "Emma. Aku mampir untuk
mengantarkan catatan bahasa Inggris. Sydney ada di
kamar mandi." "Oke. Emma, katakan pada Sydney kami akan berangkat."
Ketika langkah-langkah ibunya menjauh, Sydney bernapas
dengan gemetar. Ia berdiri di tengah-tengah kamar, sementara Emma
menata ranjang. "Nah." Emma menjatuhkan binatang-binatang mainan itu di
atas bantal-bantal dan tersenyum. "Siap untuk tidur?"
Sydney menatap ranjang sambil berpikir tentang sabuk merah
itu. "Syd?" "Aku akan mengantarmu ke bawah," kata Sydney kepadanya.
"Aku ingin mengambil Coca Cola atau sesuatu."
"Tapi kau akan naik lagi dan tidur, kan" Kau janji?" Emma
menekankan. "Tentu." Di bawah, di serambi yang berlantai marmer, Emma memeluk
Sydney. "Aku sangat mencemaskanmu, Syd."
Sydney memaksa tersenyum. "Aku akan baik-baik saja.
Sungguh." "Minumlah cokelat panas, jangan soda," Emma memberi saran.
"Itu akan membantumu untuk tidur."
"Benar." Sydney menarik pintu yang terbuka dan mengawasi ketika
Emma berlalu. Dalam beberapa saat, lampu besar mobil Emma
menyapu samping rumah. Mobil itu berjalan di jalan masuk mobil
yang panjang dan tidak kelihatan lagi.
Sydney berdiri di sana selama beberapa menit lagi. Ia menutup
pintu, lalu naik ke atas.
Ia tidak ingin cokelat panas.
Ia tidak ingin tidur juga.
Ia ingin mencari sabuk dan catatan itu.
Mereka ada, katanya pada dirinya sendiri. Aku melihatnya. Aku
akan menemukan mereka. Begitu, kan" Di lantai atas, ia mengempaskan pintu kamar tidurnya dan
menekan tombol untuk menyalakan lampu.
Dan menjerit. Jason membungkuk di depan pintu sorong balkon itu, sedang
menatap dengan matanya yang cekung dan mati.
Chapter 27 SYDNEY berdiri membeku, tangannya masih di tombol lampu.


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jantungnya serasa berhenti berdetak.
Ia memejamkan matanya, ingin agar sosok yang mengerikan itu
lenyap. Tapi ketika ia membuka matanya, Jason masih berdiri di
seberang kamar. Lumpur dan timbunan sampah menutupi pakaiannya. Darah
merah tua membuat kusut rambutnya dan membentuk corengan kering
dan keras di pundaknya. Kulit di tangan dan wajahnya telah berubah menjadi hitam
kehijau-hijauan. Seperti roti jamuran, pikir Sydney.
Ia membusuk! Aku bisa menciumnya dari sini. Ia mati dan
membusuk! Mulut Jason bergetar. Sepotong dagingnya yang busuk
meluncur dari bibir bawahnya dan merayap pelan-pelan ke lantai.
Giginya retak dan ditutupi dengan lumpur hijau.
"Sydney," kata Jason dengan suara serak. Suaranya terdengar bergema, seakan dari
jauh. Mati. Ia mati! pikir Sydney ketakutan.
Aku tidak bermimpi. Aku tidak sedang membayangkannya. Jason telah kembali dari
kematian! "Sydney," kata Jason dengan suara serak lagi.
Sydney hampir tercekik mencium bau busuk kulit Jason. Ia
ingin menutup hidungnya. Tapi tangannya tergelincir dari saklar
lampu dan jatuh lemas di samping tubuhnya.
Jason menatapnya, matanya cekung di tengkoraknya.
Kemudian ia berjalan dengan tiba-tiba, menghampiri Sydney.
Sesuatu terikat di salah satu kakinya. Sesuatu yang panjang dan
berlumpur. Dan merah. Sabukku, Sydney mengenalinya.
Ujung sabuk itu terbuka begitu Jason melangkah maju. Sydney
ingin lari. Tapi kakinya tidak mau diajak bekerja sama. Ia harus
bersandar ke dinding agar tidak jatuh.
Jason melangkah lagi. "Kau membunuh aku," katanya dengan
suara tercekik. Tidak! Sydney ingin menjerit. Tapi ia tak bisa bergerak. Ia
bahkan tak bisa menggoyangkan kepalanya.
"Emma membunuh aku, dan kau mengawasinya," suara Jason
yang bergema menuduh. "Emma membunuh aku. Dan kau
membantunya." Sambil mengerang ketakutan, Sydney merosot dari dinding ke
karpet. Tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan berbulu.
Goldy. Sydney mengerang lagi. Ditariknya beruang itu ke
pangkuannya. Jason mendekat. Bau busuk itu bertambah menyengat. Udara berubah dingin.
"Emma membunuh aku," Jason berbisik. "Kau membunuh aku."
Sydney jatuh ke samping. Ia menarik kakinya ke dada.
"Kau membunuh aku... kau membunuh aku..."
Sambil memeluk beruang itu dengan kedua tangannya, Sydney
meringkuk membentuk bola.
Jason bertambah dekat. Sydney mengisak. Ia membaui daging busuk. Ia mendengar suara Jason yang mati
dan kosong. "Kau membunuh aku..." Jason mengulangi. "Kau membunuh aku."
Kemudian bayangan Jason bergulung di atasnya.
Dan ia merasa dingin. Dingin kematian. Chapter 28 EMMA mengetuk-ngetukkan kakinya dan melirik ke sekeliling
ruang tunggu rumah sakit itu dengan gugup.
Meskipun gambar-gambar berwarna-warni digantungkan di
dinding dan kursi-kursi di situ berwarna kuning cerah, tempat itu
membuatnya merinding. Ia benci rumah sakit.
Hadapilah, katanya pada dirinya sendiri. Kau harus ada di sini.
Kau harus mencari tahu, apakah segalanya akan baik-baik saja.
Majalah-majalah tersebar di meja di ruangan itu. Emma
mengambil sebuah dan membalik-baliknya, lalu melemparkannya
kembali ke meja. Ia merasa tidak tenang membaca.
Ia melihat ke jam dinding yang besar sekilas. Baru dua menit
berlalu sejak ia mengecek terakhir kali.
Dengan menghela napas gugup, ia berdiri dan berjalan mondar-
mandir di ruang tunggu yang kecil itu, sambil memaksa dirinya untuk
tidak mengecek waktu lagi.
Sebuah bel lift berdenting di suatu tempat di koridor itu.
Dua orang perawat berjalan sambil bercakap-cakap pelan.
Kenapa begitu lama" Emma cemas. Mengapa belum ada
sepatah kata pun" Pergilah cari soda lagi, katanya pada dirinya sendiri. Dengan
begitu kau akan membunuh waktu paling tidak lima menit.
Ketika Emma mengaduk-aduk tasnya untuk mencari uang
receh, pintu di seberang koridor itu berdesing terbuka.
Emma melompat berdiri dan menghambur ke koridor.
Jantungnya berdegup kencang.
Seorang dokter memakai jas putih berdiri di pintu masuk. Ia
sedang memalingkan kepalanya, berbicara dengan seseorang di
belakangnya. "Kupikir dia siap untuk menemuimu," kata dokter itu. "Tapi dia tak bisa
menghilangkan pendapatnya bahwa kau sudah mati. Maaf."
Dokter itu muncul dari pintu masuk.
Jason mengikutinya. Pintu itu berdesing menutup di belakang mereka.
Dokter itu meletakkan tangannya di pundak Jason. "Maaf," ia mengulanginya dengan
muram. "Saya mengerti," gumam Jason. "Saya hanya tidak suka melihat dia seperti ini.
Kami biasanya begitu dekat." Ia menghirup napas dalam-dalam dan menatap lantai.
"Sekarang dia menganggap saya
seperti monster." Sambil menekan pundak Jason dengan simpatik, dokter itu
mengangguk kepada Emma, lalu berlalu.
Jason menatap lantai beberapa saat lagi, kemudian mengangkat
mata birunya yang sedih, memandang Emma. "Ayo keluar dari tempat ini."
Mereka berdua meninggalkan rumah sakit dan berjalan ke
tempat parkir bersama-sama dengan berdiam diri.
Jason membuka pintu mobilnya. Mereka masuk ke dalamnya.
Emma menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang. Ia
menoleh kepada Jason. "Bagaimana?" desaknya.
Jason menyeringai kepadanya. Tak ada bekas kesedihan di
matanya. "Kau benar. Sydney gila total!"
Emma menghela napas lega. "Aku tahu itu akan berhasil. Aku
tahu dia akan menjadi gila kalau mengira kau telah kembali dari
kematian dan memburunya."
"Yeah. Dia barusan memeluk boneka beruang itu dan
memelintir rambutnya di jari-jarinya, seperti bayi," kata Jason.
"Dia selalu melakukan itu kalau sedang gugup," sahut Emma.
"Dia tak perrtah bisa mengatasi tekanan."
"Dan sekarang dia telah pergi, man. Terlempar jauh sekali,"
Jason mengumumkan. "Dia akan tinggal di rumah sakit selamanya."
Emma tersenyum puas. "Sudah kuberitahu kita bisa mengusir
dia dengan cara ini."
Jason menstrater mobilnya dan meraung-raungkan mesinnya.
Ketika mereka menyusuri tempat parkir itu. Emma menoleh ke
bangunan rumah sakit dari batu bata merah itu.
Ia tahu orangtua Sydney akan membawa Sydney keluar dari
sana dengan segera. Mereka akan menempatkan Sydney di suatu
tempat pribadi, dengan kebun, kolam, dan kamar-kamar sebesar
rumah Emma. Setelah itu Sydney akan pulang.
Tapi orangtuanya tidak akan mempercayai ceritanya.
Mereka akan mengeluarkan banyak uang untuk perawatan
Sydney, pikir Emma. Tapi lalu apa" Mereka mampu untuk itu.
Itulah sebabnya Emma menemui Jason begitu ia dan Sydney
menemukan tas uang itu. Sydney tidak membutuhkan uang. Ia sudah kaya.
Dari awal sudah benar. Emma cemas Sydney tidak akan bisa
menyimpan rahasia mereka. Cepat atau lambat, hati nurani Sydney
akan berbicara. Sydney akan mulai merasa bersalah dan semakin bersalah.
Ia akan memberitahu orangtuanya tentang uang itu. Atau ia
akan melapor kepada polisi. Emma tidak dapat membiarkan itu.
Emma benar-benar membutuhkan uang itu. Ia tahu Jason juga
membutuhkannya. Ia dan Jason diam-diam sudah kencan bersama selama
berminggu-minggu. Mereka berpura-pura tidak suka satu sama lain.
Mereka tidak ingin Sydney menangkap basah mereka.
Sekarang mereka punya uang, dan mereka saling memiliki.
Emma melirik Jason. Ia tertawa tertahan sendirian. Ketika ia
memberitahu Jason rencananya menggiring Sydney menjadi gila,
Jason menggunakan kesempatan itu untuk membantu.
"Apanya yang lucu?" tanya Jason.
"Aku hanya berpikir betapa mudahnya berpura-pura tentang
kematianmu," kata Emma kepadanya. "Sydney begitu tolol di danau malam itu. Dia
bahkan tak pernah mengecek untuk memastikan
apakah kau masih bernapas atau tidak. Dia menelan kata-kataku
mentah-mentah." "Untung kita, dorig," gumam Jason.
"Yeah, itu bagian yang paling penuh tipuan," Emma setuju.
"Setelah itu, aku tahu semuanya akan jadi hebat."
Ia menggelengkan kepala. "Kemudian, ketika aku seakan
membuangmu ke dalam air, dia mendengar kita bicara. Dan dia
berpikir ada orang lain di dalam hutan itu. Dia sama sekali tidak
menyadari yang sebenarnya." Emma tertawa lagi. "Gampang banget...
gampang banget." "Cukuplah menertawakan itu," kata Jason kepadanya. "Sudah selesai, kan" Kita
sekarang aman di muka umum. Jadi, ayo pergi
menggali uang itu." "Ide yang hebat!" seru Emma. "Lantas kita langsung ke mal.
Aku benar-benar akan merayakannya! Untuk pertama kalinya dalam
hidupku, aku benar-benar bisa belanja sampai bosan!"
****************************
Emma berdiri di depan cermin tiga arah di Hidebound, sebuah
toko barang-barang kulit yang mahal. Ia menatap bayangannya.
Jaket kulit itu terasa lembut seperti beledu, dan pas sempurna di
tubuhnya. Jaket itu membuat penampilannya seperti orang kaya juga.
Kau kaya, ia mengingatkan pada dirinya sendiri sambil
tersenyum. Ia dan Jason lari ke hutan dan menggali tas uang itu. Wow.
Menggetarkan sekali! Ia menyikat kotoran dari tas itu dan bur-?buru membukanya. Ia
menyambar dua tumpukan uang lima puluhan. Menjejalkannya
segepok ke dalam kantong celananya. Melemparkan gepokan satunya
kepada Jason. Kemudian mereka mengangkat tas itu ke bagasi mobil Jason
dan pergi berbelanja sambil bersuka ria.
Sekarang ia tersenyum kepada bayangannya dalam jaket kulit
itu. Ia melirik ke label harga yang terjuntai dari lengan bajunya.
Enam ratus dolar. Tidak seberapa. "Apa kau sudah selesai?" tanya Jason tak sabar.
Emma menoleh kepadanya. "Aku sedang menimbang-nimbang,
apakah memilih yang hitam atau yang cokelat."
Ia berputar, memamerkan jaket hitam itu. "Bagaimana menurut
pendapatmu?" Jason mengangkat bahu. "Yang itu bagus sekali. Cepatlah. Aku
ingin ke toko sebelah, mengecek televisi layar lebar itu."
"Oke, oke." Emma menghampiri kasir. Ia menyodorkan jaket
itu dan membeberkannya di atas gerai. "Aku akan mengambil yang
ini," katanya. Si kasir, seorang laki-laki muda berambut merah yang memakai
jas sport dari kulit, melirik ke label harganya. "Pilihan yang amat bagus,"
katanya. "Ini kulit dari Italia. Salah satu koleksi barang kami yang terbaik."
Ia mengangkat matanya memandang Emma. "Dengan apa Anda
akan membayar ini?" tanyanya.
"Aku akan membayar tunai," sahut Emma.
Ia merasa begitu senang. Sekujur tubuhnya bergelenyar. Jadi,
seperti ini rasanya jadi orang kaya!
Ia menarik segepok uang kertas lima puluhan dolar dari
kantongnya dan menghitung enam ratus dolar. Kemudian ia
menyerahkan uang itu kepada kasir.
Laki-laki itu menerima uang kertas itu dan mulai membolak-
baliknya, menghitung. Kemudian ia berhenti... dan tertawa.
"A-apanya yang lucu?" desak Emma.
"Ini benar-benar hebat!" komentar kasir itu, masih terkekeh.
"Hah" Hebat?" teriak Emma.
Si kasir mengembalikan uang kertas itu kepadanya. Ia dan Jason
mendekatkan uang itu dan memperhatikannya.
Emma butuh waktu beberapa detik untuk mengamati apa yang
dikatakan kasir itu. Ia bingung sekali, sampai ia membaca kata-kata di atas uang
tunai itu: UNTIED STATES OF AMERICA.
Kemudian matanya melihat foto lukisan Benjamin Franklin.
Matanya juling dan ia memakai topi bisbol yang terbalik di atas
rambut palsunya. Emma mencengkeram gerai itu agar tidak jatuh. Pelan-pelan ia
menaikkan pandangannya ke kasir berambut merah itu.
"Apakah Anda membawa uang asli?" tanya laki-laki itu. END
Pendekar Sadis 21 Walet Besi Karya Cu Yi Pendekar Pedang Kail Emas 6
^