Pencarian

Cewek Kaya 1

Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl Bagian 1


Chapter 1 SYDNEY SHUE melemparkan sendok metal ke dalam mesin
pembuat popcorn dan bergegas ke ujung lain gerai konsesi itu. "Apa kauperhatikan
dengan siapa Cathy Harper masuk ke dalam gedung
bioskop barusan?" ia berbisik kepada sahabat karibnya, Emma Naylor.
"Marty Griffin!"
"Kau bercanda ya!" Emma berhenti mengelap gerai yang bagian atasnya terbuat dari
kaca dan menatap tak percaya. "Kukira mereka sudah putus!"
"Memang," sahut Sydney. "Tapi barusan kulihat mereka tertawa dan bergandengan
tangan. Jelas mereka nyambung lagi,"
"Putus sambung mereka yang keempat tahun ini," ujar Emma.
Ia mulai mengelap gerai itu lagi. "Coba lihat, sekarang April, iya kan"
Barangkali mereka akan putus dan nyambung kembali paling tidak
dua kali lagi sebelum sekolah tamat. Mereka tentu akan mencetak
rekor." Sydney terkekeh sambil mengisi dispenser untuk serbet kertas.
Yang paling menyenangkan bekerja di Cineplex yang berlokasi di Mal
Jalan Division ini yaitu Emma juga berkerja di sana. Mereka berdua
telah menjadi sahabat karib sejak kelas enam, tapi akhir-akhir ini
mereka tidak sering keluyuran bersama.
Mungkin karena aku sering menemui Jason, pikir Sydney.
Jason Phillips, pacar baru Sydney, bukan cowok favorit Emma.
Emma tidak berkomentar apa-apa, tapi Sydney bisa mengatakan
begitu. Mata biru temannya hampir sebeku es kalau Jason mendatangi
mereka. Emma hanya perlu kesempatan untuk mengenal Jason lebih
baik, pikir Sydney. Ia menyibakkan sehelai rambutnya yang gelap dan
keriting dari keningnya. "Nanti Jason akan ke rumahku untuk belajar sejarah hari Rabu.
Bagaimana kalau kau sekalian ke rumahku?" usulnya. "Kami bisa menjemputmu untuk
makan piza." Emma menggelengkan kepala. "Lebih baik tidak. Aku ingin
bicara dengan manajer kalau nanti dia datang. Ingin tahu apa aku bisa mendapat
ekstra shift di sini."
Sydney menatapnya. "Kerja lagi" Emma, kau sudah bekerja tiga
kali sore hari setiap minggu, ditambah akhir minggu!"
"Percaya deh padaku, aku tahu berapa banyak yang
kukerjakan," kata Emma sambil memutar bola matanya. Ia menghela napas. "Tapi aku
harus melakukan sesuatu untuk mencari uang lagi.
Situasiku sedang buruk."
"Apa maksudmu?"
"Mom," Emma menjelaskan sambil menyelipkan rambut
pirangnya yang panjang ke balik telinganya. "Lututnya cedera ketika dia masih
muda. Lututnya tak pernah sembuh sama sekali. Kata
dokter, dia benar-benar butuh operasi."
Sydney mengerutkan dahinya penuh simpati. Ibu Emma bekerja
sebagai pelayan di Restoran Shadyside. Pekerjaannya menuntut ia
selalu berdiri dari jam empat sampai tengah malam, enam hari
seminggu. "Maksudmu pihak restoran tidak mau menggaji dia selama dia
tidak masuk kerja untuk menjalani operasi?" tanyanya. "Itukah sebabnya kau butuh
uang ekstra?" Emma mendengus. "Pihak restoran tidak mau membayar Mom
sementara Mom tidak bekerja. Mereka akan memecat Mom kalau
lututnya tidak segera sembuh. Mereka mengatakan pelanggan mulai
mengeluh karena Mom begitu lamban."
"Curang!" komentar Sydney.
"Memang." Emma menghela napas lagi. "Tambahan lagi, kami tidak punya asuransi,
jadi kami harus membayar biaya operasi sendiri.
Kami tak mampu kalau aku tidak mencari cara lain untuk
mendapatkan uang lagi!"
Sebelum Sydney bisa menjawab, seorang laki-laki bersama
empat orang anak kecil berjalan cepat ke gerai itu. Ketika ia dan
Emma menyendok popcorn ke dalam kardus berbentuk tabung dan
mengisi gelas soda, Sydney melirik temannya sekilas.
Emma tampak begitu cemas, pikirnya. Begitu putus asa. Dan
tidak heran! Bayangkan kalau ibuku sendiri harus dioperasi dan tidak bisa
membayar biayanya. Sydney menggelengkan kepala. Ia tidak bisa
membayangkarmya. Benar-benar tidak bisa.
Meskipun ia dan Emma adalah sahabat karib, mereka sangat
berbeda. Emma pendek dan pirang. Sydney jangkung, mata dan
rambutnya berwarna cokelat gelap.
Sydney sering gelisah, sementara Emma biasa bersikap kalem
dan tenang menghadapi apa pun.
Tapi mereka juga berasal dari dunia yang berbeda sama sekali.
Orangtua Sydney merupakan pasangan yang bahagia selama dua
puluh tahun usia perkawinan mereka. Orangtua Emma bercerai, nyaris
tidak bertemu satu sama lain.
Emma tinggal di sebuah rumah kecil yang reyot di Old Village.
Sydney tinggal di rumah besar yang berdiri di atas tanah seluas lima ekar di
North Hills, daerah elit.
Emma bekerja karena ia harus bekerja, pikir Sydney. Aku
bekerja karena Mom dan Dad tidak ingin aku menjadi manja. Mereka
ingin aku belajar bertanggung jawab.
Bukan itu saja. Ia menganggap bekerja adalah ide yang bagus.
Ia suka pekerjaannya. Tapi ia tahu, ia bisa keluar dari pekerjaannya tanpa perlu
mencemaskan tentang bagaimana harus membeli makanan
atau pakaian. Atau operasi.
Sebuah jeritan keras mengganggu lamunan Sydney.
Salah satu dari anak-anak kecil yang baru saja dilayaninya
tersandung dan menumpahkan isi kardus popcorn raksasanya.
Sekarang ia berdiri di depan penjaga karcis sambil menangis dan
mengeluh. Ia menghalangi jalan semua orang.
Sydney menyambar sapu dan pengki, lalu bergegas keluar dari
balik counter. Sementara Emma sibuk melayani pembeli-pembeli
yang sedang antre. Saat Sydney selesai membersihkan popcorn itu,
antrean di konsesi itu tinggal tiga orang. Ia dan Emma hampir tidak
punya waktu untuk bernapas sampai shift gerai itu selesai.
Akhirnya, pada jam lima, mereka bebas. Well, hampir bebas.
Pertama-tama mereka harus membuang sampah.
Sambil membawa kantong plastik yang menggembung dengan
susah payah, Sydney mengikuti Emma keluar lewat pintu bagian
samping ke lorong kecil di belakang mal.
"Lorong ini membuat aku merinding," kata Sydney dengan
bergidik. Mereka berjalan menuju tong sampah dari metal yang besar.
"Di sini selalu gelap sekali."
"Yeah, dan tempat sampah ini baunya menyengat," Emma
mengeluh. Ia mendorong kantong sampah masuk ke salah satu tempat
sampah itu. Sydney mengayunkan lengannya dan mendorong kantong itu ke
bagian atas tong. Dua kantong masuk. Yang ketiga tersangkut di
pinggir. Ketika Sydney menggapai untuk mendorong kantong itu,
gelang peraknya yang indah tersangkut di bagian yang tajam dari tong itu. Ia
menarik dengan pelan. Tapi tidak cukup pelan.
Gespernya terbuka. Gelang itu meluncur lepas dari pergelangan
tangannya. Sydney langsung menyambar gelang itu.
Gagal. Gelang itu meluncur dari tepi tong, masuk ke dalamnya.
Sambil terengah-engah, Sydney meletakkan tangannya di atas
tong dan mengulurkannya ke bawah. Yang dirasakannya hanyalah
plastik lembut kantong-kantong sampah itu.
"Apa yang sedang kaulakukan?" desak Emma.
"Gelangku yang indah jatuh ke dalam!" teriak Sydney.
"Oh, tidak! Gelang perak murni itu?" tanya Emma.
Sydney mengangguk. "Gelang itu warisan turun-temurun.
Nenekku memberikannya kepadaku."
Ia melayangkan pandang ke sekitar lorong gelap itu dan melihat
tumpukan balok arang menyandar di dinding belakang. "Tolong aku membawa beberapa
balok ke sini, mau, kan?"
Emma mengerutkan hidungnya. "Kau tidak akan menggali
sampah itu, kan?" "Aku harus menggali," sahut Sydney. "Jelas aku harus
mendapatkan gelang itu kembali! Gelang itu adalah benda
kesayanganku di dunia ini!"
Dengan bantuan Emma, Sydney menumpuk dua balok arang
yang kasar itu ke samping tempat sampah yang berkarat. Kemudian ia
memanjat naik untuk melihat ke dalam.
"Ketemu?" tanya Emma.
Sydney menggelengkan kepala. "Mungkin gelang itu menyelip
di bawah kantong-kantong yang baru kita lempar masuk." Ia
mengambil salah satu kantong. Dengan hati-hati ia menggesernya ke
samping. Di bawah kantong itu terletak kantong yang lain, sobek dan
menumpahkan tumpukan sampah yang busuk dan bau.
"Menjijikkan." Sydney menahan napas sambil menggapai salah satu sudut kantong
kedua. Kantong itu gemeresik dan bergeser.
Kemudian kantong itu terangkat dengan tiba-tiba ke udara,
seakan-akan ada yang menahan kantong itu dari bawah.
"Ada sesuatu di sini!" jerit Sydney. "Sesuatu yang hidup!"
Chapter 2 SECEPAT kilat Sydney mengangkat tangannya dan menjerit
lagi. Dua buah mata menatapnya dengan marah dari balik gumpalan
lap-lap kertas yang kusut.
Dua buah mata yang marah dalam muka berbulu cokelat
lumpur, sungut panjang, dan gigi tajam berkilauan.
"Seekor tikus!" teriaknya. "Oh, menjijikkan, Emma! Tikus!"
"Menyingkirlah cepat!" seru Emma.
Sebelum Sydney bisa bergerak, tikus itu melompat, cakar-
cakarnya menggaruk bibir tempat sampah yang terbuat dari metal itu.
Ia mendesis seperti kucing dan mengatupkan rahangnya.
Sydney terengah-engah dan terhuyung-huyung dari balok
semen itu. Sambil mendesis lagi, si tikus melompat turun dari tong itu.
Emma terengah-engah mundur ke Sydney.
Tikus itu berhenti sejenak. Ditatapnya kedua gadis itu.
Sepertinya ia mencoba memutuskan apakah akan menyerang mereka.
Ketika ia berbalik dan berlari cepat di lorong itu, ekornya yang tak berambut
terseret di belakangnya. Emma mengembuskan napas. "Ohhh. Aku muak. Aku benar-
benar muak. Binatang itu besar sekali!"
"Yeah. Kita berharap saja tak ada teman-temannya di bagian
bawah tong ini," sahut Sydney. Dengan bergidik, ia mulai memanjat lagi ke atas
balok-balok itu. Mata Emma terbelalak. "Sydney! Kau tidak akan meneruskan
mencari di sana, kan?"
"Harus," ujar Sydney. "Aku benar-benar harus menemukan gelang itu, Emma." Ia
memandang temannya dengan pandangan
memohon. "Aku akan menemukannya lebih cepat kalau kau
membantu." Emma mengerang. Tapi dengan bantuan Sydney, ia menarik
beberapa balok lagi ke dekat tong. Kemudian mereka berdua
memanjat untuk melihat ke dalam.
Sambil menutup hidung dan mulutnya dengan tangan kiri,
Sydney mengulurkan tangan kanannya ke bawah, lalu menyingkirkan
beberapa gundukan sampah. Di bawahnya ada lebih banyak sampah
kulit jeruk, kue kismis, hot dog busuk, kertas-kertas berlumur
pelumas. "Andai saja kita punya sarung tangan," gumamnya. Ia menjepit beberapa helai
kertas di antara dua jarinya dan melemparkannya ke
samping. "Nanti di rumah aku akan mencuci tanganku selama satu
jam!" "Kuharap kita punya masker oksigen," Emma menggerutu. Ia
menghela napas, lalu melemparkan sebuah kantong sampah dari sisi
tong itu ke sisi lainnya. "Mungkin manajer itu di sini sekarang, Syd.
Aku harus bicara dengannya, ingat?"
"Aku tahu. Tapi dia kan tidak cuma sebentar berada di sini,"
Sydney meyakinkan temannya. "Ini tidak akan makan waktu lama,
kok. Maksudku, aku tahu gelang itu ada di sini di suatu tempat. Aku
melihatnya jatuh ke dalam."
Emma mengangkat tabung popcorn, mengintip ke dalamnya,
kemudian melemparkannya. "Kita berharap saja gelang itu tidak jatuh ke dasarnya.
Aku ingin membantumu, Syd. Tapi... tak usah ya kalau
aku harus masuk ke tong ini."
Dengan menggunakan sebuah tongkat yang ditemukannya di
dalam tong itu, Sydney membalik sebuah gundukan sampah.
"Emma!" teriaknya sambil menunjuk. "Aku melihatnya!"
"Cepat ambil, Syd, dan ayo cepat pergi dari sini," Emma
mengerang. Gelang indah dari perak yang antik itu berkilat-kilat tertimpa
cahaya yang suram. Gelang itu tergeletak di atas sebuah tas ransel
berwarna cokelat. Sydney membungkuk di bibir tong itu dan
mengulurkan jari-jarinya ke bawah. Ia mengangkat sebuah ujung
gelang itu, kemudian menariknya.
Gelang itu merayap lepas, tapi tersangkut sesuatu.
"Gelang ini tersangkut," Sydney memberitahu. "Tersangkut di semacam tas." Ia
menyambar pegangannya dan menghela tas ransel
yang berminyak itu naik ke sisi tong.
Sambil menghela napas lega, Sydney melompat turun. Ia duduk
di atas balok semen. Diletakkannya tas itu di pangkuannya, lalu
dengan hati-hati ia melepaskan gelangnya. Ketika ia melakukan itu,
tas itu jatuh ke tanah. Sydney melihat tas itu sekilas, kemudian melihat gelangnya
lagi. Sesuatu tertangkap oleh matanya.
Sudut uang kertas menyembul dari ritsleting tas yang terbuka
sebagian itu. "Apakah itu seperti yang kupikirkan?" tanya Sydney.
"Tampaknya seperti uang kertas lima puluhan dolar."
"Hah?" Emma mengambil tas itu. Ditariknya ritsleting itu
hingga terbuka sepenuhnya.
"Benar, kan?" tanya Sydney, sibuk dengan gelangnya.
Emma tetap diam. Sydney memasang gelangnya di seputar pergelangan tangannya
dan memandang temannya sekilas. "Well" Apakah itu selembar uang lima puluh
dolar?" Emma mengangkat matanya dari tas itu. "Kau tidak akan
mempercayai ini," bisiknya.
Ia menarik tas itu hingga terbuka lebar-lebar. "Lihat!"
Sydney melihat ke dalam tas itu. "Astaga!"
Uang kertas bergepok-gepok. Diikat dengan karet.
Uang kertas lima puluhan dolar.
"Aku tak percaya!" teriak Emma dengan gembira. Ia
mengambil segepok dan membeberkannya seperti kartu remi.
Semuanya lima puluhan!"
Emma mengambil gepokan yang lain dan membeberkannya.


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu juga Sydney. Dalam beberapa menit, gepokan uang lima
puluhan dolar itu terhampar di kaki mereka.
"Wow. Maksudku, wow! Paling tidak jumlahnya seratus ribu
dolar!" bisik Emma. "Tidak jelas." Sydney menatap uang itu, kemudian menatap
Emma. "Kaupikir, milik siapa ini" Kenapa ada di dalam tempat
sampah ini?" Emma menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Seratus ribu
dolar," gumamnya lagi, tidak melepaskan pandangannya dari uang itu.
"Seratus ribu dolar!"
Chapter 3 SYDNEY mengernyitkan dahinya melihat tumpukan uang itu.
"Benar-benar aneh. Menurutmu kenapa uang itu ada di tempat
sampah?" ia mengulangi.
"Siapa yang peduli?" Emma melihat ke sekeliling lorong itu sejenak. Kemudian ia
menjejalkan tumpukan uang lima puluhan dolar
itu cepat-cepat ke dalam tas lagi. "Lebih baik kita
menyembunyikannya sebelum seseorang melihat kita dengan uang
ini." "Kau benar," Sydney mengiyakan. "Apa kaupikir uang itu berasal dari sebuah bank
yang dirampok atau sesuatu yang lainnya?"
Emma mengangkat bahu. "Mungkin polisi akan tahu." Sydney menutup ritsleting tas itu dan tertawa. "Aku
tak sabar melihat ekspresi wajah mereka saat kita menyerahkan uang ini nanti."
"Apa kau serius?" tanya Emma. "Kau benar-benar ingin
menyerahkan semua uang ini kepada polisi?"
"Tentu. Maksudku, apa ada yang lainnya yang bisa kita
lakukan?" Emma mencondongkan tubuhnya ke Sydney, matanya yang
biru berkilat-kilat penuh kegembiraan. "Kita ambil saja!" bisiknya.
Sydney menatap temannya. "Kau bercanda, kan?" Ia menunggu
Emma tertawa, mengatakan kepadanya bahwa ia sedang bergurau.
Tapi Emma bahkan tidak memperlihatkan senyumnya.
Ia tidak sedang bergurau, pikir Sydney. Ia benar-benar
menginginkan uang itu. "Pikirkan tentang itu, Syd!" Emma mendesak. "Kita dapat membaginya, masing-
masing lima puluh ribu dolar! Aku bisa
membayar biaya operasi Mom! Akhirnya kami bisa memperbaiki atap
kami dan membeli yang baru."
"Stop!" Sydney memotong ocehan Emma. "Bagaimana kau
akan menjelaskan kepada ibumu dari mana kau tiba-tiba memperoleh
lima puluh ribu dolar?"
"Aku akan mengatakan kepadanya yang sebenarnya," Emma
memberi pernyataan. "Mom tidak akan peduli. Memangnya kenapa
dia mesti peduli?" "Karena..." Sydney berhenti, menggelengkan kepalanya. Ia
tidak dapat mempercayai Emma benar-benar ingin melakukan ini.
"Lihat, aku tak ingin seperti orang yang sok suci. Tapi, Emma, uang itu bukan
milik kita!" "Tentu saja milik kita!" teriak Emma. "Uang itu terkubur di bawah tumpukan
sampah di dalam tempat sampah, dan kita
menemukannya. Yang menemukan, yang memiliki. Iya, kan?"
"Tapi..." "Ayolah, Sydney! Orang lain akan mengambilnya juga. Kenapa
kita tidak?" pinta Emma. "Kau tahu apa yang bisa kulakukan dengan uang itu" Aku
akan melanjutkan kuliah. Aku tidak harus memikirkan
mesti memperoleh beasiswa lagi. Dan aku bisa membeli beberapa
pakaian yang layak!"
Mata Sydney terbelalak kaget. "Memangnya kenapa dengan
pakaianmu?" "Aku memakai pakaian yang sama setiap hari." Emma
menghela napas. "Memalukan. Tapi kau tidak akan tahu tentang itu,"
ia menambahkan dengan pahit. "Kau tidak mengerti seperti apa
rasanya menjadi orang miskin. Bagaimana rasanya menginginkan
sesuatu yang tidak bisa kaumiliki. Tapi aku bisa merasakannya. Dan
kukatakan padamu, kita harus mengambil uang itu!"
Sydney menatap temannya dengan terpaku. Apakah Emma
selalu membenci aku karena aku kaya" ia bertanya dalam hati.
Apakah aku tidak melihat itu" Aku tak pernah mempersoalkan tentang
punya uang. Aku tak pernah menyombongkan diriku sendiri atau
merendahkan dia karena dia miskin. Aku tak akan melakukan itu
kepada siapa pun, apalagi kepada sahabat karibku!
Bingung dan terluka, Sydney menatap tas ransel yang
berminyak itu. "Kau salah tentang satu hal," gumamnya. "Aku tahu persis seperti
apa rasanya menginginkan sesuatu yang tidak dapat
kumiliki. Orangtuaku tidak memberi aku segala yang kuinginkan, kau
tahu." "Oh" Apa kau tidak ingin sebuah mobil untuk ulang tahunmu?"
tanya Emma. "Dan apakah mereka tidak menghadiahimu mobil?"
"Iya sih. Tapi aku harus membayar asuransinya," Sydney
mengemukakan. "Mom dan Dad tidak ingin aku menjadi manja, dan
mereka benar-benar memberiku anggaran yang ketat. Ada banyak
yang ingin kubeli dengan uang ini."
"Jadi, ayo kita ambil saja!" teriak Emma. "Apa yang
menghentikan kita?" Sydney menggigit bibirnya. Ia harus mengakui, uang itu
menggoda. Tapi juga mengerikan.
"Kita tidak tahu dari mana asal uang ini," katanya. "Polisi mungkin sedang
mencari-carinya. Atau siapa saja yang
meninggalkannya di sini. Kalau kita tiba-tiba belanja besar-besaran
dan bersenang-senang, lalu mereka mengetahuinya, kita bisa
mendapat masalah besar."
Emma berpikir selama semenit. "Oke, begini saja. Kita tak akan
menggunakannya untuk sementara. Kita akan menyembunyikannya di
suatu tempat dan menunggu. Kita lihat apakah ada berita tentang uang ini."
"Kalau ada, kita mengembalikannya. Betul, kan?" tanya
Sydney. "Yeah. Tapi kalau tidak ada..." Emma menyeringai. "Semua ini milik kita."
Sydney tertawa gugup. Ia tidak dapat mempercayai bahwa ia
benar-benar menyetujui rencana ini!
"Di mana, sebaiknya kita menyembunyikan uang ini?" tanya
Emma. "Tempatmu" Kau punya loteng yang besar sekali."
"Jangan! Aku tak ingin uang itu ada di rumahku," Sydney
memprotes. "Aku akan ketakutan sekali."
"Yah, aku juga tak ingin uang itu di rumahku," kata Emma.
"Oke, tolong aku memikirkan tempat yang bagus. Tempat di mana tak seorang pun
akan tahu, kecuali kita."
"Bagaimana kalau pohon willow tua itu?" saran Sydney.
"Pohon willow di Hutan Fear Street, tempat kita biasa bertemu dan berpiknik."
"Sempurna!" Emma setuju. "Kita dapat menguburkannya di bawah pohon itu. Tak
seorang pun akan pernah tahu. Kemudian kita
membiarkannya di sana selama beberapa minggu, sampai kita yakin
uang itu aman untuk digali."
Sydney melihat ke sekelilingnya sekilas. Cahaya siang
memudar cepat. Lorong yang suram itu menjadi lebih gelap. Ia
merinding dan menggosok lengannya. "Ayo pergi dari sini.
"Baik." Emma bangkit dan mengangkat tas ransel itu. "Bisakah kau menyetir ke
hutan?" "Tentu. Ayo kita lakukan sekarang, oke?"
Ketika mereka akan keluar dari lorong itu, Sydney menoleh dan
melihat ke belakang sejenak. Tidak terlambat sekali, pikirnya. Bawa
tas itu dan lemparkan kembali ke tempat sampah. Biarkan orang lain
yang menemukannya. "Ayolah, Syd!" Emma mendesak sambil tertawa cekikikan.
"Cepat!" Sydney berhenti sedetik lebih lama. Kemudian sambil menghela
napas dalam-dalam, ia mengikuti temannya pergi dari lorong itu.
"Di sana itu!" teriak Emma sambil menunjuk. Sydney melihat di sepanjang jalan
kecil yang berkelok menuju Hutan Fear Street.
Beberapa meter di depan, berdiri sebuah pohon willow yang
besar sekali. Ranting-ranting bagian bawahnya terkulai ke tanah,
membentuk tirai berwarna hijau pucat.
Kami biasa duduk di bawah sana dan saling menceritakan
rahasia, pikir Sydney. Tempat persembunyian yang sempurna.
Sekarang tempat itu akan menyembunyikan rahasia kami yang
terbesar. Sambil membawa sekop salju yang dapat dilipat dari bagasi
mobilnya, Sydney mengikuti Emma berjalan di jalan setapak yang
becek, menuju pohon itu. "Tanah ini lembut," komentar Emma ketika menyibakkan
beberapa buah cabang dan merunduk di bawahnya.
"Akan lebih mudah untuk menggali. Aku akan melakukannya
duluan." Ia meletakkan tas itu di bawah dan mengambil sekop dari tangan Sydney.
Ia begitu gembira, pikir Sydney. Semua
pembicaraannya selama perjalanan ke sini cuma tentang barang-
barang yang bisa dibeli dengan uang itu. Operasi ibunya. CD player.
Banyak gaun. Ia begitu gembira, sehingga tidak merasa ketakutan.
Sydney melihat menembus tirai cabang-cabang willow itu. Fear
Lake tidak jauh dari sini. Ia mendengar air memukul-mukul di pantai, tapi ia
tidak bisa melihatnya. Hutan Fear Street begitu lebat dan
rimbun. Dan gelap. Sydney merinding. Ia berharap tidak pernah memikirkan
membawa uang itu ke sini.
Ia meraih sekop. "Aku akan menggali sekarang." Ia
menghunjamkan sekop itu ke lubang yang telah dimulai Emma dan
mulai menyekop. Tak begitu lama, lubang itu kira-kira dua kaki
dalamnya. Emma menurunkan tas itu ke dalam, dan Sydney dengan cepat
menyekop tanah kembali untuk menutup lubang itu. Emma
meletakkan sebuah batu berwarna pasir di atasnya sebagai tanda,
kemudian membersihkan tanah dari tangannya.
"Dua minggu," katanya dengan tersenyum puas. "Kalau tidak terjadi apa-apa, kita
akan kembali dan mengambilnya dalam dua
minggu. "Oke. Tapi ayo pergi sekarang," Sydney mendesak sambil
melipat sekop itu. "Hutan ini membuatku takut."
Ketika mereka sampai ke mobil, Sydney tiba-tiba berhenti dan
memegang lengan Emma. "Tunggu!" ia berbisik. "Apa kau mendengar itu?"
"Apa?" "Aku tidak yakin." Sydney menahan napas, mendengarkan.
Sebuah ranting menjepret. Daun-daun bergemeresik. Suara itu
datang dari belakang mereka.
Mata Emma terbelalak ketakutan ketika ranting yang lainnya
patah. Lebih dekat sekarang.
Jantung Sydney berdegup kencang di telinganya. Apakah ada
seseorang yang melihat kami mengubur tas itu" Mungkin seseorang
mengikuti kami dari lorong itu.
Daun-daunan bergemeresik lagi. Lebih keras. Lebih dekat.
Sambil terengah-engah ketakutan, Sydney menoleh untuk
melihat. Dan ia menjerit ketika suatu sosok gelap melompat ke jalan
setapak itu. Chapter 4 SYDNEY terhuyung-huyung ke Emma. Dan menjerit lagi.
"Hentikan, Sydney!" teriak Emma sambil memegang tangan
Sydney untuk menyeimbangkan dirinya sendiri. "Itu hanya seekor
rakun!" Sydney menutup mulutnya dengan tangan dan menatap
makhluk berbulu gelap di bawah. Rakun itu balas menatapnya
sebentar. Matanya yang ada lingkaran gelap itu berkilat-kilat
ketakutan. Kemudian ia lari di jalan setapak itu, menghilang ke dalam semak-
semak rimbun. Sydney mengembuskan napas lega. "Kupikir... kupikir ada yang
mengawasi kita mengubur uang itu!"
"Aku juga," Emma mengakui. Ia mengusap rambutnya yang
pirang dan panjang itu ke belakang sambil tertawa. "Ayolah. Kita pergi dari sini
sebelum kita berdua menjadi gila karena ketakutan."
Sydney memandang pohon willow itu sekali lagi. Cabang-
cabangnya yang jatuh bergoyang seperti tirai tertiup angin. Dengan
perasaan ngeri, Sydney berbalik, lalu bergegas pergi.
****************************
Sydney menurunkan Emma di rumahnya, kemudian menyetir
mobilnya pulang secepat mungkin. Tangannya sangat kotor, bekas
menggali tempat sampah itu. Di bawah kuku jari tangannya penuh
kotoran berbentuk bulan sabit. Lumpur tebal melapisi sepatu karetnya.
Mandi air panas yang lama, pikirnya. Itu yang kuperlukan
sekarang. Tapi Sydney tahu, sekadar mandi saja tidak akan bisa mengusir
keragu-raguannya. Mengapa ia membiarkan Emma membujuknya
untuk mengambil uang itu"
Emma benar-benar memerlukan uang itu, ia tahu. Sepertinya
bukan berarti mereka mencurinya.
Benar, kan" Dengan perasaan tidak tenang dan masih khawatir, Sydney
membelokkan Miata merahnya di antara pintu gerbang besi yang
tinggi. Lalu menanjak ke jalan masuk yang menikung panjang,
menuju rumahnya yang tidak bertingkat dan terbuat dari batu. Ia
menyusuri jalanan yang berkeliling itu ke belakang, ke halaman yang
dilapisi batu bulat, dikelilingi tembok dengan deretan panjang
kandang-kandang kuda. Sejak mereka hanya punya dua ekor kuda, tiga kandang lainnya
diubah menjadi garasi. Ayah Sydney memarkir BMW-nya di garasi
pertama. Ketika menggelindingkan mobilnya menuju garasi kedua, ia
mengerem mendadak. Pintu garasi ayahnya terbuka.
Sesosok tubuh membungkuk di atas mesin mobil ayahnya.
Lampu garasi kuning itu berkilauan di atas rambutnya yang pirang
pasir dan tebal. Jason Phillips. Pacar Sydney.
Aku lupa sama sekali, pikirnya. Kami seharusnya belajar
bersama. Aku tak bisa berkonsentrasi sama sekali, tak bisa setelah apa yang
barusan kulakukan. Ia tersenyum ketika Jason melambai padanya. Paling tidak, dia
tidak bosan menunggu. Beri dia sebuah mobil untuk dibetulkan, pasti
Jason senang. Sydney balas melambai, kemudian memarkir Miata itu ke
dalam garasi. Sambil memiringkan kaca spionnya, ia memeriksa
wajah dan rambutnya. Pipi dan dagunya tercoreng kotoran. Beberapa
helai daun tersangkut di rambutnya. Ia mengusap wajahnya dengan
tisu, mengambil daun-daun itu, lalu bergegas menghampiri Jason.
"Sori aku terlambat. Apa yang tidak beres dengan mobil Dad?"
"Businya perlu diganti. Aku memutuskan untuk
memperbaikinya sambil menunggumu." Jason melihat lewat bagian
atas kap kepadanya. Tinggi dan tampan, ia memiliki mata biru yang
mengerut di sudutnya bila tersenyum.
Tapi ia tidak sedang tersenyum sekarang. "Apa yang terjadi
padamu?" tanyanya. "Aku mencemaskanmu."
"Oh, Aku..." Sydney mencari-cari alasan. "Aku harus bekerja lembur. Ada yang
tidak masuk kerja tadi."
Ia merasa wajahnya panas dan merah. Begitulah biasanya kalau


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berbohong. "Ayolah, Sydney, aku benar-benar tidak tolol," ujar Jason.
"Kalau kau lembur, kau akan menelepon. Dan kau tidak
melakukannya." Sydney memelintir sehelai rambutnya dengan jarinya dan
mencoba memikirkan apa yang harus diucapkan.
Jason menyipitkan matanya. "Kau sedang menyembunyikan
sesuatu," ujarnya. "Aku bisa melihatnya di wajahmu."
"Aku tidak..." "Ya, kau menyembunyikan sesuatu!" Jason membanting tutup
mesin mobil itu dengan suara keras.
Sydney terlompat, tersengat ketakutan pada pandangan mata
Jason yang menyala-nyala.
"Apa rahasiamu, Sydney?" desak Jason. "Cowok lain" Apa kau keluar untuk menemui
orang lain sementara aku menunggu di sini
seperti orang tolol?"
"Tidak!" "Kalau begitu, ceritakan padaku yang sebenarnya." Jason
menyusuri mobil itu dan menghampirinya. "Dari mana kau" Apa yang kaulakukan?"
Ia menatap Jason lekat-lekat, takut dan bingung.
Apakah sebaiknya aku mengarang cerita lain"
Atau aku harus mengatakan kepadanya tentang uang itu"
Chapter 5 "KALAU kau tidak keluar dengan cowok lain, lantas kau pergi
ke mana?" Jason mendesak.
Sydney tetap diam, masih berusaha memutuskan.
Bahu Jason turun. "Kukira aku sudah memperoleh jawaban,"
gumamnya. Ia akan berlalu. "Jangan!" Sydney menggapai dan memegang tangannya.
"Bukan seperti yang kaupikirkan, Jason. Sama sekali bukan! Akan kukatakan
padamu, oke" Tapi kau harus berjanji tidak akan
menceritakannya kepada orang lain."
"Kenapa?" "Janji sajalah!" ia bersikeras.
"Oke, oke. Aku janji." Sambil merapatkan jari-jari tangannya ke jari Sydney,
Jason membimbingnya ke meja kerja di bagian belakang
garasi. Ia mengambil sekaleng soda dari pendingin kecil, membuka
tutupnya, dan menyerahkan kaleng itu kepada Sydney.
"Trims." Sydney meneguknya lama-lama.
Jason mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutnya,
menarik sehelai daun dari rambut ikalnya yang gelap. "Kau tampak seperti habis
mendaki," ujarnya. Ia mencium Sydney dengan lembut, kemudian menyandarkan
punggungnya di meja kerja. "Oke," katanya. "Katakan padaku."
"Aku habis mendaki, semacam itulah."
Sydney meneguk sodanya lagi, lalu menyentuh gelang indah
dari perak di pergelangan tangannya. "Semuanya berawal dari ini," ia
menambahkan. Sambil menghela napas dalam-dalam, Sydney menceritakan
peristiwa itu kepada Jason - tentang gelangnya yang jatuh ke dalam
tempat sampah yang menjijikkan, tikus, dan tas ransel berlumuran
minyak yang berisi uang kertas lima puluhan dolar.
Jason menatapnya, wajahnya menyiratkan ketakjuban. "Seratus
ribu dolar?" tanyanya pelan. "Ya ampun! Apa kau yakin?"
Sydney mengangguk. "Mungkin lebih. Kami terlalu gembira,
sehingga tidak benar-benar menghitungnya."
Jason bersiul pelan. "Semua ini rasanya tidak nyata!" ia melanjutkan. "Seperti di film!"
"Apa yang terjadi berikutnya?"
"Emma gembira sekali."
Jason tertawa. "Jangan bercanda?"
"Well, kau tahu dia hampir tidak punya uang, Jason," Sydney mengingatkan.
"Dia bukan satu-satunya yang tidak punya uang."
"Oh, ayolah," Sydney mendebat. "Keluargamu tidak berlebihan uang, mungkin. Tapi
kau punya cukup uang dan kau tahu itu."
"Oke. Lupakan itu." Jason membuka kaleng soda lagi dan
meneguknya. "Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Aku ingin menyerahkanrtya ke polisi," Sydney melanjutkan.
"Tapi kemudian Emma mulai bicara tentang semua hal yang bisa
dilakukan dengan uang itu. Aku mulai tertarik juga. Kami berdebat
sedikit. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk menyimpan uang itu.
Mengambilnya dan menyembunyikannya."
Sydney mengatakan kepada Jason tentang mengubur tas uang
itu di bawah pohon willow di Hutan Fear Street. Ketika ia selesai, ia hampir
tertawa lega. Rasanya enak sekali menceritakan kepada
seseorang apa yang telah mereka lakukan!
Jason bersiul lagi. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke
depan, matanya bersemangat. "Oke, dengar," katanya. "Apa kau yakin tak ada orang
lain di lorong itu?"
"Hanya Emma dan aku. Dan tikus." Sydney bergidik. "Kau seharusnya melihat tikus
yang memuakkan dan menjijikkan itu, Jason!
Tikus itu sebesar..."
"Kau tidak melihat orang lain di perjalanan keluar?" potong Jason. "Tak seorang
pun mengikuti kalian ke hutan itu?"
"Positif deh, tak seorang pun yang melihat."
Jason mengangguk kepada dirinya sendiri. "Katakan lagi
tentang uang itu," katanya. "Siapa yang sebenarnya menemukan uang itu" Kau atau
Emma?" "Well, aku yang menemukan tas itu," sahut Sydney. "Dan kupikir aku melihat
selembar uang kertas menyembul dari tas itu.
Kemudian Emma membukanya dan melihat semua uang itu." Ia
mengernyitkan dahinya kepada Jason. "Kenapa kau menanyakan itu?"
"Sayang sekali Emma membuka tas itu." Jason berhenti. Sebuah senyuman aneh
mengembang di wajahnya. "Sekarang satu-satunya
jalan agar kau dan aku bisa membagi uang itu adalah membunuh dia."
Chapter 6 "APA?" Sydney sesak napas. Apakah pendengarannya benar"
Ia pasti tidak salah dengar! "Apa katamu?"
"Kataku, kalau kau dan aku akan membagi uang itu, kita harus
membunuh Emma dulu," Jason mengulangi.
"Astaga." Sydney menatapnya dengan syok.
"Apa kau tidak melihat film itu?" tanya Jason. "Keempat laki-laki ini menemukan
tas penuh uang tunai. Mereka memutuskan untuk
memiliki uang itu. Dan kemudian mereka saling bunuh untuk
meyakinkan rahasia itu aman."
"Aku tak pernah melihatnya," sahut Sydney.
"Film hebat." Jason menyeringai.
Sydney merasa lega. "Untuk sedetik, kupikir kau serius,"
katanya. "Maksudku, tentang membunuh Emma."
Mata Jason yang biru terbelalak keheranan. "Begitukah
pikiranmu tentang diriku?"
Sydney tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tertawa, merasa
malu. Menemukan uang itu telah membuatku gila sungguhan, ia
menghardik dirinya sendiri.
Jason menggelengkan kepalanya. "Aku sedang membicarakan
tentang film, Sydney. Kau tahu... negeri fantasi?" Ia menarik Sydney mendekat
dan menciumnya lagi. "Tentu saja aku tidak serius!"
****************************
Senin sore, langkah-langkah kaki menggema dengan kerasnya
di gang panjang berlantai keramik Shadyside High, ketika murid-
murid bergegas menuju pelajaran mereka yang terakhir.
Sambil berdesak-desakan di sepanjang kerumunan itu, Sydney
mencari-cari catatan yang dibawanya. Di mana PR kimianya" Ia telah
membawanya ke sekolah, kan"
Ia melangkah keluar dari arus anak-anak yang sedang berjalan
itu. Ia menyandarkan tubuhnya d i dinding dan memeriksa catatannya
lagi. PR-nya tidak ada di sana.
Ia pasti telah meninggalkannya di dalam lemarinya. Sekarang ia
harus pergi ke lantai bawah untuk mencarinya.
Sydney menghela napas dengan frustrasi. Perasaannya kacau
sepanjang hari. Ia tidak tidur sepanjang malam. Dan ia lupa memasang
alarmnya, jadi ia harus buru-buru ke sekolah. Tidak ada waktu untuk
menyisir rambutnya sampai setelah pelajaran pertama selesai.
Pada saat makan siang, ia membuang seluruh isi bakinya,
termasuk sendok-garpu, ke dalam kaleng tempat sampah.
Ia lupa sama sekali tentang ulangan bahasa Inggris dan harus
mengejarnya. Gara-gara uang itu, Sydney berkata pada dirinya sendiri ketika
berjalan kembali ke dalam kerumunan di gang itu. Uang itu
mengubahku menjadi selalu senewen!
"Sydney, tunggu!" sebuah suara memanggil dari belakangnya.
Sydney melihat lewat bahunya. Emma berjalan
menghampirinya. Mereka tidak sekelas, bahkan makan siang pun
tidak bersama, jadi inilah pertama kalinya ia melihat Emma sepanjang hari ini.
Emma tampaknya tidak terlalu senewen, pikir Sydney. Ia
kelihatan bahagia. Bergairah. Barangkali tidur nyenyak. Mimpi
tentang memberi ibunya uang untuk biaya operasi, dan kemudian
dilanjutkan dengan berbelanja.
"Hai!" Emma berteriak, dan akhirnya berhasil mengejar
Sydney. "Coba terka?"
"Apa?" "Aku membawa koran-koran pagi ini!" Mata Emma yang biru
berkilat-kilat. "Tak ada berita," ia mengumumkan, suaranya penuh arti.
Sydney melihat ke sekelilingnya. "Menurutku sebaiknya kita
tidak membicarakan tentang uang itu di sini, oke?"
Emma tertawa. "Ceria, dong, Sydney. Aku kan cuma bilang
bahwa aku membawa koran. Lagi pula, tak seorang pun yang menaruh
perhatian." "Kau benar. Aku hanya gugup," jawab Sydney.
"Well, santai sajalah." Emma mendorongnya ke samping. "Dan bersikap optimislah.
Dalam tiga belas hari lagi, kalau tidak ter jadi apa-apa, kita akan bebas
membawanya pulang!" Sydney mengangguk dan memaksa tersenyum ketika orang
banyak mendorong mereka menuju anak tangga. Ia berharap Emma
tidak akan bicara soal uang itu lagi.
Ia dan Emma mulai menuruni tangga. Sekelompok besar anak-
anak lain berjalan cepat di belakang mereka. Dengan suara berisik
mereka membicarakan pertandingan bola basket yang akan datang.
Salah seorang di antara mereka mendorong Sydney dari
belakang. Ia tergelincir. "Hei!" teriaknya sambil menyambar pegangan tangga agar
tidak jatuh. Tawa keras anak-anak itu tiba-tiba meledak. Dan kemudian
terdengar jeritan yang menusuk telinga.
Sydney berbalik ke kiri. Tepat pada saat itu ia melihat lengan
Emma menggapai-gapai. Tangannya tidak memegang apa-apa, kecuali
udara. Ia sedang jatuh! Sydney sadar.
Sambil memeluk pegangan tangga dengan satu tangan, Sydney
melemparkan lengannya yang bebas untuk menangkap sahabatnya.
Terlambat. Diiringi jeritan mengerikan, Emma terlempar ke depan seperti
seorang penyelam dan jatuh berguling-guling dengan kepala lebih
dulu dari anak tangga semen yang curam.
"Emma!" teriak Sydney.
Emma menghantam anak tangga tengah dengan suara gedebuk
yang memualkan, kemudian membentur dan berguling sepanjang jalan
ke dasar tangga. Murid-murid mulai dari tangga bagian atas melompat ke
samping sambil berteriak kaget. Emma mendarat dengan tubuh
terempas di kaki mereka. "Emma!" teriak Sydney. Dengan panik ia lari turun. Tapi
seseorang menghalangi jalannya. Kemudian orang lain menabraknya
dari samping, mengempaskannya dengan keras ke pegangan tangga.
Sambil terengah-engah ia melihat ke atas, ke puncak tangga
sekilas. Jason berdiri di sana, sedang menatap ke bawah. Bukan pada
Sydney. Pada Emma. Sydney melihat giginya, putih dan mengilat. Dan matanya
mengerut di bagian sudut.
Apakah Jason tersenyum" Apakah ia benar-benar sedang
tersenyum" Tidak, tentu saja tidak, Sydney berkata pada dirinya sendiri.
Jason tidak akan tersenyum pada saat seperti ini. Itu cahaya.
Bayangan. Atau apalah! Sydney ingin sekali menghampiri sahabatnya. Ia berbalik dari
Jason dan menuruni tangga.
Kerumunan anak-anak membungkuk berdempetan dalam
lingkaran ketat di dasar anak tangga sambil menatap ketakutan.
Mereka begitu diam, pikir Sydney. Mengapa mereka tidak
menolong Emma" Mengapa mereka tidak memanggil bantuan"
Sambil mendorong-dorong menerobos murid-murid yang
berkerumun itu, Sydney akhirnya melihat sahabatnya sekilas.
Emma tertelungkup, lengannya terentang di atas kepalanya.
Rambut pirangnya yang panjang tergerai di lantai.
Ia begitu diam, pikir Sydney.
Sydney berlutut. Disibakkannya rambut dari wajah Emma
dengan lembut. "Emma?" bisiknya.
Emma tidak bergerak. "Emma?" Sydney menyentuh punggung sahabatnya. "Emma."
Tak ada reaksi. Tak ada gerakan sama sekali. "Dia tidak
bernapas!" Sydney meratap. "Dia mati!"
Chapter 7 "AKU tak percaya, bahkan tulangnya pun tidak ada yang
patah!" seru Sydney kira-kira untuk kesepuluh kalinya. "Apakah Anda yakin dia
akan sembuh?" Dr. Lasher mengangguk dengan cepat dan melipat stetoskopnya
ke dalam tasnya. "Dia akan merasa kesakitan selama beberapa hari karena luka
memarnya," ujar dokter itu. "Kepalanya mungkin akan sakit sedikit. Tapi tidak
ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang
harus dicemaskan." Ia tersenyum pada Sydney. "Cobalah untuk santai, Sydney.
Temanmu baik-baik saja."
Masih terguncang, Sydney menjatuhkan diri di kursi yang
buatannya tidak halus dan sudah pudar di ruang tamu rumah Emma.
Ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan keadaan temannya
yang sedang terbaring begitu diam di dasar tangga itu! Sydney tahu
bahwa beberapa detik kemudian akhirnya Emma bernapas kembali.
Tapi rasanya seperti berjam-jam.
Kemudian mata Emma terbuka. Ia duduk, mencoba berdiri.
Perawat sekolah memeriksanya dengan teliti. Ia terguncang hebat, tapi kelihatan
baik-baik saja. Jadi, Sydney mengantar Emma pulang, kemudian memanggil
dokter keluarganya sendiri untuk datang memeriksa Emma. Sekarang
Emma sedang tidur di kamar tidurnya. Ibu Emma sudah berangkat
bekerja. "Ini." Dr. Lasher menyerahkan sepasang bungkusan gel yang


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa disimpan di lemari es. "Simpan ini di dalam kulkas. Dia bisa mengoleskannya
di bahu kirinya. Bahu kirinya akan terasa sakit."
Sambil mengucapkan terima kasih lagi, Sydney mengantar
dokter itu keluar. Lalu ia menutup pintu dan memandang ke sekeliling ruang tamu.
Bersih, tapi gelap dan pudar. Di ruangan itu terdapat sebuah
dipan lipat tempat ibu Emma tidur, dua buah kursi malas yang sudah
tua, dan sebuah televisi yang makan tempat.
Sebuah ember plastik dengan air setinggi satu inci berdiri di
sebuah sudut. Atapnya bocor, Sydney ingat sambil menghela napas.
"Sydney?" Emma memanggil dari kamar tidur.
"Kau lemah! Tunggu sebenar." Sydney berjalan masuk ke
dapur. Diambilnya bungkusan gel di dalam kulkas. Kemudian ia
bergegas berjalan di gang pendek itu, menuju satu-satunya kamar tidur yang ada
di dalam rumah itu. Emma berusaha membuat suasana ceria di kamar itu dengan
menempelkan poster-poster film di dinding; sebuah permadani kuning
terhampar di lantai. Tapi karena hanya ada sebuah jendela kecil,
kamar itu tetap suram dan berbayang-bayang.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sydney. "Mau aspirin" Atau mungkin kau ingin makan
atau minum?" Emma menggelengkan kepalanya. "Tidak sekarang. Trims,"
gumamnya. Sydney menyeberangi kamar itu dan duduk di pingir ranjang.
"Kau yakin?" "Aku baik-baik saja." Emma menyibakkan rambutnya ke
belakang dan memejamkan matanya, cemberut.
"Kata Dr. Lasher, sebenarnya kau baik-baik saja," kata Sydney kepadanya sambil
mencoba bersuara riang. "Kau tidak kelihatan
parah, kok," ia menambahkan. "Agak pucat, sih. Tapi yang pasti, kau tidak
seperti baru jatuh dari tangga."
Mata Emma mendadak terbuka. Sambil menumpuk bantal di
belakang punggungnya, ia menggerakkan tubuhnya dalam posisi
duduk. Ia menatap Sydney dengan sungguh-sungguh.
"Aku tidak jatuh, Syd," ia memberi pernyataan.
"Apa" Apa maksudmu?"
"Seseorang mendorongku."
"Mendorongmu" Apa kau yakin?" desak Sydney.
"Kau ingin tahu siapa?" tanya Emma. "Jason."
Chapter 8 "HAH?" Sydney menatapnya. "Tidak! Tidak mungkin! Dia..."
"Aku melihat dia di belakangku," kata Emma kepadanya. "Lalu aku merasakan
tangannya di bahuku. Kupikir dia hanya bercanda, tapi
kemudian aku sadar kalau aku salah."
Bibir Emma membentuk senyuman pahit. "Maksudku, Jason
dan aku bukan teman baik. Kami tidak suka keluyuran bersama."
Sydney menggelengkan kepala. Ia tidak mempercayai ini!
"Aku merasakan tangan Jason," Emma melanjutkan dengan
suara gemetar. "Kemudian dia... dia mendorong aku dari atas tangga!"
"Tidak!" Sydney bangkit dari ranjang. "Itu gila!"
"Gila?" Emma duduk lebih tegak. "Boleh aku tanya sesuatu padamu, Sydney" Apa kau
memberitahu Jason tentang uang yang kita
temukan?" "Emma, apa hubungannya itu dengan kasusmu?" teriak Sydney.
"Jawab saja," desak Emma. "Apa kau memberitahu dia tentang tas uang itu?"
"Ya! Oke, aku memberitahu dia!" Sydney mengakui.
Wajahnya merah padam, penuh rasa bersalah. "Aku sebenarnya
tidak berniat memberitahu dia. Tapi ketika aku kembali dari hutan
kemarin, dia melihat ada yang tidak beres. Dia menanyakan aku dari
mana. Dan aku mengarang cerita konyol tentang kerja lembur. Heran,
dia tidak percaya padaku."
"Yeah. Kau tidak pintar berbohong," kata Emma.
"Lantas dia marah. Marah sekali," Sydney melanjutkan.
"Pikirnya aku kencan dengan cowok lain. Aku tak ingin dia berpikir seperti itu.
Di samping itu, aku masih merasa aneh tentang apa yang
telah kita lakukan."
"Jadi, kau mengatakan padanya yang sebenarnya?" desak
Emma sambil menyipitkan matanya pada Sydney.
Sydney mengangguk. "Apa kau memberitahu dia juga di mana kita menyembunyikan
uang itu?" Sydney mengangguk. "Semuanya. Maafkan aku, aku tahu aku
berjanji untuk tidak mengatakannya. Tapi, Emma, kau salah kalau
menuduh dia mendorongmu. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu!
Kenapa dia harus melakukannya?"
"Apa kau bercanda?" tanya Emma ragu-ragu. "Untuk uang itu!"
"Tidak!" Sydney mendebat. "Jason tidak miskin. Keluarganya punya cukup uang!"
"Tidak cukup untuk dirinya sendiri," ujar Emma. "Ingat sepatu karet yang
diinginkannya" Sepatu seharga seratus lima puluh dolar"
Dia sudah punya sepasang yang bagus sekali, tapi dia terus-menerus
bicara tentang sepatu yang lain itu sampai kau pergi dan membelikan
sepatu itu untuknya!"
"Jadi, apa?" "Berarti dia serakah!" Emma balas menembak. "Kau mengenal dia, Syd. Dia selalu
membujukmu untuk membelikan dia sesuatu.
Seperti beeper. Dan CD player untuk mobilnya. Dia tidak miskin. Dia
serakah!" "Tidak." Sydney menyilangkan lengannya dan menggelengkan
kepalanya dengan keras. "Tidak!"
"Ya," Emma bersikeras. "Itulah sebabnya dia mendorong aku.
Mencoba membunuh aku. Aku bertaruh dia akan membunuh aku demi
uang bagianku!" Ucapan Emma tidak masuk akal, Sydney berpikir dengan putus
asa. Tak ada ucapannya yang masuk akal!
"Emma, dengar. Kau baru jatuh dari tangga yang curam.
Tangga dari semen. Kepalamu pasti telah menghantam lebih keras
daripada yang dikatakan dokter, karena kau tidak berpikir dengan
jernih! Apa yang kaukatakan tentang Jason ngawur semuanya!"
Mata Emma berkilat, tapi ia tidak menjawab.
Sydney berbalik dan menatap ke luar jendela. VW tua usang
yang diberikan paman Emma kepada Emma berdiri di bidang tanah
berkerikil yang sempit di samping rumahnya. Ketika Sydney menatap
mobil itu, bayangan Jason merayap di benaknya.
Jason, ketika ia berdiri di puncak tangga sekolah hanya
beberapa jam sebelumnya. Matanya berkerut di sudut, menatap Emma
di bawah. Mulutnya memperlihatkan senyuman.
Senyuman aneh yang sama yang telah dilihat Sydney tadi
malam, ketika ia bicara tentang membunuh Emma.
Tapi ia hanya bicara tentang sebuah film! pikir Sydney.
Katanya ia hanya bercanda!
Tapi benarkah ia bercanda" Sydney bertanya dalam hati dengan
bergidik. Apakah Jason benar-benar mencoba membunuh Emma"
Chapter 9 SYDNEY berjalan cepat di gang sekolah keesokan paginya
dengan wajah cemberut. Ia tidak punya banyak waktu. Bel pergantian
pelajaran akan berdering beberapa menit lagi.
Ia harus bicara dengan Jason sekarang. Harus mencari
jawabannya, kenapa Jason berdiri di sana dengan senyuman di
wajahnya, sementara Emma jatuh ke dasar tangga.
Emma begitu yakin Jason mendorongnya, pikir Sydney.
Apakah ia salah" Atau Jason benar-benar mencoba membunuh Emma
demi uang bagian Emma"
Sydney merinding. Ia berharap mereka tidak pernah
menemukan uang konyol itu! Ia hampir tidak tidur selama dua malam,
mencemaskan hal itu. Sekarang ia harus menghadapi pacarnya dan
mencari tahu apakah Jason memang mencoba membunuh seseorang
karena uang itu! Ketika Sydney memutari pojokan, bel berdering. Ia
menyeberangi gang dari lab komputer dan mengawasi murid-murid
ketika mereka mulai mengalir keluar dari pintu.
Jason adalah orang ketiga yang keluar. Ia menunduk sambil
menjejalkan beberapa lembar kertas ke dalam tas punggungnya. Lalu
ia bergabung dengan arus murid-murid di sepanjang gang itu.
"Jason!" panggil Sydney.
Jason mendongak. Matanya mencari-cari di gang itu. Kemudian
ia melihat Sydney, dan tersenyum.
Sydney menelan ludahnya. Tidak mungkin itu senyuman
seorang pembunuh, pikirnya. Tidak mungkin!
"Hei, Sydney." Sambil menutup tas punggungnya, Jason
menyusup-nyusup di gang yang penuh sesak itu dan bergabung
dengannya. "Ada apa?"
"Aku harus bicara denganmu," kata Sydney kepada Jason. "Aku mencoba meneleponmu
tadi malam, tapi tak ada orang di rumah."
"Yeah, kami pergi ke rumah kakakku untuk makan malam."
Jason meraih tangannya, menarik Sydney agar melangkah di
sampingnya. "Kita bisa bicara sambil jalan. Ada apa?"
Sydney menghela napas gemetar. "Tentang Emma."
Mata Jason berkilat. "Kenapa dia" Dia baik-baik saja, kan"
Maksudku, dia bisa berdiri dan berjalan setelah jatuh kemarin, jadi
aku..." "Dia baik-baik saja," Sydney menyela. "Apa kau benar-benar peduli?"
"Hah" Apa maksudmu?"
Sydney menarik Jason keluar dari orang banyak, menuju ke
samping gang. "Katanya kau mendorong dia dari tangga itu!" kata Sydney tiba-
tiba. "Katanya dia melihat kau di belakangnya, Jason!
Lalu dia merasakan tanganmu di bahunya. Dan kemudian dia merasa
kau mendorongnya!" "Gila!" Jason menghantam sebuah loker dengan marah. "Emma benar-benar gila!"
"Tapi kau ada di tangga itu," Sydney mengingatkan. "Aku melihatmu. Dia tidak
mengarang." "Tidak!" Ketika Jason mengusapkan jari-jarinya di rambutnya yang
pirang pasir, warna merah redup merayap di pipinya. "Aku di sana.
Aku bisa menebak kenapa Emma berpikir aku mendorongnya. Tahu,
tidak, aku tersandung. Jadi, aku mengulurkan tanganku untuk menjaga
keseimbanganku dan... aku menabrak dia. Aku merasa ketakutan
tentang itu!" "Lalu kenapa kau tersenyum?" Sydney menuntut. "Tepat setelah dia jatuh,
seseorang mendorong aku ke arah pegangan tangga. Aku
menengok ke belakang. Kau sedang mengawasi dia jatuh, dan kau
tersenyum, Jason!" Jason menggelengkan kepalanya, matanya yang biru terbelalak
dengan ekspresi tidak bersalah. "Aku terguncang, Sydney! Maksudku, benar-benar
terguncang! Aku mencoba menjerit, tapi aku tak bisa
mengeluarkan suara. Wajahku jadi beku. Mungkin kelihatannya aku
seperti sedang tersenyum. Tapi aku tidak sedang tersenyum!"
Sydney menatapnya sejenak, kemudian m-rosot ke tepi loker-
loker itu. Jadi, semua itu adalah kecelakaan, pikirnya dengan perasaan lega.
"Jason, maafkan aku," gumamnya. "Aku bingung sekali dan gugup. Aku tidak
bermaksud menuduhmu."
"Jangan cemaskan itu." Jason tersenyum dan mengecup
keningnya. "Tak apa, Syd. Sungguh. Seperti kukatakan, aku bisa
maklum kenapa Emma berpikir aku mendorong dia."
"Kau seharusnya memberitahu dia. Menjernihkan semua
persoalan ini dan minta maaf. Maksudku, kau yang menyebabkan dia
jatuh, meskipun itu tidak sengaja," kata Sydney.
"Kaupikir dia akan mempercayaiku?" tanya Jason."Dia benci aku sampai isi
perutku!" "Tapi kalau kau menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, dia
akan percaya," Sydney mendebat. "Aku tahu kalian tidak saling suka.
Tapi kau sebaiknya mengatakan kepadanya dengan sungguh-sungguh.
Siapa tahu" Mungkin kalian akan benar-benar menjadi sahabat."
"Jangan mengharapkan itu." Jason menghela napas. Ia
memainkan ritsleting tas ranselnya selama sedetik. Lalu ia
mengangkat bahu. "Kau benar. Aku seharusnya mengatakan
kepadanya apa yang telah terjadi."
"Bagus." Ia tersenyum. "Aku akan mencoba membetulkan mobilnya.
Akan kulihat apa aku bisa melakukan sesuatu agar mobilnya bisa
berjalan lebih baik. Aku akan memperbaikinya dengan cuma-cuma.
Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Hebat!" Sydney melingkarkan lengannya di leher Jason dan
menciumnya lagi. "Trims, Jason!"
Jason bergegas ke kelas pelajaran bahasa Inggris-nya. Sydney
menghela napas lega. Emma keliru, itu saja, katanya pada dirinya
sendiri. Jason tidak akan pernah mencoba membunuh seseorang demi
uang! Sore harinya, Sydney duduk di ranjangnya. Ia sedang belajar
untuk ulangan sejarah sambil makan keripik. Ketika hendak merogoh
isi kantong kerip ik lagi, pesawat telepon di samping ranjangnya
berdering. "Halo?" "Coba tebak apa yang telah terjadi," Emma memberitahu.
Sydney menjilati garam dari jari-jarinya. "Apa?"
"Jason baru saja meninggalkan rumahku, dan mobilku benar-
benar mendengkur seperti anak kucing!"
"Kau bercanda" Hebat!" Sydney tersenyum pada dirinya
sendiri. Jason sudah ke sana.
"Yeah, dan tebak apa yang lainnya?" tanya Emma. "Dia tidak memungut bayaran
untuk itu. Plus, dia menjelaskan padaku
bagaimana dia tersandung di tangga, lalu membentur aku. Itulah
sebabnya aku jatuh." Ia tertawa. "Aku tak percaya - cowok itu benar-benar merasa
bersalah!" "Tentu saja," tandas Sydney. "Dia memberitahu aku tentang kejadian itu di
sekolah pagi ini. Dia merasa sangat ngeri."
"Aku percaya. Setelah dia membetulkan mobilku dan tidak mau
dibayar, aku merasa bahwa dia merasakan yang lebih buruk lagi."
"Emma!" "Sori. Dengar, maafkan aku telah menuduh dia, Sydney," kata Emma. "Aku benar-
benar stres. Aku masih seperti ini. Memar di
bahuku warnanya masih jelas. Dan kepalaku tetap sakit."
"Kata Dr. Lasher, kau mungkin akan merasa sakit," sahut
Sydney. "Ada baiknya kau tinggal di rumah sepulang sekolah hari ini.
Mungkin kau akan merasa baikan besok."
"Kuharap begitu." Emma menghela napas. "Tapi, omong-
omong, aku masih benar-benar gembira soal uang itu. Aku hampir tak
percaya uang itu milik kita! Coba pikir, Syd! Sebentar lagi kita akan dapat
membelanjakan uang itu!"
"Mmm." Sydney masih merasa tidak enak membicarakan uang
itu. "Hei, kenapa kita tidak pergi ke mal?" Emma memberi saran.
"Kita bisa melihat-lihat etalase untuk semua barang yang akan kita beli!"
"Well..." Sydney ragu-ragu. "Bagaimana dengan sakit
kepalamu" Kupikir kau tidak merasa sehat."
"Tidak. Tapi pergi ke mal akan membuat aku merasa lebih baik
sekali," sahut Emma. "Ayolah, Sydney. Itu akan menyenangkan."
Sydney melihat ke buku sejarahnya. Ia belum selesai belajar.
Tapi pelajaran sejarah adalah pelajaran yang paling dikuasainya. Di
samping itu, mereka tidak akan membelanjakan uang itu. "Oke. Aku akan ke sana


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjemputmu." "Tak usahlah. Aku yang akan nyetir," Emma memberitahukan
dengan tertawa. "Aku ingin melihat keajaiban yang dilakukan Jason pada mobilku.
Oh, tunggu," ia menambahkan. "Aku tidak bisa pergi sekarang. Aku telah berjanji
pada tetanggaku bahwa aku akan
mengawasi anak-anaknya pulang dari halte bus dengan selamat. Tidak
akan lama. Bagaimana kalau kau datang ke rumahku" Kemudian aku
akan menyetir mobilku ke mal."
"Oke. Sampai ketemu beberapa menit lagi."
Sydney menutup teleponnya dan berlari cepat ke ranjang.
Ketika ia sampai di ranjang, pesawat telepon berdering lagi.
"Bosan dengan sejarah?" tanya Jason. "Siap untuk pergi?"
"Sebenarnya sih aku baru saja menerima ajakan yang satunya,"
sahut Sydney. "Emma dan aku akan pergi ke mal. Dia yang nyetir, trims untuk
ajakanmu." Ia tertawa. "Dia benar-benar senang dengan mobilnya, Jason. Trims ya
untuk..." "Tunggu sebentar," potong Jason. "Emma yang nyetir?"
"Iya." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Kenapa?" tanya Jason bernada menuntut. "Kalian selalu memakai mobilmu kalau
pergi bersama-sama."
"Aku tahu. Tapi karena mobilnya sudah bisa jalan, dia..."
Sydney menghentikan kalimatnya dan mengernyitkan dahi. "Omong-
omong, apa bedanya?"
"Uh... eh..." Jason berhenti. "Dengar, bagaimana kalau aku menjemputmu saja"
Lalu kita pergi. Kau bisa menemui Emma lain
waktu." "Jason!" Sydney tertawa. "Aku sudah akan keluar pintu. Emma sedang menungguku."
"Telepon dia dan batalkan," kata Jason.
Ada apa dengan dia" Sydney bertanya dalam hati. "Kami tidak
akan pergi lama-lama. Aku akan meneleponmu begitu aku kembali."
Ketika Jason mulai memprotes lagi, Sydney mendengar suara
ibunya di ruangan bawah. "Dengar, aku harus pergi," katanya kepada Jason. "Mom
baru saja pulang. Aku harus menyampaikan beberapa
pesan telepon kepadanya. Sampai nanti!"
Di bawah, Sydney menyampaikan kepada ibunya pesan-pesan
yang ada. Ia memberitahu ibunya ke mana ia akan pergi. Setelah itu ia melompat
masuk ke mobil dan menyetirnya ke rumah Emma.
Emma sedang duduk menunggu di tangga semennya yang
retak-retak. Ketika Sydney keluar dari Miata-nya, Emma melompat
berdiri, menjuntaikan kunci mobil dari jarinya. "Siap untuk tes nyetir?"
"Tentu." Sydney tersenyum, lalu mengikuti Emma ke VW
cokelatnya yang tergores-gores.
"Kelihatannya tidak lebih baik," kata Emma ketika mereka
masuk ke jok depan. "Tapi suaranya fantastis. Dengar!"
Emma memutar kunci, dan mesin meraung hidup. Sambil
tertawa riang, ia memasukkan gigi dan menjalankan mobilnya ke
jalanan. Mobil itu berguncang-guncang melintasi lubang di jalanan. Ia
mengendarai mobilnya melewati jalanan sempit di Old Village,
kemudian membelok ke Division Street.
"Sekarang kita benar-benar bisa melihat, macam apa hasil
pekerjaan Jason!" teriaknya. Ia mengendarai mobilnya dengan lembut mengelilingi
jalan yang berkelok lebar, kemudian menancap gas di
bukit yang curam. "Hei, dia benar-benar memanjat bukit! Aku tak percaya!"
Sydney tertawa dan menyalakan radio. Gangguan udara
bergemeresik melalui pengeras suara. "Lain kali, suruh Jason
membetulkan radio ini," ia memberi saran sambil mematikan radio itu.
"Ha! Mungkin tidak akan ada waktu lain," komentar Emma
ketika mobil itu mendaki puncak bukit yang curam. "Mungkin aku
hanya akan mengambil bagian uangku dan membeli sebuah mobil
baru yang bagus untukku sendiri!"
Mobil itu menambah kecepatannya ketika menuruni bukit.
Pepohonan dan semak-semak menjadi hijau kabur. Roda-roda
menderu di jalanan ketika mobil itu meluncur menuruni bukit.
Di bawah sana ada perempatan jalan. Emma menghela napas
dan menyentuhkan kakinya ke rem.
Mobil itu tidak menjadi pelan.
"Emma?" Sydney menatap lampu merah di depan. "Lebih baik pelankan."
"Aku sedang mencoba." Emma menekan rem lagi lebih keras.
Tidak terjadi apa-apa. "Emma, pelan, dong!" Sydney berteriak.
"Aku tak bisa!"
Emma memompa pedalnya dengan kalut. "Aku tak bisa
menghentikan mobil ini! Remnya blong!"
Chapter 10 MOBIL itu meluncur dengan cepat menuruni bukit, makin
cepat dan makin cepat lagi.
Sydney mencengkeram sandaran lengan, menatap ke dasar
bukit itu dengan ketakutan.
Sebuah minivan perak berhenti di persimpangan. Dalam
beberapa detik lagi mobil itu akan berada tepat di jalurnya. "Van itu...
kita akan menabraknya!" jeritnya.
Matanya melotot. Emma memompa rem yang tidak berfungsi
itu. "Aku tak bisa berhenti! Aku tak bisa berhenti!"
Minivan itu menuju persimpangan.
Emma menekan klakson dan tangannya tetap di atas klakson.
Minivan itu tersentak berhenti. Tapi sekarang mobil itu telah
sampai ke tengah-tengah persimpangan jalan.
Sydney melihat wajah sopir itu, beku ketakutan dan terguncang.
"Cobalah rem darurat!" jerit Sydney.
Emma tidak menanggapi. Dengan satu tangan di klakson dan tangan satunya di setir
mobil, ia menatap lurus ke depan, matanya terbelalak panik.
Sydney mengulurkan tangannya, menyambar rem darurat dan
menarik tuasnya ke atas. Bunyi besi mencicit. Kerikil berterbangan. Mobil itu bergeser
dan tergelincir. Van perak itu mundur. Pada detik terakhir, Emma membanting setir ke kiri dan
membelokkan mobil itu. Melenceng hanya beberapa inci jaraknya.
Dengan bunyi klakson meraung-raung, mobil itu melewati
persimpangan jalan, berputar dalam lingkaran penuh, dan berhenti di
bahu jalan yang lembut di seberangnya.
Sydney memejamkan matanya, bersandar di pintu. Sekujur
tubuhnya gemetar. Ketika ia sedang mengatur napas dengan susah
payah, didengarnya Emma sedang terengah-engah di sampingnya.
Mata Sydney terbuka seketika. Emma duduk dengan kepala
tertelungkup di setir. Lengannya terkulai lemas di sampingnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Sydney. "Apa kau terluka?"
Emma menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Hanya
ketakutan," gumamnya dengan suara gemetar.
"Aku juga." Sydney merinding. "Kita beruntung sekali, Emma.
Kita bisa mati!" "Aku tahu. Itu yang diinginkannya."
Sydney menatapnya. "Hah" Apa maksudmu?"
"Aku benar." Emma mengangkat kepalanya dan menatap
Sydney dengan ketakutan. "Jason sedang mencoba membunuh aku.
Tidakkah kaulihat" Dia mengacaukan remnya. Itulah sebabnya dia
memperbaiki mobilku dengan suka rela!"
"Tidak!" teriak Sydney. "Pertama kau berpikir dia
mendorongmu dari tangga dengan sengaja. Sekarang kau menuduhnya
mengacaukan rem! Itu tidak benar, Emma!"
"Oh?" Emma menyipitkan matanya. "Sebelum dia
membetulkan mobilku, tidak ada masalah dengan remnya," katanya
dengan gigi gemeletuk. "Remnya bekerja dengan baik. Karburatorku yang tidak
beres, bukan remnya!"
"Mobil ini sudah tua," Sydney mendebat. "Barangkali kondisi remnya sudah buruk.
Kau hanya tidak tahu saja."
"Menurutmu begitu?" tanya Emma ragu-ragu.
"Tentu!" Sydney menekankan.
Sambil menghela napas dalam-dalam, Emma melepaskan sabuk
pengamannya dan mendorong pintu di sampingnya hingga terbuka.
"Akan kuperiksa apakah aku dapat melihat apa yang tidak beres. Lalu kita bisa ke
kota dan memanggil mobil derek."
Tubuh Sydney masih gemetar. Ia memelintir sehelai rambutnya
di jarinya dan mengawasi Emma berjalan ke depan mobilnya.
Tutup mobil terangkat dengan bunyi metal gemerincing. Emma
menunduk dan mengintip ke dalam. Kemudian ia berlutut, lenyap dari
pandangan Sydney sebentar.
Apa yang sedang dilakukannya" Sydney bertanya dalam hati.
Ketika ia menjulurkan lehernya, mencoba melihat, Emma mendadak
bangkit lagi. "Sydney!" ia memanggil dengan tajam.
"Apa?" Jantung Sydney berdegup makin kencang. "Ada apa?"
"Kemarilah!" Suara Emma berguncang ketakutan lagi. "Kau harus melihat ini!"
Sydney beringsut keluar dari mobil, lari cepat ke arah Emma,
dan melihat ke bawah kap mobil itu. "Hah?" teriaknya, jantungnya berpacu. "Aku
tidak melihat apa-apa. Apa yang akan kautunjukkan padaku?"
Chapter 11 "BUKAN di situ!" kata Emma kepadanya.
Ia mencengkeram pergelangan tangan Sydney dengan jari-
jarinya yang dingin dan menariknya berlutut di atas batu-batu kerikil.
Kemudian Emma menunjuk ke bagian bawah mobil itu, dekat
roda depan bagian kiri. "Lihatlah ke sana!"
Sydney merunduk dan melihat ke tempat yang ditunjuk Emma.
Sebuah tabung metal yang panjang, tidak lebih besar daripada
jerami, meliuk di bawah tempat roda. Dalam cahaya yang suram,
Sydney melihat tabung itu telah terpotong rapi.
"Apa itu?" tanyanya.
"Sepatu rem," sahut Emma.
"Hah" Maksudmu...?"
"Aku memeriksa yang satunya lagi di seberangnya. Juga
dipotong," kata Emma.
Sydney berdiri perlahan-lahan.
"Ini bukan kecelakaan, Sydney," kata Emma dengan tegas.
"Seseorang memotong sepatu rem itu."
Sydney menatap Emma, ngeri. Yang dimaksudnya, Jason,
pikirnya. Bukan seseorang yang lain. Jason!
Sydney terpaku ketakutan. Lalu ia berbalik dan bergegas masuk
ke dalam mobil. Emma naik di sampingnya. Ia membanting pintu keras-keras.
"Kaulihat, kan?" tanyanya. "Kau percaya padaku sekarang" Jason sedang mencoba
membunuh aku." Jantung Sydney memukul-mukul kencang di dadanya. Ia
memelintir sehelai rambut ikalnya yang berwarna gelap di jari
tangannya dan memejamkan mata. "Itu tidak benar!" teriaknya. "Tidak benar sama
sekali!" "Pikirkan tentang itu!" Emma bersikeras. "Kita menemukan setumpuk uang. Kau
memberitahu Jason tentang uang itu. Kemudian
dia membentur aku dengan baik sekali dan menjatuhkan aku dari
tangga. Maka dia 'memperbaiki' mobilku untuk merancang semua ini."
Ia tertawa pahit. "Dia memperbaiki mobilku. Jason
memperbaikinya dengan bagus sekali, dan kita hampir mati!"
Sydney ingin menjerit kepada Emma. Menjerit bahwa ia salah.
Salah sama sekali. Tapi ia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Karena
mungkin, hanya mungkin, Emma benar.
"Jason menelepon aku persis sebelum aku pergi ke rumahmu,"
katanya pelan. Mata Emma berkilat-kilat. "Ya?"
Ketika aku mengatakan kepadanya kau yang menyetir ke mal,
dia kedengarannya... aneh."
"Apa maksudmu?"
"Pertama, dia ingin tahu kenapa kita memakai mobilmu, bukan
mobilku. Kemudian dia berusaha mencegah aku pergi denganmu."
Emma meninju setir mobilnya. "Aku tahu itu! Aku tahu!"
"Kalau itu yang benar-benar terjadi, dia berusaha mencegah aku
naik mobil ini," Sydney melanjutkan. "Berusaha melindungi aku."
Emma tertawa pahit. "Jangan bohongi dirimu sendiri, Syd.
Cowok serakah seperti itu tidak akan berbagi uang dengan yang
lainnya, meskipun itu ceweknya. Setelah membunuh aku, dia akan
memutuskan ingin memiliki semua uang itu untuk dirinya sendiri."
"Maksudmu dia akan berusaha... membunuh aku berikutnya?"
bisik Sydney. Emma mengangguk. "Perhitungkan itu."
Sydney memandang keluar lewat kaca depan dan melihat
sebuah mobil lewat di persimpangan. Kami bisa mati di sana, pikirnya dengan
bergidik. Apakah Jason menyabot mobil Emma"
Ia masih tidak mempercayainya. Tidak sama sekali. Tapi ia
harus mencari jawabannya. Ia tidak dapat berpura-pura tak ada apa
pun yang terjadi! "Syd?" Suara Emma memecah lamunan Sydney. "Menurutmu
apa yang seharusnya kita lakukan?"
"Aku akan bicara pada Jason," jawab Sydney. "Aku akan bertanya langsung
padanya." Emma mendengus. "Oh, tentu! Dan kaupikir dia akan
mengakuinya" Dia akan mengingkari semua ini. Memasang mimik tak
bersalah dan berbohong habis-habisan!"
"Lalu apa yang bisa kita lakukan?" desak Sydney.
"Sederhana saja," jawab Emma dengan tenang. "Bunuh dia dulu!"
Chapter 12 "EMMA!" Sydney sesak napas, ketakutan. "Apa katamu" Aku tak percaya apa yang
kaukatakan itu!" "Sori." Wajah Emma memerah. "Aku tidak bermaksud seperti itu, Syd. Aku hanya
bercanda!" "Tidak lucu!" Sydney membentak. "Tidak lucu sama sekali."
"Maafkan aku," Emma mengulangi.
"Terlalu banyak canda tentang saling membunuh," Sydney
mengungkapkan. "Kita sudah terlalu jauh. Ayo kita hentikan saja.
Setuju, Emma?" "Oke, " kata Emma. "Tapi apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan Jason?"
"Aku tidak tahu!" teriak Sydney. "Aku bosan duduk dalam mobil ini. Ayo kita
panggil truk derek. Kita bisa bicara di perjalanan dan mencari jalan keluar."
Kedua cewek itu meninggalkan mobil di pinggir jalan.
Kemudian mereka berjalan tergesa-gesa ke Division Street, mencari-
cari telepon umum. Angin musim semi yang dingin mengibar-ngibarkan rambut
Sydney dan menyebarkan bau pohon-pohon yang baru berbunga.
Langit berubah merah karena matahari yang akan terbenam.
Sydney hampir tidak memperhatikan semua itu. Hanya Jason
yang ada dalam pikirannya.
Apa yang dapat kami lakukan" tanyanya dalam hati dengan
kalut. Ia memandang Emma sekilas. Wajah temannya tegang karena
ketakutan. Tidak heran ia ketakutan, pikir Sydney. Ia hampir mati. Untuk
kedua kalinya. Mereka sampai di sebuah telepon umum. Sydney menunggu
sampai Emma selesai memanggil truk derek. Lalu katanya, "Kupikir sebaiknya kita
pergi ke polisi." "Untuk apa?" tanya Emma ragu-ragu. "Mengatakan kepada mereka bahwa pacarmu


Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang berusaha membunuh kita, jadi dia bisa
memiliki uang yang kita curi?"
"Well, kita tidak akan benar-benar melapor seperti itu," sahut Sydney.
"Apa ada cara lain?" desak Emma. "Tak ada yang bisa kita laporkan kepada polisi
tanpa menyebut-nyebut uang itu. Kalau kita
tidak memberitahu mereka tentang uang itu, Jason yang akan
memberitahu mereka. Kautahu dia akan melakukannya. Begitu
mereka mulai menanyai dia."
"Kukira kau benar."
"Aku yakin dengan pendapatku." Emma menyandang tasnya di
bahu. "Ayo. Kita harus kembali dan menemui truk itu."
"Tunggu sebenar, Emma!" teriak Sydney sambil menyambar
lengannya. "Semua ini sudah kelewatan. Aku menjadi senewen sejak kita menemukan
uang itu. Kumohon, ayo kita mengambilnya dan
mengembalikannya, lalu kita memberitahu polisi segalanya!"
"Sydney, tidak!" Emma memprotes. "Ibuku dan aku sangat memerlukan uang itu!"
"Berani mati demi uang itu?" desak Sydney.
"Tidak, tentu saja tidak," jawab Emma. "Tapi sejak kita menemukannya, yang ada
dalam pikiranku adalah memberikan uang
itu kepada Mom untuk biaya operasinya."
Ia menggelengkan kepala. "Aku tahu aku pernah bilang ingin
beli barang-barang untuk diriku sendiri. Aku tahu kedengarannya
sangat serakah. Tapi benar, Syd, aku butuh uang itu untuk satu hal -
operasi Mom." "Aku tahu," Sydney mengiyakan dengan lembut. Ia menggigit
bibirnya, frustrasi. Ia ingin mengusir bayangan uang itu mati-matian.
Ia hampir lupa tentang operasi.
Seperti sebuah mimpi buruk, pikir Sydney. Aku merasa
terperangkap dalam mimpi buruk, tanpa ada jalan untuk bangun.
"Jangan laporkan kepada polisi soal ini," Emma memohon.
"Kumohon. Harus ada jalan lain!"
"Cara apa?" tanya Sydney ketika mereka berdua berjalan balik ke mobil. "Kalau
Jason benar-benar sedang berusaha memiliki uang itu untuk dirinya sendiri, apa
yang dapat kita lakukan?"
Emma berhenti dengan tiba-tiba.
Ia mencengkeram lengan Sydney. "Hei, aku punya sebuah ide
hebat!" ia memberitahu. "Kukira ini akan memecahkan semua
masalah kita." Chapter 13 "LEBIH baik bukan gurauan tentang membunuh orang lagi,"
Sydney memperingatkan. Emma menggelengkan kepalanya. "Bukan. Aku janji, deh. Ini
mengenai apa yang harus kita lakukan, Syd. Kita libatkan saja Jason
dalam penemuan uang itu!"
"Maksudmu menawari dia bagian?"
"Tidak hanya beberapa - sepertiganya," kata Emma. "Kita jadikan dia partner,
paham" Lalu kita semua akan menjadi pihak yang
sama." Ia menatap Sydney lekat-lekat. "Ide hebat atau tidak?"
"Ya!" Sydney setuju. "Ide yang fantastis!" Sekarang ibu Emma akan dapat
menjalani operasinya, pikirnya.
Kita semua akan punya uang.
Dan tak seorang pun akan mati....
Mereka kembali ke rumah Emma. Emma mendesak agar
Sydney menelepon Jason dan menyuruhnya datang, jadi mereka dapat
mengutarakan tawaran mereka kepadanya.
"Aku ingin dia tahu sekarang, sebelum sesuatu yang lain
terjadi," ia menjelaskan. "Sehingga aku bisa tidur malam ini."
Jason datang dengan cepat. Ia keluar dari mobilnya dengan raut
wajah ingin tahu. "Ada apa?" tanyanya sambil memandang Sydney dan Emma
bergantian. Sydney menatap Jason sejenak. Kalau saja aku bisa membaca
pikiranny, pikirnya. Apakah dia mencoba membunuh Emma" Apakah dia benar-
benar melakukan itu"
"Ada apa?" Jason mengulangi. "Kenapa kalian berdua menatap aku seperti itu?"
"Rem Emma... rem Emma dipotong," kata Sydney dengan tiba-
tiba. Ia menyipitkan matanya, memandang Jason. "Kau membetulkan mobilnya. Tapi
remnya dipotong. Kami... kami hampir..." Kata-kata itu tersangkut di tenggorok-
annya. Mulut Jason ternganga. "Aku mengetes remnya!" ia mengaku.
"Remnya berjalan baik. Sungguh!"
"Tapi, Jason...," kata Emma. "Kau..."
"Setelah aku selesai memperbaiki mobil itu, aku
mengendarainya beberapa blok," kata Jason kepada mereka. "Tak ada yang tidak
beres dengan rem itu. Tak ada. Sungguh!"
Sydney mempelajari wajah Jason. Jason mengatakan yang
sebenarnya, ia memutuskan. Ia begitu bingung. Ia pasti mengatakan
yang sebenarnya. "Apakah kalian berdua baik-baik saja?" tanya Jason. "Apa rem itu tidak bekerja
sama sekali" Mengerikan sekali."
"Kami beruntung," jawab Emma pelan.
Mereka membicarakan tentang sepatu rem sebentar. Jason
mengatakan bahwa terkadang sepatu rem mobil-mobil tua menjadi
rapuh dan putus. Emma menarik Sydney ke samping. "Aku tidak tahu apakah
mesti mempercayai dia atau tidak," bisiknya. "Sekarang aku benar -
benar bingung. Apa bisa orang lain memotong kabel-kabel rem itu"
Apa rem itu putus sendiri?"
"Aku percaya dia," sahut Sydney. "Apa kaulihat betapa bingungnya dia?"
"Kukira kita seharusnya memberitahukan tentang pembagian
uang itu," bisik Emma. Sydney mengangguk.
"Apa sih rahasia besar itu?" desak Jason tak sabar. "Kenapa kalian bisik-bisik?"
"Teruskan, Sydney," desak Emma. "Katakan padanya."
"Ini kan idemu," kata Sydney. Kau yang memberitahu dia."
Jason mengerang. "Well, katakan padaku!"
"Oke." Emma melemparkan rambutnya ke belakang. "Ini
tentang uang yang ditemukan Sydney dan aku. Kami pikir mungkin
kau mau memiliki sebagian uang itu. Katakanlah, kira-kira tiga puluh tiga ribu
dolar." Mata Jason yang biru terbuka lebar. Kemudian ia menyipitkan
matanya dengan ragu-ragu. "Apa ini gurauan?"
Sydney menggelengkan kepalanya. "Bukan gurauan. Kami
ingin membagi uang itu denganmu."
Jason menatap mereka beberapa detik lebih lama. Lalu
senyuman lebar mengembang di wajahnya.
"Man, ini tidak bisa dipercaya!" teriaknya. "Astaga!"
Dengan bersorak-sorak, ia mengangkat Sydney dari tanah dan
memutar-mutar tubuhnya. Ia menurunkan Sydney dan menciumnya,
lalu memeluk Emma. "Tidak bisa dipercaya!" Jason mengulangi. Ia menari-nari kecil di jalanan mobil.
"Aku terlalu gembira, sehingga tak bisa berdiri diam!" serunya.
"Itulah yang kami rasakan ketika kami menemukan uang itu,"
kata Emma. "Kau tidak akan percaya bagaimana rasanya menatap
seratus ribu dolar."
"Hei!" Jason menyeringai. "Ide bagus! Ayo melihatnya. Ayo pergi melihatnya!"
"Sekarang?" tanya Sydney. Ia sungguh-sungguh tidak suka
menggali uang itu. Sambil memutar otak untuk memikirkan alasan
yang bagus, ia melihat ke sekitarnya. Dilihatnya awan bergulung-
gulung di langit. "Akan hujan," katanya.
"Yeah. Di samping itu, kita tidak bisa menyentuh uang itu
untuk sementara," Emma menambahkan. "Kita harus menunggu dan meyakinkan tak ada
orang yang mencarinya."
"Aku tidak bermaksud mengambil uang itu dan
membelanjakannya," kata Jason kepada mereka. "Tapi ayolah. Izinkan aku paling
tidak mengintip uang itu. Please?"
Emma memutar bola matanya. "Well, kukira tidak ada salahnya
kalau hanya melihat uang itu." Ia berbalik ke Sydney. "Menurutmu bagaimana?"
Sydney ragu, kemudian mengangkat bahu. "Oke. Ayo
berangkat." Lagi pula, pikirnya, sepanjang tak seorang pun melihat kami di sana,
apa yang dapat terjadi"
Chapter 14 AWAN semakin tebal saat Sydney menghentikan mobilnya di
tepi Hutan Fear Street. "Ayo cepat," ia memaksa. Mereka bertiga keluar dari
mobil. "Aku tak ingin terperangkap dalam hujan badai di sini."
"Jangan khawatir," Jason meyakinkannya. "Kita hanya akan melihat sebentar, kok.
Aku juga tak ingin basah kuyup."
Ia mengambil sekop Sydney dari bagasi dan memanggulnya di
bahunya seperti memanggul senapan. "Bawa aku ke harta karun itu!"
ujarnya. Emma berjalan di jalan setapak yang menuju pohon willow.
Sydney mengikuti, Jason yang paling belakang.
Matahari baru saja terbenam. Awan menyembunyikan bulan.
Mereka berjalan menembus hutan gelap itu. Sydney melompat setiap
kali ada ranting patah atau dahan-dahan gemeresik.
Kuharap kami tidak sampai ke sana, pikirnya sambil melihat ke
sekelilingnya dengan gugup. Kenapa aku membiarkan Jason
membujuk aku" "Di sana," Emma berteriak sambil menunjuk ke arah pohon
willow yang melengkung. "Bersiap-siaplah untuk menggali, Jason."
Ketika mereka bergegas ke pohon itu, hujan yang dingin dan
tajam mulai jatuh. Air hujan yang memantul dan memercik dari
dedaunan mengubah tanah menjadi lumpur.
Emma menyepak batu karang dari bawah pohon itu. Jason
menusukkan sekopnya ke dalam tanah. "Tahu apa yang akan kubeli?"
tanyanya sambil melemparkan segumpal tanah ke samping. "Sebuah
mobil baru." Sydney mengawasi ketika Jason menyekop gumpalan tanah
lagi. Lengannya bergerak dengan lembut. Cincin sekolahnya yang
keemasan berkilauan di tangannya.
"Bagaimana dengan kau, Emma?" tanya Jason. "Akan
kauapakan uang bagianmu?"
"Ibuku perlu operasi," Emma memberitahu Jason. "Setelah itu, aku tidak yakin.
Kami perlu banyak hal."
Sydney merinding ketika setetes air hujan yang dingin bergulir
di bawah kerah bajunya dan menyusup ke punggungnya. Kita
seharusnya membawa tiga sekop, pikirnya, sambil mengusap
lengannya yang telanjang. Paling tidak olahraga akan membuatku
hangat. Angin semakin kencang, Sydney merinding lagi. "Aku akan ke
mobil untuk mengambil sweater-ku," ia memberitahu.
Emma mendongak. "Kita hampir sampai ke tas uang itu,"
katanya. "Apa kau tidak ingin melihatnya?"
"Nanti saja, saat aku balik." Sambil menggosok kedua
tangannya, Sydney meniti jalan setapak itu. Mungkin ia hanya akan
menyalakan pemanas dan menunggu di dalam mobil. Berdiam di
dalam hutan yang gelap membuatnya ngeri. Lagi pula ia benar-benar
tidak ingin melihat uang itu.
Aku hampir berharap bahwa aku tidak pernah melihatnya,
pikirnya. Di pertengahan jalan setapak itu, Sydney mendengar suara
gemeresik. Ia berhenti, jantungnya berdegup kencang.
Tak ada apa-apa, ia berkata pada dirinya sendiri. Seekor
binatang, lari cepat menerobos semak-semak.
Membuat dirinya sendiri gemetar. Ia mulai berjalan lagi.
Dan berhenti kaku ketakutan ketika sebuah jeritan mengerikan
merobek hutan itu. Chapter 15 "JANGAAN!" Jeritan itu lagi.
Sydney sesak napas. Itu suara Emma! Ia mengenalinya.
Sambil berteriak, Sydney berputar.
Mengabaikan jantungnya yang memukul-mukul dan kakinya
yang terasa kaku. Ia menyusuri jalan kecil itu.
Ranting-ranting yang memukul-mukul dan meneteskan air
hujan menghalangi jalannya. Sydney berlari kembali ke arah pohon
willow itu. Ketika akhirnya pohon itu terlihat, ia berhenti terpana. Dan
sesak napas. Emma dan Jason sedang bergulat di bawah kanopi dahan-dahan
willow itu. Mereka berdua saling mencengkeram sekop itu. Bergulat,
saling menarik dan mendorong.
"Seharusnya aku sudah tahu bakal begini!" teriak Emma.
"Malang sekali!" Jason menghardik sambil berusaha menarik
sekop itu dari cengkeraman Emma.
"Malang bagimu!" Emma menjerit.
Ia merenggut sekop itu. Jason terhuyung-huyung, tapi tidak jatuh.
"Menyerahlah, Emma!" Cincin sekolah Jason berkilauan di
tempat yang berbayang-bayang itu ketika ia menarik dengan keras
lagi. Emma terhuyung ke arahnya. Kemudian dengan tiba-tiba Emma
melepaskan sekop itu. Jason sempoyongan ke belakang.
Sekop itu terjatuh dari genggamannya. Emma menukik untuk
menyergap sekop itu. Kedua-duanya berteriak. Tak ada kata-kata. Hanya teriakan penuh rasa benci.
Sydney akhirnya bisa bersuara. "Hentikan!" jeritnya.
"Hentikan!" Emma berdiri dengan susah payah sambil menarik sekop itu.
Ketika Jason menoleh ke arah suara Sydney, Emma mencengkeram
sekop itu seperti pemukul bisbol...
...Dan mengayunkannya sekuat tenaga. Mata sekop itu
menimbulkan suara menderu ketika memotong udara.
Sydney menjerit lagi ketika mata sekop itu menghantam Jason
di belakang kepalanya. Suara kelontang yang memuakkan menggema menembus
pepohonan. Kemudian satu-satunya suara yang terdengar adalah rintik hujan
yang menetes-netes. Jason berdiri kaku selama beberapa detik. Setetes air hujan
bergulir dari rambutnya, jatuh ke hidungnya, terus ke mulutnya yang
terbuka. Bibirnya bergerak-gerak. Ia merintih pelan. Lututnya tertekuk.
Matanya berputar ke atas, ke dalam rongganya.
Sydney mengawasi dengan ngeri ketika Jason roboh berlutut.
Mengerang lagi. Kemudian terjungkal dengan wajah tertelungkup ke
Tokoh Besar 1 Wiro Sableng 173 Roh Jemputan 5 Jagoan 5 Raja 5
^