Kucing Cat 2
Fear Street - Kucing Cat Bagian 2
menjadi salah satu gadis paling populer di sekolah.
Rambutnya yang cokelat chestnut tergerai ke bahunya,
membingkai wajahnya dengan sempurna. Matanya hijau zamrud,
dihiasi bintik-bintik keemasan.
"Eh," kataku tergagap, "kau tidak masuk dua hari ini ya?"
"Aku sakit. Flu atau semacam itulah," kata Kit. "Sekarang
sudah lebih baik." "Tampangmu juga baik," kataku menggoda.
"Kau sendiri tidak jelek, Harper," jawabnya.
"Eh, kau mau es krim atau apa di The Corner sepulang
sekolah?" tanyaku. Bola matanya menyipit. "Apa kau tidak berlatih?"
"Lututku terluka minggu lalu," kataku menjelaskan. "Aku tidak
bisa berlatih. Kalau aku tidak menyaksikan latihan satu kali, Coach
tidak akan marah." Kit memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu mengangguk.
********************************************
Aku menemui Kit di tangga samping sekolah, dan kami berjalan
ke The Corner. Kami bercakap-cakap selama hampir dua jam. Ia
benar-benar menyenangkan. Aku terpesona olehnya, habis-habisan.
Sewaktu kami meninggalkan The Corner, sesuatu menyebabkan
aku kembali melirik ke dalam. Dan aku langsung membeku.
Di bagian belakang, Riki tengah duduk seorang diri. Ia melotot
ke arahku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Aku
juga tidak terlalu peduli. Lupakan, pikirku. Lupakan dia.
Aku berbalik dan membiarkan pintu menutup agak keras di
belakangku. Kit tinggal di Canyon Road. Kami berjalan dengan santai
menyusuri jalan yang dipagari pepohonan, bercakap-cakap dengan
nyaman, seakan-akan kami memang sudah berteman selama ini.
Mobil-mobil melintas lewat. Beberapa orang membunyikan
klakson ke arah kami, tapi aku bahkan tidak berpaling untuk melihat
siapa yang berusaha menarik perhatian kami.
Aku merasa sangat bahagia. Ada sesuatu yang hebat tengah
berlangsung antara Kit dan aku.
Kami berbelok memasuki jalur masuk ke rumahnya. Ia tinggal
di sebuah rumah bata lama yang dinding depannya ditumbuhi ivy.
"Kau mau mampir sebentar?" tanya Kit. "Atau kau harus pulang
untuk makan malam?" "Masih agak lama," jawabku gembira.
Kit membuka pintu dan melangkah masuk. "Apa yang
kautunggu?" Aku mengikutinya masuk ke dalam. Ia menutup pintu di
belakangku. Aku melirik ke sekeliling ruang depan. Ada tangga yang
menuju lantai dua. Sebuah lorong panjang menuju dapur. Di sebelah
kiri terdapat ambang pintu melengkung menuju ruang duduk.
"Rumahmu bagus," kataku mengomentari.
Lalu aku melompat sewaktu seekor kucing hitam berlari
menuruni tangga ke arah kami. Kudengar erangan kucing di sebelah
kiriku. Seekor kucing belang melesat dari ruang duduk. Dua ekor anak
kucing putih dengan bulu-bulu kaku berderap di lorong dari dapur.
Beberapa meter di depan, seekor kucing kelabu tengah duduk
memelototi diriku. Aku membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.
Tapi sebelum aku sempat bicara, kucing-kucing tersebut
melengkungkan punggung dan membuka mulut, memperdengarkan
desisan melengking menakutkan.
Chapter 15 "SINGKIRKAN mereka!" lolongku.
Kit tertawa. "Marty - tenang. Mereka cuma lapar."
Bisa kurasakan wajahku berubah memerah.
Kedua kakiku gemetar. Kuharap Kit tidak melihat betapa
ketakutannya diriku. "Eh... sesudah kejadian dengan kucing di sekolah, kurasa aku
agak kacau," kataku mengakui.
"Aku dengar kejadiannya," kata Kit. Ia harus berteriak, karena
kucing-kucingnya masih terus mendesis-desis. "Itu kecelakaan -
benar?" "Yeah," jawabku dengan perasaan tidak nyaman.
Kit melemparkan ranselnya ke lantai. "Kau belum mau pergi,
bukan" Mungkin kucing-kucing ini akan tenang begitu mereka sudah
mengenalmu." Ia tidak ingin aku pergi. Sulit dipercaya! Kit benar-benar
menyukai diriku. Kalau saja kami tidak sedang dikelilingi kucing-kucing yang
mendesis-desis menjengkelkan itu.
"Kau memelihara berapa ekor kucing?" tanyaku.
Ia meringis. "Beberapa."
Pandanganku menyapu ke sekeliling ruangan. Kucing-kucing
ada di mana-mana. "Aku... aku benar-benar harus pergi," kataku tergagap. "Kalau
aku tidak berhasil mendapatkan nilai bagus dalam ulangan
matematika...." Kit tampak kecewa. Aku merasa tidak enak. Tapi kucing-kucing itu - mereka benarbenar membuatku
merinding. Dan aku begitu alergi terhadap mereka. Aku sudah mulai
merasakan hidungku tersumbat dan wajahku mulai membengkak.
"Mungkin lain kali," kataku sambil bergerak ke pintu. "Akan
kutelepon atau apa. Oke?"
Kucing yang hitam menyapukan tubuhnya ke kakiku. Hewan
tersebut melengkungkan punggungnya dengan kaku sewaktu melewati
diriku. Seekor kucing putih gemuk dengan ekor sangat panjang
menjerit marah dari tangga.
"Kurasa... kurasa sebaiknya mereka kuberi makan dulu," kata
Kit sambil menggeleng. "Aneh sekali, Marty. Aku tidak mengerti.
Mereka tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya."
"Aku... aku memang memiliki hubungan khusus dengan
kucing," kataku bergurau.
Lalu aku lari keluar dari sana secepat mungkin.
********************************************
"Kau yakin ini gagasan bagus?" bisik Barry. "Kita bisa
mendapat kesulitan besar."
"Yang benar saja," sergah Dwayne. "Ini akan dicatat dalam
sejarah sebagai lelucon paling hebat yang pernah dilakukan di SMA
Shadyside." "Marty?" tanya Barry, menunggu pendapatku.
"Kita harus melakukannya," jawabku. "Gayle layak
mendapatkannya, man. Dia masih belum mau melupakan masalahnya.
Setiap kali bertemu, dia bersikap seakan-akan kita tidak pernah ada.
Tulisannya di koran tentang pengadilan Sidang Murid-ku adalah
kesalahannya yang terakhir."
Kami seharusnya berada di ruang loker, bersiap-siap berlatih.
Tapi gagasan yang tiba-tiba melintas dalam benak Dwayne perlu
segera dilaksanakan. Klub Hak-hak Hewan selalu rapat di ruang kelas
di lantai pertama sepulang sekolah, setiap hari Selasa.
"Saatnya memberi Gayle pelajaran," bisikku.
Barry masih tampak khawatir.
"Ayolah, Barry," desak Dwayne. "Marty yang tertimpa abu
panas seorang diri karena kejadian dengan kucing itu. Kita harus
membalasnya, bukan?"
Barry mengangguk. "Baik."
Aku berdiri di balik pintu tertutup ruang kelas tempat Klub
Hak-hak Hewan tengah berkumpul. Bisa kudengar suara Gayle
berceloteh di dalam. Pada suatu saat, kudengar ia menyebut-nyebut
namaku. Keraguan apa pun yang kurasakan akan tindakan kami
seketika menghilang. Kulihat arlojiku. Pukul tiga lewat tujuh menit. Barry dan
Dwayne akan berada di jendela yang terbuka sekarang ini. Sebentar
lagi, pikirku. Lalu jeritan-jeritan mulai terdengar.
Kudengar jeritan melengking dan teriakan-teriakan terkejut.
"Singkirkan mereka dari sini!" jerit seorang gadis. "Singkirkan
dariku!" "Tikus!" teriak seorang cowok. "Ratusan ekor!"
Yang benar saja, pikirku. Seringai merekah di wajahku.
Barry, Dwayne, dan aku telah mencuri selusin tikus putih dari
laboratorium biologi dan menyimpan mereka dalam kotak. Pada pukul
tiga lewat tujuh menit, Dwayne melemparkan mereka melalui jendela
ruang kelas tempat Klub Hak-hak Hewan sedang rapat.
Pintu terempas membuka dan para anggota klub berhamburan
keluar ke lorong. Kulihat dua ekor tikus berlari melewatiku,
menyusuri lorong. Aku pindah ke ambang pintu yang telah terbuka.
Gayle dan dua orang gadis lainnya tengah mengejar-ngejar tikus.
"Keluarkan mereka!" jerit Gayle.
Pada saat itu ia melihatku. "Kau yang melakukan ini?"
"Tentu saja tidak," jawabku. Tapi sulit untuk menahan tawa.
Kudengar tawa dari luar jendela. Dwayne dan Barry.
Gayle melirik tajam ke arah mereka. Keduanya merunduk. Tapi
Gayle lari ke jendela. "Aku lihat kalian!" teriaknya. "Aku lihat kalian, orang tolol!
Kalian dalam masalah besar!"
"Dan kau juga!" salaknya padaku.
"Aku?" tanyaku dengan nada tidak berdosa. "Apa yang sudah
kulakukan?" "Aku akan membalasmu, Marty," kata Gayle. "Ini belum
selesai. Tidak dalam waktu dekat."
"Memang," jawabku. "Memang."
**********************************************
Kuceritakan kejadian tersebut pada Kit di The Corner malam
harinya. Ia tertawa hingga keluar air mata.
"Kau jahat," katanya memarahi. "Tapi lucu juga."
Kejadian memalukan di rumahnya dengan kucing-kucingnya
kemarin telah menjadi sejarah. Ia berjanji untuk membantuku belajar
matematika, dan kuajak ia ke bioskop hari Sabtu malam.
Ia menjawab ya. Lalu ia menciumku! Karena kami sedang duduk di The Corner,
ciumannya hanya sekilas. Selama sedetik aku memikirkan Jessica, yang telah melambai
padaku di lorong pagi itu. Lalu seluruh pemikiran tentang Jessica
menghilang. Hanya Kit Morrissey gadis yang bisa kupikirkan.
Kemudian, sewaktu kutemani ia berjalan kaki pulang, ia tidak
mengajakku masuk ke dalam. Mungkin ia tidak ingin mengulangi
kejadian kemarin malam. Well, aku juga tidak ingin.
Sambil menggumam sendiri, aku berbalik meninggalkan
Canyon Drive dan menuju rumahku sendiri. Sewaktu tiba di Fear
Street, awan telah menutupi matahari. Udara berubah sejuk.
Tiga blok dari rumah, aku mendengar meongan pertama.
Aku menghirup napas dan melirik ke belakangku. Seekor
kucing hitam tengah berderap di tengah jalan.
Aku berbalik dan mempercepat langkah. Rumahku hanya dua
setengah blok jauhnya. Kudengar desisan di sebelah kiriku. Pandanganku melesat ke
sana. Seekor kucing gelandangan kurus melesat menyeberangi
halaman rumput di depanku.
Aku semakin mempercepat langkahku. Kucing hitam di
belakangku mendesis. Aku mulai berlari-lari kecil.
Sebuah Lexus keemasan yang mengilat diparkir di tikungan
blok berikutnya. Aku melesat menyeberangi jalan dan berderap
melewati mobil tersebut. Saat melirik ke belakang, kulihat sepasang kucing Siam
melompat turun dari sebatang pohon ek. Mereka mendarat di atap
Lexus. Melompat turun ke aspal. Dan bergabung dengan kucing
hitam, kucing gelandangan, dan seekor kucing belang.
Aku menyadari bahwa mereka sedang mengikutiku.
Mereka mengejarku! Kucing-kucing tersebut berlari. Aku melesat sepanjang jalan
dan melintasi persimpangan.
Aku bisa melihat rumahku di depan.
Kakiku terayun-ayun. Keringat menetes dari dahiku. Jantungku
berdebar-debar kencang. Kuberanikan diri untuk melirik ke belakang bahuku.
Sekarang ada paling sedikit sepuluh ekor kucing. Sepuluh ekor
kucing yang mengeong-eong, berlari kencang.
Mendekat. Sepuluh ekor kucing mengejarku, dengan mata kemilau, cakar
menghantam aspal tanpa suara...
Tanpa suara... bagai hantu.
Chapter 16 APA aku bisa mengalahkan mereka"
Harus kucoba. Mereka hanya kucing, kataku pada diri sendiri.
Atau bukan" Sejak kapan kucing bepergian dalam rombongan" Dan sejak
kapan kucing mengejar-ngejar orang"
Lututku berdenyut-denyut saat berlari. Sisi tubuhku terasa sakit.
Aku melirik ke belakang - dan melihat paling sedikit selusin
kucing. Mata mereka menyala bagai api. Cakar-cakar menghantami
trotoar. Ekor mereka kaku dan tegak lurus.
"Ohhhh." Aku mengerang pelan.
Aku terengah-engah menghela napas. Jalur masuk rumahku
tinggal beberapa meter lagi jauhnya.
"Hei!" jeritku saat merasakan sebuah cakar menancap ke bagian
belakang kakiku. Aku berbalik dan melihat dua ekor kucing melompat ke
punggungku. Aku membungkuk dan mereka melayang melewati kepalaku.
Sambil tetap merunduk, dengan kaki berdenyut-denyut, aku
berlari menyusuri jalur masuk. Aku menerobos sepanjang rumpun
mawar yang berjajar di halaman. Dan menerjang ke serambi depan.
Kusambar tombol pintu. Memutarnya. Macet.
"Ohhh." Terkunci. Tentu saja, pintunya terkunci.
Kujejalkan tanganku ke saku celana jeans. Mencari-cari kunci.
Apa aku bisa masuk ke dalam sebelum kucing-kucing itu
menyerang" Kucabut kuncinya - dan menjatuhkannya. Kunci tersebut
berdentang di serambi dan berhenti di tepi keset selamat datang.
"Tidak!" jeritku. Dan membungkuk untuk mengambilnya.
Aku berbalik untuk melihat apakah kucing-kucing tersebut
hendak menyerang. Kucing-kucing... Tidak ada kucing. "Hah?" Aku menelan ludah dengan susah payah.
Kucing-kucing tersebut telah lenyap. Menghilang.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ba... bagaimana mungkin?" Aku merasa seperti tercekik. Tapi
sebenarnya aku tidak peduli bagaimana mereka bisa menghilang
secepat itu. Atau kenapa mereka muncul.
Aku hanya ingin masuk ke dalam. Di dalam, di mana aku aman.
********************************************
Kuduga aku akan mendapat masalah karena kejadian dengan
tikus-tikus tersebut. Tapi tidak ada yang mengatakan apa-apa
mengenai kejadian itu. Gayle berpapasan denganku di lorong dan bahkan tidak
bersedia memandang ke arahku.
Jessica juga bersikap dingin.
Ia pasti sudah mendengar tentang hubunganku dengan Kit.
Mungkin dari Riki. Tapi tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mengatasinya.
Kuharap Jessica tidak terlalu sakit hati. Ia tampaknya manis.
Aku sangat menyukainya - tapi Kit sangat memesona.
Dalam satu pelajaran di sore hari, Riki mencibir ke arahku. Lalu
ia mengangkat tangannya dan menirukan gerakan mencakar di udara.
Kemudian aku berlatih dengan regu basketku untuk pertama
kali sejak seminggu. Barry, Dwayne, dan aku kembali mencatat nilai
seperti biasa, seakan-akan aku tidak pernah tidak berlatih.
*********************************************
Kit dan aku belajar matematika di rumahku hingga pukul
sembilan malam hari itu. Sebelum ia pulang, kami kembali berciuman.
Lagi dan lagi. Satu-satunya saat aku merasa tidak khawatir akan apa yang
sudah menimpa diriku adalah sewaktu menghabiskan waktu bersama
Kit. Ia menyebabkan segalanya terasa baik-baik saja.
**********************************************
Telepon berdering. Mataku tersentak membuka. Kulirik jam di samping ranjang:
01:37 pagi. Siapa yang menelepon sepagi ini"
Kuangkat tangkai telepon. "Halo?" kataku dengan suara masih
mengantuk. Sunyi. "Haloooo?" kataku dengan nada jengkel.
"Meong." "Riki, hentikan," sergahku.
"Meeooong." "Riki?" tanyaku.
Sunyi. "Hei - siapa ini?" jeritku marah.
Terdengar desisan melengking seekor kucing.
Kututup teleponnya. Suara desisan tersebut terngiang di telingaku. Aku harus
menarik selimut hingga menutupi kepala agar tidak menggigil.
Chapter 17 MATA pelajaran bahasa Inggris berlangsung tepat sesudah
makan siang di hari Jumat. Itu artinya selama setengah pelajaran aku
harus berjuang agar tetap terjaga, mengantuk karena baru saja makan.
Aku duduk di bagian belakang kelas dan menatap ke awanawan gelap dan hujan lebat
di luar, dan berharap ada dua potong tusuk
gigi untuk mengganjal kelopak mataku.
Sewaktu bel berbunyi, kuambil buku-bukuku dan berjalan
sambil tetap mengantuk ke lorong.
Laboratorium biologi berada di sisi seberang gedung sekolah,
dan dua lantai di bawah kelas Inggris. Aku bergegas melangkah
sepanjang lorong dan mencoba mengingat di mana kusimpan
pekerjaan rumah biologiku.
Kudorong pintu tangga bersama beberapa lusin anak lainnya,
dan menuruni tangga. "Hei, Marty," kata seseorang. "Semoga beruntung nanti
malam." Di tikungan tangga di antara lantai, murid-murid berlalu lalang
melewati dua orang yang tengah bertengkar.
Dwayne dan Riki. Bukannya memanggil mereka, aku menutup mulut dan terus
saja berjalan. "Apa maksudmu, Dwayne?" kudengar Riki menyentak.
"Kata yang mana yang tidak kaumengerti, Riki?" jawab
Dwayne kasar. "Kau membuat Marty tidak tenang. Sudah saatnya
menghentikan semua omong kosong tentang kucing itu. Hentikan
tingkahmu! Mengerti" Marty harus memusatkan perhatian untuk
pertandingan basket."
"Oh, aku mengerti sepenuhnya," kata Riki sambil mencibir saat
aku melewati mereka. "Kau sekarang mengancamku, bukan" Apa
yang akan kaulakukan kalau aku terus mengganggu Marty?"
"Memberitahu seluruh sekolah bahwa kami kalah karena
dirimu," kata Dwayne.
Aku bergegas meninggalkan mereka. Sepanjang pelajaran
biologi, aku terus memikirkan pertengkaran mereka.
Kuputuskan untuk berbicara dengan Dwayne. Untuk
memberitahunya agar tidak mencampuri urusanku.
Tidak peduli seberapa baik Dwayne sebagai teman, aku tidak
ingin ia membela diriku. *********************************************
Riki tidak datang menyaksikan pertandingan. Aku merasa
senang. Tapi sewaktu reguku berlari-lari memasuki lapangan, kulihat
Gayle duduk di panggung penonton.
"Apa yang dilakukannya di sini?" gumamku pada Barry, yang
berlari di sebelahku. "Mungkin untuk memelototi kita," Barry menggerutu sambil
menggeleng. Dalam pertandingan ini Dwayne, Barry, dan aku bermain
bersama lebih baik daripada sebelumnya. Seluruh anggota regu
sisanya juga bermain dengan lebih bersemangat daripada biasanya,
dan kami menghancurkan Truesdale Mustangs dengan 67 banding 42.
Kurasa aku belum pernah merasa lebih bahagia atau lebih
bergairah lagi. Kemenangan tersebut memberi kami kesempatan untuk
ikut dalam turnamen negara bagian.
Kurasa kami tidak mungkin kalah. Tidak dengan komposisi
yang sekarang. Yang tidak kuketahui adalah komposisi tersebut bakal
berubah. Chapter 18 KAMI menyelenggarakan pesta besar-besaran di ruang loker.
Lalu semua orang pulang ke rumah masing-masing, penuh semangat
dan siap berlatih hari Senin besok.
Dalam perjalanan pulang, aku merasa begitu bergairah hingga
hampir-hampir tidak bisa melihat dengan benar.
Aku penasaran, apakah keikutsertaan regu basket kami dalam
turnamen akan membantuku memenangkan beasiswa tersebut. Lebih
baik begitu, pikirku. Beasiswa itu sangat berarti bagiku.
Tentu saja, nilai juga penting.
Nilai! Buku-bukuku ada di ransel, yang entah tersimpan dalam ruang
loker atau tergeletak di gimnasium.
"Sial!" Aku merengut.
Lalu kuputar mobil kembali di tengah-tengah Division Street
dan melaju ke sekolah. Sewaktu memasuki tempat parkir murid, semua lampu telah
dipadamkan. Kurasa bahkan petugas kebersihan pun sudah pulang.
Sorotan lampu depan mobilku menyapu bagian belakang
sekolah. Sesuatu kemilau tertimpa cahaya.
Pintu belakang gimnasium tampak menggantikan dinding bata.
Rambut merah Gayle melambai-lambai di belakangnya saat ia
melesat menyeberangi tempat parkir.
Kuawasi ia menghilang ke dalam kegelapan.
"Hah?" gumamku. "Apa yang dilakukannya di sini?"
Aku hampir-hampir tidak bisa melihat wajahnya. Tapi
tampaknya ia tengah panik. Aku penasaran, apakah ia sedang
memburu seseorang. Aku melangkah turun dari mobil dan mencari-carinya. Tapi
suasana terlalu gelap untuk melihat lebih jauh dari tempat parkir.
Aku berlari-lari kecil ke pintu yang tadi dibiarkan terbuka oleh
Gayle. Bagus, pikirku. Tanpa ada bagian perawatan untuk membuka
pintu, aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam.
Aku melangkah memasuki lorong gelap. Sebuah lampu kuning
menyala di tengah-tengah antara pintu keluar dan pintu masuk ganda
gimnasium. Sepatu sneaker-ku mencicit di lantai ubin. Suaranya menggema
di aula yang kosong. Angin mengembus pintu hingga menutup di belakangku - dan
aku melompat karenanya. "Whoa. Tenang," kataku sendiri keraskeras. Aku melangkah
memasuki gimnasium yang gelap dan merabaraba menuju ke kanan. Telapak tanganku
menyusuri dinding hingga,
akhirnya, menemukan saklar lampu. Kujentikkan saklar tersebut.
Cahaya membanjiri gimnasium.
Kulihat ranselku di salah satu sudut panggung penonton sisi
jalan. Aku mendesah lega dan berlari-lari kecil ke sana.
Sewaktu membungkuk untuk mengambilnya, kulihat ada
sesuatu di bawah panggung penonton.
Sepatu" Tidak. Aku memicingkan mata lebih keras. Ada sesuatu yang
menempel pada sepatu tersebut.
Kaki" "Ohhhh." Aku mengerang pelan tanpa tertahan. Ranselku
terjatuh dari tangan. Kudekati sosok tersebut, dan berlutut agar bisa melihat ke
bawah panggung penonton. Tanganku meraba ke sesuatu yang basah. Dan likat.
Kucabut tanganku. Darah. Masih hangat. Tubuhku menggigil
tanpa tertahan. Tanpa berpikir, kusapukan tangan ke celana jeans.
Dan ternganga menatap tubuh yang tergeletak di bawah
panggung penonton. Tercincang habis. Wajahnya, kulitnya, tercakar habis-habisan.
Kemejanya robek-robek. Tertutup darah.
Berlumuran darah. Tapi aku masih bisa melihat bahwa kemeja tersebut kemeja
Hawaii. "Dwayne!" Dwayne, tergeletak tewas dan tercincang. Terendam darahnya
sendiri. Tercincang habis. "Tidaaaaaak," lolongku.
Dan mengatasi lolonganku, dari panggung penonton seberang,
kudengar seekor kucing mengeong.
Chapter 19 "KENAPA kau tidak memberitahu polisi bahwa Gayle ada di
sana?" tanya Barry dengan marah sesudah polisi meninggalkan
rumahku. "Bukan dia pelakunya," kataku bersikeras.
Polisi mula-mula menanyaiku di sekolah, lalu mengunjungi
rumahku malam itu juga. Ibuku sudah menghubungi ibu Barry dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Barry muncul sewaktu polisi
masih di rumah, dan mereka juga menanyai dirinya.
Tadinya aku takut polisi menduga akulah yang telah membunuh
Dwayne - karena ada darahnya di pakaianku. Tapi tampaknya mereka
tidak menuduhku begitu. Setelah polisi pergi, Barry dan aku tidak berbicara selama
beberapa menit. Aku bahkan tidak mampu memandangnya.
Tidak ada lagi Three Stooges. Tidak ada lagi Tiga Pendekar.
Tidak ada lagi kemeja Hawaii. Tidak ada lagi lelucon konyol.
Dwayne sudah tidak ada lagi.
"Dari mana kau tahu bukan Gayle pelakunya?" kata Barry
mendebat. "Dia orang terakhir yang ada di sana, bukan?"
Aku duduk di sofa ruang duduk, menepuk-nepuk kepala Teddy.
Barry mondar-mandir di karpet.
"Gayle bukan pembunuh," kataku. "Kau tahu dia tidak mungkin
membunuh siapa pun."
"Apa kau tidak pernah menyaksikan berita, man!" teriak Barry.
"Itu yang selalu dikatakan teman-teman dan keluarga pembunuh! 'Oh,
dia tampaknya gadis yang baik!' Salah!"
"Kau tidak melihat mayat Dwayne," kataku pelan. Tenang.
"Kau tidak melihat apa yang menimpa dirinya. Gayle tidak mungkin
melakukannya. Kau mengerti?"
Barry menunduk menatap kakinya. "Man, aku... maafkan aku,"
katanya tergagap. "Aku tidak memikirkan bagaimana perasaanmu,
menemukan Dwayne seperti itu."
Ia mengangkat kepalanya. "Jadi, siapa yang membunuh
Dwayne kalau bukan Gayle?" tanyanya.
Aku angkat bahu. Tidak mungkin aku memberitahunya tentang
kucing yang kudengar tepat sesudah menemukan mayat Dwayne.
Tentang segala sesuatu yang sudah menimpa diriku sejak kucing di
gimnasium tersebut mati. Barry tahu ada yang tidak beres. Tapi kalau ia kuberitahu
bahwa mungkin seekor kucing yang telah membunuh Dwayne, ia pasti
akan menyebutku sinting. *********************************************
"Oh, Marty, mengerikan," kata Kit sambil mengerang.
"Maafkan aku. Ada yang bisa kubantu?"
"Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun," jawabku, suaraku
terdengar serak. "Hubungi aku kalau kau memang perlu," kata Kit. "Telepon
saja kalau kau sudah siap - sekalipun hanya untuk bercakap-cakap,
oke?" "Oke. Trims. Trims, Kit."
Aku sudah memberitahukan berita buruknya pada Kit. Sekarang
masih ada satu tugas lagi yang harus kulakukan.
Aku harus menemui Gayle. Kutekan bel pintunya. Lampu-lampu di dalam rumah menyala,
tapi tidak ada seorang pun yang membukakan pintu.
Aku meninggalkan serambi dan hendak berlalu. Lalu kudengar
derak kunci diputar dan pintu depan berderit membuka.
"Siapa itu?" kata seseorang dengan suara serak.
"Marty," jawabku, sambil melangkah ke bawah lampu serambi.
"Oh, Marty!" Gayle terisak. Ia membuka pintu lebar-lebar. Air
mata membasahi wajahnya. Sedikit riasan yang dikenakannya
meninggalkan jejak hitam di kedua pipinya.
"Gayle, aku...," kataku mulai berbicara. Tapi Gayle tidak
mendengarkan. Ia memelukku erat-erat.
"Marty, maafkan aku karena tindakan-tindakan buruk yang
kulakukan padamu," katanya.
"Dia tewas," gumamnya. "Sulit dipercaya dia sudah tewas. Aku
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu menyukai Dwayne. Di tahun pertama, dia satu-satunya cowok
yang menyadari keberadaanku. Dia membuatku tertawa begitu sering.
Rasanya aku tidak akan pernah tertawa lagi!"
Kupeluk Gayle. Tadi pagi ia merupakan musuh bebuyutanku.
Tapi sekarang aku memeluknya erat-erat.
"Tidak apa," bisikku. "Tidak apa."
Ia menarik diri dan menghapus air matanya.
"Aku benar-benar tolol," gumamnya. "Teman terbaikmu
meninggal dan aku justru menangis padamu. Maafkan aku, Marty."
"Kita bisa menangis bersama-sama," kata seseorang lain.
Riki melangkah ke lorong, sambil menghapus air mata dari
wajahnya. Aku mengangguk pada Riki. "Kau tidak apa-apa?"
"Kurasa begitu."
"Gayle, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu," kataku
pada Gayle. "Apa pun," katanya berjanji.
"Aku melihatmu lari keluar dari gimnasium," kataku padanya.
"Tepat sebelum aku menemukan mayat Dwayne. Apa yang
kaulakukan di sana?"
Chapter 20 "YA. Aku memang ada di sana. Dan sekarang aku merasa
kematian Dwayne sebagian merupakan kesalahanku," kata Gayle
dengan suara tercekik. "Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku berkeliaran di sekolah sesudah pertandingan selesai.
Pelatih gimnastik mengatakan aku bisa menggunakan ruang angkat
berat. Lalu kusadari sudah terlalu malam. Aku harus menjaga bayi.
Jadi, aku berganti pakaian di ruang loker dan lari keluar dari
gimnasium. Kalau saja tidak terburu-buru, aku mungkin sempat
melihat orang sinting yang membunuh Dwayne," katanya
menjelaskan. Ia terisak. "Tapi aku sedang tergesa-gesa... oh, Marty, akan
kulakukan apa saja untuk membantu."
"Trims, Gayle," jawabku. "Aku tidak yakin ada yang bisa
dilakukan siapa pun. Tapi paling tidak kau sudah menjawab
pertanyaanku. Aku tidak akan pernah meragukan dirimu lagi. Aku
berjanji." **********************************************
Dwayne dimakamkan pada hari Senin pagi. Kami yang
menghadiri pemakaman tersebut terlambat datang ke sekolah. Kepala
Sekolah memaklumi. Aku hampir-hampir tidak bisa memperhatikan pelajaran sama
sekali sepanjang siang. Sorenya, sewaktu hendak berlatih basket, aku
terus membayangkan Dwayne dalam peti matinya.
Kudorong pintu ruang loker hingga terbuka. Seluruh anggota
regu yang lainnya ada di sana.
Mata Coach Griffin tampak merah, seakan-akan habis
menangis. Ia mengulurkan ikat lengan hitam pada kami semua.
"Kalian tidak harus mengenakannya," katanya. "Tapi aku akan
mengenakannya setiap kali latihan, dan setiap kali pertandingan
turnamen, untuk mengenang Dwayne."
Semua anggota regu basket mengenakan ikat lengan masingmasing.
Tapi aku hanya menatap kain elastis hitam tersebut.
"Marty?" tanya Coach Griffin.
"Aku tidak tahu apakah bisa bermain tanpa dia, Coach," kataku
berbisik. Coach Griffin tidak mengatakan apa-apa selama semenit.
Kukira ia akan mendesakku, mengatakan bahwa perasaan
kehilanganku akan berlalu.
Bagaimanapun, Shadyside belum pernah memenangkan
turnamen negara bagian, dan Coach Griffin mungkin sangat
menginginkan trofi tersebut.
"Kalau kau merasa tidak enak untuk bertanding, Marty, kami
semua mengerti," katanya akhirnya.
"Aku tidak," gumam Barry.
"Maaf?" tanyaku. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Barry duduk di bangku di seberang ruangan, punggungnya
menempel pada sederetan logam kelabu loker. "Aku tidak bisa
mengerti," ulangnya sambil melotot ke arahku.
Barry dan aku tidak banyak bicara setelah malam kematian
Dwayne. Kurasa kami berdua begitu patah semangat, hingga bertemu
pun rasanya terlalu menyakitkan.
"Bagaimana mungkin kau bisa berpikir untuk tidak ikut
bertanding?" tuntut Barry. "Dwayne juga temanku, Marty. Kita Tiga
Pendekar, ingat" Bukan dua."
"Aku tahu," kataku mengakui.
"Aku tidak peduli apakah kita akan menang atau kalah," kata
Barry. "Tapi Dwayne pasti ingin kita bertanding."
Aku menatap sepatu sneaker-ku selama beberapa detik. Lalu
kuangkat kepalaku untuk membalas tatapan Barry.
"Bertanding saja tidak cukup," kataku padanya sambil
mengenakan ikat lengan tersebut. "Kita akan memenangkan turnamen,
demi Dwayne." "Demi Dwayne!" seluruh anggota regu menyambut.
Kami belum pernah berlatih sekeras itu.
**********************************************
Selama latihan, Riki duduk tinggi di atas panggung penonton,
bersama Gayle dan beberapa gadis lainnya. Barry dan aku melambai
pada mereka, dan mereka balas melambai. Lebih banyak anak yang
menyaksikan latihan ini dibandingkan biasanya. Kurasa hal itu karena
semangat untuk mengikuti turnamen negara bagian.
"Kau mau belajar bersama malam ini?" tanya Barry padaku di
ruang loker, setelah latihan.
"Aku harus bekerja pukul enam sampai sembilan di tempat
penampungan hewan. Mungkin aku mampir sesudahnya," kataku.
"Bagus." Ia mengangguk. "Oh, hei... aku bisa menumpang
sampai di rumah?" "Bisa," kataku menyetujui. "Tapi cepatlah, oke?"
Aku harus bergegas pulang dan menyantap makan malam
secepatnya kalau ingin tiba tepat pada waktunya di tempat
penampungan hewan. Beberapa kali bekerja lagi dan hukumanku akan
selesai. Aku tidak sabar menunggunya.
Aku bergegas mandi dan mengenakan pakaianku.
"Barry, cepatlah!" panggilku ke arah ruang mandi.
"Sebentar lagi!" katanya berjanji.
"Kau pulang, Marty?" tanya Kevin Hackett sambil menyandang
ransel di bahunya. "Yeah," jawabku. Lalu berteriak pada Barry "Kutunggu di pintu
belakang!" "Oke!" Kevin dan aku menerobos pintu keluar belakang.
Kami bercakap-cakap selama dua menit, terutama tentang
pelajaran. Kami sekelas dalam pelajaran sejarah, tapi tampaknya
Kevin juga tidak lebih siap dibandingkan denganku.
Mobil beberapa orang guru masih diparkir di tempat parkir
sekolah. Kusadari bahwa banyak di antara mereka yang bekerja
hingga larut. Pintu samping gimnasium dalam keadaan terbuka. Pintu tempat
Gayle berlari keluar pada malam Dwayne terbunuh.
Saat memikirkan gadis tersebut, Gayle kembali muncul dari
pintu itu. Ia melirik arlojinya dengan gelisah dan mengetuk-ngetukkan
kakinya. Ia tidak melihatku, dan aku tidak ingin mendekatinya.
"Ada apa dengan Barry?" kataku mengeluh.
"Itu ayahku," kata Kevin. "Aku harus pergi." Ia bergegas
menjauh. Saat Kevin dan ayahnya melaju pergi, mereka melewati sebuah
mobil polisi yang datang. Mobil tersebut menyelinap masuk ke tempat
parkir dan mesinnya mati. Petugas di belakang kemudi tidak turun.
Sebaliknya, ia duduk mengawasi tempat parkir. Polisi mengawasi
sekolah setelah latihan dan di malam hari. Jelas sekali, mereka
menduga si pembunuh akan kembali.
Aku menggigiti bibirku dengan gugup. Dan melirik arlojiku.
"Ayolah, Barry," gumamku.
Kutarik pintu belakang hingga terbuka dan berderap masuk
kembali ke ruang loker. "Ayo pergi!" panggilku. "Kau membuatku terlambat!"
Aku tidak melihat Barry. "Barry, keluar!" teriakku. Kujejalkan kepalaku ke dalam ruang
mandi. Tidak ada orang di sana.
Ia juga tidak ada di ruang loker. "Oh, man," bisikku sambil
menggeleng. "Barry?" Tidak ada jawaban. Kubuka pintu ke gimnasium. "Barry?" panggilku. Seseorang
telah memadamkan lampu. Suaraku bergema dalam kegelapan.
Dengan memicingkan mata sekuat tenaga, aku melihat sebuah
sosok yang meringkuk tak bergerak di lapangan.
Oh, tidak... jangan lagi! teriak benakku. "Tidaaaaak!"
Chapter 21 JANTUNGKU berdetak kencang. Aku menatap sosok yang
tidak bergerak di lantai kayu tersebut.
Kukedipkan mataku satu kali. Dua kali. Pandanganku
menyesuaikan diri dengan keremangan.
Dengan tangan gemetar aku mencari-cari saklar lampu dan
menghidupkannya. Ransel hijau Barry tergelak di lantai, di tengah-tengah
gimnasium. Bukan Barry. Bukan Barry. Ransel Barry. Aku bergegas menyeberangi gimnasium untuk mengambil
ransel tersebut. Sewaktu membungkuk, kudengar suara-suara dari
balik pintu gimnasium. Aku bergegas menuju pintu ganda yang
terbuka sedikit. "Barry?" panggilku sambil mendorong salah satu daunnya
hingga terbuka. Di lorong, Barry berdiri sambil memeluk Riki. Mereka tengah
berciuman. Tapi mereka bergegas memisahkan diri sewaktu melihat
kehadiranku. "Oh! Hei, Marty," kata Barry tergagap.
Riki tersenyum. "Hai, Marty."
"Hei, guys," jawabku.
Jadi, Barry dan Riki berpacaran. Bagus juga menurutku. Barry
memerlukan pacar. Dan aku sudah memperjelas bahwa aku tidak
tertarik pada Riki. Aku meringis ke arah Riki. "Sekarang aku tahu kenapa Gayle
berkeliaran di luar, menatap arlojinya."
"Uupss!" Riki tertawa kecil. "Kuharap dia tidak marah. Aku...
eh... ada urusan." Ia tersenyum pada Barry.
"Dengar Barry, aku harus pergi sekarang. Jelas aku sudah
terlambat untuk bekerja," kataku menjelaskan. "Maaf kalau aku tidak
bisa menunggu." "Tidak apa," jawabnya. "Bukan masalah. Mungkin Gayle mau
kutumpangi." Kuserahkan ransel Barry kepada pemiliknya.
"Sampai nanti?" tanya Barry.
"Kuusahakan," kataku berjanji.
*********************************************
"Kau terlambat, Marty," bosku memarahi.
"Maaf, Carolyn. Aku tidak punya alasan bagus," kataku
mengakui. "Kali ini kumaafkan. Bagaimana kabarmu?" tanyanya,
ekspresinya melunak. Pandangannya mempelajari diriku.
"Sedang kuatasi," kataku padanya. "Terkadang sulit bagiku
untuk percaya bahwa Dwayne sudah meninggal. Tak bisa
kubayangkan bagaimana rasanya tidak bisa bertemu lagi dengannya."
Carolyn menyentuh bahuku. "Berat. Senang kau bisa
mengatasinya." Ia mendesah. "Kuharap aku bisa tinggal dan bercakap-cakap,
Marty. Tapi aku harus pergi. Tapi, terlebih dulu, kau harus bertemu
dengan penghuni baru kita, Brutus."
"Brutus?" Ia mengajakku ke ruang kandang.
"Aku mencari-cari kandang ini di gudang seharian tadi,"
Carolyn menjelaskan. Aku menatap Brutus. Kandangnya, jauh lebih besar daripada
kandang-kandang lainnya, berada di ujung barisan.
"Wow!" kataku sambil mendekati hewan besar tersebut. "Aku
tidak tahu kau juga menampung serigala jadi-jadian!"
Carolyn tidak tertawa mendengar gurauanku.
"Jangan terlalu dekat, Marty," katanya memperingatkan.
"Brutus berbahaya. Dokter hewan akan kemari besok pagi untuk
membuatnya tidur." Kutatap anjing kampung raksasa tersebut. Hewan itu beratnya
pasti seratus kilo! Anjing itu tidak menyalak atau menggeram padaku. Tapi aku
tetap menjauh. Sewaktu aku masih kecil, ayahku pernah menjelaskan bahwa
anjing-anjing yang pendiam terkadang lebih berbahaya, karena kau
tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Setelah Carolyn pergi, semua anjing dan kucing kuberi makan.
Brutus bergerak-gerak tidak nyaman sewaktu kuberikan piring
makanannya di dalam kandang. Ia menunduk dan menatapku dengan
sepasang mata kuning. Beberapa ekor kucing mondar-mandir dalam kandang mereka
dengan gugup. Tapi ruang kandang yang besar tersebut sunyi.
Kuambil sapu dari lemari persediaan dan mulai menyapu. Aku
berada di tengah-tengah ruangan - di lorong antara anjing dan
kucing - sewaktu mendengar sesuatu.
Suara menggeser lembut. Langkah kaki. Aku menyandar ke sapu dan mendengarkan. Mulutku tiba-tiba
terasa kering. Kedua kakiku gemetar.
Terdengar langkah kaki lain.
Kucengkeram tangkai sapu begitu keras, hingga tanganku terasa
sakit. "Siapa... siapa di situ?" kataku dengan suara tercekik.
Tidak ada jawaban. "Hei... siapa di sana?" teriakku.
Kudengar langkah kaki lain. Dari dinding seberang.
Lalu kudengar dentangan. Dentangan logam.
Seekor anjing menyalak. Anjing lainnya mengikuti. Lalu
seluruh anjing yang ada menyalak.
Kuangkat sapuku, seakan-akan hendak menggunakannya
sebagai senjata. Aku maju selangkah ke arah asal suara.
Kucing-kucing mulai mengeong.
Di atas segala keributan tersebut kudengar dentangan logam
lain lagi. Pintu sebuah kandang menghantam dinding kandang.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kucing-kucing mendesis dan mengeong. Anjing-anjing
menyalak. "Hei!" teriakku.
Seekor kucing melangkah ke lorong.
"Hah?" Aku tersentak terkejut.
Seekor kucing lain melangkah keluar di samping kucing
pertama. Kudengar pintu kandang lain dibuka.
Dua ekor kucing lagi melompat ke lorong. Mereka
melengkungkan punggung. Gigi-gigi mereka berkilau dalam cahaya
saat mereka mendesis ke arahku.
Aku mundur selangkah. "Ada apa ini?" jeritku.
Kenapa ada yang membuka pintu-pintu kandang" Siapa yang
ada di dalam sana" "Please..." aku hendak bicara.
Pintu kandang lain berdentang membuka. Lebih banyak kucing
lagi yang memenuhi lorong.
Anjing-anjing menyalak dan melolong.
Seekor kucing kuning menerjangku. Hewan tersebut
mengangkat cakar depannya dan mencakar udara.
"Tidaaaak!" Aku menyurut mundur.
Kudengar dentangan keras lagi. Lebih dekat.
Tapi aku tidak melihat seorang pun.
Kucing-kucing bertambah dekat, sambil mencakar-cakar udara.
Mendesis-desis. Ekor mereka berdiri tegak. Punggung melengkung.
"Siapa di sini" Siapa yang melakukan ini?" jeritku.
Kucing-kucing tersebut sekarang bergerak lebih cepat. Mata
mereka kemilau. Pandangan mereka mengancam. Pandangan dingin.
Aku mundur. Satu langkah. Lalu langkah berikutnya.
Desisan dan meongan kucing-kucing semakin memekakkan
telinga. Tapi aku tidak bisa memperhatikannya.
Kucing-kucing tersebut membentuk lingkaran. Mengepung
diriku. Mereka melengkung pada kaki belakang mereka. Selusin ekor
kucing yang mendesis-desis. Mereka menampilkan gigi-gigi mereka.
Mengangkat cakar mereka. Dan melompat menyerang. Chapter 22 "TIDAAAAAAK!" Lolongan serak terlontar dari kerongkonganku. Kuangkat sapu
di antara kedua tanganku.
Dua ekor kucing menerkam dadaku sambil menjerit.
Kuayunkan tangkai sapu ke arah mereka - melemparkan
mereka hingga terbang melewati kandang-kandang.
"Marty - apa yang kauLAKUKAN?"
Seseorang berteriak mengatasi salakan dan jeritan hewanhewan.
Aku terhuyung-huyung mundur hingga mengenai dinding.
Kucing-kucing tersebut menyurut mundur. Mereka sekarang
diam. Menatapku dengan mata mereka yang kemilau.
Anjing-anjing berhenti menyalak.
Dengan perasaan gamang, aku berjuang untuk meredakan
napas. Keringat mengucur di dahiku. Seluruh tubuhku gemetar.
Carolyn melangkah ke lorong, pandangannya liar karena shock.
"Marty - kenapa?"
Sapu di tanganku terjatuh.
Carolyn meraih seekor kucing hitam dan dengan lembut
meletakkannya kembali ke dalam kandang. Kucing-kucing tersebut
sekarang mendengkur lembut.
"A... ada orang yang kemari tadi!" kataku dengan napas
tersentak, menelan ludah dengan susah payah. "Ada yang melepaskan
kucing-kucingnya." Carolyn berpaling dan mencari-cari di dalam ruangan. "Siapa
yang kemari?" Ia kembali memandangku, wajahnya tampak khawatir.
"Marty, pintunya dikunci. Tidak ada yang bisa masuk kemari."
"Tidak. Sungguh...," kataku bersikeras, jantungku masih
berdebar-debar kencang. Carolyn mengumpulkan kucing-kucing yang lain dan
mengembalikan mereka ke kandang. Aku tidak bergerak dari dinding.
Kedua kakiku masih gemetar terlalu hebat untuk bisa berjalan.
"Mereka... menyerangku!" kataku pada Carolyn. "Ada yang
membuka kandang dan..."
"Marty, pergilah ke kantor," kata Carolyn tegas. Ia memberi
isyarat dengan tangannya. "Please. Pergilah ke sana dan duduk."
Dengan patuh aku meninggalkan ruang kandang dan berjalan ke
kantor. Dalam perjalanan, aku mengambil air minum dari pancuran.
Kalau saja aku bisa berhenti gemetaran!
Carolyn masuk ke kantor beberapa menit kemudian. Ia
menggigiti bibir bawahnya dan memandangku serius sambil duduk di
belakang mejanya. "Carolyn...," aku hendak bicara.
Tapi ia mengangkat tangan, menyuruhku diam. "Marty, aku
tahu kau baru saja mengalami shock," katanya lembut. "Tapi kau
harus menyadari - kaulah yang sudah membuka kandang-kandang itu.
Kau yang melepaskan kucing-kucingnya."
"Tidak...," kataku bersikeras. "Dengarkan aku..."
Ia menggeleng. "Tidak ada orang lain lagi di sini, Marty. Kau
sendirian bersama hewan-hewan itu. Sendirian. Aku kembali karena
tas tanganku tertinggal. Dan melihat kau di sana. Kandangkandangnya terbuka.
Kucing-kucingnya ada di mana-mana di lantai."
"Tapi... mereka menyerangku!" jeritku.
Ia kembali menggeleng. Ia mengangkat satu jari ke bibirnya.
"Aku melihat kau yang menyerang mereka," katanya. "Aku melihat
kau mengayunkan sapu. Kucing-kucing itu hanya mengawasimu."
"Tidak!" jeritku. "Kau harus percaya padaku!"
"Aku percaya kau sedang tertekan. Dan sangat jengkel. Dan
mungkin tengah shock," jawab Carolyn. "Aku akan mengantarmu
pulang, Marty. Dan kuminta kau berbicara dengan orangtuamu.
Mungkin menemui dokter. Dan berusaha memulihkan ketenanganmu
lagi." Ia bangkit berdiri dan berjalan mengitari meja ke kursiku. "Aku
khawatir denganmu. Sungguh."
Aku juga khawatir dengan diriku sendiri.
Apa mungkin Carolyn benar" Apa benar aku menderita shock"
Apa aku yang sudah melepaskan kucing-kucing itu dari
kandang" Tidak. Tidak mungkin, kataku sendiri.
Tapi bagaimana aku bisa yakin"
"Aku... aku bisa pulang sendiri," kataku padanya. Aku bangkit
berdiri dengan gemetar. "Aku sungguh menyesal," gumamku. "Aku...
aku masih harus bekerja di sini lima jam lagi. Kau mau..."
"Aku mau kau kembali kalau kau merasa sudah siap," katanya.
"Yakin kau tidak mau kuantar pulang?"
"Tidak. Trims. Mobilku ada di luar."
Ia tetap memegangi bahuku, sementara aku mendului berjalan
ke pintu. Lalu ia berdiri di ambang pintu, mengawasiku sementara aku
memundurkan mobil dan kemudian melaju pergi.
"Wow," kataku keras-keras, sambil berbelok menuju Fear
Street. "Wow. Wow."
Aku masih gemetar. Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin
memberitahu Mom dan Dad akan apa yang sudah terjadi. Tapi aku
harus berbicara dengan seseorang.
Jadi, aku menuju rumah Barry.
Rumah tersebut gelap gulita sewaktu aku memasuki jalur
masuk. Aneh, pikirku. Ia tahu aku akan mampir sepulang kerja nanti.
Ia pasti ada di belakang, pikirku.
Aku turun dari mobil - dan terjatuh karena sepeda roda tiga
milik adik lelakinya. "Aowww!" Aku jatuh ke aspal. Kulit tanganku
terkelupas. "Malam yang buruk," gumamku. Aku beranjak bangkit,
membersihkan diri, dan berjalan ke pintu depan.
"Hei..." Yang membuatku terkejut, pintunya terbuka beberapa
inci. Ada yang sudah ceroboh, pikirku.
Kudorong pintunya hingga membuka sedikit lebih lebar dan
mengintip ke dalam ruang duduk. Gelap total.
"Ada yang di rumah?" panggilku. "Hei, Barry - kau di rumah?"
Tidak ada jawaban. Aku masuk selangkah ke dalam ruangan. "Barry" Kau di sini"
Ini aku." Sunyi. "Hei - kau membiarkan pintumu terbuka!" teriakku.
Masih tetap tidak ada jawaban. Jadi, kuputuskan untuk menuju
bagian belakang rumah. Aku maju beberapa langkah ke lorong - dan terjatuh karena
sesuatu yang lembut dan berat di lantai ruang duduk.
Chapter 23 "OH, tidak!" Jeritan lirih terlontar dari kerongkonganku.
Aku jatuh berlutut. "Barry" Barry?"
Sambil menjerit serak, aku mengulurkan tangan - dan
menyalakan lampu meja. Dan menatap apa yang tadi telah membuatku terjatuh.
Sebuah karpet tergulung. Aku mendesah panjang. "Marty, kau sudah lepas kendali,"
kataku sendiri. "Kau benar-benar lepas kendali."
"Hei - ada orang di sana?" Kudengar Barry memanggil dari
bagian belakang rumah. Aku terlompat. Kudengar suara bisik-bisik. Lalu tawa kecil
seorang gadis. "Ini aku," kataku. Setelah melangkahi karpet, aku bergegas ke
ruang dalam. Dan menemukan Barry dan Riki duduk berdekatan - sangat
dekat - di sofa kulit. Noda lipstik merah tua mengotori pipi Barry. Rambut Riki
berantakan di sekitar wajahnya. Lengan Barry memeluk bahu Riki.
"Hei - hai!" sapa Barry sambil meringis. "Ada apa, Marty"
Kami... eh..." Riki menyelinap menjauhinya. Ia mendorong rambutnya ke
belakang dengan dua tangan.
"Pintunya terbuka," kataku sambil menunjuk dengan kikuk.
"Aku tidak bermaksud..."
"Kukira kau bekerja di tempat penampungan malam ini," kata
Riki sambil meluruskan sweater-nya. "Kata Barry, kau baru datang
larut malam nanti." "Aku... aku harus pergi lebih awal," kataku tergagap. "Ada
kejadian aneh di sana. Dan Carolyn merasa sebaiknya aku pulang
dan..." "Siapa itu Carolyn?" tanya Riki.
"Dia bosku di sana," kataku menjelaskan. "Ada yang
mengeluarkan kucing-kucing dari dalam kandang. Dan..."
"Maaf?" sela Barry.
"Kucing-kucingnya lepas semua," kataku, mengulangi dengan
nada mendesak. "Dan mereka menyerangku. Mereka mendesakku
sampai tersudut ke dinding. Dan kalau Carolyn tidak lupa membawa
pulang tas tangannya..."
Suaraku menghilang. Kulihat cara mereka menatapku.
Mereka tidak mempercayaiku. Kenapa tidak"
Kata-kataku memang terasa tidak masuk akal.
Seluruh cerita itu terdengar tidak masuk akal.
Mereka tidak mempercayaiku - dan tidak ingin mendengar
kisah gila-gilaan tentang kandang-kandang yang membuka sendiri dan
kucing-kucing yang menyerang manusia. Mereka ingin berdua saja
agar bisa berpacaran. Bisa kulihat semuanya di wajah mereka.
Barry mendesah. "Mungkin nanti saja aku meneleponmu?"
katanya. Ia terus memberi isyarat dengan matanya.
"Yeah. Oke." Aku bisa menangkap maksudnya.
"Kau tidak apa-apa, Marty?" tanya Riki. "Kau tampak agak...
kacau." "Tidak. Aku baik-baik saja," gumamku. "Sampai nanti, guys."
Aku berbalik dan bergegas meninggalkan ruangan. Aku lari
menyeberangi ruang duduk yang gelap, hampir-hampir jatuh karena
karpet tergulung itu lagi.
"Whoa!" jeritku. Aku melompatinya, dan menghambur keluar
dari rumah. Dan menabrak seorang pria besar berambut ubanan yang
menyusuri jalur masuk. Kami berdua menjerit terkejut.
"Siapa kau?" tanya pria itu. Ia memicingkan mata
memandangku. Mempelajariku.
"Teman Barry," jawabku tanpa bernapas.
Ia mengangguk, tetap memandangiku. "Aku tetangganya,"
katanya, memberi isyarat ke rumah di seberang. "Kulihat pintu
depannya terbuka. Aku kemari sekadar memastikan tidak ada kejadian
apa-apa." "Yeah. Tidak ada apa-apa," kataku padanya. "Kurasa Barry
hanya lupa menutupnya sewaktu masuk tadi."
Tetangga itu mengamatiku dengan lebih teliti lagi. Lalu ia
mendengus dan berbalik kembali ke rumahnya. "Malam yang bagus,"
gumamnya sambil berlalu. "Tidak juga," jawabku lembut.
Bukan malam yang bagus sama sekali, kataku memutuskan
sendiri. Malahan malam ini merupakan salah satu malam paling
menakutkan seumur hidupku.
Aku tidak tahu bahwa ketakutan itu baru saja dimulai.
Chapter 24 KEESOKAN harinya ibuku mengetuk pintu kamar tidurku
pukul tujuh lebih sedikit. Hujan deras menghantam jendelaku dan
awan-awan gelap menghalangi matahari.
Aku ingin menutupi kepala dengan bantal dan melanjutkan
tidur. Tapi sudah dua kali aku terlelap. Satu kali lagi dan aku pasti
akan terlambat ke sekolah.
"Marty" Kau sudah bangun?" panggil Mom dari lorong.
"Yeah!" kataku sambil mengerang. "Sudah. Aku turun sebentar
lagi." "Boleh aku masuk?" tanyanya.
"Silakan," jawabku.
Sewaktu Mom membuka pintu, bisa kulihat bahwa ia baru saja
menangis. Kedua matanya merah dan bengkak. Ia mengusap
rambutnya dan berkata, "Kenakan pakaianmu dan cepatlah turun,
Marty." "Ada apa, Mom?" tanyaku. "Apa yang terjadi?"
"Marty," bisik Mom, menghapus air mata dari pipinya. "Marty,
ada polisi di bawah yang ingin bicara denganmu."
Jantungku serasa tenggelam. Polisi.
Kukenakan celana jeans dan kaus. Lalu kuikuti ibuku turun ke
bawah. Kenapa ibuku menangis" Pertanyaan tersebut menghantuiku
saat melangkah masuk ke ruang duduk. Kedua polisi berseragam
tersebut berdiri berdekatan, berbisik-bisik.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Opsir Martinez, Opsir Lambert, ini putraku, Marty," kata Mom
pada mereka. "Hai," gumamku.
"Marty, duduklah," kata Opsir Martinez. Aku merasa terganggu
karena ia mempersilakan aku duduk di rumahku sendiri.
Aku duduk dan menunggu. Polisi tidak mengatakan apa-apa
selama beberapa detik. "Apa ini karena kejadian semalam?" tanyaku, muak karena
menunggu. "Ada apa semalam?" tanya Opsir Lambert, memicingkan
matanya. "Di tempat penampungan hewan," kataku menjelaskan. "Ada
yang membuka kandang-kandangnya dan..."
Kedua polisi tersebut bertukar pandang, lalu memandang ibuku.
Akhirnya mereka kembali mengalihkan perhatian kepadaku.
"Tidak. Ini bukan karena kejadian di tempat penampungan,"
kata Opsir Lambert. "Marty, apa kau pergi ke tempat lain sesudah meninggalkan
tempat penampungan hewan semalam?" tanya Martinez.
"Tentu saja." Aku angkat bahu. "Aku ke rumah temanku, Barry.
Kami seharusnya belajar bersama. Tapi pacarnya juga ada di sana, jadi
aku pergi." "Pacarnya?" tanya Lambert. "Maksudmu Riki Crawford?"
"Yeah," kataku menyetujui. "Look, apa ada kejadian di tempat
penampungan sesudah aku pergi" Apa Carolyn baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, Marty," kata Opsir Martinez, berusaha
meyakinkan diriku. Lalu jantungku hampir-hampir berhenti berdetak.
"Oh, tidak," bisikku. "Tolong jangan katakan ada sesuatu yang
menimpa Barry. Please..."
Kedua polisi tersebut menunduk. Lambert menggigit bibirnya
sebelum berbicara. "Maafkan aku, Marty," katanya lembut. "Ada yang membunuh
temanmu Barry semalam. Dia dicakar habis-habisan."
Chapter 25 "DWAYNE dan Barry," bisikku. "Dwayne dan Barry.
Mustahil." "Oh, Marty, benar-benar mengerikan," kata Mom sambil
terisak. Ia menggeleng, dagunya gemetar. "Aku turut berduka."
Ia memelukku. Aku duduk di kursi dan memandang kosong. Aku tidak bisa
membalas pelukan Mom. Aku bahkan tidak menangis.
"Marty" Kau baik-baik saja?" tanya Opsir Martinez. "Kami bisa
pergi dulu dan kembali lagi nanti."
Pertanyaan polisi tersebut menyentakkan diriku kembali ke
kesadaran. "Tidak. Tidak, aku baik-baik saja, kurasa," gumamku. "Apa
yang ingin kalian ketahui?"
Ibuku berjalan ke depan sofa dan duduk di sampingku. Kedua
polisi tersebut masih tetap berdiri, dan itu menyebabkan aku gugup.
Seakan-akan mereka burung pemakan bangkai, menatap diriku.
"Mungkin kau ingin memanggil pengacara?" tanya Opsir
Martinez. "Kami harus memberimu pilihan itu."
Aku menggeleng. "Akan kujawab pertanyaan kalian. Aku ingin
membantu." "Pukul berapa kau meninggalkan rumah Barry semalam,
Marty?" tanya Lambert.
"Entahlah." Aku angkat bahu. "Beberapa menit sebelum pukul
sepuluh, kurasa. Riki mungkin lebih ingat. Dia masih ada di sana
bersama Barry sewaktu aku pergi."
"Ada tetangga yang melihatmu lari keluar dari dalam rumah,"
kata Lambert, tatapannya menusuk mataku. "Kata tetangga itu kau
tampak liar, sangat bersemangat."
"Tunggu sebentar!" jeritku. "Kalian tidak mengira aku yang
membunuh Barry, bukan" Kalian pasti sudah sinting!"
Kedua opsir tersebut mengangkat alis mereka.
Lalu Martinez angkat bahu. "Cobalah mengerti dari sudut
pandang kami, Marty," katanya. "Kami mengetahui semua kejadian
yang melibatkan dirimu selama beberapa minggu terakhir ini."
"Hah?" jeritku. "Kejadian?"
Ia mengangguk. "Mula-mula, ada pembunuhan kucing di
gimnasium sekolah. Lalu kau bertingkah laku aneh di sesi Sidang
Murid. Kau memberitahu semua orang bahwa kau melihat kucing
yang sudah mati, padahal tidak ada apa-apa sama sekali. Lalu kaulah
yang menemukan mayat Dwayne Clark."
Aku merasa mual. Aku tidak bisa mendebat semua yang
dikatakannya. "Akhirnya, semalam di tempat penampungan hewan," kata
polisi tersebut, melanjutkan, "kata manajernya dia menemukan semua
kucing terlepas. Dan kau sedang memukuli mereka dengan sapu."
"Ini keterlaluan!" sembur ibuku. "Dwayne dan Barry temanteman terbaik putraku!"
"Aku bukan pembunuh!" jeritku. "Oke. Oke. Aku membunuh
kucing itu. Tapi itu kecelakaan. Aku tidak akan pernah menyakiti
siapa pun. Terutama teman-teman terbaikku."
Martinez memberi isyarat dengan dua tangan agar aku tenang.
"Maaf," gumamku. "Aku... aku begitu bingung. Aku tidak tahu
harus mengatakan apa. Kalian tidak benar-benar menganggapku sudah
membunuh Barry, bukan?"
"Tidak," jawab Martinez. "Tapi kami harus melacak setiap
petunjuk. Kata Riki Crawford, kau meninggalkan rumah lebih dulu
daripada dirinya. Dia keluar pukul sebelas, dan menelepon Barry
begitu tiba di rumah. Barry masih baik-baik saja pukul setengah dua
belas." "Dengan begitu, kau punya alibi," kata partnernya.
"Dan juga Riki," tambah Martinez.
Kedua polisi tersebut berbalik hendak pergi. Lalu Martinez
menyambar lengan Lambert, dan mereka berbalik kembali
memandangku. "Satu pertanyaan lagi," kata Opsir Martinez. "Kau mengatakan
pintu rumah keluarga Allens terbuka sewaktu kau tiba?"
"Ya," jawabku. "Temanmu Riki ingat kau mengatakan sesuatu tentang pintunya
yang terbuka," lanjut Martinez. "Tapi dia bersumpah bahwa sewaktu
dia dan Barry duduk di ruang dalam, pintu depannya tertutup dan
terkunci." "Apa maksud Anda?" tanyaku, merasa sangat kebingungan.
"Maksud Anda pembunuhnya mungkin sudah ada di dalam
rumah sewaktu Marty tiba di sana?" tanya ibuku.
Kedua polisi tersebut mengangguk. Aku mengawasi mereka
berjalan ke pintu. Aku tidak mengantar mereka. Aku hampir-hampir
tidak bisa menggerakkan satu otot pun.
**********************************************
Tentu saja pelajaran ditunda. Miss Bevan, wakil kepala sekolah,
menelepon Mom dan mengatakan kalau telah memanggil pembimbing
khusus untuk berbicara dengan murid-murid mengenai kedua
pembunuhan tersebut. Kata Mom, aku harus menemui dan berbicara dengan mereka.
Tapi aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.
Apa yang harus dikatakan"
Aku tetap di kamarku sepanjang pagi, merasa mati. Aku tidak
bisa berpikir. Tidak bisa menangis. Aku tidak bisa melakukan apa-apa
sama sekali. Tidak lama selewat tengah hari, aku turun ke bawah dan
membuat roti isi. Kugigit sepotong dan tidak mampu menghabiskan
sisanya. Aku duduk di dapur, menatap roti tersebut sesaat. Lalu
kuangkat telepon dan menghubungi Kit.
"Marty, bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Aku... entahlah. Kurasa aku shock atau semacamnya. Aku
tidak bisa berpikir dengan benar."
"Aku juga," jawab Kit. "Sulit dipercaya."
Kami berdua terdiam sejenak. Aku bisa mendengar suara
napasnya. "Di berita dikatakan Barry dicakari hingga tewas," kata Kit
akhirnya. "Kedengarannya... kedengarannya sungguh sulit dipercaya,
Marty." Suaranya pecah.
"Yeah." Aku mendesah. "Sulit dipercaya."
"Keduanya - anak-anak yang kita kenal - dicakari hingga
tewas. Apa pembunuhnya sudah sinting" Dia seperti hewan buas!"
Aku tidak menjawab. Tiba-tiba aku sangat ingin menutup
telepon. Aku tidak bisa membicarakannya. Kenapa aku menelepon
Kit" "Riki ada di sana bersama Barry semalam?" tanya Kit.
"Kudengar dia..."
"Yeah. Riki sedang bersamanya," kataku menyela. "Tapi
katanya dia pergi pukul sebelas dan menelepon Barry tidak lama
sesudah itu." "Dia pasti kacau sekali," kata Kit. "Mungkin sebaiknya
kutelepon dia." "Baik sekali," jawabku.
"Kita semua harus bersikap baik satu sama lain," kata Kit.
"Mungkin dengan begitu kita bisa melewati kejadian ini."
"Mungkin," jawabku, merasa tenggorokanku mengencang.
"Aku... sulit bagiku untuk percaya bahwa semuanya dimulai dari
kucing bodoh itu." "Kau tidak sungguh-sungguh percaya...," Kit hendak bicara.
Tapi aku tidak bisa bercakap-cakap lagi. Aku bisa merasakan
diriku mulai hancur berantakan. "Nanti saja, Kit," kataku dengan suara
tercekik. Kututup telepon sebelum ia sempat mengatakan apa pun.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan sepanjang sore harinya.
Aku tidak benar-benar ingat.
**********************************************
Keesokan harinya, sekolah menyelenggarakan pertemuan
khusus untuk mengenang Dwayne dan Barry.
Acara tersebut sangat menyedihkan. Hampir semua orang
menangis. Para pembimbing menawarkan untuk mengadakan pertemuan
dengan murid-murid yang ingin dibantu.
Sesudah itu Coach Griffin menyelenggarakan rapat regu. Acara
tersebut merupakan rapat paling sunyi yang pernah kami
selenggarakan. "Bagaimana perasaan kalian?" tanya Coach Griffin. "Masih
ingin bertanding dalam turnamen" Atau sebaiknya kita lewatkan saja"
Sejujurnya saja. Akan kupenuhi semua keinginan kalian."
Semuanya berpaling memandangku.
Semua orang tahu Dwayne dan Barry merupakan teman-teman
terbaikku. "Kita... kita tidak bisa menang tanpa mereka," gumamku.
"Kurasa sebaiknya kita tidak ikut bertanding."
Beberapa orang mengangguk. Tapi yang lainnya memprotes.
Kevin berbicara. "Marty, sesudah kematian Dwayne, kau yang
mengatakan kita seharusnya bertanding demi dirinya. Sekarang kurasa
kita harus bermain sebaik-baiknya - dan bertanding demi Dwayne dan
Barry." Kami membicarakan hal itu lebih jauh. Lalu kami memutuskan
untuk terus mengikuti pertandingan.
Kubayangkan kedua temanku membawa bola melintasi
lapangan, saling menggoda, melemparkan bola dengan anggun.
Aku harus keluar dari gimnasium tersebut. Menjauh dari semua
orang. Aku menghambur keluar, memasuki lorong, dan berlari-lari
kecil ke lokerku. Dua orang gadis tengah bersandar ke dinding. Keduanya
berbicara bersamaan. Gayle dan Riki. Mereka berhenti bicara sewaktu
melihat kehadiranku. Riki bergegas mendekat dan memelukku. "Bagaimana?"
bisiknya. Aku angkat bahu. "Kau tahu."
Mereka bertukar pandang. Mereka berdua tampak sangat tegang.
"Ada apa?" gumamku. "Kalian berhenti bicara sewaktu aku
muncul." "Kami... eh... membicarakan dirimu," jawab Riki,
pandangannya terarah pada Gayle.
"Marty, kami agak khawatir," kata Gayle. "Maksudku, tentang
dirimu." "Aku?" Kupicingkan mataku menatap mereka. "Bisa kuatasi,"
kataku. "Kurasa."
"Tidak. Bukan itu yang kami maksudkan," sela Riki. "Maksud
kami... Dwayne... Barry... kalian semua Tiga Pendekar, bukan?"
Aku mengangguk. "Dan ada yang membunuh mereka. Dan sekarang masih tersisa
satu orang. Kau." Aku akhirnya memahami maksud mereka. Aku begitu terbenam
dalam pemikiran tentang kedua almarhum temanku, sehingga hal
tersebut tak pernah terlintas dalam pikiranku.
"Maksudmu?" Pandangan Gayle menusuk mataku. "Apa menurutmu kau
giliran berikutnya?" tanyanya.
Chapter 26 SEWAKTU aku muncul di tempat penampungan hewan
beberapa malam kemudian, Carolyn menyambutku dengan sikap
terkejut. "Marty - bagaimana kabarmu?" tanyanya, pandangannya
mengamatiku dengan teliti.
"Oke, kurasa," kataku padanya. "Sulit. Tapi kucoba untuk
mengatasinya." "Kau tidak perlu kemari malam ini," katanya. "Kalau kau ingin
menunggu beberapa minggu lagi..."
"Tidak. Aku harus tetap sibuk," kataku. "Agar pikiranku tidak
melayang ke mana-mana."
Ia mengajakku ke ruang kandang. "Aku sudah memberi makan
mereka semua," katanya. "Aku tidak mengira kau akan kemari. Jadi,
kurasa kau bisa menyapu dan membersihkan saja."
Sebuah salakan keras menyebabkan aku berputar. "Hei!"
jeritku. "Anjing jahat itu - Brutus. Kukira dia sudah ditidurkan."
"Ada yang menyelamatkannya pada detik terakhir," jawab
Carolyn. "Kita mungkin menemukan pemilik untuk Brutus. Orang
yang sedang mencari anjing yang benar-benar menakutkan untuk
menjaga tokonya." "Brutus mendapat pekerjaan," gumamku. Anjing tersebut
menggeram ke arahku. "Kurasa itu gagasan buruk," kata Carolyn. "Sifat Brutus benarbenar jelek.
Tapi..." Telepon berdering. Carolyn bergegas ke kantor untuk
menerimanya. Aku berjalan menyusuri lorong di sela-sela kandang, menuju
lemari peralatan. "Kuharap kalian bersikap baik malam ini," kataku
pada kucing-kucing. Beberapa menit kemudian, Carolyn mengucapkan selamat
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam. Kudengar pintu depan ditutup di belakangnya. Lalu kudengar
mobilnya melaju meninggalkan tempat parkir.
Aku menyandar ke sapu, mendorongnya sepanjang lorong
pertama. Kembali di tempat penampungan ini menyebabkan aku
merinding. Tapi aku masih harus melayani di sini beberapa jam lagi.
Dan aku sangat ingin tetap sibuk. Mati-matian agar benakku
tetap sibuk. Kalau saja suasana di sini tenang malam ini, pikirku.
Tapi keinginanku tidak terpenuhi.
Chapter 27 AKU tengah menyapu lorong terakhir sewaktu kucing-kucing
mulai mendesis. Mula-mula hanya beberapa ekor. Di sisi seberang ruang
kandang. Tapi suara tersebut dengan cepat menyapu seluruh ruangan,
seperti angin yang kuat dan marah.
"Hentikan!" teriakku. "Hentikan sekarang juga!"
Aku tahu tindakan tersebut bodoh. Berteriak-teriak pada kucing.
Dan tampaknya justru menyebabkan mereka semakin
bersemangat. Kulepaskan sapu dan kututupi telinga dengan tangan. Kucingkucing mengeong dan
mendesis-desis. Keributan yang memekakkan
telinga tersebut menyebabkan anjing-anjing mulai menyalak.
"Ada orang di sini?" panggilku.
Apa ada orang yang sudah menyebabkan hewan-hewan ini
berubah sinting" "Ada orang di sini?" teriakku sekuat tenaga.
Tidak ada jawaban. Anjing-anjing menubruk sisi kandang masing-masing, seakanakan hendak keluar.
Kucing-kucing melengkungkan punggung
mereka dan mendesis. Aku harus pergi dari sini, pikirku.
Tidak ada alasan untuk tetap berada di sini.
Aku berbalik menuju kantor - dan tersentak terkejut.
"Kit!" seruku. Kit melangkah keluar dari balik deretan kandang kucing. Ia
mengenakan kaus kelabu longgar dan celana hitam ketat. Rambutnya
tergerai di sekitar wajahnya.
"Kit...," teriakku untuk mengatasi jeritan dan desisan hewanhewan. "Apa yang
kaulakukan di sini" Aku senang bertemu
denganmu!" Yang membuatku terkejut, ekspresinya berubah keras dan
dingin. "Sekarang giliranmu, Marty," katanya.
Chapter 28 "HAH?" Aku maju selangkah mendekatinya. "Kit - apa katamu
tadi" Di sini ribut sekali."
Ia mengangkat satu tangannya.
Desisan dan salakan seketika berhenti.
"Hei - ajaib!" seruku. "Apa yang terjadi di sini?"
"Sekarang giliranmu, Marty," ulangnya; ia menatapku dengan
pandangan sedingin es. "Giliranku" Aku tidak mengerti."
"Kau membunuhku," katanya dengan pelan, datar. "Kau
membunuhku, lalu kedua temanmu tertawa-tawa."
Aku maju mendekatinya, benakku berputar. "Kit, kau baik-baik
saja?" tanyaku. "Kata-katamu tidak masuk akal."
Ekspresinya berubah semakin dingin. Ia menarik bibirnya dan
menggumamkan desisan menakutkan. "Akulah kucing itu, Marty,"
bisiknya. "Aku kucing gelandangan itu. Kucing dari gimnasium.
Kucing yang kaubunuh bersama teman-temanmu."
"Whoa!" seruku. "Tenang. Tenang dulu."
Kuletakkan tanganku di bahunya. Tapi ia mendesis lagi bagai
hewan dan menyentakkan bahunya dari tanganku.
Wajahnya memancarkan kebencian. Mata hijaunya menyambar
marah. "Tenang," kataku. "Akan kupanggilkan dokter. Kau akan
sembuh. Kau hanya tegang, Kit. Karena semua kejadian mengerikan
selama minggu kemarin. Kau jadi mengatakan yang tidak-tidak.
Tapi... akan kucarikan bantuan."
"Akulah kucing itu, Marty," ulangnya. "Kau sudah bertemu
dengan keluargaku - ingat" Kucing-kucing lain dalam rumahku"
Mereka itu saudara dan saudariku."
"Tapi, Kit...," aku hendak bicara.
Ia mengangkat tangan dan mencakar udara.
"Aku pengubah-bentuk," lanjutnya. "Aku salah satu pengubahbentuk terakhir di
bumi. Aku berubah-ubah antara seorang gadis dan
seekor kucing. Mudah sekali bagiku."
Ia maju selangkah. "Kenapa kau membunuhku, Marty" Kenapa
kau melakukannya" Kenapa kau dan teman-temanmu selalu
bersemangat untuk mengusirku?"
"Kit, please..." pintaku. "Kau bukan kucing. Kau hanya sangat
kebingungan sekarang ini. Tapi kau akan sembuh. Aku janji."
"Kau tahu kenapa aku berkeliaran di gimnasium?" tanyanya.
"Kau tahu kenapa aku tinggal di bawah panggung penonton" Agar
bisa dekat denganmu!"
"Hah?" Aku tersentak.
"Aku diam di sana untuk menyaksikan dirimu," katanya
bersikeras. "Aku begitu tergila-gila padamu."
Ia mencibir. "Itu cinta sejati, Marty. Dan bagaimana caramu
membalas" Kau menjatuhkan diriku dari atas panggung penonton.
Kau mencoba membunuhku. Kau tidak tahu bahwa aku punya
sembilan nyawa." Aku menatapnya tajam. Mulutku ternganga.
Aku tidak mempercayai kata-katanya sedikit pun. Tidak sepatah
kata pun. Semuanya sinting. Kit yang malang sudah gila.
"Akan kucarikan bantuan," kataku padanya.
"Tidak, tidak akan," katanya. "Kau akan mati, Marty. Aku akan
merindukanmu. Sungguh. Tapi aku sudah terlalu lama bermain-main
denganmu. Sudah saatnya mengakhirinya."
"Dengarkan aku...," kucoba menjelaskan.
Tapi aku berhenti sewaktu melihat ia mulai berubah.
Bulu-bulu kelabu dengan cepat tersembul di seluruh wajahnya.
Ciri-cirinya melebur menjadi satu, sementara kumis kucing menjulur
keluar dari bawah hidungnya.
Ia menyelinap keluar dari pakaiannya, tertutup oleh bulu-bulu
kelabu sekarang. Menyusut... menyusut...
Dan akhirnya berdiri pada keempat kakinya. Tangan dan
kakinya berubah menjadi cakar. Sebuah ekor menjulang kaku di
belakangnya. Bibirnya tertarik ke belakang dan mendesis bagai
kucing. "Tidaaaaaaak!" Aku melolong ngeri sekaligus tak percaya.
Aku tengah menatap kucing itu. Kucing kelabu dengan bercak
hitam berbentuk berlian di dahinya.
Aku tengah menatap Kit. Menatap kucing yang sudah mati itu.
Menatap kucing yang sudah kubunuh.
"Tidak - please!" pintaku.
Aku terhuyung-huyung mundur.
Tapi tidak cukup cepat. Ia melompat tinggi, mengangkat kedua cakarnya yang tajam.
Sakit yang luar biasa menyambar seluruh wajahku.
Kulihat darah merah manyala - darahku! - menciprati lantai.
"Ohhhhh." Sakitnya menyebar ke seluruh tubuhku.
Ia menarik cakarnya. Kulihat sepotong kulitku di sana.
Sambil memegangi wajahku yang berlumuran darah, aku jatuh
berlutut. Dan melihatnya mengangkat cakar untuk mengirisku lagi.
Chapter 29 "AOWWWWW!" Aku menjerit saat cakar kucing tersebut mengiris kemejaku,
merobek kulitku. Kit menjerit. Matanya menari-nari gembira.
Ia kembali menerkam. Aku merunduk menghindar. Ia mendarat dengan keras di
sampingku, di lantai ruang kandang.
Rasa sakit menyambar di seluruh tubuhku, menyebabkan aku
terlipat. Darahku membasahi lantai.
Saat mengangkat kepala, kulihat ia bangkit berdiri. Bersiap
menyerang lagi. Aku mengerang. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri.
Aku menyadari ia akan membunuhku. Ia akan mencincangku
habis-habisan. Ia melontarkan kepalanya ke belakang sambil menjerit
melengking. Dan menerjangku lagi.
Aku berbalik - dan cakarnya merobek sisi tubuhku.
Segalanya berubah merah. Semerah darahku.
Aku tercekik. Terengah-engah menghirup napas.
Aku merasa diriku semakin lemah. Memudar... memudar
menjadi merah. "Tidaaak!" kataku sambil mengerang. Kudorong diriku maju.
Menyambar kandang-kandang anjing sebagai pegangan.
Mengangkat diriku menjauhinya.
Sebuah geraman tajam menyebabkan aku berhenti.
Sekalipun kesakitan, sekalipun pandanganku berkunangkunang, aku melihatnya.
Brutus. Anjing besar tersebut menggeram ke arahku.
Kudengar Kit menjerit. Aku berbalik dan melihatnya berlari ke
arahku dengan keempat kakinya. Pandangannya liar. Bulu-bulunya
berdiri tegak bagai tersengat listrik.
"Brutus," kataku sambil mengerang.
Aku berusaha membuka selot kandang. Tanganku gemetar
hebat, hingga sulit bagiku untuk melakukannya.
Akhirnya aku bisa menarik pintu kandang hingga terbuka.
Anjing besar tersebut keluar kandang tepat pada saat Kit
menyerang. Aku jatuh ke lantai. Rasa sakit menyapu seluruh tubuhku.
Menarikku ke bawah... ke bawah.
Tapi kuangkat kepalaku tepat pada waktunya untuk melihat
anjing besar tersebut menjepitkan rahangnya ke kucing itu.
Kit menjerit dan mencakar.
Kudengar derakan memuakkan sewaktu Brutus mematahkan
leher Kit dengan gigi-giginya.
Kit merintih panjang. Tubuhnya merosot tanpa nyawa di rahang
anjing tersebut. Dan aku merosot ke lantai. Mengawasi tirai merahnya berubah
menjadi hitam. Chapter 30 DOKTER UGD tersebut menggeleng. Ia telah menjahit lukalukaku dan memeriksa
diriku. "Aku masih tidak bisa mempercayainya," gumamnya. "Kucing
yang melakukan semua ini padamu?"
Aku mengangguk muram. "Yeah. Seekor kucing. Aku tidak
tahu mengapa hewan itu menyerangku. Tapi aku tidak akan kembali
ke tempat penampungan hewan itu lagi. Itu sudah pasti."
"Kurasa itu tindakan yang cerdas," dokter tersebut menyetujui.
"Kurasa kau tidak cocok bergaul dengan hewan."
Benar-benar pernyataan yang meremehkan! pikirku.
Sewaktu meninggalkan rumah sakit dengan orangtuaku, aku
berharap bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada mereka.
Tapi tidak mungkin mereka akan mempercayai ceritaku.
Orangtuaku tidak akan mempercayai adanya pengubah-bentuk.
Aku tidak kenal seorang pun yang mempercayai adanya pengubahbentuk.
Kecuali diriku, tentu saja.
Riki menelepon beberapa jam sesudah aku tiba di rumah.
Tubuhku terasa begitu sakit, hingga hampir-hampir tidak bisa
menahan telepon di telingaku. Tapi kami bercakap-cakap cukup
menyenangkan. Kuputuskan bahwa Riki ternyata boleh juga. Malahan ia hebat
juga. Kuputuskan untuk meminta maaf atas perlakuanku padanya
sebelum ini. Mungkin ia dan aku bisa mencoba lagi - sekarang,
sesudah kengerian itu berlalu.
Pertandingan turnamen basket yang pertama akan berlangsung
hari Jumat malam yang akan datang. Tubuhku masih terasa sakit, dan
sisi tubuhku berdenyut-denyut setiap kali menangkap bola. Tapi aku
begitu gembira karena kembali ke lapangan, begitu gembira karena
menjalani kehidupan normal, sehingga tidak kuacuhkan rasa sakit itu
dan aku berusaha sebaik-baiknya.
Pertandingan akan berakhir dua menit lagi, dan kami masih
kalah dua angka. Kevin dan Joe Gimmell saling melemparkan bola sambil
bergemuruh melintasi lapangan. Aku berderap di dekat garis tembak,
mencoba mendapat kesempatan.
Aku berpura-pura ke kiri. Joe bisa melihat bahwa posisiku
terbuka. "Lemparkan! Lemparkan!" teriakku.
Ia berhenti men-dribble bola dan mengangkatnya, seakan-akan
hendak melemparkan bola tiga angka sendiri.
Lalu ia melontarkan bola kepadaku.
Aku meraihnya. Dan melihat cahaya hijau di bawah panggung penonton.
Dua cahaya hijau. Dua mata hijau. Mata seekor kucing.
Seekor kucing dengan bercak hitam berbentuk berlian di
dahinya. Bola memantul pada dadaku.
Penonton mengerang. Aku tidak peduli. Aku menatap kucing itu. Hewan tersebut mengacungkan cakar
yang berlumuran darah. Dan aku mulai menjerit.END
Patung Iblis Banci 2 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Kutukan Sang Badik 2
menjadi salah satu gadis paling populer di sekolah.
Rambutnya yang cokelat chestnut tergerai ke bahunya,
membingkai wajahnya dengan sempurna. Matanya hijau zamrud,
dihiasi bintik-bintik keemasan.
"Eh," kataku tergagap, "kau tidak masuk dua hari ini ya?"
"Aku sakit. Flu atau semacam itulah," kata Kit. "Sekarang
sudah lebih baik." "Tampangmu juga baik," kataku menggoda.
"Kau sendiri tidak jelek, Harper," jawabnya.
"Eh, kau mau es krim atau apa di The Corner sepulang
sekolah?" tanyaku. Bola matanya menyipit. "Apa kau tidak berlatih?"
"Lututku terluka minggu lalu," kataku menjelaskan. "Aku tidak
bisa berlatih. Kalau aku tidak menyaksikan latihan satu kali, Coach
tidak akan marah." Kit memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu mengangguk.
********************************************
Aku menemui Kit di tangga samping sekolah, dan kami berjalan
ke The Corner. Kami bercakap-cakap selama hampir dua jam. Ia
benar-benar menyenangkan. Aku terpesona olehnya, habis-habisan.
Sewaktu kami meninggalkan The Corner, sesuatu menyebabkan
aku kembali melirik ke dalam. Dan aku langsung membeku.
Di bagian belakang, Riki tengah duduk seorang diri. Ia melotot
ke arahku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Aku
juga tidak terlalu peduli. Lupakan, pikirku. Lupakan dia.
Aku berbalik dan membiarkan pintu menutup agak keras di
belakangku. Kit tinggal di Canyon Road. Kami berjalan dengan santai
menyusuri jalan yang dipagari pepohonan, bercakap-cakap dengan
nyaman, seakan-akan kami memang sudah berteman selama ini.
Mobil-mobil melintas lewat. Beberapa orang membunyikan
klakson ke arah kami, tapi aku bahkan tidak berpaling untuk melihat
siapa yang berusaha menarik perhatian kami.
Aku merasa sangat bahagia. Ada sesuatu yang hebat tengah
berlangsung antara Kit dan aku.
Kami berbelok memasuki jalur masuk ke rumahnya. Ia tinggal
di sebuah rumah bata lama yang dinding depannya ditumbuhi ivy.
"Kau mau mampir sebentar?" tanya Kit. "Atau kau harus pulang
untuk makan malam?" "Masih agak lama," jawabku gembira.
Kit membuka pintu dan melangkah masuk. "Apa yang
kautunggu?" Aku mengikutinya masuk ke dalam. Ia menutup pintu di
belakangku. Aku melirik ke sekeliling ruang depan. Ada tangga yang
menuju lantai dua. Sebuah lorong panjang menuju dapur. Di sebelah
kiri terdapat ambang pintu melengkung menuju ruang duduk.
"Rumahmu bagus," kataku mengomentari.
Lalu aku melompat sewaktu seekor kucing hitam berlari
menuruni tangga ke arah kami. Kudengar erangan kucing di sebelah
kiriku. Seekor kucing belang melesat dari ruang duduk. Dua ekor anak
kucing putih dengan bulu-bulu kaku berderap di lorong dari dapur.
Beberapa meter di depan, seekor kucing kelabu tengah duduk
memelototi diriku. Aku membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.
Tapi sebelum aku sempat bicara, kucing-kucing tersebut
melengkungkan punggung dan membuka mulut, memperdengarkan
desisan melengking menakutkan.
Chapter 15 "SINGKIRKAN mereka!" lolongku.
Kit tertawa. "Marty - tenang. Mereka cuma lapar."
Bisa kurasakan wajahku berubah memerah.
Kedua kakiku gemetar. Kuharap Kit tidak melihat betapa
ketakutannya diriku. "Eh... sesudah kejadian dengan kucing di sekolah, kurasa aku
agak kacau," kataku mengakui.
"Aku dengar kejadiannya," kata Kit. Ia harus berteriak, karena
kucing-kucingnya masih terus mendesis-desis. "Itu kecelakaan -
benar?" "Yeah," jawabku dengan perasaan tidak nyaman.
Kit melemparkan ranselnya ke lantai. "Kau belum mau pergi,
bukan" Mungkin kucing-kucing ini akan tenang begitu mereka sudah
mengenalmu." Ia tidak ingin aku pergi. Sulit dipercaya! Kit benar-benar
menyukai diriku. Kalau saja kami tidak sedang dikelilingi kucing-kucing yang
mendesis-desis menjengkelkan itu.
"Kau memelihara berapa ekor kucing?" tanyaku.
Ia meringis. "Beberapa."
Pandanganku menyapu ke sekeliling ruangan. Kucing-kucing
ada di mana-mana. "Aku... aku benar-benar harus pergi," kataku tergagap. "Kalau
aku tidak berhasil mendapatkan nilai bagus dalam ulangan
matematika...." Kit tampak kecewa. Aku merasa tidak enak. Tapi kucing-kucing itu - mereka benarbenar membuatku
merinding. Dan aku begitu alergi terhadap mereka. Aku sudah mulai
merasakan hidungku tersumbat dan wajahku mulai membengkak.
"Mungkin lain kali," kataku sambil bergerak ke pintu. "Akan
kutelepon atau apa. Oke?"
Kucing yang hitam menyapukan tubuhnya ke kakiku. Hewan
tersebut melengkungkan punggungnya dengan kaku sewaktu melewati
diriku. Seekor kucing putih gemuk dengan ekor sangat panjang
menjerit marah dari tangga.
"Kurasa... kurasa sebaiknya mereka kuberi makan dulu," kata
Kit sambil menggeleng. "Aneh sekali, Marty. Aku tidak mengerti.
Mereka tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya."
"Aku... aku memang memiliki hubungan khusus dengan
kucing," kataku bergurau.
Lalu aku lari keluar dari sana secepat mungkin.
********************************************
"Kau yakin ini gagasan bagus?" bisik Barry. "Kita bisa
mendapat kesulitan besar."
"Yang benar saja," sergah Dwayne. "Ini akan dicatat dalam
sejarah sebagai lelucon paling hebat yang pernah dilakukan di SMA
Shadyside." "Marty?" tanya Barry, menunggu pendapatku.
"Kita harus melakukannya," jawabku. "Gayle layak
mendapatkannya, man. Dia masih belum mau melupakan masalahnya.
Setiap kali bertemu, dia bersikap seakan-akan kita tidak pernah ada.
Tulisannya di koran tentang pengadilan Sidang Murid-ku adalah
kesalahannya yang terakhir."
Kami seharusnya berada di ruang loker, bersiap-siap berlatih.
Tapi gagasan yang tiba-tiba melintas dalam benak Dwayne perlu
segera dilaksanakan. Klub Hak-hak Hewan selalu rapat di ruang kelas
di lantai pertama sepulang sekolah, setiap hari Selasa.
"Saatnya memberi Gayle pelajaran," bisikku.
Barry masih tampak khawatir.
"Ayolah, Barry," desak Dwayne. "Marty yang tertimpa abu
panas seorang diri karena kejadian dengan kucing itu. Kita harus
membalasnya, bukan?"
Barry mengangguk. "Baik."
Aku berdiri di balik pintu tertutup ruang kelas tempat Klub
Hak-hak Hewan tengah berkumpul. Bisa kudengar suara Gayle
berceloteh di dalam. Pada suatu saat, kudengar ia menyebut-nyebut
namaku. Keraguan apa pun yang kurasakan akan tindakan kami
seketika menghilang. Kulihat arlojiku. Pukul tiga lewat tujuh menit. Barry dan
Dwayne akan berada di jendela yang terbuka sekarang ini. Sebentar
lagi, pikirku. Lalu jeritan-jeritan mulai terdengar.
Kudengar jeritan melengking dan teriakan-teriakan terkejut.
"Singkirkan mereka dari sini!" jerit seorang gadis. "Singkirkan
dariku!" "Tikus!" teriak seorang cowok. "Ratusan ekor!"
Yang benar saja, pikirku. Seringai merekah di wajahku.
Barry, Dwayne, dan aku telah mencuri selusin tikus putih dari
laboratorium biologi dan menyimpan mereka dalam kotak. Pada pukul
tiga lewat tujuh menit, Dwayne melemparkan mereka melalui jendela
ruang kelas tempat Klub Hak-hak Hewan sedang rapat.
Pintu terempas membuka dan para anggota klub berhamburan
keluar ke lorong. Kulihat dua ekor tikus berlari melewatiku,
menyusuri lorong. Aku pindah ke ambang pintu yang telah terbuka.
Gayle dan dua orang gadis lainnya tengah mengejar-ngejar tikus.
"Keluarkan mereka!" jerit Gayle.
Pada saat itu ia melihatku. "Kau yang melakukan ini?"
"Tentu saja tidak," jawabku. Tapi sulit untuk menahan tawa.
Kudengar tawa dari luar jendela. Dwayne dan Barry.
Gayle melirik tajam ke arah mereka. Keduanya merunduk. Tapi
Gayle lari ke jendela. "Aku lihat kalian!" teriaknya. "Aku lihat kalian, orang tolol!
Kalian dalam masalah besar!"
"Dan kau juga!" salaknya padaku.
"Aku?" tanyaku dengan nada tidak berdosa. "Apa yang sudah
kulakukan?" "Aku akan membalasmu, Marty," kata Gayle. "Ini belum
selesai. Tidak dalam waktu dekat."
"Memang," jawabku. "Memang."
**********************************************
Kuceritakan kejadian tersebut pada Kit di The Corner malam
harinya. Ia tertawa hingga keluar air mata.
"Kau jahat," katanya memarahi. "Tapi lucu juga."
Kejadian memalukan di rumahnya dengan kucing-kucingnya
kemarin telah menjadi sejarah. Ia berjanji untuk membantuku belajar
matematika, dan kuajak ia ke bioskop hari Sabtu malam.
Ia menjawab ya. Lalu ia menciumku! Karena kami sedang duduk di The Corner,
ciumannya hanya sekilas. Selama sedetik aku memikirkan Jessica, yang telah melambai
padaku di lorong pagi itu. Lalu seluruh pemikiran tentang Jessica
menghilang. Hanya Kit Morrissey gadis yang bisa kupikirkan.
Kemudian, sewaktu kutemani ia berjalan kaki pulang, ia tidak
mengajakku masuk ke dalam. Mungkin ia tidak ingin mengulangi
kejadian kemarin malam. Well, aku juga tidak ingin.
Sambil menggumam sendiri, aku berbalik meninggalkan
Canyon Drive dan menuju rumahku sendiri. Sewaktu tiba di Fear
Street, awan telah menutupi matahari. Udara berubah sejuk.
Tiga blok dari rumah, aku mendengar meongan pertama.
Aku menghirup napas dan melirik ke belakangku. Seekor
kucing hitam tengah berderap di tengah jalan.
Aku berbalik dan mempercepat langkah. Rumahku hanya dua
setengah blok jauhnya. Kudengar desisan di sebelah kiriku. Pandanganku melesat ke
sana. Seekor kucing gelandangan kurus melesat menyeberangi
halaman rumput di depanku.
Aku semakin mempercepat langkahku. Kucing hitam di
belakangku mendesis. Aku mulai berlari-lari kecil.
Sebuah Lexus keemasan yang mengilat diparkir di tikungan
blok berikutnya. Aku melesat menyeberangi jalan dan berderap
melewati mobil tersebut. Saat melirik ke belakang, kulihat sepasang kucing Siam
melompat turun dari sebatang pohon ek. Mereka mendarat di atap
Lexus. Melompat turun ke aspal. Dan bergabung dengan kucing
hitam, kucing gelandangan, dan seekor kucing belang.
Aku menyadari bahwa mereka sedang mengikutiku.
Mereka mengejarku! Kucing-kucing tersebut berlari. Aku melesat sepanjang jalan
dan melintasi persimpangan.
Aku bisa melihat rumahku di depan.
Kakiku terayun-ayun. Keringat menetes dari dahiku. Jantungku
berdebar-debar kencang. Kuberanikan diri untuk melirik ke belakang bahuku.
Sekarang ada paling sedikit sepuluh ekor kucing. Sepuluh ekor
kucing yang mengeong-eong, berlari kencang.
Mendekat. Sepuluh ekor kucing mengejarku, dengan mata kemilau, cakar
menghantam aspal tanpa suara...
Tanpa suara... bagai hantu.
Chapter 16 APA aku bisa mengalahkan mereka"
Harus kucoba. Mereka hanya kucing, kataku pada diri sendiri.
Atau bukan" Sejak kapan kucing bepergian dalam rombongan" Dan sejak
kapan kucing mengejar-ngejar orang"
Lututku berdenyut-denyut saat berlari. Sisi tubuhku terasa sakit.
Aku melirik ke belakang - dan melihat paling sedikit selusin
kucing. Mata mereka menyala bagai api. Cakar-cakar menghantami
trotoar. Ekor mereka kaku dan tegak lurus.
"Ohhhh." Aku mengerang pelan.
Aku terengah-engah menghela napas. Jalur masuk rumahku
tinggal beberapa meter lagi jauhnya.
"Hei!" jeritku saat merasakan sebuah cakar menancap ke bagian
belakang kakiku. Aku berbalik dan melihat dua ekor kucing melompat ke
punggungku. Aku membungkuk dan mereka melayang melewati kepalaku.
Sambil tetap merunduk, dengan kaki berdenyut-denyut, aku
berlari menyusuri jalur masuk. Aku menerobos sepanjang rumpun
mawar yang berjajar di halaman. Dan menerjang ke serambi depan.
Kusambar tombol pintu. Memutarnya. Macet.
"Ohhh." Terkunci. Tentu saja, pintunya terkunci.
Kujejalkan tanganku ke saku celana jeans. Mencari-cari kunci.
Apa aku bisa masuk ke dalam sebelum kucing-kucing itu
menyerang" Kucabut kuncinya - dan menjatuhkannya. Kunci tersebut
berdentang di serambi dan berhenti di tepi keset selamat datang.
"Tidak!" jeritku. Dan membungkuk untuk mengambilnya.
Aku berbalik untuk melihat apakah kucing-kucing tersebut
hendak menyerang. Kucing-kucing... Tidak ada kucing. "Hah?" Aku menelan ludah dengan susah payah.
Kucing-kucing tersebut telah lenyap. Menghilang.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ba... bagaimana mungkin?" Aku merasa seperti tercekik. Tapi
sebenarnya aku tidak peduli bagaimana mereka bisa menghilang
secepat itu. Atau kenapa mereka muncul.
Aku hanya ingin masuk ke dalam. Di dalam, di mana aku aman.
********************************************
Kuduga aku akan mendapat masalah karena kejadian dengan
tikus-tikus tersebut. Tapi tidak ada yang mengatakan apa-apa
mengenai kejadian itu. Gayle berpapasan denganku di lorong dan bahkan tidak
bersedia memandang ke arahku.
Jessica juga bersikap dingin.
Ia pasti sudah mendengar tentang hubunganku dengan Kit.
Mungkin dari Riki. Tapi tidak banyak yang bisa kulakukan untuk mengatasinya.
Kuharap Jessica tidak terlalu sakit hati. Ia tampaknya manis.
Aku sangat menyukainya - tapi Kit sangat memesona.
Dalam satu pelajaran di sore hari, Riki mencibir ke arahku. Lalu
ia mengangkat tangannya dan menirukan gerakan mencakar di udara.
Kemudian aku berlatih dengan regu basketku untuk pertama
kali sejak seminggu. Barry, Dwayne, dan aku kembali mencatat nilai
seperti biasa, seakan-akan aku tidak pernah tidak berlatih.
*********************************************
Kit dan aku belajar matematika di rumahku hingga pukul
sembilan malam hari itu. Sebelum ia pulang, kami kembali berciuman.
Lagi dan lagi. Satu-satunya saat aku merasa tidak khawatir akan apa yang
sudah menimpa diriku adalah sewaktu menghabiskan waktu bersama
Kit. Ia menyebabkan segalanya terasa baik-baik saja.
**********************************************
Telepon berdering. Mataku tersentak membuka. Kulirik jam di samping ranjang:
01:37 pagi. Siapa yang menelepon sepagi ini"
Kuangkat tangkai telepon. "Halo?" kataku dengan suara masih
mengantuk. Sunyi. "Haloooo?" kataku dengan nada jengkel.
"Meong." "Riki, hentikan," sergahku.
"Meeooong." "Riki?" tanyaku.
Sunyi. "Hei - siapa ini?" jeritku marah.
Terdengar desisan melengking seekor kucing.
Kututup teleponnya. Suara desisan tersebut terngiang di telingaku. Aku harus
menarik selimut hingga menutupi kepala agar tidak menggigil.
Chapter 17 MATA pelajaran bahasa Inggris berlangsung tepat sesudah
makan siang di hari Jumat. Itu artinya selama setengah pelajaran aku
harus berjuang agar tetap terjaga, mengantuk karena baru saja makan.
Aku duduk di bagian belakang kelas dan menatap ke awanawan gelap dan hujan lebat
di luar, dan berharap ada dua potong tusuk
gigi untuk mengganjal kelopak mataku.
Sewaktu bel berbunyi, kuambil buku-bukuku dan berjalan
sambil tetap mengantuk ke lorong.
Laboratorium biologi berada di sisi seberang gedung sekolah,
dan dua lantai di bawah kelas Inggris. Aku bergegas melangkah
sepanjang lorong dan mencoba mengingat di mana kusimpan
pekerjaan rumah biologiku.
Kudorong pintu tangga bersama beberapa lusin anak lainnya,
dan menuruni tangga. "Hei, Marty," kata seseorang. "Semoga beruntung nanti
malam." Di tikungan tangga di antara lantai, murid-murid berlalu lalang
melewati dua orang yang tengah bertengkar.
Dwayne dan Riki. Bukannya memanggil mereka, aku menutup mulut dan terus
saja berjalan. "Apa maksudmu, Dwayne?" kudengar Riki menyentak.
"Kata yang mana yang tidak kaumengerti, Riki?" jawab
Dwayne kasar. "Kau membuat Marty tidak tenang. Sudah saatnya
menghentikan semua omong kosong tentang kucing itu. Hentikan
tingkahmu! Mengerti" Marty harus memusatkan perhatian untuk
pertandingan basket."
"Oh, aku mengerti sepenuhnya," kata Riki sambil mencibir saat
aku melewati mereka. "Kau sekarang mengancamku, bukan" Apa
yang akan kaulakukan kalau aku terus mengganggu Marty?"
"Memberitahu seluruh sekolah bahwa kami kalah karena
dirimu," kata Dwayne.
Aku bergegas meninggalkan mereka. Sepanjang pelajaran
biologi, aku terus memikirkan pertengkaran mereka.
Kuputuskan untuk berbicara dengan Dwayne. Untuk
memberitahunya agar tidak mencampuri urusanku.
Tidak peduli seberapa baik Dwayne sebagai teman, aku tidak
ingin ia membela diriku. *********************************************
Riki tidak datang menyaksikan pertandingan. Aku merasa
senang. Tapi sewaktu reguku berlari-lari memasuki lapangan, kulihat
Gayle duduk di panggung penonton.
"Apa yang dilakukannya di sini?" gumamku pada Barry, yang
berlari di sebelahku. "Mungkin untuk memelototi kita," Barry menggerutu sambil
menggeleng. Dalam pertandingan ini Dwayne, Barry, dan aku bermain
bersama lebih baik daripada sebelumnya. Seluruh anggota regu
sisanya juga bermain dengan lebih bersemangat daripada biasanya,
dan kami menghancurkan Truesdale Mustangs dengan 67 banding 42.
Kurasa aku belum pernah merasa lebih bahagia atau lebih
bergairah lagi. Kemenangan tersebut memberi kami kesempatan untuk
ikut dalam turnamen negara bagian.
Kurasa kami tidak mungkin kalah. Tidak dengan komposisi
yang sekarang. Yang tidak kuketahui adalah komposisi tersebut bakal
berubah. Chapter 18 KAMI menyelenggarakan pesta besar-besaran di ruang loker.
Lalu semua orang pulang ke rumah masing-masing, penuh semangat
dan siap berlatih hari Senin besok.
Dalam perjalanan pulang, aku merasa begitu bergairah hingga
hampir-hampir tidak bisa melihat dengan benar.
Aku penasaran, apakah keikutsertaan regu basket kami dalam
turnamen akan membantuku memenangkan beasiswa tersebut. Lebih
baik begitu, pikirku. Beasiswa itu sangat berarti bagiku.
Tentu saja, nilai juga penting.
Nilai! Buku-bukuku ada di ransel, yang entah tersimpan dalam ruang
loker atau tergeletak di gimnasium.
"Sial!" Aku merengut.
Lalu kuputar mobil kembali di tengah-tengah Division Street
dan melaju ke sekolah. Sewaktu memasuki tempat parkir murid, semua lampu telah
dipadamkan. Kurasa bahkan petugas kebersihan pun sudah pulang.
Sorotan lampu depan mobilku menyapu bagian belakang
sekolah. Sesuatu kemilau tertimpa cahaya.
Pintu belakang gimnasium tampak menggantikan dinding bata.
Rambut merah Gayle melambai-lambai di belakangnya saat ia
melesat menyeberangi tempat parkir.
Kuawasi ia menghilang ke dalam kegelapan.
"Hah?" gumamku. "Apa yang dilakukannya di sini?"
Aku hampir-hampir tidak bisa melihat wajahnya. Tapi
tampaknya ia tengah panik. Aku penasaran, apakah ia sedang
memburu seseorang. Aku melangkah turun dari mobil dan mencari-carinya. Tapi
suasana terlalu gelap untuk melihat lebih jauh dari tempat parkir.
Aku berlari-lari kecil ke pintu yang tadi dibiarkan terbuka oleh
Gayle. Bagus, pikirku. Tanpa ada bagian perawatan untuk membuka
pintu, aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam.
Aku melangkah memasuki lorong gelap. Sebuah lampu kuning
menyala di tengah-tengah antara pintu keluar dan pintu masuk ganda
gimnasium. Sepatu sneaker-ku mencicit di lantai ubin. Suaranya menggema
di aula yang kosong. Angin mengembus pintu hingga menutup di belakangku - dan
aku melompat karenanya. "Whoa. Tenang," kataku sendiri keraskeras. Aku melangkah
memasuki gimnasium yang gelap dan merabaraba menuju ke kanan. Telapak tanganku
menyusuri dinding hingga,
akhirnya, menemukan saklar lampu. Kujentikkan saklar tersebut.
Cahaya membanjiri gimnasium.
Kulihat ranselku di salah satu sudut panggung penonton sisi
jalan. Aku mendesah lega dan berlari-lari kecil ke sana.
Sewaktu membungkuk untuk mengambilnya, kulihat ada
sesuatu di bawah panggung penonton.
Sepatu" Tidak. Aku memicingkan mata lebih keras. Ada sesuatu yang
menempel pada sepatu tersebut.
Kaki" "Ohhhh." Aku mengerang pelan tanpa tertahan. Ranselku
terjatuh dari tangan. Kudekati sosok tersebut, dan berlutut agar bisa melihat ke
bawah panggung penonton. Tanganku meraba ke sesuatu yang basah. Dan likat.
Kucabut tanganku. Darah. Masih hangat. Tubuhku menggigil
tanpa tertahan. Tanpa berpikir, kusapukan tangan ke celana jeans.
Dan ternganga menatap tubuh yang tergeletak di bawah
panggung penonton. Tercincang habis. Wajahnya, kulitnya, tercakar habis-habisan.
Kemejanya robek-robek. Tertutup darah.
Berlumuran darah. Tapi aku masih bisa melihat bahwa kemeja tersebut kemeja
Hawaii. "Dwayne!" Dwayne, tergeletak tewas dan tercincang. Terendam darahnya
sendiri. Tercincang habis. "Tidaaaaaak," lolongku.
Dan mengatasi lolonganku, dari panggung penonton seberang,
kudengar seekor kucing mengeong.
Chapter 19 "KENAPA kau tidak memberitahu polisi bahwa Gayle ada di
sana?" tanya Barry dengan marah sesudah polisi meninggalkan
rumahku. "Bukan dia pelakunya," kataku bersikeras.
Polisi mula-mula menanyaiku di sekolah, lalu mengunjungi
rumahku malam itu juga. Ibuku sudah menghubungi ibu Barry dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Barry muncul sewaktu polisi
masih di rumah, dan mereka juga menanyai dirinya.
Tadinya aku takut polisi menduga akulah yang telah membunuh
Dwayne - karena ada darahnya di pakaianku. Tapi tampaknya mereka
tidak menuduhku begitu. Setelah polisi pergi, Barry dan aku tidak berbicara selama
beberapa menit. Aku bahkan tidak mampu memandangnya.
Tidak ada lagi Three Stooges. Tidak ada lagi Tiga Pendekar.
Tidak ada lagi kemeja Hawaii. Tidak ada lagi lelucon konyol.
Dwayne sudah tidak ada lagi.
"Dari mana kau tahu bukan Gayle pelakunya?" kata Barry
mendebat. "Dia orang terakhir yang ada di sana, bukan?"
Aku duduk di sofa ruang duduk, menepuk-nepuk kepala Teddy.
Barry mondar-mandir di karpet.
"Gayle bukan pembunuh," kataku. "Kau tahu dia tidak mungkin
membunuh siapa pun."
"Apa kau tidak pernah menyaksikan berita, man!" teriak Barry.
"Itu yang selalu dikatakan teman-teman dan keluarga pembunuh! 'Oh,
dia tampaknya gadis yang baik!' Salah!"
"Kau tidak melihat mayat Dwayne," kataku pelan. Tenang.
"Kau tidak melihat apa yang menimpa dirinya. Gayle tidak mungkin
melakukannya. Kau mengerti?"
Barry menunduk menatap kakinya. "Man, aku... maafkan aku,"
katanya tergagap. "Aku tidak memikirkan bagaimana perasaanmu,
menemukan Dwayne seperti itu."
Ia mengangkat kepalanya. "Jadi, siapa yang membunuh
Dwayne kalau bukan Gayle?" tanyanya.
Aku angkat bahu. Tidak mungkin aku memberitahunya tentang
kucing yang kudengar tepat sesudah menemukan mayat Dwayne.
Tentang segala sesuatu yang sudah menimpa diriku sejak kucing di
gimnasium tersebut mati. Barry tahu ada yang tidak beres. Tapi kalau ia kuberitahu
bahwa mungkin seekor kucing yang telah membunuh Dwayne, ia pasti
akan menyebutku sinting. *********************************************
"Oh, Marty, mengerikan," kata Kit sambil mengerang.
"Maafkan aku. Ada yang bisa kubantu?"
"Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun," jawabku, suaraku
terdengar serak. "Hubungi aku kalau kau memang perlu," kata Kit. "Telepon
saja kalau kau sudah siap - sekalipun hanya untuk bercakap-cakap,
oke?" "Oke. Trims. Trims, Kit."
Aku sudah memberitahukan berita buruknya pada Kit. Sekarang
masih ada satu tugas lagi yang harus kulakukan.
Aku harus menemui Gayle. Kutekan bel pintunya. Lampu-lampu di dalam rumah menyala,
tapi tidak ada seorang pun yang membukakan pintu.
Aku meninggalkan serambi dan hendak berlalu. Lalu kudengar
derak kunci diputar dan pintu depan berderit membuka.
"Siapa itu?" kata seseorang dengan suara serak.
"Marty," jawabku, sambil melangkah ke bawah lampu serambi.
"Oh, Marty!" Gayle terisak. Ia membuka pintu lebar-lebar. Air
mata membasahi wajahnya. Sedikit riasan yang dikenakannya
meninggalkan jejak hitam di kedua pipinya.
"Gayle, aku...," kataku mulai berbicara. Tapi Gayle tidak
mendengarkan. Ia memelukku erat-erat.
"Marty, maafkan aku karena tindakan-tindakan buruk yang
kulakukan padamu," katanya.
"Dia tewas," gumamnya. "Sulit dipercaya dia sudah tewas. Aku
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu menyukai Dwayne. Di tahun pertama, dia satu-satunya cowok
yang menyadari keberadaanku. Dia membuatku tertawa begitu sering.
Rasanya aku tidak akan pernah tertawa lagi!"
Kupeluk Gayle. Tadi pagi ia merupakan musuh bebuyutanku.
Tapi sekarang aku memeluknya erat-erat.
"Tidak apa," bisikku. "Tidak apa."
Ia menarik diri dan menghapus air matanya.
"Aku benar-benar tolol," gumamnya. "Teman terbaikmu
meninggal dan aku justru menangis padamu. Maafkan aku, Marty."
"Kita bisa menangis bersama-sama," kata seseorang lain.
Riki melangkah ke lorong, sambil menghapus air mata dari
wajahnya. Aku mengangguk pada Riki. "Kau tidak apa-apa?"
"Kurasa begitu."
"Gayle, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu," kataku
pada Gayle. "Apa pun," katanya berjanji.
"Aku melihatmu lari keluar dari gimnasium," kataku padanya.
"Tepat sebelum aku menemukan mayat Dwayne. Apa yang
kaulakukan di sana?"
Chapter 20 "YA. Aku memang ada di sana. Dan sekarang aku merasa
kematian Dwayne sebagian merupakan kesalahanku," kata Gayle
dengan suara tercekik. "Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku berkeliaran di sekolah sesudah pertandingan selesai.
Pelatih gimnastik mengatakan aku bisa menggunakan ruang angkat
berat. Lalu kusadari sudah terlalu malam. Aku harus menjaga bayi.
Jadi, aku berganti pakaian di ruang loker dan lari keluar dari
gimnasium. Kalau saja tidak terburu-buru, aku mungkin sempat
melihat orang sinting yang membunuh Dwayne," katanya
menjelaskan. Ia terisak. "Tapi aku sedang tergesa-gesa... oh, Marty, akan
kulakukan apa saja untuk membantu."
"Trims, Gayle," jawabku. "Aku tidak yakin ada yang bisa
dilakukan siapa pun. Tapi paling tidak kau sudah menjawab
pertanyaanku. Aku tidak akan pernah meragukan dirimu lagi. Aku
berjanji." **********************************************
Dwayne dimakamkan pada hari Senin pagi. Kami yang
menghadiri pemakaman tersebut terlambat datang ke sekolah. Kepala
Sekolah memaklumi. Aku hampir-hampir tidak bisa memperhatikan pelajaran sama
sekali sepanjang siang. Sorenya, sewaktu hendak berlatih basket, aku
terus membayangkan Dwayne dalam peti matinya.
Kudorong pintu ruang loker hingga terbuka. Seluruh anggota
regu yang lainnya ada di sana.
Mata Coach Griffin tampak merah, seakan-akan habis
menangis. Ia mengulurkan ikat lengan hitam pada kami semua.
"Kalian tidak harus mengenakannya," katanya. "Tapi aku akan
mengenakannya setiap kali latihan, dan setiap kali pertandingan
turnamen, untuk mengenang Dwayne."
Semua anggota regu basket mengenakan ikat lengan masingmasing.
Tapi aku hanya menatap kain elastis hitam tersebut.
"Marty?" tanya Coach Griffin.
"Aku tidak tahu apakah bisa bermain tanpa dia, Coach," kataku
berbisik. Coach Griffin tidak mengatakan apa-apa selama semenit.
Kukira ia akan mendesakku, mengatakan bahwa perasaan
kehilanganku akan berlalu.
Bagaimanapun, Shadyside belum pernah memenangkan
turnamen negara bagian, dan Coach Griffin mungkin sangat
menginginkan trofi tersebut.
"Kalau kau merasa tidak enak untuk bertanding, Marty, kami
semua mengerti," katanya akhirnya.
"Aku tidak," gumam Barry.
"Maaf?" tanyaku. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Barry duduk di bangku di seberang ruangan, punggungnya
menempel pada sederetan logam kelabu loker. "Aku tidak bisa
mengerti," ulangnya sambil melotot ke arahku.
Barry dan aku tidak banyak bicara setelah malam kematian
Dwayne. Kurasa kami berdua begitu patah semangat, hingga bertemu
pun rasanya terlalu menyakitkan.
"Bagaimana mungkin kau bisa berpikir untuk tidak ikut
bertanding?" tuntut Barry. "Dwayne juga temanku, Marty. Kita Tiga
Pendekar, ingat" Bukan dua."
"Aku tahu," kataku mengakui.
"Aku tidak peduli apakah kita akan menang atau kalah," kata
Barry. "Tapi Dwayne pasti ingin kita bertanding."
Aku menatap sepatu sneaker-ku selama beberapa detik. Lalu
kuangkat kepalaku untuk membalas tatapan Barry.
"Bertanding saja tidak cukup," kataku padanya sambil
mengenakan ikat lengan tersebut. "Kita akan memenangkan turnamen,
demi Dwayne." "Demi Dwayne!" seluruh anggota regu menyambut.
Kami belum pernah berlatih sekeras itu.
**********************************************
Selama latihan, Riki duduk tinggi di atas panggung penonton,
bersama Gayle dan beberapa gadis lainnya. Barry dan aku melambai
pada mereka, dan mereka balas melambai. Lebih banyak anak yang
menyaksikan latihan ini dibandingkan biasanya. Kurasa hal itu karena
semangat untuk mengikuti turnamen negara bagian.
"Kau mau belajar bersama malam ini?" tanya Barry padaku di
ruang loker, setelah latihan.
"Aku harus bekerja pukul enam sampai sembilan di tempat
penampungan hewan. Mungkin aku mampir sesudahnya," kataku.
"Bagus." Ia mengangguk. "Oh, hei... aku bisa menumpang
sampai di rumah?" "Bisa," kataku menyetujui. "Tapi cepatlah, oke?"
Aku harus bergegas pulang dan menyantap makan malam
secepatnya kalau ingin tiba tepat pada waktunya di tempat
penampungan hewan. Beberapa kali bekerja lagi dan hukumanku akan
selesai. Aku tidak sabar menunggunya.
Aku bergegas mandi dan mengenakan pakaianku.
"Barry, cepatlah!" panggilku ke arah ruang mandi.
"Sebentar lagi!" katanya berjanji.
"Kau pulang, Marty?" tanya Kevin Hackett sambil menyandang
ransel di bahunya. "Yeah," jawabku. Lalu berteriak pada Barry "Kutunggu di pintu
belakang!" "Oke!" Kevin dan aku menerobos pintu keluar belakang.
Kami bercakap-cakap selama dua menit, terutama tentang
pelajaran. Kami sekelas dalam pelajaran sejarah, tapi tampaknya
Kevin juga tidak lebih siap dibandingkan denganku.
Mobil beberapa orang guru masih diparkir di tempat parkir
sekolah. Kusadari bahwa banyak di antara mereka yang bekerja
hingga larut. Pintu samping gimnasium dalam keadaan terbuka. Pintu tempat
Gayle berlari keluar pada malam Dwayne terbunuh.
Saat memikirkan gadis tersebut, Gayle kembali muncul dari
pintu itu. Ia melirik arlojinya dengan gelisah dan mengetuk-ngetukkan
kakinya. Ia tidak melihatku, dan aku tidak ingin mendekatinya.
"Ada apa dengan Barry?" kataku mengeluh.
"Itu ayahku," kata Kevin. "Aku harus pergi." Ia bergegas
menjauh. Saat Kevin dan ayahnya melaju pergi, mereka melewati sebuah
mobil polisi yang datang. Mobil tersebut menyelinap masuk ke tempat
parkir dan mesinnya mati. Petugas di belakang kemudi tidak turun.
Sebaliknya, ia duduk mengawasi tempat parkir. Polisi mengawasi
sekolah setelah latihan dan di malam hari. Jelas sekali, mereka
menduga si pembunuh akan kembali.
Aku menggigiti bibirku dengan gugup. Dan melirik arlojiku.
"Ayolah, Barry," gumamku.
Kutarik pintu belakang hingga terbuka dan berderap masuk
kembali ke ruang loker. "Ayo pergi!" panggilku. "Kau membuatku terlambat!"
Aku tidak melihat Barry. "Barry, keluar!" teriakku. Kujejalkan kepalaku ke dalam ruang
mandi. Tidak ada orang di sana.
Ia juga tidak ada di ruang loker. "Oh, man," bisikku sambil
menggeleng. "Barry?" Tidak ada jawaban. Kubuka pintu ke gimnasium. "Barry?" panggilku. Seseorang
telah memadamkan lampu. Suaraku bergema dalam kegelapan.
Dengan memicingkan mata sekuat tenaga, aku melihat sebuah
sosok yang meringkuk tak bergerak di lapangan.
Oh, tidak... jangan lagi! teriak benakku. "Tidaaaaak!"
Chapter 21 JANTUNGKU berdetak kencang. Aku menatap sosok yang
tidak bergerak di lantai kayu tersebut.
Kukedipkan mataku satu kali. Dua kali. Pandanganku
menyesuaikan diri dengan keremangan.
Dengan tangan gemetar aku mencari-cari saklar lampu dan
menghidupkannya. Ransel hijau Barry tergelak di lantai, di tengah-tengah
gimnasium. Bukan Barry. Bukan Barry. Ransel Barry. Aku bergegas menyeberangi gimnasium untuk mengambil
ransel tersebut. Sewaktu membungkuk, kudengar suara-suara dari
balik pintu gimnasium. Aku bergegas menuju pintu ganda yang
terbuka sedikit. "Barry?" panggilku sambil mendorong salah satu daunnya
hingga terbuka. Di lorong, Barry berdiri sambil memeluk Riki. Mereka tengah
berciuman. Tapi mereka bergegas memisahkan diri sewaktu melihat
kehadiranku. "Oh! Hei, Marty," kata Barry tergagap.
Riki tersenyum. "Hai, Marty."
"Hei, guys," jawabku.
Jadi, Barry dan Riki berpacaran. Bagus juga menurutku. Barry
memerlukan pacar. Dan aku sudah memperjelas bahwa aku tidak
tertarik pada Riki. Aku meringis ke arah Riki. "Sekarang aku tahu kenapa Gayle
berkeliaran di luar, menatap arlojinya."
"Uupss!" Riki tertawa kecil. "Kuharap dia tidak marah. Aku...
eh... ada urusan." Ia tersenyum pada Barry.
"Dengar Barry, aku harus pergi sekarang. Jelas aku sudah
terlambat untuk bekerja," kataku menjelaskan. "Maaf kalau aku tidak
bisa menunggu." "Tidak apa," jawabnya. "Bukan masalah. Mungkin Gayle mau
kutumpangi." Kuserahkan ransel Barry kepada pemiliknya.
"Sampai nanti?" tanya Barry.
"Kuusahakan," kataku berjanji.
*********************************************
"Kau terlambat, Marty," bosku memarahi.
"Maaf, Carolyn. Aku tidak punya alasan bagus," kataku
mengakui. "Kali ini kumaafkan. Bagaimana kabarmu?" tanyanya,
ekspresinya melunak. Pandangannya mempelajari diriku.
"Sedang kuatasi," kataku padanya. "Terkadang sulit bagiku
untuk percaya bahwa Dwayne sudah meninggal. Tak bisa
kubayangkan bagaimana rasanya tidak bisa bertemu lagi dengannya."
Carolyn menyentuh bahuku. "Berat. Senang kau bisa
mengatasinya." Ia mendesah. "Kuharap aku bisa tinggal dan bercakap-cakap,
Marty. Tapi aku harus pergi. Tapi, terlebih dulu, kau harus bertemu
dengan penghuni baru kita, Brutus."
"Brutus?" Ia mengajakku ke ruang kandang.
"Aku mencari-cari kandang ini di gudang seharian tadi,"
Carolyn menjelaskan. Aku menatap Brutus. Kandangnya, jauh lebih besar daripada
kandang-kandang lainnya, berada di ujung barisan.
"Wow!" kataku sambil mendekati hewan besar tersebut. "Aku
tidak tahu kau juga menampung serigala jadi-jadian!"
Carolyn tidak tertawa mendengar gurauanku.
"Jangan terlalu dekat, Marty," katanya memperingatkan.
"Brutus berbahaya. Dokter hewan akan kemari besok pagi untuk
membuatnya tidur." Kutatap anjing kampung raksasa tersebut. Hewan itu beratnya
pasti seratus kilo! Anjing itu tidak menyalak atau menggeram padaku. Tapi aku
tetap menjauh. Sewaktu aku masih kecil, ayahku pernah menjelaskan bahwa
anjing-anjing yang pendiam terkadang lebih berbahaya, karena kau
tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Setelah Carolyn pergi, semua anjing dan kucing kuberi makan.
Brutus bergerak-gerak tidak nyaman sewaktu kuberikan piring
makanannya di dalam kandang. Ia menunduk dan menatapku dengan
sepasang mata kuning. Beberapa ekor kucing mondar-mandir dalam kandang mereka
dengan gugup. Tapi ruang kandang yang besar tersebut sunyi.
Kuambil sapu dari lemari persediaan dan mulai menyapu. Aku
berada di tengah-tengah ruangan - di lorong antara anjing dan
kucing - sewaktu mendengar sesuatu.
Suara menggeser lembut. Langkah kaki. Aku menyandar ke sapu dan mendengarkan. Mulutku tiba-tiba
terasa kering. Kedua kakiku gemetar.
Terdengar langkah kaki lain.
Kucengkeram tangkai sapu begitu keras, hingga tanganku terasa
sakit. "Siapa... siapa di situ?" kataku dengan suara tercekik.
Tidak ada jawaban. "Hei... siapa di sana?" teriakku.
Kudengar langkah kaki lain. Dari dinding seberang.
Lalu kudengar dentangan. Dentangan logam.
Seekor anjing menyalak. Anjing lainnya mengikuti. Lalu
seluruh anjing yang ada menyalak.
Kuangkat sapuku, seakan-akan hendak menggunakannya
sebagai senjata. Aku maju selangkah ke arah asal suara.
Kucing-kucing mulai mengeong.
Di atas segala keributan tersebut kudengar dentangan logam
lain lagi. Pintu sebuah kandang menghantam dinding kandang.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kucing-kucing mendesis dan mengeong. Anjing-anjing
menyalak. "Hei!" teriakku.
Seekor kucing melangkah ke lorong.
"Hah?" Aku tersentak terkejut.
Seekor kucing lain melangkah keluar di samping kucing
pertama. Kudengar pintu kandang lain dibuka.
Dua ekor kucing lagi melompat ke lorong. Mereka
melengkungkan punggung. Gigi-gigi mereka berkilau dalam cahaya
saat mereka mendesis ke arahku.
Aku mundur selangkah. "Ada apa ini?" jeritku.
Kenapa ada yang membuka pintu-pintu kandang" Siapa yang
ada di dalam sana" "Please..." aku hendak bicara.
Pintu kandang lain berdentang membuka. Lebih banyak kucing
lagi yang memenuhi lorong.
Anjing-anjing menyalak dan melolong.
Seekor kucing kuning menerjangku. Hewan tersebut
mengangkat cakar depannya dan mencakar udara.
"Tidaaaak!" Aku menyurut mundur.
Kudengar dentangan keras lagi. Lebih dekat.
Tapi aku tidak melihat seorang pun.
Kucing-kucing bertambah dekat, sambil mencakar-cakar udara.
Mendesis-desis. Ekor mereka berdiri tegak. Punggung melengkung.
"Siapa di sini" Siapa yang melakukan ini?" jeritku.
Kucing-kucing tersebut sekarang bergerak lebih cepat. Mata
mereka kemilau. Pandangan mereka mengancam. Pandangan dingin.
Aku mundur. Satu langkah. Lalu langkah berikutnya.
Desisan dan meongan kucing-kucing semakin memekakkan
telinga. Tapi aku tidak bisa memperhatikannya.
Kucing-kucing tersebut membentuk lingkaran. Mengepung
diriku. Mereka melengkung pada kaki belakang mereka. Selusin ekor
kucing yang mendesis-desis. Mereka menampilkan gigi-gigi mereka.
Mengangkat cakar mereka. Dan melompat menyerang. Chapter 22 "TIDAAAAAAK!" Lolongan serak terlontar dari kerongkonganku. Kuangkat sapu
di antara kedua tanganku.
Dua ekor kucing menerkam dadaku sambil menjerit.
Kuayunkan tangkai sapu ke arah mereka - melemparkan
mereka hingga terbang melewati kandang-kandang.
"Marty - apa yang kauLAKUKAN?"
Seseorang berteriak mengatasi salakan dan jeritan hewanhewan.
Aku terhuyung-huyung mundur hingga mengenai dinding.
Kucing-kucing tersebut menyurut mundur. Mereka sekarang
diam. Menatapku dengan mata mereka yang kemilau.
Anjing-anjing berhenti menyalak.
Dengan perasaan gamang, aku berjuang untuk meredakan
napas. Keringat mengucur di dahiku. Seluruh tubuhku gemetar.
Carolyn melangkah ke lorong, pandangannya liar karena shock.
"Marty - kenapa?"
Sapu di tanganku terjatuh.
Carolyn meraih seekor kucing hitam dan dengan lembut
meletakkannya kembali ke dalam kandang. Kucing-kucing tersebut
sekarang mendengkur lembut.
"A... ada orang yang kemari tadi!" kataku dengan napas
tersentak, menelan ludah dengan susah payah. "Ada yang melepaskan
kucing-kucingnya." Carolyn berpaling dan mencari-cari di dalam ruangan. "Siapa
yang kemari?" Ia kembali memandangku, wajahnya tampak khawatir.
"Marty, pintunya dikunci. Tidak ada yang bisa masuk kemari."
"Tidak. Sungguh...," kataku bersikeras, jantungku masih
berdebar-debar kencang. Carolyn mengumpulkan kucing-kucing yang lain dan
mengembalikan mereka ke kandang. Aku tidak bergerak dari dinding.
Kedua kakiku masih gemetar terlalu hebat untuk bisa berjalan.
"Mereka... menyerangku!" kataku pada Carolyn. "Ada yang
membuka kandang dan..."
"Marty, pergilah ke kantor," kata Carolyn tegas. Ia memberi
isyarat dengan tangannya. "Please. Pergilah ke sana dan duduk."
Dengan patuh aku meninggalkan ruang kandang dan berjalan ke
kantor. Dalam perjalanan, aku mengambil air minum dari pancuran.
Kalau saja aku bisa berhenti gemetaran!
Carolyn masuk ke kantor beberapa menit kemudian. Ia
menggigiti bibir bawahnya dan memandangku serius sambil duduk di
belakang mejanya. "Carolyn...," aku hendak bicara.
Tapi ia mengangkat tangan, menyuruhku diam. "Marty, aku
tahu kau baru saja mengalami shock," katanya lembut. "Tapi kau
harus menyadari - kaulah yang sudah membuka kandang-kandang itu.
Kau yang melepaskan kucing-kucingnya."
"Tidak...," kataku bersikeras. "Dengarkan aku..."
Ia menggeleng. "Tidak ada orang lain lagi di sini, Marty. Kau
sendirian bersama hewan-hewan itu. Sendirian. Aku kembali karena
tas tanganku tertinggal. Dan melihat kau di sana. Kandangkandangnya terbuka.
Kucing-kucingnya ada di mana-mana di lantai."
"Tapi... mereka menyerangku!" jeritku.
Ia kembali menggeleng. Ia mengangkat satu jari ke bibirnya.
"Aku melihat kau yang menyerang mereka," katanya. "Aku melihat
kau mengayunkan sapu. Kucing-kucing itu hanya mengawasimu."
"Tidak!" jeritku. "Kau harus percaya padaku!"
"Aku percaya kau sedang tertekan. Dan sangat jengkel. Dan
mungkin tengah shock," jawab Carolyn. "Aku akan mengantarmu
pulang, Marty. Dan kuminta kau berbicara dengan orangtuamu.
Mungkin menemui dokter. Dan berusaha memulihkan ketenanganmu
lagi." Ia bangkit berdiri dan berjalan mengitari meja ke kursiku. "Aku
khawatir denganmu. Sungguh."
Aku juga khawatir dengan diriku sendiri.
Apa mungkin Carolyn benar" Apa benar aku menderita shock"
Apa aku yang sudah melepaskan kucing-kucing itu dari
kandang" Tidak. Tidak mungkin, kataku sendiri.
Tapi bagaimana aku bisa yakin"
"Aku... aku bisa pulang sendiri," kataku padanya. Aku bangkit
berdiri dengan gemetar. "Aku sungguh menyesal," gumamku. "Aku...
aku masih harus bekerja di sini lima jam lagi. Kau mau..."
"Aku mau kau kembali kalau kau merasa sudah siap," katanya.
"Yakin kau tidak mau kuantar pulang?"
"Tidak. Trims. Mobilku ada di luar."
Ia tetap memegangi bahuku, sementara aku mendului berjalan
ke pintu. Lalu ia berdiri di ambang pintu, mengawasiku sementara aku
memundurkan mobil dan kemudian melaju pergi.
"Wow," kataku keras-keras, sambil berbelok menuju Fear
Street. "Wow. Wow."
Aku masih gemetar. Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin
memberitahu Mom dan Dad akan apa yang sudah terjadi. Tapi aku
harus berbicara dengan seseorang.
Jadi, aku menuju rumah Barry.
Rumah tersebut gelap gulita sewaktu aku memasuki jalur
masuk. Aneh, pikirku. Ia tahu aku akan mampir sepulang kerja nanti.
Ia pasti ada di belakang, pikirku.
Aku turun dari mobil - dan terjatuh karena sepeda roda tiga
milik adik lelakinya. "Aowww!" Aku jatuh ke aspal. Kulit tanganku
terkelupas. "Malam yang buruk," gumamku. Aku beranjak bangkit,
membersihkan diri, dan berjalan ke pintu depan.
"Hei..." Yang membuatku terkejut, pintunya terbuka beberapa
inci. Ada yang sudah ceroboh, pikirku.
Kudorong pintunya hingga membuka sedikit lebih lebar dan
mengintip ke dalam ruang duduk. Gelap total.
"Ada yang di rumah?" panggilku. "Hei, Barry - kau di rumah?"
Tidak ada jawaban. Aku masuk selangkah ke dalam ruangan. "Barry" Kau di sini"
Ini aku." Sunyi. "Hei - kau membiarkan pintumu terbuka!" teriakku.
Masih tetap tidak ada jawaban. Jadi, kuputuskan untuk menuju
bagian belakang rumah. Aku maju beberapa langkah ke lorong - dan terjatuh karena
sesuatu yang lembut dan berat di lantai ruang duduk.
Chapter 23 "OH, tidak!" Jeritan lirih terlontar dari kerongkonganku.
Aku jatuh berlutut. "Barry" Barry?"
Sambil menjerit serak, aku mengulurkan tangan - dan
menyalakan lampu meja. Dan menatap apa yang tadi telah membuatku terjatuh.
Sebuah karpet tergulung. Aku mendesah panjang. "Marty, kau sudah lepas kendali,"
kataku sendiri. "Kau benar-benar lepas kendali."
"Hei - ada orang di sana?" Kudengar Barry memanggil dari
bagian belakang rumah. Aku terlompat. Kudengar suara bisik-bisik. Lalu tawa kecil
seorang gadis. "Ini aku," kataku. Setelah melangkahi karpet, aku bergegas ke
ruang dalam. Dan menemukan Barry dan Riki duduk berdekatan - sangat
dekat - di sofa kulit. Noda lipstik merah tua mengotori pipi Barry. Rambut Riki
berantakan di sekitar wajahnya. Lengan Barry memeluk bahu Riki.
"Hei - hai!" sapa Barry sambil meringis. "Ada apa, Marty"
Kami... eh..." Riki menyelinap menjauhinya. Ia mendorong rambutnya ke
belakang dengan dua tangan.
"Pintunya terbuka," kataku sambil menunjuk dengan kikuk.
"Aku tidak bermaksud..."
"Kukira kau bekerja di tempat penampungan malam ini," kata
Riki sambil meluruskan sweater-nya. "Kata Barry, kau baru datang
larut malam nanti." "Aku... aku harus pergi lebih awal," kataku tergagap. "Ada
kejadian aneh di sana. Dan Carolyn merasa sebaiknya aku pulang
dan..." "Siapa itu Carolyn?" tanya Riki.
"Dia bosku di sana," kataku menjelaskan. "Ada yang
mengeluarkan kucing-kucing dari dalam kandang. Dan..."
"Maaf?" sela Barry.
"Kucing-kucingnya lepas semua," kataku, mengulangi dengan
nada mendesak. "Dan mereka menyerangku. Mereka mendesakku
sampai tersudut ke dinding. Dan kalau Carolyn tidak lupa membawa
pulang tas tangannya..."
Suaraku menghilang. Kulihat cara mereka menatapku.
Mereka tidak mempercayaiku. Kenapa tidak"
Kata-kataku memang terasa tidak masuk akal.
Seluruh cerita itu terdengar tidak masuk akal.
Mereka tidak mempercayaiku - dan tidak ingin mendengar
kisah gila-gilaan tentang kandang-kandang yang membuka sendiri dan
kucing-kucing yang menyerang manusia. Mereka ingin berdua saja
agar bisa berpacaran. Bisa kulihat semuanya di wajah mereka.
Barry mendesah. "Mungkin nanti saja aku meneleponmu?"
katanya. Ia terus memberi isyarat dengan matanya.
"Yeah. Oke." Aku bisa menangkap maksudnya.
"Kau tidak apa-apa, Marty?" tanya Riki. "Kau tampak agak...
kacau." "Tidak. Aku baik-baik saja," gumamku. "Sampai nanti, guys."
Aku berbalik dan bergegas meninggalkan ruangan. Aku lari
menyeberangi ruang duduk yang gelap, hampir-hampir jatuh karena
karpet tergulung itu lagi.
"Whoa!" jeritku. Aku melompatinya, dan menghambur keluar
dari rumah. Dan menabrak seorang pria besar berambut ubanan yang
menyusuri jalur masuk. Kami berdua menjerit terkejut.
"Siapa kau?" tanya pria itu. Ia memicingkan mata
memandangku. Mempelajariku.
"Teman Barry," jawabku tanpa bernapas.
Ia mengangguk, tetap memandangiku. "Aku tetangganya,"
katanya, memberi isyarat ke rumah di seberang. "Kulihat pintu
depannya terbuka. Aku kemari sekadar memastikan tidak ada kejadian
apa-apa." "Yeah. Tidak ada apa-apa," kataku padanya. "Kurasa Barry
hanya lupa menutupnya sewaktu masuk tadi."
Tetangga itu mengamatiku dengan lebih teliti lagi. Lalu ia
mendengus dan berbalik kembali ke rumahnya. "Malam yang bagus,"
gumamnya sambil berlalu. "Tidak juga," jawabku lembut.
Bukan malam yang bagus sama sekali, kataku memutuskan
sendiri. Malahan malam ini merupakan salah satu malam paling
menakutkan seumur hidupku.
Aku tidak tahu bahwa ketakutan itu baru saja dimulai.
Chapter 24 KEESOKAN harinya ibuku mengetuk pintu kamar tidurku
pukul tujuh lebih sedikit. Hujan deras menghantam jendelaku dan
awan-awan gelap menghalangi matahari.
Aku ingin menutupi kepala dengan bantal dan melanjutkan
tidur. Tapi sudah dua kali aku terlelap. Satu kali lagi dan aku pasti
akan terlambat ke sekolah.
"Marty" Kau sudah bangun?" panggil Mom dari lorong.
"Yeah!" kataku sambil mengerang. "Sudah. Aku turun sebentar
lagi." "Boleh aku masuk?" tanyanya.
"Silakan," jawabku.
Sewaktu Mom membuka pintu, bisa kulihat bahwa ia baru saja
menangis. Kedua matanya merah dan bengkak. Ia mengusap
rambutnya dan berkata, "Kenakan pakaianmu dan cepatlah turun,
Marty." "Ada apa, Mom?" tanyaku. "Apa yang terjadi?"
"Marty," bisik Mom, menghapus air mata dari pipinya. "Marty,
ada polisi di bawah yang ingin bicara denganmu."
Jantungku serasa tenggelam. Polisi.
Kukenakan celana jeans dan kaus. Lalu kuikuti ibuku turun ke
bawah. Kenapa ibuku menangis" Pertanyaan tersebut menghantuiku
saat melangkah masuk ke ruang duduk. Kedua polisi berseragam
tersebut berdiri berdekatan, berbisik-bisik.
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Opsir Martinez, Opsir Lambert, ini putraku, Marty," kata Mom
pada mereka. "Hai," gumamku.
"Marty, duduklah," kata Opsir Martinez. Aku merasa terganggu
karena ia mempersilakan aku duduk di rumahku sendiri.
Aku duduk dan menunggu. Polisi tidak mengatakan apa-apa
selama beberapa detik. "Apa ini karena kejadian semalam?" tanyaku, muak karena
menunggu. "Ada apa semalam?" tanya Opsir Lambert, memicingkan
matanya. "Di tempat penampungan hewan," kataku menjelaskan. "Ada
yang membuka kandang-kandangnya dan..."
Kedua polisi tersebut bertukar pandang, lalu memandang ibuku.
Akhirnya mereka kembali mengalihkan perhatian kepadaku.
"Tidak. Ini bukan karena kejadian di tempat penampungan,"
kata Opsir Lambert. "Marty, apa kau pergi ke tempat lain sesudah meninggalkan
tempat penampungan hewan semalam?" tanya Martinez.
"Tentu saja." Aku angkat bahu. "Aku ke rumah temanku, Barry.
Kami seharusnya belajar bersama. Tapi pacarnya juga ada di sana, jadi
aku pergi." "Pacarnya?" tanya Lambert. "Maksudmu Riki Crawford?"
"Yeah," kataku menyetujui. "Look, apa ada kejadian di tempat
penampungan sesudah aku pergi" Apa Carolyn baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, Marty," kata Opsir Martinez, berusaha
meyakinkan diriku. Lalu jantungku hampir-hampir berhenti berdetak.
"Oh, tidak," bisikku. "Tolong jangan katakan ada sesuatu yang
menimpa Barry. Please..."
Kedua polisi tersebut menunduk. Lambert menggigit bibirnya
sebelum berbicara. "Maafkan aku, Marty," katanya lembut. "Ada yang membunuh
temanmu Barry semalam. Dia dicakar habis-habisan."
Chapter 25 "DWAYNE dan Barry," bisikku. "Dwayne dan Barry.
Mustahil." "Oh, Marty, benar-benar mengerikan," kata Mom sambil
terisak. Ia menggeleng, dagunya gemetar. "Aku turut berduka."
Ia memelukku. Aku duduk di kursi dan memandang kosong. Aku tidak bisa
membalas pelukan Mom. Aku bahkan tidak menangis.
"Marty" Kau baik-baik saja?" tanya Opsir Martinez. "Kami bisa
pergi dulu dan kembali lagi nanti."
Pertanyaan polisi tersebut menyentakkan diriku kembali ke
kesadaran. "Tidak. Tidak, aku baik-baik saja, kurasa," gumamku. "Apa
yang ingin kalian ketahui?"
Ibuku berjalan ke depan sofa dan duduk di sampingku. Kedua
polisi tersebut masih tetap berdiri, dan itu menyebabkan aku gugup.
Seakan-akan mereka burung pemakan bangkai, menatap diriku.
"Mungkin kau ingin memanggil pengacara?" tanya Opsir
Martinez. "Kami harus memberimu pilihan itu."
Aku menggeleng. "Akan kujawab pertanyaan kalian. Aku ingin
membantu." "Pukul berapa kau meninggalkan rumah Barry semalam,
Marty?" tanya Lambert.
"Entahlah." Aku angkat bahu. "Beberapa menit sebelum pukul
sepuluh, kurasa. Riki mungkin lebih ingat. Dia masih ada di sana
bersama Barry sewaktu aku pergi."
"Ada tetangga yang melihatmu lari keluar dari dalam rumah,"
kata Lambert, tatapannya menusuk mataku. "Kata tetangga itu kau
tampak liar, sangat bersemangat."
"Tunggu sebentar!" jeritku. "Kalian tidak mengira aku yang
membunuh Barry, bukan" Kalian pasti sudah sinting!"
Kedua opsir tersebut mengangkat alis mereka.
Lalu Martinez angkat bahu. "Cobalah mengerti dari sudut
pandang kami, Marty," katanya. "Kami mengetahui semua kejadian
yang melibatkan dirimu selama beberapa minggu terakhir ini."
"Hah?" jeritku. "Kejadian?"
Ia mengangguk. "Mula-mula, ada pembunuhan kucing di
gimnasium sekolah. Lalu kau bertingkah laku aneh di sesi Sidang
Murid. Kau memberitahu semua orang bahwa kau melihat kucing
yang sudah mati, padahal tidak ada apa-apa sama sekali. Lalu kaulah
yang menemukan mayat Dwayne Clark."
Aku merasa mual. Aku tidak bisa mendebat semua yang
dikatakannya. "Akhirnya, semalam di tempat penampungan hewan," kata
polisi tersebut, melanjutkan, "kata manajernya dia menemukan semua
kucing terlepas. Dan kau sedang memukuli mereka dengan sapu."
"Ini keterlaluan!" sembur ibuku. "Dwayne dan Barry temanteman terbaik putraku!"
"Aku bukan pembunuh!" jeritku. "Oke. Oke. Aku membunuh
kucing itu. Tapi itu kecelakaan. Aku tidak akan pernah menyakiti
siapa pun. Terutama teman-teman terbaikku."
Martinez memberi isyarat dengan dua tangan agar aku tenang.
"Maaf," gumamku. "Aku... aku begitu bingung. Aku tidak tahu
harus mengatakan apa. Kalian tidak benar-benar menganggapku sudah
membunuh Barry, bukan?"
"Tidak," jawab Martinez. "Tapi kami harus melacak setiap
petunjuk. Kata Riki Crawford, kau meninggalkan rumah lebih dulu
daripada dirinya. Dia keluar pukul sebelas, dan menelepon Barry
begitu tiba di rumah. Barry masih baik-baik saja pukul setengah dua
belas." "Dengan begitu, kau punya alibi," kata partnernya.
"Dan juga Riki," tambah Martinez.
Kedua polisi tersebut berbalik hendak pergi. Lalu Martinez
menyambar lengan Lambert, dan mereka berbalik kembali
memandangku. "Satu pertanyaan lagi," kata Opsir Martinez. "Kau mengatakan
pintu rumah keluarga Allens terbuka sewaktu kau tiba?"
"Ya," jawabku. "Temanmu Riki ingat kau mengatakan sesuatu tentang pintunya
yang terbuka," lanjut Martinez. "Tapi dia bersumpah bahwa sewaktu
dia dan Barry duduk di ruang dalam, pintu depannya tertutup dan
terkunci." "Apa maksud Anda?" tanyaku, merasa sangat kebingungan.
"Maksud Anda pembunuhnya mungkin sudah ada di dalam
rumah sewaktu Marty tiba di sana?" tanya ibuku.
Kedua polisi tersebut mengangguk. Aku mengawasi mereka
berjalan ke pintu. Aku tidak mengantar mereka. Aku hampir-hampir
tidak bisa menggerakkan satu otot pun.
**********************************************
Tentu saja pelajaran ditunda. Miss Bevan, wakil kepala sekolah,
menelepon Mom dan mengatakan kalau telah memanggil pembimbing
khusus untuk berbicara dengan murid-murid mengenai kedua
pembunuhan tersebut. Kata Mom, aku harus menemui dan berbicara dengan mereka.
Tapi aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.
Apa yang harus dikatakan"
Aku tetap di kamarku sepanjang pagi, merasa mati. Aku tidak
bisa berpikir. Tidak bisa menangis. Aku tidak bisa melakukan apa-apa
sama sekali. Tidak lama selewat tengah hari, aku turun ke bawah dan
membuat roti isi. Kugigit sepotong dan tidak mampu menghabiskan
sisanya. Aku duduk di dapur, menatap roti tersebut sesaat. Lalu
kuangkat telepon dan menghubungi Kit.
"Marty, bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Aku... entahlah. Kurasa aku shock atau semacamnya. Aku
tidak bisa berpikir dengan benar."
"Aku juga," jawab Kit. "Sulit dipercaya."
Kami berdua terdiam sejenak. Aku bisa mendengar suara
napasnya. "Di berita dikatakan Barry dicakari hingga tewas," kata Kit
akhirnya. "Kedengarannya... kedengarannya sungguh sulit dipercaya,
Marty." Suaranya pecah.
"Yeah." Aku mendesah. "Sulit dipercaya."
"Keduanya - anak-anak yang kita kenal - dicakari hingga
tewas. Apa pembunuhnya sudah sinting" Dia seperti hewan buas!"
Aku tidak menjawab. Tiba-tiba aku sangat ingin menutup
telepon. Aku tidak bisa membicarakannya. Kenapa aku menelepon
Kit" "Riki ada di sana bersama Barry semalam?" tanya Kit.
"Kudengar dia..."
"Yeah. Riki sedang bersamanya," kataku menyela. "Tapi
katanya dia pergi pukul sebelas dan menelepon Barry tidak lama
sesudah itu." "Dia pasti kacau sekali," kata Kit. "Mungkin sebaiknya
kutelepon dia." "Baik sekali," jawabku.
"Kita semua harus bersikap baik satu sama lain," kata Kit.
"Mungkin dengan begitu kita bisa melewati kejadian ini."
"Mungkin," jawabku, merasa tenggorokanku mengencang.
"Aku... sulit bagiku untuk percaya bahwa semuanya dimulai dari
kucing bodoh itu." "Kau tidak sungguh-sungguh percaya...," Kit hendak bicara.
Tapi aku tidak bisa bercakap-cakap lagi. Aku bisa merasakan
diriku mulai hancur berantakan. "Nanti saja, Kit," kataku dengan suara
tercekik. Kututup telepon sebelum ia sempat mengatakan apa pun.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan sepanjang sore harinya.
Aku tidak benar-benar ingat.
**********************************************
Keesokan harinya, sekolah menyelenggarakan pertemuan
khusus untuk mengenang Dwayne dan Barry.
Acara tersebut sangat menyedihkan. Hampir semua orang
menangis. Para pembimbing menawarkan untuk mengadakan pertemuan
dengan murid-murid yang ingin dibantu.
Sesudah itu Coach Griffin menyelenggarakan rapat regu. Acara
tersebut merupakan rapat paling sunyi yang pernah kami
selenggarakan. "Bagaimana perasaan kalian?" tanya Coach Griffin. "Masih
ingin bertanding dalam turnamen" Atau sebaiknya kita lewatkan saja"
Sejujurnya saja. Akan kupenuhi semua keinginan kalian."
Semuanya berpaling memandangku.
Semua orang tahu Dwayne dan Barry merupakan teman-teman
terbaikku. "Kita... kita tidak bisa menang tanpa mereka," gumamku.
"Kurasa sebaiknya kita tidak ikut bertanding."
Beberapa orang mengangguk. Tapi yang lainnya memprotes.
Kevin berbicara. "Marty, sesudah kematian Dwayne, kau yang
mengatakan kita seharusnya bertanding demi dirinya. Sekarang kurasa
kita harus bermain sebaik-baiknya - dan bertanding demi Dwayne dan
Barry." Kami membicarakan hal itu lebih jauh. Lalu kami memutuskan
untuk terus mengikuti pertandingan.
Kubayangkan kedua temanku membawa bola melintasi
lapangan, saling menggoda, melemparkan bola dengan anggun.
Aku harus keluar dari gimnasium tersebut. Menjauh dari semua
orang. Aku menghambur keluar, memasuki lorong, dan berlari-lari
kecil ke lokerku. Dua orang gadis tengah bersandar ke dinding. Keduanya
berbicara bersamaan. Gayle dan Riki. Mereka berhenti bicara sewaktu
melihat kehadiranku. Riki bergegas mendekat dan memelukku. "Bagaimana?"
bisiknya. Aku angkat bahu. "Kau tahu."
Mereka bertukar pandang. Mereka berdua tampak sangat tegang.
"Ada apa?" gumamku. "Kalian berhenti bicara sewaktu aku
muncul." "Kami... eh... membicarakan dirimu," jawab Riki,
pandangannya terarah pada Gayle.
"Marty, kami agak khawatir," kata Gayle. "Maksudku, tentang
dirimu." "Aku?" Kupicingkan mataku menatap mereka. "Bisa kuatasi,"
kataku. "Kurasa."
"Tidak. Bukan itu yang kami maksudkan," sela Riki. "Maksud
kami... Dwayne... Barry... kalian semua Tiga Pendekar, bukan?"
Aku mengangguk. "Dan ada yang membunuh mereka. Dan sekarang masih tersisa
satu orang. Kau." Aku akhirnya memahami maksud mereka. Aku begitu terbenam
dalam pemikiran tentang kedua almarhum temanku, sehingga hal
tersebut tak pernah terlintas dalam pikiranku.
"Maksudmu?" Pandangan Gayle menusuk mataku. "Apa menurutmu kau
giliran berikutnya?" tanyanya.
Chapter 26 SEWAKTU aku muncul di tempat penampungan hewan
beberapa malam kemudian, Carolyn menyambutku dengan sikap
terkejut. "Marty - bagaimana kabarmu?" tanyanya, pandangannya
mengamatiku dengan teliti.
"Oke, kurasa," kataku padanya. "Sulit. Tapi kucoba untuk
mengatasinya." "Kau tidak perlu kemari malam ini," katanya. "Kalau kau ingin
menunggu beberapa minggu lagi..."
"Tidak. Aku harus tetap sibuk," kataku. "Agar pikiranku tidak
melayang ke mana-mana."
Ia mengajakku ke ruang kandang. "Aku sudah memberi makan
mereka semua," katanya. "Aku tidak mengira kau akan kemari. Jadi,
kurasa kau bisa menyapu dan membersihkan saja."
Sebuah salakan keras menyebabkan aku berputar. "Hei!"
jeritku. "Anjing jahat itu - Brutus. Kukira dia sudah ditidurkan."
"Ada yang menyelamatkannya pada detik terakhir," jawab
Carolyn. "Kita mungkin menemukan pemilik untuk Brutus. Orang
yang sedang mencari anjing yang benar-benar menakutkan untuk
menjaga tokonya." "Brutus mendapat pekerjaan," gumamku. Anjing tersebut
menggeram ke arahku. "Kurasa itu gagasan buruk," kata Carolyn. "Sifat Brutus benarbenar jelek.
Tapi..." Telepon berdering. Carolyn bergegas ke kantor untuk
menerimanya. Aku berjalan menyusuri lorong di sela-sela kandang, menuju
lemari peralatan. "Kuharap kalian bersikap baik malam ini," kataku
pada kucing-kucing. Beberapa menit kemudian, Carolyn mengucapkan selamat
Fear Street - Kucing Cat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam. Kudengar pintu depan ditutup di belakangnya. Lalu kudengar
mobilnya melaju meninggalkan tempat parkir.
Aku menyandar ke sapu, mendorongnya sepanjang lorong
pertama. Kembali di tempat penampungan ini menyebabkan aku
merinding. Tapi aku masih harus melayani di sini beberapa jam lagi.
Dan aku sangat ingin tetap sibuk. Mati-matian agar benakku
tetap sibuk. Kalau saja suasana di sini tenang malam ini, pikirku.
Tapi keinginanku tidak terpenuhi.
Chapter 27 AKU tengah menyapu lorong terakhir sewaktu kucing-kucing
mulai mendesis. Mula-mula hanya beberapa ekor. Di sisi seberang ruang
kandang. Tapi suara tersebut dengan cepat menyapu seluruh ruangan,
seperti angin yang kuat dan marah.
"Hentikan!" teriakku. "Hentikan sekarang juga!"
Aku tahu tindakan tersebut bodoh. Berteriak-teriak pada kucing.
Dan tampaknya justru menyebabkan mereka semakin
bersemangat. Kulepaskan sapu dan kututupi telinga dengan tangan. Kucingkucing mengeong dan
mendesis-desis. Keributan yang memekakkan
telinga tersebut menyebabkan anjing-anjing mulai menyalak.
"Ada orang di sini?" panggilku.
Apa ada orang yang sudah menyebabkan hewan-hewan ini
berubah sinting" "Ada orang di sini?" teriakku sekuat tenaga.
Tidak ada jawaban. Anjing-anjing menubruk sisi kandang masing-masing, seakanakan hendak keluar.
Kucing-kucing melengkungkan punggung
mereka dan mendesis. Aku harus pergi dari sini, pikirku.
Tidak ada alasan untuk tetap berada di sini.
Aku berbalik menuju kantor - dan tersentak terkejut.
"Kit!" seruku. Kit melangkah keluar dari balik deretan kandang kucing. Ia
mengenakan kaus kelabu longgar dan celana hitam ketat. Rambutnya
tergerai di sekitar wajahnya.
"Kit...," teriakku untuk mengatasi jeritan dan desisan hewanhewan. "Apa yang
kaulakukan di sini" Aku senang bertemu
denganmu!" Yang membuatku terkejut, ekspresinya berubah keras dan
dingin. "Sekarang giliranmu, Marty," katanya.
Chapter 28 "HAH?" Aku maju selangkah mendekatinya. "Kit - apa katamu
tadi" Di sini ribut sekali."
Ia mengangkat satu tangannya.
Desisan dan salakan seketika berhenti.
"Hei - ajaib!" seruku. "Apa yang terjadi di sini?"
"Sekarang giliranmu, Marty," ulangnya; ia menatapku dengan
pandangan sedingin es. "Giliranku" Aku tidak mengerti."
"Kau membunuhku," katanya dengan pelan, datar. "Kau
membunuhku, lalu kedua temanmu tertawa-tawa."
Aku maju mendekatinya, benakku berputar. "Kit, kau baik-baik
saja?" tanyaku. "Kata-katamu tidak masuk akal."
Ekspresinya berubah semakin dingin. Ia menarik bibirnya dan
menggumamkan desisan menakutkan. "Akulah kucing itu, Marty,"
bisiknya. "Aku kucing gelandangan itu. Kucing dari gimnasium.
Kucing yang kaubunuh bersama teman-temanmu."
"Whoa!" seruku. "Tenang. Tenang dulu."
Kuletakkan tanganku di bahunya. Tapi ia mendesis lagi bagai
hewan dan menyentakkan bahunya dari tanganku.
Wajahnya memancarkan kebencian. Mata hijaunya menyambar
marah. "Tenang," kataku. "Akan kupanggilkan dokter. Kau akan
sembuh. Kau hanya tegang, Kit. Karena semua kejadian mengerikan
selama minggu kemarin. Kau jadi mengatakan yang tidak-tidak.
Tapi... akan kucarikan bantuan."
"Akulah kucing itu, Marty," ulangnya. "Kau sudah bertemu
dengan keluargaku - ingat" Kucing-kucing lain dalam rumahku"
Mereka itu saudara dan saudariku."
"Tapi, Kit...," aku hendak bicara.
Ia mengangkat tangan dan mencakar udara.
"Aku pengubah-bentuk," lanjutnya. "Aku salah satu pengubahbentuk terakhir di
bumi. Aku berubah-ubah antara seorang gadis dan
seekor kucing. Mudah sekali bagiku."
Ia maju selangkah. "Kenapa kau membunuhku, Marty" Kenapa
kau melakukannya" Kenapa kau dan teman-temanmu selalu
bersemangat untuk mengusirku?"
"Kit, please..." pintaku. "Kau bukan kucing. Kau hanya sangat
kebingungan sekarang ini. Tapi kau akan sembuh. Aku janji."
"Kau tahu kenapa aku berkeliaran di gimnasium?" tanyanya.
"Kau tahu kenapa aku tinggal di bawah panggung penonton" Agar
bisa dekat denganmu!"
"Hah?" Aku tersentak.
"Aku diam di sana untuk menyaksikan dirimu," katanya
bersikeras. "Aku begitu tergila-gila padamu."
Ia mencibir. "Itu cinta sejati, Marty. Dan bagaimana caramu
membalas" Kau menjatuhkan diriku dari atas panggung penonton.
Kau mencoba membunuhku. Kau tidak tahu bahwa aku punya
sembilan nyawa." Aku menatapnya tajam. Mulutku ternganga.
Aku tidak mempercayai kata-katanya sedikit pun. Tidak sepatah
kata pun. Semuanya sinting. Kit yang malang sudah gila.
"Akan kucarikan bantuan," kataku padanya.
"Tidak, tidak akan," katanya. "Kau akan mati, Marty. Aku akan
merindukanmu. Sungguh. Tapi aku sudah terlalu lama bermain-main
denganmu. Sudah saatnya mengakhirinya."
"Dengarkan aku...," kucoba menjelaskan.
Tapi aku berhenti sewaktu melihat ia mulai berubah.
Bulu-bulu kelabu dengan cepat tersembul di seluruh wajahnya.
Ciri-cirinya melebur menjadi satu, sementara kumis kucing menjulur
keluar dari bawah hidungnya.
Ia menyelinap keluar dari pakaiannya, tertutup oleh bulu-bulu
kelabu sekarang. Menyusut... menyusut...
Dan akhirnya berdiri pada keempat kakinya. Tangan dan
kakinya berubah menjadi cakar. Sebuah ekor menjulang kaku di
belakangnya. Bibirnya tertarik ke belakang dan mendesis bagai
kucing. "Tidaaaaaaak!" Aku melolong ngeri sekaligus tak percaya.
Aku tengah menatap kucing itu. Kucing kelabu dengan bercak
hitam berbentuk berlian di dahinya.
Aku tengah menatap Kit. Menatap kucing yang sudah mati itu.
Menatap kucing yang sudah kubunuh.
"Tidak - please!" pintaku.
Aku terhuyung-huyung mundur.
Tapi tidak cukup cepat. Ia melompat tinggi, mengangkat kedua cakarnya yang tajam.
Sakit yang luar biasa menyambar seluruh wajahku.
Kulihat darah merah manyala - darahku! - menciprati lantai.
"Ohhhhh." Sakitnya menyebar ke seluruh tubuhku.
Ia menarik cakarnya. Kulihat sepotong kulitku di sana.
Sambil memegangi wajahku yang berlumuran darah, aku jatuh
berlutut. Dan melihatnya mengangkat cakar untuk mengirisku lagi.
Chapter 29 "AOWWWWW!" Aku menjerit saat cakar kucing tersebut mengiris kemejaku,
merobek kulitku. Kit menjerit. Matanya menari-nari gembira.
Ia kembali menerkam. Aku merunduk menghindar. Ia mendarat dengan keras di
sampingku, di lantai ruang kandang.
Rasa sakit menyambar di seluruh tubuhku, menyebabkan aku
terlipat. Darahku membasahi lantai.
Saat mengangkat kepala, kulihat ia bangkit berdiri. Bersiap
menyerang lagi. Aku mengerang. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri.
Aku menyadari ia akan membunuhku. Ia akan mencincangku
habis-habisan. Ia melontarkan kepalanya ke belakang sambil menjerit
melengking. Dan menerjangku lagi.
Aku berbalik - dan cakarnya merobek sisi tubuhku.
Segalanya berubah merah. Semerah darahku.
Aku tercekik. Terengah-engah menghirup napas.
Aku merasa diriku semakin lemah. Memudar... memudar
menjadi merah. "Tidaaak!" kataku sambil mengerang. Kudorong diriku maju.
Menyambar kandang-kandang anjing sebagai pegangan.
Mengangkat diriku menjauhinya.
Sebuah geraman tajam menyebabkan aku berhenti.
Sekalipun kesakitan, sekalipun pandanganku berkunangkunang, aku melihatnya.
Brutus. Anjing besar tersebut menggeram ke arahku.
Kudengar Kit menjerit. Aku berbalik dan melihatnya berlari ke
arahku dengan keempat kakinya. Pandangannya liar. Bulu-bulunya
berdiri tegak bagai tersengat listrik.
"Brutus," kataku sambil mengerang.
Aku berusaha membuka selot kandang. Tanganku gemetar
hebat, hingga sulit bagiku untuk melakukannya.
Akhirnya aku bisa menarik pintu kandang hingga terbuka.
Anjing besar tersebut keluar kandang tepat pada saat Kit
menyerang. Aku jatuh ke lantai. Rasa sakit menyapu seluruh tubuhku.
Menarikku ke bawah... ke bawah.
Tapi kuangkat kepalaku tepat pada waktunya untuk melihat
anjing besar tersebut menjepitkan rahangnya ke kucing itu.
Kit menjerit dan mencakar.
Kudengar derakan memuakkan sewaktu Brutus mematahkan
leher Kit dengan gigi-giginya.
Kit merintih panjang. Tubuhnya merosot tanpa nyawa di rahang
anjing tersebut. Dan aku merosot ke lantai. Mengawasi tirai merahnya berubah
menjadi hitam. Chapter 30 DOKTER UGD tersebut menggeleng. Ia telah menjahit lukalukaku dan memeriksa
diriku. "Aku masih tidak bisa mempercayainya," gumamnya. "Kucing
yang melakukan semua ini padamu?"
Aku mengangguk muram. "Yeah. Seekor kucing. Aku tidak
tahu mengapa hewan itu menyerangku. Tapi aku tidak akan kembali
ke tempat penampungan hewan itu lagi. Itu sudah pasti."
"Kurasa itu tindakan yang cerdas," dokter tersebut menyetujui.
"Kurasa kau tidak cocok bergaul dengan hewan."
Benar-benar pernyataan yang meremehkan! pikirku.
Sewaktu meninggalkan rumah sakit dengan orangtuaku, aku
berharap bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada mereka.
Tapi tidak mungkin mereka akan mempercayai ceritaku.
Orangtuaku tidak akan mempercayai adanya pengubah-bentuk.
Aku tidak kenal seorang pun yang mempercayai adanya pengubahbentuk.
Kecuali diriku, tentu saja.
Riki menelepon beberapa jam sesudah aku tiba di rumah.
Tubuhku terasa begitu sakit, hingga hampir-hampir tidak bisa
menahan telepon di telingaku. Tapi kami bercakap-cakap cukup
menyenangkan. Kuputuskan bahwa Riki ternyata boleh juga. Malahan ia hebat
juga. Kuputuskan untuk meminta maaf atas perlakuanku padanya
sebelum ini. Mungkin ia dan aku bisa mencoba lagi - sekarang,
sesudah kengerian itu berlalu.
Pertandingan turnamen basket yang pertama akan berlangsung
hari Jumat malam yang akan datang. Tubuhku masih terasa sakit, dan
sisi tubuhku berdenyut-denyut setiap kali menangkap bola. Tapi aku
begitu gembira karena kembali ke lapangan, begitu gembira karena
menjalani kehidupan normal, sehingga tidak kuacuhkan rasa sakit itu
dan aku berusaha sebaik-baiknya.
Pertandingan akan berakhir dua menit lagi, dan kami masih
kalah dua angka. Kevin dan Joe Gimmell saling melemparkan bola sambil
bergemuruh melintasi lapangan. Aku berderap di dekat garis tembak,
mencoba mendapat kesempatan.
Aku berpura-pura ke kiri. Joe bisa melihat bahwa posisiku
terbuka. "Lemparkan! Lemparkan!" teriakku.
Ia berhenti men-dribble bola dan mengangkatnya, seakan-akan
hendak melemparkan bola tiga angka sendiri.
Lalu ia melontarkan bola kepadaku.
Aku meraihnya. Dan melihat cahaya hijau di bawah panggung penonton.
Dua cahaya hijau. Dua mata hijau. Mata seekor kucing.
Seekor kucing dengan bercak hitam berbentuk berlian di
dahinya. Bola memantul pada dadaku.
Penonton mengerang. Aku tidak peduli. Aku menatap kucing itu. Hewan tersebut mengacungkan cakar
yang berlumuran darah. Dan aku mulai menjerit.END
Patung Iblis Banci 2 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Kutukan Sang Badik 2