Kutukan Sang Badik 2
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik Bagian 2
Kapak Naga Geni 212
dengan tangan kanan sementara tangan kiri memegang lengan sosok kedua yang bukan
lain adalah Bunga. Dua sosok yang menyerupai asap itu perlahan-lahan berubah
besar. Akhirnya membentuk ujud utuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bunga gadis
dari alam roh, mengenakan pakaian kebaya panjang putih yang kotor dan lusuh
serta berwajah sangat pucat. Rambut tergerai kusut.
Berdiri di pedataran rumput Bunga terheran-heran melihat ada dua sosok Wiro.
Satu yang berdiri di hadapannya yaitu yang tadi masuk ke dalam guci. Satu lagi
yang saat itu masih duduk dalam keadaan bersila rangkapkan tangan di depan dada.
, "Aku tak mengerti..." bisik Bunga.
Wiro selipkan kapak saktinya ke pinggang. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke
sosok dirinya yang duduk bersila di atas rumput. Sosok Sukma Wiro berubah samar,
kemudian masuk ke dalam sosok kasar. Tak lama kemudian setelah melafalkan Meraga
Sukma Kembali Pulang sebanyak tiga kali, sosok Wiro yang duduk bersila perlahan-
lahan membuka mata, menurunkan sepasang tangan dan bangkit berdiri menghampiri
gadis alam roh.
"Ilmu aneh. Luar biasa..." kata Bunga terkagum-kagum.
"Wiro, aku, aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu..."
Tidak bisa meneruskan kata-katanya, Bunga jatuhkan diri ke dada bidang Pendekar
212. "Bunga..." Suara Pendekar 212 bergetar dan setengah tercekat. Waktu di dalam
guci, ketika dia memutus belenggu besi di kaki dan tangan si gadis, dia tidak
dapat melihat jelas keadaan Bunga. Kini melihat keadaan gadis itu begitu rupa
hatinya terharu sekali. Ketika Bunga men-jatuhkan diri ke atas dadanya Wiro
segera memeluknya.
"Tadinya aku mengira tak akan pernah keluar lagi dari dalam guci itu..." Ucap
Bunga sambil memeluk Wiro erat-erat. Wiro merasakan hangatnya air mata si gadis
di permukaan dadanya.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah menemui ajal."
"Aku tahu. Walau cuma mendengarkan suara dari dalam guci tapi aku tahu semua
yang telah terjadi. Aku sangat berterima kasih padamu Wiro. Kau telah
menyelamatkan diriku..."
"Pertama sekali berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.
Hanya dengan kekuasa-anNya dirimu bisa selamat..."
"Dalam alamku, aku memang sudah terlalu lama tidak mengingat Yang Satu itu. Tapi
bagaimanapun juga kau adalah kepanjangan tangan Tuhan yang nenolongku..."
"Sebenarnya ada beberapa orang lain kepada siapa kau pantas berterima kasih.
Bukan kepadaku..."
"Aku tahu. Aku ingin kau menyebutkan mereka satu persatu agar aku tidak salah
mengenang budi dan berterima kasih..."
"Mulai dari Kakek Segala Tahu. Dia yang pertama kali memberi petunjuk tentang
bagaimana caranya agar aku bisa menolongmu. Lalu pada Nyi Roro Manggut, seorang
sakti di dasar samudera kawasan selatan. Dialah yang memberikan Ilmu Meraga
Sukma padaku. Lalu pada Nyi Agung Roro Kidul, penguasa kawasan samudera selatan
yang telah mengizinkan aku untuk bisa bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Kemudian
pada Ratu Duyung sahabatku. Kalau bukan dengan pertolongannya mustahil aku bisa
masuk ke dalam laut menemui Nyi Roro Manggut."
"Ratu Duyung, aku tahu. Budinya besar sekali. Tapi di manakah dia" Bukankah tadi
dia ada di sini bersamamu.
Bukankah dia ada bersamamu sejak berada di sarang Iblis Kepala Batu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling.
Dia baru sadar kalau saat itu Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu.
Bunga menghela nafas dalam.
"Aku ingin sekali bertemu dengan dia. Tapi mungkin dia sengaja mengelak. Di masa
lalu hubungan kami memang kurang baik. Mungkin aku banyak berbuat keliru."
"Bunga, harap kau mau menunggu sebentar. Aku akan mencari Ratu Duyung. Dia pasti
berada di sekitar sini..."
Bunga cepat memegang lengan Wiro dan berkata.
"Tak usah pergi. Waktuku tidak banyak lagi. Aku sudah terlalu lama meninggalkan
alamku. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan selain dari ucapan terima kasih
atas budi pertolonganmu. Aku tidak malu mengatakan bahwa pada pertemuan kita
pertama kali dulu aku telah jatuh cinta padamu. Saat ini, sampai dalam keadaanku
seperti ini sebagai makhluk yang tidak satu dunia dengan dirimu, rasa cinta itu
tak pernah hilang. Malah semakin bertambah dan semakin dalarn. Namun aku
mengerti siapa diriku.
Alam kita berbeda. Aku tidak perlu menanyakan, apakah kau mengasihi diriku,
apakah kau mencintai diriku. Kalaupun perasaan itu ada dalam lubuk hatimu, rasa
cinta dan kasih sayang kita hanya akan tetap merupakan perasaan belaka. Kita
tidak mungkin bersatu. Apapun yang terjadi, sampai kapanpun kita tak
mungkin...."
Wiro membelai rambut Bunga lalu memegang dua pipinya. Air mata masih meleleh
membasahi pipi pucat gadis alam roh itu.
"Saat ini kau tidak boleh bicara segala ketidak-mungkinan. Serahkan semua pada
Yang Maha Kuasa. Aku ingin kau tetap bersamaku selama beberapa hari..."
Bunga tersenyum. "Itu satu hal yang lagi-lagi tidak mungkin. Sebelum aku pergi
aku ingin mengatakan sesuatu. Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis
mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. Tetapi
jika kelak dikemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai
teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wajah Pendekar 212 berubah.
"Mengapa kau berkata begitu Bunga?"
"Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang mencari tahu,
yang mencari jawabannya..."
"Mungkin karena dia telah menanam budi menyelamatkan dirimu dari sekapan guci
Iblis Kepala Batu?"
"Kalaupun aku harus menemui kematian ganda di dalam guci itu, aku tetap akan
mengatakan agar kau memilih dirinya sebagai teman hidupmu."
Murid Sinto Gendeng jadi terdiam.
"Saatnya aku pergi Wiro."
"Tidak. Tunggu dulu..."
Gadis dari alam roh itu tersenyum. Kini dia yang ganti mendekap wajah si pemuda
dengan kedua tangannya.
"Aku pergi Wiro. Ingat selalu apa yang telah aku ucapkan saat ini padamu.
Sampaikan salam dan terima kasihku pada Ratu Duyung."
Wiro coba memeluk gadis itu. Tapi seperti angin, Bunga meliuk lepas dan melesat
ke udara untuk kemudian lenyap dari pemandangan.
Lama Wiro terduduk di batang pohon kayu di ujung pedataran rumput. Beberapa kali
dia menghela nafas dalam dan menggaruk kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Ratu Duyung..." Wiro memanggil. "Ratu..." Wiro melangkah menyusuri pinggiran
pedataran. Sampai ke ujung dia kembali lagi. Ratu Duyung lenyap entah kemana.
Wiro merasa berdosa seolah telah melupakan gadis itu ketika tadi dia keluar dari
dalam guci bersama Bunga. Tiba-tiba dia mendengar suara isakan. Wiro memandang
ke arah semak belukar rapat di ujung kanan. Dia cepat melangkah ke tempat itu.
Di balik semak belukar dia menemukan Ratu Duyung duduk dengan kepala dibenamkan
di atas dua lutut yang dilipat.
"Ratu...." Wiro berlutut di samping gadis itu. "Bunga ingin menemuimu. Tapi kau
seperti mengelak. Mengapa"
Kau tidak suka padanya?"
Perlahan-lahan Ratu Duyung angkat wajahnya. Tanpa memandang pada Wiro dia
berkata. "Kami memang pernah berseteru. Sudah lama
kejadiannya dan aku sudah melupakan hal itu. Kalau aku mungkin penyebab semua
itu, aku berharap mungkin sedikit budi yang aku tanamkan bisa menebus dosaku
terhadapnya..."
"Bunga tidak pernah mengingat lagi semua kejadian di masa lalu. Dia menyampaikan
pesan dan terima kasih padamu."
Ratu Duyung menyeka air matanya. "Apa lagi yang dikatakan Bunga padamu?"
"Banyak..."
"Tentang diriku?"
"Banyak sekali."
"Coba kau beritahu satu persatu."
Wiro tertawa lebar.
"Akan kuberitahu. Tapi tidak sekarang ini. Kita masih banyak urusan. Aku tidak
tahu apakah para sahabat telah berhasil mendapatkan Melati Tujuh Racun untuk
mengobati Patih Kerajaan. Lalu bagaimana dengan Pedang Naga Suci 212 yang
lenyap. Juga Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang Sinto Gendeng yang dicuri
orang..." Dalam hati Ratu Duyung berkata. "Kau tidak mau memberitahu apa saja yang
dikatakan Bunga padamu.
Tapi tadi aku mendengar semua apa yang kalian bicarakan. Kelak aku ingin tahu,
apakah kau mau berkata jujur menceritakan semua apa yang dikatakan gadis alam
roh itu. Terutama mengenai hal yang satu itu..."
Wiro memegang lengan Ratu Duyung, membantu gadis ini berdiri. Saat itu ucapan
Bunga seolah terngiang di telinga sang pendekar. "Jika kelak dikemudian hari kau
ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkan pilihanmu
pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?" Ratu Duyung bertanya.
"Apa aku tak boleh tersenyum?" Tanya Wiro.
"Pasti ada sesuatu. Ada sebabnya."
"Tidak, kali ini aku tersenyum tidak ada sebabnya."
"Oh begitu" Aneh..."
"Aneh bagaimana maksudmu?"
"Tidak, tidak ada maksud apa-apa," jawab Ratu Duyung.
Wiro menggaruk kepala.
"Ah, kau sengaja menggodaku. Aku ingin tahu apakah kau juga bisa tersenyum."
Lalu Wiro menggelitik pinggang gadis bermata biru itu hingga Ratu Duyung
terpekik kegelian dan lari menuruni pedataran berumput.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
6 I DALAM Episode sebelumnya (Melati Tujuh Racun) telah diceritakan kemunculan
Hantu Jatilandak,
Dpemuda berkulit serba kuning yang terpesat dari Negeri Latanahsilam sewaktu
meledaknya Istana
Kebahagiaan. Juga dikisahkan bagaimana Jatilandak menemukan bunga Melati Tujuh
Racun yang menyumpal di liang telinga Setan Ngompol.
Oleh Setan Ngompol bunga melati keramat yang merupakan satu-satunya obat
penyembuh Patih Kerajaan diserahkan pada Bidadari Angin Timur yang muncul di
tempat itu bersama Anggini. Bidadari Angin Timur membungkus bunga melati hitam
itu dalam sehelai lipatan sapu tangan.
Selagi mereka membicarakan Hantu Jatilandak yang tiba-tiba saja melenyapkan diri
dari tempat itu, serta mem-perbincangkan bagaimana caranya agar bisa menemui
Pendekar 212 Wiro Sableng, secara tidak terduga murid Sinto Gendeng itu justru
muncul di tempat itu. Tentu saja semua orang menjadi gembira.
Tidak perlu susah-susah mencari Wiro dan perjalanan ke Kotaraja menuju Gedung
Kepatihan bisa segera dilakukan. Tapi kehadiran Pendekar 212 kali ini
mendatangkan rasa curiga dalam diri Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Dia datang sendirian, padahal sebelumnya pergi bersama Ratu Duyung menuju Lembah
Welirang. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan dijawab Wiro dengan sikap dan ucapan
agak janggal, tidak ber-sambung. Ketika Setan Ngompol menerangkan bahwa mereka
baru saja berhasil menemukan Melati Tujuh Racun, Wiro serta merta meminta bunga
itu dengan sikap setengah memaksa. Karena Setan Ngompol menyuruh Bidadari Angin
Timur menyerahkan bunga melati tersebut pada Wiro, mau tak mau si gadis berambut
pirang ini serahkan bunga yang disimpannya dalam lipatan sapu tangan itu pada
Pendekar 212. Begitu menerima selampai berisi bunga, Pendekar 212
Wiro Sableng segera minta diri mendahului menuju Kota raja. Setelah Wiro pergi
kecurigaan dalam diri dua gadis jadi bertambah-tambah. Si kakek tukang ngompol
juga merasa ada yang tidak beres.
"Anak sableng itu!" kata Setan Ngompol sambil merapikan celananya yang basah
kuyup dan kedodoran. "Dua kali aku menyebut nama Hantu Jatilandak. Kali terakhir
malah aku jelaskan kalau pemuda muka kuning itulah yang telah menolong menemukan
Melati Tujuh Racun. Tapi si gondrong itu tidak acuh. Seperti tidak mendengar apa
yang aku katakan."
"Dia mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak," ujar
Anggini pula. "Di situlah letak keanehannya! Seharusnya dia terkejut mendengar Hantu
Jatilandak ada di Tanah Jawa ini. Sewaktu di Negeri Latanahsilam, dia pernah menolong Hantu Jatilandak,
masakan dia lupa pada pemuda itu?"
"Keanehan yang kami lihat lain lagi Kek," ucap Bidadari Angin Timur. "Pertama,
dia pergi bersama Ratu Duyung.
Muncul seorang diri. Kedua, jika dia memang telah membebaskan Bunga, masakan
mereka berpisah begitu saja di Kotaraja. Ketiga, mengapa dia memaksa pergi lebih
dulu. Meninggalkan kita pergi ke Kotaraja membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya
kita pergi sama-sama. Keanehan keempat, seingatku Wiro tidak pernah memanggil
kami dengan kata kawan-kawan. Biasanya dengan panggilan sahabat. Itupun jarang
dilakukan."
"Sesuatu telah terjadi dengan anak sableng itu.
Mungkin ini akibat ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu Meraga Sukma. Ah, aku
menyesal menyuruh kau memberikan bunga sakti itu padanya," kata Setan Ngompol
sambil menahan kencing. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku ingin kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur yang saat
itu paling jengkel dan penasaran.
"Aku setuju!" kata Setan Ngompol. "Nah, kita tunggu apa lagi?"
Sambil pegangi perutnya untuk menahan kencing
kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212.
Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti.
Belum lama rombongan terdiri dari tiga orang itu me-nempuh jalan menuju
Kotaraja, di satu pedataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon jati serta
tebaran batu-batu bekas reruntuhan tembok sebuah candi yang telah rusak,
terdengar suara orang saling bentak. Satu perkelahian hebat rupanya tengah
berlangsung di tempat itu.
"Serrr!"
Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk
ke arah pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
"Ada orang berkelahi di atas pedataran sana. Aku ingin menyelidik."
"Perlu apa menyelidik membuang waktu Kek?" ujar Bidadari Angin Timur. "Kita
punya urusan jauh lebih penting."
"Aku tahu," jawab Setan Ngompol. "Kita sudah tahu ke mana perginya Wiro. Ke
Kotaraja. Berarti kita sudah tahu arah yang dituju. Soal menyelidik siapa yang
berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat, apa yang terjadi di
pedataran tinggi sana ada sangkut pautnya dengan semua keanehan, yang tadi kita
bicarakan."
Setan Ngompol lalu berkelebat ke arah pedataran tinggi. Dua gadis tak bisa
berbuat lain, berlari mengikuti si kakek.
Ketika mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan akhirnya sampai di puncak
pedataran, mereka semua keluarkan seruan tertahan.
Di puncak pedataran mereka menyaksikan satu pe-
mandangan sulit dipercaya. Dua sosok Pendekar 212 Wiro Sableng saling bertempur
satu sama lain. Tak jauh dari situ Ratu Duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua
kakek. Kakek pertama berpakaian ringkas warna biru bukan lain adalah Rana Suwarte,
tokoh silat Istana yang tergila-gila pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Istana
Lestari. Di sebelahnya, kawannya yang mengeroyok Ratu Duyung adalah seorang
kakek bermuka pucat laksana mayat hidup yang sekali lihat saja segera diketahui
kalau dia adalah Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. (Seperti diketahui Si
Muka Bangkai yang asli telah menemui ajal di Pangan-daran, dibunuh oleh Bujang
Gila Tapak Sakti sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para dedengkot
golongan hitam melawan para tokoh puncak golongan putih. Si Muka Bangkai yang
kemudian malang melintang dalam rimba persilatan adaiah saudara kembar Si Muka
Bangkai yang konon lebih ganas dari Si Muka Bangkai yang asli dan memiliki ilmu
silat serta kesaktian tidak dibawah saudara kembarnya yang sudah almarhum itu)
Setan Ngompol terkencing-kencing menyaksikan perkelahian hebat di puncak bukit
jati itu. Sambil memegangi perutnya dia berkata.
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila! Yang mana Wiro sungguhan, yang mana yang palsu"!"
"Yang palsu adalah yang tadi kau suruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun
padanya!" Menjawab Bidadari Angin Timur.
"Dua gadis cantik. Salah satu dari dua orang kembar itu pasti Wiro palsu.
Berjaga-jagalah. Jangan dia sampai lolos! Kalian harus dapatkan Melati Tujuh
Racun itu kembali!"
"Kakek tukang kencing! Kau sendiri mau ke mana?"
tanya Bidadari Angin Timur.
"Aku mau membantu sahabatku si mata biru," jawab Setan Ngompol lalu melesat ke
hadapan Rana Suwarte.
Sambil tertawa ha-ha he-he dan pegangi perutnya kakek yang kini berkepala botak
karena harus memenuhi kaulan itu berseru pada Rana Suwarte.
"Rana Suwarte pencuri Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan! Pembunuh gadis cilik
bernama Sulantri! Sobatku Naga Kuning telah menghancurkan tangan kirimu! Kau
masih malang melintang jual lagak! Apa kau kira dengan tangan hancur seperti itu
Ning Intan Lestari masih mau melihat tampangmu"! Hari ini kalau tidak bisa
mencekok mulutmu dengan kencingku biar aku disunat sekali lagi!
Ha... ha... ha!"
Dimaki sebagai pencuri keris pusaka Kerajaan serta sebagai pembunuh Sulantri
tidak membuat marah Rana Suwarte. Tapi ucapan Setan Ngompol menyebut-nyebut Ning
Intan Lestari alias Gondruwo Patah Hati yang selama ini digilainya membuat Rana
Suwarte jadi naik darah.
"Aku memang sudan lama mengincar nyawamu. Hari ini aku bersumpah mengorek
jantungmu!"
Setan Ngompol tertawa bergelak.
"Hati-hati kalau bicara! Jaga mulut sombongmu!" kata Setan Ngompol. Lalu
setengah pancarkan air kencing kakek ini melesat ke arah Rana Suwarte.
"Wuutttt!"
Dalam keadaan tubuh masih melayang di udara Setan Ngompol lancarkan serangan
berupa tendangan, dalam jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Rana Suwarte keluarkan tawa mengejek. Dengan
mudah dia bisa menghindar dari serangan Setan Ngompol.
Tapi cipratan air kencing yang bertebaran bersama tendangan itu sempat membasahi
pakaian bahkan wajahnya yang pucat. Karuan saja Rana Suwarte jadi mendidih
amarahnya. Ketika lawan kembali menyerang dia segera menghadang dengan serangan
balasan. Perkelahian antara dua jago tua ini berkecamuk hebat. Tapi tangan
kirinya yang cidera berat dan saat itu masih dibalut merupakan kendala besar
bagi Rana Suwarte dalam menghadapi kakek tukang kencing yang kelihatan konyol
itu tapi sebenarnya sangat berbahaya.
Kita kembali dulu pada Ratu Duyung.
Sewaktu dikeroyok dua oleh Rana Suwarte dan Si
Muka Bangkai, Ratu Duyung sempat terdesak hebat. Apa lagi dirinya masih lemas
akibat pengaruh jahat Asap Penyiksa Roh. Begitu menghadapi Si Muka Bangkai satu
lawan satu, semangat gadis bermata biru ini jadi berkobar.
Dia keluarkan jurus-jurus aneh ilmu silat dasar samudera.
Dalam waktu singkat Ratu Duyung mulai mendesak lawannya. Melihat bahaya
mengancam Si Muka Bangkai segera keluarkan pukulan-pukulan saktinya.
Mula-mula Si Muka Bangkai bentengi diri dengan ilmu Sepuluh Tameng Kematian.
Sepuluh sinar merah kuning dan hitam berselang seling menyambar membentengi
tubuhnya tapi secara tak terduga bisa berubah menjadi serangan ganas. Beberapa
kali Ratu Duyung coba susup-kan serangan atau tendangan namun selalu sia-sia.
Dari pada kedahuluan dicelakai lawan maka Ratu Duyung segera keluarkan cermin
saktinya. Kini dalam perkelahian kedua orang itu terlihat sambaran-sambaran
sinar putih menyilaukan yang keluar dari permukaan cermin, meng-gempur sepuluh
larik sinar sakti yang membentengi Si Muka Bangkai. Walau kakek muka mayat ini
tidak gentar menghadapi Ratu Duyung dan merasa masih bisa bertahan bahkan punya
niat untuk mulai mengeluarkan pukulan ganas Gerhana Matahari namun keadaan
mendadak berubah ketika dua gadis yang sejak tadi rnemperhatikan jalannya perkelahian
dari jauh, tibatiba melesat ke arahnya.
Sebelumnya antara Bidadari Angin Timur dan Anggini terjadi percakapan.
"Tanganku sudah gatal. Kita pilih mana" Rana Suwarte atau Si Muka Bangkai?"
Bertanya Bidadari Angin Timur.
"Menurutku kakek tukang kencing itu tidak punya kesulitan menghadapi lawannya.
Aku memilih si bungkuk muka pucat. Kau sendiri bukankah punya dendam
kesumat terhadap guru Pangeran Matahari itu?" Yang bicara adalah Anggini.
Walau Si Muka Bangkai yang satu ini bukan sungguhan guru Pangeran Matahari tapi
Anggini langsung saja menjawab.
"Setuju!"
"Dua gadis cantik! Kalian mencari penyakit! Mengapa tidak menunggu giliran
sampai kakekmu ini melayani kalian di atas ranjang"! Ha... ha... ha!" Sebenarnya
Si Muka Bangkai merasa kecut dengan turunnya dua gadis cantik itu ke gelanggang
pertempuran. Dia tahu benar kehebatan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Cuma
untuk menyembunyikan rasa jerihnya dia sengaja keluarkan ucapan seperti itu.
"Bangkai tua bermulut kotor!" teriak Bidadari Angin Timur. "Lihat serangan!"
Bidadari Angin Timur, yang dikenal memiliki gerakan luar biasa cepatnya
goyangkan kepala.
Bau wangi menebar, rambut pirangnya berkelebat laksana tebasan pedang. Dari
sebelah kiri Anggini murid Dewa Tuak menghantam dengan jurus ganas bernama
Memecah Angin Meruntuh Matahari Menghancur Rembulan!
Si Muka Bangkai membentak keras. Tubuhnya ber-
kelebat sambil gerakkan tangan kiri kanan melepas pukulan Merapi Meletus. Tapi
gerakan tangan Si Muka Bangkai hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat
sekali, Bidadari Angin Timur berputar gesit dan tahu-tahu telah berada di
belakang lawannya. Di sebelah depan cahaya yang melesat keluar dari cermin sakti
Ratu Duyung menyilaukan matanya. Si Muka Bangkai tidak melihat gerakan Bidadari
Angin Timur. Dia terpaksa pergunakan salah satu tangannya untuk melindungi mata
yang kesilauan sambil melompat ke kanan menjauhi serangan ganas Anggini. Pada
saat itulah dari belakang datang melanda jotosan Bidadari Angin Timur. Telak
bersarang di punggungnya yang bungkuk!
"Bukkk!"
Sosok Si Muka Bangkai mencelat dua tombak.
Darah segar menyembur dari mulut kakek ini. Jatuh ke tanah dia masih sanggup
bertahan dengan cara berlutut, tak sampai roboh atau terguling-guling.
Memandang ke depan tiga gadis dilihatnya mengurung rapat, memandang dengan
wajah-wajah cantik tapi angker seolah tiga bidadari yang muncul membawa
persembahan anggur kematian!
Perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Saat itu didengarnya Ratu Duyung
berseru. "Para sahabat! Tunggu apa lagi! Ini saatnya kita berebut pahala menghabisi
manusia sejuta jahat penimbul sejuta bencana!"
Tiga tubuh elok serentak berkelebat.
Tiga tangan halus menderu ke satu sasaran.
Si Muka Bangkai tiba-tiba kembangkan dua tangannya.
"Aku Si Muka Bangkai akan merasa bahagia jika dapat mati bersama kalian
bertiga!" Dari dua tangan yang mengembang itu tiba-tiba
menebar bubuk berwarna biru. Bau aneh menggidikkan tercium santar.
"Awas bubuk beracun!" Teriak Anggini memperingat-kan. Tiga gadis serta merta
batalkan serangan. Malah mereka terpaksa bersurut mundur. Kesempatan ini tidak
disia-siakan Si Muka Bangkai. Sekali dia mengenjot ke dua kakinya, tubuhnya
melesat ke udara sampai dua tombak.
Menembus ranting-ranting dan dedaunan lebat sebuah pohon jati. Ratu Duyung
bertindak cepat. Dia sudah maklum apa yang hendak dilakukan si kakek. Cermin
sakti diputar demikian rupa. Cahaya menyiaukan berkiblat.
"Wusss!"
Ranting dan daun-daun pohon jati di atas sana
meranggas dilamun kobaran api. Namun sosok Si Muka Bangkai lenyap tak kelihatan
lagi! *** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
7 ENGETAHUI kalau Si Muka Bangkai telah kabur
melarikan diri, Rana Suwarte yang saat itu berada Mdibawah tekanan serangan
Setan Ngompol mulai
leleh nyalinya. Beberapa jotosan lawan telah mendarat di tubuh dan pipi kanan
hingga wajahnya kelihatan bengap merah kebiruan. Dua giginya rontok. Dalam
menahan sakit Rana Suwarte juga menyumpah panjang pendek. Dia menyesali
kebodohan dirinya sendiri yang berserikat dengan Pangeran Aryo Probo alias
Sarontang untuk mencuri Keris Naga Kopek dari tempat penyimpanan di Istana.
Ternyata Sarontang telah menipunya. Kalau keris sakti itu masih ada padanya saat
itu mungkin sudah sejak tadi-tadi Setan Ngompol dihabisinya. Kini Si Muka
Bangkai yang jadi andalannya telah kabur. Mau tak mau dalam otak Rana Suwarte
timbul pula niat untuk melarikan diri. Maka dia segera mengatur siasat mencari
kesempatan untuk melarikan diri. Sambil terus mundur dicecar serangan gencar
Setan Ngompol, Rana Suwarte coba keluarkan pisau ter-bang yang merupakan salah
satu senjata andalannya. Tapi Setan Ngompol sudah bisa menduga siasatnya dan
tidak memberi kesempatan pada lawan.
Rana Suwarte dengan nekad keluarkan jurus-jurus simpanannya. Begitu gempuran
lawan sedikit terbendung dengan cepat dia menyelinap ke balik sederetan pohon
jati. Dia membuat gerakan cepat dan aneh. Lalu di lain kejap sosoknya lenyap
dari pemandangan Setan Ngompol.
"Sialan! Kemana lenyapnya bangsat itu!" maki Setan Ngompol dan serrr! Kencingnya
mengucur. Rana Suwarte memang bisa membuat gerakan menipu Setan Ngompol. Tapi dia tidak
bisa memperdayai pandangan mata tiga gadis yang sejak tadi mengawasi gerak
geriknya. Ketika dia berhasil menipu Setan Ngompol dan berkelebat melarikan
diri, Bidadari Angin Timur yang berdiri di balik pohon palangkan kaki kanannya
mengait dua kaki Rana Suwarte. Tak ampun kakek berpakaian serba biru ini jatuh
tengkurap, terbanting di tanah. Sebelum dia sempat bangun dan kabur lagi, Setan
Ngompol telah melompat dan menginjak jidat orang ini. Tiga gadis bertindak
cepat, berdiri mengelilingi ke dua orang itu.
"Rana Suwarte! Saat ini kau hanya tinggal memilih.
Menjawab semua pertanyaanku atau kuinjak kepalamu sampai pecah!"
Rahang Rana Suwarte menggembung. Matanya men-
delik. Mulutnya komat-kamit tapi tak sepotong suarapun keluar dari mulut itu.
Dia merasa heran mendengar ucapan Setan Ngompol.
"Kau tak mau menjawab tidak apa-apa! Coba kau rasakan dulu ini!"
Setan Ngompol keraskan injakkan kaki kanannya di kening Rana Suwarte hingga
orang ini merasa kepalanya seolah mau rengkah. Sakitnya bukan kepalang, sepasang
matanya sampai mendelik jereng. Setan Ngompol yang jereng benaran tertawa gelak-
gelak. "Mau kuinjak lebih keras lagi"!"
"Keparat! Ucapkan apa yang hendak kau tanyakan!"
Rana Suwarte akhirnya membuka mulut tapi disertai makian. "Setan Ngompol!"
Bidadari Angin Timur yang sudah tidak sabaran menegur. "Buat apa bicara panjang
lebar dengan manusia jahat itu! Habisi saja dia sekarang juga!"
"Sobatku gadis cantik berambut pirang," jawab Setan Ngompol. "Tenang saja. Sabar
barang sebentar. Lihat saja apa yang aku lakukan! Kau pasti akan merasa senang!"
"Huh!" Bidadari Angin Timur merengut. Anggini dan Ratu Duyung senyum-senyum.
Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan kakek tukarrg kencing itu.
"Rana Suwarte. Pertanyaanku yang pertama. Apakah sampean pernah minum dawet?"
(dawet - cendol) Walau heran mengapa orang ajukan pertanyaan
seperti itu, setelah menggerutu dalam hati Rana Suwarte menjawab juga.
"Pernah."
"Bagus!" kata Setan Ngompol pula sambil senyum dan pegangi bagian bawah perut
menahan kencing. "Apakah sampean juga pernah minum wedang jahe?"
"Pernah," jawab Rana Suwarte lagi. Dalam hati dia memaki panjang pendek.
"Aahhhh, bagus! Lalu sewaktu kerja di Istana, apakah sampean pernah meneguk tuak
enak?" "Pernah," jawab Rana Suwarte.
"Hemm, tentu enak sekali tuak di Istana itu," Setan Ngompol melirik pada tiga
gadis sambil basahi bibirnya dengan ujung lidah. Kaki kanannya digeser-geser di
atas jidat Rana Suwarte. "Masih sewaktu sampean di Istana.
Apa pernah minum anggur wangi?"
"Pernah," sahut Rana Suwarte. "Bangsat, apa maksudmu dengan semua pertanyaan
ini"!" teriak Rana Suwarte.
"Luar biasa! Kau rupanya telah menikmati segala macam minuman enak! Pertanyaanku
yang terakhir. Apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air kencing"!"
Sepasang mata Rana Suwarte mendelik. Kini dia tahu apa maksud kakek bermata
jereng berkuping leher tukang ngompol itu. Dari tenggorokannya keluar suara
menggembor. Sekujur tubuhnya menggeletar. Saat itu ingin dia melompat dan
menerkam Setan Ngompoi. Tapi injakan di atas keningnya terasa seberat batu
raksasa hingga dia tak berdaya untuk loloskan diri.
Tiga gadis yang kini sudah bisa menduga apa maksud semua pertanyaan si kakek,
menutup mulut dengan tangan menahan tawa cekikikan.
"Setan Ngompol! Jangan kau berani berbuat edan ter-hadapku!" Rana Suwarte
mengancam. "Wuaallllah! Siapa yang mau berbuat edan terhadap sampean orang kepercayaan
Istana. Wong aku cuma tanya apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air
kencing, aku dibilang edan. Jawab saja pertanyaanku!"
"Setan kau! Siapa manusianya yang pernah minum air kencing! Jelas tidak ada!
Termasuk aku"'
"Ha... ha! Kalau begitu biar aku si orang edan ini memberikan minuman paling enak
di dunia itu padamu.
Katamu kau belum pernah merasakan. Hari ini, sekarang kau akan menikmatinya!
Hik... hik,., hik!"
Habis berkata dan tertawa cekikikan, Sean Ngompol angkat kaki kanannya yang tadi
menginjak kening orang, kini dipindah ke tenggorokan diinjak lehernya keras-
keras karuan saja mulut Rana Suwarte jadi terpentang lebar.
Saat itulah Setan Ngompol enak saja rorotkan celananya ke bawah. Bidadari Angin
Timur, Anggini dan Ratu Duyung tersentak kaget, sama-sama terpekik dan sama-sama
melompat lari dari tempat itu.
"Tua bangka sinting!" teriak Bidadari Angin Timur.
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Dua tangan bertolak pinggang. Di sebelah
bawah perutnya air kencing yang sejak tadi dengan susah payah ditahan-tahannya
kini mancur deras. Rana Suwarte berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi injakan
keras kaki kanan Setan Ngompol membuat mulut itu tak bisa ditutup. Air kencing
si kakek masuk ke dalam mulutnya dengan mengeluarkan suara seru meriah!
"Mana enak air kencingku dengan dawet"!" Setan Ngompol bertanya. Pantatnya lalu
digoyang diogel-ogel.
"Hekkk!"
Tentu saja Rana Suwarte tidak bisa menjawab. Yang keluar dari tenggorokannya
adalah suara tercekik. Dia berusaha untuk tidak menelan air kencing yang
memenuhi mulutnya. Tapi tidak bisa.
"Mana enak lebih enak air kencingku dengan wedang jahe! Dengan tuak Istana"
Dengan anggur Istana"!"
"Hekkk!"
"Ha... ha... he..."
Makin keras tawa Setan Ngompol makin deras air
kencingnya mengucur. Air kencing si kakek bukan saja memenuhi mulut, menyumbat
hidung Rana Suwarte tapi juga luber membasahi muka dan lehernya!
Puas mengencingi Rana Suwarte Setan Ngompol me-
mandang berkeliling.
"Tiga gadis sahabatku! Di mana kalian! Keluarlah!
Mengapa sembunyi segala" Mentang-mentang aku sudah tua. Anuku peot, keriput
jelek! Kalian tidak mau melihat!
Coba kalau aku masih muda dan anuku mengkilat.
Hemm... Pasti mata kalian tidak akan berkedip! Ha... ha...
ha!" "Kakek sinting!" Teriak Bidadari Angin Timur dari balik pohon jati. "Lekas
rapikan celanamu! Baru kami keluar!"
"Hai! Kau tahu celanaku masih merosot di bawah pinggul! Berarti kau mengintip!"
"Enak saja kau bicara! Siapa suka mengintip terong bonyok budukan!" Teriak
Bidadari Angin Timur.
"Ha... ha... ha... ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu tarik celananya
tinggi-tinggi ke atas. "Sudah!
Sekarang kalian boleh keluar!" kakek ini kemudian berteriak.
"Jangan keluar dulu," kata Ratu Duyung pada dua sahabatnya. "Mungkin dia
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendustai kita. Mungkin saja saat ini dia berdiri menghadap ke arah pohon,
memperlihatkan terong bututnya!"
"Betul," menyahuti Anggini. "Kalau sampai kita melihat anunya, bakalan sial kita
empat puluh hari empat puluh malam!"
Tiga gadis cantik itu tak dapat lagi menahan tawa.
Mereka cekikikan sambil memegangi perut.
"Hai! Kenapa kalian ketawa" Apa yang lucu"!" teriak Setan Ngompol yang saat itu
memang sudah merapikan celananya.
Anggini memberanikan diri mengintip dari balik pohon.
Murid Dewa Tuak ini tarik nafas lega.
Dia sudah pakai celana," kata Anggini memberitahu dua sahabatnya.
Tiga gadis kemudian muncul dari balik pohon dengan wajah merah. Bidadari Angin
Timur paling merah wajahnya.
"Siapa diantara kalian yang paling jago ilmu totokan-nya" Tua bangka satu ini
harus dilumpuhkan! Dibawa ke Kotaraja! Biar Kerajaan yang akan menghukumnya atas
dua kejahatan yang dilakukannya. Mencuri Keris Naga Kopek dan membunuh Sulantri,
gadis cilik tak berdosa puteri Kepala Desa Maguwo."
Rana Suwarte semburkan air kencing yang masih ber-sisa di dalam mulutnya.
"Kakek edan! Jika kau mau membunuh aku, bunuh saja sekarang! Jangan bawa aku ke
Kotaraja!"
Setan Ngompol mencibir mendengar teriakan Rana
Suwarte itu. Dia memandang pada tiga gadis.
Bidadari Angin Timur berkata. "Buat apa bersusah payah membawa calon bangkai itu
ke Kotaraja" Lebih baik penuhi saja permintaannya! Habisi dia sekarang juga!"
"Mati di tempat ini terlalu enak baginya. Biar dia merasakan sengsara jiwa
bagaimana menghadapi tiang gantungan. Selain itu para penjahat dan pengkhianat
Kerajaan akan bisa menyaksikan bagaimana hukum yang berlaku bagi manusia-manusia
seperti tua bangka satu ini!"
Tiga gadis cantik jadi terdiam.
"Kalian tidak mau menolong aku menotok orang ini?"
Tiga gadis sama gelengkan kepala.
Setan Ngompol angkat kaki kanannya. Lalu buuuuk!
Tumit kaki kanan itu dihantamkan ke pangkal leher sebelah kiri Rana Suwarte,
tepat pada urat besar pem-buluh darah.
"Ngeekk!"
Tubuh Rana Suwarte menggeliat lalu diam kaku tak mampu bergerak tak bisa
bersuara. Matanya membeliak seperti mau melompat dari rongganya.
"Rana Suwarte orang hebat! Kau datang dari Istana.
Kembali ke Istana. Di sana akan ada sambutan meriah untukmu! Bukan dawet bukan
wedang jahe. Bukan tuak juga bukan anggur. Jangan takut, juga tak ada air
kencing. Yang ada hanyalah tiang gantungan!"
Selesai keluarkan ucapan Setan Ngompol berpaling ke arah pertempuran yang
berlangsung hebat antara dua orang yang sama satu dengan lainnya yakni dua sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng. Salah seorang dari mereka tengah mendesak lawannya
hingga sang lawan terpaksa mundur sambil berkelebat di antara pohonpohon jati.
Namun di ujung pedataran tak ada lagi pohon jati yang bisa membantunya untuk
menghindar dari serangan lawan.
Dengan mengeluarkan bentakan keras Wiro yang terdesak tiba-tiba nekad menyerang
dengan jurus-jurus luar biasa hebatnya.
Setan Ngompol memberi isyarat pada tiga gadis seraya berkata. "Kita harus
mengawasi jalannya perkelahian dua orang itu. Jangan sampai Wiro palsu
meloloskan diri!"
Ke empat orang itu segera berkelebat, mendekat
memperhatikan jalannya pertempuran dari empat tempat dan sekaligus mengurung
berjaga-jaga. *** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
8 EBELUM Si Muka Bangkai melarikan diri dan
sebelum Rana Suwarte dipecundangi dan dibuat tak S berdaya oleh Setan Ngompol,
pertempuran antara dua sosok Wiro berlangsung seimbang, hebat dan ganas.
Namun begitu Si Muka Bangkai kabur dan Rana Suwarte tergelimpang tak berdaya
akibat totokan, hal ini mendatangkan pengaruh besar bagi salah seorang Wiro.
Rasa kecut mempengaruhi permainan silatnya. Apa lagi ketika dia melihat
bagaimana tiga gadis dan kakek botak itu telah mengelilingi kalangan
pertempuran, berdiri mengurung.
Karena berkelahi dengan digerayangi rasa bimbang, akibatnya Wiro yang satu ini
mulai ditekan dan didesak lawan. Namun, mendadak dia bertindak nekad. Gerakan
silatnya berubah. Tubuhnya berkelebat demikian rupa melancarkan serangan balik
yang tidak terduga.
Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung segera
mengenali. Serangan-serangan yang dilancarkan Wiro satu ini bukanlah dalam ilmu
silat warisan Sinto Gendeng.
Selain itu setiap tangan kanannya hendak saling beradu dengan tangan lawan, Wiro
yang satu ini selalu menghindar.
"Sepertinya ada cidera di tangan kanannya..."
Membatin Ratu Duyung. "Dia terus-terusan menyerang dengan tangan kiri. Astaga...
Serangannya itu, bukankah itu jurus-jurus Pembalik Otak Pembuta Mata" Jangan-
jangan dia adalah... Jahanam! Siapa lagi manusianya yang bisa merubah-rubah ujud
kalau bukan dia"!" Ratu Duyung kepalkan dua tinju. Merasa yakin Wiro yang satu
itu adalah erang yang pernah mencelakainya, tanpa menunggu lebih lama didahului
teriakan keras Ratu Duyung menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Tapi mendadak
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba sosok Wiro di sebelah kanan lancarkan satu
pukulan yang memancarkan cahaya ber-kilauan disertai hantaran hawa panas luar
biasa. Pukulan Sinar Matahari!
Berarti Wiro di sebelah kanan itu adalah Wiro yang asli!
Wiro di sebelah kiri tidak menyangka dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa
lawan akan mengeluarkan pukulan yang sangat ditakuti di dalam rimba persilatan
itu. Dia cepat melompat ke kiri. Tubuhnya bagian dada ke atas memang bisa
diselamatkan, namun dari dada ke bawah telak dihantam cahaya panas menyilaukan.
Satu jeritan terdengar menggidikkan mengiringi mencelatnya sosok tubuh ke udara
sampai dua tombak. Waktu melayang ke bawah tubuh ini melintir beberapa kali lalu
jatuh bergedebukan. Di balik asap yang mengepul dari tubuh bagian bawah yang
seperti dipanggang, kelihatan dua kaki me-lejang. Di sebelah atas dua tangan
menggeliat. Dari mulut orang ini keluar suara seperti kerbau digorok. Lalu hekk!
Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut orang itu. Tubuhnya juga tidak
bergerak lagi. Perlahan-lahan, berbarengan dengan sirnanya kepulan asap yang
mencuat dari tubuh sebelah bawah, sosoknya yang tadi menyerupai sosok Pendekar
212 Wiro Sableng berubah, demikian juga kepala dan wajahnya. Wajah orang ini
ternyata adalah wajah seorang nenek berdandan mencorong. Alis mata kereng hitam,
bibir diberi gincu sangat merah, pipi tertutup bedak tebal!
Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan dan pancarkan air kencing ketika dia
mengenali siapa adanya orang itu. Tiga gadis tak kalah kagetnya. Tapi yang
paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng asli yang barusan melepaskan
pukulan maut itu.
"Nyi Ragil Tawangalu...." desis murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala.
"Pantas tangan kanannya tidak berdaya. Dulu dihajar Eyang Sinto hingga patah dan
buntung." "Betina berjuluk Si Manis Penyebar Maut..." kata Setan Ngompol. Satu tangan
mengusap kepala botaknya. Yang lain pegangi bagian bawah perut yang saat itu
kembali mengucur.
"Aku sudah duga. Aku sudah duga," kata Ratu Duyung berulang kali. "Ternyata
memang dia!" Hati kecil Sang Ratu merasa penasaran karena dia tidak dapat turun
tangan sendiri membalaskan dendam sakit hatinya terhadap orang yang tempo hari
pernah menghantamnya hingga cidera berat.
Tiba-tiba Setan Ngompol menjerit keras.
"Kek! Kau kenapa?" tanya Wiro terkejut.
"Kek, kau kesurupan"!" teriak Anggini.
"Setan apa yang masuk ke dalam tubuh tua bangka ini"!" kata Bidadari Angin Timur
pula. "Jangar-jangan dia kemasukan rohnya Nyi Ragil!" ucap Ratu Duyung.
"Serrr... serrr... serrr!"
Setan Ngompol pancarkan air kencing sarnpai tiga kali berturut-turut. Lalu tanpa
perdulikan ucapan semua orang dia menubruk mayat Nyi Ragil Tawangalu. Dua
tangannya meraba sekujur tubuh jenazah si nenek mulai dari atas sampai ke bawah.
"Kek! Kau melakukan apa"!" Teriak Anggini yang jadi merasa jengah.
"Benar-benar edan! Mayat saja digerayanginya. Apa lagi perempuan hidup!" Berkata
Bidadari Angin Timur.
"Celaka! Celaka!" ucap Setan Ngompol berulang kali.
"Apa yang celaka Kek" Siapa"!" Bertanya Ratu Duyung.
"Dia... kalian semua!" Setan Ngompol berteriak marah.
Lalu kakek ini jatuhkan diri, duduk menjelepok di tanah.
Kepala mendongak ke langit tapi dua mata dipejamkan.
Seperti orang terisak Setan Ngompol berkata. "Kasihan....
Aku tidak menemukan! Aku tidak menemukan! Kasihan...."
Wiro berlutut di hadapan si kakek. Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
berdiri mengelilingi.
"Siapa yang kasihan Kek" Apa yang tidak kau temukan?" tanya Wiro.
Masih mendongak, Setan Ngompol menunjuk ke arah mayat Nyi Ragil. "Bunga itu...
Bunga melati hitam. Melati Tujuh Racun! Aku tidak menemukan! Yang kasihan Patih
Kerajaan. Dia akan sengsara sakit seumur-umur!"
Ratu Duyung dan Anggini baru sadar dan mengerti.
Keduanya memandang pada Bidadari Angin Timur dengan paras pucat.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Wiro.
Setan Ngompol buka matanya lalu menjawab.
"Perempuan keparat ini muncul, menyaru menjadi dirimu! Kami memberitahu kalau
sudah mendapatkan sekuntum Melati Tujuh Racun. Dia meminta. Karena maksud-nya
sama dengan maksud kami yakni untuk mengobati Patih Kerajaan, apa lagi dia ingin
pergi mendahului agar bisa cepat sampai di Kotaraja. Aku menyuruh Bidadari Angin
Timur agar memberikan Melati Tujuh Racun itu padanya. Siapa mengira, siapa
curiga! Ternyata dia adalah Wiro palsu! Dan kini dia sudah mampus. Aku
menggeledah sekujur tubuhnya. Bunga melati hitam itu tidak bertemu.
Sapu tangan pembungkusnyapun tidak ada! Pasti bunga dan saputangan sudah hangus
dan ludas terkena pukulan Sinar Matahari!"
Ratu Duyung, Anggini dan Wiro Sableng hanya bisa terdiam mendengar keterangan
Setan Ngompol itu. Bidadari Angin Timur memijit-mijit kepalanya dan menghela
nafas berulang kali.
"Kalau saja bunga itu bisa kuganti dengan nyawaku, aku rela mati asal Melati
Tujuh Racun dapat ditemukan.
Tapi apa jadinya sekarang?" Setan Ngompol bicara menyesali diri. "Kalau saja aku
tidak menyuruh Bidadari Angin Timur menyerahkan bunga itu. Ah...!"
Setan Ngompol pukuli jidatnya sendiri. Kepala atas yang dipukuli tapi kepala
bawah malah yang mengucur habis-habisan!"
"Sudahlah Kek, tak usah sedih! Buat apa menyesal memukuli kepala sendiri!"
Berkata Bidadari Angin Timur.
"Ini, kuganti bungamu yang hilang. Yang satu ini harap kau sendiri yang
menyimpannya baik-baik."
"Gadis rambut pirang. Jangan kau bergurau! Apa maksudmu?" tanya Setan Ngompol.
Wiro dan dua gadis lainnya sama-sama memandang pada Bidadari Angin Timur.
Tenang saja, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu
tangan dalarn keadaan ter-lipat rapi. Ketika lipatan sapu tangan dibuka di
dalamnya kelihatan sekuntum bunga melati hitam.
"Gusti Allah!" seru Setan Ngompol. Kakek ini melompat dari duduknya. Air
kencingnya langsung terpancar karena kaget luar biasa. "Bagaimana ini bisa
terjadi" Apa yang kau lakukan" Kau... kau merampas sapu tangan berisi bunga itu
dari Wiro palsu?"
Bidadari Angin Timur tersenyum. Dia gelengkan kepala.
"Waktu kau menyuruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun pada Wiro palsu, aku
mengikuti saja. Tapi lipatan sapu tangan yang kuberikan pada Wiro palsu kosong,
tak ada isi apa-apa. Sedang sapu tangan yang ada bunga melati hitamnya, tetap
aku simpan di balik pakaian. Aku...."
Setan Ngompol tiba-tiba berteriak keras kegirangan.
Dia melangkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
"Sobatku, kau ternyata bukan cuma cantik. Tapi juga cerdik!"
Lalu dalam girangnya si kakek melompat mendekati si gadis. Ciumannya menyambar
pipi Bidadari Angin Timur.
Gadis cantik berambut pirang ini tak sempat mengelak. Dia hanya bisa berteriak,
"Iiihhhh!" Lalu usap-usap pipinya yang kena dicium!
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
9 ALAM episode sebelumnya (Meraga Sukma) telah
diceritakan perihal Adipati Jatilegowo yang
Dmelarikan Nyi Larasati ke sebuah rumah kosong
miliknya di desa Bandongan. Ternyata di tempat itu Sarontang alias Pangeran Aryo
Probo telah mendahului dan menunggunya. Amarah dan dendam kesumat Sarontang
terhadap Jatilegowo memang selangit tembus. Pertama, Jatilegowo sewaktu masih di
tanah Makassar telah membunuh pemuda kekasihnya yakni Bontolebang. Membuat
pemuda itu sebagai Mayat Persembahan. Kemudian yang paling menyakitkan hati
ialah Jatilegowo membawa kabur Badik Sumpah Darah yang sangat diperlukannya
untuk dapat merampas tahta Kerajaan Pakubuwono.
Perkelahian antara ke dua orang itu berkecamuk
hebat. Sarontang keluarkan ilmu kesaktian yang bisa mendatangkan belasan makhluk
aneh berbentuk kelelawar besar berkepala seperti srigala bertaring, memiliki
sepasang tangan menyerupai manusia, berkuku panjang hitam yang sanggup
membongkar batang kayu merobek tembok. Namun menghadapi Badik Sumpah Darah di
tangan Adipati Salatiga itu, semua makhluk peliharaan Sarontang dibuat tidak
berdaya. Mereka habis dibunuhi, yang masih hidup melarikan diri. Sarontang
sendiri kena dibabat putus lima kuku jari tangan kirinya oleh badik sakti
beracun itu. Sebelum racun menjalar ke dalam peredaran darahnya yang bisa
membuat dia menemui ajal, Sarontang terpaksa tanggalkan tangan kirinya sebatas
pergelangan lalu melarikan diri.
Ketika Jatilegowo kembali ke tempat dia meninggalkan sosok Nyi Larasati, janda
Adipati Temanggung itu telah lenyap dilarikan seorang penunggang kuda.
Jatilegowo berhasil rnengejar orang yang membawa kabur Nyi Larasati. Orang itu
ternyata adalah Loh Gatra, pemuda cucu Ki Sarwo Ladoyo, abdi Kabupaten
Temanggung yang menemui ajal di tangan Jatilegowo. Walau Loh Gatra memiliki
senjata sakti Keris Tumbal Bekisar serta mampu melukai telinga kanan Jatilegowo
dengan senjata rahasia, namun dalam perkelahian yang berkecamuk hebat, pemuda
itu terdesak hebat. Pada saat nyawanya terancam di ujung Badik Sumpah Darah,
muncul Bujang Gila Tapak Sakti menyelamatkannya. Ternyata pendekar aneh bersosok
gemuk luar biasa ini juga tidak sanggup menghadapi kehebatan Badik Sumpah Darah.
Sewaktu Adipati Jatilegowo akan menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti dan Loh
Gatra, mendadak ada orang lain melarikan Nyi Larasati untuk ke sekian kalinya.
Yang membawa lari janda cantik itu kali ini adalah Sarontang yang rupanya
kembali lagi untuk menyiasati Jatilegowo. Karena lebih mementingkan sang janda
dari pada dua lawannya yang sudah tak berdaya itu, Jatilegowo memutuskan
mengejar Sarontang. Untuk beberapa lamanya Sarontang raib, tak bisa ditemukan.
Lenyapnya Sarontang ini adalah karena dia bekerja sama dengan Rana Suwarte
menyusun rencana untuk mencari Keris Naga Kopek yang belum lama lenyap dan kini
telah kembali serta disimpan dalam ruang penyimpanan rahasia. Menurut
perhitungan Sarontang, satu-satunya senjata yang dapat diandalkan untuk dapat
menghadapi Badik Sumpah Darah adalah senjata pusaka kerajaan itu yakni Keris
Naga Kopek. Kepada Rana Suwarte Sarontang bukan saja menjanji-kan imbalan berupa sejumlah
uang emas dan harta perhiasan, tetapi juga memberitahu dimana letak tumbuhnya
bunga melati hitam yang disebut Melati Tujuh Racun yang menjadi satu-satunya
obat penyembuh Patih Kerajaan.
Rupanya Sarontang sudah mengetahui satu rencana busuk yang tengah dijalankan
Rana Suwarte. Salah satu dari rencana Rana Suwarte itu ialah melenyapkan setiap
bunga melati hitam, termasuk memusnahkan tempat di mana bunga itu tumbuh.
Atas petunjuk Sarontang Rana Suwarte kemudian memang menemukan tempat tumbuhnya
bunga melati hitam itu yakni di salah satu pinggiran Kali Opak. Bunga itu dan
seluruh tanaman yang ada di tempat itu dimusnahkannya dengan cara dibakar.
. Sebagai tokoh silat Istana, dengan bantuan seorang petugas penjaga ruangan
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyimpanan senjata Rana Suwarte berhasil mendapatkan Keris Naga Kopek lalu
diserahkannya pada Sarontang. Namun Sarontang
menipunya. Peti yang dikatakan berisi uang emas dan harta perhiasan nyatanya
berisi batu-batu kerikil.
Sarontang kemudian lenyap bersama Keris Naga Kopek.
(Baca Episode "Meraga Sukma" dan "Melati Tujuh Racun")
*** Dalam usaha mengejar Sarontang, di sebuah telaga Jatilegowo bertemu dengan Nyi
Ragil yang saat itu tengah mengerang kesakitan karena tangannya baru saja
dihantam patah dan buntung oleh Sinto Gendeng dalam satu perkelahian hebat. Si
Muka Bangkai yang waktu itu melarikan diri bersamanya sempat terkena lemparan
tusuk konde Sinto Gendeng. Untung cuma bahunya saja yang terserempet. Walau
begitu Si Muka Bangkai cukup dibuat kalang kabut mengobati dirinya dari racun
tusuk konde itu.
Sebenarnya saat itu Nyi Ragil Tawangalu yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut
tidak sendirian. Dia bersama kekasihnya Si Muka Bangkai. Namun Si Muka Bangkai
meninggalkannya sendirian untuk mencari obat agar luka patahan di tangan kanan
Nyi Ragil bisa cepat disembuhkan. Selagi Nyi Ragil berada sendirian di tepi
telaga itulah datang Jatilegowo. Si nenek yang memang senang pada lelaki muda
ini sangat tertarik pada sang Adipati yang punya tampang jantan garang serta
sosok besar kokoh.
Kekasihnya Si Muka Bangkai tidak ada, maka dia pergunakan kesempatan. Segera dia
terapkan ilmu kesaktian-nya untuk merubah ujud. Saat itu sosok dan wajahnya yang
tadi berupa seorang nenek-nenek berdandan menor men-colok dan buntung tangan
kanannya, kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita, dua tangan
sempurna, mengenakan pakaian sangat tipis hingga setiap sudut dan liku tubuhnya
yang mulus terlihat jelas di mata Jatilegowo.
Walau terheran-heran melihat kejadian ini tapi sang Adipati tak urung jadi
berdebar jantungnya, darah mengalir panas dalam tubuhnya. Nafsunya segera saja
naik ke kepala. Apa lagi memang sudah agak lama dia tidak menyentuh perempuan.
Dua istrinya di Kabupaten Salatiga boleh dikatakan tidak pernah diacuhkan karena
ingatannya selalu tertuju pada Nyi Larasati.
Entah karena selalu ingat pada sang janda, wajah gadis di tepi telaga itu jadi
kelihatan mirip-mirip dengan paras Nyi Larasati. Nafsu Jatilegowo semakin
berkobar ketika sang dara mengajaknya duduk di sampingnya di tepi telaga. Bahkan
sang dara memintanya mandi bersama.
Tentu saja Jatilegowo tidak menolak.
"Orang gagah, mandi sendirian apa nikmatnya. Sungguh bahagia kau mau menemani
aku mandi. Mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah panas dan nafsu membara semakin berkobar
dalam tubuh Jatilegowo. Tidak tunggu lebih lama dia segera lakukan apa yang
barusan dikatakan si gadis.
Dengan cepat Jatilegowo melepas tali-tali kecil yang menjadi kancing bagian
depan pakaian tipis yang melekat di tubuh sang dara. Pada saat bagian atas
pakaiannya tersingkap, pada saat Jatilegowo terbelalak tak berkesip, kagum
melihat keindahan tubuh di depannya itu. Tiba-tiba terdengar suara orang
berkata. "Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk
menyembuhkan luka tanganmu yang buntung! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan
lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"
Nyi Ragil terkejut. Sirapannya terhadap Jatilegowo sirna. Serta merta ujudnya
kembali ke bentuk asli. Yakni seorang nenek genit berdandan mencorong, bertangan
buntung. Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat, nenek inilah yang tadi pertama kali
dilihatnya di tepi kali. Si nenek tentu mempunyai ilmu aneh bisa merubah diri.
Kalau nenek bungkuk bermuka seputih kain kafan itu tidak muncul niscaya dia akan
tertipu. Bukan mustahil si nenek punya maksud jahat terhadapnya. Mungkin pula
tua bangka satu ini adalah kaki tangan Sarontang yang sengaja meng-hadangnya,
hingga Sarontang bisa melarikan diri.
"Srett!"
Jatilegowo cabut Badik Sumpah Darah dari sarungnya.
Nyi Ragil dan juga Si Muka Bangkai terkesiap melihat cahaya redup angker yang
keluar dari senjata itu. Kakek ini memperhatikan bagaimana cahaya yang keluar
dari tubuh badik membuat gelombang halus air di permukaan telaga terhenti
bergerak. Dia juga merasakan bagaimana cahaya senjata sakti di tangan Jatilegowo
itu seolah menahan tiupan angin yang sejak tadi berhembus di sekitar telaga.
"Nyi Ragil, namamu Nyi Ragil!" Berucap Jatilegowo dengan mata besar berkilat
memandang pada si nenek.
"Aku hanya pernah mendengar cerita. Apa kau orangnya yang dijuluki Si Manis
Penyebar Maut"!"
Nyi Ragil sunggingkan senyum, kedipkan mata penuh genit menyahuti pertanyaan
orang. Sambil membungkuk dalam dia berkata.
"Matamu cukup tajam. Aku memang Nyi Ragil yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut.
Tapi julukan itu keliru.
Yang lebih cocok adalah Si Manis Penyebar Kasih! Hik...
hik... hik!"
"Apa hubungan kalian berdua"!" Bentak Jatilegowo. Dia berpaling pada Si Muka
Bangkai. "Kakek muka pucat! Kau siapa?"
Si Muka Bangkai batuk-batuk beberapa kali baru menjawab.
"Dalam rimba persilatan aku yang tua bangka btingkuk ini dikenal dengan
panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku diketahui sebagai guru
seorang pendekar besar bernama Pangeran Matahari!"
Kagetlah Jatilegowo. Ternyata dia berhadapan dengan dua dedengkot rimba
persilatan berkepandaian tinggi.
"Apa hubungan kalian dengan Sarontang" Janganjangan kalian berdua kaki
tangannya!"
"Sarontang, siapa manusia satu itu" Kami tidak kenal!"
ucap Nyi Ragil sambil memandang pada Si Muka Bangkai.
"Betul, kami baru sekali ini mendengar nama itu. Apa lagi melihat orangnya,
belum pernah!" Kata Si Muka Bangkai pula.
"Aku tidak percaya pada kalian! Walau punya nama besar dalam rimba persilatan
Tanah Jawa tapi kalian bukanlah para tokoh baik-baik!"
Si Muka Bangkai tertawa. "Begitulah takdir menentu-kan! Begitu kehendak yang
berlaku! Orang gagah, harap simpan senjatamu! Mari kita bicara baik-baik." Ujar
Si Muka Bangkai.
Jatilegowo gelengkan kepala.
"Nenek berdandan mencorong ini barusan menipuku.
Merubah diri menjadi seorang gadis cantik. Berusaha memikatku. Pasti dia punya
maksud jahat tersembunyi!"
"Tidak salah kau menduga seperti itu," kata Si Muka Bangkai pula. "Nyi Ragil
memang tua bangka jorok, tidak boleh melihat lelaki gagah langsung mau mencoba
ke-jantanannya. Tapi secara jujur aku bilang dia tidak punya maksud jahat
tersembunyi. Dia hanya ingin menipumu untuk memuaskan nafsunya..."
"Ya... ya, memang betul begitu," kata Nyi Ragil meng-akui tanpa malu-malu.
"Mengenai orang bernama Sarontang itu, siapakah dia?" Bertanya Si Muka Bangkai.
"Dia seorang Pangeran tua dari Pakubuwon. Dia menculik seorang perempuan muda.
Aku tengah mengejarnya!" Menerangkan Jatilegowo.
"Apakah dia menunggangi kuda?" tanya Nyi Ragil.
"Benar. Kau melihatnya?"
"Apakah dia berambut biru berminyak" Ada cacat aneh memutari keningnya.
Mengenakan jubah tebal. Tangan kiri buntung sebatas pergelangan..."
"Benar sekali! Bagaimana kau tahu ciri-ciri orang itu padahal kau tadi bilang
tidak kenal padanya!" Jatilegowo berkata setengah berteriak lalu mendekati si
nenek. Nyi Ragil tersenyum. Dia pegang lengan Adipati
Salatiga itu dengan tangan kirinya lalu usap-usap lengan yang penuh bulu itu
berulang kali sambil matanya terpejam-pejam.
"Sebelum kau datang. Ketika aku sendirian di tepi telaga ini. Seorang penunggang
kuda dengan ciri-ciri yang aku katakan tadi, lewat di tempat ini. Membawa
seorang perempuan muda cantik, entah tidur entah pingsan.
Perempuan itu melintang di atas pangkuannya. Dia berhenti di sebelah sana. Lalu
melemparkan sesuatu ke arahku. Yang dilemparkan ternyata sehelai daun lontar.
Daun lontar jatuh tepat di depan kakiku. Aku tidak acuh, tidak memperhatikan apa
lagi mengambil daun itu.
Kemudian kakek berambut biru itu berkata padaku.
"Nenek berdandan seronok! Aku tahu siapa dirimu.
Jika kau mau bersahabat denganku melakukan apa yang aku minta, maka benda ini
akan menjadi milikmu!" Lalu kakek itu acungkan sebuah kalung mutiara dengan
lilitan dan rantai dari emas. Ini barangnya." Dari balik pakaiannya Nyi Ragil
keluarkan kalung mutiara yang dikatakannya itu.
"Melihat kalung begitu bagus, ada mutiara ada emas, perempuan mana tidak
tertarik. Aku bilang pada si rambut biru berminyak itu bahwa apa permintaannya
akan aku lakukan jika sanggup. Lalu dia melemparkan kalung ini padaku. Setelah
kalung berada di tanganku dia berkata.
Akan lewat di tempat ini seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar, berkumis
melintang, berdandan mewah. Jika dia muncul berikan daun lontar itu padanya.
Agaknya kaulah yang dimaksud oleh orang tersebut."
"Mana daun lontar yang kau katakan itu!" Bertanya Adipati Jatilegowo.
Nyi Ragil Tawangalu menunjuk semak-semak di arah kiri telaga. Di antara
rerantingan kelihatan terselip sehelai daun lontar.
"Setelah menerima kalung mutiara, setelah orang itu pergi, aku tidak perdulikan
daun lontar itu. Daun aku ambil, aku tidak memperhatikan lalu aku buang ke
semak-semak itu." Jatilegowo melangkah cepat ke arah semak belukar lalu
mengambil daun lontar kering yang terselip di antara rerantingan. Ketika daun
itu diperhatikannya, ternyata di salah satu sisinya ada tulisan berbunyi.
"Jatilegowo. Jika kau masih menginginkan Nyi Larasati datanglah ke Bukit Watu
Ireng. Kau akan mendapatkan perempuan yang kau sukai ini asal kau mau
menyerahkan Badik Sumpah Darah padaku. Datanglah pada bulan mati malam pertama."
Bulan mati malam pert:ama berarti sekitar empat hari dari sekarang. Jatilegowo
masih sempat berpikir meng-hitung hari. Bukit Watu Ireng terletak di utara
Kotaraja, tak jauh dari desa kecil bernama Pakem.
Apakah dia akan mendekaim di desa itu menunggu
sampai empat hari sementara dia punya kesempatan dan waktu untuk kembali dulu ke
Salatiga. Akhirnya Jatilegowo memutuskan untuk ke Salatiga dulu. Lalu dia
menyumpah. "Keparat! Sarontang jahanam! Aku pasti datang untuk mengambil Nyi Larasati!
Sekalian mengambil nyawamu!
Bedebah!" Jatilegowo bantingkan kaki kanannya hingga melesak ke tanah sedalam setengah
jengkal. Daun lontar ditangan kanannya diremas sampai hancur. Dia hendak
tinggalkan tempat itu tapi sesaat menahan langkah, berpaling pada sepasang kakek
nenek di depannya.
"Nyi Ragil, bagaimanapun juga kau telah membantuku mencari petunjuk lewat daun
lontar itu. Jika kau mau bersekutu dengan aku, mungkin aku bisa membalas budi
baikmu itu."
"Bersekutu bagaimana?" tanya Nyi Ragil sambil kedap-kedipkan matanya genit.
"Kau ikut bersamaku, bantu aku menemukan
Sarontang. Kalau berhasil kau akan mendapat pahala dariku serta berkah dari
Kerajaan."
"Berkah dari Kerajaan?" ulang Si Muka Bangkai.
"Benar, karena Sarontang sebenarnya adalah seorang Pangeran bernama Aryo Probo.
Dia ingin merebut tahta dari Sri Baginda Raja yang sekarang..."
"Ah.... Begitu ceritanya!" ujar Nyi Ragil. "Orang gagah, aku tidak berjanji apa
kami berdua bisa membantumu.
Tetapi seandainya kami mampu dan berhasil, imbalan apa yang akan kau berikan
padaku?" "Kalau Sarontang memberimu sebuah kalung, aku akan memberikan padamu dua buah
cincin dua buah gelang dan sepasang giwang!"
Nyi Ragil tertawa panjang. Dia memandang ke langit di atasnya lalu berkata pada
Jatilegowo. "Lupakan segala macam pemberianmu itu. Aku cuma minta satu hal.
Bisakah kita melanjutkan kemesraan yang tadi tertunda gara-gara munculnya kakek
bermuka mayat ini"!"
Tampang Jatilegowo jadi berubah. Si Muka Bangkai merutuk habis-habisan.
"Kalau begitu lupakan saja permintaanku!" Kata Sang Adipati. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
Nyi Ragil tertawa gelak-gelak. Si 'Muka Bangkai masih cemberut. Apa yang
kemudian terjadi Nyi Ragil tidak pernah melakukan apa yang diminta Jatilegowo.
Dia malah bersekutu dengan Rana Suwarte dalam berusaha memusnahkan bunga Melati
Tujuh Racun. Untuk itulah Nyi Ragil merubah diri menjadi Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun akhirnya, seperti dituturkan dalam bagian depan buku ini, Nyi Ragil
akhirnya menemui ajal oleh Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro Sableng
sedang Rana Suwarte tertangkap hidup-hidup setelah sebelumnya dikerjai oleh
Setan Ngompol, diguyur mulut dan mukanya dengan air kencing.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
10 EJAK pertemuannya dengan Wiro Sableng, Sri
Kemuning, istri muda Adipati Jatilegowo yang cantik S jelita itu tidak pernah
melupakan sang Pendekar.
Selama suaminya pergi entah kemana, setiap malam dia selalu tidur sendirian dan
sulit memicingkan mata. Wajah serta senyum Wiro senantiasa terbayang di pelupuk
matanya. Suara ucapan dan tawa pemuda itu sering seperti mengiang di telinganya.
Malam itu udara di Salatiga memang panas. Sampai menjelang pagi, di atas ranjang
Sri Kemuning tidak dapat memicingkan mata. Wajah Wiro lagi-lagi terbayang.
Tibatiba pintu kamar terbuka. Disusul suara kaki berat melangkah masuk. Hanya
ada satu orang yang berani masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk. Dia adalah
Adipati Jatilegowo, suaminya.
"Siapa"!" tanya perempuan muda ini sambil me-nyingkap tirai kelambu.
Tahu-tahu sosok tinggi besar Jatilegowo telah berdiri di tepi tempat tidur.
Kemuning dapat mencium bau yang tidak sedap keluar dari tubuh, pakaian dan jalan
nafas lelaki itu.
"Kangmas..."
"Kau kira siapa"!" Suara Jatilegowo langsung kasar.
"Pintu tidak dikunci. Sepertinya kau sengaja untuk memberi masuk seseorang.
Siapa yang kau tunggu"!"
"Saya mohon maaf. Saya terlupa mengunci pintu. Saya tidak menunggu siapa-
siapa..." jawab Kemuning ketakutan.
"Aku tahu kau dusta! Kau tengah menunggu pemuda sableng itu! Aku kira dia sudah
beberapa kali menyelinap ke atas ranjang ini selama aku pergi."
"Saya berani sumpah Kangmas. Saya tidak pernah berbuat serong seperti itu."
"Kau pernah dikecupnya hingga menimbulkan tanda di leher. Apa kau masih mau
menyangkal?"
Kemuning tadi terdiam. Tiba-tiba Jatilegowo ulurkan tangannya.
"Brett!"
Pakaian tidur yang dikenakan Kemuning robek besar di bagian dada. Karena di
balik pakaian itu dia tidak mengenakan apa-apa maka dadanya yang putih dan
kencang terbuka lebar. Nafas Jatilegowo menggeru, darahnya mengalir cepat.
Nafsunya naik ke kepala.
"Suruh pelayan membangunkan Sumini. Suruh perempuan itu datang ke sini. Aku
rindu pada kalian berdua!"
Sri Sumini adalah istri tua Jatlegowo yang hanya ter-paut beberapa tahun di atas
usia istri mudanya.
Sebagai seorang istri kata-kata rindu sang suami seharusnya merupakan hal yang
membahagiakan bagi Sri Kemuning. Tapi sebaliknya hal ini justru membuat tengkuk
sang istri muda menjadi dingin. Hatinya kecut. Dia tahu bagaimana perlakuan
Pedang Penyebar Maut 1 Candika Dewi Penyebar Maut I V Naga Pembunuh 17
Kapak Naga Geni 212
dengan tangan kanan sementara tangan kiri memegang lengan sosok kedua yang bukan
lain adalah Bunga. Dua sosok yang menyerupai asap itu perlahan-lahan berubah
besar. Akhirnya membentuk ujud utuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan Bunga gadis
dari alam roh, mengenakan pakaian kebaya panjang putih yang kotor dan lusuh
serta berwajah sangat pucat. Rambut tergerai kusut.
Berdiri di pedataran rumput Bunga terheran-heran melihat ada dua sosok Wiro.
Satu yang berdiri di hadapannya yaitu yang tadi masuk ke dalam guci. Satu lagi
yang saat itu masih duduk dalam keadaan bersila rangkapkan tangan di depan dada.
, "Aku tak mengerti..." bisik Bunga.
Wiro selipkan kapak saktinya ke pinggang. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke
sosok dirinya yang duduk bersila di atas rumput. Sosok Sukma Wiro berubah samar,
kemudian masuk ke dalam sosok kasar. Tak lama kemudian setelah melafalkan Meraga
Sukma Kembali Pulang sebanyak tiga kali, sosok Wiro yang duduk bersila perlahan-
lahan membuka mata, menurunkan sepasang tangan dan bangkit berdiri menghampiri
gadis alam roh.
"Ilmu aneh. Luar biasa..." kata Bunga terkagum-kagum.
"Wiro, aku, aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu..."
Tidak bisa meneruskan kata-katanya, Bunga jatuhkan diri ke dada bidang Pendekar
212. "Bunga..." Suara Pendekar 212 bergetar dan setengah tercekat. Waktu di dalam
guci, ketika dia memutus belenggu besi di kaki dan tangan si gadis, dia tidak
dapat melihat jelas keadaan Bunga. Kini melihat keadaan gadis itu begitu rupa
hatinya terharu sekali. Ketika Bunga men-jatuhkan diri ke atas dadanya Wiro
segera memeluknya.
"Tadinya aku mengira tak akan pernah keluar lagi dari dalam guci itu..." Ucap
Bunga sambil memeluk Wiro erat-erat. Wiro merasakan hangatnya air mata si gadis
di permukaan dadanya.
"Iblis Kepala Batu Alis Empat sudah menemui ajal."
"Aku tahu. Walau cuma mendengarkan suara dari dalam guci tapi aku tahu semua
yang telah terjadi. Aku sangat berterima kasih padamu Wiro. Kau telah
menyelamatkan diriku..."
"Pertama sekali berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih.
Hanya dengan kekuasa-anNya dirimu bisa selamat..."
"Dalam alamku, aku memang sudah terlalu lama tidak mengingat Yang Satu itu. Tapi
bagaimanapun juga kau adalah kepanjangan tangan Tuhan yang nenolongku..."
"Sebenarnya ada beberapa orang lain kepada siapa kau pantas berterima kasih.
Bukan kepadaku..."
"Aku tahu. Aku ingin kau menyebutkan mereka satu persatu agar aku tidak salah
mengenang budi dan berterima kasih..."
"Mulai dari Kakek Segala Tahu. Dia yang pertama kali memberi petunjuk tentang
bagaimana caranya agar aku bisa menolongmu. Lalu pada Nyi Roro Manggut, seorang
sakti di dasar samudera kawasan selatan. Dialah yang memberikan Ilmu Meraga
Sukma padaku. Lalu pada Nyi Agung Roro Kidul, penguasa kawasan samudera selatan
yang telah mengizinkan aku untuk bisa bertemu dengan Nyi Roro Manggut. Kemudian
pada Ratu Duyung sahabatku. Kalau bukan dengan pertolongannya mustahil aku bisa
masuk ke dalam laut menemui Nyi Roro Manggut."
"Ratu Duyung, aku tahu. Budinya besar sekali. Tapi di manakah dia" Bukankah tadi
dia ada di sini bersamamu.
Bukankah dia ada bersamamu sejak berada di sarang Iblis Kepala Batu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling.
Dia baru sadar kalau saat itu Ratu Duyung tak ada lagi di tempat itu.
Bunga menghela nafas dalam.
"Aku ingin sekali bertemu dengan dia. Tapi mungkin dia sengaja mengelak. Di masa
lalu hubungan kami memang kurang baik. Mungkin aku banyak berbuat keliru."
"Bunga, harap kau mau menunggu sebentar. Aku akan mencari Ratu Duyung. Dia pasti
berada di sekitar sini..."
Bunga cepat memegang lengan Wiro dan berkata.
"Tak usah pergi. Waktuku tidak banyak lagi. Aku sudah terlalu lama meninggalkan
alamku. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan selain dari ucapan terima kasih
atas budi pertolonganmu. Aku tidak malu mengatakan bahwa pada pertemuan kita
pertama kali dulu aku telah jatuh cinta padamu. Saat ini, sampai dalam keadaanku
seperti ini sebagai makhluk yang tidak satu dunia dengan dirimu, rasa cinta itu
tak pernah hilang. Malah semakin bertambah dan semakin dalarn. Namun aku
mengerti siapa diriku.
Alam kita berbeda. Aku tidak perlu menanyakan, apakah kau mengasihi diriku,
apakah kau mencintai diriku. Kalaupun perasaan itu ada dalam lubuk hatimu, rasa
cinta dan kasih sayang kita hanya akan tetap merupakan perasaan belaka. Kita
tidak mungkin bersatu. Apapun yang terjadi, sampai kapanpun kita tak
mungkin...."
Wiro membelai rambut Bunga lalu memegang dua pipinya. Air mata masih meleleh
membasahi pipi pucat gadis alam roh itu.
"Saat ini kau tidak boleh bicara segala ketidak-mungkinan. Serahkan semua pada
Yang Maha Kuasa. Aku ingin kau tetap bersamaku selama beberapa hari..."
Bunga tersenyum. "Itu satu hal yang lagi-lagi tidak mungkin. Sebelum aku pergi
aku ingin mengatakan sesuatu. Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis
mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. Tetapi
jika kelak dikemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai
teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wajah Pendekar 212 berubah.
"Mengapa kau berkata begitu Bunga?"
"Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri yang mencari tahu,
yang mencari jawabannya..."
"Mungkin karena dia telah menanam budi menyelamatkan dirimu dari sekapan guci
Iblis Kepala Batu?"
"Kalaupun aku harus menemui kematian ganda di dalam guci itu, aku tetap akan
mengatakan agar kau memilih dirinya sebagai teman hidupmu."
Murid Sinto Gendeng jadi terdiam.
"Saatnya aku pergi Wiro."
"Tidak. Tunggu dulu..."
Gadis dari alam roh itu tersenyum. Kini dia yang ganti mendekap wajah si pemuda
dengan kedua tangannya.
"Aku pergi Wiro. Ingat selalu apa yang telah aku ucapkan saat ini padamu.
Sampaikan salam dan terima kasihku pada Ratu Duyung."
Wiro coba memeluk gadis itu. Tapi seperti angin, Bunga meliuk lepas dan melesat
ke udara untuk kemudian lenyap dari pemandangan.
Lama Wiro terduduk di batang pohon kayu di ujung pedataran rumput. Beberapa kali
dia menghela nafas dalam dan menggaruk kepala. Lalu dia bangkit berdiri.
"Ratu Duyung..." Wiro memanggil. "Ratu..." Wiro melangkah menyusuri pinggiran
pedataran. Sampai ke ujung dia kembali lagi. Ratu Duyung lenyap entah kemana.
Wiro merasa berdosa seolah telah melupakan gadis itu ketika tadi dia keluar dari
dalam guci bersama Bunga. Tiba-tiba dia mendengar suara isakan. Wiro memandang
ke arah semak belukar rapat di ujung kanan. Dia cepat melangkah ke tempat itu.
Di balik semak belukar dia menemukan Ratu Duyung duduk dengan kepala dibenamkan
di atas dua lutut yang dilipat.
"Ratu...." Wiro berlutut di samping gadis itu. "Bunga ingin menemuimu. Tapi kau
seperti mengelak. Mengapa"
Kau tidak suka padanya?"
Perlahan-lahan Ratu Duyung angkat wajahnya. Tanpa memandang pada Wiro dia
berkata. "Kami memang pernah berseteru. Sudah lama
kejadiannya dan aku sudah melupakan hal itu. Kalau aku mungkin penyebab semua
itu, aku berharap mungkin sedikit budi yang aku tanamkan bisa menebus dosaku
terhadapnya..."
"Bunga tidak pernah mengingat lagi semua kejadian di masa lalu. Dia menyampaikan
pesan dan terima kasih padamu."
Ratu Duyung menyeka air matanya. "Apa lagi yang dikatakan Bunga padamu?"
"Banyak..."
"Tentang diriku?"
"Banyak sekali."
"Coba kau beritahu satu persatu."
Wiro tertawa lebar.
"Akan kuberitahu. Tapi tidak sekarang ini. Kita masih banyak urusan. Aku tidak
tahu apakah para sahabat telah berhasil mendapatkan Melati Tujuh Racun untuk
mengobati Patih Kerajaan. Lalu bagaimana dengan Pedang Naga Suci 212 yang
lenyap. Juga Kitab Seribu Pengobatan milik Eyang Sinto Gendeng yang dicuri
orang..." Dalam hati Ratu Duyung berkata. "Kau tidak mau memberitahu apa saja yang
dikatakan Bunga padamu.
Tapi tadi aku mendengar semua apa yang kalian bicarakan. Kelak aku ingin tahu,
apakah kau mau berkata jujur menceritakan semua apa yang dikatakan gadis alam
roh itu. Terutama mengenai hal yang satu itu..."
Wiro memegang lengan Ratu Duyung, membantu gadis ini berdiri. Saat itu ucapan
Bunga seolah terngiang di telinga sang pendekar. "Jika kelak dikemudian hari kau
ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkan pilihanmu
pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik."
Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?" Ratu Duyung bertanya.
"Apa aku tak boleh tersenyum?" Tanya Wiro.
"Pasti ada sesuatu. Ada sebabnya."
"Tidak, kali ini aku tersenyum tidak ada sebabnya."
"Oh begitu" Aneh..."
"Aneh bagaimana maksudmu?"
"Tidak, tidak ada maksud apa-apa," jawab Ratu Duyung.
Wiro menggaruk kepala.
"Ah, kau sengaja menggodaku. Aku ingin tahu apakah kau juga bisa tersenyum."
Lalu Wiro menggelitik pinggang gadis bermata biru itu hingga Ratu Duyung
terpekik kegelian dan lari menuruni pedataran berumput.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
6 I DALAM Episode sebelumnya (Melati Tujuh Racun) telah diceritakan kemunculan
Hantu Jatilandak,
Dpemuda berkulit serba kuning yang terpesat dari Negeri Latanahsilam sewaktu
meledaknya Istana
Kebahagiaan. Juga dikisahkan bagaimana Jatilandak menemukan bunga Melati Tujuh
Racun yang menyumpal di liang telinga Setan Ngompol.
Oleh Setan Ngompol bunga melati keramat yang merupakan satu-satunya obat
penyembuh Patih Kerajaan diserahkan pada Bidadari Angin Timur yang muncul di
tempat itu bersama Anggini. Bidadari Angin Timur membungkus bunga melati hitam
itu dalam sehelai lipatan sapu tangan.
Selagi mereka membicarakan Hantu Jatilandak yang tiba-tiba saja melenyapkan diri
dari tempat itu, serta mem-perbincangkan bagaimana caranya agar bisa menemui
Pendekar 212 Wiro Sableng, secara tidak terduga murid Sinto Gendeng itu justru
muncul di tempat itu. Tentu saja semua orang menjadi gembira.
Tidak perlu susah-susah mencari Wiro dan perjalanan ke Kotaraja menuju Gedung
Kepatihan bisa segera dilakukan. Tapi kehadiran Pendekar 212 kali ini
mendatangkan rasa curiga dalam diri Bidadari Angin Timur dan Anggini.
Dia datang sendirian, padahal sebelumnya pergi bersama Ratu Duyung menuju Lembah
Welirang. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan dijawab Wiro dengan sikap dan ucapan
agak janggal, tidak ber-sambung. Ketika Setan Ngompol menerangkan bahwa mereka
baru saja berhasil menemukan Melati Tujuh Racun, Wiro serta merta meminta bunga
itu dengan sikap setengah memaksa. Karena Setan Ngompol menyuruh Bidadari Angin
Timur menyerahkan bunga melati tersebut pada Wiro, mau tak mau si gadis berambut
pirang ini serahkan bunga yang disimpannya dalam lipatan sapu tangan itu pada
Pendekar 212. Begitu menerima selampai berisi bunga, Pendekar 212
Wiro Sableng segera minta diri mendahului menuju Kota raja. Setelah Wiro pergi
kecurigaan dalam diri dua gadis jadi bertambah-tambah. Si kakek tukang ngompol
juga merasa ada yang tidak beres.
"Anak sableng itu!" kata Setan Ngompol sambil merapikan celananya yang basah
kuyup dan kedodoran. "Dua kali aku menyebut nama Hantu Jatilandak. Kali terakhir
malah aku jelaskan kalau pemuda muka kuning itulah yang telah menolong menemukan
Melati Tujuh Racun. Tapi si gondrong itu tidak acuh. Seperti tidak mendengar apa
yang aku katakan."
"Dia mendengar Kek, tapi sepertinya dia tidak kenal pada Hantu Jatilandak," ujar
Anggini pula. "Di situlah letak keanehannya! Seharusnya dia terkejut mendengar Hantu
Jatilandak ada di Tanah Jawa ini. Sewaktu di Negeri Latanahsilam, dia pernah menolong Hantu Jatilandak,
masakan dia lupa pada pemuda itu?"
"Keanehan yang kami lihat lain lagi Kek," ucap Bidadari Angin Timur. "Pertama,
dia pergi bersama Ratu Duyung.
Muncul seorang diri. Kedua, jika dia memang telah membebaskan Bunga, masakan
mereka berpisah begitu saja di Kotaraja. Ketiga, mengapa dia memaksa pergi lebih
dulu. Meninggalkan kita pergi ke Kotaraja membawa Melati Tujuh Racun. Apa salahnya
kita pergi sama-sama. Keanehan keempat, seingatku Wiro tidak pernah memanggil
kami dengan kata kawan-kawan. Biasanya dengan panggilan sahabat. Itupun jarang
dilakukan."
"Sesuatu telah terjadi dengan anak sableng itu.
Mungkin ini akibat ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu Meraga Sukma. Ah, aku
menyesal menyuruh kau memberikan bunga sakti itu padanya," kata Setan Ngompol
sambil menahan kencing. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku ingin kita mengikutinya ke Kotaraja," jawab Bidadari Angin Timur yang saat
itu paling jengkel dan penasaran.
"Aku setuju!" kata Setan Ngompol. "Nah, kita tunggu apa lagi?"
Sambil pegangi perutnya untuk menahan kencing
kakek ini berkelebat ke arah lenyapnya Pendekar 212.
Bidadari Angin Timur dan Anggini segera mengikuti.
Belum lama rombongan terdiri dari tiga orang itu me-nempuh jalan menuju
Kotaraja, di satu pedataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon jati serta
tebaran batu-batu bekas reruntuhan tembok sebuah candi yang telah rusak,
terdengar suara orang saling bentak. Satu perkelahian hebat rupanya tengah
berlangsung di tempat itu.
"Serrr!"
Setan Ngompol langsung kucurkan air kencing lalu hentikan larinya. Dia menunjuk
ke arah pedataran tinggi yang dirapati deretan pohon-pohon jati.
"Ada orang berkelahi di atas pedataran sana. Aku ingin menyelidik."
"Perlu apa menyelidik membuang waktu Kek?" ujar Bidadari Angin Timur. "Kita
punya urusan jauh lebih penting."
"Aku tahu," jawab Setan Ngompol. "Kita sudah tahu ke mana perginya Wiro. Ke
Kotaraja. Berarti kita sudah tahu arah yang dituju. Soal menyelidik siapa yang
berkelahi itu hanya urusan sesaat saja. Aku punya firasat, apa yang terjadi di
pedataran tinggi sana ada sangkut pautnya dengan semua keanehan, yang tadi kita
bicarakan."
Setan Ngompol lalu berkelebat ke arah pedataran tinggi. Dua gadis tak bisa
berbuat lain, berlari mengikuti si kakek.
Ketika mereka melewati deretan pohon-pohon jati dan akhirnya sampai di puncak
pedataran, mereka semua keluarkan seruan tertahan.
Di puncak pedataran mereka menyaksikan satu pe-
mandangan sulit dipercaya. Dua sosok Pendekar 212 Wiro Sableng saling bertempur
satu sama lain. Tak jauh dari situ Ratu Duyung kelihatan berkelahi dikeroyok dua
kakek. Kakek pertama berpakaian ringkas warna biru bukan lain adalah Rana Suwarte,
tokoh silat Istana yang tergila-gila pada Gondoruwo Patah Hati alias Ning Istana
Lestari. Di sebelahnya, kawannya yang mengeroyok Ratu Duyung adalah seorang
kakek bermuka pucat laksana mayat hidup yang sekali lihat saja segera diketahui
kalau dia adalah Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari. (Seperti diketahui Si
Muka Bangkai yang asli telah menemui ajal di Pangan-daran, dibunuh oleh Bujang
Gila Tapak Sakti sewaktu terjadi pertempuran hebat antara para dedengkot
golongan hitam melawan para tokoh puncak golongan putih. Si Muka Bangkai yang
kemudian malang melintang dalam rimba persilatan adaiah saudara kembar Si Muka
Bangkai yang konon lebih ganas dari Si Muka Bangkai yang asli dan memiliki ilmu
silat serta kesaktian tidak dibawah saudara kembarnya yang sudah almarhum itu)
Setan Ngompol terkencing-kencing menyaksikan perkelahian hebat di puncak bukit
jati itu. Sambil memegangi perutnya dia berkata.
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila! Yang mana Wiro sungguhan, yang mana yang palsu"!"
"Yang palsu adalah yang tadi kau suruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun
padanya!" Menjawab Bidadari Angin Timur.
"Dua gadis cantik. Salah satu dari dua orang kembar itu pasti Wiro palsu.
Berjaga-jagalah. Jangan dia sampai lolos! Kalian harus dapatkan Melati Tujuh
Racun itu kembali!"
"Kakek tukang kencing! Kau sendiri mau ke mana?"
tanya Bidadari Angin Timur.
"Aku mau membantu sahabatku si mata biru," jawab Setan Ngompol lalu melesat ke
hadapan Rana Suwarte.
Sambil tertawa ha-ha he-he dan pegangi perutnya kakek yang kini berkepala botak
karena harus memenuhi kaulan itu berseru pada Rana Suwarte.
"Rana Suwarte pencuri Keris Naga Kopek pusaka Kerajaan! Pembunuh gadis cilik
bernama Sulantri! Sobatku Naga Kuning telah menghancurkan tangan kirimu! Kau
masih malang melintang jual lagak! Apa kau kira dengan tangan hancur seperti itu
Ning Intan Lestari masih mau melihat tampangmu"! Hari ini kalau tidak bisa
mencekok mulutmu dengan kencingku biar aku disunat sekali lagi!
Ha... ha... ha!"
Dimaki sebagai pencuri keris pusaka Kerajaan serta sebagai pembunuh Sulantri
tidak membuat marah Rana Suwarte. Tapi ucapan Setan Ngompol menyebut-nyebut Ning
Intan Lestari alias Gondruwo Patah Hati yang selama ini digilainya membuat Rana
Suwarte jadi naik darah.
"Aku memang sudan lama mengincar nyawamu. Hari ini aku bersumpah mengorek
jantungmu!"
Setan Ngompol tertawa bergelak.
"Hati-hati kalau bicara! Jaga mulut sombongmu!" kata Setan Ngompol. Lalu
setengah pancarkan air kencing kakek ini melesat ke arah Rana Suwarte.
"Wuutttt!"
Dalam keadaan tubuh masih melayang di udara Setan Ngompol lancarkan serangan
berupa tendangan, dalam jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Rana Suwarte keluarkan tawa mengejek. Dengan
mudah dia bisa menghindar dari serangan Setan Ngompol.
Tapi cipratan air kencing yang bertebaran bersama tendangan itu sempat membasahi
pakaian bahkan wajahnya yang pucat. Karuan saja Rana Suwarte jadi mendidih
amarahnya. Ketika lawan kembali menyerang dia segera menghadang dengan serangan
balasan. Perkelahian antara dua jago tua ini berkecamuk hebat. Tapi tangan
kirinya yang cidera berat dan saat itu masih dibalut merupakan kendala besar
bagi Rana Suwarte dalam menghadapi kakek tukang kencing yang kelihatan konyol
itu tapi sebenarnya sangat berbahaya.
Kita kembali dulu pada Ratu Duyung.
Sewaktu dikeroyok dua oleh Rana Suwarte dan Si
Muka Bangkai, Ratu Duyung sempat terdesak hebat. Apa lagi dirinya masih lemas
akibat pengaruh jahat Asap Penyiksa Roh. Begitu menghadapi Si Muka Bangkai satu
lawan satu, semangat gadis bermata biru ini jadi berkobar.
Dia keluarkan jurus-jurus aneh ilmu silat dasar samudera.
Dalam waktu singkat Ratu Duyung mulai mendesak lawannya. Melihat bahaya
mengancam Si Muka Bangkai segera keluarkan pukulan-pukulan saktinya.
Mula-mula Si Muka Bangkai bentengi diri dengan ilmu Sepuluh Tameng Kematian.
Sepuluh sinar merah kuning dan hitam berselang seling menyambar membentengi
tubuhnya tapi secara tak terduga bisa berubah menjadi serangan ganas. Beberapa
kali Ratu Duyung coba susup-kan serangan atau tendangan namun selalu sia-sia.
Dari pada kedahuluan dicelakai lawan maka Ratu Duyung segera keluarkan cermin
saktinya. Kini dalam perkelahian kedua orang itu terlihat sambaran-sambaran
sinar putih menyilaukan yang keluar dari permukaan cermin, meng-gempur sepuluh
larik sinar sakti yang membentengi Si Muka Bangkai. Walau kakek muka mayat ini
tidak gentar menghadapi Ratu Duyung dan merasa masih bisa bertahan bahkan punya
niat untuk mulai mengeluarkan pukulan ganas Gerhana Matahari namun keadaan
mendadak berubah ketika dua gadis yang sejak tadi rnemperhatikan jalannya perkelahian
dari jauh, tibatiba melesat ke arahnya.
Sebelumnya antara Bidadari Angin Timur dan Anggini terjadi percakapan.
"Tanganku sudah gatal. Kita pilih mana" Rana Suwarte atau Si Muka Bangkai?"
Bertanya Bidadari Angin Timur.
"Menurutku kakek tukang kencing itu tidak punya kesulitan menghadapi lawannya.
Aku memilih si bungkuk muka pucat. Kau sendiri bukankah punya dendam
kesumat terhadap guru Pangeran Matahari itu?" Yang bicara adalah Anggini.
Walau Si Muka Bangkai yang satu ini bukan sungguhan guru Pangeran Matahari tapi
Anggini langsung saja menjawab.
"Setuju!"
"Dua gadis cantik! Kalian mencari penyakit! Mengapa tidak menunggu giliran
sampai kakekmu ini melayani kalian di atas ranjang"! Ha... ha... ha!" Sebenarnya
Si Muka Bangkai merasa kecut dengan turunnya dua gadis cantik itu ke gelanggang
pertempuran. Dia tahu benar kehebatan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Cuma
untuk menyembunyikan rasa jerihnya dia sengaja keluarkan ucapan seperti itu.
"Bangkai tua bermulut kotor!" teriak Bidadari Angin Timur. "Lihat serangan!"
Bidadari Angin Timur, yang dikenal memiliki gerakan luar biasa cepatnya
goyangkan kepala.
Bau wangi menebar, rambut pirangnya berkelebat laksana tebasan pedang. Dari
sebelah kiri Anggini murid Dewa Tuak menghantam dengan jurus ganas bernama
Memecah Angin Meruntuh Matahari Menghancur Rembulan!
Si Muka Bangkai membentak keras. Tubuhnya ber-
kelebat sambil gerakkan tangan kiri kanan melepas pukulan Merapi Meletus. Tapi
gerakan tangan Si Muka Bangkai hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat
sekali, Bidadari Angin Timur berputar gesit dan tahu-tahu telah berada di
belakang lawannya. Di sebelah depan cahaya yang melesat keluar dari cermin sakti
Ratu Duyung menyilaukan matanya. Si Muka Bangkai tidak melihat gerakan Bidadari
Angin Timur. Dia terpaksa pergunakan salah satu tangannya untuk melindungi mata
yang kesilauan sambil melompat ke kanan menjauhi serangan ganas Anggini. Pada
saat itulah dari belakang datang melanda jotosan Bidadari Angin Timur. Telak
bersarang di punggungnya yang bungkuk!
"Bukkk!"
Sosok Si Muka Bangkai mencelat dua tombak.
Darah segar menyembur dari mulut kakek ini. Jatuh ke tanah dia masih sanggup
bertahan dengan cara berlutut, tak sampai roboh atau terguling-guling.
Memandang ke depan tiga gadis dilihatnya mengurung rapat, memandang dengan
wajah-wajah cantik tapi angker seolah tiga bidadari yang muncul membawa
persembahan anggur kematian!
Perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Saat itu didengarnya Ratu Duyung
berseru. "Para sahabat! Tunggu apa lagi! Ini saatnya kita berebut pahala menghabisi
manusia sejuta jahat penimbul sejuta bencana!"
Tiga tubuh elok serentak berkelebat.
Tiga tangan halus menderu ke satu sasaran.
Si Muka Bangkai tiba-tiba kembangkan dua tangannya.
"Aku Si Muka Bangkai akan merasa bahagia jika dapat mati bersama kalian
bertiga!" Dari dua tangan yang mengembang itu tiba-tiba
menebar bubuk berwarna biru. Bau aneh menggidikkan tercium santar.
"Awas bubuk beracun!" Teriak Anggini memperingat-kan. Tiga gadis serta merta
batalkan serangan. Malah mereka terpaksa bersurut mundur. Kesempatan ini tidak
disia-siakan Si Muka Bangkai. Sekali dia mengenjot ke dua kakinya, tubuhnya
melesat ke udara sampai dua tombak.
Menembus ranting-ranting dan dedaunan lebat sebuah pohon jati. Ratu Duyung
bertindak cepat. Dia sudah maklum apa yang hendak dilakukan si kakek. Cermin
sakti diputar demikian rupa. Cahaya menyiaukan berkiblat.
"Wusss!"
Ranting dan daun-daun pohon jati di atas sana
meranggas dilamun kobaran api. Namun sosok Si Muka Bangkai lenyap tak kelihatan
lagi! *** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
7 ENGETAHUI kalau Si Muka Bangkai telah kabur
melarikan diri, Rana Suwarte yang saat itu berada Mdibawah tekanan serangan
Setan Ngompol mulai
leleh nyalinya. Beberapa jotosan lawan telah mendarat di tubuh dan pipi kanan
hingga wajahnya kelihatan bengap merah kebiruan. Dua giginya rontok. Dalam
menahan sakit Rana Suwarte juga menyumpah panjang pendek. Dia menyesali
kebodohan dirinya sendiri yang berserikat dengan Pangeran Aryo Probo alias
Sarontang untuk mencuri Keris Naga Kopek dari tempat penyimpanan di Istana.
Ternyata Sarontang telah menipunya. Kalau keris sakti itu masih ada padanya saat
itu mungkin sudah sejak tadi-tadi Setan Ngompol dihabisinya. Kini Si Muka
Bangkai yang jadi andalannya telah kabur. Mau tak mau dalam otak Rana Suwarte
timbul pula niat untuk melarikan diri. Maka dia segera mengatur siasat mencari
kesempatan untuk melarikan diri. Sambil terus mundur dicecar serangan gencar
Setan Ngompol, Rana Suwarte coba keluarkan pisau ter-bang yang merupakan salah
satu senjata andalannya. Tapi Setan Ngompol sudah bisa menduga siasatnya dan
tidak memberi kesempatan pada lawan.
Rana Suwarte dengan nekad keluarkan jurus-jurus simpanannya. Begitu gempuran
lawan sedikit terbendung dengan cepat dia menyelinap ke balik sederetan pohon
jati. Dia membuat gerakan cepat dan aneh. Lalu di lain kejap sosoknya lenyap
dari pemandangan Setan Ngompol.
"Sialan! Kemana lenyapnya bangsat itu!" maki Setan Ngompol dan serrr! Kencingnya
mengucur. Rana Suwarte memang bisa membuat gerakan menipu Setan Ngompol. Tapi dia tidak
bisa memperdayai pandangan mata tiga gadis yang sejak tadi mengawasi gerak
geriknya. Ketika dia berhasil menipu Setan Ngompol dan berkelebat melarikan
diri, Bidadari Angin Timur yang berdiri di balik pohon palangkan kaki kanannya
mengait dua kaki Rana Suwarte. Tak ampun kakek berpakaian serba biru ini jatuh
tengkurap, terbanting di tanah. Sebelum dia sempat bangun dan kabur lagi, Setan
Ngompol telah melompat dan menginjak jidat orang ini. Tiga gadis bertindak
cepat, berdiri mengelilingi ke dua orang itu.
"Rana Suwarte! Saat ini kau hanya tinggal memilih.
Menjawab semua pertanyaanku atau kuinjak kepalamu sampai pecah!"
Rahang Rana Suwarte menggembung. Matanya men-
delik. Mulutnya komat-kamit tapi tak sepotong suarapun keluar dari mulut itu.
Dia merasa heran mendengar ucapan Setan Ngompol.
"Kau tak mau menjawab tidak apa-apa! Coba kau rasakan dulu ini!"
Setan Ngompol keraskan injakkan kaki kanannya di kening Rana Suwarte hingga
orang ini merasa kepalanya seolah mau rengkah. Sakitnya bukan kepalang, sepasang
matanya sampai mendelik jereng. Setan Ngompol yang jereng benaran tertawa gelak-
gelak. "Mau kuinjak lebih keras lagi"!"
"Keparat! Ucapkan apa yang hendak kau tanyakan!"
Rana Suwarte akhirnya membuka mulut tapi disertai makian. "Setan Ngompol!"
Bidadari Angin Timur yang sudah tidak sabaran menegur. "Buat apa bicara panjang
lebar dengan manusia jahat itu! Habisi saja dia sekarang juga!"
"Sobatku gadis cantik berambut pirang," jawab Setan Ngompol. "Tenang saja. Sabar
barang sebentar. Lihat saja apa yang aku lakukan! Kau pasti akan merasa senang!"
"Huh!" Bidadari Angin Timur merengut. Anggini dan Ratu Duyung senyum-senyum.
Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan kakek tukarrg kencing itu.
"Rana Suwarte. Pertanyaanku yang pertama. Apakah sampean pernah minum dawet?"
(dawet - cendol) Walau heran mengapa orang ajukan pertanyaan
seperti itu, setelah menggerutu dalam hati Rana Suwarte menjawab juga.
"Pernah."
"Bagus!" kata Setan Ngompol pula sambil senyum dan pegangi bagian bawah perut
menahan kencing. "Apakah sampean juga pernah minum wedang jahe?"
"Pernah," jawab Rana Suwarte lagi. Dalam hati dia memaki panjang pendek.
"Aahhhh, bagus! Lalu sewaktu kerja di Istana, apakah sampean pernah meneguk tuak
enak?" "Pernah," jawab Rana Suwarte.
"Hemm, tentu enak sekali tuak di Istana itu," Setan Ngompol melirik pada tiga
gadis sambil basahi bibirnya dengan ujung lidah. Kaki kanannya digeser-geser di
atas jidat Rana Suwarte. "Masih sewaktu sampean di Istana.
Apa pernah minum anggur wangi?"
"Pernah," sahut Rana Suwarte. "Bangsat, apa maksudmu dengan semua pertanyaan
ini"!" teriak Rana Suwarte.
"Luar biasa! Kau rupanya telah menikmati segala macam minuman enak! Pertanyaanku
yang terakhir. Apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air kencing"!"
Sepasang mata Rana Suwarte mendelik. Kini dia tahu apa maksud kakek bermata
jereng berkuping leher tukang ngompol itu. Dari tenggorokannya keluar suara
menggembor. Sekujur tubuhnya menggeletar. Saat itu ingin dia melompat dan
menerkam Setan Ngompoi. Tapi injakan di atas keningnya terasa seberat batu
raksasa hingga dia tak berdaya untuk loloskan diri.
Tiga gadis yang kini sudah bisa menduga apa maksud semua pertanyaan si kakek,
menutup mulut dengan tangan menahan tawa cekikikan.
"Setan Ngompol! Jangan kau berani berbuat edan ter-hadapku!" Rana Suwarte
mengancam. "Wuaallllah! Siapa yang mau berbuat edan terhadap sampean orang kepercayaan
Istana. Wong aku cuma tanya apakah sampean pernah merasakan nikmatnya air
kencing, aku dibilang edan. Jawab saja pertanyaanku!"
"Setan kau! Siapa manusianya yang pernah minum air kencing! Jelas tidak ada!
Termasuk aku"'
"Ha... ha! Kalau begitu biar aku si orang edan ini memberikan minuman paling enak
di dunia itu padamu.
Katamu kau belum pernah merasakan. Hari ini, sekarang kau akan menikmatinya!
Hik... hik,., hik!"
Habis berkata dan tertawa cekikikan, Sean Ngompol angkat kaki kanannya yang tadi
menginjak kening orang, kini dipindah ke tenggorokan diinjak lehernya keras-
keras karuan saja mulut Rana Suwarte jadi terpentang lebar.
Saat itulah Setan Ngompol enak saja rorotkan celananya ke bawah. Bidadari Angin
Timur, Anggini dan Ratu Duyung tersentak kaget, sama-sama terpekik dan sama-sama
melompat lari dari tempat itu.
"Tua bangka sinting!" teriak Bidadari Angin Timur.
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Dua tangan bertolak pinggang. Di sebelah
bawah perutnya air kencing yang sejak tadi dengan susah payah ditahan-tahannya
kini mancur deras. Rana Suwarte berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi injakan
keras kaki kanan Setan Ngompol membuat mulut itu tak bisa ditutup. Air kencing
si kakek masuk ke dalam mulutnya dengan mengeluarkan suara seru meriah!
"Mana enak air kencingku dengan dawet"!" Setan Ngompol bertanya. Pantatnya lalu
digoyang diogel-ogel.
"Hekkk!"
Tentu saja Rana Suwarte tidak bisa menjawab. Yang keluar dari tenggorokannya
adalah suara tercekik. Dia berusaha untuk tidak menelan air kencing yang
memenuhi mulutnya. Tapi tidak bisa.
"Mana enak lebih enak air kencingku dengan wedang jahe! Dengan tuak Istana"
Dengan anggur Istana"!"
"Hekkk!"
"Ha... ha... he..."
Makin keras tawa Setan Ngompol makin deras air
kencingnya mengucur. Air kencing si kakek bukan saja memenuhi mulut, menyumbat
hidung Rana Suwarte tapi juga luber membasahi muka dan lehernya!
Puas mengencingi Rana Suwarte Setan Ngompol me-
mandang berkeliling.
"Tiga gadis sahabatku! Di mana kalian! Keluarlah!
Mengapa sembunyi segala" Mentang-mentang aku sudah tua. Anuku peot, keriput
jelek! Kalian tidak mau melihat!
Coba kalau aku masih muda dan anuku mengkilat.
Hemm... Pasti mata kalian tidak akan berkedip! Ha... ha...
ha!" "Kakek sinting!" Teriak Bidadari Angin Timur dari balik pohon jati. "Lekas
rapikan celanamu! Baru kami keluar!"
"Hai! Kau tahu celanaku masih merosot di bawah pinggul! Berarti kau mengintip!"
"Enak saja kau bicara! Siapa suka mengintip terong bonyok budukan!" Teriak
Bidadari Angin Timur.
"Ha... ha... ha... ha!" Setan Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu tarik celananya
tinggi-tinggi ke atas. "Sudah!
Sekarang kalian boleh keluar!" kakek ini kemudian berteriak.
"Jangan keluar dulu," kata Ratu Duyung pada dua sahabatnya. "Mungkin dia
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendustai kita. Mungkin saja saat ini dia berdiri menghadap ke arah pohon,
memperlihatkan terong bututnya!"
"Betul," menyahuti Anggini. "Kalau sampai kita melihat anunya, bakalan sial kita
empat puluh hari empat puluh malam!"
Tiga gadis cantik itu tak dapat lagi menahan tawa.
Mereka cekikikan sambil memegangi perut.
"Hai! Kenapa kalian ketawa" Apa yang lucu"!" teriak Setan Ngompol yang saat itu
memang sudah merapikan celananya.
Anggini memberanikan diri mengintip dari balik pohon.
Murid Dewa Tuak ini tarik nafas lega.
Dia sudah pakai celana," kata Anggini memberitahu dua sahabatnya.
Tiga gadis kemudian muncul dari balik pohon dengan wajah merah. Bidadari Angin
Timur paling merah wajahnya.
"Siapa diantara kalian yang paling jago ilmu totokan-nya" Tua bangka satu ini
harus dilumpuhkan! Dibawa ke Kotaraja! Biar Kerajaan yang akan menghukumnya atas
dua kejahatan yang dilakukannya. Mencuri Keris Naga Kopek dan membunuh Sulantri,
gadis cilik tak berdosa puteri Kepala Desa Maguwo."
Rana Suwarte semburkan air kencing yang masih ber-sisa di dalam mulutnya.
"Kakek edan! Jika kau mau membunuh aku, bunuh saja sekarang! Jangan bawa aku ke
Kotaraja!"
Setan Ngompol mencibir mendengar teriakan Rana
Suwarte itu. Dia memandang pada tiga gadis.
Bidadari Angin Timur berkata. "Buat apa bersusah payah membawa calon bangkai itu
ke Kotaraja" Lebih baik penuhi saja permintaannya! Habisi dia sekarang juga!"
"Mati di tempat ini terlalu enak baginya. Biar dia merasakan sengsara jiwa
bagaimana menghadapi tiang gantungan. Selain itu para penjahat dan pengkhianat
Kerajaan akan bisa menyaksikan bagaimana hukum yang berlaku bagi manusia-manusia
seperti tua bangka satu ini!"
Tiga gadis cantik jadi terdiam.
"Kalian tidak mau menolong aku menotok orang ini?"
Tiga gadis sama gelengkan kepala.
Setan Ngompol angkat kaki kanannya. Lalu buuuuk!
Tumit kaki kanan itu dihantamkan ke pangkal leher sebelah kiri Rana Suwarte,
tepat pada urat besar pem-buluh darah.
"Ngeekk!"
Tubuh Rana Suwarte menggeliat lalu diam kaku tak mampu bergerak tak bisa
bersuara. Matanya membeliak seperti mau melompat dari rongganya.
"Rana Suwarte orang hebat! Kau datang dari Istana.
Kembali ke Istana. Di sana akan ada sambutan meriah untukmu! Bukan dawet bukan
wedang jahe. Bukan tuak juga bukan anggur. Jangan takut, juga tak ada air
kencing. Yang ada hanyalah tiang gantungan!"
Selesai keluarkan ucapan Setan Ngompol berpaling ke arah pertempuran yang
berlangsung hebat antara dua orang yang sama satu dengan lainnya yakni dua sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng. Salah seorang dari mereka tengah mendesak lawannya
hingga sang lawan terpaksa mundur sambil berkelebat di antara pohonpohon jati.
Namun di ujung pedataran tak ada lagi pohon jati yang bisa membantunya untuk
menghindar dari serangan lawan.
Dengan mengeluarkan bentakan keras Wiro yang terdesak tiba-tiba nekad menyerang
dengan jurus-jurus luar biasa hebatnya.
Setan Ngompol memberi isyarat pada tiga gadis seraya berkata. "Kita harus
mengawasi jalannya perkelahian dua orang itu. Jangan sampai Wiro palsu
meloloskan diri!"
Ke empat orang itu segera berkelebat, mendekat
memperhatikan jalannya pertempuran dari empat tempat dan sekaligus mengurung
berjaga-jaga. *** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
8 EBELUM Si Muka Bangkai melarikan diri dan
sebelum Rana Suwarte dipecundangi dan dibuat tak S berdaya oleh Setan Ngompol,
pertempuran antara dua sosok Wiro berlangsung seimbang, hebat dan ganas.
Namun begitu Si Muka Bangkai kabur dan Rana Suwarte tergelimpang tak berdaya
akibat totokan, hal ini mendatangkan pengaruh besar bagi salah seorang Wiro.
Rasa kecut mempengaruhi permainan silatnya. Apa lagi ketika dia melihat
bagaimana tiga gadis dan kakek botak itu telah mengelilingi kalangan
pertempuran, berdiri mengurung.
Karena berkelahi dengan digerayangi rasa bimbang, akibatnya Wiro yang satu ini
mulai ditekan dan didesak lawan. Namun, mendadak dia bertindak nekad. Gerakan
silatnya berubah. Tubuhnya berkelebat demikian rupa melancarkan serangan balik
yang tidak terduga.
Setan Ngompol, Anggini dan Ratu Duyung segera
mengenali. Serangan-serangan yang dilancarkan Wiro satu ini bukanlah dalam ilmu
silat warisan Sinto Gendeng.
Selain itu setiap tangan kanannya hendak saling beradu dengan tangan lawan, Wiro
yang satu ini selalu menghindar.
"Sepertinya ada cidera di tangan kanannya..."
Membatin Ratu Duyung. "Dia terus-terusan menyerang dengan tangan kiri. Astaga...
Serangannya itu, bukankah itu jurus-jurus Pembalik Otak Pembuta Mata" Jangan-
jangan dia adalah... Jahanam! Siapa lagi manusianya yang bisa merubah-rubah ujud
kalau bukan dia"!" Ratu Duyung kepalkan dua tinju. Merasa yakin Wiro yang satu
itu adalah erang yang pernah mencelakainya, tanpa menunggu lebih lama didahului
teriakan keras Ratu Duyung menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Tapi mendadak
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba sosok Wiro di sebelah kanan lancarkan satu
pukulan yang memancarkan cahaya ber-kilauan disertai hantaran hawa panas luar
biasa. Pukulan Sinar Matahari!
Berarti Wiro di sebelah kanan itu adalah Wiro yang asli!
Wiro di sebelah kiri tidak menyangka dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa
lawan akan mengeluarkan pukulan yang sangat ditakuti di dalam rimba persilatan
itu. Dia cepat melompat ke kiri. Tubuhnya bagian dada ke atas memang bisa
diselamatkan, namun dari dada ke bawah telak dihantam cahaya panas menyilaukan.
Satu jeritan terdengar menggidikkan mengiringi mencelatnya sosok tubuh ke udara
sampai dua tombak. Waktu melayang ke bawah tubuh ini melintir beberapa kali lalu
jatuh bergedebukan. Di balik asap yang mengepul dari tubuh bagian bawah yang
seperti dipanggang, kelihatan dua kaki me-lejang. Di sebelah atas dua tangan
menggeliat. Dari mulut orang ini keluar suara seperti kerbau digorok. Lalu hekk!
Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut orang itu. Tubuhnya juga tidak
bergerak lagi. Perlahan-lahan, berbarengan dengan sirnanya kepulan asap yang
mencuat dari tubuh sebelah bawah, sosoknya yang tadi menyerupai sosok Pendekar
212 Wiro Sableng berubah, demikian juga kepala dan wajahnya. Wajah orang ini
ternyata adalah wajah seorang nenek berdandan mencorong. Alis mata kereng hitam,
bibir diberi gincu sangat merah, pipi tertutup bedak tebal!
Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan dan pancarkan air kencing ketika dia
mengenali siapa adanya orang itu. Tiga gadis tak kalah kagetnya. Tapi yang
paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng asli yang barusan melepaskan
pukulan maut itu.
"Nyi Ragil Tawangalu...." desis murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala.
"Pantas tangan kanannya tidak berdaya. Dulu dihajar Eyang Sinto hingga patah dan
buntung." "Betina berjuluk Si Manis Penyebar Maut..." kata Setan Ngompol. Satu tangan
mengusap kepala botaknya. Yang lain pegangi bagian bawah perut yang saat itu
kembali mengucur.
"Aku sudah duga. Aku sudah duga," kata Ratu Duyung berulang kali. "Ternyata
memang dia!" Hati kecil Sang Ratu merasa penasaran karena dia tidak dapat turun
tangan sendiri membalaskan dendam sakit hatinya terhadap orang yang tempo hari
pernah menghantamnya hingga cidera berat.
Tiba-tiba Setan Ngompol menjerit keras.
"Kek! Kau kenapa?" tanya Wiro terkejut.
"Kek, kau kesurupan"!" teriak Anggini.
"Setan apa yang masuk ke dalam tubuh tua bangka ini"!" kata Bidadari Angin Timur
pula. "Jangar-jangan dia kemasukan rohnya Nyi Ragil!" ucap Ratu Duyung.
"Serrr... serrr... serrr!"
Setan Ngompol pancarkan air kencing sarnpai tiga kali berturut-turut. Lalu tanpa
perdulikan ucapan semua orang dia menubruk mayat Nyi Ragil Tawangalu. Dua
tangannya meraba sekujur tubuh jenazah si nenek mulai dari atas sampai ke bawah.
"Kek! Kau melakukan apa"!" Teriak Anggini yang jadi merasa jengah.
"Benar-benar edan! Mayat saja digerayanginya. Apa lagi perempuan hidup!" Berkata
Bidadari Angin Timur.
"Celaka! Celaka!" ucap Setan Ngompol berulang kali.
"Apa yang celaka Kek" Siapa"!" Bertanya Ratu Duyung.
"Dia... kalian semua!" Setan Ngompol berteriak marah.
Lalu kakek ini jatuhkan diri, duduk menjelepok di tanah.
Kepala mendongak ke langit tapi dua mata dipejamkan.
Seperti orang terisak Setan Ngompol berkata. "Kasihan....
Aku tidak menemukan! Aku tidak menemukan! Kasihan...."
Wiro berlutut di hadapan si kakek. Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
berdiri mengelilingi.
"Siapa yang kasihan Kek" Apa yang tidak kau temukan?" tanya Wiro.
Masih mendongak, Setan Ngompol menunjuk ke arah mayat Nyi Ragil. "Bunga itu...
Bunga melati hitam. Melati Tujuh Racun! Aku tidak menemukan! Yang kasihan Patih
Kerajaan. Dia akan sengsara sakit seumur-umur!"
Ratu Duyung dan Anggini baru sadar dan mengerti.
Keduanya memandang pada Bidadari Angin Timur dengan paras pucat.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Bertanya Wiro.
Setan Ngompol buka matanya lalu menjawab.
"Perempuan keparat ini muncul, menyaru menjadi dirimu! Kami memberitahu kalau
sudah mendapatkan sekuntum Melati Tujuh Racun. Dia meminta. Karena maksud-nya
sama dengan maksud kami yakni untuk mengobati Patih Kerajaan, apa lagi dia ingin
pergi mendahului agar bisa cepat sampai di Kotaraja. Aku menyuruh Bidadari Angin
Timur agar memberikan Melati Tujuh Racun itu padanya. Siapa mengira, siapa
curiga! Ternyata dia adalah Wiro palsu! Dan kini dia sudah mampus. Aku
menggeledah sekujur tubuhnya. Bunga melati hitam itu tidak bertemu.
Sapu tangan pembungkusnyapun tidak ada! Pasti bunga dan saputangan sudah hangus
dan ludas terkena pukulan Sinar Matahari!"
Ratu Duyung, Anggini dan Wiro Sableng hanya bisa terdiam mendengar keterangan
Setan Ngompol itu. Bidadari Angin Timur memijit-mijit kepalanya dan menghela
nafas berulang kali.
"Kalau saja bunga itu bisa kuganti dengan nyawaku, aku rela mati asal Melati
Tujuh Racun dapat ditemukan.
Tapi apa jadinya sekarang?" Setan Ngompol bicara menyesali diri. "Kalau saja aku
tidak menyuruh Bidadari Angin Timur menyerahkan bunga itu. Ah...!"
Setan Ngompol pukuli jidatnya sendiri. Kepala atas yang dipukuli tapi kepala
bawah malah yang mengucur habis-habisan!"
"Sudahlah Kek, tak usah sedih! Buat apa menyesal memukuli kepala sendiri!"
Berkata Bidadari Angin Timur.
"Ini, kuganti bungamu yang hilang. Yang satu ini harap kau sendiri yang
menyimpannya baik-baik."
"Gadis rambut pirang. Jangan kau bergurau! Apa maksudmu?" tanya Setan Ngompol.
Wiro dan dua gadis lainnya sama-sama memandang pada Bidadari Angin Timur.
Tenang saja, dari balik pakaiannya Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu
tangan dalarn keadaan ter-lipat rapi. Ketika lipatan sapu tangan dibuka di
dalamnya kelihatan sekuntum bunga melati hitam.
"Gusti Allah!" seru Setan Ngompol. Kakek ini melompat dari duduknya. Air
kencingnya langsung terpancar karena kaget luar biasa. "Bagaimana ini bisa
terjadi" Apa yang kau lakukan" Kau... kau merampas sapu tangan berisi bunga itu
dari Wiro palsu?"
Bidadari Angin Timur tersenyum. Dia gelengkan kepala.
"Waktu kau menyuruh aku menyerahkan Melati Tujuh Racun pada Wiro palsu, aku
mengikuti saja. Tapi lipatan sapu tangan yang kuberikan pada Wiro palsu kosong,
tak ada isi apa-apa. Sedang sapu tangan yang ada bunga melati hitamnya, tetap
aku simpan di balik pakaian. Aku...."
Setan Ngompol tiba-tiba berteriak keras kegirangan.
Dia melangkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
"Sobatku, kau ternyata bukan cuma cantik. Tapi juga cerdik!"
Lalu dalam girangnya si kakek melompat mendekati si gadis. Ciumannya menyambar
pipi Bidadari Angin Timur.
Gadis cantik berambut pirang ini tak sempat mengelak. Dia hanya bisa berteriak,
"Iiihhhh!" Lalu usap-usap pipinya yang kena dicium!
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
9 ALAM episode sebelumnya (Meraga Sukma) telah
diceritakan perihal Adipati Jatilegowo yang
Dmelarikan Nyi Larasati ke sebuah rumah kosong
miliknya di desa Bandongan. Ternyata di tempat itu Sarontang alias Pangeran Aryo
Probo telah mendahului dan menunggunya. Amarah dan dendam kesumat Sarontang
terhadap Jatilegowo memang selangit tembus. Pertama, Jatilegowo sewaktu masih di
tanah Makassar telah membunuh pemuda kekasihnya yakni Bontolebang. Membuat
pemuda itu sebagai Mayat Persembahan. Kemudian yang paling menyakitkan hati
ialah Jatilegowo membawa kabur Badik Sumpah Darah yang sangat diperlukannya
untuk dapat merampas tahta Kerajaan Pakubuwono.
Perkelahian antara ke dua orang itu berkecamuk
hebat. Sarontang keluarkan ilmu kesaktian yang bisa mendatangkan belasan makhluk
aneh berbentuk kelelawar besar berkepala seperti srigala bertaring, memiliki
sepasang tangan menyerupai manusia, berkuku panjang hitam yang sanggup
membongkar batang kayu merobek tembok. Namun menghadapi Badik Sumpah Darah di
tangan Adipati Salatiga itu, semua makhluk peliharaan Sarontang dibuat tidak
berdaya. Mereka habis dibunuhi, yang masih hidup melarikan diri. Sarontang
sendiri kena dibabat putus lima kuku jari tangan kirinya oleh badik sakti
beracun itu. Sebelum racun menjalar ke dalam peredaran darahnya yang bisa
membuat dia menemui ajal, Sarontang terpaksa tanggalkan tangan kirinya sebatas
pergelangan lalu melarikan diri.
Ketika Jatilegowo kembali ke tempat dia meninggalkan sosok Nyi Larasati, janda
Adipati Temanggung itu telah lenyap dilarikan seorang penunggang kuda.
Jatilegowo berhasil rnengejar orang yang membawa kabur Nyi Larasati. Orang itu
ternyata adalah Loh Gatra, pemuda cucu Ki Sarwo Ladoyo, abdi Kabupaten
Temanggung yang menemui ajal di tangan Jatilegowo. Walau Loh Gatra memiliki
senjata sakti Keris Tumbal Bekisar serta mampu melukai telinga kanan Jatilegowo
dengan senjata rahasia, namun dalam perkelahian yang berkecamuk hebat, pemuda
itu terdesak hebat. Pada saat nyawanya terancam di ujung Badik Sumpah Darah,
muncul Bujang Gila Tapak Sakti menyelamatkannya. Ternyata pendekar aneh bersosok
gemuk luar biasa ini juga tidak sanggup menghadapi kehebatan Badik Sumpah Darah.
Sewaktu Adipati Jatilegowo akan menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti dan Loh
Gatra, mendadak ada orang lain melarikan Nyi Larasati untuk ke sekian kalinya.
Yang membawa lari janda cantik itu kali ini adalah Sarontang yang rupanya
kembali lagi untuk menyiasati Jatilegowo. Karena lebih mementingkan sang janda
dari pada dua lawannya yang sudah tak berdaya itu, Jatilegowo memutuskan
mengejar Sarontang. Untuk beberapa lamanya Sarontang raib, tak bisa ditemukan.
Lenyapnya Sarontang ini adalah karena dia bekerja sama dengan Rana Suwarte
menyusun rencana untuk mencari Keris Naga Kopek yang belum lama lenyap dan kini
telah kembali serta disimpan dalam ruang penyimpanan rahasia. Menurut
perhitungan Sarontang, satu-satunya senjata yang dapat diandalkan untuk dapat
menghadapi Badik Sumpah Darah adalah senjata pusaka kerajaan itu yakni Keris
Naga Kopek. Kepada Rana Suwarte Sarontang bukan saja menjanji-kan imbalan berupa sejumlah
uang emas dan harta perhiasan, tetapi juga memberitahu dimana letak tumbuhnya
bunga melati hitam yang disebut Melati Tujuh Racun yang menjadi satu-satunya
obat penyembuh Patih Kerajaan.
Rupanya Sarontang sudah mengetahui satu rencana busuk yang tengah dijalankan
Rana Suwarte. Salah satu dari rencana Rana Suwarte itu ialah melenyapkan setiap
bunga melati hitam, termasuk memusnahkan tempat di mana bunga itu tumbuh.
Atas petunjuk Sarontang Rana Suwarte kemudian memang menemukan tempat tumbuhnya
bunga melati hitam itu yakni di salah satu pinggiran Kali Opak. Bunga itu dan
seluruh tanaman yang ada di tempat itu dimusnahkannya dengan cara dibakar.
. Sebagai tokoh silat Istana, dengan bantuan seorang petugas penjaga ruangan
Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyimpanan senjata Rana Suwarte berhasil mendapatkan Keris Naga Kopek lalu
diserahkannya pada Sarontang. Namun Sarontang
menipunya. Peti yang dikatakan berisi uang emas dan harta perhiasan nyatanya
berisi batu-batu kerikil.
Sarontang kemudian lenyap bersama Keris Naga Kopek.
(Baca Episode "Meraga Sukma" dan "Melati Tujuh Racun")
*** Dalam usaha mengejar Sarontang, di sebuah telaga Jatilegowo bertemu dengan Nyi
Ragil yang saat itu tengah mengerang kesakitan karena tangannya baru saja
dihantam patah dan buntung oleh Sinto Gendeng dalam satu perkelahian hebat. Si
Muka Bangkai yang waktu itu melarikan diri bersamanya sempat terkena lemparan
tusuk konde Sinto Gendeng. Untung cuma bahunya saja yang terserempet. Walau
begitu Si Muka Bangkai cukup dibuat kalang kabut mengobati dirinya dari racun
tusuk konde itu.
Sebenarnya saat itu Nyi Ragil Tawangalu yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut
tidak sendirian. Dia bersama kekasihnya Si Muka Bangkai. Namun Si Muka Bangkai
meninggalkannya sendirian untuk mencari obat agar luka patahan di tangan kanan
Nyi Ragil bisa cepat disembuhkan. Selagi Nyi Ragil berada sendirian di tepi
telaga itulah datang Jatilegowo. Si nenek yang memang senang pada lelaki muda
ini sangat tertarik pada sang Adipati yang punya tampang jantan garang serta
sosok besar kokoh.
Kekasihnya Si Muka Bangkai tidak ada, maka dia pergunakan kesempatan. Segera dia
terapkan ilmu kesaktian-nya untuk merubah ujud. Saat itu sosok dan wajahnya yang
tadi berupa seorang nenek-nenek berdandan menor men-colok dan buntung tangan
kanannya, kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita, dua tangan
sempurna, mengenakan pakaian sangat tipis hingga setiap sudut dan liku tubuhnya
yang mulus terlihat jelas di mata Jatilegowo.
Walau terheran-heran melihat kejadian ini tapi sang Adipati tak urung jadi
berdebar jantungnya, darah mengalir panas dalam tubuhnya. Nafsunya segera saja
naik ke kepala. Apa lagi memang sudah agak lama dia tidak menyentuh perempuan.
Dua istrinya di Kabupaten Salatiga boleh dikatakan tidak pernah diacuhkan karena
ingatannya selalu tertuju pada Nyi Larasati.
Entah karena selalu ingat pada sang janda, wajah gadis di tepi telaga itu jadi
kelihatan mirip-mirip dengan paras Nyi Larasati. Nafsu Jatilegowo semakin
berkobar ketika sang dara mengajaknya duduk di sampingnya di tepi telaga. Bahkan
sang dara memintanya mandi bersama.
Tentu saja Jatilegowo tidak menolak.
"Orang gagah, mandi sendirian apa nikmatnya. Sungguh bahagia kau mau menemani
aku mandi. Mohon kau mau menolong membukakan pakaianku."
Darah panas dan nafsu membara semakin berkobar
dalam tubuh Jatilegowo. Tidak tunggu lebih lama dia segera lakukan apa yang
barusan dikatakan si gadis.
Dengan cepat Jatilegowo melepas tali-tali kecil yang menjadi kancing bagian
depan pakaian tipis yang melekat di tubuh sang dara. Pada saat bagian atas
pakaiannya tersingkap, pada saat Jatilegowo terbelalak tak berkesip, kagum
melihat keindahan tubuh di depannya itu. Tiba-tiba terdengar suara orang
berkata. "Nyi Ragil, Nyi Ragil. Aku pergi tidak lama. Aku pergi mencari obat untuk
menyembuhkan luka tanganmu yang buntung! Tahu-tahu kau sudah bergendak dengan
lelaki lain! Sungguh keterlaluan!"
Nyi Ragil terkejut. Sirapannya terhadap Jatilegowo sirna. Serta merta ujudnya
kembali ke bentuk asli. Yakni seorang nenek genit berdandan mencorong, bertangan
buntung. Jatilegowo tersentak kaget. Dia ingat, nenek inilah yang tadi pertama kali
dilihatnya di tepi kali. Si nenek tentu mempunyai ilmu aneh bisa merubah diri.
Kalau nenek bungkuk bermuka seputih kain kafan itu tidak muncul niscaya dia akan
tertipu. Bukan mustahil si nenek punya maksud jahat terhadapnya. Mungkin pula
tua bangka satu ini adalah kaki tangan Sarontang yang sengaja meng-hadangnya,
hingga Sarontang bisa melarikan diri.
"Srett!"
Jatilegowo cabut Badik Sumpah Darah dari sarungnya.
Nyi Ragil dan juga Si Muka Bangkai terkesiap melihat cahaya redup angker yang
keluar dari senjata itu. Kakek ini memperhatikan bagaimana cahaya yang keluar
dari tubuh badik membuat gelombang halus air di permukaan telaga terhenti
bergerak. Dia juga merasakan bagaimana cahaya senjata sakti di tangan Jatilegowo
itu seolah menahan tiupan angin yang sejak tadi berhembus di sekitar telaga.
"Nyi Ragil, namamu Nyi Ragil!" Berucap Jatilegowo dengan mata besar berkilat
memandang pada si nenek.
"Aku hanya pernah mendengar cerita. Apa kau orangnya yang dijuluki Si Manis
Penyebar Maut"!"
Nyi Ragil sunggingkan senyum, kedipkan mata penuh genit menyahuti pertanyaan
orang. Sambil membungkuk dalam dia berkata.
"Matamu cukup tajam. Aku memang Nyi Ragil yang dijuluki Si Manis Penyebar Maut.
Tapi julukan itu keliru.
Yang lebih cocok adalah Si Manis Penyebar Kasih! Hik...
hik... hik!"
"Apa hubungan kalian berdua"!" Bentak Jatilegowo. Dia berpaling pada Si Muka
Bangkai. "Kakek muka pucat! Kau siapa?"
Si Muka Bangkai batuk-batuk beberapa kali baru menjawab.
"Dalam rimba persilatan aku yang tua bangka btingkuk ini dikenal dengan
panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat! Aku diketahui sebagai guru
seorang pendekar besar bernama Pangeran Matahari!"
Kagetlah Jatilegowo. Ternyata dia berhadapan dengan dua dedengkot rimba
persilatan berkepandaian tinggi.
"Apa hubungan kalian dengan Sarontang" Janganjangan kalian berdua kaki
tangannya!"
"Sarontang, siapa manusia satu itu" Kami tidak kenal!"
ucap Nyi Ragil sambil memandang pada Si Muka Bangkai.
"Betul, kami baru sekali ini mendengar nama itu. Apa lagi melihat orangnya,
belum pernah!" Kata Si Muka Bangkai pula.
"Aku tidak percaya pada kalian! Walau punya nama besar dalam rimba persilatan
Tanah Jawa tapi kalian bukanlah para tokoh baik-baik!"
Si Muka Bangkai tertawa. "Begitulah takdir menentu-kan! Begitu kehendak yang
berlaku! Orang gagah, harap simpan senjatamu! Mari kita bicara baik-baik." Ujar
Si Muka Bangkai.
Jatilegowo gelengkan kepala.
"Nenek berdandan mencorong ini barusan menipuku.
Merubah diri menjadi seorang gadis cantik. Berusaha memikatku. Pasti dia punya
maksud jahat tersembunyi!"
"Tidak salah kau menduga seperti itu," kata Si Muka Bangkai pula. "Nyi Ragil
memang tua bangka jorok, tidak boleh melihat lelaki gagah langsung mau mencoba
ke-jantanannya. Tapi secara jujur aku bilang dia tidak punya maksud jahat
tersembunyi. Dia hanya ingin menipumu untuk memuaskan nafsunya..."
"Ya... ya, memang betul begitu," kata Nyi Ragil meng-akui tanpa malu-malu.
"Mengenai orang bernama Sarontang itu, siapakah dia?" Bertanya Si Muka Bangkai.
"Dia seorang Pangeran tua dari Pakubuwon. Dia menculik seorang perempuan muda.
Aku tengah mengejarnya!" Menerangkan Jatilegowo.
"Apakah dia menunggangi kuda?" tanya Nyi Ragil.
"Benar. Kau melihatnya?"
"Apakah dia berambut biru berminyak" Ada cacat aneh memutari keningnya.
Mengenakan jubah tebal. Tangan kiri buntung sebatas pergelangan..."
"Benar sekali! Bagaimana kau tahu ciri-ciri orang itu padahal kau tadi bilang
tidak kenal padanya!" Jatilegowo berkata setengah berteriak lalu mendekati si
nenek. Nyi Ragil tersenyum. Dia pegang lengan Adipati
Salatiga itu dengan tangan kirinya lalu usap-usap lengan yang penuh bulu itu
berulang kali sambil matanya terpejam-pejam.
"Sebelum kau datang. Ketika aku sendirian di tepi telaga ini. Seorang penunggang
kuda dengan ciri-ciri yang aku katakan tadi, lewat di tempat ini. Membawa
seorang perempuan muda cantik, entah tidur entah pingsan.
Perempuan itu melintang di atas pangkuannya. Dia berhenti di sebelah sana. Lalu
melemparkan sesuatu ke arahku. Yang dilemparkan ternyata sehelai daun lontar.
Daun lontar jatuh tepat di depan kakiku. Aku tidak acuh, tidak memperhatikan apa
lagi mengambil daun itu.
Kemudian kakek berambut biru itu berkata padaku.
"Nenek berdandan seronok! Aku tahu siapa dirimu.
Jika kau mau bersahabat denganku melakukan apa yang aku minta, maka benda ini
akan menjadi milikmu!" Lalu kakek itu acungkan sebuah kalung mutiara dengan
lilitan dan rantai dari emas. Ini barangnya." Dari balik pakaiannya Nyi Ragil
keluarkan kalung mutiara yang dikatakannya itu.
"Melihat kalung begitu bagus, ada mutiara ada emas, perempuan mana tidak
tertarik. Aku bilang pada si rambut biru berminyak itu bahwa apa permintaannya
akan aku lakukan jika sanggup. Lalu dia melemparkan kalung ini padaku. Setelah
kalung berada di tanganku dia berkata.
Akan lewat di tempat ini seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar, berkumis
melintang, berdandan mewah. Jika dia muncul berikan daun lontar itu padanya.
Agaknya kaulah yang dimaksud oleh orang tersebut."
"Mana daun lontar yang kau katakan itu!" Bertanya Adipati Jatilegowo.
Nyi Ragil Tawangalu menunjuk semak-semak di arah kiri telaga. Di antara
rerantingan kelihatan terselip sehelai daun lontar.
"Setelah menerima kalung mutiara, setelah orang itu pergi, aku tidak perdulikan
daun lontar itu. Daun aku ambil, aku tidak memperhatikan lalu aku buang ke
semak-semak itu." Jatilegowo melangkah cepat ke arah semak belukar lalu
mengambil daun lontar kering yang terselip di antara rerantingan. Ketika daun
itu diperhatikannya, ternyata di salah satu sisinya ada tulisan berbunyi.
"Jatilegowo. Jika kau masih menginginkan Nyi Larasati datanglah ke Bukit Watu
Ireng. Kau akan mendapatkan perempuan yang kau sukai ini asal kau mau
menyerahkan Badik Sumpah Darah padaku. Datanglah pada bulan mati malam pertama."
Bulan mati malam pert:ama berarti sekitar empat hari dari sekarang. Jatilegowo
masih sempat berpikir meng-hitung hari. Bukit Watu Ireng terletak di utara
Kotaraja, tak jauh dari desa kecil bernama Pakem.
Apakah dia akan mendekaim di desa itu menunggu
sampai empat hari sementara dia punya kesempatan dan waktu untuk kembali dulu ke
Salatiga. Akhirnya Jatilegowo memutuskan untuk ke Salatiga dulu. Lalu dia
menyumpah. "Keparat! Sarontang jahanam! Aku pasti datang untuk mengambil Nyi Larasati!
Sekalian mengambil nyawamu!
Bedebah!" Jatilegowo bantingkan kaki kanannya hingga melesak ke tanah sedalam setengah
jengkal. Daun lontar ditangan kanannya diremas sampai hancur. Dia hendak
tinggalkan tempat itu tapi sesaat menahan langkah, berpaling pada sepasang kakek
nenek di depannya.
"Nyi Ragil, bagaimanapun juga kau telah membantuku mencari petunjuk lewat daun
lontar itu. Jika kau mau bersekutu dengan aku, mungkin aku bisa membalas budi
baikmu itu."
"Bersekutu bagaimana?" tanya Nyi Ragil sambil kedap-kedipkan matanya genit.
"Kau ikut bersamaku, bantu aku menemukan
Sarontang. Kalau berhasil kau akan mendapat pahala dariku serta berkah dari
Kerajaan."
"Berkah dari Kerajaan?" ulang Si Muka Bangkai.
"Benar, karena Sarontang sebenarnya adalah seorang Pangeran bernama Aryo Probo.
Dia ingin merebut tahta dari Sri Baginda Raja yang sekarang..."
"Ah.... Begitu ceritanya!" ujar Nyi Ragil. "Orang gagah, aku tidak berjanji apa
kami berdua bisa membantumu.
Tetapi seandainya kami mampu dan berhasil, imbalan apa yang akan kau berikan
padaku?" "Kalau Sarontang memberimu sebuah kalung, aku akan memberikan padamu dua buah
cincin dua buah gelang dan sepasang giwang!"
Nyi Ragil tertawa panjang. Dia memandang ke langit di atasnya lalu berkata pada
Jatilegowo. "Lupakan segala macam pemberianmu itu. Aku cuma minta satu hal.
Bisakah kita melanjutkan kemesraan yang tadi tertunda gara-gara munculnya kakek
bermuka mayat ini"!"
Tampang Jatilegowo jadi berubah. Si Muka Bangkai merutuk habis-habisan.
"Kalau begitu lupakan saja permintaanku!" Kata Sang Adipati. Lalu tanpa banyak
bicara lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
Nyi Ragil tertawa gelak-gelak. Si 'Muka Bangkai masih cemberut. Apa yang
kemudian terjadi Nyi Ragil tidak pernah melakukan apa yang diminta Jatilegowo.
Dia malah bersekutu dengan Rana Suwarte dalam berusaha memusnahkan bunga Melati
Tujuh Racun. Untuk itulah Nyi Ragil merubah diri menjadi Pendekar 212 Wiro
Sableng. Namun akhirnya, seperti dituturkan dalam bagian depan buku ini, Nyi Ragil
akhirnya menemui ajal oleh Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro Sableng
sedang Rana Suwarte tertangkap hidup-hidup setelah sebelumnya dikerjai oleh
Setan Ngompol, diguyur mulut dan mukanya dengan air kencing.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
10 EJAK pertemuannya dengan Wiro Sableng, Sri
Kemuning, istri muda Adipati Jatilegowo yang cantik S jelita itu tidak pernah
melupakan sang Pendekar.
Selama suaminya pergi entah kemana, setiap malam dia selalu tidur sendirian dan
sulit memicingkan mata. Wajah serta senyum Wiro senantiasa terbayang di pelupuk
matanya. Suara ucapan dan tawa pemuda itu sering seperti mengiang di telinganya.
Malam itu udara di Salatiga memang panas. Sampai menjelang pagi, di atas ranjang
Sri Kemuning tidak dapat memicingkan mata. Wajah Wiro lagi-lagi terbayang.
Tibatiba pintu kamar terbuka. Disusul suara kaki berat melangkah masuk. Hanya
ada satu orang yang berani masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk. Dia adalah
Adipati Jatilegowo, suaminya.
"Siapa"!" tanya perempuan muda ini sambil me-nyingkap tirai kelambu.
Tahu-tahu sosok tinggi besar Jatilegowo telah berdiri di tepi tempat tidur.
Kemuning dapat mencium bau yang tidak sedap keluar dari tubuh, pakaian dan jalan
nafas lelaki itu.
"Kangmas..."
"Kau kira siapa"!" Suara Jatilegowo langsung kasar.
"Pintu tidak dikunci. Sepertinya kau sengaja untuk memberi masuk seseorang.
Siapa yang kau tunggu"!"
"Saya mohon maaf. Saya terlupa mengunci pintu. Saya tidak menunggu siapa-
siapa..." jawab Kemuning ketakutan.
"Aku tahu kau dusta! Kau tengah menunggu pemuda sableng itu! Aku kira dia sudah
beberapa kali menyelinap ke atas ranjang ini selama aku pergi."
"Saya berani sumpah Kangmas. Saya tidak pernah berbuat serong seperti itu."
"Kau pernah dikecupnya hingga menimbulkan tanda di leher. Apa kau masih mau
menyangkal?"
Kemuning tadi terdiam. Tiba-tiba Jatilegowo ulurkan tangannya.
"Brett!"
Pakaian tidur yang dikenakan Kemuning robek besar di bagian dada. Karena di
balik pakaian itu dia tidak mengenakan apa-apa maka dadanya yang putih dan
kencang terbuka lebar. Nafas Jatilegowo menggeru, darahnya mengalir cepat.
Nafsunya naik ke kepala.
"Suruh pelayan membangunkan Sumini. Suruh perempuan itu datang ke sini. Aku
rindu pada kalian berdua!"
Sri Sumini adalah istri tua Jatlegowo yang hanya ter-paut beberapa tahun di atas
usia istri mudanya.
Sebagai seorang istri kata-kata rindu sang suami seharusnya merupakan hal yang
membahagiakan bagi Sri Kemuning. Tapi sebaliknya hal ini justru membuat tengkuk
sang istri muda menjadi dingin. Hatinya kecut. Dia tahu bagaimana perlakuan
Pedang Penyebar Maut 1 Candika Dewi Penyebar Maut I V Naga Pembunuh 17